Made Supriatma – IndoPROGRESS https://indoprogress.com Media Pemikiran Progresif Fri, 14 Jun 2024 07:37:20 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.4.3 https://indoprogress.com/wp-content/uploads/2021/08/cropped-logo-ip-favicon-32x32.png Made Supriatma – IndoPROGRESS https://indoprogress.com 32 32 Profesor Kangkong https://indoprogress.com/2024/06/profesor-kangkong/ Thu, 13 Jun 2024 09:58:29 +0000 https://indoprogress.com/?p=238196 Ilustrasi: Ilustruth


PEMBAHASAN bertubi-tubi tentang kondisi dunia akademik Indonesia membuat saya teringat pada satu istilah yang populer di negeri jiran, Malaysia. Istilah itu adalah “profesor kangkong”. Istilah tersebut pertama kali diberikan oleh seorang akademisi dan intelektual papan atas Malaysia, Syed Hussein Alatas. Beliau adalah sosiolog yang kajiannya tentang sosiologi korupsi menjadi acuan di mana-mana. Selain itu, beliau adalah seorang intelektual publik. 

Saya sengaja ingin menegaskan di sini bahwa akademisi dan intelektual itu berada dalam dua tarikan napas yang berbeda. Tidak semua akademisi adalah intelektual dan, tentu saja, tidak semua intelektual adalah akademisi. Persatuan antara keduanya sesungguhnya sangat jarang. Tapi ini adalah topik lain. 

Lalu, mengapa “profesor kangkong”? Syed Hussein Alatas memberikan gelar ini untuk para akademisi  “who are ‘devoid of knowledge to the core’ and whose claim to be scholars and thinkers are undeserved.” Artinya, akademisi yang pengetahuannya kosong hingga ke bulu-bulunya dan klaimnya sebagai sarjana atau pemikir sungguh tidak pantas ia sandang! Ini adalah sebuah sergahan yang keras sekali. Ia mengandung makna yang dalam karena Malaysia di mata Prof. Alatas memiliki terlalu banyak doktor dengan keterampilan akademik yang medioker. 

Singkat kata, seorang profesor kangkung adalah akademisi otak kosong. Di Malaysia dan banyak negara lain, akademisi secara otomatis adalah seorang profesor. Lebih menukik lagi, gelar profesor kangkung ini dikenakan kepada mereka yang ke mana-mana menggendong gelar PhD atau doktor namun tidak memiliki pengetahuan yang cukup untuk pantas menyandang gelar itu. 

Saya sebenarnya agak keberatan dengan sebutan kangkong (kangkung) itu. Sayuran yang rendah hati ini sesungguhnya jauh berguna ketimbang pada profesor dan doktor kopong itu. Tapi, baiklah. Kita pakai saja karena enak didengar dan punya sinisme yang cukup kuat. 

Dr. Sharifah Munirah Alatas, yang kebetulan adalah putri dari Syed Hussein Alatas, pernah mengulas persoalan ini dalam sebuah kolom di sebuah koran lokal berbahasa Inggris di Malaysia. Dr. Sharifa sedikit banyak mengonfirmasi pengamatan ayahnya, yakni terlalu banyak doktor yang tidak memiliki kompetensi dan tidak pantas menyandang gelar sebagai doktor. Dia menyebutnya sebagai “vacuous mind” atau ‘pikiran kosong’. 

Mereka memiliki gelar PhD, tulis Dr. Sharifa, namun sering kali tidak punya kemampuan berpikir kritis. Banyak juga yang sadar akan kedunguannya namun tidak melakukan apa-apa untuk memperbaiki diri. Akhirnya, yang bisa mereka lakukan adalah berpolitik di kampus, membuat jaringan patronase, bertingkah laku toksik, dan menghalalkan segala cara untuk meningkatkan karier mereka.  

Menjadi doktor perlu biaya yang mahal. Selain itu perlu waktu panjang dan pengorbanan yang tidak sedikit. Namun, lapangan pekerjaan di universitas untuk lulusan doktor ini juga tidak banyak. Jadi banyak dari doktor yang seharusnya mengajar di universitas atau melakukan riset ini tidak tertampung di dunia akademik dan di dunia kerja pada umumnya. 

Namun, bagaimanapun para doktor ini diperlukan untuk menunjang sistem pendidikan. Mereka inilah yang akan meneruskan pengetahuan ke generasi muda. Persoalannya adalah ketika posisi-posisi mengajar ini diisi oleh para “vacuous minds” ini, yang kemudian membiakkannya atau membuat keturunan“vacuous minds” kuadrat!  

Terus terang, saya melongo membaca tulisan Dr. Sharifa itu. Sambil membaca itu, bayangan saya menerawang ke dunia akademis di Indonesia. Apakah negeri ini lebih baik dari Malaysia? Tahun-tahun 1970-an, Malaysia mengirim banyak mahasiswa ke Indonesia, Anwar Ibrahim, yang sekarang menjadi PM Malaysia, adalah salah satunya. Namun, kini keadaan berbalik. Kitalah yang belajar ke Malaysia. 

Pertanyaan saya agaknya salah. Soalnya bukanlah apakah kita lebih baik dari Malaysia, tetapi, seberapa parahkah dunia akademis kita? Seberapa banyakkah dari profesor dan doktor kita yang berkualitas “kangkong”? Saya kira, tidak hanya “profesor kangkong”, bahkan kita punya “profesor benalu” yang memerah dunia akademik, memanfaatkan celah-selah persyaratan meraih gelar akademik, untuk keuntungan pribadinya. 

Beberapa waktu yang lalu, ada perbincangan ramai di media bahwa seorang profesor dalam negeri mencatut nama profesor di Malaysia dan mencantumkan namanya sebagai penulis peserta (co-author) dalam sebuah artikel yang diterbitkan di sebuah jurnal. Profesor di Malaysia tersebut tidak pernah diajak dalam penelitian dan tidak pula menulis. Namun, ajaibnya, namanya ada di dalam sebuah jurnal bersama profesor dari Indonesia itu. 

Sang profesor ini pun rupanya juga sangat produktif. Sebelum hilang dari peredaran, akun Google Scholar dari profesor ini memperlihatkan bahwa untuk tahun 2024 ini saja dia sudah mempublikasikan 160 judul karya! Padahal tahun ini belum setengahnya berlalu. 

Tidak itu saja. Saya mengintip beberapa jurnal di mana sang profesor kita ini menulis. Saya ambil random saja, seperti Journal of Social Science (sic! singular!). Saya tertarik karena tidak saja jurnal ini banyak menerbitkan karya sang profesor namun juga karena nama jurnalnya adalah Journal of Social Science, ilmu yang saya tekuni. 

Walaupun berbahasa Inggris, URL jurnal ini adalah (dot)id yang jelas sekali menunjukkan bahwa laman web jurnal ini memiliki host di Indonesia. Jurnal ini bisa diakses secara gratis. Artinya, siapa saja bisa membaca artikel-artikel yang ada di dalamnya secara cuma-cuma. Hanya saja, jurnal ini mengenakan apa yang namanya article processing charge (APC) atau biaya memproses artikel. Besarnya US$470 atau Rp7 juta per artikel. 

Jurnal ini memiliki editor in chief (editor kepala) bernama Chiska Nova Harsela dari Politeknik Siber Cerdika Internasional, Indonesia. Ini adalah sebuah institusi pendidikan di Cirebon yang mengaku sebagai sekolah siber pertama di Indonesia. 

Saya memeriksa artikel terindeks Scopus dari editor kepala jurnal ini. Dia hanya memiliki satu publikasi berjudul “The Effect of Leadership Styles and Organizational Culture on Employee Performance at PT Muda Kaya Mendunia (MKM)”. Saya sengaja memakai Google Translate untuk menerjemahkan judulnya karena penerjemahan awalnya dari bahasa Indonesia ke Inggris bisa jadi memakai aplikasi ini. Hasilnya adalah “Pengaruh Gaya Kepemimpinan dan Budaya Organisasi Terhadap Kinerja Karyawan PT Muda Kaya Mendunia (MKM).” Artikel ini dikarang bersama tiga penulis lainnya. 

Dalam artikel Scopus tersebut, sang editor kepala ini masih mencantumkan Universitas Swadaya Gunung Jati, Cirebon, sebagai afiliasi institusionalnya. Ini berbeda dengan afiliasinya di Journal of Social Science. Namun, saya menemukan akun Instagram atas nama yang sama. Dan di akun Instagram ini, nama yang sama tersebut mencantumkan bahwa dirinya adalah President Director of @syntaxcorporation. Dari akun Instagram-nya, ada posting bahwa dia baru saja wisuda S2, entah dari universitas mana namun ada di Indonesia. 

Saya melihat bahwa Syntax Corporation ini memang ada dan memiliki kantor di Cirebon. Bidang usahanya berbagai macam, termasuk salah satunya dalam publikasi buku dan jurnal. Syntax Corporation adalah penerbit berbagai macam jurnal, salah satunya adalah Jurnal Syntax Admiration. Jurnal (sic!) ini diterbitkan oleh Ridwan Institute. Agaknya, Ridwan Institue ini masih berhubungan dengan Dr. Taufik Ridwan M.Hum, pemilik dari Syntax Corporation. Yang lebih menarik lagi, sang editor kepala dari Journal of Social Science ini adalah istrinya. 

Journal of Social Science mengklaim memiliki dewan editorial dari banyak negara. Salah satunya adalah A Said Ziani dari Mohammed V University dari Rabat, Maroko. Secara iseng saya melihat profil akademik A Said Ziani ini. Saya klik artikel Scopusnya. Tulisan pertama dari Ziani berjudul “Time-scale image analysis for detection of fetal electrocardiogram.” Atau: Analisis gambar skala waktu untuk mendeteksi elektrokardiogram janin. Lalu, apa hubungannya dengan ilmu sosial? Saya tidak tahu. 

Sebuah jurnal terindeks Scopus lain yang juga menarik perhatian saya adalah Budapest International Research and Critics Institute-Journal (BIRCI-Journal). Dari namanya terlihat jurnal ini berbobot sangat internasional. Budapest adalah Ibu Kota Hungaria. Tentu jurnal ini terbit di Eropa bukan? Salah sama sekali. 

Dari kontak yang tertera di jurnal ini, ia dipublikasi dari sebuah perumahan di Bandar Klippa, Percut Sei Tuan, Kabupaten Deli Serdang, Sumatra Utara. Editor Kepala-nya bernama Muhammad Ridwan. Dari Scopus-nya kita tahu bahwa yang bersangkutan adalah pengajar di Universitas Islam Negeri Sumatera Utara. Ia telah menulis 10 artikel terindeks Scopus

Jurnal ini juga memiliki seorang asisten editor kepala. Posisi ini dijabat oleh Prof. Vladimir A. Tregubov dari Peoples Friendship University, Moskow, Rusia. Saya tidak berhasil secara definitif menemukan siapa sebenarnya Prof. Tregubov ini. Yang jelas saya tahu adalah bahwa People’s Friendship University itu dulu dikenal dengan mana Patrice Lumumba University, di mana banyak orang Indonesia dikirim belajar ke sana pada masa Soekarno. Ada nama yang sama terdaftar pada St. Petersburg University. Namun, Prof. Tregubov di sini adalah seorang ahli teknik.

Nama Prof. Vladimir A. Tregubov ini juga muncul di jurnal lain yang bernama LingLit Journal: Scientific Journal for Linguistics and Literature. Muhammad Ridwan menjabat sebagai chief executive office (sic!) pada jurnal ini. Editor kepalanya adalah Dr. Yusni Khairul Amri dari Universita Muhammadiyah Sumatera Utara. Asisten Editor kepala dijabat oleh Bantalem Derseh Wale, PhD., Doctor of English Language Teaching, Injibara University, Ethiopia. Para editornya berasal dari berbagai negara dengan jabatan-jabatan mentereng seperti mengepalai sebuah kantor dari badan PBB, UNESCO. 

LingLit Journal sendiri dipublikasikan oleh sebuah lembaga yang bernama Britain International for Academic Research (BIAR). Karena namanya Britain, tentunya ia adalah lembaga yang berasal dari Inggris, bukan? Salah lagi. BIAR adalah penerbit yang menerbitkan banyak jurnal. Dalam situs webnya, ia mengklaim bahwa ia adalah:

Jurnal peer-review (seharusnya: peer-reviewed, MS) yang diterbitkan pada bulan Februari, Juni dan Oktober yang memuat makalah-makalah di bidang humaniora: bahasa dan linguistik, pendidikan, sejarah, sastra, seni pertunjukan, filsafat, agama, seni visual. Ilmu-ilmu sosial: ekonomi, antropologi, sosiologi, psikologi, geografi, studi budaya dan etika, studi gender dan seksualitas, studi wilayah, arkeologi, ilmu kedokteran, ilmu pertanian, ilmu biologi, ilmu teknik, ilmu eksakta dan bidang terkait lainnya dan diterbitkan baik dalam versi online maupun cetak.

Ia menerbitkan banyak jurnal, antara lain Rowter Journal yang membahas soal-soal ekonomi, perdagangan, mata uang, dan lain-lain; Matondang Journal, membahas kebudayaan, agama, bahasa, dan pendidikan; Economit Journal: Scientific Journal of Accountancy, Management and Finance; Polit Journal Scientific Journal of Politics; Lakhomi Journal Scientific Journal of Culture; Britain International of Exact Sciences (BIoEx) Journal; Britain International of Humanities and Social Sciences (BIoHS) Journal, dan masih ada beberapa lagi. 

Konglomerasi jurnal dengan nama-nama keren ini berpusat di tempat yang sama dengan BIRCI, yakni di Bandar Klippa, Percut Sei Tuan, Kabupaten Deli Serdang, Sumatra Utara. Dan, yang lebih keren lagi, BIAR ini juga mengaku memiliki kantor cabang di Marburg, Jerman, tepatnya di Rheinstrasse, 55413 Neiderheimbach am Rhein, Germany. 

Nama yang muncul dari setiap jurnal di bawah konglomerasi ini adalah nama yang sama, yakni Muhammad Ridwan. Demikian juga rekening bank yang tercantum pada situs webnya ada dua jenis, yaitu rekening BRI atas nama sebuah yayasan dan rekening Bank Mandiri atas nama Muhammad Ridwan sendiri. 

Jurnal-jurnal ini menarik bayaran (fee) untuk penerbitan sebuah artikel. Untuk Matondag Journal, misalnya, fast-track review memakan beaya US$85.00; publikasi artikel online: US$40.00; cetak US$20.00. 

Saya tidak tahu seberapa absah jurnal-jurnal. Saya memang tidak sempat mengecek nama-nama para editornya dengan menghubungi mereka secara langsung. Namun, saya melacak jejak-jejak publikasi mereka di laman Scopus atau tulisan-tulisan akademik mereka. Tampak sekali nama-nama asing, gelar, dan universitas yang dimasukkan sebagai dewan redaksi (editor) jurnal-jurnal ini besar sekali kemungkinannya adalah asal comot belaka. Beberapa nama bahkan tidak pernah menulis soal yang menjadi topik utama jurnal. Apa hubungan antara orang yang ahli dalam citra USG janin dengan ilmu-ilmu sosial, misalnya?   

Penelusuran saya ini pun hanya acak belaka. Sebuah penyelidikan serius dari lembaga yang bertanggung jawab atas integritas dunia pendidikan tinggi di negeri ini harus dilakukan. Demikian pula perlu ada liputan investigasi dari media-media mainstream untuk mengulik seberapa besar bisnis ini. 

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.

Seberapa pun lemahnya penelusuran saya ini, ia memperlihatkan bahwa ada sesuatu yang sangat besar tersembunyi di dalam dunia akademik ini, yakni sebuah industri yang kemungkinan bersifat predatoris dengan mengeksploitasi dunia pendidikan tinggi Indonesia. 

Saya sendiri bisa merasakan besarnya bisnis ini. Beberapa waktu yang lalu saya melihat kurikulum program S2 dari sebuah universitas negeri papan atas. Di dalam program dan kurikulum S2 tersebut ada syarat bahwa seorang mahasiswa harus mempublikasikan dua artikel ilmiah di jurnal sebagai syarat kelulusan. Dua artikel ini membuka peluang bisnis bagi penerbit-penerbit jurnal dengan indeks yang diklaim prestisius ini. 

Penerbitan saja tidak cukup. Saya mendapat cerita dari seorang mahasiswa bahwa ia (tepatnya: orang tuanya!) harus menyediakan dana cukup besar agar bisa memenuhi syarat menulis dua artikel di jurnal tersebut. Ia menyebut angka antara Rp15-20 juta agar artikelnya bisa lolos dimuat di sebuah jurnal. 

Seorang mahasiswa lain menyebutkan bahwa biaya besar itu sebenarnya bukan untuk penerbitan artikelnya belaka. Biaya terbesar, katanya, adalah coaching penulisan artikel untuk jurnal tersebut. Siapa yang menjadi coach tersebut? Para coaches tersebut adalah dosen-dosen mereka sendiri. Para dosen itulah yang bekerja sama dengan para penerbit dengan nama-nama jurnal yang aneh dan keren itu, yang terbit di tempat-tempat di luar perkiraan kita semua: Cirebon atau Deli Serdang, seperti yang ditunjukkan dalam penelusuran saya ini. Bukan berarti dua daerah itu tidak pantas mendapat kehormatan sebagai tempat lahirnya jurnal-jurnal “internasional” tersebut. Namun kota-kota ini bahkan tidak memiliki universitas, lembaga riset, atau pun tradisi akademik yang kokoh di negeri ini.

Jika saya kembali melihat apa yang disebut sebagai “profesor kangkong” oleh Syed Hussein Alatas, maka dengan sedih saya harus akui bahwa Indonesia tidak memiliki profesor berkualitas kangkong. Kita memiliki profesor dan doktor benalu. ***

]]>
Sang Matriarch https://indoprogress.com/2023/01/sang-matriarch/ Sat, 14 Jan 2023 23:35:06 +0000 https://indoprogress.com/?p=237282 PIDATO politik Megawati Soekarnoputri pada peringatan hari ulang tahun Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) ke-50, yang juga dihadiri oleh Presiden Joko Widodo dan beberapa menteri, menjadi peristiwa penting di awal tahun politik ini. Pidato itu menjadi penting karena orang menantikan di dalamnya ada deklarasi calon presiden dukungan PDIP pada pemilihan 2024 nanti. 

Harapan yang sia-sia belaka. Yang terjadi adalah sebaliknya. Megawati mengarahkan pidato kepada Jokowi. Dia mengatakan bahwa nasib politik Jokowi akan “kasihan sekali” kalau tidak ada dukungan legal formal dari PDIP. Terlihat Jokowi tersenyum masam mendengar sentilan tersebut. 

Pidato ini dengan segera menuai kontroversi. Banyak pengamat, dan terlebih para pendukung Jokowi, menganggap Megawati keterlaluan karena tidak menghormati lembaga kepresidenan. Beberapa intelektual merasa tidak nyaman dengan pidato yang kebanyakan memuji diri sendiri itu. Namun, tidak sedikit pula yang mengatakan bahwa melalui pidato itu Megawati sesungguhnya ingin menunjukkan who is the boss dalam PDIP.

Sikap itu tidak terlalu baru. Kita ingat di masa awal pemerintahan Jokowi, Megawati mengeluarkan pernyataan bahwa sang Presiden hanyalah “petugas partai.”  Kontan pernyataan itu menimbulkan kegusaran di kalangan pendukung Jokowi. Para relawan mendorong Jokowi membentuk partai politik sendiri, lazimnya dilakukan orang-orang kuat di republik ini. Dengan demikian dia tidak tergantung pada belas kasihan PDIP. Jokowi menolak. Ia lebih suka mengandalkan dukungan partai-partai. Dia cukup percaya diri bisa bermanuver di kalangan partai-partai politik. 

