kapitalisme – IndoPROGRESS https://indoprogress.com Media Pemikiran Progresif Fri, 27 Jun 2025 21:53:22 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.4.3 https://indoprogress.com/wp-content/uploads/2021/08/cropped-logo-ip-favicon-32x32.png kapitalisme – IndoPROGRESS https://indoprogress.com 32 32 Teror dan Militer dalam Kapitalisme: Perspektif Negara Polisi Global https://indoprogress.com/2025/06/teror-dan-militer-dalam-kapitalisme-perspektif-negara-polisi-global/ Fri, 27 Jun 2025 21:53:22 +0000 https://indoprogress.com/?p=239014

Ilustrasi: Flickr/Ahdieh Ashrafi


KEBEBASAN pers yang ditegakkan sejak Reformasi ternyata belum mampu memberikan apalagi menjamin keamanan para jurnalis. Bahkan secara umum kebebasan berpendapat itu sendiri belum sepenuhnya tegak. Buktinya, pihak yang mengalami kekerasan bukan hanya para buruh tinta, tapi juga aktivis, akademisi, dan warga biasa yang bersuara kritis. Ancaman terhadap suara-suara kritis masih terus berlangsung. Salah satu contoh terbaru adalah teror kepala babi dan bangkai tikus yang diterima wartawan Tempo

Sejak peristiwa itu mencuat, berbagai analisis telah bermunculan dengan macam-macam pendekatan. Namun sebagian besar hanya menyoroti aspek umum seperti kebebasan pers atau hak asasi manusia tanpa mengaitkannya dengan kerangka yang lebih besar, yakni struktur ekonomi-politik kapitalisme global. Kapitalisme membutuhkan negara sebagai polisi global guna memastikan stabilitas ekonomi dan sosial yang berpihak pada kepentingan mereka. Tulisan ini berupaya menyajikan itu: membaca kasus teror terhadap jurnalis, aktivis, dan akademisi sebagai bagian dari mekanisme kontrol atas narasi yang dianggap mengancam kepentingan ekonomi kapitalis.

Untuk mendukung argumen tersebut, tulisan ini akan mengacu pada teori “negara polisi global” (global police state) yang dikembangkan oleh William I. Robinson, profesor sosiologi di University of California, Santa Barbara, melalui buku The Global Police State (2020). Tulisan ini akan diawali dengan penjelasan mengenai konsep negara polisi global, kemudian menghubungkannya dengan berbagai teror yang terjadi.


Apa itu negara polisi global?

Menurut Robinson, konsep negara polisi global mencakup tiga proses yang saling berkaitan. Pertama, munculnya sistem kontrol sosial yang dirancang untuk mengawasi, mengatur, dan menekan masyarakat. Dalam sistem ini, represi dan kekerasan (termasuk perang) digunakan oleh elite untuk meredam potensi pemberontakan dari kelas pekerja global dan kelompok surplus (mereka yang dianggap tidak produktif atau tidak terakomodasi dalam struktur ekonomi kapitalis). Ketimpangan yang semakin menganga baik antarnegara (antara negara maju dan miskin) maupun di dalam negeri (antara kelas sosial) memperparah ketegangan politik. Ketika sistem gagal memberi ruang hidup bagi kelompok-kelompok ini, maka langkah-langkah represif diterapkan termasuk pembatasan mobilitas dengan membangun tembok perbatasan, deportasi, penahanan massal, dan pemisahan spasial. Pengawasan ketat oleh negara dan korporasi juga menjadi elemen penting untuk membungkam kritik dan protes, dilakukan melalui berbagai alat kekuasaan. Lebih jauh, sistem ini diperkuat dengan teknologi digital dan beragam inovasi hasil revolusi industri keempat. Ini memungkinkan terciptanya bentuk pengawasan dan penindasan yang kian canggih sekaligus mematikan.

Kedua, kian pentingnya peperangan, pengawasan, dan represi untuk akumulasi kapital terutama di tengah kemacetan pertumbuhan ekonomi. Robinson menyebut fenomena ini sebagai “akumulasi militer”, yakni akumulasi yang berlangsung dengan represi. Ketimpangan global yang ekstrem hanya bisa dipertahankan melalui mekanisme kontrol sosial dan kekerasan yang tersebar luas. Bahkan tanpa motif politik yang eksplisit, para elite kini memiliki kepentingan ekonomi langsung dengan perang, konflik, dan penindasan—sebab itu bisa menjadi sumber keuntungan. Ketika kekerasan dan perang yang semula dijalankan negara mulai diprivatisasi, kepentingan korporasi dan kelompok kapitalis mendorong pergeseran lanskap politik, sosial, dan ideologis ke arah yang justru memelihara konflik, misalnya yang terjadi di Timur Tengah.

Ketiga, Robinson menyoroti kecenderungan global yang pemerintahannya semakin menyerupai fasisme atau sistem totaliter dalam arti luas. Pengaruh partai dan gerakan neo-fasis, otoriter, serta populis sayap kanan tengah menguat di berbagai belahan dunia. Di Amerika Serikat, itu mewujud dalam trumpisme. Proyek fasisme abad ke-21 ini telah meraih kemajuan signifikan dalam merebut kekuasaan di sejumlah negara kapitalis. Mereka pun semakin menancapkan pengaruh di kehidupan sosial dengan nilai-nilai seperti misogini dan rasisme. Nilai-nilai ini menciptakan suasana yang melegitimasi kekerasan sistematis, terutama terhadap kelompok-kelompok yang terpinggirkan secara rasial, etnis, dan ekonomi. Meski demikian, keberhasilan proyek fasis ini bukanlah keniscayaan; keberlanjutannya sangat ditentukan oleh dinamika pertarungan kekuatan sosial dan politik dalam waktu dekat.

Singkatnya, esensi dari negara polisi global terletak pada mekanisme kontrol dan pengawasan yang menyeluruh. Ia berfungsi sebagai instrumen bagi kapitalisme dalam proses akumulasi kapital. Oleh karena itu, negara polisi global pada dasarnya merupakan cerita tentang bagaimana kaum miskin dan kelas pekerja dikendalikan dan ditekan untuk memastikan stabilitas yang hanya menguntungkan segelintir elite pemilik sumber daya ekonomi dan politik.


Militer sebagai alat kontrol dalam kapitalisme 

Negara polisi global mengandalkan militer sebagai instrumen untuk melindungi dan memperkuat kepentingan ekonomi kapitalis; militer menjadi penting untuk memperkuat kapasitas negara dalam hal pengawasan dan pengendalian warga. Ini menciptakan keterkaitan yang kuat antara institusi militer dan sektor ekonomi.

Di Indonesia, keterkaitan antara militer dan sektor-sektor ekonomi kapitalis tercermin jelas dalam studi terbaru yang dirilis oleh Agrarian Resource Center (ARC) pada tahun 2024 berjudul Kapitalisme Militer: Akumulasi Sumberdaya Ekonomi Militer melalui Perampasan Lahan. Studi ini menyoroti kasus perampasan lahan di wilayah pesisir Pantai Urutsewu oleh TNI Angkatan Darat untuk pertambangan pasir besi yang dijalankan oleh PT Mitra Niagatama Cemerlang (MNC). Kasus ini hanya satu contoh saja dari sekian banyak praktik keterlibatan tentara dalam proyek-proyek bisnis dan agenda akumulasi kapital.

Kemudian, dengan pengesahan revisi Undang-Undang TNI, peran tentara sebagai instrumen represi dan pengendalian sosial menjadi semakin besar. Hasilnya pun sudah tampak: penindasan terhadap pihak-pihak yang mengkritik atau memprotes kebijakan yang dianggap mengganggu kepentingan kapitalis meningkat. Peraturan baru itu harus dilihat bukan sebagai sekedar menimbulkan ketakutan akan kembalinya dwifungsi yang otoriter apalagi sekadar menyerap surplus perwira ke instansi-instansi sipil, melainkan untuk menegaskan bahwa negara memberi ruang besar kepada militer sebagai alat represi dan kendali dalam mempertahankan sistem kapitalis.

Telah banyak kasus yang menunjukkan bagaimana TNI (dan kepolisian) sering kali dijadikan alat oleh kepentingan kapitalis untuk melakukan kekerasan terhadap masyarakat yang memprotes kebijakan tertentu. Misalnya dalam kasus Rempang. Warga yang menyuarakan penolakan justru menghadapi intimidasi dan kekerasan dari aparat. Pola serupa juga terlihat di Papua melalui implementasi program yang disebut Proyek Strategis Nasional (PSN), serta dalam konflik lahan di Halmahera, Maluku Utara. Kasus-kasus ini menjadi bukti peran militer dan polisi dalam membungkam perlawanan rakyat terdampak demi melindungi kepentingan modal.


Teror dan kekerasan sebagai alat kontrol

Telah dijabarkan bahwa kapitalisme sangat bergantung pada mekanisme kontrol sebagai sarana untuk memastikan kelancaran operasional perusahaan dan mempertahankan keuntungan tanpa terganggu oleh gejolak sosial atau perlawanan publik. Dalam konteks ini, negara memegang peran sentral dalam menjaga stabilitas, memantau potensi ancaman, dan menekan gangguan. Strategi-strategi tersebut menjadi bagian integral dari logika kapitalisme; negara berfungsi sebagai polisi global guna melindungi kepentingan ekonomi dominan. Ini bukan hanya terjadi di konteks lokal. Menurut Robinson, kapitalisme juga membentuk jaringan pengawasan global yang mampu menekan negara-negara yang dianggap menyimpang dari kepentingan kapitalis. 

Indonesia, yang dekat dengan aliansi politik dan ekonomi internasional, juga berperan sentral dalam hal pengendalian informasi. Informasi yang “stabil” juga dibutuhkan kapitalisme. Dalam konteks ini lah kita harus menempatkan praktik teror dan kekerasan yang masih sering dihadapi para jurnalis, aktivis, intelektual kritis, akademisi, hingga masyarakat luas.

Berdasarkan data Aliansi Jurnalis Independen (AJI), sepanjang Januari sampai Desember 2024 terdapat 73 kasus teror terhadap wartawan. Sebagian besar pelaku berasal dari institusi kepolisian dengan 19 kasus, disusul oleh TNI sebanyak 11 kasus, serta aparat pemerintah termasuk pejabat legislatif dengan 6 kasus. Lalu ada laporan tahunan Amnesty International berjudul Situasi HAM di Dunia 2024/2025 yang menjabarkan bagaimana berbagai kelompok seperti aktivis, masyarakat adat, petani, nelayan, advokat, akademisi, dan mahasiswa juga mengalami teror dan ancaman. Selama tahun 2024, terjadi 123 serangan yang menargetkan 288 pembela hak asasi manusia. Serangan-serangan yang dimaksud mencakup pelaporan ke polisi, kriminalisasi, penangkapan tanpa dasar hukum, intimidasi, kekerasan fisik, hingga percobaan pembunuhan. Lebih detail: 12 kasus pelaporan terhadap 27 orang; 11 kasus penangkapan sewenang-wenang dengan 87 korban; 7 kasus kriminalisasi terhadap 24 orang; 6 percobaan pembunuhan dengan 7 korban; 78 kasus intimidasi dan kekerasan fisik terhadap 129 orang; serta 9 serangan yang ditujukan pada lembaga pembela HAM.

Serangan seperti yang dialami oleh wartawan Tempo mencerminkan konflik mendasar antara prinsip kebebasan pers dan kepentingan kapitalisme global yang berupaya mengendalikan arus informasi. Dalam sistem kapitalisme, media memegang peranan strategis karena narasi yang dibentuk dapat memengaruhi persepsi publik sekaligus stabilitas ekonomi dan politik. Oleh sebab itu, teror terhadap jurnalis tidak semata-mata merupakan pelanggaran terhadap kebebasan pers, melainkan bagian dari upaya yang lebih luas dalam pengendalian sosial dan naratif demi mempertahankan dominasi kapitalisme. Dalam konteks negara polisi global, tindakan kekerasan ini berfungsi untuk menjaga agar wacana publik tetap berpihak pada kepentingan elite kapitalis dan tidak mengganggu keberlangsungan sistem ekonomi yang menguntungkan kelompok tertentu, baik di tingkat nasional maupun internasional.


Penutup

Dari uraian singkat ini, saya ingin mengatakan bahwa kasus-kasus teror dan kekerasan terhadap jurnalis, aktivis, dan masyarakat mesti dilihat sebagai bagian integral dari operasi struktur kapitalisme itu sendiri. Teror fisik dan mental terhadap kelompok-kelompok kritis bukanlah penyimpangan, melainkan inheren dari kapitalisme yang mengandalkan kekuatan represif seperti polisi dan militer untuk menjaga stabilitas dan melindungi kepentingan ekonomi mereka.

Dengan demikian, respons dalam bentuk perlawanan langsung dari korban atau advokasi terhadap korban teror dan kekerasan juga mesti menyasar pada perlawanan terhadap sistem kapitalisme itu sendiri. Jika tidak, berbagai aksi protes yang muncul cenderung bersifat spontan dan reaktif, tanpa menggoyahkan fondasi sistem yang terus menguat.


Masril Karim adalah anggota Forum Studi Halmahera, Maluku Utara.

]]>
Melawan Tambang Bukan Ekstremisme apalagi Wahabi, tapi Memulihkan Oikeios https://indoprogress.com/2025/06/melawan-tambang-bukan-ekstremisme-apalagi-wahabi-tapi-memulihkan-oikeios/ Mon, 23 Jun 2025 21:28:13 +0000 https://indoprogress.com/?p=239032

Ilustrasi: Wikimedia Commons


“Capitalism in the Web of Life takes flight by naming this relation of life-making: the oikeios. From this relation — as much methodological orientation as ontological claim — we can see manifold species - environment configurations emerge, evolve, and ultimately become something else entirely. . . . [T]he oikeios is a relation that includes humans, and one through which human organization evolves, adapts, and transforms. Human organization is at once product and producer of the oikeios: it is the shifting transfiguration of this relation that merits our attention. In this spirit I understand “capital” “capitalism” as producers and products of the oikeios.” 

 Jason W. Moore, Capitalism in the Web of Life, hlm 8

Tuduhan Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Ulil Abshar Abdalla bahwa kritik terhadap industri ekstraktif sama dengan “ekstremisme” bukan hanya keliru secara politis, tetapi juga mengabaikan relasi dialektis antara manusia dan alam—yang terurai dalam konsep oikeios dari Jason W. Moore, profesor di Universitas Binghamton yang juga koordinator World-Ecology Research Collective. Ulil juga menyatakan bahwa pandangan penolak tambang   sederajat dengan “wahabi” , dalam arti menolak segala yang baru. Dalam “kritiknya”, Ulil menekankan ada kemaslahatan yang didatangkan pertambangan.

Dalam kerangka oikeios, industri ekstraktif tidak dilihat sebagai kebijakan ekonomi, melainkan konfigurasi historis-spasial yang menghancurkan jaringan kehidupan (web of life). Selain membahas industri ekstraktif sebagai gangguan terhadap oikeios, artikel ini juga akan membicarakan tentang kritik ekologis sebagai upaya memulihkan relasi kehidupan, serta kelas penguasa sebagai parasit dalam metabolisme alam-manusia.


Industri Ekstraktif: Penghancuran Oikeios

Moore mendefinisikan oikeios sebagai relasi organik tempat manusia dan alam saling membentuk. Kerangka oikeios mencoba menggugat pemahaman relasi antara “yang-sosial” dan “yang-natural” selama ini. Ia menolak dualisme antara alam dan masyarakat. Moore, pada lembar-lembar Capitalism in the Web of Life, menggugat perspektif yang melihat kehadiran manusia—dan organisasi sosialnya (masyarakat)—sebagai suatu yang bukan “bagian dari alam”, entah sebab dipandang telah jauh melampauinya dengan perkembangan peradaban atau menganggap memang terlepas sejak semula. 

Dalam pendekatan ini, kehidupan sosial, perkembangan, dan evolusi masyarakat secara historis adalah satu dalam mata-rantai metabolisme lingkungan.  Tidak hanya masyarakat manusia “ditentukan” atau “bergantung” pada kondisi material sekitarnya, dalam perkembangannya, mereka juga turut serta mengubah/mentransformasi kehadiran total lingkungan. 

Industri ekstraktif (tambang, sawit, batu bara) memutus relasi ini dengan: pertama, mengubah alam menjadi “commodity frontier”: hutan, tanah, dan air direduksi menjadi input murah untuk akumulasi kapital alih-alih tempat komunitas hidup dan berkembang; kedua, memisahkan kerja-upahan dari ekologi: buruh tambang dan petani sawit dikondisikan untuk melihat alam sebagai “sumber daya”, bukan bagian dari reproduksi kehidupan sehari-hari. Kita melihat bagaimana industri ekstraktif merusak sekaligus mengatur ulang oikeios untuk kepentingan mereka. Oleh para ahli lingkungan kritis, ini kerap disebut dengan keretakan metabolik (metabolic rift)

Maka, ketika Ulil menyebut kritik terhadap situasi perusakan alam sebagai “ekstremisme”, ia tengah mengabaikan fakta bahwa industri ekstraktif adalah bentuk ekstrem dari perusakan oikeios.


Kritik Ekologis: Praksis Memulihkan Oikeios 

Perlawanan masyarakat adat, petani, dan buruh terhadap industri ekstraktif bukanlah “ekstremisme”, melainkan upaya memulihkan relasi oikeios yang dihancurkan kapitalisme. Kita bisa melihat beberapa contoh. Gerakan Warga Maba Sangadji di Maluku Utara yang melawan pertambangan di sungai tempat mereka menggantungkan hidup, misalnya. Ini bukan hanya soal tanah, tetapi mempertahankan mata rantai ekologi yang menghidupi masyarakat adat (serta hutannya) dan pertanian mereka. Kemudian ada aksi buruh tambang di Morowali yang menuntut keselamatan kerja  akibat beberapa insiden kecelakaan setahun ke belakang . Ini  adalah perlawanan terhadap logika ekstraksi yang mengorbankan tubuh manusia dan lingkungan. Kita bisa mengambil contoh perlawanan yang lebih lama dan panjang, misalnya masyarakat di sekitar pertambangan emas Freeport. 

Penolakan dan perlawanan langsung yang dilakukan oleh rakyat menunjukkan bahwa pertambangan bukan sekadar soal “keindahan yang hilang” atau “keaslian yang ternodai”. Ia adalah melawan arena penciptaan nilai tambah demi kelangsungan sirkuit akumulasi kapital. Rakyat menolak sebab basis kehidupan mereka terganggu .

Orang-orang seperti Ulil mudah saja mengatakan bahwa mereka yang menolak tambang berpandangan kuno—atau menolak kehadiran “sesuatu yang tidak dipahami” . Ada pula yang menganggap penolakan itu muncul dari ketidaktahuan terhadap sesuatu yang dianggap “lebih maju” atau “jauh melampaui pengetahuan mereka”. Akan tetapi, anggapan tersebut mengabaikan kenyataan bahwa masyarakat lokal punya pengetahuan ekologis dan relasi historis dengan lingkungan hidup mereka sendiri. Sebagai bagian dari oikeios, tatanan sosiokultural mereka telah lama terjalin dengan lingkungan sekitar, jauh sebelum dirombak aktivitas tambang  —juga  kemunculan permukiman urban (hingga menjadi kota-kota besar) . 

Perubahan memang suatu keniscayaan, tetapi peretakan oikeios yang disruptif dan tiba-tiba yang mengakibatkan ketidaksiapan dan ketidakmampuan transformasi sosial hanya mengakibatkan masyarakat adat terpinggirkan tanpa kepastian arah kehidupan sosial-ekologis mereka ke depannya — memunculkan pandangan di antara mereka untuk mencerabut diri dan mencari jalan keluar masing-masing.

Dalam bahasa Moore, gerakan-gerakan ini adalah “moments of reparation”—upaya mengembalikan keseimbangan metabolisme alam-manusia yang dirusak kapital.


Kelas Penguasa: Parasit dalam Jaringan Kehidupan 

Dalam kerangka oikeios, Ulil termasuk dalam kelompok yang oleh Moore sebut sebagai penganut “human exemptionalism”, yaitu menganggap manusia (terutama mereka sendiri) terpisah dari alam. 

Tapi itu hanya secuil dari posisi Ulil. Dukungan terhadap industri ekstraktif tidak bisa dilepaskan dari fakta bahwa pemerintah mempersiapkan berbagai konsesi wilayah pertambangan secara struktural (legal) bagi ormas-ormas keagamaan. Ini belum termasuk aktor-aktor yang memberikan dana secara langsung ke pesantren. Dalam konteks oikeios, kelas penguasa berperan penting dalam mengorganisasi ulang alam demi tujuan kapitalisme. Mereka adalah salah satu arsitek dari rusaknya oikeios. Di sini, kritik terhadap industri ekstraktif mengemuka sebagai jubah bagi kritik terhadap parasitisme kelas penguasa yang menggerogoti oikeios untuk kepentingan sempit.

Dalam konteks yang lebih luas, para pemuka agama yang mendukung eksploitasi juga membuktikan bahwa fungsi agama itu sendiri salah satunya memang sebagai pengontrol kesadaran massa. Dalam perkembangan industri ekstraktif di Indonesia, represi melalui aparatur kekerasan adalah hal yang terus berulang. Namun represi ini sering kali tidak memicu simpati yang luas. Salah satu penyebabnya adalah keberhasilan kekuasaan dalam mengonsolidasikan kekuatan-kekuatan sosial—termasuk pemuka agama itu tadi—yang mampu membentuk opini umum. Opini ini kemudian cenderung membiarkan dan bahkan membenarkan model ekstraktif yang berlangsung, seolah itu hal wajar demi “pembangunan”. 

Pengonsolidasian “tokoh-tokoh masyarakat” untuk mendukung rezim industri ekstraktif telah menjadi semacam keharusan dalam sejarah bangsa ini. Mereka, yang dalam diskursus ilmu sosial disebut “elite lokal”, merupakan elemen penting dalam menopang kekuasaan. 

Hal ini tak terlepas dari kenyataan bahwa kita belum sepenuhnya bebas dari warisan kolonial yang feodal, yang memandang hormat mereka yang dianggap punya status sosial lebih tinggi dari orang kebanyakan. Banyak elite memegang pengaruh sosial-politik yang kuat dengan basis berupa “bawahan-bawahan” atau massa yang tunduk. Ini umum terjadi di masyarakat yang tingkat kritisnya masih rendah— efek dari sistem pendidikan yang gagal meningkatkan kesadaran umum.

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.


Kritik adalah Titik Balik Oikeios

Tuduhan “ekstremisme” yang dilontarkan oleh Ulil terhadap gerakan anti-tambang bukan hanya keliru secara konseptual, tetapi juga merupakan bentuk kekerasan epistemik yang berupaya meminggirkan nalar dan pengalaman ekologis-politik rakyat. Ia mencerminkan posisi kelas penguasa yang menjelma sebagai perpanjangan tangan dari logika ekstraktif kapitalisme.

Dengan bingkai oikeios, kita memahami bahwa kehidupan manusia tidak bisa dipisahkan dari jaringan kehidupan alam. Kapitalisme menghancurkan jaringan ini dengan cara memisahkan kerja dari ekologi, dan menjadikan alam sebagai ladang akumulasi nilai yang tak berkesudahan. Industri ekstraktif adalah ekspresi paling brutal dari keretakan ini.

Perlawanan-perlawanan muncul di tengah kehancuran yang sedang terjadi, dari warga Maba Sangadji hingga buruh Morowali, dari masyarakat adat pedalaman Halmahera hingga berbagai komunitas yang berjuang mempertahankan tanah, laut, dan hutan mereka. Gerakan-gerakan ini bukan sekadar bentuk “penolakan”, tetapi praktik politik kehidupan. Mereka adalah ekspresi praksis ekologis yang bertujuan memulihkan metabolisme sosial-alamiah yang telah diretas oleh kapitalisme. Mereka adalah “moments of reparation” yang lahir dari tubuh dan pengalaman konkret.

Perlu diingat pula bahwa kerusakan ekologis di Indonesia berkelindan dengan struktur sosial-politik warisan kolonial dan Orde Baru. Ia melanggengkan dominasi elite lokal dan pemuka agama dalam menjaga keberlanjutan proyek ekstraktif. Selama formasi ini tak diganggu, rakyat akan terus menjadi korban; dan relasi oikeios akan terus dihancurkan demi kepentingan segelintir.

Oleh karena itu, tugas kita bukan hanya menyuarakan kritik, tetapi membangun basis politik alternatif—politik yang berpijak pada kehidupan, bukan keuntungan. Politik yang mengakui dan melanjutkan nalar ekologis rakyat, bukan mengutuknya sebagai “ekstrem”. Dalam arti inilah kritik ekologis bukan sekadar argumen, tapi jalan untuk menyelamatkan web of life yang tersisa.

Kapitalisme tidak sekadar “mengalami” krisis ekologis—ia adalah krisis itu sendiri, kata Moore. Maka, merawat dan memulihkan oikeios bukan hanya tindakan ekologis, tapi juga revolusioner. Sebab di sanalah hidup bisa dimulai kembali—bersama rakyat, bersama alam, dan bersama dunia yang layak huni.


Miftahulrahman Bahas, mahasiswa Universitas Nasional Jakarta

]]>
Apa Itu “Normal”? Siapa yang “Normal”? Kapitalisme yang Menentukan dan Harus Dilawan https://indoprogress.com/2025/06/apa-itu-normal-siapa-yang-normal-kapitalisme-yang-menentukan-dan-harus-dilawan/ Tue, 17 Jun 2025 22:49:50 +0000 https://indoprogress.com/?p=238998

Ilustrasi: Artsology


Aku baru tahu aku punya ADHD di usia 24—setelah bertahun-tahun hidup sambil merasa gagal, tidak fokus, dan mudah marah. Selama itu aku pikir aku cuma kurang disiplin. Ternyata bukan. Aku hanya “masking”.

Diagnosis itu membuatku sadar: bukan aku yang bermasalah. Sistemnya.


Ableisme itu struktural. Sistem memusuhi yang “berbeda”

Saat bicara tentang disabilitas, sering kali perhatian kita hanya tertuju pada kondisi individu—apa yang bisa atau tidak bisa dilakukan oleh tubuh atau pikiran seseorang. Pandangan ini keliru. Disabilitas itu bukanlah sekadar masalah tubuh atau otak. Banyak disabilitas sebenarnya muncul karena lingkungan sosial dan fisik yang tidak dirancang secara inklusif. Trotoar tanpa landai, gedung tanpa akses lift, dan transportasi umum tanpa akses yang mudah adalah beberapa contoh sehari-hari pengabaian sistematis terhadap kelompok rentan. Bahkan banyak fasilitas kesehatan yang semestinya jadi acuan tetap tidak ramah bagi difabel, belum lagi tentang tenaga medis yang minim pelatihan soal disabilitas.

Memang sudah ada Undang-Undang Penyandang Disabilitas (UU No. 8/2016) dan Undang-Undang Kesehatan (UU No. 17/2023), namun implementasinya masih jauh dari ideal. Kebijakan negara, ruang-ruang publik, dan layanan kesehatan lebih sering dibuat tanpa mempertimbangkan kebutuhan orang dengan disabilitas. Pada akhirnya, banyak orang dengan disabilitas terpaksa beradaptasi dengan lingkungan yang tidak mendukung, bahkan sering kali harus menghadapi diskriminasi terselubung dari sistem yang seharusnya melindungi mereka. Disabilitas menjadi bukan hanya soal tubuh, tapi juga bagaimana sistem sosial dan fisik meminggirkan mereka yang berbeda.

Jika yang terlihat saja diabaikan, tidak heran jika disabilitas yang tidak tampak secara fisik (atau istilah populernya: neurodevelopmental disorders/neurodivergence) lebih luput dari perhatian. Lihat saja institusi sekolah. Ada berapa banyak yang memiliki fasilitas untuk anak-anak dengan gangguan belajar? Alih-alih dibantu, mereka malah mendapat nilai negatif karena dianggap gagal mengikuti pembelajaran. 

