Lingkungan – IndoPROGRESS https://indoprogress.com Media Pemikiran Progresif Mon, 23 Jun 2025 21:28:13 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.4.3 https://indoprogress.com/wp-content/uploads/2021/08/cropped-logo-ip-favicon-32x32.png Lingkungan – IndoPROGRESS https://indoprogress.com 32 32 Melawan Tambang Bukan Ekstremisme apalagi Wahabi, tapi Memulihkan Oikeios https://indoprogress.com/2025/06/melawan-tambang-bukan-ekstremisme-apalagi-wahabi-tapi-memulihkan-oikeios/ Mon, 23 Jun 2025 21:28:13 +0000 https://indoprogress.com/?p=239032

Ilustrasi: Wikimedia Commons


“Capitalism in the Web of Life takes flight by naming this relation of life-making: the oikeios. From this relation — as much methodological orientation as ontological claim — we can see manifold species - environment configurations emerge, evolve, and ultimately become something else entirely. . . . [T]he oikeios is a relation that includes humans, and one through which human organization evolves, adapts, and transforms. Human organization is at once product and producer of the oikeios: it is the shifting transfiguration of this relation that merits our attention. In this spirit I understand “capital” “capitalism” as producers and products of the oikeios.” 

 Jason W. Moore, Capitalism in the Web of Life, hlm 8

Tuduhan Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Ulil Abshar Abdalla bahwa kritik terhadap industri ekstraktif sama dengan “ekstremisme” bukan hanya keliru secara politis, tetapi juga mengabaikan relasi dialektis antara manusia dan alam—yang terurai dalam konsep oikeios dari Jason W. Moore, profesor di Universitas Binghamton yang juga koordinator World-Ecology Research Collective. Ulil juga menyatakan bahwa pandangan penolak tambang   sederajat dengan “wahabi” , dalam arti menolak segala yang baru. Dalam “kritiknya”, Ulil menekankan ada kemaslahatan yang didatangkan pertambangan.

Dalam kerangka oikeios, industri ekstraktif tidak dilihat sebagai kebijakan ekonomi, melainkan konfigurasi historis-spasial yang menghancurkan jaringan kehidupan (web of life). Selain membahas industri ekstraktif sebagai gangguan terhadap oikeios, artikel ini juga akan membicarakan tentang kritik ekologis sebagai upaya memulihkan relasi kehidupan, serta kelas penguasa sebagai parasit dalam metabolisme alam-manusia.


Industri Ekstraktif: Penghancuran Oikeios

Moore mendefinisikan oikeios sebagai relasi organik tempat manusia dan alam saling membentuk. Kerangka oikeios mencoba menggugat pemahaman relasi antara “yang-sosial” dan “yang-natural” selama ini. Ia menolak dualisme antara alam dan masyarakat. Moore, pada lembar-lembar Capitalism in the Web of Life, menggugat perspektif yang melihat kehadiran manusia—dan organisasi sosialnya (masyarakat)—sebagai suatu yang bukan “bagian dari alam”, entah sebab dipandang telah jauh melampauinya dengan perkembangan peradaban atau menganggap memang terlepas sejak semula. 

Dalam pendekatan ini, kehidupan sosial, perkembangan, dan evolusi masyarakat secara historis adalah satu dalam mata-rantai metabolisme lingkungan.  Tidak hanya masyarakat manusia “ditentukan” atau “bergantung” pada kondisi material sekitarnya, dalam perkembangannya, mereka juga turut serta mengubah/mentransformasi kehadiran total lingkungan. 

Industri ekstraktif (tambang, sawit, batu bara) memutus relasi ini dengan: pertama, mengubah alam menjadi “commodity frontier”: hutan, tanah, dan air direduksi menjadi input murah untuk akumulasi kapital alih-alih tempat komunitas hidup dan berkembang; kedua, memisahkan kerja-upahan dari ekologi: buruh tambang dan petani sawit dikondisikan untuk melihat alam sebagai “sumber daya”, bukan bagian dari reproduksi kehidupan sehari-hari. Kita melihat bagaimana industri ekstraktif merusak sekaligus mengatur ulang oikeios untuk kepentingan mereka. Oleh para ahli lingkungan kritis, ini kerap disebut dengan keretakan metabolik (metabolic rift)

Maka, ketika Ulil menyebut kritik terhadap situasi perusakan alam sebagai “ekstremisme”, ia tengah mengabaikan fakta bahwa industri ekstraktif adalah bentuk ekstrem dari perusakan oikeios.


Kritik Ekologis: Praksis Memulihkan Oikeios 

Perlawanan masyarakat adat, petani, dan buruh terhadap industri ekstraktif bukanlah “ekstremisme”, melainkan upaya memulihkan relasi oikeios yang dihancurkan kapitalisme. Kita bisa melihat beberapa contoh. Gerakan Warga Maba Sangadji di Maluku Utara yang melawan pertambangan di sungai tempat mereka menggantungkan hidup, misalnya. Ini bukan hanya soal tanah, tetapi mempertahankan mata rantai ekologi yang menghidupi masyarakat adat (serta hutannya) dan pertanian mereka. Kemudian ada aksi buruh tambang di Morowali yang menuntut keselamatan kerja  akibat beberapa insiden kecelakaan setahun ke belakang . Ini  adalah perlawanan terhadap logika ekstraksi yang mengorbankan tubuh manusia dan lingkungan. Kita bisa mengambil contoh perlawanan yang lebih lama dan panjang, misalnya masyarakat di sekitar pertambangan emas Freeport. 

Penolakan dan perlawanan langsung yang dilakukan oleh rakyat menunjukkan bahwa pertambangan bukan sekadar soal “keindahan yang hilang” atau “keaslian yang ternodai”. Ia adalah melawan arena penciptaan nilai tambah demi kelangsungan sirkuit akumulasi kapital. Rakyat menolak sebab basis kehidupan mereka terganggu .

Orang-orang seperti Ulil mudah saja mengatakan bahwa mereka yang menolak tambang berpandangan kuno—atau menolak kehadiran “sesuatu yang tidak dipahami” . Ada pula yang menganggap penolakan itu muncul dari ketidaktahuan terhadap sesuatu yang dianggap “lebih maju” atau “jauh melampaui pengetahuan mereka”. Akan tetapi, anggapan tersebut mengabaikan kenyataan bahwa masyarakat lokal punya pengetahuan ekologis dan relasi historis dengan lingkungan hidup mereka sendiri. Sebagai bagian dari oikeios, tatanan sosiokultural mereka telah lama terjalin dengan lingkungan sekitar, jauh sebelum dirombak aktivitas tambang  —juga  kemunculan permukiman urban (hingga menjadi kota-kota besar) . 

Perubahan memang suatu keniscayaan, tetapi peretakan oikeios yang disruptif dan tiba-tiba yang mengakibatkan ketidaksiapan dan ketidakmampuan transformasi sosial hanya mengakibatkan masyarakat adat terpinggirkan tanpa kepastian arah kehidupan sosial-ekologis mereka ke depannya — memunculkan pandangan di antara mereka untuk mencerabut diri dan mencari jalan keluar masing-masing.

Dalam bahasa Moore, gerakan-gerakan ini adalah “moments of reparation”—upaya mengembalikan keseimbangan metabolisme alam-manusia yang dirusak kapital.


Kelas Penguasa: Parasit dalam Jaringan Kehidupan 

Dalam kerangka oikeios, Ulil termasuk dalam kelompok yang oleh Moore sebut sebagai penganut “human exemptionalism”, yaitu menganggap manusia (terutama mereka sendiri) terpisah dari alam. 

Tapi itu hanya secuil dari posisi Ulil. Dukungan terhadap industri ekstraktif tidak bisa dilepaskan dari fakta bahwa pemerintah mempersiapkan berbagai konsesi wilayah pertambangan secara struktural (legal) bagi ormas-ormas keagamaan. Ini belum termasuk aktor-aktor yang memberikan dana secara langsung ke pesantren. Dalam konteks oikeios, kelas penguasa berperan penting dalam mengorganisasi ulang alam demi tujuan kapitalisme. Mereka adalah salah satu arsitek dari rusaknya oikeios. Di sini, kritik terhadap industri ekstraktif mengemuka sebagai jubah bagi kritik terhadap parasitisme kelas penguasa yang menggerogoti oikeios untuk kepentingan sempit.

Dalam konteks yang lebih luas, para pemuka agama yang mendukung eksploitasi juga membuktikan bahwa fungsi agama itu sendiri salah satunya memang sebagai pengontrol kesadaran massa. Dalam perkembangan industri ekstraktif di Indonesia, represi melalui aparatur kekerasan adalah hal yang terus berulang. Namun represi ini sering kali tidak memicu simpati yang luas. Salah satu penyebabnya adalah keberhasilan kekuasaan dalam mengonsolidasikan kekuatan-kekuatan sosial—termasuk pemuka agama itu tadi—yang mampu membentuk opini umum. Opini ini kemudian cenderung membiarkan dan bahkan membenarkan model ekstraktif yang berlangsung, seolah itu hal wajar demi “pembangunan”. 

Pengonsolidasian “tokoh-tokoh masyarakat” untuk mendukung rezim industri ekstraktif telah menjadi semacam keharusan dalam sejarah bangsa ini. Mereka, yang dalam diskursus ilmu sosial disebut “elite lokal”, merupakan elemen penting dalam menopang kekuasaan. 

Hal ini tak terlepas dari kenyataan bahwa kita belum sepenuhnya bebas dari warisan kolonial yang feodal, yang memandang hormat mereka yang dianggap punya status sosial lebih tinggi dari orang kebanyakan. Banyak elite memegang pengaruh sosial-politik yang kuat dengan basis berupa “bawahan-bawahan” atau massa yang tunduk. Ini umum terjadi di masyarakat yang tingkat kritisnya masih rendah— efek dari sistem pendidikan yang gagal meningkatkan kesadaran umum.

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.


Kritik adalah Titik Balik Oikeios

Tuduhan “ekstremisme” yang dilontarkan oleh Ulil terhadap gerakan anti-tambang bukan hanya keliru secara konseptual, tetapi juga merupakan bentuk kekerasan epistemik yang berupaya meminggirkan nalar dan pengalaman ekologis-politik rakyat. Ia mencerminkan posisi kelas penguasa yang menjelma sebagai perpanjangan tangan dari logika ekstraktif kapitalisme.

Dengan bingkai oikeios, kita memahami bahwa kehidupan manusia tidak bisa dipisahkan dari jaringan kehidupan alam. Kapitalisme menghancurkan jaringan ini dengan cara memisahkan kerja dari ekologi, dan menjadikan alam sebagai ladang akumulasi nilai yang tak berkesudahan. Industri ekstraktif adalah ekspresi paling brutal dari keretakan ini.

Perlawanan-perlawanan muncul di tengah kehancuran yang sedang terjadi, dari warga Maba Sangadji hingga buruh Morowali, dari masyarakat adat pedalaman Halmahera hingga berbagai komunitas yang berjuang mempertahankan tanah, laut, dan hutan mereka. Gerakan-gerakan ini bukan sekadar bentuk “penolakan”, tetapi praktik politik kehidupan. Mereka adalah ekspresi praksis ekologis yang bertujuan memulihkan metabolisme sosial-alamiah yang telah diretas oleh kapitalisme. Mereka adalah “moments of reparation” yang lahir dari tubuh dan pengalaman konkret.

Perlu diingat pula bahwa kerusakan ekologis di Indonesia berkelindan dengan struktur sosial-politik warisan kolonial dan Orde Baru. Ia melanggengkan dominasi elite lokal dan pemuka agama dalam menjaga keberlanjutan proyek ekstraktif. Selama formasi ini tak diganggu, rakyat akan terus menjadi korban; dan relasi oikeios akan terus dihancurkan demi kepentingan segelintir.

Oleh karena itu, tugas kita bukan hanya menyuarakan kritik, tetapi membangun basis politik alternatif—politik yang berpijak pada kehidupan, bukan keuntungan. Politik yang mengakui dan melanjutkan nalar ekologis rakyat, bukan mengutuknya sebagai “ekstrem”. Dalam arti inilah kritik ekologis bukan sekadar argumen, tapi jalan untuk menyelamatkan web of life yang tersisa.

Kapitalisme tidak sekadar “mengalami” krisis ekologis—ia adalah krisis itu sendiri, kata Moore. Maka, merawat dan memulihkan oikeios bukan hanya tindakan ekologis, tapi juga revolusioner. Sebab di sanalah hidup bisa dimulai kembali—bersama rakyat, bersama alam, dan bersama dunia yang layak huni.


Miftahulrahman Bahas, mahasiswa Universitas Nasional Jakarta

]]>
Kapitalisme Tidak Hanya Mengalienasi Manusia, tapi Juga Alam https://indoprogress.com/2025/03/kapitalisme-tidak-hanya-mengalienasi-manusia-tapi-juga-alam/ Tue, 11 Mar 2025 14:22:51 +0000 https://indoprogress.com/?p=238841

Ilustrasi: Jonpey


“ALL creatures have been turned into property, the fishes in the water, the birds in the air, the plants on the earth; the creatures, too, must become free.” 

Dalam On the Jewish Question (1844), Marx mengutip pernyataan di atas dari seorang pemimpin petani revolusioner dan sekaligus teolog Jerman, Thomas Müntzer. Dari cuplikan ini, meski soal hak asasi dan kesejahteraan hewan serta isu kebebasan makhluk hidup lain tidak begitu signifikan dalam karya-karyanya, Marx tampak jelas menghargai alam, tumbuhan, dan hewan di sekitarnya (Wilde, 2000). Kutipan tersebut juga menjadi titik awal untuk mengembangkan lebih jauh konsep alienasi, yaitu bahwa kondisi tersebut sebenarnya tidak hanya dialami oleh manusia. 

Sebelumnya, dalam artikel tentang kapitalisme hijau (Mahadika, 2023), saya menjelaskan bahwa gagasan pembangunan berkelanjutan itu akal-akalan kapitalisme agar dapat terus melanjutkan akumulasi. Contoh dari praktik ini adalah perdagangan karbon. Perdagangan karbon ini yang kemudian mendorong untuk berpikir lebih dalam dan menyadari bahwa kapitalisme juga menciptakan alienasi terhadap yang bukan manusia.


Non-Manusia Terasing

Beberapa tahun terakhir, perdagangan karbon (carbon pricing, carbon emission trading) menjadi perbincangan yang kian umum di masyarakat dan pemerintah. Pemerintah bahkan telah menanggapi model “ekonomi berkelanjutan” ini dengan regulasi, misalnya lewat Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 98 Tahun 2021 mengenai Penyelenggaraan Nilai Ekonomi Karbon (NEK) untuk mencapai Target Kontribusi Nasional (Nationally Determined Contribution/NDC). Tren seperti ini membuat saya tertarik untuk meninjau lebih dalam implikasi dari model ekonomi hijau dan proses alienasi yang dialami bukan manusia.

Meskipun di Indonesia masih berjalan secara sukarela, sudah ada beberapa pengembang proyek atau perusahaan yang teregistrasi resmi dan aktif berpartisipasi dalam perdagangan karbon (KataData Insight Center, 2022, pp. 44–45). Penyerapan karbon atau carbon sequestration menjadi jasa yang mereka tawarkan, termasuk konservasi air dan tanah, dengan harapan pasar dapat berjalan lebih efisien dan dampak kerusakan lingkungannya berkurang. Negara yang mampu memberikan “jasa lingkungan” biasanya adalah negara-negara berkembang dan terletak di wilayah tropis, seperti Indonesia dan Vietnam. Sementara bayaran yang mereka dapatkan dikenal dengan nama payments for environmental services/PES. Pada akhirnya ini adalah pasar karbon skala internasional. Kalkulasi karbon yang terserap oleh tumbuhan kemudian akan diekstrak menjadi akumulasi keuntungan bagi para pengusaha kapitalisme hijau.

Para pembeli karbon global juga menyediakan dana untuk penduduk asli (indigenous communities) khususnya yang ada di negara Dunia Ketiga untuk menjaga dan memelihara hutan. Program ini sering dikenal sebagai Reduced Emissions from Deforestation and Degradation atau REDD+. Vietnam dan Indonesia antusias dengan program ini meski belum teruji benar.

REDD+ menggunakan teknologi canggih untuk mengalkulasi jumlah karbon yang ada di hutan dan berapa banyak pula yang bisa diserap. Aktivitas ini menghasilkan praktik pemetaan baru yang fokus pada karbon itu sendiri. Kapitalisme melirik hutan dengan tujuan spesifik, yaitu mencari tahu tanaman-tanaman mana yang dapat menyerap karbon sebanyak-banyaknya. Adanya pengukuran daya serap karbon pada tumbuhan, pengkategorian pohon-pohon berdasarkan kemampuan mereka dalam menyimpan karbon, kemudian mendorong transformasi hutan itu sendiri. Pohon-pohon yang dinilai lebih tinggi pasokan karbonnya menjadi prioritas dan perlu ditanam lebih banyak dibandingkan pohon lain. Contohnya adalah pohon karet. Pohon ini dianggap punya daya serap karbon cukup baik. Namun tentu jika pohon karet saja yang ditanam, deforestasilah yang bakal terjadi, apalagi pohon karet memang telah lama menjadi perkebunan monokultur skala besar. Di Indonesia, perkebunan karet telah ada sejak era kolonialisme (Dove, 2011). Ironi ini seperti kata McElwee (2016): “What counts as a carbon-worthy tree may in fact further drive local deforestation.” 

Tumbuhan yang mampu menyerap karbon dapat dianggap sebagai buruh metabolik atau metabolic labor (Beldo, 2017: 119), yakni penyedia jasa karbon dalam upaya menyeimbangkan metabolisme perubahan iklim. Dalam marxisme, alienasi secara sederhana adalah kondisi ketika pekerja terasing oleh produk atau jasa yang mereka produksi atau kerjakan sendiri. Para pekerja teralienasi selama mereka mengerahkan kerjanya kepada para kapitalis (Marx, 2007, p. 71). Tumbuhan secara langsung teralienasi sekaligus tereksploitasi dari aktivitas penyerapan karbon yang mereka hasilkan sendiri demi keuntungan kapitalisme.

Hewan setali tiga uang. Mereka pun teralienasi. Beldo (2017) memaparkan proses alienasi yang terjadi di dalam peternakan ayam pedaging atau broiler. Ia menawarkan ide mengenai buruh metabolik atau metabolic labor sama halnya dengan pohon sebagai penyerap karbon—bertindak sebagai penyeimbang dalam proses metabolisme ekologis yang terjadi di alam. Ia mulai-mula mencontohkan buruh metabolik seperti halnya ayam kampung. Dengan memberi makan teratur dan menyediakan tempat untuk mengeram, diasumsikan ayam akan memproduksi telur berkualitas dan bisa mengakomodasi permintaan yang tinggi. Namun induk-induk ayam di peternakan skala-besar sering kali sekadar hidup di dalam ruangan atau kotak, membuat pergerakan mereka sangat terbatas. Aktivitas sepanjang hari hanya tidur dan makan. Dari kasus ini, katanya, tidak hanya terjadi alienasi tapi juga eksploitasi terhadap proses vital, bertelur dan  juga reproduksi dalam organ hewan ternak itu sendiri (2017: 125). 

Beragam contoh alienasi dan eksploitasi terhadap hewan juga dipaparkan oleh cendekia lain. Kosek (2010) menunjukkan bahwa lebah tidak hanya memproduksi madu yang dapat dirampok oleh kapitalisme, namun juga hampir seluruh perkebunan dan pertanian masih mengandalkan mereka sebagai agen penyerbukan. Barua (2017) memberikan contoh lewat kasus pengembangan ekowisata di India yang melibatkan singa Asia. Para sosiolog (Stuart, et al, 2012,) menggunakan kasus sapi di peternakan skala besar. Mereka menjelaskan bagaimana karena bisnis peternakan, “sapi-sapi (perah) itu benar-benar telah tercerabut dari apa artinya menjadi seekor sapi.” Hewan-hewan ini hidup sekadar sebagai alat kapitalisme untuk mengakumulasi keuntungan, bukan lagi makhluk bebas.


Refleksi Alienasi

Alienasi yang dialami oleh makhluk hidup bukan manusia terjadi sangat mendalam, kata Fair dan McMullen (2023). Selama ini alienasi dipaparkan dengan membahas produk, jasa, dan/atau relasi sosial yang dihasilkan oleh para pekerja. Fair dan McMullen menambahkan ide bahwa alienasi bisa terjadi hingga pada makhluk hidup itu sendiri. Makhluk hidup atau species-being dalam pandangan sebelumnya sering masih dimaknai lewat cara antroposentris, yang menunjukkan bahwa manusialah yang teralienasi oleh raganya sendiri. Namun, kenyataannya, apa yang dimaksud sebagai species-being itu bukan hanya manusia. Hal ini terlihat dari kapitalisme yang dapat mengakumulasi daging-daging dari hasil bisnis peternakan seperti yang digambarkan Beldo. Maka dari itu, hewan dan tumbuhan dapat teralienasi dari tubuhnya sendiri karena akumulasi tumbuhan pangan dan daging yang dijual oleh kapitalisme. Dengan demikian, apa yang dirasakan oleh hewan dan tumbuhan tidak sekadar alienasi berwujud produk, jasa, dan relasi sosial, melainkan hingga pada titik keterasingan terhadap hidupnya atau tubuh (ragawi) mereka. 

Alienasi mendalam dari spesies lain membawa pada pandangan skeptis bahwa terdapat pemisahan antara manusia dan yang bukan manusia. Foster dan Clark (2018) menjelaskan bahwa sebenarnya yang membuat manusia susah membangun empati terhadap hewan adalah karena alienasi yang dialami manusia juga. Mereka tidak mampu memahami penderitaan yang dirasakan oleh hewan (animal suffering) saat mereka sendiri dieksploitasi. Oleh karena itu, Foster dan Clark menolak pemahaman bahwa hewan itu seperti mesin atau natural automata dalam pemahaman aliran cartesian. Mereka berdua mengungkapkan bahwa, sama halnya dengan manusia, hewan memiliki emosi termasuk merasakan penderitaan. Oleh karena itu, Foster dan Clark menyarankan perlu adanya identifikasi praktik alienasi beragam spesies yang bukan manusia. Hal itu dapat dilakukan dengan membangun kembali dialektika manusia dengan yang bukan manusia agar dapat memahami kembali bahwa alam sebenarnya tidak terpisah atau terasing dari manusia. Kapitalismelah yang menciptakan keterasingan.


Gilang Mahadika adalah peneliti sosial dengan latar belakang antropologi. Kini ia menjadi rekan meneliti (research fellow) di Departemen Sejarah Universitas Gadjah Mada (UGM) dengan isu ontologi lingkungan di Yogyakarta.

]]>
Gerakan Buruh dan Lingkungan, Bersatulah! https://indoprogress.com/2025/01/gerakan-buruh-dan-lingkungan-bersatulah/ Sun, 26 Jan 2025 20:53:46 +0000 https://indoprogress.com/?p=238722

Ilustrasi: Illustruth


KONDISI lingkungan tak dapat dilepaskan dari dinamika modus produksi yang dominan di masyarakat. Saat ini modus produksi tersebut tidak lain adalah kapitalisme. Karena satu-satunya tujuan adalah mengakumulasi modal, kapitalisme telah menyebabkan dua krisis: kehancuran ekologis dan eksploitasi terhadap kelas pekerja. Di level global, krisis ini terjadi secara tidak seimbang. Populasi di negara dunia ketiga di satu sisi merasakan kondisi kerja buruk dan lingkungan rusak; tapi di sisi lain populasi di negara-negara kaya lebih baik persis karena eksploitasi terhadap negara-negara dunia ketiga (Moore, 2016). Di level nasional dan lokal, populasi yang terpinggirkan secara ekonomi-politik hanya mampu mengakses pekerjaan informal penuh kerentanan sembari tinggal di daerah yang mudah terdampak kehancuran ekologis (Bryant, 1998).

