Hizkia Yosie Polimpung – IndoPROGRESS https://indoprogress.com Media Pemikiran Progresif Thu, 27 Jan 2022 08:04:12 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.4.3 https://indoprogress.com/wp-content/uploads/2021/08/cropped-logo-ip-favicon-32x32.png Hizkia Yosie Polimpung – IndoPROGRESS https://indoprogress.com 32 32 Kaum Progresif Harus Punya Agenda Reformasi Kepolisian https://indoprogress.com/2022/01/kaum-progresif-harus-punya-agenda-reformasi-kepolisian/ Thu, 27 Jan 2022 06:44:57 +0000 https://indoprogress.com/?p=236568 Ilustrasi: Jonpey


PADA awal Oktober 2021 lalu, media sosial diramaikan oleh viralnya #percumalaporpolisi. Tagar itu kemudian memantik banyak kisah soal kinerja buruk polisi terutama dalam menangani aduan dari masyarakat. Sejak itu, hampir setiap hari muncul berita soal kekerasan yang dilakukan polisi. Ada polisi yang membunuh dan menyiksa sesama polisi, polisi memperkosa warga sipil, polisi melakukan penangkapan sewenang-wenang, hingga polisi memeriksa barang pribadi warga sipil.

Viralnya #percumalaporpolisi berujung pada pesimisme dan aktivisme akut pada lembaga kepolisian. Kita makin bertanya-tanya, apakah kinerja lembaga kepolisian yang semestinya menjaga dan melayani kepentingan publik bisa diperbaiki?

Untuk mencari tahu lebih jauh soal ini, Joan Aurelia dari IndoPROGRESS TV (IPTV), berbincang-bincang dengan Hizkia Yosie Polimpung, peneliti isu keamanan (Associate Chair Puskamnas Universitas Bhayangkara, Jakarta) dan Muhammad Ridha, mahasiswa PhD Ilmu Politik di Northwestren University, Chicago, AS. Berikut petikannya:


Joan Aurelia (JA): Menurut kalian, kenapa kinerja kepolisian sedemikian buruk di masa sekarang ini?

Hizkia Yosie Polimpung (HYP): Kita harus clear dulu, yah. Pertama, kinerja polisi buruk diukur dari mana? Dan kedua, kita mesti tahu juga Polri, seperti juga dosen, mahasiswa, buruh, dan petani itu tidak satu. Poinnya itu. Jadi, polisi huru-hara punya divisi sendiri. Ada Sabhara, ada Brimob, ada Intel, Lantas, Reskrim, belum lagi Reskrimsus dan seterusnya. Jadi, kecenderungan kita menilai sebuah lembaga, saya kira, sedikit banyak terpengaruh oleh viralitas. Pada saat ada satu fenomena muncul ke permukaan langsung kita generalisir menjadi kinerja Polri buruk hanya karena satu, dua, tiga kasus. Poinnya, pertanyaan saya lebih ke ukurannya sih.

JA: Kalau, kita batasi dulu pada kejadian belakangan ini, dari kasus Luwuk Timur yang viral dan kasus-kasus setelahnya yang memicu pemberitaan-pemberitaan lain terkait polisi, bagaimana Anda melihatya?

HYP: Nah, ini poin pertama yang perlu kita lihat. Kalau kita isolir oknum atau personel tertentu, apa yang dilakukan oknum tidak akan lepas dari sebuah aransemen yang lebih besar. Ada problem sistemik dalam kepolisian sendiri. Di sini saya harus bikin jarak, saya bukan ahli soal kepolisian. Kajian saya keamanan, lebih tepatnya strategi keamanan. Jadi, saya akan melihat persoalan-persoalan kepolisian dari perspektif keamanan. Kalau ditanya hukum atau institusinya, saya tidak menguasai.

Nah, kalau kita lihat polisi, kita tidak bisa lepas dari isu praetrorianisme Dunia Ketiga, yaitu bagaimana kultur militerisme itu masih ada di tubuh Polri. Jadi, bagaimanapun Polri menampakkan wajahnya yang kelihatannya lucu dan ramah, itu upaya mereka membaur menjadi sama dengan masyarakat. Tapi, tidak bisa kita lepaskan bahwa pembentukan kultur di kepolisian itu masih erat kaitanya dengan kultur militerisme yang umumnya terjadi di Dunia Ketiga. Itulah sebabnya kenapa disebut praetrorian. Praetorianisme itu gampangnya begini: negara-negara pascakolonial atau negara Dunia Ketiga menempuh kemerdekaan dengan jalan militer. Orang yang tadinya ”membebaskan” negaranya dari penjajah merasa bahwa mereka lebih memiliki andil ketimbang pihak sipil. Jadi, kita bisa melihat bagaimana militer masuk menyeruak ke dunia politik itu karena mereka ini merasa memiliki tanggung jawab untuk menjaga kemerdekaan.

Seiring reformasi sektor keamanan yang sampai hari ini masih debatable, sudah selesai atau belum, kita harus lihat bahwa upaya memprofesionalkan sektor keamanan itu juga bukannya tanpa masalah. Masalahnya banyak, mulai dari masalah bisnisnya, masalah politik, campur tangan kekuasaan dan seterusnya, yang intinya membuat sektor keamanan ini tidak profesional. Nah, pada saat Polri dipisah dari militer, dari Tentara Nasional Indonesia (TNI), kultur militerisme ini masih ada di dalam Polri. Sehingga mungkin sikap-sikap yang kita lihat hari ini, yang tampak arogan dan seterusnya itu, bisa terjelaskan karena mereka merasa lebih berhak atas negara yang mereka perjuangkan dengan menumpahkan darah. Sementara sipil, di mata mereka, cuma baca buku, nulis puisi, cuma bikin film dan seterusnya. Jadi, pskologi itu juga yang perlu kita pertimbangkan sehingga kalau kita mau melakukan reformasi akan kinerja Polri, kita tidak bisa melepaskan atau menutup mata dengan sejarah panjang kultur yang sudah masak di sistem kepolisian itu sendiri.


JA: Kalau menurut Bung Ridha, kenapa kinerja kepolisian bisa sedemikian buruk di masa sekarang yang, katanya, demokrasinya semakin terbuka dan partisipasi publik semakin meluas?

Muhammad Ridha (MR): Mungkin saya punya perspektif berbeda dari pernyataan Bung Yosie di sini. Menurut saya, struktur ekonomi politik itu menjadi unsur yang penting untuk diperhatikan lebih jauh. Kita harus membuang ilusi bahwa Kepolisian Republik Indonesia adalah suatu bentuk kepolisian yang bisa kita bangun profesional, mengayomi, melindungi masyarakat dan lain-lain. Karena secara struktur politik dan ekonomi, polisi sejarahnya muncul sebagai bagian dari instrumen politik kelas berkuasa. Karena kelas kapitalis adalah kelas yang berkuasa, maka polisi tentu digunakan untuk melindungi kepentingan mereka. Menurut saya, secara garis besar posisi struktural ini yang perlu diperhatikan.

Namun, kita juga perlu melihat bahwa—dan ini juga dikemukakan Bung Yosie—perihal pentingnya melihat polisi terkait dinamika struktural yang lebih luas. Walau saya sepakat bahwa polisi adalah instrumen kelas, dalam hal ini kelas kapitalis, tapi politik kelas itu dinamis. Kelas kapitalis, karena posisinya adalah kelas bekuasa, selalu memiliki kerentanan dan selalu mengalami, dalam bahasa marxisnya, perjuangan kelas. Jadi, tidak heran kalau kita lihat, walaupun kepolisian di mana-mana sifatnya sama, tapi ada variasi tentang bagaimana instrumentalisasi ini digunakan kelas berkuasa. Dalam arti ada institusi kepolisian yang sangat represif atau praetrorian—kalau pakai bahasa Bung Yosie. Tapi, di sisi lain, kita bisa menemukan, dalam konteks masyarakat tertentu, polisinya tidak terlalu represif. Di sini menjadi penting untuk memahami dinamika perjuangan kelas atau dinamika keseimbangan kekuatan sosial yang ada di masyarakat.


Penanganan demonstrasi tolak Omnibus Law. Sumber: Kompas

Penanganan demonstrasi tolak Omnibus Law. Sumber: Kompas


Nah, kembali ke pertanyaan mengenai problem performa kepolisian yang tidak sesuai harapan. Bagi saya, pertama-tama, justru kita jangan berharap polisi punya kepentingan internal, kepentingan retoris dan yang lain. Tapi kita berharap peranannya dapat diubah dalam batas tertentu—dalam arti sejauh mana kekuatan represif dari kepolisian itu bisa dikurangi. Karena sangat penting mendorong agar kepolisian tidak lagi menjadi sebatas kekuatan instrumen dari kelas berkuasa. Dan dalam konteks itu, perlu sekali meningkatkan kapasitas keterorganisiran kelas-kelas tertindas. Kenapa saya bilang itu penting? Kita belajar dari sejarah, kita ambil contoh di Jerman, Swedia, bahkan di Belanda, yang bisa dikatakan sanggup mengurangi jumlah personel kepolisiannya karena relasi antara kekuatan yang marjinal dan yang dominan atau kelas kapitalis relatif seimbang. Kelas marjinal, seperti kalangan buruh, menjadi bagian penting dari politik negara di sana. Ketika mereka menjadi bagian dari politik negara, maka tidak ada kepentingan bagi negara secara keseluruhan untuk mempertahankan kapasitas represif dari polisi.

Poin saya di sini, kinerja kepolisian yang buruk adalah buah dari absennya kekuatan oposisi dari politik negara yang biasa diisi oleh kelas-kelas tertindas, oleh kelas-kelas yang tidak mempunyai kepentingan akumulasi kapital. Kenapa ini penting? Karena ini menjadi prasyarat juga bagi reformasi kepolisian. Dalam studi reformasi kepolisian di Amerika Latin, salah satu prasyarat yang negara seperti Argentina atau Kolombia bisa mendorong institusi kepolisian menjadi lebih reformis, cenderung kurang represif dan juga akuntabel dihadapan publik, adalah keberadaan oposisi sosial yang berasal dari kelas-kelas sosial yang disingkirkan oleh sistem itu sendiri. Dalam konteks Kolumbia dan Argentina, oposisi sosial itu berasal dari kelas menengah terdidik yang tidak mendapat tempat di dalam sistem, dan dari kaum buruh tentu saja, juga kalangan petani yang sering kali mendapat represi dari negara.

Jadi, kinerja buruk Polri ini adalah buah dari relasi sosial di Indonesia yang memang tidak memberikan ruang bagi keterorganisiran oposisi masyarakat. Bagi saya, dan di sini mungkin saya setuju dengan posisi Bung Yosie, kita perlu melihat kepolisian bukan sebagai satu entitas militer absolut yang tunggal. Kalau dilihat fungsi-fungsi represifnya, polisi kita sangat efektif. Kalau Joan melihat bagaimana mereka bisa melakukan represi terhadap mobilisasi masyarakat pada tahun 2020 yang menentang UU Cipta Kerja (Omnibus Law), polisi bekerja sangat efisien dan efektif kala meredam perlawanan massa. Tapi mereka tidak efektif dan efisien ketika melayani kepentingan publik, untuk memastikan kasus diselesaikan secara adil, pelaku kejahatan bisa ditangkap dengan segera, dsb. Kalau kita baca secara struktural, itu karena fungsi dia memang bukan ke arah itu (melayani kepentingan publik). Jadi kalaupun kita mau ngomong tentang reformasi kepolisian, yang penting adalah kita perlu meruntuhkan dulu asumsi-asumsi bahwa polisi adalah suatu bentuk institusi yang profesional yang akan mengayomi masyarakat.


JA: Kembali ke Bung Yosie. Kalau menurut Anda, reformasi seperti apa yang dibutuhkan untuk menyelesaikan masalah yang sistemik di Kepolisian ini?

HYP: Sependapat dengan apa yang disampaikan Ridha bahwa perlu ada oposisi dari kelompok-kelompok yang bisa memberi tekanan ke polisi. Nah, kita kurang di situ, sangat kurang. Saya dan teman-teman yang mengkaji studi keamanan, kita kayak kesepian gitu, karena [mengkaji] polisi dan TNI itu sudah langsung dianggap jelek, intel dan seterusnya. Sehingga teman-teman yang bisa berpikir kritis itu enggak masuk ke dalam ranah studi ini.

Jadi, apa yang dimaksud kelompok oposisi dan seterusnya? Walaupun saya sepakat sama argumen Ridha tapi saya sampai pada poin ini dengan trajektori yang berbeda, bahwa masih penting melihat polisi bisa profesional dan harus profesional. Dengan profesionalitas bukan mengurangi represi (tolong ini digaris bawahi), tapi yang lebih diperlukan adalah bagaimana mengontrol dan mengendalikan represi ini secara demokratis. Kalau kita baca tulisan Antonio Negri atau Giorgio Agamben dan seterusnya, rahasia sovereignty (kedaulatan) itu bukan di law (hukum) tapi di polisi. Dan karena polisi adalah yang menjaga kedaulatan, maka ia dipandang harus tetap ada. Maka, kalau mau menganalisis negara, analisislah polisinya. Artinya apa? Dia ujung tombak dalam menjaga kedaulatan negara. Balik ke persoalan demokrasi tadi, pada saat ujung tombak ini tidak bisa kita masuki dia akan dikuasai oleh kekuatan yang menguasai negara, kelas-kelas yang menguasai negara. Jadi, pertanyaan kemudian ketika kita ”mengarahkan” politik kelas, class action, dan seterusnya ke negara—dari perspektif keamanan kritis, ini useless (percuma).

