Topik – IndoPROGRESS https://indoprogress.com Media Pemikiran Progresif Sat, 18 Mar 2023 09:06:39 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.4.3 https://indoprogress.com/wp-content/uploads/2021/08/cropped-logo-ip-favicon-32x32.png Topik – IndoPROGRESS https://indoprogress.com 32 32 Rancière dan Politik Estetika https://indoprogress.com/2023/03/ranciere-dan-politik-estetika/ Sat, 18 Mar 2023 09:06:39 +0000 https://indoprogress.com/?p=237368

Ilustrasi: jonpey


DI HADAPAN pembantaian berdarah 29 Mei 1871, yang juga menandai berakhirnya Komune Paris, Eugène Pottier menulis sebuah sajak. Puisi yang ditulisnya sambil mengendus bau anyir darah itu kelak dikenang dan diabadikan sebagai lagu yang paling banyak dinyanyikan oleh buruh di dunia: L’Internationale. Di tangan Pottier, seni bersenyawa dengan politik.

Meski hanya bertahan dari 18 Maret-28 Mei 1871, Komune Paris telah memberi contoh bagaimana seni dapat mempunyai roh pemberontakan. Selama 72 hari yang penuh gejolak, pelukis Gustave Courbet dan beberapa seniman mendirikan Federasi Seniman dan Menteri Kebudayaan di Komune Paris. Para seniman itu sadar, “…pertempuran proletar adalah juga pertempuran kebudayaan, serta pertempuran atas fondasi-fondasi ideologis dan kelembagaannya.” Di sini, kita diajak memikirkan ulang bagaimana “Seniman harus diimajinasikan ulang sebagai militan dalam proses revolusioner” (Tings Chak, 2021: 17). 

Karl Marx (dalam Vijay Prashad, 2021: 1) dalam surat kepada sahabatnya Ludwig Kugelmann kagum dengan Komune Paris. Demikian katanya: 

Sesudah enam bulan kelaparan dan kehancuran, yang lebih disebabkan oleh pengkhianatan dari dalam ketimbang musuh dari luar, mereka bangkit, melampaui bayonet-bayonet Prusia, seakan-akan tak pernah ada perang antara Prancis dan Jerman dan musuh tidak sedang berada di gerbang Paris. Sejarah tak punya contoh kebesaran yang setara ini.

Setelah 97 tahun berakhirnya Komune Paris, tepatnya pada 2 Mei-23 Juni 1968, Prancis lagi-lagi luluh lantak dan lumpuh selama sepuluh minggu. Mahasiswa, pelajar, intelektual, bahkan filsuf dari penjuru Prancis–beberapa dari anak muda itu kelak akan jadi pemikir besar–turun ke aspal, menjarah pabrik, dan menduduki universitas. Mobil-mobil dengan api berkobar dan asap yang mengepul menjadi barikade dan sekat pemisah. Mereka melawan dan dipentung, tetapi tetap bertahan di  jalanan dengan memar di sekujur badan.

Pada waktu itu, ratusan ribu orang memberontak dan berusaha mewujudkan sebuah tatanan tanpa kekuasaan rezim Charles de Gaulle. De Gaulle terdesak dan limbung. Karena berstatus Jenderal militer selama Perang Dunia II, ia tak melihat pilihan selain harus menakuti-nakuti rakyat dengan senjata demi meredam amuk. Walhasil, tahun itu rezim belum tumbang; pemberontakan belum berbuah manis meski berhasil sebagai revolusi sosial.

Setahun setelah pemberontakan Mei 68, pada 28 April 1969, barulah de Gaulle mengundurkan diri sebagai pemimpin tertinggi Prancis.

Di masa penuh gejolak itu seantero Paris penuh poster dan slogan politis–pada saat yang sama juga estetis. Pemberontakan besar-besaran itu menyisakan imajinasi dan sejarah panjang bagi Prancis. Dari pengalaman itu pula Jacques Rancière, filsuf kontemporer Prancis yang juga partisipan Revolusi Mei 68, menawarkan sebuah konsep penting: politik dan estetika. Politik estetis? Estetika politis?


Politik\Estetika

Pada tahun 1960-an, Rancière dikenal sebagai seorang marxis struktural. Ia mendapatkan identitas marxis struktural saat menjadi co-author buku Lire le capital (1967) bersama dengan Louis Althusser (juga Etienne Balibar, Pierre Macherey, dan Roger Establet). Namun, pasca Mei 1968, pasca revolusi sosial di Paris itu, ia putus hubungan teoretis dengan Althusser dan para marxis struktural. Hubungan itu putus karena dua hal: filsafat Althusser sangat elitis dan Rancière menolak dengan tegas distingsi antara sains dan ideologi yang diasumsikan Althusser. Putusnya hubungan teoretis ini membuat Rancière membangun politik egalitarian dalam emansipasi demokratik.

Meski Rancière membangun sebuah politik egalitarian, filsuf kelahiran Aljazair itu menolak ide liberal yang mengasumsikan debat rasional di ruang-ruang publik (rasio komunikatif habermasian, misalnya). Ia pun menolak ide liberal yang berusaha membangun sebuah sekat-sekat identitas–tepatnya “kelas sosial”–dan tindakan mengeksklusi yang berujung pada pengkhianatan pada kesetaraan dan emansipasi.

Tak hanya ide liberal, Rancière juga menolak asumsi-asumsi perjuangan kelas yang diandaikan oleh pemikir klasik. Selama ini, diskursus politik perjuangan dibangun dengan mengeksklusi identitas lain untuk membangun identitas kelas tertentu. Berbeda dengan politik perjuangan pemikir sebelumnya, ia menawarkan politik perjuangan harus didasarkan pada perlawanan terhadap tatanan sosial (konsensus) oleh mereka yang dieksklusi tatanan. Ia menyebut mereka yang dieksklusi sebagai “bagian yang tak punya bagian” (la part de sans part). Mereka yang dieksklusi oleh tatanan, “bagian yang tak punya bagian” itu, berhak berbicara dan, dalam konteks tulisan ini, mendistribusi estetika melalui yang-sensibel.

Pada dasarnya, tidak ada kekosongan seni dan estetika dalam politik (progresif). Bahkan, seperti yang Ranciere katakan, “Estetika bukanlah disiplin ilmu. Estetika adalah sebuah gaya berpikir yang lahir di era Revolusi Prancis, juga dengan gayanya yang khas, cara berpikir ini mempertanyakan (menggoncang) tatanan hierarkis” (Wibowo, 2022: 423). Di titik ini, ada semacam keterkaitan erat antara emansipasi dalam seni dan emansipasi dalam politik. 

Politik mendefinisikan kita tidak hanya sebagai manusia dalam arti generik, tetapi juga sebagai proses subjektivikasi; sebuah proses penetapan identitas di tengah hierarki dan dominasi. Subjektivikasi politik adalah momen ketika subjek melakukan perlawanan terhadap dominasi rezim hierarki dan dominasi dalam struktur sosial. Subjek yang melawan ini, bagi sebuah rezim, akan dianggap sebagai pembangkang dan berada di luar konsensus yang dapat dihitung; berada di luar bagian yang penting dari kenyataan politik. Sebaliknya, memperhitungkan dan mempertimbangkan subjek pembangkang dan pemberontak dalam semesta politik adalah sebuah momen yang Ranciere sebut sebagai disensus: mempertimbangkan dan memperhitungkan mereka yang bukan bagian (la part de sans part).

Di titik ini Ranciere ingin memahami politik sebagai disensus yang mengandaikan keadilan dan kesetaraan yang terus-menerus diperjuangkan. Ia tidak mengandaikan politik sebagai menetapkan, apalagi meneruskan, konsep keadilan dan kesetaraan yang sudah ada dalam struktur sosial. Subjektivikasi politik (baca: pemberontakan atas dominasi dan hierarki) terhadap kenyataan sosial ini–baik dalam bentuk narasi maupun ideologis–terjadi melalui distribusi sensasi, melalui yang-sensibel.

Ranciere dengan cara itu menjelaskan partage du sensible sebagai momen pembagian dan pemilahan dunia secara indrawi. Agaknya, di sini kita harus memosisikan Ranciere sebagai pemikir tentang seni dan estetika tanpa melepaskannya dari semesta politik (la politique). Jika sensibilitas kita atas dunia (selalu?) mengandung sebuah konten politis; dan, sensibilitas adalah jangkar dan arkhe dari estetika; maka, estetika (selalu?) mengandung konten politis? 

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.


Ia yang Selalu Divisualisasi

Estetika, meminjam Jill Bennett, pada dasarnya “praktis”. Estetika yang praktis, kata Bennett, adalah “…studi tentang seni sebagai sebuah makna yang mengungkap dunia melalui proses ‘rasa’ dan afektif–proses sentuhan tubuh secara langsung, dan gairah kehidupan publik” (Bennett, 2012; 3). Jika estetika pada dasarnya praktis dan erat dengan urusan ruang publik (yang-kolektif), maka, asumsi estetika-praktis dapat membawa kita mengeksplorasi hubungan antara semesta politis dengan estetika. Bahkan, pemikir seperti Gavin Grindon–seorang pemikir rancièrean–dengan berani mengatakan tidak ada perbedaan tegas antara politik dan estetika.

Namun, yang terpenting, Ranciere hendak menawarkan sebuah kesetaraan estetis dan hilangnya hierarki rezim estetik dalam seni. Sebuah kesetaraan yang tak lagi memberhala sebuah distingsi rigor antara yang seni dan yang-bukan-seni.

Di abad ini, estetika adalah komponen penting di dalam politik–bahkan ekonomi. Politik membentuk dan memvisualisasi dirinya dalam tekstur estetik di media. Di abad ini, politik tidak dikonseptualisasi; ia divisualisasi. Dari spanduk jalanan hingga acara-acara televisi, politik terealisasi dan merealisasi dirinya melalui yang-sensibel. Politik tak lagi tentang diskusi dan percaturan intelektual. Politik, di abad ini, adalah fantasi, umbaran janji, dan reproduksi gambar. Dengan demikian, estetika adalah medium politik. Walhasil, sejak tidak lagi konseptual, politik adalah apa yang kita cecap dan rasakan (tekstur estetik).

Kita tahu, di dalam politik, dari apa yang keluar dari mulut pemilik kekuasaan, tidak ada janji atau imaji tentang keburukan. Semuanya serba estetis dan indah. Meski, dari mulut-mulut berbusa-busa itu, yang ada hanya tinggal janji, imaji, dan omong kosong.

Sejak estetika didasarkan pada yang-sensibel, kita dipaksa untuk mengartikulasi kembali “hubungan antara tanda dan gambar, gambar dan waktu, juga tanda dan ruang yang membingkai makna realitas, apa yang terberi dalam ‘common sense’” (Ranciere, 2010; 149). Rancière mengajak kita untuk memikirkan ulang bagaimana mengindrai dunia. Memikiran ulang dunia dan apa yang kita indra, berarti menangguhkan “apa yang terberi dalam ‘common sense’” yang syarat dengan tendensi ideologis. Dengan kata lain, ketika merombak sensibilitas atas dunia, kita juga menelanjangi operasi ideologis di balik kenyataan. Inilah apa yang Rancière sebut sebagai penangguhan kehadiran (une existence suspensive)–membawa perubahan dari apa yang kita persepsi atas dunia.

Di abad ini dunia hadir dalam gambar, dan kita menyensibel dunia melalui satu genggaman gawai. Kita tahu, di semesta imajiner, gambar dan tanda didistribusi untuk merangsang sentimen dan afeksi sosial. Media sosial, melalui yang-sensibel, adalah medan sah bagi pertarungan ideologis. Media, dari gambar hingga tulisan, adalah senjata penting di era “perang dingin”.

Begitu pula sastra dan seni, di abad ini, menjadi mesin ideologis. Rancière memahami sastra sebagai hal yang mampu memodifikasi persepsi kita terhadap kenyataan sosial. Sastra adalah medium yang memungkinkan kita masuk ke dalam heteronomi dan mempertanyakan ulang persepsi kita atas kondisi sosial.

Namun, selama ini, sastra (dan seni secara umum) selalu ditempatkan dalam mikro-politik; sastra hanya ditempatkan dalam kerangka individu atau golongan tertentu–sastra mempunyai sedikit ruang dalam politik. Asumsi ini tak memadai sebab sastra dan seni mampu menawarkan persepsi dan pandangan baru atas kenyataan sosial.

Estetika, dengan demikian, dipahami tidak hanya sebagai suatu teori tentang suatu hal bernilai secara estetik atau tidak. Estetika juga aktus (politik) praktis yang mempertanyakan kondisi-kondisi sosial yang terjadi beserta operasi mesin ideologis di belakangnya. Estetika praktis menjadi politis, persis karena estetika mempunyai dampak dan mampu pengubah persepsi subjek. Dalam seni, selalu terkandung peristiwa politis.


Ia yang Memproses Subjektivikasi

“Tidak ada lagi prinsip distingsi antara seni dan kehidupan sehari-hari.” Walhasil, “setiap objek profan dapat masuk ke dalam semesta pengalaman artistik… dan setiap produksi artistik dapat menjadi bagian dalam kerangka kehidupan kolektif yang baru” (Rancière, 2005; 21).

Praktik seni dihasilkan dari apa yang dapat dikatakan dan dilihat dalam kenyataan kolektif. Oleh karena itu, estetika adalah proses subjektivikasi politik. Peristiwa politis selalu inheren dalam seni, dalam estetika, meski kenyataan kolektif itu tertuang secara implisit dalam sebuah karya seni. Oleh karena itu, bukanlah hal yang niscaya memilih atau mengadopsi tema dan konten politik secara eksplisit dalam karya seni–dalam seni, sudah selalu terkandung yang-politis. Tugas kita adalah menyingkap momen politis dalam sebuah karya seni agar telanjang, seimplisit apa pun.

Namun bukan berarti para seniman secara niscaya harus menguasai semesta politik, atau bukan pula politik harus berjalan secara estetis. Di titik ini, kita hanya seperti menunggu munculnya momen-momen politis dalam memandang (juga menafsir) tekstur estetik tanpa harus terjatuh pada rezim representatif atau rezim etis dalam seni.

Rancière enggan membangun sebuah hierarki rezim. Dalam wawancaranya dengan Nicolas Truong, ia seperti mengajak kita untuk membangun sebuah kesetaraan estetis, karena “…kesetaraan estetis sama dengan hancurnya hierarki subjek dan hierarki jenis.” Rancière juga ingin kita hidup terlepas dari keterkungkungan sebuah rezim, karena tanpa keterkungkungan itu “…ada kebebasan dan kesetaraan estetis yang membantu munculnya sebuah dunia indrawi yang egaliter” (Wibowo; p.423).

Kita harus menutup tulisan ini dengan slogan estetik (juga politis) revolusi Mei 68 di Prancis itu: Sous les pavès la plage! (‘Di bawah batu-batu jalanan, ada pantai!’). 


Daftar Pustaka

Bennett, J. 2012. Practical Aesthetics: Events, Affects and Art after 9/11. London: I.B.Tauris.

Prashad, Vijay dkk. 2021. Komune Paris. Tangerang Selatan: Marjin Kiri.

Rancière, J. 2005. “From Politics to Aesthetics?” Paragraph 28:1, DOI: https://www.jstor.org/stable/i40123214.

Rancière, J. 2010. Dissensus: On Politics and Aesthetics. London/New York: Continuum.

Wibowo, A. Setyo. 2022. Menjaga Gairah Emansipasi. Jakarta: KPG.


R. H. Authonul Muther adalah pengelola penerbitan Edisi Mori yang fokus pada buku filsafat, sains dan humaniora

]]>
Ekspresi Politik Kelas Menengah Sebagai Sebuah Kelas https://indoprogress.com/2021/09/ekspresi-politik-kelas-menengah-sebagai-sebuah-kelas/ Fri, 24 Sep 2021 05:33:11 +0000 https://indoprogress.com/?p=236121

Ilustrasi: Jonpey


Tulisan ini adalah bagian kelima dari perdebatan yang dimulai oleh tulisan Abdil Mughis Mudhoffir di Project Multatuli berjudul “Aktivisme Borjuis: Mengapa Kelas Menengah Reformis Gagal Mempertahankan Demokrasi” (9 Juni 2021). Bagian kedua adalah tanggapan Coen Pontoh berjudul “Menginvestigasi Kelas Menengah: Tanggapan untuk Abdil Mughis Mudhoffir” (16 Juni). Redaksi juga menerbitkan terjemahan tulisan Eduard Lazarus berjudul “Kiri Indonesia: Dihantui Warisan Anti-Komunis dan “Masyarakat Sipil” yang sebelumnya terbit di Jacobin sebagai bagian ketiga untuk perdebatan ini (29 Juni). Bagian keempat adalah respons Abdil Mughis bertajuk “Ilmu Sosial Borjuis: Mengapa Aktivisme Borjuis Liberal Dominan di Indonesia” (16 Agustus)


“HANYA kritisismelah yang bisa memajukan teori Marxis”, demikian tulis Nicos Poulantzas dalam pembuka ulasannya atas buku babon Ralph Miliband, The State in Capitalist Society.[1] Ulasan Poulantzas ini kelak memicu sebuah debat klasik dalam studi-studi Marxis tentang Negara hingga sekarang. Dan dalam semangat yang dicanangkan Poulantzas pada 52 tahun yang lalu tersebut, saya ingin menanggapi tulisan Abdil Mughis Mudhoffir yang berjudul “Ilmu Sosial Borjuis: Mengapa Aktivisme Borjuis Liberal Dominan di Indonesia?”.

Dalam artikelnya yang menjelaskan kecenderungan reformis dari kelas menengah Indonesia, Mughis melacak peran dan dominasi ilmu-ilmu sosial borjuis terutama semenjak rezim Orde Baru berkuasa pasca-pembantaian massal pada Peristiwa G30S 1965. Arah penjelasan ini dipakai Mughis karena ia tidak puas dengan penjelasan bahwa ekspresi politik kelas menengah ditentukan oleh posisi kelasnya dalam struktur masyarakat kapitalis. Menurut Mughis, argumen seperti ini bisa terjatuh pada determinisme strukturalis, yang menempatkan individu sebagai menjadi aktor yang pasif dan ditentukan oleh posisi strukturalnya, sementara sejarah menunjukkan tidak sedikit individu progresif-revolusioner yang berasal dari kelas menengah, seperti Vladimir Lenin, Mao Tse-tung, dan Tan Malaka. Untuk terhindar dari deteminisme strukturalis tersebut, Mughis mengusulkan agar kita harus melihat pengalaman sejarah konflik sosial di mana ekspresi kelas menengah itu mencuat.

Berdasarkan argumentasi dan penjelasan tersebut, Mughis tiba pada kesimpulan bahwa ekspresi politik kelas menengah yang reformis itu disebabkan oleh dominasi produksi pengetahuan Weberian dan berbagai turunannya di Indonesia, baik di dalam maupun di luar lembaga-lembaga formal. Hasilnya kemudian, saya kutip agak panjang,

Ilmu-ilmu sosial borjuis ini yang mengilhami banyak aktivis LSM dan akademisi menganut pandangan-pandangan seperti pluralisme liberal, neo-institusionalisme dan kulturalisme. Perspektif-perspektif ini tidak hanya mengilhami artikulasi politik reformis yang cenderung gagap dan penuh kontradiksi internal dalam merespons persoalan-persoalan kekuasaan, tetapi juga melahirkan pengetahuan-pengetahuan teknokratik yang justru tanpa disadari menjustifikasi sifat-sifat kekuasaan politik yang ditentang oleh kelas menengah reformis itu”.

Argumentasi dan penjelasan Mughis ini sangat penting, karena ia menjelaskan bahwa kelemahan gerakan sosial yang dimotori oleh kelas menengah adalah karena pengaruh pengetahuan yang dimiliki oleh para aktivisnya, dan pengetahuan serta kesadaran itu bukan sesuatu yang alamiah atau sesuatu yang berakar pada budaya tertentu yang diwariskan secara turun-temurun. Pengetahuan dan kesadaran itu dibentuk melalui sebuah politik pengetahuan yang sistematis, masif dan terstruktur oleh rezim Orde Baru untuk memuluskan dan mempertahankan agenda-agenda kekuasaannya. Melalui penjelasan mengenai dampak substansial dari politik pengetahuan tersebut, maka diskusi mengenai kebuntuan ataupun kegagalan dalam membangun gerakan anti-kapitalisme-neoliberal menjadi lebih mendasar dan bergerak lebih maju melampaui problem-problem personal, moral, kultural dan juga organisasi.


Problem metodologis[2]

Secara empiris saya tidak memiliki keberatan dengan penjelasan Mughis mengenai politik pengetahuan dan dampaknya bagi ekspresi politik kelas menengah bukan tanpa kritik. Kenyataan memang demikian adanya. Persoalannya, bagaimana secara metodologis kita menjelaskan kenyataan empiris tersebut. Pada titik inilah saya melihat problem mendasar dari artikel itu. Melalui apa yang saya sebut sebagai “penjelasan ideologis”, Mughis telah melakukan simplifikasi permasalahan melalui pernyataan bahwa ekspresi politik kelas menengah Indonesia saat ini adalah akibat mereka terpapar oleh ilmu-ilmu borjuis, khususnya paradigma Weberian dan berbagai turunannya.

Persoalan metodologis dari penjelasan ideologis tersebut berimplikasi pada: pertama, Mughis menggeser konsep kelas dan perjuangan kelas (class and class struggle) ke konsep ideologi dan perjuangan ideologis (ideology and ideological struggle). Melalui pergeseran metodologis ini, secara implisit Mughis menganggap bahwa problem kelas menengah itu adalah problem ideologi, bukan problemnya sebagai sebuah kelas yang posisinya terjepit di antara kelas borjuasi dan kelas pekerja. Secara komparatif, dalam studi tentang fasisme, sejarawan Dylan Riley menyebut pendekatan seperti ini sebagai pendekatan Tocquevillian (diambil dari nama filsuf dan ilmuwan sosial liberal Alexis de Tocqueville), yang melihat kemunculan fasisme sebagai hasil dari pergulatan ide-ide, yang dilawankan oleh Riley dengan pendekatan Marxis yang melihat fasisme sebagai gejala kontra-revolusi.[3] Melalui penjelasan ideologis tersebut, apa yang dilakukan Mughis adalah melakukan kritik terhadap ilmu-ilmu borjuis melalui metodologi ilmu-ilmu borjuis tersebut.

Kedua, ini terkait dengan pertanyaan siapa agensi sosial yang paling bisa mengartikulasikan konsep ideologi dan perjuangan ideologis tersebut? Mughis tidak secara eksplisit menyebutkannya, tetapi alur argumentasinya mudah ditebak, bahwa agensi sosial itu adalah kaum intelektual, yang dalam konteks debat ini, tidak lain adalah kelas menengah itu sendiri.[4]

Sampai di sini kita lihat bahwa secara metodologis argumentasi dan penjelasan Mughis akhirnya justru menggiring kita pada kebuntuan teoritik dalam pembangunan gerakan sosial dan politik anti-kapitalisme: (1) kelas menengah berwatak reformis karena (2) mereka terpapar oleh ilmu-ilmu sosial borjuis, dan hanya (3) mereka sendirilah (agensi sosial) yang bisa membebaskan diri dari kungkungan ilmu-ilmu sosial borjuis itu, dimana langkah pertamanya adalah (4) mereka harus melawan dirinya sendiri.