Koeksistensi dua krisis ini terlihat dari temuan International Labour Organization (ILO) pada 2019 lalu. Mereka memproyeksikan bahwa kenaikan suhu 1,5°C dapat mengurangi 2,2% jam kerja dunia pada 2030—setara dengan hilangnya 80 juta pekerjaan penuh waktu. Tahun lalu Organization of Economic Cooperation and Development (OECD) juga memprediksi suhu harian di atas 40°C akan meningkatkan risiko kecelakaan kerja hingga 10%. Krisis iklim dan degradasi lingkungan juga mengubah komposisi pasar tenaga kerja. Sekitar 20% pekerja di negara OECD telah beralih ke green jobs, yang cenderung masuk ke dalam kategori pekerjaan dengan kemampuan dan upah tinggi. Selain itu mereka juga lebih kecil kemungkinannya untuk berserikat. 

Krisis lingkungan dan ekonomi yang menekan kelas pekerja telah lama menjadi perhatian Rudolf Bahro, seorang marxis sekaligus aktivis lingkungan yang terlibat dalam pembentukan Green Party di Jerman Barat sekaligus Democratic Socialist Party di Jerman Timur. Dalam From Red to Green (1984) dan The Alternative in Eastern Europe (1977), Bahro mengkritik kapitalisme Barat dan industrialisasi Soviet yang sama-sama mengeksploitasi pekerja dan merusak lingkungan. Dia kemudian menawarkan ide alternatif non-capitalist industrialization, model industrialisasi yang fokus pada pemenuhan kebutuhan dasar manusia (Canfield, 1980). Bahro juga mempromosikan eco-communal ecosocialism, peningkatan kekuatan produktif melalui skema industrialisasi skala kecil yang ramah lingkungan (Mosley, 1978). 

Meskipun kontroversial di kalangan marxis dan pemikir ekologi, gagasan Bahro menjadi pelopor integrasi antara gerakan pekerja dan lingkungan. Teori yang lebih matang tentang integrasi antara dua gerakan tersebut lalu dilanjutkan pemikir ekososialis lain, misalnya Saral Sarkar (1999) dan David Pepper (1993)

Ekososialisme kemudian menjadi landasan integrasi gerakan pekerja dan lingkungan di berbagai negara. New York State Nurses Association, misalnya, turut mendorong legislasi iklim di Amerika Serikat pada 7 April 2021. Ada juga Los Angeles Alliance for a New Economy yang fokus mengadvokasi kondisi kerja yang baik dan ramah lingkungan. International Trade Union Confederation (ITUC) juga mengerahkan 200 ribu pekerja mendukung gerakan Strike4Climate yang dipimpin Greta Thunberg. Serikat penyadap karet di Amazon, The National Confederation of Agricultural Workers, menjadi contoh lain integrasi gerakan lingkungan dan pekerja dalam melawan korporasi (Mendes, 1989). 

Di Indonesia, negara dengan angkatan kerja terbesar ke-4 dan penyumbang emisi terbanyak ke-6, persinggungan antara gerakan lingkungan dan pekerja juga terjadi. Contohnya adalah protes pekerja di PT IMIP pada Hari Buruh 2024 atas kondisi kerja tidak manusiawi yang bersinggungan dengan kasus pencemaran lingkungan. Ada pula protes warga dan buruh di hutan sawit Kalimantan atas pelanggaran hak pekerja dan kerusakan lingkungan. Namun, karena sekadar bersinggungan, keduanya bernasib sama seperti gerakan rakyat lain: masih terfragmentasi dan belum menghadirkan perubahan signifikan. 

Keharusan keduanya terintegrasi tidak perlu lagi dipertanyakan. Sasaran tembaknya pun sudah terlihat. Namun demikian, identifikasi yang lebih jelas tetap perlu dilakukan.


Mengidentifikasi Sasaran Tembak yang Sama

Integrasi gerakan pekerja dan lingkungan dapat difokuskan di sektor perkebunan/kehutanan dan ketenagalistrikan yang, menurut Hannah Ritchie, Pablo Rosado, dan Max Roser (2020) merupakan penyumbang emisi terbesar di Indonesia. Pada 2021, alih fungsi lahan menyumbang 476,75 juta ton setara CO2; sementara ketenagalistrikan menyumbang 260,79 juta ton setara CO2.

Dua sektor ini juga mencatatkan statistik ketenagakerjaan dan konflik yang signifikan. Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) Februari 2024 menunjukkan pertanian, perkebunan, dan perikanan menyerap 40,72 juta tenaga kerja atau setara 28,64% total angkatan kerja nasional—terbanyak dari semua sektor. Sementara Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) pada tahun lalu menyebut penciptaan perkebunan adalah alasan utama alih fungsi lahan dan konflik agraria pada 2023. Sebanyak 82% alih fungsi adalah perkebunan sawit. Pelanggaran hak normatif seperti upah di bawah standar minimum dan penekanan buruh yang protes sering ditemukan di perkebunan sawit Kalimantan Barat dan Sulawesi Tengah (Widhyanto Muttaqien dkk., 2021).

Ketenagakerjaan di sektor ketenagalistrikan juga memiliki statistik yang unik. Meskipun hanya menyerap 0,36 juta tenaga kerja atau 0,25% dari total angkatan kerja, Wei, Patadia, dan Kammen (2010) berargumen bahwa transisi energi akan menghasilkan lebih banyak lapangan kerja. Energi fosil seperti batu bara dan gas alam masing-masing hanya menyediakan 0,8 pekerjaan/GWh dan 0,5 pekerjaan/GWh; sementara tenaga surya dan angin dapat menyediakan 2 pekerjaan/GWh dan 1 pekerjaan/GWh. Tanpa perbaikan kondisi kerja, praktik outsourcing, dan tingginya kecelakaan kerja di Perusahaan Listrik Negara (PLN), pertambahan lapangan kerja karena transisi energi hanya akan memperbanyak pekerjaan rentan (Wei dkk., 2010).

Singkatnya, mengapa penting bagi gerakan untuk berfokus di dua sektor ini, adalah: alih fungsi lahan dan sektor ketenagalistrikan menyumbang emisi terbesar, sektor penyebab alih fungsi lahan (terutama perkebunan) adalah penyerap tenaga kerja terbesar, dan sektor ketenagalistrikan berpotensi menyerap banyak tenaga kerja di masa depan.

Integrasi gerakan dapat dilakukan melalui intervensi pada sistem ekonomi, yaitu dengan melawan alih fungsi lahan dan mendorong industrialisasi ramah lingkungan, serta melawan privatisasi ketenagalistrikan untuk mendukung transisi energi yang adil. Kita akan membahasnya satu per satu. 

Melawan Alih Fungsi Lahan, Mendorong Industrialisasi Ramah Lingkungan

Alih fungsi lahan, penyumbang emisi terbesar Indonesia, berakar pada logika ekonomi ekstraktif sejak era kolonial Belanda dan deindustrialisasi Orde Baru. Berdirinya VOC pada 1602 berakibat pada terpisahnya petani dari tanah mereka lewat kebijakan pencaplokan lahan, monopoli perdagangan, dan penanaman paksa (Brown, 2003). Semua praktik ini terjadi dengan memanfaatkan struktur feodal dalam masyarakat (Peluso, 1994). Pemerintah kolonial membangun infrastruktur seperti jalan, rel, dan pelabuhan untuk memperlancar ekstraksi sumber daya. Dengan diundangkannya Agrarische Wet 1870, luas perkebunan meningkat pesat dari 1.548.595 hektare pada 1900 menjadi 2.869.726 hektare pada 1938, dengan mayoritas berada di Jawa (Nederlandsch, 1901; Tauchid, 2009). Perluasan ini menyebabkan masifnya degradasi lingkungan (Itawan, 2022), misalnya deforestasi hutan jati Jawa yang menghasilkan 22.800 batang kayu per tahun pada abad ke-18 (Boomgaard, 1992). Deforestasi ini membuat erosi menjadi peristiwa yang wajar pada waktu itu (Itawan, 2022).

Setelah merdeka, tepatnya di masa pemerintahan Soekarno, perusahaan perkebunan asing dinasionalisasi. Di periode ini juga tata kelola kehutanan didesentralisasi. Meskipun eksploitasi sumber daya alam tak semasif era kolonial, tetap saja saat itu menjadi masa awal hilangnya 1 juta hektare hutan per tahun. Pada era Orde Baru, antara 1985–1997, angka deforestasi melonjak menjadi 1,7 juta hektare per tahun. Semua akibat diberlakukannya UU 1/1967 dan UU 11/1968 yang membuka jalan bagi investasi asing (Awang, 2005). Setelah Orde Baru tumbang, pada 2003, laju deforestasi meningkat lagi menjadi 2 juta hektare per tahun (Forest Watch Indonesia, 2003). Alih fungsi lahan terus berlanjut hingga kini, sekali lagi, menjadikannya penyumbang emisi terbesar di Indonesia.

Gambar 1. Sumbangan Emisi per Sektor di Indonesia, 1990-2021

Sumber: Ritchie dkk. (2020)

Intensifikasi alih fungsi lahan dalam sejarah Indonesia disebabkan oleh ketergantungan pada sektor-sektor ekstraktif, terutama pada masa Orde Baru yang gagal memanfaatkan ledakan ekonomi minyak. Deindustrialisasi prematur pada masa tersebut membuat Indonesia sangat bergantung pada ekspor perkebunan kelapa sawit dan pertambangan batu bara (Kholilurrahman, 2018). Pertumbuhan PDB Indonesia yang masif pasca-Orde Baru lebih banyak disumbang oleh ekspor kelapa sawit dan batu bara, yang dalam rantai pasoknya juga menjadi penyumbang emisi terbesar di Indonesia (Papanek dkk., 2014).

Kemandekan manufaktur tidak hanya menyebabkan sektor-sektor yang mengintensifkan alih fungsi lahan semakin menjamur, tetapi juga menimbulkan berbagai masalah seperti meningkatnya ketimpangan ekonomi antarkelas (Grabowski, 2017), nilai tukar yang terdepresiasi (Hastiadi & Nurunnisa, 2017), dan lapangan kerja informal yang rentan (Habibi, 2016). 

Dengan berbagai masalah tersebut, agenda industrialisasi menjadi kebijakan penting yang didorong oleh gerakan kelas pekerja. Pada periode 1990-an, krisis ekonomi dan kemandekan sektor manufaktur telah menjadi isu utama yang banyak dibahas oleh berbagai serikat (Silaban, 2009). Pada Hari Buruh 2017, Front Nasional Pembela Buruh Indonesia (FNPBI) pun mendorong industrialisasi nasional. Partai Buruh, yang dibentuk pada 2021, mencantumkan deindustrialisasi sebagai salah satu sumber pelemahan kelas pekerja Indonesia. Minimnya perkembangan sektor manufaktur dan peningkatan lapangan kerja informal di sektor jasa, bagi Partai Buruh, merupakan bentuk pelemahan kelas pekerja yang harus dilawan dengan mendorong agenda industrialisasi nasional.

Sementara itu, bagi gerakan lingkungan, industrialisasi menjadi isu kontroversial. Di satu sisi, industrialisasi menawarkan jalan keluar dari ekonomi ekstraktif yang memicu alih fungsi lahan. Namun, di sisi lain, dikhawatirkan memperburuk kerusakan lingkungan. Menghadapi persoalan ini, pemikir ekologi berhaluan sosialis seperti Jason Hickel (2020) dan Bellamy Foster (2023) kemudian mempromosikan degrowth, model ekonomi yang menekankan kesejahteraan tanpa produksi berlebih. Namun, Matt Huber (2019) mengkritik degrowth karena tidak menawarkan model ekonomi terencana untuk mewujudkan visinya. Pemodelan ekonomi-teknik Princeton University menemukan bahwa, untuk mencapai net zero emission pada 2050, negara-negara perlu memproduksi 120 juta pompa kalor, jaringan listrik 5 kali lebih besar, dan 250 reaktor nuklir besar. Itu semua tak bisa dicapai apabila kekuatan produktif global justru dikurangi dan dibatasi pertumbuhannya seperti proposal para promotor degrowth. Selain itu, degrowth juga gagal memberikan kebijakan redistribusi yang jelas dan berpotensi membebankan krisis kepada semua kelas (Huber, 2023).

Alih-alih mengorbankan kekuatan produktif yang tengah berkembang dan menghambat pencapaian target transisi energi dengan degrowth, gerakan kelas pekerja dan gerakan lingkungan dapat bersatu untuk memperjuangkan beberapa hal yang lebih konkret. Daniel Driscoll (2024) mengungkapkan bahwa isu krisis iklim yang harus menjadi perhatian berbagai kekuatan politik progresif di dunia adalah kontrol terhadap finansialisasi industri energi terbarukan dan kebijakan pengetatan anggaran ala neoliberal yang mencegah negara-negara berkembang dari alokasi anggaran untuk transisi energi yang berkeadilan. Karena industri finansial hanya berfokus pada profit dalam pendanaan proyek energi terbarukan, integrasi kedua gerakan ini dapat mendorong skema pendanaan publik dan kontrol ketat serta transparan terhadap lembaga finansial. Kemudian, karena mekanisme pengetatan anggaran ala neoliberal mencegah negara untuk mencapai transisi energi yang berkeadilan, integrasi antara gerakan pekerja dan lingkungan dapat bersatu untuk merebut kontrol atas alokasi anggaran negara.

Melawan Privatisasi Ketenagalistrikan, Mendukung Transisi Energi yang Adil

Sumbangan emisi yang besar dari ketenagalistrikan dan masalah ketenagakerjaannya dapat diperangi dengan merombak moda produksi sektor tersebut, yang cirinya adalah dominasi energi fosil dan privatisasi. 

Dominasi energi fosil bermula pada masa Hindia Belanda. Tambang batu bara pertama dibuka di Pengaron, Kalimantan Selatan, pada 1848. Awalnya energi fosil bersaing ketat dengan energi air, sebagaimana tercatat pada 1925: batu bara menyumbang 40,38% sementara energi air 36,69% dari total bauran energi listrik (Yanuardy dkk., 2022). Namun intensifikasi industrialisasi negara jajahan membuat permintaan akan listrik terus meningkat, yang dengan demikian mempercepat dominasi energi fosil (Dijk, 2007). 

Pada akhir pemerintahan Soekarno dan menjelang Orde Baru, perusahaan yang mengelola listrik dan gas bumi dipisah menjadi dua: PLN dan Perusahaan Gas Negara (PGN). Orde Baru kemudian menggunakan PLN untuk membangun rezim teknopolitik—memperkuat pengaruh melalui teknologi—dengan program seperti “Listrik Masuk Desa” dan “Doktrin Pembangunan Kelistrikan Nasional” (Mohsin, 2014). Pada masa ini, PLN memonopoli sektor kelistrikan, dari mulai produksi, distribusi, hingga transmisinya (Yanuardy dkk., 2022).

Menjelang akhir Orde Baru, dominasi terhadap sektor ketenagalistrikan mulai melonggar akibat kelesuan ekonomi dan utang dari Bank Dunia. Ini memaksa Indonesia untuk meliberalisasi sektor tersebut. UU 15/1985 memperbolehkan swasta memproduksi listrik, asal dengan skema take-or-pay yang mewajibkan mereka menjualnya ke PLN. PP 23/1994 kemudian mengubah PLN dari perusahaan umum menjadi perseroan terbatas, membuatnya menjadi entitas pencari profit alih-alih pemenuhan kebutuhan listrik untuk kepentingan umum (Yanuardy dkk., 2022).

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.

Neoliberalisme kian menancap kuat pasca-Reformasi memicu privatisasi beragam sektor, termasuk ketenagalistrikan. Didorong oleh Dana Moneter Internasional (IMF) melalui Letter of Intent (LoI), Indonesia dipaksa untuk melakukan penyesuaian struktural guna memperkuat peran swasta. Pemerintah, bersama Bank Dunia dan Bank Pembangunan Asia (ADB), kemudian menyusun regulasi yang menjadi cikal bakal UU Ketenagalistrikan 2002. Selain mendorong swasta terlibat, peraturan ini juga mengubah status anak perusahaan PLN itu sendiri menjadi entitas privat. Meskipun dibatalkan Mahkamah Konstitusi (MK), UU ini disahkan kembali pada 2009 dengan substansi yang kurang lebih sama (Yanuardy dkk., 2022). Liberalisasi sektor ketenagalistrikan ini kemudian membuat produksi batu bara nasional meledak setelah Reformasi.

Gambar 2. Peningkatan Jumlah Produksi dan Konsumsi Batu Bara sebelum dan setelah Jatuhnya Orde Baru

Sumber: Kurniawan dkk. (2020)

Lonjakan produksi batu bara juga dipicu oleh target elektrifikasi artifisial dari pemerintah. Program Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) era Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menetapkan target 10 ribu MW, yang kemudian ditingkatkan menjadi 35 ribu MW dalam Proyek Strategis Nasional (PSN) era Joko Widodo (Yanuardy dkk., 2022). Target ini didasarkan pada perkiraan PLN bahwa konsumsi listrik akan meningkat 61,12 GW pada 2020. Namun, sebagaimana ditunjukkan Shalati dan Simanjuntak (2019), kalkulasi ini meleset, konsumsi listrik jauh di bawah target. Akibatnya, produksi listrik tidak efisien, tarif naik, dan subsidi dipangkas sejak 2010 (Yanuardy dkk., 2022).

Sektor ketenagalistrikan berbasis batu bara memperparah krisis iklim, menjadikannya penyumbang emisi terbesar kedua di Indonesia. Meski energi fosil tak efisien, karakteristik neoliberal pasca-Reformasi mempertahankannya, membebani rakyat dengan biaya tinggi dan dampak krisis iklim, sementara oligarki batu bara terus meraup keuntungan (Yanuardy dkk., 2022). Dominasi energi fosil menghambat transisi energi. Meski Perjanjian Paris 2015 mendorong Indonesia menekan produksi batu bara, dan RPJMN 2015–2019 menargetkan penurunan dari 421 juta ton menjadi 400 juta ton, laju produksinya tetap tinggi (Shalati & Simanjuntak, 2019).

Tabel 1. Proyeksi Produksi Batu Bara dalam RPJMN vs Produksi Aktual dalam Juta Ton

Sumber: Shalati dan Simanjuntak (2019) dalam Yanuardy dkk. (2022)

Dominasi energi fosil dalam perencanaan energi Indonesia terlihat dalam Rencana Umum Energi Nasional (RUEN). Meski menetapkan target energi terbarukan, bauran energi tetap didominasi fosil. Proyeksi energi terbarukan hanya 23% pada 2025. Target transisi energi pun tampak kontradiktif dengan realitas. Pada 2023, energi terbarukan hanya mencapai 13,09%, jauh dari target 23% pada 2025. Rencana transisi energi juga kontradiktif dengan perencanaan energi lain. Di sektor ketenagalistrikan, RUEN menargetkan batu bara menempati 30% dari total bauran energi nasional pada 2025, tetapi RUPTL PLN 2021–2030 memproyeksikan batu bara menempati 62,08% pada 2025 dan 63,95% pada 2030.

Tabel 2. Sasaran Bauran Energi Nasional Indonesia 2025—2050 dalam RUEN

Sumber: RUEN

Gambar 3. Proyeksi Bauran Energi Nasional 2021—2030 dalam RUPTL PLN (GWh)

Sumber: RUPTL PLN 2021—2030

Dominasi energi fosil, yang semakin intensif akibat privatisasi sektor ketenagalistrikan, mengancam keberlanjutan agenda transisi energi. Namun perlawanan terhadap privatisasi justru datang dari gerakan kelas pekerja, misalnya Serikat Pekerja PLN yang memprotes UU 20/2002 dan UU 30/2009 tentang Ketenagalistrikan. Meskipun undang-undang yang pertama dibatalkan, MK tidak membuat keputusan serupa pada peraturan kedua–membuatnya masih berlaku. Serikat Pekerja PLN hingga kini terus menyerukan penolakan terhadap privatisasi sektor ketenagalistrikan, meskipun alasan utama mereka tidak terkait dengan isu ekologis.

Persatuan gerakan lingkungan dan kelas pekerja semakin penting menghadapi upaya spatial fix, strategi neoliberalisme untuk menyelamatkan kapitalisme dari krisis dengan cara terus memperluas ruang demi kelancaran akumulasi modal. Saat ini yang terlihat jelas adalah upaya menggencarkan kendaraan listrik. Dalam hal ini, seperti dicatat Trissia Wijaya dan Lian Sinclair (2024), aktor energi fosil di bawah BUMN seperti PT PLN, PT Pertamina, PT Aneka Tambang, dan PT Mineral Industri Indonesia berinvestasi besar di industri kendaraan listrik. Proyek besar ini juga disebut dalam rangka mengatasi persoalan lingkungan. Namun, masalah ketenagakerjaan dan dampak ekologis yang nyata menunjukkan bahwa ini hanyalah solusi palsu untuk krisis iklim. Singkatnya, karena upaya spatial fix tidak hanya di area industri PLN, upaya perlawanan terhadapnya memerlukan kekuatan kolektif yang lebih luas.


Penutup

Integrasi antara gerakan lingkungan dan pekerja merupakan jalan strategis untuk menghadapi tantangan ganda: krisis iklim yang semakin parah dan ketidakadilan struktural yang kian eksploitatif. Integrasi ini dapat menjadi kekuatan politik transformatif. Melalui perjuangan kolektif untuk transisi energi berkeadilan dan industrialisasi ramah lingkungan, integrasi kedua gerakan ini tidak hanya berpotensi mengurangi kerusakan ekologis tetapi juga memperjuangkan masa depan yang lebih baik bagi kelas pekerja. Aliansi ini, jika terwujud, dapat menjadi fondasi bagi model pembangunan yang lebih berkelanjutan dan inklusif di masa depan.


Bangkit Adhi Wiguna adalah buruh akademik di Yogyakarta

]]>
Peregulasian Kendaraan Listrik adalah Solusi Palsu Masalah Lingkungan di Bali https://indoprogress.com/2024/12/solusi-palsu-masalah-lingkungan-di-bali/ Sun, 29 Dec 2024 03:19:50 +0000 https://indoprogress.com/?p=238630

Foto: Antaranews/Fikri Yusuf


Pengantar: Transformasi Bali di Bawah Rezim Energi

MASYARAKAT Bali pada dasarnya sudah terbiasa mengutamakan gerak alam. Diskursus alam buktinya sudah ada dalam Tri Hita Karana, falsafah yang menjadi basis dalam keseharian hidup mereka, terutama yang berkenaan dengan praktik upacara. Dalam tata upacara, masyarakat Bali berprinsip “apa yang menjadi hasil alam kemudian dijadikan sarana upacara”, atau dalam bahasa yang lebih religius sering disebut sebagai “persembahan pada dewa/dewi”. 

Tak hanya itu, praktik ini juga mencerminkan prinsip komunal masyarakat. Seperti yang dikatakan Helen Creese dalam artikel Acts of citizenship? Ruler and ruled in traditional Bali, pada masa pra-kolonial, kerja adat sebagai reproduksi sosial menjadi kerja perawatan kolektif. Jadi, alih-alih dikerjakan oleh rumah tangga, kebutuhan sarana upacara dengan skala besar dilaksanakan oleh komunitas itu sendiri, yang diregulasikan adat. 

Setelah masuknya industri pariwisata yang dimulai pada 1930-an oleh pemerintah kolonial Belanda, yang sekaligus menandai terintegrasinya Bali ke dalam ekonomi politik global, terjadilah transformasi pada sistem kerja. Kerja adat yang sebelumnya merupakan kerja kolektif, bagian dari perawatan komunal (communal care), menjadi termediasikan oleh pasar. Pergeseran ini karena akumulasi primitif yang terjadi secara terus-menerus membuat ketersediaan lahan rendah dan sumber daya alam untuk konsumsi langsung masyarakat menipis. 

Pergeseran ini terlihat misalnya dari penyesuaian regulasi desa adat. Saya mewawancarai I Ketut S (70), mantan pembantu umum Desa Adat Jinengdalem, Kabupaten Buleleng, terkait peregulasian kerja komunal oleh otoritas desa adat. I Ketut S mengatakan dengan lugas bahwa saat ini desa adat sudah bisa menerima urun dana (disebut peturunan) dari mereka yang sudah berkeluarga tapi tidak bisa menyumbang tenaga untuk menggarap upacara. “Orang-orang yang bekerja itu ‘kan cukup dengan bayar peturunan saja sekarang, karena sudah banyak orang tidak sempat ikut ngayah (kerja adat) ke pura,” katanya. Praktik dan regulasi ini sudah lumrah dilaksanakan di seluruh wilayah desa adat di Bali. 