Jokowi juga tetap memelihara ikatan dengan para relawan. Sebagian dari pemimpin relawan diganjar sebagai komisaris perusahaan negara yang dulunya umum diberikan kepada jenderal-jenderal militer. Sebagian lainnya diangkat sebagai pejabat tinggi negara. 

Jokowi memang tidak punya partai, tapi dia bisa memobilisasi massa.

Hubungan Megawati dengan Jokowi tidak selalu mulus. Jokowi adalah pendatang baru di partai banteng ini. Ia menjadi anggota PDIP pada 2004, menjelang mencalonkan diri sebagai wali kota Solo. Ia berbeda dengan Ganjar Pranowo yang meniti karier politik sejak mahasiswa sebagai anggota Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI). Organisasi ini dianggap sebagai underbow Partai Nasional Indonesia (PNI), faksi terkuat yang membentuk Partai Demokrasi Indonesia (PDI). 

PDI sendiri adalah hasil fusi atau penggabungan paksa oleh pemerintahan militer Orde Baru (Orba). Yang dilebur ke dalam PDI adalah partai-partai nasionalis seperti PNI dan IPKI; partai-partai Kristen yaitu Parkindo dan Partai Katolik; dan partai sosialis kecil bernama Partai Murba. Sejak 1996, PDI pecah menjadi PDI faksi Soerjadi yang didukung oleh Orba dan PDI Mega yang menjadi oposisi Soeharto. Dari sejak itu hingga kini PDI tetap dipimpin oleh Megawati. 

Megawati Soekarnoputri adalah politikus Indonesia yang paling diperhitungkan Jokowi, dan mungkin juga yang paling ia takuti. Selain karena pemimpin partai terbesar, juga karena negosiasi dengan Megawati harus lewat jalan berliku. Politik transaksional yang biasa dilakukan oleh Jokowi terhadap partai-partai lain tidak berlaku untuk Megawati. 

Megawati terkenal sulit diajak bernegosiasi secara langsung. Akibatnya, hubungan keduanya lebih banyak lewat perantara-perantara. Karena itu juga, ketika keduanya bertemu, sering kali ada konfrontasi seperti saat pidato kemarin. Itu bukan pertama kali Megawati me-roasting Jokowi di depan warga PDIP. Itu dilakukan Megawati hanya untuk menunjukkan bahwa sang Presiden bukan apa-apa jika tidak ada dukungan dari partainya. 

Namun, dalam banyak hal, perbedaan antara Jokowi dan Megawati tidaklah esensial. Megawati tidak terlalu peduli dengan ideologi. Kadang-kadang ia masih bicara tentang marhaenisme, sebuah ideologi yang diciptakan ayahnya, Presiden Sukarno. Tapi itu sebagai pemanis bibir. 

Megawati juga bukan pemimpin populis. Ia memang sesekali berbicara tentang “kaum marhaen”, namun tidak pernah mempersoalkan kebijakan-kebijakan Jokowi yang merugikan marhaen atau wong cilik yang diklaim sebagai massa PDIP. Dia juga tidak pernah membicarakan ketimpangan-ketimpangan pembangunan serta tidak memiliki visi tentang bagaimana pengelolaan bumi, tanah, serta air Indonesia yang dieksploitasi habis-habisan oleh kaum modal.

Akhir-akhir ini Megawati sangat menaruh perhatian pada pada ideologi negara, Pancasila. Meski demikian, dia jarang sekali membicarakan bagaimana Pancasila menjadi operatif untuk menyelesaikan persoalan-persoalan bangsa ini. Seperti halnya pada masa Orba, Pancasila ditafsirkan semata-mata sebagai kompas moral yang, sialnya, arahnya tidak pernah jelas. 

Megawati adalah Ketua Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP). BPIP di bawah Megawati hanya meneruskan apa yang pernah dirumuskan oleh Orba. Bedanya, jika Orba memakai Pancasila sebagai alat untuk membersihkan ide-ide yang dianggap tidak sehaluan, BPIP tidak bergerak ke jurusan itu. 

BPIP juga tidak memiliki ide yang jelas dan operasional tentang Pancasila. Misalnya, nilai-nilai Pancasila tidak pernah menjadi  policy guidance untuk memerintah. Apakah sistem perpajakan sekarang itu sudah adil menurut Pancasila? Apakah operasi-operasi militer di Papua sudah sesuai dengan nilai keadaban dan persatuan bangsa dalam Pancasila? Banyak pertanyaan senada bisa diajukan. 

Seperti pada zaman Orba, Pancasila yang “dibina” BPIP lebih ditujukan untuk mengatur dan mengontrol tingkah laku masyarakat dan bukan mengatur tingkah laku negara supaya berbuat maksimal untuk rakyatnya. 

Berbeda dengan ayahnya, Megawati tidak tertarik untuk masuk ke dalam perdebatan-perdebatan mendalam seperti ini. Ia tidak tertarik pada kedalaman berpikir. Megawati memang tidak terlalu tertarik pada intelektualisme, menurut beberapa politikus PDIP yang mengenal ketuanya dari dekat yang pernah saya wawancarai.

Tetapi, seperti ayahnya, Megawati adalah pemimpin karismatik. Ia juga seorang organisator partai yang baik. Ia menjaga PDIP seperti induk ayam melindungi kuthuk atau anak-anaknya. 

Satu karakteristik kepemimpinan Megawati adalah tekad (determination) yang sangat kuat dan nyaris keras kepala. Ini adalah sesuatu yang kontradiktif dengan dunia politik, di mana seorang politikus dituntut untuk fleksibel, pintar bernegosiasi dan mahir membaca situasi. Tapi determinasi dan kekerasan hati Megawati inilah yang justru menyelamatkan PDIP. 

Pada zaman Soeharto, Megawati dikenal sebagai politikus yang sangat pendiam. Ini yang membuat pendukung-pendukung Soeharto meremehkannya. Ia dilihat hanya seorang ibu rumah tangga yang kebetulan anak Sukarno sehingga bisa memimpin partai. Dia bahkan ditertawakan karena masih sempat tidur siang. 

Namun Megawati tidak sediam yang diperkirakan orang. Ia membangun partai dari puing-puing sesudah militer Orba menyerbu markas mereka di Jalan Diponegoro Jakarta dan menyerahkannya kepada Soerjadi, pengurus yang direstui Soeharto. Hari itu dikenal sebagai Peristiwa 27 Juli 1996 atau Kerusuhan 27 Juli (Kudatuli). Para pendukung PDI bekerja keras membangun oposisi hingga ke tingkat basis. Inilah yang membuat PDIP sedikit banyak memiliki andil dalam kejatuhan Soeharto. 

Pengorganisasian ini pula yang membuat PDIP menjadi partai yang paling siap setelah Soeharto lengser. PDIP meraih suara tertinggi pada Pemilu 1999, sebesar 33,74%. 

Namun ketika itu PDIP melakukan blunder besar. Karena yakin memenangkan 1/3 kursi DPR, mereka memutuskan untuk berjalan sendirian (going alone) alias tidak mau berkoalisi dengan partai-partai lain. Akibatnya, partai-partai Islam membentuk koalisi Poros Tengah dan menaikkan K. H. Abdurrahman Wahid menjadi presiden (Megawati menjadi wakil presiden). 

Pada 23 Juli 2001, Presiden Wahid dimakzulkan juga oleh Poros Tengah. Megawati menjadi presiden meneruskan masa jabatan Wahid hingga 2004. 

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.

Sikap going alone ini juga ditunjukkan pada masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), yang mengalahkan Megawati dengan angka mutlak 60,62% vs 39,38% dalam Pemilihan Presiden 2004. SBY adalah mantan menteri dalam pemerintahan Megawati. Secara diam-diam, SBY membangun kekuatan elektoral yang nantinya menjadi Partai Demokrat.

Megawati kembali menantang SBY dalam Pilpres 2009. Lagi-lagi kalah. Megawati tetap enggan membuka pintu kerja sama dengan SBY. Bahkan hingga akhir masa pemerintahan SBY, sikap Megawati adalah tanpa kompromi. 

Selama sepuluh tahun, PDIP menjadi oposisi dan Megawati memakai kesempatan itu untuk membenahi internal partai.

Pada Pemilu Legislatif 2014, PDIP berada di urutan pertama dengan 18,95% suara sehingga meraih kursi terbanyak (109). Selain itu, PDIP juga menaikkan salah satu kadernya menjadi presiden. Penampilan elektoral PDIP semakin membaik pada 2019 dengan meraih 19,33% suara. Partai ini mendudukkan 128 anggota di DPR. Ia merupakan faksi terbesar, jumlahnya 22,26% dari seluruh kursi di Senayan. Perolehan ini menjadikan PDIP sebagai satu-satunya partai yang berhak mencalonkan sendiri kandidat presiden tanpa berkoalisi. 

Kondisi ini melahirkan tanya: akankah PDIP melangkah sendiri untuk mencalonkan kandidat presiden? Selain mampu, juga karena salah satu kader mereka, Ganjar Pranowo, memiliki elektabilitas sebagai front-runner dalam pencalonan presiden. Sebelum memasuki JIExpo Kemayoran, Jakarta, ia bahkan dielu-elukan oleh sesama kader. Namun Megawati tutup mulut. Tak sedikit pun ia menyebut nama Ganjar. 

Sudah rahasia umum bahwa Megawati mengajukan anaknya, Puan Maharani, yang saat ini menjabat Ketua DPR. Namun elektabilitas Puan sangat rendah. Berbagai polling menunjukkan mustahil menyandingkannya dengan kandidat lain yang elektabilitasnya tinggi seperti Ganjar, Anies Baswedan, dan Prabowo Subianto. 

Apakah Megawati akan mengabaikan gravitasi bumi dengan berjalan sendirian dan mencalonkan Puan? Sulit untuk diketahui. Hingga saat ini Megawati menyimpan rapat preferensi politiknya. 

Di dalam PDIP sendiri dukungan terhadap Ganjar terus menguat. Ini karena PDIP tidak memiliki calon lain yang memiliki elektabilitas tinggi. “Pasti Ganjar. Hanya deklarasinya kapan, itu yang kita tunggu,” kata seorang politikus PDIP kepada saya.

Jika langkah politik masa lalu bisa menjadi ukuran, agaknya Megawati memperlakukan Ganjar sekarang seperti ia memperlakukan Jokowi dulu. Ganjar dibiarkan menunggu. Mungkin juga ia sedang menguji loyalitas Ganjar. Megawati tidak ingin Ganjar menjadi mirip Jokowi yang tidak bisa ia kontrol sepenuhnya. 

Megawati telah menunjukkan diri sebagai seorang matriarch dalam PDIP. Ada kelebihan dan kekurangannya. Megawati menjadi tidak tergantikan dan partai ini akan menghadapi masalah besar ke depan, yakni persoalan suksesi. Bila pun Puan naik, dia tidak akan gampang mengambil alih posisi Megawati sebagai matriarch.  

Ironi lain adalah bahwa Megawati justru menjadi seperti Soeharto, pemimpin dominan yang tak tergantikan. Dalam hal ini, dia juga seperti ayahnya, Sukarno, yang juga menganggap dirinya tak tergantikan. 

Masalah terbesar dalam organisasi, entah itu di tingkat negara, partai atau organisasi apa pun, adalah bila seorang pemimpin mengidentifikasikan dirinya sebagai organisasi itu sendiri. Jika itu terjadi, hampir pasti umur organisasi akan sekadar sepanjang umur pemimpinnya. Kalau tidak, perlu pertumpahan darah untuk melakukan suksesi kekuasaannya.***

]]>
Muda Jual Hermes, Tua Main ke Mars, Mati Masuk Surga https://indoprogress.com/2021/07/muda-jual-hermes-tua-main-ke-mars-mati-masuk-surga/ Thu, 29 Jul 2021 07:54:34 +0000 https://indoprogress.com/?p=233421 Ilustrasi: Jonpey


MINGGU lalu, entah mengapa, saya ingin jadi orang kaya. Ini karena saya melihat sebuah berita. Seorang artis menyumbang 30 juta rupiah untuk dapur umum penanggulangan Covid-19. Nanti dulu. Saya tidak sinis. Sama sekali. Saya hanya gumun, kagum sambil bengong. Kok ya ada orang mau menyumbang sebesar itu!

Kalau orang-orang kaya menyisihkan uang jajannya Rp30 juta untuk membeli tas Hermès saya tidak akan begitu kagum. Itu biasa. Orang berduit membelanjakan kekayaannya. Biasa sekali bukan?

Bahkan orang kaya model Zuckerberg atau Gates, yang menyumbang puluhan milyar dolar untuk berbagai macam hal yang berhubungan dengan kemanusiaan tidak membuat mulut saya menganga. Saya tahu persis bahwa itu cara mereka mendistribusikan kekayaan sekaligus menghindari pajak. Itu cara mereka menghindar dari kontrol negara.

Bukankah itu bagus untuk kemanusiaan? Jawabnya bisa iya. Bisa tidak. Iya, karena mungkin orang ini benar-benar membelanjakan uangnya untuk orang banyak. Tidak, karena hanya dia yang bisa mengontrol untuk apa uang itu.

Negara dikontrol oleh banyak orang. Kalau saja uang-uang ini diberikan untuk negara dalam bentuk pajak, semakin banyak orang bisa mengontrolnya. Justru itu yang dihindari oleh orang-orang superkaya ini. Oh ya. Bukankah ditengah-tengah pandemi ini mereka justru bercita-cita meninggalkan bumi manusia dengan segala kesengsaraannya dan mau hidup di planet lain?

Orang seperti Jeff Bezos dan Elon Musk sudah bercita-cita mengkoloni Planet Mars. Bisa bayangkan mau jadi apa dia disana? Saya bayangkan mereka akan bikin koloni yang bisa mereka kontrol.

Nah, bisa paham mengapa menjadi kaya itu baik? Ya karena Anda bisa mengontrol sendiri apa yang Anda mau. Kontrol adalah kekuasaan.    

Nah, kita kembali pada Mbak Artis yang bikin patah hati banyak pria karena memilih kawin dengan anak sultan minyak itu. Apa yang dia lakukan jelas mulia. Sangat mulia. Dia berhak atas surga untuk kedermawanan itu.

Dia tidak hanya terkenal. Dia pintar. Dia bekerja keras dan kabarnya tidak melulu hidup dari kekayaan sang suami dan keluarganya. Ya, kerja keras. Sama seperti Kang Supri sopir GoJek tetangga saya yang pagi, siang, sore, hingga malam klayapan mengantar makanan.

Bedanya adalah Kang Supri hanya bisa mengumpulkan seratus ribu sehari. Perlu waktu 300 hari bagi Kang Supri agar bisa menyumbang seperti Mbak Artis kita itu. Hal yang tidak mungkin karena jika itu dia lakukan, pada hari kelima, dia, istri, dan dua anaknya sudah mati kelaparan.

Kang Supri adalah orang baik. Dia suka menolong orang lain. Dia pernah memberi boncengan gratis kepada si mbok dagang jamu gendong yang kelelahan berjalan pulang.

Mbak Artis juga orang baik. Dia baik kepada semua orang. Dan, seperti yang Anda lihat tadi, dia juga menolong orang dari kelebihan yang dia punya.

Bedanya cuma satu. Kang Supri tidak bisa mengontrol kekayaaan yang tidak dia punyai. Sebaliknya, Mbak Artis lebih punya kebebasan untuk mengontrol apa saja. Dia tidak bertanggungjawab atas makanan untuk buruh-buruh gendong di pasar. Namun, dia memutuskan ikut memberi makan buruh-buruh itu.

Kekayaan adalah kekuatan dan kekuasaan. Nah, disinilah kita masuk ke persoalan yang lebih serius.


Beberapa hari lalu saya membaca berita tentang bagaimana keputusan karantina (lockdown) di Indonesia diambil. Dalam berita itu dikatakan bahwa para elit super kaya Indonesia mendesak Presiden Jokowi agar tidak melakukan lockdown. Alasan mereka, kebijakan ini hanya akan mematikan ekonomi yang sudah mulai tumbuh kembali.

Sementara, saat itu rumah sakit dan segenap infrastruktur kesehatan sudah kolaps. Orang mati dalam jumlah ribuan – dan lebih banyak lagi yang tidak tercatat sebagai statistik. Tapi, orang-orang kaya ini berhasil membuat kebijakan yang menyelamatkan diri mereka. Lockdown berarti bisnis mereka harus tutup. Kekayaan mereka bisa menyusut.

Berita ini tentu saja membuat saya terheran-heran. Mengapa para elit super kaya ini tiba-tiba segaris dengan para penyangkal Covid? Bukankah para penyangkal Covid itu sedari dulu mengatakan bahwa Covid ini adalah ciptaan dan konspirasi para elit super kaya?

Akhirnya terungkap bahwa mereka yang anti-lockdown bukanlah para aktivis pejuang kemanusiaan itu. Tapi, para elit super kaya dan keputusan politik diambil setelah mendengarkan suara mereka! Persetan dengan para pejuang kemanusian dan aktivis yang sekarang lebih banyak berkiprah di medsos itu. Pikiran saya ikut-ikutan konspiratif. Jangan-jangan para pejuang anti-lockdown ini sebenarnya konco-konco para elit super kaya tersebut. Ah, sudahlah. Teori konspirasi tidak akan pernah selesai karena fungsinya hanya untuk menentramkan pikiran-pikiran delusional.

Begitulah. Kekayaan membuat Anda bisa berbuat apa saja. Kekayaan bisa menggoyangkan keputusan seorang presiden, penguasa tertinggi di sebuah negeri. Kekayaan bisa mengubah sikap seseorang.

Oh ya, selain soal anti-lockdown ini, saya juga membaca berita lain. Anda mungkin merasa bahwa pandemi ini sangat merugikan. Banyak usaha bangkrut. Banyak orang tidak bisa bekerja. Banyak yang bahkan tidak bisa makan juga.

Pandemi ini menghilangkan kekayaan. Jumlah orang kaya yang bangkrut tentu banyak sekali. Itu sebabnya para orang kaya melobi Presiden Jokowi agar tidak melakukan lockdown yang merugikan ekonomi dan membuat orang-orang kaya yang sudah terpuruk makin terpuruk. Begitu bukan? Salah sama sekali.

Tahukah Anda apa yang bertambah ditengah pandemi ini? Jumlah orang kaya! Credit Suisse, sebuah lembaga perbankan, dalam studinya mengatakan bahwa jumlah orang kaya yang memiliki kekayaan lebih dari US$1 juta dollar (Rp 14,5 milliar) bertambah dari 106,2 ribu pada 2019 menjadi 171,7 ribu pada 2020. Sebuah peningkatan sebesar 61,7%. Jumlah orang-orang kaya ini hanya 0,1% dari seluruh penduduk Indonesia.

Pandemi ini telah memperlebar kesenjangan sosial. Ia mempertajam jurang kaya dan miskin. Namun, itu tidak berarti yang kaya makin miskin; atau yang kaya tetap kaya; tapi yang miskin semakin miskin. Yang terjadi adalah yang kaya menjadi semakin kaya dan yang miskin menjadi semakin miskin.

Bank Dunia baru saja menurunkan status Indonesia dari negara berpenghasilan menengah atas (upper middle income) menjadi menengah bawah. Ekonomi kita terpuruk. Namun anehnya, yang kaya semakin kaya. Pandemi rupa-rupanya menciptakan kesempatan (opportunity) untuk orang-orang kaya menambah kekayaannya.

Kita kembali ke Mbak Artis tadi. Saya pernah membaca semboyan seorang rekan yang berkerja menjadi pekerja migran di luar negeri. Secara bergurau dia menancapkan semboyannya sebagai, “muda foya-foya, tua bahagia, mati masuk surga.” Mbak Artis kita, menurut saya, jauh melampaui itu. Di dunia pun dia sudah jelas-jelas berpahala dan berpeluang besar masuk surga.

