Sejarah – IndoPROGRESS https://indoprogress.com Media Pemikiran Progresif Thu, 19 Jun 2025 23:17:05 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.4.3 https://indoprogress.com/wp-content/uploads/2021/08/cropped-logo-ip-favicon-32x32.png Sejarah – IndoPROGRESS https://indoprogress.com 32 32 Luka yang Tak Terwakili dalam Narasi Negara https://indoprogress.com/2025/06/luka-yang-tak-terwakili-dalam-narasi-negara/ Thu, 19 Jun 2025 23:17:05 +0000 https://indoprogress.com/?p=239028

Ilustrasi: illustruth


PENYUSUNAN ulang sejarah resmi tidak bisa dianggap sebagai kado ulang tahun ke-80 republik seperti yang dikatakan pemerintah. Di baliknya tersembunyi motif yang patut diungkap. Penulisan sejarah resmi oleh negara bukanlah praktik netral, melainkan strategi hegemonik untuk mengukuhkan legitimasi ideologis; upaya yang dapat dibaca sebagai konsolidasi narasi dominan demi membentuk kesadaran nasional yang sesuai dengan kepentingan kekuasaan saat ini. Proyek semacam ini sering kali menjadi sarana untuk meneguhkan identitas politik tertentu dengan mengorbankan representasi kelompok-kelompok yang mengalami kekerasan sejarah. 

Untuk melihat bagaimana negara secara sistematis menampilkan sejarah secara selektif, tulisan ini akan mengangkat dua periode kekerasan paling besar dalam sejarah Indonesia, pembantaian 1965-1966 dan pemerkosaan Reformasi 1998.


I. Pembantaian 1965-1966

Negara dan Politik Pelupaan

Dalam periode 1965–1966, lebih dari 500 ribu orang diyakini menjadi korban pembantaian dengan dalih penumpasan Partai Komunis Indonesia (PKI). Namun, seperti ditunjukkan oleh John Roosa, narasi kudeta oleh PKI adalah dalih semata (Roosa, 2006). Bukti-bukti kuat berasal dari arsip-arsip militer (Melvin, 2018) dan kesaksian korban yang dikumpulkan dalam proyek-proyek sejarah lisan oleh lembaga swadaya masyarakat yang bergerak di bidang hak asasi manusia (Roosa et al., 2004). Dalam buku Tahun yang Tak Pernah Berakhir, wawancara dengan para penyintas menunjukkan bahwa banyak penangkapan dan pembunuhan dilakukan oleh militer lokal tanpa proses hukum, sering kali sekadar berdasarkan laporan dari tetangga atau aparat desa, bukan karena keterlibatan nyata dalam aktivitas PKI (Roosa et al., 2004). Kekerasan ini adalah operasi yang dirancang secara sistematis oleh militer (Robinson, 2018), yang juga mendapat legitimasi internasional sebagai bagian dari Perang Dingin sebagaimana dikaji Mattias Fibiger, yang menyebut rezim Soeharto sebagai pion regional dalam proyek kontra-revolusioner Amerika Serikat (Fibiger, 2023).

Di atas tumpukan tubuh tak bernyawa, narasi negara mendefinisikan peristiwa ini sebagai “penyelamatan bangsa”—dan melanggengkannya melalui film, museum, patung, kurikulum sekolah, serta upacara kenegaraan. Sebagaimana ditulis Ariel Heryanto, ini adalah bentuk teror simbolik: bukan hanya membungkam para korban, tetapi juga mengontrol cara rakyat mengingat dan menceritakan masa lalu mereka (Heryanto, 2005).

Negara menarasikan tragedi 1965 sebagai “pemberontakan” yang berhasil digagalkan. Dalam narasi ini, militer adalah pahlawan, sedangkan korban dihapuskan dari teks. Narasi ini dikokohkan melalui kurikulum pendidikan sejarah di sekolah menengah, buku teks resmi seperti Sejarah Nasional Indonesia, dan penggambaran visual dalam film Pengkhianatan G30S/PKI yang disiarkan setiap tahun hingga 1998. Seperti ditunjukkan Saskia Wieringa, penggambaran perempuan Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani) sebagai sadis dan tidak bermoral adalah bagian dari strategi misoginis negara dalam membentuk lanskap ingatan yang domestik, patriarkal, dan penuh rekayasa (Wieringa, 2002; 2019). Propaganda ini berhasil membangun ketakutan moral yang hingga kini masih bekerja secara efektif dalam menekan wacana alternatif.

Grace Leksana menyebut domestikasi ruang-ruang publik oleh negara sebagai pembentukan “lanskap ingatan” (Leksana, 2023). Budiawan (2004) menambahkan bahwa wacana anti-komunis telah menjadi struktur wacana yang diwariskan lintas rezim—dari Orde Baru hingga era Reformasi—yang terus-menerus mendefinisikan siapa yang dianggap sebagai bagian dari bangsa dan siapa yang dikucilkan. Dengan demikian, kita tidak sedang berhadapan dengan sejarah, tetapi dengan narasi tentang sejarah yang sangat politis.

Luka yang Tak Terucap: Trauma, Diam, dan Perjuangan Ingatan

Luka yang tidak diakui ini menjalar antar-generasi. Para penyintas dan keluarga korban tak hanya kehilangan orang yang dicintai, tetapi juga hak hidup, pekerjaan, pendidikan, dan martabat. Mereka dicap “eks-tapol”, disisihkan secara sosial, dan diawasi dalam diam. Trauma mereka diwariskan dalam bisik-bisik keluarga, cerita makan malam, dan nyanyian tidur. Salah satu kisah dalam buku Tahun yang Tak Pernah Berakhir mengisahkan seorang perempuan di Blitar yang baru menyadari bahwa ayahnya korban pembantaian setelah menemukan catatan rahasia yang disembunyikan ibunya selama puluhan tahun (Roosa et al., 2004). Leksana menyebut bentuk pewarisan seperti ini sebagai “ingatan terbenam” (embedded remembering), di mana memori trauma tetap hidup meskipun tidak diberi ruang dalam narasi resmi. John Roosa dan Hilmar Farid menyebut bentuk ingatan ini sebagai “ingatan yang terpenjara” (Roosa et al., 2004).

Dua film Joshua Oppenheimer—The Act of Killing (2012) dan The Look of Silence (2014)—menunjukkan dengan jelas bagaimana narasi pelaku dan korban beradu dalam ranah ingatan publik. The Act of Killing bahkan memperlihatkan bagaimana para algojo bangga atas pembantaian yang mereka lakukan, sementara The Look of Silence berfokus pada keberanian seorang adik korban untuk menghadapi para pembunuh saudaranya. Respons publik terhadap film ini sangat beragam: di satu sisi, banyak penonton yang terguncang dan mulai mempertanyakan narasi resmi; di sisi lain, negara dan sebagian elite militer menunjukkan resistansi dan menolak untuk membuka kembali peristiwa ini. Penolakan terhadap pemutaran film secara luas di Indonesia mencerminkan betapa narasi negara masih dominan dan berusaha menutupi ruang bagi ingatan alternatif. Gerombolan pelaku merasa bangga karena negara tak pernah menindak mereka, sementara para korban hanya bisa menyimpan dendam dan duka dalam sunyi.


II. Pemerkosaan Mei 1998

Kekerasan Simbolik dan Politik terhadap Perempuan

Dalam bincang-bincang di sebuah stasiun televisi pada 8 Juni silam,  Menteri Kebudayaan Fadli Zon melontarkan pernyataan kontroversial. Ia meragukan terjadinya pemerkosaan massal terhadap perempuan dalam kerusuhan Mei 1998. Menurutnya itu sebatas rumor. “Enggak ada proof-nya,” katanya. Peristiwa itu “hanya cerita” yang menurutnya belum ada dalam buku sejarah. Klaim ini, alih-alih menawarkan klarifikasi sejarah, justru memperpanjang derita para korban dan mencerminkan sikap negara yang terus gagal menegakkan keadilan.

[TW: dua paragraf berikutnya memuat konten eksplisit tentang kekerasan seksual dan rasial]

Laporan Komnas Perempuan dan Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) menunjukkan bahwa dalam kurun waktu Mei–Juli 1998, setidaknya 168 kasus kekerasan seksual terjadi terutama di Jakarta, termasuk pemerkosaan bergilir, penyiksaan seksual, mutilasi, dan pembakaran hidup-hidup (Komnas Perempuan, 1999). Komnas Perempuan menyebut sebagian besar korban adalah perempuan Tionghoa. Korban lain termasuk perempuan pekerja dan perempuan miskin kota yang kebetulan berada di wilayah kekerasan massa. Kenapa mayoritas perempuan Tionghoa yang jadi target pemerkosaan? Dalam laporan itu disebut: perempuan Tionghoa secara khusus ditargetkan karena simbolisasi mereka sebagai “asing”, “kaya”, dan bukan bagian dari bangsa Indonesia.

Lebih lanjut laporan itu menulis: kekerasan itu bukan kebetulan atau spontan. Ia adalah kekerasan simbolik dan politik, mengandung pesan: “karena kamu Cina, kamu diperkosa.” Pemerkosaan dijadikan alat untuk menghina identitas etnis, meruntuhkan harga diri komunitas, dan menanamkan teror. Dalam banyak kasus, pemerkosaan dilakukan secara berkelompok, di depan keluarga, bahkan sambil diteriakkan makian rasial (TGPF, 1999). Artinya tubuh perempuan dijadikan “panggung” simbolis untuk mempermalukan komunitas yang disasar—rasial, kelas, dan gender menjadi titik temu kekerasan politik.

Ariel Heryanto dalam esainya yang penting, Rape, Race, and Reporting (1999), menjelaskan bahwa kekerasan seksual Mei 1998 memiliki empat karakteristik: (1) kebrutalan yang dipertontonkan secara masif, (2) penciptaan rasa takut kolektif, (3) kekebalan pelaku dari hukum, dan (4) absurditas dari tindakan itu sendiri—bahwa ia terjadi bukan karena kebutuhan, melainkan demi mempertahankan dominasi simbolik.

Kekerasan ini bukan sekadar tindak kriminal melainkan bagian dari struktur kekuasaan negara pascakolonial yang bersifat maskulin dan represif. Pemerkosaan itu merupakan bentuk kekerasan simbolik yang dirancang untuk menanamkan rasa takut kepada kelompok tertentu: perempuan, etnis Tionghoa, dan warga sipil. Ia menyebut bahwa kekerasan ini dilakukan dalam konteks “vulgar masculinist postcolonial state power”, sebuah relasi kuasa yang menggabungkan brutalitas maskulin, kekebalan hukum bagi pelaku, dan represi negara. Kekerasan tersebut menyasar tubuh perempuan untuk menunjukkan dominasi politik dan kultural atas komunitas yang dianggap “asing” dan tidak berhak atas rasa aman di Indonesia.

Heryanto juga menyingkap lapisan lain dari tragedi ini: para secondary victims (korban sekunder)—mereka yang tidak diperkosa secara langsung namun hidup dalam ketakutan, stigma, dan kerentanan yang ekstrem. Dalam konteks perempuan Tionghoa, banyak yang meninggalkan Indonesia, berhenti bekerja, atau mengasingkan diri akibat trauma kolektif yang tidak pernah diakui negara secara utuh.

Hal ini ditegaskan pula oleh Charlotte Setijadi dalam Memories of Unbelonging (2023). Ia menulis bahwa peristiwa Mei 1998 meninggalkan luka identitas mendalam bagi etnis Tionghoa di Indonesia. Perempuan-perempuan Tionghoa tidak hanya menjadi korban kekerasan seksual, tetapi juga menjadi lambang dari eksistensi yang selalu disangkal oleh negara. Setijadi menuliskan bagaimana perempuan Tionghoa menjadi simbol dari konstruksi “yang asing” di Indonesia—meski telah hidup di tanah ini selama generasi. Saat kerusuhan terjadi, perempuan dari komunitas ini tidak hanya diserang karena jenis kelamin, tetapi juga karena representasi simboliknya sebagai “komunitas asing yang makmur”—narasi lama yang terus dihidupkan oleh elite kekuasaan.

Pemerkosaan terhadap perempuan Tionghoa dalam kerusuhan Mei 1998 adalah bentuk kekerasan politik berbasis ras dan gender, yang dipicu oleh runtuhnya legitimasi Orde Baru dan dibiarkan oleh aparat keamanan. Jemma Purdey dalam Anti-Chinese Violence in Indonesia (2006) menyebut bahwa serangan tersebut dilandasi oleh pengorganisasian yang memungkinkan kekerasan menjadi alat penyaluran frustrasi kolektif sambil tetap menjamin keamanan pelaku.

Hingga kini, tidak satu pun pelaku kekerasan seksual dibawa ke pengadilan. Laporan Komnas HAM dalam Merawat Ingatan Menjemput Keadilan (2020) menyatakan bahwa rekomendasi penyelidikan oleh Komnas Perempuan, TGPF, maupun lembaga internasional tidak pernah ditindaklanjuti secara serius oleh negara. Hanya tiga dari lima belas kasus pelanggaran HAM berat yang berhasil dibawa ke meja hijau, dan pemerkosaan Mei 1998 bukan salah satunya. Padahal, Presiden B.J. Habibie dalam autobiografinya Detik-detik yang Menentukan: Jalan Panjang Indonesia Menuju Demokrasi  (2006) secara eksplisit menyatakan telah menerima langsung kesaksian dari para relawan dan korban kekerasan seksual, yang kemudian mendorongnya membentuk Komnas Perempuan dan mengutuk kekerasan itu secara publik. Ia menyadari bahwa keadilan tidak bisa ditunda, dan negara harus bertanggung jawab.

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.


Penutup: Dari Luka yang Disangkal ke Ingatan yang Diperjuangkan

Sejarah Indonesia dalam versi resmi kerap tampil dalam narasi yang rapi, tertib, dan penuh kepastian. Namun, di balik konstruksi itu, terdapat kekacauan, luka, dan penderitaan yang disingkirkan. Tragedi 1965 dan kekerasan seksual dalam kerusuhan Mei 1998 adalah dua peristiwa besar yang tak hanya ditandai oleh kebrutalan, tetapi juga oleh upaya sistematis negara untuk menafikan keberadaannya dalam memori kolektif bangsa.

Setelah pembantaian massal 1965, negara menyusun narasi tunggal tentang “penumpasan pengkhianatan G30S/PKI”, menjadikan militer sebagai pahlawan dan menghapus para korban dari sejarah resmi. Kisah tentang ratusan ribu orang yang dibunuh, dipenjara, dan disiksa tanpa proses hukum dikaburkan lewat kurikulum, film propaganda, dan monumen. Dalam narasi ini, kebenaran tidak hanya diredam, tetapi juga direkayasa secara simbolik.

Tiga dekade kemudian, pada Mei 1998, sejarah kekerasan berulang. Di tengah keruntuhan Orde Baru, kekerasan massal menyasar komunitas Tionghoa. Tubuh perempuan menjadi simbol dominasi politik—diperkosa, dibakar, disiksa—bukan karena siapa mereka secara personal, tetapi apa yang mereka wakili secara etnis dan sosial. Namun, seperti pada 1965, tragedi ini segera dibungkam. Negara membentuk tim investigasi, tapi tak satu pun pelaku diadili. Peristiwa itu tidak diajarkan di sekolah, tidak ada peringatan nasional, bahkan tidak ada pengakuan formal yang konsisten.

Elizabeth Drexler dalam Infrastructures of Impunity (2024) menjelaskan bahwa kekerasan negara di Indonesia bukan hanya soal tindakan fisik, tetapi dilestarikan melalui infrastruktur impunitas: hukum yang tumpul, institusi yang lemah, dan narasi yang selektif. Kekerasan terjadi tetapi dihapus dari buku teks, tidak disebut dalam peringatan resmi, dan tidak mendapat tempat dalam kurikulum pendidikan nasional. Dengan kata lain, kekerasan itu tidak selesai di jalanan, melainkan terus berlangsung dalam bentuk penyangkalan dan penghapusan ingatan.

Puncak dari penyangkalan ini terjadi pada 8 Juni 2025, ketika Menteri Kebudayaan Fadli Zon menyatakan bahwa “tidak ada bukti pemerkosaan massal pada Mei 1998.” Pernyataan ini bukan sekadar penolakan fakta, tetapi bentuk kekerasan simbolik yang membunuh kembali para korban yang telah dihancurkan oleh trauma dan pengabaian. Seperti dicatat Komnas HAM (2020), inilah bentuk nyata dari politik impunitas—negara yang tidak hanya gagal memberikan keadilan, tetapi secara aktif memproduksi kebisuan.

Apa yang terjadi bukan sekadar penghilangan data atau kejadian, melainkan produksi makna yang dimonopoli oleh negara. Sejarawan posmodern seperti Alun Munslow menegaskan bahwa sejarah bukanlah cermin objektif dari masa lalu, melainkan konstruksi naratif yang dibentuk oleh ideologi, posisi sosial, dan strategi wacana dari penulisnya (Munslow, 2006). Sejarah tidak ditemukan, tetapi diciptakan—melalui proses emplotment dan troping, yakni pemilihan fragmen, struktur, dan bahasa yang mengarahkan pemaknaan tertentu. 

Menurut Munslow, sejarah bukan tentang “apa yang sebenarnya terjadi”, tetapi soal bagaimana peristiwa itu dinarasikan. Dalam konteks negara, sejarawan memilih dan menyusun fragmen-fragmen masa lalu dalam plot tertentu—romansa, tragedi, atau satire—yang pada akhirnya mengukuhkan posisi kekuasaan. Dalam sejarah Indonesia, terutama pasca-1965, yang terbentuk adalah emplotment hegemonik yang represif dan eksklusif terhadap suara korban.

Narasi resmi yang lahir dari proses ini selalu tampak sah dan tertutup. Namun kenyataan sejarah bersifat kompleks dan penuh luka. Munslow menyebutnya sebagai sublime history—sejarah yang tak dapat direpresentasikan sepenuhnya karena kedalaman traumanya. Ketika menulis sejarah hanya sebagai laporan kronologis “apa yang terjadi” dan menutup ruang tafsir dari perspektif korban, maka negara sedang menyingkirkan kemungkinan narasi yang lebih adil dan manusiawi.

Dalam kondisi semacam ini, kita membutuhkan sejarah yang jujur bukan untuk membuka luka lama, tetapi menyembuhkannya. Pendekatan dekonstruksionis seperti yang ditawarkan Munslow sangat relevan: kita harus menyadari bahwa setiap sejarah adalah representasi—dan karenanya, harus membuka ruang bagi representasi alternatif, khususnya dari mereka yang selama ini dibungkam.

Rekonsiliasi yang sejati hanya mungkin terjadi jika sejarah ditulis dari sudut pandang yang inklusif dan plural. Seperti dikemukakan John Roosa (2020), rekonsiliasi tidak mungkin terwujud tanpa pengakuan negara, penyebutan pelaku, dan restitusi bagi korban. Tanpa elemen-elemen itu, yang kita miliki hanyalah “rekonsiliasi semu” yang melanggengkan impunitas dan memperkuat dominasi narasi negara.

Luka sejarah bukan sekadar urusan masa lalu; ia adalah persoalan hari ini dan masa depan. Jika kita terus membiarkan negara menarasikan sejarah secara tunggal dan hegemonik, kita sedang menciptakan generasi yang buta terhadap nilai-nilai kemanusiaan. Perjuangan melawan pelupaan adalah perjuangan untuk keadilan yang paling dasar.

Reformasi 1998 memang melahirkan harapan, tetapi juga mewariskan pengkhianatan—terutama terhadap para perempuan yang tubuhnya dijadikan medan perang simbolik. Mereka diperkosa bukan karena kesalahan pribadi, tetapi karena konstruksi sosial yang menjadikan mereka target.

Maka pertanyaannya kini bukan sekadar “apa yang terjadi”, tetapi: sejarah siapa yang sedang ditulis? Jika pemerkosaan massal Mei 1998 dan pembantaian 1965 terus dihapus dari ingatan sejarah nasional, maka yang kita rayakan di ulang tahun Indonesia yang ke-80 nanti bukanlah kebebasan, melainkan keberhasilan penyingkiran.

Melawan pelupaan bukan nostalgia akan luka lama, melainkan perlawanan terhadap kekuasaan yang terus berusaha menghapus jejak kekerasan yang dilakukannya.


Referensi

Budiawan. Mematahkan Pewarisan Ingatan: Wacana Anti-Komunis dan Politik Rekonsiliasi Pasca-Suharto. Jakarta: ELSAM, 2004.

Drexler, Elizabeth. Infrastructures of Impunity: New Order Violence in Indonesia. Cornell University Press, 2024.

Fibiger, Mattias. Suharto’s Cold War: Indonesia, Southeast Asia, and the World. Oxford: Oxford University Press, 2023.

Habibie, B.J., Detik-detik yang Menentukan: Jalan Panjang Indonesia Menuju Demokrasi. Jakarta: THC Mandiri, 2006.

Heryanto, Ariel, “Rape, Race, and Reporting”, dalam Reformasi: Crisis and Change in Indonesia, ed. Arief Budiman dkk. Monash Asia Institute, 1999. 

Heryanto, Ariel. State Terrorism and Political Identity in Indonesia: Fatally Belonging. London & New York: Routledge, 2005.

Komnas HAM. Merawat Ingatan Menjemput Keadilan: Ringkasan Eksekutif Peristiwa Pelanggaran HAM Yang Berat. Jakarta: Komnas HAM, 2020. 

Komnas Perempuan, Seri Dokumen Kunci: Laporan TGPF dan Relawan untuk Kemanusiaan, Jakarta: Komnas Perempuan, 2002.

Leksana, Grace Tjandra. Memory Culture of the Anti-Leftist Violence in Indonesia: Embedded Remembering. Amsterdam: Amsterdam University Press, 2023.

Melvin, Jess. The Army and the Indonesian Genocide: Mechanics of Mass Murder. Ithaca, NY: Cornell University Press, 2018.

Munslow, Alun. Deconstructing History. 2nd ed. London & New York: Routledge, 2006.

Purdey, Jemma. Anti-Chinese Violence in Indonesia, 1996–1999. Honolulu: University of Hawai‘i Press, 2006.

Robinson, Geoffrey B. The Killing Season: A History of the Indonesian Massacres, 1965–66. Princeton, NJ: Princeton University Press, 2018.

Roosa, John, et al. Tahun yang Tak Pernah Berakhir: Memahami Pengalaman Korban 65. Jakarta: ELSAM (Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat), 2004.

Setijadi, Charlotte. Memories of Unbelonging: Ethnic Chinese Identity Politics in Post-Suharto Indonesia. Honolulu: University of Hawai‘i Press, 2023.

Wieringa, Saskia E. Sexual Politics in Indonesia. Houndmills, Basingstoke, Hampshire & New York: Palgrave Macmillan, 2002.

Wieringa, Saskia E., and Nursyahbani Katjasungkana. Propaganda and the Genocide in Indonesia: Imagining Victims and Perpetrators. London & New York: Routledge, 2019.


Dian Purba, alumni Pascasarjana Ilmu Sejarah Universitas Gadjah Mada dan dosen di Institut Agama Kristen Negeri (IAKN) Tarutung.

]]>
Darsono Sebelum Pergerakan https://indoprogress.com/2025/04/darsono-sebelum-pergerakan/ Mon, 31 Mar 2025 20:48:51 +0000 https://indoprogress.com/?p=238868

Foto: Semaun (kiri) dan Darsono (kanan) pada permulaan gerakan komunis di Indonesia (J.Th. Petrus Blumberger, De Communistische Beweging in Nederlandsch-Indië, 1928)


EMPAT puluh sembilan tahun lalu Darsono pergi dari dunia ini. Ia dimakamkan pada 15 Januari 1976 di taman pekuburan Kesambi, Sompok, Kota Semarang setelah beberapa hari dirawat akibat kecelakaan di kamar mandi rumahnya.[1] Surat kabar Sinar Harapan kemudian menurunkan berita duka dengan nada romantik dan mengatribusi Darsono sebagai “perintis kemerdekaan”:

“Pemakaman, yang berangkat dari rumah kediamannya di Jl. Mangga VI Semarang, telah dilakukan dengan upacara militer yang dihadiri para muspida dan kawan seperjuangan dan bertindak selaku Inspektur Upacara Kolonel Infanteri Maryono. Masyarakat telah memberikan penghormatan terakhir kepada almarhum perintis kemerdekaan R. Darsono, terlihat penuh sesaknya mereka memenuhi makam di mana ia diistirahatkan terakhir.”[2]

Tidak ada yang keliru dengan menulis Darsono sebagai “perintis kemerdekaan”. Namun lebih dalam dari itu dia adalah salah seorang pemimpin awal gerakan komunis di Indonesia. Berkuasanya rezim anti-komunis Soeharto ketika Darsono wafat menjelaskan mengapa status “kiri”-nya itu ditanggalkan.

Di Indoprogress, Alvino Kusumabrata telah menulis riwayat politik komunis Darsono tersebut.[3] Sementara anak Darsono, Alam Darsono, membuat catatan yang sangat padat namun cukup lengkap merangkum jejak langkah politik bapaknya. Dari Alam, dapat diketahui bahwa jalan politik Darsono tak hanya ditempuh bersama sayap komunis melainkan juga sosialis.

“Darsono; 1897–1976 (lengkapnya: Raden Darsono Notosoedirdjo): Muslim kiri; ahli agronomi; murid Henk Sneevliet; marxis, sosialis revolusioner, sosial demokrat, demokrat; salah seorang pendiri PKI [Partai Komunis Indonesia] pada tahun 1924; pemimpin redaksi majalah partai Api; wakil untuk Indonesia di Komintern; anggota dewan eksekutif; Ketua PKI; dibuang dari Hindia Belanda pada tahun 1926 bersama istrinya [Soewarni]; pindah ke Moskwa; berkonflik dengan Stalin pada tahun 1928; pindah ke Berlin pada tahun 1929; memutuskan hubungan dengan Partai Komunis pada tahun 1930 seturut dominasi politik Moskwa; menetap di Belanda pada tahun 1933; sempat menjadi anggota OSP [Onafhankelijk Socialistische Partij/Partai Sosialis Independen di Belanda] dan RSAP [Revolutionair-Socialistische Arbeiders Partij/Partai Buruh Sosialis-Revolusioner di Belanda]; anggota perlawanan [terhadap pendudukan Nazi] di Belanda; redaksi majalah mingguan De Vlam; kembali ke Indonesia pada tahun 1950.”[4]

Pergerakan nasional memang tidak bisa dibasiskan secara kaku hanya pada satu ideologi.[5] Demikian pun Darsono. Dia tidak diam di dalam tempurung PKI melainkan juga bercakap-cakap dengan subjek non-komunis dari pergerakan nasional.[6] Ia turut mewarnai perdebatan nasionalisme Jawa seperti yang dilayangkan Soetatmo Soeriokoesoemo, pemimpin organisasi etnik Comité voor het Javaans Nationalisme. Ia juga berdebat atas gugatan Islam-politik tentang inkoherensi marxisme dengan cita-cita pergerakan nasional yang diajukan oleh Hadji Fachrodin, pemimpin Sarekat Islam (SI).

Menjauh dari ingar bingar kerja politik Darsono, tulisan ini berpaling pada periode prapergerakan dirinya, sebuah faset hidup yang belum mendapatkan cukup perhatian.[7] Demikian karena karier pergerakan Darsono muskil diresapi dengan cermat tanpa memahami terlebih dahulu latar belakang kehidupan sebelum dirinya naik ke gelanggang politik. Tulisan ini bermaksud memenuhi tujuan itu.


Mendekati Darsono Prapergerakan

“Raden Darsono. Lahir di Pati, 15 November 1897.” Demikian tertulis dalam paspor yang digunakan Darsono untuk bepergian ke Eropa pada 1921 hingga 1922. Informasi mengenai paspor yang berkulit muka regelmatig Nederlandsch paspoort (paspor reguler Belanda) ini termuat dalam laporan Dinas Intelijen Pusat Negeri Belanda (Centrale Inlichtingendienst).[8] Laporan itu menerangkan penggeledahan polisi atas diri Darsono pada November 1921 di Kota Groningen. Penggeledahan ini sudah barang tentu berkenaan dengan sepak terjang Darsono dalam pergerakan nasional. Ketika itu dia sudah menjadi Wakil Ketua PKI.

Namun tentu paspor setebal dua-tiga lembar tak mampu bercerita banyak soal sosok Darsono. Tulisan ini akan bertumpu pada catatan-catatan dari Alam Darsono.[9]

Foto: Amplop dan lembar pertama catatan utama Alam Darsono tentang kehidupan bapaknya berkepala “Memories Dr. Alam Darsono” (Internationaal Instituut voor Sociale Geschiedenis, Amsterdam. Collection ID: ARCH02476, 5)

Berangkat dari Trah Priayi

Kekuasaan kolonial Hindia Belanda tak mau mengambil risiko berlebihan dengan menyelenggarakan pemerintahan secara langsung (direct rule).[10] Apa yang mereka lakukan adalah memanfaatkan tata kekuasaan “pribumi” (selanjutnya disebut bumiputra) milik aristokrat setempat yang sifatnya tentu saja feodal. Efektivitas dan efisiensi eksploitasi sumber daya menjadi pertimbangan pokok mengapa para elite lokal itu tidak hanya dibiarkan melainkan juga disubordinasi ke dalam tata pemerintahan kolonial. Untuk alasan ini, alat legitimasi para elite lokal atas rakyat yang berasal dari budaya feodal seperti gelar-gelar kepriayian “raden” dan “raden mas” juga dipertahankan. Singkatnya, kolonialisme juga hadir lewat pemerintahan tak langsung (indirect rule) dari priayi.

Yang belakangan ini menjadi, mengutip sejarawan Heather Sutherland, “elite birokratis” dari kalangan bumiputera pada Pemerintahan Negeri (Binnenlands Bestuur, BB) yang secara khusus bertanggung jawab atas urusan rakyat kebanyakan.[11] Mereka mengurusi hal-hal teknis-lokal alih-alih strategis-nasional.

Keluarga Darsono berasal dari kalangan elite ini. Alam mencatat bapak dan kakek Darsono merupakan priyayi BB di Keresidenan Semarang pada permulaan abad ke-20. Sementara sang kakek telah moncer menjabat sebagai pegawai di Kawedanan Bandjaran, Japara, bapak Darsono menapaki karier berliku. Mula-mula, ketika Darsono masih belia, bapaknya bekerja menjadi juru tulis (carik) di kantor desa di Pati. Ia kemudian naik pangkat sebagai mantri polisi di pusat kota ketika Darsono telah memasuki masa sekolah dasar. Jabatan paling tinggi bapak Darsono adalah Asisten Wedana Semarang. Puncak karier sang bapak terjadi saat Darsono telah mendapatkan pekerjaan, sekitar pertengahan 1910-an.

Berstatus priayi berarti mesti konsekuen menjaga tradisi lama. Tindak tanduk paling kecil pun harus diperhatikan demi menjaga martabat. Namun demikian, Darsono kecil adalah bocah bengal yang ingkar terhadap tuntutan tersebut. Pengingkaran itu sampai-sampai membuat gusar kakeknya. “Semua kebiasaannya [Darsono] membuat sang kakek jengkel. Ia malu menjadi seorang priayi yang memiliki cucu demikian,” terang Alam.[12]

Alam menceritakan lebih jauh: “Darsono waktu itu sangat nakal. Ia begitu menyukai pertunjukan wayang kulit. Ketika tengah malam terdengar suara gamelan, dengan segera ia kemudian pergi untuk menonton. Setelahnya ia tak berani untuk pulang ke rumah dan lebih memilih tidur di belakang sang dalang. Ia juga sangat senang bermain dengan kerbau rawa atau ikut menggiring kambing bersama penggembala yang seusia dengannya.”[13]


Menjalani Pendidikan Dasar

Seturut dengan status kepriayian, Darsono menerima pendidikan secara Barat. Kaum kromo muskil untuk bisa belajar di sekolah binaan pemerintah kolonial seperti ini. Darsono mengenyam pendidikan tingkat dasar pada Sekolah Kelas Pertama (Eerste Klasse School) di Pati. Ia belajar di sana selama lima tahun.

Alam menggambarkan bapaknya menempuh pendidikan dasar ini dengan susah payah, terutama karena harus berpindah-pindah tempat tinggal. Di awal masa sekolah, Darsono diasramakan di pusat kota oleh orang tuanya yang ketika itu masih tinggal di desa. Ia kemudian diungsikan ke rumah pamannya saat yang belakangan mendapat jabatan sebagai mantri opium (mantri opiumverkoper) di Telogowoengoe. Untuk ke sekolah, Darsono harus berjalan kaki selama dua jam, pukul 4.30 hingga 6.30 pagi. Ongkos asrama barangkali jadi alasan kepindahan. Di tengah masa sekolah dasar ini bapak Darsono memperoleh pekerjaan sebagai mantri polisi di pusat kota. Darsono kemudian pindah lagi. Saat itu ia dapat bernapas lega dan mungkin bangun lebih siang.

Tentu masalahnya bukan cuma itu. Di sekolah Darsono benar-benar kelimpungan, terutama karena semua dalam belajar bahasa Belanda. Hal itu diakuinya kepada Alam seperti berikut.

“Di sekolah, para guru adalah orang Belanda. Mereka tak berbicara sepatah kata bahasa Melayu, apalagi Jawa. Mereka berbicara hanya dalam bahasa Belanda kepada para murid dan kami harus memahaminya. Jika kami tak memahami omongan mereka, atau jika mereka tidak memahami kami ketika berbicara, maka lantas saja kami dihukum. Ketika kami pulang ke rumah dengan catatan nilai buruk untuk pelajaran bahasa Belanda, bapak kemudian memberikan hukuman tambahan. Dengan demikian maka kami dapat menguasai bahasa [Belanda] itu secara cakap.”[14]

Kebiasaan sedari belia akan membentuk watak seseorang. Ini juga berlaku bagi Darsono. Buktinya, beratnya pendidikan dasar tak mengubah kebengalan dirinya. Dia tetap keranjingan menonton wayang kulit. Pada suatu faset, Darsono terseok-seok bahkan untuk sekadar hadir karena semalam suntuk menonton pertunjukan wayang. Bukannya mengakhiri kebiasaan itu, ia justru sempat nekat membolos berhari-hari. Buahnya jelas adalah hukuman. Ketika Darsono kembali, ia tak diperbolehkan masuk. Beruntung bapaknya menghadap kepala sekolah dan meminta maaf sehingga Darsono bisa kembali belajar.

Puncak kebengalan Darsono terjadi saat dia mencoba peruntungan mengikuti ujian pendidikan lanjutan. Alam menuturkannya seperti berikut.

“Sebelum Darsono lulus, ia telah mengikuti ujian untuk pekerjaan sebagai guru sekolah sebanyak dua kali. Ujian tersebut begitu sulit karena merupakan sebuah ujian kolasi [vergelijkings-examen]. Tetapi ia gagal. Bagian terbaik dari hal itu adalah ketika dirinya tengah mengikuti ujian tersebut di Jogjakarta. Saat itu orang tuanya tidak mengantongi uang. Mereka mesti menjual pusaka untuk membiayai Darsono. Namun, apa yang Darsono lakukan? Ia tidak berhasil dalam ujian dan dengan uang yang tersisa justru membeli setumpuk wayang kulit hingga memboyongnya pulang ke rumah. Dapat dipahami betapa bapaknya sangat marah.”[15]

Darsono akhirnya berhasil menamatkan sekolah dan mendapat ijazah Eerste Klasse School. Meski sekolah itu sama-sama dibina pemerintah kolonial, namun reputasinya di bawah sekolah serupa bernama Sekolah Dasar Eropa (Europeesche Lagere School). Privilese lebih akan dirasakan para lulusan “Sekolah Eropa” yang belakangan. Ijazah mereka langsung dapat digunakan untuk menembus pendidikan tingkat selanjutnya, sementara sekolah Darsono tidak.[16] Dalam ketakpastian pendidikan lanjutan dan tidak adanya jaminan pekerjaan, bapak Darsono dengan mengatakan, “Saya tidak ingin melihatnya, itu bukan ijazah dari Sekolah Eropa.”[17] Alam menyebut kata-kata itu membuat Darsono kecewa. Kian kesal karena sang bapak seharusnya dulu menyekolahkan anaknya di Sekolah Eropa. Kesia-siaan ijazah sekolah Darsono mutlak juga atas turut andil sang bapak sehingga tak pantaslah dia mengatakan yang demikian.

Namun rasa kecewa terhadap sang bapak tak menjadi melankolia berlarut. Darsono kemudian berinisiatif mengambil sekolah privat yang diselenggarakan oleh seorang Eropa di Pati bernama Tuan H. J. Mente. Ini adalah langkah persiapan untuk menghadapi ujian-ujian yang akan datang. Keputusan ini juga mesti dipahami sebagai upaya pembuktian Darsono akan kapasitas dirinya di hadapan sang bapak. Sebab, seperti diutarakan Alam, di sekolah privat tersebut Darsono tidak hanya belajar berbagai mata pelajaran formal tetapi juga turut menempa keterampilan kerja hingga mendapat upah. “Darsono juga bekerja untuk bapak dari Tuan Mente, seorang juru sita [deurwaarder]. Ia bekerja menyalin surat-surat untuk disita dan memperoleh penghasilan yang lumayan,” ungkap Alam.[18]

Meski kesiapan untuk dapat memasuki pendidikan lanjut kian mantap, Darsono tak segera mendaftar ujian penerimaan. Ia justru mengikuti ujian pegawai negeri tingkat rendah (klein ambtenaarsexamen). Saat itu, sertifikat kelulusan ujian tersebut sangat bernilai, tak hanya untuk masuk menjadi pegawai dalam birokrasi BB. Syahdan, Darsono lulus setelah dua kali percobaan ujian.

Penting untuk dicermati bahwa Darsono, seperti dituturkan Alam, tak melibatkan bapaknya dalam urusan karier dan pendidikan lanjut ini. Mampu memperoleh pendapatan dengan bekerja di bapak dari Tuan Mente barangkali menjadi alasan. Selain itu dia juga memiliki etos belajar dan kerja yang tinggi sampai-sampai membuat Tuan Mente bersimpati. Buktinya, ketika Darsono harus menebus sertifikat klein ambtenaar sebesar ƒ1.50, Tuan Mente menanggungnya bahkan memberikan lebih. “Darsono menerima ƒ10 dari Tuan Mente yang sangat bersenang hati,” terang Alam.[19]


Pendidikan Lanjut dan Karier Awal

Darsono dengan demikian telah berdaya atas pilihan karier dan pendidikannya sendiri. Alih-alih menggunakan sertifikat klein ambtenaar-nya untuk langsung bekerja meneruskan trah keluarga sebagai pegawai birokrat-administrasi atau mantri BB, ia justru mendaftar beasiswa pendidikan lanjut di Sekolah Penanaman hingga kemudian bekerja di bidang pertanian. Alam merangkum perjalanan pendidikan lanjut dan karier awal Darsono ini seperti berikut.

“Darsono kemudian mendapat beasiswa dan masuk ke Sekolah Penanaman di Soekabumi [Cultuurschool te Soekabumi]. Beasiswa yang didapatnya ialah sebesar ƒ25 dan ia hanya mesti membayar paling banyak ƒ5 untuk ongkos asrama. Bayangkan, bocah 15 tahun mendapat beasiswa ƒ25. Jumlah tersebut ketika itu ialah gaji seorang kepala juru tulis [hoofd schrijver]. Setelah menyelesaikan Sekolah Penanaman, Darsono kemudian bekerja sebagai pegawai agrikultur [landbouwkundig-ambtenaar] di Bangilan (dekat Tuban) dengan gaji awal 100 plus tunjangan ongkos transport.”[20]

Seperti diterangkan dalam sebuah catatan pemerintah kolonial, pekerjaan Darsono yang disebut Alam di atas, sebagai “pegawai agrikultur”, secara spesifik ialah penyuluh pertanian bagi petani bumiputra, tepatnya tijdelijk Inlandsch personeel werkzaam in het belang van de verspreiding van landbouwkennis onder de Inlandsche bevolking.[21] Namun, yang lebih penting dari sekadar titel ialah bagaimana Darsono melakoni pekerjaannya. Mesti diperhatikan bahwa dirinya tak sekadar duduk-duduk selayaknya birokrat. Alih-alih, ia terjun langsung ke akar rumput mengadvokasi rakyat; dalam hal ini mengenai masalah-masalah tani seperti yang dipelajarinya sejak di Sekolah Penanaman.

