Pendidikan – IndoPROGRESS https://indoprogress.com Media Pemikiran Progresif Sat, 21 Jun 2025 21:08:51 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.4.3 https://indoprogress.com/wp-content/uploads/2021/08/cropped-logo-ip-favicon-32x32.png Pendidikan – IndoPROGRESS https://indoprogress.com 32 32 Aset Pendidikan Tionghoa dan Kekerasan Anti-Komunis 1965-1966 di Cirebon https://indoprogress.com/2025/06/kekerasan-anti-komunis-di-cirebon/ Sat, 21 Jun 2025 21:08:51 +0000 https://indoprogress.com/?p=239018

Ilustrasi: Illustruth


ADALAH ironi ketika kekerasan anti-komunis 1965–1966 diajarkan secara rutin di sekolah, tetapi sejarah kekerasan yang secara langsung terhubung dengan institusi pendidikan itu sendiri justru disenyapkan. Situasi seperti ini menghasilkan kontradiksi antara kurikulum pendidikan dan sejarah pembentukan bangsa di lingkup lokalnya. Dalam konteks pendidikan formal, kurikulum pelajaran “muatan lokal” (mulok) justru tidak memasukkan sejarah lokal, padahal itu semestinya menjadi ruang eksplorasi. Akibatnya, pengetahuan tentang sejarah, termasuk sejarah kekerasan, tidak dapat ditelusuri lebih jauh sehingga hanya bertahan dalam bentuk cerita lisan dan narasi klenik yang dimunculkan bilamana perlu.

Di SMA 2 Cirebon—bekas almamater sekolah saya—misalnya, seorang guru sejarah pernah bercerita tentang penampakan hantu siswi berseragam sekolah lama yang dikaitkan dengan SMA Garuda Cirebon, sekolah Tionghoa yang pernah menempati gedung tersebut sebelum peristiwa 1965 dan hilang ditelan Laut Utara setelahnya. Apa yang terjadi pada SMA Garuda? Bagaimana proses pemindahtanganan gedung ini terjadi? Mengapa hal ini memungkinkan? Semuanya tidak pernah dijelaskan.

Artikel ini berangkat dari narasi klenik pembentuk ingatan kolektif dan keterkaitannya dengan sejarah yang terpinggirkan di bekas tempat pendidikan saya. Tulisan ini bertujuan untuk menelusuri kembali sejarah lokal, tentang bekas-bekas aset pendidikan Tionghoa yang terafiliasi dengan organisasi kiri di Cirebon, dan telah berubah bentuk dan fungsi pasca-kekerasan anti-komunis 1965-1966. Melalui pendekatan lokalitas dalam sejarah ini, semoga muncul pemahaman lebih luas tentang bagaimana ingatan kolektif terkait peristiwa sejarah kekerasan tersebut dibentuk, disembunyikan, dan bertransformasi. Ia juga bisa menjadi bahan pendiskusian dalam melakukan penelusuran sejarah kekerasan anti-komunis 1965-1966 dalam pendekatan yang lebih luas.


Sekolah Tionghoa dalam Pusaran Demonstrasi 1965-1966

Dalam wawancara di Radar Cirebon, Abdul Rasyid Prasetyo atau akrab dipanggil Rasyid, mantan ketua Gugus Depan Pramuka Kota Cirebon dan bekas tahanan politik Pulau Buru, bercerita seputar peristiwa kekerasan anti-komunis 1965-1966 di daerahnya. Rasyid membahas kondisi politik dan kegiatan organisasi pra dan pasca-peristiwa 1965 di Kota Cirebon.

Ia menceritakan sosok R.S.A. Prabowo, anggota Serikat Buruh Kereta Api (SBKA) sekaligus Wali Kota Cirebon tahun 1960-1965. Setiap Rabu sore, Prabowo kerap memanggil Pramuka Kota Cirebon ke rumah dinasnya untuk membahas kerja-kerja dan koordinasi antara pembina Pramuka dan organisasi Pramuka—waktu itu semua kepala daerah merangkap pembina Pramuka. Setelah G30S, gelombang besar demonstrasi anti-komunis muncul di Cirebon. Prabowo, dengan latar belakang sebagai anggota serikat kiri, disasar massa. Sementara Rasyid dibuang ke Pulau Buru dan menjadi tahanan di sana selama 10 tahun karena dianggap dekat dengan Prabowo (Cribb, 1991: 37). 

Tak hanya tokoh, massa juga menyerang sekolahan. Di sinilah dia menyinggung SMA Garuda (dan SMA 2 Cirebon sebagai sekolah yang menggantikannya). “SMA 2 beruntung tidak dibongkar karena ada yang melarang… Waktu itu, SMA Garuda punya orang Tionghoa,” kata dia. Hingga hari ini belum jelas siapa yang mencoba membongkar dan siapa yang mencoba melarang pembongkaran. SMA Garuda sendiri berada dalam naungan Yayasan Pendidikan Garuda. Yayasan ini juga mengelola beberapa sekolah di tingkat bawah, SMP sampai SD. Yayasan Pendidikan Garuda berafiliasi dengan Badan Permusyawaratan Kewarganegaraan Indonesia (Baperki), organisasi yang dianggap sayap PKI

Beberapa guru dari sekolah Garuda akhirnya pindah ke sekolah lain. Marwoto, bukan nama sebenarnya, mengingat ada setidaknya empat guru SMP Garuda Cirebon pindah ke sekolahnya, SMP Negeri 1 Sindanglaut di Cirebon Timur. “Mereka diperkenalkan di sekolah beberapa bulan tidak jauh setelah peristiwa G30S terjadi, pas saya masih kelas 3 SMP,” katanya dalam wawancara pada 25 November 2023. Pemindahan ini kemungkinan besar merupakan upaya dari yayasan. Di sisi lain, kondisi para murid Garuda pasca-demonstrasi belum terjelaskan hingga saat ini.

Selain SMA Garuda, salah satu instansi pendidikan Tionghoa, Tiong Hwa Hwee Kwan Cirebon, terletak di Jalan Siliwangi, juga diambil alih pasca-malam 30 September. Rasyid, dalam surat kabar yang sama, menuturkan bagaimana gelombang demonstrasi massa menyasar sekolah tersebut. Ia tidak menjelaskan siapa yang mendemo tempat tersebut.

Sukasa, bukan nama sebenarnya, mantan tahanan politik yang pernah ditahan di Komando Resimen 063/ Sunan Gunung Jati (KOREM 063/ SGJ) yang terletak hanya 50 meter ke selatan dari Tiong Hwa Hwee Kwan Cirebon, menceritakan perubahan gedung tersebut sebelum dan sesudah ditahan. “Beberapa kali saya sempat lewat sekolah Tjung Hwa Tjung Hwe (Tiong Hwa Hwee Kwan) di perempatan Jalan Siliwangi dan Jalan Bahagia itu. Tapi pas saya ditahan hingga dibebaskan dari tahanan Korem Kota Cirebon tahun 1967, saya lihat Tjung Hwa Tjung Hwe sudah berubah menjadi Markas Ampera… Itu markasnya KAMI-KAPPI,” katanya dalam wawancara pada 30 November 2023. KAMI adalah Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia, sementara KAPPI singkatan dari Kesatuan Aksi Pemuda dan Pelajar Indonesia. Keduanya merupakan kelompok yang menyelenggarakan demonstrasi anti-komunis di berbagai kota. 

Setelah Markas Ampera, bangunan bekas sekolah Tiong Hwa Hwee Kwan juga sempat beralih fungsi menjadi kantor Komando Distrik Militer (Kodim) 0614/Kota Cirebon pada tahun 1970-an. Saat ini, baik bekas Markas Ampera dan Korem Kota Cirebon sudah berubah menjadi tempat perbelanjaan. Bekas Markas Ampera kini menjadi ASIA Toserba, sedangkan bekas Korem Kota Cirebon berubah menjadi Yogya Grand Cirebon.

Dari data yang tersedia sampai sekarang, upaya pendudukan aset dan properti organisasi kiri di Cirebon paling banyak dilakukan oleh organisasi massa, pemuda, dan pelajar.


Aksi Massa dalam Peristiwa Kekerasan 1965 di Cirebon

Catatan awal tentang gelombang protes, kerusuhan, dan tuntutan pembubaran organisasi-organisasi kiri berasal dari laporan Bupati Kabupaten Cirebon 1965-1966 R. Soemioto pada April 1966. Dinyatakan bahwa pimpinan Ban Pepelrada (Penguasa Pelaksana Dwikora Daerah) Kotapradja/Kabupaten Tjirebon merestui gerakan kesatuan aksi yang terdiri dari banyak organisasi, seperti KAMI, KAPPI, KOKADA (Komando Kesatuan Aksi Pemuda), KABI (Kesatuan Aksi Buruh Indonesia), KAPNI (Kesatuan Aksi Pengusaha Nasional Indonesia), dan  K.P.3 (Kesatuan Aksi Penjelamat Pendidikan Pantjasila). 

Kesatuan aksi ini sendiri dinyatakan sebagai “tuntutan murni yang timbul dari hati nurani”, menyasar PKI dan kemudian PNI (Ali-Surachman), sekaligus ”secara khusus menyoroti bidang-bidang sosial-ekonomi dan Perusahaan Negara yang berada di Kabupaten Cirebon.” Penyebaran pamflet tuntutan, coretan di tembok, dan demonstrasi dilakukan demi merealisasikan “Tri Tuntutan” (Dinas Pusat Arsip dan Dokumen Kabupaten Cirebon, 1966).

Berdasarkan laporan R. Soemioto, demonstrasi massa tampaknya terjadi dalam dua gelombang. Gelombang aksi pertama dilakukan untuk membersihkan PKI dan organisasi yang berafiliasi dengannya, sedangkan gelombang aksi kedua secara jelas dituliskan dilakukan guna membersihkan PNI (Ali-Surachman).

Laporan R. Soemioto tidak menjabarkan lebih lanjut tentang gelombang aksi pertama. Sumber lain juga minim sehingga belum dapat dipahami dengan detail siapa saja yang berperan, apa saja yang mereka sasar, dan bagaimana gelombang aksi ini dilancarkan. Namun, berdasarkan tuturan Rasyid, penyerangan terhadap SMA Garuda dan Tiong Hwa Hwee Kwan, serta agresi terhadap organisasi dan orang-orang kiri masif dilakukan pada gelombang pertama ini.

Sementara gelombang aksi kedua, yang menyasar anggota-anggota PNI khususnya yang berafiliasi dengan kubu Ali-Surachman, dilakukan sejak April 1966. Demonstrasi dan protes ini dapat dilihat sebagai salah satu upaya lanjutan bagi pembangunan Orde Baru, atau apa yang disebut sebagai pengorde-baruan (new orderisation) (Leksana, 2023: 121). Dengan sasaran spesifik, anggota PNI (Ali-Surachman) yang  condong pada golongan nasionalis-kiri dan sukarnois, operasi ini mencoba menghilangkan pengaruh Sukarno sekaligus membuka jalan bagi propaganda Golkar untuk memenangkan pemilu mendatang (Leksana, 2023: 122).

Upaya pembersihan PKI dan PNI (Ali-Surahaman) ini berlanjut ke wilayah Kuningan, Jawa Barat. Harian KAMI melaporkan bahwa pada 6-11 Agustus 1966 KAPPI se-Jawa Barat menyelenggarakan pertemuan di Gedung Bioskop Cirebon dalam rangka “Up-Grading dan pembekalan aksi TURSA (Turun Ke Desa)” ke perdesaan di Kuningan. Acara ini dihadiri oleh Pangdam Siliwangi Mayjen Dharsono, Moh. Hatta (dan ditulis mengharapkan kedatangan Brigadir Jendral Sarwo Eddy serta Bung Tomo).

Tidak disebutkan kapan kegiatan Tursa ini akan dilaksanakan, dan bagaimana pula ini berlangsung. Namun acara ini dikatakan untuk “menegakkan Orde Baru dan mendobrak Orde Lama” serta “mengadakan show of force” (Harian KAMI edisi 9 Agustus 1966). Show of force tidak lain dilakukan untuk menunjukkan kekuasaan militer—biasanya sembari disambut dan dirayakan oleh organisasi massa pendukungnya—atas keberhasilan dalam penumpasan PKI (Roosa, 2024: 249) dan menandai deklarasi terbentuknya Orde Baru (Leksana, 2023: 145).

Narasi tentang penyerangan maupun perampasan aset-aset organisasi kiri dalam arsip-arsip penumpasan G30S atau yang berkaitan memang tidak pernah disebutkan secara jelas, namun ia sering diawali dengan aksi-demonstrasi oleh organisasi massa pemuda, pelajar, dan keagamaan. Aksi organisasi-organisasi ini, yang mengatasnamakan gerakan mereka “datang dari hati nurani”, dapat dilihat sebagai salah satu metode perampasan aset organisasi kiri selain penyitaan langsung oleh militer.

Selain perampasan aset, retorika nasionalisme juga menjadi siasat untuk melegitimasi penahanan, penyiksaan, hingga pembantaian orang-orang kiri. Melalui operasi penumpasan G30S, retorika nasionalisme kemudian disubordinasikan. Orde Baru juga menjadikan nasionalisme guna menegaskan kepentingan negara (Langenberg dalam Cribb, 1991: 60) sekaligsu pembangunan ekonomi liberal (Robinson, 2009: 185).

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.


Penutup

Cerita tentang peristiwa kekerasan anti-komunis 1965-1966 yang terjadi dalam cakupan lokal, seperti apa yang diungkapkan dalam tulisan ini, tidak akan dijelaskan oleh guru-guru di semua sekolah di Indonesia. Paling-paling merereka hanya mengungkap sekilas saja, seperti guru sejarah saya. Untuk itu saya berterima kasih. 

Di pesisir sekaligus ujung timur Jawa Barat seperti wilayah Ciayumajakuning (Cirebon, Indramayu, Majalengka, dan Kuningan), meskipun kekerasan yang dilakukan secara langsung kepada warga sipil sangat ditekan, penghilangan terhadap orang-orang kiri maupun yang dituduh kiri turut hadir dan bertambah dari hari ke hari (Hughes, 1968; Young dalam Cribb, 1991: 94). Mereka yang tidak bernasib itu mengalami hari-hari penuh tekanan. Tidak sedikit pelajar yang tergabung dalam organisasi progresif seperti IPPI (Ikatan Pemuda Pelajar Indonesia) dan CGMI (Consentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia) maupun berasal dari keluarga yang dinyatakan terlibat G30S diharuskan wajib lapor hingga dikeluarkan paksa dari sekolah.

Ketika masih eksis, organisasi-organisasi ini merespons kondisi-kondisi ekonomi-politik di sekitarnya. Kiranya hal ini dapat menjadi bahasan selanjutnya bagi gerakan sekarang. Keterkaitan ekonomi-politik dan perampasan aset juga perlu diperdalam, khususnya dalam konteks akumulasi modal, apalagi sistem dan institusi pendidikan kini tidak lagi berfokus pada ilmu pengetahuan melainkan mencetak buruh murah.

Sekitar 100 meter ke utara dari SMA 2 Cirebon, berdiri kompleks ruko dan pasar tradisional bernama Gunungsari Trade Center (GTC). Pasar itu menjadi tempat siswa-siswi SMA 2 Cirebon—termasuk saya—nongkrong setiap hari sebelum pulang ke rumah masing-masing. Di sana pula kami biasa memarkirkan kendaraan, tidak jarang kehilangan helm bahkan motor. Tempat itu, menurut Rasyid masih di sumber yang sama, adalah bekas Gedung Gotong Royong, sebutan untuk kantor PKI Cirebon.

“Gedung itu habis diobrak-abrik dan dibakar massa”, ujar Rasyid. Tuturan Rasyid ini semakin melengkapi refleksi atas perasaan dan ingatan saya terhadap ruang-ruang yang berkaitan erat dengan masa SMA yang lampau.


Referensi

Buku

Cribb, R. “Problems in the historiography of the killings in Indonesia”, Dalam R. Cribb, The Indonesian Kiling 1965–1966: Studies from Java and Bali (1991). Clayton, Victoria: Centre of Southeast Asian Studies Monash University.

Langenberg, M. v. (1991). “Gestapu and State Power In Indonesia”, Dalam R. Cribb, The Indonesian Killings 1965-1966: Studies from Java and Bali (hal. 45-62). Clayton, Victoria: Centre of Southeast Asian Studies Monash University.

Leksana, G. T. (2023). Memory Culture of The Anti-Leftish Violence in Indonesia. Amsterdam: Amsterdam University Press.

Robinson, R. (2009). Indonesia: The Rise of Capital. Singapore: Equinox Publishing.

Roosa, J. (2024). Riwayat Terkubur: Kekerasan Antikomunis 1965-1966 di Indonesia. Tangerang Selatan: Marjin Kiri.

Young, K. R. (1991). “Local and National Influence In The Violence of 1965”, Dalam R. Cribb, The Indonesian Killings 1965-1966: Studies from Java and Bali (hal. 63 – 100). Clayton, Victoria: Centre of Southeast Asian Studies Monash University.

Surat Kabar

IPMI. (9 Agustus, 1966). Kappi ,,TURSA’’ Pelihara Militansi Perdjuangan. Harian KAMI. No. 34, hal. 1.

Kayla, C., & Nugraha, F. (2022, November 3). Aset Bisa Dirampas, Tetapi Memori Tetap Tinggal. Deduktif. https://deduktif.id/aset-bisa-dirampas-tetapi-memori-tinggal. Di akses pada tanggal 24 September 2024.

Suhendrik. (TT, TB TH). Setiap Rabu Sore Undang Pramuka ke Rumah Dinas. Radar Cirebon, No. TN, hal. 19.

Arsip

Soemioto. Buku Tjoretan dan Tjatatan serta Sorotan Kabupaten Tjirebon. (1966). Dinas Pusat Arsip dan Dokumen Kabupaten Cirebon, Cirebon.


Dzulfiusi Rafif adalah seorang sarjana antropologi dari Universitas Padjadjaran.

]]>
Dosen Tak Lebih dari Komoditas yang Dieksploitasi dan Dihisap Nilai Lebihnya https://indoprogress.com/2024/11/dosen-tak-lebih-dari-komoditas-yang-dieksploitasi-dan-dihisap-nilai-lebihnya/ Fri, 01 Nov 2024 22:36:26 +0000 https://indoprogress.com/?p=238496

Ilustrasi: Ilustruth


DALAM beberapa dekade terakhir, sektor pendidikan tinggi, termasuk peran dosen, semakin dipengaruhi oleh pasar. Dosen yang dahulu dianggap sebagai kompas moralitas, penjaga gerbang ilmu pengetahuan, dan pembentuk generasi kritis, kini dipahami sebagai pekerjaan yang berfungsi sekadar menghasilkan lulusan siap kerja, “produk” yang “layak” memenuhi kebutuhan pasar. Sementara institusi pendidikan semakin beroperasi layaknya korporasi.