Bayangkan. Kekayaan pun bisa mengontrol katrol Anda ke surga!

Namun, di tengah nafsu besar menjadi kaya tanpa kekurangan hingga surga pun bisa terkontrol itu, saya tiba-tiba mendapati diri saya tidak berdaya. Kalau Anda miskin, sulit sekali untuk Anda menjadi kaya. Sekali Anda terpuruk di dunia ini, Anda hanya akan tersedot lebih dalam seperti terjebak ke dalam lumpur.

Anda memerlukan bantuan. Anda tidak perlu bantuan perseorangan karena bantuan dari yang lebih mampu itu juga semacam kontrol bukan? Para pemikir modern menawarkan bantuan itu. Dialah sesuatu yang lebih besar dari individu, yang bernama komunitas, commune, atau organisasi sosial. Anda berinvestasi di dalam organisasi seperti itu. Ia bisa juga berupa negara – tapi negara yang benar-benar bisa Anda kontrol bukan dikontrol oleh kara plutokrat dan kleptokrat. ***

]]>
Samto, Bencana, Kepemimpinan https://indoprogress.com/2021/07/samto-bencana-kepemimpinan/ Sun, 18 Jul 2021 09:23:29 +0000 https://indoprogress.com/?p=233386

Ilustrasi: Deadnauval


NAMANYA Samto. Ya, hanya itu. Tidak lebih dan tidak kurang. Saya tidak tahu artinya. Barangkali orangtua Samto juga dulu tidak punya pikiran memberikan nama bermakna untuk anaknya. Tapi hari-hari ini, nama Samto menjadi cukup terkenal. Paling tidak, di sekitar kabupaten tempatnya tinggal, yaitu Sragen, Jawa Tengah. 

Samto bukan seorang sembarang. Dia seorang kepala desa atau lurah. Kalau Anda pernah hidup di Jawa, Anda mesti tahu bagaimana berpengaruhnya lurah di wilayah perdesaan di Jawa. Mereka dipilih dengan pemilihan yang kadang tidak kalah hiruk pikuknya dengan pemilihan presiden. 

Nama Samto saya kenal dari media massa. Secara kebetulan saya menyisiri berita-berita tentang PPKM Darurat yang ditetapkan oleh pemerintah demi mengatasi pandemi Covid-19 di wilayah Jawa dan Bali. Sragen terletak di Jawa Tengah. Otomatis ia termasuk wilayah yang terdampak. 

Awalnya saya menelusuri berbagai macam grup di media sosial. Pada umumnya, grup-grup di mana saya bergabung beranggotakan orang-orang biasa. Saya bergabung dengan banyak grup semacam ini di Facebook. Selain juga menjadi anggota beberapa grup WA, yang sebagian besar tidak saya baca. Namun, ada satu saat ketika saya serius membaca semua posting dan diskusi di dalamnya. Untuk saya, grup-grup seperti ini kadang tak sengaja merefleksikan ‘mood’ masyarakat dalam menanggapi banyak persoalan aktual. 

Ketika menelusuri grup-grup itulah saya tahu bahwa ketidakpuasan terhadap PPKM Darurat sedang memuncak di kalangan orang-orang biasa. Mereka bukan selebriti, bukan pula influencer. Mereka hanyalah orang kebanyakan. Tidak jarang saya mendapati mereka membuat meme yang mengolok-olok pemerintah dan aparat keamanan. Keterampilan seperti ini bukan hal istimewa di zaman media sosial.  

Hari-hari ini, sebagian besar yang menjadi sasaran adalah Luhut Binsar Panjaitan (LBP) yang oleh banyak meme dijuluki “Lord Luhut.” Saya tidak tahu persis artinya. Namun, prediksi saya, julukan itu muncul karena peran LBP yang sangat besar dalam pemerintahan Jokowi. 

Dia nyaris dianggap sebagai perdana menteri-nya Jokowi karena diberi tugas membereskan banyak hal. Pun bagi Presiden Jokowi agaknya Luhut adalah “menteri urusan segala sesuatu.” Bahkan. Wakil Presiden pun tidak memiliki pengaruh dan kapasitas sebesar LBP. Sebagai balasannya, LBP menjalankan tugasnya dengan loyalitas penuh. Dia berani pasang badan untuk urusan tidak populer bagi bosnya itu. 

Oh, cukup sudah tentang LBP. Kita kembali ke Samto. Dia adalah Lurah Desa Jenar di Sragen. Dia masuk berita karena dia memasang spanduk sebesar 3×4 meter di jalan utama desa Jenar. Spanduk itu cukup jelas dibaca. Bunyinya pun tidak main-main:


“IKI JAMAN REVORMASI. ISIH PENAK JAMAN PKI. AYO PEJABAT MIKIR NASIBE RAKYAT. PEJABAT SENG SENENG NGUBER UBER RAKYAT KUI BANGSAT. PEGAWAI SENG GOLEKI WONG DUWE GAWE IKU KERE. PEGAWAI SING SIO KARO SENIMAN SENIWATI KUWI BAJINGAN” 

(Ini zaman reformasi, lebih enak zaman PKI. Ayo pejabat pikirkan nasib rakyat. Pejabat yang senang menguber-uber rakyat itu bangsat. Pegawai yang memburu orang hajatan itu kere. Pegawai yang menelantarkan seniman itu bajingan).

Nekat sekali bukan?

Kabarnya, kejengkelan Samto bermula dari aparat-aparat yang membubarkan acara-acara hajatan. Kabarnya juga, Samto jengkel karena petugas-petugas melarang orang berjualan. 

Media-media membentuk narasi bahwa Samto adalah seorang yang tidak percaya Covid-19. Sementara Bupati Sragen mengatakan bahwa Samto mengalami gangguan jiwa. Itu karena dia pernah stroke.


Baliho Samto (detik.com)

Untuk aparat dan pejabat, soal Covid-19 agaknya satu soal. Mungkin soal yang lebih ringan. Mereka lebih takut pada kata-kata “isih penak jaman PKI” (lebih enak zaman PKI) yang ditulis Samto di spanduknya. Glorifikasi terhadap PKI adalah batas yang tidak boleh dilanggar. 

Samto pun dipanggil aparat untuk ditanyai. Di hadapan petugas, dia minta maaf dan mengaku emosi. Dia mengaku melakukan itu karena kesal acara-acara hajatan warganya selalu dibubarkan. “Saya kecewa berat. Ada warga menggelar hajatan tinggal dua hari dibatalkan. Kan kasihan,” katanya.

Sehari setelah dia minta maaf, Samto memberikan izin warganya untuk menggelar hajatan. Ada 800 undangan disebarkan. Hajatan itu dimeriahkan oleh kesenian Campur Sari. Acara dimulai jam 8 pagi, Samto pun hadir disana memberi dukungan. Dia datang tanpa masker. 

Namun, dua setengah jam kemudian, Satgas Penanggulangan Covid-19 Kecamatan Jenar mendatangi hajatan tersebut dan memberikan waktu dua puluh menit kepada undangan untuk bubar. Hal ini memancing kemarahan Samto. Dia mendebat petugas Satgas dan membalikkan dua meja terdepan dengan semua isinya. 


Cerita seperti Samto ini bukan hal aneh. Ia terjadi di mana-mana. Di lapisan bawah, para petugas yang mengamankan kebijakan PPKM Darurat dengan melarang orang berkumpul. Para petugas inilah yang berhadapan langsung dengan rakyat biasa dan bertarung dengan mereka.

Tak jarang para petugas ini over-acting. Satpol PP di Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan, memukul seorang ibu pemilik café yang kebetulan sedang hamil. Ibu tersebut mengalami kontraksi ketika melaporkan kasusnya ke polisi. Satpol PP tersebut akhirnya diproses secara hukum dan menghadapi ancaman pemecatan. 

Di media sosial juga beredar video dan foto-foto petugas yang merampas dagangan para pedagang yang bersikeras untuk tetap berjualan. Tidak itu saja, para petugas juga mengangkuti kursi meja dan alat-alat masak si pedagang. 

Benturan antara para petugas dengan pedagang pun tak terhindarkan. Protes-protes bermunculan. Salah satu yang paling epic adalah protes dalam bentuk Big Promo seorang pemilik café untuk aparat dan pegawai negeri sipil (PNS). Berlawanan dengan promo biasa yang memotong harga kopi dan penganan, di café itu aparat dan PNS harus membayar harga tiga kali lebih mahal dari harga biasa. Namun, kabarnya promo ini tidak begitu berhasil karena tidak ada orang yang berbelanja ke café tersebut di masa PPKM darurat. 

Banyak ahli mengatakan bahwa pandemi ini harus diatasi dengan aksi-aksi kolektif (collective action). Semua anggota masyarakat dituntut untuk mengkoordinasikan aksinya, yakni berdiam di rumah dan tidak berhubungan secara sosial. Ini diperlukan untuk memutus mata rantai penyebaran virus. 

Jika demikian halnya, bukankah orang-orang seperti Samto ini yang justru membuat pandemi ini berkelanjutan? Bukankah pandemi ini menuntut aksi kolektif di mana semua orang diminta berkorban agar semua bisa selamat?   

Nah, disinilah pokok soalnya. Orang-orang yang harus mengoordinasikan aksinya tersebut tidak punya kemampuan dan kapasitas yang sama. Ada orang yang bisa “mantab” (mangan atau makan tabungan) sehingga tidak perlu kuatir akan lapar dan tidak punya tempat untuk tidur. Ada orang menerima gaji tetap – yang meski ada bencana sebesar apapun dia akan tetap mendapat gaji. Dus, dia tetap bisa hidup dan bertahan. 

Tetapi, tidak sedikit mereka yang hidup dengan bekerja harian dengan jatah makan harian pula. Mereka adalah orang-orang yang bekerja hari ini untuk makan hari ini juga. Mereka tidak akan bisa bertahan jika tidak bekerja juga tidak akan bisa bertahan dengan Bansos sebesar Rp300 ribu per bulan yang dijanjikan pemerintah. PPKM Darurat ini sangat memberatkan orang-orang kecil. Bahkan pemerintah pun mengakui itu. 

Anda bisa menuduh bahwa orang seperti Samto melakukan protes karena dia tidak bisa lagi menikmati musik campursari di acara-acara hajatan. Namun, di balik itu ada sesuatu yang sangat absah untuk dilihat. Seniman-seniman tradisional ini sudah tidak bisa bekerja sejak awal pandemi. Bagaimana mereka harus bertahan hidup?

Pandemi ini membuka banyak hal tentang cara kita hidup bernegara. Kita sudah hidup dalam situasi pandemi selama lebih dari 16 bulan. Sekian banyak peringatan dan pelajaran sudah disampaikan. Namun, negara kita tetap tidak bisa mengatasinya. Tidak salah kalau dikatakan bahwa lumpuhnya sistem kesehatan kita sekarang ini adalah mismanagement bencana dalam skala yang sangat epic

Namun, di sisi yang lain, ketika negara lumpuh, kita melihat satu keuletan dan ketangguhan yang luar biasa di sisi masyarakat. Orang-orang sukarela bekerja melayani mereka yang terinfeksi. Masyarakat mengorganisasi penyediaan makanan, shelter, bahkan menyediakan makam dan peti jenazah. 

Angka kematian di rumah sendiri melonjak dengan tajam. Itu juga menjadi bukti bahwa negara ini lumpuh. Jelas negara kita tidak akan mampu menangani bencana sebesar ini. Kita tidak seperti negara Amerika Serikat yang mampu memberikan kompensasi kepada penduduknya yang tidak bisa bekerja. 

Mengapa para pemimpin di negara ini tidak mengoordinasikan kemampuan masyarakat yang besar itu? Mengapa pemimpin tertinggi republik ini tidak menciptakan sistem yang mampu memobilisasi kekuatan rakyat sendiri sebelum bencana ini terjadi? Mengapa dia tidak muncul dan memberikan jaminan kepada rakyatnya bahwa semua ini akan teratasi? Mengapa dia membiarkan bawahannya saling sikut dalam menyampaikan pesan kepada publik? 

Anda mungkin menertawakan orang seperti Samto. Mungkin juga Anda mengutuknya karena akan menggagalkan PPKM Darurat yang kita perlukan untuk menanggulangi bencana ini. Namun, ada satu kualitas yang diperlihatkan oleh Samto yang tidak diperlihatkan oleh elit negeri ini: kepemimpinan. 

Krisis ini tidak saja merupakan bencana kesehatan yang sangat besar. Ia juga bencana kepemimpinan yang sangat besar. ***


]]>
Gibran Pasti Jadi Walikota Solo? Jangan Terlalu Optimis https://indoprogress.com/2020/07/gibran-pasti-jadi-walikota-solo-jangan-terlalu-optimis/ Tue, 21 Jul 2020 04:33:52 +0000 https://indoprogress.com/?p=232298 Foto: Jakarta Post


Anak Presiden Jokowi, Gibran Rakabuming, hampir pasti akan menjadi calong tunggal untuk pemilihan Walikota Solo. Ini terjadi setelah Achmad Purnomo, yang sekarang menjadi  Wakil Walikota Solo, mengundurkan diri. Mundurnya Purnomo ini terjadi setelah dia bertemu dengan Jokowi. Pengunduran diri ini sekaligus mengakhiri kisruh di dalam tubuh PDIP, partai terbesar dan berkuasa di Solo.

Di PDIP lokal, Purnomo adalah orang yang memang ada pada giliran untuk memegang jabatan walikota. Dia sejak awal meniti karir dalam tubuh partai. Dia kader akar rumput yang tumbuh, berkembang, dan berkarya untuk partai. Jika meritokrasi partai dijalan dengan benar, dialah yang seharusnya menjadi kandidat. 

Namun semuanya bubar karena anak presiden–yang sebelumnya hanya tertarik berjualan martabak–tiba-tiba mencalonkan diri. Jelas, seperti diakui Purnomo sendiri, dia tidak kuasa melawan anak presiden. Dia mengaku ditawari jabatan di pemerintahan pusat. Namun, Purnomo menampik. Dia memilih kembali ke Solo dan menjadi pengusaha.

Partai-partai besar merapat mendukung pencalonan Gibran. Besar kemungkinan dia akan menjadi calon tunggal. Nah, jika tidak ada calon lain maka siapakah yang akan menjadi lawan Gibran di dalam pemilihan?

Tidak ada bukan? Salah besar. Lawan Gibran nantinya adalah sesuatu yang bernama kotak kosong. Nah, justru disinilah persoalannya. Kotak kosong itu selalu ‘unpredictable‘ alias sulit diperkirakan. Melawan kotak kosong itu seperti melawan musuh yang tidak kelihatan.


Ada contoh yang sangat bagus dari kotak kosong ini.

Pada tahun 2018, kota Makassar mengadakan pemilihan walikota. Yang maju waktu adalah calon tunggal yang bernama Munafri Arifuddin. Dia berpasangan dengan Rachmatika Dewi.  

Munafri Arifuddin bukan orang sembarangan di Sulawesi Selatan. Dia adalah menantu dari Aksa Mahmud, bos dan pendiri Bosowa Corporation. Mungkin Anda pelu tahu bahwa Aksa Mahmud adalah salah seorang terkaya di Indonesia. Tidak itu saja. Dia adalah adik ipar Jusuf Kalla, Wakil Presiden Indonesia waktu itu. Dengan demikian, Munafri Arifuddin adalah kemenakan Jusuf Kalla.

Dengan kredensial yang demikian hebat, jelas tidak ada orang berani menantang Munafri. Dia didukung oleh delapan partai politik. Hanya Partai Demokrat yang tidak menyatakan dukungannya.

Demokrat mendukung walikota yang saat itu berkuasa Mohammad Ramdhan Pomanto yang ingin terpilih kembali. Karena Pomanto kekurangan dukungan dari partai politik, dia maju sebagai calon independen. Syarat maju sebagai calon independen adalah mendapatkan dukungan yang ditunjukkan dengan 65,000 fotokopi KTP. Pomanto berhasil mengumpulkan 117.492 fotokopi KTP. Namun pencalonan Pomanto bisa digagalkan lewat proses hukum. Mahkamah Agung mengabulkan gugatan Munafri Arifuddin atas tindakan Pomanto yang menggunakan kekuasaannya untuk kampanye. Munafri Arifuddin yang adalah juga CEO PSM Makassar akhirnya ditetapkan sebagai calon tunggal. Lawannya adalah, ya itu tadi, kotak kosong.

Dalam pemilihan yang dilakukan bulan Juli 2018, Munafri Arifuddin hanya mendapat 46.68% dari suara. Sementara, kotak kosong mendapat 53.32%. Munafri Arifuddin kalah mengenaskan. Dari penghitungan suara, dia hanya menang di dua dari lima belas kecamatan.

Sekalipun didukung oleh semua kekuatan partai dan elit di Makassar dan Sulawesi Selatan, Munafri Arifuddin toh kalah melawan kotak kosong. Di Makassar dan Sulawesi Selatan, dinasti politik, khususnya dari keluarga Kalla dan Limpo, sangat berakar. Namun itu tidak menjamin jalan Munafri Arifuddin ke tampuk kursi walikota.

Itulah yang saya katakan bahwa melawan kotak kosong itu selalu ‘unpredictable.’ Kejadian seperti ini bukan hal yang baru. Ini kerap terjadi di Jawa, terutama dalam pemilihan lurah.


Mengapa para pemilih melakukan ini? Kemungkinan pertama adalah orang memilih kotak kosong sebagai ‘protest vote.’ Mereka tidak nyaman melihat proses politik yang tidak partisipatif. Biasanya ‘protest vote’ muncul karena dorongan aktivis-aktivis politik dan pengorganisasi masyarakat (community organizers).

Contoh paling jelas dari protest vote adalah Golput yang sering muncul dalam pemilihan umum di Indonesia. Keberadaan protest vote ini lebih mudah untuk diendus karena para aktivis pasti akan berkampanye untuk kotak kosong.

Namun, kemenangan kotak kosong ini bisa juga terjadi karena sebab lain, yang lebih alamiah dan bobot ketidakterdugaannya (unpredictability) lebih susah untuk dideteksi. Calon tunggal membuat orang menjadi apatis. Buat apa memilih kalau hasilnya sudah pasti?

Orang memilih kotak kosong karena merasa suaranya tidak ada artinya. Karena itu, ketika berada dalam bilik suara, biasa orang memakai logika ini: “Calon tunggal ini pasti menang karena semua orang akan pilih dia. Saya pilih kotak kosong saja karena calonnya toh sudah pasti menang. Suara saya tidak akan mempengaruhi hasil pemilu.” Sialnya, mayoritas orang berpikir yang sama.

Calon tunggal juga membuat orang kehilangan selera terhadap pemilihan. Orang tidak akan bergairah untuk berpartisipasi karena sudah jauh-jauh hari sudah tahu siapa yang menang. Ini juga sering terjadi jika kandidat yang kuat menghadapi calon lemah yang dianggap hanya sebagai pelengkap penderita dalam pemilihan.

Biasanya jumlah pemilih (voter turnout) juga akan turun drastis bila orang tidak bergairah. Dalam kasus Pilwakot Makassar 2018, partisipasi pemilih hanya 57,2%. Termasuk rendah untuk ukuran Indonesia yang biasanya punya partisipasi pemilih diatas 75%. Jika dipaksa memilih pun ada kemungkinan pemilih akan malah memilih kandidat yang super lemah itu. Kadang itu sekedar dilakukan untuk menunjukkan bahwa kandidat super kuat itu ada juga yang menentang.