Kenapa? Karena itu tadi, yang menjaganya tidak disentuh sama sekali. Sementara kita tidak punya orang-orang yang berpikir kritis yang bisa meletakkan analisis kelas, misalkan materialisme historis, untuk bisa membedakan pistol dengan senjata laras panjang atau laras pendek dengan milimeter tertentu dari balistiknya. Ketika analisis seperti ini absen, maka sektor keamanan di bagian ini akan cenderung melihat komunitas akademik sebagai pihak yang enggak paham dengan yang mereka kerjakan. Karena enggak paham, ngapain diajak ngobrol? Kalau ini yang terjadi, pertanyaannya ngajak ngobrol siapa? Tentu saja ngajak ngobrol mereka-mereka yang mendanai, mereka-mereka yang meloloskan anggaran, yakni DPR. Jadi, profesionalisme itu bagi saya beriringan dengan demokrasi, demokratisasi polisi. Demokratisasi bukan dalam artian liberal bahwa semua orang boleh jadi polisi, bahwa semua orang bisa mengambil tindakan-tindakan pemolisian macam ormas-ormas tertentu. Bukan itu. Kalau kita gunakan konsep Weber, polisi yang demokratis itu tetap memiliki monopoli kekuasaan, tapi monopoli kekuasaan itu harus tetap di bawah kontrol demokratik.

Agar polisi bisa profesional, maka harus ada yang menjaga. Masalahnya, orang yang menjaga ini mundur semua. Pada saat semuanya mundur, maka tidak ada lagi sarjana-sarjana yang bisa memberikan pandangan-pandangan kritis. Yang ada adalah sarjana-sarjana mapan dan bukan dari masyarakat sipil. Ya, okelah mereka mengaku dari masyarakat sipil tapi apa kepentingan masyarakat sipil atau bahkan kepentingan kelas pekerja yang mereka perjuangkan?

Kembali lagi poinnya apa yang harus dilakukan? Menurut saya intelektual organik mungkin tidak hanya masuk ke dalam sistem, tapi bisa berbicara dengan bahasa mereka, dengan bahasa keamanan, dengan bahasa-bahasa teknokratik bahkan bahasa-bahasa yang sangat teknikal, pada saat kita bicara analisis ancaman. Pokoknya, semua bahasa-bahasa itu harus kita obrolin, harus kita diskusikan, dan pada saat kita bicara seperti itu, apa yang bisa kita pengaruhi? Ancaman selalu merupakan persepsi tentang ancaman. Ini sebagai contoh: katakanlah guru dipersepsikan sebagai ancaman, maka guru jadi ancaman. Pada saat guru menjadi ancaman, polisi akan bertindak. Namun, mereka akan bertindak sebagai tool. Dan tool seperti ini akan tetap dibutuhkan.

Dalam rezim berbeda, polisi yang sangat represif tetap dibutuhkan untuk menghalau orang-orang yang menghalangi, merintangi, atau menyakiti kepentingan rakyat pekerja. Jadi, kepentingan polisi untuk profesional sebenarnya tidak universal. Kalau kesempatan ini kita buang, saya kira kita akan kehilangan momen.

Ini kan sama ketika dokter-dokter dipandang tidak profesional hanya karena dokter adalah manifestasi dari kapitalisme perusahaan farmasi. Riset-riset biotek didanai oleh kepentingan kapitalis seperti Elon Musk, misalnya. Kalau kita biarkan dokter enggak profesional, man, this is dangerous.

Logika yang sama ini perlu kita terapkan pada saat kita bicara dengan aparat-aparat keamanan. Mungkin terlihat mustahil, mungkin terlihat susah, tapi itu bukan sesuatu yang mustahil untuk diperjuangkan. Kalau saya berkaca pada pengalaman saya di dalam sistem atau di dalam komunitas ini, enggak semustahil itu diubah. Yang penting ada orang yang terlibat untuk membicarakan ini, tapi tidak secara normatif. Pembicaraannya harus teknikal-teknokratik. Nah, komunitas sarjana keamanan seperti ini, hari hari ini sangat minim, terutama kalau saya lihat di kalangan teman-teman progresif.


JA: Bung Ridha ada komentar dari apa yang disampaikan Yosie tadi?

MR: Ada beberapa poin. Pertama, saya sepakat dengan Yosie di sini soal klarifikasi ketika saya berbicara tentang represifitas. Saya bicara represi berdasarkan kelas. Jadi, saya salah satu orang yang tidak percaya bahwa ada represi punya nilai dalam dirinya sendiri. Represi selalu merupakan representasi dari kepentingan sosial tertentu, dan posisi kelas sangat menentukan untuk menjelaskan kenapa represi ini digunakan seperti itu. Ketika saya bicara represi, pada dasarnya itu adalah sinonim dari kepentingan kelas kapitalis yang sedang diejawantahkan. Sehingga ketika kita bicara tentang profesionalisme polisi, bayangan saya adalah kita bicara satu entitas kepolisian yang diharapkan berlaku tidak mewakili kepentingan sosial tertentu. Kalau dalam bahasanya Hegel, ia menjadi kekuatan universal melampaui kepentingan sosial tertentu. Sayangnya secara historis itu enggak mungkin. Bahkan di kasus negara-negara yang kepolisiannya sudah sangat reformis, seperti di Jerman atau di Swedia, kepolisian tetap bermasalah khususnya ketika berhadapan dengan kasus-kasus yang melibatkan imigran dan kelompok minoritas lainnya. Jadi, saya masih tetap melihat bahwa aspirasi tentang profesionalisme polisi harus kita tinggalkan.

Tapi, ini poin kedua yang saya setuju, kita harus punya agenda kepolisian sendiri. Dan di sini saya melihat Yosie spot on (akurat) terkait absennya agenda kepolisian versi kelas tertindas di Indonesia. Karena ketika kita sudah mengkritik bahwa kepolisian itu adalah instrumen kelas dengan represinya, kan bukan berarti problemya hilang dengan sendirinya. Kita harus punya jawaban tentang bagaimana situasi ini bisa direformasi.

Di sinilah saya melihat bahwa agenda reform menjadi penting untuk dibawa oleh kelas tertindas seperti kaum buruh dan kelompok progresif lainnya. Sebab, seperti dibilang Yosie, profesionalisme polisi ini enggak mungkin bisa dilakukan dengan menggunakan retorika profesionalisme semata, karena substansi utamanya bukan di sana. Subtansi utamanya adalah mengurangi represifitas kelas kapitalis yang membatasi aktivitas pengorganisiran kelas tertindas. Jadi, ketika saya bilang less repressive, yang saya maksud adalah kekuatan polisi yang enggak bisa merepresi aktivitas kebebasan dan keteroganisasian rakyat tertindas atau masyarakat secara luas. Misalnya, ketika demo kita harus pastikan bahwa demo yang dilakukan oleh kaum buruh bisa berlangsung secara aman tanpa ada ancaman represif.

Kalau kita bilang bahwa polisi enggak boleh represif untuk membawa agenda kelas yang dominan, itu juga berimplikasi bahwa dia juga bisa digunakan untuk kepentingan kelas tertindas. Dalam arti kalau kita mau, katakanlah, mendorong ada peningkatan pajak maka kita harus punya kekuatan koersi yang mumpuni agar bisa memaksa orang kuat seperti Elon Musk supaya membayar pajak sebagaimana dihendaki oleh negara. Itu adalah posisi yang, tentu saja, bagian dari agenda politik reformasi yang harusnya diperjuangkan oleh kelas tertindas.

Tetapi aktivitas ini hanya bisa dipenuhi kalau politik yang berlaku secara keseluruhan di negara dipengaruhi oleh kelas tertindas itu sendiri. Jadi, ketika saya bicara represi, saya memang secara sengaja mengontekstualisasikannya dalam kerangka represi di bawah kepentingan kelas kapitalis. Di sinilah letak perbedaan antara saya dengan dengan Yosie.

Tapi saya setuju dengan Yosie tentang perlunya engagement progresif terkait agenda reformasi kepolisian dan titik berangkatnya harus dimulai dengan menghilangkan argumentasi mengenai profesionalisme. Tapi, buat saya, prinsip utamanya adalah membangun kapasitas keteroganisiran rakyat tertindas atau kelas pekerja yang nantinya berperan sebagai social opposition untuk mendorong agenda reformasi kepolisian agar bisa membantu perjuangan kelas menjadi lebih maju.


JA: Dari penjelasan kalian tadi, apa sebenarnya yang membuat intelektual progresif absen dan luput memikirkan soal reformasi polisi ini?

HJP: Itu kecenderungan aktivis atau intelektual progresif di Indonesia. Ini dugaan awam saja, ya. Ada anggapan seolah peace itu sesuatu yang morally good, sementara violence adalah sesuatu yang yang morally bad. Sehingga kita langsung antipati kepada hal-hal yang berkaitan dengan violence. Marx menyebutnya beautiful soul, jiwa-jiwa cantik, yang merasa dunia ini kotor, sementara dia bersih, tidak mau terlibat dengan dunia yang kotor, sehingga dia mencaci-maki habis dunia kotor itu.

Jadi, balik lagi ke persoalan kenapa banyak intelektual progresif tidak masuk ke dalam sistem. Di sini saya harus clear, ketika saya ngomong intelektual progresif yang saya maksud adalah intelektual yang secara sadar dan yang mengaku secara verbal di publik bahwa dia, karya-karyanya, kajian-kajianya adalah untuk memperjuangkan kepentingan kelas pekerja. Intelektual progresif di Indonesia masih mengasosiasikan violence sebagai hal yang secara moral—ini perlu digaris bawahi, bukan secara objektif—buruk. Padahal dari awal violence itu morally neutral secara objektif. Persoalan siapa yang menggunakan kekerasan itulah yang menjadi kontestasi politik.


Polisi Indonesia dalam kekerasan pasca-referendum Timor Leste 1999. Sumber: easttimorgenocide.weebly.com


MR: Merujuk literatur klasik seperti Thomas Hobbes, violence itu sebenarnya public goods untuk mencegah konflik antar-manusia. Makanya harus ada yang mengontrol violence dan kontrol diperlukan untuk untuk memastikan bahwa masyarakat bisa berjalan. Saya juga setuju dengan Yosie bahwa banya kalangan progresif Indonesia melihat violence sebagai sesuatu yang sangat moralistik; karena ada kekerasan maka dengan sendirinya kekerasan itu salah. Bagi saya, dalam posisi sebagai intelektual yang menjadi bagian dari perjuangan kelas, violence sangat diperlukan.

Saya kasih ilustrasi si Elon Musk tadi. Gimana caranya kita bisa memaksa Elon Musk bayar pajak tinggi kalau dia sendiri enggak takut sama negara? Caranya kita harus punya sarana violence dan kapasitas koersi yang kuat. Itu hanya bisa dilakukan kalau kita punya skema security yang sesuai dengan kepentingan kelas pekerja.

Nah, jadi kalau mau dijawab mengapa intelektual progresif kita cenderung apatis sama agenda reformasi keamanan, karena mereka enggak melihat pentingnya politik negara yang violent ini untuk keperluan kelas. Mereka menganggap perjuangan kelas itu terjadi ujug-ujug muncul karena ada struktur kelas, orang miskin banyak, terus kemudian orang miskin sadar, dan mereka nantinya bisa bertempur melawan orang-orang kaya. Padahal semua hal itu hanya ada artinya kalau dimediasi oleh politik negara. Nah, kalau misalnya negaranya sangat represif, orang-orang miskin seperti kaum buruh, kaum tani dll pasti akan kesulitan untuk mengorganisir perlawanan. Bikin spanduk digebukin. Mau jalan ditembak polisi. Itu menunjukkan bahwa perlawanan, mobilisasi, keterorganisiran itu juga ditentukan oleh politik negara yang violent ini.

Makanya, kalau kita mau sukses mendorong agenda perjuangan kelas, penting untuk mengubah pola relasi violence yang ada di negara. Salah satu caranya adalah kita pahami dulu apa posisi struktural institusi kekerasan seperti kepolisian dalam skema masyarakat yang sekarang didominasi oleh kapitalisme. Dari sana kemudian kita bisa melihat kira-kira peluang-peluang apa saja yang bisa didorong agar ada reformasi yang dalam tahapan tertentu bisa berguna untuk mendorong pengorganisiran kelas tertindas.

Jadi, kalau secara umum ditanya kenapa kalangan progresif tidak mau masuk ke urusan reformasi kepolisian, ya karena mereka menganggap itu enggak ada gunanya buat perjuangan mereka.


JA: Oke, masih untuk Bung Ridha, apakah reformasi institusi kepolisian ini cukup untuk menjawab tuntutan perbaikan kinerja polisi seperti yang Anda bilang tadi itu, terutama di tengah struktur sosial ekonomi kita yang kebijakannya neoliberal? Bisa dijelaskan pakai contoh?

MR: Begini, ketika saya beragumen bahwa reformasi kepolisian itu penting, saya enggak mencoba untuk menawarkannya dalam skema yang biasa, seperti misalnya yang ditawarkan oleh Yosie tentang profesionalisme. Saya melihatnya dalam skema sejauh mana reformasi ini bisa memberikan ruang demokratis yang lebih luas bagi pengorganisiran rakyat tertindas, dalam artian, ia terkait dengan demokrasi yang lebih luas. Jadi, skema ini harus bisa memastikan bahwa setiap orang diperbolehkan untuk menyampaikan pendapatnya sendiri tanpa harus takut ada kekerasan yang akan menimpanya karena ada kepolisian yang menjamin kebebasan berekspresinya itu. Atau juga ketika ia mau melakukan aktivitas perlawanan dalam skema yang legal seperti mogok, mereka tidak harus takut bahwa polisi akan masuk dan menindas mereka.

Jadi, bagi saya yang penting adalah reformasi spesifik untuk menjamin aktivitas demokratis rakyat tertindas, karena kalau kita ambil tuntutan reformasi yang lebih luas, justru kita kehilangan fokus di sana.