Untuk itu pemahaman tentang neurodiversitas/neurodiversity menjadi penting. Neurodiversitas adalah istilah yang menggambarkan bahwa variasi neurologis—seperti autisme, ADHD, disleksia, dan kondisi neurodivergen lainnya—bukanlah gangguan yang harus “diperbaiki” apalagi “disembuhkan” sebab itu merupakan bagian alami dari keberagaman manusia, tak berbeda dengan rupa-rupa warna kulit dan bahasa. Menurut artikel di Psychology Today yang ditulis oleh Robert Chapman, istilah neurodiversitas menantang paradigma lama yang memandang kondisi neurodivergen sebagai “penyakit” atau “kelainan”. Sebaliknya, konsep ini menekankan bahwa cara otak orang memang berbeda-beda dalam memproses informasi, belajar, dan berinteraksi dengan dunia.

Meskipun neurodiversitas menawarkan perspektif yang lebih inklusif dan membebaskan, lagi-lagi masih banyak tantangan yang dihadapi orang neurodivergen, terutama karena sistem sosial dan ekonomi kita masih berpegang pada standar “normal” yang sempit dan kaku. Oleh karena itu, penting untuk memahami neurodiversitas bukan hanya sebagai konsep akademik tapi juga panggilan untuk menciptakan dunia yang lebih ramah dan menerima semua cara berpikir.


Ejekan, stigma, serta ableisme yang masih masif

Selain dari aspek struktural, masalah besar lain yang dihadapi oleh orang dengan gangguan belajar dan neurodivergensi adalah ejekan dan stigma sosial yang masih sangat luas. Di Indonesia, olok-olok seperti “autis”, “retarded”, dan kata-kata kasar lainnya sering digunakan secara sembrono sebagai hinaan di sekolah, tempat kerja, sampai lingkungan rumah. Sikap seperti ini berakar dari kurangnya edukasi dan kesadaran masyarakat tentang neurodiversitas dan disabilitas secara umum. Padahal, pengakuan dan penerimaan terhadap keberagaman neurologis adalah langkah penting untuk menciptakan masyarakat yang benar-benar inklusif dan adil.

Ejekan ini bukan hanya menyakitkan, tapi juga memperkuat stigma bahwa gangguan belajar atau kondisi neurodivergen adalah sesuatu yang memalukan sehingga harus disembunyikan. Hal ini membuat banyak orang, termasuk aku sendiri, harus masking. Masking atau social camouflaging adalah upaya terus-menerus untuk “menyesuaikan diri” dengan standar “normal” (istilah kerennya: standar neurotipikal). Menyembunyikan apa yang sebenarnya dialami demi diterima dan tidak dicap “bermasalah”. Dan itu melelahkan. Tapi aku pikir semua orang juga begitu. Aku pikir aku aja yang kurang kompeten. Aku hidup sambil menyembunyikan apa yang sebenarnya aku “butuh” dan “rasakan”. 

Tapi kemudian aku baca buku Empire of Normality karya Robert Chapman. Waktu pertama kali baca, aku seperti ditampar. Bukan karena bahasanya keras, tapi karena sangat memahami apa yang penulis ingin sampaikan. Aku sampai harus duduk diam sejenak dan berpikir: kesalahan itu ada di sistem. 

Selain itu, akhirnya, di umur 24, aku didiagnosis Attention Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD). Sebelum itu aku mengalami kecelakaan yang membuat aku semakin bertanya-tanya: Kenapa aku selalu merasa kewalahan, reaktif, enggak sabaran, gampang banget marah? Kenapa aku harus capek banget buat fokus? Kenapa aku dari kecil sering dianggap “bermasalah” atau “drama”? Dari hasil diagnosis itu aku sadar ternyata jawabannya bukan karena lemah atau enggak kompeten, tapi karena aku selama ini masking

Surat diagnosis dari psikiater itu aku dapat sebelum berangkat ke Inggris untuk melanjutkan studi master. Surat itu kemudian aku laporkan ke NHS (semacam BPJS-nya Inggris) dan layanan disabilitas di kampusku sekarang. Saat itulah aku baru merasa “terlihat”. Baru kali itu aku merasa ada yang bilang: Kamu enggak salah; cara otak kamu bekerja itu cuma berbeda saja dari manusia “biasanya”. Tapi kenapa aku harus ke Barat dulu untuk disabilitasku bisa dianggap valid?

Di Indonesia, tempat aku dibesarkan dan sekolah dasar sampai kuliah sarjana, sistem pendidikannya masih sangat ableist. Tidak ada akomodasi untuk mereka yang punya gangguan belajar, apalagi gangguan psikologis atau disabilitas lain yang tak kasat mata. Saat cerita ke orang-orang tentang diagnosis ADHD-ku, bahkan setelah menunjukkan surat resmi, respons yang aku dapat kadang: “Tapi kamu biasa-biasa aja, tuh?”—dan itu rasanya kayak diremehin banget. Komentar semacam itu menunjukkan bahwa pemahaman publik tentang disabilitas masih sangat sempit dan dibatasi oleh yang tampak secara fisik. Seakan-akan ternyata orang seperti aku itu masih yang bisa “diterima” oleh mereka walau aku tahu aku “berbeda”. Heran, masyarakat tuh serba banyak syarat dan ketentuan berlaku, ya, seakan-akan mau tanda tangan kontrak. Ribet.

Yang lebih mengkhawatirkan, bahkan dalam bidang kesehatan pun, pendekatannya sering kali patologis. Pada umumnya, gangguan belajar seperti ADHD dan autisme baru bisa didiagnosis kalau kamu masih anak-anak. Kalau kamu sudah dewasa dan kesulitan, ya, tanggung sendiri (seakan-akan sistem berkata sinis, “siapa suruh telat tahu?”). Tidak heran jika banyak orang dewasa dengan gangguan belajar tapi belum didiagnosis menginternalisasi bahwa dirinya gagal atau tidak cukup baik dalam bekerja atau melakukan kegiatan lainnya.

Chapman membahas tentang paradigma patologi, yaitu cara pikir dominan yang menganggap perbedaan neurologis sebagai kesalahan atau penyakit. Dalam paradigma ini, kamu harus “diperbaiki”. Kamu harus bisa bekerja dan belajar dengan cara yang “normal”. Kalau enggak bisa? Ya, itu salahmu. Paradigma ini menciptakan manusia ideal yang homogen: ras kulit putih, laki-laki, kuat (atau “sehat jasmani dan rohani” versi syarat lowongan kerja di Indonesia), produktif, mandiri, dan tentu saja: “rasional”. Siapa pun yang berada di luar standar ini akan dianggap menyimpang.


Konsep “normal” yang berakar dari kapitalisme dan kolonialisme

Silvia Federici dalam buku Caliban and the Witch menjelaskan bagaimana kapitalisme awal dan penjajahan menegakkan norma-norma dan fungsi yang “produktif” sebagai cara mengontrol dan menindas tubuh yang dianggap “berbeda”. Tubuh yang tidak sesuai dengan kebutuhan pasar—yang “tidak berguna” atau “berlebihan”—dipersekusi, diabaikan, atau dijinakkan melalui kekerasan sistemik. Norma “normal” ini bukan hanya soal standar fisik atau mental, melainkan juga menjadi alat kekuasaan yang mengatur siapa yang berhak hidup, bekerja, dan dihargai. Ketika kapitalisme menuntut efisiensi dan produktivitas, maka tubuh dan pikiran yang berbeda dipaksa untuk menyesuaikan diri atau tersisih. Dua itu saja opsinya. Sementara warisan penjajahan menambah lapisan diskriminasi dengan menyematkan nilai lebih pada tubuh dan budaya tertentu sekaligus meremehkan dan menghapus keberadaan mereka yang dianggap “lain”.

Dengan begitu, konsep “normal” yang masyarakat pegang teguh sebenarnya adalah konstruksi sosial-ekonomi yang melanggengkan ketidakadilan dan eksklusi, terutama terhadap mereka yang hidup dengan disabilitas—baik yang terlihat maupun yang tersembunyi. Menolak konsep ini berarti juga menantang tatanan kapitalis dan kolonial yang selama ini mendikte siapa yang layak dihitung dalam masyarakat.

Chapman  dalam buku Empire of Normality juga menegaskan bahwa konsep “normal” yang selama ini kita anggap sebagai standar universal sebenarnya bukanlah sesuatu yang netral atau alami. Konsep ini berakar kuat pada logika kapitalisme dan warisan penjajahan. Karena menuntut produktivitas dan efisiensi maksimal, kapitalisme mengharuskan setiap orang untuk “berfungsi” sesuai standar tertentu—dibentuk berdasarkan kemampuan tubuh dan pikiran yang dianggap ideal oleh sistem. Mereka yang tidak sesuai standar dianggap “bermasalah” atau “tidak normal” sehingga mudah dipinggirkan dan dieksploitasi. Sementara warisan penjajahan memaksakan norma-norma budaya dan sosial eurosentris tentang siapa yang “sehat” dan “berharga” dalam masyarakat. Ini memperkuat diskriminasi terhadap kelompok yang berbeda, termasuk orang dengan disabilitas dan mereka yang berasal dari negara-negara Selatan Global.

Sudut pandang Paul Farmer dalam Pathologies of Power semakin menguak bagaimana kapitalisme dan struktur kekuasaan global menentukan siapa yang dianggap layak menerima perhatian medis, psikologis, dan sosial; serta siapa yang dibiarkan menderita dalam diam. Farmer menyatakan bahwa penderitaan bukan hanya hasil dari kondisi biologis atau psikologis, melainkan produk dari kekerasan struktural yang bersumber dari ketimpangan ekonomi, rasisme, seksisme, dan warisan kolonialisme. Dalam dunia di mana kapitalisme menentukan nilai hidup seseorang berdasarkan produktivitas dan profitabilitas, mereka yang tidak sesuai dengan norma dominan, baik karena kondisi mental, identitas gender, ras, atau status sosial dianggap “tidak normal” dan sering kali dipinggirkan dari sistem dukungan yang seharusnya melindungi mereka. Dalam kerangka ini, normalitas bukan sekadar kategori medis, tapi sebuah alat kuasa. Farmer mendorong kita untuk tidak hanya fokus pada pemulihan individu, tetapi juga mengkritisi dan menggugat sistem yang menjadi akar dari penderitaan tersebut. 

Dengan demikian, ketika mempertanyakan apa itu “normal”, kita juga sedang mengkritik sistem ekonomi dan sosial yang menciptakan ketidakadilan—sistem yang tidak hanya mengeksploitasi tubuh dan pikiran, tapi juga mengukuhkan dominasi budaya dan ekonomi yang lama.

Dan inilah titik temu antara ableisme dan kapitalisme: sistem ekonomi kita dibangun bukan untuk manusia, tapi demi mesin. Kita dilatih dari kecil buat bersaing,tinggi-tinggian ranking, dinilai dari produktivitas dan kepatuhan. Sistem peringkat di sekolah bahkan berasal dari warisan eugenika yang dipakai (hingga saat ini) untuk memilah mana anak-anak yang dianggap “berpotensi tinggi” dan mana yang “bermasalah”. Kalau tidak bisa duduk tenang delapan jam di kelas, kamu dianggap malas. Kalau burnout karena pekerjaan yang enggak manusiawi, kamu disuruh meditasi atau ikut pelatihan mindfulness—bukannya mempertanyakan kenapa pekerjaan itu bikin kamu hancur.

Seluruh sistem ini didesain supaya kita terus merasa kurang, merasa perlu membuktikan diri, merasa bersalah kalau minta istirahat. Disabilitas, dalam konteks ini, bukan sekadar kondisi tubuh atau pikiran—tapi juga status sosial yang dimarjinalkan. Kita yang dianggap tidak sesuai standar harus terus adaptasi. Harus terus mengejar supaya kelihatan “normal”. Harus masking. Harus kuat-kuatan.

Aku menulis ini bukan sekadar buat cerita tentang ADHD-ku. Aku menulis ini karena aku peduli dengan orang-orang yang masih berusaha memahami dirinya sendiri. Mereka yang hidup di sistem yang bikin mereka merasa rusak, padahal mereka hanya berbeda. Aku ingin lebih banyak orang neurodivergen bisa terlihat, dihargai, dan diterima—bukan karena mereka berhasil menyembunyikan kondisinya, tapi justru karena bisa hidup otentik.

Salah satu pemikiran yang sangat memengaruhi aku datang dari Mia Mingus, seorang aktivis disabilitas dan keadilan transformasional. Dia menulis bahwa “Ableism is not simply about individuals being mean to disabled people. It is a system that places value on people’s bodies and minds based on societally constructed ideas of normalcy, productivity, desirability, intelligence, excellence, and fitness.” Bagiku, kutipan ini menyentuh inti dari bagaimana tubuh dan pikiran yang menyimpang dari norma dianggap tidak berharga dalam sistem yang mengutamakan efisiensi, performa, dan produktivitas. Sistem kapitalis menggandeng ableisme dalam menyeleksi siapa yang dianggap pantas mendapat tempat, siapa yang dianggap beban. Dalam konteks ini, disabilitas tidak hanya soal keterbatasan individu, tetapi merupakan hasil benturan antara tubuh/mental kita dengan dunia yang tidak dibuat untuk kita.

Di dunia akademik dan kesehatan publik, aku sering kali melihat disabilitas dipandang secara sempit dan hanya memberi akomodasi (yang seharusnya sudah menjadi bare minimum), bukan mempertanyakan sistem yang membuatnya sulit diakses sejak awal. Padahal, sebagaimana disampaikan oleh Mingus, perjuangan disabilitas menyangkut banyak aspek hidup—dari hak untuk istirahat sampai siapa yang dianggap pantas dicintai, diajak bekerja, atau dipercaya jadi pemimpin. Perjuanganku sebagai orang yang hidup dengan disabilitas tidak akan dapat lepas dari kritik terhadap kapitalisme dan norma-norma dominan lainnya. Dan melalui lensa ini, aku juga dapat memahami bahwa keadilan harus bersifat interseksional yang meliputi kesehatan, gender, disabilitas dan juga berbagai lapisan lainnya.

Neurodiversitas bukan masalah medis semata. Ini adalah isu keadilan sosial. Dan kalau kita serius ingin membicarakan isu kesehatan, pendidikan, atau kesejahteraan, kita harus berhenti melihat manusia dari hanya dari kacamata produksi. Kita harus berani bilang: ternyata, oh ternyata, kapitalisme memang anti disabilitas!


Referensi

Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia. (2016). Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas. https://peraturan.bpk.go.id/Details/37251/uu-no-8-tahun-2016

Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia. (2023). Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan. https://peraturan.bpk.go.id/details/258028/uu-no-17-tahun-2023

Chapman, R. (2020). Neurodiversity, disability, wellbeing. In R. Chapman, S. Runswick-Cole, & K. Hughes (Eds.), Neurodiversity studies: A new critical paradigm (pp. 57–72). Routledge.

Chapman, R. (2023). Empire of normality: Neurodiversity and capitalism (1st ed.). Pluto Press. https://doi.org/10.2307/jj.8501594

Chapman, R. (2021, Agustus 16). Negotiating the neurodiversity concept. Psychology Today. https://www.psychologytoday.com/gb/blog/neurodiverse-age/202108/negotiating-the-neurodiversity-concept

Chapman, R. (2021, Agustus 23). Neurodiversity and the pathology paradigm. Psychology Today. https://www.psychologytoday.com/gb/blog/neurodiverse-age/202108/neurodiversity-and-the-pathology-paradigm

Sonuga-Barke, E., & Thapar, A. (2021). The neurodiversity concept: is it helpful for clinicians and scientists?. The Lancet Psychiatry, 8(7), 559-561. http://dx.doi.org/10.1016/S2215-0366(21)00167-X 

Farmer, P. (2004). Pathologies of power: Health, human rights, and the new war on the poor (Vol. 4). Univ of California Press.

Federici, S. (2004). Caliban and the witch: Women, the body and primitive accumulation. Autonomedia.

Miranda‐Ojeda, R., Wickramasinghe, A., Ntolkeras, G., Castanho, I., & Yassin, W. (2025). The Neurodiversity Framework in Medicine: On the Spectrum. Developmental Neurobiology, 85(1), e22960. https://doi.org/10.1002/dneu.22960 

Powell, R. M. (2020). Confronting eugenics means finally confronting its ableist roots. Wm. & Mary J. Race Gender & Soc. Just., 27, 607. https://heinonline.org/HOL/P?h=hein.journals/wmjwl27&i=645 

Radulski, E. M. (2022). Conceptualising autistic masking, camouflaging, and neurotypical privilege: Towards a minority group model of neurodiversity. Human Development, 66(2), 113–127. https://doi.org/10.1159/000524122

Withers, A. J., Ben-Moshe, L., Brown, L. X., Erickson, L., da Silva Gorman, R., Lewis, T. A., … & Mingus, M. (2019). Radical disability politics. In Routledge handbook of radical politics (pp. 178-193). Routledge.


Samantha Dewi Gayatri, mahasiswa MSc Global Mental Health di University of Glasgow.

]]>
Adam Hanieh: Imperialisme AS dan Posisi Timur Tengah dalam Imperialisme Global https://indoprogress.com/2025/05/imperialisme-as-dan-posisi-timur-tengah-dalam-imperialisme-global/ Fri, 30 May 2025 15:35:47 +0000 https://indoprogress.com/?p=238980

Ilustrasi: The Break-Down


ADAM Hanieh adalah seorang profesor Ekonomi Politik dan Pembangunan Global di University of Exeter, Inggris, yang penelitiannya berfokus pada kapitalisme dan imperialisme di Timur Tengah. Buku terbarunya adalah Crude Capitalism:Oil, Corporat Power, and the Making of the World Market. Dalam wawancara mendalam dengan Federico Fuentes untuk LINKS International Journal of Socialist Renewal, Hanieh mengeksplorasi perlunya mengedepankan transfer nilai dalam memahami imperialisme, peran Israel dalam kapitalisme fosil global, dan meningkatnya pengaruh negara-negara Teluk.

Artikel ini diterjemahkan dan diterbitkan ulang di sini untuk kepentingan pembangunan gerakan anti-imperialisme di Indonesia.


Federico Fuentes (FF): Selama satu abad terakhir, istilah imperialisme telah digunakan untuk mendefinisikan berbagai situasi yang berbeda dan, terkadang, digantikan oleh konsep-konsep seperti globalisasi dan hegemoni. Apakah konsep imperialisme masih berlaku? Jika ya, bagaimana Anda mendefinisikannya?

Adam Hanieh (AH): Tentu saja masih valid dan ada banyak hal yang dapat dipelajari dari para penulis klasik tentang imperialisme, seperti Vladimir Lenin, Nikolai Bukharin, dan Rosa Luxemburg, serta dari kontribusi dan perdebatan yang terjadi kemudian, termasuk dari para marxis anti-kolonial di tahun 60-an dan 70-an.

Pada tingkat yang paling umum, saya mendefinisikan imperialisme sebagai bentuk kapitalisme global yang berpusat pada ekstraksi dan transfer nilai yang terus-menerus dari negara-negara miskin (atau pinggiran) ke negara-negara kaya (atau inti), dan dari kelas-kelas di negara-negara miskin ke kelas-kelas di negara-negara kaya. Saya pikir ada kecenderungan untuk mereduksi imperialisme menjadi sekadar konflik geopolitik, perang, atau intervensi militer. Namun, tanpa memahami konsep inti mengenai transfer nilai ini, kita tidak dapat memahami imperialisme sebagai fitur permanen dari pasar dunia yang beroperasi bahkan di masa-masa yang seharusnya “damai”.

Cara-cara transfer nilai ini berlangsung sangat kompleks dan membutuhkan pemikiran yang cermat. Ekspor kapital sebagai investasi asing langsung ke negara-negara yang dikuasai adalah salah satu mekanismenya. Kontrol langsung dan ekstraksi sumber daya adalah mekanisme lainnya. Tetapi kita juga perlu melihat berbagai mekanisme dan hubungan keuangan yang telah meluas sejak tahun 1980-an: misalnya, pembayaran cicilan utang yang dilakukan oleh negara-negara di Global South. Ada juga perbedaan nilai tenaga kerja antara negara-negara inti dan pinggiran, sesuatu yang telah dieksplorasi oleh para ahli teori imperialisme dari tahun 60-an dan 70-an, seperti Samir Amin dan Ernest Mandel. Pertukaran yang tidak setara dalam perdagangan adalah jalan lain. Dan tenaga kerja migran adalah mekanisme lebih lanjut yang sangat penting di mana transfer nilai terjadi. Memikirkan berbagai bentuk ini membuka pemahaman kita tentang dunia saat ini – lebih dari sekadar pertanyaan tentang perang atau konflik antar negara.

Pendekatan terhadap imperialisme melalui transfer nilai ini membantu mengungkapkan siapa yang diuntungkan. Lenin mengedepankan kapital keuangan (finance capital), yang merupakan hasil dari semakin terintegrasinya kontrol atas kapital perbankan (banking capital) dan kapital industri (industrial capital), atau kapital produktif (productive capital). Hal ini masih berlaku. Namun, saat ini lebih rumit, di mana beberapa lapisan borjuasi yang mendominasi di pinggiran telah terintegrasi sebagian ke dalam kapitalisme di inti. Mereka tidak hanya sering memiliki kewarganegaraan di negara-negara tersebut, tetapi juga mendapatkan keuntungan dari hubungan imperialisme ini. Ada juga lebih banyak kepemilikan kapital lintas batas dan munculnya zona keuangan lepas pantai, yang membuatnya lebih sulit untuk melacak kontrol dan aliran kapital. Memahami imperialisme saat ini membutuhkan pemetaan yang lebih baik tentang siapa yang diuntungkan dari integrasi ke dalam pusat-pusat inti akumulasi kapital, dan cara-cara di mana pasar keuangan yang berbeda saling terhubung.

Fitur ketiga yang muncul dari transfer nilai ini adalah konsep aristokrasi buruh. Hal ini sangat penting dalam membahas kolonialisme dan imperialisme, yang sudah ada sejak zaman Karl Marx dan Friedrich Engels, tetapi sering disalahartikan atau tidak dimasukkan ke dalam pemikiran marxis kontemporer. Jika kita menelaah lebih mendalam pamflet Lenin, Imperialisme, Tahap Tertinggi Kapitalisme, dan melihat tulisan-tulisannya yang lain tentang imperialisme, kita akan menemukan bahwa ia mendedikasikan perhatian yang signifikan untuk menganalisis implikasi politik dari hubungan imperialisme dalam menciptakan lapisan-lapisan sosial di negara-negara inti yang politiknya menjadi berorientasi dan terhubung dengan kaum borjuis mereka sendiri. Wawasan ini masih tetap valid dan perlu dikedepankan lagi. Di Inggris, misalnya, hal ini membantu menjelaskan karakter Partai Buruh Inggris yang jelas-jelas pro-imperialis.

Salah satu ciri imperialisme kontemporer yang tidak diteorikan dengan baik di awal abad ke-20 adalah bagaimana dominasi imperialisme selalu terikat dengan jenis ideologi rasis dan seksis tertentu, yang membantu membenarkan dan melegitimasinya. Saat ini, kita dapat melihat hal ini dalam konteks Palestina. Sangatlah penting untuk mengintegrasikan anti-rasisme dan feminisme ke dalam cara kita berpikir tentang kapitalisme, anti-imperialisme, dan perjuangan anti-imperialisme. Neville Alexander melakukan hal ini dalam konteks Afrika Selatan, seperti halnya Walter Rodney, seorang marxis anti-kolonial dari Guyana, dan Angela Davis di Amerika Serikat.


FF: Banyak yang setuju bahwa setelah Perang Dingin, politik dunia didominasi oleh imperialisme AS/Barat. Namun, pergeseran relatif tampaknya sedang terjadi dengan kebangkitan ekonomi Tiongkok, Rusia menginvasi Ukraina, dan bahkan negara-negara yang lebih kecil, seperti Turki dan Arab Saudi, yang melebarkan kekuatan militer di luar perbatasan mereka. Secara umum, bagaimana kita dapat memahami dinamika yang terjadi di dalam sistem imperialis global?

AH: Sejak awal tahun 2000-an, kita telah melihat munculnya pusat-pusat akumulasi kapital baru di luar AS. Cina berada di garis depan dalam hal ini. Hal ini pada awalnya terkait dengan aliran investasi asing langsung ke Cina dan wilayah Asia Timur yang lebih luas, yang bertujuan untuk mengeksploitasi tenaga kerja murah sebagai bagian dari penataan ulang rantai nilai global. Namun sejak saat itu, kebangkitan Cina telah dikaitkan dengan melemahnya kapitalisme AS secara relatif dalam konteks krisis global yang mendalam dan semakin dalam.

Erosi relatif dari kekuatan AS ini dapat dilihat di berbagai metrik. Selama tiga dekade terakhir, dominasi AS atas teknologi, industri, dan infrastruktur utama telah melemah. Salah satu indikasinya adalah turunnya pangsa AS dalam PDB global dari 40% menjadi sekitar 26% antara tahun 1985-2024. Juga telah terjadi pergeseran relatif dalam kepemilikan dan kontrol perusahaan-perusahaan kapitalis terbesar di dunia. Jumlah perusahaan Tiongkok di Global Fortune 500, misalnya, menyalip AS pada tahun 2018 dan tetap seperti itu hingga tahun lalu, ketika AS mendapatkan kembali kepemimpinannya (139 perusahaan AS dibandingkan dengan 128 perusahaan Tiongkok). Representasi Tiongkok dalam daftar ini telah meningkat dari hanya 10 perusahaan pada tahun 2000. Meskipun kebangkitan Tiongkok sebagian besar mengorbankan perusahaan-perusahaan Jepang dan Eropa, ada juga penurunan kontrol AS atas kapital besar: dalam 25 tahun terakhir, pangsa AS di Global Fortune 500 telah turun dari 39% menjadi 28%.

Yang penting, indikasi-indikasi penurunan relatif AS ini tercermin di dalam negeri. Kapitalisme AS didera oleh masalah sosial yang parah: menurunnya angka harapan hidup, penahanan massal, tunawisma, penyakit mental, dan runtuhnya infrastruktur penting. Neoliberalisme dan polarisasi kekayaan yang ekstrem telah mengikis kapasitas negara AS untuk merespons krisis besar – seperti yang terlihat pada pandemi Covid-19 dan, yang terbaru, pada musim badai tahun 2024 dan kebakaran Los Angeles pada Januari 2025.

Namun, kita perlu menekankan melemahnya kekuatan AS adalah secara relatif. Saya tidak yakin dominasi AS akan segera runtuh. AS masih memiliki keunggulan militer yang sangat besar dibandingkan para pesaingnya, dan sentralitas dolar AS tidak perlu dipertanyakan lagi. Yang terakhir ini adalah sumber utama kekuatan AS karena memungkinkan AS untuk menyingkirkan pesaing dari pasar keuangan dan sistem perbankan AS (terutama terlihat jelas sejak peristiwa 9/11). Begitu banyak kekuatan geopolitik AS diartikulasikan melalui dominasi keuangannya – alasan lain mengapa kita perlu mempertimbangkan imperialisme lebih dari sekadar bentuk militernya.

Ada juga gambaran yang lebih besar dari persaingan global ini yang harus kita tekankan: berbagai krisis yang saling berhubungan yang sekarang menandai kapitalisme secara global. Kita dapat melihat hal ini dalam stagnasi tingkat keuntungan dan melimpahnya surplus kapital uang (money capital) yang kesulitan menemukan lokasi investasi yang menguntungkan; peningkatan besar dalam utang publik dan swasta; serta kelebihan produksi di banyak sektor ekonomi. Semua itu diperparah oleh situasi darurat iklim yang semakin nyata. Jadi, ketika kita berbicara tentang dinamika sistem imperialis global, ini bukan hanya masalah persaingan antar negara dan membandingkan kekuatan AS versus kekuatan kapitalis lainnya. Kita perlu menempatkan konflik-konflik ini dalam krisis sistemik jangka panjang yang sedang dihadapi oleh semua negara.


