Marxisme – IndoPROGRESS https://indoprogress.com Media Pemikiran Progresif Tue, 27 May 2025 14:00:28 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.4.3 https://indoprogress.com/wp-content/uploads/2021/08/cropped-logo-ip-favicon-32x32.png Marxisme – IndoPROGRESS https://indoprogress.com 32 32 Pedoman Membaca Marx dengan Baik dan Benar https://indoprogress.com/2025/05/pedoman-membaca-marx-dengan-baik-dan-benar/ Sun, 04 May 2025 21:29:38 +0000 https://indoprogress.com/?p=238925

Ilustrasi: Illustruth


Judul buku : Marx Literary Style

Penulis : Ludovico Silva

Penerbit : Verso

Tahun terbit : 2023


SAYA sering membaca anekdot di internet tentang para marxis. Salah satu yang tidak asing adalah, “mereka ini bahkan tidak membaca Karl Marx!” Anekdot yang muncul di kalangan intelektual lain lagi: setiap intelektual marxis menuduh intelektual marxis lain keliru membaca Marx. Terlepas dari—secara ironis—praktik dialektika yang “produktif” ini, ada sedikit kebenaran yang perlu direfleksikan dalam kritisisme tersebut. Gerakan dan intelektual kiri perlu belajar bahwa isme tidak sama dengan agama, tokoh bukan nabi, dan teks berbeda dari kitab suci. Ibrahnya mungkin terang benderang—tak perlu dijelaskan namun rasanya perlu ditekankan ulang. 

Ludovico Silva, penyair, esais, dan filsuf dari Venezuela tahu benar soal itu. Dalam buku Marx Literary Style, Silva berfokus pada bagaimana Marx menulis dan seharusnya tulisannya dipahami. Sebelum buku ini, Silva telah banyak menulis tentang Marx dan marxisme, utamanya masalah ideologi dan alienasi yang saling mengiris dan memengaruhi kritik terhadap kapitalisme serta utopia konkret sosialisme. 

Buku ini diantar oleh kritikus budaya dan filsuf asal Italia Alberto Toscano dengan secarik esai bertajuk “Echoes of Marx” (‘Gema dari Marx’). Toscano memulainya dengan deskripsi dari jurnalis dan sejarawan Jerman Franz Mehring tentang bagaimana Marx menulis. Mehring (1927, via Toscano: 2022) menunjukkan soal kegemaran Marx menggunakan bahasa figuratif. Tulisan-tulisan Marx dinilai berselimur majas atau metafora sebagai cara untuk menggambarkan relasi dialektis kapital. Mehring menilai itu dipakai karena Marx sadar soal kemiripan (to homoin theorien). Maksudnya, Marx memahami bahwa relasi abstrak perlu diilustrasikan dan dimanifestasikan melalui komparasi, simbol, serta bahasa agar manusia lebih menyadari hubungan gamblangnya. Maka—lagi-lagi, secara ironis—penggunaan majas dan penulisan puitis menjadi lazim untuk membangkitkan gambaran yang nisbi terang tentang apa itu relasi dialektis.

Hal tersebut, menurut Toscano, diamini oleh Silva. Bagi Silva, puisi adalah senjata yang tidak dapat disingkirkan untuk mencapai pengetahuan asli akan banyak ihwal. Puisi, dalam esensi terdalamnya, adalah dialektika. 

Silva berhasil mengidentifikasi tiga dasar langgam menulis ala Marx: 1) perspektif arkitektonik, 2) dialektika ekspresi serta ekspresi dialektika, dan 3) keahlian penggunaan metafora/majas. Perspektif arkitektonik merupakan perspektif yang tidak memisahkan sistem saintifik dan aspirasi terhadap karya seni (dalam menulis, berarti puisi). Ketika Marx menulis, disiplin ketat ilmu pengetahuan tidak berarti menanggalkan keindahan bahasa. Keindahan bahasa sebagai ekspresi seni kemudian diungkapkan. 

Dalam prakatanya, Silva menunjukkan bahwa sistem saintifik yang diadvokasi oleh Marx didukung oleh sistem ekspresif bahasa. Silva menunjukkan bahwa pilihan kosakata dan susunan kalimat dalam proses menulis merupakan proses atau tindakan berpikir itu sendiri. Menulis, bagi Silva, adalah kata kerja yang senantiasa aktif. Namun, bahasa adalah sarana komunikasi jua. Tanggung jawab tulisan adalah untuk dipahami. Urusan dipahaminya bagaimana, inilah yang kemudian menjelma rumit. Martinet (1960, via Silva: 2023) menjelaskan, “Ekonomi sebuah bahasa tidak lain adalah pencarian abadi untuk kesetimbangan/ekuilibrium antara kebutuhan komunikasi di satu sisi dan kelembaman/inersia ingatan serta artikulasi di sisi lain (perlu diingat bahwa keduanya selalu berseteru).” 

Dalam kasus tulisan Marx, Silva menyorot langgam yang menjamin komunikasi efektif dengan para pembaca. Artinya, ada intensi dari Marx untuk menggunakan majas sebagai ilustrasi, bukan teori. Pembaca misalnya dapat melihat teori dan konsep Marx atas masyarakat secara metaforis sebagai bangunan, arsitektur raksasa, dengan ekonomi sebagai fondasi atau basis dan non-ekonomi termasuk ideologi sebagai suprastruktur. Jika kemudian tulisan Marx dirasa membingungkan, itu karena majas dipahami secara harfiah, dan pada akhirnya menjerumuskan pembaca kepada kesalahpahaman dalam menafsirkan.

Gaya menulis Marx yang puitis bukan berarti surat izin pengkultusan. Silva menekankan betul soal ini. Baginya, menafsirkan karya Marx sebagai Injil adalah paradoks atau ketidaksesuaian anjuran. Materialisme dialektis mensyaratkan pemeriksaan saintifik yang ketat berbasis bukti terhadap hipotesis, menjadikannya kitab suci serta dogma adalah pesan terbalik. Menjadikan tulisan Marx sebagai naskah murni platonik—atau ide abstrak yang diamini belaka—adalah “tidak-Marx-banget”. Silva mengingatkan bahwa Marx adalah ideoklas, seseorang yang gigih merombak ide-ide mapan. Baginya, tulisan Marx harus dipahami melalui dasar filsafatnya: bukan untuk menafsirkan dunia, melainkan untuk mengubahnya (Veränderung).

Bab pertama, bertajuk “Marx’s Literary Origins” (‘Asal Mula Langgam Sastra Marx’), mempelajari sejarah (historiografi) bacaan (biblio-) dan tulisan (scripto-) Marx. Silva menandainya dengan ilham yang mampir di kepala Marx untuk menyelami kepenulisan dan melampaui sastra itu sendiri. Sastra, terutama yang klasik, begitu memengaruhi Marx. Kutipan-kutipan Shakespeare dan Homer ia taburkan dalam risalah-risalah soal ekonomi. Para ahli ekonomi menganggap risalah tersebut sebagai sesuatu yang vulgar karena telah merisak esprit de sérieux atau keseriusan bidang mereka. Puisi kemudian menjadi salah satu dalih untuk mencemari karya Marx sebagai “metafisik”, “sastrawi”, atau bahkan “ideologis”—yang terakhir ini bahkan digunakan secara serius oleh beberapa sosiolog. 

Marxisme kemudian menemukan bentuknya ketika Marx mempelajari bahwa kapitalisme menyangka dirinya abadi. Ketika Marx memeriksa kembali kerangka kebudayaan Barat kala itu, ia menemukan bahwa kapitalisme telah mengumumkan dirinya sebagai Kebudayaan—dengan “K” besar—itu sendiri. Inilah yang kemudian menjadi tugas intelektual Marx: untuk mengutuk “Kebudayaan”. Namun, bukan berarti Marx kemudian mengutuk pendidikan klasik sebagai fondasi sejarah kebudayaan. Baginya, mengutuk kebudayaan klasik yang dikooptasi oleh para borjuis dan kapitalisme hanya karena kebudayaan tersebut telah menjadi simbol kemapanan malah merumitkan masalah. Dalam masyarakat sosialis pun, sangat mungkin bagi warga untuk meminati dan mendalami kebudayaan klasik. 

Silva mengelaborasi temuannya soal langgam dalam bab kedua. Bab yang bertajuk “The Fundamental Features of Marx’s Style” (‘Fitur Dasar Langgam Menulis Marx’) ini menggamblangkan tiga dasar langgam tulisan Marx. Pertama adalah perspektif arkitektonik. Arkitektonik mengasumsikan karya ilmiah sebagai karya seni, mengingat metode yang digunakan secara umum oleh keduanya mengizinkan perspektif tersebut. Agar pikiran dapat menjadi ilmu pengetahuan, ia harus dituangkan secara sistematis. Agar ekspresi dapat menjadi seni, ia harus mau diatur oleh disiplin sistem-sistem. Begitulah maksud mula Marx dalam menulis.

Fitur dasar langgam kedua adalah dialektika ekspresi dan ekspresi dialektika. Dalam menulis, Marx menyadari adanya dialektika dalam ekspresi sastrawi. Marx bahkan meneguhkan dialektika dalam langgam sastra sebagai ungkapan paling sempurna dari gagasan logiko-historis yang melahirkan dialektika. Maksudnya, Marx berhasil menempatkan tanda/penanda (signifiers) verbal sebagai gestur plastis yang dimaksudkan untuk merefleksikan relasi historis dan material dari petanda (signified). Ihwal berikut Marx sarikan dari apa yang ia sebut benih rasional (rational kernel) dari gagasan-gagasan Hegel.

Prinsip tersebut penting dipahami agar Marx tidak disalahtafsirkan. Sebab, jika Marx hanya dimengerti sebatas pada bagian dialektika ekspresi saja, bisa jadi muncul klaim bahwa seorang Marx adalah hegelian.Salah kaprah tersebut malah berpotensi menuduh Marx sebagai penganut ideologi proudhonian: di mana sejarah diatur oleh Ide dan prinsip, alih-alih sebaliknya. Padahal, salah satu tulisan Marx bertajuk The Poverty of Philosophy (Kemiskinan Filsafat) bertujuan untuk meruntuhkan ilusi proudhonian. Menerapkan kategori logis Hegel pada ekonomi politik seperti yang dilakukan Proudhon malah melahirkan chimera, yang tidak menafikan idealisasi dan keabadian kondisi material kapitalis. Artinya, chimera ini hanyalah pemakluman (apologia) metafisik atas sistem. Lagi-lagi, sesuatu yang nggak-Marx-banget.

Mengenai ekspresi dialektika, Silva menyorot bagaimana cara Marx menulis sembari menerapkan filsafatnya sendiri. Pertama-tama, bagi Marx, dialektika bukan semata metode logis tapi juga metode historis. Pertukaran gagasan tidak hanya terjadi antarkepala melainkan melalui gesekan dengan sejarah dan kondisi material. Hal ini disadari betul kemudian menubuh dalam tulisan Marx. Setiap kalimatnya secara sering menampilkan struktur sintaksis di mana istilah yang berlawanan dituangkan dalam korelasi antagonistik sebelum kemudian digabungkan dalam frasa sintesis. Contohnya, “produk dari kerja adalah alienasi, produksi kemudian adalah alienasi secara aktif, alienasi dari kegiatan” (Marx: 1844 via Silva: 2023). Kalimat seperti berikut bertaburan di tulisan Marx, semuanya bertujuan untuk menggambarkan dampak moral, psikologis, dan fisiologis dari kerja-kerja teralienasi. Marx dalam tulisannya ingin menunjukkan bahwa kontradiksi bersifat inheren dalam gerak sejarah hingga ke tata bahasa. Marx bermaksud untuk menyampaikan gagasan dan ide lewat sejarah; dialektika kemudian secara sederhana adalah metode marxis untuk mempelajari sejarah. Pamungkasnya, bahasa yang digunakan Marx adalah teater bagi dialektikanya.

Fitur terakhir dalam langgam Marx adalah penggunaan majas/metafora. Majas barangkali tidak mewakili pengetahuan persisnya, namun mereka punya nilai kognitif sendiri. Setiap majas yang sesuai memperluas daya ekspresif dari bahasa, dan setiap pengetahuan membutuhkan bahasa yang luar biasa ekspresif, sehingga setiap majas pada tempatnya adalah pendamping yang baik bagi pengetahuan. Dalam buku ini, Silva membedah tiga majas besar yang digunakan oleh Marx: 1) majas “suprastruktur”, 2) majas “refleksi”, dan 3) metafora keagamaan.

Majas suprastruktur digunakan oleh Marx untuk menggambarkan sejarah dan pembentukan ideologi. Fondasi ekonomi ia sebut sebagai Struktur dan fasad ideologisnya ia sebut sebagai suprastruktur atau Überbau. Sejarah ia gambarkan secara arkitektonik sebagai sebuah bangunan. Namun, majas berhenti di situ! Marx di kemudian teks menjelaskan secara detail tentang pembentukan ideologi dan hubungannya dengan struktur masyarakat. Suprastruktur di sini adalah majas, sebagaimana alienasi adalah majas etis yang kemudian menjelma penjabaran sosio-ekonomi. Untuk menerima majas sebagai penjelasan saintifik malah menjerumuskan Marx menjadi ideologue semata. Atau, lebih parahnya, menjadikan Marx sebagai penganut platonik yang percaya pada topos hyperouranios, kahyangan ide yang berdiang di atas langit.

Ontran-ontran suprastruktur ini tercermin pula dalam majas “refleksi”. Suprastruktur dalam pengertian Marx bukanlah dunia ideologi yang terpisah dan lebih superior. Ideologi justru hidup dan berkembang di dalam struktur sosial itu sendiri. Ideologi dalam kepala manusia adalah seperti pantulan terbalik dalam camera obscura. Representasi dunia seharusnya mencerminkan manusia yang mengendarai ide, bukan sebaliknya. Marx menjelaskannya dengan lebih spesifik bahwa ideologi dalam realitas kesejarahan-alami adalah seperti gambaran indrawi pada realitas fisik yang dialami. Inilah yang berulang kali ditekankan Marx, bahwa sejarah yang menggerakkan ide, bukan sebaliknya. Ideologi bagi Marx adalah ungkapan (Ausdruck) dari relasi material. Ideologi adalah ekspresi masyarakat—bahasa masyarakat. 

Metafora keagamaan dalam teks Marx sendiri bekerja sebagai majas yang menggambarkan relasi kerja. Alienasi sebab agama bertindak sebagai majas sempurna atas alienasi sebab kerja. Sebagaimana ekonomi yang dibangun berdasarkan kompetisi melawan segalanya dan bukannya distribusi berlandaskan kebutuhan, begitulah agama bekerja berdasarkan ketakutan atas neraka alih-alih kerinduan akan surga. 

Fitur minor lain dari Marx yang berhasil diidentifikasi oleh Silva adalah semangat (spirit) tentang apa yang konkret, yang polemik, dan yang mengejek. Semangat tentang apa yang konkret adalah keteguhan Marx untuk melihat sejarah dan kondisi material konkret. Sementara yang polemik hadir karena gagasan yang tidak disetujui (disukai?) oleh Marx. Kritisisme masamnya begitu korosif sehingga ia dipaksa untuk mengitari Eropa karena diasingkan oleh satu pemerintahan ke pemerintahan lainnya. Ketidaksukaan Marx memuncak ketika dalam tulisannya ia memutuskan untuk merendahkan dan mengejek lawan gagasannya. 

Bab ketiga merupakan bagian buku di mana Silva memuji karya-karya Marx. Bertajuk “A Stylistic Appraisal of Marx’s Oeuvre” (‘Taksiran Stilistik atas Karya Marx’), Silva menekankan pola penulisan Marx yang menulis relasi dan korelasi antagonistik selalu berpuncak pada sintesis selaiknya dialektika. Dalam epilog bertajuk “Epilogue on Irony and Alienation” (‘Epilog Ihwal Ironi dan Alienasi’), Silva menarik pelajaran dari studinya tentang langgam Marx. Untuk dapat meniru gaya Marx dengan baik, kita perlu mengingat bahwa seluruh mesin kemarahannya dipasang pada roda gigi bergerigi ironinya. Di akhir hari, Marx adalah seorang ilmuwan pula. Silva menjulukinya ilmuwan prediktif. Dalam masyarakat kapitalis, makna begitu berantakan dan sering kali terbalik. Termasuk—secara ironis—bagaimana kita menafsirkan Marx dalam konteks hari ini. Seorang Marx yang konkret terdistorsi sedemikian rupa menjadi seseorang yang begitu abstrak, begitu asing, begitu alien

Maka, menjadi pekerjaan rumah bagi masing-masing kita, perang panjang untuk membaca Marx dengan baik. Pamungkasnya, membayangkan dunia yang lebih baik adalah mungkin belaka.


Hamzah lebih menyukai menyebut dirinya bermatra jamak seperti larik Walt Whitman. Dapat ditemui di hamzah.id

]]>
Membela Marxisme dari Standar Media Sosial https://indoprogress.com/2025/04/membela-marxisme-dari-standar-media-sosial/ Tue, 22 Apr 2025 16:43:54 +0000 https://indoprogress.com/?p=238917

Ilustrasi: pxhere


PERKEMBANGAN teknologi semakin tidak terbendung. Tidak hanya pada perkakas kasar yang sering kita jumpai di pabrik, tetapi juga pada perangkat yang setiap hari kita genggam dan semayamkan di dalam saku celana. Handphone yang dapat dianggap sebagai perkakas lunak memainkan peranan penting untuk mendatangkan pengetahuan dan seperangkat informasi yang dibutuhkan oleh seseorang dengan sangat beragam dan semakin dinamis.  Di dalam handphone saat ini, media sosial berkembang sesuai keinginan manusia untuk mengabadikan momen tertentu, berinteraksi dengan rekan-rekan, hingga hanya sekadar untuk mendapatkan informasi dari wilayah tertentu.

Keinginan tersebut diperkuat dengan perkembangan media menulis terbuka pada paruh pertama tahun 2000, yang dikenal dengan blog, khususnya di Indonesia (Demanda, 2022). Ketersediaan media terbuka untuk seseorang menulis dan dapat dibaca oleh banyak orang menjadi fase pertama sebelum akhirnya media sosial berkembang pesat hingga hari ini—tidak lagi hanya sekedar tulisan, namun juga memuat berbagai jenis gambar, foto, atau video. Dominasi dan perkembangan pesat media sosial di Indonesia tidak terlepas dari masyarakat yang merasa takut ketinggalan suatu update di kehidupannya (fear of missing out/FOMO). 

Ketakutan-ketakutan ini menimbulkan celah yang dimanfaatkan secara optimal oleh para kapitalis dan rentetan perkembangan kelas-kelas penguasa termasuk cloudalist yang saling memperebutkan dominasi terhadap masyarakat atau borjuis (Varoufakis, 2024). Kompetisi dominasi yang terjadi di dalam perkembangan media sosial menyebabkan perpecahan dan akselerasi berita yang menyesatkan semakin lebih intensif.

Di bidang akademik dan intelektual, informasi seputar marxisme cenderung tabu dan dianggap sebagai hal yang sangat sakral untuk dibicarakan. Kesakralan ini, dengan konteks negatif, adalah akibat sentimen anti-komunisme dan gerakan kiri yang lahir di Indonesia, yang semakin dipertajam sejak peristiwa di tahun 1965 (Triyana, 2020). Dengan stigmatisasi yang timbul dari sana, upaya klarifikasi definisi marxisme sebagai gerakan pembebasan dan revolusioner terhambat, bahkan tidak jarang menjadi bahan diskusi yang sudah usang di banyak media sosial.

Hari ini, marxisme sering dianggap sebagai hal yang hanya dapat hidup di masa lalu bagi sebagian orang. Beberapa di antaranya telah terbiasa dengan iklim relativitas yang bertebaran di media sosial, salah satunya dengan maraknya fenomena post-truth dan postmodernism

Postmodernism dan post-truth merupakan dua hal yang berbeda tetapi memiliki aliran yang sama, di mana posmodernism menjadi awal mula dari perkembangan post-truth. Perkembangan segmentasi masyarakat yang semakin beragam menimbulkan berbagai jenis narasi yang urgensinya sangat relatif. Dampaknya, upaya menciptakan narasi besar tidak dapat dilakukan dengan baik. Narasi besar atau metanarasi telah dibantah oleh para pemikir postmodernism yang menyatakan bahwa tidak ada kebenaran yang sifatnya objektif dan anggapan bahwa segala bentuk narasi besar, termasuk marxisme. Narasi besar, kata mereka, akan menimbulkan suatu kediktatorian—atau bersifat otoriter—sehingga perlu ditinggalkan (McMahon, 2025).

Marxisme yang merupakan salah satu metode, gerakan, filsafat, dan ideologi, berkembang dengan menganalisis masyarakat dari segala proses sejarahnya (materialisme dialektis dan materialisme historis). Hal ini dilakukan untuk menemukan basis utama penindasan dan kemiskinan, yaitu ekonomi dan politik. Dengan penguasaan yang baik pada bidang ekonomi dan politik, seseorang dapat dengan mudah menduduki jabatan tertinggi di dalam masyarakat, dimulai dari menjadi tuan dari para budak, menjadi pemilik perusahaan yang menghisap kerja-kerja yang dilakukan oleh buruhnya, atau menjadi penguasa lalim yang mengambil keuntungan dari penderitaan masyarakatnya. 


Postmodernism adalah Filsafat Kemunafikan

Penolakan terhadap narasi besar atau metanarasi yang dilakukan oleh postmodernism merupakan salah satu bentuk penipuan yang dilakukan oleh para pemikirnya. Manusia tidak dapat dilepaskan dari sejarah yang membentuknya; mereka tidak dapat direduksi sebagai atom-atom kecil yang dianggap independen dan terlepas dari konteks di mana ia tumbuh dan berkembang, yakni masyarakat. Marx telah melihat ini sebagai konsep alienasi manusia, tidak hanya dari kerja yang mereka lakukan tetapi dari segala bentuk sejarah dan kebenaran objektif yang memosisikan seseorang ke suatu kondisi—kaya-miskin, tuan-budak, atau penguasa-tidak berkuasa.

Pemisahan di atas bertujuan menciptakan kedinamisan hidup serta menghindari sistem-sistem yang mungkin menjadi otoriter. Jika kita berangkat menggunakan analisis postmodernism, kedinamisan yang diakui oleh postmodernism tidak bersifat kolektif tetapi individualis dengan tafsiran yang bisa sangat berkontradiksi dengan konsep yang dilahirkan di era modernism

Kemunafikan postmodernism dapat dilacak sejak awal perkembangannya, dari Lyotard hingga Derrida. Masing-masing dari  mereka menciptakan analisis yang terlihat menarik bagi masyarakat hari ini, tetapi tidak lebih dari sekadar permainan kata yang sulit untuk dimengerti, dengan adanya pengaburan makna serta tidak mengungkapkan suatu tujuan yang bersifat problem solving. Meski mengambil corak dan pendekatan marxisme—yang sering dianggap sebagai neo-marxisme atau post-marxism—akan tetapi postmodernism tidak dekat dengan pemikiran Karl Marx itu sendiri.

Postmodernism cenderung lebih dekat dengan gaya dan filsafat Nietzsche yang berkutat dalam lingkup “perspektivisme”, yang sering kali meniadakan kebenaran objektif dengan dasar argumen “pengalaman manusia yang berbeda-beda” sehingga segala kebenaran tidak dapat dicapai. Nietzsche melihat bahwa segala entitas yang ada di dunia ini memiliki cara pandang berbeda dari manusia lain, sehingga pertanyaan tentang persepsi dan kebenaran akan sesuatu cenderung tidak berarti (Clark, 1991). 

Berpijak pada perspektif yang berkembang pesat seiring dengan ketenaran Nietzsche, para pemikir postmodernism mengambil langkah memutar untuk membungkus gagasan barunya tersebut ke dalam permainan bahasa dan sampul yang baru agar terlihat sebagai penemuan tersebut di abad 20.

Kenapa postmodernism dikatakan sebagai filsafat kemunafikan? Hal ini berangkat dengan penolakan radikal terhadap metanarasi. Tetapi postmodernism sendiri menggunakan metanarasi untuk membangun argumentasi penolakannya terhadap metanarasi. Hal ini terjadi dengan penelusuran kembali segala bentuk argumentasi dan teori di era modernism yang terjadi secara komprehensif. Postmodernism mengambil sejarah umat manusia sebagai objek yang digunakan untuk melakukan studi komparatif terhadap argumentasi yang mereka bangun, dengan dalih sebagai bahan kritik. Namun, postmodernism terjebak ke dalam sirkulasi sejarah manusia yang sesungguhnya tidak dapat ditolak oleh para pemikir postmodern.

Penyangkalan yang mereka lakukan sejatinya adalah penyangkalan terhadap diri mereka sendiri. Klaim “semua metanarasi adalah hal yang mencurigakan” menjadi gagasan yang absolut dan lebih nyata daripada realitas lainnya—yang mana hal ini juga dapat dianggap sebagai kebenaran objektif yang muncul dalam diri postmodernism—sehingga penolakan tersebut telah menjadi “metanarasi”.

Kemunafikan berikutnya terlihat dalam konsep dekonstruksi Derrida, yang merupakan “metanarasi implisit” dan mencoba membongkar sistem tradisional (modernism). Kerangka dekonstruksi yang mungkin dapat dibagi menjadi beberapa bagian—priority, reversal, dan interrelation (dalam bentuk paradoks, kontradiksi, atau aporia)—yang menjadi alat utama dan paling khas dalam postmodernism, sebenarnya mencerminkan struktur yang ia tolak dari banyaknya struktur di masa modernism.

Kegunaan analisis ini berfokus pada pembongkaran kontradiksi di dalam teks, namun justu memaksakan suatu kerangka kerja yang kaku (tidak seperti kedinamisan postmodernism), yang akhirnya bekerja sebagai kerangka berpikir universalis baru yang bertendensi membentuk metanarasi. 

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.


Media Sosial sebagai Alat Kuasa Postmodernism

Media sosial adalah senjata pembodohan di tangan postmodernist. Pernyataan tersebut merupakan representasi dari permasalahan yang timbul akibat hegemoni yang dilakukan oleh postmodernism untuk mempertahankan dominasi yang berkuasa (kapitalisme). Terdapat beberapa karakteristik yang dapat kita lihat dalam perkembangan media sosial yang terjebak dalam bayang-bayang postmodernism, yaitu skeptisisme, hiperrealitas, fragmentasi, dan komodifikasi budaya.

Penulis akan membatasi pembahasan ini pada beberapa karakteristik, yaitu fragmentasi dan hiperrealitas. Postmodernism sebagai filsafat kemunafikan memecah otoritas tradisional (modernism) dengan mengangkat “narasi kecil” atau wacana alternatif yang menantang dominasi narasi-narasi besar (sains, politik, dan agama). Perkembangan pesat teori konspirasi, misinformasi, dan ideologi pinggiran merupakan hasil dari kerja-kerja sistem algoritmik yang melibatkan dirinya atas akurasi faktual yang tidak jarang dirancang untuk merusak kepercayaan seseorang terhadap kebenaran universal dan metanarasi.

Sejauh perkembangannya, manusia tidak lagi berbagi satu alam semesta yang sama, yang terpadu dengan makna dan pemahaman (Little, 2023). Masing-masing orang tidak lagi berkelindan dengan kesadaran kolektif tunggal—seperti di era modernism—melainkan lebih bersifat lokal, heterogen, dan didistribusikan ke dalam seluruh lapisan masyarakat, khususnya ditujukan untuk menciptakan pasar yang semakin beragam untuk menyerap produksi komoditas di bawah sistem kapitalisme.

Kita mengenal adanya sistem “silo informasi” yang mengambil peran di dalam sistem manajemen informasi, di mana satu komponen tidak dapat bergerak bebas untuk berkomunikasi dan berbagi informasi. Kita dapat mengasumsikan bahwa internet dan media sosial merupakan manajemen informasi, yang di dalamnya terdapat algoritma untuk mengurutkan informasi dan membuat rekomendasi berdasarkan dengan relevansi pengguna.

Ia dibuat berdasarkan dengan keyword sehingga mampu untuk menghubungkan orang-orang yang memiliki minat yang sama. Akibatnya, “silo informasi” ini menciptakan hiperrealitas, ketika individu tidak lagi dapat melihat keyakinan lainnya dan membuat keyakinannya sebagai suatu kebenaran absolut, sehingga berhasil membuat seseorang melawan “metanarasi” yang telah berkembang (Zignani dalam Little, 2023). 

Fragmentasi yang terjadi telah menyuburkan hiperrealitas dengan terbentuknya masyarakat algoritmik. Mereka hanya menyakini kebenaran yang disuguhkan oleh dirinya sendiri berdasarkan dengan asumsi yang mereka ajukan ke internet dan media sosial. Tujuan dari pengajuan kebenaran tersebut ke internet hanya sebatas legitimasi. Argumen tertentu hanya divalidasi oleh internet tanpa disuguhkan oleh narasi tandingan, karena internet merasa bahwa orang yang mencarinya sesuai dengan “silo informasi” yang telah ditentukan.

Hal ini selaras dengan tendensi postmodernism untuk membuat segmentasi sebanyak mungkin, karena menurut mereka hal ini adalah ciri khas kehidupan yang lebih baik dibandingkan dengan terjun ke jurang otoriter dari gagasan universalis. Faktor teknologi dalam proses penciptaan fragmentasi dan hiperrealitas disediakan dalam jutaan informasi, untuk memprovokasi seseorang untuk jatuh ke dalam “fatalisme atau skeptisisme” tentang pengetahuan dan partisipasi kolektif.

Keberadaan traffic di dalam “silo informasi” semakin memperkuat pembatasan akses informasi ke berbagai pengguna sehingga tidak terjadi cross-check informasi agar melanggengkan polarisasi dan isolasi yang membentuk keabadian perspektif hiperrealitas.


Membela Marxisme, Membela Kewarasan

Postmodernism sering mengklaim bahwa tidak ada kebenaran objektif, menganggap semua narasi besar (termasuk marxisme) sebagai otoriter. Namun, marxisme justru berakar pada analisis materialisme dialektis yang mengakui realitas objektif dalam sejarah dan struktur masyarakat. Keadilan sosial dalam marxisme didasarkan pada penghapusan eksploitasi kelas melalui pembebasan kolektif, bukan reduksi kebenaran menjadi “pilihan subjektif” seperti dalam postmodernism.

Kritik terhadap kapitalisme dalam marxisme tidak bermaksud menciptakan otoritarianisme, tetapi mengungkap struktur ekonomi yang menyebabkan ketidakadilan—seperti eksploitasi buruh dan ketimpangan kelas—yang sering diabaikan dalam diskursus postmodernism karena terjebak dalam “silo informasi” dan hiperrealitas. Konsep emansipasi dalam marxisme bertujuan untuk membebaskan pikiran kita sehingga mampu mencari kebenaran dari kenyataan yang ada (Xiaoping, 1978). 

Perkembangan media sosial dalam era postmodernism memperparah fragmentasi masyarakat, di mana “silo informasi” memisahkan individu dalam kapsul naratif tertutup. Fenomena ini mengarah pada hiperrealitas, di mana kepercayaan pribadi dianggap kebenaran mutlak tanpa koreksi kolektif. Marxisme, sebaliknya, mendorong pemahaman kolektif tentang struktur ekonomi dan politik sebagai dasar perubahan sosial. Keadilan dalam marxisme tidak berasal dari “pilihan gaya hidup” individual, tetapi dari kesadaran kolektif tentang ketidakadilan sistemik.