Kita menyaksikan ini pada zaman Orde Baru. Sekalipun partai pendukung Soeharto menang besar dalam setiap pemilihan umum di beberapa kota besar suara untuk partai oposisi biasanya sangat besar. Di Jakarta, beberapa kali partai pemenangnya adalah Partai Persatuan Pembangunan (PPP). 

Namun, ada juga persoalan lain khususnya yang sering terjadi dalam pemilihan lurah di tanah Jawa. Banyak calon tunggal kepala desa yang kalah melawan kotak kosong. Mengapa ini terjadi? Karena pemilihan menjadi ajang pertaruhan atau perjudian. Para penjudi membayar pemilih untuk memilih kotak kosong. Kadang para pemilih sendiri ikut bertaruh.

Persoalan terakhir ini menyebar dimana-mana. Namun ini hanya bisa dilakukan dalam skala jumlah pemilih yang kecil seperti pemilihan tingkat desa. Agak lebih sulit untuk membuat perjudian –terutama untuk menyogok pemilih– jika pemilih dalam jumlah ratusan ribu atau jutaan seperti dalam pemilihan di tingkat kota. Walaupun juga bukan tidak mungkin.


Orang mungkin tidak tertarik pada pemilihan karena hasilnya sudah pasti. Namun banyak orang bergairah untuk berjudi dan berharap kotak kosong akan menang. Seperti dalam ‘apathy voting’ diatas, jika pasar taruhan untuk kotak kosong membesar maka ada kemungkinan calon tunggal itu kalah.

Jangan diabaikan pula kondisi psikologis yang dibentuk oleh kelas sosial. Banyak pemilih jelata secara diam-diam lebih suka melihat calon yang didukung semua kekuatan-kekuatan para elit itu terjungkal. Ini adalah salah satu bentuk resistensi mereka yang seringkali tidak diperlihatkan di depan umum dan tidak dikampanyekan. Para elit biasanya buta akan resistensi sehari-hari (everyday resistance) seperti ini.

Kaum jelata selalu tampak setuju. Mereka ‘inggih-inggih’ terhadap apa saja yang ditawarkan oleh elit. Mereka menerima bantuan-bantuan beras atau sembako dari politisi dan tidak melawan ketika difoto. Elit-elit politik ini biasanya berasumsi bahwa mereka sudah berhasil mendapatkan (baca: membeli) suara dari kaum jelata ini. Pandangan ini seringkali salah. Rakyat menyembunyikan perasaan tidak puasnya. Inilah yang oleh James C. Scott disebut sebagai hidden transcript.


Apa pelajaran dari calon tunggal versus kotak kosong ini? Saya kira ada dua hal. Pertama, jangan remehkan kekuatan rakyat jelata. Saya menulis artikel ini ketika di Amerika Serikat sedang berduka karena kematian seorang tokoh gerakan hak-hak sipil, John Lewis. Perjuangan hak-hak sipil di Amerika merubah lanskap politik di negara itu. Orang-orang kulit hitam diperbolehkan berpartsipasi dalam pemilihan umum. Di negara-negara bagian di selatan, pusat perbudakan Amerika, muncul ujaran, “tangan-tangan yang dulu memetik kapas, kini memilih presiden!”

Di Solo pun tidak mustahil akan muncul ujaran yang sama. Tangan-tangan yang biasanya mengemudi becak atau menyetir ojek, kini mampu menentukan siapa yang menjadi walikota.

Kedua, orang akan lebih bergairah untuk berpartisipasi dalam proses politik yang memperlihatkan pertarungan. Dalam demokrasi, kekuasaan itu harus direbut dengan susah payah. Bukan dengan jalan mudah karena koneksi atau karena hubungan keturunan. Selain itu, politik adalah soal persuasi bukan soal mobilisasi. Anda bisa menang dengan cara mobilisasi namun tidak berarti orang bisa dengan mudah diyakinkan (persuaded). Pemilihan Gubernur DKI Jakarta tahun 2017 adalah soal mobilisasi. Hasilnya, kita bisa lihat bahwa sebagian orang tidak bisa dipersuasi untuk melihat sisi-sisi baik dan mengakui ada keberhasilan pihak yang berkuasa.

Seorang kandidat tunggal yang lahir lewat kongkalikong para elit tentu menganggap dirinya bisa menafikan persuasi. Mungkin ia kira mobilisasi massa saja sudah cukup menghantarnya ke tampuk kekuasaan.   

Jika Anda merasa bahwa kotak kosong, dukungan elit, dan mobilisasi aparat-aparat partai akan mampu membuat menang pemilu, saran saya, berhati-hatilah! Sekali lagi, jangan remehkan suara para jelata! ***

]]>
Revolusi Kelas Menengah, Revolusi Kangkung dan Lele https://indoprogress.com/2020/07/revolusi-kelas-menengah-revolusi-kangkung-dan-lele/ Sun, 12 Jul 2020 01:00:43 +0000 https://indoprogress.com/?p=232264 Foto: Hai-Grid/Tribun


UNTUK urusan makan, lauk pauk apakah yang Anda anggap paling bermartabat? Saya cukup yakin bahwa kalau itu sayuran maka ia bukan Kangkung. Kalau itu ikan, maka ia bukan Lele. Anda mungkin pengemar Kangkung dan Lele. Atau, Anda mungkin makan salah satu dari makanan ini paling tidak sekali seminggu. Namun, seringkali ia bukan pilihan utama. Artinya, kalau ada pilihan lain, Anda tentu menghindarinya. 

Kangkung dan Lele adalah makanan bersahaja. Dia gampang dicari. Lele tersedia di hampir semua kota di Nusantara yang pernah saya kunjungi. Untuk itu kita berterima kasih kepada pedagang-pedagang ulet dari tanah Jawa dan Sunda, yang memperkenalkannya ke seluruh pelosok NKRI. Terutama, Pecel Lele yang saat ini menjadi makanan sehari-hari penduduk berbagai kota Nusantara.

Kangkung akan hadir di manapun ada air tawar. Tanaman ini bahkan akan tumbuh begitu saja tanpa perlu ditanam. Dia bisa tumbuh ditanah. Dia bisa tumbuh di air. Daya tahannya luar biasa. Dia juga berekspansi ke segala penjuru. Dari Singapura hingga ke Jayapura. Dia bahkan tersedia di toko-toko Asia di Amerika pada puncak musim dingin. Mengapa makanan tropis ini tersedia di Amerika? Jawabnya gampang: ada yang membutuhkan dan ada yang menyediakan. Saya dengar kangkung ditanam secara hidroponik di rumah-rumah kaca. Ia kemudian menjadi makanan segala bangsa!

Sementara lele adalah ikan dengan ketahanan yang jauh melampau doktrin ketahanan nasional kita yang berbasis gerilya itu. Lele tahan hidup dalam iklim sedikit atau bahkan tanpa air. Saya pernah menghabiskan waktu berjam-jam melihat orang-orang Kamboja atau China di Youtube memanen lele yang mengubur diri di kolam yang sudah kering. Atau, terkagum-kagum dengan “amazing technology” menangkap lele dengan Coca Cola, Fanta dengan Mentos atau pasta gigi Colgate. Semuanya memperlihatkan betapa tahan bantingnya ikan yang bernama lele itu. Mereka sanggup bertahan hidup dalam lubang sempit, berdesak-desakan dalam jumlah puluhan.

Sebelumnya, kangkung dan lele adalah dua hal terpisah. Tidak pernah dia bersatu. Tapi itu sebelum pageblug virus Corona. Selama pandemi ini, kangkung dan lele bersatu: di dalam ember! Ia terangkat dari kesahajaan. Saya melihat di lini masa Facebook saya, orang berlomba-lomba memamerkan bagaimana dia memelihara lele dan menanam kangkung didalam ember. Saya kira Anda pun tidak asing dengan metode beternak lele dan menanam kangkung dalam satu wadah ini.

Lele dan kangkung menjadi sebuah gaya hidup terutama di kalangan kelas menengah perkotaan di Indonesia. Di masa pageblug ini, orang merasa adanya krisis namun orang tidak sepenuhnya menangkap dan memahami apa krisis itu. Orang takut akan apa yang tidak mereka kuasai. Apa artinya punya uang kalau makanan tidak bisa dibeli?

Reaksi terhadap krisis ini mengingatkan saya pada ‘doomsday foods’ atau makanan hari kiamat yang banyak dijual di Amerika. Beberapa televangelis (penginjil yang memakai TV untuk kotbah) mempergunakan ketakutan orang akan kiamat yang mereka wahyukan sudah dekat, dan menawarkan peralatan bertahan hidup (survival gear). Uniknya, makanan dan peralatan survival ini juga ditaruh dalam ember besar. Hanya saja, isinya adalah makanan kering yang bisa disimpan bertahun-tahun.

Kangkung dan lele menjadi semacam pernyataan politik. Namun ia juga memperlihatkan bagaimana kelas menengah kita melihat dirinya sendiri. Tidak hanya kangkung dan lele. Sebagian kelas menengah aktif berkebun, mengolah sejengkal tanah yang mereka miliki menjadi bahan pangan, dan kalau tidak punya tanah maka mereka menggunakan berbagai macam cara yang ditawarkan entah dengan pot atau dengan teknologi hidroponik yang juga makin populer di saat pageblug ini. Demikianlah kelas menengah kita membentengi dirinya sendiri.

***

Asu, ora ono lawuhe,” demikian maki seorang pemulung yang tidak sengaja saya dengar ketika saya berjalan kaki menyusuri trotoar kota Jakarta. Ketika itu awal pandemi. Masa puasa Ramadhan juga sedang mendekat. Adalah pemandangan biasa bila menjelang maghrib saya melihat kaum miskin kota berjajar di sepanjang jalan kearah Tebet menuju Pancoran.

Awalnya saya pikir bahwa mereka ini adalah angkatan yang terdepak dari lapangan kerja karena pageblug. Bahkan pernah dalam sesorean saya menghitung ada dua puluh empat orang sepanjang satu sisi jalan sepanjang kurang dari dua kilometer itu. Tentu saja perasaan saya terharu biru melihat banyaknya orang yang menganggur itu. Tidak semuanya laki-laki sehat. Ada perempuan-perempuan yang masih muda. Tidak sedikit yang membawa anak. Wajah mereka semua memelas.

Sebagian dari mereka menarik gerobak. Namun hampir semua membawa kantong besar bekas yang isinya botol plastik dan aneka barang plastik lainnya. Mereka pemulung. Saya kemudian mengingat-ingat ‘teori’ lama yang pernah saya ketahui ketika bergaul dengan kelompok miskin kota. Kalau baju mereka masih bersih, wajah mereka masih bersih, itu artinya mereka belum lama terlempar ke jalanan.

Sebagai orang yang kerap dituduh kekiri-kirian dan menulis di media progresif yang Anda baca ini tentu saja hati saya tergerak dan marah dengan kenyataan ini. Krisis ini akan sangat hebat menghantam Indonesia—terutama Jakarta. Saya mulai melihat tanda-tanda keresahan dalam masyarakat. Saya mulai khawatir akan potensi kerusuhan. Jujur saja, saya mulai berpikir tentang berbagai kemungkinan menyelamatkan diri.   

Setiap hari selama beberapa minggu (sampai sekarang masih saya lakukan) saya keluar berjalan kaki dan menyusuri trotoar Jakarta yang nyaris tanpa pemakai itu. Di kota ini, pejalan kaki adalah kasta pariah. Tidak ada orang mau berjalan kaki. Apalagi di trotoar. Bahkan pemulung memilih berjalan kaki di pinggir jalan. Bukan di trotoar yang punya banyak jebakan tak terduga itu.

Hampir setiap sore menjelang maghrib saya melihat mobil-mobil berhenti. Mereka memberi makanan kepada para pemulung ini. Dan, para pemulung ini—laki, perempuan, remaja, anak-anak hingga ke bayi—tinggal menunggu di pinggir jalan. Makanan mengalir. Ada yang di-drop dengan sepeda motor. Sebagian besar dengan mobil. Hampir semua makanan kotak, entah dengan kertas atau styrofoam.

Kadang saya mengintip apa yang diberikan oleh para penderma yang murah hati itu. Sebagian besar adalah nasi dengan lauk seperti ayam goreng. Tanpa sayuran tentu saja. Kalau pun ada sayuran, itu biasanya disisihkan. Saya tahu itu dari bekas makanan yang mereka tinggalkan di pinggir jalan. Sisa-sisa makanan banyak ditinggalkan di trotoar sehingga menjadi perjuangan tambahan untuk saya supaya tidak menginjaknya. Atau, sebagian akan diletakkan di pinggir sungai kecil yang mengalir di sisi Jl. Saharjo.

Dari bungkus-bungkus yang ditinggalkan, saya tahu bahwa para penderma ini lebih banyak memberikan makanan cepat saji. Terlalu sering saya menjumpai bungkus atau kotak McDonald atau KFC. Beberapa kali pula saya lihat anak-anak pemulung ini makan Pizza, makanan yang tidak akan mereka jumpai sehari-hari.

Beberapa kali juga saya membuka percakapan dengan penerima bantuan ini. Mereka memberitahu saya bahwa mereka bosan makan beberapa merek ayam geprek yang murahan. Mereka sangat suka kalau ada KFC. McDonald lebih baik karena ayamnya lebih enak. Kalau burger? Itu jajanan yang tidak bikin kenyang.

Bagaimana dengan pecel lele? Atau makanan dari warteg? Sebagian besar dari yang saya ajak bicara mengatakan bahwa pecel lele sama sekali bukan favorit mereka. “Ben dina nggih maem pecel lele,” kata seorang bapak dari Purworejo sambil terkekeh. Makanan dari warteg juga tidak menjadi favorit. Saat itu pula saya paham bahwa dalam pengertian para penerima derma ini, lele itu bukan ‘lawuh.’ Ia pantas dimaki.

Dan begitulah. Sebagian besar makanan mereka mengalir dari gerai-gerai waralaba cepat saji yang sebagian besar milik perusahan multinasional ini. Dan kalangan dermawan yang murah hati ini, yang tentu saja adalah kelas menengah kota Jakarta, tahu persis kesukaan para pemulung ini. Kadang saya melihat orang memburu mobil yang menyodorkan sekotak McD atau KFC. Namun, ketika ada mobil yang menyodorkan nasi kotak bergambar batik, tanda makanan dari restoran cepat saji dalam negeri, saya tidak melihat antusiasme yang sama. Kenyataannya beberapa kali saya menjumpai lele goreng yang malang tergeletak di pinggir kali. Mereka menjadi santapan kucing dan tikus yang jumlahnya menyamai jumlah penduduk Jakarta ini.

Sekitar pertengahan bulan Puasa, saya baru menyadari betapa banyaknya perolehan dari para pemulung ini. Setiap ada mobil berhenti, mereka memasukkan kotak makanan ke dalam karungnya. Saya pernah mendapati seorang pemulung mengumpulkan enam kotak didalam karungnya. Dia tersipu waktu saya mendapati dia sudah punya enam kotak makanan di dalam karungnya. Ekspresi wajahnya persis seperti para wajah koruptor kita yang kena OTT.

Beberapa hari lalu, saya berjumpa lagi dengan mobil yang membagi makanan. Ketika berjalan di trotoar depan kompleks pemakaman Menteng Pulo, saya melihat sebuah mobil Avanza melambat dan memanggil penjual minuman instan bersepeda yang menunggu pelanggan di pinggir jalan. Dari luar, terlihat seorang perempuan muda berjilbab mengulurkan sekotak KFC kepada pedagang itu. Sontak orang disekitarnya menyerbu. KFC adalah makanan yang paling diburu pencari derma di pinggir jalan.

Saya juga mengamati bahwa dengan tiba-tiba jumlah pencari derma ini jauh berkurang setelah Lebaran. Saya tanyakan ini kepada tukang tambal ban di depan kompleks makam itu. Dia bilang, sebagian besar pemulung itu adalah pemulung dadakan atau pemulung musiman yang datang ke Jakarta untuk mengemis khusus pada masa Puasa. Mereka tahu persis bahwa pada masa Puasa dan Lebaran adalah musim ketika kelas menengah Jakarta menjadi sangat dermawan. Mendengar itu, sontak rasa haru saya kepada pemulung itu sirna.

Sekarang ini, agaknya yang tinggal adalah mereka yang benar-benar miskin. Saya masih melihat beberapa orang duduk di pinggir jalan menjelang maghrib. Hanya saja di masa ‘new normal’ ini tidak banyak orang menaruh perhatian kepada mereka.

Sesungguhnya keadaan sudah kembali seperti sebelum pandemi– dengan kemacetan dan ketidakpedulian penduduk Jakarta. Jakarta tidak lagi peduli pada pandemi. Di jalanan, saya mendengar seorang tukang GoJek yang seharian belum dapat order mengeluh, “Ah, ini mah mati normal namanya!” Saya kira kata-kata tukang GoJek itu menyimpulkan dengan tepat keadaan sekarang ini.

***

Tidak diragukan bahwa kelas menengah kita sangat dermawan. Ini sesuai dengan kenyataan bahwa Indonesia adalah negara dengan tingkat kedermawanan tertinggi di dunia. Aksi-aksi kedermawanan ini saya saksikan dimana-mana terutama di masa-masa awal pandemi. Seorang supir taksi yang saya tumpangi bercerita bahwa dia mengumpulkan 25 kg beras hanya dalam waktu dua hari. “Banyak yang ngasih, Pak,” katanya. Selain beras, dia juga mendapat Indomie, telor, dan minyak goreng.

Yang menjadi pertanyaan besar saya adalah mengapa orang-orang kelas menengah ini justru memilih kangkung dan lele ketika pandemi? Mengapa pula mereka mendermakan makanan cepat saji yang mahal itu kepada kaum yang sehari-harinya makan kangkung dan lele? Ada semacam pembalikan dan kontradiksi yang meminta jawaban disini.

Mengurai kontradiksi ini tentu tidak mudah. Kelas menengah yang sangat dermawan ini sekarang tengah menghadapi ketidakpastian akibat dari pandemi. Hal yang mengagumkan saya adalah kecilnya oposisi terhadap narasi Corona virus ini. Memang ada beberapa yang menarasikan penentangan terhadap Corona, seperti meragukan apakah ia benar-benar berbahaya, namun ini suara pinggiran (fringe) dan bukan narasi utama. Sebaliknya, kesepakatan akan bahaya virus ini hampir mutlak. Itulah sebabnya kita melihat anggota-anggota kelas ini mengeluh panjang pendek di medsos dan memaki yang melanggar protokol kesehatan.

Sebaliknya, kaum under-class, yang sering dinamakan sebagai rakyat kecil, wong cilik, massa, atau rakyat saja tampak tidak terlalu mengkhawatirkan pandemi. Saya berbicara dengan banyak dari mereka, mulai dari Satpam, tukang Aqua, penjaga warung, tukang bersih-bersih (dalam bahasa kelas menengah: janitor), pembantu rumah tangga (yang sekarang dipasemonkan menjadi ART, Asisten Rumah Tangga), tukang ojek, dan sopir taksi. Untuk mereka, virus Corona hanyalah salah satu dari sekian banyak ancaman hidup.

Ada banyak ancaman lain yang menurut mereka lebih nyata. Kehilangan pekerjaan, misalnya. Beberapa kali saya bertanya pada mereka, apakah Anda akan pelihara lele dan tanam kangkung dalam ember saja kalau kehilangan pekerjaan? Banyak dari mereka ternganga dan melihat saya dengan ekspresi kera menatap cermin ketika mendengar pertanyaan itu.

Reaksi paling epik yang saya dapat adalah, “Bapak udah gila kali ya? Yaelah, beli aja kangkung ama lele. Lebih murah, kali!”