Secara prinsipil, pilihan pendidikan lanjut dan pekerjaan Darsono dapat dipahami sebagai bentuk pengingkaran berulang atas status kepriayian keluarga. Darsono memilih menjadi pegawai ambtenaar bukan sekadar atas motif jabatan dan hidup layak. Kepriayian yang berangkat dari budaya feodal lama, apalagi dalam latar negara kolonial, tak terlalu memusingkan hal ihwal problem mendasar akar rumput karena tolok ukurnya adalah pengabdian kepada kolonialisme. Kepriayian hanyalah legitimasi feodalistik elite bumiputra atas kaum kromo sehingga itu bisa cukup diraih dengan duduk-duduk di kantor BB, laiknya yang kakek dan bapak Darsono lakukan ketika yang belakangan ini telah naik pangkat dari mantri polisi menjadi Asisten Wedana Semarang.

Evaluasi mengenai hal di atas dapat diadakan dengan mengetengahkan cerita tentang bagaimana Darsono akhirnya undur diri dari pekerjaannya. Menjadi penyuluh pertanian membawa Darsono melihat kenyataan masalah kesehatan hewan ternak. Atas dasar problem urgen ini, ia kemudian berinisiatif memohon kepada atasannya untuk dapat menempuh pendidikan lagi di sekolah dokter hewan. Namun permohonan itu tak dapat tembus sehingga Darsono mengundurkan diri, seperti diceritakan Alam sebagai berikut.

“Sementara sang atasan sangat senang terhadap pekerjaannya, Darsono justru merasa tak puas dengan apa yang telah dicapai dan ingin terus belajar. Ia ingin belajar kedokteran hewan. Atasannya setuju dengan hal itu. Namun, ketika Darsono mengajukan surat permohonan studi lanjut tanpa tanda tangan atasannya (yang kebetulan sedang liburan), permohonannya ditolak. Ia sangat kecewa sehingga kemudian melayangkan surat pengunduran diri.”[22]


Manusia Darsono Prapergerakan

Pasca-pengunduran diri sebagai penyuluh pertanian, Darsono kemudian naik ke gelanggang pergerakan nasional sebagai seorang komunis—seperti telah terang disinggung pada awal tulisan ini. Namun, bagaimana kita mesti membentang benang merah keterkaitan antara hidup prapergerakan dengan perjalanan politik Darsono kemudian?

Berkali-kali disebutkan bahwa kehidupan prapergerakan Darsono adalah cerita pengingkaran diri terhadap status kepriayian keluarga. Darsono adalah seorang anak laki-laki sekaligus kakak tertua.[23] Dengan demikian, niscaya orang tua Darsono menaruh ekspektasi besar pada dirinya. Pengingkaran Darsono itu jelas memiliki arti sebuah usaha memotong warisan trah keluarga priayi. Komplemen dengan kesimpulan ini, Alam memandang seperti berikut.

“Darsono adalah orang Jawa yang ditakdirkan untuk mengikuti jejak langkah bapak dan kakeknya menjadi Inlands bestuurambtenaar. Di Jawa, ini memiliki arti ia yang termasuk ke dalam golongan priayi rendahan, yaitu kalangan bestuursadel. Bapaknya adalah seorang wedana dan Darsono semestinya juga menjadi wedana.”[24]

Namun upaya mengingkari status priayi dan pemberani tak secara gamblang menjelaskan keputusan Darsono menempuh jalan politik. Alam sendiri hanya mengajukan penjelasan bahwa yang langsung memengaruhi keputusan Darsono masuk ke dalam pergerakan adalah kegandrungan terhadap kisah-kisah wayang.[25] Alam mengutarakan bahwa epos-epos India dan mitos Ratu Adil—keduanya menjadi pokok cerita wayang kulit—begitu memesona Darsono. Berangkat dari isu kasta (dalam epos India) dan keniscayaan sejarah masa depan (dalam mitos Ratu Adil), Darsono disebut mafhum tentang persoalan kemanusiaan, ketidakadilan, dan ketaksetaraan sosial. Hal ini dengan sendirinya komplemen terhadap wacana-wacana marxis yang kemudian digelutinya, mengenai kelas dan materialisme historis.

Penjelasan Alam di atas jelas penting. Namun perlu dipahami bahwa Darsono juga manusia yang memiliki kualitas-kualitas tertentu. Kita mesti menaruh perhatian tentang bagaimana Darsono prapergerakan membangun etos diri dan mental berontak. Kedua hal itu, seperti diceritakan panjang lebar dalam tulisan ini, berakar pada hal ihwal yang lebih manusiawi. Seperti kata sejarawan Bambang Purwanto, “ketika manusia melakukan sesuatu sehingga meninggalkan jejak peristiwa masa lalu yang disebut sejarah, semua itu tidak hanya ditentukan oleh rasio melainkan juga emosi, hati nurani.”[26]

Mental berontak Darsono tidak dalam motif heroisme-perlawanan, melainkan dari konteks emosional atas sikap sang bapak. Begitu pula dengan etos dirinya. Darsono membangun hal itu dari spontanitas tuntutan hidup, seperti kemestian disiplin dengan tak manja berjalan kaki jauh menuju sekolah atau profesionalisme pekerjaan sebagai asisten penyalin surat. Etos diri dan mental berontak sebagai kualitas hidup pada periode prapergerakan mengendap, kemudian menuntun keputusan berikutnya Darsono di atas gelanggang pergerakan. Kualitas hidup itu memang terbentuk dalam latar cerita sebuah keluarga priayi. Namun, pada akhirnya, yang tinggal dari status kepriayian itu hanyalah gelar raden di depan nama, seperti tercatat dalam paspornya yang telah disinggung di muka tulisan ini.


 [1] “R. Darsono, Semarangs strijder en pionier voor de vrijheid is overleden,” dalam Internationaal Instituut voor Sociale Geschiedenis Amsterdam: Raden Darsono Notosudirdjo Papers, ARCH02476, 5, Text of interview with and memories as told by Darsono. 1968, 1975 and n.d.

[2] “Perintis Kemerdekaan R. Darsono Meninggal Dunia”, Sinar Harapan, 21 Januari 1976.

[3] Alvino Kusumabrata, “Darsono, Anak Revolusi Kala Fajar Pergerakan Kiri Menyingsing”, http://indoprogress.com/2023/04/darsono-anak-revolusi/

[4] Alam Darsono, Het Zwijgen van de Vader (Nijkerk: Pengaarde, 2008), hlm. III.

[5] Memahami subjek pergerakan nasional dalam konstruksi dan batas-batas komunis-Islam-nasionalis adalah cara usang yang telah lama ditinggalkan. Indonesianis Takashi Shiraishi mengajukan penjelasan melalui monograf monumentalnya tentang ideologi yang bersifat cair di dalam pergerakan nasional. Indonesianis Benedict Anderson, dan kemudian juga diaplikasikan secara ekstensif oleh sejarawan Hilmar Farid dalam studi tentang bahasa dan politik pergerakan, menjelaskan diskursus wacana di dalam arena pergerakan adalah sesuatu yang dibayangkan (dikonstruksikan) oleh subjek-subjeknya, terlepas dari pilar politik mereka, bukan terberi begitu saja berdasarkan komitmen ideologi. Dengan kata lain, pergerakan adalah sebentuk eklektisisme dari ragam ideologi yang relatif terhadap subjek yang menjalaninya. Selengkapnya simak Takashi Shiraishi, An Age in Motion: Popular Radicalism in Java, 1912 –1926 (Ithaca: Cornell University Press, 1990); Benedict R. O’G. Anderson, Imagined Communities: Reflections on the Origin and Spread of Nationalism (London: Verso, 2006); Hilmar Farid, Perang Suara: Bahasa dan Politik Pergerakan (Depok: Komunitas Bambu, 2024).

[6] Sebagai tinjauan umum tentang hal ini simak Ruth T. McVey, The Rise of Indonesian Communism (Ithaca: Cornell University Press, 1965); Lin Hongxuan, Ummah Yet Proletariat: Islam, Marxism, and the Making of the Indonesian Republic (New York: Oxford University Press, 2023). Mengenai Darsono di dalam perdebatan nasionalisme Jawa lihat Herman A. O. de Tollenaere, “The Politics of Divine Wisdom: Theosophy and Labour, National, and Women’s Movements in Indonesia and South Asia, 1875–1947” (Disertasi, Katholieke Universiteit Nijmegen, 1996), hlm. 305–15; Takashi Shiraishi, “The Disputes between Tjipto Mangoenkoesoemo and Soetatmo Soeriokoesoemo: Satria vs. Pandita,” Indonesia, No. 32 (Oktober 1981), hlm. 97–100. Sementara mengenai perdebatan Darsono dengan Islam-politik lihat Oliver Crawford, “Translating and Transliterating Marxism in Indonesia,” Modern Asian Studies, 2020, hlm. 14–20, 28–33, doi:10.1017/S0026749X20000104.

[7] Beberapa penelitian telah dan sedang dilakukan. Ramli, penulis asal Jakarta, telah menulis riwayat tentang Darsono ketika berpropaganda di Sinar Djawa sekalipun tak ditopang data primer yang mumpuni. Saya sendiri berfokus pada periode ketika Darsono masuk ke dalam pergerakan hingga dibuang pemerintah kolonial (1918–1925), sementara indonesianis Lin Hongxuan menaruh perhatian pada periode setelahnya, ketika Darsono berada dalam pembuangan di Eropa. Selengkapnya lihat Ramli, Raden Darsono Notosudirdjo (1918–1925): Jalan Merah Seorang Propagandis Dalam Surat Kabar Sinar Djawa (Surabaya: Pustaka Indis, 2023); Rahman C. Adiatma, “Sejarah Pemikiran Politik Raden Darsono Notosoedirdjo, 1918–1925” (Skripsi, Universitas Gadjah Mada, 2024); Lin Hongxuan, “The Minor Key: Indonesian Marxists Sojourning Abroad,” Journal of World History, Vol. 35, No. 2 (Juni 2024), hlm. 261–296, khususnya hlm. 276–284.

[8] “Geheim rapport Centrale Inlichtingendienst, rapport van Politie Groningen, kabinet, No. 124, ‘Verslag van het congres van de Communistische Partij, gehouden op Zondag, Maandag, en Dinsdag g 12, 13, en 14 November 1921 te Groningen in het gebouw Ons Huis aan den Heereweg,’” 1921, dalam Huygens Instituut voor Nederlandse Geschiedenis en Cultuur: Rapporten Centrale Inlichtingendienst 1919–1940, document nummer 07181, RN 516, Vooraanstaand communist naar Nederland, 23-12-1921.

[9] Catatan-catatan Alam termuat dalam sebuah risalah dan dua tulisan yang dibuat olehnya. Lihat “Memories Dr. Alam Darsono: herinneringen tijdens zijn jeugd, in de beweging, zijn externering en na zijn terugkeer naar Indonesia zoals Darsono die aan mij vertelt,” 31 Oktober 1975, dalam Internationaal Instituut voor Sociale Geschiedenis Amsterdam: Raden Darsono Notosudirdjo Papers, ARCH02476, 5, Text of interview with and memories as told by Darsono. 1968, 1975 and n.d.; Alam Darsono, Het Zwijgen van de Vader; Alam Darsono, “Henk Sneevliet, brenger van het marxisme naar Indonesië,” dalam Wij moesten door…, ed. Henk Smeets dan Dick de Winter (Ridderkerk: Sneevliet Herdenkingscomité, 2002), hlm. 17–28.

[10] Lihat Sartono Kartodirdjo, A. Sudewo, dan Suhardjo Hatmosuprobo, Perkembangan Peradaban Priyayi (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1987), hlm. 5–6, 18–19.

[11] Heather Sutherland, The Making of a Bureaucratic Elite: The Colonial Transformation of the Javanese Priyayi, ASAA Southeast Asia Publications Series No. 2 (Singapore: Hineman Educational Books, 1979). Istilah bureaucratic elite ini mesti dibaca sebagai “elite birokratis”, bukan “elite birokrasi”. Elite birokrasi berarti para priayi bumiputra yang menjadi elite (pemuncak) di BB. Makna ini melenceng dari pengertian priayi yang sebenarnya, yaitu sebagai elite dari kalangan bumiputra yang mampu bekerja mengurus hal-hal birokratis di dalam BB. Jika mengacu pada pengertian elite birokrasi, maka status elite priayi yang hanya mengurusi persoalan teknis-lokal itu menjadi batal karena di atas mereka masih terdapat kelompok penjajah Belanda ras Eropa.

[12] “Memories Dr. Alam Darsono.”

[13] “Memories Dr. Alam Darsono.”

[14] Alam Darsono, Het Zwijgen van de Vader (Nijkerk: Pengaarde, 2008), hlm. 131. Keterangan mengenai hal ini juga dapat disimak pada Alam Darsono, “Henk Sneevliet, brenger van het marxisme naar Indonesië,” dalam Wij moesten door…, ed. Henk Smeets dan Dick de Winter (Ridderkerk: Sneevliet Herdenkingscomité, 2002), hlm. 21.

[15] “Memories Dr. Alam Darsono: herinneringen tijdens zijn jeugd, in de beweging, zijn externering en na zijn terugkeer naar Indonesia zoals Darsono die aan mij vertelt,” 31 Oktober 1975, dalam Internationaal Instituut voor Sociale Geschiedenis Amsterdam: Raden Darsono Notosudirdjo Papers, ARCH02476, 5, Text of interview with and memories as told by Darsono. 1968, 1975 and n.d.

[16] Mengenai hal ini selengkapnya simak Heather Sutherland, The Making of a Bureaucratic Elite: The Colonial Transformation of the Javanese Priyayi, ASAA Southeast Asia Publications Series No. 2 (Singapore: Hineman Educational Books, 1979), hlm. 45–66; Christiaan L. M. Penders, “Colonial Education Policy and Practice in Indonesia: 1900–1942” (Disertasi, Australian National University, 1968).

[17] “Memories Dr. Alam Darsono.”

[18] “Memories Dr. Alam Darsono.”

[19] “Memories Dr. Alam Darsono.”

[20] “Memories Dr. Alam Darsono.”

[21] Regerings-Almanak voor Nederlandsch-Indië 1917, Deel 2: Kalender en Personalia (Batavia: Landsdrukkerij, 1917), hlm. 468.

[22] “Memories Dr. Alam Darsono.”

[23] Adik-adik Darsono adalah Marto, Rukati, dan Tawi. Lihat Alam Darsono, Het Zwijgen van de Vader, hlm. 129.

[24] Alam Darsono, “Henk Sneevliet, brenger van het marxisme naar Indonesië,” hlm. 21.

[25] Alam Darsono, “Henk Sneevliet, brenger van het marxisme naar Indonesië,” hlm. 25.

[26] Bambang Purwanto, Gagalnya Historiografi Indonesiasentris?! (Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2006), hlm. xvii.


Rahman C. Adiatma adalah peneliti independen, alumnus program sarjana Departemen Sejarah Universitas Gadjah Mada.

]]>
Amir, Pahlawan yang Mungkin https://indoprogress.com/2025/02/amir-pahlawan-yang-mungkin/ Sun, 02 Feb 2025 00:03:35 +0000 https://indoprogress.com/?p=238745

Foto: Amir Sjarifoeddin membacakan hasil Perjanjian Renville, 7 Desember 1947 / ANTARA


Judul buku: Amir Sjarifoeddin: Politics and Truth in Indonesia, 1907-1948

Penulis: Rudolf Mrázek

Penerbit: Cornell University Press

Tahun terbit: 2024

Tebal: 414 halaman


MESKIPUN tidak diajarkan di sekolah, banyak orang Indonesia telah hafal garis besar riwayat hidup Amir Sjarifoeddin. Itu dapat diingatkan dalam satu kalimat panjang: Ia lahir 1907 di keluarga Batak yang terhormat (Harahap dari ayah, Siregar lewat ibu), menjalani pendidikan sekolah menengah di Belanda, pemeluk Kristen, mengalami politisasi di Sekolah Hukum Batavia sebelum Perang Dunia Kedua, aktif di gerakan anti-fasis awal zaman Jepang (yang menyatukan nasionalis kiri dengan sejumlah figur Belanda), dipenjara tentara Jepang, keluar tahun 1945 dalam suasana revolusi, menjadi menteri di sejumlah kabinet (informasi, pertahanan, sampai perdana menteri), kalah secara politik akibat sikap kompromi yang tidak populer dengan Belanda, diidentifikasi secara terbuka dengan Partai Komunis Indonesia (PKI), dalam pusaran Peristiwa Madiun 1948, melarikan diri ke pegunungan Jawa Timur, sampai akhirnya mati dieksekusi tentara Republik. 

Lewat buku yang terbit tahun lalu berjudul Amir Sjarifoeddin: Politics and Truth in Indonesia, 1907-1948, Rudolf Mrazek membuat Amir “hidup” kembali, dengan “senyumannya yang sedikit menyindir.” Dalam menyusun buku ini ia banyak menggali arsip baik dalam bahasa Prancis, Inggris, Belanda, dan Indonesia. Sayangnya tulisan pribadi Amir sendiri hampir tak ada yang selamat, dimusnahkan keluarga setelah 1965.

Tujuan Mrazek lebih besar daripada sekadar membuat biografi. Ia ingin menulis tentang “pahlawan” dalam segala macam revolusi (yang menurutnya selalu gagal). Ia tanamkan emosi pribadinya dalam menarasikan Amir. Berulang kali ia membandingkan Amir dengan tokoh komunis di negeri kelahirannya, Cekoslowakia, terutama Vladimir Clementis, yang juga dihukum mati oleh sebangsanya tahun 1952 karena dituduh menganut titoisme (Tito adalah pemimpin Cekoslowakia yang berusaha menjaga kemandirian negerinya dari Stalin. Pada April 1948, sebelum Peristiwa Madiun dan sebelum Tito sendiri mengalami kerusakan moral, Amir menamakan anak bungsunya Tito Batara – ‘Tito yang Ilahi’, hal. 195).

Mrazek membuka bukunya dengan sesuatu yang sudah berupaya dilakukan berkali-kali di Indonesia tapi belum ada satu pun yang berhasil: revolusi. Katanya:

Revolusi adalah sebuah upaya perubahan sosial radikal dalam langkah besar. Dramawan Bertolt Brecht menulis, “Untuk mencapai tujuan besar, perubahan besar dibutuhkan. Perubahan kecil adalah musuh perubahan besar.” Revolusi juga merupakan sebuah gambaran, sebuah ingatan, dan sebuah inspirasi, sedangkan revolusi sendiri rupanya telah tiada lagi. Dalam ideologi yang dominan sekarang, kaum revolusioner adalah orang jahat, teroris paling buruk, pengganggu paling baik. Di dalam fakultas akademis yang revisionis, penelitian tentang revolusi telah menjadi latihan “estetika penghilangan” (aesthetics of disappearance) (hal. ix, terjemahan saya sendiri).

Dari paragraf itu saya akan membuat dua pertanyaan, untuk kemudian dikembangkan menjadi isi ulasan ini. Pertanyaan pertama: Siapa itu sebenarnya kaum revolusioner, pahlawan, kesatria, hero? Saya tidak tahu istilah mana yang paling tepat, pokoknya orang yang mengabdi sambil menderita demi perubahan besar yang baik. Pertanyaan kedua: Bagaimana kita dapat menulis tentang kepahlawanan sekarang ini?


Siapa itu pahlawan?

Tentu tidak mudah menjawab pertanyaan itu. Daftar “pahlawan nasional” pun belum tentu mendefinisikannya. Ada pahlawan sungguhan, ada yang gelarnya dibeli keluarga.

Puluhan tahun lalu Mrazek pernah merasa menemukan pahlawan yang sebenarnya dalam sejarah Indonesia. Namanya Sjahrir. Belakangan ia mengaku kepada saya bahwa ia menulis buku Amir sekadar menebus dosa karena telah menulis buku tentang Sjahrir. Dengan humor yang khas, ia selipkan catatan berikut ke dalam buku Amir (hal. 177):

Trotsky kini barang kali akan berkata tentang Sjahrir apa yang pernah ia katakan tentang orang Amerika yang sosialis Morris Hillquit, secara kasar sekali, bahwa ia adalah “juru bicara sosialis yang ideal untuk seorang dokter gigi yang sukses.”

Mrazek memilih menulis tentang “pahlawan yang mungkin” – possible heroes. Ungkapan “possible hero” mula-mula muncul dalam judul buku yang dipilih Mrazek sendiri: Possible Heroes – Concrete Utopias: Amir Sjarifoeddin and the Demise of Revolution in Indonesia. Cornell University Press kemudian menyederhanakannya hingga menjadi Amir Sjarifoeddin: Politics and Truth in Indonesia, 1907-1948. Possible hero adalah frasa Walter Benjamin, filsuf Jerman yang banyak memengaruhi pemikiran Mrazek (dan Ben Anderson, dan banyak yang lain). Mrazek menulis (hal. ix):

Tampaknya revolusi sedunia pada abad ke-20 tidak pernah berpeluang menang. Walter Benjamin, pada awal abad, mencatat bahwa para tokoh kesatria dramawan Shakespeare serta Calderon cenderung “masuk panggung sambil lari.” Buat Benjamin, dan buat buku ini, kaum revolusioner adalah pahlawan yang mungkin; kegagalan mereka tak terhindarkan.

Selanjutnya Mrazek memperkenalkan konsep kunci yang lain, yang juga disebut dalam judul buku versi asli. Utopia Nyata, Concrete Utopias. Ia melanjutkan (hal. ix):

Namun mereka bertujuan mencapai utopia nyata. Menurut gagasan Ernst Bloch, sahabat Benjamin, utopia nyata adalah ruangan yang mungkin tak akan tercapai. Tetapi sambil menuju ke sana, kaum revolusioner belajar siapa dirinya dan belajar apa itu dunia.

Istilah “utopia nyata” dipakai oleh Bloch ketika menulis tentang Karl Marx. Bloch adalah juga filsuf Jerman. Marxis. Ia berhasil lolos dari Nazi, dan di dalam berbagai perpustakaan umum di Amerika ia menulis bukunya yang termasyur: The Principle of Hope, 1959. Banyak orang pernah menulis tentang utopia, kata Bloch. Kebanyakan menuliskan keinginannya lalu mengandaikan itu akan menjadi kenyataan dengan sendirinya. Marx berbeda. Walaupun idamannya jarang digambarkan dengan warna jelas, ia memikirkannya secara realistis. Utopianya bersifat nyata, dapat dicapai lewat politik nyata. Untuk pemikir utopis nyata, kebenaran bukanlah sesuatu yang berada untuk dirinya, melainkan mengandung makna emansipatoris. 

Jadi, siapa itu pahlawan? Mrazek menjawab: sosok eksistensial. Pahlawan hanya dapat dipahami lewat filsafat eksistensialisme, yaitu gagasan bahwa makna kehidupan dapat ditemukan dalam pendiriannya sebagai individu. Seseorang harus hidup secara benar meskipun dunia di luar tampak absurd. Saya kerap menemukan nama filsuf eksistensialis yang kurang familier dalam buku ini. Menurut Prakata (hal. xii):

Saya berharap buku ini akan dibaca oleh orang yang merasa bahwa dunia kita terluka, bahwa kesengsaraan di dunia bertambah, dan bahwa perubahan besar dibutuhkan tetapi sedang gagal. Saya berharap telah berhasil meyakinkan pembaca bahwa Jean-Luc Nancy, Emmanuel Levinas, atau Søren Kierkegaard, tanpa menyebut Walter Benjamin, adalah bagian dari sejarah Indonesia, dan dari sejarah revolusi, sama baiknya dengan Sjahrir, Sukarno, Tan Malaka, dan Amir Sjarifoeddin. Atau, sama baiknya dengan kita sendiri.

Pandangan eksistensial atas riwayat hidup Amir memberikan warna khas kepada biografi ini. 

  • Gambar memainkan peran penting. Ada gambar pahlawan dalam buku pelajaran sekolah dasar yang dikirim dari Belanda untuk dibaca anak Indonesia: Kristofer Kolumbus, Hernán Cortés, Karel V, Ignatius Loyola, Willem Sang Pendiam, PP Coen (hal. 9). Ada gambar teknis Sukarno bagi jembatan baru yang dipamerkan di dinding Technische Hoogeschool di Bandung (hal. 44). Ada gambar di dinding penjara Jepang di Surabaya. Seorang awak kapal Bugis yang berbagi sel dengan Amir menggores gambar perahu pinisinya di tembok, berulang kali, hingga akhirnya berhenti menggores sebab sudah terlalu putus asa (hal. 124). 
  • Agama banyak dibicarakan. Sejarawan lain mungkin menghindari tema ini, malu karena seorang nasionalis kiri ternyata menganut agama kaum penjajah. Mrazek tidak. Ia memandang sejarah dengan mata Walter Benjamin, seorang Yahudi. Dia kabur karena diincar Nazi, tapi tertangkap dan lalu memilih bunuh diri. Tidak lama sebelum itu, ia menulis tentang Angelus Novus, ‘Malaikat Baru’, sebuah lukisan karya Paul Klee yang ia miliki. Benjamin memandang figur bersayap ini sebagai Malaikat Sejarah yang menoleh ke belakang, menatap musibah demi musibah di masa lalu. Tapi pada saat yang sama sayapnya terisi angin dari Firdaus yang meniupkannya ke masa depan. Visi Benjamin tentang sejarah menggabungkan realisme dengan kepercayaan yang gila-gilaan, yang tidak rasional. Seseorang menulis tentang Benjamin: “Kadang saya coba pegang kalimat Benjamin, bahwa ‘setiap saat dalam waktu adalah pintu kecil di mana Mesias bisa masuk’. Kira-kira begitu. Itu tidak berarti kau harus percaya pada sebuah peristiwa pseudo-mesianik; kau belum tentu harus percaya secara harfiah pada campur tangan ilahi, melainkan pada sebuah retakan tak terduga yang hampir memiliki ciri mesianik.” (Istilah mesias/mesianik di sini mengacu pada sang penyelamat yang akan datang menurut kepercayaan Yahudi, mirip dengan mahdi dalam keyakinan Islam).

Orang yang berpikir seperti itu pasti gagal. Seorang penulis lain, Robert Musil, dikutip demikian oleh Mrazek (hal. 321):

Barangkali dapat dikatakan bahwa, dalam segala revolusi yang telah berlangsung di dunia ini, pemikirlah yang nasibnya selalu paling buruk. Mereka selalu mulai dengan mengandaikan sebuah peradaban baru, mereka menyapu habis seluruh kemajuan yang hingga kini telah tercapai budi manusia seolah-olah adalah milik musuh, dan kemudian mereka ditimpa gejolak yang berikut sebelum mereka berhasil melewati puncak keberhasilan pendahulunya.


Bagaimana kita menulis tentang pahlawan?

Mrazek menutup bukunya dengan tiga bab mengenai peneliti lain yang telah menggambarkan Amir. Dugaan saya, ia ingin berkata bahwa tidak banyak di antaranya berhasil dengan baik. Maka, untuk pertanyaan kedua –apakah ada cara lain selain menamakannya “orang jahat, teroris paling buruk, pengganggu paling baik”– belum terjawab atau setidaknya tidak ada jawaban tunggal. 

  • Yang menang

Kelompok penulis pertama adalah kaum pemenang. Ernest Douwes Dekker, pada masa awal revolusi sudah merupakan negarawan senior, veteran pergerakan nasional, berkata (dikutip oleh Mrazek, hal. 260): 

… kebencian antara kaum komunis dengan non-komunis melebihi kebencian antara Indonesia dengan Belanda. Dengan cara yang mengerikan, pembantaian menjadi hal yang biasa.

T.B. Simatupang, tentara intelektual yang waktu itu condong ke kiri, menulis dalam memoarnya (hal. 265):

Saat belajar di Akademi Militer, saya selalu mendengar bahwa perang saudara lebih banyak membangkitkan emosi dan kebencian yang mendalam daripada perang biasa. Kini kebenaran dari pelajaran itu telah mendarat.

Banyak buku yang ditulis oleh pemenang memiliki judul penuh peringatan, misalnya Bahaja Merah (Isa Anshary dkk), Peristiwa Madiun: Tragedi Nasional (H. A. Notosoetardjo), dan sejenis, terutama setelah 1965 (hal. 272). 

Pandangan pemenang lain lebih bernuansa. Sukarno misalnya menulis bahwa Peristiwa Madiun merupakan revolusi sosial yang pecah terlalu dini sejumlah dasawarsa (hal. 275). Hatta tetap percaya dengan Barat. Walaupun selalu membantah telah menyetujui penghukuman kilat terhadap Amir, ia tidak pernah mengutuk eksekusinya. Amir adalah lawan politiknya yang paling berbobot. Namun, bagi Hatta pun, Amir tetap merupakan teka-teki. Hatta menyalahkan tentara karena telah menembak mati Amir tanpa proses peradilan (hal. 277). 

“Kini,” tulis sejarawan Anthony Reid (hal. 278), “revolusi sosial ditunda tanpa batas waktu. Walaupun arah revolusi masih jauh dari selesai, namun telah ditarik ke kanan secara tajam.”

Selama bertahun-tahun, masyarakat umum tidak tahu apa yang terjadi dengan Amir. Akhirnya jenazahnya ditemukan, diangkat dan dikubur lagi secara terhormat. Sejumlah orang yang melakukannya ditahan, lalu dilepas. Keluarga kembali mendapat pensiun karena jabatannya. Itu pun berakhir tahun 1965. Menurut pemenang, Amir sebaiknya dilupakan. 

  • Yang kalah

Para penyintas dari Madiun cerai-berai. Dari mereka yang selamat, sebagian akhirnya ke luar negeri. Di sana pun sebagian memilih bungkam. “Maaf… Saya ingin melupakan masa muda saya di Indonesia. Saya kehilangan begitu banyak keluarga dan sahabat selama revolusi,” tulis seseorang (hal. 286). Jean-Luc Nancy mengomentari kebungkaman semacam ini (hal. 286):

Tanggapan terhadap kebenaran yang nyaris menghilang, adalah ikut menghilangkan dirinya sendiri.

Sejumlah aktivis muda kemudian mulai berpolitik lag setelah Madiuni: D.N. Aidit, Soedisman, Njoto, dan Loekman. Tetapi mereka bicara secara lebih formal, sekadar rumusan politik. Segalanya menjadi hitam atau putih: Hatta jelek, Sukarno baik. 

Di antara para penyintas lain muncul narasi korban. Amir dieksekusi secara tak adil. Titik. Mereka fokus pada status mereka sebagai korban (victimhood). 

Pramoedya Ananta Toer tidak pernah menulis tentang Madiun atau Amir. Pada tahun 1982, ketika ditanya secara spontan tentang Amir, ia hanya menyayangkan mengapa Amir menerima tugas Van der Plas untuk melawan fasisme Jepang (hal. 294-295). 

  • Yang mengamati

Banyak pengamat asing menilai karakter Amir dengan kata “tak imbang” dan “berambisi secara gila.” Seorang possible hero. Mrazek meringkas posisi Amir dalam historiografi kini sebagai berikut (hal. 307):

Sambil memandang ke belakang, Amir sedang digolongkan buat zaman baru. Gemilang, bermoral, sesat, terlalu penuh emosi, terlalu agamais sehingga tak mungkin menjadi komunis, terlalu rumit hingga tak mungkin nyata. Secara spektakuler. “Peristiwa Madiun adalah tragedi yang mengerikan,” tulis Reid dalam sejarah revolusinya. Dan memang, kata kunci kemudian adalah “teater”, “drama”, atau “tragedi”. Seseorang mengamati sejarah dan menunggu hingga drama berakhir dengan lampu menyala. Daripada pahlawan, yang ada adalah “aktor”.

Banyak pengamat asing yang menulis tentang Amir merasa mengenalnya melalui lingkaran Sjahrir. Termasuk John Coast, pilot berbangsa Inggris yang menawarkan diri sebagai simpatisan Barat mulai 1946. Pada September 1948 ia menulis dalam buku hariannya bahwa “Amir Sjarifoeddin membuat pernyataan yang diberitakan secara luas, atau mungkin dinas rahasia Belanda merekayasa pernyataannya, bahwa ia telah menjadi komunis secara rahasia sejak tahun 1936” (hal. 309). Seluruh anggota kelompok Sjahrir membenci fasisme, percaya pada demokrasi dan sosialisme, tetapi mereka tak ingin “melangkah terlalu jauh.”

Sejarawan Cornell George Kahin mengenal hampir semua tokoh republikan secara pribadi. Ia menarik kesimpulan berikut tentang Amir (hal. 317):

Ketidakstabilan karakter dan ambisi politis pasti menjadi faktor sangat penting dalam keputusan Amir untuk memilih berpihak dengan kaum stalinis.

Kahin tidak jadi menulis buku tentang Amir. Buat dia, orang Indonesia lainlah secara lebih meyakinkan mencerminkan cita-cita sosialisme dan demokrasi. Ben Anderson, mahasiswa Kahin, dan pembimbing Mrazek, bersikap lain. Bagi Anderson, Tan Malaka yang penuh gejolaklah menjadi figur kunci, dan kematiannya melambangkan titik akhir revolusi. 

Tentang Amir, ia menulis bahwa semua menyukainya tetapi garis politiknya tidak begitu berpengaruh (hal. 321-322):

[Amir adalah] seseorang yang tak satu pun dari lawan politisnya merasa membencinya… Sangat cerdas, bersemangat, dan berambisi, dengan kehangatan pribadi, humor, romantisme emosional yang membangkitkan loyalitas amat kuat di antara pengikutnya yang hampir tak terpengaruh oleh garis politik yang diambilnya pada setiap saat.


Penutup

Sulit dipercaya tapi benar, buku ini hampir satu-satunya buku penuh tentang Amir. Ada satu yang lain oleh Frederiek Djara Wellem, Amir Sjarifoeddin: Pergumulan Imamnya dalam Perjuangan Kemerdekaan, tetapi langsung dibredel saat terbit 1984 (hingga terbit ulang tahun 2009). 

Dalam diskusi bedah buku yang diselenggarakan Indoprogress, buku Mrazek dipuji karena kedalaman arsipnya, sekaligus dikritik karena sejumlah pertanyaan kunci tak terjawab. Coen Husain Pontoh menyayangkan kenapa tidak ada penjelasan tentang evolusi pemikiran Amir menuju komunisme, berangkat dari pandangan “etis” di sekolah Belanda. Ia tambahkan: Kita juga tetap belum tahu persis apa yang terjadi di Madiun. Bagaimana dengan indikasi bahwa Amir, Musso, beserta kelompoknya memang merencanakan “sesuatu” yang besar di sana pada September 1948? Peserta lain merasa cerita Perjanjian Renville tidak cukup diterangkan. 

Diskusi akhirnya menyimpulkan bahwa kehausan pembaca akan riwayat Amir tidak bisa dipenuhi hanya dengan satu buku baru. Kita masih butuh lebih banyak buku besar. Dan tidak hanya tentang Amir. Banyak possible heroes bermunculan dalam sejarah Indonesia yang penuh revolusi.

Tantangannya tak sedikit. Tantangan lembagawi: Institusi mana yang membiayai biografi “pahlawan yang mungkin” dalam sejarah Indonesia? Dalam suasana neoliberal, sejarah menjadi hiburan belaka, atau pembenaran status quo. Sejarah yang otentik dan radikal terpaksa ditulis di lembaga non-formal, secara pro bono.

Yang lebih fundamental lagi adalah tantangan intelektual. Generasi sekarang banyak merasa bahwa “pahlawan yang mungkin” telah “melanggar garis”, bahwa mereka terlalu berambisi, terlalu berideologi, terlalu cepat frustrasi, bahwa seharusnya mereka mengambil “langkah kecil” secara “demokratis” (hal. 323). Bisa saja sikap itu memungkinkan ingatan tidak lenyap sama sekali. Tetapi dunia kini membutuhkan lebih dari kehati-hatian.

Hanya perubahan yang radikal akan menyelamatkan dunia kita dari krisis ekologis. Perjuangan Amir dan sesama “pahlawan mungkin”-nya untuk memerdekakan Indonesia dari kapitalisme Dunia Utara gagal. Dengan akibat: Dunia Utara kini telah membawa seluruh dunia ke ambang kehancuran. Skala revolusi yang dibutuhkan bahkan melebihi skala yang menghadapi Indonesia tahun 1948. Di manakah possible heroes yang memimpinnya?


Gerry van Klinken adalah guru besar emeritus sejarah Asia Tenggara dan peneliti tamu di KITLV, Leiden, di mana ia lama bekerja. Tulisan ini dipresentasikan dalam Bedah Buku Indoprogress (Zoom), 18 Januari 2025.

]]>
De-buruh-isasi Orde Ba(r)u, Persaingan Buruh–Negara, dan Ketegangan Buruh–Militer di Masa Revolusi https://indoprogress.com/2025/01/membongkar-narasi-de-buruh-isasi-orde-baru/ Fri, 24 Jan 2025 08:25:39 +0000 https://indoprogress.com/?p=238733

Foto: Marjin Kiri


Judul Buku: Serikat Buruh 1945-1948: Menduduki Stasiun, Menguasai Perkebunan, Menjalankan Pabrik [judul asli: Organising under the Revolution: Unions and the State in Java, 1945–1948]

Penulis: Jafar Suryomenggolo

Penerjemah: Keenan Nasution

Penerbit: Marjin Kiri

Halaman: xii + 278 hlm

Tahun Terbit: 2024


BURUH merupakan subjek studi yang tetap menarik diteliti hingga kini, baik dari segi ekonomi, politik, hingga sejarah. Salah satunya adalah buku Jafar Suryomenggolo ini, sebelumnya terbit dengan judul Organising Under the Revolution: Unions and the State in Java, 1945–48 oleh National University of Singapore Press pada 2013 silam.

Salah satu poin penting dari buku ini adalah ia membongkar mitos bahwa saat itu hubungan negara dan buruh baik-baik saja. Pemerintahan Sukarno berada di spektrum kiri, dan saat bicara politik alternatif, maka buruh adalah kekuatan utamanya. Lewat buku ini kita tahu bahwa di era itu beragam intrik politik mengemuka. Serikat buruh, meskipun memiliki sejarah panjang dalam aktivisme, saat itu harus berhadapan dengan realitas yang sama sekali baru. Demikian pula pemerintah Republik Indonesia yang masih belia. Mereka juga belum mampu membina hubungan baik dengan buruh.

Meski meneliti Indonesia beberapa tahun setelah kemerdekaan, buku ini juga membahas tentang depolitisasi buruh era Orde Ba(r)u yang baru berdiri tahun 1965-1966. Kata “buruh” sangat jarang digunakan, bahkan dihindari, di era otoriter itu. Alih-alih buruh, kata “karyawan/karyawati” diperkenalkan sebagai pilihan utama. Alasannya jelas: buruh mengandung konotasi kiri, marxis, komunis, dan lain-lain. Pengaruh dari masa ini sangat signifikan sampai sekarang. Maka tidak mengherankan jika penelitian tentang buruh kerap berbarengan dengan pembahasan soal depolitisasi Orde Ba(r)u.


Mengolok Historiografi Orde Ba(r)u

Jafar memulai pendahuluan dengan protes terhadap historiografi Indonesia yang menurutnya penuh dengan narasi militer. Ini katanya mengemuka di tiap pembahasan. Historiografi sarat kepentingan negara dengan nuansa militeristik tidak lain ditancapkan kuat berdekade lamanya oleh Orde Ba(r)u. Perspektif sejarah dari sisi lain, termasuk sudut pandang kaum buruh, hanya dilihat sekilas saja. 

Salah satu caranya memprotes bahkan cukup spesifik: dengan menulis “Orde Baru” sebagai “Orde Ba(r)u”. Orde Baru itu Orde Bau. Baunya bahkan tercium sampai sekarang. Selain Jafar, sejarawan Joss Wibisono juga melakukan hal serupa, misalnya saat dia membahas bagaimana pemikiran Ben Anderson terhadap bahasa sangat jitu untuk membongkar tipu muslihat Soeharto.

Menghindari buruh bahkan di level kosakata, Soeharto mengganti seluruh ejaan demi menghindari pembacaan ulang atas karya-karya kritis di era Sukarno. Edjaan Suwandi era Sukarno dihilangkan sebab dianggap kuno, lalu Ejaan yang Disempurnakan ala Soeharto menjadi pakem dalam berbahasa pada 1972.

Jafar bukan cuma menyerang historiografi negara yang bias. Ia juga menunjam ke masalah betapa tidak pandainya mahasiswa ilmu sejarah era kini dalam menguasai bahasa asing. Kurangnya penguasaan “bahasa sumber sejarah” mengakibatkan kurangnya kritisisme dalam diskursus-diskursus sejarah.


