Umi – IndoPROGRESS https://indoprogress.com Media Pemikiran Progresif Fri, 19 Nov 2021 12:53:18 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.4.3 https://indoprogress.com/wp-content/uploads/2021/08/cropped-logo-ip-favicon-32x32.png Umi – IndoPROGRESS https://indoprogress.com 32 32 Feminisme Anti-Imperialis Gerwani di Panggung Perang Dingin https://indoprogress.com/2020/02/feminisme-anti-imperialis-gerwani-di-panggung-perang-dingin/ Thu, 13 Feb 2020 02:49:34 +0000 https://indoprogress.com/?p=136773

Ilustrasi oleh JonpeyKarya-karyanya dapat dijumpai di sini.


“Sedjak pagi2 pada 17 Djanuari 1962, Gedung PB Front Nasional didatangi berdujun-dujun sukarelawan untuk melaksanakan komando rakjat. Kami, wanita yang bergabung dalam Gerwani djuga tak ketinggalan siang hari berdatangan memenuhi ruang dalam Gedung Front Nasional…….Wakil Gerwani menjerahkan sedjumlah besar formulir pada Front Nasional dan menjatakan siap sedia djuga untuk mendapatkan latihan2 jang diperlukan (….) (Api Kartini, Januari 1962)

API KARTINI edisi Januari 1962 terbit penuh gelora. Cuplikan kalimat di atas merupakan paragrap awal dari reportase bertajuk “Pendaftaran Sukarelawan Untuk Membebaskan Irian Barat”. Reportase itu menunjukkan sikap Gerwani dalam mendukung kebijakan Presiden Soekarno untuk menanggapi serangan Belanda pada 15 Januari 1962 terhadap Angkatan laut RI. Kaum perempuan diminta memberikan dorongan kepada suami, anak, bahkan dirinya sendiri untuk menjadi sukarelawan pembebasan Irian Barat. Sebagai catatan, dalam banyak bagian di tulisan ini saya tetap menggunakan istilah Irian Barat sesuai masanya. Istilah “pembebasan”, sekalipun sangat problematis, juga akan digunakan mengingat konteks zamannya serta sebagai nama resmi kampanye pemerintahan Sukarno.  

Saat itu Gerwani merupakan satu-satunya organisasi perempuan yang memelopori mobilisasi sukarelawan untuk pembebasan Irian Barat. Tindakan itu mendapat pujian dari Ibu Hurustiati (isteri Soebandrio, Wakil Pedana Menteri) yang saat itu menjadi Ketua Kongres Wanita Indonesia (KOWANI).

Dilihat dari situasi hari ini, mobilisasi sukarelawan untuk pembebasan Irian Barat tentu dapat mengundang kegusaran banyak pihak. Di satu sisi, kita memiliki kebiasaan berpikir yang anakronistis, yaitu menganalisasi peristiwa tidak seturut konteks waktu-ruang pada masanya dalam membaca sejarah. Di sisi lain, kasus pelanggaran HAM di Papua, termasuk konflik dan kerusuhan, penangkapan aktivis Papua dan pembela Papua adalah fakta-fakta keras yang tidak bisa diabaikan.

Baca juga: Gagalnya Nasionalisme NKRI di Papua

Adalah relevan untuk dipertanyakan untuk apa waktu itu pemerintah Indonesia menggelar operasi militer di Irian Barat, jika dalam perjalanannya sumber daya alam dan manusia Papua hanya dieksploitasi, dibiarkan marginal dalam proses transisi modernitas. Namun, tulisan ini tidak bermaksud menganalisis proyek politik pembebasan Irian Barat dan warisan bom waktunya pada Papua hari ini.  Tulisan ini bermaksud untuk menelisik basis argumentasi mengapa Gerwani cukup aktif dalam mobilisasi sukarelawan untuk Irian Barat dan gerakan solidaritas anti-imperialisme lainnya.

Gerakan Era Perang Dingin

Barangkali kita sudah mulai lupa terhadap era Perang Dingin yang pernah terjadi dalam sejarah dunia sebagai kontestasi kekuatan militer, ekonomi-politik, dan teknologi antara blok “Barat” yang disebut “kapitalis” dan dipimpin oleh AS versus blok “Timur” yang disebut “sosialis” dan dipimpin oleh Uni Soviet. Perang Dingin dimulai setelah periode fasisme Nazi Jerman dan Jepang berakhir, hingga tersisa dua blok besar tersebut beserta kroni-kroninya.

Pada 1947 Presiden AS Harry S. Truman mencetuskan sebuah doktrin (yang kelak dikenal sebagai “Doktrin Truman”) untuk mengendalikan ekspansi Uni Soviet (komunisme internasional). Salah satu bunyi doktrin tersebut adalah “mendukung masyarakat dunia yang bebas” berdasarkan asumsi bahwa politik komunisme internasional yang digaungkan Uni Soviet bersifat totaliter dan memberangus kebebasan. Saat itu Doktrin Truman diwujudkan secara internasional dengan membantu Yunani dan Turki agar tidak terjatuh ke dalam hegemoni Uni Soviet.

Perang Dingin memang bukan perang terbuka. Perang itu dilakukan atas nama solidaritas membantu negara lain yang sedang berada dalam ancaman AS maupun Uni Soviet. Menurut Prasenjit Duara,[1] tatanan Perang Dingin muncul dari rekonfigurasi ulang sejarah panjang imperialisme dan nasionalisme selama abad ke-19 hingga 20. Persaingan Perang Dingin memberikan kerangka rujukan di mana hubungan baru antara imperialisme dan nasionalisme berusaha mengakomodasi perkembangan dekolonisasi dan revolusi hak-hak global. Namun, pada gilirannya, akomodasi ini menghasilkan perkembangan multikulturalisme, militerisme, ideologi baru, dan mode pembentukan identitas, sehingga menghasilkan sebuah konstelasi atau konfigurasi. Konfigurasi itu pun kemudian berkembang, berubah yang dipengaruhi oleh faktor sejarah lainnya termasuk ras, jenis kelamin, kelas, dan agama.

Hubungan antara imperialisme dan nasionalisme tidak seluruhnya dalam kontradiksi ataupun interaksi. Malaysia dan Inggris berkembang dalam interaksi imperialisme dan nasionalisme yang kepentingannya dapat berjalan sejajar, sementara Indonesia dan Belanda dalam kontradiksi imperialisme dan nasionalisme. Itu sebabnya dalam konteks dekolonisasi, wilayah-wilayah yang diklaim “milik” Belanda harus direbut untuk menjadi milik nasional Indonesia. Wilayah Irian Barat termasuk dalam sengketa sejak Konferensi Meja Bundar (KMB) pada 1949.

Dimas Dwi Kurnia (2019) telah menulis “Peranan Gerwani Dalam Pembebasan Irian Barat 1950-1963” dalam Jurnal Prodi Sejarah, Universitas Negeri Yogyakarta, menjelaskan bahwa peristiwa pembebasan Irian Barat harus ditarik ke masa Perjanjian Konferensi Meja Bundar (KMB) pada 1949. Dalam perjanjian KMB untuk pertama kalinya dibahas urusan Irian Barat antara Indonesia dan Belanda. Kedua negara, mantan penjajah dan jajahan, berbeda pendapat. Menurut Indonesia, kedaulatan Indonesia meliputi tanah bekas jajahan Belanda, yang sebelumnya disebut Hindia Belanda, hingga termasuk Irian Barat. Sementara Belanda memperlakukan Irian Barat bukan sebagai Hindia Belanda dan karena itu menolak menyerahkannya kepada Indonesia. Perbedaan pendapat itu selanjutnya mewariskan masalah berkepanjangan di masa depan. Pelbagai upaya dilakukan Indonesia, termasuk membentuk Komisi Gabungan untuk melakukan penyelidikan di Irian Barat dan diplomasi internasional. Hingga pada 1961, Presiden Soekarno mengumumkan Operasi Trikora (Tri Komando Rakyat) di Yogyakarta. Politik Soekarno saat itu penuh gaung anti-imperialisme. Ia menggalang organisasi-organisasi massa, termasuk Gerwani untuk mendukung gerakannya.[2]

Politik Internasional Anti-Imperialisme Gerwani

Selama dekade pasca-kemerdekaan sampai 1960-an, sikap politik Gerwani dalam menderaskan gaung anti-imperialisme sangat militan. Sikap politik ini didasarkan pada solidaritas nasional dan internasional untuk menciptakan perdamaian. Yang dimaksud menciptakan perdamaian di sini adalah ikut serta mengganyang imperialisme yang menciptakan penindasan dan ketidakdamaian dalam sanubari rakyat tertindas di seluruh dunia, termasuk di dalam negeri. Sikap anti-imperialisme seperti itu tidak tersurat dinyatakan oleh organisasi perempuan lainnya, baik dalam kata dan maupun tindakan politik.

Dalam konteks solidaritas internasional anti-imperialisme, Gerwani menjadi anggota Women International Federeration Democratic (WIDF) yang didirikan di Paris pada 1945. Dalam masa perang dingin 1947-1991, ketika tegangan politik dan militer antara “dunia Barat” yang dipimpin oleh AS versus “dunia sosialis” yang dipimpin oleh Uni Soviet memuncak, federasi perempuan internasional ini cenderung memberikan solidaritas kepada negara-negara sosialis dan bekas jajahan. Keikutsertaan Gerwani di dalamnya memenuhi kriteria sebagai organisasi perempuan dari negara bekas jajahan yang masih tetap memperjuangkan anti-imperialisme.

Sikap politik anti-imperialisme itu ditunjukkan dalam pidato Umi Sardjono selaku Ketua Umum Gerwani pada Kongres Gerwani ke-3 pada 1962. Ia menegaskan program politik internasional Gerwani meliputi: (1) Membangun Front Internasional Anti-imperialis, (2) Mengembangkan solidaritas perempuan NEFO (New Emerging Forces), (3) Melawan revisionis dalam gerakan perempuan internasional yang pasifis (menciptakan perdamaian tanpa membela negara yang sedang perang melawan imperialis).[3]

Dalam pidatonya itu, Umi Sardjono menggambarkan situasi imperialis dunia: AS melakukan agresi dan teror berdarah ke Amerika Latin, Korea, Jepang, dan Vietnam Selatan. Di Vietnam Selatan, AS melakukan penyebaran racun-racun di ladang tani dan menjadikan petani sebagai kelinci percobaan nuklir di Korea Selatan, lalu mencampuri urusan dalam negeri Panama dan Venezuela. Sebagai salah satu titik wilayah kontradiksi pokok dunia, di Asia Tenggara telah berkobar perjuangan rakyat yang sengit melawan berbagai bentuk imperialisme dan neokolonialisme. Sebagai gerakan perempuan yang berkedudukan di Asia Tenggara, Gerwani berkewajiban meningkatkan kegiatannya dalam memenangkan revolusi-revolusi rakyat di Asia Tenggara. Selain itu Gerwani mendukung perjuangan kaum perempuan di Kuba, Jepang, Korea, Laos, Kamboja, Vietnam Selatan, yang dengan gigih pantang mundur melawan imperialisme AS.[4]

Pada 1963 Gerwani telah menyelenggarakan pertemuan persahabatan dan mempopulerkan perjuangan heroik rakyat Kuba, Korea, dan Vietnam ke daerah-daerah di Indonesia. Gerwani juga menyambut misi Front Nasional untuk Pembebasan Vietnam Selatan yang dipimpin oleh Prof. Nguyen Thin Binh di Indonesia.[5]

Namun, Gerwani menyayangkan sikap WIDF belakangan menjadi revisionis, menghindari perjuangan anti-imperialis dan hanya menitikberatkan pada perjuangan perempuan untuk perdamaian berdasarkan prinsip “damai untuk damai”. Padahal, “tak mungkin perdamaian terjadi selama imperialisme ada, membunuh pejuang-pejuang kemerdekaan, dan masih membuat perang di mana-mana”. Imperialisme membuat perempuan menderita, maka perjuangan melawan imperialisme adalah membebaskan perempuan dari penderitaan.[6]

Bagi Gerwani, pengaruh revisionisme yang menjangkiti gerakan perempuan internasional telah merusak dan melemahkan gerakan emansipasi revolusioner, dan karena itu harus dilawan dengan keras. Solidaritas antar-rakyat yang berjuang melawan imperialisme hanya mungkin jika disertai perjuangan melawan revisionisme dalam gerakan perempuan. Gerwani telah mengadakan kunjungan ke Uni Soviet, Republik Rakyat Tiongkok, Bulgaria, Kuba, Korea Utara, dan juga menerima kunjungan gerakan perempuan dari Uni Soviet, Cekoslovakia dan Hongaria, untuk saling memperkuat dukungan kepada perjuangan melawan imperialisme.[7]

Politik Nasional Anti-Imperialis Gerwani

Api Kartini edisi No.20/1962 melaporkan bahwa Ibu Sundari Surachman dan Ibu S. Hanafi menjadi delegasi Gerwani untuk mengikuti Musyawarah Internasional Wanita untuk Pelucutan Senjata pada 23-26 April 1962 di Wina, Austria. Pertemuan itu membahas perjuangan untuk kemerdekaan nasional dan pelucutan senjata imperialis. Indonesia, Vietnam, dan Laos merupakan negara yang menjadi sorotan. Khusus mengenai Indonesia, peserta delegasi dari pelbagai negara memberikan dukungan solidaritas melalui Gerwani untuk perjuangan pembebasan Irian Barat.

Bahkan Ny. Gloria Gaston, delegasi WIDF dan anggota dari Persatuan Wanita Australia, telah menulis dan dimuat dalam Australia Tribune (lalu dikutip oleh Harian Rakyat dan dimuat dalam Api Kartini, 1962) bertajuk “Irian Barat Masalah Jang Paling Penting”. Ny. Gaston berkunjung ke Indonesia dalam rangka menghadiri Kongres Gerwani ke-4, 14-17 Desember 1961 di Jakarta. Selain itu Ny. Gaston mendapat kesempatan untuk keliling desa di Pulau Jawa dan bertemu dengan banyak perempuan desa. Menurutnya, pembebasan Irian Barat dari kolonialisme Belanda merupakan hal besar dan penting bagi rakyat Indonesia. Oleh sebab itu Ny. Gaston memberikan dukungan bagi perjuangan pembebasan Irian Barat.

Bagi Gerwani, dukungan untuk pembebasan Irian Barat merupakan kelanjutan dari perjuangan kemerdekaan (nasionalisme) yang belum tuntas. Revolusi nasional itu bahkan masih harus dilanjutkan dengan revolusi sosial bagi kemerdekaan rakyat tertindas. Sikap politik anti-imperialisme dan kerja-kerja bagi pelayanan perempuan (dan anak) maupun pencegahan perkawinan muda, anti-poligami, memperjuangkan hak kesejahteraan buruh dan petani perempuan berjalan paralel. Kemiskinan perempuan terjadi dalam konteks kolonialisme dan imperialisme, di mana ide-ide ini berkawin dengan pemasungan hak perempuan dalam perkawinan (rumah tangga).

Jadi, Gerwani pada masa itu masih berpandangan bahwa kolonialisme/imperialisme eksis dalam wujud kekuasaan Belanda di Irian Barat. Mengutip artikel di majalah Anthropological Quarterly dari AS, sebuah artikel di Api Kartini menggambarkan bahwa:

Pembesar Belanda, antara lain mengusir suku Muju sebanyak 13.000 djiwa yang semula tinggal di pesisir Barat Daya, Irian Barat. Tjara mengusirnya adalah kedjam tanpa perikemanusiaan, jaitu polisi pada waktu-waktu tertentu menghantjurkan gubuk-gubuk bangsa Irian di tengah-tengah hutan. Lalu ternak-ternak dibinasakan. Orang Irian dipaksa bekerdja sebagai budak belian, sedangkan orang jang tidak mau menurut didjebloskan ke dalam pendjara. Tindakan itu berakibat bahwa suku bangsa tersebut mati kelaparan….Djika diingat bawah dalam praktek-praktek jang demikian itu ada banjak kaum wanita dan anak-anak (….)  (Api Kartini, No 2, Tahun IV, Februari 1962)

Dengan demikian agenda Gerwani untuk mobilisasi umum bagi sukarelawan untuk pembebasan Irian Barat adalah bagian penyelesaian kontradiksi era Perang Dingin dalam konteks nasional. Sesungguhnya Gerwani juga menggalang kekuatan progresif di negeri Belanda agar menarik mundur pasukannya di Irian Barat.

Kontradiksi Agenda Feminis Perang Dingin

Selama masa Perang Dingin, agenda gerakan feminis dunia terpola dalam dua karakter yang kontradiktif. Bagi gerakan feminis di dunia “Barat” yang “liberal”, khususnya AS, era Perang Dingin atau pasca-Perang Dunia II adalah masa ketika perempuan dikembalikan ke dalam rumah tangga. Selama masa Perang Dunia II, para laki-laki diwajibkan untuk berperang dan kaum perempuan menggantikan pekerjaan yang mereka tinggalkan. Setelah perang usai, laki-laki kembali ke pekerjaannya dan perempuan kembali mengurus rumah tangga. Keadaan penuh domestikasi perempuan itu telah ditulis oleh Betty Friedan dalam Feminine Mystique (1963). Pada saat bersamaan, gerakan feminis dari belahan dunia yang blok “Timur” sedang berjuang untuk nasionalisme dan anti-imperialisme, seperti halnya Gerwani dan anggota WIDF lainnya. Meskipun kemudian terjadi ledakan baru gerakan pembebasan perempuan di AS untuk keadilan gender, melawan kekerasan seksual, rasisme dan ketimpangan sosial sebagai akibat perubahan sosial di negara tersebut. Sebagian dari aktivis gerakan pembebasan perempuan di AS ini disebut Gerakan Perempuan Kiri Baru (sayang sekali di Indonesia, gerakan perempuan Kiri Baru ini mendapat stigma “gerakan perempuan liberal yang membuka BH mereka!”).

Baca juga: Perkawinan Anak dan Reproduksi Kapital

Gerakan feminis Perang Dingin pada dasarnya merupakan gerakan transnasional, sekalipun terjadi penafsiran yang berbeda-beda dalam konteks nasional. Organisasi perempuan internasional, seperti WIDF yang agendanya membangun solidaritas anti-imperialisme kontradiktif dengan agenda International Council of Women (ICW) yang berdiri pada 1888 di Washington D.C.  Selama Perang Dingin, ICW memperjuangkan agenda-agenda liberal seperti hak sipil perempuan. Organisasi ini mewakili agenda feminis AS yang berbeda dengan feminis di negara-negara mantan jajahan maupun “blok Timur”.

Walaupun terdapat kontradiksi antara agenda WIDF dan ICW selama masa Perang Dingin, tetapi keduanya memberikan sumbangan yang cukup besar dalam komisi peningkatan status perempuan di PBB hingga terselenggara konferensi-konferensi perempuan sedunia pada 1975 di Meksiko, konferensi kedua di Copenhagen pada 1980, dilanjutkan di Nairobi pada 1985, dan di Beijing pada 1995. Tentu saja Gerwani tidak dapat mengikuti konferensi perempuan internasional yang diselenggarakan oleh PBB tersebut, sebab organisasi ini telah menjadi korban Perang Dingin. Gerwani dibubarkan dan aktivisnya dipenjara (dan tak sedikit yang dibunuh) dalam rangkaian paket Doktrin Truman untuk menghancurkan gerakan-gerakan anti-imperialisme yang dikategorikan sebagai bagian dari blok Soviet.

Namun, selalu terjadi kelahiran baru di tengah puing penghancuran. Sejak 1980-an muncul banyak organisasi non-pemerintah yang menangani pelbagai isu perempuan, yang sebagian dahulu dikerjakan oleh Gerwani. Hanya saja, isu-isu yang ditangani organisasi perempuan saat ini minus gerakan anti-imperialisme dan telah digantikan oleh gerakan anti-neoliberalisme yang lebih “akademis” ketimbang gerakan massa dalam solidaritas internasional.

Mungkin karena itulah dalam konteks masalah Papua saat ini, kita lebih banyak menyatakan persoalan pelanggaran HAM–meskipun memang tepat—daripada meletakkan pada gerakan menolak neo-imperialisme yang menguasai Papua dalam bentuk ekspansi industri ekstraktif.

Perang Dingin memang telah berlalu, tetapi neo-imperialisme selalu memperbarui dirinya. Hari ini, kita memang perlu kembali mengevaluasi kembali peran Gerwani dan kaum komunis dalam perebutan Irian Barat (apakah mereka telah mengantisipasi dampak jangka panjang dari kampanye tersebut? Bagaimana hubungan mereka dengan masyarakat asli Papua? dsb). Di luar itu, kerja-kerja Gerwani dalam platform anti-imperialisme saat itu perlu ditengok lagi oleh gerakan feminis hari ini.***


[1] Prasenjit Duara, “The Cold war as a Historical Period: An Interpretative Essay”, artikel ini diunduh dari http://www.fas.nus.edu.sg/hist/doc/duara pada 5 Februari 2020

[2] Dimas Dwi Kurnia, “Peranan Gerwani Dalam Pembebasan Irian Barat”, Jurnal Prodi Ilmu Sejarah, Vol. 4, Nomor 1, Tahun 2019, Univesitas Negeri Yogyakarta

[3] Laporan Umi Sardjono, Ketua Umum DPP Gerwani ke Sidang Pleno ke-3, 1964, hal 15-20

[4] Laporan Umi Sardjono, hal 15

[5] Laporan Umi Sardjono, hal 16

[6] Laporan Umi Sardjono, hal 18

[7] Laporan Umi Sardjono, hal 19

]]>
Narasi Sulami versus Narasi Orde Baru https://indoprogress.com/2020/01/narasi-sulami-versus-narasi-orde-baru/ Thu, 23 Jan 2020 00:45:26 +0000 https://indoprogress.com/?p=126047

PERISTIWA pembunuhan tujuh orang jenderal dan seorang perwira Angkatan Darat 54 tahun lalu (1965), yang disebut G.30.S, mengakibatkan pengejaran, penangkapan, pembantaian dan pemenjaraan pimpinan, kader, anggota, simpatisan Partau Komunis Indonesia (PKI) beserta keluarganya. Organisasi yang dekat dengan PKI juga menjadi sasaran, termasuk Gerwani (Gerakan Wanita Indonesia) –organisasi perempuan yang dibangun oleh perempuan pejuang kemerdekaan Indonesia. Sulami adalah satu dari pimpinan Gerwani yang ditangkap dan disiksa dan kemudian dijatuhi hukuman penjara selama 20 tahun potong tahanan. Rezim militer yang dipimpin Soeharto berupaya menghancurkan PKI sampai ke akar-akarnya.

Sebelum menjadi tahanan rezim Soeharto, Sulami sangat aktif dalam mengorganisasi perempuan dalam perang kemerdekaan Indonesia. Perjalanannya sebagai aktivis dimulai ketika ia mengorganisasi barisan perempuan muda di Sektor Kota Sragen, sejak terjadi serangan militer Belanda (Agresi I) pada 1948 dan kemudian bergabung dalam perang gerilya pada masa Agresi II (1949). Sesudah perang usai, Sulami bergabung ke dalam Gerwis (Gerakan Wanita Sedar) Cabang Surabaya pada 1951, sampai kemudian Gerwis berubah nama menjadi Gerwani dalam kongres kedua pada 1954. Setelah menjadi Ketua Cabang Gerwani Surabaya, pada 1957 ia diangkat sebagai Sekretaris Jenderal II Dewan Pimpinan Pusat Gerwani yang berkedudukan di Jakarta.

Pada 1958, Sulami menjadi delegasi Gerwani mengikuti Kongres Perempuan Sedunia di Wina, Austria dan kemudian menjadi delegasi Gerwani ke Berlin Timur untuk mengikuti Kongres Women International Democratic Federation (WIDF). Sejak saat itu aktivitas internasional Sulami sangat padat, dan kemudian pada 1964 kembali pada aktivitas Gerwani menjelang organisasi ini akan menyelenggarakan Kongres pada 22-29 Desember 1965. Namun, sebelum Kongres itu terjadi, Sulami dan seluluruh anggota Gerwani di seluruh Indonesia dikejar dan ditangkap dalam operasi militer pimpinan Panglima KOSTRAD, Soeharto, dan Panglima RPKAD (Resimen Para Komando AD), Sarwo Edhie Wibowo. Sulami tertangkap pada 6 Oktober 1967 dan dibebaskan secara bersyarat pada 1987.

