Redaksi – IndoPROGRESS https://indoprogress.com Media Pemikiran Progresif Sat, 29 Dec 2018 13:37:57 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.4.3 https://indoprogress.com/wp-content/uploads/2021/08/cropped-logo-ip-favicon-32x32.png Redaksi – IndoPROGRESS https://indoprogress.com 32 32 Edisi XLV/2018 https://indoprogress.com/2018/12/edisi-xlv-2018/ Sat, 29 Dec 2018 11:00:22 +0000 https://indoprogress.com/?p=20308 Daftar Isi:

Dalam hitungan hari, kita akan segera memasuki tahun yang baru. Berbagai bencana dan kesedihan telah menutup tahun ini dengan kelam. Ketidakbecusan negara dalam melakukan pencegahan dan mitigasi bencana tentu sangat penting untuk terus digugat. Selain tentunya gugatan berkelanjutan yang mesti kita lancarkan pada korporasi-korporasi serakah yang terus mengeruk dan mengeksploitasi manusia dan alam tanpa kata lelah.

Ajakan untuk terus marah, menggugat, memprotes, dan melawan ini tak lain merupakan bentuk penyemaian harapan dan optimisme untuk tahun yang baru. Bahwa harapan akan dunia yang lebih baik perlu selalu dibarengi dengan ajakan untuk benar-benar mewujudkannya.

Menyambut perlawanan-perlawanan di tahun yang baru, sekaligus mengajak para pembaca untuk tetap membaca buku-buku kiri, meski dilarang negara, LBR kali ini hadir dengan dua review buku yang mengajak kita untuk terus bersikap kritis dengan kondisi terkini sekaligus tidak pernah melupakan sejarah, sebagai pijakan untuk kita terus berjalan di depan.

Review pertama datang dari Rio Apinino, yang membahas buku mengenai kondisi terkini pekerja kreatif dan kreativitas yang keberadaanya kini semakin mengemuka. Sementara review kedua datang dari Achmad FH Fajar, yang membahas buku mengenai sejarah menyakitkan dari mereka yang pernah diasingkan ke Pulau Buru.

Selamat tahun baru dan selamat membaca!

]]>
Edisi XLIII/2017 https://indoprogress.com/2017/03/edisi-xliii2017/ Wed, 01 Mar 2017 02:30:09 +0000 https://indoprogress.com/?p=17584 Daftar Isi:

 

KAMI, Left Book Review (LBR) IndoPROGRESS, terakhir kali terbit pada September lalu, meski rubrik ini diniatkan untuk terbit dua bulan sekali. Nyatanya mengelola rubrik yang mengharuskan penulisnya mengulas buku-buku Kiri secara serius memang berat. Apalagi mensiasati waktu di tengah kesibukan lain. Alhasil, kami baru bisa mengudara kembali pada akhir Februari (atau Maret, tergantung seberapa cepat ilustrasi edisi kali ini dibuat), dengan tiga entry naskah yang kami jamin membuat Anda tidak akan menyesal membacanya.

Ini bukan semacam pembenaran atas kurang disiplinnya kami dalam mengelola rubrik. Namun, kami ingin mengatakan bahwa pembangunan Marxisme –atau gagasan-gagasan Kiri secara umum, memang bukan hal yang bisa dianggap remeh, dan gampang. Sebaliknya, melihat kondisi saat ini, gagasan kritis semakin penting untuk terus dipropagandakan secara intensif kepada massa rakyat, seberapapun beratnya itu.

Sejak terakhir mengudara, ada beberapa momen penting yang kita lewati bersama. Dari mulai aksi kelompok Islam yang kental dengan nuansa reaksioner (dengan berjilid-jilid demonya itu), serta pemilihan kepala daerah DKI Jakarta yang juga sangat kental dengan sentimen SARA, atau politik identitas secara umum. Yang menarik dari perkembangan itu adalah keberhasilan kelompok Kanan menguasai diskursus publik, bahkan gagasan ini cenderung dapat diterima kalangan yang sebelumnya apolitis –setidaknya ini kami amati di media sosial dan lingkaran pertemanan.

Bahkan, beberapa kelompok buruh, yang seharusnya menjadi kelas sosial terdepan, juga terseret isu-isu murahan seperti ini.

Kita, melalui contoh-contoh di muka, tidak bisa tidak harus mengakui bahwa kelompok Kanan berhasil dalam melakukan propaganda. Mereka secara intensif terus membombardir kesadaran massa dengan perspektif mereka sendiri. Sampai-sampai meski apa yang mereka utarakan dapat dengan mudah digolongkan sebagai sesuatu yang sama sekali tidak ilmiah, diterima begitu saja tanpa daya tangkap kritis. Kita tentu ingat bagaimana Hitler sampai pada posisinya kala itu dengan sentimen-sentimen dan propaganda seperti ini. Tentu kita tidak ingin muncul “Hitler” lain di Indonesia.

Oleh karena itu, satu tugas berat yang kita harus kita pikul bersama, adalah bagaimana gagasan-gagasan Kiri –yang berpihak kepada kebenaran, sampai kepada massa rakyat. Kita harus melawan propaganda Kanan dengan perspektif kita. Kita harus secara konsisten mengatakan bahwa sentimen SARA adalah tidak penting karena itu menutupi realitas yang sebenarnya terjadi, kita harus mengatakan dengan lantang bahwa apapun agamanya, apapun ras atau sukunya, selama ia tidak berpihak pada golongan terpinggirkan, adalah pemimpin yang menindas. Dan wajib hukumnya untuk dilawan.

Dalam semangat itulah kami kembali hadir ke hadapan sidang pembaca. Di edisi kali ini, kami menghadirkan satu ulasan menarik dari Satriono Priyo Utomo, peneliti sekaligus penulis buku Aidit, Marxisme-Leninisme dan Revolusi Indonesia. Dalam ulasannya terhadap arsip Partai Komunis Indonesia (PKI) yang ada di Arsip Nasional, kita mengetahui bagaimana sepak terjang PKI, terutama Comite Djakarta Raya (CDR), mewarnai perpolitikan lokal kala itu. Di sini kita tahu bagaimana keberpihakan PKI terhadap massa rakyat, meski mereka telah memasuki gelanggan parlemen pasca Pemilu 1955, yang menempatkan mereka di posisi keempat.

Ulasan kedua datang dari pengampu rubrik Logika IndoPROGRESS, Dicky Ermandara. Dalam tulisan ini, ia membahas buku terbaru Martin Suryajaya, Teks-teks Kunci Filsafat Marx. Dalam ulasannya, Dicky melihat bagaimana proses pengalih bahasaan tulisan Marx dari Inggris ke Indonesia cukup mulus dilakukan Martin. Seberapa penting buku tersebut juga tak luput dari ulasannya. Terakhir, ada tulisan dari Nurhady Sirimorok, peneliti asal Makassar, yang mengulas buku Depoliticing Development: The World Bank and Social Capital karya John Harriss. Pernah dengar “modal sosial”? Tulisan ini ingin membawa kita untuk mencurigai terminologi yang pernah populer di Indonesia itu, termasuk bagaimana implikasi praktisnya di lapangan.

Demikian. Selamat membaca, dan tetap berlawan.

