pki – IndoPROGRESS https://indoprogress.com Media Pemikiran Progresif Sat, 21 Jun 2025 21:08:51 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.4.3 https://indoprogress.com/wp-content/uploads/2021/08/cropped-logo-ip-favicon-32x32.png pki – IndoPROGRESS https://indoprogress.com 32 32 Aset Pendidikan Tionghoa dan Kekerasan Anti-Komunis 1965-1966 di Cirebon https://indoprogress.com/2025/06/kekerasan-anti-komunis-di-cirebon/ Sat, 21 Jun 2025 21:08:51 +0000 https://indoprogress.com/?p=239018

Ilustrasi: Illustruth


ADALAH ironi ketika kekerasan anti-komunis 1965–1966 diajarkan secara rutin di sekolah, tetapi sejarah kekerasan yang secara langsung terhubung dengan institusi pendidikan itu sendiri justru disenyapkan. Situasi seperti ini menghasilkan kontradiksi antara kurikulum pendidikan dan sejarah pembentukan bangsa di lingkup lokalnya. Dalam konteks pendidikan formal, kurikulum pelajaran “muatan lokal” (mulok) justru tidak memasukkan sejarah lokal, padahal itu semestinya menjadi ruang eksplorasi. Akibatnya, pengetahuan tentang sejarah, termasuk sejarah kekerasan, tidak dapat ditelusuri lebih jauh sehingga hanya bertahan dalam bentuk cerita lisan dan narasi klenik yang dimunculkan bilamana perlu.

Di SMA 2 Cirebon—bekas almamater sekolah saya—misalnya, seorang guru sejarah pernah bercerita tentang penampakan hantu siswi berseragam sekolah lama yang dikaitkan dengan SMA Garuda Cirebon, sekolah Tionghoa yang pernah menempati gedung tersebut sebelum peristiwa 1965 dan hilang ditelan Laut Utara setelahnya. Apa yang terjadi pada SMA Garuda? Bagaimana proses pemindahtanganan gedung ini terjadi? Mengapa hal ini memungkinkan? Semuanya tidak pernah dijelaskan.

Artikel ini berangkat dari narasi klenik pembentuk ingatan kolektif dan keterkaitannya dengan sejarah yang terpinggirkan di bekas tempat pendidikan saya. Tulisan ini bertujuan untuk menelusuri kembali sejarah lokal, tentang bekas-bekas aset pendidikan Tionghoa yang terafiliasi dengan organisasi kiri di Cirebon, dan telah berubah bentuk dan fungsi pasca-kekerasan anti-komunis 1965-1966. Melalui pendekatan lokalitas dalam sejarah ini, semoga muncul pemahaman lebih luas tentang bagaimana ingatan kolektif terkait peristiwa sejarah kekerasan tersebut dibentuk, disembunyikan, dan bertransformasi. Ia juga bisa menjadi bahan pendiskusian dalam melakukan penelusuran sejarah kekerasan anti-komunis 1965-1966 dalam pendekatan yang lebih luas.


Sekolah Tionghoa dalam Pusaran Demonstrasi 1965-1966

Dalam wawancara di Radar Cirebon, Abdul Rasyid Prasetyo atau akrab dipanggil Rasyid, mantan ketua Gugus Depan Pramuka Kota Cirebon dan bekas tahanan politik Pulau Buru, bercerita seputar peristiwa kekerasan anti-komunis 1965-1966 di daerahnya. Rasyid membahas kondisi politik dan kegiatan organisasi pra dan pasca-peristiwa 1965 di Kota Cirebon.

Ia menceritakan sosok R.S.A. Prabowo, anggota Serikat Buruh Kereta Api (SBKA) sekaligus Wali Kota Cirebon tahun 1960-1965. Setiap Rabu sore, Prabowo kerap memanggil Pramuka Kota Cirebon ke rumah dinasnya untuk membahas kerja-kerja dan koordinasi antara pembina Pramuka dan organisasi Pramuka—waktu itu semua kepala daerah merangkap pembina Pramuka. Setelah G30S, gelombang besar demonstrasi anti-komunis muncul di Cirebon. Prabowo, dengan latar belakang sebagai anggota serikat kiri, disasar massa. Sementara Rasyid dibuang ke Pulau Buru dan menjadi tahanan di sana selama 10 tahun karena dianggap dekat dengan Prabowo (Cribb, 1991: 37). 

Tak hanya tokoh, massa juga menyerang sekolahan. Di sinilah dia menyinggung SMA Garuda (dan SMA 2 Cirebon sebagai sekolah yang menggantikannya). “SMA 2 beruntung tidak dibongkar karena ada yang melarang… Waktu itu, SMA Garuda punya orang Tionghoa,” kata dia. Hingga hari ini belum jelas siapa yang mencoba membongkar dan siapa yang mencoba melarang pembongkaran. SMA Garuda sendiri berada dalam naungan Yayasan Pendidikan Garuda. Yayasan ini juga mengelola beberapa sekolah di tingkat bawah, SMP sampai SD. Yayasan Pendidikan Garuda berafiliasi dengan Badan Permusyawaratan Kewarganegaraan Indonesia (Baperki), organisasi yang dianggap sayap PKI

Beberapa guru dari sekolah Garuda akhirnya pindah ke sekolah lain. Marwoto, bukan nama sebenarnya, mengingat ada setidaknya empat guru SMP Garuda Cirebon pindah ke sekolahnya, SMP Negeri 1 Sindanglaut di Cirebon Timur. “Mereka diperkenalkan di sekolah beberapa bulan tidak jauh setelah peristiwa G30S terjadi, pas saya masih kelas 3 SMP,” katanya dalam wawancara pada 25 November 2023. Pemindahan ini kemungkinan besar merupakan upaya dari yayasan. Di sisi lain, kondisi para murid Garuda pasca-demonstrasi belum terjelaskan hingga saat ini.

Selain SMA Garuda, salah satu instansi pendidikan Tionghoa, Tiong Hwa Hwee Kwan Cirebon, terletak di Jalan Siliwangi, juga diambil alih pasca-malam 30 September. Rasyid, dalam surat kabar yang sama, menuturkan bagaimana gelombang demonstrasi massa menyasar sekolah tersebut. Ia tidak menjelaskan siapa yang mendemo tempat tersebut.

Sukasa, bukan nama sebenarnya, mantan tahanan politik yang pernah ditahan di Komando Resimen 063/ Sunan Gunung Jati (KOREM 063/ SGJ) yang terletak hanya 50 meter ke selatan dari Tiong Hwa Hwee Kwan Cirebon, menceritakan perubahan gedung tersebut sebelum dan sesudah ditahan. “Beberapa kali saya sempat lewat sekolah Tjung Hwa Tjung Hwe (Tiong Hwa Hwee Kwan) di perempatan Jalan Siliwangi dan Jalan Bahagia itu. Tapi pas saya ditahan hingga dibebaskan dari tahanan Korem Kota Cirebon tahun 1967, saya lihat Tjung Hwa Tjung Hwe sudah berubah menjadi Markas Ampera… Itu markasnya KAMI-KAPPI,” katanya dalam wawancara pada 30 November 2023. KAMI adalah Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia, sementara KAPPI singkatan dari Kesatuan Aksi Pemuda dan Pelajar Indonesia. Keduanya merupakan kelompok yang menyelenggarakan demonstrasi anti-komunis di berbagai kota. 

Setelah Markas Ampera, bangunan bekas sekolah Tiong Hwa Hwee Kwan juga sempat beralih fungsi menjadi kantor Komando Distrik Militer (Kodim) 0614/Kota Cirebon pada tahun 1970-an. Saat ini, baik bekas Markas Ampera dan Korem Kota Cirebon sudah berubah menjadi tempat perbelanjaan. Bekas Markas Ampera kini menjadi ASIA Toserba, sedangkan bekas Korem Kota Cirebon berubah menjadi Yogya Grand Cirebon.

Dari data yang tersedia sampai sekarang, upaya pendudukan aset dan properti organisasi kiri di Cirebon paling banyak dilakukan oleh organisasi massa, pemuda, dan pelajar.


Aksi Massa dalam Peristiwa Kekerasan 1965 di Cirebon

Catatan awal tentang gelombang protes, kerusuhan, dan tuntutan pembubaran organisasi-organisasi kiri berasal dari laporan Bupati Kabupaten Cirebon 1965-1966 R. Soemioto pada April 1966. Dinyatakan bahwa pimpinan Ban Pepelrada (Penguasa Pelaksana Dwikora Daerah) Kotapradja/Kabupaten Tjirebon merestui gerakan kesatuan aksi yang terdiri dari banyak organisasi, seperti KAMI, KAPPI, KOKADA (Komando Kesatuan Aksi Pemuda), KABI (Kesatuan Aksi Buruh Indonesia), KAPNI (Kesatuan Aksi Pengusaha Nasional Indonesia), dan  K.P.3 (Kesatuan Aksi Penjelamat Pendidikan Pantjasila). 

Kesatuan aksi ini sendiri dinyatakan sebagai “tuntutan murni yang timbul dari hati nurani”, menyasar PKI dan kemudian PNI (Ali-Surachman), sekaligus ”secara khusus menyoroti bidang-bidang sosial-ekonomi dan Perusahaan Negara yang berada di Kabupaten Cirebon.” Penyebaran pamflet tuntutan, coretan di tembok, dan demonstrasi dilakukan demi merealisasikan “Tri Tuntutan” (Dinas Pusat Arsip dan Dokumen Kabupaten Cirebon, 1966).

Berdasarkan laporan R. Soemioto, demonstrasi massa tampaknya terjadi dalam dua gelombang. Gelombang aksi pertama dilakukan untuk membersihkan PKI dan organisasi yang berafiliasi dengannya, sedangkan gelombang aksi kedua secara jelas dituliskan dilakukan guna membersihkan PNI (Ali-Surachman).

Laporan R. Soemioto tidak menjabarkan lebih lanjut tentang gelombang aksi pertama. Sumber lain juga minim sehingga belum dapat dipahami dengan detail siapa saja yang berperan, apa saja yang mereka sasar, dan bagaimana gelombang aksi ini dilancarkan. Namun, berdasarkan tuturan Rasyid, penyerangan terhadap SMA Garuda dan Tiong Hwa Hwee Kwan, serta agresi terhadap organisasi dan orang-orang kiri masif dilakukan pada gelombang pertama ini.

Sementara gelombang aksi kedua, yang menyasar anggota-anggota PNI khususnya yang berafiliasi dengan kubu Ali-Surachman, dilakukan sejak April 1966. Demonstrasi dan protes ini dapat dilihat sebagai salah satu upaya lanjutan bagi pembangunan Orde Baru, atau apa yang disebut sebagai pengorde-baruan (new orderisation) (Leksana, 2023: 121). Dengan sasaran spesifik, anggota PNI (Ali-Surachman) yang  condong pada golongan nasionalis-kiri dan sukarnois, operasi ini mencoba menghilangkan pengaruh Sukarno sekaligus membuka jalan bagi propaganda Golkar untuk memenangkan pemilu mendatang (Leksana, 2023: 122).

Upaya pembersihan PKI dan PNI (Ali-Surahaman) ini berlanjut ke wilayah Kuningan, Jawa Barat. Harian KAMI melaporkan bahwa pada 6-11 Agustus 1966 KAPPI se-Jawa Barat menyelenggarakan pertemuan di Gedung Bioskop Cirebon dalam rangka “Up-Grading dan pembekalan aksi TURSA (Turun Ke Desa)” ke perdesaan di Kuningan. Acara ini dihadiri oleh Pangdam Siliwangi Mayjen Dharsono, Moh. Hatta (dan ditulis mengharapkan kedatangan Brigadir Jendral Sarwo Eddy serta Bung Tomo).

Tidak disebutkan kapan kegiatan Tursa ini akan dilaksanakan, dan bagaimana pula ini berlangsung. Namun acara ini dikatakan untuk “menegakkan Orde Baru dan mendobrak Orde Lama” serta “mengadakan show of force” (Harian KAMI edisi 9 Agustus 1966). Show of force tidak lain dilakukan untuk menunjukkan kekuasaan militer—biasanya sembari disambut dan dirayakan oleh organisasi massa pendukungnya—atas keberhasilan dalam penumpasan PKI (Roosa, 2024: 249) dan menandai deklarasi terbentuknya Orde Baru (Leksana, 2023: 145).

Narasi tentang penyerangan maupun perampasan aset-aset organisasi kiri dalam arsip-arsip penumpasan G30S atau yang berkaitan memang tidak pernah disebutkan secara jelas, namun ia sering diawali dengan aksi-demonstrasi oleh organisasi massa pemuda, pelajar, dan keagamaan. Aksi organisasi-organisasi ini, yang mengatasnamakan gerakan mereka “datang dari hati nurani”, dapat dilihat sebagai salah satu metode perampasan aset organisasi kiri selain penyitaan langsung oleh militer.

Selain perampasan aset, retorika nasionalisme juga menjadi siasat untuk melegitimasi penahanan, penyiksaan, hingga pembantaian orang-orang kiri. Melalui operasi penumpasan G30S, retorika nasionalisme kemudian disubordinasikan. Orde Baru juga menjadikan nasionalisme guna menegaskan kepentingan negara (Langenberg dalam Cribb, 1991: 60) sekaligsu pembangunan ekonomi liberal (Robinson, 2009: 185).

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.


Penutup

Cerita tentang peristiwa kekerasan anti-komunis 1965-1966 yang terjadi dalam cakupan lokal, seperti apa yang diungkapkan dalam tulisan ini, tidak akan dijelaskan oleh guru-guru di semua sekolah di Indonesia. Paling-paling merereka hanya mengungkap sekilas saja, seperti guru sejarah saya. Untuk itu saya berterima kasih. 

Di pesisir sekaligus ujung timur Jawa Barat seperti wilayah Ciayumajakuning (Cirebon, Indramayu, Majalengka, dan Kuningan), meskipun kekerasan yang dilakukan secara langsung kepada warga sipil sangat ditekan, penghilangan terhadap orang-orang kiri maupun yang dituduh kiri turut hadir dan bertambah dari hari ke hari (Hughes, 1968; Young dalam Cribb, 1991: 94). Mereka yang tidak bernasib itu mengalami hari-hari penuh tekanan. Tidak sedikit pelajar yang tergabung dalam organisasi progresif seperti IPPI (Ikatan Pemuda Pelajar Indonesia) dan CGMI (Consentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia) maupun berasal dari keluarga yang dinyatakan terlibat G30S diharuskan wajib lapor hingga dikeluarkan paksa dari sekolah.

