Irwansyah – IndoPROGRESS https://indoprogress.com Media Pemikiran Progresif Mon, 15 May 2017 01:52:36 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.4.3 https://indoprogress.com/wp-content/uploads/2021/08/cropped-logo-ip-favicon-32x32.png Irwansyah – IndoPROGRESS https://indoprogress.com 32 32 Kritik untuk Analisa Politisasi SARA Pasca Pilkada DKI https://indoprogress.com/2017/05/kritik-untuk-analisa-politisasi-sara-paska-pilkada-dki/ Mon, 15 May 2017 01:52:12 +0000 https://indoprogress.com/?p=17965 POLITISASI SARA (suku-agama-ras) jelas telah memengaruhi proses hasil pilkada DKI 2017. Itu memang fakta terlepas bagaimana ia diperdebatkan, termasuk oleh beberapa tulisan di media kita ini. Berbagai diskusi publik dan tulisan akademisi segera meramalkan bahwa ketegangan sosial dan hasil pilkada dki 2017 ini akan berlanjut dan menjadi faktor menentukan situasi politik Indonesia, setidaknya hingga pemilu 2019.

Perdebatan soal politisasi SARA dan meningkatnya suasana sektarian berlangsung panas bahkan cenderung kacau balau (chaos) di berbagai media sosial yang kini menjadi sarana komunikasi mudah dan massal. Sementara ketakutan akan terjadinya kerusuhan di jalanan hingga potensi kudeta menjadi trauma sekaligus intimidasi bagi banyak kalangan di masyarakat kita. Sejauh ini mungkin kita bisa bersukur bahwa potensi kerusuhan masih terkendali. Tapi seharusnya kita memperlakukan kondisi saat ini sebagai peringatan keras bagi kalangan progresif dan pendukung demokrasi tentang perlunya mengevaluasi kelemahan analisa sosial kita sejauh ini.

 

Kegagalan analisa
Kegagalan penjelasan atas realitas politik tak pelak turut berpengaruh pada kegagalan mengantisipasi meruncingnya ketegangan sosial yang manifes dalam pembelahan posisi politik di tengah masyarakat saat ini. Fenomena politisasi SARA yang sangat kental dan brutal di pilkada DKI ini telah gagal diprediksi, salah satunya, oleh analisa politik pluralis. Pendekatan pluralis ini berpengaruh kuat di berbagai kajian yang mengamati perilaku pemilih.

Analisa pluralis dijejalkan oleh para pengamat dan media arus utama secara berlebihan dengan memamerkan adu versi lembaga survey pemilu. Pendekatan analisa ini terlalu dangkal karena mengandaikan kekuatan itu tersebar meluas di kalangan masyarakat. Siapa yang berkuasa adalah yang paling banyak disukai di antara aktor sosial yang disangka punya kekuasaan menyebar acak tersebut. Metode utama pendekatan ini adalah memotret dan mengukur persepsi (pendapat) masyarakat dengan keyakinan bisa menunjukkan perilaku individu-individu yang diandaikan memiliki kekuasaan rasional atas pilihannya.

Nyatanya para pendukung ilmu pengukuran perilaku pasca kekalahan Ahok mengaku kebingungan. Sebab, sebagaimana terekam oleh berbagai survey warga berulangkali konsisten menjawab memiliki tingkat kepuasan yang sangat tinggi terhadap kinerja petahana. Sebuah studi dengan argumen kelas[1] sebagai aktor dalam masyarakat menjadi mitra debat analisa kubu pluralis dan memengaruhi munculnya argumen interseksi. [2] Analisa studi ini melaporkan bahwa sentimen sektarian dan politisasi SARA oleh kelompok sektarian punya titik temu (interseksi) dengan rasa frustasi dan harapan perubahan terkait kesenjangan sosial yang dirasakan beberapa kelompok miskin kota.

Yang banyak menjadi sorotan dalam argumen interseksi/titik temu ini adalah peranan aktif dan destruktif dari kelompok-kelompok sektarian Islam garis keras. Mereka aktif melakukan mobilisasi massa di jalanan dan ruang hidup masyarakat (pemukiman, sekolah, tempat ibadah). Mobilisasi dan propaganda konfrontatif juga berlimpah di media sosial sejak akhir tahun lalu — bahkan sebetulnya bila mau ditarik lebih jauh sebagai keberlanjutan dari kontes pilpres 2014. Beberapa artikel di media kita sejak akhir tahun pun telah membahas dan berpolemik soal strategi mobilisasi massa “populisme” dan kebangkitan berbahaya dari sektarianisme.[3]

Kesadaran pragmatis menggunakan momen pilkada DKI menurut kajian ini terkait kebijakan cenderung intimidatif dari petahana yang mengincar berbagai kelompok miskin kota di DKI — terutama sejak gelombang penggusuran bantaran kali sekitar dua tahun lalu. Pilihan strategi pemprov DKI oleh petahana juga cenderung mengabaikan partisipasi dan dialog demokratis demi pembersihan cepat dan teknokratis atas masalah-masalah sosial yang ruwet di Jakarta. Strategi ini sempat berhasil dan menuai popularitas yang tinggi di kalangan publik yang sudah sangat frustasi dengan kelambanan birokrasi dan juga penguasa illegal di kehidupan jalanan keseharian Jakarta.

Sementara itu kita juga bisa menemukan analisa lain soal titik temu. Kecaman ditujukan berbagai kalangan terdidik kepada beberapa tokoh intelektual dan politik yang semula dikenal sebagai kalangan Islam moderat yang dianggap lawan dari kalangan Islam garis keras. Gubernur terpilih Anis Baswedan adalah tokoh yang dulu digadang-gadang sebagai salah satu simbol tokoh Islam moderat. Ia dibanggakan para penggemar Jokowi karena pilihannya bergabung sejak masa kampanye pemilu 2014. Nyatanya agenda berkuasa secara politik setelah dipecat dari kabinet Jokowi lebih penting buat tokoh yang dulu terkenal “menjual” retorika pentingnya pluralisme dengan jargon “tenun kebangsaan” ini.

Belakangan kritik tentang tokoh yang selama ini pamer citra moderat juga menyasar Wapres Jusuf Kalla, yang terungkap mendukung kandidat lawan petahana dan sekaligus punya banyak kepentingan ekonomi politik di pembangunan infrastruktur, termasuk di DKI.[4] Sementara itu Eep Saifulah Fatah sebagai tim sukses kandidat Anis-Sandi, juga sejak lama dikenal publik dengan citra sebagai tokoh intelektual muslim yang moderat dan diharapkan menjadi pemikir demokrasi yang sehat. Tapi pilkada DKI ini mengungkap posisi Eep yang lebih mengutamakan kepentingan bisnis “political marketing”-nya di atas agenda apa pun lainnya.

Singkatnya, argumen “interseksi” seperti diuraikan dalam berbagai versi di atas, adalah soal titik temu antara politisasi SARA dan kepentingan oportunisme lewat medium pertarungan elit di pemilu. Ini dapat dilakukan siapa saja baik itu kalangan intelektual atau pun kelompok marjinal. Analisa ini umumnya mengedepankan bukti-bukti tentang mereka yang di suatu masa mengaku moderat atau terkategori non elit (miskin kota, buruh) namun tak segan mendukung fanatisme SARA di momen pilkada kali ini.

Di sini lah analisa interseksi menjadi penjelasan yang sama buntu dan mengecohkannya dengan analisa pendekatan pluralis. Konsekwensi logis lanjutan dari analisa ini adalah semua aktor sosial bisa menjadi oportunis akibat pemilu. Oportunisme para aktor sosial yang ditunjukkan oleh argumen interseksi rentan terperangkap dalam perdebatan soal pengkhianatan moral versus komitmen terhadap kemajemukan semata. Perdebatan moral semacam ini melelahkan sekaligus minim penjelasan yang mencerahkan apalagi menawarkan solusi progresif. Argumen interseksi, karenanya juga, punya resiko semakin menyuburkan antipati pada demokrasi elektoral secara tidak kritis. Antipati yang sesungguhnya mengancam demokrasi sejati justru karena praktik demokrasi yang sejak lama diperjuangkan kalangan progresif sejak masa Orde Baru adalah melawan agenda pendukung otoriterisme dan oligarki: pemilihan umum secara langsung untuk posisi-posisi pejabat publik.

 

Kebutuhan analisa kelas marxis.
Sekali pun mengakui adanya titik temu dengan faktor keresahan sejumlah kelompok marjinal atas kecenderungan ketidakadilan sosial, namun pendukung pendekatan pluralis bersikukuh bahwa fakta-fakta yang terekam dari jajak pendapat (survey, exit poll, dll) mendukung tesis “faktor agama” sebagai yang lebih menentukan. Prediksinya, situasi politik Indonesia ke depan terkait kontestasi menuju pemilu 2019 akan ditentukan oleh faktor tersebut. Konsekwensi dari prediksi ini bisa memengaruhi kekisruhan lebih lanjut untuk memahami kompleksitas politisasi SARA dan juga strategi apa yang harusnya dikembangkan kalangan progresif. Kompleks karena diceraikannya hubungan antara fenomena yang terlihat kasat mata soal politisasi SARA dengan penjelasan analisa kelas yang mencoba mengungkap realitas di balik yang tampak kasat mata tersebut.

Argumen tentang “faktor agama dan ras” serta “interseksi” sebetulnya seolah mengakomodir adanya dimensi kelas oleh beberapa survey dan exit poll dengan menggunakan kelas sebagai kategori penduduk dengan latar belakang pendapatan dan pendidikan (tinggi-sedang-rendah).[5] Dengan menggunakan konsep kelas semacam itu mereka menunjukkan bahwa “faktor agama” lebih menentukan pilihan di pilkada DKI. Tentu saja itu bukan lah analisa kelas marxis yang justru mesti membahas kelas dalam kaitannya dengan kapitalisme sebagai relasi dan proses produksi serta perjuangan kelas yang nyata dan berlangsung menyejarah hingga saat ini di masyarakat.

Sangat jelas bahwa mereka yang terlibat dalam titik temu oportunisme lewat arena elektoral/pemilu langsung semuanya menyadari bahwa sentimen sektarian dan politisasi SARA adalah bahan baku yang sejalan dengan penataan kompetisi ekonomi politik di era kapitalisme agresif yang berlaku secara global saat ini. Analisa kelas yang kritis tidak akan mengabaikan kepentingan dan kekuatan mereka yang terlibat signifikan dalam menentukan jalannya kapitalisme di Indonesia. Dalam hal ini, kita berbeda dengan analisa pluralis karena kita tidak bisa mengabaikan faktor yang menentukan jalannya kapitalisme di Indonesia sepanjang sejarah, yaitu kekuatan militer dan imperialis yang sudah terkenal dengan keahliannya dalam menyuburkan dan mengorkestrasi sektarianisme SARA.

Perlu dijernihkan bahwa editorial ini tidak menyarankan agar data dan informasi yang diungkap berbagai analisa non-marxis itu harus dibuang jauh-jauh. Akan tetapi untuk memahami realitas politisasi SARA yang tidak terpisah dari dinamika kapitalisme maka kita harus membacanya dalam kerangka ekonomi politik dan analisa pertentangan kelas. Data dan informasi yang sudah ada harus didorong untuk dianalisa lebih mendalam lagi dalam konteks ruang, relasi, dan proses yang dimungkinkan oleh logika keutamaan persaingan pasar dan produksi kapitalis yang aktual di Jakarta dan Indonesia saat ini.

Kita tentu sadar analisa marxis tidak punya ruang bergerak yang leluasa di kalangan akademisi Indonesia, salah satunya karena langgengnya pelarangan oleh Negara hingga saat ini. Akan tetapi justru momen meningkatnya potensi ketegangan dan ledakan sosial pasca pilkada DKI 2017 membuat analisa kelas marxis yang kritis, tajam, dan tepat sangat mendesak dan relevan sampai ke kesadaran kaum progresif dan tentu saja massa secara luas. Evaluasi atas kelemahan analisa politik guna memahami realitas politik seharusnya terkait dengan kebutuhan menyusun strategi dan pengorganisasian perjuangan kelas ke depan. Tentu tidak akan dibahas di editorial kali ini, tapi harapannya perdebatan tentang strategi dan pengorganisasian akan banyak muncul lebih banyak dalam berbagai tulisan IndoPROGRESS ke depannya.***

 

————–

[1] http://www.newmandala.org/making-enemies-friends/

[2] http://www.newmandala.org/economic-injustice-identity-politics-indonesia/

[3] https://indoprogress.com/2017/01/merebut-populisme/, https://indoprogress.com/2017/01/menguatnya-populisme-trump-brexit-hingga-fpi/, https://indoprogress.com/2017/02/yang-patut-dikhawatirkan-adalah-politik-yang-rasis-bukan-populisme-islam/

[4] https://indoprogress.com/2017/04/sisi-lain-pilkada-jakarta-kembali-surutnya-kapitalisme-negara/

[5] http://www.newmandala.org/economic-injustice-identity-politics-indonesia/ dimana kalau kita memblejeti secara kritis data statistik yang dipaparkan dalam artikel ini kita sebetulnya bisa mengajukan interpretasi yang berbeda sama sekali dan justru mendukung arti siginifikan dari dimensi kelas secara kritis.