Tulisan ini akan mengulas salah satu karya buah pena Sulami selama di dalam penjara yang berjudul Menanti Rembulan Ndadari (A Waiting Full Moon). Novel panjang ini terdiri dari sembilan bab, dan ia tulis saat menjelang proses pengadilan pada dirinya sekitar 1974, sementara sidang pengadilan pertamanya digelar pada 1 Januari 1976 di Pengadilan Negeri, Jakarta Pusat. Sidang pengadilannya berjalan hampir lima tahun (Agustus 1979), dan selama masa itu Sulami sangat produktif menulis. Ia menceritakan dalam tulisannya yang lain yang berjudul Perempuan, Kebenaran dan Penjara (1999), katanya:

Waktu kelihatan tanda-tanda saya takkan dipindahkan lagi, saya mulai menulis. Saya menulis cerita tentang masa revolusi. Saya yakin pembaca akan tertarik membacanya, karena tidak semua pembaca mengalami masa revolusi dan perang gerilya. Di situ semangat saya curahkan untuk menulis novel.

Saya berasumsi bahwa Sulami menulis novel di sekitar proses pengadilan bagi dirinya merupakan ungkapan yang tak dapat dikatakan pada sidang pengadilan. Semua orang tahu bahwa sidang pengadilan itu tidak pernah ada keadilan bagi terdakwa yang sudah menderita penyiksaan lahir batin selama tujuh tahun sebelumnya. Ia ingin menghidupkan api revolusi, hasrat cita-cita kemerdekaan, harga diri dan martabat sebagai bangsa dan perempuan terjajah….sebagai sikap menghadapi persidangan. Karena di dalam persidangan Sulami hanya dipandang sebagai penjahat dan sekaligus bagai binatang yang menjinjikkan………


Menulis Dalam Penjara Untuk Survival Hidup

Novel Sulami ditulis di dalam penjara Bukit Duri, Jakarta (penjara khusus untuk “Gerwani”). Pada mulanya ia menulis pada secarik kertas secara sembunyi-sembunyi di dalam selnya. Ia mendapat kertas dari narapidana kriminil (perempuan). Kertas itu tidak gratis, Sulami membayar dengan uang hasil penjualan kerajinan tangannya. Ketika sipir penjara memintanya untuk membuat naskah drama, Sulami sangat gembira karena ia boleh meminjam mesin ketik milik penjara. Setiap hari besar nasional, seperti Natal dan Idhul Fitri, Sulami menulis naskah drama yang dimainkan oleh tapol dan napol

Sulami mendapat tugas dari sipir penjara untuk membuat naskah drama yang dipentaskan setiap Natal, Idhul Fitri maupun hari besar lainnya. Untuk itu ia  mendapat akses untuk menggunakan mesin ketik milik  penjara. Sulami mendapat izin mengetik pada hari kerja dan sesuai jam kerja. Sesudah itu ia kembali ke dalam sel penjara. Akses ini sangat menggembirakan Sulami. Sedikit demi sedikit ia memindah naskah novel dalam tulisan tangan ke mesin ketik.

Kesempatan mengetik lebih banyak ia peroleh, ketika pengadilan telah mengesahkan dirinya sebagai narapidana politik dan dipindahkan ke penjara perempuan di Tangerang. Pada suatu hari, seorang professor dari kriminologi sebuah universitas di Jakarta, membawa rombongan mahasiswa untuk mengunjungi narapidana politik perempuan. Sulami bertemu dengan professor tersebut yang berjanji akan menyumbangkan mesin ketik padanya. Janji itu dipenuhi dan Sulami mendapat sebuah mesin ketik. Adanya mesin ketik semakin membuat Sulami produktif mengetik dan menyelesaikan karya-karyanya.

Sembari menyelesaikan novelnya yang pertama itu, Sulami telah menulis sebanyak 15 cerpen, 20 puisi, dan tiga novelet lainnya. Salah satu noveletnya berjudul Si Bagus (diselesaikan pada 1983) mengenai kisah pemuda Tionghoa yang ikut serta dalam Revolusi kemerdekaan. Bagus, pemuda Tionghoa itu kemudian menikah dengan perempuan Jawa. Rupanya dalam novelet ini Sulami ingin mengatakan bahwa gagasan kemajemukan etnis maupun ras, dan juga agama, merupakan bagian dari proses kemerdekaan untuk menjadi sebuah bangsa Indonesia.

Tentu saja menulis di dalam penjara tetap bukan sesuatu yang mudah. Sipir penjara sewaktu-waktu akan mengadakan operasi pembersihan dokumen maupun barang-barang tapol, dan tulisan-tulisan seringkali tidak terselamatkan. Ia pun seringkali dipindah-pindah ke sel yang lebih buruk. Menjelang diajukan ke sidang pengadilan, Sulami dipindahkan ke sel kriminal pada 1973, kemudian dikembalikan ke sel tapol dan dikembalikan lagi ke sel kriminal ketika sidang pengadilan digelar pada 1974.

Dalam buku Perempuan, Kebenaran dan Penjara (1999), Sulami menuturkan:

Uh, sungguh kehidupan melelahkan dan mencemaskan tiada tara. Bagaimana bisa menulis dalam keadaan demikian? Hanya seorang tapol yang mengetahui caranya! Hari-hari itu saya tidur selalu lewat dari pukul 01.00 dinihari, sementara tidur siang tak tentu. Hanya kalau badan terasa tak enak saya tidur siang. Saya menulis dan menulis. Saya ingin cerita tentang pengalaman saya dalam Revolusi Agustus 1945 itu selesai dalam satu tahun!…….Saya menulis seperti orang gila! [….][1]

Mengapa Sulami menulis? Baginya menulis merupakan usaha untuk melawan penghancuran kemanusiaan bagi dirinya selama dalam penjara. Ia bukan tahanan kriminal tetapi diperlakukan jauh lebih buruk dari tahanan kriminal. Ia ikut berjuang dalam kemerdekaan Indonesia, bahkan membangun Indonesia, tetapi militer Orde Baru telah menghancurkan harga diri, potensi, waktu hidup, dan kemudian membuangnya ke tempat sampah. Ia diperlakukan seperti binatang melata dan bahkan tak berani melihat fisik wajah dan dirinya sendiri. Maka menulis merupakan metode untuk melawan penghancuran terhadap dirinya. “Saya harus hidup!”, begitu tekad Sulami.[2]

Sayang sekali karya-karya Sulami ini belum banyak dikenal di Indonesia. Apalagi generasi baru sangat tidak mengenal siapa Sulami. Bahkan di kalangan akademisi dan aktivis hak asasi manusia pun hanya sedikit yang memperhatikan karya-kaya dari dalam penjara, selain karya Pramodeya Ananta Toer. Ya, selain karya Pram, tak ada yang mengenal karya narapidana politik perempuan yang ditulis dari dalam penjara dengan segala kesulitannya.

Kata Sulami:

Kisah perang gerilya ini merupakan pengalaman saya sendiri. Saya merekonstruksi pelbagai pengalaman saya dalam perang gerilya, dan menjadi Danarti yang terbakar semangat perjuangan dan gelora api revolusi ’45…..Dengan menulis ini saya dapat mempertahankan hidup, tidak gila atau mati dalam penjara…[….][3]

Jadi, Sulami tidak bermaksud menulis novel untuk sastra. Dia hanya ingin menulis. Sulami menulis novel agar tetap dapat hidup dalam penjara. Menulis adalah untuk survival. Menurut hemat saya, Sulami juga ingin mengatakan kepada pembaca  bahwa ia bukan penjahat, bukan pelacur dan bukan pembunuh seperti yang dituduhkan rezim militer Orde baru kepadanya. Kepada pembaca ia ingin mengatakan bahwa ia mengadu nyawa untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia dari beberapa kali serangan Belanda. Dia tidak gratis hidup di alam Indonesia ini. Namun, dengan sangat keji, rezim militer Orde Baru berusaha melenyapkan Sulami dan “sulami-sulami” yang lain dari sejarah Indonesia itu sendiri.


Narasi Perempuan Muda Dalam Perang Gerilya

Novel ini mengisahkan diri Sulami sebagai Danarti, gadis muda berusia 22-23 tahun yang bekerja di Pabrik Gula milik Belanda di Sragen (Jawa Timur). Ia bekerja di pabrik gula sebagai mata-mata pasukan gerilya, dan sepulang dari kerja ia menjadi kurir politik sektor gerilya di Utara dan Selatan, di sekitar lambung Gunung Lawu. Selain itu, ia mengoordinasi perempuan-perempuan muda untuk menjadi kurir baik untuk menyampaikan informasi maupun pengantar obat-obatan dan logistik, serta mencarikan keperluan yang dibutuhkan oleh Sektor Utara dan Selatan. Wilayah kerja gerilya Danarti disebut Sektor Kota. Terpenting juga peranan Ibu Broto, ibunya Danarti, dalam menyokong putrinya melakukan tugas politik. Dua anak Ibu Broto lainnya (laki-laki) sudah ikut pasukan gerilya di hutan.

Keberhasilan Danarti di Sektor Kota adalah membuat sebanyak 49 pasukan polisi dan senjatanya –orang Indonesia yang bekerja sebagai polisi pabrik gula Belanda— bergabung dengan pasukan gerilya di hutan. Larinya polisi dari markas Belanda ini diatur oleh Danarti bertepatan dengan serangan Belanda ke Sragen, dan sekitarnya. Pada saat itu juga Ibu Broto diungsikan ke sebuah desa, sedangkan Danarti bergabung dengan pasukan gerilya di hutan bersama pasukan polisi yang desertir.

Mengenai pakaian perempuan gerilya pada waktu itu sangat ‘revolusioner’ dari pakaian kebiasaan perempuan Jawa, yaitu kebaya bagi yang generasi ibunya Danarti dan gaun untuk generasi Danarti. Danarti dan gerilyawan perempuan mengenakan celana panjang, hem lengan panjang warna hijau, sepatu bata model boot dan menggendong ransel di belakang punggung. Hal itu merupakan ‘pakaian baru’ bagi perempuan yang sangat membanggakan. Orang tua Sri, seorang guru desa yang dididik Danarti, bangga melepas anaknya mengenakan celana panjang, sepatu boot dan menggendong ransel, ikut bergerilya.

Pilihan bagi perempuan untuk bergerilya kemudian berlawananan dengan para perempuan yang memilih tinggal di rumah, dan atau mencari pacar orang Indonesia yang bekerja pada Belanda. Bahkan beberapa perempuan memilih suami keturunan Belanda. Danarti dan kawan-kawan perempuannya mengerti bahwa ada banyak perempuan yang memilih mencari kenyamanan dan keamanan ekonomi daripada bersusah-sudah hidup bergerilya di hutan. Namun, Danarti dan kawan-kawannya akan bersikap tegas terhadap perempuan yang menjual informasi kepada Belanda. Meskipun mereka juga melakukan pilihan yang berat, ketika Asih kenalan mereka yang cukup tahu tentang keadaan pasukan gerilya menikah dengan Hendrik –bekas pejuang dari Minahasa yang kemudian bekerja pada Belanda. Takut Asih akan membocorkan rahasia gerilya, Asih diculik ke hutan dan dipisahkan dari suaminya. Danarti ikut serta dalam aksi ini, sekalipun Hendrik banyak membocorkan informasi rencana-rencana Belanda kepada Danarti. Danarti pun selamat dari penangkapan tantara Belanda ketika mendapat informasi dari Hendrik agar segera meninggalkan rumahnya.

Hidup sebagai gerilyawan perempuan di dalam hutan pun tidak mudah dihadapi oleh para perempuan, jika perempuan itu berhati lembek. Salah seorang anggota Danarti bernama Maria, pada akhirnya terpikat asmara pada Hadi (gerilyawan) dan meninggalkan barisan Danarti karena mengikuti suami yang ditugaskan pada medan perang di luar Sragen. Maria masih muda dan berbakat tetapi tidak mampu mengontrol kekuatan keperempuannya hingga terjatuh ke dalam pelukan Hadi. Danarti sebagai pemimpin perempuan dan bekerja dengan pasukan laki-laki telah bertekad untuk tidak menjadi seperti Maria. Memang watak Danarti keras dan tidak mudah dirayu.

Watak dan pendirian Danarti yang keras dan berhasil membuat 49 polisi Indonesia lari dari markas polisi Belanda itu membuat kagum seorang komandan kompi yang bernama Kapten Baskoro. Baskoro mendengar laporan komandan sektor mengenai Danarti sudah membayangkan tentang diri seorang perempuan yang revolusioner. Baskoro teringat pada pacarnya yang mati dalam perjuangan di daerah Blitar, yang serupa dengan keberanian dan kecerdasan Danarti. Maka ketika bertemu dengan Danarti, Kapten Baskoro seketika jatuh cinta. Cinta Baskoro akan mewarnai konflik batin Danarti selama dalam perjalanan dari Solo menuju Ungaran.

Dalam rencana gerilya saat itu, pasukan yang diikuti Danarti merencanakan serangan ke markas pusat militer Belanda di Semarang (tepatnya markas militer Belanda di Ungaran). Rombongan Danarti bergerak dari Solo berjalan ke Semarang dan singgah di sejumlah desa. Peranan Danarti sebagai kurir semakin berbahaya di tengah-tengah serangan pasukan Belanda cukup gencar di Ambarawa. Beberapa kali rombongan Danarti terselematkan dari serangan militer Belanda, dan beberapa kali pasukan gerilya berhasil memorak-porandakan pasukan Belanda. Korban berjatuhan, dan ada barisan  perempuan yang menangani pengobatan bagi pasukan gerilya yang terluka dan ada bagian lain yang memasak dapur umum. Laki-laki gerilya juga bekerja di dapur umum. Tim dapur umum akan dibantu oleh perempuan-perempuan dari desa dimana pasukan sedang bermarkas untuk singgah maupun sementara waktu. Di antara pasukan lain bergerak memanggul persenjataan, ada barisan lain bergerak memanggul kuali dan panci serta bahan pangan.

Setiap singgah di desa-desa, Danarti dan kawan-kawan akan memberikan penyuluhan bagi perempuan desa. Mereka menjelaskan apa yang dimaksud dengan kemerdekaan dan lalu mengapa masih perang seperti saat itu. Selain itu juga memberikan penyuluhan tentang pentingnya hak perempuan dalam kemerdekaan. Metode penyuluhan kebanyakan adalah cerita-cerita berdasarkan pengalaman Danarti dan kawan-kawannya. Kehadiran Danarti dan kawan-kawannya di desa membuat para perempuan itu bergembira, setidaknya tumbuh suatu perasaan bahwa mereka ikut serta dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia.

Danarti dan pasukan gerilya pada akhirnya sampai di perbatasan Salatiga dan Ungaran. Pasukan gerilya terdiri dari empat kompi yang masing-masing dipimpin oleh komandan kompi. Keempat kompi tersebut di bawah komandan Batalyon yang dipimpin oleh seorang Mayor. Keempat kompi ini kemudian ditempatkan di wilayah yang berbeda. Pada suatu hari, ada regu dari pasukan gerilya yang mencuri 18 ekor sapi milik Belanda untuk makanan pasukan gerilya dan penduduk desa. Berkat 18 ekor sapi itu, masing-masing kompi punya perbekalanan makanan dan sedikit uang dari penjualan daging sapi ke pasar.

Danarti ikut dalam pasukan Kapten Baskoro. Mereka ditempatkan di sebuah desa yang berbatasan dengan Salatiga dan Ungaran. Desa itu di sekitar Rawa Pening (danau berupa rawa) yang alamnya sangat indah. Tak dapat dipungkiri, Kapten Baskoro jatuh cinta pada Danarti, sebenarnya Danarti pun mulai tertarik padanya. Namun, Danarti sangat keras hati untuk tidak terjatuh pada cinta, pada asmara, dalam situasi perang gerilya. Dalam perasaan Danarti, mata penuh cinta dari Kapten Baskoro pertama kali diungkapkan pada saat purnama (bulan ndadari). Tidak ada kata, tetapi sorot mata itu telah berbicara banyak. Danarti menyadari tumbuhnya sesuatu dari dalam dirinya dan dia berusaha keras membunuh embrio perasaan itu. Kapten Baskoro merasa ditolak oleh Danarti kemudian mendekati Lastri, seorang guru desa. Lastri tampaknya sangat bernafsu menjadikan Baskoro sebagai suaminya. Di sini Danarti dalam kegalauan. Namun tekadnya:

Tidak boleh menangis! Lawanlah kelemahan jiwa! Pejuang, Pejuang Perempuan! Lawanlah iblis penggoda! Terjanglah semua rintangan! Gantungkan cita-cita di cakrawala![4]

Selama dalam perang gerilya, Danarti tidak akan runtuh dalam asmara, meski dalam hatinya mulai tumbuh rasa terhadap Baskoro. Dia bertekad akan menerima cinta Baskoro sesudah Indonesia Merdeka. Kemerdekaan segera tiba. Pada Desember 1949, militer Belanda meninggalkan Indonesia. Danarti pun menerima lamaran Baskoro. Keduanya menikah. Namun, Baskoro harus bertugas ke Maluku untuk menghadapi perlawanan pasukan RMS. Di situ Baskoro tertembak dan kakinya harus diamputasi. Rasa frustasi menghinggapi Baskoro yang merasa cacat raga, tetapi justru Danarti bersedia menerimanya.


Sulami dan Novel of Memory

Narasi Menanti Rembulan Ndadari selintas adalah narasi biasa saja tentang dinamika perang gerilya dan cinta. Terasa istimewa, menurut saya, karena menggambarkan konflik batin seorang perempuan feminis ketika menghadapi urusan cinta. Namun, yang menarik untuk suasana pada dekade 1940-an adalah sikap dan keputusan Danarti yang berani melakukan posisi tawar terhadap laki-laki yang dibentuk dalam tradisi patriarki Jawa. Dalam relasi kuasa, laki-laki itu adalah komandan kompinya, tetapi Danarti telah dapat memisahkan antara relasi formal dan asmara, tanpa takut kehilangan kesempatan laki-laki itu akan berpindah ke lain perempuan. Sikap seperti Danarti pada masa itu memang sangat revolusioner dan menunjukkan power within dalam dirinya berhasil menjadi power over. Pada masa itu jika perempuan telah tertaklukkan oleh cinta, maka runtuhlah cita-citanya dan selanjutnya ia hanya akan menjadi koncowingking bagi laki-laki tersebut. Hal itu membuat Danarti menolak tunduk pada cinta, sekalipun cinta itu mulai merayap dalam hatinya.

Sikap seperti Danarti itu adalah sikap Sulami sebagai pejuang perempuan. Ia tidak tunduk dan menyerah dalam penyiksaaan rezim Orde Baru sampai di ruang pengadilan. Sebaliknya, ia bangkitkan sikap revolusioner sebagai pejuang untuk menghadapi penghinaan dan penghancuran dirinya oleh rezim militer Orde baru.

Saya kira menjadi tidak penting untuk memperdebatkan apakah karya Sulami ini dapat dikategorikan sebagai genre sastra 45 yang dipelopori oleh Chairil Anwar yang menonjolkan pemberontakan dan pembaruan pemikiran. Bagi saya, novel yang ditulis oleh Sulami seperti yang dikatakan oleh Herzerberger (1995)[5] sebagai “novel ingatan”, yang bentuk dan isinya mengungkapkan keadaan di masa lalu dalam dunia nyata (sikap perempuan dan perang gerilya). Jadi, ingatan Sulami dalam novel tersebut adalah sebagian dari dunia nyata yang teramati (observable) oleh dirinya sebagai perempuan dan ia mengalaminya. Kejadian dalam dunia nyata masa lalunya itu dihancurkan oleh dunia nyata pada saat sekarang yang dihadapinya: di dalam penjara dan perangkat penyiksaan. Mungkin dunia nyata pada masa lalunya dapat hilang sebagai realitas sejarah oleh perangkat penyiksaan yang dihadapinya, tetapi Sulami melawan! Ia melawan dengan memanggil kembali dunia nyata pada masa lalunya dalam perang gerilya. Ia berhasil dan kita membacanya!***


Kepustakaan:

Herzeberger, David.K, Narrating The Past: Fiction and Historiography in Postwar Spain, (Durham & London: Duke University Press, 1995)

Sulami, Menanti Rembulan Ndadari Jilid I dan II (naskah belum diterbitkan)

——–, Perempuan, Kebenaran dan Penjara, (Jakarta: Penerbit Cipta Lestari, 1999)


—————-


[1] Sulami, Perempuan, Kebenaran dan Penjara, (Jakarta: Penerbit Cipta Lestasi, 1999), 76

[2] Sulami, Perempuan, Kebenaran dan Penjara, 77

[3] Sulami, Perempuan, Kebenaran dan Penjara, 78

[4] Sulami, Menanti Bulan Ndadari, Jilid 2, (naskah belum diterbitkan)

[5] David, K. Herzeber, Narrating The Past: Fiction and Historiography in Postwar Spain, (Durham & London: Duke University Press, 1995), 11

]]>
Membawa Tubuh Perempuan ke Pasar “Tuhan” https://indoprogress.com/2019/07/membawa-tubuh-perempuan-ke-pasar-tuhan/ Wed, 24 Jul 2019 23:55:09 +0000 https://indoprogress.com/?p=21269

Kredit foto: ANTARA News Aceh – Antaranews.com


TELINGA kita pasti sudah akrab dengan adagium “tubuh perempuan adalah pasar”. Maksudnya, dari ujung rambut sampai ujung kaki perempuan itu bernilai komoditi bagi produksi barang konsumsi. Rambut perempuan menjadi sasaran produksi sampoo, bibir perempuan menjadi sasaran produksi lipstik, wajah perempuan menjadi sasaran produksi bedak, kulit perempuan mejadi sasaran body lotion dan aneka krem lainnya. Tubuh laki-laki pun dalam perkembangannya kini telah menjadi pasar konsumsi, tetapi tidak semasif perempuan. Pendeknya “tubuh adalah pasar” telah memacu proses produksi berlangsung langgeng hingga akumulasi kapital tetap berjalan. Fenomena ini sudah berlangsung sejak abad ke-18 dan sampai sekarang tak berubah.

Setidaknya 20 tahun terakhir ini, melalui berbagai peristiwa di seluruh dunia, termasuk di Indonesia, telah muncul adagium “the God market”. Harap tak terburu murka ketika kata “Tuhan” disebut berdampingan dengan istilah “pasar”, dan bukan tempat ibadah.  Istilah ini saya pinjam dari Meera Nanda, seorang feminis India yang menekuni filsafat ilmu dan sejarah. Apa yang dijelaskan Nanda dalam karyanya The God Market (2011)[1] mengenai globalisasi dan bangkitnya Hinduisme –Hindu yang konservatif—memiliki pola cerita yang sama dengan apa yang sedang terjadi di Indonesia.

Pada hemat saya, globalisasi itu menciptakan hubungan yang aneh antara “tubuh perempuan sebagai pasar” dan “pasar Tuhan” melalui segala atribut seperti pakaian, bahasa, mitos di sekitar proses reproduksi sosial dan perkawinan, acara keagamaan, ziarah keagamaan. Pakaian untuk perempuan dalam tradisi Arab yang menutup kepala, wajah dan seluruh tubuh, kini telah menjadi pakaian global perempuan muslim yang diembel-embeli dengan kata syar’i –berbau “Tuhan”. Belanja madu atau lainnya untuk keperluan tubuh sehat bagi anggota keluarga pun mencari merk yang berlabel “Tuhan”, termasuk dalam hal menyimpan uang di bank. Kesediaan perempuan untuk dipoligini (poligami) dan beranak banyak ditempeli dengan label “Tuhan”. Tuhan telah menjadi label pasar, artinya segala produk yang diberi aroma “Tuhan” telah menjadi pilihan konsumsi bagi konsumen kelas menengah yang sedang gandrung pada “Tuhan”. Gandrung religiositas.

Kiranya fenomena antara tubuh perempuan dan “Tuhan” di arena pasar terjadi melalui proses sejarah kapitalisme yang pada akhir abad 20 disebut neoliberalisme. Ini pun aneh. Menguatnya neoliberalisme dan globalisasi telah mendorong bandul dunia bergerak ke kanan –konservatisme agama— meski hal itu tidak berlangsung secara hitam putih dan general. Namun, kita akui bahwa dalam pemilu di sejumlah negara maju maupun berkembang telah dimenangkan oleh kelompok konservatif agama ini.


Membawa “Tuhan” ke Pasar Global

Mungkin pembaca sudah sangat paham tentang globalisasi dan neoliberalisme. Namun, saya tetap akan mencuplikkan uraian Nanda mengenai dua istilah itu sebelum beragumen tentang “pasar Tuhan”.