Tetapi ini menjadi mustahil karena sejak awal kelas menengah itu sudah reformis. Begitu seterusnya, sehingga pada akhirnya kita bisa menyimpulkan bahwa perjuangan kelas menengah adalah perjuangan melawan dirinya sendiri dan untuk kepentingan dirinya sendiri, dan politik yang berbasis pada kelas menengah adalah politik yang tidak punya masa depan alias buntu.

Karena itu perlu bagi kita keluar dari kebuntuan secara teoritik maupun politik ini, dan persis di titik ini pentingnya pendekatan berbasis analisa kelas. Pendekatan analisa kelas selalu bermula dari hal-hal yang konkret (material), historis dan holistik. Konkret artinya analisa kita harus bertolak dari kondisi-kondisi material yang ada di sekeliling kita, dimana kondisi-kondisi material itu terbentuk dan berubah-ubah secara historis, dan pembentukan serta perubahan itu harus dilihat secara menyeluruh karena hanya dalam kemenyeluruhan itulah kita bisa menemukan kebenaran. Dengan demikian maka analisa kelas menolak pendekatan determinisme struktural di satu sisi dan kehendak bebas manusia di sisi lain.

Secara konkret kita saat ini hidup dalam sistem produksi dan reproduksi sosial kapitalisme yang eksistensinya sangat ditentukan oleh kelancaran akumulasi kapital. Jika akumulasi kapital ini terganggu maka kapitalisme akan mengalami krisis dan ketika proses akumulasi kapital tersebut berhenti maka kapitalisme pun bangkrut. Karena akumulasi kapital merupakan jantung eksistensial dari kapitalisme, maka penting sekali untuk mengetahuai bagaimana proses akumulasi kapital itu bekerja. Dari Karl Marx kita mengetahui bahwa proses itu terjadi ketika kelas kapitalis dengan segala cara mengeksploitasi dan kemudian merampas atau mengaproriasi nilai lebih yang diproduksi oleh produsen langsung, yakni kelas buruh. Dengan demikian, hubungan sosial eksploitatif dari kedua kelas inilah yang menentukan bagaimana proses akumulasi kapital berlangsung, yang dalam periode sejarah tertentu mengambil bentuk yang berbeda-beda. Karena itu, memeriksa hubungan sosial eksploitatif dari kedua kelas ini dalam proses akumulasi kapital (analisa kelas) menjadi sangat esensial, karena melaluinya kita bisa mengetahui taraf kebutuhan akan penggunaan teknologi dan manajemen kerja terbaru, sistem politik dan hukum seperti apa yang mampu memfasilitasi eksploitasi dan perampasan nilai lebih yang diproduksi kelas buruh oleh kelas kapitalis, dan dalam konteks debat ini adalah politik pengetahuan seperti apa yang menunjang keberlangsungan proses akumulasi kapital itu.


Ekspresi politik kelas menengah dalam sejarah

Pada artikel sebelumnya[5], saya telah mengemukakan bahwa karena posisi kelasnya yang terjepit di antara kelas buruh dan kelas kapitalis (sebagai kelas-kelas yang fundamental dalam sistem kapitalisme), maka ekspresi politik kelas menengah ini berwatak ambivalen, terombang-ambing di antara konflik tak terdamaikan dari kedua kelas fundamental tersebut. Nah, di bagian ini, saya ingin menunjukkan secara empirik ekspresi politik kelas menengah sebagai sebuah kelas dalam bentang sejarah perkembangan kapitalisme. Penekanan pada frase “kelas menengah sebagai sebuah kelas” ini perlu dilakukan karena kelas bukanlah kumpulan dari individu, dan antagonisme kelas itu juga bukan kumpulan dari antagonisme individu.[6] Karena itu, ekspresi politik perseorangan anggota sebuah kelas sosial tertentu tidak mencerminkan atau merepresentasikan ekspresi politik dari kelas sosial tersebut.

Ketika kapitalisme berjalan normal (baca: saat proses akumulasi kapital berlangsung tanpa gangguan) ekspresi politik yang dominan dari kelas menengah adalah penerapan mekanisme meritokrasi alias reformisme. Tetapi kapitalisme selalu dirundung krisis dan dalam kondisi kapitalisme yang mengalami krisis (tingkat penyerapan keuntungan terus menurun, terjadi krisis hegemoni di kalangan kelas berkuasa, dan muncul perlawanan radikal dari bawah), kelas menengah yang menolak dilakukannya transformasi sosial yang radikal dari sistem kapitalisme ke sistem yang non-kapitalis justru menjadi ‘tukang pukul kelas borjuasi’ dalam menghadapi gelombang besar perlawanan kelas buruh dan petani.

Namun, perlu dicatat bahwa fungsi kelas menengah sebagai ‘tukang pukul borjuasi’ tidak hanya muncul ketika gerakan buruh (serikat buruh dan partai buruh) secara organisasional sangat kuat dan aksi-aksi perlawanan terhadap kelas kapitalis berpotensi menghancurkan sistem itu, seperti dalam kasus kemunculan fasisme di antara zaman Perang Dunia I dan II. Pada masa kini, ketika gerakan kelas buruh dan petani sedang mengalami kemunduran dan kapitalisme tengah diguncang krisis, kekosongan politik dan ideologis itu diisi oleh kelas menengah yang menawarkan panacea bagi massa rakyat yang hidupnya semakin terpuruk di era kapitalisme neoliberal ini. Ekspresi politik kelas menengah itu muncul dalam dua bentuk: pertama, yang berwatak reformis seperti yang telah kita diskusikan sejauh ini; dan kedua adalah ekspresi politik yang reaksioner dan bertendensi fasis (anti-imigran, rasis, seksis, misoginis, sektarian, dan nasionalisme sempit, misalnya). Kedua bentuk ekspresi politik (reformis dan reaksioner) ini walaupun di permukaan saling bertentangan, tetapi keduanya sama-sama tidak memberikan solusi yang radikal dan komprehensif terhadap kapitalisme.

Ekspresi politik kelas menengah yang reaksioner secara terang benderang tampak pada kemunculan fasisme di masa Perang Dunia I dan II serta kebangkitan post-fasisme (sebagian menyebutnys neo-fasisme atau populisme) saat ini. Sejarawan Eric Hobsbawm, misalnya, dalam bukunya The Age of Extremes (1994) menulis bahwa tulang punggung dari gerakan fasisme sebelum dan sesudah kemenangannya adalah lapisan menengah dan menengah-bawah (the middle and lower-middle strata). Fakta ini, menurut Hobsbawm, tidak mendapatkan penolakan serius dari para sejarawan yang menggeluti tentang fasisme, bahkan oleh mereka yang meragukannya.[7] Memperkuat argumennya, Hobsbwam mengutip hasil pemilu pada masa perang di Austria. Karakteristik pemilih Austria yang berhasil mengantarkan calon dari partai National Socialist terpilih sebagai anggota dewan kota Vienna pada 1932 adalah: 18 persen wiraswasta, 56 persen pekerja kerah putih, pekerja kantoran dan pegawai negeri, dan 14 persen adalah pekerja kerah biru. Dari anggota Nazi yang terpilih sebagai anggota majelis di lima kota Austria di luar Vienna pada tahun yang sama, 16 persen pemilihnya adalah wiraswasta dan petani, 51 persen adalah pekerja kantoran, dan 10 persen adalah pekerja kerah-biru. Selanjutnya Hobsbawm mengatakan bahwa 13 persen dari anggota gerakan fasis Italia pada 1921 adalah mahasiswa. Di Jerman, antara 5-10 persen dari seluruh mahasiswa adalah anggota partai pada awal 1930, ketika mayoritas pendukung Nazi belum tertarik pada sosok Hitler.[8]

Senada dengan Hobsbawm, sejarawan Michael Mann mengatakan bahwa Mussolini adalah pemimpin dari sebuah gerakan kelas yang berkarakter petty-bourgeois (kelas menengah). Menurutnya mayoritas anggota fasis Italia berasal dari kelas menengah profesional, pekerja kulit putih, mahasiswa dan guru dengan perbandingan 5:1 dengan keterwakilan anggota dari buruh industrial, petani pemilik dan petani penyewa.[9] Menurut David Renton, Mussolini mengklaim bahwa mayoritas pendukungnya adalah buruh. Berdasarkan statistik dari Partai Nasional Fasis (National Fascist Party/PNF) pada 1921, sekitar sepertiga anggota yang tercatat adalah buruh dan petani. Namun, gambar yang lebih akurat menunjukkan angka yang mendekati hanya 15-20 persen. Sementara di Roma dan Milan keanggotaan dari kelas-pekerja hanya 10-12 persen, sangat kecil dibandingkan dengan jumlah keseluruhan kelas pekerja di kedua kota.

Sebuah laporan dari wartawan II Popolo d’Italia U. Pasela pada 8 November 1921, yang dikutip oleh sejarawan fasisme berpengaruh Renzo de Felice, menyediakan data cukup lengkap mengenai latar belakang pekerjaan dari para anggota dan pemimpin PNF Italia pimpinan Mussolini pada tahun 1921 (lihat tabel 1). Dari tabel tersebut tampak jelas bahwa mayoritas anggota PFN berasal dari kelas menengah, yakni 44,5 persen. Sosiolog Juan J. Linz memberikan catatan menarik mengenai tingginya keanggotaan PFN dari latar belakang pertanian yakni sebesar 36,3 persen (12% tuan tanah + 24,3% buruh tani), menunjukkan pentingnya pertanian fasisme baik secara sukarela maupun terpaksa dan juga mengingat kondisi Italia yang sektor agrarisnya masih sangat dominan saat itu. Namun demikian, tulis Linz, dibandingkan dengan Partai Nazi (NSDAP) Jerman, proporsi keanggotaan PFN tetap kurang agraris jika dibandingkan dengan proporsi penduduknya yang mayoritas beraktivitas di sektor pertanian.[10]



Diolah dari Juan J. Linz, “Some Notes Toward a Comparative Study of Fascism in Sociological Historical Perspective” dalam Walter Laquer (ed.), Fascism A Reader’s Guide Analyses, Interpretations, Bibliography (California, University of California Press: 1976), hlm. 61-62.


Sedangkan di Jerman, antara 1919 dan 1923, sekitar seperlima dari seluruh rekrutan dari Partai Buruh Nasional Sosialis Jerman (Nationalsozialistische Deutsche Arbeiterpartei/NSDAP) adalah pengrajin (21,7%) dan seperempatnya adalah buruh kerah-putih. Jika melihat jumlah populasi lapisan ini dalam keseluruhan masyarakat Jerman yang hanya berjumlah 13,5 persen dan 14,7 persen, maka keterwakilannya sungguh sangat tinggi. Bandingkan dengan perekrutan dari kalangan pekerja setengah terampil dan tidak terampil yang hanya sebesar 16,2 persen padahal jumlah populasinya dalam masyarakat Jerman adalah sebesar 33,1 persen. Elemen paling proletarian dari gerakan Nazi adalah SA (Sturmabteilung), sebuah organisasi paramiliter, yang merekrut anggotanya dari kalangan buruh pengangguran berusia muda. Pada 1931, ketika anggota partai mencapai hampir 1 juta, anggota yang berasal dari kelas buruh jumlahnya kurang dari 5 persen. Sementara itu, walaupun 20,7 persen populasi Jerman adalah petani, hanya 9 persen dari anggota Nazi adalah petani. Renton menyimpulkan bahwa lebih dari setengah anggota Nazi adalah pekerja kerah putih, pegawai negeri dan wiraswasta. Sebagian besar pemimpinnya berasal dari lapisan sosial ini, bukan hanya Hitler tapi juga Martin Bormann, Wilhelm Frick, Heinrich Himmler, Ernst Röhm, Alfred Rosenberg, dan yang lainnya.[11]



Diolah dari Linz dalam Lacqueur, Fascism, hlm. 64-66.


Dari kedua tabel di atas mengenai latar belakang pekerjaan dari anggota fasis baik di Italia maupun Jerman, mengonfirmasi kesimpulan Milward bahwa secara geografis basis massa dari gerakan fasis berasal dari: pertama, daerah perkotaan, yakni dari lapisan kelas atau yang diatribusikan sebagai kelas menengah (pemilik toko, birokrat dan pejabat rendahan, kalangan profesional, mahasiswa, kalangan pengangguran yang berasal dari tentara, buruh pengrajin); kedua, berasal dari daerah perdesaan (petani pemilik tanah, petani bagi hasil, pemilik tanah besar musiman).[12]

Meloncat ke panggung sejarah masa kini, berasal dari kelas sosial apa anggota dan massa pendukung gerakan post-fasis baik yang berkarakter sekuler maupun religius? Secara statistik memang tidak ada data yang secara akurat bisa menjawab pertanyaan ini. Tetapi dari berbagai survey hasil pemilihan umum, wawancara dan observasi mendalam kita bisa melihat gambaran umum dari basis sosial gerakan post-fasis ini.

Di Amerika Serikat, misalnya, analisis dari lembaga survey Gallup dan exit poll dari CNN pada pemilu 2016 menunjukkan bahwa mayoritas pemilih calon presiden Donald Trump berasal dari penduduk lapisan menengah, khususnya kelas menengah bawah dan segmen-segmen yang diuntungkan (privilege) dari kelas pekerja, terutama dari mereka yang pendapatannya berada di atas $56.000 per tahun. Analisis lain dari Gallup sehari menjelang pencoblosan menunjukkan bahwa berlawanan dengan standar pemilih-pemilih Republikan, sebagian besar dari pendukung terkuat Trump datang dari pekerja laki-laki kulit putih di dalam “industri-industri kerah-biru berkeahlian”. Sementara secara nasional, Trump memenangkan suara pemilih laki-laki dan perempuan kulit putih dengan selisih margin menentukan, dan mendapatkan dukungan kuat di antara pemilih perdesaan. Dari gambaran ini, sosiolog John Bellamy Foster kemudian melihat adanya persamaan antara basis pemilih Trump, yakni kelas menengah bawah (atau borjuis kecil) dengan basis pendukung Hitler dan partainya.[13]

Gambaran serupa juga terjadi di Eropa. Menurut Judith Delheim dan Lutz Brangsch, semenjak masifnya penerapan agenda-agenda kebijakan neoliberal (liberalisasi, deregulasi dan privatisasi) baik oleh partai-partai liberal-konservatif maupun partai-partai sosial-demokrat pada dekade 1970an hingga saat ini, tingkat kehidupan mayoritas rakyat, khususnya kalangan menengah dan menengah bawah, kelas buruh dan sektor non-kelas lainnya semakin memburuk. Kelas menengah yang diuntungkan oleh kebijakan-kebijakan pemerintah pasca Perang Dunia II yang pro-publik, terutama di Jerman dan Uni Eropa, kini sehari-hari berhadapan dengan kehidupan yang serba tidak pasti. “Pilar-pilar masyarakat” ini, yang oleh Delheim dan Brangsch diidentifikasi sebagai borjuis kecil, pegawai negeri, staf eksekutif, dan mereka yang berpendidikan tinggi, tiba-tiba mendapati dirinya berhadapan dengan ancaman terjatuh ke dalam kelompok sosial yang precariat dan terpinggirkan dalam kompetisinya untuk memperoleh bagian dari kekayaan sosial yang ada. Pada saat bersamaan, kekuatan gerakan kiri begitu lemah untuk menjadi mediator antara kalangan yang terancam kualitas kehidupannya dengan negara. Kekosongan politik inilah yang kemudian memberi peluang pada gerakan post-fasis untuk menawarkan dan memfasilitasi aspirasi-aspirasi dari kelas menengah tersebut. Itu sebabnya, menurut Delheim dan Brangsch, post-fasis (mereka menyebutnya populisme sayap-kanan) adalah sebuah gerakan dari sektor kelas menengah reaksioner.[14]

Dalam kasus India, basis sosial utama dari gerakan Hindutva (gerakan kanan-jauh Hindu) juga kelas menengah. Ini berbeda dengan kasus Eropa yang kelas menengahnya mendukung gerakan post-fasisme karena menjadi korban dari penerapan kebijakan neoliberal. Kelas menengah India adalah kelas yang paling mendapatkan keuntungan dari penerapan kebijakan neoliberal. Nanda mengatakan bahwa kelas menengah India ini sudah menyatakan talak tiga kepada “sosialisme dan elemen-elemen rasionalis warisan Nehruvian”. Tetapi kalangan ini juga tak kunjung menawarkan formula baru untuk membangun masyarakat yang lebih baik dan karena itu mereka kemudian menjadi pemeluk neoliberalisme. Sebuah survey yang dilakukan oleh Pew Global Attitude yang dikutip Nanda, menunjukkan bahwa 89 persen responden India mendukung pasar bebas, 73 persen menerima dengan tangan terbuka perusahaan-perusahaan asing, dan 76 persen dengan solidnya setuju dengan pasar bebas walaupun mereka sadar bahwa sebagian orang akan menjadi lebih kaya dan sebagian lainnya akan semakin miskin.

Menariknya lagi, kalangan elite dan kelas menengah ini gandrung pada ritual-ritual keagamaan, penyembahan berlebih-lebihan terhadap dewa-dewa, puasa dan berziarah ke tempat-tempat yang dianggap suci, dan rutinitas populer Hindu lainnya. Kesalehan simbolik ini juga seringkali bercampur dengan spiritualisme ala new age. Yang lebih baru dari ekspresi-ekspresi ritual ini, kata Nanda, adalah bergesernya ruang pemujaan tersebut dari yang sebelumnya di ruang privat ke ruang publik, ke domain prasangka dan kebanggaan, politik dan profit. [15]

Di dunia Islam, basis sosial dari gerakan Islamis juga berasal dari kelas menengah. Survey literatur yang cukup luas dari Chris Harman menunjukkan bagaimana basis sosial dari gerakan Islamis mulai dari Mesir, Sudan, Aljazair, Iran dan Turki menunjukkan bahwa kelas menengah baru yang terdiri dari mahasiswa, pekerja sektor teknologi industri, mereka yang diuntungkan dari industri minyak, merupakan proponen utama dari gerakan Islamis ini. Harman menunjukkan salah satu contoh bagaimana rekrutan paling penting dari FIS (Front Penyelamat Islam) di Aljazair adalah mahasiswa dan pelajar. Di Iran, basis utama dari organisasi Mujahidin Rakyat (People’s Mojahedin) berasal dari kelas menengah baru yang keluarga adalah borjuis kecil lama. Demikian juga basis sosial terbesar dari Partai Republikan Islam (IRP) pimpinan Imam Khomeini adalah kelas menengah. Studi Mansoor Moaddel menunjukkan bahwa lebih dari setengah anggota parlemen IRP berasal dari beragam profesi pedagang, guru, pegawai pemerintahan atau mahasiswa—bahkan seperempatnya datang dari keluarga pedagang pasar. Di Afghanistan, tulis Oliver Roy, basis sosial terbesar dari kalangan Islamis ini adalah para intelektual, produk dari kantong-kantong modernis dalam masyarakat tradisional. [16]


Pengalaman Indonesia

Dalam buku klasik Class, state and Power in Third World (1981)[17], sosiolog James Petras mengatakan bahwa setiap negara yang baru merdeka, yang langsung berhadapan dengan dominasi sistem kapitalisme global, memiliki tiga pilihan dalam strategi atau tipe aliansi kelasnya bagi kepentingan akumulasi kapital: pertama, mereka bergabung dengan rezim-rezim dan perusahaan-perusahaan imperial guna mengintensifkan pengerukan surplus tenaga kerja melalui berbagai variasi hubungan kerja. Petras menyebut strategi aliansi ini dengan nama neokolonialisme ketergantungan (dependent neocolonialism). Kedua adalah strategi dimana rezim nasional melalui negara dan/atau perusahaan-perusahaan swasta nasional mengeruk surplus tenaga kerja sembari membatasi atau menghilangkan pembagian hasil kerukan tersebut kepada perusahaan-perusahaan imperial. Strategi ini di sebut Petras sebagai strategi pembangunan nasional tanpa redistribusi (national development without redistribution), sehingga terjadi konsentrasi pendapatan di kalangan pejabat teras dalam hierarki kelas nasional. Dan ketiga adalah strategi di mana rezim nasional melakukan aliansi dengan rakyat pekerja, memperluas area-area kontrol nasional (melalui nasionalisasi), menginvestasikan kembali surplus ekonomi nasional, atau mempromosikan redistribusi pendapatan dalam lingkup struktur kelas nasional.

Dari segi aliansi kelas, Petras menyebut dua strategi pertama sebagai model neocolonial, yakni aliansi kelas “dari atas dan dari luar”, sementara strategi ketiga disebut model aliansi national-popular, yakni aliansi kelas dari “bawah dan dari dalam.” Walaupun area studi Petras adalah Amerika Latin, namun ia menyebut Orde Baru (Orba) sebagai salah satu rezim yang menggunakan aliansi kelas model neokolonial,[18] yang kekuatan penggerak utamanya adalah kapital (asing dan domestik), birokrasi, dan militer, yang didukung oleh sebagian sektor kelas menengah khususnya intelektual, wartawan, mahasiswa dan tuan tanah di perdesaan.

Merujuk kategorisasi Petras, kita harus menempatkan kemunculan dan konsolidasi kekuasaan rezim Orba dalam konteks integrasinya dengan sistem kapitalisme global. Dan dalam konteks itu, jika kita perhatikan strategi pembangunan Orba dan aliansinya, maka ada tiga tahapan strategis dan menentukan yang dijalankannya: pertama, tahap penghancuran (destruksi) melalui penggunaan aparatus kekerasan militer, intelijen, polisi, dan preman terhadap seluruh elemen rakyat yang menghalang-halangi terbangunnya model aliansi neokolonial tersebut. Tahap ini ditandai dengan pembantaian dan pemenjaraan secara sistematis, terstruktur, dan masif atas ratusan ribu bahkan jutaan orang yang dituduh sebagai anggota Partai Komunis Indonesia (PKI) atau terlibat PKI, disusul kemudian dengan penghancuran organisasi-organisasi massa radikal, serta demobilisasi kesadaran politik rakyat melalui kebijakan massa mengambang (floating mass) dan kontrol ketat terhadap sistem pendidikan dan media massa. Dari sinilah kemudian politik pengetahuan Orba yang mengarusutamakan ilmu-ilmu borjuis dicanangkan dan disebarluaskan dan pada saat bersamaan secara legal melarang penyebaran Marxisme hingga kini.

Fase penghancuran kekuatan gerakan rakyat ini merupakan fondasi pembangunan fase kedua model aliansi ini, yakni fase konsolidasi dan rekonstruksi aliansi kelas neokolonial. Fase ini dijalankan melalui kebijakan pintu terbuka yang selebar-lebarnya kepada kapital asing untuk menanamkan investasinya. Banjirnya investasi asing ini memungkinkan rezim Orba mengonsolidasikan kekuasaan ekonomi-politiknya secara leluasa. Perlahan-lahan borjuasi nasional mulai terbentuk melalui serangkaian kebijakan proteksi pasar, kemudahan-kemudahan pada akses permodalan, serta praktik korupsi, kolusi dan nepotisme yang meluas. Fase ini semakin diradikalkan melalui perluasan (ekstensifikasi) dan pendalaman (intensifikasi) pengerukan surplus tenaga kerja nasional melalui serangkaian paket kebijakan penyesuaian struktural yang dipaksakan oleh IMF dan Bank Dunia. Pada fase ini, repatriasi keuntungan ke luar negeri terus meningkat akibat ketergantungan yang sangat besar terhadap utang luar negeri dan investasi asing.

