militer – IndoPROGRESS https://indoprogress.com Media Pemikiran Progresif Fri, 27 Jun 2025 21:53:22 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.4.3 https://indoprogress.com/wp-content/uploads/2021/08/cropped-logo-ip-favicon-32x32.png militer – IndoPROGRESS https://indoprogress.com 32 32 Teror dan Militer dalam Kapitalisme: Perspektif Negara Polisi Global https://indoprogress.com/2025/06/teror-dan-militer-dalam-kapitalisme-perspektif-negara-polisi-global/ Fri, 27 Jun 2025 21:53:22 +0000 https://indoprogress.com/?p=239014

Ilustrasi: Flickr/Ahdieh Ashrafi


KEBEBASAN pers yang ditegakkan sejak Reformasi ternyata belum mampu memberikan apalagi menjamin keamanan para jurnalis. Bahkan secara umum kebebasan berpendapat itu sendiri belum sepenuhnya tegak. Buktinya, pihak yang mengalami kekerasan bukan hanya para buruh tinta, tapi juga aktivis, akademisi, dan warga biasa yang bersuara kritis. Ancaman terhadap suara-suara kritis masih terus berlangsung. Salah satu contoh terbaru adalah teror kepala babi dan bangkai tikus yang diterima wartawan Tempo

Sejak peristiwa itu mencuat, berbagai analisis telah bermunculan dengan macam-macam pendekatan. Namun sebagian besar hanya menyoroti aspek umum seperti kebebasan pers atau hak asasi manusia tanpa mengaitkannya dengan kerangka yang lebih besar, yakni struktur ekonomi-politik kapitalisme global. Kapitalisme membutuhkan negara sebagai polisi global guna memastikan stabilitas ekonomi dan sosial yang berpihak pada kepentingan mereka. Tulisan ini berupaya menyajikan itu: membaca kasus teror terhadap jurnalis, aktivis, dan akademisi sebagai bagian dari mekanisme kontrol atas narasi yang dianggap mengancam kepentingan ekonomi kapitalis.

Untuk mendukung argumen tersebut, tulisan ini akan mengacu pada teori “negara polisi global” (global police state) yang dikembangkan oleh William I. Robinson, profesor sosiologi di University of California, Santa Barbara, melalui buku The Global Police State (2020). Tulisan ini akan diawali dengan penjelasan mengenai konsep negara polisi global, kemudian menghubungkannya dengan berbagai teror yang terjadi.


Apa itu negara polisi global?

Menurut Robinson, konsep negara polisi global mencakup tiga proses yang saling berkaitan. Pertama, munculnya sistem kontrol sosial yang dirancang untuk mengawasi, mengatur, dan menekan masyarakat. Dalam sistem ini, represi dan kekerasan (termasuk perang) digunakan oleh elite untuk meredam potensi pemberontakan dari kelas pekerja global dan kelompok surplus (mereka yang dianggap tidak produktif atau tidak terakomodasi dalam struktur ekonomi kapitalis). Ketimpangan yang semakin menganga baik antarnegara (antara negara maju dan miskin) maupun di dalam negeri (antara kelas sosial) memperparah ketegangan politik. Ketika sistem gagal memberi ruang hidup bagi kelompok-kelompok ini, maka langkah-langkah represif diterapkan termasuk pembatasan mobilitas dengan membangun tembok perbatasan, deportasi, penahanan massal, dan pemisahan spasial. Pengawasan ketat oleh negara dan korporasi juga menjadi elemen penting untuk membungkam kritik dan protes, dilakukan melalui berbagai alat kekuasaan. Lebih jauh, sistem ini diperkuat dengan teknologi digital dan beragam inovasi hasil revolusi industri keempat. Ini memungkinkan terciptanya bentuk pengawasan dan penindasan yang kian canggih sekaligus mematikan.

Kedua, kian pentingnya peperangan, pengawasan, dan represi untuk akumulasi kapital terutama di tengah kemacetan pertumbuhan ekonomi. Robinson menyebut fenomena ini sebagai “akumulasi militer”, yakni akumulasi yang berlangsung dengan represi. Ketimpangan global yang ekstrem hanya bisa dipertahankan melalui mekanisme kontrol sosial dan kekerasan yang tersebar luas. Bahkan tanpa motif politik yang eksplisit, para elite kini memiliki kepentingan ekonomi langsung dengan perang, konflik, dan penindasan—sebab itu bisa menjadi sumber keuntungan. Ketika kekerasan dan perang yang semula dijalankan negara mulai diprivatisasi, kepentingan korporasi dan kelompok kapitalis mendorong pergeseran lanskap politik, sosial, dan ideologis ke arah yang justru memelihara konflik, misalnya yang terjadi di Timur Tengah.