Kita hidup di dunia yang telah terglobalisasi, dan kita telah membicarakannya berulang kali”, tulis Meera Nanda. Berulang-ulang kita membincang globalisasi seperti merapal mantra, tetapi sungguh globalisasi bukan mantra. Globalisasi hidup sebagai logika ekonomi dan teknologi yang telah merasuk ke dalam kehidupan semua lapis masyarakat tanpa memilih kelas. Nanda memberi contoh tentang ‘nasib’ seorang lelaki tua, penulis surat profesional yang kehilangan mata pencahariannya karena ponsel. Sepanjang hidupnya, lelaki ini mencari nafkah dengan duduk di luar kantor pos utama Mumbai, menuliskan surat untuk pelanggannya yang buta huruf dengan imbalan upah. Namun, dengan hadirnya ponsel, layanannya ditinggalkan pelanggannya, karena orang tak perlu lagi menulis surat untuk berkomunikasi dengan kerabat dan handai taulannya. Lelaki tua itu pun kehilangan pekerjaannya. Meski revolusi teknologi telah membuatnya menganggur, revolusi itu pula yang mendorong keluarganya naik ke jajaran kelas menengah. Tiga dari empat anaknya bekerja di sektor teknologi informasi yang sedang booming di India. Ketika lelaki tua itu diwawanara oleh The New York Times pada 2007, seorang putrinya sedang berdinas di New Jersey, AS, untuk perusahaan perangkat lunak Infosys yang terkemuka di India.[2]

Nanda menyuplik pernyataan Anthony Giddens mengenai globalisasi. Menurut Giddens, globalisasi adalah intensifikasi hubungan sosial di seluruh dunia yang menghubungkan daerah yang jauh sedemikian rupa sehingga kejadian lokal dibentuk oleh peristiwa yang terjadi bermil-mil jauhnya dan sebaliknya. Definisi itu diperkuat oleh Ulrick Beck bahwa globalitas berarti:  di planet kita ini tak ada kejadian yang disebut peristiwa lokal terbatas. Semua kejadian berupa penemuan, kemenangan, dan malapetaka di suatu lokal akan begitu cepat menyebar ke seluruh dunia. Kita harus mengubah orientasi dan mengatur kembali kehidupan, tindakan, organisasi, dan lembaga-lembaga di sepanjang poros lokal-global.[3]

Globalisasi mempunyai hubungan dengan neoliberalisme dan seringkali diserupakan, tetapi sesungguhnya berbeda. Kata neoliberal adalah singkatan dari ‘liberalisme neo-klasik’, sebuah tradisi pemikiran ekonomi abad ke-18 yang berasal dari John Locke (1632-1704), Adam Smith (1723–90), dan David Ricardo (1772–1823). Neoliberalisme dibangun di atas prinsip laissez-faire (bahasa Prancis: “’biarkan orang melakukan apa yang mereka pilih”) dalam prinsip ekonomi liberalisme klasik yang meyakinkan bahwa kekuatan pasar yang tidak dibatasi oleh negara secara alami akan membawa kemakmuran dan kedamaian bagi masyarakat. Hal ini menuntut deregulasi hambatan nasional untuk perdagangan, yang mereka yakini mengganggu alokasi sumber daya yang efisien. Pemikiran neoliberal menggunakan kembali pemikiran pasar bebas abad ke-18, setelah kapitalisme mengalami krisis berkali-kali. Gagasan itu diangkat sebagai kebijakan oleh Margaret Thatcher di Inggris dan Ronald Reagan di AS, dan diikuti oleh semua pemimpin negara di seluruh dunia. Neoliberalisme segera menjadi ideologi dominan bagi lembaga-lembaga ekonomi global seperti Dana Moneter Internasional (IMF) dan Bank Dunia (WB). Kedua lembaga dana itu bagai misionaris yang menyebarkan agama ke negara-negara berkembang sehingga menjadi global. Ketika neoliberalisme mencabut batas-batas teritorial negara-bangsa dalam semangat globalisasi, dunia menjadi flat, rata dan datar.[4]

Neoliberalisme mengubah tekstur demokrasi. Pemerintah menjadi lebih seperti korporasi nirlaba, sementara warga menjadi lebih seperti konsumen. Hubungan keduanya berubah dari warga negara menjadi klien atau konsumen layanan pemerintah. Sebagai konsumen, warga negara boleh menuntut  layanan yang baik dan efisien, tetapi mereka tidak boleh banyak bicara tentang layanan apa yang harus diprioritaskan. Kata kunci baru dari pemerintahan neoliberal adalah ‘pemberdayaan’ melalui ‘kemitraan publik-swasta’ untuk ‘memecahkan masalah’ dan membuat ‘pilihan yang lebih baik’. Model hubungan konsumen dan negara inilah yang dipromosikan oleh Bank Dunia, Dana Moneter Internasional, dan misionaris agama-agama untuk globalisasi di seluruh dunia.[5]

Nanda berpendapat bahwa masuknya neoliberalisme ke dalam tubuh India sejak dekade 1990-an telah menanggalkan semangat sosialisme yang ditanam oleh Nehru sepanjang 1945-1975). Hawa neoliberalisme menciptakan tumbuhnya kelas menengah baru India berkat pendidikan tingi yang diperolehnya dan ketimpangan sosial yang tajam. Dari sini tumbuh  kelompok pendukung neoliberalisme yang disebut Hindutva-neoliberal, yang mempunyai padanan dengan theocon (theocracy-conservatism) di AS. Theocon di AS, seperti halnya Hindutva-neoliberal berpendapat bahwa sekularisme telah membawa kehancuran budaya. George W. Bush dengan sepenuh iman mempercayai bahwa iman Kristen adalah prasyarat berfungsinya pasar bebas neoliberalis, persisnya prasyarat bagi Amerika. Begitu pula di India, Subramanian Swamy, seorang tokoh Hindutva berpendapat bawah iman Hindu sebagai prasyarat bagi India dan prasyarat untuk berfungsinya kapitalisme di India. Swamy berjanji bahwa India akan menjadi negara adikuasa global pada tahun 2025 asalkan orang India mengembangkan kemauan politik untuk membongkar semua aspek sosialisme dan sekularisme Nehru. Swamy telah melontarkan gagasan perkawinan Hindu dan nilai laissez-faire dalam kapitalisme sejak 1970-an. Dulu gagasannya itu ditertawakan –ketika kiri Nehru masih kuat—tetapi sekarang gagasannya menjadi candu bagi kelas menengah baru.[6]

Meski tidak sama persis, globalisasi theocon juga merayap ke Indonesia. Penghancuran sosialisme dan sekularisme pada masa Soekarno telah membuka pintu bagi kapitalisme untuk masuk ke dalam kebijakan negara sejak Orde Baru. Meski Soeharto bukan penganut theocon, tetapi perkembangan neoliberalisme dan globalisasi menumbuhkan kelompok theocon yangberupaya memurnikan Islam —sebagaimana jargon pemurnian Kristen di AS dan pemurnian Hindu di India– yang menurut beberapa sumber ditandai sejak dekade 1980-an. Theocon Islam di Indonesia dibentuk sejak dari kampus dan kota besar, lalu kini mereka menguasai birokrasi negara, perguruan tinggi, dunia hiburan dan secara umum kelas menengah baru di Indonesia. Namun, berbeda dengan theocon India maupun di AS, theocon di Indonesia tidak tegas menyatakan perkawinan Islam dan kapitalisme adalah prasyarat Indonesia, sebaliknya ada faksi yang mengutuk kapitalisme dan hendak menggantikan dengan ekonomi Islam dan negara khilafah. Meski tak persis serupa, theocon di Indonesia tumbuh dalam pengaruh globalisasi, dan dalam semangat menanggalkan batas-batas negara-bangsa.


Membawa Tubuh Perempuan Ke Pasar “Tuhan”

Theocon di Indonesia telah membawa tubuh perempuan ke pasar “Tuhan”. Ciri ini membedakan dengan proses theocon di India maupun Amerika. Sebenarnya, tubuh perempuan sebagai pasar telah menjadi fakta empiris yang bertumbuh sejak abad ke-19 melalui produk sabun (baik sabun cuci alat dapur maupun cuci tubuh) atas nama ‘revolusi kebersihan’. Tubuh perempuan secara spesifik memiliki nilai komoditas konsumsi, dan tubuh itu dijadikan sarana pembentukan peradaban –merujuk pada pernyataan Norbert Ellias dan Pierre Bordieau. Sebagai contoh, iklan sabun mandi pada abad ke-19 ditujukan untuk perempuan agar tubuhnya bersih dan wangi. Bersih dan wangi adalah ciri peradaban di Eropa pada masa itu. Hal demikian setara dengan penggunaan tubuh perempuan untuk membangun politik identitas dan budaya tertentu. Pengalaman kita di Indonesia dewasa ini yang signifikan adalah penggunaan tubuh perempuan kelas menengah sebagai strategi hegemonik theocon Islam-Indonesia.

Tubuh perempuan kelas menengah itu mulanya ditutup oleh jilbab dan kini semakin rapat dengan cadar (niqab) dan burqa dalam warna cenderung serba hitam sebagaimana di Arab dan Afghanistan. Kiranya dengan menggunakan label “Tuhan”, busana syar’i itu mempunyai pertautan yang erat dengan pasar dan industri fashion. Anda dapat membeli burqa di Pasar Tanah Abang sampai online shopping seperti Tokopedia. Bahkan perempuan kelas menengah Malaysia sampai belanja pakaian syar’i ke pasar Tanah Abang. Melalui ponsel akses tubuh perempuan ke “pasar Tuhan” tak punya batas jarak dan waktu. Pendeknya, bisnis global yang disebut pakaian syar’i berkembang pesat, termasuk sampoo khusus perempuan berhijab, salon, dan lainnya.

Pasar pakaian syar’i dan konsumennya berkembang pesat atas nama “Tuhan”. Tubuh-tubuh perempuan telah dibawa ke “pasar Tuhan”, dan “pasar Tuhan” berkembang pesat melayani tubuh perempuan. Pada mulanya konsumen “pasar Tuhan” itu bukan perempuan kelas pekerja, melainkan berasal dari kelas menengah baru yang berpendidikan tinggi atau menjadi artis berkat neoliberalisme. Religiositas perempuan kelas menengah –dengan penanda jilbab/niqab/burqa-dijadikan role model bagi perempuan kelas pekerja, dan alhasil perempuan kelas pekerja dengan sukarela merujuk pada mereka yang dianggapnya sebagai barometer religiositas.

Indonesia saat ini dipenuhi oleh ribuan perempuan kelas menengah yang berpendidikan tinggi dan berpartisipasi dalam jaringan global ilmu pengetahuan dan teknologi. Namun, sebagian dari perempuan kelas menengah ini percaya pada makna kesalehan perempuan, yaitu pendisiplinan perempuan melalui “pasar Tuhan”. Kesalehan perempuan melekat pada busananya, kepatuhan dalam perkawinan dan pemroduksi anak. Maka tak heran jika muncul penolakan ibu rumah tangga terhadap penggunaan vaksin bagi anak-anak dan penolakan terhadap keluarga berencana. Mereka pun menerima poligami (lebih tepatnya poligini) dan perkawian dini sebagai wujud religiositas. Inilah ledakan religiositas yang disebut H. Neill MacFarland pada 1967 dengan istilah “jam Tuhan menjadi sibuk” untuk menanggapi kebutuhan kebutuhan sosial-psikologis baru yang diciptakan neoliberalisme dan globalisasi. Neoliberalisme dan globalisasi yang bergerak cepat dalam menuntut perempuan sebagai tenaga kerja sekaligus konsumen, lantas menciptakan perempuan kelas menengah ini dalam kondisi alienasi. Mereka mengalami alienasi karena aktivitas produksi dan reproduksi sosial terpisahkan, pun dalam hidup sebagai masyarakat global yang terfragmentasi.

Kondisi alienasi yang dihadapi perempuan kelas menengah itu segera difasilitasi oleh gerakan politik theocon. Mereka gunakan tubuh perempuan kelas menengah sebagai alat kampanye untuk melawan sekularisme. Kampanye tentang perkawinan dini, poligini (poligami), melahirkan anak banyak merupakan counter terhadap kampanye anti-perkawinan dini, anti-poligini, dan keluarga berencana. Kelompok feminis pengusung isu-isu tersebut dituduh sebagai agen sekuler yang membawa budaya kehancuran keluarga dan lalu diperhadapkan dengan ledakan religiositas kelas menengah perempuan yang menamakan diri “Indonesia Tanpa Feminis”. Cara pandang anti-sekularisme ini mirip dengan theocon di AS.

Namun, tubuh perempuan kelas menengah –yang diikuti kelas pekerja— yang menjadi sarana penggunaan busana identitas, sarana poligami, sarana perkawinan dini dan pemroduksi anak, terkoneksi dengan pasar global sebagai konsumen. Pengguna busana syar’i adalah konsumen tekstil yang cukup besar karena bahan busana yang diperlukannya. Para perempuan dipoligini guna melahirkan anak-anak sebagaimana yang mereka butuhkan untuk regenerasi religiositas dan hal itu berkorelasi untuk regenerasi konsumen. Perempuan yang didorong untuk kawin muda dimobilisasi untuk mempersiapkan renegerasi tenaga kerja baru. Pasar bebas membutuhkan perluasan dan percepatan regenerasi konsumen dan tenaga kerja.

Pendeknya ledakan religiositas juga membawa pertumbuhan bisnis ziarah keagamaan terutama ke Arab Saudi, aktivitas keagamaan (acara-acara pengajian yang menumbuhkan mata rantai bisnis), dan tubuh perempuan menjadi rantai pasok terdepan “pasar Tuhan”.


“Pasar Tuhan” Dalam Pemilu

Berbeda dengan theocon di India yang melahirkan nasionalisme Hindu sempit, di Indonesia yang tumbuh adalah chauvinisme kelompok yang berorientasi pada khilafah (non-negara bangsa). Serupa dengan di India, theocon di Indonesia menciptakan jurang pemisah antara kelompok mereka dengan non-Islam, bahkan dengan masyarakat Islam yang berbeda dengan mereka. Pertumbuhan mereka menguat karena kemitraannya dengan partai politik, lembaga agama dan lembaga bisnis. Pada saat kampanye pilpres 2019, aktivitas mereka melalui media sosial semakin menciptakan kondisi material dan ideologis bagi ledakan religiositas perempuan kelas menengah. Hal itu terlihat dari besarnya jumlah perempuan kelas menengeh dalam pelbagai aktivitas kampanye yang dimobilisasi gerakan theocon ini.

Cukup aneh bagi perempuan kelas menengah yang berpartisipasi dalam kontestasi calon anggota legislatif (caleg) maupun pilkada, segera mengubah tubuhnya menjadi syar’i melalui busana. Arena pemilu telah menjadi “pasar Tuhan” dan mereka memperebutkan konsumen kelas pekerja yang telah terpapar oleh ledakan religiositas yang mereka bawa sendiri.

Trend “pasar Tuhan” ini menjadi tantangan bagi gerakan kiri di Indonesia, karena mereka tumbuh dengan menanggalkan (menghancurkan) kekuatan sosialis dan melekat pada neoliberalisme dan globalisasi. Tampaknya theocon memperkuat diri dalam arena pasar bebas pemilu, sementara kekuatan kiri belum memiliki sarana untuk mengikuti pemilu. Kesenjangan ini harus dipecahkan dalam strategi yang sesuai dengan situasi abad ke-21 dan bukan pada abad ke-19 atau awal abad ke-20.

Di sisi lain, muncul gerakan untuk “kembali ke busana nusantara” sebagai upaya menghadang theocon melalui tubuh perempuan. Menurut hemat saya, yang terjadi adalah perang fashion antara “pasar Tuhan” dan “pasar tradisi” melalui tubuh perempuan. Tak ada yang buruk dengan busana yang mengetengahkan kain-kain nusantara, tetapi masalah ini bukan sekedar fashion.***


—————

[1] Meera Nanda, The God Market: How Globalization is Making India More Hindu, (London: Random House Group Limited, 2011)

[2] Nanda, The God Market, 5

[3] Nanda, The God Market, 8

[4] Nanda, The God Market, 16-17

[5] Nanda, The God Market, 24

[6] Nanda, The God Market, 99

]]>
Perkawinan Anak dan Reproduksi Kapital https://indoprogress.com/2019/07/perkawinan-anak-dan-reproduksi-kapital/ Wed, 03 Jul 2019 23:43:19 +0000 https://indoprogress.com/?p=21135

Kredit ilustrasi: The Conversation


PADA tulisan saya sebelumnya bertajuk Keluarga versus Keluarga, tertanggal 20 Juni 2019, saya mengangkat topik tentang pertarungan memperebutkan wacana keluarga yang berbeda menurut kepentingan rezim ekonomi politik (termasuk atas nama agama). Sesungguhnya kajian tentang keluarga tak pernah ada habisnya, sebab merupakan realitas sosial yang kompleks dan mempunyai koneksi yang tersembunyi maupun terang-terangan dengan struktur ekonomi-politik maupun sosial-budaya. Kapitalisme, rezim-rezim otoriter, lembaga-lembaga agama, gerakan politik dalam masyarakat, pada umumnya menggunakan keluarga sebagai unit sosial untuk menanamkan ideologi-politik, reproduksi tenaga, pewarisan property, sosialisasi nilai kepatuhan dan pengontrolan politik. Keluarga bukan sekedar adanya perempuan dan laki-laki yang saling menyintai kemudian melahirkan anak-anak dan menempati sebuah rumah tertentu, melainkan lebih rumit dan kompleks dari sekadar itu.

Pada kesempatan ini, saya hendak mengangkat salah satu aspek dalam keluarga yang dewasa ini menjadi isu penting di seluruh dunia, yaitu perkawinan anak –terutama anak gadis.  Definisi perkawinan anak yang ditetapkan UNICEF adalah anak gadis maupun anak laki yang melakukan pernikahan secara formal (tercatat dalam adminsitrasi negara) di bawah usia 18 tahun.[1] Menurut data UNICEF, dalam setiap hari di seluruh dunia terjadi perkawinan gadis di bawah usia 18 tahun sebanyak 37.000 – 39.000 anak. Atau setiap menit terjadi 23 perkawinan anak gadis, dan setiap dua detik terjadi satu anak gadis jadi pengantin![2]

Di sejumlah negara berkembang, perkawinan anak meningkat di wilayah urban, terutama wilayah perkampungan satelit kota. Di India, seperti di wilayah Goa, perkawinan anak di daerah urban mencapai 77,9 persen dibandingkan di wilayah rural sebesar 22,1 persen.[3] Di Afrika Sub-Sahara, empat dari sepuluh anak gadis menikah di bawah usia 18 tahun, sedangkan di Asia Selatan tiga dari 10 anak gadis menikah muda.[4] Jangan salah, perkawinan anak bukan hanya terjadi di negara sedang berkembang, bahkan di negara maju adikuasa seperti AS pun selama 2000-2015 tercatat sebanyak 200,000 perkawinan anak. Salah satu negara bagian di AS, Missouri, merupakan daerah subur perkawinan anak usia 15 tahun, karena hukum di sana lunak terhadap pembatasan perkawinan anak.[5]

Dibandingkan dengara Afrika Sub-Sahara dan Asia Selatan, menurut penelitian Jones dan Ghubaju (2008)[6], usia perkawinan anak gadis di Asia Tenggara lebih tinggi, yaitu di bawah 20 tahun, sedangkan di Hongkong, Korea Selatan dan Jepang mencari di bawah 30 tahun. Smeru Institute mencatat bahwa usia perkawinan anak gadis sepanjang 1970 – 2010 mengalami kenaikan tiga tahun dari rata-rata 19,28 tahun menjadi 22,17 tahun.[7] Data ini didukung oleh  Survei Sosial Ekonomi Nasional Indonesia yang memberi petunjuk perkawinan anak gadis  di bawah usia 15 dan 16 tahun telah menunjukkan penurunan terbesar sejak 2008. Sedangkan  pernikahan anak gadis pada usia  16 dan 17 tidak mengalami perubahan signifikan. Sekali pun dikatakan terjadi kenaikan usia perkawinan anak gadis, tetapi usia mereka masih berada di bawah 18 tahun, yaitu batas usia anak dinyatakan dewasa sebagaimana telah ditetapkan oleh UNICEF dan ILO. Menurut data UNICEF (2014) yang dikutip Girls Not Bridges dan lembar faktaKoalisi Perempuan Indonesia (KPI), diperkirakan terdapat 14 persen anak gadis di Indonesia menikah di bawah usia 18 tahun.

Adapun provinsi yang dinyatakan Sensus Penduduk Indonesia (2010) dan Survei Sosial Ekonomi Nasional (2008-2012) menempati urutan tertinggi perkawinan anak gadis terjadi di Kalimantan Selatan (39, 63 persen), Kalimantan Tengah (39,21 persen), Kepulauan Bangka-Belitung (37,19 persen), Sulawesi Barat (36,93 persen), dan Sulawesi Tenggara (36,74 persen). Cukup menarik bahwa provinsi-provinsi yang dinyatakan memiliki data perkawinan anak tinggi merupakan wilayah industri tambang yang signifikan. Kepulauan Bangka Belitung dikenal penghasil timah,  Kalimantan Selatan dan Tengah penghasil batubara, intan dan bijih besi, Sulawesi Barat penghasil emas (potensial) dan Sulawesi Tenggara penghasil nikel.

Sayang sekali saya belum memiliki data induktif yang dapat mengungkap tingginya perkawinan anak dan industri tambang —termasuk dampaknya berupa krisis ekologi. Di Bangladesh, contohnya, ditemukan koneksi tersembunyi antara perubahan iklim –sebagai dampak krisis ekologi—dan meningkatnya pernikahan anak. Kisah banjir yang meratakan desa-desa dekat pertambangan telah menghancurkan kehidupan sosial keluarga-keluarga petani gurem, hingga mereka harus mengungsi. Tak adanya sumber nafkah dan himpitan kesulitan hidup lainnya mendorong orang tua menikahkan anak gadisnya. Terdapat ‘mafia’ yang memperdagangkan anak gadis untuk menjadi isteri simpanan atau ‘kawin kontrak’ untuk pelayanan seksual temporer.

Tulisan ini secara teoritis menghubungkan perkawinan anak dengan percepatan pembentukan pasukan tenaga cadangan (reserve army of labour). Sekali lagi, penulis akan berterimakasih kepada pembaca yang dapat menyumbangkan data induktif mengenai industri tambang di lima provinsi termaksud, perkawinan anak dan pembentukan pasukan tenaga cadangan di dalamnya.


Alasan Sosial Perkawinan Anak

Ada alasan sosial mengapa anak gadis (juga laki-laki) dikawinkan sebelum usia dewasa. Basis alasan itu berada di dalam keluarga, baik keluarga besar (yang dipimpin ketua keluarga, biasanya anak laki-laki tertua) maupun keluarga batih (keluarga kecil yang dipimpin ayah dan ibu). Jadi alasan sosial itu bukan berada di dalam diri si anak, ataupun merupakan keputusan mandiri si anak gadis. Lagipula anak dianggap belum dapat membuat keputusan, sehingga perkawinan anak sesungguhnya merupakan keputusan orang tua atau tetua dalam keluarga besar yang bersangkutan. Merujuk pada hasil penelitian UNICEF, ada empat alasan sosial[8] orang tua di Indonesia mengawinkan anaknya di bawah usia 18 tahun.

Alasan pertama, berhubungan dengan norma gender yang dipeluk keluarga tersebut tanpa memandang keluarga miskin ataupun berkecukupan. Pada 2015, satu dari delapan anak gadis yang menikah di bawah usia 18 tahun berasal dari keluarga dengan tingkat pengeluaran tinggi, yang dapat memberi petunjuk seberapa aman kekuatan finansial keluarga. Hal ini berarti keamanan finansial keluarga tidak menjadi faktor signifikan terjadinya perkawinan anak.

Alasan kedua, berhubungan dengan rendahnya tingkat pengeluaran keluarga. Bagi anak gadis yang dibesarkan dalam keluarga yang kondisinya kurang memadai atau tingkat pengeluaran rumah tangganya rendah, umumnya melakukan perkawinan dini. Umumnya perkawinan dini bagi anak gadis dipandang sebagai usaha mengurangi beban ekonomi keluarga orang tua.

Alasan ketiga, berhubungan dengan tingkat pendidikan. Semakin tinggi tingkat pendidikan anak perempuan, semakin dirinya terhindar dari perkawinan dini. Hal ini juga berkaitan dengan ketentuan Kementrian Pendidikan Nasional yang melarang anak sampai sekolah menengah atas untuk menikah. Artinya, semakin rendah tingkat pendidikan anak perempuan, semakin dirinya mudah terjerat dalam perkawinan anak.

