Agama – IndoPROGRESS https://indoprogress.com Media Pemikiran Progresif Fri, 24 Jul 2020 09:24:13 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.4.3 https://indoprogress.com/wp-content/uploads/2021/08/cropped-logo-ip-favicon-32x32.png Agama – IndoPROGRESS https://indoprogress.com 32 32 Bertolt Brecht dan Keluhan Profetik https://indoprogress.com/2020/07/bertolt-brecht-dan-keluhan-profetik/ Fri, 24 Jul 2020 04:42:14 +0000 https://indoprogress.com/?p=232313

Foto: AP/Fred Stein


BAIK di dalam maupun di luar tradisi kesenian Marxis, nama Bertolt Brecht dikenal luas sebagai salah satu teoretikus penting sekaligus pengarang karya-karya bermutu. Naskah-naskah drama, prosa, serta puisi gubahannya sering kita temukan dikutip dalam percakapan-percakapan di kalangan intelektual dan aktivis kiri dari berbagai belahan dunia. Brecht juga turut berkontribusi dalam perdebatan seputar pemaknaan tentang seni yang realis. Dalam pandangan Brecht, realisme bukanlah semata-mata soal ketepatan penggambaran atas kenyataan, melainkan bagaimana representasi yang dihasilkan oleh suatu karya dapat menggugah pemirsanya untuk mempertanyakan kenyataan dunia dan mentransformasikannya. [1] Posisi ini diungkapkan dalam kutipan terkenalnya: ‘Seni bukanlah cermin untuk merefleksikan kenyataan, melainkan palu untuk membentuknya’. [2]

Dari sekitar dua ribu syair puisi yang Brecht goreskan di kertas selama 58 tahun masa hidupnya, beberapa di antaranya menyinggung tema-tema teologis. Tentu saja syair-syair yang ditulisnya jauh berbeda dengan syair lagu-lagu Kristen kontemporer yang mengajak kita untuk bermanja ria di hadapan Tuhan Mahakuasa yang diyakini sanggup menyelesaikan segala persoalan pribadi dan menjadi jawaban atas segala kegundahan hati. Jangan bayangkan musikalisasi puisi Bertolt Brecht oleh duet almarhum Mike Mohede dan Maria Shandi. Alih-alih menenangkan hati lewat janji-janji surgawi, puisi-puisi Brecht sarat dengan muatan kritik dan protes.

‘Himne kepada Allah’ barangkali bisa dianggap sebagai salah satu puisi Brecht yang paling berbobot teologis. Para penyunting salah satu edisi kumpulan puisinya, John Willett dan Ralph Manheim, menempatkan puisi tersebut di dalam kategori puisi-puisi awalnya yang ditulis antara tahun 1913-1920. Brecht masih tergolong amat muda pada saat itu. Usianya baru 15-22 tahun.

1
Di lembah-lembah gelap orang-orang menderita kelaparan
Kau hanya menunjukkan roti dan membiarkan mereka mati
Kau hanya menundukkannya pada rencana kekal
Tersembunyi dan brutal.


2
Engkau membiarkan mati anak-anak muda dan juga mereka yang menikmati kehidupan
Tetapi mereka yang memohon agar nyawanya dicabut malah kau tolak
Banyak dari antara mereka yang membusuk di pembaringan
Beriman kepadamu, dan mati dengan tenang.


3
Engkau membiarkan si miskin tetap miskin dari tahun ke tahun
Merasakan bahwa hasrat mereka lebih manis daripada surgamu
Sayangnya mereka mati sebelum kau menunjukkan terang
Namun mereka mati bahagia pula—sembari membusuk.


4
Banyak dari antara kami yang menolakmu—dan itu baik
Tetapi bagaimana mungkin sesuatu yang tidak ada bisa memainkan tipuan semahir ini?
Jika ada begitu banyak nyawa yang hidup bersamamu dan tak sanggup mati tanpamu—
Katakan padaku, seberapa pentingnya kenyataan bahwa kau sebenarnya tidak ada?[3]


Pembaca yang rajin beribadah di gereja dan bersaat teduh setiap hari mungkin terkejut ketika membaca puisi di atas. Judulnya berbunyi ‘Himne kepada Allah’, tetapi isinya jauh dari puji-pujian dan pengagungan akan kebesaran Allah. Dalam puisi itu, kita malah menemukan semacam gugatan atas kebijaksanaan Allah serta eksistensi-Nya. Klaim-klaim teologis tentang kemahakuasaan, kebaikan, serta kedaulatan Allah yang memelihara sejarah, dibenturkannya dengan potret kenyataan yang penuh dengan kemiskinan, penderitaan, dan kematian manusia. Bahkan keberadaan sosok ilahi yang dijadikan pegangan hidup orang banyak itu pun ia tolak.

Pertanyaan dan gugatan yang diangkat Brecht dalam syair itu tentu saja bukan barang baru. Teodise–pertanyaan tentang kebaikan Allah di hadapan kenyataan dunia yang begitu kejam–selama ribuan tahun telah mewarnai percakapan teologis yang melibatkan semua kalangan, mulai dari teolog profesional, rohaniwan, jemaat awam, hingga orang-orang tak beriman. Jika Allah ada, mengapa ada begitu banyak penderitaan? Segala macam jawaban telah dilontarkan, dan pertanyaan yang sama tak henti-hentinya kembali diajukan.

Hanya saja, yang seringkali dibiarkan terpendam dalam penghayatan iman Kristen ‘arus utama’ ialah kenyataan bahwa gugatan dan pertanyaan seperti yang dilontarkan oleh Brecht ini sesungguhnya punya benang merah dengan tradisi panjang iman Kristen sejak zamannya para penulis Alkitab sendiri. Teks-teks Alkitab tidak hanya diwarnai penghiburan-penghiburan yang bersifat menenangkan hati, tetapi juga keluhan dan protes kepada Allah ketika menyaksikan kenyataan yang mengganggu hati. Ada Nabi Habakuk, misalnya, yang mengeluhkan minimnya perhatian Tuhan terhadap penindasan yang ia saksikan di Kerajaan Yehuda.

‘Berapa lama lagi, TUHAN, aku berteriak, tetapi tidak Kaudengar, aku berseru kepada-Mu: “Penindasan!” tetapi tidak Kautolong? Mengapa Engkau memperlihatkan kepadaku kejahatan, sehingga aku memandang kelaliman? Ya, aniaya dan kekerasan ada di depan mataku; perbantahan dan pertikaian terjadi. Itulah sebabnya hukum kehilangan kekuatannya dan tidak pernah muncul keadilan, sebab orang fasik mengepung orang benar; itulah sebabnya keadilan muncul terbalik.’ (Hab. 1:2-4)

Ada pula sosok Ayub yang digambarkan sebagai orang tak bersalah yang Allah izinkan dicobai Iblis. Anak-anak serta harta kekayaannya yang banyak dalam sekejap lenyap tak berbekas dan tubuhnya ditimpa penyakit yang membuatnya berbau busuk dari kepala hingga ujung kaki. Di tengah keadaannya yang mengenaskan, Ayub beberapa kali melontarkan protes kepada Allah dengan konten yang tidak jauh berbeda dengan apa yang ditulis Brecht.

‘Aku tidak bersalah! Aku tidak pedulikan diriku, aku tidak hiraukan hidupku! Semuanya itu sama saja, itulah sebabnya aku berkata: yang tidak bersalah dan yang bersalah kedua-duanya dibinasakan-Nya. Bila cemeti-Nya membunuh dengan tiba-tiba, Ia mengolok-olok keputusasaan orang yang tidak bersalah. Bumi telah diserahkan ke dalam tangan orang fasik, dan mata para hakimnya telah ditutup-Nya; kalau bukan oleh Dia, oleh siapa lagi?’ (Ayb. 9:22-24)

Di sini Ayub bukan hanya mempertanyakan, ia malah menuduh Allah sebagai penanggung jawab masalah-masalah yang ada di dunia. Sosok Mahakuasa itu dianggapnya sengaja dan aktif memprakarsai problem-problem seperti ketidakadilan dan penderitaan manusia.

Yesus sendiri, sebagai figur sentral Alkitab menurut tradisi Kristen, turut meninggalkan jejak dalam benang merah tradisi protes ini. Injil Matius dan Markus mencatat teriakan-Nya yang ditujukan kepada Allah sewaktu digantung di kayu salib, mengutip Mazmur 22:2:

‘Kira-kira jam tiga berserulah Yesus dengan suara nyaring: “Eli, Eli, lama sabakhtani?” Artinya: Allah-Ku, Allah-Ku, mengapa Engkau meninggalkan Aku?’ (Mat. 27:46)

‘Dan pada jam tiga berserulah Yesus dengan suara nyaring: “Eloi, Eloi, lama sabakhtani?”, yang berarti: Allahku, Allahku, mengapa Engkau meninggalkan Aku?’ (Mrk. 15:34)


Slavoj Žižek pernah mengusulkan agar seruan ini dibaca sebagai gestur radikal kekristenan yang menunjukkan momen disintegrasi kepercayaan akan suatu penjamin makna kehidupan, entah itu Allah, keniscayaan alami, atau apapun itu. Ada pesan ateistik dalam peristiwa salib dengan bobot yang bahkan melebihi ateisme-ateisme pada umumnya. Sebab yang terakhir ini seringkali menolak keberadaan sosok ilahi, namun tanpa ragu menggantikannya dengan penjamin-penjamin makna lainnya.

Di sini kita bisa melihat bagaimana ‘Himne kepada Allah’ karangan Brecht sesungguhnya terhubung dengan sebuah tradisi panjang dalam Alkitab yang tanpa ragu melontarkan protes pada Yang Ilahi. Ia bagaikan rekontekstualisasi keluhan-keluhan profetik yang keluar dari mulut tokoh-tokoh Alkitab seperti Habakuk, Ayub, dan Yesus. Bersama nabi Habakuk, ia mempertanyakan teriakan umat manusia yang diabaikan Allah. Bersama Ayub, ia tak ragu menuduh kesengajaan Allah membiarkan penderitaan manusia. Dan bersama Yesus, jika kita mengikuti pembacaan Žižek, ia tak ragu mengoyak kepercayaan tentang keberadaan serta fungsi Allah.

Selain memiliki tempat dalam Alkitab, keluhan profetik juga merupakan bagian yang tak terpisahkan dari tradisi pemikiran Marxis. Pembaca yang akrab dengan tulisan-tulisan Marx tentu ingat kalimat pembuka pendahuluan Marx dalam Contribution to the Critique of Hegel’s Philosophy of Right: ‘kritik agama adalah premis dari segala kritik’. [4] Sebelum seseorang masuk ke dalam kritik atas kondisi-kondisi material, ia harus melakukan kritik atas agama yang menghalanginya untuk melihat kenyataan material secara objektif. [5] Baru setelah tirai agama itu robek, akan terbentang tugas untuk meneruskan agenda kritik ke ranah sekuler.

Maka adalah tugas sejarah, segera setelah kebenaran dunia lain itu gugur, untuk menegakkan kebenaran tentang dunia ini. Tugas mendesak filsafat, dalam pengabdiannya untuk sejarah, adalah membongkar keterasingan diri manusia dalam bentuk sekuler-nya, ketika bentuk sakral-nya telah dibongkar. Maka kritik surga bertransformasi menjadi kritik dunia, kritik agama menjadi kritik hukum, dan kritik teologi menjadi kritik politik. [6]

Apa yang ditulis oleh Marx di penghujung tahun 1843 tersebut berpijak pada keadaan masyarakat Jerman pada masa itu. Abad ke-19 menjadi saksi perkembangan pesat kritik-kritik agama di Jerman lewat kesarjanaan kritis Alkitab yang membongkar asal-usul teks-teks yang sebelumnya dianggap suci, pemikiran-pemikiran kritis tentang agama seperti ateisme Feuerbach, dan lain-lain. Marx ingin mendorong agar kritik-kritik agama tersebut tidak berhenti di sana, tetapi berlanjut dengan kritik atas tatanan sosial yang mengondisikan keterasingan-keterasingan agamawi.


Hari ini, nyaris dua abad setelah kutipan Marx di atas diterbitkan dan setelah paham-paham agama terus dibombardir segala macam kritik, kenyataannya kepercayaan tentang yang ilahi tetap tumbuh subur. Seperti diungkapkan Brecht dalam bait terakhir puisinya, masih ada begitu banyak jiwa yang membutuhkan Tuhan dalam kehidupan dan kematian mereka. Di mana-mana kita menemukan persebaran luas keyakinan tentang pemeliharaan Allah dalam sejarah yang menjamin bahwa semuanya sedang dan akan baik-baik saja, serta bahwa segala masalah yang ada bakal dijadikan indah pada waktu-Nya. Kalaupun keberadaan sosok adikuasa itu ditolak, dengan mudahnya ia bisa digantikan dengan penjamin-penjamin makna baru, seperti rasio murni, hukum pasar, sentimen kebangsaan, hingga teori perkembangan sejarah yang deterministik.

Dalam medan yang seperti inilah keluhan-keluhan profetik ala Brecht, Habakuk, Ayub, dan Yesus terbukti masih relevan.***


Daniel Sihombing adalah anggota Kristen Hijau dan tim editor IndoProgress


Kepustakaan

[1] Cf. Terry Eagleton, Marxism and Literary Criticism (London: Routledge, 2002), 60.

[2] Cf. Barbara Foley, Marxist Literary Criticism Today (London: Pluto, 2019), 224.

[3] Bertolt Brecht, Bertolt Brecht: Plays, Poetry and Prose (eds. John Willett and Ralph Manheim; London: Eyre Methuen, 1976), 9 terjemahan dari saya.

[4] Karl Marx, ‘Contribution to the Critique of Hegel’s Philosophy of Right: Introduction’, Robert C. Tucker, Karl Marx, and Friedrich Engels, eds., The Marx-Engels Reader, 2d ed (New York: Norton, 1978), 53 terjemahan dari saya.

[5] Warren S. Goldstein, “An Introduction to Religion and Marxism,” Critical Sociology 31, no. 1–2 (January 2005), 9.

[6] Marx, ‘Contribution to the Critique of Hegel’s Philosophy of Right: Introduction’, 54 terjemahan dari saya.

]]>
Politisasi “Penodaan Agama” Pertama di Palopo https://indoprogress.com/2020/01/politisasi-penodaan-agama-pertama-di-palopo/ Thu, 09 Jan 2020 01:49:09 +0000 https://indoprogress.com/?p=115268

Eka Trisusanti Toding (tengah). Kredit foto: Palopo Pos-Fajar


Eka Trisusanti Toding, yang dituduh menodai agama Islam, punya masalah kesehatan mental


TUJUH minggu sebelum putusan Eka Trisusanti Toding – sebelas November 2019 – sebuah surat pemberitahuan sakit dikeluarkan oleh Lapas (Lembaga Pemasyarakatan) Kelas II A Kota Palopo, Sulawesi Selatan. Dalam surat, terang tertulis jika Eka Toding sering berbicara sendiri, sering melamun, mudah marah, sulit tidur pada malam hari, dan menarik diri dari lingkungan sosial.

Surat itu serupa jawaban atas keyakinan Yunus Toding, ayah Eka, kalau anaknya punya masalah kesehatan mental. “Saya yakin dari rekam jejaknya mulai kecil sampai sekaranglah,” jawabnya ketika saya tanyai kondisi mental anak ketiganya itu. Anaknya telah dituduh melakukan penodaan agama.

Eka Trisusanti Toding dipenjarakan dengan Undang-undang Informasi Transaksi Elektronik (UU ITE) yang dikenal mengancam kebebasan berekspresi di Indonesia. Eka dilaporkan oleh kader FPI (Front Pembela Islam) Kota Palopo, Rahman Paliling, pada pertengahan bulan Juli 2019. Pasalnya Eka meneruskan sebuah video dari akun Youtube Christian Prince: pengakuan mengejutkan imam Australia tentang Islam, dan menambahkan sebuah keterangan seperti yang ditonton: “Muhammad adalah orang munafik, Nabi lapar seks, jihad meledakkan diri sendiri untuk mendapatkan 72 bidadari, Muhammad kencing sambil berdiri ke binatang, Aisyah istri Muhammad adalah seorang teroris.. .”

Dari tangkapan layar yang dikumpulkan oleh pelapor, Eka mulai meneruskan video Christian Prince ke Facebooknya pada 2 Juli 2019. Ada dua postingan, yang pertama dia menuliskan, ”Christian Prince mengungkapkan jika Islam agama seksual, dimana cara berdoa umat muslim tidak tercatat di quran namun diadopsi dari penyembahan batu bentuk vagina…” Kedua, dia menuliskan “Christian Prince: menyatakan dalam videonya kalau Muhammad itu hanyalah Nabi palsu yanag ajarannya hanyalah berupa tiruan…”

Lantas postingan Eka menuai respon. Ada yang sekadar mengompor-ngompori sampai mengancam akan memolisikannya.

Karena postingan itu ramai diperbincangkan, akhirnya di Sabtu malam 13 Juli 2019, Bripka Jacky Jenifeer Galela, Bhabinkamtibmas (Bhayangkara Pembina Keamanan dan Ketertiban Masyarakat) Kelurahan Luminda, Kecamatan Wara Utara datang menemui Eka di rumahnya.

Yunus Toding, tak mengira kedatangan sang polisi. Mengetahui maksud kedatangannya, ia segera memanggil Eka turun dari kamar. Di ruang tamu hanya ada empat orang termasuk Githa Vera (28), adik perempuan Eka. Mereka mencoba membujuk Eka untuk menghapus postingannya.

Vera menceritakan kalau Jacky sendiri sudah melihat gelagat aneh dari kakaknya, yang keras kepala dan merasa benar. “Eka stop moko ada yang lain dari kau,” kata Vera menirukan Jacky. “Dia (Eka)  hapus malamnya, dia posting lagi paginya,” lanjutnya.

Pada malam yang sama, di seberang sungai Lapender yang membatasi kelurahan Luminda – Masjid Agung, Rahman Paliling menginisiasi sebuah pertemuan dengan 10 jemaah masjid Agung yang tergabung dalam kelompok Abu Sayyaf, di salah satu sudut rindang kanan masjid. Tempat mereka sering berkumpul sekadar main catur atau bercengkrama sembari minum kopi di siang hari.

Di malam konsolidasi itu, Rahman memantau Facebook Eka dengan telepon genggamnya. Siapa tahu ada unggahan yang baru, namun yang ditunggu-tunggunya tidak ada. Sementara diskusi berlangsung, tetiba ada yang mengusulkan untuk mendatangi rumah Eka malam itu juga. Bahkan ada yang dengan emosional mengatakan “kita bakar saja!” Karena cukup dituakan, Rahman bisa meredam emosi kawan-kawannya. “Kalau kita ke sebelah rame-rame, pasti kita ribut.” Sehingga mereka bersepakat untuk melaporkan Eka ke Kapolres besoknya.

***

Di pagi penangkapan, 14 Juli 2019, dua orang polisi datang ke rumah Eka Trisusanti Toding. Mereka mengendarai motor. Eka yang baru saja bersiap-siap ke gereja, tak menyangka polisi datang menangkapnya pagi itu. Sebelum polisi datang, ia masih sempat membentak Ayahnya. “Mentong kita (kamu) Pak, dasar orang tua kurang ajarki, orang tua iblis, kita kasi takut-takutka mauka ditangkap,” Vera menirukan.

Sementara itu, selepas jam duabelas siang, Rahman bersama 30 orang kelompok Abu Sayyaf berkumpul di Masjid Agung. Mereka baru mau ke Polres. “Kita-kita yang sering nongkrong di sini,” kata Rahman. Sampai di sana, mereka heran karena orang yang hendak dilaporkan sudah berada di ruangan dan tengah disidik.