]]>
Pengorganisiran Merespon “Pasca-kebenaran” https://indoprogress.com/2016/11/pengorganisiran-merespon-pasca-kebenaran/ Mon, 28 Nov 2016 00:15:01 +0000 https://indoprogress.com/?p=16886 TAHUN 2016 sepertinya penuh dengan kejutan peristiwa yang terjadi secara global di berbagai tempat, khususnya di medan politik. Keterkejutan kalangan luas terhadap pilihan-pilihan politik yang terjadi tahun 2016 ini tampaknya turut memengaruhi dipilihnya kata Post-truth sebagai kata tahun ini oleh kamus bahasa Inggris Oxford. Peristiwa-peristiwa politik mengejutkan dan sebelumnya sukar dipercaya dapat terjadi oleh banyak analis dikaitkan dengan meluasnya rujukan masyakarat pada keyakinan emosional dan berita-berita yang tidak dilandasi fakta, sebagaimana yang dimaksud oleh kata post-truth — oleh beberapa media diterjemahkan menjadi “pasca-kebenaran” (tapi tampaknya lebih tepat dipahami sebagai “kebenaran tanpa fakta”).

Kejutan-kejutan sosial politik yang terjadi di tahun pasca-kebenaran dinilai oleh banyak kalangan akan memiliki pengaruh besar terhadap cara masyarakat merespon kehidupan sosial, politik, dan ekonomi secara luas ke depannya. Di antara berbagai kejutan tersebu,t kita perlu menunjuk pada dua peristiwa Brexit dan Kemenangan Donal Trump dalam pemilu AS. Pada awal tahun ini, rakyat Inggris melalui referendum memilih ke luar dari Uni Eropa. Yang segera disusul oleh drama pergantian kepemimpinan elit-elit politik rezim berkuasa di negeri monarki konstitusional tersebut. Negara yang menjadi maskot sejarah perdagangan bebas lewat keputusan referendum — yang populer di kenal sebagai Brexit — mengambil jalur untuk memisahkan diri dari blok politik perdagangan bebas regional eropa.

Sementara di penghujung tahun ini, Amerika Serikat, negara adidaya lain yang juga menjadi maskot ekonomi pasar, perdagangan bebas, dan globalisasi liberal memilih Donald Trump sebagai presiden baru mereka, yang sebelumnya dipercaya sebagai tokoh sensasional media semata. Trump selama kampanye menjanjikan “Amerika akan jaya kembali” dengan menempuh jalan proteksionisme dan konservatisme sektarian (berbasis rasial dan agama), yang secara garis besar tampak berkebalikan dengan paradigma globalisasi ekonomi dan demokrasi versi neoliberal yang selama ini dijadikan motor penggerak ekonomi dan politik negara imperialis itu, baik di dalam negeri maupun “diekspor” secara agresif ke seluruh penjuru dunia.

Kalau boleh menambahkan satu peristiwa yang tak terduga di tahun 2016 adalah aksi massa sekitar ratusan ribu orang di Jakarta untuk menuntut calon gubernur DKI petahana Basuki Tjahatja Purnama alias Ahok, karena tuduhan penistaan agama. Tuduhan yang dipicu perdebatan apa yang dianggap benar atau salah dari ucapan si petahana (plus modifikasinya oleh seorang pengguna media sosial yang tak bersimpati padanya) di media sosial. Peristiwa ini tidak terduga bukan cuma karena besarnya jumlah massa yang termobilisasi ke jalan untuk isu yang dimulai dari kericuhan media sosial akan tetapi juga bagaimana persebaran pasca-kebenaran menggunakan media sosial sukses mengerek popularitas kelompok dan tokoh politik sektarian reaksioner di mata banyak kalangan menengah perkotaan. Popularitas yang menghidupkan pertengkaran hebat lintas kalangan dan antar kerabat yang mungkin hanya bisa ditandingi oleh aura ketegangan pada pilpres 2 tahun lalu.

Ada kesamaan di ketiga peristiwa tersebut bahwa salah satu faktor penyebabnya terkait keterkecohan masyarakat dalam mengambil pilihan yang dilandasi oleh informasi-informasi yang menyesatkan, penggiringan sentimen publik berdasarkan keyakinan emosional ketimbang faktual. Berbagai laporan media melaporkan banyak kalangan masyarakat pemilih yang belakangan mengaku menyesal karena terkecoh memahami pilihan dalam referendum atau pun pemilu AS akibat giringan informasi yang kini mereka resapi lagi justru bertentangan dengan kepentingan mereka sendiri.

Tapi persoalannya tentu tidak sesederhana bagaimana jutaan orang tiba-tiba terkecoh oleh berita palsu di media sosial. Pertanyaannya mengapa dan bagaimana orang banyak lebih tergiring pada pilihan kebenaran yang berbasis keyakinan emosional ketimbang fakta.

Tiga peristiwa mengejutkan 2016 yang dijadikan contoh ini menunjukkan bahwa akar persoalannya bukan lah semata praktik masyarakat menggunakan teknologi sosial media. Bukankah kita hidup di masa dimana praktek pencarian fakta sangat dimudahkan oleh konsumsi sangat massal menggunakan gawai (gadget) dan kuasa teknologi berlandas algoritma yang katanya tak berpihak? Kenyataannya teknologi yang digunakan membantu mengorganisir jejaring media sosial dan mesin pencari justru mengarahkan kita pada situasi yang dipenuhi kebenaran tanpa landasan fakta. Reaksi yang berkembang adalah pemilik plaftform media sosial paling populer saat ini didesak untuk membuat pengaturan untuk menyeleksi berita yang dianggap palsu (fake news). Kita melihat pihak korporasi dan kapitalis media kini sibuk menyangkal turut bertanggung jawab atas fenomena politik “pasca-kebenaran”. Akan tetapi penjelasan mereka tak memuaskan nalar karena besarnya profit ekonomi yang mereka nikmati dari persebaran sensasi informasi atau pun penggunakan jaringan dan perangkat teknologi yang mereka perdagangkan untuk penyebaran “kebenaran tanpa berlandaskan fakta” itu. Artinya kita harus sadar ada basis material yang diuntungkan oleh perkembangan fenomena pasca-kebenaran.

Selain itu bila kita perhatikan secara seksama, kurangnya rujukan masyarakat pada fakta adalah praktik sosial yang punya kaitan struktural dengan ketidakpercayaan pada media sebelum era media sosial saat ini, yang juga telah dikuasai oleh kapitalis dan oligarki yang tak kurangnya mempermainkan fakta. Kurangnya acuan pada fakta dalam mengambil pilihan politik juga adalah penanda praktik sosial masyarakat yang nyaris sepenuhnya juga asing dari teori tentang visi masyarakat yang progresif dan ilmiah – karena terus dilarang dan dipinggirkan. Praktik sosial di tingkat massa yang asing dari teori mengarahkan mereka pada rujukan memahami realitas pada jenis-jenis kebenaran yang tidak membutuhkan fakta dan pembuktian ilmiah. Lihat lah bagaimana khalayak luas dengan berbagai motivasinya terus meyakini bahwa peristiwa-peristiwa sosial politik yang mereka hadapi terjadi secara mistis atau aneka ragam penjelasan “cocoklogi” yang terus berevolusi bahkan di era teknologi informasi. Misal, yang marak kita lihat adalah otak-atik-gathuk presentasi angka-angka seperti 411, 212 yang disebarkan lewat meme, atau aneka analogi yang tak mementingkan konteks dan logika.

***

Kebangkitan gerakan politik sektarian dan reaksioner di era politik “pasca-kebenaran” adalah tanda bahaya sekaligus petunjuk tentang kenyataan yang harus disikapi. Dalam kerangka misi perjuangan politik progresif, jelas kita perlu menyadari dan mempelajari secara serius landasan material dari politik era “pasca-kebenaran” ini. Tanpa adanya perjuangan politik progresif terorganisir terbukti sudah bahwa perkembangan teknologi informasi tidak mengarah pada perumusan dan pengupayaan visi mengenai masyarakat yang lebih adil dan sejahtera melampaui krisis yang terus merongrong sistem kapitalis saat ini melainkan bergerak ke berbagai aspirasi yang reaksioner.

Pengamatan yang penting juga adalah berkelindannya mobilisasi massa di lapangan nyata dan media sosial. Karenanya harus ditegaskan bahwa sinisme dan pemisahan pengorganisiran di dunia nyata dan virtual semakin tidak relevan dan kita membutuhkan teori dan juga program revolusioner untuk mengatasinya.

Banyak pihak berharap ini adalah momen bagi gerakan sosial progresif bangkit memimpin perlawanan terhadap kekuatan yang diuntungkan oleh politik era pasca-kebenaran ini: kalangan konservatif sektarian, pengusung politik SARA, dan kaum reaksioner lainnya. Harapan yang hanya bisa diwujudkan secara politik dan bukan dengan penguatan moral dalam berhadapan dengan media sosial. Anjuran-anjuran moral agar kita tidak percaya begitu saja apa yang ditemui di media sosial tidak akan dapat menjadi solusi yang berdampak serius. Terutama ketika krisis sosial yang tengah kita hadapi adalah terkoneksinya antara meluasnya kepercayaan/ketidakpercayaan di dunia nyata dengan penyebaran kepercayaan/ketidakpercayaan di dunia virtual. Kita butuh pengorganisiran yang kuat untuk menjawabnya.***

]]>
Mau Ke Mana (pakai) Politik SARA ? https://indoprogress.com/2016/10/mau-ke-mana-pakai-politik-sara/ Mon, 17 Oct 2016 02:20:38 +0000 https://indoprogress.com/?p=16712 EDITORIAL kita minggu lalu dengan tegas menunjukkan bagaimana momen politik kepemiluan (electoral) kembali diwarnai oleh mobilisasi sentimen SARA yang dipompakan secara massif ke ruang publik. Merebaknya bau busuk sentimen SARA seolah mengubur nyaris sepenuhnya kemungkinan arena elektoral digunakan untuk memperdebatkan isu-isu struktural yang dihadapi kota Jakarta beserta segenap warganya, yang sesungguhnya sejak dahulu kala selalu tersusun lintas SARA. Perlu kiranya kita melanjutkan gugatan dari editorial minggu lalu dengan satu pertanyaan lanjutan – dapatkah kita memperkirakan proyeksi lanjutan dari politik SARA yang berulang kali dikobar-kobarkan pada berbagai gelanggang kontestasi elektoral era paska otoriter hingga saat ini?

Mari kita mengembangkan sedikit analisa untuk menerangi asumsi-asumsi yang berkembang sejauh ini terkait fenomena kebangkitan politik SARA di arena elektoral.

Telah dianalisis pula oleh editorial kita minggu lalu bahwa diperlukan kebangkitan politik kelas sebagai antidot (penawar racun) dari politik identitas (yang dalam berbagai momen elektoral menjadi sebangun dengan politik SARA). Politik kelas yang berdaya signifikan dan terorganisir menjadi musuh bersama sejak rezim otoriter Orde Baru dan berlanjut pada seluruh pemain yang mendominasi arena elektoral hari ini. Karenanya kebangkitan politik SARA — yang sebetulnya secara fakta telah berkelanjutan sejak hari pertama lengsernya Suharto di tahun 1998 — mesti dipahami sebagai hasil “konsensus” di antara elit-elit politik penyusun rezim kapital. Konsensus tersebut mengenai alas pertarungan yang disepakati antar elit politik, sekaligus konfirmasi untuk membendung alas pertarungan yang dihindari bersama semenjak lahirnya Orde Baru: alas politik kelas yang merespon proses pembangunan kapitalisme.

