Neoliberalisme – IndoPROGRESS https://indoprogress.com Media Pemikiran Progresif Mon, 17 Mar 2025 18:59:50 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.4.3 https://indoprogress.com/wp-content/uploads/2021/08/cropped-logo-ip-favicon-32x32.png Neoliberalisme – IndoPROGRESS https://indoprogress.com 32 32 Intan Suwandi: Neoliberalisme, Seperti Bentuk-bentuk Kapitalisme Lainnya, Bersifat Imperialistik https://indoprogress.com/2025/03/intan-suwandi-neoliberalisme/ Mon, 17 Mar 2025 09:19:41 +0000 https://indoprogress.com/?p=238846

Ilustrasi: @illinoisstateu


SETELAH cukup lama hanya menjadi bahan studi segelintir akademisi, topik imperialisme kini kembali menjadi perbincangan luas dan mendalam, baik di lingkungan akademia, media massa/sosial, dan kalangan aktivis. Perkembangan pesat ekonomi Cina, krisis kapitalisme yang dipicu oleh krisis finansial pada 2008, struktur pembagian kerja internasional yang semakin timpang, kebangkitan kembali gerakan kanan-jauh, dan serangan Pandemi Covid-19 yang mematikan, serta perlawanan-perlawanan yang terjadi di Utara (Global North) maupun Selatan (Global South), menjadi alasan mengapa studi dan perbincangan tentang imperialisme dan neoliberalisme kembali bergairah.

Dalam semangat itulah Candaş Ayan dan Ulaş Taştekin berbincang dengan Intan Suwandi, asisten profesor sosiologi di Illinois State University, Amerika Serikat, dan penulis buku Value Chains: The New Economic Imperialism (Monthly Review Press, 2019).


Candaş Ayan & Ulaş Taştekin (CA & UT): Dalam bukunya yang berjudul Imperialism: From the Colonial Age to the Present yang ditulis pada 1978, Harry Magdoff, berdasarkan teori imperialisme Lenin, membuat perbedaan antara imperialisme lama (old imperialism) dan imperialisme baru (new imperialism). Magdoff berpendapat bahwa imperialisme lama, yang mengindikasikan proses penciptaan dan perampasan tenaga kerja secara langsung di daerah jajahan, telah digantikan oleh imperialisme baru, yang bergantung pada diferensiasi barang dan jasa yang dihasilkan di negara-negara inti (core) dan pinggiran (periphery) dengan menciptakan pembagian kerja internasional, sehingga menghasilkan “nilai lebih” (surplus value) atau “nilai tambah” (value-added) di negara-negara inti.

Sejalan dengan pandangan Magdoff, Anda juga menekankan bahwa nilai lebih ekonomi yang signifikan yang diciptakan di Selatan dimasukkan sebagai “nilai tambah” pada PDB Utara; namun hal ini seharusnya dipahami sebagai “nilai yang dirampas” melalui imperialisme akhir (late imperialism) itu sendiri. Mempertimbangkan bahwa sudah empat dekade berlalu dan banyak perubahan yang terjadi terkait kedua definisi tersebut, hubungan berkelanjutan apa yang bisa diklaim antara bentuk baru imperialisme saat ini dan bentuk lamanya? Dapatkah dikatakan bahwa hubungan imperialis seperti pembagian kerja global, triadisasi, trinitas yang tidak suci, yang termasuk dalam definisi imperialisme abad ke-20, telah berevolusi ke dalam bentuk yang berbeda?

Intan Suwandi (IS): Harry Magdoff melihat imperialisme sebagai sesuatu yang terus berkembang sepanjang sejarah dan berakar pada logika kapitalisme. Dalam Imperialism: From the Colonial Age to the Present, ia dengan cermat dan cemerlang menjelaskan bagaimana karakteristik imperialisme berubah dalam kaitannya dengan hubungan kolonial antara negara-negara inti dan pinggiran. Penekanan pada pembagian kerja internasional terutama digunakan untuk menjelaskan karakteristik ekspansi Eropa setelah kebangkitan industri pasca-Revolusi Industri tahun 1870-an. Pada masa itu, koloni-koloni berfungsi terutama sebagai pemasok bahan mentah untuk industri yang sedang berkembang pesat di Eropa Barat, serta sebagai sumber bahan makanan yang dibutuhkan untuk populasi perkotaan yang terus berkembang yang terkait dengan industri-industri ini. Selain itu, koloni-koloni ini juga berfungsi sebagai pasar baru untuk komoditas yang diproduksi di Eropa. Bahkan setelah dekolonisasi, negara-negara inti (atau pusat-pusat metropolitan) tetap berusaha mempertahankan hubungan imperialis dengan daerah pinggiran untuk mengendalikan pasokan bahan baku dan semua peluang perdagangan dan investasi, baik melalui cara-cara langsung maupun tidak langsung—sebuah aspek penting dari ketergantungan. Magdoff juga menyoroti kapitalisme monopoli dan kebangkitan perusahaan-perusahaan raksasa (multinasional) pada tahun 1960-an sebagai komponen penting dari karakteristik imperialisme yang terus berkembang.

Banyak proses yang serupa masih dapat ditemukan hingga saat ini. Contoh yang jelas adalah kasus imperialisme AS baru-baru ini di Amerika Latin, seperti yang terjadi di Bolivia. Perdagangan internasional dan lembaga-lembaga keuangan seperti IMF, Bank Dunia, dan WTO, yang sebagian besar dikendalikan oleh Utara, terus memainkan peran penting dalam melanggengkan hubungan imperialis antara Selatan dan Utara.

Sebagai ilustrasi, kebijakan penyesuaian struktural (structural adjustment policies) yang terkenal kejam masih diterapkan dan terus melanggengkan penghisapan utang bagi negara-negara Selatan, meskipun namanya telah diubah menjadi program “pengentasan kemiskinan/poverty reduction).” Program-program ini, antara lain, memaksa negara-negara untuk memprivatisasi sektor publik dan menerapkan langkah-langkah penghematan. Mereka dipaksa untuk memotong anggaran di sektor-sektor penting seperti kesehatan dan pendidikan sehingga mereka dapat mengalihkan anggaran tersebut untuk pembayaran utang. Akibat dari kebijakan semacam ini, populasi yang paling rentan menjadi yang paling menderita. Sumber daya dasar, seperti air bersih dan layanan kesehatan, semakin tidak terjangkau oleh masyarakat miskin. Ketika akses terhadap barang dan jasa publik diserahkan kepada mekanisme pasar, maka ketimpangan sosial dan ekonomi akan semakin meningkat.

Lebih lanjut, ketika situasi seperti pandemi Covid-19 terjadi, Anda dapat melihat di mana letak prioritas dari lembaga-lembaga tersebut. Dalam sambutannya pada pertemuan virtual para menteri keuangan G20 pada bulan Maret 2020, Presiden Grup Bank Dunia, David Malpass, menekankan bahwa negara-negara, dalam upaya mereka untuk pulih dari dampak pandemi, perlu “mendukung sektor swasta dan melawan gangguan pasar keuangan.” Ia juga menekankan pentingnya “reformasi struktural.” Menurutnya, Bank Dunia akan bekerja sama dengan negara-negara yang “memiliki peraturan, subsidi, rezim perizinan, proteksi perdagangan yang berlebihan,” untuk memastikan bahwa mereka dapat “menumbuhkan pasar, pilihan, dan prospek pertumbuhan yang lebih cepat selama masa pemulihan.” Tentu saja, hal ini tidak ada hubungannya dengan penanganan pandemi. Apa yang dikemukakannya itu semuanya berkaitan dengan perluasan jangkauan globalisasi neoliberal, yang terutama menguntungkan negara-negara kaya, dan merugikan negara-negara miskin.

Namun, sejalan dengan pendekatan yang diusung oleh Magdoff, kita perlu mengakui bagaimana imperialisme telah berevolusi selama empat puluh tahun terakhir, dengan perubahan dalam ekonomi global yang sebagian dipengaruhi oleh perkembangan teknologi, terutama teknologi informasi. Perubahan-perubahan ini, termasuk pola-pola yang terkait dengan produksi global, seperti peningkatan arus investasi asing langsung ke Selatan dan, baru-baru ini, peningkatan kontrak-kontrak yang tidak terikat. Dalam konteks ini, perusahaan-perusahaan multinasional yang bermarkas di Utara (kebanyakan masih dalam Triad, dengan beberapa pengecualian di “negara-negara industri maju” di Asia Timur) terlibat dalam produksi yang dialihdayakan ke pemasok luar negeri, dan finansialisasi. Rantai komoditas global (global commodity chains) kini menjadi lebih kompleks, dengan setiap perusahaan multinasional memiliki ribuan, bahkan jutaan, pemasok di seluruh dunia. Dengan sebagian besar proses produksi terjadi di Selatan, menjadikan Selatan sebagai rumah bagi populasi tenaga kerja industri dunia yang besar dan terus bertambah.

Dengan perkembangan tersebut, pembagian kerja global telah mengalami perubahan signifikan. Sebelumnya, wilayah Selatan berfungsi sebagai pemasok bahan mentah, terutama dalam sektor industri ekstraktif atau pertanian, sementara area utama produksi bernilai tambah dan lapangan kerja yang terkait dengan manufaktur berada di wilayah Utara. Saat ini, meskipun beberapa pola pembagian kerja tradisional ini masih ada—terutama dalam konteks produk produk pertanian yang hanya dapat tumbuh di daerah beriklim sedang, seperti yang ditunjukkan oleh Utsa Patnaik dan Prabhat Patnaik dalam buku mereka A Theory of Imperialism—peran Selatan dalam lapangan kerja industri telah meningkat secara drastis.

Saat ini kita memiliki perusahaan-perusahaan yang berlokasi di Utara seperti Apple atau Nike, yang produknya, termasuk komponen-komponen perantaranya, seluruhnya atau hampir seluruhnya diproduksi di Selatan. Bahkan perusahaan-perusahaan yang secara tradisional beroperasi melalui anak perusahaan mereka sendiri untuk produksi di luar negeri, seperti Volkswagen atau General Motors, kini telah mengalihdayakan produksi mereka melalui kontrak jarak jauh (arm’s length contracts), yang melibatkan jaringan produksi yang luas di banyak negara.

Di sinilah muncul konsep atau ide tentang “menangkap atau mengamankan nilai/capturing value”. Pemahaman neoklasik mengenai “nilai tambah”, yang mengaitkan “nilai tambah” (yaitu nilai surplus yang dihasilkan dalam produksi) dengan perusahaan-perusahaan di pusat ekonomi dunia, meskipun lapangan kerja dan produksi berlangsung di negara-negara Selatan, mencerminkan kontradiksi mendasar dari imperialisme akhir. Argumen mengenai penangkapan nilai ini telah diajukan sebelumnya oleh ekonom politik marxis John Smith, dalam bukunya Imperialism in the Twenty-First Century, dan juga dikaji dalam karya saya sendiri. Saat ini, produksi sebagian besar terjadi di Selatan, di mana tingkat eksploitasi lebih tinggi karena biaya tenaga kerja per unit yang rendah—ukuran yang memperhitungkan upah dan produktivitas tenaga kerja—di banyak negara di Selatan yang telah menjadi pusat produksi, terutama dalam hal perakitan. Nilai tenaga kerja yang dihasilkan oleh produksi “ditangkap” dan tidak terdaftar sebagai berasal dari Selatan, akibat asimetri dalam hubungan kekuasaan, di mana perusahaan-perusahaan multinasional oligopoli berperan sebagai saluran utama.

Intinya adalah, meskipun terjadi perubahan signifikan, kita harus ingat bahwa imperialisme telah menyertai perkembangan kapitalisme sejak awal. Ketika kita berbicara tentang imperialisme kapitalis—sebuah sistem ekonomi dunia yang hirarkis dan tidak setara, yang didominasi oleh oligopoli raksasa dan segelintir negara di inti imperialisme—imperialisme ini memiliki karakteristiknya sendiri. Seperti yang dijelaskan Magdoff, berbeda dengan moda produksi sebelumnya, seperti pada zaman kuno, di mana imperialisme adalah tentang ekspansi ke wilayah geografis lain dan penarikan upeti, imperialisme kapitalis dicirikan oleh proses di mana wilayah yang didominasi, yaitu Selatan, diubah, diadaptasi, dan dimanipulasi untuk memenuhi kebutuhan akumulasi kapital di pusat. 

Seperti yang saya jelaskan dalam buku Values Chains, meskipun hubungan pasar secara keseluruhan di negara berkembang juga mengalami transformasi, perubahan di tingkat perusahaan sering kali terjadi tanpa hubungan organik yang nyata, atau logika yang berasal dari negara berkembang, dan dapat dengan mudah dibongkar dan dihilangkan. Hal ini, kemudian, menciptakan ilusi pembangunan dan produksi yang maju di negara-negara ini, yang tetap berada dalam kondisi ketergantungan. Dengan produksi jarak jauh (arm’s length production), bahkan lebih dari investasi asing langsung tradisional, apa yang diproduksi hanyalah bagian dari mata rantai nilai global, di mana titik-titik produksi tertentu ditentukan dan dikendalikan secara digital dari luar negeri. Seluruh sistem produksi dirancang untuk menjadi sangat mobile dan dapat dengan cepat dipindahkan ke tempat lain jika biaya tenaga kerja meningkat secara signifikan. Hal ini secara garis besar menjelaskan karakteristik imperialis dari ekonomi dunia saat ini.


CA & UT: Internasionalisasi kapital bukanlah sebuah fenomena baru. Namun, seperti yang juga Anda kemukakan, gelombang baru globalisasi yang dimulai pada tahun 1970-an mungkin memiliki karakteristik yang berbeda. Apa saja aspek-aspek yang membedakan ini, atau bagaimana kita dapat membandingkan dan membedakan apa yang disebut sebagai periode neoliberal dengan masa lalu kapitalisme imperialis?

IS: Saya merasa telah menjawab sebagian besar pertanyaan yang diajukan sebelumnya di atas. Namun, perlu ditambahkan di sini bahwa produksi global yang saya bahas, yang dimulai pada tahun 1970-an di tengah stagnasi ekonomi, kemudian diiringi dengan runtuhnya Uni Soviet. Hal ini juga melibatkan integrasi tenaga kerja dari negara-negara bekas sosialis seperti Cina dan negara-negara yang sebelumnya proteksionis seperti India ke dalam ekonomi dunia. Proses ini menghasilkan perluasan tenaga kerja global dan tentara cadangannya di Selatan. Selain itu, seperti yang dikatakan oleh Farshad Araghi, de-petani-sasi (depeasantization) yang dipicu oleh penyebaran agribisnis yang masif di Selatan, sebagian dilakukan untuk membongkar “negara kesejahteraan agraria” yang berfungsi dalam 25 tahun pertama setelah Perang Dunia Kedua, sebagai upaya untuk melawan penyebaran gerakan sosialis dan nasionalis yang berbasis petani. Struktur baru ekonomi dunia ini kemudian mengarah pada fenomena yang dikenal dalam literatur bisnis sebagai arbitrase tenaga kerja global (global labour arbitrage), yang berarti menggantikan tenaga kerja berupah tinggi dengan tenaga kerja berupah rendah secara global.

Kapital melihat ini sebagai “taktik bertahan hidup yang mendesak (urgent survival tactic)” bagi perusahaan, di mana mereka berusaha menurunkan biaya produksi, sebagian untuk mengatasi ketidakmampuannya dalam melakukan pemotongan harga akibat kapitalisme monopoli. Namun pada intinya, ini adalah cara bagi kapital untuk mengejar keuntungan yang lebih tinggi. Fakta bahwa kapital dapat bergerak relatif lebih bebas dibandingkan dengan tenaga kerja (yang sebagian besar masih dibatasi oleh berbagai kebijakan, seperti kebijakan imigrasi) memungkinkan kapital untuk mengambil keuntungan dari perbedaan besar dalam biaya tenaga kerja secara global melalui proses, yang saya sebutkan sebelumnya, seperti investasi asing langsung dan kontrak jarak jauh.