]]>
Wujudkan Partai Gerakan Untuk Bertarung di Pemilu 2019! https://indoprogress.com/2016/08/wujudkan-partai-gerakan-untuk-bertarung-di-pemilu-2019/ Tue, 23 Aug 2016 23:47:30 +0000 https://indoprogress.com/?p=16296 DELAPAN belas tahun lebih sejak kejatuhan Soeharto, tidak ada kesejahteraan dan demokrasi sejati di Indonesia. Faksi borjuasi Orde Baru yang selamat dari krisis 1997-1999, yang berkolaborasi dengan faksi borjuasi baru, masih mencengkeram kekuasaan negara melalui sistem oligarki yang korup. Sementara itu, pemodal raksasa (kapital monopoli) dan negara-negara imperialis sebagai agen politiknya, melalui konsesi dengan berbagai faksi borjuasi dalam negeri yang berkuasa, tetap mendesakkan kebijakan neoliberalnya. Hasilnya, adalah rezim oligarki yang korup dengan garis kebijakan neoliberal yang menghancurkan kehidupan rakyat.

Sampai sekarang, rezim oligarki-neoliberal ini beroperasi tanpa ada kekuatan politik progresif yang menandinginya. Di luar negara, perlawanan harian tidak berkembang menjadi kekuatan politik ekstra-negara yang punya kapasitas menandingi negara dan memaksa perubahan sosial-politik dari luar. Hadirnya kekuatan politik ekstra-negara yang seperti itu memang mensyaratkan adanya situasi revolusioner dan krisis politik yang mendalam. Sementara, krisis politik yang mendalam bisa terjadi jika gerakan rakyat memperluas perjuangan kelas ke arena politik formal. Tetapi, gerakan rakyat tidak pernah berhasil masuk ke arena politik formal sejak zaman PRD (Partai Rakyat Demokratik) di Pemilu 1999. Ada upaya untuk masuk, seperti yang dilakukan oleh Partai Persatuan Pembebasan Nasional (Papernas) dan Partai Perserikatan Rakyat (PPR), tetapi gagal. Walhasil, gerakan rakyat terus didesak ke dalam posisi defensif dan marjinal oleh rezim oligarki-neoliberal.

Ada beberapa sebab kenapa gerakan rakyat tidak pernah berhasil masuk ke arena politik formal. Pertama adalah regulasi pemilu yang mempersulit partai baru, termasuk partai gerakan, untuk ikut pemilu. Berbagai regulasi ini sengaja dibuat oleh partai-partai oligarki untuk memperkecil jumlah kompetitor dalam ruang elektoral, sehingga mereka bisa terus memonopoli arena politik yang ada. Ini adalah penyebab dari sisi rezim oligarki-neoliberal. Tetapi, ini bukan satu-satunya penyebab kenapa gerakan rakyat selalu gagal masuk ke arena politik formal. Dari sisi gerakannya sendiri, juga terdapat faktor-faktor yang menjadi penyebab kegagalan tersebut.

Kedua adalah sikap pesimis atau defeatism—menyerah sebelum bertempur—terhadap kemungkinan adanya partai gerakan yang bisa ikut pemilu, entah karena merasa syarat-syarat ikut pemilu terlalu berat atau karena melihat situasi gerakan yang tidak meyakinkan, penuh dengan masalah, termasuk fragmentasi. Kemudian, sikap yang menganggap “kekuasaan pasti busuk,” terlepas dari siapa yang memegang kekuasaan, sehingga anti dengan perjuangan elektoral. Selanjutnya adalah sikap yang membuka diri pada perjuangan elektoral, tetapi tidak menganggapnya penting atau mendesak, mungkin karena merasa bahwa perlawanan di luar negara secara terus-menerus, tanpa upaya masuk ke negara, bisa menghasilkan kekuatan politik ekstra-negara yang memaksa perubahan sosial-politik dari luar—referensi terdekatnya mungkin adalah gerakan reformasi.

Faktanya, belasan tahun setelah kejatuhan Soeharo, perlawanan di luar negara tidak menghasilkan kekuatan politik ekstra-negara apapun. Era demokrasi liberal sekarang ini memang berbeda dengan era otoritarianisme Soeharto. Kekuasaan Soeharto sebagian besar dipertahankan dengan kekerasan, dan hanya sedikit menggunakan consent (persetujuan), sehingga pukulan dari luar ke negara secara terus-menerus bisa menciptakan krisis politik—yang ditambah dengan krisis ekonomi—menghasilkan ledakan sosial. Kekuasaan oligarki-neoliberal saat ini menggunakan kombinasi kekerasan dan penciptaan consent, sehingga berbagai konflik yang keras antara masyarakat dengan pemodal atau negara, seperti yang sering terjadi dalam konflik agraria, tidak berkembang menjadi krisis politik. Ini bukan berarti krisis politik tidak mungkin terjadi, tetapi pukulan dari luar saja tidak cukup untuk menciptakan krisis politik.

Sikap pesimis, anti kekuasaan dan menganggap remeh perjuangan elektoral menyebabkan sebagian besar kalangan gerakan tidak memiliki agenda pembangunan partai elektoral. Sebagian membatasi perannya hanya sebagai kelompok penekan, sebagian lagi mungkin memiliki agenda revolusi yang dibayangkan bisa dikembangkan secara langsung dari perlawanan harian. Hasilnya adalah intensif dalam melakukan “perjuangan parsial,” seperti advokasi, aksi-aksi respons isu, dlsb., tetapi abai terhadap pengorganisiran politik atau partai. Para aktivis pun larut dalam perjuangan sektoral dan berbasis-isu, sehingga mereka yang bekerja di satu sektor atau isu cenderung terisolasi dari mereka yang bekerja di sektor atau isu lain. Alih-alih berujung pada terbentuknya kekuatan politik, yang terjadi adalah fragmentasi gerakan berbasis sektor dan isu.

Sementara, kalangan gerakan yang mau mengakses negara, tetapi pesimis atau enggan membangun partai elektoral, mencoba berbagai taktik. Mulai dari masuk ke partai-partai borjuasi sampai fenomena “relawan” belakangan ini. Tetapi setelah masuk ke negara, mereka pun tidak bisa membuat perubahan yang signifikan. Sebagian malah terjatuh ke dalam oportunisme. Alih-alih membawa kepentingan rakyat ke dalam negara, sebagian malah terkooptasi menjadi aparatus negara borjuasi. Ini karena mereka masuk ke negara bukan sebagai bagian dari kekuatan politik progresif, sehingga mereka tidak punya kekuatan dan tidak ada yang mengontrol. Mereka menimbulkan kekecewaan di sana sini, sehingga memperkuat rasa pesimis dan antipati terhadap perjuangan politik.