Rahman dan kawan-kawan datang dengan dalih bahwa Eka telah melanggar Pasal 156a KUHP, Undang-undang Penodaan Agama. Tapi mereka tak tahu secara pasti apakah undang-undang itu ada. Polisi lalu menerjemahkan tuntutan pelapor dengan Undang-undang Informasi Transaksi Elektronik (UU ITE) Pasal 45A ayat 2 Jo Pasal 28 ayat 2 nomor 19 Tahun 2016, pasal 28 ayat 2 Jo Pasal 45 a ayat 2 UU nomor 19 2016, dengan ancaman hukuman enam tahun penjara.

Rahman bertanya ke penyidik, tapi lebih tepat meyakinkan dirinya, apakah benar tidak ada pasal yang mengatur khusus soal penodaan agama? “Tidak ada bahasa penistaan agama di situ,” Rahman menirukan jawaban penyidik. “Saya kurang tahu juga apa maksudnya,” lanjutnya.

Kasat Reskrim Polres Palopo, AKP Ardy Yusuf mengatakan, karena Eka mengunggah sebuah ujaran kebencian melalui media media makanya dia dipidanakan dengan UU ITE. “Ketersinggungan masalah agama itu yang kita tindak lanjuti. Itu sudah menyebar tapikan awalnya dari Facebooknya Eka sendiri.”

Kepala Seksi Intelijen Kejaksaan Negeri Palopo, Amri Kurniawan menjelaskan, salah satu segmen yang bisa dijadikan materi pelaporan di UU ITE termasuk tentang penodaan agama. “Kata-kata yang dilemparkan, kata-kata yang dibuat bersinggungan dengan agama.”

Tiga hari setelah Eka ditahan dengan UU ITE, Yunus Toding mengajukan surat permohonan pemeriksaan kesehatan. Vera menceritakan kalau permohonan itu juga dimasukkan atas saran dari penyidik. Tapi entah kenapa permohonan keluarga Eka tidak diindahkan.

Kalau alasan dari Kasat Reskrim Polres Palopo, ia masih menganggap Eka normal. “Komunikasinya masih bagus,” kata Ardy Yusuf. Di ruangan yang berbeda, Ardyanto Randa Bunga (penyidik pembantu) beralasan kalau Eka sendiri yang tidak mau diperiksa dan mengaku sehat.

Sementara Vera, adik Eka, dengan tegas mengatakan, “Eka tidak mau. Siapa yang (mau) mengaku dirinya gila.” Dan dari pengakuan Eka sendiri, kalau ada yang secara sengaja meneruskan postingannya ke sebuah grup sehinggan jadi viral.

Pengakuan Eka di atas berbeda dari yang disampaikan pihak penyidik. Mereka mengelak, “tidak, tidak ada yang teruskan ke OLX Palopo. Yang kami dapatkan dia cuma tulis status di akunnya sendiri dan banyak netizen yang baca di situ,” jawab Ardyanto Randa Bunga. “Tidak diteruskan bos, dia tulis sendiri tidak ada yang teruskan,” tekannya lagi.

Sedangkan beberapa hasil tangkapan layar, akun Reany Bebwhitec misalnya, meneruskan postingan Eka dan beberapa fotonya ke group OLX KOTA PALOPO serta mengomentari dengan seruan akan melaporkannya ke polisi. Pula Rahman Paliling sendiri meneruskan postingan Eka ke Group Facebook Luwu Raya Info dan menanyakan apakah unggahan Eka tergolong “penodaan agama” dan “penyebar hoax” dan undang-undang apa yang digunakan untuk memidanakannya.

Duduk perkara inilah yang sempat dipermasalahkan oleh hakim di persidangan kedua Eka. Siapa yang sebenarnya menyebarkan? Menurut Yunus Toding, pihak pelapor pun gelagapan saat ditanyai karena mereka sendiri tidak membaca langsung secara utuh unggahan anaknya.

***

Air muka sedih Yunus Toding semakin kentara, matanya memerah – berkaca-kaca. Mencoba tegar ia menatap jauh dan kosong. Putih lampu tumpah di pipi, menggelapkan sisi mukanya yang lain. Yunus mengingat bahwa di usia anak-anak kelas tiga sekolah dasar, Eka pernah digigit Anjing. Ia mencurigai anaknya terinfeksi rabies.

Alfonso (51), tetangga Eka, juga mengatakan setelah kejadian Eka digigit anjing, ia merasa ada perubahan pada tingkahlaku Eka. “Itu semenjak dia selesai digigit anjing memang sudah mulai-mulai begitu (aneh-aneh), cuma pakai celana tidak pake baju.” Sikap keras kepala Eka juga sudah mulai Alfonso rasakan sedari kecil.

Yang paling diingat Bapaknya, juga Alfonso, ketika Eka sedang hamil di usia SMA. Antara kelas satu atau dua. Ia bersekolah di tempat bapaknya mengajar, SMAN 2 Palopo. Dalam keadaan hamil, dia biasa berteriak – keliling lorong, “eee Mama… Bapak… kapan saya mau dikasi kawin ini sudah besarmi kandunganku,” ingat Alfonso menirukan teriakan Eka waktu itu. Kalau sudah begitu, Alfonso mencoba menegur, tapi Eka tak mengindahkan sama sekali dan terus berteriak seperti tadi.

Eka sampai berhenti bersekolah. Ia menikah dan dikarunia satu anak perempuan. Hanya dua tahun pernikahan mereka bertahan. Yunus kemudian menawari Eka untuk melanjutkan sekolah ke SMA Tri Dharma MKGR – sekarang SMAN 6 Palopo. Ia tamat di sekolah itu. Tak lama ia kembali dekat dengan seorang laki-laki dan tinggal serumah dengannya. Mereka tidak menikah dan memiliki satu orang anak laki-laki.

Melihat situasi ini, Ayahnya mengambil keputusan untuk membawa Eka ke Toraja dan menguliahkannya di  sana.  Eka Toding masuk Universitas Kristen Indonesia (UKI) Toraja di jurusan Bahasa Inggris. Selesai dari situ, Eka melanjutkan studi masternya di Universitas Negeri Makassar sampai tamat.

Karena Eka lulusan UNM, banyak yang mengira dia seorang guru. Sementara Bapak dan Adiknya, Vera, mengatakan kalau Eka tidak pernah mengajar di sekolah-sekolah. Mereka berdua cuma menceritakan, kalau tawaran menjadi guru pernah ada, malahan Eka pernah diajak ke Kalimantan untuk mengajar tapi ternyata dia ditipu ketika sudah menyeberang ke sana.

Pernah Eka bertengkar dengan pemilik indekosnya saat berkuliah di UNM. Ia menuduh pemilik kos itu mencuri pakaian dalamnya. Yunus Toding sampai dibikin pusing. “Kalau dia marah sembarang apa nabilang. Kayak Bu Pendeta dulu nah, Ibu Manginte na maki-maki juga. Tidak pilih dia bilang agama apa ini,” kata Yunus Toding.

Dalam artikel National Alliance on Mental Illness di websitenya menjelaskan jika penyakit mental adalah suatu kondisi yang memengaruhi pemikiran, perasaan, atau suasana hati seseorang. Kondisi seperti itu dapat memengaruhi kemampuan seseorang untuk berhubungan dengan orang lain.

Gejala itu bisa kita lihat dari Eka melalui pertengkaran tadi, dan juga ketika Eka bertengkar dengan salah satu narapidana sekamarnya.

Saidul Bahri, Kepala Keamanan Lapas sejak 2017, memperlihatkan sebuah surat dengan tulisan tangan yang sulit dibaca. Isinya tentang permintaan maaf dari teman se-kamar Eka atas pertengkaran yang melibatkannya. Saidul menilai penyebab pertengkaran itu dipicu karena Eka Toding dirasa kurang bergaul dengan narapidana lain. Ia tertutup, jarang berinteraksi dan tidak bisa menyesuaikan diri dengan lingkungannya.

“Saya bilang sama dia dimana kita berada harus bisa menyesuaikan,”  ujar Saidul.

Vera tak menampik soal itu karena memang dua saudaranya yang lain, termasuk dirinya, sulit mengakrabkan diri dengan Eka. Ayahnya ikut membenarkan kalau sikap anaknya yang tidak pandai bersosialisasi itu. “Kalau IQ-nya toh memang pintar ini Eka, tapi kalau intelegensi sosialnya (tidak),” kata Yunus.

Selain itu, suasana hati yang berubah-ubah, kadang marah lalu tiba-tiba senang menjadi satu gejala dari kondisi ODGJ (Orang Dengan Gangguan Jiwa). Begitulah, Eka pernah melempari mamanya helm. Pernah juga piring. “Itumi saya bilang satu kelurahan Luminda di sini baru kau (Eka) yang maki-maki orang tuamu,” aku Yunus.

Dari balik kamarnya kadang terdengar suara Eka berpidato berbahasa Inggris, namun kadang berubah tangis sesenggukan setelahnya. Lalu tiba-tiba tertawa. Persis seperti yang diceritakan Titania Pradita Toding, anak pertamanya, yang kini sudah kelas dua SMP. Di satu malam, ia mendapati mamanya bangun dan tertawa sendiri.

M. Sahid, seorang psikolog yang bertugas di RSUD (Rumah Sakit Umum Daerah) Sawerigading Kota Palopo, pernah bertemu langsung dengan Eka. “Saya ketemu sudah lama, lima tahun yang lalu,” alumnus Psikologi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta itu mengatakan.

Dia diajak oleh keluarga Eka yang kebetulan sekantor dengannya. Berdua mereka datang. Hari itu Sahid tak mengeluarkan “perkakas” tes mentalnya. Khawatir jika Eka menolak bertemu. Setelah pertemuan Sahid membuat penilaian – bukan diagnosa, tapi lebih kepada hasil pembacaan terhadap gestur dan ekspresi Eka. “Ada depresi yang tersamarkan,” simpulnya. “Dari luar, orang tidak akan langsung tahu kalau dia depresi.”

Penyebab lain dalam laporan National Alliance on Mental Illness menyebutkan jika genetika, lingkungan, dan gaya hidup memengaruhi perkembangan kesehatan mental seseorang. Faktor genetika atau biologis ini bisa disebut sebagai gangguan mental organik. “Gen itu ada tapi kalau tidak dipicu oleh lingkungan kadang engga muncul,” terang Sahid.

Yunus menceritakan hal ihwal tentang saudara-saudara Ayahnya (kakek Eka) yang menderita disabilitas mental. Mereka tinggal di Keluarahan Batu Papan, Kabupaten Tana Toraja, Sulawesi Selatan. Empat dari enam saudara Kakek Eka adalah ODGJ. Keempatnya pernah dipasung dan satu di antara mereka ada yang pernah masuk Rumah Sakit Jiwa. Semuanya sudah meninggal bahkan ada yang dalam keadaan terpasung.

Yunus menduga anaknya termasuk ODGJ, “karena saya yang tahu persis riwayatnya toh.” Kemudian ia menyeka keringat di badannya dengan baju yang tadi dikenakan. Kulitnya putih, perutnya buncit, usianya kini 58 tahun. Lengan kanan dirajah gambar kalajengking dan bunga mawar lengkap dengan tangkainya di dada kiri. “Jadi cuma itu yang saya sesalkan pada polisi, kenapa dia tidak layani kita untuk tes psikiater?”

Sementara itu bagi Rahman Paliling, Eka harus mempertanggung jawabkan perbuatannya secara hukum. “Pokoknya masalah ini harus diselesaikan dengan baik sesuai dengan hukum yang berlaku. Karena masalah ini sangat menyakiti sekali, menyakiti umat Islam Palopo dan umat Islam seluruh dunia,” kata Rahman Paliling.

***

Rahman Paliling. Kredit foto: Facebook Rahman Paliling

Rahman Paliling, lelaki keturunan Toraja yang lahir di Palopo tahun 1983. Tak sedikit keluarganya beragama kristen, dari ibu – yang seorang mualaf. Agustus 2003, bersama 12 orang lainnya dari Palopo, ia menyeberang ke Magetan, Jawa Timur. Dari Magetan ia ke Kerincing, Secang, Kabupaten Magelang. Tujuannya adalah Pondok Pesantren (Ponpes) Sirojul Mukhlasin II, sebuah ponpes yang menganut paham sama dengan Nahdlatul Ulama, mengusung Islam Nusantara.

Akhir 2004, sekitar 50 Santri, termasuk Rahman, dipindahkan ke Pondok Pesantren Al Muttaqien di Ancol, Jakarta, yang adalah cabang dari Ponpes Sirojul Mukhlasin. Dari situ ia pindah lagi ke cabang Ponpes Ashabu Shuffah di Bogor. “Saya selesai di Bogor. Di bawah lereng Gunung Salak yang ada waktu Sukhoi jatuh,” terang Rahman. Di situlah ia belajar agama selama empat tahun.

Sekembalinya di Palopo tahun 2009, Rahman jadi Imam Masjid Al-Barakah Terminal Palopo. Bersama kawan-kawannya dari Masjid Agung Palopo, ia membentuk perkumpulan dengan nama Abu Sayyaf – seperti nama kelompok separatis di Filipina.

Bagi Rahman nama itu tak masalah. Ia juga tahu kalau Abu Sayyaf adalah nama kelompok teroris. “Siapa pun dia kalau sudah bersyahadat maka itu adalah saudara saya. Kalau memang dia melakukan hal-hal yang tidak diajarkan agama, maka itu adalah privat dia, bukan ajaran agama.” Selain Abu Sayyaf, Rahman juga aktif di FPI Luwu Raya cabang Kota Palopo. Ia termasuk kader aktif dan berpengaruh.

Pada Jumat, 19 Juli lalu, Rahman mengoordinir kawan-kawannya untuk beramai-ramai menemui Kapolres Palopo di kantornya selepas Jumatan. Mereka mau memastikan perkembangan kasus Eka. Perkiraan Rahman, ada sekitar 100-an orang hadir. Sebelumnya mereka berniat demonstrasi tapi rencana itu tak dijalankan lantaran malamnya, rumah KH Yabani, ulama Masjid Agung, didatangi polisi, yang minta agar aksi itu dibatalkan.

“Bahkan kita sudah saling kontek sama teman-teman Ormas. Sudah ada yang siapkan spanduk mau inikan tapi nda jadi,” cerita Rahman.

Ada tiga penekanan jamaah. Pertama, mereka minta kejelasan sejauh mana penanganan proses hukumnya. Kedua, mereka minta Kapolres agar Jamaah Masjid diijinkan melihat tersangka dalam sel tahanan sebagai bukti bahwa tersangka benar-benar ditahan. Ketiga, mereka minta agar masyarakat diberi pemahaman pentingnya “menjaga toleransi umat beragama.”

Sementara 180,1 kilometer dari Palopo, di Kabupaten Luwu Timur (Lutim), Ketua FPI Luwu Raya, Abdul Rauf Dewang melaporkan Sekretaris DPD Perindo, Hendrikus  Mangguali, ke Polres Luwu Timur di Kecamatan Malili. Hendrikus membuat postingan melalui grup Facebook Suara Rakyat Luwu Timur. Ia menuliskan: Ada dua kejahatan yang tak berprikemanusiaan yang terjadi di Mako Brimob… Dan ciri khas mereka selalu mengumandangkan takbir Allah Maha Besar.

Ia dilaporkan tahun 2018. “Kalau saya tidak salah ingat sekitar bulan empat atau enam,” kata Saiful, salah satu kader FPI Luwu Timur yang tinggal di Kota Palopo. Saiful menceritakan kalau berkas laporannya pernah mandek setahun lebih di penyidik. Baru setelah mereka melakukan desakan, kasusnya dilimpahkan ke pengadilan. Persidangan perdana sudah dilakukan tanggal 19 November 2019.

“Untuk kasus di Malili, Lutim, ini kami akan terus kawal,” tegas Rahman Paliling.

Kedua kasus penodaan agama di atas, pelapornya datang dari latar belakang yang sama. Sama-sama anggota FPI. Laporannya menjadi laporan yang pertama untuk kasus penodaan agama di Palopo, juga Luwu Timur.

Kasus Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok jadi satu momentum besar untuk menumbunhkan keberanian mengkriminalisasi orang dengan pasal penodaan agama. Juga dampak Pemilihan Presiden yang membuat segregasi dan kebencian antar kelompok semakin melebar dan meluas. Wujud nyatanya terlihat ketika pendapat yang berbeda terhadap agama direspon dengan memolisikan.

“Kita sudah mau tenang-tenang habis Pilpres ini muncul lagi masalah ini, kita harus laporkan, ini bahaya,” kata Rahman. “Bahkan ada yang mengatakan nyawa taruhannya kalau agama yang sudah di nista toh, makanya, saya bilang ini bahaya,” tegasnya.

***

Hampir dua bulan berlalu sejak penahanan Eka Trisusanti Toding. Jam sepuluh pagi di tanggal 3 September, saya berangkat dari rumah Yunus Toding menuju Lapas. Mamanya menitipkan gado-gado. Sudah seminggu ia berada di Poliklinik. Dipindahkan dari blok yang berada disatu bangunan yang terbagi atas tiga kamar. Eka berada di kamar Satu.

Setelah melewati prosedur penggeledahan dan penitipan barang, saya dan Yunus masuk, diarahkan ke kiri oleh petugas yang menunggu di depan pintu. Poliklinik berada di ujung jalan itu. Eka duduk di ranjang pesakitan sudut ruangan. Memakai masker, mengenakan jaket rajut warna kuning, nampak kurus tak bersemangat. Mata coklatnya menyiratkan kegamangan; menyimpan banyak beban.

Namun saat saya mulai bertanya, ia menjawab tak terhentikan dengan sorot mata datar. Awalnya Eka berbisik, lama-lama suaranya meninggi. Sementara itu ayahnya yang duduk berhadapan dengan Eka mulai gelisah. Takut kalau ada penjaga yang melihat saya mewawancarai Eka dan langsung menyetopnya, “cukupmi mungkin di’?” tanya Yunus pada saya. Tak saya hiraukan dan terus mendengarkan Eka dengan takzim.

“Saya difitnah” dan “ada yang mencuri postingan saya”,kata Eka berulang kali. Bahkan setelah kami pindah ke aula, ia masih menekankan dua kata itu. Sementara Yunus masih saja jengkel melihat anaknya yang tak hirau untuk memelankan suara. Justru Eka yakin betul dengan perkataannya jika ia tak bersalah. “Saya terpaksa aja tanda tangan itu BAP,” ungkapnya.

Ia mengatakan bahwa hasil tangkapan layar yang beredar itu tidak utuh. Ada kalimat diakhir unggahannya yang tidak tersampaikan.“Nonton dulu di Youtube, jadilah orang yang cerdas,” ingat Eka, seperti kalimat akhir dalam postingannya yang dipermasalahkan itu.

***

Merujuk Laporan Tahunan SAFEnet di 2018, terdapat 25 kasus pemidanaan dengan menggunakan pasal karet UU ITE. Berdasarkan pasal hukum yang dituduhkan, kriminalisasi pengguna internet paling banyak menggunakan pasal pencemaran nama baik atau defamasi, sebanyak 16 laporan. Disusul pasal kebencian, 5 pelaporan.

