Reformasi – IndoPROGRESS https://indoprogress.com Media Pemikiran Progresif Wed, 25 Jun 2025 22:34:00 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.4.3 https://indoprogress.com/wp-content/uploads/2021/08/cropped-logo-ip-favicon-32x32.png Reformasi – IndoPROGRESS https://indoprogress.com 32 32 Menyangkal Pemerkosaan Massal Perempuan Tionghoa, Melanggengkan Ketidakadilan Ras dan Gender https://indoprogress.com/2025/06/menyangkal-pemerkosaan-massal-perempuan-tionghoa-melanggengkan-ketidakadilan-ras-dan-gender/ Wed, 25 Jun 2025 22:34:00 +0000 https://indoprogress.com/?p=239041

Ilustrasi: Indypendent


SELAIN mencerminkan pengingkaran sejarah dari pejabat kementerian yang semestinya bertanggung jawab langsung atas kerja pengelolaan ingatan kolektif, penyangkalan Fadli Zon terhadap pemerkosaan massal perempuan etnis Tionghoa di Indonesia pada tahun 1998 juga bisa dipahami sebagai wujud dari tindakan politis yang membuka kembali trauma yang menjadi tragedi nasional. Pernyataan ini tentu saja bukan sekadar wujud kegagalan atau tidak mumpuninya seorang individu dalam mempelajari dan memahami sejarah bangsanya sendiri, tetapi bentuk pembungkaman struktural atas kekerasan berbasis gender. 

Selama ini masyarakat cenderung memahami peristiwa Mei 1998 sebagai momen puncak ketidakpuasan massal terhadap otoritarianisme Orde Baru, krisis ekonomi yang menghancurkan kelas pekerja, juga ketidakadilan struktural yang merambah segala lini kehidupan. Apa yang sering luput dari pandangan adalah bagaimana negara dapat mengerahkan kekuatan mereka untuk mengalihkan kontradiksi material menjadi pertentangan gender dan ras melalui serangan terhadap otoritas tubuh perempuan—dalam hal ini Tionghoa. Kekerasan semacam ini tidak hanya menjadi serangan berbasis dendam dan pengalaman individual, namun simbol kecemasan sosial, politik, dan ekonomi yang dimanipulasi untuk mempertahankan status quo. Ironisnya, ketika negara dan representasinya memperlakukan kekerasan seksual sebagai rumor, maka mereka telah mereproduksi struktur dominasi yang sama yang menyebabkan kekerasan seksual itu ada dan bertahan.

Teori reproduksi sosial menjelaskan bagaimana kehidupan sosial sehari-hari termasuk pekerjaan rumah tangga berfungsi untuk mempertahankan sistem yang eksploitatif dan subordinasi berbasis gender. Berdasarkan kerangka berpikir ini, kekerasan seksual selama kerusuhan Mei 1998 tidak seharusnya dilihat sebagai insiden yang terisolasi tetapi bagian dari mekanisme yang lebih luas, yang secara sistematis mereproduksi ketidaksetaraan sosial dan gender. Pemerkosaan yang dialami oleh perempuan, terutama etnis Tionghoa, merupakan bentuk kontrol sosial yang menandai tubuh sebagai tempat perebutan kekuasaan sekaligus memperkuat marginalisasi etnis dan kelas. Penyangkalan atau penolakan untuk mengakui kekerasan ini memungkinkan struktur sosial yang menindas untuk bertahan hidup, dengan demikian memperkuat dominasi dan ketidakadilan berbasis gender dan ras untuk terus dilanggengkan di masyarakat.


Melampaui Identitas Gender dan Ras

Dalam berbagai konteks sejarah dunia, tubuh perempuan sering kali terkait erat dengan kekuasaan negara. Tubuh perempuan berfungsi sebagai situs simbolik dan material tempat kontrol terhadap populasi, identitas, dan tatanan sosial dilakukan. Seksualitas, kesuburan, dan bahkan emosi perempuan diatur untuk memastikan peran yang patuh dan produktif. Oleh karena itu, dalam situasi krisis, rezim yang berkuasa cenderung akan melancarkan penaklukan dan kontrol atas mereka. Semua demi memastikan kekuatan politik: dengan mengamankan kontrol atas reproduksi sosial, menegakkan disiplin dan hierarki, dan mereproduksi kondisi yang diperlukan untuk kerja, kepatuhan, dan manajemen populasi. 

Terdapat empat sudut pandang utama untuk menjelaskan signifikansi ekonomi-politik kontrol atas tubuh perempuan. Pertama, kontrol terhadap tubuh perempuan mencerminkan kuasa atas proses reproduksi (Vogel, 1983). Hal ini bisa dimaknai sebagai upaya rezim mengendalikan tubuh dan kehidupan, menentukan masa depan kekuasaan dengan mengontrol pertumbuhan populasi, tatanan sosial, dan nilai-nilai ideologis tentang kepatuhan yang diwariskan oleh peran tradisional perempuan. Kedua, penertiban terhadap tubuh perempuan adalah simbol penertiban terhadap masyarakat. Pengawasan seksualitas dan penciptaan narasi tertentu terkait tubuh perempuan merupakan bagian dari strategi untuk menanamkan disiplin sosial (Yuval-davis, 1997). Dalam hal ini, negara bermaksud untuk menekankan representasi kekuatannya pada tubuh perempuan untuk menunjukan kuasa dalam menentukan norma, menghukum penyimpangan, dan membungkam perbedaan pendapat (Pateman, 1988). Dari sudut pandang inilah menjadi tidak mengherankan jika dalam situasi krisis politik, rezim otoritarian akan cenderung menyerang perempuan. Semua demi menciptakan sistem dominasi. 

Ketiga, tubuh perempuan adalah arena yang efektif untuk memastikan keberlangsungan dikotomi kerja produktif dan reproduktif. Dengan memastikan kerja-kerja reproduktif sebagai pekerjaan berbasis gender, rezim dapat memastikan eksternalisasi biaya reproduksi sosial sembari menetapkan kepatuhan dan kedisiplinan populasi untuk melanggengkan kekuasaan politik (Federici, 1975; Bhattacharya, 2017). Keempat, karena serangan seksual atas tubuh merupakan pengalaman paling traumatis dan melumpuhkan daya, maka kejahatan seksual tersistematis sering digunakan untuk memastikan pembungkaman, pendisiplinan atas ingatan dan kebenaran, mencegah perlawanan, dan menghindari pengakuan karena adanya stigma negatif, pengalaman traumatis, dan perasaan bersalah dan malu yang dipaksakan (Bloodworth, 2015). Dengan demikian, devaluasi atas tubuh perempuan menjadi arena yang efektif untuk mempertahankan legitimasi atas batas otoritas moral dan politik rezim.