Syukurlah, di tengah situasi yang suram ini, masih ada titik terang berupa upaya membangun partai gerakan untuk bertarung di Pemilu 2019. Sejauh ini, terdapat dua kelompok gerakan rakyat yang sedang mempersiapkan partai politik untuk Pemilu 2019. Pertama, Partai Hijau Indonesia (PHI) yang dibangun oleh para aktivis gerakan lingkungan progresif, terutama yang berhimpun di Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) dan Sarekat Hijau Indonesia (SHI). Saat ini, PHI sedang berjuang memenuhi syarat administratif untuk bisa mendaftarkan diri di Kementrian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) sebagai partai peserta pemilu 2019.[1]

Kedua, barisan yang mengakuisisi Partai Buruh bentukan Muchtar Pakpahan dan sudah terdaftar di Kemenkumham. Barisan ini terdiri dari empat kelompok, yaitu Rumah Rakyat Indonesia (RRI), Organisasi Rakyat Indonesia (ORI), Serikat Petani Indonesia (SPI) dan Partai Buruh sendiri. RRI adalah sebuah formasi gabungan antara Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) yang berkecenderungan tengah-kanan—tarik-menarik antara elemen sosial-demokrasi dan reaksioner—dengan Komite Persiapan Konfederasi Persatuan Buruh Indonesia (KP-KPBI) yang merupakan himpunan dari serikat-serikat buruh kiri. Sementara, ORI merupakan ormas politik dari Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI) pimpinan Andi Gani Nuawea, yang memiliki kedekatan dengan PDI-P. Adapun SPI merupakan ormas petani pimpinan Henri Saragih.[2]

Kedua kelompok gerakan yang sedang mempersiapkan partai ini bukan tanpa kelemahan. Basis PHI cenderung atomistik, bergantung pada jaringan individu aktivis yang belum terlihat kapasitas mobilisasinya di teritori yang luas. Sementara, barisan yang mengakuisisi Partai Buruh, sekalipun terlihat memiliki kapasitas mobilisasi sesuai dengan karakter gerakan buruh penyusunnya, tetapi memiliki cakupan teritori yang tidak terdistribusi secara luas dan merata di Indonesia. Massa potensial mereka cenderung terbatas dari buruh yang cakupan geografisnya terkonsentrasi di kota-kota industri, sementara Indonesia memiliki wilayah agraris yang luas. Idealnya, kedua kelompok ini bersatu untuk saling melengkapi, sehingga bisa mendobrak regulasi elektoral yang selama ini mempersulit hadirnya partai gerakan untuk bertarung di pemilu.

Rubrik “Front” IndoPROGRESS hadir untuk mendukung upaya gerakan mewujudkan partai yang mengusung program kerakyatan dan bertarung di arena elektoral, khususnya pemilu 2019. Ada bahaya yang mengancam kita jika tidak ada partai gerakan di pemilu 2019. Pertama, kemungkinan hadirnya kekuatan fasis di Pemilu 2019, seperti yang disinyalkan oleh pernyataan Sekjen Partai Gerindra Ahmad Muzani tentang kesiapan Prabowo untuk dicalonkan kembali dalam Pilpres 2019.[3] Kedua, kemungkinan blocking kalangan gerakan ke partai-partai oligarki untuk menyalurkan aspirasi politiknya. Ini bisa menyebabkan fragmentasi dan memperkuat ilusi partai borjuasi serta oportunisme. Cukup sudah cara pikir “the lesser of two evils”—memilih yang terbaik di antara yang buruk—yang selama ini menggerogoti gerakan. Saatnya memajukan partai gerakan untuk bertarung di pemilu 2019.

Tentu saja, upaya memajukan partai gerakan di pemilu 2019 bukan tanpa risiko. Apalagi, rezim oligarki-neoliberal tentu akan mencari cara untuk menjegal masuknya partai gerakan ke arena politik formal. Ada risiko gagal menenuhi syarat pemilu. Lalu, ada risiko partainya “berbelok arah” menjadi bukan partai gerakan karena kemenangan elemen-elemen reaksioner dan konservatif di internal partai. Namun, ada juga peluang untuk lolos syarat pemilu dan menang bertarung melawan elemen-elemen reaksioner dan konservatif di internal partai. Adanya risiko bukan alasan untuk mengadopsi defeatism, karena setiap perjuangan pasti ada risikonya. “On s’engage et puis…on voit,” ungkap Lenin yang mengutip Napoleon[4]—kita bertempur dulu dengan serius, baru nanti kita lihat lagi!***

 

————-

[1] Untuk informasi lebih lanjut mengenai PHI, lihat wawancara dengan Sekretaris Jenderal PHI John Muhammad, ‘John Muhammad: “Gerakan Masyarakat Sipil Butuh Lengan Politiknya (Political Arm) Sendiri”,’ Indoprogress, 12 Agustus 2016, https://indoprogress.com/2016/08/john-muhammad-gerakan-masyarakat-sipil-butuh-lengan-politiknya-political-arm-sendiri/.

[2] Untuk informasi lebih lanjut mengenai barisan yang mengakuisisi Partai Buruh, lihat Kahar S. Cahyono, “Mochtar Pakpahan: Silakan Menggunakan Partai Buruh yang Sudah Terdaftar,” Koran Perdjoeangan, 11 Juni 2016, http://www.koranperdjoeangan.com/mochtar-pakpahan-silakan-menggunakan-partai-buruh-yang-sudah-terdaftar/. Lihat juga Kahar S. Cahyono, “Rumah Rakyat Indonesia Gelar Diskusi dengan Berbagai Elemen Gerakan,” Koran Perdjoeangan, 11 Juni 2016, http://www.koranperdjoeangan.com/rumah-rakyat-indonesia-gelar-diskusi-dengan-berbagai-elemen-gerakan/.

[3] “Sekjen Gerindra: Prabowo Siap Maju Pilpres 2019,” Republika.co.id, 13 Juni 2016, http://nasional.republika.co.id/berita/nasional/hukum/16/06/13/o8pxr6361-sekjen-gerindra-prabowo-siap-maju-pilres-2019.

[4] Vladimir Ilyich Lenin, “Our Revolution,” 1923, Marxists Internet Archive, https://www.marxists.org/archive/lenin/works/1923/jan/16.htm.

]]>
Edisi XLI/2016 https://indoprogress.com/2016/07/edisi-xli2016/ Sun, 31 Jul 2016 01:08:21 +0000 https://indoprogress.com/?p=16188 Daftar Isi:

 

AKSES terhadap informasi serta platform-nya yang terus berkembang pesat secara langsung ataupun tidak memudahkan generasi muda kita –yang sering dicap sebagai Generasi Y, mencari dan mengetahui apapun yang diinginkan. Tak terkecuali ide-ide tentang Kiri. Mungkin ini tak disadari generasi lama, oleh generasi Kiri era 90an yang penuh dengan narasi-narasi heroisme tentang perlawanan terhadap rezim diktator. Tapi zaman terus berubah, penerimaan atas gagasan kiri tak lagi melulu didahului oleh pengalaman materil tentang ketertindasan atau bersentuhan dengan karya-karya klasik para tokoh-tokoh revolusioner.

Sering kali penerimaan akan gagasan-gagasan Kiri, atau setidaknya yang kami temui, dimulai dari hal-hal yang dinilai remeh. Dari misalnya berawal dari candu bermain game perang, yang membuat mereka paham sedikit horizon sejarah militer, lalu berakhir dengan mempelajari sejarah Bolshevik secara otodidak, dan kemudian sepakat akan gagasan-gagasannya. Tak jarang pula penerimaan, atau minimal tidak menolak gagasan Kiri karena jokes yang dilansir akun salah satu plafrom pesan instan. Salah satu akun tersebut misalnya, dalam satu kali postingan jokes tentang Kiri, tak jarang mendapat ‘like’ ratusan kali dan komentar dengan jumlah yang tak berbeda jauh.