Jadi, ketika saya ngomong reformasi kepolisian maka saya melihat ini sebagai kesempatan untuk bisa membangun kapasitas politik penekan dari bawah tersebut. Kalau ditanya apakah itu mencukupi? Tentu tidak mencukupi, tapi itu necessary step yang harus diambil sekarang. Bagi saya, di situlah gerakan progresif seperti gerakan buruh, gerakan tani, gerakan nelayan bisa ikut serta karena mereka juga punya kepentingan agar organisasi mereka tidak direpresi oleh negara. Kalau ditanya skema besarnya seperti apa, saya enggak punya jawaban. Tapi yang harus dilakukan sekarang ini adalah membangun oposisi sosial dan itu hanya bisa lakukan kalau kapasitas represi yang dipegang polisi hari ini bisa dikurangi. Itulah menurut saya yang perlu menjadi bagian dari agenda reformasi yang harus segera dibangun.

JA: Adakah yang seperti itu di negara-negara lain?

MR: Argentina mengalami demokratisasi ketika militernya turun dari kekuasaan. Kebetulan demokratisasi membuka ruang politik untuk masyarakat sipil dan itu membuat mereka relatif punya posisi lebih kuat terhadap aparatus-aparatus negara yang saat itu mengalami disintegrasi karena perubahan politik. Salah satunya kepolisian, karena kepolisian saat itu, seperti yang dibilang Yosie, menjadi bagian dari militer. Masyarakat sipil punya kesempatan untuk memengaruhi institusi kepolisian dan itu yang akhirnya menjadi kesempatan mereka untuk mereformasi institusi kepolisian. Jadi prasyarat utamanya adalah kekuatan dari bawah ini. Itu yang harus dibangun dulu.

Reformasi kepolisian kita harus menyasar itu. Kalau enggak ada itu (kekuatan dari bawah—ed.), saya enggak terlalu yakin kita bisa bangun agenda dan skema yang lebih besar, yang lebih ambisius.


JA: Kalau dilihat dari pengalaman di beberapa negara, perbaikan kinerja polisi mensyaratkan gerakan akar rumput, misalnya aksi-aksi di BLM (Black Lives Matter). Apa yang harus dilakukan rakyat untuk mengoreksi kepolisian?

HYP: Disclaimer: saya tidak sedang mengoreksi kepolisian karena itu bukan kajian saya. Saya jawab dengan common sense. Saya tidak menentang ide bahwa harus ada gerakan dari bawah, tapi saya kurang optimistis dengan gerakan dari bawah, khususnya hari ini. Profesionalitas penting. Tapi profesionalitas dalam artian mungkin enggak sih kinerja Polri atau kinerja sektor keamanan ini dikritisi oleh orang-orang yang secara hukum dimandatkan untuk mengawasi itu. Sehingga, pertanyaannya: mandat hukum itu turunnya ke siapa? Apakah turun ke akademisi, apakah juga turun ke masyarakat sipil. Inilah yang harus kita pertanyakan. Keterlibatan-keterlibatan elemen masyarakat sipil ini dibutuhkan juga. Menariknya, ini pengalaman pribadi saya, sebenarnya banyak anggota personil keamanan ini yang gerah dengan politik. Tapi mereka tidak kuasa saat atasan-atasannya berpolitik.

Jadi, ada dorongan untuk melakukan reformasi, bahwa mereka sadar bahwa ini adalah untuk keamanan—not necessarily kepentingan penguasa. Kesadaran itu ada walaupun enggak merata. Tapi poinnya adalah kita punya peluang untuk menegakkan kepolisian yang sifatnya akuntabel. Akuntabel dalam artian kita menyepakati rule of law. Menyepakati aturan-aturan atau standar-standar penggunaan kekerasan, pelibatan rule of engagement.

MR: Secara prinsip saya tidak ada problem dengan perlunya engagement (keterlibatan), terlebih jika ada ruang-ruang yang sudah disediakan oleh kekuasaan. Cuma keterlibatan itu kan mensyaratkan power dan power itu bisa dibuat, bisa dibentuk, dengan prasyarat ada perubahan relasi politik negara terkait monopoli kekerasan. Kalau kekerasannya yang terjadi selama ini relatif represif terhadap agenda kelas tertindas, maka itu yang harus diubah dulu pertama kali.

Jadi, enggak ada soal dengan engagement, tapi saya akan mempermasalahkan langkah-langkah apa yang bisa memastikan bahwa engagement yang dilakukan itu meaningful. Jangan sampai kemudian kita sudah engage lalu yang dilakukan adalah—karena enggak punya kuasa—cuma jadi stempel. Dan ini sudah jadi problem: ketika orang-orang masuk ke dalam selalu dituduh “Ah, lu cuma jadi stempel.” Ya karena mereka tidak mempresentasikan kekuatan sosial tertentu.

Nah, di sinilah kemudian saya melihat prioritas utama adalah building the power. Pembangunan kekuasaan itu bisa dilakukan kalau kita bisa mengubah hubungan dalam kekerasan negara.

Problemnya, bahkan untuk building power kita butuh agenda reformasi kepolisian. Dan di sini saya sepakat sama Yosie: enggak ada orang progresif yang ngomongin reformasi kepolisian versinya sendiri. Kebanyakan pihak bereaksi lebih karena sering kena pentung polisi. Ini pengalaman yang sangat empiris untuk bilang bahwa negara itu najis, kepolisian itu najis. Implikasinya, karena pengalaman kayak begitu, pandangan tentang kekerasan kepolisian dan negara jadi moralistik.

Saya juga punya pengalaman kena gas air mata dan pernah kena pentung polisi, tapi saya melihat bahwa kita harus membuang cara pandang yang moralistik seperti itu. Kalau kita ingin memajukan gerakan, kita juga harus bisa punya agenda reformis terkait kekerasan negara ini.

JA: Seberapa optimis kita bisa kayak begitu?

MR: Saya studi ilmu politik, jadi saya akan melihat masalah ini dari segi konjungtur-konjungtur politik. Kita coba lihat reformasi kepolisian di Kolombia. Salah satu hal yang membuat mereka bisa efektif itu adalah ada kapitalisasi skandal. Ada kasus-kasus di kepolisian di Kolombia yang berhasil diungkap ke publik dan kemudian menjadi skandal. Skandal publik ini kemudian mengaktifkan kritik masyarakat terhadap kepolisian. Sebenarnya prosesnya mirip dengan yang terjadi sekarang. Bedanya di Kolombia, ini sudah didahului oleh keberadaan masyarakat sipil yang relatif kuat. Salah satu penentunya adalah kelompok kiri FARC (The Revolutionary Armed Forces of Colombia). Mereka punya kaki di LSM yang mengampanyekan agenda Hak Asasi Manusia. Ketika ada skandal dan kemudian ketemu oposisi sosial yang relatif terorganisir, muncullah kesempatan itu.


FARC, Kolombia. Sumber: BBC


Problemnya di Indonesia enggak ada oposisi sosial. Skandal viral terjadi di mana-mana. Ada tagar #PercumaPercayaPolisi, misalnya, tapi enggak ada oposisi sosial. Nah, sekarang pertanyaanya, kita mau mulai dari mana kalau skandalnya ada tapi enggak ada oposisi sosialnya? Harusnya kita bikin oposisi sosialnya, kan? Oposisi sosial yang membawa agenda reformasi kepolisian itulah yang diperlukan sekarang. Kita punya banyak gerakan buruh ngomongin upah tapi enggak ada sama sekali gerakan buruh yang bicara tentang reformasi kepolisian, padahal itu salah satu bagian penting untuk mempertahankan organisasi mereka sebagai serikat. Kita punya mobilisasi tani yang besar, tapi kenyataannya mereka selalu direpresi dalam konflik tanah, dan anehnya enggak memunculkan aspirasi tentang reformasi kepolisian. Bagi saya ini aneh, karena mereka tidak melihat kepolisian sebagai bagian penting untuk perjuangan mereka.

Di situlah kita butuh duduk dan berefleksi. Agenda perjuangan kelas kaum progresif itu mensyaratkan keberadaan ruang-ruang politik di negara. Semakin sempit politik di negara semakin susah juga kita untuk mendorong agenda kelas.


JA: Terakhir buat Bung Yosie dan Bung Ridho. Jadi kesimpulannya, Anda berdua ini optimis atau tidak kalau kepolisiannya bisa diperbaiki?

HYP: Optimis sih enggak ya. Secara pribadi saya pesimis mengharapkan perubahan bisa muncul dari internal polisi. Tapi saya akan lebih optimis kalau melihat perubahan itu bisa dibawa oleh orang-orang eksternal yang menjadi mitra/partner polisi. Di situlah pentingnya pressure group. Dia bisa menekan kekuasaan partai atau penguasa politik untuk mengarahkan kepolisian. Tapi lagi-lagi ya susah kalau tidak ada massa yang besar dan agenda setting yang juga juga jelas. Sementara hari ini yang bisa dilakukan rakyat untuk men-challenge agenda setting yang ada pun masih sangat terbatas. Di sisi yang lain, masih ada kepercayaan dan peluang dari kelompok-kelompok akademisi atau intelektual progresif. Progresif dalam artian yang memang berjuang demi kepentingan kelas, demi kepentingan masyarakat, dan seterusnya.

Masalahnya, kita akan kembali ke persoalan penghidupan. Intelektual dan akademisi umumnya tidak punya kemandirian ekonomi. Semua masih tergantung pada negara, hibah, donor, konsultan, pemerintah, Kemendikbud, dan seterusnya. Artinya semakin sempit ruang, energi, dan nafas kita untuk bisa mengasah keterampilan dan pengetahuan tentang keamanan ini . Sementara kecenderungan untuk terkooptasi di lembaga-lembaga ini tinggi.

Kita perlu strategi yang sifatnya lebih holistik, dalam artian ada di level pengetahuan, tapi juga ada di level kehidupan sehari-hari. Selagi masyarakat sipil dan kelas pekerja berbenah untuk membangun kekuatan social bloc, penting juga bagi kalangan intelektual untuk juga membangun kekuatan-kekuatan ini. Karena apa? Kita butuh interlocutor, kita butuh membangun, menggabungkan kapital bersama untuk bisa menghidupi diri kita sendiri dan menghidupi penelitian yang sifatnya meaningful, daripada penelitian yang hanya untuk memecahkan problem-problem yang tidak kita ajukan sendiri.

Rakyat pekerja punya PR membangun kekuatan sosial. Kalangan intelektual juga punya PR: tidak hanya mengasah expertise di bidang keamanan tapi juga meng-cover kehidupan hariannya supaya dia tidak terkooptasi ketika sudah memiliki pengetahuan-pengetahuan ini. Itulah pentingnya membentuk serikat, paguyuban, arisan, atau whatever. Yang penting adalah pengorganisasian di kalangan kelas intelektual.

MR: Kalau agenda reformasi kepolisian enggak ada di gerakan sosial, saya tidak optimis. Pesimis bahkan. Prasyaratnya, kita sadar bahwa negara harus diintervensi, bahwa agenda reformasi harus didorong. Di situlah mungkin kita bisa bicara harapan. Yang dikatakan Yosie itu bisa dijawab dengan syarat ada agenda dan program intelektual yang harus dibangun. Tidak mungkin kita bicara reformasi kepolisian tapi tidak ada infrastruktur intelektual di sana. Karena kebijakan pada akhirnya mensyaratkan knowledge, know how, dan di situlah peran-peran intelektual.

Pertarungan di tingkat gagasan ini sangat penting. Ruang-ruang untuk ngomong bahwa gerakan rakyat harus membangun agenda reformasi kepolisian ini perlu diperbanyak. Sering kali gerakan rakyat hanya akan bergerak ketika ada dinamika wacana. Karena itu saya tidak melihat keinginan untuk mendorong agenda reformasi kepolisian itu bisa muncul tiba-tiba. Ia dikondisikan juga oleh situasi sosial. Dan di titik inilah salah satu peran sosial yang bisa dilakukan intelektual adalah membuka ruang ini sebanyak mungkin dan menyebarkan gagasan seluas mungkin, karena hanya dengan itu kemudian gerakan rakyat bisa melihat urgensinya.

Tuntutan tentang upah yang kemudian menjadi tuntutan untuk demokrasi sebagaimana muncul di banyak perjuangan gerakan buruh, bisa terjadi, salah satunya, karena ada perubahan diskursus intelektual di masyarakat. Ketika itu sudah menjadi program politik bagi rekan-rekan gerakan progresif, di situlah mungkin kita bisa bahwa bilang ada optimisme untuk mendorong perubahan institusi kepolisian.***

JA: Terimakasih banyak Bung Yosie dan Bung Ridho, untuk waktunya di Indoprogress. Teman-teman, demikian wawancara Forum IndoPROGRESS TV kali ini, semoga bermanfaat. Saya Joan Aurelia, sampai ketemu di program IndoPROGRESS TV selanjutnya.***

]]>
Paradigma Infrastruktural dan Robin Hood https://indoprogress.com/2017/04/paradigma-infrastruktural-dan-robin-hood/ Sun, 16 Apr 2017 23:38:59 +0000 https://indoprogress.com/?p=17811 Kredit ilustrasi: https://comicvine.gamespot.com

 

DENGAN mundurnya AS dari Trans-Pacific Partnership (TPP) pasca penarikan-diri Trump awal tahun ini, lantas apakah tren dan sekaligus fitur-fitur “mengkhawatirkan” dari pakta-pakta perdagangan baru sejenis ini ikut berlalu?

 

Baru
Pakta perdagangan baru? Ya, baru. Dikatakan baru, karena pakta-pakta perdagangan ini berbeda dari yang sebelumnya. Bagi yang familiar dengan studi ekonomi politik global, tentunya sudah banyak mendengar pakta-pakta lama seperti NAFTA, AFTA, APEC, FEALAC, dst. Pakta-pakta ini bisa berbentuk preferential trade agreement, free trade area, custom union, dst., tergantung derajat integrasinya dari fasilitasi perdagangan langsungnya. Apapun itu, yang mencirikan pakta lama ini adalah bahwa ia beranggotakan negara, atau setidaknya, untuk kasus APEC, entitas ekonomi teritorial (disebutnya, ‘economy’). Karena bersifat multilateral, seluruh aktivitasnya disorot oleh media.

