Miftahulrahman Bahas – IndoPROGRESS https://indoprogress.com Media Pemikiran Progresif Mon, 23 Jun 2025 21:28:13 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.4.3 https://indoprogress.com/wp-content/uploads/2021/08/cropped-logo-ip-favicon-32x32.png Miftahulrahman Bahas – IndoPROGRESS https://indoprogress.com 32 32 Melawan Tambang Bukan Ekstremisme apalagi Wahabi, tapi Memulihkan Oikeios https://indoprogress.com/2025/06/melawan-tambang-bukan-ekstremisme-apalagi-wahabi-tapi-memulihkan-oikeios/ Mon, 23 Jun 2025 21:28:13 +0000 https://indoprogress.com/?p=239032 Ilustrasi: Wikimedia Commons


“Capitalism in the Web of Life takes flight by naming this relation of life-making: the oikeios. From this relation — as much methodological orientation as ontological claim — we can see manifold species - environment configurations emerge, evolve, and ultimately become something else entirely. . . . [T]he oikeios is a relation that includes humans, and one through which human organization evolves, adapts, and transforms. Human organization is at once product and producer of the oikeios: it is the shifting transfiguration of this relation that merits our attention. In this spirit I understand “capital” “capitalism” as producers and products of the oikeios.” 

 Jason W. Moore, Capitalism in the Web of Life, hlm 8

Tuduhan Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Ulil Abshar Abdalla bahwa kritik terhadap industri ekstraktif sama dengan “ekstremisme” bukan hanya keliru secara politis, tetapi juga mengabaikan relasi dialektis antara manusia dan alam—yang terurai dalam konsep oikeios dari Jason W. Moore, profesor di Universitas Binghamton yang juga koordinator World-Ecology Research Collective. Ulil juga menyatakan bahwa pandangan penolak tambang   sederajat dengan “wahabi” , dalam arti menolak segala yang baru. Dalam “kritiknya”, Ulil menekankan ada kemaslahatan yang didatangkan pertambangan.

Dalam kerangka oikeios, industri ekstraktif tidak dilihat sebagai kebijakan ekonomi, melainkan konfigurasi historis-spasial yang menghancurkan jaringan kehidupan (web of life). Selain membahas industri ekstraktif sebagai gangguan terhadap oikeios, artikel ini juga akan membicarakan tentang kritik ekologis sebagai upaya memulihkan relasi kehidupan, serta kelas penguasa sebagai parasit dalam metabolisme alam-manusia.


Industri Ekstraktif: Penghancuran Oikeios

Moore mendefinisikan oikeios sebagai relasi organik tempat manusia dan alam saling membentuk. Kerangka oikeios mencoba menggugat pemahaman relasi antara “yang-sosial” dan “yang-natural” selama ini. Ia menolak dualisme antara alam dan masyarakat. Moore, pada lembar-lembar Capitalism in the Web of Life, menggugat perspektif yang melihat kehadiran manusia—dan organisasi sosialnya (masyarakat)—sebagai suatu yang bukan “bagian dari alam”, entah sebab dipandang telah jauh melampauinya dengan perkembangan peradaban atau menganggap memang terlepas sejak semula. 

Dalam pendekatan ini, kehidupan sosial, perkembangan, dan evolusi masyarakat secara historis adalah satu dalam mata-rantai metabolisme lingkungan.  Tidak hanya masyarakat manusia “ditentukan” atau “bergantung” pada kondisi material sekitarnya, dalam perkembangannya, mereka juga turut serta mengubah/mentransformasi kehadiran total lingkungan. 

Industri ekstraktif (tambang, sawit, batu bara) memutus relasi ini dengan: pertama, mengubah alam menjadi “commodity frontier”: hutan, tanah, dan air direduksi menjadi input murah untuk akumulasi kapital alih-alih tempat komunitas hidup dan berkembang; kedua, memisahkan kerja-upahan dari ekologi: buruh tambang dan petani sawit dikondisikan untuk melihat alam sebagai “sumber daya”, bukan bagian dari reproduksi kehidupan sehari-hari. Kita melihat bagaimana industri ekstraktif merusak sekaligus mengatur ulang oikeios untuk kepentingan mereka. Oleh para ahli lingkungan kritis, ini kerap disebut dengan keretakan metabolik (metabolic rift)

Maka, ketika Ulil menyebut kritik terhadap situasi perusakan alam sebagai “ekstremisme”, ia tengah mengabaikan fakta bahwa industri ekstraktif adalah bentuk ekstrem dari perusakan oikeios.


