Tabayyun – IndoPROGRESS https://indoprogress.com Media Pemikiran Progresif Sun, 15 Aug 2021 08:55:30 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.4.3 https://indoprogress.com/wp-content/uploads/2021/08/cropped-logo-ip-favicon-32x32.png Tabayyun – IndoPROGRESS https://indoprogress.com 32 32 ‘Front Pembela Islam’ yang Sesungguhnya https://indoprogress.com/2021/01/front-pembela-islam-yang-sesungguhnya/ Fri, 08 Jan 2021 05:22:44 +0000 https://indoprogress.com/?p=232918

Ilustrasi: Illustruth


BELUM lama ganti tahun, Indonesia sudah ribut lagi. Pemerintah membubarkan Front Pembela Islam (FPI), organisasi yang selama beberapa tahun terakhir menjadi pion penting dari arus populisme Islam di Indonesia dan aktor kunci mobilisasi gerakan Islam setelah Reformasi 1998. Mereka tidak pernah—dan tidak berkeinginan—untuk jadi partai politik. Namun, kekuatan mereka diperlukan oleh siapapun rezim politik yang ingin bermain dalam pentas politik Indonesia. Mereka menjadi kekuatan pemukul yang efektif terhadap siapapun yang dianggap mengancam rezim, mulai dari kelompok yang dilabeli “liberal”, “komunis”, hingga kelompok-kelompok minoritas keagamaan.

Laporan Wikileaks menunjukkan bahwa FPI banyak menerima dana dari Polri, dan jejaring intelijen nasional, yang tentu tidak pernah diafirmasi secara resmi baik oleh penyandang dana maupun yang diberi dana.

Sejarah dan rekam jejak FPI bisa dibaca di berbagai laporan riset hingga Wikipedia, tapi ada satu hal menarik: mengapa mereka menggunakan istilah ‘front’, yang sebenarnya awal mulanya berakar dari gagasan gerakan komunisme dan kelompok kiri dalam melawan fasisme di awal abad ke-20?


Di tahun 1922, Tan Malaka berkesempatan pidato di hadapan sidang Komunis Internasional keempat di Moskow. Masa itu adalah masa-masa kejayaan pergerakan nasional—“zaman bergerak” menurut Takashi Shiraishi—dan tentu saja masa kejayaan tiga kekuatan penentang kolonialisme terbesar: Pan-Islamisme, Komunisme, dan Nasionalisme.

Tan hadir sebagai wakil Partai Komunis Hindia Belanda. Ia mengaku tiba di Moskow setelah menempuh perjalanan yang melelahkan selama 40 hari. Tidak mudah menempuh perjalanan masa itu. Mata-mata kolonial bertebaran di mana-mana, dan komunisme dianggap sebagai ancaman utama di mata imperialis Eropa, terutama setelah Revolusi 1917. Tan hadir dengan agenda yang berbeda dengan resolusi Komunisme Internasional yang kedua yang diajukan oleh Zinoviev dan Lenin. Dengan membawa konteks Hindia-Belanda, ia menyerukan sebuah ide tentang ‘front persatuan’ antara kekuatan komunis dengan kekuatan kelompok Pan-Islamis.

Pidato ini kemudian dikenal luas sebagai satu pikiran Tan yang khas. sebagaimana diulas dengan cukup baik oleh Oliver Crawford dalam disertasi Doktoralnya (2019). Tapi ada satu hal penting yang perlu dicatat dari pidato ini—Tan memulainya dengan diskusi yang penting terkait dengan “front”. Tentu front yang disini bukan front yang sama dengan FPI—kendati FPI mencomot istilah komunis itu untuk mengidentifikasi dirinya. Tapi penting untuk melihat bagaimana istilah ‘front’ ini bermula dalam debat-debat politik masa lampau.

Tan memulai pidatonya dengan mengkritik rekomendasi Komunisme Internasional kedua tentang ‘front persatuan’. Komunisme Internasional Kedua menggariskan pentingnya membentuk sebuah ‘front persatuan’ dengan kekuatan progresif lain untuk memperjuangkan hak-hak kelas pekerja dan terutama membendung kaum-kaum reaksioner yang kerap menjadi poin kekuatan imperialis. Gerakan Pan-Islamis, menurut kecenderungan elit Komunis dan Sosialis Eropa masa itu, adalah perwujudan wajah kaum reaksioner tersebut. Tapi menurut Tan,

Mungkin Jenderal Zinoviev tidak memikirkan mengenai sebuah front persatuan di Jawa; mungkin front persatuan kita adalah sesuatu yang berbeda. Tapi keputusan dari Kongres Komunis Internasional Kedua secara praktis berarti bahwa kita harus membentuk sebuah front persatuan dengan kubu nasionalisme revolusioner….  Namun taktik yang digunakan oleh kaum nasionalis seringkali berbeda dengan taktik kita; sebagai contoh, taktik pemboikotan dan perjuangan pembebasan kaum Muslim, Pan-Islamisme.

Front yang dimaksud dengan Tan adalah persatuan perjuangan antara gerakan Komunis dengan kekuatan lain dalam payung melawan imperialisme dan kolonialisme Barat. Di sini front perjuangan mesti dibikin secara strategis. Kekuatan imperialisme Barat begitu kokohnya menajamkan kuku dan cakarnya di negara jajahan mereka, dan mereka berhadapan dengan banyak ragam kekuatan antikolonial, seperti Komunis, Nasionalis, dan Pan-Islamis. Tentu mereka punya aspirasi dan ranah gerak yang berbeda.

Tapi, Tan melihat bahwa dalam banyak hal Pan-Islamisme di Hindia Belanda dulu punya sisi progresif yang bisa bersinggungan dengan sisi progresif Komunisme. Menurut Tan kemudian,

“Saat ini, Pan-Islamisme berarti perjuangan untuk pembebasan nasional, karena bagi kaum Muslim Islam adalah segalanya: tidak hanya agama, tetapi juga Negara, ekonomi, makanan, dan segalanya. Dengan demikian Pan-Islamisme saat ini berarti persaudaraan antar sesama Muslim, dan perjuangan kemerdakaan bukan hanya untuk Arab tetapi juga India, Jawa dan semua Muslim yang tertindas. Persaudaraan ini berarti perjuangan kemerdekaan praktis bukan hanya melawan kapitalisme Belanda, tapi juga kapitalisme Inggris, Perancis dan Itali, oleh karena itu melawan kapitalisme secara keseluruhan. Itulah arti Pan-Islamisme saat ini di Indonesia di antara rakyat kolonial yang tertindas, menurut propaganda rahasia mereka – perjuangan melawan semua kekuasaan imperialis di dunia.”

Gerakan Pan-Islamisme ini tentu saja perlu dipahami sebagai bentuk Islamisme anti-kolonial di awal abad ke-20. Dalam banyak hal, gerakan-gerakan Islamis menjadi sangat berubah terutama setelah kemerdekaan dan Perang Dingin (ketika kelompok Islamis berhadap-hadapan dengan gerakan-gerakan kiri). Tapi ide tentang ‘front perjuangan’ di Indonesia sebetulnya adalah sebuah ide tentang persatuan perjuangan gerakan Islam dan kiri untuk melawan kolonialisme Belanda.

Persatuan ini dimungkinkan ketika umat Islam menjadi korban dari penjajahan Belanda. Ketika kyai-kyai progresif dimata-matai dan mereka yang kembali dari ibadah haji disangka sebagai orang-orang berbahaya di mata administrasi kolonial Belanda.

Di titik inilah sebetulnya kita bisa memahami makna ‘front’: persatuan perjuangan dari kelompok-kelompok yang punya visi utama sama. Zaman dulu, front dibentuk untuk memfasilitasi kelompok-kelompok progresif yang saling bekerjasama untuk mengusir penjajah.


Ide tentang ‘front persatuan’ menjadi lebih populer ketika di tahun 1930an. Sukarno, tokoh nasionalis kenamaan Indonesia, menggagas perlunya persatuan tiga ideologi besar: Nasionalisme, Islamisme, dan Marxisme. Tiga ideologi ini, bagi Bung Karno, adalah Spirit of Asia, kekuatan pendorong kemerdekaan Indonesia. Ketiganya tidak terpisahkan dalam imajinasi antikolonial Indonesia masa itu.

Ide tentang front tiga ideologi ini berakar dari satu hal yang penting dalam perjuangan melawan kolonialisme, yaitu soal rezeki. Orang-orang Eropa datang ke nusantara sebagai ikhtiar untuk mencari penghidupan dan dagang. Dari sana, muncullah eksploitasi dan kehendak berkuasa yang lebih luas. Sebagaimana diungkap oleh Bung Karno,

“Yang pertama-tama menyebabkan kolonisasi ialah hampir selamanya kekurangan bekal-hidup dalam tanah-airnya sendiri, begitulah Dietrich Schaefer berkata. Kekurangan rezeki, itulah yang menjadi sebab rakyat-rakyat Eropah mencari rezeki di negeri lain…. Begitulah tragisnya riwayat negeri-negeri jajahan! Dan keinsyafan atas tragedy inilah yang menyadarkan rakyat-rakyat jajahan itu…yang walaupun dalam maksudnya sama, ada mempunyai tiga sifat: Nasionalistik, Islamistik, dan Marxistis-lah adanya.”

Di sini, Bung Karno melihat bahwa ketiga ideologi tersebut—Nasionalisme, Islamisme, dan Marxisme, dipersatukan oleh kenyataan bahwa rakyat Indonesia terjajah. Keterjajahan ini bukan semata karena pendudukan politik, melainkan juga karena pendudukan ekonomi, yang disebut oleh Bung Karno sebagai masalah ‘kekurangan rezeki’. Dari pendudukan ekonomi, hasrat untuk berkuasa dan menguasai menjadi semakin kuat. Inilah dasar dari pentingnya ‘front persatuan’ –antara kekuatan nasionalis, Islamis, dan komunis, untuk melawan hasrat menjajah dari negara-negara Eropa.

Di sini, bagi Bung Karno, persatuan dari nasionalisme, Islamisme, dan komunisme hanya dimungkinkan oleh perasaan marah atas ketertindasan dan eksploitasi ekonomi dari semua kelompok tertindas, tak peduli basis ideologinya. Di sini Bung Karno menggariskan apa yang ia sebut sebagai nasionalisme sejati, yaitu,

Nasionalis yang sejati, yang cintanya pada tanah air itu bersendi pada pengetahuan atas susunan ekonomi-dunia yang riwayat, dan bukan semata-mata timbul dari kesombngan bangsa belaka …”

Dan tentu saja nasionalisme ini bukan nasionalisme yang bicara “anti-asing” dan “anti-aseng”, tetapi memuluskan investasi asing yang memeras kaum pekerja dengan dalih ‘Cipta Kerja’.

Dari konsepsi tentang nasionalisme inilah Bung Karno kemudian bicara tentang Islam. Sejak akhir abad ke-19, Pan-Islamisme muncul sebagai kekuatan besar yang “membangunkan rasa-perlawanan di hati rakyat-rakyat Muslim terhadap bahaya imperialisme Barat”. Di sini Bung Karno menyebut dua tokoh Pan-Islamis terkemuka masa itu: Syekh Muhammad ‘Abduh beserta gurunya, Sayyid Jamaluddin Al-Afghani. Keduanya memang punya semangat memodernisasi umat Islam untuk menentang penjajahan Barat masa itu. Dan banyak pemimpin umat Islam yang terinspirasi dari Abduh dan Al-Afghani: salah satunya, KH Ahmad Dahlan, pemimpin Persyarikatan Muhammadiyah.

Semangat inilah yang, menurut Bung Karno, sejalan dengan cita-cita kaum nasionalis dan Marxisme di masa itu.


Lantas, dari sini, kita mungkin perlu bertanya, kalau menggunakan pengertian yang demikian, apakah yang disebut sebagai ‘front pembela Islam’?

Jika kita memahami ‘front’ sebagai persatuan perjuangan antara elemen-elemen progresif, dimana umat Islam adalah salah satu bagian penting di dalamnya, maka front pembela Islam sesungguhnya adalah mereka yang membela kepentingan umat yang paling penting, yaitu hak-hak untuk hidup dan memperoleh rezeki secara adil. Hak-hak ini secara tidak sadar terampas dari umat Islam hari ini.

Banyak kelompok yang kemudian mengklaim diri sebagai ‘pembela’ kepentingan umat ini. Tapi berapa banyak mereka yang tidak ‘salah fokus’ atau malah offside menyalahkan etnis atau agama lain, dan bukannya menentang orang-orang kaya yang gemar memupuk modal dengan cara mengeksploitasi orang lain? Seberapa banyak yang tidak ‘sektarian’ dalam membela Islam serta terbuka pada arus progresif lain yang juga berpikir sehaluan?

Di sinilah ‘front pembela Islam’ jadi penting untuk dimaknai secara berbeda. Front pembela Islam adalah gabungan dari kekuatan progresif yang hari ini berjuang untuk mempertahankan kehidupan masing-masing, dari penghisapan dan eksploitasi. Front pembela Islam adalah mereka yang berjuang menolak liberalisasi pendidikan dan uang kuliah mahal, apapun latar belakang gerakannya. Front pembela Islam adalah kelompok rakyat-bantu-rakyat yang terhimpit dampak pandemi COVID-19. Front pembela Islam adalah front perlawanan terhadap kapitalisme pertambangan yang semakin ekspansif dan mengancam masyarakat adat.

Dan karena itu, mereka yang hobi mempermainkan ayat sebagai dalih politik identitas, atau sekadar tampil dengan simbol agama hanya ketika ada elit politik yang membayar, sesungguhnya tidak pantas mendaku sebagai pembela Islam. Kita perlu front pembela Islam yang sesungguhnya: membela umat yang harus membayar mahal untuk pengobatan COVID-19, mereka yang tidak bisa mengakses dan membeli vaksin, atau mereka yang kehilangan pekerjaan akibat pandemi. Membela mereka adalah membela Islam, dan kita perlu front yang lebih kuat untuk melakukan pembelaan itu di masa depan.***

Nashrun Minallah wa Fathun Qariib.


Ahmad Rizky Mardhatillah Umar adalah mahasiswa PhD di The University of Queensland – UQ, Australia

]]>
Jalan Mentok Gerakan Islam https://indoprogress.com/2020/11/jalan-mentok-gerakan-islam/ Fri, 20 Nov 2020 05:43:41 +0000 https://indoprogress.com/?p=232794

Ilustrasi: Illustruth


PADA 19 Desember 2014 lalu, Indoprogress mempublikasikan perbincangan antara saya dan Indoprogress dalam tulisan berjudul Tarbiyah yang Dikembangkan oleh PKS sudah Mentok. Sebetulnya itu hanya obrolan santai di warung burjo, yang isinya berpusat pada Forum Diskusi KAMMI Kultural dan aktivisme Jamaah Shalahudin tahun 1990an. Tak disangka, tulisan itu direspons berlebihan dan heboh oleh banyak kalangan. Senior-senior di gerakan mahasiswa tiba-tiba ribut; seorang ‘ustaz’ yang tidak saya kenal menuduh kami “kemasukan paham komunis”; dan orang lain yang juga tidak dikenal menulis panjang di blognya bahwa yang dibawa oleh KAMMI Kultural adalah “wacara absurd.”

Kini enam tahun telah berlalu. Politik nasional menjadi seperti roller coaster—meliuk tapi tak tajam. Dalam beberapa tahun terakhir, partai politik Islam tidak lagi jadi aktor utama dalam pentas politik nasional. Peta politik Islam bergerak, sebagaimana dibilang oleh peneliti, ke “balikan konservatif.” Tokoh-tokoh seperti Rizieq Shihab, Novel Bamukmin dan sejenisnya menjadi penggerak demonstrasi dan mobilisasi politik menggantikan ketua-ketua partai yang kini terjebak dalam politik tenda besar yang dibawa oleh rezim politik.

Selain itu, yang lebih menakjubkan adalah partai-partai politik Islam kini tengah dilanda kegembiraan dengan lahirnya ‘adik-adik kandung’ baru. Partai Keadilan Sejahtera (PKS), yang selama satu dekade terakhir mendominasi politik nasional, resmi punya ‘adik’ bernama Partai Gelora, didirikan oleh mantan presidennya, Anis Matta. Partai Amanat Nasional (PAN) menyusul punya ‘adik’ setahun kemudian, didirikan oleh Amien Rais, dengan nama Partai Ummat. Sementara Partai Bulan Bintang (PBB) sepertinya tinggal tunggu waktu menyusul dua partai lain dalam bentuk Partai Masyumi (baru).

“Jalan mentok” yang kami diskusikan enam tahun lalu sepertinya tidak sepenuhnya ‘mentok’ karena ternyata tarbiyah dan gerakan-gerakan politik Islam punya masa depannya sendiri-sendiri di tahun pandemi ini.