Pada tiap fase tersebut, kelas menengah sebagai bagian integral dari aliansi neokolonial secara aktif memainkan peranan sebagai pendukung rezim Orba: sebagai tukang pukul, juru bangun, juru runding, juru bicara, perencana pembangunan, dan agen propaganda. Bukan berarti seluruh sektor kelas menengah ini mendukung penuh rezim Orba. Tidak sedikit dari mereka memiliki sikap kritis. Aksi terbesar pertama menentang Orba pada 15 Januari 1974 yang terkenal dengan sebutan Malari, adalah wujud dari ekspresi politik kritis dari kelas menengah. Tetapi aksi tersebut juga merupakan penanda pertama dari ekspresi politik reformis kelas ini. Setelahnya berbagai aksi perlawanan yang dimotori oleh kelas menengah, khususnya mahasiswa, terus berlangsung baik dalam skala lokal maupun nasional. Capaian politik terbesar dari faksi reformis ini adalah ditumbangkannya sang patriakh Orba, Soeharto, pada 21 Mei 1998.

Faksi lain dari kelas menengah Indonesia yang berkembang di bawah rezim Orba kemudian mengambil jalur reaksioner dengan mengusung gagasan politik identitas berbasis keagamaan. Berbagai aksi mobilisasi massa digalang oleh faksi ini, baik melalui cara-cara damai maupun dengan jalan kekerasan untuk mengampanyekan aspirasinya. Capaian politik terbesar dari faksi ini adalah aksi besar-besaran menentang calon Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) pada 2 Desember 2016 yang dikenal dengan sebutan Aksi 212. Dalam survery terhadap 600 responden yang dilakukan oleh Vedi Hadiz dan Inaya Rakhmani terhadap peserta Aksi 212 ditemukan data bahwa 65 persen responden adalah laki-laki, sementara porsi signifikan darinya (109 orang) adalah kerah putih level bawah dan menengah di perusahaan-perusahaan swasta, dan 101 orang adalah mahasiswa. Dari segi pendapatan 44 persen darinya berpendapatan antara Rp4,5-7 juta yang menempatkannya di lapisan bawah kelas menengah. Dari segi usia, 60 persen responden berusia 20an tahun, 18 persen berusia 30an tahun, sementara yang berusia di atas 40an tahun hanya sekitar 14 persen.[19]


Penutup

Dari pemaparan ini saya, sekali lagi, ingin menekan bahwa agar diskusi kita tentang ekspresi politik kelas menengah ini semakin produktif maka ia harus diletakkan dalam situasi ekonomi politik yang konkret, yakni kapitalisme. Dan karena itu pendekatan berbasis analisa kelas merupakan metode terbaik dalam memeriksa dan menguraikan momen-momen ekspresi politiknya. Lebih dari itu, analisa kelas dapat memandu kita dalam membangun gerakan sosial politik anti-kapitalis secara konkret pula.***


Coen Husain Pontoh, editor IndoPROGRESS


 

Kepustakaan

[1] James Martin (ed.), The Poulantzas Reader Marxism, Law, and the State, (London, Verso: 2008), hlm. 172.

[2] Ada beberapa isu penting lain dalam artikel Mughis itu yang sebenarnya perlu diklarifikasi. Misalnya, ia secara tersirat menganggap bahwa kelas adalah kumpulan dari individu-individu dan karenanya perjuangan kelas adalah kumpulan dari perjuangan individu-individu tersebut; kurang bisa membedakan antara kelas dan kesadaran kelas, dan kemudian tampak mencampuradukkan antara teori dan praktik politik. Namun demikian, karena keterbatasan ruang dan juga guna mencapai perdebatan yang semakin jernih, saya akan fokus pada kritik metodologi atas tulisan Mughis tersebut.

[3] Dylan Riley, The Civic Foundations of Fascism in Europe, (London, Verso: 2019), hlm. xv-xvi.

[4] Untuk diskusi lebih jauh soal ini, saya menulisnya dalam artikel bertajuk “Suluh yang Tunduk Di Hadapan Kapital”, https://indoprogress.com/2011/09/suluh-yang-tunduk-di-hadapan-kapital/. Diakses pada 1/9/2021.

[5] Coen Husain Pontoh, “Menginvestigasi Kelas Menengah: Tanggapan untuk Abdil Mughis Mudhoffir”, https://indoprogress.com/2021/06/menginvestigasi-kelas-menengah-tanggapan-untuk-abdil-mughis-mudhoffir/. Diakses pada 8/9/2021.

[6] Diskusi lebih jauh tentang ini, bisa dibaca di buku karya Raju J. Das, Marxist Class Theory for a Skeptical World, (Haymarket Book, Chicago, IL: 2017), 224; juga Coen Husain Pontoh, “Kelas dan Perjuangan Kelas dalam Manifesto Komunis”, https://indoprogress.com/2011/06/kelas-dan-perjuangan-kelas-dalam-manifesto-komunis/.

[7] Eric Hobsbawm, The Age of Extremes A History of the World, 1914-1991, (NY, Pantheon Books: 1994), hlm. 121.

[8] Ibid., hlm. 121-122.

[9] David Renton, Fascism History and Theory, (London, Pluto Press: 2020), hlm. 29.

[10] Juan J. Linz, “Some Notes Toward a Comparative Study of Fascism in Sociological Historical Perspective” dalam Walter Laquer (ed.), Fascism A Reader’s Guide Analyses, Interpretations, Bibliography, (California, University of California Press: 1976), hlm. 63.

[11] Renton, Ibid., hlm. 20-30.

[12] Alan S. Milward, “Fascism and the Economy” dalam Walter Lacquer, Fascism, hlm. 387.

[13] John Bellamy Foster, Trump in the White House Tragedy and Farce, (NY, Monthly Review Press: 2017), hlm. 20-21.

[14] Judith Delheim and Lutz Brangsch (tanpa tahun), “Political Economy of Right Populism”,https://www.academia.edu/35892420/The_Political_Economy_of_Right_Populism. Diakses pada 29/3/2021.

[15] Meera Nanda, the God Market How Globalization is Making India More Hindu, (NY, Monthly Review Press: 2011), hlm. 66-67.

[16] Chris Harman, Nabi dan Proletariat Memahami Islam Fundamentalis dari Perspektif Kiri, (Jakarta, Indoprogres: 2018), hlm. 32-35.

[17] James Petras, Class, state and Power in Third World with Case studies on Class Conflict in latin America (New Jersey, Allanheld, Osmun & Publishers: 1981), hlm. 38.

[18] Ibid., hlm. 39.

[19] Vedi Hadiz and Inaya Rakhmani, “Marketing Morality in Indonesia’s Democracy”, https://asaa.asn.au/marketing-morality-indonesias-democracy/. Diakses pada 16 September 2021.

]]>
Sebelum UU Cipta Kerja Disahkan, Situasi Perburuhan di Indonesia Sudah Buruk (Bagian II) https://indoprogress.com/2020/12/sebelum-uu-cipta-kerja-disahkan-situasi-perburuhan-di-indonesia-sudah-buruk-bagian-ii/ Fri, 04 Dec 2020 08:03:09 +0000 https://indoprogress.com/?p=232865

Buruh PT Shinwon memegang poster tuntutannya dalam sebuah aksi protes di Jakarta. Sumber foto: LIPS


Tulisan ini terdiri dari dua bagian. Bagian pertama bisa dibaca di sini.


Dampak pelanggaran hukum bagi buruh

KELEMAHAN pengawasan menyebabkan kekerasan dan pelanggaran atas hak-hak buruh, seperti pelecehan seksual, pencurian upah, PHK sepihak tanpa pesangon, hingga penggunaan alihdaya (outsourcing) secara berlebihan. Kejahatan-kejahatan hukum ini berlalu begitu saja tanpa mendapat sanksi hukuman.

Mengenai hubungan kerja, telah terjadi kecenderungan penggunaan pekerja kontrak dan alihdaya yang meluas dan melebihi batas yang ditentukan oleh UUK 13/2003 (Nugroho dan Tjandraningsih, 2007:16). Situasi ini melibatkan perusahaan penyalur tenaga kerja. Juliawan (2010) mencatat bahwa perusahaan atau lembaga penyalur tenaga kerja menjamur dan bertindak seperti predator dengan mencari untung dari situasi di mana buruh tidak terlindungi hukum. Beberapa dari pemilik lembaga penyalur ini antara lain adalah aparat keamanan, pegawai disnaker, pegawai pemda, maupun keluarga mereka.

Predatorisme mewujud dalam praktik mafia lamaran kerja, yaitu praktik di mana calon buruh harus membayar sejumlah uang kepada para sindikat mafia agar mereka bisa bekerja di pabrik. Mereka terdiri dari para pemilik lembaga penyalur tenaga kerja, staf balai latihan kerja, pengurus organisasi vigilante yang bermarkas di kawasan industri, dan pada beberapa kasus melibatkan pegawai Disnaker. Di sejumlah kawasan industri, seperti di Serang, Cakung, Bekasi, Karawang, jumlah uang yang harus dibayarkan oleh buruh perempuan untuk mendapat pekerjaan dengan status kontrak di sebuah perusahaan rata-rata nilainya di atas 5 juta rupiah. Bagaimanapun, kompetisi untuk mendapatkan pekerjaan cukup tinggi dan karena itu orang rela membayar pungutan liar kepada para sindikat mafia lamaran kerja ini, walaupun tidak sedikit dari mereka menjadi korban penipuan.

Di pabrik-pabrik pemasok industri otomotif di daerah Karawang, buruh-buruh magang mengatakan mereka harus membayar 5 juta hingga 6 juta rupiah untuk bisa mengikuti program magang. Dalam proses mengirimkan lamaran magang, mereka diiming-imingi oleh para sindikat mafia bahwa mereka akan diterima magang dan setelah itu diangkat sebagai pekerja di perusahaan tersebut. Namun setelah periode magang selesai, mereka tidak pernah diterima bekerja. Praktik-praktik ini masih berlangsung sampai sekarang dan telah dianggap lumrah (wawancara MH, KL, SU Maret 2020).

Terkait perusahaan alihdaya, di sisi lain mereka merupakan tempat bagi perusahaan utama untuk melempar resiko dan masalah hubungan ketenagakerjaan. Dengan begitu, perusahaan utama dapat berkelit dari tanggung jawab hukum. Kontrak perusahaan alihdaya dan perusahaan utama juga bersifat pendek. Buruh yang telah bekerja lama kadang menyaksikan bagaimana mereka dioper dari satu perusahaan alihdaya ke perusahaan alihdaya lain, padahal pekerjaan mereka bukan pekerjaan sampingan, melainkan pekerjaan tetap. Hal ini terjadi pada buruh sopir tangki atau yang dikenal sebagai awak mobil tangki (AMT), yang bekerja untuk PT Pertamina Patra Niaga (anak perusahaan PT Pertamina Persero).

Salah satu dari beberapa bisnis Patra Niaga adalah perniagaan, yaitu pendistribusian bahan bakar ke konsumen, baik masyarakat maupun industri. Merujuk pada Pasal 56 UUK 13/2003, usaha perniagaan BBM dari Patra Niaga bukanlah usaha yang bersifat sementara atau musiman, namun termasuk bisnis utama/inti (core business). Dengan demikian, para buruh AMT tidak bisa dipekerjakan sebagai buruh alihdaya. Mereka harus menjadi buruh tetap karena sifat pekerjaan mereka tetap, bukan sementara atau musiman. Namun Patra Niaga justru berkelit dengan hukum dan selama bertahun-tahun menyerahkan urusan buruh AMT pada perusahaan alihdaya. Padahal banyak buruh AMT telah bekerja di atas 7 tahun untuk mendistribusikan bahan bakar bagi wilayah Jawa Barat, Banten, dan Jakarta.

Selama bekerja, para buruh AMT mencatat bahwa telah banyak perusahaan alihdaya yang secara bergantian bekerjasama dengan Patra Niaga. Hal ini membuat hak-hak buruh semakin sulit ditegakkan. Ini meliputi jam kerja yang tidak pasti, kondisi kerja yang buruk, pembayaran bonus yang tidak adil, maraknya pungutan liar di sepanjang jalur distribusi bahan bakar, dan ketiadaan kepemilikan asuransi kesehatan. Terkait asuransi kesehatan ini, beberapa buruh mengalami keadaan dimana kartu BPJS kesehatan mereka tidak bisa dipakai ketika berobat ke rumah sakit (wawancara, MT IR, November 2018). Padahal perusahaan alihdaya memotong upah buruh tiap bulan untuk iuran BPJS. Banyak ditemukan pola di mana perusahaan tidak menyetor potongan upah buruh kepada BPJS Kesehatan, atau terjadi kesalahan yang dilakukan perusahaan alihdaya dalam mekanisme pembayaran, namun akibat dari kesalahan itu ditanggung buruh.


Pemandangan harian buruh KBN Cakung makan siang di pabrik yang tidak menyediakan kantin. Sumber foto: LIPS

Ketidakpastian kerja dan kesusahan begitu nyata dialami buruh dalam situasi yang predatoris. Hal ini banyak dihadapi oleh buruh-buruh perempuan. Sebuah penelitian oleh organisasi Perempuan Mahardika di Kawasan Berikat Nusantara Cakung—salah satu kawasan berikat garmen tertua di Indonesia—mengungkapkan bagaimana buruh bekerja dengan status kontrak terus menerus dalam waktu lama. Dari 773 buruh yang menjadi responden penelitian, sebesar 67,14% buruh bekerja dengan status kontrak. Dari angka buruh berstatus kontrak ini, 21 ,99 persen buruh bekerja di atas 10 tahun, 14,62 persen buruh bekerja di atas 7 tahun,  dan 13,45 persen buruh bekerja di atas 4 hingga 6 tahun. (Perempuan Mahardika, 2017:16).

Banyak dari buruh kontrak harus bertarung membayar uang kepada para mafia untuk bisa mendapatkan pekerjaan. Karena upah mereka kecil sementara kebutuhan ekonomi tinggi, mereka kemudian terjebak hutang dari lintah darat yang beroperasi di kontrakan buruh. Riset ini juga menunjukan masalah lain yang patut menjadi perhatian, yaitu tingginya angka pelecehan seksual. Tata ruang pemukiman buruh dan lokasi KBN Cakung rentan menyeret buruh perempuan ke dalam praktik kekerasan dan pelecehan.

Persoalan yang juga menjadi sorotan tajam gerakan buruh adalah PHK yang dilakukan oleh perusahaan ketika mereka melakukan relokasi dan ekspansi ke kawasan industri. Perusahaan-perusahaan ini, sebagian besar adalah perusahan garmen dengan modal dari Korea Selatan, memecat buruhnya tanpa pesangon dan hanya memberi uang “terima kasih”. Ada yang kabur sama sekali dan membiarkan buruh bertarung merebut pesangon lewat jalur hukum yang susah diharapkan. Pelanggaran-pelanggaran seperti ini banyak terjadi dan begitu ditolerir. Ketika perusahaan-perusahaan ini pindah ke kawasan industri baru, terutama di Jawa Barat (Majalengka, Indramayu, Kuningan) dan Jawa Tengah (Klaten, Solo, Kendal), mereka tidak mendapatkan hukuman. Malah sebaliknya, mereka disambut dengan keringanan pajak, keleluasaan pengamanan, peraturan upah murah, dan subsidi industri lainnya. Setelah memecat buruh dengan brutal dan kemudian kabur, mereka masih diperbolehkan untuk beroperasi di tempat lain dan tidak menutup kemungkinan melakukan tindakan brutal yang sama.


Melawan Omnibus Law, merevisi UUK 13/2003, dan mendesak penegakan hukum


Poster tuntutan buruh pada aksi Hari Perempuan Internasional 2017. Foto: LIPS

Seperti telah dijelaskan, Omnibus Law tidak lahir dari situasi perburuhan yang Pancasilais dan harmonis. Jelas bahwa UU Cipta kerja dan peraturan teknisnya tidak akan melindungi dan memperbaiki kesejahteraan buruh. Buktinya, tidak lama setelah Omnibus Law disahkan, Menteri Tenaga Kerja Ida Fauziyah mengeluarkan surat edaran yang menyatakan bahwa upah buruh tidak akan naik sepeser pun pada tahun depan.

Dalam aspek ketenagakerjaan, tugas UU baru ini tidak lain hanyalah memperluas cakupan pasar tenaga kerja fleksibel yang sudah dipelopori UUK 13/2013.Ia mengatur kemudahan berbisnis bagi pengusaha dan keinginan pemerintah menciptakan lapangan kerja. Lebih luas lagi, ia memperkuat landasan legal bagi penggunaan buruh murah sebagai upaya menyambut modal yang sedang berbaris menuju kawasan Asia Tenggara.

Sebelum Omnibus Law, pemerintah telah berulang kali mendorong perluasan pasar tenaga kerja fleksibel. Beberapa dari upaya tersebut berhasil, namun tidak sedikit juga yang gagal. Upaya revisi UUK 13/2013 yang diajukan beberapa kali oleh politisi dan pengusaha mendapat penolakan keras dari gerakan buruh. Aksi-aksi demonstrasi dan mogok kerja juga dapat dilihat sebagai hambatan bagi agenda perluasan pasar tenaga kerja fleksibel. Periode 2009 – 2013 merupakan periode yang patut dicatat di mana aksi-aksi protes oleh aliansi serikat buruh seperti demonstrasi Komite Aksi Jaminan Sosial, aksi mogok nasional, grebek pabrik di kawasan industri, dan mogok kawasan industri, berhasil memberikan kemenangan yang tidak sedikit bagi buruh (Panimbang dan Mufakhir, 2018).

Aksi-aksi tersebut meloloskan tuntutan buruh dan memberikan kekuatan tambahan pada gerakan. UU Jaminan Sosial diberlakukan, upah naik rata-rata di atas 30 persen, dan berkat desakan yang kuat dari gerakan buruh pekerja kontrak dan outsourcing yang telah secara ilegal dipekerjakan lebih dari 3 tahun diangkat menjadi pekerja tetap. Yang terakhir ini bisa dilihat pada aksi grebek pabrik yang berlangsung hampir delapan bulan di tahun 2012. Motor dari grebek pabrik ini adalah aliansi serikat buruh di kawasan Bekasi. Mereka merazia pabrik-pabrik yang secara ilegal mempekerjakan buruh kontrak dan outsourcing melampaui ketentuan UUK 13/2013. Pengusaha dan manajemen “ditawan” untuk segera menandatangani surat pengangkatan pekerja kontrak menjadi pekerja tetap. Tidak sedikit buruh kontrak diangkat menjadi buruh tetap dengan proses yang cepat. Grebek pabrik dalam hal ini jauh lebih efisien ketimbang proses hukum (legal) yang sepenuhnya tidak bisa diandalkan.

Perlawanan terhadap Omnibus Law sudah pasti terus didukung oleh gerakan buruh, dan jika berhasil digagalkan, gerakan buruh perlu melancarkan perlawanan lanjutan untuk mendorong revisi UUK agar lebih melindungi buruh. Revisi ini terutama perlu diterapkan pada pasal-pasal yang memperbolehkan penggunaan alihdaya (outsourcing), yang mana telah terbukti menjadi sumber masalah di sektor perburuhan hingga hari ini. Pada Januari 2012, Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan beberapa tuntutan buruh dengan mengeluarkan putusan tentang tidak diperbolehkannya penggunaan buruh alihdaya dan kontrak pada bisnis yang bersifat tetap. Hal ini dapat menjadi dorongan hukum bagi upaya revisi atas UUK 13/2003. Selain itu, yang juga penting adalah penegakan hukum ketenagakerjaan. Gerakan buruh perlu mendesak terus agar hukum ketenagakerjaan ditegakan (Marulloh, 2020).

Saat ini telah banyak kawasan-kawasan industri baru dibangun di berbagai daerah berupah murah dan pengusaha telah memindahkan pabriknya ke kawasan-kawasan tersebut. Sayangnya, penciptaan kawasan industri baru ini tidak diimbangi dengan peningkatan kapasitas Disnaker dan bagian pengawasannya. Sementara di sisi lain, akses terhadap PHI juga tidak dibuat mudah bagi buruh. Situasi ini akan semakin memperluas situasi perburuhan yang busuk tersebut ke berbagai tempat, di mana banyak calon buruh upahan akan datang bekerja dengan harapan yang sulit dicapai bahwa mereka akan menciptakan kesejahteraan bagi keluarganya.***


Alfian Al-Ayubby, peneliti di Lembaga Informasi Perburuhan Sedane (LIPS)

]]>
Prinsip-Prinsip Dasar Pendidikan Demokratis (1): Terbuka akan Kelemahan https://indoprogress.com/2020/10/prinsip-prinsip-dasar-pendidikan-demokratis-1-terbuka-akan-kelemahan/ Wed, 14 Oct 2020 03:00:31 +0000 https://indoprogress.com/?p=232638

Ilustrasi: Jonpey


Tulisan ini adalah bagian ketiga dari serial esai bertema pendidikan demokrasi radikal. Bagian pertama dapat dibaca di sini, dan bagian kedua di sini.


BEBERAPA pemikir pendidikan kritis seperti Michael Apple dan Henry Giroux, yang mengembangkan gagasan John Dewey, Antonio Gramsci, dan Paulo Freire tentang sekolah-sekolah yang berciri emansipatoris, mengusulkan konsep pendidikan yang diberi nama democratic education (pendidikan demokratis), yang kemudian diaktualisasikan ke dalam democratic schooling (sekolah demokratis) dan democratic educators (pendidik demokratis).

Tidak ada definisi yang disetujui secara umum tentang suatu pendidikan, pendidik dan sekolah/institusi pendidikan yang demokratis. Sebab, pengertian dari demokrasi itu sendiri masih menjadi perdebatan panjang (untuk memahami perdebatan terkini tentang pendidikan demokratis, lihat Sant, 2019). Akan tetapi dalam praktiknya secara umum, termasuk di Indonesia, demokrasi masih sering didefinisikan atau dipahami secara dangkal sebagai proses pemilihan pemimpin politik yang dilakukan secara kompetitif untuk menempati posisi legislatif dan/atau eksekutif.

Melalui pengalaman keseharian kita akan demokrasi yang dangkal ini, kita dapat sangat mudah memahami bahwa mekanisme politik representasi ini tampaknya semakin tidak efektif dalam mencapai cita-cita sentral demokrasi yaitu “memfasilitasi keterlibatan politik warga negara secara aktif, membentuk konsensus politik melalui dialog, merancang dan melaksanakan kebijakan publik yang menjadi dasar ekonomi yang produktif dan masyarakat yang sehat dan dalam versi demokrasi yang lebih egaliter dan radikal, memastikan bahwa semua warga negara mendapat manfaat dari kekayaan bangsa” (Fung dan Wright, 2003). Pada dasarnya Fung dan Wright ingin mengajak kita untuk secara serius memikirkan dan mempraktikkan “rule by the people” alias kekuasaan yang dijalankan oleh rakyat.

Mengingat sentralnya peran rakyat dalam demokrasi, menjadi hal yang lazim jika Wright menyatakan bahwa demokrasi secara inheren merupakan prinsip sosialis, terutama jika kita memahami sosialisme sebagai “struktur ekonomi di mana alat produksi dimiliki secara kolektif oleh seluruh masyarakat sehingga alokasi dan penggunaan sumber daya untuk tujuan sosial yang transformatif dicapai melalui pelaksanaan apa yang dapat disebut ‘kekuasaan sosial’ (Wright, 2019). Wright dan Fung melanjutkan dengan mengatakan bahwa “demokrasi” adalah label untuk menyatakan subordinasi kekuasaan negara pada kekuasaan rakyat, “sosialisme” adalah istilah untuk subordinasi kekuatan ekonomi untuk berada di bawah kekuasaan rakyat. Karena negara turut memilki kuasa untuk mengatur perekonomian, maka demokrasi yang serius dan demokrasi yang mendalam akan mewajibkan “sosialisme” — dan begitu juga sebaliknya.