Rezim kapitalisme pariwisata ini singkatnya telah menjadi payung dari retaknya relasi masyarakat Bali dengan ekologinya. Dengan menggunakan bingkai ekologis-marxis, keretakan metabolik telah terjadi di Bali dan bahkan lebih kompleks pada abad ke-21 ini karena overtourism

Dengan latar belakang masalah seperti itu, negara lantas datang dengan solusi pembangunan berkelanjutan, tapi sembari tetap mendukung rezim kapitalisme pariwisata. Solusi tersebut menjadi bagian dari program transisi energi, dan salah satu regulasi yang dimasifkan di Bali adalah soal kendaraan listrik (electric vehicle/EV). 

Pemerintah Provinsi Bali mengeluarkan beberapa peraturan terkait kendaraan listrik, dari mulai Peraturan Gubernur (Pergub) No. 45 Tahun 2019, Pergub No. 48 Tahun 2019, sampai Peraturan Daerah (Perda) No. 9 Tahun 2020 tentang Rencana Umum Energi Daerah 2020-2050. Ketiga regulasi ini merupakan respons terhadap Peraturan Presiden (Perpres) No. 55 Tahun 2019 tentang akselerasi program kendaraan listrik untuk transportasi darat. Program kendaraan listrik merupakan salah satu bagian dari ambisi besar Indonesia sekaligus juga yang disebut sebagai komitmen internasional untuk zero-net carbon. Di sini Bali dijadikan satu dari tujuh provinsi percontohan.

Industri kendaraan listrik di Bali dipelopori oleh PT Wika Industri Manufaktur (WIMA), dibangun di Kabupaten Jembrana pada 2021 dan membawahi merek dagang kendaraan listrik roda dua bernama Gesits. Setelah itu muncul pula beragam merek lain meramaikan pasar. Bahkan, dilansir dari Antara, dalam mendukung proyek percepatan kendaraan listrik di Bali, Perusahaan Listrik Negara (PLN) menggandeng jenama otomotif asal Korea Selatan, Hyundai Motor Group dan PT Dat Mobility Systems. Kerja sama berupa dukungan infrastruktur seperti baterai pada charging-station, juga pemberian unit.


Bali: Pasar EV yang Menggiurkan

Setelah ada regulasi terkait, pusat penyewaan kendaraan listrik tampak segera menjamur, terutama pada area padat pariwisata. Pasar kendaraan listrik tidak hanya datang dari rumah tangga, melainkan juga dari desa adat. Penting menggarisbawahi bahwa belanja kendaraan listrik dari desa adat juga ditujukan untuk usaha penyewaan. Artinya, tidak berbeda jauh dengan usaha-usaha swasta pada umumnya. Tapi, kenapa hal ini dilakukan? 

Untuk menjawabnya, perlu diketahui dulu bahwa otoritas di Bali tidak hanya dimiliki oleh negara yang pusatnya di Jakarta, tapi juga adat. Otoritas adat menjadi penanggung jawab hal-hal yang berkenaan dengan aturan (awig-awig) adat termasuk tata upacara. Upacara di Bali itu jenis dan levelnya sangat beragam, dan bisa sangat besar. Tentu saja upacara-upacara ini membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Dan untuk menyelenggarakannya tak lagi bisa dengan cara seperti dulu. 

Seperti yang dikemukakan di awal, setelah Bali terintegrasi dengan sistem ekonomi-politik global melalui jaring pariwisata, transformasi juga terjadi di level adat yang kebutuhannya dimediasi oleh pasar. Untuk produksi banten (nama Bali untuk sajen), diperlukan bahan-bahan alam seperti buah, janur, bambu, daun, dan lain sebagainya. Di masa kini, akses terhadap bahan-bahan tersebut sebagian besar didapatkan melalui pasar dan tentu saja dibutuhkan dalam jumlah besar. Persis di sini desa adat mesti memikirkan dari mana uang untuk membelinya, yang upayanya bisa diparalelkan dengan kegiatan Badan Usaha Milik Desa (BUMDes). Menyewakan kendaraan listrik adalah salah satu realisasinya. 

I Kadek Restu Widhi, Ketua Paguyuban Transportasi Roda Dua Desa Adat Ubud, mengatakan kepada saya bahwa dalam waktu dekat desa adat akan meregulasi badan usaha yang mengelola pemasukan dari sektor transportasi roda dua, termasuk yang bertenaga listrik. “Pemasukan badan usaha akan digunakan untuk kepentingan upacara Tawur lima tahunan di Ubud,” ujarnya.  

Desa Adat Besakih, Kabupaten Karangasem, adalah salah satu desa adat yang menggantungkan pendapatannya pada sektor pariwisata. Desa adat ini menjadi pengelola dari situs pura terbesar di Pulau Bali yang juga tempat ibadah terbesar umat Hindu se-Bali. Merespons kebijakan daerah terkait energi bersih, Desa Adat Besakih menetapkan peraturan penggunaan kendaraan listrik di kawasan Pura Besakih, terutama untuk wisatawan. Desa Adat Besakih menyediakan penyewaan sepeda dan motor listrik di kawasan pura. Kondisi serupa juga kemungkinan besar terjadi di Desa Adat Jatiluwih, Kabupaten Tabanan dan Kintamani, Kabupaten Bangli. Di samping rumah tangga, desa adat menjadi pasar besar bagi kendaraan listrik. 

Di Ubud, Kabupaten Gianyar, salah satu proyek kendaraan listrik untuk publik diinisiasi oleh kerja sama antara Pemprov Bali dan Toyota Mobility Foundation (TMF). Proyek infrastruktur ini diberi tajuk SMART Shuttle Ubud, menggunakan Toyota Zenic. Menurut Restu Widhi, Ketua Paguyuban Transportasi, SMART Shuttle tidak melibatkan kelompok masyarakat saat melaksanakan baseline research. Hal ini sempat memicu protes dari pekerja transportasi kecil. Setelah terjadi protes dan keramaian di media sosial, TMF baru mengadakan rapat bersama dengan mengundang desa adat, masyarakat setempat, dan kelompok pekerja transportasi. Informasi tentang kejadian ini juga disebut oleh Camat Ubud dan Ketua Yayasan Bina Wisata Ubud dalam sesi FGD bersama Universitas Udayana.

Gambar 1. Unit TMF yang beroperasi sebagai SMART @Ubud Shuttle.

Dalam acara peluncuran program, Toyota menyebut SMART Shuttle Ubud dimaksudkan untuk mengatasi masalah kemacetan parah di wilayah itu. Namun tawaran ini tidak didukung dengan baseline research yang komprehensif terkait kemacetan itu sendiri, yang adalah salah satu konsekuensi dari overtourism di selatan Bali. 

Pada akhirnya, SMART Shuttle Ubud hanya satu contoh dari setumpuk “solusi” tanpa analisis dengan perspektif lingkungan. Apa yang ingin dipertontonkan oleh program ini tidak lain adalah imaji dekarbonisasi dan green-solution melalui penggunaan kendaraan listrik.

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.


Kendaraan Listrik: Ladang Rebutan Baru

Agung Wardana, dosen hukum lingkungan di Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta, dalam bukunya Contemporary Bali: Contested Space and Governance (2019), mengatakan bahwa kepemerintahan dualistik di Bali—yakni negara dengan unit terkecil “desa dinas” dan otoritas adat dengan wujud “desa adat”—telah melahirkan institusi tata kelola yang sering kali berkonflik soal penerimaan hibah atau proyek pembangunan. Konflik ini berupa perebutan klaim atas siapa yang lebih layak menjadi pengelola utama proyek. Di Ubud, misalnya, hal ini terjadi dalam proyek transportasi hibah dari BRI. Proyek itu dikelola langsung oleh Desa Adat Ubud tapi di sisi lain dinas sudah memiliki pengelola transportasi utama, yakni Yayasan Bina Wisata Ubud. Sistem otoritas dualistik seperti ini semakin menambah kompleksitas konstelasi kapital, termasuk menyangkut proyek-proyek pembangunan hijau.

Gambar 2. Test drive EV pada jalan raya di Seminyak.

Pemasifan kendaraan listrik (EV) di Bali juga disokong oleh lembaga swadaya masyarakat/non governmental organization (LSM/NGO) dengan haluan environmentalisme ala Sustainable Development Goals (SDGs) yang dicanangkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Mengapa mereka mendukung? Pada dasarnya, model operasi NGO sangat bergantung pada pihak yang mendanai (funding). Hal ini membuat NGO mesti menjalankan proyek yang sesuai dengan agenda dan kepentingan patron. Pemasifan suatu isu dan solusi yang ditawarkan NGO harus melalui proses seleksi dan disetujui oleh patron. Ketidaksesuaian proyek yang dijalankan sama saja dengan dicabutnya pendanaan atau dieliminasinya kelompok sosial yang terlibat. Basis materiel ini menjelaskan mengapa NGO tidak bisa secara bebas mendesain proyek suka-suka meskipun misalnya mereka menginginkannya. 

Salah satu proyek yang mendukung serta melakukan riset media dan riset audiens mengenai pengadopsian EV adalah KemBali Becik. Ini adalah program kampanye green-lifestyle di bawah naungan Purpose Foundation, organisasi nirlaba berbasis di Amerika Serikat yang pengoperasiannya di Bali sempat dieksekusi oleh Yayasan K (nama yayasan terpaksa disamarkan karena alasan relasi kerja yang masih berlangsung dengan klub studi yang dikelola penulis). Dengan baseline research bersama Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Udayana, KemBali Becik menjadi perpanjangan tangan peraturan daerah Bali terkait transisi energi bersih. Melalui aktivasi media sosial, proyek kampanye KemBali Becik memuat konten bertema lingkungan dan praktik hijau, salah satunya penggunaan EV. 

Di samping itu, fitur utama proyek kampanye ini adalah sebuah laman direktori untuk pelaku bisnis berbasis di Bali yang dianggap berkomitmen menjalankan ekonomi hijau. Terdapat lima sektor bisnis yang diakomodasi fitur ini, salah satunya adalah sektor transportasi dan bisnis EV atau yang berkaitan dengan penggunaan EV. Menurut pelaku bisnis, fitur ini cukup menguntungkan. Nama bisnis yang terdaftar di laman direktori KemBali Becik bisa digunakan untuk memperkuat citra mereka terutama di media sosial. Mereka merasa itu penting sebab berdasarkan survei Rakuten Insights 2024 di Asia Pasifik, sebanyak 68% dari responden warga Indonesia setuju dan mendukung  praktik konsumsi ramah lingkungan. Survei ini sendiri ditujukan untuk mendukung pengembangan bisnis, menjadi acuan brand dan korporat untuk pengambilan keputusan terkait strategi pemasaran.

Gambar 3. Tampilan laman direktori di kembalibecik.com. Bisnis yang logonya terpampang telah melalui sistem penilaian berkala KemBali Becik terkait komitmennya pada praktik hijau.

KemBali Becik sering mendapat pertanyaan terkait indikator penilaian pada bisnis yang telah terdaftar pada laman direktorinya. Sependek pengalaman saya sebagai pemagang di sana, pertanyaan yang paling sering muncul adalah, “Bagaimana cara Anda sebagai inisiator lingkungan memastikan semua bisnis yang terdaftar benar-benar melakukan praktik yang ramah lingkungan dan bukan greenwashing?” Pertanyaan ini hampir selalu muncul setiap KemBali Becik terlibat dalam forum publik. 

Merespons pertanyaan tersebut, KemBali Becik meluncurkan sistem penilaian dalam rangka evaluasi dan pemantauan pada bisnis-bisnis yang terdaftar di  halaman direktori mereka. Pada sistem penilaian ini, tim enumerator KemBali Becik (pihak ketiga yang biasanya dikontrak untuk mengambil data lapangan dan bersifat outsource) akan mengunjungi lokasi bisnis yang terdaftar dan mengevaluasi apakah mereka telah menerapkan praktik-praktik hijau dengan indikator praktik hijau yang diadopsi dari SDGs. Hasil evaluasi digunakan sebagai dasar pengambilan keputusan terkait program lanjutan yang bisa disediakan KemBali Becik untuk meningkatkan kapasitas bisnis-bisnis ini. 

Indikator penilaian dibagi enam: praktik terkait transportasi, biodiversitas, pemanfaatan air, energi, pengelolaan sampah, dan pemberdayaan komunitas—semuanya merujuk pada standardisasi  internasional SDGs. Salah satu indikator adalah apakah EV telah digunakan dalam operasional bisnis. 

Sistem penilaian ini bukan tanpa masalah. Kebijakan dari KemBali Becik adalah bisnis bisa kembali mendapatkan badge—menunjukkan telah diuji kelayakan praktik hijau—apabila telah memenuhi satu sektor saja. Singkatnya, bisa dikatakan, yang problematis dari regulasi ini adalah penyederhanaan terhadap praktik yang betul-betul bisa dianggap sebagai praktik dengan konsiderasi ekologis. Mengabaikan esensi keterhubungan antara satu praktik dengan praktik lainnya pada dasarnya tidak berperspektif ekologis. 

Untuk mengetahui bagaimana penggunaan kendaraan listrik di level rumah tangga, saya mewawancarai AA (30), seorang desainer sekaligus pengusaha tekstil di Kabupaten Buleleng. Dia sehari-hari menggunakan motor listrik namun menurutnya itu tidak bisa diandalkan. “Kita di sini kan daerah dataran tinggi, sedangkan saya sering mengantar barang atau bahan baku dari daerah atas juga, jadi kalau pakai motor listrik sangat tidak membantu karena kilometernya sering tidak kuat.” 

Problem serupa juga dialami DH (23) asal Ubud. “Sebenarnya aku cukup waswas dengan penggunaan EV sehari-hari karena tidak bisa dikontrol dayanya saat di tengah jalan, apalagi jarak jauh.” 

Salah satu alasan mengapa mereka membeli kendaraan listrik adalah subsidi. “Punya EV ini karena lebih murah dan ada subsidinya,” ujar DH. WG (30) asal Denpasar, pemilik unit Toyota Zenic tipe hybrid, pun demikian. “Lebih karena lifestyle sih dan ada subsidi juga.” 

Di permukaan, subsidi untuk pembelian EV dari pemerintah tampak sebagai strategi untuk mengakselerasi transisi jenis kendaraan. Hal ini misalnya dikatakan oleh Institute for Essential Service Reform (IESR), dilansir dari Kontan. IESR sendiri mendukung insentif pemerintah ini. Pernyataan yang sama juga disebut langsung oleh perwakilan IESR pada forum peluncuran program penilaian KemBali Becik di Gianyar pada 21 Juli 2023. 

Lebih dari itu, menurut Trissia Wijaya dan Lian Sinclair (2024) dalam An EV –fix for Indonesia: the green development-resource nationalist nexus, peregulasian ini pada dasarnya adalah strategi de-riskanisasi untuk mengamankan investasi domestik pada industri energi secara global. Strategi deriskanisasi EV di Indonesia dilakukan dalam bentuk penggelontoran insentif pada investasi dan fiskal. Melalui proyek EV, konglomerat batu bara memastikan bahwa tetap ada akses terhadap kapital dan di satu sisi negara dapat memenuhi agenda hilirisasi nikel.


Regulasi EV di Bali: Bukan Solusi Keretakan Ekologis 

Bali, sebagai lokus industri pariwisata, menjadi pangsa pasar besar untuk akumulasi kapital industri ekstraktif yang menjadi penyokong industri EV. Secara ekologis, pada dasarnya peregulasian EV jauh dari konsiderasi ekologis. Solusi dekarbonisasi yang ditawarkan regulasi EV mengabaikan fakta bahwa perusakan ekologis di Bali adalah problem yang kompleks. Definisi dekarbonisasi yang ditawarkan dalam diskursus EV juga dipersempit secara habis-habisan dengan hanya melihatnya sebagai pengurangan polusi udara. Peregulasian EV jelas abai pada rantai pasok industri EV dari produksi, distribusi, hingga konsumsi, mereduksi diskursusnya pada semata persoalan pengurangan jejak karbon.

Kerusakan lingkungan di Bali semestinya dilihat sebagai permasalahan keretakan ekologis yang holistis, yakni keretakan pada keterhubungan hidup sosial dan gerak alam. Bagaimana regulasi EV bisa menjawab permasalahan polusi dan sampah di Bali tanpa menyasar overtourism yang merupakan konsekuensi kapitalisme pariwisata sebagai akar permasalahannya? Juga bagaimana regulasi EV bisa menjawab permasalahan polusi tanpa membongkar pasok industrinya yang berakar dari penambangan batu bara? 

Keretakan ekologis di Bali telah sampai pada level perusakan perawatan kolektif. Celakanya, belum ada kebijakan berbasis lingkungan yang bisa menyasar kerusakan yang ini. Misalnya, bagaimana mengatasi pergeseran praktik orang Bali pada pembuatan banten yang sebelumnya merupakan kerja kolektif namun kini dijembatani oleh pasar. Akibatnya, akses pada hasil-hasil alam yang digunakan untuk keperluan adat tidak lagi diambil dari alam secara langsung melainkan melalui pasar komoditas. 

Dalam hal ini, tidak berlebihan untuk menyebut bahwa regulasi EV di Bali yang diklaim sebagai solusi hijau (green-solution) sebetulnya adalah solusi hijau palsu (pseudo-green solution). Seperti kata WG kepada saya: “Sebenarnya saya tahu kalau kendaraan listrik ini akal-akalan saja untuk disebut program lingkungan. Logis saja, sumber listriknya memang datang dari mana?”


Daftar Pustaka 

Andi, D. (2022, December 21). IESR: Insentif Konversi Motor Listrik dan Elektrifikasi Transportasi Umum Didukung. kontan.co.id. https://industri.kontan.co.id/news/iesr-insentif-konversi-motor-listrik-dan-elektrifikasi-transportasi-umum-didukung 

Creese, H. (2019). Acts of citizenship? rulers and ruled in traditional Bali. Citizenship Studies, 23(3), 206–223. https://doi.org/10.1080/13621025.2019.160326

Lazuardi, A. (2023, August 29). PLN dan Hyundai percepat ekosistem kendaraan listrik di Bali. ANTARA News Bali. https://bali.antaranews.com/berita/323817/pln-dan-hyundai-percepat-ekosistem-kendaraan-listrik-di-bali 

Dokumen shareable deck KemBali Becik 

Dokumen riset analisis media sikap masyarakat terkait pariwisata hijau 

Dokumen Rakuten Insights 2024: Sustainable Consumption in APAC

Wardana, A. (2019). Contemporary Bali: Contested Space and Governance. Springer.

Wijaya, T., & Sinclair, L. (2024). An EV-fix for Indonesia: the green development-resource nationalist nexus. Environmental Politics, 1–23. https://doi.org/10.1080/09644016.2024.2332129


Putu Dinda Ayudia menekuni isu gender dan media. Saat ini tengah mengelola kelompok belajar Perempuan Mahima. Bisa dihubungi melalui ayudiapdinda@gmail.com

Naskah ini adalah liputan khusus program beasiswa kursus IISRE, kerja sama Indoprogress dan Trend Asia.

]]>
Keretakan Metabolis di Piyungan: Lika-liku Darurat Sampah di Yogyakarta https://indoprogress.com/2024/11/lika-liku-darurat-sampah-di-yogyakarta/ Sat, 16 Nov 2024 00:17:01 +0000 https://indoprogress.com/?p=238517

Foto: Aktivitas pemotor pengangkut sampah di TPST Piyungan. Terlihat juga sapi-sapi yang sedang memakan sampah. Sabtu (31/8/2024). (Dok. Pribadi/Mirna Layli Dewi)


DUA hingga tiga sepeda motor silih berganti berdatangan saat saya menyambangi Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST) Piyungan, Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), akhir Agustus lalu. Satu per satu pengendara menurunkan kantong plastik berisi sampah yang memenuhi keranjang yang dipasang di jok belakang. Aktivitas tersebut juga dapat diamati langsung dari wilayah Ngablak, yang jaraknya kurang lebih 350 meter dari TPST.

Aktivitas pembuangan sampah itu berlangsung di tengah kabar penutupan TPST (juga disebut TPA) Piyungan karena alasan sudah overload. Faktanya, hingga beberapa bulan terakhir, sampah-sampah masih rutin masuk ke TPST ini menggunakan sepeda motor.

Marwan (40), pengawas lapangan TPST Piyungan, mengatakan bahwa sampah-sampah ini adalah sampah kota. “Jadi sebenarnya TPS Piyungan sudah benar-benar close dari dua bulan lalu (Mei). Tapi, karena khususnya Kota Yogya masih kesulitan untuk mengolahnya, jadi mau enggak mau sampahnya dibuang ke sini,” kata Marwan. Dia mengatakan Tempat Pengolahan Sampah Reuse, Reduce, dan Recycle (TPS3R) belum rampung dibangun.

Sebelum penutupan secara permanen, setiap harinya 600 ton sampah berakhir di TPST Piyungan. Sampah yang ditampung didominasi dari tiga wilayah, yaitu Kota Yogyakarta, Kabupaten Sleman, dan Kabupaten Bantul.

Awalnya Marwan mengatakan bahwa masalah sampah kota sebaiknya ditanyakan langsung saja ke Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kota Yogya. Namun, di tengah obrolan, dia menjelaskan bahwa penerimaan kembali sampah-sampah ini sifatnya sementara dan terbatas, bergantung pada ketersediaan lahan kosong di TPST Piyungan. “Dari gubernur diberi batasan sampah yang bisa dibawa ke sini berapa ton, 500 hingga 1.500 ton. Kalau ada sampah masuk, kita siapkan ruang. Apalagi kalau sudah ada surat. Biasanya sehari sebelum itu kita sudah persiapkan biar ada ruang,” tambahnya.

Keterangan Marwan selaras dengan kesaksian dari lapangan. Rahma, nama samaran, perempuan berusia 68 tahun asal Dusun Ngablak, mengatakan sekarang hanya motor yang diperbolehkan masuk dan membuang sampah. “Iya, [TPST] ditutup. Boleh tapi hanya pakai motor, kalau truk atau pikap, ya, enggak bisa,” ujarnya.

Sampah-sampah yang masuk tidak sekadar ditumpuk. Kismadi (57), Ketua RT 04 Ngablak, menyebut saat ini sampah yang masuk “banyaknya dibakar.” “Kalo punya lubang ya dibuatkan lubang, nanti ditutup lalu dibuat semacam tobong untuk membakar sampah.”

Asap yang keluar dari tobong pembakaran sampah kerap menimbulkan gangguan pernapasan, kata Kismadi. “Masalah dampaknya, yang jelas itu sekarang asap. Baunya juga, sudah kami rasakan. Akhirnya dibuat kesepakatan kalau jam 8 pagi sampai jam 3 sore pembakaran di tobong sudah dimatikan. Karena mengganggu aktivitas,” tambahnya.

Persoalan buka-tutup akses sampah ke TPST Piyungan bukan pertama kali ini terjadi. TPST Piyungan pernah dinyatakan hanya dapat menampung sampah hingga 2012. Sejak muncul kesepakatan itu buka-tutup TPST Piyungan terus terjadi. Akhirnya tempat ini terus dipaksakan untuk menampung berton-ton sampah setiap hari sampai sekarang.

Tentu kembali meningkatnya volume sampah di TPST Piyungan menambah daftar panjang persoalan ruang hidup masyarakat di sekitarnya. Pahit getir kembali dirasakan oleh warga, khususnya yang bermukim di empat pedukuhan berjarak kurang dari 3 kilometer dari TPST, yakni Ngablak dan Banyakan I-III, Kelurahan Sitimulyo.

TPS3R yang di atas telah disinggung adalah cara terkini Pemerintah Kota Yogyakarta mengatasi perkara sampah. TPS3R akan terdapat di tiga wilayah, yakni Karangmiri, Nitikan, dan Kranon. Melalui TPS3R, nantinya sampah akan dipilah hingga menghasilkan Refuse Derived Fuel (RDF). Singkatnya RDF adalah residu yang dapat menjadi bahan bakar. Nantinya RDF dikirim ke Cilacap, Kendal, dan Pasuruan untuk digunakan di pabrik semen.