Data Mahkamah Agung yang dikutip dalam laporan SAFEnet menemukan lebih banyak lagi kasus pemidanaan dengan UU ITE. Tercatat ada sebanyak 292 putusan kasus pidana khusus ITE, jumlah ini meningkat lebih dari 100 persen dibandingkan dengan jumlah putusan di 2017, sebanyak 140 kasus. Meski begitu trennya sama dengan SAFEnet, paling populer pasal pencemaran disusul pasal kebencian. Penodaan agama dalam UU ITE masuk dalam kategori pasal kebencian. Ujaran kebencian.

Masih adanya upaya pemidanaan dengan UU ITE menunjukkan bahwa hak kebebasan berekspresi warga Indonesia di internet belum sepenuhnya terlindungi. Padahal PBB sudah mengeluarkan Resolusi No. 20/8 Tahun 2012 bahwa perlindungan atas kebebasan berekspresi mempunyai perlindungan yang sama, baik dalam aktivitas daring (dalam jaringan) maupun luring (luar jaringan).

Dalam pemberitaan mengenai kasus penodaan agama, Eka Toding termasuk salah satu yang memiliki catatan psikologis. Selain itu ada Suzethe Margaret yang menderita skizofrenia. Dan Aisyah Tusalamah, yang meyakini dirinya sebagai reinkarnasi dari “Ratu Laut Selatan” juga mengalami disabilitas mental. Ketiganya tak bisa lolos dari pasal karet itu.

Namun kasus Abdul Somad seperti ada pengecualian. Tak ada hingar bingar dan desakan atas ceramahnya yang dianggap melakukan penodaan agama. Berbeda dengan kasus Ahok.

Dalam laporannya, Setara Institute menuliskan bahwa mayoritas proses hukum dengan menggunakan pasal penodaan agama, 156a didasari atas tekanan massa (trial by mob). Dari 97 kasus (1965-2017), sebanyak 62 kasus diproses akibat tekanan massa, termasuk kasus Ahok.  Bergulir dengan cepat dan mendapat tekanan sungguh dahsyat – ribuan umat muslim berdemo di lapangan Monumen Nasional (Monas) Jakarta dan berjilid-jilid, belum lagi demonstrasi di daerah-daerah. Sehingga Ahok harus menjalani hukuman dua tahun penjara. Laporan ini juga menyatakan, jika tidak ada satu kasus pun dengan tekanan massa yang mendapat vonis bebas ditingkat pengadilan negeri.

Menurut koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (kontras), Yati Andriyani di CNN Indonesia (dalam artikel berjudul: Kontras Sebut Bebasnya Ahok Momentum Hapus Pasal 156a), bebasnya Ahok, harusnya jadi momen untuk kembali mendesak dihapusnya pasal penodaan agama itu. Yati menerangkan, kalau pasal penodaan agama tidak memiliki penjelasan kualifiaksi sebuah penistaan agama dan parameter yang jelas. Sehingga tafsir sangat subjektif dan rentan digunakan untuk mengkriminalisasi orang.

Sudah ada yang pernah membawa pasal 156a untuk diuji ke Mahkamah Konstitusi, tapi selalu ditolak. Sementara korban dari pasal ini selalu bertambah.

Peniliti senior Human Rights Watch (HRW) di Indonesia, Andreas Harsono, dalam salah satu laporannya, juga mengusulkan kepada pemerintah untuk mencabut pasal tersebut. Alasannya, pasal itu mudah disalahgunakan.

Pada 11 November, Eka Toding pun divonis lima bulan penjara. Empat hari sebelumnya, pelapor sempat mendatangi kantor Kejaksaan Negeri Palopo untuk melakukan dialog dengan Jaksa Penuntut Umum. Pertemuannya alot, karena pihak pelapor tidak menerima kalau tuntutan terdakwa akan diringankan.

Mereka kemudian berencana melakukan aksi di depan Pengadilan Negeri Palopo saat pembacaan vonis. Tapi rencana itu urung terlaksana karena sebelumnya, Imam FPI Sulawesi Selatan, Habib Faizal Bin Zen Al Habsyi, menyampaikan untuk menerima saja apapun keputusan pengadilan.

“Seandainya kami tdak mendengar nasehat Sang Habib, mugkin kasus ini akan terus kami panaskan,” jawab Rahman melalui Whatsapp, seminggu setelah vonis Eka Toding. ***

]]>
Tidak Ada Salahnya (Mencoba) Untuk Melawan https://indoprogress.com/2019/10/tidak-ada-salahnya-mencoba-untuk-melawan/ Sat, 05 Oct 2019 00:45:33 +0000 https://indoprogress.com/?p=48906

SEBAGAI seorang dari tradisi Protestan,[1] saya sering mendengar, baik melalui khotbah maupun percakapan sehari-hari, bahwa tidak baik untuk melawan pemerintah. Atau dalam nada yang sedikit halus, mengkritisinya. Karena di dalam Alkitab dengan jelas mencatat bahwa pemerintah adalah hamba Allah (mis. Rm. 13:4). Bagaimanapun kondisi pemerintah, jangan dikritisi karena mereka telah berjuang keras untuk bekerja dan memberikan yang terbaik. Pasti ada kekurangan di sana-sini, itu hal yang manusiawi. “Coba kalau kita di posisi mereka, pasti merasakan kesulitan yang mereka alami, jadi jangan banyak kritik!” Mungkin perkataan seperti ini, karena saking seringnya, sudah menjadi makanan sehari-hari yang kita telan.

Bahkan, beberapa ayat Alkitab yang sering dipakai untuk melegitimasi ketundukan total, seperti:

“Usahakanlah kesejahteraan kota ke mana kamu Aku buang, dan berdoalah untuk kota itu kepada TUHAN, sebab kesejahteraannya adalah kesejahteraanmu” (Yer. 29:7).

“Tiap-tiap orang harus takluk kepada pemerintah yang di atasnya, sebab tidak ada pemerintah, yang tidak berasal dari Allah; dan pemerintah-pemerintah yang ada, ditetapkan oleh Allah” (Rm. 13:1ff).

“Tunduklah, karena Allah, kepada semua lembaga manusia, baik kepada raja sebagai pemegang kekuasaan yang tertinggi, maupun kepada wali-wali yang diutusnya untuk menghukum orang-orang yang berbuat jahat dan menghormati orang-orang yang berbuat baik” (1Ptr. 2:13ff).

Ayat-ayat di atas dianggap menegaskan bahwa perlawanan terhadap penguasa dianggap sebagai kesalahan karena Alkitab sendiri menasihatkan untuk tunduk. Padahal, ketundukan total dengan menggunakan ayat-ayat tersebut yang patut dipertanyakan lebih jauh. Bagaimana jika penindasan dan ketidakadilan datangnya dari atas sana? Apakah kita hanya diam saja? Seakan-akan, kitab Nabi-nabi (Ibrani: Nebi’im) dalam Perjanjian Lama tidak menegaskan perlawanan terhadap penguasa yang tidak adil. Alkitab tidak dibaca secara penuh.

Para nabi (mis. Yeremia, Yesaya, Amos, Habakuk) dipanggil untuk menyuarakan pesan Allah kepada umat. Mereka tidak hanya berkutat pada lingkup religius tanpa menyentuh aspek sosial-politik. Buktinya, mereka melawan ketidakadilan yang dilakukan oleh para penguasa. Mereka bertindak dalam situasi sosial-politik yang gencar melancarkan praktik penindasan atas orang-orang miskin dan terpinggirkan. Mereka tidak hanya diam, termangu-mangu, dan menikmati fasilitas sebagai penggiat keagamaan, tetapi justru menyuarakan ketidakadilan di hadapan para penguasa!

“Bukan! Berpuasa yang Kukehendaki, ialah supaya engkau membuka belenggu-belenggu kelaliman, dan melepaskan tali-tali kuk, supaya engkau memerdekakan orang yang teraniaya dan mematahkan setiap kuk, supaya engkau memecah-mecah rotimu bagi orang yang lapar dan membawa ke rumahmu orang miskin yang tak punya rumah, dan apabila engkau melihat orang telanjang, supaya engkau memberi dia pakaian dan tidak menyembunyikan diri terhadap saudaramu sendiri!” (Yes. 58:6-7).

Sampai-sampai pada bajumu terdapat darah orang-orang miskin yang tidak bersalah; bukan waktu mereka membongkar untuk mencuri kaudapati mereka! Meskipun semuanya itu demikian” (Yer. 2:34).

Sebab itu, karena kamu menginjak-injak orang yang lemah dan mengambil pajak gandum dari padanya, sekalipun kamu telah mendirikan rumah-rumah dari batu pahat, kamu tidak akan mendiaminya; sekalipun kamu telah membuat kebun anggur yang indah, kamu tidak akan minum anggurnya” (Am. 5:11).

Tergambar dari kesaksian para nabi, Allah yang mereka layani tidak absen dari kondisi sosial-politik Israel dan Yehuda pada masa itu. Allah dan keadilan saling terkait erat. Gustavo Gutierrez merefleksikan teks Yeremia 22:13-19 dan memberikan sub-judul pada salah satu bagian bukunya, sebagai “mengenal Allah adalah melakukan keadilan.” Ini menunjukkan bahwa ketika seseorang mengaku bahwa ia mengasihi Allah, secara serentak harus ada keadilan dari sana!

Namun demikian, akibatnya, hidup mereka diambang kematian. Ambil salah satu contoh dari Yeremia:  

“Lalu sesudah Yeremia selesai mengatakan segala apa yang diperintahkan TUHAN untuk dikatakan kepada seluruh rakyat itu, maka para imam, para nabi dan seluruh rakyat itu menangkap dia serta berkata: ‘Engkau harus mati!’” (Yer. 26:8).

Inilah konsekuensi menyuarakan keadilan dan membela mereka yang menjadi korban penghisapan para penguasa. Sayangnya, tindakan radikal para nabi seringkali tidak disampaikan dalam gerak kehidupan beragama kekinian. Sekarang lebih senang membicarakan kehidupan di surga nanti, dan lupa untuk menjejakkan kaki di bumi. Atau mungkin membuat aktivitas keagamaan yang hingar bingar dan melupakan solidaritas terhadap yang tertindas dan yang tidak mendapatkan ketidakadilan. Dan lupa untuk menyuarakan ketidakadilan yang terjadi yang tidak bisa dipungkiri juga disebabkan dari atas. Masalahnya, ketundukan tersebut salah dipahami. Karena itu, sikap umat Protestan terhadap pemerintah tidak bisa hanya diambil dari segelintir ayat saja, tanpa mempertimbangkan bagian-bagian lain yang tidak kalah pentingnya.

Saya tidak sendiri dalam menyikapi tentang kekeliruan ini. Sekitar tahun 1913/1914, Karl Barth, seorang “pendeta merah” dari tradisi Protestan, menyerukan, “Dalam pemahaman Kristen yang keliru tentang subordinasi, seseorang memandang superioritas majikan yang berdasarkan kepemilikan kapital menjadi suatu tatanan ilahi yang mana perlawanan terhadapnya dianggap sebagai ‘kemurkaan,’ ‘penggulingan,’ dll.”[2] Agama dipakai untuk menundukkan pemeluk-pemeluknya dalam suatu cengkeraman penindasan yang, sebenarnya, menghisap diri mereka sendiri. Gawatnya, itu dianggap sebagai kemahakuasaan Tuhan yang sudah mengatur segalanya. Secara tidak sadar (dan sadar, tentunya) jatuh dalam pemahaman fatalis semacam ini. Barth mengkritik konsep kekristenan yang menganggap bahwa jika tunduk secara total adalah pilihan yang tepat. Saya setuju dengan Barth di sini. Tapi apakah hanya umat Protestan secara umum yang tunduk secara total?

Sedikit berbeda dengan Barth (dia hanya menyebut “Kristen”), Ernst Bloch juga mengatakan hal senada, tapi menunjuk dengan tajam pada kalangan profesi tertentu, “Mereka [para rohaniwan], tentu saja, tidak diganggu tatkala para penindas menggunakan kekuasaan, apakah itu adalah intimidasi terus-menerus atau brutalitas yang bertopeng yang menghajar semua perlawanan dari bawah. Dalam contoh-contoh tersebut gas dan pistol yang disebut sebagai mempertahankan diri, dan perlawanan, bagaimanapun juga dijustifikasi, sebagai teror.”[3] Menurut Bloch, sikap eskapis dari realita sosial-politik juga dilakukan oleh para pemuka agama. Ketika yang tertindas bergulat dengan ketidakadilan, di mana kehadiran kaum yang katanya hidup mengabdi untuk melayani Allah? Suara Bloch patut dipertimbangkan oleh kaum Protestan untuk menyadari bahwa tidak bisa lagi hanya duduk dan diam melihat gejolak sosial-politik, apalagi tunduk secara buta terhadap penguasa.

Nampaknya, kalau boleh usul, saya menyarankan bagi para penggiat keagamaan untuk berdekatan dengan literatur yang menyuarakan perlawanan tentang ketidakadilan. Bacaan Barth dan Bloch sangat direkomendasikan. Setidaknya, supaya tidak lupa untuk menjejakkan salah satu kakinya di tanah. Dan juga tidak memahami ketundukan terhadap pemerintah secara buta. Tapi, tentu pembacaan yang lengkap terhadap Alkitab tidak boleh terlupakan, toh di sana juga dengan jelas mencatat kepada siapa keberpihakannya.

Berbicara tentang perlawanan, semestinya para rohaniwan belajar dari Pramoedya Ananta Toer. Salah satu karyanya yang terbaik, yakni Bumi Manusia patut dibaca dan dipelajari. Tidak mengherankan banyak orang memuji novel Pram ini. Kualitas sastranya diakui dunia internasional. Tapi yang menarik perhatian saya adalah novel ini berisi perlawanan atas ketidakadilan yang diciptakan oleh pemerintah kolonial Belanda. Dengan berlatar belakang kehidupan di Hindia Belanda di awal 1900-an, Pram melukiskan jurang yang tajam antara pribumi, orang indo, dan orang kulit putih. Yang terakhir disebut menindas yang pertama. Yang kedua keenakan karena lebih baik jadi kebaratan-baratan ketimbang bersolidaritas dengan pribumi. Yang pertama disebut tidak punya kekuatan untuk melawan. Bagian yang menuntut saya untuk berpikir dalam adalah tatkala Nyai Ontosoroh dan Minke akan kehilangan segalanya, harta, rumah, perusahaan, dan Annelies Mellema. Mereka tahu akan kalah—nasib pribumi. Dan senyatanya, mereka memang kalah. Annelies pergi ke Belanda, harta mereka menjadi milik Maurits Mellema sebagai anak yang sah di mata hukum. Andaikata Nyai Ontosoroh dan Minke menyerah sebelum melawan, mereka tidak jauh beda dengan antek-antek kolonial yang melanggengkan kekuasaan.

Beginilah cuplikan percakapan mereka:

“Minke, kita akan melawan. Berani kau, Nak, Nyo?”

“Kita akan berlawan, Ma, bersama-sama.”

“Biarpun tanpa ahlihukum. Kita akan jadi Pribumi pertama yang melawan Pengadilan Putih, Nak, Nyo. Bukankah itu suatu kehormatan juga?”

            Aku tak punya sesuatu pengertian bagaimana harus melawan, apa yang dilawan, siapa dan bagaimana. Aku tak tahu alat-alat apa sarananya. Biar begitu: Kita melawan!

            “Berlawan, Mama, berlawan. Kita melawan.”[4]

Setelah melawan dan mendapatkan hasil yang sudah mereka duga, dengan perkataan yang menggetarkan hati, Nyai Ontosoroh mengatakan kepada Minke:

“Kita telah melawan, Nak, Nyo, sebaik-baiknya, sehormat-hormatnya.”[5]

Yang dapat kita pelajari dari secuil karya Pram di atas adalah: perlawanan atas ketidakadilan! Meski tahu bahwa mereka tidak akan menang, setidaknya mereka tidak menyerah. Justru, dalam novel Pram ini, Nyai Ontosoroh dan Minke menjadi pribumi pertama yang melawan pengadilan Eropa.

Sebenarnya ada banyak pemikiran, seperti Pram, yang dapat menginspirasi kita untuk melawan ketidakadilan. Di sini umat beragama yang perlu paling banyak terpengaruh. Mengapa demikian? Jangan lupa tentang sejarah penindasan umat manusia, sedikit banyak, dilegitimasi oleh agama. Ketundukan total secara otomatis adalah ketundukan kepada Allah. Sekarang saatnya keluar dari penjara sempit semacam itu. Allah adalah adil. Bagaimana mungkin umat beragama (dan siapapun yang tergabung di dalamnya), yang katanya, menyembah, mengasihi, mengenal, dan melayani Allah yang adil, tapi di saat bersamaan membiarkan penindasan terjadi? Tatkala mendaku diri mengasihi Allah, seseorang harus mengejawantahkannya secara konkret, yakni keadilan. Untuk itu, umat Protestan, saat melihat ketidakadilan, jangan diam, tapi lawan!

Poin yang perlu digarisbawahi adalah perjuangan untuk melawan ketidakadilan yang dimotori oleh para rohaniwan. Kita tidak bisa naif dan berpikir bahwa pemerintah pasti memperjuangkan yang terbaik dan ketidakadilan merupakan sesuatu yang “sudah dari sananya”. Faktanya, ketidakadilan juga datang dari atas sana. Kalau begitu, apakah sikap yang diambil hanya diam saja? Ini adalah peran krusial dari para rohaniwan. Di satu sisi, mereka dapat melanggengkan ketidakadilan dengan mewajarkan hal tersebut. Namun di sisi lain, perlawanan dapat datang dari sana!

Di mana ada penindasan, di situ ada perlawanan, semoga.***


Yasuo T. Huang, Mahasiswa Sarjana Teologi di STT Amanat Agung, Jakarta; aktivis Kristen Hijau


—————–
[1] Saya menulis tulisan ini dari perspektif Protestan.

[2] Friedrich-Wilhelm Marquardt, “First Report on Karl Barth’s ‘Socialist Speeches’” dalam Theological Audacities: Selected Essays, ed. Andreas Pangritz dan Paul S. Chung, Princeton Theological Monograph Series (Eugene: Pickwick, 2010), 111.

[3] Ernst Bloch, Atheism in Christianity: The Religion of the Exodus and the Kingdom, terj. J. T. Swan (London; New York: Verso, 2009), 251.

[4] Pramoedya Ananta Toer, Bumi Manusia (Jakarta: Lentera Dipantara, 2019), 494.

[5] Toer, Bumi Manusia, 535.

]]>
Anggur California, Thayyib, dan Keadilan Sosial https://indoprogress.com/2019/08/anggur-california-thayyib-dan-keadilan-sosial/ Fri, 30 Aug 2019 00:20:34 +0000 https://indoprogress.com/?p=21808

SETELAH beberapa minggu menetap di Amerika Serikat, baru tempo hari saya berkesempatan untuk menyambangi kawasan etnik Meksiko di Chicago. Pilsen namanya. Jika tak terbayangkan bagaimana rupanya, andaikan saja di pikiran Anda sebuah kompleks pecinan: hanya saja, toko-tokonya berubah menjadi restoran taco, dindingnya penuh mural warna-warni yang beberapanya bernuansa politik, dengan musik mariachi terdengar sayup dari salah satu jendela rumah.

Singkat cerita, selepas menyantap dua tangkup taco untuk makan siang, saya menyempatkan diri untuk mengunjungi American Mexican Museum sebelum kembali pulang. Museum ini tidaklah besar, tapi cukup representatif bagi mereka yang ingin mengenali lanskap kesenian Meksiko-Amerika secara permukaan. Yang lebih asyik lagi: museum ini tidak memungut biaya masuk.

