Surat dari Seberang – IndoPROGRESS https://indoprogress.com Media Pemikiran Progresif Fri, 03 Sep 2021 12:26:36 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.4.3 https://indoprogress.com/wp-content/uploads/2021/08/cropped-logo-ip-favicon-32x32.png Surat dari Seberang – IndoPROGRESS https://indoprogress.com 32 32 Merayakan Marx Tua: Wawancara Marcello Musto (Bagian II) https://indoprogress.com/2021/09/merayakan-marx-tua-wawancara-marcello-musto-bagian-ii/ Fri, 03 Sep 2021 09:25:42 +0000 https://indoprogress.com/?p=233601

Ilustrasi: Illustruth


TAHUN-TAHUN terakhir kehidupan Karl Marx seringkali diabaikan karena dianggap sebagai periode kemunduran fisik dan intelektual. Namun sejatinya, pemikiran Marx tetaplah hidup hingga akhir hayat karena tanggapan-tanggapannya atas berbagai persoalan politik masih relevan bagi kita hingga hari ini.

Pemikiran Marx tua adalah tema dari karya Marcello Musto yang baru terbit, The Last Years of Karl Marx. Di dalam buku itu, Musto dengan handal merajut detail biografis yang kaya pembacaan seksama atas tulisan-tulisan Marx tua yang seringkali diliputi nada keraguan. Editor Jacobin, Nicolas Allen, bercakap-cakap dengan Musto mengenai kompleksitas studi atas tahun-tahun terakhir kehidupan Marx, tentang mengapa keraguan-keraguan Marx tua lebih bermanfaat bagi kita hari ini alih-alih klaim-klaim penuh keyakinan yang ia buat semasa muda. Perbincangan ini adalah bagian pamungkas dari dua wawancara. Bagian pertama dapat dilihat di sini

 


SALAH satu bab yang sentral dalam The Last Years of Karl Marx membahas tentang hubungan Marx dengan Rusia. Seperti Anda tunjukkan, Marx terlibat dalam dialog yang sangat intens dengan beberapa kalangan kiri Rusia, khususnya seputar penerimaan mereka atas volume pertama Capital. Apakah yang menjadi poin-poin utama dalam perdebatan tersebut?

Selama bertahun-tahun, Marx menilai Rusia sebagai salah satu hambatan emansipasi kelas pekerja. Beberapa kali ia menekankan bahwa perkembangan ekonomi Rusia yang lambat dan rezim politiknya yang despotik menjadikan kekuasaan tsar benteng terdepan kontra-revolusi. Namun dalam tahun-tahun terakhir hidupnya, Marx mulai melihat Rusia secara berbeda. Ia menangkap beberapa kondisi yang memungkinkan terjadinya transformasi sosial yang besar setelah penghapusan perhambaan pada 1861. Rusia di mata Marx lebih mungkin melahirkan revolusi ketimbang Inggris. Di Inggris, kapitalisme telah melahirkan buruh pabrik dalam jumlah terbesar di dunia. Di sisi lain, gerakan buruh menikmati kondisi hidup yang lebih baik karena kecipratan hasil eksploitasi kolonial sehingga makin lemah dan terkena pengaruh buruk dari reformisme ala serikat buruh.

Dialog-dialog antara Marx dan kaum revolusioner Rusia berciri intelektual dan juga politis. Pada paruh pertama dekade 1870-an, ia mengakrabkan diri dengan literatur-literatur kritis utama tentang masyarakat Rusia dan menaruh perhatian khusus pada karya filsuf sosialis Nikolai Chernyshevsky (1828-1889). Ia percaya fenomena sosial yang telah mencapai tingkat perkembangan yang tinggi di negara-negara termaju dapat menyebar sangat cepat ke bangsa-bangsa lain dan membuat lonjakan dari tingkat yang lebih rendah menjadi lebih tinggi, melompati fase-fase perantara. Gagasan ini memberikan Marx bahan-bahan pemikiran untuk mempertimbangkan kembali konsepsi materialistiknya tentang sejarah. 

Untuk sekian lama, Marx telah menyadari bahwa skema kemajuan linear yang melewati fase corak produksi Asiatik, kuno, feodal, dan borjuis modern, sebagaimana ia jabarkan dalam pengantar untuk A Contribution to the Critique of Political Economy (1859) sangat tidak memadai untuk memahami pergerakan sejarah. Ia paham pentingnya membersihkan diri dari filsafat sejarah. Ia tidak lagi memahami pergantian corak produksi dalam lintasan sejarah sebagai urutan yang pasti.

Marx juga berkesempatan untuk berdiskusi dengan kaum militan dari berbagai tendensi revolusioner di Rusia. Ia mengagumi karakter membumi dari aktivitas politik populisme Rusia – yang pada waktu itu merupakan gerakan sayap kiri anti-kapitalis – khususnya karena mereka tidak jatuh ke dalam sikap ultra-revolusioner yang tak masuk akal ataupun generalisasi-generalisasi yang kontra-produktif. Marx menilai relevansi organisasi-organisasi sosialis yang ada di Rusia dari karakter pragmatis mereka, bukan deklarasi kesetiaan pada teori-teorinya. Bahkan, ia mengamati bahwa seringkali mereka yang mengaku “Marxis” justru adalah pihak yang paling doktriner. Perjumpaannya dengan teori-teori dan aktivitas politik kaum populis Rusia – sama seperti pertemuannya dengan para pejuang Komune Paris satu dekade sebelumnya – mendorong Marx menjadi lebih fleksibel dalam menganalisis peristiwa-peristiwa revolusioner dan kekuatan-kekuatan subjektif pembentuknya. Ini mendekatkan Marx kepada internasionalisme sejati berskala global. 

Tema sentral dialog dan pertukaran gagasan antara Marx dan banyak figur kiri Rusia adalah seputar isu kompleks tentang perkembangan kapitalisme, yang jelas mengandung implikasi-implikasi teoretik dan politis. Kerumitan diskusi ini juga terbukti dengan keputusan final Marx untuk tidak jadi mengirimkan suratnya yang berisi kritik atas kesalahan-kesalahan tafsir atas Capital ke jurnal Otechestvennye Zapiski, ataupun merespons “pertanyaan hidup-mati” Vera Zasulich (1849-1919) mengenai masa depan komune pedesaan (obshchina) hanya dengan surat pendek yang penuh kehati-hatian, bukan dengan tulisan panjang yang telah ia siapkan dengan penuh semangat lewat tiga naskah persiapan.


Korespondensi Marx dengan tokoh sosialis Rusia Vera Zasulich adalah topik yang banyak diminati hari ini. Marx menunjukkan komune pedesaan Rusia berpotensi untuk mengadopsi kemajuan-kemajuan terkini masyarakat kapitalis – teknologi, khususnya – tanpa harus melalui pergolakan sosial yang teramat destruktif bagi kaum petani Eropa Barat. Dapatkah Anda menjelaskan dengan lebih detail pemikiran yang mendasari kesimpulan-kesimpulan Marx?

Lewat kebetulan belaka, surat Zasulich tiba di tangan Marx persis ketika minatnya pada bentuk-bentuk masyarakat purba, membuatnya menaruh perhatian lebih seksama pada penemuan-penemuan terbaru para antropolog di masanya. Sebelumnya, minat ini makin dalam pada 1879 lewat studi atas karya sosiolog Maksim Kovalevsky (1851-1916). Teori dan praktik juga menuntunnya ke posisi tersebut. Mengikuti ide-ide yang digagas oleh antropolog Morgan, Marx menulis bahwa kapitalisme dapat digantikan dengan bentuk yang lebih maju dari cara produksi kolektif zaman kuno. 

Pernyataan ambigu ini membutuhkan paling tidak dua klarifikasi. Pertama, berbekal apa yang ia pelajari dari Chernyshevsky, Marx berargumen bahwa Rusia tidak bisa mengulangi begitu saja setiap tahapan sejarah Inggris dan negara-negara Eropa Barat lainnya. Pada prinsipnya, transformasi sosialis obshchina dapat terjadi tanpa harus melalui kapitalisme. Namun ini bukan berarti bahwa Marx mengubah pandangan kritisnya tentang komune pedesaan di Rusia, atau bahwa ia percaya bahwa negara-negara yang kapitalismenya masih kurang berkembang sejatinya lebih dekat pada revolusi daripada negara-negara dengan perkembangan kapasitas produktif yang lebih maju. Ia tak sekonyong-koyong meyakini bahwa komune-komune tua di pedesaan merupakan tempat yang lebih mendukung emansipasi individu daripada relasi sosial yang berada di bawah kapitalisme. Kedua, analisisnya mengenai kemungkinan transformasi progresif obshchina tidak dimaksudkan untuk diangkat ke model yang lebih umum. Ini merupakan analisis spesifik atas corak produksi kolektif tertentu pada momen historis tertentu. Dengan kata lain, Marx menunjukkan fleksibilitas teoretik dan kelenturan skema yang gagal diperlihatkan banyak pemikir Marxis setelahnya. Pada akhir hidupnya, Marx menunjukkan keterbukaan teoretik yang lebih luas lagi, yang memungkinkannya mempertimbangkan jalur-jalur alternatif menuju sosialisme yang sebelumnya tidak ia pikirkan secara serius atau yang dianggapnya tidak mungkin berhasil.

Keraguan Marx berubah menjadi keyakinan bahwa kapitalisme merupakan tahap yang tak terelakkan bagi perkembangan ekonomi di setiap negara dan kondisi sejarah. Minat baru ini—yang muncul hari ini terhadap pertimbangan-pertimbangan yang Marx tidak pernah kirimkan kepada Zasulich dan dalam ide-ide serupa yang terekspresikan dengan lebih jelas dalam tahun-tahun terakhir hidup Marx—dimotori oleh konsepsi mengenai masyarakat pasca-kapitalis yang amat jauh dari pemahaman tentang sosialisme berkekuatan produksi—konsepsi yang mengandung nada nasionalis dan simpati pada kolonialisme, yang memengaruhi Internasional Kedua dan partai-partai sosial-demokratik. Ide-ide Marx juga sangat berbeda dengan “metode ilmiah” tentang analisis sosial yang berkembang di Uni Soviet dan satelit-satelitnya.


Meskipun kondisi kesehatan Marx yang buruk sudah menjadi pengetahuan umum, tetap menyakitkan rasanya waktu membaca bab terakhir The Last Years of Karl Marx di mana Anda menceritakan kondisinya yang memburuk. Biografi-biografi intelektual tentang Marx perlu menghubungkan kehidupan dan aktivitas politiknya dengan pemikirannya; namun bagaimana dengan periode belakangan ketika Marx makin tidak aktif karena kondisinya melemah? Bagaimana Anda mendekati periode tersebut sebagai seseorang yang menulis biografi intelektual?

Salah satu pakar Marx terbaik dari yang pernah ada, Maximilien Rubel (1905-1996), pengarang buku Karl Marx: essai de biographie intellectuelle (1957), berargumen bahwa untuk bisa menulis tentang Marx, seseorang harus sedikit menjadi filsuf, sejarawan, ekonom, dan sosiolog pada saat yang sama. Saya mau menambahkan bahwa dengan menulis biografi Marx, seseorang belajar banyak tentang ilmu kedokteran juga. Sepanjang kehidupan dewasanya, Marx berurusan dengan sejumlah masalah kesehatan. Yang paling lama adalah infeksi di kulit yang menemaninya selama penulisan Capital dan termanifestasi dalam nanah dan bisul pada berbagai bagian tubuhnya. Karena alasan inilah, ketika Marx menyelesaikan magnum opus-nya, ia menulis: “Saya harap kaum borjuasi akan mengingat bisul-bisulku hingga akhir hayat mereka!”

Dua tahun terakhir kehidupannya terbilang sulit. Marx amat berduka karena kehilangan istri dan putri sulungnya. Ia juga mengalami radang tenggorokan kronis yang seringkali berkembang menjadi radang paru-paru. Ia berusaha—dan berakhir dengan kesia-siaan—menemukan tempat dengan iklim cocok agar kondisinya membaik. Ia bahkan menjelajahi Inggris seorang sendiri, ke Prancis, dan bahkan ke Aljazair, di mana ia memulai satu periode panjang pengobatan. Aspek paling menarik dari bagian biografi Marx ini adalah kebijaksanaannya, selalu diikuti dengan ironi, yang ia demonstrasikan sewaktu menghadapi kerapuhan tubuhnya. Surat-surat yang ia tuliskan pada putri-putrinya dan kepada Engels, ketika ia merasa bahwa ia telah mencapai ujung jalan kehidupan, menunjukkan sisi intimnya. Surat-surat ini menunjukkan nilai penting apa yang ia sebut sebagai “dunia mikroskopik”, yang dimulai dengan perhatian mendalam Marx terhadap cucu-cucunya. Dunia mikroskopik ini juga menunjukkan seseorang yang telah lama dan intens mengarungi kehidupan dan kini mengevaluasi segala aspeknya.

Para penulis biografi harus memperhitungkan penderitaan-penderitaan Marx di ranah privat, khususnya ketika perihal ini relevan untuk memahami lebih baik lagi kesulitan-kesulitan di balik penulisan buku, atau alasan-alasan mengapa suatu naskah tidak selesai. Namun, para penulis juga harus tahu pada titik mana mereka harus berhenti dan mengabaikan pandangan yang secara khusus tertuju pada urusan-urusan pribadi Marx.


Ada begitu banyak isi pemikiran Marx yang termuat dalam surat-surat dan naskah-naskah yang tak selesai. Haruskah kita memberikan status yang sama pada tulisan-tulisan ini dengan tulisan-tulisan lain Marx yang lebih mapan? Ketika Anda berargumen bahwa tulisan Marx “secara esensial belum tuntas”, apakah Anda punya bayangan seperti ini?

Capital tetaplah tidak tuntas karena kemiskinan yang menggerogoti Marx selama dua dekade kehidupannya dan karena kondisi kesehatannya yang buruk terkait kecemasan sehari-hari. Jelas bahwa tugas yang ia bebankan pada dirinya sendiri – memahami corak produksi kapitalis dalam keadaan idealnya dan mendeskripsikan kecenderungan-kecenderungan umum perkembangannya – luar biasa sulit untuk dicapai. Namun Capital bukanlah satu-satunya proyek yang tidak tuntas. Kritik tanpa ampun yang Marx terapkan pada dirinya sendiri menambahkan kesulita, dan lamanya waktu yang ia habiskan untuk banyak proyek yang hendak ia terbitkan disebabkan oleh ketelitian ekstrem yang ia terapkan pada seluruh pemikirannya. 

Ketika Marx masih muda, ia dikenal di antara teman-teman kampusnya karena kecermatannya. Ada kisah-kisah yang menggambarkannya sebagai sosok yang menolak untuk menuliskan sebuah kalimat jika ia tidak mampu membuktikannya dengan sepuluh cara yang berbeda. Inilah alasan mengapa intelektual muda yang sebenarnya paling produktif di kalangan Hegelian Kiri ini menerbitkan lebih sedikit karya dibandingkan banyak anggota lainnya. Keyakinan Marx bahwa informasi yang dimilikinya masih belum cukup, dan penilaiannya belum masak, menghalanginya untuk menerbitkan tulisan-tulisan yang berakhir sebagai catatan garis besar atau fragmen-fragmen. Namun ini juga menjadi alasan mengapa catatan-catatannya sangatlah bermanfaat dan patut dipertimbangkan sebagai bagian integral dari karya lengkapnya. Hasil jerih lelahnya ini memiliki banyak dampak teoretik yang luar biasa di kemudian hari.

Ini bukan berarti bahwa tulisan-tulisannya yang belum kelar tersebut memiliki bobot yang sama dengan yang telah diterbitkan. Saya akan membedakan lima tipe tulisannya: karya yang telah terbit, naskah-naskah persiapan, artikel-artikel jurnalistik, surat-surat, dan buku-buku catatan. Namun ada pembedaan juga yang harus diterapkan pada kategori-kategori ini. Beberapa tulisan Marx yang diterbitkan tidak boleh dianggap sebagai representasi pandangan finalnya mengenai isu yang dibahas. Misalnya, Manifesto of the Communist Party dianggap Engels dan Marx sebagai dokumen sejarah dari masa muda mereka, dan bukan sebagai naskah definitif yang memuat konsepsi-konsepsi politik utama mereka. Perlu diingat juga bahwa tulisan-tulisan propaganda politik dan saintifik seringkali tidak dapat digabungkan. Sayangnya, kesalahan-kesalahan semacam ini sangat sering muncul dalam literatur sekunder tentang Marx. Belum lagi absennya dimensi kronologis dalam banyak upaya merekonstruksi pemikirannya. Tulisan-tulisan dari 1840an tidak dapat dikutip begitu saja bersama dengan tulisan-tulisan dari 1860an dan 1870an, karena mereka tidak mengandung bobot pengetahuan ilmiah dan pengalaman politik yang sama. Beberapa naskah ditulis oleh Marx hanya untuk dirinya sendiri, sementara naskah-naskah lain adalah materi-materi persiapan untuk buku-buku yang hendak diterbitkan. Beberapa di antaranya direvisi dan diperbarui oleh Marx, sementara yang lainnya ditinggal begitu saja (dalam kategori ini ada jilid III Capital). Beberapa artikel jurnalistik mengandung pertimbangan-pertimbangan yang dapat dianggap sebagai karya final Marx. Namun beberapa yang lainnya ditulis secara tergesa-gesa demi mendapatkan uang untuk membayar sewa tempat tinggal. Beberapa surat mencakup pandangan-pandangan otentik Marx mengenai isu-isu yang didiskusikan. Beberapa yang lainnya hanya mengandung versi yang diperhalus, karena ditujukan pada orang-orang di luar lingkaran pergaulannya, sehingga penting untuk mengekspresikan pandangannya secara diplomatis. Karena semua alasan ini, menjadi jelas bahwa pemahaman yang baik mengenai kehidupan Marx amatlah krusial dalam upaya untuk memahami gagasan-gagasannya secara tepat. Akhirnya, ada lebih dari 200 buku catatan yang mengandung rangkuman-rangkuman (dan kadang-kadang komentar) dari buku-buku terpenting yang dibaca Marx sepanjang 1838 hingga 1882. Buku-buku catatan ini penting untuk memahami asal-usul kelahiran teorinya dan unsur-unsur yang tidak mampu atau belum sempat ia kembangkan.