Ketiga, Robinson menyoroti kecenderungan global yang pemerintahannya semakin menyerupai fasisme atau sistem totaliter dalam arti luas. Pengaruh partai dan gerakan neo-fasis, otoriter, serta populis sayap kanan tengah menguat di berbagai belahan dunia. Di Amerika Serikat, itu mewujud dalam trumpisme. Proyek fasisme abad ke-21 ini telah meraih kemajuan signifikan dalam merebut kekuasaan di sejumlah negara kapitalis. Mereka pun semakin menancapkan pengaruh di kehidupan sosial dengan nilai-nilai seperti misogini dan rasisme. Nilai-nilai ini menciptakan suasana yang melegitimasi kekerasan sistematis, terutama terhadap kelompok-kelompok yang terpinggirkan secara rasial, etnis, dan ekonomi. Meski demikian, keberhasilan proyek fasis ini bukanlah keniscayaan; keberlanjutannya sangat ditentukan oleh dinamika pertarungan kekuatan sosial dan politik dalam waktu dekat.

Singkatnya, esensi dari negara polisi global terletak pada mekanisme kontrol dan pengawasan yang menyeluruh. Ia berfungsi sebagai instrumen bagi kapitalisme dalam proses akumulasi kapital. Oleh karena itu, negara polisi global pada dasarnya merupakan cerita tentang bagaimana kaum miskin dan kelas pekerja dikendalikan dan ditekan untuk memastikan stabilitas yang hanya menguntungkan segelintir elite pemilik sumber daya ekonomi dan politik.


Militer sebagai alat kontrol dalam kapitalisme 

Negara polisi global mengandalkan militer sebagai instrumen untuk melindungi dan memperkuat kepentingan ekonomi kapitalis; militer menjadi penting untuk memperkuat kapasitas negara dalam hal pengawasan dan pengendalian warga. Ini menciptakan keterkaitan yang kuat antara institusi militer dan sektor ekonomi.

Di Indonesia, keterkaitan antara militer dan sektor-sektor ekonomi kapitalis tercermin jelas dalam studi terbaru yang dirilis oleh Agrarian Resource Center (ARC) pada tahun 2024 berjudul Kapitalisme Militer: Akumulasi Sumberdaya Ekonomi Militer melalui Perampasan Lahan. Studi ini menyoroti kasus perampasan lahan di wilayah pesisir Pantai Urutsewu oleh TNI Angkatan Darat untuk pertambangan pasir besi yang dijalankan oleh PT Mitra Niagatama Cemerlang (MNC). Kasus ini hanya satu contoh saja dari sekian banyak praktik keterlibatan tentara dalam proyek-proyek bisnis dan agenda akumulasi kapital.

Kemudian, dengan pengesahan revisi Undang-Undang TNI, peran tentara sebagai instrumen represi dan pengendalian sosial menjadi semakin besar. Hasilnya pun sudah tampak: penindasan terhadap pihak-pihak yang mengkritik atau memprotes kebijakan yang dianggap mengganggu kepentingan kapitalis meningkat. Peraturan baru itu harus dilihat bukan sebagai sekedar menimbulkan ketakutan akan kembalinya dwifungsi yang otoriter apalagi sekadar menyerap surplus perwira ke instansi-instansi sipil, melainkan untuk menegaskan bahwa negara memberi ruang besar kepada militer sebagai alat represi dan kendali dalam mempertahankan sistem kapitalis.

Telah banyak kasus yang menunjukkan bagaimana TNI (dan kepolisian) sering kali dijadikan alat oleh kepentingan kapitalis untuk melakukan kekerasan terhadap masyarakat yang memprotes kebijakan tertentu. Misalnya dalam kasus Rempang. Warga yang menyuarakan penolakan justru menghadapi intimidasi dan kekerasan dari aparat. Pola serupa juga terlihat di Papua melalui implementasi program yang disebut Proyek Strategis Nasional (PSN), serta dalam konflik lahan di Halmahera, Maluku Utara. Kasus-kasus ini menjadi bukti peran militer dan polisi dalam membungkam perlawanan rakyat terdampak demi melindungi kepentingan modal.


Teror dan kekerasan sebagai alat kontrol

Telah dijabarkan bahwa kapitalisme sangat bergantung pada mekanisme kontrol sebagai sarana untuk memastikan kelancaran operasional perusahaan dan mempertahankan keuntungan tanpa terganggu oleh gejolak sosial atau perlawanan publik. Dalam konteks ini, negara memegang peran sentral dalam menjaga stabilitas, memantau potensi ancaman, dan menekan gangguan. Strategi-strategi tersebut menjadi bagian integral dari logika kapitalisme; negara berfungsi sebagai polisi global guna melindungi kepentingan ekonomi dominan. Ini bukan hanya terjadi di konteks lokal. Menurut Robinson, kapitalisme juga membentuk jaringan pengawasan global yang mampu menekan negara-negara yang dianggap menyimpang dari kepentingan kapitalis. 

Indonesia, yang dekat dengan aliansi politik dan ekonomi internasional, juga berperan sentral dalam hal pengendalian informasi. Informasi yang “stabil” juga dibutuhkan kapitalisme. Dalam konteks ini lah kita harus menempatkan praktik teror dan kekerasan yang masih sering dihadapi para jurnalis, aktivis, intelektual kritis, akademisi, hingga masyarakat luas.

