Coen Husain Pontoh – IndoPROGRESS https://indoprogress.com Media Pemikiran Progresif Wed, 27 Oct 2021 06:19:49 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.4.3 https://indoprogress.com/wp-content/uploads/2021/08/cropped-logo-ip-favicon-32x32.png Coen Husain Pontoh – IndoPROGRESS https://indoprogress.com 32 32 Ekspresi Politik Kelas Menengah Sebagai Sebuah Kelas https://indoprogress.com/2021/09/ekspresi-politik-kelas-menengah-sebagai-sebuah-kelas/ Fri, 24 Sep 2021 05:33:11 +0000 https://indoprogress.com/?p=236121

Ilustrasi: Jonpey


Tulisan ini adalah bagian kelima dari perdebatan yang dimulai oleh tulisan Abdil Mughis Mudhoffir di Project Multatuli berjudul “Aktivisme Borjuis: Mengapa Kelas Menengah Reformis Gagal Mempertahankan Demokrasi” (9 Juni 2021). Bagian kedua adalah tanggapan Coen Pontoh berjudul “Menginvestigasi Kelas Menengah: Tanggapan untuk Abdil Mughis Mudhoffir” (16 Juni). Redaksi juga menerbitkan terjemahan tulisan Eduard Lazarus berjudul “Kiri Indonesia: Dihantui Warisan Anti-Komunis dan “Masyarakat Sipil” yang sebelumnya terbit di Jacobin sebagai bagian ketiga untuk perdebatan ini (29 Juni). Bagian keempat adalah respons Abdil Mughis bertajuk “Ilmu Sosial Borjuis: Mengapa Aktivisme Borjuis Liberal Dominan di Indonesia” (16 Agustus)


“HANYA kritisismelah yang bisa memajukan teori Marxis”, demikian tulis Nicos Poulantzas dalam pembuka ulasannya atas buku babon Ralph Miliband, The State in Capitalist Society.[1] Ulasan Poulantzas ini kelak memicu sebuah debat klasik dalam studi-studi Marxis tentang Negara hingga sekarang. Dan dalam semangat yang dicanangkan Poulantzas pada 52 tahun yang lalu tersebut, saya ingin menanggapi tulisan Abdil Mughis Mudhoffir yang berjudul “Ilmu Sosial Borjuis: Mengapa Aktivisme Borjuis Liberal Dominan di Indonesia?”.

Dalam artikelnya yang menjelaskan kecenderungan reformis dari kelas menengah Indonesia, Mughis melacak peran dan dominasi ilmu-ilmu sosial borjuis terutama semenjak rezim Orde Baru berkuasa pasca-pembantaian massal pada Peristiwa G30S 1965. Arah penjelasan ini dipakai Mughis karena ia tidak puas dengan penjelasan bahwa ekspresi politik kelas menengah ditentukan oleh posisi kelasnya dalam struktur masyarakat kapitalis. Menurut Mughis, argumen seperti ini bisa terjatuh pada determinisme strukturalis, yang menempatkan individu sebagai menjadi aktor yang pasif dan ditentukan oleh posisi strukturalnya, sementara sejarah menunjukkan tidak sedikit individu progresif-revolusioner yang berasal dari kelas menengah, seperti Vladimir Lenin, Mao Tse-tung, dan Tan Malaka. Untuk terhindar dari deteminisme strukturalis tersebut, Mughis mengusulkan agar kita harus melihat pengalaman sejarah konflik sosial di mana ekspresi kelas menengah itu mencuat.

Berdasarkan argumentasi dan penjelasan tersebut, Mughis tiba pada kesimpulan bahwa ekspresi politik kelas menengah yang reformis itu disebabkan oleh dominasi produksi pengetahuan Weberian dan berbagai turunannya di Indonesia, baik di dalam maupun di luar lembaga-lembaga formal. Hasilnya kemudian, saya kutip agak panjang,

Ilmu-ilmu sosial borjuis ini yang mengilhami banyak aktivis LSM dan akademisi menganut pandangan-pandangan seperti pluralisme liberal, neo-institusionalisme dan kulturalisme. Perspektif-perspektif ini tidak hanya mengilhami artikulasi politik reformis yang cenderung gagap dan penuh kontradiksi internal dalam merespons persoalan-persoalan kekuasaan, tetapi juga melahirkan pengetahuan-pengetahuan teknokratik yang justru tanpa disadari menjustifikasi sifat-sifat kekuasaan politik yang ditentang oleh kelas menengah reformis itu”.

Argumentasi dan penjelasan Mughis ini sangat penting, karena ia menjelaskan bahwa kelemahan gerakan sosial yang dimotori oleh kelas menengah adalah karena pengaruh pengetahuan yang dimiliki oleh para aktivisnya, dan pengetahuan serta kesadaran itu bukan sesuatu yang alamiah atau sesuatu yang berakar pada budaya tertentu yang diwariskan secara turun-temurun. Pengetahuan dan kesadaran itu dibentuk melalui sebuah politik pengetahuan yang sistematis, masif dan terstruktur oleh rezim Orde Baru untuk memuluskan dan mempertahankan agenda-agenda kekuasaannya. Melalui penjelasan mengenai dampak substansial dari politik pengetahuan tersebut, maka diskusi mengenai kebuntuan ataupun kegagalan dalam membangun gerakan anti-kapitalisme-neoliberal menjadi lebih mendasar dan bergerak lebih maju melampaui problem-problem personal, moral, kultural dan juga organisasi.


Problem metodologis[2]

Secara empiris saya tidak memiliki keberatan dengan penjelasan Mughis mengenai politik pengetahuan dan dampaknya bagi ekspresi politik kelas menengah bukan tanpa kritik. Kenyataan memang demikian adanya. Persoalannya, bagaimana secara metodologis kita menjelaskan kenyataan empiris tersebut. Pada titik inilah saya melihat problem mendasar dari artikel itu. Melalui apa yang saya sebut sebagai “penjelasan ideologis”, Mughis telah melakukan simplifikasi permasalahan melalui pernyataan bahwa ekspresi politik kelas menengah Indonesia saat ini adalah akibat mereka terpapar oleh ilmu-ilmu borjuis, khususnya paradigma Weberian dan berbagai turunannya.

Persoalan metodologis dari penjelasan ideologis tersebut berimplikasi pada: pertama, Mughis menggeser konsep kelas dan perjuangan kelas (class and class struggle) ke konsep ideologi dan perjuangan ideologis (ideology and ideological struggle). Melalui pergeseran metodologis ini, secara implisit Mughis menganggap bahwa problem kelas menengah itu adalah problem ideologi, bukan problemnya sebagai sebuah kelas yang posisinya terjepit di antara kelas borjuasi dan kelas pekerja. Secara komparatif, dalam studi tentang fasisme, sejarawan Dylan Riley menyebut pendekatan seperti ini sebagai pendekatan Tocquevillian (diambil dari nama filsuf dan ilmuwan sosial liberal Alexis de Tocqueville), yang melihat kemunculan fasisme sebagai hasil dari pergulatan ide-ide, yang dilawankan oleh Riley dengan pendekatan Marxis yang melihat fasisme sebagai gejala kontra-revolusi.[3] Melalui penjelasan ideologis tersebut, apa yang dilakukan Mughis adalah melakukan kritik terhadap ilmu-ilmu borjuis melalui metodologi ilmu-ilmu borjuis tersebut.

Kedua, ini terkait dengan pertanyaan siapa agensi sosial yang paling bisa mengartikulasikan konsep ideologi dan perjuangan ideologis tersebut? Mughis tidak secara eksplisit menyebutkannya, tetapi alur argumentasinya mudah ditebak, bahwa agensi sosial itu adalah kaum intelektual, yang dalam konteks debat ini, tidak lain adalah kelas menengah itu sendiri.[4]

Sampai di sini kita lihat bahwa secara metodologis argumentasi dan penjelasan Mughis akhirnya justru menggiring kita pada kebuntuan teoritik dalam pembangunan gerakan sosial dan politik anti-kapitalisme: (1) kelas menengah berwatak reformis karena (2) mereka terpapar oleh ilmu-ilmu sosial borjuis, dan hanya (3) mereka sendirilah (agensi sosial) yang bisa membebaskan diri dari kungkungan ilmu-ilmu sosial borjuis itu, dimana langkah pertamanya adalah (4) mereka harus melawan dirinya sendiri.

Tetapi ini menjadi mustahil karena sejak awal kelas menengah itu sudah reformis. Begitu seterusnya, sehingga pada akhirnya kita bisa menyimpulkan bahwa perjuangan kelas menengah adalah perjuangan melawan dirinya sendiri dan untuk kepentingan dirinya sendiri, dan politik yang berbasis pada kelas menengah adalah politik yang tidak punya masa depan alias buntu.

Karena itu perlu bagi kita keluar dari kebuntuan secara teoritik maupun politik ini, dan persis di titik ini pentingnya pendekatan berbasis analisa kelas. Pendekatan analisa kelas selalu bermula dari hal-hal yang konkret (material), historis dan holistik. Konkret artinya analisa kita harus bertolak dari kondisi-kondisi material yang ada di sekeliling kita, dimana kondisi-kondisi material itu terbentuk dan berubah-ubah secara historis, dan pembentukan serta perubahan itu harus dilihat secara menyeluruh karena hanya dalam kemenyeluruhan itulah kita bisa menemukan kebenaran. Dengan demikian maka analisa kelas menolak pendekatan determinisme struktural di satu sisi dan kehendak bebas manusia di sisi lain.

Secara konkret kita saat ini hidup dalam sistem produksi dan reproduksi sosial kapitalisme yang eksistensinya sangat ditentukan oleh kelancaran akumulasi kapital. Jika akumulasi kapital ini terganggu maka kapitalisme akan mengalami krisis dan ketika proses akumulasi kapital tersebut berhenti maka kapitalisme pun bangkrut. Karena akumulasi kapital merupakan jantung eksistensial dari kapitalisme, maka penting sekali untuk mengetahuai bagaimana proses akumulasi kapital itu bekerja. Dari Karl Marx kita mengetahui bahwa proses itu terjadi ketika kelas kapitalis dengan segala cara mengeksploitasi dan kemudian merampas atau mengaproriasi nilai lebih yang diproduksi oleh produsen langsung, yakni kelas buruh. Dengan demikian, hubungan sosial eksploitatif dari kedua kelas inilah yang menentukan bagaimana proses akumulasi kapital berlangsung, yang dalam periode sejarah tertentu mengambil bentuk yang berbeda-beda. Karena itu, memeriksa hubungan sosial eksploitatif dari kedua kelas ini dalam proses akumulasi kapital (analisa kelas) menjadi sangat esensial, karena melaluinya kita bisa mengetahui taraf kebutuhan akan penggunaan teknologi dan manajemen kerja terbaru, sistem politik dan hukum seperti apa yang mampu memfasilitasi eksploitasi dan perampasan nilai lebih yang diproduksi kelas buruh oleh kelas kapitalis, dan dalam konteks debat ini adalah politik pengetahuan seperti apa yang menunjang keberlangsungan proses akumulasi kapital itu.


Ekspresi politik kelas menengah dalam sejarah

Pada artikel sebelumnya[5], saya telah mengemukakan bahwa karena posisi kelasnya yang terjepit di antara kelas buruh dan kelas kapitalis (sebagai kelas-kelas yang fundamental dalam sistem kapitalisme), maka ekspresi politik kelas menengah ini berwatak ambivalen, terombang-ambing di antara konflik tak terdamaikan dari kedua kelas fundamental tersebut. Nah, di bagian ini, saya ingin menunjukkan secara empirik ekspresi politik kelas menengah sebagai sebuah kelas dalam bentang sejarah perkembangan kapitalisme. Penekanan pada frase “kelas menengah sebagai sebuah kelas” ini perlu dilakukan karena kelas bukanlah kumpulan dari individu, dan antagonisme kelas itu juga bukan kumpulan dari antagonisme individu.[6] Karena itu, ekspresi politik perseorangan anggota sebuah kelas sosial tertentu tidak mencerminkan atau merepresentasikan ekspresi politik dari kelas sosial tersebut.

Ketika kapitalisme berjalan normal (baca: saat proses akumulasi kapital berlangsung tanpa gangguan) ekspresi politik yang dominan dari kelas menengah adalah penerapan mekanisme meritokrasi alias reformisme. Tetapi kapitalisme selalu dirundung krisis dan dalam kondisi kapitalisme yang mengalami krisis (tingkat penyerapan keuntungan terus menurun, terjadi krisis hegemoni di kalangan kelas berkuasa, dan muncul perlawanan radikal dari bawah), kelas menengah yang menolak dilakukannya transformasi sosial yang radikal dari sistem kapitalisme ke sistem yang non-kapitalis justru menjadi ‘tukang pukul kelas borjuasi’ dalam menghadapi gelombang besar perlawanan kelas buruh dan petani.

Namun, perlu dicatat bahwa fungsi kelas menengah sebagai ‘tukang pukul borjuasi’ tidak hanya muncul ketika gerakan buruh (serikat buruh dan partai buruh) secara organisasional sangat kuat dan aksi-aksi perlawanan terhadap kelas kapitalis berpotensi menghancurkan sistem itu, seperti dalam kasus kemunculan fasisme di antara zaman Perang Dunia I dan II. Pada masa kini, ketika gerakan kelas buruh dan petani sedang mengalami kemunduran dan kapitalisme tengah diguncang krisis, kekosongan politik dan ideologis itu diisi oleh kelas menengah yang menawarkan panacea bagi massa rakyat yang hidupnya semakin terpuruk di era kapitalisme neoliberal ini. Ekspresi politik kelas menengah itu muncul dalam dua bentuk: pertama, yang berwatak reformis seperti yang telah kita diskusikan sejauh ini; dan kedua adalah ekspresi politik yang reaksioner dan bertendensi fasis (anti-imigran, rasis, seksis, misoginis, sektarian, dan nasionalisme sempit, misalnya). Kedua bentuk ekspresi politik (reformis dan reaksioner) ini walaupun di permukaan saling bertentangan, tetapi keduanya sama-sama tidak memberikan solusi yang radikal dan komprehensif terhadap kapitalisme.

Ekspresi politik kelas menengah yang reaksioner secara terang benderang tampak pada kemunculan fasisme di masa Perang Dunia I dan II serta kebangkitan post-fasisme (sebagian menyebutnys neo-fasisme atau populisme) saat ini. Sejarawan Eric Hobsbawm, misalnya, dalam bukunya The Age of Extremes (1994) menulis bahwa tulang punggung dari gerakan fasisme sebelum dan sesudah kemenangannya adalah lapisan menengah dan menengah-bawah (the middle and lower-middle strata). Fakta ini, menurut Hobsbawm, tidak mendapatkan penolakan serius dari para sejarawan yang menggeluti tentang fasisme, bahkan oleh mereka yang meragukannya.[7] Memperkuat argumennya, Hobsbwam mengutip hasil pemilu pada masa perang di Austria. Karakteristik pemilih Austria yang berhasil mengantarkan calon dari partai National Socialist terpilih sebagai anggota dewan kota Vienna pada 1932 adalah: 18 persen wiraswasta, 56 persen pekerja kerah putih, pekerja kantoran dan pegawai negeri, dan 14 persen adalah pekerja kerah biru. Dari anggota Nazi yang terpilih sebagai anggota majelis di lima kota Austria di luar Vienna pada tahun yang sama, 16 persen pemilihnya adalah wiraswasta dan petani, 51 persen adalah pekerja kantoran, dan 10 persen adalah pekerja kerah-biru. Selanjutnya Hobsbawm mengatakan bahwa 13 persen dari anggota gerakan fasis Italia pada 1921 adalah mahasiswa. Di Jerman, antara 5-10 persen dari seluruh mahasiswa adalah anggota partai pada awal 1930, ketika mayoritas pendukung Nazi belum tertarik pada sosok Hitler.[8]

Senada dengan Hobsbawm, sejarawan Michael Mann mengatakan bahwa Mussolini adalah pemimpin dari sebuah gerakan kelas yang berkarakter petty-bourgeois (kelas menengah). Menurutnya mayoritas anggota fasis Italia berasal dari kelas menengah profesional, pekerja kulit putih, mahasiswa dan guru dengan perbandingan 5:1 dengan keterwakilan anggota dari buruh industrial, petani pemilik dan petani penyewa.[9] Menurut David Renton, Mussolini mengklaim bahwa mayoritas pendukungnya adalah buruh. Berdasarkan statistik dari Partai Nasional Fasis (National Fascist Party/PNF) pada 1921, sekitar sepertiga anggota yang tercatat adalah buruh dan petani. Namun, gambar yang lebih akurat menunjukkan angka yang mendekati hanya 15-20 persen. Sementara di Roma dan Milan keanggotaan dari kelas-pekerja hanya 10-12 persen, sangat kecil dibandingkan dengan jumlah keseluruhan kelas pekerja di kedua kota.

Sebuah laporan dari wartawan II Popolo d’Italia U. Pasela pada 8 November 1921, yang dikutip oleh sejarawan fasisme berpengaruh Renzo de Felice, menyediakan data cukup lengkap mengenai latar belakang pekerjaan dari para anggota dan pemimpin PNF Italia pimpinan Mussolini pada tahun 1921 (lihat tabel 1). Dari tabel tersebut tampak jelas bahwa mayoritas anggota PFN berasal dari kelas menengah, yakni 44,5 persen. Sosiolog Juan J. Linz memberikan catatan menarik mengenai tingginya keanggotaan PFN dari latar belakang pertanian yakni sebesar 36,3 persen (12% tuan tanah + 24,3% buruh tani), menunjukkan pentingnya pertanian fasisme baik secara sukarela maupun terpaksa dan juga mengingat kondisi Italia yang sektor agrarisnya masih sangat dominan saat itu. Namun demikian, tulis Linz, dibandingkan dengan Partai Nazi (NSDAP) Jerman, proporsi keanggotaan PFN tetap kurang agraris jika dibandingkan dengan proporsi penduduknya yang mayoritas beraktivitas di sektor pertanian.[10]



Diolah dari Juan J. Linz, “Some Notes Toward a Comparative Study of Fascism in Sociological Historical Perspective” dalam Walter Laquer (ed.), Fascism A Reader’s Guide Analyses, Interpretations, Bibliography (California, University of California Press: 1976), hlm. 61-62.


Sedangkan di Jerman, antara 1919 dan 1923, sekitar seperlima dari seluruh rekrutan dari Partai Buruh Nasional Sosialis Jerman (Nationalsozialistische Deutsche Arbeiterpartei/NSDAP) adalah pengrajin (21,7%) dan seperempatnya adalah buruh kerah-putih. Jika melihat jumlah populasi lapisan ini dalam keseluruhan masyarakat Jerman yang hanya berjumlah 13,5 persen dan 14,7 persen, maka keterwakilannya sungguh sangat tinggi. Bandingkan dengan perekrutan dari kalangan pekerja setengah terampil dan tidak terampil yang hanya sebesar 16,2 persen padahal jumlah populasinya dalam masyarakat Jerman adalah sebesar 33,1 persen. Elemen paling proletarian dari gerakan Nazi adalah SA (Sturmabteilung), sebuah organisasi paramiliter, yang merekrut anggotanya dari kalangan buruh pengangguran berusia muda. Pada 1931, ketika anggota partai mencapai hampir 1 juta, anggota yang berasal dari kelas buruh jumlahnya kurang dari 5 persen. Sementara itu, walaupun 20,7 persen populasi Jerman adalah petani, hanya 9 persen dari anggota Nazi adalah petani. Renton menyimpulkan bahwa lebih dari setengah anggota Nazi adalah pekerja kerah putih, pegawai negeri dan wiraswasta. Sebagian besar pemimpinnya berasal dari lapisan sosial ini, bukan hanya Hitler tapi juga Martin Bormann, Wilhelm Frick, Heinrich Himmler, Ernst Röhm, Alfred Rosenberg, dan yang lainnya.[11]



Diolah dari Linz dalam Lacqueur, Fascism, hlm. 64-66.


Dari kedua tabel di atas mengenai latar belakang pekerjaan dari anggota fasis baik di Italia maupun Jerman, mengonfirmasi kesimpulan Milward bahwa secara geografis basis massa dari gerakan fasis berasal dari: pertama, daerah perkotaan, yakni dari lapisan kelas atau yang diatribusikan sebagai kelas menengah (pemilik toko, birokrat dan pejabat rendahan, kalangan profesional, mahasiswa, kalangan pengangguran yang berasal dari tentara, buruh pengrajin); kedua, berasal dari daerah perdesaan (petani pemilik tanah, petani bagi hasil, pemilik tanah besar musiman).[12]

Meloncat ke panggung sejarah masa kini, berasal dari kelas sosial apa anggota dan massa pendukung gerakan post-fasis baik yang berkarakter sekuler maupun religius? Secara statistik memang tidak ada data yang secara akurat bisa menjawab pertanyaan ini. Tetapi dari berbagai survey hasil pemilihan umum, wawancara dan observasi mendalam kita bisa melihat gambaran umum dari basis sosial gerakan post-fasis ini.