Ketika masih eksis, organisasi-organisasi ini merespons kondisi-kondisi ekonomi-politik di sekitarnya. Kiranya hal ini dapat menjadi bahasan selanjutnya bagi gerakan sekarang. Keterkaitan ekonomi-politik dan perampasan aset juga perlu diperdalam, khususnya dalam konteks akumulasi modal, apalagi sistem dan institusi pendidikan kini tidak lagi berfokus pada ilmu pengetahuan melainkan mencetak buruh murah.

Sekitar 100 meter ke utara dari SMA 2 Cirebon, berdiri kompleks ruko dan pasar tradisional bernama Gunungsari Trade Center (GTC). Pasar itu menjadi tempat siswa-siswi SMA 2 Cirebon—termasuk saya—nongkrong setiap hari sebelum pulang ke rumah masing-masing. Di sana pula kami biasa memarkirkan kendaraan, tidak jarang kehilangan helm bahkan motor. Tempat itu, menurut Rasyid masih di sumber yang sama, adalah bekas Gedung Gotong Royong, sebutan untuk kantor PKI Cirebon.

“Gedung itu habis diobrak-abrik dan dibakar massa”, ujar Rasyid. Tuturan Rasyid ini semakin melengkapi refleksi atas perasaan dan ingatan saya terhadap ruang-ruang yang berkaitan erat dengan masa SMA yang lampau.


Referensi

Buku

Cribb, R. “Problems in the historiography of the killings in Indonesia”, Dalam R. Cribb, The Indonesian Kiling 1965–1966: Studies from Java and Bali (1991). Clayton, Victoria: Centre of Southeast Asian Studies Monash University.

Langenberg, M. v. (1991). “Gestapu and State Power In Indonesia”, Dalam R. Cribb, The Indonesian Killings 1965-1966: Studies from Java and Bali (hal. 45-62). Clayton, Victoria: Centre of Southeast Asian Studies Monash University.

Leksana, G. T. (2023). Memory Culture of The Anti-Leftish Violence in Indonesia. Amsterdam: Amsterdam University Press.

Robinson, R. (2009). Indonesia: The Rise of Capital. Singapore: Equinox Publishing.

Roosa, J. (2024). Riwayat Terkubur: Kekerasan Antikomunis 1965-1966 di Indonesia. Tangerang Selatan: Marjin Kiri.

Young, K. R. (1991). “Local and National Influence In The Violence of 1965”, Dalam R. Cribb, The Indonesian Killings 1965-1966: Studies from Java and Bali (hal. 63 – 100). Clayton, Victoria: Centre of Southeast Asian Studies Monash University.

Surat Kabar

IPMI. (9 Agustus, 1966). Kappi ,,TURSA’’ Pelihara Militansi Perdjuangan. Harian KAMI. No. 34, hal. 1.

Kayla, C., & Nugraha, F. (2022, November 3). Aset Bisa Dirampas, Tetapi Memori Tetap Tinggal. Deduktif. https://deduktif.id/aset-bisa-dirampas-tetapi-memori-tinggal. Di akses pada tanggal 24 September 2024.

Suhendrik. (TT, TB TH). Setiap Rabu Sore Undang Pramuka ke Rumah Dinas. Radar Cirebon, No. TN, hal. 19.

Arsip

Soemioto. Buku Tjoretan dan Tjatatan serta Sorotan Kabupaten Tjirebon. (1966). Dinas Pusat Arsip dan Dokumen Kabupaten Cirebon, Cirebon.


Dzulfiusi Rafif adalah seorang sarjana antropologi dari Universitas Padjadjaran.

]]>
Hauntologi Komunisme https://indoprogress.com/2023/11/hauntologi-komunisme/ Wed, 29 Nov 2023 19:48:21 +0000 https://indoprogress.com/?p=237844

Ilustrasi: Illustruth


JACQUES Derrida (1993) memperkenalkan istilah “hauntologi” dalam karyanya, The Specters of Marx, dengan mengacu pada ungkapan Karl Marx yang sangat populer: “Ada hantu berkeliaran di Eropa; hantu komunisme.” Marx sendiri menubuatkan kehadiran hantu jenis ini dalam prolog karyanya, Das Manifest der Kommunistischen Partei (1848).

Hauntology adalah perpaduan dari kata haunt dengan ontology. Derrida menggunakan kata kerja to haunt untuk menegaskan fungsionalitas status ontologis. Ontologi berkutat pada pembuktian atau pendasaran keberadaan sebuah entitas. Hauntology tidak lagi meributkan keberadaan atau kehadiran sebuah entitas di masa kini, tetapi fungsionalitas entitas tersebut yang pernah hadir di masa lalu. Dalam bahasa yang lebih sederhana, hauntology berangkat dari paradigma bahwa efek hantu (yakni, fungsionalitasnya) jauh lebih nyata dan terasa daripada sosok hantu.

Latar belakang hauntology adalah kehancuran komunisme di Eropa, khususnya Uni Soviet. Kehancuran ideologi ini seolah-olah menegaskan bahwa Kapitalisme adalah satu-satunya alternatif untuk dunia, termasuk sebagai sebuah imajinasi. Hauntology Derrida dapat dibaca sebagai sebuah antitesis dari The End of History and the Last Man (1992) karya Francis Fukuyama.

Derrida ingin menegaskan bahwa kehancuran komunisme tidak berarti kehancuran warisan marxisme, sebab justru memunculkan sebuah bentuk dekonstruksi marxisme secara radikal. Warisan marxisme ini tetap hidup dan membayangi masyarakat pasca komunisme sebagai sebuah tradisi kritik terhadap Kapitalisme Liberal. Inilah yang disebut dengan efek hantu; masa lalu hadir di masa kini dengan modus subjunctive (pengandaian) dan keterbukaan subjek terhadap masa lalu memiliki peran penting dalam memahami masa kini sekaligus dalam mempersiapkan masa depan. Efek hantu bukanlah sebuah teror, tetapi kawan berdialog. Dengan demikian, menghantui bukanlah menakut-nakuti, tetapi sebuah ajakan untuk berdialog.

Hauntology bisa menjadi semacam kaca mata untuk membaca desas-desus isu kebangkitan komunisme . Pada era Orde Baru, isu komunisme digunakan oleh pihak pemerintah untuk membungkam kelompok oposisi. Istilah komunisme menjadi label bagi siapa saja yang bersikap kritis terhadap pemerintah. Sekarang yang terjadi adalah sebaliknya. Pihak pemerintah menjadi sasaran pelabelan komunisme yang dilontarkan oleh kelompok oposisi. Di dalam kontestasi pemilihan presiden 2014 dan 2019, tudingan komunisme dilemparkan kepada sosok Joko Widodo. Selain itu, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan juga menjadi sasaran isu komunisme (Safitri, 2022). Kelanggengan hantu komunisme di Indonesia ini memancing sebuah kajian ringan hauntology.


Kodifikasi Anti Agama

Apa yang dibayangkan oleh Derrida berbeda dengan hantu komunisme di Indonesia. Barangkali hauntology komunisme di Indonesia adalah sebuah anomali. Derrida membayangkan legacy marxisme sebagai kritik terhadap Kapitalisme. Secara sosiologis, hantu komunisme Indonesia tampaknya tidak meninggalkan legacy seperti ini. Legacy marxisme dan komunisme sebagai kritik terhadap Kapitalisme adalah fenomena di negara-negara yang memang memiliki tradisi Kiri yang kuat. Tradisi pemikiran Kiri di Indonesia, dapat dikatakan, hilang sejak tahun 1965.

Lalu pesan apa yang disampaikan hantu komunisme? Tampaknya, hantu komunisme di Indonesia lebih cenderung meninggalkan legacy sentimen anti agama. Collective memory terhadap Partai Komunisme Indonesia (PKI) adalah sentimen anti agama. Harap diingat bahwa kekerasan yang melibatkan PKI terjadi sebelum dan sesudah tahun 1965. Sebelum tahun 1965, yang menjadi korban adalah para penentang PKI. Setelah tahun 1965, yang menjadi korban adalah mereka yang dianggap sebagai antek PKI. Sentimen anti agama yang melekat pada hantu komunisme di Indonesia dipicu oleh konflik terbuka PKI dengan para pemuka agama sebelum tahun 1965.

Collective memory selalu berbasis pada episode sejarah. Akan tetapi, konsep sejarah sendiri tidak dapat diperhadapkan langsung dengan collective memory (Assmann, 2013). Tugas sejarawan adalah membedah masa lalu secara objektif. Ini adalah duktus ilmu sejarah.  Collective memory adalah penafsiran sejarah yang tidak dapat dilepaskan dari kepentingan kekuasaan. Seleksi dan pembobotan peninggalan sejarah adalah mekanisme pembentukan collective memory. Legitimasi kekuasan dibangun berdasarkan collective memory.

Keberhasilan pelabelan komunisme untuk membukam kelompok oposisi pada era Orde Baru tidak semata-mata hanya karena faktor pendekatan represif militeristik, tetapi juga karena faktor kuatnya collective memory terhadap PKI. Legitimasi tindakan represif dibangun dengan memanfaatkan collective memory tersebut. Salah satu unsur pokok dalam collective memory adalah kodifikasi. Artinya, ini adalah sebuah reduksi atau bahkan tafsir tunggal terhadap komunisme, marxisme dan juga pemikiran Kiri. Kodifikasi anti agama menjadi semacam kesimpulan sapu jagat untuk menilai apapun yang terkait dengan pemikiran kiri. Dari sinilah terbentuk mekanisme pengkramatan yang sampai sekarang masih terasa.

Dampak dari pengkramatan adalah ketidakmampuan untuk mengeksplorasi. Tidak ada pemahaman dan terjadi lompatan kesimpulan pada kodifikasi anti agama. “Jangan-jangan yang anti marxisme tidak pernah belajar tentang marxisme. Mau di mana? Kan, dilarang,” kata Ariel Heryanto (2023).

Akibatnya, propaganda komunismedapat menginsinuasi kelompok masyarakat tertentu yang sangat sensitif dengan kodifikasi anti agama. Hantu komunisme mampu menggalang solidaritas dan ikatan dukungan bagi siapa yang memercayainya. Propaganda lebih menekankan sisi sugesti daripada pemahaman. Propaganda lebih menekankan eksploitasi collective memory daripada eksplorasi data maupun gagasan. Kodifikasi menawarkan sebuah kemudahan penafsiran meskipun melompati sebuah eksplorasi.

Menurut penelitian Saiful Mujani Research and Consulting (2021), isu kebangkitan PKI dipercayai oleh 14% masyarakat. Dalam rentang waktu 2016-2020, rentang angkanya berkisar antara 10-16% (SMCR, 2020). Angka ini cukup stabil dan tidak boleh diremehkan, karena isu kebangkitan PKI berpotensi merusak harmoni sosial dan juga menghambat iklim kebebasan berpendapat. Isu kebangkitan PKI adalah semacam relaying point yang mampu menyatukan kepentingan politik dari beberapa pihak (Azra, 2020), termasuk menarik dukungan suara dari segmen masyarakat tertentu.

Pada Pemilu 2014 dan 2019, isu PKI digulirkan dan yang menjadi sasaran adalah Joko Widodo. Tudingan ini tidak lain adalah kodifikasi anti agama, khususnya anti Islam. Tudingan ini masih terus berlanjut ketika Jokowi berkuasa. Untuk menyanggah tudingan komunisme tersebut, pemerintahan Joko Widodo cenderung menggunakan cara yang reaktif dengan melarang buku dan diskusi yang diduga terkait dengan komunisme. Penunjukan Kiai Ma`ruf Amin sebagai Wapres pada Pemilu 2019 merupakan strategi untuk menyanggah tudingan anti Islam.

Collective memory terhadap PKI dengan kodifikasi anti agama yang masih menancap di segmen masyarakat tertentu adalah kondisi yang menciptakan daya tarik isu komunisme. Warisan propaganda Orde Baru ini masih cukup seksi untuk digunakan kembali. Harus diakui, isu komunisme masih memiliki daya tarik untuk kepentingan politik praktis. Isu ini memiliki potensi untuk membuka jalan bagi pihak militer untuk kembali memperluas pengaruhnya di dalam politik dengan memanfaatkan ketakutan terhadap bangkitnya PKI (Wadipalapa, 2023). 

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.


Agama di dalam Marxisme dan Komunisme

Di dalam marxisme, agama adalah dogma pinggiran. Agama bukanlah akar persoalan ketidakadilan sosial, tetapi sebuah epifenomena dari ketidakadilan sosial. Marx sendiri masih mengakui potensi imunitas (melindungi) dari agama yang bersifat sementara, tetapi menolak potensi transformatif sosial agama. Istilah Opium des Volkes (candu masyarakat) adalah penegasan bahwa manusia adalah subjek (pencipta) agama sekaligus sasaran objek (sasaran) dari agama. Penghapusan agama bukanlah tujuan pokok dalam pemikiran Marx.

Di dalam Zur Kritik der Hegelschen Rechtsphilosophie (1844/1958), Marx menegaskan bahwa agama tidak akan hilang sebelum datang kebahagian yang sesungguhnya (wirkliches Glück). Kebahagiaan adalah kebutuhan dasar manusia. Kebahagiaan yang sesungguhnya akan terpenuhi jika struktur masyarakat yang adil dapat tercapai. Selama kebahagiaan yang sesungguhnya belum tercapai, masyarakat membutuhkan kebahagian semu (illusorisches Glück) sebagai kompensasi. Dalam pemahaman Marx, agama adalah kompensasi sementara sebelum tercapainya struktur masyarakat yang adil. Tujuan utama Marx bukanlah menghapuskan agama, melainkan keadilan sosial sehingga masyarakat tidak lagi membutuhkan agama.