Berdasarkan data Aliansi Jurnalis Independen (AJI), sepanjang Januari sampai Desember 2024 terdapat 73 kasus teror terhadap wartawan. Sebagian besar pelaku berasal dari institusi kepolisian dengan 19 kasus, disusul oleh TNI sebanyak 11 kasus, serta aparat pemerintah termasuk pejabat legislatif dengan 6 kasus. Lalu ada laporan tahunan Amnesty International berjudul Situasi HAM di Dunia 2024/2025 yang menjabarkan bagaimana berbagai kelompok seperti aktivis, masyarakat adat, petani, nelayan, advokat, akademisi, dan mahasiswa juga mengalami teror dan ancaman. Selama tahun 2024, terjadi 123 serangan yang menargetkan 288 pembela hak asasi manusia. Serangan-serangan yang dimaksud mencakup pelaporan ke polisi, kriminalisasi, penangkapan tanpa dasar hukum, intimidasi, kekerasan fisik, hingga percobaan pembunuhan. Lebih detail: 12 kasus pelaporan terhadap 27 orang; 11 kasus penangkapan sewenang-wenang dengan 87 korban; 7 kasus kriminalisasi terhadap 24 orang; 6 percobaan pembunuhan dengan 7 korban; 78 kasus intimidasi dan kekerasan fisik terhadap 129 orang; serta 9 serangan yang ditujukan pada lembaga pembela HAM.

Serangan seperti yang dialami oleh wartawan Tempo mencerminkan konflik mendasar antara prinsip kebebasan pers dan kepentingan kapitalisme global yang berupaya mengendalikan arus informasi. Dalam sistem kapitalisme, media memegang peranan strategis karena narasi yang dibentuk dapat memengaruhi persepsi publik sekaligus stabilitas ekonomi dan politik. Oleh sebab itu, teror terhadap jurnalis tidak semata-mata merupakan pelanggaran terhadap kebebasan pers, melainkan bagian dari upaya yang lebih luas dalam pengendalian sosial dan naratif demi mempertahankan dominasi kapitalisme. Dalam konteks negara polisi global, tindakan kekerasan ini berfungsi untuk menjaga agar wacana publik tetap berpihak pada kepentingan elite kapitalis dan tidak mengganggu keberlangsungan sistem ekonomi yang menguntungkan kelompok tertentu, baik di tingkat nasional maupun internasional.


Penutup

Dari uraian singkat ini, saya ingin mengatakan bahwa kasus-kasus teror dan kekerasan terhadap jurnalis, aktivis, dan masyarakat mesti dilihat sebagai bagian integral dari operasi struktur kapitalisme itu sendiri. Teror fisik dan mental terhadap kelompok-kelompok kritis bukanlah penyimpangan, melainkan inheren dari kapitalisme yang mengandalkan kekuatan represif seperti polisi dan militer untuk menjaga stabilitas dan melindungi kepentingan ekonomi mereka.

Dengan demikian, respons dalam bentuk perlawanan langsung dari korban atau advokasi terhadap korban teror dan kekerasan juga mesti menyasar pada perlawanan terhadap sistem kapitalisme itu sendiri. Jika tidak, berbagai aksi protes yang muncul cenderung bersifat spontan dan reaktif, tanpa menggoyahkan fondasi sistem yang terus menguat.


Masril Karim adalah anggota Forum Studi Halmahera, Maluku Utara.

]]>
Komando Teritorial Angkatan Darat: Orde Baru di Halaman Rumah Kita https://indoprogress.com/2025/03/komando-teritorial-angkatan-darat-orde-baru-di-halaman-rumah-kita/ Fri, 21 Mar 2025 00:16:01 +0000 https://indoprogress.com/?p=238856

Ilustrasi: Illustruth 


BERAGAM peristiwa politik yang berhubungan dengan militer belakangan ini amat meresahkan. Semua mengarah pada pengulangan sejarah kelam yang pernah terjadi beberapa dekade lalu. Ingatan publik akan rezim yang otoriter, absolut, dan despotik dengan militer sebagai fondasi utama kian menguat. Kejadian termutakhir adalah Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) diam-diam di ruang tertutup hotel mewah membahas revisi Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI), sebuah produk hukum yang akan melegitimasi kembalinya militer ke ranah sipil. 

Kita tentu wajib khawatir (dan melawan) terhadap tiap upaya yang dapat membuat tentara menduduki jabatan sipil—pokok yang paling banyak dibahas dalam revisi peraturan tersebut. Akan tetapi persoalan intervensi militer tidak hanya tentang siapa menduduki apa. Ada satu hal penting lain yang sejak Reformasi ingin dihapuskan namun kini justru akan diperkuat, yaitu komando teritorial. 

Hierarki struktur militer utuh dari tingkat provinsi hingga desa, terdiri atas Komando Daerah Militer (Kodam), Komando Resor Militer (Korem), Komando Distrik Militer (Kodim), Komando Rayon Militer (Koramil), hingga Bintara Pembina Desa (Babinsa). Komando teritorial inilah yang secara konsisten menyokong rezim Orde Baru selama tiga dekade lebih. Orde baru yang dipimpin oleh dan bergaya militer menggunakan struktur ini untuk melanggengkan kekuasaannya dengan terus-menerus mengawasi sipil agar tunduk, patuh, dan tidak kritis terhadap pemerintah, dengan dalih menjaga stabilitas dan keamanan. 