Di Amerika Serikat, misalnya, analisis dari lembaga survey Gallup dan exit poll dari CNN pada pemilu 2016 menunjukkan bahwa mayoritas pemilih calon presiden Donald Trump berasal dari penduduk lapisan menengah, khususnya kelas menengah bawah dan segmen-segmen yang diuntungkan (privilege) dari kelas pekerja, terutama dari mereka yang pendapatannya berada di atas $56.000 per tahun. Analisis lain dari Gallup sehari menjelang pencoblosan menunjukkan bahwa berlawanan dengan standar pemilih-pemilih Republikan, sebagian besar dari pendukung terkuat Trump datang dari pekerja laki-laki kulit putih di dalam “industri-industri kerah-biru berkeahlian”. Sementara secara nasional, Trump memenangkan suara pemilih laki-laki dan perempuan kulit putih dengan selisih margin menentukan, dan mendapatkan dukungan kuat di antara pemilih perdesaan. Dari gambaran ini, sosiolog John Bellamy Foster kemudian melihat adanya persamaan antara basis pemilih Trump, yakni kelas menengah bawah (atau borjuis kecil) dengan basis pendukung Hitler dan partainya.[13]

Gambaran serupa juga terjadi di Eropa. Menurut Judith Delheim dan Lutz Brangsch, semenjak masifnya penerapan agenda-agenda kebijakan neoliberal (liberalisasi, deregulasi dan privatisasi) baik oleh partai-partai liberal-konservatif maupun partai-partai sosial-demokrat pada dekade 1970an hingga saat ini, tingkat kehidupan mayoritas rakyat, khususnya kalangan menengah dan menengah bawah, kelas buruh dan sektor non-kelas lainnya semakin memburuk. Kelas menengah yang diuntungkan oleh kebijakan-kebijakan pemerintah pasca Perang Dunia II yang pro-publik, terutama di Jerman dan Uni Eropa, kini sehari-hari berhadapan dengan kehidupan yang serba tidak pasti. “Pilar-pilar masyarakat” ini, yang oleh Delheim dan Brangsch diidentifikasi sebagai borjuis kecil, pegawai negeri, staf eksekutif, dan mereka yang berpendidikan tinggi, tiba-tiba mendapati dirinya berhadapan dengan ancaman terjatuh ke dalam kelompok sosial yang precariat dan terpinggirkan dalam kompetisinya untuk memperoleh bagian dari kekayaan sosial yang ada. Pada saat bersamaan, kekuatan gerakan kiri begitu lemah untuk menjadi mediator antara kalangan yang terancam kualitas kehidupannya dengan negara. Kekosongan politik inilah yang kemudian memberi peluang pada gerakan post-fasis untuk menawarkan dan memfasilitasi aspirasi-aspirasi dari kelas menengah tersebut. Itu sebabnya, menurut Delheim dan Brangsch, post-fasis (mereka menyebutnya populisme sayap-kanan) adalah sebuah gerakan dari sektor kelas menengah reaksioner.[14]

Dalam kasus India, basis sosial utama dari gerakan Hindutva (gerakan kanan-jauh Hindu) juga kelas menengah. Ini berbeda dengan kasus Eropa yang kelas menengahnya mendukung gerakan post-fasisme karena menjadi korban dari penerapan kebijakan neoliberal. Kelas menengah India adalah kelas yang paling mendapatkan keuntungan dari penerapan kebijakan neoliberal. Nanda mengatakan bahwa kelas menengah India ini sudah menyatakan talak tiga kepada “sosialisme dan elemen-elemen rasionalis warisan Nehruvian”. Tetapi kalangan ini juga tak kunjung menawarkan formula baru untuk membangun masyarakat yang lebih baik dan karena itu mereka kemudian menjadi pemeluk neoliberalisme. Sebuah survey yang dilakukan oleh Pew Global Attitude yang dikutip Nanda, menunjukkan bahwa 89 persen responden India mendukung pasar bebas, 73 persen menerima dengan tangan terbuka perusahaan-perusahaan asing, dan 76 persen dengan solidnya setuju dengan pasar bebas walaupun mereka sadar bahwa sebagian orang akan menjadi lebih kaya dan sebagian lainnya akan semakin miskin.

Menariknya lagi, kalangan elite dan kelas menengah ini gandrung pada ritual-ritual keagamaan, penyembahan berlebih-lebihan terhadap dewa-dewa, puasa dan berziarah ke tempat-tempat yang dianggap suci, dan rutinitas populer Hindu lainnya. Kesalehan simbolik ini juga seringkali bercampur dengan spiritualisme ala new age. Yang lebih baru dari ekspresi-ekspresi ritual ini, kata Nanda, adalah bergesernya ruang pemujaan tersebut dari yang sebelumnya di ruang privat ke ruang publik, ke domain prasangka dan kebanggaan, politik dan profit. [15]

Di dunia Islam, basis sosial dari gerakan Islamis juga berasal dari kelas menengah. Survey literatur yang cukup luas dari Chris Harman menunjukkan bagaimana basis sosial dari gerakan Islamis mulai dari Mesir, Sudan, Aljazair, Iran dan Turki menunjukkan bahwa kelas menengah baru yang terdiri dari mahasiswa, pekerja sektor teknologi industri, mereka yang diuntungkan dari industri minyak, merupakan proponen utama dari gerakan Islamis ini. Harman menunjukkan salah satu contoh bagaimana rekrutan paling penting dari FIS (Front Penyelamat Islam) di Aljazair adalah mahasiswa dan pelajar. Di Iran, basis utama dari organisasi Mujahidin Rakyat (People’s Mojahedin) berasal dari kelas menengah baru yang keluarga adalah borjuis kecil lama. Demikian juga basis sosial terbesar dari Partai Republikan Islam (IRP) pimpinan Imam Khomeini adalah kelas menengah. Studi Mansoor Moaddel menunjukkan bahwa lebih dari setengah anggota parlemen IRP berasal dari beragam profesi pedagang, guru, pegawai pemerintahan atau mahasiswa—bahkan seperempatnya datang dari keluarga pedagang pasar. Di Afghanistan, tulis Oliver Roy, basis sosial terbesar dari kalangan Islamis ini adalah para intelektual, produk dari kantong-kantong modernis dalam masyarakat tradisional. [16]


Pengalaman Indonesia

Dalam buku klasik Class, state and Power in Third World (1981)[17], sosiolog James Petras mengatakan bahwa setiap negara yang baru merdeka, yang langsung berhadapan dengan dominasi sistem kapitalisme global, memiliki tiga pilihan dalam strategi atau tipe aliansi kelasnya bagi kepentingan akumulasi kapital: pertama, mereka bergabung dengan rezim-rezim dan perusahaan-perusahaan imperial guna mengintensifkan pengerukan surplus tenaga kerja melalui berbagai variasi hubungan kerja. Petras menyebut strategi aliansi ini dengan nama neokolonialisme ketergantungan (dependent neocolonialism). Kedua adalah strategi dimana rezim nasional melalui negara dan/atau perusahaan-perusahaan swasta nasional mengeruk surplus tenaga kerja sembari membatasi atau menghilangkan pembagian hasil kerukan tersebut kepada perusahaan-perusahaan imperial. Strategi ini di sebut Petras sebagai strategi pembangunan nasional tanpa redistribusi (national development without redistribution), sehingga terjadi konsentrasi pendapatan di kalangan pejabat teras dalam hierarki kelas nasional. Dan ketiga adalah strategi di mana rezim nasional melakukan aliansi dengan rakyat pekerja, memperluas area-area kontrol nasional (melalui nasionalisasi), menginvestasikan kembali surplus ekonomi nasional, atau mempromosikan redistribusi pendapatan dalam lingkup struktur kelas nasional.

Dari segi aliansi kelas, Petras menyebut dua strategi pertama sebagai model neocolonial, yakni aliansi kelas “dari atas dan dari luar”, sementara strategi ketiga disebut model aliansi national-popular, yakni aliansi kelas dari “bawah dan dari dalam.” Walaupun area studi Petras adalah Amerika Latin, namun ia menyebut Orde Baru (Orba) sebagai salah satu rezim yang menggunakan aliansi kelas model neokolonial,[18] yang kekuatan penggerak utamanya adalah kapital (asing dan domestik), birokrasi, dan militer, yang didukung oleh sebagian sektor kelas menengah khususnya intelektual, wartawan, mahasiswa dan tuan tanah di perdesaan.

Merujuk kategorisasi Petras, kita harus menempatkan kemunculan dan konsolidasi kekuasaan rezim Orba dalam konteks integrasinya dengan sistem kapitalisme global. Dan dalam konteks itu, jika kita perhatikan strategi pembangunan Orba dan aliansinya, maka ada tiga tahapan strategis dan menentukan yang dijalankannya: pertama, tahap penghancuran (destruksi) melalui penggunaan aparatus kekerasan militer, intelijen, polisi, dan preman terhadap seluruh elemen rakyat yang menghalang-halangi terbangunnya model aliansi neokolonial tersebut. Tahap ini ditandai dengan pembantaian dan pemenjaraan secara sistematis, terstruktur, dan masif atas ratusan ribu bahkan jutaan orang yang dituduh sebagai anggota Partai Komunis Indonesia (PKI) atau terlibat PKI, disusul kemudian dengan penghancuran organisasi-organisasi massa radikal, serta demobilisasi kesadaran politik rakyat melalui kebijakan massa mengambang (floating mass) dan kontrol ketat terhadap sistem pendidikan dan media massa. Dari sinilah kemudian politik pengetahuan Orba yang mengarusutamakan ilmu-ilmu borjuis dicanangkan dan disebarluaskan dan pada saat bersamaan secara legal melarang penyebaran Marxisme hingga kini.

Fase penghancuran kekuatan gerakan rakyat ini merupakan fondasi pembangunan fase kedua model aliansi ini, yakni fase konsolidasi dan rekonstruksi aliansi kelas neokolonial. Fase ini dijalankan melalui kebijakan pintu terbuka yang selebar-lebarnya kepada kapital asing untuk menanamkan investasinya. Banjirnya investasi asing ini memungkinkan rezim Orba mengonsolidasikan kekuasaan ekonomi-politiknya secara leluasa. Perlahan-lahan borjuasi nasional mulai terbentuk melalui serangkaian kebijakan proteksi pasar, kemudahan-kemudahan pada akses permodalan, serta praktik korupsi, kolusi dan nepotisme yang meluas. Fase ini semakin diradikalkan melalui perluasan (ekstensifikasi) dan pendalaman (intensifikasi) pengerukan surplus tenaga kerja nasional melalui serangkaian paket kebijakan penyesuaian struktural yang dipaksakan oleh IMF dan Bank Dunia. Pada fase ini, repatriasi keuntungan ke luar negeri terus meningkat akibat ketergantungan yang sangat besar terhadap utang luar negeri dan investasi asing.

Pada tiap fase tersebut, kelas menengah sebagai bagian integral dari aliansi neokolonial secara aktif memainkan peranan sebagai pendukung rezim Orba: sebagai tukang pukul, juru bangun, juru runding, juru bicara, perencana pembangunan, dan agen propaganda. Bukan berarti seluruh sektor kelas menengah ini mendukung penuh rezim Orba. Tidak sedikit dari mereka memiliki sikap kritis. Aksi terbesar pertama menentang Orba pada 15 Januari 1974 yang terkenal dengan sebutan Malari, adalah wujud dari ekspresi politik kritis dari kelas menengah. Tetapi aksi tersebut juga merupakan penanda pertama dari ekspresi politik reformis kelas ini. Setelahnya berbagai aksi perlawanan yang dimotori oleh kelas menengah, khususnya mahasiswa, terus berlangsung baik dalam skala lokal maupun nasional. Capaian politik terbesar dari faksi reformis ini adalah ditumbangkannya sang patriakh Orba, Soeharto, pada 21 Mei 1998.

Faksi lain dari kelas menengah Indonesia yang berkembang di bawah rezim Orba kemudian mengambil jalur reaksioner dengan mengusung gagasan politik identitas berbasis keagamaan. Berbagai aksi mobilisasi massa digalang oleh faksi ini, baik melalui cara-cara damai maupun dengan jalan kekerasan untuk mengampanyekan aspirasinya. Capaian politik terbesar dari faksi ini adalah aksi besar-besaran menentang calon Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) pada 2 Desember 2016 yang dikenal dengan sebutan Aksi 212. Dalam survery terhadap 600 responden yang dilakukan oleh Vedi Hadiz dan Inaya Rakhmani terhadap peserta Aksi 212 ditemukan data bahwa 65 persen responden adalah laki-laki, sementara porsi signifikan darinya (109 orang) adalah kerah putih level bawah dan menengah di perusahaan-perusahaan swasta, dan 101 orang adalah mahasiswa. Dari segi pendapatan 44 persen darinya berpendapatan antara Rp4,5-7 juta yang menempatkannya di lapisan bawah kelas menengah. Dari segi usia, 60 persen responden berusia 20an tahun, 18 persen berusia 30an tahun, sementara yang berusia di atas 40an tahun hanya sekitar 14 persen.[19]


Penutup

Dari pemaparan ini saya, sekali lagi, ingin menekan bahwa agar diskusi kita tentang ekspresi politik kelas menengah ini semakin produktif maka ia harus diletakkan dalam situasi ekonomi politik yang konkret, yakni kapitalisme. Dan karena itu pendekatan berbasis analisa kelas merupakan metode terbaik dalam memeriksa dan menguraikan momen-momen ekspresi politiknya. Lebih dari itu, analisa kelas dapat memandu kita dalam membangun gerakan sosial politik anti-kapitalis secara konkret pula.***


Coen Husain Pontoh, editor IndoPROGRESS


 

Kepustakaan

[1] James Martin (ed.), The Poulantzas Reader Marxism, Law, and the State, (London, Verso: 2008), hlm. 172.

[2] Ada beberapa isu penting lain dalam artikel Mughis itu yang sebenarnya perlu diklarifikasi. Misalnya, ia secara tersirat menganggap bahwa kelas adalah kumpulan dari individu-individu dan karenanya perjuangan kelas adalah kumpulan dari perjuangan individu-individu tersebut; kurang bisa membedakan antara kelas dan kesadaran kelas, dan kemudian tampak mencampuradukkan antara teori dan praktik politik. Namun demikian, karena keterbatasan ruang dan juga guna mencapai perdebatan yang semakin jernih, saya akan fokus pada kritik metodologi atas tulisan Mughis tersebut.

[3] Dylan Riley, The Civic Foundations of Fascism in Europe, (London, Verso: 2019), hlm. xv-xvi.

[4] Untuk diskusi lebih jauh soal ini, saya menulisnya dalam artikel bertajuk “Suluh yang Tunduk Di Hadapan Kapital”, https://indoprogress.com/2011/09/suluh-yang-tunduk-di-hadapan-kapital/. Diakses pada 1/9/2021.

[5] Coen Husain Pontoh, “Menginvestigasi Kelas Menengah: Tanggapan untuk Abdil Mughis Mudhoffir”, https://indoprogress.com/2021/06/menginvestigasi-kelas-menengah-tanggapan-untuk-abdil-mughis-mudhoffir/. Diakses pada 8/9/2021.

[6] Diskusi lebih jauh tentang ini, bisa dibaca di buku karya Raju J. Das, Marxist Class Theory for a Skeptical World, (Haymarket Book, Chicago, IL: 2017), 224; juga Coen Husain Pontoh, “Kelas dan Perjuangan Kelas dalam Manifesto Komunis”, https://indoprogress.com/2011/06/kelas-dan-perjuangan-kelas-dalam-manifesto-komunis/.

[7] Eric Hobsbawm, The Age of Extremes A History of the World, 1914-1991, (NY, Pantheon Books: 1994), hlm. 121.

[8] Ibid., hlm. 121-122.

[9] David Renton, Fascism History and Theory, (London, Pluto Press: 2020), hlm. 29.

[10] Juan J. Linz, “Some Notes Toward a Comparative Study of Fascism in Sociological Historical Perspective” dalam Walter Laquer (ed.), Fascism A Reader’s Guide Analyses, Interpretations, Bibliography, (California, University of California Press: 1976), hlm. 63.

[11] Renton, Ibid., hlm. 20-30.

[12] Alan S. Milward, “Fascism and the Economy” dalam Walter Lacquer, Fascism, hlm. 387.

[13] John Bellamy Foster, Trump in the White House Tragedy and Farce, (NY, Monthly Review Press: 2017), hlm. 20-21.

[14] Judith Delheim and Lutz Brangsch (tanpa tahun), “Political Economy of Right Populism”,https://www.academia.edu/35892420/The_Political_Economy_of_Right_Populism. Diakses pada 29/3/2021.

[15] Meera Nanda, the God Market How Globalization is Making India More Hindu, (NY, Monthly Review Press: 2011), hlm. 66-67.

[16] Chris Harman, Nabi dan Proletariat Memahami Islam Fundamentalis dari Perspektif Kiri, (Jakarta, Indoprogres: 2018), hlm. 32-35.

[17] James Petras, Class, state and Power in Third World with Case studies on Class Conflict in latin America (New Jersey, Allanheld, Osmun & Publishers: 1981), hlm. 38.

[18] Ibid., hlm. 39.

[19] Vedi Hadiz and Inaya Rakhmani, “Marketing Morality in Indonesia’s Democracy”, https://asaa.asn.au/marketing-morality-indonesias-democracy/. Diakses pada 16 September 2021.

]]>
COVID-19 dan Bangkrutnya Proyek Individu Neoliberal https://indoprogress.com/2021/09/covid-19-dan-bangkrutnya-proyek-individu-neoliberal/ Tue, 07 Sep 2021 05:35:44 +0000 https://indoprogress.com/?p=236103

Ilustrasi: Illustruth


DALAM periode krisis Pandemi COVID-19 selama ini, kita menyaksikan aktivitas-aktivitas warga, individu maupun kelompok, yang rela berkorban dan bersolidaritas satu-sama lain dalam mengatasi serangan Covid-19 ini. Kita saksikan bagaimana para petugas kesehatan, bekerja sangat keras dan bertarung nyawa untuk melayani pasien yang terdampak COVID. Hingga Juli 2021, setidaknya 1.031 tenaga medis meninggal dunia.[1] Lebih dari sekadar angka, kita kehilangan tenaga-tenaga terdidik di bidang kesehatan, yang untuk mewujudkannya dibutuhkan waktu bertahun-tahun dengan biaya yang tidak murah.

Selain itu, kita juga menyaksikan aktivitas spontan dan genuine dari sesama warga, yang terdampak COVID-19. Seperti yang telah ditulis dengan baik oleh Astried Permata[2], di tengah-tengah ketidakbecusan pemerintahan neoliberal Jokowi-MA dalam mengatasi pandemi ini, “warga mulai melakukan inisiatif penggalangan dana, membangun dapur-dapur umum, dan menyediakan secara gratis paket-paket obat isoman dan alat pelindung diri (APD).”

Namun Astried mengingatkan dengan sangat jernih bahwa glorifikasi aktivitas “Warga bantu Warga” ini rentan terjebak ke dalam logika kerja neoliberalisme jika pada saat yang sama kita tidak menuntut kepada negara untuk meredistribusi kekayaan yang sangat timpang akibat dari beroperasinya sistem ini. Kita harus selalu ingat bahwa kesulitan yang mendera rakyat, terutama rakyat pekerja, baik sebelum dan terutama selama masa pandemi ini, adalah akibat dari ketundukkan dan kepatuhan pemerintahan Jokowi terhadap agenda-agenda neoliberalisme. Itu sebabnya, tanpa tuntutan dan desakan kepada negara dan kepada pemerintah untuk meredistribusi kekayaan, maka menurut Astried, aktivitas Warga bantu Warga itu “seolah mengafirmasi bahwa persoalan hak-hak ekonomi bukan urusan pemerintah melainkan individu/masyarakat itu sendiri, bahwa masyarakat punya kebebasan untuk memutuskan dan bertanggungjawab mengurus hidupnya melalui pasar. [3]

Sampai di sini, kita bisa melihat bahwa sistem kapitalisme neoliberal yang eksis dan dominan saat ini terbukti gagal dalam mengatasi pandemi ini, baik dalam aspek kesehatannya maupun jaminan kesejahteraan rakyat yang terdampak. Kegagalan ini tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga di hampir seluruh negara yang terserang Pandemi ini. Tetapi di sisi lain koin yang sama, sistem ini juga telah menyiapkan jejaring ilusi untuk menjebak dan mengkooptasi aktivitas-aktivitas individual dan masyarakat yang spontan dan genuine tersebut ke dalam logika kerjanya. Astried menulis:

“Tak heran jika berbagai inisiatif yang didasari ketulusan warga ini mendapatkan apresiasi dari Pemerintah. Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemenpan-RB) bahkan memberikan penghargaan kepada inisiatif-inisiatif pelayanan publik di tengah COVID-19. Terdapat 144 inovasi berasal dari masyarakat sipil yang Kemenpan-RB catat pada 2020.