Narasi rasial secara historis juga berfungsi sebagai mekanisme untuk mempertahankan kontrol atas tubuh perempuan. Pengalihan isu struktural ekonomi-politik ke ranah politik identitas sering digunakan untuk melanggengkan sistem hierarkis. Sistem hierarki adalah arena pertarungan yang krusial, sebab siapa yang menang dapat memastikan pengendalian dan penaklukan dengan menormalisasi diskriminasi berbasis ras dan menaturalisasi dominasi agar ketidaksetaraan tampak sebagai fenomena alamiah (Fanon, 1961). Dengan demikian, narasi rasial dapat dimanfaatkan pada masa krisis politik dan ekonomi untuk menyederhanakan masalah struktural menjadi konflik moral dan kultural; mengonstruksi logika sederhana untuk mengkambinghitamkan kelompok masyarakat tertentu. 

Dalam konteks sejarah Indonesia, pemerintah kolonial-lah menjadikan warga Tionghoa sebagai perantara dalam perdagangan untuk mengalihkan potensi konsekuensi gejolak sosial akibat penjajahan dan meminimalisir tanggung jawab langsung atas eksploitasi. Kebijakan semacam ini dipertahankan oleh Orde Baru dengan memberikan posisi yang strategis secara ekonomi kepada sebagian kecil konglomerat Tionghoa yang setia terhadap rezim, sembari membentuk persepsi bahwa ekonomi secara umum dikendalikan oleh kaum Tionghoa, yang dengan demikian menjadi penanggung jawab utama penderitaan dan kemiskinan mayoritas penduduk (Setiono, 2003). 

Seiring dengan itu, rezim terus memastikan penyingkiran sosial, budaya, dan hukum terhadap etnis Tionghoa. Hal ini misalnya lewat Inpres Nomor 14/1967 dan SE Menteri Dalam Negeri Nomor 477/1978 yang melarang warga menggunakan nama Tionghoa dan mengekspresikan kebudayaan Tionghoa. Terdapat pula larangan tidak tertulis bahwa orang Tionghoa tidak bisa menjadi pejabat pemerintah apalagi militer; larangan pendidikan berbahasa mandarin, dan penandaan identitas WNI keturunan asing dalam dokumen negara (Heryanto, 1998). Penyingkiran hukum, sosial, dan kultural semacam ini memperkuat akar stigma yang tertanam dalam persepsi publik tentang etnis Tionghoa. Persepsi bahwa orang Tionghoa adalah identitas asing yang terasosiasi dengan komunisme dan berpotensi menjadi pengkhianat dalam situasi genting kian kuat. Karena persepsi itu pula muncul aspirasi tak berdasar, yaitu bahwa mereka perlu dibatasi dari akses terhadap perlindungan memadai dari negara. Strategi ini menjadikan kaum Tionghoa rentan pada masa krisis politik dan ekonomi. Selain itu tentu saja efektif untuk mengalihkan tanggung jawab krisis yang bersifat struktural menjadi isu politik identitas suatu kelompok dan mencegah persatuan massa lintas ras serta gender yang sesungguhnya sama-sama dieksploitasi dan disubordinasi oleh rezim otoritarian (Toer, 1998).


Penutup

Kekerasan berbasis ras dan gender sering kali meningkat selama masa krisis. Ia berfungsi sebagai alat untuk menegaskan dominasi, menegakkan hierarki sosial, dan mengalihkan frustrasi publik. Perempuan etnis Tionghoa memiliki dua identitas yang marginal itu, dan oleh karenanya efektif untuk dijadikan sasaran penundukan dan dominasi. Pemerkosaan massal terhadap mereka pada tahun 1998 adalah bukti nyatanya. Kasus ini menunjukkan bagaimana tubuh perempuan menjadi medan untuk menanamkan kuasa politik, ekonomi, dan sosial. Dengan demikian, pernyataan Fadli Zon mencerminkan penyangkalan dan pembungkaman oleh negara, yang juga berarti bahwa negara telah ikut andil mereproduksi struktur kekuasaan yang memungkinkan kekerasan seksual dan ras untuk terus tumbuh dan bertahan.


Referensi

Bhattacharya, T. (Ed.). (2017). Social reproduction theory. Pluto Press.

Fanon, F. (1963). The wretched of the earth (C. Farrington, Trans.). Grove Press. (Original work published 1961).

Federici, S. (1975). Wages against housework. Falling Wall Press.

Heryanto, A. (1998). Ethnic Identities and Erasure: Chinese Indonesians in Public Culture. In J. S. Kahn (Ed.), Southeast Asian identities: Culture and the politics of representation in Indonesia, Malaysia, Singapore, and Thailand (pp. 95-114). Institute of Southeast Asian Studies. 

Pateman, C. (1988). The sexual contract. Stanford University Press.

Pramoedya Ananta Toer. (1998). Hoakiao. Hasta Mitra.

Setiono, B. G. (2003). Tionghoa dalam pusaran politik. LP3ES.

Vogel, L. (1983). Marxism and the oppression of women. Haymarket Books.

Yuval-Davis, N. (1997). Gender and nation. Sage Publications.


Linda Sudiono, pengamat hukum dan sosial

]]>
Undang-Undang TNI Bukan Hanya tentang Dwifungsi https://indoprogress.com/2025/04/undang-undang-tni-bukan-hanya-tentang-dwifungsi/ Sun, 13 Apr 2025 23:42:31 +0000 https://indoprogress.com/?p=238888

Ilustrasi: Ilustruth


KEKHAWATIRAN akan kembalinya otoritarianisme di Indonesia semakin mengemuka, terutama setelah Prabowo Subianto, mantan jenderal militer terduga pelaku pelanggaran berat hak asasi manusia (HAM), menjabat sebagai presiden.

Sejumlah faktor tampak mengafirmasi kekhawatiran ini, terutama setelah disahkannya amendemen Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI). Pasal 7(2b) dari aturan baru ini, misalnya, memperluas cakupan operasi militer selain perang (OMSP), salah satunya untuk merespons ancaman siber. Menurut aturan ini, operasi semacam itu tidak lagi memerlukan keputusan politik dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), tapi cukup hanya melalui pengesahan presiden.

Banyak pengamat menilai perubahan aturan itu akan membawa kembalinya dwifungsi TNI, yang memungkinkan militer tidak hanya mengurusi masalah keamanan tetapi juga terlibat aktif dalam urusan sosial-politik, praktik yang berjalan selama beberapa dekade di bawah pemerintahan Soeharto. Terdapat kekhawatiran bahwa hal itu juga akan membuka jalan bagi kembalinya rezim otoriter.

Namun, pada kenyataannya, dwifungsi tidak pernah benar-benar berakhir bersamaan dengan jatuhnya Soeharto. Peran ganda TNI terus berlanjut meskipun demokratisasi telah terjadi. Militer Indonesia tidak pernah sepenuhnya “kembali ke barak”, yang menegaskan keterbatasan capaian reformasi sektor keamanan.

Yang juga luput dari pengamatan adalah kekuasaan dalam tubuh militer tidak monolitik. TNI tidak sepenuhnya berada di bawah kendali penguasa tunggal, termasuk seorang yang berambisi menjadi diktator seperti Prabowo. Seperti juga lembaga negara lainnya, berbagai aktor berkompetisi memegang kendali atas institusi militer. Kondisi ini menciptakan faksi-faksi dan ketegangan di dalam institusi koersi negara ini. Revisi UU TNI mencerminkan perebutan kekuasaan itu, khususnya sebagai respons atas terus berlanjutnya pengaruh mantan Presiden Joko Widodo (Jokowi) terhadap lembaga-lembaga negara.