Fenomena ini sebenarnya berakar pada ketimpangan hubungan kekuasaan antara kapital dan tenaga kerja serta di antara negara-bangsa yang sering kali tersembunyi. Teori-teori arus utama tentang rantai komoditas global justru menyoroti kompleksitas rantai tersebut untuk mendorong argumen desentralisasi kekuasaan. Para ahli teori dan akademisi ini berargumen bahwa karena rantai komoditas global melibatkan banyak pelaku di berbagai negara, kekuasaan tidak lagi terkonsentrasi di puncak dan rantai tersebut, sebagian besar, tidak bersifat hierarkis. Perusahaan-perusahaan yang kurang kuat di negara-negara berkembang dapat mengalami “peningkatan” dan memperbaiki posisi mereka, yang pada gilirannya dapat mendorong pertumbuhan di negara-negara tersebut.

Gagasan tentang desentralisasi kekuasaan ini sering kali memperhitungkan jaringan yang lebih “digerakkan oleh pembeli”, yang dicirikan oleh kontrak-kontrak yang telah menjadi aspek penting dalam rantai komoditas global. Antara tahun 2010 hingga 2014, menurut Bank Dunia, tingkat pertumbuhan perdagangan jarak jauh (the growth rate of arm’s length trading) tumbuh pada tingkat 6,6%, lebih tinggi dibandingkan dengan pertumbuhan ekonomi global yang sebesar (4,4%). Selain itu, laporan UNCTAD mengungkapkan bahwa pada tahun 2010 saja, perdagangan jarak jauh menghasilkan penjualan sebesar US$2 triliun.

Namun, kita perlu mempertanyakan argumen ini. Apakah benar bahwa jaringan produksi yang tersebar benar-benar mengarah pada desentralisasi kekuasaan? Ini adalah salah satu pertanyaan yang saya ajukan dalam penelitian saya sendiri. Sebagai langkah awal, pendekatan kritis dan radikal sebelumnya, seperti yang dilakukan oleh ekonom Stephen Hymer, menunjukkan bahwa “perusahaan-perusahaan utama” dalam rantai komoditas global (dalam banyak kasus, ini berarti perusahaan multinasional) mengelola jaringan antar-perusahaan tersebut dalam struktur tata kelola yang berbeda-beda. Jauh dari mencerminkan desentralisasi kontrol atas produksi (dan valorisasi) seperti yang sering diasumsikan, jaringan “tersebar” yang terkait dengan moda produksi non-ekuitas baru pada akhirnya diatur oleh kantor pusat keuangan yang terpusat dari perusahaan-perusahaan raksasa yang mereka layani, yang mempertahankan monopoli atas teknologi informasi dan pasar serta mendapatkan porsi yang lebih besar dari nilai tambah.

Studi kasus yang saya lakukan juga menunjukkan bahwa meskipun melalui kontrak jarak jauh, perusahaan multinasional masih dapat mengendalikan sebagian besar aktivitas dalam rantai pasok mereka, baik secara langsung melalui anak perusahaan mereka yang berada di negara yang sama dengan pemasok, maupun secara tidak langsung melalui berbagai prosedur birokrasi dan proses-proses yang terlibat dalam apa yang dikenal dengan “produksi fleksibel”. Intinya, perusahaan multinasional berusaha untuk mengeksternalisasi biaya dengan, misalnya, memberikan tanggung jawab kepada pemasok mereka untuk menangani skenario berisiko, seperti ketidakakuratan perkiraan yang disebabkan oleh fluktuasi permintaan pasar dan pengelolaan limbah.

Kembali ke pertanyaan sebelumnya, rantai komoditas global di masa neoliberal ini sering dipandang sebagai semacam sistem meritokrasi yang terlepas dari hubungan imperialis karena kompleksitasnya. Namun, setelah ditelaah lebih lanjut, pandangan ini tidaklah benar. Melalui rantai komoditas global saat ini dan cara kerja ekonomi dunia, kapital Utara yang mewujud dalam perusahaan-perusahaan multinasional, bersama dengan aparatus negara dan antek-anteknya seperti Tritunggal Mahakudus, memiliki kekuatan untuk merestrukturisasi ekonomi di negara-negara Selatan demi memenuhi kebutuhan kekuatan imperialis inti. Seperti yang dijelaskan oleh Jason Hickel, jika negara-negara di Selatan berani melawan, mereka tahu bahwa konsekuensinya bisa fatal; mereka harus siap menghadapi berbagai kemungkinan, mulai dari sanksi ekonomi hingga intervensi militer.


CA & UT: Dalam literatur saat ini, hegemoni konsep neoliberalisme begitu kuat sehingga digunakan untuk mendefinisikan kapitalisme kontemporer itu sendiri. Dalam hal ini, apakah menurut Anda konseptualisasi neoliberalisme atau globalisasi neoliberal telah berubah menjadi sarana untuk menggantikan konsep imperialisme? Ketika Anda melihat diskusi-diskusi tersebut dari sudut pandang Anda sendiri, menurut Anda, hubungan seperti apa yang ada antara neoliberalisme dan imperialisme? Apakah mungkin untuk mengklaim bahwa ada dikotomi atau timbal balik antara neoliberalisme dan imperialisme?

IS: Jika seseorang mengasosiasikan globalisasi neoliberal dengan “dunia yang datar/flat world” ala Thomas Friedman atau dengan bidang meritokrasi di mana kekuasaan terdesentralisasi dan perusahaan serta negara dapat “memanjat tangga” untuk menjadi lebih baik, maka menurut saya hal tersebut bermasalah. John Bellamy Foster menjelaskan bahwa globalisasi produksi yang terjadi dalam imperialisme akhir telah menghasilkan kapitalisme monopoli yang digeneralisasikan, seperti yang diteorikan oleh para pemikir marxis seperti Magdoff, Paul Baran, Paul Sweezy, dan Samir Amin. Dengan mempertimbangkan aspek-aspek ini, jelas bahwa neoliberalisme, seperti bentuk-bentuk kapitalisme lainnya, bersifat imperialistik. Hal yang sama juga berlaku untuk globalisasi neoliberal. Terlepas dari karakteristiknya yang berubah, tujuan globalisasi tetap sama, seperti yang ditulis oleh Amin: untuk mengontrol perluasan pasar, menjarah sumber daya alam, dan mengeksploitasi cadangan tenaga kerja di wilayah pinggiran.


CA & UT: Selama empat dekade terakhir, telah terjadi perubahan besar dalam distribusi spasial produksi dan pembagian kerja global. Setelah krisis pada tahun 1970-an, sebagian besar negara pinggiran, yang sebelumnya menerapkan model industrialisasi substitusi impor (ISI) yang berorientasi ke dalam, mulai beralih ke strategi yang lebih terbuka dan terintegrasi ke dalam sistem kapitalisme global, yang menekankan pada pertumbuhan yang dipimpin oleh ekspor (export-led growth). Akibatnya, bagian-bagian konstituen dari ekonomi dunia mulai berintegrasi dengan pasar internasional. Ada keyakinan bahwa ekonomi semi-periferal dan periferal akan berkembang dan menyatu dengan ekonomi inti dalam hal kemakmuran dan tingkat industrialisasi.

Para pendukung posisi ini selalu mendukung rantai produksi dengan alasan bahwa hal ini membawa investasi asing dan peningkatan industri di daerah pinggiran, bersama dengan penciptaan lapangan kerja baru, peningkatan produktivitas, dan pengentasan kemiskinan. Namun, kenyataan tidak selalu sesuai dengan harapan tersebut. Dari sudut pandang penelitian Anda, bagaimana kita dapat menilai perbedaan antara harapan dan kenyataan ini?

IS: Seperti yang telah saya sebutkan di atas, kenyataannya tidak sejalan dengan argumen-argumen arus utama yang sering diajukan. Pertama-tama, tidak mungkin untuk mengevaluasi organisasi rantai komoditas global saat ini tanpa memperhitungkan sejarah panjang kolonialisme dan imperialisme, di mana kekuatan-kekuatan imperialis menjadi kaya dan berkuasa melalui eksploitasi dan penjarahan yang dilakukan terhadap daerah jajahan selama berabad-abad. Proses yang, pada dasarnya, membuat negara-negara Selatan terbelakang. Mengklaim bahwa negara-negara di Selatan dapat mengejar ketertinggalan mereka melalui, misalnya, peningkatan industri, tampaknya mengabaikan fakta tersebut.

Lebih jauh lagi, seperti yang ditulis Magdoff, meskipun tanpa koloni formal, hubungan imperialis tetap berlangsung, melanggengkan ketergantungan dan memungkinkan kekuatan imperialis untuk kembali mengendalikan bekas koloninya. Investasi asing langsung (foreign direct investment/FDI)—yang menjadi signifikan terutama setelah Perang Dunia Kedua—berfungsi sebagai sarana bagi kekuatan imperialis untuk menembus pasar luar negeri dan memungkinkan kapital mereka bersaing secara langsung di pasar-pasar ini, bukan hanya melalui ekspor. Di era produksi global, baik FDI maupun kontrak-kontrak jarak jauh adalah sarana bagi kapital untuk meningkatkan margin keuntungan melalui berbagai mekanisme, termasuk eksploitasi tenaga kerja, pemanfaatan zona-zona pemrosesan ekspor serta berbagai keuntungan yang terkait dan penjarahan sumber daya alam. Bagi negara-negara Selatan, menjadi “kompetitif” dalam menarik investasi asing berarti mereka harus mampu menawarkan upah rendah dan tenaga kerja yang “patuh”, “stabilitas politik” (yang berarti minimnya protes dan demonstrasi), pengecualian pajak, peraturan lingkungan yang longgar, dan masih banyak lagi.

Beberapa kelompok, seperti borjuasi nasional dan oligarki politik, akan diuntungkan dari situasi ini, tetapi kelas pekerja, termasuk pekerja industri dan informal, petani dan produsen kecil, serta kaum miskin kota, tidak mungkin merasakan manfaat yang berarti bahkan mungkin akan semakin menderita akibat tenaga kerja mereka dieksploitasi dan tanah mereka dirampas. Jadi, meskipun ekonomi mungkin tumbuh dengan cepat di beberapa negara di Selatan karena integrasi mereka ke dalam ekonomi kapitalis global—faktanya, untuk sebagian besar negara BRIICS (Brasil, Rusia, India, Indonesia, Cina, dan Afrika Selatan), pertumbuhan ekonomi selama satu dekade terakhir ternyata jauh lebih lambat dari yang diperkirakan secara optimis—pertumbuhan tersebut hanya mungkin terjadi dengan merugikan dan menciptakan kesengsaraan bagi sebagian besar penduduknya.

Arbitrase tenaga kerja global sendiri merupakan bentuk pertukaran yang tidak setara, di mana perusahaan multinasional pada dasarnya memperoleh lebih banyak tenaga kerja dengan harga yang lebih murah dan meraup keuntungan besar dari tenaga kerja berbiaya rendah di negara-negara Selatan. Sementara itu kelebihan surplus yang dihasilkan sering kali secara keliru dikaitkan dengan aktivitas ekonomi yang “inovatif”, finansial, dan ekstraktif nilai yang terjadi di negara Utara. Arbitrase tenaga kerja global adalah upaya untuk melakukan valorisasi, yaitu strategi untuk mengurangi biaya tenaga kerja yang diperlukan secara sosial dan memaksimalkan perolehan nilai lebih. Strategi ini mengeruk lebih banyak dari para pekerja melalui berbagai cara, termasuk lingkungan kerja yang represif di pabrik-pabrik di ekonomi pinggiran, pelarangan serikat pekerja yang dilakukan oleh negara, dan sistem kuota atau kerja borongan.

Inilah strategi “pengurasan” yang terjadi dari Selatan ke Utara, di mana surplus ekonomi disedot keluar tanpa memberikan keuntungan yang diharapkan; dan tenaga kerja adalah bagian dari kisah pertukaran yang tidak setara, bersama dengan aspek-aspek lain seperti energi, tanah, dan bahan baku. Jadi, sekali lagi, meskipun ada kisah sukses beberapa negara industri (“negara berkembang”) di Asia Timur, sebagian besar populasi Selatan tidak mendapatkan manfaat dari industrialisasi yang lahir dari integrasi negara mereka ke dalam ekonomi dunia. Kita tidak melihat industrialisasi yang berdaulat dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan rakyat, melainkan bentuk pembangunan yang bergantung yang dirancang untuk memenuhi kebutuhan kapital yang terlibat dalam akumulasi tanpa henti demi kemakmuran segelintir orang.


CA & UT: Khususnya setelah krisis 2008, metafora neo-feodalisme mulai digunakan untuk menggambarkan bentuk baru yang telah ditransformasikan oleh neoliberalisme dan, oleh karena itu, sistem kapitalisme. Dalam konseptualisasi ini, terungkap bahwa, seperti yang diuraikan dalam pertanyaan sebelumnya, posisi negara-bangsa dalam sistem kapitalis telah berangsur-angsur melemah, bahkan dalam perannya sebagai mediator dalam proses perampasan nilai lebih. Perusahaan-perusahaan multinasional telah mengeliminasi peran negara-bangsa dengan membangun rantai pasok mereka sendiri dan mulai berproduksi di lahan-lahan yang telah mereka beli di negara-negara pinggiran. Fakta bahwa perusahaan-perusahaan multinasional yang memiliki kemungkinan kontrol seperti itu di negara-negara Selatan, kini memiliki kekuatan untuk menentukan upah di wilayah-wilayah ini telah membuka pintu bagi klaim bahwa sistem ini telah berevolusi menjadi jenis feodalisme baru. Ini adalah situasi yang Anda dan Foster klaim sebagai perampasan nilai-lebih yang dilakukan oleh perusahaan multinasional dengan cara yang tidak terkendali di tanah-tanah yang telah dibeli.

Terdapat juga contoh di mana perusahaan-perusahaan semacam itu mempekerjakan polisi mereka sendiri dan memperoleh perangkat pemaksaan ekstra-ekonomi (seperti yang dilakukan perusahaan Renaissance Construction di Rusia, yang mencegah pekerja konstruksinya melakukan pemogokan dengan bantuan AMON/SORB), sehingga menambah dimensi baru dalam perdebatan tentang neo-feodalisme. Di sisi lain, posisi ini juga mengaitkan peran penting pada munculnya kedaulatan yang terfragmentasi, dan tuan-tuan dan petani-petani baru dalam memahami dunia saat ini. Anda memiliki pertimbangan tertentu mengenai hubungan antara desentralisasi proses produksi dan sentralisasi kekuasaan? Dalam konteks ini, bisakah Anda mengevaluasi perdebatan tentang neo-feodalisme dan hubungan perdebatan ini dengan imperialisme era neoliberal dari kerangka kerja yang Anda lihat?

IS: Apakah yang Anda maksud dengan pertanyaan ini adalah bahwa korporasi modern, seperti layaknya penguasa feodal, bertindak secara independen tanpa memperhatikan struktur negara? Saya tidak terlalu familier dengan perdebatan tentang neo-feodalisme, jadi saya tidak akan membahasnya lebih jauh di sini. Namun, saya pikir ada perbedaan mendasar antara feodalisme yang dipahami secara umum dan sistem sosial produksi kapitalisme. Saya tidak setuju jika dikatakan bahwa perusahaan multinasional modern bertindak seperti penguasa feodal. Dalam masyarakat feodal, kekuatan ekonomi dan politik tidak dipisahkan, melainkan terwujud dalam diri penguasa atau raja ketika ada struktur negara.

Dalam kapitalisme saat ini, lebih tepat jika dikatakan bahwa kekuatan korporasi telah menyusup ke dalam negara hingga tingkat yang belum pernah terjadi sebelumnya (seperti yang terlihat dalam praktik lobi yang ekstensif, seringnya orang yang sangat kaya memegang jabatan politik, dan seterusnya), tetapi masih ada negara dan memiliki kekuatan yang sangat besar, bahkan terhadap kapital tertentu, jika mereka ingin melakukannya.