Di sisi lain, penting kemudian untuk melihat sikap Solidaritas Pangan Jogja (SPJ) yang dengan kritis menolak gimik dari pemerintah tersebut. Mereka menolak diberikan penghargaan oleh Kemenpan-RB. Safiatudina, perwakilan SPJ, mengatakan enggan menerima penghargaan tersebut karena gerakan SPJ hadir sebab pemerintah dinilai tak mampu memberikan akses kesehatan, pangan dan kesejahteraan masyarakat. Sebuah sikap kritis yang juga tidak banyak ditemukan saat ini.”

Agar kita bisa terhindar dari jejaring ilusi dan kooptasi itu, bagian selanjutnya dari artikel ini saya ingin menunjukkan bahwa sikap rela berkorban nyawa yang telah ditunjukkan oleh para petugas kesehatan kita dan aktivitas Warga bantu Warga sejauh ini merupakan fakta penting yang menandai “kebangkrutan proyek individu neoliberal”.


Individu Neoliberal

Seperti sudah kita ketahui bersama, neoliberalisme pada dasarnya adalah sebuah proyek kelas kapitalis (baca: elit kelas kapitalis) untuk terus mengakumulasi keuntungan sebanyak-banyaknya tanpa terinterupsi. Untuk mewujudkan proyeknya ini, maka kelas kapitalis tidak hanya harus mengalahkan kelas pekerja melalui revolusionerisasi berkelanjutan atas alat-alat produksi dan manajemen kerja, tapi juga harus mengkomodifikasi seluruh aspek-aspek kehidupan yang sebelumnya dianggap sebagai barang publik (public domain) dan barang rumah-tangga (household domain).

Aneka ragam kebijakan seperti privatisasi perusahaan-perusahaan milik negara, deregulasi beragam peraturan yang menghambat investasi yang diikuti oleh re-regulasi peraturan yang memfasilitasi dan memuluskan investasi (omnibus law, contohnya), liberalisasi (perdagangan, jasa dan keuangan), pasar kerja yang fleksibel (outsourcing, kontrak kerja yang terbatas tanpa jaminan untuk diangkat sebagai pekerja tetap, penghapusan cuti haid, mempersulit buruh untuk berserikat, dan pelemahan/penghancuran serikat buruh), pengurangan atau bahkan penghapusan anggaran-anggaran untuk pemenuhan hak-hak dasar warga negara (komodifikasi sektor pendidikan dan kesehatan, air bersih, bahkan udara), dan militerisasi ruang publik adalah manifestasi dari proyek kelas ini.

Tetapi, seperti yang pernah saya tulis, “kapitalisme neoliberal tidak hanya melulu soal ekonomi-politik. Sistem ini juga memperkenalkan nilai-nilai baru di tingkat individual. Artinya, agar sistem ini bisa bekerja maka manusia-manusia “baru” juga harus dicetak agar cocok dengan sistem sosial, politik, dan ekonomi ini. Nilai-nilai atau norma-norma lama seperti kolektivitas, solidaritas, dan kesetiakawanan kini digantikan oleh nilai dan norma baru seperti individualisme, egoisme, dan kompetisi.”[4] Konsepsi tentang warga negara yang hak hidup dasarnya wajib dijamin dan dipenuhi oleh negara, kini diganti dengan konsepsi sebagai konsumen yang harus memenuhi sendiri kebutuhan hidupnya melalui pasar. Pasar di sini bisa bermakna lokasi atau ruang orang bertemu dan bertransaksi, tapi yang terutama pasar dimaknai sebagai seberapa banyak kapital yang bisa diakumulasi oleh individu tersebut.

Melalui mediasi pasar, individu konsumen dalam hal memenuhi kebutuhan hidupnya akan bertindak secara bebas dan rasional. Ia akan memilih dan bertransaksi barang apa yang terbaik buat dirinya, dan dengan pilihan bebas dan rasional itu diharapkan berimplikasi pada kebaikan kolektif. Saya melayani atau membantu Anda bukan karena saya peduli pada nilai-nilai kemanusiaan yang diyakini bersama, atau pada ajaran-ajaran moral keagamaan yang diajarkan oleh para pemuka keagamaan, tapi karena saya peduli pada kepentingan pribadi saya sendiri. Dalam logika neoliberal, kepentingan pribadi (self-interest) atau egoisme personal adalah dasar dari kebaikan bersama.

Namun sekali lagi, manusia individual yang bebas, rasional dan egois ini harus terkoneksi ke pasar. Dan inilah imperatif moral baru yang ditekankan oleh neoliberalisme, yang membedakannya dengan kapitalisme terorganisasi a la Keynesianisme atau demokrasi sosial (social democracy). Karena itu, jika individu bebas, rasional dan egois ini tidak terkoneksi ke pasar maka ia tidak dipandang sebagai individu yang ideal bagi bekerjanya sistem ini. Bahkan, ia bisa dianggap sebagai anomali yang berpotensi melawan sistem. Itu sebabnya, sangat sering kita mendengar glorifikasi cerita-cerita sukses tentang individu-individu yang berhasil memenangkan pertarungan dalam pasar, baik itu individu yang memang sejak dari sononya sudah hidup dalam lingkungan yang mapan, terlebih-lebih individu yang datang dari keluarga serba kekurangan. Cerita-cerita mengharu-biru tentang anak tukang becak, atau anak tukang tambal ban di pinggir jalan yang sanggup menyelesaikan kuliahnya di perguruan tinggi terkemuka di cetak tebal-tebal di media massa atau menjadi trending topic di media sosial. Atau kisah sukses seorang petani kecil di sebuah dusun terpencil yang sanggup memasarkan produknya di pasar nasional maupun internasional.

Kisah-kisah persuasif dan menyentuh emosi ini diproduksi dan terus diulang-ulang untuk menunjukkan bahwa sistem kapitalisme neoliberal ini memberi ruang dan kesempatan bagi orang-orang miskin dan terpinggirkan itu untuk sukses, jika mereka bersikap rasional, punya jiwa wirausaha dan memiliki motivasi ekstra dalam mewujudkan mimpi-mimpinya. Gantungkanlah cita-citamu setinggi langit, giatlah dalam berusaha seolah-olah kamu akan mati besok, maka niscaya usahamu akan sukses dan siapa tahu akan ada orang atau insitusi di luar sana yang bisa membantumu untuk menggenapi ambisi-ambisimu itu. Tetapi, seperti yang ditulis oleh Rachel C. Riedner, apa yang dilupakan dari glorifikasi kesuksesan individu-individu terpinggirkan seperti ini adalah kompleks kemiskinan dan kekerasan struktural yang melingkupi masyarakat secara luas.[5] Tidak heran jika cerita-cerita sukses itu mengabaikan pertanyaan-pertanyaan investigatif kenapa mereka menjadi miskin, kenapa mereka kehilangan lapangan pekerjaan, kenapa mereka tercerabut dari sektor perdesaan, kenapa perempuan lebih rentan menjadi miskin dan mengalami kekerasan, dsb.


Penutup 

Seperti yang kita saksikan sekarang ini, sistem kapitalisme neoliberal ini ternyata gagal mengatasi serangan COVID-19 yang bersifat global ini. Lebih khusus lagi, kita juga menyaksikan kegagalan proyek individu neoliberal yang rasional dan egois di era pandemi ini. Laku rela berkorban nyawa yang ditunjukkan oleh para pekerja medis dan aktivitas Warga bantu Warga membuktikan bahwa solidaritas sosial dan semangat rela berkorban adalah respon paling rasional saat ini. Namun demikian, laku solidaritas sosial dan semangat rela berkorban nyawa sekalipun itu tidak boleh berhenti di tataran ekspresi sosial-kultural belaka. Ia tidak cukup sekadar sebuah respon pasif, sebagai aktivitas bertahan hidup di masa suram ini, lalu diglorifikasi melalui pemberitaan media massa dan media sosial. Aktivitas-aktivitas seperti “Warga bantu Warga” itu harus diradikalkan, harus menjadi sebuah respon aktif dalam wujud perlawanan/serangan ekonomi dan politik terhadap sistem kapitalisme neoliberal dan proyek individu neoliberalnya itu. Hanya dengan cara ini maka pengorbanan para tenaga medis kita dan aktivitas Warga bantu Warga bisa terbebas dari ilusi dan kooptasi sistem kapitalisme neoliberal.***


Coen Husain Pontoh, editor IndoPROGRESS


Kepustakaan

[1] Nicky Aulia Widadio, “1.031 tenaga medis di Indonesia meninggal selama pandemi Covid-19”, https://www.aa.com.tr/id/nasional/1031-tenaga-medis-di-indonesia-meninggal-selama-pandemi-covid-19/2294795. Diakses pada 21/08/2021.

[2] Astried Permata, “Pandemi COVID-19: Hidup-Mati Masyarakat di Tangan Pasar”, https://indoprogress.com/2021/08/pandemi-covid-19-hidup-mati-masyarakat-di-tangan-pasar/. Diakses pada 21/08/2021.

[3] Garis miring dari saya.

[4] Coen Husain Pontoh, “Rasisme, Politik Identitas dan Masalah Papua: Sebuah Penjelasan”, https://indoprogress.com/2020/06/rasisme-politik-identitas-dan-masalah-papua-sebuah-penjelasan/. Diunduh pada 25/08/2021.

[5] Rachel C. Riedner, Writing Neoliberal Values Rhetorical Connectivites and Globalized Capitalism, (New York: Palgrave MacMillan, 2015).


 

]]>
Covid-19, Fatalisme Intelektual, dan Krisis Ilmu Sosial di Indonesia https://indoprogress.com/2021/08/covid-19-fatalisme-intelektual-dan-krisis-ilmu-sosial-di-indonesia/ Thu, 05 Aug 2021 08:14:33 +0000 https://indoprogress.com/?p=233433

Ilustrasi: Jonpey


DALAM sejarah peradaban umat manusia, krisis besar selalu bermakna ganda. Di satu sisi, ia menghancurkan, melumat dan mengubur apa-apa yang hidup: manusia, hewan, tumbuh-tumbuhan; merekonfigurasi bentang alam, mengubah iklim, dan lain sebagainya. Di sisi lainnya, krisis besar juga melahirkan peluang-peluang baru,  imajinasi-imajinasi baru, dan pemikiran-pemikiran baru untuk membangun kehidupan baru yang dibayangkan bisa menghindari terjadinya krisis serupa di masa depan. Singkatnya, krisis besar biasanya melahirkan Revolusi Politik dan/atau Revolusi Pemikiran.

Saya tidak ingin kembali jauh ke masa lalu ke zaman batu, ketika perubahan iklim di benua Afrika memaksa orang untuk bermigrasi ke berbagai belahan dunia, atau ke abad ke-19 ketika krisis corak produksi feodal melahirkan revolusi politik, revolusi industri, dan juga revolusi pemikiran. Cukup bagi kita memeriksa krisis-krisis yang terjadi di awal abad- ke-20, ketika Perang Dunia (PD) I melahirkan revolusi Bolshevik di Rusia; Depresi ekonomi 1930an melahirkan pemikiran Keynesianisme yang menolak kompetisi bebas warisan Adam Smith; dan PD II melahirkan revolusi politik dan pembebasan nasional di negara-negara koloni yang kemudian memunculkan serangkaian negara-negara merdeka baru. Di bidang pemikiran pasca PD II kita kemudian mengetahui muncul revolusi pemikiran yang menentang Keynesianisme dan sosialisme yang diprakarsai oleh para intelektual seperti Friedrich von Hayek dan Milton Friedman. Kelak ketika terjadi krisis ekonomi di tahun akhir  dekade 1960an, ide-ide Hayek dan Friedman, yang kini terkenal dengan sebutan neoliberalisme, mentorpedo paradigma Keynesianisme dan Sosial-Demokrat yang selama itu dianut oleh negara-negara kapitalis maju.

Kini, kita sedang berada di momen krisis yang sangat parah dan mengerikan: Pandemi Covid-19. Pandemi ini telah membunuh jutaan jiwa, baik di negara kapitalis maju maupun di negara kapitalis terbelakang seperti Indonesia. Kita sedang menyaksikan satu sisi dari krisis ini, yakni aspeknya yang mematikan. Tetapi, kita belum melihat, terutama di Indonesia, aspeknya yang membangkitkan, baik dalam bentuk revolusi politik ataupun revolusi pemikiran. Mengapa?


Fatalisme Intelektual

Kalau kita perhatikan, wacana dominan yang berkembang di Indonesia menyoal Pandemi ini, adalah mengisolasinya ke dalam dua domain utama: pertama, pandemi ini semata-mata dilihat sebagai persoalan medis, persoalan kesehatan; kedua, penyebaran virus dan amburadulnya penanganan pandemi yang berakibat jatuhnya puluhan bahkan ratusan ribu korban jiwa karena ketidakbecusan pemerintah, dalam hal ini pemerintahan Joko Widodo-Ma’ruf Amin.

Wacana ini jelas tidak keliru, tetapi mengisolasi problem pandemi ke dalam dua persoalan tersebut jelas menyederhanakan persoalan. Sebab, pandemi tidak hanya menghajar negara kapitalis terbelakang seperti Indonesia, tetapi, seperti saya sebutkan di atas, juga menghantam negara kapitalis maju seperti Amerika Serikat (AS). Bahkan, AS termasuk yang terparah dihajar pandemi Covid-19, dengan korban jiwa melampaui jumlah 500 ribu orang dan hingga kini AS tidak bisa sepenuhnya mengatasi penyebaran pandemi ini. Memparafrasekan ucapan Marx, pandemi ini seperti hantu yang bergentayangan di AS dan Eropa.

Pandemi Covid-19 harus kita lihat sebagai bukti kegagalan sistem kapitalisme di dalam mengatasi wabah yang bersifat global. Menariknya, kata Sam Gindin (2021), kegagalan ini bukan karena kapitalisme tidak bisa mengakumulasi profit sebesar-besarnya bagi para kapitalis dan para stakeholder-nya, atau karena kapitalisme tidak mampu berpenetrasi hingga ke sudut-sudut terpencil di seluruh belahan bumi, tapi kegagalan dalam menghadapi pandemi ini justru akibat dari kesuksesan kapitalisme itu sendiri.

Studi-studi yang dilakukan oleh para ahli ekologi menunjukkan bahwa penyebab utama dari pandemi Covid-19 ini adalah hancurnya ekosistem ekologis akibat agresi besar-besaran dari kapital. Rob Wallace dalam bukunya Dead Epidemiologists: On the Origin of COVID-19, mengatakan bahwa yang terutama harus disalahkan dari kemunculan pandemi ini adalah industrialis-industrialis pertanian dalam yang skala besar memelopori perampasan lahan dan lahan pertanian milik petani kecil di seluruh dunia sehingga menyebabkan kerusakan hutan (deforestasi). Akibat perubahan fungsi ekologis hutan, bakteri atau virus berevolusi menjadi fenotipe yang sangat mematikan dan menular ke hewan-hewan yang sudah didomestikasi dan selanjutnya menyebar ke komunitas manusia.

Karena itu, krisis akibat pandemi ini bukan terutama menjadi penanda adanya krisis ekonomi. Sekali lagi, penyebab utama pandemi Covid-19 ini adalah kedigdayaan kapitalisme dalam bentuk neoliberalisme selama kurun waktu 40 tahun terakhir ini.  Lebih konkret lagi, krisis pandemi ini merupakan penanda dari terjadinya krisis lingkungan yang disebabkan oleh ekspansi kapital yang sangat agresif ke seluruh bentang alam kita saat ini. Karena itu, untuk mengatasi krisis pandemi, dibutuhkan sebuah solusi yang radikal, solusi yang bertujuan mencegah kerusakan lingkungan yang lebih parah. Solusi ini mensyaratkan perubahan cara kerja sistem kapitalisme yang merusak.

Sayangnya cara pandang sistemik dan struktural seperti ini absen dalam diskursus para intelektual di Indonesia yang secara fatalis mengisolasi krisis ini sebagai sekadar problem kesehatan. Lebih parah lagi, di dalam domain isu medis seperti itu, solusi-solusi yang digaungkan adalah solusi-solusi yang bersifat teknokratis semata seperti penguncian (lockdown), pembatasan sosial (social distancing), dan vaksinasi. Solusi-solusi ini, meskipun penting untuk menyelamatkan nyawa manusia dan kesehatan publik, tidaklah cukup.  Tidak terdengar suara dari para intelektual fatalis tentang pentingnya perombakan sistem kesehatan yang selama ini sangat berorientasi profit menjadi sistem kesehatan universal, sistem kesehatan yang menempatkan manusia atau pasien pertama-tama sebagai subjek yang harus dilayani kesehatan jiwa dan raganya, bukan sebagai objek untuk akmulasi profit. Itu sebabnya, tidaklah mengherankan bahwa dalam tuntutan-tuntutan yang bersifat teknokratis itu kita menyaksikan bagaimana logika kapital (logic of capital) selalu berhadap-hadapan secara diametral dengan logika kesehatan universal (logic of universal healthcare).

Dari sini kemudian kita mendapati para intelektual fatalis ini terbagi ke dalam dua kubu yang bersitegang satu sama lain. Pertengkaran di antara kedua kubu ini bahkan menjurus ke soal-soal personal dan moralistik dengan penggunaan kosakata-kosakata yang vulgarPertama, adalah kubu yang menolak dilakukan lockdown. Mereka berargumen bahwa lockdown akan menghentikan roda ekonomi dan memicu krisis ekonomi yang kemudian berujung pada krisis politik seperti kerusuhan, kudeta, dan seterusnya. Padahal sejatinya, pandemi ini bukanlah penanda dari adanya krisis ekonomi. Kedua, adalah kubu yang melihat penyebaran pandemi yang meluas dan mematikan ini murni sebagai akibat pemerintah yang tidak becus, tidak tegas, yang tidak peduli pada kesehatan rakyatnya, dan anti-ilmu pengetahuan.  Kubu ini abai melihat bahwa pemerintah atau lebih tepatnya negara bekerja dalam logika kapital sehingga sekuat dan sejauh apapun niat baik aparatusnya (pemerintah, parlemen, birokrasi, militer, polisi) mereka berada dan bergerak dalam batas-batas logika kapital tersebut.


Krisis Ilmu Sosial

Isolasi masalah pandemi Covid-19 semata sebagai persoalan medis sesungguhnya hanya menunjukkan kepada kita sisi lain dari persoalan yang lebih luas, yakni krisis ilmu sosial di Indonesia. Fatalisme intelektual menunjukkan bahwa ilmu sosial di Indonesia tidak mampu memberikan eksplorasi dan eksposisi terkait pandemi ini dan fenomena-fenomena yang muncul bersamaan dengannya.

Tidak ada studi kritis yang menguak bagaimana kapital berada di balik sikap ambivalen peran negara dalam mengatasi krisis pandemi ini. Tidak ada analis komprehensif mengapa teori konspirasi begitu luas menyebar dan dipercaya oleh begitu banyak orang. Tidak ada studi serius tentang mengapa negara menjadi semakin otoriter di masa pandemi ini. Tidak ada yang menganalisa mengapa kekayaan kaum superkaya di Indonesia justru semakin meningkat sementara jumlah orang yang terpapar kemiskinan semakin bertambah besar.

Dengan situasi ilmu sosial yang mati suri seperti ini, sulit berharap bahwa krisis mengerikan ini akan melahirkan Revolusi Pemikiran. Sebaliknya yang terjadi adalah ilmu sosial di Indonesia bertransformasi menjadi ilmu-ilmu moral, dan para intelektualnya bertransformasi menjadi motivator dan provokator.***


Kepustakaan

Rob Wallace, Dead Epidemiologists: On the Origin of COVID-19, (New York: Monthly Review Press, 2020).

Sam Gindin, “Political Openings: Class Struggle During and After the Pandemic”, NEW SOLUTIONS: A Journal of Environmental and Occupational Health Policy, Sage, 2021, Vol. 30(4) 260-266.