Hubungan Kaku Buruh dan Negara Baru

Berbagai historiografi buruh masa revolusi mendapat perhatian Jafar, baik yang berasal dari Indonesia maupun luar, termasuk studi komparasi gerakan buruh di Indonesia dengan negara Asia Tenggara lainnya pascakolonial.

Dengan sumber-sumber itu dia menyusun bab pertama berjudul Buruh Terorganisir dan Negara Pascakolonial. Di sini Jafar menjelaskan kondisi umum kaum buruh setelah Indonesia merdeka. Saat itu buruh-buruh tergerak masuk ke dalam laskar-laskar. Dia menulis bahwa tren itu adalah hal wajar sebab menjadi cara turut serta membela negara yang baru merdeka. Ancaman yang muncul terhadap negara yang baru berdiri dihadapi dengan sikap “revolusioner” pemuda di banyak tempat kerja.

Serikat-serikat buruh didominasi oleh para pemuda yang pada masa Jepang mendapat banyak pelatihan kerja. Ben Anderson melihat pemuda dalam revolusi menempati posisi penting dalam berbagai gerakan. Jafar kemudian mengamini pendapat Ben dalam konteks gerakan buruh.

Para buruh memandang kemerdekaan sebagai tirai emas menuju keberkahan. Maka tidak boleh lagi ada sisa apa pun dari zaman sebelumnya. Dengan sikap dan tanpa banyak persiapan berlarut-larut, buruh lantas mengambil alih tempat kerja dari atasan-atasan Jepang. Buruh-buruh yang sadar akan posisinya dalam dunia revolusi dengan segera menduduki stasiun, menguasai perkebunan, dan menjalankan pabrik. Pengambilalihan kantor-kantor pusat eksploitasi dan stasiun-stasiun berlangsung secara bertahap namun cepat

Buruh kereta api yang menjadi aktor utama yang dengan cekatan menerapkan swakelola pekerja. Tak sampai sebulan setelah proklamasi, banyak stasiun dan kantor eksploitasi direbut dari Jepang (Jafar membahas lebih lanjut soal buruh kereta api dan aksi sepihak mereka dalam bab tiga dan empat).

Aksi para buruh ini justru melahirkan rasa curiga dan negara pascakolonial yang usianya masih amat muda. Mereka khawatir dengan kekuatan buruh yang mampu mengontrol alat produksi. Pandangan itu didasari atas kewaspadaan pemerintah terhadap gerakan sindikalisme. Namun sebenarnya aksi sepihak buruh tidak disetir oleh anasir-anasir anarkis, melainkan murni gerakan spontan untuk mengamankan aset dan modal ekonomi agar terus berputar.


Menyatukan Kekuatan Buruh

Dalam bab kedua, Kontrol Pekerja dan Aktivisme “Politik” Buruh, Jafar menunjukkan betapa pemerintah hendak mengontrol gerakan buruh agar sesuai jalur yang dikehendaki dan bukannya membahayakan negara. Taktik pemerintah berpusat pada pembentukan aturan dan pembatasan gerak serikat. Serikat-serikat muncul berdasarkan bidang kerja masing-masing, setidaknya sejak caturwulan pertama 1946 hingga pertengahan 1947. 

Apa yang dilakukan pemerintah lebih lanjut dibahas di bab ketiga, Politik Pembentukan Serikat Buruh. Pemerintah yang khawatir terhadap munculnya sindikalisme berusaha mengikat serikat buruh baru agar dekat dengan mereka. Contoh yang diberikan adalah serikat di kereta api. Dikeluarkan maklumat yang membuat pemerintah menduduki posisi teratas pada jawatan. Mereka juga membentuk Serikat Sekerdja Kereta Api (SSKA). Langkah pemungkas ini mengakhiri kekhawatiran pemerintah akan sindikalisme dan swakelola pekerja.

Buruh rendah melawan dengan membentuk Serikat Boeroeh Kereta Api (SBKA) pada 13 Maret 1946 dan langsung menuntut pembatalan maklumat. Meski berkelit bahwa hanya aturan sementara, banyak pihak telah mengendus bahwa intensinya bukan demikian. SBKA tidak lain menjadi antitesis SSKA yang lebih merupakan representasi “pegawai menengah” yang dekat dengan pemerintah. Dampak lain, karena pemerintah hendak mengontrol pekerja kereta api, maka massa buruh terpecah ke dalam lebih dari satu serikat. 

SBKA mempertahankan sifat independensinya dari gerakan buruh lain. Anggotanya diperbolehkan bergabung dalam SOBSI, tetapi harus mengatasnamakan pribadi.

Meski ditekan maklumat dari pemerintah, SBKA mampu mempertahankan sifat nasionalismenya. Ini menurut Jafar karena buruh kereta mewarisi nilai dan militansi dari pendahulu mereka di era kolonial Hindia-Belanda. SBKA bahkan mengidentifikasi diri sama seperti VSTP, serikat buruh kiri di zaman itu. 

Dalam bab keempat, Membangun Kekuatan Organisasional: SBKA Beraksi, Jafar menyoroti lebih lanjut kiprah organisasi ini. Misalnya, bagaimana SBKA pernah mengajukan tuntutan rasio upah 1:5 antara buruh rendah dan tinggi. Mereka juga menuntut upah dalam bentuk natura (barang) mengingat kondisi saat itu serba sulit. Harga bahan pokok saat itu bahkan melambung hingga 17 kali lipat. 

Mayoritas anggota SBKA, seperti telah disinggung, merupakan buruh rendahan dengan gaji pas-pasan. Kas organisasi sering macet karena gaji para buruh terkadang tak menentu karena masa yang masih bergejolak. Meskipun didera kondisi tak menyenangkan, SBKA masih dapat mengorganisasi gerakan solidaritas sesama buruh dengan memberikan derma dalam bentuk uang atau natura, salah satunya kepada serikat di Delanggu.


Dipiting Belanda, Dihardik Republik

Sejak kemerdekaan hingga Agresi Militer (bagi Republik; Belanda menyebutnya aksi polisionil), keadaan rakyat kecil sering kali terjepit di antara dua pihak yang bertikai. Situasi ini telah digambarkan dengan apik oleh film De Oost yang menceritakan anak buah Raymond Westerling. Pada salah satu adegan, ada rakyat miskin biasa yang harus berada di “dua kaki” agar dapat mengamankan nyawanya.

Demikian pula buruh! Jafar membahas hal ini dalam subbab Melawan Kekerasan Militer di Bab 4. Meski bukan subbab yang banyak, pembahasan yang disajikan sangat menarik. Tidak banyak sejarawan yang awas tentang posisi rentan buruh saat revolusi terjadi. Jafar mampu meneropong masalah itu. Dikatakan bahwa buruh yang bekerja di sektor perkeretaapian telah mengalami 14 kasus kekerasan yang melibatkan personel militer. Itu baru yang dilaporkan kepada pihak berwenang. Jumlahnya bisa lebih dari itu mengingat kuasa militer lebih tinggi dibanding buruh kereta. 

Bab terakhir, Buruh dan Hukum: Undang-Undang Kerdja 1948, menyoroti aktivisme buruh dalam menekan pengerjaan undang-undang perburuhan yang baru. Mereka memperjuangkan ini agar mendapat kepastian hukum dalam situasi yang tidak menentu.

Hukum baru yang dibuat oleh negara baru menjadi oase dan angin segar bagi buruh yang sempat merasakan buruknya masa kolonial. Hukum perburuhan sangatlah buruk di era sebelumnya. Aturannya sangatlah rasis dan diskriminatif. Ambil satu contoh sektor pekerjaan, yakni industri gula. Di sana buruh digaji berdasarkan perbedaan ras dan jenis kelamin.

Fungsi legislatif ketika itu berada di tangan Badan Pekerdja-Komite Nasional Indonesia Pusat (BP-KNIP). Menurut Jafar, dalam proses pembentukan peraturan baru di lembaga ini, terlihat jelas jarak antara pemerintah dan buruh, misalnya ketiadakan redaksi “hak” dalam undang-undang. Perumusan dan penetapan oleh BP-KNIP juga diwarnai intrik politik terutama pertarungan internal antara kubu sayap kiri dan kanan. Pada sisi lain, serangan militer Belanda pada 1947 juga menghambat kemajuan.

Pada akhirnya, undang-undang ketenagakerjaan yang baru ditetapkan selepas melewati lobi politik dan debat sana-sini. Menteri Oeroesan Sosial Maria Ullfah dinilai memiliki visi menjadikan peraturan ini sebagai pemandu merancang masjarakat sosialistis, namun bagi Jafar tak dapat dikatakan sebagai hukum penjamin hak pekerja, malah menjadi batu sandungan bagi gerakan buruh selanjutnya.

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.

Jafar menutup buku dengan dua bagian: epilog dan simpulan. Epilog membingkai keadaan Indonesia sebelum undang-undang perburuhan disahkan pada Mei 1948. Pada periode April–Juni 1948, pemogokan telah terjadi sebanyak 11 kali, dilakukan oleh berbagai serikat buruh. SBKA mogok kerja empat kali, dengan masing-masing pemogokan hanya berjalan paling lama sekitar dua jam.

Sementara dalam kesimpulan, Jafar memberikan pemahaman bahwa buku ini bertujuan untuk mengungkapkan apa yang disebut sebagai “celah kosong” historiografi buruh pada periode Revolusi. Ia melihat bahwa hubungan negara-buruh sebagai dialektis, bukan monologis. Ini adalah masa-masa awal ketika negara dan buruh berkembang secara terpisah dalam proses pelembagaan diri. Ini juga berarti pandangan bahwa gerakan buruh selalu disetir pemerintah tidaklah sepenuhnya benar, sebab Republik sendiri tak punya kendali mutlak atas setiap gerakan yang ada.

Dalam lampiran, terdapat dua tulisan pendek tentang buruh Tionghoa dan hari raya buruh. Tulisan itu menjadi pemantik awal untuk melebarkan sayap pembahasan sejarah perburuhan ke buruh Tionghoa masa revolusi.

Buku ini memang bukan yang pertama membahas pergerakan buruh di Indonesia pascakemerdekaan. Jan Elliot telah menulis disertasi berjudul Bersatoe Kita Berdiri Bertjerai Kita Djatoeh: Workers and Union in Indonesia, 1945–1965. Namun buku itu melihat serikat buruh dalam generalisasi, sebagai satu kesatuan padu, yang telah dibantah lewat buku Jafar.


Muhammad Rizky Pradana adalah sejarawan (muda) partikelir, dengan minat kajian seputar sejarah umum, pergerakan buruh dan pers kolonial, etnoastronomi, dan sejarah astronomi. Ia saat ini sedang membangun Insulinde Sejarah; sila kunjungi di @insulindesejarah.

]]>
Darsono, Anak Revolusi Kala Fajar Pergerakan Kiri Menyingsing https://indoprogress.com/2023/04/darsono-anak-revolusi/ Mon, 03 Apr 2023 19:28:25 +0000 https://indoprogress.com/?p=237438

Ilustrasi: illustruth


DI USIA SENJA, ia mencoba mengingat kembali pengalaman puluhan tahun lalu tentang betapa terjalnya menyadarkan kelas buruh Indonesia akan kondisinya pada awal abad ke-20. “Rakyat Jawa [kala itu] masih bodoh. Untuk menyadarkannya diperlukan cambuk, yaitu artikel-artikel yang berani. Tulisan-tulisan logis dan ilmiah tidak ada gunanya. Cara yang tepat adalah main hantam kromo,” kenang pria bernama Darsono tersebut saat wawancara dengan Soe Hok Gie. Wawancara tersebut berlangsung pada Januari 1964. 

Ketika itu Darsono sudah tidak lagi aktif dalam politik praktis. Ia telah melepas seluruh mantel organisasi politik kiri yang melekat padanya sejak muda. “Sekarang ini yang diperlukan adalah orang-orang yang berani,” ucapnya sebagaimana dicatat Gie dalam buku Di Bawah Lentera Merah (1999).


Menggodok Seorang Agitator

Darsono lahir di Pati, Jawa Tengah, pada 1897, dari keluarga pegawai negeri. Namun sejak belia ia terbiasa hidup di kalangan kaum tani. Setelah menyandang gelar ahli pertanian, ia mulai bekerja di sebuah perkebunan. Berdasarkan catatan Gie, Darsono sempat berusaha melanjutkan studinya di sekolah kedokteran hewan. Nahasnya ia tak lolos. Saat itu juga Darsono keluar dari pekerjaannya dan bertolak menuju Semarang (Gie, 1999: 33).

Di kota tersebut, pada Maret 1917, tensi politik memanas. Menurut Ruth T. McVey dalam buku Kemunculan Komunisme Indonesia (2017: 30), pemicunya adalah karena pada sore hari tanggal 18 menggema sebuah berita tentang kejatuhan Tsar Rusia. Henk Sneevliet, pendiri Indische Sociaal-Democratische Vereniging (ISDV), segera menyambutnya dengan menulis artikel yang diberi judul “Zegepraal” alias ‘Kemenangan’. Dalam tulisan tersebut Sneevliet menyanjung kemenangan revolusi Rusia sekaligus mengutuk kolonialisme Belanda. 

Pemerintah kolonial menjadi waspada dan segera merespons dengan mengadili Sneevliet. Untuk pertama kalinya Sneevliet diadili sejak datang ke Hindia Belanda pada Februari 1913 pada usia 30 tahun. Persidangan tersebut diikuti oleh banyak orang, termasuk Darsono. “… ia mengikuti sidang Sneevliet dan ia sangat terkesan pada adanya orang Belanda yang memihak rakyat,” tulis Gie (1999: 33). 

Ketika menyaksikan Sneevliet, Darsono juga bertemu Semaun, mitra politiknya di kemudian hari. Semaun mengajak Darsono untuk aktif di Sarekat Islam (SI) cabang Semarang. Lewat persidangan itulah pintu perjuangan untuk Darsono terbuka.

Saat itu internal SI terpolarisasi ke dalam dua kutub: Central Sarekat Islam (CSI) dan CSI Semarang. Masing-masing kubu memiliki pandangan yang berbeda. CSI condong konservatif dan religius, sedangkan CSI Semarang—diisi oleh Semaun dan Darsono—lebih bertendensi sekuler dan sosialis.

Polarisasi tersebut salah satunya tampak lewat saling serang via artikel. Darsono pernah menyerang pemimpin anti-Semarang, Abdul Muis, melalui artikel berseri sebelum kongres kedua CSI pada 1918. Selain mengkritik sikapnya yang pro wajib militer untuk pribumi, Indië Weerbaar, Darsono juga menuduh Muis cenderung mendukung ekspansi perkebunan tebu di tengah krisis pangan (McVey, 2017: 50).

Selama berlangsungnya kongres, kontradiksi antara Muis dengan CSI Semarang semakin tegang. Alhasil, pimpinan tertinggi SI, Tjokroaminoto, menunda kongres beberapa waktu. 

Menurut Gie, Tjokro banyak memberikan konsesi kepada kelompok Semarang. Hasil kongres dianggap banyak menguntungkan mereka, termasuk posisi Darsono. “… cabang Semarang puas atas penunjukan Darsono sebagai anggota propagandis resmi CSI dan Semaun sebagai komisaris CSI Jawa Tengah,” tulis Ruth T. McVey (2017: 51).

Posisi baru tersebut membuat Darsono rajin beragitasi dalam surat kabar. Seperti yang Darsono katakan pada awal naskah ini, artikel-artikelnya memang tidak berbelit sehingga mudah dipahami pembaca. Satu contoh adalah artikelnya di koran ISDV, Soeara Ra’jat. Di sana, sebagai “pengagum berat Revolusi Bolshewik”, Darsono mengajak pembaca mengorganisasi revolusi serupa: “Bukan penguasa yang mempunyai kekuatan, tetapi rakyat. Kibarkan bendera merah di setiap tempat sebagai lambang KEMANUSIAAN, PERSAMAAN, dan PERSAUDARAAN. Apa yang bisa menghentikan seseorang ketika ia memberontak? Mari kibarkan bendera merah!” (McVey, 2017: 37).

Pemerintah kolonial, yang semakin memusatkan kekuasaan dan tidak bersikap lunak terhadap agitasi kaum ekstremis, mengartikulasikan kalimat-kalimat Darsono sebagai ancaman pemberontakan. “Hal ini menyebabkan ia ditahan dan dihukum selama setahun pada November 1918,” tulis Ruth T. McVey (2017: 50).

Pada 1919, anggota-anggota ISDV yang revolusioner (di organisasi tersebut juga ada sayap moderat) menghendaki perubahan nama organisasi. Hal ini dipicu oleh terbentuknya Indische Sociaal Democratische Partij (ISDP) oleh SDAP Hindia pada tahun yang sama. Selain pelafalan yang hampir mirip, desakan mengubah nama juga untuk memisahkan diri dengan ISDP yang revisionis-evolusioner. 

Anjuran juga datang dari Sneevliet melalui surat dari Kanton pada awal 1920. Surat tersebut menyarankan agar ISDV menjadi anggota Komintern, dan “untuk itu harus dipenuhi 21 syarat, antara lain memakai nama terang partai komunis dan menyebut nama negaranya,” tulis Gie (1999: 54).

Ketika mendekam di penjara Surabaya, Darsono menyetujui perubahan nama partai saat berbicara dengan Hartogh, pemimpin ISDV waktu itu. Selain memberi lampu hijau, Darsono menambahkan dua catatan bernada humor: (1) manifesto yang ditulis oleh Marx dan Engels berjudul Manifesto Komunis dan bukannya Manifesto Sosial Demokrat; (2) rakyat Indonesia tidak dapat membedakan ISDV dengan ISDP. 

Setelah berbagai diskusi yang alot dalam kongres, akhirnya mayoritas anggota setuju perubahan nama dari ISDV menjadi Partai Komunis Indonesia (PKI) pada 23 Mei 1920 (Gie, 1999: 54)

Setelah menjalani masa penjara, Darsono kembali terjun berpolitik dan menulis. Tak menunggu waktu lama, pada 6 Oktober, dia kembali membuat gempar dunia pergerakan melalui serangkaian artikel yang pedas. Kali ini bukan pemerintah kolonial Belanda yang disasar, melainkan Tjokroaminoto. Darsono menyinggung “terkait penyalahgunaan sejumlah besar dana SI oleh Tjokroaminoto dan menuntut dilakukannya pemeriksaan keuangan organisasi tersebut” (McVey, 2017: 125). Menurut McVey, Darsono tidak dapat disalahkan karena kas SI hampir kosong. 

Akibat kritik-kritik Darsono, citra Tjokro yang agung menjadi tercoreng. Berkelindan dengan itu, pamor kubu Semarang semakin naik. 

Kritik Darsono kemudian ditanggapi oleh Tjokro dan CSI yang “menerangkan butir-butir bahwa mereka tidak bersalah.” Kritik Darsono kembali dibahas rinci dalam Kongres SI yang diadakan pada Maret 1921. 

Sesaat sebelum kongres, Darsono sempat berkeluh kepada Tan Malaka: “Masih terlalu persoonlijk (‘personal’) dalam perbedaan paham. Mereka belum dapat membedakan antara paham atau kecakapan seseorang dengan dirinya sendiri, apalagi dengan orang yang mereka cintai (dalam hal ini Tjokro).” Tan Malaka dalam autobiografi Dari Penjara ke Penjara (2017: 92) menambahkan bagaimana frustrasinya Darsono saat itu. “Darsono kelihatan sedikit dipengaruhi serangan atas dirinya sendiri, karena ia diancam orang lain kalau ia membela dirinya di muka rapat.” 

Karena antara kubu Semarang dan CSI ingin mengonsolidasikan kekuatan kembali, Darsono—yang selalu dicela loyalis SI—akhirnya dimaafkan oleh Tjokro tetapi bukan tuduhannya. Menurut Tan Malaka, panitia kongres tidak membenarkan kritik yang keras sekalipun panitia memberikan hak kepada Darsono untuk mengkritik. Akhirnya Darsono diangkat menjadi anggota komite yang menginvestigasi penggunaan dana SI (McVey, 2017: 129).


Dari Utara ke Selatan Lagi

Berbekal pengalaman dalam organisasi massa yang kuat, Darsono berangkat ke Moskow untuk menghadiri kongres ketiga Komintern pada musim gugur 1921 sebagai wakil PKI. Kehadiran Darsono dan kemudian Semaun menguatkan kontak reguler antara Komintern dengan PKI.

Aleksandr Reznikov dalam buku The Comintern and the East: Strategy and Tactics in the National Liberation Movements (1984: 108-109) mencatat di samping memberi tugas untuk membangun serikat buruh di Jawa, Seksi Timur dari Komintern juga menginstruksikan Darsono untuk menjalin aliansi dengan gerakan-gerakan nasional. Perintah terakhir tersebut bertolak belakang dengan pemikiran pribadi Darsono. Ia mengecap negatif segala kemungkinan kerja bersama gerakan nasionalis. Darsono dan orang-orang yang selaras dengannya yakin untuk tidak pernah membuka diri terhadap aliansi antiimperialis dan menganggap kelas borjuis nasional—yang identik dengan gerakan nasionalis—sebagai musuh kelas buruh.

Reznikov menyebut sikap Darsono tersebut sebagai sektarianisme. Menurutnya (1984: 107), penyakit sektarianisme merupakan corak umum di kalangan komunis muda di Timur Jauh saat itu. 

Dengan penolakan tersebut, Reznikov menyebut bahwa Darsono juga mengesampingkan hukum perkembangan revolusi; memaksakan revolusi sosialis dan tidak mengindahkan tugas-tugas dalam revolusi demokratik di tanah jajahan. Tak hanya itu, masih kata Reznikov (1984: 107), Darsono bahkan Semaun secara membabi buta ingin membuat “sistem manajemen pemerintahan buruh-tani” ala Soviet. Maka tepat kiranya analisis McVey yang menyatakan: “… ia (Darsono) terkadang menghadapi masalah dalam menerapkan gagasan-gagasan komunis Barat yang dipelajarinya dengan kondisi yang ada di negara Timur.”

Tahun 1923 menjadi penanda buruk bagi aktivisme PKI. Akibat kurang tajamnya pendidikan teori dan organisasi politik komunis, sebagian besar kader akhirnya tenggelam ke dalam avonturisme. “Kekerasan politik revolusioner” menjadi tema besar yang diusung oleh para kader PKI. Alih-alih berorganisasi dengan disiplin tinggi, mereka lebih memilih jalan bertindak individual atau “putchisme”. “Konsekuensinya ditunjukkan pada 1923, setelah kepergian Semaun, ketika terjadi pelemparan bom di Surakarta dan Semarang. Secara otomatis kaum komunis dianggap bertanggung jawab,” terang McVey (2017: 259).

Tahun itu, pada bulan Februari, Darsono kembali ke Hindia Belanda melalui Batavia. Buku-buku literatur marxis yang dibawanya dari Uni Soviet sempat disita oleh pegawai bea cukai. 

Merespons huru-hara putchisme, Darsono langsung bergerak mengadakan rapat di Semarang. Di sana dia memaparkan pandangan negatif PKI terhadap terorisme dan avonturisme. 

Di samping itu, untuk mengembalikan harkat komunisme, ia juga mengatakan: “Kawan-kawan kita di negeri jajahan sering kali berbuat kesalahan dengan mengambil jalan komunisme kiri. Mereka terdidik dengan buku-buku yang menyatakan perjuangan untuk diktator proletariat yang baru lahir dan para pengrajin dari Cina, Korea, India, dan Mesir, melawan borjuasi asing dan pribumi, dengan upaya mendukung gerakan nasional untuk persamaan hak dari borjuasi pribumi yang masih muda melawan pusat kaum kapitalis yang menindas” (McVey, 2017: 259).

Konsistensi Darsono mengangkat disiplin komunisme yang benar dapat ditemukan dalam suatu kongres pada Juni 1924. Ia mengatakan, “partai tanpa disiplin seperti dinding tanpa semen, mesin tanpa sekrup; tapi dengan disiplin, bahkan di sebuah partai kecil, seperti Bolshewik di Rusia, dapat meraih kemenangan besar (McVey, 2017: 266).

Satu tahun setelahnya, aksi-aksi pemogokan buruh terjadi di berbagai wilayah Hindia Belanda. Buku Pemberontakan Nasional Pertama di Indonesia (1926) yang disusun oleh Lembaga Sedjarah PKI (1961: 46) menyebut buruh-buruh percetakan Tionghoa yang dibantu oleh buruh Indonesia mengorganisasikan pemogokan di Semarang pada Juli 1925. Satu bulan kemudian, para pegawai rumah sakit pusat menggelorakan pemogokan di kota yang sama. Buruh-buruh yang bekerja di bidang pemerintah, perbengkelan, dan listrik pun unjuk gigi sepanjang tahun itu. Tak salah jika PKI menisbahkan tahun 1925 sebagai “tahun penuh pemogokan”.

Laporan Semaun yang berjudul “Labor in Far East (Indonesia)” dalam surat kabar The Daily Worker nomor 250 edisi 2 November 1925 menyebut Darsono terlibat dalam perencanaan pemogokan di pelabuhan yang melibatkan sekitar 1.600 buruh di Semarang. Semaun melukiskan: “Layanan pelabuhan benar-benar berhenti. Pemogok dari tempat lain menolak untuk bekerja. Walaupun pemogokan telah berkurang intensitasnya, tetapi armada pelabuhan masih terhenti karena sabotase yang terjadi.” 

Politik represi pemerintah kolonial mulai bekerja merespons pemogokan yang bertubi-tubi. Pemerintah menargetkan menangkap pemimpin-pemimpin komunis, termasuk Darsono. Koran Darmo-Kondo nomor 99 edisi 30 Desember 1925 melaporkan bahwa klimaksnya adalah ketika tiga pemimpin PKI—Darsono, Mardjohan, dan Aliarcham—ditangkap. “Saudara Darsono itoe sebagaimana diketahoei sampai sekarang masih ada dalam tahanan pendjara Eropah (Centrale Gevangenis) di Semarang. Beberapa hari berselang sdr. Mardjohan poen laloe ditahan, demikian djoega saudara Aliarcham,” tulis koran tersebut. 

Di kemudian hari, pemerintah kolonial memberikan hukuman alternatif pada Darsono: diizinkan pergi ke pengasingan. Ia tidak berangkat ke Belanda seperti eksil politik lain, melainkan langsung menuju Uni Soviet (McVey, 2017: 433).

Selama di Soviet, Darsono memfokuskan kerjanya untuk Komintern. Dua pemimpin PKI lain, Alimin dan Musso, juga datang ke Moskow pada Juli 1926 untuk bekerja bersama Darsono dan Semaun yang telah berada di kota itu selama setahun. Keempat tokoh prominen komunis itu kemudian memaparkan presentasi tentang kondisi objektif Hindia Belanda dan partai kepada Komite Eksekutif Komintern. Mereka menjelaskan bahwa “SI benar-benar hancur, partai dan serikat buruh praktis dilarang, dan kemarahan tumbuh di kalangan rakyat” (Reznikov, 1984: 116-117).

Antara rentang tahun 1925-1929, Darsono banyak memberikan kontribusi untuk Komintern. Namun janya secuil saja pandangannya diarahkan untuk mengamati kondisi Hindia Belanda. 

Pada 1929, menurut koran Daulat Ra’jat nomor 40 edisi 20 Oktober 1932, Darsono sempat ke Belanda dan mencalonkan diri sebagai anggota parlemen dari Partai Komunis Belanda. Beribu sayang, satu kursi di parlemen tak berhasil didapatnya.

Berlin menjadi destinasi lain bagi para pejuang antikolonial. Di sana mereka mengadakan kongres Liga Melawan Imperialisme—sebuah organisasi yang dibentuk pada 1927. Alih-alih menunjuk pemimpin PKI lain, Darsono—yang masih berada di Moskow— menyarankan agar Komintern mengundang seorang insinyur cum Ketua Partai Nasional Indonesia (PNI), Sukarno, untuk menghadiri acara tersebut. Tanpa diketahuinya sedikit pun, saran tersebut akan menjadi puncak dari segalanya untuk Darsono di kemudian hari (Reznikov, 1984: 122).

Pada akhir 1929, akhirnya Darsono dikeluarkan dari Komintern akibat pandangannya yang bersifat kompromi terhadap gerakan nasionalis-reformis. Koran AKSI nomor 16 edisi 15 April 1931 melaporkan bahwa, “Tahoen-tahoen paling belakang Darsono telah ambil sikap opportunistisch. Ia bilang, bahwa Komintern perloe bekerdja sama dengan nationaal reformisten di Indonesia.” Menurut koran tersebut, Indonesia tak memiliki borjuasi nasional, dengan demikian juga “tidak ada dasar jang baik boeat gerakan perobahan.” Darsono sendiri menolak habis-habisan mengkritik pemimpin reformis nasional di tempat umum dalam suatu kongres di Frankfurt. 

Koran yang sama nomor 5 edisi 31 Maret 1931 menuliskan bahwa Moskow sangat berhati-hati dan bahkan cenderung mengecam siapa pun yang hendak terus terang merangkul kaum nasionalis. Kejadian serupa pernah menimpa Semaun. “Semaoen disoedoetkan [oleh Moskow] akibat ketahoean pernah berdjabat tangan dengan pimpinan Perhimpunan Indonesia di Belanda.” 

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.


“Kommunist” atau “Tjoema Koroso-Koroso”

Setelah sekian puluh tahun berada di luar negeri, Darsono akhirnya kembali ke Indonesia pada 1950. Saat itu Darsono tua sudah tidak memiliki koneksi apa pun dengan gerakan komunis Indonesia yang saat itu dipimpin D. N. Aidit. Ia menghabiskan sisa hidup dengan bekerja sebagai penasihat untuk Kementerian Luar Negeri sampai 1960.

Bagaimanapun juga, kendati putus relasi dengan gerakan kiri di masa tua, nama Darsono akan tetap selalu menggema dalam sejarah perkembangan komunisme di Indonesia; sekaligus sebagai proto-komunis di samping Semaun, Tan Malaka, Haji Misbach, dan lain-lain. Hal itu telah diakui pada tahun 1930-an, ketika PKI generasi pertama sudah ditumpas habis oleh pemerintah. 

Dalam koran Daulat Ra’jat nomor 38 edisi 30 September 1932, pada kolom “Soerat Kiriman” dengan judul artikel “No Sacrifice is Wasted” (‘Tidak ada korban jang terboeang’), misalnya, penulis dengan nama samaran A. S. menulis:

“Penoelis berkejakinan, bahwa bagaimanapoen djoega paham dan kejakinan mereka itoe, tetapi dalam toedjoean jang tertinggi ialah melepaskan rak’jat Indonesia dari pendjadjahan bangsa asing. […]. Boeat memboektikan tjoekoeplah kita seboetkan Tan-Malaka, Semaoen, Darsono. Apakah nama jang terseboet belakangan ini tjoema koroso-koroso dan ampas manoesia belaka? Ataukah mereka takoet poela ditoedoeh kommunist d.l.l,, seoempama menengok hantu pada tengah hari?” 

Darsono wafat pada 1976, saat Orde Baru sukses mengukuhkan legitimasi antikomunis dalam masyarakat.***


Alvino Kusumabrata, pelajar kelas dua belas SMA di Kota Surakarta

]]>
1965 Tahun Antariksa https://indoprogress.com/2023/03/1965-tahun-antariksa/ Wed, 22 Mar 2023 01:38:10 +0000 https://indoprogress.com/?p=237420

Ilustrasi: illustruth


1965 adalah angka bergema, tahun bergejolak dalam dunia yang bergerak. Peristiwa relevan geopolitik apa yang misalnya terjadi pada tahun itu? Dari pelbagai peristiwa yang bisa ditemukan di internet saya ambil beberapa contoh.

Pada Maret 1965, untuk pertama kalinya Amerika Serikat meluncurkan pesawat luar angkasa berawak bernama Gemini. Pada Juni, astronaut Edward White berhasil berjalan menapakkan kaki di angkasa luar. Tiga bulan sebelum itu, dia sudah didahului oleh kosmonaut Rusia Aleksei Leonov, orang pertama yang berjalan di luar angkasa. Program antariksa ini tidak hanya mempersiapkan pendaratan pertama di bulan melainkan juga eksplorasi terhadap planet Mars di tahun-tahun mendatang.

1965 adalah juga tahun ketika Malcolm X ditembak mati, dan enam ratus orang Afro-Amerika bentrok dengan polisi dan tentara dalam sebuah peristiwa yang kemudian disebut Ahad Berdarah (Bloody Sunday). Martin Luther King yang berperan sebagai pemimpin gerakan hak-hak sipil menyelenggarakan tiga mars protes dari Selma ke Montgomery. Mars ini bertujuan untuk meningkatkan tuntutan mereka bagi hak-hak warga Afro-Amerika. Tahun 1965 juga ditandai dengan peningkatan cepat jumlah tentara Amerika di Vietnam Selatan, untuk menyaingi cengkeraman kuat kalangan komunis Vietcong atas warga pedesaan negeri itu. Pada awal tahun, operasi Rolling Thunder bertanggung jawab bagi hujan bom di wilayah itu. Pada paruh kedua 1965 ofensif Amerika terutama terpusat pada operasi marinir Starlite, di selatan Da Nang, dan Piranha, diarahkan pada basis Vietcong di Semenanjung Batangan.

Masih pada tahun itu, Kolonel Houari Boumédienne di Aljazair menjatuhkan Presiden Ben Bella. Di Kongo, Sese Seko Mobutu tampil berkuasa melalui kudeta militer. Pada Agustus, Singapura memisahkan diri dari Federasi Malaysia dan di Filipina, pada November, Ferdinand Marcos terpilih sebagai presiden. Di Indonesia, pada 1 Oktober 1965, Jenderal Soeharto mengambil alih kekuasaan sebagai reaksi terhadap apa yang disebut upaya kudeta Partai Komunis Indonesia yang konon terjadi pada malam hari sebelumnya. Pengambilalihan kekuasaan ini diikuti dengan genosida terhadap siapa saja yang dianggap komunis dan kiri, dan konsolidasi kekuasaan Soeharto. Ini terjadi dengan bantuan Amerika Serikat dan sangat memuaskan pemerintah semua negara Barat.

Rangkaian peristiwa pada 1965 itu menghasilkan rekaman sesaat ketika berlangsung Perang Dingin, yang disebut “dingin” karena dua blok kekuasaan besar pada waktu itu, Amerika Serikat dan Uni Soviet, tidak saling melancarkan perang secara fisik. Walaupun secara ideologis mereka berdua merupakan kutub-kutub yang berlawanan, tetapi keduanya berhasil mencapai kesepakatan untuk bertindak sesuai kepentingan masing-masing dalam keadaan “damai bersenjata”.

Perdamaian yang disesaki senjata itu “dilagakan” bukan cuma di planet bumi, melainkan juga di sekitarnya, di angkasa luar, di mana berlangsung perlombaan teknologi antariksa yang menegangkan. Baik keberhasilan gemilang maupun kegagalan di luar angkasa, demikian pengakuan kedua blok kekuasaan yang saling bersaing, adalah demi melayani kemajuan ilmu pengetahuan dan kemanusiaan. Di bumi sendiri berlangsung perlombaan senjata-senjata canggih yang hanya bertujuan untuk saling mengejutkan siapa saja, demikian bunyi penjelasan negara-negara yang memiliki senjata-senjata macam itu. Pada saat yang sama pabrik-pabrik senjata masih beroperasi menghasilkan senjata-senjata konvensional. Senjata macam ini bisa dikerahkan untuk merawat perimbangan kekuasaan geopolitik.

Dua blok kekuasaan besar berupaya mencapai keseimbangan itu dengan cara menggapai negara atau pemerintahan negara lain masuk dalam wilayah pengaruhnya, atau membuat negara yang sudah masuk pengaruh tetap ada di dalam wilayah itu. Perimbangan itu bukannya selalu sempurna. Blok kekuasaan yang berupaya mempertahankan kapitalisme tampak lebih tangkas ketimbang kekuasaan besar yang ingin melanggengkan komunisme.

Para pemimpin pemerintahan yang tidak begitu disukai, terutama di “dunia ketiga”, sebagian besar baru membebaskan diri dari kolonialisme, diawasi dengan curiga dan jika perlu akan ditangani. Sebagian besar negara ini bergabung dalam gerakan non-blok dan dengan demikian menggarisbawahi keinginan mereka untuk tidak masuk dalam dua blok kekuasaan yang ada. Amerika menindak tegas pemerintah negara lain yang tidak disukainya. Umumnya tentara nasional setempat dipilih sebagai penindak langsung. Supaya mampu menjalankan tugas ini tentara itu dilatih dan diperlengkapi dalam pelbagai institut militer di pusat kekuasaan. Regime change (pergantian pemerintah) selalu disertai pertumpahan darah.

Begitu terjadi pertumpahan darah sistematis dalam skala besar, orang dihilangkan; mereka yang melakukan perlawanan akan ditangkap dan dipenjara, disiksa, dibiarkan kelaparan. Kalau perlu kalangan yang mbalelo ini juga dideportasi ke wilayah-wilayah yang terpencil jauh dari dunia berpenghuni. Misalnya kamp tahanan di padang pasir Atacama, Cile serta Pulau Buru yang dengan panjang lebar pernah saya sebut dalam dua esai terdahulu.[1]

Banjir darah di dua negara di atas dan di negara-negara lain sedikit banyak berlangsung karena bantuan strategis militer serta nasihat Amerika Serikat. Dalam buku berjudul Metode Jakarta: Amerika Serikat, Pembantaian 1965, dan Dunia Global Kita Sekarang, wartawan Amerika Vincent Bevins menggambarkan pembentukan secara bertahap dimensi penuh kekerasan Perang Dingin ini, sejak 1950an—misalnya Perang Korea dan campur tangan di Guatemala serta Kuba. Walau demikian, tulis Bevins, adalah kemenangan blok pimpinan Amerika di Brasil (1964) dan Indonesia (1965) yang merupakan awal perkembangan “a monstrous international network of extermination” (jaringan pemusnahan internasional yang mengerikan) dan telah menyebabkan pembunuhan massal sistematis terhadap warga sipil banyak negeri.[2]

Didorong oleh keinginan blok kapitalistis untuk memperluas kepentingan ekonomi dan geopolitisnya, metode yang digunakan untuk mencapai tujuan itu tak berbatas. Bukannya jumlah korban terlalu banyak tatkala Presiden Brasil João Goulart dicopot dari jabatannya pada 1964. Kudeta itu bahkan tidak butuh pertumpahan darah. Yang terjadi adalah penggunaan kekerasan negara secara perlahan-lahan terhadap siapa saja yang dianggap kiri dan komunis. Perkembangan ini mencapai puncaknya pada 1970-an dan menjangkau lebih jauh dari kekuasaan Presiden Goulart. Para penggantinya tampil sebagai sekutu yang begitu setia, terampil dan khususnya fanatik dalam melaksanakan pembersihan politik lebih lanjut halaman belakang besar Amerika Serikat, wilayah selatan Amerika Utara.

”Metode Jakarta” seperti tertera pada judul buku Bevins juga diterapkan di negara-negara lain yang merupakan “halaman belakang”, berupa lisensi bagi operasi militer rahasia dengan tujuan memusnahkan secara fisik kalangan komunis.[3] Lisensi itu membuka jalan bagi berarti penggunaan taktik dan metode yang bertujuan untuk menakut-nakuti para penentang elite penguasa dengan cara interogasi yang tidak manusiawi, penyiksaan dan pembunuhan.

Pada paruh kedua 1970-an Amerika Latin merupakan killing zone (zona pembunuhan) yang dikuasai pelbagai diktator militer bekingan Amerika Serikat. Bevins tak hanya berkisah tentang individu-individu yang menjadi korban, terutama di Brasil dan Cile, tetapi juga tentang orang-orang yang mondar-mandir antar-benua dan dengan demikian menjadi saksi jalur komunikasi rahasia antara para pelaku kekerasan.

Pengetahuan tentang teknik-teknik interogasi, penyiksaan dan pembunuhan saling dipertukarkan oleh para pelaku kekerasan dari pelbagai negara. Teknik manakah yang paling efektif? Adakah teknik-teknik baru? Tatkala dalam kepala terbayang bagaimana penyiksaan ini berlangsung di pelbagai negara, dengan perasaan bergidik saya menjadi sadar betapa besar jaringan pemusnahan internasional yang mengerikan itu. Kini akan saya ambil pelbagai contoh dari kamp tahanan di Indonesia dan, seperti dikemukakan Bevins, dari Brasil.