Artinya, upaya mengembalikan pemerintahan otoriter dengan dukungan militer seperti era Soeharto bukan perkara mudah, termasuk bagi Prabowo dan Jokowi, bahkan dengan keberadaan UU TNI yang baru. Di samping itu, ruang politik demokrasi sejauh ini juga telah dapat memfasilitasi kepentingan akumulasi kekuasaan dan kekayaan aktor-aktor ekonomi-politik yang utama.


Bagaimana rezim otoriter dapat terkonsolidasi?

Salah satu hal pokok yang diperlukan untuk membentuk pemerintahan otoriter yang relatif stabil adalah tersedianya sumber daya ekonomi memadai untuk memastikan loyalitas dari sekutu-sekutu utama, termasuk dari kalangan militer. Di tahun 1970-an, Soeharto bergantung pada surplus minyak, dan lewat perusahaan negara Pertamina, ia bisa membeli loyalitas militer dan memobilisasinya untuk menundukkan lawan-lawan politiknya secara keji serta membentuk rezim otoriter yang relatif stabil. Relatif stabilnya rezim otoriter Soeharto juga bagian dari politik Perang Dingin untuk mencegah meluasnya pengaruh komunis. 

Namun, stabilitas ini mulai goyah saat harga minyak dunia jatuh di awal tahun 1980-an bersamaan dengan mulai diintroduksinya neoliberalisme. Militer tersingkir bersamaan dengan kebijakan privatisasi ekonomi yang lebih memberi keuntungan materiil bagi konglomerat keturunan Tionghoa dan keluarga Soeharto. Ketegangan dengan militer, terutama dengan faksi Benny Moerdani, bahkan membuat Soeharto harus beraliansi dengan faksi Islam konservatif dan terus berlanjut hingga mengantarkan pada kejatuhannya dari tampuk kekuasaan di tahun 1998.

Melalui Danantara, Prabowo juga tampak berupaya mengonsentrasikan kekuasaan ekonomi untuk membeli loyalitas sekutu-sekutunya. Namun, tanpa surplus ekonomi dan hanya mengandalkan efisiensi anggaran, Prabowo akan cenderung lebih bergantung pada pengusaha keturunan Tionghoa yang dibesarkan oleh Orde Baru dan sejak itu telah menguasai ekonomi Indonesia, ketimbang sebaliknya. Upaya mengonsolidasikan kekuatan ekonomi ini juga tidak mudah, terlebih ada kecenderungan bahwa Prabowo mengutamakan pengusaha “pribumi” seperti Andi Syamsuddin Arsyad atau Haji Isam dan para pengusaha tambang terutama yang bernaung di bawah Kamar Dagang dan Industri Indonesia (Kadin) dan Himpunan Pengusaha Pribumi Indonesia (HIPPI)

Sementara itu, dalam beberapa tahun terakhir para taipan keturunan Tionghoa telah difasilitasi kepentingan materiilnya oleh Jokowi, di antaranya melalui lebih dari 200 Proyek Strategis Nasional (PSN). Sengketa pagar laut yang melibatkan Sugianto Kusuma alias Aguan dan perusahaannya Agung Sedayu Group, evaluasi PSN yang memangkasnya menjadi hanya 77 proyek, serta adanya pertemuan Prabowo dengan sejumlah konglomerat di Istana Kepresidenan Jakarta adalah beberapa di antara sejumlah indikator negosiasi dan reorganisasi kekuatan ekonomi itu.


Stagnasi reformasi sektor keamanan 

Disahkannya UU TNI yang baru juga mencerminkan adanya kontestasi di antara faksi-faksi politik dan pengusaha, ketimbang semata-mata soal kembalinya dwifungsi. Agenda reformasi yang bertujuan untuk menegakkan supremasi sipil atas militer juga cenderung stagnan.

Sejak Reformasi yang menandai peralihan rezim otoriter ke demokrasi pada tahun 1998, sejumlah pensiunan jenderal dan perwira militer aktif terus mengambil peran sipil dalam birokrasi, partai politik, dan bisnis. Hal ini menegaskan bahwa militer tetap menjadi kekuatan politik yang signifikan dalam politik dan ekonomi Indonesia. 

Satu-satunya keberhasilan nyata dari proses reformasi sektor keamanan adalah pemisahan kepolisian dari institusi militer melalui Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (Tap MPR) No. VI/MPR/2000

Artinya, UU TNI 2025 tidak membuka jalan bagi kembalinya dwifungsi karena memang peran militer di ranah sipil ini tidak pernah benar-benar hilang. Aturan baru hanya memperkuat landasan hukum bagi praktik-praktik tersebut, yang sudah dijustifikasi oleh berbagai undang-undang, peraturan presiden, maupun nota kesepahaman (MoU) dengan sektor swasta dan publik.

Sebagai contoh, peran tentara dalam keamanan perbatasan telah dituangkan dalam Peraturan Menteri Pertahanan Nomor 13 Tahun 2014 tentang Kebijakan Keamanan Perbatasan. Dalam konteks penanggulangan bencana, Pasal 73(3) Peraturan Presiden Nomor 29 Tahun 2021, yang mengubah Peraturan Presiden Nomor 1 Tahun 2019 tentang Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), memungkinkan prajurit TNI aktif menempati posisi sebagai Deputi Bidang Penanggulangan Bencana pada BNPB. Sementara itu, Pasal 43I UU Nomor 5 Tahun 2018 tentang Perubahan UU Terorisme mengatur peran TNI dalam penanggulangan terorisme sebagai bagian dari OMSP.

Ketentuan lain yang memperbolehkan prajurit TNI untuk menduduki jabatan sipil adalah Pasal 62A Peraturan Presiden Nomor 15 Tahun 2021 tentang Perubahan Kedua Peraturan Presiden Nomor 38 Tahun 2010 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kejaksaan Agung. Pasal ini memberi kesempatan bagi prajurit TNI aktif untuk menduduki jabatan Jaksa Agung Muda Bidang Pidana Militer.

Yang juga penting untuk dicatat adalah, revisi UU TNI mempertahankan struktur kekuasaan yang ada yang telah memberi keistimewaan dan impunitas bagi prajurit, khususnya jajaran elite. Pemberlakuan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer Orde Baru, misalnya, memungkinkan personel militer untuk diadili secara militer ketimbang melalui tuntutan pidana di pengadilan umum yang cenderung lebih berat hukumannya.

Sementara itu, struktur komando teritorial yang luas, khususnya komando daerah militer dan lembaga terkaitnya, sebagaimana diatur dalam Pasal 60 dan 106 Peraturan Presiden Nomor 66 Tahun 2019 tentang Susunan Organisasi Tentara Nasional Indonesia, terus membayangi birokrasi pemerintahan di tingkat daerah.


Respons atas dominasi Jokowi?

UU TNI hasil revisi memperkuat justifikasi hukum atas dwifungsi militer, tetapi tidak serta merta membuka jalan bagi kembalinya kekuasaan otoriter yang militeristis di bawah Prabowo. Sebab, upaya-upaya pemusatan kekuasaan secara inheren akan mengancam pembagian sumber daya yang tersedia bagi aktor-aktor ekonomi-politik lainnya.