Saya juga terkesan dengan cara kelas menengah dermawan ini memberikan makanan. Jarang mereka turun dari kendaraan. Mereka hanya memanggil orang yang dituju dengan sedikit membuka kaca jendela mobil. Ketika penerima berada dalam jarak cukup dekat, barulah mereka mengeluarkan makanan yang mau mereka berikan. Cara ini persis sama seperti cara anggota kelas menengah yang sekarang menghuni Istana Merdeka. Kadang dia membagi hadiah kepada rakyatnya dengan melempar. Kadang pembantu-pembantunya memberikan bingkisan. Dia cukup ada didalam mobil dan membuka kaca jendelanya, menyapa massa-rakyat yang diberinya bingkisan.

Semua aksi dan tindakan kedermawanan kelas menengah menimbulkan teka-teki. Karena saya belajar ilmu-ilmu sosial dan meneliti maka saya pun bertanya, apa yang sesungguhnya menjadikan seseorang masuk ke dalam kategori kelas menengah? Saya setuju dengan anggpan bahwa pendidikan menjadi titik acu kelas menengah. Yang kedua saya kira adalah pekerjaan sebagai sebagai pegawai. Sebagian besar kelas menengah adalah pegawai entah yang bekerja untuk negara maupun perusahan-perusahan swasta—yang sesungguhnya juga banyak tergantung  pada kontrak-kontrak dari negara. Mereka bukan buruh rendahan. Sebagian besar dari mereka termasuk golongan manajerial dan administratif. Ada kaitan yang besar sekali antara kelas menengah kita ini dengan negara. Bahkan kelas menengah kita sesungguhnya diproduksi oleh negara.

Lewat perjalanan saya diatas, saya melihat bahwa dalam tataran persepsi ada keterputusan (disconnection) antara kelas menengah dengan apa yang dipersepsikan sebagai rakyat. Inilah yang persis digambarkan dengan bagus sekali oleh Lizzy van Leeuwen dalam bukunya Lost in Mall tentang kelas menengah Jakarta tahun 1990-an. Dalam studi etnografinya, Lizzy menelisik gaya hidup kelas menengah yang hidup di kota satelit Bintaro. Dia menggambarkan bagaimana kelas ini hidup dalam kompleks perumahan yang jelas tidak dimiliki oleh rakyat (underclass); ketergantungan mereka terhadap para pembantu (yang pada masa kini dipasemonkan menjadi asisten rumah tangga/ART yang tentu saja tanpa banyak perubahan nasib); kecanduan mereka terhadap AC; dan dunia yang mereka ciptakan untuk diri mereka sendiri dan menjadi demarkasi untuk orang kebanyakan, yaitu shopping mall.

Membaca buku Lizzy dan mengalami langsung di jalanan, saya berkesimpulan bahwa kelas menengah kita, seperti juga kelas menengah di banyak negara, mengukur segala sesuatu dengan diri mereka sendiri. Ini sama persis seperti yang pernah ditulis Drs. Wahjoe Sardono atau Dono Warkop yang berpuluh tahun lalu menulis bahwa kelas menengah Indonesia adalah kelas yang sibuk dengan dirinya sendiri.

Kata kunci memahami kelas ini, saya kira, adalah begitu terobsesinya mereka dengan perasaan ‘enak’ atau ‘nyaman’ (comfortable). Kedermawanan mereka sesungguhnya adalah tindakan pengakuan pada diri sendiri (self-validation) yang berujung pada perasaan ‘nyaman’ tersebut. Apa yang tampaknya kemandirian pada Revolusi Kangkung dan Lele itu sesungguhnya adalah reaksi ketidaknyamanan bahwa pasokan pangan akan terputus. Tidak heran bahwa reaksi mereka adalah seperti orang-orang Amerika yang menimbun ‘doomsday food,’ yang menariknya sama-sama berbentuk ember.

Kangkung dan Lele memperlihatkan lepasnya kelas ini dari kenyataan (detachment from reality). Imajinasi kelas menengah lagi-lagi adalah imajinasi tentang dirinya sendiri. Tak salah bila antropolog James Siegel pernah mengatakan bahwa kelas menengah kota Indonesia sama sekali tidak tahu apa yang dialami dan dirasakan oleh saudara-saudara mereka yang hidup di desa. Dalam pengalaman saya, jangankan di desa; mereka juga tidak tahu kehidupan sopir Gojek yang mengantar makanan mereka atau Satpam yang menjaga apartemen atau kompleks perumahan mereka.  

Di negeri ini kita seakan hidup dalam dua dunia. Yang satu adalah dunia kelas menengah yang asyik dengan dirinya sendiri. Yang lain adalah dunia rakyat jelata, yang bertahan hidup sebisanya, dan kadang cukup dengan remah-remah dan kerahaman kelas menengah dan elit penguasa. 

Ini juga tercermin dalam demokrasi kita. Taruhlah misalnya dalam demonstrasi. Media dan kaum intelektual kita menaruh penghargaan setinggi-tingginya kepada mahasiswa, anak-anak terdidik yang sebagian besar juga adalah anak-anak para pegawai. Kontras yang sangat mencolok akan diberikan kepada aksi-aksi buruh atau petani, baik dalam level persepsi dan perlakuan. Aksi-aksi buruh hampir pasti akan dipersepsikan sebagai kekacauan dan ketidaktertiban; media akan lebih banyak memberitakannya sisi negatifnya; dan polisi akan mengambil tindakan lebih keras terhadap buruh.

Kangkung dan lele, untuk kelas menengah ini, adalah sebuah revolusi. Menanamnya adalah hal yang sungguh luar biasa. Tanpa menyadari bahwa kangkung adalah tanaman yang paling mudah tumbuh dan lele adalah ikan yang paling mudah untuk dipelihara. Sama seperti KFC adalah makanan cepat saji. Tentu saja, ini sama sekali tidak akan mengangkat derajat kangkung dan lele. Saya tidak pernah mendengar ada yang mengusulkan agar kangkung diangkat sebagai sayur nasional dan lele sebagai ikon bangsa.

Revolusi kangkung dan lele adalah revolusi tanpa radikalisme. Hal yang sama juga terjadi dengan kedermawanan yang sama sekali bukan “radical generosity” seperti yang kita lihat pada orang-orang yang hidup karena ide dan inspirasi keadilan sosial.

Revolusi macam ini hanya akan mematikan radikalisme sosial. ***

]]>
Arief Budiman (1941-2020): Warisan-Warisan Intelektual dan Aktivismenya https://indoprogress.com/2020/04/arief-budiman-1941-2020-warisan-warisan-intelektual-dan-aktivismenya/ Wed, 29 Apr 2020 09:23:35 +0000 https://indoprogress.com/?p=201155

Sumber foto: Jakarta Post


ARIEF Budiman, orang besar dalam dunia intelektual Indonesia, yang aktivismenya tidak pernah berhenti mempertanyakan penyelewengan penguasa, meninggal pada siang hari 22 April 2020 akibat sakit Parkinson yang dideritanya selama dua belas tahun. Usianya 79 tahun.

Arief Budiman hidup di tiga zaman berbeda. Dia adalah generasi pasca-Revolusi 1945. Dia sudah cukup dewasa ketika presiden pertama RI, Ir. Soekarno mulai menyelewengkan kekuasaan. Dalam usia kepala dua, dia ikut merancang dan menandatangani Manifes Kebudayaan (Manikebu) sebagai perlawanan terhadap Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra), organ kebudayaan Partai Komunis Indonesia (PKI).

Arief juga berada di barisan pendiri Orde Baru. Paling tidak dia menyokong pendirian rezim ini karena oposisinya terhadap pemerintahan Soekarno. Bersama mahasiswa-mahasiswa lain dan bekerjasama dengan militer, mereka menggulingkan Soekarno yang kemudian mereka beri nama rezim Orde Lama.

Namun tidak lama setelah Soekarno jatuh dan Jendral Soeharto menegakkan Orde Baru, Arief kehilangan selera untuk mendukung rejim yang turut dia bidani. Tak perlu waktu lama baginya berbulan madu dengan dengan Orde Baru. Dia langsung menjadikan dirinya oposisi dari rezim militer ini.

Arief Budiman dikenal sebagai pengkritik pemerintah dalam kasus-kasus korupsi. Rezim yang masih muda ini ternyata menjadi ladang subur para koruptor. Mereka yang kini berkuasa tidak lebih baik dari mereka yang telah dijatuhkan. Bahkan dalam banyak hal lebih buruk karena ada banyak bantuan luar negeri mengalir untuk restorasi ekonomi.

Arief Budiman juga ikut dalam gerakan Mahasiswa Menggugat (MM) yang menyoroti maraknya korupsi di dalam pemerintahan Orde Baru. Gerakan ini kemudian berubah menjadi Komite Anti-Korupsi (KAK). Namun, setelah berusia sebulan KAK bubar karena pemerintah Orde Baru merespons dengan mendirikan Komite 4, sebuah komite yang beranggota empat tokoh politik, yang tugasnya menyelidiki korupsi.

Dia juga dikenal sebagai tokoh yang ikut membidani Golput (Golongan Putih). Pemerintahan Soeharto hendak mengadakan pemilu pertama tahun 1971. Hanya Sembilan partai politik yang boleh ikut. Pemerintah tetap melarang Partai Sosialis Indonesia (PSI) dan Majelis Sjuro Muslimin Indonesia (Masjumi) untuk berpartisipasi dalam pemilu ini. Alasannya, kedua partai ini telah dilarang oleh Soekarno karena dituduh terlibat dalam pemberontakan daerah pada akhir 1950-an.

Selain kedua partai itu, PKI juga sudah dinyatakan terlarang. Anggota-anggotanya dibantai dan ditahan tanpa proses pengadilan di banyak rumah tahanan—sebagian akhirnya dibuang ke Pulau Buru, Gulag-nya Indonesia.

Hanya Sembilan partai boleh ikut pemilu. Penguasa membentuk satu Golongan Karya (Golkar) yang tidak pernah diakui sebagai partai tetapi berfungsi sebagai partai.

Itulah yang melatarbelakangi munculnya Golput. Ide Golput ketika itu sederhana sekali: orang dianjurkan datang ke tempat pemungutan suara, mencoblos bagian putih dari surat suara. Dengan demikian, suara jadi tidak sah. Namun, ada juga kekhawatiran bahwa sekalipun orang mencoblos bagian putih, suara akan tetap dihitung–sebagai suara Golkar, partai penguasa, tentu saja. Itulah sebabnya para aktivis dan mahasiswa di pihak oposisi membuat kekuatan kesebelas. Sebuah “partai” dengan lambang segi lima putih.

Gerakan Golput hidup di media massa, namun gagal sebagai gerakan sosial dan politik. Golput hanya efektif sebagai wacana (discourse). Ironisnya, Golput justru menjadi efektif di tangan penguasa untuk menekan dan menakut-nakuti orang untuk memilih. Dari pemilu ke pemilu, pemerintah Orde Baru selalu menghembus-hembuskan “bahaya” jika orang memilih Golput. Bahkan hingga sekarang pun Golput menjadi hantu yang ditakutkan terutama oleh politisi yang mencari suara lewat pemilu.

Sepak terjang Arief Budiman dalam berhadapan dengan kekuasaan sudah banyak didokumentasikan. Dia pernah menggerakan protes terhadap pembangunan Taman Mini Indonesia Indah (TMII), sebuah proyek yang digagas istri Soeharto, Ny. Siti Hartinah (Tien) setelah mengunjungi Disneyland Park di Annaheim, California. Proyek ini diprotes karena dianggap pemborosan. Sebelumnya, Soeharto sendiri berperan untuk berhemat karena kehidupan rakyat masih susah.

Nama Arief Budiman pun hadir di hampir semua periode gerakan sosial di Indonesia, kecuali mungkin ketika dia absen dari negeri ini, khususnya saat bersekolah di Amerika. Sejak 1985, sesudah menamatkan studi doktoralnya di Universitas Harvard, Arief Budiman bergabung dengan Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW).

Kedatangannya ke UKSW memberikan aura baru kepada kampus itu. Dia bukan saja memberikan nuansa segar bagi kehidupan intelektual di sana, namun juga membangkitkan energi untuk tumbuhnya aktivisme di kampus yang biasanya tenang itu. Pengaruh Arief tidak sebatas di UKSW, tapi juga bergaung ke kampus-kampus di wilayah sekitarnya.

Mahasiswa-mahasiswa berdatangan untuk belajar padanya. Banyak dari mereka yang kemudian menjadi besar di berbagai bidang. Mereka datang dari berbagai disiplin ilmu. Nyatanya, beberapa murid terbaik Arief adalah mahasiswa yang tidak berlatar belakang studi sosial. Para mahasiswa ini datang pertama-tama karena ketertarikan untuk mengawinkan dunia intelektual dengan aktivisme. Arief Budiman adalah perpaduan yang pas antara keduanya.

Peranan Arief dan aktivis-aktivis mahasiswa didikannya ini mengemuka pada akhir tahun 1980-an ketika kasus Kedungombo meledak. Saat itu pemerintah hendak membangun sebuah waduk yang akan menenggelamkan 5.628 keluarga yang mendiami 37 desa di tujuh kecamatan yang terletak di tiga kabupaten. Ribuan keluarga dipaksa pindah dengan ganti rugi yang rendah. Sebagian besar menerima, namun 600 keluarga bersikeras tidak mau pindah. Arief, bersama para mahasiswa dan pemuda yang berkumpul di bawah Yayasan Geni, membantu mendampingi warga ini. Ini dilakukan bersama Romo Mangun (YB Mangunwijaya) di Yogya dan KH. Hammam Dja’far, pengasuh Pondok Pesantren Pabelan di Magelang. Koalisi berbagai elemen masyarakat sipil ini mampu memberikan inspirasi untuk gerakan-gerakan sosial di Indonesia pada masa-masa selanjutnya.

***

Arief Budiman menduduki posisi unik di kalangan generasi intelektual Indonesia. Dia lahir hanya empat tahun sebelum Revolusi Kemerdekaan Indonesia meledak. Formasi pendidikannya berlangsung di masa-masa awal Republik. Pada 1960, menurut Goenawan Mohamad, Arief sudah tampak sebagai orang yang luara biasa. Dia sudah membaca buku-buku filsafat, senang sastra, suka bermusik, dan juga pintar matematika. Di kalangan teman-temannya dia dikenal dengan nama Tionghoanya, Soe Hok Djin. Walhasil, banyak orang cukup memanggilnya “Djin” saja.

Latar belakang kehidupan intelektual Arief, saya kira, banyak dipengaruhi keluarga. Ayahnya Soe Lie Piet adalah seorang wartawan dan novelis. Bisa dibayangkan keluarganya bergelimpangan buku. Buku harian adiknya, Soe Hok Gie, yang kemudian diterbitkan dan difilmkan itu, bisa menjadi acuan bagaimana buku membentuk kehidupan keluarga Soe Lie Piet.

Tradisi literer itulah yang agaknya membentuk Arief menjadi seorang intelektual. Selain itu dia pun mendapatkan semua pendidikan di semua institusi terbaik di Indonesia: Kolese Kanisius yang dikelola oleh Jesuit dan Universitas Indonesia, sebuah universitas yang praktis mewarisi semua tradisi akademis terbaik yang pernah ada di negeri ini sejak masa Kolonial.

Saya membayangkan Arief melewati masa-masa remajanya di bawah hiruk pikuk alam demokrasi liberal. Namun dia juga mengalami bagaimana Presiden Soekarno semakin hari kian menguatkan genggaman kekuasaan negara pada dirinya sendiri. Untuk itu, Soekarno mengandalkan dukungan dari TNI-AD dan PKI.

Arief juga mengalami bagaimana pertarungan ideologis ini tidak lagi berupa perdebatan-perdebatan di ruang-ruang opini, melainkan sudah masuk ke tingkat sangat personal dengan ganyang-mengganyang. Dalam hal ini, yang paling agresif melakukannya adalah Lekra, organisasi yang berafiliasi dengan PKI. Pada usia 23 tahun, Arief menjadi salah satu penandatangan Manifes Kebudayaan (Manikebu) sebuah deklarasi yang mengklaim mengikuti ideologi humanisme universal sebagai lawan dari ideologi realisme-sosialis yang dianut Lekra.

Klaim dari manifesto ini pun sesungguhnya masih bisa diperdebatkan. “Bagi kami,” demikian para deklaratornya, “kebudayaan adalah perjuangan untuk menyempurnakan kondisi hidup manusia. Kami tidak mengutamakan salah satu sektor kebudayaan di atas sektor kebudayaan lain. Setiap sektor berjuang bersama-sama untuk kebudayaan itu sesuai dengan kodratnya.” Selanjutnya, untuk menciptakan Kebudayaan Nasional, Manifes mengatakan: “Kami berusaha menciptakan dengan kesungguhan yang sejujur-jujurnya sebagai perjuangan untuk mempertahankan dan mengembangkan martabat diri kami sebagai bangsa Indonesia di tengah masyarakat bangsa-bangsa.” Manifes ditutup dengan: “Pancasila adalah falsafah kebudayaan kami.”

Jika dibaca hari ini, manifesto itu kelihatan sangat ‘lunak’. Hampir-hampir tidak memperlihatkan pondasi intelektual humanisme dari sisi apapun. Lagipula, tampaknya realisme-sosialis di kalangan pendukung Manikebu direduksi habis sebagai Stalinisme belaka. Namun, tidak pelak, dari kacamata politik saat itu, Manifes memunculkan perpecahan (divisiveness) yang sangat dalam.

Ganyang-mengganyang pun terjadi. Lekra—yang saat itu merasa mendapat angin dan perlindungan dari Soekarno karena sang presiden membutuhkan PKI untuk mengimbangi kekuatan TNI-AD—menyerang pendukung-pendukung Manikebu. Para pendukung Lekra pun memplesetkan Manikebu menjadi manikebo (sperma kerbau).

Perdebatan yang sesungguhnya bisa menjadi sangat intelektual tersebut akhirnya berubah menjadi pertarungan politik. Arief dan orang-orang segenerasinya pun terjun ke dalam politik, tidak dengan terlibat dalam organisasi politik kepartaian melainkan aktivisme politik.

Generasi mereka dikenal dengan sebutan sebagai Angkatan ’66. Studi Francois Raillon tentang koran Mahasiswa Indonesia saya kira memberikan gambaran yang sangat tepat tentang arus pemikiran para intelektual generasi itu. Pada umumnya mereka sangat anti-partai politik. Mereka menganggap ideologi-ideologi yang ditawarkan oleh partai-partai politik tersebut sudah usang. Yang terpenting, menurut mereka, ideologi-ideologi tersebut tidak akan bisa membawa bangsa Indonesia meraih kemajuan. Inti ideologi dari generasi yang anti-ideologi ini adalah modernisme.

Kita bisa melihat jejaknya dari Manifes Kebudayaan (“kami berusaha menciptakan dengan kesungguhan yang sejujur-jujurnya sebagai perjuangan untuk mempertahankan dan mengembangkan martabat diri kami sebagai bangsa Indonesia di tengah masyarakat bangsa-bangsa”). Perasaan untuk menjadi bangsa bermartabat di tengah masyarakat bangsa-bangsa ini sesungguhnya adalah keinginan untuk menjadi modern. Inilah yang kemudian melahirkan ideologi modernisasi. Rejim Orde Baru, yang dilahirkan oleh Angkatan ’66 lewat kerjasama dengan TNI-AD,  kemudian menerjemahkannya sebagai satu kata sakti yang berjaya selama 32 tahun kekuasaannya: Pembangunan.

Modernisasi itulah yang menjadi ideologi pendukung Orde Baru, baik di lapisan intelektual maupun yang kemudian masuk ke dalam politik dan menjadi abdinya. Seperti dikatakan di atas, Arief Budiman mengambil jalan lain. Dia menjadi kritik untuk pembangunanisme Orde Baru. Itulah yang membedakannya dari arus utama (mainstream) Angkatan ’66.