Ide-ide yang dipikirkan oleh Marx dalam tahun-tahun terakhir kehidupannya ini terutama termuat dalam buku-buku catatan ini. Buku-buku catatan tersebut memang sulit sekali untuk dibaca, namun mereka memberikan kepada kita akses pada harta karun yang amat berharga: bukan hanya penelitian yang Marx tuntaskan sebelum kematiannya, namun juga pertanyaan-pertanyaan yang ia ajukan pada dirinya sendiri. Beberapa keraguannya mungkin malah lebih bermanfaat bagi kita hari ini daripada keyakinannya.***


Marcello Musto adalah Profesor Sosiologi di York University, Toronto. Tulisan-tulisannya yang tersedia di www.marcellomusto.org telah diterbitkan dalam lebih dari dua puluh bahasa.


Artikel ini diterjemahkan oleh Daniel Sihombing

 

]]>
Merayakan Marx Tua: Wawancara Marcello Musto (Bagian I) https://indoprogress.com/2021/07/pada-hari-ulang-tahunnya-mari-merayakan-karl-marx-tua-wawancara-dengan-marcello-musto-bagian-i/ Mon, 05 Jul 2021 01:00:22 +0000 https://indoprogress.com/?p=233352

Ilustrasi: Teenvogue.com


TAHUN-TAHUN terakhir kehidupan Karl Marx seringkali diabaikan karena dianggap sebagai periode kemunduran fisik dan intelektual. Namun sejatinya, pemikiran Marx tetaplah hidup hingga akhir hayat karena tanggapan-tanggapannya atas berbagai persoalan politik masih relevan bagi kita hingga hari ini.

Pemikiran Marx tua adalah tema dari karya Marcello Musto yang baru terbit, The Last Years of Karl Marx. Di dalam buku itu, Musto dengan handal merajut detail biografis yang kaya pembacaan seksama atas tulisan-tulisan Marx tua yang seringkali diliputi nada keraguan. Editor Jacobin, Nicolas Allen, bercakap-cakap dengan Musto mengenai kompleksitas studi atas tahun-tahun terakhir kehidupan Marx, tentang mengapa keraguan-keraguan Marx tua lebih bermanfaat bagi kita hari ini alih-alih klaim-klaim penuh keyakinan yang ia buat semasa muda. Wawancara ini adalah bagian pertama. Bagian kedua bisa dilihat di sini


Nicolas Allen (NA): Khususnya tiga tahun terakhir kehidupan Marx pada 1880-an, “Marx tua” yang menjadi tema tulisan anda, seringkali diabaikan oleh kaum Marxis dan ahli Marx. Selain fakta bahwa Marx tidak menerbitkan karya besar pada tahun-tahun itu, menurut Anda mengapa perhatian pada periode tersebut terbilang kurang?

Marcello Musto (MM): Semua biografi intelektual Marx yang terbit hingga hari ini sedikit sekali menyoroti dekade terakhir kehidupannya; umumnya mereka hanya menyuguhkan beberapa halaman tentang aktivitas Marx setelah bubarnya International Working Men’s Association pada 1872. Bukan kebetulan kalau para peneliti ini hampir selalu menggunakan sebutan “dekade terakhir” untuk bagian yang sangat pendek dalam buku-buku mereka ini. Keterbatasan ini bisa dimaklumi untuk para penulis seperti Franz Mehring (1846-1919), Karl Vorländer (1860-1928), dan David Ryazanov (1870-1938), yang menulis biografi Marx pada masa antara dua perang dunia, dan hanya bisa fokus ke sejumlah naskah yang belum diterbitkan. Namun, masalahnya lebih kompleks bagi karya-karya yang muncul setelah masa pergolakan tersebut.

Dua tulisan Marx yang paling dikenal – Economic and Philosophic Manuscripts of 1844 dan The German Ideology (1845-46), keduanya sama-sama belum dituntaskan – diterbitkan pada 1932 dan mulai beredar pada paruh kedua 1940-an. Mengingat Perang Dunia II menerbitkan perasaan cemas akibat kebrutalan Nazi sehingga aliran-aliran filsafat seperti eksistensialisme meraup popularitas, maka tema tentang kondisi individu dalam masyarakat pun naik ke permukaan. Ini menciptakan kondisi sempurna bagi naiknya minat terhadap ide-ide filosofis Marx, seperti keterasingan dan hakikat manusia. Sama seperti kebanyakan karya yang lahir dari dunia akademik, biografi-biografi Marx yang terbit dalam periode ini mencerminkan semangat zamannya (Zeitgeist) dan memberi penekanan pada tulisan-tulisan Marx sewaktu muda. Banyak buku dari 1960-an dan 1970-an yang mengklaim isinya sebagai pengantar pemikiran Marx secara keseluruhan, namun sejatinya cuma fokus pada periode 1843-1848, zaman ketika Marx baru berusia tiga puluh tahun pada waktu penerbitan Manifesto of the Communist Party (1848).

Dalam konteks ini, bukan hanya dekade terakhir kehidupan Marx yang dikesampingkan, namun Capital sendiri juga digeser ke posisi sekunder. Sosiolog liberal Raymond Aron secara tepat menggambarkan sikap ini dalam buku D’une Sainte Famille à l’autre. Essais sur les marxismes imaginaires (1969). Di buku itu ia mengolok-olok betapa kaum Marxis di Paris sepintas saja membaca Capital, karya utama Marx dan hasil dari kerjanya selama bertahun-tahun. Mereka lebih terpikat pada Economic and Philosophic Manuscripts of 1844.

Kita bisa bilang bahwa mitos “Marx Muda” adalah kesalahpahaman utama dalam sejarah studi Marx. Mitos ini dipopulerkan salah satunya oleh Louis Althusser dan mereka yang menyatakan bahwa Marx muda tidak patut dianggap bagian dari Marxisme. Marx tidak menerbitkan karya apapun yang bakal ia anggap sebagai karya “utama” dalam paruh pertama tahun 1840-an. Misalnya, seseorang harus membaca pidato-pidato Marx dan resolusi-resolusinya untuk International Working Men’s Association, jika hendak memahami pemikiran politiknya, bukannya malah membaca artikel-artikel jurnal dari 1844 yang muncul di German-French Yearbook. Bahkan ketika kita menganalisis naskah-naskahnya yang belum tuntas seperti Grundrisse (1857-58) ataupun Theories of Surplus-Value (1862-63), akan tampak bahwa naskah-naskah ini lebih signifikan bagi Marx sendiri ketimbang kritik atas neo-Hegelianisme di Jerman yang “ditinggalkan untuk kritik yang seperti gigitan tikus” pada 1846. Tren untuk memberikan penekanan berlebih pada tulisan-tulisan Marx waktu muda tidak banyak berubah sejak keruntuhan Tembok Berlin. Biografi-biografi yang lebih baru juga tetap mengabaikan periode [Marx tua] ini – meski telah muncul penerbitan naskah-naskah baru Marx dalam Marx-Engels-Gesamtausgabe (MEGA²), edisi historis-kritis dari karya lengkap Marx dan Friedrich Engels (1820-1895) yang dilanjutkan pada 1998, dan beberapa studi berboot tentang fase terakhir produksi intelektual Marx.

Alasan lain dari pengabaian ini adalah kerumitan luar biasa pada studi-studi yang dikerjakan oleh Marx di akhir hayatnya. Lebih gampang menulis tentang mahasiswa bau kencur dari kelompok Hegelian Kiri ketimbang mencoba memahami kerumitan naskah-naskah dengan ragam minat intelektual dari awal 1880-an yang ditulis dalam berbagai bahasa; inilah yang mungkin menghambat kemajuan pemahaman tentang capaian-capaian penting Marx. Terlalu banyak penulis biografi dan ahli Marx yang gagal untuk melihat lebih dalam pada apa yang sebenarnya ia kerjakan pada masa itu karena mereka secara keliru menganggap Marx tidak lagi melanjutkan kerja intelektualnya dan menggambarkan sepuluh tahun terakhir kehidupan Marx sebagai “penderitaan yang memuncak secara perlahan,”


Dalam film baru Miss Marx, ada adegan yang muncul segera setelah penguburan Marx yang menunjukkan bagaimana Engels dan Eleanor, putri bungsu Marx, membuka-buka naskah-naskah di meja kerja Marx. Engels memeriksa satu makalah dan mengomentari minat Marx tua terhadap persamaan diferensial. The Last Years of Karl Marx kelihatannya memberikan kesan bahwa pada tahun-tahun terakhir kehidupannya, cakupan minat Marx lebih luas daripada sebelumnya. Apakah ada garis panduan yang menghubungkan bermacam-macam topik yang digelutinya seperti antropologi, ekologi, matematika, sejarah, gender, dan lain-lain?

Sebelum meninggal, Marx berpesan pada Eleanor untuk mengingatkan Engels agar ia “melakukan sesuatu” terhadap naskah-naskahnya yang belum tuntas. Sebagaimana yang kita tahu, selama dua belas tahun akhir kehidupan Engels sejak Marx meninggal, ia mengambilalih tugas maha berat memeriksa dan mengirim jilid II dan III Capital ke percetakan. Dua karya ini dikerjakan Marx sejak pertengahan 1860-an hingga 1881, namun gagal diselesaikan. Teks-teks lain yang ditulis oleh Engels sendiri, setelah Marx meninggal pada 1883, secara tidak langsung memenuhi permintaan Marx dan terkait erat dengan riset-riset yang ia kerjakan selama tahun-tahun terakhir kehidupannya. Misalnya, Origins of the Family, Private Property, and the State (1884) disebut-sebut oleh penulisnya sebagai “eksekusi wasiat” dan terinspirasi oleh riset Marx tentang antropologi, sebagaimana tampak dalam bagian-bagian yang ia salin pada 1881 dari Ancient Society (1877) karya Henry Morgan (1818-1881) dan komentar-komentar yang ia tambahkan pada rangkuman buku tersebut.

Tidak ada garis panduan tunggal yang dapat menjelaskan tahun-tahun terakhir penelitian Marx. Beberapa studinya semata-mata muncul dari penemuan-penemuan ilmiah terbaru (ia tak mau ketinggalan) , atau dari peristiwa-peristiwa politik yang dianggapnya penting. Sebelumnya Marx telah memahami bahwa tingkat emansipasi suatu masyarakat bergantung pada tingkat emansipasi perempuan. Namun, ia baru punya kesempatan untuk menganalisis penindasan gender dengan lebih mendalam berkat kemunculan studi-studi antropologi pada 1880-an. Dibandingkan dua dekade sebelumnya, Marx kurang mencurahkan perhatian untuk isu-isu ekologis. Namun, di sisi lain ia sekali lagi menenggelamkan diri dalam tema-tema sejarah. Di antara musim gugur 1879 dan musim panas 1880, ia mengisi buku catatan berjudul Notes on Indian History (664-1858). Sementara itu, antara musim gugur 1881 dan musim dingin 1882, ia menggarap secara intensif Chronological Extracts, pembabakan sejarah beranotasi per tahun sepanjang 550 halaman yang dikerjakan dengan tulisan tangan yang lebih kecil daripada biasanya. Catatan ini mencakup rangkuman peristiwa-peristiwa dunia dari abad pertama sebelum masehi hingga Perang Tiga Puluh Tahun pada 1648. Di situ ia merangkum sebab-sebab dan ciri-ciri utamanya. Mungkin saja Marx hendak menguji apakah konsepsi-konsepsinya punya dasar yang kuat dalam konteks perkembangan-perkembangan penting di bidang politik, militer, ekonomi, dan teknologi pada masa-masa sebelumnya. Yang jelas, kita harus ingat bahwa ketika Marx mengerjakan semua ini, ia sangat menyadari kondisi kesehatannya yang lemah menjadi penghalang untuk menuntaskan jilid kedua Capital. Ia berharap mampu menyelesaikan koreksi untuk edisi ketiga dalam bahasa Jerman dari jilid pertama. Namun tetap saja ia tidak berdaya mengerjakan itu.

Namun, saya tidak akan mengatakan bahwa topik-topik penelitian selama tahun-tahun terakhir kehidupan Marx lebih luas dari sebelumnya. Mungkin keluasan cakupan riset Marx lebih tampak jelas dalam periode ini karena tidak dilakukan secara paralel dengan penulisan buku atau naskah-naskah persiapan yang signifikan. Akan tetapi, beberapa ribu halaman catatan yang disusun oleh Marx dalam delapan bahasa, sejak ia masih mahasiswa, mulai dari tentang filsafat, seni, sejarah, agama, politik, hukum, sastra, ekonomi-politik, hubungan internasional, teknologi, matematika, fisiologi, geologi, mineralogi, agronomi, antropologi, kimia, dan fisika, menjadi saksi rasa haus Marx akan pengetahuan dalam beragam disiplin ilmu. Yang mengejutkan, Marx tidak mampu meninggalkan kebiasaan ini, bahkan di saat kondisi fisiknya merosot. Rasa ingin tahu Marx yang besar dan semangat otokritiknya mengalahkan pertimbangan bahwa ia harus mengelola karya-karyanya dengan lebih “bijak” dan fokus.

Namun, obrolan seputar “apa yang seharusnya Marx lakukan” biasanya lahir dari orang-orang ‘sakit’ yang berharap Marx menjadi individu yang tak mengerjakan apapun kecuali menulis Capital – bahkan tidak membela diri di tengah kontroversi-kontroversi politik yang melibatkannya. Marx tetaplah seorang manusia, meski pernah menyebut dirinya “mesin yang dikutuk untuk melahap buku lalu membuangnya ke tumpukan tahi sejarah”. Minat Marx pada matematika dan kalkulus diferensial, misalnya, bermula sebagai stimulus intelektual saat menjajaki metode analisis sosial. Kelak minat ini malah menjadi klangenan, pelarian di masa-masa sulit, “kesibukan untuk menjaga ketenangan pikiran,” sebagaimana ia ceritakan pada Engels.


Studi-studi sebelumnya tentang tulisan-tulisan Marx tua cenderung berfokus pada riset Marx tentang masyarakat non-Eropa. Dengan mengakui bahwa ada be rbagaijalur perkembangan masyarakat di luar “model Barat”, sebagaimana yang diyakini Marx juga, tepatkah jika kita mengatakan bahwa Marx menggeser posisinya menjadi Marx yang “non-Eurosentris” seperti yang diklaim oleh beberapa penafsir? Ataukah lebih akurat jika apa yang dilakukan Marx adalah penegasan bahwa karyanya tidak pernah dimaksudkan untuk diterapkan begitu saja tanpa pertama-tama memperhatikan realitas konkret masyarakat-masyarakat yang secara historis berbeda?

Kunci pertama dan terutama untuk memahami minat geografis yang luas dalam riset Marx pada dekade terakhir kehidupannya terletak pada rencananya untuk menyiapkan penjelasan yang lebih solid tentang dinamika corak produksi kapitalis dalam skala global. Inggris adalah objek pengamatan utama dalam Capital, Volume I; setelah penerbitan volume tersebut, Marx hendak memperluas riset-riset sosio-ekonomi dalam dua jilid Capital yang akan ditulisnya. Alasan inilah yang membuat Marx memutuskan untuk belajar bahasa Rusia pada 1870 dan terus membutuhkan literatur dan statistik tentang Rusia dan Amerika Serikat. Ia percaya bahwa analisis tentang perubahan ekonomi di negara-negara tersebut akan sangat berguna untuk memahami kemungkinan bentuk-bentuk perkembangan kapitalisme dalam periode dan konteks yang berbeda-beda. Unsur krusial ini diabaikan dalam literatur sekunder mengenai topik – yang sekarang ini trendi – “Marx dan Eurosentrisme.”

Pertanyaan kunci lainnya dalam riset Marx mengenai masyarakat-masyarakat non-Eropa adalah apakah kapitalisme adalah prasyarat mutlak bagi kelahiran masyarakat komunis dan pada titik mana masyarakat komunis ini harus berkembang secara internasional. Konsepsi multilinear yang dipegang Marx pada tahun-tahun terakhir hidupnya, membuatnya lebih memperhatikan kekhasan sejarah dan ketimpangan perkembangan ekonomi dan politik di berbagai negara dan konteks sosial. Marx menjadi sangat skeptis mengenai transfer kategori-kategori penafsiran di antara konteks yang sangat berbeda secara historis dan geografis. Sebagaimana yang ditulis Marx, ia juga menyadari bahwa “peristiwa-peristiwa yang sangat mirip, yang terjadi di konteks historis yang berbeda, mengarah pada hasil yang sangat berbeda.” Pendekatan ini jelas menambah kesulitan yang harus ia hadapi saat menyelesaikan Capital serta menambah persepsi dalam diri Marx bahwa karya utamanya itu takkan sempat ia tuntaskan. Tapi jelas hal ini membuka harapan-harapan revolusioner yang baru.

Tak seperti apa yang diyakini secara naif oleh beberapa penulis, Marx tidak secara tiba-tiba menyadari bahwa ia selama ini berpandangan Eurosentris, lalu mengerahkan perhatiannya pada tema-tema studi baru karena merasa perlu mengoreksi pandangan-pandangan politiknya. Ia telah lama menjadi “warga dunia,” sebagaimana Marx menyebut dirinya sendiri, dan terus mencoba untuk menganalisis perubahan ekonomi dan sosial dalam implikasi globalnya. Sebagaimana para pemikir lain yang sekaliber dengannya, Marx menyadari superioritas Eropa modern dibanding benua-benua lainnya dalam hal produksi industrial dan organisasi sosial. Namun, ia tidak pernah menganggap fakta ini sebagai faktor permanen ataupun bersifat niscaya. Dan tentu saja ia selalu menjadi musuh bebuyutan kolonialisme. Pertimbangan-pertimbangan itu semestinya jelas bagi siapapun yang membaca Marx.***


Marcello Musto adalah Profesor Sosiologi di York University, Toronto. Tulisan-tulisannya yang tersedia di www.marcellomusto.org telah diterbitkan dalam lebih dari dua puluh bahasa.