Pendefinisian demokrasi yang secara sungguh-sungguh mengedepankan kepentingan rakyat, di mana kekuasaan negara serta ekonomi dijalankan oleh rakyat demi memenuhi kebutuhan rakyat, akan menjadi fondasi dari apa yang saya maksud sebagai “pendidikan demokratis”. Dengan demikian, institusi pendidikan demokratis adalah tempat untuk mempelajari bukan hanya secara teoretik bentuk demokrasi yang lebih dalam, lebih radikal dan lebih egaliter, namun juga sebagai tempat mengalami dan mempraktikkan demokrasi semacam itu.

Ada beberapa tantangan dan pertanyaan yang harus dijawab oleh institusi yang menjalankan pendidikan demokratis, seperti: bagaimana cara menjalankan pendidikan demokratis ketika masyarakat telah lahir, tumbuh, berkembang, dan terbiasa menjadi seorang kapitalis atau capitalist natives? Bagaimana ketika ini diterapkan kepada mereka yang tak memiliki pengetahuan atau pengalaman akan cara hidup bermasyarakat, bernegara dan ekonomi yang berbeda? Bagaimana jika para pesertanya sudah terbiasa dan begitu terpatri akal sehatnya dengan ideologi dan nilai-nilai hegemonik negara lainnya, serta menganggap nilai-nilai tersebut sebagai hal yang lumrah, sebagai bagian dari budaya keseharian yang tak perlu dan tak bisa dipertanyakan?

Mungkin mereka berpikir, apa yang salah dengan kapitalisme, patriarki, rasisme, neo-feodalisme, neo-kolonialisme, hirarki, paternalisme, dsb?

Lalu apa yang harus dilakukan lewat pendidikan demokratis agar individu memahami bagaimana semua hal ini membatasi pembentukan masyarakat yang egaliter dan pribadi yang merdeka? Apa yang harus dilakukan institusi pendidikan demokratis agar semua aktor dalam institusi tersebut, siswa dan siswi, tenaga pengajar, pejabat struktural, sampai karyawan penjaga kebersihan maupun satpam sekolah memahami dan mengalami pentingnya cara hidup yang bebas dari nilai-nilai menindas yang direproduksi negara?

Dan terakhir, pertanyaan yang mungkin paling sulit untuk dijawab, bagaimana agar semua aktor tersebut tak hanya memahami penindasan yang terjadi serta upaya-upaya alternatif yang dapat dilakukan, tetapi juga agar mereka menginginkan sebuah dunia alternatif? Apa yang harus dilakukan agar kita menginginkan perubahan radikal?

Dalam menjawab hal ini, Marx benar ketika berkata: bahwa menyusun ­kerangka mendetail dan menyeluruh akan sebuah dunia alternatif adalah suatu kegiatan mengawang dan tak berguna. Hal ini saya rasa berlaku pula jika kita membicarakan utopia dalam konteks pendidikan. Merangkai kerangka sistem pendidikan beserta institusi pendidikan alternatif yang emansipatoris dan demokratis secara mendetail dan saklek hanya akan memperparah generalisasi yang sudah diusung pendidikan formal saat ini. Pendekatan seperti ini hanya akan mengabaikan pentingnya memahami konteks keadaan di mana para siswa dan institusi pendidikan tersebut lahir, dan meniadakan kebutuhan kontekstual para siswanya. Mengutip pedagog kritis asal Brazil, Paulo Freire, dalam menelusuri relasi institusi pendidikan dengan masyarakat, “kita harus meletakkan relasi tersebut dalam konteks realitas para siswanya”.

Namun, mengikuti jejak Wright (2010), apa yang sekiranya dapat dilakukan adalah mengurai landasan yang menginformasikan kita akan harapan dan kemungkinan-kemungkinan terbentuknya sebuah dunia alternatif yang lebih egaliter dan berusaha memerdekakan kita semua. Maka dengan ini, berikut saya ajukan beberapa prinsip dasar pendidikan demokratis yang saya harapkan dapat dikembangkan lebih lanjut, lebih mendetail dan lebih kontekstual oleh para aktor pendidikan kritis di Indonesia


Terbuka akan kelemahan (negativity)

Upaya mengejar perubahan menuju masyarakat yang demokratis harus dimulai dengan keterbukaan terhadap realitas kebobrokan negara dan sistem sosial kita. Tanpa keterbukaan tersebut, tak akan ada upaya untuk memperbaiki. Apa yang harus diperbaiki jika tak ada yang rusak?

Salah satu hal yang dapat kita pelajari dari bagaimana negara menangani pandemi COVID-19 (serta beragam masalah sosial lainnya) adalah keengganan negara untuk secara terbuka mengakui kedalaman permasalahan yang tengah dihadapinya. COVID-19 tak hanya memperdalam kerusakan sistem sosial dan pemerintahan kita tapi juga hanya memperlihatkan dalamnya kerusakan tersebut.

Melihat bagaimana negara menanggapi pandemi, kita bisa melihat adanya semacam peleburan antara keengganan (dengan beragam kepentingan di belakangnya) dan optimisme delusional. Seperti yang telah dijabarkan oleh Gellert (2015) ketika menelusuri fondasi neoliberal dari program “Indonesia Mengajar” yang kerap disanjung oleh kelompok nasionalis naif, “Optimisme (semacam ini) mewakili sikap berpandangan ke depan dan pro-perubahan, tetapi itu adalah elemen dari proyek politik dan ideologi reformis yang menghindarkan diri dari perubahan yang lebih radikal. Yang hanya dibutuhkan untuk menjadi seorang optimis adalah keyakinan bahwa masyarakat pada dasarnya berfungsi dengan baik dan bisa menjadi lebih baik dengan sedikit penyesuaian.” Jika dirasa tak ada kerusakan mendasar dalam negara dan masyarakat kita, maka tak diperlukan perubahan fundamental pula.

Johnson (2013), ketika menelusuri kembali kutipan Gramsci yang paling sering diingat: “pessimism of the intellect, optimism of the will” (pesimis dalam pikiran, optimis dalam kehendak) berkata bahwa memang “terlalu banyak kritik dapat menambah keputusasaan tentang keadaan ‘Akhir Zaman’ ini dan dapat melumpuhkan kehendak kita (akan perubahan).” Akan tetapi, optimisme yang enggan mendasarkan dirinya pada kenyataan pahit keadaan dunia kita hanya sekadar menutupi dan mengobati gejala penyakit ketimbang akar permasalahannya. Johnson (2013) melanjutkan bahwa yang dibutuhkan adalah optimisme dalam pikiran: teori dan studi konkret yang memetakan masa depan yang lebih penuh harapan, namun mendasarkan strategi menuju masa depan tersebut berdasarkan analisis sejarah yang realistis.”

Pendekatan optimisme delusional terhadap permasalahan sosial kita sangat mempengaruhi pendefinisian institusi pendidikan termasuk institusi pendidikan “alternatif” serta para pendidiknya akan hegemoni itu sendiri. Apa yang dimaksud oleh sebuah institusi pendidikan ketika melakukan praktik pendidikan alternatif atau kontra-hegemoni, namun insitusi pendidikan tersebut tidak terbuka terhadap kedalaman permasalahan yang ada di masyarakat kita serta hanya melihat bahwa negara dan masyarakat hanya memerlukan penyesuaian reformatif saja?

Giroux (1983) mengingatkan bahwa kekuasaan bekerja dengan sangat baik ketika tidak terlihat. Maka untuk menantang hegemoni kekuasaan, apa yang dibutuhkan bukan hanya bagaimana membuat kekuasaan menjadi tampak dan dapat diskusikan secara gamblang, tetapi juga bagaimana agar hegemoni bisa dirasakan, dipahami, dan disadari konsekuensinya, sehingga akhirnya memunculkan upaya-upaya baru untuk mencapai demokrasi egalitarian. Intinya, hegemoni perlu dipahami dan dibuat menjadi tampak, dan hal tersebut hanya dapat dilakukan melalui keterbukaan terhadap kedalaman permasalahan-permasalahan sosial di sekitar kita dan pembelajaran langsung dalam keseharian mengenai isu-isu sosial ini.***

(bersambung)


Ben K. C. Laksana, pendidik serta peneliti lepas dan dosen paruh waktu di jurusan Hubungan Internasional, International University Liaison Indonesia


Kepustakaan

Fung, A., & Wright, E. O. (Eds.). (2003). Deepening Democracy: Institutional Innovations in Empowered Participatory Governance. London: Verso.

Gellert, P. K. (2015). Optimism and Education: The New Ideology of Development in Indonesia. Journal of Contemporary Asia, 45(3), 371–393. https://doi.org/10.1080/00472336.2014.978352.

Giroux, H. (1983). Theory and Resistance in Education: A Pedagogy for the Opposition. South Hadley: Bergin & Garvey Publishers.

Johnson, R. (2013). Optimism of the intellect? hegemony and hope. Soundings, 54(54), 51–65. https://doi.org/10.3898/136266213807298970.

Sant, E. (2019). Democratic Education: A Theoretical Review (2006–2017). Review of Educational Research, 89(5), 655–696. https://doi.org/10.3102/0034654319862493.

Wright, E. O. (2010). Envisioning Real Utopias. London: Verso.

Wright, E. O. (2019). Erik Olin Wright | Compass Points: Towards a Socialist Alternative.

]]>
Ruang-Ruang Kontra-Hegemoni dalam Dunia Pendidikan https://indoprogress.com/2020/09/ruang-ruang-kontra-hegemoni-dalam-dunia-pendidikan/ Tue, 29 Sep 2020 07:01:28 +0000 https://indoprogress.com/?p=232613

Ilustrasi: Jonpey


Tulisan ini adalah bagian kedua dari serial esai bertema pendidikan demokrasi radikal. Bagian pertama dapat dibaca di sini.


GAMBARAN tentang bagaimana sistem pendidikan kita bekerja, seperti halnya tentang cara kerja sistem sosial yang ada, terbilang kompleks dan kelam, seakan merenggut harapan kita akan sebuah perubahan. Apakah mungkin ada harapan untuk perubahan di dalam sebuah sistem yang hegemonik? Peter Mayo, seorang ahli pendidikan kritis dari Malta, sedikit memberi kita harapan ketika ia mengatakan bahwa “hegemoni tidak pernah sempurna”: selalu ada ruang dan kesempatan untuk menentang dominasi elite dan membentuk kontra-hegemoni. Kita bicara di sini tentang bagaimana membangun suatu kontra-hegemoni yang memanusiakan serta menawarkan antitesis dari nilai-nilai dominan yang menindas.

Maka dalam membongkar kompleksitas sistem yang represif dan menemukan potensi-potensi perlawanan, kita harus berfokus tidak hanya pada kritik, akan tetapi juga pada upaya-upaya pembentukan nilai-nilai yang dapat menjadi lawan dari nilai-nilai yang menindas. Seperti yang kerap dikatakan Henry Giroux, seorang pedagog kritis, kita tak hanya dapat berhenti pada penggunaan “bahasa kritik”, namun harus juga berfokus pada “bahasa harapan” untuk melahirkan “bahasa kemungkinan”.

Akan tetapi sebelum menelusuri nilai-nilai apa yang dapat diusung dan dipraktikkan dalam proses kontra-hegemoni, kesempatan-kesempatan dan ruang-ruang untuk kontra-hegemoni harus pertama-tama kita identifikasi terlebih dahulu. Tujuannya tidak lain ialah agar kita dapat menemukan celah kesempatan untuk mempraktikkan kontra-hegemoni dengan menyuntikkan ruang-ruang ini dengan nilai-nilai kontra-hegemonik serta memberi kita harapan nyata—tak hanya di tataran teoretik—akan kemungkinan-kemungkinan kontra-hegemoni itu sendiri.

Potensi perlawanan dalam pendidikan formal dapat kita temui dalam dua aktor: (1) Institusi pendidikan yang tak hanya dilihat sebagai ruang tempat terjadinya proses pendidikan, namun juga sebagai salah satu aktor utama yang menentukan beragam kebijakan pendidikan yang berpengaruh langsung pada proses pendidikan para peserta didik; (2) para pendidiknya (guru, dosen, dll.), sebagai salah satu aktor utama lainnya yang melakukan proses pendidikan tersebut. Walau terikat dan berada di bawah sebuah institusi, keberdayaan dan kuasa para pendidik di ruang kelas membuka kesempatan membangun kontra-hegemoni.


Kedua potensi tersebut dapat secara sekilas kita jabarkan sebagai berikut:. Pertama, institusi pendidikan. Walau sangat mendominasi dan sarat akan nilai-nilai hegemonik, institusi pendidikan formal “selalu merupakan situs perjuangan, di mana kendali terhadap hegemoni ideologi diperjuangkan oleh berbagai aktor, seperti: negara, guru, orang tua dan tentu juga siswa” (Khalanyane, 2010: 742). Tentunya kita harus tetap bersikap kritis terhadap dinamika relasi kuasa yang mungkin akan membatasi kemampuan beberapa aktor dalam melawan dominasi ideologi negara. Meski demikian, institusi pendidikan tidak dapat dengan mudahnya kita tetapkan sebagai ruang yang monolitik. Sebab ini berarti mengabaikan isu-isu kunci tentang peran keberdayaan para aktor pendidikan (tenaga pendidik, murid, dll.), ideologi-ideologi kontra yang hadir dalam ruang-ruang kelas, dan resistensi dalam proses pendidikan oleh para pendidik maupun murid-muridnya  (Apple, 2012; Giroux, 1983).

Kesempatan-kesempatan untuk melawan juga akan bergantung pada tingkatan institusi pendidikannya. Hal ini memengaruhi kuasa dan independensi yang dimiliki institusi-institusi pendidikan dalam menyusun kebijakan yang dibentuknya. Sebagai contoh, di tingkat pendidikan tinggi, institusi memiliki kebebasan lebih dalam menyusun kurikulum. Maka mereka memiliki kesempatan yang lebih besar untuk menanamkan pengetahuan-pengetahuan kontra-hegemoni kepada para mahasiswa/i nya. Hal ini tentu berbeda dengan institusi pendidikan dasar maupun menengah atas, di mana kurikulum telah ditentukan oleh negara sehingga sangat membatasi kesempatan mereka untuk menawarkan pengetahuan alternatif di dalamnya.

Satu hal yang menarik dan turut menambah kompleksitas peran institusi pendidikan formal dalam masyarakat adalah bahwa dalam mengupayakan proses pendidikan kontra-hegemoni, institusi pendidikan dapat juga mengambil peran dalam proses pendidikan untuk publik (public pedagogy) lewat kebijakan-kebijakan yang dibentuknya. Sebagai contoh, jika institusi pendidikan tinggi memilih untuk berdiam atau bahkan mengeluarkan kebijakan yang melindungi seorang pendidik yang melakukan pelecehan seksual, maka secara tidak langsung institusi tersebut telah “mengajarkan” tak hanya kepada mahasiswanya, namun juga kepada publik, bahwa isu tersebut merupakan isu yang tidak penting, patut dibiarkan, bahkan dapat dengan mudah dimaafkan. Respons problematis seperti ini juga menitikberatkan kesalahan kepada korban karena dianggap tidak mampu “menjaga dirinya”, menjaga nama baik dirinya, keluarganya, maupun institusi pendidikannya.

Kedua, pendidik. Mengingat sangat sulitnya (walau tak menutup kemungkinan) mengubah arah, tujuan, fondasi dan cara kerja sebuah institusi, mari kita turut melihat potensi para pendidik dalam institusi pendidikan formal dalam mengintervensi hegemoni. Sim (2010) melihat para pendidik seperti guru, dosen, maupun asisten dosen sekalipun sebagai “penjaga gerbang” pengetahuan. Ia menekankan agensi atau keberdayaan para pendidik, alih-alih sekadar melihat mereka sebagai penerima pasif dan kendaraan ideologi negara. Kendati para pendidik ditekan dari insitusi mereka dan juga negara untuk mereproduksi nilai-nilai hegemonik, para pendidik ini memiliki otonomi, keberdayaan dan peluang, walaupun bisa dibilang terbatas, dalam melangsungkan upaya-upaya kontra-hegemoni di dalam kelas. Pendidik semacam ini memiliki peran utama dalam menentukan “apa yang diajarkan (kurikulum-pengetahuan) dan bagaimana pengajarannya (pedagogi) di ruang kelas” (Sim, 2010: 226) (atau apa yang dikenal sebagai hidden curriculum/kurikulum yang tersembunyi), dan akan memberi kita kesempatan untuk menelusuri bentuk-bentuk maupun kesempatan-kesempatan kontra-hegemoni secara lebih mendalam.

Walaupun kurikulum yang diterapkan oleh institusi pendidikan terikat dengan apa yang telah ditentukan oleh negara, tenaga pengajarlah yang sesungguhnya menentukan bagaimana kurikulum tersebut diterapkan di dalam ruang kelas. Tenaga pengajar hampir sepenuhnya memiliki otonomi terhadap apa yang terjadi di ruang kelas mereka, sehingga merekapun dapat menentukan bagaimana kurikulum diinterpretasi, pengetahuan apa yang diajarkan, dikembangkan, tidak ditekankan atau bahkan dikerdilkan kepentingannya.

Dengan demikian pendidik dapat dilihat sebagai penjaga gerbang atau perantara antar institusi pendidikan mereka dan negara melalui cara pengetahuan-pengetahuan dalam kurikulum tersebut diterapkan dalam keseharian di ruang kelas. Maka sekali lagi kita dapat melihat bagaimana hegemoni tidaklah sempurna. Akan selalu ada ruang untuk mengintervensi dominasi.

Dengan melihat kedua aktor tersebut dan kesempatan untuk melakukan upaya-upaya kontra hegemoni melaluinya, hal utama yang harus diingat adalah bahwa kesempatan tersebut hanyalah kesempatan. Tidak ada jaminan bahwa upaya kontra-hegemoni yang dapat dilakukan kedua aktor tersebut selalu adalah upaya-upaya kontra-hegemoni yang progresif. Kesempatan-kesempatan ini dapat pula dikooptasi oleh mereka yang mendefinisikan kontra-hegemoni dengan nilai-nilai konservatif. Perlu kita ingat bahwa emansipasi dari penindasan tidak hanya dimonopoli dan ditawarkan oleh mereka yang berada di spektrum ideologi “kiri”, sehingga kita harus terus melihat dengan kacamata yang lebih kritis tentang inisiatif-inisiatif pendidikan, terutama yang menyebut dirinya kontra atau alternatif dan berusaha “memerdekakan” warga negara dari nilai-nilai yang diusung oleh negara. Apa yang sesungguhnya sedang mereka lawan dan apa sesungguhnya “obat” yang mereka tawarkan? Apa yang mereka maksud dengan kontra-hegemoni?

Telah muncul beragam upaya dari berbagai inisiatif pendidikan formal dan/atau para pendidik yang berada di dalamnya untuk menantang hegemoni. Misalnya, inisiatif pendidikan yang dilakukan oleh sekolah-sekolah elit alternatif, sekolah-sekolah alam, dan bahkan sekolah-sekolah berbasis agama. Harus diakui bahwa sekolah-sekolah ini memiliki pendekatan yang lebih kritis ketimbang sekolah-sekolah pada umumnya serta memiliki tenaga pengajar yang lebih kompeten dalam hal materi ajar maupun pemahaman mendalam akan aspek psikologis para peserta didik. Contohnya, sekolah-sekolah ini memiliki kemampuan untuk lebih memahami sikap pasif para siswanya, menentukan pengetahuan yang tidak kontekstual dengan kebutuhan siswa, mengkritisi peran sekolah dalam menanamkan konformitas sosial, serta dalam beberapa sekolah membahas hal-hal sosio-politik yang kerap disampingkan di sekolah-sekolah formal konvensional seperti isu gender, ras dan keberagaman agama. Dengan kata lain, institusi-institusi tersebut memahami konsekuensi sosio-politik dari fungsinya (Sharp, 2017).

Akan tetapi, walau upaya ini patut diapresiasi, sekolah-sekolah dan guru-guru ini seringkali masih terbatas pemahamannya mengenai konsep akan manusia yang dibentuk dalam “ansambel hubungan sosial” (Marx, 1976:  4). Dengan kata lain, permasalahan sosial pada akhirnya tetaplah diindividualisasikan. Yang dianggap harus berubah adalah (dan hanya) individu. Sekolah-sekolah tersebut terjebak dalam narasi tanggung jawab individu a la neoliberal dan minim akan konsep pendidikan ekonomi-politik dengan disertai pendekatan isu yang interseksional dalam mengurai dan memahami secara mendalam relasi-relasi opresif yang telah tertanam begitu dalam dalam masyarakat kita.

Perlu diingat kembali bahwa dalam pendidikan kritis, yang harus kita telusuri adalah bagaimana struktur sosial yang telah dibentuk, seperti kebijakan, dan tentunya nilai dan budaya yang dirangkul masyarakat kita, turut serta membentuk proses berpikir, pengetahuan dan perilaku seorang individu. Mengutip mantra sosiolog C. Wright Mills (2000)  yang terlalu sering saya kutip: “the personal is political”. Hal yang pribadi adalah hal yang politis.

Mengindividualisasikan permasalahan sosial (menitikberatkan masalah sosial hanya di tingkat individu ketimbang struktur yang menaunginya) hanya akan melahirkan narasi-narasi individualisasi dan kata-kata mutiara yang hampa seperti “positive thinking saja dan kerja yang lebih keras!”, atau kata-kata paling yang saya takuti dan benci sebagai pendidik setelah berdebat panjang di kelas, “Ya Pak, berarti kembali kesimpulannya kembali ke masing-masing saja ya”. Seakan-akan dengan hanya berpikir positif dan bekerja keras atau kembali ke keputusan-keputusan pribadi, kebijakan-kebijakan dan peran negara yang menindas akan teratasi. Bukan suatu hal yang mengejutkan ketika toxic positivity seperti ini, yang berkelindan dengan nasionalisme dangkal dan pola pikir anti-sains, melahirkan manusia-manusia yang masih turut membela kebijakan-kebijakan absurd dari pemerintah, dan menganggapnya sebagai inovasi anak bangsa yang patut dirayakan.

Maka jika aktor dan kesempatan kontra-hegemoni serta batasan-batasannya telah kita identifikasi, termasuk masih terbatasnya diskursus akan pendidikan yang menyatakan dirinya sebagai emansipatoris (karena kerap kali masih berpusat pada individualisasi permasalahan sosial), yang harus kita pertanyakan selanjutnya adalah: apa yang perlu dilakukan agar aktor-aktor ini dapat dengan sungguh mengemansipasi mereka yang berada di bawah sistem pendidikan dalam kuasa hegemoni akal sehat negara? Ini berlaku baik untuk siswa, guru dan pejabat struktural dalam sebuah institusi pendidikan.

Jika kita memahami kapitalisme, patriarki, rasisme, fasisme, neo-feodalisme, neo-kolonialisme, beserta beragam bentuk penindasan struktural lainnya sebagai hal-hal yang menghalangi masyarakat merdeka, egaliter, dan demokratis, apa yang harus dilakukan agar insitusi pendidikan beserta tenaga pengajarnya sebagai salah satu alat emansipasi dari penindasan? Apa yang harus dilakukan oleh institusi pendidikan untuk membantu meradikalisasi demokrasi yang kita miliki saat ini, agar terbentuk negara dan masyarakat yang merangkul demokrasi secara mendalam, demokrasiyang secara sungguh-sungguh merepresentasikan kebutuhan rakyat dan memberikan masyarakat peran yang sentral dalam pengambilan keputusan untuk kepentingan hajat hidup orang banyak? Apa yang harus dikerjakan agar bangsa ini tak hanya merangkul demokrasi yang dangkal, yang hanya menitikberatkan pemilu sebagai contoh sukses sebuah negara demokratis?