Karena Jokowi masih punya pengaruh politik yang cukup kuat, ia akan berusaha menghalangi berbagai upaya pemusatan kekuasaan yang dilakukan Prabowo. Meski secara formal tidak lagi berkuasa, Jokowi masih dapat membayangi Prabowo setidaknya selama anaknya, Gibran Rakabuming Raka, menjabat sebagai wakil presiden.

Jokowi masih memiliki pengaruh atas lembaga-lembaga penegak hukum, termasuk Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri), Kejaksaan Agung (Kejagung), dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), yang para pimpinannya dipilih dalam masa pemerintahannya. Selama beberapa tahun, pemerintahan Jokowi telah memanfaatkan lembaga-lembaga ini untuk menjinakkan para pesaing politiknya, memastikan loyalitas dari para sekutunya, serta membungkam para pengkritik. 

Jokowi juga relatif masih memiliki pengaruh atas militer, khususnya melalui Panglima TNI, Jenderal Agus Subiyanto, dan Kepala Staf Angkatan Darat Jenderal Maruli Simanjuntak. Keduanya diangkat pada periode pemerintahannya. Maruli adalah menantu pensiunan jenderal Luhut Binsar Pandjaitan yang juga merupakan sekutu loyal Jokowi.

Terlalu dini bagi Prabowo, yang masih berupaya mengonsolidasikan kekuasaan dengan berbagai aktor, untuk mengganti pimpinan lembaga-lembaga penegakan hukum dan militer itu dengan para loyalisnya sendiri. Tindakan semacam itu akan memicu konfrontasi langsung dengan faksi-faksi Jokowi. Sementara itu, kendali Jokowi atas banyak cabang kekuasaan negara juga memberinya keleluasaan untuk dapat membalas berbagai ancaman, termasuk yang direpresentasikan lewat revisi UU TNI.

UU TNI tentu memberi keuntungan bagi Prabowo, terutama untuk memperluas pengaruhnya dalam mengontrol institusi militer. Aturan baru ini memberikan justifikasi hukum yang lebih kuat untuk perluasan peran TNI, yang diharapkan dapat digunakan Prabowo untuk mendapatkan loyalitas yang lebih besar dari figur-figur militer yang berpengaruh.


Tantangan membentuk rezim otoriter 

Di ujung pemerintahannya pada tahun 2024 lalu, Jokowi telah menunjukkan ambisinya dalam memperpanjang masa jabatan presiden melalui amandemen konstitusi. Namun, usulan ini ditolak oleh partainya sendiri, PDIP, terutama karena bertentangan dengan agenda ketua umum partai, Megawati Soekarnoputri, yang saat itu berkepentingan menominasikan putrinya sebagai kandidat calon presiden 2024. Pada akhirnya, Jokowi justru meninggalkan PDIP dan berbalik mendukung Prabowo. Hal ini menyebabkan persaingan sengit antara Jokowi dan Megawati.

Amandemen UU TNI mengindikasikan bahwa Prabowo juga berambisi mengonsentrasikan kekuasaan dalam genggamannya sendiri. Akan tetapi, ia terlebih dahulu harus mengurangi pengaruh Jokowi. Salah satu caranya adalah dengan mengonsolidasikan militer, dan mungkin juga dengan membangun aliansi dengan Megawati.

Meskipun Megawati sebelumnya menolak usulan amandemen UU TNI tahun 2004, pada akhirnya, anaknya, Puan Maharani, yang juga Ketua DPR RI, secara aktif mendukung pengesahan revisi itu. Karena revisi UU TNI dengan jelas menguntungkan militer, tampak bahwa manuver PDIP adalah bagian dari upaya membangun pengaruh kepada institusi koersi ini dan juga Prabowo.

Manuver ini dilakukan terutama setelah KPK pada akhirnya menahan Sekretaris Jenderal PDIP Hasto Kristiyanto, pada Februari 2025. Hasto ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus suap pada Desember 2024, akan tetapi penundaan penahannya diduga sebagai hasil negosiasi antara Megawati dan Prabowo. Namun, penahanan Hasto tampaknya membuat kepercayaan Megawati untuk menjadikan Prabowo sebagai sekutunya menjadi memudar. Instruksi Megawati kepada kadernya agar kepala daerah dari PDIP tidak menghadiri retret pemerintah pada 21-28 Februari 2025 merefleksikan hal ini.

Penangkapan Hasto juga merupakan pengingat yang kuat bagi semua aktor politik lain bahwa Jokowi masih punya pengaruh atas KPK dan dapat mengerahkannya, termasuk untuk melemahkan musuh politiknya, Megawati dan PDIP. 

Sebagaimana UU TNI, rencana amandemen UU Kepolisian, UU Kejaksaan, dan KUHAP akan menjadi arena kontestasi baru bagi Prabowo, Megawati, dan Jokowi. Paket revisi aturan ini memuat reformulasi kewenangan penyidikan lembaga penegak hukum, yang akan kembali membuka ruang kontestasi bagi faksi-faksi politisi dan pengusaha. Seperti telah ditunjukkan Jokowi dalam beberapa tahun terakhir, kontrol atas lembaga-lembaga penegak hukum dengan kewenangan penyidikan yang substansial memberi kesempatan baginya dalam mempermainkan kasus-kasus hukum untuk tujuan-tujuan politik sempit.

Singkatnya, revisi UU TNI merefleksikan persoalan yang lebih kompleks dari sekadar kembalinya dwifungsi militer atau bangkitnya pemerintahan otoriter. UU ini mencerminkan proses negosiasi kekuasaan di antara kekuatan-kekuatan ekonomi-politik utama, yang tak satupun sungguh-sungguh dominan–atau, setidaknya belum dominan.


Abdil Mughis Mudhoffir adalah research fellow Alexander von Humboldt di German Institute for Global and Area Studies (GIGA), Hamburg, Germany dan honorary fellow di Asia Institute, University of Melbourne, Australia.

Rafiqa Qurrata A’yun adalah dosen Fakultas Hukum di Universitas Indonesia dan  associate di Centre for Indonesian Law, Islam and Society (CILIS), Melbourne Law School, University of Melbourne, Australia.

Artikel ini merupakan terjemahan dari “The new TNI Law is about much more than just military dual function” yang diterbitkan Indonesia at Melbourne pada 4 April 2025, dengan sejumlah penyuntingan dan penambahan oleh penulis. Penerjemahan dan penerbitan di Indoprogress untuk tujuan pendidikan atas seizin penerbit.

]]>
Ketidakacuhan Politik https://indoprogress.com/2024/03/ketidakacuhan-politik/ Fri, 29 Mar 2024 02:48:07 +0000 https://indoprogress.com/?p=238051

Ilustrasi: Illustruth


Pengantar Penerjemah

KETIDAKACUHAN politik yang dikritik Marx dalam tulisan ini bukan sembarang ketidakacuhan politik. Ini adalah ketidakacuhan politik yang muncul dari cara berpikir tertentu di kalangan kiri. Cara berpikir ini berangkat dari anggapan bahwa perjuangan kelas pekerja harus mengikuti ideal-ideal tertentu. Misalnya, harus mewujudkan revolusi dan menolak reformasi.