Sumber: Leonard C. Sebastian, Realpolitik ideology: Indonesia’s use of military force, 2006)

Masyarakat “didisiplinkan” dengan cara-cara kekerasan, entah fisik, psikologis, maupun simbolik. Penangkapan, penghilangan paksa, pemenjaraan, penyiksaan, bahkan pembunuhan jadi sesuatu yang umum. Untuk menjustifikasi penggunaan kekerasan tersebut, dipakailah wacana-wacana kedaruratan. Individu yang kritis, melakukan resistansi terhadap kebijakan negara, atau bahkan sekadar tidak mendukung agenda pembangunan dicap sebagai antipemerintah, komunis, atau separatis. Penyematan stigma tersebut masif dilakukan. Dengan kata lain, setiap orang yang kritis saat itu adalah homo sacer (Agamben, 1998), yaitu individu yang hak politiknya dapat dicabut sewaktu-waktu secara semena-mena, tubuhnya dapat dihakimi tanpa ada konsekuensi hukum bagi pihak yang menghakimi. Persis di situlah posisi sipil di bawah rezim Soeharto.

Militer (Angkatan Bersenjata Republik Indonesia/ABRI) menggunakan situasi “kondusif” karena pendisiplinan tersebut untuk menguasai birokrasi dari pusat hingga daerah. Mereka juga, dalam perspektif Bourdieu (Haryatmoko, 2016), menguasai seluruh elemen kapital. Kapital ekonomi diperoleh dengan menguasai akses terhadap sumber daya. Kapital sosial didapat dari jaringan kekuasaan dengan elite sipil dan pengusaha. Kapital budaya yang membentuk citra positif sekaligus mendapat penghormatan dari publik dikuasai berkat peran sebagai “penjaga” negara. Sedangkan kapital simbolik didapatkan karena dianggap sebagai pilar stabilitas nasional. Akumulasi dari modal-modal tersebut meneguhkan superioritas militer dalam arena sosial, politik, dan ekonomi.

Setelah Orde Baru tumbang berkat gerakan massa, reformasi militer pun dilakukan. Demiliterisasi politik dan depolitisasi militer menjadi agenda utama. Kedudukan dan peran angkatan bersenjata diatur ulang secara proporsional agar menjadi profesional dan netral (terdepolitisasi) yang tunduk pada supremasi sipil. 

Karena basis kekuatan ABRI di era Orde Baru adalah komando teritorial, maka agenda penting dalam reformasi militer adalah menghapus struktur tersebut. Hari ini, setelah 27 tahun Reformasi, kita sudah dapat menilai dengan jelas sejauh mana itu terwujud. Kita akan melihat sejauh mana reformasi komando teritorial dilakukan, apakah mengalami kemajuan, kemandekan, atau malah kemunduran, dari satu pemerintahan ke pemerintahan lain.


Struktur Komando Teritorial dari Masa ke Masa

Masa Transisi: Era Habibie

Struktur komando teritorial sebagai tulang punggung kehadiran militer dalam kehidupan sosial politik tidak tersentuh selama masa transisi era Presiden Habibie. Mempertahankan basis kekuatan teritorial dan mandiri secara finansial adalah dua kepentingan utama angkatan bersenjata dalam pemerintahan pasca-Soeharto. Maka tidak heran struktur komando teritorial tidak ada sama sekali dalam wacana reformasi internal yang diumumkan pimpinan militer saat itu. Tidak dimasukkannya struktur komando teritorial berarti elemen kunci dari reformasi tidak ditangani pada periode awal transisi ini. Hal ini juga menghambat reformasi lainnya. Dengan latar belakang ini, pembongkaran dwifungsi secara kelembagaan dan doktrinal gagal mengatasi fakta bahwa peran politik angkatan bersenjata merupakan hasil, dan bukan alasan, dari menguatnya militer dalam masyarakat Indonesia. Kapasitas ini didasarkan pada keberadaan teritorial militer, otonomi dari sumber pendanaan pusat, mediasi dalam konflik antara partai politik, dan kekuatan masyarakat lainnya (Mietzner, 2006). 

Era Gus Dur

Gus Dur menaruh perhatian terhadap reformasi militer. Akan tetapi dia menghadapi resistansi. Sebagian besar pihak ingin mempertahankan teritori TNI dan manfaat yang menyertainya. Hanya sebagian kecil yang merekomendasikan reformasi, salah satunya adalah Wirahadikusumah, seorang tentara reformis. Pernyataannya dulu merangkum dengan apik mengapa penghapusan teritori TNI adalah hal yang semestinya dilakukan: “Struktur komando pada tingkatan rendah adalah sisa-sisa dari otoriter masa lalu dan karenanya sepenuhnya dapat dibuang. Mengapa kita membutuhkan unit teritorial di Wonosobo? Apakah musuh akan menyerang kita di sana? Tidak. Kita memiliki unit-unit itu karena perwira yang malas dan tidak fleksibel telah menjadi puas diri bermain politik, menghasilkan uang, dan pensiun di jabatan sipil yang bagus di luar sana. Itu tidak ada hubungannya dengan pertahanan” (Mietzner, 2006). Karena mendapat resistansi yang kuat dari para petinggi TNI konservatif, reformasi militer termasuk penghapusan struktur komando teritorial tidak terlaksana di era Gus Dur.

