Trump – IndoPROGRESS https://indoprogress.com Media Pemikiran Progresif Tue, 29 Apr 2025 13:14:52 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.4.3 https://indoprogress.com/wp-content/uploads/2021/08/cropped-logo-ip-favicon-32x32.png Trump – IndoPROGRESS https://indoprogress.com 32 32 Hizkia Yosias Polimpung: Teknofeodalisme, Pengaruh dan Dampaknya di Pemerintahan Donald Trump https://indoprogress.com/2025/04/teknofeodalisme-di-pemerintahan-donald-trump/ Mon, 28 Apr 2025 06:23:18 +0000 https://indoprogress.com/?p=238932

Ilustrasi: Current Affairs


SEGERA setelah Donald Trump dilantik sebagai Presiden Amerika Serikat (AS) pada 20 Januari 2025, serangkaian kontroversi segera menyeruak dari Gedung Putih. Selain retorika yang bernuansa ekstrem kanan atau kanan jauh, ada juga fenomena yang perlu kita soroti serta bicarakan, yaitu masuknya beberapa tokoh bisnis raksasa yang bergerak di sektor digital capitalism atau venture capitalists seperti Elon Musk dan Peter Thiel ke dalam lingkaran inti pemerintahan. Mereka ini, dalam perkembangan sistem ekonomi-politik kapitalisme saat ini, disebut-sebut sebagai kelompok teknofeodalisme atau neofeodalisme. 

Fenomena masuknya para Tech Giants ke dalam struktur kekuasaan politik ini menarik untuk didiskusikan lebih jauh, terkait dengan apa itu neofeodalisme dan bagaimana dampaknya pada kita. Untuk itu, Coen Husain Pontoh, editor IndoPROGRESS, berbincang-bincang dengan Hizkia Yosias Polimpung, peneliti di Monash University, Malaysia, dan juga sebagai editor IndoPROGRESS.


Coen Husain Pontoh (CHP): Bisa dijelaskan apa yang dimaksud dengan teknofeodalisme atau neofeodalisme ini?

Hizkia Yosias Polimpung (HYP): Dalam diskusi mengenai teknofeodalisme, beberapa pemikir seperti Yanis Varoufakis, Jodi Dean, Cedric Durand, dan lainnya kerap disebut. Meskipun pandangan mereka beragam, ada benang merah yang menghubungkan pemikiran mereka, yaitu perhatian terhadap meningkatnya praktik rent-seeking (perburuan rente) di era digital, di mana ekonomi tidak lagi semata-mata berlandaskan pada keuntungan dalam pengertian marxis. Dalam konsep marxis, profit diperoleh dari surplus nilai tenaga kerja yang dibayar lebih rendah daripada nilai produksinya—relasi yang asimetris antara pekerja dan kapitalis. Asimetris dalam artian kita tidak dibayar menurut kontribusi kita, tapi menurut satuan jam kerja dan seterusnya. 

Namun, dalam konteks ekonomi platform atau ekonomi cloud, sumber keuntungan utama tidak lagi berasal dari eksploitasi langsung atas upah pekerja, melainkan dari praktik penarikan sewa (rent). Pola sewa ini berbeda dari yang dijelaskan Marx di masanya, di mana sewa dibayar secara langsung dan nyata. Kini, bentuk sewanya tersembunyi melalui mekanisme iklan digital. Pengguna platform sesungguhnya “membayar” dengan data pribadi yang mereka hasilkan saat menggunakan layanan, dan data tersebut diolah menjadi informasi yang bernilai ekonomi. Sering kali muncul anggapan keliru bahwa perusahaan teknologi besar secara langsung menjual data pribadi pengguna. Padahal, dalam praktiknya, yang diperjualbelikan adalah analisis dan pola-pola perilaku (insights) yang diperoleh dari kumpulan data dalam skala besar. Misalnya, data pengguna aplikasi seperti Gojek, dapat menunjukkan pola keramaian di lokasi tertentu pada waktu tertentu—informasi ini kemudian dijual kepada pengiklan atau pelaku bisnis untuk menentukan strategi pemasaran mereka.

Dengan demikian, pengguna platform secara tidak langsung membayar “sewa” melalui kontribusi data, sebagai ganti atas akses gratis ke layanan digital. Fenomena ini mencerminkan munculnya sebuah pola ekonomi baru yang berpusat pada ekstraksi sewa digital, menggantikan dominasi sebelumnya yang berada di tangan kapital finansial. Kini, perusahaan-perusahaan teknologi besar seperti Apple, Amazon, Alphabet (Google), Microsoft, dan Nvidia, yang dikenal sebagai Big Six Tech Companies atau Big Tech, menjadi aktor utama dalam ekonomi global, bahkan melampaui keuntungan yang diperoleh bank-bank besar di AS. Perubahan ini menunjukkan adanya pergeseran struktural dalam modus produksi yang menentukan arah ekonomi Amerika saat ini. Dan menariknya, ini terjadi bahkan sebelum kita membahas dimensi politik global seperti peran AS sebagai kekuatan imperial informal. Pergeseran ini membantu menjelaskan mengapa perusahaan-perusahaan teknologi raksasa kini memiliki pengaruh begitu besar dalam struktur ekonomi dan kekuasaan Amerika.


CHP: Apakah kamu setuju dengan konsep tekno-feodalisme, yang pada intinya, adalah tentang ekonomi berbasis sewa (rent)?

HYP: Jika konsep ini kita gunakan sekadar untuk merujuk pada fenomena yang ada, maka ia mungkin berguna sebagai alat analisis. Namun, menurut saya, apabila konsep ini dijadikan landasan praksis, maka manfaatnya sangat terbatas. Jika merujuk pada pemikiran Marx, khususnya di Capital jilid III, Marx membagi kelas berdasarkan sumber pendapatan menjadi tiga: (1) kelas borjuis yang memperoleh pendapatan dari laba (profit); (2) kelas buruh yang memperoleh penghasilan dari upah; dan (3) kelas feodal yang hidup dari sewa (rent).

Dari ketiga kelas ini, hanya kelas buruh yang memiliki potensi sebagai subjek revolusioner utama, meskipun ketiganya bisa memiliki sisi revolusioner. Ketika berbicara mengenai pengorganisasian buruh dalam struktur sosial ini, kekuatan buruh hanya terletak pada proses produksi. Maka, jika kita memandang fenomena hari ini melalui lensa feodalisme, perspektif tersebut menjadi kurang relevan karena buruh tidak memiliki posisi tawar dalam relasi sewa. Pada akhirnya, dalam kerangka seperti itu, harapan satu-satunya hanya tertuju pada negara. Karena itu, menurut saya, perlu ada upaya teoretis untuk tetap memandang dinamika ini dalam kerangka produksi dan bukan semata-mata dalam kerangka feodalisme atau rent-seeking. Fokus kita seharusnya diarahkan pada bagaimana proses penciptaan nilai dan laba (profit making) tetap berlangsung di balik fenomena sewa tersebut. Dibutuhkan imajinasi teoretis yang lebih tajam untuk mengungkap aspek-aspek produktif yang mendeterminasi praktik rent-seeking ini.

Itu sebabnya, jika konsep teknofeodalisme diterima begitu saja tanpa kritik, maka secara teoretis kita kehilangan ruang untuk membicarakan perjuangan kelas. Sebab, dalam logika rent-seeking, kelas pekerja tidak lagi memiliki posisi sentral, bahkan tidak punya suara. Padahal, dalam kerangka marxian, kekuatan revolusioner terletak pada kelas buruh—dan konsep teknofeodalisme, jika diambil mentah-mentah, justru mengaburkan posisi strategis tersebut.


CHP: Tadi kamu menyebutkan bahwa secara data, kelompok yang disebut sebagai tekno-feodalisme saat ini memang sangat berpengaruh. Apakah ini yang menjadi alasan mengapa mereka berhasil masuk ke dalam struktur kekuasaan pemerintahan baru AS di era Donald Trump?

HYP: Dalam konteks tersebut, kemunculan dan dominasi big tech seyogianya tidak semata-mata dipahami melalui kacamata korupsi atau ketidakmampuan pemerintah. Pendekatan materialisme historis diperlukan untuk menunjukkan bahwa kebangkitan big tech berkaitan erat dengan perubahan struktural dalam pola produksi dan reproduksi kehidupan material. Ada pergeseran fundamental dalam sistem produksi di AS, dari fase finansialisasi menuju fase baru yang belum sepenuhnya terdefinisikan—untuk sementara dapat kita sebut sebagai teknologisasi. Pergeseran inilah yang, menurut saya perlu dianalisis secara sistemik, karena belum banyak yang mengaitkan dinamika ini dengan variabel-variabel makro-struktural yang kompleks. Kebetulan, selama dua hingga tiga tahun terakhir, kajian saya memang berfokus pada aspek makroekonomi dari perubahan ini. Namun sebelum masuk lebih jauh ke pembahasan tersebut, saya sempat menangkap satu potret menarik: video Elon Musk yang sedang menggendong anaknya di Oval Office—sebuah simbol yang merefleksikan bagaimana kekuatan big tech kini telah berkelindan dengan struktur politik.

Menurut saya, salah satu hal yang menarik dari fenomena bangkitnya big tech adalah karena, pada titik tertentu, narasi yang disuarakan oleh figur seperti Elon Musk dan Donald Trump memiliki kebenaran. Mereka menyoroti bagaimana perekonomian tidak lagi berpihak pada rakyat, bagaimana praktik korupsi hanya menguntungkan segelintir pihak, dan bagaimana manfaat ekonomi justru dinikmati oleh negara lain. Jika kita melihat dari data neraca transaksi berjalan, defisit AS sempat mencapai ratusan miliar dolar, bahkan menembus angka 300 miliar dolar pada 2008. Secara sederhana, angka ini menunjukkan besarnya ketergantungan pada impor. Pertanyaannya, jika sebagian besar kebutuhan dipenuhi melalui impor, lalu apa yang sebenarnya masih diproduksi di dalam negeri? Dari sini kita dapat melihat bagaimana tren deindustrialisasi berlangsung secara masif, yang pada gilirannya mendorong banyak pekerja ke kondisi ‘lumpen’—tercerabut dari pekerjaan tetap dan kehilangan kapasitas untuk berorganisasi secara ekonomi maupun sosial. Ketika sektor manufaktur mengalami kemunduran dan sektor finansial tidak mampu menyerap tenaga kerja dalam skala besar, satu-satunya sektor yang mampu menjadi penyangga adalah big tech. Pergeseran struktural inilah yang memungkinkan mereka mengisi kekosongan tersebut dan memperluas dominasinya.


CHP: Sebelum kita masuk lebih jauh ke pembahasan makroekonomi, saya ingin kamu memperjelas terlebih dahulu apa yang kamu maksud ketika menyebut bahwa kritik-kritik yang disampaikan oleh Donald Trump atau Elon Musk—tentang inefisiensi, korupsi, dan lain sebagainya—memang benar adanya. Apakah yang ingin kamu tunjukkan sebenarnya adalah bahwa semua itu merupakan bagian dari dinamika perubahan dalam perkembangan kapitalisme? Bahwa kita sedang menyaksikan transisi dari kapitalisme berbasis industri, bergeser ke kapitalisme finansial, dan kini menuju kapitalisme digital? Ataukah sebenarnya penjelasannya lebih tepat jika kita letakkan dalam konteks deindustrialisasi sebagai respons terhadap krisis kapitalisme industrial, atau sebagai konsekuensi dari kegagalan keynesianisme dan runtuhnya sistem Bretton Woods pada akhir dekade 1960-an?

HYP: Sebagian besar kritik yang disampaikan oleh Elon Musk dan Donald Trump, bahkan sejak masa kampanye mereka, pada dasarnya memiliki landasan karena memang mencerminkan adanya pergeseran dalam struktur kapitalisme atau basis material kapitalisme di AS. Pergeseran ini tidak bisa dilepaskan dari posisi AS sebagai pusat imperialisme global, meskipun sifatnya lebih informal. Namun, untuk memahami fenomena ini secara utuh, kita perlu menggunakan perspektif makroekonomi dan tidak sekadar membatasi pembacaan pada sektor industri atau dinamika produksi semata.

Jika kita tarik kaitannya dengan sistem Bretton Woods, hal pertama yang harus digarisbawahi adalah bahwa posisi Amerika tidak dapat dijelaskan dengan kerangka yang sama seperti negara-negara lain. Ini karena dolar AS berfungsi sebagai mata uang internasional, memberi Amerika kekuasaan yang unik—mereka dapat mencetak dolar tanpa batasan hukum internasional yang mengaturnya sebagai kekuatan imperial. Terkait dengan runtuhnya Bretton Woods, memang ada benang merah yang perlu dicermati. Kegagalan sistem ini berakar pada saat dolar AS dijadikan mata uang internasional. Patut dicatat, pada awalnya Amerika sebenarnya menolak posisi ini, karena saat itu mereka belum siap menanggung beban kebijakan ekonomi global seperti pengendalian suku bunga, nilai tukar, maupun stabilitas makroekonomi internasional. Menariknya, ada pula catatan historis yang menyebutkan adanya motif politik di balik kebijakan tersebut. Berdasarkan catatan harian Menteri Keuangan saat itu, Henry Morgenthau, muncul dugaan bahwa Partai Demokrat mendorong dominasi dolar agar dapat menciptakan ketergantungan global terhadap mata uang tersebut, yang pada akhirnya memberi keuntungan politik dan ekonomi bagi Amerika, khususnya bagi partai yang berkuasa saat itu.

Inti dari poin yang ingin saya sampaikan adalah bahwa, terlepas dari praktik politik transaksional yang melibatkan para oligarki, kita dapat melihat bahwa berbagai pergeseran struktural ini pada akhirnya menegaskan menguatnya dominasi kekuatan finansial. Penguatan sektor finansial, yang dibarengi dengan kebijakan memanfaatkan status dolar sebagai mata uang internasional, turut mendorong proses deindustrialisasi. Hal ini terjadi karena arus dolar yang terus mengalir keluar negeri tidak hanya membiayai konsumsi impor Amerika, tetapi juga menopang pembangunan sektor manufaktur di negara lain.

Sementara itu, kelas pekerja di Amerika justru terpinggirkan dan semakin kehilangan posisi dalam struktur ekonomi. Jeritan dan ketidakpuasan kelas pekerja inilah yang kemudian ditangkap dan dimanfaatkan secara politik oleh figur seperti Donald Trump. Sistem ekonomi yang semakin bergantung pada sektor finansial pada akhirnya lebih menguntungkan segelintir elite oligarki finansial. Kita bisa melihat contohnya pada bank-bank besar di Amerika yang mempekerjakan sangat sedikit tenaga kerja dibandingkan dengan perusahaan seperti Amazon atau Nvidia, yang mampu menyerap jutaan pekerja. Pola penyerapan tenaga kerja inilah yang kemudian menjadi bahan bakar politisasi dalam wacana populis. Oleh karena itu, penting bagi kita untuk membaca perubahan ini melalui lensa materialisme historis, dengan menyoroti bagaimana pergeseran basis produksi di Amerika berpengaruh terhadap posisinya sebagai kekuatan imperial global.


CHP: Dengan demikian, menjadi cukup masuk akal jika salah satu langkah awal yang diambil Donald Trump saat berkuasa adalah menerapkan kebijakan efisiensi, yang diwujudkan melalui pembubaran sejumlah institusi yang secara politik mungkin dianggap strategis bagi Amerika, tetapi dinilai tidak memiliki signifikansi ekonomi. Sebagai contoh, lembaga seperti USAID di luar negeri atau Departemen Pendidikan di dalam negeri menjadi sasaran kebijakan tersebut. Langkah kedua yang ditempuh Trump adalah menaikkan tarif impor, yang kemudian berdampak pada beberapa negara mitra dagang utama seperti Kanada, Meksiko, dan Tiongkok. Selain itu, tidak tertutup kemungkinan bahwa dalam waktu dekat, pemerintahan baru di Amerika Serikat juga akan mendorong implementasi kebijakan terkait keuangan digital, termasuk potensi peluncuran crypto finance. Berdasarkan perkembangan tersebut, menurut pandanganmu, apakah kebijakan-kebijakan ini dapat dibaca sebagai bentuk konkret dari transformasi menuju digital finance atau apa yang disebut sebagai cloud finance?

Yosie: Terkait konsep cloud finance, pandangan saya sebenarnya agak berbeda dari analisis yang diajukan oleh Yanis Varoufakis. Saya belum berani menarik kesimpulan yang lebih substansial mengenai isu ini, sebab fokus utama kajian saya bukanlah pada dinamika di Amerika Serikat. Namun, suka tidak suka, jika kita ingin membaca tren global saat ini, kita tetap perlu melihat Amerika Serikat sebagai episentrum perubahan. Dalam membaca argumen Varoufakis, menurut saya ada beberapa poin penting yang sering luput dari perhatian. Nilai utama dari bukunya bukan terletak pada gagasan mengenai tekno-feodalisme, melainkan pada analisisnya atas modus produksi kontemporer. Ia berhasil menunjukkan kemunculan apa yang ia sebut sebagai cloud capital, yakni bentuk baru dari akumulasi kapital berbasis infrastruktur digital.

