Rio Apinino – IndoPROGRESS https://indoprogress.com Media Pemikiran Progresif Sat, 14 Jun 2025 07:47:28 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.4.3 https://indoprogress.com/wp-content/uploads/2021/08/cropped-logo-ip-favicon-32x32.png Rio Apinino – IndoPROGRESS https://indoprogress.com 32 32 Rizomatik sebagai Taktik? https://indoprogress.com/2025/06/rizomatik-sebagai-taktik/ Fri, 13 Jun 2025 20:58:05 +0000 https://indoprogress.com/?p=239003 Ilustrasi: Illustruth


TIDAK ada orang waras yang tidak gelisah melihat kondisi Indonesia saat ini. Pemerintahan Prabowo-Gibran secara vulgar menyatakan hendak mengakui eksistensi penjajah dan pelaku genosida Israel, supremasi sipil kian jauh panggang dari api, represi aparat semakin banal, eksploitasi-perampokan alam atas nama pembangunan, kian panjangnya barisan penganggur, dan seterusnya. Kita, sebagai warga yang sadar hak, tidak tinggal diam. Kita memprotes, berdemonstrasi, atau paling minimal bawel di media sosial. Tapi, mengapa seperti tidak ada yang berubah? Malah, yang lebih parah, mengapa yang kita temukan di depan seolah hanyalah kabut asap yang kian tebal? Apa yang kurang? Mengapa penindasan dan eksploitasi terlihat lebih langgeng daripada gerakan perlawanan? 

Dalam situasi seperti ini, menurut kami, penting bagi kita untuk duduk sejenak memikirkan tentang gerakan sosial itu sendiri. Memang mudah menunjuk hidung aktor-aktor kekuasaan–pemerintah, kapitalis, oligarki, sebutlah mereka semua—sebagai penyebab dari apa yang terjadi saat ini. Tidak ada yang keliru dari itu; memang demikianlah adanya. Namun, itu tidak cukup. Kita harus melihat ke dalam; berefleksi mengenai bagaimana cara berlawan selama ini sehingga para penguasa lalim seperti tidak ada takut-takutnya untuk melakukan apa saja. Semua saling terhubung sehingga mengabaikan satu hal hanya berujung pada jalan buntu. 

Artikel ini akan membicarakan tentang hal tersebut, dengan titik berangkat pada konsep yang sedang ramai dibicarakan dalam beberapa tahun terakhir (dan kian sering muncul beberapa waktu belakangan): gerakan rizomatik atau rimpang. Posisi kami terhadap itu, sebelum dielaborasi lebih jauh, adalah: gerakan rimpang saja tidak cukup, ia perlu dilanjutkan dengan gerakan terorganisir yang terpimpin, terstruktur dan tidak cair. Jika tidak, gerakan ini tidak akan membawa kita ke mana-mana selain ke kekecewaan satu ke kekecewaan lainnya; kekalahan sekarang ke kekalahan berikutnya.


Apa itu Gerakan Rimpang?

Beberapa penulis menggambarkan gerakan sosial saat ini, terutama ketika variabel media sosial masuk sebagai alat memperbesar pengaruh dan gaung, mengambil ciri tumbuhan rizomatik atau rimpang. Salah satunya artikel di Tempo yang tayang awal bulan lalu, kemudian yang lebih elaboratif terbit di Palgrave Macmillan pada Juni 2024. Selain sekadar mendeskripsikan situasi kontemporer, penulis-penulis lain bergerak lebih jauh, menganggap hal ini sebagai ideal dan oleh karena itu semestinya “perlu terus didorong… agar terus menjalar dan mengakar kuat guna merawat gerakan prodemokrasi,” mengutip artikel di The Conversation. Pun dengan artikel terakhir di media ini, Indoprogress, yang menyatakan bahwa dalam situasi berbahaya seperti sekarang, perlawanan sehari-hari, kecil-kecilan, yang dilakukan kita semua “akan menciptakan jaringan gerakan kolektif yang rizomatik” yang “ketahanannya dapat diuji kala vis-a-vis dengan rezim.” Tiga tahun lalu, kanal ini juga membahas bahwa karakter rimpang dapat dipakai untuk “mengembangkan gerakan buruh.” 

Jadi, apa itu gerakan rimpang? Karya pertama dan utama yang membahas tentang gerakan rimpang adalah A Thousand Plateaus: Capitalism and Schizophrenia, dari duo filsuf Prancis, Gilles Deleuze dan Félix Guattari, yang terbit pertama kali pada 1980, kemudian versi bahasa Inggrisnya tujuh tahun kemudian. Kami kutip beberapa kalimat penting secara utuh. “…any point of a rhizome can be connected to anything other, and must be. This is very different from the tree or root, which plots a point, fixes an order” (hlm. 7). Kemudian, “…unlike trees or their roots, the rhizome connects any point to any other point, and its traits are not necessarily linked to traits of the same nature; … It is composed not of units but of dimensions, or rather directions in motion. It has neither beginning nor end, but always a middle (milieu) from which it grows and which it overspills” (hlm. 21). Lalu, yang terakhir agar tidak terlalu panjang, “The tree is filiation, but the rhizome is alliance, uniquely alliance. The tree imposes the verb ‘to be’, but the fabric of the rhizome is the conjunction, ‘and… and… and…’” (hlm. 25). 

Perlu ditekankan bahwa mereka tidak membahas konsep rimpang sebagai biomimikri untuk gerakan sosial saja. Pembahasan tentang itu malah bukan yang utama dari buku tersebut. A Thousand Plateaus lebih menawarkan kerangka konseptual secara luas, bukan semacam panduan langsung; seperti buku “how-to”. Ia mencakup banyak hal lain termasuk politik pengetahuan, karya sastra (keduanya pertama kali mengetengahkan konsep “rimpang” ketika mengomentari novel dan cerita pendek Franz Kafka pada 1975), dan cara berpikir. Bahkan, A Thousand Plateaus juga ditulis dengan cara rimpang, tidak linier, sehingga dapat dibaca dari banyak titik. Namun, sampai sini bisa disimpulkan bahwa pada dasarnya apa yang dimaksud gerakan rimpang adalah gerakan yang tidak hierarkis, cair, tidak terikat tapi terhubung satu sama lain alias otonom

Dari definisi tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa alih-alih sebagai sesuatu yang kontemporer—“model gerakan baru” kata penulis Tempo; “new youth movement” menurut judul bab buku terbitan Palgrave Macmillan; dan sejak “ramainya penggunaan media sosial” di The Conversation—pelabelan “rimpang” pada gerakan sosial sekarang justru menunjukkan bahwa kita tidak belajar dari sejarah, dan karena itu, sialnya, selalu kalah. Gerakan sosial yang tanpa hierarki, cair, tidak terikat, otonom, tidak dimulai sejak beberapa tahun ke belakang, atau ketika media sosial mulai dipakai untuk aktivisme, melainkan sejak Orde Baru berdiri. Setelah Partai Komunis Indonesia (PKI) dibantai sampai ke anak cucunya, gerakan di Indonesia secara umum selalu merupakan gerakan yang mengambil bentuk rimpang

Buku Edward Aspinall, Opposing Suharto (2005), dengan baik menggambarkan bagaimana situasi perlawanan terhadap sang tiran medioker selama puluhan tahun dia berkuasa. Di sana tergambar kelompok oposisi (dengan derajat kekeraskepalaan masing-masing) yang berserakan dan tidak saling terhubung satu sama lain. Ya, rimpang itu tadi, bedanya labelnya belum ada. Secara umum ada empat kategori oposisi di era Orde Baru (hlm 6-9). Pertama, mobilizational opposition, kelompok yang secara eksplisit mau mengganti rezim dan mengandalkan massa; kedua, semi opposition, mereka yang mencoba mengubah dari dalam dan paling umum di masa itu; ketiga, alegal opposition, diasosiasikan kepada individu berani dan vokal, para pembangkang, tapi biasanya sekadar memberikan khotbah moral kepada rezim agar berubah menjadi lebih baik; dan terakhir adalah proto opposition, yang nama lainnya adalah organisasi masyarakat sipil. Menurut Aspinall, semua aktivisme mereka menghasilkan “multi fronted battle”. Mereka pada akhirnya terhubung satu sama lain dengan cara “learn from, and compete with, one another” (hlm 11). 

Mengatakan bahwa gerakan sosial yang ada sekarang sebagai sebuah hal yang baru berimplikasi pada munculnya harapan bahwa itu akan berbuah sesuatu, sebab ia dianggap tidak ada sebelumnya, atau minimal berbeda dari yang sudah-sudah. Ada rasa optimistis di dalamnya. Harap-harap cemas, kata judul televisi tempo dulu. Namun, harapan ini sebenarnya menyesatkan. Ia adalah hasil dari tidak adanya pemahaman historis yang utuh. Media sosial memang berperan besar, katakanlah, dalam 10-15 tahun terakhir. Tapi keberadaannya dalam gerakan hanya menandakan medium baru, satu variabel tambahan, bukan bentuk apalagi prinsip baru. Pola gerakan sosial yang cair, informal, dan terpisah-pisah sudah lama merupakan kenyataan sosial masyarakat kita dan justru karena itu semestinya kita melihatnya kembali lebih dalam. Memberi label “baru” pada sesuatu yang sudah ada lama sekali justru menandakan kita jalan di tempat, sementara musuh kian canggih belaka. Tidak heran kalau dari berbagai indikator Indonesia semakin mundur alih-alih kian demokratis.


Implikasi Gerakan Rimpang dan Lalu Apa?

Meski menganggap gerakan rimpang bukan hal baru, kami memahami mengapa itu seolah tampak menjadi harapan. Salah satunya karena apa yang kita lihat sekarang seperti kebuntuan, termasuk kian meningkatnya ignorance/ketidaksadaran sebagian besar masyarakat terhadap situasi sosial-politik saat ini. Kami mengakui bahwa gerakan rimpang berdampak setidaknya pada peningkatan kesadaran mengenai masalah-masalah sosio-politik yang terjadi. Berbagai isu berkali-kali ramai dulu di media sosial, baru kemudian memicu gelombang protes dan perlawanan. Namun, perlu diakui pula bahwa peningkatan kesadaran ini masih terjadi di lingkup yang sangat terbatas, atau cenderung berada di seputar “bubble” para pegiat gerakan rimpang itu sendiri. 

Ini dibuktikan, misalnya, melalui kemenangan Prabowo-Gibran sebesar 58% pada Pemilu 2024 lalu. Ketika salah satu dari kami melakukan riset di sebuah kabupaten di Jawa tengah, seorang buruh perempuan, masih sangat muda, dengan entengnya mengatakan bahwa dia memilih Prabowo hanya karena dari media sosial terlihat mantan Danjen Kopassus itu lucu—sebuah citra yang, kita semua tahu, difabrikasi oleh mesin kampanye yang duitnya tidak terbatas. Sang buruh perempuan mengonsumsi konten-konten seperti itu di kamar kost-nya yang sempit selepas seharian bekerja. Algoritma akun media sosialnya tidak membawanya pada “pencerahan-pencerahan” dari para influencer/pemengaruh gerakan. Prabowo-Gibran, menurut sejumlah riset, memang paling populer di media sosial. Gerakan rimpang tidak terbukti cukup ampuh mengalahkan gerakan terstruktur para politisi borjuis yang tergabung dalam gerbong Prabowo-Gibran.

Sebagai pihak yang pernah terlibat di organisasi terpimpin-terstruktur selama bertahun-tahun, kami juga sedikit banyak memahami mengapa bentuk gerakan rimpang tampaknya lebih dipilih sebagai saluran “aktivisme” banyak orang. Gerakan rimpang adalah antitesis dari gerakan yang lebih terorganisir dan lebih terpimpin. Selain cenderung lebih sederhana, tidak terikat tanggung jawab yang rigid, gerakan rimpang dapat dibentuk dengan kerja-kerja perawatan yang lebih minim dibandingkan dengan yang disebutkan pertama. Bergabung ke organisasi yang terstruktur dan terpimpin membutuhkan komitmen yang kadang lebih besar dari yang bisa ditanggung. Di masa sekarang ini, siapa yang mau capek, bertungkus lumus berorganisasi, tekun menghimpun dalam keseharian, sementara mengajak bergerak via media sosial sering kali dirasa cenderung efektif juga? 

Belum lagi fakta bahwa organisasi terstruktur yang dibangun dari hasil pengorganisiran sehari-hari pun tak jarang memiliki banyak masalah. Mulai dari “ngabers” yang merupakan simtom dari minimnya nilai-nilai feminisme, tidak adanya pembagian kerja yang adil, ketiadaan kerja perawatan kolektif, dan sebagainya. Setidaknya, dari pengalaman kami, organisasi punya cita-cita luhur mewujudkan masyarakat yang adil dan setara, tetapi relasi sosial para anggotanya (atau kader) itu sendiri bermasalah. Dalam hal ini, artikel di Majalah Sedane menarik untuk disimak. Penulis menggambarkan bagaimana generasi muda kian tidak tertarik bergabung ke serikat buruh meski kian hari hidup mereka semakin rentan. Alasan yang dikemukakan di antaranya karena serikat buruh itu kaku, tidak menjalankan fungsi advokasi padahal itulah raison d’être mereka dan sekadar meminta iuran, bahkan oligarkis (pemimpinnya itu-itu saja, tidak ada kaderisasi, nondemokratis). Memang, idealnya masalah itu bukan malah dijauhi tapi diselesaikan secara internal. Tapi bicara jelas lebih mudah dibanding mempraktikannya. Terlebih, menyelesaikan berbagai masalah di organisasi tak jarang memerlukan “pertarungan internal” panjang dan membutuhkan ketahanan ekstra. Pada akhirnya, seperti yang sering kami dengar dan bahkan kadang saksikan sendiri, ada saja aktivis yang memutuskan keluar tak hanya dari organisasi tapi sekaligus dari “gerakan” karena demoralisasi. 

Bukan berarti gerakan rimpang bebas dari masalah yang sama. Hanya saja, cairnya gerakan ini membuat masalah menjadi relatif lebih mudah diselesaikan. Para pegiat gerakan rimpang bisa keluar atau mundur kapan saja tanpa harus melewati proses atau mendapatkan konsekuensi yang lebih rumit dibandingkan dengan yang ada di organisasi yang lebih terstruktur. Atau, dan ini cukup banyak contohnya beberapa tahun terakhir, jika subjek yang terlibat dalam gerakan ternyata membuat masalah, orang lain tinggal melakukan tekanan di media sosial, meng-cancel-nya, dan yang bersangkutan pun biasanya tidak punya pilihan lain selain mundur dan menghilang. Tidak ada konsekuensi lanjutan lagi.

Selain soal kapasitas subjektif (lelah, demoralisasi, merasa sia-sia, dan sejenisnya), ada juga faktor struktural yang membuat lebih banyak orang tertarik dengan gerakan rimpang alih-alih masuk ke dalam aktivisme pengorganisiran yang lebih terstruktur dan terpimpin. Neoliberalisme membuat kita, warga negara, kelas pekerja, semakin teratomisasi, memperparah keadaan depolitisasi yang merupakan warisan Orde Baru selama puluhan tahun. Kita memang terdisorganisasi. Itu tidak bisa dielakkan. Belum lagi legislasi seperti UU Cipta Kerja yang semakin mengerdilkan peran serikat, misalnya, dalam hal penentuan upah dan perundingan dengan pengusaha. Di sisi lain, ada saluran “mudah” bernama media sosial. Kita, orang-orang yang frustrasi dengan keadaan, menyalurkan semua kemarahan ke sana. Jadi, sekali lagi, untuk apa bersusah melibatkan diri dalam pengorganisiran terpimpin yang terstruktur jika kita dapat sesuka hati mempersepsikan setiap apa yang kita anggap “perlawanan kecil-kecilan-keseharian” sebagai “tindakan revolusioner”

Ketiadaan struktur dan pengorganisiran yang rapi akan menyebabkan gerakan rimpang harus terus mengulang membangun gerakannya. Oleh karena itu, pernyataan bahwa jaringan rizomatik “ketahanannya dapat diuji kala vis-a-vis dengan rezim” sebetulnya kurang akurat. Bagaimanapun, bagi kami, membangun gerakan dengan struktur yang kuat yang ditopang oleh pengorganisiran tekun yang terpimpin sehari-hari adalah krusial. Perlawanan sehari-hari yang kita lakukan pada akhirnya perlu dipimpin oleh tujuan yang terukur. Tujuan-tujuan yang dibentuk melalui berbagai manifesto, misalnya, tentu hanya dapat diwujudkan melalui struktur perlawanan yang tidak cair, tidak leaderless

Imajinasi tentang “tujuan” itu sendiri hanya mungkin lewat gerakan pengorganisiran yang terpimpin. Sulit membayangkan itu tercipta di luarnya (tentu “tujuan” itu sendiri perlu pendiskusian lebih lanjut, dan bukan di artikel ini tempatnya). Hal ini sekaligus mempertebal tesis kami sebelumnya, bahwa gerakan rimpang bukan baru muncul akhir-akhir ini. Selama ini, kalau kita mau terbuka mengakui, yang dilakukan oleh gerakan sosial lebih bersifat defensif, dalam arti sekadar mempertahankan apa yang sudah ada meski sebenarnya juga tidak selamanya baik (kita misalnya tidak bisa mengatakan bahwa UU Ketenagakerjaan lebih bagus dibanding UU Cipta Kerja, sebab dari sanalah sistem kerja kontrak dan alih daya dibenarkan). Akibatnya seperti sekarang: apa yang sering disebut sebagai “pencapaian” Reformasi pelan-pelan dikebiri satu per satu sampai tak tersisa, sebab apa yang kita lawan adalah sistem yang sangat terorganisir. Dalam beberapa kasus, kita tidak mengalami “kemenangan” tapi sekadar “menunda kekalahan”. 

Sifat gerakan rimpang yang leaderless menurut kami juga berisiko pada terjerumusnya gerakan perlawanan ke dalam jurang individualisasi. Sifat leaderless dari gerakan rimpang akhirnya membuatnya bertopang kepada para pemengaruh di media sosial. Menjadi pemengaruh tentu bukanlah hal yang salah; kita telah melihat banyak kegunaannya. Namun, penting pula untuk mengakui keterbatasan dari tren ini. Tren pemengaruh yang tidak ditopang oleh struktur perlawanan dan pengorganisiran yang kuat, yang leaderless, bisa menjadi jebakan bagi gerakan perlawanan itu sendiri. Jebakan ini, dapat kita lihat, misalnya, ketika beberapa lalu warganet dengan heboh mempertanyakan “menghilangnya” seseorang yang dapat dikatakan sebagai pemengaruh besar di gerakan rimpang saat ini pada beberapa isu politik. Fenomena ini persis menunjukkan letak jebakan dari tren pemengaruh dalam gerakan perlawanan: ia membuat kita lupa bahwa tiap-tiap dari kita punya kemampuan agensi yang sama di dalam struktur politik yang menindas dan mengeksploitasi ini. 

Bahkan sebagian dari kita memiliki kekuatan agensi yang lebih besar dari yang lain. Kelas buruh yang berada di jantung produksi kapitalisme, misalnya, memiliki structural power/kekuatan struktural yang lebih besar dibandingkan dengan mereka yang mengerjakan bullshit jobs di ruang-ruang kantor. Sejarah membuktikan bagaimana para pekerja dengan structural power yang sangat kuat terorganisir lalu bergerak dalam gerakan terstruktur dan terpimpin mampu mewujudkan berbagai tuntutan serta tujuan politik di seluruh dunia. Belum lagi soal associational power/kekuatan asosiasional. Kekuatan sebuah organisasi gerakan—seperti serikat pekerja atau organisasi komunitas—dapat benar-benar terlihat ketika ia memiliki struktur perlawanan yang kuat, tidak leaderless, apalagi cair.

Pada akhirnya memang harus diakui bahwa gerakan rimpang dapat membangun kultur perlawanan di tengah masyarakat meski cakupannya masih terbatas. Namun ia tidak bisa berhenti di sana saja. Gerakan tersebut semestinya menjadi langkah atau taktik awal untuk kemudian didorong maju ke gerakan yang lebih terstruktur, terpimpin, dan terorganisir. Dalam observasi kami yang terbatas, sering kali, gerakan rimpang ini terbentuk di tingkat aliansi dan bukan organisasi gerakan itu sendiri. Sehingga, sebetulnya, di sinilah letak pekerjaan rumah yang perlu diselesaikan: mengorganisir secara terpimpin dan tekun dalam keseharian, dengan tujuan perlawanan yang jelas, serta di berbagai tingkat/struktur perlawanan sembari menyelesaikan masalah-masalah di tubuh organisasi seperti, sekali lagi, “ngabers”, ketiadaan pembagian kerja yang adil, ketiadaan kerja perawatan kolektif, dan sebagainya. ***


Fathimah Fildzah Izzati – PhD Candidate di SOAS University of London dan editor Indoprogress; Rio Apinino – editor Indoprogress

]]>
Partai Buruh dan Gagasan Negara Kesejahteraan https://indoprogress.com/2023/02/partai-buruh-dan-gagasan-negara-kesejahteraan/ Sun, 12 Feb 2023 21:35:09 +0000 https://indoprogress.com/?p=237321 Ilustrasi:  illustruth


RATUSAN ORANG memadati jalanan pada hari itu. Sebagian dari mereka mengenakan seragam berwarna oranye. Di depan barisan massa ada sebuah mobil komando dengan orator yang tidak berhenti bicara. Selintas itu seperti demonstrasi biasa, padahal bukan. Itu adalah massa Partai Buruh yang merayakan kelolosan sebagai salah satu peserta Pemilu 2024, Rabu 14 Desember tahun lalu. Komisi Pemilihan Umum (KPU) resmi memberikan mereka nomor urut 6.  

Partai Buruh, yang didirikan oleh empat konfederasi serikat pekerja terbesar dan 50 serikat pekerja tingkat nasional, juga forum guru, tenaga honorer, dan organisasi tani serta nelayan terbesar di Indonesia, memilih asas negara kesejahteraan atau welfare state. Konsep ini kemudian memicu diskusi publik. Sebuah opini di Kompas, misalnya, membahasnya secara pesimistis–termasuk tentang “sisi gelap” negara kesejahteraan yang sudah eksis. Indoprogress juga sempat menggelar forum daring akhir tahun lalu. 

Artikel ini akan turut serta meramaikan diskusi tersebut, terutama tentang hal paling dasar: bagaimana konsep negara kesejahteraan itu sesungguhnya.


Negara, arena berebut kuasa

Pembahasan tentang negara kesejahteraan harus dimulai dari memahami negara itu sendiri. Perspektif paling umum adalah perspektif weberian, yang secara garis besar melihat negara sebagai entitas yang otonom dari masyarakatnya sehingga memiliki logika sendiri. Namun pengertian tersebut tidak membawa kita ke mana-mana dan tak menjelaskan apa-apa. Negara dalam artikel ini akan dipahami sebagai entitas yang geraknya dipengaruhi oleh kontestasi kelas sosial. Negara menjadi arena berebut kuasa sebab menjadi sarana sentral merealisasikan (dan melanggengkan) kepentingan kelas. 

Secara ringkas, gagasan utama dari negara kesejahteraan adalah menjinakkan kekuatan kapital/modal secara umum lewat kontrol politik yang demokratik. Sekali lagi: menjinakkan, bukan mengalahkan atau melampaui. Ini adalah ciri paling radikal dari praktik tersebut sekaligus yang membedakannya dengan bentuk-bentuk negara lain. Negara kesejahteraan selalu dalam batas-batas kapitalisme; negara sosialis menyimpan agenda transformasi melampaui kapitalisme–dengan realisasi yang beraneka; sementara negara liberal justru melanggengkan sistem ekonomi-politik tersebut dengan berperan sebagai pemberi iklim yang kondusif bagi modal bahkan jika itu termasuk memiskinkan masyarakat. 

Esensi negara kesejahteraan yang pada dasarnya tetap berwatak kapitalis tidak muncul dari ruang hampa. Ia adalah produk sejarah yang spesifik. Negara kesejahteraan hadir dalam konteks ketika konflik kelas semakin runcing tapi berakhir dengan kompromi. 

Konfrontasi kelas di negara kapitalis maju semakin sering terjadi pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, bersamaan dengan pertumbuhan bisnis skala besar yang belum pernah terjadi sebelumnya karena teknologi baru memungkinkan pelipatgandaan skala produksi. Pemogokan muncul di mana-mana, demikian pula represi dari aparat, termasuk di negara-negara Nordik, wilayah yang kemudian menjadi tempat bersemainya negara kesejahteraan. Konflik meningkatkan kesadaran kelas para pekerja dan mereka dengan cepat beralih ke sosialisme bahkan komunisme. Hal ini juga karena pengaruh dari Revolusi Oktober di Uni Soviet yang membuka mata bahwa dunia yang lain itu mungkin. 