FF: Bagaimana Anda memahami kemunculan Presiden AS Donald Trump dalam semua ini?

AH: Banyak komentator liberal menggambarkan Trump sebagai sosok egosentris yang memimpin pemerintahan yang telah dibajak oleh miliarder ekstremis sayap kanan, atau bahkan secara diam-diam dituding dikendalikan oleh Rusia. Namun, menurut saya, perspektif semacam ini salah. Terlepas dari sifat narsistiknya, Trump sebenarnya mewakili sebuah proyek politik yang jelas, yang mencoba merespons masalah umum yang baru saja saya uraikan: bagaimana cara menghadapi kemunduran relatif posisi AS di tengah krisis sistemik yang lebih besar yang dihadapi kapitalisme global?

Jika Anda mengikuti diskusi di antara para penasihat ekonominya, terdapat bukti kuat mengenai hal ini. Contoh yang paling jelas adalah analisis panjang yang ditulis oleh Stephen Miran, seorang ekonom yang baru saja dikukuhkan sebagai ketua Dewan Penasihat Ekonomi Trump,  pada November 2024. Menurut Miran, ekonomi AS telah menyusut relatif terhadap PDB global selama beberapa dekade terakhir, namun AS menanggung biaya untuk mempertahankan “payung pertahanan” dunia dalam menghadapi persaingan antarnegara yang semakin meningkat. Yang paling penting, menurutnya, dolar AS dinilai terlalu tinggi karena perannya sebagai mata uang cadangan internasional, yang berakibat pada melemahnya kapasitas manufaktur AS.

Untuk mengatasi masalah tersebut, ia mengusulkan agar AS menerapkan ancaman tarif untuk memaksa sekutu AS menanggung bagian yang lebih besar dari biaya imperialisme. Miran mengatakan, pendekatan ini juga bertujuan untuk membawa kembali manufaktur ke dalam negeri – suatu hal yang dianggap strategis jika terjadi perang. Dia juga mengusulkan serangkaian langkah untuk membatasi dampak inflasi dari rencana ini dan mempertahankan dolar AS sebagai mata uang yang dominan meskipun terjadi devaluasi (dia secara eksplisit menunjukkan pentingnya dolar AS untuk memproyeksikan dan mengamankan kekuatan AS). Perspektif seperti ini sedang didorong oleh pemerintahan Trump, termasuk Menteri Keuangan Scott Bessent.

Poin kuncinya bukanlah apakah rencana ini berhasil atau masuk akal secara ekonomi, tetapi memahami motivasi di baliknya. Rencana ini secara eksplisit disusun sebagai cara untuk mengatasi masalah yang dihadapi AS dan kapitalisme global, dan untuk menegaskan kembali keunggulan global AS dengan mengalihkan biayanya ke bagian lain dunia. Pemerintahan Joe Biden mengusulkan solusi yang berbeda, tetapi bergulat dengan masalah yang sama, berbicara secara terbuka tentang mengintensifkan “persaingan strategis” dan kebutuhan untuk menemukan cara bagi AS untuk “mempertahankan keunggulan intinya dalam persaingan geopolitik”.

Jadi, kita harus mendekati pemerintahan Trump sebagai aktor dengan proyek yang koheren. Jelas ada banyak sekali kontradiksi dan ketegangan internal yang ditimbulkan oleh proyek ini, dan ketidaksepakatan yang jelas dari beberapa seksi kapital AS dan sekutu asing yang sudah lama ada. Tetapi ketegangan-ketegangan ini juga merupakan cerminan dari sifat kapitalisme global yang sangat tidak stabil saat ini.

Artikulasi domestik dari proyek ini, seperti yang sering terjadi pada masa krisis, dibangun di atas pengkambinghitaman, rasisme yang ganas dan sikap anti-migran, irasionalisme anti-ilmiah, penyangkalan terhadap iklim, serta politik gender dan seksualitas yang sangat konservatif. Semua jenis kiasan ideologis ini berfungsi untuk mempromosikan nasionalisme, militerisme, dan perasaan bahwa sebuah negara sedang dikepung. Hal ini memungkinkan lebih banyak lagi penindasan oleh negara dan pemotongan belanja sosial. Tentu saja, hal ini tidak hanya terjadi di Amerika Serikat. Kebangkitan global dari ideologi-ideologi sayap kanan ini merupakan indikasi lebih lanjut bahwa kita sedang menghadapi krisis sistemik yang lebih besar yang sedang dihadapi oleh semua negara kapitalis.

Saya ingin menekankan kembali keadaan darurat iklim. Kita dapat melihat bagaimana pemerintahan Trump merobek-robek peraturan lingkungan dan berusaha mempercepat produksi minyak dan gas dalam negeri sebagai salah satu cara untuk menegaskan kembali kekuatan kapitalisme AS (melalui penurunan biaya energi). Namun, sangat jelas pula bahwa kita sedang memasuki fase kehancuran iklim yang tidak dapat diprediksi, yang secara material akan berdampak pada miliaran orang dalam beberapa dekade mendatang. Kaum kanan mungkin menyangkal realitas perubahan iklim, tetapi pada akhirnya hal ini terjadi karena kapitalisme tidak dapat membiarkan apa pun berdampak buruk pada akumulasi. Kita perlu memusatkan perhatian pada masalah iklim dalam politik kita saat ini, karena masalah ini akan semakin merasuk ke dalam segala hal.

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.


FF: Berbagai penjelasan yang saling bersaing telah ditawarkan untuk menjelaskan dukungan imperialis AS/Barat terhadap perang Israel di Gaza. Apa pandangan Anda? Bagaimana proses normalisasi antara Israel dan negara-negara Arab cocok dengan hal ini? Dan apa dampak dari peristiwa 7 Oktober dan genosida Gaza terhadap hal ini?

AH: Kita harus melihat hubungan AS-Israel dalam konteks wilayah yang lebih luas, dan tidak hanya melalui lensa tentang apa yang terjadi di dalam perbatasan Palestina atau motivasi para pemimpin Israel. Hal ini membutuhkan latar belakang imperialisme AS dan sentralitas kawasan ini terhadap kapitalisme fosil global.

Bangkitnya AS sebagai kekuatan kapitalis yang dominan berkaitan erat dengan pergeseran ke minyak sebagai bahan bakar fosil utama pada pertengahan abad ke-20. Hal ini memberikan Timur Tengah – sebagai pusat ekspor minyak dunia dan zona produksi energi yang sangat penting – sebuah peran yang sangat penting dalam proyek global AS. Di Timur Tengah, Israel telah menjadi pilar utama pengaruh AS, terutama setelah perang (Arab-Israel) tahun 1967, di mana Israel menunjukkan kemampuannya untuk mengalahkan gerakan-gerakan nasionalis Arab dan perjuangan-perjuangan anti-kolonial. Dalam hal ini, AS selalu berada di kursi kemudi hubungan ini – bukan Israel, dan tentu saja bukan lobi Israel.

Pilar lain dari kekuatan AS di Timur Tengah adalah negara-negara Teluk, khususnya Arab Saudi. Sejak pertengahan abad ke-20, AS telah membangun hubungan istimewa dengan kerajaan-kerajaan Teluk, yang bertindak sebagai penghalang bagi kelangsungan hidup mereka selama mereka tetap berada dalam sistem aliansi regional AS yang lebih luas. Hal ini berarti menjamin aliran minyak ke pasar dunia dan memastikan bahwa minyak tidak pernah digunakan sebagai “senjata”. Hal ini juga berarti bahwa triliunan dolar yang diperoleh negara-negara Teluk melalui penjualan minyak sebagian besar disirkulasikan kembali ke pasar-pasar keuangan Barat.

Sama halnya dengan status globalnya, dominasi AS di kawasan ini telah terkikis selama dua dekade terakhir. Hal ini tercermin dari meningkatnya peran negara-negara asing lainnya di kawasan ini (seperti Cina dan Rusia), dan perjuangan kekuatan-kekuatan regional untuk memperluas pengaruh mereka (misalnya Iran, Turki, Arab Saudi, dan Uni Emirat Arab). Yang juga penting, ada juga pergeseran ke arah timur dalam ekspor minyak dan gas Teluk, yang sekarang mengalir terutama ke Cina dan Asia Timur, daripada ke negara-negara Barat.

Sebagai tanggapan, AS telah berusaha untuk menyatukan dua sekutu regional utamanya dengan menormalkan hubungan politik, ekonomi, dan diplomatik antara negara-negara Teluk dan Israel. Proyek ini sudah ada sejak beberapa dekade yang lalu, namun semakin intensif di bawah Perjanjian Oslo pada tahun 90-an. Baru-baru ini, kita melihat Israel menormalkan hubungan dengan UEA dan Bahrain melalui Perjanjian Abraham tahun 2020. Pada tahun itu, Israel juga menormalkan hubungan dengan Sudan dan Maroko. Langkah-langkah signifikan ini diikuti pada tahun 2022 dengan penandatanganan perjanjian perdagangan bebas antara UEA dan Israel.

Kita perlu membaca tindakan Israel dan genosida di Gaza melalui lensa ini. Bahkan saat ini, setelah peristiwa 7 Oktober dan genosida, dan di tengah-tengah pembicaraan tentang pengusiran lebih lanjut warga Palestina dari tanah mereka, tujuan AS tetaplah normalisasi hubungan antara Israel dan negara-negara Teluk sebagai sarana untuk menegaskan kembali keunggulannya di wilayah tersebut.


FF: Namun, apakah usulan Trump untuk membersihkan Gaza secara etnis akan mempersulit pemerintah-pemerintah di wilayah tersebut untuk menormalisasi hubungan dengan Israel?

AH: Usulan Trump untuk melakukan pembersihan etnis lebih lanjut di Gaza jelas beresonansi dengan sebagian besar spektrum politik Israel. Namun, ada banyak hambatan untuk melakukan hal ini, dimulai dengan fakta bahwa negara-negara seperti Yordania dan Mesir tidak ingin melihat pengungsi Palestina dalam jumlah besar ke wilayah mereka.

Namun negara-negara seperti Arab Saudi, Yordania dan Mesir tidak memiliki pandangan yang berbeda dengan proyek AS. Pada prinsipnya, kerajaan Saudi tidak memiliki masalah dalam menormalkan hubungan dengan Israel, dan mereka tentu saja memberikan lampu hijau bagi UEA untuk melakukannya sebagai bagian dari Kesepakatan Abraham. Ada keselarasan yang sangat erat antara AS dan negara-negara Teluk, yang semakin meningkat di bawah kepemimpinan Trump. Kita dapat melihat hal ini dari fakta bahwa Arab Saudi menjadi tuan rumah negosiasi AS-Rusia saat ini, dan dalam pengumuman UEA baru-baru ini bahwa mereka berencana untuk menginvestasikan 1,4 triliun dolar AS di AS selama dekade berikutnya.

Pada saat yang sama, jelas sangat sulit bagi proyek ini untuk bergerak maju tanpa adanya kekalahan dari pihak Palestina di Gaza dan di tempat lain, dan semacam persetujuan dari pihak Palestina. Solusi potensial untuk dilema ini ditemukan di Tepi Barat, dalam bentuk Otoritas Palestina (PA). PA adalah kuncinya karena PA telah menciptakan lapisan politisi Palestina dan kelas kapitalis Palestina yang kepentingannya terkait dengan akomodasi dengan Israel dan yang bersedia untuk memfasilitasi normalisasi regional (yang merupakan inti dari Perjanjian Oslo). Jadi, kita tidak boleh membaca negara-negara Arab sebagai sesuatu yang secara genetis menentang pembersihan etnis dan normalisasi seperti yang diusulkan oleh Trump.


FF: Monopoli minyak nasional yang dijalankan oleh negara-negara Timur Tengah (dan negara-negara non-Barat lainnya) telah mengambil alih posisi perusahaan-perusahaan Barat di pasar minyak global. Bagaimana hal ini memengaruhi posisi Timur Tengah dalam kapitalisme global?

AH: Selama dua dekade terakhir kita telah melihat kebangkitan perusahaan-perusahaan minyak nasional yang besar, yang mengubah dinamika industri minyak global. Negara-negara Teluk menonjol dalam hal ini, terutama Saudi Aramco, produsen dan eksportir minyak terbesar di dunia saat ini, melampaui perusahaan-perusahaan besar Barat yang mendominasi industri ini hampir sepanjang abad ke-20.

Perusahaan-perusahaan minyak nasional ini telah mengikuti jejak perusahaan-perusahaan minyak besar Barat untuk menjadi terintegrasi secara vertikal. Pada tahun 70-an, negara-negara penghasil minyak seperti Arab Saudi, sebagian besar berfokus pada ekstraksi minyak mentah hulu. Namun saat ini, perusahaan-perusahaan minyak nasional mereka aktif di sepanjang rantai nilai. Mereka terlibat dalam penyulingan dan produksi petrokimia dan plastik. Mereka memiliki jalur pelayaran, jaringan pipa, kapal tanker, dan stasiun layanan di mana bahan bakar dijual. Mereka memiliki jaringan pemasaran global.

Pada saat yang sama, kita telah melihat munculnya apa yang saya sebut dalam Crude Capitalism sebagai “poros hidrokarbon Timur-Timur”. Dengan kebangkitan Cina, ekspor minyak Teluk telah berpaling dari Eropa Barat dan AS, dan ke arah timur menuju Cina dan Asia Timur secara lebih luas. Kita tidak hanya berbicara tentang ekspor minyak mentah, tetapi juga produk penyulingan dan petrokimia. Hal ini telah menyebabkan saling ketergantungan yang semakin besar antara kedua wilayah ini, yang sekarang menjadi poros utama industri minyak global di luar AS.

Bukan berarti pasar dan perusahaan minyak Barat tidak penting. Perusahaan-perusahaan besar Barat masih mendominasi di AS dan blok Amerika Utara yang lebih luas. Tetapi kita dihadapkan dengan pasar minyak global yang terfragmentasi, di mana hubungan Timur-Timur ini semakin mencerminkan melemahnya pengaruh AS – secara global dan di Timur Tengah.


FF: Apa implikasi dari hal ini terhadap anggapan bahwa sejumlah perusahaan milik negara, baik yang berskala transnasional maupun berasal dari negara non-Barat, dapat beroperasi secara sukses tanpa bergantung pada dukungan institusional dari kekuatan imperialis?

AH: Perusahaan-perusahaan ini bukanlah perusahaan milik AS atau Barat, tetapi mereka masih memiliki hubungan penting dengan perusahaan-perusahaan minyak Barat (termasuk melalui proyek-proyek bersama) dan aktif di pasar-pasar Barat. Kilang minyak terbesar di AS adalah milik Saudi. Jadi, kita tidak perlu mengadu domba satu dengan yang lain, seolah-olah ada perbedaan mendasar tentang bagaimana mereka, sebagai blok fosil, melihat masa depan industri ini. Mereka benar-benar berdiri di sisi yang sama dalam hal darurat iklim. Kita dapat melihat hal ini dalam peran penting negara-negara Teluk dalam menghalangi dan mengalihkan setiap respons global yang efektif terhadap keadaan darurat ini.


FF: Selain memperdalam hubungan dengan Cina, negara-negara Teluk semakin menunjukkan kesediaan mereka untuk bertindak secara otonom dan bahkan bersaing untuk mendapatkan pengaruh di wilayah tersebut. Bagaimana Anda menjelaskan peran negara-negara Teluk ini?

AH: Terkait dengan melemahnya kekuatan AS secara relatif, aktor-aktor lain, termasuk negara-negara Teluk, telah berusaha untuk memproyeksikan kepentingan regional mereka sendiri.

Mereka telah menggunakan berbagai mekanisme: mensponsori berbagai kelompok bersenjata atau gerakan politik atau menjadi tuan rumah bagi berbagai kekuatan politik yang berbeda (kasus Qatar menonjol di sini); memberikan bantuan keuangan kepada negara-negara seperti Mesir dan Libya; intervensi militer di tempat-tempat seperti Yaman dan Sudan; dan dengan mengendalikan pelabuhan dan rute logistik. Dengan cara-cara ini, negara-negara Teluk telah berusaha untuk meningkatkan jejak regional mereka.

Hal ini sebagian berkaitan dengan akibat dari pemberontakan Arab (Arab uprisings) tahun 2011, yang dengan cepat menyebar ke seluruh wilayah, menggoyahkan penguasa otoriter yang telah lama berkuasa, seperti di Mesir dan Tunisia. Negara-negara Teluk memainkan peran utama dalam upaya memulihkan negara-negara otoriter ini setelah pemberontakan.

Ada juga persaingan antara negara-negara Teluk, terutama Arab Saudi dan Qatar, tetapi juga antara Arab Saudi dan UEA. Mereka tidak selalu sepakat dalam segala hal, dan terkadang mendukung pihak yang saling berlawanan – misalnya di Sudan (di mana Arab Saudi mendukung Angkatan Bersenjata Sudan dalam perang saudara yang sedang berlangsung, sementara UEA membantu Pasukan Dukungan Cepat/Rapid Support Forces).

Namun, meskipun relatif menurun, AS tetap menjadi kekuatan imperialis utama di kawasan ini. Hal ini terbukti melalui kehadiran militernya secara langsung di Teluk, di mana AS memiliki fasilitas dan pangkalan militer di negara-negara seperti Bahrain, Arab Saudi, dan UEA. AS masih menjadi penyangga terakhir – secara militer dan politik – bagi rezim-rezim Teluk.


FF: Istilah subimperialis kadang-kadang digunakan untuk menggambarkan negara-negara seperti ini, yang keduanya berada di bawah kekuatan imperialis tetapi beroperasi dengan otonomi dalam lingkup pengaruh mereka. Apakah Anda melihat ini sebagai istilah yang berguna untuk memahami negara-negara Teluk?

AH: Meskipun istilah subimperialisme dapat menangkap beberapa hal yang diwakili oleh negara-negara ini, negara-negara Teluk tidak memiliki kemampuan untuk memproyeksikan kekuatan militer mereka dengan cara yang sama seperti yang dilakukan oleh negara-negara Barat. Itu tidak berarti bahwa mereka tidak membangun kapasitas militer, tetapi mereka sebagian besar masih beroperasi melalui proksi dan sangat bergantung pada payung militer AS. Seperti yang telah saya sebutkan, ada pangkalan militer AS di seluruh Teluk. Ekspor perangkat keras militer dari negara-negara Barat ke wilayah ini semakin meningkatkan pengawasan Barat terhadap militer Teluk, karena ekspor ini membutuhkan pelatihan, pemeliharaan, dan dukungan yang berkelanjutan.

Meskipun demikian, ekspor kapital dari Teluk ke wilayah yang lebih luas – dan semakin banyak juga ke benua Afrika – sangat nyata. Ekspor kapital ini mencerminkan transfer nilai lintas batas. Juga sangat jelas bahwa konglomerat-konglomerat yang berbasis di Teluk telah menjadi penerima manfaat utama dari gelombang neoliberal yang melanda Timur Tengah selama beberapa dekade terakhir, di mana ekonomi dibuka, dan tanah serta aset-aset lainnya diprivatisasi. Saya tidak hanya berbicara tentang konglomerat Teluk milik negara, tetapi juga konglomerat swasta besar. Jika Anda melihat ke seluruh wilayah di sektor-sektor seperti perbankan, ritel, agribisnis, Anda akan melihat konglomerat negara dan swasta yang berbasis di Teluk.

Inilah sebabnya mengapa sangat penting untuk memikirkan kawasan ini dalam konteks kepentingan kapitalis dan pola akumulasi kapital, bukan hanya konflik antar negara.


FF: Iran terkadang dianggap sebagai kekuatan kecil atau subimperialis, mengingat konfliknya yang simultan dengan imperialisme AS dan perannya yang semakin meluas di kawasan ini. Yang lain melihatnya sebagai ujung tombak “Poros Perlawanan/Axis of Resistance” anti-imperialis di wilayah tersebut. Bagaimana Anda melihat peran Iran?

AH: Istilah “Poros Perlawanan” menyesatkan karena menyiratkan terlalu banyak kesepakatan bulat antara sekumpulan aktor yang cukup heterogen dengan kepentingan, basis sosial, dan hubungan dengan politik yang sangat berbeda, baik di dalam negeri maupun di kawasan. Pada dasarnya, hal ini berusaha untuk menempatkan tanda plus di mana (mantan Presiden AS George W Bush) meletakkan tanda negatif dengan “Axis of Evil”. Ini adalah cara yang sederhana dalam berpolitik.

Kita harus secara jelas dan tegas menentang segala bentuk intervensi imperialis Barat di Iran atau wilayah yang lebih luas (baik secara langsung atau melalui Israel). Ini bukan hanya berarti intervensi militer, tetapi juga intervensi ekonomi dan bentuk-bentuk intervensi lainnya. Sanksi adalah hal yang besar dalam kasus Iran.

Pada saat yang sama, kita harus menyadari bahwa Iran adalah negara kapitalis, dengan kelas kapitalisnya sendiri, yang memiliki tujuan-tujuannya sendiri di kawasan ini dan secara lebih luas. Sama seperti negara-negara Teluk, Iran mencoba memproyeksikan kekuatan regionalnya, di tengah konteks destabilisasi pasca-2011, melemahnya kekuatan AS dan semua hal lain yang telah kita bahas.

Memang benar bahwa Iran melakukannya di luar proyek AS untuk kawasan ini, seperti yang telah terjadi selama beberapa dekade. Namun, mengakui karakter kapitalis negara Iran berarti kita juga harus berdiri dalam solidaritas dengan gerakan-gerakan sosial dan politik yang progresif di Iran, baik itu perjuangan buruh dan serikat buruh (yang masih terus berlanjut), perjuangan perempuan, perjuangan rakyat Kurdi, dan seterusnya. Ini adalah gerakan-gerakan yang harus kita dukung sebagai kaum sosialis, dalam kerangka politik anti-imperialis.

Titik awalnya adalah secara konsisten bersikap anti-kapitalis dalam cara kita berpikir tentang negara dan gerakan, yang berarti tidak memberikan dukungan politik kepada pemerintah kapitalis – siapa pun mereka, di mana pun mereka berada. Kita dapat bersolidaritas dengan orang-orang yang sedang berjuang dan juga menentang intervensi imperialis dalam segala bentuknya. Tetapi, kita tidak boleh mereduksi kompleksitas kapitalisme di Timur Tengah menjadi semacam geopolitik manichean, yang memandang hubungan global secara biner dan moralistik: ”baik vs jahat”, ”kita vs mereka”, ”demokrasi atau otoritarianisme”.

]]>
Dogma “Peristiwa Harian”: Asal Mula Akumulasi Kapital, Titik Tolak, dan Cara Kerjanya https://indoprogress.com/2025/04/asal-mula-akumulasi-kapital/ Fri, 25 Apr 2025 10:36:32 +0000 https://indoprogress.com/?p=238929

Ilustrasi: Wikimedia Commons


PADA tahun-tahun belakangan ini, kondisi perekonomian Indonesia menunjukkan kinerja yang kuat dan stabil. Hal ini ditandai dengan adanya peningkatan Produk Domestik Bruto (PDB) pada tahun 2024 sebesar 5,1%, meningkat 1% dibanding PDB di tahun 2023 yang hanya mencapai 5,0%. Peningkatan ini juga dibarengi dengan penurunan jumlah penduduk miskin di Indonesia yaitu 24,06 juta jiwa pada September 2024, menurun 1,16 juta jiwa terhadap Maret 2024 dan menurun 1,84 juta jiwa terhadap Maret 2023.  Namun, data yang sekilas menunjukkan keberhasilan pembangunan ekonomi negara di atas harus dikritisi lagi.

Global Wealth Report 2023 menunjukkan masifnya pertumbuhan dan kuasa crazy rich di Indonesia. Sementara itu, Oxfam, lembaga independen asal Inggris, menyebut di tahun yang sama 40% penduduk miskin di Indonesia menguasai hanya 3,5% total kekayaan nasional. Majalah Forbes, di akhir tahun 2023, juga menunjukkan hal yang sama dengan merilis daftar 50 orang paling kaya Indonesia dengan total kekayaan mereka di tahun 2023 sebanyak USD252 miliar atau setara Rp3.904,25 triliun yang hampir sama dengan APBN tahun 2023 (Rp1.869,23 triliun) atau setara 18,6% dari Produk Domestik Bruto (Rp20.892,4 triliun).

Perbandingan data-data ini menunjukkan pembangunan ekonomi, disertai dengan pertumbuhan ekonomi yang kian meningkat, hanya dinikmati oleh sebagian orang saja. Kondisi ini menandakan ketimpangan kesejahteraan yang masih sangat tinggi di Indonesia. Pertumbuhan ekonomi meningkat terus tetapi kesenjangan pendapatan kian lebar. 

Pertumbuhan ekonomi yang tidak diimbangi dengan pemerataan pendapatan mengindikasikan adanya akumulasi kapital di dalam pembangunan. Pendapatan suatu negara diakumulasi oleh segelintir pemodal yang kuat dalam kontestasi pasar, sedangkan mereka yang tidak punya posisi kuat di dalamnya terus dimanipulasi, dihisap habis-habisan, dan ditekan terus dalam kemelaratan yang sama. Meskipun demikian, situasi ini nyatanya lebih dianggap sebagai suatu “peristiwa harian” yang wajar ketimbang sebagai suatu ketidakadilan. Di sini, swatata pasar tidak hanya mengendalikan peredaran di dalam pasar tetapi juga memaksakan suatu dogma tertentu untuk dianut setiap pihak yang hendak masuk ke dalamnya. Tentu saja para pemodal kecil, masyarakat subsisten, para petani kecil, para buruh selalu dirugikan di dalamnya.

Sadar akan hal tersebut, tulisan ini dibuat untuk menjelaskan bagaimana akumulasi itu dapat terjadi agar dinamika akumulasi disadari sebagai suatu anomali yang seharusnya dikritisi, bukan diterima begitu saja sebagai suatu “peristiwa harian” yang harus diimani dengan penuh kepasrahan.     


Titik Tolak Akumulasi Modal

Pembahasan mengenai akumulasi modal harus dimulai dengan pembahasan mengenai peredaran komoditi yang menjadi titik tolak kapital. Pembahasan mengenai peredaran komoditi didahulukan sebelum pembahasan akumulasi kapital dengan maksud untuk menjelaskan asal mula perubahan uang menjadi kapital yang kemudian menjadi elemen yang menentukan terjadinya akumulasi modal. Secara garis besar, titik tolak akumulasi modal dimulai ketika peredaran komoditi dipraktikkan menggunakan dua sistem yang saling bertentangan dalam hal intensi, cara kerja, maupun orientasinya. 

Pertama, Peredaran Sederhana Komoditi (Rumus: B-U-B). Aristoteles, dalam karyanya Politics, menganalisis perbedaan antara ekonomi rumah tangga dan ekonomi penumpukan harta. Dalam pembahasannya mengenai ekonomi rumah tangga, oikonomia, Aristoteles menganggap ekonomi ini sebagai sesuatu yang dirancang untuk memenuhi kebutuhan pokok anggota rumah tangga dan masyarakat secara keseluruhan (koinonia, polis).

Sebelum uang digunakan, ekonomi rumah tangga mengusung perdagangan barter sebagai model transaksi pasar yang ideal (wajar dalam pencapaiannya, ktetiké kata physin). Dalam perdagangan barter, bahan-bahan alami dan barang-barang yang dibuat darinya dapat dikumpulkan, diproses, dan ditukarkan di mana saja (untuk perdagangan jarak jauh, uangnya dapat digunakan sebagai alat tukar). Perdagangan barter inilah yang dinamakan oleh Aristoteles sebagai metabletiké. 