Era Megawati

Masa pemerintahan Presiden Megawati dianggap sebagai era kemandekan bahkan dekadensi reformasi militer. Krisis konstitusional tahun 2001 serta buruknya konsolidasi elite meyakinkan para politisi untuk menjaga hubungan baik dengan militer, terutama setelah memangku jabatan eksekutif. Konsesi kepada tentara menjadi bagian integral dari politik sipil pasca-Soeharto, dan karenanya berimplikasi negatif terhadap kemajuan reformasi militer. 

Selain itu, ada tiga perkembangan utama yang memicu refleks balik terhadap rencana radikal untuk mereformasi sektor keamanan: pertama, kekalahan di Timor Timur; kedua, pecahnya kekerasan komunal di seluruh Nusantara antara 1999 dan 2001; ketiga, meluasnya gerakan separatis di Aceh dan Papua (Mietzner, 2006). Serangkaian peristiwa ini memunculkan apa yang disebut oleh Richard Chauvel dan Ikrar Nusa Bhakti (2004) sebagai “pola pikir nasionalis” di diri para elite. Mereka kian menentang kebijakan yang akomodatif dan kompromistis terhadap kelompok separatis. Para politisi terkemuka memandang pendekatan lunak yang diterapkan oleh pemerintahan Habibie dan Gus Dur sebagai kesalahan besar. Karena khawatir eksperimen lanjutan akan mengurangi kapasitas angkatan bersenjata untuk secara efektif menindak pemberontak atau militan sektarian, banyak politisi yang menangguhkan tuntutan mereka untuk mereformasi struktur komando teritorial dan aspek penting lainnya dari organisasi militer. 

Era Susilo Bambang Yudhoyono

Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) di satu sisi telah dipuji secara luas karena mengendalikan angkatan bersenjata dalam masalah Aceh, yang menjadi preseden historis bagi kepatuhan militer terhadap penyelesaian dalam bentuk negosiasi dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Ini membedakannya dari para pendahulu (Habibie, Gus Dur, dan Megawati) sebab semuanya gagal mendapatkan dukungan militer untuk rencana menyelesaikan konflik melalui cara-cara damai. 

Namun, tetap saja, reformasi struktur komando teritorial mengalami hambatan. Hambatan disebabkan oleh menguatnya kembali gerakan separatis yang ditandai peristiwa Bom Bali 2005. Tragedi itu dijadikan justifikasi bagi Panglima TNI saat itu, Sutarto, untuk menyerukan tentara secara aktif terlibat dalam perang melawan teror dengan mengumpulkan intelijen melalui tingkat terendah dari sistem teritorial. Dengan sistem komando teritorial yang terintegrasi ke dalam aparat antiterorisme nasional, kemungkinan untuk mereformasi aparat tampak semakin kecil. Ditambah lagi prediksi kandidat dengan latar belakang militer bakal kalah di pertarungan elektoral kian menguat. Untuk mengantisipasi kekalahan lebih lanjut dalam pengaruh politik formal tersebut, angkatan bersenjata berupaya mengonsolidasikan sistem komando teritorial sebagai benteng terakhir keterlibatan militer dalam ekonomi lokal dan jaringan politik mereka (Mietzner, 2006).

Era Jokowi

Pandemi Covid-19 merupakan titik balik revitalisasi struktur komando teritorial. Militer memberdayakan pasukannya hingga ke tingkat desa (memobilisasi Babinsa). Mobilisasi Babinsa atas nama penegakan disiplin sosial memang tidak menyiratkan kebangkitan dwifungsi, tetapi mungkin memberikan kesempatan bagi para elite tentara untuk mengukir peran baru. Babinsa yang diberdayakan sembari “menguduskan” ideologi TNI tentang “kemanunggalan bersama rakyat” membantu mereka memulihkan legitimasi dari struktur komando teritorial yang sudah babak belur. Ketika itu TNI bermanuver untuk memperluas misi operasi militer selain perang atau misi non-pertahanan. Awalnya misi utamanya adalah memberikan bantuan medis darurat, termasuk evakuasi dan karantina. Lalu peran mereka dengan cepat meluas ke patroli disiplin publik, dan kemudian ke pelacakan dan deteksi virus. Ini kemudian diikuti oleh kampanye vaksinasi nasional. Perluasan peran skala besar ini membutuhkan pembenaran, sebab mengelola krisis kesehatan nasional selama hampir dua tahun tidak dapat diidentifikasi sebagai misi non-pertahanan yang bersifat ad hoc dan sementara. Untuk melawan tekanan publik yang menuntut penarikan militer dari garis depan kesehatan, TNI memobilisasi narasi tertentu: menyelaraskan pertempuran menahan pandemi sebagai bentuk peperangan (Honna, 2022). 

Hal ini tentu tidak bisa dilepaskan dari political will Jokowi. Dia memang menggunakan secara masif struktur komando TNI untuk melakukan pendisiplinan publik atas nama pemulihan ekonomi. TNI dengan cekatan mengelola krisis Covid-19 untuk mengunci dan menghentikan reformasi militer utama pasca-Soeharto dengan kedok kesehatan dan menjadi semakin kebal terhadap pengawasan sipil. 