Berbeda dengan para pendahulunya, pakta-pakta yang baru cenderung melibatkan pihak-pihak non-negara, seperti pengusaha, asosiasi dagang/pengusaha, dan tentu saja, perusahaan. Tidak hanya itu, perundingan-perundingan yang dilakukan adalah tipe-tipe yang disukai para whistleblower liberal semacam Wikileaks. Tertutup, diam-diam dan serba misterius: ini mungkin ajektif yang kerap dipakai Wikileaks untuk menyebut “Tiga T Besar” blok ekonomi-legal global: selain TPP, yaitu TTIP (Transatlantic Trade and Investment Pact) dan TiSA (Trade in Services Agreement).

Mengapa serba misterius? Perundingan-perundingan yang tidak diumumkan ke media ini ditengarai (dan berdasarkan bocoran wikileaks) mencoba untuk mengemansipasi—jika saya boleh menggunakan istilah sakral para aktivis ini—investor dan pebisnis untuk bisa “setara” di hadapan negara. Dengan begini kita bisa memahami mengapa Phillip Morris, pasca kalah di pengadilan Australia, lantas ia pindah ke Hong Kong dan kemudian balik menuntut pemerintah Australia, dan menang! Dalam kasus ini, perusahaan menuntut pemerintah negara karena kebijakan publik yang diambil dapat melemahkan akselerasi akumulasi profit si perusahaan. Konon pemerintah Australia menetapkan bahwa dalam bungkus rokok harus ada gambar-gambar mengerikan untuk menggentarkan orang supaya urung merokok—tentunya berimbas pada pengurangan sales perusahaan, dan melorotnya neraca profit. Jadi, ya tidak salah kan kalau pemerintah Australia yang melindungi rakyatnya ini mesti diberi pelajaran—lha wong dia menghambat kapital!?

Apabila TPP berlaku di Asia Pasifik, TTIP dan TiSA di Trans-Atlantik, dan ketiganya dimotori negara-negara adidaya tradisional, maka “kearifan lokal” Asia Timur juga memiliki versinya sendiri, namanya RCEP (Regional Comprehensive Economic Partnership) yang mencakup 10 negara ASEAN dan enam mitra—Cina, Jepang, Korea Selatan, India, Australia, dan Selandia Baru. Secara geopolitik ekonomi global, TPP (tadinya) dikomandoi oleh AS, sementara RCEP dikomandani oleh Cina. Tentu saja keduanya bersifat zero-sum—saling berusaha meniadakan: TPP dipakai untuk membendung dan membatasi Cina; RCEP dipakai untuk menggembosi AS. Permainan hubungan internasional klasik sebenarnya.

Lalu, kembali ke pertanyaan awal di atas, apakah dengan mundurnya AS dari kehebohan pakta-pakta perdagangan baru ini lantas berarti berita baik (bagi rakyat pekerja)? Lebih detilnya, apakah RCEP-nya Cina ini bersih dari hal-hal yang mencemaskan dari Tiga T Besar? Pertanyaan pertama, jawabannya sayangnya ‘tidak’. Pertanyaan kedua, ‘tidak’ juga. Namun demikian, saya akan coba memberikan argumen yang agak berbeda dari argumen klasik nan standar ala aktivis-aktivis liberal.

 
Fobia Liberal
Kritik utama terhadap pakta-pakta perdagangan baru ini biasanya berkisar pada tema-tema klasik seperti “bahaya asing,” “perampasan kedaulatan,” dan “proteksi produk dalam negeri.” Memang benar, dalam pakta-pakta baru ini, perampasan kedaulatan negara di bawa ke level yang baru: bukan hanya menyejajarkan investor, pebisnis dan perusahaan sama dengan negara, melainkan bahkan jangkauan mekanisme penyelesaian sengketa (Investment-State Dispute Settlement, ISDS) yang diatur (diam-diam) pakta ini mampu mengatasi hukum nasional! Seolah-olah, saat berkenaan dengan bisnis, kita berada di alam hukum yang lain, yang tidak ada kaitannya dengan supremasi hukum yang berlaku di negara kita. Namun demikian, tetap saja klasik—semenjak putaran-putaran WTO, sampai G20, sampai IMF, dst., narasi ini tetap saja dominan dikumandangkan.

Kritik lainnya, yang dominan mewarnai kritik-kritik yang lebih bernuansa “kiri,” adalah bahwa ini adalah suatu ‘proyek kelas’ atau semacam ‘rekonsolidasi kelas pasca krisis’. Kita perlu bersimpati dengan kritik ini karena memang terdapat sejumput kebenaran di dalamnya. Pasca krisis 2008, narasi dominan di fora multilateral dan di tingkatan global adalah kebutuhan untuk meregulasi bisnis, dan terutama, sektor finansial. Merkel (Kanselir Jerman), Sarkozy (Presiden Perancis, saat itu), Cameron (PM Inggris, saat itu), dll., bersepakat dengan ini. Namun demikian, kenyataannya, mereka-mereka inilah yang justru memotori pakta-pakta perdagangan baru di transatlantik (TTIP dan TiSA), yaitu yang membantu kelas-kelas pemodal untuk semakin dalam menancapkan pengaruhnya di ekonomi. Namun demikian, kritik seperti ini sebenarnya nanggung alias kurang nendang. Soalnya, apakah dengan menyibakkan fakta kebangkitan kelas ini lantas kita bisa mengubah kondisi? Seolah-olah dengan meneriak-neriaki para pemodal itu lantas mereka akan membagi tumpukan kue ekonomi yang disimpan di kulkas mereka; seolah negara (yang notabene berpartisipasi di pakta-pakta ini) lantas akan berpihak pada kita. Dan, ya, tentu saja kritik seperti ini juga tidak kalah klasiknya dengan kritik tipikal pertama.

Terlepas dari aspek klasik dan nanggung, sebenarnya kedua kritik ini khas apa yang jauh-jauh hari diperingatkan Michel Foucault di The Birth of Biopolitics sebagai ‘fobia liberal akan negara’ (liberal state-phobia).[1] Keduanya, dengan kata lain, adalah narasi yang muncul dari ketakutan yang khas dialami oleh para liberal saat berhadapan dengan negara, baik negaranya sendiri atau negara lain. Apa pasal? Ketakutan liberal setidaknya punya dua dimensi, domestik dan internasional. Di domestik, ketakutan ini memanifestasi dalam kritik dan seruan terhadap negara yang membatasi, memata-matai, menculiki, mengekang ekspresi, memblokir situs porno, menyensor film-film XXI, dst. Asumsinya jelas, bahwa negara seharusnya—sekali lagi, seharusnya (entah siapa yang mengharuskan)memfasilitasi rakyatnya untuk bebas berekspresi, bebas mengkritik, bebas bermobilisasi, bebas …., dst. (silakan diisi titik-titiknya sendiri). Mendeteksi kritik model ini amatlah mudah, tunggu saja kata-kata langganan yang sering dipakai untuk memungkasi kritik mereka: “negara harus… negara harus… negara harus…” Ironisnya, untuk kritik-kritik model ini, justru teori Foucault banyak dimobilisasi! Padahal kritik semacam ini justru sangat tidak bermotivasi Foucaultian.

Di tingkatan internasional, fobia liberal terpantik karena intervensi dari eksternal terhadap “keharmonisan” dalam negeri. Tak pelak, narasi-narasi anti-asing, perampasan kedaulatan, neokolonialisme dan proteksi dalam negeri ini seakan menjadi obat kumur yang dipakai semua orang. Narasi-narasi ini, bahkan, hebatnya, membuat kita sulit membedakan antara LSM-LSM kritis dengan KADIN! Bagaimana tidak, apakah ‘keharmonisan’ yang diasumsikan ini jika bukan status quo hegemonik tatanan kapitalis domestik? Para liberal, saat berkaitan dengan hubungan internasional, menjadi sangat konservatif![2] Itulah mengapa standar ganda yang langganan dipakai AS sejak dulu harus kita maklumi. Sama perlu kita maklumi juga dengan orang-orang yang mengaku anti-kapitalis tapi di dalam negeri malah berpihak pada kapitalis domestik yang diberi moniker ‘borjuis progresif’.

Yang absen dari kritik-kritik ini tidak lain adalah aspek struktural. Oh, ya, tentu saja, beberapa proponen kritik-kritik model di atas juga selalu menggunakan istilah “struktural” juga. Tapi apakah ajektif struktural dalam suatu analisis? Menurut hemat saya, kata “struktural” yang kerap dipakai ini tidak beda dengan yang digunakan agensi-agensi pemasaran saat mereka berkata “struktur pasar.” Bagi para agensi marketing, struktur pasar berkaitan dengan sebaran kompetitor berikut berapa porsi penguasaan pasar masing-masing di suatu sektor. Mirip; bagi kritik model di atas, kritik “struktural” adalah menunjuk-nunjuk hidung mereka yang berkuasa, mereka yang “mendalangi,” dst. Kesenangan kritikus model ini adalah menggosok-gosok terus istilah ‘oligarki’ sampai kinclong. Mengumpulkan data-data kekayaan para pemilik hidung yang mereka tunjuk, dan mempublikasikan secara jor-joran adalah hobi kritikus model ini. Tidak bisa disalahkan juga jika kita salah mengira bahwa mereka adalah akuntan publik si pebisnis yang mereka kritik tersebut.

Oleh karena itu, izinkan saya mengusulkan definisi bagi ajektif “struktural.” Struktural yang kita pakai harus memotret aspek material yang menjadi basis bagi arti kata “struktural” di atas. Oligarki misalnya, tidak akan berdiri sendiri apabila para oligarki tersebut tidak memiliki jejaknya di penguasaan sumber-sumber penghidupan; dengan kata lain, tidak ada oligarki tanpa oligopoli. Menganalisis oligarki tanpa juga membedah corak dan mekanisme oligopoli yang memungkinkannya, hampir tidak ada bedanya dengan mahasiswa ababil yang ditanya mengapa ikut demo tapi tidak bisa menjelaskan alasannya. Tapi, tentu saja bisa dipahami, lebih seru dan berdebar-debar untuk menunjuk hidung oligark dan memaki-makinya, ketimbang pekerjaan panjang nan membosankan untuk mengulik data-data statistik demi menunjukkan rasio konsentrasi penguasaan pasar, atau membedah doktrin manajemen perusahaan dan rantai produksi untuk menunjukkan eksploitasi material dari istilah muluk dan mengawang “kapitalisme neoliberal.”

Aspek struktural yang lebih bernuansa material, dengan demikian, merujuk pada corak pengorganisasian produksi, kerja, infrastruktur dan keuangan yang memungkinkan ekspropriasi nilai secara (lebih) masif terhadap kelas pekerja. Tentu saja, ekspropriasi nilai ini meluncur masuk ke empunya hidung-hidung yang dituding-tuding di atas. Aspek struktural material ini merujuk pada konsep Marx ‘komposisi kapital’ (terdiri dari dua: organik dan teknis).[3] Marxis-pekerjais, kemudian, menambahkan konsep ‘komposisi kelas’ yang mengiringi setiap corak dan evolusi komposisi kapital ini,[4] dengan demikian semakin menculaskan aspek antagonisme kelas yang sudah ada dalam konsep komposisi kapital Marx. Uraian mengenai konsep-konsep ini tentunya menjadi porsi tulisan di lain kesempatan. Namun setidaknya kita bisa melihat rujukan lain dari istilah “struktural” yang nampaknya sudah mulai aus ini.

 
Corak struktural baru
Suatu pertanyaan, apalagi pertanyaan analitis, sudah pasti dan akan selalu bermuatan idiologis. Pertanyaan saya di awal artikel, tentunya, tak terkecuali. Apa lagi muatannya jika bukan ala ala fobia liberal. Nah, jika para pembaca sekalian dan saya bisa “bertobat”, maka kita perlu mengganti pertanyaan di atas itu dengan yang lebih struktural—dengan artian yang baru saya sampaikan. Pasalnya dengan penjelasan yang lebih struktural, tema perjuangan kelas menjadi bisa lebih terbayangkan dan lebih mampu mengarah (sekalipun mungkin belum bisa menunjukkan jalan) ke suatu perubahan yang juga struktural.

Jadi, pertanyaan kita kemudian adalah: apa yang berubah dari corak eksploitasi ala pakta baru? Dan bahkan, apa yang berubah dengan tetapnya fitur-fitur pakta baru di RECP, bahkan saat AS mundur dari keterlibatan di pakta-pakta barunya (TPP, TTIP, TiSA)?

Mustahil menjawab pertanyaan ini di sini, tentunya. Saya pun tidak sedang menulis proposal penelitian. Namun poin yang hendak disampaikan adalah bahwa cara kita melihat situasi perlu memiliki kerangka yang jelas keberpihakannya. Saya tidak berani bilang bahwa keberpihakan itu sudah harus ada sejak dari hati dan pikiran—saya tidak punya alat untuk memverifikasinya; namun setidaknya yang berani saya sampaikan dan pertanggungjawabkan adalah bahwa keberpihakan itu sudah harus ada sedari metodologi, bahkan pertanyaan-pertanyaan kita. Pertanyaan barusan mencoba menelisik persoalan re-komposisi kapital (dan kelas) di dalam pakta-pakta perdagangan yang baru, baik versi AS maupun versi Cina. Dengan membedah corak komposisional dari pengorganisasian kapital dan akumulasinya ini, kita bisa memetakan di titik-titik mana dan secara teknis bagaimana tepatnya terjadi proses eksploitasi (yi. penghisapan nilai lebih pekerja). Pengetahuan inilah yang dibutuhkan secara strategis dan taktis, misalnya, bagi pengorganisasian perlawanan serikat pekerja. (Tentu saja saya mengasumsikan serikat pekerja ini tidak malah terlibat dalam jejaring oligarki dan ikut memfasilitasi penundukkan pekerja anggotanya).