Perdagangan barter menyediakan situasi yang ideal bagi usaha pemenuhan kebutuhan masyarakat sebagai koinonia, karena setiap pihak yang terlibat di dalamnya dapat memperoleh kebutuhan mereka tanpa adanya indikasi untung rugi. Dengan demikian, ekonomi menjadi seni pendapatan untuk hidup; ia dibatasi pada pendapatan barang-barang yang diperlukan untuk hidup atau berguna bagi keluarga dan negara.

Aristoteles menulis:

Kekayaan yang sebenarnya (ο αληθινοζ πλουτοζ) terdiri atas nilai-nilai pakai seperti itu; karena jumlah pemilikan seperti ini, yang dapat membuat hidup itu menyenangkan, tidaklah tanpa batas… Perdagangan (η χαπηλιπη) menurut sifatnya tidak termasuk Khrematistika, karena di sini pertukaran hanya merujuk pada yang diharukan bagi (pembeli atau penjual) mereka sendiri… Ekonomi, tidak seperti Khrematistika, mempunyai suatu batas… karena sasaran-sasaran yang disebut terdahulu adalah sesuatu yang berbeda dari uang, dari yang tersebut belakangan peningkatan/pertambahan uang….

Menurut Aristoteles, keadaan ini seharusnya mendasari setiap aktivitas pasar ketika uang diperkenalkan di dalamnya. Untuk hal ini, Karl Polanyi menjelaskan posisi Aristoteles yang bersikeras bahwa inti dari kewajaran (ekonomi) berumah tangga adalah “produksi untuk digunakan”, bukan “produksi untuk mencapai keuntungan”. Produksi tambahan untuk pasar tidak perlu merusak pemenuhan kebutuhan rumah tangga selama hasil bumi dan ternak diperbanyak untuk bertahan hidup. Uang hanya memberi unsur baru dalam situasi ini.

Selama pasar dan uang tetap digunakan hanya sebagai pelengkap untuk mencukupi kebutuhan rumah tangga, prinsip “produksi untuk digunakan” akan tetap berjalan. Situasi ini merupakan situasi pasar lokal dalam ekonomi subsistensi (penyambung hidup). Anggota keluarga bekerja di ladang dan membuat barang-barang kerajinan untuk memenuhi kebutuhan mereka sendiri, dan menukarkan sebagian dari hasil produksinya dengan barang lain atau dengan uang sebagai media sirkulasi untuk memperbaiki dan mempertahankan persediaan barang bagi kebutuhan mereka sendiri.

Bagi Karl Marx, ekonomi rumah tangga sebagaimana yang dibahas oleh Aristoteles di atas merupakan skema peredaran komoditi sederhana yang lebih mengutamakan pemenuhan kebutuhan sebagai tujuannya ketimbang perkara untung rugi. Bentuk langsung peredaran ini adalah C-M-C (Commodities-Money-Commodities, B-U-B: Barang-Uang-Barang), perubahan komoditi menjadi uang, dan perubahan uang menjadi komoditi; penjualan demi pembelian. Dalam skema B-U-B, peredaran dimulai dengan penjualan dan berakhir dengan suatu pembelian. Di sini, seluruh proses dimediasi oleh uang sehingga prinsip “uang sebagai uang” pun terpenuhi (uang bukan tujuan, melainkan sarana untuk mendapatkan komoditi yang dapat memenuhi kebutuhan).

Uang hasil penjualan komoditi akan diubah kembali (dalam pembelian) menjadi komoditi yang berlaku sebagai suatu nilai pakai (memenuhi kebutuhan) yang membuatnya sepenuhnya dihabiskan. Uang yang sama akan bertukar tempat dua kali yaitu ketika penjual mendapatkannya dari pembeli dan membayarkannya kepada penjual yang lain demi memperoleh komoditi yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhannya. Uang hanya dipakai sebagai sarana untuk mengubah komoditi milik penjual menjadi komoditi baru yang diperolehnya dari penjual lain; uang diterima sebagai ganti komoditi, dan berakhir ketika uang diserahkan untuk (diganti dengan/mendapatkan) komoditi.

Karena dalam skema B-U-B seluruh proses transaksi sepenuhnya dihabiskan, maka uang akan mengalir kembali ke titik-tolaknya (ke tangan penjual yang akan membelanjakan uang itu untuk memperoleh komoditi yang dia butuhkan), sehingga yang terjadi adalah suatu pembaruan atau pengulangan seluruh skema B-U-B itu. Marx menjelaskan hal ini dengan berandai-andai:

Jika saya menjual satu kwartet gandum untuk ₤3 dan dengan ₤3 itu membeli pakaian, maka bagi saya ₤3 ini telah betul-betul dibelanjakan. Saya tidak mempunyai urusan apa pun lagi dengannya. Uang itu telah menjadi milik penjual pakaian. Jika saya menjual kwartet gandum yang kedua, uang memang mengalir kepada saya, tetapi bukan sebagai kelanjutan dari transaksi pertama itu, melainkan dari/karena pengulangannya. Uang sekali lagi menjauhkan diri dari saya, segera setelah saya menyelesaikan transaksi kedua ini dengan suatu pembelian baru. Jadi, dalam siklus/perputaran B-U-B, pengeluaran uang tidak ada sangkut paut dengan mengalirnya kembali.

Dengan demikian, peredaran sederhana komoditi mengisyaratkan konsumsi sebagai tujuan akhir dari semua proses yang berlangsung. Konsumsi yang dimaksudkan di sini yaitu pemenuhan kebutuhan-kebutuhan yang merupakan bentuk konkret dari nilai pakai yang sejak awal telah ditekankan oleh Aristoteles inti dari aktivitas pasar yang ideal. Peredaran ini tidak untuk semata menghasilkan uang tetapi memenuhi kebutuhan. Uang hanya dipandang sebagai sarana yang memperlancar seluruh proses transaksi sehingga tidak ada konsep untung rugi di dalamnya yang pada gilirannya akan menciptakan tindakan akumulasi kekayaan. Dalam peredaran sederhana komoditi, pemenuhan kebutuhan masyarakat (sebagai kelompok, koinonia) merupakan tujuan utama yang harus dituju, bukan uang.

Kedua, Peredaran Uang sebagai Kapital (Rumus: U-B-U). Dalam penjelasasannya, Aristoteles mengkonfrontasikan sistem barter rumah tangga (metabletiké) dengan sistem barter yang digunakan untuk mengumpulkan harta sebanyak-banyaknya dalam bentuk uang demi uang itu sendiri (chrematistiké). Aristoteles menamakan cara pencapaian dengan pengumpulan uang ini “berdagang” (kapeliké, dari kapelos yang artinya pedagang). Menurut Aristoteles, pengumpulan harta ini ditimbulkan oleh nafsu dan ketamakan untuk senantiasa memiliki lebih sebagai akibat dari penggunaan uang yang sebelumnya tidak dikenal dalam transaksi pasar.

Orang percaya bahwa dengan memiliki lebih banyak uang maka kesejahteraan hidup mereka akan terjamin dan di dalam situasi itu, mereka akan mendapatkan persediaan yang tidak terbatas. Orang mulai menjadikan uang sebagai tujuan dalam setiap transaksi pasar yang mereka lakukan. Dengan demikian, uang yang tadinya berfungsi sebagai sarana alat tukar praktis mulai mengambil alih nilai guna komoditi dan mengubahnya menjadi sesuatu yang bernilai bisnis, demi memperoleh keuntungan (yang mengisyaratkan diperolehnya lebih banyak uang, bukan untuk memenuhi kebutuhan).

Aristoteles melihat dua bentuk ekonomi penimbunan uang, yaitu “berdagang demi keuntungan” yang merupakan lawan dari barter yang juga dapat menggunakan uang, tetapi tidak untuk mendapatkan keuntungan melainkan menambah persediaan kebutuhan pokok (peredaran sederhana komoditi); dan “berbisnis demi mendapatkan keuntungan” sebagai uang yang menghasilkan uang (kata Yunani tokos berarti “keuntungan” dan “kelahiran baru”). “Berdagang demi keuntungan” bertujuan untuk menciptakan monopoli dan spekulasi harga sedangkan “berbisnis demi mendapatkan keuntungan” bertujuan untuk menjalankan riba.

Kedua bentuk ekonomi penimbunan uang ini dianggap berbahaya bagi keberlangsungan hidup masyarakat yang ingin memenuhi kebutuhan hidup mereka (masyarakat subsisten) karena pada dasarnya kesempatan orang lain untuk memenuhi kebutuhan hidupnya akan dirampas oleh tindakan orang lain yang menginginkan keuntungan lebih (uang yang lebih banyak). Penimbunan uang mementingkan individu, bukan masyarakat sebagai koinonia sehingga konsep “keluarga” dalam seni ekonomi yang diidealkan oleh Aristoteles dengan sendirinya tidak terjangkau. Aristoteles menunjuk kisah Raja Midas, yang berharap segala benda yang disentuhnya akan berubah menjadi emas, sebagai representasi dari manusia yang selalu bernafsu untuk memiliki lebih dan memilih penimbunan uang sebagai caranya untuk memperoleh keuntungan.

Dengan demikian, dimengerti bahwa kehancuran situasi pasar yang diidealkan oleh Aristoteles diakibatkan oleh perluasan barter menjadi perdagangan yang akhirnya melahirkan kebutuhan akan uang. Kebutuhan akan uang ini mengubah batas tujuan orang dalam bertransaksi yang seharusnya terbatas pada pemenuhan kebutuhan malah berubah menjadi tujuan yang lebih luas yaitu memperoleh kepuasan yang tidak terbatas (hasil yang ditawarkan oleh keuntungan besar yang diperoleh dari penimbunan uang). Untuk hal ini, Marx mengutip Aristoteles:

…bentuk asal perdagangan adalah barter, tetapi dengan perluasan yang tersebut terakhir itu, timbullah keperluan akan uang. Dengan penemuan uang, barter tidak bisa tidak berkembang menjadi χαπηλιπη, menjadi perdagangan komoditi, dan yang terakhir ini, bertentangan dengan kecenderungan aslinya, bertumbuh menjadi Khrematistika, menjadi seni membuat uang. Khrematistika kini dapat dibedaka dari Ekonomi karena “dalam kasus Khrematistika, peredaran merupakan sumber kekayaan harta-benda (ποιητιχη χρηματων… δια χρηματων μεταβοληζ) dan nampaknya ia berputar di sekeliling uang, karena uang adalah awal dan akhir dari jenis pertukaran ini (το γαρ νομισμα στοιχειον χαι περαζ τηζ αλλαγηζ εστιν). Karena itu juga kekayaan, seperti yang dihasratkan oleh Khrematistika, adalah tanpa batas. Seperti juga setiap seni yang bukan alat untuk sesuatu tujuan, tetapi merupakan tujuan itu sendiri, tiada mempunyai batas-batas bagi tujuan-tujuannya, karena ia terus-menerus berusaha mendekati dan semakin mendekati tujuan itu, sedangkan seni-seni yang mengejar cara-cara untuk suatu tujuan, tidaklah tanpa batas karena tujuan itu sendiri memaksakan suatu batas kepadanya, demikianlah dengan Khrematistika, tidak terdapat batas-batas pada tujuan-tujuannya, tujuan-tujuan ini adalah kekayaan mutlak… ada orang yang telah dibuat memandang pelestarian dan peningkatan uang ad infinitum sebagai tujuan terakhir Ekonomi.

Di sini, tampak jelas bagaimana kebutuhan akan uang itu akhirnya melahirkan keinginan untuk menikmati kesenangan tanpa batas yang dijanjikan oleh penumpukan uang secara pribadi.

Dalam penjelasannya, Marx kemudian menunjukkan transaksi pasar yang menjadikan uang sebagai tujuan utamanya ini sebagai suatu bentuk peredaran komoditi yang dia sebut sebagai Peredaran Uang sebagai Kapital. Skema yang terjadi dalam peredaran ini adalah M-C-M (Money-Commodities-More Money, U-B-U: Uang-Barang-[lebih banyak] Uang), perubahan uang menjadi komoditi dan perubahan kembali komoditi menjadi uang; atau pembelian demi penjualan. Uang yang beredar dalam skema ini diubah menjadi kapital, bahkan dari sudut pandang fungsinya, uang itu sudah kapital. 

Peredaran uang sebagai kapital dimulai dengan pembelian dan berakhir pada penjualan yang kemudian jika dijabarkan akan menunjuk uang sebagai awal dan akhir dari peredaran ini. Oleh karena itu, jika seluruh proses formal (pembelian dan penjualan) dihilangkan, maka skema yang terbentuk adalah M-M (Money-Money, U-U: Uang-Uang), pertukaran uang dengan uang.

Skema ini menegaskan uang sebagai motivasi yang mendorong terjadinya transaksi dalam peredaran ini (berbeda dengan transaksi dalam peredaran sederhana komoditi yang didorong oleh pemenuhan kebutuhan). Pembeli mengeluarkan uang agar dapat memeroleh kembali uang; ia melempar uang ke dalam peredaran melalui pembelian komoditi agar ia dapat menarik kembali uang melalui penjualan komoditi yang sama. Dengan demikian, uang yang dilemparkan ke dalam peredaran tidak habis dibelanjakan karena uang itu akan diterima di akhir peredaran; uang yang dilemparkan ke dalam peredaran itu hanyalah uang muka.

Meskipun demikian, menurut Marx, skema ini tidak masuk akal. Marx menulis demikian:

Lain sekali dengan perputaran U-B-U, yang pada penglihatan pertama nampak tidak mempunyai tujuan tertentu, karena sifatnya tautologis (pengulangan kata-kata tanpa menambah suatu kejelasan). Kedua ujung mempunyai bentuk ekonomi yang sama. Kedua-duanya adalah uang, dan karenanya bukan nilai-nilai pakai yang berbeda secara kualitatif, karena uang adalah justru bentuk komoditi yang telah berubah, di mana nilai-nilai pakai khususnya telah lenyap. Untuk menukarkan ₤100 dengan kapas; dan kemudian menukarkan lagi kapas yang sama dengan ₤100, adalah semata-mata suatu jalan yang melingkar dalam menukarkan uang dengan uang, yang sama dengan yang sama, dan nampak sebagai suatu operasi yang sama-sama tiada berguna dan tak-masuk akal.  

Di sini, Marx menegaskan bahwa tidak mungkin orang menukarkan uang dengan jumlah uang yang sama. Keinginan untuk memperoleh uang yang sama dengan yang dilemparkan ke dalam peredaran merupakan motivasi yang tidak mungkin menggerakkan aktivitas pasar. Skema U-B-U yang memliki karakteristik U-U seharusnya dimengerti sebagai proses yang tidak ada sangkut pautnya dengan perbedaan kualitatif U dengan U (karena keduanya adalah sama-sama uang), melainkan perbedaan (perubahan, penambahan) kuantitatif. Uang dilemparkan ke dalam peredaran untuk menghasilkan lebih banyak uang.

Keinginan untuk memperoleh jumlah uang yang lebih besar adalah motivasi yang masuk akal bagi Marx. Oleh karena itu, skema lengkap dari peredaran uang sebagai kapital adalah U-B-U’ (Uang-Barang-Uang’ [lebih banyak uang]) atau U-U’ (Uang-Uang’ [lebih banyak uang]) dengan catatan U’=U+∆U (U’ merupakan uang muka yang ditambah dengan suatu kenaikan dalam peredaran). Untuk hal ini, Marx menjelaskannya demikian:

Lebih banyak uang akhirnya ditarik dari peredaran daripada yang dilemparkannya ke dalamnya pada awalnya. Kapas yang aslinya dibeli dengan ₤100, dijual kembali – misalnya – untuk ₤100 + ₤10, yaitu ₤110. Oleh karena itu, bentuk lengkap proses ini adalah U-B-U’, di mana U’=U+∆U, yaitu jumlah uang muka aslinya, ditambah suatu kenaikan.

Skema lengkap dari peredaran uang sebagai kapital akhirnya menghasilkan hal yang disebut Marx sebagai “nilai lebih” (surplus value), yaitu suatu kenaikan atau lebihan di atas nilai aslinya. Nilai uang muka tidak berakhir dengan besaran yang sama (secara kuantitas) selagi ia berada dalam peredaran. Uang itu akan meningkatkan besarannya, menambahkan pada dirinya suatu “nilai lebih” atau menaikkan/menstabilkan nilainya (verwertet sich). Nilai lebih inilah yang mengubah uang itu menjadi kapital.

Dengan demikian, uang yang tadinya digunakan sebagai sarana yang memperlancar transaksi dalam peredaran sederhana komoditi telah menjadi kapital; mengandung suatu nilai lebih bukan nilai pakai akibat. Nilai lebih inilah yang menjadi titik tolak terjadinya akumulasi modal.

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.


Kemunculan Akumulasi Modal

Ketika uang mulai diperkenalkan dalam dunia pasar, peredaran komoditi sederhana yang berpusat pada pemenuhan kebutuhan semata mulai digantikan dengan peredaran uang sebagai kapital yang menjadikan uang sebagai tujuan utama transaksi pasar. Dengan adanya nilai lebih (surplus value) di akhir seluruh proses peredaran, keingingan orang untuk memperoleh keuntungan pun terjamin. Meskipun demikian, nilai lebih bukanlah akhir dari keseluruhan proses ini. Marx menulis:

Jelas U menjadi U + ∆U, ₤100 menjadi ₤110 (100+10). Tetapi dari aspek kualitatifnya saja, ₤100 adalah sama dengan ₤100, yakni uang; sedangkan, dari sudut-pandangan secara kuantitatif, ₤110 adalah seper ₤100, suatu jumlah nilai yang tertentu dan terbatas. Jika kini, ₤110 ini dihabiskan sebagai uang, maka ia berhenti memainkan peranannya. Ia bukan kapital. Ditarik dari peredaran, ia membatu menjadi suatu penimbunan, dan ia dapat tetap dalam keadaan itu hingga hari kiamat tanpa setunggal kepeng bertambah padanya. Maka, apabila kita berurusan dengan valorisasi (verwertung: kenaikan/stabilisasi) nilai, maka nilai ₤110 mempunyai kebutuhan  yang sama akan kenaikan (valorisasi) nilai seperti nilai ₤100 itu, karena keduanya adalah pernyataan-pernyataan yang terbatas dari nilai tukar, oleh karenanya kedua-duanya mempunyai panggilan yang sama, untuk mendekati, dengan peningkatan kuantitatif sedekat mungkin kekayaan mutlak.

Marx di sini menegaskan perlunya proses yang berkelanjutan dalam peredaran uang sebagai kapital demi “memperbaharui” nilai lebih yang dihasilkan oleh suatu skema U-B-U. Tanpa proses yang berkelanjutan, nilai lebih yang dihasilkan tidak akan menjadi kapital yang mengisyaratkan tidak ada lagi penambahan keuntungan, suatu situasi yang pada hakikatnya bukan tujuan manusia ketika melempar modalnya ke dalam peredaran. Oleh karena itu, karena motivasi manusia masuk dalam peredaran uang sebagai kapital adalah untuk memperoleh lebih banyak uang (keuntungan), manusia harus terus mengulang proses yang sama demi mencapai tujuannya itu.

Uang yang didapatkannya sebagai hasil dari peredaran yang pertama akan disisihkan modal baru yang dilemparkan lagi ke dalam peredaran kedua untuk kemudian mengalami penambahan nilai. Peredaran pertama akan menjadi peredaran yang kedua, lalu peredaran kedua akan menjadi peredaran ketiga, dan seterusnya. Proses ini akan berlanjut terus-menerus tanpa batas demi memenuhi nafsu manusia akan keuntungan yang juga tanpa batas.

Marx menjelaskan proses pengulangan di atas sebagai suatu tindakan produksi yang pada dirinya sudah tersirat akan adanya tindakan reproduksi. Jika tindakan produksi itu mempunyai bentuk kapitalis (valorisasi nilai terjadi di dalamnya), maka demikian pula dengan tindakan reproduksi. Proses ini harus berulang terus menerus demi valorisasi nilai yang dikeluarkan sebagai kapital di akhir setiap proses. Untuk hal ini, Marx menulis demikian:

Bila, misalnya, sejumlah ₤100 tahun ini telah diubah menjadi kapital, dan memproduksi suatu nilai-lebih sebesar ₤20, ia mesti berlanjut selama tahun berikutnya, dan tahun-tahun berikutnya lagi, mengulangi proses yang sama itu. Sebagai suatu pertambahan berkala yang dilahirkan oleh kapital-dalam-proses, nilai-lebih memperoleh bentuk suatu pendapatan yang lahir dari kapital… dan sekalipun reproduksi ini sekedar pengulangan proses produksi, pada skala yang sama seperti sebelumnya, sekedar pengulangan ini, atau kesinambungan ini, menentukan sifat-sifat baru pada proses itu, atau lebih tepatnya, menyebabkan hilangnya beberapa sifat nyata yang dimiliki oleh proses itu dalam isolasi.  

Kondisi konkret yang diciptakan oleh proses yang berkelanjutan ini adalah akumulasi modal. Semakin orang mengulang proses yang sama dalam skema U-B-U, dalam situasi normal, maka valorisasi nilai akan lebih banyak terjadi dan hasilnya akan semakin memenuhi perbendaharaan orang tersebut. Valorisasi nilai yang telah diperoleh dari satu peredaran akan dipakai sebagai modal untuk memulai peredaran baru yang juga akan menghasilkan valorisasi nilai yang baru. Hasilnya, modal terakumulasi dengan sangat baik pada diri si pemodal yang mengulang proses produksi (reproduksi) yang berisi skema U-B-U di dalamnya.

Pertama-tama, valorisasi nilai dikaitkan tindakan pihak lain yang tidak bisa masuk ke dalam peredaran uang sebagai kapital, karena ketiadaan modal yang mencukupi. Pihak ini mungkin akan menjadi pekerja bagi si pemodal yang melemparkan modalnya ke dalam peredaran untuk suatu proses produksi (juga reproduksi) demi memperoleh keuntungan. Pihak yang menjadi pekerja ini membantu si pemodal untuk memperoleh keuntungan.

Meskipun si pekerja memperoleh upah, upah tersebut merupakan satu bagian dari produk yang ia sendiri terus-menerus memproduksinya. Upahnya tersebut semata-mata merupakan bentuk yang berubah dari produk kerjanya. Nilai lebih (bentuk kapital) yang telah dia produksi bukan menjadi miliknya sebab hal tersebut telah digantikan oleh dengan upah yang dia terima. Nilai lebih yang dihasilkan dalam proses produksi itu terakumulasi semuanya pada si pemodal.

Seluruh nilai lebih tersebut akan mengambil bentuk kapital yang sekali lagi menjadi milik si pemodal. Marx menulis dengan jelas:

…sekadar kesinambungan proses produksi itu, dalam kata-kata lain produksi sederhana, cepat atau lambat, dan tidak bisa tidak, mengubah semua kapital menjadi kapital terakumulasi, atau nilai-lebih yang dikapitalisasikan. Bahkan, jika kapital itu adalah, pada waktu masukinya ke dalam proses produksi, milik pribadi dari orang yang menggunakannya, dan yang asalnya diperoleh dengan kerja dirinya sendiri, ia lambat atau cepat menjadi nilai yang dikuasai tanpa suatu kesetaraan, kerja orang-orang lain yang tidak dibayar yang diwujudkan dalam bentuk-uang ataupun dalam sesuatu cara lain. 

Karena proses ini tidak berkesudahan, maka akumulasi modal juga tidak berkesudahan. Setiap kali tindakan pasar untuk memperoleh keuntungan dibuat, maka akumulasi modal akan tercipta dan ketika tindakan itu semakin sering diulang, maka akumulasi modal pun akan semakin banyak terjadi. Sebagaimana valorisasi nilai akan terus berlanjut dalam peredaran uang sebagai kapital, akumulasi modal sebagai akhir dari satu proses transaksi pun akan terus terjadi. Alhasil, kekayaan menumpuk pada pemodal saja, ketimpangan pendapatan tercipta dan perbedaan kesejahteraan antara pemodal dan buruh pun menjadi semakin diperjelas.


Akumulasi dan Konsentrasi Modal

Kemungkinan untuk memperoleh keuntungan melalui transaksi pasar dalam peredaran uang sebagai kapital telah disadari oleh banyak pihak. Para pemodal berlomba-lomba untuk masuk ke dalam mendapatkan keuntungan sebanyak-banyaknya dengan melemparkan modal mereka ke dalam peredaran. Meskipun demikian, akumulasi modal tetap menjadi proses yang individual; tidak semua pemodal dapat serentak mencapai keuntungan yang besar dalam peredaran uang sebagai kapital. 

 Hukum pasar yang memaksa setiap pihak yang berpartisipasi di dalamnya untuk saling bersaing akan mengeliminasi setiap pesaing yang hanya memiliki sedikit modal. Hal ini diakibatkan oleh persaingan laba yang lambat laun tidak ramah terhadap pesaing-pesaing yang bermodal kecil. Setiap pesaing berjuang untuk memenangkan pembeli di pasar sekaligus mempertahankan laba. Jika laba menurun maka satu-satunya cara yang ditempuh adalah dengan menurunkan harga produk tetapi jumlah komoditi yang dijual ditingkatkan (labanya sama jika ia menjual 100 mobil dengan laba 10% atau 1000 mobil dengan laba 1%).

Dalam persaingan model ini, alat-alat produksi harus terus diperbaharui demi melipatkangandakan tenaga kerja buruh. Akibatnya, pesaing yang bermodal kecil akan bangkrut dan karenanya aliran kapital di pasar akan mulai terpusat pada pesaing-pesaing dengan modal besar yang tetap bertahan dalam pasar.

Oleh karena itu, meskipun para pengusaha, pengrajin, montir, petani, dan pedagang kecil juga turut melemparkan modal mereka ke dalam peredaran, tetapi kapital yang mereka hasilkan tak akan pernah menyaingi kapital yang dihasilkan pemodal besar dalam peredaran. Karena itu, sejak awal akumulasi modal hanya berpusat pada pihak yang bermodal besar dan bahkan peredaran uang sebegai kapital pun sejak awal hanya menjadi sarana untuk melipatgandakan kekayaan bagi mereka.


Kesimpulan

Dinamika akumulasi kapital merupakan kenyataan yang terjadi dalam sistem pasar dewasa ini. Disebut “dinamika” karena menunjukkan proses penciptaan kapital yang terjadi dalam bingkai proses yang panjang dan berkesinambungan, dalamnya tindakan produksi mengandung juga arti reproduksi, yang kemudian menyediakan obyek akumulasi seturut tuntutan swatata pasar dalam pasar-pasar yang ada.

Proses panjang penciptaan kapital ini juga turut memberikan gambaran yang memadai mengenai dirinya sendiri sebagai hasil dari suatu kenyataan historis manusia dalam setiap sistem ekonomi yang ada; ia (kapital) jelas merupakan hasil dari suatu perkembangan historis di masa lampau, produk dari banyak revolusi ekonomi, dari kemusnahan sederetan penuh bentukan-bentukan produksi sosial yang lebih tua yang berkesinambungan itu. 

Dalam skema penjelasan yang paling sederhana, segala aktivitas pasar dalam bingkai proses yang berkesinambungan dan memiliki sejarah panjang itu akhirnya akan berarak perlahan menuju perubahan sistem peredaran pasar, di mana peredaran komoditi sederhana  diubah menjadi peredaran uang sebagai kapital yang pada gilirannya menjadi titik tolak penciptaan kapital sebagai puncak segala kenyataan historis ekonomi politik manusia. Ini yang kemudian diakumulasi berkat keserakahan dan ketamakan manusia.

Pengubahan sistem peredaran pasar turut juga mengubah orientasi manusia untuk beraktivitas dalam pasar. Manusia yang pada mulanya masuk dalam peredaran pasar hanya untuk sekedar memenuhi kebutuhan hidup, kini malah menimbun kekayaan melalui keuntungan. Dalam skema seperti ini, kapital yang telah dihasilkan dalam peredaran pasar pun diakumulasi demi memenuhi tujuan tadi. Dalam skema akumulasi kapital seperti ini, peran pasar bagi terciptanya akumulasi kapital disorot secara terang benderang agar untuk kemudian membantu melahirkan kesadaran bahwa situasi ini bukanlah suatu “peristiwa harian” yang harus diterima begitu saja, melainkan suatu sistem yang predatoris, dijalankan sebagai suatu proses yang sistematis dalam swatata pasar dan secara gamblang menjadi pelaku utama atas segala persoalan kemiskinan dan kemelaratan yang dialami oleh masyarakat kelas bawah.