Indonesia. Dia mulai ditahan di Yogyakarta. Dikurung dalam bekas Perpustakaan Jefferson yang diubah menjadi pusat penyiksaan, Tedjabayu beruntung karena menghadapi seorang interogator yang lunak. Sebaliknya, banyak tahanan lain yang disetrum waktu interogasi. Ternyata ini merupakan kebiasaan rutin standar. Karena tertarik pada teknik listrik, Tedjabayu mencari tahu listrik seperti apa yang digunakan dalam penyiksaan ini dan mendapati bahwa yang digunakan adalah listrik arus searah. Listrik seperti ini dibangkitkan dengan cara memutar generator dengan tangan, membuat penyiksaan berkali-kali lebih menyakitkan, berarti “lebih efektif” ketimbang jika digunakan listrik arus bolak-balik. Algojo tampak lebih puas mendengar jeritan pilu pihak yang diinterogasi, setiap kali dia naikkan aliran listrik.[4]

Hampir 10 tahun mereka berada di Pulau Buru. Panas terik matahari tetap menerpa punggung para tahanan politik yang bekerja keras. Lima tahun terakhir kamp diperluas menjadi wilayah berbentuk lonjong dengan panjang mencapai sekitar 30 kilometer. Di situ para tapol harus membangun sendiri 21 unit sebagai tempat tinggal mereka. Tiba-tiba datang hari itu … “Pada hari itu mereka memerintahkan tapol-tapol berkumpul di lapangan dan semua anggota Unit V dihajar habis-habisan. Ada bisik-bisik bahwa para tahanan telah membunuh seorang perwira. Mereka dihajar sehingga paling sedikit ada 13 orang yang tewas di tempat, karena tidak boleh ditolong dan didiamkan di lapangan. Mereka tewas karena kehabisan darah.”[5]

Brasil. Pada 1970 seorang perempuan keturunan Bulgaria, Dilma Rousseff, ditahan karena melakukan “tindakan membakar-bakar massa”. Lebih dari 40 tahun kemudian, dalam masa jabatan kepresidenan pertamanya, Rousseff memberi kesaksian bahwa dia selama berminggu-minggu mengalami siksaan dalam pelbagai cara semasa diktator. Dia digantung secara terbalik, kaki di atas, apa yang disebut metode parrot’s perch (burung beo bertengger). Kemudian mereka memukul patah gigi-giginya menggunakan setrum.[6]

Belum lama berselang baru terungkap bahwa penulis terkenal Brasil Paulo Coelho juga merupakan korban perburuan politik semasa diktator militer. Pada waktu itu dia belum jadi penulis alih-alih seorang pencipta lagu. Sesudah ditahan dia dibawa masuk kamar penyiksaan dengan mata ditutup. Di situ dia mengalami sakit yang tidak terperikan tatkala disiksa dengan aliran listrik yang, dalam kasusnya, melalui kabel yang dilekatkan pada alat kelaminnya. Karena putus asa, dia garuk-garuk sampai kulitnya terkelupas sehingga bercak-bercak besar darah memenuhi sekujur tubuhnya. Tiba-tiba algojo-algojo yang menyiksanya meninggalkan ruangan penyiksaan yang kedap suara, yang terasa semakin mencekam karena tampak lubang-lubang peluru di tembok. Adakah para algojo itu terkejut melihat begitu banyak darah dan menghindari tanggung jawab kalau sampai atasan mempermasalahkannya? Atau sadarkah mereka tiba-tiba bahwa telah menangkap orang yang salah? Adakah kebetulan itu yang telah menyelamatkan Paulo Coelho?[7]

Sangat bisa dibayangkan bahwa akibat siksaan listrik seseorang bisa menjadi hilang ingatan. Di kamp tahanan Pulau Buru terdapat beberapa orang yang sakit ingatan. Sering terjadi bahwa kondisi kejiwaan yang tidak bagus atau depresi telah menyebabkan orang bunuh diri. Kaitan antara keduanya tidak bisa dengan mudah dibuktikan, pasti tidak dalam keadaan ketakutan, stres dan kelaparan terus-menerus. Ancaman berulangnya penyiksaan terus dirasakan para tahanan. Beberapa orang gantung diri di bawah pohon, beberapa yang lain lompat ke laut.

Hilang ingatan untuk selamanya. Itulah hantu paling mengerikan yang bergentayangan di kamp tahanan. Para tapol berbuat apa saja untuk menghindarinya. “Biasa saja”, berupaya menjaga kesehatan otak dengan cara saling bertukar cerita (karena tidak ada buku untuk dibaca), dengan menulis (kalau mereka bisa memperoleh pena dan kertas), dengan berupaya selalu fit (walaupun badan melemah karena kelaparan) dan sebanyak mungkin berburu binatang kecil, sesuatu yang penting supaya bisa memperoleh zat protein yang esensial.[8]

Pada 1970-an Perang Dingin masih terus berkecamuk. Vietnam berhasil meloloskan diri dari jaringan kekuasaan kapitalis. Bagi Amerika, Perang Vietnam yang berlangsung antara 1955 dan 1975 mengakibatkan trauma nasional; puluhan ribu serdadu tewas dan lebih banyak lagi yang mengidap PTSD (gangguan mental akibat peristiwa traumatis) di negeri sendiri. Kekalahan yang memalukan ini dikompensasi dengan ikan besar atau ikan rada kecil yang tersangkut dalam jaringan penguasa dunia kapitalistis, di dalam maupun di luar halaman belakang sendiri. Ikan jumbo untuk tahun 1965, Indonesia, tetap merupakan hasil tangkapan terbesar di luar belahan bumi Amerika sendiri.

Walau begitu, akhir 1975, penggagas Perang Vietnam masih berhasil menangkap ikan kecil dalam jaringan pengaruhnya, di perairan strategis Hindia. Pada Desember 1975, pasukan Indonesia menyerbu wilayah yang waktu itu disebut Timor Portugis dan yang baru saja memproklamasikan kemerdekaannya. Operasi ini sepenuhnya direstui Amerika Serikat, karena wilayah separuh pulau berbukit-bukit ini, setelah mundurnya penjajah Portugal, terancam menjadi sarang komunisme. Aksi militer kilat ini menjadi berita dunia tatkala terungkap bahwa lima orang wartawan Australia dibunuh di sebuah desa yang terletak pada perbatasan Timor Barat. Di seantero penjuru dunia media massa memberitakan apa yang disebut The Balibo Five (lima orang Balibo).[9] Kemudian berlanjut dengan periode pendudukan militer selama 24 tahun dan selama periode itu seperempat penduduk Timor Leste tewas.

Perimbangan kekuasaan dunia baru mulai berubah menjelang akhir abad silam. Untuk banyak kaum muda, istilah “Perang Dingin” sudah tidak lagi bermakna apa-apa.

Sepanjang dekade 1980-an, dan pasti setelah robohnya Tembok Berlin, puncak kekuasaan blok kapitalistis menguasai arena permainan pada hampir segenap penjuru dunia. Penguasaan dunia itu nyaris terpusat menjadi satu kutub. Pelbagai diktator militer mulai beruntuhan.

Diktator militer Brasil sudah berakhir pada 1985, diktator militer Indonesia dapat bertahan sampai 1998. Mendekati pergantian abad, dengan sorak-sorai meriah, beberapa negara melakukan reformasi politik. Konon dunia akan memasuki “kebebasan demokratis” yang lebih besar. Tapi benarkah pelbagai rezim diktator itu sudah berakhir selamanya dari panggung politik? Akankah tatanan dunia sekarang benar-benar bebas dari ancaman —benar atau rekayasa— yang mewajibkan umat manusia menggunakan senjata fisik atau psikologis?

Penghujung 2015. Pada akhir persidangan selama tiga hari di Den Haag, ketua majelis hakim International People’s Tribunal 1965 membacakan hasil sidang berkaitan dengan tuduhan terhadap negara Indonesia tentang kejahatan terhadap kemanusiaan yang terjadi pada 1965-1966 dan tahun-tahun sesudahnya. Dalam dakwaan dan laporan majelis hakim tertera pembunuhan massal, penahanan, perbudakan, penyiksaan, penghilangan, kekerasan seksual, perburuan (persekusi) dan propaganda kebencian.[10] Selanjutnya juga tertera keterlibatan Amerika Serikat, Britania Raya dan Australia, masing-masing dalam peringkatnya sendiri-sendiri. Tribunal ini dirancang dalam norma hukum formal, tetapi tidak punya status internasional resmi yang diakui. Tribunal ini bisa berlangsung berkat kerja keras para pakar, dan sukarelawan aktivis, termasuk penulis.

Para penyintas yang sementara itu sudah lansia datang dipapah menjadi saksi di depan tribunal. Dengan meyakinkan mereka menjawab pertanyaan-pertanyaan para hakim dan jaksa penuntut. Salah seorang saksi, pensiunan guru yang sudah mencapai 80 tahun lebih, bertutur tentang penghinaan mendalam yang dialaminya selama interogasi ketika ditahan. “Pak, saya ini tidak melakukan gerilya politik. Saya sudah menemukan posisi yang mapan sebagai mahasiswa dan guru, kenapa gerilya? Buat apa gerilya? Adik saya membutuhkan saya. Tetapi dengan jawaban itu tanpa dinyana kepala saya ditendang, saya ditelanjangi lagi. Dalam keadaan telanjang, saya dipegang, dua orang, saling menghadap … dan mencium kemaluan mereka.”[11]

Karena luapan emosi, baik pada pihak saksi maupun penerjemah, sidang harus dihentikan selama seperempat jam.

IPT yang menyingkap tirai penutup berbagai macam kejadian di Indonesia pada 1965-1966 sedikit lebih jauh dari apa yang sudah dilakukan oleh Joshua Oppenheimer dalam dua film dokumenternya yaitu Jagal dan kelanjutannya Senyap. Rencana melansir bagian tiga seri dokumenter ini, dengan penyesalan besar Oppenheimer, tidak kesampaian. Sang sutradara dilarang masuk Indonesia dan beberapa orang Indonesia yang bekerja sebagai awak film ini, karena alasan keamanan, terpaksa pindah rumah.

Pelbagai kisah tentang kehidupan dalam kamp konsentrasi membangkitkan angan-angan dalam diri saya yang tidak mudah diusir, walau saya tidak mengalami sendiri kehidupan penuh derita itu. Tidakkah hidup di wilayah jauh terpencil, seperti Buru, mirip dengan hidup di planet lain? Pulau itu sulit dijangkau, panas di siang hari tidak tertahan, pagi hari dingin, tanah kering-kerontang dan berkarang, hutan dan semak belukar sarat reptil dan serangga. Lebih dari itu, nyaris tidak ada kontak dengan orang-orang tercinta, keluarga, orang-orang di “dunia biasa”. Ini sama saja dengan hidup dalam pengasingan total.

Malvinas! Demikian Buru sering disebut oleh para penyintas kamp ini.[12] Malvinas bukanlah “planet lain”, melainkan satu tempat yang sama jauhnya dan sulit terbayangkan. Ini adalah sejumput pulau-pulau kecil di bagian lain dunia, yang pada 1982 menjadi penyebab perang antara Argentina dan Inggris: Las Islas Malvinas, orang Inggris menyebutnya kepulauan Falklands. Sedangkan “Malvinas” merupakan semacam kata sandi para penyintas untuk menyebut Pulau Buru, penyatu ingatan dan pengalaman mereka. Kata sandi ini menawarkan ruang aman untuk saling tukar ingatan bersama.

Selain sebagai sandi yang menghubungkan orang, perumpamaan seperti ini juga dapat membantu untuk berkisah tentang kebenaran di balik episode hitam sejarah lewat cara yang terselubung. Dalam film dokumenter pendek bernuansa science-fiction, A Thousand and One Martian Nights (seribu satu malam Mars), seniman Indonesia Tintin Wulia menampilkan beberapa orang penyintas pembunuhan massal di bawah Soeharto.[13] Pada 2165, orang-orang ini berkilas balik menuturkan pengalaman 100 tahun silam. Pada 2065 mereka termasuk ribuan orang anti rezim yang selamat dari kematian karena diasingkan ke planet Mars. Kisah para aktor dan sineas—yang juga cucu salah seorang korban pembunuhan massal—silih berganti dengan film buatan bagian ilmiah NASA yang pada 1965 sudah melakukan penelitian terhadap kemungkinan adanya kehidupan di Mars.

Salah seorang aktor penyintas memulai penuturannya dengan pengalaman yang menyakitkan.

“Saya masih ingat betul itu: kira-kira jam tiga malam saya mendengar teriakan-teriakan Tonwal yang menggedor-gedor barak kami. Dan begitu kami keluar kami digebuki, entah memakai popor bedil atau kayu yang mereka ambil begitu saja. Dan kami sama sekali tidak tahu. Kemudian kami diminta untuk tiarap. Yang saya pikir jangan-jangan ada yang lari. Mars itu tanahnya keras dan tajam, siku saya berdarah-darah. Kalau soal digebuki sih tidak masalah tapi siku kami ini kena keringat, jadinya perih. Tetapi yang paling saya ingat saat itu adalah suasana di mana di tempat gelap, di kegelapan yang pekat itu ada bunyi kelontang-kelontang, misting-misting kami yang selalu kami bawa karena kami harus bekerja.”

“Nah, tiba-tiba teman saya di sebelah itu berbisik dengan tertawa. Bung, ini akan saya jadikan adegan pembukaan dari film saya, nanti. Saya tertawa-tawa sambil bilang: kamu itu bintang film, anak sutradara, pikirannya soal film saja. Kata Tonwal, ‘Cukimai, malam-malam berdiri saya disuruh bangun hanya untuk membangunkan kamu yang malasnya bukan main. Ayo bangun, ini hari apa? Ini hari tanggal ulang tahunmu, tahu?’ Dia bilang itu adalah ulang tahun organisasi kami, yang mereka takuti.”

“Pengalaman saya saat itu digebuki, dipukuli sampai berdarah-darah, kemudian menerima surat dari istri yang menikah lagi, menerima surat dari teman bahwa ‘pacarmu sudah meninggalkan kamu’.”

“Itu betul-betul kejadian sehari-hari yang buat saya merupakan sebuah lelucon saja, lelucon yang harus kita hadapi. Karena seperti yang saya katakan kemarin-kemarin; ad astra per aspera, ke bintang lewat penderitaan.”[14]

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.

Dan bagaimana dengan kebebasan demokratis pada masa kini? Rezim Indonesia dalam tahun-tahun terakhir ini tidak menjadi lebih ramah. Para komentator politik mengamati dengan mata kepala sendiri mundurnya nilai-nilai dan praktik-praktik demokratis, sejauh itu semua mulai mengakar. Dari meja pemerintahan tampil ke depan aktor-aktor politik dengan lagu-lagu yang senada dengan nyanyian yang sudah pernah terdengar pada paruh kedua abad lalu. Beberapa kambing hitam yang semula dikira sudah terlupakan, antara lain kalangan komunis, ditampilkan kembali. PKI konon kembali bangkit, seperti terlihat pada yel-yel nyaring disuarakan oleh macam-macam geng dan milisi jalanan yang terasa mengancam.

Mengambinghitamkan seseorang tidaklah sulit: stempel PKI bisa terus dicapkan terhadap siapa saja yang dianggap melanggar kepentingan status quo, seperti para buruh yang mogok, petani yang terusir dari tanah mereka, aktivis lingkungan hidup, kalangan LGBT dan oposisi politik. Betul, Presiden Jokowi sudah menyatakan penyesalan atas sejumlah pelanggaran berat hak-hak asasi manusia, termasuk yang terjadi tahun 1965-1966 dan menetapkan sebuah keputusan untuk menyelesaikannya. Namun, betapa pahit ketika melihat bahwa niat penyelesaian itu baru datang ketika para penyintas langsung sudah tidak banyak lagi. Lagi pula belum terbukti seberapa jauh pemerintahan Jokowi serius dengan niat ini. Keputusan tersebut tidak mencakup pengungkapan kebenaran atas para pelaku kejahatan serta langkah menuju keadilan.

Selain di Indonesia dan di negara-negara lain seperti Amerika Serikat serta Rusia, disinformasi juga berjaya di Brasil, khususnya pada masa pemerintahan bekas tentara Jair Bolsonaro, sejak akhir 2018 hingga akhir 2022. Bolsonaro memang tidak naik lewat kudeta, melainkan melalui cara “demokratis”, setelah dia dan kaki tangannya menjatuhkan presiden Dilma Rousseff melalui kampanye pemakzulan.[15] Bolsonaro menganggap cara ini harus dilakukan agar Brasil tidak menjadi “Korea Utara kedua”. Demikian katanya kepada wartawan Vincent Bevins pada 2016. Dalam pemilu yang berhasil memenangkannya, terjadi kerusuhan antar-kelompok di jalan-jalan Rio de Janeiro. Laki-laki berbadan gempal menghadapi perempuan-perempuan bertato yang mengenakan emblem calon presiden saingan. Mereka berteriak-teriak, “Komunis! Buang kaum komunis! Enyah, kalian!”[16] Digantikannya Bolsonaro baru-baru ini oleh Presiden Inacio Lula da Silva yang berhaluan sosial demokrat terasa melegakan, walaupun tidak akan serta-merta dapat membendung sentimen dan kekuatan politik para bolsonaristas.

Perubahan politik yang berlangsung dari waktu ke waktu direkam dan diukur, demikian pula kadar demokrasi. Hasil pengukuran bisa berbeda-beda, tetapi runtuhnya demokrasi tidak bisa disebut “sementara”, demikian dilaporkan oleh pelbagai institut internasional independen yang mengamati perkembangan indeks demokrasi. Semakin banyak negara menjadi kurang demokratis. Mungkinkah demokrasi akan sama sekali hilang lenyap?

Perang Dingin telah hidup kembali, demikian kesimpulan beberapa analis. Sejarah berulang, tetapi tidak pernah dalam cara yang persis sama. Walaupun tidak menyenangkan penguasa Indonesia, vonis IPT turut membuka mata kalangan kawula muda perkotaan. Mereka tidak sudi lagi menerima semuanya begitu saja, dan sambil bermimpi hidup dalam dunia yang lebih baik, mereka lawan setiap bentuk penyimpangan, seperti penciptaan dan penyebaran disinformasi. Puluhan tahun silam, banyak di antara kita yang juga sudah mengimpikan hal serupa. Mengimpikan dunia yang lebih baik, di sekitar kita sendiri, di negeri kita dan bagi planet kita.

Dunia yang lebih baik ini konon bukan lagi merupakan impian bagi orang-orang super kaya yang mengangkat dirinya sebagai suhu yang paling tahu soal kemajuan manusia. Apabila semua tempat yang buruk dunia bisa disulap menjadi tempat tinggal nyaman, maka hal seperti itu seharusnya juga bisa dilakukan di angkasa, begitu konon pendapat mereka. Kalau kita harus percaya pada Elon Musk, maka dia akan mengubah Mars menjadi tempat nyaman itu. Bagi saya ini terdengar sebagai keangkuhan yang kejam. Walau cuma dalam angan-angan, sudah terlihat eksesnya berkelebatan dalam bayangan, mayat tahanan yang tak terhitung, budak baru atau orang yang diperbudak, dan mayat-mayat makhluk yang kita kenal maupun yang tidak kita kenal di planet kita. Serta robot-robot yang mubazir.***


[1] Dua esai itu masing-masing berjudul “Er is geen heden” (tiada hari ini) dan “De geest is uit de fles” (jin sudah keluar dari botol).

[2] Vincent Bevins versi asli bukunya dalam bahasa Inggris, The Jakarta Method, halaman 12.

[3] Dalam esai “Er is geen heden” (tiada hari ini) saya sebut kata sandi “Jakarta” seperti terdengar di jalan-jalan Santiago de Chile.

[4] Tedjabayu, Mutiara di Padang Ilalang, Komunitas Bambu, 2020, halaman 23-24.

[5] Tedjabayu, Mutiara di Padang Ilalang, halaman 183.

[6] Vincent Bevins, The Jakarta Methods, halaman 197.

[7] Vincent Bevins, The Jakarta Methods, halaman 198-199.

[8] Lihat juga esai “De geest is uit de fles” (jin sudah keluar dari botol).

[9] Penjelasan selayang pandang yang bagus tertera dalam buku James Dunn, Timor: A People Betrayed, ABC Books Sydney, 1996.

[10] Ini semua, satu per satu, merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan, seperti telah disepakati secara internasional. IPT 1965 Foundation, 2016.

[11] IPT 1965 Foundation (2016), halaman 152-153.

[12] Hersri Setiawan, Memoar Pulau Buru, KPG-Gramedia, Jakarta 2016, halaman 438.

[13] Versi terdahulu film dokumenter ini diputar di paviliun Indonesia pada Biennale Venesia tahun 2017, di situ seniman Tintin Wulia merupakan salah satu dari dua kurator yang bertugas.

[14] Titin Wulia, A Thousand and One Martian Nights, film semi-dokumenter, 2017 (peredaran diatur sendiri oleh Tintin Wulia, sebagian disponsori oleh NYC Cultural Affairs).

[15] Setelah Dilma Rousseff dijatuhkan pada 2016, wakil presiden Michel Temer berkuasa sebagai presiden transisi setelah pelantikan Jair Bolsonaro.

[16] Vincent Bevins, The Jakarta Method, halaman 14.


[Esai ini merupakan bab terakhir kumpulan esai Artien Utrecht berjudul “Razende stiltes”, terbitan De Knipscheer, 2022. Diterjemahkan dari bahasa Belanda oleh Joss Wibisono, dengan persetujuan Artien Utrecht yang sudah melakukan aktualisasi]

]]>
Sejarah Kemerdekaan Indonesia, Sejarah Kelas Pekerja https://indoprogress.com/2022/10/sejarah-kemerdekaan-indonesia-sejarah-kelas-pekerja/ Sun, 30 Oct 2022 01:00:56 +0000 https://indoprogress.com/?p=237074

Ilustrasi: Wikimedia Commons


COBA ingat kembali apa yang kita pelajari tentang pencapaian kemerdekaan dalam mata pelajaran IPS atau Sejarah semasa sekolah dulu. Mulai dari gold, glory, gospel, perdagangan rempah-rempah, VOC, hingga Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) muncul dalam ingatan karena topik tersebut sering menjadi bahan ujian.

Di luar itu, ada satu bagian penting yang terlewatkan: serikat pekerja dan gerakan buruh secara umum. Selama ini, tepatnya sejak Orde Baru, peran mereka dalam perjuangan kemerdekaan dipendam dan diabaikan.

Posisi buruh dan serikat dalam sejarah perjuangan mencapai kemerdekaan perlu direkonstruksi dengan menggunakan perspektif kelas. Karl Marx mengatakan bahwa sejarah seluruh masyarakat adalah sejarah perjuangan kelas. Penulis pun ingin menggambarkan perjuangan kemerdekaan Indonesia sebagai bagian dari narasi perjuangan kelas.

Meskipun perspektif tersebut telah dicerabut oleh Orde Baru, namun artefaknya masih tersimpan di beberapa media cetak yang terbit di masa penjajahan. Berdasarkan data tersebutlah penulis menyusun cuplikan fenomena yang menempatkan gerakan buruh sebagai bagian vital dalam masyarakat. Penulis membatasi data usaha-usaha mencapai kemerdekaan hanya pada 1918-1920-an hingga menuju Depresi Besar atau Krisis Malaise. Era ini merupakan masa-masa krusial dan gerakan buruh pun sedang kencang-kencangnya.


Memahami penjajahan dari perspektif kelas

Dari sudut pandang non-kelas, penjajahan sering kali diidentikkan dengan brutalitas suatu kelompok berbasis wilayah dalam menguasai kelompok atau wilayah lain. Dari perspektif kelas, aksi penjajahan dapat dibaca sebagai proses akumulasi primitif.

Akumulasi primitif adalah proses pemisahan produsen langsung dari alat produksi mereka sendiri oleh para pemilik modal. Ini adalah titik awal corak produksi kapitalistik. Hampir sama dengan dosa asal dalam teologi, kata Marx.  Proses pemisahan ini hanya dapat berlangsung ketika ikatan produsen langsung terhadap lahan dipisahkan. Produsen langsung kemudian menjadi buruh upahan. Setelah kapitalis berhasil melakukan akumulasi primitif dan mampu berdiri sendiri, mereka akan meningkatkan skala akumulasinya.[1]

Menurut Gonçalves & Costa (2020), perampasan dalam akumulasi primitif terjadi dalam dua level. Pertama, perampasan ruang untuk menjamin reproduksi fisik dan sosial di Eropa–tempat kapitalisme industri berlangsung; kedua, ekspansi melalui penjajahan dan pemusatan perdagangan.[2] Meski demikian, pada dasarnya akumulasi primitif tidak hanya dapat dilakukan oleh negara-negara Eropa. Negara-negara Asia lain pun dapat melakukannya.

Awal mula penjajahan Indonesia sendiri dapat dilihat dari dua level tersebut. Awalnya adalah permintaan rempah di pasar internasional yang tinggi bahkan terjadi trade boom. Brown (2003) menjelaskan saat trade boom tersebutlah kelompok Islam melakukan ekspedisi dan akhirnya berhasil menguasai pasar.[3] Pedagang-pedagang Islam yang menguasai perdagangan di Eropa berasal dari Asia Selatan dan Timur Tengah, termasuk Cina muslim yang berasal dari Fujian. Eropa ingin memotong peran kelompok tersebut dengan langsung mengambil rempah di tempat asalnya.

Akhirnya, pada 1512, mereka pun berhasil tiba di Kepulauan Maluku. Mereka berusaha merampas dan memonopoli perdagangan rempah-rempah.

Kedatangan bangsa-bangsa lain ke Indonesia pada dasarnya merupakan tindakan untuk mengakumulasi kapital, sebuah proses yang oleh Marx dikatakan terjadi setelah akumulasi primitif dilakukan di Eropa. Dan hal itu sangat menguntungkan mereka. Salah satu perusahaan di Belanda yang berhasil mencapai kawasan Indies pada 1590, misalnya, mampu meningkatkan keuntungan hingga 300 persen (Brown, 2003).

Besarnya prospek Indonesia mendorong pemerintah Belanda untuk menyatukan perusahaan-perusahaan ke dalam satu “payung”, yang tidak lain adalah VOC. Dalam Arsip Nasional Republik Indonesia dijelaskan bahwa VOC merupakan gabungan dari enam perusahaan kecil yang dibentuk pada 1602 setelah penjelajahan pertama pada 1595-1597.[4][5] Sprague (2011) menyatakan bahwa VOC dibentuk untuk memonopoli proses kolonialisasi di Asia.[6] Mereka pun menguasai pemerintah dan perdagangan.

Brown mencatat bahwa kehadiran VOC merupakan salah satu faktor krusial yang menghancurkan produsen dan pedagang lokal di Maluku melalui praktik monopoli yang sangat kejam. Tindakan monopoli yang sangat kejam merupakan bagian dari proses akumulasi primitif yang dilakukan oleh VOC. Mereka berupaya untuk mencabut produsen dari alat produksinya, yakni lahan.

VOC pun terus melakukan perluasan dengan menguasai pemerintah-pemerintah lokal di Batavia dan sekitarnya, termasuk di luar Jawa seperti Minahasa, dengan cara memaksa mereka mengikuti aturan-aturan perusahaan.

Meskipun VOC mengalami permasalahan finansial pada 1780-an, yaitu pasca-peperangan dengan Inggris, akumulasi kapital di Indonesia tidak berhenti. Pemerintah Belanda menggantikan VOC menjajah dan melakukan hal yang sama misalnya lewat Cultuurstelsel. Cultuurstelsel atau tanam paksa adalah kewajiban untuk petani menanam tanaman komersial setelah kemenangan Belanda pada akhir 1820-an (Carey, 2008 dalam Sidel, 2021)[7].

Selain itu, pemerintah kolonial juga melakukan penyitaan tanah yang dilegitimasi oleh UU Agraria 1870 (Sidel, 2021). Dhiaulhag & Berenschot (2020) menjelaskan bahwa berdasarkan undang-undang ini, semua tanah yang tidak memiliki bukti kepemilikan akan diambil oleh negara untuk dieksploitasi oleh perkebunan dan pertambangan barat.[8]

Baik para pedagang, perusahaan gabungan seperti VOC, serta pemerintah Belanda telah melakukan akumulasi primitif. Mereka melakukan ekspansi ke berbagai wilayah dan merusak relasi produksi lama. Namun, aksi ini tidak berjalan lancar karena yang dieksploitasi melakukan perlawanan. Marx (1887) mengatakan bahwa dalam sejarah akumulasi primitif, mereka yang direbut alat produksinya memang senantiasa melakukan perlawanan.


Gerakan buruh dan perjuangan kemerdekaan dalam media

Media sebagai penyebar informasi dan mobilisasi memiliki peran penting dalam proses pembentukan kesadaran politik. Oleh karena itu penulis mencoba merekonstruksi gerakan buruh periode 1918-1920-an dalam menghadapi penjajah lewat media yang mereka terbitkan sendiri saat itu. Selain itu, dengan cara itu kita juga dapat “mendengar suara” mereka secara langsung.

Penulis menggunakan empat media cetak yang lantang bicara kemerdekaan dan perburuhan, yakni Benih Mardeka, Warta Timoer – Benih Mardeka, Boeroeh Bergerak, dan Soeara Kaoem Boeroeh. Artikel di dalam media tersebut dipilih dengan kata kunci “gerakan buruh” dan “serikat”.

Gerakan buruh dalam tulisan ini dimaknai sebagai semua pemikiran dan tindakan yang dilakukan oleh para buruh untuk mengontrol relasi kapital, baik dari segi upah, jaminan sosial, waktu kerja dan istirahat, dan berbagai hal lain yang berkaitan dengan aspek produktif dan reproduktif.

Di dalam Soeara Kaoem Boeroeh, media perburuhan yang terbit di Poerworedjo, terdapat artikel tentang kegelisahan kelompok pekerja. Mereka dulu merasa merdeka tapi tertindas karena hadirnya kapitalis-kolonial.

Begitoelah keada’an didjaman kakek mojang dan pada sekarang ini adanja soedah menjadi terbalik. Dahoeloe hidoep orang ada begitoe seneng, sekarang hidoepnja menanggoeng soesah. Didjakan mentjari penghidoepan doeloe ada merdika, sekarang dijalan ini itoe ada selaloe kedesek dan tertindes…. Doeleo hasil pekerjaan boeat sendiri, sekarang boeat orang lain jaitoe kaoem madjikan Apakah bagian orang jang kerdja itoe? Diganti dengan oepah. Setelah mendjadi boeroeh itoe laloe membawa sifat keada’an sendiri, bekerdja tiada pandang tempo.” [9]

Berita di atas menunjukkan perubahan makna kerja akibat akumulasi primitif. Kolonialis-kapitalis mencabut produsen dari alat produksinya. Produsen-produsen tersebut kemudian diikat ke dalam relasi kapital dengan menjadikan mereka sebagai buruh. Hal inilah yang dilawan oleh para pekerja.

Dalam Benih Mardeka, media perjuangan kemerdekaan yang dikembangkan oleh Sarekat Islam di Medan Deli, penulis menemukan narasi-narasi protes terhadap perampasan lahan dan perusahaan-perusahaan Belanda. Salah satunya artikel berjudul “Protest boeat toean M.C. Schadee” yang terbit pada 23 November 1918. Di sana terdapat laporan tentang protes atas perebutan lahan pertanian. M. C. Schadee menyatakan bahwa para pekerja hanya bisa berteriak tanpa melihat keuntungan dari alih fungsi lahan yang dilakukan pemerintah kolonial dan perusahaan.

“Apa jang kita bikin pada malam hari, toean Schadee tidak oesah perdoeli; tetapi pada siang hari kita maoe bertanam padi dan lain-lain makanan di atas tanah jang kita ada hak boeat dan itoelah: 4 H.A. boeat tiap-tiap tangga di Sumatera Timoer.”[10]

Masih di media yang sama, terdapat artikel berjudul “Pemogokan Besar di Tanah Djawa” yang terbit pada 4 April 1918. Gerakan ini dipimpin oleh orang bumiputra dan Tionghoa serta beberapa orang Eropa yang tidak berpihak pada penjajah.

Salah satu pihak yang mengawali gerakan besar tersebut adalah Zetters Bond, yakni orang-orang yang bekerja di dalam bidang percetakan (drukkerij), khususnya surat kabar. Narasi yang terlihat adalah perlawanan kaum buruh (koeli), jurnalis, melawan kapitalis (kaoem oeang)–yang mencerminkan kelompok pengusaha dan pemerintah kolonial.

Di dalam Boeroeh Bergerak, media Personeel Fabriek Bond (PFB) yang terbit di Yogyakarta, terlihat pula bagaimana buruh-buruh tidak tinggal diam terhadap penjajahan. Mereka memobilisasi pembaca untuk mengikuti kegiatan vergadering (pertemuan) dan propaganda. Contoh propaganda yang mereka lakukan adalah Propaganda Vergadering P.F.B du Bandjaratma Brebes yang berisi penceritaan asas PFB kepada publik[11].

Warta Timoer – Benih Mardeka bahkan lebih eksplisit, yaitu mencantumkan kemerdekaan sebagai arah gerakan kaum buruh. Ini termuat dalam artikel yang terbit pada 22 Februari 1924. “Keroekonan kita orang kaoem boeroeh akan djadi sendjata boeat mentjahari kemerdekaan dan terlepas dari segala tindisan.” [12]

Semua keluhan, berita, ajakan propaganda dan perlawanan terhadap kolonial-kapitalis di atas menunjukkan bahwa kelompok buruh memiliki peran yang besar dalam membentuk kesadaran pekerja hingga melakukan perlawanan untuk mencapai kemerdekaan.

Lalu, bagaimana cara mereka melakukan perlawanan?


Strategi dan tantangan perjuangan kelas untuk merdeka

Keluhan-keluhan dari para buruh yang dieksploitasi oleh para penjajah kerap kali diekspresikan melalui aksi protes dan mogok kerja. Aidit (1952)[13] menjelaskan bahwa mogok merupakan cara yang digunakan oleh buruh untuk mencapai kepentingannya, termasuk untuk menghadapi negara kapitalis.

Selain mogok, buruh-buruh dalam serikat juga mendirikan koperasi. Hal ini dilakukan oleh Persatoean Sarekat Sekerdja Indoneisa di Surabaya. Serikat tersebut mendirikan drukerrij – perusahaan percetakan.[14] Dengan adanya usaha ini, diharapkan buruh dapat bekerja sesuai kehendaknya dan terlepas dari eksploitasi perusahaan kolonial.

Aksi para pekerja semakin masif ketika semakin tingginya kesadaran tentang perbedaan pekerja bumiputra dengan pekerja Eropa, perlakuan eksploitatif kapitalis, juga hadirnya Indische Sociaal Democratische Vereniging (ISDV) dan Sarekat Islam di antara mereka. Kombinasi antara kesadaran internal dan dukungan organisasi/partai telah mendorong para buruh untuk membuat serikat, salah satunya Perhimpoenan Kaoem Boeroeh Tani (PKBT). Serikat ini terbentuk karena dorongan Sarekat Islam dan ISDV Surabaya (Cahyono & Soegiri DS, 2003).[15]

Sarekat Islam berkembang pesat sejak 1912 di Jawa dan luar Jawa, meskipun Jawa masih menjadi pusat kegiatannya (Ricklefs, 2001).[16] Kelompok ini hadir karena adanya ketimpangan akses perdagangan antara kelompok muslim bumiputra dengan kelompok Tionghoa dan Belanda. Namun, dalam perkembangannya, mereka lebih dikenal sebagai kelompok nasionalis yang melawan pemerintah kolonial. Sementara ISDV merupakan organisasi marxis yang merupakan cikal bakal Partai Komunis Indonesia (PKI). Selain mendorong munculnya berbagai macam serikat buruh, ISDV juga berupaya untuk menyatukan serikat yang ada menjadi gabungan serikat (vaksentral) sejak 1916.

Meski dua organisasi tersebut kerap kali berkonflik yang bersifat destruktif, mereka pernah berusaha untuk mewujudkan keinginan bersama, yakni menyatukan serikat ke dalam gabungan serikat. Mereka pun mendirikan Persatuan Pergerakan Kaum Buruh (PPKB) secara bersama-sama pada akhir Desember 1919 (Aidit, 1952).

Selain menyatukan serikat, kedua kelompok tersebut juga memiliki akar dan pola yang sama dalam mengembangkan nasionalisme untuk melawan penjajah atau kapitalis (Mehden, 1958).[17] Kedua kelompok tersebut aktif melakukan pendekatan langsung kepada buruh-buruh yang sudah maupun belum sadar atas permasalahan kerja yang ditimbulkan oleh proses akumulasi kapital pemerintah kolonial. Hal ini misalnya dilakukan oleh Semaun saat masih menjadi anggota Sarekat Islam yang mendirikan Havenarbeidersbond (Sarekat Buruh Pelabuhan) pada 1919 di Semarang (Ingleson, 2013).

Selain dua organisasi itu, partai-partai nasionalis yang melawan penjajahan sekaligus kapitalis, bersama dengan serikat, juga memberikan subsidi pada koperasi-koperasi di perkampungan (Ingleson, 2013)

Dengan adanya kekuatan propaganda dan agitasi, mobilisasi, serta kemampuan pengorganisiran yang baik, plus pembuatan koperasi sebagai usaha bersama, gerakan buruh pun dapat mencapai kejayaan. Namun kejayaan gerakan buruh tidak bertahan lama karena diadang oleh pemerintah kolonial.

Ingleson (2013) menjelaskan kejayaan buruh dengan aksi mogoknya terjadi pada 1918–1920, dan setelah itu meredup. Hal tersebut ditandai dengan kalahnya buruh pelabuhan di Semarang pada 1921 serta adanya perkumpulan para majikan yang bekerja sama dengan pemerintah kolonial.[18] Pemerintah kolonial yang menyadari ancaman aksi mogok merupakan perlawanan politik pun akhirnya menerbitkan artikel 16 bis, yakni undang-undang larangan mogok yang diumumkan pada 10 Mei 1923 (Cahyono & Soegiri DS, 2003).


Penutup: sejarah kemerdekaan adalah sejarah perjuangan kelas

Kelompok buruh dengan terang-terangan menyatakan apa yang mereka lakukan adalah usaha mencapai kemerdekaan dari ikatan eksploitasi penjajah yang menindas mereka. Karena penjajah melakukan akumulasi primitif, maka perlawanan terhadap mereka adalah juga perlawanan terhadap kaum kapitalis.

Namun, narasi ini seringkali luput dari sejarah yang kita pelajari. Oleh karena itu sejarah kemerdekaan Indonesia  perlu direkonstruksi, yaitu memberi tempat yang semestinya untuk kaum buruh.  Hal ini hanya bisa dilakukan dengan menggunakan perspektif kelas karena penjajahan adalah perang antar kelas. Sejarah yang demikian dapat dijadikan pijakan untuk mengembangkan gerakan buruh di masa yang akan datang.[19]


[1] Marx, K. (1887). Capital: A Critique of Political Economy Volume I – English Edition. In English: Vol. I (Issue 2008). Progress Publishers.

[2] Gonçalves, G. L., & Costa, S. (2020). From primitive accumulation to entangled accumulation: Decentring Marxist Theory of capitalist expansion. European Journal of Social Theory, 23(2), 146–164. https://doi.org/10.1177/1368431018825064

[3] Brown, C. (2003). A Short History of Indonesia: The Unlikely Nation?. Crows Nest: Allen & Unwin.

[4] Arsip Nasional Republik Indonesia. (2007). The Archive of the Dutch East India Company (VOC) and the Local Institutions in Batavia (Jakarta). Leiden, Boston: Brill

[5] Penulis mengucapkan terima kasih kepada Windu Jusuf yang sudah membantu penulis dalam memahami masa runtuhnya VOC.

[6] Prague, Ted. (2011). History of Capitalist Development in Indonesia: Part One – Dutch Colonisation.

[7] Sidel, John T. (2021) Republicanism, Communism, Islam: Cosmopolitan Origins of Revolution in Southeast Asia. Ithaca and London: Cornell University Press.

[8] Dhiaulhaq & Berenschot. (2020). A 150-year-old obstacle to land right. Inside Indonesia. https://www.insideindonesia.org/a-150-year-old-obstacle-to-land-rights

[9] Soeara Kaoem Boeroeh, 1 Augustus 1921, halaman 2, kolom 1.

[10] Benih Mardeka, 23 November 1918, halaman 2, kolom 3-4.

[11] Boeroeh Bergerak, 15 Maart 1920, halaman 3, kolom 2.

[12] “Kerukunan kita orang kaum buruh akan menjadi senjata untuk mencari kemerdekaan terlepas dari segala penindasan” (Warta Timoer – Benih Mardeka, 1924)

[13] Aidit, DN. (1952). Sejarah Gerakan Buruh Indonesia. Jakarta: Yayasan Pembaruan.