 

Kredit ilustrasi: nadhila.blog.upi.edu

RECP dan Paradigma Infrastruktural
Kita tahu bahwa hal-hal yang mengkhawatirkan dari Tiga T Besar—yaitu, di antaranya, pengesampingan hukum nasional dan “privatisasi” sistem keadilan legal dalam tribunal/mekanisme penyelesaian sengketa—ternyata juga tetap ada di dalam RECP. Begitu pula dengan emansipasi investor dan pebisnis, bahkan dengan bonus privilese khusus, di hadapan negara dan sistem internasional. Beberapa negosiasi RECP pun relatif diam-diam. Namun demikian, apabila kita lihat dengan seksama, satu hal yang relatif tidak berubah adalah iman terhadap mekanisme pasar. Adalah manifestasi iman fundamentalis ini di dalam rekomposisi kapital yang menampakkan perubahan. Dari sekian banyak variabel, satu yang hendak saya bahas di sini adalah tentang paradigma pengorganisasian kapital dan akumulasinya. Paradigma yang dimaksud adalah persoalan bagaimana suatu pemikiran dioperasionalisasikan dan diterjemahkan (translated) ke manifestasi konkritnya. Paradigma pengorganisasian, dengan demikian, menyangkut corak dan mekanisme penerjemahan suatu ide/logika pengorganisasian ke dalam seluruh ensembel material di lapangan—baik perangkat keras, lunak, maya (cyber) maupun manusia.[5]

Singkat cerita, corak pengorganisasian produksi kontemporer adalah apa yang disebut dengan jejaring produksi berantai secara global (Global Production Network/Chain). Apabila tahun 1970-an, demi mengejar efisiensi, perusahaan-perusahaan AS dan Eropa berbondong-bondong melakukan offshore (relokasi lintas samudera) ke Asia yang memiliki tenaga kerja murah, maka untuk abad ke-21 pola produksi ini mulai bercorakkan outsourcing (pengalihan-daya). Perdagangan, yang tadinya didominasi perdagangan barang dan jasa, kini mulai bergeser ke rezim perdagangan tugas kerja (trade in tasks). Peralihan perdagangan ini tampak jelas dalam signifikannya perdagangan barang setengah jadi (intermediate goods), ketimbang perdagangan barang jadi atau bahan mentah.[6] Suatu bahan mentah, dengan demikian, bisa diproses dimana-mana sampai akhirnya dirakit (assemble) di tempat akhir, dan kemudian dijual lagi dimana-mana. Tahap pra-proses, pemrosesan, dan pasca-proses bisa tersebar di banyak tempat.

Secara logika produksi, ini yang disebut dengan disintegrasi produksi alias memecah-mecah proses produksi sampai titik paling efisien (paling murah). Pemilik merek, misalnya, tidak perlu memiliki pabrik sendiri untuk memproduksi keseluruhan produk akhir dari lini produknya. Ia cukup mengalih-dayakan ke orang lain. Efisien, karena ia tidak perlu membayar tunjangan si pekerjanya, belum lagi kalau mereka rewel dan membuat serikat pekerja. Sistem inti-plasma sangat jelas terinspirasi dari logika produksi fragmentaris ini. Perusahaan inti hanya “membeli putus” barang-barang dari plasma-plasmanya, tanpa perlu menggajinya secara tetap, apalagi membayar ongkos berobat di hari tuanya. Pikirnya, untuk apa saya membayar hidup pekerja saya di umur 70 tahun kalau saya cuma membutuhkannya 7 bulan saja? Di sini, saya kira, kita bisa melihat jelas mengapa sistem pekerja kontrak menjadi marak dan semakin terlihat “normal”—suatu hal yang tidak terbayangkan setidaknya 30 tahun yang lalu.

Konsekuensinya, kita menyaksikan bagaimana proses penciptaan nilai kini tersebar secara global. Bisa saja suatu proses penciptaan nilai terjadi di satu tempat (di negara-negara bertenaga kerja low-skilled, dan karenanya murah), tapi penangkapan nilainya di tempat lain (di negara-negara pemegang merek dagang, para konseptor, para “inovator,” dst., gampangnya negara-negara di mana sering diselenggarakan Ted Talks).[7] Karena “pabrik” produksinya tersebar di mana-mana, maka manajemen berbasis jejaring menjadi sangat dibutuhkan; begitu pula perkakas untuk menghubungkan hub-hub dalam jejaring ini, baik secara virtual-digital (melalui sistem komunikasi dan informasi) maupun secara kongkrit (melalui jalan raya, rel kereta, jalur–jalur transportasi). Koneksi dan sirkulasi menjadi kunci di dalam perekonomian saat ini; begitu pula jalur-jalur dan choke point distribusi logistik menjadi urat nadi perekonomian.[8]

Infrastruktur, akhirnya, menjadi hal yang sangat vital bagi penguasaan ekonomi. Menguasai infrastruktur, berarti menguasai sirkulasi dan koneksi di dalam ekonomi. Ledakan proyek infrastruktur terjadi dimana-mana; Cina bahkan mendirikan bank khusus untuk ini (AIIB), dan ASEAN pun kesengsem dengan dana segarnya.[9] Bagi para pemegang tampuk kekuasaan, menjadi logis untuk memperjuangkan proyek-proyek infrastruktur karena ini berkorelasi linier dengan nafas kekuasaannya. Pasalnya, lagi-lagi dari perspektif ini, kekuasaan membutuhkan topangan material, yaitu ekonomis, dan ekonomi hari ini utamanya ditentukan oleh kontrol terhadap koneksi dan sirkulasi, yaitu infrastruktur. Proses pengamanan koneksi dan sirkulasi ini, karena vital, bisa muncul secara brutal: penggusuran paksa tanpa mengindahkan hukum, penumpasan perlawanan serikat pekerja, bahkan tindakan represif aparat menjadi pilihan praktis bagi pola pikir ini. Inilah paradigma pengorganisasian kapital dan akumulasinya yang baru: saya menyebutnya ‘paradigma infrastruktural’.

Paradigma infrastruktural melihat segala sesuatunya dengan teropong pengamanan sirkulasi dan koneksi di dalam ekonomi. Siapa yang menghalangi: tumpas; di mana ada gap: bangun infrastruktur. Kita bisa mengumpulkan banyak data mengenai infrastructure rush ini. Namun satu hal yang sering luput adalah bahwa kita cenderung mengesensialisasikan istilah infrastruktur ini ke dalam rupa-rupanya seperti jembatan, jalan raya, satelit, gedung, dst. Memang benar ini semua adalah infrastruktur. Namun demikian, jika kita mengacu ke konsepsi infrastruktur sebagai medium terjadinya sirkulasi dari titik koneksi satu ke titik lainnya, maka sebenarnya konsepsi ini berimplikasi luas. Bahkan, manusia pun bisa dilihat sebagai spesies infrastruktur!

Manusia sebagai infrastruktur ini pertama kali ditangkap oleh Foucault saat mengatakan bahwa manusia adalah conduit tempat dialirinya wacana dan pengetahuan, dan karenanya, kekuasaan. Jika kita tidak terlalu mabuk humanisme, kita bisa melihat sisi lain dari teori mikro-kekuasaan Foucault ini, yaitu bahwa manusia adalah infrastruktur bagi mulusnya sirkulasi wacana yang menopang kekuasaan—dalam hal ini paradigma ekonomi; manusia adalah titik koneksi yang harus memuluskan dan mereproduksi seperangkat praktik-praktik diskursif yang lagi-lagi seturut paradigma yang ditentukan oleh kepentingan kelas penguasa. Dengan melihat paradigma infrastruktural secara Foucaultian ini, maka kita bisa memperluas konsekuensi rekomposisi pengorganisasian kapital dan akumulasinya sampai ke ranah-ranah yang bisa jadi tak terpikirkan sebelumnya!

Untuk melancarkan sirkulasi rantai suplai dan rantai produksi barang-barang yang merek-mereknya dipegang oleh negara-negara adidaya di Asia Timur, misalnya, maka negara-negara ASEAN perlu mengamankan kesinambungan (sustainability) produksinya dengan menyediakan tenaga-tenaga kerja murahnya. Begitu pula demi memenuhi kebutuhan dari perusahaan-perusahaan besar di kawasan, maka ASEAN perlu mempersiapkan jajaran UMKMK (Usaha Mikro, Kecil, Menengah dan Koperasi) untuk selalu siap sedia memfasilitasi sirkulasi bagi capital di kawasan. Ya, omong-omong, persis inilah hasil kesepakatan bab 2 perjanjian RCEP yang disimpulkan di putaran ke-16-nya di BSD, Tangerang, Desember 2016 lalu: mempersiapkan UMKMK untuk berpartisipasi di rantai perdagangan global. Begitu pula dengan keterampilan tenaga kerja. Sadar karena leverage-nya adalah sebagai penyedia tenaga kerja murah, maka ASEAN pun semakin menggalakkan upgrade skill para pekerjanya melalui pendidikan dan pelatihan. Dari paradigma infrastruktural, tenaga kerja adalah spesies infrastruktur tempat dilaluinya barang mentah/setengah jadi untuk kemudian diprosesnya; tidak lebih.

Rekomposisi kapital yang melahirkan paradigma infrastruktural ini pada gilirannya juga menular ke pengorganisasian dan pengunaan (excercise) kekuasaan. Apabila agenda-agenda RCEP dan pakta perdagangan baru lainnya, atau bahkan pemerintah pada umumnya adalah secretive alias diam-diam, maka berdasarkan paradigma infrastruktural, kita tidak perlu heran. Pasalnya, kita, para rakyat memang dilihat sebagai spesies infrastruktur semata: eksistensinya adalah untuk memuluskan, meneruskan, mengalirkan dan menyinambungkan aliran dari proses-proses yang menunjang akumulasi kekayaan dan kekuasaan mereka, tidak lebih. Rakyat, dari paradigma infrastruktural, adalah entitas yang perlu ditangani, diintervensi, dimodifikasi, dibentuk, dididik, dst., dan bukan didengarkan aspirasinya sebagai konstituen. Begitu pula sense of belonging-nya: perlu dibentuk dan dijaga. Apalagi tujuannya apabila bukan untuk bisa bersemangat dan antusias dalam menjalankan fungsi infrastrukturalnya? Penyediaan beasiswa pendidikan, sanitasi dan keamanan minimal bagi rakyat adalah hal yang sudah dikalkulasikan dari paradigma infrastruktural. Jadi, wahai rakyat, jangan telalu ge-er![10]

 
Penutup
Apabila ekonomi hari ini, yaitu di era rekomposisi kapital dan akumulasi kapital abad ke-21, telah melahirkan suatu paradigma infrastruktural, maka tentu situs perjuangan kelas juga harus digelar di lokus vitalnya: yaitu di sirkulasi dan koneksi. Begitu pula dengan dominannya rezim fragmentasi produksi dan rantai produksi global, maka perjuangan kelas pekerja harus mampu menginterupsi rantai yang mengalirkan nilai-lebih menjauh dari para pekerja yang menciptakannya. Mungkin kita perlu mengingat dongeng Robin Hood dari Sherwood, terutama modus operandi-nya dalam beraksi. Robin Hood selalu bergerak diam-diam, memantau secara sabar jalur-jalur yang dilalui kurir-kurir penguasa dalam mengantarkan harta kekayaan dan makanan-makanan mewah, untuk kemudian menunggu momen yang tepat untuk mencegat kurir tersebut. Seluruh strategi dan taktik Robin Hood berhubungan dengan penyergapan diam-diam dan penyabotasean harta-harta kekayaan tersebut. Saya kira strategi Robin Hood ini bisa menjadi counter-paradigm terhadap paradigma infrastruktural. Memahami dan memetakan sirkulasi dan koneksi di dalam jejaring ekonomi global hari ini, untuk kemudian memikirkan cara untuk meretas, menyerobot dan mengalihkan kembali nilai-nilai kerja kita, adalah implementasi kontemporer strategi Robin Hood ini.

Performa kapital hari-hari ini diukur sejauh mana ia mampu meningkatkan efisiensi proses akumulasi dirinya secara cepat, tepat dan berkesinambungan. Ia harus memperderas aliran sirkulasinya, menciptakan semakin banyak koneksi-koneksi baru dan menjejaringkannya dengan rantai-rantai yang beroperasi secara global. Rantai-rantai ini, yang membuat rezim sirkulasi dan konektivitas ekonomi tetap terjaga, adalah yang berusaha terus diamankan oleh kelas berkuasa; kepentingan oligarki hanyalah pada kesinambungan dan amplifikasi cengkeraman oligopolistik terhadap rantai-rantai ekonomi ini. Rakyat kelas pekerja karenanya memiliki tantangan terkini, yaitu untuk memiliki counter-paradigm bagi paradigma infrastruktural, yaitu suatu paradigma yang mampu mencekik sirkulasi kapital di lokus-lokus choke points, dan yang mampu memutus konektivitas eksploitasi global berantai dan berjejaring. Dan, mungkin kita perlu belajar dari Robin Hood untuk ini.***

 

Penulis adalah peneliti di Koperasi Riset Purusha

 

————–

[1] Michel Foucault, The Birth of Biopolitics, Palgrave, 2008.

[2] Salah satu referensi terbaik tentang ini bisa dilihat di Andrew Williams, Liberalism and War, Routledge, 2006.

[3] Lihat Marx, Capital, v.1, Bab 25.

[4] Lihat Sergio Bologna, “Class Composition and the Theory of the Party at the Origins of the Workers-Council Movement,” terj.B. Ramirez, Telos, 13 (Fall), 1972.

[5] Definisi paradigma ini lebih ke konsepsi materialis Agamben, ketimbang Foucault yang lebih epistemologis atau Kuhn yang lebih sosiologis. Lih Agamben, The Signature of All Things, Zone Book, 2009.

[6] Sturgeon, Timothy & Olga Memedovic, “Mapping Global Value Chains: Intermediate Goods Trade and Structural Change in the World Economy,” UNIDO Working Paper, 05, 2010.