Apa yang dibutuhkan agar institusi pendidikan dapat mengekspresikan serta memperdalam definisi dari demokrasi yang kita miliki saat ini? Apa yang dapat dilakukan dalam ruang-ruang atau oleh aktor-aktor yang memiliki kesempatan untuk mengupayakan siasat-siasat kontra-hegemoni? What is then to be done?***


Ben K. C. Laksana, pendidik serta peneliti lepas dan dosen paruh waktu di jurusan Hubungan Internasional, International University Liaison Indonesia


Kepustakaan

Apple, M. W. (2012). Education and Power (Second). New York: Routledge.

Giroux, H. (1983). Theory and Resistance in Education: A Pedagogy for the Opposition. South Hadley: Bergin & Garvey Publishers.

Khalanyane, T. (2010). State, schooling and society: Contemporary debates. Educational Research and Reviews, 5(12), 742–747.

Marx, K. (1976). Capital: A Critique of Political Economy. New York: Penguin Books Limited.

Mills, C. W. (2000). The Sociological Imagination. New York: Oxford University Press.

Sharp, R. (2017). Knowledge, Ideology and the Politics of Schooling: Towards a Marxist analysis of education. Taylor & Francis.

Sim, J. B.-Y. (2010). Simple ideological “dupes” of national governments? Teacher agency and citizenship education in Singapore. In K. J. Kennedy, W. O. Lee, & D. L. Grossman (Eds.), Citizenship Pedagogies in Asia and the Pacific. Hong Kong: Springer.

Wright, E. O. (2010). Envisioning Real Utopias. London: Verso.

]]>
Bertolt Brecht dan Keluhan Profetik https://indoprogress.com/2020/07/bertolt-brecht-dan-keluhan-profetik/ Fri, 24 Jul 2020 04:42:14 +0000 https://indoprogress.com/?p=232313

Foto: AP/Fred Stein


BAIK di dalam maupun di luar tradisi kesenian Marxis, nama Bertolt Brecht dikenal luas sebagai salah satu teoretikus penting sekaligus pengarang karya-karya bermutu. Naskah-naskah drama, prosa, serta puisi gubahannya sering kita temukan dikutip dalam percakapan-percakapan di kalangan intelektual dan aktivis kiri dari berbagai belahan dunia. Brecht juga turut berkontribusi dalam perdebatan seputar pemaknaan tentang seni yang realis. Dalam pandangan Brecht, realisme bukanlah semata-mata soal ketepatan penggambaran atas kenyataan, melainkan bagaimana representasi yang dihasilkan oleh suatu karya dapat menggugah pemirsanya untuk mempertanyakan kenyataan dunia dan mentransformasikannya. [1] Posisi ini diungkapkan dalam kutipan terkenalnya: ‘Seni bukanlah cermin untuk merefleksikan kenyataan, melainkan palu untuk membentuknya’. [2]

Dari sekitar dua ribu syair puisi yang Brecht goreskan di kertas selama 58 tahun masa hidupnya, beberapa di antaranya menyinggung tema-tema teologis. Tentu saja syair-syair yang ditulisnya jauh berbeda dengan syair lagu-lagu Kristen kontemporer yang mengajak kita untuk bermanja ria di hadapan Tuhan Mahakuasa yang diyakini sanggup menyelesaikan segala persoalan pribadi dan menjadi jawaban atas segala kegundahan hati. Jangan bayangkan musikalisasi puisi Bertolt Brecht oleh duet almarhum Mike Mohede dan Maria Shandi. Alih-alih menenangkan hati lewat janji-janji surgawi, puisi-puisi Brecht sarat dengan muatan kritik dan protes.

‘Himne kepada Allah’ barangkali bisa dianggap sebagai salah satu puisi Brecht yang paling berbobot teologis. Para penyunting salah satu edisi kumpulan puisinya, John Willett dan Ralph Manheim, menempatkan puisi tersebut di dalam kategori puisi-puisi awalnya yang ditulis antara tahun 1913-1920. Brecht masih tergolong amat muda pada saat itu. Usianya baru 15-22 tahun.

1
Di lembah-lembah gelap orang-orang menderita kelaparan
Kau hanya menunjukkan roti dan membiarkan mereka mati
Kau hanya menundukkannya pada rencana kekal
Tersembunyi dan brutal.


2
Engkau membiarkan mati anak-anak muda dan juga mereka yang menikmati kehidupan
Tetapi mereka yang memohon agar nyawanya dicabut malah kau tolak
Banyak dari antara mereka yang membusuk di pembaringan
Beriman kepadamu, dan mati dengan tenang.


3
Engkau membiarkan si miskin tetap miskin dari tahun ke tahun
Merasakan bahwa hasrat mereka lebih manis daripada surgamu
Sayangnya mereka mati sebelum kau menunjukkan terang
Namun mereka mati bahagia pula—sembari membusuk.


4
Banyak dari antara kami yang menolakmu—dan itu baik
Tetapi bagaimana mungkin sesuatu yang tidak ada bisa memainkan tipuan semahir ini?
Jika ada begitu banyak nyawa yang hidup bersamamu dan tak sanggup mati tanpamu—
Katakan padaku, seberapa pentingnya kenyataan bahwa kau sebenarnya tidak ada?[3]


Pembaca yang rajin beribadah di gereja dan bersaat teduh setiap hari mungkin terkejut ketika membaca puisi di atas. Judulnya berbunyi ‘Himne kepada Allah’, tetapi isinya jauh dari puji-pujian dan pengagungan akan kebesaran Allah. Dalam puisi itu, kita malah menemukan semacam gugatan atas kebijaksanaan Allah serta eksistensi-Nya. Klaim-klaim teologis tentang kemahakuasaan, kebaikan, serta kedaulatan Allah yang memelihara sejarah, dibenturkannya dengan potret kenyataan yang penuh dengan kemiskinan, penderitaan, dan kematian manusia. Bahkan keberadaan sosok ilahi yang dijadikan pegangan hidup orang banyak itu pun ia tolak.

Pertanyaan dan gugatan yang diangkat Brecht dalam syair itu tentu saja bukan barang baru. Teodise–pertanyaan tentang kebaikan Allah di hadapan kenyataan dunia yang begitu kejam–selama ribuan tahun telah mewarnai percakapan teologis yang melibatkan semua kalangan, mulai dari teolog profesional, rohaniwan, jemaat awam, hingga orang-orang tak beriman. Jika Allah ada, mengapa ada begitu banyak penderitaan? Segala macam jawaban telah dilontarkan, dan pertanyaan yang sama tak henti-hentinya kembali diajukan.

Hanya saja, yang seringkali dibiarkan terpendam dalam penghayatan iman Kristen ‘arus utama’ ialah kenyataan bahwa gugatan dan pertanyaan seperti yang dilontarkan oleh Brecht ini sesungguhnya punya benang merah dengan tradisi panjang iman Kristen sejak zamannya para penulis Alkitab sendiri. Teks-teks Alkitab tidak hanya diwarnai penghiburan-penghiburan yang bersifat menenangkan hati, tetapi juga keluhan dan protes kepada Allah ketika menyaksikan kenyataan yang mengganggu hati. Ada Nabi Habakuk, misalnya, yang mengeluhkan minimnya perhatian Tuhan terhadap penindasan yang ia saksikan di Kerajaan Yehuda.

‘Berapa lama lagi, TUHAN, aku berteriak, tetapi tidak Kaudengar, aku berseru kepada-Mu: “Penindasan!” tetapi tidak Kautolong? Mengapa Engkau memperlihatkan kepadaku kejahatan, sehingga aku memandang kelaliman? Ya, aniaya dan kekerasan ada di depan mataku; perbantahan dan pertikaian terjadi. Itulah sebabnya hukum kehilangan kekuatannya dan tidak pernah muncul keadilan, sebab orang fasik mengepung orang benar; itulah sebabnya keadilan muncul terbalik.’ (Hab. 1:2-4)

Ada pula sosok Ayub yang digambarkan sebagai orang tak bersalah yang Allah izinkan dicobai Iblis. Anak-anak serta harta kekayaannya yang banyak dalam sekejap lenyap tak berbekas dan tubuhnya ditimpa penyakit yang membuatnya berbau busuk dari kepala hingga ujung kaki. Di tengah keadaannya yang mengenaskan, Ayub beberapa kali melontarkan protes kepada Allah dengan konten yang tidak jauh berbeda dengan apa yang ditulis Brecht.

‘Aku tidak bersalah! Aku tidak pedulikan diriku, aku tidak hiraukan hidupku! Semuanya itu sama saja, itulah sebabnya aku berkata: yang tidak bersalah dan yang bersalah kedua-duanya dibinasakan-Nya. Bila cemeti-Nya membunuh dengan tiba-tiba, Ia mengolok-olok keputusasaan orang yang tidak bersalah. Bumi telah diserahkan ke dalam tangan orang fasik, dan mata para hakimnya telah ditutup-Nya; kalau bukan oleh Dia, oleh siapa lagi?’ (Ayb. 9:22-24)

Di sini Ayub bukan hanya mempertanyakan, ia malah menuduh Allah sebagai penanggung jawab masalah-masalah yang ada di dunia. Sosok Mahakuasa itu dianggapnya sengaja dan aktif memprakarsai problem-problem seperti ketidakadilan dan penderitaan manusia.

Yesus sendiri, sebagai figur sentral Alkitab menurut tradisi Kristen, turut meninggalkan jejak dalam benang merah tradisi protes ini. Injil Matius dan Markus mencatat teriakan-Nya yang ditujukan kepada Allah sewaktu digantung di kayu salib, mengutip Mazmur 22:2:

‘Kira-kira jam tiga berserulah Yesus dengan suara nyaring: “Eli, Eli, lama sabakhtani?” Artinya: Allah-Ku, Allah-Ku, mengapa Engkau meninggalkan Aku?’ (Mat. 27:46)

‘Dan pada jam tiga berserulah Yesus dengan suara nyaring: “Eloi, Eloi, lama sabakhtani?”, yang berarti: Allahku, Allahku, mengapa Engkau meninggalkan Aku?’ (Mrk. 15:34)


Slavoj Žižek pernah mengusulkan agar seruan ini dibaca sebagai gestur radikal kekristenan yang menunjukkan momen disintegrasi kepercayaan akan suatu penjamin makna kehidupan, entah itu Allah, keniscayaan alami, atau apapun itu. Ada pesan ateistik dalam peristiwa salib dengan bobot yang bahkan melebihi ateisme-ateisme pada umumnya. Sebab yang terakhir ini seringkali menolak keberadaan sosok ilahi, namun tanpa ragu menggantikannya dengan penjamin-penjamin makna lainnya.

Di sini kita bisa melihat bagaimana ‘Himne kepada Allah’ karangan Brecht sesungguhnya terhubung dengan sebuah tradisi panjang dalam Alkitab yang tanpa ragu melontarkan protes pada Yang Ilahi. Ia bagaikan rekontekstualisasi keluhan-keluhan profetik yang keluar dari mulut tokoh-tokoh Alkitab seperti Habakuk, Ayub, dan Yesus. Bersama nabi Habakuk, ia mempertanyakan teriakan umat manusia yang diabaikan Allah. Bersama Ayub, ia tak ragu menuduh kesengajaan Allah membiarkan penderitaan manusia. Dan bersama Yesus, jika kita mengikuti pembacaan Žižek, ia tak ragu mengoyak kepercayaan tentang keberadaan serta fungsi Allah.

Selain memiliki tempat dalam Alkitab, keluhan profetik juga merupakan bagian yang tak terpisahkan dari tradisi pemikiran Marxis. Pembaca yang akrab dengan tulisan-tulisan Marx tentu ingat kalimat pembuka pendahuluan Marx dalam Contribution to the Critique of Hegel’s Philosophy of Right: ‘kritik agama adalah premis dari segala kritik’. [4] Sebelum seseorang masuk ke dalam kritik atas kondisi-kondisi material, ia harus melakukan kritik atas agama yang menghalanginya untuk melihat kenyataan material secara objektif. [5] Baru setelah tirai agama itu robek, akan terbentang tugas untuk meneruskan agenda kritik ke ranah sekuler.

Maka adalah tugas sejarah, segera setelah kebenaran dunia lain itu gugur, untuk menegakkan kebenaran tentang dunia ini. Tugas mendesak filsafat, dalam pengabdiannya untuk sejarah, adalah membongkar keterasingan diri manusia dalam bentuk sekuler-nya, ketika bentuk sakral-nya telah dibongkar. Maka kritik surga bertransformasi menjadi kritik dunia, kritik agama menjadi kritik hukum, dan kritik teologi menjadi kritik politik. [6]

Apa yang ditulis oleh Marx di penghujung tahun 1843 tersebut berpijak pada keadaan masyarakat Jerman pada masa itu. Abad ke-19 menjadi saksi perkembangan pesat kritik-kritik agama di Jerman lewat kesarjanaan kritis Alkitab yang membongkar asal-usul teks-teks yang sebelumnya dianggap suci, pemikiran-pemikiran kritis tentang agama seperti ateisme Feuerbach, dan lain-lain. Marx ingin mendorong agar kritik-kritik agama tersebut tidak berhenti di sana, tetapi berlanjut dengan kritik atas tatanan sosial yang mengondisikan keterasingan-keterasingan agamawi.


Hari ini, nyaris dua abad setelah kutipan Marx di atas diterbitkan dan setelah paham-paham agama terus dibombardir segala macam kritik, kenyataannya kepercayaan tentang yang ilahi tetap tumbuh subur. Seperti diungkapkan Brecht dalam bait terakhir puisinya, masih ada begitu banyak jiwa yang membutuhkan Tuhan dalam kehidupan dan kematian mereka. Di mana-mana kita menemukan persebaran luas keyakinan tentang pemeliharaan Allah dalam sejarah yang menjamin bahwa semuanya sedang dan akan baik-baik saja, serta bahwa segala masalah yang ada bakal dijadikan indah pada waktu-Nya. Kalaupun keberadaan sosok adikuasa itu ditolak, dengan mudahnya ia bisa digantikan dengan penjamin-penjamin makna baru, seperti rasio murni, hukum pasar, sentimen kebangsaan, hingga teori perkembangan sejarah yang deterministik.

Dalam medan yang seperti inilah keluhan-keluhan profetik ala Brecht, Habakuk, Ayub, dan Yesus terbukti masih relevan.***


Daniel Sihombing adalah anggota Kristen Hijau dan tim editor IndoProgress


Kepustakaan

[1] Cf. Terry Eagleton, Marxism and Literary Criticism (London: Routledge, 2002), 60.

[2] Cf. Barbara Foley, Marxist Literary Criticism Today (London: Pluto, 2019), 224.

[3] Bertolt Brecht, Bertolt Brecht: Plays, Poetry and Prose (eds. John Willett and Ralph Manheim; London: Eyre Methuen, 1976), 9 terjemahan dari saya.

[4] Karl Marx, ‘Contribution to the Critique of Hegel’s Philosophy of Right: Introduction’, Robert C. Tucker, Karl Marx, and Friedrich Engels, eds., The Marx-Engels Reader, 2d ed (New York: Norton, 1978), 53 terjemahan dari saya.

[5] Warren S. Goldstein, “An Introduction to Religion and Marxism,” Critical Sociology 31, no. 1–2 (January 2005), 9.

[6] Marx, ‘Contribution to the Critique of Hegel’s Philosophy of Right: Introduction’, 54 terjemahan dari saya.

]]>
Korona dan Kerala: Belajar dari Negara Bagian Merah di India https://indoprogress.com/2020/06/korona-dan-kerala-belajar-dari-negara-bagian-merah-di-india/ Wed, 24 Jun 2020 05:43:19 +0000 https://indoprogress.com/?p=232222

Ilustrasi oleh Jonpey


SEPERTI Amerika Serikat (AS), India menggunakan federalisme sebagai fondasi sistem pemerintahannya. Namun berbeda dari Amerika Serikat, warna merah di India tidak digunakan untuk menggambarkan negara bagian yang dikuasai oleh Partai Republik yang berhaluan konservatif, melainkan mengacu pada Communist Party of India (CPI)dan Communist Party of India (Marxist) (CPI(M)), dua partai kiri yang selama dua dekade terpilih untuk memimpin negara bagian Kerala. Berbeda juga dengan rezim Partai Republik AS di tingkat lokal dan nasional yang terkenal suka memangkas anggaran sosial, pemerintahan kiri di Kerala justru berhasil meningkatkan tingkat partisipasi warga dan menjamin berbagai layanan sosial bagi warganya. Kali ini, saya bermaksud untuk membahas kiprah pemerintahan kiri di Kerala, terutama dalam masa pandemic COVID-19, tepatnya di tengah lockdown atau kuncian sementara yang sangat ketat dilancarkan oleh pemerintah pusat India pada 25 Maret 2020 hingga 30 Juni nanti.

Semenjak penerapan kebijakan lockdown, India mengalami guncangan domestik yang cukup serius. Berbagai permasalahan bermunculan ke permukaan, seperti isu kesenjangan sosio-ekonomi serta konflik dan kekerasan komunal terkait kasta dan agama. Wabah virus Korona semakin memperparah persoalan-persoalan ini. Kemudian, kebijakan lockdown yang ketat yang telah diterapkan oleh pemerintahan Perdana Menteri Narendra Modi yang berkuasa sekarang, dilakukan secara sembrono. Kebijakan ini menimbulkan dampak yang berbahaya bagi berbagai lapisan masyarakat, khususnya kelompok-kelompok rentan dan buruh migran yang menjadi ‘tumbal’ dari percobaan skala besar dengan harga nyawa manusia, seperti yang diilustrasikan oleh penulis Arundathi Roy (2020).

Hingga saat ini, India belum mampu melandaikan kurva penyebaran virus Korona. Berdasarkan data WHO (2020), India menempati posisi ke-5 sebagai negara dengan jumlah kasus COVID-19 terbanyak di antara negara-negara lainnya meskipun pemerintah telah memberlakukan lockdown jauh di tahap awal pandemi. Kenyataan di lapangan menampar pemerintah pusat terkait permasalahan kesenjangan yang kerap kali disembunyikan di balik narasi-narasi ultra-nasionalisme Hindu dan pembangunan merata yang ditujukan bagi seluruh umat Hindu demi mengembalikan masa kejayaan Hindustan (tanah Hindu) yang ditawarkan oleh partai petahana, Bharatiya Janata Party (BJP). Retorika ini sering digunakan oleh Narendra Modi untuk menarik simpati dan popularitas.

Sayangnya, tidak seperti politik di masa pemilihan umum yang bisa digiring ke segala arah untuk menutupi kesenjangan dan kekerasan dalam nadi pemerintahan, dampak sosial pandemi COVID-19 tidak bisa ditutupi oleh orasi ideologi semata. Oleh karena itu, kita memerlukan model alternatif dalam penanganan pandemi. Dalam tulisan ini, saya ingin mencoba memahami model alternatif tersebut dengan mempelajari langkah pemerintahan komunis di India dan kemampuan mereka menangani pandemi global dari Kerala, sebuah negara bagian merah di Selatan India yang menjadi acuan banyak pihak dalam penanggulangan dan respons terhadap pandemi COVID-19.

Selayang pandang politik kiri di India

Kiprah politik CPI dan CPI(M) dapat menjadi acuan kita dalam memahami satu lintasan kiri revolusioner di India. Walau tidak selalu sejalan dengan Indian National Congress (INC) yang dikenal juga sebagai Partai Kongres, partai dominan dalam pemerintahan pasca-kemerdekaan India, kedua partai ini kerap menjadi bagian dari koalisi yang diusung oleh INC yaitu United Progressive Alliance (UPA) di bawah kepemimpinan Jawaharlal Nehru. Yang tidak kalah penting dari partisipasi kedua partai tersebut dalam UPA, kiprah politik mereka sangat penting bagi perjuangan anti-imperialisme, upaya reforma agraria, dan pembentukan pemerintah daerah berbasis partisipasi rakyat pekerja yang efektif (Löfgren, 2016).

Pengaruh UPA kemudian menurun bersamaan dengan kemunduran ekonomi India di awal 1980-an. Terinspirasi nilai-nilai sekularisme, kosmopolitanisme, dan persatuan antar-bangsa yang masih mewarnai ideologi INC, Indira Gandhi selaku pemimpin INC ketika itu memilih kebijakan ekonomi dirigisme dan menutup pasar India melalui sentimen anti-Barat, serupa dengan pemimpin-pemimpin Amerika Selatan pada zamannya. Resep ekonomi ini juga dibumbui industrialisasi besar-besaran. Tetapi, hal ini rupanya membuat pasar menjadi jenuh dan angka kemiskinan naik. Kondisi ekonomi India dianggap tidak membaik sama sehingga turunlah popularitas koalisi UPA yang dianggap kaku dalam mempertahankan model ekonomi yang populistik dan bernuansa kiri (meski tidak sepenuhnya sosialis) (Kohli, 2004; Mukherji, 2009).  

Walhasil, pada 1990-an, Partai Kongres, yang ingin menampilkan wajah baru yang pro-globalisasi, mendorong India untuk membuka diri via liberalisasi ekonomi dan membuang nilai-nilai kiri yang dianggap telah memperlambat pertumbuhan ekonomi. Kebijakan ini diterapkan pada 1991 ketika koalisi Kongres dipimpin oleh Narashima Rao (Nayyar, 2004). Tatanan ekonomi-politik yang demikian juga mengikis popularitas gerakan kiri di panggung politik India. Gerakan dan ideologi kiri juga kerap dikaitkan dengan perjuangan masa-masa sulit, kemiskinan, atau taktik perjuangan bersenjata dari kelompok kiri insureksionis seperti Naxalite (Löfgren, 2016).

Sentimen anti-kiri juga keras digaungkan oleh BJP selama kampanye dan memerintah. Rezim BJP menggambarkan siapapun yang berideologi Komunis atau menjadi bagian dari gerakan kiri sebagai kelompok anti-nasionalis atau bahkan pemberontak negara yang perlu dibasmi. Jika Anda diasosiasikan dengan kiri, maka Anda akan dianggap melawan negara. Anda akan dituduh sebagai penyebab kemunduran ekonomi dan bagian dari masa-masa sulit India.

Seiring padamnya pengaruh politik kiri di pemerintah pusat, CPI dan CPI(M) tidak lagi mewarnai pemilihan umum di India. Sebaliknya, mereka tumbuh dan mengakar di negara bagian Kerala. Menariknya, Kerala yang dipimpin oleh partai-partai merah ini justru menjadi model kesuksesan dalam penangan pandemi global. Kerala menunjukan kesiapan menghadapi permasalahan yang muncul bersamaan dengan virus Korona melalui pengelolaan yang kompak dan tepat tujuan dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah yang berdaya dan mampu menjalankan sistem swakelola.