Mari mencermati lapangan pertarungan elektoral terkini, selepas peningkatan mobilisasi aksi massa anti Ahok yang berlandaskan sentimen SARA oleh ormas-ormas Islam sektarian di penghujung minggu ini. Unjuk rasa dan unjuk kekuatan gertakan yang diperagakan oleh mobilisasi tersebut sesungguhnya mengindikasikan beberapa hal yang perlu disoroti. Pertama, dengan fokus overdosis pada isu SARA semua pemain utama dalam arena elektoral sama diuntungkan akibat absennya pembahasan politik terkait soal kesenjangan dan keadilan sosial yang dipersoalkan warga yang menjadi korban kebijakan pemerintah dan gerak modal yang menyetir arah pembangunan kota. Pemain utama dalam pertarungan elektoral bukan hanya para kandidat calon kepala daerah, tapi juga para pemodal yang membiayai mesin politik para kontestan. Pemain lain yang penting dan telah membentuk pola dari berkali-kali pertarungan politik adalah para penyedia jasa mobilisasi. Mobilisasi massa dan sentimennya sebagai pemilih sangat diperlukan pada ruang elektoral sekarang ini yang nyaris tanpa pembatasan dan pengawasan ketat serta tegas soal pembiayaan aktivitas politik yang terjadi di dalamnya. Isu SARA adalah tema mobilisasi yang mudah dipopulerkan karena aspek kontroversi dan dramatiknya, tapi juga punya efek pengalihan dari isu struktural yang mendasar.

Hal kedua, pembentukan sentimen massa dengan pro kontra isu SARA sebetulnya ditujukan terutama untuk memancing blunder di antara para kontestan elektoral yang bertarung. Blunder tersebutlah yang diharapkan memberikan dampak signifikan dalam merebut dukungan pemilih mengambang (swing voters). Pilpres 2014 telah menjadi model penggunaan politik SARA yang tampaknya akan terus diacu, setidaknya hingga 2019. Implikasi dari model tersebut adalah fokus pada figur kandidat ketimbang pada program, apalagi akomodasi terhadap aspirasi kepentingan material dan struktural warga. Penekanan pada citra figur kandidat jadi orientasi untuk menggiring preferensi warga. Pilihan akan terbentang sebatas pada jenis-jenis citra tersebut: “yang sederhana”, “yang tegas”, “yang santun”, “yang cakep” dan seterusnya. Politik elektoral lantas menjadi politik kontes kecantikan semata. Transaksi politik menjadi sangat dangkal dan tidak memberi tekanan bagi kemungkinan memaksa semacam pakta sosial untuk perbaikan-perbaikan relasi sosial antara warga dan pemerintah paska pemilihan. Bisa dipastikan bahwa bagaimana isu SARA berhenti atau berlanjut di Pilkada DKI 2017 ini akan menjadi rujukan pada bagaimana dia dikembangkan di Pemilu 2019.

Ketiga, mobilisasi aksi massa dengan sentimen SARA, seperti yang dipertontonkan pada aksi akhir minggu lalu, sebetulnya menunjukkan juga batas keampuhan dari politik identitas yang mengusung isu sektarian. Penggalangan animo sektarianisme – apakah dengan warna rasialisme atau agama – membutuhkan aliansi dengan kekuatan modal yang jelas memiliki agenda material yang mendesak. Agenda yang mendesak buat DKI Jakarta saat ini, dari sisi modal, adalah mempercepat putaran mesin pertumbuhan yang memungkinkan sirkulasi modal dari kapitalis finansial untuk disalurkan ke perluasan pembangunan sektor properti beserta infrastruktur penopangnya. Unjuk gertakan dari kelompok sektarian dengan pameran mobilisasi aksinya akan diimbangi dengan mobilisasi kelompok politik identitas lainnya yang akan bekerja membela kontestan elektoral saingannya. Artinya, tujuan utama untuk memenangkan supremasi politik dengan bendera sektarian tidak akan pernah tercapai, dan akan tetap lebih banyak dimanfaatkan untuk melayani kepentingan politisi-politisi utama di arena elektoral – yaitu motif memperkaya diri sendiri dan kelompok kepentingan ekonomi politiknya. Tentu saja yang akan terus menjadi korban adalah massa mengambang yang terpancing “baper” (terbawa perasaan) dan terlibat dalam pertikaian di sosial media yang memalukan. Padahal pertikaian di sosial media telah menjadi lahan bisnis bagi para buzzer atau pembentuk opini professional yang kini sedang naik daun – dan karenanya menjadi pihak yang dapat dibayar para politisi kontestan elektoral.

Dari ketiga poin di atas jelaslah ada fondasi ekonomi politik yang melandasi kejayaan dan kebangkitan politik identitas di atas panggung politik elektoral saat ini. Batas-batas panggung politik elektoral yang ditentukan oleh dominasi kepentingan ekonomi politik para pemodal di balik para politisi kontestan pertarungan electoral, mengakibatan arah politik SARA adalah komersialisasi sentimen massa sebagai pemilih potensial. Jadi tidaklah aneh bila semua kandidat di pilkada DKI saat ini bersiasat dengan politik SARA karena sejalan dengan agenda para pemodal di balik mereka. Oleh karena itu selama kekuatan politik kelas belum tegak untuk mengubah batas-batas panggung pertarungan politik elektoral, maka langkah yang bisa dilakukan adalah tidak “baper” dan terpancing dalam pertikaian yang menguntungkan para penggiat politik SARA. Terkait dengan hal tersebut, kalangan dan kelompok yang tidak terlibat dalam permainan dan bisnis politik elektoral mainstream saat ini potensial menjadi kekuatan pengubah jalur pertarungan elektoral yang lebih menguntungkan rakyat ketimbang agenda pemodal atau pun pemain politik SARA dengan segala variasinya. Tentu saja syaratnya dengan berkonsolidasi dan membangun kekuatan politik alternatif.***

]]>
Suara Satir, Sinis, dan Superfisial (di era) Demokrasi https://indoprogress.com/2016/08/suara-satir-sinis-dan-superfisial-di-era-demokrasi/ Mon, 29 Aug 2016 00:09:16 +0000 https://indoprogress.com/?p=16329 PADA hari perayaan kemerdekaan tahun ini, di sebuah pojok dinding dekat perempatan jalan sekitar pinggiran selatan perbatasan Jakarta, terpajang sebuah spanduk coretan pylox bertuliskan “Tak terasa sudah 71 tahun Indonesia merdeka, tak terasa juga merdekanya.” Kawasan tempat spanduk itu adalah lingkungan persilangan lalu lintas antara golongan kaum urban yang tinggal di pemukiman-pemukiman yang dibangun para pengembang property (bervariasi dari yang kelas menengah mau pun atas), dan golongan kaum para “penduduk asli” yang tinggal di rumah-rumah mereka yang semakin terjepit oleh perumahan golongan pertama tadi. Tapi tak ada keterangan siapa yang membuat atau pun mengatasnamakan pernyataan dalam spanduk tersebut.

Sang spanduk coretan pylox itu tidak dicetak dengan digital printing atau pun sablon, sebagaimana ratusan spanduk lain di sekitar lokasi yang hingar bingar berkampanye tentang perayaan kemerdekaan untuk membungkus-bungkus iklan perumahan, cicilan kredit usaha, ajakan belanja, hingga iklan calon-calon peserta pilkada serentak yang akan digelar tahun depan. Sang spanduk coretan pylox itu seperti berani beda dan kesepian di antara “suara-suara” lain yang mengisi ruang demokrasi yang sudah bergulir lagi di Indonesia merdeka sejak 18 tahun yang silam. Buat yang membaca bunyi spanduk plyox tersebut bisa berkesimpulan pernyataan yang dipajang di dalamnya bersifat satir, sinis, bahkan mungkin dituduh dangkal (superfisial). Untung saja belum terdengar komentar spanduk itu subversif, seperti yang biasasanya menjadi respon di masa otoriterisme Orde Baru. Juga beruntung isi spanduk pylox tersebut tak ditanggapi sebagai pencemaran nama baik atau pun ujaran kebencian – sebagai metode membungkam yang dilegalkan di masa paska otoriter.

Sebetulnya kita tidak kekurangan suara-suara dengan gaya satir, sinis, apalagi yang superfisial di era demokrasi saat ini. Apalagi semenjak berjayanya praktik media sosial di republik kita yang semakin tua usianya ini. Dinding atawa ‘wall’ media sosial rakyat Indonesia dijejali oleh beragam tulisan yang satir dan sinis tentang kehidupan sosial politik dan terutama terkait elit-elitnya. Sayangnya, mayoritas berita yang memadati lingkungan hidup virtual kita itu tidak mengarah pada renungan apalagi pembelajaran yang mendalam buat rakyat. Pikiran-pikiran yang berdialog dan bertengkar di dinding-dinding media sosial kita kebanyakan justru sangat dangkal, karena digerakkan oleh logika yang sektarian (terutama SARA), imajinasi yang melulu mengikuti logika pasar yang mendewakan profit dan popularitas yang bisa diperjualbelikan, dan juga pseudo-sains (ilmu pengetahuan palsu) yang bercampur aduk dengan mitos dan keyakinan spiritual yang dipaksakan.

Superfisialnya suara atau narasi di dinding-dinding media sosial kita di era demokrasi saat ini, berpuncak pada bingkai “haters versus lovers” (pembenci kontra pendukung) yang diproduksi elit untuk membatasi arena aspirasi rakyat secara luas. Media-media ‘alternatif’ yang bertumbuhan pun minim yang bisa keluar dari perangkap ini. Penjelasan “haters/lovers” begitu hegemonik dan meluas sehingga sedikit sekali ruang yang dibangun untuk imajinasi di luar yang mengabdi kepentingan pertarungan elit atau pun menghapus jejak kepentingan kaum modal di balik logika berorientasi pasar yang mencengkram praktik sosial kita. Apalagi sejauh ini kita memang kekurangan wadah terorganisir dan tokoh alternatif yang berbasis sosial kuat di antara mereka yang disingkirkan dan berjuang melawan penggusuran oleh penguasa negara maupun modal. Suara-suara satir dan sinis di media-media kita saat ini, disadari atau tidak, memilih logika pasar tentang apa yang paling menjual: membahas isu-isu dan pertengkaran elit yang terus berganti episode nyaris tanpa solusi dan tanpa henti.

Akibatnya, di era yang secara formal bukan otoriter lagi ini memang langka untuk menemukan suara-suara kesepian yang kritis terhadap kekuasaan negara dan modal sekaligus menumbuhkan imajinasi tentang cara hidup bersama yang baru, masuk akal, dan menawarkan kebahagian-kesejahteraan bersama. Memang media-media alternatif, termasuk suara aktivis-aktivisnya secara rutin mengabarkan tentang perjuangan dan pembelaan kasus-kasus rakyat dari berbagai pelosok negeri. Tapi, bila tidak salah mengamati, kebanyakan masih berhenti pada unjuk perasaan para korban yang dalam banyak kesempatan berujung pada tekanan pada elit untuk berbelas kasihan. Sementara itu di antara suara-suara lirih yang kuantitasnya jarang mempromosikan imajinasi dan jalan perjuangan politik alternatif, justru seringkali direspon secara sinis dan satir oleh kalangan media alternatif sendiri – apalagi oleh media arus utama yang sudah punya kebijakan terpola untuk menghalau wacana dan informasi tentang gerakan rakyat kecuali dapat dimanfaatkan untuk agenda elit yang berada di belakang keberadaan mayoritas media (termasuk sekarang dalam fenomena para buzzer di media sosial).

Media seperti IndoPROGRESS bukan satu-satunya media alternatif yang tersedia di lingkungan hidup virtual kita saat ini. Penting kiranya media alternatif progresif yang ada dan akan terus bertumbuhan merefleksikan misi bersuara yang hendak dikembangkan secara luas dan konsisten. Menembus pagar-pagar logika pasar dan agenda kepentingan elit (negara dan korporasi) harus menjadi visi strategis yang diupayakan bersama. Membentangkan “spanduk-spanduk” yang subversif pada kuasa negara dan korporasi (pemodal) di lingkungan hidup media sosial perlu menjadi antusiasme bersama. Karena suara satir dan sinis yang tidak subversif pada kuasa negara dan korporasi sudah sangat mendangkalkan kesadaran rakyat di tengah era kemudahan mengakses informasi dewasa ini.

