tambang – IndoPROGRESS https://indoprogress.com Media Pemikiran Progresif Mon, 23 Jun 2025 21:28:13 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.4.3 https://indoprogress.com/wp-content/uploads/2021/08/cropped-logo-ip-favicon-32x32.png tambang – IndoPROGRESS https://indoprogress.com 32 32 Melawan Tambang Bukan Ekstremisme apalagi Wahabi, tapi Memulihkan Oikeios https://indoprogress.com/2025/06/melawan-tambang-bukan-ekstremisme-apalagi-wahabi-tapi-memulihkan-oikeios/ Mon, 23 Jun 2025 21:28:13 +0000 https://indoprogress.com/?p=239032

Ilustrasi: Wikimedia Commons


“Capitalism in the Web of Life takes flight by naming this relation of life-making: the oikeios. From this relation — as much methodological orientation as ontological claim — we can see manifold species - environment configurations emerge, evolve, and ultimately become something else entirely. . . . [T]he oikeios is a relation that includes humans, and one through which human organization evolves, adapts, and transforms. Human organization is at once product and producer of the oikeios: it is the shifting transfiguration of this relation that merits our attention. In this spirit I understand “capital” “capitalism” as producers and products of the oikeios.” 

 Jason W. Moore, Capitalism in the Web of Life, hlm 8

Tuduhan Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Ulil Abshar Abdalla bahwa kritik terhadap industri ekstraktif sama dengan “ekstremisme” bukan hanya keliru secara politis, tetapi juga mengabaikan relasi dialektis antara manusia dan alam—yang terurai dalam konsep oikeios dari Jason W. Moore, profesor di Universitas Binghamton yang juga koordinator World-Ecology Research Collective. Ulil juga menyatakan bahwa pandangan penolak tambang   sederajat dengan “wahabi” , dalam arti menolak segala yang baru. Dalam “kritiknya”, Ulil menekankan ada kemaslahatan yang didatangkan pertambangan.

Dalam kerangka oikeios, industri ekstraktif tidak dilihat sebagai kebijakan ekonomi, melainkan konfigurasi historis-spasial yang menghancurkan jaringan kehidupan (web of life). Selain membahas industri ekstraktif sebagai gangguan terhadap oikeios, artikel ini juga akan membicarakan tentang kritik ekologis sebagai upaya memulihkan relasi kehidupan, serta kelas penguasa sebagai parasit dalam metabolisme alam-manusia.


Industri Ekstraktif: Penghancuran Oikeios

Moore mendefinisikan oikeios sebagai relasi organik tempat manusia dan alam saling membentuk. Kerangka oikeios mencoba menggugat pemahaman relasi antara “yang-sosial” dan “yang-natural” selama ini. Ia menolak dualisme antara alam dan masyarakat. Moore, pada lembar-lembar Capitalism in the Web of Life, menggugat perspektif yang melihat kehadiran manusia—dan organisasi sosialnya (masyarakat)—sebagai suatu yang bukan “bagian dari alam”, entah sebab dipandang telah jauh melampauinya dengan perkembangan peradaban atau menganggap memang terlepas sejak semula. 

Dalam pendekatan ini, kehidupan sosial, perkembangan, dan evolusi masyarakat secara historis adalah satu dalam mata-rantai metabolisme lingkungan.  Tidak hanya masyarakat manusia “ditentukan” atau “bergantung” pada kondisi material sekitarnya, dalam perkembangannya, mereka juga turut serta mengubah/mentransformasi kehadiran total lingkungan. 

Industri ekstraktif (tambang, sawit, batu bara) memutus relasi ini dengan: pertama, mengubah alam menjadi “commodity frontier”: hutan, tanah, dan air direduksi menjadi input murah untuk akumulasi kapital alih-alih tempat komunitas hidup dan berkembang; kedua, memisahkan kerja-upahan dari ekologi: buruh tambang dan petani sawit dikondisikan untuk melihat alam sebagai “sumber daya”, bukan bagian dari reproduksi kehidupan sehari-hari. Kita melihat bagaimana industri ekstraktif merusak sekaligus mengatur ulang oikeios untuk kepentingan mereka. Oleh para ahli lingkungan kritis, ini kerap disebut dengan keretakan metabolik (metabolic rift)

Maka, ketika Ulil menyebut kritik terhadap situasi perusakan alam sebagai “ekstremisme”, ia tengah mengabaikan fakta bahwa industri ekstraktif adalah bentuk ekstrem dari perusakan oikeios.


Kritik Ekologis: Praksis Memulihkan Oikeios 

Perlawanan masyarakat adat, petani, dan buruh terhadap industri ekstraktif bukanlah “ekstremisme”, melainkan upaya memulihkan relasi oikeios yang dihancurkan kapitalisme. Kita bisa melihat beberapa contoh. Gerakan Warga Maba Sangadji di Maluku Utara yang melawan pertambangan di sungai tempat mereka menggantungkan hidup, misalnya. Ini bukan hanya soal tanah, tetapi mempertahankan mata rantai ekologi yang menghidupi masyarakat adat (serta hutannya) dan pertanian mereka. Kemudian ada aksi buruh tambang di Morowali yang menuntut keselamatan kerja  akibat beberapa insiden kecelakaan setahun ke belakang . Ini  adalah perlawanan terhadap logika ekstraksi yang mengorbankan tubuh manusia dan lingkungan. Kita bisa mengambil contoh perlawanan yang lebih lama dan panjang, misalnya masyarakat di sekitar pertambangan emas Freeport. 

Penolakan dan perlawanan langsung yang dilakukan oleh rakyat menunjukkan bahwa pertambangan bukan sekadar soal “keindahan yang hilang” atau “keaslian yang ternodai”. Ia adalah melawan arena penciptaan nilai tambah demi kelangsungan sirkuit akumulasi kapital. Rakyat menolak sebab basis kehidupan mereka terganggu .

Orang-orang seperti Ulil mudah saja mengatakan bahwa mereka yang menolak tambang berpandangan kuno—atau menolak kehadiran “sesuatu yang tidak dipahami” . Ada pula yang menganggap penolakan itu muncul dari ketidaktahuan terhadap sesuatu yang dianggap “lebih maju” atau “jauh melampaui pengetahuan mereka”. Akan tetapi, anggapan tersebut mengabaikan kenyataan bahwa masyarakat lokal punya pengetahuan ekologis dan relasi historis dengan lingkungan hidup mereka sendiri. Sebagai bagian dari oikeios, tatanan sosiokultural mereka telah lama terjalin dengan lingkungan sekitar, jauh sebelum dirombak aktivitas tambang  —juga  kemunculan permukiman urban (hingga menjadi kota-kota besar) . 

Perubahan memang suatu keniscayaan, tetapi peretakan oikeios yang disruptif dan tiba-tiba yang mengakibatkan ketidaksiapan dan ketidakmampuan transformasi sosial hanya mengakibatkan masyarakat adat terpinggirkan tanpa kepastian arah kehidupan sosial-ekologis mereka ke depannya — memunculkan pandangan di antara mereka untuk mencerabut diri dan mencari jalan keluar masing-masing.

Dalam bahasa Moore, gerakan-gerakan ini adalah “moments of reparation”—upaya mengembalikan keseimbangan metabolisme alam-manusia yang dirusak kapital.


Kelas Penguasa: Parasit dalam Jaringan Kehidupan 

Dalam kerangka oikeios, Ulil termasuk dalam kelompok yang oleh Moore sebut sebagai penganut “human exemptionalism”, yaitu menganggap manusia (terutama mereka sendiri) terpisah dari alam. 

Tapi itu hanya secuil dari posisi Ulil. Dukungan terhadap industri ekstraktif tidak bisa dilepaskan dari fakta bahwa pemerintah mempersiapkan berbagai konsesi wilayah pertambangan secara struktural (legal) bagi ormas-ormas keagamaan. Ini belum termasuk aktor-aktor yang memberikan dana secara langsung ke pesantren. Dalam konteks oikeios, kelas penguasa berperan penting dalam mengorganisasi ulang alam demi tujuan kapitalisme. Mereka adalah salah satu arsitek dari rusaknya oikeios. Di sini, kritik terhadap industri ekstraktif mengemuka sebagai jubah bagi kritik terhadap parasitisme kelas penguasa yang menggerogoti oikeios untuk kepentingan sempit.

Dalam konteks yang lebih luas, para pemuka agama yang mendukung eksploitasi juga membuktikan bahwa fungsi agama itu sendiri salah satunya memang sebagai pengontrol kesadaran massa. Dalam perkembangan industri ekstraktif di Indonesia, represi melalui aparatur kekerasan adalah hal yang terus berulang. Namun represi ini sering kali tidak memicu simpati yang luas. Salah satu penyebabnya adalah keberhasilan kekuasaan dalam mengonsolidasikan kekuatan-kekuatan sosial—termasuk pemuka agama itu tadi—yang mampu membentuk opini umum. Opini ini kemudian cenderung membiarkan dan bahkan membenarkan model ekstraktif yang berlangsung, seolah itu hal wajar demi “pembangunan”. 

Pengonsolidasian “tokoh-tokoh masyarakat” untuk mendukung rezim industri ekstraktif telah menjadi semacam keharusan dalam sejarah bangsa ini. Mereka, yang dalam diskursus ilmu sosial disebut “elite lokal”, merupakan elemen penting dalam menopang kekuasaan. 

Hal ini tak terlepas dari kenyataan bahwa kita belum sepenuhnya bebas dari warisan kolonial yang feodal, yang memandang hormat mereka yang dianggap punya status sosial lebih tinggi dari orang kebanyakan. Banyak elite memegang pengaruh sosial-politik yang kuat dengan basis berupa “bawahan-bawahan” atau massa yang tunduk. Ini umum terjadi di masyarakat yang tingkat kritisnya masih rendah— efek dari sistem pendidikan yang gagal meningkatkan kesadaran umum.

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.


Kritik adalah Titik Balik Oikeios

Tuduhan “ekstremisme” yang dilontarkan oleh Ulil terhadap gerakan anti-tambang bukan hanya keliru secara konseptual, tetapi juga merupakan bentuk kekerasan epistemik yang berupaya meminggirkan nalar dan pengalaman ekologis-politik rakyat. Ia mencerminkan posisi kelas penguasa yang menjelma sebagai perpanjangan tangan dari logika ekstraktif kapitalisme.

Dengan bingkai oikeios, kita memahami bahwa kehidupan manusia tidak bisa dipisahkan dari jaringan kehidupan alam. Kapitalisme menghancurkan jaringan ini dengan cara memisahkan kerja dari ekologi, dan menjadikan alam sebagai ladang akumulasi nilai yang tak berkesudahan. Industri ekstraktif adalah ekspresi paling brutal dari keretakan ini.

Perlawanan-perlawanan muncul di tengah kehancuran yang sedang terjadi, dari warga Maba Sangadji hingga buruh Morowali, dari masyarakat adat pedalaman Halmahera hingga berbagai komunitas yang berjuang mempertahankan tanah, laut, dan hutan mereka. Gerakan-gerakan ini bukan sekadar bentuk “penolakan”, tetapi praktik politik kehidupan. Mereka adalah ekspresi praksis ekologis yang bertujuan memulihkan metabolisme sosial-alamiah yang telah diretas oleh kapitalisme. Mereka adalah “moments of reparation” yang lahir dari tubuh dan pengalaman konkret.

Perlu diingat pula bahwa kerusakan ekologis di Indonesia berkelindan dengan struktur sosial-politik warisan kolonial dan Orde Baru. Ia melanggengkan dominasi elite lokal dan pemuka agama dalam menjaga keberlanjutan proyek ekstraktif. Selama formasi ini tak diganggu, rakyat akan terus menjadi korban; dan relasi oikeios akan terus dihancurkan demi kepentingan segelintir.

Oleh karena itu, tugas kita bukan hanya menyuarakan kritik, tetapi membangun basis politik alternatif—politik yang berpijak pada kehidupan, bukan keuntungan. Politik yang mengakui dan melanjutkan nalar ekologis rakyat, bukan mengutuknya sebagai “ekstrem”. Dalam arti inilah kritik ekologis bukan sekadar argumen, tapi jalan untuk menyelamatkan web of life yang tersisa.

Kapitalisme tidak sekadar “mengalami” krisis ekologis—ia adalah krisis itu sendiri, kata Moore. Maka, merawat dan memulihkan oikeios bukan hanya tindakan ekologis, tapi juga revolusioner. Sebab di sanalah hidup bisa dimulai kembali—bersama rakyat, bersama alam, dan bersama dunia yang layak huni.


Miftahulrahman Bahas, mahasiswa Universitas Nasional Jakarta

]]>
Konsesi Tambang: Usaha Kekuasaan Menjinakkan Ormas Keagamaan https://indoprogress.com/2024/08/konsesi-tambang-usaha-kekuasaan-menjinakkan-ormas-keagamaan/ Wed, 28 Aug 2024 19:46:21 +0000 https://indoprogress.com/?p=238387

Foto: Jokowi di acara Muslimat NU, 27 Januari 2019/setkab.go.id


PRESIDEN Joko Widodo meneken peraturan pemerintah yang memungkinkan organisasi kemasyarakatan keagamaan untuk memegang konsesi tambang pada 30 Mei lalu. Dia pernah menjanjikan hal serupa kepada generasi muda Nahdlatul Ulama (NU) pada 2021, dengan dalih untuk menggerakkan roda ekonomi secara inklusif dan adil. Menteri Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia adalah figur utama yang mendorong agar ini terealisasi, yang akhirnya benar-benar terwujud melalui Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2024. Beberapa hari lalu Pengurus Besar NU (PBNU) resmi mendapatkan izin usaha tambang batu bara di Kalimantan Timur yang luasnya mencapai 26 ribu hektare

Pemberian konsesi tambang ini, sebagaimana kebijakan-kebijakan lainnya, sebaiknya tidak dilihat sebagai kebajikan moral dari negara. Sekalipun secara ideal merupakan usaha umat manusia untuk mewujudkan nilai-nilai yang luhur sebagaimana yang diteoretisasikan oleh Hobbes, Rousseau, hingga Hegel, namun pada praktiknya kekuasaan tidaklah selalu semulia itu. Pemberian konsesi ini mesti diletakkan pada konteks dinamika kekuasaan yang dilahirkan oleh interrelasi kompleks antara penguasa dengan kelompok-kelompok kepentingan yang sama-sama merupakan entitas politik dalam struktur kekuasaan. 