Kelompok kiri semakin signifikan setelah Perang Dunia II, apalagi berkat peran mereka melawan fasisme. Demikian pula dengan tuntutan akan perubahan radikal. Revolusi seperti akan terjadi esok hari. 

Untuk mencegah revolusi yang dipimpin oleh kelas buruh, maka kelas kapitalis bersiasat dengan memberikan sogokan. Sogokan ini berupa berbagai produk jaminan sosial yang tak jarang sifatnya universal. Di negara Nordik, layanannya termasuk pendidikan dan kesehatan gratis, asuransi pengangguran, dan pensiun (selengkapnya baca laporan Deloitte). Di Inggris, wujudnya adalah National Health Service (NHS) yang kerap jadi rujukan banyak negara ketika hendak merancang program kesehatan nasional. 

Kemampuan negara-negara tersebut membiayai semua program ditopang oleh kemajuan pesat ekonomi sehabis luluh lantak oleh perang. Periode ini dikenal dengan nama “postwar economic boom” atau “golden age of capitalism”. 

Negara kesejahteraan diinterpretasikan beragam di banyak literatur. Salah satunya adalah itu tidak lain merupakan pemberian dari kapitalis. Bahkan beberapa sarjana feminis menganggap welfare state sebagai patriarkis, sebagaimana watak kapitalisme secara umum, karena tetap menempatkan perempuan pada posisi tradisional: rumah tangga (berbagai pendekatan tentang negara kesejahteraan dapat dibaca di artikel Chris Pierson, 1999). 

Negara kesejahteraan dianggap alat kontrol sosial yang justru dalam jangka panjang menguntungkan kapitalis karena memastikan selalu ada tenaga kerja prima yang siap dieksploitasi (karena terjaminnya produksi dan reproduksi sosial). Tujuan fundamental dari negara borjuis memang melestarikan hubungan kerja upahan untuk akumulasi modal, yang adalah inti dari kapitalisme. Dalam hal ini bentuknya bisa bermacam-macam, bisa monarki, otoriter bahkan fasis, dan yang sedang dibahas, negara kesejahteraan.

Masalahnya, pendekatan yang melihat negara kesejahteraan merupakan iktikad para borjuis untuk menerapkan “kapitalisme baik hati” mengabaikan aspek perjuangan kelas. Aspek ini mengakui proletar sebagai agensi kolektif yang aktif dan sadar mengupayakan perubahan sosial. 

Perspektif yang melihat peran aktif kelas pekerja, mengutip artikel di Monthly Review, bahkan “sebagian besar hilang dari pandangan utama marxis tentang kesejahteraan.” Padahal, Marx sendiri mengakui dan bahkan mengadvokasi reformasi sosial–yang adalah pijakan untuk proyek lebih besar negara kesejahteraan. Hal ini terlihat dari komentarnya tentang serangkaian regulasi tentang pabrik di Inggris pada abad ke-19.

Ketika parlemen mengesahkan Factories Act 1847, yang membatasi jam kerja perempuan dan anak di pabrik tekstil menjadi 10 jam per hari, Marx mengatakan itu adalah “keberhasilan luar biasa.” Berbicara di forum Internasional Pertama pada Oktober 1864, Marx mengatakan peraturan tersebut, yang diupayakan tak kurang dari 30 tahun, “tidak hanya sukses besar secara praktis; itu adalah kemenangan prinsip; itu adalah kali pertama di siang bolong ekonomi kelas menengah kalah dengan ekonomi politik kelas pekerja.”

Memang akhirnya kapitalis bersiasat kembali dengan memperkenalkan pola kerja yang sekarang dikenal sebagai sistem sif. Namun pembatasan jam kerja tetap termasuk bagian dari memajukan kepentingan langsung proletar di alam kapitalisme. Termasuk pula reformasi dan praktik jaminan sosial secara umum yang diadvokasi lewat negara. Perbaikan-perbaikan taraf hidup semestinya memang tak mesti menunggu munculnya sosialisme.

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.


Keterbatasan dan pertanyaan

Politik kelas yang bertarung di jantung negara sudah lama absen dari Indonesia. Absennya mereka membuat para kapitalis bisa melakukan hampir apa pun yang dapat kita bayangkan. Karena alasan itu keberadaan Partai Buruh yang dapat dikategorikan sebagai partai sosial demokrasi meski di atas kertas menyatakan berideologi Pancasila patut disambut dengan tangan terbuka. Dan sambutan terbaik bukanlah seperti fans terhadap idolanya sebagaimana politik Indonesia hari ini, tapi dengan kritisisme. 

Kunci mendirikan negara kesejahteraan di Eropa, seperti yang telah disinggung di atas, adalah signifikannya kekuatan proletar. Partai Buruh Indonesia memimpikan utopia yang sama, tapi dengan konteks yang berbeda 180 derajat. Secara umum gerakan buruh di Indonesia terus mengalami kekalahan demi kekalahan. Paling baru adalah disahkannya UU Cipta Kerja yang membuat pekerja kian rentan. 

Serikat buruh daya gedornya kian lemah. Secara kuantitatif, tahun 2018 lalu, pemerintah menyebut hanya 2,7 pekerja yang berserikat, padahal jumlah angkatan kerja saja mencapai 144 juta per Februari 2022. Bangkitnya pekerja gig juga belum mampu direspons dengan cekatan oleh serikat yang bagi banyak orang masih terlampau bercorak konvensional atau masih terbatas oleh sekat tebal dinding pabrik. Tidak menariknya serikat tentu persoalan lain yang harus dibahas tersendiri. 

Memang tidak ada yang tahu apa yang akan terjadi pada Partai Buruh dalam pemilu nanti. Mereka sendiri menargetkan dapat 7 juta suara dan lolos parlemen. Namun, dilihat dari situasi hari ini, ada setumpuk pekerjaan berat yang harus diselesaikan. 

Situasi di luar negeri saat ini sebenarnya juga demikian meski memiliki sejarah gemilang. Partai-partai kiri-tengah tertatih-tatih di arena politik. Misalnya partai sosial demokrasi di Swedia. Dari lima pemilu terakhir sejak 2006, mereka hanya jadi bagian dari pemerintahan sebanyak dua kali, itu pun minoritas di koalisi. Di sisi lain, kita melihat politik dan partai kanan bangkit dan mendapat dukungan cukup signifikan, salah satunya berkat solusi sederhana untuk masalah yang rumit (Tidak ada lapangan kerja? Solusinya usir imigran!).

Bandau (2022) mengatakan berdasarkan berbagai literatur yang dipublikasikan sejak 2010, “krisis elektoral” yang dialami partai-partai buruh di Eropa adalah fenomena kompleks yang disebabkan oleh banyak sekali faktor. Namun akar dari hal tersebut sebenarnya jelas. Partai Buruh gagal sebab justru menjadi mediator dan manajer yang memoderasi kelas buruh. Mereka menerapkan kompromi alih-alih konfrontasi kelas. 

Gagasan tentang kompromi kelas tidak bisa dilepaskan dari pandangan para sosial demokrat tentang kapitalisme itu sendiri. Mereka percaya bahwa corak produksi ini dapat diubah secara gradual dengan kerja sama dengan para kapitalis. Gagasan ini dikenal dengan istilah “kemitraan sosial”. Mereka bahkan percaya bahwa para pemodal juga memiliki pemahaman yang sama. Para sosial demokrat yakin kapitalisme yang diregulasi akan bebas krisis. 

Kompromi pada akhirnya juga mengubah kelas pekerja secara umum. Para pekerja menganggap apa yang mereka nikmati bukan hasil perjuangan orang-orang terdahulu, tapi sebab perdamaian dan kerja sama dengan kapitalis. Apa yang terjadi sekarang menjadi lepas dari konteks sejarah yang membentuknya. Akibatnya adalah depolitisasi gerakan buruh sekaligus birokratisasi para pengurus serikat. Itulah peran historis serikat dan partai berasas sosial demokrat di Eropa. 

Di sisi lain, kaum pemodal melihat ideologi kemitraan sosial secara lebih realistis. Ketimbang sebagai kontrak permanen, mereka melihat kemitraan sosial lebih sebagai momen gencatan senjata dan sudah seharusnya diakhiri ketika ternyata (atau: tentu saja) kapitalisme tetap mengalami krisis. 

Para borjuis tidak ragu menjawab persoalan tersebut, yaitu inflasi dan stagnasi di tahun 1970-1980-an, dengan neoliberalisme. Neoliberalisme membongkar ulang peran negara menjadi seminimal mungkin lewat privatisasi dan deregulasi. Bahkan partai sosial demokrasi pun pada akhirnya mengadopsi neoliberalisme meski lebih lambat dibanding yang lain dan program-program hasil negara kesejahteraan, sampai sekarang, terus berupaya dihapus digantikan mekanisme pasar.

Namun kompromi kelas dan kebuntuan bukanlah satu-satunya takdir dari partai yang mengusung visi negara kesejahteraan; ia bukanlah ujung tunggal dari praktik politik sosial demokrasi. 

Kerala di India adalah salah satu buktinya. Kerala, kata Sandbrook dkk (2006), “dalam banyak hal menjadi contoh kasus sosial demokrasi di (negara) pinggiran” meski partai yang dominan di sana, Communist Party of India (Marxist), “akan sangat tegas menolak (label itu).” Kerala membuktikan betapa sosial demokrasi bisa sangat transformatif. Kerala memiliki sumber daya yang sangat terbatas, tapi mampu berubah dari corak feodal dengan masyarakat yang eksklusif dan sama sekali tidak egaliter menjadi negara yang mampu menyediakan warganya fasilitas yang bisa diadu dengan negara industri (termasuk negara kesejahteraan Eropa). 

Apa yang membedakan Kerala dengan tempat-tempat lain di Eropa sana adalah peran partai. Ketimbang sekadar menyediakan beragam program kesejahteraan, partai yang meski bernama komunis mengambil jalan parlementer secara aktif mentransformasi relasi antara negara dan masyarakat dan masyarakat itu sendiri (termasuk kasta dan gender) secara fundamental. Mereka terus menciptakan ruang baru agar masyarakat terlibat aktif dalam kebijakan. Bahkan fokus partai adalah meningkatkan partisipasi massa dalam politik sejak 1980-an. 

Di sisi lain, massa pun yakin bahwa partai memang mewakili mereka, atau setidaknya melihat bahwa kepentingan mereka terinstitusionalisasi dalam tubuh negara. Itu pula mengapa partai komunis tetap berkuasa lewat pemilihan umum yang demokratis meski bersaing dengan partai lain. 

Ketika di Eropa sosial demokrasi pada akhirnya membuat gerakan pekerja jadi terdepolitisasi, hal sebaliknya terjadi di Kerala. Saat di Eropa negara kesejahteraan dipertanyakan eksistensinya dan didesak melakukan perubahan secara dramatis oleh agen neoliberalisme IMF, eksperimen mewujudkan masyarakat baru masih terus berjalan di India. Waktu partai buruh justru semakin ditinggal di Barat dan melalui jalan sunyi sebab mempraktikkan kompromi kelas, di Kerala partai justru menjadikan massa sebagai segalanya. (Praktik sosialisme dari bawah ala Kerala bisa dibaca lebih detail dalam artikel Coen Pontoh berikut). 

Pada akhirnya masa depan Partai Buruh di Indonesia juga akan sangat tergantung pada relasi dengan massa. Bukan hanya karena itu menentukan mereka berhasil masuk arena kekuasaan atau tidak, tapi juga bakal menjawab apakah jalan sejarahnya akan seperti model Eropa atau Kerala.


Rio Apinino, editor Indoprogress

]]>
Gantungkan Kapitalmu Setinggi Langit https://indoprogress.com/2022/08/gantungkan-kapitalmu-setinggi-langit/ Wed, 10 Aug 2022 12:56:30 +0000 https://indoprogress.com/?p=236953 Ilustrasi: Springmag


KOMET sedang menuju Bumi dan akan menghantam permukaan enam bulan ke depan. Dua orang astronom kelas teri yang mengetahui keniscayaan ini kemudian melakukan semua cara yang mungkin untuk menghindari kiamat, termasuk bicara kepada presiden. Tapi presiden, juga pers dan masyarakat, masa bodoh.

Sebuah perusahaan kemudian menyelinap untuk mengambil kesempatan dalam kesempitan. Alih-alih menggunakan teknologi untuk menghancurkan komet tersebut—yang potensi keberhasilannya besar—mereka justru hendak memanfaatkannya. Perusahaan melihat bahwa komet itu bak lokasi tambang super yang memiliki beragam mineral langkah bernilai triliunan dolar.

Proyek pertambangan komet gagal total bahkan sebelum dimulai. Komet tetap meluncur deras ke Bumi dan… selesai sudah. Kiamat. Gelap.

Cerita di atas memang hanya garis besar dari film berjudul Don’t Look Up (2021). Tapi apa yang digambarkan adalah peristiwa konkret yang sedang kita semua alami. Dua tahun lalu NASA mengumumkan bahwa mereka akan membayar material yang ditambang perusahaan swasta di bulan, termasuk batu, tanah, dan bahan lainnya (ilmuwan memperkirakan di bulan ada cadangan besar isotop, bahan bakar potensial untuk reaktor nuklir). Negara-negara besar seperti Amerika Serikat, Cina, dan Rusia juga tengah bersiap melakukannya dengan membangun pangkalan permanen.

Tapi eksplorasi (atau eksploitasi) luar angkasa tak hanya tentang menambang material yang semakin sedikit di Bumi—atau tidak ada sama sekali. Ia juga tentang, misalnya, turisme luar angkasa. Bahkan, dan ini adalah ide yang tampaknya paling gila, adalah menjadikan Mars sebagai koloni atau tempat tinggal masa depan.

Perlombaan menuju luar angkasa memang bukan barang baru, tapi ada kekhususan pada zaman kiwari. Di era Perang Dingin, AS dan Uni Soviet menjadikan ruang angkasa sebagai barometer kedigdayaan alias lebih kental dengan unsur-unsur politis. Era ini disebut dengan nama ejekan “old space”. Di era sekarang, terutama sejak 2010-an, yang oleh para pelaku industri disebut “new space”, aspek ekonomi menjadi faktor dominan. Perlombaan saat ini lebih banyak didorong oleh perusahaan swasta, bukan lagi negara, dan yang terdepan adalah SpaceX milik Elon Musk dan Blue Origin kepunyaan Jeff Bezos.


Bukan Demi Manusia

Elon Musk, orang terkaya di dunia, mengatakan bahwa karena Bumi akan semakin tidak layak untuk dihuni karena pemanasan global, perang, dan lain-lain—yang pada ujungnya adalah kiamat—umat manusia harus memikirkan cara supaya menjadi multi-planetary species. Ia kemudian menatap Mars. Musk membayangkan pada 2026 manusia mulai menciptakan infrastruktur permanen di sana dan pada 2050 telah tercipta koloni satu juta manusia—tentu saja sang agen perjalanan adalah perusahaannya.

Musk mengatakan hal ini harus dilakukan untuk menyelamatkan manusia. Sungguh tampak sangat mulia. Tapi alasan ini tidak unik. Banyak pihak yang mendorong penjelajahan luar angkasa mengatakan hal bernada serupa. Para ahli mengatakan menambang Bulan akan menyelamatkan kehidupan di Bumi, ada pula yang percaya bahwa itu akan menghapus kemiskinan.

Bisa jadi ada ilmuwan yang benar-benar percaya bahwa solusi masalah Bumi dan umat manusia ada di luar atmosfer sana. Tapi tentu naif jika kepercayaan serupa diberikan pada pemilik korporasi luar angkasa—yang jumlahnya tumbuh pesat dalam beberapa tahun terakhir.

Dengan melihat bagaimana cara kerja kapitalisme, kita tahu bahwa semua alasan yang keluar dari mulut mereka hanya akal-akalan.

Kapitalisme dimulai ketika borjuis membelanjakan uang (m) mereka ke dalam modal konstan (mesin, bahan baku, dll) dan modal variabel (buruh) untuk memproduksi komoditas (c). Komoditas kemudian dipasarkan dengan harga yang lebih tinggi dari yang telah dikeluarkan (m’). M’ inilah yang dalam literatur marxis disebut “nilai lebih”. Siklus tak berhenti ketika m’ terealisasi. Tujuan satu-satunya kapitalisme adalah akumulasi. Maka dari itu nilai lebih dimasukkan kembali ke dalam sirkuit produksi dan siklus m-c-m’ pun berulang.

Siklus m-c-m’ tak selamanya mulus. Selalu ada retakan yang disebut krisis. Krisis bukanlah penyimpangan seperti yang kerap dikatakan para ekonom arus utama, tapi memang inheren dari sistem itu sendiri.

Dalam kacamata marxisme, salah satu indikator sentral penyebab krisis adalah terjadinya akumulasi berlebih (overaccumulation). Kalimat ini tidak keliru. Sebuah sistem yang tujuan satu-satunya adalah akumulasi memang dapat rusak ketika akumulasi telah melebihi batas.

Kapitalisme adalah sistem yang kontradiktif. Komoditas yang dihasilkan lewat sistem tersebut dihasilkan dengan cara yang amat terencana lewat pembagian kerja detail para pekerja. Tapi, ketika dilempar ke pasar, yang terjadi adalah anarki. Hanya orang yang mampu—dan merasa butuh—yang membelinya. Semua konsumen di mata kapitalis memang anonim dan angka belaka.

Komoditas tidak dibuat untuk dikonsumsi, melainkan hanya sarana untuk mendapatkan untung. Maka kapitalis menciptakan sistem yang semakin efisien agar yang dijual bisa lebih banyak. Misalnya dengan mengadopsi teknologi dan manajemen termutakhir. Antara satu kapitalis dan kapitalis yang lain terus berlomba tanpa henti.

Pada satu titik, pasar kebanjiran komoditas tapi dalam situasi kurangnya permintaan. Investasi nilai lebih pada siklus sebelumnya tak lagi menghasilkan kembalian seperti yang diharapkan. Akumulasi mandek karena terlalu banyak.

Dalam The Limits to Capital (2018), David Harvey menyebut akumulasi berlebih adalah situasi ketika “nilai lebih yang dihasilkan kapitalis tidak dapat lagi diserap secara menguntungkan.” Proses akumulasi melambat. Stagnasi terjadi. Penampakan akumulasi berlebih cukup kentara, misalnya banyaknya komoditas, inventori, dan modal yang tidak terpakai, juga meledaknya tenaga kerja (yang selain produsen asli juga sekaligus konsumen) setengah pengangguran.

Berhenti berakumulasi adalah seharam-haramnya hukum bagi kapitalis. Maka mereka memutar otak, menghasilkan jalan keluar yang oleh Harvey disebut sebagai “spatial fix”. Dalam artikel yang terbit di jurnal Geographische Revue (2/2001), Harvey menyebut beberapa contoh konkret spatial fix, yaitu menciptakan pasar baru di dunia kapitalis, terlibat perdagangan dengan ekonomi non-kapitalis, serta mengekspor surplus modal ke daerah yang belum berkembang atau terbelakang. Dua contoh pertama mencoba mengatasi masalah permintaan yang rendah; sementara yang terakhir adalah dalam rangka menampung kelebihan modal.

Dalam artikel yang lebih lama, ditulis pada 1975, Harvey mengatakan “ruang baru untuk akumulasi harus ada atau diciptakan jika kapitalisme ingin bertahan hidup.” Tapi masalahnya solusi ini pun bukan jalan keluar permanen karena kelak akumulasi berlebih akan juga muncul di tempat baru tersebut. Solusi permanen dari kapitalisme tidak lain adalah menghapus sistem tersebut sama sekali. Oleh karena itu nama solusi ini lengkapnya adalah spatio-temporal fixes.

Konsep yang ditawarkan Harvey di atas mampu menjelaskan mengapa para kapitalis menatap dan mencoba merengkuh angkasa (dan segala yang ada di dalamnya) di luar alasan humaniter yang konyol. Seperti yang dikatakan Victor Shammas dan Tomas Holen (Humanities and Social Sciences Communications, 10, 2019), luar angkasa berfungsi sebagai “spatial fix yang memungkinkan kapital melampaui batasan-batasan terestrial yang melekat padanya. Dengan cara ini perbaikan spasial terakhir mungkin adalah (luar) spasial itu sendiri.”

Eksplorasi luar angkasa tidak lain adalah ekspansi yang didorong oleh logika akumulasi kapital. Luar angkasa didefinisikan ulang sebagai ruang tak bertuan yang siap dipakai untuk keuntungan segelintir orang.

Dengan ruang angkasa sebagai lokus akumulasi baru, kelebihan modal sangat mungkin disalurkan ke industri terkait yang sedang berkembang. Selain roket, pencitraan satelit dan komunikasi adalah dua sektor yang cukup krusial. Sepanjang tahun lalu ekonomi ruang angkasa global secara keseluruhan menghasilkan pendapatan sebanyak 386 miliar dolar AS, meningkat empat persen dibanding 2020 (sebagai gambaran, cadangan devisa Indonesia per Juni 2022 kurang dari setengahnya, hanya 136,4 miliar dolar AS). Industri satelit menyumbang 72 persen di antaranya.

Penjelajahan luar angkasa juga pada gilirannya membutuhkan banyak sekali riset dan inovasi teknologi yang, sekali lagi, menyediakan spatial fix yang sangat luas bagi para kapitalis. Ini semua belum termasuk sumber daya baru yang dapat mereka kuasai. Peter Diamandis, CEO Zero Gravity Corporation, pernah mengatakan dengan girang bahwa di luar sana “ada cek senilai dua puluh triliun dolar menunggu untuk diuangkan!


Proyek yang Merusak

Kolonialisme tak hanya berlangsung persis dengan logika spatial fix, tapi juga segala embel-embel pembenarannya. Para penjajah bisa saja mengatakan bahwa apa yang mereka lakukan membuat beradab masyarakat lokal dan memodernisasi dunia, tapi kita tahu bahwa di balik itu semua motif mengeruk keuntungan bagi diri sendiri berada di urutan paling atas.

Tentu saja sanggahan langsung muncul: bahwa luar angkasa adalah ruang kosong yang jika dieksploitasi tak merugikan siapa pun. Menambang bulan, misalnya, berbeda dengan menambang Halmahera yang membuat ladang, sawah, dan tambak tercemar limbah sehingga tak lagi produktif. Begitu pula dengan wisata luar angkasa. Siapa yang dirugikan ketika orang-orang super kaya melihat Bumi dari luar barang beberapa menit? Agaknya tidak ada. Lalu kolonisasi Mars. Sampai sekarang belum ada bukti kehidupan di sana.

Asumsi tersebut sepenuhnya keliru. Eksplorasi luar angkasa secara langsung memperparah kondisi planet kita persis karena semuanya dimulai di sini.

Natalie Pierson (RAIS Conference Proceedings, Agustus 15-16, 2021) mengatakan roket dari SpaceX menggunakan mesin berbasis minyak tanah dan metana yang tidak lain merupakan gas rumah kaca. Memang sampai sekarang jumlah peluncuran roket belum cukup signifikan untuk merusak atmosfer, tapi menurutnya lama kelamaan akan begitu karena tujuan akhirnya adalah mencapai Mars. Tidak heran jika pada 2018 lalu Organisasi Meteorologi Dunia memasukkan roket sebagai masalah potensial di masa depan.

Temuan serupa, bahwa di masa depan peluncuran roket akan menghasilkan masalah signifikan bagi Bumi, terdapat dalam riset Robert Ryan dkk (Earth’s Future, Volume 10, Issue 6). Selain itu mereka menemukan bahwa partikel BC atau jelaga atau karbon hitam dari roket hampir lima ratus kali lebih efisien menghangatkan atmosfer ketimbang gabungan semua sumber jelaga lain. Sementara temuan lain menyebut satu penerbangan turisme luar angkasa selama satu setengah jam menghasilkan polusi yang setara dengan penerbangan trans-Atlantik selama 10 jam.

Temuan-temuan di atas kembali menegaskan bahwa bukan manusia secara umum yang menyebabkan krisis ekologis, melainkan kelas kapitalis—merekalah yang punya kemampuan untuk membongkar pasang Bumi semaunya. Faktanya 10 persen orang terkaya berkontribusi terhadap 49 jejak karbon, sementara setengah orang termiskin hanya menghasilkan 7 persen pada 2015. Kerusakan disebabkan oleh kelas kapitalis yang menggunduli hutan, menambang lahan, mencemari laut, dan kini menjelajah luar angkasa.