Coretan-coretan kritis di dinding kota semakin jarang kita temui, sementara suara satir dan sinis di “dinding-dinding” media sosial kita baru sebatas menghadirkan informasi yang superfisial buat rakyat. Kegairahan yang bisa dibangun lewat media sosial akan adanya gerakan rakyat yang kuat dan tidak tunduk pada agenda elit mesti giat dihadirkan. Untuk itu, kita perlu penyatuan sumber daya dan tenaga di lingkungan hidup media sosial yang kita nikmati saat ini. Demi menjaga harapan rakyat akan adanya perubahan sosial sejati sekalipun telah berkali-kali dimanipulasi elit dan kalangan aktivis oportunis. Karena ruang demokrasi elektoral yang menguntungkan elit-elit oligarkis saat ini sudah pasti bukan lah akhir dari perjalanan suara-suara kesepian rakyat yang terus berlawan.***

]]>
Menyongsong 2019: Membalik Penyingkiran Rakyat Pekerja dari Kekuasaan Politik https://indoprogress.com/2016/08/menyongsong-2019-membalik-penyingkiran-rakyat-pekerja-dari-kekuasaan-politik/ Wed, 24 Aug 2016 02:17:24 +0000 https://indoprogress.com/?p=16298 PERAYAAN kemerdekaan Republik Indonesia tahun 2016 ini yang menginjak usia ke-71 adalah juga tahun ke-18 sejak kejatuhan Soeharto. Tahun ini proses politik dan pembuatan aturan terkait pemilu 2019 sebetulnya sudah dimulai – seleksi di Kemenkumham, pengajuan UU Pemilu 2019, dll. Sayangnya, secara umum hal itu belum direspon dengan penuh perhatian oleh rakyat awam maupun kalangan gerakan. Ketimbang melulu tergiring membahas berbagai akrobat dan pengkhianatan politik oleh berbagai elit dan aktivis yang menggelendot pada kekuasaan negara saat ini, ada baiknya kita mulai membangun ruang diskursus alternatif yang membangkitkan harapan akan perjuangan rakyat di momen pertarungan politik di depan: pemilu 2019.

Dalam konteks politik elektoral maupun non elektoral, kelas pemodal dan jaringan oligarki masih berkuasa dan menghegemoni kesadaran serta tindakan rakyat pekerja yang kehidupannya hingga saat ini tidak mengalami perbaikan signifikan. Contoh nyatanya adalah tingginya kesenjangan sosial dan buruknya perlindungan sosial, lantaran kekuasaan negara digunakan nyaris sepenuhnya untuk melayani kepentingan dan nafsu penjarahan faksi-faksi kapitalis dan jaringan oligarki.

Politik keseharian di media dibingkai melulu menjadi soal popularitas jangka pendek yang menyesatkan, seperti tercermin dalam argumen “Haters versus Followers” (pembenci versus pengikut). Bingkai haters vs followers digunakan untuk menjelaskan nyaris segala hal sejak masa pilpres yang telah lewat dua tahun lalu. Jokowi yang banyak didukung kelompok gerakan untuk membendung kekuatan Orbais yang berhimpun di kubu Prabowo-KMP, dalam dua tahun ini tidak menunjukkan kemampuannya untuk bersinergi dengan gerakan rakyat. Tidak sedikit aktivis di kubu Jokowi yang memilih menjadi pejabat publik, namun tidak memiliki atau putus relasi organisnya dengan gerakan. Oportunisme merajalela di antara mereka dan bahkan mereka mulai menjadi instrumen aktif kooptasi dan manipulasi gerakan sosial. Kubu oposisi dan aktivis yang bercokol di sana pun tak lebih dari macan ompong politik borjuasi yang tidak mempunyai perbedaan kepentingan secara signifikan dari rezim berkuasa.

Politik negara kembali jadi klise dan tidak inspiratif. Mobilisasi-mobilisasi massa yang ramai di masa kampanye sekarang justru ditutup ruang dan kesempatannya. Bahkan teknik-teknik represi terhadap protes rakyat dikembangkan sebanyak-banyaknya. Paradigma MP3EI yang menggusur dan menghancurkan keterorganisiran rakyat cuma diganti bungkus istilahnya dengan “Daya Saing di Pasar Global”, “Kerja, Kerja, Kerja”, yang semuanya menyingkirkan rakyat demi kepentingan operasi modal. Sementara agenda perlindungan sosial yang transformatif atau agenda kerakyatan lainnya sama sekali tidak dilirik oleh rezim Jokowi sebagai pintu masuk untuk mengubah perimbangan kekuatan antara jaringan oligarki dengan massa rakyat pekerja secara luas.

Sementara itu, jaringan oligarki yang berkuasa untuk menghindari perlawanan rakyat yang radikal, telah mengarahkan kehidupan sosial ke arah sektarianisme yang penuh potensi konflik horizontal antar rakyat. Mereka menghidupkan kembali nasionalisme-chauvinis yang semu dan anti-kelas pekerja serta anti-humanisme/kemanusiaan, sebagaimana telah dipraktikkan di masa Orde Baru.

Kelas pemodal dan jaringan oligarki ini bekerja nyaris tanpa ada kekuatan politik progresif yang menandinginya. Perlawanan harian di luar negara tidak berkembang menjadi kekuatan politik ekstra-negara yang punya kapasitas menandingi negara dan memaksa perubahan sosial-politik dari luar. Sementara, di ruang demokrasi elektoral, gerakan rakyat pekerja yang terorganisir juga mengalami penyingkiran.

Bertahun-tahun pasca-rezim otoritarianisme Soeharto, kelas pekerja terus mengalami penyingkiran (eksklusi) dari kekuasaan politik negara. Penyingkiran ini tidak lagi mengandalkan secara penuh mekanisme represi atau kekerasan oleh negara, melainkan melalui penyingkiran di ruang demokrasi elektoral yang terbangun paska runtuhnya kediktatoran Suharto pada tahun 1998.

Penyingkiran dilakukan dengan berbagai strategi dan taktik legal-formal yang mempersulit ruang bergerak kelas pekerja di arena elektoral. Mulai dari aturan main elektoral yang sangat menyulitkan pertumbuhan partai elektoral kelas pekerja hingga pembusukan sistematis arena elektoral yang menumbuhkan frustrasi dan antipati pada perjuangan elektoral. Singkatnya, strategi penyingkiran bertujuan mengokohkan kesadaran: “Tidak Ada Alternatif di Luar Politiknya Kelas Modal.”

Evolusi belasan tahun penyingkiran di arena elektoral itu telah bergerak ke situasi keterperangkapan. Sekalipun massa rakyat pekerja semakin kritis dalam memahami kebusukan agenda dan praktik kelas modal, akan tetapi terus tergiring ke muara politik yang melestarikan kekuasaan ekonomi dan politik kelas borjuasi secara luas. Bahkan minim sekali celah dimana kelas borjuasi dan jaringan oligarki bersedia mengakomodir kepentingan kelas pekerja, apalagi bersedia membangun pakta sosial yang memberikan perlindungan bagi rakyat pekerja dan miskin sebagaimana harapan naif kalangan rakyat dan aktivis selama beberapa kali pemilu di era pasca-rezim otoritarian.

Penyingkiran kelas pekerja dari demokrasi elektoral turut dilandasi oleh kondisi fragmentasi (keterpecahan) dan buruknya keterorganisiran kelas pekerja maupun berbagai gerakan sosial yang ada secara luas. Karenanya, unifikasi gerakan sosial kerakyatan-progresif merupakan basis material yang diperlukan untuk melawan penyingkiran politik rakyat pekerja oleh kelas berkuasa dan para pendukungnya.

Namun, unifikasi tidak pernah terwujud secara signifikan hingga saat ini. Salah satu sebab utamanya adalah rivalitas (persaingan) berbagai kelompok gerakan yang mutunya rendah. Gerakan sosial tidak mampu meningkatkan mutu persaingan atau benturan antar-mereka, karena tidak disalurkan ke dalam ruang demokratik yang terorganisir, transparan dan partisipatif terhadap massa secara luas.

Akibatnya, kerjasama dan kontestasi antar kelompok gerakan sosial selama ini terus terjadi secara elitis. Lebih utamanya lagi, persaingan dan pertentangan antar-kelompok gerakan sosial mengabaikan kebutuhan mempertajam perlawanan kelas pekerja terhadap kelas modal yang berkuasa dengan berbagai pengorganisiran politiknya, termasuk di ruang politik elektoral. Implikasinya adalah lemahnya kapasitas politik elektoral terorganisir dari berbagai inisiatif gerakan sosial selama ini sejak 1999. Praktis tidak ada partai alternatif dari konsolidasi gerakan sosial yang bisa bertarung pada pemilu 2004-2014.

Tentu saja ada persoalan kapasitas objektif yang menghambat hadirnya kekuatan kelas pekerja dan gerakan sosial progresif untuk bertarung di arena politik elektoral. Misalnya, kapasitas pendanaan, kapasitas mengatasi halangan-halangan legal-formal, kapasitas propaganda yang massif dan signifikan dalam mengarahkan kesadaran massa, hingga kapasitas mobilisasi massa untuk menjalankan tugas-tugas kepartaian di ruang demokrasi elektoral (mulai dari mengumpulkan suara, menjaga suara, memenangkan aturan main elektoral, dll).

Namun, pengamatan yang teliti atas fakta sosial selama belasan tahun di era pasca-rezim otoritarian menunjukkan, banyak individu kelas pekerja dan gerakan sosial yang pernah bersentuhan dan terlibat dalam aktivitas kepemiluan dengan berbagai bentuknya, mulai dari aktivitas ikut mencoblos atau melakukan advokasi maupun kajian tentang hal-hal terkait pemilu.

Tidak sedikit aktivis gerakan rakyat yang menjadi tim sukses politisi atau parpol dengan alasan ada peluang untuk memperjuangkan isu-isu rakyat. Juga tidak sedikit aktivis yang berpengalaman sebagai penyelenggara dan pengawas pemilu (KPU, Bawaslu ataupun LSM pemantau kepemiluan). Bahkan ada yang pernah menjadi panitia pendirian partai elektoral walaupun masih gagal, karena dijegal oleh jaringan oligarki dan aturan hukum yang tidak demokratis. Artinya banyak sumber daya yang bila dipersatukan dan distrategikan dengan tepat, bisa mengatasi kelemahan kapasitas elektoral gerakan rakyat.

Ada setidaknya dua implikasi serius dari keterpinggiran kelas pekerja secara terus-menerus di arena elektoral. Pertama, krisis internal kelas pekerja dan gerakan sosial progresif secara luas, karena energi perlawanan yang ada dari basis sosial tidak tersalurkan dalam pertarungan di arena negara. Hasilnya adalah langgengnya perjuangan parsial, kasus per kasus, sektor per sektor.

Berbagai perjuangan parsial ini tidak mampu membangun fondasi yang kokoh untuk jaringan yang meluas dan berkelanjutan. Efek ikutannya adalah tersalurkannya energi yang ada justru pada konflik dan perseteruan tidak bermutu di internal kelas pekerja dan gerakan sosial progresif lainnya. Konflik dan krisis internal membuat gerakan radikal semakin terasing dari rakyat, sehingga perannya mulai diambilalih oleh kekuatan sektarian yang menyebarluaskan ilusi fundamentalisme, keutamaan identitas SARA, dll.

Kedua, tumbuhnya fenomena “relawan” yang memperkuat oportunisme aktivis gerakan sosial untuk menjadi jaringan oligarki tanpa mekanisme pertanggungjawaban kepada gerakan rakyat. Fenomena ini akan terus berlanjut, apalagi dengan semakin kuatnya cara-cara dan media berpolitik baru (misalnya yang marak dikembangkan lewat media sosial) yang belum sepenuhnya dikendalikan oleh gerakan sosial. Singkatnya fenomena relawan dan medsos tanpa adanya partai alternatif sebagai tempat mengabdinya, hanya akan banyak dimanfaatkan oleh kelas borjuis dan jaringan oligarki.

 

Wujudkan Partai Gerakan Untuk Pemilu 2019

Kehadiran partai alternatif di Pemilu 2019 dalam kaitannya dengan pembacaan bahwa masalah demokrasi kita adalah penyingkiran rakyat oleh kekuatan jaringan oligarki sebetulnya mengantarkan pada logika mutlak tentang perlunya partai alternatif. Yakni partai hasil konsolidasi gerakan sosial yang dapat bertarung menghadapi partai-partai borjuasi dan jaringan oligarki, yang saat ini terus menggempur dan menindas kelas pekerja dengan berbagai kebijakan dan tindakan aktif Negara. Selama belasan tahun ini, kekosongan partai alternatif-elektoral di arena politik formal telah mendorong maraknya praktik-praktik oportunisme di kalangan aktivis gerakan sosial sebagai akibat kerjasama dengan borjuasi tanpa batas yang jelas dan tanpa adanya pertanggungjawaban pada gerakan rakyat.