Perbedaan lainnya adalah bahwa penguasa atau raja feodal memiliki kewajiban tertentu—meskipun tidak selalu dipatuhi—yang bersifat pribadi terhadap mereka yang berada di bawahnya. Di Eropa, misalnya, melanggar kewajiban-kewajiban ini adalah sebuah dosa, seperti halnya meminjamkan uang dengan bunga adalah dosa. Saat ini, meskipun kapital mungkin agak kebal dari peraturan negara, sama sekali tidak ada rasa kewajiban feodal. Selain itu, dalam kapitalisme modern, tidak ada perusahaan seperti East India Company atau the Dutch East India Company yang dapat memerintah seluruh bangsa.

Selain itu, ketika pekerja atau petani melakukan perlawanan, biasanya aparat militer negara yang menyerang mereka. Dalam beberapa kasus, perusahaan (seperti agribisnis) atau pemilik pabrik dapat menyewa kelompok paramiliter atau menggunakan penjaga keamanan pribadi mereka untuk melukai hingga membunuh buruh atau petani yang memprotes dan menolak untuk meninggalkan tanah mereka. Terkadang, mereka meminta kerja sama negara untuk mengerahkan militer di suatu wilayah guna memastikan bahwa industri ekstraktif yang sangat eksploitatif dapat beroperasi tanpa hambatan. Namun, bukan berarti kapital memiliki kemampuan atau kekuatan yang setara dengan negara.

Bahkan dalam hal upah, kapital Utara dapat, misalnya, menekan negara-negara di Selatan untuk menurunkan upah mereka melalui mekanisme yang terbatas. Misalnya, melalui cara kerja lembaga keuangan internasional dan program penyesuaian struktural mereka, atau dengan menekan negara-negara ini untuk tetap “kompetitif” dalam ekonomi dunia jika mereka ingin melihat investasi asing mengalir masuk. Namun, pada akhirnya, negara tetap memainkan peran utama dalam mengendalikan upah, dan negara juga yang merepresi gerakan buruh yang menuntut upah lebih tinggi. Jadi, sekali lagi, saya pikir ini lebih tentang bagaimana kapital dan negara saling berhubungan, dan karakteristiknya tidak sama dengan masyarakat feodal.

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.


CA & UT: Dalam konteks imperialisme akhir, para pemilik kapital di Selatan juga memainkan peran kunci dalam proses ini. Sebagai imbalannya, mereka mendapatkan banyak keuntungan; mereka juga memiliki kesempatan untuk melakukan investasi di luar negeri. Dalam beberapa kasus, hal ini memicu perdebatan sub-imperialisme atau perdebatan lain mengenai kemampuan atau fungsi pemilik kapital lokal. Apa yang dapat dikatakan dalam hal ini?

IS: Kapital Selatan memang memainkan peran penting. Dalam konteks imperialisme akhir (late imperialism), yaitu imperialisme arbitrase tenaga kerja global di bawah naungan kapital monopoli yang digeneralisasikan, para kapitalis di Selatan mendapatkan keuntungan dari proyek-proyek bisnis yang dimungkinkan oleh integrasi negara mereka (atau negara-negara lain di Selatan) ke dalam rantai komoditas global. Beberapa dari mereka adalah pemilik agribisnis; lainnya memiliki pabrik, tambang, dan sebagainya. Hal ini terkait dengan kapital komprador lama, namun dalam skala yang jauh lebih besar dalam konteks globalisasi. Kelompok ini sering kali terdiri dari segelintir orang, di mana beberapa di antaranya masih disebut sebagai “oligarki” di beberapa negara di Selatan. Mereka memiliki hubungan erat dengan para elite politik dan bertujuan untuk mendukung kebijakan-kebijakan neoliberal yang akan memfasilitasi proses-proses yang terkait dengan investasi asing, perampasan tanah, ekstraksi sumber daya alam, dan mekanisme-mekanisme lain yang terkait.

Saya akan memberikan contoh dari sektor manufaktur, karena ini merupakan fokus penelitian saya. Di negara-negara dengan kekuatan dan kekayaan yang kecil, para kapitalis ini umumnya berperan sebagai konglomerat lokal yang, misalnya, memiliki bisnis yang memproduksi merek-merek lokal untuk pasar lokal, dan dalam skala lebih kecil di pasar luar negeri (biasanya di negara-negara tetangga), atau para kapitalis yang terkait dengan perusahaan-perusahaan multinasional di dalam rantai komoditas global. Mereka memiliki bisnis lokal yang bertujuan memasok perusahaan multinasional yang berkantor pusat di Utara. Dalam kasus terakhir ini, para kapitalis ini berperan sebagai “perantara” antara tenaga kerja lokal dan perusahaan multinasional. Meskipun mereka tetap kapitalis yang mengatur dan mengontrol proses kerja para pekerjanya—sering kali sesuai permintaan klien multinasionalnya—dan dengan demikian secara aktif terlibat dalam eksploitasi, kekuatan mereka cukup terbatas dalam hal keterlibatannya dalam rantai komoditas global.

Para pemasok Indonesia yang saya teliti termasuk dalam kelompok ini. Awalnya, mereka mengklaim bangga menjadi perusahaan “berteknologi tinggi” yang melayani segmen pasar yang khusus, tetapi setelah ditelusuri lebih lanjut, mereka menyadari bahwa mereka hanya memenuhi permintaan klien multinasional. Teknologi sebagian besar dikendalikan oleh klien, tidak ada ruang untuk inovasi, dan mereka harus bersedia mengubah proses produksi mereka untuk memenuhi permintaan klien yang terus berubah. Mereka diharuskan menunjukkan rincian struktur biaya, sering kali sebagai persyaratan dalam mengikuti tender, dan klien multinasional dapat menentukan berapa margin keuntungan mereka.

Ada banyak mekanisme lain yang terlibat di sini yang menunjukkan bahwa perusahaan multinasional sangat dominan, bahkan dalam jaringan yang disebut tersebar yang didominasi oleh kontrak yang panjang. Jadi, dalam kasus-kasus seperti ini, kecil kemungkinannya ada diskusi yang luas mengenai apakah Indonesia dapat menjadi pemain besar berikutnya dalam rantai komoditas global, dengan potensi untuk menggantikan negara-negara dalam Triad sebagai kekuatan imperialis baru, atau untuk bersaing dengan “macan-macan Asia”. Ini tentu saja tidak mengabaikan fakta bahwa Indonesia terlibat dalam tindakan imperialis di Papua Barat, namun hal ini membutuhkan diskusi tersendiri, dan kasus ini juga melibatkan peran kapital Utara di wilayah tersebut.

Situasinya mungkin akan lebih rumit ketika kita berbicara tentang negara-negara seperti Korea Selatan atau “macan-macan” lainnya, seperti Hong Kong dan Taiwan. Diskusi tentang “pertumbuhan ajaib” mereka tentu saja membutuhkan analisis kritis, tetapi yang dapat kita buktikan adalah bahwa para kapitalis dari negara-negara ini telah mengembangkan bisnis mereka untuk sementara waktu dan mereka, misalnya, memiliki pabrik di negara-negara Asia Tenggara, termasuk Indonesia, untuk memasok perusahaan-perusahaan multinasional yang bermarkas di Triad. Foxconn, salah satu pemasok terbesar untuk Apple, adalah perusahaan Taiwan meskipun pabriknya berlokasi di Cina. Ini berarti bahwa para kapitalis ini terlibat dalam eksploitasi tenaga kerja di negara lain (sering kali mencakup kasus-kasus ekstrem dan praktik-praktik yang kejam), perampasan sumber daya, namun mereka juga masih menjadi pemasok yang bergantung pada rantai komoditas global. Klien multinasional mereka masih mendapatkan keuntungan terbesar dari pengaturan ini, tetapi tentu ada variasi dalam hubungan kekuasaan yang begitu kompleks.

Menariknya, ketika membahas sub-imperialisme, negara yang dimaksud biasanya adalah Cina, yang pada tahun 2014 (tahun terakhir yang tersedia dalam data yang digunakan dalam buku saya) memiliki biaya tenaga kerja satuannya sebesar 46 persen dari tingkat AS. Ada perdebatan mengenai apakah Cina telah menjadi sub-imperialis, atau sedang dalam proses menjadi kekuatan imperialis baru, terutama terkait dengan investasi dan proyek-proyeknya di beberapa wilayah di Asia dan Afrika. Beberapa pihak berpendapat bahwa eksploitasi kapitalis di luar negeri tidak selalu mengarah ke jalur imperialis, sementara yang lain tidak setuju. Andy Higginbottom, yang menulis untuk blog Review of African Political Economy, menunjukkan bahwa sepuluh besar negara dengan Penanaman Modal Asing (PMA) pertambangan di Afrika masih didominasi oleh perusahaan-perusahaan pertambangan yang berbasis di Triad, dengan Amerika Serikat, Inggris, dan Prancis berada di tiga besar. Saya tidak dapat membahas lebih jauh tentang perdebatan ini di sini, tetapi ada beberapa hal menarik yang perlu dipertimbangkan dari diskusi ini.

Cina tentu saja merupakan kasus khusus—ekonomi terbesar kedua di dunia, tetapi masih bisa dianggap miskin jika dilihat dari pendapatan per kapitanya; sebuah negara yang, mengutip John Bellamy Foster, “tidak sepenuhnya kapitalis dan tidak sepenuhnya sosialis” dalam perkembangan pasca-revolusinya. Tidak ada jawaban sederhana untuk menjawab pertanyaan ke mana arah Cina. Foster berpendapat, dan saya setuju dengan penilaiannya, bahwa banyak hal yang “masih tergantung pada apakah Cina di masa depan akan mengedepankan pendekatan horizontal atau hirarkis-imperialis dalam berhubungan dengan negara-negara di Selatan.” Setidaknya untuk saat ini, kita tidak boleh terjebak dalam narasi Perang Dingin baru yang telah dikobarkan oleh Amerika Serikat ketika membahas Cina. Penting untuk dipertimbangkan bahwa, terlepas dari apakah sub-imperialisme itu “sesuatu” atau tidak, keberadaannya tidak akan meniadakan hubungan imperialis yang ada dalam ekonomi dunia.


CA & UT: Pandemi Covid-19 dapat dianggap telah memengaruhi hubungan imperialis di era neoliberal dalam berbagai cara, sekaligus menciptakan peluang untuk memperbarui dan memperdalam hubungan eksploitasi imperialis dari perspektif yang berbeda. Seperti yang telah Anda tekankan sebelumnya, pandemi ini telah menyebabkan rantai pasokan perusahaan multinasional terputus secara signifikan, yang mengakibatkan produksi yang menciptakan “nilai tambah” di banyak sektor terganggu atau bahkan terhenti. Dalam konteks neoliberal, perusahaan-perusahaan multinasional yang telah mengurangi biaya penyimpanan dengan meniadakan kegiatan ini belum mampu mengatasi penurunan mendadak dalam permintaan konsumsi di beberapa sektor, dan tetap pasif dengan tidak memenuhi pesanan di beberapa sektor yang berbeda.

Akibatnya, seperti yang Anda sebutkan, perusahaan multinasional yang tidak menyadari titik-titik di mana rantai pasokan mereka di negara-negara pinggiran terpengaruh, telah terjebak dalam semacam perlombaan untuk mengatur kembali rantai pasokan mereka selama pandemi Covid-19. Jika kebangkrutan akibat gangguan rantai pasokan terjadi, bagaimana dampaknya terhadap proses ketenagakerjaan di negara-negara Selatan?Apakah kemungkinan ini dapat memicu perubahan radikal dalam bentuk imperialisme akhir di era pasca-Covid-19? Selain itu, Anda menggarisbawahi bahwa Cina adalah pemberhentian terakhir di mana banyak dari rantai pasokan ini berputar. Dalam konteks ini, dapatkah kita berargumen bahwa imperialisme akhir akan bubar di dunia setelah Covid-19 dan Cina akan memulai hegemoninya dengan proposal sistem yang baru? Atau haruskah kita mengharapkan Cina untuk memulihkan dan mempertahankan bentuk imperialisme akhir ini dan bangkit sebagai kekuatan hegemonik bersamaan dengan itu?

IS: Ketika Pandemi Covid-19 dimulai, dengan adanya lockdown dan pembatasan sosial yang meluas, gangguan pada rantai pasokan merupakan konsekuensi yang tak terhindarkan. Seluruh sistem produksi global sangat terganggu, sehingga oleh beberapa kalangan, Pandemi Covid-19 dijuluki sebagai “krisis rantai pasokan global pertama”. Ditambah dengan faktor-faktor lain, seperti kompleksitas rantai komoditas global dan pemanfaatan produksi yang fleksibel dan tepat waktu, ketergantungan yang besar pada negara-negara dengan biaya tenaga kerja yang rendah, terutama Cina, sebagai simpul penting dalam rantai komoditas global, berkontribusi pada memburuknya “efek banteng” yang disebabkan oleh pandemi.

Penguncian dan penghentian aktivitas produksi di Cina sendiri menyebabkan gangguan besar dalam rantai komoditas global, terutama terkait dengan komoditas (atau bagian dari komoditas) yang diproduksi atau dirakit di Cina, serta bahan baku yang diperoleh dari negara tersebut. Perusahaan-perusahaan yang berbasis di AS yang bergantung pada pemasok Cina untuk merakit produk akhir mereka jelas mengalami kesulitan sejak awal pandemi, tetapi gangguan tersebut juga berdampak pada semua pihak di sepanjang rantai komoditas. Sebagai contoh, Cina adalah mitra dagang terbesar Indonesia, dan sekitar 20 hingga 50 persen bahan baku industri Indonesia berasal dari Cina. Contoh lain, Vietnam, yang juga menjadi tujuan manufaktur atau perakitan bagi perusahaan multinasional, mengalami masalah ketika pasokan bahan baku atau suku cadang setengah jadi dari Cina terhenti akibat pandemi. Tentu saja Cina dapat memulihkan produksinya dengan cukup cepat karena penanganan Covid-19 yang efektif. Namun demikian, kerentanan sistem terungkap. Perusahaan multinasional biasanya memiliki beberapa strategi untuk mengantisipasi masalah seperti ini, dengan bekerja sama dengan beberapa pemasok dari wilayah yang sama yang melakukan perakitan atau yang memproduksi suku cadang perantara yang sama, tetapi ketika pandemi seperti ini terjadi, strategi tersebut ternyata tidak memadai.

Pandemi ini, tentu saja, telah memengaruhi seluruh perekonomian dunia, sehingga menyebabkan gangguan rantai pasokan di berbagai tempat. Di satu sisi, pekerja di Global South sebagian besar terkena dampaknya, yang dalam banyak hal mirip dengan pekerja di Global North yang berupah rendah dan rentan: banyak yang kehilangan pekerjaan karena PHK atau penutupan pabrik, sementara yang masih bekerja harus mempertaruhkan nyawanya setiap hari, terutama di tempat kerja yang tidak memiliki langkah-langkah perlindungan yang memadai terhadap virus. Pekerja yang berada di posisi rentan, seperti pekerja temporer dan informal, bahkan lebih menderita. Di negara-negara yang sistem perawatan kesehatannya sudah buruk, pandemi ini berarti bahwa mereka yang tidak mampu membayar perawatan yang mahal akan dibiarkan mati.

Di sisi lain, tampaknya ada semacam optimisme di beberapa negara di Selatan terkait keinginan mereka untuk menggantikan Cina dalam rantai komoditas global. Pandemi, ditambah dengan perang dagang yang diprakarsai oleh pemerintahan Trump, telah mendorong banyak perusahaan multinasional untuk secara serius mempertimbangkan untuk memindahkan produksi mereka ke luar dari Cina (dan berusaha untuk mendiversifikasi kelompok pemasok mereka secara umum). Hal ini telah menarik perhatian dari negara-negara seperti India dan Malaysia, misalnya.