***

Perbincangan kami bertiga bertahun-tahun yang lalu itu berkisar pada tarbiyah—gerakan anak-anak muda yang tampil di masa reformasi 1998. Saya dan Tia Pamungkas pernah menjadi bagian dari gerakan itu di dua masa yang berbeda. Awal-awal 1998, tarbiyah tampil dengan nafas baru gerakan politik Islam. Pada masa itu, sebagaimana kata Tia, adalah “masa-masa yang politis.” Soeharto tampak tak lagi bakal bertahan lama dan semua elite politik mengonsolidasikan diri. NU berkonsolidasi di Gus Dur; Muhammadiyah di bawah Amien Rais; Dewan Dakwah Islam Indonesia (DDII) menyusun tenaga bawah dua pemimpin muda mereka, Yusril Ihza Mahendra dan Ahmad Soemargono.

Pun demikian dengan tarbiyah, gerakan yang telah muncul sejak 1980an, terinspirasi (atau memang terpengaruh) oleh gagasan-gagasan politik Ikhwanul Muslimin dari Mesir. Muhammad Najib dan Andi Rahmat, dua juru bicara gerakan ini di masa pendirian, menyebut kemunculan Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI)–representasi organisasi dari tarbiyah—sebagai “gerakan perlawanan dari masjid kampus.” Pernyataan ini sekaligus menunjukkan basis sosial perkaderan generasi mereka: kampus-kampus negeri.

Quinton Temby menyebut gerakan ini dibawa oleh almarhum ustaz Hilmi Aminuddin, aktivis yang di medio 1970an menempuh pendidikan di Timur Tengah.

Ikhwanul Muslimin pada pada masa itu tengah bangkit kembali setelah 15 tahun direpresi oleh rezim nasionalis Gamal Abdel Nasser yang meninggal tahun 1970. Ia digantikan oleh Anwar Sadat, perwira militer moderat. Ia membebaskan pemimpin-pemimpin Ikhwan dari penjara dan memberikan konsesi pada mereka: silakan kembali ke masyarakat, tapi tidak boleh berpolitik. Pemimpin baru Ikhwan saat itu, Syaikh Umar At-Tilmisani, lantas mengorientasikan ulang gerakan Ikhwan. Dibantu oleh Abbas as-Sisi, pendakwah keagamaan terkemuka, Tilmisani merekrut banyak aktivis mahasiswa, profesional, bisnis, hingga anak-anak muda Mesir untuk bergabung dengan Ikhwan.

Tilmisani juga membangun jejaring global. Di Eropa, perkembangan Ikhwan di antaranya dipimpin oleh Said Ramadan, menantu Hasan Al-Banna yang tidak lain merupakan pendiri Ikhwan, yang eksil di Swiss. Anaknya, Tariq, menjadi intelektual Muslim Eropa kenamaan di kemudian hari. Salah satu Ikhwan, Muhammad Qutb, diterima oleh Raja Faisal di Arab Saudi, dan beberapa yang lain seperti Yusuf Al-Qaradhawi pindah ke Qatar.

Corak Ikhwan era Tilmisani berbeda dengan masa sebelumnya. Pada masa Hasan Al-Banna, Ikhwan cukup kental dengan nuansa ‘Pan-Islamisme’ dan nostalgia akan Khilafah. Sementara di bawah Tilmisani, Ikhwan menjadi gerakan sosial yang efektif. Mereka membangun serikat pengacara dan serikat profesional di Mesir (di antaranya Issam al-Erian dan Abdul Mun’im Abul Futuh). Beberapa kemudian menjadi pebisnis (seperti Khairat AL-Shater) atau akademisi (seperti almarhum Mohammad Morsy). Di luar negeri, jejaring masjid berdiri dengan bantuan dana dari pengusaha-pengusaha Muslim.

Dari sinilah pertemuan antara generasi baru Ikhwan dengan aktivis-aktivis muslim Indonesia bermula.

Di medio 1980an-1990an, gerakan tarbiyah melakukan apa yang disebut Antonio Gramsci sebagai ‘revolusi pasif’—membangun basis sosial dan menantang dua gerakan Islam lain yang sudah mapan, NU dan Muhammadiyah. Secara politik, mereka dekat dengan DDII yang berakar dari sesepuh-sesepuh Masyumi. Kelak, beberapa aktivis DDII dan eksponen Masyumi lama memilih mendirikan PBB, yang membuat beberapa aktivis tarbiyah gamang.

Tahun 1998: momentum datang. Ketidakpuasan terhadap Soeharto mengemuka dan semua gerakan berkonsolidasi. Gerakan-gerakan kiri yang memang sudah lebih dulu dihajar rezim bertumpu di bawah Partai Rakyat Demokratik (PRD) dan organ-organ progresif lain. Amien Rais dan Gus Dur tampil sebagai dua figur oposisi di bawah Muhammadiyah dan NU, sementara kelompok Marhaenis kian solid di bawah kepemimpinan Megawati Sukarnoputri. Sementara aktivis-aktivis tarbiyah, melalui Forum Silaturrahmi Lembaga Dakwah Kampus, mendirikan KAMMI pada akhir Maret 1998 di Malang dengan dua pemimpin utama: Fahri Hamzah dan Haryo Setyoko.

Mei 1998, ketika Soeharto jatuh, semua gerakan itu berlomba-lomba mendeklarasikan kendaraan politik mereka. Amien Rais mendirikan PAN, Gus Dur membuat PKB, Megawati mendeklarasikan PDIP, dan Yusril membangun PBB. Sementara aktivis tarbiyah maju ke gelanggang dengan mendirikan partai sendiri: PKS. Semua gerakan itu bertransformasi menjadi gerakan politik elektoral dengan pilihan politiknya sendiri-sendiri.

********

22 tahun sudah berlalu. Partai politik adalah partai politik dengan segala kompleksitasnya. PKS lantas masuk ke pemerintahan bersama Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)—mantan jenderal tentara, presiden dua periode sejak 2004, yang memang akomodatif terhadap kelompok Islam. Selama pemerintahan SBY, partai politik Islam—termasuk PAN dan PKB—menyemai padi. Di PKS sendiri situasi ini memunculkan dinamika internal. Sayup-sayup terdengar kabar persaingan dua kelompok besar, antara ‘faksi keadilan’ dan ‘faksi kesejahteraan’. Tentu kabar itu tidak boleh beredar di halaqah-halaqah pengajian kader. Semuanya diharuskan untuk tsiqah (percaya) terhadap keputusan elite-elite jamaah.

Pada titik inilah muncul beberapa otokritik yang konon tidak begitu populer di masa itu tapi sebenarnya sederhana: gerakan mahasiswa melupakan basis sosial mereka di masyarakat, luput terhadap problem-problem nyata yang dihadapi oleh umat Islam, dan melupakan pijakan nalar intelektual kritis. Mereka hanya akan menghadapi jalan mentok, digilas oleh nalar politik yang menghisap, dan kehilangan daya kritisnya terhadap kekuasaan. Akibatnya adalah gerakan-gerakan Islam dan partai politik sekadar menjadi kendaraan para pemodal, dimobilisasi oleh elite tertentu, untuk kepentingan yang jauh dari semangat memperjuangkan hak-hak dan kehidupan ekonomi umat Islam di level yang terbawah.

Kritisisme ini pernah kami lontarkan di forum diskusi KAMMI Kultural. Menariknya, pada waktu itu, kami malah dianggap seperti ‘benalu’ di tubuh jamaah dakwah.

Tapi toh waktu juga yang memberikan jawaban. Tak sampai lima tahun berselang, jamaah dakwah pecah. Sebagian tetap bersama dengan ‘jamaah’, dan sebagian lagi—dipimpin mantan presidennya—membentuk jamaah dakwah baru yang (konon kabarnya) ingin lebih ‘progresif’ dari pendahulunya. Tapi setelah setahun berselang, tidak ada yang progresif dari partai baru itu. Orang-orangnya tetap orang-orang yang dulunya, 20 tahun lalu, dianggap sebagai anak muda. Tidak ada pula tawaran kebijakan progresif untuk memperbaiki keadaan umat Islam.

Akhirnya gerakan-gerakan ini menghadapi kutukan sebagai ‘kendaraan politik’ jangka pendek yang habis manis sepah dibuang kekuasaan. Orde Baru awalnya sangat mendukung NU, tapi justru meminggirkannya tahun 1980an. Begitu juga dengan Muhammadiyah dan organisasi lain.

Pengalaman Orde Baru seperti terulang di Pemilu 2014 dan dampaknya terasa hingga sekarang. Polarisasi identitas diembuskan tidak hanya di grup-grup Whatsapp dan Twitter, tetapi juga (sayangnya) dikhotbahkan di mimbar-mimbar Jumat. Nostalgia dengan masa tahun 1955, ketika partai Islam terkonsolidasi di bawah Masyumi, NU dan PSII, menghampiri. Ini tentu tidak salah. Tapi, ketika itu diembuskan bersamaan dengan aspirasi kebencian terhadap identitas, atau dengan mendatangkan kembali ‘hantu’ yang sudah lama meninggal dunia, yang ada justru mobilisasi tanpa tujuan yang produktif.

Apa yang kemudian terjadi adalah gairah-gairah politik ‘atas nama’ umat Islam kian menguat tapi tidak dengan kebijakan yang partai-partai tersebut bawa di parlemen. UU yang melindungi muslimah dari kekerasan seksual tak juga disahkan, sementara peraturan yang melegalkan penindasan terhadap pekerja muslim dan muslimah melenggang kangkung. Alih-alih menperjuangkan perbaikan nasib umat Islam yang terhimpit oleh rezim upah murah, kehilangan tanah yang dicaplok oleh pengusaha tambang dan sawit, dan hak-hak bekerja yang dirampas, partai politik Islam malah menyuarakan hal-hal yang tidak penting. Mereka juga mengalihkan isu omnibus law dan korupsi ke moralitas dan kebencian terhadap identitas tertentu. Sudah itu, punya kebiasaan berpecah belah pula.

‘Ala kulli hal, mungkin partai dan gerakan Islam, sejak tahun 2014, memang sudah menemui jalan mentok. Partai dan gerakan Islam yang kian berjarak ini menjadikan mereka kian tidak relevan, kecuali sebagai tukang stempel oligarki yang tidak peduli dengan nasib umat.

Untuk itulah jalan mentok ini perlu ditinggalkan dengan jalan lain yang lebih terang benderang: jalan sosialisme yang berpihak pada umat Islam—yang jumlahnya banyak itu. Bukan jalan oligarki elite yang hobi memperkaya diri sendiri tanpa peduli pada nasib orang lain.

Ihdinash shirathal Mustaqiim.***


Ahmad Rizky Mardhatillah Umar adalah mahasiswa PhD di The University of Queensland – UQ, Australia

]]>
Ayat-Ayat Menentang Penjajahan https://indoprogress.com/2020/10/ayat-ayat-menentang-penjajahan/ Fri, 09 Oct 2020 06:08:16 +0000 https://indoprogress.com/?p=232623

Ilustrasi: Illustruth


“Dan apabila dikatakan kepada mereka, ‘Janganlah berbuat kerusakan di bumi!’ Mereka menjawab, ‘Sesungguhnya kami justru orang-orang yang melakukan perbaikan.’ Ingatlah, sesungguhnya merekalah yang berbuat kerusakan, tetapi mereka tidak menyadari.”

(Al-Qur’an Surah Al-Baqarah: 11-12)


KITA seringkali disuguhi cerita tentang penjajahan sebagai pertarungan antara ‘pribumi tertindas’ versus ‘asing penjajah’. Penjajahan seakan-akan hanya cerita tentang dominasi orang-orang Eropa terhadap penduduk lokal. Kisah tentang itu biasanya berakhir dengan cerita tentang pengusiran orang-orang Eropa dari tanah air sehingga  berakhir pula penjajahan. Cerita ini kerap kita baca dari buku-buku sejarah, dan menjadi narasi resmi tentang bagaimana Indonesia dibangun.

Tentu cerita itu tidak keliru. Penjajahan di Indonesia khususnya  adalah cerita tentang orang-orang Eropa yang datang ke Nusantara, berdagang, menguasai lahan, perlahan-lahan menaklukkan kerajaan—baik secara langsung maupun tidak—dan membangun struktur politik baru yang bernama negara kolonial.

Namun demikian, kita sering bertanya-tanya pula: benarkah praktik yang dilakukan oleh penjajah itu berakhir setelah ‘dekolonisasi’, alias setelah orang-orang Eropa dan Jepang angkat kaki? Mungkinkah ada penjajahan yang tetap berlangsung dengan aktor dan cara yang berbeda, tapi dengan mempertahankan sistem yang sama?

***

Ada satu kisah menarik dari Mohammad Hatta soal penjajahan. Peristiwa yang ia ceritakan dalam sebuah memoar ini terjadi pada 1933.

Bung Hatta melakukan safari politik di cabang-cabang baru PNI—organisasi politiknya masa itu—seperti Bandung ke Solo dan Yogyakarta sebagai pemimpin baru pergerakan nasionalis. Di sana ia bertemu calon-calon anggota baru organisasi dan menggelar rapat-rapat umum. Di masa-masa krisis itu PNI memang giat melakukan perkaderan. Rapat umum adalah salah satunya. Bung Hatta sendiri giat menulis untuk menentang kolonialisme Belanda.

Tentu pada masa itu rapat-rapat umum pergerakan nasionalis adalah aktivitas yang dianggap subversif. Melakukan rapat-rapat umum, apalagi berbicara tentang kapitalisme dan nasionalisme, harus dikontrol. Perizinan harus diperketat, kontra-narasi mesti dilakukan, dan orang-orangnya harus dipantau, apalagi aktivis penerima beasiswa yang baru kembali semacam Hatta.

Di sinilah Politieke Inlichtingen Dienst (PID, Dinas Intelijen Politik) berperan. Ketika itu PID sedang giat-giatnya membangun sistem pengawasan di mana-mana, baik di dalam atau luar negeri. Lembaga ini dibentuk pada 1916. Tugas utamanya antara lain memantau pergerakan nasionalis atau siapa pun yang ingin merongrong negara kolonial.

Tak semua agen PID adalah orang Eropa. Bahkan, dalam struktur keamanan masa kolonial itu, banyak agen-agen PID berstatus wedana, semacam pembantu bupati, yang pribumi. Aparat kolonial lain juga banyak yang sebenarnya orang-orang pribumi.

Tapi Bung Hatta tetap datang dan berpidato. Di Solo dan Yogyakarta, beliau berbicara tentang perkembangan kapitalisme dalam politik dunia. Dari awal kehidupan manusia sebelum kapitalisme, kapitalisme muda masa revolusi industri, lalu menjadi kapitalisme raya masa perdagangan bebas abad ke-19 di masa kolonial, hingga masa kapitalisme penghabisan, ketika kontradiksi-kontradiksi dalam kapitalisme itu menghasilkan krisis.

Pidato semacam itu adalah bagian dari pendidikan politik kepada kader-kader pergerakan, semata—menurut pandangan Hatta, Sjahrir, dan lain-lain—agar mereka punya cara pandang yang ilmiah dan kritis terhadap kolonialisme dan politik global.

Ketika di Yogyakarta, seorang wedana agen PID menginterupsi Hatta setelah setengah jam berpidato. Ia bertanya, “Apa itu kapitalisme?” Secara tersirat, sang wedana bertanya, “Apa maksud Hatta bicara tentang kapitalisme di negara Hindia Belanda ini?”

Hatta menjawab ringkas, “Sudah setengah jam aku bicara tentang kapitalisme dengan jelas, masih saja ada yang bertanya tentang apa itu kapitalisme!”

Hadirin langsung bertepuk tangan dengan riuh, disambut wedana intelijen itu dengan muka merah. Hatta mau melanjutkan pidato, tapi tiba-tiba intel itu menggebrak meja dan melarang Hatta terus bicara. Hatta turun dari mimbar dan ketua sidang menutup acara.

Konon, setelah pulang, Hatta diberitahu kalau dia sudah menang ‘duel’ melawan wedana kolonial itu, karena biasanya tidak ada yang bisa bertahan lebih dari dua menit ketika diinterupsi dan dibubarkan.

Kejadian di Yogyakarta ini kemudian semakin genting. Beberapa waktu kemudian, Bung Hatta ditangkap dan dibuang ke Boven Digoel karena semakin dianggap subversif. Ia kemudian diasingkan ke Banda Neira lalu tinggal di sana hingga Jepang datang.

Kini zaman telah berubah, tapi mungkin kita tidak akan terkejut ketika taktik pemerintah kolonial di atas sedikit banyaknya diadopsi untuk merepresi demonstrasi-demonstrasi menentang UU kontroversial.

***

Apa sebenarnya yang membuat orang-orang semacam Soekarno, Hatta, Semaoen, Rasuna Said, maupun pejuang-pejuang anti-kolonial itu melawan meskipun harus kucing-kucingan dengan intelijen?

‘Republik Indonesia’ awalnya adalah gagasan yang ditulis oleh Tan Malaka dalam pamflet Naar de Republiek Indonesia. Tan Malaka mengumpamakan munculnya Republik Indonesia dengan kaum Republiken masa Revolusi Perancis. Di Perancis, Republik muncul sebagai antitesis dari kekuasaan korup para bangsawan yang melegitimasi kekuasaan monarki. Bangsawan Perancis dan elite-elite politiknya hidup boros dan menindas orang-orang biasa, yang hanya mendapatkan kemiskinan, kelaparan, dan penyakit.