[14] Soeara Boeroeh Indonesia, 31 Maart 1931 halaman 2.

[15] Cahyono, Edi & Soegiri D.S. (2003). Gerakan Serikat Buruh: Jaman Kolonial Hinda Belanda hingga Orde Baru. Jakarta: Hasta Mitra.

[16] Ricklefs, M. C. (2001). A History of Modern Indonesia Since C. 1200 (Third Edition). Hampshire: Palgrave.

[17] Mehden, F. R. von der. (1958). Marxism and Early Indonesian Islamic Nationalism. Political Science Quarterly, 73(3), 335–351.

[18] Ingleson, John. (2013). Perkotaan, Masalah Sosial, dan Perburuhan di Jawa Masa Kolonial (Cetakan kedua). Depok: Komunitas Bambu.

[19] Penulis mengucapkan terima kasih kepada Bung Coen yang sudah membaca dan me-review draf awal tulisan ini.


Estu Putri Wilujeng, dosen Departemen Ilmu Sosiologi, FISIP Universitas Indonesia

]]>
Onghokham dan Orde Baru: Sejarah yang Masih Perlu Diungkap https://indoprogress.com/2022/08/onghokham-dan-orde-baru-sejarah-yang-masih-perlu-diungkap/ Fri, 26 Aug 2022 03:45:34 +0000 https://indoprogress.com/?p=236998

Foto: David Reeve dan Onghokham (Handout/SCMP, 1985)


MEMBACA buku berjudul To Remain Myself: The History of Onghokham (kira-kira berarti ‘Tetap Menjadi Diri Sendiri: Sejarah Onghokham’) karya David Reeve, yang sudah sangat dinanti-nanti dan baru terbit Juli 2022, membuat saya teringat bagaimana dulu bisa kenal sejarawan hebat ini. Pada suatu hari Senin di tahun 1983 (bulannya terus terang lupa), saya bergabung dengan kelompok mahasiswa yang ramai-ramai membaca Gita Mahasiswa, medium kampus Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga, yang baru saja terbit. Itu kami lakukan di kantor redaksi Gita yang terletak di bagian belakang gedung balairung UKSW.

Tiba-tiba seorang bapak botak berkacamata menghampiri saya dan bertanya di mana kantor Arief Budiman. Tidak sulit dan tinggal menunjuk kantor yang sudah kelihatan dari tempat kami berkumpul. “Silahken bapak naik ke tingkat satu gedung itu, jalan terus ke bagian akhir gedung dan ketok kamar nomer 275 di sebelah kanan,” demikian saya jelaskan. Sesudah si bapak berterima kasih dan berjalan ke arah gedung LPIS (Lembaga Penelitian Ilmu-ilmu Sosial), kantor Arief Budiman, baru saya sadar orang itu adalah sejarawan terkenal Onghokham (1933-2007).

Sekitar dua jam kemudian, bersama beberapa teman lain, saya ketuk pintu kantor Arief Budiman, ingin bertanya-tanya soal penelitian yang diselenggarakannya. Siapa tahu kami bisa ikut sebagai enumerator alias pengumpul data. Onghokham masih ada di sana dan segera Arief memperkenalkannya kepada kami. “Kenalan dulu, ini Onghokham,” katanya. Begitu saya jabat tangan Ong, dia berkata, “Kita sudah bicara tadi, kan?” Arief langsung menyeletuk, “Kalau sama dia kamu Hollandssprekend aja, Ong.” Maksudnya, sang tamu bisa berbicara bahasa Belanda dengan saya. Seketika saya tersipu.

Perkenalan itu kemudian diikuti oleh pertemuan-pertemuan lain. Beberapa kali pertemuan di Amsterdam pada dekade 1990-an membuat saya lebih kenal dengannya. Beberapa kali Onghokham saya antar belanja di Pecinan Amsterdam. Tapi bukan itu yang berikut ini akan saya bahas.

Sudah barang tentu saya akan membahas buku karya David Reeve ini, terutama beberapa aspek kehidupan Onghokham yang baru saya ketahui begitu selesai membaca biografi lumayan kritis setebal 346 halaman ini. Ada tiga butir yang akan saya angkat, tiga-tiganya diuraikan panjang lebar dalam buku. Pertama, hal yang bagi saya paling menarik dalam buku ini, yaitu sikap Onghokham terhadap sesama kalangan Tionghwa Indonesia. Onghokham adalah Tionghwa, tapi menariknya terhadap sesama Tionghwa ia bersikap begitu zonder pardon alias tanpa ampun. Mengapa dan bagaimana bisa demikian?

Kedua, saling tindak antara Onghokham dengan penguasa rezim zalim Orde Baru, dalam hal ini kalangan militer. Onghokham memang beberapa kali direcoki tentara, bahkan sampai ditahan segala, tapi itu tidak berarti dia tidak pernah “mengisengi” tentara. Ini berkaitan dengan orientasi seksualnya. Sedangkan butir ketiga adalah upaya intelektual yang dilancarkan Onghokham terhadap tentara: adakah dia melakukan perlawanan tertentu dalam bentuk kajian historis karena pernah direcoki tentara?


Satu atau Tiga Kata?

Sebelum membahas itu semua, terlebih dahulu pantas kita bertanya tentang nama: Onghokham atau Ong Hok Ham? Satu atau tiga kata? Dalam sebuah tulisan tentang tradisi nama Tionghwa, Onghokham menulis bahwa keturunan Tionghwa, totok maupun peranakan, memiliki tiga kata. Kata pertama merupakan nama keluarga atau klan, lalu dua kata berikutnya adalah nama pemberian orang tua.[1] Maka Ong Hok Ham (sebelum diubah menjadi Onghokham) terdiri dari Ong yang merupakan nama keluarga, dan Hok Ham yang merupakan nama pemberian orang tua.

Dalam perjalanan sejarah, nama Tionghwa ini mengalami perubahan, dan menurut Onghokham ada empat penyebabnya. Pertama, pemberian atau pemakaian nama Jawa; kedua, pemberian atau pemakaian nama Islam oleh orang Tionghwa yang beralih memeluk Islam; ketiga, pemelayuan nama-nama Tionghwa; dan keempat, pembelandaan nama-nama Tionghwa.

Perubahan pertama dan kedua jelas karena asimilasi atau peleburan, yang berarti lenyapnya nama-nama Tionghwa. Perubahan ketiga terjadi pada akhir abad ke-19, ketika kalangan Tionghwa lebih memilih bahasa Melajoe ketimbang bahasa daerah, terutama bahasa Jawa. Sebagai kalangan yang dalam masyarakat kolonial berkedudukan lebih tinggi dari kalangan inlanders bumiputra, maka orang-orang Tionghwa yang (selain orang Arab, Keling, Iran, dan seterusnya) termasuk sebagai Vreemde Oosterlingen (Timur Asing) ini lebih memilih bahasa Melajoe. Mereka juga menggunakan kata-kata Melajoe untuk nama. Onghokham memberi contoh, misalnya, Tan Manis Nio, The Soeboer Nio, dan Han Bersih Nio.

Perubahan ketiga terjadi pada awal abad ke-20. Ketika itu bahasa Belanda bertambah fungsi, bukan melulu bahasa penguasa kolonial melainkan juga bahasa kaum terpelajar. Pengaruh Belanda tidak terhindarkan lagi, juga pada nama kalangan Tionghwa. Onghokham menyebut nama-nama yang terpengaruh Belanda seperti The Mien Nio (dipanggil Mientje), Tan Marie Nio, dan Han Lies Nio (dipanggil Lies). Anggota keluarga Ong, jelas karena ingin tampil terpelajar, juga memiliki nama-nama Belanda. Ayahnya bernama Klaas, ibunya Lies, dan kakak-kakaknya Freddy serta Olga. Onghokham sendiri dipanggil Hans di rumah.[2]

Pada zaman kolonial itu Onghokham juga menemukan orang-orang Tionghwa yang mengubah nama mereka dari tiga menjadi hanya satu kata. Dia mengambil contoh nama Ongkiehong (dari Ong Kie Hong) yang dilihatnya di Ambon dan ternyata juga menjadi nama keluarga yang diturunkan kepada anak cucu si pemakai nama. Itu terjadi setelah pengadilan memutuskan penulisan nama, yang juga berarti pergantian nama. Onghokham menegaskan, walaupun ia menulis namanya sebagai satu kata, Onghokham, itu bukanlah nama resmi, kecuali kalau dia melegalkannya lewat pengadilan. Bisa disimpulkan Onghokham melakukan penyatuan tiga namanya karena pengaruh orang Tionghwa di Ambon, walaupun itu tidak dilakukannya secara resmi, lewat pengadilan. Ini dilakukannya pada 1960, jadi masih sebelum Orde Baru memaksa kalangan Tionghwa ganti nama pada 1967.

Menariknya, dalam soal nama ini, Reeve berkesimpulan Onghokham mengikuti atau meniru kebiasaan orang Filipina.[3] Perjalanan ke luar negeri pertama yang dilakukan Onghokham memang ke negara tersebut, pada Januari sampai Juni 1959. Dalam beberapa tulisan, Onghokham juga menyatakan kagum atas integrasi keturunan Tionghwa di tetangga utara itu. Antara lain karena Filipina tidak membedakan keturunan Tionghwa dari keturunan asli; di sana hanya ada warga negara Filipina dan warga negara asing. Onghokham juga kagum atas peleburan 100 persen orang Tionghwa ke dalam masyarakat, yang salah satu indikatornya adalah tidak lagi menggunakan tiga nama, tapi meleburkannya menjadi satu.

Terlihat di sini ada dua pendapat. Si pemilik nama sedikit banyak menyatakan bahwa ia meniru cara orang Tionghwa di Ambon, sedangkan si penulis biografi menyatakan kebiasaan Filipina-lah yang ditiru. Reeve tidak sendirian. Mely G. Tan, cendekiawan teman baik Onghokham, juga berpendapat bahwa penyatuan nama “banyak dilakukan orang etnis Tionghwa di Filipina.”[4] Sulit menjawab mana yang benar. Onghokham sendiri juga tidak meresmikan nama satu kata itu lewat pengadilan. Saya serahkan kepada sidang pembaca saja. Dua pendapat ini tidak perlu dipertentangkan, keduanya sama benarnya, benar-benar ada (bukan bohong) dan menyangkut satu orang yang sama. Hanya di sini tampaknya kita pantas mengulang pertanyaan Shakespeare, sang pujangga Inggris: apalah arti sebuah nama?


Sikap anti-Tionghwa

Sebagai seorang keturunan Tionghwa, tulis Reeve, ternyata Onghokham sering marah dan frustrasi dengan kalangan sendiri, termasuk keluarganya. Apa sebabnya?

Kekesalannya adalah karena ketidakpedulian orang Tionghwa terhadap perkembangan sekitar, termasuk dunia politik. Hanya dengan melihat keluarganya sendiri, Onghokham mendapati betapa mereka hampir tidak bersentuhan dengan masalah-masalah Indonesia. Sikap acuh ini, bagi Onghokham, membuat mereka rentan terhadap sekecil apa pun pergeseran yang terjadi dalam politik. Setelah perubahan besar-besar yang keluarga mereka alami pada 1942, dengan jatuhnya Hindia-Belanda dan berawalnya pendudukan Dai Nippon (bala tentara Jepang), Onghokham melihat keluarganya tidak belajar apa-apa.[5]

Reeve mengangkat sebuah contoh yang lumayan menohok. Suatu saat Onghokham dan kakaknya, Olga, asyik membicarakan kabinet Perdana Menteri Djuanda dan perubahan politik yang tengah berlangsung di Indonesia pada tahun 1950-an. Tiba-tiba Olga bertanya, “Djuanda itu siapa?” Tentu saja sikap mengucilkan diri dari perkembangan politik sekitar seperti ini membuatnya marah.

Menurut Onghokham, dalih orang Tionghwa tidak peduli pada perkembangan sekitar, terutama situasi politik, adalah dalam rangka mempertahankan identitas ketionghwaan. Ketionghwaan seperti ini, menurut Onghokham harus ditanggalkan, bukannya malah dipertahankan sebagai identitas. Tatkala memberitahu keluarga soal amarahnya ini, mereka menganggap Onghokham aneh, bahkan mengejeknya sebagai “pecinta Indonesia.” Onghokham kemudian menyahut bahwa mungkin dirinya memang anti-Tionghwa.

Onghokham berpendapat bahwa satu-satunya cara agar kalangan Tionghwa bisa lebih maju adalah menjadi lebih “Indonesia”, persis seperti yang telah dilakukannya.

Sebenarnya kalangan Tionghwa Indonesia sudah pernah terintegrasi dalam masyarakat, kata Onghokham. Penjajah Belanda-lah yang secara kasar menceraikan keduanya lewat kebijakan diskriminatif dalam bidang ekonomi, pendidikan, dan hukum. Maka, jika ada kalangan yang berpendapat bahwa kehadiran kalangan Tionghwa merupakan warisan zaman penjajahan yang bisa dipulihkan, Onghokham justru berpendapat bahwa yang merupakan warisan kolonialisme adalah kesenjangan yang muncul antara orang Tionghwa dan Indonesia, dan itulah yang harus dihapus.

Pada 1957, Onghokham yang meninggalkan bangku kuliah Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FHUI), bekerja sebagai asisten peneliti G. William Skinner, ahli sosiologi Universitas Cornell, Amerika Serikat. Dia menemani Skinner berkeliling Jawa, Madura, dan Bali. Reeve menyinggung fragmen ini karena perjalanan ke Madura mengungkapkan hal-hal yang tidak pernah mereka duga. Onghokham pernah membaca laporan seorang Jerman yang melawat ke Madura pada 1850, tapi ia tak menyangka daerah tersebut seindah yang waktu itu dilihatnya.

Selain itu, Skinner dan Onghokham juga gagal menemui keturunan Tionghwa yang bermata pencarian sebagai petani. Bupati Madura memberi tahu bahwa di Sumenep ada sekelompok warga setempat keturunan Tionghwa yang telah benar-benar berasimilasi. [6] Mereka berdua bergegas ke sana. Dan memang Onghokham mendapati kuatnya pengaruh Tionghwa di wilayah tersebut. Mereka diberi tahu bahwa istana serta masjid dibangun oleh seniman-seniman yang didatangkan dari Tiongkok oleh seorang pangeran Madura pada 1790-an. Pintu masjid dan atap istana bergaya separuh Tionghwa dan separuh Madura. Mereka juga melihat pengaruh Tionghwa dalam bentuk banyak atap bangunan atau rumah.

Mereka juga mengunjungi sebuah desa terpencil jauh dari jalur bus. Di desa ini, dan sebenarnya di Madura secara keseluruhan, istilah “peranakan” masih digunakan untuk merujuk pada kalangan Tionghwa yang memeluk Islam dan menggunakan nama setempat. Di Sumenep, Onghokham bertemu beberapa orang Tionghwa yang bertampang Madura dan diperlakukan sebagai orang Madura dan memiliki hak yang sama dengan warga setempat.

Dalam wawancara dengan Reeve, Onghokham menyatakan bahwa ia melihat dengan mata kepala sendiri betapa di Madura itu telah terjadi hampir 100% asimilasi kalangan Tionghwa ke dalam masyarakat setempat. Katanya lagi, akan susah dipercaya kalau dia tidak melihatnya dengan mata kepala sendiri.

Walau mungkin cuma perkecualian, fenomena di Sumenep itu jelas membuka mata Onghokham bahwa bukan hanya keturunan Tionghwa bisa terlibat langsung dengan masyarakat setempat, mereka juga bisa menyatu. Onghokham jelas merasa dirinya bukan Tionghwa yang terpisah dari lingkungannya. Dan ini ditegaskannya dengan sikap yang tegas terhadap kalangannya sendiri. Perasaan seperti ini tampaknya menjadi latar belakang kenapa dia memutuskan membangun rumah bergaya Bali. Reeve mengutip pernyataan Onghokham yang lagi-lagi mengecam kalangannya sendiri. Katanya, “Mereka punya begitu banyak uang, tapi mereka tidak tahu bagaimana harus punya rumah yang indah. Mereka tidak tahu bagaimana harus makan enak. Mereka tidak tahu bagaimana harus menikmati hidup. Mereka tidak tahu bagaimana harus bersukaria. Saya tidak punya uang, tetapi saya punya rumah yang mengagumkan.”[7]


Teman-Teman Lengkap: Kiri dan Kanan

Setelah empat tahun kuliah di FHUI dan tanpa prospek lulus sebagai sarjana hukum, pada akhir 1959 Onghokham memutuskan untuk pindah ke Jurusan Sejarah Fakultas Sastra Universitas Indonesia (FSUI). Perpindahan itu dimungkinkan karena dia terus memperbarui kartu mahasiswa, walau praktis sudah tidak kuliah lagi sejak 1957 (Onghokham diterima di FHUI pada 1955).[8] Untuk itu Onghokham harus terlebih dulu menjalani semacam ujian. Pertama tatap muka dengan ketua jurusan sejarah: Profesor Sukanto. Sempat terhambat karena motor yang ditumpanginya bersama sesama mahasiswa, Adri Lapian, rusak, untunglah perkenalan ini berjalan baik. Onghokham diterima sebagai mahasiswa jurusan sejarah. Tapi dia masih harus menghadapi ujian kedua yaitu berdebat dengan keluarga yang tidak setuju dengan pilihannya.

Tentang hal ini Paoke Hudyana, keponakan Onghokham, menjelaskan lebih lanjut sebagai berikut,

Dan karena bidang studi yang kali ini diambilnya yaitu sejarah adalah langka sekali, hal ini sempat menjadi topik pembicaraan di kalangan keluarga kami. Memang seperti biasanya di keluarga keturunan Tionghwa, bidang pelajaran yang terpopuler hanya bidang-bidang hukum, kedokteran dan teknik, yang bisa menjanjikan masa depan yang baik, sebagai sumber mata pencaharian. Maka bidang sejarah adalah bidang yang aneh untuk dipilih dan dianggap tidak ada masa depan, terutama bagi kaum lelaki. Tetapi rupanya panggilan bidang sejarah sangat kuat di dalam diri ku Ham (panggilan Paoke Hudyana kepada pamannya Onghokham, JW). sehingga segala anjuran tidak menggoyahkan langkahnya dalam mengarungi dunia sejarah. [9]

Penjelasan keponakan ini cocok dengan pendirian Freddy, kakak Onghokham. Dalam biografi ini bisa dibaca pendapatnya bahwa berlainan dengan lulusan Fakultas Hukum, lulusan Jurusan Sejarah tidak punya karier. Onghokham yang dituduh hanya ingin menyenangkan diri sendiri tidak berani membantah kakaknya. Dia malah membenarkan tuduhan itu. Maklum, ia masih tergantung pada sang kakak; dia tinggal bersamanya. Untungnya, selain omelan, mereka tidak menghalangi Onghokham mendalami sejarah. Pada 1960, Onghokham resmi kuliah pada Jurusan Sejarah FSUI.

Begitu diterima, Onghokham ternyata berteman akrab dengan Nugroho Notosusanto yang kelak menjadi sejarawan militer dan ideolog Orde Baru. Begitu dekatnya sampai-sampai Onghokham diajak menemani Nugroho berpacaran dengan Irma. Tentu saja Onghokham juga hadir pada upacara pernikahan Nugroho dengan Irma. Hadirin sering salah duga, mengira Onghokham adalah adik Nugroho.

Teman Onghokham tentu bukan hanya Nugroho Notosusanto.[10] Dalam biografi ini, Reeve mencatat bahwa Onghokham paling sedikit memiliki dua kelompok teman. Kelompok pertama adalah ilmuwan luar negeri yang datang untuk mengadakan penelitian di Indonesia. Selain Skinner, Onghokham juga dekat dengan ahli-ahli sejarah dan politik Indonesia terbaik pada zaman itu, seperti Dan Lev, Herbert Feith, Ruth McVey, Benedict Anderson, dan Mary Somers. Dengan pengalaman menjadi pemandu peneliti asing, Reeve mencatat bahwa Onghokham menyombongkan diri sebagai pemandu terbaik di Jakarta. Ilmuwan asing tahu soal ini, seperti Onghokham yang bukan hanya tahu tapi juga menikmati kerjanya sebagai pendamping dan penunjuk jalan ilmuwan asing.

Kelompok kedua adalah orang-orang Indonesia. Selain dengan Nugroho Notosusanto, Onghokham juga dekat dengan sesama mahasiswa Sejarah seperti Adri Lapian, R. Z. Leirissa, dan Soe Hok Gie, juniornya. Di luar “orang sejarah”, Onghokham juga sering terlibat dalam diskusi dengan tokoh GMNI (Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia) seperti Kartjono dan temannya Iwan Totok. Reeve juga menyebut nama Soedjatmoko, cendekiawan peminat sejarah dan tokoh Partai Sosialis Indonesia (PSI). Kalangan kiri seperti Kartjono dan Iwan Totok yang tergabung dalam GMNI menyebut PSI, dan karena itu juga Soedjatmoko, sebagai golongan kanan.[11]

Dengan berolok-olok Ben Anderson menanggapi jaringan teman Onghokham sebagai berikut: “Kok tidak ada kawan PKI atawa Muhammadijah?”. Ben yang sudah kenal Onghokham pada hari pertama datang di Indonesia pada awal Januari 1962 mencatat jawaban lugu Onghokham: “Jach, sama-sama engga bisa senang, puritan banget, djarang ketawa.”[12]

Reeve mencatat bahwa pada 1964, mungkin karena kritik Anderson, Onghokham akhirnya berkenalan juga dengan teman-teman Islam dan komunis. Teman-teman muslim yang saleh dikenalnya di Asrama Daksinapati, sedangkan teman-teman komunis dikenalnya lewat Hardoyo, seorang teman akrab yang ternyata bersahabat kental dengan kalangan komunis. Kalangan komunis menganggap Onghokham dekat dengan GMNI, tapi juga dengan tokoh PSI, Soedjatmoko. Karena itu bagi mereka Onghokham adalah seorang nasionalis, pluralis, dan ilmuwan yang objektif. Onghokham, di lain pihak, selalu memperingatkan kalangan komunis supaya berhati-hati.[13]

Sampai di sini jelas terlihat betapa Onghokham memiliki teman pada dua sisi, sisi kiri maupun sisi kanan. Dan itu dimungkinkan karena sejak kemerdekaan sampai awal 1960-an itu Indonesia memang masih lengkap, masih terdiri dari Indonesia kiri dan Indonesia kanan. Maklum, itu adalah zaman sebelum Orde Baru yang ketika tampil pada akhir 1965 melakukan pengganyangan kalangan kiri sampai ke akar-akarnya alias Genosida 65. Akibatnya, Indonesia kehilangan sayap kirinya. Orang tak mungkin lagi berperilaku seperti Ong, punya sahabat pada kedua sisi. Zaman berdarah-darah itu juga membawa dampak besar bagi kehidupan Onghokham.


Dua “Perlakuan Khusus”

Pada titik ini David Reeve mengungkap sesuatu yang cukup mengejutkan. Onghokham ternyata pernah menulis kajian tentang militer atas permintaan Nugroho Notosusanto yang pada awal 1964 ditunjuk oleh Jenderal A. H. Nasution menjadi kepala Pusat Sedjarah Angkatan Bersendjata Republik Indonesia (Pusdjarah ABRI). Nugroho sendiri sebenarnya ingin jadi tentara, tapi tidak diizinkan oleh ayahnya, pakar hukum Islam, profesor Notosusanto. Tulisan Onghokham berkisar tentang peran ABRI dalam memadamkan pemberontakan PRRI di Sumatra Barat itu terbit, demikian Reeve, pada akhir 1965 tatkala tengah berlangsung pembunuhan besar-besaran kalangan kiri Indonesia.[14]

Dengan jeli Reeve melihat sesuatu yang aneh dalam tulisan Onghokham yang berjudul “Sapta Marga Berkumandang di Sumatra: Operasi2 Menumpas Pemberontakan P.R.R.I” ini. Buku tipis setebal 15 halaman ini, menurut Reeve, secara langsung dan sederhana menuturkan keberhasilan tentara dalam memadamkan pemberontakan. Tetapi terbaca sesuatu yang aneh pada halaman pertama. Di situ terdapat beberapa alinea yang tidak berkaitan dengan sejarah, karena hanya berisi propaganda murni militer. Contohnya adalah alinea ketiga berikut:

ABRI adalah salah-satu kekuatan penting jang mengamankan Revolusi Indonesia. SAPTA MARGA menekankan hal ini dan membuat pradjurit satu dengan Revolusi, dengan Rakjat dan dengan Negara. Sebab dalam SAPTA MARGA pradjurit bersumpah untuk membela negara dalam segala seginja ⎯ menjatakan diri sebagai anggota masjarakat dan bersumpah untuk berbakti padanja, serta memegang teguh disiplin ketentaraan jang merupakan sendjata jang djaja dan ampuh dari Revolusi Indonesia. Dengan demikian mendjadi sekaligus teladan bagi kesatuan dan dinamika bangsa.[15]

Apa nilai sejarah alinea di atas? Lebih dari itu, mungkinkah seorang sejarawan menulis kalimat-kalimat yang menurut Reeve adalah “rip-snorting pro-military political rhetoric”?[16] (kira-kira berarti ‘ocehan retorika politik yang pro-militer’) begitu? Jawaban “tidak” jelas paling pas untuk dua pertanyaan ini. Selain itu, perbedaan nada antara beberapa alinea awal dengan isi selanjutnya membuat Reeve menduga keras bahwa alinea-alinea awal sarat propaganda tersebut merupakan tambahan yang dilakukan oleh Pusdjarah ABRI, walaupun nama pengarangnya tetap Onghokham. Mengapa Pusdjarah ABRI tidak menulis kata pengantar saja, sehingga lebih jelas bagi pembaca bahwa kata pengantar itu adalah propaganda tentara yang tidak ditulis oleh Onghokham? Mengapa bertindak lempar batu sembunyi tangan? Anehnya, buku tipis lain dalam seri yang sama karya Ariwiadi tidak didahului dengan propaganda militer serupa.[17] Penulis langsung mulai dengan masalah Aceh.

Inilah “perlakukan khusus” pertama kalangan militer terhadap Ong. Tak lama kemudian Onghokham mengalami “perlakuan khusus” berikutnya.

Corat-coret tambahan dan judul buku tipis ini juga memberi pelajaran penting bagi pembaca zaman sekarang. Pada kalimat pertama alinea di atas tertera kata-kata “salah-satu”, yang jelas berarti bahwa ABRI bukan satu-satunya kekuatan penting; pada zaman itu masih ada kekuatan-kekuatan lain yang mengimbangi tentara. Dan karena itu judul buku tipis ini juga memasang istilah “Sapta Marga”, yaitu sumpah prajurit, bukan, misalnya, merah putih atau bahkan Indonesia. Jelas pada zaman itu ABRI masih belum berani mengatasnamakan diri sebagai Indonesia secara keseluruhan. Masih berimbangnya kekuatan kanan dengan kiri membuat salah satunya (kanan maupun kiri) harus berhati-hati, tidak ada pihak yang berani menyatakan diri sebagai satu-satunya yang berhak atas Indonesia.

Onghokham sendiri merasa malu setiap kali memberitahu teman-temannya di luar negeri tentang kerja yang dilakukannya untuk kalangan tentara ini. Reeve mencatat bahwa Onghokham melakukannya karena Nugroho Notosusanto begitu antusias dan minta tolong padanya. “Aku diminta untuk mendukung dan berbuat sesuatu untuk kalangan militer, padahal aku sendiri tidak begitu percaya pada mereka,” demikian kata Onghokham seperti dicatat oleh Reeve.[18]

Pada Oktober 1965, Onghokham tiba-tiba menghilang, tak ketahuan rimbanya. Ternyata dia mengalami perlakuan khusus tentara jilid dua. Setiap kali militer mengambil alih kantor PKI, mereka selalu merampas dokumen-dokumen. Kemudian mereka memanggil kalangan sejarawan untuk meneliti dokumen-dokumen itu, mencari bukti bahwa telah terjadi konspirasi untuk merebut kekuasaan. Pada bulan itu, Onghokham bersama-sama Soe Hok Gie dan R. Z. Leirissa mendapat giliran memeriksa dokumen-dokumen PKI rampasan tentara dari kantor Jakarta Utara. Mereka bertiga harus datang ke Museum Fatahillah tempat dokumen rampasan itu disimpan.[19]

Mereka masuk museum mengenakan seragam hijau tentara. Teman-teman Onghokham terkekeh melihatnya berpakaian militer. Seragam itu segera dilepas begitu mereka sampai di dalam museum untuk membaca dokumen-dokumen rampasan. Seragam militer itu harus mereka kenakan lagi begitu keluar ruangan, bahkan ke kamar kecil sekalipun yang terletak di tingkat bawah. Yang terenyuh adalah bahwa setiap kali ke bawah untuk buang hajat, Onghokham akan melihat para tahanan politik yang berdesak-desakan di sana, orang-orang komunis atau sukarnois.

Seperti Onghokham duga, dia dan kawan-kawan tidak berhasil menemukan satu pun dokumen yang membuktikan bahwa PKI memang berencana merebut kekuasaan. “Tentu saja tidak ada,” Onghokham menjawab rasa ingin tahu David Reeve. Hal yang paling mengesankan Onghokham pada dokumen-dokumen yang dibacanya adalah tulisan orang-orang kecil dan para petani. Mereka menulis hal-hal yang cerdas tentang perjuangan kelas. Ini membuat Onghokham begitu kagum pada mereka, kalangan rakyat jelata.

Reeve mencatat pada saat itu Onghokham merasakan luapan simpati kepada PKI sebagai korban. Ia berharap dokumen-dokumen partai terlarang itu masih disimpan dalam Arsip Nasional, sebagai sumber yang tak ternilai harganya bagi sejarah sosial Indonesia. Dengan demikian orang bisa membaca kehidupan orang biasa, petani, dan semua ketidakadilan yang mereka alami. Onghokham juga menegaskan, setelah membaca arsip itu, sulit dipercaya bahwa tidak terjadi perlawanan, atau bahwa Indonesia dengan begitu gampang masuk perangkap diktator militer.

Bagi Reeve, komentar Onghokham itu tampaknya sudah cukup. Dia tidak merasa perlu lagi untuk memaknai lebih khusus peristiwa ini. Kenyataan bahwa Onghokham dan dua teman lain sampai harus menghilang (entah sampai berapa lama) dan mengenakan seragam militer segala jelas merupakan salah satu akal bulus tentara dalam mengganyang PKI. Walaupun sedikit terlibat dan itu pasti karena desakan Nugroho Notosusanto, syukurnya Onghokham tidak menemukan dokumen yang mereka cari. Keterlibatannya menjadi tidak berarti. Ini semakin jelas bahwa memang PKI tidak pernah berencana makar melalui G30S, dan tentara makin membabi buta menciptakan mitos untuk menutup-nutupi perpecahan internalnya.


Penjara dan Gangguan Mental

“Perlakuan khusus” ketiga tentara terhadap Onghokham adalah penjara. Ini paling sedikit sudah terlebih dulu diungkap oleh Adri Lapian, Benedict Anderson, Ruth McVey, Roger Paget, dan Paoke Hudyana (keponakan Ong) dalam buku yang terbit pada 2007 lalu untuk mengenang 100 hari kepergian Onghokham.[20] Murid Ben Anderson, Douglas Kammen, juga sudah mengungkap seberapa jauh penahanan Onghokham berkaitan dengan apa yang disebut Cornell Paper.[21] Dalam tulisan lain, Ruth McVey yang ditemani Onghokham meneliti PKI di Jawa Timur pada awal 1965 juga menyinggung salah satu kemungkinan sebab pemenjaraan itu: Onghokham memprotes pembunuhan massal 1965-1966.[22]

Dalam biografi ini Reeve dengan lebih rinci lagi mengungkap latar belakang pemenjaraan itu: berapa lama sebenarnya Onghokham harus mendekam dalam penjara serta kenapa sampai bisa separah itu. Pengungkapan rinci Reeve begitu mengharukan dan membuat pembaca seperti saya semakin marah terhadap zaman kediktatoran. Sayang disayang ada satu hal penting yang luput dari perhatian Reeve.

Pada tahun 2002, kepada Reeve, Onghokham memberi tahu bahwa dirinya pernah ditahan. Itu berarti pemberitahuan setelah mereka saling kenal selama 27 tahun, lebih dari seperempat abad. Tentu saja Reeve terkejut karena Onghokham sampai butuh waktu begitu lama untuk memberi tahu pengalaman buruk ini. Kenyataan bahwa dia butuh waktu begitu lama, tulis Reeve lebih lanjut, menunjukkan betapa pahit dan mendalam pengalaman ini.

Tatkala Reeve mendesak rincian penahanan, Onghokham malah memberinya dua tugas. Pertama, mencari tahu mengapa dia sampai ditahan. Onghokham tidak pernah didakwa melakukan tindak pidana tertentu (seperti juga dialami oleh semua orang yang ditahan pada 1965-1966, termasuk mereka yang dibuang ke Pulau Buru). Ketika pihak universitas mengirim surat kepada pihak berwajib untuk bertanya tentang penahanan ini, mereka juga tidak menerima jawaban. Tugas kedua adalah mencari tahu berapa lama penahanan itu berlangsung, karena memang waktu itu Onghokham benar-benar tidak tahu dan tidak punya catatan tentang keadaannya sendiri.[23]

Reeve terlebih dahulu ingin memastikan kapan persisnya Onghokham ditahan. Untuk itu ada dua cara yang ditempuhnya. Pertama menghubungi orang-orang yang kenal dekat Ong, dan kedua membaca surat-surat yang dikirim Onghokham kepada teman-temannya di luar negeri. Cara pertama, menghubungi orang-orang yang kenal Onghokham, masih dibagi menjadi dua pihak, keluarga dan teman-teman yang waktu itu akrab. Kedua pihak ternyata memberi pernyataan berbeda-beda, bahkan berlawanan. Jelas makin sulit memperoleh kepastian. Untungnya, dengan menggabung keterangan Onghokham serta penjelasan Adri Lapian, ditambah penjelasan Iwan Totok yang ditahan tak lama sesudah Onghokham, Reeve berkesimpulan bahwa Onghokham ditahan selama sekitar 150 hari, dari 10 Maret sampai 28 September 1966. Jelas tidak sampai setahun, seperti dikatakan dua keponakan Onghokham yang pernah menjenguknya di penjara.

Reeve juga membaca surat Herbert Feith kepada Dan Lev yang berkabar bahwa Onghokham ditangkap pada 10 Maret, persis seperti yang diduga Onghokham sendiri. Kemudian Reeve membaca surat yang dikirim Onghokham kepada Dan Lev bertanggal 11 Oktober 1966, berisi pemberitahuan bahwa dia sudah bebas selama dua minggu. Ini cocok dengan penjelasan Adri Lapian bahwa Onghokham dibebaskan pada 28 September 1966. Reeve sempat menyesal kenapa dia tidak langsung saja membaca surat-surat ketimbang harus diliputi ketidakpastian ketika menghubungi saudara atau sahabat karib Ong. Yang jelas, dua cara pembuktian ini menghasilkan kepastian yang tak terbantahkan lagi: Onghokham ditahan selama 150 hari, dari 10 Maret sampai 28 September 1966. Reeve begitu gembira memperoleh kepastian ini sampai-sampai dia serahkan sendiri surat Onghokham kepada Dan Lev itu.

Tapi apa penyebab penahanan itu? Untuk menjawab pertanyaan ini, David Reeve menghadapi masalah yang lebih rumit lagi.

Selama berada dalam tahanan, Onghokham mengalami gangguan kejiwaan. Itu bukan saja diakuinya sendiri melainkan juga dari penuturan para penjenguk. Dalam pernyataan yang diumumkan oleh jurnal Indonesia edisi 85 tahun 2008 (setelah kematiannya), Onghokham menyatakan mendapati dirinya mengalami gangguan jiwa ketika berupaya mencari tahu mengapa bisa ditahan. Dia merasa mendengar banyak gaung, lalu beranggapan bahwa orang-orang yang dikurung bersamanya dalam tahanan militer dekat Lapangan Banteng sedang dipersiapkan untuk main sandiwara. Dia juga sempat merasa menjadi agen rahasia PKI, kemudian merasa roh pemimpin PKI, Aidit, berusaha merasuk ke badannya.

Ketika ditemui oleh kakaknya Olga atau keponakannya Paoke Hudyana, Onghokham diam saja. Dia tampak jauh, hidup dalam renungan yang tidak terjangkau orang lain. Onghokham juga tidak menjawab pertanyaan yang dilontarkan dalam bahasa Belanda tentang kenapa bisa berada di situ oleh temannya Fikri Jufri yang datang menjenguk orang lain. Sejenak Onghokham menoleh pada Fikri dengan pandangan hampa, tapi tak lama kemudian ia berpaling. Kelak Fikri Jufri memberi tahu bahwa dia beberapa kali menjenguk di penjara, tapi Onghokham sama sekali tidak ingat.[24]

Dua pihak berdaya upaya supaya Onghokham bebas: keluarga dan peneliti asing yang sempat dibantu. Mereka menghubungi Nugroho Notosusanto yang kemudian mendekati pihak militer dengan jaminan bahwa “kalau Onghokham komunis maka saya juga komunis.” Selain itu, kepada militer, Nugroho juga menulis surat yang dibawa oleh Saleh Asaad, teman Onghokham asal Malang yang berlatar belakang militer. Sayang biografi ini tidak menyebut kepada siapa surat itu ditujukan dan kepada siapa pula Saleh Asaad membawanya, padahal David Reeve sempat mewawancarai Asaad.[25]

Kenapa sasaran surat tidak disebut? Apa perlunya menyembunyikan identitas tokoh yang dikirimi surat itu? Paling-paling dia juga sudah meninggal dunia. Inilah hal penting yang tidak terungkap dalam buku ini.

Perkembangan mutakhir pelbagai kajian tentang kejahatan rezim Orde Baru tidak hanya mengungkap korban dan bagaimana persisnya peristiwa itu berlangsung, melainkan juga siapa sebenarnya pelaku yang paling bertanggung jawab bagi pelanggaran hak-hak asasi manusia seperti yang dialami Onghokham. Diungkap pula dokumen yang berisi perintah penindakan terhadap seseorang atau sekelompok orang. Jess Melvin dalam bukunya tentang genosida di Aceh dengan jelas dan rinci mengungkap ini semua.[26]

Pada bab tiga buku tersebut, Melvin mengungkap rantai komando pengganyangan PKI di Aceh. Ini berawal di pusat, Jakarta, tatkala Soeharto pada 1 Oktober 1965 mengangkat diri sebagai Panglima ABRI dan tidak ambil pusing pada perintah Presiden Sukarno supaya sore harinya dia meletakkan jabatan (Sukarno mengangkat Mayjen Pranoto Reksosamudro sebagai panglima). Komando kemudian turun pada Panglatu (Panglima Mandala Satu) Mayjen A. J. Mokoginta yang tetap menganggap Soeharto panglima, terus pada Pangdam Aceh Brigjen Ishak Djuarsa, sampai kepada Dahlan Sulaiman, pimpinan milisi PII (Peladjar Islam Indonesia). Dengan meniti rangkaian komando yang jelas merupakan insubordinasi itu, Melvin juga mengungkap tokoh-tokoh yang bertanggung jawab pada pengganyangan PKI alias banjir darah di Aceh. Selain itu, Melvin juga menampilkan pelbagai dokumen, mulai dari telegram yang berisi perintah Soeharto sampai notulen pidato-pidato Mokoginta dan Djuarsa.

Memang, keistimewaan penelitian Melvin adalah keberhasilannya menemukan fotokopi dokumen-dokumen militer Aceh yang berkaitan dengan operasi militer pengganyangan PKI di tanah Rencong. Dokumen-dokumen itu disebutnya “The Indonesian genocide files” (berkas-berkas genosida Indonesia).[27]

Sayang sekali Reeve tidak mengikuti perkembangan mutakhir ini. Dia hanya mengungkap Onghokham sebagai korban. Patut diselidiki lebih lanjut siapa sebenarnya yang memerintahkan penangkapan Onghokham pada Maret 1966, siapa pula yang memerintahkah penangkapannya kembali (berarti penangkapan kedua) pada Juli 1966. Apakah itu orang yang sama? Kalau bukan orang yang sama, bagaimana bisa muncul perbedaan itu? Pertanyaan-pertanyaan ini perlu memperoleh jawaban yang memadai supaya orang punya gambaran lengkap tentang pelanggaran HAM pada zaman Orde Baru yang dialami Onghokham.