Artikel ini diterjemahkan oleh Daniel Sihombing.


]]>
Tambang-Tambang Potosí: Lokasi Harta Karun Dunia yang Terlupakan https://indoprogress.com/2021/06/potosi-tambang-tambang-potosi-lokasi-harta-karun-dunia-yang-terlupakan/ Wed, 02 Jun 2021 00:00:12 +0000 https://indoprogress.com/?p=233212

Foto: Mazalien.nl


KEKAYAAN Potosí di Bolivia mulai dikenal di Eropa pada 1545, ketika sekelompok conquistadores (pasukan penakluk) dari Spanyol bermukim di sana untuk mengeksploitasi harta karun terpendam. Kota itu kemudian berkembang pesat sehingga dalam kurun waktu 80 tahun sejak didirikan, populasinya mencapai 160 ribu jiwa, mengalahkan jumlah penduduk Paris, Roma, London, atau Sevilla.

Nama Potosí akhirnya tersohor di seluruh dunia. Diperkirakan sekitar 50 ribu ton perak telah disedot dari sana – cukup untuk membangun jembatan yang bisa menghubungkan kota itu dengan Spanyol. Tambang perak terbesar di dunia itu memproduksi logam dalam jumlah raksasa, yang diangkut dengan rombongan llama menuju pesisir Chile, sebelum dipindahkan ke kapal-kapal Iberia. Bagi kaum ningrat Potosí, segalanya terbuat dari perak dan nama daerah tersebut menjadi ungkapan bagi kemewahan: “it’s worth a Potosí“, tulis Miguël de Cervantes dalam Don Quixote. Artinya: senilai dengan sekian perak.

Namun, para penduduk asli Potosí diperbudak. Ketika kondisi-kondisi tak manusiawi mulai membunuh puluhan ribu penduduk asli, para penjajah mengimpor budak-budak baru dari Afrika, yang jumlahnya lebih dari 30 ribu orang. Jumlah total mereka yang mati di tambang-tambang tersebut tak dapat dihitung secara persis. Yang jelas, ‘peradaban Eropa’ telah mengundang genosida dan penjarahan.

Setelah dua abad eksploitasi, perak Potosí mulai habis. Mereka yang dapat meninggalkan Potosí dan area sekitarnya menghilang. Pada 1987, kota tersebut dideklarasikan sebagai situs warisan dunia UNESCO. Namun – seperti yang ditulis Eduardo Galeano dalam Open Veins of Latin America – yang tertinggal di sana hanyalah bayang-bayang kekayaan dari masa lalu.


Gunung Pemakan Manusia

Di jalan-jalan Potosí Anda akan menyadari keberadaan gunung raksasa yang tingginya nyaris mencapai 4800 meter. Namanya Cerro Rico, sang gunung pemakan manusia. Di Gunung yang besar, kemerah-merahan, dan penuh bintik-bintik itu, tampak dari jauh orang-orang yang bergegas untuk mencabik-cabiknya, beserta truk-truk yang naik dan turun untuk mengangkut batu-batuan berharga dari sana.

Wilayah atas kota ini adalah tempat para pekerja terkonsentrasi. Sekitar 6.000 pekerja tambang – jumlahnya bergantung pada harga logam di pasar global – bermukim di dekat puncak gunung dan menyandarkan hidupnya pada perak, juga seng, tembaga, dan timah, yang masih tersedia di sana. Mereka bekerja layaknya tukang, dengan peralatan-peralatan kasar dan pengetahuan yang diwariskan secara turun-temurun. Pekerjaan mereka mungkin yang paling parah di dunia. Bukan hanya melelahkan, tetapi juga mematikan. Mereka bisa mati sewaktu-waktu karena keadaan yang tidak aman. Walhasil, pekerja-pekerja ini berserah pada Tio, sosok ilahiah tempat mereka mengharapkan perlindungan dan kemujuran. Namun, pada akhirnya mereka tetap akan mati pelan-pelan, karena di rahang gunung tersebut, setiap hela napas mendekatkan mereka pada silicosis.

Perempuan tidak diizinkan untuk memasuki bagian dalam gunung. Hanya palliras yang diperbolehkan untuk naik ke sana, yaitu janda-janda para pekerja tambang yang memiliki hak untuk mengumpulkan batu-batuan yang kadang-kadang jatuh dari gerobak-gerobak yang beroperasi antara pintu masuk tambang dengan deretan truk. Mereka bertemu di pasar dan bersama dengan para pekerja lain berbelanja barang kebutuhan pokok, yakni daun koka yang penting untuk kerja sehari penuh di ketinggian, rokok linting yang mengandung kayu putih untuk menolong pernapasan, serta alkohol murni (96°) yang mereka minum pada jam istirahat agar dapat bertahan dalam kondisi-kondisi ekstrem.


Gerbang Menuju Neraka

Dengan didampingi oleh pemandu dan sekelompok pekerja tambang, saya mengunjungi beberapa lubang yang selama berabad-abad menganga di Cerro Rico. Meski di luar lubang cuacanya panas, suhu udara segera turun di bawah nol derajat setelah masuk beberapa ratus meter. Beberapa stalaktit membuat jalurnya sulit dilalui. Sementara itu, di beberapa titik ada genangan air setinggi pergelangan kaki yang merembes ke dalam sepatu bot. Jalur-jalur yang mudah dilewati silih berganti dengan jalur-jalur yang membuat kami nyaris harus berjalan dengan lutut karena terowongan yang tingginya sedikit di atas 1 meter itu semakin mengecil dan menyempit. Jika Anda berhenti di sini, rasa panik akan menguasai. Di luar sinar lampu helm yang temaram, semuanya betul-betul gelap dan sunyi. Sesekali kesunyian dipecahkan oleh gerobak yang mengangkut 1 ton atau lebih mineral tambang; roda-rodanya nyaris tidak dapat diperbaiki lagi sehingga butuh empat orang untuk mendorongnya. Jika hal ini terjadi, Anda harus lebih hati-hati dan merapat ke dinding agar mereka bisa lewat.

Kami terus maju. Beberapa menit kemudian, suhu udara tiba-tiba naik mencapai sekitar 40 derajat Celsius – perubahan mendadak yang menyiksa. Permukaan yang kami injak tidak lagi basah dan mengering. Kurangnya oksigen membuat napas kami sesak. Debu berhamburan: memasuki tenggorokan, paru-paru, dan mata. Anda harus terus berjalan sekian belas meter lagi, di mana suara di sekitar teramat bising. Di sinilah para pengebor bekerja. Pekerjaan mereka adalah yang terberat: harus mengebor dinding dan merobeknya dengan dinamit buatan sendiri. Mereka bekerja dengan nyaris telanjang, dalam kondisi paling menyedihkan. Beberapa menggunakan lift untuk turun sejauh 240 meter ke dalam lorong-lorong sempit mencari seng dan timah, sambil berharap untuk meraup bahan-bahan tersebut sebanyak mungkin, demi memperoleh upah mingguan.

Ini perjalanan panjang. Udara dingin merasuk ke dalam tulang. Ketika cahaya akhirnya tampak di kejauhan, ia tampak seperti kembalinya kehidupan. Rasanya begitu lama kami berjalan, padahal baru tiga jam. Sementara itu para mineros (pekerja tambang) lain berdatangan untuk menggantikan rombongan sebelumnya. Ketika melihat wajah-wajah mereka yang ramah namun dibuat keras oleh keadaan, Anda tidak dapat membayangkan bagaimana mungkin mereka menghabiskan setiap hari selama 30 tahun di neraka ini.


Ekonomi Semi-Kolonial

Dalam beberapa dekade terakhir, jumlah pekerja tambang Bolivia telah merosot drastis; angkanya kini 70 ribu, hanya 1,5 persen dari populasi dengan usia produktif. Namun, mereka memproduksi 25 persen ekspor negara ini dan 300 ribu orang lainnya mendapat pekerjaan dari sektor-sektor terkait, seperti transportasi, permesinan, dan perdagangan. Mengingat bahwa mereka juga merupakan salah satu lapisan proletar yang paling agresif di Amerika Latin, jelaslah bahwa posisi mereka masih sentral dalam kehidupan sosial-ekonomi negara termiskin di kawasan tersebut.

Meski Bolivia adalah produsen perak dan timah terbesar ketujuh di dunia, ekonominya masih ditandai oleh minimnya sarana-sarana penghidupan. Sekitar 90 persen pekerja tambangnya bekerja dalam korporasi tanpa perlindungan kerja dan jaminan sosial, namun hanya mengambil bagian dalam 20 persen dari seluruh kerja penambangan. Pasalnya, sektor ini didominasi oleh perusahaan-perusahaan multinasional: korporasi San Cristóbal asal Jepang bukan hanya mengontrol 85 persen pasar timah, tapi juga (bersama perusahaan Sinchi Wayra dari Swiss) 85 persen seng dan (lagi-lagi bersama Sinchi Warya dan perusahaan Panamerican Silver dari Amerika Serikat) 75 persen penambangan perak.

Keberadaan mereka tidak membawa perbaikan – lihat fakta bahwa sebagian besar tambang yang digunakan hari ini adalah tambang-tambang yang sama dengan yang digunakan di zaman kolonial. Tidak ada perubahan juga di level infrastruktur, karena mineral-mineral tambang masih diangkut dengan sistem kereta api dari tahun 1892. Kemajuan dalam otonomi nasional juga terbilang minim: Bolivia hanya mengolah sebagian kecil perak dan timahnya, sementara untuk seng malah sama sekali tidak. Ia harus membatasi diri pada ekspor bahan-bahan mentah dan mengirimkannya ke negara-negara di mana perusahaan-perusahaan multinasional yang mengontrol pasar bermarkas. Hanya sebagian kecil dari jutaan dolar pemasukan dari sektor ini yang disisakan untuk Bolivia. Korporasi-korporasi asing hanya membayar 8 persen pajak – angka yang jauh lebih rendah daripada 56 persen yang sebelumnya dibayarkan oleh BUMN Comibol, namun juga masih lebih rendah daripada 13,5 persen yang disetorkan oleh ‘baron-baron timah’ yang tersohor di tahun 1930-an.

Melihat kenyataan ini, dan mempertimbangkan kerusakan lingkungan serta perampasan sumber-sumber daya tak terbarukan, ada harapan Bolivia bergerak tanpa ragu mengejar nasionalisasi, demi mengakhiri ekonomi semi-kolonial dan memasuki fase modernisasi yang ramah lingkungan—dengan sikap hormat pada masyarakat adat yang hidup di wilayahnya.***


Marcello Musto adalah Profesor Sosiologi di York University, Toronto. Tulisan-tulisannya yang tersedia di www.marcellomusto.org telah diterbitkan dalam lebih dari dua puluh bahasa.


Artikel ini diterjemahkan oleh Daniel Sihombing.


]]>
Jalan Terjal Komune Paris (Bagian II) https://indoprogress.com/2021/05/jalan-terjal-komune-paris-bagian-ii/ Mon, 03 May 2021 08:27:05 +0000 https://indoprogress.com/?p=233144

Ilustrasi: Illustruth


Perjuangan kolektif dan feminis

KOMUNE Paris lebih dari sekadar aksi-aksi yang disetujui oleh dewan legislatifnya. Ia bahkan menata kembali ruang perkotaan, seperti nampak dalam keputusan untuk menghancurkan Pilar Vendôme, yang dianggap monumen barbarisme dan simbol perang. Komune Paris juga menerapkan kebijakan sekularisasi pada beberapa tempat ibadah dengan menyerahkannya kepada masyarakat.

Komune terus berjalan berkat tingkat partisipasi massa yang luar biasa dan semangat gotong-royong yang kuat. Dalam atmosfer penolakan terhadap otoritas, klub-klub revolusioner yang menjamur di hampir seluruh arrondisement memainkan peranan penting. Setidaknya ada 28 klub yang menyuguhkan salah satu contoh terbaik mobilisasi spontan. Dibuka setiap petang, klub-klub ini menawarkan ruang bagi para penduduk untuk bersua usai jam kerja dan leluasa mendiskusikan situasi sosial dan politik, memeriksa capaian wakil-wakil mereka, dan mengusulkan cara-cara alternatif untuk menyelesaikan masalah sehari-hari. Klub-klub ini adalah perkumpulan dengan struktur horizontal yang menopang pembentukan kedaulatan rakyat sekaligus menjadi corongnya. Klub-klub ini juga penciptaan ruang-ruang persaudaraan sejati di mana semua orang menjadi tuan bagi nasibnya sendiri.

Arah cita-cita emansipasi ini tidak memberikan tempat bagi diskriminasi berdasarkan status kebangsaan. Status kewargaan berlaku bagi siapapun yang berjuang bagi perkembangan Komune. Orang asing menikmati hak-hak sosial yang sama dengan orang Prancis. Prinsip kesetaraan ini terbukti dalam peranan penting 3.000 orang asing yang aktif dalam Komune. Leo Frankel, anggota Asosiasi Pekerja Internasional dari Hongaria, tak hanya terpilih untuk menduduki kursi di Dewan Komune, namun juga menjabat sebagai “menteri” perburuhan—salah satu posisi kunci. Demikian pula Jaroslaw Dombrowski dan Walery Wroblewski dari Polandia yang menempati posisi perwira tinggi di pucuk pimpinan Garda Nasional.

Meski belum mendapatkan hak untuk memilih ataupun untuk duduk di Dewan Komune, kaum perempuan punya peran penting dalam kritik-kritik terhadap tatanan sosial yang ada. Dalam banyak kasus, kaum perempuan mematahkan norma-norma masyarakat borjuis dan membentuk identitas baru yang berlawanan dengan nilai-nilai keluarga patriarkal; mereka keluar dari kekangan domestik untuk kemudian terlibat di ruang-ruang publik. Serikat Perempuan untuk Pertahanan Paris dan Perawatan Korban Luka–yang kelahirannya berhutang banyak pada anggota Internasional I bernama Elisabeth Dmitrieff–berperan penting menandai arena-arena strategis perjuangan sosial. Kaum perempuan berhasil menutup rumah-rumah bordil berlisensi, menggolkan penyetaraan guru laki-laki dan perempuan, melambungkan slogan “gaji setara untuk kerja setara”, menuntut hak-hak yang setara dalam pernikahan dan pengakuan atas serikat-serikat independen, serta mempromosikan dewan-dewan khusus perempuan dalam serikat-serikat pekerja.

Ketika situasi keamanan memburuk pada pertengahan Mei (pasukan kontra-revolusi [Versaillais] mulai berjejer di pintu-pintu masuk kota) perempuan mengangkat senjata dan mendirikan batalion. Banyak dari mereka yang gugur di barikade. Propaganda borjuis menjelek-jelekkan mereka, menjuluki para perempuan ini les pétroleuses (tukang bakar rumah), dan melayangkan tuduhan bahwa mereka bersiap membakar seisi kota dalam aksi-aksi perang jalanan.


Sentralisasi atau desentralisasi?

Demokrasi sejati yang hendak ditegakkan oleh kaum Komune adalah proyek ambisius nan sulit. Kedaulatan rakyat membutuhkan partisipasi warga sebesar-besarnya. Sejak Maret, komisi sentral, komite lokal, klub revolusioner, dan batalion menjamur di Paris, beriringan dengan dua lembaga inti yang tak kalah kompleks, yaitu Dewan Komune dan Komite Sentral Garda Nasional. Pihak yang terakhir disebut ini memegang kontrol militer dan seringkali bertindak sebagai penyeimbang kekuasaan Dewan Komune. Meski keterlibatan langsung warga adalah jaminan vital bagi perwujudan demokrasi, pelbagai otoritas yang terlibat menyulitkan proses pengambilan keputusan sampai-sampai pelaksanaan dekrit-dekrit yang telah dibuat pun menjadi berliku.

Masalah hubungan antara otoritas pusat dan badan-badan lokal juga memicu sejumlah kekacauan, yang kadang melumpuhkan kapasitas politik Komune. Keseimbangan antara kedua lembaga ini rusak pada masa darurat perang. Saat itu, di tengah ketidakefektifan pemerintahan dan ketidakdisiplinan Garda Nasional, Jules Miot mengusulkan pembentukan Komite Keselamatan Publik beranggotakan lima orang. Komite ini segaris dengan model kedikatoran Maximilien Robespierre pada 1793. Usulan Miot disetujui pada 1 Mei, dengan dukungan suara mayoritas 45 lawan 23. Langkah yang terbukti keblinger ini mengawali akhir dari eksperimen politik segar yang dihadirkan Komune.

Komune pun pecah menjadi dua blok yang berlawanan. Blok pertama, yang terdiri atas kaum neo-Jacobin dan Blanquis, condong pada konsentrasi kekuasaan. Mereka akhirnya menempatkan politik di atas perjuangan sosial. Blok kedua, yang antara lain diisi oleh mayoritas anggota International Working Men’s Association, memprioritaskan perjuangan sosial lebih di atas perjuangan politik. Bagi blok kedua, pemisahan kekuasaan adalah wajib hukumnya dan kemerdekaan politik tak boleh diganggu gugat. Dipimpin oleh Eugène Varlin, sosok yang tak kenal lelah, blok ini menolak mentah-mentah pendekatan otoriter dan tidak ikut ambil bagian dalam pemilihan anggota Komite Keselamatan Publik. Menurut mereka, sentralisasi kekuasaan di tangan segelintir orang jelas-jelas bertentangan dengan prinsip-prinsip pendirian Komune. Pasalnya, para wakil terpilih–yang asalnya dari rakyat–tidak berdaulat dan tidak memiliki hak untuk menyerahkan mandat kepada badan tertentu. Pada 21 Mei, ketika kelompok minoritas ini ikut ambil bagian lagi dalam sebuah sesi di Dewan Komune, upaya baru untuk merajut persatuan kembali muncul. Sayang, semuanya sudah terlambat.