]]>
Menginvestigasi Kelas Menengah: Tanggapan untuk Abdil Mughis Mudhoffir https://indoprogress.com/2021/06/menginvestigasi-kelas-menengah-tanggapan-untuk-abdil-mughis-mudhoffir/ Wed, 16 Jun 2021 01:48:46 +0000 https://indoprogress.com/?p=233279

Ilustrasi: abaforlawstudents.com


Tulisan ini bagian kedua dari rangkaian debat yang dimulai dari tulisan Abdil Mughis Mudhoffir berjudul “Aktivisme Borjuis: Mengapa Kelas Menengah Reformis Gagal Mempertahankan Demokrasi?


DI TENGAH-TENGAH berbagai silang sengkarut persoalan yang mendera kita secara bertubi-tubi saat ini, artikel Abdil Mughis Mudhoffir menjadi oase penyegar otak. Artikel berjudul “Aktivisme Borjuis: Mengapa Kelas Menengah Reformis Gagal Mempertahankan Demokrasi?” ini secara jitu dan telak mengkritik aktivisme gerakan sosial di Indonesia yang cenderung berhenti sebagai sekadar aktivisme belaka yang spontan, sporardis, parsial, temporer, kasuistik, tanpa kepemimpinan, dan elitis.

Mughis menyebutnya: aktivisme borjuis. Walaupun aktivisme itu dikerjakan secara sungguh-sungguh, militan, dengan semangat rela berkorban nyawa sekalipun, hasilnya nihil belaka. Apa hasil dari aksi gerakan #reformasidikorupsi atau #tolakomnibuslaw? Mughis menjawab, “Tidak satu pun tuntutan dasar mereka berhasil dicapai meski paling tidak lima mahasiswa telah mati, ratusan lainnya luka-luka serta puluhan demonstran ditangkap dan ditahan hingga kini.”

Yang lebih menarik lagi, Mughis menelusuri akar kegagalan gerakan sosial ini dan menemukan dua sebab. Pertama, latar belakang pegiat “aktivisme borjuis” yang berasal dari kelas menengah reformis, terutama mahasiswa dan aktivis lembaga swadaya masyarakat (LSM/NGO). Penyebab kedua, absennya politik berbasis kelas sebagai akibat dari pembantaian di tahun 1965 yang diikuti dengan serangkaian kebijakan politik yang membatasi ekspresi politik kelas hingga kini.

Sayangnya, identifikasi kegagalan aktivisme kelas menengah reformis oleh Mughis lebih menyasar aspek ekspresi politik (spontan, sporardis, parsial, temporer, kasuistik, tanpa kepemimpinan, dan elitis). Mughis justru alpa melihat kegagalan itu pada aspek mendasarnya, yakni posisi kelas menengah itu sendiri dalam struktur kelas masyarakat kapitalis.

Tanggapan saya tidak bertujuan untuk membantah kesimpulan Mughis terkait ekspresi politik dari kelas menengah, alih-alih mengajak pembaca untuk masuk lebih dalam ke pertanyaan, “mengapa kelas menengah reformis melahirkan ekspresi politik seperti itu?”


Siapa itu Kelas Menengah?

Dalam artikelnya itu, Mughis tidak mendefinisikan secara jelas siapa yang ia maksud dengan kelas menengah reformis. Yang bisa kita tangkap, istilah itu ia nisbatkan pada gerakan mahasiswa dan aktivis LSM.

Karena itu, sebelum lebih jauh mendiskusikan tentang posisi kelas menengah dalam struktur masyarakat kapitalis, kita perlu mengeksplisitkan siapa itu kelas menengah. Sosiolog Nicos Poulantzas dalam buku Fascism and Dictatorship (1977), membagi kelas menengah (petty bourgeoisie/borjuasi kecil) ini ke dalam dua bentuk: kelas menengah lama (old petty bourgeoisie) dan kelas menengah baru (new petty bourgeoisie). Kelas menengah lama terdiri atas pemilik produksi skala kecil dan pengusaha skala kecil. Pemilik produksi skala kecil ini terdiri atas pekerja kerajinan tangan atau bisnis keluarga skala kecil yang mana mereka merupakan pemilik sekaligus pekerjanya atau ketersediaan buruh terutama dipasok oleh keluarga dan biasanya tidak dibayar dalam bentuk upah. Adapun pemilik usaha skala kecil utamanya menjalankan usaha perdagangan yang beroperasi di medan sirkulasi kapital.

Lebih lanjut, kelas menengah baru yang dimaksud Poulantzas merujuk kepada mereka yang bekerja di medan sirkulasi kapital dan mereka yang menyumbang pada realisasi nilai lebih. Poulantzas menyebut kalangan ini terdiri atas buruh yang bekerja di sektor perdagangan, perbankan, asuransi, periklanan, bagian penjualan, dan juga buruh jasa pelayanan, pegawai negeri di berbagai departemen aparatur negara (dengan pengecualian buruh yang bekerja di pabrik-pabrik milik negara).

Sedikit berbeda dengan kategorisasi Poulantzas, dalam kasus India, Meera Nanda dalam bukunya the God Market How Globalization is Making India More Hindu (2011), membagi kelas menengah ke dalam dua kategori: kelas menengah lama (old middle class) dan kelas menengah baru (new middle class). Kelas menengah lama terdiri atas pemilik toko, pengusaha, pejabat pemerintah, guru, wartawan, dan petani pemilik tanah. Sementara kelas menengah baru adalah pekerja kerah putih di sektor industri internet, bankir, akuntan, buruh di sektor asuransi, hotel dan pariwisata.

Chris Harman (2018) menunjukkan bahwa kelas menengah baru di beberapa negeri berpenduduk mayoritas muslim seperti Mesir, Sudan, Aljazair, Iran, Afghanistan dan Turki, berasal dari mahasiswa, intelektual, pekerja sektor industri teknologi, dan mereka yang diuntungkan dari industri minyak.

Berdasarkan amatan Nanda dan Harman, kelas menengah yang dirujuk Mughis masuk ke dalam kategori kelas menengah baru.


Kelas Menengah, Kelas yang Ambivalen

Geografer Raju J. Das dalam buku Marxist Class Theory for A Skeptical World (2017) mengatakan upaya untuk menteoretisasikan kelas mensyaratkan ada tiga pertanyaan yang saling berkaitan—di luar soal isu-isu kekuatan-kekuatan produktif yang harus diajukan:

  1. Masalah kepemilikan (siapa yang mengontrol sumberdaya-sumberdaya produktif masyarakat).
  2. Masalah proses kerja (siapa yang mengontrol kerja siapa dan pengerahan kekuasaan untuk melakukan kerja).
  3. Masalah proses kerja-cum-eksploitasi (siapa yang mengambil nilai lebih dari siapa dan bagaimana).

Kelas, dengan begitu, pertama-tama adalah sebuah hubungan ketimpangan dalam kepemilikan/kontrol atas alat-alat produksi. Dan karena itu pula, kelas dikarakterisasikan oleh posisinya dalam sistem sosial ekonomi dan terutama oleh hubungannya dengan alat-alat produksi.

Karena kelas ditentukan oleh hubungan dengan alat-alat produksi, maka dalam setiap masyarakat berkelas ada kelas yang memiliki/mengontrol alat-alat produksi dan ada kelas yang tidak memiliki/tidak mengontrol alat-alat-alat produksi. Dalam masyarakat kapitalis, kelas yang memiliki/mengontrol alat-alat produksi ini adalah kelas borjuasi atau kelas kapitalis, sementara kelas yang tidak memiliki alat-alat produksi adalah kelas proletariat atau kelas buruh.

Inilah dua kelas utama/fundamental dalam masyarakat kapitalis. Hubungan kedua kelas bersifat internal. Artinya, keberadaan satu kelas ditentukan oleh keberadaan kelas yang lainnya; agar ada kelas borjuasi maka harus ada kelas buruh. Jika salah satunya tidak ada maka kita tidak bisa menyebut bahwa sistem kapitalisme itu eksis. Tetapi, karena hubungan kelas ini bersifat eksploitatif, maka hubungan internal antara kelas borjuasi dan kelas buruh ini dengan sendirinya bersifat eksploitatif. Agar terus eksis, kelas borjuasi harus senantiasa mengeksploitasi kelas buruh. Sebaliknya, kelas buruh akan terus menerus berjuang untuk menghapuskan hubungan sosial yang eksploitatif tersebut. Itulah sebabnya hubungan di antara kedua kelas ini bersifat antagonistik. Pertentangannya tidak terdamaikan selama sistem kapitalisme ini tetap ada—walaupun kita tahu bahwa dalam momen-momen sejarah tertentu, pertentangan antagonistik itu kadang tidak muncul ke permukaan.

Karena hubungan kedua kelas utama ini bersifat antagonistik maka pada kedua kelas inilah kita menemukan ideologi yang komprehensif dan elaboratif mengenai doktrin perjuangan, program-program, dan bentuk-bentuk organisasinya. Ideologi kelas borjuasi adalah pro-kapitalisme; ideologi proletariat adalah anti-kapitalisme (sosialisme). Kelas borjuasi bertujuan mempertahankan kelas-kelas dalam masyarakat, kelas proletariat bertujuan menghapuskan kelas-kelas dalam masyarakat. Adalah aneh, misalnya, partai kelas buruh mengusung doktrin dan program perjuangan untuk membela atau mereformasi kapitalisme. Begitu pula sebaliknya, sangat ganjil jika partai kelas borjuasi mengusung doktrin dan program perjuangan untuk menghancurkan kapitalisme. Tentu saja keanehan selalu muncul dalam sejarah, misalnya, Partai Sosial Demokrat Jerman di masa Perang Dunia I yang kuat berada di bawah pengaruh reformisme Eduard Bernstein atau Partai Buruh Inggris di bawah kepemimpinan Tony Blair medio 1990an.

Tetapi dalam setiap masyarakat berkelas, kelas-kelas yang eksis bukan hanya kelas-kelas yang fundamental atau yang utama, seperti kelas borjuasi dan kelas buruh dalam masyarakat kapitalis. Di luar kedua kelas utama ini, terdapat kelas-kelas lainnya seperti kelas menengah (petty bourgeoisie) dan lumpen proletariat yang berarti proletariat yang tidak terorganisasi atau proletariat yang tidak memiliki kesadaran kelas.

Dengan posisinya yang berada di antara kelas borjuasi dan proletariat, maka secara ideologis kelas menengah ini terombang-ambing di antara pertarungan ideologis dan politik kedua kelas fundamental tersebut. Menurut Poulantzas (1977; 1975) secara ekonomi kelas menengah (1) berbeda dari borjuasi (mereka bukanlah borjuasi dan menentang borjuasi yang secara progresif menghancurkan sumberdaya ekonominya), dan juga berbeda dari proletariat, tetapi (2) mereka juga memiliki kesamaan dengan borjuasi (karena keterkaitannya dengan kepemilikan) dan juga kesamaan dengan proletariat (karena mereka juga adalah produsen langsung). Dalam pengertian ini maka kelas menengah ini tidak memiliki kepentingan politik jangka panjang buat diri mereka sendiri dan karena itu mereka tidak memiliki partai politiknya sendiri. Inilah basis material dari kesimpulan Mughis itu. Kondisi ini kemudian berdampak pada level ideologis:  

Pertama, secara ideologis mereka anti-kapitalis tapi dalam wujud yang pro-kemapanan. Sikap anti-kapitalisnya mewujud sebagai sikap “anti-orang kaya.” Namun, karena mereka adalah pemilik properti, maka mereka juga memelihara ketakutan akan transformasi radikal dalam masyarakat. Mereka ingin perubahan tanpa harus mengubah sistem dan karena itu aspirasi politiknya adalah menuntut “distribusi” kekuasaan politik dan menentang transformasi radikal dari kekuasaan politik itu.

Kedua, sebagai konsekuensi penolakannya atas transformasi sosial radikal, maka yang dituntut oleh kelas menengah ini adalah promosi sosial. Watak pekerjaan telah mengisolasi kelas menengah dalam kompetisi pasar, sehingga menguatkan individualisme dalam pergaulan sosial mereka sendiri. Akibatnya, kelas ini sangat berambisi menjadi borjuis melalui cara-cara individual. Dalam situasi ketika ekonomi berjalan normal (kapitalis bisa dengan leluasa mengakumulasi kapital secara terus-menerus tanpa terinterupsi), maka tuntutan/aspirasi yang dikedepankan oleh kelas menengah adalah penerapan mekanisme/prinsip meritokrasi.

Ketiga, ideologi pemujaan kekuasaan. Karena isolasi ekonominya (individualisme kelas menengah), mereka percaya bahwa posisi negara netral alias berada di atas kelas-kelas. Pemujaan terhadap negara dan pengidentifikasian dengan negara dan level atas kekuasaan, lebih dari apapun, adalah melalui birokratisme dan hierarki subordinasi. Dalam situasi krisis ekonomi-politik, mereka melihat bahwa hanya negara yang memiliki kemampuan untuk mengatasinya dengan segala cara.


Melampaui Kelas Menengah

Mendiskusikan kegagalan gerakan sosial yang dimotori oleh kelas menengah dengan menunjukkan posisi kelas menengah dalam struktur masyarakat kapitalis berdampak pada dua keadaan: pertama, pijakan material yang dilibatkan dalam pembahasan ini menuntut diskusi-diskusi tentang topik sejenis untuk ke depannya tidak bisa mengawang-awang lagi. Kedua, diskusi ini juga kemudian bisa menunjukkan kepada kita pilihan alternatif untuk membangun gerakan sosial/politik yang tidak berbasis kelas menengah.***


Coen Husain Pontoh, editor IndoPROGRESS


]]>
IndoPROGRESS Baru: Setelah 14 Tahun https://indoprogress.com/2020/07/indoprogress-baru-setelah-14-tahun/ Fri, 31 Jul 2020 06:00:19 +0000 https://indoprogress.com/?p=232320

Ilustrasi: Illustruth


AKHIR Juli 2020, IndoPROGRESS akan memasuki usia empat belas tahun. Pada awal kemunculannya, saya membayangkan sebuah media alternatif dengan konten yang saat itu bisa dibilang amat sangat jarang mendapatkan tempat: anti-kapitalisme, anti-militerisme, pro-kesetaraan gender dan seksual juga pro-kelestarian lingkungan.

Mengapa IndoPROGRESS? Walaupun saya telah pindah ke Amerika Serikat dan memulai petualangan hidup yang sama sekali baru, Indonesia adalah sebuah memori yang tertanam kuat di kesadaran saya: kawan-kawan saya yang hilang diculik dan tak juga kembali ada di kepala saat IndoPROGRESS bermula. Saya ingin mereka terus hidup dan salah satu alasan IndoPROGRESS didirikan adalah untuk terus membuat mereka ada. Saya juga berpikir tentang bagaimana IndoPROGRESS bisa menjadi alat yang bisa membantu demokratisasi ilmu pengetahuan dan dunia pendidikan di Indonesia. Jadi, keberadaan IndoPROGRESS salah satunya adalah sebagai jawaban atas larangan terhadap ajaran Marxisme dan Sosialisme di Indonesia yang eksis sampai sekarang.

Dalam pengelolaan sejak awal, saya harus berterima kasih kepada dua orang. Sari Safitri Mohan yang menjadi kolaborator dalam penyuntingan naskah-naskah awal, dan yang menginisiasi dan mengawal kanal Podcast dan IndoPROGRESS TV (IPTV). Selain itu, tentu saja adalah Alit Ambara, yang selalu siap 24 jam untuk saya ganggu agar memperbaiki dan memperbaharui desain IndoPROGRESS, serta mengatasi gangguan-gangguan teknis. Saya juga terbantu dengan kemajuan teknologi yang membuat saya bisa mengurus IndoPROGRESS dari sejak bayi. Dari yang awalnya hanya berupa kumpulan tulisan-tulisan progresif yang bertebaran di berbagai kanal media, akhirnya media ini terus berkembang seiring bergabungnya awak IndoPROGRESS yang baru. Mereka rata-rata masih muda dan punya pikiran yang cemerlang tentang masa depan Indonesia. Merekalah yang terus menghidupi apa yang selama ini menjadi api IndoPROGRESS.


..That we all are onward, onward, speeding slowly, surely bettering – Walt Whitman (Going Somewhere)


Dalam satu tahun terakhir, pelan-pelan saya menyerahkan apa yang selama ini saya kerjakan ke anak-anak muda ini. Mereka bekerja secara pro bono di luar kerja utama mereka untuk mengurusi IndoPROGRESS. Tidak banyak yang bisa terus mendedikasikan waktu dan energi untuk sesuatu yang tidak memberikan imbalan berupa uang, tetapi anak-anak muda ini terus bergerak dan membara. Seperti petikan sajak Walt Whitman yang saya kutip di atas, kita semua bergerak maju, pelan tapi pasti, menuju arah yang semakin baik. Ini yang saya saksikan dan saya percaya terus terjadi dari tangan anak-anak muda ini untuk IndoPROGRESS. Maka, tepat saat IndoPROGRESS berusia empat belas tahun nanti, saya memberikan tongkat estafet yang selama ini saya pegang sebagai Pemimpin Redaksi kepada Rianne Subijanto. Rianne—kami memanggilnya Anne—adalah seorang profesor kajian media di Baruch College, City University of New York (CUNY)  dan salah seorang editor IndoPROGRESS yang mumpuni. Bersama dengan Rianne, ada sekelompok anak muda lain yang secara kolektif menjadi penggerak dan bekerja sebagai editor inti di IndoPROGRESS.

Saya percaya di tangan generasi kepemimpinan yang baru ini, IndoPROGRESS  akan menjadi lebih baik. Saya berharap para pembaca (website maupun jurnal), penonton (saluran YouTube atau Instagram) dan pendengar (podcast) IndoPROGRESS terus mendukung tumbuhnya IndoPROGRESS. Yang tua berhenti, yang muda terus berjalan menghidupi.

Salam hormat dan terima kasih.


The sun now low in the west rises for mornings and for noons
continual; To frozen clods ever the spring’s invisible law returns,

With grass and flowers and summer fruits and corn

– Walt Whitman (Continuities).***


]]>
Surat Kepada Romo Franz Magnis-Suseno soal Komunisme https://indoprogress.com/2020/07/surat-kepada-romo-franz-magnis-suseno-soal-komunisme/ Mon, 20 Jul 2020 01:00:40 +0000 https://indoprogress.com/?p=232292

Ilustrasi oleh Jonpey


ROMO Magnis yang baik, apa kabar? Semoga Romo sehat-sehat selalu. Sehat jiwa raga juga pikiran, artinya tidak psycho freak.  

Saya menulis surat ini setelah membaca artikel Romo di harian Kompas (9/7) yang bertajuk “Komunisme Memang Gagal”. Terus terang, saya sempat bertanya-tanya apa betul tulisan itu adalah karya seorang filsuf yang terlatih secara akademik sekaligus pastor yang sudah sepuh. Ini karena tulisan tersebut mengingatkan saya akan komentar orang-orang yang kesurupan anti-Partai Komunis Indonesi (PKI) macam Kivlan Zen, Alfian Tandjung, atau Noval Bamukmin. Pemikiran mereka sama sekali tak menggugah orang untuk berpikir dalam dan hanya mendaur ulang ketakutan-ketakutan yang dibuat Orde Baru (Orba) demi agenda politik dan ekonominya.

Saya tetap menghargai dan menghormati pendapat Romo. Romo bebas berpendapat apa saja tentang Marxisme, Leninisme, Komunisme, dan juga tentang PKI. Namun, karena kualitas tulisan itu bisa dibilang tidak ada, maka saya tidak akan menanggapi banyak-banyak yang berkaitan dengan artikel tersebut. Saya cukup mengerti bahwa merespons sesuatu yang nihil kualitas hanya akan bikin sakit kepala. Jadi, surat ini saya bikin untuk mengajak Romo–kalau masih belum terlambat dan masih mau diajak–untuk sedikit saja berpikir dan bertindak demokratis.

Sedikit saja. Tidak banyak-banyak.

Saya akan mulai dengan  pernyataan Romo bahwa komunisme sebagai ide dan gerakan politik sudah gagal. Ini pendapat yang wajar, terlepas benar atau salahnya. Romo kemudian membawa narasi tadi ke dalam konteks Indonesia dan mengatakan bahwa TAP MPRS Nomor XXV/1966 itu tetap harus dipertahankan keberadaannya karena “mempunyai kekuatan simbolis penting. Pertama, dengan menetapkan bahwa bagi PKI tidak ada tempat lagi di Indonesia, TAP itu mengakhiri suatu keterpecahan bangsa, yang meledak dalam Gerakan 30 September. Kedua, ideologi PKI adalah Marxisme-Leninisme, dan salah satu unsur Marxisme-Leninisme adalah ateisme”.