Tidak lama, saya mendapati diri saya tenggelam dalam rupa-rupa kesenian Meksiko: beberapa saya paham, beberapa tidak. Hingga pada sebuah ruangan, pandangan saya tertuju pada instalasi seni berupa patung dada bersetelan kemeja putih, rompi rajut abu-abu, dengan pin merah bertuliskan “No Grapes” pada dada kiri. Pikir saya: ada apa dengan anggur? Saya kira, barangkali pin tersebut semacam guyonan internal nyeleneh ala seniman. Merasa menjadi orang yang tidak cukup intelek untuk memahami konteks jargon tersebut–walaupun sebenarnya saya cukup penasaran–saya mengalihkan perhatian dan dihadapkan kepada sebuah instalasi lain yang, alamak, lagi-lagi bertema seputar anggur. Instalasi kali ini merupakan sebuah karya satir dari merek kismis kawentar Sun Maid (maid: perempuan muda) yang diplesetkan menjadi Sun Mad (mad: gila). Berbentuk sebuah baliho besar, karya ini menampilkan gadis manis yang ada pada kemasan Sun Maid berubah menjadi tengkorak.

Setelah membaca keterangan pada karya oleh seniman Ester Hernández ini, barulah saya tahu bahwasanya pernah terjadi sebuah demonstrasi besar-besaran pada tahun 1970 di California, oleh para buruh migran perkebunan anggur dari Meksiko dan Filipina karena kondisi kerja yang buruk. Karyanya menjadi sebentuk kritik terhadap sistem perkebunan yang tak adil bagi para buruh migran. Sontak, segala tentang pin “No Grapes” tadi menjadi masuk akal buat saya.

Saya merenung betul sepanjang perjalanan pulang. Perjumpaan saya dengan karya seni bersemangatkan resistensi pangan ini mengingatkan saya kepada rumah dengan kegandrungan mayoritasnya dalam permasalahan apa-apa saja yang halal, namun cenderung meninggalkan diskusi terkait dimensi thayyib yang seharusnya tak luput dari perhatian.

Dalam ajaran Islam, Tuhan berfirman kepada umat-Nya untuk mengonsumsi apa-apa yang halal dan thayyib, sebagaimana tercantum dalam surah Al-Baqarah ayat 168. Kedua konsep ini, kendati sering digunakan secara berkelindan dan berpasangan, sebenarnya memiliki arti yang cukup berbeda. Dalam Bahasa Arab, kata halal berasal dari kata hill yang berarti “terlepas” atau “terbebas”. Sebagai suatu istilah tersendiri, kata halal diartikan sebagai “permissible” (diizinkan) atau “lawful” (diperbolehkan secara hukum).[1] Sementara itu, thayyib seringkali diartikan sebagai “baik”, termasuk pula derivatnya yang lebih spesifik seperti “berkualitas” dan “bermanfaat”.

Apa-apa saja pangan yang halal dan yang tidak sebagian besar telah tercantum di beberapa ayat dalam Al-Qur’an. Salah satunya dalam surah Al-Maidah ayat 5, di mana tertulis bahwa umat Muslim tidak diperbolehkan untuk mengonsumsi bangkai, darah, daging babi, juga hewan yang mati dengan cara dipukul, ditanduk, atau diterkam binatang buas. Peraturannya yang jelas tertulis membuat halal menjadi konsep yang relatif stabil dan tidak banyak berubah, kendati tentu saja–sebagaimana hukum lain–perdebatan selalu hadir di kalangan para ulama dari berbagai latar belakang. Misalnya, perkara kadar konsumsi alkohol yang masih diperbolehkan atau kondisi-kondisi luar biasa yang menganulir keharaman suatu substansi.

Seiring perkembangan tekonologi pangan dan obat-obatan, kini masalah halal-haram tidak berhenti pada hal-ihwal yang kasat mata saja. Ia merambah pada produk turunan yang terkadang berada pada tataran mikrobiologis. Masih membekas jelas bagaimana vaksin meningitis, yang menggunakan katalisator berupa enzim dari babi, menuai polemik di antara umat Muslim di Indonesia. Atau, perdebatan mengenai hukum produk cokelat buatan Jepang yang menggunakan pengemulsi non-nabati yang sempat santer di beberapa forum dunia maya. Di sisi lain, kapitalisme lantas melihat tren dan kecemasan berlebih tentang kehalalan ini menjadi sebuah peluang untuk meraup pundi-pundi uang. Tak tanggung-tanggung, tidak hanya berhenti pada sertifikasi halal pada makanan, beberapa perusahaan mengeluarkan produk jilbab halal hingga lemari es halal (sempat terpikir pada saya, bagian apakah dari kulkas yang barangkali tidak halal) untuk memenangkan kepercayaan konsumen. Demikianlah, permasalahan halal-haram suatu produk selalu menjadi skenario yang tak pernah absen dalam dinamika masyarakat Muslim di Indonesia.

Namun begitu, dibandingkan hiruk-pikuk yang menyeputari isu halal, diskusi mengenai kadar thayyib-tidaknya pangan cenderung sunyi senyap. Majelis Ulama Indonesia (MUI), institusi yang banyak mengeluarkan fatwa terkait perkara konsumsi bagi umat Muslim, lebih banyak menitikberatkan pada permasalahan halal-haram suatu produk. Dalam hal ini, rupanya kita tak jauh berbeda dari Malaysia: sebuah opini dari Apnizan Abdullah yang diterbitkan The Straits Times menyebutkan bahwa Departemen Pengembangan Islam Malaysia (Jakim) mengeluarkan The Manual Procedure for Malaysia Halal Certification 2014 yang, sebagaimana dapat dilihat dari namanya, hanya memfokuskan diri pada kriteria halal saja. Bagaimana bisa kita berkubang begitu lama dalam ihwal halal-tidaknya suatu makanan tanpa menyentuh konsep thayyib dengan saksama dan serius? Tuhan tentu tidak mencetuskan kedua konsep tersebut untuk ditimbang secara berat sebelah.


Ester Hernandez, Sun Maid, (1982)

Konsep thayyib yang banyak beredar merujuk pada kebaikan badaniah belaka: yaitu, kepada makanan yang bergizi dan bermanfaat bagi kesehatan jasmani dan rohani si pengonsumsi. Alangkah disayangkan bagaimana diskusi mengenai thayyib seringkali hanya berhenti di sana. Padahal, bagi saya pribadi, konsep thayyib sangatlah luas: ia mengandung dimensi lainnya yang potensial untuk ditelaah dan diinterpretasikan secara lebih inklusif dan holistik. Alih-alih hanya berkutat pada kebaikan individualistik belaka, konsep thayyib dapat ditarik untuk direfleksikan kepada kebaikan dan kebermantfaatan yang dapat dirasakan oleh unit sosial yang lebih luas. Kebaikan yang dimaksud pun tidak harus selalu mewujud dalam bentuk bendawi: ia dapat berupa kesejahteraan, pengupahan yang adil, juga penghidupan yang layak.

Di sini lah kisah para petani anggur Meksiko dan Filipina di California tahun 1960-an, yang saya lihat tempo hari di American Mexican Museum, menjadi relevan. Secara hukum Islam, anggur California jelas merupakan makanan yang halal untuk dikonsumsi. Nutrisi yang dikandungnya pun baik, thayyib, bagi siapa-siapa saja yang menyantapnya. Namun, menilik kembali bagaimana anggur tersebut dibesarkan oleh para buruh migran, kata thayyib nampaknya menjadi kata terakhir untuk mendeskripsikannya. Pekerja migran dari Meksiko dan Filipina dalam industri anggur dan kismis diupah rendah dan dipaksa untuk hidup di lingkungan yang tak layak. Mereka bekerja dengan terpapar kontaminasi pestisida dan pencemaran air. Eksploitasi ini terus berlanjut hingga akhirnya terkulminasi menjadi resistensi nirkekerasan dalam bentuk Delano Grape Strike pada tahun 1970. Maka darinya, dapat dikatakan bahwa anggur panenan buruh migran perkebunan anggur ini memanglah thayyib dalam tataran individu, namun tidak dalam tataran sosial.

Kasus anggur California ini hanyalah salah satu contoh dari sekian banyak ketidakadilan dalam produksi pangan di seluruh dunia. Ia pun bukan lagu lama. Nun di Pantai Gading, misalnya, tangan-tangan mungil anak-anak masih terlibat dalam proses produksi cokelat untuk lantas diekspor ke Eropa. Juga di Indonesia, di mana petani kopi serta berbagai panenan lainnya dibayar murah dan dirugikan oleh rantai distribusi tengkulak yang luar biasa berbelit.

Berkaca kepada banyak praktik tak adil dalam proses produksi maupun distribusi pangan, sebenarnya konsep thayyib–jika dipahami secara holistik–dapat menjadi pijakan menuju keadilan sosial dalam isu konsumsi. Memikirkan thayyib dalam dimensi sosialnya merupakan sebuah upaya menuju sistem produksi pangan yang lebih adil dan ramah buruh. Terhadap apa-apa yang kita masukkan ke dalam perut, sudah seharusnya kita melampaui pertanyaan “Apakah ini thayyib untuk saya?” dan memasuki ranah pertanyaan “Apakah ini thayyib untuk orang lain?”

Namun demikian, praktiknya tentu tidak melulu mudah. Hidup pada era di mana pergerakan barang lintasbatas terjadi begitu cepat adalah ibarat dua mata koin. Di satu sisi, dapur kita kini warna-warni terisi dengan berbagai jenis bahan makanan dari berbagai belahan dunia. Namun, di sisi lain, akan semakin sulit bagi kita untuk memonitor secara benar-benar adanya keterlibatan eksploitasi dalam sebuah produk pangan. Kalaupun terdapat merek dagang yang mengklaim dirinya antikekerasan, tidak jarang harganya jauh dari jangkauan masyarakat kelas menengah. Juga, siapa yang tahu ketika kita tidak melihat proses produksinya secara langsung?

Dilematis memang. Barangkali, sebagian besar dari kita kita tidak bisa sepenuhnya menghindar dari sistem produksi pangan yang benar-benar bersih dari eksploitasi. Namun, setidaknya kini kita lebih mawas untuk memilih produk pangan yang tidak hanya thayyib bagi diri sendiri, namun juga thayyib bagi para petani, pekebun, dan siapapun yang berjasa dalam meletakkan makanan kita di atas meja.***


Amrina R. Wijaya, sedang menempuh tahun fellowship sebagai visiting scholar di Northwestern University, Amerika Serikat

——————


[1] Fischer, Johan. 2012. “Branding halal: A photogrphic essay on global Muslim markets”. Anthropology Today, Vol. 28, No. 4, pp. 18-21

]]>
Ex-Gafatar: Kami Cuma Upgrade Keyakinan Dengan Sikap Egaliter https://indoprogress.com/2019/08/ex-gafatar-kami-cuma-upgrade-keyakinan-dengan-sikap-egaliter/ Fri, 23 Aug 2019 00:54:04 +0000 https://indoprogress.com/?p=21430

Kredit foto: www.suaramuhammadiyah.id


ADAM Mirza (41) dan Faldiaz Bachtiar (45) duduk di bangku depan gardu. Mereka sedang bercerita dengan Imam Shofwan (Direktur Yayasan Pantau) yang berdiri di depannya. Keduanya adalah ex-Gafatar. Sebuah komunitas Eko-Spiritual atau mereka sendiri menyebutnya persaudaraan iman Millah Abraham, yang anggotanya kerap mendapat persekusi dan intimidasi bahkan tiga pimpinan mereka sudah dipenjarakan.

Pagi itu, sabtu 3 agustus, ada janji peretemuan di kantor YLBHI (Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia) yang sudah direncanakan sebelumnya. Tak seperti kebanyakan gerakan spiritual yang cenderung berseragam agamis. Mereka justru tampil necis. Adam, misalnya, mengenakan kemeja kotak-kotak biru-putih yang tampak ketat di badannya. Rambut kilimis – berjambul, chino pants berwarna krem, dan boots.

Diaz sedikit berebeda. Selain tentu lebih tinggi dibanding Adam, dia Lebihkasual. Berkacamata, brewokan namun tipis saja, kemeja hitam polos, celana bahan warna abu-abu, dan sneakers puma. Di bawah telapak tangan kanannya ada tato karakter cina yang artinya Harimau, sedikit tertutupi oleh jam tangan. leher belakangnya dirajah dengan kata “freedom”.

Gambar karakter cina merujuk shio tahun kelahiran Diaz, sementara“freedom” baginya adalah kata yang bermakna bebas dari hawa nafsu, belenggu dogma, jeratan ekonomi dan ikatan sosial.

Saya tak sengaja melewati mereka berdua, mungkin karena penampilannya itu. Dan lagi saya belum pernah menemui anggota ex-Gafatar sebelumnya. Belum juga Imam Shofwan memperkenalkan mereka, dengan luwes Adam dan Diaz menunjukkan senyum keakraban. Senyum yang sama terlihat di garis wajah anggota ex-Gafatar dan anak-anaknya kala memulai sistem pertanian terpadu bebas limbah di Kalimantan.

Satu video yang diteruskan oleh Adam Mirza ke whatsapp saya memperlihatkan kerukunan dan kebahagiaan itu. Beternak sapi, menggarap sawah, menanam sayur-sayuran. Anak-anak bermain bola, bercengkrama di kebun, dan emak-emak sedang bersenam.

Mereka membangun turbin sebagai pembangkit listrik, mencipta satu mekanisasi untuk air sungai yang keruh supaya bisa dikonsumsi. Semua dilakukan bersama dan hasilnya dirasakan bersama. Dari tanah bergambut, mereka bisa menghasilkan 6 ton beras dari luas lahan 1,8 hektare.

2015 mereka ke Kalimantan. Adam mengatakan sebanyak 12 ribu orang yang ikut dengan menempati 33 titik di Kalimantan. Kalimantan Barat sebanyak 10 titik, Kalimantan Timur 11 titik, dan Kalimantan Tengah 12 titik. Masing-masing orang menjual apapun yang bisa dijual: rumah, perusahaan, dan lainnya untuk membeli tanah dan kebutuhan hidup di Kalimantan.

Adam sendiri bersama 16 orang lainnya, termasuk Diaz, dengan barang-barang hasil jualannya berurunan untuk membeli tanah  seluas 200 hektare di Kabupten Melawi, Kalimantan Barat. Kepindahan mereka bukan tanpa sebab. Izin organisasi tidak diperpanjang oleh Kementerian Dalam Negeri dengan alasan doktrin mereka. Ya tuduhan atas Gafatar – penyebutan yang digunakan sebelum mereka membubarkan diri pada Agustus 2015 – melakukan separatis dan akan mendirikan negara agama selalu dijadikan wacana tunggal. Bahkan kepindahan anggota ex-Gafatar ke Kalimantan tidak terkonfirmasi dengan baik sehingga pemberitaan yang muncul bahwa sebagian dari mereka diculik. Seperti kasus dokter Rica Tri Handayani di Jogja. Hamir semua media memberitakan bahwa dokter itu diculik. Sementara kita tahu bahwa dokter itu diajak dan diapun merupakan anggota Gafatar.

Adam berceletuk dengan nada candaan, “ada om saya juga tidak menerima (maksudnya ikut ke Kalimantan) dan menganggap kami di culik.”

Satu orang menimpali, “kenapa harus Kalimantan?” – sementara di sana kita tahu tanah bergambut, yang ada hanya tambang dan sawit.

“Di tempat yang lebih sulit, orang lebih struggle”, jawab Adam yakin.

Ada beberapa hal yang mengemuka dalam melihat permasalahan ex-Gafatar. Persekusi terus terjadi karena narasi datang dari satu sumber. Banyak yang belum terkonfrmasi namun sudah mengambil kesimpulan terhadap ex-Gafatar. Dengan cepat-cepat merasa bahwa permasalahan ex-Gafatar adalah masalah hukum dan tentunya mereka telah melanggar hukum tanpa mau tahu ada atau tidaknya hukum yang dilanggar.

Sementara permasalahan ex-Gafatar ini sebaiknya dilihat dari perspektif korban. Karena realitanya ada orang yang dilanggar haknya. Bertani diintimidasi, jalan sana-sini dituduh “sesat”. Ada pembatasan ruang. Laporan Human Rights Watch juga menunjukkan bahwa tahun 2015 enam anggota Gafatar dihukum tiga sampai empat tahun penjara di Banda Aceh.

Hingga akhirnya peristiwa di Januari 2016. Massa datang memasuki lahan, menolak kehadiran ex-Gafatar. Kejadian ini terjadi di Kabupaten Mampawah Kalimantan Barat. Alasannya anggota ex-Gafatar dinilai terlalu eksklusif, padahal mereka mempersilahkan masyarakat setempat mengambil air bersih dari hasil proyek peyaringannya. Mereka juga membeli tanah masyarakat di sana, bahkan ada yang dengan surat MoU.

Perkiraan Adam ada ratusan massa datang – perhitungannya mencapai 300-an orang –  sebagian membawa balok kayu. Berlari memasuki lahan, menginjak sayuran, memaki, dan memorak-porandakan rumah sampai membakarnya. Yang tersisa hanya bendera merah-putih yang tetap berkibar di halaman rumah. Terlihat juga beberapa polisi, berjejalan di kebun, melindas sayur yang segar berwarna hijau. Tak berusaha menenangkan amarah masyarakat.

Adam meyakini massa tersebut sengaja dimobilisasi untuk mengusir mereka.

Penyerangan terhadap anggota ex-Gafatar ini terjadi di dua titik di Kabupaten Mempawah. Andreas Harsono, peniliti Human Rights Watch yang hadir dalam diskusi pagi itu memotong sejenak cerita Adam untuk menjelaskan kondisi sosial-politik di wilayah itu. “Mempawah adalah basis Muhamadiyah. Mempawah juga salah satu titik yang paling banyak terjadi pembunuhan terhadap orang madura di tahun 1999. Waktu itu Mempawah ada di bawah Kabupaten Sambas, ” katanya.

Setelah penyerangan itu, anggota ex-Gafatar yang lainnya dijemput oleh aparat dengan bersenjata lengkap. Mereka dipaksa keluar dari Kalimantan dengan 9 pesawat komersil dan 4 kapal perang. Anggota ex-Gafatar di usir dari tanah garapan mereka.

Andreas Harsono menilai bahwa tindakan yang dilakukan oleh pemerintah tidak bisa disebut pemulangan tapi pengusiran paksa. Dan memang demikian. Laporannya menuliskan jika anggota ex-Gafatar yang terusir dari Kalimantan Barat dan Kalimantan Timur sebanyak 6.000 orang ditahan ke tempat penahanan tak resmi di Jakarta, Surabya, Yogyakarta, Bekasi, dan Boyolali .

“Ketika kami dihadapkan dengan pilihan pergi meninggalkan semua aset. Menurut kami itu aneh,” tukas adam.

Anggota ex-Gafatar mengalami nuansa yang problematis ketika harus berhadapan dengan kenyataan yang dialami. Kemungkinan akan dihina oleh keluarga dan lingkungan begitu menguat. Bahkan melintas pertanyaan apakah keluarga mau menerima mereka?

Sedangkan yang mereka lakukan selama ini untuk dua hal, yakni menjalani hidup dengan kesabaran dan mengejar amal soleh. Hanya itu. Meninggalkan semua yang dimiliki sebelumnya dan memilih bertani ke Kalimantan adalah cara bagi mereka untuk menguji kesabaran. Sementara itu kedatangan mereka ke tempat yang baru supaya lebih berguna dengan orang-orang yang ada di sana.