Lebih jauh, Varoufakis menyoroti bagaimana cloud capital ini berkelindan dengan finance capital dalam konteks otoritarianisme Tiongkok. Menurutnya, kombinasi antara cloud capital dan finance capital di bawah kendali negara otoriter seperti Tiongkok berpotensi menjadi kekuatan baru yang mampu mengguncang tatanan global, bahkan membuka kemungkinan lahirnya sebuah modus produksi baru. Pertanyaannya tentu saja, apakah modus produksi ini tetap berada dalam kerangka kapitalisme atau justru mengarah ke sosialisme—meskipun itu adalah diskusi lain. Dalam konteks materialisme historis, pergeseran ini mencerminkan transformasi dalam basis produksi dan reproduksi kehidupan material sebagaimana dikemukakan oleh Marx. Varoufakis berargumen bahwa salah satu alasan mengapa Amerika Serikat tertinggal dalam perkembangan ini adalah ketidakmampuannya mengintegrasikan kedua bentuk kapital tersebut. Hal ini dapat diamati dari karakter sektor finansial di Amerika, yang beroperasi berdasarkan logika prediksi, kepastian, dan kontrol atas masa depan. Sebaliknya, pendekatan politik Donald Trump sangat tidak terduga, penuh ketidakpastian, dan tidak sejalan dengan kepentingan bisnis sektor finansial. Ini pula yang menjelaskan mengapa, pada awalnya, bank-bank besar di Amerika tidak berada di belakang Trump, meskipun setelah ia memenangkan pemilu, mereka tetap merapat demi kepentingan pragmatis.

Lebih jauh, kita bisa melihat adanya perbedaan mendasar antara logika bisnis sektor finansial dengan big tech. Keduanya beroperasi dengan kalkulasi dan orientasi yang berbeda. Namun, perkembangan terakhir menunjukkan dinamika baru: bank-bank besar seperti BlackRock dan JP Morgan Chase mulai memasuki ranah tokenisasi aset dunia nyata (Real World Assets/RWA), berupaya menjembatani dunia keuangan tradisional (off-chain) dengan ekosistem keuangan terdesentralisasi (on-chain). Sebaliknya, big tech, terutama yang berafiliasi dengan Trump dan lingkarannya, cenderung membangun jaringan fintech tersendiri yang berorientasi politik.

Fenomena ini tidak terlepas dari krisis struktural yang melatarbelakangi bangkitnya big tech di Amerika Serikat, di mana teknologi blockchain dan crypto menjadi medium baru bagi akumulasi kapital. Krisis tersebut juga terkait dengan kebijakan dolar sebagai senjata ekonomi global yang, dalam jangka panjang, mendorong tren de-dolarisasi. Fragmentasi kapitalisme global yang disebabkan oleh kebijakan proteksionis Amerika Serikat turut memperparah kondisi ini. Ironisnya, alih-alih memperkuat kapitalisme global, kebijakan-kebijakan tersebut justru memicu proses deglobalisasi.

Dalam konteks ini, bank-bank besar seperti BlackRock dan JP Morgan Chase terlihat mencoba ‘me-reglobalisasi’ sistem ekonomi dengan menghubungkan infrastruktur keuangan lama dan baru, sementara big tech justru semakin terintegrasi dengan politik domestik. Pertentangan antara dua kutub kapital besar di Amerika Serikat ini akan membawa implikasi serius di masa mendatang. Di satu sisi, kubu big tech semakin erat dengan politik populis, sementara bank-bank besar berusaha mempertahankan kapitalisme global melalui jalur finansialisasi digital yang berbeda. Keduanya menempuh jalur masing-masing, dan penolakan mereka untuk bersatu mencerminkan ketegangan mendalam dalam struktur kapitalisme Amerika hari ini.


CHP: Salah satu kritik utama terhadap fenomena finansialisasi adalah semakin jauhnya keterkaitan antara sektor finansial dengan sektor riil. Keterputusan ini menciptakan kerentanan struktural yang dapat memicu krisis, seperti yang terjadi pada krisis ekonomi global tahun 2008. Saat ini, situasinya bahkan semakin kompleks dengan kemunculan apa yang disebut sebagai cloud capital atau ekonomi digital. Dalam pandanganmu, bagaimana kamu melihat perkembangan ini ke depan? Apakah ada kemungkinan bahwa sektor finansial dan cloud capital dapat berjalan berdampingan secara stabil, atau justru potensi keterputusan keduanya akan melahirkan krisis ekonomi baru yang skalanya mungkin lebih besar dibandingkan krisis 2008?

HYP: Terkait dengan persoalan sektor ekonomi riil, selama saya mendalami literatur tentang finansialisasi, saya masih belum menemukan penjelasan yang memadai mengenai peran sektor riil dalam dinamika ini. Jika kita merujuk pada karya Costas Lapavitsas berjudul Profiting without Production, ia menyoroti kecenderungan dalam analisis finansialisasi yang lebih banyak menempatkan capital financial sebagai pusat perhatian, sementara capital industrial atau sektor produksi riil cenderung terabaikan. Dalam kerangka ini, akumulasi profit berbasis kapital fiktif sering kali dipandang seolah-olah berdiri sendiri, terlepas dari proses produksi riil. Namun, pandangan ini justru memunculkan pertanyaan kritis: apakah benar kapital finansial dapat sepenuhnya terlepas dari basis produksi material? Jika memang demikian, bagaimana kita dapat menjelaskan terjadinya krisis seperti bubble ekonomi? Oleh karena itu, penting bagi kita untuk memperjelas dan menegaskan kembali fungsi serta posisi sektor riil dalam keseluruhan dinamika kapitalisme finansial.

Namun, dalam konteks ini, saya harus mengakui bahwa saya belum menemukan argumen yang benar-benar meyakinkan. Karena itu, sejauh ini saya berpendapat bahwa konsep ekonomi riil kerap kali hanya dijadikan sebagai alibi dalam kerangka finansialisasi. Meski demikian, perlu diperjelas pada titik mana sektor riil ini benar-benar berfungsi sebagai alibi, misalnya melalui penghitungan kontribusinya terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) dan indikator lainnya. Jika kita merujuk pada penelitian Greta Krippner tahun 2004, ia menunjukkan bahwa sektor finansial – yang sering disebut sebagai FIRE (Finance, Insurance, Real Estate) – telah berkembang pesat di Amerika Serikat hingga mencapai porsi signifikan dalam PDB, bahkan belasan persen. Aspek inilah yang harus menjadi perhatian dalam pembacaan ekonomi saat ini.

Namun, jika kita memperluas definisi ekonomi riil, tidak hanya terbatas pada aktivitas produksi tetapi juga mencakup konsumsi, maka kita bisa melihat adanya dinamika baru. Sebagai contoh, dalam ekonomi digital, individu tetap dapat memperoleh pendapatan tanpa terlibat langsung dalam proses produksi konvensional, sehingga perputaran ekonomi riil tetap terjadi. Selain itu, kita juga perlu mengakui keberadaan sektor riil dalam pengertian tradisional, di mana perusahaan-perusahaan big tech seperti Amazon masih mempekerjakan jutaan pekerja, meskipun sektor ini tidak terlepas dari berbagai persoalan struktural.

Dengan demikian, secara keseluruhan, kita dapat melihat bahwa kedua sektor—yakni sektor ekonomi riil dalam bentuk tradisional maupun sektor digital—masih berjalan dan saling melengkapi. Kedua dimensi ini berhasil diintegrasikan dan dimanfaatkan oleh perusahaan-perusahaan big tech, sementara sektor perbankan besar (big banks) gagal untuk mengkapitalisasi peluang tersebut. Inilah yang menjelaskan mengapa big tech tetap memiliki posisi yang kokoh dan relevan dalam lanskap ekonomi saat ini. Lebih jauh, kondisi ini juga menjadi salah satu sumber energi politik bagi gerakan MAGA, karena mereka mampu menunjukkan secara konkret peningkatan jumlah tenaga kerja dan akumulasi kapital sejak era kepemimpinan Donald Trump. Sebaliknya, bank-bank besar tidak memiliki kapasitas untuk mengklaim hal serupa, sebab mereka tidak mampu mempertahankan narasi ekonomi riil yang bisa menopang logika finansialisasi dalam jangka panjang. Namun, ketika big tech mulai mengintegrasikan finansialisasi melalui teknologi blockchain, cloud finance, dan instrumen keuangan digital lainnya, kita mulai dapat membayangkan bagaimana proses ini membuka jalan bagi formasi ekonomi baru yang menggabungkan sektor riil dan finansial secara lebih efektif


CHP: Jika kita membahas soal eksploitasi, bisakah kamu jelaskan bagaimana mekanisme eksploitasi berlangsung dalam konteks ekonomi digital atau dalam apa yang disebut sebagai era tekno-feodalisme ini? Selain itu, bagaimana karakter eksploitasi tersebut berbeda dibandingkan dengan bentuk eksploitasi yang terjadi di sektor riil pada masa kapitalisme industrial maupun dalam fase kapitalisme finansial?

HYP: Ketika kita berbicara mengenai konsep eksploitasi, maka kerangka analisisnya harus kembali pada logika produksi dalam konteks ekonomi global, khususnya di Amerika Serikat. Penting untuk dipahami bahwa produksi dan sirkulasi kapital bukanlah dua hal yang terpisah, melainkan saling berkaitan secara dialektis. Dalam pengertian ini, sirkulasi kapital dapat dipandang sebagai bagian integral dari proses produksi itu sendiri—sesuatu yang selama ini jarang dijelaskan secara komprehensif.

Jika kita merujuk pada literatur Marx, khususnya dalam Grundrisse, ia pernah menyinggung bahwa pada tahap tertentu dalam perkembangan kapitalisme, proses sirkulasi akan berkembang sedemikian rupa hingga menjadi momen produksi tersendiri. Lalu, apa konsekuensi konkretnya? Saat ini, kita dapat melihat bahwa proses sirkulasi—yakni realisasi profit—terjadi pada saat konsumsi berlangsung, ketika orang melakukan pembelian. Dengan kata lain, proses konsumsi itu sendiri telah menjadi bagian dari proses produksi nilai. Pandangan ini tentu menuntut kita keluar dari kerangka marxisme ortodoks yang cenderung memisahkan produksi dan konsumsi secara kaku. Dan ironisnya, kondisi di mana konsumsi menjadi bagian dari produksi ini justru paling tampak dalam praktik bisnis big tech saat ini, yang berhasil memanfaatkan pola tersebut secara nyata.

Contoh paling sederhana dapat kita lihat ketika seseorang melakukan aktivitas scrolling di Instagram. Secara kasat mata, kita tampak seperti sekadar mengonsumsi produk digital yang disediakan oleh META. Namun, pertanyaannya: apakah aktivitas konsumsi ini menghabiskan atau mengurangi komoditas tersebut? Tentu saja tidak. Jika dilihat dari perspektif META, aktivitas ini justru merupakan proses produksi data. Data yang dihasilkan oleh pengguna kemudian diolah dan dimanfaatkan untuk memperbesar basis data perusahaan, yang pada akhirnya menjadi fondasi utama model bisnis mereka – seperti yang telah kita bahas sebelumnya. Dengan demikian, kita dapat memandang konsumsi ini sebagai bagian dari proses produksi, bahkan sebagai penciptaan nilai lebih yang lebih eksploitatif dibandingkan dengan kapitalisme manufaktur. Sebab, dalam kapitalisme manufaktur, buruh masih memperoleh upah dari hasil produksinya. Sementara dalam konteks kapitalisme digital hari ini, kita sebagai konsumen justru turut menambah akumulasi kapital tanpa mendapatkan kompensasi apa pun.

Dari pemahaman ini, saya berpandangan bahwa sudah saatnya kita mulai menggeser cara berpikir kita—bukan sekadar pada konsumsi etis seperti menolak produk-produk tertentu, melainkan pada bagaimana konsumsi itu sendiri merupakan bagian dari produksi dan bagaimana proses ini perlu diorganisasi secara politis. Meskipun gagasan ini terdengar abstrak, pendekatan semacam ini memungkinkan kita untuk memahami secara lebih tajam bagaimana logika produksi dan konsumsi kini telah berkelindan, khususnya dalam konteks kapitalisme berbasis cloud capital dan finance capital. Lebih jauh, hal ini juga membuka ruang untuk memetakan implikasi strukturalnya terhadap kondisi kelas pekerja saat ini.


CHP: Dari penjelasan yang kamu sampaikan sebelumnya, saya mulai memahami bagaimana keterkaitan antara big tech, ekonomi digital, dan pola konsumsi saat ini. Artinya, dalam konteks ekonomi digital, ketika kita mengonsumsi sesuatu, kita secara tidak langsung juga berkontribusi pada proses produksi bagi mereka. Dari pemahaman ini, muncul pertanyaan lebih lanjut mengenai dampak dominasi dan menguatnya posisi big tech, khususnya dalam konteks pemerintahan Donald Trump, terhadap dinamika internasional. Misalnya, bagaimana implikasinya terhadap hubungan Amerika Serikat dengan Tiongkok, yang saat ini sering dipandang sebagai pesaing utama dalam sektor ekonomi digital. Kamu juga sempat menyebutkan sebelumnya bahwa Tiongkok justru lebih berhasil dalam mengintegrasikan ekonomi digital dan finansial. Menurut pandanganmu, apakah situasi ini akan membawa dampak signifikan terhadap konfigurasi ekonomi politik global di masa mendatang?

 HYP: Ketika struktur imperialisme yang selama ini menopang kapitalisme mengalami keruntuhan, perlu dipahami bahwa keruntuhan ini tidak serta-merta berarti bahwa Amerika Serikat menjadi negara yang miskin atau kehilangan kekuatan. Sebaliknya, yang runtuh adalah karakter kapitalisme dalam bentuk globalisasinya. Dalam kajian Hubungan Internasional, terdapat satu pertanyaan mendasar yang menjadi titik tolak lahirnya disiplin ini, sebuah pertanyaan yang sederhana namun sangat krusial, yaitu: bagaimana mencegah terjadinya perang? Meskipun dalam perkembangannya muncul berbagai pendekatan baru seperti teori kritis, posmodernisme, dan pos-strukturalisme, inti dari studi Hubungan Internasional tetap berakar pada persoalan mendasar tersebut—mencari cara untuk menghindari konflik bersenjata di level global.

Pada dekade 1960-an, berkembang perspektif liberal-fungsionalisme dan teori-teori sejenis yang, menurut saya, sangat menarik dan relevan untuk diskusi kita saat ini. Hal ini disebabkan karena argumen yang diajukan oleh para pemikir liberal pada masa itu cukup meyakinkan. Mereka berpendapat bahwa salah satu cara paling efektif untuk mencegah terjadinya perang adalah dengan menciptakan keterkaitan yang kuat antarnegara, atau dalam istilah lain, melalui proses globalisasi—khususnya melalui jalur perdagangan dan kerja sama ekonomi. Dari gagasan ini lahirlah konsep interdependensi, yakni keyakinan bahwa saling keterikatan ekonomi antarnegara akan membuat konflik bersenjata menjadi tidak rasional dan terlalu mahal untuk dilakukan. Sebagai contoh, jika suatu negara berniat menyerang negara lain—misalnya Amerika Serikat hendak menyerang Tiongkok—maka tindakan tersebut tidak hanya akan merugikan pihak yang diserang, tetapi juga akan membawa kerugian besar bagi sektor-sektor ekonomi domestik negara penyerang. Dengan demikian, dalam logika liberal, semakin terhubungnya negara-negara melalui jaringan ekonomi global akan membuat perdamaian menjadi pilihan yang lebih rasional. Singkatnya, globalisasi dianggap identik dengan perdamaian.

Kondisi saat ini justru menunjukkan arah yang berbeda, di mana pemerintahan Donald Trump mendorong proses deglobalisasi. Situasi ini membawa kita kembali pada relevansi pertanyaan fundamental yang pernah mengemuka pada dekade 1960-an, yaitu bagaimana mencegah terjadinya perang. Sebab, dalam konteks deglobalisasi, insentif bagi Amerika Serikat untuk menjaga stabilitas dan keterhubungan global semakin menurun, sehingga biaya politik dan ekonomi untuk melancarkan konflik menjadi relatif lebih murah. Selain itu, jika kita mengamati konfigurasi kekuatan di sekitar Trump, mayoritas figur-figur utama di sektor big tech berada di spektrum politik kanan, yang menjadi karakteristik khas dalam politik Amerika Serikat. Narasi seperti “Make America Great Again” mencerminkan bagaimana Trump dan lingkarannya memandang Tiongkok bukan sebagai mitra strategis, melainkan sebagai ancaman langsung. Salah satu contohnya dapat dilihat dari isu terbaru terkait pelarangan Deepseek, yang mencerminkan kecenderungan untuk memandang segala sesuatu yang terkait dengan Tiongkok secara negatif dan penuh kecurigaan. Dalam konteks ini, prediksi-prediksi pesimistis yang sering muncul di kalangan studi Hubungan Internasional—bahwa dinamika semacam ini akan membawa pada ketegangan dan potensi konflik terbuka—kembali menemukan momentumnya. 