Ada laporan berita yang menyebutkan bahwa negara-negara ini berusaha keras untuk menarik investor dengan menawarkan insentif atau mempromosikan potensi mereka. Di Malaysia, ada optimisme bahwa negara ini dapat menjadi pusat industri baru untuk manufaktur elektronik atau industri otomatis kelas atas. Negara ini melihat perang dagang AS-Cina sebagai peluang untuk memulihkan kekayaan mereka yang hilang di tahun 1990-an, ketika banyak perusahaan multinasional meninggalkan Malaysia ke Cina setelah membangun pabrik elektronik di Penang. Dengan mempromosikan “infrastruktur yang lebih baik” dibandingkan dengan negara-negara tetangga di Asia Tenggara, Malaysia telah menarik investasi baru. Dalam sepuluh bulan pertama tahun 2019, Penang mendapatkan investasi asing sebesar US$2,94 miliar, meningkat 456 persen dari tahun sebelumnya.

Di India, pemerintah berencana untuk menawarkan insentif senilai US$23 miliar guna menarik perusahaan-perusahaan untuk mendirikan pabrik di negara ini, termasuk pabrik mobil, panel surya, dan baja khusus. Awal tahun ini, pemerintah menyetujui insentif sekitar US$5,3 juta untuk manufaktur ponsel lokal-sektor yang sangat berharga bagi India—sebagai bagian dari inisiatif “Made in India” yang telah ditetapkan, serta US$900 ribu untuk manufaktur komponen elektronik. Ravi Shankar Prasad, Menteri Telekomunikasi dan TI India, menyatakan bahwa dana ini akan mendorong “investasi di segmen elektronik yang penting sekaligus memosisikan India sebagai pusat manufaktur global.” Dua lusin perusahaan, termasuk Samsung dan Foxconn, berencana untuk mendirikan pabrik-pabrik ponsel di India, dengan total investasi mencapai US$1,5 miliar.

Selain itu, perusahaan-perusahaan multinasional juga mulai memikirkan kembali komitmen mereka pada produksi yang tepat waktu dan fleksibel. Namun semua ini tidak akan berjalan mulus. Di sisi Selatan, akan ada pertanyaan mengenai apakah negara tersebut memiliki infrastruktur yang memadai untuk mendukung industri berskala besar. Yang paling penting, saya percaya kapital global tidak akan rela meninggalkan faktor-faktor yang membuat akumulasi profit tetap berlangsung, seperti komitmen untuk mencari biaya tenaga kerja yang rendah dan kemampuan untuk menghindari berbagai tanggung jawab—baik tentang kondisi kerja dan kesejahteraan pekerja, pelestarian lingkungan, maupun dalam menangani pemborosan tenaga kerja dan material ketika terjadi kesalahan dalam perhitungan. Kapital global akan lebih memilih untuk mencari solusi yang masih mengikuti logika yang sama.

Mungkin dalam jangka panjang, kapital global akan berusaha melakukan restrukturisasi ekonomi dunia demi keuntungan mereka sekali lagi. Mungkin peran Cina dalam rantai komoditas global juga akan berubah. Kita tidak tahu. Perang Dingin Baru yang dilancarkan oleh AS terhadap Cina merupakan faktor yang signifikan. Ada kemungkinan bahwa pengucilan paksa Cina dari ekonomi dunia akan memicu beberapa perubahan dalam dinamika kekuatan, tetapi sejauh mana perubahan tersebut terjadi, saya tidak dapat memprediksi. Yang bisa kita yakini adalah bahwa apa pun perubahan yang mungkin terjadi—jika dilakukan untuk melayani kepentingan kapital Utara—tidak akan menghasilkan penurunan radikal dalam ketidaksetaraan global dan berakhirnya imperialisme.

Saya percaya hanya solidaritas internasional itulah yang dapat menghapuskan imperialisme. Akan sangat baik jika kita bisa membangun suatu bentuk kerja sama Selatan-Selatan dalam semangat Konferensi Bandung, dan kerja sama tersebut haruslah berkomitmen penuh pada cita-cita sosialis. Tetapi apa pun bentuk gerakannya, gerakan ini harus melibatkan dan menempatkan kelas buruh (dalam arti luas, tidak hanya terbatas pada buruh industri) di garis depan gerakan. Kita tidak dapat bergantung pada arahan satu negara atau kepemimpinan beberapa orang. Saya telah mengatakan hal ini dalam buku saya, dan saya akan mengatakannya lagi di sini: Saya setuju dengan Michael Yates, yang menulis bahwa “mereka yang paling menderita—buruh dan petani di Selatan, minoritas di Utara, perempuan kelas pekerja di semua tempat—akan memimpin perjuangan atau mereka akan gagal.”


CA & UT: Kondisi ketenagakerjaan saat ini memberikan gambaran yang buruk bagi para pekerja, terutama di negara-negara Selatan. Bahkan “perang melawan virus” telah membebani kelas pekerja. Di beberapa negara tertentu, kami juga menemukan kebangkitan melawan penindasan. Apa evaluasi, proyeksi, atau prediksi Anda mengenai reaksi melawan eksploitasi imperialis, gerakan kelas pekerja di Selatan, dan gerakan sosial dalam arti luas?

IS: Elemen-elemen kelas buruh, terutama yang berada di Selatan, telah lama terlibat dalam perlawanan terhadap bentuk-bentuk dan akibat-akibat imperialisme. Mereka mempertahankan tanah mereka, melawan eksploitasi, menghadapi kapital dan aparatus negara yang paling menindas dan kejam terhadap mereka. Pabrik-pabrik telah diduduki oleh para buruh di Argentina, dan tanah-tanah telah diambil kembali oleh para petani di Brasil. Masyarakat adat di seluruh dunia tanpa henti melakukan perlawanan terhadap perampasan dan penindasan. Semua ini tidak berhenti bahkan di masa dan sesudah pandemi. Para pekerja terus mogok, para petani terus melakukan protes, dan mereka semua berorganisasi. Dalam banyak kasus, ukuran protes semacam itu sangat besar, menunjukkan bagaimana masyarakat tidak menyerah pada penindasan.

Rakyat Bolivia baru-baru ini telah memenangkan sebuah pertempuran penting melawan imperialisme AS. Saya pikir contoh-contoh ini saja sudah menunjukkan bahwa gerakan kelas buruh di Selatan akan terus berkembang. Selalu ada pekerjaan rumah-pertanyaan tentang strategi, tentang cara-cara membangun solidaritas yang kuat, tentang membangun hubungan dengan sekutu-sekutu di Utara, dan seterusnya. Namun, ide dasarnya tetap sama: kita harus memutus rantai penindasan, termasuk organisasi rantai komoditas global saat ini. Kita harus terus berpikir tentang bagaimana membangun jaringan produksi dan distribusi kita sendiri – mungkin dimulai dari wilayah lokal. Pengetahuannya ada di sana, dan kita sudah cukup kuat untuk melawan. Jadi, di masa krisis ini, mari kita gunakan ini sebagai kesempatan untuk menggerakkan dunia ke arah yang berbeda.


Daftar Pustaka

Magdoff (1978). Imperialism: From to Colonial Age to the Present, New York: Monthly Review Press.

B. Foster dan I. Suwandi (2020 COVID-19 and Catastrophe Capitalism: Commodity Chains and Ecological-Epidemiological-Economic Crises. Monthly Review72(2), 1-20.

Suwandi, I. (2019). Value Chains: The New Economic Imperialism. New York: Monthly Review Press

J. Dean (2020). Neofeudalism: The End of Capitalism?, Los Angeles Review of Books.


Artikel wawancara ini pertama kali diterbitkan di Textum pada 20 Februari 2021, dengan judul asli Neoliberalism and Imperialism: Interview with Intan Suwandi, diterbitkan ulang di sini untuk tujuan pendidikan dan membantu pembangunan gerakan progresif anti-imperialisme di Indonesia.

]]>
Neoliberalisme Bukan Sekadar Uang Kuliah Mahal dan Pelitnya Negara Memberi Subsidi https://indoprogress.com/2023/08/neoliberalisme-bukan-sekadar-uang-kuliah-mahal/ Wed, 23 Aug 2023 21:13:12 +0000 https://indoprogress.com/?p=237667

Ilustrasi: David Plunkert/The Chronicle Review


DISKURSUS mengenai neoliberalisasi pendidikan tinggi menjadi populer belakangan di Universitas Gadjah Mada (UGM). [1] Boleh diduga tren ini dipantik oleh isu penerapan pungutan di luar Uang Kuliah Tunggal (UKT) bernama Sumbangan Sukarela Pengembangan Institusi (SSPI)–dalam percakapan sehari-hari kita sebut sebagai uang pangkal–yang akhirnya diterapkan pada Juli 2022. Tak berhenti di sana, pada tahun ini, pungutan di luar UKT tersebut bermetamorfosis menjadi Sumbangan Solidaritas Pendidikan Unggul (SSPU) [2] pada penerimaan mahasiswa baru jalur Ujian Mandiri.

Penerapan uang pangkal ini ditolak oleh para mahasiswa, misalnya oleh Aliansi Mahasiswa UGM. Argumen yang mereka bangun, yang tertulis dalam buku digital UGM, Uang Pangkal, dan Neoliberalisasi Indonesia, berupaya menunjukkan bagaimana sistem uang pangkal merupakan “jalan kecil” menuju neoliberalisasi, upaya mereproduksi relasi sosial masyarakat kapitalistik.

Percakapan soal neoliberalisasi pendidikan tinggi terus bersirkulasi dalam ruang publik seperti contoh di atas, tetapi diskursusnya perlu ditinjau ulang. Sejauh ini diskusinya baru terbatas pada persoalan biaya, yaitu bertambahnya beban yang harus ditanggung mahasiswa karena berkurangnya subsidi negara. Makin disubsidi, makin tidak neoliberal–kira-kira begitu narasinya. Konsekuensinya, melawan neoliberalisasi adalah dengan mendesak negara menambah anggaran untuk pendidikan tinggi, kalau bisa sampai gratis. Atau, sekadar melawan pemberlakuan uang pangkal.

Pemahaman seperti ini kurang tepat. Oleh karena itulah tulisan ini berupaya membahas neoliberalisme, neoliberalisasi pendidikan tinggi, dan catatan pada gerakan yang melawannya.


Konsepsi Neoliberalisme

Neoliberalisme dapat dipahami dengan beragam cara. Sebagian berpendapat bahwa itu merupakan ideologi politik yang hendak mengurangi peran negara menjadi pelayan pemodal. Ditambah, neoliberalisme juga mengutamakan kebebasan individu. [3] Sebagian lainnya memaknai neoliberalisme sebagai ajaran filosofis. Penekanannya adalah pada kebebasan individu, kebebasan memilih, dan semacamnya (Overbeek, 1993). Ajaran ini memberi legitimasi gaya hidup individualistis, di mana aktivitas ekonomi diserahkan kepada mekanisme pasar bebas. Pandangan seperti ini melihat neoliberalisme sebagai aliran yang berakar pada ajaran Adam Smith (Robinson, 2008).

Namun pandangan-pandangan di atas terbatas karena hanya memperhatikan hubungan antara negara dan masyarakat atau negara dengan pasar, di mana campur tangan negara diminimalisasi dan peran pasar diperbesar. Padahal, implementasinya justru sering memerlukan campur tangan yang besar dari negara atau tindakan represif. Dalam realisasinya, neoliberalisme bergantung pada modifikasi politik dan adaptasi lembaga negara untuk menjaga pasar beroperasi secara optimal. Ada dilema dalam konseptualisasi neoliberalisme karena pasar tidak pernah muncul secara murni tanpa campur tangan non-pasar (Ridha, 2021).

Oleh karena itu, pemahaman yang lebih mendalam perlu digali. Dalam konteks ini, analisis tentang hubungan antara pekerja dan kapital menjadi krusial. Pendekatan ini ditawarkan oleh Pontoh (2021) sekaligus akan menjadi pijakan tulisan ini.

Berikut adalah rangkuman argumentasi Pontoh: Dalam memahami neoliberalisme, perlu memperhatikan mode produksi saat ini, kapitalisme. Sebagai hubungan sosial-produksi, mode produksi kapitalis memiliki lima karakteristik: produksi komoditas, kerja upahan, eksploitasi majikan terhadap pekerja dan lingkungan untuk mengakumulasi kekayaan tanpa batas, organisasi yang rasional, serta cenderung ekspansionis dan dinamis. Konsekuensi tak terelakkan dari cara kerja kapitalisme adalah ia akan selalu mengalami krisis meskipun tidak melulu dalam jangka panjang atau mengakibatkan kebangkrutan bagi dirinya sendiri. Ini sering disebut sebagai krisis struktural kapitalisme, yang melibatkan penurunan rasio laba dan perjuangan kelas. [4]

Terdapat empat krisis besar yang pernah terjadi, yaitu krisis 1890-an, Depresi Besar 1930-an, dekade 1970-an, dan tahun 2007-2008. Krisis-krisis tersebut disebabkan oleh faktor-faktor seperti jatuhnya rasio laba dan krisis hegemoni finansial (Duménil & Lévy, 2004).

Respons kelas pekerja terhadap krisis sangat menentukan struktur dan sistem kapitalisme selanjutnya. Pada krisis 1890-an, kelas majikan memenangkan perjuangan kelas. Gerakan kelas pekerja pada saat itu ditekan oleh negara sehingga solidaritas melemah. Akibat dari kemenangan kelas majikan ini, terjadi revolusi korporasi, revolusi finansial, dan revolusi manajerial. Setelah Depresi, terjadi perjuangan kelas yang sengit antara kelas pekerja dan kelas majikan serta perlawanan anti-kolonial. Pemogokan dan demonstrasi pekerja meningkat di seluruh Amerika Serikat. Pemerintah terpaksa mengakomodasi gerakan pekerja melalui kebijakan New Deal yang mengadopsi prinsip keynesianisme.

Dalam periode keemasan kapitalisme pasca-Perang Dunia II, terjadi kolaborasi antara kelas pekerja dan majikan. Serikat pekerja lebih fokus pada tuntutan ekonomi pragmatis. Munculnya kebijakan keynesianisme-liberal atau kapitalisme negara membantu pertumbuhan ekonomi AS. Jumlah produksi komoditas meningkat karena pekerja semakin terlatih, mesin semakin canggih, dan pengawasan lebih ketat, sehingga pekerja harus bekerja lebih keras dan cepat (Wolff, 2012).

Tentu saja masa keemasan itu memiliki batas. Pada pertengahan dekade 1960-an, rasio laba menurun secara umum, pertumbuhan melambat, tingkat pengangguran meningkat, dan terjadi krisis ekonomi. Terjadi juga deindustrialisasi di beberapa kota di AS. Pada tahun 1970-an, dunia memasuki era kapitalisme-neoliberal yang menggantikan keynesianisme-liberal (Tabb, 1982). Di titik inilah neoliberalisme mulai menampakkan kebengisannya.

Terlihat bahwa pertama-tama neoliberalisme adalah fase terbaru dari kapitalisme: sebagai akibat dari hasil krisis dan dinamika internal pasca-Perang Dunia II. Tujuannya? Restorasi laba kelas majikan dengan ekspansi dan akumulasi kapital. Caranya? Pertama, reorganisasi dan restrukturisasi produksi kapitalisme untuk menggeser komposisi kekuasaan kelas menjadi dominan pada kelas majikan. Yang paling berkepentingan di sini adalah kapital keuangan/finance capital [5] (Duménil & Lévy, 2004). Kedua, realisasi nilai lebih secara ekstensif dan intensif dengan menghancurkan tembok pembatas ekspansi dan akumulasi untuk maksimalisasi reorganisasi dan restrukturisasi tadi. Ketiga, restrukturisasi hubungan pekerja-kapital yang intinya adalah untuk mencetak pekerja murah, disiplin, dan fleksibel sehingga siap untuk menghadapi tuntutan dan kebutuhan korporasi transnasional (Robinson, 2008).