Lenin mengubah dogma pinggiran ini menjadi dogma pokok. Agama bukan lagi Opium des Volkes, tetapi Opium für die Volk (candu untuk masyarakat). Rakyat adalah sasaran dari opium yang diciptakan penguasa dan menjadi bagian integral dari penindasan secara struktural. Jika Marx mengajukan tesis “kritik terhadap agama”, maka Lenin mengajukan tesis “perang terhadap agama” (van den Bercken, 1989). Di dalam konsep kritik masih terdapat unsur apresiasi. Marx pun masih mengapresiasi agama. Di dalam konsep perang, tidak ada lagi unsur apresiasi selain penolakan. Lenin pun menegaskan bahwa menghancurkan agama adalah tugas pokok dari gerakan komunisme. Kadar ateisme Lenin jauh lebih radikal dari pada Marx.

Jika kita melihat dengan lebih jeli dan dengan perspektif yang lebih luas, muncul pertanyaan, seberapa pentingkah unsur Ateisme di dalam gerakan marxisme dan komunisme di dalam realitas politik. Resepsi sebuah ideologi atau pemikiran di dalam perkembangan waktu sering kali mengalami modifikasi. Korelasi antara ateisme dengan komunisme maupun marxisme adalah teori yang sangat textbook alias dogmatis. Pendekatan textbook adalah salah satu persoalan di dalam memahami marxisme dengan kecenderungan menjadikan pemikiran Marx dan Lenin sebagai patokan kebenaran. Atzmüller (2020) mengkritisi pendekatan semacam ini dan mendorong sebuah pendekatan yang lebih diskursif.

Resepsi marxisme dalam perkembangannya tidak bersifat textbook. Fakta sejarah menunjukkan kemunculan gerakan-gerakan yang mencoba melakukan sintesis agama dan marxisme. Gerakan teologi pembebasan di Amerika Latin dan gerakan Sarekat Islam Merah di Indonesia adalah contoh dari usaha sintesis tersebut. Kodifikasi anti agama adalah sebuah pendekatan deduktif textbook. Pendekatan semacam ini perlu dikaji ulang. Pendekatan deduktif textbook adalah salah satu pijakan dari collective memory PKI di Indonesia.

Sintesis dapat terjadi karena agama merupakan dogma pinggiran di dalam bangunan teori Karl Marx. Oleh karena itu, Ateisme bukanlah harga mati di kalangan gerakan marxisme. Bahkan di kalangan anggota partai Komunis di berbagai negara, Ateisme bukanlah sebuah syarat wajib keanggotaan yang dipertahankan dengan mati-matian. Gerakan komunisme di dunia tidak selalu mengikuti garis-garis pemikiran Lenin. Sejauh ini, penulis belum menemukan tulisan-tulisan sejarah yang menggali secara empiris positioning PKI terhadap isu agama atau profil keagamaan tokoh-tokoh PKI di Indonesia. Barangkali riset semacam ini terhalang oleh kodifikasi anti agama dan pentabuan religius. Yang terjadi adalah deduksi textbook tanpa eksplorasi dengan melompat pada kesimpulan Ateisme


Urgensi Hauntology  

Hauntology komunisme ala Indonesia barangkali adalah menyingkap tabir pengkeramatan religius terhadap komunisme, marxisme dan pemikiran Kiri. Kodifikasi anti agama yang menjadi salah satu tiang pengkeramatan dan ini merupakan sebuah penafsiran yang sangat textbook terhadap marxisme maupun komunisme. Resepsi dan perkembangan marxisme dan leninisme tidaklah textbook. Terjadi revisi dan modifikasi terhadap teori Marx dan Lenin di dalam perkembangan sejarah.

Hauntology komunisme semacam ini merupakan jalan untuk kembali membuka ekosistem diskursus yang dialektik. Jika Pancasila dipahami sebagai sebuah sintesis, maka Pancasila harus ditafsirkan di dalam ekosistem dialektik. Yang terjadi sekarang ini adalah Pancasila berada di dalam ruang diskursus yang berat sebelah. Pengkeramatan terhadap marxisme dan komunisme menciptakan sebuah ekosistem yang berat sebelah. Ekosistem diskursus cenderung ke arah neoliberal. Bisa dibayangkan apa yang terjadi, jika Pancasila ditafsirkan dengan wawasan neoliberal semata; hilanglah hakikatnya sebagai sebuah sintesis.

Pembungkaman wacana kiri yang didukung dengan sebuah pengkeramatan religius akhirnya mempermudah penetrasi ideologi kapitalisme neoliberal di Indonesia. Potensi Pancasila sebagai benteng terhadap ideologi kapitalisme neolibera menjadi terbengkalai karena begitu kuatnya pentabuan religius terhadap pemikiran kiri. Barangkali selama ini kita cenderung membaca Pancasila dari perspektif kanan (kapitalisme neolibera). Kita lupa bagaimana membaca Pancasila dari perspektif kiri untuk menjinakkan perspektif Kanan. 


Daftar Rujukan

Assmann, Aleida. 2013. Das neue Unbehagen an der Erinnerungskultur: Eine Intervention. München: C.H. Beck.

Azra, Azyumardi. 03/10/2020. Isu Kebangkitan PKI Mengganggu Harmoni Sosial, Budaya, dan Politik di Tanah Air. Diunduh dari https://saifulmujani.com/isu-kebangkitan-pki-mengganggu-harmoni-sosial-budaya-dan-politik-di-tanah-air/ pada 30 Oktober 2023.

Derrida, Jacques. 1993. Spectres of Marx: The state of the debt, the work of mourning, and the new International. New York: Routledge.

Fukuyama, Francis. 1992. The end of history and the last man. New York: Free Press.

Heryanto, Ariel. 07/01/2023. “Marxisme”. Kompas. Diunduh dari https://www.kompas.id/baca/opini/2023/01/06/marxisme pada 15 September 2023.

Marx, Karl. 1844/1958. “Zur Kritik der Hegelschen Rechtsphilosophie. Einleitung”, Dalam Institut für Marxismus-Leninismus beim ZK der SED (Ed.). Marx-Engels-Werke Volume 1. Berlin: Dietz Verlag.

Marx, Karl & Engels, Friedrich. 1848/1946. Das Kommunistische Manifest. München: Verlag der SPD.

Safitri, Eva. 21/06/2022. “Megawati Bingung Dituduh Komunis: Namanya Aja PDIP, Komunisnya Mana?“. detik.com. Diunduh dari https://news.detik.com/berita/d-6138644/megawati-bingung-dituduh-komunis-namanya-aja-pdip-komunisnya-di-mana pada 2 November 2023.

SMCR. 30/09/2020. ”Hanya 14 % Warga yang Percaya Ada Kebangkitan PKI di Indonesia”. Diunduh dari https://saifulmujani.com/hanya-14-warga-yang-percaya-ada-kebangkitan-pki-di-indonesia/ pada 11 November 2023.

SMRC. 01/10/2021. “Sikap Publik pada Pancasila dan Ancaman Komunis“. Diunduh dari https://saifulmujani.com/sikap-publik-pada-pancasila-dan-ancaman-komunis/ pada 30 Oktober 2023.

van den Bercken, William. 1989. Ideology and Atheism in the Soviet Union. Berlin: Mouton de Gruyter.

Wadipalapa, Rendy Pahrun. 2023. The Communist Imaginary in Indonesia’s 2014 and 2019 Presidential Election. Asian Journal of Political Science. https://doi.org/10.1080/02185377.2023.2270947


Martinus Ariya Seta adalah Mahasiswa Doktoral dalam Bidang Pendidikan Agama di Julius-Maximilians Universitas Würzburg Jerman dan dosen di Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.

]]>
Darsono, Anak Revolusi Kala Fajar Pergerakan Kiri Menyingsing https://indoprogress.com/2023/04/darsono-anak-revolusi/ Mon, 03 Apr 2023 19:28:25 +0000 https://indoprogress.com/?p=237438

Ilustrasi: illustruth


DI USIA SENJA, ia mencoba mengingat kembali pengalaman puluhan tahun lalu tentang betapa terjalnya menyadarkan kelas buruh Indonesia akan kondisinya pada awal abad ke-20. “Rakyat Jawa [kala itu] masih bodoh. Untuk menyadarkannya diperlukan cambuk, yaitu artikel-artikel yang berani. Tulisan-tulisan logis dan ilmiah tidak ada gunanya. Cara yang tepat adalah main hantam kromo,” kenang pria bernama Darsono tersebut saat wawancara dengan Soe Hok Gie. Wawancara tersebut berlangsung pada Januari 1964. 

Ketika itu Darsono sudah tidak lagi aktif dalam politik praktis. Ia telah melepas seluruh mantel organisasi politik kiri yang melekat padanya sejak muda. “Sekarang ini yang diperlukan adalah orang-orang yang berani,” ucapnya sebagaimana dicatat Gie dalam buku Di Bawah Lentera Merah (1999).


Menggodok Seorang Agitator

Darsono lahir di Pati, Jawa Tengah, pada 1897, dari keluarga pegawai negeri. Namun sejak belia ia terbiasa hidup di kalangan kaum tani. Setelah menyandang gelar ahli pertanian, ia mulai bekerja di sebuah perkebunan. Berdasarkan catatan Gie, Darsono sempat berusaha melanjutkan studinya di sekolah kedokteran hewan. Nahasnya ia tak lolos. Saat itu juga Darsono keluar dari pekerjaannya dan bertolak menuju Semarang (Gie, 1999: 33).

Di kota tersebut, pada Maret 1917, tensi politik memanas. Menurut Ruth T. McVey dalam buku Kemunculan Komunisme Indonesia (2017: 30), pemicunya adalah karena pada sore hari tanggal 18 menggema sebuah berita tentang kejatuhan Tsar Rusia. Henk Sneevliet, pendiri Indische Sociaal-Democratische Vereniging (ISDV), segera menyambutnya dengan menulis artikel yang diberi judul “Zegepraal” alias ‘Kemenangan’. Dalam tulisan tersebut Sneevliet menyanjung kemenangan revolusi Rusia sekaligus mengutuk kolonialisme Belanda. 

Pemerintah kolonial menjadi waspada dan segera merespons dengan mengadili Sneevliet. Untuk pertama kalinya Sneevliet diadili sejak datang ke Hindia Belanda pada Februari 1913 pada usia 30 tahun. Persidangan tersebut diikuti oleh banyak orang, termasuk Darsono. “… ia mengikuti sidang Sneevliet dan ia sangat terkesan pada adanya orang Belanda yang memihak rakyat,” tulis Gie (1999: 33). 

Ketika menyaksikan Sneevliet, Darsono juga bertemu Semaun, mitra politiknya di kemudian hari. Semaun mengajak Darsono untuk aktif di Sarekat Islam (SI) cabang Semarang. Lewat persidangan itulah pintu perjuangan untuk Darsono terbuka.

Saat itu internal SI terpolarisasi ke dalam dua kutub: Central Sarekat Islam (CSI) dan CSI Semarang. Masing-masing kubu memiliki pandangan yang berbeda. CSI condong konservatif dan religius, sedangkan CSI Semarang—diisi oleh Semaun dan Darsono—lebih bertendensi sekuler dan sosialis.

Polarisasi tersebut salah satunya tampak lewat saling serang via artikel. Darsono pernah menyerang pemimpin anti-Semarang, Abdul Muis, melalui artikel berseri sebelum kongres kedua CSI pada 1918. Selain mengkritik sikapnya yang pro wajib militer untuk pribumi, Indië Weerbaar, Darsono juga menuduh Muis cenderung mendukung ekspansi perkebunan tebu di tengah krisis pangan (McVey, 2017: 50).

Selama berlangsungnya kongres, kontradiksi antara Muis dengan CSI Semarang semakin tegang. Alhasil, pimpinan tertinggi SI, Tjokroaminoto, menunda kongres beberapa waktu. 

Menurut Gie, Tjokro banyak memberikan konsesi kepada kelompok Semarang. Hasil kongres dianggap banyak menguntungkan mereka, termasuk posisi Darsono. “… cabang Semarang puas atas penunjukan Darsono sebagai anggota propagandis resmi CSI dan Semaun sebagai komisaris CSI Jawa Tengah,” tulis Ruth T. McVey (2017: 51).

Posisi baru tersebut membuat Darsono rajin beragitasi dalam surat kabar. Seperti yang Darsono katakan pada awal naskah ini, artikel-artikelnya memang tidak berbelit sehingga mudah dipahami pembaca. Satu contoh adalah artikelnya di koran ISDV, Soeara Ra’jat. Di sana, sebagai “pengagum berat Revolusi Bolshewik”, Darsono mengajak pembaca mengorganisasi revolusi serupa: “Bukan penguasa yang mempunyai kekuatan, tetapi rakyat. Kibarkan bendera merah di setiap tempat sebagai lambang KEMANUSIAAN, PERSAMAAN, dan PERSAUDARAAN. Apa yang bisa menghentikan seseorang ketika ia memberontak? Mari kibarkan bendera merah!” (McVey, 2017: 37).

Pemerintah kolonial, yang semakin memusatkan kekuasaan dan tidak bersikap lunak terhadap agitasi kaum ekstremis, mengartikulasikan kalimat-kalimat Darsono sebagai ancaman pemberontakan. “Hal ini menyebabkan ia ditahan dan dihukum selama setahun pada November 1918,” tulis Ruth T. McVey (2017: 50).

Pada 1919, anggota-anggota ISDV yang revolusioner (di organisasi tersebut juga ada sayap moderat) menghendaki perubahan nama organisasi. Hal ini dipicu oleh terbentuknya Indische Sociaal Democratische Partij (ISDP) oleh SDAP Hindia pada tahun yang sama. Selain pelafalan yang hampir mirip, desakan mengubah nama juga untuk memisahkan diri dengan ISDP yang revisionis-evolusioner. 

Anjuran juga datang dari Sneevliet melalui surat dari Kanton pada awal 1920. Surat tersebut menyarankan agar ISDV menjadi anggota Komintern, dan “untuk itu harus dipenuhi 21 syarat, antara lain memakai nama terang partai komunis dan menyebut nama negaranya,” tulis Gie (1999: 54).

Ketika mendekam di penjara Surabaya, Darsono menyetujui perubahan nama partai saat berbicara dengan Hartogh, pemimpin ISDV waktu itu. Selain memberi lampu hijau, Darsono menambahkan dua catatan bernada humor: (1) manifesto yang ditulis oleh Marx dan Engels berjudul Manifesto Komunis dan bukannya Manifesto Sosial Demokrat; (2) rakyat Indonesia tidak dapat membedakan ISDV dengan ISDP. 