[7] Dalam ASEAN Investment Report 2013-2014. FDI Development and Regional Value Chains, 2014, terlihat jelas bagaimana rantai produksi di ASEAN dimotori oleh perusahaan-perusahaan non-ASEAN (biasanya dari Jepang, Cina atau Korea Selatan). Artinya, memang benar penyerapan tenaga kerja banyak terjadi di kawasan, namun sialnya penangkapan nilai terbesar tetap saja dari negara-negara non-ASEAN ini. Menjadi oxymoron apabila kita langsung percaya pada omong kosong pemerintah ASEAN yang retorikanya hanya berkaitan dengan membuka lapangan pekerjaan, meningkatkan sektor produktif dan memperkuat posisi di rantai produksi global, apabila ia tidak mengindahkan ketimpangan dalam penangkapan nilai (value capture). Diskusi lebih lanjut tentang ini, lih. uraian Dodi Mantra, dkk., di Membangun Koperasi Transnasional sebagai Pilar Integrasi Masyarakat ASEAN, Naskah Akademik Koperasi Riset Purusha, 2016.

[8] Deborah Cowen, The Deadly Life of Logistics: Mapping Violence in Global Trade, Uni Minnesota Press, 2014; Lihat juga situs platform riset Logistical Worlds.

[9] Lih. ASEAN & UNCTAD, ASEAN Investment Report 2015: Infrastructure Investment and Connectivity, 2015.

[10] Uraian dengan perluasan konsepsi infrastruktural yang mirip dengan pembahasan saya, lihat Keller Easterling, Extrastatecraft: The Power of Infrastructure Space, Verso (2014).

]]>
Trump dan “Orwellian” https://indoprogress.com/2017/02/trump-dan-orwellian/ Mon, 06 Feb 2017 02:58:17 +0000 https://indoprogress.com/?p=17283 DARI sekian banyak peristiwa yang mewarnai gelombang anti-Trump, ada satu fenomena menarik. Yaitu kembalinya novel George Orwell, 1984, ke jajaran buku terlaris, setidaknya di Amerika Serikat. Mulai dari New York TimesTelegraphGuardian, dan bahkan sampai Detik di tanah air memberitakannya. Ia dipantik oleh petugas pers Gedung Putih yang menyatakan bahwa pelantikan Trump kemarin dihadiri oleh penonton terbanyak sepanjang sejarah. Dan, seperti nasib seluruh klaim ambisius, klaim ini pun tidak luput dari serbuan protes kontra-faktual yang berduyun-duyun membantahnya. Tidak berhenti di sini, penasihat Trump, Kellyanne Conway di kesempatan lain membela pesuruhnya itu dengan mengatakan bahwa yang disampaikan sang petugas pers sebenarnya adalah ‘fakta alternatif’. ‘Fakta alternatif’ inilah yang menjadi pemantik memori orang yang bacaan sastra wajibnya di sekolah adalah buku 1984 karya George Orwell.

Menurut para penulis media ini, terma fakta alternatif ini benar-benar merupakan bungkusan baru atas terma ‘pikiran-ganda’ (doublethink) yang terjadi pada orang-orang Oceania—suatu negara fiktif Orwell—di bawah kepemimpinan totaliter sang Big Brother. Di novel tersebut, pikiran-ganda adalah efek yang terjadi saat penguasa berhasil menanamkan ide bahwa ialah yang benar dan selalu benar, sedemikian rupa sehingga saat seseorang dihadapkan pada suatu realitas, maka realitas tersebut bisa dipikirkannya kembali sebagai … ‘realitas alternatif’ (baca: alternatif versi penguasa). Proses berpikir pertama adalah saat perjumpaan dengan realitas, proses kedua terjadi saat hasil pemikiran tersebut otomatis terpikirkan kembali karena ide yang sudah ditanamkan sebelumnya. Tentu saja, proses penanaman ide ini tidak selamanya dengan cara dialog baik-baik seperti janji Jokowi-Ahok dulu terkait penggusuran (atau, bahasa alternatifnya: “penggeseran”).

Pikiran-ganda ini mengada-ada atau cuma metafor?—Bagi Orwell, mungkin. Tapi sebenarnya saya pribadi pernah melakukan ini kepada klien hipnoterapi saya—tentunya dengan izin ybs.—dan cukup dengan sugesti langsung sederhana: “apapun yang saya katakan akan anda percayai sebagai kebenaran” saat ia berada pada kondisi hipnotik. Dan ketika saya katakan bahwa kartu yang saya pegang adalah 7 hati, sementara sebenarnya ia adalah As keriting, saat sang klien ditanya, ia pun menjawab 7 hati—padahal ia tahu pasti itu adalah As keriting. Sang klien melakukan mind-block akan hasil proses kognitifnya, dan kemudian menjalankan proses pikiran-ganda Orwellian, dan akhirnya terciptalah halusinasi ‘fakta alternatif’.  Misalnya, 2+2= … 5.

 

Tangkapan layar dari adaptasi film 1984

 

Dalam setting klinis, membawa orang ke kondisi hipnotik/trans (trance) dilakukan melalui prosedur teknis terapetik tertentu dan berdasarkan kesepakatan (kontrak tertulis). Namun sebenarnya, teknik lain juga ada. Yaitu dengan memicu rasa cemas dan takut di subjek, bahkan dengan segala macam teknik ancaman fisik, verbal dan tidak langsung/subliminal, maka kondisi trans hipnotikini bisa didapat. Yang perlu dilakukan adalah sedikit “lebih kreatif” dalam mengembangkan teknik bagi teori-teori pikiran dan hipnoterapi. Anda bisa mulai dengan membaca 1984 dan memperlakukannya sebagi buku panduan, ketimbang alegori satir.

 

“Orwellian”

Dari fenomena ‘fakta alternatif’ para dayang-dayang Trump ini kita bisa simpulkan bahwa aspek “Orwellian” dari rezim Trump ini adalah mengenai politisasi kebenaran dan kebohongan publik, dan bagaimana ini semua dilakukan oleh penguasa dalam keseharian pemerintahannya. Namun demikian, sebenarnya melonjaknya kembali penjualan buku yang ditulis Orwel tahun 1949 silam ini juga sempat terjadi pada tahun 2013 yang lalu. Tepatnya, setelah Edward Snowden membocorkan program pengintaian (surveillance) elektronis berkodekan PRISM milik National Security Administration (NSA), Amerika Serikat. Bisa kita simpulkan, pada saat itu, ajektif “Orwellian” disematkan pada pemerintahan Obama (dan Bush, sebelumnya) sebagai perampas kebebasan dan privasi individu. Singkatnya, dua kekuasaan negara “Orwellian” versi publik AS dan pembeli 1984 di era milenium adalah: pembohong dan pengintai. Cukup Orwelliankah kedua pemaknaan ini? Sayangnya tidak.

Dalam pembacaan saya akan novel 1984 Orwell, dan juga pasangan wajibnya, Animal Farm, ada kesan kuat bahwa kekuasaan totaliter tidak sekedar berwajahkan kekerasan bersenjata semata. Namun faktor lain yang tidak kalah, jika bukan lebih determinan, adalah peran bahasa dalam keseharian kekuasaan. Bahasa, dalam kedua novel ini, dipakai oleh tokoh penguasa—Big Brother di Ingsoc dan Babi Napoleon di Manor Farm—untuk menanamkan kebenaran absolut versi penguasa, untuk memelintir dan menciptakan ‘fakta alternatif’, untuk “merayu” loyalitas dan kesetiaan massanya, dan bahkan untuk menyingkirkan lawan.

Orwell seakan ingin membuat kita bertanya lebih jauh tentang kekuasaan: jika kekuasaan adalah sekadar opresi brutal, mengapa pemerintah Oceania harus repot-repot membuat kamus bahasa Inggris versi Newspeak yang amat mendetil dan serius? Mengapa pula para penguasa itu harus mempermainkan bahasa secara ironis seperti frasa-frasa ini: “PERANG ADALAH DAMAI; KEBEBASAN ADALAH PERBUDAKAN; KEDUNGUAN ADALAH KEKUATAN” dan hukum di Animal Farm “Semua Binatang adalah setara, namun beberapa binatang lebih setara dari yang lainnya”? Jelas pesan Orwell: bahasa adalah aparatus penting bagi kekuasaan—untuk memistifikasinya, mengoperasikannya dan melanggengkannya.

Totalitarianisme Orwellian punya kaitan erat dengan bahasa. Karena penundukkan subjek adalah selalu penundukkan pikirannya, maka (strategi dan logika) bahasa berikut turunan-turunannya (semiotika-pragmatik, simbolisme, neurolinguisitik) menjadi sangat penting. Percuma menodongkan senjata ke jidat musuh apabila pesan intimidasinya tidak ditangkap proses kognitif sang subjek, dan membuatnya tidak takut dan, akhirnya, menurut pada sang penodong.  Bahasa Orwellian di sini punya arti yang agak berbeda dari pemahaman strukturalis umumnya mengenai bahasa—yaitu mengenai struktur makna dari penanda. Juga agak berbeda dari pascastrukturalis yang menekankan kesewenang-wenangan hubungan makna dan tanda. Bahasa Orwellian lebih merujuk pada penggunaan kontradiktif akan satu kata/tanda dengan makna yang sesungguhnya adalah makna dari lawannya (mis. ‘perang adalah damai’).

Di sini, Orwell seakan memahami betul tentang natur bahasa bagi otak, atau lebih tepatnya, dalam proses neurobiologis dan neuropsikologis. Yaitu bahwa ia semata-mata adalah stimulus untuk memantik proses-proses neurologis dan kimiawi/endokrinal yang berakibat pada sentimen afeksi/emosi, sikap, pola pikiran, dan pada akhirnya prilaku. (Saya membahas poin ini di kesempatan lain dalam kaitannya dengan fenomena hoax). Bahasa Orwellian adalah bahasa yang “objektif” yang lepas dari kerangka subjektif konvensional; adalah materialitas dari bahasa itu sendiri yang ingin ditonjolkan Orwell sebagai medan politisasi penguasa dan bahkan, sebagaimana culas dalam Animal Farm, medan perlawanan kelas.

 

Operator Semiotik

Penekanan aspek bahasa inilah yang menjadikan suatu kekuasaan berajektifkan Orwellian. (Penjelasan versi lain, minus penjelasan neurobiologis, lihat video singkat Noah Tavlin di Ted-ed). Namun demikian, penjelasan Orwellian linguistik ini, yang sedikit banyak sudah menjadi perhatian, masih kurang Orwellian! Bahkan, pemaknaan-pemaknaan ini masih jauh dari mengungkap faktor yang lebih struktural dari politik linguistik Orwellian yang sebenarnya banyak ditunjukkan Orwell di kedua novel tersebut. Pemaknaan Orwellian pada umumnya ini masih khas ketakutan-ketakutan para borjuis mini akan kebebasan yang terenggut, privasi yang terampas, dan arogansi intelektuilnya yang takut dipermalukan karena kalah terpeleset di wahana permainan linguistik penguasa.

Satu hal yang ingin saya kedepankan mengenai bahasa Orwellian adalah bagaimana ia berfungsi sebagai operator atau alat administratif. Lebih khususnya, kita lihat dalam Orwell bagaimana bahasa dipakai para penguasa untuk menata sedemikian rupa basis-basis material bagi kekuasaannya,  bahkan kekuasaan totaliternya. Bahasa, simbolisme, pelintiran ironis akan makna, dst., dipakai untuk sedemikian rupa mengondisikan suatu konsentrasi akses kepada sumber-sumber penghidupan, yang kemudian memungkinkan sang penguasa mengendalikan mereka-mereka (subjeknya) yang membutuhkan akses ke sumber penghidupan tersebut. Persis seperti juru bicara Napoleon di Animal Farm yang berdalih bahwa karena para babi adalah pemimpin, dan karena pemimpin butuh berpikir lebih keras untuk memajukan Animalisme (humanisme versi binatang), maka para babi lebih membutuhkan apel dan susu ketimbang binatang lainnya.

Bukankah babi-babi Animal Farm ini kerap kita jumpai di keseharian kita dalam rupa-rupa penguasa dan pemodal yang menggunakan dalih nasionalisme, pembangunan, martabat bangsa, devisa negara, tanggungjawab sosial, dst., untuk membungkam kritisisme kita, membuat kita fokus untuk terus kerja, kerja, kerja? Lebih detil lagi, bukankah hari ini kita lihat betapa bahasa pemrograman algoritmik adalah backbone teknologis bagi berjalannya kekuasaan politik dan bisnis hari ini, yang menjadi operator utama dalam hasrat-hasrat administratif mereka? Bukankah penguasaan media-media oleh penguasa dan pemodal hari ini adalah bentuk kontrol akan sarana artikulasi bahasa untuk bisa memerintah dan mengatur massa rakyat (sebagai modal manusia, sebagai konstituen, sebagai konsumen)? Bukankah untuk mengerdilkan, menyingkirkan dan bahkan membinasakan lawannya para penguasa hari ini menggunakan strategi linguistik semacam pelabelan-pelabelan peyoratif, hoax, ujaran kebencian (hate speech), dan, misalnya contoh terhangat dari dalam negeri, penggunaan sistem barcode bagi media yang dianggap tidak kredibel? Perspektif Orwellian ini mampu membantu kita melihat fungsi instrumental dari bahasa sebagai operator dalam mengorganisasikan sumber-sumber kekuasaan (politik) dan penghidupan (ekonomi).

