Gerakan Sosial – IndoPROGRESS https://indoprogress.com Media Pemikiran Progresif Sat, 14 Jun 2025 07:47:28 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.4.3 https://indoprogress.com/wp-content/uploads/2021/08/cropped-logo-ip-favicon-32x32.png Gerakan Sosial – IndoPROGRESS https://indoprogress.com 32 32 Rizomatik sebagai Taktik? https://indoprogress.com/2025/06/rizomatik-sebagai-taktik/ Fri, 13 Jun 2025 20:58:05 +0000 https://indoprogress.com/?p=239003

Ilustrasi: Illustruth


TIDAK ada orang waras yang tidak gelisah melihat kondisi Indonesia saat ini. Pemerintahan Prabowo-Gibran secara vulgar menyatakan hendak mengakui eksistensi penjajah dan pelaku genosida Israel, supremasi sipil kian jauh panggang dari api, represi aparat semakin banal, eksploitasi-perampokan alam atas nama pembangunan, kian panjangnya barisan penganggur, dan seterusnya. Kita, sebagai warga yang sadar hak, tidak tinggal diam. Kita memprotes, berdemonstrasi, atau paling minimal bawel di media sosial. Tapi, mengapa seperti tidak ada yang berubah? Malah, yang lebih parah, mengapa yang kita temukan di depan seolah hanyalah kabut asap yang kian tebal? Apa yang kurang? Mengapa penindasan dan eksploitasi terlihat lebih langgeng daripada gerakan perlawanan? 

Dalam situasi seperti ini, menurut kami, penting bagi kita untuk duduk sejenak memikirkan tentang gerakan sosial itu sendiri. Memang mudah menunjuk hidung aktor-aktor kekuasaan–pemerintah, kapitalis, oligarki, sebutlah mereka semua—sebagai penyebab dari apa yang terjadi saat ini. Tidak ada yang keliru dari itu; memang demikianlah adanya. Namun, itu tidak cukup. Kita harus melihat ke dalam; berefleksi mengenai bagaimana cara berlawan selama ini sehingga para penguasa lalim seperti tidak ada takut-takutnya untuk melakukan apa saja. Semua saling terhubung sehingga mengabaikan satu hal hanya berujung pada jalan buntu. 

Artikel ini akan membicarakan tentang hal tersebut, dengan titik berangkat pada konsep yang sedang ramai dibicarakan dalam beberapa tahun terakhir (dan kian sering muncul beberapa waktu belakangan): gerakan rizomatik atau rimpang. Posisi kami terhadap itu, sebelum dielaborasi lebih jauh, adalah: gerakan rimpang saja tidak cukup, ia perlu dilanjutkan dengan gerakan terorganisir yang terpimpin, terstruktur dan tidak cair. Jika tidak, gerakan ini tidak akan membawa kita ke mana-mana selain ke kekecewaan satu ke kekecewaan lainnya; kekalahan sekarang ke kekalahan berikutnya.


Apa itu Gerakan Rimpang?

Beberapa penulis menggambarkan gerakan sosial saat ini, terutama ketika variabel media sosial masuk sebagai alat memperbesar pengaruh dan gaung, mengambil ciri tumbuhan rizomatik atau rimpang. Salah satunya artikel di Tempo yang tayang awal bulan lalu, kemudian yang lebih elaboratif terbit di Palgrave Macmillan pada Juni 2024. Selain sekadar mendeskripsikan situasi kontemporer, penulis-penulis lain bergerak lebih jauh, menganggap hal ini sebagai ideal dan oleh karena itu semestinya “perlu terus didorong… agar terus menjalar dan mengakar kuat guna merawat gerakan prodemokrasi,” mengutip artikel di The Conversation. Pun dengan artikel terakhir di media ini, Indoprogress, yang menyatakan bahwa dalam situasi berbahaya seperti sekarang, perlawanan sehari-hari, kecil-kecilan, yang dilakukan kita semua “akan menciptakan jaringan gerakan kolektif yang rizomatik” yang “ketahanannya dapat diuji kala vis-a-vis dengan rezim.” Tiga tahun lalu, kanal ini juga membahas bahwa karakter rimpang dapat dipakai untuk “mengembangkan gerakan buruh.” 

Jadi, apa itu gerakan rimpang? Karya pertama dan utama yang membahas tentang gerakan rimpang adalah A Thousand Plateaus: Capitalism and Schizophrenia, dari duo filsuf Prancis, Gilles Deleuze dan Félix Guattari, yang terbit pertama kali pada 1980, kemudian versi bahasa Inggrisnya tujuh tahun kemudian. Kami kutip beberapa kalimat penting secara utuh. “…any point of a rhizome can be connected to anything other, and must be. This is very different from the tree or root, which plots a point, fixes an order” (hlm. 7). Kemudian, “…unlike trees or their roots, the rhizome connects any point to any other point, and its traits are not necessarily linked to traits of the same nature; … It is composed not of units but of dimensions, or rather directions in motion. It has neither beginning nor end, but always a middle (milieu) from which it grows and which it overspills” (hlm. 21). Lalu, yang terakhir agar tidak terlalu panjang, “The tree is filiation, but the rhizome is alliance, uniquely alliance. The tree imposes the verb ‘to be’, but the fabric of the rhizome is the conjunction, ‘and… and… and…’” (hlm. 25). 

Perlu ditekankan bahwa mereka tidak membahas konsep rimpang sebagai biomimikri untuk gerakan sosial saja. Pembahasan tentang itu malah bukan yang utama dari buku tersebut. A Thousand Plateaus lebih menawarkan kerangka konseptual secara luas, bukan semacam panduan langsung; seperti buku “how-to”. Ia mencakup banyak hal lain termasuk politik pengetahuan, karya sastra (keduanya pertama kali mengetengahkan konsep “rimpang” ketika mengomentari novel dan cerita pendek Franz Kafka pada 1975), dan cara berpikir. Bahkan, A Thousand Plateaus juga ditulis dengan cara rimpang, tidak linier, sehingga dapat dibaca dari banyak titik. Namun, sampai sini bisa disimpulkan bahwa pada dasarnya apa yang dimaksud gerakan rimpang adalah gerakan yang tidak hierarkis, cair, tidak terikat tapi terhubung satu sama lain alias otonom

Dari definisi tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa alih-alih sebagai sesuatu yang kontemporer—“model gerakan baru” kata penulis Tempo; “new youth movement” menurut judul bab buku terbitan Palgrave Macmillan; dan sejak “ramainya penggunaan media sosial” di The Conversation—pelabelan “rimpang” pada gerakan sosial sekarang justru menunjukkan bahwa kita tidak belajar dari sejarah, dan karena itu, sialnya, selalu kalah. Gerakan sosial yang tanpa hierarki, cair, tidak terikat, otonom, tidak dimulai sejak beberapa tahun ke belakang, atau ketika media sosial mulai dipakai untuk aktivisme, melainkan sejak Orde Baru berdiri. Setelah Partai Komunis Indonesia (PKI) dibantai sampai ke anak cucunya, gerakan di Indonesia secara umum selalu merupakan gerakan yang mengambil bentuk rimpang

Buku Edward Aspinall, Opposing Suharto (2005), dengan baik menggambarkan bagaimana situasi perlawanan terhadap sang tiran medioker selama puluhan tahun dia berkuasa. Di sana tergambar kelompok oposisi (dengan derajat kekeraskepalaan masing-masing) yang berserakan dan tidak saling terhubung satu sama lain. Ya, rimpang itu tadi, bedanya labelnya belum ada. Secara umum ada empat kategori oposisi di era Orde Baru (hlm 6-9). Pertama, mobilizational opposition, kelompok yang secara eksplisit mau mengganti rezim dan mengandalkan massa; kedua, semi opposition, mereka yang mencoba mengubah dari dalam dan paling umum di masa itu; ketiga, alegal opposition, diasosiasikan kepada individu berani dan vokal, para pembangkang, tapi biasanya sekadar memberikan khotbah moral kepada rezim agar berubah menjadi lebih baik; dan terakhir adalah proto opposition, yang nama lainnya adalah organisasi masyarakat sipil. Menurut Aspinall, semua aktivisme mereka menghasilkan “multi fronted battle”. Mereka pada akhirnya terhubung satu sama lain dengan cara “learn from, and compete with, one another” (hlm 11). 

Mengatakan bahwa gerakan sosial yang ada sekarang sebagai sebuah hal yang baru berimplikasi pada munculnya harapan bahwa itu akan berbuah sesuatu, sebab ia dianggap tidak ada sebelumnya, atau minimal berbeda dari yang sudah-sudah. Ada rasa optimistis di dalamnya. Harap-harap cemas, kata judul televisi tempo dulu. Namun, harapan ini sebenarnya menyesatkan. Ia adalah hasil dari tidak adanya pemahaman historis yang utuh. Media sosial memang berperan besar, katakanlah, dalam 10-15 tahun terakhir. Tapi keberadaannya dalam gerakan hanya menandakan medium baru, satu variabel tambahan, bukan bentuk apalagi prinsip baru. Pola gerakan sosial yang cair, informal, dan terpisah-pisah sudah lama merupakan kenyataan sosial masyarakat kita dan justru karena itu semestinya kita melihatnya kembali lebih dalam. Memberi label “baru” pada sesuatu yang sudah ada lama sekali justru menandakan kita jalan di tempat, sementara musuh kian canggih belaka. Tidak heran kalau dari berbagai indikator Indonesia semakin mundur alih-alih kian demokratis.


Implikasi Gerakan Rimpang dan Lalu Apa?

Meski menganggap gerakan rimpang bukan hal baru, kami memahami mengapa itu seolah tampak menjadi harapan. Salah satunya karena apa yang kita lihat sekarang seperti kebuntuan, termasuk kian meningkatnya ignorance/ketidaksadaran sebagian besar masyarakat terhadap situasi sosial-politik saat ini. Kami mengakui bahwa gerakan rimpang berdampak setidaknya pada peningkatan kesadaran mengenai masalah-masalah sosio-politik yang terjadi. Berbagai isu berkali-kali ramai dulu di media sosial, baru kemudian memicu gelombang protes dan perlawanan. Namun, perlu diakui pula bahwa peningkatan kesadaran ini masih terjadi di lingkup yang sangat terbatas, atau cenderung berada di seputar “bubble” para pegiat gerakan rimpang itu sendiri. 

Ini dibuktikan, misalnya, melalui kemenangan Prabowo-Gibran sebesar 58% pada Pemilu 2024 lalu. Ketika salah satu dari kami melakukan riset di sebuah kabupaten di Jawa tengah, seorang buruh perempuan, masih sangat muda, dengan entengnya mengatakan bahwa dia memilih Prabowo hanya karena dari media sosial terlihat mantan Danjen Kopassus itu lucu—sebuah citra yang, kita semua tahu, difabrikasi oleh mesin kampanye yang duitnya tidak terbatas. Sang buruh perempuan mengonsumsi konten-konten seperti itu di kamar kost-nya yang sempit selepas seharian bekerja. Algoritma akun media sosialnya tidak membawanya pada “pencerahan-pencerahan” dari para influencer/pemengaruh gerakan. Prabowo-Gibran, menurut sejumlah riset, memang paling populer di media sosial. Gerakan rimpang tidak terbukti cukup ampuh mengalahkan gerakan terstruktur para politisi borjuis yang tergabung dalam gerbong Prabowo-Gibran.

Sebagai pihak yang pernah terlibat di organisasi terpimpin-terstruktur selama bertahun-tahun, kami juga sedikit banyak memahami mengapa bentuk gerakan rimpang tampaknya lebih dipilih sebagai saluran “aktivisme” banyak orang. Gerakan rimpang adalah antitesis dari gerakan yang lebih terorganisir dan lebih terpimpin. Selain cenderung lebih sederhana, tidak terikat tanggung jawab yang rigid, gerakan rimpang dapat dibentuk dengan kerja-kerja perawatan yang lebih minim dibandingkan dengan yang disebutkan pertama. Bergabung ke organisasi yang terstruktur dan terpimpin membutuhkan komitmen yang kadang lebih besar dari yang bisa ditanggung. Di masa sekarang ini, siapa yang mau capek, bertungkus lumus berorganisasi, tekun menghimpun dalam keseharian, sementara mengajak bergerak via media sosial sering kali dirasa cenderung efektif juga? 

Belum lagi fakta bahwa organisasi terstruktur yang dibangun dari hasil pengorganisiran sehari-hari pun tak jarang memiliki banyak masalah. Mulai dari “ngabers” yang merupakan simtom dari minimnya nilai-nilai feminisme, tidak adanya pembagian kerja yang adil, ketiadaan kerja perawatan kolektif, dan sebagainya. Setidaknya, dari pengalaman kami, organisasi punya cita-cita luhur mewujudkan masyarakat yang adil dan setara, tetapi relasi sosial para anggotanya (atau kader) itu sendiri bermasalah. Dalam hal ini, artikel di Majalah Sedane menarik untuk disimak. Penulis menggambarkan bagaimana generasi muda kian tidak tertarik bergabung ke serikat buruh meski kian hari hidup mereka semakin rentan. Alasan yang dikemukakan di antaranya karena serikat buruh itu kaku, tidak menjalankan fungsi advokasi padahal itulah raison d’être mereka dan sekadar meminta iuran, bahkan oligarkis (pemimpinnya itu-itu saja, tidak ada kaderisasi, nondemokratis). Memang, idealnya masalah itu bukan malah dijauhi tapi diselesaikan secara internal. Tapi bicara jelas lebih mudah dibanding mempraktikannya. Terlebih, menyelesaikan berbagai masalah di organisasi tak jarang memerlukan “pertarungan internal” panjang dan membutuhkan ketahanan ekstra. Pada akhirnya, seperti yang sering kami dengar dan bahkan kadang saksikan sendiri, ada saja aktivis yang memutuskan keluar tak hanya dari organisasi tapi sekaligus dari “gerakan” karena demoralisasi. 

Bukan berarti gerakan rimpang bebas dari masalah yang sama. Hanya saja, cairnya gerakan ini membuat masalah menjadi relatif lebih mudah diselesaikan. Para pegiat gerakan rimpang bisa keluar atau mundur kapan saja tanpa harus melewati proses atau mendapatkan konsekuensi yang lebih rumit dibandingkan dengan yang ada di organisasi yang lebih terstruktur. Atau, dan ini cukup banyak contohnya beberapa tahun terakhir, jika subjek yang terlibat dalam gerakan ternyata membuat masalah, orang lain tinggal melakukan tekanan di media sosial, meng-cancel-nya, dan yang bersangkutan pun biasanya tidak punya pilihan lain selain mundur dan menghilang. Tidak ada konsekuensi lanjutan lagi.

Selain soal kapasitas subjektif (lelah, demoralisasi, merasa sia-sia, dan sejenisnya), ada juga faktor struktural yang membuat lebih banyak orang tertarik dengan gerakan rimpang alih-alih masuk ke dalam aktivisme pengorganisiran yang lebih terstruktur dan terpimpin. Neoliberalisme membuat kita, warga negara, kelas pekerja, semakin teratomisasi, memperparah keadaan depolitisasi yang merupakan warisan Orde Baru selama puluhan tahun. Kita memang terdisorganisasi. Itu tidak bisa dielakkan. Belum lagi legislasi seperti UU Cipta Kerja yang semakin mengerdilkan peran serikat, misalnya, dalam hal penentuan upah dan perundingan dengan pengusaha. Di sisi lain, ada saluran “mudah” bernama media sosial. Kita, orang-orang yang frustrasi dengan keadaan, menyalurkan semua kemarahan ke sana. Jadi, sekali lagi, untuk apa bersusah melibatkan diri dalam pengorganisiran terpimpin yang terstruktur jika kita dapat sesuka hati mempersepsikan setiap apa yang kita anggap “perlawanan kecil-kecilan-keseharian” sebagai “tindakan revolusioner”

Ketiadaan struktur dan pengorganisiran yang rapi akan menyebabkan gerakan rimpang harus terus mengulang membangun gerakannya. Oleh karena itu, pernyataan bahwa jaringan rizomatik “ketahanannya dapat diuji kala vis-a-vis dengan rezim” sebetulnya kurang akurat. Bagaimanapun, bagi kami, membangun gerakan dengan struktur yang kuat yang ditopang oleh pengorganisiran tekun yang terpimpin sehari-hari adalah krusial. Perlawanan sehari-hari yang kita lakukan pada akhirnya perlu dipimpin oleh tujuan yang terukur. Tujuan-tujuan yang dibentuk melalui berbagai manifesto, misalnya, tentu hanya dapat diwujudkan melalui struktur perlawanan yang tidak cair, tidak leaderless

Imajinasi tentang “tujuan” itu sendiri hanya mungkin lewat gerakan pengorganisiran yang terpimpin. Sulit membayangkan itu tercipta di luarnya (tentu “tujuan” itu sendiri perlu pendiskusian lebih lanjut, dan bukan di artikel ini tempatnya). Hal ini sekaligus mempertebal tesis kami sebelumnya, bahwa gerakan rimpang bukan baru muncul akhir-akhir ini. Selama ini, kalau kita mau terbuka mengakui, yang dilakukan oleh gerakan sosial lebih bersifat defensif, dalam arti sekadar mempertahankan apa yang sudah ada meski sebenarnya juga tidak selamanya baik (kita misalnya tidak bisa mengatakan bahwa UU Ketenagakerjaan lebih bagus dibanding UU Cipta Kerja, sebab dari sanalah sistem kerja kontrak dan alih daya dibenarkan). Akibatnya seperti sekarang: apa yang sering disebut sebagai “pencapaian” Reformasi pelan-pelan dikebiri satu per satu sampai tak tersisa, sebab apa yang kita lawan adalah sistem yang sangat terorganisir. Dalam beberapa kasus, kita tidak mengalami “kemenangan” tapi sekadar “menunda kekalahan”. 

Sifat gerakan rimpang yang leaderless menurut kami juga berisiko pada terjerumusnya gerakan perlawanan ke dalam jurang individualisasi. Sifat leaderless dari gerakan rimpang akhirnya membuatnya bertopang kepada para pemengaruh di media sosial. Menjadi pemengaruh tentu bukanlah hal yang salah; kita telah melihat banyak kegunaannya. Namun, penting pula untuk mengakui keterbatasan dari tren ini. Tren pemengaruh yang tidak ditopang oleh struktur perlawanan dan pengorganisiran yang kuat, yang leaderless, bisa menjadi jebakan bagi gerakan perlawanan itu sendiri. Jebakan ini, dapat kita lihat, misalnya, ketika beberapa lalu warganet dengan heboh mempertanyakan “menghilangnya” seseorang yang dapat dikatakan sebagai pemengaruh besar di gerakan rimpang saat ini pada beberapa isu politik. Fenomena ini persis menunjukkan letak jebakan dari tren pemengaruh dalam gerakan perlawanan: ia membuat kita lupa bahwa tiap-tiap dari kita punya kemampuan agensi yang sama di dalam struktur politik yang menindas dan mengeksploitasi ini. 

Bahkan sebagian dari kita memiliki kekuatan agensi yang lebih besar dari yang lain. Kelas buruh yang berada di jantung produksi kapitalisme, misalnya, memiliki structural power/kekuatan struktural yang lebih besar dibandingkan dengan mereka yang mengerjakan bullshit jobs di ruang-ruang kantor. Sejarah membuktikan bagaimana para pekerja dengan structural power yang sangat kuat terorganisir lalu bergerak dalam gerakan terstruktur dan terpimpin mampu mewujudkan berbagai tuntutan serta tujuan politik di seluruh dunia. Belum lagi soal associational power/kekuatan asosiasional. Kekuatan sebuah organisasi gerakan—seperti serikat pekerja atau organisasi komunitas—dapat benar-benar terlihat ketika ia memiliki struktur perlawanan yang kuat, tidak leaderless, apalagi cair.

Pada akhirnya memang harus diakui bahwa gerakan rimpang dapat membangun kultur perlawanan di tengah masyarakat meski cakupannya masih terbatas. Namun ia tidak bisa berhenti di sana saja. Gerakan tersebut semestinya menjadi langkah atau taktik awal untuk kemudian didorong maju ke gerakan yang lebih terstruktur, terpimpin, dan terorganisir. Dalam observasi kami yang terbatas, sering kali, gerakan rimpang ini terbentuk di tingkat aliansi dan bukan organisasi gerakan itu sendiri. Sehingga, sebetulnya, di sinilah letak pekerjaan rumah yang perlu diselesaikan: mengorganisir secara terpimpin dan tekun dalam keseharian, dengan tujuan perlawanan yang jelas, serta di berbagai tingkat/struktur perlawanan sembari menyelesaikan masalah-masalah di tubuh organisasi seperti, sekali lagi, “ngabers”, ketiadaan pembagian kerja yang adil, ketiadaan kerja perawatan kolektif, dan sebagainya. ***


Fathimah Fildzah Izzati – PhD Candidate di SOAS University of London dan editor Indoprogress; Rio Apinino – editor Indoprogress

]]>
Merebut Kebenaran dari Penguasa melalui Aktivisme Digital https://indoprogress.com/2025/06/merebut-kebenaran-dari-penguasa-melalui-aktivisme-digital/ Sun, 08 Jun 2025 14:52:00 +0000 https://indoprogress.com/?p=238989

Ilustrasi:Jonpey


AKTIVISME digital adalah alternatif perlawanan terhadap monopoli kebenaran penguasa. Istilah ini merujuk pada aksi-aksi yang dilakukan di ruang media sosial dalam bentuk daring ataupun saduran dari praktik aktivisme di dunia nyata. Ia muncul karena dunia telah bertransformasi ke dalam ruang digital. Seluruh kegiatan manusia terhubung satu sama lain di dalam ruang digital yang memainkan peran penting di dalam perebutan monopoli kebenaran oleh penguasa di dunia, tidak terkecuali Indonesia.