Setelah berbagai diskusi yang alot dalam kongres, akhirnya mayoritas anggota setuju perubahan nama dari ISDV menjadi Partai Komunis Indonesia (PKI) pada 23 Mei 1920 (Gie, 1999: 54)

Setelah menjalani masa penjara, Darsono kembali terjun berpolitik dan menulis. Tak menunggu waktu lama, pada 6 Oktober, dia kembali membuat gempar dunia pergerakan melalui serangkaian artikel yang pedas. Kali ini bukan pemerintah kolonial Belanda yang disasar, melainkan Tjokroaminoto. Darsono menyinggung “terkait penyalahgunaan sejumlah besar dana SI oleh Tjokroaminoto dan menuntut dilakukannya pemeriksaan keuangan organisasi tersebut” (McVey, 2017: 125). Menurut McVey, Darsono tidak dapat disalahkan karena kas SI hampir kosong. 

Akibat kritik-kritik Darsono, citra Tjokro yang agung menjadi tercoreng. Berkelindan dengan itu, pamor kubu Semarang semakin naik. 

Kritik Darsono kemudian ditanggapi oleh Tjokro dan CSI yang “menerangkan butir-butir bahwa mereka tidak bersalah.” Kritik Darsono kembali dibahas rinci dalam Kongres SI yang diadakan pada Maret 1921. 

Sesaat sebelum kongres, Darsono sempat berkeluh kepada Tan Malaka: “Masih terlalu persoonlijk (‘personal’) dalam perbedaan paham. Mereka belum dapat membedakan antara paham atau kecakapan seseorang dengan dirinya sendiri, apalagi dengan orang yang mereka cintai (dalam hal ini Tjokro).” Tan Malaka dalam autobiografi Dari Penjara ke Penjara (2017: 92) menambahkan bagaimana frustrasinya Darsono saat itu. “Darsono kelihatan sedikit dipengaruhi serangan atas dirinya sendiri, karena ia diancam orang lain kalau ia membela dirinya di muka rapat.” 

Karena antara kubu Semarang dan CSI ingin mengonsolidasikan kekuatan kembali, Darsono—yang selalu dicela loyalis SI—akhirnya dimaafkan oleh Tjokro tetapi bukan tuduhannya. Menurut Tan Malaka, panitia kongres tidak membenarkan kritik yang keras sekalipun panitia memberikan hak kepada Darsono untuk mengkritik. Akhirnya Darsono diangkat menjadi anggota komite yang menginvestigasi penggunaan dana SI (McVey, 2017: 129).


Dari Utara ke Selatan Lagi

Berbekal pengalaman dalam organisasi massa yang kuat, Darsono berangkat ke Moskow untuk menghadiri kongres ketiga Komintern pada musim gugur 1921 sebagai wakil PKI. Kehadiran Darsono dan kemudian Semaun menguatkan kontak reguler antara Komintern dengan PKI.

Aleksandr Reznikov dalam buku The Comintern and the East: Strategy and Tactics in the National Liberation Movements (1984: 108-109) mencatat di samping memberi tugas untuk membangun serikat buruh di Jawa, Seksi Timur dari Komintern juga menginstruksikan Darsono untuk menjalin aliansi dengan gerakan-gerakan nasional. Perintah terakhir tersebut bertolak belakang dengan pemikiran pribadi Darsono. Ia mengecap negatif segala kemungkinan kerja bersama gerakan nasionalis. Darsono dan orang-orang yang selaras dengannya yakin untuk tidak pernah membuka diri terhadap aliansi antiimperialis dan menganggap kelas borjuis nasional—yang identik dengan gerakan nasionalis—sebagai musuh kelas buruh.

Reznikov menyebut sikap Darsono tersebut sebagai sektarianisme. Menurutnya (1984: 107), penyakit sektarianisme merupakan corak umum di kalangan komunis muda di Timur Jauh saat itu. 

Dengan penolakan tersebut, Reznikov menyebut bahwa Darsono juga mengesampingkan hukum perkembangan revolusi; memaksakan revolusi sosialis dan tidak mengindahkan tugas-tugas dalam revolusi demokratik di tanah jajahan. Tak hanya itu, masih kata Reznikov (1984: 107), Darsono bahkan Semaun secara membabi buta ingin membuat “sistem manajemen pemerintahan buruh-tani” ala Soviet. Maka tepat kiranya analisis McVey yang menyatakan: “… ia (Darsono) terkadang menghadapi masalah dalam menerapkan gagasan-gagasan komunis Barat yang dipelajarinya dengan kondisi yang ada di negara Timur.”

Tahun 1923 menjadi penanda buruk bagi aktivisme PKI. Akibat kurang tajamnya pendidikan teori dan organisasi politik komunis, sebagian besar kader akhirnya tenggelam ke dalam avonturisme. “Kekerasan politik revolusioner” menjadi tema besar yang diusung oleh para kader PKI. Alih-alih berorganisasi dengan disiplin tinggi, mereka lebih memilih jalan bertindak individual atau “putchisme”. “Konsekuensinya ditunjukkan pada 1923, setelah kepergian Semaun, ketika terjadi pelemparan bom di Surakarta dan Semarang. Secara otomatis kaum komunis dianggap bertanggung jawab,” terang McVey (2017: 259).

Tahun itu, pada bulan Februari, Darsono kembali ke Hindia Belanda melalui Batavia. Buku-buku literatur marxis yang dibawanya dari Uni Soviet sempat disita oleh pegawai bea cukai. 

Merespons huru-hara putchisme, Darsono langsung bergerak mengadakan rapat di Semarang. Di sana dia memaparkan pandangan negatif PKI terhadap terorisme dan avonturisme. 

Di samping itu, untuk mengembalikan harkat komunisme, ia juga mengatakan: “Kawan-kawan kita di negeri jajahan sering kali berbuat kesalahan dengan mengambil jalan komunisme kiri. Mereka terdidik dengan buku-buku yang menyatakan perjuangan untuk diktator proletariat yang baru lahir dan para pengrajin dari Cina, Korea, India, dan Mesir, melawan borjuasi asing dan pribumi, dengan upaya mendukung gerakan nasional untuk persamaan hak dari borjuasi pribumi yang masih muda melawan pusat kaum kapitalis yang menindas” (McVey, 2017: 259).

Konsistensi Darsono mengangkat disiplin komunisme yang benar dapat ditemukan dalam suatu kongres pada Juni 1924. Ia mengatakan, “partai tanpa disiplin seperti dinding tanpa semen, mesin tanpa sekrup; tapi dengan disiplin, bahkan di sebuah partai kecil, seperti Bolshewik di Rusia, dapat meraih kemenangan besar (McVey, 2017: 266).

Satu tahun setelahnya, aksi-aksi pemogokan buruh terjadi di berbagai wilayah Hindia Belanda. Buku Pemberontakan Nasional Pertama di Indonesia (1926) yang disusun oleh Lembaga Sedjarah PKI (1961: 46) menyebut buruh-buruh percetakan Tionghoa yang dibantu oleh buruh Indonesia mengorganisasikan pemogokan di Semarang pada Juli 1925. Satu bulan kemudian, para pegawai rumah sakit pusat menggelorakan pemogokan di kota yang sama. Buruh-buruh yang bekerja di bidang pemerintah, perbengkelan, dan listrik pun unjuk gigi sepanjang tahun itu. Tak salah jika PKI menisbahkan tahun 1925 sebagai “tahun penuh pemogokan”.

Laporan Semaun yang berjudul “Labor in Far East (Indonesia)” dalam surat kabar The Daily Worker nomor 250 edisi 2 November 1925 menyebut Darsono terlibat dalam perencanaan pemogokan di pelabuhan yang melibatkan sekitar 1.600 buruh di Semarang. Semaun melukiskan: “Layanan pelabuhan benar-benar berhenti. Pemogok dari tempat lain menolak untuk bekerja. Walaupun pemogokan telah berkurang intensitasnya, tetapi armada pelabuhan masih terhenti karena sabotase yang terjadi.” 

Politik represi pemerintah kolonial mulai bekerja merespons pemogokan yang bertubi-tubi. Pemerintah menargetkan menangkap pemimpin-pemimpin komunis, termasuk Darsono. Koran Darmo-Kondo nomor 99 edisi 30 Desember 1925 melaporkan bahwa klimaksnya adalah ketika tiga pemimpin PKI—Darsono, Mardjohan, dan Aliarcham—ditangkap. “Saudara Darsono itoe sebagaimana diketahoei sampai sekarang masih ada dalam tahanan pendjara Eropah (Centrale Gevangenis) di Semarang. Beberapa hari berselang sdr. Mardjohan poen laloe ditahan, demikian djoega saudara Aliarcham,” tulis koran tersebut. 

Di kemudian hari, pemerintah kolonial memberikan hukuman alternatif pada Darsono: diizinkan pergi ke pengasingan. Ia tidak berangkat ke Belanda seperti eksil politik lain, melainkan langsung menuju Uni Soviet (McVey, 2017: 433).

Selama di Soviet, Darsono memfokuskan kerjanya untuk Komintern. Dua pemimpin PKI lain, Alimin dan Musso, juga datang ke Moskow pada Juli 1926 untuk bekerja bersama Darsono dan Semaun yang telah berada di kota itu selama setahun. Keempat tokoh prominen komunis itu kemudian memaparkan presentasi tentang kondisi objektif Hindia Belanda dan partai kepada Komite Eksekutif Komintern. Mereka menjelaskan bahwa “SI benar-benar hancur, partai dan serikat buruh praktis dilarang, dan kemarahan tumbuh di kalangan rakyat” (Reznikov, 1984: 116-117).

Antara rentang tahun 1925-1929, Darsono banyak memberikan kontribusi untuk Komintern. Namun janya secuil saja pandangannya diarahkan untuk mengamati kondisi Hindia Belanda. 

Pada 1929, menurut koran Daulat Ra’jat nomor 40 edisi 20 Oktober 1932, Darsono sempat ke Belanda dan mencalonkan diri sebagai anggota parlemen dari Partai Komunis Belanda. Beribu sayang, satu kursi di parlemen tak berhasil didapatnya.

Berlin menjadi destinasi lain bagi para pejuang antikolonial. Di sana mereka mengadakan kongres Liga Melawan Imperialisme—sebuah organisasi yang dibentuk pada 1927. Alih-alih menunjuk pemimpin PKI lain, Darsono—yang masih berada di Moskow— menyarankan agar Komintern mengundang seorang insinyur cum Ketua Partai Nasional Indonesia (PNI), Sukarno, untuk menghadiri acara tersebut. Tanpa diketahuinya sedikit pun, saran tersebut akan menjadi puncak dari segalanya untuk Darsono di kemudian hari (Reznikov, 1984: 122).

Pada akhir 1929, akhirnya Darsono dikeluarkan dari Komintern akibat pandangannya yang bersifat kompromi terhadap gerakan nasionalis-reformis. Koran AKSI nomor 16 edisi 15 April 1931 melaporkan bahwa, “Tahoen-tahoen paling belakang Darsono telah ambil sikap opportunistisch. Ia bilang, bahwa Komintern perloe bekerdja sama dengan nationaal reformisten di Indonesia.” Menurut koran tersebut, Indonesia tak memiliki borjuasi nasional, dengan demikian juga “tidak ada dasar jang baik boeat gerakan perobahan.” Darsono sendiri menolak habis-habisan mengkritik pemimpin reformis nasional di tempat umum dalam suatu kongres di Frankfurt. 

Koran yang sama nomor 5 edisi 31 Maret 1931 menuliskan bahwa Moskow sangat berhati-hati dan bahkan cenderung mengecam siapa pun yang hendak terus terang merangkul kaum nasionalis. Kejadian serupa pernah menimpa Semaun. “Semaoen disoedoetkan [oleh Moskow] akibat ketahoean pernah berdjabat tangan dengan pimpinan Perhimpunan Indonesia di Belanda.” 

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.


“Kommunist” atau “Tjoema Koroso-Koroso”

Setelah sekian puluh tahun berada di luar negeri, Darsono akhirnya kembali ke Indonesia pada 1950. Saat itu Darsono tua sudah tidak memiliki koneksi apa pun dengan gerakan komunis Indonesia yang saat itu dipimpin D. N. Aidit. Ia menghabiskan sisa hidup dengan bekerja sebagai penasihat untuk Kementerian Luar Negeri sampai 1960.

Bagaimanapun juga, kendati putus relasi dengan gerakan kiri di masa tua, nama Darsono akan tetap selalu menggema dalam sejarah perkembangan komunisme di Indonesia; sekaligus sebagai proto-komunis di samping Semaun, Tan Malaka, Haji Misbach, dan lain-lain. Hal itu telah diakui pada tahun 1930-an, ketika PKI generasi pertama sudah ditumpas habis oleh pemerintah. 

Dalam koran Daulat Ra’jat nomor 38 edisi 30 September 1932, pada kolom “Soerat Kiriman” dengan judul artikel “No Sacrifice is Wasted” (‘Tidak ada korban jang terboeang’), misalnya, penulis dengan nama samaran A. S. menulis:

“Penoelis berkejakinan, bahwa bagaimanapoen djoega paham dan kejakinan mereka itoe, tetapi dalam toedjoean jang tertinggi ialah melepaskan rak’jat Indonesia dari pendjadjahan bangsa asing. […]. Boeat memboektikan tjoekoeplah kita seboetkan Tan-Malaka, Semaoen, Darsono. Apakah nama jang terseboet belakangan ini tjoema koroso-koroso dan ampas manoesia belaka? Ataukah mereka takoet poela ditoedoeh kommunist d.l.l,, seoempama menengok hantu pada tengah hari?” 