Seperti sudah disebut, akhirnya Onghokham dibebaskan pada 27 September 1966. Dengan meneliti surat-menyurat antara Herbert Feith, Benedict Anderson, Ruth McVey, Lance Castle dan Onghokham, Reeve mendapati bahwa pembebasan itu adalah pembebasan kedua. Begitu ditahan di kamp militer dekat Lapangan Banteng pada Maret, Onghokham ternyata sudah sempat dibebaskan pada bulan Mei, tapi kemudian ditahan lagi di Glodok pada Juli sampai September.

Selain lamanya ditahan, Reeve akhirnya dapat memastikan bahwa Onghokham ditahan karena dia sempat berteriak “Hidup PKI!” (melihat pembunuhan orang-orang PKI yang baginya sama sekali tidak bersalah) dan kecurigaan tentara bahwa dia adalah sumber utama Cornell Paper,[28]  yang secara garis besar menyimpulkan bahwa G30S adalah akibat dari perpecahan internal dalam tubuh ABRI, berlawanan dengan versi resmi bahwa G30S adalah ulah PKI. Ketika untuk pertama kalinya ditahan, tentara sebenarnya menemukan surat Ruth McVey dalam kantong celana Onghokham yang berisi garis besar Cornell Paper. Semula kalangan militer tidak begitu peduli pada surat ini. Tapi, ketika muncul kabar tentang Cornell Paper, yang dibuat oleh tiga peneliti dari Universitas Cornell, Benedict Anderson, Ruth McVey, dan Fred Bunnell, militer menjadi sangat khawatir. Segera mereka ingat pada surat Onghokham dan karena itu Onghokham kembali ditangkap.

Dalam keadaan jiwa yang begitu guncang, Onghokham jelas butuh perawatan. Soedjatmoko menganjurkan nama dokter Kusumanto Setyonegoro yang pernah merawatnya akibat depresi karena dipenjara pada zaman pendudukan Dai Nippon tahun 1944. Setelah rangkaian pemeriksaan, dokter Kusumanto memastikan bahwa Onghokham tidak menderita skizofrenia alias sakit jiwa paling parah. Onghokham dinyatakan menderita sejenis depresi yang bisa diatasi dengan obat-obatan serta konseling. Berkat perawatan dokter jiwa Kusumanto, Onghokham bisa jadi sudah sembuh dari depresi yang dideritanya. Tapi Ben Anderson mengamati adanya perubahan pada diri sobatnya.

Dia sudah banjak berubah, ngomongannja sering katjau dan emosional, ketawanja sedikit. Dia tjerita pada saja bahwa dia sulit tidur dan sering dihantui impian buruk jang mengerikan. Untuk pertama kali dalam hidupnja dia banjak minum alkohol, katanja supaja bisa tidur, dan tanpa mimpi buruk.[29]

Jelas guncangan jiwa yang dialami Onghokham akibat perlakuan rezim diktator militer meninggalkan bekas sangat dalam dan tidak tersembuhkan. Strok yang akhirnya diidap Onghokham pada akhir hidupnya bisa-bisa muncul karena dia terlalu banyak menenggak minuman beralkohol. Jelas terlihat betapa perlakuan yang dialami Onghokham akhirnya merupakan penyebab kematiannya, walaupun dibutuhkan waktu 40 tahun lebih.

Dokter Kusumanto juga bertanya soal kehidupan seksual pasiennya. Onghokham menjawab bahwa dia menyukai sesama pria dan berpendirian tidak akan secara terbuka menyatakan orientasi seksualnya, tapi juga tidak akan menyangkal.[30]

Dalam biografi ini Reeve banyak mengungkap kehidupan asmara Onghokham, termasuk beberapa pasangannya. Reeve berkisah tentang Anung, pasangan serius pertama Onghokham yang kemudian mengembara ke New York, sampai Jatmiko, pasangan terakhirnya. Sebagai seorang keturunan Tionghwa, ternyata Onghokham lebih menyukai pria-pria Jawa, walaupun ia sempat berpacaran serius dengan seorang pria Tionghwa juga, tapi putus karena orang ini sering cemburu. [31]

Yang mungkin paling menarik diungkap adalah petualangan Onghokham di Malang pada 1967. Ketika itu dia duduk di samping seorang prajurit saat menonton pertunjukan wayang kulit. Kaki-kaki mereka bersentuhan dan terus menempel sepanjang pertunjukan. Selesai menonton, mereka menuju ke sebuah taman dan berhubungan intim. Prajurit itu kemudian terus-terusan bertanya kenapa Onghokham tidak mengecupi sekujur tubuhnya seperti dilakukan orang lain. Rupanya yang dimaksud orang lain itu adalah prajurit yang lebih senior dan berdiri tidak jauh dari mereka. Onghokham mengaku sempat kepingin juga, tetapi terlalu malu.[32]

Mungkinkah langkah ini merupakan pembalasan Onghokham terhadap perlakuan militer terhadapnya? Kalau menggunakan kaidah zaman sekarang, balas dendam itu jelas mungkin sekali, terutama karena tentara atau polisi akan dihukum kalau sampai berani melakukan hubungan intim sejenis. Tetapi peristiwa ini terjadi pada 1967, tatkala negara dan hukum masih belum begitu jauh menjarah masuk dalam kehidupan pribadi warga. Soal bagaimana Onghokham membalas perlakuan tentara terhadapnya harus dicari pada aspek lain kehidupannya.


Skripsi dan Balas Dendam Tersamar

Pada 1967, Onghokham sedang sibuk menulis skripsi tentang berakhirnya penjajahan Belanda di Indonesia, tepatnya selama periode 1939 sampai 1942. Desember tahun itu ia menyurati Benedict Anderson untuk berkabar tentang pekerjaan ini, juga informasi tentang sumber-sumber yang dipakai, yaitu terbitan tahun 1940-an dan berbahasa Belanda. Ketika itu pembimbingnya tidak lain adalah Nugroho Notosusanto.[33] Onghokham butuh waktu setahun untuk menyelesaikan karya masif setebal 300 halaman ini, yang diberi judul Runtuhnya Hindia-Belanda. David Reeve mencatat bahwa pada saat itu penulisan sejarah di Indonesia selalu berpusat pada perjuangan kemerdekaan. Onghokham justru melenceng dengan menulis tentang roda kekuasaan kolonial Belanda.

Sebelum membahas isi skripsi itu, terlebih dahulu perlu dicatat pandangan Onghokham terhadap kolonialisme Belanda.

Sebagai negara kecil di laut Utara, laksana mukjizat saja Belanda bisa menguasai kepulauan Nusantara. Ini jelas meningkatkan pamor Belanda di Eropa. Sampai-sampai negara kolonial lain yang jelas lebih besar (misalnya Prancis) mengikuti perkembangan tanah ini. Onghokham tertarik melihat dampak penjajahan negara kecil atas Indonesia yang luasnya sampai tidak terbayangkan oleh kebanyakan orang Belanda pada waktu itu.

Dalam catatan Reeve, bagi Onghokham, kecilnya Belanda terlihat pada bahasanya yang bukan merupakan bahasa internasional. Jumlah penuturnya, juga pada zaman kolonialisme dulu, tidak sebanyak penutur bahasa Inggris atau bahasa Prancis.[34] Di Asia, jajahan Belanda juga cuma Indonesia. Bandingkan dengan Inggris yang menguasai India, Burma, dan semenanjung Malaya; atau Prancis yang menguasai Vietnam, Laos, dan Kamboja. Jika Indonesia dijajah oleh Inggris, Prancis, atau Amerika Serikat (yang pada akhir abad ke XIX menggantikan Spanyol dalam menjajah Filipina), maka mereka akan membawa wawasan internasional yang lebih luas, bahkan kesadaran akan adanya Samudra Pasifik, Amerika Latin, dan tentunya bagian Asia yang lain. Wawasan non-Eropa Belanda adalah Indonesia, sebaliknya Indonesia memandang dunia menggunakan “wawasan sempit” Belanda.

Akhir kolonialisme seperti inilah yang ditulis Onghokham sebagai topik skripsi sarjana sejarah. Menurut Reeve, skripsi yang 20 tahun kemudian (1987) terbit sebagai buku ini bisa dibaca dalam tiga makna. Makna pertama, dengan data begitu kaya, penuturannya terbaca seperti novel (sesuatu yang menyenangkan Ong). Makna kedua, hal-hal yang berkaitan dengan pengalaman pribadi Onghokham dan keluarganya di Surabaya dan Malang, terutama tahun-tahun 1940 sampai 1942. Makna ketiga adalah kekejaman Kempetai, dinas intel Jepang. Soal yang terakhir, demikian menurut Reeve, sebenarnya Onghokham menulis tentang Orde Baru yang telah memenjarakannya. Onghokham membenarkan hal ini dalam wawancara dengan Reeve pada 2002.

Onghokham masih menambahkan satu makna lagi. Makna keempat: bahwa pemerintahan tanpa akar dukungan masyarakat pasti akan gagal, apakah itu penjajahan Belanda atau pemerintahan orang Indonesia sendiri: Orde Baru.[35]

Ada dua hal yang dapat dikatakan terhadap pendirian Onghokham ini. Pertama, jelas kritik terhadap apa yang disebutnya pemerintah tanpa akar dukungan ini diarahkan terhadap Orde Baru. Di sini tampak Onghokham melakukan balas dendam, hanya setahun setelah dia bebas dari tahanan si rezim tangan besi. Kedua, balas dendam itu bersifat tidak langsung, bahkan agak tersamar, karena Onghokham tidak langsung menulis tentang kekejaman Orde Baru, tapi tentang kekejaman Kempetai, dinas telik sandi bala tentara pendudukan Jepang. Onghokham melakukan telunjuk berkait, seolah-olah itu terarah ke Jepang, tapi kemudian ternyata berbelok arah menuding Orde Baru.

Mengkritik Orde Baru secara tidak langsung seperti ini sering dilakukan Onghokham setelah dia pulang dari studi lanjutan di AS, pada Universitas Yale, di bawah bimbingan Harry Benda, sejarawan keturunan Yahudi kelahiran Ceko. Salah satu contohnya ketika elite politik Jakarta geger pada September 1976 dalam peristiwa yang disebut affair Sarwito Kartowibowo. Singkat cerita, pensiunan pegawai negeri ini menghimpun tanda tangan tokoh masyarakat seperti mantan wakil presiden Mohammad Hatta, Jenderal T. B. Simatupang, dan Kardinal Darmojuwono dalam dokumen yang mendesak orang kuat Orde Baru supaya mundur saja dan menyerahkan wewenang kepada Hatta.[36]

Onghokham yang belum lagi setahun kembali dari studi lanjut di Amerika, mengantongi gelar doktor sejarah dari Universitas Yale, merespons dengan menulis dua kolom di mingguan Tempo. Dua kolom itu menurut Reeve cukup membuat kejutan sekaligus mengumumkan kehadiran kembali Onghokham dalam debat publik tanah air. Di sana ia menjelaskan konsep kekuasaan dalam tradisi Jawa. Di Jawa, kekuasaan bersumber pada wahyu, bukan dukungan rakyat. Onghokham juga menulis tentang tradisi Jawa dan perilaku raja-raja Jawa. Dia sama sekali tidak menulis tentang Orde Baru atau orang kuatnya.

Di satu pihak, pembaca Tempo pasti maklum bahwa telunjuk Onghokham berkait. Dia memang menunjuk tradisi Jawa sekaligus mengecam perilaku raja-raja Jawa. Tapi jelas Onghokham tidak hanya berbicara tentang Jawa. Telunjuknya pasti juga berbelok menuding Orde Baru. Ini jelas merupakan kesimpulan khalayak ramai, pembaca mingguan Tempo khususnya. Di lain pihak, pantas dipertanyakan apakah rezim Orde Baru dan orang kuatnya juga punya pemahaman serupa. Sudah terbiasa dari awal untuk bertindak bengis dan kejam, bisa jadi Orde Baru, terutama gembong-gembongnya, sudah kebal kritik. Mereka bisa-bisa tidak lagi punya kepekaan terhadap hal-hal yang implisit, seperti tulisan Onghokham tentang tradisi Jawa ini. Baik kecerdasan maupun hati nurani kalangan penguasa seperti mereka pasti juga sudah tumpul. Dengan kata lain, pesan yang ingin disampaikan Onghokham kemungkinan besar tidak sampai pada penguasa Orde Baru.

Walau begitu, Ruth McVey tetap menyebut tulisan-tulisan tidak langsung seperti tulisan Onghokham sebagai “cara efektif untuk menghindari sensor.”[37] McVey menulis bahwa Orde Baru hanya menyediakan ruang sempit bagi kebebasan ekspresi kalangan pembangkang. Karena itu orang berpaling pada sejarah, menunjuk aspek-aspek penting masa lampau dalam menghadapi masalah masa kini. Menariknya, dalam surat kepada Ben Anderson, Onghokham menulis betapa dia merasa geli dengan kasus Sawito ini. “Lucu, jenaka bercampur seram. Ini membuat tokoh-tokoh yang menandatangani dokumen Sawito tampak konyol,” demikian Reeve mencuplik surat itu.[38]

Di sini terlihat betapa akibat penindasan rezim diktator, Onghokham memilih taktik dua pendapat, yaitu pendapat umum dan pendapat pribadi. Dalam menulis untuk khalayak umum dia selalu berpaling pada sejarah, sedangkan dalam bersurat-suratan (terutama dengan teman-teman di luar negeri) ia lebih bersikap terus terang. Menghadapi taktik dua pendapat ini saya terdorong untuk bertanya mengapa Onghokham tidak langsung saja mengadakan penelitian terhadap asal-usul kesewenang-wenangan Orde Baru; seberapa jauh watak otoriter ini bisa ditelusur dalam sejarah; dan bagaimana pula alur genealogisnya? Juga, bagaimana sebenarnya sejarah Indonesia sampai bisa melahirkan rezim tangan besi seperti Orde Baru?

David Reeve sendiri ternyata juga tidak bertanya kenapa Onghokham tidak melakukan penelitian terhadap asal-usul Orde Baru. Dia malah membandingkan Onghokham dengan Sartono Kartodirdjo, sejarawan Universitas Gadjah Mada lulusan Universiteit van Amsterdam. Di AS, Onghokham menulis disertasi tentang Madiun, Jawa Timur, sedangkan disertasi Sartono tentang pemberontakan petani Banten [yang waktu itu berada] di Jawa Barat. Bagi Sartono, yang penting adalah struktur, bukan peristiwa. Bagi Onghokham, yang penting justru peristiwa, peristiwa sejarah tertentu dalam semua perincian dan keistimewaannya. Onghokham menggunakan struktur sosial yang juga tengah mengalami perubahan untuk menjelaskan kenapa muncul suatu peristiwa sejarah tertentu.[39] Di balik komparasi Reeve yang sangat canggih dan patut diacungi jempol ini, saya hanya ingin bertanya: di mana letak akar sejarah dan asal-usul Orde Baru di sini?

Harus diakui Onghokham tidak terus-terusan menulis secara tidak langsung begitu. Tatkala orang kuat Orde Baru akhirnya, setelah 32 tahun bertengger dalam kekuasaan, mundur juga, ia termasuk orang pertama yang menulis tentang peristiwa bersejarah ini.[40] Bisa ditebak Onghokham menulis tentang pengertian Jawa lèngsèr keprabon (berarti raja turun takhta) yang waktu itu, Mei 1998, banyak dibicarakan orang. Selain menulis bahwa dalam sejarah Jawa hanya ada dua orang raja yang benar-benar turun takhta, yaitu Hamengku Buwono VII dan Mangkunegoro VI, dalam tulisan ini Onghokham tidak hanya menyebut Sukarno diktator. Dia juga sudah berani menulis bahwa: “Soeharto menjadi penguasa mutlak (absolut) karena, seperti raja-raja Jawa, beliau adalah Paku Buwana. Bila Paku itu dicabut maka Buwana (alam semesta) akan kiamat.”

Tulisan itu bukan saja menegaskan bahwa Onghokham bisa menulis langsung. Jelas pula bahwa Onghokham juga tidak lagi menempuh taktik dua pendapat: pendapat di luar untuk umum yang berbeda dengan pendapat di dalam untuk kalangan sendiri. Kalimat itu terasa sebagai pancingan atau isyarat bahwa Onghokham akan mengadakan penelitian lebih lanjut untuk menjawab pertanyaan bahwa dunia belum juga kiamat walaupun orang kuat Orde Baru sudah terjungkal.

Sebelum sejauh itu, Onghokham justru menjelaskan bahwa selama berkuasa Soeharto menerapkan dua jenis politik: politik simbolisme Jawa yang jelas terlihat dan politik seorang penguasa mutlak yang tidak [begitu] kelihatan. Yang terlihat adalah pemindahan topeng Gajah Mada dari Bali dan gong keramat dari Keraton Solo ke Istana Merdeka. Kemudian pelbagai upayanya sekitar Semar, termasuk dokumen peralihan kekuasaan dari Sukarno yang disebutnya Supersemar. Menurut Onghokham, itu berarti bahwa Soeharto merasa diri menjadi satu dengan Semar atau Semar menjelma dalam dirinya. Dalam dunia pewayangan, Semar adalah lambang rakyat. Sedangkan politik seorang penguasa mutlak yang dijalankan Soeharto, demikian Onghokham, adalah upayanya untuk menundukkan elite politik, kultural, dan sosial masyarakat. Para menteri pembantu presiden, sebagaimana pembantu rumah tangga Indonesia, juga menjadi pembantu keluarga Soeharto.

Kritik yang lumayan tajam dan mengena ini, sayangnya, tidak diikuti dengan studi atau penelitian mendalam terhadap asal-usul pemerintahan mutlak Soeharto, atau kajian tentang budaya Jawa sebagai asal-usul kekuasaan absolutnya. Karangan tentang Soeharto yang dipaksa mundur itu berakhir dengan harapan bahwa sejarah Indonesia tidak lagi berputar sebagai siklus melainkan evolusioner yaitu berkembang maju. Untuk itu, menurut Onghokham, Indonesia memerlukan oposisi yang kuat dan kritis; bukan penguasa yang kuat.

Onghokham sempat sedikit menyinggung asal-usul Orde Baru dalam kata pengantar bukunya Dari soal Priyayi sampai Nyi Blorong, terbit tahun 2002. Tulisnya: “Studi [karya H.J. Benda tentang petani Jawa abad XIX] ini mempertajam fokus saya tentang zaman kolonial, yang pada 1930-an mirip dengan Orde Baru.”[41] Sayang Onghokham tidak menguraikan lebih lanjut kemiripan seperti apa yang dimaksudkannya, dan apakah dia bermaksud menelusuri lebih dalam lagi kemiripan itu. Yang jelas, periode 1930-an belum begitu memperoleh perhatian dalam historiografi Indonesia, sementara di bagian dunia lain (Jepang, Italia, Jerman) fasisme tengah berjaya.

David Reeve menulis bahwa pada 1994 Onghokham bertemu pasangan terakhirnya, Jatmiko, seorang pria Jawa yang tinggi, ganteng, berpendidikan, dan kosmopolitan. Sebelum Jatmiko, Onghokham sempat berpasangan dengan beberapa orang lain, termasuk seorang Tionghwa, Chandra, yang ternyata cemburuan. Dengan Jatmiko yang mendampingi Onghokham sampai ajal, demikian David, Onghokham merasa telah melakukan balas dendam terhadap Sucipto, pasangannya sebelum itu, yang mengembara ke Eropa. Jatmiko adalah balas dendam paling manis Onghokham terhadap Cipto, demikian tulis Reeve.[42] Kalau memang benar demikian, balas dendam ini pasti tidak hanya berkisar pada soal asmara. Kita pantas bertanya mengapa Onghokham tidak melakukan balas dendam terhadap Orde Baru yang pernah menahannya?

Dalam hal ini menarik bahwa menjelang akhir biografinya,Reeve menekankan cita-cita Onghokham yang tidak tercapai yaitu menulis beberapa buku, antara lain buku tentang semua aspek sejarah dan kehidupan Jawa. Bahkan menurut Reeve buku yang tidak sempat ditulis Onghokham ini juga paralel dengan buku Fernand Braudel (sejarawan Prancis pujaan Onghokham) tentang “jati diri Prancis”. Reeve sampai berani menegaskan bahwa Onghokham ingin sekali menulis buku tentang “jati diri Jawa”.[43] Mungkinkah ini termasuk sejarah Orde Baru yang begitu kejam yang sejauh ini hanya ditulis secara tidak langsung dalam skripsinya tentang runtuhnya Hindia Belanda? Orde Baru sudah mengganyang habis kalangan kiri Indonesia yang adalah juga teman-teman Onghokham. Bisa dipastikan sejarah rezim kanan tangan besi ini juga sangat menarik bagi Onghokham.


Tuyul di Rumah Arief Budiman

Sebagai penutup, ada baiknya mengakhiri karangan ini dengan lanjutan kisah awal di atas yaitu tentang Arief Budiman. Maklum, dia adalah salah satu teman Onghokham dan, yang terpenting, dosen terkasih saya. Tanpa menyebut tahun, Reeve menulis bahwa Onghokham berkenalan dengan Arief Budiman di rumah penyair Bibsy Soenharjo yang sering didatangi mahasiswa dan cendekiawan ibu kota. Tampaknya itu awal 1960-an, ketika Arief masih bernama Soe Hok Djin. Arief datang ke rumah Bibsy bersama perupa Zaini dan Onghokham sangat terkesan melihat Arief duduk di lantai sambil memainkan gitar.[44]

Sama-sama keturunan Tionghwa, Soe Hok Djin berbeda sekali dengan Onghokham. Pertama, keduanya berbeda generasi (Onghokham kelahiran 1930-an, Arief 1940-an), Onghokham dibesarkan di Surabaya (Jawa Timur), Arief di Jakarta. Sama-sama kuliah di Universitas Indonesia, Onghokham mendalami sejarah dan Arief psikologi. Sama-sama melanjutkan kuliah di AS sampai meraih gelar doktor, Onghokham menekuni sejarah di Universitas Yale, Arief ganti menekuni sosiologi di Universitas Harvard. Keduanya menulis tentang sejarah masa lampau, Onghokham tentang Madiun pada abad 19, Arief tentang Chile di bawah Salvador Allende, presiden yang beraliran sosialis. Begitu seterusnya: dari beberapa butir persamaan ternyata terungkap banyak juga perbedaan.

Dalam biografi ini, Reeve mencatat kesan Arief Budiman terhadap Onghokham pada tahun 1960-an, saat persahabatan mereka berawal. Onghokham, kata Arief, tidak pernah menghargai waktu dan privasi orang lain. Dia datang bertamu tengah malam dan mengajak tuan rumah bicara sampai dini hari. Dia selalu memaksa orang, keras kepala, dan tidak akan mendengarkan orang lain begitu punya pendapat sendiri. Dia egois, individualis, dan tidak pernah berhenti bicara. Tapi Arief tidak bisa membenci Onghokham, dia harus mengasihinya. Sebab, Onghokham akan menjelaskan satu masalah sampai menjadi sangat jelas, dan membahas pelbagai tokoh politik, serta posisi orang Tionghwa di Indonesia.[45]

Menurut Arief Budiman, Onghokham selalu membanggakan orang Jawa, sering tergila-gila oleh gagasannya sendiri tentang Jawa dan budaya Jawa. Arief melihat betapa luas pengetahuan Onghokham tentang Jawa. Walau demikian, Arief menilai Onghokham tidak berperilaku seperti orang Jawa. Baginya Onghokham lebih mirip orang Batak yang energik dan langsung tunjuk.

Arief Budiman adalah salah seorang penandatangan Manifesto Kebudajaan, lebih terkenal dengan sebutan Manikebu (ejekan pihak lawan yaitu para seniman Lekra). Onghokham, dalam catatan Reeve, menganggap pertentangan antara Lekra dengan Manikebu cuma sebagai ribut-ribut antara Wiratmo Soekito, Pramoedya Ananta Toer, dan Sitor Situmorang.[46] Mungkin karena merekalah yang paling sibuk melakukan keributan, sedangkan Arief Budiman (yang waktu itu masih menggunakan nama lahirnya) bisa jadi masih terlalu junior untuk memperoleh perhatian Onghokham. Onghokham sendiri lebih sering mengejek kalangan Manikebu ketimbang Lekra, karena menurutnya orang-orang Lekra tidak bisa diajak bergurau.

Ketika Arief sudah kembali dari AS dan bekerja di Salatiga, pendapatnya tentang Onghokham tidak begitu berubah. Menurut Arief, Onghokham memperlakukan seluruh dunia seperti miliknya sendiri. Dia sering tiba-tiba nongol dan walaupun tuan rumah tidak ada dia akan minta makan dan masuk kamar tamu. Bahkan Onghokham berani berkata bahwa rumah yang dirancang Romo Mangunwijaya itu terlalu bagus untuk Arief. Langsung bicara kepada Arief, Onghokham mengatakan dialah yang lebih pantas mendiami rumah itu. Tapi Arief juga memuji kepandaian Onghokham memasak.[47]

Reeve juga menulis pendapat Onghokham tentang tuyul. Pada Oktober 1985, Onghokham tampil di Semarang sebagai pembicara dalam konferensi tentang makhluk kecil jadi-jadian dalam tradisi Jawa ini. Reeve pertama kalinya menulis tentang topik ini pada buku kenangan Onghokham yang terbit pada 2007.[48] Dalam biografi ini ia meringkasnya: dalam kepercayaan Jawa, tuyul bertugas mencuri uang dan perhiasan. Itu berarti secara umum orang Jawa tidak membenarkan kekayaan. Kepercayaan akan tuyul bisa juga dikatakan sebagai protes terhadap orang kaya, penolakan kalangan proletariat pedesaan terhadap penumpukan kekayaan.[49]

Rasionalisasi atau penalaran tuyul seperti ini sebenarnya bukan pemikiran historis. Dengan berpendapat demikian Onghokham tidak tampil sebagai seorang sejarawan. Ia lebih memberi makna antropologis terhadap tuyul dalam tradisi orang Jawa. Dengan pendapat ini tampak jelas betapa Onghokham telah melebarkan sayap, tidak hanya menyibukkan diri dengan sejarah.

Karena ada di Semarang, Onghokham hanya butuh waktu sejam untuk melanjutkan perjalanan ke Salatiga, menemui sahabatnya, Arief Budiman. Dibanding dua tahun sebelumnya, tatkala Onghokham pertama kali datang, situasi kampus Satya Wacana sudah berubah. Di kampus menjamur kelompok diskusi mahasiswa, aktivitas khas mahasiswa 1980-an. Dalam jenjang sarjana (setelah lulus sarjana muda) saya bergabung dalam redaksi Gita Kampus, penerus Gita Mahasiswa. Kami segera berhimpun menyambut Onghokham yang menurut Arief Budiman akan bicara tentang tuyul. Akankah Onghokham mengulang ceramahnya di Semarang yang sudah ramai jadi pemberitaan pers? Begitu kami bertanya-tanya setengah tidak percaya.

Ternyata, omongan Onghokham tentang tuyul di Salatiga tidak sama dengan di Semarang, dan dengan begitu sedikit berbeda dengan ringkasan yang ditulis David Reeve dalam biografinya. Berlangsung di rumah baru Arief Budiman hasil rancangan Romo Mangunwijaya, Onghokham menyesuaikan pembicaraannya dengan selera si tuan rumah. Maklum, waktu itu Arief Budiman dikenal sebagai penganjur pembangunan sosialisme yang lebih menjamin pemerataan pendapatan, terutama bagi rakyat miskin. Berpegang pada sosialisme, Arief juga mengecam pembangunan model kapitalisme yang dilancarkan rezim Orde Baru. Politik pembangunan rezim ini hanya menguntungkan orang kaya dan semakin memelaratkan kalangan miskin.

Jalur pemikiran Arief Budiman ini sepenuhnya dipahami Onghokham. Tapi, dasar Onghokham, dia memulai pembicaraannya dengan pernyataan bahwa tuyul bukan saja dikenal dalam budaya Jawa. Orang Barat, tandasnya, juga punya tuyul! Tentu kami tidak percaya, tapi makin penasaran, ingin tahu siapa tuyul versi Barat itu? Dengan ketus Onghokham berkata, “Marx”. Segera kami terbahak, merasa dikibuli. Setelah melihat semua hadirin ingin mendengarkan ceritanya lebih lanjut, Onghokham segera bertutur dengan serius.

Menurutnya, tradisi orang Jawa bukan hanya komunalisme tapi juga sosialisme. Ia segera menyebut peribahasa Jawa, mangan ora mangan anggeré kumpul (makan tidak makan sebaiknya berkumpul). “Itulah sosialisme à la Jawa,” katanya pula. Maka, kalau ada orang Jawa yang mendadak kaya, masyarakat sekitarnya langsung kasak-kusuk soal tuyul. Mereka curiga si orang bisa kaya mendadak karena memelihara setan kecil bermulut vertikal dengan tugas mencuri uang dan perhiasan para tetangga untuk pemiliknya. Karena mendadak kaya, jelas orang itu bukan lagi sosialis, dia sudah jadi kapitalis. Dan si tuyul dianggap biang-keladi munculnya jurang lebar kaya miskin, apa yang dalam kosakata Marxis disebut polarisasi kelas. Mereka yang kaya terus melejit dalam kekayaan sementara yang miskin makin tenggelam dalam kemelaratan. Menurut Ong, gagasan tuyul dalam tradisi Jawa pas dengan pemikiran Marx yang anti-borjuasi, anti orang kaya.

Kembali tampak bahwa dalam soal tuyul ini Onghokham tidak berbicara mengenai sejarah, melainkan antropologi. Dalam konteks antropologi seperti ini, Onghokham berkata bahwa sebagai penganjur sosialisme Arief tidak pantas tinggal di rumahnya yang begitu indah. Dialah yang lebih pantas!

Pada dekade 1990an, beberapa kali saya bertemu Onghokham di Amsterdam. Beberapa kali pula saya antar dia jalan kaki ke Pecinan Amsterdam, beli segala macam sambal atau bumbu-bumbu lain. Yang cukup membelalakkan mata, pada suatu kesempatan dia juga membeli serentetan pisau untuk mengiris pelbagai macam daging, ikan, sayuran dan bumbu-bumbu lain sebelum dimasak. Dia paham bilah-bilah pisau itu harus dimasukkan koper kalau dia, dalam beberapa hari kemudian hwee cia alias pulang ke Jakarta. Dia tidak akan diperbolehkan membawa sendiri benda-benda tajam itu ke dalam pesawat. Itulah kenikmatan bicara dengan Onghokham, kami selalu menggunakan kata-kata bahasa/dialek Hokkein. Jadi bahasa Belanda yang sudah kami gunakan sejak pertemuan pertama tahun 1983, masih ditambahi beberapa kata Hokkien: jiek fuen atau hong giam. Betapa istimewa rasanya. Sedangkan dalam berbicara bahasa Belanda jelas terdengar bahwa Ong adalah orang sekolahan, ia pernah duduk di bangku sekolah Belanda. Kefasihannya berbahasa Belanda terdengar dari seringnya dia gunakan peribahasa dan perumpanaan (uitdrukkingen) dan tata bahasanya juga sempurna, walau pun kosakatanya agak ketinggalan zaman (karena tidak hidup di Belanda). Berbeda sekali dengan saya yang hanya memperoleh pelajaran bahasa Belanda di rumah, dari kakek dan nenek.

Walau sudah lulus HBS, sekolah menengah Belanda, di Surabaya pada 1953, David Reeve dalam biografi ini mencatat bahwa Onghokham mengulang lagi kelas terakhir SMA di Bandung untuk belajar bahasa Indonesia. Maklum di sekolah Belanda, Ong tidak belajar bahasa Indonesia. Dia fasih bahasa Belanda, Jerman, Prancis dan Inggris, tapi tidak bisa berbahasa Indonesia. Pantas saja kalau redaksi mingguan Star Weekly sampai menyebut bahwa dalam menulis Ong tetap berpikir dalam bahasa Belanda, karena walau pun tertera dalam bahasa Indonesia, tulisannya sulit dipahami, mereka harus sering melakukan perombakan bahasa/susunan kata.[50] Walau demikian, kenyataan bahwa dia sampai mengulang lagi kelas terakhir SMA, bagi Reeve, berarti bahwa Onghokham telah memilih Indonesia, tidak memilih Belanda, seperti tidak sedikit keturunan Tionghwa lain, termasuk beberapa sanak Ong yang pindah ke Belanda. Selain itu, pengulangan SMA ini juga berarti bahwa menjadi Indonesia bagi Ong dan keluarganya merupakan keputusan serius yang telah mereka pertimbangkan matang-matang.[51] Bukan hanya kali ini Ong memilih Indonesia. Sesudah meraih gelar doktor dalam ilmu sejarah pada Universitas Yale, dia juga memilih hwee cia (pulang) ke Jakarta. Walau punya kesempatan, tidak ditempuhnya karier sebagai akademikus di Amerika. Itulah untuk kedua kalinya Ong memilih Indonesia, demikian David Reeve.[52]

Dalam biografi ini David Reeve tidak hanya menampilkan Onghokham pada puncak kariernya sebagai sejarawan celebrity[50] yang diramaikan dalam pemberitaan pers. Sebelum itu, Reeve juga menulis betapa Onghokham sempat menjadi korban yang sampai dua kali mengalami penahanan, dan karena itu terguncang oleh gangguan kejiwaan. Sesungguhnya, dalam menampilkan Onghokham sebagai korban rezim Orde Baru, masih perlu diungkap juga siapa sebenarnya otak yang bertanggung jawab terhadap penahanannya! Apakah itu si diktator sendiri? Atau orang lain di bawahnya? Bagaimana pula rantai komandonya? Sejarah seperti inilah yang masih perlu diteliti dan dibuka selebar-lebarnya. Dengan begitu akan menjadi jelas bahwa memang sudah sejak awal kekuasaannya, rezim kanan tangan besi ini bertindak semena-mena.***


Joss Wibisono adalah sejarawan lulusan Kajian Holocaust dan Genosida Universiteit van Amsterdam


Catatan Akhir

[1] Onghokham, “Tentang Nama-nama Warga Negara Indonesia Keturunan Tionghwa,” dalam Riwayat Tionghwa Peranakan di Jawa, (Depok: Komunitas Bambu, 2005), halaman 135-149.

[2] David Reeve, To Remain Myself: The History of Onghokham, (Singapura: NUS Press, 2022), halaman 14.

[3] David Reeve, To Remain Myself), halaman 103.

[4] Mely G. Tan, “Onghokham: seorang yang lain dari yang lain”, dalam David Reeve, JJ Rizal, Wasmi Alhaziri, (editor), Onze Ong: Onghokham dalam kenangan, (Depok: Komunitas Bambu, 2007), halaman 238.

[5] David Reeve, To Remain Myself, halaman 104-105.

[6] David Reeve, To Remain Myself, halaman 88.

[7] David Reeve, To Remain Myself, halaman 254.

[8] David Reeve, To Remain Myself, halaman 106.

[9] Paoke Hudyana, “Onghokham dalam kenangan keluarga,” dalam David Reeve, JJ Rizal, Warmi Alhaziri, (editor), Onze Ong: Onghokham dalam kenangan, (Depok: Komunitas Bambu, 2007), halaman 266.

[10] David Reeve, To Remain Myself, halaman 113.

[11] David Reeve, To Remain Myself, halaman 134.

[12] Benedict Anderson, “Onghokham Muda”, dalam David Reeve, JJ Rizal, Wasmi Alhaziri, editor, Onze Ong: Onghokham dalam kenangan, (Depok: Komunitas Bambu, 2007), halaman 58.

[13] David Reeve, To Remain Myself, halaman 139.

[14] David Reeve, To Remain Myself, halaman 142.

[15] Onghokham, Sapta Marga berkumandang di Sumatra: Operasi2 Menumpas Pemberontakan “P.R.R.I”, (Djakarta: Mega Bookstore dalam kerdjasama dengan Pusat Sedjarah Angkatan Bersendjata, 1965), halaman 3.

[16] David Reeve, To Remain Myself, halaman 142.

[17] Ariwiadi, Gerakan Operasi Militer VII, Penjelesaian Peristiwa Atjeh, (Djakarta: Mega bookstore dalam kerdjasama dengan Pusat sedjarah Angkatan Darat, S.A.B. tanpa tahun).

[18] David Reeve, To Remain Myself, halaman 142.

[19] David Reeve, To Remain Myself, halaman 155.

[20] David Reeve, JJ Rizal, Wasmi Alhaziri (penyunting), Onze Ong: Onghokham dalam Kenangan, (Depok: Komunitas Bambu dan Panitia 100 hari Onghokham, 2007).

[21] Douglas Kammen, “World Turned Upside Down: Benedict Anderson, Ruth McVey and the ‘Cornell Paper’”, dalam Indonesia 104 (Oktober 2017, halaman 1-26).

[22] Onghokham, “Statement of Onghokham, Djakarta September 4, 1967, Introduction by Ruth McVey”, Indonesia 85 (April 2008, halaman 126).

[23] David Reeve, To Remain Myself, halaman 160.

[24] David Reeve, To Remain Myself, halaman 158-159.

[25] David Reeve, To Remain Myself, halaman 165.

[26] Jess Melvin, The Army and the Indonesian Genocide, Mechanics of Mass Murder, (London: Routledge, 2018), terutama Bab 3, “The order to annihilate 1-6 October”, halaman 110-137.

[27] Jess Melvin, The Army and the Indonesian Genocide, halaman 1.

[28] David Reeve, To Remain Myself, halaman 166.

[29] Benedict Anderson, “Onghokham Muda”, dalam David Reeve, JJ Rizal, Wasmi Alhaziri, editor, Onze Ong: Onghokham dalam kenangan, (Depok: Komunitas Bambu, 2007), halaman 59.

[30] David Reeve, To Remain Myself, halaman 168.

[31] David Reeve, To Remain Myself, halaman 215.

[32] David Reeve, To Remain Myself, halaman 177.

[33] David Reeve, To Remain Myself, halaman 176.

[34] David Reeve, To Remain Myself, halaman 252.

[35] David Reeve, To Remain Myself, halaman 178.

[36] David Reeve, To Remain Myself, halaman 205.

[37] Ruth McVey, “Onghokham: Bhinneka Tunggal Ika”, dalam David Reeve, JJ Rizal, Wasmi Alhaziri, editor, Onze Ong: Onghokham dalam kenangan, (Depok: Komunitas Bambu, 2007), halaman 289.

[38] David Reeve, To Remain Myself, halaman 205.

[39] David Reeve, To Remain Myself, halaman 198.

[40]“’Prabu’ Soeharto dan Tradisi Monarki Jawa”, Kompas, 5 Juni 1998, halaman 4.

[41] Onghhokham, Dari Soal Priyayi sampai Nyi Blorong, (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2002), halaman xxiv.

[42] David Reeve, To Remain Myself, halaman 266.

[43] David Reeve, To Remain Myself, halaman 262-263.

[44] David Reeve, To Remain Myself, halaman 119.

[45] David Reeve, To Remain Myself, halaman 134.

[46] David Reeve, To Remain Myself, halaman 138.

[47] David Reeve, To Remain Myself, halaman 234.

[48] David Reeve, “Onghokham and Tuyul”, dalam dalam David Reeve, JJ Rizal, Wasmi Alhaziri, editor, Onze Ong: Onghokham dalam kenangan, (Depok: Komunitas Bambu, 2007), halaman 95-101.

[49] David Reeve, To Remain Myself, halaman 245.

[50] David Reeve, To Remain Myself, halaman 98.

[51] David Reeve, To Remain Myself, halaman 71-74.

[52] David Reeve, To Remain Myself, halaman 71-74.


Kepustakaan

Anderson, Benedict. (2007). “Onghokham Muda”, dalam David Reeve, JJ Rizal, Wasmi Alhaziri, (editor), Onze Ong: Onghokham dalam kenangan. Depok: Komunitas Bambu.

Ariwiadi, Gerakan Operasi Militer VII, Penjelesaian Peristiwa Atjeh. Djakarta: Mega bookstore dalam kerdjasama dengan Pusat sedjarah Angkatan Darat, S.A.B.

Hudyana, Paoke. (2007). “Onghokham dalam kenangan keluarga,” dalam David Reeve, JJ Rizal, Warmi Alhaziri, (editor), Onze Ong: Onghokham dalam kenangan. Depok: Komunitas Bambu dan Panitia 100 hari Onghokham.

Kammen, Douglas. (2017). “World Turned Upside Down: Benedict Anderson, Ruth McVey and the ‘Cornell Paper’”, dalam Indonesia 104. Oktober 2017, hal.  1-26.