Masalahnya, ideal-ideal ini belum tentu bisa diwujudkan atau dipraktikkan dalam kondisi material yang berlaku. Revolusi, misalnya, tidak bisa diwujudkan kapan saja dan di mana saja kita mau, karena ia mensyaratkan kondisi objektif tertentu. Ketika kondisi objektifnya belum memadai untuk revolusi, dan yang dimungkinkan hanyalah reformasi, apakah kelas pekerja harus menolak reformasi? 

Kaum kiri yang dikritik Marx memilih untuk menolak reformasi. Bagi mereka, kelas pekerja lebih baik tidak mendapat capaian apa pun daripada ideal-ideal mereka ternodai. “Biarkanlah kelas kita disalib, biarkanlah ras kita punah, tetap hendaklah prinsip-prinsip abadi tetap tak ternoda,” sindir Marx. 

Karena cara berpikir yang konyol itu tidak diikuti secara luas oleh kelas pekerja, mereka pun terobsesi mengkritik gerakan kelas pekerja dan capaian-capaiannya. Tapi, mereka juga tidak menawarkan sesuatu yang lebih baik dan bisa dipraktikkan atau diwujudkan dalam kondisi material yang berlaku. Mereka mungkin punya visi perombakan radikal, tapi perwujudannya ada di masa depan yang tak tentu.

Jadi, mereka “mendorong kelas pekerja untuk menolak setiap alat perjuangan yang nyata” tanpa menawarkan alternatif yang nyata. Mungkin mereka ingin kelas pekerja menunggu saja perombakan radikal yang “akan terjadi suatu saat di suatu sudut dunia ini, tidak ada yang tahu bagaimana, atau melalui siapa.” Saat menunggu, kelas pekerja dibiarkan menerima keadaan yang berlaku. Inilah makna istilah “ketidakacuhan politik” yang digunakan Marx. Kaum kiri ini mendorong kelas pekerja untuk tidak acuh atau pasif dengan kondisi yang berlaku. 

Tulisan ini diterjemahkan karena kecenderungan yang dikritik Marx itu masih ada pada zaman sekarang ini di Indonesia. Mungkin bentuknya tidak persis sama, tapi logika dasarnya sama. Jika kecenderungan itu muncul di zaman Marx di kalangan sosialis utopis seperti John Bray atau anarkis seperti Proudhon, di Indonesia saat ini, kecenderungan itu juga muncul di kalangan marxis.

Ini bisa dilihat dalam sikap Perhimpunan Sosialis Revolusioner (PSR) terhadap Partai Buruh (PB). Dalam tulisan “Hanya satu pilihan dalam pemilu kali ini: pilih revolusi!”, PSR mengkritik PB yang mengusung agenda negara kesejahteraan. Menurut mereka, ini penyebab “kaum buruh dan kaum muda tidak antusias sama sekali dengan partai baru ini.” Harusnya PB mengusung agenda sosialis. Jika saja PB mengusung agenda sosialis, PB “akan bisa menangkap imajinasi buruh dan muda luas… dan sungguh-sungguh menjadi partai massa.” 

Di balik sikap PSR, terdapat asumsi bahwa agenda sosialis sudah punya pijakan di kesadaran buruh dan kaum muda secara luas. Tidak sulit melihat betapa kelirunya asumsi ini. Betul bahwa suara PB kecil, tapi apakah massa buruh yang tidak memilih PB tidak memilihnya karena menginginkan agenda sosialis? Kalau betul demikian, kenapa mereka tidak berbondong-bondong masuk ke organisasi-organisasi sosialis? Kenapa organisasi-organisasi sosialis yang sekarang ada malah stagnan atau bahkan merosot?

Jawabannya mudah: kebanyakan massa buruh dan kaum muda tidak memilih PB bukan karena mereka menginginkan agenda sosialis, tapi karena mereka masih dicengkeram oleh hegemoni kapitalis. Alih-alih bergabung ke organisasi sosialis, mereka memilih partai-partai borjuis seperti PDIP, Golkar, Gerindra, dlsb. Jadi, jangankan agenda sosialis, agenda negara kesejahteraan yang mungkin lebih sering diusung dalam aksi-aksi buruh, seperti aksi-aksi jaminan sosial, ternyata masih belum punya pijakan yang kuat di kesadaran buruh dan kaum muda secara luas.

Di sini, cara berpikir PSR punya kesamaan dengan cara berpikir kaum kiri yang dikritik Marx dalam tulisan ini, yaitu memaksakan idealitas tertentu ke kondisi material yang tidak kompatibel dengannya. Apakah rasional mengharuskan PB mengusung agenda sosialis kendati agenda sosialis belum punya pijakan di kesadaran massa buruh dan kaum muda secara luas? Apakah rasional mengharuskan PB menjadi partai massa sosialis di saat prasyarat material bagi terwujudnya sebuah partai massa sosialis belum mencukupi? 

Tentu saja irasional. Partai massa sosialis hanya mungkin terwujud ketika agenda sosialis sudah punya pijakan di kesadaran massa buruh dan kaum muda secara luas. Dan kondisi itu belum ada sekarang ini. Pertanyaan lanjutannya, ketika kondisi material yang diperlukan untuk terwujudnya sebuah partai massa sosialis belum memadai, dan yang dimungkinkan hanyalah sebuah partai massa reformis seperti PB, apakah kita harus menolak partai massa reformis tersebut? Apakah lebih baik kelas pekerja tidak punya partai massa sama sekali daripada punya partai massa tapi reformis? 

Orang sosialis yang berpikiran sehat tentu akan berpikir begini: lebih baik kelas pekerja punya partai massa reformis daripada tidak punya partai sama sekali. Karena kehadiran partai massa reformis bisa ikut memajukan perjuangan kelas, terutama saat kapasitas gerakan sosialis untuk melakukan hal itu masih sangat terbatas. Ini bisa kita lihat dalam kasus PB. Di samping kelemahannya, seperti oportunisme sebagian pemimpinnya, PB juga berkontribusi pada kemajuan perjuangan kelas di Indonesia sampai derajat tertentu.

Misalnya, PB atau gerakan buruh reformis ikut mendorong perluasan kesadaran politik untuk menguasai negara di kelas pekerja. Pada tahun 2000-an awal, segmen kelas pekerja yang punya kesadaran ini kecil, yaitu kelas pekerja kiri yang suka meneriakkan slogan “Buruh Berkuasa, Rakyat Sejahtera!” Sekitar akhir 2011, muncul slogan “dari pabrik ke publik” yang berlanjut dengan “buruh go politics” di gerakan buruh reformis. 

Dalam pemilu legislatif 2014, FSPMI menyebar anggota mereka untuk menjadi calon legislatif di partai-partai borjuis. Pada Pilkada Kabupaten Bekasi 2017, Obon Tabroni maju sebagai calon bupati independen. Proses ini berlanjut sampai dengan pembentukan PB untuk pemilu 2024. Setelah PB terbentuk, mereka yang tetap ingin di partai-partai borjuis, seperti Obon di Gerindra, dipecat dari FSPMI.