Sayangnya, sistem pengolahan yang dianggap sebagai solusi tersebut belum dapat menampung seluruh sampah yang ada di Yogyakarta. Kapasitasnya sangat terbatas. Target sampah yang dapat diolah di TPS3R adalah 20 hingga 75 ton per hari, sementara total produksi sampah mencapai 600 ton per hari.

Pemerintah kota juga menggeser target kesiapan TPS3R. Awalnya seluruh TPS3R direncanakan dapat beroperasi tahun ini, namun hingga kini baru satu yang aktif, yaitu TPS3R di Nitikan.


Keretakan Metabolis Masyarakat Agraris

TPST Piyungan mulai beroperasi pada 1996 dengan luas awal 10 hektare. Area terus meluas hingga menjadi 12,5 hektare dengan kapasitas 2,7 juta meter kubik sampah. Sebelumnya TPST Piyungan adalah lembah yang lingkungan sekitarnya biasa dipakai masyarakat untuk menanam berbagai macam perdu.

Rahma adalah salah satu penduduk yang dulu memanfaatkan tanah itu untuk menanam. “Ketika TPS dibangun, umur saya 40 tahun. Sebelum adanya TPS, tanah di sekitarnya buat menanam ketela, sentul. Tapi itu hanya kalau hujan lho ya,” ujar Rahma. Menurutnya tanah di sana adalah tanah produktif.

Pemerintah kemudian membeli tanah-tanah yang berada di sana. Usai tanah tersebut diubah menjadi TPST, warga sekitar tak ada bertani. “Kalau tanahnya dibeli pemerintah, boleh tidak boleh, ya, jadi TPA,” katanya.

Rahma tinggal di RT 03 Ngablak. Rumahnya relatif dekat dengan pintu masuk TPST Piyungan, hanya berjarak kurang lebih 100 meter. Rahma sedang berdiri di depan rumahnya saat saya temui. Ia menyapa dengan begitu hangat, sembari kedua tangannya cekatan mengupas plastik merek dari botol plastik. Satu per satu botol tersebut kemudian ia pilah dan kemas ke dalam karung berwarna putih.

Tak hanya tinggal di dekat TPST, Rahma juga hingga kini masih menggantungkan hidup dari sampah yang masuk.

Sambil mengelap tangan ke bajunya, Rahma mempersilakan saya duduk dan mulai bercerita menggunakan bahasa Jawa Krama. “Saya kerja sudah lebih dari 25 tahun to. Mulainya pas saya masih muda. Kalau saya dulu, ya ngambilin sampah dari rumah ke rumah, gitu. Pernah ikut mobil sampah juga pas waktu muda” ujarnya.

Rahma (sekitar 68 tahun), warga RT 03 Ngablak, Sabtu (31/8/2024). (Dok. Pribadi/ Mirna Layli Dewi)

Menurut Rahma, seiring dengan meningkatnya produktivitas sampah di TPST Piyungan, warga lain juga mulai beralih bekerja sebagai pengepul–depo sampah. Ruang hidup yang berubah memaksa mereka secara perlahan beradaptasi.

Salah satu alasan mengapa banyak yang tertarik menjadi pengepul–depo sampah, kata Rahma, adalah karena pada saat itu lebih menjanjikan dibanding pilihan pekerjaan lain. Menurut penelitian Huzaimah (2020), warga Piyungan yang bekerja sebagai pemulung, pengepul, hingga depo sampah memang memiliki pendapatan dalam taraf relatif baik. Pendapatan per hari mereka sekitar Rp100 ribu hingga Rp200 ribu. Selain itu, rata-rata warga juga memiliki tempat tinggal layak, punya aset lain seperti kendaraan dan sapi, juga mampu menyekolahkan anak.

Maka, bagi mereka yang telanjur menggantungkan hidup dari tumpukan sampah, penutupan TPST jelas menjadi persoalan. Sumber pendapatan mereka anjlok drastis. Namun, bagi warga dengan profesi lain, kehadiran TPST Piyungan yang terus dipaksakan menampung sampahlah yang merupakan problem dan harus segera diatasi bahkan dihentikan.


Krisis Air Bersih: Dari Overload sampai Gangguan Kesehatan

Rusaknya lahan di sekitar TPS Piyungan tak hanya mengakibatkan warga kehilangan sumber pangan, tapi juga air bersih. Penyebabnya adalah kadar lindi yang begitu tinggi, yakni 99,9 persen atau lebih. Lindi merupakan cairan dari sampah, berbau busuk, yang awalnya merupakan air hujan biasa.

Dengan alasan kesehatan dan kebersihan, sebagian warga memilih untuk mengonsumsi air kemasan, tentu dengan biaya tambahan. Salah satunya adalah Triyanto, Ketua Banyakan Bergerak sekaligus warga Banyakan III. “Dulu di sini itu airnya jernih, untuk apa pun bisa. Tapi sekarang udah enggak bisa. Untuk sumur aja mungkin ragu, ya. Saat ini orang-orang juga enggak berani pakai air sumur, kecuali untuk mandi yang masih menggunakan air sumur. Untuk kebutuhan makan dan minum sekarang pakai air galon,” ujarnya.

Saat disambangi di rumahnya, Triyanto yang ditemani oleh Chozin Nur Anwar menyapa saya dengan hangat. Ia kemudian menyiapkan segelas teh manis untuk menemani obrolan. Saat bercerita sesekali ia menunjuk ke arah TPST dan mengernyitkan dahi, apalagi saat ditanya terkait kebutuhan air bersih baik keluarganya sendiri atau tetangga.

Triyanto kemudian menunjuk rumah yang tidak jauh dari rumahnya. Ia mengatakan bahwa salah satu penghuni rumah itu itu pernah sakit setelah mengonsumsi air sumur. “Ada satu warga di sini yang sakit-sakitan. Setelah pakai air galon kemasan udah lumayan.”

Triyanto (46, kiri), Ketua Aliansi Banyakan Bergerak, dan Chozin Nur Anwar (50), RT 1 Dusun Banyakan III, Yogyakarta, Sabtu (31/8/2024). (Dok. Pribadi/ Mirna Layli Dewi)

Dalam sebulan, Triyanto menghabiskan 8 galon kemasan berukuran 15 liter. Itu hanya untuk minum, belum termasuk memasak. “Kalau masak bisa lebih. Yang paling banyak itu untuk masak,” tuturnya. Dengan asumsi air per galon seharga Rp23 ribu, maka rata-rata biaya yang dihabiskan oleh Triyanto per bulan bisa mencapai Rp184 ribu rupiah. Angka ini amat besar, apalagi mengingat warga semestinya memiliki hak atas air bersih bagi keberlangsungan hidup.

Berbeda dengan Triyanto, sampai saat ini Rahma masih menggunakan air dari Perusahaan Air Minum (PAM). “Untuk masak dan minum air PAM. Tidak punya sumur lagi,” katanya. Sebelum PAM, dia dulu mengonsumsi air sumur (air tanah), namun akhirnya tidak lagi sebab menurutnya Ngablak kesulitan air karena posisinya lebih tinggi dibanding dusun lain. Menurutnya pula, aliran PAM yang menuju rumahnya berasal dari Ngablak bagian bawah.

Ia beralasan tidak masalah jika mengonsumsi air PAM, toh sejauh ini tidak merasakan hal buruk apa pun. “Enggak, enggak ada. Karena kalau ada tanda-tanda gitu langsung periksa, to.”

Untuk memenuhi kebutuhan air bersih plus pengeluaran untuk listrik, Rahma menghabiskan biaya sekitar Rp100 ribu hingga Rp140 ribu per bulan. “Bayar air PAM-nya meteran. Kalau buat nyuci motor bisa sampai 140 ribu rupiah,” ujarnya.

Meski Rahma menepis adanya gangguan kesehatan yang disebabkan oleh air tercemar, tapi sebagai lansia ia mengakui mengalami beberapa kali gejala penyakit tidak menular ketika berkegiatan. “Kadang, ya, pusing, batuk, dan pilek. Tapi sakitnya enggak sampai parah.”

Rahma juga bercerita bahwa setiap sebulan sekali ada pengecekan kondisi kesehatan dari puskesmas setempat. “Dari Puskesmas Piyungan. Biasanya adanya di posyandu, posyandu anak-anak, ibu hamil juga ada, lansia juga,” katanya.

Saya kemudian menemui Yanti (40 tahun), seorang bidan desa, di Kelurahan Sitimulyo. Yanti telah menjadi bidan di kelurahan ini sejak 2005. Ketika itu dia datang untuk merespons hasil rekapan data dari para kader. Dia tahu persis apa yang dialami warga. “Keluhan dari warga, bau yang menyengat,” ujarnya. Warga yang dia maksud bukan hanya satu atau dua, tapi mereka yang tinggal di empat dusun dekat TPST Piyungan.

Selain itu ia juga mengatakan ada warga yang memiliki lingkar lengan kecil dan masalah kesehatan lain. “Ada yang anaknya pengambil rongsok mengalami kelainan otak (hidrosefalus). Juga ada yang gizi buruk,” katanya. Sayangnya, karena bukan warga asli alias hanya mengontrak, mereka kesulitan mengakses bantuan. “Kemarin kesulitan cari dana karena KTP-nya bukan KTP sini (Sitimulyo).”

Yanti tidak bisa memberikan data yang valid atas kasus atau penyakit yang dialami oleh warga. Ia hanya mengatakan ada tim khusus yang tugasnya mengurus dan menangani dampak langsung TPST Piyungan terhadap kesehatan warga.

Kaderisasidi Kelurahan Sitimulyo, Kapanewon Piyungan, Kab. Bantul, Sabtu (31/8/2024). (Dok. Pribadi/ Mirna Layli Dewi)

Tim khusus Puskesmas Piyungan belum mau memberikan keterangan sampai liputan ini selesai ditulis. Sementara Kepala Puskesmas Piyungan Dr. Sigit Hendro Sulistyo memberikan konfirmasi bahwa di setiap pedukuhan memang ada aktivitas posyandu setiap bulan. Sigit juga mengatakan air sumur memang sudah jelas tercemar. Namun, katanya, air PAM aman karena memiliki saluran khusus.

Ada beberapa penyakit umum yang kerap diidap warga Piyungan karena air tercemar dan lingkungan rusak, kata Sigit. Dari mulai yang ringan hingga penyakit yang dapat berefek jangka panjang apabila terus-menerus dibiarkan tanpa pengobatan.

“Untuk dampaknya jelas, karena sampah sumber penyakit. Jadi, banyak sekali mikroorganisme, baik bakteri, virus, dan kuman yang berkembang di sana. Kemudian, gangguan kesehatan warga sekitar, ya, mungkin pencernaan. Airnya atau mungkin makanan yang tercemar akibat serangga lalat, dan lain-lain, sehingga bisa diare sampai mual,” ujar Sigit.

Selain pencernaan, warga juga mengalami penyakit kulit dan gangguan pernapasan. “Penyakit kulit, yang kontak langsung dengan limbah cair, padat, dari sampah. Sakitnya kayak gatal-gatal, infeksi, dan iritasi. Sedangkan gangguan pernapasan, misalnya karena bau menyengat sehingga bisa menyebabkan infeksi,” tambahnya.

Apabila warga berada di sekitar TPST dan terus-menerus berkontak langsung dengan sampah, maka risiko penyakit kronis juga menghantui mereka. “Kalau penyakit berbahaya itu bisa karena penyakitnya terjadi dalam jangka lama atau dari melalui sumber air ataupun kontak langsung. Lebih jauh bisa menyebabkan penyakit kanker.”

Bagaimana dengan pengalaman Rahma yang mengatakan dia tidak merasakan dampak kesehatan apa pun? Menurutnya, memang tidak semua warga yang terdampak langsung mengecek kondisi kesehatan mereka ke puskesmas.

Di akhir obrolan, Sigit menambahkan terdapat beberapa faktor yang memengaruhi kondisi kesehatan warga Piyungan, yakni jarak dari TPST, kondisi angin (arah dan kecepatan terkait dengan luas penyebaran polutan), kualitas pengelolaan TPST, dan kebiasaan hidup (pola hidup bersih dan sehat, pola makan yang bergizi).


Gerakan Akar Rumput: “Golek Penake Dewe…”

Tak hanya lindi dan bau yang telah sejak lama membuat warga khawatir. Mereka juga menakutkan gas metana yang terdapat dalam gunung sampah. Gunung sampah adalah konsekuensi pasti penerapan sanitary landfill method di TPST Piyungan. Ini singkatnya adalah sistem menimbun sampah dengan tanah. Metode ini dinilai tidak efektif karena hanya akan berujung penumpukan tanpa pengolahan, seperti yang terjadi selama ini.

“Yang kami takutkan itu gas metanya, suatu saat bisa meledak. Karena nanti untuk pipanisasi (lindi) kadang, kan, buntu. Kita kan enggak tahu kalau enggak dikontrol. Karena di sana juga enggak  ada pengontrolan,” ujar triyanto, yang tampak sesekali mengernyitkan dahi.

Pengelolaan lindi di TPST Piyungan memang minim kontrol. TPS ini usianya sudah puluhan tahun dan selama itu pula mengeluarkan residu sampah, tetapi baru di tahun 2022 proses pipanisasi direspons pemerintah. Memang ada kolam yang disebut tempat pengolahan lindi di sekitar TPST Piyungan, tapi itu tidak difungsikan. “Untuk masalah pipanisasi direspons pemerintah. Tapi, untuk pengolahan lindi, belum ada pengambilan kebijakan. Membuat kolam tapi disfungsi. Sudah saya cek tapi, ya, enggak ada,” katanya.

Lindi yang terus mengalir dari TPST Piyungan diperkirakan masih terus ada hingga beberapa tahun ke depan. “Kalaupun TPS-nya ditutup, air lindinya itu tetap bisa mengalir bahkan sampai 5-6 tahun.”

Triyanto menambahkan bahwa lindi tidak hanya berdampak pada kesehatan tapi juga mengganggu perekonomian warga. Hal ini terutama disebabkan karena lindi yang mengalir ke Sungai Opak membuat rusaknya ekosistem sepanjang aliran sungai. “Selain kerugian karena gagalnya panen, juga ada kerugian ekonomi lainnya. Misalnya air yang harusnya bisa diakses, ini enggak bisa. Mau enggak mau beli air. Ada juga petani yang strok karena konsumsi air sumur yang sudah tercemar,” ujarnya.

Lokasi pengolahan lindi di TPST Piyungan. Terlihat lindi yang berwarna hitam pekat dan mengeluarkan bau. Tidak ada aktivitas apa pun saat dikunjungi, Sabtu (31/8/2024). (Dok. Pribadi/ Mirna Layli Dewi)

Mengalami kondisi hidup yang buruk akibat keberadaan TPST, warga Piyungan khususnya di empat dusun yang paling terdampak, yakni Ngablak dan Banyakan I hingga III, kemudian membentuk aliansi bernama Banyakan Bergerak. Dengan organisasi ini mereka menyampaikan langsung aspirasi kolektif.

Banyakan Bergerak misalnya beberapa kali menggelar aksi protes menolak TPST Piyungan diaktifkan kembali. Mereka juga menolak pembangunan pengolahan sampah di TPST Piyungan, yang akan digunakan oleh DLH Yogya. Aliansi menolak pembangunan sistem pengolahan sampah di TPST Piyungan sebab dari awal proses tidak ada mekanisme partisipasi, termasuk yang melibatkan Banyakan Bergerak sebagai pihak yang terdampak langsung.

“Kalau saya lihat pemerintah memang kurang serius untuk menanggapi hal ini, ya. Golek penake dewe, lah,” tambahnya.

Triyanto menegaskan jika Banyakan Bergerak akan terus mengawal TPST Piyungan hingga benar-benar ditutup. “Saat ini kita hanya menunggu itu, tuntutan yang kita ajukan sejalan dengan tahun 2025. TPS memang harus sudah ditutup secara permanen.” ujarnya.

Spanduk penolakan TPA transisi yang dibentangkan di TPST Piyungan oleh aliansi warga, Sabtu (31/8/2024). (Dok. Pribadi/ Mirna Layli Dewi)

Aktivis lain dari Banyakan Bergerak, Lilik Purwoko, mengatakan ketidaktegasan pemerintah provinsi dan kota dalam merespons persoalan sampah berakibat pada turunnya tingkat kepercayaan warga atas solusi-solusi yang diberikan oleh mereka.

“Warga bisa menilai pemerintah itu seperti apa, warga bisa melihat enggak omongannya. Jadi kalau masyarakat itu dijanjiin dengan pemerintah, ya, tingkat kepercayaan warga udah menurun,” tuturnya.

Atas semua yang terjadi, Elki Setiyo Hadi, Kepala Divisi Kampanye Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Wallhi) Yogyakarta, menduga “pemerintah seperti tidak ada masterplan” untuk mengatasi persoalan sampah. Hal ini berujung pada kondisi Yogya saat ini yang bisa dikatakan darurat sampah.

Tindakan-tindakan pemerintah reaktif belaka, misalnya dengan TPS3R, di mana mereka berencana mengalihkan sampah ke tiap kabupaten melalui Tempat Penampungan Sampah Sementara (TPSS). Jarak penumpukan sampah berlaku selama enam bulan. “Tiba-tiba membuat TPSS yang sampahnya ditumpuk di dalamnya selama enam bulan. Tetapi, setelah enam bulan, sampah diapakan itu enggak ada.”

Rencana TPSS itu, bagi Elki, justru menambah persoalan. “Justru itu membuat semakin banyak TPS baru, seperti Piyungan.”

Ini belum termasuk masalah pengolahan sampah organik yang lebih rumit. “Hari ini yang paling banyak itu organik. Di TPS Piyungan dan TPS lainnya. Ya, seharusnya sampah organik ini sudah diolah di hulu. Misalnya dengan penggunaan maggot (‘belatung’). Masalahnya pengelolaan sampah yang dihulu ini macet. Kalau plastik udah ada yang mengolahnya, misalnya, bank sampah. Kalau organik?”

Elki mengatakan “tidak aneh” jika pada akhirnya TPST Piyungan tetap menerima sampah meski pernah ada wacana akan menutupnya pada 2012. “Semua sudah telanjur bergantung. Kumpul angkut buang. Sudah enak, nyaman.”

“Ke depannya Walhi masih mencoba mendorong tanggung jawab pemerintah di Piyungan. Kita melihat hari ini seperti ada lepas tangan. Kami mendorong ada pengelolaan sampah ke depannya dari hulu baru ke hilir. Hari ini belum ada kejelasan di tingkat daerah. Lagi-lagi jatuhnya, ya, TPA. Enggak ada pengelolaan sampah.” pungkasnya. ***


Mirna Layli Dewi adalah mahasiswa Sastra Indonesia Universitas Negeri Semarang. Saat ini senang menekuni isu lingkungan dan sosial

Naskah ini adalah liputan khusus program beasiswa kursus IISRE, kerja sama IndoProgress dan Trend Asia

]]>
Ekspansi Kapital Dalam Penataan Ruang Kota Surabaya https://indoprogress.com/2024/01/ekspansi-kapital-dalam-penataan-surabaya/ Thu, 25 Jan 2024 16:13:44 +0000 https://indoprogress.com/?p=237948

Foto: lanskap kota Surabaya (sharonang/needpix.com)


SURABAYA telah memasuki usia ke-730 pada 2023 lalu, usia yang tergolong tua untuk sebuah kota di Indonesia. Tentu sejarah panjangnya menarik untuk diamati.

Pertumbuhan Surabaya sebagai sebuah kota dimulai pada abad ke-10. Saat itu banyak pengangkut logistik pangan melalui Sungai Brantas sampai ke dermaga, sebelum nanti diangkut untuk didistribusikan. Ujung Sungai Brantas pun mulai ramai, pelan-pelan menjadi pelabuhan dan pusat perdagangan.

Nama Surabaya sendiri muncul di Prasasti Cangu berangka 1358 masehi atau ditulis pada era Raja Hayam Wuruk. Dikatakan nama “Surabhaya” mulai dikenal sejak Raden Wijaya bertahta pada 1293 (Suwandi dkk, 2002 dalam Astuti dkk, 2016). Catatan lain menyebut Surabaya sudah dirintis menjadi pelabuhan pada era kejayaan Singhasari di bawah kekuasaan Raja Kertanegara pada 1275 (Handinoto, 1996).

Surabaya otomatis menjadi bagian dari Demak ketika kesultanan tersebut menggantikan kekuasaan Majapahit pada sekitar abad ke-16. Ketika itu Surabaya menjadi salah satu wilayah ekonomi yang penting karena menjadi pusat perdagangan cukup berpengaruh di wilayah timur Jawa. Ketika Kesultanan Demak runtuh berganti ke Kesultanan Pajang, lalu kemudian era Kesultanan Mataram, Surabaya mulai menyatakan independensi, lepas dari kekuasaan apa pun. Namun hal tersebut tidak berlangsung lama. Mataram Islam melalui raja ketiganya Sultan Agung menjadikan Surabaya wilayah kekuasaannya pada tahun 1625.

Ricklef (2008) menyebutkan bahwa pada abad ke-17, Surabaya merupakan salah satu negara-kota yang kuat dan cukup berpengaruh, terutama karena faktor perdagangan. Ungkapan dari Ricklef sesuai dengan data yang tersedia dalam aneka penelitian maupun arsip.

Memasuki awal abad ke-18, tahun 1743, Surabaya diserahkan oleh Raja Mataram saat itu, Pakubuwono II, ke VOC sebagai konsekuensi perjanjian politik. Setelah mengambil Surabaya, VOC mulai membangun sesuai dengan model kota-kota di Eropa. Tidak hanya itu, VOC juga mulai membangun benteng-benteng pertahanan di sisi utara kota. Corak Surabaya pun mulai berubah. Tata kota lama khas keraton Jawa mulai berubah perlahan menjadi mirip model kota di Eropa, khususnya Belanda (Baskoro, 2017).

Setelah VOC bubar pada 1799, Surabaya sepenuhnya dikuasai oleh Kerajaan Belanda. Pada saat dikuasai oleh pemerintah kolonial, Surabaya terus berkembang pesat terutama memasuki abad ke-19, tepatnya pada tahun 1870. Itu adalah awal dari modernisasi Surabaya dengan pembangunan masif serta infrastruktur penunjang seperti jalan dan pelabuhan.

Saat itu pemerintahan kolonial Hindia Belanda dipimpin oleh Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels (berkuasa 1808-1811). Ia membangun jalan pos dari Anyer, Banten hingga Panarukan, Jawa Timur. Jalurnya melewati Gresik dan Surabaya sehingga membuka akses yang lebih mudah untuk distribusi darat serta mempercepat pengiriman logistik menuju pelabuhan. Pada abad ke-19 menuju ke abad ke-20, jalan kota mulai dibangun bersamaan dengan jalur kereta api yang langsung menuju pelabuhan. Dengan status sebagai kota jalur ekspor dan impor penting, ditambah juga perkembangan komoditas perkebunan seperti tebu yang nantinya diolah menjadi gula, Surabaya menjadi pusat ekonomi (Hartono & Handinoto, 2007).

Sejak abad ke-20, Surabaya menjadi cikal bakal metropolitan dengan aneka pembangunan serta perubahan spasialnya. Perkembangan ekonomi telah mendorong pembangunan kota yang cukup masif. Kota dibangun memanjang mengikuti aliran Sungai Brantas atau Sungai Kalimas.


Fase Perkembangan Kota Surabaya

Berdasarkan sejarah yang secara singkat dibahas di atas, maka Surabaya yang kita kenal hari ini jelas tidak bisa dilepaskan dari perkembangan sejak Singhasari, Demak, Mataram hingga era VOC sampai kolonial Belanda. Ada tiga tahapan perkembangan Surabaya, yakni fase agraris dari abad ke-10 sampai 16, lalu fase perdagangan dari abad ke-17 sampai 19, lalu fase industri dari abad ke-20 hingga sekarang ini.