McVey, Ruth. (2007). “Onghokham: Bhinneka Tunggal Ika”, dalam David Reeve, JJ Rizal, Wasmi Alhaziri (editor), Onze Ong: Onghokham dalam kenangan. Depok: Komunitas Bambu.

Melvin, Jess. (2018). The Army and the Indonesian Genocide, Mechanics of Mass Murder. London: Routledge.

Onghokham. (1965). Sapta Marga Berkumandang di Sumatra: Operasi2 Menumpas Pemberontakan “P.R.R.I”. Djakarta: Mega Bookstore dalam kerdjasama dengan Pusat Sedjarah Angkatan Bersendjata.

Onghokham. (2002). “’Prabu’ Soeharto dan Tradisi Monarki Jawa”, dalam Dari Soal Priyayi sampai Nyi Blorong. Jakarta: Penerbit Buku Kompas, hal. 215-219.

Onghokham. (2002). Dari Soal Priyayi sampai Nyi Blorong. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.

Onghokham. (2005). “Warga Negara Filipina yang Mempunyai Darah Tionghwa”, dalam Riwayat Tionghwa Peranakan di Jawa. Depok: Komunitas Bambu, 2005, hal. 119-125.

Onghokham. (2005). “Tentang Nama-nama Warga Negara Indonesia Keturunan Tionghwa,” dalam Riwayat Tionghwa Peranakan di Jawa. Depok: Komunitas Bambu, hal. 135-149.

Onghokham. (2008). “Statement of Onghokham, Djakarta September 4, 1967, Introduction by Ruth McVey”, Indonesia 85 (April 2008, hal. 125-136).

Reeve, David., Rizal, JJ. Alhaziri, Wasmi (editor). (2007). Onze Ong: Onghokham dalam Kenangan. Depok: Komunitas Bambu dan Panitia 100 hari Onghokham.

Reeve, David. (2007). “Onghokham and Tuyul”, dalam dalam David Reeve, JJ Rizal, Wasmi Alhaziri, editor, Onze Ong: Onghokham dalam kenangan. Depok: Komunitas Bambu, hal. 95-101.

Reeve, David. (2022). To Remain Myself, The History of Onghokham. Singapura: NUS Press.

Hudyana, Paoke. (2007). “Onghokham dalam kenangan keluarga,” dalam David Reeve, JJ Rizal, Warmi Alhaziri, (editor), Onze Ong: Onghokham dalam kenangan. Depok: Komunitas Bambu dan Panitia 100 hari Onghokham.

 

]]>
Komunisme Indonesia: Jalan Parlementer yang Sarat Marabahaya https://indoprogress.com/2021/10/komunisme-indonesia-jalan-parlementer-yang-sarat-marabahaya/ Wed, 27 Oct 2021 09:53:50 +0000 https://indoprogress.com/?p=236330

Ilustrasi: Illustruth


KETIKA D.N. Aidit, yang saat itu baru berusia 27 tahun, mengambil alih kepemimpinan Partai Komunis Indonesia (PKI) pada Januari 1951, partai ini adalah organisasi semi-klandestin. Negara Republik Indonesia, yang baru saja merebut kemerdekaannya dari penguasa kolonial Belanda dua tahun sebelumnya, berada di bawah kendali kekuatan-kekuatan anti-komunis. Presiden dan wakil presiden dari republik baru itu, Sukarno dan Mohammad Hatta, telah memerintahkan represi brutal terhadap PKI pada 1948, di tengah perang melawan Belanda, dan terus melihat PKI sebagai musuh berbahaya di dalam negeri. Berbagai pertemuan Komite Sentral PKI, seperti salah satu yang memilih D.N. Aidit sebagai Ketua, diselenggarakan di tempat-tempat rahasia, dan para pesertanya senantiasa harus bersiaga untuk menghindari pembuntutan dari aparat keamanan negara.

Seandainya Aidit memilih jalan perjuangan bersenjata melawan Republik Indonesia, pilihan itu akan dapat dimaklumi. Beberapa anggota partai yang ikut berperang melawan Belanda dari 1945 hingga 1949 masih memegang senjata. Tetapi, ternyata Aidit tidak mendukung perjuangan bersenjata. Dia bahkan tidak mendukung perjuangan bersenjata setelah terjadi Razia Agustus pada 1951 ketika pemerintah Sukiman menyerang PKI lagi dan menangkap sekitar 2000 anggotanya. Penolakannya terhadap perjuangan bersenjata merupakan hal yang ganjil di wilayah Asia Tenggara; setiap partai komunis di wilayah itu –di Birma, Malaysia, Filipina, dan Vietnam– terlibat dalam perang gerilya di akhir 1940-an dan awal 1950-an. Sungguh mengagumkan bahwa Aidit dan sejawat pimpinan partainya—yang tertua berusia tiga puluh tahun—merumuskan visi strategis PKI yang berbeda.  Mereka tidak membabi buta mengikuti tradisi partai sebelumnya atau meniru garis partai-partai komunis lain.

Artikel ini memeriksa asal-usul strategi legal parlementer PKI di awal 1950-an, keberhasilan spektakuler strategi tersebut selama 1950-an dan awal 1960-an, dan kehancuran pamungkasnya dalam kekerasan mengerikan pada 1965-66 ketika ratusan ribu anggota PKI yang tidak bersenjata dibantai oleh tentara Indonesia. PKI memiliki lintasan unik di antara partai-partai komunis lain di paruh kedua abad ke-20. Partai ini mendekati puncak kekuasaan negara melalui perjuangan ‘atas-tanah,’ lalu tumbuh menjadi partai komunis terbesar di dunia di luar Uni Soviet dan Repubik Rakyat Tiongkok (RRT), dan akhirnya begitu cepat runtuh. Setiap aspek dari lintasan ini penuh teka-teki. Pertanyaan paling awal, mengapa PKI mengadopsi strategi legal parlementer? Bagaimana PKI berencana membangun pertahanan dirinya? Mengapa begitu banyak orang Indonesia yang tertarik pada partai ini? Bagaimana para aktivis partai mengadaptasi Marxisme-Leninisme dan paradigma Revolusi Rusia dan Tiongkok sehingga gagasan-gagasan tersebut masuk akal bagi orang Indonesia biasa? Pengaruh apa yang dimiliki Uni Soviet dan RRT terhadap PKI? Bagaimana organisasi sebesar PKI dengan jutaan pendukung bisa dihancurkan dengan begitu cepat dan menyeluruh, tanpa perlawanan yang berarti? Apakah para pemimpin PKI tidak memahami kerentanan partai dan menyiapkan cara untuk melindunginya dari serangan? Apakah pembantaian itu bukti bahwa strategi legal, parlementer itu keliru, bahwa keberhasilan mobilisasi massa selama empat belas tahun itu ilusi? Ataukah, pembantaian itu bukti bahwa implementasi strategi legalparlementer khas Aidit itu keliru?

Literatur ilmiah tentang PKI, yang sebagian besar didasarkan pada publikasi partai, sangat baik mendokumentasikan wajah publik PKI. Lika-liku garis partai dicatat dengan cermat. Akan tetapi, literatur-literatur ilmiah itu kurang tajam dan mendalam dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan dengan sisi partai yang tidak tercatat –seperti motivasi para anggota biasa [rank and file] partai—dan sisi klandestin partai—seperti kesepakatan-kesepakatan rahasia dengan perwira-perwira militer. Peneliti menemui kesulitan untuk mempelajari sisi-sisi partai yang tidak tercatat ini mengingat tentara membunuh begitu banyak pemimpin partai pada 1965-66 dan terus meneror para penyintas hingga hari ini. Banyak mantan anggota partai merasa sedikit lebih bebas untuk membahas sejarah PKI sejak jatuhnya kediktatoran Soeharto pada 1998, tetapi mereka tetap enggan untuk menceritakan kegiatan politik mereka sebelum 1965. Dengan munculnya sumber-sumber baru belakangan ini dalam bentuk sejarah lisan, memoar, dan dokumen-dokumen yang baru dideklasifikasi dari Uni Soviet dan Tiongkok, maka para peneliti sekarang berada dalam posisi yang lebih baik untuk mengulas kembali sejarah dari partai ini.


Asal Usul Strategi “Jalan Baru”

PKI didirikan di Jakarta (dulu disebut Batavia) pada Mei 1920 sebagai partai komunis pertama di Asia. Para pendirinya, yang sebagian besar adalah warga negara Belanda yang tinggal di koloni dan orang-orang Jawa yang berpendidikan Belanda, telah aktif dalam gerakan serikat buruh dan berkampanye untuk menjadikan negara kolonial lebih demokratis. Mereka berhubungan dengan partai-partai sosial demokrat Eropa sepanjang dekade 1910-an dan memutuskan untuk berafiliasi dengan Komintern karena persepsi mereka tentang Revolusi Rusia sebagai paradigma baru yang lebih efektif untuk mendapatkan kekuasaan negara.[1] Dengan mengorganisir sebuah blok di dalam Sarekat Islam pada awal 1920-an, PKI mampu merekrut banyak anggota baru, termasuk orang-orang Muslim yang taat. Beberapa penyelenggara kunci partai menganggap Islam sebagai bentuk komunisme, sebagai agama kaum tertindas yang memerangi kapitalisme.[2]Delegasi PKI ke Komintern, seperti Tan Malaka, menentang adopsi kebijakan antagonis terhadap pan-Islamisme. Sukarno, yang kemudian menjadi presiden pertama Indonesia (1945-66), memulai karir politiknya pada 1920-an dengan mengusulkan modus vivendi antara komunisme dan Islam. Pemimpin nasionalis berjiwa muda ini, ketika mencoba menyatukan semua kecenderungan anti-kolonial, menulis buku kecil bertajuk Nationalisme, Islamisme and Marxisme(1926).[3]

Para pejabat tinggi negara Hindia Belanda memberikan kebebasan yang lebih besar bagi “penduduk asli” (inlander) setelah Perang Dunia I dengan harapan dapat mengkooptasi mereka. Ketika mereka melihat PKI menyerukan revolusi dan mengatur serangkaian pemogokan, mereka memutuskan untuk menumpas PKI pada 1925. Para pimpinan PKI, tawanan dari paradigma Revolusi Rusia, tidak melihat cara lain untuk merespon hal itu selain dengan pemberontakan. Komintern mendesak PKI untuk tidak memberontak tetapi pesan dari Moskow ini terlambat datang. Pemberontakan mulai pada November 1926. Kerumunan orang di berbagai kota di Jawa dan Sumatera mengepung kantor polisi dan kantor-kantor pemerintah. Cendekiawan Islam memainkan peran kunci dengan memobilisasi pengikut mereka.[4] Namun, krena tidak memiliki senjata dan orang dalam jumlah besar, para pemberontak  dengan cepat dikalahkan. Negara kolonial menangkap sekitar 18.000 tersangka anggota PKI dan mengasingkan 1.300 di antaranya ke sebuah kamp konsentrasi, yang disebut Boven Digul, di tengah hutan di pulau Papua. Namun, dari kekalahan ini, muncul semacam kemenangan. Kaum komunis menjadi pahlawan nasional berkat serangan mereka terhadap negara kolonial dan keteguhan mereka menghadapi represi. Tulisan-tulisan mereka dari Boven Digul, dengan cerita tentang upaya melarikan diri dan petualangan bertahan hidup di hutan, menjadi buku terlaris di Jawa.[5] Meski kaum komunis tidak dapat berorganisasi pada masa 1930-an—mereka berada di penjara, di persembunyian atau di pengasingan—mereka mendapatkan reputasi sebagai patriot yang rela berkorban. Belanda juga menangkapi tokoh-tokoh nonkomunis. Bahkan, tokoh nasionalis konservatif seperti Hatta pun turut dibuang ke Boven Digul.

Anggota-anggota PKI yang selamat dari kejaran pemerintah kolonial Belanda mengalami penindasan yang lebih hebat selama pendudukan Jepang dari awal 1942 hingga Agustus 1945. Mengingat kuatnya paham anti-fasisme dalam gerakan komunis internasional, perwira militer Jepang di Indonesia mengutamakan  perburuan terhadap kaum komunis.[6]Tahanan Boven Digul yang tersisa—sekitar 300 di antaranya—berada dalam keadaan aman di luar jangkauan Jepang; mereka dievakuasi ke Australia pada 1943. Namun, anggota-anggota PKI yang masih di Indonesia berjuang agar tidak ditangkap oleh polisi rahasia Jepang. Perpecahan antara komunis dan nonkomunis melebar karena banyak di antara mereka dari golongan yang terakhir, seperti Soekarno dan Hatta, menjadi kolaborator.

Kaum komunis baru dapat kembali berkumpul usai Jepang kalah perang. Setelah Soekarno dan Hatta memproklamasikan kemerdekaan Republik Indonesia pada 17 Agustus 1945, kaum komunis Indonesia yang tersebar di seluruh dunia bergerak ke Jakarta. Para “Digulis” tiba dari Australia dan orang-orang buangan datang dari Eropa. Mereka yang pernah bersembunyi atau di penjara di Indonesia muncul kembali untuk rapat-rapat partai. Oleh karena adanya kekhawatiran akan diserang oleh kekuatan sayap kanan, mereka menolak untuk lekas bekerja secara terbuka. Akibatnya, PKI tidak menjadi satu partai tunggal yang bersatu selama tahun-tahun gerakan nasionalis berkembang pesat. Setelah menghabiskan dua puluh tahun sebelumnya dalam sebuah organisasi ilegal, kaum komunis memiliki kebiasaan menyamar sebagai nonkomunis. Pendukung-pendukung PKI sangat terlibat dalam pengorganisasian serikat buruh, paguyuban petani, kelompok pemuda dan milisi bersenjata dalam perjuangan melawan kampanye rekolonisasi Belanda di paruh kedua 1940-an. Akan tetapi, PKI lebih merupakan jaringan informal yang terpecah-pecah ketimbang partai yang bersatu.[7]

Guna mengonsolidasikan faksi-faksi yang berbeda, Musso, yang memimpin partai pada 1920an, kembali dari Uni Soviet pada Agustus 1948 dengan membawa program yang disebutnya “Jalan Baru.” Tujuannya adalah untuk mengungkap keberadaan PKI secara terbuka dan merebut kendali  gerakan nasionalis dari para politisi “borjuis” seperti Sukarno dan Hatta. Ketidakberuntungan menimpa Musso dalam upayanya melakukan reorganisasi ini karena ketegangan antara kelompok sayap kiri dan sayap kanan di Jawa mencapai titik puncaknya. Kelompok kiri sedang mengorganisir milisi dan prajurit yang menentang keputusan Hatta untuk mengurangi jumlah pasukan republik. Serikat buruh-serikat buruh yang dipimpin PKI mengorganisir pemogokan skala besar di pabrik-pabrik milik republik. Sukarno dan Hatta, yang memandang golongan komunis sebagai pengkhianat, memutuskan pada September 1948 untuk menggunakan pemberontakan di kota di Jawa Timur, Madiun, sebagai alasan untuk menumpas mereka. Beberapa milisi dan unit militer melawan, tetapi PKI tidak siap dengan serangan tersebut. Ribuan pendukung PKI dibunuh dan ditangkap. Sebagian besar pimpinan tertinggi PKI ditangkap tanpa perlawanan, walaupun Musso, yang menyandang revolver, akhirnya tewas setelah baku tembak panjang dengan kekuatan polisi bersenjata lengkap.[8] Komandan militer republik mengeksekusi kilat sebelas pemimpin PKI pada Desember.[9]

Para penulis anti-komunis mengembangkan mitos yang rumit tentang pemberontakan Madiun sebagai “tikaman di belakang.”[10] Dalam buku pelajaran sejarah yang masih digunakan sampai sekarang di Indonesia, PKI dianggap sebagai agresor dan republik sebagai korban yang malang dan lugu. Menurut alur cerita ini, PKI bertindak atas perintah langsung dari Moskow, yang sesuai dengan garis “dua kubu” Andrei Zdhanov, menganjurkan pemberontakan melawan negara-negara kapitalis di seluruh dunia. Masa dimana terjadi pemberontakan-pemberontakan komunis di India, Burma, Filipina, dan Indonesia pada 1948 membuat beberapa analis menyimpulkan bahwa rangkaian pemberontakan itu adalah hasil dari konspirasi Soviet. Ruth McVey membantah teori konspirasi ini bertahun-tahun lalu dan penelitian yang lebih baru telah mengkonfirmasi analisisnya.[11] Peneliti Rusia, Larissa Efimova, bekerja dengan dokumen Soviet yang baru dideklasifikasi, menyimpulkan bahwa Musso sendiri yang merumuskan strategi Jalan Baru selama paruh pertama 1948 berdasarkan diskusi dan korespondensi dengan partai-partai komunis Tiongkok dan Belanda, bukan hanya dengan Comintern.[12] Strategi Musso memang strateginya sendiri.

Ironisnya, Republik Indonesia berhasil merebut kembali kemerdekaannya pada 1949 karena perang melawan PKI. Angkatan bersenjata republik tidak dapat mengusir Belanda, meskipun memiliki keunggulan jumlah manusia yang luar biasa. Namun, dengan menyerang PKI, Sukarno dan Hatta telah membuktikan bobot sikap anti-komunis mereka di hadapan para pejabat AS, yang sebagian masih meragukan kebijaksanaan mendanai kampanye rekolonisasi Belanda. Tepat pada saat Belanda sedang memenangkan pertempuran militer yang menentukan, Amerika memaksa mereka untuk mengalihkan kekuasaan kepada kaum nasionalis Indonesia.[13]

Setelah penarikan pasukan Belanda pada Desember 1949, kaum komunis, yang banyak bergerak di ‘bawah-tanah’, mulai muncul kembali dan mengatur ulang partai. Tak ada Musso baru yang datang dari luar negeri dengan program yang bisa menyatukan faksi-faksi yang berbeda. Sebaliknya, peran pemersatu kali ini dimainkan oleh sekelompok pemuda yang bergabung dengan partai pada 1940-an dan tidak ada hubungannya dengan perseteruan internal yang terjadi sejak 1920-an. Berbekal pengalaman politik mereka selama perjuangan anti-kolonial dari 1945 hingga 1949, yang kemudian dikenal sebagai “Revolusi Indonesia,” mereka mampu menghubungkan partai dengan generasi baru golongan nasionalis. Pemuda memainkan peran besar dalam Revolusi Indonesia.[14] Agar PKI tetap relevan dalam politik nasional, ia harus dipimpin oleh pemuda dari “angkatan 1945.” Sebagai produk dari kebangkitan massal sedemikian banyak kelompok sosial yang berbeda, para pemuda ini, tidak seperti pejuang-pejuang komunis 1920-an, melihat tidak perlu mengawinkan komunisme dengan Islam dan tidak perlu menyembunyikan identitas mereka sebagai komunis.

Kelompok inti yang menguasai partai selama 1950 terdiri atas D.N. Aidit, Lukman, Njoto, dan Sudisman. Dengan keterampilan yang beragam, mereka menjadi tim yang luar biasa efektif. Aidit, sebagai aktivis mahasiswa di Jakarta yang terkait dengan Asrama Indonesia Merdeka di Menteng 31, telah bekerja sama dengan para pemimpin nasionalis sejak 1945. Ia dikenal sebagai seorang yang cepat belajar dan ahli strategi brilian, yang telah mengabdikan dirinya pada politik nasionalis. Dua nama pertamanya—Dipa Nusantara (Benteng Nusantara)—adalah nama yang ia sematkan sendiri, dengan harapan akan kejayaan, seperti Nguyen Sinh Cung yang menamakan dirinya Ho Chi Minh (“Ho, Yang Maha Tercerahkan”). Lukman, yang tertua di antara mereka, berusia tiga puluh tahun, memberikan sedikit kesinambungan dengan generasi komunis 1920-an; sebagai putra seorang pemimpin PKI (yang juga seorang Muslim yang taat), ia menghabiskan sebagian masa kecilnya di kamp penjara Boven Digul. Njoto adalah yang paling cerdas dan kutu buku di kelompok ini. Dia seorang musisi berbakat alami dan penulis piawai yang menghargai seni rupa dan sastra. Sementara itu, Sudisman adalah pemimpin Pemuda Sosialis (Pesindo), salah satu kelompok pemuda terpenting dalam Revolusi Indonesia. Dengan pengendalian diri yang sempurna dan sikap bermartabat, ia menjadi sekretaris jenderal partai, untuk menangani masalah personalia partai. Kekompakan tim ini adalah salah satu alasan mengapa partai tidak mengalami perpecahan dari 1950 hingga 1965.

Aidit dan kamerad-kamerad terdekatnya, yaitu para pemimpin PKI yang terpilih pada Januari 1951, dengan keras menentang para anggota PKI yang menganjurkan perjuangan bersenjata sebagaimana diambil kaum komunis Tiongkok. Mereka berargumen bahwa Indonesia sebagai negara kepulauan tidak menawarkan tempat yang bisa menjadi zona pembebasan. Tempat mana pun yang akan digunakan untuk memusatkan angkatan bersenjata PKI dapat dengan mudah diisolasi dan dikepung. Tidak ada pangkalan belakang, seperti Yan’an di Tiongkok atau Viet Bac di Vietnam, yang berbatasan dengan negara tetangga dari mana PKI dapat memperoleh pasokan. Selain itu, sebagian besar pendukung PKI berada di pulau Jawa, di mana tidak ada dataran tinggi atau kawasan hutan yang luas.

Bagi kepemimpinan baru di bawah Aidit, tidak mungkin meniru Revolusi Tiongkok, sama seperti mustahil kembali ke paradigma Bolshevik di balik pemberontakan perkotaan 1926-27. PKI harus menempa jalannya sendiri. Aidit yakin bahwa strategi legal parlementer dapat dijalankan di Indonesia merdeka dalam kerangka demokrasi konstitusional. Sukarno dan Hatta, di tengah-tengah penindasan terhadap PKI pasca-Madiun, tidak melarang PKI dan konstitusi baru negara Indonesia mempersulit mereka untuk melarang partai politik apa pun. Di mata para veteran PKI, yang hanya mengenal pembuangan, pemenjaraan, dan hukuman mati selama dua puluh lima tahun sebelumnya, serta baru saja mengalami serangan teror lagi, kelompok Aidit telah mengusulkan lompatan ke wilayah yang belum pernah dipetakan. Tapi, Indonesia adalah negara-bangsa baru yang menawarkan tanda-tanda harapan.

Di parlemen awal 1950-an, dengan konstelasi partai politik yang rumit, PKI menemukan sekutu pada Partai Nasionalis Indonesia (PNI) yang terkait dengan Sukarno. PNI butuh dukungan PKI untuk melawan partai Muslim sayap kanan, Masyumi. Ketika Perdana Menteri Masyumi, Sukiman, memerintahkan penangkapan massal anggota PKI pada Agustus 1951, Aidit menggalang bantuan dari partai-partai lain. Sekitar 2.000 anggota yang telah ditangkap dibebaskan tanpa dakwaan dalam beberapa bulan. Di masa pascakolonial media massa dengan lebih bebas mengungkapkan alasan penangkapan itu curang.[15] Penindasan terhadap PKI tidak akan semudah yang terjadi pada tahun-tahun penjajahan Belanda dan pendudukan Jepang.


Pertumbuhan PKI dan Ormas-ormasnya

Ketika membangun kembali partai sesuai program Jalan Baru Musso pada awal 1950-an, kepemimpinan empat sekawan berjiwa muda di Politbiro berkomitmen pada gagasan menjadikan PKI sebagai pusat “front nasional.” Partai akan bersekutu dengan berbagai macam kelas, termasuk “borjuasi nasional” (sebagai lawan dari “borjuasi komprador”), untuk melanjutkan perjuangan melawan warisan kekuasaan imperium Belanda—misalnya utang najis berjumlah sangat besar yang ditimpakan Belanda ke Indonesia sebagai prasyarat kemerdekaan—dan menguatnya pengaruh Amerika Serikat. PKI, yang memandang Indonesia sebagai negeri “semi kolonial dan semi feodal,” menetapkan tugas mendesaknya untuk menjadi pembela demokrasi elektoral dan hak-hak demokratik.[16]

PKI menghadapi dilema saat ingin memperluas keanggotaannya. Ia menginginkan pertumbuhan yang cepat tetapi tidak ingin melonggarkan proses seleksi ketat keanggotaannya. Jika PKI cepat melantik jutaan orang, maka itu berisiko melunturkan kualitas kader partai. Tidak mudah menjadi anggota partai. Seseorang harus membuktikan bahwa dia telah mengorganisir suatu jenis aksi, seperti pemogokan atau demonstrasi. Tetapi, jika PKI mempertahankan kriteria keanggotaan yang ketat, maka pertumbuhan partai akan sangat lambat. Solusi untuk dilema kuantitas-vs-kualitas adalah dengan menciptakan dua tingkatan. Mengikuti program Musso pada 1948, PKI bersekutu dengan berbagai macam “organisasi massa” yang mewakili berbagai sektor masyarakat, seperti buruh, tani, perempuan, mahasiswa, seniman, cendekiawan, dan pemuda.

Hubungan PKI dengan ormas-ormas ini rumit. Hanya satu ormas—Pemuda Rakjat (PR)—yang langsung berada di bawah partai. Sementara itu, ormas-ormas lainnya mempertahankan otonomi yang besar. Partai memastikan bahwa petugas-petugas partai masuk jajaran pimpinan tertinggi ormas dan bahwa resolusi-resolusi yang keluar pada konferensi-konferensi berkala sesuai dengan garis partai. Sementara dalam hal-hal lainnya, partai tidak melakukan intervensi. Memang, agar strategi front nasional partai berjalan efektif, kepemimpinan PKI harus mengizinkan ormas-ormas ini beroperasi sesuai dengan prinsip-prinsip dasar nasionalis yang didukung oleh banyak kekuatan nonkomunis. Organisasi-organisasi ini tidak menuntut kesesuaian ideologis; anggota ormas tidak diharuskan untuk mendukung PKI.

Pada awal 1950-an, alih-alih mendominasi, partai malah menjadi sangat bergantung pada serikat buruh, terutama Serikat Buruh Kereta Api (SBKA), yang merupakan serikat tertua dan terkaya.[17] PKI sudah mengendalikan kepemimpinan serikat ini sejak 1920-an. Aula SBKA, yang dibangun pada awal 1950-an di dekat Stasiun Manggarai di Jakarta, berisi auditorium besar yang berfungsi sebagai tempat untuk segala macam pertemuan kelompok-kelompok kiri, termasuk konferensi PKI, hingga akhirnya disita oleh militer pada akhir 1965. Perluasan keanggotaan partai pada awal 1950-an—dari sekitar 8.000 pada 1951 menjadi 165.000 pada 1954—tampaknya dicapai terutama dengan merekrut orang-orang dari serikat buruh.[18]

Seraya melayani kepentingan para buruh yang terorganisir, para pemimpin PKI menyesali melimpahnya jumlah anggota dari wilayah perkotaan. Bagi Komintern dan PKI, pemberontakan 1926-27 memberikan pelajaran bahwa PKI tidak dapat hanya mengandalkan basis dukungan perkotaan. Pesan dasar Stalin kepada partai di awal 1950-an adalah bahwa pengorganisasian di pedesaan harus diutamakan, mengingat kuatnya karakter pedesaan di Indonesia.[19] Kepemimpinan baru partai di bawah Aidit cukup berhasil memperluas cabang-cabang partai ke pedesaan dengan menggabungkan serikat tani lokal yang ada, biasanya dikendalikan oleh aktivis muda dari latar belakang kelas menengah.[20] PKI mengklaim bahwa keanggotaan Barisan Tani Indonesia (BTI) bertambah dari 400.000 pada saat didirikan pada 1953 menjadi 3,5 juta pada 1959. Partai juga berafiliasi dengan serikat buruh perkebunan, Sarbupri, yang tumbuh pesat di daerah pedesaan selama 1950-an. Partai cenderung menaikkan angka-angka itu,  tetapi tanpa ragu lagi memang ada pertumbuhan jumlah anggota yang substansial.

Salah satu alasan PKI dan ormas bisa tumbuh begitu cepat adalah minimnya saingan. Partai politik lainnya didominasi oleh individu kelas menengah dan atas yang tidak nyaman bergaul dengan orang miskin, menempuh perjalanan jauh melalui jalan-jalan tak beraspal, dan bertahan dalam kondisi permukiman kumuh yang tidak higienis. Aktivis PKI, bahkan yang berlatar belakang kelas menengah pun dituntut memiliki etos pengorbanan diri. Para aktivis hidup di antara buruh dan petani, banyak dari mereka yang buta huruf, sangat membutuhkan suara dalam politik dan dukungan dari organisasi nasional yang kuat, yang dapat membantu mereka dalam perjuangan di tingkat lokal.

Pada pemilihan umum pertama yang diselenggarakan untuk pembentukan parlemen nasional pada 1955, enam juta orang memilih PKI. PKI memenangkan 16 persen suara, hanya enam poin di bawah partai yang memenangkan pluralitas suara, PNI. Partai-partai nonkomunis terkejut, mengingat PKI baru diserang tujuh tahun sebelumnya. Hasil pemilu menjadi bukti di balik layar, kerja tak terungkap yang telah dilakukan aktivis PKI sejak 1920-an di kalangan masyarakat miskin, khususnya di Jawa. Hampir semua (89 persen) suara untuk PKI berasal dari Jawa, dan suara dari luar pulau sebagian besar berasal dari orang Jawa yang tinggal di sana, seperti buruh perkebunan suku Jawa di Sumatera Utara. Dalam pemilihan tingkat kabupaten pada 1957, PKI menempati urutan pertama di banyak kabupaten di Jawa dan memenangkan 1 juta suara lebih banyak daripada yang dimenangkan pada pemilihan umum 1955.

PKI bukanlah partai politik biasa yang mengkampanyekan suara. Institusi ini seperti gerakan keagamaan Calvinis yang membahas etika perilaku sehari-hari. Aktivis-aktivis komunis memasuki komunitas miskin, dimana alkoholisme dan perjudian merajalela di kalangan pria, dan bersikeras untuk mengubah kebiasaan mereka. Literatur ilmiah tentang PKI sebagian besar telah mengabaikan sisi partai yang ini. Bagi banyak orang biasa, aspek yang sangat kuat dari partai adalah ketidaksetujuannya yang ketat terhadap apa yang disebut “Lima M” (Moh Limo) – lima dosa yang dalam bahasa Jawa semuanya dimulai dengan huruf M: Moh Main (perjudian), Moh Ngombe (alkohol), Moh Madat (narkoba), Moh Madon(main perempuan), dan Moh Maling (pencurian). Untuk menjadi anggota partai yang pantas, seseorang bahkan tidak boleh merokok –di negara yang merupakan salah satu penghasil tembakau terbesar di dunia. PKI dan ormas-ormasnya menginginkan buruh dan tani berhemat agar bisa mengurus keluarganya dan tidak terjerumus ke dalam cengkeraman rentenir. Para aktivis memberi contoh dengan hidup sederhana.[21]

Partai ini juga menarik bagi komunitas miskin karena penekanannya pada pendidikan. Partai dan ormasnya mengadakan kursus untuk mengajari mereka yang buta huruf membaca. Mereka memelihara berbagai macam sekolah khusus. Mereka yang memperoleh pendidikan merasa berhutang budi dan banyak yang menjadi pendukung setia partai. PKI menjalankan Universitas Rakyat (Universitas Rakjat), yang tidak terlalu mirip universitas alih-alih berupa serangkaian kelas malam yang diadakan di kantor-kantor PKI di seluruh negeri. Untuk aktivis berpengalaman, partai menjalankan institutnya sendiri untuk mempelajari Marxisme-Leninisme, Akademi Ilmu Sosial Ali Archam, mewarisi nama seorang pemimpin PKI 1920-an yang meninggal karena malaria di Boven Digul. Oleh karena pemerintah menginvestasikan banyak uang untuk pendidikan pada 1950-an, partai melatih banyak orang dari lingkungan miskin di Jawa untuk menjadi guru sekolah. Banyak dari guru baru ini menjadi pendukung partai komunis.[22]

Beberapa orang dari latar belakang yang berprivilese juga tertarik ke PKI. Partai memberi mereka kesempatan untuk lebih mengenal kehidupan sesama orang Indonesia. Hidup di negara-bangsa baru yang semua warga negaranya memiliki hak sama di depan hukum, membuat mereka merasa arogansi elit tradisional tidak dapat lagi dipertahankan. Marxisme-Leninisme tampak sebagai ilmu yang menyeluruh yang jika dipahami dan diterapkan dengan benar dapat menggiring perjalanan ke masyarakat yang lebih modern dan egaliter.[23]

Organisasi massa partai untuk seniman, Lekra, menarik minat banyak seniman terbaik tanah air, apakah itu pelukis (seperti Hendra Gunawan), penulis (seperti Pramoedya Ananta Toer), atau pembuat film dan dramawan (seperti Bachtiar Siagian dan Utuy Tatang Sontani). Njoto, anggota Politbiro yang juga seorang musisi dan penulis, membantu mendirikan Lekra pada 1950. Ia dihormati oleh banyak seniman karena uluran tangannya membantu para seniman mewujudkan apa yang mereka inginkan, sembari mendorong mereka untuk terinspirasi oleh pengalaman revolusi nasional Indonesia, serta perjuangan buruh dan tani.[24] Seniman-seniman Lekra tidak memproduksi seni propaganda atas perintah Politbiro. Seorang pelukis terkenal, Sudjojono (yang lukisannya saat ini, seperti lukisan Hendra, mendapat harga tinggi di balai lelang Sotheby), mewakili PKI di parlemen. PKI mengizinkan beberapa perilaku yang tidak konvensional di kalangan seniman, tetapi menarik garis tegas ketika Sudjojono berselingkuh dari istrinya, Mia Bustam. Ia diberhentikan dari partai pada 1957.[25]

Selama mengorganisir jutaan orang pada 1950-an dan menyatukan orang-orang dari berbagai kelas, PKI terus-menerus diserang oleh Angkatan Darat, partai-partai politik sayap kanan, dan prema-preman sewaan perusahaan swasta. Beberapa pertemuan dan demonstrasi PKI dibubarkan secara paksa. Korannya, Harian Rakyat, berulang kali dilarang dan aktivisnya ditangkap secara berkala. Ketika menempuh jalur legal parlementer, bagaimana Aidit dan rekan-rekan pimpinannya berharap partai akan mempertahankan dirinya untuk menghadapi tekanan dari kelompok-kelompok elit yang mereka tantang?

Para pemimpin PKI memahami bahwa jumlah anggota yang besar saja tidak akan cukup melindungi mereka. Prinsip panduan mereka adalah apa yang mereka sebut  sebagai “Metode Kombinasi Tiga Bentuk Perjuangan.” Ketiga bentuk perjuangan tersebut adalah: memobilisasi (1) petani di desa, (2) buruh di kota dan (3) prajurit di militer.[26] Poin ketiga adalah poin yang menentukan. Itu adalah “bentuk perjuangan” yang harus disembunyikan. Literatur ilmiah tentang PKI jarang menyebutkannya karena para pemimpin PKI dalam rumusan publiknya jarang menyatakan hal itu.[27] Sejumlah tentara dan anggota milisi menjadi tertarik pada PKI selama perjuangan bersenjata melawan Belanda (1945-49) dan sebagian dari mereka tergabung ke dalam militer setelah kemerdekaan. Sekelompok pendukung PKI yang sangat loyal dan paling andal bergerak secara rahasia untuk memelihara kontak dengan para personel militer ini, dan melapor langsung ke Aidit. Tujuan utamanya adalah untuk berbagi informasi. Partai membantu personel militer dan sebaliknya. Kelompok klandestin ini bukan jaringan yang besar, dan mereka melalui perjuangan berat melawan sosok-sosok anti-komunis yang kuat di antara para perwira tinggi.[28]

PKI sangat mirip dengan Partai Komunis India (CPI), sebuah partai komunis di Asia pascakolonial yang telah berdamai dengan demokrasi elektoral. Tapi, performa PKI lebih baik dibandingkan CPI dalam menantang posisi hegemoni partai nasionalis kelas menengah (yang di India diwakili oleh partai Kongres Nasional India). PKI memiliki pengaruh yang jauh lebih besar di Indonesia daripada CPI di India. CPI tidak pernah memperoleh lebih dari 9 persen suara. Jalan parlementer dan strategi “front nasional” tampaknya sangat cocok dengan kondisi Indonesia. PKI melaporkan bahwa ia memiliki 1,5 juta anggota pada saat Kongres Nasional ke VI pada 1959. Tetapi jalur parlementer PKI tiba-tiba menemui jalan buntu. Presiden Sukarno membubarkan parlemen dan membatalkan pemilihan umum lebih lanjut pada 1959. PKI harus berbenah.


Tawar-menawar Maut (Faustian) PKI dengan Sukarno 1959-1965

Pada 5 Juli 1959, dari tangga istana kepresidenan, Sukarno mengumumkan kematian Dewan Konstituante. Setelah bekerja selama tiga tahun, 550 anggota dewan gagal menyepakati prinsip dasar konstitusi—apakah seharusnya Islam atau Pancasila, “ideologi negara” sekuler yang telah diartikulasikan oleh Sukarno pada 1945? Sukarno melihat kebuntuan ini sebagai gejala kegagalan umum dari apa yang sering dia sebut “liberalisme tarung bebas” [free-fight liberalism]. Antara 1950 dan 1959, telah terjadi delapan kali pergantian perdana menteri dan kabinet di dalam parlemen. Di tengah pertengkaran terus-menerus di antara partai-partai politik di Jakarta muncul pemberontakan para komandan militer di pulau-pulau di luar Jawa yang berharap untuk menciptakan pemerintahan paralel pada 1957-58.

Menghadapi berbagai krisis ini, Sukarno mengambil kekuasaan ekstra-legal pada 1959 dan menerapkan kembali Undang Undang Dasar 1945 yang memungkinkan sistem presidensial. Sukarno memberi dirinya sendiri kewenangan untuk memilih tidak hanya menteri kabinet tetapi juga semua 261 anggota legislatif. Ia memesan sebagian besar kursi parlemen untuk perwakilan dari “kelompok fungsional” (pengusaha, perempuan, pemuda, dll). Peran badan legislatif yang baru, dimana PKI mendapat tiga puluh kursi, adalah untuk mengesahkan semua arahan presiden Sukarno. Nama yang diberikan Sukarno untuk organisasi pemerintahan satu orang ini, “Demokrasi Terpimpin,” menjadi eufemisme terkenal di dunia.

Para pemimpin PKI mendukung Demokrasi Terpimpin. Mereka memutuskan untuk mengorbankan kesuksesannya di wilayah elektoral. Mereka membutuhkan aliansi dengan Sukarno untuk melawan musuh yang lebih berbahaya: korps perwira militer anti-komunis dan partai politik sayap kanan.[29] Pemberontakan-pemberontakan yang didukung Amerika Serikat (AS) pada 1957-58 telah menjadi ancaman serius bagi PKI. Di wilayah-wilayah pemberontakan, anggota PKI dan ormas-ormasnya diteror dan ditangkap secara massal. Dulles bersaudara yang mengarahkan badan intelijen AS, CIA, dan Departemen Luar Negeri di Washington DC untuk mengirim uang dan senjata kepada para pemberontak, berharap menyingkirkan kendali Jawa atas semua pulau terluar. Ini karena imajinasi kelewatan AS yang meyakini bahwa wilayah-wilayah itu telah didominasi oleh PKI setelah Pemilu 1957.[30]

Dengan meninggalkan jalur parlementernya, PKI mendapat imbalan tersendiri. Sukarno, yang sebelas tahun sebelumnya menyerang partai, kini bergantung pada dukungan PKI untuk improvisasi organisasi politik pemerintahannya dan ingin melindungi partai tersebut dari represi tentara. Tentara berusaha mencegah diadakannya Kongres Nasional VI PKI pada 1959, hanya dua bulan setelah deklarasi Demokrasi Terpimpin oleh Sukarno, tetapi harus mengalah di bawah tekanan presiden. Tentara mencoba melancarkan serangan lain pada Juli-Agustus 1960, dan lagi-lagi Sukarno ikut campur. Para pemimpin PKI memahami bahwa partai dapat terus tumbuh di bawah Demokrasi Terpimpin meskipun tidak dapat mengikuti pemilu. Pelarangan Sukarno terhadap Masyumi, partai Islam sayap kanan, pada 1960 menghilangkan hambatan signifikan bagi pertumbuhan PKI.