Dampak merusak lainnya adalah potensi jatuhnya sampah antariksa ke permukaan. Sampah-sampah ini akan semakin banyak melayang bebas di orbit seiring dengan semakin intensifnya peluncuran. Department of Defense AS memperkirakan ada 27 ribu keping sampah antariksa di sekeliling Bumi. Riset lain menyebut jumlahnya 34 ribu yang berukuran lebih dari 10 cm dan jutaan keping lain yang ukurannya lebih kecil.

Jatuhnya benda sisa penjelajahan luar angkasa pernah terjadi beberapa kali di Indonesia. Pada 2017 lalu, di Sungai Batang Sumatera Barat, jatuh sebuah logam bulat berdiameter 110 cm dan berat sekitar 7 kilogram. Sampah ini diduga sisa penyimpanan bahan bakar roket.

Sampah-sampah antariksa ini bahkan menghasilkan spatial fix baru, yang tidak lain adalah jasa pembersihannya. Salah satu yang bergerak di bidang ini adalah Star Technology and Research (STAR).

Sialnya, penjelajahan luar angkasa tak hanya mungkin berkat upaya akumulasi kapitalis seorang. Di balik kemampuan mereka menjelajah alam tak terbatas itu ada sokongan kuat dari pemerintah yang mengalokasikan mereka banyak uang dari pajak. SpaceX, misalnya, telah disubsidi 4,9 miliar dolar AS oleh pemerintah AS.

Kelindan antara kapitalis-pemerintah juga dalam hal proyek. Tahun lalu SpaceX dapat kontrak dari NASA sebesar 2,9 miliar dolar AS untuk proyek pendaratan di bulan. Sementara STAR yang membersihkan puing luar angkasa mendapat kontrak dari NASA dengan nilai sebesar 1,9 juta dolar AS (kontrak seperti ini juga banyak terjadi pada perusahaan-perusahaan Silicon Valley).

Jadi, alih-alih mengalokasikan banyak dana untuk memperbaiki bumi (laporan terbaru dari PBB menyebutkan biaya yang dikeluarkan untuk memerangi perubahan iklim saat ini mencapai 3,8 triliun dolar AS per tahun), negara-negara memilih untuk menyokong akumulasi kapitalis. Negara memang kepanjangan tangan pemilik modal.

Patut dicatat meski proyek luar angkasa jelas-jelas langsung merusak Bumi, bukan berarti faktor utama yang memungkinkan itu terjadi, yaitu teknologi, bermasalah dalam dirinya sendiri. Teknologi itu netral, tergantung siapa yang menguasainya. Dalam kapitalisme, teknologi semata dibuat demi profit, bukan untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat. Para kapitalis hanya mengembangkan alat baru yang mendukung kepentingan ekonomi, sosial, dan politiknya.

Penguasaan terhadap teknologi bersamaan dengan semakin besar dan terkonsentrasinya kekuasaan kapitalis terhadap kelas pekerja atau mayoritas. Karl Marx dalam Capital menyatakan bahwa mesin adalah “senjata paling ampuh untuk menindas pemogokan.” Produksi tetap dapat berjalan meski sebagian besar buruh berhenti bekerja. Hal ini dimungkinkan karena dengan mesin para pekerja hanya mengerjakan hal-hal sesederhana menekan tombol-tombol. Pengetahuan (dan tenaga) yang dimiliki buruh telah “dibekukan” dalam alat-alat baru. Penerapan teknologi juga pada gilirannya mempertahankan tentara cadangan tenaga kerja sehingga kapitalis mudah saja merekrut orang baru saat yang lain memberontak.

Maka, jika ada yang disebut “tugas sejarah” kelas pekerja, inilah salah satunya: membebaskan teknologi dari tangan pemilik modal.


Lompatan Besar Pemodal

Penjelajahan luar angkasa adalah seperangkat gagasan atau ideologi yang hendak mencekoki kita kepercayaan bahwa solusi atas semua masalah Bumi berada di luar angkasa, bukan dengan melakukan perubahan radikal terhadap sistem kapitalisme itu sendiri. Mereka hendak membuat kita percaya bahwa masa depan yang cerah ada di luar sana, dan dengan demikian lebih pasrah atas apa yang terjadi di Bumi.

Ketika Neil Armstrong berhasil mendarat di bulan pada 1969, dia mengatakan bahwa itu adalah “satu langkah kecil untuk seorang manusia,” tapi pada saat yang sama merupakan “satu langkah besar bagi umat manusia.” Sebuah langkah yang membuka peluang tak terbatas untuk mencapai hidup yang lebih baik. Tapi alih-alih langkah besar bagi umat manusia, penjelajahan luar angkasa saat ini lebih tepat disebut “langkah besar bagi kelas kapitalis.” Luar angkasa memberikan spatial fix yang hampir tak terbatas untuk akumulasi modal sembari terus membuat Bumi semakin rusak.

Mark Fisher (2009) menyebut fenomena ini sebagai “capitalist realism”, yaitu pemahaman bahwa “kapitalisme bukan hanya satu-satunya sistem politik dan ekonomi yang layak, tapi juga tidak mungkin bahkan untuk sekadar membayangkan alternatif yang koheren terhadapnya.”

Kita dipaksa untuk percaya bahwa lebih sulit membayangkan berakhirnya kapitalisme ketimbang akhir dunia.***

]]>
Raksasa Merah Dunia Olahraga https://indoprogress.com/2022/07/raksasa-merah-dunia-olahraga/ Thu, 14 Jul 2022 07:09:25 +0000 https://indoprogress.com/?p=236885 Sumber foto: 1stdibs


JIKA Uni Soviet merupakan artefak abad ke-20, maka ia merupakan peninggalan yang sama sekali belum selesai dieksplorasi. Berbagai eksperimen ekonomi politik yang diterapkan selama puluhan tahun di sana akan selalu jadi pengingat bahwa kapitalisme bukanlah satu-satunya dunia yang mungkin. Kegagalan dan berbagai penyimpangan terhadap marxisme pun menjadi bahan otokritik orang-orang kiri untuk dapat benar-benar mewujudkan mimpinya: menghadirkan surga di bumi.

Tapi artikel ini tidak akan membahas hal serius seperti itu. Biarlah kita serahkan ke rekan-rekan di Militan Indonesia saja. Apa yang akan dibahas adalah satu aspek yang, sependek pencarian, cukup jarang dibahas di Indonesia: olahraga.

Soviet adalah negara yang mendominasi kompetisi olahraga internasional, setidaknya sejak memutuskan ikut Olimpiade 1952 sampai 1988—sebelum akhirnya hancur berkeping-keping tiga tahun kemudian. Mereka mencatatkan diri sebagai peraih medali terbanyak di enam Olimpiade Musim Panas dari sembilan kesempatan; juga juara umum di tujuh Olimpiade Musim Dingin dari sembilan kali partisipasi.

Total, Soviet mengumpulkan 395 emas, 319 perak, dan 296 perunggu. Bahkan sampai sekarang, negara dengan luas 22,4 juta kilometer persegi ini, yang tidak lagi ada di muka bumi sejak 31 tahun lalu, masih berada di posisi kedua di bawah Amerika Serikat sebagai peraih medali terbanyak sepanjang masa.

Ini belum termasuk berbagai rekor dunia yang mereka pecahkan. Sepanjang 1971 sampai 1976 saja atlet Soviet memecahkan 343 rekor dunia.

Apa sebab Soviet begitu berkuasa di lapangan olahraga? Dalam pidato di hadapan mahasiswa di Universitas Rakjat dan Universitas Indonesia pada 1962 lalu, Njoto, salah satu dari pemimpin Partai Komunis Indonesia (PKI), mengatakan jawabannya adalah karena mereka memanfaatkan betul ilmu pengetahuan. “Mungkinkan semua ini terjadi,” katanya, merujuk keunggulan Soviet di bidang lain dari mulai balet, catur, film, pendidikan, dan militer, “seandainya marxisme itu bukan suatu ilmu?”

Sah-sah saja menganggap pernyataan pemimpin PKI paling flamboyan itu hanya berpropaganda belaka untuk menunjukkan—dengan sederhana—betapa komunisme lebih berkuasa ketimbang lawan bebuyutan mereka, liberalisme. Dan itu mudah saja bagi orang yang hidup ketika sepertiga dunia berwarna “merah”.

Tapi Njoto tak keliru. Apa yang terjadi di Soviet memang kontras dengan negara lain, bahkan AS sekalipun.


Ilmu Mencetak Atlet

Ilmu olahraga AS tak berkembang banyak sampai beberapa dekade setelah Perang Dunia II. Tak ada dukungan dari negara untuk itu, juga dana dari swasta. Masing-masing pelatih mengembangkan resep dan metode latihan sendiri yang dianggap cocok bagi atlet. Ringkasnya, tak ada pelatihan terpadu.

Meski begitu, dengan cara liberal tersebut, AS tetaplah raja turnamen olahraga. Merekalah juara umum pada Olimpiade terakhir sebelum Soviet turut serta (1948). Pada 1952 pun mereka masih mempertahankan titel tersebut, sementara Soviet mengintip di urutan kedua.

Barulah pada Olimpiade berikutnya yang diselenggarakan di Melbourne, Australia (1956), kedigdayaan AS goyang. Soviet keluar sebagai peraih medali terbanyak (98), sementara AS harus puas di tempat kedua (74). Begitu pula dalam Olimpiade Roma 1960. Empat tahun berikutnya, saat Olimpiade diselenggarakan di Tokyo, Soviet memang berada di posisi kedua. Namun, total medali yang dibawa pulang tetap lebih banyak dari AS (96 banding 90).

AS sadar ada yang salah dengan sistem mereka. Dan itu adalah kurangnya dukungan terhadap riset. “Penelitian nasional kita sekarang serampangan dan tidak terencana,” kata mantan atlet yang kemudian menjadi pelatih, Ken Doherty, bersama atlet John Cooper pada 1969. “Betapa disayangkan kesadaran tersebut membutuhkan krisis, kerusuhan, dan kekalahan dari orang Rusia” (Bourne, 2008, hlm 344).

Sebagai tawaran solusi, mereka kemudian menyerukan “national program of research in track and field”.  Proposal tersebut terdiri dari serangkaian rencana, dari mulai mendirikan satu lagi pusat pelatihan, mengumpulkan riset-riset terkait baik yang dipublikasikan di dalam dan di luar negeri, dan menyelaraskan pelatih dan atlet dengan ilmuwan.

Ini semua, seperti yang bisa ditebak, telah dijalankan jauh-jauh hari oleh Soviet.

Untuk yang pertama, Soviet mulai memobilisasi sumber daya besar-besaran setelah Komite Sentral Partai memutuskan negara harus merengkuh supremasi olahraga dunia pada 1948, setelah sebelumnya lebih fokus mengembangan budaya fisik massa. Untuk poin kedua bahkan tak sekadar mengumpulkan, tapi melakukan riset itu sendiri. Di sana, misalnya, ilmu tentang manajemen latihan diakui sebagai disiplin akademis tersendiri, sesuatu yang baru terjadi di AS pada 1975.

Untuk poin terakhir, ketika para pelatih AS membuat kurikulum yang sekadar berdasarkan pengalaman sendiri, di seberang lautan pelatih Soviet menghabiskan ratusan jam mempelajari teori umum olahraga dan dasar-dasar pelatihan. Para ilmuwan bekerja sama dengan pelatih dan atlet untuk menerapkan hasil riset dan kembali ke meja kerja untuk menyempurnakannya (Bourne, 2008).

Ringkasnya, mengubah sedikit diktum Lenin, Soviet percaya bahwa tanpa teori (olahraga) revolusioner tak akan ada gerakan (olahraga) revolusioner.

Daftar teori olahraga yang dikembangkan Soviet akan terlalu panjang jika dijabarkan satu per satu. Pun dengan para ilmuwannya. Tapi satu orang yang berada di urutan paling atas patut dibahas lebih: Lev Pavlovich Matveyev.

Teori Matveyev mencakup semua hal, dari mulai aspek filosofis dan metodologis teori olahraga; aspek sosial dan psikologi olahraga yang terkait dengan sejarah, sosiologi, estetika, serta etika; aspek biologis termasuk antropometri, morfologi, biofisika, biokimia, fisiologi; terapi dan pemulihan trauma; sampai aspek metrologi atau pengukuran teori olahraga.

Namun, dari sekian banyak rumus, teori “periodisasi” (periodization) dianggap yang paling penting. Bukan hanya karena ini adalah teori olahraga secara umum, tapi juga kelak membuat nama Matveyev populer di dunia Barat (meski teori periodisasi sebenarnya adalah hasil kolektif para ilmuwan, tapi Matveyev-lah yang pertama kali menggunakan istilahnya).

Secara umum periodisasi bicara tentang “pembagian program pelatihan seorang atlet ke dalam periode tertentu atau ‘siklus’ waktu” (Bourne dalam Staps, Vol 114, Ed 4, 2016). Ada siklus mikro, yang berdurasi satu pekan; ada siklus meso, yang terdiri dari tiga sampai enam siklus mikro yang berlangsung selama satu bulan; dan yang terakhir siklus makro yang sifatnya tahunan. Siklus makro terdiri dari tiga periode utama, yaitu periode persiapan, periode kompetitif (termasuk di dalamnya saat kompetisi), dan periode transisi atau “istirahat aktif” sebelum masuk kembali ke periode pertama.

Teori ini dikembangkan dari basis material–sebagaimana prinsip materialisme dialektis: penampilan dan profil pelatihan sekian ribu atlet dalam kompetisi yang hasilnya dapat dikuantifikasi dengan mudah seperti lari, renang, atau angkat berat.

Tujuan utama dari periodisasi adalah membuat potensi seorang atlet maksimal pada hari kompetisi. Dengan kata lain, mencapai puncak pada waktu yang tepat.

Tidak ada contoh terbaik dari penerapan teori ini selain Olimpiade Roma 1960. Ketika itu banyak pengamat percaya AS membawa tim lintasan dan lapangan (track and field)–mencakup olahraga jalan cepat, lari, lompat, dan lempar–terbaik mereka yang bahkan diyakini akan melampaui rekor sebelumnya: 15 medali. Tapi harapan tinggal harapan. Mimpi tak pernah terwujud. AS Tertunduk lesu di hadapan si raksasa merah.

Ray Norton, sprinter favorit AS yang berhasil memecahkan empat rekor dunia saat itu, berada di posisi buncit atau finis keenam di nomor 100 dan 200 meter. Di cabang lompat tinggi, John Thomas, juga pemegang rekor dunia,  finis di urutan ketiga, di belakang dua atlet Soviet yang salah satunya bahkan belum pernah melompat lebih tinggi dari 7 kaki. Juga Harold Connolly, yang dua pekan sebelumnya memecahkan rekor dunia, gagal mencapai putaran final cabang lempar palu.

Matveyev mengatakan sebenarnya atlet AS yang dibawa ke Roma lebih berbakat. Masalahnya kemampuan mereka tidak muncul pada waktu yang paling dibutuhkan. Jadi, misalnya kompetisi digelar Juni, karena ketidakpahaman tentang siklus latihan, kemampuan maksimal mereka justru muncul pada Maret yang tak pernah lagi tercapai apalagi terlampaui bulan-bulan berikutnya. Hal ini juga dialami atlet-atlet negara lain.

Menurut amatan Matveyev di kemudian hari, pada Olimpiade 1960 hanya 7 sampai 10 persen atlet non-Soviet mampu menghasilkan penampilan terbaik pada hari kompetisi, sementara atlet Soviet jauh lebih banyak, yaitu sekitar 18 persen (Bourne, 2016).

Kemenangan Soviet, ringkasnya, adalah berkat pelatihan yang sistematis, terencana, efektif, dan ilmiah.

Sebagaimana sains lain, teori periodisasi juga terus berkembang seiring dengan munculnya data-data terkini, sanggahan-sanggahan dari ahli lain, dan hipotesis baru. Saat ini ada beberapa variasi dari periodisasi. Salah satu mengembangkannya adalah Vladimir Platonov, seorang profesor asal Ukraina.

Pada saat bersamaan, Platonov juga membahas beberapa metode pelatihan atlet dari Barat yang sekali lagi menunjukkan ketertinggalan mereka. Menurutnya, masalah dari teori Amerika adalah “dalam banyak kasus studinya didasarkan pada data yang sangat terbatas–hanya di bagian tertentu dari persiapan atau kemampuan motorik tertentu.” Disebutkan pula bahwa mereka “tidak memiliki dasar empiris memadai… dan kurangnya pencatatan studi teoretis” (Lyakh, dkk, dalam Journal of Human Kinetics, 9 Dec 2014, 44).

Atas semua keunggulan ini, tak mengherankan teori periodisasi Matveyev pada akhirnya mengubah wajah pelatihan atlet bahkan di seluruh dunia, tak terkecuali di AS. Teori dasar periodisasi mulai diperkenalkan di sana pada 1973 oleh Arnd Kruger dan dua tahun kemudian ditulis dengan detail untuk para pelatih oleh Frank Dick.

Tudor Bompa, ahli periodisasi paling otoritatif di Barat, menyimpulkan bahwa sejak akhir abad ke-20, periodisasi resmi menjadi “dasar dari setiap pelatihan atlet yang serius.” Bahkan sekarang periodisasi tak hanya diterapkan pada olahraga tertentu yang terkait dengan trek dan lapangan seperti di awal penerapan, tapi di hampir seluruh cabang seperti skating, sepeda gunung, binaraga, dan bahkan golf.

Keunggulan teori periodisasi sempat tercoreng setelah terkuaknya skandal doping sebelum Olimpiade 1983 di Los Angeles–meski sampai sekarang tak jelas pula berapa banyak atlet yang terlibat. Namun, dalam sebuah wawancara pada 2001, Matveyev mengatakan terlepas apakah menggunakan doping atau tidak, latihan dengan metode periodisasi pasti membuat seorang atlet diuntungkan daripada yang tidak. Ini juga diakui oleh banyak ilmuwan AS setelah metode ini menjadi umum.

(Omong-omong, atlet AS juga menginjeksikan steroid ke tubuh mereka).


Fondasi: Manusia Baru

Ada seperangkat stereotipe yang melekat pada orang-orang kiri di Indonesia: gaya hidup yang buruk. Merokok seperti kereta uap abad ke-19, jauh dari makanan sehat, rapat dan teklap sampai larut, tidur subuh, bangun siang, dan seterusnya dan seterusnya. Entah dari mana persisnya prasangka ini muncul, tapi yang jelas tak mungkin dari Soviet.

Cita-cita Soviet adalah menciptakan manusia baru yang salah satu elemennya adalah sehat. Berbagai program kemudian diselenggarakan secara nasional.

Hanya tiga hari setelah Revolusi Oktober, Komisi Pendidikan yang dibentuk oleh Lenin mendeklarasikan visi progresif mereka untuk anak sekolahan: “semua sekolah harus memperhatikan perkembangan fisik dan mental anak-anak dan harus memperkenalkan senam, permainan, berenang, dan jalan-jalan” (Louis & Louis, 1980).

Memang visi tersebut tampak biasa-biasa saja jika dilihat dari kacamata sekarang. Mungkin semua menteri olahraga dan menteri pendidikan akan mencanangkan ini saat baru menjabat. Kak Seto yang baik hati juga bicara hal yang sama persis. Tapi harus diingat bahwa itu dinyatakan dalam konteks yang sangat “panas”, yaitu ketika aparatus Tsar masih mengintai, keberadaan beragam faksi yang tak sepakat dengan revolusi, ancaman dari negara imperialis, sampai potensi perang sipil (yang akhirnya benar-benar pecah).

Program dengan cakupan lebih luas dibuat pada April 1918 lewat dekrit yang mewajibkan pria usia 16-40 menjalani pelatihan fisik dan militer. Program ini berlangsung sampai akhir perang sipil pada 1922. Setahun kemudian, dibentuk Dewan Kebudayaan Fisik. Dari dewan inilah pada tahun-tahun berikutnya program latihan fisik terus berjalan sampai pada akhir 1926 satu juta orang secara resmi terlibat secara reguler dalam olahraga.

Sebetulnya aktivitas fisik sangat berakar dalam keseharian masyarakat Soviet. Apa yang dilakukan pemerintah—Bolshevik—saat itu adalah membuatnya selangkah lebih maju dengan memformalkannya.

Program terpenting dalam konteks olahraga adalah Gotov k trudu i oborone (GTO) atau ‘bersiap untuk bekerja dan bertahan’, diluncurkan pada 1931 dengan visi menciptakan pemuda yang memiliki “otot kawat tulang besi” (Louis & Louis, 1980). GTO inilah yang meski awalnya punya tujuan umum—yaitu menciptakan masyarakat yang sehat agar mampu melakukan aktivitas fisik seumur hidup—pada akhirnya menjadi tulang punggung keberhasilan Soviet di kancah internasional. Ini terlihat jelas dari moto kejuaraan GTO: “Dari medali GTO ke medali Olimpiade”.

GTO secara sederhana adalah pelatihan berjenjang sejak usia dini. Apa yang dilatih pertama-tama benar-benar hal-hal dasar, dari mulai berenang, lari, melompat, dan gimnastik umum. Selain menghadiri kelas pelatihan fisik, setiap murid juga harus terlibat dalam kompetisi lokal setidaknya sekali setiap dua bulan.

Anak-anak yang dianggap punya potensi akan memasuki, kita sebut saja, “GTO tahap dua”. Potensi dilihat dengan proses seleksi yang ketat, selain soal fisik juga termasuk psikologi. Mereka akan ditempatkan ke dalam sekolah luar biasa yang fokus mengembangkan kemampuan olahraga. Pada 1931 sampai 1940, ada 11 juta anak yang berhasil memasuki tahap dua, dan menjadi 17 juta pada 1957 sampai 1960.

Pelatih terbaik sudah diterjunkan di tahap ini sebab para ilmuwan Soviet mengatakan rentang usia 9-12 adalah waktu yang sangat penting bagi pengembangan atlet. Ini kontras dengan yang terjadi di AS pada periode yang sama. Di sana sangat umum anak-anak dilatih oleh orang tuanya sendiri dengan pengetahuan olahraga dan kepelatihan seadanya.

Sama seperti tahap paling awal, di tahap ini waktu calon atlet pun dihabiskan untuk aktivitas fisik yang umum-umum saja seperti berlari, melompat, menendang, dan melempar. Dengan kata lain, masih mempersiapkan fondasi. Kontras dengan itu, pada periode yang sama, umumnya anak-anak muda AS telah diasah untuk melakukan dan ahli dalam olahraga yang spesifik. Pelatihannya juga kerap kilat beberapa waktu sebelum mengikuti kompetisi.

Para atlet kemudian ditempatkan di cabang olahraga yang paling mereka kuasai. Di sinilah tahap akhir sebelum seorang atlet diputuskan turut serta dalam Olimpiade. Seleksi akhir terjadi. Menurut New York Times edisi 5 Mei 1964, pada 1963 sebanyak 66 juta atlet berkompetisi memperebutkan tempat di tim Olimpiade.

Sementara yang gagal dapat terus melanjutkan latihan fisik di GTO. Tak jarang pula mereka menjadi pelatih warga lain yang usia maksimalnya 60.

Setelah mencapai GTO tingkat junior atau memenangkan kejuaraan tingkat kota atau kabupaten, seorang atlet berpotensi memperoleh gelar Master of Sport USSR. Pada tahap selanjutnya ada gelar Master of Sport USSR nasional atau internasional. Kelas tertinggi adalah gelar Merited Master of Sport SSR. Karena dikuantifikasi sedemikian rupa, para atlet dapat membandingkan prestasi GTO-nya sendiri dengan atlet lain, termasuk yang telah mencapai tahap Olimpiade.

Salah satu atlet elite yang berhasil dicetak dari sistem berjenjang ini adalah Olga Korbut, pesenam berusia 14 tahun yang memenangkan tiga emas dan satu perak pada Olimpiade 1972. Guru di sekolah dasar Grodno, kota yang terletak beberapa mil di sebelah timur perbatasan Soviet-Polandia, melihat betapa berbakatnya Olga di kelas latihan mingguan. Para guru kemudian mengantarkannya ke klub olahraga yang dikelola oleh Angkatan Darat.