Komune sebagai sinonim revolusi

Komune Paris akhirnya digilas habis oleh pasukan Versailles. Selama semaine sanglante, Minggu Berdarah antara 21 dan 28 Mei, sebanyak 17.000 hingga 25.000 warga Paris dibantai. Pertempuran terakhir pecah di dinding-dinding kuburan Père Lachaise. Penyair Arthur Rimbaud muda menggambarkan ibukota Prancis sebagai “kota yang berkabung, sekarat”.

Inilah pembantaian paling berdarah dalam sejarah Prancis. Hanya 6.000 orang yang berhasil kabur ke Inggris, Belgia dan Swiss. Jumlah tawanan mencapai 43.552 orang. Seratus orang di antaranya dijatuhi hukuman mati tak lama setelah diadili, sementara 13.500 lainnya dikirim ke penjara atau kamp kerja paksa, atau diasingkan ke wilayah terpencil seperti Kaledonia Baru. Beberapa dari mereka yang dibuang ke pengasingan bersolidaritas dengan tokoh-tokoh Aljazair usai revolusi anti-kolonial Mokrani. Revolusi ini pecah bersamaan dengan Komune dan sama-sama digilas pasukan Prancis.

Ketakutan akan Komune Paris semakin membuat negara menggencarkan represi terhadap gerakan sosialis di seluruh Eropa. Pers liberal dan konservatif, yang menutup mata atas kekerasan rezim Thiers, melayangkan tuduhan bahwa kaum Komune telah melakukan kejahatan luar biasa. Mereka sangat lega menyaksikan pulihnya “tatanan alamiah”, legalitas borjuis. Mereka juga sangat puas menyaksikan kemenangan “peradaban” terhadap anarki. Mereka yang berani melawan kelas penguasa beserta hak-hak istimewanya dihukum dan dijadikan contoh buruk. Para perempuan kembali diperlakukan sebagai makhluk rendahan. Kaum pekerja, dengan tangan-tangan yang kotor, kapalan, namun pernah berani memegang pemerintahan, diarak untuk kembali ke kedudukan semula. Bagi koran-koran ini, itulah kedudukan kaum pekerja yang semestinya.

Namun pergolakan di Paris terlanjur memasok energi besar bagi perjuangan kaum pekerja dan mendorong mereka melaju ke arah yang lebih radikal. Keesokan hari usai kekalahan, Eugène Pottier menuliskan sebuah lagu yang ditakdirkan menjadi ‘lagu kebangsaan’ gerakan kelas pekerja: “Kumpullah melawan / Dan [esok] Internasionale / Pastilah di dunia!”

Komune Paris menunjukkan bahwa perjuangan pekerja haruslah bercita-cita membangun masyarakat yang betuk-betul berbeda dengan kapitalisme. Bahkan jika masa-masa indah (Le Temps des cerises)* tak datang dua kali bagi para protagonisnya, Komune Paris menjadi wujud dari gagasan perubahan sosio-politik beserta penerapan praktisnya. Ia menjadi sinonim konsep revolusi itu sendiri, dengan pengalaman ontologis dari kelas pekerja. Dalam Perang Sipil di Prancis (1871), Karl Marx mengatakan bahwa “garda depan kaum proletar modern” ini telah berhasil “melekatkan kaum pekerja sedunia pada Prancis”. Komune Paris mengubah kesadaran kaum pekerja dan persepsi kolektif mereka. 150 tahun telah berlalu, namun bendera merah Komune terus berkibar dan mengingatkan kita bahwa dunia alternatif selalu mungkin tercipta. Vive la Commune!

*Mengutip judul tulisan seorang pelaku Komune bernama Jean-Baptiste Clément


Marcello Musto adalah Profesor Sosiologi di York University, Toronto. Tulisan-tulisannya yang tersedia di www.marcellomusto.org telah diterbitkan dalam lebih dari dua puluh bahasa. Artikel ini diterjemahkan oleh Daniel Sihombing


]]>
Revolusi dan Kontra-Revolusi di Myanmar https://indoprogress.com/2021/04/revolusi-dan-kontra-revolusi-di-myanmar/ Tue, 27 Apr 2021 08:27:44 +0000 https://indoprogress.com/?p=233133

Foto: The New York Times


AKSI-AKSI kekerasan kontra-revolusioner di Myanmar kian memuncak. Tatmadaw (militer Myanmar) semakin gencar menebar teror untuk memberangus perlawanan rakyat di seantero negeri. Dimulai dengan Perang Hlaing Tharyar—bentrokan pekerja dan pelajar versus tentara selama empat hari pada Maret 2021 yang menewaskan setidaknya 60 demonstran di kantong kelas pekerja Yangon, kota terbesar Myanmar—teror terus melaju dengan rangkaian pembantaian seiring gerakan anti-kudeta berhasil melumpuhkan ekonomi lewat aksi-aksi pemogokan di sebagian besar sektor vital dan melawan junta militer dengan segala cara.

Akhir Maret lalu, tepatnya pada perayaan Hari Angkatan Bersenjata yang memperingati dimulainya perlawanan militer terhadap pendudukan Jepang pada 1945, Tatmadaw menggelar parade di jalan-jalan ibukota Naypyidaw—didampingi perwakilan Rusia, Tiongkok, India, Pakistan, Bangladesh, Vietnam, Laos, dan Thailand. Pada saat bersamaan, demonstrasi di kota-kota besar dan pusat-pusat daerah di seluruh Myanmar disambut oleh berondongan peluru polisi dan aparat keamanan lainnya. (Menurut catatan resmi, korban tewas hari itu mencapai 114 jiwa—angka riilnya kemungkinan besar lebih tinggi.) Menurut Assistance Association for Political Prisoners, lebih dari 4.000 orang telah ditangkap dan lebih dari 700 tewas sejak perlawanan terhadap kudeta bergulir pada 1 Februari 2021.

Perang jalanan dan barikade menjadi wajah Yangon hampir sepanjang Maret. Kini Yangon dipadati pos pemeriksaan dan patroli militer. Layanan internet dan telekomunikasi sangat dibatasi. Siaran-siaran rutin di jaringan televisi yang dikendalikan militer, MRTV, memajang nama dan wajah orang-orang yang masuk dalam daftar tangkap. Siaran-siaran ini mendesak warga untuk melaporkan keberadaan orang-orang di dalam daftar tersebut kepada militer. (Pada 9 April, MRTV mengumumkan 19 warga kecamatan Oakkalapa Utara di Yangon didakwa hukuman mati.)

“Jalan-jalan sudah menjelma ladang pembantaian. Ada penembakan acak di lingkungan lingkungan kami. Anak-anak usia lima tahun bahkan jadi korban. Para pekerja ditembak mati di dalam pabrik [mereka]. Rumah-rumah digrebek dan dibakar. Upacara pemakaman diamuk tentara. Mereka [militer] bahkan membakar pendemo hidup-hidup,” Me Me Myint,* seorang perawat dari Rumah Sakit Pekerja Yangon, bercerita lewat sambungan telepon dari sebuah biara Buddha di pinggir kota. 

Me Me dan ratusan pekerja Rumah Sakit Pekerja Yangon diusir dari perumahan milik negara awal April lalu karena ikut serta dalam gerakan anti-kudeta. Di belakang suara Me Me, terdengar para biksu Buddha melantunkan “Mora Sutta” (“doa burung merak” untuk berlindung dari roh jahat). Tapi doa tidak berarti apa-apa bagi Tatmadaw, yang hampir setiap hari menggerebek biara dan rumah sakit, menculik pendemo yang terluka parah dan menyiksa mereka sampai mati. 

“Tak ada tempat yang aman dari kejahatan ini,” kata Me Me.

Meski diteror, gerakan penggulingan junta tak henti-hentinya mencari cara berlawan. “Protes kilat” kini marak di di kota besar dan kecil. Aksi yang sulit diberangus aparat keamanan ini digelar dalam waktu relatif singkat oleh peserta yang jumlahnya bervariasi—seringkali dari atas sepeda motor atau skuter. April ini, massa-rakyat memboikot Thingyan, perayaan Tahun Baru Myanmar, dengan slogan “Kami Ogah Diatur-atur.” Banyak foto menunjukkan slogan yang terpampang di grafiti dan poster-poster politik di seantero Yangon. Bunyinya: “Giliranmu sudah tiba. Siap-siap bayar utang darah.” Pesan itu tertuju kepada Tatmadaw dan para dalan alias cepu (tukang lapor). 

Mahasiswa memboikot sistem pendidikan tinggi dan mengajak para pegawai kampus untuk turun ke jalan bersama gerakan anti-kudeta. “Sistem pendidikan kami mendukung fasisme dan ini harus dilawan dengan segala cara,” seru James,* seorang Marxis dan aktivis mahasiswa, melalui sambungan telepon dari Yangon. James sudah jadi buronan sejak April, tepatnya setelah Tatmadaw mengeluarkan perintah penangkapan terhadap dirinya, kawan-kawannya sesama aktivis mahasiswa, dan para pemimpin serikat buruh atas tuduhan memancing pemberontakan di tubuh angkatan bersenjata. Kini James berlindung di salah satu rumah aman (safe house) yang jaringannya diorganisir para pendukung gerakan. Rumah-rumah ini kini dihuni ribuan pelarian. 

“Surat perintah penangkapan berarti hukuman mati,” ujarnya. “Jika Tatmadaw menemukanku, bisa dipastikan mereka akan membunuhku. Tapi sebelum itu, mereka akan memenjarakan dan menyiksaku. Mereka akan mencoba memaksaku untuk membocorkan lokasi rekan-rekanku dan mengorek detail jaringan kami. Tapi biarpun mereka mereror kami sampai kiamat, kami takkan pernah tunduk pada fasisme.”

Pemogokan umum berlangsung tanpa henti. Sayang, aksi ini telah kehilangan banyak momentum yang begitu menonjol di minggu-minggu awal pergolakan. “Represi mempersulit pekerja untuk bertemu di muka umum atau berdemonstrasi,” ujar Z,* seorang pegawai bank di Yangon melalui aplikasi Signal. Z, yang mendukung gerakan pemogokan, juga menuturkan bahwa bank-bank masih lumpuh dan kurang dari seperempat pegawai bank di Myanmar kini kembali bekerja di bawah ancaman pemecatan massal, penangkapan, dan pengusiran dari rumah mereka. “Uang tidak bisa bergerak seperti biasanya. Galangan kapal terhenti, juga angkutan truk dan logistik. Masinis tidak akan kembali bekerja dan militer tak tahu cara mengoperasikan [kereta],” katanya.

Ketika barisan inti gerakan mogok tetap bertahan, elemen lain terpaksa mundur. “Pekerja termiskin seperti buruh harian tak punya banyak pilihan selain kembali bekerja. Mereka tak ingin bekerja di bawah junta, tapi tidak punya jaringan dukungan yang sama seperti pekerja-pekerja lain yang lebih terorganisir,” kata Z.

Meski terjadi pemogokan umum, pundi-pundi negara tetap terisi berkat sektor-sektor yang belum terpengaruh gerakan massa, mulai dari industri ekstraktif seperti minyak, gas, pertambangan batu permata, penebangan liar, hingga jaringan kejahatan terorganisir yang dikendalikan Tatmadaw, yang meliputi produksi narkoba dan perdagangan satwa liar-langka. (Menurut Financial Times, operasi penambangan batu giok saja menghasilkan pendapatan sekitar USD 31 miliar per tahun.)

Sepanjang April, kota-kota di daerah dan pusat-pusat pedesaan menjadi panggung konfrontasi antara gerakan rakyat dan Tatmadaw. Para warga di daerah-daerah ini berusaha menarik serdadu keluar dari kota-kota besar dan memecah sumber daya militer ke tempat-tempat terpisah. Sejumlah kecamatan dan kota kecil di daerah Mandalay bergerak dengan slogan “Kami takut tapi demo tidak boleh berakhir.” Di Kota Mandalay, kota terbesar kedua Myanmar, pelajar, pekerja, dan teknisi memimpin serangkaian protes kilat harian. (Para biksu Buddha terlihat berbaris di depan aksi-aksi massa, berharap tentara akan lebih ragu-ragu menindas pemuka agama.)

Warga setempat di daerah Sagaing dan Magway mempersenjatai diri dengan senapan berburu rakitan dan berulang kali bentrok dengan aparat rezim. Meski sudah babak belur dihajar peluru dan korban tewas bergelimpangan, warga dilaporkan berhasil menyergap konvoi militer di kota demi kota dan menahan para serdadu selama beberapa hari. Puluhan tentara dan polisi tewas dalam pertempuran, namun lebih banyak lagi yang terluka. 

“Serangan terhadap kota mana pun adalah serangan terhadap kota kita!” demikian bunyi sebuah slogan yang sering terdengar selama pertempuran berlangsung. 

Pada 9 April, Konfrontasi mencapai titik didih di kota Bago, timur laut Yangon. Ratusan tentara dan polisi menyerang warga yang mendirikan barikade dan milisi bersenjata di sebelah timur kota. Rekaman video sepanjang penyerbuan menunjukkan tentara menghamburkan peluru tajam dan amunisi ledak—termasuk mortir dan granat berpeluncur roket—ke arah barikade, sementara warga mempertahankan diri dengan senapan rakitan.

Menurut catatan resmi, jumlah korban tewas ketika serbuan berakhir mencapai 82 jiwa—inilah hari kekerasan terburuk yang terangkum dalam satu pembantaian terhitung sejak perlawanan terhadap kudeta dimulai. Namun, Thar Yar Than,* seorang anggota milisi lokal, melaporkan lewat telepon bahwa angka korban jiwa sebenarnya mencapai ratusan. “Mereka [tentara] menimbun mayat, memasukkannya ke dalam truk dan mengangkutnya ke markas,” kata Thar Yar. Ia menyatakan tentara menolak memberikan perawatan medis kepada puluhan korban luka berat. Petugas palang merah diancam dengan peluru jika turun tangan. Rumah sakit umum sekitar juga sudah direbut dan diduduki tentara dan polisi.

“Orang-orang yang terluka ditumpuk bersama orang mati. Kamu bisa mendengar teriakan mereka di antara tumpukan mayat,” ujar Thar Yar yang kini bersembunyi di hutan sekitar bersama ribuan warga Bago. “Orang bilang perang saudara akan tiba,” katanya. “Tapi bagi banyak orang, ini sudah perang saudara.”

Selama beberapa pekan terakhir, banyak organisasi etnis bersenjata (OEB) di Myanmar meningkatkan serangan terhadap pos-pos polisi dan militer. Tentara Tentara Kemerdekaan Kachin (KIA) dilaporkan telah memukul beberapa batalyon polisi di perbatasan utara dekat Tiongkok. KIA juga merebut pangkalan Alaw Bum yang sebelumnya dipegang oleh Tatmadaw. (Menurut laporan yang beredar sejak itu, KIA telah mempertahankan Alaw Bum dari tentara Tatmadaw, menewaskan lebih dari 100 personel—termasuk sejumlah perwira tinggi—dan menangkap puluhan pembelot begitu pertempuran berakhir.)

Tentara Pembebasan Nasional Karen (KNLA) merebut pangkalan militer Thee Mu Hta di Mutraw yang terletak di tenggara Myanmar. Beberapa OEB lainnya di wilayah Shan dan Rakhine juga mengerahkan senjata untuk melindungi aksi-aksi protes. Dalam pernyataan resminya, KNLA mengatakan: “Kami tak bisa terima perlakuan tidak manusiawi, tak hanya di negara bagian Kayin [Karen], tetapi juga di wilayah-wilayah lain.”

Tatmadaw membalas dengan melancarkan serangan udara dan membombardir sejumlah daerah yang dikuasai kelompok etnis. Puluhan orang tewas dan puluhan ribu lainnya mengungsi—mayoritasnya kini terdampar di kamp-kamp pengungsian sepanjang perbatasan Thailand-Myanmar. Banyak yang dilaporkan mencoba melarikan diri ke Thailand, namun ditolak masuk atau dideportasi otoritas Negeri Gajah Putih (yang juga berulangkali memblokir pasokan medis dan makanan ke Myanmar). Puluhan ribu pengungsi di dalam negeri kini membangun bungker di kamp-kamp sebagai langkah antisipatif seandainya Tatmadaw melancarkan kampanye bumi hangus. 

Tatmadaw kian bergantung pada serangan udara. Ini adalah kedok yang menutupi isyarat kelemahan di tubuh mereka sendiri. Selama beberapa minggu terakhir, segelintir perwira menengah membelot ke teritori OEB dan menyatakan dukungan untuk revolusi. Dalam wawancara dengan situs berita myanmar-now.org, salah seorang pembelot bernama Kapten Lin Htet Aung mengaku bahwa keluarga para prajurit diancam akan disiksa dan dibunuh  sebagai ganjaran atas pembangkangan/insubordinasi. Menurut sang kapten, 75 persen pasukan akan meninggalkan satuan seandainya keluarga mereka mendapat perlindungan.

Guna menyiapkan aparatus negara baru di Myanmar apabila Tatmadaw terjungkal kelak, serta untuk meraih dukungan dari OEB dan menangkal ancaman pemogokan buruh, Komite Perwakilan Pyidaungsu Hluttaw (CRPH)—sekelompok anggota parlemen yang mayoritas berasal dari Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD), partai berkuasa yang digulingkan dalam kudeta 1 Februari—mengumumkan pembentukan Pemerintah Persatuan Nasional (NUG).

NUG sudah merilis sebuah piagam yang menyatakan konstitusi akan ditulis ulang. Konstitusi ini sekiranya akan menjunjung tinggi hak-hak semua etnis minoritas. Lewat piagam itu, NUG juga menyatakan akan mendirikan Tentara Persatuan Federal dengan keanggotaan yang berasal dari kelompok-kelompok OEB hari ini. Namun piagam tersebut tidak memberikan jaminan bahwa etnis Rohingya yang selama ini dianiaya tidak akan dikucilkan dari struktur baru negara-bangsa Myanmar kelak. Piagam NUG juga tidak menawarkan komitmen apapun untuk membubarkan Tatmadaw. 