Dalam hal ini, dosen berperan penting dalam formula sirkuit uang dari Karl Marx, M-C-M’ (M: uang; C: komoditas; M: uang yang lebih banyak). Dalam skema ini, pekerja berperan sebagai komoditas yang dibeli oleh kapitalis dengan uang. Tenaga kerja mereka digunakan untuk memproduksi barang atau jasa yang kemudian dijual demi mendapatkan uang lebih banyak.

Uang yang dikeluarkan kapitalis untuk membeli pekerja disebut upah. Upah ini selalu lebih rendah dibanding nilai sebenarnya yang dihasilkan pekerja. Selisih antara nilai yang diciptakan dan upah yang diberikan disebut nilai lebih (surplus value). Nilai lebih inilah yang menjadi sumber keuntungan bagi kapitalis. 

Tren transformasi dosen sebagai komoditas ini tidak khas Indonesia, melainkan secara global seiring dengan dominasi neoliberalisme di sektor pendidikan. Di Eropa, terutama setelah krisis keuangan 2008, banyak universitas mulai merespons tekanan untuk meningkatkan efisiensi, produktivitas, dan “nilai guna” lulusan. Ini terlihat dengan munculnya pendekatan outcome-based education dan penekanan pada employability

Di Amerika Latin —yang memiliki sejarah panjang pendidikan sebagai alat pembebasan dan gerakan deschooling— sistem pendidikan mulai diprivatisasi dan beroperasi sebagaimana bisnis. Dosen berada di bawah tekanan untuk menghasilkan lulusan yang memenuhi kebutuhan pasar sehingga sering kali mengorbankan penelitian atau kajian sosial kritis. Hal ini setidaknya terjadi di Cile pasca-Kudeta 1973. Negara ini juga merupakan salah satu laboratorium pertama bagi kebijakan neoliberal di sektor pendidikan.

Komodifikasi sistem pendidikan juga masif terjadi di Asia, baik di negara maju maupun berkembang. Pendidikan tinggi dipandang sebagai sarana strategis untuk memperkuat daya saing nasional di pasar global. Di banyak negara Asia, termasuk Indonesia, pemerintah menekankan pentingnya pendidikan tinggi untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, inovasi, dan daya saing. 

Paradigma di atas sejalan dengan apa yang disampaikan oleh Immanuel Wallerstein melalui teori world-systems. Merujuk teori ini, pendidikan merupakan bagian penting dari struktur kapitalisme global. Pendidikan, termasuk infrastrukturnya seperti perguruan tinggi, tidak lagi hanya untuk menghasilkan tenaga kerja bagi pasar domestik tetapi juga sistem ekonomi global. Pendidikan tidak lagi diorientasikan untuk kepentingan nasional atau domestik tetapi juga terkait dengan penguatan posisi sebuah negara dalam peta ekonomi dunia.


Pendidikan Tinggi dalam Sistem Pasar

Marx (1992) dalam analisisnya tentang kapitalisme menyebutkan bahwa komodifikasi adalah proses ketika segala sesuatu, termasuk tenaga kerja, diupayakan bisa diperdagangkan. Dalam konteks pendidikan, dosen menjual tenaga intelektual mereka untuk upah, dan hasil dari pekerjaan mereka adalah lulusan yang disiapkan untuk pasar kerja. Marx menjelaskan bahwa dalam kapitalisme, tenaga kerja diharapkan menciptakan nilai lebih, yang dalam kasus dosen, diwujudkan dalam bentuk lulusan yang memiliki nilai produktif bagi pasar dan kapitalis di luar institusi pendidikan.

Sejalan dengan ini, Harvey (2005), seorang geografer marxis, menggambarkan bahwa neoliberalisme telah menciptakan situasi di mana segala aspek kehidupan telah dikooptasi oleh logika pasar. Begitu pun sektor pendidikan tinggi. Pendidikan tinggi tidak lagi dilihat sebagai proyek sosial atau tempat pengembangan intelektual bebas, tetapi industri yang harus menghasilkan keuntungan dan produk yang dapat bersaing di pasar tenaga kerja. Dosen didesain untuk tidak hanya menjalankan tugas pengajaran, tetapi juga harus menyesuaikan diri dengan tuntutan produktivitas yang diukur berdasarkan seberapa cepat dan efisien mereka dapat mencetak tenaga kerja siap pakai.

Dalam kerangka ini, universitas tidak berbeda dari pabrik, dan lulusan yang dihasilkan bukan lagi individu yang kritis dan berpikiran bebas melainkan produk yang siap memenuhi permintaan dan kebutuhan industri. Sistem ini menciptakan tekanan luar biasa bagi dosen, yang sering kali harus berfokus pada pengajaran yang relevan dengan industri dan penelitian yang diarahkan pada inovasi yang berorientasi pada pasar. Dosen kerap harus berdamai antara antara idealisme sosok pendidik atau pengekor semua kebijakan yang pro-pasar.

Kondisi terintegrasinya dosen dalam rantai produksi tenaga kerja berdampak pada pudarnya keotonomian mereka sebagai intelektual yang merdeka. Akibat tekanan untuk memenuhi kebutuhan pasar dan meningkatkan daya saing lulusan, banyak yang terjebak dalam mekanisme penyesuaian kurikulum dan metode pengajaran yang berorientasi pada pasar, bukan pada pengembangan kritisisme, kreativitas, atau kebebasan intelektual. 

Kondisi ini sejalan dengan apa yang disampaikan Marx dalam Kapital. Menurutnya, di bawah kapitalisme, pekerja kehilangan hak atas produk kerja mereka. Dalam konteks pendidikan, dosen kehilangan otonomi atas kurikulum dan metode pengajaran yang mereka kembangkan karena diatur oleh kebutuhan pasar. Ini mengarah pada alienasi dosen dari pekerjaan intelektual mereka sendiri. Dosen bukan lagi sebagai pencipta pengetahuan yang bebas, melainkan agen yang berfungsi dalam logika ekonomi.

Marx (2013) pernah menulis bahwa: “the worker becomes all the poorer the more wealth he produces, the more his production increases in power and range. The worker becomes an ever cheaper commodity the more commodities he creates.” Di dalam perguruan tinggi, kalimat ini sulit diterima. Dosen selalu dihegemoni perspektif bahwa semakin menghasilkan sumber daya siap kerja, maka ia semakin menjadi komoditas yang andal. Hegemoni ini membuat banyak dosen semakin pragmatis dan membuat perguruan tinggi sulit terlepas pada kekangan paradigma pasar.


Pendidikan sebagai Aparatus Ideologis

Meminjam pemikiran Althusser (1971) soal Aparatus Ideologis Negara (Ideological State Apparatus/ISA), proses komodifikasi pendidikan sejatinya sangat ideologis dan dijalankan secara struktural. Pendidikan tinggi telah bertransformasi menjadi salah satu instrumen negara yang digunakan untuk mereproduksi hubungan produksi kapitalis. Dosen, melalui peran mereka dalam institusi pendidikan, berperan dalam mentransmisikan ideologi dominan kepada pelajar, baik secara eksplisit maupun implisit. Proses ini menciptakan kesadaran palsu yang menormalkan kapitalisme dan hubungan kekuasaan yang ada, sehingga lulusan lebih mudah diterima dan dimanfaatkan oleh sistem ekonomi yang berlaku.

Dalam konteks Indonesia, sistem pendidikan tinggi sering diarahkan untuk mendukung agenda pembangunan ekonomi yang berfokus pada pertumbuhan. Mahasiswa sering kali dijejali pemahaman bahwa kuliah harus cepat lulus dan siap kerja, tanpa secara rasional benar-benar memahami dalam konteks apa dan untuk kepentingan siapa mereka harus belajar. Orientasi ini mengarahkan mahasiswa dan lulusan pendidikan tinggi sebagai manusia-manusia pasif, yang hanya menerima dan minim keberanian untuk menciptakan atau mengkritik. Para pembelajar pada akhirnya hanya sebagai “produk akhir” yang siap digunakan oleh kapitalis untuk memenuhi kebutuhan industri.

Freire pernah mengungkapkan dalam Pedagogy of the Oppressed (1970): “Education either functions as an instrument which is used to facilitate integration of the younger generation into the logic of the present system and bring about conformity or it becomes the practice of freedom, the means by which men and women deal critically and creatively with reality and discover how to participate in the transformation of their world.”

Idealisme Freire ini sangat penting dalam membangun sistem pendidikan dan lulusan yang merdeka, kreatif, dan adaptif terhadap perubahan dunia. Namun, sayangnya, komodifikasi pendidikan dalam konteks kapitalisme telah mengarahkan pendidikan ke arah pendulum yang berbeda. Alih-alih merdeka dan fokus pembebasan intelektual, pendidikan lebih sering berfungsi sebagai sarana integrasi pasar. Dosen dalam sistem ini terjebak dan dipaksa untuk “memproduksi” lulusan yang sesuai dengan standar pasar, menghilangkan elemen pendidikan yang bersifat transformatif dan membebaskan.

Seorang pemikir kiri dari Frankfurt School bernama Herbert Marcuse dalam karyanya One Dimensional Man (2013) pernah mengkritik cara sistem kapitalis menciptakan individu-individu yang tunduk pada sistem tanpa pertanyaan kritis. Alih-alih menjadi kritis, pendidikan justru diarahkan untuk menciptakan lulusan yang fungsional. Marcuse berpendapat bahwa kapitalisme menciptakan one dimensional thinking, di mana orang atau masyarakat didorong untuk menyesuaikan diri dengan sistem daripada memikirkan alternatif. Dalam konteks ini, pendidikan tinggi, alih-alih merdeka dan menjadi antitesis atas status quo, justru menjadi aparatus ideologis yang melanggengkan hegemoni pasar yang membelenggu. Dosen, yang seharusnya memiliki peran untuk mengkritik sistem dan mengembangkan pemikiran alternatif, justru terjebak dalam siklus produksi ini dan dalam proses penyediaan tenaga kerja yang melanggengkan sistem pro-pasar.

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.


Sebuah Jalan Alternatif 

Saya tidak menyatakan bahwa mencetak tenaga kerja adalah dosa. Upaya membentuk pelajar yang siap kerja pastinya hal mulia agar mereka memiliki kesempatan hidup yang lebih baik. Namun begitu, upaya ini tidak bisa dilakukan secara pragmatis. Upaya membentuk tenaga kerja harus disertai upaya melawan komodifikasi pendidikan dan upaya mengembalikan esensi pendidikan yang kritis dan transformatif. Dengan begitu, kita tidak membentuk pekerja yang selalu menjadi ekor, tapi juga dapat berperan sebagai kepala.

Salah satu pendekatan dapat dilakukan dalam merealisasikan ide di atas adalah dengan mengadopsi pedagogi kritis seperti yang dikemukakan oleh Freire. Dalam pedagogi ini, dosen tidak hanya menjadi pengajar, tetapi juga fasilitator bagi mahasiswa untuk mengembangkan kesadaran kritis tentang dunia di sekitar mereka. Pendidikan tidak lagi berfokus pada pencetakan lulusan sebagai produk pasar, tetapi pada pembebasan intelektual, di mana mahasiswa didorong untuk mempertanyakan struktur ekonomi-politik yang mereka hadapi.

Freire menyarankan bahwa pendidikan harus menjadi proses dialogis. Dalam hal ini, dosen tidak lagi berperan sebagai satu-satunya sumber kebenaran, tetapi memberikan ruang bagi mahasiswa untuk berperan aktif dalam menafsir kebenaran dan mencipta pengetahuan. Hal ini dapat diterapkan dengan melibatkan mahasiswa dalam proyek-proyek berbasis masalah, yang tidak hanya berfokus pada keterampilan teknis tetapi juga pada isu-isu sosial seperti keadilan, ekologi, dan ketimpangan. Pendekatan ini bertujuan untuk menjadikan pendidikan sebagai alat perubahan sosial, bukan sekadar instrumen produksi tenaga kerja.

Transformasi juga perlu dilakukan di luar kelas. Dosen juga perlu membangun jaringan solidaritas akademik, baik di tingkat lokal maupun internasional. Jaringan ini bisa berfungsi sebagai ruang diskusi dan kolaborasi untuk memperjuangkan reformasi pendidikan yang lebih humanis. Dengan membentuk komunitas yang berkomitmen pada pendidikan kritis, dosen bisa saling mendukung dalam mengembangkan kurikulum yang lebih inklusif dan berorientasi pada keadilan sosial. Jaringan ini juga dapat menciptakan ruang bagi penelitian berorientasi sosial yang berfokus pada pemberdayaan masyarakat. Dosen dapat memilih untuk fokus pada penelitian yang relevan dengan isu-isu lokal atau nasional yang berdampak langsung pada masyarakat, bukan hanya topik yang memberikan keuntungan finansial pribadi.

Maka dari itu, dalam menghadapi tantangan komodifikasi pendidikan, dosen perlu mencari cara untuk merebut kembali otonomi mereka sebagai intelektual dan pendidik. Dengan menolak sistem pendidikan yang berfokus pada logika pasar, dosen dapat kembali memperjuangkan pendidikan sebagai ruang untuk pemberdayaan dan pembebasan.

Sebagai intelektual, dosen memiliki potensi untuk menjadi agen perubahan sosial. Pendidikan yang mereka tawarkan tidak harus tunduk pada logika kapitalisme dan pasar, tetapi dapat menjadi instrumen untuk menciptakan generasi yang kritis, kreatif, dan mampu memikirkan alternatif dari tatanan sosial dan ekonomi yang ada. 

Jalan ini mungkin tidak mudah, tetapi dalam konteks yang semakin didominasi oleh neoliberalisme, peran dosen yang transformatif sangat dibutuhkan untuk mengembalikan pendidikan sebagai sarana pemberdayaan dan keadilan sosial, bukan sekadar mesin pencetak tenaga kerja bagi pasar.


Daftar Pustaka

Althusser, Louis. Ideology and Ideological State Apparatuses. In Lenin and Philosophy and Other Essays, Monthly Review Press, 1971.

Freire, Paulo. Pedagogy of the Oppressed. Bloomsbury, 1970.

Harvey, David. A Brief History of Neoliberalism. Oxford University Press, 2005.

Marcuse, Herbert. One-dimensional man: Studies in the ideology of advanced industrial society. Routledge, 2013.

Marx, Karl. Capital: Volume I. Penguin Classics, 1992.

Marx, Karl. “Economic and philosophic manuscripts of 1844: Estranged labour.” Social Theory Re-Wired. Routledge, 2013. 158-164.


Faiz Kasyfilham, dosen Departemen Politik dan Ilmu Pemerintahan FISIP Undip

]]>
“Obral” Gelar Akademik https://indoprogress.com/2024/08/obral-gelar-akademik/ Sat, 03 Aug 2024 21:13:17 +0000 https://indoprogress.com/?p=238264

Ilustrasi: Ilustruth


 

FENOMENA “obral” gelar akademik di perguruan tinggi telah menjadi topik perdebatan yang hangat di kalangan akademisi, termasuk akademisi Indonesia. Perdebatan tersebut semakin memanas ketika Majalah Tempo merilis laporan investigasi mengenai skandal guru besar pada 7 Juli kemarin. Mereka mengungkap berbagai praktik tidak etis yang melibatkan sejumlah pihak tidak jujur, baik dari dalam institusi pendidikan itu sendiri maupun dari pihak luar dengan kepentingan tertentu, padahal gelar akademik yang didapatkan di perguruan tinggi seharusnya dihormati karena mencerminkan komitmen terhadap prestasi, pengetahuan, dan integritas. 

Fenomena ini menunjukkan adanya celah dalam sistem pendidikan tinggi, di mana standar dan prosedur yang seharusnya ketat dan transparan malah disalahgunakan demi keuntungan pribadi atau kelompok. Hal ini mencoreng reputasi institusi pendidikan yang bersangkutan dan merugikan mahasiswa serta alumni yang telah berusaha keras untuk meraih gelar dengan cara yang sah. Hal ini juga menimbulkan ketidakadilan bagi mereka yang benar-benar layak mendapatkan gelar tersebut berdasarkan prestasi dan dedikasi yang dimiliki.


Mengaburkan batas: korupsi dan komodifikasi gelar akademik

Secara historis, pencapaian akademis tidak selalu terbebas dari pengaruh kekayaan dan kekuasaan. Di Eropa abad pertengahan, misalnya, posisi akademis sering kali diperoleh melalui dukungan finansial dari orang-orang kaya (La Vopa, 2002; Sturdy, 1995). Siapa pun yang memiliki uang dan waktu luang dapat menjalani kehidupan yang penuh pemikiran, tetapi hanya sedikit yang bisa melakukannya. Para bangsawan mungkin mengejar filsafat dan sejenisnya sebagai hobi, tetapi mereka tidak akan benar-benar menjadi cendekiawan.

Beasiswa profesional terkonsentrasi di sekitar “chartered universities” yang mulai bermunculan sekitar pertengahan Abad Pertengahan. Sebagian besar universitas yang melatih sarjana profesional disewa secara langsung oleh gereja atau secara tidak langsung sebagai lembaga untuk melatih pendeta. 

Sebagian besar dari cendekiawan memang dilihat dan secara hukum diperlakukan sebagai pendeta. Diperlakukan sebagai pendeta adalah salah satu manfaat sampingan dari memiliki gelar sarjana di masa itu. Mereka hanya dapat diadili di pengadilan gerejawi dan bukan di pengadilan sipil yang terkenal menguntungkan terdakwa. Seorang cendekiawan mungkin tidak benar-benar seorang pendeta, tetapi dia cukup dekat untuk dimasukkan ke dalam kelas itu. Praktik ini terus berkembang selama berabad-abad lamanya.

Di era modern, praktik di universitas tidak hanya tentang transaksi finansial, tetapi juga terlibat dalam pengaturan quid pro quo kompleks. Semua ini secara nyata merusak nilai-nilai dasar yang seharusnya dijunjung tinggi oleh institusi akademik seperti kejujuran, keadilan, dan meritokrasi.