Referensi

Aristoteles. 2007. Politik (Nino Cicero [peny]). Jakarta: Visimedia.

Duchrow, Ulrich. 2000. Mengubah Kapitalisme Dunia: Tinjauan Sejarah-Alkitabiah bagi Aksi Politis. Jakarta: BPK Gunung Mulia.

Polanyi, Karl. 2003. Transformasi Besar, Asal-Usul Politik dan Ekonomi Zaman Sekarang. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.


Gregorius Valentino Ukat, lulusan Sekolah Tinggi Filsafat Katolik Ledalero, tertarik pada pembahasan mengenai masalah-masalah ekonomi politik terkhusus pada dinamika akumulasi kapital dan swatata pasar; berprofesi sebagai guru antropologi pada sebuah sekolah menengah di Kota Kupang; dapat dikontak melalui vallenesvede@gmail.com

]]>
Alat Memperkuat Struktur Hierarki Imperialisme: Analisis Marxis atas Tarif Trump https://indoprogress.com/2025/04/analisis-marxis-atas-tarif-trump/ Wed, 16 Apr 2025 14:14:18 +0000 https://indoprogress.com/?p=238909

Ilustrasi: The Communist


“TARIF adalah hal yang indah untuk dilihat,” kata Donald Trump di akun Truth Social-nya. Namun, sebagaimana pepatah mengatakan, keindahan ada di mata yang memandang. Jika dilihat dari reaksi global, hanya segelintir orang dalam lingkaran dekat Trump yang tampaknya berbagi sentimen estetis tersebut. Sejak tanggal 2 April, yang dinobatkannya sebagai “Hari Kemerdekaan,” kebijakan tarif baru yang diberlakukannya telah mengguncang tatanan ekonomi global.

Tarif universal 10% untuk seluruh barang impor mulai diberlakukan pada 5 April, disusul oleh bea masuk tambahan untuk negara-negara tertentu—34% untuk produk asal China dan 20% untuk barang dari Uni Eropa—yang mulai berlaku pada 9 April. Ketika China menanggapi dengan mengenakan tarif balasan atas barang-barang AS, Washington membalas dengan menaikkan tarif produk China hingga mencapai 104%, memperuncingkan ketegangan perdagangan.

Serbia bahkan tak luput dari imbasnya; dikenai tarif sebesar 37% untuk ekspornya ke AS, ini sebuah langkah yang membingungkan simpatisan pro-Trump di negara tersebut, dan mendorong para pejabat di Beograd untuk meminta klarifikasi dari Washington. 

Metode di balik penetapan tarif ini tidak ada hubungannya dengan subsidi, kebijakan pajak, atau hambatan non-tarif. Sebaliknya, metode ini mengikuti logika mekanis: defisit perdagangan AS dengan suatu negara dibagi dengan total nilai impornya. Hasilnya lalu dibagi dua. Meskipun metode ini mungkin tampak logis untuk negara-negara dengan surplus perdagangan yang besar dan konsisten terhadap AS, penerapannya pada negara lain menjadi tidak masuk akal. 

Contohnya adalah Serbia. Berdasarkan data dari Kantor Statistik Serbia, pada tahun 2023, negara ini mengekspor $556,9 juta ke AS dan mengimpor $588 juta—defisit perdagangan yang tergolong kecil. Pola serupa juga terjadi pada tahun 2022. Namun, Serbia tetap dikenakan tarif sebesar 37%, seolah-olah negara ini memiliki surplus perdagangan yang besar. Ketidaksesuaian ini menunjukkan sifat kesewenang-wenangan dan koersif dari kebijakan tarif yang baru diterapkan.

Dari perspektif Marxis, kebijakan tarif ini tidak dimaksudkan untuk menyeimbangkan perdagangan, tetapi untuk memperkuat struktur hierarki imperialisme. Kebijakan ini mencerminkan kekuasaan, bukan data. Serbia, meskipun mengalami defisit, dijadikan alat untuk dalam narasi krisis yang lebih besar dalam kapitalis AS.

Di balik tampilan proteksionisme, tersembunyi manuver geopolitik, di mana tarif diterapkan bukan untuk melindungi industri nasional, tetapi sebagai sarana untuk mempertahakan dominasi dalam ekonomi dunia yang semakin terfragmentasi.


Tarif dan logika akumulasi kapitalis

Dukungan Trump terhadap kebijakan tarif bukan sekadar retorika populis, melainkan respons politik terhadap kontradiksi dalam akumulasi kapitalis global. Argumennya bekerja pada dua tingkat. Di permukaan, ia menyerukan keadilan dan kedaulatan. Di bawahnya, ia mengekspresikan kecemasan atas sistem yang semakin tergantung pada rantai produksi global dan dominasi sektor keuangan yang abstrak.

Trump mengklaim bahwa AS sedang “dimanfaatkan” oleh negara-negara yang memiliki surplus perdagangan—seperti China, Jerman, dan Meksiko—yang dituduh telah mendistorsi sistem perdagangan melalui subsidi, manipulasi mata uang, dan tarif tinggi. Ia mengklaim bahwa praktik-praktik ini merugikan para pekerja dan industri AS, yang mengakibatkan defisit perdagangan yang kronis.

Namun, pandangan ini mengabaikan fungsi struktural dari dolar AS dalam sistem global. Sebagai mata uang cadangan utama dunia, dolar menempatkan AS pada posisi yang unik. AS bisa terus-menerus mengalami defisit perdagangan tanpa terancam krisis neraca pembayaran. Negara-negara lain mengekspor barang ke AS bukan karena kalah bernegosiasi, melainkan karena membutuhkan dolar—untuk membayar utang luar negeri, menjaga stabilitas nilai tukar, dan mengakumulasi cadangan devisa.

Para ahli Teori Moneter Modern (MMT) dengan tepat menunjukkan (bahkan jika resep mereka yang lebih luas masih bisa diperdebatkan) bahwa AS adalah penguasa moneter. AS menerbitkan mata uang global, tidak menghadapi kendala eksternal pada pasokannya, dan menyelesaikan kewajiban internasional dengan mata uangnya sendiri.

Dengan demikian, perdagangan global bukanlah pertukaran barang baru dengan barang yang lain, tetapi antara barang dengan klaim keuangan—seperti utang surat pemerintah AS dan cadangan dolar. Para pengkritik dari tradisi Marxis dan pasca-Keynesian menyoroti bahwa hal ini adalah bentuk pertukaran strutural: negara-negara menyerahkan hasil produksi riil mereka untuk menerima uang fiat yang dicetak oleh AS, yang berhiaskan orang-orang suci kelas penguasa AS seperti presiden, Menteri Keuangan pertama (Alexander Hamilton), dan seorang polimatik yang tidak pernah memerintah tetapi membantu membangun sistem (Benjamin Franklin).

Skema di atas memungkinkan AS untuk mengonsumsi lebih dari yang diproduksinya dan membiayai hegemoninya melalui mata uang yang harus disimpan oleh negara lain. Bukannya menjadi korban eksploitasi, AS justru menikmati apa yang disebut oleh mantan Presiden Prancis Valéry Giscard d’Estaing sebagai “hak istimewa yang luar biasa.”

Ketika menuntut negara lain untuk membeli lebih banyak produk AS sambil mengancam sanksi terhadap mereka yang mendevaluasi mata uangnya, seperti yang dilakukan negara-negara BRICS (Brasil, Rusia, India, Cina, dan Afrika Selatan), Trump justru memperlihatkan kontradiksi mendasar dalam sistem.

Untuk mempertahankan status dolar sebagai mata uang dominan dunia, negara-negara lain harus menjual lebih banyak ke AS daripada membeli, agar dapat mengumpulkan cadangan dolar. Namun, visi Trump membalikkan logika ini. Kontradiksi ini tidak bersifat pribadi, tetapi sistemik: cerminan dari ekonomi global yang terbentang di antara keharusan untuk mengendalikan imperialisme dan nasionalisme ekonomi.

Kontradiksi ini menghasilkan dua dampak utama. Pertama, memperdalam finansialisasi di AS, di mana modal lebih memilih aktivitas spekulatif ketimbang investasi produktif—didorong oleh permintaan global terhadap aset-aset berbasis dolar. Kedua, beban penyesuaian justru jatuh ke negara-negara di pinggiran sistem ekonomi global, yang tidak memiliki kemewahan mencetak mata uang cadangan dunia.

Dalam konteks ini, narasi Trump soal ketidakadilan perdagangan justru memutarbalikkan kenyataan. Bukan AS yang paling dirugikan oleh sistem ini, melainkan negara-negara yang secara struktural terikat pada sistem yang tidak dapat mereka kendalikan.

Namun, retorika Trump tetap mendapat sambutan karena Sebagian wilayah di AS, terutama kawasan industri Midwest, benar-benar mengalami keterpurukan ekonomi. Seperti yang ditunjukkan oleh Amy Goldstein dalam bukunya Janesville: an American Story, penutupan satu pabrik GM bisa menghancurkan tatanan sosial dan ekonomi sebuah kota. Boris Kagarlitsky dalam The Long Retreat juga mencatat bahwa bahkan kota-kota metropolitan kapitalisme telah menjadi korban dari desain neoliberal mereka sendiri.

Namun, situasi ini bukanlah akibat dari kelemahan AS, melainkan dari struktur ekonomi yang lebih memperioritaskan sektor keuangan dan konsumsi, dengan mengorbankan tenaga kerja dan produksi. Dalam hal ini, tarif bukanlah sebuah solusi melainkan pertunjukan politik yang menutupi akar masalah struktural dan mengalihkan perhatian dari penyebab utamanya.

Argumen kedua Trump, bahwa ketergantungan pada impor melemahkan industri domestik, patut mendapat perhatian lebih. Pernyataan ini mencerminkan perubahan struktural yang lebih dalam: proses deindustrialisasi yang berlangsung selama beberapa dekade dan erosi lapangan kerja manufaktur berupah tinggi. Namun, kebijakan tarif yang diterapkan secara menyeluruh ini tidak memiliki landasan historis atau koherensi strategis.

Dari perspektif Marxis, proteksionisme secara historis telah memainkan peran dalam pembangunan kapitalisme. Samir Amin dan para ahli teori ketergantungan lainnya berpendapat bahwa tarif telah digunakan sebagai alat untuk akumulasi primer dan mendorong industrialisasi.

Namun, tarif bersifat selektif dan sementara, dirancang untuk melindungi industri dalam negeri yang baru lahir sampai mereka menjadi kompetitif secara global. Tujuannya bukan untuk menciptakan isolasi ekonomi (autarki), melainkan untuk memasuki pasar global secara terkendali, dengan posisi tawar yang lebih menguntungkan.

Lebih dari seabad yang lalu, ekonom Marxis Rudolf Hilferding mencatat bahwa promosi perdagangan bebas biasanya muncul setelah sebuah negara berhasil melakukan industrialisasi. Inggris adalah contoh utamanya: negara ini membangun kekuatannya melalui tarif tinggi, lalu mendorong sistem pasar bebas hanya setelah posisi ekonominya dominan—suatu strategi klasik “menendang tangga” setelah naik.

Sebaliknya, kebijakan tarif yang diterapkan Trump tidak memiliki dasar pemikiran untuk pembangunan. Tarif tersebut tidak diarahkan pada sektor-sektor strategis, juga tidak diringi dengan investasi di bidang inovasi atau infrastruktur.

Banyak dari barang yang dikenakan tarif itu sudah bukan bagian dari kapasitas atau minat produksi industri AS. Akibatnya, tarif ini kecil kemungkinannya untuk membangkitkan kembali sektor industri atau menciptakan lapangan kerja yang stabil. Sebaliknya, mereka berfungsi sebagai sandiwara politik; sebuah reaksi dari jantung kapitalisme yang sedang bergulat menghadapi keterbatasan globalisasi.

Sebagaimana dicatat oleh Michael Roberts dalam tulisan terbarunya, anggapan bahwa tarif akan menghidupkan kembali industri AS dan menciptakan lapangan kerja baru tidak berdasar. Menurunnya jumlah lapangan kerja di sektor manufaktur sejak tahun 1960-an disebabkan terutama oleh turunnya profitabilitas dan pergeseran tenaga kerja ke teknologi, bukan karena liberalisasi perdagangan. Bahkan jika ekspor meningkat cukup untuk menutup defisit perdagangan, yang sangat tidak mungkin terjadi, pangsa pekerja industri hanya akan meningkat dari 8% menjadi 9%.

Jika Trump benar-benar ingin memulihkan kembali sektor industri, maka yang dibutuhkan adalah investasi besar-besaran. Namun, sebagian besar perusahaan AS di luar kelompok raksasa teknologi “Magnificent Seven” ternyata sedang mengalami penurunan keuntungan, sehingga kecil kemungkinan mereka akan melakukan investasi besar—kecuali dalam produksi militer yang didanai oleh kontrak pemerintah. Dalam konteks ini, tarif bukanlah sarana pemulihan, melainkan gejala dari impotensi sistemik.

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.


Proteksionisme strategis sebagai manajemen krisis kapitalis

Jika tarif yang diberlakukan Trump tampak tidak rasional dari sudut pandang ekonomi konvensional, kebijakan ini menjadi lebih masuk akal bila dilihat sebagai respons terhadap kontradiksi mendasar dalam kapitalisme global. Dari perspektif Marxis, proteksionisme saat ini tidak hanya mencerminkan populisme yang kacau, tetapi juga merupakan upaya sistematis untuk mengelola tatanan global yang tidak lagi mampu menjamin keuntungan yang stabil bagi kapital.

Akar dari krisis ini terletak pada apa yang disebut Karl Marx sebagai kecenderungan menurunnya tingkat keuntungan. Ketika para kapitalis berinvestasi lebih banyak pada mesin dan teknologi (kapital konstan) dan relatif lebih sedikit pada tenaga kerja (kapital variabel), maka tingkat keuntungan secara keseluruhan akan menurun—meskipun jumlah keuntungan terus tumbuh untuk sementara waktu.

Studi empiris yang dilakukan Michael Roberts mengonfirmasi tren di atas dalam perekonomian AS: tingkat keuntungan untuk perusahaan non-keuangan turun sebesar 27% dari tahun 1945 hingga 2021, dengan penurunan paling tajam terjadi di masa lonjakan investasi pada kapital konstan. Temuan ini memvalidasi pandangan Marx bahwa dorongan kapitalis untuk meningkatkan produktivitas justru pada akhirnya menggerogoti profitabilitas. 

Untuk menangkal kecenderungan ini, kapital menggunakan berbagai strategi: mengintensifkan eksploitasi tenaga kerja, merelokasi produksi ke pasar tenaga kerja yang lebih murah, berinvestasi dalam inovasi teknologi, menciptakan gelembung aset, dan—saat tekanan memuncak—berlindung di balik kebijakan proteksionis. Tarif yang diberlakukan Trump adalah contoh dari langkah mundur tersebut.

Dengan menaikkan biaya barang impor, kebijakan ini bertujuan untuk menciptakan ruang aman bagi kapital AS dari kompetisi dengan pesaing yang lebih produktif atau berbiaya lebih rendah. Selain itu, tarif juga berfungsi untuk mengalihkan beban krisis ke rival utama seperti China dan Uni Eropa, dengan harapan produsen AS bisa mendapatkan kembali beberapa keunggulan kompetitif yang hilang di era hiperglobalisasi. Tujuan akhirnya bukanlah nasionalisme ekonomi semata, tetapi pemulihan sementara atas profitabilitas yang menurun.

Namun, kebijakan-kebijakan ini tidak menyelesaikan kontradiksi fundamental dalam proses akumulasi kapital; yang terjadi hanyanya pergeseran dampak krisis ke tempat lain. Masalah struktural seperti akumulasi berlebih dan krisis profitabilitas tetap belum tersentuh. Tanpa kebijakan industri yang komprehensif, ruang perlindungan yang dibuka oleh tarif tidak digunakan untuk merevitalisasi produksi, melainkan digunakan untuk mempertahankan sirkulasi kapital fiktif.

Dalam konteks ini, praktik pembelian kembali saham (stock buyback) menjadi sangat relevan. Dalam fase kapitalisme finansial saat ini, jatuhnya harga saham tidak selalu merupakan ancaman; melainkan justru dilihat sebagai peluang. Ketika pasar bereaksi negatif terhadap kebijakan tarif atau ketidakpastian ekonomi dengan menurunkan valuasi saham, banyak perusahaan memilih untuk menggunakan kelebihan uang tunai—atau memanfaatkan pinjaman berbunga rendah—untuk membeli kembali saham mereka.

Langkah di atas secara artifisial meningkatkan laba per saham (EPS), menjaga harga saham tetap tinggi, dan memastikan bonus eksekutif tetap aman, meskipun kinerja produktif perusahaan sebenarnya tetap stagnan.

Setelah Trump memutuskan menunda penerapan tarif selama 90 hari (kecuali terhadap China, di mana tarif telah mencapai 125%), sebagian pihak yang skeptis dan condong pada teori konspirasi menyatakan bahwa langkah ini memiliki tujuan yang tersembunyi: memberikan kesempatan bagi perusahaan-perusahaan AS dan spekulan-spekulan dengan akses informasi untuk membeli saham dengan harga rendah sebelum pasar saham AS naik 10% pada 9 April. Angka ini merupakan kenaikan harian terbesar sejak tahun 2008.

Dampak lain dari dinamika ini dapat dilihat dalam cara koreksi pasar modal—selama laba nominal perusahaan tidak berubah—dapat justru mendorong kenaikan tingkat keuntungan. Ketika harga saham dan nilai aset lainnya turun, nilai pasar dari total modal juga ikut turun, yang berarti penyebut dalam perhitungan tingkat keuntungan menyusut. Jika jumlah keuntungan tetap, maka secara matematis hal ini menghasilkan tingkat laba yang lebih tinggi. 

Demikian pula, dari perspektif Marxis, penurunan nilai pasar dari kapital konstan juga memperbesar peran relatif dari kapital variabel (tenaga kerja) dalam proses produksi, sehingga meningkatkan potensi untuk mengekstraksi nilai lebih. Dengan kata lain, penyusutan nilai kapital secara nominal bisa berfungsi sebagai mekanisme untuk menyeimbangkan kembali secara internal, memungkinkan pemulihan profitabilitas meskipun tidak ada pertumbuhan produksi riil.

Dalam konteks ini, akumulasi kapital semakin menjauh dari sektor produksi. Alih-alih digunakan untuk mendanai pengembangan teknologi, penciptaan lapangan kerja, atau Pembangunan infrastruktur, surplus justru mengalir ke pasar aset dan mendorong inflasi nilai aset. Kebijakan tarif dan pembelian kembali saham saling melengkapi: tarif berfungsi melindungi kapital domestik dari tekanan persaingan global, sementara buyback saham menjaga nilai kepemilikan dari kapital fiktif—yakni harga aset yang terlepas dari nilai produksi riil di baliknya.

Pergeseran ini juga mencerminkan transisi yang lebih mendalam dalam sistem ekonomi global. Model akumulasi global yang mendominasi akhir abad ke-20 dan awal abad ke-21 kini mulai kehilangan efektivitasnya. Mekanisme dasar, di mana modal dari pusat mengeksploitasi tenaga kerja murah di daerah pinggiran, tidak lagi berfungsi seperti dulu.

Upah di China dan negara-negara berkembang lainnya telah meningkat, rantai logistik menjadi lebih rapuh dan semakin dipengaruhi oleh dinamika politik, dan dukungan politik di negara-negara inti telah terkikis. Publik pun semakin kehilangan kesabaran terhadap deindustrialisasi, stagnasi upah, dan ketergantungan pada rantai pasokan luar negeri. 

Kemajuan teknologi dalam bidang robotika, kecerdasan buatan (AI), dan manufaktur 3D memang membuat pemindahan kembali produksi ke dalam negeri (reshoring) secara teknis memungkinkan, tetapi belum menciptakan banyak lapangan kerja.

Yang muncul bukanlah kebangkitan kapitalisme industri gaya lama abad ke-20, melainkan tatanan baru yang lebih distopia, di mana robot di AS bersaing langsung dengan pekerja di Bangladesh untuk memperebutkan sepotong nilai global yang sama. Tarif Trump tidak bisa dilihat sebagai cetak biru untuk pembaruan industri, melainkan pendahuluan dari tatanan tekno-nasionalis baru yang diorganisir di sekitar kontrol kapital, dominasi teknologi, dan blok-blok ekonomi regional.

Logika manajemen krisis yang sama juga terlihat jelas di pasar keuangan. Saat pandemi Covid-19 melanda, Federal Reserve menyuntikkan likuiditas yang sangat besar ke pasar keuangan. Meskipun langkah ini berhasil menstabilkan pasar dalam jangka pendek, ia juga menciptakan distorsi yang besar.

Pada awal 2025, total kapitalisasi pasar saham AS diperkirakan melebihi “nilai wajarnya” sebesar $25 hingga $30 triliun—sebuah kesenjangan yang luar biasa antara harga pasar dan output ekonomi riil. Ini bukan tanda pemulihan ekonomi yang nyata, melainkan inflasi modal fiktif ke tingkat yang belum pernah terjadi sebelumnya.

Kini, koreksi pasar tengah berlangsung. Sekitar $11 triliun kapitalisasi pasar telah menguap, dan diperkirakan $15 hingga $20 triliun lainnya bisa hilang. Namun, proses ini tidak hanya bersifat destruktif: ia juga memiliki fungsi struktural. Ketika investor menarik modal dari aset-aset berisiko dan mengalihkannya ke ke obligasi pemerintah AS yang relatif lebih aman, imbal hasil dari utang negara turun.

Ini secara tidak langsung menurunkan biaya pinjaman pemerintah dan mengurangi penyebab utama defisit federal. Akibatnya, krisis di pasar justru menjadi jalur tak langsung untuk memulihkan ruang fiskal—bukan melalui pajak atau penghematan anggaran, tetapi melalui pendisiplinan kapital itu sendiri. Negara mendapatkan ruang untuk bermanuver bukan meskipun ada krisis, tetapi justru karena adanya krisis.

Seperti yang ditekankan oleh Adam Tooze dalam bukunya, Chartbook 369, pasar obligasi pemerintah senilai sekitar $28 triliun merupakan pasar yang benar-benar sistemik. Dalam situasi koreksi pasar saham yang normal, harga obligasi biasanya naik dan imbal hasilnya turun, yang pada gilirannya menurunkan suku bunga dan meringankan beban finansial perusahaan. Ini mencerminkan mekanisme saling penyeimbang dalam sistem keuangan, di mana obligasi Treasury berfungsi sebagai tempat berlindung yang aman di tengah ketidakpastian pasar.


Krisis sebagai transisi, bukan kehancuran

Secara keseluruhan, tarif Trump, kembalinya proteksionisme, kegigihan kapital fiktif, dan koreksi di pasar saham saat ini bukanlah fenomena yang berdiri sendiri. Semua ini saling terkait sebagai respons terhadap kontradiksi sistemik kapitalisme—terutama kecenderungan jangka panjang dari menurunnnya tingkat keuntungan.

Fenomena-fenomena ini mencerminkan upaya semakin panik dari kelas penguasa untuk menjaga profitabilitas dan mempertahankan hegemoninya di tengah stagnasi ekonomi, akumulasi berlebih, dan ketegangan politik yang semakin meningkat.

Apa yang kita saksikan bukanlah akhir dari kapitalisme, melainkan mutasinya. Globalisasi neoliberal dalam empat dekade terakhir sedang dibongkar, bukan untuk membuka jalan bagi sosialisme atau perencanaan demokratis, tetapi untuk membangun rezim akumulasi baru yang lebih sesuai dengan kebutuhan kapital saat ini.

Rezim ini kemungkinan besar akan ditandai dengan intervensi negara yang semakin intensif, zona produksi yang teregionalisasi, dan ketergantungan yang semakin dalam pada manipulasi keuangan untuk mempertahankan nilai kapital. Namun, ini bukan solusi terhadap kontradiksi yang ada di jantung sistem, melainkan sekadar pemindahan masalah ke wilayah, teknologi, dan krisis baru.

Dalam konfigurasi ulang ini, negara-negara pinggiran seperti Serbia atau Indonesia, bukan hanya menjadi penonton, tetapi menjadi korban sampingan. Penerapan tarif 37% yang dikenakan pada ekspor Serbia—meskipun negara ini mengalami defisit perdagangan dengan AS—memperlihatkan logika koersif dan sewenang-wenang dari transisi ini. Hal ini menandakan bahwa rezim akumulasi baru tidak akan dijalankan melalui aturan atau institusi multilateral, tetapi oleh kekuasaan dan intimidasi geoekonomi.

Ketika kapital merombak prioritasnya dan blok-blok mengeras menjadi zona proteksionis, negara-negara seperti Serbia mendapati diri mereka terjebak dalam baku tembak. Ia seakan dihukum bukan karena pelanggaran ekonomi apa pun, tetapi karena posisi strukturalnya yang bergantung pada sistem global.

Dalam konteks ini, krisis bukan hanya masalah ekonomi, tetapi juga menjadi sarana seleksi geopolitik yang memperkuat kembali hierarki imperial, bahkan ketika tatanan liberal yang lama bubar.

 


Dmitry Pozhidaev adalah Penasihat Keuangan Pembangunan Daerah dan Profesor di Universitas Makerere, Uganda. Artikel ini sebelumnya terbit di Links International Journal of Socialist Renewal, lalu diterjemahkan dan diterbikan ulang di sini untuk tujuan Pendidikan.

]]>
Kuasa Modal di Gerakan Toleransi Lintas Iman: Gurita Kapitalisme, Penjinakan Gerakan Sipil, dan Peacewashing https://indoprogress.com/2025/02/kuasa-modal-di-gerakan-toleransi-lintas-iman/ Tue, 04 Feb 2025 14:49:47 +0000 https://indoprogress.com/?p=238761

Ilustrasi: Reformed Institute


KAPITALISME selalu ada dalam keseharian, kecuali Anda mentalak tiga dunia beserta sistemnya seperti Maharlika dalam film dokumenter Terpejam untuk Melihat (2024). Kapitalisme tak pernah abstain bahkan dalam sesuatu yang terkesan “suci dan luhur”, yakni gerakan toleransi lintas iman.

Tulisan ini adalah kesaksian lirih, semacam catatan pinggir hasil refleksi dari proses yang tidak sebentar. Data-data dalam tulisan ini saya peroleh ketika meneliti gerakan anak muda lintas iman beserta jejaring donor dan kuasa modal yang “melibatkan diri” lewat yayasan korporat. Komunitas penerima yang saya teliti di Yogyakarta hanyalah satu contoh kecil—yang tidak perlu saya sebut karena poin besarnya bukan pada komunitas penerima yang cenderung lugu. 

Berbekal rasa penasaran, juga saran dari interlokutor sesama peneliti (Erik Meinema), saya akhirnya slulup di lautan data yang terserak namun menyelip di pelosok Internet. Begitu menyelaminya, ada kesan yang tandas di benak saya: bahwa sedemikian sulit untuk mengakses data korporasi dan donor (asing maupun domestik) yang terlibat dalam pendanaan toleransi lintas iman atau isu sejenis.

Sehimpun data semacam itu mustahil muncul di halaman pertama mesin pencari favorit kita. Perlu upaya untuk menjajal puluhan kata kunci variatif dan memelototi layar satu demi satu. Tentu saya jadi curiga, donor yang berperan di gerakan ini hampir selalu melibatkan yayasan korporasi besar. Mereka terlalu kuat dan berlimpah cuan untuk membayar SEO agar memunculkan kesan dan citra yang baik-baik saja di mesin peramban. Tapi ini hanya kecurigaan—sesuatu yang boleh jadi meleset, atau justru memang akurat.