Ketika terjadi wabah, dalam struktur ancien regime model Perancis itu, orang-orang miskinlah yang mendapatkan malapetakan. Lalu petani, buruh dan kaum borjuis kelas menengah itu mengorganisasi diri, dan akhirnya terbentuklah “Majelis Permusyawaratan Nasional”. Dari situlah muncul kemerdekaan Perancis dan ‘cita-cita Republik’.

Namun, menurut Tan, yang terjadi di Indonesia, pelaku korupsi dan pemborosan hidup bermewah-mewahan itu bukannya bangsawan, melainkan pemerintah kolonial Belanda. Bahkan menurut Tan lebih parah; uang yang dihabiskan di Versailles masih ‘jatuh’ ke rakyat Perancis dalam bentuk eceran. Namun, uang yang dihabiskan di Zandveert dan Scheveningon tidak jatuh ke rakyat Indonesia.

Lalu terjadilah defisit anggaran dan krisis ekonomi maupun politik. Namun tidak seperti pemborosan yang dilakukan oleh elite-elite kolonial, krisis ini justru memukul orang-orang biasa di tanah air yang diupah dengan murah, tanpa perlindungan sosial yang memadai dan hak-hak tenaga kerja yang dieksploitasi untuk keperluan perkebunan, perkereta-apian, hingga pertambangan kolonial Belanda.

Menurut Tan, “Sekalipun nanti jika Amerika atau siapa saja bersedia memberikan pinjaman kepada Indonesia jutaan rupiah atau menanam kapital di Indonesia krisis ekonomi karenanya masih belum dapat diperbaiki. Sebab jutaan rupiah setahunnya yang harus diperoleh dengan memeras kaum buruh Indonesia untuk dikirim ke negeri asing. Lebih gelap adanya hari depan ekonomi bagi rakyat Indonesia daripada rakyat Prancis sebelum tahun 1789.”(1925).

Di sinilah menurut Tan ide tentang ‘Republik Indonesia’–di mana rakyat Indonesia diatur oleh Majelis Permusyawaratan Nasional yang mewakili aspirasi rakyatnya sendiri—jadi penting. Majelis Permusyawaratan Nasional, menurut Tan, harus menjadi alat dobrak yang besar terhadap kolonialisme; menasionalisasi pabrik-pabrik dan tambang-tambang strategis nasional, lalu mendistribusikan hasilnya secara adil kepada rakyat Indonesia. Gagasan ini adalah antitesis dari praktik kolonial Belanda yang membangun industri pertambangan lalu menjualnya di pasar Eropa, sebagiannya untuk memenuhi kas kerajaan.

Dan ide tentang Majelis Permusyawaratan Nasional ini bagi Tan juga berakar dari ide-ide kaum pembebasan nasional yang dilakukan oleh umat Islam, sebagaimana dilakukan di Banjarmasin dan Aceh. Itulah sebabnya, dalam pidatonya yang terkenal di tahun 1921, Tan Malaka justru menyerukan adanya front persatuan antara kaum kiri dan Pan-Islamis, yang masa itu memang merupakan dua kekuatan anti-kolonial terbesar di Hindia Belanda.

Saya tidak bisa membayangkan apa yang dirasakan almarhum Tan ketika melihat bahwa Majelis Permusyawaratan Nasional, yang bagi Tan adalah fondasi dasar berdirinya Republik Indonesia, justru melegitimasi UU yang memeras tenaga orang-orang Indonesia di atas narasi menciptakan lapangan pekerjaan.

***

Dalam Al-Qur’an Surah Al-Baqarah: 11-12, Allah menyitir orang-orang yang keras kepala, suka memanipulasi, dan zalim. Mereka menyatakan diri beriman kepada Allah dan hari akhir, namun pada praktiknya merusak bumi dan seisinya. Menurut Ibnu Katsir dalam tafsirnya, ayat ini merujuk pada orang-orang munafik. Mereka adalah orang-orang yang melakukan perbuatan maksiat kepada Allah dengan berbuat kerusakan di muka bumi, dan memerintahkan untuk melakukannya secara masif dan terorganisir.

Lalu ketika muncul peringatan dan kritik, orang-orang ini kemudian berkilah dengan anggapan bahwa yang mereka lakukan adalah “melakukan perbaikan di muka bumi”. Padahal, secara objektif, mereka yang punya pengetahuan telah menunjukkan dampak-dampak dari hal tersebut terhadap lingkungan, keseimbangan ekosistem hingga dampak sosialnya kepada masyarakat banyak.

Pada masa lampau, kolonialisme sering diklaim oleh para pengelolanya di Eropa sebagai praktik ‘misi pemberadaban’ (civilizing mission). Intelektual rasis semacam Lothrop Stoddard, misalnya, dengan bangganya menyatakan bahwa misi kolonialisme Eropa adalah untuk mengajarkan orang-orang di tanah jajahan terhadap ‘peradaban’ dan kemajuan. Peta dan atlas Inggris di abad ke-19 menyebut kolonialisme Eropa telah memberikan banyak kemajuan di tanah jajahan, dibanding masa-masa sebelum mereka.

Namun, tentu hal yang sama tidak dirasakan oleh orang-orang di koloni. Petani-petani biasa harus diperas tenaga pertaniannya melalui tanam paksa. Lalu datang masa perkebunan dan pertambangan, dan merekapun menjadi buruh dengan upah yang tidak seberapa. Sebagian mereka membuat infrastruktur jalan di pantai utara Jawa tanpa upah dan makanan yang memadai, sekadar untuk mempertahankan tanah Belanda dari gempuran rival penjajahnya, Inggris, di awal abad ke-19.

Ketika dulu kolonialisme bicara tentang pemberadaban, sebagian orang hari ini bicara tentang ‘pembangunan’. Tentu pembangunan hari ini berbeda dengan pembangunan jalan raya dari Anyer ke Panarukan di awal abad ke-19. Pun pembangunan hari ini, biar sedikit, juga memberikan jalan-jalan dan bangunan-bangunan yang tidak lagi dinikmati hanya oleh elite kolonial Eropa dan Jepang. Di Konferensi Bandung tahun 1955, pemimpin negara Asia dan Afrika menyerukan pentingnya kerja sama untuk membiayai pembangunan bagi negara-negara yang baru lepas dari kolonialisme, dengan Indonesia tentu bukan pengecualian.

Namun, menjadi problem jika ‘pembangunan’ atau ‘penciptaan lapangan kerja’, yang sesungguhnya punya niat yang mulia, berubah menjadi dalih untuk memberikan upah murah bagi pekerja, melucuti hak-hak dasar bagi pekerja (terutama pekerja perempuan), atau menjadikan para buruh gampang kena PHK tanpa tanggung jawab perusahaan. Hal ini takkan ada bedanya dengan apa yang diumpamakan oleh Tan Malaka sebagai “lintah-lintah darat Hindia Belanda”, yang melakukan hal-hal demikian untuk mengantisipasi krisis ekonomi,

“Pada bagian satunya memperbesar pasukan Armada dan polisi dan menaikkan gaji ambtennar-ambtenaar tinggi. Pada bagian lainnya melepaskan kaum buruh dan menurunkan gajinya, menarik lebih banyak dari rakyat yang melarat dan mengurangi pengeluaran untuk sekolah-sekolah rakyat dan kesehatan.” (1925).

Dan bertemulah hal-hal seperti itu dengan istilah Al-Qur’an dalam Surah Al-Baqarah di atas. Mereka yang ditegur karena berbuat kerusakan, mendapatkan kritik, namun justru defensif dengan berbagai macam argumen atas nama rakyat. Padahal, implikasinya besar dan buruk bagi lingkungan, rakyat, dan negara. Pada titik inilah Al-Qur’an kemudian mengingatkan kita untuk tidak melakukan ‘penjajahan modern’: mengeksploitasi tanah dan tenaga kerja secara sewenang-wenang, dan melakukan pembangunan tanpa peduli dampak lingkungan atau dampak sosial terhadap masyarakat yang hidup dan bercocok tanam dari tanah itu.

Hal-hal di atas tentu ditentang oleh umat Islam di masa lampau; dan juga ditentang oleh umat Islam yang sadar di hari ini –bagi mereka yang ‘membaca’.

Billahi fii Sabilil Haq. Fastabiqul Khairat.***


Ahmad Rizky Mardhatillah Umar adalah mahasiswa PhD di The University of Queensland – UQ, Australia

]]>
Ketidakberdayaan sebagai Landasan Kebenaran https://indoprogress.com/2020/09/ketidakberdayaan-sebagai-landasan-kebenaran/ Fri, 11 Sep 2020 05:39:09 +0000 https://indoprogress.com/?p=232499

Illustrasi: Illustruth


“Dan Kami wariskan kepada kaum yang tertindas itu, bumi bagian timur dan bagian baratnya yang telah Kami berkahi. Dan telah sempurnalah firman Tuhanmu yang baik itu (sebagai janji) untuk Bani Israil disebabkan kesabaran mereka. Dan Kami hancurkan apa yang telah dibuat Fir’aun dan kaumnya dan apa yang telah mereka bangun.”

(al-A’raf ayat 137).


BANYAK kritik diarahkan kepada panel-panel yang hanya melibatkan pembicara laki-laki (man panels). Ini misalnya terjadi terhadap sebuah webinar tentang filsafat Islam yang menghadirkan sebelas pembicara laki-laki, padahal perempuan yang ahli di bidang tersebut, seperti Profesor Syafa’atun Almirzanah, cukup mudah ditemui. Posternya beredar di Twitter.

Substansi sebagian kritik dari perspektif feminis tersebut adalah menggungat kesenjangan ‘suara’ laki-laki dan perempuan dalam berbagai bidang; sebagian lainnya mengangkat ketidakadilan epistemologis, di mana keberadaan para ahli perempuan di suatu bidang tidak dibarengi dengan kehadiran mereka sebagai pembicara dalam acara-acara yang berhubungan dengan keahliannya.

Kritik feminis yang menuntut keadilan representasi publik maupun keadilan epistemologis penting dan harus selalu disuarakan. Akan tetapi, pentingnya pembentukan ruang inklusif di ranah publik dan privat bermakna jauh lebih dalam dari sekadar pemenuhan ‘kuota’. Maksud pembentukan ruang inkusif ini adalah menghadirkan suara-suara yang termarjinalkan dalam ruang publik, membentuk kebijakan dan proses politik yang berpihak kepada yang tersisih.

Sejatinya ini adalah hal yang dibutuhkan untuk mengeliminasi arogansi kuasa yang membuat kita buta akan kebenaran.

Cabang ilmu filsafat feminis kritis menjadi sumber gagasan dalam melihat kebenaran dan layak tidaknya suatu hal disebut sebagai ‘pengetahuan’. Dalam gagasan ini, kebenaran tidak dipandang sebagai hal yang abstrak dan metafisik, melainkan sebagai hasil dari berbagai faktor kontekstual yang membentuk subjek moral (individu yang mengetahui kebenaran) dan objek moral (sesuatu yang dianggap sebagai kebenaran) (Tillman, 2013). Ini berarti bahwa kebenaran terkait erat dengan posisi kuasa dan hak-hak istimewa yang dimiliki oleh seseorang.

Dalam perspektif ini, kebenaran yang dipegang oleh seorang presiden, misalnya, tidak sama dengan kebenaran yang dipahami oleh buruh tani. Presiden, dengan berbagai kemewahan yang dimiliki, punya sudut pandang terbatas terutama tentang konsekuensi dari tindakannya. Bagi orang-orang seperti ini, kebenaran adalah apa-apa saja yang ia lakukan. Sementara kebenaran bagi buruh tani, dengan berbagai keterbatasan yang melekat pada diri mereka, lebih merupakan hal yang berasal dari keseharian. Sebagai individu yang tak punya kuasa terhadap politik dan ekonomi yang memengaruhi kehidupannya, buruh tani memiliki konsepsi kebenaran yang mampu menunjukkan ketidakadilan yang bersumber dari sistem yang diciptakan penguasa.

Anika Maaza Mann menyatakan kapasitas seseorang untuk mengkonseptualisasi pembebasan pada umumnya sepadan dengan lapisan-lapisan kekerasan yang ia alami (Mann, 2010). Dengan kata lain, posisi individu dalam hierarki kuasa berpengaruh terhadap persepsinya tentang apa itu pembebasan. Semakin kompleks sistem opresi yang diderita oleh seseorang (misalnya, opresi berbasis gender yang disertai dengan opresi rasial), maka semakin ia paham bahwa pembebasan tidak dapat diraih melalui kemerdekaan dari satu elemen kekerasan struktural saja.

Dengan demikian, kebenaran dalam kaitannya dengan keadilan dan pembebasan dapat dengan lebih mudah dipahami oleh mereka yang kehidupannya tercerabut dari keadilan dan pembebasan itu sendiri. Inilah mengapa teori-teori dan konsep kritis yang menampilkan gambaran pembebasan secara lebih kompleks (misalnya, teologi pembebasan, interseksionalitas, teori rasial kritis, dan sebagainya) umumnya datang dari dan didukung oleh pemikiran kelompok-kelompok marjinal, sementara wacana pembebasan yang terbatas—atau yang malah menimbulkan bentuk kekerasan lainnya—seperti feminisme liberal, umumnya datang dari dan didukung oleh mereka yang sedikit banyak diuntungkan oleh struktur yang ada.

Maka dari itu, mengikutsertakan suara-suara marjinal dalam wacana publik bukan merupakan ‘jasa baik’ yang dilakukan oleh mereka yang punya kuasa, melainkan sebuah kewajiban karena tanpa mereka ‘suara’ kebenaran tidak akan dapat terdengar.

Suara-suara marjinal bukanlah sekadar pengisi prasyarat keberagaman. Lebih dari itu, suara-suara marjinal memiliki keunggulan ontologis: perspektif dan kategori berpikir di dalamnya adalah sumber dari kebenaran yang membawa kita pada pembebasan.

Mengundang ahli perempuan untuk berbicara pada forum-forum akademik adalah sebuah keharusan jika kita bermaksud untuk mencari kebenaran yang mengarah kepada keadilan berbasis gender. Pun, mengundang masyarakat Papua untuk bicara soal rasisme dan kolonialisme di Indonesia adalah cara utama untuk memahami makna sebenarnya dari kebebasan dekolonial.

Selain landasan ontologis, suara-suara marjinal juga memiliki basis teologis. al-A’raf ayat 137 yang dikutip di atas adalah salah satu ayat yang menjadi justifikasi teologis pentingnya suara kelompok marjinal dalam upaya pencarian kebenaran.

Farid Esack, teolog pembebasan dan feminis Islam ternama, menghadirkan konseptualisasi teologis untuk menjelaskan hubungan erat antara suara-suara marjinal dan perspektif ketuhanan dalam Islam. Dalam pemaknaannya terhadap al-A’raf ayat 137 dan al-Baqarah ayat 85, Esack berpendapat bahwa keduanya jelas menunjukkan keberpihakan Allah SWT kepada mereka yang tidak berdaya. Kedua ayat tersebut berisi kutukan dan amarah Allah SWT kepada mereka yang Esack sebut sebagai ‘opresor’ (al-mustakbirun) dan pembelaan Allah SWT bagi mereka yang ‘marjinal’ (al-mustad’afun, al-aradhil) (Esack, 2003).

Bagi Esack, pembelaan Allah SWT terhadap mereka yang marjinal dalam al-Qur’an bukan sekadar peristiwa khusus yang terbatas konteks sejarahnya, melainkan juga salah satu prinsip Qur’ani utama yang dapat diterapkan di segala masa. Dari sinilah kemudian Esack mengajukan siklus hermeneutika pembebasan yang menggabungkan refleksi terhadap ayat-ayat al-Qur’an dengan perjuangan melawan kekerasan sistemik (Esack, 1999).

Dalam siklus hermeneutika pembebasan, teologi Islam tidak bersumber dari abstraksi ajaran Qur’ani yang menempatkan Allah SWT sebagai Tuhan yang terpisah dari detil kehidupan manusia. Jauh dari pandangan tersebut, dalam konsep ini Allah SWT tak pernah tidak terlibat dalam perjuangan manusia untuk mencapai keadilan bagi semua, karena perwujudan keadilan itu sendiri adalah salah satu alasan utama dari terciptanya semesta (al-Qur’an, Surat al-Jatsiyah, ayat 22).

Dengan demikian, dalam perspektif Esack, jika Allah SWT tak pernah lepas dari perjuangan manusia, dan jika dalam perjuangan tersebut Ia selalu berada di sisi mereka yang marjinal, maka kebenaran teologis ada bersama mereka yang marjinal. Ini berarti bahwa karakteristik kebenaran yang terkandung di dalam suara-suara marjinal tidak hanya dapat dipahami melalui posisi mereka dalam hierarki kekuasaan, melainkan juga dari perspektif keimanan Qur’ani yang memposisikan Allah SWT sebagai sumber segala kebenaran di sisi mereka yang tertindas dan termarjinalkan.