Sebagai pengguna media sosial terbesar nomor empat di dunia, ruang digital Indonesia selalu dipenuhi dengan aktivisme digital. Sebuah penelitian berjudul  “Kampanye Aktivisme Digital (2016-2021)” oleh Fajar, dkk menemukan bahwa selama 2019-2021 terdapat 3.873 aktivisme digital di Indonesia. Topik yang dibicarakan meliputi lingkungan, politik, HAM, kesetaraan gender, ketidaksetaraan ekonomi, kesehatan, pemuda, teknologi digital, serta isu-isu lain. Aktivisme digital tersebut dikemas dalam berbagai bentuk seperti membagi tips dan informasi, protes daring, petisi daring, mobilisasi aksi luring, dan lain-lain.

Pada tahun 2020, pemerintah Indonesia mengeluarkan paket kebijakan Omnibus Law. Kebijakan ini menuai protes karena terdapat perubahan upah minimum lokal, perizinan mempekerjakan pekerja asing, pembatasan dalam penyusunan analisis dampak lingkungan. dan kesempatan menggugat izin lingkungan. Berbagai protes dilayangkan oleh masyarakat melalui media sosial. Dengan menggunakan tagar #TolakOmnibusLaw #MosiTidakPercaya, warganet terus meramaikan media sosial. Bahkan aktivisme digital berubah menjadi aksi di dunia nyata dalam bentuk demonstrasi di kota besar seperti Semarang, Bandung, Banten, Surabaya, Makassar dan Jakarta.

Pada tahun 2024, media sosial Indonesia dihebohkan oleh tagar #KawalPutusanMK. Tagar tersebut merupakan respons masyarakat terhadap keputusan Mahkamah Konstitusi tentang ambang batas dan usia calon wakil kepala daerah yang hendak direvisi oleh badan legislatif DPR. Berdasarkan analisis Drone Emprit, isu ini dibahas di 247 artikel dan 70.299 mention hanya di Twitter/X saja. Rakyat juga turun ke jalan mengawal keputusan tersebut. Hasilnya, DPR tidak jadi merevisi keputusan tersebut dan Keputusan MK digunakan sebagai acuan Pilkada 2024. Ini menunjukkan bahwa aktivisme digital efektif untuk melawan monopoli kebenaran penguasa.

Kebenaran tidak datang dari langit, tetapi kebenaran dibentuk oleh kekuasaan. Foucault meyakini bahwa kebenaran yang selama ini kita pahami adalah produksi kekuasaan; kekuasaan berada di setiap lini kehidupan manusia, tidak hanya terbatas pada kekuasaan politik saja. Dalam bukunya the History of Madness, Foucault membedah kekuasaan yang dimiliki oleh rumah sakit—rumah sakit “gila”—untuk menentukan suatu kebenaran tentang kegilaan pasien. Kekuasaan tersebut menentukan kebenaran mulai dari siapa saja yang dianggap gila, bagaimana harus diperlakukan, hingga menentukan apakah pasien boleh kembali ke masyarakat.

Kekuasaan juga menentukan kebenaran pengetahuan. Pengetahuan sering kali dipahami sebagai sesuatu yang bebas nilai dan objektif. Dengan tegas, Foucault menolak pandangan itu. Pengetahuan baginya tidak pernah terbebas dari kekuasaan dan kepentingan. Joseph Rouse berpendapat jika kekuasaan berperan pada kebenaran pengetahuan melalui dua jalan, jalan kekuasaan politik dan kekuasaan epistemik. Jalan kekuasaan politik memberi ruang kepada penguasa—pemerintah negara—untuk menentukan pandangan yang benar dan salah. Cara yang lazim digunakan adalah dengan mekanisme sensor, tetapi dewasa ini metode yang digunakan oleh penguasa lebih halus seperti menyewa buzzer untuk menggiring opini.

Jalan kedua adalah jalan epistemik, pada jalan ini lembaga penelitian seperti universitas atau institusi lainnya berperan sebagai penentu sebuah hal dapat dikatakan ilmiah atau tidak. Penentuan universitas atau lembaga penelitian tidak terlepas dari manusia modern terdidik yang menilai universitas atau lembaga penelitian memiliki kekuasaan—tidak terlepas dari kebenaran yang dibentuk oleh penguasa dan diamini oleh manusia modern—untuk menentukan kebenaran ilmiah. Kedua jalan tersebut bekerja beriringan untuk mengkonstruksikan sebuah pengetahuan kebenaran yang akan diyakini oleh masyarakat. Sebaliknya, apabila proses konstruksi pengetahuan kebenaran memproduksi sebuah hal yang dianggap kesalahan, masyarakat akan menganggap itu sebagai sebuah kesalahan mutlak.

Kekuasaan dapat terus berjalan dan berkuasa karena ada kebenaran yang dimenangkan di dalamnya, sehingga dapat mengendalikan kelompok masyarakat yang dikuasainya. Dalam pembentukan kebenaran tersebut, kekuasaan menggunakan wacana/diskursus untuk meyakinkan terhadap kebenaran. Wacana tersebut merupakan sebuah praktik dan pernyataan yang membentuk objek yang dibicarakan, seperti pada diskursus kegilaan yang memunculkan anggapan orang gila adalah orang sakit yang harus dirawat hingga terciptanya rumah sakit jiwa.

Indonesia memiliki contoh kekuasaan membentuk kebenaran melalui wacana ketika zaman Orde Baru. Pada saat itu, kekuasaan di bawah rezim Soeharto menilai bahwa pertumbuhan penduduk yang sangat cepat harus segera diantisipasi. Pertumbuhan itu sendiri salah satu penyebabnya adalah anggapan “banyak anak banyak rezeki”. Orde Baru mulai membuat program yang bernama “Keluarga Berencana”. Karena program ini adalah program baru, maka berbagai kampanye dilakukan dengan masif. Kampanye tersebut berbentuk slogan, lagu, panggung hiburan, hingga perangko berseri KB. Hasilnya, program tersebut diikuti oleh 15,3 juta penduduk dari 1970-1986.

Hingga sekarang, program tersebut masih ada dan dianggap sebagai sebuah kebenaran untuk bisa menekan laju pertumbuhan penduduk. Program tersebut bertahan bukan hanya efektivitasnya, tetapi karena strategi komunikasi penguasa yang membentuknya sebagai kebenaran yang diterima masyarakat. Penguasa terus menyebarkan wacana bahwa memiliki banyak anak akan menghambat pembangunan melalui media yang mereka kuasai. Tidak ada ruang bagi narasi lain untuk menentang narasi ini hingga dianggap sebagai sebuah kebenaran oleh masyarakat selama puluhan tahun.

Saat ini, penguasa menggunakan ruang digital untuk mengendalikan kebenaran. Berbagai kampanye dan propaganda dibuat untuk mendukung sebuah kebijakan yang belum tentu akan bermanfaat kepada rakyat. Pemerintah menggunakan buzzer yang bekerja untuk memengaruhi pengguna media sosial lainnya agar mendukung kebijakan yang mereka keluarkan.

Pemerintah Indonesia mempekerjakan influencer untuk melakukan sosialisasi program pemerintah. Influencer dengan pengikut yang banyak tentunya akan lebih efektif dalam memengaruhi opini masyarakat untuk mendukung kebijakan pemerintah, tidak peduli apakah kebijakan tersebut menguntungkan atau merugikan rakyat. Bahkan Indonesia Corruption Watch (ICW) melaporkan pemerintah Indonesia mengalokasikan dana sebesar Rp90,45 miliar atau sekitar $5.5 juta untuk membayar influencer.

Menyadari pentingnya media untuk mengendalikan kebenaran, pada 22 Februari 2025 lalu, Prabowo Subianto mengumpulkan pemimpin redaksi dan jurnalis di Hambalang. Ia berdalih tujuan kegiatan itu adalah mengajak mereka berdiskusi terkait isu dan kebijakan strategis, karena media menjadi garda terdepan dalam menyampaikan informasi kepada masyarakat. Lebih menariknya, pertemuan tersebut dilakukan satu hari setelah demonstrasi bertajuk “Indonesia Gelap” yang mengkritik kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah Prabowo seperti Makan Bergizi Gratis dan efisiensi anggaran di sektor penting. Adanya pertemuan tersebut menandakan pemerintah ingin menguasai media untuk mengendalikan kebenaran yang beredar di masyarakat.

Pada era digital, penguasa tetap memainkan peran sebagai pencipta kebenaran untuk melanggengkan kekuasaannya dengan cara-cara yang lebih modern dan halus. Monopoli kebenaran oleh penguasa akan berdampak buruk kepada rakyat. Kebijakan yang sebenarnya jelek bisa ditampilkan menjadi kebijakan yang bagus melalui cara-cara yang telah disebutkan di atas. Apabila kebenaran tersebut tidak direbut, maka penguasa akan semakin sewenang-wenang dalam membuat kebijakan, menindas rakyat, dan menguntungkan oligarki mereka.

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.

Jika di era Orde Baru wacana dikendalikan melalui media konvensional yang dikendalikan penguasa, di era digital kebenaran menjadi arena perebutan antara penguasa dengan rakyat. Rakyat bisa merebut kebenaran yang dimonopoli oleh penguasa dengan membentuk wacana tandingan baik di ruang digital ataupun di dunia nyata.

Foucault merumuskan bentuk perlawanan yang dinamakan Battle for Truth (di dalam buku Power/Knowledge Foucault menyebutnya dengan production of truth) untuk menandingi dominasi pembuat kebenaran utama. Penguasa dengan semua sumber daya yang dimilikinya memproduksi terus-menerus kebenaran untuk diyakini dan diamalkan oleh masyarakat hingga membentuk rezim kebenaran. Mereka terus mengatur apa yang boleh dikatakan dan tidak boleh dikatakan, siapa yang boleh berbicara, apa yang dianggap benar atau salah, dan siapa yang boleh menentukan kebenaran. Masyarakat diperankan sebagai objek untuk terus melanggengkan kekuasaan mereka melalui kebenaran yang diproduksi, kebenaran yang diyakini dan diamalkan oleh masyarakat akan mengamankan kekuasaan dan membuat mereka terus berkuasa.

Battle for Truth atau pertarungan kebenaran merupakan sebuah ide untuk melawan dominasi narasi kebenaran oleh penguasa. Ide ini didasarkan pada pemahaman bahwa kebenaran tidak murni hasil dari pemikiran tanpa nilai, tetapi dikonstruksi oleh institusi. Karena kebenaran tidak berdiri sendiri, siapapun dapat memproduksi kebenaran—tidak hanya penguasa. Oleh karena kebenaran bisa diproduksi oleh siapapun maka ide Battle for Truth, menggunakan cara aktivisme digital untuk memproduksi kebenaran, yang diajukan Foucault relevan untuk melawan dominasi penguasa di era digital.

“Di mana ada kekuasaan, di situ ada perlawanan.” Kutipan dari Foucault di dalam bukunya The History of Sexuality tampaknya relevan untuk membahas perebutan kebenaran dari penguasa di era digital. Aktivisme digital menjadi alternatif untuk melawan monopoli kebenaran penguasa. Melalui ruang digital gerakan rakyat tidak dibatasi oleh penguasa untuk merebut kebenaran tersebut, rakyat dapat menyebarkan ke seluruh dunia dan mengajak seluruh elemen untuk mengetahui permasalahan yang terjadi. Apabila dahulu rakyat harus melakukan konsolidasi secara langsung, sekarang hanya dengan membuat hashtag atau fitur “Add Yours” di Instagram sudah dapat mengabarkan bahwa sedang ada permasalahan.

Tindakan rakyat seperti berpartisipasi, berbagi, menghubungkan, dan menyaksikan di media sosial terbukti menjadi kekuatan yang besar untuk merebut makna kebenaran. Tindakan tersebut terakumulasi menjadi aksi nyata baik dalam aktivisme digital ataupun aktivisme di dunia nyata. Ini menjadi modal penting untuk aktivisme di Indonesia ke depan, setelah pada tahun 2021 The Economist Intelligence Unit (EIU) mengeluarkan data bahwa demokrasi Indonesia mengalami penurunan dan terendah dalam 14 tahun terakhir. Apabila hal ini tidak segera ditanggapi bisa saja demokrasi Indonesia akan mengalami kemrosotan terus-menerus, dalam kondisi terburuk mungkin saja era Orde Baru akan kembali.

Gerakan alternatif seperti aktivisme digital, yang telah terbukti efektif dalam merebut kebenaran dari penguasa, menunjukkan harapan untuk demokrasi di Indonesia ke depan.


Ade Putra Suryana adalah peneliti Kajian Kependudukan dan Perubahan Sosial, Lingkar Kajian Kolaboratif (LKK)

]]>
Membangun Gerakan Sosial Baru: Sebuah Usul https://indoprogress.com/2025/03/membangun-gerakan-sosial-baru/ Sun, 23 Mar 2025 14:23:00 +0000 https://indoprogress.com/?p=238859

Ilustrasi: Ilustruth


PENGESAHAN RUU TNI menjadi UU oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), pada Kamis (20/3), menjadi lonceng kekalahan berulang bagi gerakan sosial di Indonesia. Oligarki, sekali lagi, dengan jemawanya mengabaikan dan merepresi suara dan protes rakyat yang menentang rencana pengesahan peraturan tersebut.

Kekalahan kesekian ini mencerminkan betapa lemahnya kekuatan gerakan sosial di Indonesia. Seorang teman menyatakan, “Lemah, sangat lemah.” Para elite bisa demikian percaya diri membangkitkan kembali arwah dwifungsi TNI yang otoriter bukan semata karena mereka korup, pengkhianat, pengecut, atau a-historis, tetapi lebih karena yakin bahwa apa yang dilakukan tidak akan menyebabkan kekuasaannya goyah. Mereka tahu persis kalau perlawanan rakyat akan muncul, tetapi juga tahu, berdasarkan pengalaman sebelumnya, bentuk dan sifat perlawanan tersebut adalah sporadis, terserak-serak, serta tidak memiliki struktur organisasi dan kepemimpinan yang kuat.

Kelemahan gerakan sosial juga terpengaruh oleh situasi di tingkat internasional. Perubahan dalam dinamika ekonomi-politik global yang tengah terjadi tidak memberikan dukungan pada gerakan sosial. Menguatnya gerakan kanan-jauh, terutama yang dipimpin oleh Presiden Amerika Serikat Donald Trump, membuat isu demokrasi dan hak asasi manusia (HAM) tidak menjadi prioritas bagi Gedung Putih. Pembubaran Agen Pembangunan Internasional Amerika Serikat (USAID) adalah sinyal dari perubahan tersebut. Sementara itu, walaupun peran ekonomi Cina semakin besar di Indonesia, tidak ada yang dapat diharapkan darinya dalam hal penguatan demokrasi, karena kebijakan non-intervensi dalam politik domestik negara tempat mereka berinvestasi.

#Gersosgelap ini adalah kenyataan yang mesti kita terima dengan lapang dada. ”Kita kalah”, demikian tulisan yang muncul di laman Facebook saya. ”Aktivisme klik” ternyata tidak memadai. ”Revolusi klik” juga tidak mencukupi. ”Caci maki” tidak menyelesaikan masalah. Setelah berlapang dada menerima kekalahan, saatnya untuk berpikir dan mencari strategi serta taktik baru untuk membangun kekuatan kembali dan memenangkan pertempuran melawan oligarki. Dalam semangat ini, saya ingin mengajukan beberapa usulan.


Pertama, melihat masalah secara totalitas

Dalam menganalisis permasalahan yang terjadi sejak runtuhnya rezim Orde Baru, salah satu hal yang mencolok dalam gerakan sosial adalah perspektif (cara pandang) parsial, yang berfokus pada isu-isu tertentu. Beberapa pihak menganggap bahwa masalah utama adalah korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN); sementara yang lain menyoroti isu militerisme, HAM, atau manipulasi konstitusi; ada juga yang menekankan pada masalah lingkungan; politik identitas atau populisme; serta beberapa yang melihat problem utamanya adalah ekstrimisme beragama; dan sebagian lain berpendapat kualitas sumber daya manusia yang rendah sebagai masalah yang paling mendasar. Dari perspektif yang parsial ini, pembangunan gerakan kemudian diarahkan untuk merespons isu-isu tersebut.

Saya tidak bermaksud menyatakan bahwa menyoroti dan memberikan fokus pada isu-isu parsial adalah hal yang keliru. Saya juga tidak bermaksud mengatakan kita bisa mengabaikan prioritas, terutama mengingat keterbatasan sumber daya yang ada. Bahkan, harus diakui bahwa analisis dan respons politik dari gerakan sosial terhadap isu-isu tersebut sangatlah cemerlang.

Namun, inti permasalahannya terletak pada perspektifnya yang parsial itu. Jika kita perhatikan, sejak tahun 1998, semua pemerintahan mulai dari Gus Dur hingga Prabowo, telah menerapkan strategi pembangunan kapitalisme-neoliberal yang diusulkan oleh lembaga-lembaga keuangan multilateral. Neoliberalisme menjadi acuan utama karena dianggap sebagai strategi pembangunan yang paling sesuai dengan sistem politik demokrasi liberal, metode terbaik dalam memberantas KKN, serta untuk mengatasi krisis dan pada akhirnya meningkatkan pertumbuhan ekonomi.

Dengan penerapan neoliberalisme yang konsisten selama ini, kita seharusnya bertanya: mengapa problem KKN, kerusakan lingkungan, politik identitas, militerisme, atau ekstremisme beragama terus ada dan berkembang biak? Perspektif totalitas menyatakan bahwa hanya dengan memahami kapitaisme-neoliberal (yakni, dalam totalitasnya) kita baru bisa memahami problem KKN atau militerisme (dalam parsialitasnya) yang terjadi. ”The true is the whole,” kata Hegel. Sebagai contoh konkret, neoliberalisme tidak akan berjalan efektif tanpa adanya oligarki, dan sebaliknya, oligarki akan semakin menguat seiring dengan penerapan neoliberalisme. Karena neoliberalisme (plus oligarki) ini berjalan beriringan dengan demokrasi, maka bukan oligarki yang membajak demokrasi (elektoral), melainkan demokrasi akan menjadi stabil jika ada ruang untuk perkembangan oligarki.

Dari perspektif totalitas ini juga, saatnya gerakan sosial membangun organisasi dan strategi-taktik perjuangannya.


Kedua, perlawanan terhadap kapitalisme-neoliberal

Sejak tahun 1998, kita menyaksikan secara jelas penerapan kebijakan neoliberal seperti liberalisasi perdagangan dan investasi, privatisasi perusahaan-perusahaan milik negara, pasar tenaga kerja yang semakin fleksibel, serta pemotongan anggaran belanja publik secara masif dan agresif. Akibatnya, kondisi ekonomi tidak menunjukkan perbaikan, utang luar negeri semakin membebani anggaran negara, jurang kaya miskin semakin lebar, KKN dan konflik sosial semakin menjadi, ketergantungan perekonomian nasional terhadap ekonomi internasional yang semakin dalam, disertai dengan meningkatnya militerisme, dan lain-lain.

Kondisi objektif ini harus melecut semangat perlawanan terhadap neoliberalisme sebagai inti pembangunan gerakan sosial. Mengandalkan niat baik untuk memberdayakan rakyat di luar konteks perlawanan terhadap neoliberalisme adalah sebuah tindakan karitatif yang tidak secara substansial mengubah kondisi rakyat miskin. Melawan militerisme dengan seruan moral juga sama tidak efektifnya. Sayangnya, dalam situasi kita, masih banyak yang tidak menyadari bahwa akar dari seluruh keterpurukan rakyat miskin selama ini adalah penerapan kebijakan neoliberal oleh rezim kediktatoran Orde Baru (Orba), dan terutama sejak tahun 1998. Masih banyak yang mengumbar analisis bahwa penyebab kemiskinan adalah kualitas pemerintahan yang buruk, sehingga solusinya adalah mengganti pemerintahan dengan yang baru yang (semoga) lebih bersih. Meskipun analisis semacam ini tidak sepenuhnya salah, tetapi menempatkan keburukan itu di luar konteks kapitalisme-neoliberal adalah kesalahan yang sangat serius.


Ketiga, perjuangan politik

Setelah mengidentifikasi kapitalisme-neoliberal sebagai musuh bersama, langkah selanjutnya adalah menentukan metode perjuangan yang akan digunakan. Pada tahap ini, gerakan sosial di Indonesia terbelah dalam dua kubu: pertama, mereka yang meyakini bahwa perubahan tidak harus melalui penggunaan instrumen kekuasaan langsung. Kelompok ini mengklaim dirinya sebagai kelompok non-partisan. Kedua, kelompok yang percaya bahwa tanpa melalui kekuasaan langsung, tidak mungkin kita dapat mengubah kebijakan neoliberal menjadi kebijakan yang anti-neoliberal. Kelompok ini dikenal sebagai kelompok partisan.