Untuk konsep toleransi sendiri, adalah bagian yang tak terpisahkan dari kesabaran dan mengejar amal soleh. Dari latar belakang sosial yang berbeda, kedua hal itu diharapkan masih tetap bekerja. Di Gafatar atau ex-Gafatar memang anggotanya ada yang beragama Kristen Protestan, Katolik, Islam, Penghayat, dan Yahudi. Dari situ mereka meyakini bahwa toleransi bukan sekadar menerima perbedaan tapi bagaimana membangun ikatan yang intim satu dengan yang lainnya.

“Kita (ex-Gafatar) bisa membuktikan keuniversalitasan agama itu sendiri,” aku Diaz.

Namun karena perbedaan itu sendiri yang menjadikan mereka dibenci oleh banyak pihak. Tuduhan bahwa mereka “sesat” karena Millah Abraham adalah ajaran yang menggabungkan antara Islam, Kristen, dan Yahudi. Juga dituduh membawa misi Negara Islam Indonesia (NII). Sampai akhirnya Februari 2016, keluar Fatwa MUI (Majelis Ulama Indonesia) yang menyatakan bahwa mereka adalah kelompok spiritual terlarang. Padahal mereka hanya mencoba mengelola kesabaran dan amal soleh untuk menjadi manusia paripurna.

“Kami cuma upgrade keyakinan kami dengan sikap egaliter,” ujar Adam kemudian.


Kredit foto: beritakaltara.com

Jejak Langkah Diaz

Diaz lebih banyak diam, sesekali menambahkan jawaban Adam dengan singkat. Sesaat matanya melirik ke atas seperti sedang memikirkan sesuatu. Atau mengumpulkan jawaban. Entahlah…

Dulunya Diaz adalah seorang pemuda yang meragu. Ragu terhadap agama-agama. Dia sendiri tumbuh dalam lingkungan Islam. Dari TK – SMA di Al-Azhar. Ungkapan bahwa hanya agamanya yang masuk surga adalah satu hal yang tidak bisa diterima oleh Diaz. Akhirnya ia memilih melakukan perjalanan spiritual. Tahun 1999 ia ke Bali, mengunjungi pura dan banyak bertanya soal ajaran yang di anut oleh orang-orang di sana. Dua tahun setelahnya, ia memperjauh jangkaunnya sampai ke Thailand. Mengunjungi kuil-kuil.

Baginya semuanya sama, hanya masing-masing punya ritus berbeda. “Saya masuk ke yang lain ohh sama juga cuma dalam bahasa yang berbeda. Dagangannya surga dan neraka,” kata Diaz.

Tahun 2013 menjadi titik balik dalam kehidupan Diaz. Di tahun itu ia bergabung dengan Millah Abaraham, juga menikahi anak Ahmad Mushaddeq – penggerak ajaran Millah Abraham-cum guru spiritual bagi anggota Gafatar.

Beberapa hari setelah pertemuan di kantor YLBHI, saya menghubungi Diaz melalui email. Penasaran bagaimana tanggapan Mushaddeq soal tato yang ada di tangan dan lehernya.

“Pak Mushaddeq tidak menganjurkan tato karena sebenarnya prosesnya merusak tubuh, sesuatu yang tidak perlu dilakukan dan tak bernilai apa-apa,” tulis Diaz. Tubuh manusia baginya merupakan titipan sementara agar dapat menjadi makhluk utuh yang bisa menjaga alam.

Diaz mengakui bahwa bertemu dengan Millah Abraham membuka cakrawala berpikirnya: bersikap toleran dan menjadi naturalis.

2015 Ia ikut hijrah ke Kalimantan dengan modal tabungan dan menjual vespanya. Dari uang yang dimiliki, ia menyewa rumah dua tingkat selama dua tahun. Namun tak cukup dua tahun ia diusir dari Kalimantan.

Kini Diaz sedang menyibukkan dirinya dengan Proudction House (PH) yang dimiliki. Temata namanya, sebuah akronim dari Telinga Mata Nusantara. Bersama Temata, Diaz berkreasi demi upaya memperkenalkan Indonesia dari berbagai perspektif. Mungkin masih ingat video Presiden Joko Widodo saat pembukaan Asian Games yang melakukan aksi freestyle dengan motor gede? Nah, itu Temata yang memimpin produksinya. PH Diaz ini  berada di kawasan Fatmawati, di wilayah selatan kota Jakarta.

Terlibat dalam tim produksi video atapun film bukan sesuatu yang baru bagi Diaz. Sebelum bergabung dengan Gafatar, dirinya sudah bekerja di PH bidang iklan, korporasi dan dokumenter. Di Flex Films Asia.

Diaz termasuk orang yang memiliki selera musik cukup unik. Meyukai Grunge, Psikedelis, Progressive Rock, juga Hip-Hop. Bahkan band favoritnya tergolong tidak maisntream. Beberapa nama yang ia sebutkan ketika saya tanyai ialah Nine Inch Nails, Pink Floyd, Velvet Underground, Soulwax, dan Massive Attack. Tiga nama band yang disebutkan lebih awal juga biasa saya dengarkan.

Pernah ia terlibat dalam pembuatan film drama komedi Make Money, sebagai Music Producer. Film yang disutradarai oleh Sean Monteiro – waktu itu Sean menempuh pendidikan Performing Arts di Monash University dan Make Money adalah film panjang pertamanya. Film ini rilis 14 November 2013, dibintangi oleh Pandji Pragiwaksono, Ray Sahetapy, Ence Bagus, juga Tara Basro.

“Hidup saya memang dikelilingi oleh dunia film dan musik,” jawab Diaz melalui email.


Arus Balik Adam

Di ruang PK Ojong di kantor YLBHI, Adam begitu bersemangat menceritakan kisahnya. “Nah itu nanti, mungkin kita selesaikan ceritanya dulu,” kata Adam ketika orang di sebelah saya bertanya. Memang Adam kelihatan percaya diri menceritakan segala sesuatunya.

Adam muda adalah seorang pecandu narkoba. Keluar masuk tempat rehabilitasi sampai dibawa ke pesantren oleh keluarga. Dan akhirnya ia masuk penjara. Di sanalah menjadi titik awal bagi Adam dalam menekuni ajaran agama.

Dia bertemu dengan kelompok Milata Ibrahim – kelompok yang terindikasi sebagai teroris, anggotanya ditahan karena kasus pemboman. Dari cerita Adam, kelompok ini sangat khusuk dalam beribadah. Sehingga itulah yang membuat dia bergabung. Tapi Adam tak dijadikan “penganten” – sebutan untuk pengebom. Dia dijadikan sebagai komunikator Milata Ibrahim.

Di Milata Ibrahim, Adam memiliki guru spiritual, dipanggil Abu Mushaf, nama sebenarnya Agus – sekarang Agus ditahan di Rutan Cipinang dengan kasus terorisme.

Fase kedua yang menjadi titik balik bagi Adam sekaligus keluar dari Milata Ibrahim saat ibunya meninggal. Itu terjadi di tahun 2009. Di pemakaman ibunya di Aceh, Adam bertemu dengan kakak iparnya. Mereka berdebat soal teologi. Adam kalah. Dia kemudian mendalami ajaran kakak iparnya sehingga bertemu dengan Millah Abraham. Di tahun yang sama ia bergabung dengan Millah Abraham.

“Sampai detik ini saya tidak pernah mencopot keislaman saya. Saya tidak pernah convert menjadi Millah Abraham karena Millah Abraham menjadikan saya umat muslim yang memahami keislaman saya,” ungkap Adam.

Adam termasuk salah seorang yang ikut mengembangkan komunitas Millah Abraham yang kemudian menamai dirnya Gerakan Fajar Nusantara atau Gafatar, lalu berganti lagi menjadi ex-Gafatar setelah pembubarannya pada Agustus 2015. Tapi perjalanannya tidak mulus, Gafatar mendapat penolakan dari masyarakat kebanyakan. Pernah ketika menggalang aksi donor darah di Bali mereka mendapat penolakan. Mereka mendatangi tiga rumah sakit di satu Kabupaten di Bali dan di tolak. Kata Adam penolakan itu berdasarkan instruksi dari Bupati. Cuma satu rumah sakit di Provinsi yang menerima aksi donor darah mereka.

Puncak dari intimidasi yang diperlakukan kepada anggota ex-Gafatar saat terjadi pengusiran paksa di Kalimantan. Ribuan anggotanya dipaksa meninggalkan wilayah pertanian mereka. kebetulan Adam saat itu berada di Jakarta.

Adam mencoba melihat peristiwa ini dari sudut pandang berbeda. “Pengusiran ini sesuatu yang baik buat kita… kita susah cari sabar, kita dapat ujian ini kalo dapat koin bisa seabrek,” candanya.

Memilih untuk bergabung dengan Millah Abraham merupakan arus balik yang paling menentukan dalam kehidupan Adam. “Millah Abaraham yang membuat saya sembuh dari radikalisme,” kata Adam.

Dalam hitungan saya, Ia menyebut kata itu dua kali di Ruang PK Ojong.***


Arief Bobhil, peserta kursus jurnalisme Yayasan Pantau. Menggemari musik dan sastra, meraba-raba sosial dan politik.

]]>
Salib Jin Kafir dan Papua https://indoprogress.com/2019/08/salib-jin-kafir-dan-papua/ Tue, 20 Aug 2019 00:07:31 +0000 https://indoprogress.com/?p=21416


ABDUL Somad adalah seorang penceramah agama. Karena teknologi modern, dia mampu menjangkau pemirsa yang jauh lebih luas dan lebih banyak. Itu pulalah yang menjadi ukuran pengaruhnya.

Dalam Pilpres kemarin, kubu Prabowo Subianto  bahkan mempertimbangkan untuk menjadikan dia sebagai calon wakil presiden. Pak Somad menolak. Dia bersikukuh bahwa dia akan lebih berguna untuk agamanya jika dia tetap menjadi penceramah.

Akhir-akhir ini pak Somad terbelit kontroversi. Dalam salah satu ceramah yang kemudian diunggah ke internet, pak Somad ditanya soal salib. Dia menjawab pertanyaan seorang hadirin tentang mengapa ketika melihat salib, hatinya menggigil. Dalam video yang saya kira sudah diedit itu (setidaknya yang saya tonton), pak Somad berusaha menjawab secara lucu. Dia mengatakan bahwa di dalam salib itu ada patung. Hadirin tertawa ketika dia berusaha memperagakan patung itu.

Pak Somad adalah penceramah agama yang tidak garing. Dia humoris. Itulah sebabnya dia sangat populer. Sambil memperagakan patung itu, pak Somad  bertanya (patung itu) hadap ke kiri atau ke kanan. Tidak ada yang tahu. Hadirin tertawa lagi. Kali ini lebih keras.

Pak Somad memberikan jawaban mengapa salib membuat hati pemirsanya menggigil: karena ada jin kafir pada patung di salib itu.

Sampai di sini, ceramah yang terjadi tiga tahun lampau itu menyeruak menjadi kontroversi. Sebagian orang Kristen (Protestan maupun Katolik) merasa tersinggung. Pak Somad dianggap sudah menghina kekristenan. Dia diadukan ke polisi. Awalnya di Nusa Tenggara Timur. Kemudian ke Mabes Polri.

Umat Kristen memiliki pandangan teologis yang berbeda dengan umat Islam dalam memandang salib. Itu sudah jamak kita ketahui. Namun, perbedaan pandangan teologis menjadi sangat lain ketika politik memainkan peranan. Dia mengeraskan pembelahan yang sebelumnya sudah terjadi di masyarakat kita. Sebagian politisi dan organisasi Islam mendukung pak Somad. Sebaliknya umat Kristen semakin merasa bahwa mereka diminoritaskan. Terutama jika dikaitkan dengan kasus Ahok di Jakarta dan Meilana di Tanjung Balai, Sumatera Utara.

Saya tidak mau masuk ke dalam tarik menarik politik yang menggunakan tali agama ini. Biarlah itu menjadi urusan orang-orang yang bergelut dalam politik kekuasaan.

Saya ingin masuk ke hal-hal yang lebih mendasar yang terjadi di dalam umat Kristen Indonesia, khususnya umat Katolik. Sebagai orang yang dibesarkan dalam tradisi Katolik dan tahu sedikit inti ajarannya, diam-diam saya merasakan kebenaran dari apa yang dikatakan oleh Pak Somad. Saya menyetujuinya. Tapi tidak dalam interpretasi teologis.

***

Saya menonton tanggapan seorang pastur Katolik terhadap ceramah Pak Somad tersebut. Romo ini melihat bahwa apa yang dilakukan oleh pak Somad tidak lebih dari ujaran kebencian. Dia bertanya, sampai kapan umat Islam dan umat Kristen akan diadu terus menerus? Dia menduga bahwa ujaran-ujaran kebencian terhadap umat lain akan membuat sebuah ceramah makin populer.

Pastur ini tidak salah. Romo ini kemudian melanjutkan khotbah online-nya dengan mengatakan bahwa iman kristennya justru bertambah kuat karena mendengarkan ceramah Pak Somad itu. Kekristenan itu sudah biasa dicela, dihina, diburu, dan bahkan dibunuh. Namun justru karena itulah iman Kristen itu tumbuh. Tanpa dikatakan secara langsung saya segera mengetahui bahwa pastur ini bicara tentang gereja purba. Pastur ini mengakhiri khotbahnya dengan mendoakan agar semua orang beriman mendapatkan kasih Tuhan.

Untuk saya, khotbah seperti ini tidak terlalu aneh. Ini adalah khutbah standar dalam gereja Katolik. Ini adalah khotbah pastoral yang selalu diakhiri dengan menunjukkan kasih Tuhan kepada manusia.

Yang baru hanyalah mediumnya, yakni Youtube. Sama seperti pak Somad, pastur ini menggunakan media baru ini untuk menjangkau pemirsa yang lebih luas. Dia menjangkau siapa saja yang mau mendengarkan.

Penggunaan media untuk melakukan syiar keagamaan sudah mulai sejak abad ke-20, terutama ketika ditemukan radio. Ia menjadi lebih intensif ketika muncul televisi. Ketika itulah muncul apa yang namanya Televangelist, penceramah agama di televisi. Televangelist memiliki pemirsa hingga jutaan dan bisa dengan cepat diakses di seluruh belahan dunia.

Pendeta Billy Graham dari Amerika Serikan adalah contohnya. Sama seperti Pak Somad, semakin luas jangkauannya, semakin gemuk jumlah pemirsanya, semakin tinggi pula pengaruhnya (dan, tentu saja, pundi-pundinya). Billy Graham diperlakukan seperti rock star ketika dia berkhotbah. Demikian juga pak Somad.

Media yang baru menuntut keterampilan yang baru pula. Saya ingat sejak KH Zaenuddin MZ, khotbah-khotbah keagamaan mulai menyelipkan humor-humor yang lucu. Kini cara penyampaian tidak melulu humoristik. Para pengkhotbah juga melengkapi dirinya dengan berbagai macam keterampilan. Ada yang pintar membangkitkan keharuan. Ada yang memotivasi. Ada yang pintar memunculkan kemarahan.  Yang terakhir muncul menjelang Pilpres kemarin dan masih ada sampai sekarang.

Semua ini tidak terjadi di dalam Islam saja. Bahkan sebelum Islam, ia terlebih dahulu berkembang di gereja-gereja Kristen Protestan. Gereja Katolik (seperti biasa) agak terlambat. Hanya mungkin dua dekade terakhir ini muncul pastur-pastur yang memanfaatkan media-media baru ini. Tidak terlalu heran kalau kita melihat pastur menari. Khotbah-khotbah mereka menjadi semakin lucu dan menghibur. Pastur menjadi entertainer disamping menjadi gembala.

Saya memaklumi semua ini. Tidak ada yang salah. Namun, saya merasa ada sesuatu yang hilang.

***

Apakah yang hilang dari gereja Katolik masa kini? Untuk saya, yang sangat terasa hilang adalah kehendak gereja untuk memperjuangkan keadilan sosial. Disinilah, secara tidak sengaja, penilaian pak Somad tentang jin kafir itu kemungkinan mengandung kadar kebenaran.

Bersamaan dengan kontoversi pak Somad, mahasiswa-mahasiswa Papua dikepung di asrama-asrama mereka. Pengepungan terhadap mahasiswa-mahasiswa Papua ini tidak terjadi di satu tempat. Tapi di berbagai kota besar di Indonesia: Surabaya, Malang, Semarang, dan terakhir di Makassar.

Adakah gereja tergerak melindungi anak-anak muda ini? Adakah pihak gereja berkeinginan untuk menjadi mediator antara para mahasiswa itu dengan ormas-ormas sipil dan polisi bersama tentara yang mendukungnya? Adakah gereja menawarkan suaka untuk para mahasiswa ini?

Papua sesungguhnya bukan hanya soal mahasiswa-mahasiswa ini saja. Sesungguhnya ada sesuatu yang tengah bergolak di Papua, yakni peperangan antara pihak militer Indonesia dengan pihak Tentara Pembebasan Nasional (TPN) Organisasi Papua Merdeka.

Operasi militer Indonesia telah menghasilkan ribuan pengungsi. Berita-berita tidak bisa keluar dari Papua karena blokade informasi yang dilakukan pemerintah Indonesia. Berita-berita lokal tidak mampu menjangkau orang-orang di Pulau Jawa. Jika ceramah Somad bisa dengan gampang didengarkan di seluruh Indonesia, berita kemanusiaan dari Papua bahkan tidak bisa melintas lebih dari tingkat kabupaten di Papua.

Pastur John Jonga Pr. bersama Tim Kemanusiaannya, baru-baru ini merilis pernyataan bahwa ribuan orang mengungsi karena konflik ini. Sebanyak 182 orang sudah meninggal di pengungsian. Sebagian besar yang meninggal adalah perempuan dan anak-anak. “Anak-anak ini tidak bisa tahan dingin dan juga ya makan rumput. Makan daun kayu. Segala macam yang bisa dimakan, mereka makan,” kata Pastur John Jonga dan timnya.

Jika bencana kemanusiaan ini tidak mampu menggerakkan hati nurani gereja Indonesia, maka ini adalah sebuah bencana tersendiri. Bukankah Pak Somad benar ketika dia mengatakan bahwa ada jin kafir di salib-salib kita.

Kekafiran kita dimulai ketika kita tidak melihat Yesus di dalam penderitaan-penderitaan ini. Kekafiran kita dimulai ketika mengeraskan perasaan bahwa kita minoritas dan kita tidak cukup kuat untuk membela saudara-saudara kita yang tertindas. Kekafiran kita berasal dari hipokrisi berbicara cinta kasih namun pada saat yang bersamaan menutup mata terhadap ketidakadilan yang secara telanjang terjadi di depan mata kita. Kekafiran adalah ketika kita dengan gampang mengutip Matius 25:40 dan memalingkan muka ketika melihat saudara-saudara kita dari Papua.

Gereja Indonesia tidak perlu menjadi penjaga keadilan. Gereja tidak perlu menjadi garda depan perjuangan keadilan dan hak-hak asasi manusia. Namun gereja harus menjadi pemberi suaka bagi mereka yang ditindas. Bagi mereka yang diperlakukan tidak adil. Bagi mereka yang dipaksa mengungsi, lapar, dan tidak berdaya.

