Ilustrasi: Wikimedia Commons
“Capitalism in the Web of Life takes flight by naming this relation of life-making: the oikeios. From this relation — as much methodological orientation as ontological claim — we can see manifold species - environment configurations emerge, evolve, and ultimately become something else entirely. . . . [T]he oikeios is a relation that includes humans, and one through which human organization evolves, adapts, and transforms. Human organization is at once product and producer of the oikeios: it is the shifting transfiguration of this relation that merits our attention. In this spirit I understand “capital” “capitalism” as producers and products of the oikeios.”
— Jason W. Moore, Capitalism in the Web of Life, hlm 8
Tuduhan Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Ulil Abshar Abdalla bahwa kritik terhadap industri ekstraktif sama dengan “ekstremisme” bukan hanya keliru secara politis, tetapi juga mengabaikan relasi dialektis antara manusia dan alam—yang terurai dalam konsep oikeios dari Jason W. Moore, profesor di Universitas Binghamton yang juga koordinator World-Ecology Research Collective. Ulil juga menyatakan bahwa pandangan penolak tambang sederajat dengan “wahabi” , dalam arti menolak segala yang baru. Dalam “kritiknya”, Ulil menekankan ada kemaslahatan yang didatangkan pertambangan.
Dalam kerangka oikeios, industri ekstraktif tidak dilihat sebagai kebijakan ekonomi, melainkan konfigurasi historis-spasial yang menghancurkan jaringan kehidupan (web of life). Selain membahas industri ekstraktif sebagai gangguan terhadap oikeios, artikel ini juga akan membicarakan tentang kritik ekologis sebagai upaya memulihkan relasi kehidupan, serta kelas penguasa sebagai parasit dalam metabolisme alam-manusia.
Industri Ekstraktif: Penghancuran Oikeios
Moore mendefinisikan oikeios sebagai relasi organik tempat manusia dan alam saling membentuk. Kerangka oikeios mencoba menggugat pemahaman relasi antara “yang-sosial” dan “yang-natural” selama ini. Ia menolak dualisme antara alam dan masyarakat. Moore, pada lembar-lembar Capitalism in the Web of Life, menggugat perspektif yang melihat kehadiran manusia—dan organisasi sosialnya (masyarakat)—sebagai suatu yang bukan “bagian dari alam”, entah sebab dipandang telah jauh melampauinya dengan perkembangan peradaban atau menganggap memang terlepas sejak semula.
Dalam pendekatan ini, kehidupan sosial, perkembangan, dan evolusi masyarakat secara historis adalah satu dalam mata-rantai metabolisme lingkungan. Tidak hanya masyarakat manusia “ditentukan” atau “bergantung” pada kondisi material sekitarnya, dalam perkembangannya, mereka juga turut serta mengubah/mentransformasi kehadiran total lingkungan.
Industri ekstraktif (tambang, sawit, batu bara) memutus relasi ini dengan: pertama, mengubah alam menjadi “commodity frontier”: hutan, tanah, dan air direduksi menjadi input murah untuk akumulasi kapital alih-alih tempat komunitas hidup dan berkembang; kedua, memisahkan kerja-upahan dari ekologi: buruh tambang dan petani sawit dikondisikan untuk melihat alam sebagai “sumber daya”, bukan bagian dari reproduksi kehidupan sehari-hari. Kita melihat bagaimana industri ekstraktif merusak sekaligus mengatur ulang oikeios untuk kepentingan mereka. Oleh para ahli lingkungan kritis, ini kerap disebut dengan keretakan metabolik (metabolic rift)
Maka, ketika Ulil menyebut kritik terhadap situasi perusakan alam sebagai “ekstremisme”, ia tengah mengabaikan fakta bahwa industri ekstraktif adalah bentuk ekstrem dari perusakan oikeios.