Pemerintahan masa depan yang dipimpin NLD—perwakilan faksi liberal dari kelas kapitalis Myanmar—rupanya tak berminat untuk membangun kekuatan yang dinilai perlu oleh khalayak luas untuk menggulingkan Tatmadaw sebelum konflik bermutasi menjadi perang saudara berskala besar yang bisa membuka jalan untuk campur tangan imperialis dan dominasi kekuatan asing lain di kawasan. 

“Para pekerja dan aktivis garis depan di kota-kota perlu segera dipersenjatai,” seru James. Ribuan orang sudah meninggalkan kota dan kini berlatih bersama OEB di daerah-daerah yang dikuasai kelompok etnis. Mereka berniat kembali ke pusat kota untuk melawan Tatmadaw dalam beberapa pekan mendatang. “Tapi yang kami butuhkan adalah ratusan ribu—jika bukan jutaan—pekerja bersenjata, para pemogok di kota dan pusat-pusat daerah, untuk menduduki jalan-jalan dan tempat kerja mereka,” tutur James menjelaskan bahwa situasi seperti itu dapat memutus loyalitas tentara kelas bawah Tatmadaw dari para perwira mereka. “Baik jenderal-jenderal Tatmadaw maupun Pemerintah Persatuan Nasional—bersama sekutu imperialisnya—akan melakukan apapun untuk mencegah skenario semacam itu. Jika revolusi kita punya peluang untuk menang, situasi pemberontakan massa jelas dibutuhkan. Pilihan lain adalah barbarisme, yang wajah terburuknya belum kita saksikan.”***

*Nama disamarkan untuk melindungi identitas narasumber


Robert Narai, anggota Socialist Alternative, Australia


Tulisan ini pertama diterbitkan di Red Flag, media Socialist Alternative, pada 20 April 2021. Diterjemahkan dan diterbitkan di IndoPROGRESS untuk tujuan pendidikan. 


]]>
Jalan Terjal Komune Paris (Bagian I) https://indoprogress.com/2021/04/jalan-terjal-komune-paris-bagian-i/ Mon, 05 Apr 2021 08:22:12 +0000 https://indoprogress.com/?p=233056

Ilustrasi: Illustruth


KAUM borjuis Prancis telah lama meraih kemenangan. Sejak revolusi 1789, mereka adalah kelompok yang meraup kekayaan, sementara kelas pekerja secara terus-terusan harus menanggung beban krisis. 

Namun, proklamasi Republik Ketiga membuka horison baru dan menawarkan kesempatan perubahan. Setelah mengalami kekalahan perang di Sedan, Napoleon III ditawan Prusia pada 4 September 1870. Januari tahun berikutnya, setelah empat bulan Paris dikepung, Prancis menyerah kepada Otto van Bismarck. Sang Kanselir Prusia memaksakan pokok-pokok kesepakatan yang memberatkan sebagai syarat gencatan senjata. Pemilihan umum digelar dan Adolphe Thiers terpilih sebagai pemangku kekuasaan eksekutif, dengan dukungan kelompok-kelompok besar seperti Legitimist dan Orleanist. 

Paris memanas. Kelompok-kelompok republikan radikal dan sosialis menjamur. Pemerintahan sayap kanan yang akan memelihara ketidakadilan sosial menghantui negeri. Namun, naiknya pemerintahan yang hanya akan menambah beban perang pada kaum tak berpunya dan melucuti penduduk ibukota ini justru memicu revolusi baru pada 18 Maret. Thiers dan pasukannya terpaksa minggat ke Versailles.

Perjuangan dan Pemerintahan

Untuk mengamankan legitimasi demokratik, para pemberontak Paris segera mengadakan pemilihan umum. Pada 26 Maret, mayoritas penduduk Prancis (190.000 suara melawan 40.000) menyetujui tujuan-tujuan pemberontakan, dan 70 dari 85 perwakilan terpilih mendeklarasikan dukungan kepada revolusi. Sebanyak 15 anggota representatif moderat dari parti des maires, kelompok yang terdiri atas beberapa mantan kepala arrondissements, segera mengundurkan diri dan tidak bergabung dengan dewan Komune, disusul empat orang dari kubu Radikal. Sebanyak 66 sisanya—yang tidak mudah dibedakan karena afiliasi politik ganda—mewakili spektrum posisi yang luas. Di antara mereka ada sekitar 20 orang dari kelompok republikan neo-Jacobin (termasuk Charles Delescluze dan Félix Pyat yang tersohor), selusin pengikut Auguste Blanqui, 17 anggota Asosiasi Kaum Pekerja Internasional (baik pendukung Pierre-Joseph Proudhon maupun Karl Marx, yang seringkali saling bersitegang), dan beberapa kubu independen. Mayoritas pemimpin Komune adalah kaum buruh atau representasi kelas pekerja, 14 di antaranya berasal dari Garda Nasional. Faktanya, komite sentral Garda Nasional-lah yang mempercayakan kekuasaan di tangan Komune—awal dari rangkaian ketidaksepakatan dan konflik antara kedua lembaga.

Pada 28 Maret, sejumlah besar penduduk berkumpul di sekitar Hôtel de Ville untuk berpesta merayakan dewan perwakilan baru, yang kini secara resmi bernama Komune Paris. Meski berumur tak lebih dari 72 hari, Komune Paris merupakan peristiwa politik terpenting dalam sejarah gerakan buruh abad ke-19, memantik harapan rakyat yang sudah kelelahan digerus beban hidup selama berbulan-bulan. Komite-komite dan kelompok-kelompok baru bermunculan di berbagai pemukiman untuk memberikan dukungan kepada Komune. Tiap-tiap sudut ibukota menggulirkan berbagai inisiatif solidaritas dan merencanakan pembangunan dunia baru. Montmartre berubah menjadi “benteng kebebasan”. Salah satu sentimen yang menyebar luas adalah hasrat untuk berbagi dengan orang lain. Sosok-sosok militan seperti Louise Michel menjadi teladan bagi spirit  ini (Victor Hugo menulis Michel “melakukan apa yang telah dilakoni orang-orang hebat zaman lampau. […] Ia memuliakan mereka yang remuk dan terhempas”. 

Namun, ruh Komune tidak datang dari sosok pemimpin atau figur-figur karismatik alih-alih dari sisi kolektivitas yang terang benderang. Perempuan dan laki-laki berkumpul secara sukarela untuk mengerjakan proyek pembebasan untuk semua. Pemerintahan mandiri tak lagi dianggap utopia belaka. Emansipasi diri dipandang sebagai tugas yang esensial.

Transformasi Kekuatan Politik

Dua dari dekrit darurat pertama untuk memangkas kemiskinan akut parah adalah pemberhentian sewa hunian (disebutkan bahwa “properti juga harus berkorban”) dan penjualan barang di bawah 20 franc di pegadaian. Sembilan komisi kolegial juga dibentuk untuk menggantikan kementerian perang, keuangan, keamanan umum, pendidikan, penghidupan, perburuhan dan perdagangan, hubungan internasional dan pelayanan publik. Tidak lama berselang, muncul delegasi yang dipilih untuk mengepalai masing-masing kementerian.

Pada 19 April, tiga hari setelah pemilihan umum lanjutan untuk mengisi 31 kursi kosong, Komune mengadopsi Deklarasi Rakyat Prancis yang menyatakan “jaminan mutlak bagi kebebasan individu, kemerdekaan berkeyakinan dan kemerdekaan kerja” dan juga “intervensi permanen warga dalam urusan-urusan komunal”. Konflik antara Paris dan Versailles dianggap “tidak dapat diselesaikan lewat kompromi-kompromi ilusif”; rakyat punya hak dan “kewajiban untuk melawan dan menang!” Yang lebih signifikan lagi daripada teks ini—yang sebenarnya merupakan sintesis ambigu untuk menghindari ketegangan-ketegangan antar berbagai tendensi politik—adalah aksi-aksi konkret yang melaluinya orang-orang Komune memperjuangkan transformasi total kekuasaan politik. Pembaharuan-pembaharuan yang bukan hanya menyasar cara kerja administrasi politik, tapi juga hakikatnya. Komune membuka kesempatan agar wakil-wakil terpilih bisa ditarik kembali. Komune juga memungkinkan agar tindakan para wakil rakyat ini dikontrol lewat mandat yang mengikat (meski hal ini tidak serta merta mengatasi permasalahan kompleks representasi politik). Para pejabat, yang juga tunduk pada kontrol permanen dan bisa ditarik dari jabatan, tidak asal ditunjuk seperti di masa lalu, tetapi dipilih lewat kontes terbuka atau pemungutan suara. Tujuannya adalah mencegah transformasi ruang publik menjadi domain para politisi profesional. Keputusan-keputusan terkait kebijakan yang diambil tidak diserahkan pada sekelompok kecil fungsionaris dan teknisi, tetapi harus diputuskan oleh rakyat. Tentara dan polisi tidak lagi menjadi institusi yang terpisah dari masyarakat. Pemisahan negara dengan gereja juga menjadi syarat mutlak.

Namun visi perubahan politik Komune tidak terbatas pada hal-hal tersebut: ia menyasar akar yang lebih dalam. Transfer kekuasaan ke tangan rakyat diperlukan untuk secara drastis mereduksi birokrasi. Ranah sosial harus diutamakan di atas ranah politik—sebagaimana diterapkan oleh Henri de Saint-Simon—sehingga politik tidak lagi menjadi suatu fungsi spesialis alih-alih semakin terintegrasi ke dalam aktivitas masyarakat sipil. Dengan demikian, ranah sosial mengambil kembali fungsi-fungsi yang sebelumnya dialihkan kepada negara. Menggulingkan sistem kekuasaan berbasis kelas tidaklah cukup; sistem itu sendiri haruslah diakhiri juga. Semua ini akan menggenapkan visi Komune tentang republik sebagai persekutuan orang-orang merdeka, asosiasi yang sejatinya demokratik dan mempromosikan emansipasi semua komponennya. Hasilnya adalah pemerintahan mandiri para produsen/pekerja.

Memprioritaskan Perubahan-Perubahan Sosial

Komune berpendirian bahwa perubahan-perubahan sosial lebih krusial daripada perubahan politik. Perubahan-perubahan sosial ini adalah alasan keberadaan Komune, tolok ukur kesetiaan Komune pada prinsip-prinsip pendiriannya, dan unsur kunci yang membedakannya dari revolusi-revolusi sebelumnya pada 1789 dan 1848. Komune menelurkan lebih dari satu kebijakan dengan implikasi kelas yang terang. Tenggat waktu pembayaran utang, misalnya, ditunda tiga tahun tanpa tambahan bunga. Penggusuran karena kegagalan membayar sewa ditunda. Sebuah dekrit mengizinkan tempat tinggal kosong agar digunakan oleh mereka yang tak punya tempat tinggal. Ada rencana-rencana untuk memperpendek jam kerja (dari yang tadinya 10 jam menjadi 8 jam nantinya), praktik yang menjamur seperti pemberlakuan denda pada buruh sebagai upaya memotong upah dilarang dan diancam dengan sanksi, dan upah minimum dipatok pada level yang terhormat. Sebisa mungkin pasokan makanan ditambah dan diberi harga yang rendah. Kerja malam di pabrik-pabrik roti dilarang, dan sejumlah toko daging dibuka di kota. Berbagai bentuk bantuan sosial ditambahkan pada lapisan-lapisan masyarakat yang rentan—misalnya, bank makanan bagi perempuan dan anak-anak terlantar. Ada pula diskusi-diskusi seputar cara mengakhiri diskriminasi antara anak yang sah secara hukum dan yang tidak.

Semua anggota Komune percaya bahwa pendidikan adalah unsur penting bagi emansipasi individu dan perubahan sosial-politik. Sekolah digratiskan dan diwajibkan bagi perempuan dan laki-laki. Pelajaran agama digantikan oleh pendidikan sekuler, rasional, dan ilmiah. Komisi-komisi khusus diangkat dan halaman-halaman koran menampilkan argumen-argumen kuat yang mendukung investasi untuk pendidikan perempuan. Agar sungguh-sungguh menjadi “layanan publik”, pendidikan harus menawarkan peluang setara bagi “anak-anak dari kedua jenis kelamin”. Selain itu, “pembedaan orang berdasarkan ras, kebangsaan, agama atau posisi sosial” harus dilarang. Beberapa inisiatif praktis di awal mengiringi kemajuan-kemajuan di atas kertas. Ribuan anak buruh dari berbagai arrondissement menghadiri sekolah untuk pertama kalinya dan menerima bahan ajar secara gratis.

Komune juga mengadopsi kebijakan-kebijakan berkarakter sosialis. Ia mengeluarkan dektrit bahwa bengkel-bengkel peninggalan para bos yang melarikan diri harus diserahkan pada asosiasi-asosiasi kooperatif para pekerja. Teater dan museum—dibuka untuk semua tanpa tarif—dikolektivisasi dan diletakkan di bawah manajemen Federasi Seniman Paris, yang dipimpin oleh pelukis dan sosok militan Gustave Courbet. Sekitar tiga ratus pemahat, arsitek, tukang cetak dan pelukis (di antaranya Édouard Manet) terlibat dalam kelompok ini—contoh yang diikuti oleh dunia opera dengan pendirian federasi serupa.

Semua aksi dan inisiatif ini dimulai dalam kurun waktu yang menakjubkan, hanya 54 hari di Paris yang masih oleng akibat efek perang dengan Prussia. Komune hanya mampu mengerjakan agendanya antara 29 Maret dan 21 Mei, di tengah perjuangan heroik melawan serangan-serangan dari Versailles yang juga banyak menyedot tenaga dan uang. Karena Komune tidak memiliki alat untuk memaksakan kebijakan-kebiajaknnya, banyak dari dekrit yang telah dirilis tidak diterapkan secara seragam di sekujur Paris. Namun demikian, dekrit-dekrit ini menunjukkan hasrat ambisius untuk menata kembali masyarakat dan menunjukkan jalan pada kemungkinan perubahan.***

(Bersambung)

Marcello Musto adalah Profesor Sosiologi di York University, Toronto. Tulisan-tulisannya—tersedia di www.marcellomusto.org—telah diterbitkan secara luas dalam lebih dari dua puluh bahasa.

Artikel ini diterjemahkan oleh Daniel Sihombing

]]>
Untuk Rosa Luxemburg, Untuk 150 Tahun Kelahirannya https://indoprogress.com/2021/03/untuk-rosa-luxemburg-untuk-150-tahun-kelahirannya/ Fri, 05 Mar 2021 03:38:27 +0000 https://indoprogress.com/?p=233011

Ilustrasi: Jonpey


KETIKA diminta berbicara di Kongres Internasional Kedua di Zurich pada Agustus 1893, Rosa Luxemburg, salah satu dari sedikit perempuan yang hadir, berjalan melintasi kerumunan utusan dan aktivis yang memadati aula. Wajahnya masih belia. Tubuhnya mungil. Masalah di pinggang membuat jalannya pincang sejak usia lima tahun. 

Tapi, segala kesan ringkih itu lekas lenyap. Ia sengaja berdiri di atas kursi agar suaranya terdengar. Para hadirin tersihir, terpesona dengan kecakapan bernalar dan orisinalitas pendapat Rosa.  

Isu Kebangsaan Polandia

Pada mulanya adalah Polandia. 

Dalam pandangan Rosa, pembentukan negara Polandia merdeka tak perlu dijunjung sebagai cita-cita utama gerakan buruh Polandia. Tanah airnya itu masih dikuasai tiga pihak; dibagi oleh kekaisaran Jerman, Austro-Hongaria, dan Rusia. Penyatuan kembali muskil dicapai; sudah semestinya kaum buruh fokus pada agenda-agenda pendorong perjuangan praktis guna memenuhi kebutuhan-kebutuhan khusus.

Lewat corak argumen yang kelak dikembangkan beberapa tahun kemudian, Rosa menyerang siapapun yang menitikberatkan isu-isu kebangsaan. Ia mengingatkan betapa retorika patriotisme bisa digunakan untuk mengerdilkan perjuangan kelas dan mengalihkan perhatian dari isu-isu sosial yang ada. Tak usahlah menuntut proletariat agar “tunduk pada ide kebangsaan Polandia” di tengah berbagai penindasan lain yang mendera mereka—begitulah kira-kira pesannya. Untuk menghindari jebakan ini, Rosa bercita-cita mengembangkan pemerintahan lokal mandiri beserta penguatan otonomi di ranah budaya yang mampu meredam kebangkitan chauvinisme dan berbagai bentuk diskriminasi ketika corak produksi sosialis kelak ditegakkan. Inti dari seluruh refleksi Rosa ini perlunya membedakan isu kebangsaan dan isu negara-bangsa.


Melawan Arus

Argumen di Kongres Zurich adalah pintu masuk menuju kehidupan intelektual Rosa Luxemburg, seorang perempuan yang sudah sepantasnya dianggap salah satu eksponen terpenting sosialisme abad keduapuluh. Lahir 150 tahun silam, tepatnya pada 5 Maret 1871, di Zamość, bagian dari Polandia yang diokupasi Tsar, Rosa menjalani seluruh hidupnya di pinggiran, bergulat dengan begitu banyak situasi serba pelik dan selalu melawan arus. Lahir dari keluarga Yahudi, Rosa bergelut dengan keterbatasan fisik sepanjang hayatnya. Ia pindah ke Jerman pada usia 27 tahun dan menjadi warga negara Jerman lewat pernikahan yang tak didasari cinta. Sebagai seorang pasifis yang gigih selama Perang Dunia I, ia beberapa kali masuk bui karena pemikirannya. Ia sungguh-sungguh memusuhi imperialisme di tengah zaman baru ekspansi kolonial yang penuh kekerasan. Ia berjuang menghapus hukuman mati di tengah merajalelanya barbarisme. 