Jika sepakat bahwa neoliberalisme adalah konsekuensi internal dari perkembangan kapitalisme yang mengalami krisis struktural setelah Perang Dunia II, sebagai proyek pemulihan laba kelas majikan terutama kapital keuangan yang jatuh akibat krisis, kita baru dapat memahami mekanisme yang mendasari kebijakan yang dikategorikan sebagai neoliberal itu sendiri. Hal ini terwujud dalam dua fase. Pertama, stabilisasi ekonomi makro yang melibatkan penghapusan subsidi barang publik, pemangkasan pekerjaan publik, dan pemotongan belanja sosial seperti pendidikan. Kedua, penyesuaian struktural yang melibatkan liberalisasi perdagangan dan keuangan, deregulasi, dan privatisasi badan-badan ekonomi publik (Pontoh, 2021).


Selayang Pandang Neoliberalisasi Pendidikan Tinggi

Kita telah memahami neoliberalisme sebagai sebuah totalitas fenomena sosial. Kemudian, mari kita periksa secara ringkas catatan historis operasi kapitalisme-neoliberal di Indonesia khususnya pada pendidikan tinggi.

Dengan meningkatnya utang publik dan penurunan pendapatan, krisis ekonomi dan politik 1997-1998 mendorong pemerintah untuk mencari uang dari IMF dan mereka menerima bantuan dalam jumlah besar besar. Terciptalah lingkungan di mana birokrat dan donatur internasional mendapat pengaruh besar terhadap kebijakan pemerintah, termasuk di pendidikan tinggi, ketimbang masa Orde Baru.

Dalam konteks ini, Bank Dunia dengan tekun mendorong reformasi sistem pendidikan tinggi. Bank Dunia menerbitkan laporan besar yang menyerukan, antara lain, peningkatan otonomi bagi perguruan tinggi dan membuka sektor pendidikan tinggi untuk perguruan tinggi asing. Setelah itu, Bank Dunia mendanai pembentukan berbagai kelompok tugas untuk menyusun laporan tentang isu-isu kebijakan pendidikan penting, termasuk pendidikan tinggi (Jalal dan Mustafa, 2001). Pemerintah mendapat tekanan lebih lanjut untuk meliberalisasi sektor pendidikan tingginya akibat negosiasi dengan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) mengenai perdagangan jasa. Hasilnya adalah serangkaian inisiatif besar yang bertujuan untuk mempromosikan elemen-elemen utama dari agenda neoliberal.

Apa dampak neoliberalisasi dalam bidang pendidikan tinggi? Pertama, dampaknya terhadap identitas akademik, pekerjaan akademik, dan produksi pengetahuan (Gaus & Hall, 2015; Mulya, 2016; Rosser, 2015). Neoliberalisasi pendidikan tinggi di Indonesia didorong oleh keinginan pemerintah untuk menghasilkan profesional dan menciptakan pendidikan tinggi yang tujuannya berorientasi pasar (Gaus & Hall, 2015). Sistem pendidikan direstrukturisasi untuk memenuhi kebutuhan dan keinginan elite politik dan bisnis–yang merupakan penerima manfaat dari kerangka pendidikan berorientasi pasar tersebut. Kebijakan-kebijakan neoliberal seperti standarisasi, kompetitivitas, dan orientasi pasar telah menjadi dasar kebijakan, kurikulum, dan praktik pendidikan tinggi di Indonesia (Mulya, 2016).

Akibat dari sistem yang demikian adalah terciptanya tenaga kerja yang mudah diganti dan lebih peduli pada kelangsungan hidup mereka sendiri, juga telah membantu mengarahkan kelompok dan individu untuk tunduk pada negara otoriter, termasuk institusi pendidikan dan para akademisi (Laksana, 2023).

Di sisi lain, neoliberalisasi pendidikan tinggi di Indonesia juga menghasilkan pendidikan berkualitas rendah yang sebetulnya jauh dari ambisi negara untuk memiliki sistem “berdaya saing internasional” (Rosser, 2018). Pendidikan telah menjadi bisnis dengan kualitas rendah namun bervolume besar yang kurang tertarik untuk melakukan pengembangan diri. Alih-alih menghasilkan individu yang “cerdas dan berdaya saing”, kepentingan yang ada adalah untuk membantu birokrasi dan korporasi mengumpulkan sumber daya, mendistribusikan patronase, memobilisasi dukungan politik, dan menjalankan kendali politik (Rosser, 2018).

Dalam rangka otonomi, telah terjadi berbagai perubahan akibat dinamika ekonomi-politik yang telah dipaparkan di atas pada sistem perguruan tinggi. Mulkillah (2018) telah menjelaskan secara deskriptif dengan kacamata lega, begini rangkumannya: Proses pemberian otonomi dimulai dengan diterbitkannya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 60 Tahun 1999 dan PP 61/1999. Beberapa perguruan kemudian diresmikan sebagai Perguruan Tinggi Badan Hukum Milik Negara (PT BHMN), termasuk Universitas Indonesia (UI), Institut Teknologi Bandung (ITB), UGM, dan Institut Pertanian Bogor (IPB).

Pada tahun 2005, dikeluarkan PP 23/2005 yang mengubah paradigma anggaran tradisional menjadi anggaran berbasis kinerja dalam rangka efektifitas penggunaan sumber daya pemerintah yang terbatas dan tingginya kebutuhan dana. Pada 2007, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menerbitkan Perpres 77/2007. Peraturan ini membolehkan perguruan tinggi badan hukum melakukan investasi dengan keterlibatan modal asing sampai maksimal 49%. Kemudian ada lagi Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan pada 2009 yang mengizinkan institusi pendidikan melakukan investasi dalam berbagai bentuk termasuk portofolio dan badan usaha.

Peraturan yang disebutkan terakhir ditolak masyarakat sipil sampai judicial review di Mahkamah Konstitusi (MK). Pada akhirnya MK menyatakan bahwa UU BHP tidak sesuai dengan konstitusi karena mengandung kelemahan aspek yuridis; tidak mempertimbangkan perbedaan kemampuan antarlembaga pendidikan; dan memberikan otonomi yang tidak dapat memastikan tercapainya tujuan pendidikan nasional itu sendiri.

DPR kemudian merespons dengan merumuskan RUU Pendidikan Tinggi untuk menghidupkan kembali prinsip BHP, dan RUU tersebut akhirnya disahkan menjadi UU 12/2012. Peraturan inilah yang menjadi basis legal pada banyak institusi dan berupaya dimasifikasi saat ini: Pendidikan Tinggi Negeri-Berbadan Hukum (PTN-BH).

Untuk melihat konteks yang lebih spesifik dan terbaru, kita akan menggunakan skripsi yang ditulis Joko Susilo (2021) yang meneliti kampusnya sendiri, UGM. Susilo  dengan mengunakan pendekatan ekonomi-politik menjelaskan fenomena kapitalisme-neoliberal dalam pendidikan tinggi yang berstatus Perguruan Tinggi Negeri-Badan Hukum (PTN-BH), di antaranya PTN-BH UGM. Kapitalisme-neoliberal dalam PTN-BH telah memberikan dampak sekaligus konsekuensi terhadap kenaikan biaya kuliah, perombakan kurikulum akademik dan model pembelajaran, depolitisasi organisasi-gerakan mahasiswa dan memicu berbagai gerakan perlawanan sosial (Susilo, 2021). Soal kenaikan biaya pendidikan tinggi ini dapat dengan mudah kita lihat secara langsung di berbagai kampus di Indonesia.

Kita juga dapat mencermati dalam skripsi ini soal perubahan manufakturisasi kurikulum dan metode pembelajaran (Susilo, 2021). Kurikulum diarahkan pada imposition of work di school-work dengan tujuan utamanya adalah graduate employability, menghasilkan lulusan yang efisien dan kompetitif di pasar kerja yang dinamis (Susilo, 2021). Dalam upaya efisiensi, diputuskan pembatasan waktu studi menjadi lima tahun dan penerapan sistem kontrol dan sentralisasi melalui persyaratan kehadiran dan sistem pengaturan KRS yang mirip dengan sistem perbankan (Susilo, 2021). Selain itu, terdapat model pemagangan dan skema tenaga kerja kontrak yang cenderung murah atau bahkan tidak dibayar penuh yang mengakibatkan fenomena prekaritas di sebagian mahasiswa (Susilo, 2021). Ditambah lagi, pendekatan ini juga mendorong self-development dan self-improvement yang lebih bersifat non-intelektual publik/intelektual organik, seperti kompetisi mahasiswa dan program mahasiswa berprestasi (Susilo, 2021). Pendidikan tinggi diarahkan untuk menjadi lembaga pelatihan singkat daripada institusi pengetahuan, menciptakan fenomena “McDonaldisasi Perguruan Tinggi” yang mengandalkan kuantifikasi, efisiensi, keterprediktabilan, dan teknologisasi (Ritzer dalam Susilo, 2021)

Susilo juga menunjukkan terdapat perubahan dalam gerakan mahasiswa. Beberapa di antaranya adalah penurunan minat dan keterlibatan dalam gerakan politik-mahasiswa; penurunan minat terhadap kaderisasi berjenjang; serta pergeseran dari organisasi berbasis isu dengan political-movement dan critical-activism menjadi self-improvement berbasis pelatihan soft-skill-upgrading (Susilo, 2021).

Berdasarkan situasi empiris yang telah diuraikan dari skripsi Susilo di atas, kita dapat menyimpulkan dengan membandingkannya pada cara restorasi laba kelas majikan yang telah dipaparkan pada bagian sebelumnya. Bahwa pertama, peningkatan biaya pendidikan dan komersialisasi layanan pendidikan tinggi menjadi tanda nyata dari restrukturisasi dan reorganisasi produksi dalam sistem kapitalisme dengan maksud untuk mengubah keseimbangan kekuasaan di antara kelas dan memberikan dominasi kepada kelas majikan. (Susilo, 2021). Kedua, ketika nilai tambah dieksploitasi secara lebih luas dan mendalam dengan menghilangkan hambatan pertumbuhan dan akumulasi kekayaan, lingkungan akademik pun berubah, termasuk komodifikasi penelitian (Johnson, Münch, Rakhmani dalam Susilo, 2021)–yang menggambarkan perubahan dalam hubungan universitas dengan dunia korporat. Ketiga, restrukturisasi hubungan antara pekerja dan kapital dengan tujuan untuk menciptakan pekerja yang lebih terjangkau, disiplin, dan fleksibel tercermin dalam kurikulum yang selaras dengan itu. Di antaranya orientasi pada kesiapan kerja lulusan, program magang, pengendalian yang lebih ketat, dan penurunan partisipasi dalam gerakan mahasiswa (Susilo, 2021).


Melawan Neoliberalisasi Pendidikan Tinggi

Ketika telah memahami bahwa neoliberalisasi pendidikan tinggi dengan segala tetek bengeknya–seperti kenaikan biaya kuliah, manufakturisasi kurikulum, dan depolitisasi–adalah bagian dari upaya restorasi laba kelas majikan setelah krisis struktural pasca perang dunia kedua, apa yang dapat kita lakukan?

Pertama, menegaskan posisi. Kekeliruan yang kerap terjadi misalnya adalah melawan neoliberalisasi pendidikan tinggi dengan menuntut biaya pendidikan tinggi gratis secara langsung. Tentu, lengkap dengan asumsi agar setiap orang memiliki kesempatan yang sama; untuk mendapat akses yang sama dalam pendidikan demi penghidupan layak. Hal ini berbahaya. Mengapa? Kita boleh berasumsi bahwa kita kuliah untuk bekerja, untuk mencari penghidupan. Tentu, dengan kondisi surplus pekerja bertambah (Habibi, 2014) dan pola transformasi struktural tidak banyak berubah, di mana pertumbuhan ekonomi berkecepatan sedang tetap berlanjut (Kim et al., 2022). Mari kita elaborasi pelan-pelan.

Hari ini, kapitalisme-neoliberal menghantam semua sendi penghidupan. Apalagi, kita harus ingat, Indonesia adalah negara kapitalis pinggiran. Kita terjebak pada middle income trap, kita gagal dalam transformasi struktural. Yang terjadi justru deindustrialisasi, prekariatisasi, dan informalisasi. Lebih buruk lagi, pasca 1965, tradisi gerakan kelas habis dibantai. Kondisi pekerja di Indonesia yang sangat rentan akibat kapitalisme-neoliberal, ditambah luasnya ekonomi informal dalam usaha kecil yang kerap diglorifikasi dalam populisme ekonomi, membuat posisi kelas pekerja rentan. Bahkan, seminimal-minimalnya iman, untuk mendapat upah layak pun belum tentu sanggup.

Di sisi lain, kita telah mengetahui bagaimana dampak kapitalisme-neoliberal pada pendidikan tinggi. Pendidikan tinggi adalah institusi sosial spesifik dengan tugas dan fungsi yang spesifik pula. Posisinya secara institusional sebagai aparatus ideologis negara juga tentu berperan dalam mempertahankan hegemoni kelas berkuasa hari ini–seperti yang dipaparkan dalam upaya manufakturisasi kurikulum dan metode pembelajaran. Kita seharusnya dapat menyimpulkan bahwa institusi pendidikan tinggi hari ini diterapkan sebagai balai latihan kerja yang memproduksi tenaga kerja “terdidik”, lengkap dengan imajinasi mobilitas sosial yang terus diwacanakan. Gagasan ideal untuk menyelenggarakan pendidikan dengan kualitas baik (apalagi berstandar internasional) pun terbantahkan. Pembahasan dapat melebar lagi ketika kita berbicara pendidikan tinggi sebagai produsen ilmu pengetahuan dan teknologi. Membayangkan pekerja akademik untuk dapat hidup sejahtera hanya dari kerjanya di kampus pun belum, apalagi untuk riset dan pengembangan.

Jika kita menginginkan pendidikan tinggi gratis agar setiap orang dapat bersaing dengan tingkat pendidikannya, dengan gelar yang dimilikinya, bukankah ini sama saja menjebakkan diri ke dalam logika neoliberal itu sendiri? Bukankah penghidupan layak diperoleh ketika pribadi kuat bersaing dalam pasar tenaga kerja adalah logika yang diasumsikan oleh neoliberalisme? Bukankah justru penghidupan yang layak didapat dari pelayanan publik yang diberikan negara alih-alih bersaing dan berkompetisi secara individual? Ini belum membicarakan soal pendidikan dasar sampai menengah sekarang, di mana menggratiskan pendidikan tinggi untuk kesejahteraan justru mengamplifikasi ketimpangan kualitas pendidikan yang sudah ada.

Apa yang Karl Marx katakan dalam Critique of Gotha Programme perlu dicamkan, bahwa, “If in some states of the latter country higher education institutions are also ‘free’, that only means in fact defraying the cost of education of the upper classes from the general tax receipts.” Atau, bukankah menuntut pendidikan tinggi gratis hari ini sama saja berupaya membuka peluang mobilitas sosial ke atas di tengah kerentanan sebagian besar masyarakat dalam struktur ekonomi-politik sekarang?

Poin saya adalah bukan bagaimana pendidikan tinggi harus dilalui agar dapat hidup sejahtera, tapi bagaimana dapat hidup sejahtera bahkan tanpa mengikuti pendidikan tinggi. Maka, sekali lagi, menuntut pendidikan gratis hari ini atas nama melawan neoliberalisme pendidikan tinggi perlu dipikirkan ulang. [6]

Melawan neoliberalisasi pendidikan tinggi artinya adalah melawan prakondisi yang memungkinkan ia hadir. Ketika kita menyadari bahwa neoliberalisasi pendidikan tinggi bukan hanya penerapan uang pangkal ataupun kenaikan UKT, bahwa neoliberalisasi pendidikan tinggi adalah bagian yang saling terkait dengan neoliberalisme secara utuh, dan neoliberalisme punya sebab musabab dari mekanisme dari struktur tertentu, struktur tersebutlah yang disasar.