Akhirnya, menghadirkan suara-suara marjinal dalam ruang maupun wacana publik bukan lagi sekadar soal inklusivitas, melainkan juga soal sejauh mana kita ingin mendekatkan diri kepada kebenaran yang membawa kita kepada pembebasan.

Pun, ditinjau dari perspektif Islam, sebesar apakah arogansi kita hingga kita berani menolak suara mereka yang memiliki dukungan penuh dari Allah SWT?***


Lailatul  Fitriyah adalah Ph.D Candidate, World Religions and World Church Program Department of Theology, University of Notre Dame, AS


Kepustakaan

Rachel Tillman, “Ethical Embodiment and Moral Reasoning: A Challenge to Peter Singer,” Hypatia 28, no. 1 (2013): 18– 31.

Anika Maaza Mann, “Race and Feminist Standpoint Theory,” in Convergences: Black Feminism and Continental Philosophy, ed. Maria del Guadalupe Davidson, Kathryn Gines, and Donna-Dale Marcano, 105-120 (Albany: State University of New York Press, 2010).

Farid Esack, On Being a Muslim: Finding a Religious Path in the World Today (Oxford: Oneworld, 1999).

Farid Esack, ‘In Search of Progressive Islam Beyond 9/11’, in Progressive Muslims: On Justice, Gender, and Pluralism, ed. Omid Safi, 78-97 (Oxford: Oneworld, 2003).              

]]>
Tilik, Rumor, dan Dua Kerusuhan Kalimantan https://indoprogress.com/2020/08/tilik-rumor-dan-kenyataan-tragis-islam-indonesia/ Fri, 28 Aug 2020 08:09:00 +0000 https://indoprogress.com/?p=232456

Ilustrasi: Illustruth


BEBERAPA hari terakhir ramai orang membicarakan film Tilik—film berdurasi sekitar 30 menit tentang ibu-ibu Yogyakarta yang pergi membesuk Bu Lurah di RS melalui truk gotrek dan menggosipkan tetangga. Tidak ada yang spesial dari film itu; tapi ia mampu mengambil hati banyak penonton karena mampu menangkap satu realitas sehari-hari yang kerap dilakukan oleh masyarakat Indonesia di mana pun; di Masjid setelah pengajian, di TK ketika menunggu anak, atau di pesta pernikahan. Film ini menangkap realitas dengan caranya yang kocak namun sederhana.

Saya tidak ingin membicarakan filmnya (sudah banyak yang sudah melakukan kritik ini dan itu). Ketika saya menonton filmnya, entah mengapa saya menontonnya dengan cara yang berbeda. Saya langsung teringat beberapa momen gelap yang berhubungan dengan rumor di masa lalu. Sebagai orang yang lahir dan besar di Banjarmasin di pertengahan 1990-an hingga awal 2000-an, saya spontan membayangkan dua tragedi di bumi Kalimantan: Jumat Kelabu 23 Mei 1997 dan kerusuhan Sampit 2001. Keduanya erat terkait dengan rumor, sebagaimana halnya film Tilik, yang akhirnya menjadikan gosip dan ber-ghibah tidak lagi lucu dan normal alih-alih mencekam.


Pada 1997 Banjarmasin adalah kota yang cukup dinamis. Mei tahun itu, selama sebulan penuh, kampanye dilaksanakan oleh pemerintah untuk menyambut Pemilu. Masa itu adalah masa akhir Orde Baru. Orang-orang rupanya sudah mulai bosan dan muak dengan Soeharto dan Golkar. Pemilu diikuti oleh tiga partai sebagaimana lazimnya: PPP, PDI, dan Golkar.

Kalimantan Selatan adalah medan pertempuran antara Golkar dan PPP. Golkar “berkuasa” di basis-basis perkotaan— dan Banjarbaru—meskipun sudah mulai ‘digoyang’ oleh PPP yang punya basis massa religius. Hulu Sungai dan Martapura adalah basis PPP. Masyarakat yang merupakan ‘kaum tuha’ sedari dulu loyal kepada K.H. Idham Chalid, sesepuh NU yang berasal dari Amuntai, Hulu Sungai Utara. Selain itu, ulama-ulama Martapura banyak yang berkampanye untuk PPP. Ini adalah masa dimana pertarungan politik Kalsel sangat dinamis dan, dalam banyak hal, terpolar.

Kampanye berlangsung dinamis; orang menjual atribut partai dimana-mana. Masa itu adalah pertama kali saya mengenal dunia politik. Hari kedua kampanye, ayah saya membelikan atribut PPP dan saya menyetel pidato Buya Ismail Hasan Metareum di televisi, meskipun sebenarnya Golkar dan tentara juga masih menampakkan taringnya.

Syahdan, hari terakhir kampanye. Suasana sebenarnya sudah mulai panas karena masing-masing massa saling mengejek. Namun, tidak ada yang menyangka keributan kampanye di hari terakhir berubah menjadi kerusuhan besar, yang tidak hanya mengakhiri kampanye secara brutal, tetapi juga memperkenalkan saya dan warga kota dengan horror kerusuhan dan ‘jam malam’ yang diberlakukan selama seminggu.


Mulanya, sejauh yang terekam dalam memori saya, adalah rumor dan provokasi. Hari itu adalah jadwal kampanye Golkar yang bertepatan dengan hari Jumat. Pagi berlangsung seperti biasa. Golkar dijadwalkan berkampanye selepas shalat Jumat dengan menghadirkan beberapa juru kampanye nasional. Namun, sebelum shalat Jumat selesai, merebak berbagai rumor; orang-orang beratribut kuning yang kebut-kebutan di depan Masjid Noor—pusat kota Banjarmasin—lengkap dengan klakson tepat ketika khatib naik mimbar.

Rumor ini merebak dari mulut ke mulut. Selepas Jumatan, orang-orang membawa berita dari kampung-kampung, menyebarkan kabar tentang kampanye orang-orang berbaju kuning itu. Tidak ada yang tahu persis siapa mereka, apakah mereka benar-benar simpatisan atau fungsionaris Golkar, ataukah mereka hanyalah provokator yang menyaru untuk membatalkan kampanye. Tapi rumor berkembang sedemikian rupa.

Kampanye dimulai. Jalan Ahmad Yani –satu jalan protokol besar di Kota Banjarmasin—tiba-tiba sunyi senyap. Orang mulai berkampanye dengan konvoi. Tapi tiba-tiba suasana berubah mencekam. Entah dari mana, datang massa membawa parang, celurit, dan pisau, memburu orang-orang yang sedang berkampanye. Mereka berlarian. Konvoi tidak jadi berlangsung. Dua gelombang massa lewat. Beberapa orang beratribut kampanye berlindung ke rumah warga—termasuk ke rumah kami —sembari melepas atribut kampanye. Mereka selamat dari amuk massa.

Suasana menjadi tidak terkendali. Dari kejauhan titik api terlihat muncul di mana-mana: di Mitra Plaza (“mall” paling besar di Kota Banjarmasin masa itu), hotel Junjung Buih, hingga gereja. Tidak ada yang berani datang ke Kota. Kami sekeluarga berkumpul di rumah, menelepon keluarga dekat (kalau-kalau terjadi hal yang tidak diinginkan). Malam hari, listrik padam (bahkan sampai beberapa hari), dan pemerintah memberlakukan jam malam. Penangkapan massal konon terjadi di beberapa daerah pinggiran kota Banjarmasin, dan tentara didatangkan dari Kodam di Balikpapan.

Pagi hari, mayat-mayat ditemukan di reruntuhan Mitra Plaza yang terbakar serta beberapa tempat lain yang diamuk massa. Kira-kira 142 korban jiwa melayang di kerusuhan ini. Tentu mereka adalah orang-orang Islam yang banyak di antaranya tidak tahu apa-apa.

Rumor dan ghibah tidak lagi menjadi sesuatu yang lucu dan kocak. Pada masa lalu, gosip pernah menjelma tragedi Jumat Kelabu yang saya yakin masih membekas di memori warga Banjarmasin hingga saat ini. Hingga hari ini, tak ada yang tahu pasti siapa yang menyebarkan rumor, siapa yang memprovokasi, dan terutama siapa dalangnya. Tapi Tragedi Jumat Kelabu mengubah 180 derajat politik di Kalimantan Selatan. Mobilisasi massa berkurang drastis; politik menjadi bagian dari negosiasi elit sebagaimana biasanya, dan mengungkit tragedi ini menjadi sesuatu yang tidak mengenakkan.


Pada 2001, kerusuhan di Kota Sampit, Kalimantan Tengah, merebak. Kerusuhan ini jauh lebih parah dan melibatkan sentimen etnis. Lebih dari 500 orang tewas dan ratusan ribu lainnya harus mengungsi ke daerah lain. Konflik Sampit sampai saat ini masih terpatri dalam memori penduduk Kalimantan.

Sebagai orang Banjar, kami mendengar dan menyimak kerusuhan ini dengan hati was-was. Sampit berada jauh dari kota Banjarmasin, dan orang-orang Banjar sejak dulu tinggal di Sampit dan punya tradisi badangsanak (‘bersaudara’) dengan orang-orang Dayak. Hubungan antar-etnis di Kalimantan Selatan dan Tengah baik-baik saja. Namun, tidak halnya dengan orang-orang Madura dan Dayak. Sentimen ‘laten’ dan kecemburuan sosial berubah menjadi konflik yang mengerikan.

Catatan Helene Bouvier dan Glenn Smith mengulas tragedi ini dengan cukup gamblang: rumor demi rumor yang memupuk kebencian antara orang-orang Dayak dan Madura tidak diproduksi hanya pada masa itu, tapi sudah dari beberapa tahun sebelumya. Tahun 2000, kebakaran dan ledakan terjadi di Sampit, dan rumor berkembang kalau orang-orang Madura punya peledak. Namun, tak ada yang sebesar ‘peledak’ emosi sesungguhnya: ketika terjadi perkelahian maut di Kereng Pangi. Rumor yang kemudian dibawa baik kalangan orang-orang Madura dan Dayak berujung kekerasan etnis massal di Sampit, merebak hingga Palangkaraya, Pangkalanbun, bahkan konon juga sampai Kuala Kapuas.

Kerusuhan Sampit adalah salah satu episode sejarah yang kompleks dan jauh lebih kelam. Saya tidak ingin mendiskusikannya di sini; namun, selama tahun 2001, kami yang tinggal di Kalimantan Selatan berada dalam kondisi was-was dan ketakutan kalau-kalau konflik akan merembet ke Banjarmasin. Ketika muncul berita dan rumor kalau massa sudah bergerak di Kuala Kapuas –yang notabene hanya 40 km dari Kota Banjarmasin, semua orang ketakutan. Pelabuhan Banjarmasin padat oleh pengungsi. Kami bersyukur kalau rumor itu tidak menjadi kenyataan.


Mari kembali ke film Tilik. Film itu terasa dekat dengan kehidupan kita karena kita kerap membicarakan orang lain, bergosip, hingga menyebarkan rumor tentang seseorang dalam perbincangan-perbincangan santai kita dengan tetangga. Bergosip, ber-ghibah, dan sejenisnya dalam film Tilik mungkin adalah cara kita untuk melepas beban kehidupan atau sekadar mengisi waktu luang bersama tetangga dan kerabat.  Hal-hal itu adalah realitas sehari-hari. Bergosip, menurut James C Scott, bahkan bisa jadi senjatanya orang-orang lemah, meskipun juga sering menjadi alat untuk menegaskan ‘aturan sosial’ dari orang yang punya kuasa.  

Namun demikian, bagi sebagian kita yang lain, yang tidak punya privilese tinggal di pedesaan yang damai dan tenang di pulau Jawa, rumor, gosip, dan ghibah adalah cerita yang lain. Di Banjarmasin atau Sampit, gosip bisa berubah menjadi tragedi kerusuhan ketika salah sasaran dan menimbulkan salah paham. Tidak ada lagi yang lucu ketika rumor berubah menjadi kepala-kepala tanpa nyawa, hanya karena kita gagal menghalau hoax dan disinformasi. Rumor bahkan, dalam beberapa episode genosida, menjadi alat untuk menindas etnis atas nama identitas.

Di masa lalu, kita juga ingat tentang cerita-cerita ketika aparat memburu orang yang disangka komunis dan aktivis kiri selama 1965-1966 hanya karena rumor. Ironisnya, rumor itu tersebar atas ‘restu’ kekuatan politik yang dominan. Walhasil, mungkin rumor pulalah yang membuat orang berprasangka kepada etnis atau agama tertentu ketika kerusuhan 1998. Ia mereproduksi stereotype yang berkembang selama ini dan dilestarikan oleh rezim untuk melenggangkan kekuasaannya. Hasilnya, kita melihat sentimen rasial dan agama yang kemudian berkembang menjadi lebih canggih untuk kepentingan elektoral, misalnya, di Pilkada DKI Jakarta tahun 2017.

Semuanya bermula dari rumor, gosip, serta bumbu-bumbu agama dan politik di masyarakat yang sudah terpolar sejak awal. Di sini gosip menjadi alat politik yang memecah-belah masyarakat, menumbuhkan konflik, dan alat untuk menggapai kekuasaan secara kasar. Yang mungkin berbeda dengan yang kita rasakan dengan privilese identitas yang kita miliki.


Pertanyaannya—berhubung ini adalah rubrik Tabayyun—bagaimana Islam memandang hal ini? Al-Qur’an jelas menggariskan hal ini di Al-Quran Surah Al-Hujurat: 6,

Wahai orang- orang yang beriman, jika ada seorang faasiq datang kepada kalian dengan membawa suatu berita penting, maka tabayyunlah (telitilah dulu), agar jangan sampai kalian menimpakan suatu bahaya pada suatu kaum atas dasar kebodohan, kemudian akhirnya kalian menjadi menyesal atas perlakuan kalian. (QS 49: 6)

Ayat ini menekankan pentingnya ‘penelitian ulang’ (tabayyun) ketika kita mendengar satu rumor, gosip, ghibahan, atau sesuatu yang sebenarnya benar tapi dikemas dengan sentimen kebencian tertentu. Hal ini tidak mudah ketika foto di facebook bisa diinterpretasikan untuk melegitimasi asumsi tertentu, tulisan tertentu disalah-pahami sebagai bahan provokasi, atau pidato yang direkam justru menjadi alat untuk melakukan kampanye hitam lengkap dengan sentimen ras dan agama.

Di sinilah pentingnya ‘membaca’ (iqra’). Membaca bukan hanya berarti mengeja huruf-huruf dan memahami makna dalam buku. Membaca adalah memahami realitas secara benar, komprehensif, dan tepat dengan melepaskan bingkai yang dibawa oleh si pembawa berita. Tujuannya, sebagaimana disampaikan oleh Al-Hujurat, adalah relevan dengan apa yang kita hadapi saat ini: agar kita tidak menimpakan bahaya pada suatu kaum atas dasar kebodohan.

Rumor yang berkembang menjadi konflik, apalagi jika disulut dengan kebencian atas identitas tertentu, tentu hanya akan menimbulkan penyesalan. Karena sebenarnya, baik kita yang bergosip atau mereka yang menjadi objek ghibah adalah sama-sama korban. Sementara mereka yang menebar provokasi dan menangguk keuntungan — politik maupun finansial—dari rumor semakin melenggang di puncak kekuasaan. Orang-orang zalim, yang mengambil untung dan kaya dari rumor dan konflik inilah musuh kita sesungguhnya.

Akhirul Kalam, film pendek Tilik mungkin menceritakan tentang kenyataan sehari-hari umat Islam Indonesia yang tetap mampu ber-ghibah lepas di tengah himpitan hidup di desa. Namun, bagi anak muda Banjar yang merasakan hidup di tengah rumor kerusuhan Jumat Kelabu 23 Mei 1997 atau pekan-pekan mencekam setelah huru-hara Sampit, kenyataan itu adalah kenyataan pahit. Ghibah menjadi rumor, dan rumor menjadi tidak lagi lucu ketika ia menjadi alasan untuk membunuh orang karena perbedaan etnis, agama, atau status minoritas. Itu adalah kenyataan tragis kita, umat Muslim Indonesia, yang juga mesti kita refleksikan bersama-sama untuk masa depan kita

Nuun Walqalami wa maa yasthuruun.***


Ahmad Rizky Mardhatillah Umar adalah mahasiswa PhD di The University of Queensland – UQ, Australia

]]>
Perempuan sebagai Kurban Kemanusiaan: Sebuah Refleksi Idul Adha https://indoprogress.com/2020/08/perempuan-sebagai-kurban-kemanusiaan-sebuah-refleksi-idul-adha/ Fri, 07 Aug 2020 06:50:08 +0000 https://indoprogress.com/?p=232387

Ilustrasi: Joe Giddens/PA Archive


“Tidak ada perayaan yang disuguhkan di kakiku, karena seperti halnya Sojourner, aku harus membajak ladang-ladang gersang dan menarik gerobak dengan punggungku. Bahkan ketika payudaraku mengeras dan air susu mengalir darinya, cambuk itu masih melukaiku. Keduanya membentuk arus dalam kesadaranku: tidak ada hal yang romantis dari seorang perempuan yang bekerja seperti laki-laki untuk menyelamatkan anak-anaknya dari cengkeraman kematian dan keputusasaan. Ia (perempuan itu) mengeras dalam usahanya. Sedikit kepedulian yang diberikan untuknya: bahwa ketika ia membuka dirinya untuk benih itu, ia juga sedang membuka dirinya untuk menjadi orang yang dicintai dan dikasihi. Namun (pada akhirnya), tidak ada seorangpun yang berdiri disitu untuknya.”