Terakhir, dan mungkin yang paling penting, dengan pemahaman bahasa sebagai operator konsolidasi sumber-sumber kekuasaan dan penghidupan ini, kita bisa melihat bahwa sebenarnya rezim Orwellian ini tidak hanya terjadi saat ini saja dengan Trump—atau dengan rezim manapun yang dengan serampangan kita sebut fasis; lebih dari itu, Orwellian adalah fitur dan ajektif tak terelakkan dari kekuasaan itu sendiri. Pemahaman objektif mengenai bahasa itu sendiri—yang dalam tulisan ini dibantu dengan fenomena “Orwellian”—seharusnya dapat membuat kita mulai berpikir untuk berbalik merebut kembali bahasa yang sudah selalu merupakan fitur evolusioner kita, mulai memikirkan strategi semiotik, dan bergegas menggelar front perlawanan di medan lingustik.***

 

Penulis adalah peneliti di Koperasi Riset Purusha dan Psikoterapis di Minerva Co-Lab

]]>
Masihkah Politik adalah Panglima? Fardhu Kifayah Koperasi Syariah 212 https://indoprogress.com/2017/01/masihkah-politik-adalah-panglima-fardhu-kifayah-koperasi-syariah-212/ Mon, 16 Jan 2017 02:54:04 +0000 https://indoprogress.com/?p=17078 SALAH satu capaian terpenting gerakan massa rakyat di Indonesia kontemporer, bagi saya, adalah peluncuran Koperasi Syariah 212 (KS212) pada Jumat, 7 Januari 2017 yang lalu di Sentul, Bogor. KS212 ini digagas dan dikawal pembentukannya, dengan melibatkan banyak elemen yang menjadi motor penggerak Aksi Bela Islam tanggal 2 bulan 12 (Desember) 2016 silam, oleh Dewan Ekonomi Syariah (DES) Gerakan Nasional Pengawal Fatwa Majelis Ulama Indonesia (GNPF MUI). Dalam pembentukannya, disepakati juga bahwa Ketua DES, yang juga adalah anggota Dewan Pengawas Syariah, M. Syafi’i Antonio, sebagai Ketua KS212. Target KS212 sangat ambisius: 212 Miliar dalam 1 tahun, 2,12 Triliun dalam 3 tahun, dan 212 Triliun dalam 10 tahun. Tidak hanya ambisius, KS212 sangat optimis akan target ini.

Tulisan ini tidak hendak memberikan evaluasi bagi KS212 ini, tidak pula hendak memberikan komentar terhadap aspek teologis-ekonomis. Poin yang ingin ditekankan oleh tulisan ini adalah bahwa baik even peluncuran maupun eksistensi dari KS212 ini merupakan hal yang penting untuk kita simak, ambil pelajaran, dan bahkan (dengan derajat tertentu) replikasi. Tentunya “kita” yang saya maksud terbatas pada mereka yang berada di jajaran aktivis gerakan sosial progresif yang berjuang demi transformasi sosial, atau, dengan kata yang lebih jujur, revolusi.

 

Fardhu Kifayah

Mengapa KS212 adalah salah satu capaian terpenting—jika bukan yang ter-penting? Ada dua alasan. Pertama, karena peluncuran KS212 ini adalah respon ekonomi politik kongkrit atas aksi dan aspirasi politik dari umat Islam “alumni 212” yang adalah konstituennya. Sebagaimana disampaikan Syafi’i Antonio, KS212 adalah inisiatif yang bersumber dari pemikiran untuk memberikan landasan kokoh bagi gerakan-gerakan Islam di kemudian hari. Landasan yang kokoh ini tentunya tidak lain adalah ekonomi, atau, dalam bahasa yang lebih familiar bagi kita, basis material. Basis material dari seluruh politik, kita tahu, adalah ekonomi. Atau, lebih spesifiknya lagi, upaya pengorganisasian kehidupan dan sarana-sarana penghidupan. Ia meliputi beragam relasi sosial dan relasi produksi yang terkumpul dalam satu kesatuan relasi sosial produksi (social relations of production). Kekuatan dan manuver politik yang kuat akan selalu membutuhkan topangan ekonomi yang juga kuat dan kokoh. Dengan kata lain, tidak akan ada oligarki, tanpa ada oilgopoli. Sedemikian rupa sehingga perhatian berlebihan akan oligarki tanpa mendasarkannya pada jejaring penguasaan akses, sumber dan sarana-sarana penghidupan (oligopoli) hanya menghasilkan ke-nyinyir-an histeris cum konspiratorial di mata perspektif materialisme. Inisiatif pengorganisasian basis material bagi politik Islam (versi KS212 tentunya) adalah yang coba dilakukan oleh KS212.

Yang tidak kalah menariknya bahkan, secara terbuka dan eksplisit dinyatakan bahwa salah satu tujuan besar KS212 adalah menumbangkan kapitalisme! Seperti kata Ketua KS212, Syafi’i Antonio, dalam Grand Launching KS212,

“Mulai dari ujung kaki sampai ujung rambut, produk yang digunakan umat adalah hasil karya kaum kapitalis. Uang yang dibelanjakan umat dibawa pulang ke negara asal produsen. Ini yang melandasi GNPF MUI untuk memperkuat basis ekonomi umat lewat Koperasi Syariah 212 dan menumbangkan ekonomi kapitalis.‎”

Ya, tentu saja kita bisa mengritisi alur argumentasi bapak Ketua ini. Yaitu bahwa ia mengasumsikan seolah-olah yang kapitalis adalah selalu ‘asing’, dan karenanya mengaburkan kenyataan (sekaligus memperkuat) eksploitasi yang dilakukan oleh kapitalis lokal seraya berlindung di ‘narasi asing’ ini. Bahkan, kita juga bisa memperdebatkan dan mempertanyakan sejauh mana KS212 adalah anti-kapitalis, dan sejauh mana implementasinya di lapangan tidak akan mengulangi pola-pola yang sudah mual kita jumpai dalam kapitalisme. Saya sendiri memiliki argumentasi kritis dan beberapa pertanyaan interogatif untuk aspek-aspek yang lebih terperinci dari KS212. Namun demikian, terlepas dari ini semua, dan terlepas dari sukses tidaknya nanti, harus kita akui bahwa KS212 menorehkan prestasi tersendiri dalam senarai upaya untuk menantang kapitalisme global tepat dari jantung basis materialnya.

Dalam penggagasannya, proyek besar ekonomi umat (atau, mengapa tidak, kerakyatan) yang dibangun melalui KS212 ini memiliki landasan doktrinal dalam teologi Islam. Lebih khususnya, adalah konsep fardhu kifayah yang dimobilisasi di sini. Ya, saya tahu saya adalah termasuk golongan al-Kafirun dan karenanya saya cukup tahu diri untuk tidak menyentuh aspek teologis ini. Namun demikian yang saya yakin saya punya hak adalah menimbangnya sejauh ia dimobilisasi untuk melawan kapitalisme; adalah aspek anti/non-kapitalisnya yang akan saya komentari dan interogasi, dan sekaligus yang menurut saya penting untuk kita pertimbangkan. Sebagaimana yang disampaikan Ketua KS212, Syafi’i Antonio, fardhu kifayah adalah

“..kewajiban kolektif satu kaum, satu komunitas, satu tim, untuk melakukan tugas tertentu. Contohnya, ada anak kecebur, wajib diselamatkan; ada mayat, wajib disholatkan. Tapi ternyata ada yang lebih besar ternyata menyangkut yang hidup. Karena tidak mungkin ibu-ibu yang cantik bisa menutup auratnya tanpa ada kerudung dan garmen. Oleh karena itu adanya umat yang menguasai pabrik garmen dan tekstil: fardhu kifayah! Tidak mungkin bapak-bapak bisa hadir di sini tanpa kendaraan roda dua dan roda empat. Oleh karena itu adanya umat yang menguasai pabrik kendaraan roda dua dan roda empat adalah fardhu kifayah!”

Mobilisasi narasi ini saja, menurut saya, cukup untuk menyarikan strategi ekonomi politik Islam secara ringkas. Narasi serupa, sebenarnya, juga sudah diajukan oleh Dodi Mantra terkait gerakan ekonomi buruh dalam tulisannya “Koperasi sebagai Gerakan Ekonomi Buruh.” Alur logika dari ketua KS212 di atas memiliki banyak kemiripan dengan yang dipakai Dodi di artikel tersebut walaupun dengan menggunakan langgam yang berbeda. Bedanya, tentu saja, yang pertama direspon dan disokong secara masif, sementara yang terakhir relatif mendapatkan respon dan dukungan yang ya gitu deh saja.

Aspek politis dari mobilisasi fardhu kifayah ini tampak jelas dalam penekanan Syafi’i Antonio, “tapi ternyata ada yang lebih besar ternyata.” Kalimat ini menunjukkan dengan jelas bagaimana Syafi’i Antonio mencoba memberi pemaknaan struktural akan pemahaman umum mengenai fardhu kifayah yang umumnya bersifat parokhial dan keseharian. Apabila pemaknaan umumnya (“ada anak kecebur, wajib diselamatkan; ada mayat, wajib disholatkan”) masih mengasumsikan kewajiban kolektif dari individu sebagai individu, pemaknaan Syafi’i Antonio ini menandaskan kewajiban kolektif dari individu sebagai satu kesatuan kolektif. Saya tidak tahu, walau cukup optimis, bahwa di dalam Al-Quran telah dimaksudkan seperti yang disampaikan Syafi’i Antonio. Namun terlepas dari ini, Syafi’i Antonio menyasar rezim pemaknaan dominan yang jauh dari mengoptimalkan potensi progresif dari konsep fardhu kifayah, dan kemudian memberikan pemaknaan yang baru atasnya yang lebih progresif.

Bahkan, tidak hanya struktural, ia pun bergerak lebih jauh dengan memancangkannya ke dalam pemaknaan politis. Melalui KS212, fardhu kifayah menghidupkan politik di ranah ekonomi dengan cara, pertama-tama memberikan kritik terhadap sistem ekonomi yang ada; kedua, menawarkan solusi untuk menggantinya; dan ketiga, mengorganisasi dan mengonsolidasikan subyek-subyek untuk memanifestasikan kritik dan solusi ini melalui apa yang disebutnya ‘jihad ekonomi berjamaah’. Subyek yang tercipta kemudian dengan jelas terseparasi disepanjang garis kawan dan lawan, ‘umat’ dengan ‘kapitalis’ pendosa.

“Bapak-bapak, ibu-ibu, semuanya berdosa. Kenapa? Karena sudah membesarkan bank konvensional. Kita semuanya berdosa karena sudah menaruh uang dari desa, ditarik ke kelurahan, ke kecamatan, ke kabupaten, ke propinsi, ke jakarta, ditarik ke kantor pusat (misalnya) di London, di Singapura, di Amerika.”

Perlawanan Islam terhadap kapitalisme tentu saja bukan hal baru di era kontemporer. Namun mengorganisir perlawanan secara masif terhadap kapitalisme di tataran basis material ekonomi, mendeklarasikannya secara terbuka, dan mengeksekusinya secara kongkrit jelas adalah hal baru yang patut mendapatkan apresiasi dan respon yang serius.

Aspek ini penting untuk ditandaskan, soalnya perlawanan yang kerap dilakukan terhadap kapitalisme, umumnya, berada di tataran aksi politik massa, perebutan tampuk kekuasaan, kritik pengetahuan, dan—dengan berat hati harus saya paparkan juga—sumpah serapah etis-moralis dan status dan seruan heroik di media sosial saja. Upaya-upaya ini jelas memiliki peran penting (tapi saya curiga tiga yang terakhir tidak), tapi umumnya ini semua mau tidak mau harus mengasumsikan suatu landasan material yang kokoh yang pada kenyataan, apes-nya, justru memprihatinkan. Seringkali kita kehabisan energi dan nafas di tengah jalan yang berujung pada demoralisasi dan bahkan, brengseknya, pengorupsian kerja-kerja idiologis demi kepentingan-kepentingan egois pragmatis pribadi. Memang sudah terdapat beberapa kerja-kerja perintisan kemandirian ekonomi di kalangan kaum progresif, dan saya dengan jelas melihat percepatan pertumbuhannya (baik di tingkat kesadaran maupun eksperimentasi) belakangan. Namun demikian, kita masih belum memiliki pengorganisasian skala luas (nasional) yang memadukan dan mensinkronisasikan kerja-kerja ini dan yang mengupayakan kesepakatan orientasi yang jelas secara idiologis, strategis dan programatik. Kekhawatiran saya, kerja-kerja ini, karena tidak memiliki dukungan kongkrit dan partisipatif yang luas (dan bukan sekedar dukungan retoris dan solidaritas tak berjejak), akan segera terkikis oleh derasnya arus kompetisi pasar dan remuk dihimpit industri-industri besar dari segala penjuru. Apabila kita berpaling ke gerakan yang disokong oleh KS212, bisa jadi, ia akan terhindar dari kekhawatiran saya tersebut.

 

Basis Material Ekonomi Politik

Alasan kedua sekaligus yang terpenting menurut saya adalah bahwa fenomena KS212 ini menunjukkan relevansi dari slogan lama “politik adalah panglima.” Slogan ini dinyatakan oleh Njoto dalam Kongres Lekra di Solo pada tahun 1959 untuk menandaskan pentingnya politik bagi kebudayaan dan kesenian karena, “djika kita menghindarinja (politik), kita akan digilas mati olehnja.” Sebenarnya, lebih dari sekedar upaya pertahanan antisipatif, slogan ini ingin menyampaikan bahwa seni dan kebudayaan adalah juga medan perjuangan politik kelas yang harus disadari para seniman, dan yang tidak boleh ditinggalkan oleh kaum revolusioner pada umumnya. Beralih ke masa kini, KS212 mampu mengonfirmasi dan bahkan menyuarakan dengan nyaring relevansi slogan Njoto “politik adalah panglima”—sekalipun hampir pasti nama Njoto tidak akan mungkin sedikit pun menyempil di narasi pada pejabatnya. KS212 melakukannya dengan cara memberikan orientasi politis bagi serangkaian aktivitas ekonomi yang digagas dan direncanakannya. Diakui atau tidak, KS212 mengafirmasi total slogan Njoto, kali ini di ranah ekonomi. Perencanaan (planning) ekonomi, sebagaimana ditunjukkan KS212, adalah politis. Itulah mengapa dinamakan ekonomi politik.