Era Prabowo

Tanda-tanda menguatnya kembali supremasi struktur komando teritorial yang menjadi akar penunjang dwifungsi rezim Orde Baru begitu jelas. Prabowo yang berlatar belakang militer mendayagunakan struktur komando teritorial untuk menjalankan program Makan Bergizi Gratis (MBG). Distribusi MBG melibatkan struktur komando teritorial hingga tingkat bawah, Babinsa, persis sama seperti saat terjadi Covid-19 di era Jokowi. Belum lagi program-program lainnya seperti pembukaan lahan untuk food estate dan ketahanan energi. Ini terlihat dari wacana penambahan 100 Batalyon Teritorial Pembangunan (BTP) sebagai penyokong pemerintah dalam melakukan swasembada pangan. Selain itu, wacana penambahan 22 Kodam juga semakin menguat. Melihat keterlibatan aktif struktur komando teritorial dalam program populis pertama di rezim Prabowo, menguatnya wacana penambahan serdadu teritorial, serta penambahan komando teritorial semakin memupuskan harapan untuk menghapus sisa-sisa Orde Baru.


Penutup

Sebagai bahan refleksi kritis, kita mesti mempertanyakan ulang peran dan fungsi dari struktur komando teritorial ini. Made Supriatma dalam suatu siniar di IndoProgress curiga telah terjadi distorsi atas pemikiran Nasution. Saya kutip lengkap pernyataannya: “Lama-lama interpretasi saya terhadap buku-bukunya Nasution itu, terutama di buku Pokok-pokok Gerilya, ketika dia merumuskan tentara rakyat, diterapkan melenceng oleh Orba. Tidak seperti yang Nasution maksudkan dulu. Kalau yang Nasution maksudkan dulu adalah, ketika terjadi pertempuran, perang, baru kita membentuk struktur teritorial. Jadi tidak dalam keadaan damai. Tidak permanen. Ini yang paling penting: struktur teritorial itu tidak diperlukan dalam keadaan damai. Itu diperlukan dalam keadaan perang. Tanggung jawab kalau seandainya terjadi apa-apa? Misalnya kerusuhan? Itu bukan tanggung jawab tentara, itu polisi. Di sini ketika ada struktur wilayah, turut campur dalam kebijakan ini dan itu, harus bergaul dengan bupati, semua sudah hancur. Tidak ada reformasi lagi.”

Yang perlu digaris bawahi dari pernyataan tersebut adalah keberadaan struktur komando teritorial seharusnya tidak permanen. Selain itu, urusan keamanan sipil merupakan urusan polisi, bukan tentara. Namun lagi-lagi kita mengetahui fakta bahwa struktur komando teritorial ini melibatkan sekitar dua pertiga prajurit Angkatan Darat, yang memungkinkannya mempertahankan keunggulan institusional terhadap Angkatan Laut dan Angkatan Udara. Bagi Angkatan Darat, reformasi yang bertujuan untuk merampingkan komando teritorial tidak dapat diterima karena hal itu akan mengurangi kekuatan dan pengaruh mereka. Kehendak tersebut beriringan dengan kehendak penguasa untuk mendayagunakan militer di setiap agenda kebijakan saat ini. Reformasi militer akhirnya kian sulit dilakukan.


Daftar Pustaka

Agamben, Giorgio. 1998. Homo Sacer Sovereign Power and Bare Life. California: Stanford University Press.

Haryatmoko. 2016. Membongkar Rezim Kepastian. Sleman: Kanisius.

Honna, Jun. 2022. Health security in Indonesia and the normalization of the military’s non-defence role. ISEAS Publications.

Indoprogress. 2016. Antonius Made Tony Supriatma: “Reformasi TNI Gagal Total”, diakses di https://indoprogress.com/2016/07/antonius-made-tony-supriatma-reformasi-tni-gagal-total/.

Mietzner, Marcus. 2006. The Politics of Military Reform in Post-Suharto Indonesia:: Elite Conflict, Nationalism, and Institutional Resistance. Washington D.C : East-West Center.

Sebastian, Leonard C. 2006. Realpolitik ideology: Indonesia’s use of military force. ISEAS Publications.


Pandu Irawan Riyanto, alumni Magister Sosiologi UGM

]]>
Tentara Harus Kembali ke Barak sebab Kekuasaan Militer adalah Mimpi Buruk Bagi Kita https://indoprogress.com/2025/03/kembalikan-tentara-ke-barak/ Mon, 17 Mar 2025 21:52:07 +0000 https://indoprogress.com/?p=238853

IlustrasiIllustruth 


27 TAHUN lalu, rakyat Indonesia berhasil memperoleh kembali supremasi sipil setelah dipenjara selama 32 tahun oleh rezim otoriter Orde Baru. Namun, Reformasi yang baru berjalan kurang dari setengah usia negara ini berpotensi kembali dikebiri melalui revisi Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI). Draf RUU TNI pasal 47 ayat (2) secara gamblang menyebut bahwa tentara aktif dapat menduduki jabatan-jabatan sipil, salah satunya adalah Mahkamah Agung (MA) dan sekitar 14 kementerian/lembaga lain. Disebutkan pula penambahan tiga Operasi Militer Selain Perang (OMSP). 