Kritik Ekologis: Praksis Memulihkan Oikeios 

Perlawanan masyarakat adat, petani, dan buruh terhadap industri ekstraktif bukanlah “ekstremisme”, melainkan upaya memulihkan relasi oikeios yang dihancurkan kapitalisme. Kita bisa melihat beberapa contoh. Gerakan Warga Maba Sangadji di Maluku Utara yang melawan pertambangan di sungai tempat mereka menggantungkan hidup, misalnya. Ini bukan hanya soal tanah, tetapi mempertahankan mata rantai ekologi yang menghidupi masyarakat adat (serta hutannya) dan pertanian mereka. Kemudian ada aksi buruh tambang di Morowali yang menuntut keselamatan kerja  akibat beberapa insiden kecelakaan setahun ke belakang . Ini  adalah perlawanan terhadap logika ekstraksi yang mengorbankan tubuh manusia dan lingkungan. Kita bisa mengambil contoh perlawanan yang lebih lama dan panjang, misalnya masyarakat di sekitar pertambangan emas Freeport. 

Penolakan dan perlawanan langsung yang dilakukan oleh rakyat menunjukkan bahwa pertambangan bukan sekadar soal “keindahan yang hilang” atau “keaslian yang ternodai”. Ia adalah melawan arena penciptaan nilai tambah demi kelangsungan sirkuit akumulasi kapital. Rakyat menolak sebab basis kehidupan mereka terganggu .

Orang-orang seperti Ulil mudah saja mengatakan bahwa mereka yang menolak tambang berpandangan kuno—atau menolak kehadiran “sesuatu yang tidak dipahami” . Ada pula yang menganggap penolakan itu muncul dari ketidaktahuan terhadap sesuatu yang dianggap “lebih maju” atau “jauh melampaui pengetahuan mereka”. Akan tetapi, anggapan tersebut mengabaikan kenyataan bahwa masyarakat lokal punya pengetahuan ekologis dan relasi historis dengan lingkungan hidup mereka sendiri. Sebagai bagian dari oikeios, tatanan sosiokultural mereka telah lama terjalin dengan lingkungan sekitar, jauh sebelum dirombak aktivitas tambang  —juga  kemunculan permukiman urban (hingga menjadi kota-kota besar) . 

Perubahan memang suatu keniscayaan, tetapi peretakan oikeios yang disruptif dan tiba-tiba yang mengakibatkan ketidaksiapan dan ketidakmampuan transformasi sosial hanya mengakibatkan masyarakat adat terpinggirkan tanpa kepastian arah kehidupan sosial-ekologis mereka ke depannya — memunculkan pandangan di antara mereka untuk mencerabut diri dan mencari jalan keluar masing-masing.

Dalam bahasa Moore, gerakan-gerakan ini adalah “moments of reparation”—upaya mengembalikan keseimbangan metabolisme alam-manusia yang dirusak kapital.


Kelas Penguasa: Parasit dalam Jaringan Kehidupan 

Dalam kerangka oikeios, Ulil termasuk dalam kelompok yang oleh Moore sebut sebagai penganut “human exemptionalism”, yaitu menganggap manusia (terutama mereka sendiri) terpisah dari alam. 

Tapi itu hanya secuil dari posisi Ulil. Dukungan terhadap industri ekstraktif tidak bisa dilepaskan dari fakta bahwa pemerintah mempersiapkan berbagai konsesi wilayah pertambangan secara struktural (legal) bagi ormas-ormas keagamaan. Ini belum termasuk aktor-aktor yang memberikan dana secara langsung ke pesantren. Dalam konteks oikeios, kelas penguasa berperan penting dalam mengorganisasi ulang alam demi tujuan kapitalisme. Mereka adalah salah satu arsitek dari rusaknya oikeios. Di sini, kritik terhadap industri ekstraktif mengemuka sebagai jubah bagi kritik terhadap parasitisme kelas penguasa yang menggerogoti oikeios untuk kepentingan sempit.