Dalam konteks ini, tidaklah keliru untuk mengatakan bahwa pemberian konsesi merupakan akomodasi dari pemerintah untuk “menjinakkan” ormas keagamaan, yang dipandang sebagai entitas politik cukup kuat. Ormas keagamaan sering kali cukup signifikan dalam dinamika sosial dan politik, yang merentang dari mulai mobilisasi massa, pembentukan opini publik, menentukan siapa kawan dan lawan, hingga memberikan dukungan kepada elite. Penjinakan merupakan usaha penguasa untuk meredam potensi kemunculan oposisi. 

Dengan melakukan penjinakan, penguasa dapat menyertakan ormas keagamaan yang menerima konsesi dalam relasi patron–klien yang sangat merusak.


Agama sebagai Instrumen Pembebasan

Dalam hubungannya dengan kekuasaan, agama tidak selalu tampil dalam wajah yang tunggal. Pada satu saat agama bisa menjadi alat untuk melegitimasi kekuasaan dan kelas penguasa, tapi pada saat lain bisa muncul sebagai instrumen pembebasan dari kelas-kelas yang tertindas. 

Fungsi agama sebagai alat legitimasi kekuasaan muncul misalnya dalam teori Louis Althusser, seorang pemikir marxisme struktural. Dia berargumen bahwa, sebagaimana pendidikan dan media, agama merupakan bagian dari aparatus ideologis yang memiliki fungsi melayani kepentingan kelas penguasa. Di samping itu ada fungsi pelayanan dengan cara kekerasan oleh aparatus represif.

Sementara wajah pembebasan dari agama tampak pada analisis yang dikemukakan oleh Antonio Gramsci, marxis asal Italia. Sekalipun analisis gramscian juga mengakui bahwa hegemoni bisa tegak dan bertahan melalui usaha-usaha ideologis yang disetujui oleh subjek kekuasaan, ia memandang bahwa agama memiliki potensi liberasi sebagai kontra-hegemoni (counter-hegemony). Dalam analisis ini, alih-alih digunakan untuk mempertahankan kekuasaan yang menindas, agama bisa dipakai sebagai alat perlawanan. Agama, dalam analisis gramscian, memiliki potensi untuk mengisi apa yang disebut sebagai war of position yang merupakan posisi perjuangan ideologis untuk melawan ketidakadilan struktural hingga secara terbuka menantang, menggeser, dan akhirnya menjungkirbalikkan hegemoni yang berkuasa. 

Namun, tentu saja, potensi dalam analisis gramscian ini hanya bisa muncul ketika pimpinan atau figur keagamaan memiliki kesadaran atas kemungkinan pembebasan yang dimiliki oleh agama tersebut.

Satu contoh penggunaan agama sebagai kontra-hegemoni adalah Ordo Jesuit di Amerika Latin. Ordo ini pertama kali didirikan sekitar abad ke-16. Awalnya sebagai bagian dari ortodoksi teologi Katolik, namun mengalami pergeseran revolusioner pada abad ke-20. 

Ordo Jesuit hadir di Amerika Latin berbarengan dengan praktik kolonialisme Portugis dan Spanyol di wilayah itu. Walaupun relasi dengan kolonialisme di masa silam cukup kompleks, namun peran utama dari Ordo Jesuit adalah mengkristenkan penduduk asli Amerika Latin dengan mendirikan sekolah-sekolah dan layanan gereja untuk kepentingan kolonial. Tidak heran jika beberapa sarjana menyebut aktivitas Jesuit di Amerika Latin sebagai “benign colonialism” atau ‘kolonialisme yang ramah’. Namun, setelah berabad-abad menyaksikan realitas masyarakat yang tertindas, muncul sebagian elemen dari Ordo Jesuit dengan kesadaran revolusioner. Mereka melihat bahwa kemiskinan dan keterbelakangan dari umatnya adalah akibat dari struktur ekonomi dan politik yang menindas. Karena itu kemiskinan struktural serta penindasan politik yang menimpa masyarakat Amerika Latin tidak cukup dihadapi melalui dakwah dan konversi agama, tetapi harus dibarengi dengan perubahan struktural. 

Ordo Jesuit kemudian sampai pada kesimpulan bahwa gereja harus berpihak pada kelompok tertindas alih-alih beraliansi atau menjadi kolaborator kekuasaan. Nantinya, narasi-narasi perlawanan ini dikenal sebagai Teologi Pembebasan.

Tak hanya Kristen, Islam juga memiliki doktrin-doktrin yang bisa menjadi landasan bagi teologi pembebasan: berfokus pada aspek-aspek keadilan sosial dan keberpihakan kepada kaum tertindas. Beberapa konsep seperti al ‘adl (keadilan), ketakwaan, serta redistribusi kekayaan (dalam bentuk amalan zakat) hingga jihad dapat dimaknai sebagai doktrin untuk membebaskan umat manusia dari ketidakadilan dan kezaliman struktural. 

Dalam teologi pembebasan Islam, beberapa pemikir seperti Asghar Ali Engineer dan Ali Shariati juga menantang perspektif doktrinal dari aspek-aspek keislaman yang cenderung diinterpretasikan secara apatis dalam menghadapi isu-isu seperti penindasan, kemiskinan, dan ketidakadilan. Dalam bukunya Islam and Liberation Theology: Essays on Liberative Elements in Islam, Asghar Ali menyoroti bahwa nilai-nilai qur’aniyyah yang menjadi napas agama Islam sangat menjunjung tinggi kemuliaan manusia—maksudnya seluruh manusia, karenanya menentang segala bentuk relasi eksploitatif dan tirani. Dalam buku itu, yang banyak mengambil inspirasi dari tulisan-tulisan inisiator Teologi Pembebasan Gustavo Gutierrez, Asghar Ali menyatakan bahwa perjuangan menghadapi ketidakadilan sosial bukanlah sesuatu yang baru, namun sejak awal merupakan bagian integral yang menjadi napas dalam ajaran-ajaran Islam yang mengatur hubungan antara manusia dengan Tuhan, manusia dengan manusia, serta manusia dengan alam. 

Bagi Asghar Ali, teoretisasi ulang Islam sebagai teologi pembebasan diperlukan karena masih banyak interpretasi konvensional pelayan dominasi status quo yang menindas, yang dengan sendirinya mengkhianati semangat revolusioner milik Rasulullah saat mendakwahkan Islam di realitas sosial yang jahiliah.

Lewat Islamology; The Theoretical Foundations, Ali Shariati, intelektual revolusioner Iran, juga memberikan sumbangsih yang cukup penting dalam teoretisasi Islam sebagai teologi pembebasan. Menurut Shariati, Islam memiliki peran dan fungsi ideologis—karenanya ia menggunakan terma “islamologi” dalam tulisannya. Menurutnya Islam adalah ideologi pembebasan yang memiliki fungsi melawan kuasa imperialisme, kolonialisme, atau kekuasaan menindas apa pun. Bisa dikatakan bahwa maqashidul syari’at dari Islam memiliki peran dan fungsi untuk mengikis dan melawan habis ketidakadilan dalam berbagai lini. 

Oleh karena itu pula Shariati memandang bahwa pemahaman yang benar akan membuat seorang muslim menempatkan keadilan sebagai pusat orientasi keislamannya. Seorang muslim yang baik, karenanya, akan menuntut usaha dan perubahan radikal untuk menumbangkan struktur penindas dan tidak adil sebab itu adalah tanggung jawab moral serta cita-cita syariat yang dibebankan kepadanya melalui risalah Islam.

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.


Menelaah Fungsi Liberasi dari Ormas Keagamaan

Ormas keagamaan di Indonesia umumnya memiliki basis massa yang relatif besar, tradisi yang mengakar, lembaga dan tradisi pendidikan yang distingtif, serta daya tawar yang kuat. Hal ini sebenarnya membuat mereka memiliki potensi besar untuk menjalankan teologi pembebasan. Ormas keagamaan dapat menempatkan diri pada posisi strategis untuk melayani kepentingan umat, baik dalam perjuangan melawan penindasan secara umum maupun sebagai kontra-hegemoni dari struktur penindasan itu sendiri. Terlebih, realitas sosial yang kita hadapi saat ini memberikan landasan untuk peran liberatif itu: kekuasaan ekonomi dan politik yang menindas, tidak adil, dan diskriminatif. 

Sayangnya potensi atas peran dan fungsi liberatif itu gagal diemban, sering kali dirusak oleh visi dan ambisi politik pragmatis dan jangka pendek. Alih-alih menjadi alat perjuangan, ia justru melebur dengan struktur kekuasaan itu sendiri. 

Inilah yang kita saksikan dari keputusan PBNU yang menerima konsesi tambang dari pemerintah. Keputusan ini jelas berbanding terbalik dengan klaim mereka yang mencitrakan diri sebagai pembela kaum tertindas (mustad’afin) sebagaimana yang telah dijalani dengan hikmat oleh mendiang Gus Dur. Penerimaan atas konsesi tambang ini memberikan tanda pada kita bahwa kerentanan moralitas sudah menggerogoti tubuh NU. Sikap kompromistis terhadap kekuasaan ini telah menjadi sebuah sikap yang memalukan, dan menunjukkan bahwa fungsi teologi pembebasan tidak mendapatkan tempat sama sekali di tubuh PBNU. Yang ada hanyalah ketundukan.

Hal serupa kita temukan di Muhammadiyah, bahkan lebih memalukan lagi. Ketika wacana ini pertama kali muncul hingga disahkan dalam bentuk peraturan pemerintah, mereka awalnya mengambil sikap kritis bahkan cenderung oposisi—sebuah sikap yang mengundang puji dan kagum dari banyak orang. Namun tulisan Ketum PP Muhammadiyah Haedar Nashir yang berjudul Pengaruh Ideologi Kiri LSM tampaknya menjadi preteks bagi rasionalisasi penerimaan konsesi. Sekalipun Nashir tidak terlalu fokus pada konsesi tambang, namun nuansa pragmatisme yang diadvokasi dan dibangun dalam tulisan tersebut tidak hanya ironis namun juga memalukan. Pelabelan LSM sebagai entitas yang terjangkiti apa yang ia sebut sebagai “ideologi radikal kiri” tampaknya berusaha untuk menyodorkan pandangan bahwa perlawanan dan usaha-usaha untuk melakukan perubahan struktural (yang karenanya pasti radikal) adalah sesuatu yang harus dijauhkan dari Muhammadiyah, atas alasan: “moderat dan menjadikan Islam sebagai pandangan hidup utama untuk menebar rahmatan lil ‘alamin…. Muhammadiyah yang memiliki kepribadian khusus dengan paham Islam moderat-berkemajuan.

Konklusi dari tulisan yang berisi miskonsepsi mengenai gagasan-gagasan radikal kiri (bahkan saya berani mengatakan tidak hanya miskonsepsi, namun disengaja, diskonsepsi: Nashir berusaha mengacak-acak pengertian tentang radikal kiri, dijabarkan dengan cara yang salah, asing, dan picik) tersebut seakan memberikan pandangan bahwa cita-cita perubahan, apalagi yang radikal, bertentangan dengan semangat moderasi dan kemajuan. Kesimpulan tersebut juga memberikan pandangan pada kita dalam memahami bagaimana Muhammadiyah (baca: Haedar Nashir) menginterpretasikan narasi rahmatan lil ‘alamin dengan penerimaan terhadap status quo dan ketundukan pada prinsip-prinsip pragmatis.

Baik PBNU dan PP Muhammadiyah tampaknya telah gagal memahami bahwa konsesi tambang adalah usaha penjinakan potensi transformatif–membebaskan dari agama yang mereka representasikan. PBNU dan PP Muhammadiyah, serta ormas-ormas keagamaan lain yang mungkin akan mengikuti jejak mereka, tampaknya telah menegasikan potensi agama sebagai penegak keadilan sosial. Alih-alih bersikap kritis dan mengambil posisi oposisi, mereka justru berkompromi dengan penguasa untuk mencapai kepentingan ekonomi dan politik jangka pendek yang pragmatis, tanpa ada kesadaran mengenai kelompok tertindas dan dampak merusak dari tambang. Eksploitasi alam, yang sebenarnya bukan narasi asing dalam tubuh NU dan Muhammadiyah, seakan dipinggirkan demi kepentingan uang. 

Mungkin ada benarnya pernyataan Noam Chomsky, salah satu intelektual paling penting di masa ini, yang berkata: “Ketika dihadapkan pada kepentingan ekonomi, maka permasalahan lingkungan akan selalu kalah.”


Bambang Putra Ermansyah, pegiat filsafat yang menjadikan tasawuf dan silat sebagai instrumen untuk melawan hasrat-hasrat animalistiknya. Kolumnis tetap Oiketai.com. Saat ini tengah menjalani studi magister Hubungan Internasional  di UNPAD sekaligus fast track program doktoral.

]]>
Gurita Tambang Pasir “Ilegal” di Klaten: Bukan Sekadar Urusan Bertahan Hidup https://indoprogress.com/2023/09/gurita-tambang-pasir-ilegal/ Sun, 10 Sep 2023 23:52:48 +0000 https://indoprogress.com/?p=237683

Foto: ANTARA FOTO/Aloysius Jarot Nugroho/foc


PASIR pada dasarnya adalah sumber daya geologi, yakni benda yang melalui proses sosial meliputi perubahan nilai, kebutuhan, dan kapasitas sehingga mengalami perubahan dari sekadar bahan alam menjadi bahan konsumsi. Karakteristik materialnya, yakni tersebar di dekat permukaan atau dekat perairan, memudahkannya ditemukan dan dieksploitasi (John, 2021). 

Karakteristik tersebut membuat pasar eksploitasi pasir sulit dikendalikan oleh otoritas, apalagi di negara-negara dengan tata kelola lemah dan struktur elite yang kleptokratis. Dampak yang muncul adalah penambangan pasir sering kali terjadi secara sporadis. Faktor lain seperti permintaan yang tinggi untuk konstruksi juga menyebabkan eksploitasi pasir semakin sulit dikendalikan. Maka kemudian muncullah kategorisasi penambangan yang “legal” dan “ilegal”. 