Di sana, pemimpin klub, Renald Knysh, lantas meminta Elena Volchetskaya, seorang mantan atlet Olimpiade, untuk melatih Olga secara privat. Menurut laporan The Guardian, Elena awalnya menganggap Olga sebagai anak malas, tapi di sisi lain ia bertahan karena tahu bahwa anak didiknya punya bakat hebat dan tulang belakang yang luar biasa lentur.

Kelak Olga dan Elena “akan menjadi salah satu hubungan guru/murid paling menentukan dalam sejarah olahraga,” tulis media asal Inggris tersebut. Apa sebabnya? Karena dalam Olimpiade yang diselenggarakan di Munich tersebut Olga melakukan sesuatu yang terpikirkan atlet lain saja tidak: backward flip di balok keseimbangan yang lebarnya hanya 4,5 inci, atraksi yang sebelumnya hanya bisa dilakukan bahkan oleh atlet elite mana pun di lantai.

Tak hanya itu, ia juga melakukan atraksi spektakuler yang kelak dinamakan “korbut flip”, sebuah gerakan ke belakang seperti ditarik magnet. Sama seperti backward flip, gerakan ini pun belum pernah dilakukan pesenam mana pun (karena dianggap terlalu berbahaya, gerakan ini resmi dilarang).

Penampilan yang durasi totalnya tak lebih dari empat menit tersebut mengubah citra senam untuk selamanya, dari yang awalnya seperti balet yang anggun menjadi gerakan “liar” tapi tertata. Banyak orang tiba-tiba tertarik dengan olahraga ini sampai-sampai membuat senam menjadi salah satu cabang utama di Olimpiade.

Untuk meringkas, fondasi olahraga Soviet, seperti yang dikatakan direktur klub atletik Spartak di Moskow pada 1976 kepada New York Times, Alexander Malinin, “adalah olahraga massal” yang merupakan salah satu sarana menciptakan manusia baru. “Karena dari olahraga massal kita bisa mengambil satu atau dua yang terbaik,” katanya.

Demikianlah sistem olahraga Soviet berjalan selama puluhan tahun. Sistem yang, mengutip pernyataan akademisi di bidang sejarah olahraga dan pendidikan fisik Reet Howell pada 1993, “dikagumi dan dicemburui oleh orang-orang Barat” selama beberapa dekade terakhir.


Sisi Kelam Olahraga Soviet?

Tentu saja tidak semua hal dalam sistem olahraga Soviet mulus tanpa noda sebagaimana banyak aspek lain di negara tersebut. Berbagai penyimpangan tentu saja ada. Dan membahas kekacauan tersebut sama penting dengan membicarakan keberhasilannya.

Sebuah artikel tahun 1993 yang ditulis Jim Riordan, akademisi yang dihormati karena studi-studinya tentang Rusia dan pernah lama tinggal di Moskow selama Perang Dingin, merangkum berbagai sisi gelap olahraga Soviet dalam artikel jurnal yang judulnya tampak sangat ambisius mengingat hanya terdiri dari 12 halaman: “Rewriting Soviet Sports History” (Journal of Sport History, Vol 20, No 3).

Salah satu hal yang menurut Jim keliru adalah “campur tangan politik dalam olahraga,” yang berarti ia meyakini bahwa seharusnya keduanya harus dipisahkan sama sekali. Olahraga harus selalu netral. Ia, misalnya, mencantumkan kutipan dari mantan pejabat olahraga bahwa “untuk mendapatkan izin pergi ke kompetisi internasional, saya harus mengirim catatan khusus kepada Stalin tentang jaminan kemenangan.”

Menurutnya adalah keliru jika Soviet hendak menggunakan olahraga sebagai sarana untuk menunjukkan supremasi komunisme terhadap kapitalisme/liberalisme.

Tapi, suka atau tidak, olahraga selalu berkaitan dengan politik. Kita tentu sudah terlalu sering mendengar seorang politikus berjanji meningkatkan fasilitas olahraga untuk publik, membangun stadion, dan sebagainya dan sebagainya, yang ketika dia terpilih sama sekali tak terealisasi. Salah satu alasan mengapa Soekarno menggelar Ganefo juga karena menurutnya Komite Olimpiade Internasional (IOC) tak netral. Dalam konteks Perang Dingin mereka lebih pro-Barat.

Bahkan AS sekalipun secara sadar menjadikan Olimpiade sebagai ajang guna memperebutkan supremasi dunia. Lewat Departemen Luar Negeri dan kemudian Psychological Strategy Board yang dibentuk Presiden Truman, AS tanpa henti berpropaganda—atau dalam bahasa mereka “memberikan informasi”—melalui media massa tentang betapa adiluhungnya olahraga mereka dibanding sistem Soviet. Pihak swasta digandeng—baik secara terbuka atau terselubung—karena mereka sadar bahwa pesan akan lebih mudah diterima audiens jika bukan dari sumber resmi pemerintah (Journal of Cold War Studies, Vol 18, No 2, 2016).

Bukti lain campur tangan politik dalam olahraga, kata Jim yang mengutip keterangan mantan kiper Vladimir Maslachenko, adalah para atlet harus tahu apa yang boleh dan tak boleh dikatakan kepada para wartawan saat berkompetisi di dunia luar (dalam derajat tertentu, lagi-lagi, ini sebelas duabelas dengan tindakan AS).

Hal lain yang diungkit oleh Jim adalah banyak dari para atlet Soviet yang berkompetisi Olimpiade adalah atlet profesional, padahal sampai 1990 hanya amatir saja yang boleh turut serta. Ia tidak menyebut jumlah detail dan signifikansinya terhadap perolehan medali.

Masalahnya definisi IOC tentang amatirisme berbeda dengan Soviet. Bagi IOC dan Barat secara umum, atlet tak bisa lagi disebut amatir ketika mereka yang mendapatkan sejumlah uang karena partisipasi dalam olahraga tertentu alias menjadikannya sebagai mata pencarian. Sementara Soviet menganggap para atlet yang mereka kirim masih tergolong amatir karena hanya mendapatkan subsidi atas pencurahan tenaga kerja baik dalam pelatihan atau kompetisi.

Selain itu, IOC yang tahu persis debat ini tetap mengizinkan Soviet turut serta dalam kompetisi.

Kritik berikutnya adalah betapa para atlet di masa tua diabaikan setelah mendedikasikan seluruh hidupnya untuk negara di masa muda. Beberapa mantan atlet yang mengalami ini dan ditulis dalam artikel itu adalah Yelena Vaitsekhuvskaya dan Valery Brumel. Tanpa sama sekali bermaksud mewajarkan, bukankah itu terjadi di banyak tempat di seluruh dunia, bukan kasus spesifik di negara sosialis seperti Soviet?

Olga Korbut, pesenam cilik hebat itu, juga di masa tuanya hidup susah sampai-sampai harus melelang medali yang dengan susah payah ia dapat pada 2017 lalu. Ironisnya, itu terjadi saat Olga telah 26 tahun tinggal di AS. Ia pindah ke sana pada 1991 dan menyambung hidup sebagai guru senam.

Sampai sini berbagai keberatan Jim masih merupakan medan abu-abu yang bisa diperdebatkan. Tapi ada beberapa sisi lagi yang memang benar-benar kelam sehingga tidak perlu sanggahan sama sekali.

Salah satunya, sempat disinggung di atas, adalah penggunaan obat-obatan. Jim menulis: “mengingat mentalitas ‘menang dengan segala cara’ yang mendominasi eselon atas administrasi olahraga, dalam jangka panjang negara telah memproduksi, menguji, memantau, dan mengadministrasikan obat peningkat kinerja bahkan pada atlet semuda 7-8 tahun.” Obat yang dimaksud termasuk simultan dan penghambat pertumbuhan, steroid anabolik, sampai doping darah.

Dunia olahraga Soviet pun tak lepas dari “pembersihan” Stalin. Kepala Sekolah Stalin Institute S. M. Frumin, misalnya, ditangkap karena dianggap mata-mata asing dan ditembak mati pada 1950. Hal serupa terjadi pada banyak pejabat dan dosen olahraga, kata Jim, dengan alasan seperti “anti-patriotik”. Sebelum Perang Dunia II pecah, lima menteri olahraga dan banyak pejabat olahraga juga dieksekusi. Lebih banyak lagi yang dikirim ke Gulag.

Ada pula kisah soal pemaksaan berlebihan terhadap para atlet untuk menembus batas mereka sendiri. Salah satu yang mengalami ini adalah pesenam Elena Mukhina. Ia dipaksa mempraktikkan “Thomas Salto”, sebuah gerakan berbahaya yang kini telah dilarang, dalam latihan menjelang Olimpiade 1980, dan berakhir dengan patah leher.

Cerita lain yang tidak ditulis Jim tapi dipublikasikan oleh sebuah media ternama mungkin akan membuat siapa pun yang membacanya muntah. Bahkan dari namanya saja sungguh membuat bergidik “doping aborsi”.

Dikisahkan bahwa dokter Soviet menyimpulkan kekuatan otot dan kapasitas paru-paru perempuan hamil dapat meningkat karena menghasilkan lebih banyak sel darah merah. Para ilmuwan kemudian menerapkan teori tersebut kepada para pesenam. Para atlet, dua di antaranya disebut baru berusia 15, dipaksa hamil sebelum Olimpiade. Jika tak punya suami atau pacar, maka mereka dipaksa berhubungan seks dengan pelatih laki-laki. Kemudian mereka harus aborsi setelah janin berusia 10 pekan. Siapa saja yang menolak metode sadis ini akan dikeluarkan dari tim.

Ternyata kisah horor ini adalah produk rekaan media Barat, bagian dari propaganda dalam konteks Perang Dingin. Dengan kata lain, hoaks belaka.

Uni Soviet memang telah mati, tapi tidak dengan peninggalan-peninggalannya (baik yang baik atau buruk). Setidaknya lewat paparan ringkas ini kita tahu bahwa tidak ada jalan pintas menciptakan atlet elite, apalagi menjadi negara yang superior dalam dunia olahraga. Semua harus dimulai dari bawah, terorganisir, dan setia kepada penemuan-penemuan ilmiah. Sangat sulit, jika tak mau dibilang hampir mustahil, mempersiapkan atlet dengan performa mumpuni ketika tanah lapang tinggal cerita, gaji tidak dibayar, dan hanya makan nasi kotak saat bertanding.***

]]>
Meningkatkan Kekuatan Freelancer dengan Berserikat https://indoprogress.com/2022/03/meningkatkan-kekuatan-freelancer-dengan-berserikat/ Wed, 09 Mar 2022 04:40:42 +0000 https://indoprogress.com/?p=236691 Ilustrasi: Jonpey


“APA yang membuatmu memilih freelance daripada bekerja di kantor?” demikian sebuah pertanyaan dari seorang pengguna internet di forum Quora. Pengguna yang lain ringan saja menjawab: “Freelance itu sebuah pilihan bagi mereka yang enggak mau diperintah oleh bos.”

Pemahaman orang banyak tentang freelancer atau pekerja lepas memang cenderung positif. “Enggak mau diperintah bos” seperti jawaban di atas mengasumsikan pekerja lepas memiliki hierarki yang setara dengan pemberi kerja. Asumsi ini pula yang ada di balik penyebutan-penyebutan lain untuk mereka seperti “pekerja mandiri”, “kontraktor independen” atau “mitra”.

Pekerja lepas juga kerap dianggap orang yang merdeka. Alih-alih dijerat rezim jam kerja 9-5, mereka relatif otonom dalam arti bisa bekerja di mana saja dan kapan saja. Sebab, mereka diupah berdasarkan satuan hasil, bukan satuan jam. Mereka dibayar setelah produk—apapun itu—telah selesai dikerjakan. Para pekerja lepas juga kerap disebut sebagai pekerja gig karena karakter upah per hasil ini.

Waktu dan lokasi kerja yang fleksibel, dalam sebuah survei, jadi alasan utama mengapa seseorang memilih menjadi pekerja lepas (65,4 persen).  Alasan kedua, dengan bekerja lepas seseorang dapat menyalurkan minat dan bakatnya (56,7 persen). Ada ruang bagi eksplorasi kreativitas individu dan itu dianggap tak akan berkembang jika mencurahkan tenaga kerja di pekerjaan-pekerjaan konvensional. Bekerja sebagai freelance, dalam derajat tertentu, dimaknai sebagai upaya meraih kebebasan.

Mungkin karena alasan-alasan di atas pula dalam survei yang sama ditemukan lebih banyak anak muda (21-30 tahun) yang memilih bekerja lepas (49,3 persen) ketimbang kelompok usia di atasnya (30-40 tahun, 26,5 persen).

Masalahnya apa yang diyakini sebagai realitas pekerja lepas hanya ilusi; ia justru menyelubungi kenyataan eksploitatif yang terjadi.

Telah banyak riset yang menyebutkan bahwa pekerja lepas mengalami kerentanan, bahkan dalam derajat tertentu lebih dalam ketimbang mereka yang bekerja dalam relasi konvensional–buruh tetap, kontrak dan outsourcing. Sebuah riset dari The Guardian pada 2017 lalu, misalnya, menemukan pekerja lepas kehilangan ribuan poundsterling karena bekerja tanpa dibayar alias gratisan—sekadar untuk mendapatkan pengalaman demi mempercantik portofolio.

Dalam buku Pekerja Industri Kreatif Indonesia (2021) saya, Fathimah Fildzah Izzati, Rara Sekar Larasati, Ben K. C. Laksana, dan Kathleen Azali menemukan lima kondisi rentan yang yang dialami pekerja industri kreatif (meski tidak spesifik tentang pekerja lepas, namun industri kreatif adalah satu dari sekian sektor di mana banyak freelancer berkecimpung). Lima situasi tersebut adalah:

  1. kontrak kerja kasual
  2. ketiadaan jaminan sosial
  3. jam dan beban kerja yang panjang dan berlebih
  4. upah murah dan ongkos tersembunyi
  5. ketiadaan kepastian karier

Penjelasan lebih jauh tentang poin-poin di atas dapat dibaca langsung di buku yang bisa diunduh gratis atau dalam ulasan dari Wisnu Prasetyo Utomo.

Lima kondisi penuh kerentanan di atas adalah fenomena umum meski kesimpulannya diambil dari informan yang jumlahnya terbatas. Misalnya soal ketiadaan jaminan sosial. Dalam kategori kepesertaan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS), pekerja lepas disebut “pekerja bukan penerima upah” atau PBPU. Per Januari 2022, PBPU yang terdaftar di BPJS Ketenagakerjaan hanya 3,5 juta atau hanya sekitar 10 persen dari total pekerja lepas.

Sementara di BPJS Kesehatan, peserta yang tercatat sebagai PBPU sebanyak 30,4 juta per 31 Desember 2020. Jumlahnya memang jauh lebih banyak dibanding peserta BPJS Ketenagakerjaan, hanya saja patut dicatat bahwa PBPU dalam BPJS Kesehatan juga termasuk mereka yang bukan freelancer seperti pedagang, petani, peternak, montir, dan lain-lain. Dengan kata lain, freelancer yang merupakan peserta aktif BPJS Kesehatan jumlahnya pasti lebih sedikit.

Dalam hal upah, menurut Statistik Ekonomi Kreatif 2020, tenaga kerja ekonomi kreatif rata-rata hanya mendapatkan Rp2,45 juta per bulan. Upah sekecil itu, selain dipakai untuk menanggung ongkos tersembunyi—yang tidak ditanggung pemberi kerja seperti penyusutan peralatan kerja atau penyewaan tempat kerja—juga diperoleh dari jam kerja yang panjang. Hasil Survei Ekonomi Kreatif dari Bekraf dan BPS pada 2017 lalu menyebut lebih dari 31 persen bekerja lebih dari 48 jam per pekan.

Ketiadaan perlindungan hukum kerap dianggap sebagai biang keladi situasi penuh kerentanan ini. UU 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan—dan menyusul UU Cipta Kerja—dianggap terlalu bercorak manufaktur. Namun, hukum bukan pangkal persoalan sebenarnya sebab ia adalah produk dari sistem ekonomi politik yang sedang berlangsung. Camkan ini: pada dasarnya hukum adalah manifestasi kepentingan kelas berkuasa.

Situasi rentan yang dialami pekerja—tak hanya freelancer—adalah buah dari rezim pasar tenaga kerja fleksibel (labor market flexibility) yang dijajakan oleh kapitalisme neoliberal. Gagasan utama dari rezim ini adalah menciptakan sistem kerja di mana buruh mudah direkrut dan mudah pula dipecat. Ia pertama-tama hadir dalam sistem kerja kontrak dan outsourcing yang mulai diperkenalkan sejak 1970-an dan kemudian hadir lewat wujud pekerja lepas.

Pekerja lepas yang bisa bekerja untuk pemberi kerja mana pun di belahan dunia ini dimungkinkan karena adanya platform capitalism, istilah yang dipopulerkan oleh Nick Srnicek lewat buku berjudul sama. Lewat platformlah pekerja lepas dan pemberi kerja bertemu dan menjalin “kontrak” kerja.

Platform dan rezim LMF saling berkelindan menciptakan kerentanan bagi pekerja lepas. Seperti kata Carl Hughes dan Alan Southern dalam sebuah artikel jurnal, “pengembangan perangkat lunak platform telah bersekutu dengan struktur pasar tenaga kerja yang dideregulasi.” Satu contoh sederhana adalah soal upah. Seorang pekerja lepas sangat mungkin menurunkan upah ke tingkat paling minimal sebab dengan cara itulah ia lebih mungkin dipilih untuk mengerjakan proyek.

Dalam konteks inilah mengemuka urgensi agar pekerja lepas bergabung dalam serikat.


Praktik (dan Pertanyaan untuk) Serikat Pekerja Lepas

Ketika menghadapi masalah, misalnya pelanggaran hak-hak, maka pekerja lepas cenderung pasif. Hal seperti ini disebabkan oleh corak kerja yang terindividualisasi/teratomisasi dan fakta bahwa kedudukan pemberi kerja dan penerima kerja tak pernah setara.

Arti penting serikat pekerja bagi pekerja lepas pada dasarnya adalah sama dengan serikat pekerja pada umumnya: meningkatkan daya tawar dengan aksi-aksi kolektif.

Ada beberapa serikat pekerja lepas yang telah lama eksis dan dapat dirujuk untuk menunjukkan arti penting mereka. Salah satunya adalah Freelancers Union yang didirikan pada 1995 dan saat ini telah memiliki lebih dari 50 juta anggota berstatus independent worker di Amerika Serikat.

Pada 2017, mereka mendapatkan kemenangan setelah desakan untuk membuat peraturan tentang pekerja lepas diloloskan. Salah satu pokok peraturan tersebut, menyatakan bahwa klien harus membayar pekerja lepas dalam kurun waktu maksimal 30 hari setelah pekerjaan selesai. Kemudian harus ada kontrak untuk pekerjaan yang nilainya lebih dari 800 dolar AS.

Dua persoalan utama dari pekerja lepas memang kerap tidak dibayar tepat waktu dan dilanggar hak-haknya karena ketiadaan kontrak.

Di Inggris, ada serikat yang menaungi pekerja lepas dan pekerja di industri media dan hiburan bernama Bectu. Salah satu yang menarik dari mereka, selain advokasi standar dan penyediaan berbagai jaring pengaman bagi anggota, adalah mereka memiliki daftar tarif standar bagi pekerjaan-pekerjaan yang kerap dilakoni pekerja lepas yang bisa dirujuk saat bernegosiasi.

Di Indonesia, tidak ada patokan tarif seperti ini. Akibatnya adalah kekacauan. Pekerja lepas, terutama mereka yang belum berpengalaman, memasang tarif serendah mungkin agar mendapatkan proyek. Mereka melakukan perentanan diri dan itu tentu saja sangat disukai pemberi kerja.

Di Jerman, berkat advokasi dari serikat bernama ver.di, jika seorang pekerja lepas mendapat setengah dari pendapatan mereka dari satu perusahaan, serikat dapat mewakili mereka untuk bernegosiasi.

Ada bentuk-bentuk kolektif lain yang bukan serikat tapi juga menjalankan fungsi untuk meningkatkan taraf kehidupan pekerja lepas. Sebuah kelompok di Inggris bernama Forge misalnya membuka pertemuan rutin untuk para anggota untuk sekadar berbagi cerita. Latar belakangnya adalah bahwa banyak pekerja lepas mengalami kesepian akut dan terasing dari kehidupan sosial.

Betapapun esensinya sama dengan serikat konvensional, serikat pekerja lepas memiliki tantangan tersendiri. Misalnya, bagaimana berelasi dengan pemberi kerja yang bahkan mungkin tidak kita ketahui sosok dan alamatnya karena pekerja dan pemberi kerja sekadar terhubung dengan platform.

Kemudian, bagaimana memecahkan persoalan advokasi sehari-hari karena sifat pekerjaan yang teratomisasi sementara kemampuan pengurus serikat pastilah terbatas. Ia berbeda dengan serikat konvensional yang sangat mungkin saat menjalankan sebuah advokasi langsung melibatkan ratusan atau bahkan ribuan anggota yang terdampak.

Juga termasuk bagaimana meyakinkan pekerja lepas bahwa mereka adalah bagian dari kelas pekerja. Pekerja lepas kerap merasa bahwa mereka adalah profesional, sebuah kelompok yang ada di tengah buruh dan pemberi kerja. Karena merasa demikian, mereka justru cenderung resisten terhadap segala upaya kolektif untuk meningkatkan taraf hidup.

Tantangan-tantangan ini akan terus bertambah sejalan dengan semakin intensifnya perjalanan serikat dan serikat pun harus mampu menjawabnya sendiri. Mengantisipasi dan mencoba mencari jalan keluar atas tantangan-tantangan tersebut semakin penting karena ada kecenderungan pekerjaan lepas terus diterapkan di semua lini sebagai respons dari korporasi atas situasi pandemi. Prospek ekonomi yang tidak jelas membuat perusahaan semakin memilih freelancer ketimbang merekrut pekerja tetap, bahkan untuk bidang yang tadinya tak pernah dibuka untuk pekerja lepas. Artinya, banyak rakyat pekerja akan semakin rentan.

Jamie Woodcock dalam The Fight Against Platform Capitalism (2021) merangkum ada tiga dinamika yang akan memengaruhi perjuangan dalam ekonomi platform, yaitu meningkatnya koneksi antara pekerja; kurangnya komunikasi dan negosiasi dengan platform; dan terakhir adalah internasionalisasi platform. Sekilas, dinamika ini tampaknya akan membuat serikat pekerja semakin tidak relevan. Bagaimana mungkin, misalnya, mengadvokasi seorang pekerja ketika pemberi kerja berada jauh di luar negeri. Namun, menurut Woodcock, alih-alih mengurangi kekuatan serikat pekerja, semua dinamika ini mampu “memberikan dasar teknis bagi munculnya perjuangan global baru melawan kapitalisme.”

Pada akhirnya bergabung ke serikat memang bukan seperti meminta permohonan ke jin setelah menggosok-gosok lampu ajaib: terkabulkan serta merta. Namun bagaimanapun itu lebih baik karena kita tahu persis bahwa ada orang yang bernasib serupa dan juga hendak memperjuangkan cita-cita bersama.***


Artikel ini dikembangkan dari presentasi penulis dalam diskusi “Pekerja Rentan Jakarta, Berserikatlah!” yang diselenggarakan oleh Serikat Pekerja Media dan Industri Kreatif untuk Demokrasi (Sindikasi) pada Sabtu 19 Februari 2022.


 

]]>
Pangkas Jam Kerja, Kurangi Revisi, Perbanyak Rekreasi https://indoprogress.com/2021/10/pangkas-jam-kerja-kurangi-revisi-perbanyak-rekreasi/ Tue, 05 Oct 2021 04:18:11 +0000 https://indoprogress.com/?p=236225

Tulisan ini adalah tinjauan atas buku Overtime: Why We Need A Shorter Working Week, karya Kyle Lewis dan Will Stronge, terbitan Verso (2021, 162 hlm). Tinjauan ini menggunakan edisi epub dari buku tersebut.  


KALIMAT kampanye dari sebuah serikat pekerja menyedot perhatian saya beberapa tahun lalu. Ia dikampanyekan di mana-mana, dari jalanan, media sosial, sampai dicetak di kaos yang sampai sekarang masih sering saya pakai. Kalimatnya sederhana dan mudah diingat karena berima:

“KURANGI REVISI PERBANYAK REKREASI”

Dibaca dengan cara lain, kalimat tersebut pada dasarnya adalah sebuah tuntutan: pengurangan jam kerja agar tersedia waktu lebih banyak untuk melakukan hal lain yang lebih menyenangkan. Tuntutan semacam ini tidak umum di Indonesia. Biasanya, serikat buruh, baik yang “merah” atau “kuning”, menuntut hal-hal terkait upah. Redaksionalnya bisa beragam, dari mulai yang umum seperti “naikkan upah minimum”, “hentikan politik upah murah”, hingga yang spesifik seperti “cabut regulasi x”, “batalkan peraturan y”, dan sebagainya.