Tekanan ekonomi menjadi penyebab utama tren yang mengkhawatirkan ini. Perguruan tinggi di seluruh dunia menghadapi tantangan keuangan karena dana publik berkurang, biaya operasional meningkat, dan persaingan mendapat prestise global semakin ketat (Stromquist, 2007; Münch, 2014). Dalam situasi seperti ini, godaan untuk mengubah posisi akademis menjadi sumber pendapatan sangat besar, terutama bagi perguruan tinggi yang kesulitan finansial. Tekanan ekonomi ini bisa mendorong praktik tidak etis seperti “mengobral” gelar akademik seperti gelar doctor honoris causa

Di sisi lain, menjadi doctor honoris causa sering dianggap sebagai cara untuk mendapatkan prestise, pengaruh, disegani, dan peluang karier yang besar. Individu kemudian terdorong mencari cara pintas untuk mendapatkan gelar-gelar itu, meskipun berarti melakukan hal-hal tak pantas.

Korupsi dalam institusi akademik memperburuk masalah ini. Ketika mekanisme akuntabilitas lemah dan pengawasan kurang memadai, kesempatan untuk melakukan tindakan ilegal meningkat. Pejabat dan anggota fakultas yang korup bisa menyalahgunakan posisi mereka (Aguilera & Vadera, 2008). Korupsi semacam ini tidak hanya merusak integritas institusi, tetapi juga memperpanjang budaya perilaku tidak etis di dalam institusi tersebut. Akibatnya, kandidat yang seharusnya layak bisa diabaikan, dan standar akademis pun tergerus.

Manifestasi dari fenomena ini beragam dan sering kali terselubung. Transaksional adalah bentuk yang paling terang-terangan (Hallak & Poisson, 2007). Seperti praktik jual beli di pasar, individu membayar sejumlah besar uang untuk mendapatkan gelar-gelar akademik itu. Sulit untuk mendeteksi dan menanganinya sebab transaksi biasanya terjadi di balik pintu tertutup dengan hanya beberapa “orang dalam” yang mengetahui.

Dalam kasus lain, gelar akademik itu diberikan sebagai imbalan atas bantuan, seperti mengamankan pendanaan untuk perguruan tinggi atau memberikan dukungan politik. Pengaturan quid pro quo ini lebih sulit untuk dibuktikan karena tidak melibatkan pertukaran uang secara langsung, namun tetap saja membahayakan integritas proses akademik itu sendiri.

Manifestasi lain yang sering terjadi di Indonesia adalah pemberian gelar profesor kehormatan kepada individu-individu yang tidak memiliki kualifikasi akademis yang diperlukan. Fenomena ini umumnya melibatkan pengusaha kaya, politikus, atau tokoh-tokoh berpengaruh yang, meskipun tidak memiliki latar belakang akademis memadai, memperoleh gelar kehormatan tersebut sebagai bentuk penghargaan atau pengakuan atas kontribusi di bidang lain. 

Secara umum, gelar profesor kehormatan diberikan sebagai bentuk pengakuan atas kontribusi signifikan individu dalam berbagai bidang yang dinilai memajukan masyarakat atau disiplin ilmu tertentu. Meskipun demikian, gelar ini menimbulkan pertanyaan mendalam mengenai standar akademik dan integritas institusi pendidikan tinggi di Indonesia. Kekhawatiran muncul: bahwa gelar kehormatan mungkin tidak selalu didasarkan pada prestasi akademis yang substansial melainkan dapat dipengaruhi oleh pertimbangan politik atau kepentingan bisnis tertentu. Ini menuntut adanya evaluasi kritis terhadap mekanisme pemberian gelar kehormatan dan potensi dampaknya terhadap reputasi serta kredibilitas akademik institusi pendidikan tinggi.

Meskipun gelar profesor kehormatan tidak secara inheren bermasalah, penggunaannya dapat mengaburkan batas antara pencapaian akademik yang sesungguhnya dan pengakuan transaksional, terutama ketika gelar tersebut diberikan sebagai bentuk penghargaan kepada para donatur. Praktik semacam ini justru berpotensi melemahkan nilai intrinsik gelar akademik dan mengikis kepercayaan publik terhadap sistem pencapaian akademik, dengan menyoroti potensi konflik kepentingan dan komersialisasi.


Rusaknya prinsip meritokrasi

Konsekuensi dari “obral” gelar akademik sangat besar dan luas, dengan dampak yang merusak berbagai aspek dalam dunia pendidikan dan masyarakat secara keseluruhan. Pada intinya, praktik ini merusak prinsip meritokrasi yang seharusnya menjadi landasan utama dalam dunia akademis kita. Ketika gelar akademik dapat dibeli dengan uang, nilai pencapaian ilmiah yang tulus dan usaha keras yang dilakukan oleh para akademisi sejati menjadi berkurang dan tidak dihargai sebagaimana mestinya. Akibatnya, individu yang layak dan benar-benar kompeten sering kali diabaikan atau tersingkir oleh mereka yang memperoleh gelar tanpa melalui proses yang sah dan layak.

Erosi meritokrasi ini menyebabkan penurunan standar akademik secara keseluruhan. Dengan adanya individu yang memperoleh gelar tanpa memenuhi syarat yang seharusnya, kualitas pendidikan dan penelitian juga mengalami penurunan. Akademisi sejati, yang telah melalui berbagai proses pendidikan yang ketat dan kompetitif, mungkin merasa kurang termotivasi ketika melihat bahwa pencapaian mereka tidak dihargai atau diakui. Ini tentu berdampak negatif pada kualitas dan inovasi dalam penelitian, karena individu yang tidak memenuhi syarat atau kurang kompeten menduduki posisi yang seharusnya diisi oleh akademisi yang benar-benar berdedikasi dan kompeten.

Selain itu, “obral” gelar akademik juga berdampak pada kredibilitas institusi pendidikan. Institusi yang terlibat dalam praktik ini akan kehilangan reputasi dan kepercayaan dari masyarakat. Mahasiswa yang lulus dari institusi tersebut akan menghadapi kesulitan dalam mencari pekerjaan atau melanjutkan pendidikan mereka, karena gelar yang mereka peroleh dianggap tidak memiliki nilai atau kualitas yang sesuai. Hal ini juga dapat mengurangi minat dan kepercayaan masyarakat terhadap pendidikan tinggi, karena mereka melihat bahwa gelar akademik tidak lagi menjadi indikator kompetensi dan pengetahuan yang sesungguhnya.

Kepercayaan publik terhadap institusi akademik mengalami kerusakan serius ketika kasus-kasus penjualan gelar akademik terungkap oleh media massa. Saat skandal semacam ini muncul, reputasi institusi yang terlibat akan terpengaruh secara negatif, dan kepercayaan terhadap sistem akademik secara keseluruhan akan dipertanyakan. Hilangnya kepercayaan publik ini memiliki dampak yang signifikan, termasuk penurunan jumlah pendaftaran mahasiswa baru, menurunnya donasi dari alumni, serta berkurangnya dukungan dari pembuat kebijakan. Akibatnya, institusi akademik tersebut mungkin menghadapi tantangan besar dalam menjaga operasional dan keberlanjutannya.\

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.


Penutup

Apa yang harus dilakukan? Mengatasi masalah ini membutuhkan pendekatan yang beragam. Memperkuat mekanisme pengawasan dan akuntabilitas di dalam institusi akademik sangatlah penting. Audit rutin, proses seleksi yang transparan, dan badan independen diperlukan untuk menyelidiki pelanggaran agar dapat membantu mencegah praktik korupsi dan memastikan bahwa pengangkatan akademis didasarkan pada aturan-aturan yang berlaku. Transparansi dalam proses pengangkatan adalah kuncinya. Perguruan tinggi harus memublikasikan secara rinci kriteria dalam pemberian gelar akademik, bersama dengan informasi tentang proses seleksi dan anggota komite. Akses terbuka terhadap informasi ini dapat membantu memastikan bahwa pengangkatan dilakukan secara adil dan berdasarkan prestasi. 

Mendorong pelaporan pelanggaran juga sama pentingnya. Perguruan tinggi harus menciptakan saluran aman dan rahasia guna melaporkan pelanggaran dan melindungi pelapor dari pembalasan. Dengan mengembangkan budaya integritas dan akuntabilitas, institusi akademik dapat memberdayakan individu untuk berbicara menentang perilaku tak etis. Selain itu, menanamkan budaya integritas kepada staf akademik dan administrator. Tujuannya untuk mengurangi kemungkinan individu terlibat dalam praktik kotor ini. 

Pada titik ini, “obral” gelar akademik adalah ancaman serius bagi integritas dan kredibilitas institusi akademik. Diperlukan reformasi komprehensif untuk memastikan bahwa gelar akademik diberikan berdasarkan pencapaian ilmiah yang tulus, dan bukan karena pengaruh finansial, kepentingan, atau politik belaka. Dengan mengambil langkah-langkah ini, institusi akademik dapat menegaskan kembali komitmen mereka terhadap meritokrasi, memulihkan kepercayaan publik, dan memastikan kemajuan pengetahuan yang berkelanjutan serta pengembangan generasi cendekiawan di masa depan.***


Daftar Pustaka

La Vopa, A. J. (2002). Grace, talent, and merit: Poor students, clerical careers, and professional ideology in eighteenth-century Germany. Cambridge University Press.

Sturdy, D. J. (1995). Science and social status: the members of the Academie des sciences 1666-1750.

Münch, R. (2014). Academic capitalism: Universities in the global struggle for excellence. Routledge.

Stromquist, N. P. (2007). Internationalization as a response to globalization: Radical shifts in university environments. Higher education53, 81-105.

Aguilera, R. V., & Vadera, A. K. (2008). The dark side of authority: Antecedents, mechanisms, and outcomes of organizational corruption. Journal of Business Ethics77, 431-449.

Hallak, J., & Poisson, M. (2007). Corrupt schools, corrupt universities: What can be done?. Paris: International Institute for Education Planning.


Roy Martin Simamora, Pengajar Filsafat Pendidikan di ISI Yogyakarta

]]>
Clash of Champions, Mahasiswi Mahasiswa Pintar, dan Tajamnya Ketimpangan Sosial https://indoprogress.com/2024/07/clash-of-champions-mahasiswi-mahasiswa-pintar-dan-tajamnya-ketimpangan-sosial/ Wed, 17 Jul 2024 15:01:00 +0000 https://indoprogress.com/?p=238244

Ilustrasi: Jonpey


ACARA Clash of Champions (selanjutnya disebut CoC) jadi perbincangan warganet di berbagai platform media sosial akhir-akhir ini. Acara dengan kemasan game show yang diinisiasi oleh lembaga bimbingan belajar Ruangguru ini dapat dikatakan cenderung bersifat edukatif dan menarik karena mempertontonkan kepintaran luar biasa dari para pesertanya. Mereka diminta untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan ekstrem, menghafalkan urutan dari puluhan kartu yang diacak, menghafalkan ratusan lukisan, dan sebagainya. Menampilkan mahasiswi-mahasiswa berprestasi dari berbagai universitas bergengsi di dalam dan luar negeri, acara ini mendapatkan jutaan viewers di setiap episode.

Narasi TV pernah membuat game show serupa, menampilkan kompetisi regu antar universitas di Indonesia dengan format cerdas cermat, dengan judul Tes Wawasan Kebangsaan. Namun acara itu cenderung tidak se-hype CoC. Di luar negeri, game show semacam ini, dengan format serupa tapi tak sama, juga telah banyak dibuat. Ada University Challenge yang menampilkan puluhan regu peserta dari berbagai universitas di Britania Raya dengan pertanyaan-pertanyaan sulit dari beragam disiplin keilmuan dan University War di Korea Selatan yang kuat menampilkan pertunjukkan kepintaran para peserta di bidang matematis.

Meski bukan yang pertama, dengan konteks Indonesia saat ini, di mana konten-konten “pamer kekayaan” kian bertebaran di berbagai platform media sosial, acara “pamer kepintaran” seperti CoC tentu jadi hal yang berbeda dan tak luput dari sorotan warganet.

Respons warganet terhadap CoC di berbagai platform media sosial cukup beragam. Dari mulai apresiasi terhadap game show ini, puja puji untuk para peserta yang luar biasa pintar, hingga respons (yang sayangnya) bernada nyinyir terhadap beberapa individu peserta, beberapa di antaranya bahkan bersifat seksis terhadap perempuan.

Ada pula beberapa respons unik yang terselip di antara tiga respons tersebut: menyoroti perbedaan nasib para peserta dengan warganet. Berbagai komentar yang cenderung disampaikan dengan nada candaan tersebut sebetulnya mencerminkan keresahan atau kritik terhadap tajamnya ketimpangan sosial, terutama di sektor pendidikan. Namun, proyeksi dari keresahan tersebut sering kali cenderung kurang terefleksi dengan baik. Akibatnya, komentar tersebut pun mendapat respons semacam “jangan iri, belajar saja jika mau pintar seperti mereka. Alih-alih, “iya ya, kenapa mereka bisa pintar-pintar dan berkuliah di kampus-kampus terbaik di Indonesia dan bahkan luar negeri… sementara kebanyakan dari kita tidak bisa berkuliah?”

Respons itu sebetulnya tidak mengherankan karena mirip dengan respons ketika ada yang mengkritisi konten-konten pamer kekayaan para youtuber, mereka kaya karena bekerja keras… jangan iri.” Alih-alih, “kenapa ya para youtubers itu bisa sampai hati memamerkan kekayaan di tengah tajamnya ketimpangan sosial yang ada?”


Normalisasi ketimpangan akibat depolitisasi

Respons warganet atas segelintir komentar kritis penonton CoC tersebut secara tidak langsung menunjukkan dalamnya depolitisasi—terjadi semenjak masa Orde Baru—yang kian menurunkan sikap kritis masyarakat dan kemudian membentuk sikap apatis terhadap ketimpangan sosial yang ada. Pada saat yang sama, ideologi neoliberalisme—yang disebarkan ke seluruh dunia sejak akhir tahun 1970-an—juga telah merasuki sendi-sendi kehidupan masyarakat Indonesia.

Ketimpangan sosial jadi dinormalisasi dengan cara mengindividualisasikan masalah. Dengan kata lain, menjadikannya sebagai perkara individu semata.

Individualisasi masalah jelas tercermin dari respons terhadap komentar kritis seperti  “jangan iri”, “jangan dengki”,kamu iri, dengki” terhadap para peserta CoC yang pintarnya luar biasa. Beberapa warga net juga merespons seperti, “acara bagus gini dijulidin. Sinetron-sinetron, tuh, gak mendidik, julidin.

Beberapa menilai bahwa CoC memotivasi para pelajar untuk belajar lebih giat agar pintar luar biasa seperti para peserta. Ini serupa tapi tak sama dengan acara-acara “pamer kekayaan” yang dianggap dapat memotivasi para penontonnya untuk lebih giat bekerja agar kaya luar biasa seperti para youtubers kesayangan mereka.

Problem dari keresahan yang disampaikan melalui komentar-komentar yang menyoroti perbedaan nasib para peserta CoC dengan warganet tersebut jelas bersifat struktural. Ketidakmampuan seseorang untuk menjadi pintar luar biasa dan berkuliah di universitas-universitas bergengsi dalam dan luar negeri seperti para peserta CoC tidak selalu disebabkan karena kurang bekerja keras atau tidak mau belajar, melainkan karena berbagai problem yang ada di luar diri mereka, termasuk tertutupnya akses terhadap pendidikan tinggi. Kita tahu banyak orang tidak bisa berkuliah atau mengakses pendidikan tinggi bukan karena malas atau kurang giat belajar, tapi sebab biaya kuliah mahal dan kebanyakan orang tak punya cukup duit untuk itu.

Dalam CoC sendiri, beberapa peserta mengaku mengakses Ruangguru sebagai sarana belajar mereka. Ini saja sudah mencerminkan aspek lain dari tidak meratanya pendidikan Indonesia. Tidak semua orang bisa mengakses bimbel di luar sekolah seperti Ruangguru, bukan?

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.


Model pendidikan kritis yang kian langka

Selain soal di atas, beberapa hal yang ditunjukkan oleh game show CoC ini juga perlu dilihat dengan lebih kritis.

Dalam episode-episode yang ditayangkan sejauh ini, CoC menyoroti bidang science, technology, engineering, and mathematics (STEM) dan IPK tinggi sebagai tolok ukur kepintaran para peserta. Ilmu sosial cenderung tidak ada. Hal ini terlihat biasa saja dan tidak berbahaya sama sekali. Namun, kalau dinormalisasi melalui game show semacam ini, narasi dominan tentang “kepintaran” yang memang sudah ada sebelumnya seperti “mereka yang ada di jurusan science/STEM lebih pintar dari mereka yang ada di social science[1] secara umum akan terus dilanggengkan.

Orientasi-orientasi jangka pendek dari mereka yang mengenyam pendidikan tinggi melalui obsesi terhadap hasil semacam “IPK tinggi” memang sah saja dan tidak ada yang salah dengan itu. Namun, orientasi semacam ini tentu saja tidaklah cukup.

Dapat dimengerti jika orientasi jangka panjang dari pendidikan tinggi—misalnya untuk transformasi sosial, mengatasi ketimpangan dengan ilmu pengetahuan—tak dapat ditunjukkan via CoC. Bagaimanapun, CoC hanyalah game show yang terlepas dari aspek edukasinya, bertujuan untuk menghibur para pemirsa. Namun demikian, melalui game show ini, kita dapat menyadari bahwa memang, pendidikan di Indonesia secara umum masih belum berfokus pada mempertanyakan “kenapa”—salah satu ciri dari pendidikan kritis, fondasi bagi transformasi sosial.


Penutup

Memamerkan kepintaran. So what?” kurang lebih begitu bunyi dari secuil komentar skeptis warganet terhadap CoC. Sebuah keresahan dan refleksi yang valid.[2] Meski mungkin terlihat tidak berhubungan secara langsung dengan CoC, namun sebetulnya punya keterkaitan erat, karena pada akhirnya, di tengah tajamnya ketimpangan sosial seperti saat ini, pertanyaan yang diajukan tetaplah sama: Jika mereka yang pintar-pintar itu dan kita yang berpendidikan tinggi (di mana angkanya sangat rendah dibandingkan dengan jumlah penduduk Indonesia secara keseluruhan, akibat problem struktural yang ada sebagaimana dijelaskan pada bagian sebelumnya) hanya berujung di menara gading, apa gunanya kepintaran-kepintaran itu?