Dengan demikian, marxisme menjadi alat kewarasan untuk melawan fatalisme postmodernism yang menganggap perubahan sosial mustahil dilakukan karena “kebenaran itu relatif”. Jika kita lihat lebih jauh, marxisme tidak mengklaim kebenaran mutlak, tetapi menggunakan metode analisis dialektis untuk memahami kontradiksi dalam masyarakat. Kritik terhadap kapitalisme dalam marxisme bersifat praktis dan berorientasi solusi, bukan sekadar “permainan kata” seperti dalam postmodernism. Kondisi ini membuat marxisme lebih dekat dengan kewarasan karena berfokus pada perubahan nyata, bukan pada dekonstruksi abstrak yang mengabaikan realitas ekonomi, sejarah, dan politik.

Di Indonesia, marxisme sering dianggap tabu karena sentimen anti-komunisme yang berasal dari sejarah 1965. Namun, marxisme sebagai analisis kritis terhadap kapitalisme dan struktur kelas tetap relevan dalam menghadapi ketimpangan sosial yang semakin parah. Postmodernism, dengan fokus pada relativitas dan dekonstruksi, justru memperparah ketidakadilan dengan menganggap perjuangan kelas sebagai “konsep lama” yang tidak relevan.

Marxisme menawarkan kerangka pemahaman yang konsisten tentang dinamika ekonomi dan politik sebagai sumber ketidakadilan, yang perlu diubah melalui aksi kolektif. Dalam konteks ini, mempertahankan marxisme adalah mempertahankan kewarasan terhadap manipulasi naratif oleh kapitalisme dan negara yang bekerja sama untuk mempertahankan dominasi kelas borjuis. Di sisi lain, perkembangan teknologi dan media sosial dalam era postmodernism mengarah pada fatalisme, di mana individu merasa tak berdaya di tengah arus informasi yang tidak terkendali.

Melalui pemahaman kolektif tentang struktur ekonomi, marxisme mendorong partisipasi aktif dalam perubahan sosial, bukan pasrah pada “hiperrealitas” yang diciptakan oleh algoritma media sosial. Dengan demikian, marxisme menjadi benteng kewarasan di tengah kebingungan yang diciptakan oleh postmodernism.


Daftar Pustaka

Clark, M. (1991). Perspectivism. In Nietzsche on Truth and Philosophy (pp. 127–158). Cambridge: Cambridge University Press.

Demanda. (2022). Pengertian, Sejarah dan Perkembangan Blog Pribadi. Diakses pada 24 Februari 2025, pada pukul 17.30 WIB. https://demanda.id/blog/blog-pribadi-adalah

Little, William. (2023). Introduction to Sociology – 3rd Canadian Edition. BC Campus

McMahon, Thomas. (2025). Postmodernism – a disaster for Marxism. Marxism Explained. Diakses pada 23 Februari 2025, pada pukul 19.30 WIB. https://marxismexplained.com/2025/01/11/postmodernism-a-disaster-for-marxism/

Triyana, Bonie. (2020). Asal-Usul Stigmatisasi Komunis di Indonesia. Historia. Diakses pada 24 Februari 2025, pada pukul 18.30 WIB. https://historia.id/politik/articles/asal-usul-stigmatisasi-komunis-di-indonesia-v297d

Varoufakis, Yanis. (2024). Technofeudalism: What Killed Capitalism. Melville House.

Xiaoping, Deng. (1978). Emancipate the Mind, Seek Truth From Facts and Unite As One In Looking to the Future. https://www.marxists.org/reference/archive/deng-xiaoping/1978/110.htm


Angga Pratama adalah seorang penulis, pendiri Ruangan Filsafat, dan terlibat di LSF Odyssey.

]]>
Nenengisme dan Problemnya https://indoprogress.com/2025/04/nenengisme-dan-problemnya/ Thu, 10 Apr 2025 23:41:41 +0000 https://indoprogress.com/?p=238907

Ilustrasi: Illustruth


BERANDA media sosial saya belakangan dihiasi oleh posting dari atau terkait dengan Neneng Rosdiana, seorang ibu rumah tangga yang aktif di Kelompok Wanita Tani (KWT) Mentari, Lampung. Akun ini menarik karena awalnya bernama “Marxisme Indonesia”. Akun ini juga mendapat banyak perhatian pengguna karena banyak memotret kegiatan khas perdesaan disertai sarkasme untuk aktivis perkotaan yang tidak terjun ke masyarakat. Kemudian, jika “Marxisme Indonesia” mempromosikan gagasan dari Karl Marx dan para intelektual kiri lain, Neneng melakukan sebaliknya. Karena latar belakang tersebut, warganet kemudian memopulerkan istilah “nenengisme”. 

Kendatipun tidak merujuk pada term akademik dalam tradisi keilmuan tertentu melainkan hanya pelabelan ala media massa, nenengisme tetap perlu ditanggapi secara serius. Saya ingin mengemukakan kekurangan sekaligus masalah yang dapat timbul jika gagasan ini terus-terusan berseliweran tanpa sedikit pun diselidiki secara serius. Budaya pragmatisme dalam iklim akademik dan aktivisme di Indonesia menjadi karpet merah bagi gagasan-gagasan populer macam nenengisme ini, betapa pun banyak masalah di dalamnya, baik secara konseptual maupun konsekuensi politisnya dalam gerakan massa.

Ada dua hal yang segera mengganggu saya ketika membaca unggahan-unggahan Neneng, pertama persoalan romantisasi berlebih terhadap kehidupan perdesaan serta dikotomi teori dan praktik yang tidak berimbang. Saya elaborasi lebih jauh di bagian berikut.


Romantisasi Kehidupan Perdesaan

Banyak unggahan Neneng memotret aktivitas keseharian dan pertanian warga di desanya yang terlihat guyub, tenteram, damai, serta penuh gotong royong. 

Misalnya, bersama unggahan foto warga sedang mengikuti pengajian, Neneng menulis, “Marxisme bicara soal kesetaraan, ibu-ibu pengajian sudah praktik langsung, semua bawa makanan, semua kebagian makan, nggak ada yang pulang lapar. Revolusi kecil yang nyata terjadi setiap minggu!” Di posting lain, Neneng mengunggah foto ibu-ibu yang sedang memegang hasil panen kangkung bermimik semringah dengan caption, “Sama-sama perjuangkan ketahanan pangan: Marxisme ingin distribusi merata, KWT Mentari ingin panen raya!” Satu lagi, dalam unggahan tentang buka puasa bersama, Neneng menulis, “Dalam buka puasa bersama, keadilan sosial bukan sekadar teori, yang membawa banyak berbagi, yang tak punya tetap kebagian. Mungkin Marx lupa mencantumkan ini di Das Kapital.” 

Sekilas, tak ada yang bermasalah. Kehidupan perdesaan demikian adanya. Kehidupan yang sumpek, jauh dari solidaritas sosial, dan penuh ketidakbahagiaan hanya ada di masyarakat kota. Ada banyak pula penelitian dari LSM, akademisi, serta aktivis politik yang melihat kehidupan agraris serupa nenengisme. Namun, benarkah demikian? 

Cara pandang yang melihat kehidupan perdesaan itu homogen dan warganya relatif memiliki semangat penghidupan yang sama, oleh Muchtar Habibi, disebut sebagai “mitos agraria”. Apa yang keliru dari potret arus utama itu adalah pengakuan bahwa kehidupan perdesaan penuh dengan dinamikanya sendiri, kompleks, dan masyarakatnya terbagi ke dalam kelas-kelas sosial tertentu yang pada gilirannya memengaruhi kualitas penghidupan masing-masing. Singkatnya, kehidupan yang tidak homogen. 

Analisis kelas membantu kita melihat kondisi masyarakat perdesaan dengan lebih baik. Dalam analisis ini, posisi petani sebagai kelas sosial sangat ditentukan oleh sistem yang mengondisikannya: kapitalisme. Proses komodifikasi yang khas dalam kapitalisme menyebabkan bertani bukan hanya untuk subsisten, tapi juga demi keuntungan dalam tingkat yang berbeda-beda. Karena itu dalam bahasa Inggris kita mengenal berbagai istilah seperti “peasant” dan “farmer”, Istilah pertama merujuk pada petani tradisional, skala kecil, sekadar subsisten, sementara yang disebut terakhir lebih tinggi. Di dalam situasi ini terdapat persaingan. Ada yang kalah dan ada yang menang. 

Kata Habibi: “Karena dikondisikan oleh logika pasar, sebagian petani (farmer) dapat menjadi akumulator (kapitalis) yang terlibat dalam ekspansi reproduksi. Sebagian yang lain jadi petty commodity producer untuk sekadar memproduksi secara sederhana kehidupan mereka yang dalam istilah populis disebut sebagai subsistensi. Banyak yang lain meski memiliki secuil tanah kadang gagal untuk memenuhi kebutuhan reproduksi sederhana, sehingga mengalami tekanan subsistensi dan menjadi petani semi proletariat. Sementara sebagian produsen lain yang kalah bersaing dipaksa kehilangan sarana produksinya sama sekali dan bergabung menjadi buruh upahan untuk bertahan tiap hari untuk sekadar bertahan hidup.” (Habibi : 2018) 

Mitos agraria yang dipromosikan nenengisme memiliki konsekuensi politis tidak main-main. Hal yang paling mudah untuk saya paparkan di sini adalah pengorganisiran kaum tani yang dipukul rata, padahal sejak awal sangat kontras (ada yang memiliki sarana produksi, ada yang memiliki secuil sarana produksi, bahkan ada yang tak memiliki apa pun selain tenaga untuk bekerja). Tentu sulit membayangkan, misalnya, ada kelompok tani yang menuntut reforma agraria sejati jika di dalamnya juga terdapat petani kaya yang punya lahan amat luas.


Dikotomi Teori dan Praktik yang Tidak Berimbang

Dalam salah satu unggahan, Neneng menulis, “Semakin panjang teori, semakin jauh dari kenyataan. Sementara kalian sibuk berdebat soal penindasan kapitalis di coffeeshop mahal, kami para petani sedang memastikan kalian tetap punya makanan di meja, meski kami sendiri nggak tahu bisa makan apa.” Kendatipun hanya cuitan di medsos, yang tentunya tidak punya beban pertanggungjawaban secara ilmiah, namun tetap saja itu perlu direspons secara layak sebab, mengulang pernyataan sebelumnya,  itu sangat mudah diterima dalam kultur akademik dan aktivisme. 

Cuitan Neneng memang terkesan sangat heroik dan menghujam. Namun, sedikit saja kritis, maka kita akan segera menemukan banyak problem dalam satu paragraf itu. Misal, benarkah semakin panjang teori, semakin jauh ia dari realitas? Teori adalah hasil abstraksi dari kenyataan, sehingga panjangnya teori justru menunjukkan level kompleksitas kenyataan yang sedang dihadapi. 

Dalam kalimat selanjutnya, Neneng tampak sinis pada mereka yang membicarakan penindasan di tempat yang dia anggap tidak merepresentasikan itu. Bagi saya ini lebih parah dari yang awal parah sinisme semacam ini muncul dari pendefinisian yang kurang memadai terhadap kapitalisme. Jika memahami kapitalisme sebagai corak produksi komoditas yang bekerja secara total dalam realitas yang tujuannya adalah akumulasi tanpa batas serta didasarkan pada penghisapan kelas pekerja, maka kita akan segera tahu bahwa masalahnya bukan pada produk (aneka ragam minuman) dan tempat komoditas itu dibuat (kedai), tapi pada keseluruhan relasi yang menciptakan sebuah komoditas atau secara konseptual disebut sebagai sirkuit kapital. Ini sama seperti sindiran “katanya antikapitalis, tapi kok pakai produk-produk kapitalis (laptop, ponsel pintar, dsj)?” Kritiknya perlu diarahkan pada penghapusan sistem kapitalisme itu sendiri alih-alih berfokus pada produk hasil dari kapitalisme. 

Lanjut ke respons yang lebih konseptual terkait dikotomi teori dan praktik. Secara implisit Neneng hendak mengatakan bahwa praktik (menanam) derajatnya lebih tinggi dibanding teori (berdebat). Benarkah demikian? 

Sebelum menjawab pertanyaan itu, mari kita menjernihkan lebih dahulu posisi teori dan praktik serta hubungan keduanya. Rakyat Husein menulis di Indoprogress, “Kaum marxis harus mengingat bahwa teori dan praksis adalah dua sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan. Teori memberikan arah dan kerangka bagi praksis, sementara praksis memperkaya teori dengan pengalaman nyata. Sebuah perjuangan yang berhasil hanya dapat terjadi ketika teori dan praksis saling melengkapi.” Menyitir Husein, teranglah bahwa teori dan praktik adalah satu kesatuan. Dengan kata lain, ada hubungan dialektis antara keduanya (saling merasuki). 

Kutipan singkat tentang teori dan praktik ini kiranya dapat dipakai untuk menjernihkan problem dari cuitan Neneng. Mendiskusikan kapitalisme di warkop tidak bisa hanya disebut sebagai berteori saja, sebab ia adalah praksis dari teori yang lain, yakni teori bahwa kapitalisme adalah realitas yang kompleks sehingga untuk sampai pada pengetahuan yang memadai tentangnya, yang pada gilirannya dimungkinkan untuk dilakukan perubahan, perlu untuk senantiasa dipelajari dan didiskusikan (inilah contoh teori yang menubuh dalam praktik). Sebaliknya, agar aktivitas bertani tidak kering dan punya potensi perlawanan terhadap kapitalisme, penting untuk menempatkannya pada teori tertentu. Pada akhirnya, dikotomi berlebih teori dan aksi yang tampak secara eksplisit dalam nenengisme harus segera dikubur, sebab keduanya tak pernah benar-benar berpisah, ia dialektis (saling merasuki). 

Ada ungkapan yang menarik dari inspirator utama gerakan kita, Karl Marx. Dalam Tesis-Tesis tentang Feuerbach. Marx menulis, “Para filsuf hanya telah menafsirkan dunia dengan berbagai cara, padahal yang terpenting adalah mengubahnya.” Penting untuk disadari bahwa dunia (kapitalisme) belum benar-benar telah ditafsirkan atau belum final, sehingga bagaimana mungkin mengubah dunia (kapitalisme) jika kita tidak punya pemahaman memadai tentangnya. Di titik inilah, lagi-lagi penting untuk senantiasa mendiskusikan dan mengkritik kapitalisme, sambil lalu mempraktikkan gagasan-gagasan itu. Inilah praksis yang dikenal dalam tradisi panjang marxisme.


Sebuah Refleksi

Pada bagian akhir ini saya mau sedikit merefleksikan kembali realitas kapitalisme yang semakin menapak kuat dalam sendi-sendi kehidupan, di mana pun wajah kita dipalingkan, di situlah kapitalisme kita jumpai. Lalu apa yang tersisa untuk kita? Tak ada, selain seonggok tenaga untuk bekerja 8 jam sehari atau bahkan lebih di pabrik, kantor, sawah, ladang, laut atau di mana pun itu tempat sirkuit kapital berlangsung, bahkan di gawai yang sering kali kita anggap privat itu. Oleh karena demikian, setiap upaya untuk mengintervensi sistem kapitalisme ini, bagaimanapun bentuknya, penting untuk selalu dihidupkan bahkan ketika itu dilakukan di coffeshop mahal (para barista itu juga buruh, dan gajinya tidak jarang kecil). 

Pada akhirnya, tren nenengisme mengajarkan bahwa bagaimanapun populernya sesuatu, selalu penting untuk menyisakan ruang kritik untuknya. Bukan bermaksud untuk menyudutkan atau mendiskreditkan, akan tetapi begitulah ruang maya seharusnya dihidupkan dan senantiasa diarahkan pada upaya kemenangan atas sistem yang menindas hari ini.


Rizky Abadi Putra, penjaga rumah Tadarrus Buku 218 Makassar

]]>
Tugas dan Tanggung Jawab Kaum Marxis https://indoprogress.com/2025/02/tugas-kaum-marxis/ Thu, 27 Feb 2025 00:05:04 +0000 https://indoprogress.com/?p=238811

Ilustrasi: Illustruth


KAPITALISME terbukti merupakan sistem yang tidak hanya gagal menciptakan keadilan sosial, tetapi juga membawa umat manusia menuju kehancuran. Maka, di tengah krisis yang melanda dunia ini, yang wujudnya mulai dari ketimpangan ekonomi, kerusakan lingkungan, hingga meningkatnya penindasan terhadap rakyat pekerja, pertanyaan tentang apa yang harus dilakukan kaum marxis menjadi semakin mendesak. 

Apa sebenarnya tugas-tugas mereka? Bagaimana mereka harus bersikap, berorganisasi, dan bertindak dalam mewujudkan cita-cita revolusi? Artikel ini bertujuan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut dengan membahas identitas kaum marxis, kesalahan yang harus dihindari, hingga langkah apa yang harus dilakukan agar revolusi terwujud.


Siapa Kaum Marxis dan Apa yang Membuat Mereka Demikian?

Sejak masyarakat mengenal kepemilikan pribadi, konflik antara mereka yang memiliki alat produksi dan mereka yang dipaksa untuk bekerja demi bertahan hidup terus berlangsung. Kaum marxis adalah mereka yang menyadari betul soal itu, bahwa sejarah manusia tidak pernah lepas dari perjuangan antara kelas-kelas sosial yang saling bertentangan. Di konteks kapitalisme, itu adalah konflik antara borjuasi dan proletar.

Keyakinan fundamental kaum marxis ini berakar pada teori materialisme historis yang dirumuskan oleh Karl Marx dan Friedrich Engels. Teori ini menunjukkan bahwa bagaimana manusia memproduksi kebutuhan hidup mengondisikan bagaimana masyarakat terorganisasi dan berkembang, termasuk dalam aspek politik dan budaya. 

Materialisme historis pula yang membuat kaum marxis percaya bahwa kapitalisme bukan akhir dari sejarah. Kapitalisme memang telah mengubah dunia secara radikal, menciptakan kekayaan yang luar biasa, dan memperkenalkan teknologi yang canggih. Namun sistem ini juga membawa kontradiksi internal yang tidak dapat diselesaikan tanpa menghancurkannya. Di bawah kapitalisme, mayoritas masyarakat (proletariat) dipaksa untuk menjual tenaga kerja mereka kepada segelintir pemilik modal (borjuasi). Proses ini menghasilkan akumulasi keuntungan yang luar biasa bagi borjuasi, tetapi juga menciptakan ketimpangan sosial, eksploitasi tenaga kerja, dan krisis ekonomi yang berulang. Kapitalisme tidak dirancang untuk memenuhi kebutuhan manusia secara universal, tetapi memaksimalkan keuntungan lewat eksploitasi.

Kaum marxis memahami bahwa kapitalisme hanyalah satu tahap dalam perkembangan sejarah manusia. Ia akan dilampaui oleh sosialisme, di mana alat-alat produksi dikendalikan oleh masyarakat secara kolektif, dan akhirnya komunisme, sebuah masyarakat tanpa kelas, tanpa eksploitasi, dan tanpa penindasan. Tapi itu tidak terjadi serta-merta. Oleh karena itu menjadi seorang marxis juga tidak hanya berarti memahami teori-teori Marx, Engels, Lenin, Rosa, atau pemikir revolusioner lainnya. Seorang marxis sejati adalah mereka yang mengintegrasikan teori dengan praksis, yaitu tindakan nyata dalam perjuangan kelas. Seperti yang diungkapkan Marx dalam Theses on Feuerbach (1888), tugas utama filsafat bukan hanya menafsirkan dunia, tetapi mengubahnya. 

Seorang marxis memahami bahwa kapitalisme bukan sekadar sistem ekonomi, tetapi struktur dominasi yang menyentuh setiap aspek kehidupan manusia. Kapitalisme tidak hanya mengeksploitasi tenaga kerja di tempat kerja, tetapi juga membentuk cara kita berpikir, bertindak, dan berinteraksi. Melalui alat-alat ideologis seperti media, pendidikan, agama, dan budaya populer, kapitalisme menciptakan ilusi bahwa sistem ini adalah satu-satunya yang mungkin. Konsep “kompetisi”, “individualisme”, dan “kebebasan pasar” dipromosikan sebagai nilai universal, sementara ketimpangan dan eksploitasi dianggap sebagai konsekuensi tak terhindarkan. Kaum marxis berusaha membongkar ilusi ini. Mereka menunjukkan bahwa ketidakadilan yang kita lihat bukanlah hasil dari “kesalahan individu” atau “nasib buruk”, tetapi konsekuensi langsung dari sistem kapitalisme itu sendiri.

Seperti yang telah disebutkan, tugas utama kaum marxis adalah mengubah dunia. Ini bukan sekadar slogan, tetapi panggilan untuk bertindak. Kaum marxis memahami bahwa perubahan tidak akan datang dari kebaikan yang diberikan dari atas, tetapi dari perjuangan kelas yang terorganisir. Mengubah dunia berarti menghancurkan kapitalisme dan membangun tatanan baru yang adil dan egaliter. Ini adalah tugas besar yang membutuhkan dedikasi, keberanian, dan disiplin. Kaum marxis harus menjadi pelopor dalam perjuangan ini, membawa obor revolusi di tengah gelapnya dunia kapitalisme.

Tugas ini jelas tidak mudah, tetapi seperti yang pernah diungkapkan Marx, “Manusia mau tidak mau hanya menetapkan tugas-tugas yang dapat diselesaikannya.”


Sikap Keliru Kaum Marxis

Sebagai pelopor perjuangan kelas, kaum marxis memikul tanggung jawab besar untuk mengarahkan masyarakat menuju pembebasan sejati. Namun, dalam perjalanan panjang ini, tidak jarang sebagian kaum marxis terjebak dalam sikap-sikap keliru yang justru melemahkan perjuangan revolusioner. Kesalahan-kesalahan ini sering kali berasal dari kurangnya keseimbangan antara teori dan praksis, kecenderungan fragmentasi, serta penyimpangan dari prinsip-prinsip revolusioner.

1. Intelektualisme Kosong: Teori Tanpa Praksis

Kesalahan pertama adalah kecenderungan untuk terlalu terfokus pada teori tanpa menerapkannya dalam praksis. Kaum marxis jenis ini terjebak dalam diskusi panjang yang tidak menghasilkan tindakan nyata. Mereka menghabiskan waktu memperdebatkan istilah, merinci interpretasi, atau bahkan menciptakan teori-teori baru yang terputus dari kenyataan.

Meskipun teori adalah landasan yang sangat penting bagi perjuangan revolusioner, teori yang tidak dihubungkan dengan tindakan hanya menjadi intelektualisme kosong. 

Akibat dari intelektualisme ini adalah kelambanan dan keterasingan kaum marxis dari massa. Kaum pekerja, yang menjadi subjek utama perjuangan, sering kali melihat kaum marxis semacam ini sebagai kelompok elitis dan tidak relevan dengan kehidupan mereka. Kaum marxis harus menghindari jebakan ini dengan selalu menghubungkan teori dengan tindakan nyata, mendekati massa, dan menjadikan teori sebagai alat untuk membimbing praksis.

2. Aktivisme Tanpa Arah: Praksis Tanpa Teori

Sebaliknya, ada pula yang terlalu terfokus pada praksis tanpa memahami landasan teoretisnya. Aktivisme semacam ini cenderung reaktif dan kehilangan visi strategis. Mereka terjun ke dalam berbagai bentuk perjuangan tanpa memahami struktur dan dinamika kapitalisme secara mendalam, sehingga perjuangan menjadi sporadis dan mudah dipatahkan.

Tanpa teori yang benar, praksis revolusioner kehilangan arah. Misalnya, mogok atau demonstrasi besar-besaran bisa menjadi sia-sia jika tidak disertai dengan analisis yang jelas tentang bagaimana aksi tersebut berkontribusi pada perjuangan jangka panjang. Aktivisme tanpa arah juga sering kali berhenti di tuntutan reformis tanpa menghubungkannya dengan akar masalah: sistem kapitalisme itu sendiri.

Kaum marxis harus mengingat bahwa teori dan praksis adalah dua sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan. Teori memberikan arah dan kerangka bagi praksis, sementara praksis memperkaya teori dengan pengalaman nyata. Sebuah perjuangan yang berhasil hanya dapat terjadi ketika teori dan praksis saling melengkapi.

3. Sektarianisme: Fragmentasi dalam Gerakan

Kesalahan besar lainnya adalah kecenderungan sektarianisme. Kaum marxis terpecah belah karena perbedaan kecil dalam strategi, taktik, atau interpretasi teori. Sektarianisme sering kali berakar pada egoisme ideologis, di mana kelompok-kelompok marxis lebih mementingkan keunggulan pandangan mereka daripada persatuan kelas pekerja.

Sektarianisme ini tidak hanya melemahkan gerakan revolusioner, tetapi juga mengkhianati prinsip dasar marxisme: bahwa pembebasan hanya dapat dicapai melalui persatuan kolektif kelas pekerja. Ketika kelompok-kelompok marxis saling menyerang atau enggan bekerja sama karena perbedaan kecil, mereka secara tidak langsung memperkuat kekuatan kapitalis yang terus menguasai dan memecah belah kelas pekerja.

Banyak perpecahan dalam gerakan marxis internasional yang menyebabkan fragmentasi serius sehingga melemahkan kapasitas untuk melakukan aksi kolektif yang terkoordinasi. Kaum marxis harus menghindari sektarianisme dengan mengutamakan prinsip persatuan dalam keberagaman, tanpa mengorbankan prinsip-prinsip revolusioner yang mendasar.

4. Reformisme dan Pasifisme: Mengabdi pada Kapitalisme

Kesalahan lainnya adalah sikap reformisme dan pasifisme. Reformisme adalah pandangan bahwa kapitalisme dapat diubah menjadi sistem yang lebih adil melalui kebijakan reformasi bertahap tanpa perlu menghancurkan sistem itu sendiri. Sementara pasifisme adalah kecenderungan untuk menghindari konfrontasi langsung dengan kapitalisme, memilih jalan “damai” meskipun situasi membutuhkan tindakan yang lebih radikal.

Reformisme sering kali memikat karena tampaknya menawarkan jalan yang mudah dan tanpa risiko. Namun, reformisme gagal memahami sifat dasar kapitalisme sebagai sistem yang secara inheren eksploitatif. Kebijakan reformasi seperti kenaikan upah minimum atau program kesejahteraan sosial hanya memberikan perbaikan sementara. Kapitalisme selalu menemukan cara untuk memulihkan keuntungannya, sering kali dengan memindahkan beban krisis ke pundak kelas pekerja.

Pasifisme, di sisi lain, adalah bentuk pengkhianatan terhadap perjuangan revolusioner. Dalam banyak kasus, perubahan besar hanya dapat dicapai melalui perjuangan keras yang melibatkan konflik langsung dengan kelas penguasa. Sejarah menunjukkan bahwa tidak ada kelas yang rela menyerahkan kekuasaannya tanpa paksaan. Oleh karena itu, kaum marxis harus menolak ilusi pasifisme dan siap untuk menggunakan semua bentuk perjuangan yang diperlukan untuk mencapai tujuan revolusioner.

Mengapa Kesalahan Ini Berbahaya?

Semua sikap keliru ini—teori tanpa praksis, praksis tanpa teori, sektarianisme, dan reformisme/pasifisme—berbahaya karena menghambat pembangunan gerakan revolusioner yang kuat dan efektif. Kesalahan ini membuat kaum marxis kehilangan legitimasi di mata massa, memperlemah persatuan kelas pekerja, dan mengalihkan fokus dari tujuan utama: penghancuran kapitalisme.

Kapitalisme adalah sistem yang sangat terorganisir dan memiliki kekuatan besar, baik dalam bentuk militer, polisi, maupun alat-alat ideologis seperti media dan pendidikan. Untuk melawan sistem ini, kaum marxis harus menghindari kesalahan-kesalahan di atas dan membangun gerakan yang terorganisir, bersatu, dan berlandaskan teori revolusioner yang kokoh.

Kaum marxis memiliki tugas besar untuk memimpin perjuangan kelas menuju pembebasan sejati. Namun, tugas ini tidak akan tercapai jika mereka terjebak dalam sikap-sikap keliru yang melemahkan gerakan. Dengan menghindari intelektualisme kosong, aktivisme tanpa arah, sektarianisme, dan reformisme, kaum marxis dapat membangun gerakan yang lebih kuat, bersatu, dan efektif.

Hanya dengan memahami kesalahan ini dan berkomitmen untuk memperbaikinya, kaum marxis dapat menjalankan perannya sebagai pelopor revolusi, membawa kelas pekerja menuju dunia baru yang bebas dari eksploitasi dan penindasan.


Pentingnya Kaum Marxis Mengorganisasikan Partai Revolusioner

Sejarah perjuangan kelas menunjukkan bahwa revolusi sosial tidak pernah terjadi secara spontan atau tanpa organisasi yang jelas. Revolusi membutuhkan alat politik yang mampu mengarahkan perjuangan kelas menuju tujuan akhir: penghancuran kapitalisme dan pembentukan masyarakat tanpa kelas. Alat itu adalah partai revolusioner. Partai revolusioner bukan sekadar kumpulan individu yang berbagi kemarahan terhadap ketidakadilan, melainkan institusi yang dibangun berdasarkan teori ilmiah marxis, disiplin organisasi, dan strategi politik yang jelas. Tanpa partai semacam ini, perjuangan kelas pekerja akan tetap sporadis, tidak terarah, dan mudah dihancurkan oleh kekuatan kapitalis. Oleh karena itu, salah satu tugas utama kaum marxis adalah mengorganisasikan partai revolusioner yang dapat memimpin kelas pekerja dalam perjuangan menuju pembebasan.

Untuk melawan kapitalisme, diperlukan organisasi yang mampu menganalisis kondisi secara ilmiah, mengidentifikasi kelemahan sistem, dan memobilisasi kelas pekerja secara strategis. Gerakan spontan massa sering kali hanya mampu menghasilkan tuntutan-tuntutan reformis yang bersifat sementara. Tanpa partai revolusioner yang mengarahkan perjuangan tersebut, energi massa akan terserap dalam kompromi-kompromi yang menguntungkan kapitalisme. Sebagaimana ditunjukkan oleh Lenin dalam What is to be Done? (1902), kelas pekerja tanpa organisasi revolusioner hanya akan mencapai kesadaran “ekonomis”, yaitu perjuangan untuk perbaikan upah atau kondisi kerja, tanpa menyentuh akar permasalahan sistemik. Partai revolusioner adalah alat yang memastikan bahwa perjuangan kelas tidak hanya berhenti pada tuntutan reformis tetapi berkembang menjadi perjuangan untuk menghancurkan sistem kapitalisme itu sendiri.

Partai revolusioner memiliki peran sentral dalam mengarahkan perjuangan kelas. Salah satu tugas utamanya adalah membangun kesadaran kelas di kalangan pekerja. Kapitalisme secara aktif menyebarkan ideologi yang memperkuat dominasi kelas penguasa, seperti individualisme, meritokrasi, dan nasionalisme. Salah satu tugas utama partai revolusioner adalah melawan ideologi ini dengan membangun kesadaran kelas. Kesadaran kelas tidak muncul secara otomatis. Ia harus ditanamkan melalui pendidikan politik, propaganda, dan intervensi dalam perjuangan nyata. Partai revolusioner bertugas menjelaskan kepada pekerja bahwa masalah-masalah yang mereka hadapi—upah rendah, jam kerja panjang, pengangguran, dan ketidakadilan sosial—bukanlah akibat kesalahan individu tetapi produk sistem kapitalisme yang eksploitatif. 