Perubahan kota telah memantik aneka transformasi sosial ekonomi, khususnya perubahan tata ruang. Salah satu yang terlihat adalah pola perkembangan kota dari sisi utara, lalu menuju selatan mengikuti sepanjang aliran Sungai Brantas atau Kalimas, lalu berkembang menuju sisi barat ke arah Gresik hingga ke sisi Timur sepanjang arah Kenjeran menuju Sidoarjo sisi Juanda.

Problem di Surabaya juga tidak lepas dari faktor imperatif ekonomi yang memantik pertumbuhan ekonomi. Hal tersebut menjadi faktor penarik (pulled factor) arus migrasi, terutama pada kawasan rural. Basundoro (2013) mengungkapkan bahwa perkembangan pesat Kota Surabaya, baik dari segi pembangunan maupun pertumbuhan penduduk, tidak dapat dilepaskan dari faktor industrialisasi. Faktor inilah yang memantik pertambahan penduduk sejak 1899 sampai 1945. Hal tersebut turut mendorong perubahan struktur dan corak kota. 

Perubahan tata ruang telah memantik pembagian kota menyesuaikan dengan sektor industri yang tengah tumbuh. Pada abad ke-19 menuju abad ke-20, banyak aktivitas ekonomi memusat pada sepanjang sungai. Sepanjang Ketintang menuju Karang Pilang dahulu merupakan pabrik gula, lalu di wilayah Wonokromo ditemukan pabrik yang menambang minyak bumi. Arah Tunjungan merupakan pusat kota sampai ke sisi utara yang merupakan kawasan perdagangan dan jalur lalu lintas kapal untuk aktivitas ekspor impor.

Permukiman berkembang mengikuti jalur kawasan industri dan ekonomi tersebut, memanjang sepanjang aliran sungai. Maka tidak mengherankan bila kita menemukan perkampungan di sepanjang sempadan sungai dari arah Karangpilang, Ketintang, Wonokromo, sampai ke Kenjeran. Tidak hanya itu, perkampungan juga banyak ditemukan memanjang mengikuti jalur kereta seperti yang ada di sekitar wilayah Pasar Turi dan Semut.

Menuju akhir abad ke-20, perkembangan Kota Surabaya semakin tidak terkendali. Memasuki awal abad ke-21 hingga sekarang, pola permukiman sudah tidak mengikuti aliran sungai karena sudah padat penuh. Pola berkembang menjadi ke pinggiran: sawah di barat dan tambak di timur menjadi perumahan.

Sejak akhir abad ke-20 dan memasuki awal abad ke-21, Surabaya telah berkembang menjadi metropolitan, bahkan sekarang menuju megapolitan. Surabaya bukan lagi kawasan industri tetapi pusat bisnis dan jasa seperti Jakarta. Hal ini ditandai dengan bergesernya industri dari manufaktur menjadi jasa dan properti. Industri manufakturnya bergeser ke daerah penyangga seperti Gresik, Mojokerto, dan Sidoarjo.


Ekspansi Kapital Mengubah Penataan Ruang

Di atas telah disinggung sedikit bahwa pertumbuhan kota membawa sejumlah problem yang tidak lepas dari faktor ekonomi. Ekspansi sektor privat yang tidak terkendali merupakan salah satu alasan mengapa persoalan tata ruang di Surabaya benar-benar kompleks.

Sejarah mencatat awal abad ke-18 menuju abad ke-19 adalah permulaan dari modernisasi dengan pembangunan yang fokus pada ekonomi. Rimmer dan Dick (2009) mengatakan bahwa Surabaya pada abad ke-19 mulai berkembang menjadi pusat perdagangan utama dan menjadi rumah bagi pangkalan angkatan laut terluas Hindia Belanda. Surabaya juga menjadi pusat perkebunan dan industri di Jawa, didukung oleh pelabuhan serta infrastruktur jalan pos.

Perkembangan ini pun tercatat dalam riset Basundoro (2013). Dia mengatakan bahwa perubahan di Surabaya yang melalui proses industrialisasi tidak lepas dari kebijakan saat itu, undang-undang kolonial tentang agraria dan gula, pada tahun 1870. Kebijakan tersebut memberikan ruang untuk meningkatkan industri dan perdagangan serta perluasan wilayah administrasi. Hal ini mempercepat kenaikan pertumbuhan penduduk tak hanya di Surabaya tapi juga kota besar lain di Jawa. 

Masih mengutip Basundoro (2013), pada tahun 1945 penduduk Surabaya sebanyak 618.369 orang, lalu pada akhir 1951 meningkat pesat menjadi 855.891, kemudian pada tahun 1958 menjadi 1.043.283. Sekarang penduduk Kota Surabaya berjumlah sekitar 2.987.863 orang. Artinya, terjadi lonjakan hampir 1,9 juta penduduk selama 64 tahun.

Tentu perkembangan industri mengubah wajah kota yang akhir-akhir ini bergeser sebagai pusat bisnis. Ia memantik perubahan masif pada pemanfaatan ruang. Kebanyakan dipergunakan untuk perumahan, pusat perbelanjaan, dan aneka bangunan hiburan. Ruang kosong semakin hilang serta terjadi aneka alih fungsi kawasan seperti sawah dan mangrove.

Perlu diketahui bahwa perubahan tersebut tidaklah liar, artinya legal. Perubahan difasilitasi oleh kebijakan penataan ruang melalui PERDA RTRW yang memakai logika “tata ruang mengikuti skema bisnis”. 

Lihat saja statistik periode 2011-2016. Selama lima tahun itu Kota Surabaya cenderung berkembang pesat, ditandai dengan bertambahnya luas lahan yang terbangun (1554,61 hektare). Dari total luas tersebut, alih fungsi atau perubahan pemanfaatan lahan berkembang hampir di seluruh wilayah Surabaya. Di Surabaya Timur, sekitar 708,51 hektare lahan dan 23,24 hektare lahan di Surabaya Utara berubah menjadi fasilitas umum, kawasan komersial, pergudangan, kawasan industri, dan sebagian besar kawasan pemukiman. Di Surabaya Barat, lahan seluas 289,16 hektare telah berubah menjadi kawasan pergudangan dan industri. Kawasan komersial juga berkembang pesat sekitar 89,56 hektare di Surabaya Pusat, lalu 137,46 hektare di Surabaya Selatan (Firmansyah Dkk, 2018).

Rata-rata alih fungsi tersebut menyasar lahan-lahan kosong terutama kawasan tambak dan pertanian. Penelitian yang dilakukan oleh Firmansyah dkk. (2021) menyebutkan bahwa Kota Surabaya merupakan salah satu wilayah yang mengalami kehilangan lahan pangan terutama sawah cukup besar. Melalui citra satelit didapatkan sekitar 255,58 hektare lahan sawah beralih fungsi; sekitar 116,08 hektare menjadi perumahan, 138,90 hektare menjadi kawasan industri, dan 0,59 hektare menjadi jalan tol. Perubahan kebanyakan berada di kawasan pinggiran perbatasan antara Gresik dan Sidoarjo, dalam hal ini Surabaya Barat. Hal ini membuat wilayah tersebut menyerupai kawasan pusat kota yakni Surabaya Pusat dan Selatan.

Pemerintah dan korporasi berperan besar dalam alih fungsi lahan. Novenanto (2019) menyebutkan bahwa proyek pembangunan di Surabaya yang linier dengan alih fungsi diakselerasi oleh peran dari pemkot. Alih fungsi ini dapat dibaca dari beberapa proyek, salah satunya adalah penyediaan perumahan dan pengembangan kawasan perumahan sejak 1977. Pada tahun 1985, pengembangan perumahan ini menggandeng sekitar 35 pengembang swasta. Lalu pada 1996-1999 terjadi tukar guling lahan pemkot di pusat kota dengan beberapa pengusaha yang memiliki lahan di kawasan pinggiran, salah satunya untuk kebutuhan Surabaya Sport Center. Pada tahun 2001, terjadi tukar guling aset antara pemkot dengan PT Inti Insan Lestari (Villa Bukit Mas)  berupa waduk di Kelurahan Dukuh pakis seluas 1.878 m2. Lalu pada tahun 2008 tukar guling kembali dilakukan, kali ini pemkot dengan PT. Ciputra pada beberapa waduk, salah satunya Waduk Sepat dan Jeruk dengan tanah di Benowo untuk kebutuhan pembangunan Surabaya Sport Center.

Tidak hanya itu, pemkot juga memfasilitasi kebijakan tata ruangnya. Pada Perda Nomor 12 Tahun 2014 tentang RTRW Surabaya 2014-2034, kata kawasan hijau pertanian dihilangkan. Di sana terdapat pula alih fungsi kawasan bozem termasuk waduk yang adalah kawasan lindung menjadi perumahan, contoh kasusnya Waduk Sepat dan Jeruk.

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.

Alih fungsi lahan yang masif memang tidak dapat dilepaskan dari peran dan pengaruh modal. Jika kita memakai pendekatan gentrifikasi, maka alih fungsi kawasan pada wilayah pinggiran tidak bisa dilepaskan dari proses komodifikasi atas tanah. Tanah pada kawasan pinggiran cenderung dilihat tidak berfungsi sehingga dihargai murah, tapi diusahakan dan dijual atau disewakan dengan harga mahal. Ini yang oleh Smith (2005) sebut sebagai rent-gap. Kawasan pinggiran pun diincar untuk memperluas geografi modal, sebagai salah satu cara agar kapital tetap dapat bertahan dan tidak kolapsseperti yang disampaikan oleh Harvey dalam bukunya New Imperialism bagian Capital Bondage (hal 87-19, 2003).

Tentu kebijakan tata ruang dari pemerintah juga berperan, sebagaimana telah disinggung. Kebijakan menjadi faktor penting yang mendorong pola gentrifikasi dan alih fungsi lahan. Karena kebijakan memfasilitasi perubahan ruang, terjadi pola pembangunan ulang atau re-development pada kawasan pinggiran (Knaap, 2022). Kebijakan alih fungsi ini juga sejalan dengan pengaturan ruang yang memang menempatkan pembangunan kawasan terutama untuk menunjang perkembangan industri, serta memfasilitasi pemodal (Padawangi, 2022: 22-23). Term tentang tata ruang mengikuti pola bisnis terlihat pada perkembangan masif industri yang mulai bergeser ke pinggiran (periphery), lalu memunculkan suburban dan permukiman-permukiman baru melalui industri perumahan (real estate).

Kebijakan pun didorong untuk direvisi untuk menunjang perubahan yang tidak terkendali, juga munculnya pembentukan kawasan aglomerasi GERBANGKARTASUSILA sebagai konsekuensi tidak berjalannya pengaturan pola ruang melalui kebijakan tata ruang sebelumnya. Ini semua menunjukkan tidak adanya imajinasi pengaturan tata ruang selama ini (Hudalah Dkk, 2018: 267-268).


Krisis Ekologis Menghinggapi Surabaya

Dampak dari segala alih fungsi sudah cukup terasa. Beberapa riset dan temuan menunjukkan bahwa Surabaya semakin mengalami penurunan ruang terbuka. Dampak dari semakin sesaknya Surabaya adalah peningkatan suhu permukaan atau dikenal sebagai Urban Heat Island (UHI). Peningkatan suhu pada kawasan urban ini dipengaruhi oleh konfigurasi ruang, terutama bertambahnya bangunan (Syafitri Dkk, 2021a); (Syafitri Dkk, 2021b). Selain itu, peningkatan suhu secara konkret dipengaruhi oleh menurunnya tutupan lahan dan peningkatan kendaraan bermotor. Perubahan tutupan lahan sejak 2014-2019 sekitar 2989,8 hektare akan memicu kenaikan suhu permukaan sekitar 3,95 derajat Celsius. Suhu permukaan yang tinggi menyasar kawasan yang padat aktivitas seperti kawasan permukiman, kawasan industri, dan kawasan pemerintahan (Khafid Dkk, 2020).

Problem lain dari semakin banyaknya alih fungsi adalah banjir yang semakin masif. Meski pemkot telah membangun fasilitas seperti saluran air hingga rumah pompa yang mempercepat surutnya genangan, tetapi titik banjir di Surabaya semakin meluas. Hal ini menunjukkan bahwa luasan ruang terbuka hijau di Surabaya tidak sebanding dengan penurunan jumlah kejadian banjir, bahkan justru semakin meluas. Artinya, peningkatan ruang terbuka hijau di Surabaya memang sejalan dengan peningkatan alih fungsi kawasan.

Sebagai sebuah kota, Surabaya terus tumbuh. Tetapi pertumbuhannya memakan banyak ruang kawasan penyangga menjadi yang lain. Meskipun menunjukkan tren positif, berupa peningkatan ruang terbuka hijau, tetapi itu juga sejalan dengan alih fungsi ruang lainnya. Ketiadaan rencana tata ruang yang sejalan dengan kerentanan wilayah serta hanya mengikuti syahwat modal telah mendorong Surabaya menuju fase kritis.

Alih-alih menyelesaikan persoalan, para pemangku yang berkepentingan malah menambah masalah dengan aneka alih fungsi. Dalam imajinasi mereka, segala persoalan solusinya one size fit all atau dapat diselesaikan dengan pembangunan. Selain itu, bagi pemangku kepentingan, imajinasi kota tidak lain adalah banyaknya gedung pencakar langit.

Mereka juga masih menyasar “pendatang”. Faktor migrasi dijadikan kambing hitam persoalan ruang. Padahal, jika dilihat lebih dalam, persoalan di Surabaya sangat kompleks, salah satunya ketimpangan ekonomi dan tidak sensitifnya pemerintah dalam membuat kebijakan. Ini semua membuat tren tata ruang Surabaya ke sisi negatif: dari tahun ke tahun kerentanan wilayahnya semakin meningkat.

Roda masa depan Surabaya mesti dikembalikan lagi kepada warga kota yang mendiami ruangnya. Mereka harus mengambil peran untuk mendesak dan mendorong pemangku kepentingan dari pusat, provinsi, hingga kota untuk mengambil kebijakan yang lebih sensitif ruang dan pro-ekologi.


Referensi

Astuti, S. R., Nurhajarini, D. R., & Nurdiyanto, N. (2016). Pembangunan pelabuhan Surabaya dan kehidupan sosial ekonomi di sekitarnya pada abad XX. Yogyakarta: Balai Pelestarian Nilai Budaya Daerah Istimewa Yogyakarta.

Basundoro, P. (2018). Merebut Ruang Kota: Aksi Rakyat Miskin Kota Surabaya 1900-1960an. Jakarta: Marjin Kiri.

Baskoro, S. (2017). “Surabaya Sebagai Kota Kolonial Modern Pada Akhir Abad Ke-19: Industri, Transportasi, Permukiman, Dan Kemajemukan Masyarakat (Surabaya as Modern Colonial City at the End of 19th Century: Industry, Transportation, Settlement, and Pluralism Society).” Mozaik Humaniora17(1), 157-180.

Firmansyah, F., Pamungkas, A., & Larasati, K. (2018). “Spatial pattern analysis using spatial metrics: a case study in Surabaya, Indonesia.”  IOP Conference Series: Earth and Environmental Science, 202. https://doi.org/10.1088/1755-1315/202/1/012018.

Firmansyah, F., Susetyo, C., Pratomoatmojo, N., Kurniawati, U., & Yusuf, M. (2021). “Land use changes the trend of paddy fields and its influence on food security in Gerbangkertosusila Region.” IOP Conference Series: Earth and Environmental Science, 778. https://doi.org/10.1088/1755-1315/778/1/012023.

Handinoto. (1996). Perkembangan kota dan arsitektur kolonial Belanda di Surabaya, 1870-1940. Yogyakarta: Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat, Universitas Kristen PETRA Surabaya dan Penerbit ANDI Yogyakarta.

Hartono, S., & Handinoto, H. (2007). “Surabaya Kota Pelabuhan (‘Surabaya Port City’) Studi tentang perkembangan ‘bentuk dan struktur ’sebuah kota pelabuhan ditinjau dari perkembangan transportasi akibat situasi politik dan ekonomi dari abad 13 sampai awal abad 21.” DIMENSI (Journal of Architecture and Built Environment)35(1), 88-99.

Harvey D. (2003). The new imperialism. Oxford: Oxford University Press.

Hudalah, D., Benita, T., & Gumilar, I. E. P. (2018). “Peri-urbanization in the Surabaya metropolitan area: An industrial transformation perspective.” Routledge Handbook of Urbanization in Southeast Asia (pp. 265-276). London: Routledge.

Khafid, M. A., Wicaksono, A. P., Elwantyo, B., & Dewantoro, B. (2020). “Method of Land Cover Change and Number of Vehicles Increasing on Land Surface Temperature: Case Research of Surabaya City, East Java Province, Indonesia.” Int. J. Innov. Technol. Explor. Eng.9(3S), 177-181.

Knaap, E. (2022). “The spatial analysis of gentrification: Formalizing geography in models of a multidimensional urban process.” Handbook of Spatial Analysis in the Social Sciences, 384.

Novenanto, A. (2019). “Kota Sebagai Ruang Terbuka: Belajar Dari Waduk Sepat, Surabaya.” BHUMI: Jurnal Agraria dan Pertanahan5(2), 180-194.

Padawangi, R. (2022). Urban Development in Southeast Asia. Cambridge University Press.

Ricklefs, M. C. (2008). A History of Modern Indonesia since c. 1200: Fourth Edition. London: MacMillan.

Rimmer, P. J., & Dick, H. W. (2009). The city in Southeast Asia: Patterns, processes and policy. Singapura: NUS press.

Syafitri, R., Pamungkas, A., & Santoso, E. (2021a). “Urban Form Factors that Play Important Roles on UHI Spatial-Temporal Pattern: A Case Study of East Surabaya, Indonesia.” IOP Conference Series: Earth and Environmental Science, 764. https://doi.org/10.1088/1755-1315/764/1/012030.

Syafitri, R., Pamungkas, A., & Santoso, E. (2021b). “The Impact of Urban Configuration to the Urban Heat Island in East Surabaya.” IPTEK Journal of Proceedings Series. https://doi.org/10.12962/j23546026.y2020i6.11145.

Smith, N. (2005). The new urban frontier: Gentrification and the Revanchist City. London: Routledge.


Wahyu Eka Styawan adalah Direktur Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) Jawa Timur.

]]>
Paradoks Rezim Politik Lingkungan dan Penghancuran Masyarakat Adat Papua https://indoprogress.com/2023/10/penghancuran-masyarakat-adat-papua/ Sun, 22 Oct 2023 23:44:12 +0000 https://indoprogress.com/?p=237752

Ilustrasi: illustruth


ISU lingkungan pada abad ke-21 ini sudah menjadi “tata bahasa baru” dan perhatian negara-negara dunia. Revolusi industri Eropa abad ke-18 menghasilkan perubahan besar berupa sistem pabrik. Seiring perkembangannya, produksi yang semula mengandalkan tenaga kerja manusia dan makhluk hidup lain beralih pada tenaga mesin berbasis manufaktur lalu disusul dengan berbagai teknologi terbarukan. Kondisi ini berdampak langsung pada iklim global yaitu munculnya gas rumah kaca (GRK). GRK terutama disebabkan oleh endapan gas pabrik seperti karbon dioksida (C02), metana (CH4), dan nitrous oksida (N20) pada atmosfer sehingga menyebabkan panas laiknya di dalam rumah berkaca. 

Kekhawatiran masyarakat terhadap perubahan iklim ditandai dengan dibentuknya badan khusus di bawah Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) bernama UN Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) (Nugroho, 2004). Sidang pertama atau Conference of the Parties/COP1 diadakan di Berlin, Jerman, tahun 1995, juga dikenal dengan nama Mandat Berlin. Hasil pertemuan memberikan mandat kepada para pihak agar segera meluncurkan serangkaian rencana pembicaraan untuk memperjelas komitmen negara-negara maju—daftarnya diberi nama “Annex I”. Untuk keperluan menyusun perjanjian, dibentuk pula Ad-Hoc on Berlin Mandate (AGBM).

Setelah delapan kali bersidang, AGBM menghasilkan sebuah teks penting yang diajukan pada COP3 di Kyoto, Jepang, pada 1997. Hasilnya adalah Protokol Kyoto. Protokol Kyoto merupakan landasan hukum negara-negara Annex-I untuk mengurangi gabungan emisi GRK paling sedikit 5 persen dari tingkat emisi tahun 1990 pada 2008-2012. 

Dalam pertemuan tersebut, negara berkembang tidak diwajibkan menurunkan emisi (Murdiyarso, 2003). Meski begitu, mereka tetap terlibat. Pertimbangan ekonomi-politik adalah alasan yang paling mungkin untuk menjelaskan keadaan semacam ini. Kepentingan itu salah satunya tercermin dalam mekanisme perdagangan karbon (emission carbon trading). Contohnya tidak lain adalah Indonesia. Meski tak mempunyai obligasi dalam penurunan emisi, namun secara ekonomi-politik Indonesia berkepentingan untuk memanfaatkan kerangka kerja sama semacam ini dengan sejumlah negara Annex I. Mekanismenya mampu mendatangkan profit melalui berbagai skema pendanaan hutan hujan tropis.

COP3 menghasilkan tiga mekanisme penting pencegahan perubahan iklim. Pertama, Mekanisme Pembangunan Bersih (Clean Development Mechanism, CDM); kedua, Joint Implementations (JI); dan terakhir adalah Emission Trading (ET).  Dari semuanya, hanya CDM yang dianggap dapat diterapkan di sejumlah negara berkembang. Tapi itu juga ternyata masih belum memberi manfaat langsung (Murdiyarso, 2003). Sebab itu, sejumlah negara berkembang—termasuk Indonesia—sepakat untuk membahasnya pada COP13 yang diselenggarakan di Bali pada 2007. Pertemuan itu menghasilkan Rencana Aksi Bali (Bali Action Plan) sebagai peta jalan negosiasi strategi iklim global untuk melanjutkan Protokol Kyoto. 

COP terus bergulir dan terakhir adalah COP27 yang digelar pada 6-18 November 2022 di Mesir. 

Dalam Nationally Determined Contribution (NDC), sebuah dokumen penting yang berisi komitmen perjanjian dan upaya tindak lanjut pengurangan emisi karbon, disebutkan bahwa Indonesia telah mengambil langkah-langkah signifikan dalam penggunaan lahan demi mengurangi emisi. Misalnya dengan memoratorium izin baru dan meningkatkan tata kelola hutan alam primer serta lahan gambut, juga mengurangi deforestasi dan degradasi hutan, memulihkan fungsi ekosistem, serta pengelolaan hutan yang berkelanjutan. NDC juga secara eksplisit menjelaskan upaya-upaya perhutanan sosial melalui partisipasi aktif pemerintah daerah, swasta, usaha mikro, organisasi masyarakat sipil, komunitas adat, dan perempuan baik dalam tahap perencanaan maupun pelaksanaan. 

Sejumlah program dan strategi kunci hingga rencana tindak lanjut mitigasi dan litigasi perubahan iklim pun diutarakan pemerintah dalam NDC. Salah satunya adalah membangun ketahanan ekonomi (economic resilience) melalui program pengurangan deforestasi dan degradasi hutan. Tindak lanjutnya meliputi: (1) memperkuat implementasi upaya pengurangan deforestasi; (2) penggunaan berkelanjutan dari produk non-kayu oleh masyarakat lokal dan adat; (3) identifikasi, pengembangan, dan implementasi praktik terbaik kearifan lokal dalam pemanfaatan sumber daya hutan; (4) menciptakan lingkungan yang memungkinkan untuk teknologi ramah lingkungan; dan (5) memfasilitasi, mengawasi, menegakkan, dan mematuhi implementasi EFT.


Kebijakan lingkungan yang bertolak belakang

Berbagai aksi terkait pentingnya pengarusutamaan kebijakan yang prolingkungan telah dilakukan pada tingkat lokal, nasional, hingga internasional. Di tingkat internasional, gerakan masif dikampanyekan oleh ratusan orang dewasa dan anak-anak usia sekolah melalui climate strike action yang berlangsung di sejumlah negara. Pada level nasional, kita bisa menyebut banyak kelompok seperti Greenpeace Indonesia, PUSAKA Bentala Rakyat, dan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi). Masih banyak lagi organisasi yang hirau terhadap problem lingkungan hidup dan agraria di Indonesia. 