Meminjam kata-kata Wiji Thukul “apa gunanya banyak baca buku, kalau mulutmu kau bungkam melulu?” ***


[1] Yang mana dampaknya sangat luas, termasuk pada perkembangan ilmu-ilmu sosial itu sendiri.

[2] Bukan iri, ya, warganet 🙂


Fathimah Fildzah Izzati, PhD Candidate di Development Studies – SOAS University of London dan Pemimpin Redaksi marsinah.id

]]>
Dekolonisasi Pendidikan sebagai Awal Pengakuan Masyarakat Adat https://indoprogress.com/2024/07/dekolonisasi-pendidikan-sebagai-awal-pengakuan-masyarakat-adat/ Wed, 03 Jul 2024 20:20:25 +0000 https://indoprogress.com/?p=238223

Ilustrasi: Ilustruth


ALL eyes on Papua viral di berbagai media sosial beberapa waktu terakhir. Kampanye ini berawal dari perlawanan suku Awyu dan Moi di Papua Barat terhadap penanaman kelapa sawit di wilayah adat mereka. Sayangnya, tidak semua mendapatkan perhatian serupa. Menurut Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (Aman), sepanjang tahun 2023 saja setidaknya lebih dari 2,5 juta hektare wilayah adat dirampas oleh negara dan perusahaan. Pengambilan juga disertai dengan kekerasan dan kriminalisasi. Pada tahun itu pula, 204 orang menjadi korban luka, satu orang tewas karena ditembak, dan sekitar 100 rumah masyarakat adat hancur karena dianggap mendiami kawasan konservasi (Saturi, 2024). Di sisi lain, menurut Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian (2018), kelapa sawit berperan penting dalam pembangunan karena menghasilkan devisa serta berkontribusi positif terhadap pendidikan dan kesehatan. Jadi, apakah pembangunan selalu mengorbankan rakyat? 

Kondisi ini mempertegas pentingnya pemerintah mendefinisikan ulang makna “pembangunan”. Sudah saatnya pembangunan berpihak kepada rakyat; menyesuaikan dengan kebutuhan rakyat. 

Selama ini, pembangunan di Indonesia terlalu berkiblat kepada imajinasi yang ditawarkan oleh negara Barat, bahwa kemajuan digambarkan dengan modernisasi, industrialisasi, dan urbanisasi (Escobar, 1992). Pembangunan kemudian dimaknai linear mengikuti model Walt Whitman Rostow (1959), bahwa negara harus menciptakan infrastruktur besar-besaran untuk berkontribusi dalam pertumbuhan ekonomi. Untuk yang terakhir tampak jelas pada masa pemerintahan Joko Widodo, dengan argumentasi bahwa apa yang dibangun dapat menghubungkan ekonomi rakyat dan memperlancar konektivitas antarwilayah (Kementerian Sekretariat Negara, 2019). 

Implikasi lain dari pandangan ini adalah konstruksi pembangunan sumber daya manusia melalui pendidikan yang harus sesuai dengan kebutuhan tenaga kerja, kebutuhan industri. Jika pembangunan adalah mesin utama modernisasi, maka pendidikan adalah alat dari mesin tersebut. 

Dalam artikel Demokratisasi Kampus Sekarang Juga, Mario Hikmat menggarisbawahi bahwa kolonialisme dan pemerintahan Orde Baru Soeharto mengikis nalar kritis di dunia pendidikan. Pengaruhnya terasa hingga saat ini, misalnya bagaimana pengelolaan pendidikan tetap tidak demokratis dan bersifat hegemonik. Namun, berbeda dengan Hikmat yang menyebut urgensi demokratisasi di kampus, saya berpendapat bahwa dekolonisasi pendidikan penting dilakukan sebagai awal dari dekolonisasi pembangunan, karena dalam membicarakan pembangunan, sangat relevan untuk memulai dengan menganalisa sistem pendidikannya.


Dekolonisasi Pendidikan di Indonesia

Dekolonisasi merupakan kritik untuk menantang hegemoni kolonialisme maupun modernitas. Mignolo dan Walsh (2018) berargumen bahwa tidak ada modernitas tanpa kolonialisme dan dekolonisasi merupakan kontra-hegemoninya. 

Meskipun sebuah negara sudah merdeka, bukan berarti masalah akibat kolonialisme turut berakhir. Kolonialisme mengakar kuat dalam bentuk modernitas maupun globalisasi, yang membuat negara-negara bekas jajahan harus menyesuaikan politik dan ekonomi mereka seperti negara yang dikategorikan maju. Baik kolonialisme maupun modernitas memandang pengetahuan dan sistem terbaik adalah pengetahuan dan sistem dari Barat. Pada saat yang sama, mereka mengabaikan pengetahuan dan sistem di negara bekas jajahan–seperti kebenaran adalah pengetahuan yang bersifat “science” sedangkan pengetahuan lisan dianggap tidak valid. 

Menurut Quijano (2007), dekolonisasi merupakan upaya penting untuk mengombinasikan beragam pengetahuan dan pengalaman. Dasar utama dekolonisasi adalah tidak ada pengetahuan yang benar secara absolut, yang oleh Mignolo and Walsh (2018) sebut sebagai “pluriversality”. Melalui pandangan ini, pengetahuan tidak bersifat hierarki namun memungkinkan adanya kombinasi. 

Dekolonialisasi mengakui pengetahuan adat, yang sudah ada selama ratusan tahun. Namun, bukan berarti pengetahuan masyarakat adat tertentu kemudian baik dan dapat dipraktikkan di masyarakat lain. Begitu pula pengetahuan akademik yang telah teruji melalui berbagai hipotesis, uji laboratorium, maupun praktik di masyarakat tertentu. Ia tetap tidak bisa menjadi kebenaran absolut. Sekali lagi, pentingnya dekolonisasi pendidikan adalah untuk mengombinasikan berbagai pengetahuan. 

Dekolonisasi pendidikan merupakan awal dari dekolonisasi politik dan ekonomi. Sebagaimana menurut Jackson (2016), dekolonisasi pendidikan merupakan dekolonisasi semua lini sehingga masyarakat mampu menentukan nasibnya sendiri. 

Lalu, bagaimana cara melakukan dekolonisasi pendidikan? Dekolonisasi sebenarnya bukan hal baru di Indonesia. Negara kita telah menjadi tuan rumah Konferensi Asia-Afrika di Bandung pada tahun 1955. Negara-negara yang hadir menyepakati pentingnya dekolonisasi, meskipun belum ada kesepakatan mengenai cara mewujudkannya. Aidit (1964) kemudian muncul dengan gagasan bahwa perguruan tinggi harus terintegrasi dengan masyarakat sehingga tidak menimbulkan kesan bahwa kampus adalah “menara gading” melainkan “ilmu untuk rakyat” (p.14). 

Suwignyo (2023) menegaskan bahwa Kuliah Kerja Nyata (KKN) merupakan salah satu bentuk dekolonisasi pendidikan di Indonesia. Tujuan utama dari KKN adalah agar perguruan tinggi memiliki peran untuk berkontribusi mensejahterakan masyarakat pasca perang seperti dengan mengajar literasi dasar. Proses ini menunjukkan pentingnya mahasiswa untuk tidak hanya menerapkan ilmu yang diperoleh di masa kuliah, namun juga menggarisbawahi perlunya mahasiswa belajar dari masyarakat. 

Sayangnya, modernitas di bawah Orde Baru mengubah tujuan KKN dengan menjadikannya sebagai alat pembangunan, misalnya berfokus pada pertanian karena salah satu program utama di masa itu adalah meningkatkan hasil pertanian. Suwignyo (2023) memperjelas bahwa peran KKN dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat semakin berkurang di masa sekarang. Berbagai program KKN saat ini jauh dari cita-cita awalnya dan menjadi sekadar syarat untuk lulus. 

Selain mengembalikan tujuan awal KKN, ada beberapa alternatif untuk melakukan dekolonisasi pendidikan. Adjei (2007) mencatat diskusi dari McLeod dan Krugly-Smolska tentang beberapa hal yang bisa dilakukan pendidik dan sistem pendidikan untuk kontra-hegemoni pengetahuan dari Barat, di antaranya: pertama, mengundang masyarakat adat untuk berbicara tentang pengetahuan mereka di ruang kelas; kedua, menyediakan bahan belajar dari berbagai negara, tidak membatasi sumber informasi, menyediakan alternatif pilihan penulis; ketiga, melakukan advokasi dan memberikan dukungan untuk masyarakat adat terlibat dalam proses belajar mengajar; keempat, mempertanyakan tentang kekosongan silabus terkait dengan teks dari masyarakat adat atau penulis dari Global South dalam proses belajar mengajar. 

Langkah lain dekolonisasi pendidikan dapat dimulai dengan menulis ulang sejarah. Indonesia memiliki sejarah kelam di masa Orde Baru, di mana kebenaran sangat dikontrol oleh penguasa. Di era pasca-Reformasi ini, perlu diupayakan penulisan ulang sejarah, seperti dengan mendengarkan mereka yang terlibat dan mendiskusikannya. Ini dilakukan oleh Alam, tokoh di Namaku Alam karya Leila S. Chudori. Buku ini mengkritik dominasi sejarah pada masa Orde Baru yang menerapkan politik “bersih diri” dan “bersih lingkungan”. Alam sebagai tokoh utama, bersama kelompok sejarah di SMA-nya, mempertanyakan sejarah di kurikulum nasional dan mendiskusikan berbagai buku, salah satunya karya Pramoedya Ananta Toer. 

Tentu saja mewujudkan dekolonisasi pendidikan bukanlah hal yang mudah, namun juga bukan berarti tidak mungkin. Ada dua tantangan yang harus diperhatikan oleh praktisi pembangunan: Pertama, tujuan utama dekolonisasi pendidikan sekali lagi bukan untuk mengunggulkan salah satu sumber pengetahuan, sehingga hal yang perlu diperhatikan adalah menghindari menggunakan ilmu pengetahuan hanya karena sumbernya dari Barat atau justru hanya karena bersumber dari Global South. Jika gagal melakukan hal ini, maka praktiknya justru melanggengkan kebenaran absolut dan menjauh dari cita-cita keberagaman itu sendiri. Mengetahui tantangan ini menjadi alarm penting untuk praktisioner dalam melaksanakan dekolonisasi pendidikan.

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.


Pengakuan dan Keadilan untuk Masyarakat Adat

Pada Nawacita, Jokowi berjanji bahwa pemerintahannya akan melindungi dan memajukan masyarakat adat. Salah satu caranya adalah dengan melegalkan Undang-undang Masyarakat Adat. Namun, hingga penghujung masa kepemimpinannya, janji itu tak kunjung ditepati. 

Justru yang terjadi sebaliknya. Masyarakat adat mengalami penggusuran atas nama pembangunan, seperti yang terjadi di Rempang, Paser, maupun di Papua Barat. Tanpa adanya hukum masyarakat adat, maka tidak ada perlindungan masyarakat adat atas wilayah, pengetahuan, dan sistem mereka. Alih-alih memihak dan melindungi pengetahuan masyarakat adat, pembangunan masih dipahami sebagai modernitas yang bisa dicapai dengan mengabaikan masyarakat setempat. 

Pemerintah melihat masyarakat adat sebagai objek dari pembangunan, bahwa mereka harus berubah untuk hidup seperti masyarakat lainnya. Cara pandang ini terlihat dari berbagai program pemberian bantuan perumahan di masyarakat semi-nomaden atau nomaden atau pemberian bantuan beras di masyarakat yang memiliki makanan pokok selain beras. Pemerintah tidak pernah menanyakan kebutuhan masyarakat adat. 

Waktu yang tersedia untuk merealisasikan janji kampanye semakin sempit. Masyarakat adat tidak hanya butuh pengakuan atas wilayah, namun juga hak-hak mereka. Ini termasuk hak untuk menempuh pendidikan yang sesuai dengan kebutuhan dan mengakomodir pengetahuan lokal, bukan yang menjauhkan dari persoalan di komunitas. Berawal dari pendidikan yang inklusif dan mengakomodir pengetahuan yang beragam, maka peserta didik dapat menentukan nasibnya sendiri, seperti yang Freire (1993) dan Jackson (2016) sebutkan. Dengan pendidikan yang membebaskan, peserta didik dipandang sebagai subjek dari pengetahuan.

Pendidikan tidak hanya berarti kontribusi secara ekonomi kepada negara. Justru pendidikan dibutuhkan untuk berkontribusi kembali kepada masyarakat. Untuk melakukannya, negara harus mendefinisikan pembangunan yang berbeda dari yang selama ini dijejalkan oleh negara Barat.


Referensi

Adjei, P. B. (2007). Decolonising Knowledge Production: The Pedagogic Relevance of Gandhian Satyagraha to Schooling and Education in Ghana. Canadian Journal of Education / Revue Canadienne de l’éducation, 30(4), 1046. https://doi.org/10.2307/20466678    

Aidit, N. (1964). FUNGSI UNIVERSITAS DALAM REVOLUSI.

Escobar, A. (1992). Imagining a Post-Development Era? Critical Thought, Development and Social Movements. Social Text, 31/32, 20. https://doi.org/10.2307/466217  

Freire, P. (1993). Pedagogy of the Oppressed. Penguin Random House UK.

Jackson, M. (2016). Decolonising Education. In Decolonisation in Aotearoa: Education, Research and Practice (pp. 39–47). NZCER Press.

Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian. (2018). Kebijakan Sawit Nasional Dorong Tujuan Pembangunan Keberlanjutan 2015-2030—Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Republik Indonesia. https://ekon.go.id/publikasi/detail/2249/kebijakan-sawit-nasional-dorong-tujuan-pembangunan-keberlanjutan-2015-2030 

Kementerian Sekretariat Negara. (2019). Melanjutkan Pembangunan Infrastruktur dan Indonesia Maju | Sekretariat Negara. https://www.setneg.go.id/baca/index/melanjutkan_pembangunan_infrastruktur_dan_indonesia_maju   

Mignolo, W. D., & Walsh, C. E. (2018). On Decoloniality: Concepts, Analytics, Praxis. Duke University Press. https://doi.org/10.2307/j.ctv11g9616 

Rostow, W. W. (1959). The Stages of Economic Growth. The Economic History Review, 12(1), 1–16. https://doi.org/10.2307/2591077 

Saturi, S. (2024, March 21). Masyarakat Adat Minim Perlindungan, Penetapan Hutan Adat pun Lamban. Mongabay.Co.Id. https://www.mongabay.co.id/2024/03/21/masyarakat-adat-minim-perlindungan-penetapan-hutan-adat-pun-lamban/ 

Suwignyo, A. (2023). Higher Education as an Instrument of Decolonisation: The Community Service Programme in Indonesia, 1950–1969. Asian Studies Review, 1–20. https://doi.org/10.1080/10357823.2023.2222225


Amsa Nadzifah, penerima beasiswa LPDP 2021, saat ini menempuh pendidikan di Master of Development Studies University of Melbourne dan sedang memulai Yayasan Literasi Desa Tumbuh di tempat kelahirannya, Moyudan Yogyakarta.

]]>
Profesor Kangkong https://indoprogress.com/2024/06/profesor-kangkong/ Thu, 13 Jun 2024 09:58:29 +0000 https://indoprogress.com/?p=238196

Ilustrasi: Ilustruth


PEMBAHASAN bertubi-tubi tentang kondisi dunia akademik Indonesia membuat saya teringat pada satu istilah yang populer di negeri jiran, Malaysia. Istilah itu adalah “profesor kangkong”. Istilah tersebut pertama kali diberikan oleh seorang akademisi dan intelektual papan atas Malaysia, Syed Hussein Alatas. Beliau adalah sosiolog yang kajiannya tentang sosiologi korupsi menjadi acuan di mana-mana. Selain itu, beliau adalah seorang intelektual publik. 

Saya sengaja ingin menegaskan di sini bahwa akademisi dan intelektual itu berada dalam dua tarikan napas yang berbeda. Tidak semua akademisi adalah intelektual dan, tentu saja, tidak semua intelektual adalah akademisi. Persatuan antara keduanya sesungguhnya sangat jarang. Tapi ini adalah topik lain. 

Lalu, mengapa “profesor kangkong”? Syed Hussein Alatas memberikan gelar ini untuk para akademisi  “who are ‘devoid of knowledge to the core’ and whose claim to be scholars and thinkers are undeserved.” Artinya, akademisi yang pengetahuannya kosong hingga ke bulu-bulunya dan klaimnya sebagai sarjana atau pemikir sungguh tidak pantas ia sandang! Ini adalah sebuah sergahan yang keras sekali. Ia mengandung makna yang dalam karena Malaysia di mata Prof. Alatas memiliki terlalu banyak doktor dengan keterampilan akademik yang medioker. 

Singkat kata, seorang profesor kangkung adalah akademisi otak kosong. Di Malaysia dan banyak negara lain, akademisi secara otomatis adalah seorang profesor. Lebih menukik lagi, gelar profesor kangkung ini dikenakan kepada mereka yang ke mana-mana menggendong gelar PhD atau doktor namun tidak memiliki pengetahuan yang cukup untuk pantas menyandang gelar itu. 

Saya sebenarnya agak keberatan dengan sebutan kangkong (kangkung) itu. Sayuran yang rendah hati ini sesungguhnya jauh berguna ketimbang pada profesor dan doktor kopong itu. Tapi, baiklah. Kita pakai saja karena enak didengar dan punya sinisme yang cukup kuat. 

Dr. Sharifah Munirah Alatas, yang kebetulan adalah putri dari Syed Hussein Alatas, pernah mengulas persoalan ini dalam sebuah kolom di sebuah koran lokal berbahasa Inggris di Malaysia. Dr. Sharifa sedikit banyak mengonfirmasi pengamatan ayahnya, yakni terlalu banyak doktor yang tidak memiliki kompetensi dan tidak pantas menyandang gelar sebagai doktor. Dia menyebutnya sebagai “vacuous mind” atau ‘pikiran kosong’. 

Mereka memiliki gelar PhD, tulis Dr. Sharifa, namun sering kali tidak punya kemampuan berpikir kritis. Banyak juga yang sadar akan kedunguannya namun tidak melakukan apa-apa untuk memperbaiki diri. Akhirnya, yang bisa mereka lakukan adalah berpolitik di kampus, membuat jaringan patronase, bertingkah laku toksik, dan menghalalkan segala cara untuk meningkatkan karier mereka.  