Alasan keempat, dalam penelitian yang dilakukan oleh Plan International (2015) terungkap bahwa alasan perkawinan anak seringkali dipergunakan sebagai dalih bagi orang tua untuk mencegah anak perempuannya mengalami pengalaman seksual, baik disertai kekerasan maupun yang berdampak kehamilan. Sebaliknya, pernikahan dini menjadi sarana untuk menutup aib, menegakkan kehormatan keluarga, apalagi ketika anak gadis tersebut telah hamil –atas alasan apa pun—maka pernikahan adalah cara penyelamatan kehormatan yang terbaik.

Keempat alasan sosial itu tak terpisah dalam suatu kejadian perkawinan anak. Keempat alasan itu menghimpit anak gadis pada beban moral yang ambigu, di satu pihak menyandang beban kehormatan keluarga, dan di lain pihak menyandang beban ekonomi keluarga. Perkawinan anak kemudian dipandang sebagai cara keluarga (baca: orang tua) melepaskan beban moral yang disandangkan pada anak gadis. Namun, bagi anak gadis, terutama keluarga kelas pekerja, pelepasan beban moral yang disandangkan ke pundaknya itu membawanya ke dalam percepatan eksploitasi sebagai tenaga kerja bagi reproduksi kapital. Apa yang dimaksud reproduksi kapital adalah kerja domestik tanpa upah yang dilakukan isteri atau ibu rumah tangga sehari-hari untuk memulihkan tenaga suaminya setelah melakukan kerja produktif, mengasuh anak untuk menjadi tenaga produktif baru dan merawat tenaga tak produktif yang tak terpakai oleh kapitalisme. Persisnya, produksi kapital di arena industri berlangsung karena ada ibu rumah tangga yang melakukan reproduksi kapital di dalam rumahnya.


Kredit foto: Akurat.co

Tubuh Anak Gadis Sebagai Arena Eksploitasi

Apakah yang kita pandang sebagai perkawinan anak? Perhatikan bahwa perkawinan anak bukanlah sekadar peristiwa pengesahan di depan pemuka agama maupun catatan sipil –negara. Yang substansial di balik pengesahan secara formal tersebut adalah tentang tubuh si anak gadis yang akan menjadi arena eksploitasi. Analisa UNICEF melarang perkawinan anak gadis atas pertimbangan kesehatan seksual, kesehatan reproduksi, kematangan psikologis. Adapun Bappenas RI melarang perkawinan anak dikaitkan dengan masalah kualitas sumberdaya manusia –terlebih menghadapi bonus demografi. Namun, pertimbangan ini belum mengungkap sisi eksploitasi perkawinan anak gadis. Pada perkawinan anak, tubuh anak gadis itu dipaksa menjadi tubuh perempuan dewasa. Merujuk pada istilah Michel Foucault tentang pendisiplinan tubuh di bawah kapitalisme, maka tubuh anak gadis itu mengalami pendisiplinan dalam perkawinan untuk menjadi tenaga kerja bagi reproduksi kapital.

Analisa tajam dari Silvia Federici[9] lebih memperjelas konsep pendisiplinan tubuh di bawah kapitalisme. Menyimak dari perburuan dan pembakaran dukun-dukun perempuan (dukun selalu diasosiasikan dengan kekuatan sihir) pada abad ke-16 di Eropa, Federici mempunyai pertanyaan besar: mengapa dukun perempuan itu dibantai secara besar-besaran pada saat yang sama dengan privatisasi tanah-tanah milik petani oleh keluarga borjuis? Pada waktu itu terjadi privatisasi tanah untuk membuka perkebunan besar-besaran dan kemudian tenaga petani diubah menjadi budak-budak yang dipekerjakan di tanah perkebunan keluarga borjuis. Cukup menarik bahwa untuk mendapat dukungan sosial pelenyapan dukun-dukun perempuan itu digunakan dalil-dalil yang dikumandangkan dari dalam gereja. Dukun-dukun itu dipropagandakan sebagai penyebar kesesatan dan penyembah setan yang bertentangan dengan Kristen, karena itu harus dilenyapkan agar dunia menjadi terang. Propaganda itu sendiri bagai sihir yang membenarkan tindakan brutal nan biadab terhadap dukun perempuan, termasuk petani laki-laki pun mendukungnya. Mengapa tubuh dukun-dukun perempuan itu dibakar atau dilenyapkan? Federici menyimpulkan bahwa di dalam tubuh para dukun itu terdapat tenaga yang membantu proses reproduksi petani. Dukun-dukun itu membantu kelahiran bayi petani, dan kelahiran itu berarti sebuah prospek keberlanjutan generasi petani. Tubuh dukun itu dilenyapkan sebagai usaha memutus rantai sejarah reproduksi sosial petani, sehingga terbentang rantai baru untuk pembentukan (reproduksi sosial) proletar modern, yaitu tenaga budak di bawah merkantilisme.

Dengan meminjam teori Foucault tentang pendisiplinan tubuh, Federici menganalisa bahwa tubuh-tubuh perempuan petani pasca pembantaian dukun selanjutnya didisiplinkan menurut mekanisme kedokteran dan farmasi modern dalam melakukan reproduksi biologis (hamil sampai melahirkan). Pendisiplinan ini guna memenuhi kualitas dan jumlah tenaga kerja bagi perkembangan kapitalisme.  Jadi, pelenyapan dukun-dukun perempuan itu berperan dalam pembangunan tata kuasa patriarki modern, di mana tubuh perempuan: tenaga kerjanya, seksualitasnya dan daya reproduksinya ditempatkan di bawah kendali negara merkantilis dan diubah menjadi sumberdaya ekonomi. Dengan kata lain, proses yang dalam tradisi Marxis itu disebut akumulasi primitif itu terjadi dengan menggunakan kekerasan tubuh perempuan. Sayang sekali, menurut Federici, kekerasan terhadap tubuh perempuan dalam sejarah perubahan cara produksi kapitalis seringkali luput dari perhatian analisa ekonomi-politik Marxian.


Terjadinya Percepatan Reproduksi Pasukan Tenaga Cadangan

Pada analisa Federici ditekankan bahwa tubuh perempuan di bawah kapitalisme telah diubah menjadi sumber ekonomi, diperjelas oleh Mariarosa Dalla Costa[10], bahwa tubuh sebagai sumber ekonomi adalah memproduksi nilai komoditas tenaga kerja. Artinya kerja perempuan dalam keluarga, sejak dari memasak, mengasuh anak, dan bahkan memberikan pelayanan seksual kepada suaminya adalah mempersiapkan tenaga kerja untuk menjadi komoditas (mempunyai harga jual). Teori Dalla Costa itu dikoreksi dan diperdalam oleh Lise Vogel[11] bahwa ibu rumah tangga melakukan kerja domestik itu bukan mempersiapkan nilai komoditas, melainkan untuk mereproduksi kapital. Terjadinya akumulasi kapital, menurut Vogel, karena ada kerja perempuan untuk mereproduksinya, yaitu mereproduksi tenaga kerja manusia sebagai kapital itu sendiri. Untuk itu perempuan pun menjadi pelaku konsumsi —membeli hasil produksi kapitalis—untuk mereproduksi kapital itu sendiri.

Kembali ke perkawinan anak gadis di bawah usia 18 tahun. Tubuh anak gadis, terutama anak gadis kelas pekerja, tidak mempunyai pilihan selain untuk bekerja, baik kerja upahan maupun kerja rumah tangga. Anak gadis yang menikah di bawah umur, sesungguhnya mempercepat status mereka sebagai sebagai tenaga kerja “dewasa” upahan. Meski masih di bawah usia 18 tahun, bagi anak gadis yang sudah menikah, dari aspek tenaga kerja upahan, lazimnya dianggap sebagai tenaga dewasa. Artinya, anak-anak gadis ini siap masuk sebagai angkatan kerja, tetapi sebagai pasukan tenaga kerja cadangan (reserve army of labour). Mengapa? Karena sesungguhnya tenaga kerja mereka tidak memenuhi kualifikasi sebagai tenaga komoditas yang dibutuhkan di sektor industri modern yang menyaratkan kualifikasi pendidikan, ketrampilan yang diperoleh melalui pendidikan tertentu. Selain itu, anak gadis yang menikah muda, tak sepenuhnya dapat memenuhi waktu yang dibutuhkan untuk kerja upahan, karena sebagian dari waktunya juga untuk mengasuh anak yang biasanya masih kecil.

Kembali pada teori reproduksi sosial, menurut Vogel, bahwa kerja perempuan dalam keluarga kelas pekerja itu tidak lain adalah mereproduksi kapital. Hal ini berbeda dengan perempuan keluarga borjuis, mereka mereproduksi calon pewaris pemilik kapital. Anak gadis yang menikah muda itu tampaknya melepaskan diri dari beban ekonomi keluarga orang tuanya, tetapi mereka mempercepat dirinya untuk dieksploitasi oleh kapitalis, yaitu dengan menjadikan dirinya sebagai tenaga reproduksi kapital. Ia memberi makan dan pelayanan seksual kepada suaminya untuk bisa bekerja dalam keadaan segar, ia mungkin mengurus anggota keluarga yang sudah tua dan tidak produktif, dan tentu membesarkan anaknya sebagai calon tenaga produktif. Mereka bekerja untuk merawat dan mereproduksi modal kapitalis, tetapi upah yang seharusnya mereka terima diberikan kapitalis kepada suaminya yang bekerja langsung kepada kapitalis. Terjadi eksploitasi yang tak kentara atau tersembunyi dalam tubuh anak gadis yang menikah muda, yang seharusnya pada usianya itu mereka masih mengembangkan kapasitas moral dan intelektualnya.

Anak-anak perempuan yang menikah dini dalam keluarga kelas pekerja itu pun ekuivalen dengan percepatan reproduksi kapital. Mereka selalu cepat melahirkan anak dan biasanya dalam usia kurang dari 20 tahun telah melahirkan dua orang anak. Percepatan lahirnya anak-anak itu, seperti kritik Marx terhadap teori Robert Malthus, bukan berdampak pada masalah ketersediaan pangan, melainkan menciptakan masalah ketersediaan lapangan kerja. Maka, anak-anak yang dihasilkan dari perkawinan dini itu akan menimbulkan ledakan pasukan tenaga cadangan (pengangguran) yang perawatannya menjadi beban ibu yang berkawin di bawah umur tadi. Persisnya, ibu yang kawin di bawah umur itu harus memanggul beban ledakan pasukan tenaga cadangan (memberi asupan pengangguran), dan dalam waktu yang sama harus melakukan reproduksi kapital (memberi asupan tenaga kerja terpakai). Beban itu terlalu dini disandang oleh perempuan muda, hingga pada usia 30-40 tahun, anak gadis yang kawin muda itu pada umumnya sudah seperti lansia dan tak laku di pasaran kerja upahan.  

***

Tulisan ini saya akhiri dengan pernyataan bahwa perkawinan anak, ledakan pengangguran dan penurunan kualitas perempuan akan menjadi beban krusial bagi provinsi Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah, Sulawesi Barat, Sulawesi Tenggara dan Kepulauan Bangka-Belitung. Mereka ini bukan termasuk provinsi miskin, tetapi pertambangan adalah industri padat modal yang kurang mampu menyerap pasukan tenaga cadangan. Dalam laporan Seri Analisis Pembangunan Kalimantan Selatan (2015) mengakui adanya ketimpangan pertumbuhan ekonomi dan penyerapan pengagguran. Padahal Pendapatan Domestik Regional Bruto (PDRB) Kalimantan Selatan terbilang tinggi, yaitu mencapai Rp 45,92 Trilyun, sedangkan PDRB Sulawesi Barat mencapai Rp 43,57 Trilyun.***


—————

[1] Ending Child Marriage: Progress and Prospect, Laporan UNICEF, 2013

[2] Akhiri Perkawinan Anak Seri 1,  Lembar Fakta dikeluarkan Koalisi Perempuan Indonesia

[3] “Child Marriages and Urban Problem Too”, diunduh dari https://timesofindia.indiatimes.com/city/chennai/child-marriages-an-urban-problem-too/articleshow/67316229.cms

[4] Joseph Natanael Marshan, M. Fajar Rakhmadi, Mayang Rizky, Prevalence of Child Marriage and Its Determinants Among Young Women in Indonesia, The SMERU Research Institute, 4

[5] Sarah Ferguson,  “What You Need To Know About Child Marriage in The US”, FORBES, diunduh dari https://www.forbes.com/sites/unicefusa/2018/10/29/what-you-need-to-know-about-child-marriage-in-the-us-1/#52f30c865689

[6] Marshan, M. Fajar Rakhmadi, Mayang Rizky, Prevalence of Child Marriage, 4

[7] Marshan, dkk, Prevalence of Child Marriage, 4

[8] “Indonesia, Child Marriage”, dalam Girls Not Brides, 2018

[9] Silvia Federici, Caliban and the Witch, (Brooklyn, New York: Autonomedia, 2009)

[10] Mariarosa Dalla Costa dan Selma James, The Power of Women and the Subversion of the Community, (Italy & England: Falling Wall Press, 1972)

[11] Lise Vogel, Marxism and the Oppression of Women: Toward a Unitary Theory, (Leiden & Boston: Rutgers University Press, 1983)

]]>
Keluarga Versus Keluarga https://indoprogress.com/2019/06/keluarga-versus-keluarga/ Wed, 19 Jun 2019 22:34:20 +0000 https://indoprogress.com/?p=21050

Kredit ilustrasi: Temankita.com



ADA banyak dari kita yang memandang keluarga sebagai konsep yang terberi (taken for granted), seakan ciptaan alam semesta. Kita lahir dari sebuah keluarga. Keluarga ada mendahului kita. Maka kebanyakan dari kita tak mempertanyakan keluarga baik sebagai kategori sosial  maupun sebagai unit praktis kehidupan sosial. Dalam kenyataannya, baik dalam arti ekonomi-politik, antropologis maupun filosofis, selalu terjadi partarungan untuk memaknai atau memberi wacana terhadap keluarga. Perubahan sosial, perebutan kekuasaan, pembiakan atau pengendalian populasi, pertahanan militer, penyebaran agama, seluruhnya memerlukan keluarga.

Saat ini, di tengah warganet masih asyik membincang pascapemilu April 2019, ada sebuah arus yang diam-diam bergerilya dan terkadang muncul di permukaan seperti ikan paus salto ke udara dan kemudian menyelam lagi. Arus itu telah menyelusup ke dalam kehidupan sosial kita dan tiba-tiba menjadi tradisi baru. Arus itu membawa topik keluarga poligini (poligami), yang maknanya analog dengan keluarga suci abad ke-19. Namun, konsep keluarga suci abad ke-19 adalah keluarga patriarkal monogamis –sebagaimana yang dipropagandakan gereja-gereja di Eropa, sedangkan konsep keluarga yang dipropagandakan saat ini di Indonesia adalah keluarga patriakal poliginis —sebagaimana yang dipropagandakan atas nama syariat Islam. Propaganda keluarga poligini ini diam-diam menggiring para perempuan untuk —istilah yang digelorakan saat ini—hijrah sebagai agensi penggandaan populasi. Ada proyek penggandaan populasi yang, menurut hemat saya, telah dipersiapkan untuk tujuan tertentu. Untuk penggandaan populasi ini memerlukan penghancuran perkawinan monogami, penghancuran pembatasan jumlah anak, penghancuran usia layak pernikahan bagi perempuan dan pada akhirnya demistifikasi keluarga batih (nuclear family).

Tak cukup itu, muncul pula propaganda senyaring suara TOA untuk mendemistifikasikan sejarah gerakan perempuan dan seluruh perjuangannya untuk “kesetaraan dan keadilan” dengan label perempuan-perempuan “antikeluarga”. Propaganda memojokkan perempuan antikeluarga dan di sisi lain menggaungkan propaganda antifeminis. Bahkan Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak dan Pengendalian Penduduk DKI Jakarta, telah menjadikan kelompok dengan nama “Indonesia Tanpa Feminis” dan “Muslimah HTI” sebagai partisipan undangan mereka.


Memeriksa Pandangan Marxis Tentang Keluarga

Karl Marx dan Friedrich Engels pada abad ke-19, memberikan porsi cukup besar dalam ulasan keluarga dan penindasan perempuan. Analisa tentang keluarga dan populasi telah dilansir oleh Marx dalam Grundrisse (1939), ketika mengritik teori Thomas Robert Malthus tentang ledakan populasi. Menurut Malthus, perkembangan populasi bergerak cepat melampaui ketersediaan pangan. Sebaliknya Marx mengatakan asumsi itu keliru, sebab di bawah kapitalisme, percepatan penduduk bukan melampaui ketersediaan pangan, melainkan melampaui ketersediaan lapangan kerja. Artinya ledakan penduduk yang tak tertampung oleh lapangan kerja menjadi pasukan tenaga cadangan (reserve army of labour), yang tak lain adalah tenaga kerja yang menunggu serapan kerja. Jadi, ledakan populasi bukan mengancam ketersediaan pangan sebagaimana asumsi Malthus, pun perkara ketersediaan pangan bukan karena tanaman pangan itu ‘secara alami’ tidak ada melainkan karena nilai komoditas yang diletakkan ke dalam pangan tersebut fluktuatif.

Menurut Marx, bentuk keluarga sejatinya tidak pernah final, tetapi esensinya merupakan situs reproduksi tenaga kerja. Bentuk keluarga pada masa pra-kapitalis merupakan pusat produksi pertanian dan pengrajinan. Di masa kapitalis, pusat produksi itu berpindah ke pabrik sehingga mengubah bahkan menghancurkan peranan keluarga dan anggotanya. Hubungan pembagian kerja antar jenis kelamin pun berubah. Laki-laki terserap sebagai buruh upahan di pabrik dan perempuan menjadi tenaga kerja di rumah tanpa upah. Ketika terjadi mekanisasi (mesin) di pabrik-pabrik, tenaga kerja manual laki-laki digantikan tenaga kerja perempuan dan anak yang lebih murah. Penyerapan perempuan dan anak ke dalam pabrik pun mengubah waktu dan kerja perempuan di dalam keluarga.

Di bawah kapitalisme keluarga kelas pekerja adalah situs untuk reproduksi kapital (reproduksi tenaga kerja). Adapun keluarga kelas borjuis merupakan situs yang di dalamnya beroperasi perbudakan terhadap perempuan baik sebagai tenaga kerja maupun sebagai objek seksual. Dengan demikian, perkembangan (pencetakan) populasi di dalam keluarga kelas pekerja adalah menunjang reproduksi kapital, sedangkan di dalam keluarga borjuis untuk pengamanan kapital.

Analisa keluarga menurut Marx dan Engels itu kemudian dikembangkan cukup produktif oleh aktivis feminis Marxis sebagai situs pengembangan teori reproduksi sosial. Mariarosa Dalla Costa dan Selma James menulis Women and the Subversion of the Community (1972)[1] untuk membangun argumen teori reproduksi sosial. Dalla Costa dan James menggarisbawahi pendapat Marx bahwa perubahan keluarga pra-kapitalis ke keluarga kapitalis telah menggusur peranan perempuan dan orang tua perempuan sebagai kekuatan sosial keluarga. Sementara pabrik yang mensubversi pusat produksi keluarga tak memiliki kekuatan sosial, tetapi memiliki kekuatan ekonomi untuk memberi upah suami mereka. Suami itu pun kemudian harus menanggung seluruh anggota keluarga yang kehilangan kekuatan sosial melalui upahnya. Namun, kerja perempuan di dalam rumah adalah mereproduksi tenaga kerja laki-laki atau suami yang bekerja untuk kapitalis, bahkan juga mempersiapkan regenerasi tenaga kerja (pengasuhan anak). Dalla Costa dan James menyimpulkan bahwa kerja perempuan untuk mereproduksi tenaga kerja itu bukan sekadar menyediakan nilai guna tetapi nilai komoditas. Kapitalis seharusnya mengupah perempuan yang telah melakukan reproduksi tenaga kerja, tetapi kapitalis mewakilkan upah itu kepada laki-laki. Dari sini, menurut Dalla Costa dan James, kapitalis telah mensubversi nilai komoditas hasil produksi perempuan dalam keluarga berupa tenaga kerja segar.


Memeriksa Konsep Keluarga Syariat

Status teoritis keluarga syariat tampaknya masih kabur selain mendaku berdasarkan syariat “Islam”. Bagaimana ciri syariat Islam, selain yang tampak pada pakaian perempuan dan penggunaan Bahasa Arab? Menurut saya, gejala keluarga syariat dapat dilihat dalam hubungannya dengan perkawinan poligini, perkawinan usia muda terutama bagi perempuan dan jumlah anak melebihi kuota keluarga berencana nasional.

Sebenarnya gejala perkawinan poligini dalam masyarakat-masyarakat di dunia ini bukan berasal dari syariat Islam. Menurut Lewis Morgan dalam Ancient Society, praktik keluarga poligini yang disebut klan patriarkal telah lahir pada tahap akhir perkembangan masyarakat barbarisme menuju tahap peradaban —yang berjarak ribuan tahun dari lahirnya Islam. Di Senegal, perkawinan poligini bertujuan untuk reproduksi tenaga kerja bagi sebuah klan yang dipimpin oleh seorang suami. Model keluarga klan ini seperti temuan Morgan mendahului munculnya model keluarga patriarkal monogamis. Keluarga klan patriarkal dipimpin oleh seorang suami yang bertanggungjawab atas sekian isteri dan anak-anak.  Peranan isteri –sebagaimana analisa Marx—sebagai pemroduksi tenaga kerja,  dan dalam keluarga pra-kapitalis pusat produksi berada dalam keluarga tersebut.

Kembali kepada keluarga syariat poliginis. Di Indonesia data numerik setelah propaganda massif lima tahun terakhir ini belum dapat diketahui apakah terjadi perkembangan perkawinan poligini. Sekali pun secara kualitatif bukan berarti praktik poligini tidak berjalan. Yang secara  secara empirik mencolok di jalan-jalan adalah seorang perempuan muda menggandeng tiga sampai lima anak. Tampaknya jarak antara satu anak dengan lainnya hanya satu tahun. Perempuan muda yang digelayuti banyak anak itu kebanyakan mengenakan cadar, dan suami mereka mengenakan celana panjang cingkrang. Namun, seorang laki-laki berjalan menggandeng dua atau tiga perempuan sebagai isteri belum terlalu terbuka, meski pun propaganda untuk menganjurkan poligini bagi laki-laki sudah terbuka.

Apabila saya menggunakan analisa Marx untuk memahami keluarga syariat, maka propaganda poligini, perkawinan muda dan banyak anak tak lain bertujuan untuk pembiakan tenaga produksi. Dalam sejarahnya, poligini pun dimaksudkan untuk memperbanyak jumlah tenaga produksi. Atau banyaknya populasi dalam keluarga menjamin proses produksi keluarga berlangsung. Sedangkan perkawinan muda dimaksudkan untuk menciptakan rentang usia subur perempuan untuk melahirkan anak agar lebih panjang (artinya kemungkinan punya anak banyak lebih besar). Menurut heamt saya, analisa Marx lebih dapat menjelaskan yang material dari hubungan perkawinan, pembagian kerja secara seksual dalam situs keluarga daripada dalih syariat.

Pertanyaannya adalah untuk dalih apa dalih syariat mempropagandakan poligini, perkawinan usia muda dan banyak anak saat ini? Jawaban ini tentu berupa hipotetis, tapi tidak sulit mencari contoh dalam sejarah. Saya mengambil contoh praktik perkawinan jamak dalam kehidupan orang Mormon di AS abad ke-19 atas dalih agama di satu pihak, dan pertahanan populasi di lain pihak. Namun demikian fakta pertahanan populasi lebih material daripada dalih agama. Jadi, di Indonesia propaganda massif poligini, perkawinan usia muda dan banyak anak berhubungan dengan pembiakan populasi untuk menciptakan generasi baru yang disebut “hijrah” dan menghapus populasi yang non-hijrah. Berbeda dengan di AS, praktik poligini orang Mormon itu segera dilarang oleh pemerintah federal di negara bagian Utah, sehingga praktik itu tidak berkembang luas. Sebaliknya di Indonesia, terdapat gejala bahwa aparatus pemerintah pun mendukung meski tidak terang-terangan atau melakukan pembiaran terhadap praktik tersebut. Tentu, sekali lagi, dalihnya adalah syariat membolehkan praktik perkawinan poligini, sehingga di Indonesia masalah poligini tampak disikapi secara ambigu –bahkan oleh bukan pendukungnya.