Dalam konteks yang lebih luas, para pemuka agama yang mendukung eksploitasi juga membuktikan bahwa fungsi agama itu sendiri salah satunya memang sebagai pengontrol kesadaran massa. Dalam perkembangan industri ekstraktif di Indonesia, represi melalui aparatur kekerasan adalah hal yang terus berulang. Namun represi ini sering kali tidak memicu simpati yang luas. Salah satu penyebabnya adalah keberhasilan kekuasaan dalam mengonsolidasikan kekuatan-kekuatan sosial—termasuk pemuka agama itu tadi—yang mampu membentuk opini umum. Opini ini kemudian cenderung membiarkan dan bahkan membenarkan model ekstraktif yang berlangsung, seolah itu hal wajar demi “pembangunan”. 

Pengonsolidasian “tokoh-tokoh masyarakat” untuk mendukung rezim industri ekstraktif telah menjadi semacam keharusan dalam sejarah bangsa ini. Mereka, yang dalam diskursus ilmu sosial disebut “elite lokal”, merupakan elemen penting dalam menopang kekuasaan. 

Hal ini tak terlepas dari kenyataan bahwa kita belum sepenuhnya bebas dari warisan kolonial yang feodal, yang memandang hormat mereka yang dianggap punya status sosial lebih tinggi dari orang kebanyakan. Banyak elite memegang pengaruh sosial-politik yang kuat dengan basis berupa “bawahan-bawahan” atau massa yang tunduk. Ini umum terjadi di masyarakat yang tingkat kritisnya masih rendah— efek dari sistem pendidikan yang gagal meningkatkan kesadaran umum.

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.


Kritik adalah Titik Balik Oikeios

Tuduhan “ekstremisme” yang dilontarkan oleh Ulil terhadap gerakan anti-tambang bukan hanya keliru secara konseptual, tetapi juga merupakan bentuk kekerasan epistemik yang berupaya meminggirkan nalar dan pengalaman ekologis-politik rakyat. Ia mencerminkan posisi kelas penguasa yang menjelma sebagai perpanjangan tangan dari logika ekstraktif kapitalisme.

Dengan bingkai oikeios, kita memahami bahwa kehidupan manusia tidak bisa dipisahkan dari jaringan kehidupan alam. Kapitalisme menghancurkan jaringan ini dengan cara memisahkan kerja dari ekologi, dan menjadikan alam sebagai ladang akumulasi nilai yang tak berkesudahan. Industri ekstraktif adalah ekspresi paling brutal dari keretakan ini.

Perlawanan-perlawanan muncul di tengah kehancuran yang sedang terjadi, dari warga Maba Sangadji hingga buruh Morowali, dari masyarakat adat pedalaman Halmahera hingga berbagai komunitas yang berjuang mempertahankan tanah, laut, dan hutan mereka. Gerakan-gerakan ini bukan sekadar bentuk “penolakan”, tetapi praktik politik kehidupan. Mereka adalah ekspresi praksis ekologis yang bertujuan memulihkan metabolisme sosial-alamiah yang telah diretas oleh kapitalisme. Mereka adalah “moments of reparation” yang lahir dari tubuh dan pengalaman konkret.

Perlu diingat pula bahwa kerusakan ekologis di Indonesia berkelindan dengan struktur sosial-politik warisan kolonial dan Orde Baru. Ia melanggengkan dominasi elite lokal dan pemuka agama dalam menjaga keberlanjutan proyek ekstraktif. Selama formasi ini tak diganggu, rakyat akan terus menjadi korban; dan relasi oikeios akan terus dihancurkan demi kepentingan segelintir.

Oleh karena itu, tugas kita bukan hanya menyuarakan kritik, tetapi membangun basis politik alternatif—politik yang berpijak pada kehidupan, bukan keuntungan. Politik yang mengakui dan melanjutkan nalar ekologis rakyat, bukan mengutuknya sebagai “ekstrem”. Dalam arti inilah kritik ekologis bukan sekadar argumen, tapi jalan untuk menyelamatkan web of life yang tersisa.

Kapitalisme tidak sekadar “mengalami” krisis ekologis—ia adalah krisis itu sendiri, kata Moore. Maka, merawat dan memulihkan oikeios bukan hanya tindakan ekologis, tapi juga revolusioner. Sebab di sanalah hidup bisa dimulai kembali—bersama rakyat, bersama alam, dan bersama dunia yang layak huni.