Dengan berpartisipasi di Pemilu 2024, PB memberikan pengalaman juang baru ke sejumlah besar buruh. Para buruh ini jadi punya pengalaman dan pengetahuan politik elektoral. Kemudian, PB mempopulerkan isu parliamentary dan presidential threshold di massa buruh dengan melakukan judicial review terhadap kedua aturan itu. Selama ini, isu aturan kepemiluan yang tidak demokratis adalah isu yang sulit untuk dipopulerkan di rakyat pekerja. Tapi, PB cukup berhasil mengangkat isu ini.

Kemudian, PB mendapatkan 972.910 atau 0,64 persen suara di Pemilu 2024. Masih jauh dari signifikan kalau untuk pemilu. PB juga gagal memenuhi parliamentary threshold untuk bisa masuk DPR RI. Tapi, PB berhasil membendung pengaruh partai-partai borjuis di 972.910 pemilih. Setidaknya para pemilih PB itu tidak menyalurkan suaranya ke partai-partai borjuis. Setengah dari 972.910 pemilih yang mungkin bukan anggota PB,1Untuk bisa memenuhi syarat sebagai peserta pemilu, sebuah partai harus memiliki anggota setidaknya hampir 400.000 orang. Jumlah anggota PB tampaknya tidak jauh lebih besar dari ini, karena saat verifikasi KPU, sempat ada masalah beberapa exco daerah yang belum memenuhi syarat. juga bisa diorganisir oleh PB ke depannya. Jumlah ini lumayan jika dibandingkan dengan yang selama ini bisa dijangkau oleh gerakan sosialis.

Tentu saja, dorongan maju bukan satu-satunya daya yang bekerja di gerakan buruh reformis. Ada juga daya yang berusaha menariknya mundur. Pada Pemilu 2019, misalnya, KSPI mendukung Prabowo. Di May Day 2023, terjadi peristiwa cium tangan Ganjar oleh Said Iqbal. Tarik-menarik antara dorongan maju dan mundur ini mencerminkan dua aspek yang berkontradiksi dalam gerakan buruh reformis. Pertama, kepentingan kelas, khususnya di tingkat basis, yang mendorongnya maju. Kedua, oportunisme sebagian pemimpinnya yang menariknya mundur.

Itu kenapa sikap mengapresiasi kehadiran partai massa reformis bukan berarti kita harus membuntutinya. Sikap yang tepat adalah membantunya secara kritis. Di saat aspek kepentingan kelasnya mendorongnya maju, kita membantu mereka agar mereka terdorong lebih maju lagi. Di saat aspek oportunisme sebagian pimpinannya menariknya mundur, kita mengkritik dan menentang oportunisme tersebut.

Sekarang ini, aspek kepentingan kelas dari gerakan buruh reformis tampak masih berperan kuat. Secara umum gerakan buruh reformis masih memperlihatkan kemajuan. Tapi mungkin ini tidak akan berjalan selamanya. Akan ada momen di mana kontradiksi antara aspek kepentingan kelasnya dan oportunisme sebagian pemimpinnya menajam dan mencapai titik didih. 

Ketika ini terjadi, ada setidaknya dua kemungkinan: (1) aspek oportunisme sebagian pemimpinnya berhasil menundukkan aspek kepentingan kelasnya, sehingga basis-basis yang kecewa mengalami demoralisasi meluas, dan gerakan buruh reformis mengalami kemunduran kronis, atau (2) aspek kepentingan kelasnya memberontak keluar dari cangkang reformisnya, dan gerakan buruh reformis berubah menjadi gerakan buruh yang lebih progresif.

Kemungkinan butir (2) hanya bisa terjadi jika basis-basis gerakan buruh reformis yang kecewa dengan para pemimpinnya menemukan saluran baru yang sesuai aspirasi mereka: sebuah formasi yang bukan hanya berperspektif sosialis, tapi juga punya kapasitas yang meyakinkan dan bisa menjadi teladan bagi massa buruh. Formasi ini tidak akan bisa terbentuk jika kaum sosialis tidak memvaksin diri mereka dari berbagai penyakit, termasuk penyakit idealisme kekanak-kanakan. Penerjemahan artikel ini ditujukan untuk kepentingan itu. Selamat membaca dan semoga bermanfaat.

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.


Ketidakacuhan Politik

“Kelas pekerja tidak boleh membentuk partai politik untuk diri mereka sendiri; mereka tidak boleh, dengan alasan apa pun, terlibat dalam tindakan politik, karena memerangi negara adalah sama dengan mengakui negara: dan ini bertentangan dengan prinsip-prinsip abadi. Para pekerja tidak boleh mogok; karena berjuang meningkatkan upah mereka atau mencegah penurunannya adalah seperti mengakui upah: dan ini bertentangan dengan prinsip-prinsip abadi emansipasi kelas pekerja!

“Jika dalam perjuangan politik melawan negara borjuis, para pekerja hanya berhasil memperoleh konsesi-konsesi, maka mereka bersalah karena berkompromi; dan ini bertentangan dengan prinsip-prinsip abadi. Karenanya, semua gerakan yang damai, seperti yang suka diikuti oleh para pekerja Inggris dan Amerika dengan kebiasaan buruk mereka, harus dibenci. Para pekerja tidak boleh berjuang untuk penetapan batasan hukum atas jam kerja, karena ini berarti berkompromi dengan para majikan, yang kemudian hanya bisa mengeksploitasi mereka selama sepuluh atau dua belas jam, alih-alih empat belas atau enam belas jam. Mereka bahkan tidak boleh berjuang untuk melarang secara hukum perekrutan anak-anak di bawah umur sepuluh tahun untuk bekerja di pabrik, karena dengan melakukan itu, mereka tidak mengakhiri eksploitasi anak-anak di atas umur sepuluh tahun: mereka, dengan demikian, membuat kompromi baru, yang mengotori kemurnian prinsip-prinsip abadi.

“Bahkan para pekerja seharusnya tidak begitu menginginkan, seperti yang terjadi di Amerika Serikat, kewajiban negara, yang anggarannya membengkak karena apa yang diambil dari kelas pekerja, untuk memberikan pendidikan dasar bagi anak-anak pekerja: karena pendidikan dasar bukanlah pendidikan yang lengkap. Lebih baik laki-laki dan perempuan pekerja tidak bisa membaca atau menulis atau berhitung daripada mereka harus menerima pendidikan dari seorang guru di sebuah sekolah yang dijalankan oleh negara. Jauh lebih baik jika kebodohan dan waktu kerja enam belas jam menurunkan kualitas kelas pekerja daripada melanggar prinsip-prinsip abadi.

“Jika perjuangan politik kelas pekerja menggunakan kekerasan dan jika para pekerja mengganti kediktatoran kelas borjuis dengan kediktatoran revolusioner mereka sendiri, maka mereka bersalah atas kejahatan lèse-principe yang mengerikan; karena, untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari mereka yang hina dan duniawi, dan untuk menghancurkan perlawanan kelas borjuis, mereka memberikan negara bentuk yang revolusioner dan transisional, alih-alih meletakkan senjata mereka dan menghapus negara. Para pekerja bahkan tidak boleh membentuk satu serikat tunggal untuk setiap jenis pekerjaan, karena dengan melakukannya, mereka melanggengkan pembagian kerja secara sosial seperti yang mereka temukan dalam masyarakat borjuis; pembagian ini, yang memfragmentasi kelas pekerja, adalah basis sebenarnya dari perbudakan mereka saat ini.