Saya pribadi pun berbagi kekhawatiran yang sama. Menurut saya, kita perlu mulai mempersiapkan diri atas kemungkinan meningkatnya risiko terjadinya perang, sebab bagi Amerika Serikat, biaya untuk melancarkan perang saat ini menjadi jauh lebih rendah dibandingkan pada masa ketika globalisasi masih berlangsung. Potensi kerugian yang harus ditanggung Amerika Serikat akibat konflik bersenjata tidak lagi sebesar sebelumnya. Yang perlu diwaspadai adalah situasi ketika Amerika Serikat mencapai titik keyakinan tertentu bahwa mereka mampu bertahan secara mandiri tanpa perlu mengandalkan keterkaitan global.

Jika kita berbicara mengenai kemungkinan terjadinya perang dalam arti konvensional atau fisik, realitas saat ini menunjukkan bahwa Tiongkok masih berada jauh di belakang Amerika Serikat dalam hal kekuatan militer. Bahkan jika kekuatan Tiongkok dikombinasikan dengan negara-negara seperti Rusia, Turki, dan lainnya, kesenjangan kekuatan militer tersebut masih tetap signifikan. Oleh karena itu, menjadi sangat penting bagi Tiongkok, dan juga Rusia, untuk menghindari tindakan-tindakan yang dapat memicu provokasi terhadap Amerika Serikat. Dalam kerangka berpikir untuk mencegah konflik, posisi strategis bagi kedua negara tersebut adalah tidak memberikan alasan atau justifikasi bagi Amerika Serikat untuk melancarkan aksi militer


CHP: Skenario yang kamu sampaikan ini tampak cukup suram dan mengarah pada situasi yang pesimistis. Jika kondisi ini terus berlanjut, atau jika agenda yang didorong oleh kalangan big tech berhasil terealisasi sepenuhnya, maka bukan tidak mungkin eskalasi konflik, bahkan potensi terjadinya perang, akan menjadi konsekuensi yang sulit dihindari. Dalam konteks tersebut, saya ingin mengetahui pandanganmu terkait posisi negara-negara berkembang seperti Indonesia. Menurutmu, sikap atau strategi seperti apa yang sebaiknya diambil oleh Indonesia dalam menghadapi dinamika global yang semakin tidak menentu ini?

HYP: Dalam hal ini, saya pribadi banyak terinspirasi oleh pemikiran Ho Chi Minh. Saat masih berada di Prancis, salah satu gagasan utama yang ia tekankan adalah pentingnya membangun koneksi antara kelas pekerja di pusat-pusat kekuasaan imperial (imperial metropol) dengan kelas pekerja di wilayah pinggiran (periphery). Bagi Ho Chi Minh, inilah esensi dari semangat internasionalisme. Tentu saja, gagasan ini mudah untuk dibicarakan, tetapi jika kita melihat kondisi saat ini, pertanyaannya adalah: kelas pekerja mana yang benar-benar memiliki orientasi internasionalis? Bahkan di Indonesia, misalnya, sejauh mana Partai Buruh atau konfederasi serikat pekerja telah berpikir dalam kerangka perjuangan kelas internasional? Pada kenyataannya, fokus utama mereka masih berkutat pada isu-isu mendasar seperti kenaikan upah atau pengurangan jam kerja.

Namun, apa yang hendak ditunjukkan oleh Ho Chi Minh adalah bahwa proses imperialisme—dalam konteksnya, imperialisme Prancis—tidak akan berhenti kecuali kekuatan imperial tersebut berhasil dilemahkan dari dalam, dan satu-satunya kekuatan yang dapat melakukannya adalah kelas pekerja di negara pusat imperialisme itu sendiri. Secara intuitif, hal ini terasa kontradiktif, karena seolah-olah kelas pekerja di negara periferi justru harus mendukung perjuangan kelas pekerja di negara pusat, seperti Amerika Serikat. Padahal, kondisi kelas pekerja di negara-negara seperti Indonesia sendiri masih jauh dari sejahtera. Inilah pekerjaan besar yang perlu diemban oleh para pemikir progresif, baik di Indonesia maupun di negara-negara lain. Mereka perlu menghidupkan kembali perspektif internasionalisme dalam perjuangan kelas, menggeser fokus dari sekadar tuntutan normatif seperti upah dan kebijakan pemerintah yang timpang. Dalam konteks saat ini, salah satu bentuk solidaritas internasional yang paling strategis adalah mendukung perjuangan kelas pekerja di Amerika Serikat dalam melawan dominasi tekno-feodalisme, big tech, big finance, dan bank-bank besar yang menjadi pilar utama kapitalisme global.

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.


CHP: Kalau di level negara, menurut kamu kira-kira apa yang bisa dilakukan oleh Indonesia? Atau kamu tidak punya harapan atau tidak melihat ada sesuatu yang bisa pemerintah Indonesia lakukan di tengah skenario terburuk seperti yang kamu sampaikan tadi?

HYP: Jika kita mengamati kondisi pemerintahan Prabowo saat ini, menurut saya cukup jelas bahwa tidak ada ruang bagi agenda semacam ini untuk dijalankan. Pada titik ini, sikap yang mungkin diambil hanyalah menerima kondisi yang ada.

Namun, mari kita bayangkan sebuah skenario utopis di mana negara dipimpin oleh kekuatan progresif. Dalam konteks tersebut, salah satu langkah strategis yang dapat diambil adalah mendorong dan mengampanyekan perspektif internasionalisme sebagai bagian dari kebijakan luar negeri. Kampanye ini dapat diwujudkan melalui pernyataan politik yang tegas dan luas untuk menunjukkan solidaritas terhadap perjuangan kelas pekerja di Amerika Serikat. Sebab, harus diakui bahwa kekuatan yang paling mungkin mampu melemahkan dominasi imperialisme Amerika Serikat adalah kelas pekerja di negara tersebut sendiri. Saya pribadi tidak melihat kemungkinan bahwa Tiongkok, misalnya, dapat melakukannya melalui intervensi langsung. Jika pun itu terjadi, besar kemungkinan pendekatannya akan bersifat militer dan terjadi di masa mendatang. Namun, dalam kerangka sistem kedaulatan negara yang berlaku saat ini, pada akhirnya hanya kelas pekerja di Amerika Serikat yang memiliki potensi riil untuk melemahkan dominasi imperialisme tersebut. Karena itu, internasionalisme harus selalu diarahkan untuk menopang perjuangan kelas pekerja di level akar rumput, melalui berbagai bentuk dukungan seperti pemberontakan, intervensi, bantuan finansial, dan strategi-strategi lainnya. 

Selain itu, ada langkah lain yang dapat diupayakan pada tataran moneter, meskipun secara intuitif hal ini tampak bertentangan. Salah satu kemungkinan strategis adalah mendorong penguatan dolar AS, namun di saat yang sama berupaya melepaskan keterikatan antara dolar dengan kepentingan politik Amerika Serikat. Gagasan ini masih bersifat hipotetis, tetapi jika kita perhatikan, apa yang sedang diupayakan oleh institusi seperti BlackRock tampaknya mengarah ke sana: memperkuat posisi dolar AS hingga melampaui sekadar instrumen kekuatan Amerika Serikat. Alasan utama di balik strategi ini adalah karena dolar AS sudah terlanjur menjadi tulang punggung globalisasi ekonomi dunia, dan saat ini hanya mata uang tersebut yang mampu menjaga keterhubungan sistem ekonomi global. Jika kita lihat dari sudut pandang para pelaku bisnis, pilihan mereka menggunakan dolar bukan semata-mata karena paksaan Amerika Serikat, melainkan karena tingkat keamanannya yang sangat tinggi. Di sisi lain, terdapat kecenderungan politik yang berlawanan, terutama yang diperlihatkan oleh Donald Trump, yang berupaya menarik kembali dominasi dolar ke dalam kerangka kepentingan nasional Amerika dan mendorong proses deglobalisasi—yang dalam arti tertentu bertentangan dengan logika kapitalisme global. Trump tidak menginginkan dolar menjadi simbol kapitalisme global, melainkan tetap menjadi milik eksklusif Amerika Serikat. Sementara itu, kapitalisme global justru menghendaki agar dolar tetap berfungsi sebagai infrastruktur utama bagi akumulasi kapital di tingkat global. Dengan demikian, perjuangan di level moneter terletak pada bagaimana menciptakan kondisi di mana dolar AS tetap memiliki fungsi internasional, bahkan melampaui kepentingan politik Amerika Serikat itu sendiri—sebuah proyek yang, secara ironis, sejalan dengan kepentingan kapitalisme global dan bertentangan dengan agenda politik Trump.

Mungkin gagasan ini masih terasa jauh dari diskursus yang umum kita temui saat ini. Namun, menurut saya, penting untuk mulai membuka ruang berpikir ke arah ini—yakni pada jalur yang lebih abstrak, yang berkaitan dengan persoalan moneter, finansial, dan struktur kebijakan ekonomi global. Dengan kata lain, perjuangan tidak boleh semata-mata terfokus pada sektor manufaktur atau ekonomi industrial semata. Sudah saatnya kita mulai mendiversifikasi bentuk perjuangan, termasuk mengupayakan intervensi dan keterlibatan di ranah kebijakan moneter serta sektor keuangan global.


CHP: Sebelumnya, kamu telah menjelaskan beberapa langkah yang dapat diambil oleh gerakan kelas sosial dan kelas pekerja dalam merespons menguatnya ekonomi digital dan implikasinya di tingkat internasional. Namun, menurutmu, adakah strategi lain yang juga bisa ditempuh oleh gerakan sosial dalam menghadapi dominasi kelompok tekno-feodal, baik dari segi politik maupun ekonomi?

HYP: Menurut saya, dalam jangka pendek situasinya cukup sulit dan saya sendiri cukup pesimis. Namun, jika kita berbicara dalam kerangka jangka panjang—dengan asumsi bahwa konflik besar atau perang tidak terjadi dalam lima hingga sepuluh tahun ke depan—maka masih ada ruang untuk berharap. Tentu saja, hal ini mensyaratkan adanya kemampuan untuk mengorganisasi gerakan secara efektif. Langkah pertama yang perlu dilakukan adalah masuk melalui jalur konsumsi dalam sistem ekonomi yang ada saat ini. Pertanyaan mendasarnya adalah bagaimana memastikan bahwa konsumsi tersebut dapat terlebih dahulu memenuhi kebutuhan dasar masyarakat. Sebab, selama kebutuhan dasar—seperti rasa kenyang—belum terpenuhi, masyarakat akan tetap rentan dimobilisasi atau dimanipulasi oleh kekuatan politik kanan.


CHP: Kalau ada yang mengatakan bahwa yang bisa dilakukan, misalnya, melakukan regulasi seperti kebijakan yang adil terhadap kalangan digital ekonomi ini atau membangun teknologi alternatif seperti open source. Bagaimana ide-ide ini dalam pandanganmu?

HYP: Jika kita berbicara secara lebih spesifik, platform blockchain yang saat ini digunakan oleh perusahaan-perusahaan besar seperti BlackRock atau Blackstone di Amerika Serikat adalah Ethereum. Menariknya, Ethereum sendiri merupakan salah satu ekosistem yang paling dekat dengan tradisi anarkis, terutama karena sifatnya yang open source. Sayangnya, dalam perkembangan teknologi open source ini, yang paling banyak terlibat justru kalangan anarko, sementara kontribusi dari kalangan marxis relatif sangat sedikit.

Karena itu, menurut saya, arah strategis yang perlu ditempuh sebenarnya hanya satu, yakni membangun infrastruktur internet yang benar-benar baru. Tentu saja, mewujudkan hal ini bukan perkara mudah dan membutuhkan proses yang panjang. Sejauh yang saya ketahui, hanya segelintir inisiatif yang mencoba mengupayakan hal ini, salah satunya adalah Economic Space Agency (ECSA), yang secara eksplisit membawa visi komunis dan tengah berupaya mengembangkan model internet alternatif. Adapun jika kita berbicara mengenai kebijakan dan regulasi, secara realistis saya belum melihat ada satu pun negara yang dapat dijadikan referensi untuk merumuskan kebijakan yang efektif dalam merespons perkembangan ini. Bahkan jika kita menawarkan rekomendasi kebijakan, pada akhirnya hal itu akan bersifat normatif semata, sebab hampir semua negara saat ini justru mengikuti arus perkembangan finansialisasi menuju tokenisasi. Fenomena ini bahkan sudah menjangkau kawasan ASEAN, di mana sejumlah negara mulai mengadopsi teknologi blockchain untuk melakukan tokenisasi aset dunia nyata.

Oleh karena itu, harapan agar pemerintah secara aktif merumuskan regulasi untuk membendung perkembangan ini mungkin penting sebagai wacana akademis, tetapi dalam praktiknya sangat sulit terealisasi. Justru karena alasan tersebut, perebutan kekuasaan negara tetap menjadi krusial, agar gagasan-gagasan normatif seperti internasionalisme, solidaritas bagi kelas pekerja Amerika Serikat, dan diplomasi moneter dapat diwujudkan dalam kebijakan nyata.


CHP: Jika poinnya adalah merebut kekuasaan negara, bagaimana menurutmu perkembangan situasi saat ini? Apakah sudah ada inisiatif atau upaya untuk membangun organisasi serikat pekerja, khususnya di kalangan pekerja digital maupun di lingkungan serikat pekerja secara umum di Indonesia? Selain itu, bagaimana pandanganmu mengenai ide bahwa perjuangan buruh tidak seharusnya berhenti pada pembentukan serikat, melainkan harus dilanjutkan ke tahap yang lebih radikal, yakni mendorong kelas pekerja untuk berjuang merebut kekuasaan negara? Bagaimana kamu melihat prospek dan tantangan dari gagasan ini dalam konteks Indonesia saat ini?

HYP: Menurut saya, ketika kita membahas strategi, maka titik tolak yang harus digunakan adalah analisis terhadap modus produksi. Pergeseran modus produksi yang sebelumnya telah saya uraikan perlu menjadi dasar utama, khususnya terkait bagaimana logika produksi dan konsumsi saat ini telah saling berkelindan dan tidak lagi dapat dipisahkan. Bahkan, Marx pernah menggarisbawahi bahwa sumber utama penciptaan nilai lebih tidak semata-mata berasal dari proses kerja itu sendiri, melainkan justru dari disposable time—yaitu waktu di mana individu tidak sedang bekerja, tidak terlibat dalam proses reproduksi sosial, bahkan tidak produktif dalam pengertian ekonomi. Pada kenyataannya, di luar jam kerja sekalipun, individu tetap berada dalam sirkuit konsumsi: mereka harus membayar cicilan rumah, membeli kebutuhan pokok, memenuhi kebutuhan sandang, pangan, serta kebutuhan hidup lainnya. Dengan demikian, baik saat bekerja maupun di luar jam kerja, individu tetap berkontribusi pada siklus akumulasi kapital melalui konsumsi. Mengingat waktu tidak bekerja secara umum lebih panjang dibandingkan waktu bekerja, maka konsumsi yang terjadi dalam periode tersebut menjadi sangat signifikan. Dari perspektif ini, kita dapat memahami bagaimana konsumsi memainkan peran yang sangat penting dalam kelangsungan kapitalisme kontemporer. Peran tersebut tidak sekadar bersifat normatif, melainkan menjadi salah satu penyumbang utama surplus nilai yang kemudian digunakan oleh kalangan kapitalis sebagai basis kekuatan politik mereka

Lalu, pertanyaannya adalah: apakah memungkinkan bagi serikat pekerja di sektor digital teknologi atau industri kreatif untuk, setidaknya, membatasi kekuasaan perusahaan dari sudut pandang manajemen hubungan industrial? Menurut saya, upaya ini tidak akan menghambat proses produksi nilai lebih, karena sumber utama ekstraksi nilai saat ini bukan hanya dari pekerja, coder, atau developer, melainkan juga dari kita semua sebagai konsumen. Dari situ, kita perlu mulai memikirkan bentuk baru dari serikat pekerja – bukan sekadar serikat konsumen, tapi serikat pekerja-konsumen. Artinya, kita harus mengubah cara pandang bahwa konsumsi hanyalah tindakan pasif. Justru, konsumsi di era digital ini adalah bentuk kerja yang memproduksi nilai, meskipun tak diakui dan tak dibayar. Karena itu, penting untuk mendorong agar undang-undang ketenagakerjaan mengakui bahwa aktivitas konsumsi digital – seperti menggunakan Instagram, TikTok, atau platform digital lainnya—adalah bagian dari proses produksi yang melibatkan kerja tak berbayar. Jika pengakuan ini tercapai, maka hubungan industrial bisa diperluas hingga mencakup para pengguna platform tersebut. Lebih jauh, kita perlu membayangkan skenario di mana, jika perusahaan-perusahaan ini tidak mampu membayar kontribusi para pengguna, ada kemungkinan bagi konsumen untuk mengambil alih kepemilikan, entah melalui koperasi, kepemilikan bersama, atau model serupa. Jadi, pergeseran konsumsi menjadi produksi menuntut kita untuk membangun imajinasi baru soal bagaimana berserikat dan memperjuangkan hak-hak kita di era digital ini.