Kita juga perlu memastikan dengan segala cara agar tidak terjadi kerjasama atau persekutuan kaum gerakan dengan partai-partai borjuis dan jaringan oligarki pada pemilu 2019. Tetapi, kita juga tidak bisa membiarkan energi perlawanan rakyat pekerja sia-sia dalam praktek golput yang terbukti tidak memberikan dampak perlawanan ataupun berujung pada pembangunan kekuatan politik alternatif. Pilihan yang tepat adalah mewujudkan partai hasil konsolidasi gerakan untuk bertarung di pemilu 2019.

Pernyataan itu bukan wishful thinking, karena benih material untuk adanya partai gerakan bertarung di pemilu 2019 sudah ada. Sejauh ini, terdapat 2 kelompok yang memiliki akar pada gerakan kelas pekerja dan gerakan sosial progresif, yang sedang mempersiapkan partai alternatif elektoral untuk bertarung di pemilu 2019.

Pertama, Partai Hijau Indonesia (PHI), yang dibangun oleh aktivis-aktivis gerakan lingkungan progresif. Aktivis-aktivis lingkungan yang berhimpun di Serikat Hijau Indonesia (SHI), dan lain-lain, melakukan konsolidasi dengan pengumpulan syarat administratif partai peserta pemilu 2019 lewat PHI. Meski masih harus diperjuangkan, PHI memiliki peluang untuk dapat lolos dari fase pendaftaran partai sebagai badan hukum di Kemenkumham.

Kedua, Partai Buruh yang akan dimodifikasi. Sebenarnya partai ini sampai sekarang belum pasti akan bernama apa, tapi untuk sementara, penulis sebut “Partai Buruh yang akan dimodifikasi” karena kelompok ini “mengakuisisi” Partai Buruh yang didirikan Mukhtar Pakpahan untuk bisa ikut pemilu 2019. Adapun kata “dimodifikasi” merujuk pada kemungkinan perubahan nama, AD-ART, kepengurusan, dlsb.

Jadi, ada dua wadah gerakan yang potensial untuk bertarung di Pemilu 2019. Tetapi, kedua kelompok ini bukan tanpa kelemahan. Basis PHI sejauh pengamatan penulis cenderung “atomis”, bergantung pada jaringan individu aktivis yang dalam konteks politik elektoral belum terlihat kapasitas mobilisasinya di teritori nasional yang luas. Sementara, Partai Buruh yang dimodifikasi, sekalipun terlihat memiliki kapasitas mobilisasi sesuai dengan karakter serikat-serikat buruh penyusunnya, tetapi memiliki cakupan (coverage) teritori yang tidak terdistribusi secara meluas dan merata secara nasional. Massa potensial mereka cenderung terbatas dari buruh yang cakupan geografisnya terkonsentrasi di kota-kota industri.

Idealnya, kedua konsolidasi itu bisa bersatu untuk saling melengkapi. Dengan persatuan atau unifikasi, mereka bisa menjadi satu kelompok yang cukup besar dan berfungsi sebagai magnet bagi kelompok-kelompok gerakan lain yang tersebar di mana-mana. Tentu saja mendorong unifikasi antara dua kelompok yang memiliki tradisi dan langgam kerja yang berbeda tidaklah mudah. Namun, jika ada kepentingan yang sama untuk mendobrak regulasi elektoral agar gerakan rakyat bisa bertarung dengan kelas pemodal dan jaringan oligarki di pemilu 2019, maka kepentingan yang sama itu bisa menjadi modal awal untuk melakukan unifikasi.***

 

Penulis adalah mahasiswa doktoral di Murdoch University, Australia

]]>
Kepentingan Melawan Histeria Anti Komunis https://indoprogress.com/2016/06/kepentingan-melawan-histeria-anti-komunis/ Tue, 14 Jun 2016 02:00:08 +0000 https://indoprogress.com/?p=15993

Ilustrasi oleh Andreas Iswinarto

HISTERIA anti komunis datang lebih cepat tahun ini. Bila biasanya ‘dirayakan’ menjelang tanggal keramatnya pada 30 September/1 Oktober, maka tahun ini sudah memanas sejak pertengahan April. Elit-elit politik maruk kuasa segera sibuk membangunkan rakyat dengan alarm tanda bahaya kesukaan mereka: ancaman dan hasutan. Menyanyikan dengan semangat ‘lagu-lagu kebohongan’ bahkan dalam versi yang terdengar paling bodoh sekalipun. Persoalannya bukan kurangnya intelektualitas para provokator anti komunis kambuhan ini. Faktanya, mereka tahu dari pengalaman, bahwa tak ada hukuman dan konsekwensi serius apapun yang menanti tindakan mereka. Korban persaingan elit selalu bisa dicari dari kalangan rakyat yang mudah ditumbalkan.

Tahun ini perayaan mengusir hantu komunis terlaksana lebih cepat setelah pemerintah Jokowi secara agak mengagetkan menyelenggarakan Simposium Tragedi 1965. Sebuah acara yang memang tidak pernah dilakukan sebelumnya. Pertemuan yang difasilitasi, bahkan dibiayai, oleh pemerintah – lewat Kantor Menko Polhukam — dengan menghadirkan dua kalangan yang dianggap paling bertentangan dalam tragedi 1965. Mereka yang dianggap mewakili dan membela korban tragedi 1965 datang dari komunitas penyintas dan keluarganya, organisasi-organisasi advokasi Hak Asasi Manusia. Sementara dari kalangan yang berseberangan turut diundang kalangan militer hingga komunitas keluarga korban G30S. Bahkan turut menjadi tim pengarah acara adalah Gubernur Lemhanas Agus Wijoyo, yang merupakan anak dari Jenderal Sutoyo, salah seorang yang terbunuh dalam G30S.

Segera histeria anti komunis menyalak kencang melalui media, menyatakan penolakan fasilitasi pemerintah terhadap aktivitas yang memungkinkan pembicaraan publik soal 1965 di luar pola yang dibangun sejak Orde Baru. Tentu kita tidak bisa mengabaikan sama sekali bahwa Abdulrahman Wahid alias Gus Dur, selaku Presiden kedua pasca Soeharto lengser, pernah mendorong niat serupa dengan mewacanakan penghapusan Tap MPRS 25/1966 yang melarang PKI dan penyebaran Marxisme Leninisme. Sayangnya sejarah mencatat upaya tersebut gagal bergulir jauh karena elit-elit politik keburu mengkudeta Gus Dur. Berbagai pemerintahan sesudah Gus Dur memilih tidak keluar dari pola menjadikan persoalan 1965 sebagai masalah yang pembahasannya merupakan privelese elit politik saja.

Di masa lalu bila masyarakat awam membicarakan, apalagi berupaya mencari solusi penuntasan dilema politik terkait tragedi politik 1965, maka ganjaran hukum yang keras sudah siap menanti. Tetapi sejak masa pasca 1998, secara bertahap kemungkinan untuk terus mempertahankan pola represif itu tampaknya terus menerus berkurang relevansinya. Ditandai oleh beberapa aturan hukum yang terkait tindakan represif yang biasa dilakukan sudah mulai dapat dihilangkan – misalnya pembatasan kuasa untuk pelarangan buku, atau pun kesempatan bagi mantan anggota PKI untuk menggunakan hak pilih dan dipilih. Walau pun begitu, bukan berarti seluruh stigma dan intimidasi ala pola pengendalian politik warisan rezim Orde Baru terkait isu PKI dan hantu komunis sudah hilang.

Pemilu 2014 lalu, dengan segala keterbatasannya, telah membuka ruang bagi kemunculan formasi elit politik baru. Mewujud dalam figur Jokowi yang menunjukkan, dalam berbagai kesempatan, kepentingannya untuk tidak selalu dikendalikan oleh formasi-formasi elit politik yang sudah berkuasa lama dan berjaringan dengan akar klas penguasa dari jaman Orde Baru. Penggambaran barusan tentang Jokowi tidak berarti ia dan formasi politik yang sedang dibangunnya sekarang bebas sama sekali dengan kekuasaan oligarki yang sudah ada. Penggambaran tentang Jokowi di atas pun tidak berupaya menyiratkan bahwa formasi poltik yang dibangunnya sekarang punya jaringan yang berakar pada gerakan rakyat – terlepas metode pelibatan aktivis-aktivis gerakan sosial dalam posisi-posisi kekuasaan. Singkatnya, yang hendak diargumentasikan oleh tulisan ini bahwa ada kepentingan dari formasi politik Jokowi saat ini untuk keluar dari pola konvensional penanganan ‘masalah 1965’.

Kepentingan politik Jokowi belum tentu sama persis dengan kepentingan politik gerakan sosial yang progresif untuk menuntaskan pelanggaran HAM. Kepentingan politik Jokowi tentu lebih terkait dengan kalkulasi memperkuat dan mempertahankan kekuasaan atas negara. Metode penyelesaian yang diarahkan untuk melakukan rekonsiliasi tanpa proses pengadilan hukum memberikan indikasi tentang salah satu perbedaan yang mencolok. Kepentingan dari upaya memulai penuntasan ‘masalah 1965’ jelas punya dimensi pragmatis untuk mengurangi semaksimal mungkin dominasi elit-elit politik lama yang akan terus menggunakan stigma PKI untuk menyerang rival politik dalam berbagai kontestasi politik – termasuk dalam pemilu 2019 mendatang, sebagaimana sudah terjadi di pemilu 2014 lalu. Bila proses rekonsiliasi yang mereka harapkan terjadi maka dapat diklaim sebagai bukti prestasi kerja pemerintahan dan akan memperbesar dukungan publik pada saat dibutuhkan.

Adalah wajar pelaku-pelaku politik bertindak berlandaskan kepentingan-kepentingan mereka yang konkret. Namun kepentingan dan rencana politik akan ditentukan sifat dan hasilnya lewat momen pertarungan politik yang nyata juga. Sebagai contoh, kepentingan politik Jokowi lewat inisiatif simposium terbukti segera direspon oleh gerakan histeria anti komunis yang aktif melakukan serbuan fitnah, hasutan dan mobilisasi massa. Tujuan repon tersebut adalah menetapkan batas dari kemungkinan rekonsiliasi versi pemerintah Jokowi, bila tidak mungkin menggagalkannya. Rekonsiliasi buat mereka harus lah dilakukan bersamaan dengan penguatan politik sektarianisme demi fasilitasi kelompok-kelompok paramiliter reaksioner. Politik kiri harus tetap dipertahankan sebagai kambing hitam abadi buat seluruh permasalahan yang dihasilkan oligarki dan kepentingan ekonomi politik yang menyertainya. Kambing hitam yang dapat digunakan untuk sebagai cap bagi berbagai bentuk perlawanan rakyat terhadap ketidakadilan sosial yang mereka alami. Artinya kepentingan nyata dari kelompok yang mendukung histeria anti komunis juga sangat lah nyata, bukan sekedar romantisme ketinggalan zaman atau kurangnya intelektualitas.

Kini yang menjadi ujian dalam momen sekarang ini adalah apakah kaum progresif dan demokrat di era paska otoriter ini dapat mengukuhkan kepentingan mereka juga lewat respon yang memaksa pemerintah Jokowi tidak tunduk pada batasan yang diinginkan kelompok-kelompok reaksioner itu. Apakah kita dapat merespon secara cerdik dan jitu peluang yang bergulir dari langkah pemerintah membangun pola baru dalam membahas dan mencari solusi atas “tragedi 65”. Formula agenda dan strategi memanfaatkan momentum yang bergulir dari inisiatif simposium pemerintah harus dijangkarkan pada kepentingan generasi baru untuk bebas dari beban intimidasi dan hegemoni Orde Baru. Pada generasi muda juga lah kita menemukan arena pertarungan utama antara kepentingan bebas atau terus tersandera ‘histeria anti komunis dan kebangkitan PKI’. Simposium seperti yang digulirkan pemerintah dengan memberi ruang masyarakat membahas dan mencari solusi secara aman atas ‘masalah 1965’ harus dikembangkan dan diluaskan jangkauannya. Generasi muda harus lebih diberikan peran untuk terlibat, sekalipun mereka bukan lah korban atau pelaku langsung dari tragedi 1965.