PKI juga menghargai kenyataan bahwa kebijakan Sukarno hampir tidak bisa dibedakan dari kebijakannya sendiri. “Manifesto Politik” untuk Demokrasi Terpimpin, pidato Sukarno di Hari Kemerdekaan 1959, sesuai dengan program PKI. Sukarno melihat musuh utama bangsa sebagai “Nekolim”—neologisme  ciptaannya yang mewakili neokolonialisme, kolonialisme, dan imperialisme. Ia kembali ke rumusannya pada 1926 (dari bukletnya Nasionalisme, Islam dan Marxisme) dan menyerukan perlunya sebuah negara Indonesia yang berdasarkan kombinasi “nasionalisme, agama, dan komunisme,” trinitas yang kemudian disingkat menjadi Nasakom. PKI, yang anggotanya begitu sering dikecam sebagai pengkhianat oleh partai sayap kanan, merasa terhormat karena diakui sebagai poros esensial dalam nasionalisme Indonesia. Lagu yang paling sering dinyanyikan di acara-acara partai adalah “Nasakom Bersatu.”

Kesulitan terbesar partai adalah menyeimbangkan komitmennya pada strategi front nasional yang lintas kelas dan komitmennya untuk membela pekerja dan petani. Organisasi massa partai untuk petani, BTI, mendorong penduduk desa tak bertanah pada akhir 1963 untuk merebut tanah dan menahan  sewa sesuai dengan Undang-Undang Pokok Agraria dan Peraturan Bagi Hasil 1960. Kampanye tersebut mengintensifkan konflik yang sudah ada di desa-desa. Pimpinan partai khawatir akan pecahnya front nasional di belakang Sukarno dan mundur dari kampanye BTI pada awal 1965.[31]

Strategi PKI untuk bernaung di dalam tubuh militer mendapat sukses besar. Karena PKI secara militan mendukung kampanye-kampanye militer Sukarno (untuk menumpas pemberontakan-pemberontakan daerah yang didukung CIA pada 1957-58; untuk merebut Papua Barat dari Belanda pada 1960-62; untuk menentang pembentukan Malaysia pada 1963-65), anggota-anggotanya berkesempatan untuk bekerja sama dengan personel militer. Para anggota PKI dan ormas-ormasnya berpartisipasi dalam pelatihan militer untuk milisi sukarelawan. PKI melakukan yang terbaik untuk membuktikan kepada para perwira militer bahwa mereka lebih patriotik, dapat diandalkan, dan rela berkorban daripada partai politik lainnya. Partai sangat bangga dengan fakta bahwa Aidit, sebagai menteri dalam kabinet Sukarno dan wakil ketua legislatif (1962-65) memberikan ceramah di depan akademi dari keempat cabang angkatan bersenjata pada tahun 1963 (Angkatan Darat, Angkatan Laut, Angkatan Udara dan polisi).[32]

Sukarno, sementara melindungi PKI, membatasi kekuasaan PKI. Dia tidak pernah menunjuk seorang pun pimpinan PKI ke posisi kabinet yang kuat (seperti menteri dalam negeri). Pos-pos Aidit sebagian besar bersifat seremonial. Sukarno harus menenangkan para jenderal Angkatan Darat yang juga mendukung Demokrasi Terpimpinnya. Para jenderal menyukai pemerintahan satu-orang Sukarno justru karena sistem itu memblokir akses PKI ke kekuasaan negara melalui kotak suara. Para jenderal mengatur badan legislatif untuk menahbiskan Sukarno sebagai “presiden seumur hidup” pada 1963 untuk memastikan bahwa pemilihan umum tidak akan diadakan dalam waktu dekat. Sukarno, yang menjadi tameng bagi PKI dan tentara, memainkan permainan triangulasi yang rumit. Secara penampilan, dia tampak seperti diktator, tetapi pada kenyataannya dia hanyalah penyeimbang dari dua institusi besar, yang keduanya tidak dia kendalikan sepenuhnya.[33]

Sampai awal 1965, para jenderal Angkatan Darat merasa bahwa tindakan penyeimbangan Sukarno gagal; mereka melihat dia condong terlalu jauh ke kiri. Konfrontasi, kampanye melawan Malaysia, berdampak besar bagi ekonomi dan hubungan luar negeri Indonesia. Inggris, yang saat itu menjamin keamanan Malaysia, sedang bersiap-siap berperang dengan Indonesia. Nasionalisasi perusahaan Inggris pada 1963-64 membuat semua perusahaan asing cemas. Hingga 1965 investor internasional memboikot Indonesia. Dalam gelombang pendudukan buruh yang dibenarkan atas nama Konfrontasi, serikat buruh yang berafiliasi dengan PKI mulai mengambil alih banyak perusahaan milik Amerika pada awal 1965. Masa depan perusahaan-perusahaan minyak multinasional di Indonesia, seperti Caltex dan Shell, begitu meragukan.[34]

Selama masa Konfrontasi, Sukarno menjadi lebih dekat dengan RRT, karena RRT penuh antusias mendukung kampanye-kampanye anti-imperialisnya. Sukarno masih terkenal hingga hari ini karena menyelenggarakan Konferensi Asia Afrika pada 1955, yang merupakan benih dari gagasan nonblok Dunia Ketiga. Namun, Sukarno kurang dikenal karena meninggalkan gagasan nonselaras  (non-alignment) di awal 1960-an demi sebuah aliansi internasional yang dia sebut “New Emerging Forces.” Untuk menyaingi Olimpiade, ia menggelar Games of the New Emerging Forces (Ganefo) di Jakarta pada 1963. RRT menyumbangkan sebagian besar dana untuk perhelatan olahraga internasional ini. Untuk menyaingi Perserikatan Bangsa-Bangsa, ia membangun gedung besar di Jakarta yang akan menjadi markas Conference of the New Emerging Forces (Conefo), lagi-lagi dengan dana dari RRT. Mao Zedong dan Zhou Enlai, pada September 1965, bahkan menyatakan kesediaannya untuk membantu Indonesia membangun bom nuklir.[35] Sukarno dalam pidato tahunan Hari Kemerdekaan pada Agustus 1965, menyatakan bahwa hubungan luar negeri Indonesia akan berputar di sekitar ‘poros’ yang menghubungkan Kamboja, Vietnam Utara, RRT, dan Korea Utara (poros Jakarta-Phnom Penh-Hanoi-Peking-Pyongyang).

PKI adalah partai politik yang paling kuat mendukung tantangan Sukarno terhadap tatanan dunia. Alhasil PKI di bawah Demokrasi Terpimpin berkembang menjadi partai terbesar, terkaya, paling terorganisir dengan baik di negeri ini. Aidit mendesak partai dan ormas-ormasnya agar secepat mungkin merekrut anggota baru. Pada 1965 dia membual bahwa mereka memiliki total 27 juta anggota. Jumlah itu sudah pasti digelembungkan, tetapi semua orang melihat bahwa PKI dapat memobilisasi lebih banyak orang untuk demonstrasi dan unjuk rasa daripada partai-partai lainnya. Sukarno sangat menghormati PKI karena kerumunannya. Dia berdiri bersama Aidit di depan kerumunan pendukung PKI di stadion utama Gelora Bung Karno dua kali pada Mei 1965 –sekali untuk rapat umum Hari Buruh Internasional 1 Mei dan sekali untuk ulang tahun partai yang ke 45—dan mengumandangkan kekagumannya yang mendalam terhadap PKI.

Ketika Sukarno menjadi lebih dekat ke RRT, PKI juga mengikutinya. PKI tidak lagi berpura-pura bersikap netral dalam menyikapi perseteruan Sino-Soviet meskipun partai tidak memutuskan hubungan dengan Uni Soviet. Tidak seperti Partai Komunis India, PKI tidak terpecah karena perseteruan Sino-Soviet pada awal 1960-an. Tidak ada pimpinan partai yang mencoba mendirikan organisasi tandingan.

Sejarah resmi PKI yang dihimpun untuk ulang tahunnya yang ke-45 pada Mei 1965 memandang Demokrasi Terpimpin sebagai masa ketika “situasi revolusioner Indonesia menanjak naik.” Partai memandang aliansinya dengan Sukarno sepenuhnya menguntungkan;  “aspek pro-rakyat” dalam kekuasaan negara menjadi lebih kuat daripada “aspek anti-rakyat.”[36] Para pemimpin PKI rupanya melebih-lebihkan kekuatan mereka. Salah satu anggota Central Comite, yang menulis catatan puluhan tahun kemudian dengan pemahaman kilas balik, menyimpulkan bahwa Demokrasi Terpimpin “justru menguntungkan militer.”[37]


Pembantaian 1965-1966

Para pemimpin PKI pada awal 1965 merasakan bahwa sejumlah perwira Angkatan Darat sedang memikirkan kudeta terhadap Sukarno. Banyak pengusaha dan politisi elit diam-diam bertemu dengan perwira-perwira militer. Perdagangan luar negeri telah runtuh dan nilai mata uang jatuh bebas. Sukarno menolak tawaran dari partai-partai nonkomunis untuk membalik arah kebijakannya. Dia malah meningkatkan isolasi bagi Indonesia dengan menarik diri dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di awal Januari 1965 terkait pengakuan PBB atas Malaysia. Dia menantang kekuatan-kekuatan adikuasa dunia, Amerika Serikat dan Inggris, dan negara-negara tetangga di Asia Tenggara. Sukarno memberi judul pidato Hari Kemerdekaan pada Agustus 1964 “Tahun Vivere Pericoloso” [kehidupan yang penuh marabahaya] karena ia tahu bahwa tantangannya terhadap kekuatan yang ia sebut “Old Established Forces” (Oldefo) sangat berisiko.

PKI terjebak pada awal 1965: ia tidak berpeluang untuk meraih kekuasaan negara melalui pemungutan suara –tidak ada penyelenggaraan pemilihan umum. Akan tetapi, PKI juga tidak bisa mendapatkan kekuasaan melalui peluru karena PKI tidak memiliki angkatan bersenjata. Kekuatannya sangat bergantung pada perlindungan yang diberikan oleh Sukarno, tetapi Sukarno dalam ancaman digulingkan, dibunuh (sudah berulangkali terjadi percobaan pembunuhan terhadapnya), atau pun dilemahkan oleh masalah kesehatan. Pada pertengahan 1965, Aidit telah membentuk panitia kecil ad hoc di dalam Politbiro untuk perencanaan darurat. Saat ia berada di Beijing pada 5 Agustus, dia menjelaskan beberapa rencananya kepada Mao. Jika Sukarno meninggal dan para jenderal Angkatan Darat sayap kanan menyerang partai, PKI akan menggunakan jaringan pendukungnya di dalam militer untuk menggagalkan serangan tersebut. Personel-personel militer yang pro PKI ini akan mengelabui para jenderal dengan membentuk “komite militer” yang tampaknya netral. Aidit mengungkapkan:

Musuh kita akan ragu-ragu dengan sifat komite ini dan oleh karena itu, para komandan militer yang bersimpati pada sayap kanan tidak akan langsung menentang kami. Jika kami segera menunjukkan bendera merah kami, mereka akan langsung menentang kami. Ketua komite militer ini adalah anggota bawah tanah partai kami, tetapi dia akan mengidentifikasi dirinya sebagai pihak yang netral.[38]

Pada suatu titik dalam dua bulan setelah percakapan dengan Mao ini, Aidit menjadi yakin bahwa komando tertinggi Angkatan Darat yang anti-komunis akan melakukan kudeta bahkan sebelum Sukarno meninggal. Pertanyaannya bagi Aidit adalah apakah menunggu kudeta terjadi atau melancarkan serangan pendahuluan. Aidit memilih tindakan yang terakhir. Rencana untuk membentuk “komite militer” yang tampak netral dilaksanakan pada pagi hari 1 Oktober. Para pendukung partai di dalam militer menculik enam jenderal Staf Umum Angkatan Darat, termasuk Panglima Angkatan Darat, Jenderal Yani, dan memproklamasikan keberadaan “Dewan Revolusi” yang baru. Tindakan yang disebut Gerakan 30 September ini dirancang agar tampak seolah-olah merupakan tindakan otonom oleh perwira yang ingin melindungi Sukarno dari komplotan perancang kudeta pro-Amerika. Idenya adalah agar Sukarno menunjuk seorang komandan Angkatan Darat baru yang lebih condong ke kiri yang dapat mencegah Angkatan Darat menyerang PKI. Dengan proteksi serupa ini, PKI akan bisa terus berkembang. Seperti yang dijelaskan Aidit kepada Mao, begitu  “komite militer” terbentuk, “kita perlu mempersenjatai buruh dan petani pada waktu yang tepat.” Karakter luar biasa dari rencana ini–bukan pemberontakan, bukan kudeta, bukan pula pemberontakan massal—mencerminkan posisi PKI yang tidak biasa.

Rencana ini, dengan sejumlah penyelubungan dan tahapan yang banyak, ternyata terlalu rumit. Perancang aksi “komite militer” ternyata tidak terorganisir dan bahkan tidak menyelesaikan fase pertama. Penculikan itu kacau-balau dan Sukarno memerintahkan para perwira pro-PKI untuk membatalkan aksi mereka. Dengan patuh mereka laksanakan perintah tersebut sekitar delapan jam sejak aksi dimulai. Sukarno menunjuk Mayjen. Pranoto Reksosamudro yang bersimpati kepada PKI untuk mengurus Angkatan Darat, tetapi para jenderal anti-PKI di komando tertinggi Angkatan Darat menolak pengangkatannya. Mayor Jenderal Soeharto, yang telah mengambil kendali Angkatan Darat pada pagi hari 1 Oktober, tetap berkuasa, dengan terang-terangan menentang panglima tertinggi. Itulah awal dari akhir bagi Sukarno dan PKI.

Seperti diungkapkan dokumen deklasifikasi AS, para jenderal Angkatan Darat sedang menanti adanya dalih untuk menyerang PKI sebelum 1 Oktober. Mereka ingin memprovokasi partai untuk melakukan tindakan gegabah dengan menyebarkan desas-desus bahwa PKI bertekad melakukan kudeta. Mereka berencana untuk membenarkan serangan terhadap PKI seperti cara mereka membenarkan serangan-serangan mereka sebelumnya pada 1948 dan 1951, yaitu sebagai penumpasan upaya kudeta PKI. Gerakan 30 September itu sendiri bukanlah upaya kudeta; G30S tidak ditujukan kepada Presiden Sukarno. Tapi demikianlah para jenderal Angkatan Darat menyebut G30S pada awal Oktober ketika mereka mengawali pelaksanaan rencana lama mereka untuk menghancurkan PKI dan mengurangi kekuasaan Sukarno menjadi presiden boneka.

Aidit mengira bahwa partainya memiliki cukup dukungan di kalangan personel militer, terutama di Angkatan Udara, untuk menangkal setiap serangan Angkatan Darat. Tapi dia salah menghitung kedalaman dukungan itu. Pimpinan PKI beranggapan bahwa Angkatan Darat tidak akan mampu menggalang logistik untuk menggempur gerakan sebesar itu. Bahkan analis anti-komunis dari Amerika Serikat, Guy Pauker, yang dekat dengan perwira militer pada 1964 berpendapat bahwa para perwira “mungkin tidak memiliki kekejaman seperti yang memungkinkan Nazi untuk menindas Partai Komunis Jerman.”[39] Ternyata, para jenderal berhasil mencapai kekejaman serupa. Gerakan 30 September bagi perwira-perwira sayap kanan Angkatan Darat Indonesia merupakan pemicu serupa dengan pembakaran Reichstag (gedung parlemen Jerman) yang diklaim Nazi sebagai upaya kudeta kaum komunis terhadap pemerintah Jerman.

Aidit dan para pemimpin partai tidak mengeluarkan seruan untuk melawan penggempuran pada awal Oktober. Sebaliknya, mereka menyerukan ketenangan agar Sukarno bisa menyelidiki apa yang telah terjadi dan menemukan “resolusi politik.” Tetapi, Aidit bertindak tidak sejalan dengan kebijakan partai yang ia nyatakan di depan umum. Ia tetap bersembunyi di Jawa Tengah, basis partai paling kuat, dan ia tampaknya berusaha mendorong personel militer di sana untuk melakukan tindakan tertentu. Apa pun tindakan yang dia upayakan, tidak ada hasilnya. Pimpinan partai lainnya yang berada di Jakarta bingung karena Aidit tidak ada. Mereka terakhir bertemu di sebuah rumah aman pada 9 Oktober dan kemudian bersembunyi di bawah tanah.[40] Seperti yang berulangkali terjadi sebelumnya, partai harus mengandalkan perlindungan Sukarno. Akan tetapi, kali ini berbeda; Sukarno tidak memiliki kekuatan untuk melindungi PKI.

Bukanlah keniscayaan bahwa represi Angkatan Darat terhadap PKI akan berhasil. Pendukung partai sebenarnya siap mengambil tindakan. Buruh kereta api bisa saja menolak mengangkut pasukan. Montir di bengkel-bengkel militer, yang sebagian besar adalah anggota serikat buruh, bisa saja menyabotase kendaraan operasional. Penduduk desa bisa saja mendirikan barikade. Buruh bisa saja menduduki pabrik. PKI bisa saja melakukan perlawanan substansial jika partai itu menginginkannya. Namun, kecuali di beberapa tempat  di Jawa Tengah, anggota partai membiarkan diri mereka ditahan, dengan keyakinan bahwa mereka akan segera dibebaskan karena mereka tidak berbuat salah. Kenyataannya, jumlah korban tewas begitu tinggi karena tentara mengejutkan partai dan tidak menghadapi perlawanan. Pola yang paling umum adalah tentara membawa truk para tahanan keluar dari penjara dan kamp tahanan pada malam hari, dan membantai mereka di daerah terpencil. Sebagian besar pembunuhan berupa penghilangan paksa. Inilah salah satu alasan mengapa masih sedikit yang diketahui tentang kejahatan tersebut.[41]

Angkatan Darat, yang sudah lama bersusah-payah mendapatkan bantuan ekonomi AS, menunjuk pada pembunuhan kaum komunis sebagai bukti pelayanannya terhadap perang global melawan komunisme. Soeharto dan para jenderalnya berharap akan diberi imbalan oleh Amerika Serikat, dan mereka mendapatkannya. Amerika Serikat dan sekutu-sekutunya mencurahkan limpahan bantuan kepada Indonesia segera setelah Soeharto jelas-jelas menyingkirkan Sukarno pada Maret 1966.[42] Soeharto, yang dapat mengklaim bahwa ia telah merancang pemulihan ekonomi, memperoleh legitimasi atas kediktatorannya, yang di luar dugaan banyak pengamat, berlangsung selama tiga puluh dua tahun, hingga krisis ekonomi 1997-1998.

Pembantaian yang diorkestrasi Soeharto adalah bukti kegagalan serius strategi partai. Tapi apa sebenarnya yang salah? Beberapa orang di PKI percaya bahwa kesalahan mereka adalah karena menempuh jalur legal, parlementer guna menuju kekuasaan negara. Pada 1966, adalah Sudisman yang terkena tanggung jawab untuk menjelaskan bagaimana partai tersebut dapat menjadi korban represi berdarah yang dilakukan oleh Angkatan Darat –apa yang disebutnya sebagai “teror putih” untuk mengacu pada kelompok Rusia Putih dalam sejarah revolusi Rusia. Sudisman satu-satunya anggota kuartet pimpinan PKI yang sudah membangun partai sejak 1951 yang berhasil selamat. Dalam dokumen “Kritik Otokritiknya”-nya, Sudisman mencela para pemimpin PKI, termasuk dirinya sendiri, karena membangun partai di atas-tanah yang tidak secara jelas membedakan dirinya dari populisme kerakyatan dan  semangat anti-imperialisme kelompok-kelompok nasionalis lainnya. PKI memprioritaskan persatuan nasional di atas perjuangan kelas dan nasionalisme di atas doktrin Marxis-Leninis. Bagi Sudisman, keberhasilan tahun-tahun “perjuangan legal parlementer” mengikuti kebijakan “front nasional” hanyalah ilusi. Di tengah-tengah “teror putih,” dia menyerukan terbentuknya sebuah partai kecil dengan kader-kader yang sangat berkomitmen dan terlatih yang akan memimpin perjuangan bersenjata di sepanjang garis Maois.[43]

Sudisman tidak memiliki kesempatan untuk mengorganisir perjuangan bersenjata seperti itu. Dia ditangkap di tempat persembunyiannya di Jakarta pada Desember 1966. Para pemimpin lainnya yang masih hidup berkumpul di kabupaten paling terpencil di Jawa, Blitar Selatan, dan meminta pendukung PKI untuk bergabung dengan mereka.[44] RRT, menjanjikan bantuan, mengumpulkan ratusan orang komunis Indonesia yang terlantar di sana dan menempatkan mereka di pusat pelatihan militer dekat Nanjing pada 1967 dengan rencana untuk menyusupkan mereka kembali ke Indonesia sebagai pejuang gerilya.[45] Angkatan Darat mencium keberadaan anggota PKI di Blitar Selatan dan menyerbu daerah itu pada Juni 1968, sebelum perjuangan bersenjata dimulai. Dengan runtuhnya zona miniatur proto pembebasan itu, RRT membatalkan rencananya untuk membantu perjuangan bersenjata.

Kaum komunis Indonesia di pengasingan, tersebar di seluruh dunia, ditolak paspornya oleh rezim Soeharto, menulis sejumlah catatan post-mortem partai. Analisis mereka cenderung tendensius dan doktriner. Beberapa orang mengutuk PKI karena tidak cukup Maois, menggemakan keluhan Sudisman. Sementara yang lainnya, menyejajarkan diri dengan Uni Soviet, mengutuk PKI karena terlalu Maois: Gerakan 30 September adalah bukti, kata mereka, dari semangat “petualangan” di antara para pemimpin PKI.[46] Catatan-catatan post-mortem ini mencari beberapa penyebab struktural, kelemahan mendalam teori dan praktik partai, untuk menjelaskan kekalahan PKI. Namun, mungkin saja ada faktor-faktor khas yang muncul di masa krisis yang lebih penting. Dengan rangkaian keputusan yang berbeda di tengah kegentingan politik 1965, PKI sangat mungkin akan mampu bertahan dalam pertarungannya dengan komando tertinggi Angkatan Darat.

PKI tidak lagi berfungsi setelah 1968. Semua orang penting partai nasibnya bisa mati, berada di penjara, di pengasingan, atau di persembunyian. Negara Indonesia mendedikasikan dirinya pada upaya mengidentifikasi dan menganiaya semua anggota PKI dan ormas-ormasnya. Kediktatoran Soeharto (1966-98) memperlakukan anti-komunisme sebagai agama negara. Semua sarana propaganda negara –seperti film, museum, monumen, dan buku teks—dikerahkan untuk meyakinkan rakyat bahwa PKI adalah setan dan bahwa semua orang di partai telah secara kolektif bertanggung jawab atas Gerakan 30 September. Soeharto melarang PKI pada Maret 1966, setelah akhirnya mengesampingkan Sukarno, dan parlemen yang dipilihnya sendiri melarang ekspresi Marxisme-Leninisme lima bulan kemudian. Undang-undang 1966 ini masih berlaku dan secara rutin digunakan untuk membenarkan penindasan atas segala cara pengorganisasian politik. Angkatan Darat, yang membenarkan kekuasaan polisionalnya di dalam negeri sejak 1965 dengan mengoarkan ancaman bahaya laten komunis yang selalu mengintai, mempertahankan kepentingannya memelihara hantu PKI untuk merongrong negara.[47]


Esai Bibliografis

Tiga karya akademis utama yang ditulis dalam bahasa Inggris tentang PKI, jika dipelajari bersama, memberikan gambaran yang sangat baik tentang sejarah partai. Buku tebal 500 halaman Ruth Mc Vey, The Rise of Indonesian Communism (Ithaca: Cornell University Press 1965), mencakup tahun-tahun awal partai dari pendirian pada tahun 1920 hingga pemberontakan 1926-1927. Buku karya Donald Hindley membuat banyak analisis tentang pertumbuhan partai pada1950an: The Communist Pary of Indonesia, 1951-1963 (Berkeley: University of California Press, 1966). Buku Rex Mortimer berpusat pada periode Demokrasi Terpimpin: Indonesian Communism Under Sukarno: Ideology and Politics, 1959-1965 (Ithaca: Cornell University Press, 1974).

Buku Olle Tornquist menyelidiki posisi teoritis era Aidit dan merefleksikan alasan kehancurannya: Dilemmas of Third World Communism: The Destruction of the PKI in Indonesia (London: Zed Press, 1984). Tulisan-tulisan Justus van der Kroef, seorang ilmuwan politik anti-komunis yang banyak menulis tentang partai pada 1950an-60an, bersifat informatif meskipun tidak selalu dapat diandalkan dalam penafsirannya. Karya utamanya adalah The Communist Party of Indonesia: Its History, Program and Tactics (Vancouver: University of British Columbia, 1965). Kontroversi hubungan PKI dengan Gerakan 30 September 1965 dianalisa dalam John Roosa, Pretext for Mass Murder: The September 0th Movement and Soeharto’s Coup d’Etat in Indonesia (Madison: University of Wisconsin Pres, 2006).

Periode 1928 sampai 1945, ketika anggota PKI di penjara, di persembunyian, atau di pengasingan, relatif menderita pengabaian. Kamp penjara Boven Digul telah dipelajari, terakhir oleh Rudolf Mrazek “Boven Digoel and Terezin: Camps at the Time of Triumphant Technology”, East Asian Science, Technology and Society, 2-3 (2009) 287-314. Tan Malaka (1897-1949), yang menghabiskan banyak tahun dalam periode ini di pengasingan, menulis otobiografi tiga jilid, Dari Penjara ke Penjara, yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris: From Jail to Jail, oleh Helen Jarvis (Athens: Ohio University Center for International Studies, 1991).

Kekacauan dalam partai dari 1945 hingga 1950 telah membuat kajian tentang periode itu luar biasa rumit. Biografi tiga jilid Harry Poeze tentang Tan Malaka membahas sejarah PKI yang lebih luas selama periode itu. Sejauh ini hanya tersedia dalam bahasa Belanda dan bahasa Indonesia: Verguisd en vergeten: Tan Malaka, de linkse beweging en de Indonesische Revolutie (Leiden: KITLV, 2007) dan Tan Malaka: Pergulatan Menuju Republik, 1945-1949 (Jakarta: Pustaka Utama Graffiti, 1999).

Ruth McVey, dalam sejumlah artikel telah bergerak lebih jauh dengan menulis perihal PKI dalam genre sejarah sosial dan kebudayaan: “The Enchantment of the Revolution: History and Action in an Indonesian Communist Text,” dalam Anthony Reid and David G. Marr (eds), Perceptions of the Past in Southeast Asia (Kuala Lumpur: Asian Studies Association of Australia, 1979), 340-58; “The Wajang Controversy in Indonesian Communism,” dalam M. Hobart and R.H. Taylor (eds), Context, Meaning and Power in Southeast Asia (Ithaca: Cornell University Southeast Asian Program Publications, 1986), 21-51; dan “Teaching Modernity: The PKI as an Educational Institution,” Indonesia 50 (Oct, 1990), 5-28.

Ketika bergerak secara terbuka setelah 1951, PKI menerbitkan materi bacaan berjumlah luar biasa besar dalam Bahasa Indonesia: surat kabar Harian Rakjat, jurnal teoretik dwi bulanan, Bintang Merah, dan banyak pamflet serta buku untuk kesempatan-kesempatan tertentu. IDC Publisher telah menempatkan 332 judul dokumen PKI dalam sebuah koleksi mikrofilm yang tersedia di sejumlah perpustakaan riset terkemuka. Beberapa dari dokumen tersebut tersedia secara daring dalam bagian Bahasa Indonesia situs web www. marxists.org/history/indonesia/index.htm. Dokumen-dokumen kunci yang juga bacaan anggota partai adalah program dan konstitusi partai yang diadopsi pada Kongres PKI V 1954, dan buku yang diterbitkan atas nama Aidit: Masyarakat Indonesia dan Revolusi Indonesia (1957). Masing-masing organisasi massa PKI menerbitkan sendiri berkalanya, maupun penerbitan khusus. Sebagai contoh, serikat buruh perkebunan, Sarbupri, menerbitkan majalah bulanan, Warta Sarbupri. Sebagian besar dari dokumen-dokumen ini akan ditemukan dalam bentuk cetakan maupun dalam mikrofilm di banyak perpustakaan riset terkemuka.

Penjelasan paling terinci mengenai sejarah partai yang dibuat oleh PKI sendiri ditulis pada Mei 1965 sebagai peringatan ulang tahun PKI yang ke 45. Inilah yang terakhir dipublikasikan, Lembaga Sejarah PKI, Manuskrip Sejarah 45 Tahun PKI (1920-1965) (Bandung: Ultimus, 2014).  Memoar paling informatif yang ditulis oleh pimpinan ranking atas PKI, Siswoyo, yang selamat dari malapetaka: Siswoyo Dalam Pusaran Arus Sejarah Kiri: Memoar Anggota Sekretariat CC PKI (Bandung: Ultimus, 2014). Memoar lain yang juga signifikan adalah: Hasan Raid, Pergulatan Muslim Komunis(Yogyakarta: LKPSM Syarikat, 2001); Francisca Fanggidaej, Memoar Perempuan Revolusioner (Yogyakarta: Galang Press, 2006).

Institut Sejarah Sosial Indonesia (ISSI) di Jakarta menyimpan wawancara dengan lebih dari 400 individu, sebagian besar dari mereka adalah bekas tahanan politik yang pernah menjadi anggota PKI atau salah satu dari organisasi massa PKI. Sebuah buku kemudian dilahirkan dari riset sejarah lisan ISSI yang berfokus pada pengalaman pemenjaraan, penyiksaan dan kerja paksa setelah 1965: John Roosa, Ayu Ratih, dan Hilmar Farid (eds), Tahun yang Tak Pernah Berakhir: Memahami Pengalaman Korban 65: Esai-esai Sejarah Lisan (Jakarta: Elsam, 2004).

Sejarah organisasi massa PKI seperti Sarbupri masih perlu ditulis. Lekra, organisasi seniman adalah yang paling mendapatkan banyak perhatian. Sebagai contohnya, kajian pelopor yang baru-baru ini ditulis oleh Michael Bodden: “Modern Drama, Politics, and the Postcolonial Aesthetics of Left Nationalism in North Sumatra: The Forgotten Theater of Indonesia’s Lekra, 1955-1965,” dalam Tony Day dan Maya Liem (eds), Cultures at War: The Cold War and Cultural Expression in Southeast Asia (Ithaca: Cornell University Southeast Asia Program Publications, 2010), 45-80; dan “The Dynamic Tensions of Lekra’s Modern National Theatre,” dalam Jennifer Lindsay dan Maya H.T. Liem (eds) Heirs to World Culture: Being Indonesian 1950-1965 (Leiden KITLV Press 2012), 453-84. Selain itu kelompok pembuat film dan peneliti ISSI di Jakarta telah membuat sebuah film yang mengungkap tentang Lekra, yang bisa dilihat secara daring dengan takarir (subtitle) bahasa Inggris, Tjidurian 19 (2009).***


Tulisan asli ditulis dalam bahasa Inggris, dimuat sebagai salah satu bab dalam Norman M NaimarkSilvio Pons, dan Sophie Quinn-Judge (ed.), The Cambridge History of Communism. Volume II, The Socialist Camp and World Power 1941-1960s, (Cambridge: Cambridge University Press, 2017). Diterjemahkan oleh Anom Astika.


John Roosa adalah sejarawan University of British Columbia dan penulis Pretext for Mass Murder: The September 30th Movement and Suharto’s Coup d’État in Indonesia (2006). Buku terbarunya adalah Buried Histories: The Anticommunist Massacres of 1965-1966 in Indonesia (2020).


Tulisan asli dalam bahasa Inggris, dimuat sebagai salah satu bab dalam Norman M NaimarkSilvio Pons, dan Sophie Quinn-Judge (eds), The Cambridge History of Communism. Volume II, The Socialist Camp and World Power 1941-1960s, (Cambridge: Cambridge University Press, 2017).

[1] Ruth McVey, The Rise of Indonesian Communism (Ithaca: Cornell University Press, 1965), 34-75.

[2] Takashi Shiraishi, An Age in Motion: Popular Radicalism in Java, 1912-1926 (Ithaca: Cornell University Press, 1990).

[3] Soekarno [Sukarno), Nationalism, Islam and Marxism, trans. K. H. Warouw and P. D. Weldon (Ithaca: Cornell University, Modem Indonesia Project, 1970).

[4] Michael Williams, Communism, Religion and Revolt in Banten (Athens: Ohio University Center for International Studies, 1990).

[5] Pramoedya Ananta Toer (ed), Cerita dari Digul (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2001).

[6] Anton Lucas (ed), Local Opposition and Underground Resistance to the Japanese in Jawa, 1942-45 (Melbourne: Centre of Southeast Asian Studies, Monash University, 1986).

[7] Lembaga Sejarah PKI, Manuskrip Sejarah 45 tahun PKI, 1920-1965 (Bandung: Ultimus 2014), 249-76.

[8] Ibid., 295-96

[9] Harry Poeze, Madiun 1948: PKI Bergerak (Jakarta: KITLV dan Obor, 2001), 255-303.

[10] Sebagai contoh: Pusat Sejarah ABRI, Bahaya Laten Komunisme di Indonesia: Penumpasan Pemberontakan PKI(1948) (Jakarta: Pusat Sejarah ABRI, 1992).

[11] Ruth T. McVey, The Calcutta Conference and Southeast Asian Uprisings (Ithaca: Department of Far Eastern Studies, Cornell University, 1958).

[12] Larissa Efimova, “Who Gave Instructions to the Indonesian Communist Leader Musso in 1948?”, Indonesia and the Malay World 31, 90 (July 2003), 171-89.

[13] Robert McMahon, Colonialism and Cold War: The United States and the Struggle for Indonesian Independence, 1945-1949 (Ithaca: Cornell University Press, 1981).

[14] Benedict Anderson, Java in a Time of Revolution: Occupation and Resistance, 1944-1946 (Ithaca: Cornell University Press, 1972).

[15] Siswoyo, Siswoyo dalam Pusaran Arus Sejarah Kiri: Memoar Anggota Sekretariat CC PKI (Bandung: Ultimus, 2014), 118-19; Francisca Fanggidaej, Memoar Perempuan Revolusioner (Yogyakarta: Galang Press, 2006), 179-84; Lembaga Sejarah PKI, Manuskrip Sejarah 45, 325-31.

[16] Artikulasi terpenting mengenai garis partai ada pada Kongres Kelima PKI pada 1954: Kongres Nasional ke V Partai Komunis Indonesia (Jakarta: Yayasan Pembaruan, 1954).

[17] Jafar Suryomenggolo, Organising Under the Revolution: Unions and the State in Java, 1945-1948 (Singapore: NUS Press 2013) 94-129.

[18] Donald Hindley, The Communist Party of Indonesia, 1951-1963 (Berkeley, University of California Press, 1966) 64, 70, 79.

[19] Larissa Efimova, “Stalin and the New Program for the Communist Party of Indonesia,” intro Ruth T. McVey, Indonesia 91 (April 2011), 131-64

[20] Syamsir (mantan pimpinan BTI), wawancara lisan, Bandung, 12 Mei 2000 dan 31 Maret 2001. Semua wawancara lisan yang dikutip dalam esai ini dilakukan oleh saya sendiri; rekaman dan transkripsi wawancara disimpan di Institut Sejarah Sosial Indonesia.

[21] Suryaatmadja (anggota pimpinan PKI Provinsi Jawa Barat), wawancara lisan, Cileungsi, 11 Juli 2001; Sukamto (Pimpinan Pemuda Rakjat Jawa Tengah), wawancara lisan, Yogyakarta 12 Juli 2001; Rusno (aktivis akar rumput PKI Jawa Timur), wawancara lisan, Sidoarjo, 10 Mei 2001.

[22] Ruth T. McVey, “Teaching Modernity: The PKI as an Educational Institution,” Indonesia 50 (Oct 1990), 5-28; Siswoyo, Siswoyo Dalam Pusaran, 157-67

[23] Siswoyo, Siswoyo Dalam Pusaran, 26-29.

[24] Oey Hay Djoen (pimpinan Lekra dan anggota parlemen dari PKI), wawancara lisan, Jakarta 14 Juli 2001; 16 Januari 2002; 24 Januari 2002.

[25] Mia Bustam, Sudjojono dan Aku (Jakarta: Institut Studi Arus Informasi, 2006).

[26] Lembaga Sejarah PKI, Manuskrip Sejarah 45, 438-39.

[27] Buku karya Mortimer menyebutkan sesekali ketika mengutip pidato Aidit pada 1964. Aidit berbicara secara terbuka merujuk poin ketiga di atas dalam istilah yang kabur seperti “perjuangan untuk mengintegrasikan aparat negara dengan perjuangan revolusioner rakyat”: Rex Mortimer, Indonesian Communism Under Sukarno: Ideology and Politics 1959-1965 (Ithaca: Cornell University Press, 1974), 337.

[28] John Roosa, Pretext for Mass Murder: The September 30th Movement and Soeharto’s Coup d’Etat in Indonesia(Madison: University of Wisconsin Press, 2006), ch. 4

[29] Dalam esainya yang menjelaskan dukungan PKI terhadap Demokrasi Terpimpin, Sakirman, anggota Politbiro, mengakui beberapa aspek negatif dan “kesulitan yang menyergap benak beberapa kawan di dalam memahami” garis partai. Lihat “ Apa Arti Sokongan PKI kepada UUD 1945 dan Demokrasi Terpimpin,” Bintang Merah 16 (Mei-Juni), 194-219.

[30] Audrey Kahin and George Kahin, Subversion as Foreign Policy: The Secret Eisenhower and Dulles Debacle in Indonesia (New York: New Press, 1995).

[31] Mortimer, Indonesian Communism Under Sukarno, 276-328.

[32] Lembaga Sejarah PKI, Manuskrip Sejarah 45, 443-45.

[33] Herbert Feith, “President Soekarno, the Army, and the Communists; The Triangle Changes Shape,” Asian Survey 4, 8 (Agustus, 1964), 969-80.

[34] William Redfern, “Sukarno’s Guided Democracy and the Takeovers of Foreign Companies in Indonesia in the 1960s,” Disertasi Doktoral (University of Michigan, 2010).

[35] Taomo Zhou, “China and the Thirtieth of September Movement”, Indonesia 98 (2014), 41-46.

[36] Lembaga Sejarah PKI, Manuskrip Sejarah 45, 377-94.

[37] Siswoyo, Siswoyo dalam Pusaran, 169.

[38] Zhou, “China and the Thirtieth of September Movement,” 51.

[39] Guy Pauker, Communist Prospects in Indonesia (Santa Monica, CA-RAND Corporation, Nov. 1964), 22.

[40] Oey Hay Djoen, wawancara lisan, Jakarta, 21 Agustus 2004.

[41] John Roosa, “The State of Knowledge About an Open Secret: Indonesia’s Mass Disappearances of 1965-66”, Journal of Asian Studies 75 (2016), 281-97.

[42] Brad Simpson, Economists with Guns: Authoritarian Development and US Indonesian Relations, 1960-1968 (Stanford: Stanford University Press, 2008), ch. 8.

[43] Sudisman, Otokritik Politibiro CC PKI (Sep 1966), www.marxists.org/indonesia/indones/1966-SudismanOtoKritik.htm.

[44] Andre Liem, “Perjuangan Bersenjata PKI di Blitar Selatan dan Operasi Trisula,” dalam J. Roosa et al (ed), Tahun yang Tak Pernah Berakhir (Jakarta: Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat, 2004), 163-201; Vannessa C. Hearman, “South Blitar and the PKI Bases: Refuge, Resistance, and Repression,” dalam Douglas Kamen and Katherine McGregor (eds), The Contours of Mass Violence in Indonesia, 1965-1968 (Singapore: NUS Press, 2012), 182-207.

[45] Utuy Tatang Sontani, Di Bawah Langit tak Berbintang (Jakarta: Pustaka Jaya, 2000), 73-150; Zhou, “China and the Thirtieth of September Movement,” 56-57.

[46] Rex Mortimer, “Indonesia: Emigre Post Mortems on the PKI,” Australian Outlook 28, 3 (Dec. 1968), 347-59.

[47] Ariel Heryanto, “Where Communism Never Dies: Violence, Trauma and Narration in the Last Cold War Capitalist Authoritarian State,” International Journal of Cultural Studies 2, 2 (1999), 147-77; “Indonesia’s Red Scare Stokes Unease over Military’s Growing Influence,” New York Times (18 May 2016), www.reuters.com/article/us-indonesia-military-idUSKCNoY933F

 

]]>