Saya berharap Romo tidak lupa bahwa TAP MPRS No. XXV/1966 itu menjadi alat legitimasi pembantaian ratusan ribu hingga jutaan rakyat Indonesia yang dituduh atau dianggap komunis oleh rezim Orba yang kapitalis-militeristik itu. Saya jadi tergelitik untuk bertanya: bagaimana menurut Romo tindakan Orde Baru terhadap nyawa para korban pembantaian tersebut? Apakah Romo sengaja menyepelekan nyawa mereka? Apakah Romo menganggap nasib keluarga para korban yang terus-menerus dipersekusi, dinista dan dipersetankan oleh rezim Orba sesuatu yang wajar belaka demi persatuan dan kesatuan bangsa? Apakah Romo membenarkan aksi-aksi sepihak dari perorangan dan kelompok yang terus mengumbar ketakutan di tengah rakyat dengan mengembus-hembuskan sentimen anti-komunisme, anti-PKI saat ini demi kepentingan ekonomi politik mereka?

Jika benar demikian adanya, itukah makna seorang pastor, seorang pelayan umat, menurut Romo? Pertanyaan barusan bisa jadi terdengar naif  tapi saya tetap ingin menyampaikannya.

TAP MPRS No. XXV/1966 itu tidak hanya menghabisi tubuh rakyat sebangsa, melainkan juga membunuh pemikiran generasi-generasi berikutnya hingga sekarang. TAP MPRS No. XXV/1966 memberikan landasan konstitusional untuk melarang rakyat Indonesia mempelajari ilmu pengetahuan Marxis di seluruh jenjang pendidikan. This is actually our loss. Mengapa? Karena generasi pasca-1965 tidak memiliki tradisi berpikir yang komprehensif dan solid dalam membincangkan sebuah persoalan. Tradisi para intelektual Indonesia pasca-1965 adalah tradisi asal kutip (cherry picking) tanpa benar-benar mengetahui makna seutuhnya dari yang dikutipnya itu. Saya bisa mengambil artikel Romo itu sebagai contoh terbaiknya.

Karena pelarangan setengah abad lebih ini, para peserta didik di Indonesia–jika diibaratkan sebagai burung–adalah burung yang satu sayapnya patah hingga tak bisa terbang tinggi menjelajah hingga ke dunia pergaulan akademik internasional. Sungguh sulit melihat kelahiran sebuah tradisi pemikiran dari para intelektual dan akademisi Indonesia yang bisa sejajar dengan tradisi pemikiran yang ada saat ini di dunia. Semua usaha yang bisa membawa kehidupan intelektual dan akademisi di Indonesia maju dan setara dengan apa yang menjadi tradisi pemikiran di dunia semestinya diberikan tempat seluas-luasnya, bukan malah diseleksi atau diberikan pelarangan yang hanya menguntungkan agenda politik dan ekonomi sebuah rezim.

Sayang sekali, Romo tampaknya ingin mengekalkan apa yang sudah ditanamkan Orba lewat tradisi akademik yang pariah dan terbelakang ini, meskipun dari luar tampak megah dan penuh kuasa. Saya menyayangkan hal ini karena Romo tidak hanya seorang pastor pelayan umat, tapi juga seorang filsuf, akademisi, pendidik yang bermahkotakan gelar akademik tertinggi, yang seharusnya menjunjung tinggi kebebasan akademik dan demokratisasi ilmu pengetahuan.

Dengan segala gelar dan kerja-kerja akademik yang telah Romo lakoni, saya tidak bisa membayangkan bagaimana mubazirnya Romo mendidik murid-murid untuk menjadi intelektual yang “terseleksi”. Maksudnya adalah diseleksi untuk jadi intelektual yang hanya mempelajari apa-apa saja yang dianggap “aman” tanpa tahu bahwa mereka sedang dilatih untuk jadi penakut dan anti-ilmu pengetahuan.

Romo tidak cuma membaptis diri sebagai juru bicara dari sebuah zaman kegelapan (dark age) Orde Baru yang barbar itu, tetapi Romo pun telah bertindak tidak adil. Ah iya, saya tentu saja keliru menggunakan frasa “tidak adil” di sini; sejak kapan rezim Orba mengenal tindakan “adil sejak dalam pikiran”? Tetapi ijinkanlah saya tetap menggunakan frasa ini.

Dengan adanya TAP MPRS No. XXV/1966 itu, ketika Romo mengatakan bahwa Komunis Memang Gagal, Romo dengan demikian sudah membunuh berkali-kali tradisi akademik dan intelektual yang memang sudah mampus itu, sekaligus mengundang bahaya kepada mereka yang mencoba mendebat opini Romo. Mengapa demikian? Pernyataan Romo tersebut adalah sebuah pernyataan polemis (dengan argumentasi yang nihil). Di sisi lain, mendiskusikan secara publik tentang komunisme dengan argumentasi yang ilmiah sungguhlah sulit karena ajaran ini dilarang untuk dipelajari secara terstruktur dan sistematis. Selain itu, dengan makin diperkuatnya TAP MPRS No. XXV/1966 menjadi hukum positif, mereka yang mengambil posisi berlawanan dengan opini Romo terancam dipersekusi oleh negara dan kelompok-kelompok yang mendaku anti-komunis. Jika persekusi itu terjadi, bagaimana dan dalam bentuk apa Romo mau bertanggung jawab? Saya menanyakan hal ini dengan asumsi bahwa Romo mau bertanggung jawab. Lagi-lagi, asumsi ini mungkin naif.

Mengakhiri surat ini, saya ingin kembali menegaskan bahwa saya akan terus menghargai pendapat-pendapat Romo yang anti-Marxis dan anti-Komunis. Itu hak Romo untuk berpendapat. Tetapi saya juga ingin sekali bermimpi untuk bisa melihat Romo sebagai sosok yang berani; berani menjadi seorang pelayan umat yang sebenar-benarnya dan akademisi yang demokratis dan menjunjung tinggi kebebasan akademik. Sebab, seperti kata Pramoedya Ananta Toer, “Dalam hidup kita, cuma satu yang kita punya, yaitu keberanian. Kalau tidak punya itu, lantas apa harga hidup kita ini?”***

New York City, 12 Juli 2020

]]>
Rasisme, Politik Identitas dan Masalah Papua: Sebuah Penjelasan https://indoprogress.com/2020/06/rasisme-politik-identitas-dan-masalah-papua-sebuah-penjelasan/ Mon, 15 Jun 2020 03:37:31 +0000 https://indoprogress.com/?p=232162

Ilustrasi oleh Illustruth


“Mengasosiasikan Gerakan Rakyat Papua (GRP) dengan gerakan Black Lives Matter (BLM) berpotensi besar untuk terjatuh kedlm Politik Identitas, sesuatu yg justru harus dihindari oleh GRP dan BLM itu sendiri jika ingin benar2 menghapus praktik rasisme dan diskriminasi oleh Negara.”


DEMIKIAN cuitan dari akun Twitter IndoPROGRESS pada 31 Mei 2020 lalu yang memicu beragam respons. Saya mengklasifikasi tanggapan-tanggapan tersebut dalam dua bentuk: respons teoritik dan respons politik. Sebagai tanggapan atas dua respons tersebut, saya akan mengelaborasi lebih jauh makna cuitan itu.

Pertama, saya akan membahas masalah rasisme dan diskriminasi rasial di AS yang kini tengah menuai perlawanan hebat. Di bagian ini, saya akan mengajak pembaca untuk berkelana ke dalam cakrawala sejarah kemunculan ideologi white supremacy (supremasi kulit putih) sebagai alat legitimasi rasisme terhadap warga kulit hitam (kini juga termasuk kulit berwarna di AS). Penelusuran sejarah adalah pondasi untuk melihat permasalahan sosial kontemporer dengan lebih menyeluruh. Kemudian di bagian kedua, saya akan mendiskusikan soal politik identitas secara teoritik dan metodologis. Di bagian ketiga, atau yang terakhir, saya akan membahas soal dampak politik dari politik identitas ini terkait perlawanan terhadap praktik rasisme yang sistematis serta hubungannya dengan gerakan pembebasan nasional Papua.


Sejarah kemunculan ideologi supremasi kulit putih

Terkait dengan rasisme terhadap warga kulit hitam, beberapa komentar di cuitan itu menyatakan bahwa rasisme muncul bersamaan dengan kolonialisme. Ada juga yang mengatakan bahwa menentukan apakah kolonialisme atau rasisme yang merupakan akar persoalan ibarat menentukan mana yang lebih dahulu muncul: telur atau ayam. Melalui penelusuran sejarah rasisme terhadap warga kulita hitam di AS, saya ingin menunjukkan bahwa politik rasisme itu muncul setelah kolonialisme.

Penjelasan ini bisa kita mulai dari ekspedisi penjelajah Eropa yang dibiayai oleh para penguasa feodal Eropa yang sedang babak belur akibat perang di antara mereka sendiri pada abad ke-14. Beberapa kerajaan seperti Spanyol dan Portugis mulai berinsiatif membiayai ekspedisi ke wilayah-wilayah “tak bertuan” di luar kekuasaan teritorial mereka. Namun, baru pada abad ke-16 ambisi ini bisa diwujudkan, dengan tujuan utama mencari barang-barang berharga yang bisa dirampas guna membiayai kampanye militer. Dari sanalah kita mengenal nama seperti Christopher Columbus yang mendarat di benua Amerika pada 12 Oktober 1492.

Di Dunia Baru (The New World), gairah Columbus untuk menemukan emas sama besarnya dengan gairahnya untuk menjelajah. Dalam buku laris Another World is Possible Globalization and Anti-Capitalism (2002), ilmuwan politik David McNally mencatat bahwa dalam buku harian Columbus kata emas ditemukan sebanyak 140 kali dalam ekspedisi perdananya. Selama satu tahun pertamanya, Columbus tampaknya kurang beruntung menemukan emas. Baru lima tahun kemudian keberuntungan menyertai pelaut Italia itu. Emas pertama ia temukan di daerah koloni baru yang kelak disebut Española dan kini bernama Haiti dan Republik Dominika. Pertambangan besar-besaran pun dimulai untuk mengeruk isi perut Española yang setiap tahunnya kelak menghasilkan sekitar satu sampai tiga ton emas.[i]

Penduduk asli tentu tidak tunduk begitu saja kepada pendatang luar yang mengeruk dan mengangkut hasil kekayaan alam mereka. Untuk menundukkan dan meringkus perlawanan penduduk asli ini, Columbus mengorganisir teror brutal sebagai kebijakan rutin kekuasaan kolonialnya. Tiang-tiang gantungan didirikan di seluruh kota yang ia kuasai. Pembunuhan dengan kekejian tiada tara menjadi pemandangan umum, kematian karena kerja yang melampaui batas kemampuan fisik serta penyakit telah menyebabkan jumlah penduduk asli berkurang drastis. Ketika Columbus pertama kali menginjakkan kaki di Dunia Baru pada 1492, penduduk asli Tainos berjumlah sekitar 8 juta orang. Empat tahun kemudian, jumlahnya tinggal tersisa 3 juta orang. Ketika Columbus meninggalkan tugasnya sebagai gubernur koloni pada 1500, penduduk asli yang tersisa tinggal 100 ribu orang. Pada 1542, diperkirakan hanya sekitar 200 orang yang hidup. Hanya dalam waktu 50 tahun penundukkan Eropa, lebih dari 99,9 persen penduduk Tainos binasa.[ii]

Namun demikian, kolonisasi yang disertai teror negara kolonial yang sistematis terhadap penduduk asli itu tidak didasarkan pada alasan rasial. Columbus lebih menganggap penduduk asli sebagai manusia barbar, primitif, dan dungu dalam segala hal. Perbudakan Columbus atas penduduk asli berlangsung dengan dalih kultural alih-alih rasial.[iii]

Perbudakan di tanah-tanah koloni berdasarkan ras baru dimulai ketika muncul corak produksi kapitalis (capitalist mode of production). Sejarawan Amerika keturunan Trinidad Oliver Cromwell Cox menulis dalam buku klasiknya Caste, Class, and Race (1959):“Eksploitasi rasial dan sentimen ras berkembang di kalangan orang-orang Eropa seiring bangkitnya kapitalismedan nasionalisme, dan karena penyebaran kapitalisme terjadi di seluruh dunia maka seluruh antagonisme rasial itu bisa dilacak pada kebijakan-kebijakan dan sikap-sikap para kapitalis terkemuka, orang kulit putih Eropa, dan Amerika Utara”.[iv]

Motor dari penindasan berdasarkan ras ini adalah kerajaan Inggris yang merupakan negara kapitalis pertama dan terutama saat itu. Berbeda dengan kolonisasi Spanyol atau negara-negara Eropa lainnya yang bersandar pada corak produksi feodal (kolonisasi feodalis), praktik kolonisasi Inggris bercorak kapitalis, yang dalam kasus AS mengambil bentuk apa yang disebut Karl Marx sebagai kapitalis perbudakan (capitalist slavery), yakni sebuah sistem yang didasarkan pada penggunaan tenaga kerja budak untuk memproduksi komoditas untuk pasar dunia.[v]

Perbedaan ini direkam oleh antropolog Sidney Mintz. Jika kolonisasi Spanyol di ‘Dunia Baru’, tulis Mintz, “berkonsentrasi pada usaha untuk mengeruk barang-barang logam berharga, maka Inggris fokus pada produksi komoditas-komoditas yang laku di pasaran” seperti kapas, nila, kopi, gula dan tembakau.[vi] Bagi McNally, perbedaan ini sangat signifikan; kolonialisme Spanyol bertumpu pada pengerukan barang-barang berharga dari dalam tanah dan pengiriman ke negara asal untuk membiayai perang. Ketika emas atau perak itu semakin sulit ditemukan maka mereka menelantarkan atau meninggalkan tanah tersebut.

Sementara itu, kolonialisme Inggris justru membangun alat-alat produksi. Mereka membersihkan lahan, mengingkatkan kadar kesuburannya, dan membudidayakannya. Mereka juga membangun gudang-gudang penyimpanan, pengawetan, dan penyulingan untuk memproses bahan-bahan mentah. Seturut dengan itu muncul pula kebutuhan akan infrastruktur jalan dan tempat-tempat perdagangan yang akhirnya dibangun untuk memfasilitasi kepentingan produksi komoditas dan pengiriman ke pasar dunia.[vii]Perbedaan watak kolonialisme ini juga menciptakan perbedaan dalam hal memperlakukan penduduk tanah jajahan. Misalnya, walaupun Columbus menggunakan cara-cara brutal dalam mengeksploitasi penduduk asli agar mau bekerja di ladang-ladang pertambangan sebagai budak, ia tidak memberlakukan pengawasan (supervision), kontrol dan pengaturan yang sistematis terhadap penduduk asli. Sebaliknya, pengawasan, kontrol, dan regulasi, dan manajemen sistematis itu menjadi ciri penguasa kolonial Inggris untuk meningkatkan efisiensi dalam proses kerja. Itu sebabnya eksploitasi kolonial Inggris terhadap tenaga kerja budak jauh lebih intensif jika dibandingkan dengan penguasa kolonial lain sebelumnya.

Dengan karakteristik kolonisasi kapitalis seperti itu, kolonialisme Inggris membutuhkan tenaga kerja tetap yang jumlahnya semakin besar seiring makin luasnya tanah garapan. Di Amerika, ketika sistem pertanian kapitalis ala Inggris ini mulai diberlakukan pada abad ke-17, mereka tidak lagi bisa hanya mengandalkan penduduk asli Amerika sebagai budak yang akan dipekerjakan di ladang-ladang pertanian raksasa. Selain jumlah populasinya kecil, penduduk asli ini juga sering melakukan perlawanan terhadap penguasa kolonial. Sebagai jalan keluarnya, diimporlah tenaga-tenaga kerja dari Eropa untuk dipekerjakan sebagai buruh tidak bebas (bonded atau indentured labour)[viii] yang nasibnya (perlakuan majikan dan kondisi kerja) setali tiga uang dengan nasibnya budak kulit hitam. Menurut catatan McNally, lebih dari 90 ribu imigran Eropa (sepertiganya adalah budak) dijual atau diculik ke Virginia dan Maryland sejak 1607 hingga 1682.

Selanjutnya, dengan berdirinya Royal African Company pada 1672, para borjuis pertanian di AS tidak perlu khawatir kekurangan suplai tenaga budak-budak Afrika. Cox menulis, perdagangan manusia ini berkembang bukan karena orang Indian dan Negro berkulit merah dan hitam, tetapi karena mereka dipandang sebagai buruh terbaik yang bisa dipekerjakan untuk kerja-kerja berat di ladang-ladang pertambangan dan pertanian sepanjang Atlantik.[ix] Hasil dari impor tenaga kerja tersebut, menurut Robin Blackburn, sistem pertanian ala-Inggris di AS pada 1770 telah melibatkan “sekitar dua juta budak yang dipekerjakan di ladang-ladang, pabrik-pabrik, pertambangan-pertambangan, bengkel-bengkel kerja dan rumah tangga untuk memproduksi komoditas seperti gula dan tembakau, yang nilainya setara dengan sepertiga dari keseluruhan perdagangan Eropa.”[x]

Dari sini kita melihat bahwa ketika budak-budak Afrika tiba pertama kali di Virginia, AS pada 1619, di sana sudah menetap para buruh tidak bebas (indentured laborer) kulit putih asal Eropa, yang umumnya berasal dari Irlandia. Dengan kesamaan warna kulit antara borjuasi pertanian dan buruh tidak bebas itu, sangat mustahil kontrol sosial berdasarkan perbedaan rasial bisa dijalankan. Tidaklah mungkin supremasi kulit putih bisa eksis di kalangan budak kulit putih. Inilah pijakan mengapa sejarawan AS asal Trinidad, Eric Williams, dalam bukunya Capitalism and Slavery (1944) mengatakan bahwa perbudakan tidak lahir dari rasisme, melainkan sebaliknya: rasisme lahir dari perbudakan (unfree labour).[xi] Hanya setelah melalui periode uji-coba yang panjang itulah para kapitalis pertanian memutuskan untuk menggunakan strategi rasial sebagai alat untuk menindas budak-budak Afrika.

Momentum itu muncul ketika terjadi pemberontakan rakyat terbesar dalam sejarah kolonial Amerika pada tahun 1676-1677. Pemberontakan yang dikenal dengan nama Bacon’s Rebellion (pemimpinnya bernama Nathaniel Bacon) itu semula dipicu oleh konflik di tingkat elite borjuasi perkebunan terkait kebijakan menghadapi penduduk asli (Native American). Eskalasi konflik lantas memicu pemberontakan kelas buruh. Lebih dari 15 ribu orang terlibat dalam pemberontakan itu. Mayoritasnya adalah para budak, yakni 2.000 budak kulit hitam (African-American) dan 6.000 orang buruh tidak bebas (indentured laborer) kulit putih (European-American). Tuntutan paling signifikan dari pemberontakan Bacon adalah pembebasan dari perbudakan. Setelah pemberontakan berhasil dipadamkan, para kapitalis pertanian menyadari bahwa mekanisme kontrol sosial yang sedang berjalan, yang didasarkan terutama pada kekerasan fisik dan pembatasan-pembatasan lainnya, tidak lagi memadai untuk menjaga keberlangsungan proses eksploitasi para budak. Dibutuhkan sebuah mekanisme kontrol sosial baru untuk (1) meredam terjadinya pemberontakan kelas bawah serupa di kemudian hari, dan (2) untuk mencegah dan menghancurkan terjadinya aliansi bersama antara para budak kulit putih, coklat, dan hitam yang sama-sama ditindas oleh kelas kapitalis ini di masa depan.