Apakah terlalu muluk dan berat untuk memberi tumpangan kepada Tuhan? Jika ya, kita memanggul salib yang dipilihkan oleh pak Somad. Salib yang berisi jin kekafiran. ***


Made Supriatma adalah peneliti dan jurnalis lepas

]]>
Al Qur’an dalam Fenomenologi Keseharian Kita https://indoprogress.com/2019/08/al-quran-dalam-fenomenologi-keseharian-kita/ Fri, 16 Aug 2019 00:59:04 +0000 https://indoprogress.com/?p=21364


PEMBAHASAN tentang al-Quran dan kita dalam konteks ini, bukan mengkaji al-Quran sebagai teks teologi suci, tetapi memahami bagaimana fenomena al-Quran disikapi dan dipahami oleh pribadi kita dalam keseharian. Pemahaman ini dilakukan para peneliti fenomenologis, yakni sejauh mana pengalaman eksistensial seseorang berinteraksi dengan al-Quran. Pemahaman fenomenologi tidak melakukan analisis konseptual dengan menghakimi realitas dan menamai realitas sesuai dengan kepentingannya. Dalam konteks fenomenologi agama, sejauh mana penghayatan keberagamaan seseorang atau masyarakat berinteraksi dengan kitab yang diklaimnya suci (al-Quran). Pengalaman ini bisa jadi emosional, spiritual, eksistensial, atau bersumber dari motif tertentu. Artikel ini akan membahas masyarakat atau kelompok tertentu yang menjalani proses keberagamaan atas dasar tafsir mereka atas kitab sucinya. Jadi bukan pembahasan kebenaran tentang agama tertentu (Cox, 2006; Twiss,1992; Livingston, 2008).

Quran. Bagi pendapat sebagian umat Islam yang tekun ini, al-Quran adalah wahyu Tuhan yang bukan sembarangan orang mengkhotbahkannya. Mencari saripati dari suatu mukjizat (al-Quran) membutuhkan pengorbanan dan ketekunan tradisi. Mereka menggunakan metodologi mendalam untuk meneliti dan menghidupkan al-Quran.

Sebagian orang lagi berpendapat bahwa al-Quran adalah kitab suci, tapi ketika membacanya, mereka melakukannya seperti membaca buku biasa, tanpa ada metodologi yang rumit, mendalam, dan kompleks. Mereka rata-rata hanya membaca al-Quran terjemahan saja tanpa disertai keseriusan metodologi, tafsir, dan studi lainnya. Lalu dengan kemampuannya itu menafsirkannya atau mengutipnya untuk disebarkan di masyarakat dengan dalih hadis nabi “Sampaikanlah walau satu ayat” (perlu dicatat bahwa hadis dari shahih bukhari ini diambil sepotong dan tanpa konteks, Hosen, 2016; Hosen, 2018). Hal ini mengundang pertanyaan, lalu dari mana sumber mengolah al-Quran itu?

Bagaimana kita bergumul dengan al-Quran, bagi sebagian orang menjadi mengkhawatirkan, khususnya sejak proses politik Indonesia menyeret slogan dan ritual Islam ke ruang publik. Bagi yang khawatir al-Quran dikonsumsi secara massal tanpa adanya kedalaman yang massal pula, maka Al-Quran yang berupa wahyu suci justru tampil pada tafsir dan konteks yang kurang pas. Hal ini mencemaskan. Ada dua kesadaran umat Islam. Pertama, umat yang berpendapat bahwa al-Quran memberi petunjuk kepada umat Islam bahwa agama Islam itu menyeluruh (kaffah) dan benar, maka menjadi penting menempati ruang publik demi kebenaran Islam.

Kedua, umat Islam yang memiliki kesadaran bahwa pemahaman al-Quran perlu diolah lebih serius dan mendalam dengan metodologi yang serius sehingga keberislaman seseorang justru secara ekslusif mendisiplinkan dirinya dan secara inklusif memudahkan ruang sosial menjalankan praktik-praktik prinsipil dari Islam yang sifatnya, bukan hanya formal, ritual, dan tampilan belaka.

Dalam konteks inilah relasi antara al-Quran dan kita perlu dipikirkan kembali dengan meletakkan posisi al-Quran dan kita pada tempatnya secara proposional. Saya tidak akan berbicara panjang lebar tentang kedua kesadaran atas al-Quran. Saya hanya ingin menekankan pada kesadaran diri atas interaksinya dengan al-Quran yang intens dengan metodologi yang memang kompleks. Mereka adalah para penstudi al-Quran yang memahami al-Quran sebagai suatu cakrawala pencarian kebenaran. Saya ingin menunjukkan pengalaman cara berpikir/kesadaran bagi penstudi al-Quran yang menampilkan kesadaran berbeda dari masyarakat pada umumnya. Hal ini penting, karena banyak kesadaran masyarakat yang belum bisa masuk ke dalam ruang alam sadar mereka.


Al-Quran

Al-Quran adalah dirinya sendiri sebagai petunjuk (kabar gembira) untuk seluruh umat manusia. Menurut Doktor lulusan Tafsir Universitas Al-Azhar Kairo, peraih Predikat Mumtaaz ma’a martabah al-syarf al-ula-Summa Cum Laude, Prof. M. Quraish Shihab, terjemah al-Qur’an dalam teks bahasa mana pun bukanlah al-Qur’an itu sendiri. Tidak ada satu bahasa pun yang dapat menggantikannya. Kesadaran ini keluar dari seseorang yang selama hidupnya dicurahkan hanya untuk ‘berkomukasi’ dengan al-Quran.

Kesadaran ini memberi peluang bagi kesadaran saya tentang al-Quran. Saya sadar bahwa keindahan al-Quran itu melampaui puisi, tapi mendekatinya harus memiliki rasa puisi. Al-Quran bukan produk seni, tapi sangat bermuatan seni, sehingga untuk menyentuh aspek seninya, manusia harus mempunyai rasa seni untuk sadar al-Quran. Al-Quran bukan kebudayaan, tapi bagian dari ekspresi budaya tertentu. Oleh sebab itu manusia harus memiliki rasa budaya untuk bisa memiliki kesadaran aspek kebudayaan al-Quran. Al-Quran mempunyai banyak aspek rasa seperti kemanusiaan, keadilan, kebebasan, dan sebagainya, tapi manusia harus belajar semuanya itu dari studi ilmu sosial, sejarah, dan kebudayaan melalui berbagai macam ragam kompleksitas metodologinya.

Sudah menjadi fakta umum bahwa al-Quran itu keajaiban (mukjizat). Oleh sebab itu, saya sadar betul bahwa ‘membaca’ terjemahan al-Qur’an justru berbahaya jika tidak didampingi oleh ahli tafsir atau instrumen tafsir (kitab tafsir dan semua pengetahuan metodologinya). Saya menyadari bahwa pribadi saya membutuhkan kesadaran para penstudi al-Quran agar rasa al-Quran sampai pesannya kepada saya. Hal ini juga sangat ditentukan motif, sikap, dan proses kehiduapn saya Bersama al-Quran. Apakah motifnya hanya menggunakan al-Quran atau memang hidup Bersama al-Quran? Apakah al-Quran adalah bagian dari proses hidup saya atau hanya sekadar mushaf al-Quran yang setiap kali dibuka sikap saya atas al-Quran sama dengan perlakuan saya terhadap buku-buku yang saya baca, teks-teks yang saya baca dari internet. Al-Quran menjadi suatu mukjizat sampai kiamat ketika presisi pembacanya terhubung/terkoneksi kesadarannya. Sebaliknya, rasa al-Quran menjadi rusak, brutal, dan beringas disertai dengan nafsu kekerasan ketika motif dan niatnya atas al-Quran memang sejak awal sudah bermuatan itu semua.

Dalam konteks Bahasa Inggris, al Quran itu bukan “to read” tetapi “to recite”. Misalnya surat al ‘Alaq (96:1-5): “Recite! Dalam Bahasa Indonesia tidaklah tepat menterjemahkannya “membaca”. Namun begitu, bahasa Indonesia belum mempunyai kata serapan selain kata “baca”. Dari segi Bahasa, “recite” lebih mendekati kata “iqra” sebab al-Quran itu wahyu Tuhan untuk dunia. Jadi kita hanya melakukan perulangan bunyi wahyu (oral). Dengan kata lain, al-Quran itu ‘pesan’/kata-kata Tuhan melalui malaikat Jibril yang disampaikan ke Nabi Muhammad saw. Jadi yang berubah sesuai dengan konteks zamannya adalah interpretasi kesadaran akan al-Quran, khususnya bagi para pembacanya, bukan al-Quran-nya sendiri yang isinya hanyalah perulangan wahyu Tuhan.

Menurut Pendiri Pusat Studi Al-Qur’an-PSQ, Prof. Quraish, Al-Qur’an sendiri adalah bukti kebenaran Nabi Muhammad saw sebagai pembawa risalah wahyu Allah yang sempurna indah memesona. Saking sempurnya, menurut Islamolog, Prof Basam Tibi, al-Quran itu al hikmah, yakni kebijaksanaan. Oleh sebab itu, siapapun, tanpa embel-embel beragama atau tidak, manusia atau jin, ras apapun bisa tersentuhnya. Saking hebatnya al-Quran, siapapun yang tersentuhnya maka dirinya muncul. Artinya, al-Quran juga seperti cermin dirinya sendiri.

Hanya saja bisakah kita membacanya sebagai suatu evaluasi kritis atas diri sendiri atau justru justifikasi atas motif/kepentingnya demi kebenaran yang diklaimnya benar. Jika dirinya paham siapa dirinya sesungguhnya, maka kebijaksanaan akan menghampirinya. Manusia adalah milik kebijaksanaan. Jika ada manusia mengklaim bijaksana atau pemilik kebijaksanaan, maka kita perlu mempertanyakan kebijaksanaannya; sama halnya seseorang yang mengklaim pemilik kebenaran, perlu kita pertanyaan integritas orang tersebut, karena bukan kita yang memiliki kebenaran, tapi kitalah bagian dari kebenaran atau sederhananya kita adalah milik kebenaran.

Mengikuti alur konteks di atas, mushaf al-Quran terjemahan itu bukanlah kitab ilmiah/teoritis operasional langsung yang siap pakai seperti buku panduan menyupir kehidupan kita. Toh buku panduan menyetir pun tidak serta merta bisa memandu dengan sempurna tanpa adanya praktik di lapangan. Al-Quran bukanlah alat (a thing), tapi ‘teman’ hidup sampai mati. Prinsip-prinsip al-Quran sudah ada secara inheren dalam rasa (nur) manusia, maka wahyu Tuhan (al-Quran) adalah pengingat ketika rasa itu tertutupi (kufur) oleh berbagai macam sifat dasar manusia sisi lainnya. Begitulah kompleksitas manusia yang mempunyai banyak dimensi. Dari ragam dimensinya, manusia perlu terus menyadari dirinya Bersama al-Quran. Jika lengah sedikit, maka kesadarannya akan juga terpeleset dengan motif-motif destruktif dengan meng-gun-kan (a thing) al-Quran sebagai alat justifikasi destruktifnya (misalnya, ISIS &IS).

Singkat kata al-Quran itu hidup bersama kita dalam kehidupan keseharian disadari atau tidak. Apalagi semesta ini adalah ayat-ayat al-Quran juga jika kita sadari. Untuk menyadari bahwa al-Quran hidup bersama kita dan kita dapat mengambil hikmahnya lebih dalam, maka kita perlu ahli tafsir atau jembatan ahli tafsir agar cahaya al Quran menyinari hidup kita.


Kredit foto: liherald.com

Al Quran dan kita

Bagi beberapa kesadaran umat Islam, Al-Quran berisi ayat-ayat suci yang kutipannya bisa untuk menghakimi dan menghantam orang lain. Kalimat al-Quran sangat ampuh tanpa cela sehingga siapapun yang membantahnya bisa berhadapan dengan umatnya. Ada umat Islam yang levelnya memang sampai/di spasial itu sehingga jika ada yang berbeda pemahaman dengan level kesadaran mereka, mereka anggap sebagai penodaan agama mereka yang berakhir pada kriminalisasi atau ‘main hakim sendiri. Kesadaran ini merupakan bagian dari kesadaran sebagian umat Islam yang bisa jadi masih dalam proses pencarian diri atau memang dogmatis, yakni kesadaran yang sudah (ter)‘selesai’(kan) atau kesadaran yang membeku. Yang perlu dipertimbangan dalam hal ini adalah sejauh mana umat-umat ini memang masih merasa perlu mencari kebenaran? Problem yang terjadi ketika ada umat yang mengklaim sudah selesai memiliki kebenaran. Umat semacam inilah yang memang problematis bagi yang lainnya. Apakah ini salah? Pertanyaannya bukan salah atau benar umat tersebut, tapi bagaimana proses mereka sampai dalam kesadaran itu dan akankah kesadaran itu menciptakan konflik atau benturan kesadaran dengan pihak lain di ruang publik. Misalnya dalam konteks ISIS/IS tentunya menciptakan perang. Contoh FPI lebih pada konflik horizontal antara FPI dan Banser/ansor (NU).

Ada pula kesadaran umat Islam yang rata-rata memiliki intensitas tinggi dalam mengkaji al-Quran, mengatakan bahwa al-Quran itu adalah wahyu Tuhan bukan mushaf. Oleh sebab itu, al-Quran tidak bisa ditonjolkan secara persial sisi menakutkannya dan penghakimannya. Namun hakikatnya, al-Quran itu adalah bil hikmah. Al-Quran adalah ‘teman’ kita dalam memperoleh kehangatan cinta Tuhan. Al-Quran adalah ‘teman’ suka duka dalam proses pengalaman hidup kita menuju perdamaian (Islam). Bersama al Quran, hidup kita menjadi damai baik dalam pengertian berdamai dengan dirinya sendiri maupun berdamai dengan sesamanya. Umat semacam tidak mengklaim kebenaran adalah miliknya, tapi mereka adalah milik kebenaran itu sendiri. Namun umat ini pun bisa problematis jika terprovokasi dengan kesadaran lainnya yang berbeda, dan mengancam perdamainnya. Inilah awal dari konflik dua kesadaran spasial yang berbeda.

Konteks kesadaran yang bermuatan motif hidup yang berbeda dan pengalaman hidup yang berbeda memberi orientasi keberislaman yang beragam dan cenderung berbenturan. Pada dasarnya manusia itu lemah, mudah terkorup, yakni terprovokasi hal-hal yang mengancam dirinya. Misalnya, dengan dalih mengancam Islam, Bhineka Tunggal Ika, atau sejenisnya, maka dirinya merasa aman (secure). Apakah ini juga salah? Tentunya, pertanyaannya bukan salah atau benar, karena konflik kesadaran antar umat manusia ada sejak manusia ada. Manusia hanya bisa berkomunikasi/berdialog, berdebat, atau adu fisik. Semuanya bisa “sementara damai”, yakni absennya konflik atau kondisi bersitegang atau kondisi menahan diri masing-masing atau kondisi toleran (tidak peduli urusan yang lainnya, tanpa  mau tahu secara mendalam yang lainnya) atau level beradab (hormat menghormati karena sudah saling memahami satu dengan yang lainnya). Di sisi sebaliknya, kondisi tragis, yakni adanya konflik yang menguras energi umat manusia, khususnya umat Islam Indonesia sehingga hal-hal yang lebih krusial terbengkalai, seperti membangun peradaban universal.

Peradaban universal bukanlah istilah/konsep besar. Kata ini hanya ekspresi suatu realitas perbaikan diri manusia secara utuh, yakni spiritual dan material, emosional dan rasional, infrastruktur dan suprastruktur, sakral dan duniawi (sekuler) dalam ruang bersama. Jika proses itu mendekati semua hal itu, maka masalah kemiskinan, ketidakadilan, dehumansisasi, diskriminasi, marginalisasi, dan sejenisnya bisa dikurangi. Masalah-masalah inilah yang krusial dibandingkan konflik internal umat Islam sendiri. Namun kesadaran isu universal dalam membangun peradaban belum tersentuh secara esensial sehingga isu partikular mendominasi. Bisa jadi isu-isu ini memang sengaja berperan demi menutupi isu-isu universal tersebut (Fitriyah, 2019). Semua itu selalu ada kemungkinan.

Hidup Bersama itu perlu begitu banyak berbagi macam-macam. Oleh sebab itu, manusia perlu li ta’arafu (mengenal) tentunya dengan pengorbanan, keikhlasan, empati, simpati, dan kesabaran. Tak kenal maka tak sayang. Begitulah pepatah klasik bangsa kita. Semua itu hanya bisa terwujud dalam kesadaran bersama, bukan parsial kelompoknya masing-masing. Sedangkan bangsa kita sejak pasca Suharto, kondisinya memiliki partisi kesadarannya masing-masing dengan preferensinya yang berbeda-beda.    

Kembali ke al-Quran, wahyu ini merupakan refleksi diri sendiri. Jika kita sadar akan hal ini, maka kita bisa kembali kepada kesejatian diri sendiri. Misalnya istilah “Islam itu ramah bukan marah”. Hal ini berlaku pada seseorang yang dalam dirinya memang sudah terkonstruksi sifat ramah dan welas asih. Jika kita teliti melalui kesadaran seseorang yang emosional, marah, dan metodologi yang belum luas bacaannya, maka jatuhnya, Islam itu marah. Jadi kesadaran al-Quran dan para penafsirnya adalah reflkesi dari diri sendiri. Hal ini relevan dengan pernyataan kuat Ibn Arabi “Know yourself then you (may) know God”. Kesadaran kata-kata Ibn Arabi bias meresap pada kita ketika kesadaran keseharian kita telah berada Bersama al-Quran. Di sini al-Quran bukan lagi sebagai alat untuk dibaca atau buku panduan hidup. Al-Quran itu bagian hidup kita sendiri sebab kita bagian dari al-Quran, bukan kita yang menentukan dan mengontrol al-Quran. Jadi di baca oleh kita atau tidak, kesadaran kita dan proses hidup kita tetap ada di dalam al-Quran.

Hal ini terkait dengan konteks pemahaman umum para ahli tafsir, “al-Quran untuk semua umat manusia”. Konteks ini membawa kesadaran kita bahwa ada pula umat Islam yang menolak tafsir ini sebab kesadaran mereka berada di dalam spasial ego mereka, yakni Islam milik mereka. Di sini al-Quran adalah alat untuk perdamaian mereka (keamanan mereka). Mereka membutuhkan bungkus diri/label diri/ke-aku-an yang krasan/distingsi dengan yang lain. Ketika ‘alat miliknya’ ditafsirkan sebagai bukan miliknya, tapi elemen universal, maka hal ini akan mengancam (tidak damai) dirinya.

Hal inilah Islam kemudian dimaterialkan melalui berbagai macam bentuk, baik konseptual atau operasional. Yang konseptual, Islam muncul dengan label/logo moderat/garis tengah, radikal, konservatif, puritan, Nusantara, dan sejenisnya. Dalam konteks politik modern, orang ber-islam bukan karena berproses sungguh-sungguh secara pribadi, sosial, dan kultural yang sadar relasinya dengan Tuhannya, tapi karena ber-KTP Islam. Dengan KTP Islam, diri sendiri menjadi peng-aku-Islam lalu hal ini pun dipakai oleh para ahli survei untuk mengukur populasi Islam, memahami jenis-jenis keislaman yang dianut oleh yang ber-KTP Islam, dan sejenisnya.

Kesadaran semacam ini saya tidak mau katakan salah, karena motivasi dan kesadaran beberapa umat memang di spasial itu. jika ingin merubahnya, karena mereka mengganggu yang berbeda, maka tentunya proses interaksi dengan mereka perlu diseringkan dan tentunya ruang-ruang ekspresi kehidupan mereka perlu diperluas. Namun perlu dipahami pula bahwa jika ruang-ruang mereka diperlebar, maka ruang itu adalah ruang bersama dengan yang berbeda agar disitulah terjadi dialog kebudayaan yang intens untuk mencapai titik kesadaran bersama. Resiko konflik selalu ada, sebab dalam proses perubahan dan penghasilan suatu produk kebudayaan baru selalu ada gesekan. Hal ini perlu begitu banyak elemen pendukung agar gesekan itu dapat diatur dan dikontrol.