Pandangan biner yang mengategorikan penambangan “legal” dan “ilegal” itu sebenarnya membingungkan sebab tiada batas yang tegas antara aktivitas dan pelaku yang “melanggar hukum” dan yang tidak. Masalah muncul kala hukum tumpang tindih, membuka celah bagi eksploitasi pasir atau bahkan regulasi menjadi jalan bagi ekspansi pertambangan. Hal ini menjadi semakin kompleks kala dihadapkan dengan ketersediaan lapangan kerja, struktur pasar pasir, dan rezim agraria yang bekerja di dalamnya (Salle, 2022).


Yang Terjadi di Klaten

Pemanfaatan regulasi tertentu untuk mengekspansi tambang pasir misalnya terjadi di Kabupaten Klaten, Jawa Tengah.

Studi yang dilakukan oleh Syaifulloh (2021) menunjukkan bahwa Perpres 70/2014 menetapkan salah satu kecamatan di Klaten, Kemalang, sebagai zona lindung, hortikultura, dan perkebunan–bukan penambangan. Sejak 2019, pemerintah Klaten sebenarnya tak lagi mengeluarkan izin penambangan dan beralih pada pemberian izin penataan perkebunan terutama lahan bekas sisa penambangan. Latar belakang keluarnya izin penataan perkebunan adalah untuk mengatasi lahan bekas tambang yang tak direklamasi. Di luar itu, masih ada tujuh penambang yang masih memiliki izin di Klaten.

Pada akhir 2019, kepala desa di Kemalang merekomendasikan 40 izin penataan perkebunan. Izin penataan perkebunan itu justru digunakan untuk menambang pasir di lereng Gunung Merapi. Mereka yang mendapatkan izin penataan perkebunan hanya fokus mengeluarkan material berupa pasir dan batuan, alih-alih mengupayakan tindak lanjut untuk aktivitas ekonomi perkebunan. Dampak yang muncul adalah lahan ditinggalkan begitu saja setelah pasir dikeruk. Aktivitas perkebunan tidak dijalankan.

Izin penataan perkebunan yang murah dan pengurusan izin penambangan yang harus sampai di Kementerian ESDM membuat penambang pasir di Klaten mengambil jalan pintas (Syaifulloh, 2021) seperti ini. Pemodal kemudian akan pindah lokasi dan mengurus izin penataan perkebunan baru.

Selain itu ada juga pelanggaran lain. Misalnya pengambilan material melebihi batas waktu, alat berat yang digunakan terlalu banyak, galian terlalu dalam, mengeruk tebing, dan jumlah material yang boleh diambil lebih banyak dari yang seharusnya.

Berlakunya UU 3/2020 sebagai regulasi minerba baru, yang menarik kewenangan pemerintah daerah dalam urusan pertambangan termasuk pasir ke pemerintah pusat, semakin menyulitkan adanya pengaturan di lapangan (Syaifulloh, 2020). Penarikan kewenangan menyebabkan penindakan terhadap praktik penambangan hanya bisa dilakukan oleh kepolisian, yakni Polres Klaten, dengan fokus pada penambangan yang belum memiliki izin. Selama Januari-November 2022, Polres Klaten berhasil mengungkap enam kasus penambangan yang belum memiliki “izin” dari Kementerian ESDM. 

Salah satu pelaku yang ditangkap pada periode Januari-November 2022 enggan dikatakan “melanggar hukum” dengan dalih sudah memproses perizinan, hanya saja belum melengkapi perihal pengelolaan lingkungannya dan upaya pemantauan lingkungan. Penambang menyangka dapat memulai penambangan apabila sudah memproses IUP (Izin Usaha Pertambangan) melalui Online Single Submission (OSS), padahal tidak. Perizinan belum selesai.  Pemda Klaten menyampaikan bahwa sampai 2021 terdapat 106 pengajuan izin penambangan melalui OSS, sedangkan penambang resmi hanya berjumlah tujuh. 

Penggunaan OSS di sisi lain juga menyulitkan pemerintah desa dalam melakukan pengawasan, koordinasi, apalagi mendapatkan kontribusi ekonomi dari penambangan pasir di daerahnya. Masalah semakin rumit akibat sejak berlakunya UU 3/2020, perizinan harus ke pusat, bukan melalui OSS.

Modus terbaru ditemukan Polres Klaten pada penangkapan tanggal 8 Juni 2023 adalah pelaku berdalih melakukan reklamasi lahan, tetapi justru menambang pasir curah.

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.


Regulasi yang Kacau

Sebagian masyarakat bergantung pada nilai guna pasir untuk penghidupan mereka. Mereka tak mengambil pasir karena yang berada di tempat mereka saja bisa mencukupi kebutuhan seperti digunakan dalam bertani. Ada juga yang melihat keuntungan dari nilai tukar pasir. Pasir diambil untuk dijadikan komoditas. Hal tersebut yang menyebabkan penambangan pasir sering kali membawa konsekuensi pada terjadinya gesekan kepentingan di antara masyarakat dan berbagai pihak (John, 2021). 

Relasi masyarakat di wilayah penambangan pasir sering kali timpang, antara mereka yang bergantung pada nilai guna dengan mereka yang ingin menikmati nilai tukar pasir melalui penambangan. Mereka yang berupaya memanfaatkan nilai tukar pasir tak jarang menggunakan intimidasi dan berbagai bentuk kekerasan demi mempertahankan penambangan. Penambangan pasir apalagi menjadi “bantalan kondisi krisis” dengan menerima limpahan angkatan kerja yang terlempar dari sumber penghidupan sebelumnya (John, 2021).

Studi Arrozy dan Edytya (2022) menunjukkan bahwa pascaerupsi Merapi tahun 2010, sektor pertanian tak lagi menjadi tumpuan hidup. Rakyat beralih ke sektor pertambangan. Penambang pasir mengaku bisa menyekolahkan anak dan menopang hidup. Penambang berani menolak upaya normalisasi Sungai Woro oleh Musyawarah Pimpinan Kecamatan (Muspika) Kemalang dan kontraktor pada tahun 2018 demi mempertahankan penghidupan mereka. Warga Kemalang  bahkan berani mengadang aparat, misalnya terhadap Bareskrim Polri yang berupaya melakukan penggerebekan pada 24 Februari 2023

Sengkarut penambangan pasir sempat membuat Bupati Klaten mengadu kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Dia merasa tak bisa menanganinya sendiri. Pemda Klaten seakan tak mampu menangani sengkarut tambang, yang dibuktikan pula dengan rendahnya serapan retribusi angkutan bahan galian C. Hingga Agustus 2022, retribusi yang masuk baru Rp100 juta dari target Rp3 miliar pada akhir tahun. 

Buruknya tata kelola membuat penambangan pasir di Klaten tak terkendali dan justru membawa kerugian lingkungan dan ekonomi. Struktur ekonomi politik yang kompleks di lapangan, beriringan dengan tata kelola buruk di kantor pemerintahan, justru membuat berbagai regulasi menjadi jalan memuluskan ekspansi tambang pasir secara “tak terkendali”. Akibat regulasi telah dibajak untuk kepentingan ekstraksi, penambang berani “melawan” sekalipun yang bertindak adalah aparat keamanan dan jajaran pemerintahan lainnya.


Anggalih Bayu Muh Kamim adalah mahasiswa Magister Sosiologi Pedesaan, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor (IPB).

]]>
Tambang Mengisap Hidup dan Asa Warga Pulau Obi (Bagian 2) https://indoprogress.com/2023/02/tambang-mengisap-hidup-warga-pulau-obi/ Tue, 31 Jan 2023 20:40:50 +0000 https://indoprogress.com/?p=237258

Foto: Bisnis.com


Artikel sebelumnya: Ambisi Mobil Listrik dan Hari-Hari Menderita di Pulau Obi

KAPAL nelayan yang keluar dari Pulau Obi, Halmahera Selatan, Maluku Utara, sekarang lebih mudah dihitung daripada jumlah pekerja smelter milik Harita Group, pemilik konsesi terluas di pulau ini, termasuk di Desa Kawasi.

Situasinya tentu tidak ujug-ujug demikian. Awalnya, nelayan adalah profesi yang paling mudah ditemui (dan ibu-ibu berkebun). Ini sesuatu yang lazim di daerah yang perairannya luas.

Salah satu nelayan yang masih bertahan adalah Anis, pria usia 60-an yang tinggal di Desa Kawasi sejak 2006. Hari itu dia termangu di depan pintu rumah setelah kembali dari laut. Hasil tangkapannya, seperti hari yang sudah-sudah, tidak seberapa. Jangankan dibagi untuk tetangga, memenuhi urusan perut diri sendiri saja masih sulit.

Penyebabnya tidak lain karena air laut yang sudah tercemar perusahaan.

“Sekarang sudah susah karena ikan tidak liat umpan, gelap. Kalau dulunya kita jauh besi sepenggal ke bawah ada umpan dia langsung tarik, sekarang ya setengah mati,” kata Anis kepada saya akhir Januari 2022.

Memang limbah-limbah dari perusahaan itu sering kali dialirkan ke laut. Di salah satu sisi perusahaan yang langsung bersentuhan dengan laut, misalnya, limbah disalurkan lewat pipa.

Diduga limbah itu berasal dari sedimentasi limbah ore nikel (nikel mentah) anak usaha Harita Group, PT Trimegah Bangun Persada, dan PT Gane Permai Sentosa–sekarang perusahaan bertambah satu, PT Halmahera Persada Lygend (HPL), yang juga anak usaha Harita Group. Bentuknya lumpur sehingga membuat lautan berwarna cokelat kemerahan.

Dalam beberapa kali kesempatan, saat musim hujan, pemandangan bibir pantai akan semakin mengerikan. Laut berwarna cokelat kemerahan akan terlihat sejauh mata memandang. Limbah-limbah diperkirakan terbawa arus.

“Karena limbah to, lautan merah,” ucapnya. “Sebatas perusahaan dari sana itu sampe di Haul Sagu (tempat PT Wanatiara Persada, perusahaan pengolahan biji nikel dengan investor asal Cina sama seperti Harita). Kalau kita ke pulau lain, kan, jernih karena tidak ada perusahaan.

Dahulu Anis sering melaut subuh dan pulang menjelang zuhur dengan tangkapan mencapai 20 hingga 30 kilogram ikan. Sekarang, jika beruntung, penghasilan per hari bisa mencapai Rp500 ribu. Jika tidak maka hanya cukup untuk makan.

“Sekarang, ya, 2 kilo saja sudah sudah boleh pulang. Sudah setengah mati mau taruh makan ini. Karena ikan tidak lihat umpan, karena dia kabur, kabur air merah,” keluh Anis.

Meski sering gigit jari, Anis tak punya pilihan selain bertahan dengan keahlian yang ia tempa semenjak keluar dari Bitung, Sulawesi Utara, puluhan tahun lalu. Dia dan istri tidak mungkin menjadi, misalnya, karyawan di perusahaan tambang sebab usia yang sudah tidak muda lagi. “Saya nelayan,” tegasnya. “Saya nelayan. Saya mancing.”

Kekecewaan Anis semakin dapat saya pahami usai ikut berlayar menemani Parigi (nama disamarkan) dengan kapal ketinting. Sudah beberapa hari dia tidak pergi memancing, dan kalau terus begitu, katanya, sebentar lagi “bisa marah mama.”

Dahulu Parigi bisa menangkap dengan membuat rompong, bangunan di tengah laut yang bisa jadi rumah ikan. Ditinggal semalam saja, ikan sudah banyak berkumpul dan dia tinggal angkut ikan yang dimau. Tapi sekarang, dengan pesisir pantai yang makin jorok dengan lumpur, hal itu hampir tidak mungkin lagi.

Di sekitar Pulau Obi, dekat pintu masuk PT HPL, Parigi dan rekannya menebar jala. Dia sibuk memainkan dayung membentuk lingkaran di air laut yang warnanya tercampur dengan tanah, sedangkan rekannya sibuk terus menjulur jaring. Hasilnya tak seberapa, paling banyak hanya 10 ikan kecil.

“Kita lanjut lagi ya,” katanya sedikit memaksa. Saya paham, di satu sisi dia tidak enak mengajak saya–yang tak terbiasa melaut–terapung selama hampir enam jam, tapi di lain sisi dia punya anak istri yang harus diberi makan.

Sampailah kami di Pulau Malamala. Jaraknya mungkin tak sampai satu jam dari pintu masuk Harita. Di sini belum ada perusahaan yang beroperasi. Setelah mengamati permukaan beberapa menit, Parigi langsung memukulkan dayungnya berkali-kali ke permukaan air. Dia menggiring ikan masuk ke dalam jaring. Tidak sampai 15 menit, 1,5 ember sudah terisi ikan–meski kecil-kecil. Ikan jenis tude itu kami santap malam itu.

“Kalau dulu, bisa lebih besar lagi, tidak harus ke Malamala juga,” ucap Parigi.

Nelayan Pulau Obi dari Desa Kawasi kian tersingkir. Mereka yang masih muda dan bertenaga juga tidak ingin bekerja seperti itu. Mereka menjadi buruh tambang atau pengolahan nikel–yang sebagian besar dikuasai Harita Group. Sekretaris Desa Kawasi Frans Datang mengaku kepada saya bahwa di daerahnya “nelayan sudah anggap su tidak ada kalau untuk warga kita.”

Dari 971 (2019) warga yang terdaftar di Kawasi, mayoritas hanya berkebun dan menjadi karyawan perusahaan. Frans memperkirakan sebanyak 60% warga yang masih bisa bekerja sudah direkrut perusahaan–termasuk di antaranya banyak anak muda. Dalam catatan lain, memang sekitar 66,7% penduduk Kawasi pekerjaannya erat dengan pertambangan.

Petani dan nelayan yang dahulu sempat banyak sekarang jumlahnya menurun drastis. Dalam catatan perusahaan di semester I (2021) saja ada 932 karyawan PT TBP. Jumlah ini meningkat 675 orang atau sebanyak 263% dari laporan semester sebelumnya.