Darsono wafat pada 1976, saat Orde Baru sukses mengukuhkan legitimasi antikomunis dalam masyarakat.***


Alvino Kusumabrata, pelajar kelas dua belas SMA di Kota Surakarta

]]>
Bagaimana Komunis Indonesia Memandang Proklamasi 17 Agustus 1945 https://indoprogress.com/2023/03/komunis-indonesia-memandang-proklamasi/ Tue, 14 Mar 2023 02:19:23 +0000 https://indoprogress.com/?p=237363

Ilustrasi: illustruth


SELEPAS berkelana ke negeri-negeri lain, D. N. Aidit dan M. H. Lukman akhirnya kembali ke Indonesia pada 1950 pasca-Madiun Affair. Sejarawan Donald Hindley dalam buku The Communist Party of Indonesia, 1951-1963 (1960) meyakini sebelum pulang dua pemuda komunis itu berada di Vietnam dan bertempur dengan gerilyawan Viet Minh, serta turut menyambangi Cina dalam rangka menghadiri konferensi serikat buruh Asia-Australasia di Peking pada Desember 1949.[1]

Keduanya, ditambah Njoto, segera mengambil alih kepemimpinan Partai Komunis Indonesia (PKI) dari generasi lama. Apa yang dilakukan trio muda itu tak sepenuhnya disukai oleh generasi pendahulu. Orang-orang PKI lama, setidaknya Wikana, Tan Ling-djie, Alimin, dan Ngadimin Hardjosubroto tidak setuju dengan kebijakan Aidit. Namun para pemimpin lama tak mengorganisir perlawanan dan akhirnya “tersingkir satu demi satu.”[2]

Tugas-tugas politik dan ekonomi menanti pucuk pimpinan baru PKI. Salah satunya ialah menghasikan apa yang disebut Aidit sebagai “peng-Indonesiaan marxisme-leninisme,” yang bersubstansi “satunja antara teori marxisme-leninisme dengan praktik konkrit revolusi Indonesia” kala itu.

Hasil kerja tugas primer tersebut dimanifestasikan dalam beberapa hal. Pertama, rumusan analisis kondisi Indonesia sebagai setengah-jajahan dan setengah-feodal (SJSF). Walau bernapaskan “pikiran Mao”, ia masih berlandaskan marxisme-leninisme. Kedua, program “front nasional”. Konsep tersebut berangkat dari premis perlunya unifikasi antarkelas proletar, tani, borjuis kecil, dan borjuis nasional dalam kerangka revolusi demokratis sebagai jalan keluar dari kondisi SJSF.[3] Ketiga, yang hendak saya uraikan lebih jauh, adalah penafsiran terhadap Proklamasi 17 Agustus 1945—selanjutnya disebut Revolusi Agustus.

Tafsir terhadap Revolusi Agustus penting karena itu menjadi dasar dari segala kebijakan partai. Kerja-kerja selama Demokrasi Liberal dan Demokrasi Terpimpin pun tidak lepas dari pemahaman partai merah itu terhadap Revolusi Agustus.

Dalam Kongres Nasional ke-V tahun 1954, misalnya, PKI mengesahkan program untuk mendirikan “Pemerintahan Demokrasi Rakyat”. Ada benang merah antara program tersebut dengan upaya untuk “memenuhi tuntutan-tuntutan” dalam Revolusi Agustus. Contoh lain bagaimana PKI berusaha menyempurnakan Revolusi Agustus adalah pembentukan “Rencana Tiga Tahun untuk Organisasi dan Pelatihan” dalam Pleno Keempat Komite Sentral (CC) PKI. Rencana tersebut di antaranya: menetapkan kuota untuk cabang-cabang dalam pendaftaran anggota baru; indoktrinasi dan intensifikasi publikasi literatur; dan memperketat disiplin partai.[4]

Jadi, apa makna 17 Agustus 1945 bagi PKI?


Memerahkan Revolusi Agustus

Pengertian Revolusi Agustus dari sudut PKI pernah dijelaskan oleh Wakil Ketua I M. H. Lukman dalam brosurnya, Apa Sebab Revolusi Agustus ’45 Belum Selesai (1961). Dalam brosur yang awalnya ditujukan untuk teks kuliah umum ini, mula-mula Lukman menyitir roh utama dari Revolusi Agustus ’45, yakni revolusi. Ia kemudian mengutip pengertian revolusi menurut Lenin: “Perpindahan kekuasaan negara dari satu klas kepada klas jang lain, adalah tanda jang pertama, jang essensiil, jang terpokok daripada sesuatu revolusi, baik dalam arti kata jang sepenuhnja ilmiah maupun dalam arti kata politik praktis”[5]

Lukman memang hendak menyatakan bahwa Revolusi Agustus adalah suatu perpindahan kekuasaan kelas atas kelas lain, tetapi ia tidak mengidentifikasinya sebagai revolusi borjuis atau revolusi sosialis.[6]

Pertanyaan mengapa Revolusi Agustus bukanlah revolusi sosialis pernah dijawab Aidit dalam buku Introduksi Tentang Soal² Pokok Revolusi Indonesia (1959). Aidit menilai bahwa ekonomi Indonesia yang terbelakang dan “ekonomi agraris setengah-feodal yang sangat tergantung pada pasar luar negeri” adalah indikator yang tak memenuhi syarat revolusi sosialis. Dalam hal ini Revolusi Agustus adalah pembuka jalan menuju revolusi sosialis di kemudian hari, yang harus mengubah kondisi “ekonomi agraris setengah-feodal” menjadi ekonomi nasional dengan “industri strategis dengan borjuis nasionalnya.”

Sementara paradigma bahwa Revolusi Agustus bukan juga revolusi borjuis bersumber dari karya-karya yang menganalisis Cina dari sudut materialisme historis-dialektis. Para komunis Indonesia menilai ada kemiripan antara Indonesia dan Cina. Secara garis besar, karena basis material yang berbeda, revolusi borjuis bercabang menjadi dua arah: (1) berujung kediktatoran borjuis atau (2) borjuis-demokratis.

Kediktatoran borjuis, menurut PKI, tak akan pernah ditempuh oleh Revolusi Agustus. Sebaliknya PKI meyakini bahwa revolusi borjuis-demokratis-lah ciri khas dari Revolusi Agustus.[7] Lukman menyatakan Revolusi Agustus sebagai revolusi nasional (borjuis) bertipe demokratis merupakan warna umum di berbagai negeri jajahan.

Lalu bagaimana jika revolusi tersebut ditinjau dalam pisau analisis marxisme? “Tidak perlu ada keraguan sedikit pun bahwa setiap gerakan nasional tidak bisa lain kecuali suatu gerakan borjuis-demokratis,” jawab Lenin dalam The National Liberation Movement in the East.[8]

Kehendak mengapa Revolusi Agustus harus bercorak borjuis-demokratis tidak lepas dari kondisi sosial objektif Indonesia. Ekonomi kolonial dan feodalisme-lah, menurut Lukman, yang menjadi corak produksi dominan Indonesia prakemerdekaan. Dan itu pula–imperialisme dan feodalisme–yang mesti disingkirkan.

Sebagai basis ekonomi kolonial, Indonesia telah dijadikan tempat penanaman modal imperialis, sumber tenaga kerja murah, dan pasar bagi komoditas-komoditas negeri induk. Di samping itu, yang menjadi inti pengisapan feodal yakni “terikatnya kaum tani dalam berbagai bentuk kepada tanah.”[9]

Perubahan-perubahan dalam revolusi tersebut memiliki karakteristiknya tersendiri. Dalam Revolusi Agustus, menurut Lukman, prospek perpindahan kekuasaan negara akan menyasar dari kelas borjuis asing-imperialis, tuan-tanah feodal dan komprador, “kepada rakjat”.[10] Lukman tidak secara gamblang mendefinisikan pengertian dan terdiri dari kelas apa saja yang tergolong dalam rakjat itu. Namun ia secara implisit mengartikan rakjat sebagai kelas sosial yang antiimperialisme dan kolonialisme secara umum.

Kelas-kelas yang dimaksud dieksplisitkan PKI dalam konstitusinya yang menyatakan: “tenaga penggerak revolusi Indonesia adalah kelas buruh, kaum tani, kelas borjuis kecil, dan elemen-elemen demokratis lainnya yang dirugikan oleh imperialisme.

Revolusi Agustus memiliki tujuan yang indah. Ia diharapkan dapat “membentuk negara nasional yang merdeka dengan pemerintahan yang demokratis.” Mereka menyebutnya sebagai “Pemerintahan Demokrasi Rakyat”— seperti yang ditetapkan dalam Kongres ke-V. Soal bagaimana “Pemerintahan Demokrasi Rakyat” berjalan, PKI menunjuk bahwa seluruh kelas-kelas yang terhimpun dalam rakjat atau kediktatoran rakyat inilah yang akan menakhodai jalannya Indonesia.

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.


Revolusi Belum Selesai

Kondisi sosial Indonesia tak banyak berubah bertahun-tahun pascakemerdekaan atau usai Revolusi Agustus. Kolonialisme dan feodalisme masih bercokol. Itulah yang hendak dikatakan oleh PKI baik dari sudut ekonomi atau politik.

Situasi ekonomi pernah dijabarkan oleh Aidit dalam laporan yang disampaikan di Cina berjudul The Indonesia Revolution and the Immediate Tasks of the Communist Party of Indonesia (1963). Aidit menyebut “Indonesia belum merdeka secara ekonomi” dan “sifat feodal hubungan tanah masih tidak berubah dan petani dalam kemiskinan.” Mengutip data White Engineering Corporation (1952), Aidit menjelaskan total modal asing di Indonesia sebesar 2,240 juta dolar AS. Rinciannya: modal Belanda (sebelum pengambilalihan) 1,470 juta; AS 350 juta; Inggris 262,5 juta; Prancis dan Belgia 105 juta; dan kekuatan asing lainnya 52,5 juta. Hasil Konferensi Meja Bundar (KMB) dan Irian Barat yang masih dikuasai Belanda juga menambah keyakinan bahwa Indonesia belum merdeka.

Aidit juga memperlihatkan bukti bagaimana jurang pemisah antara tuan tanah dan petani upahan sungguh lebar. Dia mengandalkan hasil investigasi kader gerakan tani di dua daerah sebagai studi kasus. Di Karangduren, Jember, konsentrasi tanah sekitar 31% dimiliki oleh 6% populasi tuan tanah, sedangkan petani miskin dan buruh tani upahan yang berjumlah 64% total dari populasi hanya memiliki tanah sekitar 17%. Di Leuwigajah, Batujajar, 87,5% populasi petani miskin dan buruh tani upahan hanya mendapatkan remah-remah seluas 16,52% total tanah, sementara tanah seluas 83,48% dimiliki oleh 12,5% tuan tanah.

Mengapa bisa terjadi demikian? Terdapat empat alasan dari sudut politik:

Pertama, politik antiimperialisme yang setengah-setengah dan kompromi. Contohnya adalah persetujuan Linggarjati, Renville, dan KMB. Kedua, kegagalan menyusun kebijakan antifeodal yang secara “tegas menyerang tuan tanah dan menarik kaum tani ke dalam revolusi.” Ketiga, kebijakan yang tidak konsekuen perihal front persatuan dengan borjuasi nasional. Keempat, kegagalan proletar dan borjuis untuk memegang kepemimpinan dalam revolusi.

Atas dasar ini, menurut Lukman, Revolusi Agustus terus berjalan walau Revolusi Fisik (1945-1949) telah usai. Ini disebabkan tugas-tugas objektif revolusi masih belum tuntas seluruhnya, yakni melenyapkan kolonialisme dan sisa-sisa feodal. Itu berjalan hingga bertahun-tahun setelahnya hingga entah sampai kapan. Dalam maksud lain, meminjam kata-kata Lukman, “sebelum dasar-dasar yang menimbulkan Revolusi Agustus ’45 itu sendiri dihapuskan sama sekali.”

Bagi PKI, untuk menuntaskan tuntutan-tuntutan Revolusi Agustus, diperlukan inti terpenting: “kewajiban untuk membangkitkan, memobilisasi, dan mengorganisasi massa, terutama proletar dan tani.” Selain itu tak lupa juga negara memberikan “kemerdekaan politik seluas-luasnya bagi rakjat.[11] Itu menjadi prinsip utama dari berbagai program PKI sepanjang hidupnya. Beribu sayang, belum sempat menyelesaikan Revolusi Agustus, PKI malah tertelan kontrarevolusi pasca-G30S.

Kini 77 tahun sudah Indonesia merdeka dan 56 tahun PKI lenyap. Yang disebut terakhir juga membuat analisis terhadap Proklamasi dari sudut marxisme-leninisme berhenti. Lalu apakah Revolusi Agustus sudah sepenuhnya selesai? Dan bagaimana seharusnya kelas buruh dan tani abad sekarang menyikapinya?***


[1] Donald Hindley, The Communist Party of Indonesia, 1951-1963 (Berkeley dan Los Angeles: University of California Press), hlm. 23.

[2] Ibid., hlm. 23.

[3] Lihat M.H. Lukman, Tentang Front Persatuan Nasional, (Jakarta: Jajasan Pembaruan), hlm. 18; juga Rex Mortimer, Indonesian Communism Under Sukarno: Ideologi dan Politik 1959 – 1965 (Yogyakarta: Pustaka Pelajar), hlm. 200.

[4] Justus M. Van der Kroef, The Communist Party of Indonesia: Its History, Program and Tactics (Vancouver: University of British Columbia), hlm. 86.

[5] M.H. Lukman, Apa Sebab Revolusi Agustus ’45 Belum Selesai (Jakarta: Jajasan “Universitas-Rakjat”), hlm. 4.

[6] Ibid., hlm. 4-5.

[7] D.N. Aidit, Introduksi Tentang Soal² Pokok Revolusi Indonesia (Jakarta: Jajasan “Universitas-Rakjat”), hlm. 13.

[8] M.H. Lukman, Loc. Cit.

[9] M.H. Lukman, Op. Cit., hlm. 7.

[10] M.H. Lukman, Op. Cit., hlm. 4.

[11] M.H. Lukman, Op. Cit., hlm. 16.


Alvino Kusumabrata adalah pelajar kelas dua belas SMA di Kota Surakarta

]]>
Oetomo Ramelan: Wali Kota Merah dan Akrobatnya dalam G30S di Surakarta https://indoprogress.com/2022/12/oetomo-ramelan-wali-kota-merah-dan-akrobatnya-dalam-g30s-di-surakarta/ Thu, 22 Dec 2022 19:47:07 +0000 https://indoprogress.com/?p=237164

Ilustrasi: Illustruth


JUMAT PAGI, 22 Mei 1959. Sekitar pukul 9, kantor Wali Kota Surakarta kedatangan seorang pengunjung dari Amerika Serikat. Oetomo Ramelan, Wali Kota Solo saat itu yang juga merupakan politikus Partai Komunis Indonesia (PKI), membeberkan pada sang tamu apa yang telah dicapainya setelah 15 bulan menjabat. 