Beberapa hari lalu, ketika berselancar di dunia maya, saya menemukan sebuah buku yang mengelaborasi lebih lanjut tuntutan tersebut. Buku itu berjudul Overtime: Why We Need A Shorter Working Week (selanjutnya disebut Overtime), terdiri dari lima bab plus pendahuluan, diterbitkan Verso pertengahan September lalu, ditulis oleh Kyle Lewis and Will Stronge, peneliti sebuah lembaga pemikir bernama Autonomy.

Overtime tak hanya mengulas soal dampak buruk dari jam kerja berlebih dan keuntungan dari pengurangan jam kerja–termasuk menjaga dan memperbaiki kesehatan mental–sebagaimana yang sudah banyak peneliti-peneliti lain lakukan. Lewis dan Stronge juga juga memberikan konteks: apa arti jam kerja dalam ekonomi kapitalis hingga menggali sejarah perjuangan serta implikasi politiknya. Tuntutan menurunkan waktu kerja bagi mereka merupakan “aspek sentral dari pembaruan politik sosialis” sebab tak hanya menguntungkan pekerja laki-laki, tapi juga pekerja perempuan yang memikul beban kerja ganda di masyarakat patriarkis dan lingkungan hidup.

Oleh karenanya, bagi Lewis dan Stronge yang saya sepakati, menuntut waktu kerja lebih pendek semestinya jadi agenda sentral gerakan pekerja hari ini.


Pengurangan jam kerja sebagai hasil perjuangan

Ketika fajar kapitalisme menyingsing di Inggris seperti bisul yang pecah dari kulit feodalisme, para petani penggarap yang tercerabut terlempar dalam situasi di mana tak bisa menjual apapun untuk bertahan hidup kecuali tenaga kerja. Satu-satunya tempat untuk menjajakan itu adalah pabrik-pabrik di kota industri awal mula. Mereka dihadapkan pada situasi yang sama sekali berbeda dari era feodalisme yang sangat bergantung pada cuaca untuk berproduksi, yaitu bekerja 60 jam per pekan atau rata-rata 12 jam jika bekerja lima hari pada 1800-an. Itu pun di pabrik yang “normal”. Di pabrik yang disebut “dark satanic mills“, para buruh harus pekerja sampai 16 jam dalam kondisi yang buruk.

Bahkan untuk ukuran zaman itu pun kondisi kerja tersebut sama sekali tak manusiawi. Wajar jika kemudian protes bermunculan dari balik dinding-dinding pabrik. Alih-alih berkurang karena kebaikan hati kapitalis, pengurangan jam kerja adalah buah dari perjuangan serikat buruh.

Namun keberhasilan pertama pengurangan jam kerja menjadi 8 jam per hari seperti yang lazim hari ini tak datang dari Inggris, tapi Melbourne, Australia, pada 1856. Tukang batu dan buruh bangunan di sana tercatat dalam sejarah sebagai kelompok pertama yang berhasil menekan bos untuk menerapkan jam kerja normal. Di Inggris, keberhasilan serupa baru terjadi pada 1889. Serikat GMB, yang salah satu pendirinya adalah anak Karl Marx, Eleanor Marx, berhasil merealisasikan tuntutan 8 jam kerja di sektor industri gas.

Delapan jam kerja perhari dan 48 jam per pekan menjadi praktik umum di Eropa sejak 1919 atau setahun setelah Perang Dunia I usai. Pada tahun itu pula International labour Organisation (ILO) terbentuk dengan tujuan utama juga memperjuangkan 8 jam kerja per hari.

Sejak itu, atau lebih dari satu abad lalu, durasi kerja secara umum di seluruh dunia tak pernah lagi berkurang. Ia membeku meski dunia telah berganti rupa dan segala teknologi canggih ditemukan.

Pada titik itulah Overtime memproblematisasi situasi kerja hari ini. Lewis dan Stronge menyebut saat ini sedang terjadi crisis of work ‘krisis kerja’, dan karenanya penting untuk memikirkan bagaimana cara keluar dari itu–yang tidak lain mempersingkat jam kerja sekali lagi. Beberapa krisis yang dimaksud seperti kerja lembur yang tak dibayar, ketimpangan yang semakin menganga–di mana upah riil menurun sementara kekayaan yang pindah ke pemilik kapital semakin besar, waktu yang dibutuhkan untuk sampai ke tempat kerja jauh lebih panjang ketimbang sepuluh tahun lalu, termasuk jumlah pekerjaan tidak tetap yang terus meningkat tajam. Menurut mereka bahkan kisah mengerikan yang diuraikan Friedrich Engels dalam The Condition of the Working Class in England (1845) terjadi juga saat ini.

Lewis dan Stronge juga menyinggung bagaimana perkembangan teknologi tak serta merta mempersingkat waktu kerja sebagaimana yang diyakini ekonom John Maynard Keynes. Keynes optimistis bahwa karena inovasi dan teknologi, kekayaan umum semakin melimpah dan karenanya jam kerja akan semakin pendek. Dalam esai “Economic Possibilities For Our Grandchildren” yang pertama kali dipresentasikan pada 1928, ia bahkan bernubuat satu abad kemudian jam kerja hanya 15 jam per pekan.

Sebagian ramalan Keynes jauh dari kenyataan. Kekayaan memang semakin berlimpah, dibuktikan dengan PDB per kapita Eropa Barat dan Amerika Utara naik empat kali lipat antara awal 1930-akhir 2000-an. Tapi sama sekali tak ada tanda-tanda pengurangan jam kerja (2028 hanya tinggal 7 tahun lagi!). Lewis dan Stronge mengutip beberapa riset di Eropa Barat dan Amerika Utara yang menyatakan sebaliknya. Agar lebih kontekstual, saya mengutip laporan Badan Pusat Statistik (BPS) Indonesia tahun lalu yang menyebut rata-rata penduduk usia 15 tahun ke atas menghabiskan waktu 41,49 jam per pekan untuk kerja pada 2019. Jika dirinci, ada 29 persen yang masih bekerja lebih dari 48 jam per pekan.  Tahun lalu rata-rata jam kerja memang berkurang 7 persen, tapi itu pun karena pandemi Covid-19 dan berimplikasi pada penurunan upah.

Kegagalan prediksi ini, kata Lewis dan Stronge, karena Keynes gagal mengurai duduk perkara. Bahwa pengurangan jam kerja yang terjadi berangsur pada akhir abad ke-19 sampai awal abad ke-20 buka hasil dari hukum ekonomi, tapi upaya radikal dari serikat pekerja. Lewis dan Stronge mengatakan Keynes mengabaikan “politik distribusi” yang memungkinkan perubahan terjadi. “Tanpa tekanan–sering kali dari serikat pekerja–jam kerja per pekan masih bisa sekitar tujuh puluh jam per pekan,” tulis keduanya.

Dalam ekonomi kapitalis, panjang-pendeknya waktu kerja bukan soal inovasi terkini. Tak ada determinasi teknologi di sini. Teknologi yang dikuasai kapitalis, sebagaimana tampak dari fenomena ekonomi platform hari ini, justru semakin mengintensifikasi eksploitasi. Maka pemendekan waktu kerja adalah persoalan politik atau berada dalam lokus perjuangan kelas.


Jam kerja panjang kunci eksploitasi

“Mempertanyakan kenapa begitu banyak waktu kita dihabiskan oleh pekerjaan,” kata Lewis dan Stronge, “membantu kita memahami mengapa sepanjang sejarah semua pekerja telah berjuang melawan panjangnya minggu kerja.”

Untuk menjawab pertanyaan itu mereka kembali ke Karl Marx, orang Jerman yang mendedikasikan seumur hidupnya untuk pembebasan proletariat dan untuk itu membuat sebuah buku yang menguliti kapitalisme sampai ke akar-akarnya, Kapital (1867). Dalam buku itu Marx menguraikan perkara hari kerja dalam satu bab tersendiri (Jilid I, bab 10). Di sana Marx menjelaskan bagaimana hari kerja adalah kunci untuk memahami bagaimana eksploitasi kapitalisme bekerja.

Untuk memproduksi sesuatu, kapitalis butuh apa yang disebut kapital konstan (alat-alat produksi dan bahan baku) dan kapital variabel (tenaga kerja). Kapital konstan hanya dapat bekerja jika ia diberi “sentuhan” oleh kapital variabel. Membiarkan kapital konstan tak bekerja jelas menyebabkan kerugian. Kapitalis bahkan kemudian menerapkan sistem shift (sekarang umumnya satu hari dibagi tiga) agar mesin tetap berjalan tanpa putus.

Anggaplah bahwa tenaga kerja dibeli dan dijual sesuai dengan nilainya. Sebagaimana komoditas lain, nilai dari tenaga kerja juga dikondisikan oleh waktu kerja yang diperlukan untuk memproduksinya. Jadi, misalnya produksi tenaga kerja untuk sehari itu butuh 6 jam, maka seorang buruh hanya perlu 6 jam pula untuk bekerja kepada kapitalis. Katakanlah nilai dari 6 jam kerja itu adalah Rp100 ribu (harga/uang adalah ekspresi moneter dari nilai yang abstrak), maka si kapitalis harus membayar Rp100 ribu untuk dapat mempekerjakan seorang buruh. Pertukaran ini tampak adil di permukaan.

Masalahnya, kapitalis membeli tenaga kerja buruh untuk durasi hari, yang mana sepanjang 24 jam. Dengan begitu, dalam ilustrasi Marx, buruh tersebut bisa saja dipekerjakan untuk 7, 9, hingga 12 jam sesuai keinginan kapitalis. Kelebihan 1, 3, dan 6 jam kerja itulah yang disebut sebagai kerja surplus (surplus-labour), yang, singkatnya, berarti buruh bekerja tanpa dibayar. Sifat pertukaran pun kini jadi terang: tak adil sama sekali.

Maka, semakin panjang surplus-labour, semakin untung pulalah si kapitalis.

Batas dari penggunaan tenaga kerja buruh bukanlah waktu kerja yang diperlukan untuk memproduksi tenaga kerja tersebut (dalam hal ini berarti 6 jam kerja), melainkan batasan fisik dan moral. Dalam batasan fisik, tentu tak mungkin mempekerjakan buruh selama 24 jam meski sebanyak apa pun minuman energi yang mereka minum. Sementara keterbatasan moral terkait waktu yang dibutuhkan buruh untuk memuaskan keinginan intelektual dan sosialnya, kata Marx, yang tingkat dan jumlahnya dikondisikan oleh keadaan umum kemajuan sosial.

Oleh karena itu, kata Marx, hari kerja pada dasarnya bukanlah kuantitas yang konstan. Ia bisa berubah, dan memang berubah sebagaimana yang dibuktikan oleh sejarah. Satu bagiannya ditentukan oleh waktu kerja yang diperlukan untuk untuk memproduksi tenaga kerja, sementara jumlah totalnya bervariasi dengan penambahan surplus-labour tadi.

Lalu apa yang menjadi faktor penentu jam kerja yang pada dasarnya cair ini? Tidak lain, mengutip Marx, adalah “perjuangan antara modal kolektif yaitu kelas kapitalis dan kerja kolektif yaitu kelas pekerja.”

Kontradiksinya jadi tampak jelas, sekaligus menjawab pertanyaan awal mengapa perjuangan menuntut jam kerja lebih pendek itu konsisten terdapat dalam gerakan proletariat sepanjang zaman:  sementara kapitalis butuh jam kerja panjang untuk memperbesar keuntungan dan menganggap setiap detik adalah potensi waktu produktif, bagi pekerja, waktu adalah fondasi yang dibutuhkan untuk mengaktualisasikan diri sendiri di luar dinding-dinding tempat kerja.


Untuk pembebasan perempuan dan lingkungan

Jam kerja yang panjang karena penguasaan atasnya berada di tangan kapitalis terutama merugikan perempuan dan lingkungan hidup. Maka pemendekan waktu kerja akan turut memperbaiki kehidupan keduanya. Demikianlah kira-kira tesis utama dari bab 3 dan 4 Overtime.

Untuk membahas posisi perempuan dalam kapitalisme, Lewis dan Stronge banyak mengutip dan mengafirmasi tesis-tesis dari sarjana feminis seperti Nancy Fraser dan Kathi Weeks.

Kapitalisme yang berkelindan dengan patriarki menghasilkan situasi di mana perempuan berperan sebagai tenaga kerja tak dibayar di rumah (kerja-kerja reproduktif seperti melahirkan dan membesarkan anak, mencuci, menyediakan masak, dan lain-lain). Kerja seperti ini tidak mengenal bunyi sirine yang biasanya menandakan waktu dimulai dan berakhirnya sif di pabrik-pabrik.

Kerja reproduktif bukan main beratnya. Sebuah survei menyebut seorang ibu menghabiskan waktu 97 jam per minggu hanya untuk mengurus anak. Namun, meski sangat menguras tenaga, kerja reproduktif tak dianggap kerja dalam skema kapitalisme, padahal itulah yang menopang sistem ini langgeng.

Ketika masuk ke pasar tenaga kerja, ketimbang dibebaskan dari kerja rumah tangga tersebut, para perempuan justru dipaksa untuk melakukan keduanya: ya kerja reproduktif, ya kerja produktif.

Mengulang argumen Silvia Federici, karena kerja reproduksi yang tak dibayar (bahkan tak diakui sebagai “kerja”) adalah manipulasi paling luas dan paling halus dari kapitalisme modern dan semestinya diakhiri, maka muncullah desakan untuk membayar tiap-tiap kerja tersebut (wages for housework) sebagaimana kerja produktif laki-laki di pabrik-pabrik (Center for Time Use at University College London memperkirakan jika kerja reproduksi sosial dinilai sebagaimana kerja produksi, ia akan setara 25 persen PDB Inggris, itu belum termasuk biaya bahan baku).

Namun menuntut upah atas kerja-kerja tersembunyi tersebut, bagi Federici yang dikutip Lewis dan Stronge, bukan berarti sekadar soal menerima kompensasi material (entah itu dari negara atau kapitalis). Ketika kerja reproduksi telah dianggap sebagai kerja dan ada kompensasi upah, maka perempuan dapat menolak sebagian di antaranya dan bahkan seluruhnya. Pada akhirnya ini kembali ke soal pertarungan untuk mengontrol waktu kerja, dan, seperti juga buruh laki-laki, ibu rumah tangga berhak mengaktualisasikan diri dengan prasyarat mengontrol penuh waktu mereka.

“Di sini,” kata Lewis dan Stronge, “perjuangan untuk waktu bebas bersinggungan dengan tuntutan feminis untuk revaluasi; perjuangan untuk mengontrol waktu sekaligus memperjuangkan kesetaraan gender.”

Dengan menyinggung peran perempuan dalam kapitalisme, Overtime hendak menukik lebih jauh soal proposal memperjuangkan jam kerja yang lebih pendek. Definisi “kerja” itu sendiri harus dirumuskan ulang dari sudut pandang feminis, bahwa ada kerja yang selama ini tak dibayar bahkan sekadar dianggap; dan tempat kerja itu tak hanya kantor, gudang atau pabrik, tapi juga rumah di mana eksploitasi juga terjadi dengan cara yang amat halus.

Kemudian soal aspek lingkungan. Lewis dan Stronge memulai bab 4 dengan fakta sederhana: bahwa kapitalisme dan visi pertumbuhan ekonominya tidak berkelanjutan (karena memproduksi efek rumah kaca, karbon, pemanasan global, dan lain-lain). Maka untuk meminimalisasi itu mereka mengusulkan gagasan yang yang dikampanyekan oleh aktivis ekologi Andre Gorz, degrowth, yang intinya adalah menurunkan pertumbuhan ekonomi alih-alih terus mengejarnya tanpa henti.

Dan salah satu komponen kunci dari degrowth adalah pengurangan waktu kerja. Lewis dan Stronge mengutip sebuah penelitian yang menyatakan  jika jam kerja dikurangi hingga seperempatnya di 27 negara yang tergabung dalam Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD), jejak karbon kita dapat berkurang hingga 30 persen.


Gig Economy?

Saya membaca buku ini seperti membaca pamflet politik yang agitatif dalam definisi yang dijabarkan Vladimir Lenin di What Is To Be Done? (1902). Arsitek negara proletar pertama di dunia ini mengatakan untuk menjelaskan suatu persoalan seorang agitator akan menjabarkan soal “fakta paling mencolok dan paling banyak diketahui oleh pendengarnya.” Ia berbeda dengan propagandis yang “menyajikan banyak ide” namun tetap “sebagai satu kesatuan yang utuh.”

Contoh: ketika bicara tentang upah, seorang propagandis akan menjelaskan tentang “sifat kapitalistik dari krisis, penyebab krisis yang tak terhindarkan dalam masyarakat modern, perlunya transformasi masyarakat menjadi masyarakat sosialis, dll.” Sementara agitator, untuk masalah yang sama, umumnya akan menjelaskan “tentang kematian keluarga pekerja yang menganggur karena kelaparan, pemiskinan yang semakin meningkat, dll.” Ringkasnya ia menyulut sumbu kemarahan dengan cara-cara yang lebih sederhana ketimbang lewat penjelasan rumit dan berbelit.

Memang Overtime memberikan landasan teoretis dari waktu kerja dengan mengutip Marx, tapi secara umum ia tetap lebih bersifat agitatif. Di Overtime kita menemukan penjabaran bahwa pengurangan jam kerja bakal memberikan banyak keuntungan kepada para pekerja (dan lingkungan), alih-alih, misalnya, penjelasan tentang socially necessary labour-time‘waktu-kerja yang diperlukan secara sosial’.

Saya menduga ini memang soal pilihan penulis belaka. Masalahnya, karena menjelaskan “fakta paling mencolok dan paling banyak diketahui,” Overwork jadi meninggalkan beberapa celah cukup menganga.

Pertama, soal pengurangan waktu kerja dari sudut pandang kapitalis. Apakah kapitalis benar-benar dirugikan dari itu? Faktanya kita dapat dengan mudah menemukan artikel-artikel dengan judul seperti “bagaimana jam kerja pendek dapat menguntungkan perusahaan“, yang argumennya sederhana belaka: jika jam kerja pendek, maka kondisi fisik buruh akan lebih baik dan dengan demikian meningkatkan produktivitas. Atau, dengan hari kerja pendek, buruh akan lebih loyal terhadap perusahaan dan perusahaan pun akan berhemat mengeluarkan anggaran untuk perekrutan dan pelatihan tambahan.

Selain itu, semenjak berada dalam totalitas kapitalisme dan seluruh aspek kehidupan adalah ruang akumulasi modal, pengurangan jam kerja tidak berarti menghentikan eksploitasi terhadap individu pekerja. Artikel Muhammad Ridha di IndoProgress yang tayang pada 2014 lalu berjudul “Recreation: Merebut Kembali Kehidupan Harian Kita yang Terampas?” membicarakan soal itu. Ia mengutip Harry Cleaver (sales filsafat anti-kerja) dalam Reading Capital Politically yang mengatakan bahwa “kapital telah mencoba mengintegrasikan waktu ini (waktu non-kerja) ke dalam proses akumulasi” dengan memberi contoh bagaimana industri pariwisata semakin penting untuk menggerakkan ekonomi. Pun pengurangan waktu kerja dalam artikel itu disebut sebagai upaya “pengurangan konflik kelas.”

Ringkasnya, menurut Ridha, “alih-alih berkurangnya jam kerja itu sebagai kemenangan kelas pekerja, justru di sini memperlihatkan kemenangan mutlak kelas kapitalis.”

Bagaimana kapitalis membajak kemenangan pekerja inilah yang tidak ada dalam Overwork.

Di luar itu, tentu saya tidak sepakat dengan Ridha. Bagaimana mungkin membebaskan diri dari bekerja belasan jam dalam sehari dalam kondisi yang buruk tak bisa disebut kemenangan? Mengatakan bahwa pengurangan jam kerja merupakan “kemenangan kapitalis” sama seperti menolak tuntutan upah yang lebih tinggi hanya karena dengan itu daya beli kaum buruh semakin tinggi dan dapat lebih mungkin membeli produk-produk kapitalis.

Bahwa kemudian kelas pemodal memanfaatkan itu untuk akumulasi kapital, bagi saya, lebih merupakan reaksi atas kekalahan mereka mempertahankan waktu kerja yang panjang. Lagi pula, tak selamanya waktu luang itu untuk akumulasi modal. Buruh tetap bisa bebas dalam tindakan-tindakan spesifik, termasuk aktivitas-aktivitas yang mempercepat penggalian kubur kapitalisme seperti berperan aktif membesarkan serikat buruh atau partai Kiri (Saya sempat terlibat dalam keduanya, dan salah satu persoalan mengapa banyak anggota tak aktif adalah ketiadaan waktu luang).

Memperjuangkan jam kerja yang lebih pendek memang tuntutan reformis, seperti juga mendesak kenaikan upah atau jaminan sosial yang lebih luas. Hasil-hasil dari gerakan reformis itulah yang kita nikmati saat ini.

Kedua, soal jam kerja di dunia ekonomi pertunjukan (gig economy) dan kapitalisme platform (platform capitalism) yang dicirikan dengan durasi kontrak yang sangat pendek dan penggunaan platform yang mempertemukan antara pencari dan pemberi kerja secara digital. Tuntutan mengurangi jam kerja sangat kontekstual dan langsung pada pokok persoalan ketika dilihat dari kacamata manufaktur, tapi perlu penjelasan memutar–yang sayangnya luput dibahas–ketika dihadapkan pada jenis kerja baru yang muncul karena internet, misalnya pekerja lepas (freelancer) dan kurir antar jemput.

Kontrak seorang pekerja manufaktur akan mencakup jam kerja, jam istirahat, dan hal-hal terkait lain seperti cuti. Hal itu tak bakal ditemukan dalam pekerja gig sebab mereka dibayar ketika produk yang diminta selesai dikerjakan. Memang ada tenggat waktu tertentu untuk satu proyek, katakanlah satu pekan, namun perkara kapan persisnya pekerjaan itu dilakukan, entah itu pagi atau malam, semua diserahkan ke pekerja itu sendiri. Batas antara jam kerja dan jam-jam lain, yang sangat jelas dalam konteks manufaktur, menjadi kabur.

Ringkasnya, mereka mengalami apa yang disebut jam kerja fleksibel. Fleksibilitas semacam ini sebenarnya telah dimulai saat neoliberalisme muncul pada dekade 1970-an. Ia ditandai dengan runtuhnya status pekerja tetap dan digantikan dengan sistem kerja kontrak dan outsourcing. Regulasi ketenagakerjaan dibuat selonggar mungkin sehingga ongkos produksi ditekan sedemikian rupa. Jika ada yang disebut “kemenangan mutlak kapitalis,” maka inilah bentuk nyatanya.

Memang, sama seperti pekerja pabrik, mereka juga mengalami jam kerja yang panjang. Tapi ini bukan karena instruksi langsung dari si pemberi kerja, melainkan karena beban kerja yang terlampau berat. Jam kerja yang panjang ada sebagai hasil dari beban kerja yang berat.

Laporan Viriya Singgih untuk Project Multatuli memberikan contoh yang baik. Untuk mengantar rata-rata 30 paket dalam sehari ia perlu bekerja selama 10 jam. Tentu si pemberi kerja tak memerintahkannya “Bekerjalah 10 jam agar saya cepat kaya dan naik haji!” tapi menetapkan bahwa untuk mendapatkan uang Rp100 ribu lebih sedikit pekerja harus mengantar sebanyak 40 paket. Atau, dalam kasus pengemudi aplikasi daring, satu-satunya cara untuk mendapatkan cukup uang adalah sebanyak-banyak mengambil penumpang. “Pengunciannya” terletak pada upah per potong yang minim, bukan seberapa lama diwajibkan bekerja.

Contoh lain kerap dialami para pekerja lepas. Mereka terjerat dalam lingkaran setan: karena bekerja untuk satu proyek tak bakal cukup untuk memenuhi kebutuhan, maka solusinya–dimungkinkan karena jam kerja fleksibel–adalah mengambil proyek lain yang berarti memperpanjang jam kerja. Ini belum termasuk permintaan seenak jidat para pemberi kerja untuk, misalnya, revisi atau tiba-tiba mempercepat tenggat.