Banyak asumsi berkembang tentang mengapa RUU ini dikebut, mulai dari upaya mengakomodasi oversupply perwira hingga upaya memperkuat pertahanan negara. Tapi segala argumentasi menjadi tidak relevan jika kita berkaca kembali bagaimana tuntutan memisahkan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) dari kehidupan politik masyarakat umum itu muncul ke permukaan. Kemenangan masyarakat sipil pada era Reformasi—salah satunya ditandai dengan terbitnya TAP MPR Nomor XVII Tahun 1998 tentang Hak Asasi Manusia—dinodai dengan mencuatnya potensi dwifungsi TNI karena revisi UU ini. Revisi UU TNI adalah upaya menghidupkan kembali “Frankenstein” dalam iklim demokrasi. 


Militer sebagai Alat Hegemoni Politik

Relasi sipil-militer di Indonesia tidak pernah berjalan tanpa konflik dan relasi kuasa yang timpang. Pada 1965, melalui Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) setelah peristiwa Gerakan 30 September, militer menyatakan “perang” terhadap masyarakat sipil yang dicap komunis. Setidaknya 500 ribu hingga satu juta orang menjadi korban genosida pada 1965-1966 (Komnas HAM, 2012). Di atas tulang belulang merekalah era baru kekuasaan dan hegemoni militer Orde Baru di bawah komando Soeharto berdiri tegak. 

Kekerasan dengan skala sebesar itu tentu tidak terjadi begitu saja atau sekadar residu konflik yang terjadi sebelumnya. Pembunuhan massal itu intensitasnya dipengaruhi oleh faktor-faktor politik (Robinson, 2018). Ada pola kekerasan struktural di dalamnya. ABRI, misalnya, langsung menyisir wilayah-wilayah yang dianggap sebagai basis “merah” khususnya di wilayah Jawa persis setelah Soeharto berkuasa. Di Sukoharjo, Jawa Tengah, para simpatisan Partai Komunis Indonesia (PKI) dibunuh dan mayatnya dibuang dari Jembatan Bacem yang di bawahnya mengalir anak sungai Bengawan Solo. Bahkan hanya jika seseorang yang ada di luar negeri, entah untuk bekerja atau belajar, terbukti punya kolega di Indonesia yang dianggap dekat dengan komunis, akan dicabut paspornya dan dengan begitu menjadi “hantu” karena stateless

Leila Chudori melalui novel Pulang (2012) dan Namaku Alam (2023) menggambarkan dengan apik bagaimana kekerasan 1965 berdampak pada kehidupan yang penuh kesunyian pada masa Soeharto. 

Keberhasilan dan efektivitas penggunaan militer dalam upaya “menjaga stabilitas sosial-politik” pada 1965-1966 kemudian menjadi cetak biru pemerintahan Orde Baru yang militeristik. Kekerasan di periode itu menjadi awal dari cerita panjang penggunaan repressive state apparatus dalam kehidupan sipil. Mulai 1968, misalnya, kebijakan “bersih diri” dan “bersih lingkungan” diperkenalkan, menjadi cara ampuh Orde Baru untuk tetap melanggengkan situasi tanpa oposisi. Institusi pertahanan-keamanan menjadi garda terdepan dalam hal apa pun selama 32 tahun kekuasaan Soeharto. Rezim Orde Baru menggunakan ABRI dalam segala aspek, tak hanya pertahanan-keamanan, tapi juga sosial, politik, hingga ekonomi dan budaya—ditandai dengan diterbitkan TAP MPRS Nomor II tahun 1969. 

“Stabilitas” hampir seluruh aspek kehidupan pada masa Orde Baru akhirnya terwujud berkat pendekatan militeristik yang digunakan. Konsekuensinya adalah siapa pun terus berpotensi mengalami kekerasan jika dirasa mengganggu pemerintahan. Kita bisa menyebut banyak peristiwa pelanggaran HAM yang dilakukan ABRI kepada masyarakat sipil pada masa Orde Baru, antara lain Malari 1974, Penembakan Misterius (Petrus) 1983-1985, Tanjung Priok 1984, Talangsari 1989, hingga penculikan aktivis prodemokrasi. Hingga hari ini, persoalan HAM soal orang-orang yang hilang, dibunuh, maupun mengalami kekerasan fisik dan seksual masih belum terselesaikan sepenuhnya. Ini semua merupakan bukti empiris bahwa potensi penyalahgunaan wewenang militer ke dalam lingkungan sipil bersifat sangat destruktif. Minimnya kontrol sipil terhadap kekuatan militer menghadirkan pemerintahan otoritarian; di mana keputusan militer melangkahi keputusan sipil (Koesnadi, 2012). 