Jika ruang mereka diperlebar tanpa ruang bersama, maka akan menciptakan friksi dan polarisasi yang tajam. Misalnya jika ada yang berdakwah, maka perlu ada kesadaran bagi seorang pendakwah bahwa kesadaran setiap orang berbeda-beda. Apa yang akan diekspresikan dalam dakwah itu tentunya yang bisa memayungi semuanya. Hal ini perlu renungan mendalam prinsip Islam bahwa kebersamaan apapun yang membuat kita yang berbeda kesadaran bisa hidup bersama.

Hal yang mengkhawatirkan adalah misalnya, kesadaran dirinya dalam ber-islam masih dalam spasial partisi ‘mualaf’ beberapa tahun dengan proses keilmuan dan jam terbang masih sangat singkat. Ada semacam percarian diri bersama al-Quran lebih dalam secara spiritual dan pengalaman bahwa proses untuk melakukan dakwah terhadap yang lain tentunya perlu ada batasannya, empati, pendekatan sosial dan kebudayaan serta seni kehidupan bersama.

Semuanya harus diukur oleh diri sendiri seperti supir mau menyalip mobil lain melalui jalan yang sempit, kecepatan tinggi dan mobil yang besar. Proses ini tidak ada ukuran yang pasti kecuali kira-kira diri sendiri dalam seni menyupir. Di sini rasionalitas dimasukkan ke dalam ilmu seni kira-kira agar tidak terjadi gesekan antar mobil atau kecerobohan untuk jatuh ke jurang, keluar jalur jalan. Di sini peran kontemplasi diri menjadi signifikan dibandingkan konsumsi begitu banyak informasi dari luar tentang al-Quran.

Dalam hal ini, perlukah al-Quran ‘didemokratisasikan’? Apakah al-Quran yang ‘didemokratisasikan’ atau tafsir dan pemahamannya yang ‘didemokratisasikan’? Sejauh mana kita mau belajar serius tentang al-Quran dari para ahlinya dengan motivasi (niat) berdamai dengan kelemahan diri sendiri dan menampilkan damai bagi sesamanya? Sampai titik mana kita bisa menundukkan diri sendiri dari kemauan (will) klaim kebenaran yang kita merasa miliki dalam interaksi kita dengan al-Quran? Sejauh mana pribadi kita berubah menjadi lebih baik (damai) atas tafsir kita terhadap al-Quran? Al-Quran adalah cermin diri kita. Bisakah kita memperbaiki diri kita dengan hidup Bersama al-Quran? Karena seringkali interaksi kita dengan al Quran justru membuat kita menjadi pemilik kebenaran, bukan menjadikan pribadi kita merasa bukan apa apa (sense of humility).***


Musa Maliki adalah Pengajar FISIP UPN Veteran Jakarta; Kandidat PhD Ilmu Sosial dan Humaniora Charles Darwin University, Australia


Kepustakaan:

Awang, J., & Ramli, YM, 2011, “Theological and Phenomenological Methods in Teaching Comparative Religion Courses”, Procedia Social and Behavioral Sciences 18.

Bassam T., 2021, Islamism and Islam (US: Yale University Press).

Cox, J.L., 2006. A guide to the phenomenology of religion (London: The Continuum International Publishing Group).

Fitriyah, L., 2019, “Islam di Indonesia: antara ‘Islam Konservatif’ dan ‘Islam Pemerintah’”, diakses di https://indoprogress.com/2019/07/islam-di-indonesia-antara-islam-konservatif-dan-islam-pemerintahan/.

Hosen, N., 2016, “Berdakwah dan Berfatwa hanya dengan Model Satu Ayat?” diakses di https://nadirhosen.net/tsaqofah/syariah/134-berdakwah-dan-berfatwa-hanya-dengan-modal-satu-ayat.

Hosen, N., 2018, Mengkaji Hadis “Sampaikanlah Dariku Walaupun Satu Ayat”: Dalil Share, Bukan Dalil Berfatwa”), diakses dari https://panrita.id/2018/12/24/mengkaji-hadis-sampaikanlah-dariku-walau-satu-ayat-dalil-share-bukan-dalil-berfatwa/.

Livingston, J.C., 2008. Anatomy of the sacred: An introduction to religion (London: Pearson).

Republika, 2008, diakses dari https://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/islam-nusantara/08/11/28/17137-prof-dr-m-quraish-shihab-membaca-alquran-menghadirkan-allah.

Shihab, Q., 2019. “Mengapa harus bisa membaca dan memahami al al Quran,” diakses dari http://quraishshihab.com/category/al-quran/.

Twiss,S. B., 1992. Experience of the sacred: Readings in the phenomenology of religion (London: University Press of New England).

]]>
Islam di Indonesia: Antara ‘Islam Konservatif’ dan ‘Islam Pemerintahan’ https://indoprogress.com/2019/07/islam-di-indonesia-antara-islam-konservatif-dan-islam-pemerintahan/ Fri, 26 Jul 2019 01:17:31 +0000 https://indoprogress.com/?p=21278

Kredit foto: www.beritaflash.com


MELIHAT perkembangan terkini dalam ekspresi keislaman di Indonesia saat ini, sulit rasanya untuk tidak berkesimpulan bahwa kekayaan ajaran moral dan etika keislaman terus mengalami pemiskinan dari segala arah. Dalam masa pra-kampanye presiden yang berakhir dengan pemilu nasional di tahun ini, khazanah diskusi keislaman populer di Indonesia (terutama dalam bentuknya di media massa) masih dipenuhi dengan berbagai sudut pandang yang tak hanya berpijak pada oposisi biner konservatif/moderat. Di masa kampanye presidensial 2019, diskursus oposisi biner tersebut semakin liar tak terkendali.

Sebagian dari kita, sedikit banyak, telah sadar akan keringnya diskursus keislaman secara literal yang banyak dipraktikkan oleh mereka yang menganut paham Salafi dan Wahabi di Indonesia. Keislaman dalam model ini, umumnya diekspresikan dalam bentuk tampilan dan praktik eksternal yang mengutamakan kepatuhan non-kontekstual pada apa-apa yang telah tertulis dalam al-Qur’an dan Hadis. Mereka yang mempraktikkan keislamannya dengan metode ini seringkali dilabeli sebagai ‘radikal’ dan – walaupun bukannya tanpa alasan – diasosiasikan dengan perilaku opresif terutama terhadap kelompok-kelompok minoritas jender dan keagamaan lainnya.

Dengan kecenderungannya terhadap tindakan-tindakan opresif, kelompok-kelompok Salafi dan Wahabi dipandang sebagai satu masalah besar bangsa yang harus dipecahkan bersama. Disinilah paradigma ‘Islam moderat’ muncul dan dipandang sebagai antitesis dari ‘Islam konservatif’. Dalam perkembangannya, ‘Islam moderat’ kemudian diasosiasikan dengan modernitas, kemajuan, peradaban, dan kemanusiaan, sementara ‘Islam konservatif’ dihubungkan dengan masa lalu, kemunduran, kebiadaban, dan kekerasan.

Selama masa kampanye presidensial 2019 hingga hari ini setelah Jokowi dinyatakan terpilih kembali, polaritas antara ‘Islam konservatif’ dan ‘Islam moderat’ ini dijadikan senjata oleh pendukung dari kedua kubu untuk memobilisasi dukungan politik bagi capres/cawapres masing-masing. Di sisi ‘konservatif’, pasangan Prabowo-Sandi bersandar pada dukungan partai-partai dan organisasi massa Islamis (‘Islamis’ di sini dipahami sebagai pandangan yang bertujuan untuk memasukkan prinsip-prinsip Islami ke dalam proses politik-pemerintahan). Sedangkan di sisi ‘moderat’, pasangan Jokowi-Ma’ruf memanen dukungan dari mereka yang mengklaim diri sebagai Muslim moderat-nasionalis yang berasal dari organisasi-organisasi besar seperti Nahdlatul Ulama dan lainnya.

Alih-alih menjadi tak relevan seiring dengan usainya pesta demokrasi nasional, diskursus biner antara ‘Islam konservatif’ vs ‘Islam moderat’ semakin terpolarisasi pasca pemilu presiden. Jika pada periode kampanye diskursus tersebut digunakan untuk mendulang dukungan politik, setelah pemilu diskursus tersebut beralih fungsi menjadi representasi pertarungan antara mereka yang ingin menyelamatkan wajah karena kalah dengan arogansi mereka yang menang.

Dalam konteks pasca-pemilu, tak ada yang banyak berubah dengan narasi-narasi yang disampaikan oleh kubu ‘Islam konservatif’. Inti pergerakan dan pernyataan-pernyataan yang mereka dengungkan masih saja berkisar di tataran pengawasan moralitas masyarakat di ruang publik dengan kombinasi paradigma anti-keberagaman (jender, seksualitas, agama, dan lain-lain). Hal yang lebih signifikan untuk ditelusuri adalah semakin kaburnya makna ‘progresifitas’ yang diteriakkan oleh representasi ‘Islam progresif’, yang dalam hal ini tentunya juga merupakan kubu pemenang pemilu.

Pasca pilpres, sebagian besar wajah diskursus ‘Islam moderat’ di media massa hampir tak bisa dibedakan dari corong pemerintahan yang berfungsi untuk menjustifikasi langkah-langkah yang diambil oleh presiden terpilih. Dengan kata lain, walaupun masa kampanye telah usai, eksploitasi gerakan ‘Islam moderat’ untuk mendukung kubu yang menang masih terus berlanjut. Menjadi bagian dari ‘Islam progresif’ macam ini bermakna sama dengan memberikan totalitas dukungan bagi pemerintahan Jokowi-Ma’ruf, dan untuk membedakan ‘Islam moderat’ pendukung pemerintahan dengan gerakan Islam progresif lainnya, saya menggunakan istilah ‘Islam pemerintahan’ untuk menyebutnya.

Ketika makna ‘Islam moderat’ dipelintir dan dipahami sebagai dukungan tak terbatas bagi suatu rezim pemerintahan (i.e., ketika ia menjadi ‘Islam pemerintahan’), maka prinsip-prinsip keadilan dan tujuan untuk membela yang lemah pun runtuh dari struktur gerakan. Pergeseran dari ‘Islam moderat’ menjadi ‘Islam pemerintahan’ ini terutama terlihat pada dua hal:

Pertama, pemilihan isu yang menjadi fokus bahasan adalah isu yang sejalan dengan narasi dominan pemerintahan. Dalam hal ini, isu yang telah dan terus mendapatkan perhatian adalah radikalisasi Muslim dan isu-isu turunannya. Bukan tanpa alasan bahwa isu radikalisasi Muslim menjadi isu empuk bagi pendukung ‘Islam pemerintahan’. Karakteristik isu yang mengasosiasikan kubu Islamis sebagai kaum ‘radikal’ – dan dengan demikian merupakan pihak yang salah – dan kubu nasionalis-pemerintahan sebagai kaum ‘moderat’ – dan dengan demikian merupakan pihak yang benar – merupakan salah satu alasan utama mengapa isu ini menjadi fokus utama dari ‘Islam pemerintahan’.

Selain itu, sifat kasus-kasus radikalisme Muslim yang umumnya memakan korban dengan kejam dan dramatis (i.e., pemboman gereja, dan sebagainya) semakin memperteguh narasi ‘Islam pemerintahan’ yang menempatkan radikalisme Muslim sebagai momok terbesar bangsa pada saat ini. Dengan demikian, sempitnya fokus diskursus ‘Islam pemerintahan’ menghadirkan radikalisasi Muslim sebagai satu-satunya isu yang harus mendapatkan perhatian kita.

Dengan kata lain, narasi dominan ‘Islam pemerintahan’ yang mengeksploitasi hantu radikalisasi Muslim berfungsi sebagai kacamata kuda yang menutup perhatian para pendukungnya dan sebagian masyarakat dari praktik ketidakadilan semisal konflik agraria, pemberian izin industri tambang yang semena-mena, dan penggusuran rumah-rumah masyarakat miskin, yang sebagian besar disponsori oleh negara.

Tentunya, hal ini bukan berarti bahwa isu radikalisasi Muslim bukanlah hal yang penting dan tak memakan korban. Kritik artikel ini ditujukan kepada betapa isu tersebut telah menjadi satu-satunya fokus diskursus sehingga membuat bentuk-bentuk ketidakadilan lainnya (yang tak kalah mematikan dibandingkan dengan serangan teroris) menjadi terlupakan. Dalam imajinasi nasional, isu radikalisasi Muslim telah bertransformasi menjadi versi lain dari ‘hantu komunisme’ yang juga terus didengungkan oleh mereka yang mendaku diri sebagai ‘nasionalis’.

Kedua, narasi ‘Islam pemerintahan’ hanya menampilkan bahasan-bahasan dangkal yang berporos pada polaritas biner antara konservatif/moderat, bahkan mengenai isu-isu yang mereka pandang penting. Sebagai contoh, isu tentang pemakaian hijab dan niqab oleh perempuan Muslim hanya dipandang dan dibahas sebagai bagian dari ‘proses radikalisasi’  tanpa adanya pertimbangan mendalam tentang hak-hak perempuan untuk memakai apapun yang ia ingin pakai. Di sisi lain, perempuan berniqab dan berhijab selalu dihadapkan dengan gambaran oposisi-nasionalis mereka, yakni perempuan berkebaya tanpa adanya analisa sistemik tentang objektifikasi tubuh perempuan yang berasal dari paradigma nasionalis itu sendiri. Pun dalam topik-topik yang menjadi fokus utama ‘Islam pemerintahan’, seperti topik kebebasan beragama, para pendukung paradigma ini umumnya hanya mengelaborasi permasalahan dari sisi keagamaan saja (e.g., bahwa al-Qur’an tidak pernah memaksa individu untuk masuk Islam, dan sebagainya) tanpa adanya pemikiran sistemik tentang bagaimana pemerintah sendiri tak pernah benar-benar berkomitmen penuh untuk menjamin kebebasan beragama terutama untuk mereka yang beragama selain Islam dan/atau tidak beragama.

Polaritas biner antara ‘Islam konservatif’vs ‘Islam moderat’ yang telah digunakan untuk kepentingan politik selama pemilu tidak serta-merta terurai pasca-pemilu. Polaritas tersebut malah menjadi pusaran politik bagi kedua kubu yang menarik berbagai elemen kritis masyarakat seperti akademisi dan ulama kedalamnya, dan merubah mereka menjadi sekedar pembela politik Islamis atau pendukung kebijakan pemerintahan.

Pada akhirnya, apa yang terlihat berlawanan (Islam konservatif vs Islam moderat) sebenarnya hanyalah dua model ketaatan yang berbeda. Kubu konservatif mengabdikan dirinya pada tujuan Islamisasi ruang-ruang publik dengan imbuhan kapitalisasi dan komodifikasi peristiwa hijrah, sementara kubu ‘Islam pemerintahan’ membaktikan dirinya untuk menampilkan pemerintahan Jokowi sebagai simbol utama kemajuan/kemoderenan tanpa adanya kritik terhadap kebijakan-kebijakan neoliberal-nya yang memakan korban dari kalangan miskin.

Dengan kata lain, logika ‘Islam perlawanan’ absen dari gerakan ‘Islam konservatif’ maupun ‘Islam pemerintahan’. Keduanya sama-sama mempertahankan status quo (konservatifisme-Islamis, dan pemerintahan yang berkuasa) tanpa memedulikan berbagai jenis kekerasan yang dihasilkan oleh kedua bentuk status quo tersebut. Apa arti stagnansi dimensi perlawanan ini bagi Islam di Indonesia? Berikut bahasannya.


Massa Islam Moderat pendukung Jokowi. Kredit foto: SantriNews

Stagnansi Keadilan dan Pembusukan Masyarakat Muslim

Adalah Hamid Dabashi, seorang Profesor Kajian Iran dan Perbandingan Literatur di Columbia University yang mengonseptualisasikan puncak keislaman sebagai perlawanan tanpa henti terhadap kekerasan yang bersumber dari kekuasaan. Dalam bukunya, Islamic Liberation Theology: Resisting the Empire, Dabashi menjelaskan bahwa secara prinsipil, Islam dengan sandaran tauhidnya adalah sebuah agama pergerakan dan perlawanan. Ini berarti bahwa Islam mencapai potensi maksimalnya ketika ia menjadi bagian dari perlawanan melawan kuasa, dan ia berada pada titik terendahnya ketika Islam digunakan untuk mempertahankan kuasa.

Dalam studinya, Dabashi menggunakan contoh Revolusi Iran 1979 sebagai titik balik dimana Islam yang sebelumnya mencapai posisi maksimalnya dalam perlawanan untuk menggulingkan rezim Shah, malah mencapai titik terendahnya ketika kekuatan Islam menjadi bagian dari rezim kuasa para Ayatullah. Prinsip yang diajukan oleh Dabashi, yang kemudian ia sebut sebagai Teologi Pembebasan Islam, adalah bahwasanya Islam kehilangan marwahnya sebagai ajaran tentang kemanusiaan dan keadilan ketika ia sekadar menjadi pendukung kekuasaan.

Melihat kembali ke abad ke-14 Masehi, kita temui figur bernama ‘Abd al-Rahman b. Muhammad Ibn Khaldun, seorang Sosiolog dan Sejarawan Islam ternama, yang menyatakan hal serupa dalam teorinya tentang siklus perubahan sosial. Dalam karyanya al-Muqaddimah (ditulis pada tahun 1377 Masehi), Ibn Khaldun memberikan teori perubahan sosial dari masyarakat berpola nomad dan tribal menuju masyarakat dengan pola hidup menetap (sedentary society). Bagi Ibn Khaldun, perubahan tersebut bukanlah hal yang patut untuk disyukuri layaknya sabda teori-teori sosiologi Barat modern yang berparadigma linear. Alih-alih disyukuri, transformasi dari masyarakat nomad-tribal menuju masyarakat menetap adalah awal mula pembusukan struktur sosial dalam masyarakat itu sendiri.

Apa pasal? Kompleksitas kehidupan sosial dan kemewahan hidup (al-taraf) yang hanya dimiliki oleh sebagian orang dalam masyarakat menetap mampu menghapuskan keterikatan sosial-komunal dan menekan individu untuk menginjak-injak satu sama lain demi meraih kenyamanan hidup. Di sisi lain, kenyamanan hidup juga menyebabkan timbulnya kerusakan di tataran individu yang membuat mereka terlena dengan segala kemewahan yang mereka miliki. Di sinilah kemudian tatanan masyarakat membusuk dan pada akhirnya hancur.

Pandangan modern dari Hamid Dabashi tentang teologi pembebasan Islam, dan pandangan klasik Ibn Khaldun tentang siklus transformasi masyarakat Muslim di abad ke-14, menjadi pelajaran penting bagi masyarakat Muslim Indonesia saat ini. Polaritas antara ‘Islam konservatif’ dan ‘Islam pemerintahan’ yang dijelaskan sebelumnya merupakan refleksi titik nadir keislaman seperti yang dijelaskan oleh Dabashi, sekaligus representasi dari apatisme sosial yang diteorikan oleh Ibn Khaldun sebagai penyebab runtuhnya masyarakat Muslim.