Frans mengaku bahwa pada tahun 2016, ketika perusahaan menghentikan pekerjaan sementara, kondisi warga jadi lebih sulit. Mereka kembali jadi nelayan, tapi tidak ada lagi yang membeli hasil tangkapan. Sebaliknya, ketika perusahaan ada, ikan terjual berkilo-kilo karena disantap oleh karyawan. Bedanya, ikan-ikan itu justru berasal dari nelayan kawasan lain seperti dari desa tetangga, Desa Soligi.

“Dengan hadirnya perusahaan ini, yang kita punya, hasil tani [seperti] singkong, pisang, sekarang bisa diuangkan,” katanya yakin.

Perkataan Frans mungkin ada benarnya, setidaknya bagi dia sendiri. Rumahnya yang berasal dari hasil menjual lahan dan menjadi sekretaris desa terlihat layak dibanding warga lain–yang lantainya hanya sekadar beton tanpa keramik apa pun. Dia juga punya dua mobil sekelas Toyota Hi-Lux yang harganya tak kurang dari Rp250 juta–terparkir depan rumah. Dari empat anak, tiga di antaranya sudah berhasil disekolahkan sampai bangku kuliah.

Masalahnya tidak semua warga seperti Frans. Sebagian lain harus ikhlas anaknya jadi buruh tambang di Harita. Frans sendiri tak mau anaknya jadi seperti itu karena penghasilan di Kawasi sebenarnya tidak banyak–kontradiktif dengan pernyataan sebelumnya.

“Jadi biarpun masih kuliah didahulukan di sana juga pun,” kata Frans.


Cemaran Laut

Biota laut di sekitar Pulau Obi sudah terindikasi tercemar logam. Dalam penelitian Kontaminasi Logam Nikel (Ni) pada Struktur Jaringan Ikan (2021), Ketua Peneliti Pusat Studi Aquakultur Universitas Khairun, Muhammad Aris, menyebut di Desa Kawasi dan Soligi kandungan logam sudah terbilang tinggi. Salah satu dugaannya, itu berasal dari limbah proses bijih nikel yang dibuang ke laut.

Nikel sebenarnya termasuk logam dengan kandungan merusak yang ringan. Namun, jika jumlahnya masif, maka akan berpengaruh pada habitat laut juga. “Kontaminasi logam berat menyebabkan terjadinya gangguan secara fisiologis pada ikan. Gangguan ini membuat ikan harus beradaptasi dan dapat menyebabkan kerusakan jaringan pada organ-organ ikan seperti insang, hati, otot, usus, dan lainnya,” catat Aris.

Penelitian lain bertajuk Status Kualitas Air dan Kesehatan Biota Laut di Perairan Obi, Kabupaten Halmahera Selatan, Maluku Utara (2019) menemukan ada 12 biota laut yang diduga tercemar dari logam akibat aktivitas pertambangan. Mulai dari bai, kakap batu (Lutjanus griseus), kakap kalur (Lutjanus sp.), dan kakap merah (Lutjanus campechanus), kerapu macan (Epinephelus fuscoguttasus), kerapu sunu (Plectropomus leopardus), kima (Tridacna), kuwe (C. Ignobilis), lencam (Lethrinidae), mata bulan (Megalops cyprinoides), selar atau tude (Selaroides leptolepis), dan tongkol (Euthynnus affinis).

Ikan yang dijadikan bahan riset dibedah dan di dalamnya ditemukan organ-organ yang sudah rusak. Meski logam banyak jenisnya dan sulit dideteksi, Aris percaya salah satunya adalah nikel yang berasal dari pertambangan.

“Dari hasil penelitian, saya temukan kondisi ikan di sana itu sudah rusak. Sudah buruk. Kalau dugaan kami, kuat itu semua sudah terpapar logam,” kata Aris kepada saya, Oktober 2022.

Selain ikan, Aris juga menggunakan kerang kima sebagai tolok ukur baku mutu air di sekitar Pulau Obi. Kerang kima yang populasinya terus menurun menjadi “bioindikator lingkungan perairan karena dapat mengakumulasi logam berat lebih besar dari organisme perairan lainnya.”

Air di Pulau Obi ditemukan sudah masuk kategori di atas baku mutu. Hal ini terlihat dari nilai pH setinggi 8,64 yang masuk kategori terlalu basa. Dalam kesempatan lain saya menemukan pH air sekitaran Obi masuk dalam tingkat pH 9 ke atas. Dalam salah satu tulisan yang dipublikasi Safe Drinking Water Foundation (SDWF), pH air 8,64 sudah hampir masuk kategori baking soda, bukan lagi air laut. Angka 9 ke atas bisa dikatakan mengandung banyak magnesium.

Tidak semua yang ada di atas baku mutu artinya baik. Dari 10 parameter yang ditetapkan Aris, ada 7 yang masuk dalam kategori di atas baku mutu dan 2 di bawah baku mutu, sedang satu lagi sesuai dengan baku mutu.

Selain pH, suhu air, kandungan amonia, nitrat, tingkat konsentrasi ortofosfat, logam besi, nikel ada di atas baku mutu laut. Sedangkan kandungan oksigen terlarut dan salinitas di bawah baku mutu. Hanya tingkat kecerahan air saja yang sesuai dengan baku mutu berdasar Peraturan Pemerintah Nomor 22 tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Untuk baku mutu pH air, pemerintah mematok kisaran 6-8,5 untuk air sungai dan 6-9 untuk air laut. Dalam sampel yang saya ambil di sungai, angkanya sudah melebihi ambang batas tersebut. Sedang untuk amonia, pemerintah mematok angka paling tinggi di 0,5. Penelitian Aris menunjukkan amonia di sekitar Pulau Obi sebesar 0,4 atau di atas baku mutu–ketika penelitian keluar, acuan yang digunakan masih Peraturan Lingkungan Hidup Nomor 51 tahun 2004.

Kandungan logam seperti besi (0,6) dan nikel (0,06) yang bisa memengaruhi degenerasi dan nekrosis sel kerang kima dalam penemuan Aris selaras dengan aturan pemerintah kiwari. Dua kandungan logam itu berada di atas baku mutu yang ditetapkan: besi (0,3) dan nikel (0,05).

“Lautnya sudah tercemar begitu. Termasuk ikannya juga sudah rusak,” lanjutnya. Dia sama sekali tidak mendukung ikan di sana jadi lauk-pauk. “Bahaya. Bayangkan itu logam masuk tubuh lama-lama terakumulasi. Apa tidak meninggal?”

Aris meneliti tentang mutu air di Pulau Obi dengan biaya dari perusahaan tambang. Begitu hasil penelitian merugikan donor, pendanaan dicabut. Perusahaan geram, padahal yang Aris ingin adalah mencari solusi dari permasalahan ini.

Kini Aris paham bahwa solusi paling sederhana adalah menghentikan aktivitas pertambangan. “Tapi tidak mungkin, toh?” lanjutnya pesimistis.

Sebetulnya ada solusi kedua, yaitu membangun pipa besar dan panjang ke dalam laut sampai pembuangannya bersih. Tapi ini pun tetap berisiko.

“Peringatan Pencemaran Logam Berat Berdasarkan Indeks Saprobik di Perairan Pulau Obi, Maluku Utara,” judul penelitian lain dari Aris, kali ini bersama Tamrin dari kampus yang sama, menemukan bahwa di Akegula, Kampung Baru, Kawasi, dan Soligi–keempatnya berada di Pulau Obi–analisis saprobik indeks (SI) sebesar 1,0 dan tropik saprobik indeks (TSI) 1,3. Untuk kategori TSI, Kawasi berada di peringkat paling tinggi dan masuk kategori “tercemar ringan sampai sedang”.

Meski “ringan sampai sedang”, Aris menekankan bahwa penelitiannya “mengungkapkan peringatan dini terkait pencemaran logam berat.” “Hal ini perlu dicermati mengingat sifat logam berat sulit didegradasi sehingga mudah terakumulasi dalam lingkungan dan biota perairan serta keberadaannya secara alami sulit dihilangkan.”

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.


Ditebus dengan ISPA

Bayi yang usianya hanya beberapa bulan itu menangis kencang. Suaranya bikin si mamak panik. Dia segera membuka sedikit kain yang menutupi badan agar si bayi bisa melepas dahaga. Beberapa hari sebelumnya si bayi diam saja dan orang tuanya malah lebih pusing. Dia diam tapi napasnya tersengal.

Pondok bersalin desa (polindes) tak mampu mengobati sesak napas bayi laki-laki itu karena ketiadaan alat. Si bocah diperkirakan ada masalah di paru-paru dan terkena bronkitis. Prediksi tersebut benar saat si anak diperiksa di RSUD Labuha. Dokter menyarankan si anak diberi alat bantu pernapasan di rumah. Icha, si mamak, tak mampu membeli. Alhasil, pengobatan tradisional seperti pemijatan badan dan doa-doa yang rutin dilakukan.

“Ya, bagaimana lagi, harusnya perusahaan to yang tanggung,” kata Icha kesal.

Penyebab anak Icha sakit diduga kuat adalah debu hasil aktivitas perusahaan. Dengan pohon-pohon yang mulai gundul di sekitar desa dan jalan tanah di depan rumah warga, tidak ada lagi yang jadi penghalang debu untuk masuk rongga hidung warga setiap hari.

Mantri, petugas jaga di polindes yang sudah tinggal di Desa Kawasi sejak 2009, tak perlu berpikir dua kali untuk mengatakan bahwa infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) adalah masalah kesehatan paling utama di Kawasi. Di tahun 2021 saja, jumlah penderita ISPA mencapai lebih dari 700 orang.

Kebanyakan dari pasien adalah balita. Mantri mencatat ada 124 bayi berusia antara 0-1 yang mendatangi polindes sejak Januari hingga Desember 2021. Balita umur 1-5 tahun tercatat sebanyak 283. Menyusul berikutnya adalah kelompok usia 20-44 tahun sejumlah 179 orang.

“Ya debu,” kata Mantri. “Karena banyak aktivitas [perusahaan], toh.”

Lily Mangundap, warga lain, merasa anaknya tinggal tunggu waktu untuk sakit juga. Dia punya empat anak dan si bungsu berusia di bawah 10. Tiap hari dia menyapu debu yang masuk ke rumah. “Tadi sore saya sudah sapu, nanti jam 12 sudah bisa begini: kita bisa tulis-tulis di papan (karena debu tebal),” ucap Lily. “Besok pagi kalau kita sapu, itu macam kita tidak pernah sapu saja. Debu minta ampun.”

Lily merasa perusahaan datang hanya untuk mengeruk hutan demi kekayaan tanpa peduli apa yang terjadi. Toh smelter nikel yang digenjot untuk menghasilkan batu baterai mobil listrik itu pun tidak berdampak langsung kepada masyarakat.

Dia memang sempat terbantu karena diberi kesempatan beberapa kali untuk mendatangi klinik perusahaan yang ada di atas perbukitan. Namun, lama-kelamaan, dokter mengeluh karena Lily dan anaknya bukan pekerja tambang.

“Bu, ini kan klinik perusahaan. Ibu kenapa tidak panggil bupati saja bikin rumah sakit di kampung sana?” kata Lily menirukan dokter. Mendengar itu suami Lily, marah. “Bapak ini sampai emosi. Saya tahan. Kalau sampai pukul dokter, nanti anak ini siapa yang layani.”

Lily pun menjawab: “Iya, betul ini klinik perusahaan. Tapi tahu tidak gara-gara ada perusahaan di sini saya punya anak sakit-sakit?”

Lily termasuk beruntung karena dia punya toko kelontong yang cukup laris. Dari hasil penjualan dia bisa membeli alat bantu pernapasan untuk anaknya.

“Kalau saya bisa memilih, pabrik itu taruh agak jauh, jangan di sini. Supaya kita punya kesempatan buka usaha. Dia menyerap tenaga kerja banyak, tapi tidak bikin kita sakit-sakitan.”

Soal ISPA ini, Harita melalui Manajer Komunikasi Anie Rahmi menyampaikan: “Secara rutin perusahaan sudah melakukan pemantauan udara sesuai dokumen Pengelolaan Lingkungan Hidup (RKL) dan Rencana Pemantauan Lingkungan Hidup (RPL) dan menunjukkan hasil bahwa udara sesuai dengan baku mutu.” Dia tidak menyinggung banyaknya warga yang mendera ISPA.

Deru debu di Kawasi memang sudah memberi nafkah bagi ribuan orang, tapi ratusan di belakangnya harus rela bernapas tersengal-sengal.


Laporan ini merupakan hasil fellowship Pasopati Hijaukan Program Pembangunan bersama Auriga Nusantara.


Felix Nathaniel, meliput isu nasional sebagai reporter dan penulis di Tirto.id sejak 2016

]]>
Oligarki Lingkaran Jokowi di Pertambangan Halmahera Tengah https://indoprogress.com/2023/01/oligarki-lingkaran-jokowi-di-pertambangan-halmahera-tengah/ Wed, 25 Jan 2023 05:37:59 +0000 https://indoprogress.com/?p=237291

Ilustrasi: Illustruth


SUATU hari di bulan Juli 2021, saya berkunjung ke desa Gemaf, Kabupaten Halmahera Tengah (Halteng), Provinsi Maluku Utara, untuk riset. Gemaf adalah salah satu desa yang berdekatan dengan perusahaan tambang nikel PT Indonesia Weda Bay Industrial Park (IWIP). Di sana saya bertemu dengan Mendiang Sandoro yang berusia kurang lebih 50 tahun. Sandoro merupakan petani yang berkebun di tanah milik sendiri. Ia menanam pala, cengkeh dan kelapa yang dipanen secara musiman. Sementara untuk kebutuhan sehari-hari, ia menanam tomat, rica (cabai) dan jenis lainnya. Dari hasil berkebun itu ia mampu menyekolahkan dan membayar kebutuhan anaknya. Sandoro sudah berkebun selama puluhan tahun. 

Kehidupannya mulai terusik ketika pemerintah mengizinkan PT IWIP melakukan eksplorasi penambangan nikel di sana. Perusahaan membutuhkan lahan seluas 866,44 hektare yang diperoleh, salah satunya, dengan membeli tanah-kebun milik warga. Berbeda dari warga lain yang menjual dengan harga sangat murah (Rp8.000 hingga Rp9.000/meter), Sandoro enggan melepas tanah seluas sekitar enam hektare miliknya, walaupun PT IWIP terus mengirim orang-orang untuk bernegosiasi.