CHP: Gagasanmu mengingatkan saya pada salah satu program politik yang muncul saat Revolusi Prancis 1848, yaitu mengenai hak atas pekerjaan (right to work). Pada masa itu, konsepnya adalah setiap orang yang bekerja berhak mendapatkan upah, sementara mereka yang tidak bekerja tetap menerima pendapatan, meskipun jumlahnya lebih kecil. Jika kita lihat hari ini, gagasan itu terasa relevan kembali, terutama dalam konteks ekonomi digital, di mana konsumen tampak tidak bekerja, tetapi sebenarnya tetap terlibat dalam proses produksi melalui aktivitas konsumsi mereka. Dengan kata lain, konsumen di era sekarang sebetulnya ikut menciptakan nilai, meskipun tidak diakui secara formal sebagai pekerja. Karena itu, muncul pertanyaan penting: mungkinkah mereka dimasukkan ke dalam kategori pekerja tertentu dan memperoleh hak-hak yang layak atas kontribusi mereka? Apakah skema semacam ini bisa diwujudkan?

HYP: Aku setuju dengan gagasan “hak atas pekerjaan”, tapi menurutku konsep itu masih menitikberatkan pada soal memasukkan kerja ke dalam sektor formal. Fokusnya lebih pada “pekerjaan” sebagai status, bukan pada “upah” atau kompensasi atas kerja yang dilakukan. Padahal, yang lebih relevan dalam konteks sekarang adalah menyoroti soal upah itu sendiri. Ini sejalan dengan tuntutan yang pernah disuarakan oleh para feminis dalam gerakan Wages for Housework. Mereka menyoroti bagaimana kerja-kerja rumah tangga selama ini dianggap tidak produktif karena tidak menghasilkan nilai lebih secara langsung, sehingga tidak dihargai sebagai kerja yang layak dibayar. Meski banyak yang menganggap tuntutan mereka sekadar argumen moral, sebenarnya inti dari perjuangan mereka – seperti yang disampaikan oleh tokoh-tokohnya, semisal Sylvia Federici, Leopoldina Fortunati, dan Mariarosa Dalla Costa – adalah bahwa kerja-kerja rumah tangga turut menghasilkan nilai lebih (surplus value).

Memang, argumen mereka masih bisa diperdebatkan, dan aku sendiri belum sepenuhnya sependapat karena mereka menganggap kontribusi kerja reproduktif ini sifatnya tidak langsung. Tapi, jika kita kaitkan dengan kondisi hari ini, kita bisa melihat bahwa kerja konsumsi di era digital bahkan melampaui kerja rumah tangga, karena kontribusi kita sebagai konsumen secara langsung memproduksi nilai lebih — bukan lagi secara tidak langsung. Jadi, ini adalah babak baru dari eksploitasi kerja yang tidak diakui, bahkan lebih tersembunyi daripada kerja-kerja reproduktif tradisional. Karena itu, perlu ada upaya serius untuk mengorganisir bentuk kerja semacam ini, di samping PR besar kita yang masih tertinggal dalam mengorganisir sektor-sektor kerja formal dan tradisional. Mungkin saja, ruang seperti IndoPROGRESS bisa mengambil peran dalam mendorong agenda ini.


CHP: Tapi kamu belum menjelaskan tentang kenapa penting bagi serikat pekerja baik di sektor digital maupun tradisional untuk merebut negara di era teknofeodalisme yang bukan tidak mungkin akan semakin dominan nantinya.

HYP: Kembali ke argumen saya sebelumnya soal alibi. Pada akhirnya, sebesar apa pun gelembung ekonomi (bubble economy) yang terbentuk, tetap saja ia membutuhkan fondasi ekonomi riil sebagai penyangga atau pembenaran. Terlebih jika kita melihat dari kacamata makroekonomi, bubble tidak akan bisa berdiri sendiri tanpa adanya sirkulasi ekonomi riil, dan sirkulasi itu hanya mungkin terjadi lewat aktivitas perdagangan, dalam hal ini konsumsi.

Karena itu, ketika kita bicara soal merebut kontrol atas negara, yang paling masuk akal dan strategis adalah dengan mensosialisasi alat produksi di sektor ekonomi riil. Sementara untuk sektor finansial, perjuangan untuk merebutnya masih jauh dan membutuhkan proses panjang. Maka, langkah yang lebih konkret saat ini adalah mulai dari sektor riil, melalui penguatan serikat pekerja. Inilah kenapa saya melihat pentingnya teman-teman tetap mendorong pengorganisiran serikat pekerja di sektor riil, walaupun kontribusi sektor ini terhadap ekonomi saat ini mungkin relatif kecil. Justru dari situ kita bisa membangun basis politik yang solid untuk memulai proses proletarianisasi bagi kawan-kawan pekerja yang selama ini lebih dekat pada posisi lumpenproletariat — yakni kelompok yang meskipun bekerja, tetapi tidak terhubung dengan relasi produksi formal yang memungkinkan mereka memiliki posisi tawar. Kita tahu, secara historis, lumpenproletariat jarang menjadi kekuatan progresif, bahkan sering kali mudah terkooptasi oleh kekuatan kanan. Karena itu, penting untuk menarik mereka masuk ke dalam relasi kerja yang jelas, di mana mereka mendapatkan upah, dan dari situ kita bisa mulai memisahkan upah tersebut dari mekanisme kapitalisasi. Dengan begitu, kita membuka ruang bagi mereka untuk mulai memiliki kesadaran progresif.

Meski sebelumnya aku menyebut pentingnya mengorganisir pekerja konsumsi, secara realistis aku pesimis bahwa hal itu bisa langsung dilakukan dalam waktu dekat. Karena itu, perlu ada kekuatan pendorong — semacam vanguard — yang tidak hanya bergerak di sektor manufaktur, tetapi juga mampu menjangkau dan membuka jalan bagi pekerja konsumsi. Bagi saya, saat ini belum ada jalan lain selain memulai dari proses proletarianisasi sektor-sektor kerja tradisional, untuk kemudian memimpin pergeseran menuju pengorganisiran serikat pekerja konsumsi di masa depan.


Wawancara ini adalah transkripsi yang dilakukan oleh Nandito Oktaviano dari program “Wawancara” kanal Youtube IndoPROGRESS TV.

]]>
Alat Memperkuat Struktur Hierarki Imperialisme: Analisis Marxis atas Tarif Trump https://indoprogress.com/2025/04/analisis-marxis-atas-tarif-trump/ Wed, 16 Apr 2025 14:14:18 +0000 https://indoprogress.com/?p=238909

Ilustrasi: The Communist


“TARIF adalah hal yang indah untuk dilihat,” kata Donald Trump di akun Truth Social-nya. Namun, sebagaimana pepatah mengatakan, keindahan ada di mata yang memandang. Jika dilihat dari reaksi global, hanya segelintir orang dalam lingkaran dekat Trump yang tampaknya berbagi sentimen estetis tersebut. Sejak tanggal 2 April, yang dinobatkannya sebagai “Hari Kemerdekaan,” kebijakan tarif baru yang diberlakukannya telah mengguncang tatanan ekonomi global.

Tarif universal 10% untuk seluruh barang impor mulai diberlakukan pada 5 April, disusul oleh bea masuk tambahan untuk negara-negara tertentu—34% untuk produk asal China dan 20% untuk barang dari Uni Eropa—yang mulai berlaku pada 9 April. Ketika China menanggapi dengan mengenakan tarif balasan atas barang-barang AS, Washington membalas dengan menaikkan tarif produk China hingga mencapai 104%, memperuncingkan ketegangan perdagangan.

Serbia bahkan tak luput dari imbasnya; dikenai tarif sebesar 37% untuk ekspornya ke AS, ini sebuah langkah yang membingungkan simpatisan pro-Trump di negara tersebut, dan mendorong para pejabat di Beograd untuk meminta klarifikasi dari Washington. 

Metode di balik penetapan tarif ini tidak ada hubungannya dengan subsidi, kebijakan pajak, atau hambatan non-tarif. Sebaliknya, metode ini mengikuti logika mekanis: defisit perdagangan AS dengan suatu negara dibagi dengan total nilai impornya. Hasilnya lalu dibagi dua. Meskipun metode ini mungkin tampak logis untuk negara-negara dengan surplus perdagangan yang besar dan konsisten terhadap AS, penerapannya pada negara lain menjadi tidak masuk akal. 

Contohnya adalah Serbia. Berdasarkan data dari Kantor Statistik Serbia, pada tahun 2023, negara ini mengekspor $556,9 juta ke AS dan mengimpor $588 juta—defisit perdagangan yang tergolong kecil. Pola serupa juga terjadi pada tahun 2022. Namun, Serbia tetap dikenakan tarif sebesar 37%, seolah-olah negara ini memiliki surplus perdagangan yang besar. Ketidaksesuaian ini menunjukkan sifat kesewenang-wenangan dan koersif dari kebijakan tarif yang baru diterapkan.

Dari perspektif Marxis, kebijakan tarif ini tidak dimaksudkan untuk menyeimbangkan perdagangan, tetapi untuk memperkuat struktur hierarki imperialisme. Kebijakan ini mencerminkan kekuasaan, bukan data. Serbia, meskipun mengalami defisit, dijadikan alat untuk dalam narasi krisis yang lebih besar dalam kapitalis AS.

Di balik tampilan proteksionisme, tersembunyi manuver geopolitik, di mana tarif diterapkan bukan untuk melindungi industri nasional, tetapi sebagai sarana untuk mempertahakan dominasi dalam ekonomi dunia yang semakin terfragmentasi.


Tarif dan logika akumulasi kapitalis

Dukungan Trump terhadap kebijakan tarif bukan sekadar retorika populis, melainkan respons politik terhadap kontradiksi dalam akumulasi kapitalis global. Argumennya bekerja pada dua tingkat. Di permukaan, ia menyerukan keadilan dan kedaulatan. Di bawahnya, ia mengekspresikan kecemasan atas sistem yang semakin tergantung pada rantai produksi global dan dominasi sektor keuangan yang abstrak.

Trump mengklaim bahwa AS sedang “dimanfaatkan” oleh negara-negara yang memiliki surplus perdagangan—seperti China, Jerman, dan Meksiko—yang dituduh telah mendistorsi sistem perdagangan melalui subsidi, manipulasi mata uang, dan tarif tinggi. Ia mengklaim bahwa praktik-praktik ini merugikan para pekerja dan industri AS, yang mengakibatkan defisit perdagangan yang kronis.

Namun, pandangan ini mengabaikan fungsi struktural dari dolar AS dalam sistem global. Sebagai mata uang cadangan utama dunia, dolar menempatkan AS pada posisi yang unik. AS bisa terus-menerus mengalami defisit perdagangan tanpa terancam krisis neraca pembayaran. Negara-negara lain mengekspor barang ke AS bukan karena kalah bernegosiasi, melainkan karena membutuhkan dolar—untuk membayar utang luar negeri, menjaga stabilitas nilai tukar, dan mengakumulasi cadangan devisa.

Para ahli Teori Moneter Modern (MMT) dengan tepat menunjukkan (bahkan jika resep mereka yang lebih luas masih bisa diperdebatkan) bahwa AS adalah penguasa moneter. AS menerbitkan mata uang global, tidak menghadapi kendala eksternal pada pasokannya, dan menyelesaikan kewajiban internasional dengan mata uangnya sendiri.

Dengan demikian, perdagangan global bukanlah pertukaran barang baru dengan barang yang lain, tetapi antara barang dengan klaim keuangan—seperti utang surat pemerintah AS dan cadangan dolar. Para pengkritik dari tradisi Marxis dan pasca-Keynesian menyoroti bahwa hal ini adalah bentuk pertukaran strutural: negara-negara menyerahkan hasil produksi riil mereka untuk menerima uang fiat yang dicetak oleh AS, yang berhiaskan orang-orang suci kelas penguasa AS seperti presiden, Menteri Keuangan pertama (Alexander Hamilton), dan seorang polimatik yang tidak pernah memerintah tetapi membantu membangun sistem (Benjamin Franklin).

Skema di atas memungkinkan AS untuk mengonsumsi lebih dari yang diproduksinya dan membiayai hegemoninya melalui mata uang yang harus disimpan oleh negara lain. Bukannya menjadi korban eksploitasi, AS justru menikmati apa yang disebut oleh mantan Presiden Prancis Valéry Giscard d’Estaing sebagai “hak istimewa yang luar biasa.”

Ketika menuntut negara lain untuk membeli lebih banyak produk AS sambil mengancam sanksi terhadap mereka yang mendevaluasi mata uangnya, seperti yang dilakukan negara-negara BRICS (Brasil, Rusia, India, Cina, dan Afrika Selatan), Trump justru memperlihatkan kontradiksi mendasar dalam sistem.

Untuk mempertahankan status dolar sebagai mata uang dominan dunia, negara-negara lain harus menjual lebih banyak ke AS daripada membeli, agar dapat mengumpulkan cadangan dolar. Namun, visi Trump membalikkan logika ini. Kontradiksi ini tidak bersifat pribadi, tetapi sistemik: cerminan dari ekonomi global yang terbentang di antara keharusan untuk mengendalikan imperialisme dan nasionalisme ekonomi.

Kontradiksi ini menghasilkan dua dampak utama. Pertama, memperdalam finansialisasi di AS, di mana modal lebih memilih aktivitas spekulatif ketimbang investasi produktif—didorong oleh permintaan global terhadap aset-aset berbasis dolar. Kedua, beban penyesuaian justru jatuh ke negara-negara di pinggiran sistem ekonomi global, yang tidak memiliki kemewahan mencetak mata uang cadangan dunia.

Dalam konteks ini, narasi Trump soal ketidakadilan perdagangan justru memutarbalikkan kenyataan. Bukan AS yang paling dirugikan oleh sistem ini, melainkan negara-negara yang secara struktural terikat pada sistem yang tidak dapat mereka kendalikan.

Namun, retorika Trump tetap mendapat sambutan karena Sebagian wilayah di AS, terutama kawasan industri Midwest, benar-benar mengalami keterpurukan ekonomi. Seperti yang ditunjukkan oleh Amy Goldstein dalam bukunya Janesville: an American Story, penutupan satu pabrik GM bisa menghancurkan tatanan sosial dan ekonomi sebuah kota. Boris Kagarlitsky dalam The Long Retreat juga mencatat bahwa bahkan kota-kota metropolitan kapitalisme telah menjadi korban dari desain neoliberal mereka sendiri.

Namun, situasi ini bukanlah akibat dari kelemahan AS, melainkan dari struktur ekonomi yang lebih memperioritaskan sektor keuangan dan konsumsi, dengan mengorbankan tenaga kerja dan produksi. Dalam hal ini, tarif bukanlah sebuah solusi melainkan pertunjukan politik yang menutupi akar masalah struktural dan mengalihkan perhatian dari penyebab utamanya.

Argumen kedua Trump, bahwa ketergantungan pada impor melemahkan industri domestik, patut mendapat perhatian lebih. Pernyataan ini mencerminkan perubahan struktural yang lebih dalam: proses deindustrialisasi yang berlangsung selama beberapa dekade dan erosi lapangan kerja manufaktur berupah tinggi. Namun, kebijakan tarif yang diterapkan secara menyeluruh ini tidak memiliki landasan historis atau koherensi strategis.

Dari perspektif Marxis, proteksionisme secara historis telah memainkan peran dalam pembangunan kapitalisme. Samir Amin dan para ahli teori ketergantungan lainnya berpendapat bahwa tarif telah digunakan sebagai alat untuk akumulasi primer dan mendorong industrialisasi.

Namun, tarif bersifat selektif dan sementara, dirancang untuk melindungi industri dalam negeri yang baru lahir sampai mereka menjadi kompetitif secara global. Tujuannya bukan untuk menciptakan isolasi ekonomi (autarki), melainkan untuk memasuki pasar global secara terkendali, dengan posisi tawar yang lebih menguntungkan.

Lebih dari seabad yang lalu, ekonom Marxis Rudolf Hilferding mencatat bahwa promosi perdagangan bebas biasanya muncul setelah sebuah negara berhasil melakukan industrialisasi. Inggris adalah contoh utamanya: negara ini membangun kekuatannya melalui tarif tinggi, lalu mendorong sistem pasar bebas hanya setelah posisi ekonominya dominan—suatu strategi klasik “menendang tangga” setelah naik.