Di samping itu, partai revolusioner harus menyatukan berbagai perjuangan lokal atau sektoral ke dalam kerangka perjuangan kelas yang lebih luas. Kelas pekerja adalah kelompok sosial yang sangat beragam, terdiri dari individu-individu dengan latar belakang, pengalaman, dan kondisi yang berbeda-beda. Tanpa organisasi yang terpusat, perjuangan mereka cenderung terfragmentasi dan terjebak dalam kepentingan lokal. Dengan menyusun program politik yang jelas, partai dapat mengarahkan perjuangan lokal menjadi bagian dari strategi revolusioner yang lebih besar.

Revolusi bukanlah peristiwa spontan tetapi proses yang membutuhkan strategi jangka panjang dan taktik yang fleksibel. Partai revolusioner bertanggung jawab untuk merumuskan strategi dan taktik ini berdasarkan analisis ilmiah terhadap kondisi objektif dan subjektif. Strategi mengacu pada tujuan jangka panjang perjuangan kelas, yaitu merebut kekuasaan dan menghancurkan kapitalisme. Taktik, di sisi lain, adalah langkah-langkah konkret yang diambil untuk mencapai tujuan tersebut, seperti mogok kerja, aksi massa, atau pembentukan aliansi strategis. 

Fragmentasi dalam gerakan kiri sering kali menjadi hambatan utama dalam membangun partai revolusioner. Untuk mengatasi ini, kaum marxis harus mengedepankan prinsip persatuan, tanpa mengorbankan prinsip-prinsip revolusioner. Fragmentasi ini sering diperburuk oleh perbedaan sektoral, etnis, atau agama di dalam kelas pekerja itu sendiri. Partai revolusioner menyediakan kerangka untuk membangun persatuan kelas pekerja, melampaui perbedaan-perbedaan tersebut. Dengan program politik yang mengutamakan kepentingan bersama kelas pekerja, partai dapat menjadi alat untuk mengatasi fragmentasi dalam gerakan. 

Selain itu, revolusi adalah proses yang membutuhkan disiplin, koordinasi, dan kepemimpinan yang kuat. Tanpa partai revolusioner, gerakan revolusioner akan menjadi kacau dan tidak mampu menghadapi kekuatan terorganisir dari kelas penguasa. Partai revolusioner memastikan bahwa perjuangan kelas tidak hanya bergantung pada semangat massa tetapi juga didukung oleh analisis yang tajam, strategi yang jelas, dan organisasi yang kuat.

Membangun partai revolusioner bukanlah tugas yang mudah. Partai harus mampu menarik dukungan dari massa pekerja, bukan hanya dari segelintir intelektual. Untuk itu, partai harus aktif dalam perjuangan nyata, mendekati massa, dan membangun kepercayaan melalui solidaritas. Pendidikan politik adalah alat penting dalam membangun kader-kader revolusioner yang mampu memimpin perjuangan kelas. 

Partai revolusioner adalah alat politik yang tak tergantikan dalam perjuangan kelas. Tanpa partai yang disiplin, terorganisir, dan berlandaskan teori marxis, perjuangan kelas pekerja akan tetap terpecah-pecah dan tidak mampu menggulingkan kapitalisme. Kaum marxis harus memprioritaskan pembangunan partai revolusioner sebagai tugas utama. Dalam partai inilah teori dan praksis bersatu, massa pekerja terorganisasi, dan strategi revolusioner dirumuskan. Dengan partai revolusioner, kelas pekerja memiliki alat untuk merebut kekuasaan dan membangun masyarakat baru yang bebas dari eksploitasi dan penindasan.


Mengapa Revolusi adalah Jawabannya

Kapitalisme adalah sistem yang secara inheren mengeksploitasi dan merusak. Pada intinya, kapitalisme tidak dirancang untuk memenuhi kebutuhan mayoritas umat manusia, melainkan untuk memaksimalkan keuntungan bagi segelintir pemilik modal. Dalam kerangka ini, hubungan antara manusia, tenaga kerja, dan sumber daya alam hanya dilihat sebagai alat untuk melayani akumulasi modal. Akibatnya, kapitalisme menciptakan kontradiksi yang tak dapat diatasi di dalam sistem itu sendiri. Semua ini menunjukkan bahwa reformasi saja tidak pernah cukup untuk memperbaiki kerusakan yang ditimbulkan oleh sistem ini. Oleh karena itu, revolusi adalah satu-satunya jawaban yang dapat membebaskan umat manusia dari penindasan sistemik yang melekat pada kapitalisme.

Ketika melihat sejarah kapitalisme, kita mendapati pola yang berulang: krisis ekonomi, penindasan kelas pekerja, penghancuran lingkungan, dan peperangan imperialistik. Krisis ini bukanlah penyimpangan dari sistem, melainkan bagian integral darinya. Kapitalisme, dalam logikanya yang mementingkan akumulasi modal tanpa batas, secara berkala menciptakan overproduksi barang yang tidak bisa dijual karena kelas pekerja yang juga merupakan konsumen tidak memiliki daya beli yang cukup. Krisis ini kemudian ditangani melalui pengurangan produksi, pemutusan hubungan kerja, atau ekspansi ke pasar baru melalui kolonialisme dan imperialisme. Namun, solusi-solusi ini tidak menyelesaikan masalah mendasar, melainkan hanya menundanya hingga krisis berikutnya.

Kapitalisme tidak hanya menciptakan kesenjangan ekonomi, tetapi juga melanggengkan struktur sosial dan politik yang menindas. Sistem ini mempertahankan kekuasaan kelas penguasa melalui kontrol atas negara, hukum, media, dan pendidikan. Negara kapitalis, yang sering kali dipuji sebagai institusi netral, pada kenyataannya adalah alat kekuasaan kelas penguasa untuk mempertahankan dominasi mereka. Polisi, militer, dan pengadilan berfungsi untuk melindungi kepemilikan pribadi dan menekan setiap upaya perlawanan dari kelas pekerja. Media dan sistem pendidikan, di sisi lain, berfungsi untuk menanamkan ideologi kapitalis yang mengaburkan kesadaran kelas dan menghambat perjuangan kolektif.

Dalam kondisi seperti ini, reformasi tidak bisa menjadi solusi yang cukup. Setiap kebijakan reformis yang tampaknya pro-rakyat seperti peningkatan upah minimum atau subsidi kesehatan hanya bersifat sementara dan dapat dengan mudah dibatalkan ketika kepentingan kapitalisme terancam. Reformasi sering kali menjadi cara bagi kapitalisme untuk meredam kemarahan massa dan menunda revolusi. Bahkan, dalam banyak kasus, reformasi digunakan sebagai alat untuk memperkuat sistem kapitalisme itu sendiri. Misalnya, reformasi di bidang teknologi sering kali diklaim sebagai upaya untuk meningkatkan efisiensi produksi, tetapi pada kenyataannya hanya memperbesar eksploitasi pekerja dan memperparah ketimpangan. Hal ini menunjukkan bahwa reformasi tidak mampu mengatasi akar permasalahan kapitalisme.

Revolusi, di sisi lain, menawarkan solusi yang mendasar dan menyeluruh. Revolusi di sini adalah transformasi total dalam struktur ekonomi, politik, dan budaya masyarakat. Revolusi adalah proses di mana kelas pekerja mengambil alih alat-alat produksi dan membangun tatanan baru yang berlandaskan pada kebutuhan manusia, bukan keuntungan. Dalam tatanan ini, produksi akan diatur secara demokratis oleh mereka yang bekerja, dan kekayaan akan didistribusikan secara adil berdasarkan kontribusi dan kebutuhan, bukan berdasarkan kepemilikan modal.

Revolusi bukan hanya soal mengubah sistem ekonomi. Ia juga melibatkan perubahan radikal dalam cara kita berpikir dan berhubungan satu sama lain. Kapitalisme telah menciptakan budaya yang mendorong individualisme, kompetisi, dan alienasi. Revolusi harus menggantikan budaya ini dengan solidaritas, kolektivitas, dan penghargaan terhadap martabat manusia. Hal ini membutuhkan perjuangan tidak hanya di tingkat material tetapi juga di tingkat ideologis. Revolusi adalah momen ketika kesadaran kelas pekerja mencapai puncaknya, ketika mereka tidak lagi melihat diri mereka sebagai individu yang terisolasi tetapi sebagai kolektif yang lebih besar dengan tujuan bersama.

Selain itu, revolusi adalah jawaban karena kapitalisme telah terbukti gagal dalam menghadapi tantangan global seperti perubahan iklim. Dalam mengejar keuntungan, kapitalisme mendorong eksploitasi besar-besaran terhadap sumber daya alam tanpa memperhatikan dampaknya terhadap lingkungan. Perubahan iklim, deforestasi, pencemaran laut, dan krisis air adalah hasil langsung dari logika akumulasi kapital. Sistem kapitalisme tidak mampu menyelesaikan masalah ini karena upaya untuk melakukannya akan bertentangan dengan kepentingan dasar para pemilik modal. Sebaliknya, tatanan sosialis yang dihasilkan oleh revolusi memungkinkan kita untuk mengatur produksi secara rasional dan berkelanjutan, dengan mempertimbangkan kebutuhan manusia dan kelestarian lingkungan.

Revolusi juga menjawab persoalan imperialisme dan kolonialisme yang terus berlanjut dalam berbagai bentuk. Melalui mekanisme seperti utang internasional, perdagangan yang tidak adil, dan intervensi militer, kapitalisme global memastikan bahwa kekayaan terus mengalir dari Selatan ke Utara. Revolusi diperlukan untuk menghancurkan struktur imperialistik ini dan menciptakan dunia yang benar-benar egaliter, di mana semua bangsa memiliki kedaulatan atas sumber daya dan kebijakan mereka.

Revolusi adalah jawaban yang tidak hanya membebaskan kelas pekerja tetapi juga seluruh umat manusia dari belenggu kapitalisme. Ia adalah proses yang sulit dan penuh tantangan, tetapi juga satu-satunya jalan menuju dunia yang adil, egaliter, dan berkelanjutan.


Langkah-Langkah Yang Perlu Dipenuhi untuk Revolusi

Revolusi sejati membutuhkan perencanaan matang, pemahaman teoretis mendalam, dan tindakan kolektif yang terorganisir dengan baik. Revolusi tidak bisa terjadi secara spontan atau hanya bergantung pada semangat perlawanan yang sementara. Ia membutuhkan strategi jangka panjang yang mencakup berbagai dimensi, mulai dari kesadaran ideologis hingga kesiapan praktis untuk menciptakan tatanan baru yang lebih adil. Kapitalisme, sebagai sistem yang kompleks dan terintegrasi secara global, tidak dapat dilawan hanya melalui tindakan individu atau gerakan sporadis. Ia harus dihadapi melalui kekuatan kolektif yang memahami dengan jelas tujuan akhirnya: pembebasan kelas pekerja dan penghancuran sistem kapitalis.

1. Membangun Kesadaran Kelas

Tanpa kesadaran akan posisi mereka dalam sistem kapitalisme, kelas pekerja akan tetap terpecah dan teralienasi. Namun kesadaran kelas tidak muncul begitu saja. Ia harus dibangun melalui pendidikan politik, propaganda, dan diskusi yang mendalam. Dalam masyarakat kapitalis, ideologi dominan selalu mendukung kepentingan kelas penguasa, sehingga pekerja sering kali menerima penindasan mereka sebagai sesuatu yang wajar atau tak terhindarkan. Oleh karena itu, penting bagi kaum marxis untuk mengungkapkan kontradiksi kapitalisme dan menunjukkan bagaimana sistem ini secara sistematis mengeksploitasi tenaga kerja demi keuntungan. Melalui literasi politik, diskusi kelompok, dan media alternatif, kelas pekerja dapat mulai memahami bahwa mereka memiliki kepentingan yang bertentangan secara fundamental dengan kelas penguasa. Kesadaran ini menjadi fondasi bagi langkah-langkah berikutnya, karena hanya dengan memahami situasi mereka, kelas pekerja dapat mulai membayangkan dunia yang berbeda.

Namun, kesadaran kelas saja tidak cukup. Kesadaran ini harus diterjemahkan ke dalam tindakan kolektif yang terorganisir. Inilah mengapa mengorganisasikan massa menjadi langkah penting kedua. Kapitalisme adalah sistem yang beroperasi dengan memecah-belah masyarakat berdasarkan kelas, ras, gender, dan identitas lainnya. Pemisahan ini dimaksudkan untuk mencegah solidaritas dan meminimalkan ancaman terhadap kekuasaan kapital. Oleh karena itu, tugas kaum marxis adalah mengatasi perpecahan ini dan menciptakan organisasi-organisasi yang dapat menyatukan kelas pekerja serta kelompok-kelompok tertindas lainnya. Pengorganisasian ini harus dilakukan di berbagai sektor: buruh di pabrik-pabrik, petani di pedesaan, mahasiswa di kampus-kampus, dan komunitas miskin di perkotaan. Setiap sektor memiliki dinamika dan tantangannya sendiri, sehingga strategi pengorganisasian harus disesuaikan dengan konteks masing-masing. Tujuan akhirnya adalah menciptakan jaringan massa yang mampu bergerak secara serempak dan saling mendukung dalam perjuangan revolusioner.

2. Membangun Aliansi Revolusioner

Meskipun kelas pekerja adalah kekuatan utama dalam revolusi, mereka tidak dapat bertindak sendirian. Kapitalisme menindas berbagai kelompok selain pekerja, seperti perempuan, masyarakat adat, kaum miskin kota, dan komunitas marginal lainnya. Kelompok-kelompok ini memiliki kepentingan bersama dalam melawan kapitalisme, tetapi perjuangan mereka sering kali terfragmentasi karena kurangnya pemahaman tentang akar penindasan. Oleh karena itu, kaum marxis harus berperan sebagai penghubung, menciptakan aliansi yang berbasis pada prinsip solidaritas kelas. Aliansi ini tidak berarti mengorbankan tujuan revolusioner untuk kompromi reformis, tetapi mencari cara untuk menyatukan perjuangan berbagai kelompok ke dalam satu gerakan yang terkoordinasi. Dengan membangun aliansi yang inklusif dan berdasarkan kepentingan bersama, perjuangan revolusi dapat memperoleh dukungan yang lebih luas dan kekuatan yang lebih besar.

3. Merebut Kekuasaan Politik

Membangun kesadaran, organisasi, dan aliansi saja belum cukup untuk mencapai revolusi. Tujuan akhir dari perjuangan ini adalah merebut kekuasaan politik. Ini berarti menghancurkan negara kapitalis yang berfungsi sebagai alat dominasi kelas penguasa dan menggantinya dengan negara pekerja. Merebut kekuasaan politik tidak hanya berarti mengambil alih institusi yang ada, tetapi juga menciptakan struktur baru yang benar-benar mewakili kepentingan rakyat. Negara pekerja harus menjadi alat untuk melaksanakan demokrasi sejati, di mana keputusan politik dan ekonomi dibuat oleh mayoritas, bukan oleh segelintir elite. Proses ini membutuhkan persiapan yang matang, karena kelas penguasa tidak akan menyerahkan kekuasaan mereka tanpa perlawanan. Dalam banyak kasus, mereka akan menggunakan segala cara—termasuk kekerasan—untuk mempertahankan posisi mereka. Oleh karena itu, kelas pekerja harus siap untuk menghadapi perlawanan ini dengan strategi yang terorganisir dan disiplin.

4. Menyiapkan Alternatif Ekonomi dan Politik

Kapitalisme telah menciptakan pola pikir dan kebiasaan yang merusak, seperti individualisme, kompetisi, dan eksploitasi. Revolusi harus menjadi proses transformasi budaya, di mana solidaritas, kolektivitas, dan penghargaan terhadap nilai manusia menjadi prinsip utama. Oleh karena itu, langkah penting lainnya adalah mempersiapkan alternatif ekonomi dan politik yang dapat menggantikan sistem kapitalis. Ini melibatkan penciptaan model produksi dan distribusi yang berfokus pada kebutuhan manusia, bukan keuntungan. Dalam sistem ini, alat-alat produksi akan dimiliki dan dikelola secara kolektif oleh masyarakat, sementara kekayaan akan didistribusikan berdasarkan kontribusi dan kebutuhan. Model ini harus dirancang dengan mempertimbangkan keberlanjutan ekologis dan keadilan sosial, sehingga tidak hanya memenuhi kebutuhan saat ini tetapi juga melindungi generasi mendatang.

Dalam proses ini, pendidikan dan pelatihan memainkan peran penting. Revolusi membutuhkan kader-kader yang tidak hanya memahami teori marxis tetapi juga mampu menerapkannya dalam praksis. Pendidikan revolusioner harus menjadi prioritas, di mana kelas pekerja dan kelompok-kelompok tertindas lainnya diberi alat intelektual dan praktis untuk memimpin transformasi masyarakat. Selain itu, pelatihan dalam strategi politik, mobilisasi massa, dan pengelolaan ekonomi pasca-revolusi harus dilakukan untuk memastikan bahwa revolusi tidak hanya berhasil menggulingkan kapitalisme tetapi juga mampu menciptakan tatanan baru yang stabil dan berfungsi.

Revolusi adalah proses yang panjang dan penuh tantangan, tetapi ia adalah satu-satunya jalan menuju pembebasan sejati. Langkah-langkah ini—membangun kesadaran kelas, mengorganisasikan massa, membangun aliansi, merebut kekuasaan politik, dan mempersiapkan alternatif—adalah elemen-elemen penting yang harus dipenuhi untuk mencapai tujuan ini. Dengan strategi yang terorganisir dan tekad yang kuat, revolusi bukan hanya mimpi, tetapi suatu kemungkinan nyata yang dapat mengubah dunia.


Kesimpulan

Perjuangan revolusioner adalah tugas historis yang tidak hanya membutuhkan kesadaran, tetapi juga keberanian, disiplin, dan komitmen dari kaum marxis. Kapitalisme, dengan segala kontradiksi dan penindasannya, tidak akan runtuh dengan sendirinya. Ia hanya dapat dihancurkan melalui upaya kolektif yang terorganisasi, dipandu oleh teori marxis yang solid, dan diarahkan oleh tujuan yang jelas: pembebasan kelas pekerja dan penciptaan masyarakat tanpa kelas.

Kesalahan-kesalahan yang sering menjangkiti kaum marxis harus dihindari dengan tegas. Teori tanpa praksis adalah omong kosong, sementara praksis tanpa teori adalah gerakan tanpa arah. Sektarianisme, reformisme, dan pasifisme harus dilawan, karena hanya akan menghambat perjuangan. Sebaliknya, persatuan kelas pekerja, aliansi dengan kaum tertindas lainnya, serta pembangunan partai revolusioner yang disiplin dan visioner adalah syarat mutlak untuk merebut kekuasaan politik.

Revolusi bukan sekadar momen pemberontakan, melainkan proses panjang yang mengubah struktur ekonomi, politik, dan budaya masyarakat. Revolusi adalah jawaban karena kapitalisme tidak dapat direformasi. Ia harus digantikan oleh sistem baru yang berlandaskan keadilan sosial, kolektivitas, dan kebutuhan manusia. Untuk mencapai itu, kaum marxis harus membangun kesadaran kelas, mengorganisasikan massa, dan menyiapkan alternatif yang konkret bagi tatanan yang ada.

Seperti kata Marx, tugas kita bukan hanya menafsirkan dunia, tetapi mengubahnya. Masa depan dunia berada di tangan kelas pekerja, dan hanya melalui revolusi kita dapat mewujudkan cita-cita pembebasan sejati. Maka, kepada kaum marxis di mana pun, bangkitlah, bersatulah, dan pimpinlah perjuangan menuju dunia yang bebas dari eksploitasi dan penindasan. Masa depan adalah milik mereka yang berani memperjuangkannya.


Rakyat Husein adalah aktivis sosial.

]]>
Mereka yang Janggal: Para Pendeta Merah Indonesia https://indoprogress.com/2025/02/mereka-yang-janggal-para-pendeta-merah-indonesia/ Tue, 11 Feb 2025 19:38:59 +0000 https://indoprogress.com/?p=238794

Ilustrasi: illustruth


LAZIMNYA, para rohaniwan Kristen dari berbagai aliran cenderung menentang ideologi kiri serta organ-organ yang memang atau dianggap berafiliasi dengannya. Hal ini terlihat dari berbagai ensiklik seperti Nostis Et Nobiscum (1849) dan Rerum Novarum (1891). Meski menyayangkan kondisi pekerja yang semakin terpuruk dan sama-sama mengkritik “keserakahan berlebih”, “persaingan tak terkendali”, dan eksploitasi dari para pemodal, kedua surat edaran Paus tersebut juga menyatakan dengan tegas menolak sosialisme dan komunisme. 

Bahkan, gereja Katolik memandang keduanya sebagai “ancaman” bagi kelas buruh. Nostis Et Nobiscum menggambarkan kaum sosialis dan komunis sebagai “pengacau” yang hidup subur dengan menciptakan “kekacauan” antara proletar dan kaum miskin dengan golongan lainnya. Mereka dipandang sebagai penghasut kaum tertindas untuk “mencuri” harta milik Gereja dan kelas atas serta “menipu” kelas bawah dengan memberi janji-janji palsu akan kehidupan yang lebih baik. Bahkan, ensiklik yang sama mengklaim bahwa kaum sosialis dan komunis di Italia mencoba membujuk kelas bawah untuk berpindah ke gereja-gereja Protestan, sebab gereja Katolik sudah tegas menentang mereka.

Adapun Rerum Novarum mengecam aspirasi kaum sosialis dan komunis mengenai kepemilikan bersama atas alat-alat produksi (dipahami gereja Katolik sebagai kepemilikan pribadi secara total). Ensiklik itu menegaskan bahwa kepemilikan pribadi adalah hal yang alami dan oleh karenanya menentangnya berarti melawan hukum alam dan hak asasi manusia. Dokumen yang sama menyatakan bahwa kepemilikan bersama yang dicita-citakan itu merugikan para “pemilik yang sah” dan, menurut interpretasi gereja, kelas buruh sebab mereka tidak lagi dapat menggunakan upahnya untuk memperbaiki taraf hidup.

Gereja-gereja Protestan pun setali tiga uang. Gereja Masehi Injili di Timor (GMIT), misalnya, mengeluarkan aturan bahwa umatnya yang menganut paham komunis (termasuk anggota Partai Komunis Indonesia/PKI dan atau organ-organnya) tidak diperbolehkan menerima perjamuan kudus (Van Klinken, 2014, hlm. 213). Gereja Kristen Sumba (GKS) pada tahun 1957 juga mengeluarkan peraturan serupa. Mereka baru boleh menerima perjamuan kudus setelah mengumumkan “pertobatan” di hadapan jemaat. Jika yang bersangkutan adalah pengurus gereja, mereka akan dicopot dari jabatannya. Peraturan ini dikumandangkan lagi pada 4 Desember 1965 sebagai bagian dari upaya penumpasan PKI di seluruh Indonesia (Van Klinken, 2014, hlm. 249).

Walau begitu, kelaziman selalu berdampingan dengan kejanggalan. Di tengah-tengah sikap gereja yang mengecam dan menentang komunisme, ada orang-orang yang “janggal”. Mereka di satu sisi merupakan bagian dari otoritas gereja (sebagai rohaniwan atau pendeta), tapi di sisi lain tidak menunjukkan permusuhan terhadap sosialisme dan komunisme. Lebih dari itu, mereka bahkan bergabung dengan organ-organ yang menganut aliran tersebut.


Hein Frederik Tampenawas: Domine-Nya Sarbupri

Hein Frederik Tampenawas mungkin harus menjadi salah satu nama yang langsung muncul ketika membahas rohaniwan Kristen yang “janggal”. Kejanggalan terbesar Hein adalah keanggotaannya di salah satu serikat buruh yang kelak berafiliasi dengan PKI, Serikat Buruh Perkebunan Republik Indonesia (Sarbupri). 

Harian Rakjat edisi 22 September 1955 mencatat riwayat hidup Pdt. Hein secara singkat. Domine (sebutan lama untuk pendeta) Hein lahir di Kaweng, Kakas, Minahasa, pada 1898. Ia dikatakan menjalani pendidikan dasar di Sekolah Rakyat selama tujuh tahun, namun sebenarnya saat itu tidak ada sekolah dasar bumiputra. Kemungkinan besar ia masuk Sekolah Kelas Dua (Tweede Klasse School) yang masa belajarnya lima tahun dan terletak di keresidenan atau kawedanan. Keterangan “tujuh tahun” kemungkinan datang akibat masa studinya yang harus tertunda dua tahun.

Pdt. Hein kemudian lanjut di “sekolah Belanda” selama dua tahun. Kemungkinan, sekolah yang dimaksud adalah Kweekschool (Sekolah Guru), yang juga sekolah pilihan para calon pendeta Minahasa saat itu seperti Pdt. Hendrik Daandel. Setelah itu, ia masuk STOVIL (School tot Opleiding voor Inlandsche Leraren; Sekolah Guru Injil) di Tomohon belajar selama tiga tahun. Sekolah itu kini menjadi Universitas Kristen Indonesia Tomohon (UKIT).

Pada 1918, Pdt. Hein menjadi buruh perkebunan milik perusahaan bernama Moluksche Handels Vennootschap (MHV). Pertama-tama ia bekerja sebagai sebagai opzichter (pengawas) di perkebunan kopi “Tanauw” di selatan Manado, kemudian dipindahkan ke Manado menjadi wakil kepala gudang (magazijnmeester), dan terakhir di Pulau Talisei menjadi kepala pengawas (hoofdopzichter) di perkebunan kelapa “Talisse” pada 1941. Di era pendudukan fasis Jepang, Pdt. Hein diangkat menjadi Kepala Urusan Perkebunan di Minahasa.

Memasuki masa revolusi, tepatnya tahun 1947, ia ikut mendirikan Serikat Buruh Perkebunan Sulawesi Utara dan terpilih menjadi ketua cabang Sulut. Tiga tahun kemudian, setelah penyerahan kedaulatan, serikat buruh ini dilebur ke dalam Sarbupri. Pdt. Hein terpilih menjadi sekretaris umum Sarbupri cabang Sulut yang waktu itu juga meliputi wilayah Maluku Utara.

Bagaimana dengan karier kependetaannya sendiri? Pdt. Hein bukan pendeta yang ecek-ecek. Pada 1951, ia menduduki jabatan strategis dalam sinode (dewan) Gereja Masehi Injili di Minahasa (GMIM). Seperti diberitakan oleh Harian Rakjat tanggal 22 September 1955 dan Sin Po tanggal 9 September 1952, ia diangkat menjadi Kepala Tata Usaha dan bertugas di GMIM Sentrum Manado. Ia juga pernah bertugas sebagai pendeta di Tomohon (Pemandangan, 26 Januari 1955).

Di tahun 1955, ia sudah menjadi anggota pleno Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Sarbupri. Sebagai anggota pleno, Pdt. Hein menghadiri Kongres Kedua Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia (SOBSI) yang diselenggarakan di Jakarta pada 9-20 Januari 1955 (Warta Sarbupri, 20 Januari 1955). Selain itu, ia juga diangkat menjadi anggota pleno SOBSI Sulut (Harian Rakjat, 20 Januari 1955). Tiga tahun sebelumnya, Pdt. Hein menjadi bagian dari utusan Indonesia yang menghadiri Konferensi Perdamaian Asia dan Pasifik di Beijing pada 2-12 Oktober 1952 (Sin Po, 9 September 1952). 

Kesetiaannya pada Sarbupri dan kaum buruh sudah tak ayal lagi. Dia pernah ditawari masuk partai (tidak disebutkan namanya) dengan gaji sebesar Rp1.500, namun menolaknya secara halus dengan mengatakan, “lebih senang kerja untuk Sarbupri dengan honorarium yang tidak sampai Rp500.” (Harian Rakjat, 20 Januari 1955). 

Kiprahnya di Sarbupri dan SOBSI membuat PKI tertarik untuk mencalonkan dirinya sebagai anggota Dewan Konstituante dari kalangan non-anggota partai. Pencalonannya diumumkan pada 26 Januari 1955 (De Nieuwsgier, 26 Januari 1955; Pemandangan, 26 Januari 1955). Pdt. Hein mendapatkan Sulut/Tengah dan Sulawesi Tenggara/Selatan sebagai daerah pemilihannya (Kementerian Penerangan, 1956, hlm. 275, 278). Sayangnya dia tidak berhasil lolos. Setelah itu tidak ada lagi informasi yang bisa diperoleh tentangnya.


Ekhjopas Uktolseja: Wakil PKI di Konstituante

Jika Pdt. Hein gagal meraih kursi Konstituante, maka pendeta yang satu ini lebih mujur. Mengutip profil anggota Konstituante, Pdt. Ekhjopas lahir pada 14 Mei 1905 di Sirisori Amalatu (juga dikenal dengan Sirisori Serani), sebuah negeri (desa) Kristen di Saparua, Pulau Ambon. Dinamai demikian sebab ada pula negeri Sirisori Islam.

Pdt. Ekhjopas masuk STOVIL di Ambon pada 1923 dan lulus lima tahun kemudian. Setelah itu ia memulai pelayanan di Kepulauan Kei dan Aru. Ia juga menjadi directeur (kepala) di Kweekschool  dan wakil pengurus sekolah Kristen di Tual. Jabatan ini diembannya dari 1928 hingga 1939. Ia mengakhiri kariernya di sini karena dipindahkan ke Patti (di Moa Lakor) sebab terlibat cekcok dengan seorang guru Belanda di Sekolah Martin Luther bernama M. de Wanna. De Wanna sendiri dipindahkan ke Sekolah HIS Kristen di Piru (Ambon Baroe, 9 September 1939). 

Selain guru dan pendeta, Pdt. Ekhjopas juga anggota Sarekat Ambon. Pada 28 April 1934, dia diangkat menjadi anggota Central Comite Studiefonds Maloekoe (Komite Pusat Beasiswa Maluku) yang dibentuk untuk menggalang beasiswa guna memberi kesempatan para pemuda untuk berkembang secara spiritual (De Indische Courant, 1 Mei 1934). 

Lima tahun kemudian, Pdt. Ekhjopas pindah ke Wonreli (di Pulau Kisar) dan bertugas di sana selama dua tahun. Ia kemudian pindah lagi ke Sanana (Pulau Sula Besi) pada 1941, kemudian ke Ternate dan Sofan (Pulau Taliabu) hingga 1945 dan bertugas di Kepulauan Sula. Dari tahun 1945 hingga 1947, ia bertugas di Hutumuri (Pulau Ambon) sebelum terakhir pindah ke Piru di Pulau Seram.

Setelah itu Pdt. Ekhjopas tidak lagi melayani umat di Kepulauan Maluku sebab pindah tugas ke Medan. Di sana ia bertugas sebagai pendeta di Gereja Protestan di Indonesia bagian Barat (GPIB) Immanuel. Pengurus GPIB Immanuel memecatnya pada 7 Mei 1952, namun tidak jelas apa alasannya (Het Nieuwsblad voor Sumatra, 10 Mei 1952). Meski diberhentikan pada 1952, dalam profil anggota Konstituante tertulis bahwa Pdt. Ekhjopas masih bertugas di Medan hingga 1954.