Menjadi doktor perlu biaya yang mahal. Selain itu perlu waktu panjang dan pengorbanan yang tidak sedikit. Namun, lapangan pekerjaan di universitas untuk lulusan doktor ini juga tidak banyak. Jadi banyak dari doktor yang seharusnya mengajar di universitas atau melakukan riset ini tidak tertampung di dunia akademik dan di dunia kerja pada umumnya. 

Namun, bagaimanapun para doktor ini diperlukan untuk menunjang sistem pendidikan. Mereka inilah yang akan meneruskan pengetahuan ke generasi muda. Persoalannya adalah ketika posisi-posisi mengajar ini diisi oleh para “vacuous minds” ini, yang kemudian membiakkannya atau membuat keturunan“vacuous minds” kuadrat!  

Terus terang, saya melongo membaca tulisan Dr. Sharifa itu. Sambil membaca itu, bayangan saya menerawang ke dunia akademis di Indonesia. Apakah negeri ini lebih baik dari Malaysia? Tahun-tahun 1970-an, Malaysia mengirim banyak mahasiswa ke Indonesia, Anwar Ibrahim, yang sekarang menjadi PM Malaysia, adalah salah satunya. Namun, kini keadaan berbalik. Kitalah yang belajar ke Malaysia. 

Pertanyaan saya agaknya salah. Soalnya bukanlah apakah kita lebih baik dari Malaysia, tetapi, seberapa parahkah dunia akademis kita? Seberapa banyakkah dari profesor dan doktor kita yang berkualitas “kangkong”? Saya kira, tidak hanya “profesor kangkong”, bahkan kita punya “profesor benalu” yang memerah dunia akademik, memanfaatkan celah-selah persyaratan meraih gelar akademik, untuk keuntungan pribadinya. 

Beberapa waktu yang lalu, ada perbincangan ramai di media bahwa seorang profesor dalam negeri mencatut nama profesor di Malaysia dan mencantumkan namanya sebagai penulis peserta (co-author) dalam sebuah artikel yang diterbitkan di sebuah jurnal. Profesor di Malaysia tersebut tidak pernah diajak dalam penelitian dan tidak pula menulis. Namun, ajaibnya, namanya ada di dalam sebuah jurnal bersama profesor dari Indonesia itu. 

Sang profesor ini pun rupanya juga sangat produktif. Sebelum hilang dari peredaran, akun Google Scholar dari profesor ini memperlihatkan bahwa untuk tahun 2024 ini saja dia sudah mempublikasikan 160 judul karya! Padahal tahun ini belum setengahnya berlalu. 

Tidak itu saja. Saya mengintip beberapa jurnal di mana sang profesor kita ini menulis. Saya ambil random saja, seperti Journal of Social Science (sic! singular!). Saya tertarik karena tidak saja jurnal ini banyak menerbitkan karya sang profesor namun juga karena nama jurnalnya adalah Journal of Social Science, ilmu yang saya tekuni. 

Walaupun berbahasa Inggris, URL jurnal ini adalah (dot)id yang jelas sekali menunjukkan bahwa laman web jurnal ini memiliki host di Indonesia. Jurnal ini bisa diakses secara gratis. Artinya, siapa saja bisa membaca artikel-artikel yang ada di dalamnya secara cuma-cuma. Hanya saja, jurnal ini mengenakan apa yang namanya article processing charge (APC) atau biaya memproses artikel. Besarnya US$470 atau Rp7 juta per artikel. 

Jurnal ini memiliki editor in chief (editor kepala) bernama Chiska Nova Harsela dari Politeknik Siber Cerdika Internasional, Indonesia. Ini adalah sebuah institusi pendidikan di Cirebon yang mengaku sebagai sekolah siber pertama di Indonesia. 

Saya memeriksa artikel terindeks Scopus dari editor kepala jurnal ini. Dia hanya memiliki satu publikasi berjudul “The Effect of Leadership Styles and Organizational Culture on Employee Performance at PT Muda Kaya Mendunia (MKM)”. Saya sengaja memakai Google Translate untuk menerjemahkan judulnya karena penerjemahan awalnya dari bahasa Indonesia ke Inggris bisa jadi memakai aplikasi ini. Hasilnya adalah “Pengaruh Gaya Kepemimpinan dan Budaya Organisasi Terhadap Kinerja Karyawan PT Muda Kaya Mendunia (MKM).” Artikel ini dikarang bersama tiga penulis lainnya. 

Dalam artikel Scopus tersebut, sang editor kepala ini masih mencantumkan Universitas Swadaya Gunung Jati, Cirebon, sebagai afiliasi institusionalnya. Ini berbeda dengan afiliasinya di Journal of Social Science. Namun, saya menemukan akun Instagram atas nama yang sama. Dan di akun Instagram ini, nama yang sama tersebut mencantumkan bahwa dirinya adalah President Director of @syntaxcorporation. Dari akun Instagram-nya, ada posting bahwa dia baru saja wisuda S2, entah dari universitas mana namun ada di Indonesia. 

Saya melihat bahwa Syntax Corporation ini memang ada dan memiliki kantor di Cirebon. Bidang usahanya berbagai macam, termasuk salah satunya dalam publikasi buku dan jurnal. Syntax Corporation adalah penerbit berbagai macam jurnal, salah satunya adalah Jurnal Syntax Admiration. Jurnal (sic!) ini diterbitkan oleh Ridwan Institute. Agaknya, Ridwan Institue ini masih berhubungan dengan Dr. Taufik Ridwan M.Hum, pemilik dari Syntax Corporation. Yang lebih menarik lagi, sang editor kepala dari Journal of Social Science ini adalah istrinya. 

Journal of Social Science mengklaim memiliki dewan editorial dari banyak negara. Salah satunya adalah A Said Ziani dari Mohammed V University dari Rabat, Maroko. Secara iseng saya melihat profil akademik A Said Ziani ini. Saya klik artikel Scopusnya. Tulisan pertama dari Ziani berjudul “Time-scale image analysis for detection of fetal electrocardiogram.” Atau: Analisis gambar skala waktu untuk mendeteksi elektrokardiogram janin. Lalu, apa hubungannya dengan ilmu sosial? Saya tidak tahu. 

Sebuah jurnal terindeks Scopus lain yang juga menarik perhatian saya adalah Budapest International Research and Critics Institute-Journal (BIRCI-Journal). Dari namanya terlihat jurnal ini berbobot sangat internasional. Budapest adalah Ibu Kota Hungaria. Tentu jurnal ini terbit di Eropa bukan? Salah sama sekali. 

Dari kontak yang tertera di jurnal ini, ia dipublikasi dari sebuah perumahan di Bandar Klippa, Percut Sei Tuan, Kabupaten Deli Serdang, Sumatra Utara. Editor Kepala-nya bernama Muhammad Ridwan. Dari Scopus-nya kita tahu bahwa yang bersangkutan adalah pengajar di Universitas Islam Negeri Sumatera Utara. Ia telah menulis 10 artikel terindeks Scopus

Jurnal ini juga memiliki seorang asisten editor kepala. Posisi ini dijabat oleh Prof. Vladimir A. Tregubov dari Peoples Friendship University, Moskow, Rusia. Saya tidak berhasil secara definitif menemukan siapa sebenarnya Prof. Tregubov ini. Yang jelas saya tahu adalah bahwa People’s Friendship University itu dulu dikenal dengan mana Patrice Lumumba University, di mana banyak orang Indonesia dikirim belajar ke sana pada masa Soekarno. Ada nama yang sama terdaftar pada St. Petersburg University. Namun, Prof. Tregubov di sini adalah seorang ahli teknik.

Nama Prof. Vladimir A. Tregubov ini juga muncul di jurnal lain yang bernama LingLit Journal: Scientific Journal for Linguistics and Literature. Muhammad Ridwan menjabat sebagai chief executive office (sic!) pada jurnal ini. Editor kepalanya adalah Dr. Yusni Khairul Amri dari Universita Muhammadiyah Sumatera Utara. Asisten Editor kepala dijabat oleh Bantalem Derseh Wale, PhD., Doctor of English Language Teaching, Injibara University, Ethiopia. Para editornya berasal dari berbagai negara dengan jabatan-jabatan mentereng seperti mengepalai sebuah kantor dari badan PBB, UNESCO. 

LingLit Journal sendiri dipublikasikan oleh sebuah lembaga yang bernama Britain International for Academic Research (BIAR). Karena namanya Britain, tentunya ia adalah lembaga yang berasal dari Inggris, bukan? Salah lagi. BIAR adalah penerbit yang menerbitkan banyak jurnal. Dalam situs webnya, ia mengklaim bahwa ia adalah:

Jurnal peer-review (seharusnya: peer-reviewed, MS) yang diterbitkan pada bulan Februari, Juni dan Oktober yang memuat makalah-makalah di bidang humaniora: bahasa dan linguistik, pendidikan, sejarah, sastra, seni pertunjukan, filsafat, agama, seni visual. Ilmu-ilmu sosial: ekonomi, antropologi, sosiologi, psikologi, geografi, studi budaya dan etika, studi gender dan seksualitas, studi wilayah, arkeologi, ilmu kedokteran, ilmu pertanian, ilmu biologi, ilmu teknik, ilmu eksakta dan bidang terkait lainnya dan diterbitkan baik dalam versi online maupun cetak.

Ia menerbitkan banyak jurnal, antara lain Rowter Journal yang membahas soal-soal ekonomi, perdagangan, mata uang, dan lain-lain; Matondang Journal, membahas kebudayaan, agama, bahasa, dan pendidikan; Economit Journal: Scientific Journal of Accountancy, Management and Finance; Polit Journal Scientific Journal of Politics; Lakhomi Journal Scientific Journal of Culture; Britain International of Exact Sciences (BIoEx) Journal; Britain International of Humanities and Social Sciences (BIoHS) Journal, dan masih ada beberapa lagi. 

Konglomerasi jurnal dengan nama-nama keren ini berpusat di tempat yang sama dengan BIRCI, yakni di Bandar Klippa, Percut Sei Tuan, Kabupaten Deli Serdang, Sumatra Utara. Dan, yang lebih keren lagi, BIAR ini juga mengaku memiliki kantor cabang di Marburg, Jerman, tepatnya di Rheinstrasse, 55413 Neiderheimbach am Rhein, Germany. 

Nama yang muncul dari setiap jurnal di bawah konglomerasi ini adalah nama yang sama, yakni Muhammad Ridwan. Demikian juga rekening bank yang tercantum pada situs webnya ada dua jenis, yaitu rekening BRI atas nama sebuah yayasan dan rekening Bank Mandiri atas nama Muhammad Ridwan sendiri. 

Jurnal-jurnal ini menarik bayaran (fee) untuk penerbitan sebuah artikel. Untuk Matondag Journal, misalnya, fast-track review memakan beaya US$85.00; publikasi artikel online: US$40.00; cetak US$20.00. 

Saya tidak tahu seberapa absah jurnal-jurnal. Saya memang tidak sempat mengecek nama-nama para editornya dengan menghubungi mereka secara langsung. Namun, saya melacak jejak-jejak publikasi mereka di laman Scopus atau tulisan-tulisan akademik mereka. Tampak sekali nama-nama asing, gelar, dan universitas yang dimasukkan sebagai dewan redaksi (editor) jurnal-jurnal ini besar sekali kemungkinannya adalah asal comot belaka. Beberapa nama bahkan tidak pernah menulis soal yang menjadi topik utama jurnal. Apa hubungan antara orang yang ahli dalam citra USG janin dengan ilmu-ilmu sosial, misalnya?   

Penelusuran saya ini pun hanya acak belaka. Sebuah penyelidikan serius dari lembaga yang bertanggung jawab atas integritas dunia pendidikan tinggi di negeri ini harus dilakukan. Demikian pula perlu ada liputan investigasi dari media-media mainstream untuk mengulik seberapa besar bisnis ini. 

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.

Seberapa pun lemahnya penelusuran saya ini, ia memperlihatkan bahwa ada sesuatu yang sangat besar tersembunyi di dalam dunia akademik ini, yakni sebuah industri yang kemungkinan bersifat predatoris dengan mengeksploitasi dunia pendidikan tinggi Indonesia. 

Saya sendiri bisa merasakan besarnya bisnis ini. Beberapa waktu yang lalu saya melihat kurikulum program S2 dari sebuah universitas negeri papan atas. Di dalam program dan kurikulum S2 tersebut ada syarat bahwa seorang mahasiswa harus mempublikasikan dua artikel ilmiah di jurnal sebagai syarat kelulusan. Dua artikel ini membuka peluang bisnis bagi penerbit-penerbit jurnal dengan indeks yang diklaim prestisius ini. 

Penerbitan saja tidak cukup. Saya mendapat cerita dari seorang mahasiswa bahwa ia (tepatnya: orang tuanya!) harus menyediakan dana cukup besar agar bisa memenuhi syarat menulis dua artikel di jurnal tersebut. Ia menyebut angka antara Rp15-20 juta agar artikelnya bisa lolos dimuat di sebuah jurnal. 

Seorang mahasiswa lain menyebutkan bahwa biaya besar itu sebenarnya bukan untuk penerbitan artikelnya belaka. Biaya terbesar, katanya, adalah coaching penulisan artikel untuk jurnal tersebut. Siapa yang menjadi coach tersebut? Para coaches tersebut adalah dosen-dosen mereka sendiri. Para dosen itulah yang bekerja sama dengan para penerbit dengan nama-nama jurnal yang aneh dan keren itu, yang terbit di tempat-tempat di luar perkiraan kita semua: Cirebon atau Deli Serdang, seperti yang ditunjukkan dalam penelusuran saya ini. Bukan berarti dua daerah itu tidak pantas mendapat kehormatan sebagai tempat lahirnya jurnal-jurnal “internasional” tersebut. Namun kota-kota ini bahkan tidak memiliki universitas, lembaga riset, atau pun tradisi akademik yang kokoh di negeri ini.

Jika saya kembali melihat apa yang disebut sebagai “profesor kangkong” oleh Syed Hussein Alatas, maka dengan sedih saya harus akui bahwa Indonesia tidak memiliki profesor berkualitas kangkong. Kita memiliki profesor dan doktor benalu. ***

]]>
Demokratisasi Kampus Sekarang Juga https://indoprogress.com/2024/06/demokratisasi-kampus-sekarang-juga/ Mon, 10 Jun 2024 19:43:03 +0000 https://indoprogress.com/?p=238191

Ilustrasi: Ilustruth


JAUH sebelum Indonesia merdeka, pada saat masih bernama Hindia Belanda, pemerintah kolonial mendirikan kampus sebagai konsekuensi diberlakukannya politik etis. Kita bisa mengingat kampus rintisan kolonial di awal abad ke-20 seperti STOVIA (sekolah kedokteran), RHS (sekolah hukum), dan Faculteit der Letteren en Wijsbegeerte (Fakultas Sastra dan Filsafat). 

Meskipun banyak intelektual pembangkang yang lahir dari sana, namun sudah tentu pada mulanya kampus dibangun untuk kepentingan kolonial. STOVIA, misalnya, dibangun karena kebutuhan mendesak untuk memerangi penyakit yang merebak di seantero Jawa. Di sana mereka melatih beberapa orang menjadi juru kesehatan, dengan harapan mengurangi distribusi dan frekuensi penyakit. Pembangunan STOVIA tentu saja hanya untuk kepentingan kesehatan kolonialis. Para penjajah akan acuh tak acuh jika ada pribumi mati karena penyakit dan hanya akan peduli ketika penyakit tersebut mulai mengganggu dan menghantui mereka. 

Pendirian STOVIA tak jauh berbeda dengan RHS dan sekolah lainnya. Sekolah hukum dibangun agar para lulusannya menjadi londo ireng yang membela kepentingan kolonial, sementara sekolah sastra dibuat untuk mengarang cerita-cerita yang melenakan masyarakat jajahan. 

Kepentingan sekolah-sekolah itu pada akhirnya tertaut dengan niat memuluskan penjajahan, bukan untuk memerdekakan. Semua dibangun agar kekuasaan bisa menancap lebih mapan.

Proses bersekolah seperti itu mencederai tujuan ideal pendidikan. Biasanya, pendidikan ala kolonial berwujud ultra-positivistik. Pengetahuan dimistifikasi. Pengetahuan dianggap suatu hal yang terlepas dari proses pembentukan institusinya. Kepentingan pendidikan direkayasa demi menghasilkan keuntungan pemilik sekolah. Jadilah pembelajaran sebagai arena imposisi pengetahuan dari mereka yang menganggap tahu segala kepada mereka yang tidak tahu apa-apa. Pendidikan kehilangan bentuknya yang kritis dan dialogis.

Sekolah kolonial jadi alat yang cukup efektif untuk melakukan proses indoktrinasi, meracuni pikiran peserta didik, dan diarahkan guna melanggengkan penjajahan. Proses belajar-mengajar tak bernuansa kritis dan cenderung memiliki motif yang pragmatis. Mahasiswa diajar bukan untuk dicerahkan secara intelektual, melainkan untuk didisiplinkan dan dijajah pikirannya dengan cara yang tak tampak secara langsung.

Hasil dari model sekolah atau kampus ala kolonial itu melahirkan manusia satu dimensi. Patuh. Sekolah bertujuan untuk memproduksi tenaga kerja berpengetahuan yang bisa diupah murah. Kerja bukan untuk masyarakat. Kerja menjauhkan pekerja dari dirinya sendiri. Inilah potret kapitalisme yang mewujud dalam pendidikan kolonial. 

Sebagai subyek, mahasiswa memiliki hak, sementara kampus merupakan ruang publik demokratis. Rianne Subijanto dalam artikel “Ruang Publik Dulu dan Sekarang” mengatakan ruang publik adalah sebuah ruang yang setiap orang dapat berpartisipasi secara deliberatif, ikut serta dalam membahas dan memutuskan hal-hal yang berkenaan dengan tiap aspek kehidupan. Namun, pemerintah kolonial tak pernah mengakui apalagi mengakomodasi itu. Tak pernah ada kesempatan bagi mahasiswa terlibat dalam pengaturan segala aktivitas di dalam kampus. Pengabaian aparatus kampus terhadap hak yang dimiliki mahasiswa berarti juga pengabaian terhadap esensi kampus sebagai ruang hidupnya dialektika pemikiran.

Kolonialisme memastikan bahwa demokrasi dapat mengganggu kekuasaan. Watak seperti itu memiliki implikasi terhadap sistem yang dibangun. Di bidang pendidikan, gagasan dan praktik tentang demokrasi tak pernah dianjurkan untuk diamalkan oleh mahasiswa pribumi. Demokrasi itu ancaman, kata mereka. Demokrasi mampu menjelma gunting dalam lipatan. Lembaga pendidikan kolonial ditujukan untuk menetralisir kekuatan politik yang dikhawatirkan muncul dari golongan pribumi (Prayudi, 2015). 