Kalau kita melihat garis perjuangan yang ditunjukkan oleh gerakan sosial yang sukses, perjuangan melawan rezim kapitalis-neoliberal pasti merupakan perjuangan politik. Ada dua pemaknaan mengenai perjuangan politik ini. Pertama, kita harus memandang bahwa neoliberalisme bukanlah sekumpulan kebijakan-kebijakan ekonomi semata. Ia bukanlah hitung-hitungan matematika mengenai berapa dana yang bisa dihemat akibat privatisasi BUMN, berapa jumlah total utang luar negeri yang mesti dibayarkan, berapa ongkos yang harus dikeluarkan akibat pemberlakuan subsidi. Neoliberalisme sesungguhnya adalah proyek politik dari kelas berkuasa (para bankir internasional, perusahaan transnasional, lembaga donor, organisasi ekonomi internasional, dan kolaborator lokal), dalam mengakumulasi kekuasaan dalam tangannya agar bisa sesuka hati mengatur dan mengontrol hajat hidup orang banyak.

Kedua, berdasarkan pengertian di atas, penolakan terhadap kebijakan neoliberal pertama-tama dan terutama adalah bersifat politik. Konkretnya, gerakan sosial harus berjuang untuk merebut kekuasaan politik dan mendayagunakan kekuasaan itu untuk menerapkan kebijakan alternatif di luar neoliberalisme. Tanpa perjuangan politik, aktivitas gerakan sosial hanya menjadi instrumen kontrol bagi kekuasaan untuk melanggengkan ketimpangan, ketidakadilan, dan diskriminasi. Padahal kontrol tak pernah mengubah kekuasaan ekonomi, politik, sosial, dan budaya yang timpang.


Keempat, berbasis massa

Dalam periode pasca-kediktatoran Orde Baru, gerakan sosial belum pernah berada dalam kondisi ”berjuang sendirian” seperti saat ini. Secara nasional, penguasa neoliberal berhasil memoderasi dan mengooptasi aktor dan lembaga sosial yang secara tradisional menjadi kawan seperjuangan. Kampus telah berubah menjadi pabrik pemburu profit, mayoritas akademisi dibungkam dengan kegiatan administratif, bahkan lembaga keagamaan seperti Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah akhirnya juga terkooptasi dalam skema neoliberal melalui pelibatan mereka dalam industri pertambangan. Sementara, secara internasional, seperti saya sebutkan sebelumnya, juga sulit memperoleh dukungan yang kuat.

Satu-satunya cara bagi gerakan sosial untuk tetap dapat bertahan dalam medan perjuangan melawan sistem kapitalisme-neoliberal adalah dengan ”bergerak bersama rakyat”. Di sini, perlu sedikit dikemukakan bahwa esensi neoliberalisme terletak pada pelembagaan kekuasaan politik dan ekonomi yang timpang antara rakyat dengan penguasa. Dalam kerangka neoliberal, rakyat diizinkan berpolitik secara damai melalui penyelenggaran pemilihan umum dalam periode waktu tertentu, di mana tujuan utama dari pemilu tersebut adalah untuk memilih pemimpin. Di luar episode pemilu, aspirasi politik rakyat diamanatkan kepada wakil rakyat yang terpilih yang dalam realitasnya sering sekali memperjuangkan aspirasi yang bertentangan dengan aspirasi rakyat pemilihnya. Salah satu contoh terbaiknya adalah pengesahan RUU TNI ini.

Namun, kasus yang menimpa kita ini bukan pengalaman unik kita semata. Hal yang sama juga terjadi di berbagai negara yang mengadopsi kebijakan neoliberal pada masa transisi dari kediktatoran menuju demokrasi. Bercermin dari keberhasilan pembangunan gerakan sosial di berbagai negara tersebut, strategi utama yang diambil gerakan sosial untuk melawan neoliberalisme adalah dengan mengupayakan perubahan radikal dalam hubungan kekuasaan, di mana rakyat menjadi pusat dan tujuan dari kekuasaan itu sendiri. ”Untuk dapat memberantas kemiskinan, berikan kekuasaan kepada rakyat!” ujar Hugo Chávez suatu ketika.

Dengan memprioritaskan pembangunan basis massa, gerakan sosial harus menampung dan memperjuangkan aspirasi massa secara kolektif. Gerakan sosial bukan sekadar perwakilan atau juru bicara bagi massa, melainkan harus menjadi bagian yang organik dari massa itu sendiri. Memparafrasekan kata-kata Mao Zedong, ”Rakyat adalah air, dan gerakan sosial adalah ikan yang berenang di dalamnya.”

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.


Kelima, demokrasi partisipatoris

Kita sudah menyaksikan bersama bagaimana, dalam era neoliberalisme, demokrasi hanya menjadi kereta kencana bagi oligarki. Oleh karena itu, gerakan sosial mesti memperjuangkan tegaknya demokrasi partisipatoris, di mana rakyat memiliki kekuasaan untuk mengelola dan mengontrol kebijakan yang dibuat dan diterapkannya tersebut. Demokrasi partisipatoris itu, misalnya, terlihat pada kepemilikan dan kontrol buruh atas tempat kerja, serta kontrol ekonomi melalui koperasi. Dalam beberapa kasus, bentuk demokrasi partisipatoris merupakan gabungan antara demokrasi perwakilan dan demokrasi langsung (semidirect democracy), seperti dalam kasus pelaksanaan kebijakan anggaran partisipatoris di Porto Alegre, Brasil.

Michael Kaufman dan Haroldo Dilla Alfonso, dalam buku Community Power & Grassroots Democracy The Transformation of Social Life (1997), menyatakan terdapat empat kata kunci dalam memahami demokrasi partisipatoris, yaitu proses, transisi, transformasi, dan pemberdayaan. Proses merujuk pada perubahan yang sedang berlangsung yang termuat di situ kesulitan, konflik yang membatu, dan perjuangan yang ditempuh. Transisi merujuk pada proses yang tidak secara sederhana bermakna modernisasi atau pembangunan, melainkan proses yang menuju pada masa depan yang bersifat alternatif. Prospek masa depan ini memang tidak sepenuhnya bisa dimengerti atau dijelaskan, namun masa depan itu dimengerti sebagai sesuatu yang substansial, yakni kebebasan dari mimpi-mimpi buruk seperti korupsi, pembodohan, kemiskinan, kekurangan gizi berkepanjangan, ketiadaan perumahan, pelayanan kesehatan yang buruk, pengangguran, rasisme, militerismem, seksisme, dan ketakutan.

Adapun transformasi merujuk pada proses transisi yang tidak hanya bersifat kuantitatif atau peningkatan yang bersifat linear, tetapi juga pergeseran yang substansial dan kualitatif dalam hubungan politik, ekonomi, sosial, dan budaya yang terjadi berlangsung setiap hari. Selanjutnya, pemberdayaan mengacu pada metode perubahan dan tujuan yang ingin dicapai. Pada tahap ini, gerakan sosial tidak hanya membahas tentang kontrol terhadap kekuasaan, tetapi juga berfokus pada siapa yang menderita di bawah kekuasaan yang ada, yaitu adalah mayoritas rakyat. Mayoritas ini tidak memiliki alat-alat produksi untuk mengubah kondisi hidupnya yang menderita. Mereka juga tidak memiliki akses ke alat kekuasaan politik yang efektif. Banyak dari mereka tidak terlatih, atau bahkan tidak memiliki kepercayaan diri untuk berpartisipasi dalam proses perubahan secara menyeluruh.

Dalam konteks ini, masih menurut Kaufman Alfonso, satu-satunya hal yang menyatukan pandangan gerakan sosial adalah kenyataan bahwa mayoritas rakyat tidak memiliki kekuasaan dalam membuat dan merealisasikan kebijakan yang berpihak kepadanya.


Keenam, program alternatif yang konkret

Sejak periode 1998, selain dipertontokan oleh dampak dari penerapan kebijakan neoliberal dan praktik durjana para elite, kita juga menyaksikan bangkitnya aksi-aksi perlawanan rakyat yang luar biasa. Tidak hanya kuantitas aksi perlawanannya, tetapi juga pengorbanan jiwa, raga, dan material yang tak terhingga. Agar gelombang perlawanan tersebut mendapatkan kemenangannya, saatnya gerakan sosial mengajukan alternatif pembangunan di luar neoliberalisme. Tanpa alternatif, gerakan sosial hanya akan mendaur ulang rantai “kekecewaan-kemarahan-perlawanan-dan kekalahan”. Gerakan sosial harus bergerak dari slogan “Panjang umur perlawanan!” menuju “Berlawan untuk menang!”

Persoalan merumuskan dan memperjuangkan kebijakan alternatif sudah pasti membutuhkan kerja keras, konsistensi, dan militansi gerakan. Tak ada jalan pintas untuk mencapai kemenangan rakyat miskin. Tetapi, ini saatnya sejarah kembali memberikan momentumnya kepada kita. Kejar, tangkap, dan pegang erat-erat momentum ini.


Coen Husain Pontoh adalah editor dan penerjemah di IndoPROGRESS.

]]>
Darurat Pembangkangan Sipil https://indoprogress.com/2024/09/darurat-pembangkangan-sipil/ Thu, 19 Sep 2024 05:06:43 +0000 https://indoprogress.com/?p=238418

Ilustrasi: Ilustruth


MARTIN Luther King, Jr. pernah memperingatkan bahwa “tragedi terbesar bukanlah penindasan dan kekejaman oleh orang jahat, tetapi diamnya orang-orang baik terhadap kejahatan tersebut.”

Aksi Peringatan Darurat yang dilancarkan berbagai elemen pelajar (siswa dan mahasiswa), buruh, dan aktivis di depan Gedung DPR RI dan MK, dan di berbagai titik di Nusantara mengirimkan pesan kuat bahwa rakyat tidak bodoh dan berpangku tangan di hadapan tirani atas konstitusi. Aksi yang menolak rencana parlemen dalam merevisi UU Pilkada itu berguna dalam membendung ambisi jagoan dari Istana untuk berkuasa melalui tiket pencalonan pilkada. DPR akhirnya urung menggelar sidang paripurna yang sedianya membahas agenda legislasi pilkada.

Namun, selain tindak kekerasan terhadap demonstran selama aksi, perlu pula diantisipasi langkah-langkah apa lagi yang sedang disiapkan di parlemen dan di KPU untuk membobol demokrasi yang substantif. Sudah muncul pula kekhawatiran bahwa aksi ini akan mengulang kegagalan gerakan Reformasi Dikorupsi 2019 dan justru ditunggangi oleh kepentingan kelompok oligarki yang bersaing (baca: PDIP, Anies, dan Prabowo).

Tulisan ini tidak berpretensi mengaburkan cara lain dalam melihat Peringatan Darurat dan rentetan peristiwa politik saat ini. Alih-alih ia lebih tepat dianggap sebagai upaya untuk menjelaskan kedudukan aksi Peringatan Darurat dan prospeknya dalam mengawal demokrasi ke depan dalam rangka menjawab dua kekhawatiran di atas.  


Memori Pembangkangan

Pembangkangan sipil dirumuskan oleh Henry David Thoreau dalam Civil Disobedience (1849) untuk mengonsepsi penolakan terhadap penguasa yang memaksa orang untuk melanggengkan ketidakadilan yang bertentangan dengan panggilan hati nuraninya. Pembangkangan jenis ini kemudian diasosiasikan dengan perlawanan kuat tanpa senjata. Pembangkangan sipil semakin populer ketika digunakan oleh Mahatma Gandhi awal abad lalu dan Nelson Mandela setengah abad kemudian untuk melawan diskriminasi di negara masing-masing.

Di Indonesia, pembangkangan sipil merupakan konstruksi baru—ya, baru pada masanya—untuk melawan kekuatan imperialis atas penjajahan di Nusantara yang muncul sejak awal abad ke-20. Max Lane dalam Unfinished Nation: Indonesia Before and After Suharto (2008) mengemukakan tentang kemunculan pergerakan sebagai bentuk pembangkangan sipil yang menandai perubahan drastis dalam metode perlawanan terhadap penguasa kolonial Belanda.

Pergerakan mengatasi kegagalan tiga abad perang melawan kolonial yang dikobarkan oleh para raja dan pemimpin agama untuk merengkuh kemerdekaan dengan cara baru: dalam bentuk pengorgansiasian. Buruh dan petani aktif mengorganisir diri melalui pamflet perlawanan, pertemuan, demonstrasi, boikot, dan sebagainya. Pergerakan kemudian mewariskan formula aksi, mobilisasi massa, dan revolusi sebagai metode pembangkangan melawan kekuasaan.

Memang selalu ada tiran yang coba merepresi kekuatan pergerakan untuk memutus memori pembangkangan sipil, misalnya konsep politik Nasakom dan cap kontrarevolusi bagi yang menentangnya di masa Orde Lama atau hegemoni, kooptasi, hingga pemberian cap musuh pembangunan di masa Orde Baru. Belum lagi keberadaan militer dalam ranah politik dan perekonomian telah melancarkan pemberangusan gerakan kiri, penyingkiran aktivis, hingga sekuritisasi ruang sipil. Untunglah, memori kolektif tentang aksi massa bisa ditransmisikan antargenerasi melalui berbagai cara sehingga selalu saja muncul massa melawan bila kondisi memaksa.

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.


Urgensi Aksi

Dalam konteks demokratisasi hari ini, peringatan Martin Luther King, Jr. akan diamnya orang-orang yang jumlahnya besar semakin relevan. Kelompok mahasiswa-pelajar, buruh, dan aktivis yang menggelar aksi Peringatan Darurat memberi jawaban di tengah dominasi kepentingan oligarki yang predatoris. Konstitusi ditegakkan di jalan guna menekan kekuasaan agar menghentikan upayanya dalam menganulir keputusan MK yang bersifat final dan mengikat.

Peringatan Darurat ini menjadi penting karena, pertama, kedaruratan soal hidup-matinya konstitusi. Taruhan begitu besar bila revisi UU Pilkada menyalahi prosedur perundang-undangan dan menabrak konstitusi. Itu akan menjadi preseden paling buruk untuk membalikkan segala nilai dan merusak segala norma. Titik nadir peradaban sebuah negara terjadi saat konstitusinya sudah diinjak-injak dan disimpangkan oleh kekuasaan.

Kedua, menghentikan momentum kemenangan oligarkis. “Truk-truk tronton” telah dikemudikan sopir yang dikemudikan para parpol dan aparatus negara secara ugal-ugalan untuk membawa kepentingan oligarkis ke alam kemenangan demi kemenangan pemilu. Aksi massa sudah muak dengan ambisi elektoral yang tak terkendali, ambisi mana telah memuluskan Prabowo-Gibran menjadi presiden-wakil presiden (terpilih). Mereka marah melihat bagaimana elite hanya sibuk mengutak-atik negara dan konstitusi, dan menempatkan rakyat sekadar jadi penonton.

Ketiga, menciptakan optimisme. Aksi Peringatan Darurat menyentuh kita untuk berenung bahwa kita tidak ingin menyelesaikan sampah yang sama berulang-ulang. Bersolidaritas dan ikut dalam aksi telah membangung kesadaran dan kepercayaan diri untuk terus bergerak. Tidak sedikit pekerja kantoran yang turun ke jalan dari berbagai pusat bisnis, termasuk mereka yang menggemakan di media sosial masing-masing untuk mengajak publik turut mendukung.

Selain memahami hal-hal di atas, momentum yang tercipta dari aksi Peringatan Darurat menjadi ruang berpikir bagi semua elemen gerakan. Dibutuhkan refleksi tentang kerawanan dan potensi aksi dalam rangka mungkin-tidaknya sebuah perubahan yang lebih mendasar.  


Belum Selesai

Peringatan Darurat benar telah memberi hentakan kepada penguasa lalim. Namun, apakah saatnya berbangga? Jawabannya: belum; mengapresiasi boleh, merayakan masih jauh. Aksi Peringatan Darurat belum dapat dimaknai sebagai kemenangan. Hasil saat ini barulah mengganggu skenario dari kepentingan oligarkis yang sedang buying time untuk tidak memaksakan kehendak sesuka hati, namun kini mulai berhitung lebih cermat untuk mempertimbangkan kekuatan ekstraparlemen.

Sudah terlihat upaya kekuasaan untuk memastikan pembangkangan sipil tidak berlanjut dengan berbagai cara. Parlemen mengurungkan pembahasan UU Pilkada dalam rapat paripurna demi menurunkan suhu politik dan radikalisasi massa. Begitu pula aparat melakukan represi aksi-aksi di Semarang, Makassar, dan Bandung, misalnya, hingga penangkapan dan pengenaan hukuman kepada para demonstran. Sementara itu, deal-deal politik terus berlanjut di atas ataupun di bawah meja hingga pilkada berlangsung.

Peringatan Darurat tidak boleh lengah dan berakhir prematur karena kehilangan isu dan termakan agendanya sendiri. Dalam jangka pendek, selain menuntaskan kedaruratan konstitusi saat ini, gerakan harus pula mengonversi kemarahan publik menjadi suara dalam pilkada. Keberhasilannya diukur dari kemampuan pemilih dalam menghukum politisi busuk (dan partai-partai pengusung) untuk tidak menjadi kepala daerah.

Dalam jangka menengah, bukti-bukti yang dikumpulkan dari pengangkangan konstitusi, represi, dan kecurangan selama proses pemilu sejak pilpres dan pileg sebelumnya hingga pilkada nanti harus menjadi argumen untuk menuntut perbaikan yang mendasar bagi pelaksanaan demokrasi di Indonesia. Pengawalan pilkada jangan lagi sekadar menjaga proses dari kecurangan an sich seperti umum dilakukan oleh berbagai pemantauan pemilu yang semakin massif dan canggih, namun tetap tidak bisa membendung kekuatan otoritarian untuk berkuasa. Pemantauan tersebut perlu diletakkan dalam kerangka agenda politik yang lebih strategis, antara lain dengan orientasi untuk mengubah sistem kepemiluan dan politik yang ada.

Dalam jangka panjang, pembangkangan sipil harus ditransformasi ke dalam struktur politik formal sembari mengagendakan perubahan sistem yang radikal. Pahitnya pengalaman aksi Reformasi Dikorupsi sejak 2019 yang tidak satu pun tuntutannya dikabulkan banyak dipengaruhi oleh masih lemahnya daya tawar dari gerakan sosial. Ini menjadi ajakan untuk memikirkan dan mewujudkan kendaraan politik bagi kekuatan publik dalam berkonflik dengan penguasa.

Masing-masing tahapan di atas butuh strategi dan perangkat sendiri-sendiri. Apa pun itu, prasyaratnya berupa gerakan ekstra parlemen harus terbuka pada persilangan dengan partai-partai baru yang punya ideologi dan platform perjuangan politik yang sejalan. Sebaliknya, Partai Buruh dan Partai Hijau, yang sudah memiliki kendaraan dan agenda politik yang jelas harus mampu memanfaatkan momen ini untuk memfasilitasi—jika bukan memimpin—kekuatan pro-demokrasi demi agenda transformasi yang revolusioner.***


Ilham B. Saenong adalah Manager Yayasan Humanis untuk Kebebasan Sipil di Era Digital.

]]>
Rantai yang Membelenggu Masyarakat Kendeng Melawan Semen https://indoprogress.com/2024/06/rantai-yang-membelenggu-masyarakat-kendeng-melawan-semen/ Fri, 28 Jun 2024 21:18:40 +0000 https://indoprogress.com/?p=238215

Ilustrasi: Ilustruth


NASKAH ini menguliti kondisi struktural dan permainan kuasa yang menyebabkan gerakan sosial masyarakat Pegunungan Kendeng Utara, yang menghadapi berbagai ekspansi modal dari bisnis semen, justru mengalami perpecahan internal. Naskah ini berangkat dari pola pikir gramscian yang memahami kondisi struktural dan permainan kuasa yang bekerja dalam memuluskan ekspansi modal bisnis semen pada dasarnya adalah bentuk hegemoni. Kerangka hegemoni dalam memahami ekspansi pabrik semen tak hanya membantu menjelaskan aspek material saja, melainkan perangkat pengetahuan dan instrumen kekuasaan di baliknya juga (Mann, 2009).

Gerakan masyarakat Pegunungan Kendeng Utara terhadap pabrik semen bisa jadi dapat dibaca sebagai konter hegemoni atas ekspansi modal, tetapi kenyataannya, kuatnya belenggu membuat “pengetahuan alternatif atas dimensi materialitas atas alam dan penghidupan” itu sendiri belum mampu menerabas suprastruktur (Mann, 2009). Naskah ini diarahkan untuk menjawab pertanyaan kunci, yakni belenggu seperti apakah yang menyebabkan konter hegemoni tak mampu menerabas suprastruktur penopang ekspansi modal bisnis semen di Pegunungan Kendeng Utara?


Bisnis Semen dengan Segala Perangkatnya

Pegunungan Kendeng Utara terbentang dari Kabupaten Grobogan, Pati, Rembang, dan Blora pada wilayah Jawa Tengah serta Kabupaten Tuban, Bojonegoro, dan Lamongan di Jawa Timur. Sejak tahun 1990-an, para pebisnis tertarik untuk membangun pabrik semen di sana. 

Investasi yang cukup “membuat panas situasi” bermula dari kehadiran PT Semen Gresik di Kecamatan Sukolilo, Kabupaten Pati, pada 2006. Ketika itu warga, dimotori oleh komunitas Samin, meresponsnya dengan membentuk Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan Kendeng (JMPPK) (Hadi et al., 2020). Perusahaan negara tersebut berhasil didepak, tetapi berusaha pindah ke Kecamatan Gunem, Kabupaten Rembang. Perusahaan lainnya, dari swasta, berupaya membangun pabrik di Kecamatan Kayen dan Tambakromo, Kabupaten Pati, tetapi mendapatkan perlawanan keras pula dari warga yang dimotori oleh JMPPK bersama jejaringnya (Hadi et al., 2020).