Sama seperti Pdt. Hein, ia juga terlibat dalam Konferensi Perdamaian Asia dan Pasifik di Beijing pada 2-12 Oktober 1952 sebagai anggota panitia persiapan. Saat diwawancara oleh koresponden Harian Rakjat setempat, Pdt. Ekhjopas dengan tegas beroposisi terhadap Amerika Serikat. Dia menolak kebijakan embargo, bantuan militer, juga Mutual Security Act (MSA) yang ditawarkan ke berbagai negara guna menghambat penyebaran komunisme. 

Selain itu, di momen ini pula sang putra Ambon menegaskan keanggotaan dalam panitia itu selaras dengan tugasnya sebagai seorang Kristen: untuk menjaga perdamaian. Ia pun menganjurkan umat Kristen untuk melakukan hal yang sama (Harian Rakjat, 14 Agustus 1952).

Pada 1955, Pdt. Ekhjopas pindah ke Pontianak dan bertugas sebagai pendeta GPIB setempat (Matondang, 1997, hlm. 117). Saat bertugas di sanalah dia dicalonkan PKI menjadi anggota Konstituante untuk daerah pemilihan Jawa Tengah dan Sumatra Utara dan berhasil terpilih (Kementerian Penerangan, 1956, hlm. 186, 250). Menurut Victor Matondang, tokoh Partai Kristen Indonesia (Parkindo), Pdt. Ekhjopas dicalonkan dari golongan progresif nonpartai (Matondang, 1997, hlm. 117). Meski begitu, ia mewakili Fraksi PKI dan bukan Fraksi Republik Proklamasi seperti calon-calon nonpartai lainnya.

Menjelang Pemilihan Umum 1955, Pdt. Ekhjopas secara terbuka menulis ajakan untuk mendukung PKI. Ajakan itu dimuat dalam rubrik “Dari Hati Kehati” Harian Rakjat edisi 24 September 1955. Dalam artikel berjudul “Pilihlah Palu Arit” itu, Pdt. Ekhjopa mengecam penggunaan agama oleh kaum kapitalis untuk meraup modal sebanyak-banyaknya dengan mengorbankan orang lain. Ia menyebut mereka sebagai “orang-orang yang sudah mati” (kalimat ini dikutip dari Lukas 9:60, yang sebenarnya tidak menyinggung keserakahan). 

Di lain bagian, Pdt. Ekhjopa kembali mencela para kapitalis karena telah “sodorkan satu lagi ilah.” “Allah kapitalis ini,” katanya, “ternyata dipuja lebih keras dan disambut dengan lebih gembira oleh budak-budaknya.” Yang dimaksud tentu saja harta (baca: kapital). Pdt. Ekhjopas kemudian mengutip Matius 6:24. Di sana Yesus menegaskan untuk mengabdi kepada Allah semata dan tidak pada mamon atau harta. 

Pdt. Ekhjopas juga menegaskan sekalipun agama tidak dapat diperalat oleh kaum kapitalis karena asalnya dari Tuhan, tetapi umat beragama harus waspada agar “jangan gila-gilaan dengan agama dan jangan biarkan agama dipermainkan.” Ia mengingatkan pentingnya bertanggung jawab atas rahmat Allah, sebagaimana Allah bertanggung jawab atas kehidupan kita. Ia juga menyinggung tentang kehadiran “reformator-reformator” yang menyucikan “segala masjid dan gereja” dan menguduskan hati yang penuh dendam di tengah kekalutan dunia.

Bagian berikutnya berisi puji-pujian terhadap kemajuan yang diraih oleh demokrasi rakyat di Uni Soviet. Ia menggambarkan pemerintah Uni Soviet bak “ibu bapak” bagi rakyatnya. Untuk mengajak orang agar mendukung pemerintahan sosialis di sana, ia mengutip Roma 13:1 yang menyatakan bahwa semua pemerintah yang ada di muka bumi berasal dan ditetapkan oleh Allah. Terakhir, Pdt. Ekhjopas mendoakan agar komunisme itu sendiri segera terwujud di Indonesia. Baginya, hanya komunisme yang mampu memastikan terwujudnya hukum Allah di dunia ini, kemerdekaan bangsa dalam kehidupan bernegara dan beragama, menjadi “ibu bapak” bagi rakyat, dan menjamin keselamatan istri-istri dalam rumah tangga. 

9 November 1956 menjadi tanggal penting bagi Pdt. Ekhjopas sebab di hari itu dia resmi menjadi anggota Konstituante. Berbagai sidang diikuti, termasuk pleno kedua yang diselenggarakan dari 30 Juli hingga 11 November 1958. Ia ikut dalam pembahasan asas-asas dasar Republik Indonesia untuk UUD yang baru (PKI dan Perwakilan, 1958, hlm. 20). Kita tahu bahwa Konstituante tak pernah sukses membuat konstitusi baru sebab dibubarkan Soekarno lewat dekret tanggal 5 Juli 1959.

Setelah itu, Pdt. Ekhjopas pindah ke Bogor. Victor Matondang mengisahkan bagaimana di sana Pdt. Ekhjopas memelihara berbagai hewan, terutama babi. Babi-babi itu dia potong sendiri dan dagingnya dijual ke Jakarta. Ia juga sering berkunjung ke kantor Parkindo yang terletak di rumah di belakang GPIB Immanuel untuk sekadar bercengkerama. 

Pandangan politik yang janggal membuatnya bertentangan dengan jemaatnya sendiri. Beberapa tokoh jemaat bahkan terang-terangan melawannya, seperti G. M. A. Nainggolan yang saat itu anggota GPIB Depok. Agaknya, alasan serupa pula yang melatarbelakangi pemecatannya oleh pengurus GPIB Immanuel Medan. Matondang juga menerangkan bahwa sang domine menjadi tahanan politik (tapol) dan sempat diinternir di Pulau Buru (Matondang, 1997, hlm. 116-117). Sayang sekali, tidak diketahui bagaimana nasibnya setelah itu.

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.


J. Kagu: Disiksa karena Melawan Feodalisme

Nusa Tenggara Timur (NTT) adalah salah satu wilayah yang masih didominasi oleh feodalisme di paruh keenam abad ke-20. Kekuasaan raja di sana sangat kuat sekalipun secara resmi sudah tidak lagi memegang kuasa. Para tuan tanah juga hampir tak tersentuh oleh kaum tani di bawahnya. Seorang pendeta dengan gigih menentang semua kesewenang-wenangan itu, sekalipun namanya tidak setenar dua tokoh pertama yang telah dikisahkan. Ia adalah Pdt. J. Kagu. 

Pdt. J. Kagu kemungkinan besar adalah seorang pendeta GMIT. Tapi sayangnya tidak ada sumber detail yang meriwayatkan hidupnya. Cerita perjuangannya melawan feodalisme hanya dapat ditilik dalam sebuah takarir kecil pada gambar kader-kader Barisan Tani Indonesia (BTI) NTT yang dimuat dalam Suara Tani edisi Oktober 1960. Takarir itu menyebut bahwa pada September 1960 Pdt. J. Kagu dan para kader BTI disiksa hingga berlumuran darah karena melawan kebijakan kerja paksa yang berkedok “gotong royong” (Suara Tani, Oktober 1960).

Keterangan mengenai kasusnya disinggung sedikit lagi dalam tulisan S. M. Urbanus yang berjudul “Pulau2 Jang Menawan Hati”, dimuat di majalah Suara Tani bulan Januari 1961. Disebutkan bahwa penganiayaan terhadap Pdt. Kagu terjadi di Fatuleu (bagian dari Kabupaten Kupang). Ia bersama dengan 19 orang petani disiksa dengan cara dipukul hingga berdarah oleh seorang tuan tanah atas dasar kabar burung (Suara Tani, Januari 1961). Walau tidak menyebut namanya secara tegas, tetapi keterangan yang diberikan hampir sama dengan keterangan yang muncul pada takarir yang telah dibahas.


Memikul Salib dari Sisi Kiri: Sebuah Penutup

Demikian kisah singkat mengenai segelintir pendeta yang “janggal”. Sekali lagi, janggal karena walaupun bagian dari otoritas gereja, tokoh-tokoh ini tidak menunjukkan permusuhan terhadap sosialisme dan komunisme. Malahan, mereka bergabung dengan organisasi-organisasi yang (atau dianggap) mengusung ideologi tersebut. 

Tulisan ini tentu tidak mampu menyebut semua rohaniwan yang “janggal”, tetapi setidaknya dapat menggambarkan bahwa pernah ada dinamika di gereja-gereja yang ada di Indonesia dalam menyikapi komunisme. Setidaknya nama-nama di atas telah membuktikan bahwa yang terjadi tidak hitam putih seperti yang umumnya dikisahkan.


Daftar Pustaka

Surat Kabar

“Studiefonds Maloekoe: Samenstelling van het bestuur”, De Indische Courant, 1 Mei 1934.

“Hasilnja perpoekoelan goeroe2 di Toeal”, Ambon Baroe, 9 September 1939.

“Ds Uktolseja: Rakjat terbanjak tjinta damai, bentji perang”, Harian Rakjat, 14 Agustus 1952.

“Irian Barat akan dibitjarakan dalam konperensi Perdamaian di Peking”, Sin Po, 9 September 1952.

“H.F. Tampenawas dan Purbodiningrat”, Harian Rakjat, 20 Januari 1955.

“Daftar Nama Utusan Sarbupri Dalam Kongres Ke II S.O.B.S.I.”, Warta Sarbupri, 20 Januari 1955.

“Nieuwe partijloze PKI-candidaten”, De Nieuwsgier, 26 Januari 1955.

“Lagi Orang2 Terkemuka Masuk Dalam Daftar ‘PKI’ ”, Pemandangan, 26 Januari 1955.

“Pemuka2 Agama”, Harian Rakjat, 22 September 1955.

Het Nieuwsblad voor Sumatra, 10 Mei 1952.

Uktolseja, Ekhjopas. “Pilihlah Palu Arit”, Harian Rakjat, 24 September 1955.

Buku dan Majalah

“Sidang Pleno Ke-II Konstituante Mulai Menghasilkan Beberapa Rumusan Setelah Tjara Kerdja Diubah”, PKI dan Perwakilan, Vol. 3, No. 4, Triwulan Keempat 1958.

Kementerian Penerangan (1956). Kumpulan Peraturan-Peraturan untuk Pemilihan Konstituante. Jakarta: Kementerian Penerangan.

Matondang, Victor. 1997. Victor Matondang: Sahabat Semua Orang. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.

Suara Tani, Vol. 11, No. 10, Oktober 1960.

Urbanus, S.M. “Pulau2 Jang Menawan”, Suara Tani, Vol. 12, No. 1, hlm. 6, Januari 1960.

Van Klinken, Gerry (2014). The Making of Middle Indonesia: Middle Classes in Kupang Town, 1930s–1980s. Leiden: Brill.

Sumber Internet

“Nostis et Nobiscum: On the Church in the Pontifical States”, Papal Encyclicals Online, 23 Desember 2024 (terakhir disunting). Diakses pada tanggal 24 Desember 2024.

“Rerum Novarum: On Capital and Labor”, Papal Encyclicals Online, 24 Desember 2024 (terakhir disunting). Diakses pada tanggal 24 Desember 2024.

Hidayat, Syahrul, dan Kevin W. Fogg. “Profil Anggota: Ekhjopas Uktolseja,” Konstituante.Net, 1 Januari 2018. Diakses pada tanggal 24 Desember 2024.

Tinungki, Iverdixon. “Hendrik Daandel, Kiprah Putra Siau Lepasan Stovil 1932”, Barta1.com, 13 Agustus 2019. Diakses pada tanggal 31 Desember 2024.


M. Jaris Almazani adalah mahasiswa S1 Ilmu Sejarah Universitas Gadjah Mada (UGM) yang menaruh minat besar pada sejarah gerakan kiri di Indonesia

]]>
Agama dalam Lensa Marxisme: Dari Opium Rakyat hingga Arena Perlawanan https://indoprogress.com/2024/12/agama-dalam-lensa-marxisme-dari-opium-rakyat-hingga-arena-perlawanan/ Wed, 25 Dec 2024 14:50:26 +0000 https://indoprogress.com/?p=238633

Ilustrasi:illustruth


DALAM tradisi marxis, agama tidak dilihat sebagai fenomena yang berdiri sendiri dan terlepas dari konteks sejarah yang membentuknya. Sebaliknya, agama dipahami sebagai produk dari kondisi material dan sosial yang konkret, yang tercermin dalam hubungan produksi dan struktur kelas di masyarakat. Marx melihat agama sebagai bagian dari superstruktur, yaitu elemen ideologis yang muncul sebagai konsekuensi dari kondisi ekonomi dan relasi kekuasaan yang mendasarinya. Dalam hal ini, agama diproduksi dan direproduksi sebagai respons terhadap penderitaan manusia yang hidup dalam masyarakat kelas, terutama di bawah sistem kapitalis yang menciptakan keterasingan (alienasi) dan penindasan.

Dalam Critique of Hegel’s Philosophy of Right (1844), Marx menyebut agama sebagai “opium rakyat” (das opium des volkes). Penggunaan istilah “opium”sering kali disalahartikan sebagai penghinaan terhadap agama atau sebagai cemoohan terhadap kepercayaan spiritual. Namun, pemahaman yang lebih mendalam menunjukkan bahwa Marx sebenarnya menggambarkan fungsi sosial agama sebagai pelarian dari penderitaan yang ditimbulkan oleh ketidakadilan ekonomi dan politik. Seperti opium, agama memberikan “penghiburan” atau “anestesi” bagi rakyat yang menderita, menawarkan kebahagiaan ilusi di masa depan—yaitu kehidupan setelah mati—sementara penderitaan nyata mereka di dunia ini diabaikan.

Marx mengakui bahwa agama muncul dari penderitaan yang nyata dan mencoba untuk memberikan makna bagi penderitaan tersebut, tetapi pada akhirnya, ia hanya menawarkan solusi sementara yang bersifat ilusif dan mengalihkan perhatian rakyat dari penyebab sejati penderitaan mereka, yakni ketidakadilan struktural dalam masyarakat kapitalis. Dengan kata lain, agama berfungsi sebagai pelarian, tetapi pelarian ini bersifat pasif, bukan revolusioner.

Alih-alih mendorong kelas pekerja untuk menyadari kondisi material mereka dan melawan eksploitasi, agama cenderung meredam rasa frustrasi dan ketidakpuasan dengan menjanjikan pembalasan yang akan datang di luar dunia material. Ini berarti agama, dalam pandangan Marx, berperan sebagai instrumen ideologis yang membantu melanggengkan tatanan kapitalis. Melalui agama, eksploitasi dan ketidakadilan dalam kehidupan sehari-hari tidak hanya diabaikan, tetapi juga sering kali dilegitimasi sebagai “kehendak ilahi” yang tidak dapat diubah oleh tindakan manusia.

Dalam analisis ini, Marx tidak hanya memosisikan agama sebagai sebuah kepercayaan, tetapi sebagai sistem ideologi yang terkait erat dengan kekuasaan kelas penguasa. Marx dalam Economic and Philosophic Manuscripts of 1844 menyatakan bahwa agama adalah cerminan dari keterasingan manusia, yaitu keterasingan manusia dari hasil kerjanya, dari proses produksi, dari sesama manusia, dan dari potensi kemanusiaan mereka sendiri. Keterasingan ini menciptakan kondisi di mana agama menjadi “pelarian” yang tampaknya memberikan jawaban atas penderitaan, tetapi justru mengalihkan perhatian dari penyebab material penderitaan tersebut. Oleh karena itu, Marx menyimpulkan bahwa untuk benar-benar mengatasi agama, kita harus mengatasi keterasingan material yang melahirkan agama itu sendiri.

Dalam pandangan Marx dan Engels, agama tidak hanya merupakan bagian dari superstruktur ideologis, tetapi juga alat kekuasaan yang sangat efektif untuk mempertahankan relasi ekonomi yang eksploitatif. Agama, menurut mereka, bukanlah fenomena netral yang berkembang tanpa pengaruh dari kekuasaan politik dan ekonomi. Sebaliknya, agama justru sangat dipengaruhi oleh kepentingan kelas penguasa, yang memanfaatkannya untuk menjaga tatanan sosial yang tidak setara. Dalam sistem masyarakat berbasis kelas, agama berperan dalam memperkuat dan melegitimasi ketimpangan kekuasaan yang ada.

Dasar pemikiran ini dapat ditemukan dalam analisis Marx tentang hubungan antara basis dan superstruktur. Basis, atau struktur ekonomi, mengondisikan superstruktur yang mencakup ideologi, budaya, dan institusi sosial seperti agama. Dalam sistem kapitalis, relasi produksi yang eksploitatif membutuhkan pembenaran ideologis agar dapat bertahan. Agama menjadi salah satu alat ideologis yang dipakai untuk melegitimasi relasi produksi ini, menciptakan kesadaran palsu (false consciousness) di kalangan kelas pekerja, sehingga mereka menerima ketidakadilan sebagai sesuatu yang alami atau tidak dapat dihindari.

Dalam The Peasant War in Germany (1850), Engels mengilustrasikan bagaimana agama sering kali digunakan oleh kelas penguasa untuk memperkuat struktur kekuasaan. Dalam konteks perang petani di Jerman pada abad ke-16, para penguasa feodal memanfaatkan agama untuk menundukkan rakyat yang memberontak. Ajaran agama dipakai untuk membenarkan status quo dan untuk mengontrol rakyat dengan janji-janji penghiburan spiritual, sembari pada saat yang sama mengesahkan tatanan kekuasaan yang menindas.

Engels menekankan bahwa agama sering kali dijadikan alat untuk menghambat perubahan sosial dengan cara mengarahkan perhatian rakyat kepada kehidupan setelah mati, ketimbang kepada perjuangan untuk mengubah kondisi material mereka di dunia ini. Selain itu, dalam masyarakat feodal, agama berfungsi sebagai legitimasi kekuasaan politik melalui konsep divine right of kings, atau hak ilahi raja. Para penguasa sering kali mengklaim bahwa kekuasaan mereka berasal langsung dari kehendak Tuhan, yang menjadikan segala bentuk perlawanan sebagai dosa. Dengan cara ini, agama berfungsi untuk menundukkan rakyat dan memastikan mereka tidak melawan sistem kekuasaan yang menindas.

Di bawah kapitalisme, fungsi agama sebagai instrumen ideologis mengalami perubahan, tetapi esensinya tetap sama—yakni menjaga relasi produksi eksploitatif dan melanggengkan kekuasaan kelas penguasa. Marx menyatakan bahwa agama, di dalam masyarakat kapitalis, memainkan peran penting dalam meredakan ketegangan sosial yang disebabkan oleh eksploitasi kelas pekerja. Alih-alih mendorong perlawanan terhadap ketidakadilan ekonomi, agama mengalihkan perhatian kelas pekerja dari perjuangan kelas dengan janji-janji kebahagiaan di masa depan atau kehidupan setelah mati. Ini menciptakan semacam pelarian yang melayani kepentingan kapitalisme dengan mengurangi kemungkinan pemberontakan terhadap sistem yang eksploitatif.

Analisis Max Weber dalam The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism (1905) juga menawarkan wawasan penting tentang bagaimana Protestan, khususnya ajaran calvinis, berkontribusi pada munculnya kapitalisme di Eropa Barat. Weber menunjukkan bahwa ajaran calvinis tentang kerja keras, kesederhanaan, dan akumulasi kekayaan sebagai tanda pilihan ilahi secara tidak langsung mendukung logika kapitalisme. Dalam ajaran ini, kesuksesan materi dianggap sebagai tanda rahmat Tuhan, sedangkan kemiskinan dilihat sebagai tanda kegagalan individu, bukan hasil dari sistem sosial yang tidak adil. Meskipun Weber tidak berasal dari tradisi marxis, pandangannya memberikan bukti tambahan bahwa agama dapat beradaptasi dengan kebutuhan ideologis sistem ekonomi yang dominan.

Dalam masyarakat kapitalis modern, agama sering kali menyerap nilai-nilai kapitalisme secara lebih eksplisit. Sebagai contoh, gereja-gereja besar atau megachurches di Amerika Serikat telah mengadopsi model bisnis yang sangat kapitalistik, menggunakan strategi pemasaran dan manajemen bisnis untuk menarik lebih banyak jemaat. Selain itu, doktrin seperti teologi kemakmuran (prosperity theology) secara langsung mencerminkan nilai-nilai kapitalisme dengan mengajarkan bahwa kekayaan materi adalah tanda berkat Tuhan, dan kemiskinan adalah hasil dari kegagalan moral atau spiritual individu.

Dengan cara-cara di atas, agama tidak hanya mendukung kapitalisme, tetapi juga menginternalisasi nilai-nilai kapitalis ke dalam praktik-praktik keagamaan itu sendiri.


Hubungan Masyarakat dan Agama

Dalam kerangka materialisme historis, agama dipandang sebagai cerminan dari kondisi material masyarakat pada suatu periode sejarah tertentu. Pemahaman ini berasal dari prinsip dasar bahwa kesadaran manusia, termasuk kesadaran agama, tidak muncul secara terpisah dari dunia materi, tetapi justru dibentuk oleh kondisi sosial dan ekonomi yang ada pada saat itu. Marx dan Engels dalam The German Ideology (1846) menggarisbawahi bahwa kesadaran manusia adalah produk dari realitas materialnya. Dengan kata lain, perubahan dalam basis ekonomi masyarakat akan menghasilkan perubahan dalam bentuk kesadaran, termasuk dalam hal agama.

Agama bukanlah fenomena yang berkembang karena dorongan spiritual semata, melainkan sebagai refleksi dari hubungan sosial dan kekuatan material yang dominan. Pada masa feodalisme, agama memainkan peran sentral dalam melegitimasi kekuasaan politik dan mempertahankan hierarki sosial yang ada. Gereja, sebagai institusi yang memiliki kekuatan besar, menjadi bagian integral dari struktur kekuasaan feodal. Para penguasa, seperti raja dan bangsawan, sering kali mengklaim bahwa otoritas mereka berasal dari Tuhan, sebuah konsep yang dikenal sebagai divine right of kings (hak ilahi raja). Justifikasi ilahi ini memberi pengesahan moral terhadap ketidaksetaraan sosial yang ada, menundukkan rakyat kepada kekuasaan dengan keyakinan bahwa struktur sosial yang mereka alami adalah kehendak Tuhan.

Marx dan Engels dalam The Communist Manifesto (1848) menyoroti bagaimana kekuatan ideologis agama dalam masyarakat feodal bekerja untuk menjaga dan memperkuat tatanan sosial yang eksploitatif. Gereja, yang secara erat terikat dengan aristokrasi, membantu melanggengkan penindasan terhadap kelas bawah dengan mengarahkan kesadaran rakyat kepada janji-janji keselamatan di akhirat, sehingga mengalihkan perhatian dari perjuangan untuk perubahan sosial di dunia ini.

Peran agama dalam masyarakat tidak tetap atau statis, tetapi berubah seiring dengan perubahan struktur ekonomi. Ketika feodalisme runtuh dan kapitalisme mulai mendominasi, agama juga mengalami transformasi yang mencerminkan logika baru sistem kapitalis. Di bawah kapitalisme, relasi sosial masyarakat mengalami atomisasi, di mana individu-individu menjadi terpisah dan bersaing satu sama lain. Proses ini, yang disebut oleh Marx sebagai keterasingan, tidak hanya terjadi dalam hubungan antara pekerja dengan hasil kerjanya, tetapi juga dalam hubungan sosial secara umum, termasuk agama. Agama yang sebelumnya kolektif dan komunitarian, kini menjadi lebih bersifat individualistis, mencerminkan kondisi sosial di mana individu dipisahkan oleh kekuatan pasar yang mendominasi kehidupan mereka.

Dalam masyarakat kapitalis, agama tidak lagi hanya melayani tujuan politik, tetapi juga berfungsi sebagai instrumen ekonomi. Agama mulai beroperasi dalam logika pasar, di mana spiritualitas sering kali diperdagangkan sebagai komoditas. Fenomena ini dapat dilihat dalam perkembangan gereja-gereja besar atau megachurches di negara-negara kapitalis, terutama di Amerika Serikat. Megachurches sering kali menggunakan strategi pemasaran yang mirip dengan perusahaan bisnis, menawarkan pengalaman spiritual sebagai produk yang dapat “dikonsumsi” oleh jemaat. Bentuk agama seperti ini menekankan individualisme spiritual, yang terpisah dari konteks sosial-ekonomi yang lebih luas. Pengalaman spiritual menjadi privat dan komodifikasi, selaras dengan atomisasi yang terjadi di bawah kapitalisme.

Pemikir marxis modern seperti Slavoj Žižek dalam The Puppet and the Dwarf (2003), memperluas kritik ini dengan menunjukkan bahwa agama di bawah kapitalisme sering kali diubah menjadi barang dagangan, di mana pengalaman spiritual dipasarkan dan dikonsumsi secara massal. Žižek mengamati bahwa agama dalam konteks kapitalis tidak lagi berfungsi sebagai instrumen kolektif yang menghubungkan individu dengan komunitas yang lebih besar atau sebagai alat kritik terhadap penindasan. Sebaliknya, agama menjadi alat bagi individu untuk menemukan “penghiburan pribadi” di tengah kekacauan kapitalisme global. Dalam hal ini, agama digunakan sebagai pelarian dari realitas material yang keras, di mana kelas pekerja yang tertindas tidak lagi diarahkan untuk melawan sistem yang menindas mereka, tetapi diajak untuk menemukan kedamaian melalui konsumsi spiritual.

Di bawah kapitalisme, agama juga mengalami proses sekularisasi tertentu, di mana peran institusi agama dalam urusan politik dan sosial menjadi lebih terbatas dibandingkan dengan masa feodalisme. Namun, meskipun agama tidak lagi memainkan peran langsung dalam mendukung kekuasaan politik, ia tetap menjadi instrumen ideologis yang penting dalam melanggengkan sistem ekonomi kapitalis. Dengan menekankan individualisme dan tanggung jawab pribadi atas kesuksesan dan kebahagiaan, agama kapitalis sering kali mengabaikan realitas struktural yang menyebabkan ketidaksetaraan sosial. Dalam bentuk-bentuk agama seperti teologi kemakmuran, misalnya, kekayaan dianggap sebagai bukti berkah Tuhan, sementara kemiskinan dilihat sebagai hasil dari kurangnya iman atau usaha. Dengan cara ini, agama tidak hanya melegitimasi kapitalisme, tetapi juga menginternalisasi nilai-nilai kapitalis ke dalam ajaran spiritualnya.

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.


Kritik Agama di Bawah Kapitalisme

Kritik marxis terhadap agama di bawah kapitalisme tetap relevan dan bahkan semakin kuat seiring dengan intensifikasi ketimpangan sosial yang dihasilkan oleh sistem kapitalis global. Kapitalisme, dalam analisis marxis, menciptakan kondisi material yang membuat agama tidak hanya menjadi penghibur bagi penderitaan manusia, tetapi juga berfungsi sebagai alat yang merasionalisasi dan membenarkan ketidakadilan sosial. Marx dalam The German Ideology menekankan bahwa agama merupakan bentuk dari kesadaran palsu—kesadaran yang terdistorsi oleh struktur sosial yang menindas.

Alih-alih mendorong manusia untuk menghadapi realitas material yang menindas mereka, agama menawarkan pelarian dalam bentuk janji kehidupan setelah mati, yang mengaburkan potensi untuk perubahan revolusioner di dunia nyata. Dalam hal ini, agama di bawah kapitalisme berfungsi sebagai cermin dari dunia yang terbalik, di mana realitas sosial yang keras ditransformasikan menjadi ilusi spiritual. seperti yang dipaparkan oleh Marx, dalam kondisi begini, agama sering kali berfungsi sebagai alat ideologis untuk melanggengkan tatanan kelas yang ada. Kapitalisme membutuhkan narasi yang dapat membenarkan eksploitasi dan ketimpangan ekonomi, dan agama sering kali memainkan peran kunci dalam narasi ini. Melalui doktrin-doktrin yang menekankan kesabaran, kepasrahan, dan penerimaan terhadap penderitaan di dunia ini, agama membantu mengalihkan perhatian kelas pekerja dari eksploitasi yang mereka alami.

Dengan menjanjikan kebahagiaan dan keselamatan di kehidupan setelah mati, agama menghalangi perkembangan kesadaran kelas yang revolusioner. Bagi Marx, hal ini merupakan salah satu aspek paling berbahaya dari agama di bawah kapitalisme—kemampuannya untuk mengalihkan energi revolusioner yang seharusnya diarahkan pada perubahan struktural.

Namun, kritik Marx tidak boleh dipahami secara simplistis sebagai penolakan total terhadap semua bentuk agama. Antonio Gramsci, seorang marxis terkemuka, memperluas kritik terhadap agama dengan pendekatan yang lebih nuansa dalam Prison Notebooks (1929). Gramsci berpendapat bahwa meskipun agama sering kali berfungsi untuk mendukung hegemoni kapitalis, ia juga dapat menjadi arena perjuangan ideologis.

Bagi Gramsci, superstruktur ideologis, termasuk agama, tidak sepenuhnya ditentukan oleh basis ekonomi, tetapi ada ruang bagi resistensi dan perlawanan di dalamnya. Kelas bawah, yang terdominasi, dapat menggunakan agama sebagai alat untuk melawan ideologi kapitalis yang menindas. Dalam analisis Gramsci, agama tidak bersifat monolitik. Di satu sisi ia mungkin menjadi alat yang digunakan oleh kelas penguasa untuk mempertahankan hegemoni mereka, namun di sisi lain agama juga dapat diartikulasikan oleh kelas tertindas sebagai sarana resistensi terhadap penindasan tersebut.

Gerakan Teologi Pembebasan di Amerika Latin pada tahun 1960-an adalah contoh konkret dari potensi agama sebagai alat perjuangan melawan kapitalisme dan imperialisme. Teologi pembebasan menekankan pentingnya keadilan sosial dan penentangan terhadap eksploitasi ekonomi, dengan menggunakan ajaran-ajaran Kristen sebagai dasar untuk mengorganisir massa dan menuntut perubahan sosial radikal. Dalam konteks ini, agama tidak lagi berfungsi sebagai alat untuk mengalihkan perhatian dari realitas sosial, melainkan sebagai katalisator bagi kesadaran kelas dan perjuangan kolektif melawan penindasan kapitalis.

Teologi Pembebasan menunjukkan bahwa agama dapat digunakan sebagai sumber inspirasi revolusioner ketika ia berpihak pada kelas tertindas dan menentang ketidakadilan struktural. Sebagai contoh, pemikir seperti Gustavo Gutiérrez, seorang teolog pembebasan terkemuka, menggabungkan ajaran agama dengan analisis marxis untuk memperjuangkan hak-hak kaum miskin dan tertindas. Dalam pandangan Gutiérrez, agama tidak boleh dipisahkan dari konteks sosial-ekonomi di mana ia berkembang, dan gereja harus berdiri di pihak kaum tertindas dalam perjuangan mereka melawan eksploitasi. Ini menandai pergeseran radikal dari cara tradisional di mana agama sering kali digunakan untuk mendukung kelas kapitalis. 