Sebagaimana dicatat Asad Haider dalam Mistaken Identity (2018), aliansi buruh Eropa dan Afrika dianggap sebagai ancaman eksistensial yang paling mendasar terhadap kelas penguasa kolonial yang kemudian mencari cara untuk mencegah potensi aliansi serupa di masa depan.[xii] Dari sinilah kemudian diperkenalkan rezim baru penindasan rasial, dalam bentuk penciptaan ras kulit putih (white race) dan dengan demikian supremasi kulit putih (white supremacy).[xiii] Dengan ditegakkannya supremasi kulit putih ini, catat sosiolog dan sejarawan sosialis W.E.B. Du Bois, pertikaian antara pekerja kulit putih dan kulit hitam didorong ke titik seekstrem mungkin sehingga kedua kelompok yang pada dasarnya memiliki kepentingan yang identik itu menjadi saling membenci dan saling memendam rasa takut secara permanen. Walhasil, kedua kelompok tidak melihat sedikit pun adanya kepentingan bersama di antara mereka.”[xiv]

Praktik kontrol sosial baru ini dimulai dengan pelonggaran pemberlakuan kerja paksa untuk buruh kulit putih dan intensifikasi penindasan terhadap budak kulit hitam. Di tataran legal, beberapa negara bagian kemudian memberlakukan larangan kawin campur antara kulit hitam dan kulit putih, lalu mengklasifikan semua orang yang berkulit hitam dan ras campuran (kecuali mereka bisa membuktikan sebaliknya) sebagai budak, melarang orang kulit hitam untuk menduduki jabatan-jabatan publik, dan melarang orang kulit hitam memilih dalam pemilihan umum. Inilah periode ketika kelas berkuasa di koloni Amerika tengah “membentuk ras” (the act of inventing race).[xv] Proses selanjutnya: orang-orang kulit putih miskin dimasukkan ke dalam strata kulit putih yang memiliki hak-hak istimewa (white privilege). Mereka dijadikan lapisan penyangga antara bojuasi kulit putih yang bercokol di piramida sosial teratas dan para budak kulit hitam yang menempati lapisan terbawah dalam struktur sosial yang kapitalistik. Melalui kesatuan rasial kulit putih ini, para petani borjuis itu berhasil mengonsolidasikan posisi kelasnya. Antagonisme rasial sendiri mencapai titik kematangannya pada paruh akhir abad ke-18.[xvi]

Menutup bagian ini, saya ingin mengutip agak panjang pendapat Cox,

“Fakta krusial yang signifikan di sini adalah bahwa eksploitasi rasial hanyalah salah satu aspek saja dari problem proletarianisasi buruh, tak peduli apa warna kulit dari si buruh. Oleh sebab itu, antagonisme rasial pada dasarnya adalah konflik politik-kelas (political-class conflict). Si kapitalis penindas adalah mahluk oportunis dan praktis yang akan memanfaatkan apapun untuk membuat buruh dan sumberdaya-sumberdaya lain bisa leluasa dieksploitasi. Ia akan merancang dan menggunakan prasangka rasial ketika itu bermanfaat baginya”.[xvii]


Politik identitas: sejarah, teori dan metode

Apa hubungan antara rasisme dengan politik identitas? Bagian berikut akan menjelaskannya.

Sebelum dekade 1950-an, istilah politik identitas tidak pernah dikenal seperti yang digunakan secara luas saat ini. Menurut Marie Moran, tidak ada satu pun publikasi akademik, jurnal, media populer, terbitan bisnis dan korporat, pernyataan politik hingga manifesto gerakan yang membahas identitas seksual, etnis, ras, national, politik, konsumen, atau bahkan krisis identitas.[xviii]

Moran yakin istilah politik identitas seperti yang kita kenal sekarang baru muncul pada pertengahan dekade 1960-an. Ada dua momen historis yang melatari kemunculan politik identitas. Pertama, dinamika politik dan ideologi di dalam gerakan kiri, khususnya Kiri Baru AS pada dekade 1960-an. Kedua, runtuhnya sistem ekonomi Keynesianisme (state-manage capitalism) sepanjang 1970-an yang kemudian digantikan dengan sistem kapitalisme neoliberal.

Terkait yang pertama, Sharon Smith mencatat ide politik identitas sudah muncul di organisasi terdepan gerakan Kiri Baru AS, yakni Students for a Democratic Society (SDS). Organisasi mahasiswa radikal yang mayoritas anggotanya berlatar belakang mahasiswa kelas menengah ini aktif di era ketika standar hidup kelas pekerja semakin tinggi—berkat ledakan ekonomi pasca Perang Dunia II—tapi kesadaran kelasnya justru rendah, terutama di kalangan pekerja terampil kulit putih. Sebagian besar pekerja kulit putih ini terus mendukung keterlibatan AS dalam Perang Vietnam sampai setelah gerakan mahasiswa anti-perang berkembang. Kenyataan tersebut membuat mayoritas mahasiswa radikal ini tidak mereken kelas pekerja—yang mereka anggap bisa ‘dibeli’—sebagai sekutu potensial.

SDS mencari alternatif atas perjuangan kelas untuk menggerakkan perubahan sosial. Dengan makin berkembangnya gerakan perempuan yang juga merupakan bagian dari gerakan Kiri Baru saat itu, SDS kemudian menemukan sekutu potensial. Pada 1968, SDS mengadopsi posisi bahwa “’penindasan perempuan melalui supremasi laki-laki secara kualitatif dan kuantitatif lebih besar daripada penindasan kelas pekerja pada umumnya.”[xix]Namun, gerakan pembebasan perempuan yang muncul dari sebagian kecil aktivis perempuan pada 1967 itu pun tak lama kemudian memisahkan diri dari SDS. Mereka menilai kaum perempuan di negara-negara sosialis seperti Rusia, Cina dan Kuba tetap tertindas sehingga bagi mereka sosialisme tak lagi mampu menyediakan jalan keluar bagi pembebasan perempuan dari ketertindasannya. Dan seperti yang dikatakan Smith, bagi sebagian besar perempuan yang berpisah dari SDS, perpecahan ini lebih dari sekadar penolakan terhadap Stalinisme. Perpecahan tersebut mencakup perpisahan teoritis dengan politik kelas dan permusuhan terhadap semua sosialis. Tak lama setelah memisahkan diri dari Kiri Baru, gerakan pembebasan perempuan juga mulai terpecah-belah. Mereka ingin memisahkan diri dari apa yang disebut politicos alias pihak-pihak yang ingin mempertahankan hubungan dengan gerakan sosialis.

Dari perpecahan demi perpecahan ini, muncul gerakan pembebasan perempuan yang merangkul apa yang disebut Smith sebagai “gagasan-gagasan separatisme dan peningkatan kesadaran sebagai prinsip-prinsip pengorganisasiannya”. Jadi, misalnya, Feminis Radikal New York dalam pernyataan pendiriannya pada tahun 1969 mengatakan:

“Kami percaya chauvinisme laki-laki bertujuan utama memperoleh kepuasan ego psikologis, dan hanya setelahnya memanifestasikan dirinya dalam hubungan ekonomi. Untuk alasan ini kami tidak percaya bahwa kapitalisme atau sistem ekonomi lainnya adalah penyebab penindasan perempuan. Kami juga tidak percaya penindasan perempuan akan hilang sebagai akibat dari murni revolusi ekonomi.”[xx]

Pernyataan sikap inilah yang kelak mendasari kemunculan ideologi anti-patriarki yang kemudian diadopsi secara luas oleh gerakan pembebasan perempuan gelombang kedua.[xxi] Dari sini analisis yang melihat penindasan perempuan berakar pada struktur ekonomi kapitalisme yang eksploitatif (Politik Kelas) secara perlahan makin ditinggalkan dan digeser oleh analisis bahwa penindasan perempuan berbasis pada dominasi laki-laki atas perempuan (politik identitas).

Gagasan ini kemudian diadopsi oleh gerakan pembebasan perempuan kulit hitam. Sekelompok feminis perempuan lesbian kulit hitam yang menamakan diri Combahee River Collective (CRC) di Boston, AS, menerbitkan sebuah pamflet pada 1977. Pamflet ini kelak menjadi ikon kemunculan politik identitas. Setelah melalui refleksi mendalam atas pengalaman gerakan pembebasan perempuan dan kulit hitam, CRC menyatakan “kami menyadari satu-satunya pihak yang cukup peduli kepada kita untuk bekerja secara konsisten demi kebebasan kita tidak lain adalah kita sendiri. Politik kita berkembang dari cinta yang sehat untuk diri kita sendiri, saudari-saudari kita dan komunitas kita yang memungkinkan kita melanjutkan perjuangan dan kerja-kerja kita.[xxii] Selanjutnya CRC mengatakan:

Pemfokusan pada penindasan atas diri kita diwujudkan dalam konsep politik identitas. Kami percaya bahwa politik yang paling mendalam dan berpotensi paling radikal adalah yang berakar pada identitas kita sendiri, sebagai lawan dari upaya untuk mengakhiri penindasan orang lain.[xxiii]

Namun, harus ditegaskan di sini bahwa pernyataan sikap CRC sama sekali tidak menolak gagasan bahwa penindasan itu juga disebabkan oleh sistem ekonomi politik kapitalisme, imperialisme, dan patriarki. CRC juga tetap mendaku sebagai sosialis, yang artinya mereka tidak mengusung politik separatis seperti gerakan feminis pecahan Kiri Baru pada akhir 1960-an. Namun demikian, secara metodologis, inti gagasan CRC dan kemudian evolusi lebih lanjut dari politik identitas ini tetap bisa kita lihat pada beberapa kata kunci (keyword) berikut ini:

(1) Hanya orang-orang yang mengalami penindasan tertentu yang dapat mendefinisikan atau melawan penindasan itu (laki-laki tidak bisa mendefinisikan penindasan yang dialami kaum perempuan; orang kulit putih tidak bisa mendefinisikan penindasan yang dialami oleh orang kulit hitam; orang Indonesia tidak bisa mendefinisikan penindasan yang dialami oleh orang Papua, dst);

(2) Yang personal (individualitas, subjektivitas, personalitas) bersifat politis.  Politik Kelas berwatak reduksionis dan deterministik;

(3) Karena akar penindasan bersifat subjektif dan kultural maka politik identitas menolak kelas buruh sebagai satu-satunya agen perubahan sosial. Dengan itu, CRC menolak Politik Kelas dan mengajukan politik aliansi lintas kelas (aliansi kelas, gender, ras, dan etnis), yang kini kita kenal dengan istilah interseksionalitas.

Munculnya kata kunci baru ini dalam perspektif kultural-materialis Raymond Williams, catat Moran, berelasi dengan kondisi sosial-politik yang ada. Bahasa kemudian bukan sesuatu yang netral, atau bersifat universal, melainkan kontekstual. Karena itu, bagi Williams, perubahan dalam bahasa (language-change) selalu berhubungan dengan perubahan kebutuhan dan situasi sosial, politik dan ekonomi.[xxiv] Jika kita perhatikan, kata kunci politik identitas itu merupakan respons atas perubahan dramatis yang sedang berlangsung pada massanya. Perubahan itu ditunjukkan oleh pengantar edisi spesial jurnal Marxism Today di New Times pada 1988:

Dunia kita sedang dirombak ulang. Produksi massal, konsumen massal, kota besar, negara big brother, area perumahan yang semakin luas, dan negara-bangsa sedang dalam periode pasang surut: fleksibilitas, keragaman, diferensiasi, mobilitas, komunikasi, desentralisasi dan internasionalisasi mengalami pasang naiknya. Dalam proses ini identitas kita sendiri, kesadaran diri kita sendiri, subjektivitas kita sendiri sedang ditransformasikan. Kita tengah berada dalam masa transisi menuju era baru.[xxv]

Transisi menuju era baru itu adalah suatu kondisi di mana peran negara dalam pasar dipangkas secara drastis karena dianggap menghalangi gerak laju akumulasi kapital, keberadaan serikat buruh yang kuat dianggap sebagai musuh yang harus dihancurkan, demikian juga kebijakan-kebijakan perlindungan sosial dianggap mengganggu spirit kompetisi yang menjadi syarat bagi bekerjanya mekanisme pasar. Pada saat bersamaan, seluruh ruang dan sumberdaya publik harus dikomodifikasi untuk dipertukarkan di pasar. Era baru ini kemudian dikenal dengan istilah kapitalisme neoliberal.

Tapi, kapitalisme neoliberal tidak hanya melulu soal ekonomi-politik. Sistem ini juga memperkenalkan nilai-nilai baru di tingkat individual. Artinya, agar sistem ini bisa bekerja maka manusia-manusia “baru” juga harus dicetak agar cocok dengan sistem sosial, politik, dan ekonomi ini. Nilai-nilai atau norma-norma lama seperti kolektivitas, solidaritas, dan kesetiakawanan kini digantikan oleh nilai dan norma baru seperti individualisme, egoisme, dan kompetisi. Manusia homo economicus impian Adam Smith kini diproduksi dan direproduksi secara masif dalam hubungan sosial yang baru ini.

Dalam lapangan politik ideologis, politik identitas melengkapi gambar besar yang didesain oleh sistem kapitalisme neoliberal ini. Itulah sebabnya politik identitas bukan hanya cocok dengan sistem sosial yang baru ini, bahkan melayani keberlangsungannya. Karena posisi ideologisnya yang seperti itu, maka politik identitas ini sejatinya mengusung gagasan politik yang partikular, fragmentatif karena mengutamakan difference sehingga persatuan gerakan/the unity of movement sulit terbentuk sebagai sesuatu yang strategis untuk melawan sistem sosial yang eksploitatif. Persatuan gerakan dimaknai sekadar sebuah kebutuhan taktis untuk merespons penindasan yang sifatnya parsial dan temporal/interseksionalitas); dan karitatif. Dalam bahasa Nancy Fraser, yang karitatif ini tampak pada tujuan utama politik identitas yang hanya menuntut pengakuan (politics of recogninition) danbukan redistribusi (politics of redistribution) dari sistem yang ada.[xxvi] Posisi ini sungguh paradoksal, karena kita menuntut pengakuan dari sistem yang menyebabkan terjadinya penindasan itu.[xxvii]

Politik identitas, dengan demikian, adalah politik yang tidak punya masa depan.


Dampak politik identitas pada Gerakan BLM dan Gerakan Pembebasan Nasional Papua

Seperti yang sudah kita diskusikan di atas, terminologi politik identitas ini sudah lama dibicarakan kalangan akademisi dan aktivis, namun baru menjadi sangat populer di masyarakat umur selama masa kampanye pemilihan presiden AS pada 2016. Ketika itu, calon presiden dari Partai Demokrat Hillary Rodham Clinton dikonfrontasi oleh aktivis Black Lives Matter (BLM). Dua aktivis BLM—Julius Jones dan Daunasia Yancey—saat itu menggugat peranan Hillary dalam kebijakan pemenjaraan massal (mass incarceration) dan perang melawan obat-obat terlarang (war on drugs) di masa pemerintahan Bill Clinton, yang tak lain adalah suaminya. Seperti yang dicatat media massa, dialog antara aktivis BLM dan Hillary itu adalah sebagai berikut:

Question: ‘what in your heart has changed that’s going to change the direction of this country… How do you actually feel that’s different than you did before?’

Question: ‘…you don’t tell black people what we need to know. And we won’t tell you all what you need to do.’
Hilary Clinton: ‘I’m not telling you – I’m just telling you to tell me.’
Question: ‘What I mean to say is – this is and has always been a white problem of violence. It’s not – there’s not much that we can do to stop the violence against us.’[xxviii]

Dari dialog ini, tampak bahwa aktivis BLM mengaja memisahkan persoalan rasisme struktural dan sistematis yang mereka alami akibat dari sistem sosial ekonomi kapitalistik yang eksploitatif itu menjadi urusan yang lebih sempit antara mereka dan Hillary Clinton. Di sini kedua aktivis itu dengan gamblang memosisikan BLM dalam orbit politik identitas (catatan: saya tidak mengklaim bahwa BLM adalah sebuah gerakan yang homogen dan monolitik). Clinton dikonfrontasi secara personal (sebagai perempuan kulit putih yang pernah berkuasa), bukan sebagai representasi dari sebuah sistem yang eksploitatif dan diskriminatif sehingga siapapun yang berkuasa akan mengambil tindakan yang sama. Bahkan dalam masa kepresidenan Barack Obama yang berkulit hitam, rasisme terhadap warga kulit hitam sama sekali tidak berkurang. BLM sendiri muncul pertama kali sebagai sebuah hashtag pada Juli 2013, hanya enam bulan setelah pelantikan kembali Presiden Obama.

Hasilnya memang secara politik gerakan BLM ini tidak beranjak lebih jauh dari sekadar tuntutan akan pengakuan. Sebelumnya, perlu saya tekankan bahwa bersolidaritas dengan warga kulit hitam dan BLM dalam isu penolakan diskriminasi berdasarkan ras adalah penting dan harus. Gerakan BLM sendiri telah membangkitkan kesadaran secara luas bahwa supremasi kulit putih masih bercokol di negeri Paman Sam dan sukses mengarusutamakan diskursus anti-rasisme kulit hitam di tempat-tempat di mana warga kulit hitam pernah diperbudak dan mengalami diskriminasi hingga hari ini. Kemajuan ini patut diapresiasi.

Namun, bukan berarti BLM tidak bisa dikritik, baik dari segi gagasan dasar/ideologi maupun metode gerakannya. Pada BLM, identitas menjadi tujuan akhir, bukan titik awal keberangkatan menuju tujuan akhir: pembebasan kelas proletar (dari semua elemen: ras, etnis, nasionalitas, seksual dan agama) dari penindasan kelas borjuasi (juga dari semua elemen: ras, etnis, nasionalitas, seksual dan agama). Dalam kasus bangsa-bangsa terjajah, pembebasan proletar ini secara historis mengambil bentuk gerakan pembebasan/kemerdekaan nasional (national liberation) untuk memutus rantai kapital global. Di Papua hari ini, penjaga mata rantai itu hari ini jelas diwakili oleh kolonisasi negara Indonesia.

Dalam terang perspektif ini, mengasosiasikan gerakan pembebasan nasional Papua dengan BLM adalah sebuah kekeliruan. Secara historis penindasan di antara keduanya (bangsa Papua dan warga kulit hitam AS) sangatlah berbeda.

Pertama, walaupun sama-sama mengalami periode kolonisasi, rakyat Papua tidak diperbudak oleh kelas berkuasa (the ruling class) Indonesia seperti yang dialami leluhur banyak warga kulit hitam AS. Eksploitasi yang berlangsung di Papua tidak diselenggarakan dalam kerangka perbudakan.

Kedua, diskriminasi negara terhadap warga kulit hitam AS didasarkan pada ras, sedangkan diskriminasi negara terhadap rakyat Papua tidak. Rakyat Papua didiskriminasi bukan karena mereka berkulit hitam, tapi karena mereka secara kultural dianggap primitif, barbar, dan bodoh, yang secara jitu dibahasakan oleh mantan tahanan politik Papua Filep Karma: Seakan Kitorang Setengah Binatang. Karena itu, tidak seperti AS yang melegalkan rasisme dan melembagakannya, dalam kasus Papua kita tidak menemukan aturan legal beserta institusi penunjangnya yang melarang rakyat Papua untuk kawin dengan rakyat Indonesia lain yang berbeda warna kulit. Tidak ada aturan legal yang melarang rakyat Papua menjadi pejabat negara. Tidak ada aturan legal yang melarang rakyat Papua memilih dan dipilih dalam proses pemilihan umum.

Ketiga, perlakuan rasis yang dialami oleh warga kulit hitam AS hari ini juga berbeda dengan yang dialami rakyat Papua. Warga kulit hitam (dan juga kulit berwarna lainnya) saat ini sebenarnya mengalami penindasan yang lebih sistematis pada level struktural, atau dalam bentuk rasisme terselubung (covert racism) yang lebih halus dan abstrak ketimbang rasisme terbuka (overt racism) seperti dalam kasus kekerasan polisi terhadap George Floyd yang berujung kematian dan aksi besar-besaran saat ini. Manifestasi tertinggi dari rasisme terselubung itu adalah tingginya tingkat pengangguran, rendahnya kesempatan kerja, pelecehan seksual, perbedaan jenis pekerjaan dan struktur penggajian, kualitas pelayanan kesehatan yang buruk, mahalnya biaya pendidikan dan perumahan serta iklim lingkungan yang buruk terutama di pemukiman-pemukiman kelas bawah kulit hitam. Karena itulah kita tidak mendengar tuntutan BLM untuk memisahkan diri dari negara AS. Sementara itu, diskriminasi warga Papua hari ini adalah akibat dari kolonialisme yang dilakukan Negara Indonesia dan karena itulah tuntutannya adalah pemisahan diri alias merdeka.

Tentu akan muncul pertanyaan, bukankah kolonialisme Indonesia ini adalah kolonialisme kapitalis, persis seperti kolonialisme Inggris di AS dulu? Dan sesuai sejarahnya, kolonialisme kapitalis inilah yang kemudian melahirkan rasisme? Saya sepenuhnya setuju bahwa kolonialisme Indonesia ini adalah kolonialisme kapitalis, namun Negara Indonesia belum sampai pada tahap menjadikan rasisme sebagai alat untuk melanggengkan penindasannya terhadap bangsa Papua.