Singkatnya, selain perlu penjelasan memutar khusus untuk para pekerja jenis baru ini, tuntutan pengurangan waktu kerja juga harus dibarengi dengan tuntutan-tuntutan lain yang lebih konvensional seperti peningkatan upah (entah harian, per proyek, atau per paket) dan penurunan beban kerja.


Penutup

Jika dibuat sebagai medium untuk menjelaskan jam kerja dalam totalitas kapitalisme, buku ini bisa dibilang seadanya dan bahkan, sebagaimana saya tulis pada bagian sebelum ini, ada hal-hal yang semestinya dibahas karena sangat beririsan tapi absen. Sebetulnya cukup mengejutkan tak ada sama sekali pembahasan soal gig economy dan platform capitalism dalam buku ini semenjak dua tema itu semakin sering dibahas para sarjana di luar sana, praktiknya masif akhir-akhir ini terutama ketika pandemi menyerang dan keluhan para pekerjanya tak jauh-jauh dari overwork, plus usia penulis yang masih muda sebagaimana banyak pekerja di sektor tersebut.

Tapi, jika Overtime dimaksudkan sebagai kampanye agar pengurangan jam kerja semestinya menjadi isu sentral dalam gerakan rakyat pekerja, maka ia layak diperhitungkan. Bahasa yang sederhana membuat buku ini relatif bisa dibaca siapapun bahkan jika tidak akrab dengan teks-teks ekonomi-politik.

John McDonnell, anggota parlemen Inggris dari Partai Buruh, mengatakan buku ini sangat berharga bukan hanya untuk memahami perjuangan pengurangan jam kerja, tapi juga, dan yang lebih penting, bagi mereka yang hendak terlibat di dalamnya. Ya, tepatnya bagi kita semua yang ingin mengurangi revisi agar bisa memperbanyak rekreasi.***


Rio Apinino adalah editor IndoPROGRESS


 

]]>
Kebangkitan Serikat Pekerja Media Daring https://indoprogress.com/2021/08/kebangkitan-serikat-pekerja-media-daring/ Mon, 09 Aug 2021 07:47:54 +0000 https://indoprogress.com/?p=233452 Ilustrasi: Illustruth


ANGIE KIM, sebagaimana banyak warga kelas menengah pada umumnya, tidak tahu banyak tentang serikat pekerja. Dia bahkan cenderung menganggapnya negatif karena di masa lalu para guru yang bergabung dalam serikat melarang anak-anak pergi ke sekolah ketika mogok kerja, akunya kepada Aaron Petcoff dari Jacobin, majalah Kiri terkemuka di Amerika Serikat. Tetapi, Angie Kim akhirnya mengorganisasi rekan-rekannya, para pekerja departemen teknologi/digital di The New York Times, media massa raksasa yang telah berdiri sejak 1851, untuk mendirikan serikat pekerja.

Selama berbulan-bulan, Kim, bersama komite penyelenggara serikat, tekun menghubungi para pekerja media tersebut, bertanya apa saja kekhawatiran di tempat kerja, dan apakah kira-kira serikat dapat membantu menyelesaikan persoalan tersebut. Mereka juga ditanya apakah bersedia bergabung dalam serikat. “Setelah kami melewati ambang 50 persen plus satu suara ‘ya,’ kami memiliki hak hukum untuk membentuk serikat pekerja,” kata Kim.

Demikianlah. Sebanyak 700 pekerja akhirnya mendeklarasikan serikat bernama Times Tech Guild pada April lalu.

Sebagai pekerja di divisi tekologi, Kim sebenarnya mendapatkan upah yang layak. Begitu pula dengan pekerja sedivisinya yang lain. Ia mengaku bahwa pilihan untuk mendirikan serikat “bukan tentang uang.” “Sebagai pekerja teknologi, masalah ‘roti dan mentega’ tidak begitu penting—saya tidak memperjuangkan upah layak, misalnya,” katanya pada kesempatan lain. Lalu kenapa dia memilih jalan tersebut? Kim menjawab: “Membangun kekuatan di tempat kerja Anda adalah cara yang benar-benar sah untuk memberlakukan perubahan yang tidak hanya memengaruhi Anda dan rekan kerja Anda, tetapi juga industri secara umum.”

Ada pula yang mengemukakan alasan lebih sentimentil seperti Bon Champion, bekerja sebagai product designer. Dengan serikat, katanya, “sekarang kami memiliki alasan untuk berbicara dengan orang-orang tentang kehidupan pribadi atau hal-hal lain yang tidak ada hubungannya dengan pekerjaan,” dan itu semua “benar-benar memberi energi” terutama di masa pandemi, dan “benar-benar luar biasa.”

Times Tech Guild memperpanjang fenomena yang mekar beberapa tahun terakhir ini: kebangkitan serikat pekerja media daring.

Pada 2015 lalu, Lydia DePillis dari the Washington Post mengatakan jurnalis media massa daring tidak berserikat karena banyak alasan. Misalnya tidak seimbangnya jumlah calon jurnalis dengan lapangan pekerjaan yang ada. Ini membuat pengaruh mereka di hadapan pemilik kapital menjadi lemah. Kemudian, watak generasi pekerja muda yang memang tidak akrab dengan model solidaritas seperti serikat dan mengidentifikasi diri bukan sebagai pekerja atau buruh. Belum lagi beban kerja berat yang membuat waktu untuk melakukan hal-hal lain begitu minim.

Tetapi, argumen DePillis patah hanya beberapa bulan kemudian dan kian tak relevan karena bertahun-tahun kemudian terus saja muncul serikat-serikat baru di sektor media daring.

Pada 4 Juni 2015, hanya beberapa bulan setelah artikel DePillis tayang, tabloid daring Gawker menerbitkan pengumuman: “Kami berserikat.” Sebanyak 75 persen staf memilih “ya” untuk bergabung dengan Writers Guild of America, East (serikat penulis film dan televisi dan juga pekerja televisi dan radio). Berkat serikat pula Gawker tercatat dalam sejarah sebagai perusahaan media daring pertama yang memiliki perjanjian kerja bersama per 1 Maret 2016 yang menjamin banyak hak para pekerja.

Don McIntosh mencatat setelah itu semakin jamak lahir serikat pekerja media daring. Akhir 2015, pekerja Salon, Huffington Post, dan The Guardian edisi AS berserikat; setahun kemudian ada media progresif seperti ThinkProgress dan Jacobin; lalu pada 2017, The Intercept, Vice Media, dan Vox Media. Pada 2018, serikat pekerja lahir di sembilan media, lalu 2019 setidaknya ada selusin. Dua bulan sebelum Times Tech Guild berdiri, Februari lalu, para pekerja di Medium juga memutuskan berserikat. Para pekerja Gawker memang menginspirasi pekerja di media lain. “Begitu Gawker melakukannya, kawan lain berkata, ‘kita bisa melakukan ini’, dan itu dengan cepat menjadi norma di dunia media baru,” kata Dave Jamieson, reporter Huffington Post.

Nieman Reports, yayasan yang mempromosikan dan berupaya meningkatkan standar jurnalisme, menjelaskan bahwa kebangkitan ini disebabkan alasan-alasan ekonomis. Para jurnalis merasa dengan serikat mereka lebih mudah memperjuangkan kenaikan upah, tunjangan dasar, dan memberikan jaring pengaman terhadap volatilitas industri. Hal ini misalnya dikatakan Kim Kelly saat menjabat editor musik di Vice. “Kami dibayar sangat, sangat rendah, sangat jauh di bawah harga pasar.” Menurutnya, konyol belaka ketika jurnalis dituntut untuk “menyampaikan konten yang menginspirasi” ketika pada saat yang sama mereka “tidak mampu membayar sewa, tidak mampu makan siang, dan tinggal bersama orang tua.”


Kondisi di Indonesia

Tanpa bermaksud menihilkan konteks spesifik, jika alasan ekonomis adalah pemicu kemunculan serikat-serikat jurnalis di Barat, maka Indonesia secara objektif dapat menjadi ladang yang subur bagi lahirnya organisasi serupa. Semua prasyarat yang dibutuhkan seorang pekerja media untuk berserikat ada di sini.

Aliansi Jurnalis Independen (AJI), organisasi profesi tapi mirip serikat pekerja yang didirikan pada 1994, setiap tahun merilis ‘upah layak jurnalis.’ Tahun ini mereka menyebut upah layak jurnalis (baik cetak, daring, maupun bentuk lain) di Jakarta itu Rp8,3 juta atau hampir dua kali lipat dari upah minimum provinisi tersebut (Rp4,4 juta). Namun, yang disebut layak itu hanya tertulis di atas kertas. Faktanya, upah jurnalis masih jauh dari kata layak versi AJI. Dalam survei itu ditemukan lebih dari 90 persen responden belum mendapatkan upah layak, bahkan 10 persen mengaku pendapatan mereka masih di bawah upah minimum.

Kondisi jurnalis lepas lebih suram sampai-sampai ada anekdot tentang upah dan ongkos kencing di toilet umum. Diceritakan bahwa saking rendahnya upah jurnalis lepas, yang umumnya dibayar per artikel, uang itu bakal habis kalau mereka kencing tiga kali di toilet umum (dan dua kali kalau buang air besar atau mandi).

Selain soal upah, para jurnalis secara umum menghadapi apa yang juga dirasakan para pekerja di industri kreatif. Misalnya jam kerja yang panjang tanpa kompensasi (uang lembur) dan tidak mengenal hari libur, atau dengan kata lain beban kerja yang terlampau berat bahkan tidak jarang memicu depresi. Seorang reporter yang bertugas di DPR misalnya, bisa bekerja dari pagi sampai larut malam jika pada hari itu sedang ada rapat paripurna yang pembahasannya alot. Bahkan, pada kasus tertentu, bisa sampai hari berganti, seperti pada penyerangan LBH Jakarta pada 2017 lalu atau kerusuhan di jantung ibu kota setelah Pemilu 2019.

Belum lagi kasus kekerasan yang pada 2021 saja sudah mencapai 21, menurut AJI (padahal sebagian sudah bekerja dari rumah karena pandemi). Pelaku kekerasan terbanyak adalah, ya, tentu saja polisi. Kawan saya pernah dihajar aparat ketika meliput demonstrasi meski telah mengaku berkali-kali sebagai jurnalis. Polisi berdalih kartu pers mereka terlalu kecil untuk dapat dilihat.

Ada juga masalah yang nampaknya khas jurnalis media daring, yaitu produk yang mereka ciptakan serupa sampah di dunia maya. Beberapa waktu lalu seorang jurnalis daring di-doxingtermasuk oleh sesama jurnalis—karena memberitakan (sebetulnya tak patut juga juga disebut berita) para atlet perempuan dengan nada seksis. Apa yang keliru dari serangan semacam itu adalah ia hanya diarahkan pada si individu jurnalis, padahal produk jurnalistiknya sendiri tak bisa dilepaskan dari politik redaksi.

Media daring di Indonesia berloba-lomba menciptakan konten yang ‘menarik’ pembaca, dan yang dianggap menarik itu adalah konten-konten sampah bernada bombastis, seksis, mistis, dan dengan judul clikbait serta mengabaikan disiplin verifikasi. Semua yang dipelajari bertahun-tahun di departemen komunikasi kampus-kampus runtuh di hadapan kebutuhan untuk mendapatkan sebanyak mungkin klik; di depan sebuah berhala bernama rating. Si jurnalis tadi sekadar sekrup kecil dari mesin ekonomi-politik media berbasis rating yang besar tersebut.

Memperbaiki mutu jurnalisme seperti itu (itu pun kalau masih bisa disebut jurnalisme) dengan demikian tak bisa hanya diarahkan ke orang per orang, tapi ekosistem media massa daring itu sendiri. Saya ingat pada sebuah diskusi publik medio 2019 lalu ada seorang pekerja di media yang sudah terkenal dari Sabang sampai Merauke kerap menghasilkan judul-judul bombastis dan ribuan artikel tidak penting setiap hari membuat ‘pengakuan dosa’ kira-kira begini: “Kami pun tidak mau bikin konten semacam itu, tapi begitulah cara media kami menjadi besar dan membuat kami bisa tetap bekerja.” Jurnalisme akhirnya keok dan berubah menjadi versi tertulis dari spekulasi liar dan lamunan jorok.

Terang sudah bahwa serikat pekerja menjadi relevan. Inventaris masalah di atas, kecuali kasus kekerasan aparat, adalah dampak dari tidak setaranya posisi dan kekuatan antara si pekerja dan pemberi kerja di sektor media daring. Pemberi kerja atau si pemilik media punya kuasa amat besar untuk menentukan politik redaksi. Dalam beberapa kasus bahkan mereka merupakan figur yang juga berpengaruh dalam politik nasional. Media dipakai untuk melayani kepentingannya sediri dan para kroni bisnisnya.

Dengan serikat yang inti kekuatannya berada di massa, posisi tawar tersebut setidaknya bisa diupayakan lebih seimbang.

Saat ini jumlah serikat pekerja di media masih sangat kecil, bahkan bisa dihitung jari. AJI mencatat angkanya tak lebih dari 20, padahal perusahaan media yang terdata Dewan Pers saja lebih dari 1.500.

Serikat Pekerja Lintas Media (SPLM) Jakarta dan Federasi Serikat Pekerja Media Independen (FSPMI) menyebut salah satu penyebab mengapa pekerja media enggan berserikat adalah ketakutan terhadap kuasa pemilik dan pemberangusan serikat. Pernyataan itu benar tapi tidak lengkap. Alasan lain pekerja media enggan berserikat adalah karena serikat identik dengan buruh, dan para pekerja media tidak menganggap diri sebagai buruh. Identifikasi diri yang keliru tersebut berakar dari pengalaman panjang disorganisasi massa yang dilakukan Orde Baru, baik lewat politik bahasa (pemisahan kata buruh dan karyawan/pegawai) atau praktik yang lebih ganas seperti pemberangusan. Mereka menganggap diri sebagai profesional, dengan produk yang dihasilkan adalah pengetahuan bukan barang. Itu sekaligus menjelaskan mengapa tiap kali ada demonstrasi buruh banyak jurnalis melaporkannya dengan gaya sinis.

Selain itu, ada juga kecenderungan menganggap apa yang dialami pekerja media saat ini adalah hal yang wajar dari sananya. Sudah banyak anekdot-anekdot tentang kondisi kerja jurnalisme yang didengar sejak dari ruang-ruang kuliah jurnalistik dan ketika si jurnalis pertama kali terjun di dunia kerja. Sampai-sampai ada ungkapan kalau ‘belum sakit tipes belum sah jadi wartawan.’ Segala sesuatu yang sudah sejak lama dianggap normal pasti akan lebih sulit untuk diubah.

Tapi tentu itu semua alasan-alasan apologis. Kembali ke pengalaman serikat divisi teknologi The New York Times, sudah seberapa jauh mereka yang telah bergabung ke organisasi dan telah punya kesadaran pentingnya berserikat menyebarluaskan gagasannya? Seperti Angie Kim dan Bon Champion yang gigih menghubungi satu per satu pekerja setiap hari termasuk yang tidak dikenal, bertanya kepada mereka, dan menjelaskan apa pentingnya berserikat. Memang itu semua butuh komitmen tinggi, dan sulit, apalagi di masa seperti sekarang yang untuk menjaga kewasaran sendiri saja sudah setengah mati. Lebih gampang bicara tentang serikat di forum-forum atau diskusi-diskusi dan ditonton orang, atau menulis status Facebook, atau artikel seperti yang saya lakukan ini, ketimbang melakukan kerja-kerja tekun hari per hari yang entah ada hasilnya atau tidak.

Karena saya juga terlibat di serikat pekerja tapi tak lagi aktif di dalam kepengurusan, baik di kantor atau di serikat lintas sektor, anggap saja artikel ini semacam otokritik. Boleh juga dianggap sebagai provokasi demi kembali mengupayakan hidup pekerja media yang lebih baik, kondisi yang saat ini juga tengah diperjuangkan banyak orang di luar sana.

Jadi, kapan kita bergerak lagi, kawan-kawan pekerja media daring?


Rio Apinino, editor IndoPROGRESS dan editor di Tirto.id


]]>
Apa Pun Yang Sudah Diceritakan Padamu Soal Kreativitas Itu Salah https://indoprogress.com/2018/12/apa-pun-yang-sudah-diceritakan-padamu-soal-kreativitas-itu-salah/ Sat, 29 Dec 2018 10:58:00 +0000 https://indoprogress.com/?p=20312 NAMANYA Mita Diran. Dia meninggal dunia pada usia yang begitu muda, 27 tahun, karena hal yang mungkin tak terbayangkan oleh siapa pun: kelelahan setelah bekerja selama 30 jam nonstop. Selama itu ia terjaga demi menyelesaikan tugas dari kantornya. Tak lupa minuman energi ditenggak berbotol-botol.

Judul Buku: Against Creativity
Penulis: Oli Mould
Penerbit, Tahun Terbit: Verso, 2018
Halaman: 240

Mita bekerja di agensi periklanan, salah satu bidang di industri kreatif.

Mita bukan satu-satunya pekerja kreatif yang meninggal karena terlalu lama bekerja. Februari tahun lalu, seorang brand strategist bernama Mark David Dehesa juga mengalami nasib serupa.  Pun dengan Li Yuan lima tahun lalu.

Apa yang terjadi kepada lima orang ini sudah cukup jadi bukti bahwa industri kreatif pada dasarnya memang bermasalah. Sejumlah studi, semisal dari Entertainment Assist dan Victoria University,membenarkan itu. Laporan berjudul Working in the Australian Entertainment Industry menyebutkan bahwa para pekerja di industri kreatif punya masalah kesehatan serius, angkanya 10 persen lebih tinggi ketimbang rata-rata nasional. Sementara tim dari Ulster University menemukan bahwa pekerja kreatif lebih mungkin mengalami masalah kesehatan mental tiga kali lebih besar ketimbang orang biasa. 60 persen responden malah sempat memikirkan opsi bunuh diri.

Tidak ada cara lain untuk dapat mengetahui kenapa industri kreatif bisa membuat orang terpaksa menjual tenaga kerjanya melebihi apa yang bisa ditanggung tubuh biologis tanpa menganalisis konsep kreativitas itu sendiri. Itulah yang dilakukan Oli Mould, pengajar geografi manusia di Royal Holloway, University of London, lewat Against Creativity, buku terbarunya yang terbit Oktober lalu.

Mould memblejeti sejarah, konsep, dan implikasi kreativitas itu sendiri hingga sampai pada kesimpulan bahwa “apa pun yang sudah diceritakan padamu soal kreativitas itu salah”—kalimat ini jadi anak judul buku dan judul artikel tinjauan buku ini.

Apa Itu Kreativitas?

Sebetulnya tidak ada definisi baku tentang kreativitas. Tergantung siapa yang bicara serta latar belakangnya. Robert E. Franken dalam Human Motivation misalnya, mendefinisikan kreativitas sebagai “kecenderungan untuk menghasilkan atau mengenali ide, alternatif, atau kemungkinan yang bisa jadi berguna dalam memecahkan masalah, berkomunikasi dengan orang lain, dan menghibur diri sendiri dan juga orang lain.”

Namun bagi Mould, jika semua pengertian tentang kreativitas itu diperas, maka akan ditemukan inti dari itu adalah: “kekuatan untuk menciptakan sesuatu dari ketiadaan” (Hlm. 8). Ia memilih kata “kekuatan/power” karena menurutnya kreativitas memadukan pengetahuan (baik mekanis atau kognitif), agensi, dan keinginan untuk menciptakan sesuatu yang belum ada. Ia menyanggah anggapan bahwa kreativitas semata kemampuan untuk menghasilkan produk baru yang dianggap perlu oleh pasar atau merespons kebutuhan atau kekurangan tertentu.

Lewat definisi tersebut, Mould ingin mengatakan bahwa alih-alih reaktif, kreativitas pada dasarnya proaktif.

Seperti konsep-konsep pada umumnya yang tidak lahir dari ruang hampa, Mould kemudian menjelaskan bahwa kreativitas itu adalah produk sejarah yang maknanya tak ajeg. Ia berubah seiring perkembangan zaman. Penjelasan mengenai sejarah kreativitas ia awali dengan pertanyaan: “siapakah yang mampu kreatif atau punya kekuatan dan hasrat untuk menciptakan sesuatu dari ketiadaan itu?”

Mould membagi sejarah kreativitas ke dalam tiga bagian. Bagian pertama adalah makna kreativitas dalam masyarakat kuno, bagian kedua kreativitas dalam Abad Pencerahan (Age of Enlightenment), dan bagian ketiga adalah kreativisme di era kapitalisme.

Pada masyarakat kuno ketika teknologi dan ilmu pengetahuan belum berkembang dan kepercayaan terhadap sesuatu yang gaib masih begitu kuat, satu-satunya agensi kreativitas hanyalah Tuhan. Cuma Tuhan yang bisa menciptakan sesuatu dari ketiadaan. Era ini adalah era ketika fenomena-fenomena alam coba dikuak manusia dengan jawaban-jawaban yang sifatnya transendental.

Konsep kreativitas berubah pada Zaman Pencerahan. Stanford Encyclopedia of Philosophy menyebut era ini terjadi di Eropa abad ke-18. Era ini ditandai oleh kepercayaan bahwa untuk mencapai kemajuan, satu-satunya cara adalah percaya kepada diri sendiri via sains. Maka konsep kreativitas pun berbalik 180 derajat: agen kreativitas bukan lagi Tuhan yang tak kelihatan, tapi manusia itu sendiri.

Dalam catatan Mould, pada fase ini “kreativitas adalah milik bersama”. Baik musik, puisi, dan seni lain bukan karya adiluhung seorang individu kreatif. Karya-karya itu dilahirkan oleh dan milik masyarakat. Mould mencontohkan dengan citra diri seorang William Shakespeare, asal Inggris, yang pada masa sekarang dianggap sebagai salah satu sastrawan terbesar yang pernah lahir di dunia. Pada masanya, Shakespeare, kata Mould, sama sekali tak dianggap jenius. Dia hanya seorang “tukang kata.”

Fase selanjutnya, yakni fase kapitalisme—atau masa ketika kita hidup sekarang—ditandai dengan apa yang Mould sebut sebagai “privatisasi terhadap kreativitas” (Hlm 10). Bagi Mould, era ini dimulai ketika Revolusi Industri yang membuat disparitas antara mereka yang bisa “mengonsumsi”seni dan yang tidak semakin menganga. Pada masa ini, kreativitas jadi punya nilai (value). Mereka yang bisa menikmati seni adalah mereka yang bisa membayar (meski sebetulnya sejak era Yunani dan Romawi kuno pun mereka yang disebut kreatif memiliki relasi patronase dengan orang-orang kerajaan).

Pada masa ini agen kreativitas tetaplah manusia, tapi konsepnya lebih individualistik. “Jenius-kreatif,” kata Mould, merujuk pada orang-orang yang mampu menciptakan sesuatu yang out-of-the-box.

Tentu kita dapat dengan mudah menunjuk si jenius-kreatif saat ini. Untuk menyebut beberapa saja: Steve Jobs, Mark Zuckerberg, atau, Nadiem Makarim.

Bagi Mould konsep ini bermasalah sebab individu yang disebut kreatif hanya puncak piramida dari pembagian kerja secara sosial yang mengeksplotasi mereka yang menempati tingkat-tingkat di bawahnya. Mereka memiliki social privilege yang tak dipunya hampir sebagian besar masyarakat. 

Sementara Steve Jobs disebut kreatif, predikat yang sama tak pernah dilekatkan pada bocah-bocah penambang yang hasil kerjanya dipakai Apple untuk membuat produk-produk canggih. Pun dengan Nadiem Makarim. Kita tak pernah mengakui bahwa para pekerjanya—termasuk pengemudi Go-Jek yang harus bekerja 10 jam per hari (dan kadang lebih) cuma untuk mengejar bonus yang tak seberapa—adalah seorang kreatif.

Kreativitas dan Neoliberalisme

Kerajaan Inggris berperan besar meng-globalisasi-kan kreativitas lewat pendirian Department for Culture, Media, and Sport (DCMS) tahun 1998. Departemen ini bertanggung jawab mengembangkan beberapa sektor semisal penyiaran, pariwisata, dan ekonomi digital. Sektor yang diurus menghasilkan 84,1 miliar pound sterling dan bisa menyerap tenaga kerja hingga 2 juta orang dua tahun lalu.

Dengan kata lain, departemen tersebut sukses besar. 