Namun, gerakan seperti Teologi Pembebasan tetap menjadi pengecualian, bukan norma. Di banyak bagian dunia, agama tetap berfungsi sebagai instrumen yang mendukung tatanan kapitalis. Institusi-institusi keagamaan yang kuat sering kali memiliki hubungan erat dengan elite politik dan ekonomi, dan mereka menggunakan pengaruh spiritual mereka untuk menjaga stabilitas sosial yang menguntungkan kelas penguasa. Bahkan di negara-negara di mana kapitalisme telah membawa penderitaan ekonomi yang besar bagi sebagian besar penduduknya, agama sering kali mengajarkan rakyat untuk bersabar dan menerima nasib mereka, dengan janji bahwa segala penderitaan di dunia ini akan terbayar di akhirat. Hal ini memperkuat kesadaran palsu yang membuat kelas pekerja sulit untuk memahami akar material dari penindasan yang mereka alami.

Dalam sistem kapitalis global saat ini, agama juga sering kali terintegrasi ke dalam mekanisme pasar. Seperti yang disebutkan oleh pemikir seperti Žižek, agama tidak hanya berfungsi sebagai ideologi yang mendukung kapitalisme, tetapi juga menjadi bagian dari komodifikasi di bawah kapitalisme. Di banyak negara, agama telah menjadi industri, dengan pengalaman spiritual yang dipasarkan kepada konsumen dalam bentuk buku, seminar, produk, dan bahkan layanan konsultasi rohani. Fenomena ini dapat dilihat dalam megachurches dan gerakan-gerakan agama yang sangat terkait dengan kapitalisme, di mana kekayaan dipandang sebagai tanda kesalehan dan kesuksesan spiritual. Dengan cara ini, agama bukan hanya melayani kepentingan kelas penguasa secara ideologis, tetapi juga menjadi bagian dari ekonomi kapitalis itu sendiri, di mana pengalaman keagamaan diperdagangkan sebagai komoditas.

Secara keseluruhan, kritik marxis terhadap agama di bawah kapitalisme menyoroti bagaimana agama sering kali berfungsi untuk melanggengkan tatanan sosial yang eksploitatif. Namun, kritik ini juga menunjukkan bahwa agama memiliki potensi untuk menjadi alat resistensi ketika diartikulasikan oleh kelas tertindas. Dengan memahami bagaimana agama dapat berfungsi dalam konteks ideologi kapitalis, kaum marxis dapat lebih efektif dalam mengembangkan strategi untuk melawan eksploitasi dan ketidakadilan yang diperkuat oleh agama. Bagi Marx dan pemikir marxis lainnya, transformasi sosial yang sejati hanya bisa terjadi ketika masyarakat memahami bahwa penderitaan mereka bukanlah akibat dari kehendak ilahi, tetapi dari struktur material kapitalisme yang menindas. Agama, dalam konteks ini, hanya dapat dibebaskan ketika masyarakat itu sendiri dibebaskan dari keterasingan dan eksploitasi kapitalis.


Simpulan

Kritik Marxis terhadap agama merupakan komponen penting dalam analisis yang lebih luas mengenai kapitalisme dan keterasingan. Dalam pandangan Marx, agama muncul sebagai respons terhadap dunia yang penuh dengan penderitaan dan ketidakadilan, berfungsi sebagai pelarian bagi individu yang teralienasi. Namun, di bawah kapitalisme, agama tidak hanya menjadi sumber ilusi, tetapi juga alat yang memperkuat sistem sosial yang menimbulkan penderitaan tersebut. Meskipun agama dapat melanggengkan eksploitasi, ia juga memiliki potensi untuk menjadi arena perlawanan ketika diartikulasikan oleh kelas tertindas.

Marx menegaskan bahwa untuk mengatasi ilusi yang dihasilkan oleh agama, kita perlu mengubah kondisi material yang melahirkannya. Dengan kata lain, perubahan sosial yang mendasar—membangun masyarakat yang lebih adil dan bebas dari eksploitasi—merupakan langkah kunci dalam membebaskan individu dari belenggu ideologis yang ditawarkan oleh agama. Oleh karena itu, kritik terhadap agama dalam kerangka Marxis tidak dimaksudkan untuk menghina kepercayaan individu, melainkan untuk mengajak kita mempertanyakan dan mengubah struktur sosial yang menciptakan ketidakadilan. Hanya dengan mengatasi akar penyebab penderitaan sosial, kita dapat membebaskan diri dari ilusi yang menyesatkan dan mengarah pada transformasi sosial yang sejati.


Rakyat Husein adalah aktivis sosial.

]]>
Marxisme dan Interseksionalitas: Wawancara dengan Ashley Bohrer https://indoprogress.com/2024/05/marxisme-dan-interseksionalitas/ Fri, 10 May 2024 18:44:15 +0000 https://indoprogress.com/?p=238119

Ilustrasi: Illustruth


Pengantar penerjemah: Salah satu isu penting yang kerap menjadi sumber ketegangan di kalangan akademisi dan aktivis gerakan sosial adalah kelas dan identitas. Ketegangan itu muncul di seputar pertanyaan: mana yang lebih menentukan (determinan), kelas atau identitas? Sebagian menjawab bahwa kelas lebih determinan ketimbang identitas, sebagian lainnya sebaliknya. Ada pula yang mencoba mendamaikan ketegangan itu dengan mengatakan bahwa baik kelas maupun identitas berada dalam posisi yang setara satu sama lain. Sebagian lainnya memilih posisi bahwa baik identitas maupun kelas adalah dua tradisi analisa dan praktik politik yang berbeda tetapi tidak berhadapan secara oposisional bahkan keduanya saling bersinggungan erat (interseksionalitas). Artikel di bawah ini turut mendiskusikan hal tersebut, berisi wawancara George Souvlis dari Salvage dengan Ashley J. Bohrer, seorang akademisi dan aktivis marxis yang menulis buku Marxism and Intersectionality.


George Souvlis (GS): Mengapa Anda memilih untuk menulis buku Marxism and Intersectionality: Race, Gender, Class and Sexuality Under Contemporary Capitalism?

Ashley Bohrer (AB): Saya menulis buku ini sebagian karena rasa frustrasi dengan kondisi pembicaraan saat ini tentang politik identitas dan anti-kapitalisme. Saya adalah seseorang yang bergerak dengan cukup fleksibel (baik sebagai aktivis maupun akademisi) di antara komunitas marxis dan politik identitas. Meskipun ada banyak perdebatan di antara mereka, saya mulai merasa bahwa tidak banyak percakapan yang produktif di antara kedua aliran ini, yang ada hanyalah kritik tanpa ampun untuk meruntuhkan satu sama lain. Saya frustrasi dengan keadaan itu. Bagi saya, berpikir tentang interseksionalitas telah meningkatkan dan memperdalam komitmen saya pada pemahaman marxis tentang kapitalisme. Pada saat yang sama, anti-kapitalisme saya hanya mempertajam dan memperjelas pentingnya memahami bagaimana perbedaan membentuk dunia tempat kita hidup, berpikir, dan berorganisasi. Dan saya pikir saya tidak sendirian dalam hal ini – banyak orang yang berorganisasi dengan saya tahu bahwa ada kekuatan dan sinergi di antara cara-cara berpikir ini. 

Karena itu, saya ingin menulis sesuatu yang menyoroti aspek interseksionalitas dan marxisme, bukan hanya perdebatan sengit di antara keduanya. Saya selalu berpikir bahwa adalah tugas kita untuk membaca secara luas – dan menemukan wawasan di berbagai tempat. Mungkin ini berasal dari pengalaman saya sebagai seorang organisator – untuk menjalankan kampanye yang sukses, kita selalu mengambil potongan-potongan dari berbagai tempat, menemukan sumber daya dan sekutu yang tak terduga untuk mencoba memobilisasi kekuatan dan melawan ketidakadilan. Jadi, meskipun buku ini berbicara banyak tentang kritik antara tradisi marxis dan tradisi interseksional, saya menulis buku ini karena saya ingin kita bergerak melampaui apa yang terasa seperti jalan buntu. Bagaimana kita dapat mengambil sesuatu yang berwawasan luas, kuat, memobilisasi, dan benar dari kedua tradisi ini dan memajukannya? Bagaimana kita dapat melibatkan diri dengan kedua tradisi ini untuk mengungkap wawasan baru bagi pengorganisasian dan teori kita?

Selain itu, saya juga menulis buku ini buat diri saya sendiri guna menginterogasi beberapa keyakinan dan praktik saya sendiri. Para akademisi tidak selalu membicarakan hal ini, tetapi penting untuk terbuka dalam mengubah ide-ide Anda selama penelitian. Menulis adalah salah satu praktik yang memberi kita kesempatan untuk menginterogasi apa yang kita (baik dalam arti kolektif maupun dalam arti kepenulisan) yakini dan mengapa. Apa yang selama ini saya anggap benar? Narasi apa yang telah saya terima melalui percakapan-percakapan dan konferensi-konferensi? Apa kearifan kolektif dari ruang-ruang pengorganisasian saya atau jaringan akademik saya, dan seberapa sejalankah saya dengannya? Saya mendekati menulis sebagai semacam hadiah, sebagai persembahan atau pembuka untuk mendorong diri saya berpikir lebih jauh dan lebih keras, untuk menekan asumsi-asumsi saya sendiri, untuk memaksa diri saya membenarkan posisi saya dengan cara-cara yang biasanya tidak dituntut oleh presentasi konferensi selama 15 menit atau keputusan-keputusan yang cepat dalam pengorganisasian.

GS: Apakah Anda ingin membongkar argumen kunci yang mendukung penelitian Anda?

AB: Jika saya harus mengatakannya dalam istilah yang paling jelas yang saya bisa, saya akan mengatakan, buku ini menyajikan argumen yang sangat sederhana: analisis menyeluruh tentang kapitalisme membutuhkan wawasan dan alat dari tradisi marxis dan tradisi interseksional.

GS: Apa yang dimaksud dengan interseksionalitas? Apakah hal ini sesuai dengan marxisme? Jika ya, apa implikasi dari dialektika ini terhadap studi realitas sosial?

AB: Ha! Ini adalah pertanyaan yang sangat bagus. Beberapa bentuk marxisme tentu saja cocok dengan beberapa bentuk interseksionalitas. Marxisme yang mereduksi segalanya sebagai melulu persoalan kelas tidak cocok dengan interseksionalitas, seperti halnya interseksionalitas yang berorientasi pada reformasi liberal tidak cocok dengan marxisme reproduksi sosial revolusioner. Versi lain dari marxisme dan interseksionalitas jauh lebih dekat, bahkan mungkin dapat disintesiskan. Saya pikir kita sering berbicara tentang marxisme atau interseksionalitas seolah-olah keduanya merupakan satu kesatuan yang utuh. Dan meskipun saya pikir ada beberapa prinsip yang menjadi ciri khas masing-masing, keduanya merupakan bidang yang heterogen dan harus didekati dengan cara itu. Itulah yang saya maksudkan ketika mengatakan bahwa kita harus berpikir tentang marxisme dan interseksionalitas sebagai “tradisi” dan bukan sebagai “posisi” yang jelas.

Alih-alih menanyakan apakah kerangka-kerangka kerja ini secara keseluruhan kompatibel, buku ini justru menanyakan hal-hal bermanfaat dan penting apa yang dapat kita pikirkan jika kita menyatukan versi terbaik, terkuat, dan paling luas dari masing-masing kerangka kerja tersebut untuk mendefinisikan kembali arti kapitalisme.

GS: Bisakah kita menghindari pembacaan yang tidak reduksionis terhadap kapitalisme? Apa implikasinya secara teoretis dan politis?

AB: Saya terkadang berpikir bahwa percakapan seputar kapitalisme, setidaknya dalam ruang teori, menunjukkan bahwa pemahaman kita tentang kapitalisme adalah yang terbaik atau terkuat ketika kapitalisme dapat direduksi menjadi faktor-faktor yang paling sedikit atau dapat dijelaskan oleh logika tunggal yang univokal – semacam argumen pisau cukur Ockham. Namun, tatanan sejarah kapitalisme yang sebenarnya tidaklah seperti itu – kapitalisme sangat luas, bervariasi, dan tidak merata. Kapitalisme itu bervariasi dan dapat berubah, bersifat plastis dan responsif terhadap berbagai kondisi. Saya pikir, kadang-kadang ketika kita mencoba untuk mengikis semua keragaman dan kerumitan tersebut untuk mendapatkan teori yang paling “elegan” atau teori yang paling mudah dicerna dalam satu kalimat singkat, kita kehilangan banyak hal yang membuat kapitalisme menjadi sebuah sistem yang berbeda.

Dalam pengertian ini, saya mendukung pendekatan maksimalis daripada minimalis dalam memikirkan kapitalisme – bagaimana kita dapat mempertahankan sebanyak mungkin faktor, sebanyak mungkin kekhususan historis, sebanyak mungkin perbedaan internal? Bagaimana kita dapat berpikir tentang cara kapitalisme menggunakan, memobilisasi, dan juga terkadang berusaha menghilangkan perbedaan sebagai bagian dari apa itu kapitalisme, apa yang dilakukannya, dan apa yang kita perlukan untuk melawannya?

Salah satu area utama di mana saya pikir pendekatan “maksimalis” terhadap kapitalisme sangat membantu adalah dalam memikirkan tentang penindasan. Saya pikir di kalangan marxis, kita sering mendapatkan argumen bahwa kapitalisme (hanya) pada dasarnya adalah eksploitasi (penghisapan). Dalam pendekatan ini, penindasan (opresi) hanyalah sesuatu yang membuat Anda lebih rentan terhadap eksploitasi – semacam penguat eksploitasi, atau sebuah narasi sosial yang digunakan untuk mempertahankan eksploitasi. Tentu saja ini adalah beberapa cara kapitalisme berhubungan dengan penindasan, tapi tentu saja tidak semuanya. Bagian dari pertanyaan yang ingin saya ajukan dalam buku ini adalah – jika kita memiliki pemahaman yang kuat tentang berbagai cara eksploitasi dan penindasan terhubung dan berhubungan di bawah kapitalisme, bagaimana hal tersebut dapat meningkatkan pemahaman kita tentang kapitalisme, baik secara historis maupun logis?

Jadi, dalam buku tersebut, saya berpendapat bahwa kita harus memikirkan kembali kapitalisme sebagai sebuah sistem yang pada dasarnya, secara logis, dan historis dibentuk melalui eksploitasi dan penindasan. Dalam buku ini, saya melakukan pembacaan cermat (close readings) yang luas untuk menunjukkan bagaimana, pada dasarnya, sebagian besar teoretisi telah mereduksi kapitalisme hanya menjadi soal penindasan atau eksploitasi semata.

Namun, cara kapitalisme sebagai sebuah sistem global berfungsi tidak dapat dipahami secara memadai hanya dengan eksploitasi atau penindasan saja. Keduanya bekerja sama untuk membentuk sistem. Tentu saja kapitalisme tidak dapat berfungsi tanpa eksploitasi tenaga kerja, tetapi kapitalisme akan dengan mudah digulingkan tanpa penindasan. Saya akan memberikan satu contoh saja dari sekian banyak jenis hubungan yang saya telusuri dalam buku ini: pikirkan tentang akses terhadap institusi-institusi sosial, politik, dan kehidupan bersama. Salah satu cara kapitalisme mereproduksi dirinya sendiri adalah melalui narasi bahwa beberapa kehidupan tidak ada gunanya, bahwa ini bukanlah kehidupan yang layak untuk dijalani. Pikirkan bagaimana pendidikan di bawah kapitalisme terstruktur, bagaimana institusi-institusi produksi ideologi seperti media terus menerus berfungsi untuk mendisiplinkan kita agar menerima gagasan bahwa kita bukan siapa-siapa dan tidak pantas mendapatkan apa-apa. Pikirkan tentang bagaimana hambatan-hambatan terhadap sistem politik yang benar-benar demokratis diberlakukan: tes melek huruf, hukuman pidana, menolak memberikan surat-surat kepada para migran dan pengungsi, cara-cara korporasi memengaruhi keputusan-keputusan politik – ini semua adalah cara-cara signifikan kapitalisme beroperasi dan berubah, dan tak satu pun dari mereka yang dapat ditangkap secara memadai hanya dengan “eksploitasi” saja (meskipun tentu saja mereka melibatkan eksploitasi). Anda tidak dapat memiliki sistem kapitalis di mana orang-orang yang dieksploitasi mengetahui nilai mereka. Dalam hal ini, kapitalisme direproduksi dan dijamin tidak hanya melalui eksploitasi tetapi juga melalui penindasan.

GS: Dalam studi Anda, Anda berargumen bahwa “kapitalisme telah dan masih sangat terlibat dalam bentuk tertentu dari berbagai penindasan yang saling bertautan, di tingkat politik, ekonomi, sosial, dan ideologi”. Dapatkah Anda menguraikannya lebih lanjut?

AB: Kita tidak dapat memahami dunia yang kita tinggali ini tanpa memahami kapitalisme. Salah satu pelajaran yang saya ambil dari interseksionalitas adalah berbagai cara yang berbeda dan terputus-putus di mana gender, ras, seksualitas, kemampuan, kewarganegaraan, dan lain-lain secara fundamental saling terkait. Mereka bukanlah sistem yang terpisah yang melintas di tempat tertentu atau pada orang tertentu. Gender dirasialisasikan dan diklasifikasikan serta ditembakkan dengan ekspektasi kemampuan normatif. Hal ini berlaku untuk semua identitas dan posisi sosial; mereka mendapatkan makna melalui konstitusi yang bersifat relasional, dalam sebuah matriks.

Sebagaimana yang saya soroti dalam buku ini, baik teoretisi marxis maupun interseksional sangat jelas mengatakan bahwa kapitalisme juga merupakan bagian dari kisah ini, baik secara historis maupun di dunia kontemporer. Kita tidak dapat memahami ras (dalam pengertian gender, seksual, dan ableist) tanpa memahami bahwa gagasan modern tentang ras diciptakan di dunia kapitalis, bahwa kita semua mengalami ras di dunia kapitalis. Tidak ada yang bisa memisahkan kategori-kategori ini dari kapitalisme dan tidak ada yang bisa memisahkan kapitalisme dari ras, gender, seksualitas, ableist, atau kebangsaan.

Artinya, para ahli teori kapitalisme yang mencoba memberi tahu Anda apa itu kapitalisme tanpa menjelaskan bagian yang sangat penting dari cerita ini telah sepenuhnya menutupi beberapa bagian yang paling kuat dan penting tentang bagaimana kapitalisme beroperasi secara logis dan historis, dan oleh karena itu, apa itu kapitalisme.

Dari sudut pandang praktis, mereka (para teoretisi) itu juga telah mengorbankan sejumlah besar pengorganisasian. Padahal kebijaksanaan lama mengajarkan bahwa dalam melakukan pengorganisiran kita akan bertemu dengan orang-orang dengan kondisi konkret di mana mereka berada. Kita akan lebih mudah untuk terhubung dengan operasi skala besar dari sistem kekuasaan yang luas dengan melihat bagaimana hal itu terhubung dengan situasi spesifik dan kehidupan spesifik Anda. Kita semua hidup di dalam dan melalui identitas, dan sering kali berdasarkan identitas itulah kita memahami dunia. Dalam beberapa situasi, memulai dengan status kelas seseorang mungkin merupakan jalan masuk terbaik untuk memikirkan kapitalisme sebagai sebuah sistem. Kadang-kadang bukan gaji saya yang paling mengacaukan hari saya, tetapi adalah bos saya yang terus mengirimi saya foto-foto tentang alat kelaminnya. Atau status dokumentasi saya. Atau bagaimana saya harus berjuang mati-matian untuk mendapatkan segala bentuk akomodasi untuk disabilitas saya, baik di tempat kerja atau di dunia secara umum. Kapitalisme jelas berkelindan dalam semua contoh ini, kapitalisme yang telah dibentuk oleh seksisme, xenofobia, kolonialisme, dan ableism. Kita harus mampu menunjukkan logika ini secara keseluruhan agar mampu tanggap terhadap kebutuhan masyarakat dan memastikan bahwa dalam gerakan kita dan apapun yang kita impikan untuk menggantikan neraka tempat kita hidup ini, dan tidak berakhir dengan mereproduksinya.

GS: Bagaimana Anda memandang dialektika antara teori dan politik? Bagaimana posisi Anda terkait topik ini?

AB: Saya adalah seorang aktivis dan teoritikus sekaligus. Saya menghabiskan banyak waktu di ruang-ruang gerakan dan melakukan kerja-kerja gerakan. Terkadang teori dapat membantu memandu pilihan strategi dan taktik kita pada saat tertentu; terkadang wawasan yang paling penting untuk teori datang dari jalanan. Sebagian besar dari buku ini adalah refleksi teoretis atas beberapa masalah dan komplikasi yang saya temui selama satu dekade terakhir di ruang-ruang aktivisme – bagaimana mendamaikan pendekatan marxis dengan pendekatan interseksional, bagaimana memikirkan penindasan dengan cara yang anti-kapitalis, dan bagaimana memikirkan solidaritas di berbagai lokasi sosial yang berbeda.

Namun, saya rasa sering kali ketika kita mengajukan pertanyaan tentang teori-politik, kita memiliki pemahaman yang sangat terbatas tentang apa yang dimaksud dengan masing-masing istilah tersebut. Teori tidak hanya berarti buku-buku tentang topik-topik abstrak yang ditulis oleh orang-orang yang memiliki gelar PhD. Para aktivis, yang terlibat, maka tak terhindarkan dalam proses membaca, berpikir, berefleksi, dan bermimpi, juga berteori sepanjang waktu, sama seperti apa yang disebut sebagai “ahli teori” yang juga terlibat dalam aktivitas politik sepanjang waktu, bahkan ketika mereka tidak melakukannya di tempat-tempat politik yang “terorganisir” secara tradisional. Teori adalah sebuah praksis, berpikir adalah sebuah tindakan. Saya tidak terlalu tertarik dengan pemisahan tradisional antara teori dan politik. Saya lebih tertarik untuk mengajukan pertanyaan: bagaimana yang Anda lakukan dan pikirkan dapat berkontribusi pada pembebasan?

Menurut saya, pertanyaan ini lebih menarik dan lebih jujur. Dan pada akhirnya, saya pikir ini adalah pertanyaan yang lebih mendesak untuk diajukan. Tentu saja ada beberapa orang yang menghabiskan lebih banyak waktunya untuk “politik”, yang kesetiaan utamanya bukan pada pembebasan. Dan juga ada banyak sekali orang yang menulis teori “radikal”, berkoar-koar tentang dominasi, yang pekerjaannya tidak benar-benar membantu orang untuk bebas. Jadi bagi saya, pertanyaannya bukan tentang apakah seseorang melakukan kerja teori atau kerja politik, tetapi apa pun keterampilan dan keahlian seseorang, bagaimana itu berguna dalam perjuangan? Bagaimana Anda menilainya? Kriteria apa yang Anda gunakan untuk menentukan apakah proyek Anda saat ini (politik atau teoretis) hanyalah obsesi pribadi Anda atau apakah ini adalah bagian dari upaya untuk membebaskan kita semua? Saya pikir gerakan akan lebih kuat dan hubungan antara aktivis dan akademisi akan lebih dekat dan tidak terlalu mengasingkan jika pertanyaan-pertanyaan ini menjadi jangkar bagi kita, bukannya asumsi-asumsi mengenai aktivitas kita.

GS: Anda menjelaskan bahwa Anda melakukan “pembacaan gerilya” terhadap teks-teks yang Anda teliti. Bisakah Anda menjelaskan kepada kami apa yang dimaksud dengan hal ini secara politis dan epistemologis?

AB: Saya pikir ada manfaat yang besar dalam memahami apa yang dikatakan oleh berbagai penulis, terutama ketika karena rasisme dan heteroseksisme, kata-kata mereka tidak ditanggapi dengan serius atau dibaca dengan cermat. Banyak hal yang saya soroti dalam hal interseksionalitas adalah bahwa tradisi ini sengaja disalahartikan oleh kaum marxis (kulit putih) untuk menafikannya. Dan saya pikir ada politik pengetahuan yang sangat merusak yang terjadi ketika kita punya waktu untuk membaca setiap “daftar belanjaan” yang pernah dibuat oleh seorang marxis laki-laki kulit putih, tetapi mengabaikan seluruh tradisi perempuan kulit berwarna yang berteori hanya dengan membaca sekilas. Saya tidak bisa mengatakan seberapa sering dalam ruang-ruang marxis seseorang ingin mereduksi semua interseksionalitas menjadi argumen yang dibuat oleh Kimberlé Crenshaw dalam upaya pertamanya untuk mengartikulasikan konsep tersebut. Artikel itu ditulis pada tahun kelahiran saya. Dan itu bukanlah satu-satunya hal yang ditulis Crenshaw selama kariernya yang panjang, dan bagaimanapun juga, Crenshaw tidak memiliki monopoli atas interseksionalitas; ada banyak versi, ketidaksepakatan, dan perbedaan dalam bidang ini sehingga banyak orang yang membawa konsep ini ke tempat yang berbeda dari Crenshaw. Jadi, pertama-tama, saya pikir penting untuk mengatakan bahwa ketika kita mendekati sebuah tubuh pengetahuan yang diciptakan oleh orang-orang yang tertindas dan berbicara tentang penindasan mereka, kita memiliki kewajiban untuk membaca dengan cermat dan memahami apa yang dikatakan dan dimaksudkan oleh sang penulis. Menolak untuk terlibat dengan itikad baik dalam situasi seperti ini adalah sebentuk kekerasan epistemik.

Dengan semua hal tersebut, ada juga beberapa hal yang perlu kita pikirkan di luar teks sebagaimana yang tertulis atau dimaksudkan. Saya pikir kita memang memiliki kewajiban untuk terlibat dengan itikad baik dengan teks, tetapi tidak berarti hanya membatasi diri pada apa yang dipikirkan atau dikatakan oleh orang lain. Ketika saya menggunakan istilah “membaca gerilya”, saya menggunakannya untuk membaca teks-teks di luar teks itu sendiri, mencoba menemukan tempat-tempat di mana sesuatu dikatakan secara implisit atau secara tersirat. Bagaimana dan di mana kita dapat menambang teks, mengungkap prasangkanya, menemukan apa yang berguna dan kuat di dalamnya, dan bagaimana kita perlu membawa teks ke luar teks itu sendiri untuk, kadang-kadang, memanfaatkan wawasan yang baru lahir? Saya tidak pernah merasa puas, bahkan sebagai seorang yang memiliki gelar PhD dalam bidang filsafat, bahwa semua pemikiran yang baik adalah sekadar eksplikatif – yaitu, kembali lagi dan lagi ke teks yang sama untuk mencoba menemukan apa yang “benar-benar” dikatakan atau apa yang “benar-benar” dimaksudkan oleh penulisnya, seolah-olah itulah satu-satunya hal yang penting, seolah-olah, jika kita akhirnya sampai pada apa yang sebenarnya dimaksudkan atau dipikirkan oleh Marx atau Crenshaw atau Cedric Robinson, seolah-olah hal tersebut akan menyelesaikan semua masalah kita, baik secara filosofis maupun praktis. Ini adalah proyek yang layak, ini bisa menjadi proyek yang bermanfaat, dan terkadang, seperti yang telah saya katakan, kita melakukannya terlalu sedikit. Tetapi tidak semua pertanyaan yang kita miliki dapat diselesaikan dengan membaca Alkitab tentang apa yang telah ditulis. Kadang-kadang kita perlu mendorong teks lebih jauh, dan salah satu cara untuk melakukannya adalah dengan membaca teks itu sendiri untuk mengekspos celah-celah dan komplikasi serta arah baru untuk berpikir, yang saya dan yang lainnya sebut sebagai “pembacaan gerilya”.

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.

GS: Anda juga merefleksikan pertanyaan tentang solidaritas. Apa pendapat Anda tentang istilah ini, baik sebagai konsep analitis maupun sebagai realitas politik?

AB: Solidaritas sejati adalah kehidupan. Tidak ada cara lain, menurut saya, untuk tidak mengorientasikan diri kita pada perjuangan dan pada satu sama lain. Ada sesuatu yang sangat indah tentang solidaritas, tentang cara jutaan orang bekerja untuk mencapai kepentingan bersama, bukan atas dasar hubungan pribadi atau kenalan perorangan, tetapi atas dasar kejelasan dan keyakinan bahwa kita semua layak mendapatkan dunia yang lebih baik. Kami melakukan wawancara ini di tengah-tengah krisis Covid dan kerja gotong royong yang saya dan banyak orang lain telah berpartisipasi di dalamnya, saya pikir, telah membawa sekelompok orang yang sama sekali baru untuk memahami perasaan itu.

Namun saya pikir terkadang ketika menggunakan istilah solidaritas, yang kita maksud adalah semacam penyelamatan. Saya sering melihat hal ini ketika orang berbicara tentang perbedaan kekuatan sosial: “Saya bukan queer/trans/POC/tidak berdokumen/dipenjara/dll, tapi saya bersolidaritas dengan mereka”. Dalam hal ini, orang terkadang menggunakannya untuk menunjukkan bahwa mereka memiliki kepedulian politik yang tidak dapat direduksi dengan penindasan yang mereka alami. Tentu saja, saya pikir, kita perlu menunjukkan kepada orang-orang dari berbagai identitas, lokasi sosial, dan pengalaman. Namun, menurut saya apa yang terlewatkan oleh pemahaman semacam solidaritas ini adalah bahwa bagaimanapun kita semua terpengaruh oleh sistem dominasi yang ada. Kita semua diciptakan di dalam dan melalui sistem-sistem tersebut, dan kita semua menjadi lebih buruk karena keberadaan sistem-sistem itu.

Mari ambil contoh tentang supremasi kulit putih (white supremacy). Saya adalah seorang Yahudi Ashkenazi berkulit putih, saya tinggal dan memiliki hak istimewa karena berkulit putih dan segala sesuatu yang terkait dengannya. Sebagian besar hidup saya ditempa untuk tidak belajar dan menentang supremasi kulit putih, dan tumbuh di dunia supremasi kulit putih memiliki efek yang sangat mendasar sehingga hampir tidak terlihat oleh saya. Inilah yang dimaksud, dalam arti tertentu, untuk percaya pada penjelasan materialis tentang dunia – lingkungan dimana kita hidup mencipta dan membentuk, bahkan bertentangan dengan keinginan kita (dan tentu saja, bahkan mencipta dan membentuk keinginan kita). Diciptakan di dalam dan melalui dunia supremasi kulit putih, tidak peduli seberapa besar komitmen saya untuk membatalkan dan menghapusnya, tetap saja saya telah dirusak oleh supremasi kulit putih. Frantz Fanon, misalnya, sangat jelas dalam hal ini: mengambil manfaat dari sistem eksploitasi dan penindasan, yang dibuat di dalam dan melalui sistem tersebut, merendahkan kemanusiaan kita. Jadi, ketika saya berpikir untuk menghapus supremasi kulit putih, saya tidak berkomitmen untuk perjuangan itu hanya atas nama orang lain. Saya tidak berada di luar perjuangan atau sistem ini. Saya juga merupakan bagian darinya.