Menjadi Pertarungan Perempuan versus Perempuan

Memang belum berdebat secara terbuka, tetapi perang wacana antar perempuan yang atas nama syariat dan aktivis gerakan perempuan telah berlangsung. Ada beberapa topik perang wacana, dan salah satunya mengenai keluarga. Sayang, tidak terjadi adu argumentasi yang didukung oleh teori yang kuat dalam memperdebatkan konsep keluarga, kesetaraan, poligini, dan lainnya. Di kalangan aktivis gerakan perempuan pun masih terlalu sunyi dalam menggali lebih material tentang keluarga. Bagaimana konsep keluarga menurut feminis? Apakah pembagian kerja secara seksual/gender tetap ada atau dihapuskan atau dilenturkan? Apakah kerja domestik di dalam keluarga untuk mereproduksi tenaga kerja tak terelakkan di masa kapitalisme? Apakah aktivis feminis mengorganisir perempuan sebagai individu atau keluarga? Bagaimana strategi baru untuk menghapuskan situs penindasan dalam keluarga? Kebanyakan aktivis gerakan perempuan terpaku pada konsep personal is political tetapi mengabaikan keluarga sebagai situs penindasan perempuan sejak sejarah pembentukannya.

Sebaliknya, kelompok perempuan yang mengatasnamakan syariah membuang jauh-jauh konsep personal is political, dan mengambil keluarga sebagai situs pemaknaan dirinya sebagai perempuan. Mereka telah membuang konsep bahwa keluarga adalah situs penindasan perempuan, dan sebaliknya mereka menafsirkan bahwa keluarga adalah situs bagi pembentukan kesalehan mereka.

Meskipun propaganda syariah sangat nyaring dikumandangkan pendukung laki-lakinya, tetapi pada akhirnya yang bertarung adalah perempuan versus perempuan dalam perang tanpa berhadapan. Pada saat yang sama aktivis gerakan perempuan sedang gencar melawan perkawinan usia muda bagi perempuan, tetapi belum menyatukan isu ini dengan perkawinan poligini dan banyak anak.


Adakah Serikat Buruh Memperhatikan Isu Keluarga?

Pengamatan saya mungkin terbatas. Tetapi secara umum, isu keluarga tak masuk ke dalam agenda serikat. Terkesan ada dikotomi antara isu keluarga (sebagai situs reproduksi tenaga produksi) dan isu produksi. Sementara aktivis Kiri-Lama, seperti Lenin, Clara Zetkin, Alexandra Kollontai membahas tentang perkawinan dan keluarga, meskipun belum mempunyai argumen teori yang memadai. Analisa keluarga yang memadai, yang menggunakan dialektika materialis dalam menghubungkan antara kerja domestik perempuan (isteri) dalam keluarga dan kapital. Dialektika materialisnya adalah menemukan status nilai komoditas pada kerja domestik perempuan. Artinya, aktivis serikat buruh yang laki-laki  ketika memperjuangkan kenaikan upah, posisi upah itu adalah harga komoditas kerja domestik isterinya. Persisnya, penentuan upah layak harus diukur berdasarkan berapa biaya domestik yang telah dikeluarkan oleh isteri kelas pekerja.

Sementara model keluaga syariah kian berkembang menjadi rujukan keluarga urban di kawasan industri. Mereka sibuk mendakwah agar perempuan kelas pekerja menjadi saleh ketimbang menjadi materialis, dan kesadaran terhadap identitas agamanya lebih menguat daripada kesadaran kelasnya. Pada saat demikian, aktivis feminis dan serikat buruh seharusnya duduk bersama untuk meninjau kembali situs keluarga sebagai situs penindasan perempuan dan kapital.

Sebagai penutup, saya mengutuipkan seruan Alexandra Kollontai, seorang feminis yang berjuang dalam Revolusi Bolshevik di Rusia:

(…) Untuk menjadi benar-benar bebas, perempuan harus membuang rantai belenggu bentuk keluarga yang sudah ketinggalan zaman dan menindas. Bagi perempuan, solusi dari “permasalahan keluarga” tidak kalah penting dari pencapaian kesetaraan politik dan kemandirian ekonomi.[2]***


————-

[1] Mariarosa Dalla Costa, Selma James, The Power of Women and the Subversion of the Community, (England & Italy: the Falling Wall Press, 1972), 27

[2] Alexandra Kollontai, “Social Basis of the Women’s Question”, dalam Selected Writing of Alexandra Kollontai, (Allison & Busby, 1977)

]]>
Hancurnya Narasi Otentik Masyarakat Modern (Bagian-2) https://indoprogress.com/2019/05/hancurnya-narasi-otentik-masyarakat-modern-bagian-2/ Wed, 29 May 2019 23:45:18 +0000 https://indoprogress.com/?p=20985

Potret Hannah Arendt. Kredit foto: thegolfclub.info


Narasi Kerja Masyarakat Modern

SEBELUMNYA pada Bagian-1, telah disinggung bahwa masyarakat modern telah membalikkan dominasi berpikir menjadi bertindak. Tetapi apa yang disebut bertindak dalam pengamatan Arendt adalah tumbuhnya perilaku masyarakat modern yang disibukkan oleh kegiatan kerja dan belanja dan hal itu bahkan mendominasi kehidupan mereka.

Ada pun pengertian tentang kerja (Yunani: ponein) menurut Arendt adalah bagian dari narasi oikos yang dimetaforakan Arendt seperti tubuh manusia. Kerja dibedakan dengan karya (work) yang dimetaforakan tangan (Yunani: ergazesthai).[1] Kerja adalah kedirian manusia yang unik yang berjuang untuk bertahan hidup. Arendt merujuk pada pandangan Aristoteles yang memandang kerja melalui metafora “budak” atau binatang yang terus menerus memenuhi kebutuhan “majikan”nya untuk hidup.  Kerja berkoneksi dengan keprivatan manusia, karena semata untuk melayani kebutuhan kemanusiaannya itu sendiri. Pesoalan itu terbit, menurut  Arendt, ketika masyarakat modern mengaburkan pemisahan antara oikos dan polis atau “yang privat” dan “yang publik”, sehingga kerja bergeser ke ranah polis, dan kerja kemudian berhubungan erat dengan konsumerisme (dalam arti gaya hidup belanja komoditas). Merujuk pada tradisi Yunani purba itu rumah tangga sebagaimana juga tubuh, bekerja untuk melayani kebutuhan dasar fisik manusia dalam rupa makan, perlindungan dan kenyamanan dirinya. Maka dari itu manusia terikat dalam oikos atau tubuhnya, sehingga menjadi tidak bebas. Sebaliknya, ranah polis merupakan ranah kebebasan yang dapat membebaskan manusia dari keterikatannya pada oikos. Namun manusia akan dapat memasuki ranah kebebasan ketika berhasil menjadi “tuan” yang mampu mengatasi hasrat sekadar untuk memenuhi kebutuhan hidup belaka (yang dimetaforakan “budak”) seperti layaknya binatang. Itulah sebabnya, menurut Arendt (menggarisbawahi Aristoteles), manusia akan menemukan kebebasannya dalam komunitas yang berada di ranah publik. Ranah publik adalah ranah pembebasan untuk menjadi manusia yang otentik.[2]

Invasi  kerja ke ranah publik, menurut Arendt, merupakan titik tolak bencana yang dialami masyarakat modern. Masyarakat modern yang kini hidup didominasi untuk kerja telah terpenjara di ranah publik, di ruang komunal, sehingga mereka tidak mampu berpartisipasi untuk membuat tindakan yang politik.  Maka mereka kehilangan identitas kediriannya yang unik dan mengalami alienasi. Padahal ranah publik diyakini Arendt sebagai ranah pembebasan dari kerja dan karya, untuk mencapai tindakan yang politik dan menjadi manusia yang otentik. Maka dengan masuknya kerja ke ranah polis atau publik, diri manusia modern terpenjara sepanjang hidupnya sejak dalam oikos sampai polis. Dari situlah  awal  bencana itu muncul, ketika batas-batas telah hilang antara yang asali dan politik.[3]

Dengan demikian narasi kerja dalam masyarakat modern telah berubah menjadi instrumen narasi totalitarian yang memenjara kebebasan manusia di ranah publik. Narasi manusia modern bergerak antara waktu kerja untuk produksi komoditas (buruh) dan waktu kerja untuk konsumsi komoditas (belanja). Arendt menyontohkan narasi siklus konsumsi yang paling kasar, yakni makan.  Kerja dan makan merupakan siklus, di mana kerja memproduksi komoditas, dan kemudian komoditas itu kita makan dan kita buang menjadi tai yang terurai dan bersenyawa dengan unsur alam lainnya menjadi materi. Materi itu kita caplok untuk produksi komoditas lagi (reproduksi), dan kemudian kita makan, dan seterusrnya.[4]

Narasi konsumsi itu digambarkan dalam “Ullyses” karya James Joice yang menarasikan seorang pahlawan bernama Leopold Bloom yang pada saat makan siang di sebuah kafe, merenungkan tentang keindahan tubuh manusia dan kebutuhan makan. Bagi Bloom keindahan adalah lekuk tubuh perempuan yang direpresentasikan oleh kecantikan Dewi Venus. Bentuk kecantikan tubuh yang ideal ini berkebalikan dengan tubuh yang kita sadari, tubuh manusia yang fana, yang mirip mesin bergerak mengikuti siklus yang digambarkan Joice: memasukkan makan dari satu lubang dan mengeluarkan ampas makanan dari lubang yang lain. Narasi Joice ini sebangun dengan narasi Arendt tentang kerja dan konsumerisme masyarakat modern, bahwa bencana itu terjadi ketika diri manusia modern menjadi mesin yang bergerak mengikuti siklus kebutuhan hidup belaka. Maka dari itu manusia modern terhambat untuk mencapai tindakan yang otentik, yakni pembebasan yang diidamkan Arendt[5].

Padahal menurut Arendt, kondisi asali kehidupan manusia adalah keterbatasannya yang terentang antara kelahiran dan kematian. Oleh sebab itu,  yang asali dari manusia hidup adalah memaknai narasi awal dan akhir yang disebutnya “pengakuan kisah-hidup dari awal hingga akhir”. Narasi tentang kehidupan diri manusia bukan dikisahkan oleh dirinya, melainkan dituturkan oleh orang lain. Kita saling menuturkankan tentang kehidupan yang terbatas dan mengakui keterbatasan itu, tetapi penuturan atas kita sebagai individu itulah yang senantiasa mengalami kelahiran kembali (reproduksi). Hal ini bukanlah ketakterbatasan, keterbatasan itu mengalami proses reproduksi terus menerus. Maka dari itu  Arendt memperkenalkan tentang konsep natalitas, sebagai kemampuan kondisi manusia untuk bereproduksi dalam tantangan dan persoalan kepublikan (bukan melarikan diri kepada sesuatu yang abstrak dan absolut, seperti misalnya aspek keilahiyahan).[6]

Maka kita dapat membayangkan bencana yang dialami manusia modern yang terpenjara dalam narasi kerja, yang tak mempunyai kesempatan untuk memaknai narasi hidupnya dari awal hingga akhir –menjadi tuturan orang lain sebagai anggota masyarakat. Seluruh kesibukan dirinya tak lagi untuk menjadikan dirinya mencapai tindakan yang bermakna otentik melainkan untuk menjadi tai yang dibuang begitu saja. Jika hal itu kita refleksikan pada Germinal karya Zola, maka sungguh miris bahwa modernitas justru menciptakan kondisi kemiskinan yang memenjara keluarga-keluarga buruh dalam industri pertambangan yang di dalamnya diwarnai kekerasan fisik dan seksual. Kerja yang dilakukan oleh buruh itu tak lebih dari tai, sedangkan tubuh mereka yang menjadi sarana bagi kerja adalah oikos yang terpenjara dalam industri pertambangan. Maka dapat dibayangkan, apabila mereka tak melakukan pembangkangan sosial melawan tuan mandor, mereka akan kehilangan narasi dirinya. Tetapi Zola berpikir, seperti halnya Arendt, yang masih memercayai harapan atau natalitas. Sesuai dengan Germinal (kalender Revolusi Prancis) yang artinya adalah musim semi, musim bertumbuh atau kelahiran baru, maka Zola mengubah narasi kerja menjadi narasi (tindakan) politik, di mana buruh-buruh dalam pertambangan itu berhasil melawan tuan mandornya yang kejam.

Tetapi Arendt, menurut Swift, berbeda dengan Marx, karena pendekatan fenomenologinya bukan untuk menempatkan kerja (dan tenaganya) sebagai suatu kelas dalam struktur kapitalisme. Arendt menempatkan kerja secara fenomenologis sebagai kegiatan manusia yang menghubungkan dirinya dengan dunia dan sebagai bagian dari kondisi asali manusia. Oleh sebab itu, Arendt tidak menawarkan pembebasan kelas, melainkan pembebasan kegiatan kerja itu sendiri.

Sebagai tambahan, saya pikir, ada penilaian Swift terhadap Arendt yang perlu diangkat di sini. Ketika membaca narasi Arendt ia dapat melihat adanya perbedaan pandangan antara Arendt sebagai perempuan dan Heidegger sebagai laki-laki terhadap pembebasan (publik), dan pola itu serupa dalam perbandingan antara karya T.S. Elliot dengan Virginia Woolf. Heidegger memandang ranah publik tidak otentik, karena merupakan kerumunan sosial, di mana dalam hal pengalaman kematian menjadi milik umum. Padahal kematian, menurut Heidegger, adalah milik diri sendiri, sebagai cara otentik untuk menyadari tentang yang asali dari diri sendiri. Maka dari itu ruang publik, bagi Heidegger, bukan ruang pembebasan diri. Sebaliknya Arendt berpendapat bahwa ruang publik adalah ruang pembebasan untuk menemukan diri yang otentik. Kematian dipandang Arendt sebagai suatu peristiwa yang memaknai diri atau individu berakar pada komunitas, milik sebuah komunitas, sehingga kematian bukanlah isolasi diri, melainkan petanda yang memungkinkan percakapan sebuah narasi diri di mulai. Barangkali pandangan Arendt ini dapat dicontohkan pada munculnya orang-orang yang mulai mempercakapkan tentang si mati, misalnya, sebagai orang yang baik, orang yang setia pada hidup sederhana sekali pun dihina keluarganya, di mana pada saat si mati masih hidup justru tak ada narasi mengenai dirinya.  

Cara pandang Heidegger itu senada dengan  T.S. Elliot yang menunjukkan konsistensi  imaginasi (laki-laki) : (…) dalam kerumunan manusia yang begitu banyak melewati Jembatan London, kematian menjadi hilang, terlepas dalam kerumunan (….), yang berkebalikan dengan Virginia Woolf yang menyatakan: (…) kematian adalah sebuah upaya untuk berkomunikasi, perasaan orang pada ketidakmungkinan mencapai puncak yang mistis (….).[7]


Rangkuman dan Refleksi

Swift mendaku bahwa karya Arendt adalah sebuah narasi yang dapat digunakan untuk pengembangan studi sastra. Karya Arendt ia golongkan ke dalam biografi kritis yang unik karena Arendt menulis dengan menyertakan dirinya di dalam tulisannya sebagai subjek tanpa bermaksud menulis otobiografi. Sementara Arendt tak hanya memberikan kesaksian dan pengamatannya terhadap bencana-bencana kemanusiaan sepanjang abad 20, melainkan juga mengkritik tradisi metafisika Barat dan kategori-kategori dalam filsafat yang tetap dianut masyarakat modern.

Metafisika yang dikritiknya adalah metafisika yang membawa manusia terasing dalam dunia dan kemudian melarikan diri ke ranah idea yang absolut. Maka dari itu bagi metafisika ini berpikir kontemplatif lebih mulia nilainya ketimbang bertindak. Sementara masyarakat modern telah berhasil membalik bertindak lebih tinggi nilainya ketimbang berpikir. Tetapi metafisika kuno itu bertransformasi menjelma menjadi mitos masyarakat modern, di mana kemajuan teknologi yang mampu menembus batasan ruang, hanyalah pelarian manusia dari keterasingannya di bumi untuk menggapai angkasa yang tak terbatas dan non-manusia. Manusia modern seperti halnya nenek moyang yang hidup bersama mitos dewa-dewi di angkasa raya.

Selain menjadi manusia yang tetap terasing di dunia, masyarakat modern telah mencerabut kerja yang seharusnya bersifat privat dan berada di ruang privat, menjadi publik. Hal ini menimbulkan bencana. Sebab, masyarakat modern yang berhasil membalik bertindak lebih dominan terhadap kerja, namun yang terjadi adalah mereka dikuasai oleh kerja dan belanja dalam kegiatan hidupnya. Padahal kerja tak lebih merupakan kegiatan binatang mencari makan (animal laborans) tetapi justru hal itu yang dominan. Akibatnya masyarakat modern tidak sempat melakukan tindakan yang otentik, yaitu melakukan kegiatan politik atau kepublikan untuk menciptakan narasi bagi dirinya. Akibatnya masyarakat modern hidup tanpa makna dan narasi.

Swift menilai kekhasan Arendt sebagai pemikir perempuan yang serupa dengan pemikir perempuan lainnya, yang umumnya dipengaruhi oleh konsep natalitas dalam mengatasi keterbatasan manusia. Hal ini berkebalikan dengan, contohnya Heidegger dan pemikir laki-laki lainnya, yang selalu berpola pada konsepsi mortalitas dalam mengatasi keterbatasan tersebut. Maka ketika Arendt memandang krisis masyarakat modern, Arendt memercayai bahwa pembebasan itu adalah proses natalitas naratif yang terjadi dalam kepublikan ketimbang dalam keprivatan.

Tetapi bagaimana mungkin masyarakat modern akan memiliki kesempatan untuk mereproduksi narasi-narasinya (natalitas), apabila kehidupannya telah dipenjara dan ditindas oleh kerja yang nilainya sebatas animal laborans. Kerja telah merampaskehidupan masyarakat modern sehingga tak sempat menciptakan narasi otentiknya (politik dalam kepublikan), dan akibatnya bukan natalitas yang terjadi melainkan bencana katastropi.

Pandangan Arendt ini menurut saya sungguh memadai dalam menjelaskan persoalan manusia yang terasing sekaligus tertindas secara non-struktural. Dalam hal ini justru Arendt dapat menjawab sumber bencana katastropi karena masyarakat modern tak mempunyai kesempatan untuk melakukan tindakan natalitas, dan kehilangan narasi dirinya dalam komunitas. Karena itu masyarakat modern selalu ingin melarikan diri dari realitas kepublikannya dan menyerahkan diri kepada sesuatu yang abstrak dan abslout. Kita dapat menyaksikan bagaimana masyarakat modern saat ini hidup dalam dunia maya media sosial ketimbang dunia realitas yang nyata, yang tak lain adalah cermin pelarian dari keterasingannya di dunia karena telah dijajah oleh kerja.

Namun demikian kita dapat mempertanyakan pemikiran Arendt yang, menurut saya, dapat ‘berbahaya’ dalam konteks tindakan politik. Arendt tampak begitu ‘naif’ ketika tak memperjelas “siapa” yang otentik dalam bertindak politik.[8] Seperti kita tahu bahwa dalam ranah politik akan terjadi kontestasi atas keberagaman kepentingan. Faktanya, dalam pengalaman sejarah selama ini yang mempunyai peluang untuk melakukan tindakan otentik (politik) adalah kelompok masyarakat yang memiliki power (bahkan mungkin menciptakan atau menggunakan mesin otoritarian). Tidakkah hal itu berarti hanya orang-orang yang memiliki kekuasaan tersebutlah yang mampu menciptakan narasi dirinya secara otentik? Tidakkah kemudian Hittler, penguasa yang menghabisi ras Yahudi –di mana Arendt adalah korbannya, suka atau tidak suka ia telah menciptakan narasi dirinya yang dibicarakan orang sepanjang masa? Justru pemikiran Arendt yang fenomenologis ini akan terasa utuh apabila dikawinkan dengan pemikiran yang struktural, yang memperjelas “siapa” yang otentik bertindak politik.***


Kepustakaan:

Arendt, Hannah, The Human Condition, chapter III “Labour”, (Chicago dan London: The University of Chicago Press, 1958)

Kristeva, Julia, Hannah Arendt: Life is a Narrative, terjemahan ke dalam Inggris oleh Frank Collins(Toronto and London: University of Toronto Press, 2001)

Swift, Simon, Hannah Arendt, (London and New York: Routledge, 2008)


————


[1] Hannah Arendt, The Human Condition, chapter III “Labour”, (Chicago dan London: The University of Chicago Press, 1958). hal 79-81

[2] Swift, Hannah Arendt , op.cit, hal 66

[3] Swift, Hannah Arendt, ibid, hal 67-68

[4] Swift, Hannah Arendt, op.cit, hal 67

[5] Swift, Hannah Arendt, ibid, hal 67-68

[6] Swift, Hannah Arendt, ibid, hal 62

[7] Swift, Hannah Arendt, ibid, hal 63-64

[8] Gugatan ini dapat pula dibaca pada karya Julia Kristeva, Hannah Arendt: Life is a Narrative, terjemahan ke dalam Inggris oleh Frank Collins(Toronto and London: University of Toronto Press, 2001)

]]>
Hancurnya Narasi Otentik Masyarakat Modern (Bagian-1) https://indoprogress.com/2019/05/hancurnya-narasi-otentik-masyarakat-modern-bagian-1/ Thu, 16 May 2019 01:07:26 +0000 https://indoprogress.com/?p=20933

Kredit ilustrasi: The Partially Examined Life


APA yang mendominasi keresahan Hannah Arendt terhadap peristiwa-peristiwa yang berlangsung dalam masyarakat modern abad 20?  Ada dua hal, yang pertama adalah keterasingan manusia hidup di dunia, dan yang kedua adalah berkembang-tumbuhnya totalitarian. Kedua konsep kunci ini telah menimbulkan krisis dalam masyarakat modern yang hidup tanpa makna dan telah dijajah oleh kerja (labour), belanja dan mesin totalitarian.

Kiranya kita dapat menjenguk sejenak pada karya Émile Zola, Germinal (1885), yang menggambarkan kondisi buruk kehidupan buruh pertambangan di Montsou, Prancis Utara. Mereka hidup di abad industri yang modern, jutru menjadi representasi dari masyarakat yang tertindas oleh mesin kuasa dalam struktur industri. Tubuh mereka telah menjadi komoditas kerja dan hak milik pribadi pemberi kerja, sementara kerja bagi mereka adalah untuk mendapatkan nafkah (uang) yang tak cukup untuk memenuhi kebutuhan dasarnya. Dengan kata lain, buruh pertambangan itu seluruh hidupnya telah terpenjara dalam kerja, dan kegiatan kerja pun menjadi dominan dalam masyarakat modern. Inilah salah satu sudut panggung gambaran masyarakat modern yang dipersoalkan Arendt, yang menurutnya telah mengingkari ontologi kerja itu sendiri.

Tulisan ini menuturkan kembali ulasan Simon Swift[1] tentang Hannah Arendt yang sebenarnya tidak secara khusus membahas tentang kerja. Swift, seorang profesor di bidang sastra, menawarkan metode tutur (storytelling) untuk membaca Arendt, sehingga kita dapat merasakan karya Arendt sebagai teks yang hidup atau karya sastra yang radikal dalam menghardik tradisi filsafat dan politik modern. Struktur ulasan akan dibagi menjadi tiga bagian: (1) mengulas argumen Swift yang mendaku bahwa seluruh karya Arendt adalah narasi; (2) metafisika masyarakat modern menurut Arendt;  (3) narasi kerja masyarakat modern menurut Arendt; dan (4) rangkuman yang berasal dari catatan Swift dan penulis.


Bernarasi Menolak Teori

Sebelum membahas ke dalam jantung pemikiran Arendt mengenai kerja, perlu kiranya kita memahami mengapa Swift meneguhkan seluruh karya Arendt sebagai karya sastra atau sebagai narasi sejarah, politik, filsafat. Peneguhan Swift itu menarik, karena pada umumnya orang meneguhkan Arendt sebagai filsuf politik. Swift terlihat ingin lebih jauh dari sekedar itu, karena karya Arendt tak dapat ditafsirkan menurut satu atau dua pendekatan. Karya Arendt adalah multi-penafsiran, justru karena Arendt menggunakan pendekatan fenomenologi melalui metode narasi untuk menilai fakta krisis yang melanda Eropa abad 20.