Berakhirnya era kolonial Belanda tidak berarti mengubah pola pendidikan. Yudi Latif dalam Intelegensia Muslim dan Kuasa (2012) mengabarkan bahwa “pihak Jepang memperkenalkan sebuah rezim pendidikan yang berbeda yang lebih menekankan pada pendidikan militer dan paramiliter. Hal ini menjadi katalis bagi tertanamnya mentalitas militeristik dan bagi terbentuknya inteligensia militer pada masa depan.” Pendidikan ala militer ini, meski tak mengacu dan cenderung anti terhadap pendidikan ala Barat, tetap tak demokratis.

Letnan Jenderal Imamura, panglima tentara Jepang pertama di Jawa, bahkan mengeluarkan dekrit untuk melarang segala bentuk diskusi dan organisasi. Kemudian banyak organisasi dan beberapa perguruan tinggi ditutup. Ruang publik dikontrol secara ketat oleh polisi militer dengan menerapkan kebijakan “imbalan dan hukuman”. Rezim kolonial Jepang menggunakan pendidikan hanya untuk memperkuat fasisme. Dengan demikian, peserta didik, mahasiswa, lagi-lagi tetap menjadi objek. 

Kilas sejarah pendidikan di negeri ini jelas seperti kritik yang dilontarkan Paulo Freire, yang melihat mahasiswa sebagai objek, botol kosong, yang tak tahu apa-apa. Juga anti-demokrasi. Mereka mesti digembleng pikirannya untuk diisi pengetahuan dan kemudian dimanfaatkan bukan untuk kepentingan umum. Proses yang demikian barangkali lebih tepat disebut dengan proyek perbudakan dibanding pencerahan.


Kemerdekaan, Menyuntikkan Demokrasi 

Sejak Indonesia merdeka, peralihan radikal dimulai. Pun dalam bidang pendidikan. Setelah sekian lama hidup dengan model pendidikan ala kolonial yang diskriminatif, semangat demokratis dan egalitarian disuntikkan. Pendidikan menjadi hak untuk semua. UU Pendidikan No. 4 Tahun 1950 yang diratifikasi menjadi UU No. 12 Tahun 1954 menegaskan bahwa “pendidikan adalah hak setiap warga negara”. Yudi Latif mengatakan bahwa sejak saat itu sektor pendidikan tumbuh sangat pesat dan belum pernah ada presedennya.

Semangat demokratis dan kritis menjadi pegangan. Beberapa kampus bahkan dibangun dengan gotong royong. Universitas Baperki adalah contohnya. Kampus yang kelak berubah nama menjadi Universitas Res Publica (Ureca) ini dibangun oleh para anggota Baperki (Badan Permusjawaratan Kewarganegaraan Indonesia), masyarakat umum, dan bahkan para mahasiswanya sendiri. Dalam satu esai di buku URECA Berperan Dalam Pembangunan Bangsa (2014), Siauw Tiong Djin menulis, “Para mahasiswa Ureca diimbau untuk membantu usaha pembangunan gedung-gedung universitas. Para mahasiswa teknik-nya bekerja sama dengan para dosen untuk mendesain gedung-gedung serta fasilitas-fasilitas yang dibutuhkan. Dengan jalan gotong royong ini, banyak gedung bisa diselesaikan pada waktunya dengan ongkos pembangunan yang relatif rendah. Ureca adalah satu-satunya universitas di Indonesia yang dibangun oleh para mahasiswanya.”

Wawancara Luthfi Hamzah Husin dengan Sutaryo dalam buku Gerakan Mahasiswa Sebagai Kelompok Penekan (2014) juga mengatakan bahwa Universitas Gadjah Mada (UGM) dibangun bersama oleh dosen dan mahasiswa. Selain fisik, mahasiswa juga turut andil dalam pembangunan konstruksi filosofis fakultas-fakultas. Tentu Ureca sebagai kampus swasta dan UGM sebagai kampus negeri hanya contoh kecil bagaimana institusi pendidikan bisa dibangun dengan gotong royong dan demokratis.

Pelibatan mahasiswa dalam segala aktivitas pada akhirnya menjadi kekuatan bagi kampus itu sendiri. Dengan semangat demokrasi, relasi antar subjek di dalam kampus dibangun dengan adil dan tak berpretensi saling menguasai.


Orba Meruntuhkan Segalanya

Kebebasan berekspresi dan berpolitik di era Sukarno menjadikan mahasiswa sebagai poros kekuatan baru dengan jumlah massa yang tak sedikit. Akan tetapi, situasi ekonomi-politik yang mulai kacau di pertengahan 1960-an memicu terpecahnya kekuatan mereka menjadi dua kubu besar: yang pro dengan Sukarno dan yang mulai gerah dengan Sukarno. Hal itu diperparah dengan terjadinya peristiwa G30S, yang menurut Usman Sunyoto (1999) memberi stimulan bagi mahasiswa yang bergabung dengan partai dan organisasi massa untuk melakukan gerakan politik, terutama tuntutan pembubaran PKI yang divonis melakukan makar.

Setelah Sukarno tumbang, pendidikan Indonesia memasuki era baru. Universitas yang memiliki keberpihakan politik dan ideologis kepada pemerintahan Sukarno seperti Ureca, Universitas Rakyat (Unra), Akademi Ilmu Sosial Aliarcham, dan beberapa yang lain, diberangus oleh rezim Soeharto. Kampus itu dianggap sebagai tempat memproduksi orang-orang kiri pemberontak. Dengan pemberangusan kampus tersebut, ditambah mereka yang tak bisa pulang menjadi eksil saat menjalankan pendidikan, satu generasi intelektual juga turut hilang.

Watak rezim yang represif dan sentralistik tak memungkinkan iklim pendidikan kampus yang demokratis. Beberapa kali gerakan mahasiswa (yang pada akhirnya memutuskan hubungan dengan militer karena merasa dimanfaatkan rezim) melakukan protes-protes terhadap pemerintah Orde Baru. Tindakan seperti itu dianggap sangat lancang oleh Soeharto. Maka pemerintah melalui Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib) membekukan seluruh dewan mahasiswa di semua universitas pada 21 Januari 1978. Kritik dibungkam. Kritisisme dibunuh ketika protes dianggap mengganggu kehidupan bangsa dan merusak konstitusi. Kampus tak lagi beriklim intelektual yang emansipatif. Kampus semakin represif. 

Lewat Surat Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Daoed Joesoef No. 0156/U/1978 tentang Normalisasi Kehidupan Kampus (NKK), organisasi mahasiswa intra-kampus ditata ulang, diredefinisi dalam bingkai politik rezim. Dunia mahasiswa semakin sesak ketika setahun kemudian Daoed Joesoef mengeluarkan peraturan baru, Surat Keputusan No. 037/U/1979, yang mengatur bentuk dan susunan organisasi kemahasiswaan sedemikian rupa, yang tidak memungkinkan mahasiswa melakukan aktivitas politik tanpa kontrol pemerintah (Usman, 1999).

Orde Baru yang picik bersembunyi di balik Pancasila. Pancasila yang mencita-citakan penerimaan atas pluralitas dan kemajemukan gagasan ditafsirkan serampangan untuk menunjang kekuasaan. Pancasila menjadi khianat terhadap demokrasi. Ormas, termasuk organisasi kemahasiswaan, dihomogenkan lewat UU No. 8 Tahun 1985. Ormas harus menggunakan asas tunggal Pancasila (ala Orba). Organisasi yang tak menerima kebijakan itu harus menerima nasib dibubarkan paksa.

Iklim pendidikan di rezim seorang yang mendaku diri sebagai Bapak Pembangunan sangat otoriter. Perubahan orientasi pendidikan dari Orde Lama ke Orde Baru tak hanya membuat kampus menjadi senjata ampuh represi negara, tetapi juga sebagai alat legitimasi kekuasaan yang kapitalistik dan menindas. Negara memegang penuh kendali kampus. Hak mahasiswa untuk terlibat dalam segala perencanaan kebijakan dikebiri. 

Kondisi ini lambat laun menjadikan mahasiswa memiliki pemahaman bahwa urusan selain belajar tak perlu untuk diurusi. Hal-hal terkait administrasi, manajemen pengelolaan kampus, tujuan politik-ideologis kampus, dll, lantas diabaikan dan dianggap tak penting. Mereka sengaja dikondisikan agar tutup mulut untuk hal yang bukan urusannya. Hal ini menafikan mahasiswa sebagai subjek dalam kampus. Dengan begitu, kampus mengingkari hakikatnya sebagai alat politis yang bertugas mencerahkan dan membebaskan. Di Orde Baru, kampus ibarat manusia dengan fisik yang rupawan tetapi tak memiliki jiwa. Kampus kehilangan ruhnya.

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.


Wajah Kampus Hari Ini

Terbitnya fajar Reformasi menandai bergesernya sistem politik yang bersifat otoriter ke sistem yang demokratis. Kondisi itu lantas memberi harapan segar untuk pendidikan nasional. Namun, harapan itu tak pernah terwujud hingga hari ini. Janji politik untuk mereformasi pendidikan menjadi lebih demokratis dan partisipatif hanyalah retorika. 

Hal ini dapat dengan jelas terlihat dari isu yang sedang ramai belakangan ini, Uang Kuliah Tunggal (UKT). Meskipun beberapa kampus telah mengatakan bahwa penentuan UKT dilakukan secara demokratis, partisipatif, dan transparan, semua itu hanya omong kosong. Di mana letak partisipatifnya jika seluruh persyaratan agar bisa memilih di UKT mana mahasiswa membayar ditentukan sepihak oleh kampus? Di mana letak demokratisnya kalau semua tuntutan mahasiswa terkait UKT dibungkam dan dihadapkan dengan aparatus kekerasan? Tidak perlu bicara transparansi. Klaim-klaim itu hanya tempelan dan gincu untuk memoles citra kampus.

Wajah pendidikan hari ini bisa kita lihat di kampus-kampus negeri yang kadung mirip dengan kampus swasta. Tampaknya tak ada perbedaan yang signifikan dengan praktik pendidikan ala Orde Baru. Pengelolaan kampus tetap tidak demokratis, tidak partisipatif, represif, dan hegemonik.

Wajah kampus hari ini merupakan akumulasi dari serangkaian proses yang hanya berorientasi profit. Kampus dijadikan ladang bisnis. Jika di masa kolonial ada diskriminasi ras bagi orang yang ingin belajar, hari ini kampus kita mendiskriminasi orang yang tak memiliki kemampuan finansial. Yang kaya boleh sekolah dan tidak untuk yang miskin. Tidak dicabutnya serangkaian produk legislasi seperti UU BHP–yang kemudian berubah nama menjadi UU PT No. 12 Tahun 2012–sebagai jangkar komersialisasi pendidikan menambah keyakinan kita bahwa praktik pendidikan kita sangat jauh melenceng dari cita-cita pendidikan nasional di awal kemerdekaan: mencerdaskan seluruh rakyat Indonesia. 

Kampus bukan pabrik. Kampus semestinya menempa kesadaran. Hanya kampus yang demokratis yang bisa mengantarkan mahasiswa menjadi seorang manusia yang utuh. Sayangnya kampus dengan wajah seperti itu telah lama dihancurkan dan terus dipertahankan demikian. Kampus yang demokratis, kritis, dan partisipatif telah lama terkubur. Kita hanya bisa menemukannya dalam remah-remah teks sejarah. Namun satu hal yang mesti kita ingat, ia pernah terlahir dan hidup! Oleh karena itu, jalan untuk melahirkannya kembali, menjadi satu hal yang tidak mustahil untuk dilakukan bersama-sama. Selalu ada alternatif untuk pendidikan Indonesia, untuk kampus kita, ditengah krisis multidimensi hari ini. Mari melakukan apa-apa untuk itu semua. 

Dengan mengingat slogan Mei 68, “jadilah realistis, tuntut yang tidak mungkin”, kini kita harus bersuara: Demokratisasi kampus sekarang juga.


Mario Hikmat, bergiat di Semesta Project

]]>
#JanganJadiDosen: Tragedi Hubungan Kerja Eksploitatif yang Menjadi Lelucon https://indoprogress.com/2024/03/janganjadidosen-tragedi-hubungan-kerja-eksploitatif-yang-menjadi-lelucon/ Mon, 25 Mar 2024 01:17:36 +0000 https://indoprogress.com/?p=238048

Ilustrasi: Cottonbro studio


DALAM dua bulan terakhir, lini masa media sosial masyarakat Indonesia digemparkan dengan wacana #JanganJadiDosen. Penggunaan tanda pagar (tagar) tersebut menjadi ruang perlawanan para buruh yang bergeliat dengan tugas sebagai pendidik dan ilmuwan di perguruan tinggi terhadap hubungan kerja yang eksploitatif. Melalui tagar tersebut, mereka berbondong-bondong mengungkapkan masalah, keluh kesah, atau bahkan membongkar antagonisme dalam relasi sosial produksi di perguruan tinggi. Upah rendah yang tidak sebanding dengan ongkos untuk menjadi pendidik, beban kerja tinggi, hingga pengondisian melalui sistem pelaporan yang mendesak dosen menggunakan dana pribadi guna membiayai darma penelitian dan pengabdian masyarakat menjadi topik yang hangat diperbincangkan.

Berbagai media massa turut meramaikan wacana ini manakala keluh kesah semakin viral. CNN Indonesia membongkar fakta gaji dan tunjangan dosen berdasarkan golongan dan kepangkatan (asisten ahli, lektor, lektor kepala, guru besar). CNBC Indonesia membuka kronologi viralnya tagar #JanganJadiDosen dan mengangkat keberanian warganet untuk membuka slip pembayaran gaji yang biasanya bersifat rahasia, atau private & confidential. Bak gayung bersambut, Narasi Newsroom mengangkat persoalan kesejahteraan dosen melalui wawancara kepada beberapa dosen, termasuk pengurus Serikat Pekerja Kampus (SPK), serikat buruh yang menaungi dosen dan tenaga kependidikan perguruan tinggi yang belum genap setahun berdiri.

Namun, bukan kapitalisme namanya jika masalah yang mengakar tidak memiliki solusi teknis yang sebenarnya bukanlah solusi. Problem ini ditanggapi melalui pelatihan berbayar yang diklaim dapat membantu dosen meningkatkan kesejahteraannya. Untuk menarik partisipasi publik, kegiatan yang dijadwalkan akan dilaksanakan pada 31 Maret tersebut diberi tagline “dosen bisa sejahtera di tengah tantangan gaji”. Dialog interaktif ini dibanderol dengan harga Rp129 ribu (yang diubah menjadi gratis setelah viral). Menurut salah satu pembicara, para dosen tidak mengetahui jika peserta dibebankan tarif saat diundang untuk menjadi narasumber. Hal tersebut kian menunjukkan perilaku nir-etika dari lembaga pendidikan dan pelatihan yang mengeksploitasi kaum intelektual.


Tragedi Hubungan Kerja di Perguruan Tinggi yang Menjadi Lelucon

Sejak tagar #JanganJadiDosen viral, publik menyaksikan tragedi dari kapitalisme pendidikan tinggi: biaya kuliah semakin mahal tapi ternyata upah pekerja kampus begitu murah.

Persoalan kesejahteraan dan beban kerja ini tentu saja tidak dapat terlepas dari relasi kerja yang eksploitatif, di mana perguruan tinggi akan selalu berupaya untuk memperoleh nilai lebih (surplus value) melalui keuangan yang bersumber dari biaya kuliah mahasiswa, dana sumbangan, dan/atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Setiap dana yang diterima sebagai modal tidak bisa diharapkan untuk dapat didistribusikan secara adil kepada pekerjanya. Hal tersebut dikarenakan struktur pekerjaan, upah, dan jabatan yang ada berpeluang untuk menempatkan pekerja di level bawah sebagai kelompok dengan beban kerja yang lebih tinggi serta upah yang lebih rendah.

Namun, dalam hubungan kerja yang eksploitatif ini, terkadang dosen itu sendiri melupakan bahwa akar masalah bukan disebabkan oleh “oknum atasan”, “kebijakan sepihak” pimpinan perguruan tinggi, atau bahkan sikap “pekerja yang malas”. Relasi kerja eksploitatif dianggap sebagai situasi normal. Bahkan, tak jarang kelas pekerja bersikap pasrah, memaklumi, atau malah mengampuni tragedi kesejahteraan ini karena struktur pasar kerja yang bersifat monopsony, yaitu pemberi kerja memiliki kuasa yang begitu besar dan tunggal untuk menentukan syarat-syarat pekerjaan, nilai upah, serta perintah kerja.

Sistem kapitalisme mungkin bersifat monopsony. Namun, jika kita tinjau kembali tulisan Frederick Engels tahun 1845 Condition of the Working Class in England, sejak periode awal revolusi industri kompetisi telah membuat kelas pekerja saling bersaing satu sama lain karena desakan harga kebutuhan pokok dan biaya hidup yang semakin meningkat. Bahkan, kompetisi dalam kapitalisme telah menjadi “ekspresi utuh dari pertarungan semua melawan semua dalam masyarakat modern”.[1]

Monopsony dan kompetisi merupakan paradoks dalam kapitalisme. Di satu sisi, kapitalisme mengecilkan peluang terjadinya persaingan untuk menentukan nilai upah dan syarat-syarat kerja yang kompetitif antara buruh dan majikan. Di sisi lain, kompetisi antar pekerja untuk mencapai prestasi, upah, serta jabatan tertinggi kian meningkat, dan bahkan mencapai level yang sangat mengkhawatirkan.

Dalam konteks hubungan kerja di kampus, kompetisi untuk mencapai jabatan fungsional tertinggi sebagai guru besar dan persaingan untuk menghasilkan angka kredit yang dapat meningkatkan peluang mendapatkan hibah penelitian besar sering kali mengeksploitasi para dosen yang telah bekerja keras tapi berada di level rendah. Bahkan, dalam kondisi yang lebih buruk, upaya untuk menghasilkan angka kredit turut mengeksploitasi mahasiswa yang telah bekerja keras tapi tak dibayar alias gratis. Dalam tugas riset untuk menghasilkan publikasi ilmiah, nama dosen kerap disematkan sebagai penulis pertama atau corresponding author.