(amina wadud, 2006)


IDUL ADHA selalu identik dengan cerita pengorbanan Ismail dan ketaatan Ibrahim dalam menjalankan perintah Allah. Seperti halnya cerita-cerita Islami lainnya yang menjadi ilustrasi hegemonik bagi ajaran keislaman, cerita Idul Adha dalam bingkai kehidupan Ibrahim menempatkan perempuan sebagai aktor pelengkap saja atau malah menghapuskan peranan mereka sama sekali. Dalam beberapa dekade terakhir, akademisi Muslim dengan haluan teologi Womanist, teori kritis, dan teologi pembebasan (wadud, 2006; Hidayatullah, 2012; Abugideiri, 2001) telah memberikan kritik terhadap dominasi Ibrahim dalam konteks Idul Adha, terutama tentang ketidakpedulian perspektif tradisional Islam terhadap aspek-aspek kekerasan yang nampak dalam cerita Ibrahim.

Berbeda dengan kajian teologis dalam tradisi Yahudi yang telah banyak membahas aspek kekerasan dalam cerita penyembelihan Ishaq dan penghapusan peran perempuan di dalamnya (misalnya, Levine, 2001; Hackett, 1989), bahasan narasi pengorbanan yang melibatkan Ibrahim AS, Ismail AS, Sarah RA, dan Hajar RA dalam wacana keislaman hampir selalu dibingkai dalam tema kepatuhan absolut sebagai ekspresi keimanan. Lebih jauh, penekanan konteks Idul Adha sebagai peringatan perintah penyembelihan Ismail AS dengan menafikan dinamika keluarga Ibrahim hampir secara total menghapuskan kehadiran perempuan tidak hanya dalam perayaan Idul Adha, melainkan juga dalam narasi kelahiran Islam pada umumnya.

Pembacaan dan pemaknaan ulang sejarah dengan penekanan terhadap peran perempuan dan kelompok marjinal lainnya dalam peristiwa-peristiwa penting Islam telah banyak dilakukan (misalnya, Ahmed, 1992; Mernissi, 1991). Pada tataran rekonstruksi sejarah dan untuk menemukan kembali suara-suara marjinal yang terpendam dominasi epistemologi patriarkal di masa lalu, wacana kesejarahan dengan fokus suara perempuan penting untuk dilakukan. Akan tetapi, proyek rekonstruksi sejarah berbasis gender saja tidak cukup, karena sejatinya kekerasan terhadap perempuan tidak hanya hadir dalam bentuk penghapusan historis, melainkan juga dalam bentuk kekerasan simbolik dengan implikasi nyata dalam kehidupan perempuan.

Dari cerita kehidupan Nabi Ibrahim AS dan kaitannya dengan peringatan Idul Adha, narasi pengorbanan Ismail AS mendominasi pemaknaan ritual tahunan tersebut. Dominasi itu kemudian menghasilkan alienasi epistemologis dan alienasi simbolik yang menjadi bagian dari langgengnya kekerasan berbasis gender pada saat ini.


Seperti yang telah disinggung sebelumnya, kekerasan epistemologis dalam bingkai Idul Adha menyebabkan terhapuskannya dua narasi yang mengetengahkan pentingnya peran perempuan di dalamnya. Narasi pertama berkaitan dengan pentingnya peran Hajar RA dalam membesarkan dan membentuk Ismail AS hingga menjadi pribadi yang patut untuk menyandang gelar kenabian. Penghapusan narasi ini mengaburkan proses panjang dan penuh tantangan yang harus dihadapi oleh seorang perempuan budak kulit hitam untuk mempersiapkan wadah kemanusiaan bagi firman Ilahi. Perspektif patriarkal yang mendominasi latar belakang sejarah ritual Idul Adha menampilkan Ismail AS lebih sebagai abstraksi kesempurnaan keimanan, ketimbang sebuah gambaran utuh kemanusiaan yang tak luput dari proses pertumbuhan dan kehadiran ibu yang mendidik dan membesarkannya dengan susah payah.

Narasi kedua yang dihapuskan melalui dominasi perspektif patriarkal dalam konteks Idul Adha adalah dinamika hubungan antara Ibrahim AS, Sarah RA, dan Hajar RA. Konstruksi persona Ibrahim AS sebagai model ketaatan absolut dalam peristiwa pengorbanan Ismail AS membuat banyak dari kita memandang Ibrahim AS sebagai sosok yang lepas dari dinamika sejarah dan konteks sosial, politik, dan budayanya. Dalam hal ini, kualitas hubungan Ibrahim AS dengan istrinya, Sarah RA, dan dengan selirnya, Hajar RA, diasumsikan sejajar dengan kualitas ketaatannya terhadap Allah. Asumsinya adalah, jika ia dapat mengabdikan dirinya kepada Allah sampai ia rela menyembelih putranya sendiri, maka tidaklah mungkin ia menyakiti istri dan selirnya.

Sumber-sumber tradisional Islam yang secara gamblang menceritakan prahara rumah tangga Ibrahim AS menjadi terlupakan begitu saja. Selain itu, rasa sakit dan permasalahan yang dialami oleh Hajar RA sebagai seorang budak kulit hitam sekaligus selir dalam keluarga Ibrahim AS turut dikaburkan dan dijustifikasi dengan menggunakan dalih keimanan.

Ini bukan berarti bahwa faktor keimanan dan keterpilihan sebagai orang-orang suci sama sekali tidak dapat menjelaskan dinamika keluarga Ibrahim AS. Namun, hal ini berarti bahwa status Ibrahim AS, Sarah RA, dan Hajar RA sebagai orang suci tidak serta-merta melepaskan mereka dari arus kontekstualisasi sejarah. Terlepas dari apapun sensibilitas modern kita terhadap praktik perbudakan, sumber-sumber tradisional Islam mencatat bahwa Ibrahim AS dan Sarah RA memiliki Hajar RA sebagai budak di rumah mereka. Pengasingan Hajar RA di gurun tandus yang nantinya berkembang menjadi kota Mekkah tidaklah mungkin dilakukan tanpa status sosial-politik Hajar RA sebagai budak dan selir Ibrahim AS.

Dalam kerangka kontekstualisasi sejarah inilah kita dapat melihat pentingnya pemaknaan ulang narasi Idul Adha dari lensa Hajar RA. Kisah Idul Adha yang hanya mengetengahkan keimanan dan tindakan Ibrahim AS dan Ismail AS, seperti halnya narasi hegemonik lainnya, adalah kisah yang sebenarnya bersifat spesifik namun menyaru sebagai narasi universal. Faktanya adalah, tidak semua Muslim merasakan keterikatan dengan cerita perintah penyembelihan Ismail AS yang menegasikan pengalaman perempuan dan kaum marjinal lainnya. Bagi banyak perempuan Kulit Hitam dengan genealogi sosial, politik, dan budaya yang berakar di sejarah praktek perbudakan di Amerika Serikat, maupun bagi perempuan yang berperan sebagai orang tua tunggal sekaligus tulang punggung keluarga, kisah pengorbanan, keteguhan, dan keimanan Hajar RA dalam menghadapi prahara di keluarga Ibrahim AS bisa jadi jauh lebih bermakna daripada cerita Ibrahim AS yang hampir menyembelih putranya, Ismail AS.

Di tataran simbolik, penghapusan peran dan pengorbanan perempuan dalam cerita Ibrahim AS dan Ismail AS mengaburkan problematika sistemik berbasis gender yang terlestarikan melalui keseluruhan kerangka naratif Idul Adha. Pada lapisan pertama, pengaburan permasalahan sistemik berbasis gender ini membatasi ruang imaji keimanan kita dengan menetapkan bahwa keputusan Ibrahim AS untuk menuruti perintah penyembelihan anaknya adalah keputusan yang berakar dari ketakwaannya. Dengan menggunakan narasi transendental (i.e., ketakwaan) untuk menjelaskan kepatuhan Ibrahim AS terhadap perintah yang dapat dilihat sebagai bentuk kekerasan, narasi tradisional Idul Adha menempatkan peristiwa pengorbanan Ismail AS sebagai abstraksi yang terlepas dari implikasi nyata kehidupan sehari-hari. Dalam konteks ini, sisi manusiawi Ibrahim AS, Ismail AS, dan terutama Sarah dan Hajar RA, dihapuskan untuk menekankan kesucian Ibrahim dan Ismail AS sebagai nabi pilihan Allah. Padahal, penggambaran nabi-nabi sebagai sosok non-manusiawi merupakan hal yang bertentangan dengan ajaran al-Qur’an tentang kemanusiaan nabi-nabi itu sendiri (al-Qur’an 12:109; 29:50; 74:24-25). Dengan kata lain, keinginan kita untuk memiliki landasan keimanan dalam figur yang sempurna malah bertentangan dengan perspektif al-Qur’an tentang figur-figur terpilih itu sendiri.

Pada lapisan kedua, tersingkirkannya peran dan pengorbanan Sarah dan Hajar RA dari kisah pengorbanan Ismail AS mendorong kita untuk memandang Idul Adha sebagai konteks bagi satu macam pengorbanan saja, yakni pengorbanan mental dan fisik Ibrahim dan Ismail AS dalam upaya mereka untuk memenuhi perintah penyembelihan Ismail AS. Dalam konteks ini, pengorbanan dan kerja keras Sarah dan Hajar RA dalam bentuk kerja reproduktif yang memungkinkan Ibrahim dan Ismail AS untuk menjalankan tugas-tugasnya sebagai nabi pilihan dipandang sebagai hal alamiah yang tak perlu untuk didiskusikan.

Implikasinya, struktur dominasi di mana laki-laki diabstraksi menjadi figur yang berada di atas kemanusiaan, dan di mana eksploitasi dan pengorbanan perempuan dianggap sebagai harga yang memang harus dibayar untuk menghadirkan persona sempurna yang tak terikat oleh kontekstualisasi sejarah terus lestari hingga hari ini.

Kecemburuan Sarah terhadap Hajar; kekhawatirannya akan adanya saingan bagi putranya Ishaq untuk mewarisi kepemimpinan ayahnya; ketakutan Hajar akan hidupnya dan hidup putranya yang membuat ia tersingkir dua kali dari rumah majikannya; dan perjuangan Hajar untuk bertahan hidup bersama putranya di gurun pasir yang tandus, seluruhnya tercermin dalam perjuangan, pengorbanan, dan eksploitasi atas perempuan di masa kini.

Contohnya: perempuan buruh pabrik yang harus memenuhi tuntutan untuk menghidupi keluarganya sekaligus mengerjakan tugas rumah tangga, perempuan pekerja migran yang harus meninggalkan anaknya demi bertahan hidup dengan cara memenuhi peran domestik perempuan lainnya, dan perempuan korban kekerasan seksual yang menjadi target sanksi sosial dalam masyarakat, semuanya merupakan perwujudan dari pengorbanan-pengorbanan tak nampak yang dibayarkan di altar patriarki sejak zaman Ibrahim AS.

Paradigma pernikahan konsumeris-Islamis di Indonesia yang meromantisasi gambaran keluarga kecil Muslim dengan landasan hubungan ‘syar’i’ antar suami-istri merupakan konteks lain yang mengalienasi perempuan dari kelompok rentan dan marjinal. Ekspresi kesalihan yang diwujudkan dalam ketaatan absolut istri terhadap suami, pembagian peran berbasis gender di mana istri diharapkan untuk berada di ruang domestik saja, dan kegiatan konsumtif terhadap produk-produk ‘syar’i’ tak membuka ruang bagi keluarga-keluarga Muslim dengan ibu sebagai orang tua tunggal ataupun ibu yang harus bekerja di luar rumah. Terlepas dari Idul Adha yang kita peringati setiap tahun, kelindan kapitalisme dengan ekspresi keimanan kita masih saja mendiskriminasi para Hajar masa kini.


Apa yang bisa kita lakukan untuk mengenyahkan struktur kekerasan yang mendominasi narasi Idul Adha kita?

Memperluas fokus naratif Idul Adha dengan menempatkan kisah-kisah Hajar dan Sarah RA secara sejajar dengan kisah Ibrahim dan Ismail AS adalah hal pertama yang dapat kita lakukan untuk mengeliminir struktur kekerasan tersebut. Fokus terhadap kisah-kisah Hajar dan Sarah RA, disamping fokus terhadap cerita Ibrahim dan Ismail AS, memiliki dua fungsi. Pertama, perluasan fokus tersebut akan menempatkan Ibrahim dan Ismail AS sebagai pelaku sejarah yang tak lepas dari dinamika keseharian yang jauh dari sempurna. Kedua, perluasan fokus naratif terhadap Hajar dan Sarah RA juga akan menggarisbawahi pengorbanan dan eksploitasi perempuan yang seringkali disembunyikan di balik layar demi kisah-kisah kenabian yang tanpa cela. Fungsi kedua dari fokus terhadap Hajar dan Sarah RA inilah yang dapat diterapkan untuk membuka mata kita akan pola-pola pengorbanan dan eksploitasi perempuan lainnya yang disembunyikan, dijustifikasi, dan dipandang sebagai hal yang alamiah demi melestarikan kapitalisme dan patriarki.

Idul Adha sejatinya bukan hanya tentang pengorbanan Ibrahim dan Ismail AS, melainkan juga tentang perjuangan, pengorbanan, dan eksploitasi Hajar dan Sarah RA. Idul Adha menyampaikan pesan kesetaraan kepada kita di mana seorang perempuan budak kulit hitam yang diasingkan bersama putranya ke padang pasir tandus oleh keluarga tuannya adalah juga seorang perempuan yang perjuangannya untuk bertahan hidup dilestarikan menjadi salah satu ritual haji yang dilakukan oleh jutaan orang setiap tahunnya. Perempuan yang namanya tak pernah disebut di dalam al-Qur’an itu, adalah juga satu-satunya perempuan yang dikuburkan di samping Ka’bah. Idul Adha pada intinya adalah pelajaran tentang betapa label normatif tidaklah sama dengan kesempurnaan, dan tentang kesetaraan sejati yang tidak datang dari hukum tertulis maupun status sosial-politik, melainkan dari pengakuan Tuhan terhadap derajat kemanusiaan mereka yang marjinal.***            


Lailatul  Fitriyah adalah Ph.D Candidate, World Religions and World Church Program Department of Theology, University of Notre Dame, AS


Kepustakaan

wadud, amina. Inside the Gender Jihad. Oxford: Oneworld, 2006.

Abugideiri, Hibba. “Hagar: A Historical Model for “Gender Jihad”.” In Daughters of Abraham: Feminist Thought in Judaism, Christianity, and Islam, edited by Yvonne Yazbeck Haddad, and John L. Esposito, 81-107. Gainesville, FL: University Press of Florida, 2001.

Ahmed, Leila. Women and Gender in Islam: Historical Roots of a Modern Debate. New Haven, CT: Yale University Press, 1992.

Hackett, Jo Ann. “Rehabilitating Hagar: Fragments of an Epic Pattern.” In Gender and Difference in Ancient Israel, edited by Peggy L. Day, Minneapolis: Fortress, 1989.

Hidayatullah, Aysha. “Our Living Hagar.” In A Jihad for Justice: Honoring the Work and Life of amina wadud, edited by Kecia Ali, Juliane Hammer, and Laury Silvers, 217-224. USA: 48HrBooks, 2012.

Levine, Amy-Jill. “Settling at Beer-lahai-roi.”  In Daughters of Abraham: Feminist Thought in Judaism, Christianity, and Islam, edited by Yvonne Yazbeck Haddad, and John L. Esposito, 12-34. Gainesville, FL: University Press of Florida, 2001.

Mernissi, Fatima. The Veil and the Male Elite: A Feminist Interpretation of Women’s Rights in Islam. Reading, Mass: Addison-Wesley, 1991.

]]>
Jangan Lupa, Rasisme juga Problem Umat Islam https://indoprogress.com/2020/06/jangan-lupa-rasisme-juga-problem-umat-islam/ Fri, 12 Jun 2020 07:41:23 +0000 https://indoprogress.com/?p=232159

Foto: Scott Takushi/Twin Cities


Dalam Al-Qur’an Surah Al-Hujurat: 13, Allah berfirman, “Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sungguh, Allah Maha Mengetahui dan maha teliti.”


DALAM persidangan Konferensi Asia Afrika di Bandung, delegasi Irak—jika tidak keliru, Muhammad Fadhil Jamali, anggota parlemen Irak—menutup pidatonya dengan menyitir ayat di atas.  Sebelumnya, ia menggelorakan beberapa hal yang kita kenal sebagai ‘semangat Bandung’ dalam pidatonya: dukungan terhadap rakyat Palestina untuk kembali ke rumah-rumah mereka, pembebasan negara Asia dan Afrika yang terjajah, dan pengakuan atas hak menentukan nasib sendiri dan pembebasan di mana pun mereka berada.