Kenyataan tentang kepentingan politik yang konkrit harus disadari oleh kalangan progresif. Dengan menyadari bahwa dalam kenyataan politik saat ini kalangan gerakan rakyat masih tidak terorganisir baik, bahkan tidak memiliki pewadahan yang memadai untuk memenangkan kepentingan-kepentingannya. Akibatnya kalangan gerakan belum merespon dinamika yang bergulir terkait ‘histeria 65’ berdasarkan perumusan kepentingan politik yang terformalisasikan dengan baik dan terwujud dalam tindakan-tindakan politik yang konsisten dapat didukung massa secara luas. Bukan berarti kalangan gerakan sama sekali tidak melakukan apa-apa dalam momen sekarang ini, tapi harus dengan jujur diakui bahwa karakternya masih bersifat defensif dan tidak terkonsolidasi. Kapasitas yang sejauh ini bisa dibangkitkan oleh komite-komite aksi yang sudah bergerak memprotes fitnah dan intimidasi gerakan masih jauh tidak sepadan dibandingkan gerakan kaum ‘pemelihara hantu komunis’. Artinya masalah pewadahan dan mobilisasi harus segera menemukan solusi dan strategi yang dapat didukung massa secara luas, terutama di kalangan generasi muda.

Berharap ‘histeria anti komunis’ ini usai begitu saja dengan bersikap pasif dan atau defensif jelas bukan pilihan yang strategis. Menertawai kebodohan-kebodohan yang dipertontonkan tokoh-tokoh gerakan histeria anti komunis mungkin berguna untuk mengusir paranoid atas intimidasi mereka. Akan tetapi yang jauh lebih dibutuhkan segera adalah konsolidasi gerakan yang kuat, yang bisa memaksa negara menjamin kebebasan rakyat membahas dan mencari solusi ‘masalah 1965’ secara aman dan demokratis. Jaminan yang harus dibuktikan dengan tersedianya lebih banyak lagi ruang aman bicara dan mencari solusi soal tragedi 65 di seluruh Indonesia. Jaminan yang harus bisa dinyatakan secara terbuka oleh kepala negara kepada seluruh warganya.***

]]>
Melampaui Demotaksi https://indoprogress.com/2016/04/melampaui-demotaksi/ Mon, 04 Apr 2016 01:52:01 +0000 https://indoprogress.com/?p=15681

Ilustrasi gambar oleh Andreas Iswinarto

 

BELUM lama ini jagad sosial media digemparkan keributan di jalanan raya Jakarta antara pengemudi yang bekerja untuk kartel angkutan umum dengan para pengemudi angkutan berbasis aplikasi. Wacana yang dominan berkembang menyatakan bahwa masalahnya adalah soal regulasi. Wacana ini juga diamini banyak penulis opini. Saya justru berpendapat bahwa persoalannya bukanlah ada tidaknya regulasi. Yang mesti diperiksa adalah kenyataan material apa yang melandasi dan membatasi posisi negara terhadap regulasi, hingga dapat terang pada siapa ada atau tidak adanya regulasi berpihak

Regulasi yang diributkan oleh dua kubu kapitalis yang tengah bertanding itu, pada intinya ingin memperebutkan dominasi profit dari bisnis transportasi ini. Kubu yang kelihatan paling galak adalah kartel angkutan yang telah lama mengeruk keuntungan dengan cara memonopoli bisnis perhubungan di jalanan kota besar melalui kolusinya dengan birokrasi dan para ‘penguasa jalanan’ (yakni aneka ragam aparat negara dengan segala bentuk badan usahanya). Kubu lawannya adalah entitas multinasional yang mampu mensiasati bisnis komunikasi-informasi, pendanaan lewat aneka taktik investasi, serta ketangkasan merespon pemakaian teknologi secara massal oleh masyarakat.

Ketiadaan regulasi membuat model baru bisnis transportasi berkembang pesat dan mengancam prospek profit pelaku bisnis lama. Pelaku bisnis yang semula unggul sebetulnya diuntungkan oleh minimnya aturan yang memaksa mereka bertanggungjawab pada para pekerjanya dan juga kepada konsumen yang tidak punya kuasa untuk mendapatkan tarif yang murah. Kita bisa melihat dengan nyata konflik yang terjadi di tubuh pembuat regulasi, yaitu pemerintah. Misalnya, antara departemen perhubungan yang berbeda posisi dengan departemen komunikasi-informasi. Pemerintah jelas terlihat tak berbadan tunggal. Masing-masing pembantu kepala pemerintahan memfasilitasi pertandingan kepentingan dua kubu modal yang sedang berkompetisi.

Kepala pemerintahan yang dipuji sebagai ‘salesman nomer satu’ dalam urusan mengundang modal berinvestasi di Indonesia, kelihatan gamang berdiri di antara dua kubu modal yang sama-sama menunjukkan diri setia menopang kekuasaannya. Sementara itu tak banyak yang bicara bahwa soalnya bukan teknis peraturannya ada atau pun tidak ada. Inti pertentangan yang melandasi konflik bisnis transportasi adalah kendali utama atas akumulasi modal dan penciptaan profit sebesar-besarnya dari bisnis transportasi non-massal. Bisnis yang sangat diuntungkan oleh kondisi dimana selama bertahun-tahun kota besar kita tak punya transportasi publik massal yang menjadi tanggung jawab negara sehingga berakibat kemacetan jalan raya yang semakin tak terpecahkan.

Tak sedikit dari kita turut sibuk membagikan opini sesat yang menerangkan bahwa akar konflik antara pengemudi angkutan umum non-massal adalah soal ketidakmampuan mengimbangi berkembangnya tren ekonomi berbagi yang harusnya dipandang sebagai solusi. Opini ini mempropagandakan ekonomi berbagi kemacetan sebagai solusi bagi pengangguran dan biaya transportasi yang semakin lama semakin mahal (karena kemacetan yang semakin tak terurai dan juga komersialisasi transportasi publik yang tanpa kendali). Kita tergiring untuk semata membicarakan memaksimalkan kepentingan konsumen, dan melupakan bagaimana sejarah kekacauan transportasi publik dan lemahnya posisi rakyat pekerja dalam produksi jasa transportasi yang terus dikomersialisasi saat ini. Tak ada serikat independen dan perlindungan terhadap hak-hak normatif sebagai pekerja buat para pengemudi, baik di bisnis milik kartel ataupun yang ‘berbasis aplikasi’.

Kita tidak galau dengan kekacauan logika dalam soal konflik tersebut karena kita sudah terlalu lama terperangkap dalam kemacetan yang parah, tidak hanya di jalan raya sehari-hari tapi juga di nalar yang berkeadilan sosial. Kemacetan parah dan berkepanjangan yang membuat bangsa kita tidak bisa mengingat bahwa awal perjalanannya berangkat dari jalan perlawanan terhadap kapitalisme dan kolonialisme dalam rute menuju masyarakat adil, setara, dan sejahtera – sebut saja jalan kemerdekaan dan sosialisme. Kemacetan panjang yang melelahkan telah membuat kita sebagai bangsa melakukan penyangkalan tentang jalan sejarah dan arah perjalanannya. Kemacetan nalar membuat kita memusuhi segala hal yang berkaitan dengan asal-usul jalan dan rute perjalanan sejati bangsa kita. Sebagaimana kita lupa bahwa dalam sejarah bangsa kita, para pekerja transportasi – serikat buruh kereta api — adalah kekuatan yang penting dalam perjuangan melawan kolonialisme.

Sebetulnya kita dapat melihat bahwa perkara ‘Kartel angkutan umum versus Online ‘ yang bergulir menjadi konflik di jalanan, memiliki benang merah yang sama dengan pelarangan acara-acara oleh ormas-ormas yang paranoid dengan ‘kiri’ atau kegiatan kritis lainnya. Di luar perbedaan-perbedaan yang sangat nyata di antara keduanya, yang kita semua sudah paham sepenuhnya. Justru kesamaannya yang patut diperhatikan, bahwa muara konflik disalurkan menjadi benturan dan kebencian antara sesama rakyat pekerja. Sementara kelas berkuasa dalam beragam formasi dan ekspresinya, terselubungi oleh fokus yang sangat berlebihan pada pengajuan solusi dan spekulasi-spekuslasi ketimbang usaha mengetahui apa yang menjadi akar masalahnya saesungguhnya.

Konstruksi politik dan kesadaran yang berkembang cenderung melupakan bahwa regulasi adalah bagian dari konflik sosial. Di negeri kita yang anti analisa kelas ini, akibat penindasan dan pembodohan oleh rezim-rezim politik sejak 1965 hingga sekarang, logika rakyat diajak mengabaikan bahwa ada ataupun tiadanya regulasi adalah wajah dari konflik kelas dalam masyarakat kita – masyarakat kapitalis. Kalangan akademik dan aktivis serta gerakan sosial masih terlalu minim memasok pengetahuan dan kesadaran progresif rakyat untuk memahami konflik-konflik sosial yang muncul dalam kerangka kritik terhadap pembangunan kapitalisme dan masyarakatnya yang tersusun atas kelas-kelas sosial yang bertentangan kepentingan. Konflik di jalanan antara rakyat pekerja dalam peristiwa benturan ‘taxi kartel versus angkutan online’ adalah alarm tanda bahaya, yang harus disikapi dengan propaganda kelas dan bukannya semata mengikuti wacana ‘kepentingan konsumen’ yang melulu pro mekanisme pasar. Perlu usaha bersama kaum progresif untuk mendorong pengorganisiran serikat independen yang jelas dibutuhkan oleh pengemudi di mana pun, dan tidak dikehendaki baik oleh kapitalis kartel maupun online. Saatnya berbagi perjuangan untuk ekonomi berbagi yang sejati, bukan yang semata jualan para pendukung kaum modal.

Kita perlu menolak untuk ikut-ikutan mengajukan solusi yang membuat rakyat tidak belajar akar masalah yang terjadi secara material dan menyejarah. Kaum progresif harusnya berbagi pengetahuan dan sumber daya yang mempopulerkan sehebat-hebatnya kepentingan rakyat pekerja yang tidak disuarakan dalam konflik-konflik sosial yang tengah terjadi. Dan ini bukan hanya relevan untuk soal kehebohan “demotaksi”.***

]]>
Belok Kiri, Harap Minggir? https://indoprogress.com/2016/02/belok-kiri-harap-minggir/ Mon, 29 Feb 2016 04:52:02 +0000 https://indoprogress.com/?p=15439 SEMULA saya telah menyusun rancangan editorial dengan tema yang lain, tetapi perkembangan peristiwa yang menarik terjadi pada akhir pekan ini. Pada hari Sabtu, 27 Februari 2016, seharusnya berlangsung pembukaan acara bertajuk “Belok Kiri Festival” di Gedung Galeri Cipta II Taman Ismail Marzuki (TIM) – Cikini – Menteng Jakarta Pusat. Melalui situs internetnya dan beragam akun media sosial, panitia dan pendukung acara mengatakan bahwa festival ini akan dilangsungkan kurang lebih sepekan lamanya. Serangkaian kegiatan kebudayaan dan diskusi publik yang bertujuan menantang narasi dan propaganda Orde Baru (Orba) sudah terjadwal. Sayangnya, perayaan “belok kiri” ini dihadang oleh pihak berwajib melalui organ-organ yang menjadi kaki tangannya.

Alkisah, beberapa hari menjelang acara muncul lah manuver klise dari pendukung Orba yang melakukan berbagai tekanan secara publik ataupun bekerjasama dengan pihak birokrasi perizinan. Alasan yang disampaikan pun tak kurang klisenya: ini adalah acara Komunis yang karenanya harus dilarang. Penyelenggara dipaksa untuk membatalkan festival ini atau harus menghadapi resiko diserbu massa.

Menurut salah satu versi penguasa, kesalahan ada di pihak panitia yang tidak mengantongi izin dari kepolisian setempat. Faktanya persoalan perizinan bukannya tidak diurus panitia, tapi masalah terjadi akibat upaya intimidasi beberapa kelompok reaksioner — seperti HMI Cabang JakartaRaya, FPI Jakarta, dan lainnya — yang melaporkan penolakan pada Polda Metro Jaya. Mereka dengan lantang mengancam akan mengganggu acara yang melakukan kritik kebudayaan terhadap narasi dan propaganda Orde Baru yang lestari berkuasa hingga saat ini. Lewat beragam media propagadanya, mereka mengingatkan agar para pejabat pemerintah dan aparat keamanan untuk tetap menjaga “darah Anti PKI dalam diri mereka”.