Kerala, Komunisme, dan Korona

Ketika masuk ke India, tak ada yang menyangka bahwa virus Korona akan membongkar kecacatan retorika politik Narendra Modi. Kebijakan lockdown yang mendadak dan brutaltidak serta merta menghentikan persebaran virus. Sebaliknya, ibarat shock therapy yang diterapkan pemerintah kepada seluruh elemen masyarakat di India, lockdown menyebabkan mobilitas masyarakat dibatasi secara ketat dan hampir seluruh kegiatan ekonomi dihentikan. Berbagai negara bagian seperti daerah Ibukota New Delhi dan Maharastra bertekuk lutut, tidak siap dalam menghadapi kedatangan virus ini—terlebih imbas ekonomi-sosial yang dibawanya. Namun, Kerala terbukti dapat bertahan, bahkan menunjukan harapan jangka panjang. Perkembangan ideologi Komunisme di Kerala dan praktik politik yang emansipatoris menjadi kunci dalam perumusan dan pelaksanaan kebijakan guna menghadapi pandemi global ini.

Sebelum terpecah menjadi dua, Partai Komunis India/CPI merupakan komponen penting dari perjuangan anti-imperialisme dan anti-kapitalisme. Ideologi kiri CPI menjadi fondasi pembentukan aliansi buruh dan petani yang mampu menggerakan mereka untuk menjadi bagian dari revolusi. Selepas kemerdekaan India, partai ini mulai terlibat ke arah politik parlemen dan bercita-cita untuk masuk ke arena pemerintahan. Cita-cita ini dibuktikan dengan kemenangan pertama mereka di pemilu legislatif di Kerala pada 1957 (Sharma dan Datta, 2019).

Partai ini kemudian menerapkan budaya kontra-hegemoni dalam membangun Kerala (Irschick dan Menon, 1996). Dalam perkembangannya, sebagian besar kaum kiri di Kerala kemudian bergabung dalam formasi CPI(M), setelah CPI(M) memutuskan berpisah dengan CPI karena perbedaan analisis dan garis politik dalam melihat situasi India dan juga pengaruh perpecahan Uni Soviet dan Republik Rakyat Tiongkok. Agenda utama dari CPI(M) adalah menggunakan negara untuk merekonstruksi tatanan ekonomi-politik di tingkat lokal agar masyarakat sipil—yang didominasi oleh organisasi-organisasi massa yang berafiliasi dengan CPI(M) dan serikat-serikat rakyat lainnya—bisa mengalokasikan dan memakai sumber daya negara dengan lebih demokratis (Williams, 2008). Dalam dua dekade terakhir, budaya kontra-hegemoni yang tadi dibangun mampu mengorganisir komunitas-komunitas kecil ke dalam unit-unit produksi skala kecil. Unit produksi skala kecil inilah yang menjadi kunci penanganan pandemi di Kerala.

Sistem pemerintahan negara bagian Kerala berlandaskan pada pemerataan produksi dan distribusi melalui mekanisme bottom-up yang memberikan ruang bagi pekerja lokal untuk mengelola unit produksinya masing-masing.Sejak 1996, Kerala telah memberi kuasa kepada komunitas terhadap pengelolaan daerah yang diinisiasi oleh People’s Plan Campaign atau Kampanye Perencanaan Masyarakat melalui alokasi dana langsung ke desa-desa atau panchayat (Ghai, 2000). Melalui kebijakan ini, komunitas dapat mendefinisikan prioritas pembangunan mereka sendiri. Salah satunya dengan memperkuat fasilitas kesehatan masyarakat. Sistem penyediaan pelayanan kesehatan tingkat primer dan sekunder berada di bawah pengawasan langsung pemerintah daerah. Di masa pandemi, infrastruktur ini kemudian terbukti mempermudah pelaksanaan tes cepat dan terpadu serta proses karantina yang terstruktur, yang kemudiuan memberikan gambaran jelas bagi pemerintah negara bagian Kerala untuk meratakan kurva pandemi (Khalid, 2020).

Selanjutnya, Kerala memulai Misi Pemberantasan Kemiskinan (Kudumbashree) pada 1998 guna mendukung keberlangsungan program kesehatan tersebut. Tujuan utama dari misi ini adalah pemberdayaan ekonomi dan mendorong perubahan sosial yang dimotori kaum perempuan dalam skala lokal (Parthasarathy et al., 2018). Kudumbashree memegang peran yang sangat penting dalam penanganan pandemi Korona dengan bekerja pararel bersama pemerintah dalam membangun 4.503 kamp bantuan untuk pekerja migran dan mendirikan 500 dapur umum di seluruh penjuru Kerala. Selain itu, kelompok ini juga bertanggungjawab menyediakan pengiriman makanan dan kebutuhan pokok langsung ke rumah-rumah (Varna, 2020).

Berkat perencanaan yang mendalam dan berbasis komunitas inilah pemerintahan kiri Kerala mampu memenuhi kebutuhan warga secara rinci. Kebutuhan para pekerja migran di seluruh negara bagian pun terpenuhi. Situasi ini sangat berbeda dengan pemerintah di negara bagian lainnya seperti Maharastra dan Daerah Ibukota Delhi yang menjadi saksi dari eksodus besar-besaran ribuan buruh migran yang berusaha untuk pulang ke desanya masing-masing di tengah lockdown, yang mengakibatkan kematian bagi banyak buruh migran yang memilih untuk pulang ke kampung halaman menggunakan jalan ini.

Sampai akhir Mei, tercatat lebih dari 1000 kasus Covid-19 dengan tingkat kesembuhan di atas 50%, dan delapan pasien yang meninggal di Kerala. Ini merupakan pencapaian yang cukup signifikan. Berdasarkan data dari bulan April dan Mei, Kerala dinilai berhasil melandaikan kurva pandemi Covid-19. Walau demikian, pemerintah Kerala tidak langsung bernapas lega atas prestasi sementara karena negara bagian ini memiliki agenda penting pasca-relaksasi lockdown, antara lain persiapan menghadapi gelombang kepulangan para buruh dari negara-negara teluk Arab, terbukanya perbatasan antar negara bagian, dan peningkatan kewaspadaan akan banjir musiman yang biasanya terjadi pada musim hujan (dimulai antara bulan Juli-Agustus).

Saat ini, negara bagian lain termasuk yang terpukul cukup keras seperti Maharastra memohon bantuan teknis dari Kerala agar bisa dikirimkan suplai tenaga kesehatan dan kebutuhan terkait, sedangkan negara bagian lain dihimbau untuk menjadikan Kerala sebuah contoh keberhasilan penanggulangan pandemi. Namun, berkaca dari pengalaman Kerala, dapat dilihat bahwa koordinasi dan komunikasi dengan warga bukanlah sistem yang terbangun dalam semalam melainkan telah dipupuk lama dan disirami oleh sistem yang mengukuhkannya.

Melalui sistem desentralisasi dan distribusi yang merata, Kerala seolah menertawakan retorika di pidato-pidato Narendra Modi mengenai penyelamatan nyawa manusia. Dalam pidato pertamanya menjelang lockdown, Modi menekankan ‘jaan hai to jahaan hai’ atau dapat diartikan dengan ‘dunia ini bermakna karena ada kehidupan di dalamnya,’ simbolisasi dari pemerintah yang mengklaim akan mementingkan nyawa manusia alih-alih business as usual. Lucunya, retorika Perdana Menteri Modi yang penuh dengan narasi ‘kemanusiaan’ ini cukup berkebalikan dengan kebijakan India yang biasanya pragmatis demi memajukan pertumbuhan ekonominya dan menguatkan posisinya sebagai kekuatan regional di Asia Selatan agar setara dengan Tiongkok. Namun, kenyatannya kebijakan lockdown yang ketat ini malah jadi eksperimen mengerikan pemerintah India dengan harga nyawa manusia yang menunjukkan betapa kosongnya cita-cita ‘kekuatan regional’ tersebut.

Masa pandemi merupakan mimpi buruk bagi masyarakat India. Kebijakan lockdown serampangan akhirnya menjadi eksperimen politik dengan harga kemanusiaan yang sangat mahal. Tulisan ini memang belum sepenuhnya bisa menangkap warna-warni politik India yang kompleks. Namun, saya ingin memberikan gambaran umum terkait keunikan dari diskursus dan program politik yang ditawarkan gerakan kiri di India di tengah hegemoni politik populis-Kanan yang diusung BJP mendominasi India.

Dalam hal ini, eksperimen politik kiri di Kerala dalam menghadapi pandemi dapat menjadi rujukan bagi segenap kalangan progresif dan siapapun yang memiliki cita-cita tentang dunia yang lebih baik. Sosialisme yang dibangun dari bawah di Kerala rupanya dapat memberikan kebijakan alternatif yang dapat bekerja dengan baik dan memperkuat kapasitas politik rakyat pekerja. Tentu, Kerala tidaklah sempurna. Masih banyak pekerjaan rumah yang perlu dikerjakan oleh pemerintahan CPI(M) dan segenap rakyat pekerja di negara bagian tersebut. Patnaik (2011) misalnya mengkritik administrasi CPI(M) yang dianggapnya tidak mampu membayangkan proyek yang bisa melampaui hegemoni kapitalisme dan mereduksi makna praksis menjadiperubahan-perubahan yang bersifat empirisis, sehingga partai hanya terparku pada perubahan dan reformasi politik skala kecil alih-alih memajukan dan memperdalam orientasi sosialisme revolusioner di Kerala.

Namun, terlepas dari segala kekurangannya, pencapaian Kerala saya pikir dapat dijadikan contoh dan referensi bagi kita semua. Inilah refleksi yang dapat saya jabarkan dari lima babak lockdown selama dua bulan terakhir, yang membuat kemungkinan saya untuk pulang ke Indonesia dalam waktu dekat nihil. Tapi, terperangkap di negeri orang menjadi berkah buat saya. Ada kesempatan yang bisa saya gunakan untuk mempelajari kiprah gerakan progresif di India. Demi waktu luang yang lebih berfaedah, saya putuskan menghabiskan waktu ‘terkurung’ ini untuk belajar dari Kerala, negara bagian merah yang ada di Selatan India.

Mudah-mudahan refleksi ini berguna bagi kawan-kawan gerakan sosial di Indonesia.***

New Delhi, 10 Juni 2020


Habibah Hasnah Hermanadi, mahasiswa Ilmu Politik, University of Delhi


Kepustakaan

Ghai, D. (2000) Social Development and Public Policy, Social Development and Public Policy. doi: 10.1057/9780230374232.

Irschick, E. F. and Menon, D. M. (1996) Caste, Nationalism and Communism in South India, Malabar, 1900-1948, Journal of Interdisciplinary History. doi: 10.2307/205227.

Kohli, A. (2004) STATE-DIRECTED DEVELOPMENT Political Powerand Industrialization in the Global Periphery. 1st edn. Cambridge: Cambridge University Press. Tersedia di: http://repositorio.unan.edu.ni/2986/1/5624.pdf.

Löfgren, H. (2016) ‘The communist party of India (Marxist) and the left government in West Bengal, 1977–2011: Strains of governance and socialist imagination’, Studies in Indian Politics, 4(1), pp. 102–115. doi: 10.1177/2321023016634947.

Mukherji, R. (2009) ‘The State, Economic Growth, and Development in India’, India Review, 8(1), pp. 81–106. doi: 10.1080/14736480802665238.

Nayyar, D. (2004) ‘Economic reforms in India: Understanding the process and learning from experience’, International Journal of Development Issues. Emerald Group Publishing Limited, 3(2), pp. 31–55. doi: 10.1108/eb045843.

Parthasarathy, S. K. et al. (2018) ‘Kudumbashree State Poverty Eradication Mission: A Model Documentation Report on Addressing Intimate Partner Violence (IPV) in India’. Tersedia di: www.icrw.org/asia.

Patnaik, P. (2011) ‘The left in decline’, Economic and Political Weekly, 46(29), pp. 12–16.

Sharma, A. and Datta, D. (2019) ‘How Can Left Politics in India Be Reclaimed ? History of Left Politics in India’, Economic and Political Weekly, 54(31).

WHO (2020) Coronavirus disease COVID-2019, Situation Report – 141. doi: 10.30895/2312-7821-2020-8-1-3-8.

Williams, M. (2008) The Roots of Participatory Democracy: Democratic Communists in South Africa and Kerala, India. 1st edn. New York: Palgrave Macmillan. Tersedia di: http://repositorio.unan.edu.ni/2986/1/5624.pdf.

Media Elektronik

Khalid, S., 2020. Q&A: How Communist-Run India State Became Model In COVID-19 Fight. [daring] Aljazeera.com. Tersedia di: <https://www.aljazeera.com/news/2020/05/qa-communist-run-india-state-model-covid-19-fight-200521112100510.html> [Diakses pada 30 Mei 2020].

Roy, A., 2020. Arundhati Roy: After The Lockdown, We Need A Reckoning. [daring] Ft.com. Tersedia di: <https://www.ft.com/content/442546c6-9c10-11ea-adb1-529f96d8a00b> [Diakses pada 29 Mei 2020].

Varma, V., 2020. Kerala’S 43 Lakh-Strong Women Self-Help Network Power Community Kitchens During Coronavirus Lockdown.

The Indian Express. Tersedia di: <https://indianexpress.com/article/india/kerala/keralas-43-lakh-strong-women-self-help-network-power-community-kitchens-during-coronavirus-lockdown-6334845/> [Diakses pada 30 Mei 2020].

]]>
Perubahan Sosial di Pedesaan di Tanah Papua https://indoprogress.com/2020/02/perubahan-sosial-di-pedesaan-di-tanah-papua/ Mon, 10 Feb 2020 23:54:25 +0000 https://indoprogress.com/?p=139829

Kredit foto: Watyutink


SAMUEL (bukan nama sebenarnya), menunjukkan foto yang dikirim temannya dari tempat perjudian di sudut kota Wamena. Uang kertas seratus ribu bertumpuk-tumpuk di meja, dengan beberapa laki-laki berdiri dan duduk mengelilingi tumpukan uang itu. Samuel berasal dari kampung bergunung-gunung di distrik Samenage, sebuah wilayah terpencil yang kini masuk Kabupaten baru Yahukimo. Ia berkata bahwa banyak sekali uang di meja perjudian di Wamena. Beberapa hari sebelumnya, dia bersaksi seorang kepala kampung kalah judi hingga sebanyak 70 juta rupiah. Keesokan harinya, saya bertemu Daniel (bukan nama sebenarnya), seorang pengacara dari suku Hubula yang menceritakan fakta yang sama. “Ah, 70 juta itu kecil. Kepala-kepala kampung di sini bisa berjudi hingga 300-400 juta.”

Angka-angka ini mengejutkan. Tapi yang tidak kalah mengejutkan adalah bagaimana anak muda seperti Samuel, menyaksikan dan menceritakan kisah-kisah seperti ini dengan teman-temannya. Samuel dan teman bicaranya belum berumur 20 tahun. Pada tahun 1960an, ketika orang Hubula (atau dulu disebut sebagai orang Dani) masih merdeka di dalam kampung-kampung (silimo)-nya, anak muda seperti Samuel akan duduk dengan orang-orang tua di honai, belajar berkebun dan memelihara babi –toh, orang Hubula adalah petani paling canggih di seluruh Melanesia—atau pergi berperang melawan konfederasi musuh (karena orang Hubula terorganisasi dalam konfederasi-konfederasi politik).

Pengalaman Samuel tidaklah unik. Sejak berlakunya otonomi khusus dan pemberlakuan UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang desa, uang semakin banyak beredar di kampung-kampung orang Papua. Meski di Indonesia dan bahkan di banyak bagian dunia, pemberian bantuan langsung tunai kepada orang-orang yang dianggap miskin sudah menjadi doktrin, bukan hanya negara tapi juga lembaga-lembaga global seperti Bank Dunia, di Tanah Papua praktik seperti ini bisa terbilang baru. Dan dampaknya, berbeda dengan wilayah di Indonesia, sangat dramatis. Seperti yang saya ceritakan dengan Samuel, bantuan langsung tunai yang didistribusikan ke desa-desa berpotensi sebagai alat genosida terhadap orang Papua.


Sejarah Pemberian Bantuan Langsung Tunai

Program pemberian dana tunai (Cash Transfer, CT) dimulai pada akhir tahun 1990an di beberapa negara di Amerika Latin. Tujuan pemberian dana ini adalah untuk mengatasi persoalan kemiskinan. Dengan pemberian bantuan langsung tunai, keluarga sangat miskin diharapkan dapat membeli kebutuhan dasar seperti makanan dalam jangka pendek. Secara jangka panjang, pemberian uang ini diharapkan akan meningkatkan investasi sumber daya manusia, terutama ketika digunakan untuk mengatasi persoalan kekurangan gizi (Millán dkk, 2019). Meski program ini dipromosikan oleh lembaga-lembaga kapitalis seperti Bank Dunia, polisiti dari sayap sosialis pun gemar dengan kebijakan ini. Contohnya, presiden Brazil Luiz Inacio Lula da Silva (berkuasa di Brazil dari tahun 2003-2011). Presiden Lula da Silva memperkenalkan sistem bantuan langsung tunai bernama Bolsa Familia pada tahun 2003. Kebijakan ini memberikan uang tunai dengan dua skema: pertama, pemberian dana tunai tanpa syarat; dan kedua, dengan syarat, yakni penerima harus memvaksinasi dan menyekolahkan anaknya. Mungkin skema inilah yang dicoba gubernur Lukas Enembe di Provinsi Papua dengan nama “Bangga Papua” (Bangun Generasi dan Keluarga Papua Sejahtera). Program pemberian bantuan sosial ini ditujukan untuk Orang Asli Papua (OAP) yang memiliki anak usia 0-4 tahun. Setiap anak akan diberikan bantuan sebesar Rp 200.000 per bulan. Menurut pemerintah provinsi Papua, “Bantuan tersebut diharapkan bisa digunakan oleh orang tua penerima manfaat untuk menjaga atau memperbaiki gizi anak dan meningkatkan akses anak kepada layanan kesehatan.”

Di samping inisiatif yang bersifat lokal seperti program Bangga Papua ini, pemerintah pusat sudah mulai memberikan bantuan tunai langsung sejak tahun 2005. Diberlakukan pertama kali oleh Pemerintah Susilo Bambang Yudoyono melalui Inpres No. 12 tahun 2005, bantuan langsung tunai ditujukan untuk membantu keluarga-keluarga miskin dari dampak naiknya harga minyak dunia. Di Tanah Papua, masyarakat asli jarang bahkan hampir tidak pernah menerima dana bantuan langsung ini. Satu-satunya bentuk bantuan yang cukup menonjol dan menciptakan persoalan hingga pedalaman adalah program penyaluran beras untuk rumah tangga miskin (raskin). Program ini sudah dimulai di seluruh Indonesia dari tahun 1998 dengan nama Operasi Pasar Khusus (OPK), kemudian berubah menjadi raskin pada tahun 2002. Meski tampaknya bertujuan baik, program ini memiliki dampak yang negatif di Tanah Papua karena pertama, beras adalah makanan yang diperkenalkan dari luar dan tidak ditanam oleh sebagian besar orang Papua sehingga pemberian raskin dianggap tidak sensitif terhadap budaya Papua. Kedua, kualitas beras yang dikirim dan diberikan ke orang Papua sangat buruk sehingga kebanyakan beras hanya dibuang atau diberikan ke ternak babi.

Meski penting dibahas, program pemberian raskin bisa dibilang tidak memiliki dampak sebesar dan seradikal bantuan langsung tunai dan pemberian dana desa. Kembali ke kasus Samuel, pemberian dana desa memiliki dampak yang lebih massif karena bantuan ini menggunakan struktur kelembagaan kampung. Di Tanah Papua, persoalan ini menjadi semakin parah karena sejak 2007, proses pemekaran dan desentralisasi telah menciptakan kampung-kampung baru. Pada tahun 2001, Badan Pusat Statistik Provinsi Papua mencatat jumlah kampung (kelurahan dan desa) di seluruh Tanah Papua sebanyak 3.361. Pada tahun 2017, jumlah ini meningkat lebih dari dua kali lipat menjadi 7.369 kampung (kelurahan dan desa) (BPS Papua 2002; BPS Papua 2017; BPS Papua Barat 2017). Melalui mekanisme dana desa ini, setiap kampung di Tanah Papua mendapatkan dana tunai langsung sekitar 900 juta yang diberikan dua (sekarang tiga) kali setahun.


Perubahan Sosial Besar-besaran di Tanah Papua

Berbagai pihak, dan terutama pemerintah melihat bantuan langsung tunai dan dana desa memiliki dampak positif bagi masyarakat. Dana desa, misalnya, tidak hanya berhasil mendukung pembangunan infrastruktur kampung seperti jembatan dan fasilitas air bersih, tapi juga dianggap berhasil meningkatkan tingkat partisipasi masyarakat dalam pembangunan. Yang jelas, program ini sangat populer bagi politisi, termasuk Presiden Joko Widodo, yang menggolkan program dana desa ini karena pemberian dana dianggap sebagai sistem baru patronase politik. Namun di Tanah Papua, beberapa dampak negatif dari program-program dana tunai ini jauh lebih besar dari yang diperkirakan, meski setiap program memiliki dampak khususnya sendiri-sendiri. Dampak-dampak ini masih sangat tidak dipahami bukan hanya oleh para akademisi dan pemerintah, tapi juga gerakan sosial dan pembebasan di Tanah Papua. Pertama, dampak negatif terlihat paling jelas melalui sebuah proses yang saya sebut finansialisasi pedesaan. Seperti yang dikatakan oleh Handl dan Spronk (2015), logika di balik program dana tunai adalah bahwa sistem pasar bebas dan konsepsi politik liberal berdasarkan uang akan bisa memecahkan persoalan kemiskinan. Uang, bagi para pendukung bantuan langsung tunai, dianggap satu-satunya solusi.

Di kampung-kampung di Tanah Papua, proses finansialisasi berdampak dua hal. Pertama, terjadinya inflasi nilai dan komoditi di pedesaan. Kehadiran uang dalam jumlah sangat besar membuat proses valuasi dan nilai-nilai barang menjadi sangat tidak masuk akal. Contohnya, harga babi di Wamena, di mana babi menduduki posisi penting dalam budaya orang Hubula, meningkat secara gila-gilaan. Satu ekor babi bisa mencapai 40 hingga 60 juta, sebuah angka yang tidak dapat dijelaskan oleh analisis ekonomi mana pun. Kedua, pelemahan bahkan penghancuran kemerdekaan dan daya penentuan nasib sendiri orang-orang Papua, terutama di desa-desa. Kita mungkin bisa menggunakan teori Marxis di sini yang mengatakan bahwa orang Papua mengalami lompatan dari komunisme primitif ke kapitalisme lanjut. Bahwa orang Papua tidak siap berubah dari ekonomi yang mendasarkan dirinya pada prinsip resiprositas, pertukaran dan kemurahhatian menjadi ekonomi uang. Banyak pengamat, termasuk orang Papua sendiri, menyalahkan orang Papua yang dianggap terbelakang dan tidak tahu administrasi serta manajemen penggunaan dana-dana ini. Argumen ini cocok dengan argumen rasis yang diucapkan oleh birokrat dan ilmuwan-ilmuwan Indonesia sejak tahun 1960an tentang orang Papua (contoh yang paling jelas adalah argumen Koentjaraningrat). Namun kita bisa melihat bahwa dari berbagai studi yang dilakukan tentang dana desa, hampir semua penggunaan dana ini bermasalah dan tidak diikuti oleh transparansi dan akuntabilitas (Setyoko 2011;Pahlevi 2015). Jadi hanya dengan menunjuk kasus Papua sebagai contoh, argumen yang diajukan jelas bersifat rasis dan diskriminatif. Kedua, hampir semua proses penggunaan dan pelaporan dana-dana seperti dana desa, tidak diikuti oleh sistem pengawasan yang ketat. Ini adalah persoalan negara Indonesia, bukan persoalan Tanah Papua (saja).