Apa yang ingin kami sampaikan melalui contoh-contoh kecil di sini adalah ada prakondisi tertentu yang memungkinkan munculnya ‘patahan generasi’, yaitu generasi yang sama sekali berbeda dengan dengan generasi sebelumnya, yang dikondisikan sedemikian rupa untuk melanggengkan status quo. Tak bisa dipungkiri, generasi muda kita semakin terbuka dengan gagasan-gagasan yang sebelumnya sangat ditabukan. Bukan bermasud menggeneralisir, tapi akses terhadap informasi yang semakin mudah berbanding lurus dengan semakin besarnya kemungkinan-kemungkinan baru di luar apa yang ingin dikonstruksi oleh rezim yang berkuasa.

Dalam konteks demikian, pertanyaannya kemudian adalah apa yang dapat dilakukan oleh kelompok Kiri kita? Tentu pertanyaan ini harus didiskusikan bersama. Tapi setidaknya, dalam Pengantar ini, satu usulan awal yang dapat ditawarkan adalah kita harus mulai memikirkan strategi diseminasi gagasan dengan kemasan yang lebih menarik. Memang agak terdengar garing, tapi bagi kami justru di sini letak urgensinya. Kemasan yang menarik adalah pintu masuk bagi pendalaman gagasan yang lebih serius dan komprehensif bagi para generasi muda yang tidak mencicipi indoktrinasi Pancasila ala Orde Baru.

Kita harus meyakinkan generasi muda, baik di pabrik, di sekolah, di sawah, di gang-gang sempit perkotaan, bahwa tak ada masa depan dalam sistem kapitalisme. Pun kita harus melawan balik ilusi-ilusi tentang kesuksesan ala borjuis yang sering dikumandangkan para motivator di televisi, dan kerap menjadi candu. Intinya, luwes dalam taktik, tapi tegas dalam prinsip. Tentu ini bukan bermaksud mengalihkan kerja kobar dan kerja tekun yang telah dilakukan sebelumnya selama bertahun-tahun, melainkan melakukan perluasan atasnya.

Dalam semangat tersebut, Left Book Review (LBR) Indoprogress kembali hadir ke hadapan sidang pembaca. Pada edisi ini, kami menampilkan tiga tulisan yang terdiri dari satu wawacara dan dua ulasan buku. Dua penulis ulasan buku ini adalah generasi muda yang tak mau tunduk pada hegemoni rezim. Elvan De Porres, mahasiswa Sekolah Tinggi Filsafat Katolik Ledalero, Maumere, Flores, Nusa Tenggara Timur, mengulas buku berjudul Berani Berhenti Berbohong: 50 Tahun Pascaperistiwa 1965-1966. Dalam ulasan ini Elvan membahas pembantaian 65 di tempat kelahirannya dari berbagai aspek, termasuk kelindan antara para penjagal, keluarga yang dibantai, serta institusi keagamaan yang ada di sana.

Daya Sudrajat, alumni Ilmu Politik Universitas Indonesia hadir dengan ulasan tentang buku terbaru Ben Anderson, Di Bawah Tiga Bendera. Buku ini sendiri secara umum menjelaskan bagaimana kelindan antara Anarkisme dengan gelombang antikolonialisme di berbagai negara. Ben menelusurinya melalui teks-teks sastra yang dibuat salah satunya oleh Jose Rizal, Bapak Bangsa Filipina.

Terakhir, kami menyuguhkan transkrip wawancara antara Coen Husain Pontoh, Pemimpin Redaksi Indoprogress, dengan Antonius Made Tony Supriatma, Pengamat Militer dan Peneliti Independen, tentang kegagalan reformasi TNI, serta berbagai isu terhangat tentangnya, termasuk soal friksi, serta masalah internal-struktural yang ada di tubuh angkatan bersenjata tersebut. Wawancara ini sebelumnya diterbitkan dalam bentuk video di Indoprogress TV.

Akhir kata, selamat membaca!***

]]>
Edisi XL/2016 https://indoprogress.com/2016/05/edisi-xl2016/ Sun, 22 May 2016 01:11:39 +0000 https://indoprogress.com/?p=15877 Daftar Isi:

  1. Kapitalisme versus Iklim
  2. Yayak Yatmaka: “Aku tak terlalu peduli pada aliran dalam seni lukis, aku hanya akan terus mencatat pertarungan antar kelas yang terjadi.”

ADA situasi politik terbaru yang terjadi di Indonesia. Yang paling benderang tentu soal ‘Bangkitnya PKI’, yang dihembuskan sendiri oleh tentara, dan dipadamkan sendiri oleh mereka. Lempar batu sembunyi tangan, lalu beramai-ramai menuduh orang-orang dan menghakiminya tanpa rasa bersalah.

Isu bangkitnya PKI semakin masif setelah perhatian masyarakat Indonesia tertuju pada Simposiun 65, sebuah acara yang ‘katanya’ dimaksudkan untuk menyelesaikan kasus pembantaian massal pasca G 30 S, tapi tanpa satupun keluar permintaan maaf dari institusi yang melakukan pembantaian tersebut. Tentu semuanya berkelit kelindan. Simposium yang bisa disaksikan khalayak banyak tersebut tentu membangkitkan rasa penasaran atas apa yang terjadi sebenarnya. Tentara tak pernah mau masyarakat tahu apa yang sebenarnya terjadi.

Di sini, kita disuguhkan oleh dagelan khas fasis yang anti terhadap ilmu pengetahuan. Demi menjaga status quo, mereka tak segan untuk melakukan apapun di luar kerangka hukum, bahkan nalar sekalipun. Ini tercermin melalui membabi butanya aparat menangkapi orang-orang yang sekadar menggunakan pin Palu Arit, lambang yang erat kaitannya dengan Komunisme, membreidel buku-buku padahal hal tersebut sudah dinyatakan inkonstitusional oleh Mahkamah Konstitusi (MK), dan pembubaran acara-acara yang ingin mengkaji Komunisme/Marxisme secara ilmiah.

Heinrich Heine, sastrawan Jerman pada 1820 menulis “bila orang membakar buku, akhirnya mereka juga membakar manusia.” Dalam konteks Indonesia, aparat tidak melakukan hal tersebut secara gradual, mereka melakukan pembakaran buku dan represi terhadap fisik mereka yang membaca buku dengan serentak. Jelas, mereka anti ilmu pengetahuan, ditambah anti orang yang ingin berilmu. Mereka ingin semua orang dungu seperti mereka. Persis seperti bangsa Barbar yang menghancurkan Imperium Romawi Barat pada 410, seperti Hulagu Khan yang menghancurkan koleksi Perpustakaan Baghdad pada abad-13, dan seperti fasis SA, SS, dan Gestapo milik Nazi.