Maka tidak heran jika kemudian negara lain mereplikasi ini. Indonesia termasuk di antaranya. Pada tahun 2007, Susilo Bambang Yudhoyono memulai Studi Pemetaan Kontribusi Industri Kreatif Indonesia. Setahun kemudian, dengan dasar pemetaan tersebut, Presiden ke-6 Indonesia itu meluncurkan cetak biru Pengembangan Ekonomi Kreatif Indonesia 2024 dan Pengembangan 14 Subsektor Industri Kreatif. Namun begitu, sektor ini baru digarap serius pada masa Joko Widodo, dengan pembentukan Badan Ekonomi Kreatif lewat Peraturan Presiden Nomor 6 Tahun 2015. 

Yang diadopsi tak hanya ekonominya saja, tapi seluruh retorika kreativitas, termasuk dalam narasi politik sehari-hari. Para politisi kini getol bicara soal kreativitas, juga nyaris semua lowongan kerja yang ada di internet, termasuk pekerjaan yang sulit dicari keterkaitannya dengan kreativitas seperti teknik kimia atau teknisi, mencantumkan kata “kreativitas” sebagai daya tarik.

Maka, bagi Mould, kreativitas saat ini telah menjadi “paradigma kritis dari pertumbuhan ekonomi,” (Hlm 13).

David Harvey dalam Neoliberalism as Creative Destruction menyebut neoliberalisme adalah teori dari praktik ekonomi-politik yang mengemukakan bahwa kesejahteraan manusia dapat ditingkatkan dengan maksimalisasi kebebasan wirausaha dalam kerangka kelembagaan yang dicirikan oleh hak milik, hak individu, dan perdagangan bebas. Maksimalisasi kebebasan wirausaha yang dimaksud tak bisa berdiri begitu saja, ia harus didorong oleh semangat kreativitias yang maknanya telah dikonstruksi sedemikian rupa sebagaimana yang telah dijelaskan di atas.

Dengan kata lain, kreativitas berkelindan sedemikian rupa dengan neoliberalisme karena gagasan utamanya sama: sama-sama mengindividualisasi masyarakat dan melihat segala yang ada sebagai “sesuatu yang bisa dimonetisasi.” (Hlm 14).

Catatan Mould, kapitalisme, yang sudah di-turbocharged oleh neoberalisme, telah mengkooptasi konsep kreativitas dan bahkan kreativitas dari gerakan sosial. Satu contoh bagaimana modal mengkooptasi gerakan protes adalah iklan Pepsi tahun 2017 lalu. Iklan hampir tiga menit itu menggambarkan demonstrasi Black Lives Matter yang para pesertanya banyak yang membawa poster bergambar “love” dan “peace”. Pada akhir iklan, sang bintang Kendall Jenner dengan santai memberikan sekaleng Pepsi ke polisi. Keduanya saling melempar senyum. Iklan itu diprotes karena dianggap menggampangkan isu rasisme yang sedang naik daun di Amerika Serikat.

Untuk menjelaskan keterkaitan antara kreativitas dan neoliberalisme ini Mould memblejeti satu buku yang dianggap paling penting secara teoretis: The Rise of the Creative Class karya Richard Florida, salah satu pemikir perkotaan paling berpengaruh di Amerika pasca perang, yang terbit pada 2002.

Argumen orang yang mengaku penggemar Karl Kautsy ini sebetulnya sederhana: semua orang kreatif, tapi hanya sebagian kecil saja yang bisa memanfaatkannya untuk membikin hidup jadi lebih baik. Maka agar sukses (atau sejenisnya), kita semua harus “melepaskan kreativitas itu ke dunia.”Kelompok inilah yang ia sebut sebagai kelas kreatif, dan mereka akan jadi kelas dominan di masa depan.

Ketika bicara soal ini, Florida jelas tak menggunakan pendekatan Marxian—bahwa kelas ditentukan dari posisinya terhadap alat produksi.

Pemerintah perlu berperan untuk memperbesar potensi ini dengan cara membikin apa yang disebut dengan kota kreatif. Ruang-ruang seni, kafe, working space, perlu diperbanyak. Di sanalah para pekerja kreatif tinggal dan memuntahkan kreativitasnya ke dunia. Bagi Florida, inilah satu-satunya cara agar kota bisa bertumbuh. Tak heran pula jika kemudian banyak kota-kota di dunia berebut mendapat predikat tersebut. Florida sendiri membuat alat ukur bernama Creativity Index.

Gagasan ini pula yang masih terlihat pada dua buku lanjutan: Cities and the Creative Class (2004) dan The Flight of the Creative Class (2006).

Ada beberapa ciri kelas kreatif menurut Florida. Yang paling kentara adalah mereka itu orang-orang yang anti-kemapanan: tak suka birokrasi berbelit, lebih memilih bekerja secara fleksibel, non-konfirmis, dan introvert meski kadang bisa melihat dunia “dengan cara yang berbeda.” Dengan kata lain, seorang bohemian. “Fleksibilitas adalah karakter penting dan unik dan kelas kreatif,” tulis Mould (Hlm 29).

Konsep yang Bermasalah

Sejak diperkenalkan, konsep ini sebetulnya sudah diragukan banyak akademisi. Jamie Peck misalnya, mengatakan kelas kreatif tidak menawarkan mekanisme kausal dan menderita logika melingkar (circular logic).

“Pertumbuhan [ekonomi] berasal dari kreativitas dan oleh karena itu kreatif yang membuat pertumbuhan; pertumbuhan hanya dapat terjadi jika materi iklan datang, dan materi iklan hanya akan datang jika mereka mendapatkan apa yang mereka inginkan; apa yang diinginkan oleh para kreatif adalah toleransi dan keterbukaan, dan jika mereka menemukannya, mereka akan datang; dan jika mereka datang, pertumbuhan akan mengikuti. Mekanisme penyebab itu sendiri, bagaimanapun, tidak terperinci.” 

Ada pula kritik yang sifatnya lebih materialis, misalnya oleh Masayuki Sasaki. Ia menyimpulkan bahwa cita-cita kota kreatif—yang didasarkan dari argumen kelas kreatif ala Florida—alih-alih menciptakan hasil positif, justru sebaliknya. Di antara dampak yang terjadi di Osaka, Jepang, adalah “menyebabkan penurunan pekerjaan kreatif dan pemiskinan relatif kelas kreatif.”

Hal yang sama juga terjadi di Berlin. Dalam 10 tahun terakhir (2002-2012) tingkat pengangguran di ibu kota Jerman itu paling tinggi di antara kota lain. Pertumbuhan pendapatan per kapitanya juga terendah kedua di Jerman. Sementara pekerja kreatif yang menganggur juga banyak. 30 persen ilmuwan sosial dan 40 persen seniman.

Sementara Mould sendiri mengambil contoh bagaimana ide soal fleksibilitas yang inheren dari kreativitas dan neoliberalisme membikin para pekerjanya hidup makin rentan (prekariat), bukan justru lebih baik seperti yang diharapkan. Hal ini potensial mengganggu work-life balance dan juga kesehatan mental.  Kenapa begitu? Karena, mengutip Mould, “sangat sulit membedakan antara “kerja, istirahat, dan bermain.”

“Pekerjaan kreatif membuat kita semua semakin prekariat. Ini mengurangi kebutuhan akan ruang kantor fisik, tunjangan kinerja, kontrak jangka panjang, dan mengganggu waktu luang kita, kehidupan rumah dan emosi. Ini adalah karakter yang inheren dalam neoliberalisme karena secara aktif menghancurkan segala bentuk kerja kolektif, publik, dan sosial.” (Hlm 34).

Hal inilah yang juga terjadi di Indonesia. Di satu sisi kontribusi pekerja kreatif terhadap ekonomi Indonesia begitu tinggi—Rp922 triliun atau setara 7,44 persen terhadap PDB 2016 dan diperkirakan mencapai Rp1.000 triliun tahun ini—tapi di sisi lain perlindungan terhadap mereka masih begitu minim (jika bisa dibilang tidak ada). Perangkat hukum di Indonesia, misalnya UU 13/2003 tentang Ketengakerjaan, sulit untuk kompatibel dengan relasi kerja para pekerja kreatif. Untuk menyebut beberapa saja: pekerja kreatif di Indonesia akan sulit mencari landasan hukum untuk menuntut Tunjangan Hari Raya (THR), hari libur, upah minimum, kerja 8 jam per hari atau 40 jam per minggu, hak untuk cuti, dlsb.

Pada akhirnya, semua ini bergantung pada lobi-lobi yang sifarnya individual antara pemberi dan penerima kerja. Karena posisi keduanya tak pernah setara, juga iklim berserikat yang belum tumbuh, maka pada akhirnya penerima kerja kerap terpaksa menerima semua klausul kontrak yang ditawarkan meski itu tak mencukupi.

Ujungnya, untuk menutupi semua kerentanan itu, seorang pekerja kreatif memang—meminjam kalimat yang kerap dilontarkan para freelancer yang saya kenal—”harus bekerja di mana-mana, dan di mana-mana harus bekerja.”

Florida sendiri akhirnya sadar kalau ia keliru setelah melihat bagaimana gagasannya diterapkan selama bertahun-tahun. Ia meluncurkan buku berjudul The New Urban Crisis tahun lalu yang bagi sejarawan perkotaan dari York University, Sam Wetherell, adalah bentuk permintaan maaf. Dalam buku tersebut, Florida mengemukakan bahwa gagasannya soal kota kreatif justru tak ramah pekerja kreatif itu sendiri. Para pekerja kreatif tak mampu membeli rumah/hunian di sana karena harganya meroket.

Kota-kota itu ternyata memeras hingga kering jantung yang membuatnya bisa berdenyut.

Namun Florida hanya berhenti sampai sana. Solusi yang ia tawarkan sangat parsial, semisal membuat harga hunian lebih terjangkau dan menetapkan upah minimal yang lebih layak bagi para pekerja. Florida juga, seperti diulas oleh Danny Dorling, tetap mengulang mitos lama bahwa beberapa kota kreatif akan selalu menawarkan kesempatan lebih besar untuk mobilitas sosial bagi kaum miskin.

Kreativitas Non Kapitalis

Mould tak hanya memaparkan masalah. Setelah panjang lebar bicara bagaimana neoliberalisme mengkooptasi kreativitas untuk kebutuhan akumulasi kapital, ia kemudian membahas apa yang harus dilakukan untuk mengubah itu semua. Dengan kata lain, ia membahas bagaimana wujud kreativitas yang tidak menghamba kepada akumulasi modal itu sendiri.

Apa yang ditawarkan Mould sebetulnya sama sederhananya dengan Florida ketika ia membahas kelas kreatif: karena kreativitas adalah konsep yang dinyatakan oleh kelas kapitalis, maka yang pertama-tama mesti dilakukan adalah mendefinisikan ulang konsep itu sendiri. Kreatif, bagaimanapun, ialah tetap merupakan kekuatan yang dapat digunakan untuk mengubah dunia.

“Jika kreativitas adalah kekuatan untuk menciptakan sesuatu dari ketiadaan, maka percaya akan sesuatu yang tidak mungkin adalah komponen paling penting…Kita perlu berlatih mempercayai hal-hal yang mustahil. Hanya dengan begitu kita dapat benar-benar mengatakan bahwa kita sedang kreatif.”(Hlm. 149).

Kreativitas non kapitalis ini ia contohkan lewat model-model pengorganisiran produksi berbasis kooperasi. Dari mulai gerakan recuperadas di Argentina, Mondragon University, hingga coffecranks cooperative di Manchester.

Mould tampak sekali ingin mengajak para pembaca memikirkan kemungkinan-kemungkinan baru sekaligus menyanggah diktum terkenal ala neoliberalisme soal tak ada alternatif. Mould ingin meyakinkan kita bahwa sangat mungkin kreatif tapi tidak untuk memperbesar akumulasi kapital. Tepat di sinilah kritik terhadapnya muncul.

Steven Poole misalnya, mengatakan bahwa yang bermasalah dari kreativitas ala Mould ini adalah ia “tidak pernah diizinkan menjadi apolitis.”Bagi Poole, maksud Mould jadi bermasalah karena, misalnya, penulis lagu cinta tak bisa disebut kreatif meski yang ia ciptakan memberikan ketenangan bagi yang mendengar, atau minimal pasangannya; dan menghancurkan salah satu jejaring kafe kopi milik korporasi raksasa seperti Starbucks bisa disebut lebih kreatif ketimbang menulis seri drama untuk salah satu perusahaan layanan streaming besar.

“Kelemahan dari argumen buku ini adalah bahwa ia bergantung pada definisi yang agak bersifat determinan tentang ‘kreativitas sejati’, yang hanya diperbolehkan untuk menjadi tindakan yang mengkritik atau melemahkan kapitalisme neoliberal.”

Ia juga menyindir kreativitas Mould yang dituangkan dalam buku ini dengan fakta bahwa ia masih dijual dengan sistem kapitalis biasa (copyright), bukan, misalnya, didistribusikan secara bebas via daring.

Kritik David A. Banks kurang lebih berangkat dari titik yang sama. “jika kreativitas paling baik dipahami sebagai segala sesuatu yang bukan kapitalisme,” katanya, “maka kreativitas sebenarnya bergantung pada kapitalisme.” “Dalam dunia pasca kapitalis, dengan pandangan ini, tidak ada yang kreatif.”

Menurutnya, Mould ingin pembaca berlatih untuk “membayangkan yang tidak mungkin.” Poin ini juga bermasalah karena bagi Banks tak memberikan pedoman apa-apa tentang bagaimana upaya yang pada dasarnya individual tersebut disinkronkan dan ditingkatkan skalanya (sebab bagaimanapun kapitalisme adalah sistem umum, raksasa, dan menyejarah).

Saya, dalam derajat tertentu, sepakat dengan kritik-kritik ini. Namun fakta bahwa Mould mencoba memberikan alternatif, kreativitas yang tak dikungkung oleh tirani bernama profit, tak bisa dinegasikan begitu saja.

Marwan M. Kraidy pernah menyinggung kreativitas ketika membicarakan Arab Spring. Katanya, Arab Spring, khususnya konflik di Suriah, telah melahirkan gagasan bernama “perlawanan kreatif”—istilah untuk menggambarkan keseluruhan praktik dan bentuk-bentuk ekspresif semisal grafiti, spanduk, bahkan hingga meme. Simbol-simbol yang dilahirkan itu tak lain bagian dari upaya membangun kesadaran sekaligus memobilisasi massa untuk tujuan yang spesifik.

Ia menamakan agensi yang melakukan ini sebagai “pekerja kreatif revolusioner.“

Bagi saya, kreativitas non-kapitalis lebih tepat ditempatkan dalam konteks ini. Bahwa kreativitas bisa jadi—dan bukan melulu seperti maksud Mould, atau setidaknya yang mengkritik—perangkat  untuk mengubah dunia jadi lebih baik. Maka dari itu, ia mesti terhubung dengan gerakan-gerakan sosial di masyarakat.

Kreativitas ala Mould adalah kerja imaterial yang mengabdi kepada perubahan sosial, baik yang bersifat reformis atau bahkan revolusioner. Ia selalu terkait kerja-kerja yang menghasilkan, meminjam definisi Lazzarato, konten informasi dan kultural.

Penutup

Kontribusi besar dari buku ini, terlepas dari segala kritik yang tadi sudah disebut, adalah ia melawan arus: ketika kreativitas dirayakan dengan gegap gempita dan kelas pekerja dipaksa meyakini itu, Mould malah membongkar itu dan memberikan perspektif yang sama sekali baru. Ia memberi jarak dan bahkan melawan.

Oleh karena itu, saya merekomendasikan buku ini dibaca oleh para pekerja kreatif di Indonesia setidaknya karena beberapa alasan. Pertama, buku yang membahas tema kreativitas secara kritis terbilang langka atau malah—sependek yang saya tahu—belum ada yang berbahasa Indonesia. Dengan membaca ini, setidaknya para pekerja kreatif bisa mengetahui lebih dalam mengenai dunia mereka sendiri dari perspektif yang sama sekali berbeda. Kedua, dengan membaca ini, pekerja kreatif tahu bahwa kapasitas mereka bisa digunakan untuk hal-hal lain demi kepentingan kelas (kolektif).

Poin kedua penting dikemukakan karena menurut saya pekerja kreatif lebih prekariat ketimbang saudara tuanya di industri manufaktur. Setidaknya para pekerja manufaktur punya perangkat hukum meski bolong di sana sini, dan seperti yang sudah saya jelaskan, itu tidak ada di industri kreatif. Pemerintah melulu bicara soal menumbuhkan industri kreatif, misalnya dengan gerakan nasional 1000 startup, tapi selalu dari kacamata pemilik modal ketimbang perspektif pekerja. Mereka abai terhadap fakta bahwa kesuksesan industri kreatif, dan bos-bos yang diagung-agungkan sebagai si jenius-kreatif, berdiri di atas peluh keringat kelas pekerja yang bekerja siang malam.

Ini juga berkaitan dengan fakta bahwa “berserikat” adalah kata yang asing bagi para pekerja kreatif—yang jumlahnya diperkirakan mencapai 15 juta. Ini, seperti yang dinyatakan Mould, karena nature pekerja kreatif adalah individual, juga karena memang masih minim yang mengorganisir di sektor itu.

Serikat pekerja seperti ini, bagi saya, bukan cuma berperan untuk anggotanya sendiri, tapi bagi serikat-serikat lain yang berbasis di pabrik-pabrik. Memang pada akhirnya lingkup advokasi hanya mencakup anggota, tapi kerja-kerja kreatif mereka—misalnya membuat poster perlawanan yang lebih ramah di mata atau konten-konten kreatif lain—juga bermanfaat bagi organisasi sekawan. Kerja-kerja ini memang terlihat sepele, tapi tetap bermanfaat demi tujuan besar: membangun kesadaran kelas pekerja.

Rio Apinino, Kepala Divisi Riset dan Edukasi Serikat Pekerja Media dan Industri Kreatif untuk Demokrasi (Sindikasi)

]]>
Melawan Fundamentalisme Agama: Perppu Bukan Solusi https://indoprogress.com/2017/07/melawan-fundamentalisme-agama-perppu-bukan-solusi/ Wed, 19 Jul 2017 02:03:33 +0000 https://indoprogress.com/?p=18194 Kredit ilustrasi: http://newsfirst.lk

 

PERATURAN Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) Nomor 2 tahun 2017 tentang Ormas resmi diberlakukan oleh pemerintah, Rabu (12/7) pekan lalu. Alasan pemerintah menerbitkan aturan ini adalah agar dapat membubarkan organisasi masyarakat yang bertentangan dan ingin mengganti Pancasila. Atau dalam konteks yang lebih sempit, Perppu ini dianggap sebagai solusi paling tepat untuk mempersempit gerakan fundamentalis. Tapi, benarkah begitu?

Dalam aturan tersebut, Pasal 59 ayat (3) huruf b, disebutkan bahwa suatu organisasi masyarakat dilarang untuk “melakukan penyalah gunaan, penistaan, atau penodaan terhadap agama yang dianut di Indonesia.” Argumen bahwa Perppu ini dapat mempersempit fundamentalisme terpatahkan sendiri lewat pasal ini. Melalui pasal inilah ormas keagamaan tertentu dapat memberangus kelompok agama lain yang tidak sama dengan mereka atas dalil penodaan/penistaan agama. Dengan kata lain, aturan ini sebetulnya justru jadi senjata baru bagi ormas fundamental dan sekaligus jadi momok baru bagi kelompok minoritas manapun.

Selain jadi ancaman serius bagi ormas keagamaan, Perppu ini juga sama bahayanya bagi eksistensi ormas apapun, sepanjang ia ditetapkan berbahaya oleh Pemerintah. Pasalnya, melalui Perppu ini mekanisme pengadilan untuk melakukan pembelaan dihapus dan otoritas untuk menentukan suatu kelompok berbahaya atau tidak hanya berada di tangan pemerintah.

Istilah-istilah yang ada di dalam Perppu, semisal “penodaan” “separatisme” “bertentangan dengan Pancasila” dan-lain-lain, akan sangat tergantung dari kepentingan apa yang sedang diusahakan oleh pemerintah terhadap rakyatnya sendiri. Ini jelas berbahaya. Serikat Buruh, misalnya, bisa saja dianggap berbahaya karena mengganggu stabilitas ekonomi dan politik nasional karena melakukan demonstrasi atau mogok kerja di kawasan industri. Begitu juga yang mungkin terjadi pada kelompok penentang pembangunan yang sekarang gencar dilakukan oleh rezim Jokowi-JK.

Bagi pemerintah sendiri, setidaknya yang dikatakan oleh Wiranto, selaku Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, penerbitan Perppu ini adalah atas dasar tidak memadainya aturan lama, yaitu Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Ormas. Aturan baru ini dibuat dengan penuansaan bahwa negara sedang dalam kondisi gawat dan terancam oleh keberadaan ormas fundamentalis, terutama HTI (Hizbut Tahrir Indonesia). Padahal sebetulnya tidak demikian. HTI, kalau dilihat secara kasat mata, tidak akan mampu untuk melakukan apa yang dituduhkan (menggulingkan kekuasaan, mengganti Pancasila).

Beberapa orang yang saya kenal (yang sebelum kasus ini cukup demokrat) setuju dengan Perppu ini atas alasan urgensi tersebut. Bagi mereka, tak apa ruang demokrasi dipersempit agar tidak ada tempat bergerak lagi bagi kelompok yang menginginkan terbentuknya kekhalifahan di Indonesia. Anggapan ini bagi saya cukup konyol karena untuk menggulingkan kekuasaan yang sah dibutuhkan kekuatan yang tidak sedikit. Setidaknya dibutuhkan angkatan bersenjata yang berpihak pada mereka. Ini jelas-jelas tidak dimiliki HTI. Atau kalaupun mau menggunakan koridor demokrasi, yang dibutuhkan adalah memenangkan hati massa rakyat lewat pemilu. Sementara yang kita tahu HTI menganggap sistem itu thagut.

Saya lebih menduga bahwa HTI dijadikan sasaran pertama dari Perppu ini adalah karena mereka mulai bisa mengambil hati massa rakyat. Seorang kawan dengan latar Nahdlatul Ulama (NU) yang kuat bercerita bahwa bagaimana organisasi Islam terbesar di Indonesia itu begitu gembira dengan kehadiran Perppu sebab mereka mulai “kalah bersaing” dengan HTI dalam memperebutkan hati masyarakat, terutama di pedesaan. Semakin banyak yang tertarik dengan gagasan-gagasan HTI yang kerap mempropagandakan soal “kapitalisme”, “ketimpangan ekonomi” dan lain-lain. Sementara NU, di satu sisi, dikatakan justru melanggengkan kemiskinan yang ada dan tidak menjawab problem konkret umat. Meski memang HTI sendiri tidak benar-benar memberikan jawaban yang konkret atas masalah yang konkret tersebut. Mereka juga kerap mencampur adukkan antara “anti kapitalisme” dengan “anti orang non-islam”.

Yang ingin saya katakan adalah, tidak ada alasan logis dan materialis untuk mendukung aturan ini atas dasar ketakutan yang saya nilai berlebihan tersebut.

Alih-alih ancaman fundamentalisme yang disebut ada di depan mata, yang lebih masuk akal sebagai latar dikeluarkannya Perppu ini adalah soal stabilitas nasional. Bagi saya Perppu ini tidak lain adalah alat bagi pemerintah untuk mempersempit demokrasi demi memperlancar seluruh proyek yang sedang mereka jalankan, termasuk infrastruktur dan pembangunan ekonomi. Dua aspek ini hanya akan berlangsung ketika masyarakat menerima begitu saja seluruh program yang ada, meski hal tersebut berarti pengusiran masyarakat dari komunitas hidupnya. Sementara yang terjadi selama dua setengah tahun pemerintahan Joko Widodo, pembangunan yang ada sama sekali tidak melibatkan persetujuan masyarakat. Oleh karenanya yang terjadi adalah protes dan perlawanan dimana-mana. Aturan ini jadi senjata yang sangat ampuh untuk melumpuhkan protes-protes tersebut.

Kekerasan yang dilakukan aparatus kekerasan juga akan semakin memiliki landasan hukum. Bukan hal rahasia meski Indonesia telah memasuki era reformasi yang seharusnya menjunjung tinggi supremasi sipil, peran tentara masih tetap sentral. Tentara tetap menjadi organ paling efektif untuk memperlancar proyek-proyek pemerintah. Dengan adanya Perppu ini pemerintah yang sebetulnya hanya akan bertahan paling lama 10 tahun (pemilu dua kali) sedang memberikan karpet merah kepada tentara untuk kembali berkuasa selama-lamanya tanpa perlu susah-payah mengupayakan kembali dwifungsi dalam kehidupan politik.