Kompetisi di antara kelas pekerja sering kali memunculkan asumsi yang paling sesat pikir: kurangnya kesejahteraan disebabkan karena pekerja malas, kurang terampil, dan tidak kompetitif. Kesesatan berpikir tersebut mungkin menjadi rasionalisasi penyelenggaraan kegiatan pelatihan dosen yang telah disinggung di atas.

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.

Eksploitasi jelas bukanlah hal baru dalam kapitalisme. Namun, kasus kesejahteraan dosen ini menggaungkan kembali apa yang Karl Marx katakan dalam esai tahun 1852, The Eighteenth Brumaire of Louis Bonaparte. Di sana dia mengkaji kembali pendapat Hegel terkait “sejarah berulang dengan sendirinya (history repeat itself)”. Marx mengoreksi bahwa peristiwa sejarah tidak pernah benar-benar berulang, melainkan saat pertama kali terjadi akan dianggap sebagai tragedi (the first time as tragedy), namun ketika terjadi kedua kalinya menjadi lelucon (the second time as farce).[2]

Koreksi Marx terhadap Hegel tersebut kemudian dikaji kembali oleh Slavoj Žižek melalui buku “First as Tragedy then as Farce” yang terbit pada 2009. Menurut Žižek, berbagai tragedi kesejahteraan buruh, kemanusiaan, dan bahkan kerusakan lingkungan dalam kapitalisme kontemporer akan terus berulang namun dengan lelucon berupa suatu kebaruan yang (seolah-olah) menjadi solusi terhadap permasalahan. Salah satu contohnya ialah cultural surplus, yaitu nilai kultural dari suatu komoditas yang dianggap sebagai bagian dari solusi atas permasalahan tertentu dalam sistem kapitalisme.[3] Žižek mencontohkan dengan “coffee ethic”, yaitu komoditas kopi dari perusahaan besar Starbucks yang (konon katanya) membagi sebagian hasil penjualan untuk pemeliharaan lingkungan dan tanggung jawab sosial kepada petani. Jadi, dengan mengonsumsi komoditas yang memiliki cultural surplus, hasrat masyarakat untuk melakukan “perbaikan” dapat dipenuhi.[4]

Pada akhirnya, tragedi kesejahteraan dosen juga menjadi suatu lelucon: mereka tidak sejahtera karena dianggap tak terampil mengembangkan potensi karier akademik, tidak mampu mencari sumber pendapatan alternatif, dan gagal membangun mindset positif dan produktif. Melalui lelucon tersebut, pelatihan dosen kemudian menjadi komoditas dengan cultural surplus yang memuat solusi untuk meningkatkan kesejahteraan, meskipun permasalahan yang berakar pada eksploitasi tidak pernah ditiadakan.


Tantangan Perjuangan Pekerja dan Intelektual

Meskipun tragedi kesejahteraan dosen telah menjadi lelucon, namun perjuangan untuk memperbaikinya tidak boleh berhenti. Mengutip pendapat Michael Hardt dan Antonio Negri, salah satu elemen untuk menantang sistem kapitalisme yang eksploitatif adalah organisasi pekerja intelektual yang dapat menghimpun “labor-power against exploitation”, atau kekuatan buruh untuk bertarung melawan eksploitasi.[5] Dosen, sebagai pendidik dan ilmuwan, memiliki peluang besar untuk menyadarkan masyarakat pekerja, termasuk pekerja perguruan tinggi itu sendiri, agar tidak pasrah, mengampuni, atau memaklumi hubungan kerja yang eksploitatif.

Jika pertarungan ini dapat dimenangkan, setidaknya dapat diupayakan reformasi terhadap struktur monopsony dalam hubungan kerja perguruan tinggi untuk meningkatkan posisi tawar pekerja kampus dalam menentukan sistem pengupahan dan syarat-syarat kerja.


[1] Frederick Engels, The condition of the working class in England (Panther Book, 1969).

[2] Karl Marx, The Eighteenth Brumaire of Louis Bonaparte (Progress Publishers, 1869).

[3] Slavoj Žižek, First as tragedy, then as farce (London: Verso, 2009), 53.

[4] Žižek, 53–54.

[5] Michael Hardt dan Antonio Negri, Commonwealth (Cambridge, Mass: Belknap Press of Harvard University Press, 2009), 319.


Rizma Afian Azhiim adalah dosen dan Dewan Pengawas Serikat Pekerja Kampus.

]]>
Dunia yang Lebih Baik Itu Mungkin dan Harapan Selalu Dapat Diciptakan: Refleksi Tahun Pertama Menjadi Mahasiswa Doktoral https://indoprogress.com/2023/07/refleksi-tahun-pertama-menjadi-mahasiswa-doktoral/ Thu, 27 Jul 2023 23:23:53 +0000 https://indoprogress.com/?p=237641

Ilustrasi: Grace Lee Boggs/Amplifier


MENJALANI studi doktoral di London, Inggris semakin membuka mata saya terhadap tabir dunia akademik yang selama ini cenderung belum banyak diketahui. Di tahun pertama ini, setiap hari saya melihat dan merasakan suramnya dunia akademik di bawah kapitalisme yang semakin mendalam. Di negeri kapitalis monarki ini, berbagai aksi mogok yang dilakukan dosen dan pekerja berbagai universitas mewarnai hari-hari studi saya. Selama berbulan-bulan, mereka menuntut agar hak-hak mereka ditunaikan para pejabat universitas. Aksi boikot untuk menilai ujian para mahasiswa yang berujung pada dipotongnya gaji para dosen dengan cukup drastis pun belakangan menjadi sorotan. 

Di Inggris, semakin mahalnya biaya pendidikan tinggi terutama untuk mahasiswa internasional ternyata tidak serta merta meningkatkan kesejahteraan para dosen dan pekerja universitas. Banyak di antara mereka bahkan masih bekerja dengan status fraksional (kontrak dengan sedikit jam kerja)—membuat kondisi mereka semakin rentan di tengah biaya hidup di London yang kian melangit setiap hari.

Berbagai aksi mogok dan protes yang dilakukan oleh para dosen dan pekerja universitas—yang didukung penuh oleh sebagian besar mahasiswa—ini membuat saya semakin ingin berteriak bahwa bekerja di dunia akademik memang tidak (pernah) semegah dan semewah itu. Pada kenyataannya, dosen dan pekerja universitas sama saja dengan pekerja di sektor-sektor lain: semuanya hidup dalam kondisi kerja yang dipenuhi ketidakpastian dan kerentanan. Semua yang bekerja di bawah kapitalisme juga sesungguhnya sama-sama harus terus berjuang untuk mendapatkan hidup yang layak. 

Jadi, bersolidaritas dengan sesama kelas pekerja adalah hal yang penting untuk terus dilakukan. 

Selain itu, dosen, pekerja universitas, pekerja di kafe, sopir, pekerja kantoran, pekerja pabrik, dan semua pekerja sama terhormatnya. Saya makin ingin meneriakkan dengan lantang pada semua orang untuk berhenti bersikap classists atau mendiskriminasi berdasarkan persepsi mengenai kelas sosial. Misalnya, mengejek seseorang karena bekerja sebagai kasir di swalayan dan memuji peneliti karena bergengsi. Selain tidak ada gunanya, sikap classist juga tidak berdasar.

Dari sisi kehidupan personal, tingginya biaya hidup dan beratnya beban studi membuat saya yang belajar dengan beasiswa ini merasa kerja-kerja perawatan/care work –bagian dari reproduksi sosial- begitu menyita hari-hari saya. Setiap hari, saya (dan banyak mahasiswa lain) harus terus berpikir bagaimana menyiasati agar semua kebutuhan dari mulai makan, kesehatan, hingga istirahat dapat terpenuhi selayak mungkin. Di tahun pertama studi doktoral ini, saya semakin menginsafi dengan penuh betapa memasak, mencuci pakaian, mencuci piring, dan semua kerja-kerja domestik yang tidak dianggap sebagai kerja itu sungguh tak mudah dilakukan. 

Kondisi ini membuat saya jadi berpikir tentang irisan care work/kerja perawatan dengan banyak hal, termasuk mental health, dan individualisme yang terus meningkat di bawah kapitalisme neoliberal. Individualisme yang sudah menjalar ke relung sukma hampir setiap orang tak jarang membuat banyak mahasiswa doktoral merasa sendirian. 

Kepedulian dan kesadaran akan pentingnya kesehatan mental memang cukup tinggi di sini. Namun, sayangnya, juga semakin terindividualisasi. Masalah kesehatan mental hampir selalu dianggap sebagai ketidakmampuan individu dalam mengatasi persoalan-persoalan hidup alias “derita lo”, alih-alih dilihat sebagai problem struktural yang terkait erat dengan kehidupan di bawah sistem ekonomi politik kapitalisme yang mengisap daya hidup kita setiap hari. Akibatnya, masing-masing menderita sendirian. Tak ada solidaritas, tak ada collective care.

Pada saat yang sama, stoic life, seperti digembar-gemborkan banyak orang, saya pikir kurang relevan untuk menjawab tantangan kejamnya hidup di bawah kapitalisme dan patriarki ini. Ketangguhan dalam menyikapi berbagai persoalan hidup tentu tak dapat disederhanakan sebagai pilihan filosofis setiap individu semata. Toh, akar penyebab masalahnya pun bersifat struktural dan sistematis. Sebagai ilustrasi, secara individual, mungkin saja kita bisa mengabaikan omongan orang yang tak relevan untuk kehidupan kita. Tapi, apa iya kita dapat serta merta membiarkan saja ketimpangan yang terjadi–hanya karena tak terdampak secara langsung–karena berprinsip harus hidup dengan stoik? Rasanya kurang bijak. Lagi pula, salah satu nilai dari stoikisme itu kebajikan, bukan?

Daripada stioikisme, saya lebih percaya bahwa solidaritas dan collective care-lah yang dapat mengatasi persoalan kesehatan mental yang disebabkan oleh kapitalisme dan patriarki ini. Solidaritas dan collective care begitu penting namun sering kali dilupakan. Dalam kehidupan doktoral, para mahasiswa apalagi mahasiswa yang jauh sekali dari rumah dan keluarga seperti saya, yang juga mengalami kondisi penuh kerentanan di tengah badai kapitalisme ini, tentu membutuhkan collective care dan solidaritas. Namun, secara umum, saya masih jarang menemukan collective care kecuali tingkah kawan-kawan yang kerap membagikan meme-meme lucu yang dalam beberapa derajat tertentu memang sangat membantu, menghibur, sehingga menyembuhkan di masa-masa sulit. 

Tentu wujud dari solidaritas dan collective care semestinya melampaui itu. Mungkin seperti yang Bell Hooks katakan dalam bukunya All About Love (2001, 142-143), “The willingness to sacrifice is a necessary dimension of loving practice and living in community…; Giving up something is one way we sustain commitment to the collective well-being,” ‘Agar dapat hidup bersama di dalam sebuah komunitas, kita harus mau mengorbankan sesuatu karena pada dasarnya pengorbanan adalah dimensi yang dibutuhkan dalam praktik hidup yang baik di dalam sebuah komunitas…; Mengorbankan sesuatu adalah cara kita mempertahankan komitmen demi kesejahteraan kolektif.’ Dengan segala keterbatasan, saya berusaha mempraktikkan solidaritas dan collective care dalam keseharian. Misalnya dengan menanyakan kabar, bekerja bersama, atau mengajak kawan-kawan satu angkatan untuk piknik bersama di taman. 

Saya teringat buku yang bisa dibilang salah satu karya paling berpengaruh dalam tahun pertama studi doktoral ini. Buku itu berjudul We, the Heartbroken karya Gargi Bhattacharya. Dalam buku setebal 117 halaman itu, selain melakukan analisis mengenai kepatahhatian di bawah sistem dunia saat ini, Gargi juga memvalidasi setiap kepatahhatian yang mungkin kita miliki dan mungkin sedang kita jalani. Ia menganalisis bahwa kepatahhatian, selain memang menyakitkan, juga dapat menguatkan dan memberdayakan. 

Gargi tidak membuat buku tersebut menjadi seperti buku motivasi yang mengajak para pembacanya untuk mengambil pelajaran atas duka atau kesedihan yang sedang dialami. Gargi justru menekankan bagaimana masyarakat cenderung mengabaikan kepatahhatian dan mengklasifikasikan bahwa ada rasa sakit serta kehilangan yang tak perlu, selain juga cenderung memaksa kita untuk membuat kepatahhatian sebagai sesuatu yang bermakna namun pada saat yang sama menghindari untuk membicarakan duka-kesedihan itu secara mendalam. 

Seperti itu pulalah amatan saya (atas berbagai masalah yang ada) di tahun pertama studi doktoral ini: keresahan dan kesedihan yang sebetulnya dirasakan oleh banyak orang cenderung tak sempat menjadi kesedihan yang kemudian jadi sumber kekuatan bersama. 

Di sisi lain, pengalaman keseharian juga perjalanan belajar selama tahun pertama ini membuat saya semakin yakin akan pentingnya riset yang saya lakukan. Sebagaimana dikemukakan Gargi (2023, 27), “…we must travel with our sadness because every dream of a new world requires us to understand we have been broken by the old,” ‘…kita harus berjalan dengan kesedihan kita karena setiap mimpi mengenai sebuah dunia yang baru hanya dapat muncul ketika kita sudah memahami bahwa kita dibuat patah hati oleh tatanan yang lama.’ Itu benar adanya. Kalau dipikir-pikir, perasaan patah hati akan dunia yang begitu kacau balau ini-lah yang membuat saya berjalan hingga sejauh ini. Kepatahhatian menyaksikan sekaligus mengalami penindasan di masyarakat patriarkis-rasis-kapitalis inilah yang membuat saya ingin melakukan riset yang sedang saya lakukan (dan kemudian untuk mengubah kondisi tersebut), sepenuh hati, semampu yang saya bisa.

Apalagi, di London ini, sangat terasa dampak dari pembangunan kapitalis yang menimbulkan kesenjangan yang begitu mendalam antara dunia Utara dan Selatan. Di kota ini, langit begitu biru dan dipenuhi taman-taman yang indah. Udara bersih dan segar serta cahaya matahari di musim semi dan panas yang begitu hangat merupakan hal yang biasa saja. Hati saya begitu sedih mengingat bagaimana kelas pekerja di Indonesia tak dapat menikmati lingkungan seperti ini.

Hal itu sama sekali tidak mengherankan semenjak semua polusi dari negara-negara dunia Utara seperti Inggris ini memang diimpor ke negara-negara dunia Selatan dengan upah murah dan sumber daya berlimpah, seperti Indonesia, Vietnam, Bangladesh, dan sebagainya. Di Indonesia, pabrik-pabrik dibangun dan perkebunan-perkebunan sawit didirikan sementara limpahan kekayaan atau surplus nilai yang dihasilkan mengalir ke kantong para kapitalis, termasuk di negara-negara Utara. Akibatnya, kerusakan lingkungan di mana-mana dan kemiskinan serta jurang ketimpangan pun semakin mendalam. 

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.

Meski demikian, di tengah suramnya kehidupan di kota yang tampak gemerlap ini, perjalanan belajar saya di bawah bimbingan dua feminis marxis dalam praksis telah membuat saya merasa merasa sangat berdaya dan bahagia. Pada saat yang sama, dua guru ini semakin meneguhkan keyakinan saya akan tiga hal. Pertama, dunia akademik sudah semestinya meninggalkan budaya patriarkis dan feodalisme dalam keseharian; kedua, didukung dan mendukung sesama perempuan yang bukan sebatas jargon itu mungkin diwujudkan; ketiga, iklim akademik yang baik adalah iklim akademik yang feminis. 

Ketiga hal ini membuat saya meyakini bahwa di tengah karut-marutnya dunia akademik secara global, kita dapat selalu menemukan harapan. Dosen-dosen yang tak kolot, maju, feminis, dan menunjukkan semua itu dalam praksis, di antaranya, adalah wujud dari harapan itu. Selain itu, memiliki kawan-kawan mahasiswa doktoral seperjuangan yang kritis, marxis, feminis pun merupakan hal berharga yang membuat kehidupan studi menjadi lebih indah untuk dijalani. Pengalaman-pengalaman yang menginspirasi ini pun tak lain hanya meneguhkan keyakinan saya bahwa solidaritas dan collective care dapat terus diupayakan dan diwujudkan. 

Dunia yang lebih baik itu selalu mungkin untuk diwujudkan dan harapan-harapan selalu dapat diciptakan dalam keseharian kita.


F. Fildzah Izzati, kandidat doktor di bidang development studies dari SOAS University of London

]]>
Merancang Pendidikan bagi Masyarakat Adat: Paradigma, Partisipasi, dan Otonomi https://indoprogress.com/2022/09/merancang-pendidikan-bagi-masyarakat-adat-paradigma-partisipasi-dan-otonomi/ Fri, 16 Sep 2022 06:16:21 +0000 https://indoprogress.com/?p=237025

Ilustrasi: Illustruth


“BU, KENAPA hutan masih saja habis padahal kami sudah sekolah?”

Pertanyaan anak-anak Orang Rimba kepada gurunya tersebut, seperti diceritakan Butet Manurung dalam buku Sokola Rimba (2015), kembali mengingatkan saya pada nasib pendidikan masyarakat adat. Pada tahun ajaran sekarang, sebagian besar sekolah di Indonesia akan melaksanakan kurikulum baru. Setidaknya kelas 1, 4, dan 7 akan mulai menggunakan Kurikulum Merdeka.

Lalu bagaimana dengan sekolah yang ada di wilayah masyarakat adat? Apakah juga akan menggunakan kurikulum tersebut begitu saja–seperti pada Kurikulum 2006 (KTSP) dan Kurikulum 2013 (K-13)–lengkap dengan buku pelajarannya, atau mandiri sesuai konteks bahasa, budaya, dan lingkungan, serta merespons kebutuhan atau permasalah yang sedang dihadapi?

Meskipun saat ini angka partisipasi sekolah di Indonesia sudah mencapai hampir 100 persen, namun masih banyak anak-anak SMP, khususnya di perdesaan, yang masih terbata atau belum bisa sama sekali membaca. “Kalau nilainya belum mencapai KKM, kami berikan remedial sampai nilainya mencukupi,” begitu umumnya jawaban guru ketika ditanya bagaimana mungkin anak yang belum lancar membaca bisa masuk SMP.

Saya juga banyak menemukan anak yang merasa minder dengan kampungnya; dengan identitas kulturalnya. Bahkan masyarakat umum di tempat saya bekerja, Sumba Barat dan Lombok Utara, juga kerap kali merasa lebih rendah dibandingkan orang Jawa yang dianggap lebih berpendidikan.