Pelarangan segala hal yang berbau Kiri di Indonesia tentu bukan sebatas pada terciderainya demokrasi, seperti argumen para liberalis kita. Lebih jauh dari itu, pelarangan ideologi Kiri di Indonesia dilakukan persis karena ideologi itulah yang mampu memblejeti fondasi terdasar sistem Indonesia hari ini: kapitalisme. Pembantaian massal bukan sebatas pelanggaran HAM berat yang dilakukan oleh negara terhadap rakyat, pembantaian massal adalah prasyarat berdirinya sistem kapitalisme di Indonesia. Rakyat yang terorganisir dengan cita-cita adil, setara, sejahtera (sosialisme) di kepalanya adalah penghalang bagi ekspansi modal.

Meski demikian, tentu Kiri Indonesia tak boleh diam saja. Justru, bagi kami, saat ini dimana mata masyarakat tertuju pada hal-hal Kiri justru adalah momen yang tepat untuk mempropagandakan apa itu Kiri yang sebenarnya. Toh, argumen kaum konservatif selalu itu-itu saja, seperti kaset butut yang diputar berulang-ulang: bahwa Kiri anti agama, bahwa PKI dulu berniat untuk mengganti Pancasila, bahwa kaum Komunis tak punya kontribusi apapun terhadap perjuangan kemerdekaan, dan lain sebagainya.

Dalam semangat untuk melakukan hegemoni tandingan, serta terus mempropagandakan sosialisme ilmiah itulah, Left Book Review (LBR) Indoprogress kembali hadir ke hadapan sidang pembaca. Dalam edisi kali ini, kami memuat satu wawancara khusus dengan Yayak Yatmaka, inisiator buku Sejarah Gerakan Kiri untuk Pemula, sekaligus aktor yang melawan hegemoni Orde Baru yang masih langgeng hingga hari ini dengan jalan kebudayaan, melalui puisi, gambar, lagu. Dalam wawancara tersebut Yayak bercerita mengapa ia memilih jalur tersebut, dan pandangan-pandangannya terhadap kebudayaan sebagai medium perlawanan.

Selain Yayak, kami juga menghadirkan satu ulasan buku Naomi Klein, This Changes Everything, dari Alwiya Shahbanu. Selagi pemerintah kita sibuk dengan simbol-simbol, alam terus berubah semakin tidak bersahabat karena sistem yang dominan saat ini, yang menuhankan perputaran modal sebagai syarat satu-satunya untuk terus langgeng: kapitalisme. Dalam ulasan tersebut, Alwiya menjelaskan posisi Klein bahwa tak ada cara lain melawan perubahan iklim selain melawan kapitalisme itu sendiri.

Selamat membaca, dan terus berlawan!

]]>
Edisi XXXIX/2016 https://indoprogress.com/2016/03/edisi-xxxix2016/ Wed, 23 Mar 2016 05:21:30 +0000 https://indoprogress.com/?p=15617 Daftar Isi:

Di Bawah Tempurung yang Terbayang: Logika dan Jejak Bangsa, Ke-Bangsa-An, serta Nasionalisme

Tentang Waktu Tak Produktif dalam Kapital[1]

Memento Dari Pulau ‘Purgatorio’

Vittoria dan Narasi Tunggal Orde Baru Tentang Timor Leste

 

KAMI mengakui bahwa tema edisi kali ini datang sangat terlambat. Sudah lebih 4 bulan Benedict Anderson, atau akrab dipanggil dengan Om Ben, wafat meninggalkan kita. Sudah berpuluh obituari, baik nasional maupun internasional, yang ditulis atas namanya. Walau begitu, kami tetap melihat ada signifikansi yang lain mengapa nama Om Ben tetap perlu untuk diperingati. Yang kami maksud tentu saja adalah artikulasi ilmu sosial yang secara eksplisit memahami sejarah sebagai pergumulan manusia yang hendak mengubah sejarah itu sendiri. Alih-alih mnegkonstruksikan sejarah sebagai arenanya orang-orang besar, Om Ben memberikan perhatian yang sangat luas dan terperinci pada peranan orang-orang kecil dan terpinggirkan dalam sejarah kemanusiaan.

Terlepas dari kentalnya belokan Weberian (weberian turn) yang ditempuh oleh Om Ben untuk memperkuat nuansa ini, orientasi serta komitmen pengetahuan yang dibangun oleh Om Ben penting untuk diingat serta dilanjutkan kembali. Bagi kami, tentu saja ada yang politis di balik artikulasi pengetahuan seperti ini: bahwasanya mereka yang selalu terpinggirkan dalam narasi arus utama sejarah memiliki kapasitas untuk mengubah dan membangun sejarah itu sendiri. Dengan kata lain, sejarah yang sepenuhnya berada ditangan orang-orang biasa yang harus menjawab kontradiksi nyata sekaligus langsung didepan mata kepalanya sendiri.

Refleksi atas warisan modus berpengetahuan Om Ben menjadi krusial. Ketika kita, gerakan kiri Indonesia, merasa tidak berdaya maka sejarah sudah selalu menegasikan kesimpulan tersebut. Pada dasarnya Om Ben hendak mengafirmasi kenyataan yang teramat terang tentang sejarah itu sendiri. Sejarah manusia adalah tentang konflik; tentang pertarungan. Dalam pertarungan selalu mensyaratkan ruang. Dan dalam ruang kita akan selalu melihat adanya kemungkinan, suatu kesempatan dimana arah sejarah bisa bergerak secara berbeda. Oleh karenanya, bagi Om Ben, keberadaan sejarah justru membuktikan bahwa aspirasi umum gerakan Kiri berpotensi besar untuk dimenangkan.

Dalam hal ini optimisme adalah keharusan. Nalar dan rasio yang dimiliki harus dioptimalisasi sedemikian rupa untuk merealisasikan optimisme yang ada. Oleh karenanya, setiap momen harus dilihat sebagai pertarungan yang mana kepastian mengenai siapa yang kalah atau menang akan sangat ditentukan pada bagaimana pertarungan tersebut dilakukan.

Sekarang ini kita menemukan perilaku agresif rezim politik yang berkuasa sekarang lewat maraknya kriminalisasi atas aktivis gerakan rakyat, mudahnya pelarangan acara di ruang publik yang melawan warisan serta propaganda Orde Baru, sampai dengan masih belum hilangnya kasus penggusuran dan perampasan ruang hidup di desa dan kota. Banyak serangan agresif ini harus kita lihat sebagai momen pertarungan terbuka yang mana hasil akhir akan ditentukan oleh kecerdikan kita untuk melancarkan pertarungan itu sendiri. Di sinilah kita perlu menjadi lebih strategis menyikapi momen pertarungan yang ada.

Bersemangatkan pada pertarungan jangka panjang dalam memastikan kemenangan sejati rakyat pekerja Indonesia, LBR kembali hadir dalam rangka memperingati warisan Om Ben. Pada edisi kali ini kami menghadirkan empat ulasan buku. Ulasan pertama dan utama hadir dari Mitrardi Sangkoyo yang membahas buku Ben Anderson, Imagined Communities. Ulasan kedua datang dari Muhammad Al-Fayyadl yang mengedepankan problem Waktu Kerja Tak Produktif yang diulas Marx dalam Kapital. Ketiga, kita punya ulasan dari Budi Irawanto. Dosen UGM ini membahas buku Hersri Setiawan, Memoar Pulau Buru I. Terakhir, ada ulasan novel Vittoria Helena’s Brown Box dari Ivo Mateus Goncalves.