Tapi acara festival belok kiri ini gagal dibuyarkan sama sekali, karena penggiat acara berhasil dengan tergesa melakukan perpindahan lokasi ke kantor Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), juga di Jakarta. Dan sejauh ini telah berhasil melampaui hari pembukaan. Perpindahan ini seolah menyimbolkan kenyataan bahwa ekspresi kebudayaan kritis di era paska Orba saat ini masih juga diberangus dan karenanya masih butuh bantuan hukum menghadapi negara. Negara hadir dalam birokrasi TIM yang saat ini dikelola Pemda DKI, juga hadir dalam praktek polisi yang mengirimkan ratusan personelnya untuk melindungi pihak yang mengintimidasi acara. Dan semua tahu ini bukan kali yang pertama.

Kaum reaksioner haus darah dan pendukung Orba memang selalu bersemangat menyebarkan propaganda lewat berbagai media untuk menekan inisiatif masyarakat dalam menggugat sejarah, narasi, dan propaganda Orde Baru. Sebelumnya, deretan kasus intimidasi serupa juga dialami penyelenggara International People Tribunal, pemutaran film-film kritik terhadap Orba ataupun penindasan terhadap rakyat dewasa ini (Film “Jagal”, “Senyap”, “Semen versus Samin, dll). Karenanya tidak mengherankan pola yang sama kembali ditujukan pada festival belok kiri. Apalagi salah satu acara utamanya adalah peluncuran buku sejarah gerakan kiri Indonesia, yang tentu ada episode tentang PKI dan pembantaiannya.

Sejak kebangkitan kekuasaan busuk rezim Orde Baru tahun 65/66, gerakan politik kiri tercatat dalam sejarah selalu dipaksa minggir. Tidak hanya dengan kekerasan Negara secara langsung, tapi juga dengan pembiaran berbagai intimidasi oleh kelompok-kelompok reaksioner yang hampir semuanya berwatak paramiliter bayaran.

Perjuangan gerakan (belok) kiri selama ini juga dianggap masalah pinggiran oleh politisi-politisi yang kebanyakan adalah tokoh idola era reformasi saat ini. Jokowi, Ahok, atau pun sederet panjang nama pemimpin politik lainnya yang, adalah para politisi yang dianggap harus didukung sebagai anti tesis ‘Orde Baru’ karena mereka adalah ‘Orang Baik’. Para politisi ‘Orang Baik’ ini boleh saja berkoar soal keutamaan konstitusi dan hak asasi, namun faktanya mereka secara konsisten menutup mata terhadap peristiwa demi peristiwa intimidasi yang sistematis dan berkelanjutan terhadap berbagai ekspresi politik dan kebudayaan (belok) kiri.

Sementara para pendukung fanatik buta para politisi gombal ini senang memajukan dalih tentang posisi politisi ‘Orang Baik’ yang terjepit pilihan politik elit yang terbatas. Atau berkilah tentang perlunya kesabaran menunggu waktu yang lebih tepat. Nyatanya, kombinasi praktik munafik dari kalangan elit politik dan praktik pemaafan dari massa pendukung rezim saat ini, sesungguhnya secara jelas menunjukkan kondisi yang secara obyektif dan struktural membuat inisiatif politik (belok) kiri – bahkan insiatif berupa acara perayaan — harus dipaksa minggir.

 

Perlukah (kritik) belok kiri saat ini?

Sangat masuk akal bila inisiatif kebudayaan atau pun politik yang merepresentasikan diri sebagai ‘kiri’ cepat atau lambat akan berkonfrontasi dengan yang “kanan”. Akan tetapi, menurut hemat saya, berangkat dari pola yang terus berulang maka perlu dikembangkan analisis kritis secara berkelanjutan untuk memahami kenapa inisiatif ala belok kiri selalu terpaksa minggir.

Seorang kawan panitia penggiat festival menyampaikan opininya, “masak kami sudah diserang kelompok-kelompok anti kiri, masih harus menghadapi lagi serangan kritik?” Bagaimana pun kita tentu tidak bisa menyalahkan penggiat (aktivis) acara-acara yang berinisiatif mengekspresikan keyakinan dan gagasan yang tujuannya memajukan nalar kritis masyarakat. Hormat dan apresiasi setinggi-tingginya terhadap militansi dan pengorbanan mereka yang mau menjadi penggiat penyelenggaraan model festival belok kiri.

Apalagi nalar awam kita mengatakan, bukankah sudah seharusnya festival anti orba bukan lagi masalah bagi suatu era dan rezim yang tidak menyebut dirinya Orde Baru? Nyatanya rezim ‘Orang Baik’ saat ini tetap setia dengan logika dan narasi Orde Baru tentang wajah dan kesadaran kita sebagai masyarakat dan bangsa bernama Indonesia. Ini menunjukkan adanya kontradiksi dalam rezim politik saat ini yang hanya bisa dipecahkan dengan mengonfrontasikan persoalan secara serius.

Menurut hemat saya, momen kegaduhan terkait festival belok kiri perlu dimanfaatkan untuk memajukan kritik soal keseriusan ajakan belok kiri bagi pihak-pihak yang berposisi anti Orba maupun kritis terhadap rezim ‘Orang Baik’ yang berkuasa saat ini. Kritik dalam tulisan ini akan menyoroti potret komitmen yang telah terbukti selama ini oleh banyak orang yang terlibat aktif dalam mempersiapkan kegiatan demi kegiatan yang terus diintimidasi dan peminggiran secara politik. Evaluasi saya, komitmen berkegiatan ternyata menunjukkan batas kemampuannya dalam mendorong agenda belok kiri yang diharapkan. Batasnya adalah niat baik yang dihadapi oleh konfrontasi fisik dan politik oleh pendukung politik Orde Baru.

Namun dengan bekal komitmen militan tersebut, kita dapat membayangkan bahwa seharusnya ada energi besar untuk menghadapi balik konfrontasi tersebut. Energi yang dapat mengantarkan kita pada tingkatan lanjutan berupa konfrontasi politik melawan Orba dan keberlanjutannya melalui medan politik terorganisir. Konfrontasi yang jelas membutuhkan organisasi, mobilisasi, konsolidasi, bahkan negosiasi di antara pihak yang bersepakat tentang pentingnya belok kiri sebagai sebuah agenda politik maupun kebudayaan. Singkatnya, mentransformasikan kondisi aktivisme kiri menjadi kualitas baru yang lebih terorganisir dalam agenda berkonfrontasi dengan Orde Baru dan antek-antek penerusnya .

Saya paham sepenuhnya bahwa banyak yang bosan atau alergi dengan kritik tentang dominannya aktivisme kiri ketimbang sebagai politik terorganisir. Ada yang karena alasan pengalaman traumatik personal dengan perjuangan bersama organisasi kiri selama ini. Atau persepsi popular bahwa komitmen giat mempersiapkan acara-acara jauh lebih produktif ketimbang masuk dalam keruwetan organisasi politik (apalagi kiri). Berpolitik secara terorganisir memang asing buat masyarakat kita, kecuali mendekati masa pemilu dimana ada mesin-mesin politik yang bekerja mengorganisir kepentingan elit-elit politik.

Akan tetapi kita harus sadar bahwa bagaimana pun pihak reaksioner dan rezim sangat terorganisir dalam praktik intimidasi dan peminggiran berbagai acara dan agenda anti Orba dan politik reaksioner lainnya. Karenanya sangat naif dan fatalis buat kita untuk mempertahankan pemisahan antara gerakan aktivisme dan politik gerakan terorganisir. Justru dalam kaitan mendasar dengan ajakan belok kiri, saya mau mengingatkan justru esensi narasi orde baru adalah depolitisasi masyarakat. Terutama dengan peminggiran aktivisme dan politik kiri terorganisir dari realitas ekonomi politik dan bangsa ini sejak 1965 hingga berlanjut sampai sekarang. Mengajak belok kiri tanpa melawan narasi orde baru yang paling esensial tersebut, seperti kesukarelaan menikmati derita merayakan lingkaran setan intimidasi dan peminggiran.

Kritik bukan berarti menyepelekan apalagi bermaksud memojokkan kawan-kawan penggiat festival belok kiri atau kegiatan sejenis yang mengalami nasib serupa diintimidasi. Diharapkan dari kritik dalam tulisan ini kita ke depannya mau mendiskusikan secara lebih serius bagaimana caranya menghasilkan terobosan konkrit dengan berangkat dari pemahaman secara tepat tentang logika, resiko, dan rekam jejak banyaknya pengalaman (belok) ‘kiri’ yang terus dipaksa minggir selama ini.***

]]>
Teror Jaringan https://indoprogress.com/2016/01/teror-jaringan/ Tue, 26 Jan 2016 02:15:48 +0000 https://indoprogress.com/?p=15295 TAMPAKNYA aksi peledakan sejumlah bom dan serangan bersenjata yang dilakukan oleh sekelompok orang di jalan Thamrin, Jakarta, pada tengah hari bolong awal bulan ini, memiliki dampak yang berkelanjutan. Pihak aparat keamanan negara mengumumkan bahwa serangan itu dilakukan oleh jaringan teroris yang menyebut dirinya ISIS (atau Negara Islam Irak dan Suriah). Tak lama berselang, melalui rilis yg disebarkan di jaringan Internet (dan kemudian diberitakan kembali oleh berbagai kantor berita), pihak yang menyatakan dirinya ISIS membuat klaim bertanggungjawab atas tindakan yang menyebabkan jatuhnya beberapa korban jiwa – termasuk 4 orang pelaku yang terkena ledakan bom mereka sendiri. Singkatnya, kita mengenal peristiwa ‘serangan jalan Thamrin’ sebagai satu lagi bentuk aksi terorisme seperti yang sebelumnya juga terjadi dalam peristiwa “Bom Bali” atau “Bom di Kedubes Australia”. Terorisme yang telah diperangi Negara bertahun-tahun – mengikuti perang terhadap terorisme yang awalnya dilancarkan oleh Negara-negara Imperialis pasca ‘serangan World Trade Center’ pada 11 September 2011, tampaknya gagal membendung aksi-aksi mereka.

Menariknya, seolah hendak menjawab aksi terorisme dalam “serangan Jalan Thamrin”, dalam hitungan jam muncul respon kelas menengah kita dalam bentuk pernyataan “Kami Tidak Takut”. Respon balasan ini diedarkan lewat Internet, terutama di jaringan media sosial. Serangan broadcast di jaringan media sosial dan online ini menyerbu kita dalam bentuk berita atau pun gambar terkait “Serangan Jalan Thamrin”. Sayangnya, tanggapan kelas menengah di jaringan media sosial itu fokusnya bukan pada analisis tentang apa yang melandasi aksi terorisme yang mereka kecam, melainkan lebih banyak tentang: “polisi ganteng” dan aneka rupa aksesoris pakaian yang dikenakan, atau debat kusir seputar keganjilan gambar-gambar (tak bergerak) yang berhasil didokumentasikan beberapa wartawan. Untung saja masih ada satu dua artikel di media online yang cukup kritis mempertanyakan fokus yang dangkal dalam memahami aksi-aksi terorisme yang terus terjadi. Tapi, tampaknya, terlalu sedikit gaung dan cakupan pengaruhnya di komunitas yang lebih luas.

Begitu heboh soal “serangan jalan Thamrin” menyurut, pihak keamanan menyatakan ada ancaman yang lebih besar ketimbang serangan teroris, yaitu bahaya Narkoba yang beredar luas di lingkungan hidup masyarakat. Belum reda ‘ketakutan’ masyarakat akan bahaya Terorisme dan Narkoba, muncul lagi bombardir peringatan di jaringan media sosial dan pemberitaan media massa tentang bahaya yang tak kalah mematikan, yakni keberadaan dan aktivitas komunitas Lesbian, Gay, Bisexual, dan Transexual (LBGT). Media reaksioner seperti harian Republika, membingkainya sebagai: #serangan LGBT. Target serangannya menyasar soal moral. Tak kurang Menteri Riset dan Teknologi dari pemerintahan Jokowi turut menyebarluaskan teror mental tentang bahaya moral bila komunitas LGBT dibiarkan ada di komunitas akademik, seperti perguruan tinggi.