Miftahulrahman Bahas, mahasiswa Universitas Nasional Jakarta

]]>
Mengembalikan Diskursus Agraria pada Tempatnya https://indoprogress.com/2024/03/mengembalikan-diskursus-agraria-pada-tempatnya/ Thu, 21 Mar 2024 16:27:47 +0000 https://indoprogress.com/?p=238042 Foto: Routledge


Judul: Capitalism and Agrarian Change: Class, Production and Reproduction in Indonesia

Penulis: Muchtar Habibi

Halaman: xviii + 264

Penerbit: Routledge


PERUBAHAN AGRARIA (agrarian changes) adalah satu dari sekian subjek pembahasan dalam diskursus ilmu sosial yang kurang diminati. Di Indonesia memang terdapat diskursus yang cukup berkembang dan diminati dari kategori agraria, yaitu konflik agraria, tetapi cenderung hanya membahas perampasan lahan pertanian dan ruang hidup perdesaan. Sasaran kajiannya adalah korporasi/perusahaan di sektor pertanian kapitalis/industri ekstraktif, yang memaksakan pelepasan lahan untuk akumulasi kapital.

Diskursus yang membawahi perubahan agraria meliputi aspek yang lebih luas dari itu, dan konteks di mana kepentingan akumulasi kapitalis tidak hanya muncul dari entitas perusahaan besar dengan modal gabungan yang berlimpah.

Muchtar Habibi, dalam bukunya Class and Agrarian Changes Under Capitalism, telah memberi ruang bagi perluasan diskursus perubahan agraria di Indonesia, mengingat sebagian besar kehidupan sosial masyarakat kita masih berada dalam hubungan agraris. Perubahan agraria adalah topik diskursus yang mencakup corak dan mekanisme dalam perubahan lingkup agraris/pertanian, dari eksposisi kondisi-kondisi historis untuk menjelaskan interaksi akumulasi kapitalis dengan hubungan sosial produksi pertanian dan bagaimana hal tersebut ikut serta mentransformasinya (Habibi, 2023: 3-4).

Habibi mencoba menyampaikan bahwa dinamika kelas sangat penting untuk memahami konteks kehidupan sosial masyarakat agraris. Ini karena kehidupan masyarakat agraris berangkat dari hubungan (sosial) antar kelas dan kedudukan kelas-kelas yang terlibat dalam proses produksi pertanian. Sebagai contoh, ia menyebutkan,

Tanpa perhatian [khusus pada dinamika kelas–pen] ini, akan ada kegagalan dalam mengakui keberadaan hubungan majikan-pekerja di antara kaum tani/kaum pemilik kecil dalam masyarakat kapitalis… Kondisi ini telah mengesampingkan hubungan-hubungan eksploitatif antara kelas bermilik dalam lingkup pertanian (petani-kapitalis dan tuan tanah kapitalis) yang mana kepemilikan besar mereka atas sarana produksi (terutama tanah [lahan pertanian]) telah memungkinkan mereka untuk mengendalikan tenaga kerja kelas sosial lain dan kelas-kelas pekerja [atau dalam buku ini disebut classes of labour] (farmers-cum-workers) yang walaupun memiliki sedikit lahan, namun tetap harus menjual tenaga kerja mereka sepanjang tahun agar dapat hidup subsisten. (Habibi, 2023: 3-4)

Untuk membuktikan pandangan ini, Habibi menganalisis dua kasus, alih-alih membandingkannya: Desa Njomplang dengan produksi beras, dan Desa Timpang dengan produksi sawit. Dua kasus ini merupakan dua perwujudan formasi-sosial agraria yang berbeda proses sejarahnya. Njomplang adalah desa yang produksi pertaniannya aktif sejak lama. Di sisi lain, Timpang terbentuk dari beberapa proses migrasi ke wilayah yang sebelumnya tidak berpenghuni.