Gagal melakukan negosiasi, perusahaan seenaknya menggusur pohon-pohon cengkeh, pala dan kelapa milik Sandoro yang sudah tertanam puluhan tahun tanpa biaya ganti rugi. Metode lain yang digunakan PT IWIP adalah mengancam memberhentikan secara sepihak salah satu anak Sandoro yang bekerja di perusahaan. Hingga wawancara dilakukan, Sandoro tetap bersikeras tidak menjual tanah-kebunnya.

Kisah serupa disampaikan oleh Mendiang Tulang yang juga warga desa Gemaf. Seperti Sandoro, lelaki berusia sekitar 40 tahun ini adalah juga petani yang menggantungkan hidup dari berkebun. Untuk memenuhi kebutuhan keluarga, ia menanam pala, cengkeh, kelapa, pisang dan tanaman lain. Menurut Tulang, sebagian tanah yang berdekatan dengan kebunnya sudah dibeli perusahaan, tapi ia sendiri tetap bersikukuh tidak menjual tanah ke PT IWIP.

Suatu hari, saat Tulang ke kebun, ia melihat ekskavator perusahaan sedang menggusur lahan warga yang telah dijual ikut menggusur pohon cengkeh dan pala miliknya. Spontan Tulang naik pitam dan protes. Ia langsung naik ke ekskavator untuk mematikan mesin dan merampas kunci. Protes Tulang itu membuat PT IWIP melaporkannya ke kepolisian Halteng. Tak lama berselang, beberapa anggota kepolisian mendatangi rumah Tulang dan memintanya mengembalikan kunci mobil ekskavator. Ia mengembalikan kunci tetapi menahan ekskavator agar berhenti menggusur. Sikap keras itu membuat Tulang hampir ditahan polisi.

Dua cerita di atas hanya sebagian dari beragam masalah yang dihadapi masyarakat daerah lingkar tambang di Halteng.[1] Jika terus memprotes, mereka akan berhadapan dengan aparat keamanan yang berpihak pada PT IWIP. Mengharapkan keberpihakan pemerintah daerah baik di Halteng maupun provinsi adalah mustahil karena mereka menutup mata atas praktik penggusuran lahan. Sebaliknya, pemerintah malah memberikan perlindungan kepada PT IWIP dengan alasan bahwa ini Proyek Strategis Nasional berdasarkan Perpres No. 109/2020. PT IWIP juga menjadi Proyek Prioritas Nasional berdasarkan Perpres No. 18/2020.


Sekilas tentang PT IWIP

PT IWIP adalah perusahaan patungan dari tiga investor asal Tiongkok, yaitu Tsingshan Holding Group, Huayou Holding Group, dan Zhenshi Holding Group Co., Ltd. Mengutip Mongabay, mayoritas sahamnya dimiliki oleh Tsingshan (40%) melalui anak perusahaan Perlux Technology Co.Ltd. Sementara Zhenshi dan Huayou menguasai saham masing-masing 30%.

Di tahun 2018, PT IWIP bekerja sama dengan PT Aneka Tambang (Antam) Tbk untuk mengembangkan deposit bijih nikel dan smelter. Melalui kerja sama ini, PT IWIP menjadi kawasan industri terpadu pertama di dunia yang mengolah sumber daya mineral dari mulut tambang hingga produk akhir berupa baterai kendaraan listrik dan besi baja.

PT IWIP juga memfasilitasi investor untuk membangun fasilitas pengolahan industri hilir. Ini bisa dilihat dari beroperasinya dua anak perusahaan Tsingshan di kawasan itu, yakni Weda Bay Nickel Projects (tambang) dan Weda Bay Nikel (smelter).

Menurut dokumen Rangkaian Pasok Industri Nikel Baterai dari Indonesia dan Persoalan Sosial Ekologi  (2020) yang dirilis Aksi untuk Ekologi dan Emansipasi Rakyat (AEER), di PT IWIP telah beroperasi dua smelter yang menghasilkan feronikel (paduan besi dan nikel) per Oktober 2020. Masing-masing pabrik dimiliki oleh PT Weda Bay Nickel dan PT Yashi Indonesia Investment yang dimiliki oleh Tsingshan dan Zhenshi.

Menurut sumber yang sama, tenant lain yang berada di kawasan PT IWIP yakni produsen nikel baterai PT Youshan Nickel Indonesia. Youshan diperkirakan akan memiliki kapasitas produksi 43.600 ton nickel matte pertahun, dengan nilai total investasi 406,79 juta dolar AS. Youshan sendiri merupakan perusahaan patungan Huayou Group, Chengtun Mining Group, dan Tsingshan Group. Huayou Group, yang juga pemegang saham smelter di Morowali dan Youshan di Weda, selama ini dikenal sebagai penghasil produk kobalt terbesar di Tiongkok.

Berdasarkan booklet Peluang Investasi Nikel Indonesia (2020) yang dikeluarkan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Indonesia memiliki cadangan nikel terbesar di dunia. Dan Maluku Utara di mana Halteng berada adalah satu dari empat provinsi yang memiliki cadangan nikel terbesar. Dengan potensi kandungan nikel tersebut, Halteng telah menjadi incaran para oligark yang berkongsi dengan kekuasaan untuk melakukan eksploitasi. Pemerintahan Joko Widodo tidak hanya memberikan izin kepada perusahaan untuk mengeksplorasi nikel, tetapi juga perlindungan kepada PT IWIP dengan menetapkannya sebagai Proyek Strategis Nasional.


Keterlibatan Oligarki di PT IWIP

Melihat sepak terjang PT IWIP yang sangat agresif dalam melakukan penggusuran lahan rakyat di Halteng, mengapa pemerintahan Jokowi malah memberikan perlindungan kepada mereka? Jika jawaban atas pertanyaan ini karena PT IWIP adalah bagian dari Proyek Strategis Nasional, maka kita kehilangan arah dalam melihat aspek ekonomi politiknya. Lalu, apa?

Sesungguhnya dalam proyek ini ada kepentingan ekonomi yang sangat besar dari para oligark di sekeliling Presiden.

Dalam melihat aspek ekonomi politik tersebut, definisi oligarki Richard Robinson dan Vedi R Hadiz dapat dijadikan pegangan. Menurut mereka, oligarki adalah praktik relasi kekuasaan yang memungkinkan terkonsentrasinya kekayaan dan otoritas serta perlindungan kolektif terhadap keduanya. Kemunculan oligarki di Indonesia, seiring dengan pertumbuhan dan ekspansi kapitalisme pasar semasa Orde Baru, dipandang sebagai produk usaha akumulasi kekayaan pribadi dan korporasi.

Pengendalian institusi-institusi publik dan otoritas negara menjadi bagian sangat penting dalam proses itu. Perpaduan khusus otoritas politik dan kekuatan ekonomi ini merupakan ciri umum negara-negara yang berbeda pada tahap awal perkembangan kapitalisme. Di Indonesia, proses ini melahirkan bentuk khusus yang disebut Robinson dan Hadiz sebagai oligarki politiko-bisnis.[2]

Praktik semacam itu terus tumbuh terutama pada daerah-daerah yang memiliki kekayaan sumber daya alam (salah satunya nikel) seperti dalam kasus pemilik mayoritas PT IWIP, Tsingshan Holding Group. Mengutip laman TrendAsia yang mendapat data profil perusahaan dari basis data Jaringan Advokasi Tambang (Jatam), Tsingshan mendirikan PT Tsingshan Steel, yang kini beroperasi di Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP), bersama PT Shanghai Decent Indonesia Group dan PT Bintang Delapan Mineral pada Desember 2016.

Di perusahaan yang disebut terakhir, menurut data akta perseroan Ditjen AHU nomor: AHU-AH.01.03-010923 yang dikutip dari Tirto, terdapat nama pensiunan jenderal Sintong Panjaitan sebagai komisaris utama, yang diketahui merupakan karib dari Menko Luhut Binsar Panjaitan. Nama Sintong juga tercatat dalam formulir laporan Extractive Industries Transparency Initiative (EITI) Indonesia 2018 sebagai presiden komisaris.

Di PT IWIP sendiri pernah tercatat nama Hinsa Siburian sebagai komisaris sebagaimana tertulis dalam dokumen Ditjen AHU nomor: AHU-AH.01.03-0067852. Saat PT Freeport (FI) masih memiliki Blok Wabu, Papua, Hinsa adalah komisaris perusahaan tersebut. Sebelumnya Hinsa pernah menjabat sebagai Pangdam XVII/Cenderawasih Papua pada 2015-2017 dan pada Pilpres 2019 tergabung dalam tim relawan (Cakra 19) pemenangan Jokowi-Ma’ruf Amin. Pada 21 Mei 2019, Hinsa diangkat oleh Jokowi sebagai Kepala Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN).

Daftar oligark di sekeliling Jokowi tak berhenti di kalangan para mantan jenderal. Dari kalangan sipil ada nama Andi Gani Nena Wea yang merupakan komisaris utama merangkap komisaris independen di PT Pembangunan Perumahan (PP) (Persero) Tbk. PT PP, melalui anak usaha PT PP Presisi, menjadi perusahaan production plant, structure work dan penyewa alat berat di PT IWIP. Andi Gani merupakan orang yang dekat dengan Jokowi saat masih menjabat sebagai wali kota. Jabatan penting lainnya adalah Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI). Pada Pilpres 2019, KSPSI mendukung Jokowi selama dua periode. Andi Gani dan serikatnya juga merupakan salah satu inisiator Partai Buruh.

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.

Untuk menunjang produksi melalui pembakaran pada smelter dan PLTU, PT IWIP membutuhkan batu bara dalam jumlah yang banyak. Komoditas tersebut dipasok dari Kalimantan melalui tongkang. Kepada penulis, seorang pekerja di site batu bara memperlihatkan surat bongkar yang menunjukkan bahwa salah satu perusahaan yang terlibat adalah Jhonlin Group milik Andi Syamsuddin Arsyad, yang dikenal sebagai Haji Isam. Pengusaha batu bara dari Batu Licin, Kalimantan Selatan ini pada Pilpres 2019 tercatat sebagai Wakil Bendahara Tim Kampanye Nasional Jokowi-Ma’ruf Amin. Pada Oktober 2021, Jokowi meresmikan pabrik biodiesel PT Jhonlin Agro Raya milik Haji Isam di Kabupaten Tanah Bumbu, Kalsel.

Selain itu juga tercatat nama konglomerat Kiki Barki, pemilik PT Harum Energi Tbk (HRUM), yang ikut terciprat untung dari nikel di Halteng. Pada Desember 2021, PT Tanito Harum Nikel, anak perusahaan HRUM, menambahkan kepemilikan saham di salah satu perusahaan yang beroperasi di PT IWIP, PT Infei Metal Industri (IMI), sebesar 9,8% menjadi 49%. PT IMI bergerak di bidang pengolahan dan pemurnian nikel. Kemudian, pada 27 April 2022, anak usaha bernama PT Harum Nickel Industri (HNI) juga mengambil 250 ribu lembar saham PT Westrong Metal Industri sehingga menguasai 20% kepemilikan. Perusahaan tersebut juga bergerak di bidang pemurnian di IWIP dengan kapasitas produksi dalam setahun sebesar 44.000-56.000 ton nikel.

Kiki Barki Makmur merupakan pengusaha batu bara lama yang pernah menjabat sebagai Asisten Khusus Menteri Pertanahan pada 2011. Hubungannya dengan kekuasaan berawal dari perusahaan tambang di Vietnam bernama PT Vietmindo Energitama. Di perusahaan itu Pramono Anung pernah menjadi direkturnya dari 1988 hingga 1996. Pada periode yang sama, Pramono juga menjabat sebagai Direktur PT Tanito Harum, anak perusahaan PT Harum Energy. Pramono adalah politikus dari partai yang sama dengan Jokowi, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), bahkan menjabat sebagai sekretaris jenderalnya pada 2005-2010. Pramono juga merupakan Wakil Ketua DPR periode 2009-2014. Di era pemerintahan Jokowi, tepatnya sejak 2015 sampai sekarang, Pramono langgeng sebagai sekretaris kabinet.

Dengan modal dan relasi yang dimiliki, Kiki pernah mencoba memengaruhi Jokowi untuk menyelamatkan anak usaha HRUM yakni PT Tanito Harum yang masa kontraknya berakhir pada 2019. Empat hari menjelang masa kontrak berakhir, Presiden melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral memberikan izin usaha pertambangan khusus (IUPK) kepada mereka tanpa melalui proses lelang. Seperti ditulis Tempo, Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) saat itu, Agus Rahardjo, menanggapi keputusan tersebut dengan langsung mengingatkan Jokowi bahwa perizinan batu bara tetap merujuk pada Undang-Undang Minerba yang baru, bukan pada aturan lama. 

Meskipun akhirnya izin dibatalkan, kasus ini memberikan kita gambaran bahwa hukum dengan begitu mudahnya dibajak dan diakali oleh para oligark hanya untuk menyelamatkan bisnis dan kepentingan mereka dan orang-orang di sekelilingnya.


Penutup

PT IWIP telah memaksa rakyat, dengan berbagai cara, melepaskan tanahnya. Jika tak mau menjual dengan harga murah, mereka harus menghadapi intimidasi dari perusahaan serta dampak kerusakan lingkungan dari aktivitas pertambangan.

Beroperasinya PT IWIP terbukti melibatkan banyak pihak, tidak hanya perusahaan-perusahaan multinasional tetapi juga para oligark yang berada dalam lingkaran Presiden. Hal ini sekaligus memberikan penegasan bahwa beroperasinya PT IWIP bukan semata-mata demi kepentingan nasional yang dilindungi atas nama Objek Vital Nasional, tapi juga sebagai modus akumulasi kekayaan para oligark.***


[1] Mengenai dampak kerusakan lingkungan akibat aktivitas pertambangan di Halteng ini, lihat laporan Mongabay berjudul Ketika Tambang Nikel ‘Kuasai’ Hutan Halmahera Tengah, diakses pada 2 Januari, 2023.