Ketika kita berpikir tentang proyek untuk menghapuskan dominasi, kita harus memahami bahwa kapitalisme, supremasi kulit putih, heteroseksisme, ableism, dan sebagainya, semuanya merugikan bahkan bagi mereka yang “diistimewakan” olehnya. Supremasi kulit putih tentu saja memberikan keuntungan, hak istimewa, mobilitas sosial dan fisik, dan sebagainya kepada orang kulit putih, seperti halnya logika-logika lainnya. Namun, hidup di dunia yang ditempa melalui struktur yang mengajarkan kita, di setiap kesempatan, bahwa ada kehidupan yang berharga dan ada yang tidak berharga, memengaruhi kita semua. Inilah, menurut saya, perbedaan krusial antara pendekatan liberal dan revolusioner terhadap pembebasan. Kaum liberal menginginkan inklusi ke dalam sistem; mereka ingin kaum proletar menjadi “sama seperti” kaum kapitalis atau perempuan menjadi “sama seperti” kaum laki-laki. Filosofi liberal mempertahankan gagasan-gagasan yang berkuasa tentang bagaimana seharusnya kita. Kaum revolusioner tahu bahwa bahkan mereka yang memiliki keuntungan paling besar dalam sistem yang ada saat ini adalah salah. Mereka adalah produk dari dunia yang salah. Kami tidak menginginkan kesetaraan dengan mereka; kami menginginkan sesuatu yang sama sekali berbeda. Kita menginginkan sebuah dunia yang belum pernah ada.

Itulah mengapa ketika orang mengambil pendekatan bahwa “Saya bukan X, saya bersolidaritas”, saya sedikit merasa ngeri, karena hal ini menunjukkan bahwa mereka yang memiliki hak istimewa atau memiliki kekuatan sosial tidak melihat diri mereka sendiri sebagai bagian dari apa yang perlu diubah. Dan saya pikir, pada dasarnya, solidaritas adalah cara untuk bersatu melawan dominasi, kita mengubah komunitas kita, diri kita sendiri, dan dunia. Jadi, ketika saya berpikir tentang solidaritas, saya menggunakannya untuk menandai pengakuan akan sebuah hubungan. Sekarang, kita perlu memperjelas: solidaritas tidak berarti kesamaan. Saya sama sekali tidak mengatakan bahwa supremasi kulit putih atau apa pun memengaruhi kita semua dengan cara yang sama. Ini tidak masuk akal. Ada konsekuensi yang sangat berbeda untuk menjadi orang kulit putih di bawah supremasi kulit putih dan menjadi orang kulit berwarna. Saya jelas tidak berada di posisi yang sama di bawah supremasi kulit putih dengan orang kulit berwarna (yang tidak semuanya berada di posisi yang sama dalam hubungan satu sama lain). Seperti yang sering diingatkan oleh para neo-Nazi, sebagai seorang Yahudi Ashkenazi, posisi saya tidak sama dengan kulit putih lainnya di bawah supremasi kulit putih. Namun, apa yang disebut solidaritas adalah pemahaman bahwa ada logika (supremasi kulit putih) yang menyentuh kita semua – neo-Nazi, saya sendiri, orang kulit berwarna, dll. Ketika saya berjuang melawan supremasi kulit putih bersama dengan orang lain dalam perjuangan itu dan melawan neo-Nazi, kita terlibat dalam perjuangan ini dari dalam, bahkan jika kita berada di dalamnya dari posisi dan tempat yang berbeda. Namun dalam kasus ini, solidaritas menandai sebuah koneksi (tetapi bukan kesamaan); solidaritas menandai pengakuan bahwa, di berbagai lokasi sosial, sistem dominasi menghubungkan kita dan hanya dengan memobilisasi dan memutus koneksi tersebut kita dapat menggulingkan sistem tersebut.

GS: Optimisme kehendak atau pesimisme intelek?

AB: Kedua-duanya! Ini adalah keyakinan yang mesti dimiliki oleh para organiser: kita harus bertindak seolah-olah dunia dapat berubah secara radikal setiap saat, seolah-olah revolusi dapat terjadi di setiap tarikan napas. Pada saat yang sama, kita tidak boleh memiliki optimisme tak berdasar yang memperlakukan revolusi sebagai sesuatu yang tak terelakkan. Gerakan revolusioner sering kali mengkhianati diri mereka sendiri tepat pada saat mereka meremehkan betapa dalamnya penindasan dan eksploitasi.

Kita membutuhkan kritik tajam/brutal (ruthless criticism) terhadap segala sesuatu yang ada (termasuk diri kita sendiri) dan keyakinan yang tak tergoyahkan, hampir seperti mesianis, bahwa kita dapat dan akan membangun dunia baru dari abu yang lama.***


Ashley J. Bohrer adalah seorang akademisi, aktivis dan intelektual publik. Penulis buku Marxism and Intersectionality: Race, Gender, Class and Sexuality under Contemporary Capitalism. Saat ini ia menjadi assistant professor di University of Notre Dame, AS, dan sebelumnya memangku posisi postdoctoral di Hamilton College. Lingkup penelitiannya mencakup filsafat, studi ras kritis, teori dekolonial, feminisme interseksional, dan marxisme yang mengeksplorasi interseksi antara kapitalisme, kolonialisme, rasisme, dan hetero/seksisme. Sebagai seorang aktivis, Ashley terafiliasi dengan berbagai kolektif akar rumput feminis, anti-rasis, dan anti-kapitalis. 

Artikel ini terbit pertama kali di majalah Salvage pada 28 Mei 2020, diterjemahkan dan diterbitkan ulang di sini untuk tujuan pendidikan.

]]>
Workshop Perencanaan dan Transisi Sosialisme dalam Tradisi Marxisme – Undangan Mendaftar dan Kerangka Acuan (ToR) https://indoprogress.com/2024/04/workshop-perencanaan-dan-transisi-sosialisme-dalam-tradisi-marxisme/ Sun, 14 Apr 2024 21:47:55 +0000 https://indoprogress.com/?p=238077

IlustrasiJonpey


PERKUMPULAN IndoProgress dengan senang hati mengundang para pembaca budiman yang memiliki komitmen memenangkan politik kelas pekerja sejagat raya dan mewujudkan sosialisme di muka bumi untuk berpartisipasi di rangkaian acara Workshop Perencanaan dan Transisi Sosialisme dalam Tradisi Marxis. Tulisan ini memberikan kerangka acuan untuk mempertimbangkan mendaftar, mempersiapkan diri, dan berpartisipasi di dalam workshop

Versi pdf dokumen ini bisa diakses pada tautan ini: https://bit.ly/tor_plantrans_ip2024.


Konteks

Salah satu perdebatan kontemporer terkait Republik Rakyat Cina (RRC) di kalangan ilmuwan dan akademisi, baik borjuis maupun revolusioner, adalah sejauh mana kiprah negara tersebut, khususnya di bawah pemerintahan Partai Komunis Cina (PKC) pascareformasi 1979, dan bahkan lebih spesifik lagi di kendali Xi Jinping, dapat dikatakan sosialis atau tidak (Xi Jinping penting disorot di sini khususnya pascainsiden pengusiran halus Hu Jintao dari kongres partai pada 2022 dan penobatan pemikirannya sebagai ideologi negara di acara yang sama). Dari perspektif revolusioner, sekalipun seolah akademis-keilmuan, sejatinya pertanyaan ini memiliki implikasi praksis yang amat sangat dalam. Tidak hanya soal RRC, melainkan bagaimana mengkualifikasi praksis dan turunan strategi-taktik sosialisme itu sendiri yang menjadi taruhan, khususnya terkait sikap terhadap negara dan kebijakan-kebijakan “neoliberal”.

Menjelaskan implikasi praksis ini bisa menggunakan kontras perdebatan di kalangan akademisi borjuis. Misalnya, di studi Ekonomi Politik Internasional (EPI), Perbandingan Ekonomi Politik (PEP), dan Geoekonomi, diskusi mengenai perkembangan RRC ini dikerangkakan sebagai pertanyaan mengenai penyelenggaraan ekonomi pasar yang ditengarai sebagai kembali kepada negara, ketimbang korporasi. Alhasil, diskusi mengenai “pasca-neoliberalisme”, “deglobalisasi”, dan konsep-konsep anakannya seperti “de-risking”, “decoupling”, “post-Washington Consensus”, “Beijing Consensus”, “return of the state”, “negara hadir” (kalau di Indonesia) bermunculan dan mendominasi kosakata perbincangan. 

Sosialisme di sini tak lebih dari sekadar julukan—persis seperti kampanye hitam borjuis—bagi pemerintahan kuat, sentralistik, dan melanggar hak-hak rakyat (sendiri dan negara lain). Hilang sudah makna sosialisme dalam artian sebuah pemerintahan berbasiskan kepentingan kelas pekerja yang memang sejatinya antagonis (baca: membatasi hak, mengekang kebebasan, dan kendali opresif) terhadap kekuatan-kekuatan yang anti pada kemenangan kelas pekerja. 

Ironisnya, narasi liberal ini pun menyeruak dan mendarah daging di kalangan yang mendaku progresif, mengutip Marx dan para marxis, menyerukan “pro-pekerja”, “pro-rakyat”, dan seterusnya (sekaligus menekankan bahwa sekadar “ekopol” tidak serta merta membuat jadi revolusioner). Contohnya, juga relevan dengan diskusi ini, beberapa tendensi “kritis”, “kiri”, “progresif”, dan “marxian” dalam EPI/PEP/Geoekon soal ini yaitu maraknya diskusi mengenai “kapitalisme negara” atau state capitalism setidaknya dalam 10 tahun terakhir. Di kalangan akademisi borjuis kecil pseudo-revolusioner ini, kapitalisme negara menjadi semacam kulminasi dari konsep-konsep pseudo-marxis lainnya (atau bahkan reaksioner) yang sudah ada sebelumnya seperti “kapitalisme otoritarian”, “developmental state”, “dirigisme”, “economic statecraft”, “kapitalisme oligarki”, “kapitalisme kroni” dan, kalau di studi Asia, “kapitalisme ersatz”

Motivasi utama mereka, biasanya, adalah bahwa “gara-gara RRC, sekarang Amerika Serikat dan akhirnya semua negara memperkuat intervensinya dan enggak liberal lagi.” Kurang lebih begitu. Mereka “menyayangkan” masa-masa liberal dari kapitalisme yang, sejak naiknya RRC menjadi dominan di ekonomi global, membuat negara-negara merasa perlu ikut mengencangkan cengkeraman politiknya. Mereka “mengomel” karena negara-negara “otoriter”, “totaliter”, “fasis”, “oligarkis”, dst., dsb., kini ter-upgrade kebengalan dan kebengisannya menjadi juga “kapitalis” (oh, sekalipun membawa-bawa “kapitalisme”, jangan harapkan analisis modus produksi dari karya-karya ini. Buang juga ekspektasi mendapat pencerahan, strategi, atau taktik bagi agensi kelas pekerja sebelum membaca. Siap-siap saja mendapat simpulan moralis dan serba nasihat intelek khas akademia penghobi “solidaritas”). 

Sekalipun berbeda secara redaksi, namun kesamaan umum yang muncul adalah bahwa mereka memberi makna baru bagi terma “geoekonomi” yang sejatinya berbeda dari inventornya, seorang konservatif penasihat Reagan, Edward Luttwak. Geoekonomi hari ini adalah kapitalisme negara, begitu singkatnya bagi mereka. Negara melakukan petualangan ekonomi lintas geografis sebagai sang kapitalis itu sendiri, ketimbang, mengacu ke artikel terkenal Luttwak pada 1990, mengerahkan perusahaan, kamar dagang, diplomat ekonomi, dan kebijakan-kebijakan ekonomi ofensif sebagai pasukan dan artileri geopolitik. Dan bisa ditebak, siapa yang pertama dinobatkan sebagai kapitalisme negara oleh mereka? Ya, tentu saja RRC. 

Dengan dominan dan represifnya PKC di RRC, maka slogan nasional “Sosialisme berkarakter Cina”, bagi rekan-rekan akademisi ini, tidak lebih dari sekadar topeng bagi watak yang mereka sebut “kapitalisme negara”. Kesimpulan yang sungguh… mudah. Namun demikian, yang mungkin paling penting dan juga menarik disoroti terang benderang adalah, bagi mereka, kapitalisme negara punya bagasi moral yang buruk. 

Ironisnya, ini justru 180 derajat berbeda dengan penggunaan pertamanya oleh tak lain tak bukan kamerad kita semua: Vladimir Lenin. Kapitalisme negara dalam formulasi Lenin adalah sebuah hal yang positif!

Lenin bisa dibilang orang pertama yang mengeluarkan istilah “kapitalisme negara”, setelah sebelumnya, di State and Revolution, menyebutnya state-capitalist monopoly. Setidaknya sejak 1918, ia menyebutnya “state capitalism” (lihat daftar bacaan wajib di bawah). State capitalism dalam Lenin adalah bentuk sementara dan transisional pemerintahan diktatorial kelas pekerja selagi—dan di sini dimensi EPI/Geoekonomi yang penting ditekankan—dunia internasional masih dikuasai sirkuit kapital (baik dagang maupun finansial, dan kini ketambahan data dan digital). Konteks ekonomi internasional membuat Lenin mengimprovisasi (merevisi?) siklus Marx mengenai transisi dari feodalisme-kapitalisme-sosialisme-komunisme dengan menambahkan kapitalisme negara di antara “kapitalisme” dan “sosialisme”. Ketimbang sebagai sebuah deviasi atau pengkhianatan sosialisme, kapitalisme negara justru dilihat sebagai sebuah “gigantic step forward” menuju sosialisme.

“When the working class has learned how to defend the state system against the anarchy of small ownership, when it has learned to organise large-scale production on a national scale, along state capitalist lines, it will hold, if I may use the expression, all the trump cards, and the consolidation of socialism will be assured” (“‘Left-Wing’ Childishness and the Petty-Bourgeois Mentality,” 1918, h. 338-9)

‘Saat kelas pekerja sudah belajar mengenai bagaimana mempertahankan sistem negara melawan anarki kepemilikan kecil, saat ia sudah belajar bagaimana mengorganisasikan produksi skala-besar dalam skala nasional, seturut garis kapitalisme negara, ia akan memegang, jika boleh saya bilang demikian, semua kartu truf, dan konsolidasi sosialisme akan terjamin’ (terjemahan bebas penulis).

Namun Lenin tetap tegas—dan ini punya arti penting bagi siapa pun, terlebih yang menempuh jalur praksis perebutan negara—kapitalisme negara tetaplah sebuah kapitalisme dan bukan sosialisme. Lenin enggan menyebutnya sosialisme. Namun perlu ditandaskan sekuat-kuatnya di sini: Kapitalisme negara dalam cakrawala Lenin sangatlah erat dengan gagasan “memudarnya negara” (withering away of the state). Pasalnya, tugas utama kapitalisme negara adalah menggunakan seluruh daya, kekuatan dan aparatur (persuasif terhadap pekerja maupun opresif terhadap kapitalis) untuk mempersiapkan basis-basis sosialisme (kekuatan kelas pekerja, elektrifikasi soviet, modernisasi dan amplifikasi produksi, penguatan institusi sampai keluarga, pendidikan pemuda, konsolidasi koperasi petani, pemberantasan diskriminasi gender, inovasi sains teknologi, dst.). Kuatnya basis sosialisme kelak dengan sendirinya membuat negara menjadi tidak relevan, dan sampailah pada cita-cita masyarakat tanpa kelas ala komunisme. Lenin menekan bahwa tawaran ini mengejawantahkan Marx yang mengatakan bahwa komunisme haruslah lahir dari rahim kapitalisme, dan bukan terpisah darinya.

“What we have to deal with here is a communist society, not as it has developed on its own foundations, but, on the contrary, just as it emerges from capitalist society; which is thus in every respect, economically, morally, and intellectually, still stamped with the birthmarks of the old society from whose womb it emerges” (Marx, “Critique of Gotha Programme,” h. 85)

‘Di hadapan kita saat ini adalah sebuah masyarakat komunis, bukan sebagaimana ia berkembang di atas fondasinya sendiri, namun, justru sebaliknya, ia muncul dari dalam masyarakat kapitalis; yang karenanya di segala sisi, secara ekonomis, secara moral dan intelektual, masih terstempel dengan tanda lahir dari masyarakat lama yang dari rahimnyalah ia muncul’ (terjemahan bebas penulis).

Ini tentu berbeda dari yang ditengarai Lenin sebagai “mentalitas borjuis kecil” di kalangan “sayap kiri yang kekanak-kanakan” yang selalu melihat dan mempersepsi “alternatif” bagi kapitalisme adalah sesuatu yang sama sekali berbeda, yang seluruhnya di luar dari kapitalisme, dan yang merasa “kotor” untuk beroperasi dengan logika kapital, sekalipun itu demi kepentingan kemenangan kelas pekerja. 

Kritik Marx dan Lenin ini sebenarnya cukup gemar dibaca, namun tetap saja masih marak kita jumpai hari ini. Bahkan ironisnya, di tengah-tengah kawan-kawan kita sendiri yang banyak dan konon mendominasi kepesertaan diskusi-diskusi dan kolom-kolom komentar konten-konten di seluruh kanal media IndoProgress.

Secara analitis, nosi kapitalisme negara tidak bertujuan sekadar memberikan deskripsi setebal-tebalnya dan/atau membuktikan p-value sesignifikan-signifikannya akan perubahan negara menjadi seekor kapitalis. Poin metodologis ini krusial untuk digaris bawahi dan dipegang erat-erat. Bahkan, perlu juga sebisa mungkin di-syi’ar-kan kepada kawan-kawan akademisi kita yang tersesat dalam petualangannya menembus jurnal terindeks Scopus demi karier akademik dengan ikut-ikutan di hype kapitalisme negara hari-hari ini. 

Kapitalisme negara bukan semata soal kehadiran negara, proteksionisme ekonomi, intervensi kebijakan, operasi pasar, kontrol harga, pembatasan arus modal, pemolisian kebijakan, dst. Urgensi praksis terutama dari konsep kapitalisme negara adalah sebuah strategi perencanaan programatik untuk menavigasi kekuatan formal/institusional kelas pekerja di tengah-tengah rivalitas inter-imperialis internasional dalam rangka mentransisikan seluruh aspek kehidupan ke komunisme. Berhasil atau gagalnya kapitalisme negara penting untuk dinilai dari ukuran ini, dan bukan dengan standar-standar liberal soal gebyah uyah kebebasan (bagi kapitalis untuk memperbudak, dan borjuis kecil untuk diperburuh lewat “dunia kerja”), kesetaraan (di antara para borjuis besar dan kecil untuk dijamin hak mengeksploitasi dan dieksploitasi), dan rekognisi (keragaman identitas di mata dunia bisnis ekstraksi nilai lebih pekerja). 

Penggunaan peyoratif (konotasi buruk) akan istilah kapitalisme negara bukan hanya anakronis dan menggelikan secara kanon historis intelektual, melainkan juga berkontradiksi bagi praksis revolusioner itu sendiri. Jika akan ada kritik yang sahih akan kapitalisme negara, maka ia haruslah berada dalam suluh menyukseskan perencanaan berperspektif kelas pekerja dan transisi menuju sosialisme, dan bukan sekadar ratapan dan omelan liberal bernada sumbang “demokrasi”, “akuntabilitas” dan “hak asasi”.

Kembali ke ihwal awal mengenai implikasi praksis dari debat “apakah RRC kapitalis/imperialis atau sosialis/kapitalisme negara leninis?” Dengan kembali menjangkarkan debat ini ke tradisi marxisme, maka pertanyaannya harus diubah: “dalam garis batas revolusioner dan standar acuan sosialis seperti apa kita bisa mengkualifikasi/mendiskualifikasi RRC sebagai sebuah kapitalis/imperialis atau sosialis/kapitalisme negara—ala Lenin?” Lebih khususnya, para proponen “sosialisme dengan karakter Cina” perlu memberikan analisis mengenai sejauh mana kiprah RRC hari ini adalah hasil perencanaan yang tidak hanya berkarakter Cina, melainkan juga berkarakter sosialis. Sebaliknya, para skeptis juga harus mampu menunjukkan bagaimana kompromi atau pragmatisme RRC dalam struktur unipolar, imperialistik AS ini telah membuatnya melenceng dari ambang batas revolusioner dan berpindah ke posisi kontrarevolusioner. 

Pertanyaan-pertanyaan inilah yang mendorong kami di Perkumpulan IndoProgress untuk menyelenggarakan workshop dengan mengacu ke teks-teks fundamental dalam tradisi marxisme, dan juga mempertimbangkan teks-teks kontemporer yang sudah coba merefleksikan pertanyaan ini.

Pertanyaan mengenai perencanaan dan transisi sosialisme, khususnya dalam konteks penyelenggaraan kekuasaan kelas pekerja lewat bentuk negara, sebenarnya pernah muncul dalam tradisi marxisme. Salah seorang ekonomi neoliberal dari Mazhab Austria, Ludwig von Mises, pertama kali melancarkan kritik terhadap penyelenggaraan negara sosialis ala Republik Sosialis Uni Soviet (RSUS) sekaligus memantik apa yang disebut-sebut Debat Kalkulasi Sosialis  (DKS), Socialist Calculation Debate atau singkatnya “debat kalkulasi”. Kritik yang mulanya diarahkan pada Otto Neurath, seorang sosialis yang juga kolega von Mises di Lingkaran Wina, sejatinya menyoal persoalan perencanaan sentral (central planning) yang dibayangkan marxisme dan diselenggarakan sosialisme lewat RSUS. Sudah banyak studi mengenai penyelenggaraan negara secara liberal, namun von Mises melihat belum ada studi serius mengenai kemungkinan (feasibilitas) perencanaan ekonomi tersentral. 

Debat ini melibatkan banyak ekonom dan akuntan dari berbagai aliran, mulai dari liberal, marxis, keynesian/post-keynesian, ricardian, walrasian, dst. Nama-nama besar seperti (selain Otto Neurath) Klara Tisch, Oskar Lange, Maurice Dobb, Paul Sweezy, dan Karl Polanyi, adalah beberapa yang juga mewarnai perdebatan di fase-fase awal.

Singkatnya, DKS ini berkisar di pertanyaan para liberal soal ketidakmungkinan perencanaan tersentral (central planning) ala sosialisme (baca: kapitalisme negara ala NEP Lenin). Ketidakmungkinan ini ditengarai secara fundamental, bukan sekadar kritik receh seputar pelanggaran HAM dan nasionalisasi properti (sebagaimana yang ditakutkan masyarakat liberal). Salah satu titiknya, menurut Mises, Hayek, dst., adalah ketidakcukupan teori nilai marxian untuk menawarkan indikator empirik untuk bisa mengkalkulasi (hence nama DSK) seluruh komponen bernilai dalam ekonomi demi membuat perencanaan makro berbasis simulasi (di sini, bisa kita bayangkan bentuk yang jauh lebih kompleks dari Input/Output Table ala Leontief—yang marak dipakai negara dan organisasi internasional sampai hari ini—yang juga mengoperasionalisasikan “nilai guna” ala Marx. Atau lainnya, bentuk I/O Table yang menginklusi “kerja reproduksi sosial” yang kini sedang populer di kalangan feminis marxis. Sekadar info, dua terma ini konon diteorikan para marxis sebagai against measure alias “anti-ukuran”). 

Kritik lain adalah soal luasnya jangkauan geografis (bayangkan RSUS). Ini dianggap akan membuat daya jangkau pemerintah sentral menjadi lemah dalam arus informasi dan membuat tidak hanya implementasi yang tidak terjamin, melainkan juga perencanaan tepat sasaran menjadi tidak mungkin. Belum lagi kemungkinan korup yang akut dikarenakan desain pemerintahan tersentral yang sudah pasti gemuk dan berkuasa penuh. 

Intinya, bagi sisi liberal dalam DKS, sosialisme adalah kemustahilan dilihat dari hitung-hitungan ekonomi perencanaan (baik figuratif maupun literal). Dalam acuan Indonesia, apabila seorang marxis menjadi kepala Bappenas, bayangkan kerumitan yang akan dihadapinya jika hendak keluar dari indeks-indeks ala Bank Dunia, OECD, dan IMF yang sudah terlanjur dominan dan common sensical, itu pun jika ia berhasil membuat indikator (berikut justifikasi) baru berbasiskan konsep-konsep ekonomi marxis. 

Respons dari para marxis sendiri sangat banyak dan menarik, khususnya dalam upaya mengklarifikasi sendiri juga mengenai gagasan kenegaraan dan perencanaan transisi dalam Marx dan Lenin. Sayangnya debat ini tidak banyak diteruskan sejak RSUS “mundur” dari Perang Dingin dan berubah menjadi Rusia di 1989. Demikian pula di skena akademik-teoritik 1970-an mulai bermunculan teori-teori dan kritik-kritik kebudayaan, identitas, gender, lingkungan, dan hal-hal lain yang selama Perang Dingin terepresi. Istilah “relasi kuasa”, “keliyanan”, dst., mengaburkan konsep “modus produksi” dan “perjuangan kelas”; mood teoritik bergeser pada kritik dan dekonstruksi ketimbang perencanaan dan strategi. Debat ini menjadi terlupakan. Implikasi praksisnya, kita lupa pula bahwa dalam tradisi marxisme kontemporer pernah ada tradisi pemikiran teknokratis, strategis, dan programatik, tidak hanya kritik, protes, dan serapah sebagaimana mewarnai secara pekat khazanah akademik dan praktik “kiri” hari ini. 

Belakangan, debat ini muncul kembali, khususnya karena pemikir marxis/sosialis  semakin tereksposnya dengan pengetahuan dan teknologi mahadata, kecerdasan artifisial, dan pembelajaran mesin. Sayangnya tren ini tidak sampai masuk ke Indonesia. Ketimbang perencanaan dan transisi, yang cenderung lebih teknokratik dan sistematik, tren impor pemikiran “kiri” dari Barat (termasuk yang non-kaukasian) masih dipenuhi tema-tema yang lebih mengeksplorasi apa yang disebut Wendy Brown “melankolia” dan, oleh Raymond Williams, “nestapa” kelas pekerja.

Dengan meletakkan diskusi mengenai kiprah RRC dari perspektif tradisi marxisme ini juga ke dalam konteks debat kalkulasi sosialis, kita bisa melihat secara lebih mawas. Soalnya, sudah banyak pemikiran terdahulu yang dapat dan perlu dipertimbangkan dan dipelajari sebelum kita tergesa-gesa menjatuhkan putusan. Namun juga sebaliknya, kita bisa memberi napas baru bagi debat tersebut: apabila dalam DKS pertama para marxis sibuk mendemonstrasikan kemungkinan (feasibilitas) dan urgensi revolusioner perencanaan tersentral, maka mungkin sekarang, bayangan saya, kita bisa melihat DKS dalam konteks perencanaan-tanding (counterplanning), misalnya. Pasalnya, dalam konteks DKS pertama, soal perencanaan sentral sudah ada nyata barangnya, yaitu RSUS; sementara sekarang, kecuali RRC yang masih dalam perdebatan, masih amat minoritas kelas pekerja revolusioner menguasai pemerintahan. 

Dengan perencanaan-tanding, kita bisa mulai membayangkan strategi penyusupan ide kebijakan di dalam kebijakan-kebijakan harian negara namun dalam rangka me-redirect sumber daya ke arah-arah yang menguntungkan atau sejalan dengan misi pembangunan kekuatan kelas pekerja. Atau lainnya, khususnya apabila bisa dipastikan garis sosialis dalam kiprah RRC, dalam bagaimana menyinkronisasikan dan mengarahkan kebijakan nasional ke arah alignment dengan RRC, seraya unsur revolusioner kita mencoba membangun kontak dan koordinasi kebijakan dalam semangat internasionalisme.


Tujuan dan Target Workshop

  1. Memformulasikan ambang batas untuk mengkualifikasi kualitas “revolusioner” dari suatu program yang mendaku sosialis dari pemikiran Marx dan Lenin (teks wajib).
  2. Memformulasikan standar acuan minimum (sebisa mungkin maksimum) mengenai program perencanaan sosialis dan transisi menuju komunisme dari pemikiran Marx dan Lenin (teks wajib) dan elaborasinya oleh para marxis di Debat Kalkulasi (teks pilihan).
  3. Mengevaluasi gagasan kapitalisme negara ala NEP Lenin dengan mengacu pada ambang batas dan standar acuan program sosialis dari pemikiran Marx dan pembacaan Lenin atas Marx sendiri (yi. poin tujuan 1 dan 2).
  4. Mengevaluasi kiprah RRC dan PKC kontemporer dengan mengacu pada ambang batas dan standar acuan program sosialis dari pemikiran Marx dan pembacaan Lenin atas Marx dan juga eksperimen kapitalisme negara ala NEP Lenin (yi. poin tujuan 1, 2 , dan 3).

Pertanyaan Diskusi

  1. Apa itu perencanaan sosialisme? Apa standar dan ukurannya? Apa yang membuatnya sosialis? Di aspek mana ia menjadi revolusioner?
  2. Apa dan bagaimana transisi dari kapitalisme ke sosialisme dikonseptualisasikan? Apakah transisi dari kapitalisme ke sosialisme merupakan sebuah kontinum atau sebuah patahan? Apa implikasinya bagi upaya perencanaan transisi ini?
  3. Apa dan bagaimana gagasan Lenin mengenai kapitalisme negara dan/atau state-monopoly capitalism? Sejauh mana ini berkontradiksi atau malah relevan dengan misi sosialisme?
  4. Dari perspektif perencanaan transisi, apa peran negara yang membuatnya menjadi spesifik/khusus nan tak tergantikan bagi misi sosialisme?
  5. Bagaimana melihat perjuangan/perencanaan transisi di tingkat nasional dari kacamata rivalitas interimperialis internasional yang sudah diwanti-wanti sejak Lenin dan Rosa?
  6. Sejauh mana “sosialisme berkarakter Cina” bersesuaian (atau tidak) dengan model kapitalisme negara ala NEP? Modifikasi apa yang dilakukan, dan sejauh mana itu sejalan dengan misi sosialisme?
  7. Sejauh mana keberatan von Mises, Hayek dan para liberal dalam SCD dapat dijawab, baik secara prinsipil maupun teknokratis melalui tradisi gagasan perencanaan sosialis? Mises soal nilai marxian yang tidak terhitungkan, dan Hayek soal ketidakmungkinan efisiensi dan efektivitas tepat sasaran?
  8. Bagaimana kemungkinan teknologis hari ini (mahadata, AI, kriptografi, kuantum) mungkin untuk memungkasi kritik marxis ke para liberal dalam DSK? Atau malah problem perencanaan dan transisi baru akan muncul dengan hadirnya paradigma teknosains ini?
  9. Mengapa kapitalisme negara ala NEP gagal membuat, dalam bahasa Lenin pada 1922, “Rusia NEP menjadi Rusia sosialis,” dan apa penjelasan marxis soal perencanaan dan transisi dari kegagalan ini? Dan sejauh mana sosialisme berkarakter Cina akan mengulangi, atau justru menghindari kegagalan ini?

Linimasa Penyelenggaraan

ToR: skrg s.d. Minggu, 14 April

Publikasi Open Reg dan ToR: Senin, 15 April

Pendaftaran dan Waktu Baca: Senin, 15 April s.d. Sabtu, 15 Juni

Diskusi Publik Pra-Workshop & TM: Sabtu, 28 April, pkl. 18.30 WIB/19.30 WITA

Pengumuman Peserta Final: Panelis (28 April); Pendengar/Penonton (18 Juni)

Penyelenggaraan: Minggu, 23 Juni, pkl. 19.30 – 22.30 WITA

Ruang: Zoom (dikirim ke surel terdaftar)


Batasan dan Format Workshop

Seperti namanya, workshop ini merupakan upaya bersama untuk menjawab sebuah pertanyaan, problem, atau teka-teki, ketimbang diseminasi ide dan gagasan. Artinya, seluruh peserta wajib untuk memahami problem dan memenuhi syarat minimum kepesertaan yang dalam hal ini adalah membaca teks wajib dan beberapa teks pilihan. Workshop ini fokus pada upaya menentukan ambang batas dan memformulasikan standar ukur penyelenggaraan kekuasaan kelas pekerja dalam bentuk negara dalam perspektif perencanaan dan transisi menuju sosialisme. 