Syukurnya, dengan metode open source intelligence (OSINT), saya mengotak-atik kalimat pencarian secara dwibahasa (keterbatasan jumlah bahasa yang saya kuasai tentu jadi hambatan). Dari penelusuran tersebut, saya menangkap sebuah pola yang tak asing. Pembacaan pola ini juga mustahil tersibak dan mengkristal bila tanpa daya jelajah bacaan secara algoritmis (algorithmic purposive reading) dari satu referensi ke ke referensi lainnya yang relevan dan cukup pelosok. Hasilnya cukup memicu “anjir moment” sambil mengelus-elus kepala sekaligus ikut memedihkan batin. Berikut potongan kecil yang bisa saya bagikan.


Gincu Peacewashing, Modus Baru Perusahaan Energi Kotor

Kita mulai dari negeri sendiri: Ada jejak energi kotor yang berupaya menjamah gerakan toleransi dan keberagaman di tanah air. Salah satu yang paling populer adalah Indika Foundation. Yayasan korporasi ini menetas dari rahim PT Indika Energy Tbk pada 2017. Mereka mengklaim, seperti di laman resminya, telah mengelola dana sejumlah Rp31,3 miliar yang disebarkan ke 78 proyek dengan 146 kolaborator dan 41.651 penerima manfaat langsung. Ada beberapa komunitas dan LSM lintas iman tercakup sebagai penerima.

Untuk membaca lebih dalam, ada yang perlu ditelisik dari perusahaan yang melahirkan yayasan korporasi tersebut. PT Indika Energy Tbk hanya salah satu bagian dari mega-korporasi swasta bernama Indika Group. Korporasi raksasa ini bergerak di bidang pertambangan, energi, konstruksi, perdagangan, transportasi, dan jasa. Induknya sendiri telah lahir sejak 1996 dengan nama pendirinya Agus Lasmono Sudwikatmono. Sosok ini tak lain adalah anak dari salah seorang konglomerat terbesar di zaman Orba, yaitu Sudwikatmono, yang merupakan sepupu Soeharto.

Ross Tapsell, peneliti kajian media dan budaya di Indonesia, menyebut nama Sudwikatmono dalam risetnya tentang kuasa media dan jejaring oligarki di tanah air. Ia termasuk jajaran pengusaha media besar, yaitu SCTV (Tapsell, 2021). Sedari awal Orde Baru, Sudwikatmono diperjumpakan dengan Liem Sioe Liong alias Sudono Salim, salah satu taipan besar yang keturunannya, Anthony Salim, juga memiliki banyak perusahaan seperti Indofood dan Indosiar. Di sini kita dapat mengintip betapa luas jangkauan para pebisnis itu di Indonesia dan luar negeri.

Selain menjadi pendiri Indika Group, Agus Lasmono Sudwikatmono, yang mana keponakan Soeharto, juga pendiri sekaligus pemilik NET TV. Tahun 2010, ia pernah masuk daftar orang terkaya di Indonesia versi majalah Forbes dengan total kekayaan mencapai USD845 juta yang membuat dirinya disejajarkan dengan taipan-taipan kakap lainnya seperti Anthony Salim, Hartono Bersaudara, Ciputra, Prajogo, Aburizal Bakrie, dan masih banyak lagi. Salah satu sektor korporasinya, yakni pertambangan, ikut berperan dalam bisnis batu bara sebagai penyuplai bahan bakar energi kotor pembangkit listrik. Salah satunya di PLTU Cirebon-2.

Perusahaan yang terlibat salah satunya Indika Group, lewat kepemilikan saham di PT Cirebon Energi Prasarana. ICW memasukkan nama Agus Lasmono sebagai individu dalam PLTU Cirebon-2, mengingat dialah pemilik saham mayoritas sekaligus pengendali PT Indika Inti Investindo yang menguasai PT Indika Energy Tbk dengan besaran saham 37,79%. Pendapatan Indika Energy Tbk pun cukup besar, di tahun 2022 meraup sekitar USD4,334 miliar.

Pada prosesnya, pembangunan PLTU ini tidak sepi dari kerusuhan. Indonesian Corruption Watch (ICW) dalam laporannya mencatat pembangunan PLTU Cirebon-2 ini diwarnai kasus korupsi yang melibatkan Bupati Cirebon periode 2013-2018 (dari Partai Banteng). Protes warga pun merabuki jalanan. Mereka melakukan aksi memblokir PLTU. Aparat kepolisian, seperti sering terjadi, justru menggelandang warga ke kantor polisi dan baru keluar pukul 02 dini hari. 

Mengamati rentetan data tersebut, citra yayasan korporasi Indika Foundation tentu sulit dilepaskan dari perusahaan induk. Apalagi yayasan korporasi sering kali berperan sebagai kanal penyalur dana tanggung jawab sosial perusahaan (CSR) yang sekaligus berfungsi sebagai alat paling efektif untuk membangun citra. Melalui CSR, kampanye perusahaan terhadap isu tertentu cukup mangkus menciptakan citra (imaji) positif, membangun reputasi, dan kredibilitas korporasi di benak khalayak.

Dalam bingkai itu, kendatipun Indika Group selaku perusahaan induk telah lama berbisnis energi tak terbarukan (baca: kotor) dan tidak ramah lingkungan, praktik CSR melalui yayasan korporasi Indika Foundation dapat menjadi sejenis “penebusan” atau “pemberian kompensasi” terhadap masyarakat; baik yang terlibat memakai jasa mereka (sebagai konsumen) maupun warga sipil yang berhadapan langsung dan berkonflik dengan perusahaan—sebagaimana kasus di PLTU Cirebon-2. Perbedaannya, yayasan korporasi ini memanifestasikan modusnya—untuk menunda menyebut “mengendarai”—melalui pendanaan pada gerakan toleransi, keberagaman, dan perdamaian lintas iman.

Penyingkapan semacam itu bukan barang baru. Ada kemiripan pola dengan praktik greenwashing. Terutama jika melibatkan perusahaan yang melakukan promosi palsu pada produk dan buaian abal-abal berlabel ramah lingkungan. Sebagai informasi singkat, istilah greenwashing pertama muncul dalam esai pegiat lingkungan Jay Westerveld di tahun 1986. Mengacu Encyclopedia of Corporate Social Responsibility, praktik greenwashing adalah tindakan promosi palsu mengenai organisasi yang mengklaim menjaga lingkungan atau praktik alokasi dana besar untuk mencitrakan “perusahaan/organisasi hijau” ketimbang melakukan aksi-aksi ramah lingkungan yang sesungguhnya. Tamsilnya melimpah dan menjangkau banyak sektor, seperti promosi produk, eko-pariwisata, hingga label hasil laut yang diperoleh dengan metode ramah ekosistem padahal kenyataan berkata sebaliknya.

Celakanya, praktik greenwashing masih begitu asing di Indonesia. Hanya sebagian kecil akademisi, jurnalis, juga pegiat lingkungan yang jeli dan kritis saja yang paham. Walhasil, regulasi spesifik yang mengatur perlindungan warga terkait greenwashing masih belum menjadi bagian penting dalam rangkaian kebijakan

Dalam konteks gerakan lintas iman, apa yang dilakukan yayasan korporasi bentukan Indika Group ini tidak sedang menerapkan praktik semacam itu. Mereka memakai strategi berbeda dan terbilang inovatif. Alih-alih melabeli diri ramah lingkungan (meski praktik mereka justru sebaliknya), Indika Foundation memanfaatkan sumber daya mereka untuk menampilkan diri ikut memberi perhatian terhadap isu keragaman, perdamaian, dan toleransi.

Tiga isu “terbasah” sekaligus “jualan terlaris” dalam dua dekade terakhir di Indonesia sangat cocok dengan wacana publik di sini yang telah bertubi-tubi diinfus dengan berita, kajian kaum akademia, hingga hasil survei tentang menguatnya konservatisme, darurat radikalisme, hingga terorisme. Hadirnya wacana global sebagai dampak pasca-tragedi 9/11 tersebut telah saling berkonfigurasi dan menjelma “inspirasi”, “peluang”, sekaligus “stempel legitimasi” bagi banyak pihak untuk pasang badan mengatasinya lewat program yang merebak secara internasional bernama preventing/countering violent extremism (P/CVE)—sambil secara naif atau tak sadar mengesampingkan isu yang tidak kalah penting seperti krisis ekologis, kemiskinan/pemiskinan struktural, menyempitnya lapangan pekerjaan, korupsi yang seperti venom, hingga konflik sipil dengan proyek strategis nasional.

Tanpa mendiskreditkan komunitas dan LSM/NGO yang menerima manfaat dari dana yayasan korporasi, saya jadi termenung. Apakah praktik yang telah berlangsung di atas membukakan peluang bagi kita untuk membincang, memperdebatkan, dan mendiskusikan istilah baru bernama peacewashing? Tentu perlu keterlibatan banyak pihak untuk mengkritisi, urun rembuk, hingga memperkaya lewat riset. Namun begitu, ada satu poin krusial yang perlu kita tengok: bahwa agenda donor meninggalkan bekas yang mendalam di gerakan sosial. Tentakel-tentakel kaum pemodal besar ikut menjamah sektor-sektor yang selama ini dielu-elukan dan difavoritkan sebagai upaya kemanusiaan murni—padahal tidak.

Uraian sebelumnya seolah menandaskan kembali bahwa peran donor terhadap dinamika komunitas dan sosial cukup signifikan. Vedi R. Hadiz dan Daniel Dhakidae (2006) pun pernah menuliskan bahwa agenda donor, terutama asing, itu sangat tersangkut paut dengan masalah sosial dan politik di negeri asal. Ia juga “meninggalkan jejak, yang baik maupun yang buruk, kepada berbagai jenis proyek yang dijalankan dengan dukungan mereka di Indonesia.” Bahkan dalam kurun 1980-an, kajian feminis dan gender menerima gelontoran dana besar dari donor asing. Di awal pergantian menuju alaf kegita kemarin, aneka gagasan seperti good governance, social capital, dan civil society menjadi perhatian utama donor asing. Beberapa di antaranya USAID, Asia Foundation, Friedrich Naumann Foundation, Rockefeller Foundation, Carnegie Foundation, hingga Ford Foundation yang banyak mendanai program di PTKIN, termasuk program Literasi Keagamaan dan Lintas Budaya (LKLB).

Sebuah potret masygul dan musykil, di mana Yayasan Ford yang punya jejak darah mendanai perang dan pembantaian jutaan warga sipil yang dituduh komunis di negara-negara Amerika Latin (Roy, 2022), justru ikut terlibat menjamahkan tangannya ke gerakan yang dianggap mengusung misi suci kemanusiaan (HAM) dan keberagaman. Betapa ganjil sekaligus membikin risau.


Depolitisasi, Pembonsaian Pikiran, dan Langgengnya Ketidakadilan

Konsekuensi dari serangkain pola tadi tidaklah murah. Para donor dan yayasan korporasi dapat berposisi sebagai “wasit halus” pengendali isu apa yang layak diberi dana dan mana yang tidak. Hal pertama penting bagi kelangsungan hidup komunitas dan NGO/LSM, yang kemudian menarik banyak gerakan untuk ikut menggarap “isu basah” tersebut dengan ongkos mengerdilkan isu lain yang boleh jadi lebih genting dan mendesak. 

Dengan kata lain, tentakel para kapitalis ini punya kendali besar namun halus. Dalam analisis Arundhati Roy, ikut menentukan kriteria bentuk aktivisme macam apa “yang bisa diterima” dan “yang tidak”. Ini jelas-jelas termasuk upaya sistemik canggih pembonsaian pikiran. Di dalam arus itu, miliaran orang terperdaya dan salah mengidolakan tokoh publik. Mereka rentan salah bercita-cita ingin menjadi despot eksploitator ulung macam orang-orang terkaya di dunia yang dielu-elukan seperti Soros, Gates, Elon, dll. Efek dari “salah cita-cita” tidak bisa disepelekan: eksploitasi demi laba sebesar-besarnya akan merusak ekosistem, mindset yang menyebut kemiskinan adalah produk dari kemalasan, hingga mengindividualisasi persoalan yang aslinya kompleks dan struktural-sistemik (sebagaimana dampak buruk dari tren buku-buku self-help/self-improvement).

Sebenarnya menjadi kaya bukanlah sebuah dosa sosial, tetapi kalau kekayaan kaum 1% itu hendak membeli ruang hidup, merusak halaman belakang rumah kita, hingga menghisap kebahagiaan dan masa depan generasi mendatang layaknya Dementor di Harry Potter, apakah kita hanya bisa diam? Di situlah kapitalisme harus terus menerus digugat. 

Apalagi, secara gradual, imbas keterlibatan kaum kapitalis rakus itu juga dapat berupa depolitisasi dan penjinakan global oleh terhadap gerakan masyarakat sipil. Arus dan benih gerakan yang radikal dan revolusioner, pembangkangan sipil, hingga kaum anarko (dalam makna aslinya sebelum terjadi peyorasi nilai) akan rentan dikriminalisasi, dibusukkan nama dan citranya, sehingga masyarakat jijik terhadapnya tanpa sempat mau mengerti dan mempelajarinya. 

Sementara gerakan lembek yang tidak mengancam proyek para kapitalis justru tumbuh, merebak, berbiak, dan tidak menghasilkan perubahan apa-apa kecuali di level superfisial, penuh jargon, dan rasa-berjasa yang semu. Gerakan yang direstui sistem kapitalisme ini tidak menusuk ke jantung persoalan yang lebih struktural, pelik, dan bersifat multidimensional (dikenal sebagai wicked problem). Alhasil, ketidakadilan di berbagai wilayah menjadi hal yang bukan saja terabaikan, tetapi justru lestari dan makin meluas. Lestarinya ketidakadilan ini merupakan akumulasi hasil dari berbagai sektor, termasuk peran sektor ketiga: NGO/LSM, termasuk yang bergerak di isu toleransi lintas iman.

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.


Sektor Ketiga: Topeng Pluralisme dan NGO sebagai Pelindung Kapitalisme

Ketidakadilan sebagai dampak sistem kapitalisme rakus nyatanya ikut dilestarikan secara tak langsung oleh sektor ketiga: organisasi nirlaba. Sektor ketiga ini merupakan identifikasi organisasi-organisasi yang berada di luar sektor bisnis swasta maupun pemerintahan. Cakupannya menjangkau asosiasi perdagangan, klub olahraga, seni, lembaga pekerja sosial (LSM), lembaga advokasi hukum, institusi kultural, ormas, yayasan, institut riset, universitas, dan sejenis itu yang sering bersifat sukarela. 

Joan Roelofs mempertajam kajian kritis yang spesifik memelototi peran yayasan korporasi dan NGO dalam melindungi kapitalisme—sesuatu yang luput disadari ilmuwan sosial dan politik. Roelofs menunjukkan fakta-fakta yang jarang disorot akademisi kiri yang lain, bahwa peran yayasan korporasi di Amerika Serikat sejak 1920-an dalam percaturan geopolitik dunia sangat signifikan. Yayasan Rockefeller dan Carnegie, misalnya, ikut campur tangan dalam pembentukan Dewan Hubungan Luar Negeri (Council on Foreign Relations/CFR). Kemudian Ford Foundation pun menyusul ambil bagian di dalamnya. Dan pada 1947, CIA yang baru terbentuk mendapat dukungan dan bekerja mesra dengan CFR. Kolaborasi maut itu pula yang ikut mengatur pendirian PBB sekian tahun sebelumnya dan melibatkan dana hibah dari John D. Rockefeller sebesar USD8,5 juta sebagai modal membeli lahan yang kini jadi markas besar PBB di New York.

Dari fakta historis tersebut kita dapat membaca banyak hal serupa. Strategi semacam itu menginspirasi banyak perusahaan untuk mendirikan yayasan korporat (yang di banyak negara mendapat keistimewaan “bebas pajak”) sambil mempermulus agenda destruktif mereka sekaligus membangun citra mulia di mata publik. Yayasan-yayasan ini, dengan gemuknya kekayaan mereka, ikut mengarahkan, memperdagangkan, dan mendistribusikan kekuasaan mereka lewat think tank elite didikan yayasan (Roy, 2022: 38). Dari sini, filantropi korporat menjelma bisnis paling mujarab dan visioner dalam mendikte kebijakan di berbagai negara.

Sehimpun fakta itu memicu Robert Arnove menuliskan perihal praktik “filantropi dan imperialisme kultural” secara pedas: Yayasan seperti Carnegie, Rockefeller, dan Ford memiliki pengaruh korosif terhadap masyarakat demokratis; mereka merepresentasikan konsentrasi kuasa dan kekayaan yang tak teregulasi dan tidak akuntabel yang membeli talenta, mempromosikan tujuan-tujuan tertentu, dan sebagai dampaknya menciptakan sebuah agenda tentang apa yang layak mendapat perhatian masyarakat. Mereka berfungsi sebagai lembaga yang “mendinginkan”, menunda, dan mencegah perubahan struktural yang lebih radikal (Roelofs, 2003).

Lewat kucuran dana di pelbagai sektor hingga di level beasiswa dan hegemoni intelektual itu, yayasan korporasi dan NGO yang menerima santunannya perlahan-lahan menciptakan suatu imajinasi tertentu. Dalam bahasa Arundhati Roy (2022: 49), mereka melahirkan “sebuah pretensi rapuh yang sangat permukaan tentang toleransi dan multikulturalisme yang menjelma menjadi rasisme, nasionalisme fanatik, chauvinisme etnik, atau Islamophobia yang haus perang dan tidak plural.”

Celakanya, serangkum hal itu sudah mendominasi wacana publik hari ini. Para aktivis NGO—bahkan di sektor “kiri” sekalipun—yang menerima dana hibah dari yayasan korporasi berhasil terkooptasi, dijinakkan, dan tidak kritis menggali potret yang lebih besar menyangkut keberagaman di wilayah masing-masing dan kaitannya dengan sistem pasar dan kapitalisme yang menancapkan kuku-kukunya begitu kuat. Demikian pula sebaliknya, mereka yang kritis, radikal, dan revolusioner menginginkan perubahan sosial secara mendasar, akan mendapati dirinya dan diri-komunitas/lembaganya menjadi terpinggir, miskin, loyo, tak ada suntikan dana, dan mengalami keterasingan akut. Tinggal menunggu waktu vakumnya atau mati dan lenyap untuk selamanya–atau berganti menepi ke pinggir, melakoni permaculture dan beternak lele. Menempuh uzlah dan masa bodoh dengan dunia (sesuatu yang tidak salah, namun cukup egois). 

Begitulah cara kerja kapitalis besar menyusupi gerakan masyarakat sipil. LSM-LSM yang dibiayai yayasan korporat adalah pintu masuk agenda global ke dalam gerakan perlawanan. Berbekal segepok cuan, mereka sanggup mengubah kelompok yang secara potensi aslinya revolusioner menjadi para aktivis berupah, seniman edgy, intelektual dan sineas funding, dan menghindarkan diri mereka dari konfrontasi radikal—sebagaimana ketus Arundhati Roy. Posisi tersebut mengantarkan mereka ke arah multikulturalisme, kesetaraan gender, pembangunan komunitas yang menyelimurkan mata mereka dari persoalan yang lebih serius, lebih mendesak dan menyangkut hajat hidup para mustadh’afin, kaum-kaum yang dilemahkan, disekaratkan.

Saya pun semakin kalut ketika menyadari ada detak kapitalisme di setiap denyut yang memompa zaman dan peradaban. Sistem ini berhasil menyusup, menginfiltrasi miliaran kepala, jutaan lembaga. Kapitalisme berhasil menunggangi gerakan toleransi lintas iman, dengan potret unik dan strategi yang tak jauh beda sebagaimana greenwashing. 

Para aktivisnya, yang lugu-lugu, konformis, dan kurang rasa-penasaran itu, pada gilirannya getol teriak perihal kesetaraan gender, toleransi keagamaan, hingga kampanye pentingnya anak muda menjadi peacemaker. Di saat yang sama, mereka bungkam (atau sekurang-kurangnya bersuara lebih lirih) dalam hal kebijakan ekonomi dan pertambangan, yang ketika berlangsung akan mendera jutaan kaum perempuan dan anak-anak muda di seantero negeri. Inilah imbas dari politik kompartementalisasi, yang membuat gerakan di LSM mengalami pembidangan, ter-profesionalisasi, dan memiliki kepentingan khusus sendiri yang sempit (Roy, 2022: 55). Sejenis politik pemecah-belahan di level ruang gerak/isu, bentuk modifikasi dari devide et impera (divide and conquer). 

Yang holistik dicacah-cacah, agar tidak ada alternatif untuk ikut melibatkan diri ke dalam perjuangan kelas melawan para perusak yang oleh Vandana Shiva disebut “Kartel Racun”. Dalihnya bisa saja berbunyi, “Oh, itu bukan ruang gerak kami….” Padahal tidak ada yang tidak terhubung di bumi interkoneksi ini. Dalam sehelai benang di baju yang kita kenakan sekarang, ada jejak ratusan keringat manusia dan jasa-jasa organisme serta anasir kesemestaan yang lain: buruh pemanen kapas, petani, peternak, sopir, pedagang, admin, sales, bakul nasi yang rutin diutangi, dst. Belum peran cacing, tanah, sinar mentari dan lain sebagainya yang ikut menumbuhkan kapas bahan benang di bajumu itu. Sama halnya ketika bicara gender, toleransi, inklusi, dan lintas iman, namun tanpa bicara penindasan sistemik dan kerusakan lingkungan akibat privatisasi, kapitalisme, dan kerakusan korporasi-plus-pemerintah sama saja mengatakan bahwa bajumu hasil download dari awan antah berantah—tanpa melibatkan proses yang begitu panjang.


Mendidik Diri, Merebut Waktu: Sebuah Refleksi dan Ajakan

Merenungkan barisan analisis tersebut, saya merasa terkapar di rimba ketidakberdayaan. Badan saya rebah, tidur menatap langit sepi Yogyakarta yang tertutup kabut, sementara puluhan tanda tanya merubungi seisi kepala. Apakah ini kutukan bernama rasa penasaran itu? Aih, andai saja saya tidak tahu, atau tidak perlu mau tahu, mungkin kepala dan batin saya akan damai-damai saja. Beginikah rasanya kutukan dari pengetahuan itu? Bukankah pengetahuan adalah kekuatan? Yap, tapi itu masih koma. Knowledge is power … power that makes you suffer. Kenangkanlah jua pepatah bijak itu, ignorance is bliss, right? Belum lengkap. Ignorance is bliss … bliss that drives people crazy. Ya, ketidaktahuan dapat mencetuskan kegilaan; seperti prasangka, rasisme, hingga pembunuhan dan pembantaian. 

Lantas, di bawah kolong langit ini, apa yang dapat kita percayai? Apakah kita perlu menempuh keputusan ekstrem sebagaimana Maharlika? Perlukah kita mentalak-tiga sistem zaman sambil menekuni tirakat anarko ala Zhuangzi dengan pergi memancing di kali-kali? Yang pasti, jangan sampai menempuh jalur terorisme seperti Ted Kaczynski (Unabomber), sebab kau takkan ada bedanya dengan mereka para Kartel Racun.

Kabut di Yogyakarta luruh menjelma hujan dan saya jadi teringat kalimat Roelofs saat memberi disclaimer di bukunya. Ia menyebut tujuan risetnya bukan untuk mendemonisasi yayasan korporat, atau mendiskreditkan NGO. Mereka lewat jutaan dolarnya sering kali mengerdilkan (discourage) kritisisme terhadap yayasan dan organisasi yang mereka sponsori, sembari memarginalkan kajian kritis. Roelofs sekadar ingin menegaskan, apa pun alasannya, ketika kita mengkaji kuasa, adalah keliru/salah jika mengabaikan peran yayasan dan jejaring mereka yang luas.

Tentu tidak semua LSM/NGO itu sama. Menyamakan semua LSM/NGO sama konyolnya dengan mengatakan semua jenis burung itu cuma satu. Namun, sulit mengabaikan peran mereka dalam menamengi kapitalisme yang nyata-nyatanya tercatat dalam sejarah. Tidak aneh kalau Arundhati Roy berkata sarkas, “Semakin kacau suatu wilayah, semakin banyak NGO-nya.” Ada seorang teman yang menanggapi curhatan saya di Instastory soal itu, “Ya kalau saja NGO sudah ada sejak 1920-an di Indonesia, enggak bakal lahir gerakan revolusi kemerdekaan, Pak. Batal merdeka.” Tulisnya dengan huruf wkwk sebagai penutup.

Yang di atas itu tentu hanya humor gelap, anggap saja letupan kecil yang muncul dari tekanan berlebih. Namun kita jadi makin sulit menyangkal, bahwa mirisnya, Indonesia punya begitu banyak sektor ketiga ini, yang juga bermesraan dengan banyak yayasan korporat dan donor perusahaan yang merusak. Ada ormas, universitas, juga gerakan masyarakat sipil yang menengadah gembira terhadap santunan yayasan korporat. Memang, mereka bisa saja merebut klaim: “Justru kami sedang memanfaatkan mereka, untuk menumbangkan agenda mereka lewat gerak melingkar.” Hanya saja, lupakah kita pada diktum Audre Lorde, for the master’s tools will never dismantle the master’s house

Lebih lagi, bisakah surga keberagaman itu dikompensasi/diberikan oleh tangan yang berlumur darah yang ikut mendanai perang, pembantaian komunis, dan ekspansi eksploitasi di berbagai penjuru muka bumi? Celakanya, mereka tetap menyelusup masuk sambil mengusap-usap ubun-ubun ormas besar di tanah air—yang mencitrakan diri mengemban misi suci agama dan demi kemaslahatan umat. Jika ada perwakilannya yang teriak secara jumawa, “kita jaga NKRI, usir semua musuh Pancasila,” tentu orang Jawa Timur yang paham kuasa modal dan cawe-cawenya yayasan korporat di balik itu akan menjawab sinis: preketeq mbelprett! 

Semua ini bukan tentang teori konspirasi, dengan elite global pemuja setan atau ajaran Freemason. Sama sekali tidak. Ini data-data yang sulit dibantah, tentang kaum 1 persen yang menebar jala kekuasaannya di seantero planet; melahirkan perang, rasisme, eksploitasi, perbudakan modern, dan kerusakan alam yang tak tertanggungkan. Hanya demi laba, kuasa, dan ketakutan akut bahwa dominasi mereka di muka bumi bisa terhapus sewaktu-waktu. Paranoia berbasis keserakahan itulah yang menancapkan jangkar teramat dalam di penjuru negara-negara berkembang dan pernah terjajah sebagai garansi agar mereka tetap berkuasa. Agar mereka tetap memegang kemudi dan kendali penuh. Fakta-fakta ini semakin menggiriskan di buku Vandana Shiva (2023 dan 2024) berjudul Terra Viva, yang membedah privatisasi, bio-imperialisme, terorisme industrial dan kejahatan korporasi.

Ini semua hanya potret gamblang dari parasitisme akut dalam sejarah peradaban manusia. Serupa jamur Viagra Himalaya (Ophiocordyceps sinensis) yang terkenal di dataran Tibet sana. Penduduk lokal menyebutnya Yarchagumba. Semula ia menyusup masuk secara rahasia, lalu membajak tubuh sang ulat, lantas meremukkannya dari dalam sebelum berhasil menjadi kupu-kupu. Jamur parasit ini, seperti kapitalisme, menyusup, merenggut badan, lalu mekar dan menguasai seluruh tubuh inang hingga lenyap tak bersisa. 