Pada pengantar tulisannya, Swift mengakui bahwa Arendt adalah seorang pemikir penting bagi siapa pun pembaca yang ingin merasakan kisah traumatik dalam sejarah Eropa abad 20. Darinya pula kita akan mendapatkan pencerahan untuk memahami  bencana yang tak pernah diduga siapa pun penggagas dan pendukung modernitas –sebagai karya dari abad Pencerahan. Dalam posisi ini Arendt bertindak sebagai narator atau penutur (penyerita) yang menuturkan pengalaman pribadinya dalam melewati peristiwa-peristiwa totalitarian dan modernitas di Eropa yang belum pernah terjadi pada masa sebelumnya.[2]

Maka tak dapat dipungkiri bahwa sumbangan Arendt sangat besar dalam berbagai lapangan studi yang mencakup filsafat, politik, sejarah modern, kajian budaya (cultural studies), kajian mengenai holokaus dan keyahudian. Tetapi, menurut Swift, masih sedikit yang berupaya untuk meneguhkan sumbangan Arendt dalam studi sastra, padahal karya Arendt di matanya merupakan karya yang bertutur, teks yang hidup, tak ubahnya sebuah biografi. Itulah sebabnya Swift berupaya untuk membawa Arendt ke dalam kajian sastra, secara khusus untuk pengembangan sastra naratif, guna menciptakan rasa sejarah bagi mereka yang memiliki identitas politik dan budaya Eropa[3].

Mungkin tak berlebihan jika Swift mempertegas konteks sejarah Eropa sebagai lokus identitas karena dari sanalah Arendt memulung peristiwa bencana dan menyingkap sumbernya. Sementara dirinya ditempatkan sebagai penutur yang menafsirkan kesaksiannya dalam sejumlah peristiwa tersebut. Lantas Arendt merajut fakta sejarah (peristiwa) dan gagasannya dalam menilai peristiwa seperti sebuah biografi kritis (critical thinker’s life). Maka dari itu Swift menawarkan cara memahami gagasan Arendt adalah dengan memperlakukan karya Arendt sebagai kisah kehidupan seorang pemikir (filsuf), seniman atau pun politisi. Dari situ kita akan memperoleh kata kunci gagasannya, meski Swift membedakan karya ‘biografi kritis’ Arendt dengan karya serupa pada umumnya.[4]

Perlu sedikit disinggung bahwa karya Arendt, menurut Swift, telah melawan produksi teks yang bersikap tiranis –yang seakan-akan kebenaran berpusat pada diri sang pengarang. Menurut Arendt tak ada gagasan yang sungguh murni berasal dari seorang pengarang, melainkan bahwa sebuah gagasan merupakan produksi komunitas. Sebuah karya filsafat mau pun yang setara dengan biografi pengarangnya, sejatinya berasal dari gagasan komunitas yang dikemas oleh pengarang itu. Dalam hal ini Arendt senada dengan Rolland Barthes yang mengkritik komoditas teks dalam masyarakat kapitalis. Komoditas teks adalah permainan untuk memperdaya pembaca, seolah-olah mengajak pembaca membangun keintiman dengan pengarang atau melalui tokoh narasi untuk memperoleh pengetahuan yang tersembunyi di dalam sebuah karya. Relasi itu menunjukkan bahwa pengetahuan merupakan hak milik pribadi pengarang (yang menjualnya) dan pembaca (yang membelinya.[5]

Dengan demikian Arendt pun telah melawan tirani kepemilikan pribadi atas karya dan perlakuan teks sebagai barang komoditas belanja. Arendt pun berupaya melawan hasrat pembaca untuk masuk ke dalam ranah intim pengarangnya. Kita dapat merasakan pada seluruh karya Arendt, yang meski dinyatakan oleh Swift sebagai biografi kritis, namun tak memberi peluang bagi pembaca untuk menelusup ke dalam kehidupan pribadi Arendt.[6] Di sini, menurut Swift, Arendt telah mempertegas gagasan pemisahan ranah privat dan publik. Karyanya adalah kepublikan dan karena itu ia tak akan mengungkapkan sisi privatnya, dan menjaganya sangat rapat agar pembaca tak menelusup ke dalamnya.

Tetapi karya biografi kritis Arendt tak sekedar sebuah cerita, karena gagasan di dalamnya merupakan pemberontakan yang radikal terhadap krisis masyarakat pada masa itu. Tidak hanya itu, Arendt juga menawarkan jalan keluar dari krisis tersebut (pembebasan). Itu berarti Arendt menciptakan teori, tetapi menurut Swift, Arendt justru menolak teori. Meski tak dipungkiri Arendt telah dipengaruhi oleh teori kritis Heidegger, Marx dan Nietzsche, tetapi Arendt berbeda dengan para pemikir pos-struktuturalis mau pun pos-modernis pada umumnya. Ia dapat membenci tetapi sekaligus menghormati karya Marx dan Marxian lainnya. Ia menghormat pada karya Heidengger, tetapi sekaligus bertolak-belakang dengan karya gurunya tersebut. Menurut Swift, pada dasarnya Arendt ingin keluar dari perangkap yang berembel-embel teori kritis akademis, dan karena itu ia menoleh kepada narasi.[7]

Swift menunjukkan bukti penggunaan metode tutur (storytelling) sebagai pilihan Arendt untuk menoleh kepada seni ketimbang teori. Arendt sendiri mengatakan bahwa tutur yang naratif merupakan tindakan aktif, kreatif dan dinamis, yang diperlawankan dengan yang statis pada tradisi intelektual Barat mengenai apa yang disebut teori. Narasi totalitarian akan banyak mengalami reduksi apabila dipaparkan dalam kemasan teori politik klasik seperti tradisi Barat tersebut. Sementara Arendt mengajak kita menyelam ke kedalaman totalitarian untuk memahami sifat dasar kondisi-kondisi manusia modern dan keunikannya. Arendt sendiri mengatakan bahwa metode tutur membuka diri terhadap berbagai tafsir, bahkan bisa jadi merupakan narasi yang tetap terbuka untuk perdebatan sepanjang masa.[8]

Tetapi Swift mempunyai penilaian lain bahwa Arendt bernarasi dengan metode tutur agar mampu melampaui sejarah pahit yang dialaminya sebagai perempuan Yahudi pada masa Nazi. Fakta adanya pembersihan ras Yahudi yang dilakukan oleh rezim Nazi merupakan pemicu yang  menyadarkannya bahwa ada yang salah dalam modernitas. Kesadaran itu lantas membimbing perlawananannya terhadap kejahatan dunia modern yang dianggap lazim dengan cara bernarasi.[9]


Metafisika Masyarakat Modern

Konsisten dengan peneguhan Swift atas karya Arendt sebagai sebuah narasi, maka konsep-konsep kunci yang dibahas Arendt dalam seluruh karyanya tak lebih dari sebuah narasi pula. Dalam The Human Condition, Arendt membahas tentang tiga konsep kunci yang penting yaitu kerja (labour), karya (work) dan tindakan (action). Tetapi sebelum membahas lebih khusus mengenai salah satu konsep kunci tentang kerja, ada baiknya kita mengikuti plot Swift untuk membedah problem Arendt terhadap metafisika Barat.

Menurut Swift, sasaran bidik Arendt yang diungkapkan dalam The Human Condition adalah tentang dua hal, yang pertama mengenai tradisi filsafat Barat; dan yang kedua kritik terhadap masyarakat modern. Dalam buku itu Arendt mengisahkan bagaimana masyarakat modern memandang dirinya, masyarakatnya, serta tindakan-tindakannya yang dibentuk oleh warisan pandangan filsafat dan teologi Barat yang absolut. Meski telah terjadi upaya dari sejumlah filsuf untuk membongkar warisan masa lalu dan memperbaikinya, tetapi sejatinya belum ada yang mampu memperbaikinya[10]. Ia ungkapkan hal itu pada The Life of Mind:

Saya jelas telah bergabung dengan barisan pemikir yang untuk beberapa lama mencoba membongkar metafisika dan kategori-kategori dalam filsafat, seperti yang kita tahu berasal dari masa Yunani Kuno sampai hari ini. Pembongkaran tersebut (rupanya)  hanya mungkin sampai pada asumsi bahwa benang tradisi itu rusak dan ternyata kita tidak akan mampu memperbaharui itu (LM: 212)[11]

Mengenai pengakuan yang jujur itu, Swift menyejajarkan Arendt dengan Derrida di mana seluruh upaya untuk mendekonstruksi metafisika ternyata bukan pekerjaan yang mudah. Sebab, kategori-kategori filsafat itu telah terwariskan dengan sangat kuat dan menentukan fondasi berpikir dan tindakan masyarakat modern. Metafisika masyarakat modern (baca: Eropa atau Barat) sejatinya mewarisi filsafat yang tumbuh sejak Yunani Kuno dan teologi Kristiani yang terkonstitusi pada abad pertengahan. Teologi Kristiani mengajar orang untuk mengutamakan kehidupan yang kontemplatif dengan berdoa ketimbang bertindak. Serupa pula dengan filsafat yang berakar pada tradisi Yunani Kuno yang mengajarkan orang untuk (berpikir) kontemplatif ke dalam dunia idea yang absolut.  Fondasi berpikir ini terbukti tetap hidup dalam masyarakat modern. Arendt mencontohkan ketika Uni Sovyet mengumumkan peluncuran satelit ke angkasa untuk pertama kalinya di dunia pada 1957, kemajuan teknologi itu ternyata hanya untuk membebaskan diri dari keterbatasan hidup di bumi. Arendt menuduh hal itu sebagai sikap melarikan diri atas keterasingannya di dunia (world alineation), sebagaimana nenek moyang Yunani Kuno melarikan diri ke dalam mitologi dewa-dewi di kerajaan Olympus. Pun orang-orang abad pertengahan  melarikan diri dari kondisi kedagingan manusia kepada ketuhanan. Maka jelaslah manusia modern mewarisi narasi metafisika manusia masa lalu yang berupaya mengatasi ketaksanggupannya menghadapi dirinya yang terasing di bumi dengan cara melarikan diri ke ‘angkasa’ –terbang mengarungi ketakterbatasan yang non-manusia.[12]

Pembongkaran metafisika itu, menurut Swift, menunjukkan adanya dua kata kunci yang dilontarkan Arendt, yaitu mengenai tegangan antara bertindak (acting) dan berpikir (thinking). Bertindak merujuk pada sesuatu yang dilakukan oleh manusia sebagai pengada di dalam masyarakatnya. Dalam The Human Condition, Arendt mendeskripsikan bahwa tindakan merupakan cara untuk menyingkap makna manusia dalam menghubungkan dirinya dan diri yang lain di dalam masyarakat. Melalui tindakannya, menurut Arendt, manusia dapat menampakkan dirinya dan merealisasikan yang ada pada dirinya. Cara pengungkapan tindakan itu tak lain melalui seni bertutur atau mendongeng (menceriterakan kembali sebuah cerita), sehingga dalam komunitas tersebut satu sama lain saling mengenal dan memahami makna yang dimiliki anggota masyarakat tersebut. Tetapi bagi Arendt, tindakan yang mengandung makna penuh dan fundamental adalah tindakan yang bermakna politik. Arendt memberikan contoh tindakan yang bermakna politik adalah pembangkangan sosial seperti yang ia tulis dalam karyanya tentang Civil Disobedience (1970). Pembangkangan sosial dalam dekade 1960an sampai dengan 1970an dinilai Arendt sebagai tradisi ‘baru’  (sesudah tradisi revolusi) gerakan massa yang memberi petunjuk adanya krisis dalam otoritas pemerintahan.[13]

Maka dari itu, menurut Arendt, manusia memahami dunianya adalah sebagai publik, di mana mereka dapat mendefinisikan ruangnya dengan cara mendiskusikan kepentingannya. Itulah politik, dan politik adalah kepublikan yang merangkup perbedaan dan keterbatasan kondisi manusia. Manusia bertindak dalam politik atau dalam kepublikannya itu untuk menciptakan narasi dirinya. Maka tindakan yang bermakna adalah yang politik. Sementara sungguh disayang manusia modern yang telah berhasil membalikkan tradisi bertindak lebih dominan ketimbang berpikir, dan menghasilkan karya canggih modernitas di berbagai bidang, tetapi  tindakan mereka dinilai Arendt tanpa makna. Di satu pihak, tindakan mereka tetap seperti manusia pembuangan di dalam dunia, yang getol menciptakan teknologi canggih untuk mentransendensikan dirinya ke alam ‘angkasa’ atau idea. Di lain pihak, kehidupan manusia telah didominasi oleh kegiatan kerja yang, menurut Arendt, senilai dengan keaktifan binatang mencari makan, sehingga terasing dari tindakan (action) yang bermakna otentik, yaitu politik atau kepublikan.[14]***


Bersambung ke bagian-2

—————-


[1] Simon Swift, Hannah Arendt, (London and New York: Routledge, 2008)

[2] Swift, Hannah Arendt, ibid, hal 18-19

[3] Swift, Hannah Arendt, ibid, hal 18-19

[4] Swift, Hannah Arendt, ibid, hal 20

[5] Swift, Hannah Arendt, ibid, hal 24-26

[6] Dalam tafsiran penulis, Swift hendak menegaskan bahwa karya Arendt bukanlah otobiografi, melainkan sebuah biografi tetapi yang ditulisnya sendiri dan ia berada dalam alur peristiwa atau plot cerita. Itulah keunikan dari karya Arendt.

[7] Swift, Hannah Arendt, ibid, hal 28-29

[8] Catatan penulis:  metode tutur biasanya dipergunakan untuk menyeritakan peristiwa yang mengerikan, yang mungkin sulit untuk dibayangkan oleh orang-orang yang tidak mengalaminya. Sebaliknya hanya dengan metode ini penutur dapat  berjarak dari tragedi sejarah sehingga dapat menuturkan pengalaman traumatiknya kepada orang lain.

[9] Swift, Hannah Arendt, op.cit, hal 19-21

[10] Swift, Hannah Arendt, ibid, hal 35

[11] Swift, Hannah Arendt, ibid, hal 35

[12] Swift, Hannah Arendt, ibid, hal 36

[13] Swift, Hannah Arendt, ibid, hal 48-50

[14] Swift, Hannah Arendt, ibid, hal 37 dan 43

]]>
Sesudah Pemilu Usai https://indoprogress.com/2019/04/sesudah-pemilu-usai/ Thu, 04 Apr 2019 00:55:11 +0000 https://indoprogress.com/?p=20805

Kredit foto: Mata Mata Politik


APA yang akan dihadapi aktivis dan gerakan perempuan (feminis) sesudah pemilu 17 April 2019?  Dalam tulisan ini saya tidak akan mengajukan pertanyaan: berapa banyak caleg perempuan yang terpilih dari DPRD tingkat II, tingkat I dan pusat? Berapa calon anggota DPD yang terpilih? Pun berapa banyak yang tertunjuk sebagai menteri. Pertanyaan itu bukan tidak penting, bahkan sangat penting untuk menilai perkembangan kuantitatif yang dihasilkan oleh pemilu terhadap perkembangan representasi perempuan dalam politik formal.

Namun, ada gejala yang sudah menciptakan kontradiksi dengan gerakan perempuan/feminis dewasa ini, yaitu gerakan antifeminis atas nama “syariah” dan prokhilafah yang kampanye-kampanye diskursifnya sangat gencar disuarakan para ustad dan mereka sendiri. Gerakan antifeminis ini tampaknya memanfaatkan peluang politik pemilu 2019 untuk memobilisasi opini dan membuka pertarungan diskursif. Masalahnya, kontradiksi gerakan feminis dan antifeminis itu tumpang tindih dengan pertarungan politik pemilu antara kubu 01, 02 dan golput. Sekalipun sebagian aktivis feminis telah menentukan pilihan persekutuannya dengan kubu-kubu tersebut berdasarkan dalih untuk menghadapi gerakan antifeminis.

Di tengah gesekan-gesekan yang massif dan frekuensi tinggi itu, saya mengkhawatirkan kemungkinan-kemungkinan yang akan dihadapi gerakan feminis sesudah pemilu 19 April 2019 nanti. Akankah gesekan yang massif antara gerakan feminis dan antifeminis dan persekutuannya dengan kubu-kubu capres maupun golput akan menimbulkan ledakan? Pada isu apa ledakan itu dimungkinkan timbul? Namun, harap jangan salah mengerti, tulisan ini bukan hendak menawarkan kecemasan kepada pembaca, khususnya pembaca perempuan. Sebaliknya, tulisan ini mengajak pembaca untuk mewaspadai pelbagai kemungkinan aksi-aksi yang memanfaatkan kontradiksi gerakan perempuan/feminis sebagai dalih menciptakan kekacauan.


Personal is Political versus Keluarga

Dalam sejarah kekuasaan, baik feudal-kerajaan maupun negara-bangsa, kategori keluarga seringkali dipergunakan sebagai alat bagi kekuatan yang hendak merebut kekuasaan maupun mempertahankan kekuasaan. Kita memiliki pengalaman ini, terutama yang cukup intensif dan sistematis menggunakannya adalah kekuasaan Orde Baru. Entah siapa penciptanya, Norma Keluarga Kecil Bahagia Sejahtera (NKKBS) adalah konsep keluarga Orde Baru sebagai tujuan dari penyelenggaraan keluarga berencana nasional. Implementasi NKKBS dipraktikkan  di kampung-kampung dalam Dasa Wisma (10 keluarga/rumah tangga), dimana keluarga-keluarga itu akan saling mengawasi praktik NKKBS. Pada saat pemilu, Dasa Wisma dimobilisasi untuk memberikan suaranya kepada Golkar. Kepada para perempuan dalam keluarga (ibu rumah tangga) didoktrin dengan ideologi keibuan yang disebut Panca Dharma Wanita (perempuan adalah pendamping suami, perempuan adalah ibu yang melahirkan anak, perempuan adalah pengurus rumah tangga, perempuan adalah pencari nafkah tambahan, perempuan boleh terlibat dalam organisasi sosial).

Dekade 1980-an melahirkan momentum yang signifikan bagi pertumbuhan organisasi dan kelompok feminis yang melawan ideologi keibuan Orde Baru. Lahir dua model organisasi feminis. Model pertama berbentuk LSM perempuan yang menanggapi sikap pembangunan yang tidak adil gender dan diperparah oleh ideologi keibuan Orde Baru. Model kedua berbentuk kelompok studi/diskusi mahasiswa perempuan yang menanggai represi terhadap kebebasan di dalam kampus, ideologi keibuan Orde Baru dan eksplotasi kapitalisme terhadap kerja dan seksualitas perempuan. Sebagian dari kelompok yang terakhir itu belajar Marxisme dan terpesona oleh gerakan feminis leftist yang tumbuh pada dekade 1960-an di Eropa Barat dan Amerika Serikat.

Awal dekade 1990-an, kelompok diskusi mahasiswa perempuan itu banyak yang melebur ke dalam model LSM perempuan. Peleburan itu melahirkan kekuatan gerakan feminis ‘baru” gelombang kedua secara nasional. Gerakan ini menyemaikan kesadaran personal is political untuk memberdayakan diri mereka sendiri maupun perempuan yang marginal. Kiranya pada momentum ini aktivis perempuan yang bertumbuh dari kelompok diskusi belajar Marxisme pun mengalami transformasi ideologi menuju reformis liberal dan pluralis di dalam LSM perempuan. Transformasi ideologis itu terjadi karena sikap taktis dalam menghadapi musuh bersama otoritarianisme Orde Baru yang anti terhadap gerakan perempuan radikal dan selalu diaosiasikan dengan Gerwani.

Konsekuensi penyadaran personal is political adalah memunculkan eksistensi diri perempuan sebagai pribadi yang saat itu dibayangkan ‘mandiri’ secara ekonomi dan ‘otonom’ secara politik. Konsekuensi lanjutannya bahwa personalisasi diri sebagai perempuan itu menciptakan kontradiksi dengan konsep Orde Baru tentang perempuan. Konsep Orde Baru dan pandangan konvensional telah jelas mengintegrasikan perempuan ke dalam keluarga. Konsep konvensional itu termasuk yang diusung oleh agama-agama, seperti dalam Kristen dikenal konsep “keluarga kudus” dan dalam Islam “keluarga sakinah”.

Penentang yang cukup artikulatif dari personal is political datang dari kalangan akademisi yang mengatasnamakan “Islam” yang diwakili oleh Ratna Megawangi, seorang doktor yang mengajar di IPB. Kira-kira pada pertengahan dekade 1990-an tulisan Ratna Megawangi di surat kabar harian Kompas menuduh gerakan feminis itu antikeluarga dan “barat’. Rupanya tudingan antikeluarga itu belum terlalu disadari oleh aktivis feminis sebagai upaya conter-ideologis yang sistematis terhadap personal is political. Tudingan Ratna Megawangi itu masih ditanggapi sebagai “salah kaprah memahami feminisme”.

Hegemoni negara Orde Baru terhadap keluarga pupus sejalan dengan gairah reformasi yang peluang itu dimanfaatkan oleh gerakan feminis. Kesadaran personal is political dipergunakan untuk mendorong perempuan menjadi subjek politik yang berpartisipasi dan bertarung dalam lembaga politik formal. Hal itu menciptakan banyak kontradiksi di dalam diri perempuan itu sendiri dan juga dirinya di dalam keluarga. Ada banyak perempuan yang berdiri ambigu antara dirinya sebagai person yang radikal dan dirinya sebagai bagian yang tetap subordinat dalam keluarga. Tegangan itu menajam dalam posisinya sebagai isteri ketika suami tetap tak mau kehilangan privilese patriarkinya. Namun, tegangan itu bukan kesalahan gerakan feminis, melainkan konsekuensi dari gesekan dua material yang berlawanan, konsekuensi alami dari adanya perubahan kesadaran.

Pada saat yang sama, momentum reformasi itu memperkuat gerakan radikal Islam yang menentang personal is political –seperti yang pernah diartikulasikan oleh Ratna Megawangi. Pembinaan kepada mahasiswa perempuan di kampus untuk menjadi perempuan yang shar’i dibangun secara sistematis hingga menimbulkan gesekan dengan gerakan feminis yang sekuler. Perempuan shar’i itu dipersiapkan menjadi ibu rumah tangga untuk membina anak-anak seturut norma keislaman yang digariskannya. Gerakan ini kontradiktif dengan feminis dari NU yang mendukung personal is political dalam bingkai reformis liberal serupa dengan aktivis feminis yang berlatar sekuler.

Tegangan dalam kontradiksi-kontradiksi itu semakin menguat setiap menjelang pemilu, dan sangat terasa pada pemilu 2009, 2014 dan 2019. Dalam rentang pemilu 2014 ke 2019, kelompok akademisi perempuan membentuk Aliansi Cinta Keluarga (Aila). Menurut mereka, aila berasal dari Bahasa Arab yang artinya keluarga besar dan memiliki visi untuk pengokohan keluarga. Mereka secara sistematis melakukan counter diskursif terhadap gerakan feminis yang mereka cap ‘barat’ dan antikeluarga. Salah seorang tokoh Aila, Dr. Dinar Kania, berpendapat bahwa gerakan feminis telah mengajarkan ide untuk membenci laki-laki, dan jika hal itu dibiarkan akan dapat menghancurkan institusi keluarga. Feminisme adalah paham yang melawan agama. Maka tak heran jika beberapa tahun belakangan ini mereka aktif dalam memobilisasi opini untuk anti-LGBT, dan melakukan lobi untuk membatalkan Rancangan Undang-undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS). Melalui corong sejumlah ustad, counter diskursif digaungkan bahwa RUU PKS itu melegalkan perzinahan, aborsi, pelacuran dan LGBT.

Counter diskursif lainnya diproduksi terus menerus untuk melawan gerakan feminism,  seperti “Indonesia Tanpa Pacaran” untuk dalih perkawinan muda, sementara gerakan feminis sedang melawan peningkatan perkawinan muda. Lalu diskursif yang belum lama ini mereka gaungkan adalah “Indonesia Tanpa Feminis” atas dalih gerakan feminis itu menghancurkan tatanan keluarga. Sebelumnya, juga telah muncul kampanye pro-poligini, pro-perkawinan muda dan melahirkan anak banyak. Kampanye diskursif tentang poligini telah dicounter oleh Partai Solidaritas Indonesia (PSI) sebagai pendukung kubu kandidat 01. Adapun gerakaan antifeminis itu didukung oleh Bachtiar Nasir, ustad yang mendukung kandidat 02. Sementara pada kubu 02 yang lain gencar membangun bingkai diskursif ‘pro-emak-emak” yang tampaknya kontradiktif dengan ide gerakan yang diusung oleh Aila dan jaringannya.