Workshop ini juga fokus pada acuan tekstual fundamental dari tradisi marxisme (dalam hal ini Marx dan Lenin [dan Rosa, sejauh diskusi soal partai dan serikat masuk]), ketimbang tawaran gagasan orisinil dari peserta. Yang diharapkan dari para peserta (termasuk pemantik) adalah gagasannya dalam membaca dan menafsirkan teks-teks yang diacu workshop ini. Subjek workshop ini adalah ide Marx dan Lenin mengenai perencanaan dan transisi (mengacu pada teks-teks wajib), dan bukan ide para pemantik/peserta mengenai perencanaan dan transisi (sekalipun mengutip Marx dan Lenin). Semua gagasan yang tidak berangkat dari, mengacu pada, dan kembali ke teks dipersilakan untuk disajikan di kesempatan lain. Moderator akan sangat ketat dalam mewasiti peserta yang nantinya keluar dari teks.


Daftar Bacaan (Wajib dan Pilihan)

Daftar bacaan utuh, beserta bacaannya dalam format digital (.pdf), akan diberikan hanya kepada rekan-rekan yang berhasil terdaftar. Semua bacaan dalam versi bahasa Inggris atau terjemahan ke bahasa Inggris.

Wajib

  1. Marx, K. 1875, “Critique of Gotha Programme,” MECW, v. 24, p. 77-99. — (22 hal)
  2. Lenin, V. I., 1917, “The State and Revolution, Chapter V. The Economic Basis of the Withering Away of the State,” LCW v. 25, h. 461-479. — (18 hal.)
  3. Lenin, V. I., 1918, … — (30 hal)
  4. Lenin, V. I., 1920, …  — (21 hal).
  5. Lenin, V. I., 1921, …  — (41 hal)
  6. Lenin, V. I., 1921, …  — (18 hal)
  7. Cheng, Enfu, 2012, … — (11 hal)
  8. Zhang, Xinwen, 2023, … — (15 hal)

Total alokasi waktu dan daya kerja membaca: 176 halaman x 10 menit/hal = 1.760 menit = +/- 29 jam, atau 3 jam 40 menit per minggu atau 31 menit per hari selama 8 minggu. (Kecil lah dibanding alokasi doom scrolling di medsos kita).

Pilihan 

  1. Lenin, V. I., 1921, “Integrated Economic Plan,” LCW v. 32, p. 137-145 — (8 hal).
  2. Lenin, 1905, “Two Tactics of Social-Democracy in the Democratic Revolution,” dlm LCW, v. 9, h. 17-140. — (123 hal)
  3. Lenin, 1917, … — (42 hal)
  4. Lenin, V. I., 1921, … — (9 hal)
  5. Negri, Antonio, 1978, … — (109 hal).
  6. Ernest Mandel, 1986, …— (34 hal).
  7. … — (19 hal)
  8. … — (13 hal).
  9. … — (12 hal)
  10. … — (12 hal)
  11. …  — (34 hal).
  12. …  — (20 hal)
  13. …  — (13 hal)
  14. …  — (19 hal)
  15. …  — (24 hal).
  16. … — (18 hal)
  17. … — (9 hal)
  18. … — (20 hal)
  19. … — (28 hal)
  20. … — (13 hal)
  21. …  — (16 hal)

Total alokasi waktu dan daya kerja membaca daftar pilihan: 595 halaman x 10 menit/hal = 5.950 menit = +/- 99 jam, atau 12,5 jam per minggu atau 1 jam 46 menit per hari selama 8 minggu. (Kecil lah dibanding alokasi kerja abstrak kita untuk kapitalis yang seminggu bisa bisa ditotal lebih dari 40 jam) []~( ̄▽ ̄)~*


Partisipasi dan Biaya

IndoProgress melihat kerja-kerja akademik reproduktif yang selama ini tampak sepele, tak berbayar, dan cenderung dilihat sebagai secara moril (liberal) “harusnya dibagikan gratis” seperti membaca, memahami teks, memformulasi pemikiran sistematis, mengulas ide, mempresentasikan gagasan, berdebat argumentasi, menyelenggarakan acara, merancang ToR diskusi, menghubungi peserta/pemateri, dst., sebagai kerja-kerja yang bernilai. Untuk meminimalisir ekspropriasi nilai (lebih) dari kerja-kerja ini, kami mengenakan tarif nilai-tukar untuk acara ini. Tarif ini bukan sebagai sumbangan, melainkan kompensasi kerja. Bagi yang kesulitan alat tukar finansial, kami juga menyediakan alat tukar lain non-finansial yang berharga (bernilai guna) bagi kami, baik secara materiel maupun ideologis. 

Dengan mengadaptasi model koperasi pekerja marxis (lih. Jossa, Menzani, Zamagni, dst.), para moderator, pemantik, panelis dan panitia akan mendapatkan imbal hasil kerjanya selama perancangan, penyelenggaraan, dan penyelesaian kegiatan (skema perhitungan akan dirancang setelah seluruh partisipan workshop sudah final).


Cakupan Pertukaran: 

  1. 3 jam diskusi dengan pemantik dan panelis yang serius menekuni isu dalam kegiatan yang terkurasi secara sistematis.
  2. Daftar bacaan dan soft file semua bacaan. 
  3. Daftar peserta dan pemantik, beserta profil, akan disampaikan H-1 minggu, menunggu proses.
  4. Akses ke rekaman selama masa embargo (1 tahun).
  5. Akses ke semua materi tertulis (tulisan, review, ppt, notula).
  6. Kontribusi langsung dalam diskusi (bergantung pada tipe kepesertaan, lihat di bawah).

Tipe Kepesertaan

Moderator dan Panitia (3 orang)

  1. Berdasarkan kesepakatan internal Perkumpulan IndoProgress.
  2. Rancang acara, materi, dan arah diskusi,
  3. Notulis,
  4. Administrasi Zoom,
  5. Korespondensi,
  6. Tim redaksi naskah kepesertaan dan workshop

Pemantik

  1. Penunjukan dan kesepakatan internal Perkumpulan IndoProgress.
  2. Publik dapat mengusulkan diri atau orang lain, namun keputusan tetap menjadi prerogatif Perkumpulan IndoProgress. 
  3. Sudah baca semua bacaan wajib,
  4. Mau membaca seluruh bacaan rekomendasi, selemah-lemahnya iman sesuai subtopik yang akan dibahasnya (Debat Kalkulasi, teori kapitalisme negara, atau debat sosialisme RRC),
  5. Memiliki atau sedang mengembangkan area kepakaran dan proyek intelektual di subbidang perencanaan dan transisi sosialis,
  6. Memberikan 1 paragraf profil untuk buku acara. Maksimal 1 minggu setelah konfirmasi kepesertaan sebagai pemantik.
  7. Menyiapkan paparan pemantik yang berisi:
    • Ulasan poin-poin yang dianggap penting dari bacaan, khususnya yang wajib,
    • Refleksi kritis,
    • Tawaran gagasan,
    • Pertanyaan lanjut untuk didiskusikan,
    • Maksimal 10 menit. SHARP!!!

Panelis

  1. Terbuka untuk umum,
  2. Maks 15 orang,
  3. Semua wajib bekerja membaca materi wajib, dan akan ada mekanisme penyaringan.
  4. Prioritas diberikan bagi yang memiliki atau sedang mengembangkan area kepakaran dan proyek intelektual di subbidang perencanaan dan transisi sosialis.

Pendengar/Penonton

  1. Jumlah tidak dibatasi.
  2. Semua yang berpartisipasi melalui skema syarat organisasi dan/atau membayar biaya (lihat bagian berikutnya).
  3. Tidak wajib baca materi, walau tetap amat sangat diminta dan dimohon baca sedapatnya.
  4. Boleh bertanya via chat, tapi tidak bisa menyampaikan secara lisan. Moderator akan menyaring pertanyaan dan menganonimkan asal penanya.
  5. Uang, pengalaman dan keanggotaan institusi adalah kapital. Mari tidak membiasakan memberi karpet merah untuk kapital dapat berbicara secara leluasa di forum-forum pekerja 🙂

Tipe Partisipasi Berdasarkan Syarat Pendaftaran

Sebagai Moderator, Panitia & Pemantik

  1. Dibatasi hanya berdasarkan keputusan dan solisitasi internal Perkumpulan IndoProgress.
  2. Publik dipersilakan memberi rekomendasi juga kepada kami.

Sebagai Panelis 

  1. Kerja akademik in-kind: 
    • Review minimal 1.200 kata (+/- 3 halaman), gaya tulis akademis atau pop-akademis (pilih salah satu, jangan dicampur), minimal mengenai semua materi wajib dan maksimal semua materi wajib dan opsional. Untuk skema ini, kami tidak menerima ulasan selain artikel-artikel yang kami berikan.
    • Framing review: fokus mengulas dan menekankan aspek mengenai perencanaan ekonomi nasional dan persoalan mentransisikan relasi sosial kapitalis ke sosialis dan bahkan komunis yang terdapat dalam teks. Anda boleh memberikan komentar, kritik atau refleksi, namun tetap berikan posisi sentral pada gagasan materi yang direview, ketimbang opini Anda. Silakan gunakan pertanyaan di bagian “Pertanyaan Diskusi” di atas sebagai kerangka; bisa pilih satu atau lebih, dan tidak harus semua.
    • Ps. sesuai gaya penulisannya, dan atas perkenan penulis ybs, tulisan yang kami anggap baik secara redaksi akan ditawarkan masing-masing kepada editor Jurnal IP, Seri Buku Saku IP, dan/atau Harian IP untuk dimuat. Partisipasi di workshop ini tidak menentukan keputusan pemuatan naskah; semua dikembalikan ke editor masing-masing outlet, dan para penulis akan diarahkan berkorespondensi ke sana.

Sebagai Penonton/Pendengar 

Keanggotaan organisasi sosialis
    • Lebih dari 3 tahun keanggotaan AKTIF di organisasi-organisasi bermisi sosialis (tidak harus eksplisit.
    • Nama lengkap dan panggilan,
    • Surel untuk kontak,
    • Nama organisasi dan kontak koordinator/ketuanya (pastikan sudah minta izin ybs dan beri heads-up akan dikontak tim IndoProgress),
    • Penjelasan singkat mengenai:
      • organisasi, misi sosialisnya, dan peran pendaftar
      • motivasi dan ekspektasi ikut workshop
      • alasan mengapa memilih jalur pertukaran ini, ketimbang membaca seluruh materi wajib yang hanya sedikit saja meminta waktu Anda selama 3 jam 40 menit per minggu atau 31 menit per hari selama 8 minggu, yang notabene sama-sama gratisnya.
Uang
    • Rp300.000
    • Dikirim ke Bank BRI Perkumpulan IndoProgress – No. Rekening 2074.01.000295.56.3

Pernyataan soal Kepesertaan

Workshop ini terbuka, mendorong dan amat mengharapkan partisipasi yang tidak melulu pria. Diversitas partisipasi dari sebanyak mungkin identitas suku, agama, gender, seksualitas, neurodiversitas dan terutama dari diversitas posisi sosial dalam ketimpangan hierarkis kapitalisme di Indonesia: daerah, pendidikan, dan penguasaan bahasa Inggris amat kami nantikan. Namun demikian, syarat kepesertaan utama tetap wajib dipenuhi, yaitu membaca SELURUH teks wajib tanpa terkecuali. Bagi calon peserta yang membutuhkan dukungan teknis khusus untuk dapat berpartisipasi di workshop, mohon bisa disampaikan ke kami. Dukungan akan diberikan sesuai sumber daya yang tersedia untuk dialokasikan di penyelenggaraan workshop ini. 

Walau demikian, penyelenggara amat tidak merekomendasikan kepesertaan bagi mereka yang tidak memiliki semangat memenangkan sosialisme. Sifat workshop ini bukan sebuah diskusi publik karena akan berangkat dari asumsi minimum mengenai superioritas kemenangan kelas pekerja atas kapitalisme, yang kami sadari belum tentu diterima oleh semua kalangan. Pula diskusi ini bukan merupakan kelas atau pendidikan publik, melainkan lebih ke diskusi di kalangan tertentu yang memiliki komitmen intelektual dan praksis dengan tema terkait. Artinya, ada prasyarat minimum soal keterpaparan pada gagasan dan keseriusan politiko-intelektual pada marxisme dan sosialisme. Moderator akan sangat ketat dalam mewasiti kontribusi-kontribusi dalam workshop yang tidak berlandaskan semangat ini, dan akan tidak segan mengeluarkan yang bersangkutan dari forum secara sepihak. IndoProgress amat terbuka bagi kritik dan tantangan se-hostile apa pun untuk pemikiran marxisme, sejauh itu diselenggarakan di ruang-ruang publik, yang mana bukan sifat yang dirancangkan untuk workshop kali ini.


Pendaftaran

Pastikan Anda sudah membaca dan memahami poin-poin dalam kerangka acuan/ToR ini. Pula secara teknis, kami harap Anda sudah dapat mengira-ngira tipe partisipasi apa yang akan Anda pilih. Jika sudah menetapkan pilihan, silakan menuju tautan pendaftaran berikut ini: https://bit.ly/reg_plantrans_ip (Senin, 15 April s.d. Sabtu, 15 Juni).


Kontak

Pertanyaan dan/atau informasi lebih lanjut, silakan berkorespondensi melalui surel sbb:
?: indoprogressjournal@gmail.com


Siaran Pra-Workshop (update)

Hadiri pra-workshop bersama para pemantik dan moderator yang akan mengantarkanmu pada workshop utama.

Youtube

Facebook

Twitter

 

Workshop diselenggarakan oleh Perkumpulan IndoProgress. ToR disusun oleh Hizkia Yosias Polimpung, Pemred Jurnal IndoProgress

]]>
Hauntologi Komunisme https://indoprogress.com/2023/11/hauntologi-komunisme/ Wed, 29 Nov 2023 19:48:21 +0000 https://indoprogress.com/?p=237844

Ilustrasi: Illustruth


JACQUES Derrida (1993) memperkenalkan istilah “hauntologi” dalam karyanya, The Specters of Marx, dengan mengacu pada ungkapan Karl Marx yang sangat populer: “Ada hantu berkeliaran di Eropa; hantu komunisme.” Marx sendiri menubuatkan kehadiran hantu jenis ini dalam prolog karyanya, Das Manifest der Kommunistischen Partei (1848).

Hauntology adalah perpaduan dari kata haunt dengan ontology. Derrida menggunakan kata kerja to haunt untuk menegaskan fungsionalitas status ontologis. Ontologi berkutat pada pembuktian atau pendasaran keberadaan sebuah entitas. Hauntology tidak lagi meributkan keberadaan atau kehadiran sebuah entitas di masa kini, tetapi fungsionalitas entitas tersebut yang pernah hadir di masa lalu. Dalam bahasa yang lebih sederhana, hauntology berangkat dari paradigma bahwa efek hantu (yakni, fungsionalitasnya) jauh lebih nyata dan terasa daripada sosok hantu.

Latar belakang hauntology adalah kehancuran komunisme di Eropa, khususnya Uni Soviet. Kehancuran ideologi ini seolah-olah menegaskan bahwa Kapitalisme adalah satu-satunya alternatif untuk dunia, termasuk sebagai sebuah imajinasi. Hauntology Derrida dapat dibaca sebagai sebuah antitesis dari The End of History and the Last Man (1992) karya Francis Fukuyama.

Derrida ingin menegaskan bahwa kehancuran komunisme tidak berarti kehancuran warisan marxisme, sebab justru memunculkan sebuah bentuk dekonstruksi marxisme secara radikal. Warisan marxisme ini tetap hidup dan membayangi masyarakat pasca komunisme sebagai sebuah tradisi kritik terhadap Kapitalisme Liberal. Inilah yang disebut dengan efek hantu; masa lalu hadir di masa kini dengan modus subjunctive (pengandaian) dan keterbukaan subjek terhadap masa lalu memiliki peran penting dalam memahami masa kini sekaligus dalam mempersiapkan masa depan. Efek hantu bukanlah sebuah teror, tetapi kawan berdialog. Dengan demikian, menghantui bukanlah menakut-nakuti, tetapi sebuah ajakan untuk berdialog.

Hauntology bisa menjadi semacam kaca mata untuk membaca desas-desus isu kebangkitan komunisme . Pada era Orde Baru, isu komunisme digunakan oleh pihak pemerintah untuk membungkam kelompok oposisi. Istilah komunisme menjadi label bagi siapa saja yang bersikap kritis terhadap pemerintah. Sekarang yang terjadi adalah sebaliknya. Pihak pemerintah menjadi sasaran pelabelan komunisme yang dilontarkan oleh kelompok oposisi. Di dalam kontestasi pemilihan presiden 2014 dan 2019, tudingan komunisme dilemparkan kepada sosok Joko Widodo. Selain itu, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan juga menjadi sasaran isu komunisme (Safitri, 2022). Kelanggengan hantu komunisme di Indonesia ini memancing sebuah kajian ringan hauntology.


Kodifikasi Anti Agama

Apa yang dibayangkan oleh Derrida berbeda dengan hantu komunisme di Indonesia. Barangkali hauntology komunisme di Indonesia adalah sebuah anomali. Derrida membayangkan legacy marxisme sebagai kritik terhadap Kapitalisme. Secara sosiologis, hantu komunisme Indonesia tampaknya tidak meninggalkan legacy seperti ini. Legacy marxisme dan komunisme sebagai kritik terhadap Kapitalisme adalah fenomena di negara-negara yang memang memiliki tradisi Kiri yang kuat. Tradisi pemikiran Kiri di Indonesia, dapat dikatakan, hilang sejak tahun 1965.

Lalu pesan apa yang disampaikan hantu komunisme? Tampaknya, hantu komunisme di Indonesia lebih cenderung meninggalkan legacy sentimen anti agama. Collective memory terhadap Partai Komunisme Indonesia (PKI) adalah sentimen anti agama. Harap diingat bahwa kekerasan yang melibatkan PKI terjadi sebelum dan sesudah tahun 1965. Sebelum tahun 1965, yang menjadi korban adalah para penentang PKI. Setelah tahun 1965, yang menjadi korban adalah mereka yang dianggap sebagai antek PKI. Sentimen anti agama yang melekat pada hantu komunisme di Indonesia dipicu oleh konflik terbuka PKI dengan para pemuka agama sebelum tahun 1965.

Collective memory selalu berbasis pada episode sejarah. Akan tetapi, konsep sejarah sendiri tidak dapat diperhadapkan langsung dengan collective memory (Assmann, 2013). Tugas sejarawan adalah membedah masa lalu secara objektif. Ini adalah duktus ilmu sejarah.  Collective memory adalah penafsiran sejarah yang tidak dapat dilepaskan dari kepentingan kekuasaan. Seleksi dan pembobotan peninggalan sejarah adalah mekanisme pembentukan collective memory. Legitimasi kekuasan dibangun berdasarkan collective memory.

Keberhasilan pelabelan komunisme untuk membukam kelompok oposisi pada era Orde Baru tidak semata-mata hanya karena faktor pendekatan represif militeristik, tetapi juga karena faktor kuatnya collective memory terhadap PKI. Legitimasi tindakan represif dibangun dengan memanfaatkan collective memory tersebut. Salah satu unsur pokok dalam collective memory adalah kodifikasi. Artinya, ini adalah sebuah reduksi atau bahkan tafsir tunggal terhadap komunisme, marxisme dan juga pemikiran Kiri. Kodifikasi anti agama menjadi semacam kesimpulan sapu jagat untuk menilai apapun yang terkait dengan pemikiran kiri. Dari sinilah terbentuk mekanisme pengkramatan yang sampai sekarang masih terasa.

Dampak dari pengkramatan adalah ketidakmampuan untuk mengeksplorasi. Tidak ada pemahaman dan terjadi lompatan kesimpulan pada kodifikasi anti agama. “Jangan-jangan yang anti marxisme tidak pernah belajar tentang marxisme. Mau di mana? Kan, dilarang,” kata Ariel Heryanto (2023).

Akibatnya, propaganda komunismedapat menginsinuasi kelompok masyarakat tertentu yang sangat sensitif dengan kodifikasi anti agama. Hantu komunisme mampu menggalang solidaritas dan ikatan dukungan bagi siapa yang memercayainya. Propaganda lebih menekankan sisi sugesti daripada pemahaman. Propaganda lebih menekankan eksploitasi collective memory daripada eksplorasi data maupun gagasan. Kodifikasi menawarkan sebuah kemudahan penafsiran meskipun melompati sebuah eksplorasi.

Menurut penelitian Saiful Mujani Research and Consulting (2021), isu kebangkitan PKI dipercayai oleh 14% masyarakat. Dalam rentang waktu 2016-2020, rentang angkanya berkisar antara 10-16% (SMCR, 2020). Angka ini cukup stabil dan tidak boleh diremehkan, karena isu kebangkitan PKI berpotensi merusak harmoni sosial dan juga menghambat iklim kebebasan berpendapat. Isu kebangkitan PKI adalah semacam relaying point yang mampu menyatukan kepentingan politik dari beberapa pihak (Azra, 2020), termasuk menarik dukungan suara dari segmen masyarakat tertentu.

Pada Pemilu 2014 dan 2019, isu PKI digulirkan dan yang menjadi sasaran adalah Joko Widodo. Tudingan ini tidak lain adalah kodifikasi anti agama, khususnya anti Islam. Tudingan ini masih terus berlanjut ketika Jokowi berkuasa. Untuk menyanggah tudingan komunisme tersebut, pemerintahan Joko Widodo cenderung menggunakan cara yang reaktif dengan melarang buku dan diskusi yang diduga terkait dengan komunisme. Penunjukan Kiai Ma`ruf Amin sebagai Wapres pada Pemilu 2019 merupakan strategi untuk menyanggah tudingan anti Islam.

Collective memory terhadap PKI dengan kodifikasi anti agama yang masih menancap di segmen masyarakat tertentu adalah kondisi yang menciptakan daya tarik isu komunisme. Warisan propaganda Orde Baru ini masih cukup seksi untuk digunakan kembali. Harus diakui, isu komunisme masih memiliki daya tarik untuk kepentingan politik praktis. Isu ini memiliki potensi untuk membuka jalan bagi pihak militer untuk kembali memperluas pengaruhnya di dalam politik dengan memanfaatkan ketakutan terhadap bangkitnya PKI (Wadipalapa, 2023). 

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.


Agama di dalam Marxisme dan Komunisme

Di dalam marxisme, agama adalah dogma pinggiran. Agama bukanlah akar persoalan ketidakadilan sosial, tetapi sebuah epifenomena dari ketidakadilan sosial. Marx sendiri masih mengakui potensi imunitas (melindungi) dari agama yang bersifat sementara, tetapi menolak potensi transformatif sosial agama. Istilah Opium des Volkes (candu masyarakat) adalah penegasan bahwa manusia adalah subjek (pencipta) agama sekaligus sasaran objek (sasaran) dari agama. Penghapusan agama bukanlah tujuan pokok dalam pemikiran Marx.

Di dalam Zur Kritik der Hegelschen Rechtsphilosophie (1844/1958), Marx menegaskan bahwa agama tidak akan hilang sebelum datang kebahagian yang sesungguhnya (wirkliches Glück). Kebahagiaan adalah kebutuhan dasar manusia. Kebahagiaan yang sesungguhnya akan terpenuhi jika struktur masyarakat yang adil dapat tercapai. Selama kebahagiaan yang sesungguhnya belum tercapai, masyarakat membutuhkan kebahagian semu (illusorisches Glück) sebagai kompensasi. Dalam pemahaman Marx, agama adalah kompensasi sementara sebelum tercapainya struktur masyarakat yang adil. Tujuan utama Marx bukanlah menghapuskan agama, melainkan keadilan sosial sehingga masyarakat tidak lagi membutuhkan agama.

Lenin mengubah dogma pinggiran ini menjadi dogma pokok. Agama bukan lagi Opium des Volkes, tetapi Opium für die Volk (candu untuk masyarakat). Rakyat adalah sasaran dari opium yang diciptakan penguasa dan menjadi bagian integral dari penindasan secara struktural. Jika Marx mengajukan tesis “kritik terhadap agama”, maka Lenin mengajukan tesis “perang terhadap agama” (van den Bercken, 1989). Di dalam konsep kritik masih terdapat unsur apresiasi. Marx pun masih mengapresiasi agama. Di dalam konsep perang, tidak ada lagi unsur apresiasi selain penolakan. Lenin pun menegaskan bahwa menghancurkan agama adalah tugas pokok dari gerakan komunisme. Kadar ateisme Lenin jauh lebih radikal dari pada Marx.

Jika kita melihat dengan lebih jeli dan dengan perspektif yang lebih luas, muncul pertanyaan, seberapa pentingkah unsur Ateisme di dalam gerakan marxisme dan komunisme di dalam realitas politik. Resepsi sebuah ideologi atau pemikiran di dalam perkembangan waktu sering kali mengalami modifikasi. Korelasi antara ateisme dengan komunisme maupun marxisme adalah teori yang sangat textbook alias dogmatis. Pendekatan textbook adalah salah satu persoalan di dalam memahami marxisme dengan kecenderungan menjadikan pemikiran Marx dan Lenin sebagai patokan kebenaran. Atzmüller (2020) mengkritisi pendekatan semacam ini dan mendorong sebuah pendekatan yang lebih diskursif.

Resepsi marxisme dalam perkembangannya tidak bersifat textbook. Fakta sejarah menunjukkan kemunculan gerakan-gerakan yang mencoba melakukan sintesis agama dan marxisme. Gerakan teologi pembebasan di Amerika Latin dan gerakan Sarekat Islam Merah di Indonesia adalah contoh dari usaha sintesis tersebut. Kodifikasi anti agama adalah sebuah pendekatan deduktif textbook. Pendekatan semacam ini perlu dikaji ulang. Pendekatan deduktif textbook adalah salah satu pijakan dari collective memory PKI di Indonesia.

Sintesis dapat terjadi karena agama merupakan dogma pinggiran di dalam bangunan teori Karl Marx. Oleh karena itu, Ateisme bukanlah harga mati di kalangan gerakan marxisme. Bahkan di kalangan anggota partai Komunis di berbagai negara, Ateisme bukanlah sebuah syarat wajib keanggotaan yang dipertahankan dengan mati-matian. Gerakan komunisme di dunia tidak selalu mengikuti garis-garis pemikiran Lenin. Sejauh ini, penulis belum menemukan tulisan-tulisan sejarah yang menggali secara empiris positioning PKI terhadap isu agama atau profil keagamaan tokoh-tokoh PKI di Indonesia. Barangkali riset semacam ini terhalang oleh kodifikasi anti agama dan pentabuan religius. Yang terjadi adalah deduksi textbook tanpa eksplorasi dengan melompat pada kesimpulan Ateisme


Urgensi Hauntology  

Hauntology komunisme ala Indonesia barangkali adalah menyingkap tabir pengkeramatan religius terhadap komunisme, marxisme dan pemikiran Kiri. Kodifikasi anti agama yang menjadi salah satu tiang pengkeramatan dan ini merupakan sebuah penafsiran yang sangat textbook terhadap marxisme maupun komunisme. Resepsi dan perkembangan marxisme dan leninisme tidaklah textbook. Terjadi revisi dan modifikasi terhadap teori Marx dan Lenin di dalam perkembangan sejarah.

Hauntology komunisme semacam ini merupakan jalan untuk kembali membuka ekosistem diskursus yang dialektik. Jika Pancasila dipahami sebagai sebuah sintesis, maka Pancasila harus ditafsirkan di dalam ekosistem dialektik. Yang terjadi sekarang ini adalah Pancasila berada di dalam ruang diskursus yang berat sebelah. Pengkeramatan terhadap marxisme dan komunisme menciptakan sebuah ekosistem yang berat sebelah. Ekosistem diskursus cenderung ke arah neoliberal. Bisa dibayangkan apa yang terjadi, jika Pancasila ditafsirkan dengan wawasan neoliberal semata; hilanglah hakikatnya sebagai sebuah sintesis.

Pembungkaman wacana kiri yang didukung dengan sebuah pengkeramatan religius akhirnya mempermudah penetrasi ideologi kapitalisme neoliberal di Indonesia. Potensi Pancasila sebagai benteng terhadap ideologi kapitalisme neolibera menjadi terbengkalai karena begitu kuatnya pentabuan religius terhadap pemikiran kiri. Barangkali selama ini kita cenderung membaca Pancasila dari perspektif kanan (kapitalisme neolibera). Kita lupa bagaimana membaca Pancasila dari perspektif kiri untuk menjinakkan perspektif Kanan. 


Daftar Rujukan

Assmann, Aleida. 2013. Das neue Unbehagen an der Erinnerungskultur: Eine Intervention. München: C.H. Beck.

Azra, Azyumardi. 03/10/2020. Isu Kebangkitan PKI Mengganggu Harmoni Sosial, Budaya, dan Politik di Tanah Air. Diunduh dari https://saifulmujani.com/isu-kebangkitan-pki-mengganggu-harmoni-sosial-budaya-dan-politik-di-tanah-air/ pada 30 Oktober 2023.

Derrida, Jacques. 1993. Spectres of Marx: The state of the debt, the work of mourning, and the new International. New York: Routledge.

Fukuyama, Francis. 1992. The end of history and the last man. New York: Free Press.

Heryanto, Ariel. 07/01/2023. “Marxisme”. Kompas. Diunduh dari https://www.kompas.id/baca/opini/2023/01/06/marxisme pada 15 September 2023.

Marx, Karl. 1844/1958. “Zur Kritik der Hegelschen Rechtsphilosophie. Einleitung”, Dalam Institut für Marxismus-Leninismus beim ZK der SED (Ed.). Marx-Engels-Werke Volume 1. Berlin: Dietz Verlag.

Marx, Karl & Engels, Friedrich. 1848/1946. Das Kommunistische Manifest. München: Verlag der SPD.

Safitri, Eva. 21/06/2022. “Megawati Bingung Dituduh Komunis: Namanya Aja PDIP, Komunisnya Mana?“. detik.com. Diunduh dari https://news.detik.com/berita/d-6138644/megawati-bingung-dituduh-komunis-namanya-aja-pdip-komunisnya-di-mana pada 2 November 2023.

SMCR. 30/09/2020. ”Hanya 14 % Warga yang Percaya Ada Kebangkitan PKI di Indonesia”. Diunduh dari https://saifulmujani.com/hanya-14-warga-yang-percaya-ada-kebangkitan-pki-di-indonesia/ pada 11 November 2023.

SMRC. 01/10/2021. “Sikap Publik pada Pancasila dan Ancaman Komunis“. Diunduh dari https://saifulmujani.com/sikap-publik-pada-pancasila-dan-ancaman-komunis/ pada 30 Oktober 2023.

van den Bercken, William. 1989. Ideology and Atheism in the Soviet Union. Berlin: Mouton de Gruyter.

Wadipalapa, Rendy Pahrun. 2023. The Communist Imaginary in Indonesia’s 2014 and 2019 Presidential Election. Asian Journal of Political Science. https://doi.org/10.1080/02185377.2023.2270947


Martinus Ariya Seta adalah Mahasiswa Doktoral dalam Bidang Pendidikan Agama di Julius-Maximilians Universitas Würzburg Jerman dan dosen di Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.