Maka sekali lagi, adalah hal yang konyol kalau menganggap aturan ini dibuat hanya untuk mengamankan pemerintah dari gerakan fundamental bernafas islamis sementara di sisi lain abai terhadap ancaman demokrasi dan dampak ekonomi politik secara lebih luas. Selain itu, anggapan-anggapan bahwa meski ada Perppu ini pemerintah tidak akan semena-mena membubarkan ormas jelas bersandar pada analisa moralis dan hanya berharap pada kebaikan hati pembuat kebijakan. Sementara kita tahu, cara kerja politik dan hukum bukanlah demikian. Semuanya dijalankan dengan asas kepentingan. Semua aturan bisa ditabrak agar agenda pembangunan berjalan mulus, apalagi kalau aturannya itu sendiri memang sudah menghasilkan prakondisi untuk itu.

Mungkin memang, dengan adanya aturan ini, bisa jadi HTI dan ormas yang dianggap subversif dibubarkan. Tapi siapa bisa menjamin bahwa gagasan yang dianut mereka akan hilang begitu saja? Bukti historis telah menunjukkan bahwa pelarangan terhadap organisasi tertentu tidak serta merta membuat orang-orang yang sudah sepakat dengan gagasannya berubah haluan. Organisasi ini, mereka yang ada di sana, tetap dapat bergerak di bawah tanah, dan bisa kembali lagi di masa depan ketika situasi politik sudah memungkinkan. PKI, misalnya, resmi dilarang oleh pemerintah kolonial pasca memberontak di Jawa Barat dan Banten pada 1926–1927, tapi mereka kemudian berdiri kembali dengan tegak pasca proklamasi, dan bahkan bisa menduduki posisi keempat dalam Pemilu 1955 karena mampu memenangkan hati rakyat. Pelarangan terhadap PKI dan ideologinya bahkan muncul lagi ketika Orde Baru berkuasa sampai sekarang. Tapi apa kemudian gagasan marxisme hilang bersama jutaan tulang belulang simpatisannya yang dibantai?

Apa yang bisa membuat sebuah gagasan tidak diterima massa rakyat bukan dengan pelarangan, tetapi dengan membuatnya tidak relevan. Agar ide soal kekhalifahan tidak mendapat tempat di hati massa rakyat adalah bukan dengan memberangus organisasi penganutnya, tetapi dengan menunjukkan secara ilmiah bahwa gagasan mereka soal kesejahteraan di bawah lindungan kekhalifahan adalah ide yang usang.

Pembeda antara kita dan kelompok fundamentalis

Diterbitkannya Perppu ini menghasilkan beragam reaksi, dimana yang menarik adalah ada satu helaan nafas yang sama antara kelompok pro demokrasi dan mereka yang berada di kubu fundamentalis/fasis. Lantas apa dengan begitu kita bisa bersekutu dengan mereka? Jelas jawabannya tidak. Kepentingan pro demokrasi adalah mempertahankan demokrasi itu sendiri (dan tentu saja memajukannya jadi demokrasi partisipatoris, tidak sebatas prosedural!). Sementara kepentingan fundamentalis adalah agar Perppu tersebut tidak membatasi gerakan mereka yang justru berniat menghapus demokrasi dan kelompok di luar mereka. Kelompok pro demokrasi tidak melawan Perppu karena Perppu itu sendiri. Konsekuensinya, yang harus juga dilawan adalah semua bentuk aturan yang membelenggu kebebasan berserikat dan mengeluarkan pendapat.

Di sini, kita sekaligus menghindari perdebatan antara mana yang terlebih dulu harus dilawan, apakah Perppu, ataukah fundamentalisme agama. Menolak Perppu salah satunya adalah karena kita menolak fundamentalisme agama. Dan menolak fundamentalisme agama artinya juga satu tarikan nafas dengan menolak Perppu.

Persoalan apakah dengan menolak Perppu ini akan membuka peluang lebih besar bagi gerakan fundamentalis untuk mengancam demokrasi kita, justru bagi saya di sanalah gerakan demokrasi harus membuktikan bahwa diri mereka lebih benar. Bagaimanapun kemunculan fundamentalisme adalah karena faktor-faktor yang sifatnya struktural, seperti misalnya kemiskinan, ketimpangan kepemilikan, perang, dan lain-lain. Gagasan-gagasan pro demokrasi soal kesetaraan politik dan ekonomi, keadilan gender, kelestarian lingkungan, dan yang paling penting di atas itu semua tanpa mempedulikan latar belakang agama atau ras, harus mendapat tempat di hati massa rakyat. Di titik ini, sementara HTI telah secara masif mempropagandakan gagasan mereka, sudah sampai manakah gerakan pro demokrasi dan keadilan sosial?***

 

Penulis adalah Editor IndoPROGRESS

]]>
Diskusi Publik Dinamika Perubahan Agraria https://indoprogress.com/2016/09/diskusi-publik-dinamika-perubahan-agraria/ Fri, 30 Sep 2016 00:00:32 +0000 https://indoprogress.com/?p=16538 PENDEKATAN yang dominan mewarnai wacana publik kita dalam memandang masyarakat pedesaan adalah pendekatan yang non-kontradiktif. Masyarakat desa, anggap masyarakat kelas menengah perkotaan kita, dipandang sebagai masyarakat yang hidup harmonis. Perubahan corak agraria yang terjadi di dalamnya sebagaimana yang terjadi saat ini, semisal dengan modus akumulasi primitif, kemudian dianggap sebagai momen dimana kearifan lokal yang inheren di dalamnya terkontaminasi.

Pendekatan semacam ini bermasalah dan cenderung meng-oversimplifikasikan kondisi materil yang ada di lokus desa. Pendekatan ini, misalnya, mengabaikan bahwa di desa pun terdapat kontradiksi internal. Masyarakat desa seolah-olah tidak berdaya dengan perubahan yang terjadi di lingkungan mereka sendiri. Implikasi turunanya dari pendekatan ini adalah justifikasi teoritis terhadap program-program pemberdayaan yang dilakukan oleh LSM berbasis donor, bahkan hingga korporasi melalui CSR-nya. Sehingga, alih-alih memberdayakan, yang terjadi justru adalah semakin kuat, dalam, dan langgengnya eksploitasi yang terjadi.

Dalam rangka terciptanya kajian agraria yang lebih serius dan relevan bagi pembalikan struktur eksploitatif itu, Unit Gerakan dan Eksperimentasi (GEREKS), Koperasi Riset Purusha (KRP), dan Aliansi Pemuda Pekerja Indonesia (APPI), serta didukung oleh IndoPROGRESS, Institut Kajian Krisis & Strategi Pembangunan Alternatif (Inkrispena), Diskaz Labor House, dan Angsa Hitam Coffee Roaster Co-ops menggelar diskusi publik dengan tema Dinamika Perubahan Agraria: Kelas, Jender, Kuasa dan Pengetahuan, Selasa (30/8/2016). Diskusi ini menyerukan kepada mereka yang terlibat dalam kajian atau aktivitas praksis agraria untuk “pertama-tama merefleksikan kerja-kerjanya selama ini dan kemudian saling menjejaringkan-dirinya satu sama lain.”

Diskusi dihadiri oleh tiga peneliti di bidang agraria, Hanny Wijaya, Iqra Anugrah, dan Rhino Ariefiansyah. Ketiganya memaparkan temuan-temuan penelitian mereka serta pengalaman yang dialami selama di lapangan dalam beberapa jam. Dengan dimoderatori oleh Dicky Dwi Ananta yang juga pernah meneliti persoalan agraria, diskusi dimulai ba’da isya, dengan dihadiri oleh sekira 50an orang.

 

Sesi Diskusi 

Iqra, peneliti muda yang sedang fokus mengerjakan disertasi tentang politik petani di Serang dan Bulukumba menjadi pembicara pertama yang memaparkan temuan-temuannya di lapangan.

Iqra memulai pemaparannya dengan menjelaskan dinamika lokal di Bulukumba berdasarkan kronologis sejarah. Satu tonggak penting dalam perubahan agraria di kawasan itu adalah masuknya PT London Sumatera (Lonsum) pada 1919 dengan nama NV Celebes Landbouw Maatschappij. Perampasan tanah semakin intensif pasca Orde Baru berdiri. Intensifikasi perampasan ini terjadi pada medio 1970 hingga 1980an.

Selain dalam bentuk land grabbing, kasus di Bulukumba juga sebagian besar terjadi dengan dalil green grabbing, yang secara sederhana diartikan sebagai perampasan tanah atas nama konservasi. Dalam hal ini perampasan dilakukan oleh pemerintah.

Akumulasi primitif ini kemudian memunculkan perlawanan berupa advokasi berbasis hukum pada 1980 hingga 1990an. Pada tahun 2003, terjadi perlawanan besar-besaran, hingga mengorbankan dua orang petani. Saat itu para petani mencoba mengklaim kembali (reclaim) lahan mereka dari PT Lonsum, tapi kemudian disikapi oleh tindak kekerasan polisi. Seorang petani bernama Barra bin Badulla tewas di tempat setelah kepalanya tertembus peluru aparat, sementara Ansu bin Musa tewas empat hari kemudian.[1] Namun hal ini tidak lantas membuat perlawanan kian membesar. Perlawanan petani yang telah dimulai sejak tahun 1980an justru terpaksa vakum, hingga kemudian pada 2009 atau 2010 Aliansi Gerakan Reforma Agraria (AGRA) masuk dan memulai kembali gerakan perlawanan dengan mengorganisir petani sekitar.

Dalam mempertahankan hak-hak mereka yang dirampas, terlihat bahwa gerakan petani melakukan berbagai variasi modalitas gerakan. Dari mulai radikalisme rural yang relatif spontan, advokasi berbasis jalur legal (hukum) dan LSM, hingga kemudian melompat ke pembangunan gerakan sosial serta mendirikan basis ekonomi alternatif seperti pertanian organik. Benang merah dari itu semua adalah adanya mobilisasi.

Tentu perlawanan-perlawanan ini didasarkan pada landasan ideologis tertentu. Iqra mencatat, sejak 1966 dimana gerakan Kiri dibabat habis Orde Baru, hingga saat ini gerakan tani di Bulukumba di dasarkan atas ide populisme agraria (agrarian populism), atau gagasan bahwa kualitas petani, termasuk di dalamnya keluarga petani hingga petani tak bertanah, harus terus ditingkatkan. Dengan landasan secair itu, tak heran jika beragam ideologi yang lebih kokoh, termasuk di dalamnya Marxisme-Leninisme hingga yang cenderung Developmentalis, dapat mengartikulasikan gagasannya masing-masing.

Jika ditelisik lebih jauh, ide-ide perjuangan agraria di wilayah ini lebih variatif lagi. Beberapa artikulasi lain yang muncul adalah Sukarnoisme dan Maoisme. Variasi ide ini, terang Iqra, justru penting. “Justru ini (ideologi yang bercampur baur) memungkinkan gerakan agraria tetap relevan hingga saat ini,” ujar Iqra.

Iqra mengakhiri persentasinya bukan dengan konklusi, namun justru dengan pertanyaan kritis yang terbuka untuk didiskusikan. Ia menanyakan, misalnya, bagaimana perimbangan antara aktivitas ekonomi on-farming dan off-farming, serta aktivitas ekonomi mana yang menjadi pilihan bagi rakyat desa untuk memperbaiki taraf hidupnya? Ia juga mengatakan bahwa modalitas gerakan yang ada harus dapat menangkap dinamika yang ada di gerakan petani. Jika merujuk pada kasus Thailand yang berhasil, maka gerakan petani di Bulukumba, juga di Indonesia secara umum, harus mengartikulasikan dirinya sebagai gerakan lintas sektoral, yang berkolaborasi dengan sektor masyarakat lain, termasuk warga kota.

Pemaparan selanjutnya datang dari Hanny Wijaya. Dalam paparannya, Hanny lebih fokus pada penjelasan tentang posisi perempuan dalam proses reproduksi rumah tangga buruh tani pedesaan. Dengan mengambil studi kasus di Yogyakarta, Hanny menjelaskan bahwa pasar tenaga kerja pertanian mayoritas diisi oleh perempuan. Dan, tak seperti keyakinan umum bahwa pedesaan adalah masyarakat yang harmonis, yang terjadi justru sebaliknya. Terdapat pula entitas yang saling bertolak belakang seperti kelas petani dan kelas non-petani. Untuk perempuan buruh tani, mereka mengalami eksploitasi dan subordinasi lewat pembagian kerja gender, dimana jenis dan waktu kerja kerja perempuan lebih banyak tapi dibayar dengan upah yang rendah.

“Kondisi ini langgeng dan akan terus dipertahankan demi menjaga struktur upah, struktur pasar tenaga kerja, dan struktur harga yang cenderung merugikan perempuan buruh,” ujar Hanny dalam esainya.

Kondisi seperti ini juga berkaitan dengan mekanisme pengambilalihan surplus pertanian. Kaitan langsungnya, ujar Hanny, adalah karena perempuan buruh senantiasa berkontribusi dalam proses produksi pertanian, baik dalam konteks pertanian keluarga maupun pasar tenaga kerja pedesaan. Sementara kaitan tidak langsungnya adalah kerja-kerja produksi pertanian, baik yang dilakukan perempuan atau laki-laki, telah ditopang oleh kerja-kerja reproduksi perempuan. Tanpa kerja reproduksi itu, suatu masyarakat tidak akan dapat melakukan aktivitas produksi. Namun harus digaris bawahi bahwa posisi yang tersubordinasi ini hanya dialami perempuan dari kelas buruh tani.

Posisi subordinat juga terjadi pada lingkup terkecil: rumah tangga. Rumah tangga buruh tani mirip miniatur masyarakat desa. Keluarga tani, dalam temuan Hanny, tidak berisi kepentingan yang seragam, melainkan penuh dengan perbedaan kepentingan, malah tak jarang timbul aksi-aksi kekerasan. Sering kali ditemukan adanya kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) yang menimpa perempuan tani yang dilakukan suaminya sendiri.

Subordinasi perempuan terhadap laki-laki juga tak selalu terkait langsung dengan urusan ekonomi, melainkan disebabkan oleh budaya patriarki yang menempatkan laki-laki superior dalam hal apapun dan berada di atas perempuan telah mengakar. Dengan begitu, meski misalnya perempuan tani cukup otonom dalam hal ekonomi rumah tangga, misalnya ia punya otonomi (relatif) terhadap alokasi pendapatan yang dimiliki, tidak serta merta berdampak pada status sosialnya di masyarakat. Dalam amatannya, Hanny melihat hal ini dicontohkan oleh penyingkiran perempuan dari ruang-ruang publik, seperti pada kelompok tani pedesaan.

Temuan menarik lain dari penelitian Hanny adalah bahwa adanya kondisi sosial yang cenderung memoderasi dan bahkan mengaburkan relasi yang timpang antara perempuan buruh tani dan perempuan dari kelas yang lebih tinggi. Kondisi sosial yang dimaksud adalah adalah kegiatan-kegiatan sosial kultural, baik yang diselenggarakan oleh negara atau leembaga keagamaan seperti kelompok PKK dan pengajian. Dalam momen-momen seperti ini, seluruh perempuan desa dari semua lapisan jadi seakan berada dalam kepentingan yang sama. Belum lagi relasi ‘tetangga’ yang menampilkan kesan peduli atau saling membantu juga turut berkontribusi dalam pengaburan relasi ini. “Predikat sebagai tetangga atau kerabat tentu lebih melekat baik pada pemberi kerja maupun penerima upah,” terang Hanny. Memang, tak jarang pemilik lahan yang lebih luas mempekerjakan tetangganya sebagai buruh dengan upah tak seberapa. Namun hal ini justru dianggap sebagai bentuk pertolongan. Suatu ciri masyarakat yang guyub.

Untuk keluar dari situasi serba tertindas ini, Hanny pada akhir pemaparannya merekomendasikan pembangunan organisasi buruh tani perempuan tingkat kampung. Organisasi ini jadi ruang untuk meningkatkan kesadaran buruh tani perempuan atas apa yang dialaminya. Sebab, ujar Hanny, kemiskinan yang dialami mereka hanya bisa diselesaikan jika mereka sendiri yang bergerak, sebagai subjek aktif, bukan semata subjek pasif seperti menerima bantuan sosial seperti yang selama ini diberikan negara. Solusi lain yang Hanny tawarkan adalah reforma agraria dan pembentukan koperasi produksi. Untuk yang terakhir, Hanny mengatakan hal itu bisa dibentuk oleh organisasi buruh tani perempuan ketika mereka sudah punya cara pandang kritis dalam melihat apa yang terjadi (secara empiris atau apa yang ada di baliknya) di desanya.

Kemudian, sesi persentasi terakhir dipaparkan oleh Rhino, yang bekerja di Pusat Kajian Antropologi FISIP UI. Rhino banyak membahas apa yang disebut dengan Warung Ilmiah Lapangan (WIL), yang sederhananya merupakan ruang dimana petani, penyuluh, dan ilmuwan, saling berbagi pengetahuan terutama konsekuensi perubahan iklim dan respon atasnya di wilayah pedesaan. Tahun 2009, WIL beroperasi di Kabupaten Indramayu, tepatnya di kelompok tani bernama Ikatan Petani Pengendalian Hama Terpadu Indonesia (IPPHTI). Sementara pada 2010, terbentuklah asosiasi lintas profesi yang disebut Klub Pengukur Curah Hujan Indramayu.

Sebelum WIL digelar, petani dibekali beberapa pengetahuan operasional, misalnya mengukur curah hujan dan mengamati agroekosistem setiap hari, mengevaluasi temuannya, menganalisis hasil panen padi setiap musim serta membandingkannya dengan hasil panen di tempat lain, dan pada akhirnya mengetahui persis masalah atau kerentanan apa yang terjadi di lahannya sendiri dalam periode tertentu. Pengetahuan dan hasil amatan ini kemudian didiskusikan bersama di WIL. Dari sini, petani yang dianggap telah menguasai ilmunya, akan ‘diangkat’ menjadi Petani Pemandu yang nantinya akan memfasilitasi rekan petani lainnya.

Kelompok ini juga menerapkan beberapa eksperimen lain, di antaranya adalah mengurangi emisi gas metan dengan tidak mengolah lahan menggunakan material jerami yang dibusukkan tanpa digenangi, menghindari penggunaan pupuk kimia dan pestisida, serta menanam benih langsung, alih-alih strategi penanaman padi konvensional sebagaimana yang dikembangkan dalam paradigma Revolusi Hijau.

Salah satu keberhasilan WIL adalah petani yang tergabung di dalamnya mampu meningkatkan kemampuannya dalam mengantisipasi dan mengambil keputusan yang efektif. Lebih konkret, Rhino menceritakan bagaimana pada suatu ketika, lahan pertanian kekurangan air. Namun, dengan menggabungkan pengetahuan yang didapat tentang siklus hama, akhirnya masalah ini berhasil diatasi. Meski begitu, Rhino mengakui bahwa kondisi sosial ekonomi petani itu sendiri sering kali menghambat pemanfaatan pengetahuan yang baru tersebut.

Selain antara ilmuwan dan petani, WIL juga mencoba memperluas jaringannya dengan berkolaborasi, salah satunya dengan pemerintah (Selain misalnya dengan LSM nasional maupun internasional/lembaga donor). Di sinilah masalah muncul. Kolaborasi dengan pemerintah ini, terang Rhino, pada titik tertentu tidak berkembang, dan bahkan akan menemui jalan buntu. Jika diabstraksikan lebih jauh, ini bahkan membawa konklusi yang dilematis. “Apakah saat ini masih percaya sama negara (pemerintah) atau tidak. Sementara kalau tidak percaya, justru negaralah yang memang paling bisa (membuat pengetahuan petani lebih maju). Kesempatan untuk menghubungkan petani dengan pengetahuan terhalang oleh hal-hal politis,” tutup Rhino.

 

lbrxlii-agraria-b

 

Sesi Tanya Jawab

Meski berjudul sesi tanya jawab, yang terjadi justru lebih banyak tanggapan dari audiens. Dimana banyak di antara mereka adalah mahasiswa, atau pegiat agraria dengan spesifikasi isu masing-masing. Beragam tanggapan muncul. Namun dari banyaknya komentar, beberapa di antaranya menyinggung soal tengkulak.

Definisi tengkulak memang beragam. Ia bisa diartikan sebagai rentenir atau orang yang memberi pinjaman dengan bunga tinggi. Tengkulak juga bisa bermakna mereka yang membeli komoditas hasil tani langsung dari petani, baik sebagai pengumpul, broker, pedangang, atau semuanya, yang seringkali berlaku adalah sistem ijon (penjualan hasil tani dalam keadaan belum ‘hijau’). Problem yang diajukan, yang sebetulnya sama-sama sudah kita ketahui, adalah bahwa tengkulak membuat petani tak bisa terbebas dari kemiskinan yang membelenggunya. Misalnya karena tengkulak adalah pihak yang berkuasa menentukan harga, yang mana umumnya ada jauh di bawah harga pasar.

Salah satu peserta diskusi memaparkan bahwa untuk memutus jalur tengkulak ini, salah satu yang dapat dilakukan adalah memasifkan Credit Union (CU). Penanggap ini memaparkan, di Gunung Kidul, Yogyakarta, usaha untuk memutus rantai tengkulak telah dilakukan melalui CU tersebut sejak 2006. Peserta CU bisa melakukan peminjaman. Dengan kata lain, CU di sana konsepnya adalah koperasi simpan pinjam.

Namun, penanggap lain justru melihat bahwa koperasi seperti CU harus dilihat kembali dari kacamata yang lebih kritis. “Perlu pembacaan kritis terhadap koperasi. Ada persoalan lain yang tidak terselesaikan dengan koperasi simpan pinjam. Koperasi jenis ini, seradikal apapun, tidak bisa mengintervensi produksi,” ujar penanggap itu.

Salah satu penanggap lain yang cukup menarik perhatian adalah seorang anak petani dari Serikat Petani Pasundan (SPP). Dadan, demikian namanya, menceritakan beberapa hal yang ia alami sendiri terkait dengan perubahan agraria. Misalnya perampasan tanah yang masif terjadi di daerahnya, serta usaha-usaha reclaiming yang telah bertahun-tahun dilakukan oleh organisasinya itu. Untuk soal yang kedua, usaha-usaha mengklaim kembali tanah yang diambil alih perusahaan perkebunan, baik swasta atau negara, kerap dilakukan secara spontan. Pasalnya, ujar Dadan, tanah atau lahan adalah aspek sentral dalam kehidupan petani. Bukan petani namanya jika mereka tidak memiliki lahan sendiri. Ketidakpercayaan terhadap rezim hari ini juga menjadi salah satu pemicu aksi reclaiming tersebut. “Kalau tadi disebut apa kita harus percaya sama pemerintah atau tidak, kalau saya menganggapnya tidak bisa,” aku Dadan.

*

Sesi diskusi malam itu ditutup sekira pukul 21.00. Sebelum diakhiri, ketiga pemateri menyampaikan beberapa hal yang lebih bersifat teknis terkait dengan kegiatan riset. Misalnya, bagaimana menempatkan diri sebagai ‘orang kota’ di tengah-tengah masyarakat pedesaan yang ingin diriset, pakaian apa yang baiknya digunakan, berinteraksi secara total dengan seluruh warga desa hingga menghadiri berbagai acara di tempat itu, serta hal-hal sejenis lainnya. Iqra misalnya, mengulang apa yang dipaparkannya dalam artikelnya beberapa bulan lalu di IndoPROGRESS. Di sana ia mengatakan bahwa prinsip yang harus dipegang seorang peneliti yang terjun ke lapangan adalah Tiga Sama – sama kerja, sama makan, dan sama tidur, plus Empat Jangan dan Empat Harus –jangan tinggal di rumah elit desa, menggurui, merugikan, dan mencatat di hadapan kaum tani; dan harus sopan, siap membantu, menghormati adat istiadat setempat, dan belajar dari kaum tani.

Diskusi akhirnya ditutup oleh moderator dan MC. Sebagian peserta diskusi langsung pulang ke rumah masing-masing, namun sebagian besar lagi nampaknya masih tak puas. Mereka menghampiri para pembicara untuk berbincang, atau sekadar bercengkerama dengan kawan sejawat lain.***

 

Rio Apinino, Ketua Partai Rakyat Pekerja (PRP) Komite Kota Jakarta Raya dan anggota redaksi Left Book Review (LBR) IndoPROGRESS

 

————

[1] Kasus Bulukumba selengkapnya bisa dilihat di https://www.kontras.org/buletin/indo/2003-09-10.pdf

]]>