Agenda alternatif yang didorong, misalnya, adalah mengupayakan penciptaan kekuatan kelas yang relatif seimbang antara kapital dan pekerja. Hal ini didapat dengan penetapan tujuan untuk mengubah negara neoliberal menjadi negara developmental klasik. Posisi ini mendorong pengembangan ekonomi berorientasi dalam negeri berdasarkan hubungan yang sehat dan kreatif antara pertanian dan industri (Habibi, 2014). Kuncinya reforma agraria [7] dan industrialisasi manufaktur. [8] Hal ini memungkinkan formalisasi tenaga kerja lebih masif sehingga membuat posisi lebih tidak rentan, selain juga nilai yang dihasilkan dapat digunakan untuk memperluas jaminan sosial. Taktik ini dapat dipikirkan sebagai agenda terdekat–untuk memperkuat kelas pekerja. Ketika neraca lebih seimbang, perlawanan bahkan pelampauan atas neoliberalisasi pendidikan tinggi, termasuk untuk menggratiskan biayanya, jadi lebih mungkin. Namun tentu ini bukan satu-satunya opsi. Perlu untuk mengeksplorasi alternatif lain. Tentu saja, alternatif yang dibangun dari, oleh, dan untuk kelas pekerja semata.

Akhirul kalam, neoliberalisasi pendidikan tinggi memanglah bagian dari totalitas fenomena sosial yang bernama neoliberalisme. Melawan neoliberalisasi pendidikan tinggi artinya melawan neoliberalisme secara utuh. Maknanya, pengupayaan untuk melampaui segala relasi sosial-produksi status quo. Perjuangan terhadapnya mungkin jalan terjal yang berliku, namun dalam keharmonisan langgam geraklah hal ini dimungkinkan.

Biarlah tulisan ini ditutup dengan lirik sebuah lagu: [9]

“Kita menggenggam sebuah kekuatan perkasa

Melebihi harta dan bala tentara mereka

Untuk bangun dunia baru dari abu yang lama

Bers’rikat kita jaya

 

Solidaritas S’lamanya

Solidaritas S’lamanya

Solidaritas S’lamanya

Ber’rikat kita jaya”


[1] Beberapa pers mahasiswa di UGM menerbitkan artikel dengan tema terkait seperti “Penerapan Uang Pangkal, Neoliberalisasi Berkedok Solusi” oleh BPPM Balairung UGM, “Wacana Uang Pangkal di Kampus Kerakyatan: Pertanda Gagal Merakyat?” oleh BPPM Mahkamah FH UGM, bahkan oleh organisasi ekstra kampus seperti “Wacana Uang Pangkal diganti SSPU: Kado Pahit Mahasiswa UGM” oleh LPM Tradisi PMII UGM. Selain itu, beberapa infografis juga diterbitkan seperti “Neolib” oleh HMI Ilmu Budaya UGM dan “Neoliberalisme Pendidikan Tinggi” oleh GMNI Fisipol UGM.

[2] Mahasiswa UGM yang diterima melalui jalur UM-CBT UGM diwajibkan untuk membayar SSPU ketika mereka diklasifikasikan layak menerima UKT golongan tertinggi di program studinya. Besaran SSPU sebesar Rp30 juta untuk program studi di rumpun saintek, serta Rp20 juta untuk program studi di bidang soshum.

[3] Pendekatan seperti ini lazim dalam iklim intelektual di Indonesia seperti yang dilakukan oleh Yudi Latief dalam bukunya Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila (2011).

[4] Lebih lanjut, silakan periksa beberapa teks ekonomi-politik Marx seperti Grundrisse atau Kapital, terutama pada jilid 2 dan 3.

[5] Seperti pada tulisan Pontoh, dalam konteks ini, istilah “Finance” tidak sekadar merujuk pada sektor keuangan dalam ekonomi. Lebih dari itu, istilah tersebut mengacu pada keseluruhan kompleks atas kelas majikan (upper capitalist classes). Kelompok elite ini memiliki kepemilikan yang terwujud dalam berbagai bentuk sekuritas seperti saham, obligasi, bank-bank, serta melibatkan lembaga-lembaga keuangan seperti bank sentral, bank, dan lembaga keuangan non-bank seperti dana investasi.

[6] Perlu diperdebatkan terkait berapakah biaya pendidikan tinggi yang setidak-tidaknya untuk konteks hari ini “adil” untuk dibayarkan mahasiswa, sambil terus melakukan advokasi dan memperbesar pelibatan bermakna dalam penentuan kebijakan di pendidikan tinggi. Apalagi, mengingat kapasitas fiskal kampus yang terbatas pasca BHMN, dan tentu, kapasitas negara juga. Ditambah, bagaimanakah pendidikan tinggi sebagai institusi untuk mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi seharusnya beroperasi, apa saja sarana dan prasarana yang harus dimiliki, berapa total biaya operasionalnya, dan lain sebagainya perlu juga dipikirkan. Setidaknya, hal ini realistis untuk dilakukan hari ini terkait biaya pendidikan.

[7] Kita dapat mempelajari soal reforma agraria dari bawah seperti yang dipaparkan artikel Land Reform by Leverage: Kasus Redistribusi Lahan di Jawa Timur” oleh Endriatmo Soetarto, Martua Sihaloho, dan Heru Purwandari. Poin pentingnya adalah bagaimana kita jujur terhadap kerentanan dalam penghidupan, memulai dari yang terdekat dan teralami, mendorong agenda secara kolektif dari bawah untuk mencapai kesejahteraan. Hal ini terbukti mungkin.

[8] Kita bisa menarik inspirasi dari penelitian Cristóbal Kay, “Why East Asia Overtook Latin America: Agrarian Reform, Industrialisation and Development”soal bagaimana negara-negara di Asia Timur dapat lebih dahulu terindustrialisasi ketimbang negara-negara di Amerika Latin padahal telah terlebih dulu mengagendakannya.

[9] Bait keempat dari lagu “Solidaritas S’lamanya”. Diterjemahkan dari “Solidarity Forever” yang ditulis oleh Ralph Chaplin.


Daftar Pustaka

Ahmad, P. M. (2018). Kuliah Kok Mahal? Best Line Press.

Duménil, G., & Lévy, D. (2004). Capital Resurgent: Roots of the Neoliberal Revolution (D. Jeffers, Trans.). Harvard University Press.

Gaus, N., & Hall, D. (2015, September). Neoliberal Governance in Indonesian Universities: The Impact Upon Academic Identity. International Journal of Sociology and Social Policy35(9/10), 666-682. https://doi.org/10.1108/IJSSP-12-2014-0120

Habibi, M. (2014, Dec). The Development of Relative Surplus Population in the Peripheral Accumulation: Political Economy of Agricultural Development and Industrialization in Indonesia [Research Paper]. https://thesis.eur.nl/pub/17363/Muchtar-Habibi.pdf.

Jalal, F., and B. Mustafa, eds. (2001). Education Reform in the Context of Regional Autonomy: The Case of Indonesia. Jakarta: MoEC and the World Bank.

Johnson, David R. (2017). A Fractured Profession : Commercialism and Conflict in Academic Science. Maryland : Johns Hopkins University Press

Kim, K., Mungsunti, A., Sumner, A., & Yusuf, A. (2022). Structural Transformation and Inclusive Growth: Kuznets ‘Developer’s Dilemma’ in Indonesia. In A. S. Alisjahbana, K. Sen, A. Sumner, & A. Yusuf (Eds.), The Developer’s Dilemma:

Structural Transformation, Inequality Dynamics, and Inclusive Growth (pp. 43–66). Oxford University Press. https://doi.org/10.1093/oso/9780192855299.003.0003

Laksana, B. K. C. (2023, May 11). Knowledge Production in the Age of Neoliberal Authoritarianism. Inside Indonesia. Retrieved July 19, 2023, from https://www.insideindonesia.org/editions/edition-151-jan-mar-2023/knowledge-production-in-the-age-of-neoliberal-authoritarianism

Mulya, T. W. (2016). Neoliberalism Within Psychology Higher Education in Indonesia: A Critical Analysis. ANIMA Indonesian Psychological Journal32(1), 1-11. https://doi.org/10.24123/aipj.v32i1.579

Münch, Richard. (2014). Academic Capitalism : Universities in the Global Struggle for  Excellence. New York : Routledge

Overbeek, H. (Ed.). (1993). Restructuring Hegemony in the Global Political Economy: The Rise of Transnational Neo-Liberalism in the 1980s. Routledge.

Pontoh, C. H. (2021). Kapitalisme-Neoliberal Sebagai Proyek Kelas: Sebuah Analisa Marxis. In Neoliberalisme: Konsep dan Praktiknya di Indonesia. Pustaka IndoPROGRESS. https://indoprogress.com/download/neoliberalisme-konsep-dan-praktiknya-di-indonesia/

Rakhmani, Inaya. (2019). Reproducing Academic Insularity in a Time of Neo- liberal Markets : The Case of Social Science Research in Indonesian State Universities. Journal of Contemporary Asia. DOI: 10.1080/00472336.2019.1627389

Ridha, M. (2021). Sekali Lagi tentang Neoliberalisme sebagai Konsep. In Neoliberalisme: Konsep dan Praktiknya di Indonesia. Pustaka IndoPROGRESS. https://indoprogress.com/download/neoliberalisme-konsep-dan-praktiknya-di-indonesia/

Ritzer, George. (1993). The McDonaldization of Society : an Investigation into the Changing Character of Contemporary Social Life. Newbury Park, Calif : Pine Forge Press

Robinson, W. I. (2008). Latin America and Global Capitalism : A Critical Globalization Perspective. Johns Hopkins University Press.

Rosser, A. (2015, Nov 20). Neo-liberalism and the Politics of Higher Education Policy in Indonesia. Comparative Education52 (2), 109-135. https://doi.org/10.1080/03050068.2015.1112566

Rosser, A. (2018, February 21). Beyond access: Making Indonesia’s education system work. Lowy Institute. Retrieved July 19, 2023, from https://www.lowyinstitute.org/publications/beyond-access-making-indonesia-s-education-system-work

Susilo, J. (2021). Neoliberalisasi Pendidikan Tinggi, Re-Strukturalisasi Institusi dan Perlawanan Gerakan Mahasiswa Kini, Studi Pasca PTN-BH UGM 2012-2020 [Skripsi]. UGM. http://dx.doi.org/10.13140/RG.2.2.31704.21765

Tabb, W. K. (1982). The Long Default: New York City and the Urban Fiscal Crisis. Monthly Review Press.

Wolff, R. D. (2012). Capitalism Hits the Fan: The Global Economic Meltdown and What to Do About It. Interlink Publishing Group Incorporated.

World Bank. (1998). Education in Indonesia: From Crisis to Recovery. Washington, DC: World Bank.


Anju Gerald, Mahasiswa Fakultas Teknik UGM

]]>
Apa Kata Marx tentang Pemerintahan Teknokrat? https://indoprogress.com/2022/07/apa-kata-marx-tentang-pemerintahan-teknokrat/ Sat, 23 Jul 2022 13:14:19 +0000 https://indoprogress.com/?p=236906

Foto: AFP/Getty Images


Pemerintahan persatuan nasional yang dipimpin sang “teknisi” Mario Draghi ambruk. Draghi, mantan presiden Bank Sentral Eropa, gagal membendung perpecahan politik di dalam kabinet. 

HANYA segelintir orang yang tahu bahwa di belantara topik yang menjadi perhatian Marx, ia juga sempat menulis kritik terhadap apa yang disebut-sebut “pemerintahan teknis” (atau pemerintahan teknokrat). Sebagai kontributor New York Tribune, salah satu suratkabar dengan sirkulasi terluas pada masanya, Marx mengamati arah perkembangan politik dan institusional yang kelak melahirkan satu di antara pemerintahan teknokrat pertama dalam sejarah: kabinet Earl of Aberdeen, yang berlangsung sejak Desember 1852 hingga Januari 1855.

Laporan-laporan Marx menonjol karena ketajaman dan sarkasmenya. Harian The Times merayakan momen-momen 1852 itu sebagai tanda bahwa Inggris berada di fajar ‘ketika ruh partai politik lenyap dari bumi, digantikan  kejeniusan, pengalaman, industri, dan patriotisme yang menjadi satu-satunya kualifikasi untuk menduduki jabatan’. Suratkabar London ini menyerukan ‘orang-orang dari semua kubu politik’ untuk bersatu menyokong pemerintah baru karena ‘prinsip-prinsipnya yang didukung dan bisa diterima semua kalangan’. Argumen serupa dikemukakan pada Februari 2021, ketika Mario Draghi, mantan Presiden Bank Sentral Eropa, menjadi Perdana Menteri Italia.

Dalam artikel bertajuk “A Superannuanted Administration: Prospect of the Coalition Ministry” (1853), Marx mencemooh sudut pandang The Times. Hal-hal yang dianggap modern dan memikat bagi suratkabar terdepan Inggris itu sangat rupanya sekadar lelucon di mata Marx. Ketika The Times mendeklarasikan “sebuah kabinet yang terdiri dari sosok-sosok baru, muda, dan menjanjikan”, Marx menyatakan bahwa “dunia pastinya tidak akan kaget menyaksikan era baru dalam sejarah Inggris Raya ini diresmikan oleh orang-orang kepala delapan yang sudah bau tanah”. Di samping menyoroti orang-orang di kabinet tersebut, Marx juga menyoroti kepentingan yang lebih besar dan kebijakan-kebijakan dalam kabinet ini: “Kita dijanjikan bahwa konflik antar partai—bahkan partai itu sendiri—akan lenyap,” kata Marx. “Lalu apa artinya The Times?”

Sayangnya isu yang diangkat Marx sangat penting buat hari ini, ketika kuasa kapital atas pekerja semakin liar persis seperti yang terjadi pada pertengahan abad ke-19. Pemisahan antara ekonomi dan politik—yang membedakan kapitalisme dari mode produksi sebelumnya—telah mencapai puncak. Tak hanya mendominasi politik dan mendikte agenda beserta keputusan-keputusannya, kuasa ekonomi bahkan berada di luar yurisdiksi politik dan kontrol demokratik—sampai-sampai perubahan pemerintahan tidak lagi mengubah arah kebijakan sosial dan ekonomi, yang tidak bergeser sama sekali.

Selama tiga puluh tahun terakhir, kewenangan dalam pengambilan keputusan telah berpindah dari ranah politik ke ekonomi. Opsi-opsi kebijakan yang sesungguhnya partisan kini sudah menjadi imperatif ekonomi yang menutup-nutupi proyek politik dan reaksioner ini dengan topeng ideologis kepakaran yang seolah apolitis. Diopernya unsur-unsur politik ke ekonomi, sebagai ranah khusus yang tahan perubahan, turut memunculkan ancaman terbesar terhadap demokrasi di zaman kita. Parlemen—yang marwah perwakilannya sudah terkikis oleh sistem pemilu yang berat sebelah dan campur tangan otoriter terhadap hubungan eksekutif-legislatif—mendapati kekuasaannya dirampas dan dioper ke ‘pasar’. Pemeringkatan oleh Standard & Poor’s dan indeks Wall Street—jimat sakti masyarakat dewasa ini—dianggap lebih lebih besar bobotnya ketimbang kehendak rakyat. Paling banter, pemerintah hanya mampu  ‘mengintervensi’ ekonomi. Kelas penguasa terkadang memang perlu mengurangi anarki kapitalisme beserta krisis-krisisnya yang merusak. Namun, pemerintah tidak akan bisa menggugat aturan dan pilihan-pilihan mendasar di bidang ekonomi.

Seorang wakil terkemuka dari fenomena ini adalah mantan Perdana Menteri Italia Draghi. Selama 17 bulan, ia memimpin koalisi yang sangat luas. Isinya termasuk Partai Demokrat, Silvio Berlusconi (musuh bebuyutan Draghi), hingga Five Star Movement yang populis dan partai kanan Lega Nord. Kita bisa menyaksikan ditangguhkannya politik di balik kedok istilah “pemerintahan teknis”—atau dalam bahasa mereka: “pemerintah yang terdiri dari orang-orang terbaik” atau “pemerintahan yang diisi orang-orang berbakat’ Dalam beberapa tahun terakhir, pendapat bahwa tidak boleh ada pemilu baru setelah krisis politik kian santer; politik harus menyerahkan seluruh kendali kepada ekonomi. Dalam sebuah artikel yang terbit pada April 1853, “Achievements of the Ministry”, Marx menulis bahwa “Kabinet Koalisi (‘teknis’) adalah simbol ketidakberdayaan politis”. Pemerintah tidak lagi membahas haluan ekonomi mana yang akan diambil. Sekarang haluan ekonomilah yang melahirkan pemerintahan.