Lalu apa dampaknya jika mengasosiasikan gerakan pembebasan nasional Papua dengan BLM? Pertama, gerakan pembebasan nasional Papua akan masuk dalam kerangka politik identitas. Dan seperti sudah kita diskusikan di atas, di sini identitas kepapuaan menjadi tujuan akhir perjuangan itu. Konsekuensi politiknya: tujuan dari gerakan pembebasan nasional Papua adalah terbentuknya sebuah negara baru yang berbasiskan pada ras kulit hitam. Jika konsekuensi politik ini diterima, ini mengingatkan saya pada salah satu bentuk gerakan anti-rasisme warga kulit hitam AS yang dikenal dengan istilah Reactionary Black Nationalism (RBN). Gerakan ini melihat orang kulit putih sebagai musuh utama. RBN meyakini bahwa emansipasi warga kulit hitam mustahil dicapai dalam sebuah sistem sosial politik dan ekonomi yang didominasi dan dikuasai oleh orang kulit putih. Dalam kerangka ini, perjuangan orang kulit hitam adalah melawan orang kulit putih dan bertujuan menciptakan sebuah sistem sosial ekokomi dan politik yang sepenuhnya dikontrol dan dikuasai oleh orang kulit hitam. Inilah satu-satunya cara agar warga kulit hitam terbebas dari penindasannya. Namun, sejarah mencatat gerakan emansipasi rasial tanpa perspektif kelas tertindas hanya melahirkan elite-elite ekonomi baru dari kaum kulit berwarna.[xxix] Dalam perkembangannya, gerakan RBN mengalami kegagalan dan terpecah-belah satu sama lain.

Kedua, sebagai akibatnya maka perjuangan bangsa Papua untuk merdeka dari kolonialisme Negara Indonesia akan sulit mendapatkan dukungan luas dari rakyat Indonesia, baik yang berada di Papua maupun yang di luar Papua yang berbeda secara rasial. Bagaimanapun, negara yang mengkolonisasi bangsa Papua adalah negara yang sama yang juga menindas rakyat Indonesia yang melawan ketika tanahnya dirampas; yang buruhnya diupah sangat rendah untuk dijual kepada para kapitalis asing dan domestik; yang kelompok minoritasnya didiskriminasi dan dipersekusi ketika menuntut hak-haknya diakui atau ketika mempraktikkan apa yang menjadi keyakinannya; yang rakyatnya tidak mendapatkan pelayanan kesehatan yang baik dan murah; yang rakyatnya kesulitan memasuki perguruan tinggi karena harganya yang tak terjangkau, dsb. Realisme ini dicatat dengan sangat baik dalam sejarah: gerakan anti-kolonial di berbagai tanah jajahan senantiasa bekerjasama dengan gerakan rakyat di negeri penjajah yang berani menekan pemerintahnya sendiri dan menghimpun dukungan dari masyarakat setempat untuk rakyat di negeri jajahan. Ini berlaku buat gerakan pembebasan Timor Leste yang didukung oleh gerakan pro-demokrasi di Indonesia pada era Orde Baru. Ini juga berlaku buat gerakan kemerdekaan Indonesia yang melibatkan elemen-elemen progresif di Negeri Belanda dan berbagai tempat lainnya. Ini bahkan sudah berlaku 200 tahun lalu pada gerakan anti-kolonialis tertua dunia di Haiti, sebuah republik pertama dunia yang didirikan para bekas budak, yang gerak pembebasannya mengalami lompatan jauh setelah kaum revolusioner Prancis menghabisi kekuasaan monarki Louis XVI dan kelas feodal antara 1789 dan 1794.

Dampak ketiga pengasosiasian gerakan rakyat Papua dan BLM: rakyat kedua bangsa, Papua dan Indonesia, bisa mengabaikan ada hubungan kausal antara penindasan terhadap rakyat Papua dan penindasan terhadap rakyat Indonesia atas nama ideologi “NKRI Harga Mati”. Minimnya kesadaran ini akan menyebabkan gerakan pembebasan nasional Papua terisolasi atau terpisah dari denyut nadi pergerakan rakyat Indonesia lainnya, sementara gerakan demokratis kedua bangsa saling membutuhkan. Rakyat Papua membutuhkan dukungan luas rakyat untuk memenangkan perjuangan pembebasan nasional. Demikian pula rakyat Indonesia yang tertindas perlu menyadari bahwa Papua adalah wilayah di mana gagasan tentang “NKRI Harga Mati” yang dijaga oleh aparatus bersenjata direproduksi secara besar-besaran dan berkelanjutan. Narasi “NKRI Harga Mati” inilah yang menjadi norma utama aparatus kekerasan dan ideologi negara dalam melakukan penindasan terhadap rakyat yang kehilangan hak-haknya sebagai warganegara. Karena itu, rakyat Indonesia yang tertindas harus memahami dan menyadari bahwa pembebasan bangsa Papua dari kolonialisme Negara Indonesia adalah syarat mutlak bagi pembebasan dirinya sendiri.

Dari penjelasan panjang lebar ini, saya ingin menegaskan bahwa “membawa atau menarik isu penindasan bangsa Papua ke isu ras adalah cacat secara teoritik dan berbahaya secara politik bagi rakyat kedua bangsa.”***


Coen Husain Pontoh adalah editor IndoPROGRESS. Buku terbarunya, Oligarki: Teori dan Kritik, diterbitkan oleh penerbit Marjin Kiri, 2020.


*Saya mengucapkan terima kasih kepada kawan-kawan editor IndoProgress yang telah memberikan komentar dan saran untuk artikel ini.


Kepustakaan

[i] David McNally, Another World is Possible Globalization and Anti-Capitalism, 2006, Arbeiter Ring Publishing, Canada, p.139.

[ii] Ibid., 140-141.

[iii] Cox menulis bahwa pada 1550 di Valladolid, Spanyol, terjadi perdebatan seru antara pastor Bartolomé Las Casas dengan teolog dan debator Gaines de Sepulveda terkait cara memperlakukan penduduk asli di tanah jajahan. Sepulveda berpendapat bahwa adalah sepenuhnya legal untuk melakukan perang melawan para budak Indian dengan alasan:

  1. Karena dosa-dosa mereka yang sangat besar;
  2. Karena kekafiran dan perilakunya yang sangat biadab, mengharuskan mereka untuk melayani orang-orang yang peradabannya lebih tinggi, seperti peradabannya orang-orang Spanyol;
  3. Untuk menyebarkan keyakinan; dengan melalui penundukan ini maka penyebaran itu menjadi lebih mudah dan persuasif.

Cox mengatakan bahwa pemenang dari debat tersebut adalah Sepulveda dan pendekatannya itu konsisten dengan rasionalisasi penindasan saat itu. Lihat Oliver Cromwell Cox, Caste, Class & Race A Study in Social Dynamics,1959, Monthly Review Press, NY, p. 334.

[iv] Ibid., p. 322.

[v] McNally, op.cit., p. 145.

[vi] Ibid., 143-144.

[vii] Loc.cit

[viii] Mengenai pengertian indentured laborer atau indentured servant bisa dilihat di sini: https://www.britannica.com/topic/indentured-labour; https://en.wikipedia.org/wiki/Indentured_servitude; diunduh pada 7 Juni 2020.

[ix] Op.cit., p. 332.

[x] Robin Blackburn, dikutip dari McNally, ibid., p. 145.

[xi] Eric Williams, dikutip dari McNally, ibid., p. 148.

[xii] Op.cit., p. 55,

[xiii] McNally, ibid., p. 154.

[xiv] Lihat Asad Haider, Mistaken Identity Race and Class in the Age of Trump, 2018, Verso, London, p. 49. Di kalangan gerakan anti rasial kulit hitam AS, sentimen ini muncul dalam gerakan Reactionary Black Nationalism. Kita akan diskusikan hal ini di bawah nanti.

[xv] Op.cit., p. 155.

[xvi] Cox, op.cit., p. 330.

[xvii] Ibid., p. 333.

[xviii] Marie Moran, Identity and Identity Politics A Cultural Materialist History, http://www.historicalmaterialism.org/special-issue/issue-262-identity-politics. Diunduh pada 7 Juni 2020/

[xix] Sharon Smith, Mistaken identity – or can identity politics
liberate the oppressed?
International Socialism, Spring 1994, https://www.marxists.org/history/etol/newspape/isj2/1994/isj2-062/smith.htm., diunduh pada 7 Juni 2020.

[xx] Lihat Smith, ibid.

[xxi] Walaupun ideologi anti-patriarki mendominasi gerakan perempuan gelombang kedua, bukan berarti tidak ada gerakan perempuan yang mendasarkan dirinya pada analisa Marxis. Salah satunya adalah gerakan Wages for Housework di New York, Inggris dan Italia pada tahun 1970-an. Informasi singkat mengenai gerakan ini, bisa dibaca di sini: https://en.wikipedia.org/wiki/Wages_for_housework. Diunduh pada 11 Juni 2020.

[xxii] Lihat Combahee River Collective Statement, https://americanstudies.yale.edu/sites/default/files/files/Keyword%20Coalition_Readings.pdf. Diunduh pada 7 Juni 2020.

[xxiii] Ibid

[xxiv] Mengenai hal ini, lihat Moran, ibid. Bagi yang tertarik mempelajari lebih detil lihat Raymond Williams, Problems in Materialim and Culture, 1980, Verso, London; dan Raymanod Williams, Politics and Letters Interviews with New Left Review, 2015, Verso, London, khususnya Bab II, bagian 3 tentang Keywords, p.175-185.

[xxv] Dikutip dari Sharon Smith, ibid.

[xxvi] Lihat Nancy Fraser, Fortunes of Feminism: From State-Managed Capitalism to Neoliberal Crisis, 2013, Verso, London.

[xxvii] Penjelasan yang detil dan menarik soal ini, lihat Chi Chi Shi, Defining My Own Oppression Neoliberalism and the Demands of Victimhood, http://www.historicalmaterialism.org/index.php/articles/defining-my-own-oppression#_ftn38, diunduh pada 7 Juni 2020.

[xxviii] Lihat Shi, ibid.; dan juga video rekaman CNN ini: https://www.youtube.com/watch?v=xx-G6IdIgPA, diunduh pada 7 Juni 2020.

[xxix] Amiri Baraka, nama Islam dari LeRoi Jones, salah satu pentolan RBN di pertengahan decade 1960-an, dalam penuturannya kepada harian New York Times pada 1976 mengatakan: “At the time, I was a black nationalist, a cultural nationalist, who did not understand the reality of class struggle. I thought, and told thousand of people, that black people’s struggle was against white people, period.” “It is a narrow nationalism that says the white man is the enemy.” Lihat Asad Haider, op.cit.,p. 77.


]]>
Belajar dari Alexandria Ocasio-Cortez https://indoprogress.com/2020/05/belajar-dari-alexandria-ocasio-cortez/ Mon, 25 May 2020 02:10:29 +0000 https://indoprogress.com/?p=216583

Foto: https://ocasio-cortez.house.gov/


Kawan,

SAYA akan bercerita tentang sosok Alexandria Ocasio-Cortez (AOC), anggota Kongres termuda sepanjang sejarah Amerika Serikat. Ketika terpilih pada 2018 lalu mewakili distrik New York 14th, AOC baru berusia 29 tahun. Sejak itu, namanya terus meroket di atas langit perpolitikan AS. Tidak ada anggota Kongres yang paling populer dan paling berpengaruh dibandingkan dirinya saat ini. Media-media massa arus utama berebut mewawancarai atau memberitakan apa saja tentangnya. Ketika Bernie Sanders mengumumkan menunda pencalonannya sebagai kandidat presiden dari Partai Demokrat, harian terbesar AS The New York Times, memuat dua wawancara panjang dengan AOC hanya dalam rentang waktu dua minggu. Bahkan stasiun televisi konservatif FoxNews, hampir setiap hari menayangkan berita tentangnya, dengan komentar-komentar dan ulasan-ulasan yang sarat kontroversi.

Belum lagi di media sosial. Tidak ada anggota Kongres yang unggahan-unggahannya di media sosial, terutama Twitter dan Instagram, selalu ditunggu dan diperbincangkan seramai akun AOC. Ibarat kata, AOC tersenyum saja sudah mendatangkan ratusan komentar dan ribuan penyuka. Para pundit mengatakan: Presiden Frankllin. D. Roosevelt besar karena radio, dan Presiden John F. Kennedy besar karena televisi, dan AOC adalah politisi yang besar karena media sosial. Di media sosial, AOC adalah ratunya.

Siapa AOC ini? Kelahiran Bronx, New York City, dari keluarga imigran asal Puerto Rico, AOC adalah alumni Universitas Boston jurusan ekonomi dan hubungan internasional. Sewaktu kuliah, AOC sempat bekerja sebagai relawan mantan senator Ted Kennedy untuk isu-isu imigrasi dan hubungan internasional.

Setelah lulus kuliah dengan predikat cum laude, AOC kembali ke New York City dan bekerja sebagai bartender. Profesi barunya ini menunjukkan dua hal sekaligus: pertama, semenjak diterpa krisis ekonomi 2008, kondisi perekonomian AS tidak pernah pulih seperti masa-masa sebelum krisis. Bahkan untuk lulusan terbaik universitas bergengsi seperti AOC, sulit mendapatkan pekerjaan yang layak. Krisis berlarut-larut ini menjadi ladang subur bagi munculnya kekuatan populis dari kiri dan kanan. Dalam konteks AS, populisme kanan (ada yang bahkan menyebutnya fasis) tumbuh lebih kencang sehingga bisa mendudukkan Donald Trump di Gedung Putih.

Kedua, dengan menjadi bartender AOC mengalami secara konkret kehidupan buruh, sebuah kelas yang harus menjual tenaga kerjanya kepada majikan atau kelas kapitalis demi kelangsungan hidup. Dengan menjadi buruh upahan, AOC mengerti betul betapa rentan kehidupannya karena setiap saat bisa kehilangan pekerjaan. Seperti kebanyakan buruh di AS, ia menyadari satu hal penting dari hidup memburuh: tidak boleh sakit. Sakit berarti Anda tidak bisa kerja, dan jika tak kerja maka Anda tak bisa mendapatkan upah, dan tentu saja tidak akan mendapatkan pengobatan yang memadai.

Seperti yang diakuinya, AOC tidak memiliki asuransi kesehatan, sementara di AS tidak ada sistem jaminan kesehatan bagi semua. Dengan sistem kesehatan yang sangat kapitalistik, maka hanya mereka yang berduit yang bisa memiliki asuransi kesehatan. Atau, jika Anda bekerja di perusahaan cukup besar, perusahaan bisa menawarkan Anda asuransi kesehatan dengan biaya yang sangat mahal untuk gaji yang tidak seberapa. Belum lagi, sebagai mantan mahasiswa (bersama dengan 42 juta mahasiswa AS lainnya), AOC masih harus membayar utang pinjaman mahasiswa (student loan) sebesar $37,000 (lebih dari Rp500 juta) dan kalau dibayar secara cicilan maka jumlahnya bisa berlipat ganda. Jika ia terus bekerja sebagai bartender, diperkirakan AOC baru bisa melunasi utangnya ini sekitar 10-30 tahun.

Dua kenyataan hidup inilah yang mendorong AOC untuk bertarung sebagai anggota Kongres dari Partai Demokrat, dari fraksi Demokratik Sosialis. AOC sendiri adalah anggota dari organisasi Democratic Socialist of America (DSA). Dalam pertarungan untuk perebutan kursi anggota Kongres tersebut, AOC benar-benar melakukan sesuatu yang sama sekali baru dalam tradisi politik AS, yakni tidak menerima uang dari korporasi, melainkan hanya menerima sumbangan dana dari masyarakat—itu pun tidak boleh melebihi $5.000,00 bagi setiap penyumbang. Slogannya di masa kampanye adalah “rakyat/people vs uang/money. Kita punya rakyat, mereka punya uang.”

Walaupun bukan yang pertama, terobosan AOC ini cukup mengejutkan. Mahalnya politik elektoral di AS adalah contoh terbaik tentang bagaimana politik uang (money politics) begitu berpengaruh. Walaupun secara formal setiap orang di atas usia 18 tahun dan secara konstitusional tidak bermasalah bisa mencalonkan diri menjadi anggota Kongres, Senat, atau menjadi presiden, tetapi secara esensial hanya mereka yang superkaya atau yang didukung oleh kalangan superkaya-lah yang bisa bertarung dalam bursa pencalonan. Karena itu, faktor donor sangatlah menentukan. Mereka yang hendak menjadi anggota Kongres pertama-tama harus bisa meyakinkan para donor bahwa mereka layak dipercaya dan didukung. Itu sebabnya pula, sirkulasi di kalangan anggota Kongres atau anggota Senat itu sangatlah kaku. Seseorang bisa duduk di sana hingga berpuluh tahun lamanya.

Tentu saja tidak ada yang percaya bahwa AOC bisa memenangkan pemilihan internal Partai Demokrat kala itu. Apalagi lawannya adalah petahana Joseph (Joe) Crowley, orang keempat terkuat di Partai Demokrat, dan digadang-gadang sebagai suksesor juru bicara (jubir) partai Nancy Pelosi, dan sudah 20 tahun menjadi anggota Kongres. Lembaga-lembaga survey selalu menempatkan AOC di belakang Crowley, dan media-media arus utama memandangnya sebelah mana. Tak dinyana, AOC memenangkan pemilihan internal tersebut dan kemudian terpilih sebagai anggota Kongres pada 2018.

Inilah pelajaran pertama dari AOC: jika Anda sungguh-sungguh ingin melawan oligarki, janganlah menerima uang dari mereka.

Ketika dilantik sebagai anggota Kongres pada Januari 2019, hal pertama yang dilakukan AOC adalah bergabung bersama-sama para aktivis dari Sunrise Movement, sebuah gerakan anak muda yang memperjuangkan kelestarian lingkungan hidup untuk berdemonstrasi di depan ruangan kantor jubir Partai Demokrat Nancy Pelosi. Tak pernah ada anggota Kongres yang melakukan tindakan serupa, sehingga aksi AOC kontan memicu kontroversi.

Tapi itu baru langkah awal. Setelah menjadi figur publik yang sangat populer, AOC terus aktif bergabung bersama gerakan rakyat lainnya, baik di level nasional, misalnya memperjuangkan hak kesehatan universal, penghapusan utang mahasiswa, memperjuangkan kelestarian lingkungan, hingga isu-isu imigrasi. Secara strategis, di level ini, AOC bersama-sama dengan aktivis Justice Democrat, mendirikan Movement School, sebuah lembaga yang bertujuan untuk mencetak aktivis-aktivis politik untuk memperjuangkan kepentingan-kepentingan kelas pekerja di komunitasnya. Tujuan akhirnya adalah agar para aktivis ini mampu memenangkan pertarungan dalam perebutan kekuasaan politik di seluruh level, sehingga dengan demikian mampu mewujudkan energi aktivismenya ke dalam kekuasaan politik.

Di level basis konstituennya, komitmen AOC juga sangat besar. Di sini ia mendirikan dua kantor untuk konstituennya di daerah Bronx dan Queens, New York City, yang secara khusus menampung dan melayani segala keluhan konstituennya, mengadakan kegiatan-kegiatan seminar, diskusi, advokasi kebijakan, kegiatan sosial-budaya untuk memperkuat solidaritas, hingga pertemuan akbar, secara reguler. Di masa pandemi COVID-19 ini, AOC adalah anggota Kongres yang paling aktif mengadakan kegiatan sosial. Bersama para relawannya, ia aktif mengetok pintu apartemen-apartemen dan rumah-rumah mereka yang sangat membutuhkan bantuan, seperti sembako, masker, dsb.

Inilah pelajaran kedua dari AOC: begitu menduduki kursi legislatif dan menjadi figur populer di level nasional, ia tidak tercerabut atau mencerabutkan dirinya dari basis massa dan konstituennya, apalagi memunggungi mereka. Ia justru menggunakan seluruh keistimewaannya itu untuk memperkuat basis massa dan konstituennya, baik di level nasional maupun lokal.

Hal lain yang menarik dari AOC adalah ia sadar bahwa popularitas dan posisi politik yang sangat berpengaruh yang dimilikinya saat ini bukanlah hasil dari prestasi dan terobosan personalnya semata. Di belakangnya ada organisasi politik yang memberikan dukungan sangat besar dan krusial, mulai dari organisasi Justice Democrats yang menjadi kendaraan politiknya dalam pertarungan formal sebagai anggota Kongres, dan kemudian organisasi Democratic Socialist of America (DSA), sebuah organisasi politik dimana ia menjadi anggotanya. Tanpa dukungan organisasi-organisasi ini, bisa jadi AOC tidak akan pernah ada dalam semesta perpolitikan AS.