Analisis terhadap dua kasus formasi-sosial agraris yang berbeda itu membawanya pada kesimpulan bahwa formasi kelas agraria di Indonesia dapat dibagi dalam tiga kelas utama: (1) petani kapitalis/tuan tanah kapitalis [capitalist-farmer/‘landlord-capitalist’], (2) petty commodity producer (PCP), dan (3) kelas buruh. Tuan tanah kapitalis telah lama ada, hadir dalam formasi-formasi sosial di perdesaan yang merupakan transformasi dari bentuk pra-kapitalis. Habibi lebih jauh memaparkan konteks bagian dari keberlangsungan dinamika kelas agraris; hubungan antar kelas dalam proses produksi dan proses serta produksinya itu sendiri, serta reproduksi sosial tiap-tiap kelas agraris yang tidak terlepas dari hubungan antar kelas juga.

Argumen Habibi ini adalah sebuah upaya untuk membantah kerangka pemahaman tradisi neo-populis dalam permasalahan agraria. Menurutnya, tradisi ini telah menjadi arus utama dalam penjelasan teoretis dan praktik aktivisme isu-isu agraria di Indonesia; bahkan telah diadopsi oleh organisasi-organisasi seperti Konsorsium Pembaharuan Agraria (KPA) dan Serikat Petani Indonesia (SPI). Dalam ranah teori, intelektual seperti Noer Fauzi Rachman menurutnya merupakan salah satu representasi pembawa tradisi neo-populis ini yang cukup berpengaruh–melalui karyanya Petani dan Penguasa yang diterbitkan pada 1999.

Dominasi neo-populis menurutnya merupakan konsekuensi dari ketidakhadiran tradisi intelektual berbasis analisis ekonomi-politik marxis yang kuat, dan di saat bersamaan maraknya perampasan lahan (melalui pengambilan paksa atau penjualan secara paksa) atas lahan-lahan pertanian produktif dan ruang hidup di perdesaan yang melibatkan korporasi-korporasi pertanian-kapitalis dan industri ekstraktif dengan dukungan (baik itu langsung maupun tidak langsung) negara di periode pasca-Reformasi.

Kontradiksi utama yang diamini pandangan ini adalah bahwa, berdasarkan fenomena perampasan utamanya di luar Jawa, negara dan kepentingan korporasi diposisikan berada di seberang kepentingan kaum tani, atau peasantry (Habibi, 2023: 41). Kaum tani dari sudut pandang tradisi neo-populis diasumsikan sebagai entitas homogen dengan kepentingan yang sama. Menurut Habibi, presuposisi ini tak lain adalah kelanjutan dari ideologi romantis warisan Orde Baru yang melihat kehidupan perdesaan/agraria sebagai kehidupan yang harmonis dan egaliter, juga dihiasi kehidupan yang serba gotong royong.

Habibi menjelaskan bahwa kenyataan khusus masyarakat perdesaan mesti dipahami dari sudut pandang historisitasnya sebagai titik berangkat melihat kompleksitas kaum tani sebagai suatu kelompok.

Walaupun kaum tani di negeri-negeri maju telah bertransformasi menjadi petani dan pekerja semasa transisi kapitalis, di dunia pinggiran, transformasi ini utamanya terjadi pada masa penjajahan… Terdapat argumen hari ini bahwa dunia pinggiran hanya sedang mengalami ekspansi dan pendalaman hubungan-hubungan sosial kapitalis di sektor pertanian yang dipelopori gelombang neoliberal. Mengingat bahwa ‘akumulasi primitif’ telah terlebih dahulu terjadi pada era penjajahan, proses ekspansi kapital belakangan ini sering kali menghantarkan diferensiasi kelas secara lebih jauh lagi terhadap petani/pemilik kecil atau perampasan melalui pemindahan [paksa] atau kedua-duanya (Habibi, 2023: 12).

Untuk lebih lanjut membahas soal dinamika hubungan sosial perdesaan, yang kemudian mengemukakan dinamika sosial kehidupan sektor pertanian, Habibi mendedikasikan satu bab khusus, yakni Bab 5, Class Dynamics of Agrarian Change in Java and Sumatra (hal. 89-140). Dalam bab inilah ia mengupas permasalahan peninjauan homogen kaum tani dari sudut pandang dinamika hubungan sosial-produktif lapisan kelas di kedua lokasi/kasus penelitiannya. Suatu upaya yang menurutnya, “Unlike previous studies of agrarian class which tend to treat a class without any several different groups inside it, this chapter shows the internal complexity of class categories.” (Habibi, 2023: 89). Di Njomplang, misalnya, skema bagi-hasil (sharecropping) lebih dipengaruhi konteks kepemilikan lahan dibanding nilai jual. Sedangkan di Timpang, perbedaan penguasaan lahan tidak begitu timpang dan skema bagi-hasil tidak begitu berarti (Habibi, 2023: 90).