Betapa tidak, ketika gerakan keislaman tidak lagi menyuarakan ketidakadilan melainkan malah mendukung jejaring kuasa (baik dalam bentuk otoritas keagamaan konservatif, maupun dalam bentuk pemerintahan) maka ia tidak lagi berdiri di atas landasan tauhid yang meyakini Allah sebagai satu-satunya pemilik kuasa. Dengan mendukung bentuk-bentuk kekuasaan agamawi dan politik tanpa pandangan kritis, kedua jenis pergerakan tersebut telah melanggengkan (dan bahkan menjustifikasi) kekerasan yang berasal dari otoritas keagamaan dan otoritas politik.

Selain berperan aktif dalam melanggengkan kekerasan berbasis agama dan kekerasan yang disponsori oleh negara, praktik ‘Islam konservatif’ dan ‘Islam pemerintahan’ juga melahirkan bentuk-bentuk apatisme yang bersumber dari kenyamanan semu dalam lingkar status quo. Pandangan ‘Islam konservatif’ tak lagi peduli akan pemaknaan ulang dan kontekstualisasi ajaran-ajaran keagamaan. Bagi mereka praktik keagamaan adalah praktik ketaatan penuh terhadap apa-apa yang telah tertulis di masa lalu. Di sisi lain, pandangan ‘Islam pemerintahan’ berada dalam lingkar kenyamanan kuasa politik. Maka dari itu, walaupun klaim progresif dan kritis selalu mereka dengungkan, kritik dan semangat progresif tersebut akan berhenti pada batasan yang bersinggungan dengan kuasa pemerintah. Dengan demikian, kritik-kritik yang mereka sampaikan umumnya hanya akan menyentuh permukaan tanpa adanya upaya dekonstruksi terhadap kekerasan sistemik dibaliknya yang kerap disponsori oleh negara.

Kesimpulannya, tak ada Islam ketika tak ada perlawanan terhadap berbagai bentuk kuasa yang menggerus mereka yang lemah. Dalam konteks Indonesia saat ini, mereka yang lemah direpresentasikan oleh mereka yang minoritas, mereka yang miskin, dan mereka yang lahan kehidupannya dikoyak habis oleh para pemilik modal. Jika perspektif Islam yang Anda ikuti berujung pada pelestarian kekerasan terhadap kelompok-kelompok yang oleh Teolog Pembebasan Muslim dari Afrika Selatan, Farid Esack, disebut sebagai ‘dhuafa’ (golongan lemah/marjinal), maka bisa dipastikan bahwa cara Anda berislam hanya melayani kuasa.

Untuk menutup artikel ini, mari menilik apa yang dikatakan oleh alm. Munir tentang Islam dalam sebuah rekaman video yang beredar di Twitter akhir-akhir ini: “Islam itu kan membuat orang untuk tidak kufur … memerangi kekufuran, agar orang tidak kufur, adalah memerangi kemiskinan supaya orang tidak miskin, bukan orang miskinnya yang diperangi, … tidak melawan apa-apa, itu bukan Islam.”***


Lailatul Fitriyah, kandidat doktor di bidang Agama-agama Dunia dan Gereja Global, University of Notre Dame, Indiana, Amerika Serikat


Kepustakaan:                       

Dabashi, Hamid. Islamic Liberation Theology: Resisting the Empire. New York, NY: Routledge, 2008.

Esack, Farid. Qur’an, Liberation and Pluralism: An Islamic Perspective of Interreligious Solidarity Against Oppression. Oxford: Oneworld Publications, 1997.

Untuk terjemahan berkualitas dari al-Muqaddimah karya Ibn Khaldun, lihat: Ibn Khaldun. Al-Muqaddimah/The Muqaddimah: An Introduction to History. Franz Rosenthal (trans), 3 volumes. Princeton, NJ: Princeton University Press, 1967.

Link video rekaman pidato Munir: https://twitter.com/i/status/1151682291757805568

]]>
Menomorsatukan Kembali Islam Substantif https://indoprogress.com/2019/05/menomorsatukan-kembali-islam-substantif/ Wed, 22 May 2019 01:59:53 +0000 https://indoprogress.com/?p=20952

Kredit foto: minanews.net


SETELAH hiruk pikuk Pemilu 2019 yang memakan ratusan korban jiwa usai, kini kita harus kembali pada kehidupan masing-masing, menjalankan kembali rutinitas harian yang sama saja baik sebelum pemilu atau sesudah pemilu. Pemilu tahun ini memang kembali mengantarkan kita pada drama-drama Pemilu tahun 2014 lalu, dimana dalam pilpres  hanya ada dua calon kandidat pilihan para oligarkh (orang yang melakukan praktik oligarki), yakni Joko Widodo dan Prabowo Subianto.

Berdasarkan laporan organisasi Lembaga Swadaya Masyarakat Jaringan Advokasi Tambang (Jatam), disebutkan bahwa bisnis tambang merupakan penyokong terbesar dana kampanye. Tak hanya pada tingkat pusat, Jatam juga melaporkan bahwa sejak desentralisasi diberlakukan, dimana ijin pertambangan dan usaha lain diserahkan pada pemerintah daerah, jumlah ijin penambangan menjadi semakin meroket yaitu naik dari 750 pada pertengahan tahun 2001 menjadi lebih dari 10 ribu pada tahun 2010.

Ini baru di sektor tambang. Bidang-bidang lain seperti perdagangan juga sarat dengan praktik monopoli dimana salah satunya pada bisnis ritel, yang terbukti mengancam eksistensi pasar tradisional. Akibatnya, pedagang kecil pribumi semakin melemah dan tak mampu bertahan. Dalam situasi seperti ini apakah masyarakat disuruh beralih menjadi buruh di ritel-ritel modern yang upahnya selalu mepet di angka UMR?

Di masa yang akan datang, seperti diprediksi oleh ilmuwan politik Jeffrey A. Winters dari Northwestern University, AS, ketika semua sumber daya alam habis maka masa depan Indonesia berada di antara dua pilihan: apakah Indonesia dalam perjalanan ke arah Cina, yaitu dengan industrialisasi; atau justru ke arah Filipina yang karut-marut. Namun Prof. Winters lebih memprediksi Indoneia akan berjalan ke arah Filipina, sebab para penguasa hanya melihat satu ancaman dan satu kepentingan yaitu mendapatkan sebanyak mungkin dari kekayaan yang ada. Antara satu oligarkh dengan oligarkh lain juga akan sangat iri jika ada yang dapat keuntungan lebih di antara mereka, sehingga praktik ‘bagi-bagi’ kekayaan menjadi pilihan para oligarkh. Maka sebuah partai politik yang menang harus melakukan praktik bagi-bagi kekuasaan untuk mengamankan kedudukannya, hingga sebuah kabinet menjadi warna-warni bagai pelangi yang tersusun dari banyak partai.

Demikian juga orang-orang super kaya sangat khawatir kekayaannya akan diambil oleh siapa saja karena ancaman ada dimana-mana. Khususnya ancaman dari bawah, yaitu rakyat yang aktif dengan organisasi yang terorganisir dan sadar seperti organisasi buruh, organisasi tani dll, yang mempunyai partai politik, mempunyai ideologi dan mempunyai calon untuk duduk di pemerintahan yang agenda politiknya membuat sistem ekonomi menjadi lebih merata (more fair).

Tetapi sayangnya ancaman dari bawah ini tidaklah eksis di Indonesia, karena memang sudah kehilangan eksistensinya  sejak tahun 1965. Jadi  di Indonesia tak ada organisasi massa yang kuat sehingga  ancaman yang ada bagi oligarkh adalah dari oligarkh lain. Persaingan ini bersifat horisontal dan searah sehingga yang di tempuh oleh para oligarkh untuk melawan oligarkh lain adalah melalui  hukum. Hukum menjadi alat untuk mengancam sehingga oligarkh yang diancam harus mlakukan praktik ‘bagi-bagi’ (praktik ijon) jika ingin selamat.

Prof. Winters juga mengatakan akan sangat berbahaya dan dapat mengakibatkan pada masa depan yang gelap untuk Indonesia jika praktik oligarki tetap berjalan terus. Apalagi sejak beberapa tahun terakhir, Cina sudah menggencarkan investasi ke mancanegara, termasuk ke Indonesia. Apabila Indonesia merespon secara serius peluang investasi ini maka postur Indonesia masa depan akan sangat berbeda: para oligarkh domestik akan dipaksa untuk menyesuaikan dirinya dengan oligarkh internasional, dan Indonesia sendiri akan terkondisi dengan aturan main baru yang menunjang bagi terwujudnya sebuah negara industri.

Sialnya, isu-isu seperti ini tidak muncul secara terang dan jelas dalam kontestasi pilpres lalu. Warga sipil lebih banyak disajikan dengan parade demagogi politik identias, khususnya sentimen agama. Dengan sentimen agama, warga dikondisikan dan dimobilisasi untuk meributkan isu-isu agama sehingga tidak peduli dengan kuasa oligarki yang berada di masing-masing kubu yang berkontestasi. Umat muslim yang menjadi mayoritas justru asyik menikmati buaian islamisme yang lebih menonjolkan wujud dan mengindahkan substansi agama Islam itu sendiri. Buaian Islamisme ini telah menghanyutkan masyarakat urban dan kelas menengah perkotaan yang haus akan ilmu agama terperangkap dalam lubang mobilisasi para pemegang kepentingan. Padahal sejarah awal Islam adalah sebagai agama pembebas, yang memperjuangkan pembebasan dari praktik perbudakan, ketidakadilan, dan kemiskinan.

Melihat kenaikan semangat dalam  berislam, maka alangkah baiknya jika semangat turun ke jalan seperti pada aksi 212 itu digunakan untuk membela kaum tertindas, korban ketidakadilan, ketidakjujuran, dan kampanye anti korupsi, bukan untuk membela kepentingan elite politik yang berjubah agama. Bukankah Islam melarang berbagai bentuk penindasan, monopoli, dan ketidakadilan, serta ketidakjujuran? Nilai-nilai substansial Islam ini harus kembali dijadikan pedoman, sementara hal-hal yang bersifat seremonial ataupun perdebatan masalah-masalah furu’iyah harus dikebawahkan. Adalah lebih baik dan bermanfaat berjuang menolak praktik oligarki ketimbang sibuk berdebat hukum mengucapkan selamat Natal, misalnya.

Hanya dengan mengutamakan pengamalan nilai-nilai substansial Islam ini, kita bisa beranjak keluar dari demokrasi semu saat ini menuju demokrasi yang benar-benar dari-oleh-dan-untuk rakyat.***


Umi Nurchayati adalah seorang kolumnis, saat ini sedang nyantri pada sebuah Pesantren di Jogjakarta

]]>
‘Fikih Mayoritas’: Tanggapan Atas Ahmad Rizky Mardhatillah Umar https://indoprogress.com/2019/05/fikih-mayoritas-tanggapan-atas-ahmad-rizky-mardhatillah-umar/ Fri, 17 May 2019 01:19:41 +0000 https://indoprogress.com/?p=20938

Kredit ilustrasi: Pinterest



AKHIR-akhir ini, perdebatan tentang ‘mayoritas’ dan ‘minoritas’ kembali menyeruak di ruang publik, terutama pada konteks Indonesia. Wacana mayoritas-minoritas menjadi penting untuk dibicarakan karena ia tidak lagi sebatas fakta sosial tentang jumlah, tetapi telah bermetamorfosa dalam bentuk yang beragam dengan segala implikasinya, seperti gesekan sosial yang berbasis pada identitas agama maupun etnis, persoalan kemiskinan dan menguatnya politik identitas terutama pada konteks perebutan kekuasaan.

Pada diskursus ini, kata ‘mayoritas’ umumnya disematkan pada penganut agama Islam, khususnya Islam Sunni atau Ahlus Sunnah wa’l Jamaah. Sebaliknya ‘minoritas’ dipahami sebagai yang menganut agama lain dan yang di luar Islam Sunni (termasuk Syiah dan Ahmadiyah), meskipun tidak sedikit upaya dalam melakukan konseptualisasi ulang atas dua konsep tersebut. Banyak sarjana dan cendekiawan yang menaruh perhatian sangat besar pada perlindungan terhadap kelompok minoritas yang hidup di tengah masyarakat mayoritas, termasuk salah satu yang paling baru adalah buku karya Ahmad Najib Burhani, Menemani Minoritas (Gramedia,2019).

Dari banyaknya pemikiran tentang minoritas, tulisan Ahmad Rizky Mardhatillah Umar, “Menuju Fikih Mayoritas”, di media alternatif IndoPROGRESS, menjadi sangat menarik untuk dibicarakan. Secara umum, tulisan tersebut berupaya memberikan cara pandang lain dengan mengajukan satu pertanyaan penting: jika pemikiran tentang ‘fikih minoritas’ sudah banyak dirumuskan, adakah konsep tentang ‘fikih mayoritas’ untuk memandu umat Islam sebagai mayoritas di tengah masyarakat yang beragam? Untuk menjawab pertanyaan ini, Umar berargumen bahwa perlu adanya upaya melakukan (re)konseptualisasi atas konsep keadilan dan perlindungan dalam Islam. Dengan mengutip Q.S. Al-Maidah: 8, ia menekankan bahwa dalam upaya menciptakan keadilan dan perlindungan, kita harus mampu ‘melampaui identitas’ apapun bentuknya. Pada posisi ini, umat Islam, khususnya di Indonesia, sebagai mayoritas harus menjadi ‘pelindung’ bagi minoritas berdasarkan nilai-nilai keadilan.

Sepenuhnya saya setuju dengan argumen tersebut bahwa keadilan harus menjadi dasar dalam hubungan antar sesama maupun pada skala yang lebih luas, seperti pelayanan publik dan perlakuan hukum oleh negara terhadap masyarakat. Tetapi, terdapat problematika dalam tulisan tersebut. Pada satu sisi, tulisan tersebut ingin mendorong adanya rumusan fikih mayoritas, namun, secara konseptual, cara pandang yang digunakan masih sangat minoritas sentris, sesuatu yang selama ini telah dikembangkan dalam studi-studi tentang minoritas. Akibatnya, secara implisit, konsep keadilan dan perlindungan menjadi terbatas pada satu kelompok tertentu, yaitu minoritas dan cenderung menafikan kelompok lainnya yang mayoritas. Murtadha Muthahhari memetakan keadilan dalam empat pemahaman yaitu (1) Adil adalah suatu keadaan yang seimbang; (2) Persamaan dan tidak ada pembedaan (diskriminasi); (3) Memelihara hak individu dan memberi hak kepada yang berhak menerimanya berdasarkan preferensi dan kekhasannya; dan (4) Memelihara hak atas berlanjutnya eksistensi.

Pemahaman ini memiliki implikasi, pada satu sisi, bahwa wawasan keadilan dan perlindungan seharusnya tidak dibatasi oleh konsepsi biner mayoritas-minoritas melainkan upaya pemenuhan atas hak (juga kewajiban) kepada semua tanpa kecuali. Di sisi lain, keadilan harus ditegakkan dengan berlandaskan pada pemahaman bahwa hak atas rasa adil harus dipenuhi kepada mereka yang berhak sesuai dengan preferensi dan kekhasannya. Dengan demikian, rasa adil bisa dipahami sebagai perlakukan yang sama pada satu waktu dan konteks tertentu, namun keadilan juga bisa dimaknai sebagai pemenuhan atas hak secara proporsional. Pada konteks ini, pemenuhan privilese atas kelompok tertentu tidak bisa dimaknai secara kaku sebagai bentuk diskriminasi. Dalam kehidupan sosial dan bernegara, penerapan aturan-aturan hukum baik dalam bentuk norma maupun hukum negara tidak bisa lepas dari pengaruh struktur sosial, budaya dan termasuk agama, sehingga sangat mungkin kelompok masyarakat tertentu (umumnya mayoritas) mendapatkan perlakukan yang ‘lebih’ daripada yang lain. Hal ini tergantung pada konsepsi kita dalam memaknai ‘hak’, ‘kewajiban’ dan ‘rasa adil’ dengan tidak melepaskan konteks sosial dimana kita berada.

Pada kondisi inilah praktik toleransi sebagai proses dua arah (two-way process) sangat diperlukan. Misalnya, umat Islam tidak boleh dan sangat dilarang mengganggu, dalam bentuk apapun, ibadah umat agama lain apalagi merusak tempat ibadahnya. Pada saat yang sama, umat agama lain juga harus toleran atas kultur maupun kebijakan tertentu atas umat Islam, seperti aturan-aturan yang dikeluarkan selama bulan suci Ramadhan. Pada contoh lain, umat Islam di negara mayoritas non-muslim umumnya tidak diperkenankan mengumandangkan azan di masjid-masjid mereka secara terbuka. Mereka harus menghormati aturan dan budaya masyarakat setempat. Sebaliknya, azan dengan pengeras suara diperkenankan di Indonesia. Umat agama lain diminta dan diharapkan untuk toleran pada situasi tersebut.

Akhirul kalam, saya sependapat dengan Umar bahwa wacana mayoritas-minoritas (khususnya di Indonesia) harus melampaui isu identitas dengan melihat persoalan yang lebih luas seperti isu ekonomi dan politik. Wacana mayoritas-minoritas tidak bisa lagi dipahami sebatas jumlah tetapi sejauh mana seorang individu atau kelompok tertentu memiliki akses terhadap sumber daya ekonomi maupun politik untuk keberlangsungan eksistensinya. Pada kondisi seperti ini, kelompok mayoritas secara jumlah tidak secara otomatis memiliki ‘kemampuan’ untuk memenuhi hak atas dirinya sendiri dan kemampuan untuk melindungi yang lain. Oleh karena itu, wacana mayoritas-minoritas beserta isu-isu lain yang menyertainya, seperti toleransi dan diskriminasi (dalam aspek yang luas) seharusnya tidak dilekatkan pada umat Islam saja, sebab jumlah tidak ekuivalen dengan kemampuan untuk menciptakan keadilan dan perlindungan.

Fenomena ketertindasan mayoritas oleh minoritas bisa kita lihat pada kondisi umat Islam di Indonesia yang secara umum terpinggirkan dari sumber-sumber ekonomi. Sebaliknya, kekayaan dan akses terhadap hal tersebut dikuasai oleh segelintir kelompok tertentu. Model dan tata kelola pembangunan ekonomi di Indonesia berkontribusi secara signifikan dalam penciptaan kemiskinan dan ketimpangan. Secara umum, wacana ekonomi di Indonesia masih berorientasi pada pertumbuhan daripada pemerataan. Kebijakan impor (termasuk persoalan endemik mafia impor) juga harus dikaji dan ditangani secara lebih serius oleh para ahli ekonomi dan pembuat kebijakan. Sistem dan jumlah upah juga belum memberikan ruang bagi para pekerja untuk bisa hidup lebih baik.

Pada konteks yang lebih luas, ketertindasan mayoritas atas segelintir orang dan kelompok merupakan ekses dari globalisasi ekonomi. Ketika kelompok globalis neoliberal percaya pada doktrin kesejahteraan dan kemakmuran dari proses globalisasi ekonomi, tidak sedikit yang meragukan dan mengecam globalisasi ekonomi atas meluasnya kemiskinan global, kerusakan lingkungan hingga merebaknya konflik dan perang sipil (civil wars) dalam memperebutkan sumberdaya alam seperti minyak dan gas. Pada kondisi ini, kelompok masyarakat, meskipun mayoritas dalam jumlah (apakah itu gender-based ataupun identity-based), yang tidak memiliki akses terhadap sumber-sumber ekonomi akan selalu tereksploitasi oleh sistem tersebut.***


Zain Maulana saat ini sedang nyantri di the University of Leeds, UK

]]>