JMPPK berupaya mempertahankan kondisi ekologis Pegunungan Kendeng Utara sebagai “kawasan konservasi” untuk menunjang aktivitas pertanian dan kebutuhan sehari-hari, terutama demi ketersediaan air. Untuk itu mereka menjalankan berbagai strategi, mulai dari pengerahan massa, penggalangan dana, rapat umum, dialog kebudayaan, lobi politik, maju ke pengadilan, bahkan “memaksa” penyusunan Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) setelah melakukan aksi memasukkan kaki ke dalam semen pada awal Agustus 2016 di depan Istana Negara (Hadi et al., 2020). JMPPK kemudian mendesak Gubernur Jateng untuk mengadopsi KLHS ke dalam rencana tata ruang wilayah dan mematuhi putusan Mahkamah Agung untuk mencabut izin lingkungan yang telah dikeluarkan (Hadi et al., 2020).

Gubernur saat itu, Ganjar Pranowo, di sisi lain memberikan kesempatan bagi perusahaan untuk memperbaiki Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal). Areal pertambangan mereka juga dikurangi, dari 571 hektare menjadi 291 hektare. Gubernur kemudian mengeluarkan izin lingkungan baru pada 23 Februari 2017. Maka, faktanya, Pegunungan Kendeng Utara secara “perlahan” tetap digunakan untuk pertambangan (Hadi et al., 2020). Pabrik semen tetap hadir lewat “celah kebijakan” dalam berbagai lini. 

Pemerintah Provinsi Jateng dan Pemerintah Kabupaten Pati lebih memilih mengikuti rencana tata ruang dari pusat, yang diklaim menetapkan kawasan karst Sukolilo sebagai “peruntukan pertambangan”, termasuk di dalamnya areal Cekungan Air Tanah (CAT) Watuputih (Hadi et al., 2019). Dengan tak merevisi rencana tata ruang nasional 2010-2030 dengan mengadopsi KLHS, pemerintah pusat sebenarnya sekadar memenuhi tuntutan JMPPK untuk “keperluan legitimasi kekuasaan,” padahal UU 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup memberi kemungkinan untuk revisi penataan ruang setiap lima tahun (Hadi et al., 2019). Saat diarahkan oleh Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup (KLHK), Pemkab Pati dan Rembang pun memilih menolak KLHS karena “ketakutan tak mampu mewujudkan” rekomendasi tersebut (Hadi et al., 2019). 

Pemerintah di berbagai lini memiliki perbedaan pengetahuan dalam menyikapi KLHS (Purnaweni et al., 2019). Sebanyak 120 izin tambang baru yang tersebar di Rembang (87 izin), Grobogan (13 izin), Blora (11 izin), dan Pati (9 izin) justru muncul selama Januari 2017 sampai Maret 2018 (Prabawani et al., 2018).

JMPPK bersama jejaringnya belum mampu mendorong pemerintah di berbagai lini menghentikan ekspansi bisnis semen, meski mereka didukung oleh berbagai pihak eksternal seperti akademisi, sebagian kecil agamawan secara tertutup, maupun LSM mulai dari Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) dan Jaringan Advokasi Tambang (Jatam). 

Menurut Prabawani et.al., (2018), keengganan pemerintah daerah untuk berpihak pada warga patut diduga muncul akibat penguasa lokal yang merasa sebagai ndoro, dan orang Samin layaknya “pihak yang dikesampingkan.” Perlindungan terhadap warga diabaikan sebab secara struktural, baik material maupun sosio-budaya, pemerintah memprioritaskan “melayani” mereka yang berkuasa dibandingkan rakyat yang seharusnya dilindungi. 

Upaya Pemprov Jateng untuk memuluskan pabrik semen dalam tata ruang sendiri sudah muncul sebagai respons terhadap “kemenangan kecil” warga penolak pabrik Semen Gresik di Sukolilo pada tahun 2009 setelah adanya putusan Mahkamah Konstitusi (Putri, 2017). Pada 2010, Pemprov Jateng mengubah pengaturan tata ruang Pegunungan Kendeng dengan mengatur bahwa areal seluas 5.000 hektare diperbolehkan untuk penambangan dan industri (Putri, 2017). Hal tersebut menjadi landasan Pemprov Jateng untuk bersikukuh membela penambangan, meskipun telah ada rekomendasi KLHS. 

Perusahaan dan pemerintah sendiri, dalam identifikasi lingkungan saat pemberian izin, memiliki persoalan serius dalam hal “pengetahuan modern”. Misalnya, petugas lapangan dari perusahaan yang tak melihat konteks keruangan secara menyeluruh dan hanya datang ke lokasi “yang mudah dijangkau dari keramaian.” Petugas juga hanya menemui para elite seperti kepala desa dan tokoh masyarakat, sehingga mereka selalu “menyampaikan manfaat dari masuknya pabrik” (Ardianto, 2019).

Para akademisi yang terlibat dalam penyusunan Amdal PT SI di Rembang pun salah dalam memuat kondisi ekologis Pegunungan Kendeng (Ardianto, 2019). Kesalahan itu adalah hanya menyebutkan terdapat sembilan gua dan 40 mata air tanpa mengidentifikasi jumlah ponor (lubang di tanah yang memiliki aliran). Warga desa bersama dengan Semarang Caver Association dan Acintyaçûnyatâ Speleological Club menemukan 64 gua dan 125 mata air, sedangkan gua dan mata air yang diidentifikasi oleh perusahaan justru berada di luar area yang akan dijadikan kawasan pertambangan–seluas 540 hektare. Warga juga menemukan 44 ponor, di mana 22 ponor berada di lokasi yang akan dijadikan area pertambangan (Ardianto, 2019). 

Semua ini menunjukkan bahwa sejak awal, pengetahuan modern telah menjadi alat manipulasi perusahaan, meskipun berhasil dikonter oleh warga dengan jejaringnya dan izin dibatalkan dalam persidangan. 

Upaya untuk membangun “mobilisasi pengetahuan” dalam mendukung tambang dilakukan pula oleh PT SI dan PT SMS dengan mengajak warga dan pejabat daerah untuk studi banding ke pabrik yang dikelola perusahaan di wilayah lain (Ardianto, 2019). PT SI mengajak warga dan pejabat Kabupaten Rembang untuk datang ke pabrik di Tuban, sedangkan PT SMS mengajak warga dan pejabat Kabupaten Pati ke pabriknya di Bogor. Warga dan pejabat yang diajak studi banding hanya ditunjukkan “sisi keberhasilan” dari keberadaan pabrik semen dan ditunjukkan “manfaat” bagi warga sekitarnya terutama bagi usaha kecil dan menengah yang dibina perusahaan (Ardianto, 2019). Kunjungan ke Tuban tentu saja tak akan dipertemukan dengan Aliansi Pemuda Pengangguran Ring 1 (APPR1) yang berulang kali berdemonstrasi memprotes dampak ekonomi dari keberadaan pabrik semen. 

KLHS yang muncul dengan desakan dari warga penolak pabrik semen tentu tak dijangkau oleh kalangan masyarakat lain yang sudah menjadi bagian dari belenggu bisnis tambang. KLHS sendiri sebenarnya menjadi konter hegemoni sebab menegaskan bahwa CAT Watuputih pada dasarnya telah ditetapkan sebagai kawasan lindung dan kawasan lindung geologi. KLHS juga telah merekomendasikan revisi rencana tata ruang dari level nasional sampai kabupaten, serta memberikan alternatif lokasi di luar CAT Watuputih. Perubahan rencana tata ruang wilayah Kabupaten Rembang sendiri seharusnya dilakukan untuk pemindahan lokasi izin tambang di luar CAT Watuputih (Tim Pelaksanaan KLHS untuk Kebijakan Pemanfaatan dan Pengelolaan Pegunungan Kendeng yang Berkelanjutan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, 2017). 

KLHS tak mendapat perhatian kuat dari masyarakat yang sudah terkooptasi bisa jadi karena aksi untuk menuntut kajian independen dilakukan tanpa koordinasi matang. Hal tersebut diakui oleh kader YLBHI yang secara tiba-tiba ditelepon oleh salah satu tokoh Samin sekaligus penggerak utama JMPPK, Gunretno, saat berlangsung Aksi Cor Kaki Jilid 1 (Isnur, 2017). Cara tersebut persis seperti yang dilakukan dalam Aksi Cor Kaki Jilid 1, Aksi Pukul Lesung Depan Istana 1 dan 2, serta demonstrasi lain yang tak dikoordinasikan dengan jejaring LSM apalagi media massa. JMPPK tampaknya sejak awal “memilih bergerak sendiri” dan tak ingin terlalu bergantung pada jejaring LSM pendampingnya (Isnur, 2017). 

Aksi-aksi “sporadis” mungkin saja sempat memancing perhatian Presiden Joko Widodo, tetapi bukan berarti mampu memastikan arah kebijakan pusat, apalagi lini pemerintahan di daerah dan masyarakat yang sudah terkooptasi (Isnur, 2017). PT SI kenyataannya tetap bisa mengebom kawasan CAT Watuputih setelah KLHS keluar. Tentunya arah kebijakan presiden sendiri patut dipertanyakan, juga perusahaan negara yang tetap menambang di area yang sudah ditetapkan sebagai kawasan lindung (Isnur, 2017). 

Warga penolak semen pada dasarnya hanya memanfaatkan kanal media sosial untuk mengangkat persoalan yang dihadapi. Mereka membuat tagar seperti #savekendeng, #omahkendeng, #rembangmelawan, dan sebagainya untuk memengaruhi opini publik (Puryanto & Suyahmo, 2019). Strategi melalui media sosial mengikuti “ledakan konflik” maupun “kegiatan secara insidental” tentu kurang bisa menembus warga yang sudah terkooptasi apalagi masyarakat lain di luar wilayah yang akan dijadikan tapak pabrik dan tambang, meskipun pada 2015 JMPPK juga pernah berdemonstrasi di salah satu kampus besar di Yogyakarta karena menganggap kesaksian dua pengajar dalam persidangan “berpihak pada korporasi” (Syatori, 2015). 

Kesaksian akademisi dijadikan “stempel oleh perusahaan” sebab dosen salah satu kampus ternama yang menjadi narasumber sendiri mengaku belum membaca Amdal. Akademisi tersebut mengakui bahwa peran narasumber Amdal semestinya sebatas moderator antara tim penyusun dengan pihak lain, bukan memberikan kesaksian ahli atas perizinan bagi operasional tambang (Batubara, 2015). Celakanya, media massa arus utama membentuk framing bahwa HH adalah pakar hidrologi dan EH merupakan pakar karst sehingga menunjukkan bahwa “kepakaran mereka sudah cukup” untuk memastikan operasional tambang dapat dilakukan (Batubara, 2015). Media massa arus utama, yang memiliki jangkauan pembaca luas dibandingkan media sosial, membuat upaya memengaruhi dukungan kuat untuk mencegah masuknya tambang menghadapi tantangan luar biasa.

Perusahaan bahkan berhasil menggunakan wacana keagamaan untuk memobilisasi dukungan terhadap keberadaan pabrik, termasuk dengan mengooptasi pemuka yang tadinya menolak keberadaan tambang. Cak Nun, misalnya, menolak keberadaan PT Semen Gresik, tetapi bersikap lain saat PT Indocement berupaya berinvestasi di wilayah lain (Faizi et al., 2022). Cak Nun, bersama tokoh agama yang terkenal anti-semen, Habib Sholeh Anis Ba’asyin (Bib Anis), awalnya melawan keberadaan PT Semen Gresik dengan menganggap bahwa menjaga alam sesuai Islam lebih penting daripada penambangan. 

Kooptasi terhadap Cak Nun bermula ketika wakil presiden PT Indocement mendatangi rumahnya. Komunikasi berlanjut pada acara solidaritas penanganan banjir Pati tahun 2011 bersama berbagai pihak lain, termasuk Gunretno (yang dihadirkan dengan “dipaksa”). Acara tersebut berujung pada upaya untuk “mempermalukan” Gunretno (Faizi et al., 2022). Gunretno “dipermalukan” akibat, berbeda dengan bos Indocement, tak bisa menyumbang uang. Dalam acara itu Gunretno juga saling sanggah dengan Cak Nun mengenai dampak pabrik semen, berawal dari pernyataan Cak Nun bahwa “karst dapat tumbuh lagi secara alamiah.” Penonton bersorak mendukung Gunretno, tetapi dibalas oleh orang-orang pro-semen yang dibawa pebisnis dengan empat truk dan satu bus (Faizi et al., 2022). 

Kala hadir di Rembang, perusahaan seperti PT SI juga mengooptasi pengetahuan budaya untuk memobilisasi dukungan. Contohnya dengan menyelenggarakan pertunjukan wayang kulit pada 15 Februari 2013 di alun-alun desa–yang menjadi tapak pabrik. Kooptasi tersebut berupaya dilakukan untuk memastikan adanya “keselarasan kepentingan perusahaan dengan budaya setempat.” Perusahaan juga membagikan 4.000 paket sembako dan berkontribusi dalam pembangunan kantor desa (Rokhmad, 2020). Warga pun ada “yang tersihir” dengan cara perusahaan dan percaya bahwa kehadiran pabrik mampu menyerap ribuan pekerja dibandingkan harus hidup menjadi petani di desa dengan lahan berbatu. Hanya elite desa yang diberi tahu mengenai kehadiran investasi “secara utuh.” Perusahaan tak menjelaskan dampak sosio-ekologis dari pabrik kepada warga terdampak (Rokhmad, 2020). 

Kalangan agamawan terus dikerahkan untuk mendukung investasi semen. K.H. Maimun Zubair (Mbah Mun) bahkan dihadirkan oleh PT SI untuk memimpin doa pembukaan pabrik dan dibayangkan kehadirannya akan “mendatangkan keberkahan” (Rokhmad, 2020). Mbah Mun secara jelas mendukung keberadaan pabrik semen dan menjadi acuan bagi pemerintah daerah bersama korporasi untuk memuluskan operasional tambang, apalagi dia adalah politisi senior dari Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang memiliki jejaring di parlemen lokal dan pemerintah daerah. Mbah Mun bahkan yang menentukan hari peletakan batu pertama pembangunan pabrik (Rokhmad, 2020). 

K.H. Ahmad Mustofa Bisri (Gus Mus) dan K.H. Yahya Cholil Staquf (Gus Yahya), di sisi lain, punya pandangan berbeda. Menurut mereka penambangan batu kapur di Rembang harus dikaji terlebih dahulu. Front Nahdliyin untuk Kedaulatan Sumber Daya Alam (FNKSDA), PCNU Lasem, dan jejaring Nahdlatul Ulama lainnya memilih berjejaring dengan JMPPK untuk menyelenggarakan halaqah sebagai narasi tandingan terhadap keberadaan pabrik semen (Rokhmad, 2020). Aloys Budi Poernomo dari Keuskupan Semarang juga ikut berpihak kepada warga yang menolak penambangan batu kapur (Rokhmad, 2020).   

PT Indocement, yang memiliki afiliasi dengan Heidelberg Cement di Jerman, juga memakai program corporate social responsibility (CSR) untuk memobilisasi dukungan. CSR, misalnya, digelontorkan di Kecamatan Tambakromo dan Kayen, Pati, bahkan sebelum pabrik resmi beroperasi (Novianto et al., 2021). Pihak Indocement mengklaim bahwa CSR itu bukan untuk “menaklukkan penolakan tambang,” melainkan bentuk “pemberdayaan masyarakat.” Pemilihan desa di Kayen dan Tambakromo diklaim sebab memiliki potensi untuk dikembangkan menjadi objek wisata (Novianto et al., 2021). 

Tim CSR PT Indocement kemudian memilih memasukkan programnya “secara diam-diam” dengan kerasnya perlawanan terhadap tambang. Tim CSR Indocement, misalnya, memilih mengundang warga yang dijadikan “objek programnya” di luar wilayah Kayen dan Tambakromo ataupun bersiasat dengan tak menyampaikan identitas diri penerima manfaat. Warga yang diundang kenyataannya kemudian menjadi “kaki tangan perusahaan” di bawah arahan “preman” untuk merekrut warga Tambakromo dan Kayen. Mereka yang dikader dijadikan simpatisan pendukung pabrik semen (Novianto et al., 2021). 

CSR bahkan digunakan Indocement untuk menggaet salah satu kepala desa dengan menyediakan kambing kurban. Pengajian akbar bahkan diselenggarakan dengan sokongan CSR seperti pada 20 Desember 2015 di Desa Kertajaya, Tambakromo, di mana doa-doa yang disampaikan elite agamawan mengarah pada dukungan terhadap pabrik semen (Novianto et al., 2021). Penerima CSR Indocement sendiri kebingungan dengan berbagai program yang tak jelas arahnya, sebab tim CSR sendiri hanya datang untuk memfoto dan bersantai-santai. Penerima CSR sudah telanjur dimusuhi oleh sebagian besar warga lain yang anti terhadap operasional tambang, sehingga harus menanggung sendiri kegagalan dari program CSR. Perusahaan, di sisi lain, diuntungkan dengan klaim “tanggung jawab sosial” dengan hanya memfoto upaya bertahan hidup dari penerima program (Novianto et al., 2021). 

Tak hanya CSR, perusahaan juga menggunakan praktik good mining practices (GMP) yang sebelumnya diatur dalam UU 4/2009 tentang Minerba untuk mengklaim bahwa investasi mereka di Pegunungan Kendeng Utara “tak akan berdampak buruk.” Berbagai penghargaan dari GMP–seperti PT SI yang tercatat mendapatkan “Proper Emas” pada tahun 2012 dan 2013 serta “Green Industry” pada 2012 dan 2013, maupun “Indonesian Green Award” tahun 2013–menjadi alat kampanye mereka kepada pemerintah dan warga untuk memuluskan investasi (Ardianto, 2016). Penghargaan-penghargaan tersebut dipakai untuk mengklaim bahwa PT SI adalah “industri ramah lingkungan.”

PT SI juga mengklaim bahwa “dengan berbagai pengalamannya dalam investasi serta dukungan para ahli” akan membuat operasional tambang dan pabrik tak memberikan dampak negatif bagi lingkungan dan masyarakat. PT SI mengklaim bahwa dengan “perencanaan jitu dan teknologi akan merekayasa alam tanpa merusaknya.” Penambangan diklaim akan menggunakan sistem blok, di mana blok yang selesai ditambang akan diubah menjadi “area perhutanan dasar yang luas sebelum ada penanaman kembali” (Ardianto, 2016). 

Film Samin vs Semen dari Watchdoc yang menggambarkan resistensi masyarakat terhadap tambang direspons pula oleh perusahaan dengan memunculkan film berjudul Sikep Samin Semen untuk menunjukkan bahwa komunitas Samin tidak anti dengan investasi dari PT SI. Komunitas Samin yang dimobilisasi untuk terlibat dalam film tersebut bahkan berasal dari Kudus, Pati, Blora, dan Bojonegoro (Ardianto, 2016). Film tersebut ingin mengukuhkan bahwa penolakan komunitas Samin terhadap investasi semen seolah-olah tak terjadi. PT SI di Rembang juga patut diduga menggerakkan LSM Semut Abang, Balas, Aliansi Tajam, Komras, Hitam Putih, dan LP3. Setiap kali ada persidangan sebelum munculnya KLHS, demonstrasi tandingan untuk mendukung investasi semen selalu muncul (Ardianto, 2016). 

Kelompok penolak penambangan semen di Pati mungkin mendapatkan “kemenangan kecil” pada Pilkada 2017. Kondisi tersebut dimulai dengan adanya politisi yang berjanji menolak rencana pembangunan pabrik semen dalam Pilkada Pati 2011. Politisi yang dimaksud adalah pasangan Haryanto dan Budiono. Haryanto-Budiono melakukan kontrak politik dengan warga penolak semen dan berhasil mendapatkan suara banyak pada wilayah anti-tambang. Kenyataannya, setelah menang, Haryanto-Budiono tetap memberikan izin pembangunan pabrik PT SMS. Kemarahan warga penolak pabrik semen pun sempat menggelora (Novianto & Wulansari, 2023). Ketika mencalonkan diri kembali sebagai calon tunggal dalam Pilkada 2017, Haryanto kalah dengan kotak kosong di desa-desa yang anti-pabrik semen. Warga penolak pabrik semen sengaja memobilisasi dukungan untuk memberikan “penghukuman” terhadap Haryanto (Novianto & Wulansari, 2023). 

Warga bergerak secara individual sebab tak ada satu pun gerakan penolak semen seperti JMPPK yang melakukan mobilisasi untuk memilih kotak kosong. Gerakan secara terorganisir tak digunakan demi memastikan wadah penolakan pabrik semen tak dibawa ke ranah politik elektoral. JMPPK juga menghindari interaksi dengan pengusaha yang sarat kepentingan. Haryanto mungkin saja menang dalam Pilkada Pati 2017 dengan ditopang permainan politik uang dengan sokongan broker, juga jaringan patron-klien, termasuk di dalamnya elite agamawan, tetapi dengan jumlah golput di angka 30% dan keterpilihan kotak kosong mencapai 12% (Novianto & Wulansari, 2023).