Dengan kesadaran ini, AOC lantas bertindak sebagai juru bicara DSA yang paling efektif secara politik. Dalam waktu singkat, program-program DSA seperti Green New Deal dan Medicare for All kini telah menjadi wacana publik yang populer berkat kampanye tak kenal lelah dari AOC. Pengaruh politik AOC atas popularitas program Green New Deal, misalnya, secara jujur diakui oleh para pejuang lingkungan baik dari kalangan aktivis maupun intelektual yang telah bertahun-tahun mengampanyekan isu ini.

Secara organisasional, dampak dari popularitas dan efektivitas kampanye AOC ini tampak pada makin membesarnya jumlah keanggotaan DSA terutama dari kalangan generasi muda. Organisasi yang sebelumnya identik dengan segelintir kalangan tua sosialis penganut jalur parlementarian itu, kini telah berkembang menjadi organisasi sosialis terbesar di AS sejak Perang Dunia II. DSA kini memiliki cabang di 49 negara bagian AS. Jumlah anggotanya melonjak drastis dari sekitar 8.000 orang pada 2016 ke 50.000 orang pada 2018. Bisa kita simpulkan bahwa tanpa kehadiran figur anggota semacam AOC, sulit sekali membayangkan DSA akan berkembang sedemikian pesat dalam waktu sedemikian singkat.

Inilah pelajaran ketiga dari AOC: jangan pernah menganggap bahwa popularitas dan pengaruh politik yang diraih adalah hasil dari bakat dan prestasi perorangan belaka. Di baliknya ada organisasi yang mendukung dan menopang langkah-langkah dan capain-capaian politik itu.***

New York City, 17 Mei 2020.

]]>
Arief Budiman dan Masa Depan Marxisme di Indonesia https://indoprogress.com/2020/04/arief-budiman-dan-masa-depan-marxisme-di-indonesia/ Mon, 27 Apr 2020 01:00:40 +0000 https://indoprogress.com/?p=198705

Sumber foto: Tribun News

Kawan,

KAMIS (23/4) pagi, saya membaca kabar di berbagai laman media sosial tentang meninggalnya intelektual-aktivis Arief Budiman. Kabar duka ini membuat kota New York City semakin bertambah muram dan kelam, setelah selama lebih dari dua bulan ini dihajar wabah COVID-19 yang masih mengganas.

Arief Budiman buat saya adalah seorang guru dan teman berpikir yang luar biasa baik. Perkenalan saya dengannya dimulai sekitar awal tahun 1990an, tidak secara fisik tapi melalui berbagai karya tulisnya dalam bentuk buku, artikel koran, artikel di jurnal ilmiah, terutama Prisma, dan serangkaian wawancara yang dimuat di berbagai media massa. Saat itu, saya adalah mahasiswa Fakultas Peternakan di Universitas Sam Ratulangi, Manado dan aktif di organisasi Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) cabang Manado. Di HMI inilah minat pengetahuan saya akan ilmu-ilmu sosial dan keagamaan bersemi, sesuatu yang sama sekali berbeda dengan apa yang saya pelajari di kampus.

Masa-masa itu pula, di internal HMI minat intelektual sedang mengalami pasang naik. Bersama beberapa teman, kami membentuk kelompok studi sebagai wadah untuk mengasah pengetahuan. Di kelompok studi inilah, perlahan-lahan saya mulai meminati ilmu-ilmu sosial. Pada saat bersamaan, pelan-pelan juga mulai muncul kritik-kritik terhadap masalah ketimpangan sosial di masyarakat. Kami berusaha memahami mengapa ketimpangan itu muncul, mengapa di tengah-tengah gegap gempita perputaran roda pembangunan, ada begitu banyak orang yang tertinggal di belakang dan hidup bertungkus-lumus dalam kemiskinan.

Persis di momen itulah saya bertemu dengan Arief Budiman. Padanya saya mendapat penjelasan yang lebih memuaskan akan masalah-masalah sosial yang dilahirkan oleh apa yang disebut filsuf Walter Benjamin sebagai “angin puyuh kemajuan” dan juga pemujaan akan hal-hal yang bersifat bendawi: uang, jalan-jalan licin beraspal, kuda-kuda besi yang menindih jalan beraspal itu, rumah-rumah besar nan mentereng dan gedung-gedung tinggi yang ujungnya seperti hendak meninju atap langit. Menurut Arief Budiman, masalah-masalah sosial seperti kemiskinan, ketimpangan sosial, pemukiman kumuh yang menjamur di perkotaan, pelanggaran hak asasi manusia, adalah produk dari ideologi pembangunanisme yang dianut oleh rezim Orde Baru. Orang menjadi miskin bukan karena ia malas, bodoh, atau karena tidak memiliki hasrat untuk berprestasi. Ia miskin karena kondisi-kondisi struktural yang melingkupinya: pendidikan yang mahal, lapangan pekerjaan yang terbatas, kehilangan tanah akibat digusur atas nama pembangunan, upah yang sangat rendah, serta korupsi, kolusi dan nepotisme yang merajalela di tingkatan elite. Intinya, Arief Budiman menolak untuk menyalahkan si miskin atas kemiskinan yang dialaminya.

Sebagai mahasiswa yang aktif di organisasi Islam, di sebuah kota yang jauh dari pusat-pusat pengetahuan di pulau Jawa, penjelasan Arief Budiman ini adalah hal baru dan sangat memukau saya. Penjelasannya berbeda dengan penjelasan guru besar HMI, Nurcholish Madjid (Cak Nur) yang justru sangat pro-ideologi modernis yang dianut dan dipraktikkan oleh rezim Suharto. Sejak itulah saya memutuskan untuk menjadi murid Arief Budiman. Secara ideologis, saya meninggalkan Cak Nur—dan tentu saja HMI.

Arief Budiman menolak menyalahkan si miskin. Menurutnya, solusi untuk terentas dari kemiskinan itu adalah mengubah struktur yang membuat seseorang itu menjadi miskin. Ia tidak percaya bahwa si miskin bisa terentas dari kemiskinannya dengan mengubah gaya hidup, misalnya, dengan lebih bersabar (takdir orang sudah ditentukan sejak sebelum ia lahir), bisa berhemat (berhenti merokok, misalnya), harus bisa menabung, dst.

Lalu struktur apa yang menyebabkan kemiskinan itu? Struktur kapitalisme, jawabnya, dan karenanya kapitalisme ini harus diubah menjadi sosialisme.

Setelah pindah ke pulau Jawa, membaca lebih banyak dan bergaul dengan lebih banyak orang, terutama di Partai Rakyat Demokratik (PRD) pada medio 1990-an, saya lebih mulai memahami paradigma berpikir Arief Budiman. Saya kemudian tahu bahwa kemiskinan struktural itu akan lebih mudah dan komprehensif dipahami jika menggunakan perangkat teori Marxisme. Tetapi Marxisme adalah hal yang terlarang dipelajari dan diajarkan secara formal dan informal di semua tahapan pendidikan. Aktivitas membaca dan mempelajari Marxisme kemudian dilakukan secara clandestine (bawah tanah), tidak terstruktur dan tidak bisa berkelanjutan. Sehingga membaca, apalagi menyebarkan Marxisme, sejatinya adalah perlawanan terhadap rezim berkuasa saat itu, yang ganjarannya adalah kekerasan fisik (penjara) dan mental (dikucilkan dari lingkungan sosial).

Di sini saya temukan sumbangsih lain Arief Budiman buat saya pribadi: dialah yang pertama kali mempertemukan saya dengan khazanah pengetahuan Marxis. Darinya saya mengetahui teori ketergantungan (dependency theory) dan teori sistem dunia (world system theory) bersama tokoh-tokohnya seperti Andre Gunder Frank, Theotonio Dos Santos, Fernando Henrique Cardoso, Raul Prebisch, Samir Amin, Paul Baran, Paul Sweezy, Immanuel Wallersten, Giovanni Arrighi, dst.

Kelak kemudian saya ketahui bahwa dalam khazanah pengetahuan Marxis, teori Ketergantungan dan teori Sistem Dunia ini masuk dalam kategori pemikiran Neo-Marxis. Dengan begitu, saya bisa mengatakan bahwa Arief Budiman adalah Bapak Neo-Marxis Indonesia.

Mungkin akan ada yang menganggap saya berlebihan mendeklarasikan ini. Memang Arief Budiman bukan satu-satunya pengusung varian Neo-Marxis di Indonesia. Kita bisa menyebut nama ekonom Sritua Arief, ekonom Sri-Edi Swasono, sosiolog Farchan Bulkin, sosiolog Mansour Faqih, dan datuknya kalangan LSM Adi Sasono. Mereka-mereka ini juga menerbitkan beberapa karya tulis yang berkualitas, namun dibandingkan dengan Arief Budiman pengaruh, jaringan dan area pemikiran mereka satu langkah di belakangnya. Sebagai sosiolog, Arief Budiman tidak hanya menulis tentang masyarakat, tapi merambah ke teori pembangunan, teori negara, teori feminisme, teori-teori demokrasi, dan kebudayaan. Dalam bidang-bidang itu ia menulis dengan sederhana, lincah, tapi ketat secara akademik.

Arief Budiman memang tidak menciptakan sebuah teori baru, ia lebih berperan sebagai pembawa dan penyebar gagasan yang mumpuni. Ia mengindonesiakan teori-teori Neo-Marxis itu agar bisa dibaca publik dengan mudah. Dan seperti saya sebutkan di atas, di negara +62 yang anti-intelektual dan anti-ilmu pengetahuan kritis-emansipatoris itu, membaca dan menyebarkan teori-teori Marxis merupakan sebuah bentuk perjuangan penuh risiko.

Arief Budiman jelas tak luput dari risiko itu. Ia kehilangan pekerjaan sebagai profesor di Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW), Salatiga, dan dipaksa menjadi pengungsi politik di Australia selama bertahun-tahun.

Setelah terusir dari Indonesia, satu hal yang saya perhatikan dari Arief Budiman adalah makin menurunnya komitmen akademiknya pada Neo-Marxisme. Ia lebih banyak memfokuskan diri pada studi-studi transisi demokrasi. Situasi sosial politik memang mensituasikannya demikian. Setelah kemenangan ideologi neoliberalisme di belahan dunia Barat yang ditandai oleh kemenangan Margaret Tatcher sebagai perdana menteri di Inggris dan Ronald Reagan di Amerika Serikat pada akhir decade 1970-an dan awal 1980-an, serta bangkrutnya Uni Soviet dan runtuhnya Tembok Berlin, pamor Marxisme di dunia akademik pelan tapi pasti memudar. Teori-teori pembangunan, terutama teori Ketergantungan dan Sistem Dunia dianggap telah usang dan tak lagi dianggap relevan di ruang kelas kampus-kampus di berbagai belahan dunia. Para akademisi dan intelektual kini punya mainan baru dalam bentuk teori pilihan rasional, pasca-modernisme, pasca-kolonialisme, post-Marxisme, cultural studies, dan studi-studi transisi demokrasi.

Pergeseran minat teoritik ini juga berimbas ke kalangan pergerakan sosial, yang secara umum menolak tesis Marxis mengenai kelas dan perjuangan kelas, menolak status kelas buruh sebagai satu-satunya subjek politik revolusioner dalam perjuangan melawan eksploitasi kapitalisme dan imperialisme, dan menjauh dari perebutan akan kekuasaan negara. Sebagai alternatif, politik identitas diperlawankan dengan politik kelas, lokalitas dihadap-hadapkan dengan universalisme, “revolusi akan memakan anaknya sendiri”, dan karenanya kapitalisme bukan lagi menjadi sasaran utama perjuangan melainkan reformasi-reformasi dalam sistem kapitalisme tersebut.

Di level nasional, perubahan yang terjadi di tingkat internasional itu juga sangat berpengaruh. Ketiadaan pengajaran Marxisme di kampus-kampus dan absennya diskusi-diskusi Marxisme yang terbuka di publik menyebabkan teori-teori non-Marxis itu begitu mudah merasuki alam pikiran akademisi dan aktivis. Terjadi booming penerbitan buku-buku, artikel-artikel di media massa dan diskusi-diskusi publik yang membahas tentang pasca-modernisme, cultural studies, studi-studi transisi demokrasi, dan pasar bebas. Teori-teori Neo-Marxis menghilang dari kurikulum di seantero kampus seturut hengkangnya Arief Budiman ke luar negeri.

Lalu, terjadilah peristiwa politik besar pada 1998. Rezim berdarah Suharto tumbang. Indonesia memasuki masa transisi menuju demokrasi. Arief Budiman semakin tenggelam dalam suasana ini, dimana perhatian studi dan aktivitas non-akademiknya dicurahkan. Neo-Marxis benar-benar telah masuk gudang pengap berdebu.

Apakah demikian juga dengan Marxisme? Rupanya tidak. Justru muncul kalangan muda yang menaruh minat serius pada kajian Marxis, yang kembali membaca secara serius karya-karya Marx, mulai dari karyanya di masa muda hingga ketika ia tua. Ditambah dengan kemajuan teknologi komunikasi dan informasi, kaum muda bisa mengakses buku-buku Marxis yang terbaru dan lebih beragam di bandingkan dengan para pendahulunya. Kemampuan berbahasa asing yang baik dan ditopang oleh iklim politik yang relatif bebas, membuat gairah pada Marxisme ini mendapatkan momentumnya. Kita saksikan kemudian terbitnya beberapa karya tulis dari intelektual generasi baru ini yang keragaman dan kualitasnya mumpuni.

Di tingkat internasional, studi-studi dan kajian-kajian Marxis juga kembali menggeliat, tidak hanya di ruang-ruang kelas universitas, publikasi buku atau jurnal akademik, tapi juga di media-media arus utama yang sebelumnya mengampanyekan kematian Marxisme. Marx kembali bangkit dari kuburnya. Bangkrutnya Uni Sovyet dan runtuhnya Tembok Berlin juga membuka kesempatan luas pada sarjana-sarjana baru ini kembali ke tulisan-tulisan asli Marx/Engels, Lenin, Rosa Luxemburg, Lukacs, dan Gramsci.

Di lapangan ekonomi-politik, neoliberalisme terbukti gagal memenuhi janji-janjinya untuk memakmurkan banyak orang dan menjauhkan banyak orang itu dari konflik-konflik berdarah. Kemiskinan semakin merajalela, ketimpangan sosial semakin lebar, kerusakan lingkungan semakin parah, dan perang-perang berdarah tak pernah berhenti. Politik identitas yang begitu diagungkan sebelumnya, kini menjadi alat legitimasi bagi tindakan rasisme dan persekusi kepada yang berbeda, baik atas nama agama, suku, etnis, dan ras. Dunia tidak semakin baik-baik saja rupanya. Lalu muncullah rezim-rezim baru yang tidak segan-segan mengusung inspirasi Marxis. Politik kelas kembali mengudara, dengan darah dan semangat baru.

Sayangnya dalam periode kebangkitan ini, Arief Budiman dihantam penyakit Parkinson yang tak terobati. Sepuluh tahun belakangan, kemampuan berpikir dan mengingatnya makin lama makin berkurang. Saya beranda-andai, jika saja Parkinson tidak menderanya, pasti ia akan senang melihat perkembangan baru dalam tradisi Marxis, yang sudah dirintisnya melalui Neo-Marxisme. Pasti ia akan gembira melihat kemunculan generasi baru Marxis Indonesia yang luas bacaannya dengan kemampuan menulis yang baik dan produktif seperti dirinya di masa jayanya. Pasti ia tidak akan sungkan berdebat dengan kalangan muda ini, saling menguji dan memperkaya pengetahuan.

Tapi ini hanya pengandaian.

Arief yang Budiman itu telah pergi untuk selamanya. Ia tak pernah akan kembali, tapi ia meninggalkan begitu banyak karya dan aktivitas yang patut kita pelajari. Rest in Power, guru dan panutanku.***

New York City, 24 April 2020.

]]>
Mendesaknya Kebutuhan Akan Pendidikan Bersama https://indoprogress.com/2019/07/mendesaknya-kebutuhan-akan-pendidikan-bersama/ Mon, 01 Jul 2019 09:43:33 +0000 https://indoprogress.com/?p=21112

Kredit ilustrasi: Yohanes Andreas Iswinarto


SAAT ini gerakan Kiri sedang dalam keadaan terpuruk di hampir segala front: teori, politik, dan organisasi. Secara objektif (dalam relasinya dengan kekuatan-kekuatan di luar dirinya), gerakan Kiri tidak bisa memberikan respon yang maksimal dan efektif terhadap menguatnya kekuatan-kekuatan reaksi kanan, baik yang berbasis keagamaan maupun yang didukung negara atas nama Pancasila dan NKRI. Secara subjektif (dalam dirinya sendiri), gerakan Kiri tidak beranjak maju terlalu jauh dari keadaan sebelumnya: organisasi yang kecil dan tercerai berai membuatnya secara politik mudah ditarik ke sana-sini oleh agenda kekuatan-kekuatan lain dan juga sulit membangun koalisi bersama yang ajeg dan solid. Dalam keadaan sedemikian, apa yang bisa dilakukan?

Di sini, kita mungkin bisa mengambil pelajaran atau inspirasi dari masa lalu yang jauh, tepatnya di Jerman pada saat revolusi 1848. Sesaat setelah kegagalan telak gerakan Kiri yang dipimpin oleh Partai Marx pada masa revolusi itu, Karl Marx dan Fridriech Engels kemudian kembali ke London, Inggris. Setelah melakukan studi mengenai situasi ekonomi politik internasional saat itu, pada pertengahan musim panas tahun 1850, keduanya tidak lagi yakin akan kebutuhan pembangunan organisasi revolusioner yang siap untuk melakukan pemberontakan. Bagi mereka, segala upaya untuk melakukan pemberontakan politik dan juga militer, pastilah akan sia-sia. Dengan kata lain, revolusi tidak lagi menjadi agenda mendesak. Kini saatnya memusatkan perhatian pada pembangunan organisasi. Dan titik utama dari pembangunan organisasi itu adalah kerja-kerja keilmuan, yakni pendidikan dan penelitian.

Kesimpulan dan proposal Marx-Engels ini rupanya tidak disetujui secara bulat oleh para pimpinan Liga Komunis lainnya. Figur-figur revolusioner seperti August Willich dan Karl Schapper dengan tegas menolak proposal ini. Bagi mereka, kemenangan komunisme bisa dicapai dalam revolusi berikutnya oleh orang-orang yang berani dari segala penjuru Eropa. Pandangan ini diamini oleh para pimpinan lainnya yang barusan kembali dari wilayah pergolakan lainnya di Eropa. Di sini kata kuncinya adalah keberanian, antusiasme, pantang menyerah, dan siap mengorbankan kepentingan diri sendiri. Sementara Marx berpendapat, sebagaimana direkam oleh August H. Nimitz, Jr., dalam bukunya Marx and Engels Their Contribution to the Democratic Breakthrough (2000) bahwa perjuangan untuk komunisme akan memakan waktu yang lama dan melalui berbagai tahap, dan secara umum perjuangan itu akan efektif melaui pendidikan dan pembangunan yang bertahap.

Perbedaan pandangan ini begitu panas, tidak hanya di level teori dan politik, tapi juga menjurus ke perkelahian fisik. Willich dikabarkan menantang duel fisik satu lawan satu dengan Marx. Dan karena perbedaan ini begitu fundamental dan tak terjembatani, maka disepakati untuk diadakan pembentukan faksional di dalam Liga Komunis.

Kelak Engels mengakui bahwa posisi dia dan Marx berkaitan dengan persoalan ini terbukti benar. Setelah 1850, tidak ada lagi peristiwa revolusioner besar yang mengguncang Eropa. Karl Schapper kemudian hari kembali bergabung ke dalam barisan Marx dan menjadi salah satu pengikutnya yang paling setia.

Kembali ke kondisi kita sekarang, maka tampak sekali relevansi dari proposal Marx-Engels ini. Saat ini, hampir tidak ada situasi politik yang revolusioner, sekuat dan semilitan apapun kita mengusahakannya. Tindakan-tindakan heroik dan slogan-slogan bombastis hanya akan berujung pada parade meme dan debat kusir tak berujung pangkal. Yang diperlukan saat ini adalah kerja-kerja tekun, terencana, dengan kesabaran tak terbatas. Dan karena itu pendidikan-pendidikan teori, kursus-kursus politik secara regular harus dijadikan sebagai prioritas oleh gerakan. Baik dilakukan secara sendiri-sendiri oleh masing-masing organ atau dilakukan bersama-sama. Tetapi saya berpendapat, pendidikan dan kursus bersama adalah lebih penting dan bermanfaat bagi pembangunan gerakan kiri ke depan. Sebab dari sana kita bisa saling belajar tidak hanya teori tapi juga pengalaman perjuangan bersama, dimana kekurangan dan kelebihannya sehingga akan lebih mudah melakukan akumulasi pengetahuan dan praktik politik.***

]]>