“Singkatnya, para pekerja harus bersedekap dan berhenti membuang-buang waktu dalam gerakan politik dan ekonomi. Gerakan ini tidak akan pernah bisa menghasilkan apa-apa kecuali hasil-hasil jangka pendek. Sebagai orang yang benar-benar religius, mereka harus mencemooh kebutuhan sehari-hari dan meneriakkan dengan suara penuh keyakinan: “Biarkanlah kelas kita disalib, biarkanlah ras kita punah, tetap hendaklah prinsip-prinsip abadi tetap tak ternoda! Sebagai umat Kristen yang saleh, mereka harus mempercayai kata-kata pastor mereka, membenci hal-hal baik di dunia ini dan hanya berpikir tentang pergi ke Surga. Gantikan Surga dengan pembongkaran sosial yang akan terjadi suatu saat di suatu sudut dunia ini, tidak ada yang tahu bagaimana, atau melalui siapa, dan mistifikasinya sama dalam segala aspek.

“Karenanya, untuk mengantisipasi terjadinya pembongkaran sosial yang terkenal ini, kelas pekerja harus berperilaku terhormat, seperti kawanan domba yang makannya berkecukupan; mereka harus membiarkan pemerintah dalam damai, takut dengan polisi, menghormati hukum dan menawarkan diri tanpa keluhan sebagai tumbal.

“Dalam kehidupan praktis sehari-hari, para pekerja harus menjadi pelayan negara yang paling taat; tetapi di hati mereka, mereka harus memprotes keberadaan negara secara energik, dan membuktikan penolakan teoritik mereka yang mendalam atasnya dengan mencari dan membaca risalah-risalah tertulis tentang penghapusan negara; mereka harus lebih menahan diri dengan hati-hati untuk tidak melawan rezim kapitalis, kecuali dengan deklarasi tentang masyarakat masa depan, ketika rezim yang dibenci ini sudah tidak ada lagi!

Tidak dapat dipungkiri, jika nabi-nabi ketidakacuhan politik mengekspresikan diri mereka dengan kejernihan seperti itu, kelas pekerja akan menolak mereka dan marah karena dihina oleh para borjuis doktriner dan tuan-tuan yang turun status ini, yang sangat bodoh atau begitu naif sehingga mencoba mendorong kelas pekerja untuk menolak setiap alat perjuangan yang nyata. Karena semua senjata untuk berjuang harus diambil dari masyarakat sebagaimana adanya, dan kondisi fatal dari perjuangan ini, sialnya, tidak mudah disesuaikan dengan fantasi-fantasi idealistik yang diagungkan oleh para doktor ilmu sosial ini sebagai keilahian, di bawah nama Kebebasan, Otonomi, Anarki.

Meskipun demikian, gerakan kelas pekerja saat ini sangatlah kuat sehingga kaum sektarian filantropis ini tidak berani mengulang untuk perjuangan ekonomi kebenaran-kebenaran agung yang mereka proklamirkan tanpa henti untuk perjuangan politik. Mereka terlalu pengecut untuk tetap menerapkannya pada pemogokan, perserikatan, serikat pekerja berbasis profesi, hukum tenaga kerja perempuan dan anak-anak, hukum pembatasan jam kerja, dll.

Sekarang, mari kita lihat apakah mereka masih bisa dibawa kembali ke tradisi lama yang baik, ke kesederhanaan, itikad baik dan prinsip-prinsip abadi.

Karena kondisi sosial saat itu belum cukup berkembang untuk memungkinkan kelas pekerja membentuk diri mereka sebagai sebuah kelas yang militan, kaum sosialis generasi pertama (Fourier, Owen, Saint-Simon, dll.) niscaya harus membatasi diri mereka pada mimpi-mimpi tentang model masyarakat masa depan dan karenanya terdorong untuk mengutuk segala upaya seperti pemogokan, perserikatan atau gerakan politik yang dilakukan para pekerja untuk memperbaiki nasib mereka. Tetapi, meskipun kita tidak bisa menolak para leluhur sosialisme ini, sama seperti ahli-ahli kimia tidak bisa menolak para alkemis sebagai leluhur mereka, kita setidaknya harus menghindari terjerumus ke dalam kesalahan-kesalahan mereka, yang jika kita melakukannya, tidak bisa dimaafkan.

Namun, di kemudian hari, pada 1839, ketika perjuangan ekonomi dan politik kelas pekerja di Inggris sudah memiliki karakter yang cukup mencolok, Bray, salah satu murid Owen dan salah satu dari sekian banyak orang yang jauh sebelum Proudhon menemukan gagasan mutualisme, menerbitkan sebuah buku yang berjudul Kesalahan Buruh dan Solusi Buruh.

Dalam bab tentang ketidakefektifan dari semua solusi yang dituju oleh perjuangan saat ini, ia melancarkan kritik yang kejam terhadap semua aktivitas, baik politik maupun ekonomi, dari kelas pekerja Inggris, mengutuk gerakan politik, pemogokan, pembatasan jam kerja, pembatasan kerja perempuan dan anak-anak di pabrik, karena semua ini –atau begitulah kata dia- alih-alih mengeluarkan kita dari kondisi masyarakat saat ini, membuat kita tetap berada di sana dan tidak menghasilkan apa-apa kecuali membuat antagonisme yang ada menjadi lebih keras.

Ini membawa kita kepada sang peramal dari para doktor ilmu sosial ini, M. Proudhon. Meskipun sang guru memiliki keberanian untuk menyatakan dirinya dengan tegas menentang semua aktivitas ekonomi (perserikatan, pemogokan, dll.) yang bertentangan dengan teori-teori penebusannya tentang mutualisme, pada saat yang bersamaan melalui tulisan-tulisan dan partisipasi pribadinya, ia mendorong gerakan kelas pekerja, dan murid-muridnya agar tidak menyatakan penentangan mereka secara terbuka. Sudah sejak 1847, ketika karya besar sang guru, Sistem Kontradiksi Ekonomi, baru saja muncul, saya menyanggah sofismenya terhadap gerakan kelas pekerja2P. J. Proudhon, Système des contradictions économiques, ou philosophie de la misère (1846). Ini adalah karya yang ditanggapi oleh Marx dengan bukunya Kemiskinan Filsafat (1847).. Meskipun demikian, setelah loi Ollivier, yang memberikan para pekerja Prancis, dalam bentuk yang sangat terbatas, hak berserikat tertentu, Proudhon kembali ke tuduhannya dalam buku Kapasitas Politik Kelas Pekerja, yang diterbitkan beberapa hari setelah kematiannya.