Aspek lain yang tak kalah penting: ia seorang perempuan di lingkungan yang hampir seutuhnya dihuni laki-laki. Rosa seringkali menjadi satu-satunya perempuan, baik di Universitas Zurich—di mana ia meraih gelar doktor pada 1897 dengan tesis bertajuk Perkembangan Industri di Polandia—maupun di jajaran pimpinan Partai Demokrasi Sosial Jerman (SPD). Partai merekrut Rosa sebagai perempuan pengajar pertama di sekolah kader. Kerja itu diembannya sejak 1907 hingga 1914, ketika ia menerbitkan Akumulasi Kapital (1913) dan menggarap proyek yang tak selesai, Pengantar Ekonomi Politik (1925).

Tantangan-tantangan ini mengiringi jiwa Rosa yang merdeka dan mandiri—suatu keutamaan sikap yang tak jarang pula menciptakan masalah di partai-partai kiri. Dengan kecerdasan memikat, Rosa mampu mengembangkan gagasan-gagasan baru dan berani mempertahankannya  di hadapan August Bebel dan Karl Kautsky—dua orang yang mendapat kemewahan akses langsung ke Engels). Segala olah pikir dan debat tak ia lakukan untuk membeo Marx, alih-alih menafsirkannya secara historis dan mengembangkan gagasan-gagasan Marx lebih jauh ketika diperlukan. Bagi Rosa, kemerdekaan berpendapat dan mengambil posisi kritis di dalam partai adalah hak yang tidak dapat diganggu gugat. Partai wajib menjadi rumah bagi beragam pandangan, selama para penghuninya menyepakati prinsip-prinsip dasar yang sama.


Partai, aksi mogok, revolusi

Rosa Luxemburg sukses mengatasi banyak rintangan yang dihadapinya. Dalam perdebatan keras setelah Eduard Bernstein mengambil jalan reformis, nama Rosa kian besar di antara organisasi-organisasi terdepan gerakan buruh Eropa. 

Dalam teks yang kini tersohor, Syarat-Syarat Sosialisme dan Tugas-Tugas Demokrasi Sosial (1897-99), Bernstein menyerukan agar partai meninggalkan masa lalu dan berubah menjadi kekuatan yang mampu mendorong perubahan secara gradual. Rosa mengambil posisi berlawanan. Dalam Reformasi Sosial atau Revolusi? (1898-99), ia menyatakan bahwa  dalam setiap periode sejarah “agenda-agenda reformis diterapkan hanya dengan arahan dari revolusi sebelumnya”. Ada perubahan-perubahan yang hanya dimungkinkan oleh perebutan kekuasaan dengan jalan revolusi. Namun, lanjutnya, beberapa orang malah mengais-ngais cita-cita perubahan itu di “kandang ayam parlementarisme borjuis”. Bagi Rosa, orang-orang ini tidak sedang memilih “jalan yang lebih tenang, pasti, dan perlahan menuju tujuan yang sama.” Mereka memilih “tujuan yang berbeda,” merangkul dunia borjuis beserta ideologinya.

Tentu, tujuan yang harus dikejar bukanlah memperbaiki tatanan sosial yang ada, tetapi membangun sesuatu yang sepenuhnya berbeda. Peran serikat buruh—yang hanya mampu menuntut kondisi kerja yang lebih baik tanpa meninggalkan corak produksi kapitalis—dan pecahnya Revolusi Rusia 1905 memicu beberapa gagasan seputar pelaku dan tindakan yang dapat mewujudkan perubahan radikal dalam masyarakat. Dalam Pemogokan Massal, Partai, dan Serikat Buruh (1906) yang menelaah peristiwa-peristiwa besar di Imperium Rusia, Luxemburg menyoroti peran kunci lapisan-lapisan terluas kaum proletar yang mayoritasnya tak terorganisir. Di mata Rosa, massa adalah aktor protagonis sejarah yang sesungguhnya. Di Rusia, “elemen spontanitas”—sebuah konsep yang membuat beberapa tokoh menuduh Rosa terlalu optimis menilai kesadaran kelas massa—senantiasa penting. Konsekuensinya, partai berperan bukan untuk menyiapkan aksi pemogokan massal, alih-alih  menempatkan diri “sebagai nakhkoda gerakan secara keseluruhan,”

Bagi Rosa, pemogokan massal adalah “denyut nadi revolusi” sekaligus “kemudi terkuatnya.” Pemogokan massal adalah “corak khas pergerakan massa proletar, bentuk fenomenal dari perjuangan proletar dalam revolusi.” Pemogokan massal bukan aksi tunggal yang terisolir, melainkan rangkuman dari periode panjang perjuangan kelas. Lebih jauh, kita tidak bisa mengabaikan bahwa “dalam badai zaman revolusi,” kaum proletar ditransformasikan sedemikian rupa sehingga “bahkan kehidupan terbaik—dengan kata lain, kesejahteraan materiil—bernilai kecil jika dibandingkan dengan cita-cita perjuangan tersebut.” Pada titik itu buruh meraih kesadaran dan kedewasaan. Aksi-aksi mogok massal di Rusia telah menunjukkan betapa dalam periode bergemuruh itu “perjuangan-perjuangan ekonomi dan politik saling berbalas tanpa henti” sampai-sampai sulit dikenali perbedaannya.


Komunisme adalah Kemerdekaan dan Demokrasi

Rosa Luxemburg sempat terlibat perdebatan sengit lainnya terkait bentuk organisasi dan peran partai—kali ini dengan Lenin. Dalam Selangkah Maju, Dua Langkah Mundur (1904), sang pemimpin Bolshevik mempertahankan posisi-posisi yang disepakati dalam Kongres Kedua Partai Buruh Demokrasi Sosial Rusia, yaitu konsep tentang partai sebagai organisasi inti yang ketat, yang terdiri atas kaum revolusioner profesional, sebuah organisasi garda depan yang bertugas memimpin massa. Rosa Luxemburg mengambil posisi sebaliknya. Dalam Hal-Ihwal Organisasi dalam Gerakan Demokrasi Sosial Rusia (1904), ia bersikukuh bahwa partai yang terpusat secara ekstrem sejatinya membuka jalan menuju dinamika yang berbahaya, yaitu “ketaatan buta pada otoritas pusat.” Bagi Rosa, partai tidak boleh menghalangi keterlibatan masyarakat, tapi justru harus mengembangkannya, demi mencapai “pembelajaran historis yang tepat mengenai bentuk-bentuk perjuangan.” Marx pernah menulis bahwa “setiap langkah dari gerakan yang riil jauh lebih penting daripada puluhan program.” Rosa Luxemburg menambahkannya: “Kesalahan-kesalahan yang pernah dibuat oleh gerakan buruh revolusioner secara historis jauh lebih bermanfaat ketimbang ketakbersalahan seluruh komite sentral terbaik yang mungkin ada”.

Cekcok ini bahkan semakin relevan setelah Revolusi 1917. Rosa mendukung revolusi Bolshevik  sepenuh hati. Namun, karena gelisah menyaksikan peristiwa-peristiwa yang bergulir di Rusia (dimulai dari cara-cara Bolshevik menangani reforma agraria), Rosa menjadi orang pertama di kubu komunis yang sadar bahwa “keadaan darurat yang diperpanjang” akan membawa “pengaruh buruk pada masyarakat.” Dalam karya anumertanya Revolusi Rusia (1922 [1918]), ia menekankah bahwa dengan merebut kekuasaan politik, kaum proletar menjalankan misi historis: “menciptakan tatanan demokrasi sosialis untuk menggantikan demokrasi borjuis—bukan menghabisi demokrasi.” Baginya, komunisme berarti “demokrasi tanpa batas, dengan partisipasi paling aktif dan tanpa batas dari massa rakyat.” Corak demokrasi seperti ini tak butuh panduan dari para pemimpin yang tak bisa salah. Sebuah cakrawala sosial dan politik yang sungguh berbeda hanya bisa disaksikan melalui proses rumit semacam ini, bukan dalam kondisi di mana kebebasan hanya diperuntukkan bagi “pendukung pemerintah, bagi para anggota satu-satunya partai.”

Rosa Luxemburg meyakini betul bahwa secara hakiki “sosialisme  tidak dapat dipaksakan dari atas”; sosialisme harus memperluas demokrasi, bukan meredupkannya. Bagi Rosa, tindakan untuk “membongkar [tatanan lama]” bisa dilakukan lewat dektrit. Namun, tindakan positif seperti membangun [tatatan baru] tak bisa dilakukan melalui dekrit. Hanya “teritori baru” dan “pengalaman” semata yang akan “sanggup mengoreksi dan membuka pelbagai jalan baru.” Liga Spartakus, yang ia didirikan pada 1914 setelah  perpecahan dalam tubuh SPD dan belakangan menjadi Partai Komunis Jerman (KPD), secara eksplisit menyatakan tidak akan pernah mengambilalih kekuasaan negara “kecuali sebagai respons atas kehendak yang jelas dan bulat dari mayoritas kaum proletar seantero Jerman..

Meski berlawanan secara politik, baik kelompok Sosial-Demokrat maupun Bolshevik sama-sama keliru memahami demokrasi dan revolusi sebagai dua proses yang terpisah. Sebaliknya, bagi Rosa Luxemburg, demokrasi dan revolusi tak terpisahkan—dan itulah inti dari teori politik yang digagasnya. Kelak warisan Rosa pun dihimpit oleh kedua kubu. Kaum Sosial-Demokrat—yang punya peran dalam pembunuhan Luxemburg di tangan paramiliter sayap kanan—menyangkal Rosa selama bertahun-tahun dan menolak aspek revolusioner dari pemikirannya. Di sisi lain, kubu Stalinis tidak tak mau mempopulerkan ide-ide Rosa karena karakternya yang kritis dan berjiwa merdeka.


Melawan militerisme, perang dan imperialisme

Sumbu lain dalam iman politik dan aktivisme Rosa adalah perlawanannya terhadap perang dan militerisme. Di sini ia terbukti mampu memperbarui pendekatan teoritis kaum Kiri dan memenangkan dukungan untuk berbagai keputusan penting di kongres-kongres Internasional Kedua—dan sayangnya, karena itu pula Rosa dianggap duri dalam daging oleh para pendukung Perang Dunia I. 

Dalam analisis Rosa, fungsi tentara, penambahan senjata, dan perang-perang baru yang terus meletus tak cukup dipahami lewat pemikiran politik abad ke-19. Perang dan militerisme berkaitan erat dengan kekuatan-kekuatan yang hendak merepresi perjuangan kaum buruh. Perang dan militerisme berfungsi sebagai alat bagi kepentingan kubu reaksioner untuk memecah-belah kelas pekerja. Perang dan militerisme berkaitan erat dengan agenda ekonomi di era itu: kapitalisme membutuhkan imperialisme dan perang bahkan di masa damai untuk menggenjot produksi, sekaligus merebut pasar-pasar baru di tanah jajahan di luar Eropa. 

“Kekerasan politik,” tulis Rosa dalam Akumulasi Kapital, “adalah wahana bagi proses ekonomi.” Argumen ini ia dedah lagi dalam sebuah tesis paling kontroversial dalam Akumulasi Kapital: penambahan senjata tak tergantikan perannya bagi ekspansi kapitalisme.

Gambaran ini amat jauh dari skenario-skenario optimistik yang diusung kaum reformis. Luxemburg meringkasnya dalam slogan yang terus bergema sepanjang abad ke-20: “sosialisme atau barbarisme”. Barbarisme, menurut Rosa, bisa dihindari hanya dengan perjuangan massa yang sadar posisi. Karena perjuangan anti-militerisme menuntut kesadaran politik tingkat tinggi, Rosa menjadi salah satu pendukung terdepan aksi-aksi pemogokan massal guna melawan perang—strategi yang diremehkan oleh banyak tokoh, termasuk Marx. Rosa berpendapat bahwa jargon-jargon pertahanan nasional bahkan bisa dipakai untuk melawan skenario-skenario perang teranyar; bahwa slogan “Perang melawan perang!” harusnya menjadi “batu penjuru politik kelas pekerja.” Dalam Krisis Demokrasi Sosial (1916)—yang juga dikenal sebagai Pamflet Junius—ia menulis bahwa Internasional Kedua bubar karena gagal “menyepakati taktik dan aksi bersama kaum proletar di semua negara.” Dari situ, “tujuan utama” kaum proletar seharusnya diarahkan untuk “memerangi imperialisme dan mencegah perang, pada masa damai atau perang.” 


Kelembutan Abadi

Rosa Luxemburg adalah seorang kosmopolit dari masa depan.  Ia mengaku kerasan “di seluruh pojok dunia, di mana pun ada awan dan burung dan air mata manusia.” Ia penggila botani dan sangat mencintai hewan. Surat-surat Rosa ditulis oleh seorang perempuan yang memiliki kepekaan luar biasa, dengan jati dirinya yang tetap utuh di tengah sederet pengalaman pahit. Bagi salah satu pendiri Liga Spartakus ini, perjuangan kelas bukan hanya soal kenaikan upah. Ia tak mau menjadi pembebek. Sosialismenya tidak pernah ekonomistik. Rosa yang bergumul dengan gejolak zaman berusaha memodernisasi Marxisme tanpa menggoyahkan fondasi-fondasinya. Dalam hal ini, kerja-kerja Rosa adalah memo yang senantiasa relevan bagi kaum Kiri bahwa mereka seharusnya tidak membatasi aktivitas politik pada upaya-upaya reformis, bahwa mereka tak seharusnya meninggalkan cita-cita untuk mengubah rupa dunia hari ini. 

Hayat dan karya Rosa—yang berhasil mengawinkan agitasi dan telaah teoritis—menawarkan pelajaran yang tak lekang oleh waktu kepada generasi baru militan, kepada mereka yang sudah memilih untuk terlibat dengan segala pergumulan yang telah dilalui Rosa.***


Marcello Musto adalah Profesor Sosiologi di York University, Toronto. Tulisan-tulisannya—tersedia di www.marcellomusto.org –telah diterbitkan dalam lebih dari dua puluh bahasa.


Artikel ini diterjemahkan oleh Daniel Sihombing dari terjemahan Inggris oleh Patrick Camiller.  

]]>
Makan dari Rongsokan Logam: Refleksi tentang Wajah Lain Amerika https://indoprogress.com/2021/02/makan-dari-rongsokan-logam-refleksi-tentang-wajah-lain-amerika/ Mon, 01 Feb 2021 03:49:32 +0000 https://indoprogress.com/?p=232950

Still film Detropia (2012). Foto: PBS


SEORANG pemuda tengah berjalan seorang diri di ruas jalan penghubung bandara dam pusat keramaian. Ia mengenakan baju olahraga—jenis yang biasanya bertuliskan nama tim basket atau berlambangkan bendera AS. Namun, baju yang satu ini menunjukkan satu kata dengan lima huruf: Black.

Saya menghampirinya untuk bercakap-cakap dan menanyakan di mana posisi saya tepatnya. Ia mengaku telah tinggal di sana sejak lahir. Pemandangan yang melatari percakapan kami tampak tidak biasa: saya belum pernah melihat yang seperti itu. Saya terus melihat ke sekeliling dan menyadari betapa semua yang telah saya baca tentang tempat ini sesuai kenyataan. Bangunan-bangunan kosong merentang panjang tanpa ujung. Pabrik-pabrik tua ditinggalkan lama selama puluhan tahun, dengan puing-puing raksasa yang tergerus oleh waktu. Bangunan-bangunan yang musnah, pecahan kaca, mesin-mesin yang diselimuti es dan salju. Tanah pembuangan yang hanya dihuni anjing liar, pecandu narkoba, tuna wisma, dan orang-orang pinggiran. Saya sedang berada di Detroit: kota hantu, salah satu contoh paling mengejutkan dari Amerika yang lain, yang tidak pernah ditayangkan dalam serial-serial televisi yang lokasi syutingnya berada di Manhattan atau film-film 3-D yang diproduksi di Hollywood.


Mereka Menyebutnya Motor City

Jika arkeologi industri menjadi bidang studi, Detroit jelas akan menjadi spesimen pertama yang akan dipelajari. Namun sejarahnya di masa lalu identik dengan pertumbuhan dan gemerlap kelimpahan. Baptised Motor City—yang juga jadi latar belakang nama Motown, perusahaan rekaman lagu-lagu soul-rhythm-blues—selama puluhan tahun merupakan pusat mobil di dunia. Pada 1902, kota ini menyambut kelahiran Cadillac, dan setahun berikutnya Henry Ford membuka pabrik yang pada 1908 akan melahirkan Model T, kendaraan pertama yang menjadi produk lini perakitan. Tak lama kemudian, General Motors didirikan pada tahun yang sama, diikuti Chrysler pada 1925. Pendeknya, segala serba-serbi industri mobil di AS berawal dari Detroit.

Kemajuan mengepakkan sayapnya lebar-lebar, demikian pula kota ini. Pada dekade kedua abad ke-20, populasi Detroit bertambah lebih dari dua kali lipat dan menjadikannya pusat penduduk terpadat nomor empat di AS. Proporsi terbesar pendatang berasal dari negara-negara bagian di Selatan – bagian dari rombongan Afro-Amerika (120.000 di Detroit saja) yang pergerakannya di kemudian hari dikenal sebagai ‘migrasi besar pertama’.

Ekspansi ini tidak hanya memengaruhi dunia roda-empat. Keterlibatan Amerika dalam Perang Dunia II mentransformasikan kota utama Michigan ini menjadi ‘gudang senjata demokrasi’, mengutip slogan Franklin Roosevelt. Sejumlah besar pekerja, baik laki-laki maupun perempuan, pindah ke Detroit yang saat itu tengah mengembangkan sektor persenjataan dan berkontribusi lebih dari kota-kota di AS lainnya bagi kerja-kerja dalam perang. Pertumbuhan ini berlanjut setelah 1945. Pada 1956 populasi Detroit mencapai puncak di angka 1.865.000. Para profesor ternama dan wartawan terhormat pada masa itu memuja-mujanya sebagai simbol akhir perjuangan kelas di Amerika, mengacu pada semakin banyak pekerja yang terangkat status ekonominya menjadi kelas menengah dan mulai menikmati kesenangan-kesenangan yang mengikutinya.