Membaca peta itu, kontradiksi yang dihadapi kaum perempuan sesungguhnya bukan lagi berdasarkan kubu kandidat 01, 02 maupun golput, melainkan yang sangat signifikan adalah dengan gerakan antifeminis yang merepresentasikan dirinya sebagai penyelamat keluarga Indonesia. Gerakan ini tentu tidak berdiri sendiri, melainkan bersinergi dengan gerakan laki-laki yang mengampanyekan dan memberdayakan laki-laki untuk berpoligini –dan menundukkan perempuan untuk mau dipoligini. Program domestikasi perempuan seperti ini pernah dilakukan oleh militer Indonesia pada 1962 seturut konsolidasi keempat angkatan ke dalam ABRI. Organisasi isteri masing-masing angkatan yang otonom dibubarkan dan seluruhnya diintegrasikan ke dalam organisasi kerja suaminya. Domestikasi organsiasi perempuan di kalangan ABRI itu merupakan persiapan militer untuk merebut kekuasaan melalui ledakan Tragedi 1965. Maka tak heran jika Orde Baru –dalam kemenangan selanjutnya—memelihara domestikasi perempuan dalam keluarga-keluarga yang terkontrol secara struktural. Sehingga bukan tidak mungkin bahwa program domestikasi perempuan dari kekuatan-kekuatan di masyarakat yang berupaya untuk melakukan hegemonik ideologi terhadap massa berada dalam trajektori untuk merebut kekuasaan.


Kredit foto: The Jakarta Post

Dua Kabin Magma: Akankah Meledak?

Tentang ledakan adalah asumsi hipotetis. Saya menganalogikan dengan gejala geofisika ledakan gunung berapi. Ledakan gunung berapi mengikuti dua prinsip dalam dialektika alam, yaitu (1) gerak materi senantiasa mengandung dua unsur yang berlawanan atau dapat disebut kontradiksi-kontradiksi. Di dalam perut bumi terdapat lempeng-lempeng yang saling bergerak dan bergesekan. Gesekan lempeng-lempeng bumi ibarat gesekan antara gerakan perempuan/feminis dan gerakan perempuan antifeminis. Gesekan itu, menurut hemat saya, telah meningkatkan suhu yang cukup tinggi  dalam bentuk perang diskursif yang terus menerus.

(2) Kontradiksi-kontradiksi itu menandakan adanya gerak yang menciptakan hukum kedua, yaitu perubahan kuantitas menjadi kualitas. Semua pembaca tahu bahwa ledakan gunung berapi merupakan gejala geofisika, yaitu pada saat terjadi suhu tinggi akibat gesekan lempeng-lempeng bumi, maka hal itu melelehkan batuan di sekitar lempeng bumi. Keadaan itu dapat disebut gerak kuantitatif yang ada di dalam perut bumi (gunung). Batuan yang meleleh itu bercampur dengan gas dalam tekanan suhu yang tinggi membentuk semacam kabin magma.

Perang diskursif antara gerakan feminis dan antifeminis yang bercampur dengan masalah pemilu itu menciptakan institusi keluarga sebagai kabin (kamar) magma. Saat ini tumbuh dua kabin magma, yaitu ide keluarga egaliter dan demokratis seperti yang digagas gerakan feminis, dan keluarga syariat yang digagas gerakan antifeminis. Gerakan antifeminis berupaya untuk menghancurkan kesadaran personal is political dalam diri perempuan di dalam keluarga. Kesadaran ini dikatakan merusak tatanan relasi suami-isteri dalam keluarga, perempuan bisa bersuara keras dan berbagai hal dan keputusan dalam keluarga harus melalui proses negosiasi. Kondisi ini dipandang kurang menguntungkan bagi gerakannya. Sebaliknya, gerakan feminis berupaya untuk membangun kesadaran bahwa perempuan adalah subjek diri yang mampu benegosiasi dalam keluarga, masyarakat dan organisasi politik formal. Gerakan feminis juga berkepentingan terhadap keluarga untuk memperkuat kedudukan perempuan di dalamnya. Maka kaum perempuan terdiferensiasi ke dalam dua kabin yang dijejali oleh pelbagai kepentingan: perkawinan, prokreasi (kemampuan beranak), penanaman ajaran-ajaran moral, penanaman ajaran-ajaran politik dan ideologi, bahkan mobilisasi suara untuk pemilu.

Apabila ada tekanan yang tinggi di dalam kabin magma bernama keluarga itu, magma itu akan mencari jalan keluar ke permukaan: meledak! Karakter ledakan mempunyai ekspresi yang berbeda-beda tergantung pada tekanan aliran magma yang naik ke permukaan, yaitu ada yang eksplosif (ledakan besar karena tekanan sangat tinggi) dan ada yang efusif (hanya meleleh karena tekanan kecil). Dalam pengertian dialektika alam, ledakan-ledakan itu merupakan batas perpindahan kuantitatif menjadi kualitatif. Seperti apa transformasi kualitatifnya? Apakah ide personal is political yang akan hilang atau berkembang dalam kualitas yang baru? Atau ide perempuan adalah bagian dari keluarga syariat yang akan hilang atau berkembang dalam kualitas yang baru? Atau akan terjadi peleburan dari dua ide yang bertentangan itu, yaitu konsep keluarga syariat yang menghormati personal is political.


Gunung Berapi: RUU Penghapusan Kekerasan Seksual

Tahun ini sebelum pemilu 17 April 2019 adalah tahun yang menentukan apakah RUU PKS akan disahkan, ditunda atau ditolak. RUU PKS merupakan tanggungjawab Komisi VIII (agama dan sosial) untuk membahasnya. Sebenarnya RUU itu telah diajukan sejak 2017, tetapi pembahasannya seperti ditunda-tunda. Menurut Mawan Dasopang (Wakil Ketua Komisi VIII DPR) terdapat tiga hal yang menjadi bahan perdebatan di dalam komisinya, pertama, RUU PKS dipandang akan mengganggu tatanan di dalam relasi perkawinan (persis dengan ide gerakan antifeminis). Contohnya jika suami memaksa isterinya untuk berhubungan seksual, sementara isteri menolak, penoalakan itu dilindungi oleh RUU PKS. Kedua, RUU PKS dapat dimanfaatkan oleh LGBT karena membolehkan relasi homoseksual (persis dengan ide gerakan antifeminis). Ketiga, RUU PKS dapat dipakai untuk kriminalisasi oleh pihak yang merasa dirinya sebagai korban. Contohnya, seorang isteri merasa dipaksa oleh suaminya untuk berhubungan seksual, maka sang isteri dapat mengkriminalkan suaminya, padahal “isteri wajib melayani suami”.

Dalam hemat penulis, RUU PKS analogi dengan gunung berapi, dimana di dalamnya bersemayam dua kabin magma gerakan feminis dan gerakan antifeminis yang siap meledak jika ada tekanan yang tinggi. Kabin magma gerakan feminis akan meledak jika RUU PKS tidak disahkan atau dimoderasi sesuai kepentingan ideologi-politik patriarki atas dalih agama. Sebaliknya kabin magma gerakan antifeminis akan meledak jika RUU PKS disahkan sesuai dengan ide gerakan feminis. Sampai saat ini, sepuluh hari lagi akan pemilu, belum ada tanda-tanda RUU PKS akan disahkan oleh DPR. Sebaliknya, ustad-ustad dari gerakan yang prokhilafah resonansinya semakin tinggi untuk mengacaukan content yang sesungguhnya dari RUU PKS, yang melindungi seksualitas perempuan. Mengapa para laki-laki di parlemen dan ustad-ustad itu berkepentingan menunda pengesahan RUU PKS? Apakah agenda tersembunyi di balik itu?

Namun, yang menarik bahwa RUU PKS ini telah mengonsolidasi gerakan feminis di kubu 01, 02, maupun golput, yaitu mengonsolidasi kepentingan ideologis perempuan di atas kepentingan pemilu. Konsolidasi melalui RUU PKS ini akan mengalami transformasi kualitatif jika dan hanya jika terjadi perubahan bingkai strategi gerakan feminis untuk melawan ide-ide khilafah yang diusung oleh gerakan antifeminis.

Sayang sekali, gerakan kiri yang mengusung sosialisme masih konservatif (kurang mau berubah dalam taktik) dalam merumuskan kontradiksi-kontradiksi yang bergerak dinamis, sehingga terkesan meremehkan gerakan khilafah yang bergerak massif untuk menghancurkan personal is political perempuan.***

]]>
Seneca Dalam Turbulensi Politik https://indoprogress.com/2019/02/%ef%bb%bfseneca-dalam-turbulensi-politik/ Thu, 14 Feb 2019 01:07:07 +0000 https://indoprogress.com/?p=20579

Seneca Muda. Kredit gambar: steemkr.com


POLITIK lebih tua dari filsafat, karena sebelum ada filsafat masyarakat telah mengatur kelompoknya dengan sebuah aturan untuk kepentingan bersama. Namun, bukan berarti politik melahirkan filsafat. Politik dan filsafat saling berinteraksi. Terkadang begitu mesra dan seringkali diwarnai tegangan. Relasi politik dan filsafat yang tegang dan mesra tak jauh di luar angkasa, tapi dapat kita pelajari pada diri seseorang, entah politisi ataupun filsuf.

Salah satu alat politik yang ramai dibicarakan orang sejak masa Yunani Kuno sampai sekarang adalah tentang retorika, yaitu kemampuan berdebat di depan publik. Retorika diajarkan oleh guru-guru di Athena pada abad ke 4 SM dengan berkeliling dari kota ke kota dan mereka disebut kaum Sofis. Dalam kehidupan yang makmur di Athena, orang kaya tidak merasa perlu bekerja. Para budaklah yang mengerjakan tanah-tanah pertaniannya. Karenanya, mereka mempunyai waktu untuk belajar pengetahuan dan membahas masalah pemerintahan. Apalagi politik demokrasi polis membuka kesempatan kepada warga laki-laki (bukan perempuan!), untuk mengikuti persidangan: mengajukan pendapat. Tiap orang (laki-laki) yang ingin dirinya terhormat dan terkemuka dalam ruang persidangan, harus mampu ber-retorika –mengajukan dan mempertahankan pendapat untuk menarik dukungan banyak orang. Kepandaian berargumen dalam retorika menentukan status (power dan influence) seseorang di dalam polis. Para guru Sofis mengajarkan bahasa sebagai alat ber-argumen untuk mempertahanakan pendapat sebagai kebenaran. Sehingga kebenaran itu relatif, tergantung pada daya argumen dan bahasa retorika. Guru-guru Sofis adalah intelektual yang dikritik oleh Sokrates, Platon dan Aristoteles karena kebenaran yang mereka ajarkan bersifat relatif.

Dalam perkembangan bahasa Inggris modern, istilah sophist dipergunakanuntuk menunjuk pada “orang-orang yang pandai menggunakan argumentasi (bahasa) untuk menipu orang”. Dalam bahasa Indonesia, kemahiran semacam ini disebut pokrol, dan orangnya disebut pokrol bambu. Istilah prokrol bambu muncul pada masa Hindia Belanda, yaitu orang pribumi yang menjual kecakapannya untuk membantu pertikaian rakyat dengan pemerintah kolonial. Aktivis pergerakan nasional menciptakan istilah komidi omong –setara makna dengan pokrol– untuk meledek anggota Voolkstraad yang gemar omong berputar-putar (beretorika) untuk mempertahankan argumen dalam sidang-sidangnya.

Dalam tulisan ini saya akan mengangkat kisah dan pemikiran ahli retorika, Lucius Annaeus Seneca (ca.4 SM-65 M) yang populer disebut Seneca Muda. Ayahnya disebut Seneca Tua berasal dari Cordoba, seorang ahli retorika yang menurunkan keahliannya pada Seneca Muda. Seneca tak hanya seorang ahli retorika, ia juga membangun filsafat moral (etika) untuk menegakkan pemerintahan yang dituntun kehendak baik (good will). Nasib tragis menimpanya karena ia disuruh minum racun oleh kaisar yang dibelanya.  


Pribadi Yang Inkonsisten

Hidup di bawah sorotan publik sebagai orator kekaisaran Romawi sekaligus dalam keheningan kontemplatif, merupakan keunikan yang melekat pada diri Seneca. Para sejarawan modern menyebut Seneca dengan istilah “hati nurani kekaisaran” Romawi, berdasarkan fakta bahwa ia seorang pejabat kekaisaran yang memiliki integritas moral baik, tapi mengabdi kepada Kaisar Nero yang kejam. Penilaian sejarawan seperti itu kurang menguntungkan Seneca karena ia bisa mendapat label sebagai orang munafik. James Miller[1] adalah orang yang mengritik sejarawan yang hanya menganalisa antara kata dan tindakan Seneca yang saling bertentangan (kontradiktif) tanpa dapat menangkap kedalaman dibaliknya. Menurut Miller, daya tarik Seneca justru terletak pada pribadinya yang saling bertentangan, inkonsisten, dan dari situ tampak pemikiran filsafatnya.[2]

Miller menggambarkan Seneca seperti ini:

Seneca menghormati kemiskinan, tetapi dia mengumpulkan kekayaan. Dia berkutat dengan kehidupan kontemplatif, tetapi menghabiskan bertahun-tahun sebagai penasihat Nero yang kasar. Teks-teksnya menggambarkan dirinya sebagai orang yang rendah hati dan menyoroti pengalaman umum orang-orang biasa sebagai sumber berharga wawasan filosofisnya, tetapi lebih banyak deklamasi (retorika) publik, termasuk beretorika membela Nero, hingga membuat kedaulatan hukum tak berdaya.[3]

Kontradiksi dalam pribadi Seneca itu dinyatakan Miller mencakup sisi kehidupan eksternal (external lived), yakni pengaruh politik dan kekayaan pribadi yang bertolak belakang dengan kehidupan internal (internal lived), yakni menumbuhkan perasaan kebebasan di dalam dirinya dan kebebasan menilai nasibnya secara jernih.[4] Dapat pula dikatakan bahwa Seneca mengalami ketegangan antara panggilan hidupnya untuk berfilsafat dan kiprahnya di dalam kekuasaan politik kekaisaran. Pertanyaannya ialah apa tegangan/konflik berfilsafat dan berpolitik? mengapa terjadi tegangan/konflik antara keduanya? Dan bagaimana tegangan/konflik itu berlangsung dalam diri Seneca?         


Tegangan The Will dan The Conduct

Dua sumber tertulis dapat kita gunakan untuk menyingkap tegangan dalam diri Seneca antara hidup berfilsafat dan berpolitik, dan di dalam tegangan itu ia menciptakan pemikiran filsafat. Sumber pertama ditulis oleh sejarawan Romawi: Tacitus, Dio Cassius dan Suetonius, yang mengungkapkan bahwa keterlibatan politik Seneca adalah untuk mentransformasikan kehendak baik (good will) ke dalam pribadi kaisar Nero.[5] Sumber kedua merupakan teks yang ditulis Seneca sebelum dibunuh Nero, terutama yang terpenting ialah 124 Moral Letters, yang menyingkap pandangan reflektif dan pengujian diri Seneca hingga menemukan pemikiran filsafatnya mengenai tegangan the will dan the conduct[6].

Sumber yang berasal dari sejawaran Romawi menuturkan, terdapat pengaruh tiga guru Stoa terhadap pandangan filsafat Seneca. Stoa…. .Guru Seneca adalahAttalus dari Alexandria yang mengajarkan bahwa dengan latihan menekan keinginan-keinginan (wants)  manusia bijaksana dapat menjadi raja sejati yang dapat mengalahkan dosa, kesalahan dan kejahatan hidup. Guru yang lain bernama Quintus Sextius yang mengajarkan instropeksi dan pengujian diri sendiri yang dilakukan secara harian dalam sepanjang hidup. Guru berikutnya ialah Papirius Fabianus yang mengajarkan tentang cara berpikir Sokratik dan integritas ideal dari kaum Stoa. Dari guru-gurunya itu, Seneca menyimpulkan dalam Moral Letters, bahwa filsafat adalah aktif dan kontemplatif. Kesimpulannya itu telah manifes pada dirinya sebagai seseorang yang trampil retorika sekaligus kontemplatif, sehingga para ahli menempatkan Seneca pada jajaran filsuf pragmatis.[7] Maka ketika Seneca berfilsafat di dalam praktik politik hal itu menjadi sarana untuk mengukuhkan integritas personalnya.

Dalam posisinya sebagai pejabat politik kekaisaran, Seneca memperoleh kesejahteraan yang melimpah, yang hal itu menimbulkan tegangan untuk melaksanakan kebebasan berkehendak baik. Ia disingkirkan oleh Kaisar Caligula begitu kaisar ini mendengar keunggulan orasinya melebihi Kaisar Gaius pendahulun Caligula. Alasan penyingkiran Seneca dikaitkan dengan tubuhnya yang tidak Spartan (kekar, jantan), ringkih dan seperti segera akan mati. Pada saat disingkirkan Caligula, Seneca membuat alasan kepada publik bahwa dirinya undur dari politik karena sedang kehilangan hasrat dan kemauan berpolitik.[8] Ketika Caligula mati, Kaisar Claudius penggantinya tetap menyingkirkan Seneca dengan menuduhnya telah bertindak bejat dengan Julia Lavilla —saudara perempuan Caligula. Menarik di sini, bahwa orang yang menyingkirkan Seneca adalah seorang perempuan bernama Valeria Messalina, isteri Claudius, karena keunggulan Seneca dipandang bakal menghambat ambisinya.[9] Lalu Seneca mengasingkan diri ke Pulau Corsica, dan di situ ia menulis Dialogi.[10] Ketika Valeria Messalina disingkirkan karena berbuat skandal, isteri Claudius yang lain yang bernama Agrippina mengundang Seneca kembali ke istana. Agrippina menggunakan keunggulan Seneca untuk memenuhi ambisinya pula, dengan menjadikannya sebagai tutor bagi anaknya yang bernama Domitus dan calon kaisar bernama Nero. Anehnya, Seneca menerima tawaran kembali ke istana.[11]

Menurut dugaan para ahli, Seneca kembali ke istana demi mengajarkan filsafat moral dan mencegah berlanjutnya tragedi berdarah dalam keluarga istana.[12] Filsafat moralnya mengajarkan tentang kebijaksanaan dan keheningan, sehingga ia dikenal sebagai penulis dan pemikir Roma yang mengalahkan Yunani.[13] Ketika Agrippina membunuh suaminya dengan racun, maka Nero muda menjadi kaisar dengan didampingi oleh Seneca dan Burrus. Seneca mendapat jabatan sebagai amicus prinsipis, yaitu teman kaisar yang berperan menulis pidato, penasehat politik dan intelektual, serta pembimbing Nero dalam aturan pemerintahan.[14] Tindakan ini tidak mencerminkan Seneca sebagai pengikut Stoa, dan memang ia memiliki pandangannya sendiri.[15] Peranan ini menciptakan kemunafikan baginya karena Seneca terseret membela kejahatan Nero ketika membunuh Britanicus (saudara laki-lakinya) dan Agrippina. Akibat pembelaannya terhadap Nero itu, Seneca menuai kritik dari musuh politiknya.

Dengan kata lain, di dalam diri Seneca terjadi kontradiksi antara tindakan politik sebagai pejabat kekaisaran dan aturan-aturan moral yang ditulis dan diajarkannya. Sementara ia menolak tirani, namun ia menjadikan dirinya sebagai guru seorang tiran. Dalam esainya ia mengakui: “Im not wise nor….shall I ever be. Require me not to be equal to the best, but better than worst. I am satisfied if every day I reduce my vices and reprove my errors”.[16] Seneca mempunyai argumen bahwa ia, seperti Platon dan Aristoteles, bahwa jika seorang filsuf mempunyai akses terhadap kekuasaan, lebih baik mencobainya meski gagal, daripada tidak pernah mengupayakannya.[17] Bertepatan dengan pembunuhan Burrus, Seneca berdalih sakit dan mengasingkan diri untuk melakukan refleksi filsafatnya.

Dalam refleksinya itu, pertama, Seneca mengakui bahwa ia inkonsisten sebagai pengikut ajaran Stoa. Berdasarkan refleksi ini, Seneca memutuskan perlahan mundur dari panggung politik dan menekuni filsafat sebagai jalan hidup barunya. Lalu Seneca menggunakan kembali metode Stoa, untuk melihat, menilai dan menguji ke dalam dirinya, dan kemudian menyusun argumen the power of reason, the art of self-control dan the strength of the wise mans’s willKedua, Seneca mengakui bahwa kaisar itu tiran, dan tiran itu bodoh, maka tutornya (dirinya) pun bodoh. Jiwa tutor yang sakit harus dipulihkan untuk menemukan integritasnya. Integritas ternyata harus diperjuangkan. Meskipun Kodrat Alam sepenuhnya membuka kebebasan, tetapi hal itu tetap harus diperjuangkan, seperti halnya memerangi kebiasaan buruk karena kekeliruan pandang mengenai hidup yang baik. Dalam hal ini Seneca mengajukan dirinya sebagai contoh manusia yang tidak mampu merealisasi hadirnya Kodrat Alam, sehingga gagal mendorong pencapaian integritas.[18]


Seneca dan Kaisar Nero. Kredit gambar: commons.wikimedia.org

Tiga Ajaran Filsafat Seneca

Melalui pergulatan di dalam dirinya, Seneca menjawab inkonsistensi dirinya.  Pertama, tentang integritas manusia. Seneca melihat adanya tiga dimensi pribadi manusia: (1) berubah-ubah; (2) individu yang manusiawi karena tidak sempurna, tidak tetap, selalu di dalam konflik dan kontradiksi dengan dirinya; (3) seseorang yang bukan representasi dari integritas sempurna sebagaimana yang dikatakan Platon dalam Apology.  Dengan demikian, integritas manusia itu tidak sempurna, dan kesimpulan Seneca ini melawan pandangan Stoik bahwa manusia mempunyai integritas sempurna. Apabila ingin menjadi manusia yang baik, maka seseorang harus berjuang untuk menjadi baik. Tetapi tidak semua orang dapat melakukannya. Kedua, tentang kehendak baik. Ia menganalisa tentang will (Latin: voluntas) dan upaya mewujudkan (Latin: voluntarium) agar tejadi willing (Latin: volo).[19] Ketiga, adalah kesatuan yang rasional dan moral. Serupa dengan itu, menurut Seneca, konsistensi adalah karakter yang tumbuh bersama perintah (conduct) yang logis, yang hal ini berhubungan dengan constantia, yakni keteguhan dalam melaksanakan kehendak yang sadar (willing). Constantia adalah prinsip yang bukan material yang tidak terikat pada kematian badan.[20]

Jawaban filsafat Seneca mengubah the will yang semula dipandang pemberian Kodrat Alam kini menjadi konsep filsafat. The will adalah bagian dari kemanusiaan yang secara terus menerus harus diperjuangkan dengan cara membersihkan emosi, gairah, hasrat, sehingga menjadi tindakan yang rasional. Kesadaran pembersihnya disebut the conduct (aturan). Tanpa the will yang benar, tak akan ada the conduct yang benar pula, sehingga the will merupakan sumber atau pusat dari the conduct. The will tidak dapat benar, tanpa jiwa yang benar, dan jiwa adalah pengada yang memanifestasi di dalam keinginan (want). Hidup dalam perintah (conduct) untuk alasan kebijaksanaan. Kebijaksanaan sinonim dengan kehendak baik (good will). Kehendak baik merupakan hasil kerja bersama antara voluntarium dengan jiwa dan tubuh. Di dalam kehendak baik, jalinan the will dan the counduct berada di bawah subordinasi kesadaran sehingga melahirkan adanya gerakan fisik[21]


Seneca-kah Kita?

Dalam kehidupan politik sehari-hari profil Seneca dan pandangannya itu mungkin kita jumpai. Meskipun kita tidak tahu sejauh mana otentisitasnya. Seneca dapat hadir pada diri siapa saja yang memiliki kehendak baik (good will), tapi pada saat digempur oleh kehendak jahat, ada tiga sikap yang mungkin terjadi: sekalian ikut yang jahat, ambigu atau mundur dari arena politik.

Sumbangan Seneca bagi perkembangan filsafat Barat ialah bahwa ia menggunakan the will sebgai term baru di bidang filsafat. The will harus berpasangan dengan the conduct agar terbentuk good will, tetapi good will harus diperjuangkan terus menerus, melalui pengujian diri, agar mencapai integritas personal.