Bisnis semen bisa datang ke tingkat tapak, ditambah pula dengan adanya praktik intimidasi dalam penjualan tanah dan spekulasi secara predatoris. Perangkat desa sering kali mengancam petani untuk melepaskan lahannya dan kelompok anti-semen sering kali merespons dengan memarahi perangkat desa, sehingga intimidasi kepada warga justru bertambah parah. Kelompok anti-semen sering dituduh oleh aparat desa sebagai “penyebab konflik.” Para spekulan tanah bahkan hadir dengan membawa nama presiden dan negara dengan mengklaimnya “atas nama pembangunan” untuk membujuk warga menjual lahannya (Putri, 2017). Perusahaan, di sisi lain, mengklaim bahwa para spekulan di luar kendali mereka sebab praktik spekulasi menyulitkan pembebasan lahan. 

Sampai sini kita melihat apa yang terjadi dalam ekspansi bisnis semen dengan segala perangkatnya dapat “mencengkeram” berbagai bentuk perlawanan, meskipun telah muncul KLHS. Konter pengetahuan yang dilakukan oleh JMPPK dan jejaring akademisi bersama LSM belum mampu setidaknya mengimbangi apalagi menerabas basis dan suprastruktur yang menopang investasi semen (Mann, 2009). Belenggu yang ada yang terwujud dari penggunaan “kepakaran”, framing media massa, mobilisasi elite desa sampai elite agamawan, penggelontoran CSR bersama taktik lainnya, menjadi cara efektif untuk mempertahankan “dukungan atas pabrik sekaligus memecah perlawanan.” 

Investasi semen yang berusaha masuk mungkin saja telah menjadi “medan dialektika”, di mana JMPPK bersama jejaringnya berupaya menghadirkan “pengetahuan yang emansipatoris” tetapi tanpa diimbangi dengan basis material yang kuat seperti organisasi lain yang lebih terorganisir dalam menyampaikan agenda dan terkoneksi dengan media massa mainstream. Ini membuat sulit untuk mampu menerabas struktur (Mann, 2009). Pengetahuan yang dibangun melalui “bentuk perlawanan” dari JMPPK sepertinya belum menjadi “pemahaman bersama” bahkan di tengah masyarakat Pegunungan Kendeng Utara yang telah terkooptasi.

Apa yang terjadi di Pegunungan Kendeng Utara melekatkan bahwa negara (“n” kecil sebagai instrumen kekuasaan) pada dasarnya melekat pada “masyarakat politik” sebagai arena di mana berbagai kelas berebut untuk mendapatkan kontrol atas otoritas dengan kuasa “pemaksanya.” “Masyarakat sipil” juga melekat di dalamnya sebagai ruang sosial di mana berbagai kelas berupaya mendapatkan dukungan atas pengetahuan yang menopang kepentingan mereka (D’Alisa & Kallis, 2016). Apa yang terjadi pada “masyarakat sipil” yang dikooptasi dalam kasus Pegunungan Kendeng Utara menunjukkan bahwa “warga” pada dasarnya adalah sasaran dari mobilisasi pengetahuan untuk menopang hegemoni. Mereka yang telah terkooptasi pada dasarnya menjadi “tangan-tangan negara” di level akar rumput untuk meneguhkan kepentingan investasi semen dengan pengetahuan-pengetahuan yang telah “diembuskan dari atas” (D’Alisa & Kallis, 2016).

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.


Sudah Dijajah, Semakin Melemah

Berbagai siasat yang dilakukan oleh perusahaan semen, pemerintah daerah, maupun pihak lain pada dasarnya semakin memperlemah posisi warga. Warga yang pro terhadap keberadaan pabrik semen pada dasarnya adalah mereka yang sudah menjual lahan yang luas dengan harga murah sebab “termakan janji kesejahteraan” dari tambang (Rini & Maratussholihah, 2018). Pihak pro-pabrik semen juga melakukan lobi dan membangun jejaring dengan berbagai pihak termasuk mendirikan “pos-pos bagi mereka dalam berkumpul.” Masyarakat Sukolilo Pati pun, pasca perginya PT SI yang tak berhasil menancapkan investasi sebab ada putusan pengadilan, membutuhkan waktu lama untuk “meredam ketegangan di antara warganya.”

Komunitas Samin sendiri, dalam perlawanan terhadap keberadaan pabrik semen yang dimulai dari Pati pun, memiliki sikap yang berbeda. Tak semua anggota komunitas ingin melawan. Ada bagian kelompok Samin di Pati yang memilih untuk tak memihak pihak mana pun, asalkan bisnis tak mengancam keberadaan mereka (Putri, 2017). Dukungan terhadap aksi yang dilakukan Gunarti dan Gunretno di Sukolilo, Pati, memang mendapatkan simpati dari komunitas Samin di Kudus maupun berhasil menggerakkan masyarakat di Rembang sampai membentuk JMPPK.  

Komunitas Samin lainnya di Klopoduwur, Blora, maupun Bojonegoro bahkan di Pati sendiri tak sepakat dengan cara yang dilakukan oleh JMPPK, yaitu dengan membawa identitas saminisme. Mereka yang tak setuju menganggap bahwa cara yang digunakan tak mencerminkan ajaran Samin Surosentiko; sebab perlawanan tak dilakukan secara pasif dan terselubung (Putri, 2017). Mereka yang menolak cara JMPPK mengklaim tak ingin terlibat dalam persoalan apa pun yang tak ada kaitannya dengan “ajaran komunitas Samin.” Mereka melihat bahwa JMPPK tak mencerminkan ajaran saminisme lainnya pula, yang menganggap lebih mengutamakan mengolah lahan dibandingkan melakukan aksi protes jarak jauh maupun ikut mengadvokasi warga di daerah lain. Itu semua dianggap “mencampuri urusan orang lain” (Putri, 2017). 

Gunretno sendiri menjadi “tokoh sentral” dalam JMPPK yang terhubung dengan para akademisi dan LSM level lokal dan nasional. Kalangan akademisi sendiri terlibat dalam penolakan tambang, karena risau dengan Amdal yang dipandang “cacat” (Syam, 2016). Warga lainnya pada dasarnya “hanya menunggu” kajian tandingan atas perizinan yang bermasalah dan tentu saja kalangan akademisi dan jejaring LSM-lah yang bisa mengerjakannya, termasuk dalam proses di pengadilan. Beberapa petani penolak tambang yang tadinya terlibat dalam JMPPK sendiri memilih keluar sebab peran Gunretno dipandang terlalu “dominan” dalam memutuskan strategi (Syam, 2016).

Mereka yang keluar dari JMPPK membentuk Lingkar Kendeng Sejahtera (Likra) dengan membangun aliansi sendiri dengan nama Aliansi Ahli Waris Pegunungan Kendeng. Aliansi tersebut menggunakan cara yang lebih “keras” dibandingkan JMPPK, seperti memblokade jalan Pantura Pati-Kudus saat arus balik Lebaran pada 23 Juli 2015 (Syam, 2016). JMPPK tetap berpegang pada cara yang lebih soft dengan tetap bergantung pada peran akademisi dan LSM “yang dianggap lebih paham” dalam berjuang melalui jalur formal. 

Perpecahan tersebut tentunya menambah persoalan sendiri di dalam gerakan warga, sementara strategi sepenuhnya bergantung pada peran akademisi dan LSM kenyataannya juga tak mampu menerabas struktur ekonomi politik yang memihak ekspansi bisnis semen (Syam, 2016). 

Alasan orang Samin yang memilih mendukung investasi semen adalah adanya bantuan dari perusahaan. Awalnya mereka memilih “bersikap diam” ketika muncul penolakan dari Mbah Tarno, seorang sepuh orang Samin di Sukolilo, Pati, terhadap investasi semen (Novianto, 2018). Wafatnya Mbah Tarno secara otomatis membuat kooptasi terhadap orang Samin menjadi semakin kentara, terutama sejak masuknya PT SMS pada 2011 di Kayen dan Tambakromo, Pati. Orang Samin yang terlibat dalam gerakan penolakan semen bahkan diklaim tak mencapai 5 persen dari jumlah orang yang terlibat dalam menghadapi masuknya investasi (Novianto, 2018). Gerakan yang dikemas dengan identitas saminisme bukannya atas nama masyarakat Pegunungan Kendeng Utara justru memperkeruh perpecahan internal warga. 

Kajian Novianto (2018) bahkan menunjukkan bahwa beberapa orang di dalam JMPPK menilai koordinator merekalah yang “menikmati hasil dari gerakan.” Mereka menilai bahwa koordinator JMPPK menjadi tenar dan diundang ke berbagai tempat serta menjadi rujukan bagi para peneliti dan wartawan. Koordinator JMPPK bahkan menurut kajian Novianto (2018) mendapatkan hibah program tanaman obat tradisional pada 2011 dari perusahaan jamu ternama dengan nilai Rp150 juta (Novianto, 2018). Koordinator JMPPK bahkan sempat mendapatkan mosi tidak percaya yang ditandatangani 27 anggota. Hibah dari perusahaan jamu akhirnya digunakan sebagai pinjaman secara bergilir bagi anggota JMPPK. Akibat penerima pinjaman yang sedikit, akhirnya dana yang ada digunakan untuk membeli lahan di Sukolilo seluas 1/3 hektare, digunakan bersama-sama untuk bertani dan pendanaan gerakan (Novianto, 2018). 

Perseteruan internal di JMPPK sempat menguat. Mereka yang kontra dengan koordinator JMPPK akhirnya dikeluarkan dan membentuk Likra–seperti yang  sebelumnya sudah disinggung. Beberapa orang dari Likra, menurut kajian, ternyata terbukti menerima CSR dari Indocement sehingga dikeluarkan dari organisasi. Likra terakhir beralih nama menjadi Aliansi Rakyat Kendeng Berdaulat (Novianto, 2018). Hadirnya film Sikep Samin Semen yang ditopang oleh perusahaan menjadi alat bagi mereka yang telah dikooptasi untuk menyatakan di berbagai tempat, termasuk di luar wilayah Pegunungan Kendeng Utara, bahwa pihak yang melawan investasi semen hanya memanfaatkan identitas orang Samin. Mereka mengklaim bahwa tak mungkin orang Samin melakukan perlawanan secara terbuka dan aktif, sehingga pihak yang melawan pabrik semen dianggap hanya melakukan kampanye untuk menguntungkan LSM dalam mendapatkan donor internasional (Novianto, 2018). 

Gerakan sosial di Pegunungan Kendeng Utara sebagai “masyarakat sipil” artinya pula menjadi medan mobilisasi berbagai pengetahuan, tak hanya dari suprastruktur melainkan juga pihak “yang mengklaim memihak warga” sebatas untuk menjadi bagian dari struktur yang hegemonik (Kalt, 2024). Saling silang mobilisasi pengetahuan artinya tak hanya secara vertikal dan timbal balik, tetapi juga berebut dukungan atas agenda mana yang akan “dimenangkan” di antara sesama warga yang juga “saling berebut keuntungan” dari suprastruktur sendiri.

Kelompok warga yang “di bawah” tak hanya menjadi “objek embusan pengetahuan hegemonik” dari suprastruktur, melainkan secara aktif juga “menangkap kepentingan di atas” dan “mengolahnya menjadi pengetahuan yang sesuai dengan kepentingan material mereka.” Perang posisi yang coba dilakukan oleh JMPPK bersama jejaringnya belum mampu meresapkan pengetahuan alternatif di dalam “masyarakat sipil” apalagi menerabas suprastruktur (Kalt, 2024). Revolusi pasif yang dibayangkan sebagai perubahan formasi sosial dengan adanya “penerabasan” melalui aliansi warga dari “bawah ke atas” belum terjadi.


Kesimpulan

Gerakan warga Pegunungan Kendeng Utara yang bermula dari JMPPK di Pati masih menghadapi belenggu luar biasa untuk dapat menggagalkan ekspansi pabrik semen, sebab perusahaan dengan pemerintah berhasil mengoneksikan warga lainnya untuk mendukung investasi. “Warga” pada dasarnya menjadi medan yang saling diperebutkan dalam pertarungan pengetahuan dan kepentingan material untuk memuluskan masuknya investasi semen. 

JMPPK sendiri tak mampu secara efektif “merangkul” seluruh komunitas Samin di Pegunungan Kendeng Utara, yang berujung pada pertentangan mengenai siapa yang “berhak” menggunakan identitas saminisme. Jejaring mereka dengan kalangan akademisi dan LSM belum mampu menembus kelompok warga lain dan dalam kondisi tertentu menjadi bergantung pada pihak luar dengan “menyerahkan pada proses teknokratis pula” tanpa diikuti dengan pendidikan publik secara masif. 

JMPPK apalagi memiliki “aksi-aksi yang dilakukan secara sporadis,” sehingga pendampingnya sendiri harus perlahan mengikuti ritme mereka. Cara yang sporadis itu pulalah yang membuat warga lain yang sudah terkooptasi tak diberikan konter pengetahuan tandingan dan justru “dimusuhi”, begitu pula dengan anggota JMPPK sendiri yang terkooptasi akan langsung dieksklusi. Alih-alih menuju proses transformasi, rekomendasi yang ada di dalam KLHS yang dibayangkan mampu menata ulang konfigurasi sosial dan alam tak berjalan sebab “gerakan sendiri lemah dan diperlemah” serta digerogoti dari berbagai sisi. Perusahaan semen di sisi lain sebagai bagian dari struktur hegemonik dapat berjalan mulus dengan sokongan kuat.


Daftar Pustaka

Ardianto, H. T. (2016). Mitos Tambang untuk Kesejahteraan: Pertarungan Wacana Kesejahteraan dalam Kebijakan Pertambangan. PolGov.

Ardianto, H. T. (2019). Kritik Pembangunan Desa Dari Luar: Desa Dan Proyek Pertambangan Skala Besar. Jurnal Politik Profetik, 7(1), 36–58.

Batubara, B. (2015). Instrumen Kekuasaan dalam Kasus Rembang . In Dwicipta & H. T. Ardianto (Eds.), #Rembang Melawan Membongkar Fantasi Pertambangan Semen di Pegunungan Kendeng (pp. 92–108). Literasi Press bekerjasama dengan Ladang Kata.

D’Alisa, G., & Kallis, G. (2016). A political ecology of maladaptation: Insights from a Gramscian theory of the State. Global Environmental Change, 38, 230–242.

Faizi, F., Lukito, R., & Fauzan, A. U. (2022). The Champion Of The Grassroots Revisited: An Episode of Emha Ainun Najib’s Stage Performance and Environmental Activism against Cement-Mining Corporations in Northern Kendeng of Pati, Indonesia. Episteme: Jurnal Pengembangan Ilmu Keislaman, 17(2), 116–141.

Hadi, S. P., Purnaweni, H., & Prabawani, B. (2019). The Powerless of Strategic Environmental Assessment (SEA): A Case Studies of North Kendeng Mountain Area, Central Java, Indonesia. E3S Web of Conferences , 1–3.

Hadi, S. P., Purnaweni, H., Prabawani, B., & Hamdani, R. S. (2020). Community Movement for Sustainable Use of Natural Resources: Case study of North Kendeng Mountain Area, Central Java, Indonesia. IOP Conf. Series: Earth and Environmental Science , 1–4.

Isnur, M. (2017). Menjaga Ibu Bumi, Merawat Ibu Pertiwi. Majalah Bantuan Hukum, 1, 24–34.

Kalt, T. (2024). Transition conflicts: A Gramscian political ecology perspective on the contested nature of sustainability transitions. Environmental Innovation and Societal Transitions, 50, 1–13.

Mann, G. (2009). Should political ecology be Marxist? A case for Gramsci’s historical materialism. Geoforum, 40, 335–344.

Novianto, A. (2018). Berebut Saminisme: Artikulasi Politik Masyarakat Adat dalam Konflik Pembangunan Pabrik Semen di Pegunungan Kendeng. In W. Kumorotomo & Y. Purbokusumo (Eds.), Kebijakan Publik dalam Pusaran Perubahan Ideologi dari Kuasa Negara ke Dominasi Pasar (pp. 228–255). UGM Press.

Novianto, A., Effendi, K. C., & Purbokusumo, Y. (2021). The Politics of Virtue for Capital Accumulation: CSR and Social Conflict in the Construction of the Indocement Factory in Pati, Indonesia. PCD Journal, 9(2), 101–120.

Novianto, A., & Wulansari, A. D. (2023). Responding to Elite Consolidation: the Anti-Cement-Factory Movement Resisting Oligarchy in an Indonesian Local Election. Jurnal Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik, 26(3), 298–310.

Prabawani, B., Hadi, S. P., Purnaweni, H., & Pinem, R. J. (2018). Power Distance on the Utilization of Kendeng Mountain Resources. 3rd International Conference on Indonesian Social & Political Enquiries (ICISPE 2018), 154–158.

Purnaweni, H., Kismartini, Pratama, A. B., & Wulandari, C. (2019). Conflict among stakeholders in karst area management of Pati Regency. The 1st International Conference on Environmental Sciences , 1–7.

Puryanto, S., & Suyahmo. (2019). Strategi Gerakan Perlawanan Sosial Masyarakat Rembang Dalam Menolak Korporasi Pabrik Semen. Dialogia: Jurnal Studi Islam Dan Sosial, 17(2), 181–200.

Putri, P. S. (2017). Re-Claiming Lost Possessions: A Study of the Javanese Samin (Sedulur Sikep) Movement to maintain their Peasant Identity and Access to Resources [Master Thesis]. University of Oslo.

Rini, H. S., & Maratussholihah, I. A. (2018). Social Reconciliation: Re-establish Post-conflict Social Ties in Kendeng Mountain Area. 1st International Conference on Social Sciences and Interdisciplinary Studies (ICSSIS 2018), 68–73.

Rokhmad, A. (2020). Configuration and the Role of Community Leaders in the Conflict of Natural Resources of Limestone Mining for the Cement Industry in Rembang Indonesia. International Journal of Energy Economics and Policy, 10(2), 521–528.

Syam, M. (2016). Jaringan Penolakan Industri Tambang di Pegunungan Kendeng Utara. https://sajogyo-institute.org/jaringan-penolakan-industri-tambang-di-pegunungan-kendeng-utara/ 

Syatori, A. (2015). Tanggung Jawab Kampus dan Ilmu Pengetahuan Atas Persoalan Kemanusiaan. In Dwicipta & H. T. Ardianto (Eds.), #Rembang Melawan Membongkar Fantasi Pertambangan Semen di Pegunungan Kendeng (pp. 76–84). Literasi Press bekerjasama dengan Ladang Kata.

Tim Pelaksanaan KLHS untuk Kebijakan Pemanfaatan dan Pengelolaan Pegunungan Kendeng yang Berkelanjutan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. (2017). Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) Kebijakan Pemanfaatan dan Pengelolaan Pegunungan Kendeng yang Berkelanjutan Tahap 1 Kawasan Cekungan Air Tanah (CAT) Watuputih & Sekitarnya, Kabupaten Rembang. https://www.mongabay.co.id/wp-content/uploads/2017/04/Laporan-KLHS-Tahap-I.pdf


 Anggalih Bayu Muh Kamim, Mahasiswa Magister Sosiologi Pedesaan, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor

]]>
Hubungan Partai dan Gerakan: Berkaca dari Pengalaman Eropa, Amerika Latin dan Afrika https://indoprogress.com/2024/04/hubungan-partai-dan-gerakan/ Sun, 07 Apr 2024 00:23:53 +0000 https://indoprogress.com/?p=238063

Ilustrasi: Illustruth


Pengantar Penerjemah

BAGI banyak kaum sosialis, model politik klasik sumbernya bisa ditelusuri ke partai-partai sayap kiri yang berakar pada gerakan buruh yang terbentuk di Eropa lebih dari seratus tahun yang lalu. Saat ini, banyak dari tujuan-tujuan utama sayap kiri dan lawan utamanya masih tetap sama, tetapi kondisi di mana kaum sosialis mengejar tujuan-tujuan tersebut kini telah berubah secara drastis. Selain itu, iklim sosial dan politik juga telah sangat bervariasi di seluruh planet kita yang tidak setara ini.

Menghadapi tantangan yang sangat berbeda tersebut, editor Dissent, Nick Serpe, bulan Oktober 2023 lalu menggelar perbincangan meja bundar yang mempertemukan para akademisi yang berfokus pada wilayah yang berbeda untuk membantu kita memahami tantangan-tantangan yang dihadapi oleh formasi politik kiri dan gerakan-gerakan rakyat di seluruh dunia. Mereka adalah Sheri Berman, Andre Pagliarini, dan Zachariah Mampilly. Apa kesamaan yang mereka miliki? Di mana letak perbedaan perspektif mereka? Apa yang membawa mereka ke titik ini–dan ke mana tujuan mereka?


Wawancara Utama

Nick Serpe: Mari kita mulai dengan satu cerita tentang apa yang sedang terjadi dengan kaum kiri, khususnya di belahan Dunia Utara (Global North): perkembangan dari apa yang disebut Thomas Piketty sebagai kaum kiri Brahmana, melawan kaum kanan populis, di tengah-tengah kesepakatan kelas. Sheri, apakah cerita ini merupakan kerangka kerja yang baik untuk memikirkan tantangan-tantangan yang ada di Eropa saat ini?

Sheri Berman: Jelas ada sebuah cerita yang bisa dituturkan tentang bagaimana kelompok-kelompok yang memilih partai-partai sayap kiri telah bergeser selama beberapa dekade terakhir. Orang-orang khawatir dengan partai-partai populis sayap kanan bukan hanya karena mereka berpotensi mengancam demokrasi, tapi juga karena mereka telah merebut hati pemilih tradisional partai-partai kiri dari kalangan kelas pekerja dalam jumlah yang signifikan. Piketty telah banyak menulis tentang bagaimana sayap kiri saat ini sering kali lebih diasosiasikan dengan orang-orang seperti mereka yang membaca Dissent–orang-orang berpendidikan tinggi, kelas menengah yang liberal secara sosial dan mungkin juga liberal secara ekonomi, tetapi lebih banyak didefinisikan oleh yang pertama daripada yang kedua.