Sebuah mantra neoliberal terus didengungkan beberapa tahun terakhir di Eropa: guna memulihkan ‘kepercayaan’ pasar, diperlukan percepatan ‘reformasi struktural’, sebuah ungkapan yang kini sama artinya dengan kehancuran sosial: pemotongan upah, serangan terhadap hak-hak kelas pekerja terkait perekrutan dan pemecatan, kenaikan usia pensiun, dan privatisasi berskala besar. Jalan ‘reformasi struktural’ ini telah ditempuh “pemerintahan-pemerintahan teknokratik” baru pimpinan orang-orang yang CV-nya penuh pengalaman pernah bekerja di institusi-institusi ekonomi yang paling bertanggung jawab atas krisis ekonomi. Mereka mengaku harus mengambil kebijakan-kebijakan tersebut “demi kemaslahatan negara” dan “generasi mendatang”. Tak hanya itu, kuasa ekonomi dan media arus utama pun mati-matian membungkam siapapun yang bersuara kritis.

Per hari ini Draghi tidak lagi menjadi Perdana Menteri Italia. Koalisinya telah ambruk karena ekstremnya perbedaan kebijakan-kebijakan  dari partai-partai pendukungnya. Pemilu Italia akan diadakan lebih awal pada 25 September. Jika kaum Kiri tidak ingin lenyap, mereka harus berani mengusulkan kebijakan radikal yang diperlukan untuk mengatasi masalah-masalah kekinian yang paling mendesak, dimulai dari krisis lingkungan. Orang-orang yang tidak mampu menjalankan program transformasi sosial dan redistribusi kekayaan adalah para ‘teknokrat’—yang sebenarnya sangat politis—seperti bankir Mario Draghi.

Dan Draghi tidak akan dirindukan.***


Marcello Musto adalah Profesor Sosiologi di Universitas York (Toronto, Kanada). Tulisan- tulisannya yang bisa diakses di www.marcellomusto.org telah diterjemahkan ke dalam dua puluh lima bahasa. Artikel jurnal terbarunya berjudul “War and the Left: Considerations on a Chequered History” dan diterbitkan oleh Critical Sociology.

]]>
Gerak Neoliberal dalam Investasi Kereta Cepat Jakarta-Bandung https://indoprogress.com/2021/11/gerak-neoliberal-dalam-investasi-kereta-cepat-jakarta-bandung/ Fri, 26 Nov 2021 09:55:28 +0000 https://indoprogress.com/?p=236384

Ilustrasi: Jonpey


PEMBANGUNAN kereta cepat Jakarta-Bandung (KCJB) yang merupakan Kerjasama Indonesia dan Tiongkok memasuki babak baru. Presiden Jokowi melalui Peraturan Presiden (Perpres) no. 93 Tahun 2021 tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 107 Tahun 2015 tentang Percepatan Penyelenggaraan Prasarana dan Sarana Kereta Cepat Antara Jakarta dan Bandung, telah membuka ruang negara untuk lebih lanjut memastikan dan menjamin keberlangsungan proyek tersebut.

Isi peraturan tersebut di antaranya adalah menunjuk Luhut Panjaitan sebagai ketua Komite Kereta Cepat antara Jakarta dan Bandung. Dari sisi finansial, Perpres tersebut memberikan ruang bagi negara untuk bisa memberikan penjaminan kewajiban konsorsium BUMN akibat kenaikan atau perubahan biaya (cost overrun) proyek. Bahkan, Proyek KCJB masuk ke dalam proyek strategis nasional yang diatur dalam bentuk Peraturan Presiden (Perpres) No. 56 tahun 2018 Tentang Perubahan Kedua atas Perpres No. 3 tahun 2016 tentang Percepatan Pelaksanaan Proyek Strategis Nasional di mana Kereta Cepat antara Jakarta – Bandung masuk menjadi proyek strategis nasional. Deretan regulasi untuk mendukung proyek ini tidak lepas dari ambisi Jokowi menjadikan Indonesia memiliki kereta berkecapatan tinggi pertama di Asia Tenggara. Selain itu KCJB memungkinkan terbukanya ruang-ruang ekonomi baru dikawasan aglomerasi Jakarta dan Bandung.

Namun, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan. Agresivitas Tiongkok dalam proyek kereta cepat di Indonesia merupakan bagian dari proyek ekonomi politik Belt and Road (BRI) yang digagas Xin Jinping pada 2013 lalu. Menurut Bank Dunia (2018), BRI merupakan upaya ambisius Pemerintah Tiongkok untuk meningkatkan kerjasama regional dan meningkatkan konektivitas dalam skala lintas benua. Inisiatif ini bertujuan memperkuat hubungan infrastruktur, perdagangan, dan investasi antara Tiongkok dan sekitar 65 negara lain yang secara kolektif menyumbangkan lebih dari 30% dari Produk Domestik Bruto (PDB), 62% populasi dan 75% cadangan energi. Potensi besar ini dilihat sebagai momentum perluasan modal dalam kerangka BRI.

Argumen tulisan ini dibangun dengan proposisi David Harvey (2008) bahwa siklus krisis neoliberalisme mengenai spatial fix temporary adalah merupakan imbas overaccumulation capital yang dialami Tiongkok. Investasi Indonesia dan Tiongkok telah menciptakan ruang di bawah strategi BRI sebagai saluran akumulasi melalui penciptaan ruang-ruang ekonomi baru sepanjang trase kereta cepat.

Ada beberapa hal penting yang saya identifikasi terkait perkembangan kapitalisme Tiongkok ini. Pertama, PDB Tiongkok pada sepuluh tahun terakhir mengalami peningkatan. Kedua, multilateral development bank Tiongkok sebagai kanalisasi pinjaman kapital dari Tiongkok, yang mana dalam pengalaman China Development Bank (CDB) memberikan fasilitas pinjaman modal investasi KCJB. Selain itu, saya mengidentifikasi kerangka kerjasama invesatasi berdasarkan business to business (B to B ) antara Indonesia dan Tiongkok melalui PT Kereta Cepat Indonesia Tiongkok, dimana negara memberikan jaminan dalam proyek tesebut. Akhir tulisan ini menjelaskan bagaimana gerak kapital dari investasi KCJB memiliki dampak serius terhadap aliansi kelompok sipil oposan proyek. Lemahnya kekuatan kelompok sipil ditengarai disebabkan oleh perubahan masyarakat pasar yang justru bersedia melepas aset lahan karena dinilai menguntungkan.


Kebangkitan Kapital Tiongkok

Ekonomi dunia berada pada titik perdebatan mengenai babak baru dari ekonomi internasional yang menempatkan Tiongkok sebagai pusat perhatian baru global saat ini.  Berdasarkan database IMF, pertumbuhan PDB Tiongkok dari tahun 2015 hingga 2017 terus mengalami kenaikan. Pada 2015, misalnya, PDB mencapai US$11.065 triliun, dan naik pada tahun berikutnya menjadi US$11.191 triliun. Pada 2017, PDB Tiongkok naik menjadi US$12.238 triliun atau tumbuh dari 6,7% ke 6,9% pada 2016 hingga 2017. Dalam kurun waktu dua puluh tahun terakhir, Tiongkok mengalami perubahan ekonomi dan moneter internasional secara dramatis, yaitu kebangkitan perekonomian Tiongkok. Menurut catatan IMF, pada akhir 1999, Tiongkok termasuk negara dengan pendapatan rendah dan masih tercatat sebagai negara penerima bantuan asing. Bahkan Tiongkok sebelumnya bukan salah satu dari sepuluh besar negara teratas dalam kuota dan hak suara di IMF. Walhasil, Tiongkok kala itu bukan negara yang secara signifikan dapat mengklaim posisi tawar di organisasi moneter internasional (IMF). Pertumbuhan ekonomi Tiongkok dapat dilihat pada penggunaan mata uang Renminbi yang dalam dua puluh tahun lalu terbatas hanya di dalam negeri–Tiongkok–dan kini telah tumbuh 9% rata-rata per tahun. Market share PDB global, Renminbi telah berlipat empat dari 3% menjadi 15% di mana tingkat pertumbuhan nominalnya pada periode yang sama mencapai rata-rata 13,4%. Bahkan pasca pandemi, PDB Tiongkok diprediksi tumbuh menjadi 8,2 % dan menjadi negara yang mampu menyumbang 27,7 % terhadap pertumbuhan ekonomi dunia.

Di Asia Tenggara, koridor ekonomi BRI memiliki dua jenis konektivitas yang tersambung langsung ke Tiongkok daratan, di antaranya maritim, melalui Laut Tiongkok Selatan ke selatan melalui Singapura dan utara Jakarta serta tersambung ke Selat Malaka yang mengarah ke India (Asia Selatan). Kemudian, melalui jalur darat yang membentang di utara Laos hingga Selatan Malaysia. Secara ekonomi, kawasan Asia Tenggara membutuhkan peningkatan infrastruktur untuk mendorong pertumbuhan ekonomi melalui peningkatan investasi, perdagangan dan konektivitas kawasan. Laporan ADB dalam Asia’s Infrastructure Needs tahun 2017 menunjukan kebutuhan negara-negara Asia Tenggara atas investasi infrastruktur berbasis transportasi, energi, dan infrastruktur penunjang ekonomi lainnya pada 2016-2030 membutuhkan antara US$2,8 triliun hingga US$3,1 triliun (ADB 2017: 19-26). Lebih lanjut ADB memaparkan bahwa terjadi eskalasi total perdagangan barang baik didalam kawasan Asia Tenggara maupun luar Asia tenggara sebesar US$4 triliun pada 2010 meningkat US$5 triliun pada 2016-2017 (kuartal pertama).

Hal ini yang membuat proyeksi pertumbuhan rata-rata PDB tahunan negara-negara kawasan Asia Tenggara sebesar 5,25 % di rentang 2016 hingga 2020 (ADB 2017).  Proyeksi positif dan potensi ekonomi di negara-negara Asia Tenggara berkorelasi dengan penetrasi investasi Tiongkok di kawasan Asia Tenggara. Data Oxford Economics 2017 yang juga dikutip oleh LSE tentang Tiongkok’s Belt and Road Initiative (BRI) and Southeast Asia tahun 2018 menjelaskan bahwa arus investasi Tiongkok dan pembiayaan infrastruktur di negara-negara Asia Tenggara cukup signifikan. Indonesia menduduki posisi tertinggi dengan nilai aliran dana yang diterima sebesar US$171,11 juta, diikuti Vietnam sebesar US$151,68, Kamboja sebesar US$103,93; Malaysia sebesar US$98,46; dan Singapura sebesar US$70,09.


Kereta Cepat Indonesia-Tiongkok: Gerak Kapital

Agresivitas Tiongkok di bidang investasi kereta cepat telah terlihat beberapa tahun terakhir. Menurut Statistics of International Union of railways, per November 2013, jarak tempuh operasi kereta cepat Tiongkok telah mencapai 11.028 km diseluruh dunia. Investasi dalam negeri Tiongkok mengalami peningkatan yang signifikan. Setidaknya pada2014 dan 2015 belanja kereta cepat telah mengahbiskan lebih dari US$100 milyar hanya untuk manufaktur infrastruktur kereta cepat dalam negeri. Dalam Majalah Keuangan Tiongkok, Cixin melaporkan bahwa Tiongkok menginvestasikan US$567 milyar dalam infrastruktur kereta cepat periode 2016 hingga 2020 lebih besar dibandingkan pada periode 2010 hingga 2015 yang pada nilai US$522 milyar. Segmentasi industri kereta cepat Tiongkok berdasarkan surat kabar bisnis dari Tiongkok, The 21st Century Business Herald (dalam Chan 2016) pada pasar global dimulai sejak 2008 di mana Tiongkok merilis untuk pertama kalinya Kereta Cepat trase Beijing hingga Tianjin. Market share industri kereta cepat Tiongkok sebesar 6,005.4 milyar Yuan atau 34,5 % dari seluruh investasi industri kereta cepat di dunia. Laporan investasi perusahaan kereta Cepat Tiongkok, CRRC terlihat bagaimana terjadinya peningkatan aktvitas industri kereta cepat di Tiongkok. CRRC menandatangani kontrak hingga 2020 sebesar US$150 milyar di luar negeri dengan skema bisnis join venture. Memang agresivitas penjualan manufaktur kereta cepat di dalam negeri hanya tumbuh 0,9% walaupun telah menguasai manufaktur kereta cepat di dalam negeri. Namun, menurut laporan terbaru CRRC, aktivitas investasi di luar negeri mengalami peningkatan 61% dari rentang 2015 hingga 2020.

Di Indonesia, agresivitas investasi kereta cepat Tiongkok dengan logika kapital negara mengalami pertautan. Ini terlihat dari bagaimana investasi KCJB yang semula merupakan mekanisme investasi berbasis Business to Business (B to B) kemudian berubah ketika Jokowi mengambil langkah politik dengan mengintervensi investasi menggunakan APBN sebagai jaminan pembiayaan. Sumber pendanan modal proyek KCJB didasarkan pada Perpres no. 93 Tahun 2021 tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 107 Tahun 2015 dimana terdiri dari tiga sumber modal. Pertama, penerbitan surat utang–obligasi–oleh konsorsium dalam hal ini PT KCIC. Kedua, pinjaman dari lembaga keuangan luar negeri atau multilateral–dalam hal ini China Development Bank (CDB) yang merupakan lembaga keuangan multilateral. Melalui China Development Bank (CDB), KCJB mendapatkan aliran pinjaman modal sebesar USD 4,5 milyar. Pinjaman PT KCIC kepada CDB memiliki konsensus selama 50 tahun dengan 10 tahun pertama merupakan  grace periode–masa tenggang dengan hanya membayar bunga pinjaman–dan melakukan cicilan dengan bunga sebesar 2% selama 40 tahun. Serta ketiga, yang juga menjadi hal baru dari perkembangan proyek ini, pembiayaan yang berasal dari APBN. Pembiayaan yang dimaksud merupakan bagian antisipasi pemerintah atas perubahan jumlah pembiyaan yang berakibat gagalnya proyek.

Dalam proyek ini, pemerintah menugaskan empat BUMN yakni PT Wijaya Karya (Persero) Tbk, PT Kereta Api Indonesia (Persero), PT Perkebunan Nusantara VIII, dan PT Jasa Marga (Persero) Tbk yang kemudian mendirikan PT Pilar Sinergi BUMN Indonesia (PBSI) dengan komposisi pemegang saham diantaranya, PT Wika sebesar 38%; PT KAI sebesar 25%; PTPN VIII sebesar 25%; dan PT Jasa Marga sebesar 12% (Laporan Keuangan Tahunan WIKA 2016, Laporan Keuangan Tahunan PT KAI 2017 & Laporan Keuangan Tahunan PTPN VIII 2017).  Selanjutnya PT PBSI menandatangani Joint Venture Agreement (JVA) pada 16 Oktober 2015 dengan Tiongkok Railway International Co. Ltd (Beijing Yawan HSR Co. Ltd) untuk kemudian membentuk perusahaan Penanaman Modal Asing (PMA) bernama PT Kereta Cepat Indonesia (KCIC). Adapun struktur permodalan PT KCIC yang terdiri atas PT Pilar Sinergi BUMN Indonesia (PT PSBI) dengan Tiongkok Railway International. Co.Ltd  berlangsung dengan pembagian porsi saham 60% dikuasai PT PBSI dan 40% dikuasai Tiongkok Railway International. Co.Ltd.