[2] “Ekonomi Politik Oligarki dan Pengorganisasian Kembali Kekuasaan di Indonesia”, Vedi R Hadiz dan Richard Robinson, diterjemahkan oleh Ahmad Zaim Rofiqi, Prisma volume, 33, 2014, hal 37.


 Masril Karim adalah Ketua Umum HMI Cabang Manado periode 2015-2016. Saat ini tergabung sebagai anggota dari LSM Forum Studi Halmahera (FoSHal) yang berlokasi di Ternate, Maluku Utara.

]]>
Ambisi Mobil Listrik dan Hari-Hari Menderita di Pulau Obi (Bagian 1) https://indoprogress.com/2023/01/mobil-listrik-dan-hari-hari-menderita-di-pulau-obi/ Fri, 13 Jan 2023 21:08:13 +0000 https://indoprogress.com/?p=237254

Foto: Antaranews


PEPOHONAN ditumbangkan. Tanah dikeruk meninggalkan lubang-lubang raksasa. Alat-alat berat bekerja bergantian di sekelilingnya. Tidak jauh dari sana mesin-mesin lain sibuk membangun sarana penunjang. Pertambangan nikel itu membuat pulau yang dulu hijau tampak seperti bukit gersang. Banyak hutan dan kebun sudah tergerus.

Tentu hasil kegiatan Pulau Obi, Halmahera Selatan, Maluku Utara ini menambah pemasukan negara. Tapi nasib penduduk pulau belum tentu jadi baik.

“Sampai sekarang tidak ada perubahan,” kata Lily Mangundap kepada saya, November tahun lalu. Bahkan lebih parahnya lagi adalah warga merasakan digusur. “Itu belum ada izin dari kita, dari kita pemilik, masyarakat ini. Tidak sepakat soal harga, langsung digusur saja.”

Lily adalah warga Kawasi, desa tertua di Pulau Obi. Di sana ada dermaga paling besar yang biasa jadi tempat berlabuh kapal-kapal dari berbagai wilayah–meski yang bersandar kalah ramai dengan truk dan mesin ekskavator perusahaan di sekitarnya.

Desa ini adalah wilayah perusahaan melakukan penambangan. Hanya satu sisi desa yang terbuka, itu pun karena berbatasan dengan laut.

Bila mengelilingi pulau, di bibir pantai yang dekat desa, kita dengan mudah melihat tulisan besar di antara aktivitas pertambangan bertuliskan “Welcome to Harita”. Harita yang dimaksud adalah Harita Group, pemilik konsesi terluas di Pulau Obi, termasuk di Desa Kawasi. Dari tepi desa saja tidak mungkin aktivitas perusahaan lolos dari pandangan mata.

Berdasar catatan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Maluku Utara, di Kawasi ada delapan perusahaan yang melakukan aktivitas pertambangan. Harita membawahi dua perusahaan besar, yakni PT Trimegah Bangun Persada (TBP) dan PT Gane Permai Sentosa (GPS). Di samping itu ada tiga lain yang juga terafiliasi dengan Harita yaitu PT Megah Surya Pertiwi (MSP), PT Halmahera Persada Lygend (HPAL), dan PT Halmahera Jaya Feronikel (HJF).

Dua perusahaan lain di Pulau Obi, PT Aneka Tambang (Antam) dan PT Telaga Bhakti, tidak masuk area Kawasi kendati lokasinya dekat.

Aktivitas petambangan di Obi sudah dimulai sekitar 2007. Awalnya PT Antam-lah yang menginjakkan kaki. Mulai Dekade 2010, giliran Harita yang beraksi.

Dalam Laporan Pelaksanaan Rencana Pengelolaan dan Pemantauan Lingkungan PT TBP semester I 2021, baik PT MSP dan PT HPAL beroperasi di daerah PT TBP–satu naungan dengan Grup Harita. Keduanya punya area kerja kurang lebih 376,50 hektare dan 655,54 hektare. Sedangkan PT HJF seluas 118 hektare. Lokasi pengolahan nikel oleh PT TBP sendiri sekitar 504,40 hektare. Namun, berdasarkan SK Bupati Halmahera Selatan Nomor 18 tahun 2010, sebenarnya konsesi lahan PT TBP mencapai 4.247 hektare. Sedangkan PT TBP dalam keterangannya menyebut Izin Usaha Pertambangan (IUP) yang mereka miliki sejak 2010 seluas 5.523,99 hektare.

PT TBP menargetkan selama 13 tahun beroperasi mereka mampu meningkatkan produksi dari 6 juta menjadi 15,2 juta ton bijih nikel per tahun. Hasilnya nanti bisa diolah oleh PT HPAL dalam bentuk Mixed Hydroxide Precipitate (MHP)–yang target hasilnya sebanyak 365 ribu ton per tahun.

Rencana menambah cuan oleh Harita adalah kabar buruk bagi Lily dan sejumlah warga. Mereka tidak terima tanahnya diambil perusahaan untuk perluasan, apalagi dengan harga yang tak sepadan.

Lily dan suami, Andrias, punya berbagai tanaman mulai dari kelapa hingga jambu mete. Harganya dihitung-hitung mencapai Rp700 juta. Tapi perusahaan hanya mau ganti rugi total Rp38 juta. Tidak ada tawar-menawar.

Bupati setuju dengan harga yang ditawarkan ke warga dengan anggapan bahwa tanah itu punya negara. Namun Andrias dan Lily punya pendapat lain. Menurutnya pemerintah dan perusahaan hanya ingin mencari solusi mudah dengan memberi harga murah.

“Bukannya kita ini mau melawan pemerintah. Bukan. Tapi sekurang-kurangnya bupati itu sebelum dia bikin keputusan minimal datang ke sini. Buka rapat dengan masyarakat,” kata Lily. Dahinya mengerut ketika memutar ulang kisah itu.

Lily ingat pihak perusahaan datang medio 2016 saat dia sibuk menjaga toko kelontong. Andrias yang sedang tidur pun dibangunkan. Mereka langsung disuruh tanda tangan dengan harga yang sudah tertera. Orang perusahaan bilang saat itu para tetangga juga sudah tanda tangan. Ketika Lily mau konfirmasi, orang perusahaan tiba-tiba mengurungkan niatnya.

“Langsung saya tahu dari situ bahwa dia bohong.”

Lahan Lily dan Andreas yang diganti Rp38 juta itu luasnya 5,8 hektare. Sebagai perbandingan, tanah lain yang luasnya 15×20 meter saja dihargai Rp15-20 juta pada 2018–menurut ingatan keduanya.

“Saya bilang bahwa ini terlalu murah, terlalu murah. Begini, saya tanya begini: Rp38 juta itu dapat dari mana? Hitungannya dapat dari mana? Terus dia bilang: ‘ya dari ibu punya jumlah tanaman itu’.”

Total lahan yang dimiliki pasangan ini sekitar 33 hektare. Mereka tidak tahu berapa banyak yang sudah dipakai tanpa izin selain 5,8 hektare tersebut.

Suatu hari tahun 2018, perusahaan serta perangkat desa memutuskan berunding dengan Lily dan suami di rumah sekretaris desa. “Kita diundang. Jadi kita duduk begini, pihak perusahaan sebelah sana, terus pemerintah di depan. Pemerintah desa itu yang hadir itu Pak Sekdes,” ungkap Lily.

Tapi yang terjadi bukan perundingan. Di sana hanya ada adu ngotot antara perusahaan dengan warga. Perusahaan berkukuh dengan SK bupati, sedang warga tetap tak ikhlas lahannya diganti dengan harga murah.

Pada saat itulah Lily mengaku diancam oleh Sekdes bernama Frans Datang. “Masyarakat siapa yang melawan akan berurusan dengan polisi,” kata Frans sepenuturan Lily. “Saya ingat sampai hari ini. Saya tidak lupa, karena itu semacam trauma.”

Di hari itu pula Andrias dan Frans–yang merupakan saudara kandung–ribut sampai aparat memukul Andrias menggunakan popor senjata. Sejak itu pula hubungan mereka tak lagi sama.

“Kalau sampai terjadi apa-apa di lahan-lahan kita di sana, saya tidak cari perusahaan. Saya cari kamu, saya pe ade (adik saya!). Berarti kamu yang kasih izin sampai berani gusur kita punya lahan-lahan di sini,” ucap Andrias waktu itu pada adiknya.


Tidak Ramah bagi Kawasi

Pada tahun 2021, Indonesia resmi mencatatkan diri sebagai produsen nikel terbesar di dunia. Data US Geological Survey menyebut negara ini menyumbang 1 juta metrik ton atau setara 37,04% nikel dunia.

Potensi nikel yang besar ini menjadi perhatian negara, termasuk juga pertambangan bijih nikel di Pulau Obi. Data dari ESDM menyebut Indonesia setidaknya menghasilkan 2,47 juta ton pada 2021. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) punya target lebih tinggi lagi untuk memproduksi nikel di tahun 2022, yaitu hingga 2,58 juta ton.

Pabrik high pressure acid leach (HPAL) yang dikelola PT HPAL masuk ke dalam proyek strategi nasional dan diresmikan oleh Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Panjaitan Juni 2021 silam. Dia sengaja datang untuk meresmikan pabrik yang digenjot pembangunannya pada tahun 2018 dengan suntikan dana sebesar 1,5 miliar dolar AS. Bagi Luhut, kehadiran PT HPAL sangat baik.

Harita Group dan perusahaan asal Cina, Zhejiang Lygend Investment Co., Ltd (ZLI), menguasai HPAL. ZLI melalui anak perusahaan Ningboy Lygend Mining Co. sebesar 36,9% dan Harita lewat PT TBP punya saham mayoritas 63,1%.

Smelter hidrometalurgi ini difungsikan khusus untuk mengolah bijih nikel menjadi Mixed Hydroxide Precipitate (MHP)–Sampai November 2021, PT HPAL setidaknya telah mengekspor 60 ribu ton MHP–dan turunannya berupa nikel sulfat (NiSO4) dan cobalt sulfat (CoSO4). Semuanya adalah bahan baku yang bisa digunakan untuk menghasilkan baterai mobil listrik.

Mobil listrik digadang-gadang sebagai masa depan. Proyeksi sementara, pada tahun 2030 akan ada permintaan mobil listrik sebanyak 31,1 juta unit. Di Indonesia, pemerintah punya target memproduksi kendaraan listrik sebanyak 3,05 juta unit.

“Industri ini ikut berkontribusi mewujudkan cita-cita upaya penurunan kadar emisi dari penggunaan kendaraan berbahan fosil,” kata Luhut. “Ini aset bangsa. Kita harus lindungi namun lingkungan harus dijaga.”

Satu yang tak disinggung Luhut adalah desa di bawah pabrik-pabrik tersebut. Kehidupan dan lingkungan mereka tinggal bukan lagi harus “dijaga” melainkan “diperbaiki” karena sudah rusak.

Setiap hari Lily dan warga lain harus berkutat dengan debu dari aktivitas perusahaan. Perataan pohon untuk jalan produksi, misalnya, mengganti udara segar dengan debu jalanan yang hanya berupa tanah cokelat dan memperparah krisis iklim. Penggundulan hutan adalah salah satu penyebab utama perubahan iklim sejauh ini.

Ketika Luhut datang, dia seakan tidak merasakan bagaimana debu-debu mengelilingi Kawasi. Tapi bagi Lily, jika saja Sang Menteri tinggal di rumah warga yang di bawah pabrik, pengalamannya akan berbeda.

“Lihat saja debu-debu ini sampai tutup begini,” kata Lily menunjukkan pintu depan rumahnya. Dia menyapunya baru beberapa jam lalu, tapi debu datang lagi. “Karena sudah botak, tidak ada saringan lagi. Pohon-pohon ini tidak ada, saya anggap alam ini punya saringan su tidak ada.”

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.


Bertahan Hidup di Lingkungan yang Sakit

“Felix mau mandi?” tanya pemilik rumah tempat saya menginap.

“Iya mama, memang kenapa?”

“Oh tidak, soalnya biasa ada yang tidak mau mandi karena air kami begitu.”

“Begitu” yang dimaksud adalah kotor dan tercemar.

Warga Pulau Obi punya beberapa sumber air. Pertama adalah Air Cermin. Dinamakan demikian karena airnya begitu jernih dan nelayan sering kali berhenti di sana untuk beristirahat dan menuntaskan dahaga. Sekarang sumber air itu sudah hilang. Tak ada yang tahu pasti kapan tepatnya sumber air raib, tapi yang pasti Air Cermin sudah tak lagi tampak sejak pertambangan ramai mulai 2010.

Kedua adalah Danau Karo. Letaknya jauh dari desa dan sekarang sudah masuk ke area perusahaan. Hanya perusahaan yang bisa mengakses air bersih di Danau Karo.

Dalam penelitian Analisa Potensi Air Danau Karo Pulau Obi Halmahera (2020), Teddy W. Sudinda menghitung debit air bulanan Danau Karo selama periode 2014-2018. Dia berkesimpulan bahwa pembukaan lahan di area sekitar seharusnya dihindari karena akan mengurangi debit air dan “menimbulkan erosi yang mengakibatkan kekeruhan air pada Danau Karo.” Tidak hanya itu, karena kebutuhan air yang besar, maka “bisa dipastikan kemampuan Danau Karo kurang dan harus dicari sumber lain untuk mengatasi kekurangan yang ada.”

Selain itu ada juga Sungai Ake Lamo, Sungai Loji, dan Sungai Toduku. Yang paling besar dan dekat berbatasan dengan permukiman warga adalah Sungai Toduku. Letaknya sekitar 500 meter dari desa. Mata air yang berasal dari Danau Karo mengalir deras ke Sungai Toduku. Air dari sumber air diteruskan ke desa dengan pipa. Pipa yang digunakan berukuran 4,5 inci sebanyak 3 buah, pipa 2 inci 4 buah, dan pipa ukuran 3 inci 2 buah.

Berdasar artikel Satmoko Yudo dan Taty Hernaningsih dari Pusat Teknologi Lingkungan-Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi Gedung Geostech berjudul Kondisi Kualitas dan Kebutuhan Air Desa Kawasi di Kawasan pertambangan Nikel Pulau Obi (2021), sumber air tersebut masih layak atau masuk kategori bersih. Itu bisa jadi benar. Tetapi yang jadi masalah adalah air yang mengalir di sungai tersebut dan kemudian mengarah ke laut. Sungai tersebut berwarna cokelat dan agak oranye–diduga akibat sedimentasi ore nikel.