Sampai ini jelas bahwa militer bukanlah lembaga independen yang bertugas semata menjaga pertahanan negara dan menciptakan ketertiban umum. Militer, sebagaimana institusi negara lainnya, tidak bebas nilai. Institusi militer juga dipengaruhi oleh faktor-faktor politik. Pada peristiwa 1965, misalnya, angkatan bersenjata bertindak sesuai kepentingan pimpinan institusi sehingga berubah dari aparat keamanan menjadi organisasi politik (MacFarling, 1996). Lebih jauh, seperti menurut Crouch (2007), karakter militer di Indonesia itu beragam dan loyalitas prajurit kepada pimpinan atau komandan itu sangat tinggi. Struktur yang tegas dan rigid, ditambah sumber daya dan kewenangan yang dimiliki hampir bersifat tak tertandingi jika dibandingkan dengan institusi negara lainnya semacam kejaksaan apalagi kementerian-lembaga, menunjukkan adanya potensi besar dalam penyalahgunaan wewenang jika militer mengurusi ranah sipil.


Militerisme vis a vis Masyarakat Sipil

Dalam iklim demokrasi, posisi militer jelas harus berada di bawah kontrol sipil. Kontrol sipil di sini maksudnya adalah militer melaksanakan segala tugas dan wewenang berdasarkan keputusan pemerintahan sipil yang didelegasikan melalui pemerintahan yang demokratis (Koesnadi, 2012). Institusi sipil lahir setelah melewati proses demokratis untuk kepentingan masyarakat umum, sedangkan militerisme ada karena tuntutan akan pertahanan dan keamanan wilayah. Posisi militer idealnya secara fungsionalis berada di bawah kendali institusi sipil (Koesnadi, 2012).

Huntington (1981) membagi kontrol sipil menjadi dua jenis, yakni kontrol subjektif dan objektif. Perbedaan antara kontrol sipil subjektif dan objektif adalah pada pembagian kewenangan dan penempatan kedudukan yang jelas untuk mencegah conflict of interest. Pada kontrol subjektif, pembagian kedudukan otoritas antara sipil dan militer samar sehingga kalangan militer sering melakukan intervensi pada keputusan-keputusan politik sipil. Pada kontrol objektif, pembagian kekuasaan didasarkan pada keahlian dan profesionalisme militer sebagai institusi pengelola kekerasan—karena militer diberikan hak khusus untuk melakukan kekerasan sesuai aturan yang berlaku. Meskipun konteks argumentasi Huntington adalah relasi yang terjadi di Amerika Serikat (AS), tesis tersebut dapat menjadi pertimbangan untuk melihat sejauh mana hubungan yang terjalin di Indonesia walaupun memiliki karakter politik yang pasti berbeda.

Hari ini, melalui mekanisme tertutup dan seolah demokratis, DPR berupaya mengembalikan dwifungsi ABRI seperti pada masa Orde Baru. Mereka yang pro-revisi mengatakan peraturan perlu diubah dengan mencontoh pendekatan politik yang digunakan Cina dan Vietnam. Mereka mengatakan dua negara itu dijalankan dengan tangan besi dan menjadi maju. Namun apa yang terjadi di masa lalu jelas merupakan pelajaran berharga bagi kita. Kita pernah berada di bawah rezim otoritarian dengan hegemoni militer luar biasa. 

Demokrasi bisa rusak karena senapan. Tapi ia akan lebih rusak oleh institusi perwakilan yang diperoleh melalui skema demokrasi. Pola hubungan sipil dan militer yang timpang secara otoritatif mengakibatkan beberapa kelompok sipil memanfaatkan kekuatan militer untuk kepentingan kelompok mereka sendiri (Huntington, 1981). Indikasi penyelewengan kekuasan yang justru dilakukan kelompok sipil lebih berbahaya ketimbang represifitas aparat. Hal itu dikarenakan suprastruktur yang digunakan kalangan sipil penyamun demokrasi tersebut bersifat legal dan berlandaskan hukum dari hasil proses demokrasi itu sendiri (Levlitsky dan Ziblatt, 2024).

Trauma masa lalu perlu menjadi pelajaran penting dalam upaya peningkatan kualitas demokrasi di Indonesia dan menciptakan supremasi sipil yang benar-benar berpihak pada rakyat banyak. Penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu, menghentikan praktik-praktik impunitas, serta pemberian ruang ekspresi politik menjadi pintu gerbang pertama menuju Indonesia yang paripurna.


Referensi

Robinson, G. (2018). The killing season: A history of the Indonesian massacres, 1965-66. Princeton University Press.

Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Republik Indonesia (2012), Ringkasan Eksekutif Laporan Penyelidikan Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat. Jakarta: Komnas HAM RI

Ian MacFarling, (1996). The Dual Function of the Indonesian Armed Forces: Military Politics in Indonesia. Canberra: Defence Studies Centre.

Crouch, H. A. (2007). The army and politics in Indonesia. Equinox Publishing

Kardi, K. (2015). Demokratisasi Relasi Sipil–Militer pada Era Reformasi di Indonesia. MASYARAKAT: Jurnal Sosiologi, 19(2), 106-131.

Levitsky, S., & Ziblatt, D. (2024). How democracies die. In Ideals and Ideologies (pp. 73-80). Routledge.

Huntington, S. P. (1981). The soldier and the state: The theory and politics of civil–military relations. Harvard University Press.


Muhammad Rifai, asisten peneliti di MONEV Studio Global

]]>