Kritik Ekologis: Praksis Memulihkan Oikeios
Perlawanan masyarakat adat, petani, dan buruh terhadap industri ekstraktif bukanlah “ekstremisme”, melainkan upaya memulihkan relasi oikeios yang dihancurkan kapitalisme. Kita bisa melihat beberapa contoh. Gerakan Warga Maba Sangadji di Maluku Utara yang melawan pertambangan di sungai tempat mereka menggantungkan hidup, misalnya. Ini bukan hanya soal tanah, tetapi mempertahankan mata rantai ekologi yang menghidupi masyarakat adat (serta hutannya) dan pertanian mereka. Kemudian ada aksi buruh tambang di Morowali yang menuntut keselamatan kerja akibat beberapa insiden kecelakaan setahun ke belakang . Ini adalah perlawanan terhadap logika ekstraksi yang mengorbankan tubuh manusia dan lingkungan. Kita bisa mengambil contoh perlawanan yang lebih lama dan panjang, misalnya masyarakat di sekitar pertambangan emas Freeport.
Penolakan dan perlawanan langsung yang dilakukan oleh rakyat menunjukkan bahwa pertambangan bukan sekadar soal “keindahan yang hilang” atau “keaslian yang ternodai”. Ia adalah melawan arena penciptaan nilai tambah demi kelangsungan sirkuit akumulasi kapital. Rakyat menolak sebab basis kehidupan mereka terganggu .
Orang-orang seperti Ulil mudah saja mengatakan bahwa mereka yang menolak tambang berpandangan kuno—atau menolak kehadiran “sesuatu yang tidak dipahami” . Ada pula yang menganggap penolakan itu muncul dari ketidaktahuan terhadap sesuatu yang dianggap “lebih maju” atau “jauh melampaui pengetahuan mereka”. Akan tetapi, anggapan tersebut mengabaikan kenyataan bahwa masyarakat lokal punya pengetahuan ekologis dan relasi historis dengan lingkungan hidup mereka sendiri. Sebagai bagian dari oikeios, tatanan sosiokultural mereka telah lama terjalin dengan lingkungan sekitar, jauh sebelum dirombak aktivitas tambang —juga kemunculan permukiman urban (hingga menjadi kota-kota besar) .
Perubahan memang suatu keniscayaan, tetapi peretakan oikeios yang disruptif dan tiba-tiba yang mengakibatkan ketidaksiapan dan ketidakmampuan transformasi sosial hanya mengakibatkan masyarakat adat terpinggirkan tanpa kepastian arah kehidupan sosial-ekologis mereka ke depannya — memunculkan pandangan di antara mereka untuk mencerabut diri dan mencari jalan keluar masing-masing.
Dalam bahasa Moore, gerakan-gerakan ini adalah “moments of reparation”—upaya mengembalikan keseimbangan metabolisme alam-manusia yang dirusak kapital.
Kelas Penguasa: Parasit dalam Jaringan Kehidupan
Dalam kerangka oikeios, Ulil termasuk dalam kelompok yang oleh Moore sebut sebagai penganut “human exemptionalism”, yaitu menganggap manusia (terutama mereka sendiri) terpisah dari alam.
Tapi itu hanya secuil dari posisi Ulil. Dukungan terhadap industri ekstraktif tidak bisa dilepaskan dari fakta bahwa pemerintah mempersiapkan berbagai konsesi wilayah pertambangan secara struktural (legal) bagi ormas-ormas keagamaan. Ini belum termasuk aktor-aktor yang memberikan dana secara langsung ke pesantren. Dalam konteks oikeios, kelas penguasa berperan penting dalam mengorganisasi ulang alam demi tujuan kapitalisme. Mereka adalah salah satu arsitek dari rusaknya oikeios. Di sini, kritik terhadap industri ekstraktif mengemuka sebagai jubah bagi kritik terhadap parasitisme kelas penguasa yang menggerogoti oikeios untuk kepentingan sempit.
Dalam konteks yang lebih luas, para pemuka agama yang mendukung eksploitasi juga membuktikan bahwa fungsi agama itu sendiri salah satunya memang sebagai pengontrol kesadaran massa. Dalam perkembangan industri ekstraktif di Indonesia, represi melalui aparatur kekerasan adalah hal yang terus berulang. Namun represi ini sering kali tidak memicu simpati yang luas. Salah satu penyebabnya adalah keberhasilan kekuasaan dalam mengonsolidasikan kekuatan-kekuatan sosial—termasuk pemuka agama itu tadi—yang mampu membentuk opini umum. Opini ini kemudian cenderung membiarkan dan bahkan membenarkan model ekstraktif yang berlangsung, seolah itu hal wajar demi “pembangunan”.