“Wali Kota telah menggambarkan apa yang dia rasakan sebagai pencapaian terbesarnya, memperbaiki beberapa mil jalan dan membagikan obat-obatan kepada para dokter,” tulis Bernard Kalb dalam reportase untuk The New York Times edisi 19 Juni 1959. 

Tetapi Oetomo Ramelan tak cukup puas dengan apa yang sudah dia kerjakan. Menurutnya ada beberapa hal yang harus diperbaiki tapi sulit dan cukup terjal dilakukan. Dengan cepat ia menambahkan bahwa bahwa sumber masalah itu “bukan pada dirinya atau komunis.” Menurutnya, hal ini karena situasi secara umum buruk dan itu diakibatkan oleh kondisi ekonomi Indonesia.

Pukul 11 siang tiba. Wali kota merah telah menceritakan dirinya dan Surakarta selama berjam-jam.  “Sekarang saatnya orang pergi ke masjid,” ucap Oetomo Ramelan sembari menengok jam. “Saya sudah menceritakan kisah saya, jadi permisi.” 

Ia berjalan keluar dengan membawa harapan optimistis untuk Surakarta, sebelum akhirnya perubahan drastis terjadi pada 1965.


Jejak Samar Politikus Merah 

Oetomo Ramelan lahir di Sragen, Jawa Tengah, pada 9 Januari 1919. Tak seperti kalangan bumiputra lain, ia lahir dari keluarga keturunan bangsawan ternama. 

John Roosa dalam buku Buried Histories: The Anticommunist Massacres of 1965-1966 in Indonesia (2020) menyebut ayah Oetomo Ramelan pernah menjabat sebagai kepala kepolisian di Surakarta. Saudara-saudaranya juga berkedudukan tinggi. Oetoyo, kakak laki-laki Oetomo Ramelan , sempat meraih gelar sarjana hukum di Leiden dan kemudian hari menjadi bapak pendiri Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia. Kakaknya yang lain, Oetaryo, adalah seorang dokter. “Sedangkan kakak perempuannya, Oetami, menikah dengan sosok pendiri Angkatan Udara Republik Indonesia (AURI), Suryadi Suryadarma,” tulis John Roosa (2020: 127) 

Awalnya Oetomo Ramelan bekerja sebagai guru sekolah. Robyn J. dan John R. Maxwell (1989: 132) dalam bunga rampai To Speak with Cloth: Studies in Indonesian Textilles (1989, hlm. 132) mencatat bahwa Oetomo Ramelan mulai menerjunkan diri dan meniti karier di politik lokal pada akhir 1950-an. 

Pada saat itu, tahun 1957, Indonesia mengadakan pemilu daerah yang bertujuan memilih anggota DPRD dan DPD. Para legislator itu kemudian berhak memilih kepala daerah masing-masing. Hasilnya, PKI-lah yang keluar sebagai pemenang. Jika pada Pemilu 1955 hanya menempati peringkat ke-4 dengan perolehan suara 16,4%, maka kali ini mereka mendapat 27%. Tiga besar Pemilu 1955—PNI, Masyumi, NU—justru suaranya menurun. 

Setelah itu PKI menaruh wakil-wakilnya di banyak kota dan kabupaten, tak terkecuali Surakarta. Di kota tersebut PKI menang besar dengan perolehan 58% (146.000 suara). “Dengan suara ini, kaum komunis meraih 17 dari 30 kursi dewan Kota [Surakarta],” tulis The New York Times. Sementara Jawa Tengah sendiri adalah lumbung terbesar suara (2.706,893 suara).

Oetomo Ramelan-lah yang akhirnya ditunjuk untuk mengisi jabatan Wali Kota Surakarta. Ia resmi menjabat pada 17 Februari 1958.

Belum genap setahun Oetomo Ramelan menjabat, Surakarta dipilih sebagai tempat penyelenggaraan acara akbar: Kongres Nasional I Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra). Di samping merupakan sentra industri kecil bagi “buruh-buruh progresif”, Andika Krisna Wijaya dalam skripsi berjudul Lembaga Kebudayaan Rakyat (LEKRA) di Surakarta Tahun 1950-1965  (2011: 32) menyebut Surakarta juga dipilih karena faktor Oetomo Ramelan. 

Tidak hanya jadi tuan rumah, kongres yang diselenggarakan pada 23-30 Januari 1959 itu juga mengangkat Oetomo Ramelan menjadi Ketua Kehormatan Lekra (Wijaya, 2011: 47). 

Di bidang pemerintahan, kebijakan yang ditempuh Oetomo Ramelan sebenarnya tidak bersifat radikal; dia hati-hati. Contohnya, ia enggan mengambil alih properti milik borjuis Surakarta. “Kaum nonkomunis, seperti para pengusaha batik yang kaya raya dan para pedagang di lingkungan Laweyan, tetap menjadi kekuatan yang kuat,” terang John Roosa (2020: 127). 

Tentu saja masalah yang dihadapinya tidak ringan. Segudang masalah menunggu diselesaikan. “Pusat pasar di Surakarta, Jawa Tengah. Kondisi pengangguran dan krisis kekurangan perumahan tidak membaik selama lima belas bulan pertama rezim komunis [Oetomo Ramelan] berkuasa,” demikian deskripsi singkat foto sebuah pasar kumuh di Surakarta dalam The New York Times edisi 19 Juni 1959 halaman tiga. 

“Sekitar 30 persen dari 100.000 angkatan kerja di Surakarta masih menganggur atau setengah-menganggur,” tulis surat kabar itu. Salah satu program yang kemudian muncul adalah membangun rumah murah. 

Pada 1963, Oetomo Ramelan bercita-cita membangun universitas negeri di kotanya. Walhasil berdirilah Universitas Kotapraja Surakarta (UPKS)—cikal bakal UNS. Dalam Mengajarkan Modernitas: PKI Sebagai Sebuah Lembaga Pendidikan (2016: 43), Ruth T. McVey menggarisbawahi “lebih dari setengah organisasi mahasiswa membangun UPKS, yang kemudian hari dikontrol Central Gerakan Mahasiswa Indonesia (CGMI).” 


Bermain Api dalam Revolusi 

Angin kegagalan Dewan Revolusi dalam G30S 1965 berembus cepat dari Jakarta ke Surakarta.

Oetomo Ramelan secara gamblang mendukung apa yang dilakukan Dewan Revolusi sehari setelah peristiwa, 2 Oktober, menurut Ben. R. Anderson dan Ruth T. McVey dalam A Preliminary Analysis of the October 1, 1965, Coup in Indonesia (1971: 49). Pernyataan itu ia bacakan pada jam 6 sore di RRI Solo. “S. K. Wirjono, eksponen Lekra Surakarta, tampil di belakang Oetomo Ramelan dengan menandatangani pernyataannya,” terang keduanya.

Oetomo Ramelan telah terhanyut bermain api dalam revolusi lewat sepucuk pernyataan itu, sebuah langkah yang akan mengubah kondisi diri sendiri dan kotanya. 

Aidit, pemimpin partai, berlabuh ke Surakarta pada hari yang sama. Ia menggelar rapat antar-petinggi organisasi. Oetomo Ramelan hadir. Menurut buku Aidit: Dua Wajah Dipa Nusantara (2010) yang disusun Arif Zulkifli dan Bagja Hidayat, hasil rapat bertendensi “mendukung G30S dan partai harus melancarkan perjuangan bersenjata untuk mendukung gerakan Letnan Kolonel Untung tersebut.” Sementara di luar rapat itu, “… seluruh organisasi-organisasi kiri mengekor mendukung G30S,” tandas John Roosa dalam Dalih Pembunuhan Massal: Gerakan 30 September dan Kudeta Soeharto (2008: 77). 

Pada waktu itu juga Mayor Iskandar memelopori pembentukan Dewan Revolusi Surakarta, “sesuai dengan instruksi yang dikeluarkan dalam proklamasi kedua Untung” (Anderson dan McVey, 1971: 49). Dengan menyandang titel sebagai Ketua Dewan Revolusi Surakarta, Mayor Iskandar segera mengumandangkan, seperti John Roosa tulis, perintah penangkapan. “[Mayor Iskandar] memerintahkan prajurit-prajurit yang setia kepadanya untuk menahan perwira komandannya, Letnan Kolonel Ezy Suharto, kepala staf Korem (Komando Resort Militer) Solo, Kapten Parman, dan seorang perwira lain, Letnan Kolonel Ashari.” Mereka dianggap lamban dan malu-malu untuk mendukung G30S. 

Hari berikutnya, 3 Oktober, kekacauan politik semakin menjadi. Menurut Helen Jarvis dan Usamah dalam artikel di jurnal War and Humanity; Notes on Personal Experience, anggota Pemuda Rakyat, bermodalkan senjata chung, muncul di setiap penjuru kota: dari Semanggi, Kampong Sewu, dan Medjo. Mereka berseliweran di jalan-jalan Pasar Kliwon, Gading bahkan sampai ke ujung Purwosari. “Dari waktu ke waktu mereka meneriakkan: ‘Hancurkan Dewan Jenderal’. Ekspresi arogansi terpancar dari wajah mereka, mungkin karena kebanyakan dari mereka membawa senjata,” terang Helen Jarvis dan Usamah (1970: 90). 

Helen Jarvis dan Usamah menuding Oetomo Ramelan terlibat mengatur persiapan teror G30S. Kemudian, ketika kondisi sudah terdesak, Oetomo Ramelan mencoba memindahkan markasnya ke Baluwarti—benteng Keraton Kasunanan.

Puncak terkurungnya ruang gerak Oetomo Ramelan terjadi ketika Surakarta telah dikuasai oleh RPKAD sekitar 20 Oktober. Harold Crouch dalam buku The Army and Politics in Indonesia (2007: 150) menyebut Kolonel Sarwo Edhie, yang memulai misi pengganyangan PKI, sempat meringkus Oetomo Ramelan di Surakarta. Akhirnya, “22 Oktober, ia ditangkap dan ditahan di Markas AURI Panasan,” tulis A. K. Wijaya (2011: 108). 

Apa yang terjadi setelahnya gelap. Oetomo Ramelan tak diketahui rimbanya. 


Alvino Kusumabrata, pelajar kelas dua belas SMA di Kota Surakarta

]]>
Gerwani dan Perjuangan Politik Perempuan https://indoprogress.com/2013/10/gerwani-dan-perjuangan-politik-perempuan/ Wed, 16 Oct 2013 01:00:04 +0000 https://indoprogress.com/lbr/?p=1506

Judul Buku: Penghancuran Gerakan Perempuan : Politik Seksual Di Indonesia Pasca Kejatuhan PKI
Penulis: Saskia Eleonora Wieringa
Penerbit: Penerbit GALANGPRESS (Anggota Ikapi)
Halaman: 542 halaman

 

BOLA mata para jendral dicungkil dari tempatnya, sekujur tubuhnya dikuliti dan kemaluan mereka dipotong. Mayat yang tak lagi utuh tersebut dikumpulkan dalam satu sumur mati di wilayah Lubang Buaya, Jakarta. Di atas sumur mati tersebut para wanita sundal menari ‘Tari harum Bunga’ dengan bugil merayakan kemenangan. Tarian setan tersebut diiringi lagu Gendjer Gendjer yang bernuansa mistis. Maka, lengkap sudah segala kegerian dimalam jahaman 1 Oktober 1965 tersebut.

Gambaran diatas merupakan secuil scene dari lakon Pengkhianatan G30S/PKI, sebuah film yang dirilis tahun 1984 dan terus menerus diputar sebagai tontonan wajib setiap tahun sepanjang masa Orde Baru. Film tersebut, selain melalui jalur formal seperti institusi pendidikan dan buku-buku sejarahnya, merupakan salah satu jalan Orde Baru untuk menghegemoni kesadaran atas citra PKI secara umum dan Gerwani khususnya, sebagai orang-orang yang bengis-keji-jahanam-sundal-dan segala macam terma yang menggambarkan ketiadaan perikemanusiaan.

Setelah Orde Baru runtuh dan pemeriksaan ulang atas sejarah versi Orde Baru dilakukan, kita tahu bahwa Tari Harum Bunga Gerwani di Lubang Buaya merupakan omong kosong. Begitupun dengan mayat para korban yang digambarkan dikuliti, bola mata yang keluar, hingga kemaluan yang dipotong juga adalah kebohongan. Tetapi, hal ini bukan berarti secara otomatis mengubah stigma masyarakat tentang PKI dan Gerwani. PKI masih dicap sebagai organisasi ateis tak bermoral, dan Gerwani masih digambarkan sebagai pelacur sundal yang hanya setingkat lebih tinggi dari hewan.

Dalam konteks demikianlah, buku Saskia Eleonora Wieringa, seorang Profesor di Universitas Amsterdam dan ketua Gender and Women’s Same-Sex Relation Crossculturally, patut mendapat perhatian lebih. Wieringa dalam bukunya berjudul Penghancuran Gerakan Perempuan : Politik Seksual Di Indonesia Pasca Kejatuhan PKI (yang berangkat dari sebuah penelitian berjudul The Politization of Gender Relation in Indonesia), menunjukkan kepada kita apa Gerwani sebenarnya. Benarkah Gerwani adalah organisasi para pelacur? Bagaimana Gerwani, dan gerakan perempuan pada umumnya, ikut mewarnai perjalanan sejarah Indonesia? Pertanyaan-pertanyaan demikian yang dijawab oleh Wieringa dalam buku ini.