Aspek lain dari persoalan ini adalah, walau pun tidak unik Indonesia, argumen mendasar dari dana desa adalah “orang miskin” dianggap patologikal (penyakit). Argumen ini terasa sangat bermasalah karena Tanah Papua adalah wilayah kaya, dengan GDPR paling tinggi di Indonesia. Di sini kita harus memeriksa ideologi yang spesifik Indonesia tentang “kemiskinan” dan “masalah” orang Papua. Sejak Tanah Papua diduduki dan dimasukkan ke dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia, ada dua asumsi penting yang dibawa tentara dan orang Indonesia. Pertama bahwa orang Papua miskin karena “penampakan” dan “gaya hidupnya”. Kedua, bahwa orang Papua bermasalah, entah mereka “malas, “kotor”, “terbelakang” “tidak beradab,” dan lain sebagainya. Tentu saja orang Indonesia akan menolak tuduhan bahwa mereka memiliki asumsi-asumsi seperti ini, tapi asumsi-asumsi ini terlihat dengan jelas dalam kebijakan-kebijakan pemerintah dan perlakuan orang Indonesia, baik pendatang di Tanah Papua maupun orang Indonesia di Indonesia (termasuk akademisi dan wartawan) mengenai tingkat peradaban orang Papua.

Kembali ke kasus Wamena, hampir semua antropolog dan sejarawan Melanesia bersepakat bahwa orang Hubula memiliki tingkat ketrampilan dan pengetahuan pertanian paling maju di kawasan Asia Pasifik—bahkan mungkin di dunia. Sejak 7000-9000 tahun yang lampau (Brookfield 1970; Szalay 1999), orang-orang Hubula sudah mendomestifikasi babi dan menanam puluhan jenis ubi dan tanaman lain di kebun-kebun subur mereka di Lembah Baliem. Ketika Indonesia datang, kata “terbelakang”, “kotor,” dan “malas” mulai diperkenalkan sebagai karakter orang Hubula, kata-kata yang tidak dikenal sebelumnya di kawasan ini. Mungkin ingatan kita terhadap ketrampilan dan capaian orang Hubula ini diwarnai oleh romantisme, tapi kembali ke kasus Samuel, anak muda seperti Samuel dan teman-temannya tidak lagi berkebun. Berdasarkan pengamatan saya dan wawancara dengan teman-teman Hubula dan para pastor yang bekerja lama di Lembah Baliem, terlihat dengan jelas turunnya semangat berkebun di kalangan orang Hubula. Perempuan masih melihara babi dan membuka kebun, tapi dibandingkan dengan dokumentasi tahun 1960an yang direkam antropolog Karl Heider (1972 dan 1997), misalnya, telah terjadi penurunan jumlah babi, pesta babi dan produk pertanian dari Lembah Baliem. Justru sekarang produk seperti beras, cabai (rica), bahkan komoditi paling penting di Wamena seperti babi, didatangkan dari luar Lembah Baliem.

Dengan menurunnya keinginan berkebun (yang juga dampak dari tidak dilihatnya pertanian sebagai pilihan karir anak-anak muda Papua yang bersekolah tinggi), menurun juga tingkat indepedensi dan otonomi mereka. Orang Papua semakin tergantung makanan dari luar dan distribusi berbagai dana tunai. Kedua, karena dana-dana ini tidak didapat dengan bekerja, ikatan antara individu dengan uang menjadi sangat cair. Tidak heran kepala-kepala kampung akan segera ke kota untuk “membuang” uangnya di meja perjudian atau di tempat alkohol atau prostitusi setelah distribusi bantuan langsung tunai. Seperti kata Marx, alienasi terjadi tapi bukan melalui proses produksi dan menjadi buruh, tapi melalui konsumsi dan menjadi konsumen. Proses ini bukan hanya terjadi di kota-kota atau pun enclaves pertambangan seperti Timika, tetapi justru terjadi paling massif di pedesaan.

Oleh karena itu, artikel ini berargumen bahwa bukan hanya bahwa program-program pembangunan seperti dana desa tidak memperhatikan masalah khusus dan aspek identitas politik terutama ras orang Papua, namun ia bisa menjadi teknologi baru genosida. Studi-studi tentang penjajahan sekarang ini mengatakan bahwa penjajahan tidak hanya diperlihatkan dengan proses pembunuhan besar-besaran atau pun eksploitasi sumber daya alam—hal ini pun terjadi di Tanah Papua, namun juga pembiaran dan penciptaan sistem yang menghancurkan kebudayaan, otonomi dan daya hidup masyarakat terjajah. Meski kita tidak bisa sepenuhnya menyalahkan pemerintah dan lembaga-lembaga seperti Bank Dunia yang menciptakan dan mendukung program-program seperti dana desa dan bantuan tunai ini—elite-elite Papua pun terlibat menjadi, meminjam kata-kata antropolog dan sejarawan Benny Giay, “tim sukses” penghancuran orang Papua. Namun mungkin kita harus melihat proses ini sebagai sistem kolonialisme baru pemukim (settler colonialism) di mana logika penjajahan bukan saja eksploitasi tapi eliminasi bangsa terjajah (Wolfe 2006).***


Veronika Kusumaryati, antropolog, Universitas Harvard


Kepustakaan:

Badan Pusat Statistik Provinsi Papua. 2002. Papua dalam Angka. Jayapura: BPS Provinsi Papua.

Badan Pusat Statistik Provinsi Papua. 2017. Papua dalam Angka. Jayapura: BPS Provinsi Papua.

Badan Pusat Statistik Provinsi Papua Barat. Papua Barat dalam Angka. Manokwari: BPS Provinsi Papua Barat.

Brookfield, H.C. with Hart, D. 1971. Melanesia: A Geographical Interpretation of an Island World. Melbourne: Melbourne University Press.

Fiszbein, Ariel, Norbert Schady, Francisco H.G. Ferreira, Margaret Grosh, Niall Keleher, Pedro Olinto, Emmanuel Skoufias. 2009. “Conditional Cash Transfers: Reducing Present and Future Poverty.” World Bank Policy Research Report. Washington, DC: World Bank. https://openknowledge.worldbank.org/handle/10986/2597

Handl, Melisa dan Susan Spronk. 2015. “With Strings Attached.” Jacobin, November 24. https://jacobinmag.com/2015/11/conditional-cash-transfers-cct-latin-america-pink-tide-kirchner-bolsa-familia-lula-poverty

Heider, K. G. 1972. “The Grand Valley Dani Pig Feast: A Ritual of Passage and Intensification.” Oceania 42(3): 169-97.

Heider, K. G. 1997. Grand Valley Dani : Peaceful Warriors. Fort Worth: Harcourt Brace College Publishers.

Millán, Teresa Molina, Tania Barham, Karen Macours, John A Maluccio, Marco Stampini. 2019. “Long-Term Impacts of Conditional Cash Transfers: Review of the Evidence.” The World Bank Research Observer 34 (1):119–159.

Pahlevi, Indra. 2015. “Dana Desa dan Permasalahannya.” Info Singkat Pemerintahan Dalam Negeri 17(1): 17-20.

Setyoko, Paulus Israwan. 2011. “Akuntabilitas Administrasi Keuangan Program Alokasi Dana Desa (ADD).” Jiana: Jurnal Administrasi Negara 11(1):14-24.

Szalay, A. 1999. Maokop: The montane cultures of central Irian Jaya: environment, society, and history in highland West New Guinea. PhD diss. Sydney: University of Sydney.

Wolfe, Patrick. 2006.” Settler colonialism and the elimination of the native.” Journal of Genocide Research 8(4): 387-409.

]]>
Revitalisasi Gerakan Kaum Muda Progresif Pasca Reformasi https://indoprogress.com/2020/01/revitalisasi-gerakan-kaum-muda-progresif-pasca-reformasi/ Mon, 20 Jan 2020 00:13:32 +0000 https://indoprogress.com/?p=123679

Kredit foto: Alinea


ERA Reformasi yang dimulai oleh kaum muda bersama gerakan rakyat lainnya pada dua puluh satu tahun lalu, kini tampak tak berjalan mulus seindah ideal. Banyak kegagalan yang bangsa ini alami. Periode transisi, konsolidasi dan demokratisasi tampak stagnan, bahkan semakin mundur. Segenap elite politik berlomba-lomba membangun istana korupsi, merangkul oligarki, membatasi ruang gerak aktivis, mengamputasi kebebasan pers, merumuskan legislasi yang kontraproduktif dan memanggil pulang elite yang dibesarkan Orde Baru dengan mengenakan dasi Reformasi.

Membaca jejak-jejak Reformasi yang telah dikorupsi tersebut, sejumlah besar kaum muda dan gerakan rakyat lainnya kembali turun ke jalan pada tanggal 23 September 2019, di beberapa kota di Indonesia. Mereka mengumandangkan revitalisasi narasi Reformasi sembari melawan ketidakberesan elite politik dalam mengurus kepentingan publik. Jika tahun 1998 common enemy mereka adalah rezim Orde Baru yang otoriter, maka dalam aksi kaum muda 2019 common enemy mereka bukanlah rezim otoriter, tetapi oligarki. Demokrasi telah dikorupsi oleh elite politik yang berhasil mentransformasi diri melalui pintu demokrasi.

Berhadapan dengan krisis politik ini, konsolidasi gerakan kaum muda progresif menjadi suatu keniscayaan. Oleh karena itu, perlu penguatan gerakan kaum muda progresif dalam memainkan perannya sebagai kekuatan politik nasional. Namun, gerakan kaum muda progresif mengalami kemunduran pasca Reformasi. Gerakan kaum muda pasca Reformasi tidak dibarengi dengan ideologi yang memadai dan kelemahan dari sisi organisasi. Karena itu, penguatan kaum muda progresif perlu digiatkan melalui kerja-kerja intelektual progresif dan konsolidasi internal dalam usaha penguatan basis organisasi.


Krisis Politik Pasca Reformasi

Reformasi membawa terang bagi masyarakat Indonesia yang telah lama tinggal dalam gua kegelapan Orde Baru. Gerakan Reformasi ini terkristalisasi dalam kurang lebih enam tuntutan utama. Keenam tuntutan tersebut adalah: pertama, supremasi hukum; kedua, pemberantasan KKN; ketiga, pengadilan mantan Presiden Soeharto dan kroninya; keempat, amandemen konstitusi; kelima, pencabutan dwifungsi ABRI (TNI/POLRI) dan keenam, pemberian otonomi daerah seluas-luasnya.

Demokrasi berhasil diraih, kebebasan diperoleh, hak asasi manusia berhasil diratifikasi. Namun, dua puluh satu tahun sesudah apa yang disebut Reformasi, segala semangat gembira sudah menguap. Di satu sisi, Reformasi berhasil mewujudkan demokrasi serta meratifikasi hak-hak asasi manusia ke dalam undang-undang, dan menciptakan iklim kebebasan berpendapat.  Namun di sisi lain, sebagian besar agenda Reformasi ‘gagal total’. Reformasi telah mencapai jalan buntu. Kita seolah diseret dalam peta politik Orde Baru di mana pers dibungkam, korupsi merajalela, oligarki membajak demokrasi, pelanggaran dan kejahatan HAM terus terjadi, pemerkosaan terhadap hukum, ketimpangan agraria, kesenjangan ekonomi yang kian mengganga lebar, kriminalisasi KPK, dan berbagai krisis lainnya mencuat.

Pada titik ini, politik pasca reformasi tidak lagi menjadi instrumen kesucian untuk mengabdi pada kesejahteraan umum. Merujuk pada pemikiran Featherstone, dunia perpolitikan kita pasca Reformasi menjadi dunia seolah-olah (virtual reality). Negara disebut demokratis, tetapi nepotisme bertumbuh subur. Fokus pada divestasi, namun kebanyakan memperkaya kantong pribadi. Target negara adalah pemberantasan korupsi namun selalu ada jalan untuk berkonspirasi dengan koruptor.

Bertolak dari kenyataan di atas, Jeffrey A.Winters (2014: 202) mengklaim bahwa teori paling baik untuk membaca pemakzulan cita-cita Reformasi dalam ekonomi politik Indonesia adalah teori oligarki. Selain itu dalam analisis Richard Robison dan Vedi R. Hadiz, demokrasi di Indonesia pasca Reformasi mengalami kemunduran karena dibajak oleh oligarki sejak awal demokratisasi. Sebabnya, ketika Orde Baru tumbang tidak ada kekuatan progresif yang bisa menggantikannya. Kelompok elite lama, yang selama masa Orde Baru bersekongkol dengan Soeharto, hanya berganti baju reformasi tapi tetap mempertahankan ideologi dan cara kerja Orde Baru.


Revitalisasi Gerakan Kaum Muda Progresif

Aneka krisis yang menggurita dalam era Reformasi memunculkan sebuah kebutuhan akan adanya gerakan kaum muda progresif untuk menentang pemakzulan terhadap cita-cita Reformasi. Dalam konteks penciptaan gerakan kaum muda yang progresif, maka perlu kita kembali melihat dalam perspektif kelas sosial. Tidak sekadar klaim atau frasa bombastis, namun turut dalam upaya pendiseminasian pengetahuan sampai di basis sosial. Salah satu yang dapat diupayakan adalah melakukan transmisi pengetahuan yang mudah dicerna oleh basis rakyat, mendorong suatu praktik-praktik pengorganisasian yang nantinya tercipta gerakan organisasi yang solid. Kemudian dengan konsisten melakukan kerja-kerja pentransmisian pengetahuan dan menyolidkan organisasi.

Namun pasca reformasi, gerakan kaum muda progresif dihadapkan pada pluralitas gerakan yang luar biasa. Secara kualitatif dan kuantitatif, gerakan kaum muda mengalami penurunan. Menurut Ari Priyatno (2012: 177), ada beberapa kelemahan gerakan kaum muda pasca reformasi.  Pertama, gerakan kaum muda lemah dalam hal ideologi. Secara historis, gerakan kaum muda 98 muncul karena salah satunya dan paling mendasar adanya krisis ekonomi. Kaum muda bergerak karena ekonomi lumpuh total, harga kebutuhan pokok naik dan PHK dimana-mana. Kesadaran ekonomis ini kemudian berhasil disublimasikan dalam kesadaran politik.

Kondisi tersebut jelas berbeda dengan gerakan 90-an, di mana gerakan kaum muda berawal dari kelompok-kelompok diskusi. Dari diskusi-diskusi yang dilakukan, kaum muda menjadi sadar tentang apa yang harus dilakukan, bahwa sistem koruplah yang menyebabkan negara berada dalam puncak krisis. Oleh karena itu, kontinuitas gerakan terpelihara. Perdebatan-perdebatan teoretik berlangsung secara dinamis, sehingga selalu timbul perspektif yang mencerahkan (Ari Priyatno, 2012:178).

Kedua, kelemahan dalam hal organisasi, yakni tidak adanya organisasi nasional yang menyatukan seluruh gerakan kaum muda. Ini berdampak pada tidak adanya kesatuan aksi di antara gerakan kaum muda yang ada. Masing-masing gerakan berjalan sendiri-sendiri. Tidak adanya kesatuan aksi yang berakibat pada fragmentasi gerakan.

Dua halangan ini membuat gerakan kaum muda pasca Reformasi kurang berperan penting dalam memperjuangkan kepentingan rakyat seperti dalam era-era sebelumnya. Gerakan mahasiswa pasca Reformasi, misalnya, cenderung terkotak-kotak. Kondisi ini memang disebabkan oleh beberapa hal, salah satunya kondisi zaman di mana sistem politik mulai terbuka dan demokratis. Oleh karena itu, perlu adanya adaptasi dan revitalisasi gerakan.

Dalam konteks itu, saya menawarkan dua poin berikut dalam merevitalisasi gerakan kaum muda progresif pasca Reformasi.

Pertama, gerakan ideologis. Kaum muda perlu mempunyai pandangan, sikap dan tindakan yang didasarkan pada kerangka ideologis. Dalam modal ideologi, dikenal tiga dasar yaitu visi, keyakinan dan nilai. Visi merupakan rumusan mimpi seseorang. Keyakinan menunjukan bagaimana seseorang atau organisasi memberikan makna. Nilai-nilai merupakan turunan yang bersifat lebih operasional dari keyakinan.

Untuk sampai pada pemahaman ideologi yang benar, kaum muda harus melewati tahapan-tahapan penting, mempelajari teori-teori yang dianggap bisa menjadi pedoman gerakan progresif. Dengan demikian, sangat penting bagi kaum muda progresif untuk melakukan diskusi-diskusi tentang teori-teori progresif, membuka kembali buku-buku klasik bernuansa revolusioner. Selama ini sebagian besar kaum muda disibukkan dengan aksi-aksi, sehingga tidak sempat secara intensif mempelajari teori. Karena itu tak heran kalau mudah terombang ambing (Ari Priyono, 2012: 185).

Kedua, konsolidasi gerakan melalui organisasi. Organisasi ini penting sebagai ruang diseminasi gagasan, mobilisasi massa dan kaderisasi kepemimpinan. Organisasi yang dibutuhkan adalah organisasi yang memiliki program, strategi dan taktik yang jelas sampai isu dan tuntutan.***


Rio Nanto adalah mahasiswa Sekolah Tinggi Filsafat Katolik Ledalero, Maumere


Kepustakaan:  

Prayitno, Ari.  2012. “Literasi Politik Melalui Gerakan Mahasiswa Indonesia”, dalam Andi Faisal Bakti, dkk, (eds.) Literasi Politik dan Konsolidasi Demokrasi. Jakarta: Churia Press.

Railon, Francois. 1986. Politik dan Ideologi Mahasiswa Indonesia: Pembentukan dan Konsolidasi Orde Baru 1966-1974. Jakarta: LP3ES.

Tim ISAI.1995. Bayang-bayang PKI. Jakarta: ISAI.

Winters, Jeffrey. 2014. “Oligarki dan Demokrasi di Indonesia”, dalam AE Priyono dan Usman Hamid (eds.) Merancang Arah Baru Demokrasi Indonesia Pasca Reformasi. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.

]]>
Politisasi “Penodaan Agama” Pertama di Palopo https://indoprogress.com/2020/01/politisasi-penodaan-agama-pertama-di-palopo/ Thu, 09 Jan 2020 01:49:09 +0000 https://indoprogress.com/?p=115268

Eka Trisusanti Toding (tengah). Kredit foto: Palopo Pos-Fajar


Eka Trisusanti Toding, yang dituduh menodai agama Islam, punya masalah kesehatan mental


TUJUH minggu sebelum putusan Eka Trisusanti Toding – sebelas November 2019 – sebuah surat pemberitahuan sakit dikeluarkan oleh Lapas (Lembaga Pemasyarakatan) Kelas II A Kota Palopo, Sulawesi Selatan. Dalam surat, terang tertulis jika Eka Toding sering berbicara sendiri, sering melamun, mudah marah, sulit tidur pada malam hari, dan menarik diri dari lingkungan sosial.

Surat itu serupa jawaban atas keyakinan Yunus Toding, ayah Eka, kalau anaknya punya masalah kesehatan mental. “Saya yakin dari rekam jejaknya mulai kecil sampai sekaranglah,” jawabnya ketika saya tanyai kondisi mental anak ketiganya itu. Anaknya telah dituduh melakukan penodaan agama.

Eka Trisusanti Toding dipenjarakan dengan Undang-undang Informasi Transaksi Elektronik (UU ITE) yang dikenal mengancam kebebasan berekspresi di Indonesia. Eka dilaporkan oleh kader FPI (Front Pembela Islam) Kota Palopo, Rahman Paliling, pada pertengahan bulan Juli 2019. Pasalnya Eka meneruskan sebuah video dari akun Youtube Christian Prince: pengakuan mengejutkan imam Australia tentang Islam, dan menambahkan sebuah keterangan seperti yang ditonton: “Muhammad adalah orang munafik, Nabi lapar seks, jihad meledakkan diri sendiri untuk mendapatkan 72 bidadari, Muhammad kencing sambil berdiri ke binatang, Aisyah istri Muhammad adalah seorang teroris.. .”

Dari tangkapan layar yang dikumpulkan oleh pelapor, Eka mulai meneruskan video Christian Prince ke Facebooknya pada 2 Juli 2019. Ada dua postingan, yang pertama dia menuliskan, ”Christian Prince mengungkapkan jika Islam agama seksual, dimana cara berdoa umat muslim tidak tercatat di quran namun diadopsi dari penyembahan batu bentuk vagina…” Kedua, dia menuliskan “Christian Prince: menyatakan dalam videonya kalau Muhammad itu hanyalah Nabi palsu yanag ajarannya hanyalah berupa tiruan…”

Lantas postingan Eka menuai respon. Ada yang sekadar mengompor-ngompori sampai mengancam akan memolisikannya.

Karena postingan itu ramai diperbincangkan, akhirnya di Sabtu malam 13 Juli 2019, Bripka Jacky Jenifeer Galela, Bhabinkamtibmas (Bhayangkara Pembina Keamanan dan Ketertiban Masyarakat) Kelurahan Luminda, Kecamatan Wara Utara datang menemui Eka di rumahnya.

Yunus Toding, tak mengira kedatangan sang polisi. Mengetahui maksud kedatangannya, ia segera memanggil Eka turun dari kamar. Di ruang tamu hanya ada empat orang termasuk Githa Vera (28), adik perempuan Eka. Mereka mencoba membujuk Eka untuk menghapus postingannya.

Vera menceritakan kalau Jacky sendiri sudah melihat gelagat aneh dari kakaknya, yang keras kepala dan merasa benar. “Eka stop moko ada yang lain dari kau,” kata Vera menirukan Jacky. “Dia (Eka)  hapus malamnya, dia posting lagi paginya,” lanjutnya.

Pada malam yang sama, di seberang sungai Lapender yang membatasi kelurahan Luminda – Masjid Agung, Rahman Paliling menginisiasi sebuah pertemuan dengan 10 jemaah masjid Agung yang tergabung dalam kelompok Abu Sayyaf, di salah satu sudut rindang kanan masjid. Tempat mereka sering berkumpul sekadar main catur atau bercengkrama sembari minum kopi di siang hari.

Di malam konsolidasi itu, Rahman memantau Facebook Eka dengan telepon genggamnya. Siapa tahu ada unggahan yang baru, namun yang ditunggu-tunggunya tidak ada. Sementara diskusi berlangsung, tetiba ada yang mengusulkan untuk mendatangi rumah Eka malam itu juga. Bahkan ada yang dengan emosional mengatakan “kita bakar saja!” Karena cukup dituakan, Rahman bisa meredam emosi kawan-kawannya. “Kalau kita ke sebelah rame-rame, pasti kita ribut.” Sehingga mereka bersepakat untuk melaporkan Eka ke Kapolres besoknya.

***

Di pagi penangkapan, 14 Juli 2019, dua orang polisi datang ke rumah Eka Trisusanti Toding. Mereka mengendarai motor. Eka yang baru saja bersiap-siap ke gereja, tak menyangka polisi datang menangkapnya pagi itu. Sebelum polisi datang, ia masih sempat membentak Ayahnya. “Mentong kita (kamu) Pak, dasar orang tua kurang ajarki, orang tua iblis, kita kasi takut-takutka mauka ditangkap,” Vera menirukan.

Sementara itu, selepas jam duabelas siang, Rahman bersama 30 orang kelompok Abu Sayyaf berkumpul di Masjid Agung. Mereka baru mau ke Polres. “Kita-kita yang sering nongkrong di sini,” kata Rahman. Sampai di sana, mereka heran karena orang yang hendak dilaporkan sudah berada di ruangan dan tengah disidik.