***

Secara teoritik, Arief mengambil jalan berbeda. Setelah pulang ke Indonesia pada awal tahun 1980, Arief memperkenalkan teori-teori ketergantungan (dependencia) sebagai ant-tesis dari pembangunanisme. Sederhananya, teori ini menggambarkan bahwa dunia terbagi menjadi dua, yakni antara negara-negara inti (core) yang maju dengan negara-negara pinggiran (peripheries) yang miskin.

Teori ini menjelaskan mengapa negara-negara pinggiran tetap miskin sementara negara-negara maju malah makin maju. Ada banyak teori ketergantungan, mulai dari yang dikembangkan ekonom Argentina Raúl Prebisch hingga ekonom atau sosiolog Kiri di Amerika Serikat seperti Paul Baran, Andre Gunder Frank, atau Paul Sweezy.

Argumennya: modernisasi yang dilakukan oleh negara-negara pinggiran tidak akan pernah berhasil karena pelaksanaannya tergantung kepada negara-negara maju dalam hal kapital, teknologi, dan bahkan ilmu pengetahuan. Keterbelakangan negara-negara pinggiran justru terjadi karena penyambungan (coupling) antara negara kaya dan negara miskin. Penyambungan itulah yang menyebabkan ketergantungan dan pada akhirnya keterbelakangan. Solusi paling radikal dari pandangan ini adalah dengan melakukan decoupling atau pemisahan. Negara-negara miskin membangun dirinya dengan apa yang dimilikinya, dengan swasembada dan kekuatan sendiri.

Arief Budiman adalah salah satu intelektual yang memperkenalkan teori-teori ini ke dalam ilmu-ilmu sosial di Indonesia. Teori ini segera menjadi bagian dari kritik terhadap modernisasi dan pembangunanisme yang menjadi ideologi Orde Baru.

Posisi yang diambil Arief agak mengherankan jika dilihat dari latar belakang pendidikannya. Dia mengambil studi doktoral di Harvard University di akhir tahun 1970-an. Dalam peta ilmu-ilmu sosial, Harvard tidak punya reputasi sebagai sebagai universitas kiri. Di Harvard, Arief belajar di bawah bimbingan Theda Skospol, seorang strukturalis ahli teori-teori revolusi, negara, dan perbandingan politik. Skocpol sendiri adalah seorang murid dari sosiologi terkenal Barrington Moore, yang karyanya Social Origins of Dictatorship and Democracy (1966) menjadi bacaan wajib untuk mahasiswa sosiologi dan ilmu politik.

Kemungkinan Arief memperoleh akar-akar strukturalisnya dari Skocpol. Namun, strukturalisme Skocpol yang sangat teoritik itu boleh jadi tidak memuaskannya sehingga dia beralih ke teori-teori ketergantungan yang lebih mengarah kepada praksis.

Selain itu, teori ketergantungan berkembang dan banyak dipakai untuk menganalisis Latin Amerika. Saya tidak tahu apakah sebuah kebetulan atau tidak jika salah satu tokoh besar dalam teori ini adalah Andre Gunder Frank (salah seorang murid Milton Friedman, ahli ekonomi dari University of Chicago yang menjadi penganjur utama pasar bebas atau laissez-faire). Frank pernah menjadi penasehat ekonomi Salvador Allende, presiden sosialis dari Chile. Arief Budiman sendiri menulis disertasi tentang eksperimen Chile untuk menerapkan sosialisme dengan jalan demokrasi  yang kemudian diterbitkan dalam bahasa Indonesia, Jalan Demokratis ke Sosialisme: Pengalaman Chili di Bawah Allende (1987).

Rute intelektual yang diambil oleh Arief Budiman sesungguhnya berada pada posisi pinggiran di Amerika. Ini juga menjadi keunikan Arief. Dia seringkali berada di institusi-institusi mainstream yang kanan, sekalipun dia memilih berada di jalur kiri.

Setelah selesai dari Harvard, misalnya, Arief mendapat setahun fellowship di Institute for Advanced Studies di Princeton, New Jersey. Ini adalah sebuah institusi yang sangat prestisius. Sejauh yang saya tahu, hanya dua orang Indonesia yang pernah menjadi fellow di Institute ini, Arief Budiman dan antropolog Degung Santikarma. Di institut ini pula Albert Einstein berkantor. Selain itu di sana ada juga antropolog besar Clifford Geertz. Institut ini juga dipenuhi oleh orang-orang konservatif atau neo-konservatif seperti Seymour Martin Lipset.

Perjalanan intelektual dan akademik Arief sesungguhnya tidak terlalu radikal. Selain pembatasan yang dilakukan oleh rejim militer Orde Baru, tampaknya Arief juga tidak terlalu tertarik pada analisis yang radikal. Dia tidak beranjak lebih jauh dari teori ketergantungan—dengan segala variannya dalam ilmu politik seperti analisis rejim birokratik-otoriterisme, misalnya—ke teori-teori yang lebih radikal seperti analisis “Global South” seperrti yang dilakukan oleh sosiolog Filipina, Walden Bello.

***


Ketidaktertarikan Arief pada radikalisme juga tampak pada aktivismenya. Analisis teoritik Arief sangat banyak terpengaruh Marxisme. Ini terlihat pada adopsinya terhadap teori-teori strukturalisme. Kritik teori-teori ketergantungan terhadap sistem ekonomi kapitalis pun sesungguhnya berasal dari tradisi Marxisme.

Namun, hal ini tidak diterjemahkan oleh Arief ke dalam aktivismenya. Arief tidak pernah menganjurkan berdirinya organisasi-organisasi perlawanan terhadap kapitalisme. Atau, dalam tataran yang lebih praktis, organisasi perlawanan untuk melawan rejim otoriter seperti Orde Baru. Dia mungkin bersimpati pada anak-anak muda yang mendirikan organisasi perlawanan bawah tanah, berinteraksi dengan para aktivisnya, atau bahkan membantu mereka dalam kesulitan. Akan tetapi dia tidak terjun di dalamnya.

Pengawasan Orde Baru yang sedemikian ketat mungkin menjadi satu alasan. Alasan lain mungkin bersandar pada hal yang lebih substansial, yakni ketidaknyamanan Arief pada organisasi khususnya organisasi massa yang ketat dan rapi. Dengan kata lain, penolakan Arief pada bentuk-bentuk organisasi radikal lebih bersifat filosofis ketimbang perhitungan politis.

Dalam pandangan Arief, aktivisme itu tidak lebih dari sebuah kekuatan moral. Arief lebih tertarik untuk meletakkan aktivisme itu sebagai kekuatan para intelektual. Dalam satu tulisan di majalah Prisma, yang kemudian dimuat ulang dalam buku Cendekiawan dan Politik (editor: Wiratmo Soekito), Arief memakai metafora “resi” untuk para aktivis khususnya mahasiswa. Dia menunjuk spesifikasi khusus untuk aktivis ini, yakni golongan mahasiswa atau kaum intelektual.

Seorang resi, demikian argumen Arief, akan turun dari pertapaannya kalau ada rakyat mengalami masalah. Para aktivis mahasiswa dan golongan intelektual persis seperti itu. Tuntutan moral untuk berdiri di sisi rakyat itulah yang membuat para aktivis bergerak.

Menurut Arief, lawan dari gerakan moral adalah gerakan politik. Bagi Arief, gerakan politik biasanya ditunggangi oleh kepentingan. Sebaliknya, gerakan moral–seperti halnya gerakan moral dan gerakan para cendekiawan–jauh dari kepentingan politik. Aktivis akan kembali ke tempat semula (pertapaan) jika keadaan sudah normal.

Saya mendapat kesan bahwa Arief sangat percaya jika kaum cendekiawan adalah tulang punggung gerakan moral ini. Hanya merekalah yang bisa menarik diri (retreat) sesudah kewajiban moral itu terpenuhi. Sebenarnya konsep ini sangat elitis.

Namun, pemikiran ini tidak aneh jika melihat pola pikir para intelektual aktivis segenerasi Arief. Bisa dipahami kalau mereka cenderung anti-politik mengingat mereka melihat dan mengalami sendiri benturan ideologi dan pengekangan kebebasan yang terjadi pada jaman Soekarno. Juga bisa dipahami keterbatasan ruang gerak mereka dalam sistem otoriterisme Orde Baru yang mengontrol ketat segala kehidupan sosial.

***

Tidak banyak orang seperti Arief Budiman dalam kehidupan sosial dan politik Indonesia. Arief berjuang secara maksimal mengisi setiap kesempatan yang ditawarkan jamannya. Dia berjuang dalam medan sekecil apapun. Dia mengawinkan keyakinan teoritik-nya (theoretical conviction) dengan keberpihakannya, khususnya pada rakyat kecil. Dia menginspirasi banyak anak muda untuk berpikir kritis.

Arief juga yang secara perlahan memperkenalkan kembali pikiran-pikiran Marxis—sekalipun dalam versi yang sangat lembut—kepada publik Indonesia. Padahal, ruang untuk itu sangat terbatas. Reformasi Indonesia, sekalipun sekarang tampaknya sudah dikorupsi sebanyak-banyaknya, tidak akan pernah hadir tanpa sumbangsih intelektual macam Arief.

Zaman juga berubah. Bahkan semasa Arief masih aktif mengajar, gerakan-gerakan sosial tidak lagi hanya semata-mata berada di dalam kerangka moral. Para aktivis pernah menjadi lebih teroganisasi ke dalam bentuk partai. Eksperimen ini gagal total. Bahkan tidak sedikit dari para aktivisnya menjadi politisi dengan spesies yang persis sama dengan politisi Orde Baru yang pernah mereka lawan, sama seperti para aktivis angkatan-angkatan sebelumnya.

Jika ada aktivisme yang mungkin sangat bertolak belakang dengan generasi Arief Budiman maka itu adalah de-intelektualisasi gerakan. Sekarang ini, kekuatan aktivisme mahasiswa dan kaum intelektual sudah sangat berkurang dibanding sebelumnya. Di sebelah Kanan, aktivisme muncul justru dari gerakan-gerakan keagamaan yang sering hanya dilihat dari sisi intoleransinya dan kerap dituduh gerakan radikal. Aktivisme Kanan juga muncul sebagai gerakan-gerakan xenophobic yang mencampurkan ide-ide nativis-nasionalis dengan populisme.

Sebaliknya di sebelah Kiri muncul gerakan yang lebih dekat dengan anarkisme dan sindikalisme. Gerakan-gerakan ini tidak memiliki organisasi dan struktur. Aktor-aktornya masih sangat belia. Seperti yang muncul pada saat demonstrasi #ReformasidiKorupsi tahun lalu, sebagian aktivis yang turun ke jalan adalah anak-anak STM. Mereka bergabung dengan gerakan massa buruh.

Persamaan antara yang Kanan dan Kiri hari ini adalah bahwa mereka sama-sama anti-intelektual. Mereka tidak lagi dibimbing oleh filsafat atau teori-teori sosial mutakhir. Sebagian besar pengetahuan mereka tentang dunia (dalam imajinasi maupun dalam kenyataan) didapat dari koneksi dengan media sosial.

Apakah ini fenomena yang salah? Saya tidak berani menghakimi. Saya kira, jika dihadapkan pada persoalan  ini, Arief Budiman akan menganjurkan sesuatu yang lebih bijak. Dia akan menganjurkan untuk belajar dengan lebih baik dan melihat lebih dalam. Juga, dia akan menganjurkan kejernihan moral untuk menentukan keberpihakan.

Ini juga mengindikasikan bahwa aktivisme tidak akan berarti tanpa keobyektifan (objectivity) dalam melihat persoalan. Persis disinilah menurut saya problem terbesar dari intelektualisme dan moralisme yang ditawarkan oleh Arief. Saya teringat ujaran seorang cendekia, “Objectivity is the subjectivity of the powerful.” Objetivitas adalah subyektifitas dari yang memiliki kuasa.

Selamat jalan, Bung Arief Budiman! Terimakasih sudah memberikan inspirasi bagi banyak anak muda Indonesia! ***
 

]]>
Gotcha Journalism, Sitti KPAI, dan Palin https://indoprogress.com/2020/02/gotcha-journalism-sitti-kpai-dan-palin/ Tue, 25 Feb 2020 04:48:03 +0000 https://indoprogress.com/?p=150718

Ilustrasi oleh JonpeyKarya-karyanya dapat dijumpai di sini.


KOMISIONER KPAI Sitti Hikmawatty menjadi bulan-bulanan di media sosial. Diwawancarai Tribun News, ia mengeluarkan pernyataan yang kontroversial itu. Dalam wawancara itu Sitti mendukung ide pemisahan kolam renang untuk laki-laki dan perempuan. Dia memberikan rasionalisasi mengapa harus ada dua kolam untuk dua jenis kelamin berbeda.

Di sinilah kontroversi itu dimulai. Sitti mengatakan kemungkinan laki-laki mengeluarkan sperma saat berenang. Jika perempuan sedang subur, sperma itu bisa membuahi si perempuan. Tanpa penetrasi alat kelamin.

Dalam perspektif ilmu pengetahuan, pernyataan ini tentulah bodoh. Ketika diwawancarai, Sitti tampaknya lebih percaya pada apa yang dia yakini ketimbang pada fakta pengetahuan biologi.

Kita bisa meraba asal-usul keyakinan itu. Namun, bukan itu yang hendak kita bicarakan panjang-lebar di sini. Dari berbagai perbincangan online, ada beberapa hal yang menarik perhatian saya, yakni praktik jurnalisme di sekitar pernyataan Sitti.

Baca juga: Hoax dan Masa Depan Pemberitaan

Ada yang mengungkapkan rendahnya mutu jurnalisme Tribun. Koran ini adalah versi “kuning” dari koran Kompas, bacaan utama kelas menengah Indonesia. Ada yang menuduh si wartawan sengaja melakukan ini demi rating online. Istilah masa kininya adalah click-baiting. Berita hanya sekedar umpan untuk pembaca mengklik. Semakin banyak klik, semakin banyak uang masuk. Setiap klik punya nilai rupiah.

Ada juga yang mengeluhkan standar ganda. Umumnya ini datang dari kalangan intelektual liberal. Mereka mengatakan orang-orang yang selama ini berpihak pada ketinggian moral telah jatuh ke dalam perangkap kerendahan mutu Tribun. Untuk mereka, Tribun tetap rendah. Media ini didirikan hanya untuk mencari untung. Sekali pun ada yang bagus dari Tribun, itu tidak menafikan rendahnya ‘raison d’etre’ pendirian media ini. Mereka yang punya standar moral tinggi tidak seharusnya terperangkap dalam moral rendahan ini.

Apa yang salah dari laporan Tribun ini?

Tidak ada. Untuk saya, Tribun sudah memenuhi semua standar jurnalisme. Saya melihat video wawancara Sitti. Untuk kasus itu, tidak ada alasan menghakimi Tribun dari sisi jurnalisme. Kali ini mereka menunaikan tugas dengan baik. Sitti Hikmawatty adalah pejabat publik.

Politisi umumnya menyalahkan media dan pekerja media (reporter) untuk hal-hal yang membuat mereka tidak nyaman. Memang, lebih mudah menyalahkan si pembawa pesan (messenger), yakni para reporter yang bekerja jatuh bangun di lapangan, ketimbang menelisik pesan-pesan (message) yang diberikan oleh seorang politisi atau pejabat publik.

Saya menilai pesan yang disampaikan Sitti ini adalah pesan yang sah. Publik berhak tahu sikap dan pandangan dia. Wawancara yang diberikan kepada media menunjukkan watak sejati Sitti, posisinya dalam satu isu kebijakan, serta cara pandangnya. Dengan demikian publik bisa menilai apakah si pejabat bisa dipercaya, apakah ia layak menyandang jabatannya, apakah orang merasa nyaman dengan memberikan posisi “pelindung anak Indonesia” kepada seseorang yang lebih percaya pada nilainya sendiri atau pada sikap yang diambil berdasar ilmu pengetahuan.

Kontroversi Sitti mengingatkan saya pada Sarah Palin, politisi Amerika yang menjadi calon wakil presiden dalam pemilihan presiden 2008. Palin, gubernur negara bagian Alaska, dipilih menjadi pasangan John McCain karena dianggap mampu menarik pemilih dari segmen kelas pekerja kulit putih. John McCain tidak terlalu populer di segmen pemilih ini. Masalahnya, dia lebih terlihat sebagai seorang liberal ketimbang konservatif sekalipun berasal dari Partai Republik.

Saya masih ingat ketika Sarah Palin pertama kali muncul. Publik Amerika tidak terlalu mengenalnya sehingga dia harus tampil di televisi dan media-media lain. Ketika itu media sosial belum punya pengaruh sebesar sekarang. Karena bobot beritanya, Palin akhirnya diwawancarai oleh Katie Couric, seorang wartawan TV senior yang punya reputasi amat tinggi dan bekerja untuk CBS Evening News.

Baca juga: Tabiat Apakah?: Ketakutan Besar, Krisis dan Hoax

Di situlah ‘bencana’ muncul. Palin, seorang ibu rumah tangga yang cantik dan punya daya tarik yang cukup tinggi, ternyata kedodoran. Katie Couric mencoba mengklarifikasi pernyataan Palin sebelumnya yaitu bahwa dia akan baik-baik saja menghadapi Russia karena “Russia sangat dekat dengan Alaska. Bahkan bisa dilihat dari jendela rumah saya.”

Namun, yang paling kontroversial adalah ketika Couric menanyakan surat kabar atau media apa yang dibaca oleh Palin. Pernyataan itu diajukan Couric untuk mengetahui informasi macam apa yang diterima Palin.

Palin menjawab dengan terbata-bata. Ia gagal menjawab pertanyaan sederhana itu.

Palin adalah seorang populis. Daya tariknya ada pada citranya sebagai seorang ibu dengan anak-anak remaja, yang sekaligus bekerja sebagai gubernur. Palin adalah sosok orang Amerika kebanyakan yang tidak bersekolah tinggi, berbeda dengan kebanyakan orang di Washington atau di New York. Dia gelagapan menjawab pertanyaan ini karena strategi politiknya. Jika Palin menjawab di membaca The Washington Post atau The New York Times, dia akan dinilai terperangkap dalam elitisme—tidak sesuai dengan citranya sebagai populis yang anti-elite. Sebaliknya Palin akan dicap partisan dan bodoh jika menyebut media-media lokal karena dia diharapkan sebagai calon pemimpin nasional. Dia benar-benar dihadapkan pada dilema ini.

Palin kemudian membela diri bahwa pertanyaan-pertanyaan yang diajukan kepada dirinya adalah “gotcha journalism”. Yang dimaksud gotcha journalism ini adalah sebuah metode wawancara dengan tujuan memasang perangkap agar narasumber mengeluarkan pernyataan kontroversial yang pada akhirnya meruntuhkan reputasi si narasumber. Dalam hal ini, si narasumber bisa jadi terlihat goblok, munafik, atau tidak mau belajar.

Apakah gotcha journalism adalah jurnalisme yang baik?

Tentu sulit mencari batas antara gotcha journalism dengan jurnalisme biasa. Reporter diwajibkan mencari posisi seorang politisi atau pejabat publik karena dari sinilah warga tahu akan karakter dan ideologi seorang politisi. Pemilih akan memilih berdasarkan informasi-informasi itu.

Kembali ke Sitti Hikmawatty, saya kira tidak ada yang salah dari  wawancara yang dia berikan kepada Tribun itu. Sitti membuka pintu lebar-lebar untuk publik agar tahu alam kepercayaan yang dia hidupi dan yang dia pakai untuk berfungsi sebagai fungsioner KPAI.