Ayat tersebut menegaskan satu hal yang diperjuangkan oleh negara-negara Asia dan Afrika ketika Konferensi Bandung—dan ditegaskan di PBB hingga akhir 1960an—yang menyerukan kesamaan ras, hak menentukan nasib sendiri, dan persamaan kedudukan di mata hukum internasional antara semua bangsa di dunia. Negara-negara ini adalah negara yang dulunya mengalami rasisme di masa kolonial, dimana orang-orang ‘pribumi’, yang tidak punya lahan dan kuasa, menjadi warga negara kelas dua di mata pemerintah kolonial.

Indonesia bukan pengecualian. Struktur kewarganegaraan di negara Hindia Belanda mengadopsi pembedaan warga negara berdasarkan ras. Secara hukum, dalam Konstitusi Hindia Belanda (Regeeringsreglement) tahun 1854, kewarganegaraan Hindia Belanda dibedakan menjadi dua jenis: orang-orang Eropa atau semacamnya, dan “orang-orang pribumi”) yang terdiri atas orang-orang Tionghoa, Arab, dan “oriental asing”. Pada 1920, muncul definisi baru tentang ‘pribumi’ yang dibedakan dari orang-orang “oriental asing” tersebut, dengan hierarki implisit yang mengatur hak dan tanggung jawab mereka di negara hukum.

Asumsi ini didasarkan pada sebuah asumsi tentang peradaban (civilite/civilization), dimana ada asumsi di kalangan pemikir Eropa masa itu bahwa orang-orang non-Eropa dianggap tidak gagal memenuhi “standar peradaban” hanya karena tidak punya kualitas tertentu yang dimiliki oleh rasionalitas pencerahan Eropa. Istilah “standar peradaban” ini, menurut Gerrit Gong, menjadi ‘pintu gerbang’ masuknya sebuah peradaban dalam tatanan peradaban universal yang diimajinasikan orang-orang Eropa. Cara berpikir ‘Eropa’ tentang orang-orang Asia sangat lekat dengan cara pandang ini; karena orang-orang Asia dianggap sebagai “despot oriental”, mereka harus diberadabkan dan dipisahkan (secara implisit) dari orang-orang Eropa ketika memerintah di Asia.

Jangan lupa, bagi pemikir-pemikir dan administrator kolonial masa dulu (semacam Daendels atau Raffles di Asia Tenggara), kolonialisme bukanlah eksploitasi paksa, melainkan misi pemberadaban, yakni misi untuk menjadikan orang-orang Asia dan Afrika lebih baik dari masa lalu despotik mereka.

Ketika orang-orang Jepang datang dan mendirikan pemerintahan sementara, hierarki semacam ini tetap ada; pemerintahan Jepang yang militeristik membagi warga negara secara hierarkis untuk memudahkan mereka mengatur dan memobilisasi semua warga negara melawan dua musuh bebuyutan mereka: Amerika Serikat dan Australia.

Pengalaman rasisme semacam ini membekas dan menjadi ‘pemersatu’ negara-negara Asia dan Afrika (termasuk di dalamnya satu kelompok negara Muslim) untuk bersuara vokal di politik internasional. Laporan Perwakilan Tetap RI di PBB tahun 1958 menyebut bahwa dalam debat-debat soal kesamaan ras di Majelis Umum PBB, ada satu negara yang cukup jarang ‘bersahabat’ dengan Indonesia di isu-isu semacam ini. Negara itu ialah Amerika Serikat.

Hal ini tidak mengherankan. Di perundingan damai Paris tahun 1919, yang menyelesaikan Perang Dunia I, proposal tentang “kesamaan ras dalam hukum internasional” yang diajukan oleh Jepang (sebagai salah satu negara Asia pemenang perang) ditolak mentah-mentah oleh Amerika Serikat dan Australia. Ide tentang superioritas Barat memang saat itu menjadi sebuah tren dalam pemikiran politik internasional (seperti, misalnya, diajukan oleh akademisi Inggris Lothrop Stoddard). Ide tentang persamaan ras dan warna kulit juga dianggap akan mendorong gerakan-gerakan pembebasan nasionalis di Asia dan Afrika untuk menemukan momentum dan meminta merdeka.

Tentu ini tidak diinginkan oleh negara-negara Barat, yang akan kehilangan negara jajahan dan kekayaan yang mereka ekstraksi dari sana, hanya karena dorongan atas “kesamaan ras”. Belum lagi problem rasialisme yang mengakar di Amerika Serikat (terhadap warga kulit hitam) atau Australia (terhadap warga “Bangsa Pertama”) di negara mereka yang dibangun di atas garis warna kulit.

Problem rasisme—yang hari ini muncul dan terbuka secara global—punya akar yang sangat kuat dalam kolonialisme dan imperialisme. Dekolonisasi tidak membuat hal tersebut hilang. Segregasi warna kulit masih menjadi hal biasa di Amerika Serikat hingga sekarang, dan mitos Kapten Cook masih diperingati sebagai bagian dari perayaan nasional Australia, menimbulkan bekas yang mendalam bagi masyarakat “Bangsa Pertama”.

***

Al-Qur’an punya posisi yang tegas untuk menolak rasisme. Ayat Al-Qur’an surah Al-Hujurat: 13, misalnya, mendorong orang untuk saling mengenal antar-ras dan antar-bangsa, yang secara implisit menolak perilaku rasisme. Tidak ada batas warna kulit dalam Islam. Sahabat seperti Bilal bin Rabah, yang notabene seorang Etiopia, atau Salman Al-Farisi yang berasal dari Persia, tidak menjadi warga negara kelas dua di Madinah. Mereka adalah bagian dari sesama saudara Muslim yang berjuang di jalan Allah.

Masa Rasulullah, Islam hadir untuk menolak praktik-praktik penindasan atas dasar suku bangsa dan warna kulit, dan menolak glorifikasi berlebihan atas qabilah tertentu. Bahkan, Nabi Muhammad pun dalam konteks sosial sebagai masyarakat, adalah manusia biasa yang sama kedudukannya di hadapan para sahabat. Yang membedakan beliau hanyalah bahwa beliau diberikan wahyu, sebagaimana firman Allah dalam Surah Al-Kahfi: 110,

Katakanlah: Sesungguhnya aku ini manusia biasa seperti kamu, yang diwahyukan kepadaku: “Bahwa sesungguhnya Tuhan kamu itu adalah Tuhan yang Esa”. Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada Tuhannya”.

Namun demikian, pada praktiknya bukan berarti umat Islam terbebas dari virus-virus rasisme. Ada banyak di antara kita yang secara sadar atau tidak sadar berperilaku rasis kepada orang dengan warna kulit yang berbeda, menganggap orang dengan ras tertentu lebih baik, atau melihat kepada identitas pribadi alih-alih argumen ketika berbeda pendapat.

Tidak usah jauh-jauh. Berapa banyak di antara kita yang gagal membedakan “Tiongkok” sebagai negara-bangsa (yang punya kepentingan ekonomi-politik tertentu) dengan “Orang Tionghoa” sebagai sebuah identitas yang kompleks (sebagian besarnya adalah diaspora) ketika membicarakan isu tertentu? Argumen-argumen rasis tentang suku bangsa tertentu kerap muncul di grup Whatsapp, ceramah di masjid, hingga pembicaraan di warung kopi atau angkringan hanya karena kita tidak suka dengan satu-dua elit politik yang berasal dari ras tertentu.

Atau, sebagaimana dengan cukup baik diulas oleh Amrina R. Wijaya setahun silam, berapa banyak di antara kita yang menganggap orang-orang Papua “tidak beradab” hanya karena mereka menggunakan pakaian adat di dalam kelas atau ketika berdemonstrasi? Kita tidak perlu mengulas dulu aspirasi politik mereka, namun kita perlu melakukan kritik-diri terhadap cara pandang kita terhadap sesuatu yang kita anggap berbeda dari kebiasaan.

Hal ini diperparah dengan praktik-praktik ekstraksi yang kerap menyertai rasisme. Banyak di antara kita yang—mungkin—memelihara prasangka rasis terhadap orang dengan latar belakang etnis tertentu, tapi tetap menghisap kekayaan alam di tempat mereka. Atau justru menjadikan argumen rasial sebagai dalih untuk berkuasa dan menurunkan orang dari kursi kekuasaan. Di banyak tempat, hal ini terjadi dengan skala yang begitu masif. Genosida di Rwanda, atau yang terjadi di Myanmar terhadap etnis Rohingya, menjadi salah satu contoh penting praktik eksklusi rasial yang didorong oleh motif ekonomi dan politik yang kental.

Inilah yang sebenarnya menjadi problem mendasar rasisme dalam politik global. Ada motif-motif ekonomi politik yang ruwet di balik cara pandang rasis kita terhadap orang lain. Hal yang semacam ini kental dalam pertumbuhan kapitalisme di masa kolonial—juga terjadi di Hindia Belanda, Karibia, dan Afrika—dan mungkin bekas-bekasnya masih kita rasakan hari ini, tidak terkecuali di negeri-negeri Muslim.

Tentu hal-hal semacam ini tidak dikenal dalam Islam. Mungkin pernah terjadi dalam sejarah dunia Islam (yang terbentang berabad-abad), tapi tidak dilakukan oleh Rasulullah. Pada titik inilah kritik diri terhadap praktik rasisme yang—sadar atau tidak sadar—telah kita lakukan menjadi penting sebelum melakukan kritik terhadap rasisme di negara lain.

***

Dalam konteks itulah kemudian ayat yang dibacakan oleh delegasi Irak di Bandung pada 1955 menjadi punya arti penting. Problem rasisme bukan sekadar problem diskriminasi atau hierarki rasial terhadap satu atau dua kelompok. Rasisme punya dimensi dan skala yang lebih besar, dikemas untuk tujuan yang kental dimensi ekonomi dan politiknya. Di masa lalu, rasisme tak terpisahkan dari kolonialisme dan ekstraksi terhadap kekayaan di negara jajahan; tak terpisahkan dari upaya mendudukkan kawan di tampuk kepemimpinan dengan alasan-alasan primordial.

Yang semacam itu perlu dikritik hari ini—sebagaimana gerakan Black Lives Matter di Amerika Serikat atau Papuan Lives Matter telah melakukannya dengan segenap risiko yang harus mereka terima.  Dan Umat Islam juga tidak terbebas dari kritik tersebut. Meskipun Allah dan Nabi Muhammad telah memberikan kita pedoman untuk tidak memandang rendah manusia berdasarkan warna kulit, banyak wacana rasisme yang muncul justru dibalut dengan nafas agama. Mulai dari memandang orang lebih tinggi hanya karena dia orang dengan ras tertentu sampai menolak hal-hal tertentu karena ia dianggap non-Muslim dan mendakwahkan agama-agama lain.

Saatnya rasisme terselubung ini juga dikritik dengan jujur, dikupas dimensi materialnya, dan dilihat sebagai problem mendasar umat Islam hari ini. Hal ini bukan untuk menghilangkan ‘keagungan Islam’. Berkebalikan dari itu, mengkritik rasisme yang terjadi hari ini adalah bagian dari semangat dan nilai Islam yang kita laksanakan sehari-hari.

Fastabiqul Khairat.***


Ahmad Rizky Mardhatillah Umar adalah mahasiswa PhD di The University of Queensland – UQ, Australia

]]>
COVID-19 dan Individualisme Beragama https://indoprogress.com/2020/06/covid-19-dan-individualisme-beragama/ Fri, 05 Jun 2020 03:40:49 +0000 https://indoprogress.com/?p=229313

Ilustrasi oleh Jonpey


COVID-19 memunculkan batasan dan masalah dalam kehidupan sehari-hari kita dengan intensitas dan bentuk yang berbeda-beda. Gender, etnis, identitas seksual, level sosio-ekonomi, profesi, dan berbagai faktor lain membuat kehidupan pada masa pandemi menjadi sangat berat dan bahkan mematikan bagi sebagian orang; sementara sebagian lainnya dapat melewatinya dengan relatif mudah.

Salah satu anjuran baku dari otoritas kesehatan agar pandemi ini segera berlalu adalah tetap menjaga jarak dan berdiam diri di rumah. Tapi banyak dari dari kita yang tidak mematuhi anjuran itu dengan berbagai alasan. Ada alasan-alasan yang relatif dapat dipahami seperti komitmen terhadap profesi atau ketiadaan jaring pengaman dari pemerintah sehingga tetap di rumah sama saja bunuh diri pelan-pelan. Ada pula yang ngotot ke luar rumah dan dengan demikian membahayakan diri dan orang lain hanya untuk salat di masjid atau ekspresi keagamaan yang lain.

Pada hari kedua Ramadan lalu, seorang warga di Pulo Gadung bahkan diamuk massa karena  mengadukan masjid di seberang rumahnya yang masih menggelar salat tarawih ke Gubernur DKI Jakarta.

Tanggung jawab moral terhadap sesama seharusnya menjadi inti dari keimanan. Oleh karena itu, sikap seorang muslim yang mengorbankan keselamatan orang lain demi menghadiri salat berjemaah di masjidatau membeli hijab di mal, kontradiktif dengan nilai-nilai kemanusiaan yang diajarkan dalam Al-Qur’an.

Akar kesenjangan antara ajaran Al-Qur’an—yang menempatkan nyawa manusia dan makhluk hidup lainnya dalam posisi yang sangat tinggi—dengan praktik individualistis pemeluknya yang membahayakan kehidupan sesama atas nama keimanan adalah bentuk komodifikasi agama. Komodifikasi membuka ruang bagi para pemeluknya untuk beragama dalam paradigma individualisme liberal.

Pengajar senior bidang sosiologi dari University of Exeter Inggris Matthias Zick Varul menjelaskan bagaimana proses komodifikasi agama terjadi dan apa pengaruhnya terhadap umat. Dalam artikel yang membandingkan proses komodifikasi dalam tradisi Islam dan Protestan yang terbit tahun 2008 lalu, Varul berargumen bahwa konsumerisme telah menjadi kerangka budaya bagi tumbuhnya keberagamaan pada masyarakat kapitalis-konsumtif. Alih-alih menjadi konsep yang berlawanan dengan konstruksi kesalehan, konsumerisme justru menjadi tempat kesalehan tumbuh, dipahami, dan dipraktikkan.

Fungsi praksis kegiatan konsumtif mirip fungsi praksis dari perilaku beragama, yakni penyedia justifikasi moral. Salah satu dilema terbesar dalam kehidupan sehari-hari adalah memilih. Satu dari sekian banyak cara untuk meyakinkan bahwa pilihan yang kita ambil itu yang terbaik di antara pilihan lain adalah dengan memberikan justifikasi ‘moral’ terhadapnya. Agama, kata Varul, telah menjadi salah satu sumber utama justifikasi ini dengan pembenaran-pembenaran yang sifatnya transenden. Di sisi lain, konsumerisme juga menyediakan justifikasi materialistik. Di samping itu, lebih dari agama, konsumerisme juga cukup fleksibel:  individu dimungkinkan untuk terus mengubah pilihan-pilihan selama sumber daya finansial masih tersedia. Konsumerisme memberikan ruang untuk mengoreksi pilihan melalui tindakan konsumtif berikutnya.

Contoh paling gamblang dari ini adalah fenomena ‘hijrah’. Ia merepresentasikan ketakwaan dalam bentuk kegiatan konsumtif berbasis gaya hidup.

Keberagamaan konsumtif ini menjadi sangat berbahaya karena dua hal, terutama dalam situasi seperti sekarang, ketika empati terhadap orang lain sangat dibutuhkan. Pertama, keberagamaan konsumtif akan menghasilkan apa yang disebut oleh Varul sebagai ‘keimanan yang dipamerkan’ (conspicuous belief), yakni tampilan kesalehan di permukaan yang muncul dari kebutuhan individu akan pengakuan otentisitas justifikasi ‘moral’-materialnya. Kedua, karena karakteristiknya yang menempatkan tampilan luar sebagai jaminan ‘moralitas’ seseorang, maka ‘pameran keimanan’ juga membutuhkan ‘panggung. Di sinilah tempat ibadah seperti masjid dan ruang publik lain seperti mal bersalin rupa menjadi ruang pamer ekspresi konsumtif kesalehan tersebut.

Lebih lanjut, etos individualis yang merupakan bagian dari gaya hidup konsumtif, mengubah kepedulian interpersonal dalam kehidupan beragama menjadi persaingan otentisitas antar-pemeluk agama melalui kepemilikan komoditas ‘kesalehan’. Mengekspresikan keimanan bukan lagi tentang mempraktikkan kasih sayang terhadap sesama, tapi tentang perlombaan ‘kesalehan’ yang dilihat dari tampilan luar. Komodifikasi agama tidak hanya terbatas pada merebaknya gaya hidup ‘islami’ maupun tren hijrah instan. Lebih dari itu, komodifikasi agama juga membawa etos destruktif yang menjadikan kehidupan beragama sebagai olimpiade menuju surga daripada sebagai wadah kolektif untuk berbagi dengan sesama.