Kekuatan pemikiran Seneca terletak di dalam persona diri sendiri. Keberanian Seneca menguji kehendak baiknya di tengah kehendak jahat, meski ia menjadi martir karenanya, merupakan keberhasilan dirinya memperjuangkan integritas personalnya. Caranya memang inkonsistensi tetapi justru menunjukkan konsistensinya. Konsisten dalam inkonsistensi, dan itulah kemanusian yang hakekatnya tidak sempurna dan tidak selesai. Deklarasi bahwa tidak ada manusia dengan integritas sempurna, dengan demikian menggulingkan bangunan pemikiran Stoicism yang menjadi guru pemikirannya.

Namun, pemikiran filsafat Seneca lemah ketika berhadapan dengan persona orang lain yang berkuasa. Pertama, terdapat unsur power yang tidak terikat pada kehendak baik, melainkan mengabdi pada agresi untuk menaklukkan dan menguasai. Seneca luput memperhatikan faktor ini. Kedua, orang lain selalu berusaha untuk melepaskan diri dari integritas personal kita, karena tidak ingin dipengaruhi, dan sebaliknya ingin menyatakan kebebasannya yang unik. Seneca menyamaratakan bahwa semua orang seperti dirinya.***


——————-


[1]James Miller, Examined Lives: From Socrates to Nietzce (Farrar, Straus and Giroux, New York, 2011), perihal Seneca, 113-139

[2].Miller, Examined Lives,115, paragraf  1

[3] Miller, Examined Lives,115, paragraf 2

[4]  Miller, Examined Lives,117, paragraf  2

[5] Miller, Examined Lives, 116, paragraf  3

[6] Miller, Examined Lives,117, paragraf 1 dan 3

[7] Miller, Examined Lives, 121, paragraf 2,3,4 dan  hal 122 paragraf 2

[8] Miller, Examined Lives, 122, pragraf  4, 5

[9] Miller, Examined Lives, 123, paragraf  1

[10] Miller, Examined Lives, 123, paragraf  3, berisi esai yang mengungkapkan kegusarannya, esai untuk ibunya dan esai untuk Polybius,-menteri kehakiman di masa Claudius

[11] Miller, Examined Lives, 123, paragraf  4, 5

[12] Miller, Examined Lives, 124, paragraf  3

[13] Miller, Examined Lives, 125, paragraf  6

[14] Miller, Examined Lives, 126, paragraf  1, 2, 3

[15] Miiler, Examined Lives, 124, paragraf 4

[16] Miller, Examined Lives, 128, paragraf 4

[17] Miller, Examined Lives,129, paragraf 1

[18] Miller, Examined Lives, 134, paragraf 1

[19] Catatan: arti will dalam hal ini ialah keinginan yang belum disadari, apabila disertai upaya untuk mewujudkan, maka disebut kehendak (willing), keinginan yang disadari. Recalling dari mata kuliah Etika.

[20]  Miller, Examined Lives,  135, paragraf 1

[21] Miller, Examined Lives, 135, paragraf 2

]]>
Seandainya Saya Golput, Mungkinkah? https://indoprogress.com/2019/01/%ef%bb%bfseandainya-saya-golput-mungkinkah/ Thu, 31 Jan 2019 00:26:39 +0000 https://indoprogress.com/?p=20498

 Kredit foto: hargaa.id



KAMU nyoblos atau golput?” sekarang sedang menjadi pertanyaan sehari-hari yang trendy di kalangan kelas menengah, di Jakarta (saya kurang tahu bagaimana di luar Jakarta). Pertanyaan seperti itu juga dilamatkan pada saya, termasuk dari mahasiswa saya. Tetapi di tengah tegangan tiga poros pendukung Jokowi, Prabowo dan Golput, cuaca politik memang tidak mendukung orang untuk berpikir dan berdialog secara otentik baik dengan diri sendiri maupun dengan orang lain. Apalagi belakangan ini tegangan itu seperti beralih meruncing antara pendukung Golput versus pendukung Jokowi, terutama di media sosial. Situasi itu makin membuat orang tidak punya kesempatan berpikir otentik.

Ada banyak pendukung Jokowi, Prabowo dan Golput yang sebelumnya dikenal sebagai aktivis yang meletakkan posisi dirinya di sayap kiri, meskipun jumlah berbeda-beda. Istilah sayap kiri dan kanan, merujuk pada asal-usul pengaturan tempat duduk anggota legislatif di masa Revolusi Prancis, yakni sebelah kiri adalah kaum republik penentang rezim teokrasi, sedangkan sebelah kanan adalah pendukung rezim teokrasi tersebut. Kelompok sayap kiri dalam konteks di Indonesia saat ini tentu tidak tunggal, spektrumnya beragam, prinsipnya antikapitalisme, antipatriarkiisme, dan antipenindasan dalam pelbagai bentuk lainnya. Aktivis pendukung Golput dan Jokowi ‘bersatu’ ketika berhadapan dengan pendukung Prabowo yang berisi kelompok Islam garis keras dan pendukung Cendana. Lalu mereka ‘bercerai’ ketika yang satu kecewa terhadap langkah politik Jokowi dan pendukungnya, lantas sebagian memilih Golput, sedangkan yang lain tetap bertahan akan memberikan suaranya kepada Jokowi.

Dalam tulisan ini saya berdiri pada posisi gerakan perempuan yang mengajarkan pendukungnya untuk membangun taktik dan strategi interseksional politik (politik persekutuan multi-elemen) dan mengakui adanya sameness and differences dalam persekutuan tersebut.  Lalu sebelum menjawab “nyoblos atau golput”, saya akan mengajukan pertanyaan terlebih dahulu: bagaimana perspektif gerakan perempuan (di Indonesia) memandang Pemilu? Sebab, pemilu merupakan perangkat demokratis di ranah suprastruktur yang dewasa ini dikuasai oleh kelas borjuasi. Tentu saja Pemilu, terutama dalam model pemilihan langsung yang dipraktikkan sejak 2004, adalah Pemilu yang dikuasai kelas borjuasi tersebut. Tetapi bagaimana gerakan memandang kepemiluan itu?


Argumen Pada Sejarah

Masalah hak pilih (memilih dan dipilih) bagi perempuan merupakan tuntutan paling penting pada abad ke 18-19 di negara-negara yang mulai menerapkan demokrasi dalam sistem politik dan pemerintahannya. Masalahnya, model representasi dalam kepemimpinan negara demokrasi yang dipilih melalui mekanisme pemungutan suara, tidak memberikan hak pilih kepada warga perempuan. Keadaan itu tak berbeda jauh dengan suasana demokrasi pada masa Yunani, namun seturut dengan era Revolusi Pencerahan, kaum perempuan menemukan momentumnya untuk menuntut. Gerakan menuntut hak pilih bagi perempuan itu dikenal dengan istilah women’s suffrage movement dan gerakan ini berhasil mengubah sedikit atau banyak relasi perempuan dan politik formal negara (yang didominasi kaum laki-laki).

Sebagai cerita sejarah, Abigail Smith Adam, isteri John Adam, mengirim surat resmi kepada suaminya setelah terpilih menjadi presiden kedua AS pada 1776. Isi surat Abigail bukan surat cengeng minta kedudukan pada suaminya, melainkan tulisnya: “…setelah Anda dilantik sebagai presiden, ketika Anda akan menyusun aturan hukum di dalam Kongres Kontinental, saya berharap Anda mengingat para perempuan. Jangan menempatkan kekuasaan tanpa batas ke tangan para suami. Ingat semua laki-laki akan menjadi tiran jika mereka bisa! Jika Kongres tidak memperhatikan kepentingan perempuan, kami akan melakukan perlawanan dan pembangkangan terhadap hukum yang tidak merepresentasikan kepentingan perempuan!”[1]Abigail merupakan perintis gerakan perempuan untuk memperoleh hak suara di Amerika Serikat, dan gerakan itu berkembang maju, termasuk dalam hal penghapusan perbudakan.

Di Inggris, perjuangan perempuan menuntut hak suara terjadi sejak 1832 ketika Reformasi Undang-undang Parlemen hanya memperbanyak suara laki-laki dan tidak memberikan sama sekali kepada perempuan. Mary Smith, salah seorang perintis gerakan itu, mengajukan surat protes ke parlemen untuk memperoleh hak pilih dan gerakan itu berlangsung hingga awal abad 20. Di Jerman tokoh kunci gerakan menuntut hak pilih bagi perempuan diperjuangkan oleh Emma Ihrer, Clara Zetkin, dan Rosa Luxemburg melalui Partai Sosial Demokrat dan tuntutan mereka baru terpenuhi pada 1919. Di Rusia, gerakan menuntut hak pilih secara besar-besaan diletupkan dalam sebuah demonstrasi yang diikuti oleh 40.000 perempuan dari semua kelas sosial pada 1917 di St. Petersburg. Demonstrasi itu digerakkan oleh Liga Rusia Untuk Kesetaraan Perempuan (Russian League of Women’s Equality) yang merupakan wadah  persatuan perjuangan perempuan (dari pelbagai ideologi politik)

Di Hindia Belanda, sebelum Indonesia merdeka, tuntutan aksi gerakan perempuan yang dialamatkan kepada pemerintah kolonial setelah aturan perkawinan adalah hak pilih bagi perempuan. Tuntutan hak pilih bagi perempuan merupakan mandat dalam Kongres Perempuan yang ketiga pada Juli 1938 di Bandung. Mandat kongres itu dipicu oleh kejadian pada saat  pemilihan anggota Dewan Rakyat (Volkstraad) pada 1935. Saat itu pemerintah Belanda memang membuka hak pilih bagi perempuan, tetapi perempuan yang dipilih adalah kulit putih. Hal itu menggerakkan protes dari kalangan gerakan perempuan Hindia Belanda yang didukung pula oleh anggota Volksraad laki-laki nonEropa. Sebenarnya wacana hak dipilih bagi perempuan untuk menjadi anggota Dewan Rakyat sudah muncul pada 1918, namun perdebatan di kalangan laki-laki Belanda dan Hindia Belanda tak membuahkan solusi yang nyata hingga para perempuan itu sendiri merebutnya.

Ketika Indonesia merdeka, masalah hak dipilih dan memilih dalam pemilu memperoleh realisasinya dalam real politik yang diwarnai semangat kemerdekaan. Dalam pemilu pertama pada 1955, ormas-ormas perempuan sangat giat untuk melakukan pendidikan politik bagi perempuan guna menggunakan hak pilih (dipilih dan memilih) dalam pemilu tersebut. Aktivis Wanita Marhaen (ormas perempuan PNI) di desa-desa melakukan kampanye untuk hak pilih perempuan. Aktivitas yang sama dilakukan oleh Muslimat NU dan juga Gerwani. Empat partai politik pemenang pemilu, yaitu PNI, Masyumi, Partai NU, dan PKI, sesungguhnya diperoleh dari suara konstituen perempuan berkat kerja aktivis perempuan pada masa itu.

Ilustrasi women’s suffrage movement dalam sejarah gerakan perempuan di Indonesia dan seluruh dunia itu saya uraikan untuk merogoh ingatan (recalling memory) kita bahwa strategi politik menuntut hak pilih bagi perempuan dikumandangkan sepanjang sejarah adanya negara modern yang menganut sistem pemerintahan demokrasi. Tuntutan hak pilih perempuan disuarakan oleh gerakan perempuan liberal, sosial-demokrat dan sosialis berdasarkan analisa bahwa sistem demokrasi itu masih menganulir hak politik perempuan. Sekalipun di antara pelbagai aliran ideologi dan politik gerakan perempuan itu terdapat perbedaan dalam meletakkan tuntutan hak pilih sebagai taktik atau sebagai strategi. Bagi gerakan perempuan liberal, tuntutan hak pilih diletakkan sebagai strategi untuk menghadirkan representasi perempuan untuk tujuan mereformasi aturan-aturan negara agar adil bagi perempuan. Sementara bagi gerakan perempuan sosialis tuntutan hak pilih untuk menghadirkan representasi perempuan kelas pekerja ke dalam parlemen yang bertujuan untuk merebut kekuasaan negara dari kepentingan borjuasi-kapitalis. Tentu saja dalam kancah real politik di masing-masing negara, tuntutan atas hak pilih bagi perempuan itu tidak sesederhana memilah sebagai agenda feminis liberal atau sosialis. Seringkali pelbagai ideologi politik itu dapat bersatu menghadapi patriarkiisme dalam sistem politik, bahkan gerakan-gerakan sosial sayap kanan maupun sayap kiri.


Kredit foto: bellissimonyc.com

Dua Agenda Reformasi Gerakan Perempuan

Mari kita ingat kembali agenda reformasi gerakan perempuan di Indonesia. Agenda pertama, sesuai mandat Kongres Perempuan 22 Desember 1998 mengenai gerakan afirmasi untuk memperoleh kuota 30 persen perempuan dalam lembaga politik formal. Kampanye pertama untuk merebut kuota 30 persen itu digaungkan pada saat Pemilu pascareformasi pada 1999. Lalu pada tahun-tahun sesudahnya, gerakan perempuan melakukan intervensi ke dalam reformasi UU UU Pemilu, UU Partai Politik, UU Susunan dan Kedudukan MPR/DPR sejak 1999 sampai 2003. Sementara tuntutan reformasi adalah pencabutan Lima Paket UU Politik di masa Orde Baru, yaitu UU Nomor 1 Tahun 1985 tentang Pemilu, UU Nomor 1 Tahun 1985 Tentang Parpol dan Golkar, UUnomor 1 Tahun 1985 Tentang Susunan dan Kedudukan MPR/DPR, UU Nomor 1 Tahun 1985 Tentang Referendum dan UU Nomor 1 Tahun 1985 Tentang Organisasi Massa.

Capaian gerakan perempuan reformasi adalah memasukkan kuota 30 persen perempuan tersurat dalam UU Nomor 12 Tahun 2003 Tentang Pemilu dan kemudian direvisi dengan memasukkan model zipper dalam susunan kandidat caleg dalam UU Nomor 10 Tahun 2008 Tentang Pemilu. Sementara dalam reformasi UU Parpol kata kuota 30 persen perempuan tidak tersurat di dalamnya, melainkan hanya kalimat kualitatif yang memberikan kepedulian terhadap keadilan gender. Sejak adanya UU Pemilu yang meneguhkan hak pilih perempuan, gerakan perempuan mulai menyusun taktik electoral engagement untuk pemenangan kandidat perempuan dalam pemilu.

Persoalannya adalah bahwa partai politik yang ada di Indonesia masih mewarisi partai politik zaman Orde Baru yang hanya berfungsi official pada saat pemilu dan kehilangan karakter politik massa. Maka model electoral engagement yang dilakukan Koalisi Perempuan Indonesia maupun serikat-serikat perempuan lainnya adalah menitipkan kandidat di dalam partai borjuasi yang ada. Sebab apa, partai politik di Indonesia tidak membuka taktik aliansi terbuka, terutama dengan kelompok reformis radikal. Model electoral engament semacam menitipkan kandidat memang tidak menguntungkan bagi gerakan perempuan. Seandainya kandidat itu memenangkan suara dan menjadi anggota legislatif, serta merta hanya sebagai individu yang tidak mempunyai bargaining power dengan partai politik maupun fraksi. Sementara Koalisi Perempuan Indonesia maupun serikat-serikat perempuan lainnya tidak mempunyai otoritas untuk melakukan intervensi ke dalam partai politik yang ada. Itulah problem utama yang dihadapi gerakan hak pilih perempuan dalam reformasi sampai saat ini. Kiranya partai politik itu sendiri sampai sekarang kebal terhadap tuntutan reformasi.

Agenda kedua reformasi yang sangat fundamental adalah tuntutan akan transitional justice untuk menyelesaikan pelanggaran berat HAM di masa lalu (gross violation of human rights) sebagai syarat transisi demokrasi. Berdirinya Komisi Nasional Hak Asasi Perempuan (Komnasper) yang dipicu oleh kekerasan seksual massal dalam Kerusuhan 13-14 Mei 1998, menjadi pusat konsolidasi yang produktif bagi gerakan perempuan untuk menuntut transitional justice. Konsep kekerasan negara berbasis gender dirumuskan berdasarkan fakta pelanggaran HAM yang khas dialamatkan kepada perempuan oleh penguasa negara, terutama sejak Orde Baru berdiri sampai Suharto mundur dari jabatan presiden.

Tampaknya tidak mengejutkan bahwa pada masa otoritarianisme Orde Baru kekerasan negara berbasis gender (trmasuk dalam kejadian yang disebut ‘kerusuhan’) itu terjadi dari Sabang sampai Merauke. Maka tuntutan penyelesaian kekerasan negara berbasis gender digagas melalui pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) sebagai sarana untuk menciptakan transitional justice. UU KKR disahkan pada 2004, yaitu UU Nomor 27 Tahun 2004 Tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, lantas dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi  pada 2006 berdasarkan dalih tidak sesuai dengan UUD 45 dan tidak akan menyelesaikan pelanggaran HAM.  Pembatalan UU KKR secara politik berarti peniadaan terhadap transitional justice sebagai syarat konsolidasi demokrasi di Indonesia. Itu sebabnya, demokrasi di Indonesia saat ini berjalan dengan melupakan problem kehancuran, keterpecahan sosial, akibat momentum-momentum kelam penuh kekerasan di masa lalu sejak Orde Baru berdiri. Keterpecahan yang kita lihat saat ini, yang diperparah oleh hoax, merupakan cermin keterpecahan di masa lalu yang belum terselesaikan melalui transitional justice.

Dua agenda gerakan perempuan itu sesungguhnya seperti dua mata uang yang berbeda namun satu kesatuan. Tuntutan hak pilih perempuan kiranya lebih maju capaiannya ketimbang tuntutan akan transitional justice. Dalam sejumlah taktik, gagasan untuk merehabilitasi dan memberi restitusi (ganti kerugian material) korban kekerasan negara berbasis gender diintervensikan aktivis perempuan ke dalam program kandidat peserta elektoral. Setidaknya ada kandidat yang berhasil dalam pilkada maupun pilcaleg di tingkat daerah mengalokasikan anggaran untuk restitusi korban. Tentu saja gerakan perempuan di Indonesia sangat menyadari kelemahan model politik representasi yang ada saat ini, namun bukan berarti akan menganulir hak pilih dan memilih bagi perempuan yang sudah digenggamnya. Perlahan tapi pasti politic of care berusaha dimanifestasikan oleh gerakan perempuan ke dalam pembuatan legislasi dan anggaran untuk menjamin apa yang disebut kelompok-kelompok marginal memperoleh inklusi sosial dan juga restitusi.

Dengan demikian gerakan perempuan tidak mungkin Golput dalam pelbagai pemilu (tidak hanya untuk pemilu 2019). Memilih Golput adalah sikap tidak konsisten terhadap sejarah women’s suffrage movement secara umum dan secara khusus terhadap mandat Kongres Perempuan ketiga pada 1938 di Bandung dan Kongres Perempuan pada masa reformasi pada 1998 di Yogyakarta. Maka dari itu perihal nyoblos atau golput bukanlah tentang hak, melainkan tentang tanggungjawab terhadap sejarah gerakan perempuan. Apalagi perjuangan gerakan perempuan itu belum pernah selesai.


Seandainya Saya Golput, Mungkinkah?

Dalam tulisannya For a Left Populism (2018), Chantal Mouffe konsisten untuk mendorong strategi hegemoni politik radikal dengan menggunakan lembaga politik yang ada untuk melakukan reformasi radikal. Gerakan yang dilakukan Jeremy Corbyn, Ketua Partai Buruh dan Ketua Oposisi di Inggris sejak 2015 dan Bernie Sanders yang menggunakan taktik electoral engagement dengan Partai Demokrat pada 2016 di AS, dipergunakan Mouffe sebagai contoh upaya politik radikal membangun hegemoni. Sanders memang belum berhasil mencapai  Gedung Putih namun taktik electoral engagement yang dilakukannya dapat dipelajari dengan seksama. Sementara Alexandria Ocasio-Cortez (AOC) yang bekerja sebagai tim sukses Sanders pada 2016 justru terpilih sebagai anggota Kongres pada 2018.

Langkah politik AOC mempunyai garis sejarah dengan women’s suffrage movement di Amerika Serikat dan memenuhi apa yang pernah dipesankan oleh Carrie Chapman Catt: “….if you really want women’s vote to count, make your way there[2]. Carrie Chapman Catt adalah pemimpin women’s suffrage movement dari National American Women Suffrage Association (NAWSA) dan pendiri League of Women Voters (1920) yang berhasil mengubah Konstitusi AS untuk memberikan hak pilih bagi perempuan pada 1920. Pernyataan Chapman itu menegaskan bahwa aliansi elektoral (electoral engagement) dengan partai politik yang mempunyai kesesuaian dalam keberpihakan adalah taktik yang signifikan.

Gerakan perempuan di Indonesia belum membangun aliansi elektoral multi-elemen seturut konsep interseksional politik sebagaimana di AS. Koalisi Perempuan Indonesia (KPI) sebagai poros politik yang mewadahi kepentingan 18 sektor perempuan atau lebih (petani, buruh, LGBT, ibu rumah tangga, dll) dalam menggunakan taktik electoral engagement masih menggunakan cara menitipkan kandidat personal ke partai politik pada saat Pemilu. Atau ada banyak aktivis gerakan perempuan yang menjadi anggota partai politik dan berupaya mengorganisasi perempuan di dalamnya. Tetapi, model individual ini sangat membebani caleg peremupuan karena ia harus menyangga beban ekonomi, politik dan sosial seorang diri. Justru KPI belum berusaha membangun aliansi elektoral dengan elemen sayap kiri untuk kampanye kandidat presiden maupun caleg. Sebaliknya sayap kiri, terutama organisasi politik yang progresif dan organisasi buruh-petani yang bercita-cita membangun partai politik, juga belum membangun aliansi elektoral dengan gerakan perempuan semacam KPI. Jika terbangun aliansi multisektor yang radikal, setidaknya sayap kiri dapat membangun aliansi elektoral dengan sebuah partai politik yang mempunyai keberpihakan (untuk tidak mengatakan sama dalam ideologi dan politik) dengan agenda politik radikal.

Beberapa aktivis kiri progresif mengatakan bahwa strategi politik radikal seperti itu merupakan garis politik sosial-demokrat yang dalam sejarahnya menolak revolusi perjuangan kelas. Tetapi pendapat itu tidak memiliki konteks dengan real politik yang berkembang di Indonesia saat ini. Real politik saat ini masih dijiwai oleh semangat yang dipayungi oleh TAP MPRS No 25/1966 hingga menutup pintu bagi gerakan kiri progresif untuk membangun alat politiknya sendiri (partai politik).  Tetapi, menjadi Golput bukan pula taktik yang relevan untuk membangun starategi hegemonik bagi politik radikal.

Sejauh yang saya amati, dalam sejarah kepemiluan, Golput adalah unintended consequences, yaitu suatu kondisi yang tidak tidak terduga dalam kepemiluan. Dengan kata lain, Golput itu ada sebagai kekhususan kontradiksi dengan pengguna hak pilih, namun relasi keduanya bukan oposisi biner. Golput bukan kelompok orang yang tak diberi hak pilih seperti perempuan pada abad 18-19, melainkan Golput adalah kelompok yang memiliki hak pilih, namun enggan menggunakan hak pilihnya. Jadi, kontradiksi Golput dan pengguna hak pilih berasal dari unsur yang sama dan bukan berbeda. Itu sebabnya kontradiksi Golput dan pengguna hak pilih tidak akan mencapai kondisi antagonis sebagaimana pertentangan kelas. Perhatikan para pendukung Golput pada Pemilu 2009 ternyata kemudian menggunakan hak pilihnya pada Pemilu 2014, sebaliknya pengguna hak pilih pada Pemilu 2009 bisa Golput pada Pemilu 2014. Persisnya, kelompok Golput pun tidak akan berubah menjadi revolusioner karena ini hanya kontradiksi dalam kepemiluan –alat demokrasi belaka.

Pada akhirnya, sebagai bagian dari gerakan perempuan, saya tidak mungkin Golput! Menjadi Golput sama saja dengan mengingkari capaian perjuangan gerakan perempuan sejak Revolusi Pencerahan sampai Revolusi 4.0. Sebagai bagian dari gerakan perempuan, saya mengajak elemen yang menyatakan sayap kiri progresif untuk membangun electoral engagement yang radikal, jika belum mungkin saat ini, setidaknya Pemilu masih akan belangsung seriap 5 tahun sekali di Indonesia!***



————

[1]The Project Gutenberg eBook of History of Woman Suffrage, Volume I, Edited by Elizabeth Cady Stanton, Susan B. Anthony, and Matilda Joslyn Gage, 2009

[2] Di dalam Lisa Young, Feminist and Party Politics, (Vancouver-Toronto: UBC Press, 2000)

]]>