Penting untuk dicatat bahwa kaum kiri pascaperang di Eropa dan Amerika Serikat tidak pernah mendapatkan suara sepenuhnya dari kelas pekerja, karena kelas pekerja tidak pernah menjadi mayoritas pemilih seperti yang diperkirakan Marx dan yang lainnya. Karena itu, membangun koalisi lintas kelas selalu menjadi bagian dari strategi kaum kiri demokratik. Problemnya, kini keseimbangan koalisi tersebut telah bergeser, dan para pemimpin, para aktivis, dan sebagian besar pemilih telah menjadi lebih terdidik dan lebih banyak berasal dari kelas menengah. Pergeseran ini telah mengubah makna kiri secara substansial, tidak hanya untuk memahami kiri tetapi juga untuk memahami mengapa partai-partai populis sayap kanan berhasil mendapatkan daya tarik.

Serpe: Andre, Brasil menawarkan sebuah kasus koalisi lintas kelas yang signifikan di sebelah kiri. Apakah koalisi ini telah berubah sejak Lula pertama kali terpilih dua puluh tahun yang lalu?

Andre Pagliarini: Salah satu isu utama dalam pemilu terakhir di Brasil adalah deindustrialisasi yang telah berlangsung selama beberapa dekade. Lula sangat mencurahkan perhatiannya pada tren tersebut, dan fakta bahwa ekonomi Brasil semakin bergantung pada agrobisnis, yang merupakan bagian dari koalisi pemilihan Jair Bolsonaro–jenis kekuatan ekonomi yang menghancurkan hutan hujan di Amazon untuk mendapatkan lebih banyak lahan penggembalaan. Terdapat perselisihan yang mencolok antara visi yang berbeda ini.

Perlu diketahui bahwa Brasil adalah negara dengan lebih dari dua lusin partai politik. Sebagian besar dari mereka tidak memiliki kejelasan ideologi. Partai Buruh (PT/ O Partido dos Trabalhadore) adalah salah satu dari sedikit pengecualian. Partai tempat Bolsonaro bertarung memperebutkan kursi kepresidenan, Partai Liberal, adalah partai yang tidak dikenal sampai ia bergabung. Sekarang, partai ini adalah partai terbesar di kongres, dan PT berada di urutan kedua. Kedua tokoh ini (Lula dan Bolsonaro) menghasilkan polarisasi pemilih hingga ke tingkat yang belum pernah terjadi di masa lalu di Brasil.

Serpe: Zachariah, Anda menulis sebuah artikel untuk Dissent pada ulang tahun kesepuluh Occupy tentang mengapa kaum kiri Barat mengabaikan Occupy Nigeria, dan secara umum hanya memberikan sedikit perhatian pada gerakan-gerakan rakyat Afrika. Sejauh mana percakapan tentang kiri ini memetakan dinamika gerakan-gerakan ini, yang bahkan mungkin tidak diidentikkan dengan kiri?

Zachariah Mampilly: Banyak dinamika yang diidentifikasi oleh Piketty bahkan lebih terlihat dalam konteks Afrika, dan di Asia Selatan, di mana telah terjadi lonjakan besar dalam ketidaksetaraan, berbeda dengan tahun 1970-an dan 1980-an, ketika tempat-tempat ini sangat miskin tetapi jauh lebih setara. Di Amerika Serikat, kita sering mencampuradukkan posisi kiri dan posisi liberal; bahasa kiri diterapkan pada hal-hal yang secara historis tidak disukai oleh kaum kiri, seperti kebangkitan politik identitas yang hanya memiliki sedikit ketertarikan pada isu-isu kelas. Kontradiksi-kontradiksi tersebut mungkin lebih terlihat di beberapa bagian di Dunia Selatan (Global South) daripada di Barat.

Apa yang saya maksudkan dengan hal itu? Jika Anda melihat lanskap gerakan rakyat Afrika, banyak dari mereka mengartikulasikan posisi yang sangat terkait dengan kondisi material-realitas pertumbuhan yang luar biasa yang terjadi di seluruh Dunia Selatan yang terkonsentrasi di tangan minoritas yang sangat sempit. Salah satu tantangan yang kami hadapi adalah mencoba untuk memahami apa sebenarnya politik mereka. Mereka tidak menggunakan bahasa yang secara historis diasosiasikan dengan kaum kiri di Amerika Serikat. Mereka mengartikulasikan serangkaian tuntutan yang jauh lebih abstrak di sekitar transformasi mendasar dari sistem. Apa yang kurang dari mereka adalah basis institusional untuk mewujudkan politik ini. Anda melihat peningkatan keterputusan ini tidak hanya dalam kesenjangan kelas yang semakin besar, tetapi juga dalam hal kurangnya aliansi antara, katakanlah, kekuatan-kekuatan Occupy dan partai politik mana pun yang mencoba untuk menangkap energi tersebut dan membuatnya menjadi kenyataan dalam politik Nigeria. Masalahnya bukanlah populisme sayap kanan, tetapi populisme sayap kiri tanpa pemimpin atau saluran institusional.

Serpe: Apa yang menyebabkan keterputusan hubungan antara gerakan-gerakan untuk demokrasi dan kesetaraan dengan partai-partai politik?

Mampilly: Kita harus kembali ke tahun 1990-an dan melihat pendisiplinan partai-partai oposisi di Afrika. Afrika Selatan adalah contoh paling menonjol. Partai komunis dan partai-partai kiri lainnya memainkan peran sentral dalam meruntuhkan rezim apartheid, namun ketika “dispensasi baru” (pemerintahan baru pasca-apartheid) berkuasa dengan partai komunis sebagai bagian dari koalisi tersebut, hampir semua kebijakan ekonomi yang diterapkan bersifat neoliberal. Di seluruh lanskap Afrika, sepanjang tahun 1980-an dan 1990-an, terdapat sekumpulan partai komunis yang kuat. Banyak dari mereka dilarang oleh rezim yang berkuasa, tetapi mereka masih menjadi ruang intelektual dan politik yang sangat hidup. Saat ini, ketiadaan partai-partai kiri di seluruh Afrika sangat mencolok.

Serpe: Kita telah mengalami lebih dari satu dekade gerakan protes besar di seluruh dunia. Tampaknya cerita di Amerika Latin agak berbeda, karena ada partai-partai sayap kiri dari berbagai garis yang sukses merespons momentum populer ini. Gelombang Merah Muda (Pink Tide) dimulai jauh sebelum momen ini.

Pagliarini: Satu episode baru-baru ini di Brasil terkait dengan apa yang Zachariah sebutkan–bagaimana politik identitas berinteraksi dengan strategi pemerintahan. Lula memiliki kesempatan untuk memilih seorang hakim agung yang baru, dan ada gerakan akar rumput yang kuat yang mendesaknya untuk menunjuk seorang perempuan kulit hitam. Berbagai organisasi Afro-Brasil menyusun sebuah manifesto yang meminta Lula untuk mempertimbangkannya. Jumlah reaksi yang diterima di media sosial dan dari beberapa anggota PT, yang mengklaim berbicara atas nama basis kelas pekerja yang lebih tradisional, sangat mengejutkan banyak pihak. Mereka menyebut politik identitas semacam ini sebagai pemaksaan imperialis dari Dunia Utara, dan berpendapat bahwa tidak ada jaminan bahwa hakim kulit hitam akan menjadi progresif, sehingga presiden harus memilih siapa yang secara pribadi diyakininya sebagai orang terbaik untuk pekerjaan itu. Pilihan pertamanya untuk Mahkamah Agung, pada awal tahun ini, adalah seorang pria kulit putih berambut pirang–pengacara pribadinya saat ia menghadapi tuduhan korupsi. Dan sekarang, sepertinya dia tidak akan menunjuk seorang wanita kulit hitam untuk menjadi hakim agung.

Ini adalah momen yang sangat berbeda dari Pink Tide. Ketika PT muncul pada akhir tahun 1970-an dan awal 1980-an, partai ini merupakan semacam partai pelopor (vanguard party). Ada ketegangan LGBT di dalam partai. Ada ketegangan identitas Afro. Pada saat itu, penyebab ketegangan-ketegangan tidak ditangani oleh kaum kiri Brasil selama beberapa dekade. Saat ini, meskipun kekuatan-kekuatan ini masih ada di dalam PT, Partai Sosialisme dan Kebebasan (PSOL)–partai Marielle Franco, anggota dewan kota Rio yang dibunuh pada tahun 2018–telah merangkul isu-isu ini dengan lebih nyata. Partai ini memiliki transpuan yang terpilih menjadi anggota kongres. Ada pula tokoh seperti Guilherme Boulos, yang tampaknya akan menjadi kandidat PSOL untuk wali kota São Paulo tahun depan, kota terbesar di Amerika Latin. Ia adalah bagian dari gerakan sosial perkotaan yang menganggap bahwa menempati rumah-rumah yang ditinggalkan secara strategis sangat penting.

PT adalah partai yang kuat dan berpengalaman. Namun, satu hal yang telah kita lihat sejak Lula dilantik Januari lalu adalah kewaspadaan partai ini terhadap kerentanan demokrasi Brasil setelah Bolsonaro–gagasan bahwa PT perlu berhati-hati untuk tidak menekan terlalu keras pada isu-isu tertentu. Tidak memaksakan kehendak, misalnya, dalam hal aborsi, yang ilegal di Brasil kecuali dalam kondisi yang ekstrem. Kehati-hatian ini tidak ada pada Pink Tide yang asli, yang didefinisikan dengan tindakan yang berani dan progresif dalam hal kebijakan. Saya tidak ingin mengecilkannya, karena ini adalah hal yang besar, namun yang paling terlihat dari Lula sejauh ini adalah kebangkitan kembali dari agenda sebelumnya. Kita tidak melihat adanya lonjakan pemikiran baru yang kreatif. Hal ini menunjukkan adanya kendala baru pada saat ini.

Serpe: Sheri, di Eropa, telah terjadi penurunan keanggotaan partai yang cukup universal, tanpa memandang ideologi. Seberapa besar pengaruhnya terhadap prospek partai-partai kiri, yang secara tradisional berakar pada politik massa dan memiliki basis yang terorganisir?

Berman: Hingga dekade pascaperang, partai-partai politik di Eropa sangat kuat, dalam arti memiliki keanggotaan massa. Partai-partai memiliki hubungan yang luas dengan berbagai macam organisasi masyarakat sipil, termasuk serikat pekerja, dan mereka adalah organisasi yang mencakup semuanya. Pada masa kejayaan SPD Jerman, ada pepatah yang mengatakan bahwa Anda dapat hidup di dalamnya sejak dari buaian hingga liang lahat. Anda bisa lahir di rumah sakit dan dirawat oleh perawat yang berafiliasi dengan partai, lalu pemakaman Anda akan didanai sebagian oleh asosiasi pemakaman gerakan sosialis. Kini, hal-hal seperti itu tinggal menjadi cerita nostalgik. Dan kemunduran partai semacam itu memengaruhi jenis kebijakan yang ditawarkan partai-partai tersebut. Dan kemudian kebijakan-kebijakan itu mendorong orang semakin menjauh dari mengidentifikasi dirinya dengan partai.

Kami menggunakan istilah “keberpihakan” secara merendahkan di Amerika Serikat, karena jika terlalu kuat, hal ini dapat menyebabkan polarisasi dan perpecahan yang dapat menjadi masalah bagi demokrasi. Namun, itulah yang terjadi di Eropa pada dekade-dekade awal pascaperang, dan hal ini memperkuat demokrasi. Hal ini benar-benar tergantung pada jenis isu yang menjadi polarisasi masyarakat, dan jenis partai yang menjadi partisan mereka.

Peran penting lain yang dimainkan oleh partai-partai kiri demokratis di Eropa adalah menstabilkan demokrasi setelah tahun 1945, bukan hanya karena mereka berkomitmen pada sistem, tetapi karena mengintegrasikan masyarakat yang kurang beruntung–pemilih berpendidikan dan berpenghasilan rendah–ke dalam demokrasi. Jadi kemunduran partai-partai ini terkait dengan pertanyaan-pertanyaan yang lebih besar mengenai pembusukan demokrasi.

Serpe: Demokrasi adalah ruang terbaik untuk putaran selanjutnya. Andre, pengalaman kepresidenan Bolsonaro menimbulkan pertanyaan besar tentang rapuhnya demokrasi Brasil. Apakah ini telah mengubah pendekatan kaum kiri dalam memerintah, atau dalam berkampanye? Apakah demokrasi telah menjadi isu utama?

Pagliarini: Dalam beberapa tahun terakhir, politik global telah mempertanyakan kembali hal-hal yang, baik atau buruk,  yang menganggap bahwa demokrasi adalah pilihan terbaik. Dalam kasus Brasil, sejak kembalinya demokrasi pada tahun 1980-an, sebelum kemunculan Bolsonaro, kami tidak pernah melihat seorang kandidat yang mencalonkan dirinya untuk jabatan publik secara eksplisit merayakan kudeta militer tahun 1964 dan rezim kediktatoran yang mengikutinya.

Brasil sangat berbeda dengan, katakanlah, Cile, di mana terdapat kasus-kasus hukum yang diajukan terhadap para diktator dan penyiksa. Brasil menandatangani undang-undang amnesti pada tahun 1979 yang pada dasarnya melindungi militer saat mereka bersiap untuk meninggalkan panggung kekuasaan. Hal ini memiliki konsekuensi historis. Amnesti itu membantu melanggengkan narasi bahwa apa yang dilakukan militer pada tahun-tahun tersebut dapat dibenarkan karena kondisi politik yang lebih luas.

Bolsonaro datang pada saat yang penting dalam sejarah negara ini: bencana ekonomi dan krisis politik. Dilma Rousseff, penerus Lula, telah kehilangan kemampuan untuk memerintah. Namun, pada momen yang sama telah terjadi suksesi kandidat sentris atau kanan-tengah yang dikalahkan oleh PT dalam pemilihan umum. Jadi antara tahun 2016 dan 2018, para pemilih konservatif mencari-cari suara anti-PT yang paling ekstrem. Hal ini mirip dengan Amerika Serikat, di mana Donald Trump muncul setelah Mitt Romney dan John McCain kalah.

Bolsonaro telah menghabiskan kariernya sebagai anggota parlemen, ia seorang pengganggu (gadfly), yang mengatakan bahwa masalah dari kediktatoran adalah bahwa kediktatoran tidak berjalan cukup jauh–ia tidak membunuh cukup banyak orang. Pada tahun 2018, banyak yang memperingatkan bahwa mengangkat orang ini adalah bahaya nyata bagi demokrasi Brasil. Dia membawa Brasil ke tepian jurang serangkaian krisis konstitusional.

Jika Trump masih berkuasa ketika Brasil mengadakan pemilihan umum tahun 2022 lalu, kita mungkin akan melihat cerita yang sangat berbeda. Untungnya, pemerintahan Biden menunjukkan posisi yang sangat jelas bahwa jika pemerintah Bolsonaro mencoba melakukan sesuatu, Amerika Serikat tidak akan mendukung militer Brasil, dan sanksi akan menyusul. Jadi, ketika Bolsonaro mencoba untuk menyuarakan kepada para petinggi militer untuk melakukan kudeta, tidak ada dukungan, kecuali–kabarnya–panglima angkatan laut.

Seruan kudeta itu merupakan sebuah kejadian yang nyaris terjadi di Brasil, dan memecah belah orang-orang di kubu kiri. Beberapa orang penting di PT sangat marah karena CIA mengatakan sesuatu tentang pemilu Brasil. Orang-orang lain di sayap kiri mengatakan, “Bukankah lebih baik jika mereka mengatakan bahwa pemilu harus dihormati?”

Bolsonaro, pada tahun 2018, menyatakan bahwa jika demokrasi menghasilkan krisis politik dan ekonomi, kita harus mencoba sesuatu yang berbeda. Lula membantahnya–dengan mengatakan bahwa demokrasi di Brasil, seperti halnya di tempat lain, berantakan, sering kali tidak memuaskan, tetapi melalui cara-cara bertahap, kita dapat meningkatkan taraf hidup jutaan orang, seperti yang telah kita lakukan sebelumnya. Tahun lalu, argumen itu menang. Kekhawatiran saya adalah, setelah Lula meninggalkan panggung, apakah ada orang yang mampu menyampaikan argumen tersebut secara kredibel dalam konteks berbagai krisis yang saling tumpang tindih? Ini bukan momen Pink Tide yang baru. Seseorang seperti Lula bisa menang, tetapi saya tidak yakin ada orang lain yang bisa mempertahankan koalisi tersebut.

Mampilly: Satu pertanyaan yang sangat mengganggu saya adalah, mengapa kita mesti menghargai partai politik? Peran apa yang mereka mainkan dalam demokrasi? Dorongan untuk demokrasi multi-partai di Afrika muncul dari gagasan bahwa suara rakyat telah ditolak oleh otoritarianisme, dan memelihara serta mendukung partai-partai politik akan memberikan pilihan demokratis kepada rakyat. Namun, gagasan bahwa semakin banyak partai politik berarti demokrasi menjadi semakin baik dan kuat telah menjadi lelucon selama beberapa dekade ini. Khususnya di beberapa bagian dari Dunia Selatan, partai-partai politik merupakan alat atau preferensi komunitas internasional, tanpa hubungan langsung dengan kehendak rakyat. Faktanya memang tidak selalu demkian: jika kita melihat gerakan anti-kolonial di banyak bagian Afrika, partai-partai politik muncul dari gerakan sosial. Namun, saat ini partai-partai politik merupakan sarana untuk memperkaya diri para elite, hanya menjadi kendaraan para elite untuk mendapatkan atau mempertahankan kekuasaan, dan mereka sering kali kepentingannya sangat terputus dari kepentingan masyarakat yang lebih luas.

Gerakan sosial, seperti LUCHA di Republik Demokratik Kongo, merespons kenyataan tersebut. Mereka menolak untuk bersekutu dengan partai politik mana pun, meskipun mereka telah diminta untuk mendukungnya. Di seluruh Afrika, gerakan sosial pada umumnya menolak politik elektoral. Kenyataan ini adalah sesuatu yang harus kita semua perhitungkan. Mungkin kita seharusnya tidak terlalu terobsesi dengan kemunduran partai politik dan kita harus lebih memperhatikan formasi-formasi baru yang muncul, dan jenis-jenis politik institusional dan non-institusional yang mereka coba artikulasikan, meskipun tidak selalu berhasil seperti yang kita harapkan.

Berman: Menurut saya, kritik bahwa partai-partai dapat menjadi klientelistik dan korup, bahwa mereka dapat menjadi kendaraan bagi individu-individu yang tidak memiliki hubungan atau keinginan untuk mewakili akar rumput, adalah valid. Kritik-kritik tersebut juga berlaku di Eropa, yang memiliki sejarah partai dan demokrasi elektoral yang lebih panjang. Namun pertanyaannya adalah: apakah kita ingin membunuh tikus dengan membakar lumbung padinya sekaligus? Memang benar bahwa partai politik bisa berdampak negatif terhadap demokrasi, namun dapatkah kita membayangkan demokrasi yang berfungsi dengan baik tanpa sesuatu yang menyerupai partai politik? Pertanyaan itu tidak memiliki jawaban yang jelas bagi saya.

Partai-partai secara historis telah menjadi penghubung antara warga negara dan pemerintah; mereka menyatukan kepentingan, memobilisasi pemilih, menyediakan arus informasi bolak-balik, dan menghasilkan agenda politik yang beragam. Gerakan sosial–yang cenderung berfokus pada satu kepentingan atau satu kelompok–tidak memiliki struktur atau fungsi yang sama.

Pagliarini: Di Brasil, negara terbesar di Amerika Latin dan salah satu negara demokrasi terbesar di dunia, partai memang penting. Namun kini ada begitu banyak partai sehingga kepentingan relatifnya menjadi berkurang. Lula terpilih dengan PT, sebuah partai dengan visi sosial demokrasi yang kuat, tetapi ada sekitar tiga puluh partai di kongres. Untuk mengeksekusi apa pun yang dibicarakan dan dijanjikan Lula selama kampanye, ia membutuhkan dukungan dari banyak partai tersebut. Cara yang biasa dilakukan oleh para presiden Brasil adalah dengan membentuk lusinan kementerian–ada lebih dari dua puluh lima posisi kabinet–dan membagikannya secara proporsional, sesuai dengan representasi di kongres. Jadi, Lula memiliki kabinet yang diisi oleh orang-orang dari kelompok kanan-tengah yang dulunya mendukung Bolsonaro. Insentifnya adalah menciptakan partai kecil yang benar-benar terpisah dari konstituen alamiah apa pun, karena di negara yang sangat terpecah belah, lima suara di kongres sangat berarti, dan Anda memiliki presiden yang mendatangi Anda dan berkata, “Apa yang Anda inginkan? Apa yang Anda butuhkan?” Dilma ditinggalkan oleh basis yang berubah-ubah ini ketika ekonomi memburuk, dan dia diusir dari kekuasaan.