Di sini saya hanya ingin menutup dengan tanda tanya: apa yang bisa kita perbuat? Memupuk etos kepedulian, collective care, dan harapan-bersama seperti disarankan Fildzah Izzati dalam tulisannya? Bisakah patah hati multidimensional ini kita transformasikan menjadi daya dorong yang memberdayakan? Terus terang, saya perlu mendidik diri, juga merebut waktu. Hanya saja, saya pun butuh teman diskusi dan sambat. Kalau kalut ini teramat dalam, mungkin saya akan kerja mati-matian, mengumpul modal, dan memilih beternak lele, seraya pergi memancing di kali-kali sebagaimana Zhuangzi. Maka silakan kritik habis atau tanggapi tulisan ini dengan analisis yang lebih kaya, itu sudah sangat membantu.


M. Naufal Waliyuddin adalah penulis dan peneliti isu anak muda, hubungan lintas iman, dan bina damai sehari-hari (everyday peacebuilding). Ia mahasiswa Doktoral UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Minat risetnya berkisar pada anak muda dan persoalan yang melingkupinya secara multi-interdisipliner, termasuk utang, sosial-keagamaan, kerentanan, transisi, hingga kesenjangan antargenerasi. Karya-karyanya dapat dibaca di https://bit.ly/karya_naufal. Instagram: @madno_wk

]]>
Perjamuan Kapitalisme: Ketika Keseharian menjadi Komoditas https://indoprogress.com/2025/01/perjamuan-kapitalisme/ Fri, 31 Jan 2025 14:02:12 +0000 https://indoprogress.com/?p=238753

Ilustrasi: PxHere


Keseharian yang Terenggut

KEHIDUPAN sehari-hari, yang sering kita anggap sebagai rutinitas yang tak terhindarkan dan tak terelakkan, ternyata tidak sesederhana itu. Di balik aktivitas yang tampaknya biasa—bangun pagi, bekerja, berbelanja, bersosialisasi, hingga tidur—tersembunyi sebuah proses yang lebih besar: kita sedang menghidangkan diri kita pada kapitalisme. Menghidangkan diri pada jamuan kapitalisme bukan sekadar tentang konsumsi barang atau jasa; ini adalah tentang penyerahan diri terhadap suatu sistem yang tidak hanya mengatur ekonomi, tetapi juga membentuk cara kita berpikir, merasakan, dan bertindak.

Dalam kehidupan modern, kita seolah dihadapkan pada meja jamuan yang tak bisa kita hindari, di mana pilihan kita, meskipun tampak bebas, sesungguhnya telah diatur oleh struktur yang lebih besar—sistem pasar yang berusaha membentuk setiap detik kehidupan kita. Setiap aspek, mulai dari produk yang kita konsumsi hingga cara kita memandang waktu dan hubungan sosial, adalah bagian dari “menu” kapitalisme yang kita terima tanpa kesadaran penuh, tetapi secara terus-menerus kita nikmati.

Sebagaimana Lefebvre jelaskan dalam Everyday Life in the Modern World (1971), kehidupan sehari-hari bukanlah sekadar rutinitas pribadi, melainkan arena di mana kapitalisme beroperasi. Kita sering kali tidak menyadari bahwa dalam perjuangan kita untuk memenuhi kebutuhan hidup, kita sebenarnya berperan sebagai “pejuang garis depan” dalam sistem kapitalisme. Jika kita tidak menyadari hal ini, kita akan terus menjadi penyokong utama dari dunia yang terus dipertahankan oleh sistem tersebut. Kesadaran akan hal ini adalah langkah pertama yang sangat penting. Tanpa kesadaran tersebut, kita akan terjebak dalam logika konsumsi yang mengatur setiap aspek kehidupan kita, dari bangun tidur hingga tidur kembali.

Kita seolah-olah memilih hidup kita sendiri padahal tidak. Kapitalisme telah memilihkannya untuk kita. Waktu kita telah dibagi menjadi jam kerja dan waktu luang yang keduanya dimanfaatkan oleh pasar. Kita bekerja untuk mendapatkan uang, yang kemudian uang itu kita belanjakan untuk membeli produk yang diiklankan oleh kapitalisme. Keputusan yang kita buat, mulai dari makanan, pakaian, hingga hiburan, sering kali bukanlah pilihan bebas, melainkan pilihan yang dipengaruhi oleh pasar dan ideologi konsumsi. Di era digital, pengaruh kapitalisme semakin diperkuat oleh algoritma yang tersembunyi di balik platform sosial media. Algoritma ini mengumpulkan data perilaku kita, lalu menggunakannya untuk memprediksi dan membentuk keinginan kita, menjebak kita dalam siklus konsumsi yang terus-menerus tanpa henti.

Dari pagi hingga malam, kita terus berkelindan dengan kapitalisme. Misalnya, saat memulai hari dengan menyeruput kopi dari merek tertentu, kita mungkin tidak hanya menikmati rasa kopi itu, tetapi juga menikmati status yang terbangun di sekitarnya. Merek kopi yang kita pilih bukan sekadar produk, tetapi sebuah simbol status yang dibentuk oleh kapitalisme. Kita terjebak dalam jaring konsumsi yang lebih besar, di mana setiap pilihan kita didorong oleh sistem pasar. Tidak hanya dalam pemilihan produk, tetapi juga dalam ritme hidup kita yang dikendalikan oleh jadwal kerja yang ditentukan oleh pasar. Waktu kita, yang seharusnya menjadi milik pribadi, kini menjadi komoditas yang diperdagangkan dan dikelola oleh sistem ekonomi global.

Begitu pula ketika kita pulang ke rumah setelah seharian bekerja. Waktu luang yang kita anggap sebagai hak untuk beristirahat seringkali dipenuhi oleh hiburan-hiburan yang diproduksi oleh kapitalisme. Menonton acara televisi, menggunakan media sosial, atau berbelanja daring adalah contoh bagaimana kapitalisme berhasil menyusupi ruang privat kita. Apa yang kita konsumsi dalam waktu luang kita, meskipun tampaknya sebagai pilihan bebas, sering kali dipengaruhi oleh tekanan pasar yang mendorong kita untuk terus-menerus membeli dan mengonsumsi produk-produk tertentu. Dalam kenyataannya, kapitalisme terus berusaha mengisi ruang pribadi kita dengan kebutuhan-kebutuhan yang direkayasa.

Malam hari, ketika bersiap untuk tidur, kita mungkin merenung tentang hari yang telah kita lalui, tetapi banyak dari kita juga terperangkap dalam kecemasan yang dipicu oleh tuntutan kapitalisme. Pekerjaan yang belum selesai, utang yang harus dilunasi, atau standar hidup yang harus dipenuhi menjadi beban yang terus mengganggu pikiran kita. Tidur, yang seharusnya menjadi waktu untuk beristirahat, sering kali menjadi semacam recharge untuk mempersiapkan kita menghadapi hari berikutnya dalam putaran kapitalisme yang tak berujung. Dalam kondisi yang paling pribadi sekalipun, kita bahkan tidak benar-benar bisa lepas dari pengaruh kapitalisme yang mengatur bagaimana kita menjalani hidup, apa yang kita inginkan, dan bagaimana kita memandang diri kita sendiri.


Kendaraan Kapitalisme

Kapitalisme tidak beroperasi seperti sihir yang langsung masuk ke dalam kepala kita. Ia merupakan hasil perjalanan panjang yang dimulai lebih dari dua setengah abad yang lalu, ketika Adam Smith pertama kali memperkenalkan konsep invisible hand dalam bukunya Wealth of Nations (1776). Sejak saat itu, kapitalisme terus berkembang, belajar, dan menyesuaikan diri dengan zaman. Bahkan meskipun Marx meramalkan kehancurannya dalam Das Kapital (1867), kapitalisme tetap menunjukkan ketahanan dan kemampuannya untuk beradaptasi. Di era digital ini, kapitalisme telah mencapai bentuk yang lebih sulit dikenali, begitu membaur dengan kehidupan kita. Kapitalisme tidak lagi terlihat sebagai musuh yang harus dihancurkan; ia sudah menjadi bagian dari kehidupan kita yang tak terpisahkan, seperti borok yang kita benci namun tak bisa kita lepaskan.

Kendaraan paling penting dan utama dari kapitalisme adalah keinginan manusia. Meski terdengar klise dan filosofis, keinginan ini adalah fondasi dari segala yang kita lakukan, dorongan yang mendorong manusia untuk terus mengubah dunia. Keinginan dalam kapitalisme bukan sekadar soal kebutuhan dasar seperti makan, berpakaian, atau berteduh. Keinginan kapitalis jauh lebih kompleks dan telah diperhalus sedemikian rupa, mencakup emosi, identitas, dan status sosial. Kapitalisme tidak hanya berusaha memenuhi apa yang kita butuhkan, tetapi juga membentuk dan memperluas kebutuhan kita, menciptakan hal-hal yang kita rasa harus kita miliki atau lakukan untuk mencapai kepuasan atau rasa “lengkap”. Dalam dunia kapitalis, kita tidak hanya membeli barang atau jasa, tetapi juga membeli citra diri, rasa diterima, dan status sosial yang terkait dengan konsumsi tersebut.

Dari keinginan yang telah dibentuk ini, kapitalisme menemukan kendaraan kedua yang lebih kompleks dan berbahaya: waktu. Waktu dalam kapitalisme bukanlah entitas netral; ia telah dikomodifikasi menjadi sesuatu yang bisa diperdagangkan. Kita semua terbatas oleh waktu—hanya 24 jam dalam sehari—dan dalam jangka waktu itu kita harus bisa memenuhi semua keinginan. Kapitalisme, dengan cerdiknya, memanfaatkan waktu yang terbatas ini untuk memperkuat siklus konsumsi. Kita bekerja untuk mendapatkan uang, yang kemudian kita tukar untuk produk dan layanan yang memperbaharui keinginan kita, yang seolah tidak pernah habis. Waktu yang seharusnya menjadi ruang pribadi kita, kini diatur oleh pasar. Bahkan dalam waktu senggang sekalipun, kita tidak pernah benar-benar bebas dari tuntutan kapitalisme; kita harus berlibur ke gunung atau ke pantai, kita harus menginap di villa atau hotel, atau bahkan di rumah sekalipun kita sedang mempertimbangkan konsumsi lainnya.

Dan di sinilah iklan dan media massa memainkan peran yang sangat penting. Iklan menjadi alat yang sangat efisien untuk meretas kecemasan dan kebosanan kita lalu menawarkan solusi dalam bentuk konsumsi. Iklan adalah bahasa kapitalisme yang berbicara langsung ke dalam pikiran kita, menciptakan rasa kekurangan dan memprogramkan keinginan kita. Melalui iklan, kapitalisme tidak hanya menawarkan produk, tetapi juga gaya hidup, status, dan identitas yang bisa kita dapatkan jika kita membeli dan mengonsumsi barang atau jasa. Bersama dengan media yang kini hadir di ujung jari kita—dari televisi hingga ponsel pintar—kapitalisme semakin masuk ke dalam ruang privat kita. Media tidak hanya menyampaikan informasi, tetapi lebih dari itu, media membentuk realitas sosial kita. Media memberi tahu kita apa yang seharusnya kita miliki, kenakan, atau capai untuk bisa diterima, dihargai, dan dianggap berhasil dalam masyarakat.

Pada titik tertentu, kapitalisme mulai mengaburkan batas antara apa yang kita pilih dan apa yang sebenarnya telah dipilihkan untuk kita. Media dan iklan bekerja begitu efisien, tak hanya mengisi waktu luang kita, tetapi juga membentuk cara kita memandang dunia dan diri kita sendiri. Tidak ada lagi garis tegas antara keinginan yang lahir dari dalam diri dan keinginan yang disemai oleh kapitalisme. Kita hidup dalam dunia yang secara terus-menerus dipenuhi dengan “pilihan”, namun pilihan itu sering kali hanyalah ilusi, yang telah ditata dan dipandu oleh pasar. Dalam dunia kapitalis, kita selalu merasa bahwa kita memilih, padahal yang kita lakukan hanyalah mengikuti jejak-jejak yang sudah ditentukan sebelumnya.

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.


Membebaskan Diri dari Kapitalisme

Orang dengan pikiran kritis sering kali menghadapi dilema kebahagiaan. Mereka terperangkap dalam rasa curiga dan ketakutan, selalu bertanya-tanya apakah pilihan-pilihan mereka tidak secara tidak sadar memperkuat cengkeraman penguasa. Memang, kecenderungan ini ada benarnya. Namun, salah satu tanda sejati dari kebebasan dalam memilih adalah kesadaran bahwa segala sesuatunya sedang dipilihkan. Kekuatan manusia yang paling besar, selain keinginan, adalah kemampuannya untuk berpikir, untuk menalar, dan untuk memproses realitas yang sedang dihadapinya. Pikiran inilah yang harus dipelihara, karena melalui pemahaman dan kesadaran akan ketidakberesan ini, kita bisa mulai melahirkan resistensi terhadap kepalsuan dan stagnasi yang dibangun oleh sistem.

Namun, memupuk kesadaran ini bukanlah hal yang mudah. Pikiran manusia perlu dibangunkan, disadarkan, dan diarahkan untuk melihat realitas dengan cara yang berbeda. Michel de Certeau dalam The Practice of Everyday Life (1980) mengusulkan bahwa meskipun kehidupan kita sudah direnggut oleh kapitalisme, kita tetap bisa melawan melalui tindakan-tindakan kecil dalam keseharian kita. Tidak perlu menunggu perlawanan besar untuk melawan kekuatan yang besar; justru, dalam setiap momen kecil kita, terdapat ruang untuk melakukan perlawanan. De Certeau menyebutnya sebagai taktik—strategi mikro yang berusaha menyelinap melalui celah-celah kekuasaan yang lebih besar.

Contohnya, ketika Theodor Adorno mengkritik musik pop yang mengikuti formula pasar, kita bisa melawan dengan memilih untuk mendengarkan musik yang lebih kompleks, seperti musik klasik atau karya-karya independen. Kita bisa berjalan di gang-gang kecil kota kita tanpa melewati jalanan yang penuh dengan iklan di gedung dan bus-bus umum. Pilihan ini bukan hanya soal selera, tetapi tentang menentang formula kapitalisme yang mencoba mendiktekan apa yang “harus” kita lakukan.

Begitu juga dengan dunia seni yang sering terjebak dalam logika pasar dan manipulasi institusional. Sebagaimana Pierre Bourdieu menunjukkan, seni telah dilepaskan dari logika ekonomi, tetapi seringkali terjebak dalam ‘komedi’ ketika nilai simboliknya bergantung pada strategi pemasaran. Tentu kita masih ingat bagaimana fenomena lukisan pisang yang dilakban di tembok dan terjual dengan harga fantastis, yaitu $6,2 miliar. Karya seni ini jelas tidak lebih dari sebuah gagasan yang dijual dengan harga yang tidak masuk akal, murni karena hype dan kapitalisasi di baliknya. Untuk membebaskan diri dari cengkraman kapitalisme dalam seni, kita bisa memilih untuk menikmati karya-karya seni dengan mengunjungi galeri kecil, menikmati lukisan jalanan, atau mendukung seniman independen yang menciptakan karya tanpa terjebak dalam hype dan kapitalisasi.

Di era digital, kapitalisme telah menguasai banyak aspek hidup kita. Namun, kita bisa menggunakan alat yang sama yang dimiliki oleh sistem ini untuk membangun media alternatif. Gerakan belanja ke warung tetangga sudah lama bergaung di Indonesia meskipun hilang dalam ingatan kita. Gerakan lainnya, misalnya, kita membeli barang bekas atau mencoba menahan tidak membeli pakaian di hari raya juga contoh nyata dari resistensi terhadap konsumsi massal. Kita bisa menggugat narasi yang sering diproduksi oleh media mainstream melalui kanal-kanal alternatif di YouTube, Reels, atau TikTok. Di sini, media bukan lagi menjadi alat kapitalisme untuk mengontrol kita, tetapi menjadi sarana untuk menawarkan ruang bagi perspektif yang lebih bebas dan beragam.

Namun, meskipun gerakan-gerakan ini bisa memberikan sedikit ruang bernafas, kita harus sadar bahwa kapitalisme bukanlah sesuatu yang mudah ditumbangkan. Gerakan-gerakan ini, meskipun penting, tidak akan mengalahkan kapitalisme membentuk perilaku kita. Jadi kita biarkan gerakan ini kecil-kecil namun banyak, dan memang tidak perlu dibentuk sebuah kelompok baru. Karena jika gerakan semacam ini menang, lalu memiliki kekuasaan, kecenderungan kekuasaan untuk menguasai orang lain secara manipulatif akan terus berulang. Kita bisa mengingat Desa Macondo dalam novel 100 Years of Solitude karya Gabriel García Márquez, yang dibangun dengan semangat untuk membebaskan diri dari mitos tradisional, kemudian ia tetap jatuh ke dalam mitos modern; pemerintah, politisi, militer, dan logika ekonomi.

Pada akhirnya, kebebasan yang sesungguhnya tidak akan datang begitu saja melalui perlawanan terhadap kapitalisme atau sistem yang lebih besar. Kebebasan sejati terjadi ketika seseorang menyadari bahwa dirinya tidak benar-benar memiliki kebebasan. Karena pada titik itulah, kesadaran akan ketidakbebasan membuka jalan untuk refleksi lebih dalam, dan hanya melalui pemahaman ini kita bisa mulai mengambil langkah kecil, untuk hidup dengan cara yang lebih otentik; berjalan di tempat-tempat asing, memakan makanan lokal, menikmati waktu luang bersama keluarga, tertawa pada lelucon garing kawan kita, atau menonton akun TikTok yang mengajarkan kita sebuah perlawanan.


Daftar Bacaan

Adorno, T. W. (1991). The Culture Industry: Selected Essays on Mass Culture. Routledge.

Bourdieu, P. (1993). The Field of Cultural Production. Columbia University Press.

De Certeau, M. (1984). The Practice of Everyday Life. University of California Press.

Foucault, M. (1977). Discipline and Punish: The Birth of the Prison. Pantheon Books.

Gramsci, A. (1971). Selections from the Prison Notebooks. International Publishers.

Lefebvre, H. (2017). Everyday life in the modern world (S. Rabinovitch, Trans.). Routledge. (Original work published 1971)

Marx, K. (1867). Capital: A Critique of Political Economy. Penguin Classics.

Postman, N. (1985). Amusing Ourselves to Death: Public Discourse in the Age of Show Business. Penguin Books.

Smith, A. (1776). The Wealth of Nations. Methuen & Co.

Zuboff, S. (2019). The Age of Surveillance Capitalism: The Fight for a Human Future at the New Frontier of Power. PublicAffairs.


Beberapa minggu ini, saya selalu mendapatkan pertanyaan yang sama dari dosen saya, Doç. Dr. Mert Gürer dari Kocaeli University, Türkiye. Pertanyaan ini muncul karena berulang-ulang kami mendiskusikan tradisi kritis dalam perkuliahan, dan menemukan kehidupan yang tidak otentik lagi. Saya tahu, pertanyaan tersebut ia ajukan secara retoris, dan bukan pula sesuatu yang baru: “Bagaimana Anda bisa yakin bahwa kita tidak memiliki kebebasan di dunia modern ini, sedangkan kita bisa memilih untuk update story apapun dengan leluasa; kita juga menonton apapun dengan leluasa, kita juga bisa mengakses semua media atau memilih tidak mengakses apapun dengan penuh kebebasan dan kesadaran?”

Saya mencoba menjelaskannya dengan seksama, tetapi karena perkuliahan menggunakan bahasa Turki, dan menjelaskan dalam bahasa yang baru saya pelajari selama empat bulan ini sangat melelahkan. Maka, saya menulis artikel ini sebagai upaya untuk menjawab pertanyaan tersebut dengan cara yang lebih jelas dan terstruktur. Jawaban dari pertanyaan tersebut juga tidak mudah dan tidak selayaknya diam di ruang sepi, tapi bisa menjadi obrolan bersama betapa kebebasan kita untuk hidup sehari-hari pun telah direnggut.


Fathul Qorib adalah dosen jurnalistik di Universitas Tribhuwana Tungga Dewi. Saat ini sedang menempuh pendidikan doktor di Universitas Kocaeli, Turki.

]]>
Bagaimana Kapitalisme Bisa Muncul di Hidup Manusia? https://indoprogress.com/2025/01/bagaimana-kapitalisme-bisa-muncul-di-hidup-manusia/ Tue, 14 Jan 2025 00:22:30 +0000 https://indoprogress.com/?p=238695

Ilustrasi: illustruth


Judul buku: Asal-usul Kapitalisme; Kajian secara Menyeluruh [judul asli: The Origin of Capitalism: A Longer View

Penulis: Ellen Meiksins Wood

Penerjemah: Joko Susilo

Penerbit: Penerbit Independen (PIN)

Halaman: xiv +244

Tahun terbit: 2021

 

 

 

 

 

 

 

 


KAPITALISME tak akan mati! Barangkali kalimat pendek inilah yang sering diucapkan oleh para pengagumnya. Mereka membanggakan apa yang sudah dihasilkan kapitalisme sejauh ini, menganggap bahwa sistem tersebut telah menghasilkan kemajuan besar bagi manusia. Singkatnya, menurut mereka, peradaban modern dihasilkan karena pengaruh besar kapitalisme dan menganggap kapitalisme terbentuk secara alamiah.

Lantas, jika demikian, mengapa kemajuan besar ini di saat bersamaan menghasilkan persoalan bagi manusia itu sendiri? Jika kapitalisme adalah puncak dari kemajuan manusia, mengapa, misalnya, orang-orang di Asia, Afrika, Amerika Latin, Australia, dan sebagian Eropa, mengalami kemiskinan, kekerasan, dan krisis ekologi? Mengapa kapitalisme justru menuntut adanya ketimpangan di masyarakat? 

Di sinilah letak relevansi buku Asal-usul Kapitalisme: Kajian secara Menyeluruh yang ditulis oleh Ellen Meiksins Wood, profesor ilmu politik di Universitas York, Toronto, Kanada, dan diterjemahkan oleh Joko Susilo. Dalam buku ini, Wood mengajak kita untuk tidak memandang kapitalisme sebagai keniscayaan sejarah alias “produk alamiah”. Sebaliknya, kata Wood, kapitalisme pada dasarnya memerlukan penjelasan yang dengannya kita mengetahui mengapa sistem itu menjadi demikian adanya seperti sekarang. 

Wood mengkritik keras perspektif yang memahami kemunculan kapitalisme sebagai suatu yang alamiah sejak bagian awal buku. Menurutnya, pandangan yang melihat bahwa kapitalisme tak memiliki asal-usul dan sudah ada dari sananya merupakan “penjelasan muter-muter” (question-begging). Menurut Wood, penjelasan seperti ini “berakar dari konsep ekonomi politik klasik dan pemikiran zaman pencerahan (enlightenment) mengenai kemajuan itu sendiri. Secara keseluruhan, mereka memberikan narasi mengenai perkembangan sejarah di mana kemunculan dan perkembangan kapitalisme menuju tahap dewasa telah terkandung dalam manifestasi paling awal dari rasionalitas manusia [……]” [hlm. vii-viii]. 

Menurut konsepsi ekonomi politik klasik, yang perlu dipertanyakan seharusnya ialah “hambatan dan rintangan” bagi kebangkitan kapitalisme. Menurut mereka, sebagaimana ditulis Wood, hambatan dan rintangan seperti pada sistem feodalisme telah menyebabkan kapitalisme tak dapat mengalami kemajuan. 

Kata Wood sendiri, “niat saya yang pertama adalah untuk menentang pengalamiahan (naturalization) dari kapitalisme dan untuk menekankan beberapa aspek yang menunjukkan bahwa ia merupakan suatu bentuk sosial yang historis dan spesifik serta merupakan penjungkirbalikan sejarah dari bentuk-bentuk sebelumnya.” [hlm. xiii]. Pada titik ini, menurut Wood, kita harus berani menyangkal “pengalamiahan kapitalisme” […..] “yang telah membatasi pemahaman kita pada masa lalu.” “Di saat bersamaan, ia juga mempersempit pemahaman kita bagi masa depan,” sebab “jika kapitalisme merupakan puncak tertinggi dari proses alamiah dalam sejarah, maka tidak dapat dibayangkan untuk dapat melampauinya” [hlm. xiii]. 

Artikel ini tidak hanya akan mengulas buku Wood, tapi juga coba mengaitkannya dengan konteks perkembangan kapitalisme di Flores, Nusa Tenggara Timur (NTT). Perkembangan kapitalisme di Flores perlu dilihat lebih kritis terutama dalam hal pencaplokan tanah yang dialami para petani karena ekspansi pembangunan termasuk menjamurnya industri pariwisata.


Kritik Wood atas Asal-usul Kapitalisme

Konsep pertama yang dikritik Wood terkait asal-usul kapitalisme ialah “model komersialisasi”. Ia adalah perubahan alamiah dari semakin luasnya sistem perdagangan. Perdagangan adalah sama dengan kapitalisme. Menurut model ini, kemunculan kapitalisme diperantarai oleh individu-individu yang terlibat dalam kegiatan “tukar-menukar”. Kegiatan ini pada gilirannya berkembang menjadi “terspesialisasi” yang mendorong pengembangan teknis dari alat-alat produksi. 

Kegiatan tukar-menukar, kita tahu, adalah relasi purba manusia. Itu sudah ada sejak dulu kala. Karena itu, menurut Wood, model ini menganggap “perkembangan kapitalisme merupakan hasil alamiah dari kebiasaan manusia yang hampir sama tuanya dengan spesies manusia itu sendiri” [hlm. 3]. Maka dari itu, menurut konsepsi ini, “[……] kapitalisme telah hadir sepanjang sejarah, setidaknya dalam bentuk embrionya, atau bahkan merupakan inti dari sifat dan rasionalitas manusia” [hlm. 9]. 

Menurut Wood, model komersialisasi tidak bisa disebut sebagai penjelasan asal-usul pembentukan kapitalisme. Hal tersebut lebih merupakan penjelasan terkait peningkatan produktivitas dan pembagian kerja. Model komersialisasi tak memadai untuk menjelaskan asal-usul kapitalisme, malah justru mengaburkan dan cenderung mempersempit pemahaman kita tentang kapitalisme hanya perkara produktivitas dan pembagian kerja semata. 

Wood juga mengkritik pandangan “model demografis”. Model ini menjelaskan kemunculan kapitalisme dengan “[….] mengaitkan perkembangan ekonomi Eropa dengan siklus otonom dari pertumbuhan dan penurunan populasi yang bergerak dengan sendirinya” [hlm. 11]. Jadi sementara model komersialisasi mengaitkan perubahan dengan pertumbuhan perdagangan, model demografi menekan bahwa perubahan sistem ekonomi sebab adanya perubahan populasi. Di kota besar seperti London, terjadi peningkatan pesat penduduk, hampir 100 persen hanya dalam waktu kurang dari dua abad. Mereka pada akhirnya menjadi tenaga kerja “bebas”. Model ini menjelaskan bahwa transisi ke kapitalisme diperantarai oleh “hukum penawaran dan permintaan” [hlm. 11].

Karena bicara soal populasi sebagai faktor determinan, model ini menganggap kapitalisme lahir di kota-kota besar di Eropa barat seperti Paris dan Amsterdam. Kota, sebagai ruang di mana terdapat perdagangannya, dengan sendirinya melahirkan kapitalisme. 

Menurut Wood, berbagai penjelasan itu tak dapat diterima. Penjelasan-penjelasan tersebut lebih banyak berkutat pada “hambatan dan rintangan” yang dihadapi kapitalisme, yakni feodalisme, sehingga pada akhirnya membuat kapitalisme tampak alamiah.

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.


Asal-usul Kapitalisme menurut Wood

Menurut Wood, penjelasan yang menempatkan kota sebagai ruang pembentukan kapitalisme merupakan kekeliruan. Kapitalisme tidak lahir di kota, katanya. Sebaliknya, ia muncul dari perdesaan. Wood mengonsentrasikan perhatiannya pada perdesaan Inggris. Mengapa Inggris? Sebab “tanah di Inggris secara tidak biasa dan sejak waktu lama telah terkonsentrasi, dengan proporsi luar biasa luas dimiliki oleh kaum tuan tanah besar […..]” [hlm. 112]. 