Berapa banyak air yang telah mengalir di kolong jembatan sejak itu! Kemerosotan dimulai pada 1960-an dan dipercepat setelah krisis minyak 1973 dan 1979. Hari ini Detroit berpenduduk kurang dari 700.000, angka terendah dalam kurun seratus tahun—dan kelihatannya akan terus turun. Dalam dekade pertama abad ke-21, kota ini kehilangan seperempat dari populasi totalnya. Setiap dua puluh menit ada keluarga yang mengumpulkan seluruh barang miliknya, mengirimkannya ke wilayah tujuan baru, dan mengucapkan selamat tinggal kepada Detroit.


Seratus Ribu Lahan Kosong

Selagi saya berjalan kaki di jalan-jalan kota tersebut, kesan tentang kota berhantu ini semakin kuat. Lebih dari seratus ribu lahan kosong dan rumah dicampakkan, mayoritasnya tinggal puing atau bangunan reyot yang tak aman. Sepuluh ribu di antaranya harus dirobohkan dalam empat tahun ke depan, namun dana operasinya tidak mencukupi. Ada kesan tentang kehancuran yang riil, karena seringkali hanya tersisa satu rumah berpenghuni dalam satu blok. Situasi yang sebelumnya sudah eksplosif menjadi makin dramatis berkat pandemi. Pengelola kota tengah mencoba untuk mengelompokkan penduduk di area-area tertentu dan mengubah sejumlah area lainnya menjadi lahan pertanian komersil. Namun, krisis yang sedang terjadi membuat gambarannya menjadi lebih muram daripada sebelumnya. Demi mengatasi kebangkrutan yang melilit, Detroit belakangan memotong layanan publik terakhirnya, termasuk bus (satu-satunya sarana transportasi bagi kelompok tak berpunya) dan penerangan malam hari di area-area terpencil.

Situasi sosial Detroit juga tidak kalah suram dari lingkungan sekitar. Di Detroit, satu dari tiga penduduknya hidup dalam kemiskinan, demikian pula lebih dari separuh kanak-kanak. Taraf segregasi rasial masih sangat tinggi: lebih dari 80 persen populasi adalah warga kulit hitam dan tinggal di pusat kota, sementara kelas pekerja ‘kulit putih’, atau sisa penduduk yang tidak bermigrasi, telah pindah ke pinggiran atau daerah sekitar pertokoan-pertokoan besar. Ini menunjukkan bahwa meskipun zaman telah berubah, rasisme yang menjadikan Detroit zona perang pada Juli 1967—ketika  Lyndon Johnson mengirimkan mobil-mobil berlapis baja yang menyebabkan 43 orang tewas, 7.200 manusia ditangkap, dan 2.000 bangunan dilumat habis—belum sepenuhnya dihapuskan. Tingkat kejahatan Detroit adalah salah satu yang tertinggi di seantero negeri. Ironisnya, ongkos asuransi kendaraan di tempat lahirnya industri mobil ini adalah yang paling mahal. Angka pengangguran mencapai 50 persen dan uang yang diinvestasikan di kasino raksasa di jalan utama hanya menghasilkan satu perubahan: jiwa-jiwa yang putus asa dan pahit, yang setiap malam antre untuk menghabiskan helai-helai terakhir dolar mereka, dan harapan terakhir mereka, di dahapan deretan panjang mesin judi.


Rongsokan Logam untuk Cina

Pada 2009, menindaklanjuti krisis, General Motors dan Chrysler mengajukan petisi kebangkrutan. Ford juga babak-belur terkena dampak krisis. Bantuan yang diterima oleh ketiga perusahaan besar pada akhir dekade lalu, baik dari pemerintahan Bush maupun Obama, mencapai 80 milyar dolar. ‘Restrukturisasi’ paralelnya—yang meliputi pemecatan, pemotongan gaji, dan kontrak kerja yang lebih rentan—mengikuti model yang direpresentasikan oleh American Axle & Manufacturing, yang didirikan pada 1994 untuk menyuplai komponen-komponen mobil yang lebih murah ke General Motors dan Chrysler. Faktanya, banyak karyawan perusahaan yang sejak awal sudah bekerja dengan kontrak per jam telah dipecat pada 2008, meski profit yang didulangnya sangat berlimpah. Dan mengikuti aksi mogok melawan pemotongan gaji dari 28 ke 14 dolar per jam, pabrik lain di Detroit memecat semua pekerjanya dan menutup pintu. Dengan nada filantrofis, salah satu bos pabrik menjelaskan bahwa, sama seperti pabrik-pabrik Axle & Manufacturing dibuka beberapa tahun sebelumnya di Meksiko, Brazil, dan Polandia, ‘prioritas utama kita adalah membangun Asia’. Bab berikutnya akan ditulis di Cina, dan benar bahwa perusahaan tersebut telah beroperasi di sana sejak 2009 dengan dua pabrik baru.

Bagaimanapun juga, Detroit tak hanya berbicara tentang abad keduapuluh; ia juga bersaksi tentang perubahan-perubahan yang terjadi hari ini dan menanti di masa depan. Ia menggarisbawahi sejauh mana kemiskinan dan pengangguran adalah hasil dari hubungan-hubungan ekonomi yang mencegah perkembangan teknologi dari pemanfaatannya untuk kemaslahatan orang banyak. Detroit menunjukkan bahwa pabrik-pabrik kosong melompong bukan karena tidak ada lagi kerja, tetapi karena produksi telah dialihkan ke tempat-tempat yang upah buruhnya lebih murah dan perjuangan untuk hak-hak sosialnya masih lemah.

Langit lekas gelap di Detroit pada musim dingin. Beberapa orang mengemis di dekat jalur keluar jalan tol. Dari kejauhan, tampak nyala api di lokasi yang dulunya adalah jantung kawasan industri. Sekelompok anak muda menyalakan api di reruntuhan pabrik, sembari berharap menemukan potongan logam yang akan dikirim ke Timur melalui laut. Potongan-potongan logam yang bernilai dua setengah dolar per ons ini adalah satu-satunya barang berharga yang tersisa untuk bertahan hidup. Potongan-potongan logam ini adalah salah satu barang ekspor utama AS ke Cina. Detroit memilikinya dalam jumlah terbesar dibanding seluruh kota lain di dunia. Di tempat lain, logam-logam rongsokan itu digunakan untuk membangun apa yang dulunya pernah ada di sini, untuk menciptakan infrastruktur yang memungkinkan para bos meraup laba yang lebih tinggi. Dalam kosakata dari masa yang lain: ‘Eksploitasi yang dihasilkan melalui tingkatan nilai-lebih yang lebih tinggi’

Tapi jangan salah: pelbagai konflik dan harapan baru akan muncul seiring munculnya pabrik-pabrik baru.***


Marcello Musto (1976) adalah Professor bidang Teori Sosiologi di York University (Toronto), Kanada. Ia telah menulis banyak buku dan artikel yang diterbitkan di lebih dari 20 bahasa. Di antaranya ia mengedit beberapa volume seperti Karl Marx’s ‘Grundrisse’: Foundations of the Critique of Political Economy 150 Years Later (Routledge, 2008); Marx for Today (Routledge, 2012); Workers Unite!: The International 150 Years Later (Bloomsbury, 2014). Ia juga menulis buku Another Marx: Early Manuscripts to the International (Bloomsbury, 2018) dan The Last Marx (1881-1883): An Intellectual Biography (forthcoming 2019). Tulisan-tulisannya tersedia di www.marcellomusto.org. Buku terbarunya dalam bahasa Indonesia berjudul, Marx Yang Lain, akan diterbitkan dalam waktu dekat oleh penerbit Marjin Kiri.


Artikel ini diterjemahkan oleh Daniel Sihombing.

]]>
Di Farmasi Marx: Wawancara dengan Marcello Musto https://indoprogress.com/2021/01/di-farmasi-marx-wawancara-dengan-marcello-musto/ Mon, 11 Jan 2021 10:28:28 +0000 https://indoprogress.com/?p=232931

llustrasi: Jonpey


Ada ungkapan yang sering dilontarkan selama pandemi COVID-19: “Semuanya tidak akan pernah sama lagi seperti dulu”. Kemudian muncul kesadaran bahwa sementara perubahan-perubahan yang sedang berlangsung terbilang banyak dan besar, hal-hal yang berjalan seperti biasanya juga tidak sedikit. Hari ini orang cenderung mengatakan bahwa pandemi menunjukkan—bahkan—mempercepat, proses-proses yang telah berlangsung sebelumnya. Salah satunya adalah tumbuhnya ketimpangan-ketimpangan sosial. Apakah Marx tetap diperlukan untuk memahami faktor-faktor di balik ketimpangan, bentuk-bentuk dan kemungkinan melawannya? Kami membahas soal-soal ini dengan Marcello Musto, seorang profesor sosiologi di York University, Toronto dan sosok otoritatif dari kebangkitan studi Marxis belakangan ini. Kontribusinya mencakup serangkaian monograf brilian dan sukses, yaitu Another Marx: Early Manuscripts to the International (Bloomsbury, 2018) dan The Last Years of Karl Marx: An Intellectual Biography (Stanford, 2020). Ia juga menyunting berbagai bunga rampai, termasuk Marx’s Capital after 150 Years: Critique and Alternative to Capitalism (Routledge, 2019), The Marx’s Revival: Key Concepts and New Interpretations (Cambridge University Press, 2020). Tulisan-tulisannya bisa dilihat di www.marcellomusto.org.


Giulio Azzolini: Profesor Musto, apa yang dapat kita pelajari dari Marx untuk krisis pandemi ini?

Marcello Musto: Setelah bertahun-tahun dicekoki mantra-mantra neoliberal, saya pikir pertama-tama adalah bahwa dimensi kooperatif dari manusia tak tergantikan perannya bagi kelangsungan hidup individu, tak kalah pentingnya dari kebebasan individu bagi keberlangsungan masyarakat. Kooperasi dan kemerdekaan harus dianggap sebagai dua unsur hakiki dalam “farmasi Marx”. Saya juga menambahkan tiga anjuran dalam penawar yang ia resepkan bagi penyakit-penyakit masyarakat modern: transfer kekuasaan dalam pengambilan keputusan dari ranah ekonomi ke ranah politik; pendayagunaan sains dan teknologi demi kesejahteraan semua orang alih-alih profit segelintir elit; dan peran sentral pendidikan, termasuk dukungan besar dari sumber daya negara.

Pandemi ini telah memanaskan konflik antara Amerika Serikat dan Cina, dan dalam Uni Eropa di antara berbagai negara anggotanya. Apakah ini merupakan konflik antar kapitalisme?

Ini merupakan kecenderungan yang kelihatannya akan berlanjut. Bukan kebetulan juga jika dua negara yang paling terdampak oleh COVID-19, Amerika Serikat dan Inggris, adalah negara-negara yang telah mendorong privatisasi. Model kapitalisme mereka menghambat perkembangan negara sosial atau malahan mereka secara aktif telah menghancurkannya. Namun, di balik fenomena permukaan ini, ada konflik yang bahkan lebih penting soal redistribusi kekayaan yang telah dimenangkan kapital beberapa dekade terakhir ini.

Marx tidak memprediksi pemiskinan kaum proletar, melainkan peningkatan ketimpangan antara kelas-kelas yang ada. Mengenai hal ini, sejarah kelihatannya telah membuktikan bahwa dia benar.

Ya – dan akan semakin jelas ketika kita memikirkan jurang besar yang memisahkan penduduk dunia, bukan hanya secara ekonomi. Marx memahami bahwa kolonialisme Inggris di India melibatkan perampokan sumber daya alam dan bentuk-bentuk baru perbudakan, ketimbang kemajuan stabil sebagaimana dikisahkan oleh para pembelanya. Di sisi lain, ia keliru mengenai peran revolusioner kelas pekerja Eropa. Ia mulai menyadari hal ini dalam tahun-tahun terakhir kehidupannya, ketika ia menulis dalam kekecewaan bahwa kelas pekerja Inggris memilih untuk “mengekor di belakang tuan-tuan mereka.”

Dampak ekonomi pandemi ini cukup beragam. Banyak perusahaan telah mengalami kemerosotan. Namun, tidak demikian halnya dengan bisnis-bisnis raksasa. Mereka yang tidak memiliki pekerjaan terjamin kini menganggur, tetapi tidak demikian dengan mereka yang posisinya aman. Beberapa toko kecil tutup, tetapi ada juga yang tidak. Dapatkan Marx menolong kita menafsirkan kenyataan yang menjadi semakin kompleks dan kacau?

Analisis Marx tentang kelas-kelas sosial perlu diperbarui dan teorinya tentang krisis (yang memang belum ia tuntaskan) adalah produk dari zaman yang berbeda. Marx tidak dapat memberikan jawaban pada banyak problem kekinian, tetapi ia mengarahkan telunjuknya pada pertanyaan-pertanyaan yang esensial. Bagi saya, inilah yang menjadi kontribusi utama Marx hari ini: ia membantu kita untuk mengajukan pertanyaan yang tepat, mengidentifikasi kontradiksi-kontradiksi pokok. Bukan kontribusi yang kecil, menurut saya.

Krisis yang ada sekarang telah membuka kembali pertanyaan tentang ketidaksetaraan gender. Apakah ada pemikiran Marx mengenai hal ini yang dapat menjadi pelajaran bagi kita?

Saya pikir Marx akan mencoba untuk lebih banyak mempelajarinya hari ini, khususnya dari gerakan feminis baru di Amerika Latin, yang telah memainkan peranan penting dalam mobilisasi sosial berskala besar. Dalam beberapa studi yang ia kerjakan sebelum kematiannya, ia berkutat persis mengenai pentingnya kesetaraan gender, dan materi yang ia ajukan untuk program-program politik menekankan lebih dari sekali bahwa emansipasi kelas pekerja adalah bagi “semua manusia, tanpa pandang jenis kelamin dan etnis mereka”. Ia telah belajar dari para perempuan-perempuan muda, dari buku-buku kaum sosialis Prancis awal, bahwa level umum emansipasi dalam suatu masyarakat bergantung pada tingkat emansipasi perempuan.

Di tengah krisis kesehatan, pertarungan untuk kesetaraan etnis juga telah meledak di Amerika Serikat. Apakah ini hanya suatu kebetulan?

Ya, tetapi kebetulan yang menyumbangkan informasi penting, karena menunjukkan luka yang mendalam di negeri tersebut. Black Lives Matter bukanlah fenomena sambil lalu, melainkan sebuah gerakan yang akan tetap bertarung melawan rasisme dan kekerasan di institusi-institusi Amerika.

Mari kita sekarang beralih pada hubungan antara perjuangan kelas dan perjuangan lingkungan. Apakah keduanya merupakan isu yang berbeda atau bersifat komplementer? Apakah mereka terstruktur dalam sebuah hierarki?

Dua-duanya saling melengkapi; masing-masing membutuhkan yang lainnya. Kritik atas eksploitasi pekerja dan kritik atas penghancuran lingkungan saat ini tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Perjuangan apapun yang mengabaikan salah satu dari kedua isu ini tidak akan lengkap atau menjadi kurang efektif. Saya membayangkan posisi produktivis dari gerakan buruh dari abad ke-19 dan gerakan-gerakan ekologis yang seringkali mengabaikan persoalan “corak produksi”. Isu-isu yang mengemuka, bagaimana mereka muncul dan untuk siapa, adalah pertanyaan-pertanyaan yang terkait erat dengan kepemilikan sarana-sarana produksi.

Marx adalah filsufnya revolusi komunis, namun ia juga merupakan politisi yang mewariskan sebuah organisasi internasional bagi gerakan buruh. Apakah ini merupakan pelajaran juga untuk masa kini?

Tanpa gagasan ini gerakan buruh akan menuju kekalahan, khususnya dalam periode kebangkitan nasionalisme. Bagi Marx, yang melihat perpecahan-perpecahan di antara kelas pekerja sebagai sesuatu yang penting bagi kekuasaan kaum borjuis, internasionalisme juga berarti solidaritas antara kaum pekerja lokal dan imigran. Internasionalisme harus kembali menjadi salah satu batu penjuru gerakan Kiri jika ia hendak memasuki pertarungan ide dalam jangka panjang alih-alih merespons situasi mendesak semata.

Pada tahun 2018, Cina merayakan dua abad kelahiran Marx. Di Barat, apakah sang filsuf ditakdirkan untuk bertahan sebagai objek studi, atau apakah ia masih dapat menggerakkan massa?

Cina menggunakan wajah Marx, sembari mengabaikan peringatan-peringatannya yang paling penting. Stalin juga melakukan hal yang sama. Ketika pada masa-masa Gulag, ia sendiri berfoto dengan wajah penuh keyakinan di bawah potret Marx. Di Barat, Marx telah tampil kembali di aula-aula universitas, tetapi tidak akan meraih kembali pengaruh politik yang pernah ia miliki pada era partai-partai “Marxis”. Namun demikian, siapapun yang hendak mencoba untuk memikirkan kembali sebuah masyarakat alternatif tidak akan dapat mengabaikan teori-teorinya.

Apakah kelompok Kiri Italia kini merugi karena membela Marxisme setelah dianggap kedaluwarsa, ataukah karena ia meninggalkan Marxisme?

Kaum kiri Italia tengah membayar harga dari kedua kesalahan tersebut. Pertama, mereka sangat terlambat mengidentifikasi pelbagai perubahan yang diperlukan untuk berkonfrontasi dengan metamorfosis-metamorfosis kapitalisme dan untuk merespons tuntutan-tuntutan gerakan-gerakan sosial yang baru. Mereka juga  berpikir pendek ketika meninggalkan Marxisme alih-alih secara kritis meninjau kembali dan memodernisasi teori yang masih valid untuk memahami masyarakat hari ini. Lihat saja bagaimana Gramsci disimpan rapi di loteng justru ketika secara global orang kembali giat menggali pemikirannya. Memang untuk sekian lama kontradiksi-kontradiksi yang diciptakan oleh kapitalisme tidak sedramatis dan sejelas hari ini. Sejarah gerakan Kiri masih belum berakhir.