]]>
Memahami Krisis Antroposen dan Solusinya dari Kacamata Kohei Saito https://indoprogress.com/2023/11/kohei-saito-dan-krisis-antroposen/ Sat, 11 Nov 2023 01:01:10 +0000 https://indoprogress.com/?p=237794

Ilustrasi: Getty Images


Kohei Saito, filsuf asal Jepang, adalah salah satu pemikir marxisme yang ingin melihat lebih dalam aspek ekologis dari pelbagai sisi karya Karl Marx. Bekerja sangat tekun di sebuah perpustakaan di Jerman, filsuf asal Jepang ini membongkar karya Marx dan Engels yang belum pernah dipublikasikan secara luas dalam MEGA (Marx—Engels—Gesamtausgabe). Saito sangat yakin, melalui pembacaan ulang di MEGA, kita dapat menelusuri dimensi pemikiran Marx terutama tentang Metabolic Rift (Keretakan Metabolis) yang tidak pernah terjamah sebelumnya, selain dari potongan kata-kata di Capital (I) dan Grundrisse.

Kita tidak bisa menganggap remeh usaha intelektual Saito meradikalkan pandangan ekologi dalam marxisme di tengah krisis antroposen yang sedang melanda. Para penggawa ekososialisme dan ekomarxisme telah berusaha membuktikan bahwa keretakan ekologis terjadi akibat sistem kapitalisme, misalnya John Bellamy Foster, Andreas Malm, Paul Burkett, John Clark, Richard York serta Jason Moore. Untuk membuktikan Keretakan Ekologis sebagai suatu keniscayaan dalam kapitalisme pasca-industrial, Saito membawa proyek Marx ini dengan melibatkan epos antroposen.

Selama ini ada semacam upaya untuk meradikalkan gagasan prometheanisme, yaitu anggapan bahwa modernitas dan teknologi merupakan alat untuk menciptakan masa depan yang mengutamakan keadilan dan kesetaraan dalam mengakses sumber daya yang melimpah. Sebagian pembaca Marx menganggap proyek ini belum selesai. Sebaliknya, bagi Saito, proyek prometheanisme Marx memiliki keterbatasan tersembunyi. Ketakutannya ialah progresivitas teknologi justru jadi instrumen baru akumulasi kapital ketimbang distribusi kesejahteraan secara menyeluruh. Untuk itu Saito menawarkan pandangannya tentang degrowth plus communism.

Apa yang sebenarnya ia bicarakan lewat konsep yang bombastis tersebut?


Perdebatan Monisme/Dualisme

Pertama, perlu ditegaskan kembali analisis Saito saat memahami posisi Marx di tengah krisis ekologi antroposen. Ia kembali ke asumsi onto-epistemologi Marx itu sendiri. Sejak awal, Marx diposisikan sebagai seorang dualis secara ontologis: membuat pembedaan antara A dan B, antara alam serta sosial dan seterusnya (disebut Dualisme Cartesian). Para pemikir pasca-Marx menggunakan analisis monisme (kesatuan) untuk mengkritik. Monisme meradikalkan status ontologis alam yang tampaknya tidak dapat dipisahkan dengan kerja produksi kapital itu sendiri. Dari sisi ini, monisme percaya adanya hibriditas antara Yang-Alam dan Yang-Sosial. Oleh karena itu, cara memahami Keretakan Metabolis (K-M) ialah dengan menolak Dualisme Cartesian.

Saito melakukan pembacaan terhadap K-M dan mengkritiknya karena tidak dapat memahami metabolis universal yang ada. Apa itu metabolis universal?

Saito menjabarkan kelemahan analisis baik dari monisme dan proyek promethian pasca-kapitalisme meski monisme tampaknya sangat meyakinkan; latourian pun akan berprasangka dengan meletakkan ‘aktan’ atau simetrisitas ontologis, baik manusia atau non-manusia, menjadi jejaring agen ‘politik ekologi’ tertentu. Keduanya tidak dapat dipisahkan karena tidak ada pemisahnya.

Monisme dianggap gagal dalam menjelaskan posisi alam sebagai subordinat dari masyarakat. Baik konstruktivisme sosial (kuat) dan posmodernitas sama-sama sepakat kalau alam saat ini tidak lagi sama seperti dulu; masyarakat hari ini ter-hibridisasi, Yang-Alam dan Yang-Sosial telah kabur, saling tumpang tindih, dan tidak mungkin (lagi) terpisahkan. Di sini, ontologi monistik tidak dapat menjelaskan independensi dan otonomi alam sebagai non-identitas dari sosial, di mana kontak antara alam dan sosial menjadi karakter penting pada interaksi metabolik.

Menurut Marx (1976), kerja (labour) tidak menciptakan alam namun hanya mengubah bentuknya. Ekonomi kapitalistik membutuhkan sumber daya alam yang eksis sebelum ekstraksi dan eksploitasi. Alam secara material dimodifikasi oleh aktivitas ekonomi dan secara simbolik dikonstruksi oleh diskursus kultural dan saintifik (Georg, 2011). Jika kita perhatikan baik-baik, berarti seluruh kondisi alam dan manusia saat ini telah ‘dibajak’ atau selalu inheren dengan masyarakat kapitalisme (industrial).

Kritik ini juga menyerang asumsi dualisme turunan cartesian yang dipahami oleh Marx itu sendiri. Dualisme Cartesian dipandang gagal menjelaskan proses historis perkembangan kapitalisme. Dengan memperlihatkan interaksi metabolis dalam kapitalisme, Saito merasa mampu menunjukan bahwa alam bukan medium pasif: kapitalisme tidak hanya memproduksi alam namun juga kapitalisme diproduksi melalui alam.

Konsep metabolisme Marx bersifat anti-cartesian karena tidak mengasumsikan pemisahan absolut atas alam dan masyarakat. Masyarakat tidak dapat eksis tanpa alam. Namun, hubungan sosial menciptakan emergent properties yang unik dari manusia yang tak dapat dipisahkan dari basis materialnya. Dengan memperlihatkan distingsi dan relasi dari bentuk sosial yang ‘murni’ dan ‘pengusung’ materialnya, maka analisis tensi non-identitas dari alam dimungkinkan untuk memahami perubahan historis masyarakat dan interaksi metabolik dengan alam.

Begitupun, layaknya Moore dengan konsep kapitalosen (capitalocene), membentangkan titik balik konsekuensi atas masyarakat kapitalisme baru yang muncul pasca revolusi Industri. Alhasil, pendekatan monisme akan mempertimbangkan kapitalisme itu sendiri sebagai aktor. Ia tidak dapat dipisahkan begitu saja dalam gerak sejarah yang membentuk jejaring kehidupan manusia-alam. Dengan begitu, kita saat ini tidak mungkin secara sederhana memisahkan pandangan dualisme antara alam dan manusia; keduanya saling memproduksi dan mereproduksi (Moore, 2019). Relasi sosial tercipta bukan antara person dan kerjanya, tetapi antara material dan person, relasi sosial antar benda.

Saito sepakat metabolisme terjadi tidak hanya di dimensi alam tetapi juga di antara dimensi sosial. Kerja(lah) yang memediasi keretakan itu. Kapitalisme sejak awal telah mengasingkan proses kerja sekaligus mengasingkan metabolisme antara manusia dan alam. Saito, yang meminjam kontradiksi kapitalisme melalui gagasan akumulasi kapital-nya Rosa Luxemburg, memperhatikan dampak kerusakan kapital itu tidak terjadi pada kapitalisme pada dirinya sendiri atau orang-orang yang terlibat di dalamnya. Lebih dari itu, dampak destruktifnya terjadi antara alam dan lingkungan non-kapital. Ketimpangan sosial dan kerusakan lingkungan terjadi secara bersamaan di berbagai wilayah negara berkembang.


Model Keretakan Metabolis ala Saito

Terdapat tiga dimensi dari Keretakan Metabolis, yang Saito turunkan dari analisis Foster (2000) dan Burket (1999). Pertama, Keretakan Metabolis (Metabolic Rift) itu sendiri yang terjadi di dua ranah: pada alam (ekologi) dan kerja (sosial) yang tereksploitasi oleh adanya ‘pencurian’ nilai material untuk memaksimalkan profit kapital. Kedua, keretakan spasial (spatial rift), yaitu perluasan sampah akibat produksi kapital (waste—pollution) yang berdampak pada pergeseran ruang (tanah). Ketiga, keretakan temporal (temporal rift), yaitu mesin mempercepat proses produksi secara cepat, efektif dan masif.

Saito melihat tiga keretakan itu juga mendorong kontradiksi akumulasi kapital [pada dirinya sendiri] dengan menunjukkan adanya shifting atau pergeseran atau perluasan technological shift, spatial shift, dan temporal shift. Kontradiksinya muncul ketika terjadi over-produksi sedangkan keterbatasan atas modal produksi tidak dapat diatasi. Meskipun kapital dapat beradaptasi dengan krisis melalui pergeseran teknologi, ia tetap menghasilkan keretakan. Sebagai contoh, teknologi mungkin saja memfabrikasi atau membuat pupuk artifisial sehingga produksi tetap berjalan, tetapi tetap saja ada kerusakan dan habisnya unsur hara tanah yang esensial dalam agrikultur.

Pergeseran spasial lebih pada keretakan yang terjadi tidak hanya pada pusat produksi kapital tetapi juga di wilayah non-kapital, sedangkan ruang-ruang geografi belum tentu dapat menjamin adanya modal kapital itu sendiri. Contohnya: kolonialisme & imperialisme baru yang dampaknya muncul di negara-negara berkembang. Dampak lainnya, pergeseran temporal, antara ‘waktu kapital’ dan ‘waktu alam’, tidak pernah setara. Selalu terjadi keretakan sebab ‘elastisitas’ menjadi tantangan bagi kapital. Teknologi menjadi wahana pelarian untuk mengisi keterbatasan ‘waktu-tunggu’, tetapi tidak selamanya teknologi dapat menjamin percepatan atas ‘waktu-tunggu’ tersebut.

Saito lantas memperhatikan bahwa kapitalisme selalu menerapkan berbagai strategi untuk mempertahankan profit sebesar-besarnya. Kapitalisme dapat memperluas permasalahan dari sentral ke periferal, atau, mengambil inspirasi dari Rosa Luxemburg, membawa kapital selalu mencari ruang eksploitasi di luar dari tanah-jajahan. Kontrol dan pemusatan kekuasaan atas sumber daya alam di tengah-tengah krisis menjadi hal yang diperjualbelikan.

Jika Luxemburg sangat memperhatikan dimensi eksternalisasi kapitalisme, yang tidak hanya bercokol di dalam ruang produksi pabrik tetapi bekerja melintasi benua untuk membuka wilayah jajahan baru, maka Saito mengafirmasinya melalui tiga ‘pergeseran’ keretakan sebelumnya. Melalui tiga pergeseran keretakan tersebut, krisis akumulasi kapital dapat diciptakan, dipindahkan sesuka hati, dengan penuh kuasa. Inilah bentuk baru kapitalisme global yang tanpa sekat.

Namun, apakah kondisi ini dapat kita kata sebagai model baru ekologi-dunia yang monistik? Sekilas tampaknya iya. Tetapi apakah monistik dapat menyelamatkan kita dari krisis antroposen-kapitalosen? Saito memilih untuk mengadopsi ‘dualisme metodologis’.

Saito kembali menyelami pemikiran György Lukács (1971) untuk merumuskan bagaimana teori metabolis itu dimungkinkan bekerja pada dimensi ontologi monisme, dan apa saja dampaknya ketika kita mengafirmasi landasan ontologi yang serupa.

Pertama, kita perlu memahami bahwa baik keduanya, Yang-Alam dan Yang-Sosial, tidak pernah terpisahkan bahkan sejak masa sebelum adanya kapitalisme. Tetapi, pada level tertentu, Lukacs (dalam penekanan baru Saito) menyadari adanya bentuk-bentuk sosial yang tidak dapat terpisahkan dengan materialitas atas alam itu sendiri. Uang contoh dari komoditas, uang selalu bertopang pada ‘bearer’ emas, begitu pun bentuk komoditas sosial lainnya. Apa yang membuatnya sulit untuk dibedakan pada dimensi ‘hibriditas’ ialah ketika daya sosial mereifikasi ‘nilai-guna’ suatu hal berdasarkan pada ‘komoditas’, ‘uang’, dan ‘kapital’, yang digunakan untuk menggantikan ‘penyusun material’/material bearer dan menjadikannya logika valorisasi kapital dalam kaitannya ‘nilai-lebih’.

Ontologi monisme akan bekerja pada ruang yang menyatakan bahwa ‘alam termediasi oleh sosial’ sekaligus ‘sosial dimediasi oleh alam’, tetapi di ranah sosial, alam tidak selalu dapat memenuhi kebutuhan ‘bentuk’ sosial, sebab kelangkaan atas ‘bearer’ alam akan sangat mungkin terjadi.

Saito menawarkan dua pendekatan yang serupa dengan Lukacs: menandai aspek identitas dan non-identitas. Sebagaimana dikutip dari Lukacs (1984: 395), manusia adalah bagian dari alam dan tertanam di dalamnya semacam metabolisme alam yang universal (‘identitas’), tetapi pada saat yang sama dapat dibedakan sebab munculnya pembeda secara kualitatif dari masyarakat, yang tidak pernah ada dalam sifat ekstra-manusia (non-identitas). Kedua aspek ini ada secara simultan/bersama-sama dalam realitasnya sebagai ‘identitas’ atau ‘kesatuan-dalam-pemisahan’. Atau kita dapat memilih sebagai ‘kesatuan-dalam-oposisi’, alam dan masyarakat terpisah dalam totalitas. Pilihannya, secara rasional, mengadopsi prinsip identitas dan non-identitas tersebut. Karena pada kondisi ‘krisis’, logika monisme tidak dapat dipertahankan lagi.

Saya menambahkan, ketika krisis terjadi, ia hanya menghilangkan salah satu aspeknya bukan keseluruhannya, monisme (naif) ini akan berantakan, antara siapa yang akan hilang terlebih dahulu: alamnya atau kulturnya. Lihat saja teritori kepulauan yang hilang dilibas kenaikan ekstrem muka air laut. Lagi-lagi, Saito memandang pentingnya melakukan analisis metodologis dualisme untuk menganalisis bagaimana krisis antroposen dapat terjadi, sekaligus merumuskan masa depan pasca-kapitalisme.

Perlu diingat posisi manusia sebagai species-being (Marx) menjadikannya subjek penahu. Artinya, secara epistemologi, pembeda terjadi untuk membedakan kerja-kerja yang berasal dari diri (subjek) manusia dengan yang non-manusia (material, alat, teknologi, bahan dasar, hewan, tanaman, tanah, dsb). Pengetahuan tentang alam dan alam itu sendiri berbeda. Pengetahuan tentang alam itu lebih dekat pada wilayah produksi manusia untuk menghasilkan suatu hal (barang/jasa).

Akses kita terhadap alam mungkin dapat dipahami sebatas fenomena yang sedang terjadi, sedangkan wilayah produksi alam sebagai bentuk kerja, alam menjadi independen sekaligus dependen. Independen ketika alam menghasilkan bahan mentah (raw material) saat manusia dianggap belum meng-ada, misalnya fosil purba. Barulah saat fosil purba dapat dijadikan bahan bakar yang dibutuhkan banyak orang, di sinilah dependensi ekstraksi dan eksploitasi atas alam dimunculkan. Dalam kriteria Moore, cheap nature, salah satunya ialah energi/pangan.

Di sini, saya mulai yakin bahwa Saito mencoba menarik perdebatan monisme dan dualisme hanya pada pembeda model atau kategorisasi untuk menganalisis bagaimana Keretakan Metabolis bekerja di sistem kapitalisme (kontradiksi internal). Dualisme pada akhirnya tidak mungkin dihapuskan, terlebih lagi di level epistemik. Jika kita menggeser orientasi epistemik menjadi bagian dari hibridasi monisme (onto/epistemologi), maka konsekuensinya konstruktivisme kuat lebih mendominasi wacana atas keretakan ini. Isu tentang krisis antroposen hanya berhenti pada kemungkinan adanya intervensi epistemik dari kapitalisme itu sendiri. Bagaimana intervensi ini dapat bekerja?

Sudah sangat jelas kapitalisme mampu menggeser satu keretakan ke keretakan yang lainnya, dari metabolis, teknologis, spasial, dan temporal, yang mengubah daya produksi seseorang ke arah produksi kapital, alih-alih memenuhi kebutuhan dasarnya.

Sekali lagi, dualisme non-cartesian tidak berarti menghilangkan kedua relasi yang telah ada. Justru pembeda itu menjadi ada melalui relasi yang terjalin di antara keduanya atau lebih, contohnya pekerja dan pemilik modal, alam dan kapital. Kita akan lebih mampu memahaminya dengan cara pendekatan analitis-distingtif. Tujuannya bukan untuk menjernihkan bagaimana relasi-relasi tersebut bekerja. Contohnya ketika kerja abstrak (abstract labour) dari manusia sebagai dimensi kreatifnya (bentuk) telah diintervensi oleh kapitalisme menjadi kerja konkret (concrete labour) dalam bentuk material.


Dualitas Metodologis

Kita dapat membandingkan pembeda non-identitas ini dengan cara melihat bagaimana kerja manusia dengan kerja non-manusia. Baik manusia atau laba-laba, keduanya sama-sama mampu menjadi arsitek untuk membuat jejaring. Pembedanya ialah ketika manusia mampu mengonsepsikan sesuatu. Prosesnya disebut sebagai rasionalisasi. Pertanyaannya, bagaimana jika kerja-kreatif manusia justru telah diarahkan untuk tujuan pemenuhan hasrat kapital tertentu? Maka jawabannya ialah mengandalkan pendekatan dualitas metodologis tersebut.

Saito juga menganalisis keberhasilan mode kapital melalui gagasan subsumsi formal dan riil. Subsumsi formal adalah bentuk ekonomi yang mendeterminasi ‘proses valorisasi’ ke ‘proses kerja’. Hubungan antara form dan matter di sini hanya bersifat eksternal, jadi belum ada mode produksi yang unik dari kapitalisme. Subsumsi riil di sisi lain mentransformasi dan mereorganisasi proses kerja. Aspek material dari proses kerja terpenuhi pada mode produksi kapitalis. Relasi produksi kapitalis menghancurkan gilda dan keterampilan untuk digantikan dengan relasi sosial baru berbasis kapital dan upah tanpa mengganti komposisi teknologi produksi.

Subsumsi formal menjadi bentuk penaklukan pekerja atas pengawasan /perintah kapitalis. Waktu kerja terus meningkat yang disebabkan karena tujuan utama produksi adalah penciptaan nilai surplus bukan nilai guna untuk pemenuhan kebutuhan manusia. Namun subsumsi formal (abstrak) saja tidak cukup untuk menciptakan mode produksi kapitalistik. Subsumsi riil (konkret) memberikan para kapitalis inisiatif untuk menciptakan sistem yang paling efisien dalam memproduksi nilai dan unik terhadap mode kapitalis. Subsumsi riil memodifikasi seluruh proses kerja tidak hanya dengan sains dan teknologi tetapi juga dengan organisasi sosial dari kerja, di mana kapital mengatasi hubungan eksternal dalam subsumsi formal.

Perintah kapitalis kini tidak hanya menjadi syarat produksi namun menjadi kondisi riil dari produksi. Pekerja kehilangan kondisi subjektif dalam melakukan kerjanya: kekuatan konsepsi dan eksekusi dalam rantai kerja yang sama. Pekerja kehilangan pengetahuan, keterampilan dan wawasannya pada proses kerja yang diorganisir oleh kapital. Pekerja semakin mudah tergantikan.


Pembacaan Alternatif Saito

Secara singkat, Saito menawarkan alternatif pembacaan atas masalah akumulasi kapital yang terjadi. Kapitalisme tampaknya semakin lihai menghindari kelokan terjal yang terjadi di tiap-tiap krisis, mulai dari krisis ekonomi sampai krisis ekologis. Kapitalisme memiliki daya elastisitasnya sendiri. Krisis ekonomi merupakan bagian integral dari perkembangan kapitalisme untuk penghancuran nilai lama yang mempersiapkan kondisi untuk siklus industrial baru. Ia akan senantiasa menciptakan kelangkaan dari pada kesejahteraan.

Saito percaya bahwa produktivisme tidak selalu melahirkan kelimpahan (abundance) untuk kesejahteraan masyarakat. Akumulasi primitif seperti di Inggris yang mengakibatkan kerusakan unsur hara sampai perubahan gaya hidup tidak hanya sekadar mengkondisikan formasi ekonomi kapitalisme saat ini, tetapi lebih pada menyirkulasikan modal atau uang semata untuk peningkatan produktivitas.

Siapa yang dapat menikmati produktivitas? Tentu saja hanya segelintir orang yang termasuk dalam pemilik modal. Komoditas tidak selalu tentang kemakmuran. Jika kemakmuran lebih menekankan aspek material dari produk kerja, komoditas muncul sebagai bentuk determinasi ekonominya. Kekayaan sampai kapan pun tidak pernah terukur, sedangkan kemakmuran lebih pada kecukupan seseorang menggunakan nilai-guna suatu barang tertentu.

Kapitalisme tingkat lanjut membuat segala hal mengarah pada kelangkaan termasuk alam itu sendiri. Di tengah-tengah krisis (keplanetan) antroposen, kapitalisme selalu mencari cara agar alam sebagai bahan baku selalu tetap murah tetapi mahal ketika dikonsumsi.

Saito mengutip Lauderdale Paradoks, yaitu “kemakmuran suatu bangsa adalah jumlah total dari kekayaan privat, tetapi pertanyaannya, bagaimana dengan kemakmuran publik?” Dia lantas menjabarkan bahwa kapitalisme selalu menjual ‘kelangkaan’ yang dimodifikasi, secara sengaja dibuat oleh kapital itu sendiri. Dengan, demikian, mengalih alih fungsi lahan, membuat jam kerja berlebih, dan meningkatkan harga barang itu karena adanya krisis-kelangkaan yang artifisial. Di sisi lain, kekayaan privat akan lebih dapat terjamin ketika terjadinya kelangkaan. Bahkan terkadang, menurut Saito, kelangkaan itu disengaja (produk sengaja dibuang—sebagai waste) agar harga komoditas tetap tinggi.

Strategi yang dilancarkan oleh Saito untuk melawan segala paradoks tersebut adalah degrowth. Intinya, melawan kapitalisme dengan prinsip membangun (dalam artian mengejar sesuatu dalam kelangkaan) harus ditanggalkan. Setiap orang sudah selayaknya mendapatkan waktu luang dan kerja yang tidak lagi mengejar over-produktivitas. Nilai kerja diubah dengan memperbanyak aktivitas non-komersial dengan cara tidak lagi bergantung pada konsentrasi kekayaan atau GDP. Bentuk kerja kooperatif ke arah komunal, tidak lagi harus terjebak pada kondisi pra-kapital, tetapi cukup untuk melampauinya. Saito menyebutnya sebagai common labour.

Degrowth komunisme intinya dapat ditemukan ketika kelimpahan (abundance) radikal atas kesejahteraan komunal tercapai.

Saito dengan tegas memberikan alasan kenapa common labour adalah jalan untuk memperbaiki Keretakan Metabolis. Pertama, karena bergesernya pengejaran profit menjadi orientasi pada nilai-guna suatu barang. Perlawanan atas fast fashion dan tech-industrial dapat dimulai dengan cara merelokasikan uang atau sumber daya yang tersedia untuk kepentingan banyak orang, setidaknya pemenuhan atas pendidikan, kesehatan dan transportasi publik.

Kedua, ketegasan melawan bullshit job, kerja-kerja tak bermakna (meaningless) yang justru mengasingkan para pekerja itu sendiri. Caranya dengan pengurangan waktu kerja sebagai bentuk dari kebebasan baru. Strategi ini penting mengatasi kelelahan berlebih atas kerja secara mental dan fisik. Ketiga, ranah kebutuhan bagi pekerja meningkat secara otonom dengan membuat pekerjaan tidak lagi membosankan tetapi justru menarik. Life’s prime time! Keempat, kompetisi pasar ditinggalkan. Kelima, mulai dipertimbangkannya visi transisi dari produktivitas sosialisme menjadi degrowth komunisme pada satu kondisi post-scarcity economy.

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.


Diskusi dan Simpulan

Saya rasa pendekatan Saito termasuk salah satu cara terbaik untuk melawan krisis iklim antroposen yang diciptakan oleh kapitalisme. Namun, perlu ada penjernihan sekaligus catatan atas pembacaan sekilas dari posisi Saito atas teori metabolisme Marx.

Pertama, Saito tidak menjelaskan secara sistematis dan terstruktur posisi filosofisnya di hadapan debat-wacana dominan antara Foster dan Moore. Meskipun demikian, secara implisit dua lebih menitikberatkan pada posisi eko-marxisme yang percaya bahwa pendekatan dualisme lebih mampu menjelaskan inti krisis. Akan tetapi, terlihat ketidaksesuaian ketika Saito mencoba untuk melibatkan dimensi monisme secara ontologis, bahwa saat ini sistem ‘ekologi’ yang bekerja didominasi oleh kapitalisme, padahal dia ingin membawa percakapan krisis kapitalisme ke ranah dunia ketiga atau wilayah periferal. Pertanyaannya ialah, apakah semua masyarakat akan mengalami proses gerak sejarah yang linier? Dari masyarakat pra-kapital (archaic commune), kapitalisme, dan menjadi pasca-kapitalisme (secondary commune)? Tentu saja tidak. Kita semua dapat memastikan bahwa tidak semua wilayah di dunia menganut sistem kapitalisme. Tetapi, ketika berbicara dampak, semuanya dapat mengalami.

Kemudian, analisis degrowth Saito terkesan ‘malu-malu kucing’; setengah hati. Dia masih secara implisit menunjukkan bahwa di masa lalu kita pernah terjebak pada romantisme masa-masa sebelum kapitalisme menjadi penguasa ekonomi politik. Ini yang disebut sebagai ‘kesatuan yang asli’. Di sisi lain, Saito menolak tafsir balas dendam alam (revenge of nature) karena terjadinya Keretakan Metabolis sebagaimana yang disuarakan oleh Engels. Bagaimana jika kita balik: bahwa posisi  manusia dan alam tidak pernah benar-benar seimbang. Kesimbangan itu  hal semu dan ilusif, semacam keseimbangan ‘harga pasar’, keseimbangan permintaan-penawaran smithian.

Saya sangat tergelitik ketika Saito mencoba untuk menarik tarian akselerasionisme tentang masa depan dunia pasca-kapitalisme. Degrowth sendiri tidak menawarkan banyak strategi taktis untuk melumpuhkan kapitalisme secara total. Kontradiksi internal plus dengan bantuan krisis akan melumpuhkannya. Jadi ada semacam pengharapan implisit atas intervensi eksternalitas, katakanlah alam-yang-tak lagi mesra dengan sistem kerja kapitalis. Berbicara tentang masa depan, akselerasionisme berpijak pada seruan Marx (dalam Bastani, 2019) tentang ‘fully automated luxury communism’.

Apa yang menjadikannya menarik ialah bahwa keduanya membicarakan masa depan. Kita sebagai subjek-pekerja telah sadar betul: untuk sekadar memikirkan kini dan esok pagi saja sulit, apalagi masa depan. Kapitalisme mencuri ‘subjektivitas’ pekerja. Kapitalisme, tentu saja, melumpuhkan daya imaji masa depan. Saito, sayangnya, belum menawarkan alternatif solusi politis-strategis lebih jauh. Ia menyadari adanya utopia akan konsepnya, tetapi sekali lagi menjawab di akhir buku: “Mungkin saja proyeknya terkesan ilusif, namun biarlah sejarah yang akan membuktikannya (p. 250).”

Pengujian lainnya dapat menyertakan analisis pada ranah non-Barat. Saya rasa ini menjadi peluang lanjutan, apakah kemudian proyek degrowth akan berhasil diterapkan kepada negara-negara yang ‘kemarin sore’ memerdekakan dirinya dari kekuasaan kolonial. Mereka menyebutnya negara non-Barat/berkembang/pasca-kolonial. Semangat mereka tentu saja untuk senantiasa membangun, bukan sebaliknya. Haruskah kita menjadi masyarakat adat lagi untuk mereaktualisasikan degrowth, atau becoming indigenous?

Saya sanksi jika degrowth-nya Saito ini hanya akan menjadi semacam gaya hidup gerakan yang instan. Seolah-olah memukul mundur kapitalisme tetapi justru memberikan ruang ‘istirahat’ sejenak agar kapitalisme memulihkan ketegangan elastisitasnya akan krisis ekologis yang sedang melanda. Dan, seperti biasa, ia akan hidup dengan wajah baru untuk selalu berjaya selamanya.


Bacaan Lanjutan

Burkett, Paul. 1999. Marx and Nature: A Red and Green Perspective. New York: Palgrave.

Foster, John Bellamy. 2000. Marx’s Ecology: Materialism and Nature. New York: Monthly Review Press.

Bastani, Aaron. 2019. Fully automated luxury communism. London: Verso Books.

Görg, Christoph. 2011. ‘Societal Relationships with Nature: A Dialectical Approach to Environmental Politics’. In Critical Ecologies: The Frankfurt School and Contemporary Environmental Crises, edited by Andrew Biro, 43–72. Toronto: University of Toronto Press.

Lukács, Georg. 1971. History and Class Consciousness. London: Merlin Press.

Lukács, Georg. 1984. Prolegomena: Zur Ontologie des gesellschaftlichen Seins. Vol. 1. Darmstadt: Luchterhand Verlag.

Lukács, Georg. 2002. A Defence of History and Class Consciousness: Tailism and Dialectic. London: Verso.

Luxemburg, Rosa. [1913] 2015. The Accumulation of Capital. In The Complete Works of Rosa Luxemburg Volume II: Economic Writings 2. London: Verso.

Marx, Karl. 1973. Grundrisse. London: Penguin.

Marx, Karl. 1976. Capital. Vol. 1. London: Penguin Books.

Marx, Karl. 1978. Capital. Vol. 2. London: Penguin Books.

Marx, Karl. 1981. Capital. Vol. 3. London: Penguin Books.

Moore, Jason W. 2019. ‘Capitalocene and Planetary Justice’. Maize 6 (July): 49–54.

Moore, Jason W., ed. 2016. Anthropocene or Capitalocene? Nature, History and the Crisis of Capitalism. Oakland: PM Press.

Saito, Kohei. 2023. Marx in the Anthropocene: Towards the Idea of Degrowth Communism. Cambridge University Press.


Catatan tambahan: Esai ini merupakan ulasan buku yang saya baca pada acara Bedah Buku IPTV, 28 Oktober 2023 dan juga simpulan singkat diskusi klub buku baca Random bersama Sosiawan Permadi (Ze-No: Centre for Logic and Metaphysics) pada akhir September 2023. Tulisan ini dibangun dengan penekanan bahwa Saito tidak menjelaskan apa itu antroposen secara komprehensif. Antroposen menjadi latar belakang pemikiran Saito untuk merumuskan degrowth communism sebab jika membayangkan kerja antroposen sebagai sistem geologi yang mandiri. Artinya, penjelasan tentang Keretakan Metabolis kapitalis tidak akan dapat dipahami sepenuhnya. Penjelasan ini membutuhkan setidaknya pendekatan tradisi marxisme.


Rangga Kala Mahaswa adalah dosen Fakultas Filsafat, Universitas Gadjah Mada.

]]>