Selamat membaca… a lutta continua!

]]>
LKIP Edisi 30 https://indoprogress.com/2015/11/lkip-edisi-30/ Sat, 21 Nov 2015 12:46:02 +0000 https://indoprogress.com/?p=15023

Kritik – Musik dan Mesin: Futurisme dalam Perkembangan Musik
Kliping – The Very Best of Fluxcup
Karya – Karya-Karya The Popo
Catatan Kawan – 50 Kencan Pertama Bersama Tragedi 1965
Mixtape – Boikot Bela Negara

LEMBAR KEBUDAYAAN INDOPROGRESS terbit lagi pada November ini. Pengantar edisi kami kali ini tidak akan berpanjang-panjang; kami sedang loyo, ringkih, dan sedikit kendor untuk urusan disiplin. Tenang, tidak berarti gara-gara kondisi di atas kami lantas ikut-ikutan dukung proyek pemborosan uang negara bernama Bela Negara. Apa pasalnya? Selain sepak terjang TNI yang berdarah-darah, coba pembaca hitung berapa kali mereka melakukan tindak indispliner di wilayah sipil. Intinya, kami dan mereka sama-sama kurang disiplin. Bedanya, cuma mereka yang boleh pegang senapan.

Pengantar ini ditulis menjelang International People’s Tribunal atas kejahatan kemanusiaan 1965. Pengadilan ini tentu tak memiliki kewenangan legal untuk menyeret para jagal ke meja hijau, namun ia menjadi bukti bahwa negara sedikit pun tak mampu menghadirkan rasa keadilan bagi korban setelah lima puluh tahun berlalu. Bagaimana tribunal ini bisa merajut solidaritas internasional untuk kejahatan kemanusiaan 1965, masih akan kita tunggu hasilnya. Yang jelas, inisiatif sekecil apapun untuk mengabarkan tragedi ini ke seluruh dunia patut diapresiasi.

Rubrik Catatan Kawan kali ini diisi ole Viriya Paramitha. “50 Kencan Pertama Bersama Tragedi 1965” secara singkat menelusuri politik ketakutan Orde Baru, dari era ketika Sampek Engtay dilarang pentas lantaran menampilkan atribut Tionghoa, hingga pelarangan pemutaran Samin vs Semen di kampus. Kabarnya, seorang dosen mengatakan bahwa film ini mengandung anasir-anasir komunis. Astaghfirullah, luar binasa benar iklim intelektual kita.

Mengenang Hari Pahlawan yang jatuh pada 10 November ini, kami memilih untuk menerbitkan mixtape anti-militerisme yang disusun Herry Sutresna AKA Morgue Vanguard. Lagu-lagu ini lahir dari berbagai pengalaman: perang Vietnam, bentrok dengan aparat, hingga menonton Muhammad Ali, petinju kulit hitam AS yang menolak wamil. Adalah sebuah pertanyaan bagi kita semua: mengapa pada jaman susah, tentara makin menyusahkan orang susah dan sedikit sekali lagu protes yang muncul?

Masih berkaitan dengan musik, kawan Aliyuna Pratisti dan Muhammad Firmansyah menulis esai berjudul “Musik dan Mesin: Futurisme dalam Perkembangan Musik” di Rubrik Kritik. Jika pembaca akrab dengan musik-musik mesin yang kaku dan tidak enak buat teman tidur itu, nah, Futurisme inilah biang keroknya. Pada zamannya, musik-musik macam ini adalah perlawanan terhadap elitisme opera. Makin kaku, makin bising, makin sulit disenandungkan, makin radikal pula musik—kira-kira demikianlah pesannya.

Terakhir, pada Rubrik Kliping, kami menyuguhkan kompilasi video parodi dari Fluxcup. Tidak ada kaitannya dengan 1965 dan tentara-tentaraan, saudara-saudara, tapi cukup untuk menghibur Anda sekalian ketika musim hujan sudah sampai di gerbang tapi bajingan-bajingan korporat pembakar hutan belum juga tertangkap. Semoga Anda tersenyum dengan kompilasi video yang diberi pengantar oleh kawan Martin Suryajaya ini.


Ilustrasi oleh Timoteus Anggawan Kusno

 

]]>
Edisi XXXVII/2015 https://indoprogress.com/2015/10/edisi-xxxvii2015/ Mon, 19 Oct 2015 01:09:30 +0000 https://indoprogress.com/?p=14851 Daftar Isi:

Mari Rebut Kembali Universitas Publik!

Pembantaian Massal 1965 Sebagai Gerakan Kontra-Revolusioner

Wawancara dengan Ronny Agustinus

 

Pengantar

PADA 15 Oktober 2015, kaum buruh kembali dirugikan oleh persekongkolan negara dengan pemilik modal. Dengan dalih menstimulus perekonomian, pemerintah Jokowi-JK melalui paket kebijakan ekonominya menetapkan Peraturan Pemerintah (PP) tentang Pengupahan. Aturan ini akan menjadi dasar penghitungan Upah Minimum (UM), yang akan berlaku dalam bentuk Upah Minimum Provinsi (UMP) Upah Minimum Provinsi Sektoral (UMPS), Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK) dan Upah Minimum Kabupaten/Kota Sektoral (UMKS), untuk buruh di Indonesia yang masa kerjanya nol tahun.

Melalui aturan baru ini, kaum buruh tidak bisa lagi menuntut hak normatif mereka, upah, tiap tahun dengan dasar Komponen Hidup Layak (KHL). Padahal, selama ini saja, penentuan upah berdasarkan KHL masih bermasalah, mengingat survey yang dilakukan serikat buruh tidak pernah diakomodir dan dijadikan landasan dalam penetapan upah minimum di Dewan Pengupahan. Dengan kata lain, peraturan pemerintah ini membuat capaian yang berhasil ditorehkan kaum buruh kembali dipukul mundur ke belakang.

Selain itu, dengan adanya peraturan pemerintah mengenai pengupahan ini, kaum buruh tidak saja kehilangan kesempatan untuk menentukan upahnya secara layak melalui tangan mereka sendiri, melainkan juga kehilangan momentum untuk semakin memperbesar kekuatan. Sebagaimana diketahui, isu-isu ekonomistik seperti ini, terlepas dari segala kekurangannya, merupakan isu yang paling tepat untuk memperbesar kapasitas organisasi, merekrut buruh-buruh baru untuk mau dan aktif berserikat, serta menjadi titik awal bagi kesadaran kelas yang lebih maju. Dengan kata lain, isu pengupahan ini sangat sentral bagi kemajuan gerakan buruh secara umum.

Disahkannya PP Pengupahan ini merupakan satu bukti lain bahwa kemajuan gerakan buruh tidak dikehendaki adanya. Kekuatan buruh begitu ditakuti dan pemilik modal bersama negara (lagi-lagi) bersekutu untuk menghambat kemajuan gerakan buruh. Tak dapat dielakkan, kaum buruh yang selama ini selalu menjadi pihak yang dipinggirkan dan dirugikan harus kembali membangun persatuan gerakan buruh dan menjadikannya sebagai kekuatan politik tandingan yang signifikan dalam konfigurasi politik Indonesia.