Meski banyak yang bergerak, bukan berarti semua dapat diselesaikan dengan mudah. Tak banyak tuntutan-tuntutan yang dilayangkan kelompok pelestarian lingkungan diselesaikan dengan political will yang kuat oleh pemerintah. Sebaliknya, gerakan-gerakan prolingkungan justru dianggap mengganggu investasi dalam negeri

Tidak heran jika kemudian kita justru akan takjub bukan main dalam arti negatif melihat “komitmen etis” Indonesia dalam rezim politik lingkungan global seperti yang dijabarkan di atas. Takjub sebab itu semua umum diketahui jauh panggang dari api. Regulasi terkait lingkungan hidup justru tumpang tindih dan bahkan bertolak belakang dengan komitmen-komitmen internasional yang serba bombastis itu. 

Salah satunya lewat Undang-Undang Cipta Kerja yang kontroversial. UU tersebut dianggap bermasalah dan cenderung melegitimasi praktik deforestasi di Indonesia terutama di daerah-daerah otonomi baru (Riendy, 2021)—termasuk Papua. Pengaturan terkait clean and clear dalam izin Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal), misalnya, justru dikendalikan pemerintah pusat. Kebijakan itu termuat dalam pasal-pasal karet yang terkesan mengabaikan resistansi masyarakat sipil dan komunitas adat. Lantas, bagaimana bisa terjamin tidak ada conflict of interest antara pemerintah, korporasi, dan oligarki yang selama ini beroperasi di Indonesia dan terutama di Papua? 

Bukankah sengketa Haris Azhar dan Fatia Maulidiyanti vs Luhut Binsar Pandjaitan adalah pelajaran berharga sekaligus contoh paling mengerikan bagaimana peliknya persoalan konsesi yang tak berpihak terhadap orang asli Papua sudah terjadi secara struktural? Ada pula perjuangan suku Auyu di Boven Digoel yang tengah memperjuangkan keadilan hutan di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jayapura setelah Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) Papua mengeluarkan izin bagi perusahaan sawit PT Indo Asiana Lestari (IAL) di tanah mereka. Izin itu tentu saja mengabaikan komunitas Auyu yang sejak dahulu hidup berdampingan dengan hutan.

Papua memang contoh konkret bagaimana tidak sesuainya komitmen dan kebijakan lingkungan di Indonesia. Gambar dari NASA di atas adalah kondisi faktual di Papua pada 2002 hingga 2019, yang berubah sebab terjadi penebangan hutan di sepanjang Sungai Digul dekat Banamepe, sebuah kawasan yang dibuka antara 2011 dan 2016. Masih mengutip NASA, peta ini menunjukkan hutan hujan dataran rendah dan hutan rawa dibersihkan untuk beberapa perkebunan skala besar.

Menurut Gaveau et al (2021), perkebunan sawit dan jalan di Papua masif dibangun setelah 2011 dan mencapai puncak pada 2015-2016. Dengan memanfaatkan data satelit, mereka menemukan bahwa sejak 2001 sampai 2019, hutan tua Papua telah dibuka untuk beragam keperluan. Misalnya perkebunan industri yang berkembang seluas 0,23 juta hektare (setara 28% dari hutan yang hilang) menjadi total 0,28 juta hektare pada 2019 (97% kelapa sawit dan 3% pulp). Sementara jalan Trans-Papua, proyek investasi nasional sepanjang 4.000 km, meningkat sejauh 1.554 km. Mereka menemukan memang korelasi positif antara ekspansi jalan dan perkebunan. 

Sebanyak 82 persen wilayah Boven Digoel bahkan kini telah dikuasai oleh perusahan kayu, Hutan Tanaman Industri (HTI), dan perkebunan sawit. Di sana banyak perusahan sawit yang beroperasi. Salah satunya adalah PT Megakarya Jaya Raya yang telah membuka lahan sawit seluas 40 km persegi. Tentu saja itu bukan sekadar angka apalagi ruang kosong. Hutan Digoel adalah ruang hidup bagi lima suku besar: Auyu, Muyu, Mandobo, Koroway, dan Kombay. Hutan di Boven Digoel merupakan bagian dari satu kesatuan kawasan hutan hujan tropis di Papua yang memiliki fungsi vital sosio-ekologis. Perusahan sawit juga telah memicu kekisruhan dengan penduduk lokal sebab mereka kehilangan area untuk bertani karet dan akhirnya menjadi buruh sawit. 

Kondisi ini bertolak belakang dengan moratorium alih fungsi hutan untuk perkebunan dan pertambangan yang dicanangkan oleh Presiden Joko Widodo. Juga kontraproduktif dengan komitmen Indonesia seperti yang tertuang dalam Perpres No. 62 tahun 2013 tentang Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca dari Deforestasi, Degradasi Hutan dan Lahan Gambut. Perpres tersebut merupakan wujud komitmen pemerintah untuk mengimplementasikan sejumlah konvensi internasional terkait perubahan iklim global yang telah diratifikasi dan ikut mendorong partisipasi masyarakat adat sebagai pilar penting dalam upaya pelestarian dan konservasi hutan melalui sejumlah skema.


Dibunuh dengan sawit dan beras

Laut berisi ikan segar  dijaring untuk membeli kaleng berisi ikan

Panen kasbi dari kebun untuk keripik singkong dalam kemasan 

Demi sejajar dalam pola sakitnya pangan, bayangkan jika lida saja bisa alami penjajahan

Penggalan puisi yang pernah dilantunkan musisi asal Papua Epo D’Fenomeno di ibu kota di atas mengingatkan saya pada kehidupan orang Marind, penduduk asli Merauke, yang kini berhadapan dengan program Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE). Bagi orang Marind, MIFEE tak ubahnya tik dema yang akan memusnahkan mereka (Savitri, 2013), Tik dema atau donovanosis adalah penyakit menular seksual yang disebabkan oleh infeksi bakteri menahun yang melanda orang Marind sejak ekspansi kolonialisme Belanda pada 1902 di Merauke (Richens, 2022). 

Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), Kabupaten Merauke (kini termasuk Provinsi Papua Selatan) adalah penghasil tanaman padi terbesar di Provinsi Papua. Tahun 2022, panennya mencapai 219.044,44 ton di lahan seluas 54.612,25 hektare atau setara 4,01 ton per hektare. Distrik Jagebob dan Distrik Kurik berada di tingkat pertama dalam hal luas produksi dan jumlah panen padi sejak 2021. Dua distrik itu adalah basis permukiman para transmigran yang datang sejak 1960-an. Sementara tanaman perkebunan yang banyak dihasilkan Kabupaten Merauke adalah sawit dengan produksi sebanyak 170.461.419,08 ton dan luas tanam seluas 87.860,96 hektare. Ulilin merupakan kecamatan dengan luas tanam terluas, yaitu 53.133,02 hektare.

Penetrasi yang memengaruhi pangan lokal orang Marind ini sebetulnya bukan perihal baru. Sejak Belanda menduduki Papua, Merauke menjadi salah satu wilayah yang dipersiapkan sebagai basis proyek agrikultur terbesar pada 1947. Belanda mendatangkan para peneliti serta teknologi pertanian untuk melakukan riset-riset yang mendukung proyek tersebut. Hasilnya, tanaman padi “memiliki potensi” untuk dikembangkan di daerah Kurik. Belanda juga merencanakan pembangunan sawah seluas 12.000 hektare, terbentang dari Serapu hingga Nasai, termasuk rencana peternakan sapi. 

Di Indonesia, praktik monokultur di pertanian dan perkebunan berikut dampak kerusakan ekosistem alamnya, paling tidak, telah berlangsung sejak kebijakan Revolusi Hijau di masa Orde Baru. Inilah kebijakan yang memorak-porandakan basis pertanian dan perkebunan rakyat di berbagai daerah, tak pelak Papua sejak 1960-an. Revolusi Hijau menjadi cikal bakal rezim untuk “meningkatkan” produktivitas hasil pangan dengan teknologi pertanian modern. Dengan demikian, produksi pangan lokal yang semula bersandar pada alat produksi tradisional digantikan dengan barang modern—dengan tujuan optimalisasi (W. B. Nugroho, 2018). Logika industri semacam ini yang disebut Jason W. Moore sebagai paket reformasi yang dirancang untuk mencegah tujuan politik revolusioner dari banyak gerakan petani dan buruh—reformasi agraria yang menyeluruh. Karena itu, dalam implementasinya, Revolusi Hijau sering kali menjadi program yang otoriter (Patel & Moore, 2018).

Cara inilah yang kini tampak direpetisi oleh pemerintah melalui beragam  program dan skema bercorak neo-kolonial. Padi yang bukan pangan lokal orang Marind justru diklaim sebagai komoditas unggulan Merauke, melampaui sagu, pisang, keladi, dan pangan lokal lainnya. 

Upaya untuk menggantikan pangan lokal orang Marind terus digenjot tanpa ampun. Dalam acara bertajuk Budidaya dan Hilirisasi Produk Hasil Perkebunan, tahun 2022, Sulaeman L. Hamzah, anggota DPR dapil Papua, mengatakan: Kalau Merauke dan tiga kabupaten lainnya di selatan Papua (Mappi, Asmat, dan Boven Digoel) punya potensi untuk didorong menjadi sentra industri perkebunan. Sulaeman menyebut, komoditas unggulan selain padi perlu dianggap sebagai salah satu brand daerah. Komoditas yang dia maksud adalah sagu, makanan pokok orang Papua. Katanya, karena Indonesia memiliki luas hutan sagu terbesar (mencapai 5,6 juta hektare, sementara total hutan sagu di dunia seluas 6,5 juta hektare) dan Papua sendiri memiliki 4 juta hektare hutan sagu dan terbesar berada di Kabupaten Mappi, maka produksi didorong menggunakan mesin. Jika diterapkan, maka produksi sagu orang Marind yang bersifat komunal dan bersandar pada pengetahuan adat rentan tercerabut. Orang Marind tak lagi bakal bersentuhan langsung dengan sagu dan pengetahuan terkait produksi sagu berikut narasi adat di baliknya juga ikut berubah. 

Bagi orang Marind, makanan hutan mengungkapkan identitas budaya dan wilayah serta menegaskan hubungan intim dengan leluhur, juga hutan yang hidup. Pola makan semacam ini secara rutin dianggap terbelakang secara budaya, evolusioner, dan minim nutrisi oleh negara dan aktor perusahaan yang bercokol di Merauke (Chao, 2022). Logika “industri” dan “kecepatan” memang kerap dipakai pemerintah untuk menggaungkan praktik pertanian dan perkebunan modern di Merauke sembari mengaburkan efek destruktifnya. Praktik semacam itu kerap diselubungi dengan jargon seperti kemajuan, lumbung pangan dunia, dan seterusnya

Pada masa sebelum menguatnya dominasi beras, orang Papua masih bisa bertahan hidup dengan pangan lokal ketika paceklik menyerang. Situasi itu hampir tak lagi ada sekarang. Untuk membayangkan diet nasi dan kembali ke pangan lokal saja mungkin terlalu jauh. Hal ini kini dialami warga Kampung Anggai, Kabupaten Boven Digoel. Bonevasius Hamnagi, seorang kepala marga, dengan raut sedih berkisah bahwa hasil alam seperti kayu, rotan, dan sagu yang Tuhan berikan rusak seketika. “Kami sedih kalau hutan jatuh [dirusak] begitu saja. Sebab kalau bukan kita, berarti anak cucu, cece, ke depan [yang akan kesusahan],” katanya dalam video yang dirilis The Gecko Project.

Tanah Papua bukan tanah tak bertuan. Hampir seluruh tanah adalah tanah komunal, yang artinya dimiliki oleh komunitas adat (marga) tertentu. Namun, negara dan korporasi kerap mereduksinya menjadi objek garapan yang secara gampang dikelola melalui beragam program dan skema atas nama kesejahteraan. Salah satu skema selain MIFEE yang menjadi jualan internasional di rezim perdagangan karbon adalah perhutanan sosial. Skema ini kemudian mengatur soal klasterisasi hutan (PP 23/2021): hutan desa, hutan kemasyarakatan, hutan tanaman rakyat, hutan adat, dan kemitraan kehutanan meski implementasinya tak pernah merasakan trickle down effect. Salah satu penyebabnya karena terlalu banyak anak tangga birokrasi yang mesti ditempuh oleh masyarakat adat di Papua.

Pada saat yang sama, hutan terus dibabat tanpa ampun. Rusa dan babi hutan lari berhamburan hingga burung kakaktua jatuh dan mati sebab kehabisan tenaga mencari pepohonan yang menjadi rumahnya.


Referensi:

Chao, S. (2022). Gastrocolonialism: The intersections of race, food, and development in West Papua. The International Journal of Human Rights, 26(5), 811–832. https://doi.org/10.1080/13642987.2021.1968378

Gaveau, D. L. A., Santos, L., Locatelli, B., Salim, M. A., Husnayaen, H., Meijaard, E., Heatubun, C., & Sheil, D. (2021). Forest loss in Indonesian New Guinea: Trends, drivers, and outlook (p. 2021.02.13.431006). bioRxiv. https://doi.org/10.1101/2021.02.13.431006

Murdiyarso, D. (2003). Protokol Kyoto: Implikasinya bagi negara berkembang. Penerbit Buku Kompas.

Nugroho, H. (2004). Ratifikasi Protokol Kyoto, Mekanisme Pembangunan Bersih dan Pengembangan Sektor Energi Indonesia: Catatan Strategis.

Nugroho, W. B. (2018). SOCIAL CONSTRUCTION OF GREEN REVOLUTION IN THE ORDE BARU. SOCA: Jurnal Sosial Ekonomi Pertanian, 54–62. https://doi.org/10.24843/SOCA.2018.v12.i01.p04

Patel, R., & Moore, J. W. (2018). A history of the world in seven cheap things: A guide to capitalism, nature, and the future of the planet. University of California Press.

Richens, J. (2022). Tik Merauke An Epidemic Like No Other. Melbourne University Publishing.

Riendy, Y. (2021). Dampak Undang-Undang Cipta Kerja Terhadap Otonomi Daerah Ditinjau Dari Pasal 26 Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Pamulang Law Review, 4(1), Article 1. https://doi.org/10.32493/palrev.v4i1.12794

Savitri, L. A. (2013). Korporasi & politik perampasan tanah (Cetakan pertama). Insist Press.


Ferdinando Septy Yokit, sedang belajar di Pascasarjana Kajian Budaya Universitas Sanata Dharma Yogyakarta

]]>
Berebut Nafkah di Daerah Ekstraktif: Cerita dari Magelang https://indoprogress.com/2023/07/berebut-nafkah-di-daerah-ekstraktif-cerita-dari-magelang/ Tue, 04 Jul 2023 06:17:24 +0000 https://indoprogress.com/?p=237593

Ilustrasi: Kompas/Ferganata Indra Riatmoko


PERMINTAAN pasokan pasir untuk kepentingan bisnis konstruksi terus meningkat, menghasilkan penambangan yang semakin mendekati wilayah gunung api. Inilah kisah yang terjadi di Kabupaten Magelang, Jawa Tengah. Masuknya permintaan pasokan pasir telah mengubah lanskap penghidupan dan basis sosial-ekologis rakyat di sekitar Gunung Merapi.

Pasir Merapi pada dasarnya adalah “sumber daya lintas batas” karena digunakan untuk kebutuhan konstruksi di Pulau Jawa. Karakter lintas batas juga muncul ketika pasir Merapi diangkut melewati batas dua provinsi dan dua kabupaten, sehingga menyulitkan pengaturan terhadap eksploitasi alam yang dilakukan oleh korporasi (pihak luar). Padahal, mereka bersinggungan dengan warga setempat (Miller, 2022). 

Pasir Merapi selalu menjadi incaran para pebisnis karena konon memiliki keunggulan seperti mampu membuat daya tahan beton lebih lama, jika dibandingkan menggunakan pasir dari sungai dan lahan pribadi. Pasir Merapi lebih cepat laku dibandingkan pasir sungai dan lahan pribadi yang bisa tersimpan di depo selama seminggu bahkan lebih. Batu andesit dari Merapi juga mendukung perkembangan kerajinan batu ukir di sepanjang kota-kota Jawa Tengah (Miller, 2022).


Merapi Santapan Khalayak

Penambangan pasir di Magelang dimulai sekitar tahun 1970, di mana masyarakat sekitar sungai yang berhulu di Gunung Merapi mencoba mengambil pasir. Mereka mengambil pasir menggunakan alat seperti cangkul, linggis, slenggrong, ayakan, dan sebagainya (Varhan & Taufik, 2019). Tambang pasir Merapi di Magelang pertama diatur melalui Peraturan Daerah Provinsi Jawa Tengah No. 6 Tahun 1994, tentang Usaha Pertambangan Bahan Galian Golongan C di Provinsi Dati I Jawa Tengah.

Setelah itu, penambangan menggunakan alat berat dimulai pada tahun 1998. Kegiatan penambangan pasir sekitar Merapi dilakukan di beberapa daerah aliran sungai yakni, Sungai Apu, Sungai Trising, Sungai Senowo, Sungai Pabelan, Sungai Lamat, Sungai Blongkeng, Sungai Putih, Sungai Batang, Sungai Bebeng, Sungai Krasak, dan Sungai Progo serta pekarangan ataupun ladang warga di sekitar sungai (Pangastuti, 2012). 

Penambangan manual dilakukan oleh penduduk sekitar maupun pendatang dari luar Magelang. Penambangan dilakukan secara berkelompok sejak pagi dan bersama-sama dijual kepada truk pasir yang datang. Penambang manual maupun penambang dengan alat berat memiliki prinsip sama bahwa hasil tambang adalah hak setiap orang. Penambang tak segan untuk merambah daerah Taman Nasional Gunung Merapi (TNGM) (Pangastuti, 2012). 

Pelaksanaan desentralisasi sejak tahun 2001 memberikan kewenangan pada gubernur dan bupati untuk memperluas pemberian izin pertambangan di Merapi, padahal pengaturan di era sebelumnya diserahkan pada menteri. Desentralisasi, yang tak diikuti dengan kontrol dengan pengetahuan rakyat sekitar yang memadai mengenai praktik pertambangan berkelanjutan, membuat tiap kepala daerah berupaya terus memperluas operasi pertambangan di sekitar Merapi. Japan International Cooperation Agency (JICA) sebenarnya sudah berbuat baik dengan memberikan bantuan pembangunan berbagai dam untuk penanganan risiko bencana kegunungapiaan, tetapi akibat aktivitas pertambangan yang tak terkontrol dengan baik menyebabkan adanya kerusakan infrastruktur (Miller, 2022). 

Penetapan Gunung Merapi sebagai kawasan Taman Nasional Gunung Merapi (TNGM) sejak tahun 2004 yang menyisihkan masyarakat dari wilayah hutan justru membawa celah pada masuknya pihak yang akan mengeksploitasi alam seperti “Goro” (Paguyuban Gotong Royong). Goro adalah organisasi para buruh yang mengambil pasir dan menaikkannya ke truk yang anggotanya tersebar di Kecamatan Srumbung dan Salam.

Setiap truk pasir yang melintas di wilayah penambangan harus berhenti di salah satu gardu Goro, di mana masing-masing menyediakan buruh. Upah buruh didasarkan kesepakatan antara pengusaha dengan buruh pengambil pasir di gardu tersebut. Goro berfungsi untuk menyediakan buruh bagi pengusaha yang akan menambang pasir (Kuswijayanti et al., 2007). 

Pendapatan Goro berasal dari penarikan ongkos langganan buruh dan anggota setiap setahun sekali mendapatkan fasilitas asuransi keselamatan kerja, bantuan kelahiran, dan pemberian paket lebaran. Goro juga menyediakan bantuan beras sebanyak 5 kg bagi 562 keluarga anggota yang berkategori tidak mampu. Keberadaan Goro memiliki topangan kuat dengan Pemda Magelang, di mana bupati berkedudukan sebagai “pelindung organisasi” (Kuswijayanti et al., 2007).

Penduduk Merapi yang melakukan penambangan pada dasarnya dilakukan dengan dua pertimbangan, yakni untuk mengurangi risiko bencana dari aliran vulkanik dan mempertahankan ekonomi pasir dengan menyesuaikan pada periode letusan gunung dengan menambang secara manual. Kegiatan ekstraktif yang tak berkelanjutan diklaim hanya dilakukan oleh pihak korporasi dari luar yang menambang menggunakan alat berat.

“Penambang rakyat” memiliki strateginya sendiri untuk menghindari kerusakan alam, yakni dengan memastikan pengumpulan pasir setidaknya 100 meter dari hulu dan 300 meter dari bendungan sabo yang berada di aliran sungai Merapi, mereka juga menggunakan berbagai peralatan manual dalam mengontrol jumlah pasir yang diambil dari titik penyangga (Miller, 2022). 

Para penambang manual yang tersisih oleh penambangan dengan alat berat memilih naik ke lereng Merapi dan mencari lokasi yang belum ditambang. Penambang manual lambat laun mulai berani melawan penambang dengan alat berat sejak tahun 1997 di Kecamatan Salam. Latar belakang perlawanan adalah penambang manual kalah bersaing dan pelaku penambangan dengan alat berat dianggap sebagai orang dari luar Magelang. Aksi tersebut tak berhasil membawa keuntungan bagi penambang manual. Para penambang manual memilih mencari lokasi yang lebih tinggi dan kucing-kucingan dengan Satpol PP Kabupaten Magelang dalam menambang (Varhan & Taufik, 2019). 

Penambang dengan alat berat terus bertambah sejak era pemerintahan Gusdur. Mereka mengatasnamakan ikatan dengan elit agamawan, sehingga pihak lain tak berani menanggapi kegiatan penambangan. Penambang manual merespons dengan membakar pos-pos pertambangan dan memicu kekerasan “preman tambang” terhadap mereka. Penambang manual pada tahun 2004 bersama LSM Gemasika (Gerakan Masyarakat untuk Transparansi Kebijakan) kemudian beraudiensi ke pemkab Magelang untuk mengeluarkan moratorium pertambangan.

Penambang manual kemudian bersatu membentuk Paguyuban Gerakan Serikat Buruh Slenggrong (Punokawan) yang berdiri sebagai wadah aspirasi untuk mendapatkan izin penambangan pasir. SIPR (Surat Izin Penambangan Rakyat) keluar pada tahun 2009 dan berlaku selama satu tahun (Varhan & Taufik, 2019).

Kondisi berubah semenjak letusan Merapi tahun 2010. Sawah dan rumah warga terkubur menyebabkan mereka perlu mendapatkan izin reklamasi tanah untuk menyewa alat berat dari perusahaan properti kota terdekat. Letusan membuat petani yang kehilangan hasil panen dan ternak beralih pada penambangan pasir untuk mengumpulkan bahan baku membuat rumah sekaligus mencari pendapatan. Penggunaan alat berat secara ilegal semakin marak sejak letusan tahun 2010 dan didukung oleh elite desa, elite pemerintah dan bos perusahaan konstruksi (Miller, 2022). SIPR yang dimiliki Punokawan menjadi tak bisa diperpanjang (Varhan & Taufik, 2019).


Kita Semua Butuh Penghidupan

Sejak letusan tahun 2010, penambangan menggunakan alat berat dan manual pada dasarnya berjalan beriringan seperti yang ada di Sungai Pabelan. Penggunaan alat berat yang beroperasi 24 jam menyebabkan endapan pasir dan batu cepat habis. Penambangan tidak diatur secara tegas, sehingga menyebabkan konflik horisontal antara sesama penambang, meskipun terdapat perbedaan kemampuan ekonomi antara penambang manual dengan yang menggunakan alat berat (Bappeda Kabupaten Magelang & Litbangda Kabupaten Magelang, 2018). 

Peningkatan kebutuhan pasir untuk pembangunan infrastruktur menyebabkan perluasan penambangan pada areal persawahan semenjak tahun 2015. Aktivitas tambang menyebabkan berkurangnya lahan tanaman pangan dan meninggalkan lubang dengan kedalaman tiga sampai delapan meter. Penambangan juga tak diikuti dengan reklamasi disebabkan tak memiliki izin (Bappeda Kabupaten Magelang & Litbangda Kabupaten Magelang, 2018). 