 

Gerwani: Organisasi Perempuan Militan

Pada tanggal 4 Juni 1950, enam wakil organisasi perempuan berkumpul di Semarang dan menghasilkan sebuah keputusan untuk membuat satu organisasi perempuan yang dinamakan Gerwis (Gerakan Wanita Sedar). Enam organisasi yang mendirikan Gerwis adalah: Rukun Putri Indonesia (Rupindo) dari Semarang, Persatuan Wanita Sedar dari Surabaya, Isteri Sedar dari Bandung, Gerakan Wanita Indonesia (Gerwindo) dari Kediri, Wanita Madura, dan Perjuangan Putri Republik Indonesia dari Pasuruhan. Para pendiri Gerwis berasal dari kalangan sosial yang berbeda tetapi semuanya terjun dalam gerakan nasional, bahkan, banyak diantaranya yang menjadi anggota pasukan bersenjata. Dalam pembentukan organisasi tersebut, disepakati ketua pertama Gerwis adalah Tris Metty yang pernah menjadi anggota Laskar Wanita Jawa Tengah.

Walaupun Gerwis di dalam konstitusinya menyatakan diri sebagai organisasi non-politik dan tidak berafiliasi dengan partai politik manapun, kenyataannya PKI memiliki pengaruh yang sangat kuat dalam proses pembentukan hingga arah politik Gerwis kedepan. Sebagaimana yang dijelaskan Ny Chalisah, salah satu pendiri Gerwis, bahwa ‘partai meminta saya untuk membangun organisasi perempuan komunis di dalam partai’ (hlm 218). Tetapi, keinginan para pemimpin PKI ini bukanlah satu-satunya faktor penyebab berdirinya Gerwis. Lebih besar dari itu, hasrat bersama untuk tercapainya kemerdekaan nasional dan berakhirnya praktik feodalisme adalah faktor terbesar berdirinya Gerwis.

Konres pertama Gerwis dilakukan pada Desember 1951. Dalam masa ini, Gerwis berada dalam kondisi yang sulit. Para utusan Gerwis dari daerah-daerah banyak yang masih berada dipenjara. Ketika itu, parlemen yang dipimpin Masyumi adalah pemerintahan yang reaksioner dan para utusan Gerwis tersebut adalam korban dari politik yang reaksioner ini. Untuk itu, Aidit, sebagai pemimpin PKI kala itu, menginstruksikan Gerwis untuk menghentikan sementara kritik terhadap pemerintah dan lebih memfokuskan pada gerakan bawah tanah.

Dalam kongres kedua pada 1954, setelah mendapat tekanan dari PKI untuk menjadi organisasi massa dibawahnya (Gerwis pada awalnya dibentuk sebagai organisasi kader), Gerwis mengubah nama menjadi Gerwani (Gerakan Wanita Indonesia) dan memilih Umi Sarjono –yang juga merupakan anggota PKI sebagai ketuanya. Organisasi berkembang pesat diantara masa kongres pertama dan kedua. Di Surabaya, Gerwis memiliki  40 cabang dengan 6000 anggota dan pada tahun 1954, anggotanya telah meliputi 80.000 orang. Dalam masa ini pula, Gerwani aktif dalam tiga front perjuangan sekaligus. Pertama, dalam lapangan politik, mereka menghadapi elemen reaksioner, yaitu elemen yang menggerakkan peristiwa 17 Oktober 1952; kedua, dalam tataran feminisme, mereka menentang PP Nomor 19 yang mengatur masalah perkawinan tetapi dinilai diskriminatif dan untuk itu Gerwis mendukung disahkannyaUndang-Undang Perkawinan yang lebih demokratis; dan ketiga, Gerwis berusaha sebisa mungkin untuk menghindari konfrontasi dengan Sukarno. Selain itu, di tingkat lokal, Gerwis ikut serta dalam kampanye BTI (Barisan Tani Indonesia) melawan tindakan pemerintah yang berusaha mengusir kaum tani dari bekas perkebunan yang telah mereka duduki. (hlm 227-228).

Perubahan Gerwani dari organisasi kader menjadi organisasi massa ini salah satunya dilakukan dengan cara menawarkan kepada kaum perempuan untuk menjadi pemimpin tanpa memandang latar-belakang sosial. Perwari (Persatuan Wanita Republik Indonesia) misalnya, para pemimpinnya hanya berasal dari keluarga pamong praja, atau memiliki pendidikan yang cukup tinggi. Strategi ini berhasil merekrut banyak kader, karena perempuan yang bergabung menilai Gerwani sebagai satu-satunya pihak yang sudi membantu memecahkan persoalan mereka sehari-hari. Selain itu, Gerwani juga dinilai sebagai organisasi alternatif di luar organisasi perempuan yang sudah ada dan menawarkan solusi konkret atas permasalahan yang terjadi sehari hari.

Kemudian, dalam resolusi Kongres ke III, Gerwani menunjukkan arah politik yang semakin condong kepada urusan poilitik nasional dari yang semula banyak berjuang dalam lapangan permasalahan perempuan, utamanya tentang demokrasi terpimpin. Pergeseran orientasi ini semakin terlihat ketika Gerwani fokus pada isu kenaikan harga pangan dan sandang ketimbang urusan-urusan feminis seperti masalah perkawinan. Dengan perubahan orientasi ini, maka Gerwani harus melakukan berbagai penyesuaian yang dirumuskan dalam tiga hal. Pertama,Gerwani ingin memimpin gerakan yang lebih luas; kedua, Gerwani menghendaki membangun gerakan massa, dalam hal  ini Gerwani mengikuti garis PKI dalam emansipasi perempuan yang merumuskan bahwa sosialisme harus dicapai lebih dulu sebelum bicara masalah spesifik tentang urusan perempuan; ketiga, Gerwani menghendaki perempuan ikut ambil bagian dalam politik nasional, hal ini contohnya tercermin dari keterlibatan Gerwani dalam urusan perang memperebutkan Irian Barat dan menyerukan agar gerakan perempuan bersatu untuk itu.

 

Ideologi Gerwani

Dengan sepak terjangnya tersebut, menjadi pertanyaan besar apakah ideologi yang menjadi dasar Gerwani. Pertanyaan tersebut dijawab oleh Wieringa di bab 2 dengan judul ‘Tiga Alur: Feminisme, Sosialisme dan Nasionalisme.’ Sebagaimana judulnya, Gerwani memang dipengaruhi oleh tiga aliran pemikiran tersebut.

Gerwani mendapat inspirasi tentang pemikiran sosialis/marxisme karena organisasi ini bertalian erat dengan PKI. Menurut Wieringa, dalam hubungannya terhadap marxisme, Gerwani bergulat dengan sejumlah problem teoritis. Dalam marxisme, perjuangan perempuan harus ditempatkan sebagai bagian dari perjuangan kelas. Ketika komunisme ditegakkan, maka perempuan sebagai subordinasi keluarga akan lenyap dan ‘keluarga proletar bahagia’ akan menggantikannya (hlm 83). Pandangan ini memiliki beberapa problem, diantaranya, bagi Wieringa, pandangan Engels tentang keluarga yang ditulisnya dalam The Origin of the Family (1884) dianggap a-historis, terutama tentang masyarakat suku. Kedua, karena perempuan utamanya ditempatkan dalam rumah tangga, maka teori marxis hanya memiliki sedikit pengertian terhadap peran perempuan di tengah masyarakat. Ketiga, karena eksploitasi perempuan dalam keluarga dipandang sebagai penemuan kapitalis, maka pemecahannya dicari di luar rumah tangga, yakni perempuan harus memasuki produksi masyarakat, pekerjaan rumah tangga harus disosialisasi. Terakhir, karena penindasan seksual dihubungkan dengan kapitalisme, maka disini sosialisme akan memberikan jalan keluar dan oleh karena itu tidak perlu adanya perjuangan perempuan secara sadar guna memperbaiki perilaku laki-laki maupun mengubah hubungan antar-pribadi.

Pada tahun 70-80an, kaum feminis-marxis dan sosialis mencoba mengoreksi marxisme karena dianggap kurang memberikan jawaban terkait hubungan antara pekerjaan rumah tangga dalam kaitannya dengan produksi masyarakat. Koreksi itu dimaksudkan untuk memperluas konsep pokok tentang produksi dengan memasukkan persoalan melahirkan dan pemeliharaan anak (hlm. 86). Namun, upaya penafsiran ulang marxisme ini tidak mampu untuk menjawab sejumlah persoalan pokok, seperti hubungan antara kapitalisme dengan patriarki. Hal ini biasanya dijabarkan dengan teori secara terpisah tapi saling terkait (hlm 87). Problem lain yang dihadapi feminis-marxis belakangan lebih fundamental. Utamanya terkait dengan kritik terhadap subjek marxis dan penilaian basis epistemologi marxisme yang menganggap marxisme dan perjuangan kelas sebagai perjuangan sosial paling penting, sedangkan perjuangan lain harus tunduk di bawahnya.

Dalam hubungannya dengan feminisme, nasionalisme Indonesia juga ditandai dengan kontradiksi penolakan akan pembedaan seksual disatu pihak, dipihak lain hal itu bersifat universal (hlm 92). Disatu sisi, perbedaan gender membuat dikotomisasi secara politik, ekonomi, dan sosial, namun pada saat yang sama pembangunan keduanya dipandang sebagai sesuatu yang amat penting dalam cita-cita nasional. Sebagai contoh, Sukarno yang seorang nasionalis-sosialis mendorong perempuan untuk mejadi ‘roda kedua’ kereta perang menuju kemerdekaan. Tetapi disisi lain, pasca kolonialisme, para pemimpin laki-laki berupaya untuk menguasai dan mengontrol kegiatan perempuan. Hal ini kemudian dilawan oleh Gerwani, misalnya, dengan mendekonstruksi model putri Jawa Kartini. Bagi mereka, Kartini adalah simbol bagaimana perempuan melawan dan memberontak untuk mendapatkan hak yang sama seperti laki-laki (hlm 82-92).

Setelah tahun 1959, Gerwani menyatakan kesetiaannya terhadap sosialisme. Para pemimpin Gerwani pun mulai membaca karya-karya para penulis sosialis seperti Clara Zetkin dan Engels. Selain itu, Api Kartini (terbitan Gerwani), juga terus-menerus mempublikasikan tentang ‘berkah sosialisme’ dengan mengutip kata-kata Sukarno. Demikianlah, dalam sejarahnya yang relatif singkat, Gerwani telah melakukan upaya pembentukan identitas dirinya sendiri. Ketiga alur wacana ini yang kemudian mewarnai perjalanan sejarah Gerwani, meskipun hubungan diantara ketiganya sangat dinamis.

 

Hubungan Gerwani dengan Organisasi Perempuan Lain

Hubungan Gerwani dengan organisasi gerakan perempuan lain dapat dilihat dengan cara melihat isu-isu yang Gerwani perjuangkan, dan di sisi lain, melihat juga apa yang diperjuangkan organisasi perempuan lain. Kemudian dengan komparasi tersebut, akan terlihat hubungan diantara keduanya.

Pada tahun 1950 terbentuk Kongres Wanita Indonesia (KWI) yang terdiri dari berbagai organiasi perempuan, termasuk Gerwani di dalamnya. KWI berasaskan pancasila dan memiliki tujuan untuk mencapai kemerdekaan penuh, jaminan terhadap hak perempuan, dan perdamaian dunia serta keamanan. Salah satu pokok perjuangan mereka adalah UU Perkawinan yang baru dan demokratis, serta pendudukan perempuan dalam pengadilan agama. Kongres juga menganjurkan kaum perempuan menggunakan hak pilih dalam pemilu mendatang, perjuangan kelayakan upah, pemberantasan buta huruf, dan mendirikan pusat pelatihan bagi perempuan.

Dalam perjalanannya, Pengaruh Gerwani di dalam tubuh KWI kian meningkat. Hal ini dapat dilihat dari kongres KWI pada tahun 1961. Saat itu, KWI semakin mengikuti garis politik Sukarno. Hal ini juga terlihat dari struktur organisasi pasca-kongres yang ditandai dengan naiknya Hurustiati Subandrio, istri Subandrio, loyalis Sukarno, sebagai ketua. Selain itu, dalam program perjuangan, KWI memprioritaskan pada perjuangan pembebasan Irian Barat yang merupakan ambisi besar Sukarno. Pada tahun 1962, KWI jugabergabung dengan Front Nasional yang ikut dalam semua kegiatan termasuk demonstrasi dan latihan relawan dalam mengkonfrontasi Nekolim Malaysia.

Setelah dikeluarkannya Dekrit Presiden 1959, pengaruh Sukarno mengikat kuat gerakan perempuan, terutama Gerwani yang memang mendukung penuh Sukarno. Hubungan yang dekat ini menyebabkan hubungan Gerwani dengan gerakan perempuan lain, seperti Aisyiah (organisasi perempuan Muhammadiyah), Wanita Katolik dan Bhayangkari (organisasi perempuan Istri Angkatan) semakin tegang. Ketegangan itu juga dipicu oleh pernikahan Sukarno dengan Hartini pada 1954. Sementara gerakan perempuan lain melakukan kritik tajam terhadap persitiwa ini, Gerwani justru melakukan hal yang sebaliknya. Hal ini dilakukan Gerwani karena ‘Presiden RI yang sedang melakukan perlawanan hebat terhadap tekanan kaum imperialis AS itu kita ganggu, hal demikian akan memberikan kesempatan pada kaum imperialis untuk masuk ke Indonesia’ (hlm 243). Di luar itu, beberapa kasus sebenarnya memperlihatkan bagaimana Gerwani juga pernah berada dalam satu front dengan organisasi perempuan lain untuk memperjuangkan isu keperempuanan seperti, penolakan terhadap kawin paksa dan penolakan terhadap film-film asal Amerika yang dianggap hanya merusak moral bangsa.

Sementara itu, urusan tradisional perempuan seperti mengurusi anak-anak dan pendidikannya, justru sama sekali tidak ditinggalkan Gerwani. Malahan, urusan tradisional inilah yang kemudian menjadi dasar bagi Gerwani untuk terus melakukan perjuangan seperti upaya menentang kenaikan harga barang pokok. Bagian inilah yang justru menarik. Meskipun Gerwani mengamini tugas tradisional rumah tangga sebagai kodrat perempuan, tetapi bagi Gerwani, kodrat perempuan yang dimaksud tidak meliputi pengertian bahwa para perempuan harus tampak malu-malu dan lemah lembut di depan khalayak. Dalam Kongres II Gerwani misalnya, dirumuskan bahwa hak kaum perempuan dan anak-anak tak dapat dipisahkan dari kemerdekaan dan perdamaian. Hak atas fasilitas pendidikan, kesehatan yang mudah, serta tanpa adanya buruh anak dan kawin paksa, adalah tema perjuangan Gerwani yang dilakukan dengan konsisten.