Apakah orang merasa nyaman terhadap dia atau tidak, itu soal lain. Yang jelas reporter Tribun telah melakukan kewajibannya sebagai jurnalis yang baik. ***

]]>
Selasih: Cerita Perampasan Tanah Yang Tak Pernah Usai https://indoprogress.com/2019/12/selasih-cerita-perampasan-tanah-yang-tak-pernah-usai/ Mon, 09 Dec 2019 01:55:44 +0000 https://indoprogress.com/?p=91573 Kredit foto: radarbali.jawapos.com


SEJAK beberapa minggu lalu, laman Facebook saya dihiasi dengan gambar-gambar dari Banjar Selasih, Desa, Puhu, Kecamatan Payangan, Gianyar. Bukan gambar-gambar yang menyenangkan. Yang terlihat oleh saya adalah gerombolan polisi yang menghadapi para pemrotes. Beberapa diantaranya perempuan yang hanya mengenakan Beha. Bulldozer dan alat-alat berat berat merangsek masuk ke wilayah Selasih. Aparat keamanan mengawalnya.

Ternyata protes tersebut berkaitan dengan pembersihan lahan yang dilakukan oleh PT Ubud Duta Resort Development (UDRD). Perusahan ini kabarnya telah menguasai 200 hektar tanah di banjar itu sejak tahun 1990an. Rencananya, tanah sebesar itu akan diubah menjadi resort mewah dengan lapangan golf.

Yang mengejutkan untuk saya adalah reaksi masyarakat di Bali terhadap penggusuran tersebut. Sebagian masyarakat menentang penggusuran itu. Sebagian juga membenarkan. Sebagian besar, tentu saja, diam.

Mereka yang menentang berpendapat bahwa masyarakat sudah mendiami tanah itu sejak lama. Tidak adil rasanya mengusir mereka begitu saja. Sementara mereka yang mendukung mengatakan bahwa PT UDRD adalah penguasa tanah yang sah. Investor ini memiliki sertifikat.

Mereka yang mendukung punya argumen yang lebih panjang. Daripada menjadi penyerobot tanah, demikian kata mereka, lebih baik membiarkan perusahan membangun resort dan lapangan golf. Penduduk desa bisa bekerja di sana. Pembangunan ini baik untuk pertumbuhan industri pariwisata di Bali.

Sebuah posting di Facebook yang beredar secara viral secara gamblang menuduh para petani sebagai pihak yang sudah menerima duit. Dia juga mengklaim bahwa tanah itu sudah dijual pihak Puri kepada investor. Dengan gagah penulisnya membela investor. “Selama tanah belum dimanfaatkan oleh investor, masyarakat diijinkan untuk menanaminya, bahkan sdh 30 th diberi ijin dan investor tidak minta bagi hasil semua diambil warga hasilnya,” demikian tulisnya.

Posting semacam itu tidak sedikit. Sebagai orang yang cukup lama berada di media sosial, saya membaui ada semacam serangan yang terkoordinasi terhadap para petani yang hanya memperjuangkan hak hidupnya. Apakah investor juga sudah memakai buzzer untuk membentuk opini masyarakat, sama seperti para politisi yang telah lebih dulu melakukannya? Saya tidak tahu. Tapi itu soal lain.

Protes dan demonstrasi seperti di Selasih ini memang sedang marak di mana-mana. Pemerintah yang sekarang berkuasa sudah mencanangkan untuk menggenjot investasi. Kebijakan itu memberikan suntikan darah kepada para pemodal untuk kembali mengerjakan proyek-proyek yang dulu dianggap bermasalah. Dengan orientasi penanaman modal, para pengusaha merasa memperoleh beking dari penguasa. Tidak aneh bila polisi dan tentara juga dikerahkan untuk mengamankan investasi ini. Seperti yang kita lihat di Selasih dengan PT UDRD ini.

Untuk saya ada sesuatu yang khusus tentang Selasih. Entah mengapa ketika mendengar nama Selasih, ingatan saya samar-samar kembali kepada beragam masalah perampasan tanah untuk investasi pariwisata yang mencuat di Bali pada akhir 1980 hingga akhir 1990an. Dalam periode itu, terjadi kasus-kasus besar perampasan tanah (land-grabbing) seperti di Garuda Wisnu Kencana (GWK), Bali Nirwana Resort (BNR), Pecatu Graha, reklamasi Pulau Serangan, reklamasi Padang Galak, dan lain-lain. Kebetulah itu semua terjadi pada zaman Orde Baru. Secara khusus, kasus-kasus pertanahan ini marak terjadi ketika Bali diperintah oleh Gubernur Prof. dr. Ida Bagus Oka (1988-1998).

Akhirnya saya memutuskan untuk menelusuri kembali peristiwa Banjar Selasih ini. Saya bisa memastikan bahwa ini adalah salah satu kasus perampasan tanah oleh penguasa lokal yang bekerja sama dengan elite politik nasional. Kasus ini bukan barang baru. Ia sudah dimulai sejak tahun 1992.


Narasi Ketidakadilan

Ketika menelusuri kasus Selasih, saya menemukan paling tidak dua buku yang membahasnya. Yang pertama adalah buku “Penghancuran Hak Masyarakat Adat Atas Tanah.” Buku ini diterbitkan oleh Konsorsium Pembaruan Agraria[1]. Yang kedua adalah  sebuah buku yang diterbitkan  oleh Penerbit Bali Post. Judulnya adalah “Baliku Tersayang, Baliku Malang.”[2] 

Dalam setiap kasus perampasan tanah, selalu ada narasi (cerita). Orang boleh berargumen bahwa tanah-tanah tersebut adalah milik Puri (kerajaan-kerajaan kecil di Bali). Pihak Puri mensertifikatkan miliknya. Kemudian sertifikat itulah yang dijual kepada pihak investor. Perkara selesai karena upaya penerbitan sertifikat itu berarti secara legal-formal pihak negara – yang sekarang menjadi penguasa tunggal berdaulat bahkan atas Puri – mengakui kepemilikan tanah oleh Puri itu. 

Upaya menerbitkan sertifikat itu menguburkan asal-usul tanah. Para petani yang mengerjakan tanah itu secara turun temurun tidak dianggap sebagai pihak yang perlu diperhitungkan. Di Republik yang merdeka ini, para petani tersebut seharusnya adalah warga negara. Namun kedudukan mereka di depan hukum masih sama seperti sebelum kemerdekaan. Mereka hanyalah orang-orang taklukan – lahir takluk pada satu kekuasaan dan tidak pernah bisa lepas dari takdir bahwa mereka hanya mahluk taklukan. Mereka tetap hidup dalam sistem feudal di Republik yang seharusnya mengakui mereka sebagai warga negara. Bukan manusia taklukan.

Itulah sebabnya, setiap argumen yang menyodorkan sertifikat sebagai barang bukti, sesungguhnya mengabadikan status para petani ini sebagai manusia taklukan. Oleh karena itu, dalam kasus-kasus perampasan tanah, sangat penting bagi kita melihat narasi-narasi bagaimana status tanah itu dan menyesuaikannya dengan status petani sebagai warga yang berdaulat atas tanah yang dikerjakannya sebagai sumber penghidupannya itu.

Sertifikasi yang melegalkan perampasan tanah adalah bentuk ketidakadilan. Sertifikasi itu hadir karena ketimpangan kekuasaan. Pihak petani, sebagai orang taklukan, jelas tidak akan pernah memiliki tanah yang dikerjakannya secara turun temurun dan sudah menghidupinya dari generasi ke generasi. Sertifikasi adalah sebuah bentuk ketidakadilan yang terlembaga secara kokoh dan anehnya didukung di Republik ini, sekalipun memiliki undang-undang agraria yang mengatur pembatasan kepemilikan tanah.


Selasih, Dari Narasi Para Petani

Narasi tentang petani-petani Selasih adalah salah satu kasus dari banyak kasus yang dibahas dalam buku terbitan Konsorsium Pembaruan Agraria. Buku ini menelusuri kasus-kasus perampasan tanah yang menimpa beberapa masyarakat adat di Indonesia. Untuk kasus Bali, desa-desa adat  yang dibahas adalah Tenganan Pegeringsingan, Pecatu, dan Selasih[3].

Bagian Bali ditulis oleh Tim Peneliti KPA wilayah Bali. Para penelitinya mendokumentasikan sejarah sosial terjadinya setiap masyarakat adat, merangkai struktur sosialnya, penguasaan dan distribusi tanah (sumber-sumber agrarian), serta konflik agraria yang muncul.

Ada sedikit latar belakang konflik agrarian yang muncul di Desa Adat Selasih. Buku ini mengatakan bahwa pada tahun 1993 ada upaya melakukan pembebasan lahan seluas 200 Ha (65% dari luas Selasih) untuk pembangunan lapangan golf dan resort mewah. “Upaya pembebasan tersebut disertai serangkaian penekanan dan intimidasi yang menimbulkan berbagai keresahan. Aksi penolakan dilakukan dengan cara berdemonstrasi ke kantor camat Ubud pada tanggal 21 Juni 1993, karena mereka (petani, red.) menolak menjual tanah-tanah mereka,” demikian tulis Tim Peneliti di buku ini.

Berbagai upaya dilakukan untuk mematahkan perlawanan para petani ini. Pihak-pihak yang berkepentingan agar proyek ini berjalan menempuh berbagai macam taktik, seperti menutup saluran air, memberikan bantuan sepeda motor, dan membentuk Yayasan Desa Selasih yang menyatakan setuju akan pembangunan resort dan lapangan golf tersebut. Persetujuan Yayasan itulah yang dijadikan dasar oleh Kepala Kanwil Departemen Pertanahan Kabupaten Gianyar untuk memberikan persetujuan lokasi untuk pembangunan resort oleh PT Ubud Resort Duta Development.

Narasi yang lebih lengkap diberikan oleh buku “Baliku Tersayang, Baliku Malang.” Sebuah tulisan didalamnya yang berjudul “Proyek Golf, Nasib Petani dan Mengapa Sundria Menolak” diabdikan khusus untuk kasus Selasih. Tulisan tersebut adalah laporan jurnalistik dari Tim Wartawan Balipost (TWB). Karenanya narasi dari para petani penggarap sempat terekam dengan baik. Saya sengaja mengulang narasi yang ditulis TWB tersebut di sini untuk memberikan konteks terhadap perlawanan petani kecil di Selasih.

TWB memulai liputannya dengan menggambarkan kecemasan di wajah petani-petani Selasih. Terutama petani penyakap (penggarap) yang tidak jelas nasibnya. Proyek lapangan golf dan resort dari PT URDD ini sudah mulai sejak 1992. Namun baru pada saat laporan itu ditulis (1998) rencananya akan mulai dikerjakan lagi.

Diberikan juga sedikit cerita tentang bagaimana Selasih pada jaman dulu. Selasih adalah dusun yang kurang beruntung. Penduduk dililit kemiskinan. Mereka sering hanya makan nasi campur ketela, simbol kemiskinan saat itu. Itulah yang digambarkan oleh Wayan Comot, Pekaseh Subak Dusun Selasih. “Tapi itu dulu. Sebelum ada swadaya menaikkan air pada awal tahun 1970an,” katanya dikutip Balipost. Setelah air berhasil dinaikkan, masyarakat mulai bertanam padi yang hasilnya sangat baik, yakni 4 ton/Ha. “Bapak lihat sendiri, apakah tanah kami subur atau tidak,” tanya Wayan Comot kepada wartawan Balipost yang berkunjung kesana pada 29 Oktober 1997. Saat itu Selasih yang luasnya 300ha itu memang tampak hijau. Apalagi dengan adanya Tukad Ayung (Sungai Ayung) di sisi sebelah timur Selasih.

PT UDRD mulai membebaskan tanah sejak tahun 1992. Sekalipun Direktur PT UDRD ketika itu, AA Bagus T. Boewana mengatakan bahwa mereka tidak menggunakan calo untuk membebasakan tanah, kenyataan di lapangan menunjukkan lain. Wartawan Balipost mewawancarai seorang warga: “Tadinya kami tidak mau melepaskan tanah dan pekarangan kami. Tetapi karena digertak dan dijepit, sebab di sebelah-sebelah kami sudah dijual, terpaksa kami ikut menjual.” Warga ini tidak mau menyebutkan namanya karena takut.

Balipost juga mencatat kejanggalan lain. Seperti yang dialami I Mekeh dan I Tambun, yang pengakuannya dimuat di koran Prima, Jumat 31 Oktober 1997.  Kedua petani ini menyerahkan surat-surat tanahnya kepada investor. Mereka diberi uang muka Rp 15 juta dari harga Rp 300 juta. Mulanya mereka dijanjikan bahwa tanah mereka akan dihargai Rp 1,5 juta per are (100 m2). Namun yang mereka terima hanya Rp 1,2 juta per are.

Intimidasi diriingi penyiksaan juga direkam oleh TWB ini. Mereka mengutip cerita I Lantur (orang Bali dulu biasa menggunakan hanya satu nama seperti ini), salah seorang pemilik tanah. Setelah melakukan transaksi penjualan tanahnya senilai Rp 500 juta, I Lantur malah disiksa oleh anggota militer atas suruhan dua calo tanah Mg dan Mn. Mata I Lantur agak rabun akibat dipukuli benda tumpul serta dipukul dan ditendang. Tidak itu saja, I Lantur menjadi trauma didatangi orang tidak dikenal. Bahkan ketika ditemui TWB, dia minta didampingi kepala dusun yang datang dengan diiringi empat Hansip.

“Situasi ini menandakan betapa tercekamnya penduduk sehingga enggan buka mulut. Tidak hanya pemilik tanah yang memilih diam, warga Selasih yang ikut prihatin dengan nasib rekannya pun lebih banyak enggan bicara. Kalaupun berbicara dengan syarat namanya dirahasiakan, sepertinya takut nasibnya “dilanturkan” (diperlakukan seperti Lantur). Calo-calo tanah yang mengaku membantu PT UDRD dalam membebaskan tanah, sering mengatasnamakan aparat keamanan sebagai beking,” demikian tulis Tim Wartawan Balipost (TWB).

Sebagian tanah yang dibebaskan PT UDRD memang dengan cara membeli dari pemilik tanah. Namun ada masalah yang lebih penting, yakni para petani penggarap (penyakap). Mereka adalah pihak yang bernasib paling nahas. Petani ini menggarap tanah yang secara administratif adalah “milik” puri.

Di sini persoalan menjadi rumit karena dasar kepemilikan tanah adalah hubungan adat-istiadat antara pihak puri dan parekan (mereka yang mengaku tunduk kepada kekuasaan puri). Pada awalnya, leluhur para petanilah yang membuka hutan. Karena hutan diklaim sebagai milik puri, maka para petani ini meminta ijin kepada raja yang berkuasa di sana. TWB mewawancarai Pan Sari (bukan nama sebenarnya) untuk mengetahui status tanahnya. Menurut Pan Sari, sebelum Belanda masuk ke Bali (awal abad ke-20), Kumpi atau kakek buyutnya membuka lahan alas (hutan) Sengkulun yang lokasinya berada di Munduk Tengah dan Munduk Sengkulun Kangin. Pembukaan hutan itu atas ijin raja setempat di Puri Payangan. Para penyakap menyetor setengah dari hasil dari tanah tersebut kepada pihak puri.

Masalah kemudian muncul, siapakah pemilik tanah itu ketika hendak dibebaskan oleh PT UDRD? Apakah petani penggarap? Ataukah pihak keluarga puri?

Seorang warga penyakap diwawancarai TWB ketika itu mengatakan, “Selain bagi hasil, keluarga tiang (saya) pernah memberikan uang beberapa ribu ringgit ke puri untuk tanah ini. Tetapi soal sertifikat, tiang tidak ada,” kata seorang petani penggarap.

Ini adalah penyakit akut agraria di Indonesia. Penguasa-penguasa tradisional dulunya berkuasa mutlak atas tanah karena mereka mendudukkan dirinya sebagai negara. Namun ketika zaman berubah dan kedaulatan ada di tangan rakyat, seringkali kekuasaan mereka terhadap tanah itu tetap. Mereka bebas menguasai seluruh tanah. Sementara para petani yang susah payah membuka hutan, menggarap dan memelihara lahan, tidak memiliki hak atasnya.

Ketika tanah itu dibebaskan, pihak puri ternyata sudah mensertifikatkan tanah itu. Petani penggarap yang sebagian besar buta huruf itu tidak pernah diajak bicara. Bahkan mendapatkan informasi tentang pensertifikatan pun tidak. “Yang tiang tahu, pernah tiang diminta ke puri untuk tanda tangan dan dapat uang Rp 3 juta. Katanya sebagai pengganti rumah dan tanah yang tiang garap. Sebagai panjak (kawula) tiang nurut dan pasrah saja,” kata Pan Sari.

Mereka tidak tahu bahwa tanda tangan itu adalah sebuah surat persetujuan untuk melepas tanah dan rumah. Pan Sari mengaku bahwa kalau proyek ini berjalan dia tidak tahu akan tinggal dimana. Dia mengaku, kalau digurus dia mungkin akan tidur di bale banjar, balai komunitas yang umum terdapat di Bali.


Sebagian warga Selasih yang protes menolak PT UDRD. Kredit foto: Balinetizen

Kontroversi Resort dan Lapangan Golf

Rencana PT Ubud Duta Resort Development untuk membangun resort dan lapangan golf tidak saja dipersoalkan di tingkat petani. Laporan Balipost juga mengungkap penolakan dari jajaran pemerintahan ketika itu. I Ketut Sundria, Ketua DPRD Bali yang juga ketua PGI (Persatuan Golf Indonesia) Bali ketika itu juga mengutarakan penolakannya. Dia mengaku bahwa DPRD dan Pemda Provinsi tidak akan memberikan ijin.

Sundria mengemukakan ada tiga alasan untuk menolak proyek itu. Pertama adalah soal lingkungan. Selasih adalah daerah di dataran tinggi yang menjadi daerah tangkapan air. Lapangan golf hanya akan mengurangi fungsi resapan air.

“Lapangan golf itu kan strukturnya berbeda dengan humus dan tanah pegunungan. Dia tidak mampu meresap air seperti tanah pegunungan. Karena itu, daya serap airnya pun pasti sangat berkurang akibat struktur buatan lapangan golf itu,” demikian jelas Sundria.

Jika konversi ke lapangan golf ini terjadi, dikuatirkan Selasih akan menjadi daerah pengirim banjir di waktu musim hujan karena daerah itu tidak lagi bisa menangkap air. Lagipula, lokasi pembangunan lapangan golf itu terletak di dekat Tukad Buahan, yang merupakan hulu Sungai Ayung, salah satu sungai besar yang mengalir ke Denpasar.

Alasan kedua adalah karena Selasih adalah daerah pertanian. Daerah ini adalah daerah subur dan ekonomi pertanian akan jauh lebih bermanfaat untuk rakyat kebanyakan dan rakyat Bali. Sundria menganjurkan sebaiknya lapangan golf dibangun di daerah pesisir yang lebih landai.

Sedangkan alasan ketiga adalah kebutuhan akan lahan yang sangat luas. 200 Ha untuk resort dan lapangan golf itu adalah mega-project untuk ukuran Bali. Sundria tidak setuju pembangunan ini karena akan menggusur banyak sekali orang Bali, yang adalah pendukung utama kebudayaan Bali. “Bali ini kecil. Pembangunan yang dilakukan juga harus berdasarkan pembangunan pulau kecil. Jangan yang besar-besar begitu,” demikian Sundria kala itu.


Siapa dibalik PT Ubud Duta Resort Development?

Jika dihitung sejak awal perencanaannya (1992) hingga sekarang, maka 27 tahun sudah rencana pembangunan resort dan lapangan golf ini berlangsung. Orang-orang yang dahulu menjual tanah dan digusur sebagian besar telah meninggal. Namun keturunan mereka masih ada.