Truk angkutan pasir juga memunculkan masalah sebab membawa pasir melebihi kemampuan muatan. Hal tersebut dapat terjadi karena pengangkutan sesuai batas tonase diklaim merugikan bagi sopir truk pasir. Akibatnya pasir menjadi berceceran dan merusak jalan karena kelebihan muatan.

Banyaknya dugaan pungutan liar di jembatan timbang sepanjang DI Yogyakarta dan Tengah justru menyebabkan penghentian operasi jembatan timbang dan berujung pada maraknya truk pasir dengan kelebihan muatan. Pembangunan infrastruktur seperti Bandara Kulonprogo, Tol Trans Jawa dan berbagai proyek lainnya diduga membuat penambangan pasir di Magelang semakin tak terkendali (Bappeda Kabupaten Magelang & Litbangda Kabupaten Magelang, 2018). 

Keputusan Bupati Magelang Nomor 188.45/1/KEP/25/2011 muncul untuk mengatur wilayah-wilayah pertambangan rakyat, yakni berada di luar TNGM, berada pada alur sungai yang ditetapkan sebagai wilayah tambang rakyat, dilakukan secara manual, dan berada di luar wilayah batas layak tambang (Pangastuti, 2012). Para penambang manual tak setuju dengan regulasi tersebut karena mereka hanya mendapatkan bagian sungai bagian bawah yang sudah tak memiliki material pasir yang memadai, sementara bagian atas menjadi lokasi penambangan umum (Varhan & Taufik, 2019).

Peraturan Bupati No. 26 Tahun 2014 menjadi dasar selanjutnya untuk memberikan kewenangan pada pemerintah desa untuk menentukan lokasi penambangan. Regulasi tersebut keluar dengan tujuan untuk meminimalisir kerusakan jalan akibat angkutan pertambangan. Pelarangan penggunaan alat berat menjadi salah satu poin penting dalam regulasi tersebut, sedangkan penambangan secara manual diklaim akan menghidupi masyarakat sekitar wilayah penambangan (Nurhidayat & Dewi, 2015). Hadirnya UU 23/2014 yang menarik kewenangan pemberian izin pada pemerintah provinsi, sehingga membuat peraturan bupati Magelang tak berlaku. Penambang rakyat menjadi belum bisa melakukan pengurusan SIPR akibat adanya perubahan kebijakan (Varhan & Taufik, 2019).

Punokawan kemudian berupaya bekerja sama dengan PT. SKS untuk mendapatkan izin usaha pertambangan umum. Mereka bekerjasama dalam melakukan penambangan menggunakan alat berat. Ini memunculkan friksi di dalam Punokawan dan memicu munculnya kelompok baru bernama Serikat Buruh Manual (SBM). SBM tak memiliki arah perjuangan yang jelas, sehingga masih belum berhasil mendapatkan SIPR (Varhan & Taufik, 2019).

Kegiatan penambangan rakyat seperti yang terjadi di Kecamatan Dukun sebenarnya juga tak memiliki Surat Izin Pertambangan Rakyat (SIPR). Penambangan yang memanfaatkan tanah penduduk dilakukan dengan sistem sewa tanah dengan jangka waktu 10-15 tahun, tetapi tanpa surat izin yang membuat reklamasi tak menjadi kewajiban yang mengikat penambang. Penambang “yang baik” hanya akan mengurug sisa galian dengan batu yang tak terpakai. Wilayah penambangan pada dasarnya juga berpindah-pindah mengikuti ketersediaan galian, sehingga menyulitkan pengawasan (Pangastuti, 2012).

Konversi lahan pertanian seperti di Desa Keningar, Kecamatan Dukun telah membawa dampak berupa beralihnya fungsi sawah yang ada di sampingnya untuk keperluan tambang pula. Hal tersebut disebabkan sawah tak mungkin dipertahankan akibat rawan longsor, rusaknya irigasi, menurunnya permukaan air tanah, hilangnya lapisan unsur hara, serta berkurangnya daerah resapan air. Desakan dari penambang juga memicu adanya konversi lahan untuk tambang. Ada upaya dari calo yang merupakan anak buah para kontraktor untuk mendesak para pemilik lahan sawah untuk mengkonversi lahannya (Wicaksono & Lestari, 2017). 

70 persen lahan di Keningar tak dikuasai warga sendiri, melainkan disewa oleh penambang pasir. Sejak tahun 1995 penambangan di Keningar awalnya berada di lahan bengkok dan merambah ke lahan Perhutani. Lestari Karya menjadi satu-satunya penambang legal di Keningar yang beroperasi pada 2021 sampai 2024. Penambangan ilegal sulit dicegah dengan adanya celah di mana hanya satu yang memiliki izin, tetapi pihak lain ikut melakukan penambangan. Barokah Merapi menjadi pemilik tambang legal lain di Desa Krinjing, Kecamatan Dukun sejak tahun 2016. 

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.

Kegiatan penambangan sendiri sebenarnya membawa risiko bertaruh nyawa bagi penambang. Misalnya pada 18 Desember 2017 sebanyak delapan penambang wafat dan delapan lainnya menderita luka-luka terkena longsoran tebing pasir setinggi 25 meter. Sepanjang bulan Agustus, Oktober dan November 2017 juga terjadi longsoran dengan setidaknya memakan minimal satu penambang. Lonsoran pada 18 Desember 2017 adalah kejadian paling buruk sejak tahun 2007. Salah satu kerentanan di wilayah tambang pasir Merapi adalah ketiadaan data penambang akibat penambangan terbuka, sehingga siapa pun bisa datang. 

Pada 18 April 2018, penambang yang tergabung dalam Merapi Trans Community (MTC) melakukan pertemuan dengan Ganjar Pranowo yang akan maju lagi dalam Pilkada Jateng 2018, untuk membahas soal tambang rakyat. Mereka bersepakat untuk melakukan pengaturan bagi tambang rakyat sembari memastikan truk pasir mengangkut sesuai ketentuan tonase.

MTC bersama Buruh Slenggrong Merapi (BSM) pada 30 Agustus 2021 melakukan protes beroperasinya penambangan dengan alat berat pada wilayah tambang pasir Ngori, Desa Kemiren, Kecamatan Srumbung di Lapangan Srumbung. Mereka menduga operasi alat berat adalah tindakan ilegal dan membuat penambang manual terdesak ke wilayah yang lebih tinggi di tengah aktivitas Merapi yang sedang aktif. Protes tersebut dilanjutkan ke Polres Magelang untuk meminta kepolisian menindak penggunaan alat berat. Mereka juga keberatan disebabkan alat berat diduga telah menyebabkan kerusakan jalan. 

Protes kembali berlangsung pada 25 Oktober 2021 di Gedung DPRD Kabupaten Magelang. MTC dan BSM menuntut wilayah Ngori hanya dijadikan lokasi “tambang rakyat” dan hanya boleh ditambang secara manual. Wakil Ketua DPRD kemudian berjanji akan mengirimkan surat kepada provinsi dan kementerian Lingkungan Hidup untuk memperjelas status penambangan di wilayah Ngori. Warga Desa Sewukan, Sengi, dan Paten, Kecamatan Dukun pada 16 September 2022 juga melakukan penolakan penambangan menggunakan alat berat di sungai Tlingsing.

Salah satu perusahaan bahkan sudah memberikan uang muka Rp500 ribu pada enam warga yang sebenarnya tidak setuju, namun dikembalikan setelah pihak desa menengaskan tak boleh ada penambangan dengan alat berat. 

Pihak Balai Besar Wilayah Sungai Serayu Opak mengklaim tidak pernah mengeluarkan rekomendasi teknis penambangan di Sungai Tlingsing, meskipun pada sistem Minerba One Map Indonesia (MOMI) tercantum 3 perusahaan yang memiliki Izin Usaha Pertambangan (IUP) yakni Bumi Karya Sembada, Barokah Sukses Mineral, dan Amertha Sakti Wiguna. Pihak perusahaan diduga menakut-nakuti pemilik lahan dengan ancaman akan diperkarakan, apabila tak mau bekerja sama untuk peruntukan pertambangan. Perusahaan juga menggunakan beberapa warga setempat untuk membujuk warga lainnya.

Pemerintah Desa Sewukan, Sengi dan Paten kemudian menindaklanjuti dengan membuat Peraturan Bersama Kepala Desa Sewukan, Sengi dan Paten No. 1/2022 tentang Pelestarian Sungai Tlingsing. Regulasi tersebut dibuat untuk melindungi keberlanjutan pertanian dan ketersediaan air bersih.

Pihak Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Jawa Tengah yang mendengar berbagai keresahan terkait penambangan di Desa Kemiren, Srumbung melakukan peninjauan lapangan pada 11 Januari 2023. Pihak ESDM Jateng kemudian berhasil mengamankan lokasi tambang yang diduga milik eks-narapidana terorisme dan diduga melibatkan aparat disebabkan alat berat yang digunakan merupakan pinjaman dari aparat

Warga Srumbung kembali melakukan protes pada 11 Februari 2023. Mereka berupaya menggerebek lokasi tambang ilegal dan menemukan bekas aktivitas penambangan. Warga melakukan aksi bersama anggota Majelis Wakil Cabang (MWC) Nahdlatul Ulama Kecamatan Srumbung dan menemukan alat berat yang ditinggal di lokasi. Warga menduga pemilik tambang sudah mengetahui adanya kegiatan aksi. Aksi tersebut adalah rentetan sejak tanggal 3 Februari dan 10 Februari 2023. Ketua DPC SPTI (Serikat Pekerja Transportasi Indonesia) Kabupaten Magelang menyatakan bahwa ribuan sopir truk pasir menjadi terdampak akibat penutupan penambangan menggunakan alat berat.

Ketua DPC SPTI mempertanyakan alasan penambangan pasir di Srumbung yang sudah berlangsung sejak lama baru dipermasalahkan pada awal tahun 2023, dan ia berdalih bahwa sopir truk lebih melirik penambangan menggunakan alat berat karena, “Sekarang semua butuh percepatan.”

Data MODI Kementerian ESDM sebenarnya menunjukkan bahwa terdapat 20 IUP eksplorasi di lereng Merapi yang sedang melakukan pengurusan IUP Operasional Produksi, namun terkendala Perpres 70 Tahun 2014 yang menetapkan wilayah tersebut sebagai tata ruang kawasan TNGM. Persoalan status lahan eks-desa pasca erupsi Merapi tahun 1960-an yang tak jelas terus memunculkan tarik menarik kepentingan hingga sekarang.

Munculnya UU Minerba 3/2020 untuk daerah lain berjalan mulus dalam pengurusan izin, tetapi di Merapi menjadi kompleks disebabkan berlakunya regulasi mengenai sungai dan lingkungan hidup pula. Proses penambangan secara legal di Merapi terkendala dengan regulasi dari tiga kementerian yang berbeda. Hal tersebut menunjukkan lagi-lagi sektoralisme agraria menjadi kunci persoalan.

Polresta Magelang pada 25 Februari 2023 menindak penambangan pasir di Kemiren, Srumbung dan menyita alat berat bersama kendaraan lainnya. Pihak ESDM Jateng dan Polresta Magelang menindak tambang ilegal lainnya yang menggunakan alat berat di Ngori, Srumbung pada 7 April 2023. MTC, BSM, Gawe Rukun Armada Merapi (GRAM), dan Driver Berkah Bantak (DBB) pada 13 Juni 2023 menggelar aksi untuk mendesak kepolisian menangani masalah penambangan ilegal menggunakan alat berat di Magelang. Mereka mendatangi Kantor Gubernur Jateng dan Mapolda Jateng untuk menyampaikan aspirasinya. 


Refleksi atas Benang Merah

Karakter pasir Merapi sebagai “sumber daya lintas batas” yang dibutuhkan oleh berbagai pihak sayangnya tak diikuti dengan tata kelola yang memadai, mulai dari perencanaan, eksplorasi, sampai dengan reklamasi pasca tambang. Di tingkat sosial, tak terjadi pula pembagian kesejahteraan di antara pemangku kepentingan. “Sumber daya lintas batas yang tak tertata” justru menjadi kelindan dari interaksi modal lintas batas di antara pihak-pihak yang ingin menyantap pasir Merapi dengan membabi buta dan saling bersaing keras satu sama lain.

Baik yang dilakukan oleh penambang manual maupun penambang alat berat sebenarnya tak mempedulikan dampak lebih lanjut terhadap lingkungan dan penghidupan rakyat pada sektor lainnya. Ketidakjelasan kelola atas “sumber daya lintas batas” turut menghasilkan ketakjelasan dalam penentuan fungsi dari tiap-tiap bagian sumber daya, sehingga memicu gesekan di antara lintas sektor dan antar pelaku ekonomi dengan kapasitas ekonomi yang berbeda. Apa yang terjadi di Magelang tak bisa disebut sebagai konflik vertikal, melainkan benturan yang bersifat horisontal sekaligus diagonal. 

Konflik horisontal terjadi kala itu bersinggungan dengan sesama pelaku ekonomi pada sektor penghidupan tertentu, namun sifat konflik menjadi diagonal ketika bersentuhan dengan pemangku kepentingan lain yang berbeda sektor sekaligus berbeda urusannya. Realitas diagonal misalnya dapat kita lihat pada betapa kompleksnya sengkarut pada level pusat, provinsi sampai tingkat desa juga antara aspek lingkungan dan sosial, permukiman bersama infrastruktur yang beririsan dengan ekonomi yang menunjukkan betapa rumitnya sengkarut ekstraktif di Magelang.


Daftar Pustaka

Bappeda Kabupaten Magelang, & Litbangda Kabupaten Magelang. (2018). Laporan Akhir Penelitian Pengelolaan Potensi Sumber Daya Alam Di Kawasan Merapi Berbasis Konservasi (Kasus Alur Sungai Pabelan). https://bappeda.magelangkab.go.id/download/file/Penelitian Pengelolaan Potensi SDA Kawasan Merapi Berbasis Konservasi 2018.pdf

Kuswijayanti, E. R., Dharmawan, A. H., & Kartodiharjo, H. (2007). Krisis-Krisis Socio-Politico-Ecology di Kawasan Konservasi: Studi Ekologi Politik di Taman Nasional Gunung Merapi. Sodality: Jurnal Sosiologi Pedesaan, 1(1), 41–66.

Miller, M. A. (2022). A Transboundary Political Ecology of Volcanic Sand Mining. Annals of the American Association of Geographers, 112(1), 78–96.

Nurhidayat, & Dewi, D. A. S. (2015). Implementasi Peraturan Bupati Magelang Nomor 26 Tahun 2014 Tentang Usaha Pertambangan Pada Kawasan Gunung Merapi Di Kabupaten Magelang (Studi Kasus Di Desa Keningar, Banyudono, Dan Ngargomulyo). Varia Justicia, 11(1), 133–149.

Pangastuti, A. N. (2012). Pelaksanaan Pengawasan Usaha Pertambangan Rakyat Di Kecamatan Dukun Kabupaten Magelang Oleh Dinas Pekerjaan Umum, Energi Dan Sumber Daya Mineral Kabupaten Magelang [Undergraduate Thesis]. Universitas Sebelas Maret Surakarta.

Varhan, V., & Taufik, A. (2019). Analisis Gerakan Serikat Buruh Slenggrong Merapi “Punokawan” Dalam Upaya Resolusi Konflik Tambang Pasir. Journal of Politic and Government Studies, 8(4), 401–410.

Wicaksono, Y., & Lestari, P. (2017). Dampak Konversi Lahan Pertanian Menjadi Tambang Pasir Terhadap Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat Di Desa Keningar, Kecamatan Dukun, Kabupaten Magelang. E-Societas: Jurnal Pendidikan Sosiologi, 6(8), 1–16.


Anggalih Bayu Muh Kamim adalah pegiat kajian agraria

]]>
Gantungkan Kapitalmu Setinggi Langit https://indoprogress.com/2022/08/gantungkan-kapitalmu-setinggi-langit/ Wed, 10 Aug 2022 12:56:30 +0000 https://indoprogress.com/?p=236953

Ilustrasi: Springmag


KOMET sedang menuju Bumi dan akan menghantam permukaan enam bulan ke depan. Dua orang astronom kelas teri yang mengetahui keniscayaan ini kemudian melakukan semua cara yang mungkin untuk menghindari kiamat, termasuk bicara kepada presiden. Tapi presiden, juga pers dan masyarakat, masa bodoh.

Sebuah perusahaan kemudian menyelinap untuk mengambil kesempatan dalam kesempitan. Alih-alih menggunakan teknologi untuk menghancurkan komet tersebut—yang potensi keberhasilannya besar—mereka justru hendak memanfaatkannya. Perusahaan melihat bahwa komet itu bak lokasi tambang super yang memiliki beragam mineral langkah bernilai triliunan dolar.

Proyek pertambangan komet gagal total bahkan sebelum dimulai. Komet tetap meluncur deras ke Bumi dan… selesai sudah. Kiamat. Gelap.

Cerita di atas memang hanya garis besar dari film berjudul Don’t Look Up (2021). Tapi apa yang digambarkan adalah peristiwa konkret yang sedang kita semua alami. Dua tahun lalu NASA mengumumkan bahwa mereka akan membayar material yang ditambang perusahaan swasta di bulan, termasuk batu, tanah, dan bahan lainnya (ilmuwan memperkirakan di bulan ada cadangan besar isotop, bahan bakar potensial untuk reaktor nuklir). Negara-negara besar seperti Amerika Serikat, Cina, dan Rusia juga tengah bersiap melakukannya dengan membangun pangkalan permanen.

Tapi eksplorasi (atau eksploitasi) luar angkasa tak hanya tentang menambang material yang semakin sedikit di Bumi—atau tidak ada sama sekali. Ia juga tentang, misalnya, turisme luar angkasa. Bahkan, dan ini adalah ide yang tampaknya paling gila, adalah menjadikan Mars sebagai koloni atau tempat tinggal masa depan.

Perlombaan menuju luar angkasa memang bukan barang baru, tapi ada kekhususan pada zaman kiwari. Di era Perang Dingin, AS dan Uni Soviet menjadikan ruang angkasa sebagai barometer kedigdayaan alias lebih kental dengan unsur-unsur politis. Era ini disebut dengan nama ejekan “old space”. Di era sekarang, terutama sejak 2010-an, yang oleh para pelaku industri disebut “new space”, aspek ekonomi menjadi faktor dominan. Perlombaan saat ini lebih banyak didorong oleh perusahaan swasta, bukan lagi negara, dan yang terdepan adalah SpaceX milik Elon Musk dan Blue Origin kepunyaan Jeff Bezos.


Bukan Demi Manusia

Elon Musk, orang terkaya di dunia, mengatakan bahwa karena Bumi akan semakin tidak layak untuk dihuni karena pemanasan global, perang, dan lain-lain—yang pada ujungnya adalah kiamat—umat manusia harus memikirkan cara supaya menjadi multi-planetary species. Ia kemudian menatap Mars. Musk membayangkan pada 2026 manusia mulai menciptakan infrastruktur permanen di sana dan pada 2050 telah tercipta koloni satu juta manusia—tentu saja sang agen perjalanan adalah perusahaannya.

Musk mengatakan hal ini harus dilakukan untuk menyelamatkan manusia. Sungguh tampak sangat mulia. Tapi alasan ini tidak unik. Banyak pihak yang mendorong penjelajahan luar angkasa mengatakan hal bernada serupa. Para ahli mengatakan menambang Bulan akan menyelamatkan kehidupan di Bumi, ada pula yang percaya bahwa itu akan menghapus kemiskinan.

Bisa jadi ada ilmuwan yang benar-benar percaya bahwa solusi masalah Bumi dan umat manusia ada di luar atmosfer sana. Tapi tentu naif jika kepercayaan serupa diberikan pada pemilik korporasi luar angkasa—yang jumlahnya tumbuh pesat dalam beberapa tahun terakhir.

Dengan melihat bagaimana cara kerja kapitalisme, kita tahu bahwa semua alasan yang keluar dari mulut mereka hanya akal-akalan.

Kapitalisme dimulai ketika borjuis membelanjakan uang (m) mereka ke dalam modal konstan (mesin, bahan baku, dll) dan modal variabel (buruh) untuk memproduksi komoditas (c). Komoditas kemudian dipasarkan dengan harga yang lebih tinggi dari yang telah dikeluarkan (m’). M’ inilah yang dalam literatur marxis disebut “nilai lebih”. Siklus tak berhenti ketika m’ terealisasi. Tujuan satu-satunya kapitalisme adalah akumulasi. Maka dari itu nilai lebih dimasukkan kembali ke dalam sirkuit produksi dan siklus m-c-m’ pun berulang.

Siklus m-c-m’ tak selamanya mulus. Selalu ada retakan yang disebut krisis. Krisis bukanlah penyimpangan seperti yang kerap dikatakan para ekonom arus utama, tapi memang inheren dari sistem itu sendiri.

Dalam kacamata marxisme, salah satu indikator sentral penyebab krisis adalah terjadinya akumulasi berlebih (overaccumulation). Kalimat ini tidak keliru. Sebuah sistem yang tujuan satu-satunya adalah akumulasi memang dapat rusak ketika akumulasi telah melebihi batas.

Kapitalisme adalah sistem yang kontradiktif. Komoditas yang dihasilkan lewat sistem tersebut dihasilkan dengan cara yang amat terencana lewat pembagian kerja detail para pekerja. Tapi, ketika dilempar ke pasar, yang terjadi adalah anarki. Hanya orang yang mampu—dan merasa butuh—yang membelinya. Semua konsumen di mata kapitalis memang anonim dan angka belaka.

Komoditas tidak dibuat untuk dikonsumsi, melainkan hanya sarana untuk mendapatkan untung. Maka kapitalis menciptakan sistem yang semakin efisien agar yang dijual bisa lebih banyak. Misalnya dengan mengadopsi teknologi dan manajemen termutakhir. Antara satu kapitalis dan kapitalis yang lain terus berlomba tanpa henti.

Pada satu titik, pasar kebanjiran komoditas tapi dalam situasi kurangnya permintaan. Investasi nilai lebih pada siklus sebelumnya tak lagi menghasilkan kembalian seperti yang diharapkan. Akumulasi mandek karena terlalu banyak.

Dalam The Limits to Capital (2018), David Harvey menyebut akumulasi berlebih adalah situasi ketika “nilai lebih yang dihasilkan kapitalis tidak dapat lagi diserap secara menguntungkan.” Proses akumulasi melambat. Stagnasi terjadi. Penampakan akumulasi berlebih cukup kentara, misalnya banyaknya komoditas, inventori, dan modal yang tidak terpakai, juga meledaknya tenaga kerja (yang selain produsen asli juga sekaligus konsumen) setengah pengangguran.

Berhenti berakumulasi adalah seharam-haramnya hukum bagi kapitalis. Maka mereka memutar otak, menghasilkan jalan keluar yang oleh Harvey disebut sebagai “spatial fix”. Dalam artikel yang terbit di jurnal Geographische Revue (2/2001), Harvey menyebut beberapa contoh konkret spatial fix, yaitu menciptakan pasar baru di dunia kapitalis, terlibat perdagangan dengan ekonomi non-kapitalis, serta mengekspor surplus modal ke daerah yang belum berkembang atau terbelakang. Dua contoh pertama mencoba mengatasi masalah permintaan yang rendah; sementara yang terakhir adalah dalam rangka menampung kelebihan modal.

Dalam artikel yang lebih lama, ditulis pada 1975, Harvey mengatakan “ruang baru untuk akumulasi harus ada atau diciptakan jika kapitalisme ingin bertahan hidup.” Tapi masalahnya solusi ini pun bukan jalan keluar permanen karena kelak akumulasi berlebih akan juga muncul di tempat baru tersebut. Solusi permanen dari kapitalisme tidak lain adalah menghapus sistem tersebut sama sekali. Oleh karena itu nama solusi ini lengkapnya adalah spatio-temporal fixes.