Dengan semangat perlawanan, Left Book Review edisi Oktober 2015 kembali hadir ke hadapan pembaca. Kali ini, kami hadirkan review dari Daya Sudrajat yang mengulas buku yang membahas tentang privatisasi pendidikan tinggi, Take Back Higher Education: Race, Youth and Democracy in Post Civil Era. Review kedua hadir dari Made Supriatma yang mengulas buku tentang pembantaian massal 65 yang merupakan gerakan kontra-revolusi, The Contours of Mass Violence in Indonesia, 1965-68. Terakhir, kami hadirkan kembali wawancara salah satu media Jerman dengan Ronny Agustinus dari penerbit alternatif Indonesia, Marjin Kiri.

Selamat membaca!

]]>
LKIP Edisi 29 https://indoprogress.com/2015/10/lkip-edisi-29/ Wed, 07 Oct 2015 03:19:11 +0000 https://indoprogress.com/?p=14767 KRITIK – Batu Akik, Sangkakala Krisis Ekonomi
KARYA – Puisi-Puisi Moh. Faiz Maulana
KLIPING – Kumpulan Editorial Harian “API”
CATATAN KAWAN – Membuka Tabir Buku Sejarah Kita

BULAN SEPTEMBER identik dengan upaya menolak lupa. Menolak lupa akan peristiwa yang sesungguhnya terjadi pada malam 30 September 1965 dan rangkaian peristiwa yang terjadi setelahnya, menolak lupa akan kematian Munir dan kebenaran yang ditutupi, dan juga menolak lupa akan peristiwa Semanggi II yang hingga kini tidak diungkap sepenuhnya.

Yang teranyar, dalam transisi menuju Oktober, kita juga diingatkan kembali bahwa selain menolak lupa, menolak bungkam adalah keharusan di negeri ini. Salim Kancil telah melakukannya dan membayar mahal. Melihat apa yang mendiang upayakan di Lumajang sana, upaya menerbitkan LKIP secara konsisten dan tepat waktu tiba-tiba terasa amat remeh.

Sebenarnya, awak LKIP tiap bulan berusaha menolak lupa. Lupa bahwa rubrik ini harus terbit tepat waktu. Entah itu September atau April, November atau Juni, pada akhirnya kami hanya pasrah menatap tanggalan dan bertanya-tanya kapan LKIP harus terbit sembari menyiapkan jawaban kala ditanya perihal keterlambatan tersebut.

September ini kami memilih untuk berpaling pada alasan kreativitas. Karena kreativitas tidak bisa diprogram layaknya mencetak kuitansi, buku Yasin atau undangan pernikahan, maka wajar jika ada keterlambatan. Menurut kami, penundaan bulan ini masih tergolong manusiawi, apalagi jika manusia yang kita bicarakan lahir dan besar di Indonesia. Bukan berarti kami percaya pada mitos manusia kolonial yang malas dan tak mengenal disiplin, tetapi kerja kreatif selayaknya dihargai dengan keluwesan dalam menilai waktu. Mungkin itu jawaban paling pretensius yang bisa kami berikan.

Alih-alih menjadi kewajiban, LKIP sebenarnya berpegang pada prinsip kurasi. Terbit atau tidak bukan perkara mengejar tenggat, melainkan ketersediaan bahan yang sesuai dengan kriteria tim editor untuk dipublikasikan. Setelah lama berembug, LKIP edisi ini menampilkan beragam karya yang masing-masing mengandung nilai lebih.

Di rubrik Catatan Kawan misalnya, Arif Saifuddin Yudistira mengingatkan kita bahwa buku teks di sekolah tidak bisa dilihat terlepas dari masalah klasik: penguasa dan kepentingan mereka dalam mereka ulang sejarah. Guru madrasah di Solo ini mempertanyakan kembali muatan buku sejarah kita dalam memotret peristiwa G 30 S. Meski bukan topik yang paling baru, ada baiknya kita tidak pernah lelah membahasnya. Setelah kita baca catatan Arif, pembahasan pun dapat dikerucutkan pada satu aspek: Mari menuntut pemerintah untuk merevisi buku teks sejarah dengan berbagai narasinya yang keliru.

Sementara itu, rubrik Apresiasi Karya dihiasi oleh beragam puisi milik Muhammad Faiz Maulana. Tepatnya, ada tiga buah puisi yang membumikan kembali euforia kita akan pemerintahan yang “baru”, yang sejauh ini masih juga terbelenggu oleh masalah mafia dan komisi. Faiz, pegiat Komunitas Omah Aksoro di Jakarta, menyampaikan kritiknya melalui puisi dan, kami rasa, layak untuk dibaca oleh siapa pun.  

Saat Rupiah melemah, spekulan biasanya sumringah. Sebagian besar spekulan tersebut tidak hanya berdagang valuta asing, tetapi apa saja yang pada kurun waktu tertentu memiliki nilai jual tinggi dan sedang diminati oleh pasar, meskipun risiko yang ditanggung juga tidak kecil—sekalipun komoditas yang diperjualbelikan tidak masuk akal dan, di mata kami, sama sekali tidak menarik. Maka apa lagi yang bisa kami katakan jika ternyata batu akik bisa membuat para spekulan tersebut memperoleh penghasilan berkali-kali lipat dibandingkan mereka yang hanya bisa berharap pada UMR.

Namun, fenomena batu akik tidak lagi asing dan mengherankan jika kita memahami teori konsumsi dan kaitannya dengan kapitalisme. Esai “Batu Akik, Sangkakala Krisis Ekonomi” akan membantu mendudukkan perkara ini. Tulisan ini bukan merupakan ajakan untuk menolak jual-beli batu akik, tetapi untuk memahami bagaimana komoditas yang ganjil seperti tanaman hias, ikan hias, dan gemstone bisa menjadi primadona bagi para pedagang dan spekulan dalam satu dekade terakhir. Bisa dipastikan, batu akik pun tidak akan menjadi mainan terakhir para spekulan. Membaca esai tersebut membuat kami lebih paham, dan tetap menolak mengenakan batu giok di ujung jari.

Pada rubrik Kliping kami menurunkan sebuah majalah yang terbit lima puluh tahun silam. Beragam tulisan yang bukan hal baru untuk kita saat ini menyeruak dalam terbitan tersebut. Tentu saja, sebagaimana yang tertera pada sampulnya “mengganyang nekolim PKI Gestapu”, isi terbitan ini semata-mata memaki-maki PKI dan antek-antek komunis atas peristiwa G 30 S. Kami sengaja menurunkan terbitan ini untuk mencoba membaui suasana kala itu.

Bulan ini kami puasa mixtape. Hal ini tidak berarti bahwa kami seterusnya meniadakan kompilasi nada-nada sumbang. Sebaliknya, ke depan, LKIP mengundang pembaca untuk menyumbang kompilasi tembang dengan topik-topik tertentu alias menyusun sebuah mixtape yang sarat pesan. Melalui proses kurasi yang ketat, tentu. Dan juga, pesan dari mixtape tersebut sebaiknya dialamatkan kepada publik atau pribadi tertentu, semisal mendiang Munir—bukan pribadi yang sukar dilupakan bagi Anda seorang. Nah, ingatkan kami pula jika bulan depan belum berhasil menerbitkan mixtape yang mumpuni dan sesuai janji-janji di atas.