Karena itu tidak mengherankan jika tak ada tempat bagi tanggung jawab sosial dalam praktik keislaman yang konsumtif di Indonesia. Melanjutkan kegiatan konsumsi dan memamerkan kesalehan secara konsumtif di ruang-ruang publik menempati prioritas utama, karena beragama adalah soal berlomba-lomba menampilkan keimanan. Siapa peduli dengan risiko penyebaran COVID-19 terhadap orang lain jika pamer keimanan di tempat-tempat publik adalah prioritas utama dalam hidup beragama?

Lantas, etos kebersamaan seperti apa yang dapat menjadi kerangka bagi tumbuhnya kehidupan beragama yang peduli terhadap sesama?

Bagi saya jawabannya adalah feminisme Islam. Sebagai paradigma yang dibangun untuk memberikan kritik terhadap pandangan islamofobik-orientalis dan religius-patriarkal tentang perempuan muslim, feminisme Islam menawarkan konsepsi tentang hubungan antara individu dan komunitasnya yang tidak terjebak dalam kategori biner: menempatkan kebebasan individu di atas segalanya atau meromantisasi kehidupan komunitas tanpa melihat jejaring dominasi patriarkal di dalamnya.

Feminis Islam ternama, Fatima Mernissi, membedakan antara individualisme sebagai sebuah posisi ideologis-kritis dengan individualisme sebagai hasil dari komodifikasi kapitalistik terhadap keberadaan manusia (Braziel, 1999; Mernissi, 1996). Individualisme dalam bentuk yang pertama adalah komitmen terhadap kebebasan berpikir dan bertindak dalam kerangka kritisnya, sementara individualisme dalam bentuknya yang kedua adalah penghambaan terhadap nilai-nilai kebebasan yang terbatas pada aspek ekonomi dan materialistik saja (Braziel, 1999).

Beberapa cendekia feminis muslim lain memfokuskan karya-karya mereka untuk mengkritik konsep ‘individualisme’ itu sendiri, dalam kerangka pemikiran pascakolonial. Leila Ahmed (1992) terutama mengkritik konsep individualisme liberal yang dibawa oleh aktivis feminisme kulit putih sebagai justifikasi bagi invasi imperialis Amerika Serikat di negara-negara ‘Dunia Ketiga’. Sementara Saba Mahmood (2014) menawarkan perluasan pemahaman terhadap konsep kemandirian feminis (agency) yang seringkali hanya digambarkan sebagai perlawanan individu terhadap konteks yang membatasi preferensi pribadinya menjadi konsep yang dapat merangkul berbagai bentuk kemandirian non-liberal yang diekspresikan oleh banyak perempuan kulit berwarna di penjuru dunia.

Apa yang ditawarkan oleh akademisi feminis muslim tersebut adalah konsepsi kedirian yang tidak menegasikan jejaring hubungan kolektif sembari tetap mengapresiasi kemandirian berpikir dan bertindak setiap orang. Dalam paradigma feminisme secara umum, perspektif para feminis muslim tersebut adalah bentuk dari ‘kedirian terbatas’ (encumbered self), di mana aktualitas diri tidak harus dipisahkan dari jejaring komunitas yang membentuk dan dibentuknya (Keller, 1997).

Dalam konteks beragama di Indonesia, karena iman bukanlah konsep yang dapat dipahami tanpa relasi antar-manusia, ini berarti bahwa iman semestinya tidak lagi dapat dipahami sebagai kompetisi untuk menambah poin demi tiket masuk surga. Iman dalam perspektif ‘kedirian terbatas’ tidak dapat dipisahkan dari konteks kemanusiaan sehari-hari: hubungan antara manusia dengan Tuhan sebagian besar ditentukan oleh hubungan manusia dengan manusia lain.

***

Kapitalisme mengubah apa pun yang disentuhnya menjadi pasar, tak terkecuali agama. Ketika ‘Islam’ dijual sebagai aksesoris di mal, atau sebagai properti di perumahan syar’i, ukuran ketakwaan otomatis akan terletak pada seberapa banyak kapital yang dimiliki seorang muslim untuk mengonsumsi hal-hal tersebut. Padahal, kesakralan keagamaan terletak pada karakteristik egaliter di dalamnya yang memberikan kemungkinan seluas-luasnya bagi subyek untuk menjadi bagian darinya.

Praktik keislaman egosentris yang membuat banyak orang tak keberatan untuk mengorbankan individu lainnya demi ibadah di masjid pada saat pandemi adalah langkah yang memberangus kesakralan Islam, bukan sebaliknya. Pendekatan individualistik liberal yang mencerabut keimanan seseorang dari konteks sosialnya jelas tidak dapat menjadi bagian dari paradigma beragama.***


Lailatul  Fitriyah adalah Ph.D Candidate, World Religions and World Church Program Department of Theology, University of Notre Dame, AS


Kepustakaan

Varul, Matthias Zick. “After Heroism: Religion versus Consumerism. Preliminaries for an Investigation of Protestantism and Islam under Consumer Culture.” Islam and Christian-Muslim Relations 19, no. 2 (2008): 237-255.

Braziel, Jana Evans. “Islam, Individualism and dévoilement in the Works of Out el Kouloub and Assia Djebar.” The Journal of North African Studies 4, no. 3 (1999): 81-101.

Mernissi, Fatima. Women’s Rebellion and Islamic Memory (London: Zed Books, 1996).

Ahmed, Leila. Women and Gender in Islam (New Haven: Yale University Press, 1992).

Mahmood, Saba. “Feminist Theory, Agency, and the Liberatory Subject.” In Fereshteh Nouraie-Simone, ed., On Shifting Ground: Muslim Women in the Global Era, 190-234 (New York: The Feminist Press, 2014).

Keller, Jean. “Autonomy, Relationality, and Feminist Ethics.” Hypatia 12, no. 2 (1997): 152-164.                                       

]]>
Inklusivitas dan Rezim Kematian: Sebuah Kritik Teologi Feminis https://indoprogress.com/2020/05/inklusivitas-dan-rezim-kematian-sebuah-kritik-teologi-feminis/ Sat, 02 May 2020 01:12:38 +0000 https://indoprogress.com/?p=203247

Kredit ilustrasi: Kai Mata (@kaimatanusic)


“Di saat ini, (kita) tidak lagi tertarik untuk memperluas lingkup inklusivitas. Melainkan, (kita) lebih tertarik untuk terus membangun ‘garis batas’ sebagai upaya primitif untuk menjauhkan diri dari ‘musuh’, ‘penyusup’, dan ‘orang asing’ – yakni, mereka yang bukan bagian dari kita. Dalam dunia yang semakin dicirikan oleh kesenjangan kemampuan untuk bergerak, dan (dunia) di mana kemampuan untuk bergerak adalah satu-satunya cara untuk bertahan hidup, brutalitas ‘garis batas’ adalah hal yang tak lagi bisa dihapuskan. ‘Garis batas’ bukan lagi sekadar rintangan yang harus dilalui, melainkan sebuah tembok yang memisahkan (antara kita dan mereka).” (Achille Mbembe, 2019).

DI AWAL April, kita dikejutkan oleh pembunuhan seorang transpuan bernama Mira yang dibakar secara sadis oleh beberapa orang yang menuduhnya telah melakukan tindak pencurian. Sedangkan pada pertengahan April, kasus penembakan oknum militer di Papua kembali memakan korban sipil. Nyawa dua orang pemuda yang sedang memancing di sungai, melayang sia-sia. Dan hanya minggu lalu kita mendengar, seorang ibu rumah tangga di Tangerang meninggal dunia setelah sebelumnya menderita kelaparan bersama keluarganya.

Ketiga kasus tersebut terlihat tak berhubungan satu sama lain. Kasus Mira berhubungan dengan hegemoni transphobia, sementara kedua pemuda Papua tersebut terbunuh karena okupasi militer, dan Ibu Yulie menjadi korban kesenjangan dalam kesejahteraan sosio-ekonomi. Namun, jika kita tilik lebih jauh, ada dua hal penting yang menyatukan ketiga kasus tersebut: alienasi, dan kematian.

Dalam konteks alienasi, Mira, kedua pemuda Papua, dan Ibu Yulie adalah sebagian kecil dari mayoritas masyarakat Indonesia yang kehadirannya tak pernah menjadi fokus perhatian negara, dan elemen dominan sosial-politik lainnya di Indonesia. Mereka hidup di wilayah ‘pinggiran’ konstruksi sosio-politik, ekonomi, jender, dan agama, dengan perjuangan sendiri untuk mempertahankan hidup sehari-hari.

Sementara itu, dalam konteks kematian, nyawa Mira, kedua pemuda Papua, dan Ibu Yulie merupakan ‘harga’ yang harus dibayar untuk melestarikan garis batas sosial-politik, ekonomi, dan jender, yang telah mengalienasi mereka selama ini. Dengan kata lain, kehidupan mereka di wilayah pinggiran kehidupan berbangsa, telah disebabkan oleh alienasi garis batas hegemonik yang dibangun oleh kuasa negara, dan dilestarikan melalui jiwa-jiwa mereka yang dijadikan tumbal.

Lalu, apa yang harus kita lakukan untuk menghadapi fenomena ini? Apakah komitmen terhadap, dan praktik dari inklusivitas sosial-politik, jender, ekonomi, dan agama cukup untuk menghancurkan kekerasan struktural yang telah mengorbankan nyawa Mira, banyak orang Papua, dan Ibu Yulie?

Terinspirasi dari analisa Ien Ang tentang problematika inklusivitas dalam wacana feminisme poskolonial (Ang, 1995, in Lewis, 2003), saya berargumen bahwa pewacanaan dan praktik inklusivisme malah membahayakan kemungkinan penghancuran kekerasan struktural yang berakar dari politik kematian (necropolitics, meminjam istilah Achille Mbembe, 2019) yang dielu-elukan oleh pemerintah Indonesia saat ini. Lebih lanjut, saya juga berpikir bahwa salah satu wacana konstruktif yang dapat diajukan untuk mencari paradigma kehidupan sosial yang lebih baik, dapat ditemukan dari perspektif teologi feminis Islam, dan Kristen.

Dalam tulisannya tentang politik perbedaan (politics of difference) dan feminisme poskolonial (1995), Ien Ang mengkritik konsep inklusivitas yang sebenarnya tidak serta merta dapat dipahami sebagai sesuatu yang positif bagi kelompok-kelompok marjinal. Ang menyatakan bahwa kelemahan terbesar dari konsep inklusivitas terletak pada ketidakmampuannya untuk mendekonstruksi struktur kekuasaan yang menyebabkan kelompok-kelompok marjinal terpinggirkan pada awalnya. Ini berarti bahwa, asumsi perluasan ruang penerimaan terhadap kaum marjinal dalam kerangka inklusivitas tetap berdiri di atas landasan legitimasi yang menyebabkan mereka teralienasi sebelumnya.

Dalam konteks inklusivitas, kehadiran kelompok-kelompok marjinal – yang sebelumnya teralienasi – dalam sebuah ruang publik dimungkinkan melalui ijin yang harus diberikan oleh si pemegang wacana dominan itu sendiri. ‘Inklusivitas’ adalah perluasan dari ruang yang telah ada sebelumnya, dan bukan kritik terhadap konstruksi ruang itu sendiri. Dengan kata lain, asumsi-asumsi eksklusif yang mengalienasi kelompok-kelompok marjinal tetap berdiri kokoh sekalipun ruang wacana diperluas untuk mengakomodasi mereka.

Secara tepat, Ien Ang menganalogikan inklusivitas dengan kebijakan integrasi kebangsaan yang diberlakukan oleh Australia terhadap para imigran asing. Dalam kerangka multikulturalisme inklusif Australia, imigran asing diijinkan untuk masuk dan menjadi anggota dari bangsa tersebut selama kehadiran mereka tidak membahayakan fondasi-fondasi hegemonik yang menjadi sumber dari kuasa negara. Imigran asing diterima dalam ruang inklusif negara bukan karena mereka sebagai manusia berhak untuk mendapatkan ruang hidup dan kebebasan, melainkan karena negara memandang mereka sebagai objek jinak, dan mengijinkan mereka untuk memasuki ruang inklusif tersebut.

Lebih dari sekadar memberikan penampakan progresif yang semu, konsep ‘inklusivitas’ dapat dijadikan sebagai wacana yang malah menyembunyikan kekerasan struktural di balik tampilan kemanusiaannya. Pada konteks Indonesia, inklusivitas mewujud dalam berbagai wacana dan kebijakan yang nampak pluralis, namun sebenarnya tidak menyentuh inti kekerasan struktural dan simbolik itu sendiri. Mulai dari pengangkatan perwakilan-perwakilan minoritas sebagai staf khusus milenial Presiden, sampai penggunaan wacana ‘Islam moderat’ sebagai topeng bagi kebijakan-kebijakan anti-pluralis yang mendiskriminasikan minoritas beragama, dan seksual di Indonesia, konsep inklusivitas yang menawarkan kesan humanis semu menjadi salah satu langkah utama negara dalam melestarikan kekerasan sistemik yang terus menggerus orang-orang seperti Mira, para pemuda Papua revolusioner, dan Ibu Yulie.

Dalam rezim politik kematian di mana kelompok-kelompok paling marjinal menjadi tumbal bagi lestarinya kesejahteraan sebagian kecil penguasa, garis inklusivitas ditarik sesuai dengan konteks kepentingan penguasa untuk melestarikan opresi terhadap kaum marjinal. Seperti halnya yang diutarakan Mbembe (2019), praktik politik kematian bertumpu kepada ekspresi kedaulatan yang diterjemahkan menjadi kuasa jahat untuk menentukan siapa yang dapat hidup, dan siapa yang harus mati.

Sama halnya dengan masyarakat Afrika-Amerika di Amerika Serikat, masyarakat Palestina di bawah okupasi Israel, maupun masyarakat Aborigin di Australia, kelompok-kelompok paling marjinal di Indonesia telah dicap sebagai ‘tumbal’ kekuasaan karena kehadiran mereka saja telah cukup menjadi bukti dari opresi sistemik yang terus dilakukan oleh negara terlepas dari riasan humanis yang ditampilkannya. Dengan kata lain, melalui proses dehumanisasi, dan alienasi yang berkelanjutan, kelompok-kelompok paling marjinal di Indonesia didapuk sebagai ‘kayu bakar’ bagi keberlangsungan opresi sistemik negara karena kehadiran mereka membuka kedok penyalahgunaan kuasa itu sendiri.

Inilah mengapa ‘inklusivitas’ tidak akan dapat melindungi orang-orang seperti Mira, para pemuda Papua, dan Ibu Yulie. Apa yang harus dilakukan untuk mengembalikan martabat kehidupan mereka bukanlah perluasan ruang-ruang hidup di mana ‘martabat’ masih diperlakukan sebagai komoditas langka yang hanya boleh dibagikan oleh penguasa, melainkan, penghancuran ruang-ruang itu sendiri dalam semangat kemanusiaan. Transpuan tidak seharusnya bergelut dengan pandangan transfobik masyarakat yang mengasosiasikan mereka dengan aksi kejahatan seperti pencurian; demikian juga dengan para pemuda Papua yang semestinya mendapatkan perlindungan atas hak hidupnya tanpa harus membuktikan bahwa kehadiran mereka tidak mengancam ‘persatuan nasional’. Pun, orang-orang seperti Ibu Yulie tidak seharusnya meregang nyawa karena ketidakmampuan pemerintah untuk menjamin kesejahteraan rakyatnya.

Salah satu jalan dekonstruksi batasan ruang hidup yang telah mengorbankan banyak kelompok-kelompok marjinal ditawarkan oleh kritik teologi feminis dari perspektif Islam, dan Kristen. Dalam perspektif teologi feminis Islam, salah satu akar kekerasan adalah apa yang disebut oleh Azizah al-Hibri sebagai ‘logika setan’ (satanic logic) (al-Hibri, 1999). Terinspirasi dari narasi penciptaan manusia dalam al-Qur’an, dan penolakan setan atas perintah sujud kepada manusia yang diberikan oleh Tuhan kepadanya, ‘logika setan’ yang dimaksud oleh al-Hibri merujuk kepada arogansi patriarkal yang menempatkan laki-laki sebagai manusia dengan derajat yang lebih tinggi dari perempuan. Dalam hal ini, arogansi sebagai manusia ‘kelas pertama’ itu kemudian menjadi landasan kekerasan berbasis jender, yang dilestarikan melalui otoritas tradisional-patriarkal, dan di-legitimasi oleh teologi patriarkal Islam.

Dalam konteks Indonesia dan kematian individu-individu marjinal di negeri ini, ‘logika setan’ terealisasi dalam garis batas yang mengotak-kotakkan masyarakat sebagai bagian dari bangsa, atau pribadi ‘liyan’ yang pantas untuk dialienasi. ‘Logika setan’ mendasari perbedaan yang membuat kematian sebagian orang patut untuk disesalkan dan dikenang, sementara kematian sebagian lainnya hanya untuk dilupakan dan dianggap sebagai sampah.