Ada warga yang tidak mau mengambil risiko. Hasil survei menyatakan sebanyak 40% warga Kawasi memilih menggunakan air galon kemasan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, lalu sebanyak 13,3% memilih menggali sumur. Mereka yang masih menggunakan mata air tersebut untuk minum sebanyak 46,7%. Dari yang membeli air galon kemasan, sebanyak 70% menggunakan 100 hingga 200 liter air galon per bulan.

Anis, warga yang sudah tinggal di Pulau Obi sejak 2006, mengaku bahwa sebelum perusahaan masuk air masih bersih dan bisa diminum langsung dari sumbernya. Setelah perusahaan datang, mereka harus merogoh uang lebih hanya untuk masalah air. “Makannya ndak enak begini. Kayaknya kita timba di galon itu karena tanah merah-merah di dalam, masuk,” ucapnya. “Perusahaan masuk ini, masyarakat lebih siksa, air juga kotor.”

Tidak ada warga asli di Pulau Obi. Tapi pulau yang awalnya tanpa penghuni ini ditempati paling lama oleh orang dari Galela-Tobelo, sebagian lagi dari Wakatobi atau dari Ambon, Maluku.

Ibu Rodi, seorang guru di madrasah Desa Kawasi, berasal dari Wakatobi. Dia datang bersama suaminya, seorang nelayan, tahun 2009.

Rodi melihat permasalahan air bersih sudah menjadi sesuatu yang serius di desa sejak 2017. Indikatornya adalah ketika itu tidak semua warga bisa mendapat air bersih dari mata air. Pipa-pipa tidak seluruhnya tersalurkan ke rumah warga.

Rodi termasuk salah satu yang kebetulan bisa mendapat akses air bersih ke mata air. Dia kemudian menampung air banyak-banyak agar bisa dijual. Awalnya dia hanya bisa menjual sekitar 20 galon per hari. Sekarang, jumlahnya meningkat hingga lima kali lipat. Sebulan, dia bisa menjual sampai 3 ribu galon.

“Kadang-kadang air mati di tengah masyarakat itu, kadang pesan 5 untuk mandi, kadang pesan 1 untuk isi mesin diesel. Di seberang banyak yang tidak mendapat air bersih, mereka pakai sumur. Kadang-kadang mereka beli air itu 10 galon,” kata Rodi kepada saya Januari tahun lalu.

Kembali sedikit ke penelitian Satmoko dan Tety, mereka memperkirakan kebutuhan air bersih warga Kawasi tahun 2020 sebanyak 74.147 liter/hari. Jika sebanyak 40% menggunakan air galon dan 1 galon berisi 19 liter air, maka setidaknya ada 1.561 galon yang diperjualbelikan setiap hari. Dengan harga satu galon Rp10 ribu, maka warga harus menguras uang sebesar 15,6 juta hanya untuk memenuhi kebutuhan air bersih setiap hari.

“Padahal kalau untuk minum paling hanya 1 galon,” lanjut Rodi.

Bagi Rodi, perusahaan belum tuntas membantu perkara air bersih milik warga. Meski mendapatkan untung dari hasil penjualan air bersih, Rodi sebenarnya lebih senang jika akses air bersih bisa merata ke seluruh desa, meski berarti penghasilan dari jual air akan menurun atau bahkan hilang sama sekali. “Enggak apa-apa itu lebih bagus demi kesejahteraan semua.”

Selain masalah air bersih, warga sampai sekarang juga masih kesulitan dengan perkara listrik. Siang hari terasa gelap di rumah-rumah. Sunyi. Hanya sebagian yang punya genset, tentu dengan biaya operasional yang tidak kecil.

Rumah Rodi juga salah satu yang tidak mendapatkan akses listrik. Dia harus merogoh Rp 1 juta/bulan hanya untuk listrik. Jika masyarakat beruntung, perusahaan akan menyalakan listrik pada malam hari dari pukul 18.00 hingga 06.00. Namun, selama hampir seminggu saya di Kawasi, listrik tidak pernah menyala penuh selama 12 jam.

Inilah ironi dari tempat yang membuat bahan baku untuk baterai mobil listrik. “Baterai listrik buat apa? Kita torang di sini saja listrik susah,” keluh Rodi. Warga sampai sekarang belum pernah merasakan listrik seharian penuh, hanya listrik di perusahaan saja yang menyala 24 jam.

Tak heran jika mereka menganggap Harita hanya akronim dari “hari-hari menderita”.


Warga “Dipaksa” Pindah

Di tengah krisis air bersih, debu, dan konflik lahan, Lily dan Andrias bersama lima keluarga lain mau tak mau pasrah. Sampailah mereka pada klimaks: hanya mendapat uang Rp150 juta untuk dibagi enam.

Jika tidak mau menerima juga, mereka diancam penjara dengan UU Minerba. Polisi, menurut Lily, menuding bahwa ia dan suaminya memprovokasi warga untuk mencegah perusahaan beraktivitas di lahan yang sudah dibeli.

Ketika itu Andrias hanya bisa diam karena baru pertama kali tahu ada aturan yang bisa merebut lahan mereka tanpa diskusi terlebih dahulu.

“Bapak tahu tidak UU Minerba poin 9, atau entah poin berapa itu. Dia bilang di situ dikatakan bahwa barang siapa menghalang-halangi kegiatan di area pertambangan akan ditindak pidana 5 tahun penjara. ‘Bapak mau saya pidanakan?’ Dia bilang begitu,” kenang Lily.

Tentu saja diancam begitu Andrias ciut, apalagi pemidanaan bukan isapan jempol. Satu warga bernama Dominggus yang juga mantan perangkat desa sudah sempat mendekam di rumah tahanan setelah ditangkap di Gresik, Jawa Timur. Perkaranya karena dianggap mangkir dari laporan polisi setelah dia melindungi lahannya dari kerja-kerja mesin berat perusahaan.

Pemerintah desa tidak bisa diandalkan. Frans dianggap berpihak kepada perusahaan dan mengkhianati saudara kandungnya sendiri. Dia mendesak agar Andrias mau menerima ganti rugi. Ketika polisi datang, mereka menuding Andrias melanggar UU Minerba karena menghalangi kegiatan di areal pertambangan. Andrias sudah berpikir dia akan diancam penjara.

“Saya kasihan lihat bapak. Jadi saya bilang, ‘Ah, maaf, ya, Pak Kapolsek. Kita ini masyarakat biasa, saya ini tra sekolah. Mungkin tidak sekolah jadi saya tidak tahu UU ini. Sampai hari ini, rambut saya ini (putih), saya baru dengar UU Minerba. Saya tidak tahu UU apa itu. Saya hanya berdasarkan masuk akal dan tidak masuk akal’,” lanjutnya.

Sekarang, kondisi Andrias sedang stroke. Dan di tengah kemalangan itu, masalah lahan masih juga belum menemui titik terang. Dia dan warga Kawasi kemudian dihantam masalah lain. Selain lahan, rumah mereka ikut jadi sasaran.

Lily dan sebagian warga Kawasi tahu bahwa ada permukiman baru yang tengah dibangun oleh perusahaan. Letaknya sekitar lima kilometer dari desa sekarang dan berjarak sekitar 1 kilometer dari pantai. Rumah-rumah sudah berdiri rapi. Warga tidak dilibatkan dalam keputusan pembangunan kawasan seluas 80 hektare lebih itu.

Pemerintah Halmahera Selatan menandatangani nota kesepahaman dengan Harita pada tahun 2019 untuk relokasi warga ke daerah tersebut. Menurut sebagian warga, daerah itu bekas rawa dan tanaman sagu–yang kemudian ditebang dan dijadikan alas tempat mereka bakal tinggal.

Rumah itu juga tak sebanding dengan rumah saat ini. Dibandingkan salah satu rumah warga tempat saya menginap, misalnya. Meski tidak mewah, dindingnya berupa beton meski yang tidak rata dan ditutupi dengan kertas motif yang sering kita temui di pembungkus kado. Selain punya halaman, rumah itu mampu menampung dua rumah tangga dengan tiga kamar tidur, dapur, dan ruang tengah yang disambi jadi ruang makan. Adapun di permukiman baru, bangunannya kecil; hanya dua kamar tidur.

Sebab itulah, Anis, nelayan Kawasi, bersikeras tak mau pindah.

“Terserah mereka mau ukur, mau bilang pindah kampung saja, tidak tarada mau pindah. Kampung ini, kan, kampung pertama seluruh Pulau Obi, desa ini yang desa yang tertua. Jadi perusahaan datang ke belakang. Kalau dia bikin pabrik harus jauh dari kampung. Ini kampung tara jadi pindah, masyarakat banyak, baik Islam baik Kristen tidak mau pindah,” tegasnya.

Pemerintah Halmahera Selatan pernah berargumen bahwa lingkungan tempat tinggal warga sudah kumuh dan rawan bencana. Mereka berada di titik nol meter dari atas permukaan laut sehingga terancam tsunami. Lagi pula, banyak kendaraan berat yang melintas di area tersebut sehingga lingkungan tidak lagi sehat.

Ketika saya konfirmasi, Kepala Seksi Perencanaan dan Pengkajian Dampak Lingkungan Dinas Lingkungan Hidup Halmahera Selatan Ridwan La Tjadi tak mau berkomentar soal masalah relokasi. Untuk masalah air yang jadi berwarna merah, Ridwan mengklaim bahwa itu soal biasa; bahkan tak ada hal aneh. “Setiap habis hujan, biasanya air laut merah karena memang tanah di Kawasi itu [berwarna] merah,” katanya.

Saya juga bicara dengan Sekretaris Desa Kawasi Frans Datang. Menurutnya sebagian warga masih terbelah, antara yang ingin pindah dan tidak. Dia sendiri setuju dengan keputusan pindah. Frans mengatakan mau tidak mau Desa Kawasi akan menjadi korban kepungan perusahaan tambang. Sebagai imbalan, katanya, di tempat baru mereka harus mendapatkan kesejahteraan–harapan yang bagi sebagian warga sulit dibayangkan akan menjadi kenyataan.

“Kawasi pasti berubah,” kata Frans. “Dampaknya itu debu, jadi relokasi, ya sudahlah. […] Kalau pemerintahnya juga mengharuskan direlokasikan untuk pertambangan, kan, bagus juga.”

Ketika saya mengonfirmasi hasil temuan ke Dinas Lingkungan Hidup yang ada di Kota Bacan, semuanya menolak untuk berkomentar. Ditanya soal keberadaan kepala dinas pun mereka tak mau menjawab. “Kepala dinas sibuk,” kata salah satu staf.

Manajer Komunikasi Perusahaan Grup Harita, Anie Rahmi, menyatakan secara tertulis bahwa perusahaan telah mengelola pertambangan yang sesuai dengan Rencana Pengelolaan Lingkungan Hidup (RKL) dan Rencana Pemantauan Lingkungan Hidup (RPL). Adanya air berwarna merah dianggap perusahaan sebagai hasil sedimentasi belaka dan diperparah karena curah hujan yang tinggi.

“Tapi bukan merupakan limbah dari proses produksi,” kata Anie kepada saya akhir November lalu.

Perusahaan juga mengaku telah membayar ganti rugi tanaman warga di sekitar area pertambangan. Sedangkan untuk tanah sendiri tak dianggap karena sejak awal kepemilikannya atas nama perusahaan.

Untuk masalah relokasi, Harita mengklaim hanya mengikuti arahan dari program Pemda Halmahera Selatan–membangun permukiman baru.

“Tidak ada pemaksaan sama sekali terhadap warga. Mengingat ini adalah program pemerintah daerah, maka hal-hal terkait relokasi diatur oleh pemerintah daerah dengan perusahaan,” dia menambahkan.

(Bersambung…)


Laporan ini merupakan hasil fellowship Pasopati Hijaukan Program Pembangunan bersama Auriga Nusantara.


Felix Nathaniel, meliput isu nasional sebagai reporter dan penulis di Tirto.id sejak 2016

]]>
Perampasan Tanah untuk Akumulasi Kapital: Ihwal Pertambangan di Dairi Sumatra Utara https://indoprogress.com/2022/12/pertambangan-di-dairi/ Mon, 26 Dec 2022 00:24:24 +0000 https://indoprogress.com/?p=237191

Ilustrasi: Illustruth


APA JADINYA kalau sumber daya alam melukai masyarakat? Salah satu cara menjawabnya adalah dengan melihat apa yang dialami masyarakat Kabupaten Dairi, Sumatra Utara. Timah hitam (timbal) dan seng di bawah tanah yang dipijak, di mana biasanya terdapat pertanian di atasnya, menjadi dalih menyingkirkan masyarakat dari ruang hidupnya. Dua logam itu dikeruk demi kepentingan segelintir korporasi dibantu instrumen hukum dan pemerintahan.

Luka masyarakat Dairi dipicu dan terus diperdalam oleh PT. Dairi Prima Mineral (DPM) yang mendapatkan izin eksplorasi dan kemudian operasi produksi penambangan sampai saat ini. DPM mendapat Kontrak Karya (KK) Generasi VII berdasarkan SK Presiden Republik Indonesia Nomor B.53/Pres/1/1998 tertanggal 19 Januari 1998. Lahan yang mereka dapat seluas 27.520 Ha, membentang dari Sumatra Utara sampai Nanggroe Aceh Darussalam. Sejak 2018, DPM menjadi perusahaan patungan antara Bumi Resources Mineral milik Keluarga Bakrie dan perusahaan milik Tiongkok bernama China Nonferrous Metal Industry’s Foreign Engineering and Construction (NFC).

Tapi selain luka juga muncul kisah perlawanan dan perjuangan masyarakat mempertahankan ruang hidup dari gerusan perusahaan tambang yang ditopang negara itu.


Hadirnya Dairi Prima Mineral

Pasca naiknya rezim neoliberal Soeharto, investasi asing dan dalam negeri (ekspansi kapital) menjadi indikator utama dalam pembangunan. Akomodasi hukum dan kebijakan untuk itu turut ikut di belakangnya. UU No. 1/1967 tentang Penanaman Modal Asing, misalnya, seperti otomatis lahir di awal masa kepemimpinan Soeharto.