Proyek ini sudah mulai mengambil ancang-ancang akan mulai pada tahun 1998. PT UDRD sudah mengantongi Hak Guna Bangunan (HGB) untuk menguasai tanah  pembangunan resort dan lapangan golf itu. Menurut aturan, HGB hanya memiliki masa berlaku selama 30 tahun. HGB bisa diperpanjang masa berlakunya selama dua puluh tahun lagi. Jika tanah yang bersertifikat HGB luasnya kurang dari 600 meter per segi maka pemilik berhak mengonversi menjadi hak milik dengan mengajukan permohonan ke Badan Pertanahan Nasional (BPN).

Dari urutan waktu ini, kita bisa menduga bahwa PT UDRD sudah memegang HGB ini lebih dari 20 tahun. Mereka memiliki waktu yang kurang dari 10 tahun untuk segera memanfaatkan tanah tersebut. Namun mereka tidak melakukan pembangunan hingga akhir-akhir ini.

Siapakah sebenarnya pemilik dari PT UDRD ini?

Dari berita yang beredar, Presiden Direktur PT UDRD adalah H. Dudhie Makmun Murod, MBA. Dia adalah mantan anggota DPR-RI periode 2009-2014. Dia berasal dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) dan menjadi wakil dari Sumatera Selatan. Namun karir di politik tidak terlalu moncer. Pada tahun 2011, dia berhenti menjadi anggota DPR-RI karena terlibat dalam kasus cek pelawat untuk pencalonan gubernur Bank Indonesia. Untuk itu dia dihukum dua tahun.

Dudhie Makmun Murod adalah anak dari Jenderal TNI (Pur.) Makmun Murod, bekas Kepala Staf Angkatan Darat (Kasad) pada 1974-78. Makmun Murod adalah tokoh masyarakat Komering di Sumatera Selatan. Selain tokoh militer, Murod adalah presiden komisaris PT Gajah Tunggal, yang sekarang menjadi salah satu pabrik ban terbesar di dunia. Pemilik dari Gajah Tunggal adalah Sjamsul Nursalim, salah seorang terkaya Indonesia yang sekarang menjadi buronan KPK karena penyelewengan dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Menurut ilmuwan politik Amerika yang menulis politik lokal di Sumatera Selatan, Elizabeth Collins, Dudhie merintis karir politik karena berkat kedekatannya dengan almarhum Taufik Kiemas, politikus PDIP yang adalah juga suami Ketua Umum PDIP Megawati Sukarnoputri.[4] 

Penelusuan lebih lanjut ternyata memperlihatkan jejaring yang lebih rumit. PT UDRD ternyata adalah sebuah anak perusahan dari sebuah perusahan property PT Indonesia Prima Property TBK. Presiden komisaris perusahan ini adalah Husni Ali, keponakan dari Sjamsul Nursalim, sang pemilik. 

Karena telah menjadi perusahan publik, PT Indonesia Prima Property TBK harus membuat laporan tahunan. Dari Laporan  Tahunan 2017, diketahui bahwa  presiden direktur perusahan ini adalah seorang berkewarganegaraan Singapura bernama Ong Beng Kheong. Yang menarik di sini, ada banyak sekali pensiunan militer dan polisi yang duduk  dalam jajaran pimpinan perusahan ini.

Posisi wakil presiden direktur diduduki oleh Sriyanto Muntasram. Dia pensiunan Mayor Jenderal TNI AD. Muntasram pernah menjabat sebagai Danjen Kopasssus, Pangdam III Siliwangi, dan Gubernur Akmil. Keistimewaan Munstasram adalah karena dia pernah diadili dalam kasus pelanggaran HAM berat Tanjung Priok, 1984. Ia yang ketika itu menjadi Komandan Seksi Operasi Kodim Jakarta Utara, dianggap ikut terlibat dalam pembantaian di Tanjung Priok itu. 

Anggota militer lain yang duduk di jajaran komisaris adalah Ngakan Gede Sugiartha Garjitha, lulusan Akmil kelas 1981. Dia menghabiskan karir militernya di Kopassus dari letnan dua hingga kolonel. Dia pernah menjabat sebagai Komandan Intel Kodam Jaya, Danrem di Solo, Komandan Pusintelstrat, dan Kepala Staf Territorial Panglima TNI. Dia pensiun sebagai Mayor Jenderal. Selain itu dia menjadi pejabat Eselon 1 Badan Intelijen Negara (BIN).

Wartawan Radar Bali yang baru-baru ini meliput ke Selasih menggambarkan suasana tegang di wilayah itu. Ketika lewat dia direkam video oleh aparat. Namun yang menarik adalah sebuah papan pengumuman terpampang di lahan yang dibuldozer. Plank papan itu berbunyi, “Tanah Milik PT. Ubud Resort Duta Development dengan dalam pengawasan Mayor Jenderal TNI Purn. Gatot Subroto”.

Siapakah Mayjen TNI Purn. Gatot Subroto ini? Dia ternyata adalah perwira TNI-AL lulusan AAL tahun 1982. Gatot Subroto berasal dari kesatuan Marinir. Dia pernah menjadi Wakil Gubernur AAL. Gatot Subroro adalah komisaris PT Indonesia Prima Property TBK. Dalam penelusuran lebih lanjut, Gatot Subroto juga bekerja bersama Husni Ali di PT KMI Wire and Cable Tbk.

Selain militer, PT Indonesia Prima Property TBK juga mempekerjakan mantan perwira kepolisian. Luthfi Dahlan adalah salah satunya. Dia adalah mantan Wakil Kepala Polri dan menyandang jenderal bintang tiga. Di perusahan ini dia menjabat sebagai wakil presiden komisaris.

PT Indonesia Prima Property TBK memegang 92.8% saham PT UDRD. Dalam buku Laporan Tahunan 2017, jenis usaha yang kerjakan oleh PT UDRD adalah “land bank.” Ini berarti bahwa tanah ini dibeli untuk nantinya dibangun atau dijual ketika harga sudah meningkat.

Harga tanah di Selasih memang meningkat gila-gilaan dan pembangunan proyek PT UDRD tidak diragukan lagi akan semakin meningkatkan harga tanah di sana. Pada bulan Februari tahun ini, sebuah akun Facebook bernama “Bali land property sale” menawarkan tanah di Selasih seluas 25,000 m2 (250 are).  Tanah tersebut dihargai US $65/m2 (US$ 6,538). Seluruh tanah seluas 250 are tersebut berharga US$ 1,634,615.


Mediasi atau Advokasi?

Perlawanan oleh para petani dan masyarakat Selasih telah mendorong beberapa politisi untuk melakukan mediasi dengan PT UDRD. Itu dilakukan akhir November lalu oleh anggota DPR RI I Nyaman Parta, DPD RI Arya Wedakarna, DPRD Provinsi I Made Rai Warsa, dan DPRD Kabupaten Gianyar I Nyoman Kandel dan Nyoman Amertayasa. Mediasi tersebut menghasilkan beberapa kesepakatan seperti soal Pura yang ada dalam tanah yang dikuasai PT UDRD. Perusahan tidak akan menganggu gugat keberadaan pura tersebut; petani tetap boleh menggarap sebelum dibangun; janji untuk mempekerjakan tenaga kerja lokal bila sudah beroperasi; dan soal nasib 30/32 keluarga yang hendak digusur karena secara tidak sah menempati “tanah milik” perusahan.

Persoalan Selasih adalah persoalan para spekulan yang membuat bank-bank tanah. Mereka berusaha untuk menaikkan nilai tanah dengan segala macam cara. Tentu tanah yang dikuasai oleh PT UDRD ini nilainya telah berlipat-lipat dari ketika mereka membelinya.

Melihat semua aspek keadilan dalam kasus agraria ini, tentu kita harus bertanya, apakah para petani ini memerlukan mediasi? Bukankah sesungguhnya mereka lebih butuh advokasi (pembelaan) karena bagaimana pun juga mereka tidak mendapatkan keadilan sejak awal dari pembebasan tanah mereka?

Para politisi di Bali dan para pembuat kebijakan harus memikirkan secara serius soal seperti Selasih ini. Kasus-kasus struktural seperti ini tidak seharusnya dipakai untuk mencari panggung politik. Kasus-kasus seperti ini harus dipakai untuk membela rakyat yang tidak berdaya.

Melihat kasus Selasih ini, saya justru tertarik dengan pernyataan I Ketut Sundria, mantan Ketua DPRD Bali dan sekaligus Ketua Persatuan Golf Indonesia (PGI) Cabang Bali. Dia tidak setuju dengan pembangunan ini karena melihat rakyat Bali. Dia tidak melakukan mediasi dengan investor. Dia menolak mentah-mentah dengan alasan yang sangat masuk akal.

Pendirian I Ketut Sundria ini ada benarnya. Apa jadinya kalau orang Bali sudah tergusur ditanahnya sendiri? Masih adakah Bali tanpa orang Bali? Masih adakah orang Bali tanpa tanah milik orang Bali sendiri? ***


Made Supriatma adalah seorang jurnalis sekaligus peneliti sosial, politik dan militer


—————

[1] Mari R.Ruwiastuti, Noer Fauzi, Dianto Bacriadi, Penghancuran Hak Masyarakat Adat Atas Tanah. Sistem Penguasaan Tanah Masyarakat Adat dan Hukum Agraria, Bandung: KPA, 1997.

[2] Wayan Supartha (Penyunting), Baliku Tersayang, Baliku Malang. Potret Otokritik Pembangunan Bali dalam Satu Dasa Warsa, Denpasar: Penerbit Bali Post, 1998. 

[3] Saya memilih untuk memakai istilah Desa Adat untuk menggambarkan Selasih. Secra administrative, Selasih adalah sebuah Banjar yang berinduk pada Desa Puhu, Kecamatan Payangan, Kabupaten Gianyar, Provinsi Bali.

[4] Elizabeth Fuller Collins, Indonesia Betrayed. How Development Fails. Honolulu: Hawaii University Press, 2007, hal. 132.

]]>
Apakah Lame Duck Session Diperlukan dalam Sistem Pemerintahan Kita? https://indoprogress.com/2019/09/apakah-lame-duck-session-diperlukan-dalam-sistem-pemerintahan-kita/ Mon, 23 Sep 2019 01:20:40 +0000 https://indoprogress.com/?p=38855 Ilustrasi oleh Alit Ambara (Nobodycorp. International Unlimited)


TIDAK ada hari-hari yang lebih menyedihkan untuk orang yang mengamati demokrasi di Indonesia selama beberapa minggu belakangan ini. Harus diakui bahwa demokrasi kita mengalami kemunduran yang signifikan. Manuver-manuver politik yang dilakukan oleh para elite politik kita berlangsung sangat cepat. Sangat kontras dengan yang kita lihat pada saat pemilihan umum yang baru lalu. Kali ini kita tidak melihat persaingan antar-elite namun justru sebuah kolusi besar untuk mencapai tujuan bersama—tujuan para elite itu tentu saja.

Untuk sementara kejutan-kejutan itu tidak bisa ditanggapi kelompok masyarakat sipil secara memadai. Persekutuan para elite ini dirancang untuk bergerak secara rahasia, cepat, dan sangat efisien. Semuanya terjadi hampir bersamaan, mulai dari penggalangan opini publik, proses legislasi, dan pengesahan seperangkat hukum. Rakyat sipil pun menanggapinya dengan terbata-bata.

Di sektor pemberantasan korupsi, misalnya. DPR bersama pemerintah berhasil menggolkan UU KPK baru. Undang-undang ini tidak saja akan mengubah organisasi KPK yang ada sekarang ini namun juga akan melemahkannya. Dalam undang-undang baru, kekuasaan KPK untuk melakukan penyadapan akan diawasi. Pengawasnya akan dipilih oleh presiden.  Padahal kita semua tahu bahwa kekuasaan melakukan penyadapan merupakan inti dari kerja pemberantasan korupsi. Tanpa kemampuan melakukan penyadapan KPK akan kehilangan giginya.

Baik pemerintah maupun DPR berargumen bahwa kewenangan KPK untuk menyadap itu harus dibatasi dan bisa dipertanggungjawabkan. Argumen ini sepintas masuk akal. Namun, tidak pernah ada argumen tandingan yang didengarkan. Bukankah proses pengadilan korupsi merupakan pengawasan terhadap KPK? Tidakkah sebuah kasus korupsi akan gugur bila secara prosedural tidak memenuhi syarat?

Seorang ahli hukum tata negara bahkan berpendapat bahwa sesungguhnya UU Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) yang lebuh mendesak untuk direvisi ketimbang UU KPK. Namun seruan itu tidak didengar baik oleh DPR maupun pemerintah. Pemerintah dan DPR rupanya lebih ingin memberi pengawasan kepada KPK sehingga lebih mudah dikontrol.

Pemerintah dan DPR juga mempermudah pembebasan bersyarat bagi pelaku kejahatan berat, termasuk kasus korupsi. Revisi atas UU Pemasyarakatan  (UU No. 12/1995) yang diloloskan menyatakan antara lain bahwa pembebasan bersyarat seorang koruptor tidak lagi memerlukan rekomendasi dari KPK.

Selain itu, dalam beberapa hari ke depan DPR juga berencana meloloskan UU KUHP yang sejak tahun 1955 tidak pernah diperbaharui. Rancangan undang-undang ini sangat kontroversial. Keberatan banyak ditujukan kepada campur tangan negara dalam soal-soal pribadi. Seorang pengamat bahkan mengatakan RUU ini tampak seperti perluasan pemberlakuan hukum Qanun di Aceh ke tingkat nasional. Selain itu keberatan juga dilayangkan pada pasal-pasal karet sepertti penghinaan kepada presiden/wakil presiden, penodaan agama, dan makar.

Sangat kentara bahwa DPR dan pemerintah ingin meloloskan semua undang-undang ini secepat-cepatnya, dengan pembahasan dan perdebatan yang sangat jauh dari transparansi. Selain itu, mereka melakukannya di menit-menit terakhir kekuasaan (injury time). Manuver-manuver politik ini memperlihatkan kerjasama para elite untuk mengamankan kepentingan bersama mereka.

Mengapa ini semua terjadi? Mengapa DPR dan pemerintah bahu membahu mengeluarkan peraturan perundang-undangan penting justru diakhir periode pemerintahannya?

Hal ini tidak seharusnya terjadi jika dipandang dari sistem kenegaraan. DPR dan pemerintah punya waktu lima tahun untuk membuat undang-undang. Sebuah undang-undang—apalagi UU KPK dan KUHP—terlalu penting untuk dibahas dengan tergesa-gesa tanpa masukan-masukan (deliberations) dari publik dan kelompok-kelompok masyarakat sipil yang berkepentingan.

Ketergesaan dan kerahasiaan ini mengundang kecurigaan bahwa ada sesuatu yang disembunyikan oleh pemerintah dan DPR. Pembahasan undang-undang ini sungguh mengingkari asas keterbukaan (transparency). Akibatnya, pemerintah dan DPR akan menurunkan tingkat kepercayaan publik kepada lembaga-lembaga negara.

Di atas segalanya, semua ini tidak akan terjadi jika kita memiliki mekanisme ketatanegaraan yang mencegah DPR dan pemerintah untuk mengeluarkan kebijakan yang drastis (kecuali dalam situasi darurat seperti ancaman perang) pada menit-menit terakhir periode pemerintahannya.

Di negara-negara lain, periode ini yang dinamakan sebagai lame duck session. Lame duck (atau terjemahan kasarnya: bebek lumpuh) adalah sebuah periode sesudah pemilihan umum di mana anggota parlemen yang lama belum berhenti bertugas dan yang baru belum dilantik. Ini adalah periode transisi.

Di Indonesia, kita mengenal pengertian demisioner. Menurut KBBI, demisioner adalah “keadaan tanpa kekuasaan (misalnya suatu kabinet dan sebagainya yang telah mengembalikan mandat kepada kepala negara, tetapi masih melaksanakan tugas sehari-hari sambil menunggu dilantiknya kabinet yang baru).”

Namun lame duck dan demisioner agak berbeda karena dalam lame duck para pejabat yang lama masih memegang mandat kekuasaan, sementara dalam demisioner mereka sudah berhenti. Sehingga demisioner lebih dikaitkan dengan kekosongan kekuasaan.

Mengapa para pejabat dalam lame duck secara etik kenegaraan tidak boleh mengambil keputusan-keputusan strategis yang penting sekalipun masih memegang mandat memerintah?

Persoalan ini lebih menyangkut legitimasi. Pemilihan umum sudah dilakukan. Anggota-anggota yang baru sudah terpilih namun belum dilantik. Artinya mereka belum memiliki mandat memerintah. Sekalipun demikian, para elektorat mengirimkan pesan kepada pemerintah (baik legislatif maupun eksekutif) yang menuntut arah baru. Lame duck semakin menjadi penting bila elektorat memutuskan untuk mengganti pemerintahan dengan anggota legislatif dan eksekutif yang baru.

Itulah sebabnya banyaknya peraturan perundang-undangan yang penting yang diloloskan para oleh DPR dan pemerintah tampak seperti kurang memiliki legitimasi. Sekalipun pemerintahan Presiden Jokowi akan diteruskan pada masa jabatan kedua, dia akan menghadapi parlemen yang sama sekali berbeda dalam komposisi dan karakternya. Seharusnya pemerintahan Presiden Jokowi menghormati prosedur itu. DPR 2014-2019 sudah menjabat selama lima tahun dan tidak mengerjakan apa-apa. Mengapa mereka meloloskan semua rancangan undang-undang ini dengan sangat tergesa-gesa dan sembunyi-sembunyi? Dan pemerintah pun mendukung apa yang dilakukan oleh DPR ini. Tidakkah bau busuk ini sekalipun ditutup rapat-rapat sekali waktu akan tercium juga?

Ada pula yang mengatakan bahwa UU dibikin pada periode ini kelak bisa dianulir. Kelompok-kelompok masyarakat sipil yang tidak puas bisa mengajukan judicial review terhadap peraturan perundang-undangan yang bermasalah ini.

Dari sisi legitimasi pemerintahan, argumen ini pun kurang bisa diterima. Para hakim Mahkamah Konstitusi bukanlah pejabat publik yang dipilih langsung oleh rakyat. Para hakim ini adalah hasil dari negosiasi dan kesepakatan para politisi di DPR. Sehingga dengan demikian sekalipun lembaga Mahkamah Konstitusi adalah lembaga yang sah, legitimasi kekuasaan mereka tidak sekuat para pejabat negara yang dipilih langsung oleh rakyat.

Menurut saya, kita perlu memikirkan sebuah mekanisme peralihan pemerintahan atau apa yang populer disebut sebagai lame duck session ini. Kita harus mempersingkat masa transisi antara pemilihan dengan pelantikan anggota DPR dan presiden. Tidak perlu menunggu sampai enam bulan untuk melantik para politisi yang terpilih.

Proses yang kita lihat sekarang ini sungguh tercela. DPR yang menghabiskan waktu kerjanya selama lima tahun dengan hasil yang sangat minim tiba-tiba ngebut menyelesaikan peraturan perundang-undangan yang sebenarnya membutuhkan proses deliberasi yang sangat panjang. Proses ini sesungguhnya sangat memalukan dan penuh dengan politicking. Parahnya, pemerintah juga berdiri di sisi DPR.

DPR dan pemerintahan Presiden Jokowi periode pertama ini seolah berpesta pora sebelum bubar beberapa minggu lagi. Mereka makan sebanyak-banyaknya. Bahkan mereka membawa pulang berkantong-kantong goodie bags.

Yang tidak disadari adalah bahwa Presiden Jokowi akan memulai masa kedua pemerintahannya dengan tingkat kepercayaan masyarakat yang rendah. Kita melihat masyarakat sipil sudah melakukan perlawanan. Mandat yang diperoleh Jokowi pada masa Pilpres kemarin bisa tergerus jika ia hanya menuruti kehendak para elite yang mengelililinginya..***


]]>