Konsep yang ditawarkan Harvey di atas mampu menjelaskan mengapa para kapitalis menatap dan mencoba merengkuh angkasa (dan segala yang ada di dalamnya) di luar alasan humaniter yang konyol. Seperti yang dikatakan Victor Shammas dan Tomas Holen (Humanities and Social Sciences Communications, 10, 2019), luar angkasa berfungsi sebagai “spatial fix yang memungkinkan kapital melampaui batasan-batasan terestrial yang melekat padanya. Dengan cara ini perbaikan spasial terakhir mungkin adalah (luar) spasial itu sendiri.”

Eksplorasi luar angkasa tidak lain adalah ekspansi yang didorong oleh logika akumulasi kapital. Luar angkasa didefinisikan ulang sebagai ruang tak bertuan yang siap dipakai untuk keuntungan segelintir orang.

Dengan ruang angkasa sebagai lokus akumulasi baru, kelebihan modal sangat mungkin disalurkan ke industri terkait yang sedang berkembang. Selain roket, pencitraan satelit dan komunikasi adalah dua sektor yang cukup krusial. Sepanjang tahun lalu ekonomi ruang angkasa global secara keseluruhan menghasilkan pendapatan sebanyak 386 miliar dolar AS, meningkat empat persen dibanding 2020 (sebagai gambaran, cadangan devisa Indonesia per Juni 2022 kurang dari setengahnya, hanya 136,4 miliar dolar AS). Industri satelit menyumbang 72 persen di antaranya.

Penjelajahan luar angkasa juga pada gilirannya membutuhkan banyak sekali riset dan inovasi teknologi yang, sekali lagi, menyediakan spatial fix yang sangat luas bagi para kapitalis. Ini semua belum termasuk sumber daya baru yang dapat mereka kuasai. Peter Diamandis, CEO Zero Gravity Corporation, pernah mengatakan dengan girang bahwa di luar sana “ada cek senilai dua puluh triliun dolar menunggu untuk diuangkan!


Proyek yang Merusak

Kolonialisme tak hanya berlangsung persis dengan logika spatial fix, tapi juga segala embel-embel pembenarannya. Para penjajah bisa saja mengatakan bahwa apa yang mereka lakukan membuat beradab masyarakat lokal dan memodernisasi dunia, tapi kita tahu bahwa di balik itu semua motif mengeruk keuntungan bagi diri sendiri berada di urutan paling atas.

Tentu saja sanggahan langsung muncul: bahwa luar angkasa adalah ruang kosong yang jika dieksploitasi tak merugikan siapa pun. Menambang bulan, misalnya, berbeda dengan menambang Halmahera yang membuat ladang, sawah, dan tambak tercemar limbah sehingga tak lagi produktif. Begitu pula dengan wisata luar angkasa. Siapa yang dirugikan ketika orang-orang super kaya melihat Bumi dari luar barang beberapa menit? Agaknya tidak ada. Lalu kolonisasi Mars. Sampai sekarang belum ada bukti kehidupan di sana.

Asumsi tersebut sepenuhnya keliru. Eksplorasi luar angkasa secara langsung memperparah kondisi planet kita persis karena semuanya dimulai di sini.

Natalie Pierson (RAIS Conference Proceedings, Agustus 15-16, 2021) mengatakan roket dari SpaceX menggunakan mesin berbasis minyak tanah dan metana yang tidak lain merupakan gas rumah kaca. Memang sampai sekarang jumlah peluncuran roket belum cukup signifikan untuk merusak atmosfer, tapi menurutnya lama kelamaan akan begitu karena tujuan akhirnya adalah mencapai Mars. Tidak heran jika pada 2018 lalu Organisasi Meteorologi Dunia memasukkan roket sebagai masalah potensial di masa depan.

Temuan serupa, bahwa di masa depan peluncuran roket akan menghasilkan masalah signifikan bagi Bumi, terdapat dalam riset Robert Ryan dkk (Earth’s Future, Volume 10, Issue 6). Selain itu mereka menemukan bahwa partikel BC atau jelaga atau karbon hitam dari roket hampir lima ratus kali lebih efisien menghangatkan atmosfer ketimbang gabungan semua sumber jelaga lain. Sementara temuan lain menyebut satu penerbangan turisme luar angkasa selama satu setengah jam menghasilkan polusi yang setara dengan penerbangan trans-Atlantik selama 10 jam.

Temuan-temuan di atas kembali menegaskan bahwa bukan manusia secara umum yang menyebabkan krisis ekologis, melainkan kelas kapitalis—merekalah yang punya kemampuan untuk membongkar pasang Bumi semaunya. Faktanya 10 persen orang terkaya berkontribusi terhadap 49 jejak karbon, sementara setengah orang termiskin hanya menghasilkan 7 persen pada 2015. Kerusakan disebabkan oleh kelas kapitalis yang menggunduli hutan, menambang lahan, mencemari laut, dan kini menjelajah luar angkasa.

Dampak merusak lainnya adalah potensi jatuhnya sampah antariksa ke permukaan. Sampah-sampah ini akan semakin banyak melayang bebas di orbit seiring dengan semakin intensifnya peluncuran. Department of Defense AS memperkirakan ada 27 ribu keping sampah antariksa di sekeliling Bumi. Riset lain menyebut jumlahnya 34 ribu yang berukuran lebih dari 10 cm dan jutaan keping lain yang ukurannya lebih kecil.

Jatuhnya benda sisa penjelajahan luar angkasa pernah terjadi beberapa kali di Indonesia. Pada 2017 lalu, di Sungai Batang Sumatera Barat, jatuh sebuah logam bulat berdiameter 110 cm dan berat sekitar 7 kilogram. Sampah ini diduga sisa penyimpanan bahan bakar roket.

Sampah-sampah antariksa ini bahkan menghasilkan spatial fix baru, yang tidak lain adalah jasa pembersihannya. Salah satu yang bergerak di bidang ini adalah Star Technology and Research (STAR).

Sialnya, penjelajahan luar angkasa tak hanya mungkin berkat upaya akumulasi kapitalis seorang. Di balik kemampuan mereka menjelajah alam tak terbatas itu ada sokongan kuat dari pemerintah yang mengalokasikan mereka banyak uang dari pajak. SpaceX, misalnya, telah disubsidi 4,9 miliar dolar AS oleh pemerintah AS.

Kelindan antara kapitalis-pemerintah juga dalam hal proyek. Tahun lalu SpaceX dapat kontrak dari NASA sebesar 2,9 miliar dolar AS untuk proyek pendaratan di bulan. Sementara STAR yang membersihkan puing luar angkasa mendapat kontrak dari NASA dengan nilai sebesar 1,9 juta dolar AS (kontrak seperti ini juga banyak terjadi pada perusahaan-perusahaan Silicon Valley).

Jadi, alih-alih mengalokasikan banyak dana untuk memperbaiki bumi (laporan terbaru dari PBB menyebutkan biaya yang dikeluarkan untuk memerangi perubahan iklim saat ini mencapai 3,8 triliun dolar AS per tahun), negara-negara memilih untuk menyokong akumulasi kapitalis. Negara memang kepanjangan tangan pemilik modal.

Patut dicatat meski proyek luar angkasa jelas-jelas langsung merusak Bumi, bukan berarti faktor utama yang memungkinkan itu terjadi, yaitu teknologi, bermasalah dalam dirinya sendiri. Teknologi itu netral, tergantung siapa yang menguasainya. Dalam kapitalisme, teknologi semata dibuat demi profit, bukan untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat. Para kapitalis hanya mengembangkan alat baru yang mendukung kepentingan ekonomi, sosial, dan politiknya.

Penguasaan terhadap teknologi bersamaan dengan semakin besar dan terkonsentrasinya kekuasaan kapitalis terhadap kelas pekerja atau mayoritas. Karl Marx dalam Capital menyatakan bahwa mesin adalah “senjata paling ampuh untuk menindas pemogokan.” Produksi tetap dapat berjalan meski sebagian besar buruh berhenti bekerja. Hal ini dimungkinkan karena dengan mesin para pekerja hanya mengerjakan hal-hal sesederhana menekan tombol-tombol. Pengetahuan (dan tenaga) yang dimiliki buruh telah “dibekukan” dalam alat-alat baru. Penerapan teknologi juga pada gilirannya mempertahankan tentara cadangan tenaga kerja sehingga kapitalis mudah saja merekrut orang baru saat yang lain memberontak.

Maka, jika ada yang disebut “tugas sejarah” kelas pekerja, inilah salah satunya: membebaskan teknologi dari tangan pemilik modal.


Lompatan Besar Pemodal

Penjelajahan luar angkasa adalah seperangkat gagasan atau ideologi yang hendak mencekoki kita kepercayaan bahwa solusi atas semua masalah Bumi berada di luar angkasa, bukan dengan melakukan perubahan radikal terhadap sistem kapitalisme itu sendiri. Mereka hendak membuat kita percaya bahwa masa depan yang cerah ada di luar sana, dan dengan demikian lebih pasrah atas apa yang terjadi di Bumi.

Ketika Neil Armstrong berhasil mendarat di bulan pada 1969, dia mengatakan bahwa itu adalah “satu langkah kecil untuk seorang manusia,” tapi pada saat yang sama merupakan “satu langkah besar bagi umat manusia.” Sebuah langkah yang membuka peluang tak terbatas untuk mencapai hidup yang lebih baik. Tapi alih-alih langkah besar bagi umat manusia, penjelajahan luar angkasa saat ini lebih tepat disebut “langkah besar bagi kelas kapitalis.” Luar angkasa memberikan spatial fix yang hampir tak terbatas untuk akumulasi modal sembari terus membuat Bumi semakin rusak.

Mark Fisher (2009) menyebut fenomena ini sebagai “capitalist realism”, yaitu pemahaman bahwa “kapitalisme bukan hanya satu-satunya sistem politik dan ekonomi yang layak, tapi juga tidak mungkin bahkan untuk sekadar membayangkan alternatif yang koheren terhadapnya.”

Kita dipaksa untuk percaya bahwa lebih sulit membayangkan berakhirnya kapitalisme ketimbang akhir dunia.***

]]>
Di Balik Kemegahan PLTU, Ada Masyarakat yang Ditumbalkan https://indoprogress.com/2022/02/di-balik-kemegahan-pltu-ada-masyarakat-yang-ditumbalkan/ Wed, 23 Feb 2022 05:43:38 +0000 https://indoprogress.com/?p=236677

Ilustrasi: Illustruth


LAPORAN Intergovermental Panel on Climate Change (IPCC) September tahun lalu menyatakan bahwa suhu bumi semakin cepat memanas. Berbagai belahan bumi menghadapi gelombang panas: pada angka 1,5ºC pemanasan global, gelombang panas menyebabkan musim panas lebih lama dan musim dingin lebih pendek; sedangkan pada angka 2ºC, panas yang ekstrem akan mencapai ambang batas toleransi kritis bagi pertanian dan kesehatan.

Banyak kajian telah ditulis dan rekomendasi telah diberikan oleh para ilmuwan. Namun, komitmen negara untuk menekan taraf pemanasan global menemui hambatan. Aktivitas manusia, seperti konsumsi batubara sebagai bahan bakar listrik, membuat komitmen itu lebih sulit dilakukan daripada yang diperkirakan. Komposisi para pembuat kebijakan juga menjadi hambatan, mengingat pemerintah dan pengusaha makin sulit dibedakan. Mereka memperlihatkan minat yang sama terhadap energi kotor.

Di Cilacap, tepatnya di Dusun Winong, masyarakat berdampingan langsung dengan industri kotor yang produknya kita rasakan sehari-hari, yaitu PLTU. Sejak beroperasi pada 2006 dengan kapasitas 600 megawatt, PLTU Cilacap (PT S2P) telah memasok listrik untuk Jawa dan Bali. Pada tahun-tahun selanjutnya, PLTU Cilacap mengalami ekspansi dan penambahan kapasitas hingga memiliki tiga pembangkit.

Pembangunan infrastruktur listrik pada mulanya adalah bagian dari kampanye Orde Baru. Penelitian Anto Mohsin berjudul Wiring the New Order: Indonesian Village Electrification and Patrimonial Technopolitics (1966-1998) (2014) mengungkapkan bahwa pemerintahan Suharto merencanakan pemerataan antara wilayah kota dan desa. Langkah yang diambil adalah memperkenalkan listrik ke desa-desa dengan slogan “Listrik Masuk Desa”, yang dipercaya mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa. Pembangunan itu, sesuai kajian sistem kelistrikan Moh. Sidik Boedoyo berjudul Sistem Kelistrikan di Jamali Tahun 2003 s.d. Tahun 2020 (2006), diproyeksikan untuk menopang kebutuhan listrik di sektor rumah tangga, usaha, industri, dan umum.

Kajian Boedoyo juga menunjukkan variasi besaran konsumsi listrik di pulau Jawa. Konsumsi listrik Jawa Barat-DKI Jakarta didominasi oleh sektor industri—sekaligus sebagai penyerap tenaga listrik terbesar se-Indonesia. Kebutuhan listrik di Jawa Tengah didominasi oleh kebutuhan di sektor rumah tangga, sementara kebutuhan di Jawa Timur-Bali hampir seimbang antara sektor rumah tangga dan industri.

Untuk memenuhi kebutuhan listrik, kini berdiri megah bangunan PLTU PT S2P di wilayah Slarang dan Karangkandri yang ditetapkan sebagai kawasan resapan air dan persawahan berdasarkan RTRW 1997-2007. Dua tahun kemudian, masyarakat membentuk Komite Aksi Masyarakat (KAM) sebagai wadah untuk menentang PLTU. Waktu itu, KAM melakukan penolakan terhadap PLTU karena mengingat  energi kotor batubara akan meminggirkan aktivitas mereka sebagai nelayan dan petani. Penolakan juga didasari ancaman kesehatan yang bakal ditimbulkan akibat aktivitas pembakaran batubara.

Pada 2010, sebagaimana diberitakan Republika, kelompok nelayan Pelabuhan Perikanan Samudra Cilacap (PPSC) merekam rusaknya laut di Karangkandri yang menyebabkan berkurangnya tangkapan ikan. Pengetahuan ini akhirnya menjadi dasar untuk penolakan terhadap pembangunan PLTU Cilacap II di desa Bunton. Aktivitas PLTU, seperti hilir-mudik kapal tongkang dan tumpahan batubara ke laut, menyebabkan nelayan mengalami paceklik yang bahkan bisa berlangsung selama tujuh bulan.

Sayangnya, kehadiran KAM sebagai kontrol atas kedigdayaan PLTU tidak berlangsung lama karena tersandung konflik internal organisasi. Pada 2017 masyarakat membentuk Forum Masyarakat Winong Peduli Lingkungan (FMWPL) yang mencakup Dusun Winong. Meski lingkupnya jauh lebih kecil daripada KAM, FMWPL telah berkontribusi dalam memberi tekanan terhadap industri energi kotor.


Terhimpit, Terhimpit, Terlempar

September 2021 lalu, Cilacap diganjar penghargaan Abdi Bakti Tani Tahun 2021 sebagai kabupaten/kota dengan peningkatan produksi padi tertinggi nasional tahun 2019-2020 (Gatra, 14/9).

Penghargaan itu sulit dibanggakan oleh sekitar 208 kepala keluarga di Winong. Pasalnya, sebagian besar penduduk kehilangan lahan pertanian karena PLTU. Tanah tandus menjadi salah satu penyebab utama. Selain itu, imbalan dari sawah yang dibayar oleh PLTU tak dibelikan sawah lagi karena kondisi tanah yang telah tercemar limbah.

Rukiyah menuturkan ingatannya kepada saya. Nenek yang lebih dari 80 tahun tinggal di Winong itu sempat memiliki beberapa bidang sawah yang menjadi sumber mata pencahariannya. Beberapa di antaranya berada di lahan yang sekarang berdiri PLTU Karangkandri (PT S2P).

“Saya juga punya (sawah) di sebelah sana, dulunya ijo-ijo semua,” ungkapnya pada 28 Oktober 2021. Jarinya terarah 300 meter ke arah laut, yang kini dipenuhi kapal penambang pasir yang hilir mudik. Sebelum PLTU berdiri, Rukiyah sempat membagi-bagikan sawahnya kepada anak-anaknya. Semua pemberiannya itu kini berakhir sama: hilang karena pembangunan dan perubahan iklim akibat PLTU dan abrasi.

Rukiyah bangkit dari batang pohon kelapa yang tumbang. Ia mengayunkan tongkat bambu dan karung goni untuk memburu sampah yang hanyut ke bibir pantai demi sesuap nasi. Siang itu ia tidak beruntung. Tak ada sampah di bekas abrasi yang bisa dijual. Ia pun khawatir karena pemecah ombak akan segera selesai dibangun sehingga akan menghalangi ombak pembawa sampah.

Keputusan berbeda diambil oleh Minten, perempuan paruh baya yang sehari-hari mengurus sawah. Uang hasil pembayaran PLTU atas sawahnya ia belikan sawah lagi di desa Bunton, sebelah timur Winong. Mulanya ia hanya perlu berjalan kaki ketika hendak ke sawah karena letaknya tepat di depan rumah. Sekarang, ada pengeluaran lebih untuk keputusan yang ia ambil. Waktu perjalanan dari rumah ke sawah lebih lama sehingga ia butuh sepeda motor.

Kepastian kesuburan tanah menjadi pertimbangan utama Minten, meski ada biaya lebih yang harus ia keluarkan, misalnya untuk PDAM. Terlepas dari ada penelitian yang mengatakan bahwa air tanah sudah mulai muncul sejak pengeboran yang dilakukan PLTU, Minten tetap menggunakan PDAM sebagai antisipasi jika sewaktu-waktu air kering atau asin.

Penelitian yang dimotori oleh Pusat Penelitian Lingkungan Hidup, Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LPPM) Universitas Diponegoro pada 2021 menyatakan bahwa muka air tanah sudah naik kembali setelah 2018, tepatnya sejak terjadi intrusi akibat dewatering proyek PLTU. Hasil penelitian inilah yang mendasari kebijakan PLTU untuk menghentikan subsidi Rp100 ribu per bulan untuk PDAM. Namun, pengalaman warga berkata lain. Sebagian dari mereka mengatakan air sumur masih terasa asin dan pahit. Dua tuntutan pun muncul: mengkaji ulang kualitas air dan melanjutkan subsidi PDAM. Tak satu pun yang dipenuhi.

Ani (24), anak Minten, mengkhawatirkan pembuangan air bahang ke laut. Air bahang adalah air bekas mendinginkan mesin industri. Air ini menjadi salah satu penyebab nelayan kesulitan mendapatkan ikan. Selain itu, menurut penelitian Dedy Febrianto Sitinjak, dkk. (2017) yang berlokasi di perairan PLTU Labuhan Angin Sibolga, Sumatera Utara, air bahang juga merusak terumbu karang, yang memiliki peran mereduksi emisi karbon.

Ani menunjukkan kepada saya sebuah video yang diunggahnya ke Facebook pada 2019. Video itu memperlihatkan asap putih tebal yang keluar dari PLTU. Keterangan dalam video menyatakan: asap ini bisa menimbulkan hujan asam dan membahayakan warga.

“Ini aktivitas steam blow PLTU. Suaranya sangat bising. Warga sini waktu itu langsung geruduk PLTU untuk protes,” ujar mahasiswi teknik industri tersebut Oktober silam.

Suara bising itu kembali menganggu masyarat pada Desember 2021 dan berlangsung selama kurang lebih 20 menit. Penyebabnya kali ini adalah kegagalan PLTU dalam mengoperasikan safety valve. FMWPL menyesalkan ketiadaan pemberitahuan sebelumnya terkait aktivitas ini, yang menyebabkan aktivitas masyarakat mendadak berhenti. Warga pun berhamburan ke luar rumah untuk memastikan apa yang sedang terjadi.

Himpitan hidup itu belum juga usai. Setiap keputusan yang diambil oleh masyarakat saat ini dihadapkan pada Perda Kabupaten Cilacap Nomor 1 Tahun 2021, yang menghilangkan Winong dari peta. Winong, dengan kata lain, akan dikorbankan untuk kawasan industri yang hingga saat ini tidak dapat dipastikan jenis dan lokasinya. Selain itu, FMWPL menolak Kawasan Peruntukan Industri (KPI) tersebut karena tidak melibatkan partisipasi publik dalam penyusunannya.


Masa Depan Penuh Ancaman

Hari-hari masyarakat Winong selanjutnya semakin mengkhawatirkan sejak munculnya PP No. 22/2021 sebagai turunan UU Cipta Kerja. PP ini mengeluarkan fly ash and bottom ash (FABA) dari daftar limbah bahan berbahaya dan beracun (B3). Ancaman terhadap kesehatan semakin jelas. Alih-alih kesejahteraan, pembangunan memaksa mereka hidup berdampingan dengan racun.

Berdasarkan penelitian Greenpeace berjudul Kita, Batubara, & Polusi Udara (2015), pembakaran batu bara menjadi pembunuh paling mematikan yang menyebabkan 6.500 kematian dini per tahun di Indonesia. Terkait ekspansi PLTU, Greenpeace memperkirakan angka kematian dini akan naik menjadi 15.700 jiwa/tahun. Angka-angka itu belum melibatkan program 35GW yang dicanangkan Pemerintahan Jokowi.

Greenpeace telah membuat sampel di PLTU Tanjung Jati B di Jepara. Hasilnya, estimasi per tahun penyebab kematian dini akibat emisi polutan udara PLTU adalah stroke (450 jiwa), penyakit jantung iskemik (400 jiwa), paru-paru obstuktif kronis (60 jiwa), kanker paru-paru (50 jiwa), jantung kronis dan penyakit pernapasan lainnya (30 jiwa), infeksi saluran pernapasan bawah pada anak di bawah usia 5 tahun (20 jiwa). Tidak beda dengan di Winong, banyak dari mereka menderita sakit pernapasan (ISPA).

Bisakah kita berharap kepada para pengambil kebijakan di berbagai penjuru untuk memutus mata rantai ancaman itu?

Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 di Roma, Italia, telah berlalu. Tiga negara yang masuk 10 besar penghasil karbon, Tiongkok, Arab Saudi, dan Rusia, menargetkan penghentian emisi karbon (zero net emission) di 2060. Penghentian penggunaan batu bara di level nasional ditetapkan pada 2030. Namun, pertemuan G20 tidak membahas rencana penghentian penggunaan batubara secara bertahap (Kompas, 1/11).

Sulit melihat keseriusan para pemimpin G20 dalam merespons perubahan iklim. Beberapa negara akhirnya menindaklanjuti komitmen iklim itu, seperti penghentian penggunaan batubara, melalui COP26 di Glasgow. Namun, tidak semua negara yang terlibat mau menyatakan komitmen. Tiongkok, misalnya, tidak mau menandatangani komitmen penghentian penggunaan batubara secara bertahap (Global Coal to Clean Power Transition Statement) di COP26. Padahal, komitmen itulah yang nantinya bisa mendorong negara-negara untuk membuat peta jalan penghentian batu bara di tingkat nasional—dengan implementasinya melalui undang-undang dan kebijakan sektoral.

Indonesia, yang turut menandatangani komitmen itu, masih sangat tergantung pada energi kotor dan membutuhkan bantuan teknis dan finansial internasional untuk menghentikannya. Di sisi lain, ia juga ingin menunjukkan wajah komitmen terhadap krisis iklim—dengan melibatkan diri di satu rapat ke rapat lainnya, mulai dari KTT G20 hingga COP26.

Perubahan iklim benar-benar menggerus berbagai sisi kehidupan masyarakat Winong. Saat ini, satu per satu warga “mengajukan penjualan tanahnya kepada PLTU” agar bisa segera pindah ke tempat lain. Menurut data FMWPL, sebanyak 64 rumah terjual, 41 rumah sedang diajukan proses penjualan tanahnya, dan 145 rumah masih bertahan. Baik yang bertahan maupun pindah, semuanya merasakan dampak dari energi kotor dan tidak dibiarkan menjalani hidup yang aman dan nyaman.***

*Tulisan ini adalah hasil advokasi bersama LBH Yogyakarta. Nama-nama narasumber bukan nama sebenarnya, untuk melindungi privasi. 


Miftahul Huda adalah pegiat isu gender dan lingkungan


 

]]>