Di sana terjadi pemisahan besar-besaran produsen dari sarana produksinya. Ini berarti terjadi perubahan pada kepemilikan properti: pemusatan pada segelintir orang dan pada sisi lain terjadi ketimpangan dalam masyarakat. Tentu dalam keadaan semacam ini relasi dikendalikan oleh para pemilik, sementara mereka yang kehilangan properti harus “[…..] menjual tenaga kerja demi upah” [hlm. 109]. Inilah alasan mengapa penduduk London meningkat signifikan dalam waktu relatif singkat: karena menjadi tenaga kerja “bebas”, sementara pada saat yang sama penduduk kota di belahan Eropa lain cenderung stabil. 

Menurut Wood, “relasi unik antara produsen dan pengambil alih ini, tentu saja, diperantarai oleh pasar” [hlm. 109]. Tekanan-tekanan pasar telah mendorong adanya semacam tindakan untuk mengakumulasi, kompetisi, dan maksimalisasi. Semua menjadi tergantung pada pasar, yang prinsip utamanya adalah persaingan. 

Pasar membuka ruang baru bagi terkonsolidasinya kepemilikan properti pada segelintir orang lewat diperkenalkannya konsep “perbaikan” (improvement). Kata “improver” bahkan telah menancap dengan kuat dalam tata bahasa pada abad ke-17. Ia merujuk kepada seseorang yang membuat tanah menjadi produktif dan menguntungkan, terutama dengan cara memagari atau menguasai kembali tanah yang tidak produktif” [hlm. 120-121]. Bahkan, pada abad ke-18, “di zaman keemasan kapitalisme agraria, ‘perbaikan’ dalam kata sekaligus perbuatan telah mencapai kematangannya sendiri” [hlm. 121]. 

Dari sinilah praktik perampasan dan pemusatan properti pada segelintir orang seolah mendapat legitimasi. Konsepsi perbaikan menjadi dasar bagi para tuan tanah dan petani kapitalis untuk menghancurkan hak-hak komunal yang dapat menghambat kepemilikan properti dan penggunaannya. Pada momen inilah, sebagaimana ditulis Wood, “antara abad ke-16 dan ke-18, ada desakan yang terus meningkat untuk melenyapkan hak-hak adat yang dianggap mengganggu akumulasi kapitalis. Ini bisa berarti beberapa hal: mempersoalkan hak komunal atas tanah bersama dengan mengklaim kepemilikan pribadi secara eksklusif; menghapus berbagai hak guna di tanah pribadi; atau menentang hak ulayat atau kepemilikan adat (customary tenures) yang memberikan hak kepemilikan kepada banyak ‘petani’ kecil tanpa status kepemilikan hukum yang jelas” [hlm. 123]. 

Proses-proses ini melegitimasi berbagai praktik enclosure yang memicu berbagai tindakan perampasan tanah setelahnya. Ini dimulai ketika “[….] gelombang besar pertama dari pemagaran tanah yang mengacaukan tatanan masyarakat terjadi pada abad ke-16, ketika pemilik tanah besar berusaha mengusir rakyat jelata dari tanah yang dapat dimanfaatkan secara menguntungkan sebagai padang rumput untuk peternakan domba” [hlm. 124]. Pemagaran tanah, sebagaimana ditulis Wood, terus menjadi sumber utama konflik di Inggris pada masa awal modern “[….] dan pemagaran tampil sebagai keluhan ketika terjadi Perang Saudara di Inggris” [hlm. 124]. 

Awalnya praktik pemagaran tanah ditentang oleh monarki karena dapat mengancam ketertiban umum. Namun, seperti ditulis Wood, “begitu kelas-kelas pemilik tanah berhasil membentuk negara demi kepentingan mereka–sebuah keberhasilan yang akhirnya dikonsolidasikan pada tahun 1688, dalam apa yang disebut ‘Revolusi Agung’–sehingga tidak ada lagi campur tangan negara, dan muncul sebuah jenis baru gerakan pemagaran tanah pada abad ke-18, yang disebut sebagai ‘pemagaran oleh parlemen’ (parliamentary enclosures)” [hlm. 124 – 125]. “Dalam pemagaran semacam ini, pemberangusan hak kepemilikan properti yang dianggap bermasalah dan mengganggu kekuatan akumulasi para pemilik tanah dilakukan melalui keputusan-keputusan parlemen” [hlm. 125].  Tidak ada kekuatan hukum bagi petani kecil untuk membuktikan kepemilikannya secara legal; mereka tanpa status hukum yang jelas. 

Praktik pengambilalihan ini dipakai Wood sekaligus untuk mengkritik teori properti kerja (labour theory of property) John Locke yang menekankan bahwa “[….] hak alami atas properti didirikan ketika seseorang ‘mencampuradukkan tenaga kerjanya’ (mixes his labour) dengan sesuatu dan, dengan begitu, melalui tenaga kerjanya mereka mengubah sesuatu dari kondisi alaminya” [hlm. 126]. Lebih lanjut, menurut Locke, “[….] nilai yang melekat dalam tanah bukan berasal dari alam tetapi dari tenaga kerja dan ‘perbaikan’ yang sudah dilakukan. Maka dari itu, tenaga kerja memang yang menentukan perbedaan sebuah nilai dari segalanya” [dalam Wood, hlm. 126]. Dalam hal ini, menurut Wood “[….] tidak ada hubungan secara langsung antara kerja dan properti, karena satu orang dapat mengambil tenaga kerja yang lain. Dia dapat memperoleh hak atas properti dalam sesuatu hal dengan ‘mencampurnya’ dengan bukan kerja yang berasal dari dirinya sendiri, tetapi kerja orang lain yang dia pekerjakan” [hlm. 127]. 

Wood juga menolak pandangan Locke yang tak mempertimbangkan bahwa tanah tidak produktif bukan karena tidak dikelola masyarakat. Itu karena tanah semata-mata memang untuk mencukupi kebutuhan, bukan mengakumulasi demi keuntungan yang besar. 

Dalam perkembangannya, kapitalisme berhasil mengonsolidasi dirinya dalam hidup manusia lewat beragam mekanisme penundukan. Militer yang sebelumnya memainkan peran penting dalam melakukan penundukan, dalam ekonomi global saat ini, sebagaimana ditulis Wood, “telah digantikan oleh pemaksaan dari paksaan ekonomi, desakan-desakan pasar kapitalis yang dimanipulasi untuk kepentingan segelintir kekuatan imperialis” [hlm. 181]. 

Namun desakan pasar kapitalis tetap memerlukan dukungan “ekstra ekonomi” agar sirkuit kapital berjalan lancar. Sebagaimana ditulis Wood, “desakan ekonomi kapitalisme selalu membutuhkan dukungan kekuatan ekstra-ekonomi dari regulasi dan paksaan demi menciptakan dan mempertahankan kondisi akumulasi dan mempertahankan sistem properti kapitalis [hlm. 209]. Dukungan politik amat penting bagi perkembangan kapitalisme di suatu wilayah karena, “faktanya, kapitalisme dalam beberapa hal, lebih dari bentuk sosial lainnya, membutuhkan stabilitas, keteraturan, dan kepastian yang didefinisikan secara hukum dan terorganisir secara politik” [hlm. 209].


Kapitalisme di Flores dan Penyingkiran Warga

Meskipun lebih banyak menjelaskan kemunculan kapitalisme, tetapi menurut saya buku ini membantu memahami logika dasar kapitalisme itu sendiri, yakni produksi untuk mengejar keuntungan sebanyak-banyaknya. Logika ini akhirnya bertentangan dengan prinsip hidup bersama dalam masyarakat. Bagaimana mungkin, misalnya, dalam suatu masyarakat, A mempunyai tanah luas, B hanya mempunyai secuil, C tak memiliki sama sekali, dan D memilih migrasi ke kota sebagai buruh demi bisa bertahan hidup? Buku ini menegaskan bahwa kondisi itu tak terbentuk secara alamiah. Itu adalah gambaran dari ketimpangan kelas yang dibentuk oleh sistem kapitalisme. 

Di bagian akhir ini saya ingin membahas sedikit tentang situasi Flores, yang juga masuk ke dalam logika kapitalisme sehingga menyingkirkan warga dari tanah mereka. Kapitalisme di Flores bekerja dalam beragam cara. Tolo (2017) mengatakan, akumulasi melalui perampasan di Flores dilakukan lewat praktik land grabbing dan kolonialisme asing. Melalui akumulasi ini, kapitalisme merangsek dalam hidup masyarakat. Pola hidup yang sebelumnya diwarnai gotong royong, guyub, dan solid, akhirnya tergantikan oleh cara hidup yang mengarah pada tindakan akumulatif, kompetitif, dan maksimalisasi keuntungan. Tanah pertanian akhirnya dengan mudah dipindahtangankan. 

Pasar sebagaimana menurut Wood dalam buku ini memfasilitasi proses-proses yang mengondisikan akumulasi, persis seperti kajiannya soal kapitalisme agraria di Inggris. Fenomena pengambilalihan tanah warga lokal dengan cara memisahkan mereka dari properti dan akhirnya harus bergantung pada kerja upahan juga perlahan terjadi. 

Penyingkiran ini makin kuat belakangan, ketika pemerintah melalui Keputusan Menteri ESDM No. 2268K/30/MEM/2017 menetapkan Flores sebagai pulau panas bumi (soal ini silakan baca artikel “Mitos Panas Bumi”). Proyek ini akan membuat banyak sekali tindakan penyingkiran warga lokal dari tanah dan ruang hidup mereka oleh negara dengan dalil “kepentingan umum”. Ini sudah terlihat di beberapa tempat, salah satunya di Poco Leok, Kabupaten Manggarai, yang kini tengah menjadi sasaran perluasan proyek geotermal. Warga setempat terus melakukan penolakan, tapi pemerintah dan PLN terus memaksa agar proyek diterima. 

Singkatnya, kapitalisme di Flores hadir lewat banyak cara. Melalui pasar, kapitalisme mendorong akumulasi tanah pada segelintir pihak, sementara di pihak lain mengalami ketimpangan lahan. Kapitalisme juga bekerja lewat pembangunan yang difasilitasi oleh negara dengan mengorbankan masyarakat kecil. Maka kita harus menggugat dan terus mengkritisi keburukan-keburukannya, agar hidup dapat lebih adil.


Patrisius Eduardus Kurniawan Jenila, alumnus Universitas Merdeka Malang pada program studi Administrasi Publik.

]]>
Di Ambang Kepunahan karena Akumulasi Modal https://indoprogress.com/2024/12/di-ambang-kepunahan-karena-akumulasi-modal/ Sun, 22 Dec 2024 00:13:12 +0000 https://indoprogress.com/?p=238620

Ilustrasi: Jonpey


 

Judul: Kepunahan dan Kapitalisme: Sebuah sejarah yang Radikal (terjemahan)

Penulis: Ashley Dawson

Penerjemah: Ciptaningrat Larastiti

Penerbit: Penerbit Independen (PIN)

Tahun: Juni, 2022

 

 

 

 

 

 

 

 


DAHULU bumi menjadi rumah bagi spesies-spesies raksasa, mamalia unik, marmot berbulu, tumbuhan, dan segala biodiversitas. Namun semua lenyap dalam gelombang kepunahan massal yang terjadi secara periodik dan akhirnya menjadi dongeng prasejarah. Saat ini gelombang kepunahan itu masih terus berlanjut dan mengintai kita serta makhluk hidup lain. Laporan PBB mengonfirmasi bahwa sebanyak 1 juta spesies dinyatakan telah punah. Elizabeth Kolbert menyebut ini sebagai the sixth extinction, era kepunahan, penyusutan keragaman biodiversitas, yang bahkan berjalan lebih kolosal sejak kepunahan ke-5. Para peneliti sepakat bahwa tingkat kepunahan spesies jauh lebih tinggi sekarang dibanding sebelum manusia ada.

Banyak ilmuwan apolitis menjelaskan sebagian besar kepunahan disebabkan oleh bencana ekologis yang bersifat evolutif, misalnya asteroid atau meteor dalam kasus kepunahan massal ke-5 yang akhirnya menyapu dinosaurus. Namun benarkah kepunahan yang terus berlanjut ini masih bagian dari evolusi ekologis yang alami, ataukah sesuatu yang lebih kompleks dan bersifat human-made? Ini adalah pertanyaan inti yang perlu dijawab dalam diskursus tentang kepunahan di era modern.

Buku yang ditulis oleh Ashley Dawson, Kepunahan dan Kapitalisme: Sebuah sejarah yang Radikal (diterjemahkan dari Extinction: A Radical History, 2016), memberikan wawasan lain terhadap isu ini. Menurutnya, semakin buruknya kondisi planet kita tidak bisa dilepaskan dari sistem ekonomi-politik saat ini, kapitalisme. Dengan pendekatan kritis terhadap ekonomi global dan sistem produksi, Dawson menunjukkan bahwa sistem ini tidak hanya mengarah pada eksploitasi manusia dan alam, tetapi juga berkontribusi pada kepunahan massal yang semakin intensif. 

Melalui buku ini, Dawson mengajak pembaca untuk berpikir kritis tentang bagaimana kapitalisme, meskipun sering dipromosikan sebagai pendorong inovasi dan kemajuan, menyimpan kontradiksi mendalam yang membuatnya tidak mampu memberikan solusi nyata terhadap krisis ekologis. Dawson mengusulkan perlunya perubahan fundamental dalam cara kita memandang ekonomi dan alam—perubahan yang lebih radikal daripada yang bisa ditawarkan oleh kapitalisme hijau atau solusi pasar lain. Dengan analisis tajam dan argumentasi kuat, buku ini membuka ruang untuk diskusi lebih lanjut tentang alternatif-alternatif yang lebih berkelanjutan dan adil, serta bagaimana kita dapat mengatasi krisis ekologis yang sudah berada di ambang mata.

Buku Dawson singkatnya mengurai dengan lugas dan gamblang trajektori kepunahan yang tengah berlangsung. Dengan pendekatan kritis, buku ini merekognisi pembacaan tentang kepunahan, siapa yang paling bertanggung jawab, dan solusi untuk keluar dari krisis.


Antroposen dan modernitas: Dimulainya gelombang kepunahan keenam

Bagi sebagian orang, krisis ekologis adalah kenyataan yang tidak terhindarkan. Perubahan ini merupakan proses alamiah yang menuntut penyesuaian. Oleh karena itu, sudah selayaknya makhluk hidup beradaptasi, ujar mereka. Pandangan “netral” ini kemudian melahirkan moralitas baru yang mengajarkan bahwa kita semua harus bertanggung jawab dan mengambil peran, berkorban demi keluar dari keadaan yang mencekik. 

Pandangan ini ahistoris dan menutupi kenyataan bahwa kerusakan ekologis sebenarnya adalah hasil dari sistem ekonomi yang mengutamakan pertumbuhan dan akumulasi sumber daya tak berkesudahan yang digerakkan oleh segelintir orang saja. Dunia saat ini enggan mengakui kenyataan tersebut dan lebih memilih bersembunyi di balik narasi “kebaikan bersama”. Untungnya uraian sejarah yang disajikan oleh Dawson membuka wawasan tentang kenyataan yang tersembunyi di balik narasi besar politik-ekologis yang dibangun oleh rezim lingkungan hidup tersebut. 

Kepunahan yang terjadi saat ini tidak dapat dilepaskan dari antroposentrisme, yang cirinya corak produksi kapitalisme. Istilah “antroposen” sendiri diperkenalkan oleh Paul J. Crutzen (hlm. 20) pada tahun 2000 dalam sebuah pertemuan tahunan organisasi ahli ilmu alam. Antroposen memahami bahwa ada aktivitas manusia berperan sentral dalam memengaruhi bumi, yang pada gilirannya menandai awal dari zaman atau epos geologis baru. 

Proses ini berawal sejak akhir abad ke-18, ketika Revolusi Industri menyebabkan produksi emisi karbon dalam skala besar. Meski begitu, perdebatan tentang kapan persisnya antroposentrisme muncul masih berlanjut sebagai wacana dialektis. 

Sementara gagasan bahwa manusia sebagai pusat akarnya dapat ditelusuri pada ide modernitas dan perkembangan sains, lebih lama dari praktiknya sendiri. Tokoh seperti Francis Bacon membangun legitimasi dengan basis pengetahuan ilmiah tentang alam melalui dualisme objektif, memisahkan manusia dan alam secara biner. Bacon, bersama ilmuwan lain seperti René Descartes dan Isaac Newton, mendorong intervensi hukum matematika dalam memahami alam dan menciptakan relasi baru yang mekanistik. 

Ide ini diyakini menandai lahirnya era antroposentrisme yang terus memengaruhi pola pikir dan kebijakan lingkungan hidup hingga kini: terbentuknya kategorisasi yang memisahkan secara tegas manusia dari alam dan menciptakan jarak antara keduanya secara ontologis yang sebelumnya tidak terbayangkan. Pandangan ini membentuk dasar eksploitatif yang mengilhami perkembangan modernitas dan revolusi industri, serta mendorong penjarahan sumber daya alam oleh bangsa Eropa. Gagasan ini dalam perkembangannya memperkuat dominasi dan legitimasi manusia atas alam.


Sebuah pleidoi: Apakah semua manusia bertanggung jawab?

Kepunahan ke-6, menurut Dawson, perlu dipahami secara kritis. Maksudnya, hal itu tidak bisa dipisahkan dari kritik terhadap kapitalisme dan puncak perkembangannya, yaitu imperialisme. 

Salah satu argumen utama Dawson adalah bahwa kapitalisme, dengan asas pertumbuhan yang tak terbatas dan keinginan untuk terus berkembang—baik dalam bentuk ekspansi pasar, akumulasi modal, maupun eksploitasi sumber daya alam—selalu bertentangan dengan upaya untuk mempertahankan keberlanjutan ekologis. Konsep growth yang tiada henti ini, menurut Dawson, memperburuk kerusakan ekologis karena ia mendasarkan diri pada pemanfaatan tanpa batas sumber–sumber daya.

Kapitalisme sendiri muncul ketika manusia menata diri dengan dasar pembagian kelas pemilik dan non-pemilik alat produksi serta moral penumpukan kekayaan pribadi. Doktrin ini menghidupkan ambisi untuk memperkaya diri tanpa batas, mendorong individu-individu pemilik modal berlaku tamak tidak hanya terhadap sesama manusia tetapi juga spesies lain dan alam. Sebagai corak produksi dan sistem sosial, kapitalisme memang merombak relasi antar-individu, kelompok, dan alam menjadi transaksi komoditas demi mencapai keuntungan. Ini yang oleh Marx disebut sebagai metabolic rift: bagaimana kapitalisme merusak sirkulasi alami dalam pertukaran material antara manusia dan alam melalui relasi produksi yang mengejar nilai lebih. 

Untuk terus mengejar pertumbuhan yang tak terbatas dan mereproduksi kekayaan, kapitalisme memerlukan ekspansi sebagai prasyarat yang menopang keberlanjutan dan kestabilan sistemnya. Kenyataan ini menghasilkan periode sejarah yang kita sebut dengan kolonialisme dan imperialisme, digerakkan oleh kapitalisme Eropa. Ekspedisi Christopher Columbus yang monumental merupakan cerminan dari hasrat dan ambisi untuk menemukan tanah, wilayah, dan sumber daya baru yang dapat dieksploitasi untuk memperluas dan meningkatkan kekayaan. 

Ekspansi penduduk Eropa dan pembangunan kapitalisme inilah yang kemudian menyebabkan ekosida dan kepunahan yang semakin signifikan serta meluas. Perburuan binatang untuk komoditas dan perluasan lahan untuk kepentingan perkebunan monokultur menjadi sendi utama yang menggerakkan kapitalisme hingga mencapai tahap tertingginya saat ini. Genosida dan perbudakan rasial juga merupakan implikasi dari fenomena ini, seperti yang tercatat dalam sejarah Amerika dan Australia.

Dawson menegaskan bahwa penyebab utama di balik kehancuran ekologis ini adalah kapitalisme menempatkan keuntungan di atas kelangsungan hidup spesies dan keberlanjutan lingkungan, dengan pertumbuhan sebagai kompas moral yang dominan. Meskipun pandangan ini tidak baru, dia menyajikannya dengan analisis yang tajam. Dawson menolak gagasan bahwa krisis kepunahan hanyalah akibat dari praktik buruk individu atau perusahaan tertentu. Sebaliknya, ia melihatnya sebagai konsekuensi sistemik dari cara kapitalisme mengeksploitasi alam demi pertumbuhan ekonomi yang tak terbatas, tanpa memperhitungkan dampak jangka panjangnya.

Dawson menghubungkan tema besar bukunya, kepunahan, dengan sejarah panjang kolonialisme, imperialisme, dan ekspansi industri. Dia menempatkan kepunahan dalam konteks sejarah panjang penjajahan Eropa dan eksploitasi sumber daya alam di seluruh dunia. Selama berabad-abad, proyek kolonialisme dan imperialisme tidak hanya menundukkan manusia, tetapi juga secara agresif mengeruk sumber daya alam, menyebabkan hilangnya keanekaragaman hayati karena tak dapat dipulihkan. 

Dawson menegaskan bahwa krisis ekologi yang kita hadapi saat ini bukanlah fenomena baru, meskipun intensitas dan skalanya telah meningkat secara signifikan seiring dengan globalisasi kapitalisme, yang mendorong krisis ekologis ke titik kritis. Sayangnya berbagai upaya dan solusi yang diajukan untuk mengatasi krisis belum juga efektif, sebab yang muncul adalah keyakinan absurd bahwa kapitalisme bisa mereformasi dirinya untuk mengatasi kepunahan. Pada kenyataannya, eksploitasi dan pertumbuhan tak terbatas adalah syarat utama, “nyawa dan napas hidup” bagi kelangsungan kapitalisme itu sendiri.

Dawson menyoroti bagaimana kapitalisme hijau, yang berusaha menawarkan solusi berbasis pasar terhadap masalah lingkungan, sebenarnya kontradiktif. Konsep ini, meskipun mengklaim sebagai solusi terhadap krisis ekologis, justru memperlihatkan ketidakmampuan untuk menciptakan perubahan struktural yang sesungguhnya. Dengan ilusi–ilusi ekologis, kapitalisme hijau sering kali hanya mengubah cara eksploitasi alam tanpa mengurangi skala atau intensitasnya—sebuah praktik yang pada akhirnya mempertahankan atau bahkan memperburuk ketimpangan lingkungan juga sosial.

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.


Ekososialisme dan gerakan anti-kepunahan

Masalah ekologi yang terus berkembang dewasa ini memang dapat dilihat dari berbagai perspektif, namun untuk menemukan solusi yang efektif dan mendedahkan akar permasalahan secara struktural, perlu pemahaman yang objektif dan berbasis pada fakta. Hal ini juga menuntut pertanyaan penting mengenai apakah manusia secara kolektif bertanggung jawab atas kerusakan ekologis yang terjadi atau hanya sebagian saja. Aktivis lingkungan Naomi Klein, tidak ragu untuk menyalahkan ekonomi kapitalisme sebagai penyebab utama kerusakan ekologis, terutama dalam hal darurat lingkungan. Dia kemudian menawarkan solusi melalui konsep Green New Deal (GNP), yang mengilhami wacana ekonomi hijau.

Bahwa kapitalisme sebagai penyebab utama krisis kepunahan juga diutarakan Dawson. Dia kemudian menyatakan berbagai upaya untuk menangani krisis kepunahan sering kali gagal menjawab masalah secara sistemik. Salah satu aspek kritik Dawson terhadap konservasi arus utama adalah bahwa pendekatan modern sering kali tidak cukup berani dalam menghadapi ancaman nyata terhadap keanekaragaman hayati. Dawson mengkritik proyek-proyek konservasi yang terlalu terfokus pada penyelamatan spesies tertentu melalui tindakan yang terisolasi tanpa menyentuh akar permasalahan, yakni sistem kapitalisme itu sendiri. Lebih jauh, pendekatan konservasi ini sering kali menjadi alat untuk menciptakan kategori-kategori tertentu tentang siapa yang berhak mengelola wilayah konservasi tanpa memperhitungkan hak-hak masyarakat adat yang kerap dikecualikan dari proses tersebut.

Gagasan konservasi ala neoliberalisme saat ini lebih berfokus pada penanganan gejala kepunahan, seperti perlindungan satwa atau zona konservasi, tetapi tidak berani menyasar penyebab fundamental dari kehancuran ekologis ini. Banyak inisiatif atau respons terhadap krisis ekologis sering didanai oleh aktor-aktor yang justru merupakan pelaku utama perusakan lingkungan. Perusahaan besar yang berkontribusi pada perubahan iklim dan hilangnya habitat sering kali menggunakan konservasi sebagai cara untuk memperbaiki citra publik mereka—praktik yang dikenal sebagai greenwashing. Contoh yang jelas adalah bagaimana Amerika, yang hanya mewakili 5% dari populasi dunia, melepaskan 25% emisi karbon global tetapi enggan untuk bertanggung jawab secara menyeluruh atas kerusakan yang terjadi. 

Gagasan politik hijau yang sering diusung sebagai agenda global, menurut Dawson, adalah strategi rezim kapitalisme untuk menciptakan ruang bisnis baru dan mengomodifikasi krisis ekologis ini, agar produksi kapitalistik tetap berjalan. Ini adalah bentuk transformasi kapitalisme yang berusaha beradaptasi dan bersiasat, yang dalam bahasa Dawson disebut sebagai green capitalism atau biocapitalism.

Pendekatan radikal Dawson menekankan bahwa konservasi dan krisis lingkungan tidak dapat diselesaikan tanpa memutus rantai eksploitatif yang mengikat kapitalisme dengan kerusakan lingkungan. Dengan kata lain, upaya konservasi yang tidak mempertanyakan atau menghadapi kapitalisme hanya akan berakhir dengan kegagalan, karena mereka tidak menyentuh akar masalah yang sesungguhnya. Urgensi untuk keluar dari krisis ini sangat penting, dan Dawson berpendapat bahwa solusi tidak dapat ditemukan dengan hanya menyerukan perubahan perilaku individu atau penerapan teknologi hijau. Sebaliknya, solusi sejati hanya dapat dicapai dengan membongkar sistem kapitalisme itu sendiri, yang selama ini menjadi penyebab utama kehancuran ekologi.

Dawson mengadvokasi ekososialisme sebagai jalan keluar dari krisis ini. Ekososialisme, menurut Dawson, menggabungkan perjuangan sosialisme untuk keadilan ekonomi dengan kesadaran ekologi yang mendalam. Ini mencakup upaya untuk menghentikan pertumbuhan ekonomi yang tak terbatas (degrowth) dan menuntut pengalihan kekuasaan dari korporasi dan elite ekonomi kepada rakyat, untuk membangun sistem ekonomi yang berlandaskan pada prinsip keberlanjutan ekologis dan solidaritas sosial. Dawson menekankan pentingnya perlawanan kolektif dan perubahan struktural, serta menolak ide-ide individualistis mengenai tanggung jawab lingkungan yang sering muncul dalam wacana arus utama. Dengan demikian, solusi terhadap krisis ekologis harus bersifat radikal dan sistemik, mengubah struktur sosial dan ekonomi yang mendasari kerusakan planet ini.

Namun, gagasan tentang ekososialisme tentu tidak lepas dari kritik. Beberapa orang mungkin mempertanyakan kepraktisan perubahan sistemik yang begitu besar dalam konteks politik dan ekonomi global yang sangat kompleks. Apakah mungkin, dalam waktu singkat, meyakinkan masyarakat global untuk beralih ke ekososialisme, terutama di tengah dominasi kapitalisme neoliberal? Selain itu, bagaimana transisi ini dapat diterapkan di negara-negara berkembang yang masih sangat bergantung pada eksploitasi sumber daya alam untuk pertumbuhan ekonomi, termasuk Indonesia?


Abdillah Akbar adalah mahasiswa Antropologi Universitas Gadjah Mada.

]]>