Mampilly: Sheri telah memberikan pembelaan yang kuat atas peran yang dimainkan partai politik dalam demokrasi, dan saya terpikat dengan era keemasan di Eropa yang ia gambarkan. Di belahan dunia yang saya perhatikan, Asia Selatan dan Afrika, ada beberapa contoh partai politik yang mungkin memenuhi standar tersebut: Partai Komunis India adalah partai yang bisa Anda ikuti sejak muda hingga tua. Pejuang Kebebasan Ekonomi di Afrika Selatan juga mencoba membangun struktur partai yang menyediakan berbagai layanan kepada masyarakat sambil juga mencoba mengartikulasikan sudut pandang di badan legislatif yang mewakili konstituen mereka. Namun di luar itu, sulit untuk memikirkan contoh-contohnya.

Hal ini menimbulkan pertanyaan bagi saya: dari mana kita membuat generalisasi? Haruskah kita mengistimewakan era keemasan partai-partai politik di Eropa, dan menyarankan bahwa seperti itulah seharusnya demokrasi? Atau haruskah kita melihat para aktivis yang saya ajak bicara di Republik Demokratik Kongo? Di seluruh Dunia Selatan, setidaknya, jelas bahwa Kongo tidak terkecuali. Kita mungkin mengabaikan bentuk-bentuk demokrasi ini; kita mungkin mengatakan bahwa demokrasi Afrika belum sepenuhnya matang. Namun pada akhirnya, jenis demokrasi yang berlaku di banyak tempat ini adalah proses yang sangat sinis di mana partai politik tidak berpura-pura mewakili kehendak publik.

Pertanyaan berikutnya adalah apakah ada suatu lintasan yang dapat digunakan untuk mengubah elektoralisme dangkal yang berlaku di sebagian besar negara demokrasi Afrika menjadi bentuk yang lebih substantif, di mana partai-partai politik memainkan peran seperti yang kita inginkan. Pada titik ini, hal tersebut masih jauh dari yang bisa dibayangkan di tempat seperti Republik Demokratik Kongo, di mana partai-partai politik maupun sistem pemilihan umum tidak memungkinkan partai-partai semacam itu untuk eksis dan berfungsi.

LUCHA muncul dari orang-orang yang berusaha mencegah presiden mencalonkan diri untuk masa jabatan ketiga. Semula adalah upaya untuk membuat demokrasi lebih kuat. Dan kemudian presiden memutuskan untuk tetap bertahan untuk masa jabatan berikutnya. Ketika ia akhirnya setuju untuk mundur dari kekuasaan, ia melarang beberapa kandidat oposisi untuk mencalonkan diri, dan kemudian ketika pemilihan berlangsung, ia lantas menyisihkan sosok yang memenangkan suara terbanyak, dan menempatkan kandidat dengan suara terbanyak kedua ke dalam jabatannya. Dan dia melakukan hal itu dengan persetujuan penuh dari pemerintah AS dan komunitas internasional yang lebih besar, yang dengan segera menyatakan dukungannya terhadap transisi demokratis yang damai.

Jadi, mengapa para aktivis ini terus percaya bahwa bentuk demokrasi yang dipaksakan kepada mereka lebih unggul daripada versi demokrasi yang dipimpin oleh gerakan yang coba mereka perjuangkan? Saya, misalnya, akan sulit mengatakan kepada mereka bahwa mereka salah; bahwa mereka seharusnya, seperti yang dikatakan oleh Departemen Luar Negeri AS, menyalurkan upaya mereka untuk mendukung proses politik yang ada dan percaya pada sistem pemilihan umum.

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.

Berman: Demokrasi bukan hanya soal pemilihan umum yang bebas dan adil. Demokrasi lebih dari itu. Demokrasi yang berfungsi dengan baik membutuhkan gerakan sosial, karena masyarakat memiliki hak untuk berorganisasi untuk mencoba mencapai tujuan kolektif apa pun yang mereka inginkan yang tidak secara langsung berkaitan dengan akses ke kekuasaan politik atau memenangkan pemilihan umum. Namun demokrasi tidak akan ada tanpa pemilihan umum yang bebas dan adil.

Saya tidak mengatakan bahwa bentuk-bentuk demokrasi yang ada di berbagai belahan dunia, termasuk Eropa dan Amerika Serikat, adalah ideal. Tetapi jika Anda menginginkan sistem politik yang demokratis–yang memungkinkan rakyat memilih pemimpin dan pemerintahan mereka sendiri, berpartisipasi dalam proses politik, berorganisasi sesuai keinginan, dan berbicara dengan bebas–sangat sulit bagi saya untuk membayangkan bagaimana hal itu bisa terjadi tanpa adanya partai politik.

Siapa pun yang menyangkal bahwa bentuk-bentuk demokrasi yang ada di berbagai belahan dunia adalah korup, klientelistik, tidak lengkap, dan tidak berfungsi dengan baik, adalah orang yang buta. Dan indeks peringkat demokrasi mengklasifikasikan Kongo sebagai negara demokrasi hanya dalam nama saja, meskipun faktanya pemerintah dan organisasi internasional berpura-pura sebaliknya. Di sana bahkan tidak ada negara yang berfungsi dengan baik, jadi bagaimana Anda bisa memiliki demokrasi yang berfungsi dengan baik?

Pagliarini: Titik manisnya adalah budaya politik di mana Anda memiliki sistem kepartaian yang cukup responsif dan berkembang serta gerakan sosial yang kuat. Salah satu hal yang mencirikan Pink Tide adalah kesuksesannya dalam merebut tampuk kekuasaan negara melalui gerakan sosial yang demokratis. Para petani koka di Bolivia berada di belakang kemenangan Evo Morales; Lula dan PT keluar dari ‘zona nyaman’ pengorganisiran industri otomotif; pengorganisasian akar rumput di Venezuela mengantarkan Hugo Chavez ke tampuk kekuasaan. Tetapi sistem partai yang sehat dan produktif serta masyarakat sipil yang menghasilkan gerakan sosial yang responsif, keduanya bergantung pada sejarah. Tidak ada jaminan bahwa ketika Anda memiliki salah satunya, Anda akan mendapatkan yang lainnya.

Di Brasil, Anda memiliki gerakan sosial yang kuat, stabil, dan bersemangat, seperti MST (Movimento dos Trabalhadores Rurais Sem Terra), Gerakan Pekerja Tak Bertanah. Gerakan ini paling aktif, dan paling agresif, di bawah pemerintahan sayap kiri, karena asumsinya adalah pemerintah akan merespons tuntutan-tuntutannya. Sedangkan, pada tahun-tahun kepresidenan Bolsonaro, para pemimpin MST berdiam diri dan mempertahankan apa yang mereka miliki, agar mereka tidak kehilangan keuntungan yang sudah diperoleh selama beberapa dekade.

Momen terbaik untuk kemajuan material mayoritas rakyat Brasil terjadi ketika Anda memiliki partai berkuasa yang responsif terhadap gerakan sosial dan merasa bahwa hal tersebut tidak akan merugikan mereka secara politis. Dalam hal ini, masa jabatan ketiga Lula sangat berbeda dengan dua masa jabatan pertamanya. MST, misalnya, tidak puas dengan laju reformasi agraria, sebagian karena MST mendorong pemerintah sayap kiri dengan keras. Namun dalam konteks demokrasi yang rentan warisan Bolsonaro, dan Lula terpilih sebagai tokoh koalisi, ada lebih banyak keraguan untuk memenuhi keseluruhan tuntutan gerakan sosial sayap kiri.

Kita mungkin akan melihat sebuah patahan dari siklus kebaikan yang mendefinisikan era sebelumnya, di mana terdapat keselarasan antara gerakan sosial dan partai-partai yang berkuasa.

Mampilly: Pertanyaannya bagi saya adalah, ke arah mana kita akan bergerak? Kemunduran partai politik adalah sebuah keprihatinan terhadap visi demokrasi tertentu, tetapi juga disertai dengan ledakan gerakan sosial. Saya pikir arahnya sudah jelas saat ini: semakin banyak orang yang tidak percaya pada peran partai politik, dan semakin banyak orang yang percaya, setidaknya di tingkat jalanan, bahwa gerakan sosial adalah kendaraan yang lebih baik untuk membawa perubahan. Apakah hal itu benar secara empiris atau tidak, masih harus dibuktikan. Tetapi saya pikir kita harus lebih memperhatikan gerakan sosial bukan sebagai sesuatu yang dimaksudkan untuk memberi masukan kepada partai politik, tetapi untuk jenis-jenis praktik dan bentuk demokratis yang dapat mereka kembangkan dengan sendirinya.

Apa yang Anda lakukan ketika negara tidak lagi menjalankan perannya dalam memastikan tata kelola pemerintahan yang baik bagi warganya–suatu kondisi yang terjadi di sebagian besar negara di dunia saat ini? Saya bekerja dengan sebuah gerakan di Atlanta, AS, bernama Project South, yang bereksperimen dengan konsep tata kelola gerakan. Gerakan sosial menjadikan hubungan antara negara dan tata kelola pemerintahan sebagai perhatian serius. Tidak harus sebagai upaya jangka panjang untuk memperkuat demokrasi, tetapi sebagai respons yang lebih cepat terhadap ketidakmampuan negara dalam memerankan dirinya sebagai pemerintah yang baik.

LUCHA muncul di Kongo bagian timur, sebuah wilayah di mana negara telah gagal selama, setidaknya dua puluh lima tahun, untuk menyediakan pemerintahan yang layak bagi warganya. Alih-alih menaruh kepercayaan pada gagasan bahwa negara akan tiba-tiba mulai memainkan perannya sebagaimana seharusnya, LUCHA mulai terlibat dalam pemerintahan langsung, dalam bentuk apa yang bisa kita sebut sebagai masyarakat gotong royong. Misalnya, mereka menyediakan layanan bagi para pengungsi yang melarikan diri dari pertempuran di bagian lain negara itu.

Saya mengunjungi kamp-kamp di mana mereka menyediakan makanan pokok dan layanan kesehatan yang terbatas. Jelas, ini tidak cukup. Ini adalah tata kelola yang minimalis. Namun, mungkin ini lebih dari apa yang dilakukan oleh negara, dan dalam beberapa kasus, lebih dari apa yang dilakukan oleh komunitas internasional.

Serpe: Melihat kecenderungan ini, menurut Anda ke mana arah politik demokrasi dan egalitarianisme yang secara tradisional diasosiasikan dengan sayap kiri?

Mampilly:  Minggu lalu, saya bersama sekelompok intelektual Tiongkok yang memiliki visi negara yang berbeda dengan visi sosial demokratik klasik yang berasal dari Barat. Eksperimen Tiongkok dalam memikirkan kembali sifat kapitalisme, pemerintahan, dan sebagainya sangatlah penting. Beberapa hal yang telah dilakukan Tiongkok di dalam negeri sangat mengesankan, namun di tingkat global, hal ini tidak begitu jelas bagi saya.

Baik Cina dan Barat tampaknya bersaing untuk mendapatkan perhatian dan kepentingan dari para elite politik di banyak negara di Afrika dan Asia Selatan, yang secara keseluruhan mempersulit gerakan rakyat. Saya selalu menjadi pengkritik intervensi Barat di Afrika, tetapi saya bukan orang yang memandang kebangkitan Cina sebagai sesuatu yang selalu mengarah pada perbaikan, baik dalam hal dukungan untuk demokrasi atau pembangunan ekonomi. Barat semakin tidak relevan di banyak negara ini, dan kita harus mulai memperhitungkan peran yang akan dimainkan oleh Cina dan negara-negara Asia lainnya di masa depan.

Berman: Dalam bentuknya yang terbaik, gerakan kiri adalah sebuah gerakan internasional, dan internasionalisme tidak hanya berarti mendukung gerakan kiri dan perjuangan untuk kebebasan di seluruh dunia, tetapi juga belajar dari inovasi-inovasi yang dilakukan oleh orang-orang dan partai-partai lain. Di satu sisi, tantangan utama kaum kiri adalah tantangan yang sama seperti yang selalu ada sejak dulu: menghadapi kapitalisme. Meskipun memiliki beberapa sisi positif, seperti menghasilkan pertumbuhan dan inovasi yang luar biasa, kapitalisme juga bisa sangat merusak. Tidak hanya secara ekonomi, dalam menciptakan kesenjangan dan kemiskinan yang besar, tetapi juga secara sosial dan politik. Sudah menjadi tugas kaum kiri untuk mencari cara guna memaksimalkan sisi baiknya dan meminimalkan sisi buruknya.

Kita, tentu saja, hidup di dunia yang sangat berbeda dengan dunia yang Marx hidupi, sehingga tantangannya pun telah berubah. Tetapi kaum kiri, apakah itu di Afrika, Amerika Latin, Eropa, atau Amerika Serikat, perlu membuat program untuk menciptakan masyarakat di mana orang-orang memiliki kemampuan untuk hidup produktif, terhormat, setara, dan setidaknya semi-sejahtera. Hal-hal lainnya adalah nomor dua. Sangat sulit bagi saya untuk membayangkan bagaimana Anda dapat memiliki masyarakat yang beragam tanpa hal tersebut. Sangat sulit bagi saya untuk membayangkan bagaimana Anda dapat memiliki demokrasi yang sukses tanpa fondasi ekonomi semacam itu. Jika Anda menginginkan stabilitas sosial dan demokrasi politik, tidak seorang pun boleh merasa bahwa mereka secara permanen tertinggal, dirugikan secara permanen, atau tidak memiliki kemampuan untuk menciptakan kehidupan yang aman dan sejahtera bagi diri mereka sendiri.

Itulah misi bersejarah kaum kiri. Saya tidak mengatakan bahwa itu mudah, tetapi tetap sama. Saya agak lebih optimis dibandingkan sepuluh tahun yang lalu. Terlepas dari krisis keuangan dan kegagalan-kegagalan lainnya, tatanan dunia neoliberal tetap sangat hegemonik di tingkat intelektual. Namun hal itu tidak berlaku lagi saat ini. Banyak tanda yang menunjukkan bahwa orang-orang mencoba untuk mendorong ke arah alternatif.

Pagliarini: Di Amerika Latin, hubungan antara kondisi material dan dukungan untuk demokrasi tidak pernah lebih penting ketimbang saat ini. Jika Lula menikmati angka popularitas dan kepercayaan yang tinggi, ini karena pertumbuhan ekonomi melampaui ekspektasi, inflasi turun, pengangguran turun. Kita dapat dengan mudah membayangkan situasi di mana tren-tren ini berbalik–krisis ekonomi baru, pandemi baru-dan tiba-tiba, karena munculnya gerakan anti-demokrasi yang kuat dalam beberapa tahun terakhir, seseorang seperti Bolsonaro kembali berkuasa.

Kita membutuhkan pemimpin-pemimpin baru yang muncul dari perjuangan-perjuangan baru yang akan terjadi. Namun, para pemimpin yang benar-benar baru di Amerika Latin dalam beberapa tahun terakhir, seperti Gabriel Boric di Cile atau Gustavo Petro di Kolombia, sangat tidak populer. Boric pada dasarnya mengalahkan seorang neo-Nazi dalam pemilihannya, dan selisihnya pun tidak terlalu banyak sehingga kita dapat melihat situasi di mana sayap kanan akan menang dalam pemilu berikutnya. Perbandingan dapat dilakukan dengan Prancis, di mana kemenangan Marine Le Pen tidak hanya dapat dipikirkan, tapi juga mungkin terjadi.

Saya terbelah antara harapan bahwa pemimpin baru dan jenis organisasi sosial baru yang sesuai dengan momen bersejarah akan muncul–ada berbagai macam gerakan yang melakukan hal tersebut–dan pengakuan bahwa ini adalah momen yang sangat kelam, di mana para pemimpin baru yang muncul mungkin tidak akan mampu menjalankan tugasnya. Lula harus mencalonkan diri sebagai presiden tiga kali dan membangun PT selama hampir dua dekade sebelum ia menang. Dalam banyak hal, kita tidak memiliki waktu selama itu. Kita membutuhkan jawaban dan solusi dengan cepat.***


Sheri Berman adalah profesor ilmu politik di Barnard College, Columbia University, AS. Buku terbarunya Democracy and Dictatorship in Europe: From the Ancien Régime to the Present Day.

Zachariah Mampilly adalah Marxe Endowed Chair of International Affairs di City University of New York (CUNY), salah satu pendiri dari Program on African Social Research.

Andre Pagliarini adalah Elliott Assistant Professor of History di Hampden-Sydney College di Virginia tengah, a faculty fellow di Washington Brazil Office, dan non-resident expert di Quincy Institute for Responsible Statecraft. Selain menulis kolom bulanan untuk Brazilian Report, ia sedang menyelesaikan sebuah buku tentang politik nasionalisme Brasil abad ke-20.

Nick Serpe adalah editor senior Dissent.

Wawancara ini telah dimuat di majalah Dissent dengan judul asli Parties and Movements. Coen Husain Pontoh menerjemahkan dan menerbitkan ulang di sini untuk tujuan pendidikan.

]]>
Tidak Ada Kiri dalam Pemilu Indonesia https://indoprogress.com/2023/09/tidak-ada-kiri-dalam-pemilu-indonesia/ Tue, 05 Sep 2023 19:03:38 +0000 https://indoprogress.com/?p=237677

Foto: Kompas/Hendra A Setyawan


SAYA selalu mendapat pertanyaan yang sama dari waktu ke waktu: bagaimana kelompok “kiri-tengah” mampu bersaing dengan kelompok “kanan-tengah” atau “kanan” dalam perebutan kekuasaan dan pengaruh di Indonesia, sebuah negara yang demokrasinya sering dipuji sekaligus cacat?

Meskipun label “kiri” dan “kanan” bisa bermasalah jika tidak dikontekstualisasikan, ada isu yang lebih penting lagi: tidak ada kekuatan kiri-tengah yang mampu bertahan dan terorganisir secara koheren di Indonesia hari ini–apalagi kiri. Faktanya hanya ada ragam kekuatan sayap kanan dan tengah yang mampu bersaing merebut kekuasaan dan pengaruh signifikan di dalam ajang elektoral sejak Reformasi 1998. Kekuatan-kekuatan politik ini cenderung menyebarkan wacana politik yang menekankan nasionalisme, agama atau gabungan keduanya—selama itu menguntungkan dan memantapkan posisi mereka.

Pengamatan semacam ini relevan guna memahami sejumlah dinamika pemilu presiden dan legislatif yang akan dilangsungkan pada awal tahun mendatang. Jika kita menerima generalisasi bahwa isu-isu yang berkaitan dengan kesetaraan dan keadilan sosial cenderung menjadi urusan mereka yang condong ke politik kiri, maka tidak ada partai politik besar yang bisa diharapkan mengusung agenda politik yang mendekati kiri.

Absennya kiri dalam politik Indonesia amatlah mencolok mengingat hal-ihwal kesetaraan dan keadilan sosial diabaikan justru di saat keduanya menjadi isu yang sangat penting. Jelas, misalnya, bahwa demokratisasi telah gagal mengatasi kesenjangan yang kian lebar antara si kaya dan si miskin, sebuah problem yang sudah hadir setidaknya sejak masa kejayaan rezim otoriter Orde Baru (1966-1998). Pada 2017, empat orang terkaya di Indonesia memiliki kekayaan yang setara dengan 100 juta orang termiskin di negerinya. Rasio Gini Indonesia bertengger di angka 0,4 beberapa waktu belakangan—kendati mengalami penurunan sebelum Covid-19. Namun, angka ini tidak menggambarkan bagaimana sekitar separuh kekayaan di Indonesia hanya dikendalikan oleh satu persen populasi.

Patut dicatat bahwa Presiden Joko Widodo dipuji sebagai “pilihan rakyat” ketika melejit ke panggung nasional, pertama sebagai Gubernur Jakarta pada 2012 dan kelak sebagai calon presiden yang sukses dalam Pemilu 2014. Situasi ini membuat sebagian orang mendambakan–meski hanya sementara–peluang untuk mengembangkan sebuah sistem serupa negara kesejahteraan di bawah kepemimpinan Jokowi. Namun terlepas dari beberapa skema kesejahteraan sosial dan kesehatan masyarakat yang patut diacungi jempol pada periode pertama Jokowi, harapan “negara kesejahteraan” tersebut telah lama padam.

Yang terjadi justru sebaliknya: muncul banyak percakapan di kalangan intelektual Indonesia tentang pembajakan demokrasi oleh oligarki. Beberapa analis menyatakan oligarki ini tercipta dari perpaduan kepentingan politik-birokrasi dan bisnis besar yang sudah melekat dalam struktur ekonomi politik Indonesia era Orde Baru. Oligarki, yang dibesarkan dalam naungan otoritarianisme, kemudian menjajah lembaga-lembaga demokrasi Indonesia, khususnya partai politik dan parlemen. Pandangan ini dapat menjelaskan mengapa pemerintahan Jokowi akhirnya sangat berkelindan dengan kekuatan oligarki, meskipun ia presiden pertama sejak Reformasi yang tidak punya bagasi Orde Baru.

Latar belakang Jokowi yang bukan oligarki juga membuat sejumlah orang yang memiliki trah sosial demokrat atau liberal reformis mendukungnya. Selama dua masa jabatan presidennya, banyak orang dari kalangan tersebut dimasukkan ke dalam pemerintahan dengan kapasitas yang berbeda-beda. Namun, undang-undang seperti omnibus law 2022–yang melanggar hak-hak buruh dan berpotensi menambah tingkat kerusakan lingkungan–jelas menunjukkan bahwa orang-orang ini tak cukup berdaya di hadapan kepentingan oligarki. Hal serupa juga tampak pada sejumlah dinamika yang melemahkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), sebuah lembaga yang sebelumnya dianggap sebagai simbol kemenangan reformasi. Ini diperparah oleh keberadaan produk-produk hukum yang dirancang untuk melindungi penguasa dari kritik, termasuk di dunia maya, dunia yang pernah dibayangkan sebagai surganya kebebasan berekspresi.