Sebaliknya, kebijakan tarif yang diterapkan Trump tidak memiliki dasar pemikiran untuk pembangunan. Tarif tersebut tidak diarahkan pada sektor-sektor strategis, juga tidak diringi dengan investasi di bidang inovasi atau infrastruktur.

Banyak dari barang yang dikenakan tarif itu sudah bukan bagian dari kapasitas atau minat produksi industri AS. Akibatnya, tarif ini kecil kemungkinannya untuk membangkitkan kembali sektor industri atau menciptakan lapangan kerja yang stabil. Sebaliknya, mereka berfungsi sebagai sandiwara politik; sebuah reaksi dari jantung kapitalisme yang sedang bergulat menghadapi keterbatasan globalisasi.

Sebagaimana dicatat oleh Michael Roberts dalam tulisan terbarunya, anggapan bahwa tarif akan menghidupkan kembali industri AS dan menciptakan lapangan kerja baru tidak berdasar. Menurunnya jumlah lapangan kerja di sektor manufaktur sejak tahun 1960-an disebabkan terutama oleh turunnya profitabilitas dan pergeseran tenaga kerja ke teknologi, bukan karena liberalisasi perdagangan. Bahkan jika ekspor meningkat cukup untuk menutup defisit perdagangan, yang sangat tidak mungkin terjadi, pangsa pekerja industri hanya akan meningkat dari 8% menjadi 9%.

Jika Trump benar-benar ingin memulihkan kembali sektor industri, maka yang dibutuhkan adalah investasi besar-besaran. Namun, sebagian besar perusahaan AS di luar kelompok raksasa teknologi “Magnificent Seven” ternyata sedang mengalami penurunan keuntungan, sehingga kecil kemungkinan mereka akan melakukan investasi besar—kecuali dalam produksi militer yang didanai oleh kontrak pemerintah. Dalam konteks ini, tarif bukanlah sarana pemulihan, melainkan gejala dari impotensi sistemik.

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.


Proteksionisme strategis sebagai manajemen krisis kapitalis

Jika tarif yang diberlakukan Trump tampak tidak rasional dari sudut pandang ekonomi konvensional, kebijakan ini menjadi lebih masuk akal bila dilihat sebagai respons terhadap kontradiksi mendasar dalam kapitalisme global. Dari perspektif Marxis, proteksionisme saat ini tidak hanya mencerminkan populisme yang kacau, tetapi juga merupakan upaya sistematis untuk mengelola tatanan global yang tidak lagi mampu menjamin keuntungan yang stabil bagi kapital.

Akar dari krisis ini terletak pada apa yang disebut Karl Marx sebagai kecenderungan menurunnya tingkat keuntungan. Ketika para kapitalis berinvestasi lebih banyak pada mesin dan teknologi (kapital konstan) dan relatif lebih sedikit pada tenaga kerja (kapital variabel), maka tingkat keuntungan secara keseluruhan akan menurun—meskipun jumlah keuntungan terus tumbuh untuk sementara waktu.

Studi empiris yang dilakukan Michael Roberts mengonfirmasi tren di atas dalam perekonomian AS: tingkat keuntungan untuk perusahaan non-keuangan turun sebesar 27% dari tahun 1945 hingga 2021, dengan penurunan paling tajam terjadi di masa lonjakan investasi pada kapital konstan. Temuan ini memvalidasi pandangan Marx bahwa dorongan kapitalis untuk meningkatkan produktivitas justru pada akhirnya menggerogoti profitabilitas. 

Untuk menangkal kecenderungan ini, kapital menggunakan berbagai strategi: mengintensifkan eksploitasi tenaga kerja, merelokasi produksi ke pasar tenaga kerja yang lebih murah, berinvestasi dalam inovasi teknologi, menciptakan gelembung aset, dan—saat tekanan memuncak—berlindung di balik kebijakan proteksionis. Tarif yang diberlakukan Trump adalah contoh dari langkah mundur tersebut.

Dengan menaikkan biaya barang impor, kebijakan ini bertujuan untuk menciptakan ruang aman bagi kapital AS dari kompetisi dengan pesaing yang lebih produktif atau berbiaya lebih rendah. Selain itu, tarif juga berfungsi untuk mengalihkan beban krisis ke rival utama seperti China dan Uni Eropa, dengan harapan produsen AS bisa mendapatkan kembali beberapa keunggulan kompetitif yang hilang di era hiperglobalisasi. Tujuan akhirnya bukanlah nasionalisme ekonomi semata, tetapi pemulihan sementara atas profitabilitas yang menurun.

Namun, kebijakan-kebijakan ini tidak menyelesaikan kontradiksi fundamental dalam proses akumulasi kapital; yang terjadi hanyanya pergeseran dampak krisis ke tempat lain. Masalah struktural seperti akumulasi berlebih dan krisis profitabilitas tetap belum tersentuh. Tanpa kebijakan industri yang komprehensif, ruang perlindungan yang dibuka oleh tarif tidak digunakan untuk merevitalisasi produksi, melainkan digunakan untuk mempertahankan sirkulasi kapital fiktif.

Dalam konteks ini, praktik pembelian kembali saham (stock buyback) menjadi sangat relevan. Dalam fase kapitalisme finansial saat ini, jatuhnya harga saham tidak selalu merupakan ancaman; melainkan justru dilihat sebagai peluang. Ketika pasar bereaksi negatif terhadap kebijakan tarif atau ketidakpastian ekonomi dengan menurunkan valuasi saham, banyak perusahaan memilih untuk menggunakan kelebihan uang tunai—atau memanfaatkan pinjaman berbunga rendah—untuk membeli kembali saham mereka.

Langkah di atas secara artifisial meningkatkan laba per saham (EPS), menjaga harga saham tetap tinggi, dan memastikan bonus eksekutif tetap aman, meskipun kinerja produktif perusahaan sebenarnya tetap stagnan.

Setelah Trump memutuskan menunda penerapan tarif selama 90 hari (kecuali terhadap China, di mana tarif telah mencapai 125%), sebagian pihak yang skeptis dan condong pada teori konspirasi menyatakan bahwa langkah ini memiliki tujuan yang tersembunyi: memberikan kesempatan bagi perusahaan-perusahaan AS dan spekulan-spekulan dengan akses informasi untuk membeli saham dengan harga rendah sebelum pasar saham AS naik 10% pada 9 April. Angka ini merupakan kenaikan harian terbesar sejak tahun 2008.

Dampak lain dari dinamika ini dapat dilihat dalam cara koreksi pasar modal—selama laba nominal perusahaan tidak berubah—dapat justru mendorong kenaikan tingkat keuntungan. Ketika harga saham dan nilai aset lainnya turun, nilai pasar dari total modal juga ikut turun, yang berarti penyebut dalam perhitungan tingkat keuntungan menyusut. Jika jumlah keuntungan tetap, maka secara matematis hal ini menghasilkan tingkat laba yang lebih tinggi. 

Demikian pula, dari perspektif Marxis, penurunan nilai pasar dari kapital konstan juga memperbesar peran relatif dari kapital variabel (tenaga kerja) dalam proses produksi, sehingga meningkatkan potensi untuk mengekstraksi nilai lebih. Dengan kata lain, penyusutan nilai kapital secara nominal bisa berfungsi sebagai mekanisme untuk menyeimbangkan kembali secara internal, memungkinkan pemulihan profitabilitas meskipun tidak ada pertumbuhan produksi riil.

Dalam konteks ini, akumulasi kapital semakin menjauh dari sektor produksi. Alih-alih digunakan untuk mendanai pengembangan teknologi, penciptaan lapangan kerja, atau Pembangunan infrastruktur, surplus justru mengalir ke pasar aset dan mendorong inflasi nilai aset. Kebijakan tarif dan pembelian kembali saham saling melengkapi: tarif berfungsi melindungi kapital domestik dari tekanan persaingan global, sementara buyback saham menjaga nilai kepemilikan dari kapital fiktif—yakni harga aset yang terlepas dari nilai produksi riil di baliknya.

Pergeseran ini juga mencerminkan transisi yang lebih mendalam dalam sistem ekonomi global. Model akumulasi global yang mendominasi akhir abad ke-20 dan awal abad ke-21 kini mulai kehilangan efektivitasnya. Mekanisme dasar, di mana modal dari pusat mengeksploitasi tenaga kerja murah di daerah pinggiran, tidak lagi berfungsi seperti dulu.

Upah di China dan negara-negara berkembang lainnya telah meningkat, rantai logistik menjadi lebih rapuh dan semakin dipengaruhi oleh dinamika politik, dan dukungan politik di negara-negara inti telah terkikis. Publik pun semakin kehilangan kesabaran terhadap deindustrialisasi, stagnasi upah, dan ketergantungan pada rantai pasokan luar negeri. 

Kemajuan teknologi dalam bidang robotika, kecerdasan buatan (AI), dan manufaktur 3D memang membuat pemindahan kembali produksi ke dalam negeri (reshoring) secara teknis memungkinkan, tetapi belum menciptakan banyak lapangan kerja.

Yang muncul bukanlah kebangkitan kapitalisme industri gaya lama abad ke-20, melainkan tatanan baru yang lebih distopia, di mana robot di AS bersaing langsung dengan pekerja di Bangladesh untuk memperebutkan sepotong nilai global yang sama. Tarif Trump tidak bisa dilihat sebagai cetak biru untuk pembaruan industri, melainkan pendahuluan dari tatanan tekno-nasionalis baru yang diorganisir di sekitar kontrol kapital, dominasi teknologi, dan blok-blok ekonomi regional.

Logika manajemen krisis yang sama juga terlihat jelas di pasar keuangan. Saat pandemi Covid-19 melanda, Federal Reserve menyuntikkan likuiditas yang sangat besar ke pasar keuangan. Meskipun langkah ini berhasil menstabilkan pasar dalam jangka pendek, ia juga menciptakan distorsi yang besar.

Pada awal 2025, total kapitalisasi pasar saham AS diperkirakan melebihi “nilai wajarnya” sebesar $25 hingga $30 triliun—sebuah kesenjangan yang luar biasa antara harga pasar dan output ekonomi riil. Ini bukan tanda pemulihan ekonomi yang nyata, melainkan inflasi modal fiktif ke tingkat yang belum pernah terjadi sebelumnya.

Kini, koreksi pasar tengah berlangsung. Sekitar $11 triliun kapitalisasi pasar telah menguap, dan diperkirakan $15 hingga $20 triliun lainnya bisa hilang. Namun, proses ini tidak hanya bersifat destruktif: ia juga memiliki fungsi struktural. Ketika investor menarik modal dari aset-aset berisiko dan mengalihkannya ke ke obligasi pemerintah AS yang relatif lebih aman, imbal hasil dari utang negara turun.

Ini secara tidak langsung menurunkan biaya pinjaman pemerintah dan mengurangi penyebab utama defisit federal. Akibatnya, krisis di pasar justru menjadi jalur tak langsung untuk memulihkan ruang fiskal—bukan melalui pajak atau penghematan anggaran, tetapi melalui pendisiplinan kapital itu sendiri. Negara mendapatkan ruang untuk bermanuver bukan meskipun ada krisis, tetapi justru karena adanya krisis.

Seperti yang ditekankan oleh Adam Tooze dalam bukunya, Chartbook 369, pasar obligasi pemerintah senilai sekitar $28 triliun merupakan pasar yang benar-benar sistemik. Dalam situasi koreksi pasar saham yang normal, harga obligasi biasanya naik dan imbal hasilnya turun, yang pada gilirannya menurunkan suku bunga dan meringankan beban finansial perusahaan. Ini mencerminkan mekanisme saling penyeimbang dalam sistem keuangan, di mana obligasi Treasury berfungsi sebagai tempat berlindung yang aman di tengah ketidakpastian pasar.


Krisis sebagai transisi, bukan kehancuran

Secara keseluruhan, tarif Trump, kembalinya proteksionisme, kegigihan kapital fiktif, dan koreksi di pasar saham saat ini bukanlah fenomena yang berdiri sendiri. Semua ini saling terkait sebagai respons terhadap kontradiksi sistemik kapitalisme—terutama kecenderungan jangka panjang dari menurunnnya tingkat keuntungan.

Fenomena-fenomena ini mencerminkan upaya semakin panik dari kelas penguasa untuk menjaga profitabilitas dan mempertahankan hegemoninya di tengah stagnasi ekonomi, akumulasi berlebih, dan ketegangan politik yang semakin meningkat.

Apa yang kita saksikan bukanlah akhir dari kapitalisme, melainkan mutasinya. Globalisasi neoliberal dalam empat dekade terakhir sedang dibongkar, bukan untuk membuka jalan bagi sosialisme atau perencanaan demokratis, tetapi untuk membangun rezim akumulasi baru yang lebih sesuai dengan kebutuhan kapital saat ini.

Rezim ini kemungkinan besar akan ditandai dengan intervensi negara yang semakin intensif, zona produksi yang teregionalisasi, dan ketergantungan yang semakin dalam pada manipulasi keuangan untuk mempertahankan nilai kapital. Namun, ini bukan solusi terhadap kontradiksi yang ada di jantung sistem, melainkan sekadar pemindahan masalah ke wilayah, teknologi, dan krisis baru.

Dalam konfigurasi ulang ini, negara-negara pinggiran seperti Serbia atau Indonesia, bukan hanya menjadi penonton, tetapi menjadi korban sampingan. Penerapan tarif 37% yang dikenakan pada ekspor Serbia—meskipun negara ini mengalami defisit perdagangan dengan AS—memperlihatkan logika koersif dan sewenang-wenang dari transisi ini. Hal ini menandakan bahwa rezim akumulasi baru tidak akan dijalankan melalui aturan atau institusi multilateral, tetapi oleh kekuasaan dan intimidasi geoekonomi.

Ketika kapital merombak prioritasnya dan blok-blok mengeras menjadi zona proteksionis, negara-negara seperti Serbia mendapati diri mereka terjebak dalam baku tembak. Ia seakan dihukum bukan karena pelanggaran ekonomi apa pun, tetapi karena posisi strukturalnya yang bergantung pada sistem global.

Dalam konteks ini, krisis bukan hanya masalah ekonomi, tetapi juga menjadi sarana seleksi geopolitik yang memperkuat kembali hierarki imperial, bahkan ketika tatanan liberal yang lama bubar.

 


Dmitry Pozhidaev adalah Penasihat Keuangan Pembangunan Daerah dan Profesor di Universitas Makerere, Uganda. Artikel ini sebelumnya terbit di Links International Journal of Socialist Renewal, lalu diterjemahkan dan diterbikan ulang di sini untuk tujuan Pendidikan.

]]>
Dari Libertarian Fasis hingga Kristen Zionis: Lingkaran Imperialis Trump https://indoprogress.com/2025/03/lingkaran-imperialis-trump/ Wed, 05 Mar 2025 16:41:20 +0000 https://indoprogress.com/?p=238832

Ilustrasi: Monthly Review


GAGASAN Nasionalis Konservatif Kristen Kulit Putih (NCWCA), yang secara agresif dipromosikan oleh Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump, telah mengejutkan Eropa dalam beberapa waktu terakhir. Di luar AS, banyak pihak mempertanyakan faktor-faktor internal yang mendorong dinamika ini: Apa ketegangan dalam kelas penguasa AS yang menyebabkan perubahan ini? Bagaimana transformasi dalam basis dan suprastruktur di AS? Apa konsekuensi ideologis dan politik jangka panjang terhadap kebijakan luar negeri AS? Dan yang tak kalah penting, bagaimana sebaiknya negara-negara di Dunia Ketiga merespons perkembangan ini?

Berikut adalah ringkasan untuk membantu menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut. Kami akan memulai dengan menganalisis kekuatan-kekuatan yang mengelilingi kepresidenan AS dan lembaga keamanan nasionalnya. Selanjutnya, kami memeriksa beberapa dampak yang mungkin terjadi pada kebijakan luar negeri.


Kubu Trump pada pertengahan Februari 2025

Kubu Trump sedang melakukan serangan yang sangat terencana terhadap elemen-elemen kunci dari aparatus negara AS (termasuk USAID yang kini secara eksplisit telah terpapar dan tertekan) serta menunjukkan sikap yang memandang rendah para elite Eropa.

Saat ini, Trump didukung oleh pasukan think tank MAGA di belakangnya. America First Policy Institute (AFPI) dan Center for Renewing America (CRA) mendominasi perencanaan sebelum pelantikan dan agenda “Trump 47”, yang merupakan rencana Trump untuk masa kepresidenannya yang kedua. Russel Vought, Brooke Rollins, dan kepala kebijakan Trump, Stephen Miller, semuanya bergabung dalam pemerintahan Trump jilid dua. CRA dan AFPI mengadvokasi penggunaan kekuasaan eksekutif yang jauh lebih agresif untuk membersihkan birokrasi.