Proses perubahan agraria yang memang memungkinkan keadaan disposisi banyak ‘kaum tani’ dari lahan garapannya, menurut Habibi, juga tidak bisa dijelaskan dengan kategori akumulasi primitif, jika merujuk pengartian ortodoksnya sebagai prasyarat perkembangan kapitalisme. Ia mendasarkan penjelasannya dengan terlebih dahulu membentuk kerangka ‘kapitalisme di Indonesia’, yang dibahas di Bab 2, Exposing Class Dynamics of Agrarian Change Under Capitalism (hal. 12-40) dan Bab 3, Agrarian Change in Indonesia and the State (41-75), terkhusus dalam sub-bab mengenai akumulasi primitif (hal. 41-44). Menggunakan pemaparan dari tradisi Western Marxism, khususnya merujuk Robert P. Brenner, Henry Bernstein, Ellen M. Wood, dll., Habibi memposisikan pandangan yang menggambarkan ‘model umum perkembangan kapitalisme’ di mana akumulasi primitif menandai perkembangan penting untuk membentuk keutamaan kapitalisme dan Indonesia yang ‘belum sepenuhnya kapitalis’ karena belum menjalankan proses tersebut. Fenomena perampasan yang meluas dilihat sebagai penanda perkembangan kapitalisme Indonesia (Habibi, 2023: 41-42).

Akumulasi primitif, menurut Habibi, telah terjadi sejak jaman penjajahan Belanda (Habibi, 2023: 41-43). Akan tetapi, yang perlu dipahami, menurutnya model perkembangan kapitalisme Inggris, di mana akumulasi primitif diikuti oleh disposisi dan proletarisasi besar-besaran, bukanlah determinan umum yang terjadi dalam perkembangan kapitalisme di tiap-tiap negara.

Contoh lain dari perkembangan spesifik kapitalisme adalah Amerika. Pertanian kapitalis di sana berkembang melalui masuknya para petani-petani kecil (kepemilikan terbatas) pada hubungan komoditas dari desakan mekanisme pasar, yang pada akhirnya membentuk pembeda-bedaan kelas–yang lemah, tidak berhasil akhirnya kehilangan tanah dan semakin mengandalkan penggunaan tenaga kerjanya sendiri untuk digunakan dalam menggarap lahan mereka yang lebih berhasil dan mampu melakukan ekspansi penguasaan lahan mereka. Model Amerika berkembang lebih pelan, memasuki era kapitalisme agraris secara lebih menyeluruh (sebagai pembanding, lihat Henry Bernstein, Class Dynamics of Agrarian Change, vol. 1, Kumarian Press, 2012: 2).

Habibi menempatkan perkembangan kapitalisme di Indonesia ke dalam corak perkembangan kapitalisme di dunia pinggiran (peripheral world), dan dengan pengertian lain atas kapitalisme sebagai suatu sistem ‘generalized commodity production’ di mana hubungan komoditas telah menjadi faktor dominan yang menentukan apa yang harus diproduksi serta reproduksi para produsennya sendiri, dalam hal ini produsen pertanian (Habibi, 2023: 6-7, 12-16, 23-24, 29-30). Periode penjajahan Belanda, walau tidak menciptakan proletarisasi yang luas, telah melangsungkan proses akumulasi primitif di mana hubungan pra-kapitalis di perdesaan telah digantikan dengan relasi-sosial kapitalis yang berbasis pada hubungan komoditas dan mekanisme pasar. Oleh karenanya, asumsi tengah berlangsungnya proses primitive accumulation dalam perampasan lahan pertanian untuk diberikan pada entitas korporasi tidak bisa dibenarkan, karena produksi pertanian di Indonesia telah terlebih dahulu ditransformasi menjadi produksi kapitalis.

Habibi juga menyinggung tesis ‘semi-feodal’ (Habibi, 2023: 12) yang memposisikan kehidupan perdesaan, produksi-pertanian, masih berada dalam cengkraman hubungan produksi feodal. Bantahan terhadap kerangka ini berangkat dari proposisi yang sama, walau harus menyinggung permasalahan masih adanya ‘sisa-sisa hubungan warisan feodalisme.’ Masih berlangsungnya bentuk corak produksi tertentu tidak bisa diinterpretasi hanya dari kehadiran kelas, walau telah bertransformasi, dari hubungan produksi pra-kapitalis.