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.

Sekali lagi, konteks itu penting. Sejarah Indonesia, yang bersinggungan dengan Perang Dingin di Asia Tenggara, diwarnai oleh pembunuhan massal kaum kiri sebagai bagian dari penghancuran Partai Komunis Indonesia (PKI) pada 1965/66. Beberapa pengamat merayakan apa yang menurut mereka adalah kebangkitan tendensi kiri di kalangan generasi baru aktivis mahasiswa pada 1990-an. Namun, tak ada konsekuensi jangka panjang dari kebangkitan kritik terhadap kapitalisme predator, misalnya, dalam pengerahan sentimen publik dan sebagai faktor dalam politik elektoral. Banyak aktivis dari generasi tersebut kelak bergabung ke sejumlah partai politik besar, yang tak satu pun yang bisa disebut mewakili kaum buruh, kaum tani, kaum rentan perkotaan, dan kaum-kaum paling tertindas dalam masyarakat Indonesia.

Apa dampak utama dari ketiadaan kelompok kiri-tengah, terlebih lagi kelompok yang terang-terangan kiri, dalam politik Indonesia saat ini? Apakah ini berarti bahwa isu-isu terkait jurang antara si kaya dan si miskin, rendahnya kualitas layanan publik, meningkatnya kerentanan, termasuk di kalangan generasi muda Indonesia, hingga kerusakan lingkungan niscaya akan diabaikan?

Belum tentu. Pertanyaannya adalah bagaimana isu-isu ini dibingkai dalam debat publik. Saking kosongnya spektrum politik di sebelah kiri, ada kecenderungan isu-isu tersebut disajikan lewat cara-cara yang selaras dengan sentimen nasionalis dan/atau keagamaan yang telah ditanamkan dalam kehidupan sehari-hari, melalui sistem pendidikan nasional berikut produk-produknya. Media arus utama dan media sosial, dengan pasukan buzzer dan influencer bayaran yang rajin lembur menjelang pemilu, memperparah kekosongan ini.

Saking masif dan derasnya penyebaran pesan-pesan yang seolah menjunjung tinggi nilai-nilai moral dan bela bangsa, sebagian besar masyarakat kian mudah menelan kerangka isu-isu sosial yang mengambinghitamkan “pihak lain”. Terkadang, yang dimaksud “pihak lain” itu adalah kekuatan asing atau kepentingan ekonomi asing, tetapi ada kalanya pula kelompok minoritas yang disingkirkan karena alasan etnis, agama, bahkan orientasi seksual. Walhasil, mekanisme di balik dominasi oligarki pun akhirnya luput dari sorotan. 

Tak heran jika sentimen anti-Tionghoa masih marak. Para pebisnis kaya keturunan Tionghoa pun terus membentengi diri melalui aliansi dengan para politisi, birokrat, dan jenderal. Ini jadi lahan subur berbagai kendaraan politik sayap kanan-tengah dan sayap kanan; mereka semakin cerdik dan oportunis menggabungkan jargon dan simbol-simbol hiper-nasionalis dan populisme agama yang sering kali bercorak garis keras.

Bukan kebetulan jika mereka juga mahir dagang sapi, seperti yang terlihat dari cairnya koalisi partai politik yang saat ini mendukung masing-masing calon presiden. Komposisi koalisi-koalisi ini lebih sering mengalami pergeseran akibat perubahan hasil pemilu ketimbang karena berselisih soal kebijakan atau program.

Dari sudut pandang ini, meskipun terdapat retorika yang pro-rakyat dari koalisi-koalisi tersebut, tidak mengherankan jika tak ada satu pun yang tertarik–tidak pula merasa pernah didesak–untuk menangani berbagai masalah yang bersumber dari ketidakadilan sosial yang sudah mengakar di Indonesia.***


Vedi Hadiz adalah Profesor Kajian Asia dan Direktur Asia Institute, Universitas Melbourne. Buku-bukunya antara lain Reorganizing Power in Indonesia: The Politics of Oligarchy in Age of Markets (2004, ditulis bersama Richard Robison) dan Islamic Populism in Indonesia and the Middle East (2016).

Artikel ini sebelumnya terbit di Australia Outlook, 30 Agustus 2023. Terjemahan berbahasa Indonesianya diterbitkan oleh IndoPROGRESS untuk tujuan pendidikan.

]]>
Catatan Kritis untuk Filantropi Islam di Indonesia https://indoprogress.com/2022/07/catatan-kritis-untuk-filantropi-islam-di-indonesia/ Sun, 03 Jul 2022 12:51:39 +0000 https://indoprogress.com/?p=236815

Ilustrasi: Illustruth


KONDISI kerentanan akibat berbagai momen kritis yang kita hadapi dalam beberapa tahun terakhir—mulai dari pandemi Covid-19 hingga efek dari kebijakan-kebijakan kapitalistik—masih kita rasakan hingga sekarang. Salah satu respons cepat publik yang deras mengalir untuk mengatasi persoalan tersebut adalah berbagai bentuk sumbangan dan tindakan solidaritas yang bersifat karitatif—dengan kata lain filantropi. Reaksi cepat ini bertumpu pada satu asumsi bahwa berderma adalah solusi jitu dan tepat sasaran di momen-momen kritis atau bahkan di masa krisis panjang sekalipun.

Tentu narasi ini sangat familiar bagi umat Islam, terutama di periode antara bulan Ramadhan dan Idul Adha, ketika mereka yang memiliki kemampuan ekonomi wajib untuk menunaikan zakat fitrah dan berkurban untuk kaum fakir miskin dan golongan-golongan lain yang berjuang. Tidak perlu diragukan bahwa potensi kolektif dari berbagai jenis aktivitas sedekah ini amat besar, baik dalam hal pengumpulan dana maupun distribusinya.

Tetapi, pertanyaan yang lebih besarnya adalah, apakah pemahaman dan model konvensional dari filantropi Islam ini cukup? Mungkinkan kita membayangkan dan merumuskan model filantropi dan solidaritas sosio-ekonomi Islam yang lebih maju? Bagaimana kita memastikan pengelolaan dana umat atau dana publik secara akuntabel, transparan, dan demokratis, terutama di tengah kritik atas penyelewengan dana di sektor filantropi Islam? Inilah persoalan yang akan coba dijawab di dalam pemaparan singkat ini. Analisis dalam esai ini tidak bertujuan untuk memberikan analisis apalagi teroborosan fiqh atau jurisprudensi Islam—untuk itu, saya serahkan kepada ahlinya. Kali ini, yang ingin saya angkat adalah refleksi dan sejumlah tawaran tentang filantropi Islam dari perspektif seorang pegiat ekonomi gerakan dan pembelajar ekonomi-politik.


Membongkar Altruisme Efektif dan Praktik Filantropi Global

Salah satu argumen filosofis yang mempengaruhi gerakan filantropi kontemporer adalah Altruisme Efektif (Effective Altruism). Salah satu promotor terkemuka dari gagasan ini adalah filsuf utilitarian-analitik asal Australia, Peter Singer. Dalam artikel klasiknya yang berjudul ”Famine, Affluence, and Morality” (1971) Singer berpendapat bahwa mereka yang kaya dan berkecukupan, terutama yang tinggal di negara-negara kaya di Utara, memiliki kewajiban moral untuk membantu mengurangi jumlah kesengsaraan hebat di dunia melalui harta kekayaan mereka. Berangkat dari tradisi etika utilirarian dan rasa terenyuhnya melihat korban Perang Kemerdekaan Bangladesh, Singer memakai satu analogi untuk meyakinkan pembacanya: apabila kita akan segera tergerak menyelamatkan seorang anak kecil yang tenggelam di satu danau meskipun baju kita akan basah, mengapa lantas kita tidak tergerak untuk menyelamatkan warga sipil yang kelaparan dan membutuhkan penanganan medis dalam kondisi perang? Argumen ini secara lebih elaboratif kemudian dijabarkan oleh Singer dalam bukunya, The Life You Can Save (2009) yang menjelaskan secara detail salah satu strategi implementasi utama dari falsafah Altruisme Efektif: berdonasi kepada lembaga-lembaga filantropi dengan profesionalitas tinggi dan dedikasi kepada kaum marjinal. Dalam buku tersebut, Singer juga menyebutkan cerita-cerita tauladan dari berbagai figur (elite), mulai dari para profesional humanis di sektor korporat, oligark-oligark dermawan seperti Bill Gates, hingga figur politik dan intelektual dunia yang mendorong inisiatif filantropi dan bantuan untuk negara-negara Selatan.

 Singkat kata, bagi Singer, berderma adalah aksi etis nan politis, dengan para dermawan sebagai para pelopornya dan organisasi serta lembaga kemanusiaan dan filantropi sebagai kendaraan politiknya.

 Familiar? Tentu saja. Argumen inilah yang di kemudian hari dipakai oleh para kapitalis raksasa seperti investor Warren Buffett, pendiri Microsoft Bill Gates, dan miliarder kripto muda Samual Bankman-Fried alias SBF. SBF misalnya, membaca karya Singer saat remaja, dan ide-ide Altruisme Efektif meyakinkannya untuk menjadi pialang kripto-cum-dermawan.

 Sejatinya, tidak ada yang benar-benar baru dari filantropi kapitalis global ini, tetapi, packaging dan marketing-nya membuat bisnis donasi para filantropis pengemplang pajak ini terlihat ‘humanitarian’ dan bahkan ‘progresif.’ Tertarik mengembangkan pembangkit listrik hidroelektrik dan ekowisata? Howard Buffett, anak Warren Buffett, punya jawabannya. Panik menghadapi kiamat kecil berupa perubahan iklim? Bill dan Melinda Gates punya solusinya. Terenyuh melihat nasib para hewan di industri ternak? Tenang saja, SBF pun demikian. Slogannya, setiap dollar, rupiah, atau bitcoin anda akan membantu pengembangan obat malaria, vaksin baru, dan inisiatif kemanusiaan lainnya.

 Saya curiga, jangan-jangan paham Altruisme Efektif juga diam-diam diimani oleh umat Islam Indonesia, terutama para kelas menengah dan elitnya. Ibadah zakat, infak, sedekah, dan wakaf, meskipun ditunaikan secara massif, direduksi menjadi persoalan preferensi donasi individu seorang Muslim untuk kegiatan dan penerima favoritnya, seperti santunan untuk anak yatim piatu, kesejahteraan kaum fakir miskin, atau wakaf tanah untuk aktivitas pendidikan.

 Apa yang bermasalah dengan Altruisme Efektif? Bukankah berdema adalah satu hal yang baik? Tentu saja membantu sesama yang menderita lebih baik dari berdiam diri. Tetapi, perlu kita ingat bahwa berderma tanpa membongkar struktur penindasan, tanpa memberikan alternatif, semacam memberikan salep dan obat penenang kepada pasien yang sakit keras.

 Matthew Snow, seorang pembelajar filsafat, mencatat sejumlah masalah dengan ide Altruisme Efektif. Kritik Snow berfokus kepada tiga aspek, yaitu asumsi interaksi/relasi sosial antara manusia dalam analogi yang dipakai Singer, absennya analisis mengenai kondisi struktural dan peranan kapital dalam perspektif Altruisme Efektif, dan preskripsi kebijakannya.

 Secara singkat, kritik Snow adalah sebagai berikut. Pertama, analogi Singer seakan-akan mengasumsikan bahwa interaksi/relasi sosial antara seorang manusia dengan manusia lainnya yang menderita adalah sebangun atau dapat direduksi menjadi hubungan antara calon donatur dengan penerima bantuan potensial. Kita tahu bahwa model ini, yang secara tidak langsung mengamini logika transaksional (pasar) dalam relasi sosial, tidak merepresentasikan kompleksitas masyarakat (dan relasi sosial produksi yang membentuknya) dengan baik.

 Kedua, abstraksi dan visi tentang masyarakat a la Altruisme Efektif tentu saja abai dengan konteks kapitalisme. Logika akumulasi kapital dan pengejaran keuntungan merampas hak mereka yang terpinggirkan dan berbagai sumber daya untuk memberikan hidup yang layak bagi para “penerima bantuan potensial” tanpa perlu bergantung dengan filantropi.

 Ketiga, preskripsi yang dianjurkan oleh Altruisme Efektif dapat diperas menjadi tiga pilihan, yaitu: 1) menjadi juragan kapitalis atau profesional berpenghasilan tinggi demi menyelamatkan dunia, 2) bekerja untuk lembaga filantropi kapitalis, atau 3) bekerja di sektor riset, advokasi, atau kebijakan pro-kapital.

Kita juga dapat menambahkan sejumlah keberatan bagi Altruisme Efektif, seperti struktur industri filantropi global yang tidak demokratis, bagaimana filantropi kapitalis berkontribusi kepada agenda privatisasi dan pemangkasan hak dan anggaran sosial, atau bagaimana asumsi utilitarian dalam pemikiran Singer dapat menjadi pembuka jalan bagi komodifikasi hak-hak warga yang marginal. Amatan di tingkat makro maupun di lapangan juga mengkonfirmasi masalah-masalah tersebut.

Sejumlah persoalan ini perlu menjadi catatan bagi pengkaji dan pegiat filantropi Islam di Indonesia. Untuk itu, kita perlu melihat dan mengevaluasi kondisi sektor tersebut.


Praktik dan Potensi Filantropi Islam di Indonesia

Sebagaimana telah saya singgung di atas, ada yang bermasalah dari penerimaan asumsi-asumsi Altruisme Efektif dalam praktik filantropi Islam. Salah satu konsekuensi yang problematis dari penerimaan tersebut adalah individualisasi ibadah zakat, infak, sedekah, dan wakaf (ziswaf). Proses individualisasi tersebut, dalam hemat saya, secara gradual menghilangkan dimensi kolektif/berjamaah, spirit solidaritas, dan tujuan penyucian harta dari ibadah ziswaf.

Saya teringat kisah sahabat Rasulullah SAW, Abu Bakar RA, yang memerangi para pembangkang yang memilih membelot dari Islam dan menolak membayar zakat, sebuah kampanye militer yang kelak dikenang sebagai Perang Riddah. Dalam masa pemerintahannya sebagai Khalifah, Abu Bakar RA tidak hanya memerangi para murtadin dan nabi-nabi palsu, tetapi juga terhadap upaya untuk merampas hak-hak fakir miskin dan segenap kaum mustadh’afin lainnya. Tidaklah berlebihan saya pikir untuk menyebutkan bahwa ada aspirasi redistribusionis dan cita-cita emansipatoris dalam zakat dan berbagai jenis sedekah lainnya.

Individualisasi ziswaf dengan kata lain adalah suatu proyek yang ganjil, satu kebetulan yang lahir dalam konteks masyarakat Muslim yang terlempar dan hidup dalam kapitalisme. Padahal, potensi ziswaf sangatlah besar. Data terakhir dari Badan Amil Zakat Nasional (Baznas) misalnya mencatat bahwa potensi zakat di Indonesia mencapai Rp 327 triliun per tahun. Data yang sama juga mencatat bahwa zakat yang terkumpul pada 2021 misalnya baru mencapai Rp 17 triliun. Artinya, jumlah pemasukan dan pengumpulan zakat sebenarnya bisa lebih digenjot.

Tetapi, tantangan filantropi Islam bukan hanya soal jumlah target donasi zakat semata. Skema pengelolaan dan pemanfaatan dana ziswaf misalnya adalah satu hal yang harus dipikirkan bersama secara lebih serius. Sejumlah kajian telah menunjukkan sejumlah implementasi kreatif dari filantropi Islam, seperti menargetkan pekerja migran Indonesia sebagai penerima zakat dan membangun klinik kesehatan bagi kaum fakir miskin dengan dana zakat. Di sisi lain, filantropi Islam di Indonesia juga rawan diapropriasi oleh kelompok elit seperti partai-partai politik arus utama atau para pemakan rente/kaum penghisap nilai lebih lainnya.

Yang juga tidak kalah problematis adalah basis kelas yang menjadi promotor dan penggerak utama dari praktik filantropi Islam di Indonesia, yaitu kelas menengah/borjuis kecil Muslim. Kecenderungan visi, misi, dan praktik filantropi Islam dari kelas ini adalah, seperti jenis aktivisme mereka yang lain, berwatak reformis. Para pegiat filantropi Islam ini, yang mengamini jalan evolusioner/gradual menuju keadilan sosial, ingin membentuk dunia seturut dengan citra diri dan pandangan hidup mereka sebagai kelas menengah reformis. Mereka lupa bahwa cita-cita seperti ini bisa berujung kepada keyakinan dan implementasi pada ide-ide yang terlihat inovatif tetapi sebenarnya karitatif. Tidak hanya itu, struktur pengelolaan filantropi dan bahkan dana publik yang dibayangkan oleh kelas ini bisa jadi jauh dari demokratis. Semua ide ini menemukan gaungnya dalam berbagai gagasan reformis-liberal hari ini seperti Altruisme Efektif. Lagi-lagi, kita hanya diberikan obat pilek untuk mengatasi bengek yang parah dan berkepanjangan akibat kapitalisme.


Sedikit Tawaran menuju Filantropi Islam Progresif

Bagaimana menghadapi kebuntuan dan involusi dari gagasan dan praktik kontemporer filantropi Islam dan global? Apa saja tawaran dan bahan refleksi yang perlu kita pelajari, rujuk, dan terapkan? Saya pikir ada sejumlah petunjuk untuk keluar dari kebuntuan teoretik dan politik ini.

Pertama-tama, filantropi Islam mau tidak mau harus ditempatkan dalam upaya membangun demokrasi ekonomi demi kesejahteraan rakyat pekerja. Ini berarti mengedepankan orientasi redistribusi dan dekomodifikasi dalam berbagai layaran penyaluran ziswaf, alih-alih sekedar menjadi perpanjangan tangan korporasi dan kaum mustakbirin dalam menggembosi dan memangkas berbagai jaminan sosial dan hak rakyat.

Kedua, orientasi politik dari proyek filantropi Islam haruslah ditempatkan dalam kerangka transformasi sosial menuju masyarakat pasca-kapitalis. Meminjam bahasa mendiang sosiolog Erik Olin Wright, filantropi Islam harus menjadi bagian dari strategi transformasi interstitial, yaitu pembangunan institusi-institusi alternatif di masyarakat berdasarkan prinsip demokratis dan berorientasi pro-pekerja sebagai tandingan dari institusi-institusi konvensional seperti bank, layanan finansial, dan layanan pendidikan seperti sekolah. Harapannya, efek akumulasi dari berbagai ikhtiar transformasi interstitial dapat memberikan daya gedor yang signifikan untuk menghajar institusi-institusi konvensional tersebut.

Ketiga, yang tidak kalah penting, filantropi Islam haruslah berangkat dari kolaborasi yang egalitarian antara mereka yang berhak dengan mereka yang memberikan sebagian hartanya. Bergerak dari orientasi yang karitatif dan penuh dengan nuansa ‘belas kasihan’ kaum elit dan kelas menengah Muslim terhadap penderitaan manusia menjadi sebuah ikhtiar yang dipandu oleh inisiatif dari kaum mustadh’afin atau rakyat pekerja itu sendiri.

Pendeknya, filantropi Islam haruslah diinspirasi dan dipersenjatai oleh upaya pembangunan ekonomi solidaritas. Sejumlah peneliti dan ekonom heterodoks, seperti Tom Malleson, Richard D. Wolff, dan Bruno Jossa telah merumuskan dan mempromosikan berbagai kebijakan untuk mendorong demokratisasi ekonomi dan kesejahteraan untuk semua, mulai dari kontrol atas sektor finansial dan investasi, koperasi pekerja, hingga transformasi firma kapitalis menjadi unit usaha buruh. Upaya transformasi dari bawah ini juga perlu didukung oleh upaya transformasi ekonomi dari atas, seperti industrialisasi bertahap dan kontekstual yang didorong negara. Dengan begitu, kita bisa menemukan dan menerapkan model filantropi Islam yang lebih maju.

Keempat, di tengah terkuaknya kasus penggelapan dana di satu lembaga ziswaf, para pegiat filantropi Islam juga harus berani melakukan otokritik terhadap praktik kelembagaan dan pengelolaan dana serta organisasi yang ada. Berkaca dari kasus tersebut, saya pikir para pegiat filantropi Islam harus memastikan terlaksananya mekanisme organisasional kolektif yang dapat mencegah penyelewangan dana publik. Pembatasan dana operasional dan fasilitas bagi para amil zakat alias pengelola dana filantropi Islam (mungkin kita bisa mengambil inspirasi dari upaya mengontrol politik uang dari negeri ini) yang disesuaikan dengan norma kepantasan publik merupakan satu solusi bagi masalah di atas.

Pertanyaannya, apakah kita mau mengerjakan eksperimen tersebut? Inilah pertanyaan yang harus dijawab bagi mereka yang ingin membangun kedaulatan umat secara rasional, saintifik, sistematis, sabar, istiqamah, dan amanah.***


Iqra Anugrah adalah ko-editor IndoProgress dan pegiat di Laziswaf Daulat Umat (daulatumat.or.id). Esai ini dirumuskan berdasarkan pemaparan yang disampaikan dalam diskusi “Mengulik Gerakan Filantropi Islam (Ziswaf) di Indonesia: Sejarah dan Respon Kritis Atasnya” yang diselenggarakan oleh Daulat Umat pada 16 April 2022.

 

 

 

 

]]>