Agenda baru ini jauh lebih efektif dibandingkan dengan proposal Heritage Foundation yang lama, yang perannya sudah tidak digunakan lagi. Trump bahkan menjauhkan diri dari Proyek 25, sebuah rencana berbahaya untuk melenyapkan lawan-lawan kebijakan luar negeri AS.  Esensi dari MAGA dan Trump adalah nasionalisme dengan karakteristik Kristen kulit putih yang konservatif.

Kubu Trump (yang terdiri dari pemerintahan resmi dan kelompok influencer serta penasihat informalnya) mencakup beberapa faksi yang terkadang tumpang tindih, masing-masing dengan kebijakan dan kontradiksinya sendiri. Seperti yang ditunjukkan oleh pidato Wakil Presiden James David Vance di Munich, kelompok ini yang sangat ideologis, meskipun Trump sendiri cenderung kurang ideologis. Susie Wiles, Kepala Staf Gedung Putih, adalah seorang operator Partai Republik yang efektif, berpengalaman, sayap kanan, dan tepercaya, yang berperang penting dalam memastikan bahwa Trump 2 jauh lebih terorganisir daripada Trump 1.

Dari empat puluh anggota inti kubu Trump yang kami analisis, sembilan di antaranya (Stephen Bannon, Robert F. Kennedy Jr., Pete Hegseth, Charlie Kirk, Elise Stefanik, Doug Collins, Marco Rubio, J.D. Vance, dan Pam Bondi) secara terbuka menyatakan dukungannya terhadap zionisme Kristen. Enam lainnya memiliki afiliasi atau keberpihakan secara umum terhadap tujuan-tujuan zionisme Kristen, yakni Donald Trump, Kristi Noem, Michael Waltz, Nigel Farage, Russel Vought, dan Tulsi Gabbard. Semua anggota ini saat ini tunduk pada kehendak Trump.

Meskipun Trump kini memegang kendali kemudi, MAGA adalah “gerakan” yang lebih luas dan beragam, mencakup suara yang pro-tentara, anti-pembangunan, anti-kebudayaan, anti-intelektual, nasionalis, dan anti-imigrasi. Beberapa retorika yang muncul terkadang bersifat anti-intervensi AS dan anti-“deep-state”, uakni jaringan atau kelompok dalam pemerintahan—terutama lembaga keamanan, militer, intelijen, dan birokrasi—yang beroperasi di luar kendali pemerintah resmi atau pemimpin terpilih.

Anggota kepemimpinan Kristen evangelis di kubu Trump, termasuk Pete Hegseth, Stephen Miller, dan Charlie Kirk, adalah kelompok yang berbeda namun tertanam dalam faksi lain dan tidak sepenuhnya berdiri sendiri. Beberapa pemimpin gerakan evangelis, termasuk mantan Wapres Mike Pence, telah dikecualikan dari Trump 2.

Fokus ideologi Trump 2 telah bergeser ke penghancuran birokrasi federal atau “negara administratif”. Serangan ini terus ditujukan kepada lembaga intelijen dan pertahanan, yang diberi label “deep-state” pada era Trump 1. Namun, kali ini, serangan tersebut dibenarkan secara ideologis dengan menggunakan istilah “pemborosan ekonomi”.

Inti dari negara keamanan nasional permanen AS hingga kini belum dapat mengendalikan arah harian pemerintahan Trump. Ketidaksesuaian ideologis di dalam kubu Trump mengingatkan pada salah satu pernyataan terkenal Marx bahwa negara kapitalis adalah kumpulan saudara yang saling bertikai. Meskipun demikian, di bawah kepemimpinan Trump, kelompok ini telah berhasil melancarkan serangan yang terorganisir dan mengungguli lawan-lawan mereka di kalangan elite penguasa AS, setidaknya untuk saat ini.

Selalu terdapat risiko ketika mengklasifikasikan daftar anggota individu dari suatu pemerintahan, sehingga Anda mungkin melewatkan Weltanschauung (pandangan dunia). Terdapat tiga seksi kapital yang merupakan kekuatan utama di balik gerakan sayap kanan. Saat ini, Silicon Valley sedang berupaya untuk menjadi pemimpin kompleks industri militer (military-industrial complex). Amazon, Palantir, Microsoft, Google, Anduril, SpaceX, OpenAI, dan Anthropic PBC adalah pemasok untuk militer AS. Sebagian besar memandang Cina sebagai hambatan dan ancaman utama mereka.

Ekuitas swasta sekarang berfokus pada unicorn teknologi, yang lebih tepat disebut sebagai monopoli dan duopoli dalam sektor teknologi. Mereka berada di titik temu antara militer, teknologi, dan keuangan. Seksi kapital minyak dan gas perlu mengatasi ancaman energi terbarukan dan mempertahankan posisi monopolinya. Sementara seksi lain dari kapital, pada umumnya, tetap pasif. Ada 13 miliarder dan beberapa jutawan dalam pemerintahan, banyak di antaranya berasal dari tiga kelompok di atas.

Seperti dalam semua gerakan fasis, kontradiksi internal yang signifikan di kalangan neofasis di AS adalah antara kaum kapitalis dan basis kelas menengah ke bawah, yaitu gerakan MAGA. Berikut ini adalah gambaran mengenai faksi-faksi dalam kubu Trump, termasuk beberapa tokoh kuncinya.

Pada pertengahan Februari 2025, terdapat delapan faksi dalam kubu, yang terdiri dari:

  1. Libertarian Rasialis Kulit Putih Teknologi;
  2. Nasionalis dan Paleo-konservatif AS;
  3. Loyalis MAGA & Trump;
  4. Pembangun Koalisi Kanan-Jauh Global ;
  5. Realis Sayap Kanan;
  6. Para Begawan Anti-Regulasi dan Reaganite Pro-Bisnis ;
  7. Brigade yang sangat anti-Tiongkok dan anti-Komunis; dan, 
  8. Maverick Politik yang digunakan untuk memperluas basis Trump dan melemahkan Partai Demokrat.

Kaum Libertarian Rasialis Kulit Putih

Kelompok ini berusaha menguasai bagian inti dari negara untuk meningkatkan upaya mereka untuk mengendalikan teknologi utama seperti AI dan Crypto. Berikut adalah beberapa tokoh kunci yang terlibat. Tiga tokoh pertama berasal dari mafia Paypal dan memiliki pengalaman serta koneksi masa kecil yang terkait dengan masa apartheid di Afrika Selatan/Namibia. Tokoh-tokoh kunci tersebut adalah:

Peter Thiel (penasihat teknologi dan Keamanan Nasional, Ketua Palantir): seorang miliarder teknologi yang memiliki pengaruh strategis secara geopolitik. Saat ini, ia memimpin bagian berbasis teknologi dari kompleks industri militer. Thiel mendukung pemerintahan yang berfokus pada pengawasan dan konsep “pasca-demokrasi”. Ia menyatakan, “Saya tidak lagi percaya bahwa kebebasan dan demokrasi itu saling menguatkan.” 6 pandangan rasialisnya terbentuk selama masa kecil ketika ayahnya adalah seorang pengusaha di Namibia yang menganut sistem apartheid.

Elon Musk (secara de facto menjabat sebagai Kepala Departemen Efisiensi Pemerintah/DOGE): Orientasinya adalah oligarkis, nasionalis, zionis, libertarian, dan transhumanis. Bagi Musk, transhumanisme berarti masa depan di mana AI dan manusia bersatu. Tumbuh dalam keluarga ultra-kanan di era apartheid Afrika Selatan, membentuk pandangan rasialis kulit putih dan simpati terhadap Nazi. Ia adalah cucu dari seorang Nazi yang sebenarnya, dan penghormatan ala Nazi yang dilakukannya dengan penuh permintaan maaf dianggap sebagai kegembiraan. 

David Sacks (tsar mata uang kripto).

Marc Andreessen (menggambarkan diri sebagai “pekerja magang DOGE yang tidak dibayar”): Mendukung tekno-otoritarianisme atau pemerintahan teknokratis korporat. Pada tahun 2016, ia mengatakan, “Anti-kolonialisme telah menjadi bencana ekonomi bagi rakyat India selama beberapa dekade. Mengapa harus berhenti sekarang?”

Kaum Nasionalis dan Paleo-konservatif AS

Pendukung kedaulatan nasional, proteksionisme ekonomi, dan kebijakan luar negeri yang “terkendali”. Tokoh-tokoh yang terkenal adalah:

* J. D. Vance (Wakil Presiden): Anak didik Peter Thiel.

* Stephen Miller (penasihat senior).

* Tucker Carlson (pemengaruh): Pemimpin sayap kanan anti-imperialis, suara yang paling konsisten menentang intervensi asing dan bersimpati pada Putin.

* Michael Anton (Wakil Menteri Luar Negeri untuk Analisis Kebijakan): Mungkin yang paling cerdas dari para intelektual sayap kanan. Ia mendukung caesarisme di AS. Anton terkenal dekat dengan Vance.

* Michael Waltz (penasihat Keamanan Nasional).

* Rand Paul (penasihat kebijakan luar negeri): Seorang tokoh marjinal.

Loyalis MAGA & Trump

Kelompok ini ditandai dengan dukungan yang tak tergoyahkan untuk agenda-agenda Trump. Faksi ini menekankan loyalitas dan keselarasan dengan visinya. Anggota-anggota yang menonjol termasuk:

* Pete Hegseth (Menteri Pertahanan): Seorang zionis Kristen ekstrem yang terobsesi untuk menghapus DEI dari militer.

* Pam Bondi (Jaksa Agung).

* Charlie Kirk (pendiri dan Presiden Turning Point USA [TPUSA]): TPUSA adalah organisasi konservatif terkemuka yang didedikasikan untuk melibatkan kaum muda dalam mempromosikan pasar bebas dan pemerintahan yang terbatas.

* Lori Chavez-DeRemer (Menteri Tenaga Kerja).

* Sean Duffy (Sekretaris Transportasi).

* Doug Collins (Sekretaris Urusan Veteran).

* Kristi Noem (Menteri Keamanan Dalam Negeri).

* Elise Stefanik (Duta Besar AS untuk PBB).

Pembangun Koalisi Kanan-Jauh Global

Faksi ini berusaha mengembangkan, mendukung, dan menyelaraskan gerakan-gerakan sayap kanan secara global, membina jaringan ultra-nasionalis transnasional yang permanen. Tokoh-tokoh terkemukanya antara lain:

*Steve Bannon (Kepala Ahli Strategi, operator dunia Trump yang tidak resmi): Penghubung ideologis utama antara trumpisme dan para pemimpin sayap kanan global seperti Jair Bolsonaro (Brasil), Javier Milei (Argentina), Marie Le Pen (Prancis), dan Victor Orbán (Hungaria). Bannon mencap dirinya sebagai pendukung “hak budaya” untuk kelas pekerja tetapi tidak konsisten pada populisme ekonomi, terkadang menyerukan pajak yang lebih tinggi pada orang kaya. Anti-Cina, tetapi itu bukan permainan utamanya, karena yang terpenting baginya adalah membangun gerakan sayap kanan global yang langgeng.

* Nigel Farage (penasihat utusan Eropa, pemimpin Reform UK): Dia adalah tokoh kunci dalam koordinasi sayap kanan trans-Atlantik, terutama di Inggris dan Uni Eropa. Pengaruhnya di dalam kubu Trump masih belum pasti.

Kaum Realis Sayap Kanan

Kelompok ini menolak pandangan orang-orang seperti John Bolton, yang dipandang Trump sebagai seorang hawkish, yakni mereka yang cenderung mendukung penggunaan kekuatan militer ketimbang diplomasi atau negosiasi dalam kebijakan luar negeri. Sementara kaum realis sayap kanan dikenal sebagai “pengekang” dan menolak ekspansionisme yang berlebihan. Mereka percaya pada realisme optimis yang diekspresikan dalam gagasan bahwa Iran harus dikekang, bukan diserang, dan bahkan Iran yang memiliki nuklir bukanlah ancaman bagi Israel atau AS karena Iran hanya memiliki kemampuan bertahan. Anggota-anggotanya meliputi:

* Elbridge Colby (Wakil Menteri Pertahanan untuk Kebijakan): Menganjurkan pengurangan kehadiran militer AS di Timur Tengah dan Eropa untuk memprioritaskan Teater Indo-Pasifik dan menahan Cina. Ia adalah putra William Colby, mantan Direktur CIA di bawah pemerintahan Nixon dan Ford.

* John Ratcliffe (Direktur CIA): Skeptis terhadap badan intelijen.

* Michael DiMino (Wakil Asisten Menteri Pertahanan untuk Timur Tengah): Dia percaya bahwa Timur Tengah tidak terlalu penting bagi AS. Ia berpendapat bahwa upaya apa pun untuk membasmi Hamas dari Gaza adalah tindakan bodoh

* Steve Witkoff (Miliarder real estate yang dekat dengan Trump): Utusan untuk pembicaraan Gaza dan Ukraina.

Para Begawan Reagan yang Pro-Bisnis dan Anti Regulasi

Tokoh-tokoh kuncinya antara lain:

* Scott Bessent (Menteri Keuangan).

* Russell Vought (Direktur Kantor Manajemen dan Anggaran): Dia terdengar seperti John Bircher tradisional (ultra kanan dari tahun 1960-an). Dia percaya bahwa Partai Demokrat adalah komunis. 

* Chris Wright (Menteri Energi): CEO, Liberty Oilfield Services.

* Doug Burgum (Menteri Dalam Negeri).

* Brooke Rollins (Menteri Pertanian).

* Howard Lutnick (Menteri Perdagangan).

* Lee Zeldin (Administrator EPA).

Brigade yang sangat anti-Cina dan anti-komunis

Kelompok ini menunjukkan perilaku konspiratif seperti sekte dan dikenal karena semangat ideologisnya yang ekstrem; melihat semua masalah internasional melalui lensa anti-komunis. Mereka melihat Cina tidak hanya sebagai saingan geopolitik tetapi juga musuh ideologis yang eksistensial, dan percaya bahwa Cina mendalangi hampir semua ancaman besar terhadap kekuatan AS. Mereka juga mempertahankan permusuhan gaya Perang Dingin terhadap Venezuela, Kuba, dan rezim sayap kiri lainnya, tetapi memprioritaskan Cina sebagai medan pertempuran utama. Tokoh-tokoh terkemukanya, misalnya:

* Peter Thiel (lihat kelompok 1): Dia sangat anti-komunis dan berpendapat bahwa perusahaan-perusahaan teknologi AS yang bekerja sama dengan Cina melakukan pengkhianatan dan telah mempromosikan strategi pemisahan diri yang ekstrem.

* Marco Rubio (Menteri Luar Negeri): Tidak dapat menegaskan garisnya, yang sangat anti-Venezuela, Kuba, dan Cina. Sekarang memainkan peran sebagai penengah dalam pemerintahan. Dengan lemah lembut mencoba melindungi USAID namun gagal.

* Landon Heid (Asisten Menteri Perdagangan untuk Administrasi Ekspor): Mengawasi kontrol ekspor untuk membatasi akses Cina ke teknologi AS.

* Peter Navarro (penasihat senior untuk perdagangan dan manufaktur): Bukunya yang berjudul Death by China membantu membentuk sikap anti-Tiongkok Trump 1

* Jamieson Greer (perwakilan dagang AS).

Maverick politik yang digunakan untuk memperluas basis Trump dan melemahkan Partai Demokrat

Figur sentralnya adalah:

* Tulsi Gabbard (Direktur Intelijen Nasional).

* Robert F. Kennedy Jr (Menteri Kesehatan dan Layanan Kemanusiaan).


Perkembangan berbahaya di Dewan Keamanan Nasional dan Pentagon

Dewan Keamanan Nasional (NSC) AS adalah dewan presiden untuk strategi besar AS (geopolitik, militer, dan nuklir). Tidak ada analogi paralel langsung antara fungsi negara AS dan proyek-proyek sosialis. Anda bisa menyebutnya sebagai biro politik untuk keamanan negara nasional. Anggota badan ini, sebagaimana didefinisikan oleh undang-undang saat ini, adalah:

* Donald Trump, Presiden

* J.D. Vance, Wakil Presiden

* Marco Rubio, Sekretaris Negara

* Pete Hegseth, Menteri Pertahanan

* Chris Wright, Menteri Energi

* Scott Bessent, Menteri Keuangan

* Gerald Parker, Direktur Kantor Kebijakan Kesiapsiagaan dan Respons Pandemi

Pejabat lain yang ditunjuk di bawah pemerintahan Trump antara lain:

* Michael Waltz, Penasihat Keamanan Nasional

* Kristi Noem, Menteri Keamanan Dalam Negeri

* Pam Bondi, Jaksa Agung

* Elise Stefanik, Duta Besar AS untuk PBB

* Susie Wiles, Kepala Staf Gedung Putih

* Doug Burgum, Menteri Dalam Negeri (dekat dengan miliarder minyak Harold Hamm)

NSC selalu menjadi kelompok yang berbahaya bagi seluruh dunia. Mereka menjadi ujung tombak perang, kudeta, revolusi warna (color revolution), pembunuhan, sanksi, dan operasi intelijen terhadap negara lain, kekuatan progresif, dan individu. Kelompok ini telah menjadi pusat kejahatan terhadap kemanusiaan sejak 1947.