Dari sini terlihat bahwa konfigurasi perusahaan kereta cepat didominasi kapital perusahaan negara. Alasan inilah menjadikan pembiayaan APBN sebagai jaminan dalam keberlangsungan proyek ini. Ini sejalan dengan J. Danang Widoyoko (2019) yang melihat adanya perkembangan kapitalisme negara. Widoyoko (2019) melihat adanya pergeseran signifikan antara kekuatan kapital BUMN dengan oligarki. Pada era Orde Baru, BUMN seperti Pertamina menjadi sumber kapital para konglomerat untuk menjadi pemasok minyak mentah atau penyedia kapal tanker. Sementara itu, PLN dipaksa membeli batu bara dari elite politik dan konglomerat pemilik konsesi tambang untuk pembangkit listrik (Widoyoko dalam Mudhoffir dan Pontoh 2019: 278).

Secara tegas, Widoyoko (2019) melihat relasi oligarki dengan BUMN memunculkan pola hubungan yang berbeda. Identifikasi ini dilihat dari sektor infrastruktur dan konstruksi yang menempatkan BUMN menjadi pemain utama di segmennya. Sedangkan para oligarki di hadapan BUMN hanya sebagai mitra “junior”. Walaupun dalam tulisan ini saya tidak akan menekankan secara khusus perkembangan relasi oligarki, akan tetapi perkembangan kapitalisme Indonesia sejak awal telah diinkubasi dan melahirkan struktur kekuasaan “para konglomerat”. Hanya saja, seperti yang diungkapkan Widoyoko (2020), dominasi relasi oligarki bergeser menjadi mitra bagi penguatan kapitalisme negara pasca-otoriter dan proyek KCJB memberikan gambaran bahwa tranformasi kapitalisme negara mengarah pada konvergensi kepentingan pasar yang lebih luas.


Penciptaan Ruang Ekonomi: Privatisasi Lahan

Sejak awal, fokus utama pembangunan kereta cepat adalah pengembangan kawasan ekonomi baru. Press ReleaseGroundbreaking Proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung oleh Presiden Joko Widodo” (2016) yang dikeluarkan salah satu BUMN konsorsium PT KCIC, PT WIKA, menegaskan bahwa pembangunan kereta cepat merupakan lokomotif tumbuhnya ekonomi dan dapat menjadi akselerasi sentra ekonomi regional. Secara eksplisit, WIKA menegaskan pengembangkan ekonomi utama berada pada dua titik yaitu kawasan industri karawang dan pengembangan kota baru Walini yang sama-sama akan diintegerasikan dengan stasiun kereta cepat. Stasiun berbasis Transit Oriented Development (TOD) yang terdiri atas empat titik, meliputi TOD Halim di Jakarta serta TOD Karawang, TOD Walini, dan TOD Tegalluar yang masing-masing berada di wilayah Jawa Barat. Masing-masing TOD tersebut memiliki konsep tematik di setiap TOD yang berbasis integrasi kegiatan ekonomi di masing-masing wilayahnya. Bahkan, baru-baru ini, kunjungan Luhut Panjaitan ke Stasiun Padalarang ditujukan untuk memastikan dibangunnya stasiun tambahan di kawasan tersebut.

Lantas apa makna pembangunan TOD tersebut?

Pengembangan ruang ekonomi menjadi bagian penting dari pembangunan TOD sepanjang trase KCJB. Hal ini tidak lepas dari aglomerasi kota utama yang penting dalam mengidentifikasi overaccumulation yang terjadi di dua kota utama yaitu DKI Jakarta dan Kota Bandung.  Overaccumulation di sini merupakan kejenuhan dan penumpukan investasi di kota utama berbasis industrialisasi (Harvey, 2003 & 2005). Overaccumulation adalah pratanda krisis yang diikuti surplus kapital baik berupa modal maupun uang serta surplus tenaga kerja yang dilanjutkan dengan ketidakmampuan menggunakan surplus yang ada (Harvey 2003: 86). Perluasan geografis merupakan pilihan tunggal untuk memperpanjang umur dari kapitalisme yang hari ini mengambil corak utama neoliberalisme.

Dalam konteks KCJB, pergerakan aktivitas industri ini teridentifikasi pada peningkatan wilayah sekitaran kota utamanya, yakni wilayah Fringe Region DKI Jakarta Bogor, Tangerang, Bekasi, Serang, dan Karawang yang mengalami peningkatan penduduk. Pola yang sama juga nampak pada Bandung Raya. Aktivitas ekonomi dari pusat regional ke spasial-spasial terdistribusi di sekitarnya. Hal ini terlihat pada beberapa contoh, misalnya pengembangan wilayah timur Jakarta, tepatnya di kawasan Kabupaten Bekasi; Trase KCJB melalui kawasan bisnis dan perumahan seperti Lippo Karawaci, persisnya tepatnya di pinggir Tol Jakarta-Cikampek; CBD Meikarta Orange Country milik Lippo Group, serta kawasan perumahan Delta Mas, milik pengembang Sinarmas Land.

Trase KCJB pun menjadi kawasan yang strategis secara ekonomi. Bisnis TOD KCJB beroperasi melalui kerja-kerja perampasan yang “legal”. Terdapat dua pola privatisasi yang terjadi dalam proyek KCJB. Pertama, privatisasi aset negara, dalam hal ini BUMN yang tergabung dalam PT PSBI dalam penyertaan modal. Kedua, privatisasi melalui transaksi lahan antara PT KCIC dengan masyarakat sipil yang wilayahnya terkena dampak proyek kereta cepat. Dalam penyertaan modal BUMN-BUMN yang terlibat dalam proyek KCJB yang tergabung dalam PT PSBI, beberapa perusahaan BUMN melakukan penyertaan modal dalam bentuk aset. PTPN VIII, PT KAI dan Jasamarga, misalnya, melakukan penyertaan modal berupa aset-aset lahan yang dimiliki masing-masing perusahaan. Ini berbeda dengan PT WIKA yang tidak lain adalah satu-satunya perusahaan yang meneribitkan surat utang paling besar sebagai penyertaan modal dalam proyek ini mengingat statusnya sebagai pemegang saham PT PSBI terbesar.

Privatisasi lahan milik masyarakat berlangsung melalui mekanisme transaksional ganti rugi dalam pembebasan lahan untuk proyek KCJB.  Pembebasan lahan masyarakat dilakukan oleh PT KCIC melalui pihak ketiga, yang dalam hal ini adalah PT Arjuna yang melakukan pembebasan lahan milik masyarakat. Secara teknis, PT Arjuna akan melakukan pembelian lahan milik masyarakat yang kemudian akan dibeli kembali oleh pihak PT KCIC sehingga PT Arjuna bertanggung jawab dalam pengurusan terkait harga, dialog dengan masyarakat, hingga persoalan administrasi seperti sertifikat yang berdasarkan b to b yang mengedepankan proses transaksi ganti rugi.

Identifikasi seperti ini menunjukan bahwa sistem keuangan yang dimaksud Harvey terintegrasi dengan sirkuit kapital global yang mampu melakukan konsolidasi akumulasi kapital secara terkoordinasi oleh negara–dalam hal ini BUMN yang terlibat dalam konsorsium PT KCIC. Sedangkan arus kredit di lini lain yaitu konsumsi, didasarkan pada kebutuhan atas hunian dan fasilitas transportasi yang terintegrasi dan berpotensi menciptakan aktivitas-aktivitas produksi ekonomi dalam suatu ruang yang terpisah-pisah secara spasial. Hal ini akan dibuktikan pada bagian selanjutnya mengenai akumulasi kapital melalui penjarahan dalam pembangunan TOD KCJB.

Kecenderungan sistem pasar untuk melakukan melakukan eksploitasi sumber daya milik bersama seperti air dan tanah terjadi hingga kini khususnya di negara-negara berkembang. Privatisasi dan deregulasi menjadi kombinasi selanjutnya bagi neoliberalisme untuk menyelesaikan permasalahan akumulasi nilai tambah kapitalisme di dalam satu ruang, yang lebih lanjut disebut overaccumulation (Harvey 2003: 67).


Lemahnya Kekuatan Kelompok Sipil

Gerak kapital memiliki implikasi serius terhadap ruang-ruang hidup masyarakat di kawasan terdampak, yang pada akhirnya secara bersamaan telah melemahkan kekuatan gerakan sipil, yang merupakan oposisi dari proyek KCJB. Sebenarnya perlawanan proyek KCJB sudah muncul sejak awal proyek. Gerakan #formjabar yang digagas beberapa kelompok aktivis di Jawa Barat seperti Walhi Jabar dan LBH Bandung, misalnya, sejak awal berkampanye tentang dampak masif dari proyek KCJB seperti kerusakan lingkungan di kawasan proyek hingga marjinalisasi masyarakat terdampak. Namun, gerakan ini tidak berlangsung lama. Terdapat pola kontradiktif di dalam kekuatan arus bawah. Bubarnya koalisi masyarakat sipil pada akhir 2017 disebabkan oleh bergesernya masyarakat sosial menjadi masyarakat ekonomi secara masif.

Masyarakat terdampak terus dicekoki dalil kepentingan negara dan pembangunan yang dipropagandakan melalui perangkat-perangkat desa dan pemerintahan kabupaten terdampak melalui sosialisasi pembebasan lahan. Akibatnya, dukungan justru tidak didapatkan dari masyarakat arus bawah sebagai subyek perjuangan dari gerakan itu sendiri (Rainditya, 2019). Ini sejalan dengan argumen Wendy Brown (2019) yang menyatakan bahwa dalam pengertian neo-Marxis, neoliberalisme juga dimaknai sebagai proyeksi kekuasaan kaum borjuis (pemilik kapital) untuk menghancurkan berbagai hambatan terhadap kapital, menaklukkan tuntutan redistribusi modal yang berkeadilan, dan menghancurkan kekuatan dan harapan kekuatan kelas pekerja baik di negara maju maupun berkembang. Lebih lanjut, Brown (2019) menegaskan bahwa homo economicus menjadi konsekuensi dari tata masyarakat baru di alam neoliberal, yang tentu memiliki implikasi pada demokrasi. Sejalan dengan argumen Brown (2019), warga terdampak proyek KCJB mudah melepas kepemilikan lahan karena struktur masyarakat yang bertransformasi dari masyarakat sosial menjadi masayarakat ekonomi. Praktis, relasi-relasi yang terbentuk didasarkan pada kapital, yang dalam hal ini adalah ganti untung yang menjanjikan.


Kesimpulan

Tulisan ini memberikan gambaran singkat bahwa gerak kapital Tiongkok melalui investasi KCJB membuka karakter dari logika kapitalisme negara. Transformasi pasca-otoriter terlihat dari bagaimana kapitalisme negara mendominasi ruang ekonomi politik nasional. Gerak kapital Tiongkok melalui strategi ekonomi politik BRI  cukup efektif melakukan penetrasi kapital melalui kerjasama di negara-negara mitranya, tidak terkecuali melalui “bisnis” kereta cepat. Proyek ini tidak dapat dimaknai hanya sebagai kereta berkecepatan tinggi antara dua kota besar di Indonesia, Jakara dan Bandung.

Namun, terdapat corak neoliberal yang kentara dari aktivitas investasi tersebut. Pertama, agresivitas Tiongkok melalui investasi kereta cepat b to b diikuti dengan fasilitas pembiayaan kapital melalui China Development bank (CDB) dengan skema pembiayaan utang. Namun, intervensi kapital Tiongkok yang masuk direspon oleh Indonesia melalui intervensi negara melalui deregulasi via berbagai Perpres yang diterbitkan. Deregulasi tersebut memungkinkan investasi modal BUMN dengan penyertaan aset dalam proyek serta jaminan pembiayaan melalui anggaran negara. Hal ini secara bersamaan menguak dua hal: Investasi Tiongkok dengan corak khas neoliberal serta “kapital negara” sebagai corak khas dari model kapitalisme Indonesia.

Kedua, proyek KCJB telah menciptakaan ruang-ruang ekonomi baru yang eksklusif. Implikasi praktisnya, privatisasi ruang dan marjinalisasi warga terdampak. Konvergensi neoliberal Tiongkok dan kapital negara nyata-nyata telah menciptakan perilaku sosial warga yang justru berorientasi pasar. Ini terlihat dari lemahnya kekuatan kelompok sipil oposisi #fromJabar yang digagas sejak proyek KCJB dimulai. Terdapat kontradiksi antara perjuangan gerakan dengan warga yang menjadi subjek perjuangan. Warga justru memperjuangkan ganti untung ketimbang mempertahankan kepemilikan lahan mereka. Dilihat dari pembangunan pemukiman menengah dan mewah yang masif disepanjang trase KCJB, praktis ruang-ruang yang ada pun kian menjadi eksklusif.***


Kepustakaan

Asian Development Bank. (2011). ASIA 2050 Realizing the Asian Century. ADB. Manila: ADB Publish.

Asian Development Bank. (2017). Meeting Asia’s Infrastructure Needs. Mandaluyong: ADB Publish.

Brown, Wendy. 2019. In the Ruins of Neoliberalism: The Rise of Antidemocratic Politics in The West. Columbia University Press. Columbia.

Brown, W. 2015. Undoing the Demos: Neoliberalism’s Stealth Revolution. Zone Book.

Chan, Gerald. 2016. China’s High-speed Rail Diplomacy: Global Impacts and East Asian Responses. University of Auckland

China Development Bank. 2017. Annual Report 2017. Beijing: CDB

China Development Bank. 2017. Loan Agreement Signed for Indonesia’s Jakarta-Bandung High-Speed Railway Project (dalam http://www.cdb.com.cn/English/xwzx_715/khdt/201708/t20170829_4510.html diakses tanggal 10 November 2021)

CIMB Southeast Asia Research. 2018. China’s Belt and Road Inisiative (BRI) and Southeast Asia. Zafar. Kuala Lumpur

CRRC Annual Report 2020 dalam            http://www.crrcgc.cc/Portals/73/Uploads/Files/2021/4-25/637549450316272405.pdf

Endrawati. Oktiani. November 2021. Investasi China di RI Meroket Sejak 2015, Ada 72 Proyek Senilai USD21 Miliar. IDX Channel (dalam https://www.idxchannel.com/economics/investasi-china-di-ri-meroket-sejak-2015-ada-72-proyek-senilai-usd21-miliar diakses tanggal 12 November 2021)

Harvey, David. 2005. a Brief History of Neoliberalism. London: Oxford University.

—. 2014. Seventeen Contradictions and The End of Capitalism. London: Profile Books.

—. 2003. The New Imperialism. New York: Oxford University Press.

Hidayat, Reja. Agustus 2017. Bisnis Jual-Beli Lahan di Proyek Kereta Cepat. Tirto (dalam https://tirto.id/bisnis-jual-beli-lahan-di-proyek-kereta-cepat-ctJk diakses tanggal 9 November 2021).

Jian. Zhao. Juli 2016 Railway System Expansion Should Reflect the New Economy Reality. Caixin Global (dalam https://www.caixinglobal.com/2016-07-08/railway-system-expansion-should-reflect-the-new-economy-reality-101046198.html diakses tanngal 15 November 2021).

Pratomo. M. Nurhadi. Januari 2018. Proyek Kereta Cepat: Pinjaman dari CDB Cair dalam 10 Hari ke Depan. Binis.com (dalam https://ekonomi.bisnis.com/read/20180110/45/725103/proyek-kereta-cepat-pinjaman-dari-cdb-cair-dalam-10-hari-ke-depan diakses tanggal 10 November 2021).

Robison, Richard. 2009. Indonesia: The Rise of Capital. Singapore: Equinox Pubhlising (Asia) LTD.

Rainditya. Deda R. 2019. Konvergensi Agenda Neoliberalisme dan Relasi Oligarki dalam Keputusan Politik Kereta Cepat Jakarta-Bandung (Thesis Skripsi, Universitas Airlangga 2019) dalam https://repository.unair.ac.id/100598/.

Widoyoko, J. Danang. [ed. Abdil Mughis Mudhoffir dan Coen Husain Pontoh]. 2019. Perubahan dan Kesinambungan Kapital di Indonesia: Oligarki dan Kapital Negara, dalam Oligarki: Teori Dan Kritik. Jakarta: Marjin Kiri

World Bank. 2013. Belt and Road Initiative. dalam https://www.worldbank.org/en/topic/regional-integration/brief/belt-and-road-initiative (diaskes tanggal 12 November 2021).***


 

]]>