Kondisi semi-feodal, jika diterjemahkan sekadar sebagai keadaan di mana interaksi kelas feodal berubah dalam kerangka kapitalisme walau tetap mempertahankan bentuk interaksi keseharian dalam kehidupan sosial, masih mungkin untuk dibenarkan. Tetapi, ini tidak bisa dinarasikan sebagai corak produksi yang berlangsung dengan mendasarkan pada masih adanya kelas-kelas ‘tuan tanah’ dan skema-skema ‘bagi hasil’ menyerupai hubungan produksi feodal.

Apa yang telah dipaparkan oleh Habibi dalam karya ini kemudian juga dapat dipahami merupakan suatu upaya teoretis untuk mendorong agenda pembakuan penjelasan perkembangan dan perubahan terhadap dinamika hubungan sosial produksi di sektor agraria di Indonesia; pertanian dan ekstraksi–yang dilakukannya dengan menggambarkan kedudukan kelas (class location) di dua desa tersebut, meliputi kesejarahan kepemilikan tanah, komposisi kelas, sifat kelas yang berkuasa, posisi classes of labour dan kasus PCP; dijelaskan dalam sub-bab soal kedudukan kelas pada Bab 5 (hal. 89-117). Tujuan utamanya berkaitan dengan polemik dengan tradisi neo-populis terkait kategori umum ‘kaum tani’. Menjawab idealisasi kategori ‘kaum tani’, Habibi menunjukkan bahwa dalam kehidupan sehari-hari di lingkup produksi pertanian formasi kelas agraria yang dipaparkannya memiliki pertentangan-pertentangan internal sendiri berdasarkan hubungan/interaksi di ranah produksi dan kedudukan masing-masing kelas dalam pembagian kerja formasi kelas produksi pertanian.

Dari penyelidikan terhadap dinamika kelas pada dua kasus di atas, Habibi menemukan, misalnya untuk kasus Njomplang, bagaimana terdapat bagian dari ‘petani semi-proletar’ dan ‘petani proletar’, bagian dari kelas buruh harus bergantung pada skema bagi hasil dengan kelas ‘tuan tanah-kapitalis’ agar dapat melangsungkan reproduksi sosial karena hasil panen dari lahan mereka sendiri, disebut Habibi sebagai panen “own-account”, tidak dapat mencukupi kebutuhan sehari-hari tanpa di saat bersamaan menjual tenaga kerja mereka menggarap lahan pertanian milik orang lain.

Ada juga soal bagaimana para PCP cukup berbeda dalam dua kasus tersebut, di mana di Timpang mereka tidak perlu bergantung pada kelas ‘tuan tanah-kapitalis’ sebagai cara tambahan penghasilan; dan justru sebaliknya, di mana di Njomplang hal ini lebih wajar karena nilai jual komoditas yang diproduksi amat jauh berbeda. Tidak terlepas pula bagaimana kelas ‘petani kapitalis birokrat-politik’, bagian dari kelas ‘petani kapitalis’, berinteraksi secara cukup berbeda dengan kelas-kelas lainnya karena mempertimbangkan keberlangsungan jabatan administrasinya dalam institusi pemerintahan desa.

Pada momen-momen kepentingan kelas yang bertentangan satu sama lain, antara kepentingan ‘petani kapitalis’/’tuan tanah-kapitalis’  berhadap-hadapan dengan kepentingan kelas buruh; seperti dalam penyikapan isu produktivitas tanah; di mana perluasan penggunaan mesin, perubahan dalam skema bagi hasil, permasalahan upah buruh-tani, atau mengenai ketersediaan kredit/utang, kedua kelas tersebut berposisi atau bersikap berbeda. Antagonisme ini mungkin meningkat menjadi suatu bentuk perjuangan kelas yang lebih tampak.

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.