Dari semua kapitalis, Peter Thiel memiliki cengkeraman terkuat di NSC. Peter Thiel adalah salah satu orang paling berbahaya di planet ini. Dia adalah supremasi kulit putih dan fasis yang setia, sekaligus anti-komunis paling cerdas di AS. Thiel memiliki hubungan dekat dengan Trump. Dia secara langsung terikat secara finansial dan atau politik dengan enam anggota NSC berikut ini: 

* J.D. Vance: Theil menggelontorkan jutaan dolar ke dalam super PAC yang mendukung kampanye Vance di tahun 2022. Thiel merangkul Vance sebagai anak didiknya sekitar satu dekade yang lalu.

* Pete Hegseth: Lingkaran dalamnya terdiri dari para eksekutif Palantir dan Anduril, yang menunjukkan integrasinya ke dalam jaringan teknologi militer Thiel. Seorang mantan penasihat dari dana lindung (hedge-fund) yang dimiliki Thiel juga termasuk di antara rekan-rekan Hegseth yang dikenal.

* Chris Wright: Dia terhubung dengan Thiel melalui perusahaan rintisan energi Oklo. Wright duduk di dewan direksi Oklo, dan perusahaan ventura Peter Thiel merupakan investor utama di perusahaan tersebut.

* Susie Wiles: Wiles termasuk dalam daftar “Saving Arizona PAC,” sebuah kelompok yang didanai Thiel untuk Blake Masters di Arizona. Ia telah bekerja sama dengan Thiel dan berbicara di acara yang diselenggarakan oleh Rockbridge Network, sebuah koalisi kelompok politik sayap kanan yang didukung oleh Thiel. 

* Pam Bondi: Thiel bekerja bersamanya di komite eksekutif tim transisi kepresidenan Trump tahun 2016.

* Michael Waltz: Thiel memberikan sumbangan langsung untuk kampanye Waltz di  Florida 2022.

Konferensi Konservatisme Nasional (NatCon), sebuah proyek yang didanai Theil, sering kali menampilkan Marco Rubio dan Thiel sebagai pembicara utama. Dalam Trump 1, para pembantu Thiel ditempatkan secara strategis di posisi-posisi kunci dalam Keamanan Nasional. Kevin Harrington diangkat sebagai wakil asisten presiden untuk perencanaan strategis.

Secara signifikan, tidak ada realis sayap kanan di NSC. Begitu juga dengan Tulsi Gabbard, Direktur Intelijen Nasional. Pengaruh politik Thiel di kalangan militer dan intelijen jauh melampaui AS. Ia telah menghadiri semua, kecuali dua (2017-2018), dari pertemuan tahunan trans-Atlantik Bilderberg yang terkenal sejak 2007 (tidak ada pertemuan yang diadakan pada 2020-2021).

Pada tahun 2016, ia menjadi anggota komite pengarah yang kuat. Tidak ada orang Amerika lainnya kecuali Henry Kissinger dan mungkin Marie-Josée Kravis yang menghadiri lebih banyak pertemuan dalam periode ini. Eric Schmidt dari Google adalah tokoh teknologi lainnya yang sering hadir di Bilderberg. Pada tahun-tahun sebelumnya, David Rockefeller, George Ball (Mantan Wakil Menteri Luar Negeri, Pejabat Departemen Keuangan AS) dan Paul Volcker (Mantan Ketua Federal Reserve) adalah tokoh-tokoh yang dominan.

Konferensi Bilderberg menjadi target teori konspirasi karena siapa saja yang hadir dan kerahasiaan Chatham House yang sangat dijaga ketat sejak didirikan pada 1954. Terlepas dari teori konspirasi yang beredar, konferensi ini dihadiri oleh para petinggi negara, presiden, perdana menteri, jenderal terkemuka, direktur militer dan intelijen, menteri, dan anggota akademisi, lembaga pemikir, dan jurnalis yang loyalis terhadap Barat, yang dipilih secara bergilir dan diseleksi secara ketat.

Setiap pertemuan dihadiri sekitar 125 orang, jumlah peserta lebih sedikit dibandingkan dengan mereka yang menghadiri Forum Ekonomi Dunia di Davos. Pada tahun 2024, 32 dari 131 peserta berasal dari AS, di mana sebelas di antaranya berasal dari bisnis besar dan tujuh di antaranya berasal dari korporasi sektor teknologi:

  1. Thiel Capital LLC (Dua orang – Peter Thiel dan CEO-nya Alex Carp)
  2. Google
  3. Microsoft Research
  4. Palantir Technologies Inc.
  5. Anduril Industries.
  6. PBC Antropik

Semua perusahaan ini adalah kontraktor militer AS.

Turut hadir pula tujuh anggota pemerintah AS:

  1. Direktur Senior untuk Perencanaan Strategis, Dewan Keamanan Nasional
  2. Direktur Senior untuk Teknologi dan Keamanan Nasional, Dewan Keamanan Nasional
  3. Wakil Penasihat Keamanan Nasional
  4. Kantor Direktur Intelijen Nasional
  5. Direktur Badan Keamanan Siber dan Infrastruktur
  6. Mantan Wakil Menteri Luar Negeri
  7. Wakil Sekretaris Departemen Keuangan

David H. Petraeus, mantan Direktur CIA dan jenderal bintang empat, hadir sebagai perwakilan KKR. Dia adalah peserta yang sering hadir. Boeing dan Lockheed tidak diundang. Peter Thiel telah menghabiskan tujuh belas tahun dengan hati-hati menempatkan dirinya di tengah-tengah jaringan perusahaan militer-intelijen AS. Eric Schmidt memiliki peran yang lebih formal dalam intelijen militer AS, termasuk mengetuai Dewan Inovasi Pertahanan (DIB), tetapi tidak terlalu jauh masuk ke dalam ranah politik. Thiel adalah tokoh non-negara paling berbahaya di dunia saat ini.

Lonceng tanda bahaya lainnya adalah bahwa Trump melakukan sesuatu yang tidak biasa minggu ini, memecat Kepala Staf Gabungan dan menggantinya dengan Letnan Jenderal Dan Caine dari sayap kanan, yang ia temui di Irak dan kemudian bertemu lagi di CPAC (konferensi politik sayap kanan) pada 2019. Hal ini tentu saja dirancang untuk menghilangkan kekangan militer di Gedung Putih, yang sekarang memiliki orangnya sendiri. Caine dianggap sebagai pilihan yang tidak biasa karena belum pernah memegang posisi yang lebih rendah sebelum dipilih untuk posisi ini. Di CPAC, Trump mengenang sang jenderal dengan mengatakan, “Saya mencintaimu, pak. Saya pikir Anda hebat, pak. Saya akan mati untuk Anda, pak.”

Menteri Pertahanan Pete Hegseth menyatakan bahwa ia akan memecat para jaksa agung atau JAG. Mereka adalah pengacara militer yang mengelola kode peradilan militer untuk Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan Angkatan Udara. Hal ini, secara ipso facto, merupakan pertanda yang tidak menyenangkan.


Aspek-aspek tertentu dari dampak Trump terhadap kebijakan luar negeri AS

Perintah Eksekutif “Kubah Besi untuk Amerika”

Pada 27 Januari 2025, Trump menandatangani sebuah perintah eksekutif berjudul “Kubah Besi untuk Amerika”. Inisiatif ini bertujuan untuk membangun perisai komprehensif yang mampu melindungi AS dari berbagai ancaman rudal, termasuk rudal balistik, hipersonik, dan rudal jelajah canggih. Inisiatif ini mencakup beberapa aspek, yaitu:

  1. Penerapan sensor dan pencegat canggih di darat maupun di angkasa;
  2. Pengembangan kemampuan pertahanan non-kinetik (laser, EMP, dll.); dan
  3. Peningkatan keamanan rantai pasokan untuk semua komponen.

Meskipun dibungkus dengan kata-kata “pertahanan”, tindakan ini merupakan perluasan jahat dari doktrin militer AS tentang kekuatan balasan, yang ditegaskan kembali dalam laporan Departemen Pertahanan tahun 2024 tentang Strategi Penggunaan Nuklir AS. Inti dari kekuatan balasan adalah memberikan kemampuan untuk meluncurkan serangan nuklir pertama terhadap kemampuan militer dan nuklir lawan.

Perencanaan militer AS mencakup penggunaan senjata nuklir pertama dengan tujuan untuk “memenangkan” perang nuklir dengan menghancurkan kemampuan Rusia dan Cina untuk melakukan serangan balasan terhadap serangan pertama AS. Strategi militer AS ini tidak bermoral dan merupakan ancaman sangat serius bagi umat manusia.

Ada dua alasan di balik rencana ekspansionis Trump untuk menjadikan Kanada sebagai negara bagian ke-51, membeli Greenland, dan mengklaim Panama. Alasan pertama adalah untuk memperluas zona perlindungan Kubah Besi. Alasan kedua adalah untuk menguasai mineral-mineral penting. Keinginan yang terakhir ini juga memperluas kepentingan AS ke Ukraina. Namun, tampaknya, obsesi Trump terhadap “Real Estate” salah arah dalam kasus ini. AS terus melakukan intervensi terhadap Guyana untuk memajukan kepentingan minyaknya, sekaligus memberikan  manfaat tambahan dengan melemahkan Venezuela.

Pengurangan Anggaran Militer dan Rencana Re-industrialisasi

Trump telah mengambil langkah untuk mengurangi anggaran militer AS, termasuk anggaran departemen-departemen lainnya. Dia mengklaim bahwa dana tersebut dapat digunakan lebih efektif dengan menginvestasikannya kembali dalam re-industrialisasi. Upaya terbaru untuk membangun pabrik besar cip menunjukkan bahwa investasi dalam kapital tetap dibutuhkan. Membangun kembali sistem pendidikan untuk mempersiapkan tenaga kerja yang modern dan maju membutuhkan waktu puluhan tahun.

Selain itu, hal ini juga membutuhkan infrastruktur yang sangat besar. Proses ini membutuhkan kapital yang “sabar”, yang bertentangan dengan pasar keuangan spekulatif saat ini. Tidak ada bukti bahwa AS dapat mengambil pelajaran dari Cina mengenai cara mengelola proses pembangunan selama tiga puluh tahun.

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.

Eropa yang Layu

Serangan J.D. Vance terhadap “liberalisme” Jerman dan Eropa, termasuk masalah imigrasi, telah menimbulkan reaksi besar di London, Berlin, dan Paris. Secara keseluruhan, kemarahan mereka disebabkan karena tidak diikutsertakannya Eropa dan Ukraina dalam upaya AS untuk menyelesaikan sengketa Ukraina.

Kishore Mahbubani, seorang pejabat publik terkemuka Singapura, baru-baru ini mengusulkan agar Eropa mempertimbangkan tiga jalan yang “tidak terpikirkan”. Pertama, meninggalkan NATO. Mereka tidak membutuhkan AS jika mereka harus membayar 5% dari PDB mereka untuk militer. Tetap berada di NATO menunjukkan bahwa mereka lemah: “… menjilat sepatu bot yang menendang wajah mereka.” Kedua, merumuskan strategi baru yang besar dengan Rusia, di mana masing-masing pihak mengakui kepentingan satu sama lain. Ketiga, menjalin kesepakatan dengan Cina.

Satu-satunya alasan mengapa hubungan antara Eropa dan Cina menurun karena Eropa secara membabi buta mengikuti kepentingan geopolitik AS. Secara teori, Eropa seharusnya meninggalkan jalur saat ini dan melindungi kepentingannya sendiri.

Pada 20 Februari, surat kabar Jerman BILD melaporkan rumor bahwa Trump mungkin akan setuju untuk menarik semua pasukan AS dari negara-negara bekas Uni Soviet. Tidak jelas apakah informasi ini berasal dari intelijen Eropa Barat yang keliru atau memang benar. Rusia dan AS memang sedang membahas kemungkinan proyek energi bersama di Kutub Utara.

Dengan demikian, pertanyaannya adalah, apakah pendukung neoliberal yang pengecut akan terus memerintah Eropa, sehingga membuatnya menjadi tidak relevan di abad ini dan menjadi bahan tertawaan dunia? Kelompok ekstrem kanan tumbuh di Prancis (Rassemblement National, RN), Inggris (Reform UK), Jerman (AfD) dan pada tingkat yang lebih rendah di Italia (Fratelli d’Italia dan Lega) dan Belanda (PV). Jika sayap kanan berkuasa, ada kemungkinan mereka akan membongkar beberapa institusi pasca-Perang Dunia II di Atlantik Utara dan mengupayakan pemulihan hubungan dengan Rusia. Namun, upaya untuk menciptakan perdamaian dengan Cina kemungkinan besar akan menimbulkan konflik dengan saudara-saudara MAGA mereka.

Hasil lain yang mungkin terjadi, meskipun saat ini tidak mungkin, adalah bahwa pembubaran aliansi Atlantik Utara dapat, seiring waktu, menyebabkan perbedaan kepentingan Prancis dan Jerman yang dipimpin oleh sayap kanan.

Saat ini, terdapat 100 pangkalan AS yang tersebar di seluruh Eropa, dan Italia dan Jerman dapat dianggap sebagai koloni militer AS. Meloni, pemimpin sayap kanan Italia, dengan patuh mengikuti arahan AS bahkan membungkuk di hadapan Biden di G20. Namun, anggota koalisi sayap kanannya jauh lebih bersahabat terhadap normalisasi hubungan dengan Rusia.

Eropa kini merasa dipermalukan oleh AS. Meskipun demikian, peluang Eropa untuk menegaskan kemandirian politiknya tetap rendah. Elite inti Eropa telah dijinakkan oleh AS, dengan generasi pemimpin yang dididik di kampus-kampus elite AS dan kekayaan mereka diinvestasikan di pasar saham AS. Rasanya mustahil untuk melihat mereka memiliki keinginan untuk bergabung dalam kampanye bersama untuk memblokir kebangkitan strategi pertama AS yang reaksioner dari Trump. Mereka tetap berkomitmen kuat pada posisi anti-Rusia. Intervensi militer Prancis dan kontrol atas mata uang nasional Afrika Barat menunjukkan bahwa mereka masih merupakan kekuatan imperialis yang tidak bertobat.

Amerika Serikat dan Rusia

Di bawah kepemimpinan Trump, AS berusaha untuk menarik Rusia kembali ke orbitnya, sehingga membuat mereka tidak lagi menjadi sekutu Cina. Strategi ini didasarkan pada keyakinan bahwa Cina merupakan ancaman eksistensial bagi AS, dan penting untuk tidak berkonflik dengan keduanya secara bersamaan.

AS memutuskan untuk menjauh dari Eropa dan memberikan suara menentang resolusi yang mengutuk Rusia di PBB pada 24 Februari. Tujuh belas negara menolak proposal Eropa, sementara 65 negara, termasuk Cina, abstain.

Henry Kissinger, dalam diskusi dengan Presiden Nixon pada 14 Februari 1972, meramalkan adanya perubahan strategis dalam kebijakan luar negeri AS. Dia menyatakan, “Saya pikir dalam 20 tahun, penerus Anda, jika dia sebijaksana Anda, akan lebih condong ke arah Rusia daripada Cina. Selama 15 tahun ke depan, kita harus lebih mendukung Cina melawan Rusia.” Satu-satunya kesalahan Kissinger adalah dalam memperkirakan jumlah tahun yang dibutuhkan.

Dari perspektif sejarah AS, negara ini merasa terpaksa untuk membuka hubungan dengan Cina pada tahun 1971 karena sadar bahwa mereka telah kalah dalam perang di Vietnam dan takut akan kemungkinan pemulihan hubungan antara Rusia, Cina, dan Vietnam. Adalah Kissinger yang realis, di bawah pemerintahan Partai Republik, yang bersedia mengabaikan kekuatan anti-komunis di dalam negeri AS untuk mengunjungi Beijing. Dia berpendapat bahwa lebih baik menerima “kekalahan sementara” dan fokus pada strategi melemahkan Uni Soviet.

Runtuhnya Uni Soviet pada tahun 1991 memvalidasi, dalam benak mereka, keputusan untuk menormalkan hubungan dengan Cina. Beberapa ahli teori realis sayap kanan di AS memproyeksikan 15 tahun ke depan tentang bagaimana mereka dapat mengalahkan Cina. Namun, para realis sayap kanan menghadapi periode sejarah yang sangat berbeda dari tahun 1970-1990. Saat ini Cina adalah kekuatan ekonomi yang sedang menanjak, sedangkan AS sedang menurun.

Memang terdapat kekuatan Kristen konservatif kulit putih reaksioner di Rusia yang mungkin akan menyambut aliansi dengan kekuatan NCWCA AS yang berpikiran serupa. Namun, dalam jangka pendek, mereka tidak mungkin memiliki pengaruh yang cukup untuk mengimbangi kekuatan politik dan militer Rusia yang lebih senior, yang menyadari akan taktik menipu dan tidak menentu yang ditawarkan oleh Trump.