Gerwani juga melakukan jaringan yang luas dan kuat dengan organisasi perempuan internasional. Gerwani ikut serta dalam sebuah federasi perempuan internasional, Women International Democratic Federation (WIDF) yang didirikan tahun 1945. Gerwani juga turut berpartisipasi dalam Congress of Women di Paris. Adapun tujuan WIDF secara garis besar adalah memperjuangkan hak kaum perempuan sebagai ibu, pekerja dan warga negara; memperjuangkah hak anak-anak untuk hidup, kesejahteraan dan pendidikan; mendukung kemerdekaan nasional, penghapusan apartheid, diskriminasi rasial dan dan fasisme.

Hubungan diantara Gerwani dan WIDF awalnya sangat harmonis dan saling mendukung. Tetapi, semenjak tahun 1960, hubungan diantara keduanya mulai tegang dan puncaknya terjadi pada kongres WIDF 1963. Hal ini sedikit banyak disebabkan oleh meningkatnya militansi Gerwani dan makin dekatnya Gerwani dengan Tiongkok. Perselisihan pertama Gerwani dan WIDF  terjadi pada permulaan 1960, beberapa bulan setelah Sidang Biro di Jakarta. Ketika itu isu Irian Barat begitu kuat. Gerwani yang ikut memobilisasikan kadernya dalam perjuangan pembebasan Irian Barat, dirasa tidak sesuai dengan asas WIDF yaitu perdamaian. Pada tahun 1963, hubungan Gerwani dengan WIDF semakin memburuk. Dalam kongres bulan Juni, timbul pertentangan karena mayoritas anggota hendak membawa organisasi ke arah ‘feminis dan pasifis’. Bagi Gerwani, tidak akan ada perdamaian selama imperialisme masih ada di dunia. Meskipun WIDF masih bisa memahami apa yang dilakukan Gerwani dalam memperjuangkan pembebasan Irian Barat adalah dalam rangka perjuangan nasional dan kemerdekaan 100 persen, tetapi dalam isu konfrontasi dengan Malaysia, WIDF sama sekali tidak mendukungnya karena dinilai tidak memiliki alasan yang kuat.

Selain yang disebutkan di atas, dalam perjuangannya, Gerwani juga seringkali bekerjasama dengan Barisan Tani Indonesia (BTI), Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia (SOBSI) dan Pemuda Rakyat. Dalam hal ini kerjasama seringkali terjadi di tingkat basis-basis pengorganisiran seperti di desa-desa dan kawasan pertanian. Tak jarang, seluruh anggota keluarga masuk dalam semua organisasi ini: Si Ibu anggota Gerwani, Si Bapak anggota BTI atau SOBSI, dan Si Anak sebagai anggota Pemuda Rakyat.

Dari berbagai contoh di atas, kesimpulan yang tampak jelas, bahwa salah satu perbedaan Gerwani dengan gerakan perempuan lain adalah Gerwani tidak melulu fokus memperjuangkan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan. Fokus Gerwani, lebih dari itu, adalah kesetaraan tanggung jawab dalam perjuangan mencapai kemerdekaan nasional dan tegaknya sosialisme di Indonesia.

 

Gerwani dan Lubang Buaya

Kemudian, sebagaimana kita tahu, dimulai pada 1 Oktober 1965, politik Indonesia berubah 180 derajat. Diawali dari suatu putsch sejumlah kolonel kiri yang diklaim sebagai upaya melindungi Presiden Sukarno dari kudeta Dewan Jendral (hlm 395), dimulailah suatu upaya sistematis untuk menghancurkan gerakan kiri, dan gerakan rakyat secara umum. Gerwani, sebagai bagian dari gerakan rakyat, pun menjadi target sasaran. Salah  satu bagian terpenting dari penghancuran Gerwani, yang secara struktural tidak berada di bawah PKI, adalah propaganda fitnah yang dialamatkan kepada mereka terkait dengan perisiwa Lubang Buaya yang menjadi tempat pembantaian para Jendral.

Apa yang digambarkan Orde Baru terhadap perilaku Gerwani di Lubang Buaya, merupakan unsur ideologis terpenting, karena perempuan komunis ini –dalam versi mereka- menjadi tangan utama penyiksaan dan pembunuhan para jendral. Pihak Angkatan Darat (AD), yang bersusah payah mengonstruksi peristiwa Lubang Buaya, secara masif menyiarkan hasil ‘investigasi’ palsu mereka ke televisi, koran, dan radio.

Fitnah terhadap Gerwani ini secara masif dipropagandakan oleh AD melalui berbagai koran yang terbit. Yang menarik adalah, pemberitaan bahwa Gerwani lah pelaku pembunuhan para Jendral baru diberitakan sepuluh hari setelah hari kejadian. Berita pertama pasca 1 Oktober yang menyebutkan keterlibatan anggota Gerwani dan Pemuda Rakyat pada peristiwa Lubang Buaya terdapat dalam editorial koran AB (Angkatan Bersendjata) tanggal 11 Oktober. Tentu hal ini merupakan kejanggalan mengingat pada tanggal 2 Oktober, Suharto telah mendeklarasi bahwa kondisi telah aman terkendali. Selain itu, Tari Harum Bunga, sebuah julukan yang disematkan pada Gerwani ketika menguliti para jendral, merupakan tradisi paganisme yang tidak ada akarnya dalam sejarah Indonesia, bahkan dalam era animisme sekalipun. Tentu menjadi pertanyaan besar: ada apa yang terjadi dalam rentan waktu sepuluh hari tersebut, dan siapa yang menjadi aktor intelektual dibalik fitnah “Tari Harum Bunga”?

Berita dalam koran AB ini kemudian menjadi sumber utama yang dikutip koran-koran lainnya. Dalam koran Api tanggal 12 Oktober 1965 misalnya, dijelaskan, ‘para sukarelawati Gerwani telah mempermainkan para jendral dengan menarik kemaluan mereka dan mereka gosok-gosokkan ke vagina mereka sendiri’. Dihari yang sama, koran Berita Yudha Minggu melaporkan tubuh para jendral yang dimutilasi, ‘matanya dicungkil, beberapa jendral penisnya dipotong’. Sementara itu, koran umum Duta Masjarakat (DM) menyebutkan, ‘Gerwani menari-nari telanjang bulat di depan korbannya, perilaku yang mengingatkan kita pada upacara kanibal yang dilakukan suku-suku primitif ratusan tahun yang lalu.’

Selain yang disebutkan di atas, untuk meneguhkan propaganda terhadap Gerwani yang dianggap bermoral bejat, Angatan Darat mengajak wartawan untuk mengunjungi penjara para Gerwani. Gerwani kemudian digambarkan,

…banyak di antara mereka hanya merintih-rintih saja… Hal ini bukan karena mereka mendapat siksaan. Perwira penanggung jawab menjelaskan kepada pers bahwa mereka memperlakukan tahanan berdasarkan norma pancasila. Tidak karena siksaan, tapi karena mereka diliputi ketakutan disebabkan perbuatan hina yang pernah mereka lakukan, dan juga karena rohani mereka kosong, baik terhadap norma agama maupun karena norma cabul. (Koran Berita Yudha, 21 November 1965)

Meskipun diketahui kemudian bahwa segala tuduhan terhadap Gerwani di Lubang Buaya adalah kebohongan[1], dan perempuan-perempuan yang menjadi saksi untuk memperkuat peristiwa Lubang Buaya kenyataannya tidak berada di Lubang Buaya pada hari kejadian (hlm 458), tetap saja propaganda AD telah menjadi keyakinan umum dan menjadi justifikasi atas pembantaian yang terjadi kemudian. Pertanyaan besarnya adalah: mengapa Gerwani yang dijadikan tonggak awal untuk menghancurkan komunisme, dan gerakan rakyat secara umum?

Menurut Ruth Indiyah Rahayu,[2] analisis gender dalam politik akan sangat membantu menerangkan apa yang terjadi. Dalam menghancurkan sebuah gerakan, dapat dimulai dengan menghancurkan citra terhadap kaum perempuannya dahulu. Hal ini amat efektif, terutama dalam masyarakat yang legalis-normatif agama seperti di Indonesia. Hal yang paling sensitif bagi masyarakat yang legalis-normatif agama ialah permasalahan moralitas, terutama moralitas yang dikaitkan dengan seksualitas perempuan. Apabila suatu hal dikaitkan dengan moralitas dan seksualitas, para moralis dapat bergidik dan saat itulah keberhasilan untuk menyengat dan menyentuh sentimen massa mudah dicapai.

Keberhasilan skenario ini ada kaitannya pula dengan kebencian sebagian massa pada Gerwani karena gerakan yang dilakukannya. Sebagaimana dijelaskan di awal, Gerwani yang merupakan organisasi perempuan yang konsisten melakukan kampanye anti-poligami, anti-perkawinan dini, anti-perdagangan perempuan, dan anti-penjualan keperawanan, adalah musuh laten bagi para tuan tanah dan para pamong praja yang seringkali melakukan praktek demikian. Selain itu, Land Reform yang juga diperjuangkan oleh Gerwani membuat mereka harus berhadap-hadapan dengan para kiai tuan tanah. Masih menurut Ruth, sepertinya hal ini lah yang terbaca oleh sang penggagas skenario fitnah terhadap Gerwani. Skenario ini akan mudah dilakukan karena sudah banyak orang yang tidak suka dengan Gerwani. Kebencian ini dikuatkan lagi dengan sterotip yang melekat pada anggota PKI, yaitu ateis. Dengan status Gerwani yang secara organis dekat dengan PKI, para anggota Gerwani memperoleh dua stereotip sensitif: pelacur dan ateis. Oleh karena itu, massa yang terprovokasi menganggap bahwa darah Gerwani, dan para komunis lain, halal untuk ditumpahkan. Dan sebagaimana kita ketahui pula, pembantaian terbesar kedua setelah Perang Dunia terjadi, dan di atas mayat para korban lah orde baru berdiri dan bertahan selama 32 tahun.

 

Epilog

Propaganda Orde Baru menjadi justifikasi ideologis atas apa yang mereka lakukan kemudian. Kudeta 1 Oktober bukan sekedar kudeta seorang Letkol Untung, lebih dari itu, Suharto dan Angkatan Darat menjadikannya sebagai legitimasi atas penghancuran PKI sampai ke akar-akarnya. Dalam waktu yang bersamaan, Suharto secara perlahan menyingkirkan sukarno sebagai presiden sah republik.

Orde Baru kemudian membangun citra baru atas kaum perempuan dan kembali mensubordinasi kedudukan mereka di dalam masyarakat. Dalam episode ini, hubungan gender di Indonesia di rekonstruksi secara amat kasar. Perjuangan Gerwani yang berjalan kurang lebih 15 tahun untuk memperoleh persamaan perempuan dalam politik serta menghormati simbol dan militansi perempuan justru digambarkan Orde Baru sebagai bentuk pelanggaran terhadap kodrat perempuan (hlm 409). Kaum perempuan digiring perlahan untuk memasuki kodrat perempuan versi mereka. Kodrat dalam pengertian yang paling konservatif, yaitu lingkungan rumah tangga dan bidang sosial serta menjauhi hal-hal yang berbau politik. Dengan demikian, pemulihan order yang dilakukan Jendral Suharto berarti juga memulihkan dominasi laki-laki atas perempuan. Kaum perempuan harus tunduk kembali pada kodratnya di alam patriarki yang telah lama hadir di Indonesia.

Bagi saya, buku ini sendiri merupakan salah satu karya yang paling penting dibaca gerakan perempuan khususnya, dan masyarakat pada umumnya. Dari studinya yang mendalam, Wieringa berhasil menyuguhkan narasi yang sangat detail dan hidup tentang gerakan perempuan yang pernah ada di Indonesia sampai dengan tahun 1965. Wieringa, sebagaimana dijelaskan dalam kata pengantar, berhasil mengisi kekosongan narasi sejarah dari perspektif gender yang selama ini dikuasai oleh sejarah versi laki-laki. Selain itu, hal yang juga penting adalah bagaimana wacana tentang posisi gerakan perempuan dalam konteks perjuangan kelas dimunculkan dalam buku ini.

Kalau ada yang perlu dikritisi dari buku ini, karena Wieringa tidak memberikan posisi teoritisnya sendiri terkait hubungan antara marxisme dan feminisme. Wieringa hanya menunjukkan problem-problem teoritis antara feminisme dan marxisme, serta menunjukkan upaya-upaya yang dilakukan oleh para feminis marxis guna melengkapi marxisme dalam memandang masalah gender. Bagi saya pribadi, karena masalah gender adalah konstruksi sosial dan dengan demikian berada dalam ranah suprastruktur, maka perjuangan perempuan harus juga ditempatkan dalam konteks perjuangan kelas. Bagaimanapun, di era kapitalisme saat ini, kaum perempuan juga adalah kaum yang turut dieksploitasi dalam rangka akumulasi kapital. Dalam sistem kerja upahan, misalnya, buruh perempuan akan cenderung diberikan upah yang lebih murah daripada laki-laki karena mekanisasi yang ada saat ini memungkinkan mesin tidak lagi perlu dijalankan oleh laki-laki yang memiliki tenaga lebih. Selain itu, tunjangan-tunjangan di luar upah bagi buruh perempuan pun akan selalu lebih sedikit daripada buruh laki-laki. Alasan yang kerap dikemukakan, perempuan bekerja karena keterpaksaan dan hanya untuk membantu suami/kepala keluarga mencari nafkah –sebuah perspektif patriarki, tentu. Perlawanan terhadap budaya partiarki adalah juga merupakan bagian dari perlawanan terhadap sistem ekonomi politik kapitalisme yang ada saat ini.¶

Rio ApininoMahasiswa Sastra UI dan Sekjen SEMAR UI. Penulis beredar di twitland dengan ID @rioapinino

 


[1] Salah satunya adalah penelitian yang dilakukan Ben Anderson pada 1987 dan baru menjadi bahan perbincangan publik pasca Suharto jatuh.

[2] Wawancara dengan Ruth Indiah Rahayu, 29 September 2013.

]]>