Giulio Azzolini adalah peneliti di bidang filsafat politik di University Ca’ Foscari, Venice


Artikel ini diterjemahkan oleh Daniel Sihombing

]]>
200 Tahun Engels: Kontribusi dan Keterbatasan Sang “Biola Kedua” https://indoprogress.com/2020/12/232885/ Thu, 10 Dec 2020 16:21:33 +0000 https://indoprogress.com/?p=232885

Ilustrasi: Marxists.org


I. Sebelum Marx

FRIEDRICH ENGELS lebih dulu paham soal pentingnya kritik ekonomi-politik ketimbang Karl Marx. Waktu keduanya berkenalan, Engels telah menerbitkan lebih banyak artikel tentang ekonomi-politik—meski sang kariblah yang ditakdirkan tersohor di bidang ini.

Lahir di Jerman 200 tahun yang lalu, November 28, 1820, di Barmen (yang hari ini masuk pinggiran kota Wuppertal), Engels dulunya adalah anak muda yang menjanjikan, yang dilarang oleh ayahnya—seorang pemilik pabrik tekstil—untuk berkuliah di universitas. Ia diarahkan untuk bekerja di perusahaan sang ayah. Engels, yang kelak menjadi ateis, adalah seorang otodidak yang luar biasa haus pengetahuan. Ia juga menggunakan nama pena untuk menghindari konflik dengan keluarganya yang sangat konservatif dan saleh.

Dua tahun yang ia habiskan di Inggris—tempat di mana ia diutus pada usia 22 tahun untuk bekerja di kantor Ermen & Engels, Manchester—adalah masa yang krusial bagi pendewasaan keyakinan politiknya. Pada masa itulah ia menyaksikan langsung dampak-dampak eksploitasi kapitalis terhadap proletariat, kepemilikan pribadi, dan kompetisi antar individu. Engels mengadakan kontak dengan gerakan buruh Chartist dan jatuh cinta pada pekerja perempuan asal Irlandia, Mary Burns, yang kelak memainkan peranan kunci dalam perkembangan dirinya.

Engels adalah jurnalis yang brilian. Ia menerbitkan catatan-catatannya di Jerman tentang pergolakan-pergolakan sosial di Inggris. Ia juga menulis untuk pers berbahasa Inggris tentang aneka perkembangan sosial yang terjadi di Eropa. Artikel “Outlines of a Critique of Political Economy” yang terbit dalam Franco-German Yearbooks (1844) memantik minat Marx yang saat itu telah memutuskan akan mengabdikan seluruh energinya untuk menggeluti topik yang sama. Kedua sahabat lalu merintis kolaborasi teoretis dan politik yang bertahan hingga akhir hayat.

Satu tahun kemudian, Engels menerbitkan buku pertamanya dalam bahasa Jerman, The Condition of the Working Class in England. Subjudul buku ini menegaskan bahwa Condition of the Working Class didasarkan “pada pengamatan langsung dan sumber-sumber otentik”. Di bagian pendahuluan, Engels menulis bahwa pengetahuan sejati tentang kondisi kerja dan kehidupan kaum proletar “mutlak dibutuhkan untuk memberikan landasan solid bagi teori-teori sosialis”. Keyakinan ini diekspresikan kembali oleh Engels di berbagai kesempatan lain. Dalam tulisan “To the Working Class of England”, misalnya, Engels menyatakan bahwa studinya “dalam bidang ini” telah memberinya “pengetahuan tentang kehidupan nyata para pekerja” yang bersifat langsung alih-alih abstrak. Ia tidak pernah merasa didiskriminasi atau “diperlakukan sebagai orang asing”, dan ia senang ketika mendapati bahwa mereka kaum pekerja adalah orang-orang yang merdeka dari “kutukan nasionalisme sempit nan arogan”.


II. Revolusi dan Kontra-Revolusi

Pada 1845, ketika pemerintah Prancis mengusir Marx karena aktivitas-aktivitas komunisnya, Engels mengikuti sahabatnya itu ke Brussels. Mereka menerbitkan The Holy Family, or the Critique of Critical Criticism: Against Bruno Bauer and Company (buku pertama yang ditulis Engels bersama Marx). Keduanya juga menelurkan manuskrip yang tidak diterbitkan—The German Ideology—yang ditinggalkan pada “kritisisme tikus”. Dalam periode ini, Engels bepergian ke Inggris bersama Marx dan menunjukkan kepadanya moda produksi kapitalis yang sebagaimana yang ia pernah saksikan dan alami di tanah Britania. Marx akhirnya meninggalkan kritik filosofis pasca-Hegelian dan memulai perjalanan panjang yang membawanya—20 tahun kemudian—pada volume pertama Capital 20 tahun kemudian. Keduanya pun menulis Manifesto of the Communist Party (1848) dan berpartisipasi di kawah pergolakan politik yang mengguncang Eropa pada 1848.

Pada 1849, setelah kekalahan revolusi, Marx dipaksa pindah ke Inggris. Engels pun menyusulnya. Marx tinggal di London, sementara Engels mengelola bisnis keluarga di Manchester, sekitar 300 km dari London. Ia mengaku menjadi “biola kedua”. Demi mencari nafkah dan membantu Marx (yang seringkali tak berpenghasilan), Engels mengelola pabrik ayahnya di Manchester hingga 1870.

Selama dua dekade ini, ketika Engels pensiun dari bisnis keluarga dan akhirnya bergabung kembali dengan Marx di London, kedua sahabat menjalani periode yang paling intens dalam hidup. Beberapa kali dalam seminggu, Marx dan Engels membandingkan catatan-catatan mereka mengenai peristiwa-peristiwa penting terkait ekonomi dan politik utama pada masa itu. Sebagian besar dari 2.500 korespondensi antara keduanya berasal dari dua dekade ini. Selama dua dasawarsa itu pula mereka mengirimkan 1.500 surat kepada aktivis dan intelektual di hampir 20 negara. Angka ini belum termasuk 10.000 surat yang ditujukan kepada Engels dan Marx dari pihak ketiga, dan 6.000 surat lain yang sudah tidak dapat dilacak namun jelas pernah ada. Kumpulan surat ini adalah harta karun tak ternilai berisi berbagai macam gagasan yang dalam beberapa kasus tidak dikembangkan secara penuh dalam tulisan-tulisan Marx dan Engels.

Jarang kita temukan korespondensi dari abad ke-19 yang penuh rujukan cerdas sebagaimana dapat dijumpai dalam surat-surat dua dedengkot komunis revolusioner ini. Marx bisa membaca dalam sembilan bahasa dan Engels menguasai dua belas bahasa. Betapa mengagumkannya surat-surat mereka, yang kerap berpindah dari satu bahasa ke bahasa lainnya dan dipadati kutipan terpelajar, termasuk dalam bahasa Latin dan Yunani kuno. Kedua pemikir humanis ini juga pecinta sastra. Marx menguasai petikan-petikan dari Shakespeare, Aeschylus, Dante, dan Balzac, sementara Engels lama menjabat sebagai ketua Schiller Institute di Manchester. Ia juga penggemar berat karya-karya Aristoteles, Goethe dan Lessing. Di samping diskusi tentang peristiwa-peristiwa global dan prospek revolusi, topik-topik bahasan Marx dan Engels juga mencakup perkembangan-perkembangan besar dalam teknologi, geologi, kimia, fisika, matematika, dan antropologi. Marx selalu menganggap Engels sebagai mitra diskusi yang tak tergantikan. Ia selalu mengkonsultasikan pendapat-pendapat kritisnya kepada Engels tiap kali harus mengambil posisi terkait isu-isu kontroversial.

Hubungan keduanya bahkan lebih luar dahsyat lagi di luar urusan intelektual. Marx sering curhat kepada Engels tentang masalah-masalah pribadinya kepada Engels, mulai dari kesulitan materiil hingga problem-problem kesehatan yang menyiksanya selama puluhan tahun. Engels betul-betul berkorban untuk membantu Marx dan keluarganya. Ia selalu melakukan apapun yang bisa dilakukannya untuk memastikan keberlangsungan hidup Marx dan keluarga serta memfasilitasi penuntasan Capital. Marx selalu mensyukuri bantuan finansial Engels, sebagaimana bisa kita lihat dalam tulisannya pada suatu malam di bulan Agustus 1867, beberapa menit setelah ia selesai mengoreksi naskah volume pertama Capital: “Karena hutangku padamu sajalah [karya] ini menjadi mungkin”.

Namun, bahkan selama dua puluh tahun tersebut Engels tidak pernah berhenti menulis. Pada 1850 ia menerbitkan The Peasant War in Germany, sebuah catatan sejarah revolusi 1524-1525 yang berupaya menunjukkan kemiripan watak kelas menengah pada era itu dengan karakter borjuis kecil pada revolusi 1848-1849—serta betapa bertanggungjawabnya mereka atas kekalahan yang terjadi. Agar Marx bisa menghabiskan lebih banyak waktu untuk menuntaskan studi ekonominya, Engels juga menulis hampir separuh dari lima ratus artikel dikirim Marx ke New-York Tribune (surat kabar dengan sirkulasi terluas di Amerika Serikat) antara 1851 hingga 1862. Kepada publik Amerika, Engels melaporkan arah dan kemungkinan hasil dari perang-perang yang terjadi di Eropa. Tak jarang Engels terbukti mampu memprediksi perkembangan yang kelak terjadi dan mengantisipasi strategi-strategi militer di berbagai front. Walhasil, kamerad-kameradnya menjuluk Engels “sang Jenderal”. Aktivitas jurnalistik Engels berlanjut lama, dan pada 1870-1871 ia menerbitkan Notes on the Franco-Prussian War, sebuah rangkaian tematis berisi enam puluh buah tulisan untuk surat kabar Inggris Pall Mall Gazette. Dalam tulisan-tulisan itu Engels menganalisis peristiwa-peristiwa militer yang mendahului Paris Commune. Tulisan-tulisan ini mendapatkan banyak apresiasi dan membuktikan penguasaan Engels atas topik-topik kemiliteran.


III. Sumbangsih Besar dalam Teori

Selama lima belas tahun berikutnya, Engels menghasilkan kontribusi teori utamanya lewat tulisan-tulisan yang menggugat posisi lawan-lawan politik dalam gerakan buruh. Lewat karya-karya ini pula ia berusaha mengklarifikasi sejumlah isu kontroversial. Antara 1872 dan 1873 ia menulis tiga artikel berseri untuk Volksstaat yang juga terbit sebagai pamflet dengan judul The Housing Question. Maksud Engels adalah melawan penyebaran ide-ide Pierre-Joseph Proudhon di Jerman dan menjelaskan kepada kaum buruh bahwa kebijakan-kebijakan reformis tidak dapat menggantikan revolusi proletar.

Anti-Dühring, yang terbit pada 1878 dan digambarkan Engels sebagai “eksposisi metode dialektis yang terhubung dengan pandangan dunia komunis”, menjadi rujukan penting bagi pembentukan ajaran Marxis. Meskipun kita perlu membedakan antara karya-karya Engels yang bersifat populer—dalam polemik terbuka dengan lawan-lawannya — dengan vulgarisasi yang kelak dikembangkan oleh generasi baru gerakan sosial-demokrasi di Jerman, palingan Engels ke ilmu-ilmu alam membuka jalan bagi konsepsi evolusioner tentang fenomena sosial yang malah mengaburkan analisis-analis Marx yang lebih kaya nuansa. Socialism: Utopian and Scientific (1880), sebuah pengembangan dari tiga bab Anti-Dühring untuk tujuan pendidikan, memiliki dampak yang bahkan lebih besar daripada sumber aslinya. Namun di balik kontribusi dan fakta bahwa tulisan tersebut beredar hampir seluas Manifesto of the Communist Party, definisi Engels tentang “sains” dan “sosialisme ilmiah” dapat dipandang sebagai contoh otoritarianisme epistemologis, yang kemudian digunakan oleh diskursus Marxis-Leninis untuk menyingkirkan diskusi kritis tentang tesis-tesis para “pendiri komunisme”. The Dialectics of Nature, fragmen-fragmen dari proyek yang dikerjakan Engels tanpa henti antara 1873 hingga 1883, kini menjadi sumber kontroversi besar. Sejumlah pengamat memandang Dialectics of Nature sebagai tonggak penting Marxisme, sementara beberapa pengamat lain menganggapnya sebagai cikal-bakal dogmatisme Soviet. Sudah semestinya jika Dialectics of Nature dibaca sebagai karya yang belum tuntas, yang menunjukkan keterbatasan Engels, namun juga potensi yang terkandung dalam kritik ekologinya. Sementara penggunaan Engels atas dialektika jelas mereduksi kompleksitas teoretik dan metodologis pemikiran Marx, tidaklah tepat—seperti yang dilakukan beberapa orang di masa lalu—untuk menganggapnya bertanggung jawab atas apapun yang tidak mereka tidak sukai dalam tulisan-tulisan Marx dan untuk mengkambinghitamkan Engels atas kesalahan-kesalahan teoretik atau bahkan kekalahan-kekalahan di tataran praktis.

Pada 1884, Engels menerbitkan Origins of the Family, Private Property and the State, sebuah analisis tentang studi antropologi yang dilakukan oleh ilmuwan Amerika bernama Lewis Morgan. Bagi Morgan, relasi matriarkal secara historis mendahului relasi patriarkal. Bagi Engels, temuan Morgan merupakan penemuan asal-usul manusia yang sama pentingnya dengan “teori Darwin bagi biologi dan teori Marx tentang nilai-lebih bagi kajian ekonomi-politik”. Keluarga pada dasarnya mengandung antagonisme yang kelak berkembang dalam masyarakat dan negara. Penindasan kelas pertama dalam sejarah manusia “beriringan dengan penindasan perempuan oleh laki-laki”. Dalam hal kesetaraan gender dan juga perjuangan anti-kolonialis Engels tidak pernah ragu untuk membela—dan menjelaskan dengan penuh keyakinan—cita-cita emansipasi. Akhirnya, pada 1886, Engels menelurkan karya polemik Ludwig Feuerbach and the End of Classical German Philosophy (1886) yang menyasar kebangkitan kembali idealisme di lingkaran akademik Jerman.


IV. Penyebaran Marxisme

Selama dua belas tahun pasca-kematian Marx, Engels mengabdikan hidupnya untuk gerakan buruh internasional dan membereskan tulisan-tulisan sang karib. Beberapa tulisan jurnalistik untuk koran-koran sosialis besar pada masa itu, termasuk Die Neue Zeit, Le Socialiste dan Critica Sociale, sambutan dalam kongres-kongres partai, dan juga ratusan surat yang  ditulisnya selama periode ini memungkinkan kita untuk memberikan apresiasi lebih besar terhadap sumbangsih Engels bagi pertumbuhan partai-partai buruh di Jerman, Prancis, dan Inggris, serta dalam sejumlah isu-isu terkait teorietis dan organisasi. Beberapa isu di antaranya berhubungan dengan kelahiran Internasional Kedua—yang kongres pendiriannya terlaksana pada 14 Juli 1889 — beserta perdebatan-perdebatan di dalamnya.

Yang bahkan lebih penting lagi adalah Engels mendedikasikan hidupnya untuk penyebaran Marxisme. Pertama-tama, ia mengemban tugas teramat sulit untuk menyiapkan penerbitan naskah volume dua dan tiga Capital yang tak sempat dituntaskan Marx. Ia juga memeriksa edisi-edisi baru dari karya-karya yang sudah diterbitkan, sejumlah terjemahan, serta menulis kata pengantar dan epilog untuk berbagai edisi cetak ulang karya-karya Marx dan tulisan-tulisannya sendiri. Dalam pengantar baru untuk Class Struggles in France (1850) yang ditulis beberapa bulan sebelum kematian Marx, Engels menjelaskan sebuah teori revolusi yang mencoba beradaptasi dengan wajah anyar politik di Eropa. Ia berargumen bahwa kaum proletar telah menjadi mayoritas, dan prospek pengambilalihan kekuasaan melalui sarana-sarana elektoral, melalui pemberlakuan hak pilih secara universal, membuka kemungkinan untuk mempertahankan revolusi dan status legal perjuangan buruh sekaligus. Namun ini tidak berarti—sebagaimana yang dilakukan oleh kelompok sosial-demokrat Jerman dengan memanipulasi tulisan Engels dalam kerangka legalistik-reformis—bahwa “perjuangan di jalanan” tidak lagi berguna. Maksud Engels adalah bahwa revolusi tidak bisa lahir tanpa partisipasi aktif massa, dan ini memerlukan “kerja panjang penuh kesabaran”.

Ketika membaca Engels hari ini, seraya menyadari kenyataan kapitalisme kontemporer di depan mata, terpaculah hasrat kita untuk kembali berjuang dengan mengikuti jalan setapaknya.***


Marcello Musto (1976) adalah Professor bidang Teori Sosiologi di York University (Toronto), Kanada. Ia telah menulis banyak buku dan artikel yang diterbitkan di lebih dari 20 bahasa. Di antaranya ia mengedit beberapa volume seperti Karl Marx’s ‘Grundrisse’: Foundations of the Critique of Political Economy 150 Years Later (Routledge, 2008); Marx for Today (Routledge, 2012); Workers Unite!: The International 150 Years Later (Bloomsbury, 2014). Ia juga menulis buku Another Marx: Early Manuscripts to the International (Bloomsbury, 2018) dan The Last Marx (1881-1883): An Intellectual Biography (forthcoming 2019). Tulisan-tulisannya tersedia di www.marcellomusto.org. Buku terbarunya dalam bahasa Indonesia berjudul, Marx Yang Lain, akan diterbitkan dalam waktu dekat oleh penerbit Marjin Kiri.


Artikel ini diterjemahkan oleh Daniel Sihombing  

]]>