Ketegasan sang guru begitu sesuai dengan selera kaum borjuis sehingga The Times, pada pemogokan besar para penjahit di London pada 1866, memberikan kehormatan kepada Proudhon dengan menerjemahkan tulisannya dan mengutuk pemogokan itu dengan kata-kata sang guru sendiri. Berikut adalah beberapa kutipannya.

Para penambang Rive-de-Gier melakukan pemogokan; tentara dipanggil untuk membawa mereka kembali ke akal sehat. Proudhon berseru, ‘Pemerintah yang menembak para penambang Rive-de-Gier bertindak memalukan. Tetapi mereka bertindak seperti Brutus di zaman dulu yang terjebak di antara kasih sayang sebagai seorang ayah dan tugas konsulernya: ia perlu mengorbankan putra-putranya untuk menyelamatkan Republik. Brutus tidak ragu-ragu, dan keturunannya tidak berani mengutuknya.’3De la Capacité politique des class ouvrières, Paris, 1865, hlm. 413. Untuk menempatkan Proudhon dengan benar, ia tidak bermaksud membenarkan tindakan pemerintah Prancis, tetapi mengungkap ‘kontradiksi’ yang dilihatnya sebagai kejahatan yang tak terhindarkan dari tatanan sosial saat ini. Dalam semua ingatan kaum proletar, tidak ada catatan tentang seorang borjuis yang ragu-ragu mengorbankan para pekerjanya untuk menyelamatkan kepentingannya. Betapa brutusnya kaum borjuis itu!

‘Tidak juga: tidak ada hak untuk berserikat, sama seperti tidak ada hak untuk menipu atau mencuri atau melakukan inses atau perzinaan.’4ibid., hlm. 421. Meskipun demikian, jelas sekali ada hak untuk menjadi bodoh.

Lalu, apa prinsip-prinsip abadi, yang atas namanya sang guru melontarkan dengan keras kutukan mistiknya?

Prinsip abadi pertama: ‘Tingkat upah menentukan harga komoditas.’

Bahkan mereka yang tidak punya pengetahuan ekonomi politik, dan mereka yang tidak menyadari bahwa ekonom besar borjuis, Ricardo, dalam bukunya Prinsip-Prinsip Ekonomi Politik, yang diterbitkan pada 1817, sudah membantah kesalahan yang berlangsung lama ini untuk selamanya, tetap menyadari fakta yang luar biasa bahwa industri Inggris bisa menjual produk-produknya dengan harga jauh lebih rendah dari negara-negara lain, meskipun upah di Inggris relatif lebih tinggi daripada di negara-negara Eropa lainnya.

Prinsip abadi kedua: ‘hukum yang mengesahkan serikat sangat anti-yuridis, anti-ekonomi dan bertentangan dengan tatanan dan masyarakat apa pun.’5ibid., hlm. 424. Singkatnya, ‘bertentangan dengan hak ekonomi persaingan bebas.’

Jika saja sang guru tidak begitu chauvinis, ia mungkin sudah bertanya ke dirinya sendiri, bagaimana mungkin 40 tahun yang lalu, sebuah peraturan hukum yang bertentangan dengan hak ekonomi persaingan bebas, disahkan di Inggris; dan seiring berkembangnya industri, serta bersamanya persaingan bebas, peraturan hukum ini – yang begitu bertentangan dengan tatanan dan masyarakat apa pun – memaksakan dirinya sebagai sebuah kebutuhan bahkan bagi negara borjuis itu sendiri. Dia mungkin akan menemukan bahwa hak ini (dengan H besar) hanya ada di buku Panduan Ekonomi yang ditulis oleh Kakak Beradik Kebodohan dari ekonomi politik borjuis, di dalam mana terdapat mutiara-mutiara seperti ini: ‘Kepemilikan adalah hasil dari kerja (mereka lupa menambahkan, ‘dari kerja orang-orang lain’).

Prinsip abadi ketiga: ‘Karenanya, dengan alasan mengangkat kelas pekerja dari kondisi yang disebut sebagai inferioritas sosial, penting untuk memulainya dengan mengutuk seluruh kelas warga negara, kelas bos, pengusaha, majikan dan borjuis; penting untuk membangkitkan demokrasi pekerja untuk merendahkan dan membenci anggota kelas menengah yang tidak layak ini; penting untuk lebih memilih perang industri dan perdagangan daripada represi hukum, dan antagonisme kelas daripada negara polisi.’6ibid., hlm. 426.

Sang majikan, untuk mencegah kelas pekerja keluar dari apa yang disebut sebagai inferioritas sosialnya, mengutuk serikat yang membentuk kelas pekerja menjadi kelas yang antagonistik terhadap kategori majikan, pengusaha dan borjuis yang terhormat, yang untuk diri mereka tentu lebih menyukai, sama dengan Proudhon, negara polisi daripada antagonisme kelas. Agar kelas yang terhormat ini tidak tersinggung, M. Proudhon yang baik merekomendasikan kepada para pekerja (hingga terwujudnya rezim mutualis, terlepas dari kerugian seriusnya) kebebasan atau persaingan, ‘satu-satunya jaminan’ kita.

Sang guru mengkhotbahkan ketidakacuhan dalam urusan ekonomi –untuk melindungi persaingan atau kebebasan borjuis, satu-satunya jaminan kita. Murid-muridnya mengkhotbahkan ketidakacuhan dalam urusan politik –untuk melindungi kebebasan borjuis, satu-satunya jaminan mereka. Jika umat Kristen awal, yang juga mengkhotbahkan ketidakacuhan politik, memerlukan tangan kaisar untuk mengubah diri mereka dari tertindas menjadi penindas, para nabi ketidakacuhan politik modern tidak meyakini bahwa prinsip-prinsip abadi mereka memaksa diri mereka untuk menjauhi kenikmatan duniawi dan privilese sementara dari masyarakat borjuis. Namun, kita harus mengakui bahwa mereka memperlihatkan stoisisme yang layak bagi para martir Kristen awal dalam mendukung empat belas atau enam belas jam kerja yang membebani para pekerja di pabrik-pabrik.


Mohamad Zaki Hussein menerjemahkan artikel Karl Marx,Political Indifferentism” (1873), ini dari marxists.org untuk tujuan pendidikan.

Catatan kaki

Catatan kaki
1 Untuk bisa memenuhi syarat sebagai peserta pemilu, sebuah partai harus memiliki anggota setidaknya hampir 400.000 orang. Jumlah anggota PB tampaknya tidak jauh lebih besar dari ini, karena saat verifikasi KPU, sempat ada masalah beberapa exco daerah yang belum memenuhi syarat.
2 P. J. Proudhon, Système des contradictions économiques, ou philosophie de la misère (1846). Ini adalah karya yang ditanggapi oleh Marx dengan bukunya Kemiskinan Filsafat (1847).
3 De la Capacité politique des class ouvrières, Paris, 1865, hlm. 413. Untuk menempatkan Proudhon dengan benar, ia tidak bermaksud membenarkan tindakan pemerintah Prancis, tetapi mengungkap ‘kontradiksi’ yang dilihatnya sebagai kejahatan yang tak terhindarkan dari tatanan sosial saat ini.
4 ibid., hlm. 421.
5 ibid., hlm. 424.
6 ibid., hlm. 426.
]]>