UU pertama era Orba itu diikuti oleh berbagai UU sektoral, salah satunya UU No. 11/1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan. UU ini menggunakan bentuk perjanjian berupa Kontrak Karya dan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) antara negara dan swasta. Kontrak Karya dan PKP2B diberikan kepada perusahaan swasta untuk melakukan eksplorasi dan operasi produksi di beberapa daerah potensial.

Peraturan itulah yang memungkinkan Dairi Prima Mineral mengantongi Kontrak Karya, melegitimasi mereka untuk melakukan eksplorasi hingga operasi produksi.

Perusahaan dengan leluasa mulai “menata” daerah di sekitar operasi pertambangan agar “ramah” terhadap bisnisnya. Selain mendapatkan legalitas atas seluruh kegiatan pertambangan dari negara, mereka juga sebisa mungkin menciptakan ruang sosial yang “ramah”.

DPM wajib melakukan pembebasan tanah milik masyarakat di sekitar wilayah operasi. Mereka butuh tanah yang disulap menjadi komoditas atas nama “pembebasan lahan”. DPM diuntungkan atas tren sertifikasi tanah individual pada warga sekitar tambang. Tanah-tanah komunal yang terpecah dan tersertifikasi secara individual tentu lebih mudah untuk dikuasai.

Paradigma “tanah sebagai komoditas” kemudian terus terpatri di kepala masyarakat. Narasi-narasi dari DPM juga memperdalam hal tersebut, yaitu: Apabila masyarakat menjual tanah untuk ditambang, hidup mereka akan sejahtera. Bahkan tambang sendiri yang akan menyejahterakan mereka. Uang dari penjualan tanah memang menggiurkan meski tidak akan cukup untuk menopang hidup dalam waktu yang lama. Karena itu DPM berjanji memberikan pekerjaan kepada masyarakat sebagai bagian dari narasi “investasi menunjang kesejahteraan”.

Terus berekspansi seperti kasus di atas adalah keniscayaan kapitalisme. Kapitalisme membutuhkan solusi ruang (spatial fix) sebagai objek “penyuntikan” kapital guna menghindari krisis yang merupakan bagian inheren dalam dirinya (Harvey, 2018). Penghindaran krisis juga dapat kita lihat dari riwayat bisnis Bumi Resources Mineral. Mereka saat ini paling tidak telah melakukan eksplorasi dan mengantongi izin operasi produksi di Palu, Gorontalo dan Linge.

Guna menjamin ketersediaanya, produksi ruang berlangsung dengan mengatribusi suatu teritorial dengan apa yang paling dapat dieksploitasi (dalam konteks Dairi adalah seng dan timah hitam). Untuk ini, hukum dan kebijakan memainkan peran penting. Hal ini tampak jelas ketika mereka mengajukan Addendum ANDAL RKL-RPL  tahun 2019. Addendum atau amandemen adalah dokumen yang harus dibuat jika hendak mengubah izin lingkungan.  

Salah satu yang hendak mereka ubah adalah sarana pengolahan limbah dan bahan peledak (handak). Lokasinya terlalu dekat dengan permukiman warga. Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) menemukan bahwa apabila bendungan dan gudang handak dibangun di Tiongkok, perusahaan akan melanggar regulasi. Tidak ada konsekuensi hukum yang diterima DPM hingga saat ini dari Indonesia.

Jejak bisnis NFC di sektor pertambangan tidak bersih. Tercatat sebuah kecelakaan yang disebabkan ledakan gudang handak di Zambia menewaskan 51 orang. Pun dengan perusahaan rekannya. Kita bisa melihat dosa Keluarga Bakrie pada peristiwa Lumpur Lapindo di Sidoarjo, Jawa Timur. 

Sampai di sini terlihat bagaimana Dairi adalah ruang yang diproduksi untuk akumulasi kapital khususnya sektor pertambangan.


Peminggiran Pranata Adat

Masih dalam konteks komodifikasi tanah, meminggirkan pranata adat adalah tugas penting kapitalis guna meminimalisasi hambatan investasi. Salah satu pranata yang menghambat modal itu adalah pengelolaan bersama atas tanah.

Pengarusutamaan mengelola tanah secara komunal sudah mulai tergerus setidaknya dalam dua sampai tiga dasawarsa ke belakang. Dalam konteks wilayah tambang di Dairi, kehadiran DPM membuat tanah berubah fungsi dan bernilai ekonomis sehingga mendorong terjadinya tarik-menarik kepemilikan hak. Tanah mulai dipandang dapat diperjualbelikan seturut mekanisme pasar atau seolah seturut pranata adat (disebut “seolah” karena dimanipulasi).

Kondisi ini dikehendaki oleh DPM. Pembebasan tanah-tanah individual akan lebih mudah dibanding tanah komunal, apalagi berbasis pranata adat. 

Sebelumnya jual beli tanah tidak boleh dilakukan sembarangan. Dulu seluruh tanah dikelola secara bersama dan tanah sendiri bersifat komunalistik-religius bukan ekonomis (Manurung 2009). Perubahan nilai ini dapat dilihat dari perkembangan relasi antara Cibro yang merupakan marga tanoh (marga pembuka kampung) di Desa Bongkaras, Tungtung Batu, Longkotan dan Bonian dengan marga lain serta pendatang etnis Toba dan Simalungun. Saat ini, meski sulang silima marga Cibro (lembaga adat marga Cibro) masih sering dilibatkan dalam transaksi tanah ulayat marga, ketentuan-ketentuan tidak tertulis tidak lagi diterapkan secara memadai–termasuk dalam agenda pemulusan pembebasan tanah.

Sejak 2007, lembaga-lembaga adat marga sebagai Pemegang Hak Ulayat (PHU) memang diaktifkan kembali, tapi sekadar menjadi organisasi yang “membantu” pembebasan tanah ulayat kepada DPM. Upacara adat pembebasan tanah untuk tambang sering diterapkan secara manipulatif, misalnya dalam upacara rading beru. DPM berperan seolah-olah anak perempuan yang diberi tanah oleh marga tertentu. Cara itu jelas merupakan upaya peminggiran pranata adat karena dimanipulasi agar sesuai kepentingan kapital.

Kegagalan akumulasi kapital memang dapat disebabkan oleh sistem hukum dan administrasi tradisional seperti di atas. Untuk kelancaran akumulasi, semua itu perlu disingkirkan. Hukum harus menjadi pranata yang menunjang keberhasilan akumulasi kapital, dan bukan sebaliknya yakni menjadi hambatan.

Max Weber mengatakan akumulasi kapital membutuhkan hukum untuk memberikan perhitungan (calculability) dan prediksi (predictability) (Weber, 1978). Dalam hal ini hukum harus pasti agar mampu memberikan pijakan bagi kapitalis dalam menyusun “rencana bisnis” tanpa hambatan. Kelancaran akumulasi kapital ditentukan oleh seberapa mampu (pasti) hukum mengakomodasi setiap proses dan menyediakan perhitungan baku bagi langkah-langkah yang akan diambil.

Ini dapat dirasakan dari semangat deregulasi dalam pembentukan peraturan belakangan. Semakin sedikit hukum yang diberlakukan bagi kegiatan bisnis, semakin mudah ia diprediksi dan semakin gampang pula bagi kapitalis mengambil langkah.

Bila dikaitkan dengan bisnis pertambangan yang hadir di Dairi dan banyak daerah lain, maka peminggiran instrumen dan institusi hukum tradisional menjadi perlu, bahkan wajib. Pranata adat adalah pranata yang “hidup” dan senantiasa menyesuaikan diri dengan keadaan materiil kelompok. Sifatnya yang hidup mengaburkan secara bersamaan predictability dan calculability.  

Kondisi demikian tidak disukai kapitalis, termasuk DPM. Pranata adat, bila dibiarkan hidup “dengan sebenar-benarnya” berdampingan dengan proses akumulasi kapital, akan mendistraksi kepentingan kapital sepanjang jalan. Maka peminggiran pranata adat dan/atau memanipulasinya sehingga sesuai dengan kepentingan DPM menjadi suatu keharusan.


Perampasan Tanah dan Konflik Semu

Perampasan tanah sering disempitkan maknanya dengan penggusuran, kekerasan, dan semacamnya yang bernuansa “melawan hukum”. Apakah perpindahan hak yang memenuhi syarat legal-formal tidak dapat disebut sebagai perampasan tanah? Tentu bisa!

Adalah naif untuk melihat perpindahan hak atas tanah yang “resmi”, “sah” atau “legal” selalu berlangsung dalam posisi setara. Poin penting dari perampasan tanah adalah perubahan kontrol/penguasaan tanah sebagai penunjang akumulasi kapital. Karena itu tidaklah berlebihan untuk memvonis DPM melakukan manipulasi ke masyarakat supaya mau “membebaskan” tanah mereka. Di sini, apa yang dilakukan DPM dapat dilihat dalam konteks powers of exclusion atau kuasa eksklusi; mulai dari regulasi, pemaksaan, pasar dan legitimasi (Hall, Li, Hirsch, 2011).

DPM menggunakan narasi pembangunan dan kesejahteraan, dan di saat yang sama mengupayakan dirinya hadir sebagai malaikat yang mampu memberi kesejahteraan. Kuasa legitimasi diperoleh menggunakan basis moral yang diterima banyak pihak, dan lambat laun menjadi nalar wajar (common sense) di tengah masyarakat sekitar tambang.

Narasi seperti “DPM membuka lapangan pekerjaan bagi putra-putri Dairi” mulai tampak normal bahkan diterima. Ini terlihat dari adanya masyarakat yang pro-tambang. Mereka kerap mengusir aksi penolakan tambang dengan dalih “kami butuh pekerjaan,” “investasi akan membawa kesejahteraan,” dan lainnya. Investasi dan kesejahteraan berjalan beriringan dalam nalar wajar masyarakat lingkar tambang pasca-kehadiran DPM.

Masyarakat sebisa mungkin direkonstruksi menjadi kelompok-kelompok dengan kepentingan yang bertolak belakang. Masyarakat yang tidak mau menjual tanahnya, atau masyarakat penolak tambang, akan dilabeli sebagai kelompok anti-pembangunan, tidak mau maju, atau kolot. Fenomena demikian terjadi beberapa kali, dipakai kelompok masyarakat yang pro-tambang untuk mendukung kehadiran DPM. 

Konflik yang terjadi di masyarakat semata-mata adalah konflik yang diciptakan DPM untuk memuluskan jalan bagi bisnis kotornya. Masyarakat dan pranata yang diakui secara tradisional terpinggirkan oleh akumulasi kapital. Apa yang dilakukan DPM tidak lain adalah perampasan tanah.


Untuk Gerakan yang Lebih Berkelanjutan

Saya ingin menutup tulisan ini dengan terlebih dahulu mengucapkan selamat dan apresiasi atas perjuangan masyarakat Dairi hingga akhirnya menang sengketa informasi data tambang di tingkat banding. Saya tak terlibat langsung, hanya ikut sekali dalam aksi di PTUN Jakarta, beberapa hari sebelum PTUN “memenangkan” masyarakat.

Saya melihat betapa masyarakat terorganisasi dengan baik dan konsisten, bahkan hingga putusan di tingkat banding di PTUN Jakarta. Beberapa bahkan terbang dari Dairi untuk memperjuangkan tanah mereka; memperjuangkan hidupnya sebagai sebuah komunitas, yang bukan tanpa tantangan. Meninggalkan sawah dan kebun untuk ikut dalam aksi sudah merupakan tantangan besar.

Data tambang memang harus transparan dan putusan PTUN Jakarta adalah kemenangan signifikan. Namun perjuangan dan perlawanan tidak boleh berhenti pada sengketa informasi.

Dari segala hal yang telah dilakukan DPM, kita dapat menyimpulkan bahwa kesalahannya bukan saja pada hal-hal administratif, melainkan kegiatan penambangan dan kehadiran DPM sendiri yang problematik. Tambang layak untuk ditolak.

Saya tetap yakin kalau keterbukaan informasi semakin membuka mata kita, bahkan mungkin menjadi dasar untuk mengusir DPM lewat jalur hukum, untuk kemudian menolak segala kegiatan tambang di Dairi. Tetapi yang harus diingat, syarat mendasarnya adalah memandang kehadiran DPM sebagai pelaku perampasan tanah.

DPM tidak hanya berisiko menimbulkan kerusakan ekologis, namun juga telah membuktikan daya rusak sosial yang besar. DPM memecah masyarakat menjadi pendukung dan penolak tambang. Maka mari lakukan penyadaran akan bahaya tambang lebih luas lagi. Advokasi hukum tidak akan pernah cukup, ia harus dibarengi penyadaran bahwa tambang akan merusak alat produksi masyarakat (tanah untuk pertanian), relasi sosial, hingga lingkungan hidup.

Apabila masyarakat menggunakan cara pandang demikian, maka gerakan penolakan tidak akan gampang mengalami delegitimasi. Kita tidak hanya mampu melihat dosa-dosa DPM dalam kerangka hukum, namun juga analisis ekonomi-politik. Begitulah semestinya perjuangan masyarakat di semua daerah yang juga berjuang melawan perampasan tanah mereka.

Kesadaran harus dibangun, dan daya rusak kapitalisme harus dipandang sebagai akibat dari sebuah sistem, bukan kasuistis. Solidaritas masyarakat harus terus terorganisasi dengan baik, sepanjang perampasan tanah atas nama investasi (akumulasi kapital) masih membayangi; sepanjang investasi masih menjadi indikator utama pembangunan di dunia neoliberal.


Referensi

Hall, Derek, Philip Hirsch, Tania M. Li. “Introduction to powers of exclusion: land dilemmas in Southeast Asia.” 2011.

Harvey, David. The Limits to Capital. Verso Books. 2018.

Manurung, Sandrak H. Penguasaan Tanah (Kajian Deskriptif Terhadap Kelompok Pendatang di Desa Bongkaras, Kecamatan Silima Pungga-pungga, Kabupaten Dairi, Sumatera Utara). Universitas Sumatera Utara. 2009.

Weber, Max. Economy and society: An outline of interpretive sociology. Vol. 2. University of California press, 1978.


Dion Pardede, Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

]]>