Salah satu tujuan utama dari teologi feminis Islam adalah untuk mendekonstruksi ‘logika setan’ yang memosisikan segelintir manusia sebagai ‘tuhan-tuhan kecil’ bagi manusia lainnya. Teologi feminis Islam menegaskan kembali bahwa inti keislaman terletak pada hubungan horisontal di antara makhluk Tuhan, yang menempatkan mereka pada posisi setara satu sama lain. Ini berarti bahwa, tidak ada satupun perbedaan (seksual, jender, etnisitas, ras, klas, dan lain-lain) yang dapat membuat nyawa sekelompok manusia lebih berharga daripada nyawa kelompok manusia lainnya. Sesungguhnya, meninggikan martabat sekelompok manusia di atas sekelompok manusia lainnya adalah bagian dari perbuatan syirik yang tak pernah diampuni oleh Tuhan.

Di sisi lain, teologi feminis Kristen menawarkan paradigma untuk mendekonstruksi batasan-batasan diskriminatif tersebut dari dimensi sosial. Marianne Katoppo, salah satu pelopor teologi feminis Kristen di Indonesia, berpendapat bahwa teologi Kristen harus memahami ‘dosa’ dalam kerangka sosialnya (Katoppo, 1986).

Menurut Katoppo, ‘dosa’ bukanlah bentuk nilai buruk yang kita dapatkan dari Tuhan ketika kita melanggar ‘ajaran’ agama. ‘Dosa’ dalam perspektif Katoppo adalah konteks kedirian egosentris yang membuat kita beranggapan bahwa diri kita adalah hal yang terpenting di dunia. Ketika kita ‘berdosa’, kita sebenarnya sedang mengalienasi Tuhan dengan cara menempatkan diri kita sendiri sebagai ‘pusat’ dari perputaran dunia.

Dalam perspektif ‘dosa sebagai kedirian egosentris’, batasan-batasan diskriminatif yang mengotak-kotakkan harga hidup manusia merupakan perwujudan dosa sosial kita. Tanpa kita sadari, karena Tuhan adalah Sang Maha Liyan yang mati di kayu salib untuk melawan kekerasan struktural, kita telah mengalienasi Tuhan ketika kita mengalienasi mereka yang marjinal.

Ini berarti bahwa satu-satunya jalan untuk kembali merasakan Kasih Tuhan, adalah dengan merobohkan batasan-batasan diskriminatif yang lahir dari dosa-dosa egosentris kita. Tuhan tidak akan ditemukan di masjid-masjid atau gereja nan megah, pun tidak di kantor Kementrian Agama atau Majelis Ulama Indonesia. Tuhan berada di jalanan bersama Mira ketika tubuhnya dianiaya secara kejam. Tuhan berada di Tanah Papua ketika kedua pemuda tak berdosa tubuhnya ditembus oleh peluru tentara. Tuhan berada dalam setiap rintihan kelaparan Ibu Yulie dan keluarganya.

Pada akhirnya, keimanan kita hanya bisa dibuktikan melalui pendirian kita atas keadilan. Apakah kita akan mengikuti ‘logika setan’ yang melahirkan dosa-dosa egosentris dengan berdiri bersama mereka yang melestarikan kekerasan struktural, ataukah kita memilih untuk merobohkan batasan-batasan diskriminatif yang tak bisa dihapuskan hanya dengan ‘inklusivitas’ semata?***


Lailatul  Fitriyah adalah Ph.D Candidate, World Religions and World Church Program Department of Theology, University of Notre Dame, AS


Kepustakaan:

Mbembe, Achille. Necropolitics, trans. Steve Corcoran (Durham, NC: Duke University Press, 2019).

Ang, Ien. “I’am a Feminist But … ‘Other’: Women and Postnational Feminism.” In Feminist Postcolonial Theory: A Reader, edited by Reina Lewis, 190-206 (Taylor and Francis, 2003).

Al-Hibri, Azizah. “Muslim Women’s Rights in the Global Village: Opportunities and Challenges.” Speech at the International Women’s Forum, Washington National Cathedral, October 15, 1999.

Katoppo, Henriette Marianne. “Asian Theology: An Asian Woman’s Perspective.” In Third World Liberation Theologies: A Reader, edited by Deane William Ferm, 356-366 (Maryknoll, NY: Orbis Books, 1986).                          

]]>
Islam dan COVID-19: Antara yang “Utopis” dan yang “Ilmiah” https://indoprogress.com/2020/04/islam-dan-covid-19-antara-yang-utopis-dan-yang-ilmiah/ Fri, 24 Apr 2020 04:22:58 +0000 https://indoprogress.com/?p=196423

Illustrasi: Illustruth


Dalam salah satu teks klasiknya, Frederick Engels membedakan dua jenis ‘sosialisme’, yang ia sebut ‘utopis’ dan ‘ilmiah’. Sosialisme utopis, menurut Engels, muncul di Eropa akhir abad ke-18. Mereka –orang-orang seperti Saint-Simon, Owen, atau Fourier, adalah orang-orang yang ‘mengecam’ aristokrasi dan mendorong untuk mengakui hak-hak ‘rakyat’; menyerukan masyarakat tanpa kelas, dan mendorong solidaritas serta revolusi.

Tapi ada satu kesamaan mereka: tidak jelas siapa yang mereka wakili dan tidak jelas apa yang ingin mereka ubah. Pemikiran mereka tidak mewakili kondisi kaum proletariat yang masa itu sedang bangkit untuk melawan aristokrasi kerajaan yang korup dan kaum borjuis yang berkolaborasi dengan mereka. Pemikiran mereka, menurut Engels, bagai menurunkan “kerajaan akal-pikiran” dari surga ke bumi, tenggelam dalam pikiran-pikiran dan cita-cita, dan dan akhirnya, membangun “utopia”.

Salahkah jalan pikiran semacam ini? Tidak sepenuhnya. Konon menurut Erik Olin Wright dua abad kemudian, utopia penting untuk membangun imajinasi bersama tentang ‘keadilan’ dan membangkitkan kesadaran tentang ketidakadilan. Yang terpenting menurut Engels, utopia semacam ini harus disandarkan bukan atas akal-pikiran semata, tapi juga kenyataan. Ia harus dilandaskan pada pemahaman bahwa ada kontradiksi dalam masyarakat, ada kekuatan yang selama ini berkuasa dengan sewenang-wenang.

Dan untuk itu, sosialisme harus didasarkan atas pemahaman yang bersifat ‘Ilmiah’.

***

Ketika COVID-19 menyerang dunia, kita mendapati fenomena menarik: mereka yang ingin memerangi virus semata dengan “agama”. Mereka beredar di grup-grup Whatsapp, menyebarkan konspirasi-konspirasi, menyerukan orang untuk tetap ke mesjid dan berkumpul bersama meskipun ada pembatasan sosial berskala besar, dan lain-lain.

Yang seperti ini banyak ragamnya. Sebagian muncul secara sporadis; dengan menganggap bahwa COVID-19 ini adalah konspirasi WHO, menyerukan untuk “tidak memakai vaksi Bill Gates”, atau malah menyalahkan pihak-pihak yang menyosialisasikan pembatasan sosial untuk tidak mudik atau tidak ke tempat ibadah. Lalu beredar video kelompok keagamaan yang tetap berkumpul dalam skala besar di awal mula penyebaran virus, hingga muncul artis-artis yang bersikeras mencari masjid untuk salat Jumat walaupun sudah dilarang.

Lalu kemudian mereka menjadi ‘kluster’ baru penyebaran virus dan berkontribusi terhadap transmisi lokal.

Ada perilaku lain yang lebih terstruktur dan massif. Bilang bahwa COVID-19 bisa dilawan dengan ‘qunut’ atau sekadar berdoa; menolak saran ilmuwan dan otoritas kesehatan dengan membuka pariwisata, hingga kemudian merespons COVID-19 dengan candaan-candaan. Sedihnya, pernyataan seperti ini jutru terlontar dari orang-orang yang dianggap punya otoritas.

Salahkah perilaku semacam ini?

Tidak ada yang salah dengan doa, aktivitas keagamaan, datang ke masjid, atau memperkuat ibadah mahdhah. Konspirasi mungkin bisa ada sedikit kebenarannya. Tapi itu semua tidak akan membantu kita menghadapi COVID-19 dan dampak-dampak sosial, ekonomi, dan politik turunannya. Kita perlu sedikit menggeser pemahaman Islam yang “utopis” ini dengan cara pemahaman yang “Ilmiah”. Terutama untuk hal-hal yang bersifat mu’amalah duniawiyah seperti masalah pandemik dan kesehatan masyarakat.

***

Dari mana kita mulai?

Berhubung kita akan memasuki bulan Ramadhan, ada baiknya mengulang kembali sejarah turunnya Al-Qur’an. Kita semua tahu bahwa perintah pertama yang muncul dalam Al-Qur’an adalah: Iqra! Bacalah!

Syahdan, ketika Malaikat Jibril pertama kali bertemu Nabi Muhammad di Gua Hira, tiga kali kata Iqra’ terucap. Tapi Baginda Nabi Muhamma—sebagai seorang tokoh yang ummi, tak pandai membaca dan menulis masa itu, menjawab: aku tidak bisa membaca. Hingga kemudian Malaikat Jibril membacakan lima ayat pertama dalam Surah Al-Alaq.

Dalam Surat Al-Alaq, Allah menyuruh kita untuk melakukan tiga hal penting: membaca, menulis, dan mengajarkan pengetahuan. Ini tiga elemen penting yang mendasari pijakan berkembangnya Islam hingga berabad-abad kemudian. Menurut Fazlur Rahman, bahkan pengetahuan sudah menjadi bagian tak terpisahkan dalam kehidupan manusia sejak Nabi Adam.

Tanpa kemauan membaca, susah mengharapkan tumbuhnya ‘ummat’ yang memiliki etos untuk mendorong kemajuan dalam peradaban. Tanpa kemauan menulis, ‘ilmu’ hanya akan berhenti di kalangan elite-elite tertentu, meninggalkan umat dalam kejumudan. Tanpa mengajarkan pengetahuan, kita akan gagal untuk memberikan pencerahan bagi orang lain.

Dengan konsepsi ini, kita tidak bisa memahami membaca sebatas ayat-ayat Al-Qur’an yang bersifat qauliyah, hanya pada membaca Al-Qur’an sebagai sebuah rutinitas. Iqra’ juga berarti membaca ayat-ayat kauniyah, yang berarti memahami cara alam bekerja dan memahami bagaimana manusia berinteraksi dengan alam, mengolahnya untuk bertahan hidup, membantu manusia lainnya, dan mengatasi masalah-masalah yang muncul ketika ‘alam’ menguji peradaban manusia –seperti munculnya penyakit dan virus.

Semuanya perlu dipelajari melalui satu hal penting: sains.

Kita tidak mempelajari sains dan ilmu pengetahuan yang luas semata sebagai ‘mengikuti tradisi Barat’. Islam justru yang mula-mula menjadikan pengetahuan sebagai panglima dalam memahami realitas-realitas sosial dan alam. Ilmu tentu tidak bisa dipilah hanya menurut kategori ‘geografis’ semacam Barat dan Timur.

Pada praktiknya, ilmuwan Muslim menerjemahkan teks-teks klasik filsafat dan pengetahuan Yunani dan mengembangkannya dalam konteks masa itu. Pada masa pencerahan, giliran teks-teks Muslim yang diterjemahkan. Tapi ada satu hal yang penting: perintah untuk menuntut ilmu adalah bagian tak terpisahkan dari ajaran Islam yang mulia.

***

Cukupkah hal tersebut? Ternyata belum.  

Dua tahun berselang setelah surah Al-Alaq turun, tidak ada tanda bahwa akan ada wahyu selanjutnya. Nabi gelisah, dan menurut riwayat mendapati diri beliau terasing dari orang-orang dan takut. Lalu muncullah ayat kedua.

Para ulama berbeda pendapat tentang ayat ini. Pendapat yang umum melihat bahwa wahyu kedua adalah QS al-Mudatsir 1-5. Tapi ada juga yang menyatakan kalau wahyu kedua adalah awal Surat al-Qalam.

Terlepas dari debat itu, mari kita bedah ayat ini. Allah berfirman dalam surah Al-Muddatsir: Hai orang yang berselimut, bangunlah, lalu berilah peringatan dan Tuhanmu agungkanlah, dan pakaianmu bersihkanlah.’ (Al-Mudatsir: 1-5)

Ayat ini menyuruh kita untuk turun dan menyampaikan peringatan kepada masyarakat. Jika kita memahami ayat ini dengan Surah Al-Alaq, perintah Allah adalah bahwa ketika kita sudah punya pengetahuan yang cukup, maka berilah peringatan. Bangunlah dari selimut, bersihkanlah pakaian dan atribut keduniaan kita, dan agungkanlah Tuhan. Perbaiki niat, pahami kontradiksi-kontradiksi dalam masyarakat, dan dorong kemajuan dalam masyarakat. Itulah pengejawantahan ajaran Islam.

Perintah dalam Surah Al-Muddatsir adalah perintah untuk melakukan “dakwah”. Di sini, dakwah penting untuk diinterpretasikan ulang, bukan hanya sebagai seruan kepada masyarakat atas ayat-ayat Al-Qur’an, tetapi juga pengorganisasian kolektif untuk dua hal: menolak kontradiksi-kontradiksi yang terjadi dalam masyarakat, dan berdasarkan pembacaaan yang ilmiah atas kontradiksi tersebut, mencoba menawarkan tatanan masyarakat yang adil.

Dalam Surah Al-Qalam: 10-15, Allah menegaskan,

“Serta janganlah kamu menuruti setiap orang yang suka bersumpah dan menghina. (10), orang yang melecehkan seraya menyebarkan fitnah (11), orang yang menghalangi kebajikan, orang yang melampaui batas serta penuh dosa juga keras kepala (12). Yang bertabiat kasar, dan terkenal kejahatannya; (13) Yang punya harta benda maupun anak-anak; (14) apabila disampaikan kepada orang itu tentang ayat-ayat Kami, orang itu mengatakan: “ini adalah dongeng orang-orang dahulu.” (15).

Hal-hal semacam ini seringkali muncul di masyarakat kita hari ini. Tapi ada yang lebih berbahaya dan menyengsarakan: jika orang-orang seperti ini adalah orang yang punya kekuasaan. Mereka menggunakan kekuasaannya untuk menindas orang lain, mencerca sains, menolak kebenaran ilmiah, dan menolak membantu orang-orang yang hilang tanahnya akibat dicaplok perusahaan tambang dengan berbagai cara.

Al-Qur’an, dengan demikian, menyuruh kita untuk ‘mengucapkan kebenaran kepada kekuasaan’. Kebenaran itu  bukan hanya sesuatu yang terbangun dalam akal-pikiran, tetapi juga merefleksikan kondisi masyarakat yang nyata. Masyarakat yang terdampak oleh banyak kebijakan pemerintah dan memerlukan keadilan untuk bisa hidup dengan layak. Masyarakat yang strukturnya dipenuhi ketimpangan antara mereka yang kaya, dan mereka yang harus bekerja lebih dari 8 jam sehari hanya untuk mendapatkan uang di atas upah minimum kota. 

***

Pada titik inilah semangat untuk “membaca” punya relevansi. Islam menyuruh kita untuk membuang jauh-jauh cara beragama yang utopis, yang terbatas hanya pada pengamalan hubungan kepada Allah (‘hablun minallah’) tapi menolak sains. Islam juga menyuruh kita untuk tidak buru-buru percaya pada konspirasi dan berpikir secara lebih kritis terhadap segala sesuatunya.

Maka, satu kesimpulan sederhana bisa kita tarik: untuk menghadapi COVID-19, kita harus membuang sejauh-jauhnya pemahaman Islam yang utopis, yang hanya melihat agama sebatas surga dan neraka, atau kafir atau beriman. Islam tidak hadir untuk itu. Islam mendorong kita untuk berpengetahuan, memahami kontradiksi dalam sistem sosial, ekonomi, dan kesehatan kita, dan mendorong penyelesaian masalah secara ilmiah.

Yang hanya bisa diselesaikan melalui pembacaan sains yang menyeluruh, kepercayaan pada orang-orang yang punya pengetahuan kesehatan, disertai dengan transparansi data dan penanggulangan dari pemerintah. Tidak perlu ngeyel untuk beribadah jika memang itu membahayakan orang lain.

Justru, yang diperintahkan oleh Allah dalam Al-Qur’an: bantulah orang-orang yang membutuhkan dan kelaparan. Kritiklah kebijakan yang keliru dan merugikan kita semua (dengan data dan fakta, bukan konspirasi). Tingkatkan solidaritas sosial untuk membantu saudara-saudara kita yang terdampak oleh krisis. Galanglah dana dan bantuan untuk tenaga kesehatan. Bantu mereka menyediakan alat pelindung diri yang cukup di rumah sakit. Jangan salah: hal-hal semacam itu juga bagian dari ‘ibadah’ kita kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Nuun Walqalami Wa Maa Yasthuruun.***


Ahmad Rizky Mardhatillah Umar adalah mahasiswa PhD di The University of Queensland – UQ, Australia  

]]>