Pengonsolidasian “tokoh-tokoh masyarakat” untuk mendukung rezim industri ekstraktif telah menjadi semacam keharusan dalam sejarah bangsa ini. Mereka, yang dalam diskursus ilmu sosial disebut “elite lokal”, merupakan elemen penting dalam menopang kekuasaan.
Hal ini tak terlepas dari kenyataan bahwa kita belum sepenuhnya bebas dari warisan kolonial yang feodal, yang memandang hormat mereka yang dianggap punya status sosial lebih tinggi dari orang kebanyakan. Banyak elite memegang pengaruh sosial-politik yang kuat dengan basis berupa “bawahan-bawahan” atau massa yang tunduk. Ini umum terjadi di masyarakat yang tingkat kritisnya masih rendah— efek dari sistem pendidikan yang gagal meningkatkan kesadaran umum.
IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.
Kritik adalah Titik Balik Oikeios
Tuduhan “ekstremisme” yang dilontarkan oleh Ulil terhadap gerakan anti-tambang bukan hanya keliru secara konseptual, tetapi juga merupakan bentuk kekerasan epistemik yang berupaya meminggirkan nalar dan pengalaman ekologis-politik rakyat. Ia mencerminkan posisi kelas penguasa yang menjelma sebagai perpanjangan tangan dari logika ekstraktif kapitalisme.
Dengan bingkai oikeios, kita memahami bahwa kehidupan manusia tidak bisa dipisahkan dari jaringan kehidupan alam. Kapitalisme menghancurkan jaringan ini dengan cara memisahkan kerja dari ekologi, dan menjadikan alam sebagai ladang akumulasi nilai yang tak berkesudahan. Industri ekstraktif adalah ekspresi paling brutal dari keretakan ini.
Perlawanan-perlawanan muncul di tengah kehancuran yang sedang terjadi, dari warga Maba Sangadji hingga buruh Morowali, dari masyarakat adat pedalaman Halmahera hingga berbagai komunitas yang berjuang mempertahankan tanah, laut, dan hutan mereka. Gerakan-gerakan ini bukan sekadar bentuk “penolakan”, tetapi praktik politik kehidupan. Mereka adalah ekspresi praksis ekologis yang bertujuan memulihkan metabolisme sosial-alamiah yang telah diretas oleh kapitalisme. Mereka adalah “moments of reparation” yang lahir dari tubuh dan pengalaman konkret.
Perlu diingat pula bahwa kerusakan ekologis di Indonesia berkelindan dengan struktur sosial-politik warisan kolonial dan Orde Baru. Ia melanggengkan dominasi elite lokal dan pemuka agama dalam menjaga keberlanjutan proyek ekstraktif. Selama formasi ini tak diganggu, rakyat akan terus menjadi korban; dan relasi oikeios akan terus dihancurkan demi kepentingan segelintir.
Oleh karena itu, tugas kita bukan hanya menyuarakan kritik, tetapi membangun basis politik alternatif—politik yang berpijak pada kehidupan, bukan keuntungan. Politik yang mengakui dan melanjutkan nalar ekologis rakyat, bukan mengutuknya sebagai “ekstrem”. Dalam arti inilah kritik ekologis bukan sekadar argumen, tapi jalan untuk menyelamatkan web of life yang tersisa.
Kapitalisme tidak sekadar “mengalami” krisis ekologis—ia adalah krisis itu sendiri, kata Moore. Maka, merawat dan memulihkan oikeios bukan hanya tindakan ekologis, tapi juga revolusioner. Sebab di sanalah hidup bisa dimulai kembali—bersama rakyat, bersama alam, dan bersama dunia yang layak huni.
Miftahulrahman Bahas, mahasiswa Universitas Nasional Jakarta