Pada titik ini, tampaknya sangat tidak mungkin bagi Putin untuk mengambil risiko berkolaborasi dengan Barat. Benar bahwa 20 tahun yang lalu, dia sangat ingin menjadi bagian dari inti kubu imperialis Barat, tetapi  ia telah dikhianati terlalu sering. Dan saat ini, suasana hati rakyat Rusia sangat patriotik dan anti-Amerika. Putin menyadari bahwa Trump akan digantikan dalam empat tahun dan tidak ingin membuat kesalahan strategis dengan bertaruh habis-habisan untuk menjadi anggota yang aman di G8.

Dalam dua tahun terakhir, kelompok Rusia pro-Eropa yang berjumlah sekitar 10% dari populasi Rusia, terpaksa bersembunyi. Mereka tetap menjadi ancaman di masa depan bagi kedaulatan Rusia, tetapi saat ini tidak memiliki kekuatan. Perlu dicatat bahwa Putin mengandalkan kekuatan Kristen sayap kanan, beberapa di antaranya berideologi fasis, yang memperumit situasi. Sebuah persatuan baru antara Kristen konservatif kulit putih yang membentang dari AS hingga Rusia tampaknya mustahil. Masa depan Rusia tidak dapat bergantung pada Eropa yang sedang mengalami kemunduran (yang membenci mereka) dan AS, yang secara historis meremehkan orang-orang Slavia.

Usulan Trump agar AS, Rusia, dan Cina mengurangi anggaran militer mereka hingga setengahnya adalah langkah sinis untuk mempertahankan keunggulan militer AS. AS sendiri menyumbang lebih dari 50% dari total pengeluaran militer dunia dan mengontrol 25% lainnya melalui negara-negara sekutunya seperti Jerman dan Jepang. Jika kita mempertimbangkan pengeluaran historis dan faktor per kapita, kelicikan tawaran Trump menjadi jelas. Dunia tidak boleh membiarkan AS mengambil peran sebagai pembawa perdamaian dunia dengan tawaran ini.

Ketegangan Timur Tengah dan Rencana Gaza Trump

Rencana “Riviera” Gaza yang diajukan Trump akan memicu gelombang perlawanan besar-besaran di wilayah tersebut. Meskipun terdapat gencatan senjata, tindakan agresif pasukan penjajah Israel masih terus berlanjut. Lebih dari 160 petugas medis di Gaza ditahan di penjara-penjara Israel, di tengah-tengah laporan penyiksaan yang terjadi.

Kita telah menyaksikan bahwa Arab Saudi secara terbuka terpaksa mundur sementara dari keinginan mereka untuk bergabung dengan Israel dan AS. Tujuan Saudi adalah untuk memanfaatkan AS, Israel, dan India dalam menghadapi Cina, dengan harapan menjadikan diri mereka sebagai kekuatan ekonomi utama di kawasan tersebut. Mereka membayangkan sebuah era kebangkitan bagi Timur Tengah. Rencana Gaza Trump memberikan pukulan telak pada rencana mereka. Saat ini, Saudi sedang mendiskusikan proposal  pembangunan kembali mereka sendiri yang tidak menyingkirkan semua orang Palestina. Namun, apakah mereka akan menyambut baik rencana ini masih belum diketahui.

Global Selatan dan NCWCA

Seperti sudah disebutkan di atas, kubu Trump ini sangat ideologis meskipun tidak bersatu dan koheren. Perjalanan Vance menunjukkan bahwa mereka akan memaksakan pandangan mereka ke panggung utama kebijakan luar negeri AS. Hal ini tentu akan mengguncang kohesi internal kubu imperialis. Tidak tertutup kemungkinan bahwa Trump dapat dengan mudah berselisih dengan anggota-anggota kunci timnya.

Negara keamanan nasional (the national security state) harus bekerja ekstra keras untuk mencegah kerusakan jangka panjang yang signifikan pada hubungan AS dengan sekutu-sekutunya dan menghindari erosi aturan teror selama 80 tahun oleh NATO. Dalam jangka pendek hingga menengah, agenda NCWCA akan diumumkan,  yang mencakup penolakan terhadap “keragaman/pluralisme”, dengan fokus pada negara-negara yang memiliki gerakan sayap kanan yang sedang berkembang.

Kebangkitan fundamentalisme sayap kanan di AS akan memicu kekuatan reaksioner di negara-negara Selatan. Kekuatan kelas atas di beberapa negara kunci di Dunia Selatan tidak memiliki kepentingan rakyat dalam rencana mereka dan akan dimanfaatkan oleh AS untuk menyerang semua proyek sosialis.

Tidak akan ada penolakan yang konsisten terhadap NCWCA di setiap negara. Di dalam AS, fokus internal gerakan MAGA bersifat nasionalis dan konservatif. Namun, di negara-negara kulit hitam dan muslim, elemen Kristen kulit putih menjadi bagian penting dari presentasi mereka. Saat ini, terdapat sekelompok pemimpin sayap kanan yang sedang berkembang di negara-negara Selatan, terutama di Amerika Latin, yang akan menyambutnya. Di negara-negara yang menentang NCWCA, situasinya dapat dengan cepat menjadi kompleks.

Sebagai contoh, di Afrika Selatan, sebagian kapital monopoli kulit putih yang dipimpin oleh DA telah beralih untuk membela ANC yang sekarang sangat lemah untuk menentang serangan bermotif rasial yang dilancarkan oleh Elon Musk terhadap pemerintah. Masyarakat secara umum bersatu untuk mempertahankan diri dari serangan tersebut, tetapi tidak untuk menolak hegemoni ideologi AS secara keseluruhan. Sebagian elite (kulit hitam dan putih) telah terikat pada Partai Demokrat. Sayangnya, tanpa pemahaman yang tepat mengenai kelas dan sejarah, penolakan terhadap NCWCA tidak akan meningkatkan kesadaran bahwa masalah sebenarnya adalah hegemoni imperialis itu sendiri.

Dengan demikian, NCWCA tidak akan merugikan AS sebanyak yang terlihat. Di wilayah seperti Afrika Barat, kita dapat melihat peningkatan kepercayaan diri rakyat untuk menegaskan kemerdekaan mereka.

Secara ideologis, Narendra Modi memiliki beberapa elemen dari ideologi sayap kanan. Ia akan senang melihat AS mengurangi kritik mereka terhadap pelanggaran hak-hak sipil di India. Modi berusaha memanfaatkan semangat religius dan fundamentalisme kanan AS untuk memperkuat proyek jangka panjangnya. Namun, ia akan menghadapi reaksi keras dari basis pemilihnya karena ia telah gagal memberikan manfaat yang nyata bagi mereka.

Oleh karena itu, tidak jelas sekarang seberapa jauh ia dapat memajukan kampanyenya, yang terkadang menggunakan kekerasan yang kejam terhadap kaum Muslim dan kasta-kasta “rendah” di India. Selain itu, dia tidak dapat mengabaikan dua fakta penting: ia masih membutuhkan pasokan energi Rusia yang murah dan tidak dapat membiarkan penurunan perdagangan dengan Cina.

Masa Depan Kekuatan Lunak AS dan Narasi “Hak Asasi Manusia”

Para pemimpin dari banyak negara non-kulit putih dan non-Kristen kemungkinan besar akan mengabaikan provokasi dan percaya bahwa kepentingan utama AS akan menang dalam jangka panjang. Beberapa di antaranya mungkin akan mengurangi ketertarikan mereka pada liberalisme AS akibat penggunaan konsep “keragaman dan kesetaraan” yang ambigu. Tidak jelas apakah hal ini akan mengurangi peran AS sebagai mercusuar kepemimpinan dalam isu-isu tersebut, yang berpotensi melemahkan kekuatan lunaknya (soft power).

Jika gerakan progresif di negara-negara Selatan dapat menjadi lebih terorganisir dan efektif, maka daya tarik narasi Barat yang menyesatkan tentang hak asasi manusia akan berkurang. Namun, analisis yang lebih mendalam terhadap respons global terkait genosida yang disiarkan di televisi di Gaza mengungkapkan kenyataan yang mengkhawatirkan: meskipun guncangan awalnya sangat besar, kekejaman tersebut telah dinormalisasi.

Pergeseran Potensial dalam Gerakan Separatis

Kaum progresif di seluruh dunia harus berhati-hati dalam membedakan antara hak-hak asasi individu dan diri dan penentuan nasib sendiri versus proyek-proyek yang dipengaruhi Barat yang merusak persatuan kelas pekerja. Sulit untuk menentukan  apakah kebangkitan NCWCA akan berdampak jangka panjang terhadap konsep “pluralitas” dan “separatisme”. Konsensus yang kuat untuk menyebarkan narasi hak asasi manusia yang palsu dari Barat kemungkinan akan segera menurun. Ke depan, AS akan lebih mengandalkan pendekatan yang lebih keras (hard power), sementara diplomasi halus akan lebih jarang terlihat.

Pertanyaan yang muncul adalah apakah kelompok “separatis” pro-Barat, yang mengandalkan narasi Human Rights Watch dan Amnesty International, akan kehilangan pengaruhnya? Contohnya adalah Sudan Selatan, sebagian wilayah Kurdi, dan Uighur. Dalam jangka pendek, kita telah melihat beberapa orang di kubu Trump mulai menjauh dari para separatis.

Darren Beattie, yang kini menjabat sebagai Wakil Menteri Luar Negeri untuk Diplomasi Publik dan Urusan Publik, menyatakan bahwa tindakan Cina bukanlah genosida, melainkan penolakan atas “supremasi Uighur.” Pada 20 Februari, Departemen Keuangan AS menjatuhkan sanksi kepada seorang menteri pemerintah Rwanda karena perannya dalam mendukung pemberontak M-23 di Republik Demokratik Kongo. Ini adalah pertama kalinya Rwanda menghadapi sanksi sejak  2012.

Negara-Negara Perbatasan AS

Kanada Barat juga memiliki gerakan nativis kulit putih yang reaksioner meskipun jauh lebih lemah dibandingkan gerakan serupa di AS. Kanada terlalu bergantung pada perdagangan AS sehingga sulit untuk melakukan perlawanan. Mereka kemungkinan akan bergerak ke kanan tetapi akan menunggu untuk melihat apa yang terjadi pasca-Trump. Pandangan liberal tentang “keberagaman” yang khas Barat kemungkinan akan mengalami penurunan, tetapi tidak akan hilang.

Trump terus-menerus mengolok-olok Justin Trudeau, menyebutnya sebagai gubernur, bukan perdana menteri dari sebuah negara berdaulat, dan baru-baru ini dengan mengatakan, “Pertemuan ini diselenggarakan oleh Gubernur Justin Trudeau dari Kanada, yang saat ini menjabat sebagai ketua G7.” Penghinaan Trudeau telah mendapat cibiran tersembunyi di seluruh dunia.

Negara perbatasan lain yang menghadapi tantangan besar adalah Meksiko. Negara ini juga tidak dapat bertahan secara ekonomi tanpa AS, namun di bawah kepemimpinan Amlo dan sekarang Claudia Sheinbaum Pardo, telah terjadi kemajuan yang signifikan dalam kemampuan Meksiko untuk memiliki, setidaknya, sebagian elemen kebijakan luar negeri yang berdaulat. Seberapa jauh kesenjangan ini akan melebar masih harus dilihat.

Beberapa Pertimbangan Domestik

Di dalam negeri, Trump tidak hanya melakukan kampanye untuk menghapus inisiatif Keberagaman, Kesetaraan, dan Inklusi (DEI) di pemerintahan dan militer, tetapi banyak perusahaan besar termasuk Google, Walmart, dan Accenture dengan senang hati mengikuti jejaknya. Namun, dimensi rasial di AS sangatlah kompleks. Ada sebagian kecil warga kulit hitam dan Latin kelas menengah ke bawah yang mengidentifikasi diri mereka dengan kelompok konservatif, Kristen, dan nasionalis dalam MAGA.

Memang telah ada kemajuan dalam usaha untuk mengembalikan lintasan 90 tahun hak-hak sipil di AS, yang dimulai pada 1935 dengan Undang-Undang Hubungan Perburuhan Nasional dan mencakup tonggak-tonggak penting seperti Undang-Undang Hak Sipil tahun 1964 dan Amandemen Pendidikan tahun 1972. Namun, sejauh ini, kemunduran ini tidak dirancang untuk secara eksplisit mengembalikan hukum Jim Crow yang terkenal di AS untuk menegakkan segregasi.

Secara internal, AS kemungkinan akan melanjutkan langkahnya untuk mengisolasi dan mengintimidasi warga Cina di dalam perbatasannya. Meskipun sulit untuk mengatakannya, tetapi tampaknya tidak mungkin AS akan dapat meyakinkan orang-orang Eropa untuk menjadi rasis secara internal terhadap penduduk Cina seperti yang terjadi di AS. Ideologi anti-imigran di Eropa lebih berfokus pada sikap anti-kulit hitam dan anti-muslim.


Simpulan

Kebohongan bahwa demokrasi AS layak untuk ditiru, dengan konstitusi yang memiliki sistem checks and balances, dan bahwa sistem pemilu Barat mencegah “otokrasi”, kini telah sepenuhnya terbongkar. Faktanya, AS tidak pernah menjadi negara demokrasi bagi sebagian besar kelas pekerjanya, dan jelas tidak bagi kelas-kelas populer di Dunia Selatan.

Konsentrasi kekuatan ekonomi dan politik yang menyejarah oleh kapital semakin terkonsolidasi seiring dengan kebangkitan industri dan miliarder yang terkait dengan teknologi komputasi. Industri ini dimulai dengan satu transistor pada 1947 dan kini telah berkembang ke bidang cloud computing, big data, internet of things (IoT), blockchain, kecerdasan buatan (AI), crypto, pesawat tak berawak, kawanan satelit low earth orbit (LEO), command, control, communications, computers, and intelligence (C4I), operasi militer, komputasi kuantum, dan bioteknologi.

Monopoli dan duopoli yang diciptakan oleh revolusi ini memengaruhi berbagai sektor, termasuk bisnis-ke-bisnis (sekitar departemen pertama), bisnis-ke-konsumen (sekitar departemen kedua), media dan ide (“hegemoni”), serta militer dan intelijen (negara). Ini adalah pertama kalinya dalam sejarah dimana teknologi telah memainkan peran yang begitu besar dalam basis dan suprastruktur masyarakat secara bersamaan.

Para libertarian teknologi sekarang memiliki tangan mereka secara langsung pada tuas utama fungsi militer dan intelijen negara AS. Sejak Desember 1991, dengan kekalahan Uni Soviet, telah terjadi disintegrasi berkelanjutan dalam kapasitas intelektual publik Barat, baik yang liberal maupun konservatif. Mereka telah menjadi semakin delusional dan ahistoris.

Kubu Trump tidak mengikuti praktik “para jenderal yang bertempur dalam perang terakhir”. Mereka telah mengadopsi strategi baru yang sesuai dengan kondisi- kondisi baru. Negara-negara kiri dan progresif tidak dapat terus bertempur dalam pertempuran gaya lama melawan sayap liberal imperialisme yang munafik, yang dilambangkan oleh Partai Demokrat dan alat-alat “hak asasi manusia”-nya. Medan baru sedang kita hadapi.

Dunia menghadapi lingkungan politik dan militer yang semakin berbahaya.

Sebuah upaya bersama di seluruh dunia untuk membangun kutub oposisi harus terbentuk secepat mungkin. Tapi kita harus menyadari bahwa inisiatif ini tidak akan muncul dari dalam kubu imperialis. Meskipun secara objektif Dunia Selatan dapat menjadi lahan subur untuk pertumbuhan kutub baru ini, namun sebagian dari elitenya tidak berkomitmen pada proyek-proyek nasional patriotik yang tulus karena kekayaan ekonomi mereka begitu tergantung dan terhubung secara erat dengan Barat.

Pada titik ini, kita membutuhkan strategi yang sulit tapi juga kreatif untuk melibatkan semua pihak yang mau mengakui bahaya ekstrem dari kemunduran imperialisme AS. Negara-negara sosialis harus mulai memikul tanggung jawab untuk membangun moralitas bersama dalam melawan kemerosotan Barat.


Deborah Veneziale adalah jurnalis dan editor yang telah bekerja di sektor rantai pasokan global selama 35 tahun. Ia juga berkolaborasi sebagai peneliti dengan Tricontinental: Institute for Social Research. Saat ini ia tinggal di Venesia, Italia. Tulisan ini awalnya diterbitkan dalam bahasa Cina di Guancha pada 27 Februari; dimuat kembali dalam bahasa Inggris di MROnline, kemudian diterjemahkan dan diterbitkan ulang di sini dalam bahasa Indonesia untuk tujuan pendidikan.

]]>