Tentu saja rentetan marabahaya yang diperingatkan kepada kita secara silih berganti tersebut bukanlah fenomena baru. Di masa Orde Baru, kita juga tak henti diperingatkan akan berbagai bahaya laten dari apa yang oleh rezim disebut sebagai ekstrim kiri (Eki) dan ekstrim kanan (Eka), yang selalu berupaya mengancam stabilitas negara. Pada era otoriter itu, kebebasan informasi dan komunikasi nyaris tidak ada karena sepenuhnya dipantau dan dikendalikan secara represif oleh Negara. Belasan tahun pasca Orba, jaringan informasi dan komunikasi berkembang pesat. Terutama oleh fenomena jaringan dunia maya dan media sosial yang sangat luas. Akan tetapi, ketakutan akan berbagai bahaya sosial politik yang dicekokkan untuk membuat kita bingung dan hilang orientasi, justru semakin merajalela. Kemampuan kita sebagai masyarakat yang telah diperlengkapi oleh kemajuan teknologi dan jaringan komunikasi yang cukup canggih, ternyata gagap untuk menjawab masalah-masalah sosial berdasarkan nalar yang adil dan ilmiah.

Serangan terhadap keselamatan dan kemanusiaan sudah terbukti tidak dapat diatasi oleh solusi yang semata-mata mengutamakan pendekatan keamanan, teknologi, apalagi moral – yang tentu selalu dapat diperdebatkan terkait moral siapa yang paling baik dan unggul. Pendekatan semacam itu terbukti telah menyuburkan beragam teror pada kehidupan sosial kita. Dengan kata lain, pendekatan dalam mengatasi teror selama ini hanya menguntungkan kepentingan kelas berkuasa. Pendekatan yang membuat relasi sosial kita justru bergerak ke arah ketidaksetaraan yang semakin ekstrem, atomisasi dan pembelahan sosial yang membuat sulitnya menghadirkan kolektivitas yang progresif, dan karenanya memupuk kebencian sektarian pada pihak yang dianggap berbeda dan patut dijadikan kambing hitam.

Kalangan progresif perlu bertanya secara kritis dan mencari solusi radikal secara bersama untuk mengakhiri beragam teror yang memanfaatkan jaringan sosial kita — yang nyatanya justru makin berwatak anti sosial. Dalam sejarah negeri ini, solusi itu adalah agenda persatuan anti penindasan kolonialisme dalam satu bangsa sebagai komunitas politik yang dibayangkan. Bayangan tentang komunitas politik dalam sejarahnya memang tumbuh subur lewat perkembangan jaringan media massa (cetak) yang menghubungkan dan memungkinkan komunikasi antara mereka yang berbeda-beda menjadi satu gerakan kolektif yang progresif. Dalam bentuknya sebagai “NKRI harga mati” dan mengabdi penuh pada kepentingan akumulasi kapital, komunitas yang dulunya progresif itu telah menjadi instrumen penindasan dan pembodohan politik.

Ilusi tentang adanya komunitas yang dapat melindungi di tengah realitas sosial yang penuh ketidakadilan itulah kiranya yang menggerakkan banyak orang terlibat dalam jaringan terorisme, bahkan dengan mengambil pilihan mengorbankan dirinya. Sementara itu kalangan progresif di Indonesia belum mengorganisir komunitas bersama yang luas dan efektif sebagai alternatifnya. Di titik inilah kita perlu berefleksi tentang jaringan teror dan beragam teror yang menggunakan jaringan sosial kita. Kebanyakan kita telah kalah dibandingkan jaringan teroris maupun kelas berkuasa dalam memanfaatkan jaringan media sosial dan komunikasi yang ada. Konsekwensinya jelas, dibutuhkan usaha maha serius untuk mengatasi kosongnya agenda politik progresif dalam membangun komunitas politik bersama yang luas dan kuat di era penindasan kapitalisme terkini yang baru dan semakin canggih.***

]]>
“Kerja, Kerja, Kerja” dan Mogok 2015 https://indoprogress.com/2015/12/kerja-kerja-kerja-dan-mogok-2015/ Tue, 01 Dec 2015 01:53:09 +0000 https://indoprogress.com/?p=15075

Ilustrasi oleh Andreas Iswinarto

 

PENGHUJUNG tahun 2015, jadi tanda pemerintahan Jokowi-JK telah melampaui masa setahun berkuasa sejak pelantikannya. Secara resmi, kantor kepresidenan menyebut dalam laporannya bahwa setahun ini sebagai masa membangun fondasi dari kekuasaan mereka. Pemerintahan ini, kita tahu, terkenal mempropagandakan secara terbuka slogan “kerja,kerja,kerja” sebagai citra kekuasaan mereka. Di paruh penghujung tahun ini pula, gerakan buruh Indonesia menggelar mogok serentak di berbagai kota industri secara nasional. Mogok ditujukan sebagai reaksi penolakan keras buruh terhadap peraturan pemerintah yang mengatur tata cara baru penetapan upah minimum tahunan di tingkat provinsi dan kabupaten (PP 78/2015). Editorial ini mengajak untuk melihat fondasi seperti apa yang dibentuk oleh pemerintahan “kerja, kerja, kerja” dalam mengatur dan mengendalikan rakyat pekerja.

Mulai tahun ini, pemerintah mengatur cara yang menjanjikan kenaikan upah minimum tiap tahun dengan formula yang tetap. Namun peraturan pemerintah ini juga berupaya menghapuskan ruang buat gerakan massa buruh menekan para kepala daerah, seperti yang efektif terjadi beberapa tahun terakhir. Ruang itu coba dihilangkan dengan membatasi partisipasi aktif kaum buruh dalam menentukan besaran variabel kebutuhan hidup layak (KHL) dalam formula penepatan upah minimum lokal tahunan. Variabel itu, dalam peraturan pemerintah kini, ditetapkan melalui survey BPS dan berlaku tetap setiap 5 tahun sekali. Kenaikan hampir pasti terjadi setiap tahun karena formula yang ada menyertakan variabel pertumbuhan ekonomi dan inflasi.

Sejak pertengahan tahun, gerakan serikat buruh mulai menyuarakan penolakan terhadap rencana peraturan pemerintah tentang pengupahan tersebut. Pemerintah berkilah bahwa peraturan ini adalah mandat dari UU Ketenagakerjaan (UUK) sejak 2003, namun tidak pernah dituntaskan. Ironisnya, sebetulnya UU Ketenagakerjaan merumuskan perlunya partisipasi aktif dalam penentuan pengupahan minimum lokal tahunan. Tampaknya orientasi partisipasi di UUK tersebut dilandasi berkembangnya keyakinan di tahun-tahun awal reformasi bahwa partisipasi signifikan tidak akan tumbuh dari warisan politik otoriter yang sejak 1965 melumpuhkan kekuatan mobilisasi serikat buruh, ditambah dengan kebijakan pasca Orba yang mendorong perpecahan gerakan buruh. Ternyata sejak medio 2006 (momen penolakan rencana revisi UUK oleh rezim SBY-JK), juga periode sekitar pasca 2010, menghadirkan kebangkitan aksi-aksi mobilisasi massa buruh yang cukup merepotkan rezim politik baik di tingkat lokal maupun nasional.

Rezim politik yang dimaksud adalah jaringan kekuasaan partai-partai borjuasi yang berkuasa di tingkat lokal dan nasional, bersama dengan dukungan kelas kapitalis yang terorganisir di berbagai asosiasi bisnis dan pengusaha, birokrasi dan aparat kekerasan negara (militer dan polisi) yang memiliki kepentingan dari bisnis pengendalian keamaanan hubungan industrial. Secara unik, rezim politik ini memberikan ‘toleransi relatif’ terhadap kebangkitan gerakan-gerakan mobilisasi buruh di beberapa tahun terakhir. Kemungkinan toleransi tersebut terkait dinamika politik pilkada langsung, yang memaksa para politisi menjaga elemen popularitas mereka, terutama pada tahun-tahun pilkada (misalnya 2012 di Bekasi). Juga adanya arus pertumbuhan beberapa sektor industri terkait perubahan lokasi rantai produksi secara global. Toleransi pun bisa berubah seiring perubahan kondisi, seperti adanya kegelisahan tentang pelambatan ekonomi yang dijawab rezim politik dengan kebutuhan menarik lebih banyak minat investor dan dukungan kelas menengah yang terobsesi dengan ‘pertumbuhan ekonomi’.

Minggu lalu akhirnya gerakan buruh menggelar taktik perlawanan terhadap PP 78/2015 yang mereka sebut sebagai “mogok nasional” selama 4 hari (24-27 Desember 2015). Kelas menengah meresponnya dengan sinisme yang klise dan khas terhadap gerakan buruh. Media massa mainstream sangat minim memberitakan, tampaknya dengan maksud tidak membangkitkan perhatian massa yang luas. Media sosial dijejali dengan opini dan prasangka anti buruh yang dianggap egois atau pun kurang ajar di mata kelas menengah. Hegemoni rezim “kerja, kerja, kerja” berhasil mendominasi kesadaran mayoritas kelas menengah. Sebagian mencoba memahaminya sebagai bentuk gangguan terhadap pemerintahan idola mereka. Bahkan mengembangkan opini dan berita yang memosisikan gerakan buruh sebagai kelanjutan dari polarisasi elit politik sejak masa pilpres.

Di tengah kecemasan akan terjadinya krisis ekonomi akibat situasi global dan juga kemandegan rutin dari kabinet pemerintahan Jokowi-JK, kelas menengah dan rezim politik yang ada menganggap aksi-aksi buruh menolak pengendalian upah dan mobilisasi buruh sebagai cara yang bertentangan dengan mekanisme pasar. Buruh yang bersyukur, nrimo, dan hidup sangat sederhana adalah gambaran ideal rakyat pekerja yang diidamkan oleh para pendukung mekanisme pasar sejak masa Orde Baru. Buruh harus bersyukur dengan upah yang dikendalikan tapi dituntut untuk memiliki tingkat produktifitas yang tinggi, dan yang terpenting, dapat hidup harmonis dengan para penindasnya.

Seperti ungkapan yang terkenal ‘Demokrasi berhenti di gerbang pabrik’, demikian juga yang diterapkan sejak masa Orde Baru dan masih terus dijalankan hingga era rezim “kerja, kerja, kerja” ini. Berbagai pabrik bahkan kini kembali dijagai oleh aparat kekerasan negara dengan alasan berstatus “Obyek Vital Nasional”. Intimidasi dan represivitas aparatus kekerasan negara, pengelola kawasan industri, para preman bayaran di tingkat lokal, dan juga para pengusaha yang terorganisasikan dengan sangat rapi, telah membuat mogok nasional 2015 tidaklah sedahsyat yang terjadi di tahun-tahun lalu dan tidak seperti yang diharapkan para buruh. Efek yang terparah terjadi di tingkat unit kerja, dimana tampaknya ada kebingungan yang meluas di antara para buruh tentang arah gerakan mogok nasional yang mereka lakukan. Bahkan di Bekasi, kehadiran seorang anggota DPRD yang memiliki latar belakang serikat buruh di tengah massa aksi pemogokan diganjar dengan penangkapan dan pembubaran paksa yang vulgar oleh aparat. Hari-hari paska pemogokan nasioanal diisi ketakutan oleh aksi pembalasan pengusaha dalam bentuk PHK massal.

Di tahun pertamanya ini, tampaknya rezim “kerja, kerja, kerja” ini cukup berhasil menyediakan fondasi yang mereka idealkan bagi penciptaan kondisi bebas politik dalam hubungan industrial, seperti yang dijanjikan pada para investor. Kurang dahsyatnya efek gerakan mogok tahun ini membuat negara, sejauh ini, tidak merasa perlu bernegoisasi dengan tuntan gerakan buruh. Namun demikian, dengan tetap digelarnya “Mogok Nasional 2015” dengan segala keterbatasannya, menunjukkan bahwa rezim ‘kerja, kerja, kerja” belum berhasil meniadakan sepenuhnyak gerakan buruh yang telah relatif bangkit beberapa tahun terakhir. Demikian juga agenda pemerintahan Jokowi-JK yang hendak meniadakan sama sekali mobilisasi-mobilisasi buruh, masih akan terus dipertaruhkan dan tidak akan mudah terwujud tanpa ongkos mahal demokratisasi berupa pemberangusan serikat dan meningkatnya kekerasan negara di medan perburuhan. Kemampuan gerakan buruh bertarung keras dan berdaya tahanlah yang, saya yakin, akan jadi penentu demokratisasi melampaui hadangan represi gerbang pabrik.***

]]>