Situasi kian rumit karena diskusi tentang sekolah adat masih belum selesai di tingkat pusat, dalam hal ini Direktorat Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Ada kesan bahwa sekolah adat adalah entitas yang berbeda dan bahkan tidak setara dengan sekolah formal. Oleh karena itu, anak-anak dari masyarakat adat harus menghabiskan waktu belajar di dua tempat.

Apakah masyarakat adat memang harus duduk di dua sekolah untuk berpendidikan? Jika demikian, kapan mereka dapat mengaktualisasikan diri dalam kehidupan? Orang tua juga menjadi serba salah. Jika tidak menyekolahkan anak ke sekolah formal, mereka akan dianggap melanggar hak anak untuk memperoleh pendidikan.

Pertanyaan lain yang juga krusial: apakah sekolah formal saat ini sudah menjawab kebutuhan masyarakat adat?

Sebelum menjawab hal tersebut, tentu harus diperjelas terlebih dulu apa itu masyarakat adat. Menurut PBB, masyarakat adat adalah pewaris dan praktisi dari budaya dan cara-cara unik dalam hubungan antara masyarakat dan lingkungan. Orang-orang adat mempertahankan karakteristik sosial, budaya, ekonomi, dan politik yang berbeda dari masyarakat dominan di mana mereka tinggal.

Menurut World Bank (2022), meski jumlah masyarakat adat hanya 6 persen dari total populasi manusia saat ini, tetapi mereka tersebar di wilayah yang sangat luas luas, yaitu setara 25 persen teritori bumi. Mereka juga mengelola hingga 80 persen biodiversitas di seluruh dunia. Di Indonesia sendiri, mengutip Katadata, per 2020 lalu 57 juta dari 111,5 juta hektare hutan adalah wilayah masyarakat adat. Angkanya bisa jadi lebih karena faktanya masih banyak wilayah adat yang belum dipetakan.

Perubahan pada masyarakat adat, dengan demikian, akan mempengaruhi baik secara langsung atau tidak terhadap 25 persen wajah bumi, termasuk lebih dari setengah luasan hutan dan kekayaan biodiversitas Indonesia.

Dengan latar belakang tersebut, membicarakan pendidikan masyarakat adat semestinya menjadi sangat krusial bagi Indonesia.


Paradigma

Diskusi mengenai pendidikan masyarakat adat harus dimulai dari titik pijak yang tepat, yaitu cara pandang terhadap masyarakat adat itu sendiri–dengan berbagai aspek kehidupan mereka termasuk pengetahuan, keterampilan hidup, serta masalahnya.

Narasi pembangunan yang linear ala Walt Whitman Rostow (1959) memandang masyarakat adat yang hidup tradisional merupakan kelompok yang berada di urutan paling belakang dalam tahap pembangunan ekonomi. Pengetahuan mereka dianggap sebagai pengetahuan kuno, tertinggal, atau sekadar artefak masa lampau.

Mengikuti logika tersebut, maka masyarakat adat sudah seharusnya diseret untuk dapat maju; menjadi modern.

Pendidikan yang dirancang dengan cara pandang tersebut menjadi berbahaya karena bias urban, mendukung konsumsi massa yang tinggi, dan sangat industrialis. Apa yang dipelajari adalah subjek-subjek yang dianggap memiliki nilai ekonomi pada masyarakat industrialis berkonsumsi tinggi. Sistem pendidikan, sebagaimana industri, membutuhkan pabrikasi.

Dalam skema ini, pengetahuan adat yang tidak ada standar industrinya hanya akan menjadi dekorasi atau bersifat tambahan, tidak signifikan, apalagi wajib. Ini terlihat dari bagaimana sekolah adat lebih banyak bersifat informal atau sekadar tambahan seperti muatan lokal dengan jumlah waktu tidak sampai 20 persen dari total jam belajar di sekolah formal.

Dampak paling signifikan dari paradigma pendidikan seperti ini bagi anak-anak masyarakat adat adalah mereka harus menanggalkan atribut tradisinya–yang tidak sesuai standar pabrikasi tersebut–agar dapat disebut sebagai orang berpendidikan dan mampu masuk ke industri.

Sebaliknya, jika dilihat lewat narasi pembangunan berkelanjutan, cara hidup masyarakat adat yang penuh gotong royong, subsisten, menghasilkan emisi yang rendah, dan memanfaatkan alam secara berkelanjutan justru membuat kaum urban yang modern, individualis, dan mengonsumsi energi tinggi berada jauh di belakang. Pengetahuan masyarakat adat juga telah memberikan kontribusi yang sangat signifikan bagi kemajuan pengetahuan modern, terlebih dunia kesehatan dan ekologi. Sebut saja penggunaan kunyit sebagai obat pascaoperasi atau arsitektur tahan gempa dan tidak menggunakan unsur besi atau semen.

Bagi masyarakat adat, kesadaran menjaga lingkungan sudah jauh lebih dulu berkembang. Ketika orang-orang kota santai saja saat membuang limbah rumah dan pabrik ke sungai, Orang Rimba yang tinggal di Hutan Bukit Duabelas, Jambi, melarang anggotanya membuang hajat, sampah, juga menggunakan sabun di sungai. Mereka percaya bahwa sungai adalah jalur dewa sehingga harus dijaga kebersihannya.

Warisan terbesar dari proses belajar masyarakat adat selama ratusan tahun untuk warga dunia adalah budi daya tanaman pangan seperti padi-padian. Bahkan apa yang saat ini kita sebut superfood seperti madu, daun kelor, quinoa, dan masih banyak lagi sebagian besar adalah pola konsumsi tradisional yang sudah ratusan tahun dipraktikkan.

Lomawima (2015), seorang akademisi keturunan Indian (Muscogee), mengatakan bahwa pengetahuan adat seperti di atas terus berubah setiap generasi. Pengetahuan adat itu dinamis, selain juga tradisional, bukan statis atau tidak berubah. Pengetahuan adat juga beragam, unik, dan dirancang untuk menghadapi hal yang sangat fundamental, yaitu bertahan hidup.


Pendidikan yang Membebaskan

Meskipun pengetahuan masyarakat adat bersifat dinamis, adaptif, dan berkembang, bukan berarti pemiliknya tidak memiliki permasalahan. Salah satunya adalah tempat tinggal yang semakin panas. Kenaikan suhu bumi selama 50 tahun terakhir meningkat jauh lebih tajam dibanding ratusan tahun sebelumnya.

Ruang hidup masyarakat adat juga dipaksa menjadi semakin sempit. Para pemilik modal menggunakan cara-cara kolonial untuk memenuhi kebutuhan industri. Meskipun saat ini Indonesia telah merdeka, masyarakat adat masih sering mengalami perampasan lahan.

Lalu, seperti apa seharusnya pendidikan untuk masyarakat yang berpengetahuan, berdaya, dan memiliki kontribusi penting bagi kehidupan kita saat ini maupun masa depan namun sampai sekarang masih ditindas oleh banyak pihak?

Jika menggunakan cara pandang pembangunan berkelanjutan, pendidikan untuk masyarakat adat adalah pendidikan yang melihat mereka sebagai manusia yang merdeka, setara, memiliki pengetahuan, dan kemampuan. Oleh karena itu, mereka harus dapat ikut menentukan apa yang hendak dipelajari.

Sistem pendidikan ini tidak hanya kontekstual, melainkan juga partisipatif, kritis, dan otonom.  Selain itu, yang tidak kalah penting adalah pendidikan yang anti penindasan, bukan penundukan ke dalam sistem industri yang justru mendiskriminasi. Dalam hal ini, masyarakat adat harus diberikan kemampuan untuk melawan segala bentuk penindasan yang mengepung ruang hidup mereka.

Pendidikan untuk masyarakat adat, singkatnya, haruslah pendidikan yang membebaskan. Untuk itu kita harus membicarakan pemikiran Paulo Freire, tokoh penting dalam pendidikan kritis.

Freire menyatakan bahwa pendidikan yang sejati membutuhkan dialog. Tapi, dialog bukan sekadar dua orang atau lebih berkomunikasi dan berkompromi. Di dalamnya juga harus ada kesetaraan. Dalam pendidikan yang dialogis, guru, murid, dan masyarakat sekitar adalah subjek setara yang mendialogkan hal-hal yang konkret, eksistensial, dan merefleksikan aspirasi semua orang. Pengetahuan diproduksi bersama, dibicarakan, dan dikritisi untuk menjadi lebih baik dan bermanfaat bagi subjek, bukan hal yang di luar subyek itu sendiri.

Dengan pendidikan dialogis ini, masyarakat adat tidak lagi dianggap tidak berpengetahuan. Selain itu, pendidikan akan dapat bermanfaat untuk menjawab permasalahan yang sedang atau akan mengancam kehidupannya.

Pasal 8 Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional memang menyatakan bahwa masyarakat berhak berperan serta dalam perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, dan evaluasi program pendidikan. Peran mereka dibagi ke dalam beberapa kategori, yaitu individu, masyarakat sekitar termasuk orang tua murid dalam komite sekolah, dan masyarakat di tingkat kabupaten, provinsi, dan nasional dalam dewan pendidikan.

Dalam praktiknya, pelibatan masyarakat sekitar sekolah baru terbatas pada aspek manajemen, pendanaan, atau aspek non-kurikuler lain. Sedangkan dalam kurikulum, partisipasi komunitas melalui komite sekolah hanya sebatas pembentukan visi, misi, dan tujuan sekolah, tidak pada perencanaan, penerapanan, dan evaluasi.

Banyak orang tua dari masyarakat adat tidak terlibat dalam pendidikan anak-anaknya di sekolah. Bukan tidak mau, tetapi karena institusi pendidikannya itu sendiri berwatak eksklusif. Besar kemungkinan ini terbentuk dari cara pandang yang menganggap masyarakat adat sebagai masyarakat yang lemah dan tertinggal. Dalam hal ini saja, sekolah sudah melanggar prinsip kesetaraan dalam pendidikan yang dialogis.

Cara pandang seperti ini tidak selalu berawal dari sekolah, namun sering datang dari para pejabat instansi pendidikan setempat yang berada di kota-kabupaten. Diskusi-diskusi tentang kurikulum tidak pernah dilakukan di tengah masyarakat, melainkan hanya sampai di guru. Itu juga umumnya sudah berbentuk instruksi-instruksi yang tidak partisipatif. Karena itu sekolah juga tidak dapat disalahkan jika tidak melibatkan masyarakat di sekitar sekolah. Mereka hanya menjadi perpanjangan tangan pemerintah.

Alih-alih publik, pemerintah melalui Kemdikbud lebih percaya pada Programme for International Student Assessment (PISA), penilaian pendidikan yang dilakukan lembaga ekonomi antarpemerintah yang bergabung dalam The Organization for Economic Cooperation and Development (OECD). Pemerintah hendak mencetak anak sebagaimana yang dikehendaki PISA tanpa meleset sedikit pun.

Masalahnya adalah PISA tidak mampu mengukur kemahiran anak perempuan Kajang yang menenun tope le’leng dengan pewarna dari daun tarung, atau ketepatan anak-anak rimba memasang jerat sesuai dengan morfologi hewan buruan di hutan yang kompleks.

Selain itu, pendidikan yang terlalu berambisi mengejar PISA juga berdampak besar tapi tidak terlihat melalui angka, yaitu anak-anak masyarakat adat akan merasa semakin terpinggirkan dan rendah diri.

Minimnya partisipasi juga tercermin dari bahasa pengantar yang jauh berbeda dari konteks yang dipahami oleh masyarakat adat. Dalam praktiknya memang ada yang mendapatkan bahasa daerah sebagai muatan lokal, namun tidak sedikit yang terpaksa mempelajari bahasa daerah dari kultur yang lebih dominan. Misalnya SD di kawasan adat Kajang, Sulawesi Selatan. Para siswa mendapatkan muatan lokal bahasa Makassar, padahal bahasa masyarakat di sana adalah bahasa Konjo.

Sebenarnya Pasal 33 ayat 2 UU Sisdiknas menyatakan bahwa bahasa daerah dapat digunakan sebagai bahasa pengantar dalam tahap awal pendidikan. Dalam Bunga Rampai Pembelajaran Berbasis Bahasa Ibu di Kelas Awal (2021) yang diterbitkan oleh Pusat Penelitian Kebijakan Kemdikbud, pemerintah juga mengakui pentingnya membangun fondasi literasi melalui bahasa ibu. Hal ini juga telah diingatkan oleh UNESCO melalui dokumen kebijakan berjudul If You Don’t Understand How Can You Learn (2016).

Terputusnya penggunaan bahasa masyarakat setempat tentu patut dikritisi karena bahasa itu unik. Ia menyimpan kekayaan sosial dan ekologis masing-masing yang tidak dapat diwakili oleh bahasa lain dari mana pun. Banyak konteks kebudayaan dan pengetahuan tradisional yang tidak bisa diterjemahkan keluar dari bahasa di mana kebudayaan itu dipergunakan.

Kalender akademik yang digunakan di Indonesia saat ini juga belum berpihak pada anak-anak masyarakat adat. Kita mengikuti kalender akademik yang dipengaruhi kalender pertanian Barat. Kalender di sana disesuaikan dengan kebutuhan tenaga panen di musim panas. Karena itulah, kita mengenal libur musim panas. Tujuannya agar mereka dapat membantu orang tua di kebun.

Apa yang saya temukan di sini adalah kebalikannya. Justru orang tua yang meminta bantuan anak-anak di kebun saat panen akan dianggap mengabaikan hak pendidikan anak-anaknya. Padahal, keterlibatan anak dalam membantu orang tua adalah bagian dari banyak aspek pendidikan itu sendiri, mulai dari rasa tanggung jawab, gotong royong, belajar tentang alam, berhitung, dan masih banyak lagi.

Pengetahuan masyarakat adat saat ini lebih banyak dihadirkan secara ornamental sebagai muatan lokal seperti kerajinan tangan atau kesenian daerah. Hal ini membuat kebudayaan menjadi tidak visioner dan terkesan romantis. Padahal, melalui cara pandang pembangunan yang berkelanjutan, justru pengetahuan tradisional masyarakat adat-lah yang berada di garis depan.

Alih-alih melakukan refleksi kritis, setiap kali kabinet berganti, hadir pula kurikulum baru dengan jargon-jargon mutakhir di bidang pendidikan. Namun, sesungguhnya, tidak ada reformasi kurikulum yang signifikan, out of the box, dan tepat menyasar kebutuhan masyarakat adat. Semuanya cenderung mengikuti tren dan berorientasi ke Barat (eurosentris). Walaupun buku pelajaran dan metode berganti, tetapi jika paradigma dan visi masih sama, maka dampak di akar rumput juga tidak akan berubah: melemahkan, mendiskriminasi, dan mengalienasi.


Otonomi, Menghargai Kebinekaan

Konstruksi pengetahuan yang dimiliki masyarakat adat berbeda dengan Barat. Jika pengetahuan Barat sangat materialis, maka pengetahuan tradisional sangat spiritualis. Pengetahuan tradisional juga tidak memisahkan antara alam dengan budaya, semuanya kompleks dan terintegrasi menjadi satu. Misalnya saja pengetahuan tentang sungai pada orang rimba. Hal itu termasuk aspek perlindungan alam, hubungan sesama manusia, dan kepercayaan terhadap keberadaan dewa-dewa.

Sistem transmisi pengetahuan masyarakat adat pun tidak berbasiskan tulisan sehingga dapat dilakukan sendiri dengan membaca. Bagi masyarakat adat, pendidikan adalah pembelajaran dalam hidup. Oleh karena itu, proses pembelajaran umumnya berbasiskan pengalaman atau ‘learning by doing’, termasuk di dalamnya proses pengamatan, tindakan, sekaligus interaksi dengan alam secara langsung atau dengan orang dewasa seperti mendengarkan dongeng, cerita, mitos, metafora, atau lagu-lagu.

Pengetahuan pun terbagi menurut peran individu di dalam komunitasnya. Perempuan dan laki-laki menyimpan pengetahuan yang berbeda, demikian juga anak-anak. Dan, kembali lagi, setiap peran di komunitas adat tidak seragam.

Struktur pengetahuan masyarakat adat yang demikian kompleks tidak dapat masuk ke dalam templat persekolahan yang mengotak-ngotakkan pengetahuan. Di sekolah formal, misalnya, mata pelajaran agama berdiri sendiri di luar pelajaran seperti IPA dan IPS. Dalam pengetahuan adat semuanya berikatan. Aspek material tidak terpisahkan dari aspek spiritual, begitu pula antara aspek sosial dan alam.

Oleh karena itu, selain partisipatif dan kritis, memberikan otonomi pada masyarakat adat baik di sekolah formal maupun sekolah adat adalah kunci dari pendidikan yang membebaskan.

Masyarakat adat berhak menentukan proses dan arah pendidikannya. Ini tertuang dalam Pasal 14 Deklarasi PBB tentang Hak-hak Masyarakat Adat (UNDRIP). Bahkan disebutkan bahwa negara-negara harus mengambil langkah-langkah efektif agar masyarakat adat, khususnya anak-anak, memiliki akses, bila mungkin, ke pendidikan dalam budaya dan dengan bahasa mereka sendiri. Pun Pasal 30 Konvensi Hak Anak menyebutkan bahwa anak-anak masyarakat adat tidak boleh diingkari haknya untuk menikmati budayanya sendiri, menganut dan mengamalkan agamanya, atau menggunakan bahasanya.

Pertanyaannya: maukah kita membuat “mungkin” itu terwujud?

Jika kita membangun sekolah adat dengan standar yang sama untuk semua tempat alias templat, atau menyederhanakan dan mengintegrasikan sistem yang kompleks agar dapat diterima oleh sistem pendidikan yang seragam, maka kita akan banyak sekali kehilangan dan sepertinya justru pelan-pelan menundukkan masyarakat adat, bukan mendukungnya untuk berdaya.

Di tingkat nasional, mungkin masih sulitnya menjalankan pendidikan yang dialogis dan otonom bagi masyarakat adat disebabkan karena pemerintah masih enggan mengubah paradigma pendidikan. Masalahnya waktu semakin mendesak. Dampak ekologis karena pendidikan yang bias urban, mendukung konsumsi massa yang tinggi, dan sangat industrialis tidak hanya akan dirasakan masyarakat adat, melainkan kita semua.***


Fadilla M. Apristawijaya, aktivis pendidikan sekaligus spesialis kurikulum pada Sokola Institute (sokola.org)


]]>