]]>
LKIP Edisi 28 https://indoprogress.com/2015/08/lkip-edisi-28/ Sun, 02 Aug 2015 08:16:28 +0000 https://indoprogress.com/?p=14368 Ilustrasi: T.A. Kusno, 2012, “Bastaman”. Photograph series, variable dimension

Teori – Orde Baru dan Pembentukan Keluarga
Kritik – Warisan Sebuah Rezim: Citra Kultur Media dan Persepsi
Liputan – Mati Ketawa Cara Orde Baru
Karya – Tuyul: Sang Pembebas dari Kekangan Modal
Karya – #VisualGusuran: Yang Subur Setelah Digusur
Mixtape – Ketika Musik Disederhanakan

BULAN INI bulan duka. Tiga kawan kami di IndoPROGRESS kehilangan ibu dan mertua pada waktu yang berdekatan. Bagi yang ditinggalkan, kami ucapkan belasungkawa yang sebesar-besarnya dan semoga diberi ketabahan.

Tapi Juli juga bulan Lebaran. Beberapa dari kami mempersiapkan mudik. Yang lainnya kerja banting tulang untuk nikah tahun depan, atau mempersiapkan jawaban “kapan kawin?”, menunggu THR, dan—aha, kabar baik!—menunggu kelahiran anak pertama.

Anda, sidang pembaca yang budiman, bolehlah menganggap peristiwa-peristiwa di atas sebagai apologi belaka untuk keterlambatan terbit Lembar Kebudayaan IndoPROGRESS.  Tapi kami serius, kendati Marx tak pernah mengucap sepatah kata pun tentang Lebaran, bagi kami lebaran adalah liburan rakjat. Kadang kami membayangkan, beratnya berpuasa seberat memperjuangkan transisi masyarakat ke sosialisme, penuh pengorbanan, banyak godaan untuk berbuka di tengah jalan, dan rawan konflik; sementara lebaran seperti hari kemenangan ketika semua alat produksi sudah tersosialisasi merata dan seluruh umat manusia sungkem-sungkeman. Kenyang, produktif, damai.

Khairun Fajri Arief, kawan kami di Lampung, menyusun mixtape (brutal) berisi lagu-lagu religi, dari yang paling sell-out hingga yang paling absurd, dari yang paling kiri sampai yang paling kanan. Pilihan lagu-lagu ini menjadi catatan penting atas cara kita selama ini menyimak tema religi dalam musik—mana yang paling menonjol ketika sebuah album religi dirilis ke pasaran? Apakah teknik bermusiknya, lirik-liriknya yang memperingatkan kita akan kehidupan duniawi yang fana dan kejam, kehidupan musisinya yang awalnya begajulan dan tiba-tiba jadi alim? Atau bagaimana jika semua ini adalah konspirasi kapitalis selama bulan Ramadhan?

Mudik memang bikin hangover. Setelah berlibur, kita kembali ditampar kenyataan dan ketakutan khas warga kota; mulai dari THR raib tak berbekas hingga penggusuran di mana-mana. Manan Rasudi mendokumentasikan perihal yang terakhir di rubrik apresiasi karya melalui esai foto. Yang namanya orang terusir dari tempat tinggal, pastilah protes. Protesnya macam-macam. Bisa bakar-bakaran, ataupun sekadar corat-coret di puing-puing bekas gusuran rumah mereka. Pantauan Manan menunjukkan corak kemarahan yang tidak lazim kita temui di internet, bahkan tidak pula dalam bentuk yang terorganisir seperti demo di jalanan. Jangan kira politik tak butuh orang marah, kendati marah-marah tidak pernah menyelesaikan masalah, apalagi menjamin tegaknya sosialisme. Namun, kemarahan, bahkan dalam bentuknya yang paling vulgar, adalah fenomena politik akar rumput yang sia-sia jika tak terdokumentasikan. Pejabat, sipil dan militer, kini bukan saja tidak mengabaikan kemarahan itu, bahkan bisa seenak perutnya memarahi rakyat, sebelum mengusir mereka.

Rubrik apresiasi karya juga diisi oleh cerpen Wiman Rizkidarajat dan Irfan Rizki Darajat, dua bersaudara ngapak asal Purwokerto, yang baru saja menerbitkan kumpulan cerpen Tuyul, Cinta Abadi, dan Dhanyang-Dhanyang Desa secara samizdat, alias nyetak sendiri. Cerpen mereka yang kami catut, “Tuyul: Sang Pembebas dari Kekangan Modal”, sangat berfaedah untuk dinikmati hari-hari ini. Apalagi, jika Bung dan Nona bernasib seperti salah satu dari kami: menjadi buruh kelas menengah yang nasibnya tak kunjung berubah. Bagi anggota kami yang satu ini, Jakarta cuma manis menjelang Lebaran belaka—lowong dan penuh diskon. Setelah itu,  Jakarta kembali  seperti yang kerap ia definisikan: kota penuh jeratan modal, mantan, dan kenangan. Butuh usaha ekstrem untuk bisa keluar dari kekangan Troika jahanam ini. Solusinya, menurut beliau, tak lain dan tak bukan adalah kesabaran revolusioner. Ya, mungkin juga Tuyul, setidaknya setelah ia membaca cerpen ini.

Selain itu, ada dua tulisan tentang perhelatan ORDE BARU OK. Video Juni lalu. OK. Video tahun ini mengambil tema besar Orde Baru. Tak ayal, jika Anda sempat datang ke perhelatannya, Anda bakal disuguhi pelbagai karya, yang kalau tidak mempertanyakan klaim kekuasaan Orba, ya menyigi segala hal yang selengean di masa itu. Walhasil, Orde Baru tak lagi terlihat seseram yang bisa kita bayangkan. Ada banyak siasat untuk melawan (baca: menertawakannya). Jika Anda melewatkan helatan ini, Anda masih bisa menyimak laporan khusus Raka Ibrahim tentang Simposium Orde Baru, hasil kerja sama ORDE BARU OK. Video dan IndoPROGRESS di rubrik liputan kali ini.  Sementara itu, Anda juga bisa membaca tulisan Maria Josephina Bengan di rubrik kritik yang merunut secara singkat lahirnya video art sebagai sebuah perlawanan dan bagaimana ia, dalam OK. Video, digunakan untuk menelanjangi Orde Baru.

Akhirul kalam, Lembar Kebudayaan IndoPROGRESS ditutup oleh bahasan seputar keluarga. Setelah capek menghindar dari acara kumpul-kumpul keluarga, setelah lelah disodori nama-nama laki dan perempuan single selama Lebaran kemarin oleh keluarga dekat, ada baiknya Anda membaca tulisan Holy Rafika tentang pembentukan keluarga di era Orde Baru. Karena, Bung dan Nona, bikin keluarga di jaman Engkong Harto itu tentulah bukan soal anak gadis dibawa kawin lari, calon pasangan tak direstui orangtua, calon mantu yang masih ngontrak, mertua otoritarian, mau punya anak berapa, dst. Bikin keluarga di era Orde Baru sangat erat kaitannya dengan kontrol populasi, anti-komunisme, dan sentimen anti-Tionghoa.

]]>