Rahman dan kawan-kawan datang dengan dalih bahwa Eka telah melanggar Pasal 156a KUHP, Undang-undang Penodaan Agama. Tapi mereka tak tahu secara pasti apakah undang-undang itu ada. Polisi lalu menerjemahkan tuntutan pelapor dengan Undang-undang Informasi Transaksi Elektronik (UU ITE) Pasal 45A ayat 2 Jo Pasal 28 ayat 2 nomor 19 Tahun 2016, pasal 28 ayat 2 Jo Pasal 45 a ayat 2 UU nomor 19 2016, dengan ancaman hukuman enam tahun penjara.

Rahman bertanya ke penyidik, tapi lebih tepat meyakinkan dirinya, apakah benar tidak ada pasal yang mengatur khusus soal penodaan agama? “Tidak ada bahasa penistaan agama di situ,” Rahman menirukan jawaban penyidik. “Saya kurang tahu juga apa maksudnya,” lanjutnya.

Kasat Reskrim Polres Palopo, AKP Ardy Yusuf mengatakan, karena Eka mengunggah sebuah ujaran kebencian melalui media media makanya dia dipidanakan dengan UU ITE. “Ketersinggungan masalah agama itu yang kita tindak lanjuti. Itu sudah menyebar tapikan awalnya dari Facebooknya Eka sendiri.”

Kepala Seksi Intelijen Kejaksaan Negeri Palopo, Amri Kurniawan menjelaskan, salah satu segmen yang bisa dijadikan materi pelaporan di UU ITE termasuk tentang penodaan agama. “Kata-kata yang dilemparkan, kata-kata yang dibuat bersinggungan dengan agama.”

Tiga hari setelah Eka ditahan dengan UU ITE, Yunus Toding mengajukan surat permohonan pemeriksaan kesehatan. Vera menceritakan kalau permohonan itu juga dimasukkan atas saran dari penyidik. Tapi entah kenapa permohonan keluarga Eka tidak diindahkan.

Kalau alasan dari Kasat Reskrim Polres Palopo, ia masih menganggap Eka normal. “Komunikasinya masih bagus,” kata Ardy Yusuf. Di ruangan yang berbeda, Ardyanto Randa Bunga (penyidik pembantu) beralasan kalau Eka sendiri yang tidak mau diperiksa dan mengaku sehat.

Sementara Vera, adik Eka, dengan tegas mengatakan, “Eka tidak mau. Siapa yang (mau) mengaku dirinya gila.” Dan dari pengakuan Eka sendiri, kalau ada yang secara sengaja meneruskan postingannya ke sebuah grup sehinggan jadi viral.

Pengakuan Eka di atas berbeda dari yang disampaikan pihak penyidik. Mereka mengelak, “tidak, tidak ada yang teruskan ke OLX Palopo. Yang kami dapatkan dia cuma tulis status di akunnya sendiri dan banyak netizen yang baca di situ,” jawab Ardyanto Randa Bunga. “Tidak diteruskan bos, dia tulis sendiri tidak ada yang teruskan,” tekannya lagi.

Sedangkan beberapa hasil tangkapan layar, akun Reany Bebwhitec misalnya, meneruskan postingan Eka dan beberapa fotonya ke group OLX KOTA PALOPO serta mengomentari dengan seruan akan melaporkannya ke polisi. Pula Rahman Paliling sendiri meneruskan postingan Eka ke Group Facebook Luwu Raya Info dan menanyakan apakah unggahan Eka tergolong “penodaan agama” dan “penyebar hoax” dan undang-undang apa yang digunakan untuk memidanakannya.

Duduk perkara inilah yang sempat dipermasalahkan oleh hakim di persidangan kedua Eka. Siapa yang sebenarnya menyebarkan? Menurut Yunus Toding, pihak pelapor pun gelagapan saat ditanyai karena mereka sendiri tidak membaca langsung secara utuh unggahan anaknya.

***

Air muka sedih Yunus Toding semakin kentara, matanya memerah – berkaca-kaca. Mencoba tegar ia menatap jauh dan kosong. Putih lampu tumpah di pipi, menggelapkan sisi mukanya yang lain. Yunus mengingat bahwa di usia anak-anak kelas tiga sekolah dasar, Eka pernah digigit Anjing. Ia mencurigai anaknya terinfeksi rabies.

Alfonso (51), tetangga Eka, juga mengatakan setelah kejadian Eka digigit anjing, ia merasa ada perubahan pada tingkahlaku Eka. “Itu semenjak dia selesai digigit anjing memang sudah mulai-mulai begitu (aneh-aneh), cuma pakai celana tidak pake baju.” Sikap keras kepala Eka juga sudah mulai Alfonso rasakan sedari kecil.

Yang paling diingat Bapaknya, juga Alfonso, ketika Eka sedang hamil di usia SMA. Antara kelas satu atau dua. Ia bersekolah di tempat bapaknya mengajar, SMAN 2 Palopo. Dalam keadaan hamil, dia biasa berteriak – keliling lorong, “eee Mama… Bapak… kapan saya mau dikasi kawin ini sudah besarmi kandunganku,” ingat Alfonso menirukan teriakan Eka waktu itu. Kalau sudah begitu, Alfonso mencoba menegur, tapi Eka tak mengindahkan sama sekali dan terus berteriak seperti tadi.

Eka sampai berhenti bersekolah. Ia menikah dan dikarunia satu anak perempuan. Hanya dua tahun pernikahan mereka bertahan. Yunus kemudian menawari Eka untuk melanjutkan sekolah ke SMA Tri Dharma MKGR – sekarang SMAN 6 Palopo. Ia tamat di sekolah itu. Tak lama ia kembali dekat dengan seorang laki-laki dan tinggal serumah dengannya. Mereka tidak menikah dan memiliki satu orang anak laki-laki.

Melihat situasi ini, Ayahnya mengambil keputusan untuk membawa Eka ke Toraja dan menguliahkannya di  sana.  Eka Toding masuk Universitas Kristen Indonesia (UKI) Toraja di jurusan Bahasa Inggris. Selesai dari situ, Eka melanjutkan studi masternya di Universitas Negeri Makassar sampai tamat.

Karena Eka lulusan UNM, banyak yang mengira dia seorang guru. Sementara Bapak dan Adiknya, Vera, mengatakan kalau Eka tidak pernah mengajar di sekolah-sekolah. Mereka berdua cuma menceritakan, kalau tawaran menjadi guru pernah ada, malahan Eka pernah diajak ke Kalimantan untuk mengajar tapi ternyata dia ditipu ketika sudah menyeberang ke sana.

Pernah Eka bertengkar dengan pemilik indekosnya saat berkuliah di UNM. Ia menuduh pemilik kos itu mencuri pakaian dalamnya. Yunus Toding sampai dibikin pusing. “Kalau dia marah sembarang apa nabilang. Kayak Bu Pendeta dulu nah, Ibu Manginte na maki-maki juga. Tidak pilih dia bilang agama apa ini,” kata Yunus Toding.

Dalam artikel National Alliance on Mental Illness di websitenya menjelaskan jika penyakit mental adalah suatu kondisi yang memengaruhi pemikiran, perasaan, atau suasana hati seseorang. Kondisi seperti itu dapat memengaruhi kemampuan seseorang untuk berhubungan dengan orang lain.

Gejala itu bisa kita lihat dari Eka melalui pertengkaran tadi, dan juga ketika Eka bertengkar dengan salah satu narapidana sekamarnya.

Saidul Bahri, Kepala Keamanan Lapas sejak 2017, memperlihatkan sebuah surat dengan tulisan tangan yang sulit dibaca. Isinya tentang permintaan maaf dari teman se-kamar Eka atas pertengkaran yang melibatkannya. Saidul menilai penyebab pertengkaran itu dipicu karena Eka Toding dirasa kurang bergaul dengan narapidana lain. Ia tertutup, jarang berinteraksi dan tidak bisa menyesuaikan diri dengan lingkungannya.

“Saya bilang sama dia dimana kita berada harus bisa menyesuaikan,”  ujar Saidul.

Vera tak menampik soal itu karena memang dua saudaranya yang lain, termasuk dirinya, sulit mengakrabkan diri dengan Eka. Ayahnya ikut membenarkan kalau sikap anaknya yang tidak pandai bersosialisasi itu. “Kalau IQ-nya toh memang pintar ini Eka, tapi kalau intelegensi sosialnya (tidak),” kata Yunus.

Selain itu, suasana hati yang berubah-ubah, kadang marah lalu tiba-tiba senang menjadi satu gejala dari kondisi ODGJ (Orang Dengan Gangguan Jiwa). Begitulah, Eka pernah melempari mamanya helm. Pernah juga piring. “Itumi saya bilang satu kelurahan Luminda di sini baru kau (Eka) yang maki-maki orang tuamu,” aku Yunus.

Dari balik kamarnya kadang terdengar suara Eka berpidato berbahasa Inggris, namun kadang berubah tangis sesenggukan setelahnya. Lalu tiba-tiba tertawa. Persis seperti yang diceritakan Titania Pradita Toding, anak pertamanya, yang kini sudah kelas dua SMP. Di satu malam, ia mendapati mamanya bangun dan tertawa sendiri.

M. Sahid, seorang psikolog yang bertugas di RSUD (Rumah Sakit Umum Daerah) Sawerigading Kota Palopo, pernah bertemu langsung dengan Eka. “Saya ketemu sudah lama, lima tahun yang lalu,” alumnus Psikologi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta itu mengatakan.

Dia diajak oleh keluarga Eka yang kebetulan sekantor dengannya. Berdua mereka datang. Hari itu Sahid tak mengeluarkan “perkakas” tes mentalnya. Khawatir jika Eka menolak bertemu. Setelah pertemuan Sahid membuat penilaian – bukan diagnosa, tapi lebih kepada hasil pembacaan terhadap gestur dan ekspresi Eka. “Ada depresi yang tersamarkan,” simpulnya. “Dari luar, orang tidak akan langsung tahu kalau dia depresi.”

Penyebab lain dalam laporan National Alliance on Mental Illness menyebutkan jika genetika, lingkungan, dan gaya hidup memengaruhi perkembangan kesehatan mental seseorang. Faktor genetika atau biologis ini bisa disebut sebagai gangguan mental organik. “Gen itu ada tapi kalau tidak dipicu oleh lingkungan kadang engga muncul,” terang Sahid.

Yunus menceritakan hal ihwal tentang saudara-saudara Ayahnya (kakek Eka) yang menderita disabilitas mental. Mereka tinggal di Keluarahan Batu Papan, Kabupaten Tana Toraja, Sulawesi Selatan. Empat dari enam saudara Kakek Eka adalah ODGJ. Keempatnya pernah dipasung dan satu di antara mereka ada yang pernah masuk Rumah Sakit Jiwa. Semuanya sudah meninggal bahkan ada yang dalam keadaan terpasung.

Yunus menduga anaknya termasuk ODGJ, “karena saya yang tahu persis riwayatnya toh.” Kemudian ia menyeka keringat di badannya dengan baju yang tadi dikenakan. Kulitnya putih, perutnya buncit, usianya kini 58 tahun. Lengan kanan dirajah gambar kalajengking dan bunga mawar lengkap dengan tangkainya di dada kiri. “Jadi cuma itu yang saya sesalkan pada polisi, kenapa dia tidak layani kita untuk tes psikiater?”

Sementara itu bagi Rahman Paliling, Eka harus mempertanggung jawabkan perbuatannya secara hukum. “Pokoknya masalah ini harus diselesaikan dengan baik sesuai dengan hukum yang berlaku. Karena masalah ini sangat menyakiti sekali, menyakiti umat Islam Palopo dan umat Islam seluruh dunia,” kata Rahman Paliling.

***

Rahman Paliling. Kredit foto: Facebook Rahman Paliling

Rahman Paliling, lelaki keturunan Toraja yang lahir di Palopo tahun 1983. Tak sedikit keluarganya beragama kristen, dari ibu – yang seorang mualaf. Agustus 2003, bersama 12 orang lainnya dari Palopo, ia menyeberang ke Magetan, Jawa Timur. Dari Magetan ia ke Kerincing, Secang, Kabupaten Magelang. Tujuannya adalah Pondok Pesantren (Ponpes) Sirojul Mukhlasin II, sebuah ponpes yang menganut paham sama dengan Nahdlatul Ulama, mengusung Islam Nusantara.

Akhir 2004, sekitar 50 Santri, termasuk Rahman, dipindahkan ke Pondok Pesantren Al Muttaqien di Ancol, Jakarta, yang adalah cabang dari Ponpes Sirojul Mukhlasin. Dari situ ia pindah lagi ke cabang Ponpes Ashabu Shuffah di Bogor. “Saya selesai di Bogor. Di bawah lereng Gunung Salak yang ada waktu Sukhoi jatuh,” terang Rahman. Di situlah ia belajar agama selama empat tahun.

Sekembalinya di Palopo tahun 2009, Rahman jadi Imam Masjid Al-Barakah Terminal Palopo. Bersama kawan-kawannya dari Masjid Agung Palopo, ia membentuk perkumpulan dengan nama Abu Sayyaf – seperti nama kelompok separatis di Filipina.

Bagi Rahman nama itu tak masalah. Ia juga tahu kalau Abu Sayyaf adalah nama kelompok teroris. “Siapa pun dia kalau sudah bersyahadat maka itu adalah saudara saya. Kalau memang dia melakukan hal-hal yang tidak diajarkan agama, maka itu adalah privat dia, bukan ajaran agama.” Selain Abu Sayyaf, Rahman juga aktif di FPI Luwu Raya cabang Kota Palopo. Ia termasuk kader aktif dan berpengaruh.

Pada Jumat, 19 Juli lalu, Rahman mengoordinir kawan-kawannya untuk beramai-ramai menemui Kapolres Palopo di kantornya selepas Jumatan. Mereka mau memastikan perkembangan kasus Eka. Perkiraan Rahman, ada sekitar 100-an orang hadir. Sebelumnya mereka berniat demonstrasi tapi rencana itu tak dijalankan lantaran malamnya, rumah KH Yabani, ulama Masjid Agung, didatangi polisi, yang minta agar aksi itu dibatalkan.

“Bahkan kita sudah saling kontek sama teman-teman Ormas. Sudah ada yang siapkan spanduk mau inikan tapi nda jadi,” cerita Rahman.

Ada tiga penekanan jamaah. Pertama, mereka minta kejelasan sejauh mana penanganan proses hukumnya. Kedua, mereka minta Kapolres agar Jamaah Masjid diijinkan melihat tersangka dalam sel tahanan sebagai bukti bahwa tersangka benar-benar ditahan. Ketiga, mereka minta agar masyarakat diberi pemahaman pentingnya “menjaga toleransi umat beragama.”

Sementara 180,1 kilometer dari Palopo, di Kabupaten Luwu Timur (Lutim), Ketua FPI Luwu Raya, Abdul Rauf Dewang melaporkan Sekretaris DPD Perindo, Hendrikus  Mangguali, ke Polres Luwu Timur di Kecamatan Malili. Hendrikus membuat postingan melalui grup Facebook Suara Rakyat Luwu Timur. Ia menuliskan: Ada dua kejahatan yang tak berprikemanusiaan yang terjadi di Mako Brimob… Dan ciri khas mereka selalu mengumandangkan takbir Allah Maha Besar.

Ia dilaporkan tahun 2018. “Kalau saya tidak salah ingat sekitar bulan empat atau enam,” kata Saiful, salah satu kader FPI Luwu Timur yang tinggal di Kota Palopo. Saiful menceritakan kalau berkas laporannya pernah mandek setahun lebih di penyidik. Baru setelah mereka melakukan desakan, kasusnya dilimpahkan ke pengadilan. Persidangan perdana sudah dilakukan tanggal 19 November 2019.

“Untuk kasus di Malili, Lutim, ini kami akan terus kawal,” tegas Rahman Paliling.

Kedua kasus penodaan agama di atas, pelapornya datang dari latar belakang yang sama. Sama-sama anggota FPI. Laporannya menjadi laporan yang pertama untuk kasus penodaan agama di Palopo, juga Luwu Timur.

Kasus Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok jadi satu momentum besar untuk menumbunhkan keberanian mengkriminalisasi orang dengan pasal penodaan agama. Juga dampak Pemilihan Presiden yang membuat segregasi dan kebencian antar kelompok semakin melebar dan meluas. Wujud nyatanya terlihat ketika pendapat yang berbeda terhadap agama direspon dengan memolisikan.

“Kita sudah mau tenang-tenang habis Pilpres ini muncul lagi masalah ini, kita harus laporkan, ini bahaya,” kata Rahman. “Bahkan ada yang mengatakan nyawa taruhannya kalau agama yang sudah di nista toh, makanya, saya bilang ini bahaya,” tegasnya.

***

Hampir dua bulan berlalu sejak penahanan Eka Trisusanti Toding. Jam sepuluh pagi di tanggal 3 September, saya berangkat dari rumah Yunus Toding menuju Lapas. Mamanya menitipkan gado-gado. Sudah seminggu ia berada di Poliklinik. Dipindahkan dari blok yang berada disatu bangunan yang terbagi atas tiga kamar. Eka berada di kamar Satu.

Setelah melewati prosedur penggeledahan dan penitipan barang, saya dan Yunus masuk, diarahkan ke kiri oleh petugas yang menunggu di depan pintu. Poliklinik berada di ujung jalan itu. Eka duduk di ranjang pesakitan sudut ruangan. Memakai masker, mengenakan jaket rajut warna kuning, nampak kurus tak bersemangat. Mata coklatnya menyiratkan kegamangan; menyimpan banyak beban.

Namun saat saya mulai bertanya, ia menjawab tak terhentikan dengan sorot mata datar. Awalnya Eka berbisik, lama-lama suaranya meninggi. Sementara itu ayahnya yang duduk berhadapan dengan Eka mulai gelisah. Takut kalau ada penjaga yang melihat saya mewawancarai Eka dan langsung menyetopnya, “cukupmi mungkin di’?” tanya Yunus pada saya. Tak saya hiraukan dan terus mendengarkan Eka dengan takzim.

“Saya difitnah” dan “ada yang mencuri postingan saya”,kata Eka berulang kali. Bahkan setelah kami pindah ke aula, ia masih menekankan dua kata itu. Sementara Yunus masih saja jengkel melihat anaknya yang tak hirau untuk memelankan suara. Justru Eka yakin betul dengan perkataannya jika ia tak bersalah. “Saya terpaksa aja tanda tangan itu BAP,” ungkapnya.

Ia mengatakan bahwa hasil tangkapan layar yang beredar itu tidak utuh. Ada kalimat diakhir unggahannya yang tidak tersampaikan.“Nonton dulu di Youtube, jadilah orang yang cerdas,” ingat Eka, seperti kalimat akhir dalam postingannya yang dipermasalahkan itu.

***

Merujuk Laporan Tahunan SAFEnet di 2018, terdapat 25 kasus pemidanaan dengan menggunakan pasal karet UU ITE. Berdasarkan pasal hukum yang dituduhkan, kriminalisasi pengguna internet paling banyak menggunakan pasal pencemaran nama baik atau defamasi, sebanyak 16 laporan. Disusul pasal kebencian, 5 pelaporan.

Data Mahkamah Agung yang dikutip dalam laporan SAFEnet menemukan lebih banyak lagi kasus pemidanaan dengan UU ITE. Tercatat ada sebanyak 292 putusan kasus pidana khusus ITE, jumlah ini meningkat lebih dari 100 persen dibandingkan dengan jumlah putusan di 2017, sebanyak 140 kasus. Meski begitu trennya sama dengan SAFEnet, paling populer pasal pencemaran disusul pasal kebencian. Penodaan agama dalam UU ITE masuk dalam kategori pasal kebencian. Ujaran kebencian.

Masih adanya upaya pemidanaan dengan UU ITE menunjukkan bahwa hak kebebasan berekspresi warga Indonesia di internet belum sepenuhnya terlindungi. Padahal PBB sudah mengeluarkan Resolusi No. 20/8 Tahun 2012 bahwa perlindungan atas kebebasan berekspresi mempunyai perlindungan yang sama, baik dalam aktivitas daring (dalam jaringan) maupun luring (luar jaringan).

Dalam pemberitaan mengenai kasus penodaan agama, Eka Toding termasuk salah satu yang memiliki catatan psikologis. Selain itu ada Suzethe Margaret yang menderita skizofrenia. Dan Aisyah Tusalamah, yang meyakini dirinya sebagai reinkarnasi dari “Ratu Laut Selatan” juga mengalami disabilitas mental. Ketiganya tak bisa lolos dari pasal karet itu.

Namun kasus Abdul Somad seperti ada pengecualian. Tak ada hingar bingar dan desakan atas ceramahnya yang dianggap melakukan penodaan agama. Berbeda dengan kasus Ahok.

Dalam laporannya, Setara Institute menuliskan bahwa mayoritas proses hukum dengan menggunakan pasal penodaan agama, 156a didasari atas tekanan massa (trial by mob). Dari 97 kasus (1965-2017), sebanyak 62 kasus diproses akibat tekanan massa, termasuk kasus Ahok.  Bergulir dengan cepat dan mendapat tekanan sungguh dahsyat – ribuan umat muslim berdemo di lapangan Monumen Nasional (Monas) Jakarta dan berjilid-jilid, belum lagi demonstrasi di daerah-daerah. Sehingga Ahok harus menjalani hukuman dua tahun penjara. Laporan ini juga menyatakan, jika tidak ada satu kasus pun dengan tekanan massa yang mendapat vonis bebas ditingkat pengadilan negeri.

Menurut koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (kontras), Yati Andriyani di CNN Indonesia (dalam artikel berjudul: Kontras Sebut Bebasnya Ahok Momentum Hapus Pasal 156a), bebasnya Ahok, harusnya jadi momen untuk kembali mendesak dihapusnya pasal penodaan agama itu. Yati menerangkan, kalau pasal penodaan agama tidak memiliki penjelasan kualifiaksi sebuah penistaan agama dan parameter yang jelas. Sehingga tafsir sangat subjektif dan rentan digunakan untuk mengkriminalisasi orang.

Sudah ada yang pernah membawa pasal 156a untuk diuji ke Mahkamah Konstitusi, tapi selalu ditolak. Sementara korban dari pasal ini selalu bertambah.

Peniliti senior Human Rights Watch (HRW) di Indonesia, Andreas Harsono, dalam salah satu laporannya, juga mengusulkan kepada pemerintah untuk mencabut pasal tersebut. Alasannya, pasal itu mudah disalahgunakan.

Pada 11 November, Eka Toding pun divonis lima bulan penjara. Empat hari sebelumnya, pelapor sempat mendatangi kantor Kejaksaan Negeri Palopo untuk melakukan dialog dengan Jaksa Penuntut Umum. Pertemuannya alot, karena pihak pelapor tidak menerima kalau tuntutan terdakwa akan diringankan.

Mereka kemudian berencana melakukan aksi di depan Pengadilan Negeri Palopo saat pembacaan vonis. Tapi rencana itu urung terlaksana karena sebelumnya, Imam FPI Sulawesi Selatan, Habib Faizal Bin Zen Al Habsyi, menyampaikan untuk menerima saja apapun keputusan pengadilan.

“Seandainya kami tdak mendengar nasehat Sang Habib, mugkin kasus ini akan terus kami panaskan,” jawab Rahman melalui Whatsapp, seminggu setelah vonis Eka Toding. ***

]]>