Adalah suatu kesimpulan parsial ketika dinamika kelas dikesampingkan dalam memahami kehadiran para produsen pertanian. Argumen homogenitas ‘petani’ hanya dapat bertahan sejauh permasalahan agraria didudukkan sekadar pada fenomena perampasan/pengambilalihan lahan pertanian yang melibatkan korporasi dalam cengkeraman mesra negara. Pandangan ini menjadi luntur juga ketika kenyataan bahwa negara tidak selalu bersikap ‘anti’ pada petani sebagai agensi produksi pertanian secara menyeluruh. Sektor produksi beras merupakan salah satu yang mendapat perhatian lebih pemerintah, dan hubungan negara dengan kelas-kelas dalam sektor produksi ini tidak melibatkan entitas korporasi, walau tentunya dukungan utama negara diberikan pada kelas-kelas yang berkuasa di tingkat perdesaan –kelas petani kapitalis/‘tuan tanah-kapitalis’.

Terlebih lagi, sudut pandang neo-populis melihat petani Indonesia secara umum masih merupakan ‘peasantry’ yang hidup secara subsisten dari hasil sendiri. Ini hanya bisa dibenarkan ketika kita bisa membuktikan bahwa jumlah PCP yang ada merupakan elemen mayoritas dalam formasi kelas yang ada. Komposisi kelas yang dipaparkan oleh Habibi menemukan bahwa kenyataannya PCP tidak berjumlah lebih banyak, bahkan populasinya jauh di bawah jumlah kelas buruhkelas-kelas agraria dengan lahan sangat terbatas atau tidak bertanah sama sekali.

Perspektif arus utama dalam permasalahan agraria sudah semestinya diperdebatkan, dibantah, lalu dibuang ke selokan. Narasi agraria neo-populis sudah semestinya digantikan dengan narasi yang tidak mengesampingkan persoalan kelas dan dinamika dari kehidupan produksi yang terjadi di sektor agraria.

Apa yang telah dibawakan oleh Habibi adalah langkah awal yang tepat dalam merespons masa depan pergerakan reforma agraria secara khusus dan perjuangan kelas massa-rakyat pekerja secara umum, yang tidak mengesampingkan kelas-kelas agraria dari kekeliruan pemahaman formasi kelas mereka. Walau pemaparannya tidak secara langsung memberi preskripsi strategi untuk perjuangan agraria, ia telah menunjukkan posisinya terkait masalah ini. Pandangan Habibi soal pergerakan agraria memosisikan keperluan untuk pengorganisasian classes of labour dalam pertarungan kelas mereka di tingkat hubungan produksi langsung berhadap-hadapan dengan kelas-kelas penguasa di desa-desa.

Ia melihat bahwa upaya terdahulu yang pernah dilakukan oleh Barisan Tani Indonesia (BTI) dan Sentra Organisasi Buruh Seluruh Indonesia (SOBSI) melalui afiliasi organisasi buruh taninya, Sarekat Buruh Perkebunan Republik Indonesia (Sarbupri), merupakan model yang harus dicapai kembali terlebih dahulu sebelum upaya serius apa pun dalam perjuangan kelas pekerja pertanian dapat dilancarkan (Habibi, 2023: 44-45). Hal ini meski dilakukan sebab kelas buruh di perdesaan telah lama berada pada situasi tanpa pengalaman perjuangan, kesadaran kelas, dan keyakinan politik yang memadai. Hal-hal ini tidak dapat hadir secara tiba-tiba kecuali melalui pengalaman pengorganisasian dalam organisasi-organisasi kelas mereka sendiri.

Pemaparan Habibi di sini tidak bisa diberi beban sebagai interpretasi teoretis mutakhir yang akan membawa perjuangan menuju titik kemenangan. Walau demikian, kenyataan bahwa praksis perjuangan tidak hanya membutuhkan penjelasan teoretis, namun juga interpretasi langkah-langkah yang diperlukan, adalah sesuatu yang tidak bisa tidak ditemukan.

Terkait pembahasan pengorganisasian kelas buruh di perdesaan, Habibi membahasnya dalam bagian perjuangan kelas dan konteks hubungan kelas kontemporer dalam sub-bab kedudukan kelas Bab 5 (hal. 117-132). Oleh karenanya, karya Habibi ini bisa kita maknai sebagai permulaan untuk menguatkan pergerakan dengan basis teori yang konkret, jelas, dan menyeluruh.


Miftahulrahman Bahas adalah Mahasiswa S1 Ilmu Politik Universitas Nasional, Jakarta.

]]>