 Namun demikian, ada satu hal lain yang bisa kita lihat dari fenomena KS212 terkait relevansi kontemporer (jika bukan universal) dari slogan “politik adalah panglima.” Yaitu bahwa bahkan di dalam perencanaan bisnis pun juga berlaku “politik adalah panglima.” Poin ini teramat sangat penting untuk ditekankan, pertama-tama karena kita cukup sering melihat ekonomi dan bisnis sebagai sesuatu yang sinonim. Padahal, kedua terma ini memiliki batasan ruang lingkup yang bisa dibilang cukup berbeda. Apabila ekonomi adalah berkaitan dengan aktivitas pengorganisasian, pengarahan dan pengaturan akses, sumber dan sarana penghidupan, maka bisnis sebenarnya lebih berkaitan dengan aspek mekanisnya, yaitu bagaimana aktivitas ekonomi secara kongkrit dan teknis dilakukan. Apabila ekonomi adalah menyangkut artikulasi kapital di dalam sistem pasar kapitalis, maka bisnis menyibukkan diri dengan operasi kapital dalam megintervensi senarai materialitas di lapangan (gawai, perangkat lunak dan keras, standar prosedur operasi, infrastruktur, buruh, aturan, aparat lokal, isu/gosip masyarakat, dst.). Bisnis selalu merujuk pada keseharian aktor kapitalis spesifik dalam memobilisasi kapital untuk mengakumulasi profit. Bahkan bisa dikatakan bahwa ‘bisnis politik’ (political business) adalah “basis material” bagi ekonomi politik (political economy).

Alasan lainnya adalah karena kita cenderung mengonotasikan “buruk” dan “tidak progresif” pada hal-hal yang berkaitan dengan ‘bisnis’ dan saudara-saudarinya seperti: ‘profit’, ‘manajemen’, ‘akuntansi’, ‘pasar’, ‘investasi’, ‘perusahaan’, ‘korporasi’, ‘kartel’, ‘bank’, ‘proyek’, ‘logistik’, ‘industri’, ‘iklan’, ‘saham’, dst. Seolah-olah saat bersentuhan dengan ini, maka seketika lunturlah keprogresifan dari seseorang. Seolah-olah adalah tidak mungkin terbersit potensi revolusioner dari bisnis. Alhasil, tidak jarang kita jumpai para aktivis progresif yang melakukan hal-hal ini (karena mengalami kesulitan finansial yang tidak mampu ditopang oleh aktivismenya) harus dengan sinis berkata “saya kapitalis dulu deh untuk saat ini,” sementara yang lainnya malu-malu dan diam-diam dalam melakukannya karena takut mendapat judgement tidak progresif dari kawan-kawannya. KS212 mampu menunjukkan bahwa: 1) bisnis memiliki aspek politis; 2) politik yang kuat adalah didasarkan pada ekonomi politik yang kokoh, yang pada gilirannya perlu ditopang oleh perencanaan bisnis yang cemerlang. Terkait kedua hal ini, seolah-olah KS212 ingin mengatakan “djika kita menghindarinja (bisnis politik), kita akan digilas mati olehnja.”

Di kalangan kaum progresif di tanah air harus diakui bahwa bisnis masih belum mendapatkan apresiasi yang serius sebagaimana dilakukan terhadap ekonomi. Bahkan, di kesehariannya, praktik-praktik bisnis yang kita lakukan cenderung jatuh pada satu di antara dua ini: disadari atau tidak justru mengulangi operasi kapital dalam kapitalisme, atau malah payah sama sekali. Berapa banyak tanah hasil reclaim yang menjadi tidak terurus dengan baik, dan malah melahirkan tuan-tuan tanah baru? Berapa banyak usaha buruh yang mandeg dan stagnan? Berapa banyak koperasi layu sebelum berkembang? Ya, secara minoritas, memang ada beberapa yang survive dan berkembang, namun sayangnya mayoritas bernasib malang. Tapi, umumnya, minimnya pengetahuan, kepakaran dan pengalaman dalam menjalankan usaha bisnis yang baik dan sukses—namun tetap revolusioner—membuat praktik-praktik bisnis kita cenderung tidak menentu, jika bukan bernafas pendek.

Dalam pengamatan saya, ada empat permasalahan mendasar yang sering dijumpai dalam inisiatif usaha aktivis: 1) kekurangan modal (under-investment); 2) lambat dalam pertumbuhan skala (scaling-up); 3) produk yang kurang kompetitif (karena kekurangan modal untuk pengembangan) dan karenanya, 4) keterbatasan akses pasar alias tidak laku. Empat permasalahan ini, menariknya, sudah banyak dibahas dan ditawarkan solusinya, tidak hanya secara teoritis dan kalkulasi matematis-ekonomis, namun juga secara empiris menyangkut strategi bisnis! Banyak penulis-penulis dalam tradisi Marxis yang membahas hal ini seperti Jaroslav Vanek, Benjamin Ward, Daniel Egan, Bruno Jossa, Vera dan Stefano Zamagni, dan Tito Menzani untuk perusahan koperasi swakelola buruh, lalu Michael Bauwens (P2P Foundation) dan Akseli Virtanen (Robin Hood Asset Management Cooperative) untuk perusahaan koperasi berbasis teknologi tingkat tinggi.0F[1] Daftar ini tentunya bisa bertambah lebih panjang lagi, namun kompetensi tulisan saya sekarang tidak untuk membahas ini. Tapi poinnya adalah bahwa masih amat jarang perhatian serius diberikan terhadap nama-nama ini dan terhadap isu praksis dari apa yang disebut kawan kita Hanny Wijaya “bisnis gerakan” yang mereka kaji dan kembangkan.

Minimnya sirkulasi dan artikulasi pengetahuan mengenai bisnis gerakan ini membuat minimnya imajinasi untuk melakukan kemandirian ekonomi.1F[2] Selalu saja diputar kaset lama mengenai retorika “pentingnya kemandirian ekonomi aktivis bla..bla..” tapi sayangnya saat dihadapkan dengan persoalan cash flow dan perencanaan usaha, banyak dari kita yang angkat tangan dan memilih menyerahkan ke orang lain—syukur-syukur kalo seidiologi, bagaimana kalau tidak?—Sudah pasti praktik-praktik empirik kesehariannya adalah selalu mengasumsikan normalitas dan universalitas sistem ekonomi pasar yang kapitalistik. Siapa yang mengira, misalnya, bahwa sistem akuntansi pencatatan berganda (double entry bookkeeping) yang berlaku saat ini adalah salah satu determinan bagi lahir dan berkembangnya kapitalisme?2F[3] Belum lagi persoalan perencanan bisnis strategis, perencanaan keuangan, pemodelan bisnis, pemetaan pasar, manajemen produksi, manajemen pekerja/anggota, pengendalian mutu, penetrasi pasar, strategi branding, penentuan harga, komunikasi pemasaran, manajemen rantai pasokan, pengembangan produk, pengembangan personalia, merjer dan akuisisi, motivasi pegawai, dll., yang seringkali dipersepsikan sebagai jatuh di luar teritori “aktivisme.” Sementara cakupan aktivisme adalah selalu seputar aksi massa, demonstrasi, advokasi, konsolidasi serikat, pemberdayaan, kritik, dst. yang umumnya lebih mampu memancarkan aura progresif lagi radikal nan revolusioner ketimbang persoalan-persoalan bisnis tadi. Lagi-lagi, untuk hal ini, KS212 sudah mampu memiliki perencanaan dan proyeksi pengembangan bisnisnya dengan baik untuk memberikan landasan kongkrit bagi ekonomi politiknya.

Menemukan formulasi yang tepat bagi bisnis gerakan progresif adalah hal yang penting untuk segera dilakukan. Apabila kita memberikan kesempatan bagi bisnis untuk bisa merekahkan dimensi progresif dan revolusionernya, maka tidak bisa dielakkan lagi bahwa menjadi tugas kita semua untuk mulai memikirkan, mendirikan dan mengoordinasikan suatu bisnis sosialis dengan skala luas. Bisnis sosialis menggunakan kapital secara progresif demi transformasi sosial menuju dunia tanpa kapitalisme. Bisnis sosialis, dengan demikian, menggunakan kapital justru untuk membatalkan kapital itu sendiri. Kajian dan riset mengenai bisnis sosialis adalah penting untuk juga dilakukan. Untuk itu, produksi pengetahuan, kaderisasi pemikir dan inkubasi praksis eksperimental di bidang ini juga menjadi agenda yang penting bagi gerakan. Kajian-kajian seperti Bisnis Politik, Studi Manajemen Kritis, dan Akuntansi Kritis yang mencoba keluar dari perspektif arus utama studi bisnis, manajemen dan akuntansi, adalah perlu untuk mulai digalakkan. Karena hanya dengan pemahaman obyektif akan bisnis saja kita bisa mengimplementasikan slogan ‘politik adalah panglima’ di ranah ekonomi secara kongkrit, dan karenanya memungkinkan kita untuk menggelar pertempuran kelas di setiap lini operasi bisnis, berkembang secara kekuatan dan volume bisnis, lalu merebut tampuk kekuasaan dan dominasi di sirkuit pasar dan industri, dan akhirnya menyudahi seluruh kegilaan kapitalisme. Harapan saya, di titik ini kita sudah mulai dapat membayangkan trajektori yang menghubungkan ‘bisnis’ dan ‘revolusi’.

 

Penutup

Munculnya KS212 adalah peringatan keras untuk mulai serius memikirkan dan kemudian melakukan hal yang serupa. Tentu saja, refleksi kritis terhadap model dan manuver KS212 adalah mutlak untuk dilakukan. Terkait dengan ini, adalah penting bagi kita untuk memiliki pedoman dalam menakar dan menentukan suatu model bisnis, manajemen dan perencanaan keuangan. Bahkan, menakar suatu praktik sebagai kapitalis atau bukan kapitalis. Minimnya produksi dan pengembangan pengetahuan di seputar bidang ini dari perspektif Marxis, khususnya di Indonesia, membuat kita harus meraba-raba untuk mengevaluasi inisiatif-inisiatif yang secara retoris adalah anti-kapitalis. Soalnya, kalau hanya sekedar mengatakan anti-kapitalis, ABG labil yang baca Marx baru tiga halaman, atau aktivis yang menjadikan aktivisme sebagai proyek-proyek untuk cari untungnya sendiri pun juga tidak mengalami kesulitan mengatakannya keras-keras.

Sebagaimana diskusi yang berkembang di seputar fenomena KS212, beberapa mendukungnya karena ia merepresentasikan dan mengartikulasikan kepentingan rakyat banyak, beberapa lainnya menahan diri untuk memberikan dukungan karena mengantisipasi anasir-anasir ekstrimis yang membayang-bayanginya. Menurut saya, apapun kritik terhadap KS212, satu yang mesti kita pegang: tingkat revolusioner dan progresifnya haruslah diukur dari sejauh mana ia mampu membuka front perlawanan terhadap kapitalisme di sektor bisnis dan tidak mengulanginya di kesehariannya (dan bukan cuma di retorika publiknya). Jika dijabarkan lebih mendetil, hal ini bisa dilakukan dengan melihat kesuksesannya dalam sejauh mana ia mampu 1) mengidentifikasi bias kelas dalam permasalahan ekonomi harian umat; 2) melembagakan prinsip-prinsip non/anti-kapitalis dalam aturan dan prosedur (SOP) yang berlaku di setiap unit usahanya; 3) mengoordinasikan kegiatan ekonomi konstituennya (umat) sedemikian rupa untuk menopang agenda-agenda politiknya; 4) mengatur surplusnya dan mengarahkannya untuk melemahkan kapitalisme sampai titik nol, ketimbang mengulangnya dengan langgam yang berbeda. Selain dari empat ini, saya cukup curiga kritik yang diberikan akan bersifat lebih emosional dan personal, ketimbang obyektif.

Akhirnya, yang terlebih penting dari itu semua adalah bahwa kenyataan KS212 mampu melakukan perumusan strategi bisnis di level nasional dan mengarahkannya untuk menopang gerakan politiknya adalah pertanda keras bagi kita untuk lebih serius lagi dalam mengaplikasikan slogan “politik adalah panglima” di ranah bisnis. Untuk ini, saya cukup yakin kita perlu mulai mendudukkan pebisnis-pebisnis kita di pendulum bisnis di sebelah kiri, mulai merapatkan strategi dan manuver perebutan market share di pasar kapitalis, dan (mengapa tidak) menerjemahkan fardhu kifayah ke dalam langgam-langgam perjuangan revolusioner rakyat melawan kapitalisme. [HYP]

 

Penulis adalah Peneliti di Koperasi Riset Purusha, dan psikoterapis di Minerva Co-Lab

 

———————-

[1] Lihat, misalnya, Daniel Egan, “Toward a Marxist Theory of Labor-Managed Firms: Breaking the Degeneration Thesis,” Review of Radical Political Economics, 22, 4 (1990); Stefano Zamagni & Vera Zamagni, Cooperative Enterprise: Facing the Challenge of Globalization (Edward Elgar Pub., 2010) dan Bruno Jossa, Producer Cooperatives as a New Mode of Production (Routledge, 2014).

[2] Persoalan ini yang lantas menyebabkan lahirnya Studi Manajemen Kritis. Lihat, misalnya, Stefano Harney, “Socialization and the Business School,” Management Learning, 38, 2, 2007; Stephen Dunne, Stefano Harney, Martin Parker & Tony Tinker, “Discussing the Role of the Business School,” Ephemera: Theory & Politics in Organization, 8, 3 (2008); Armin Beverungen, Whither Marx In the Business School? Disertasi Doktoral, School of Management, University of Leicester, 2009.

[3] Kata Marx, seorang kapitalis “keep(s) a set of books. His stock-book contains a catalogue of the useful objects he possesses, of the various operations necessary for their production, and finally of the labour-time that specific quantities of these products have on average cost him” dlm., Capital, vol. 1 (Penguin Classic, 1976), h. 170. Lihat juga karya-karya penulis dari sub-disiplin Akuntansi Kritis, misalnya, R.A. Bryer, “Double-Entry Bookkeeping and the Birth of Capitalism: Accounting for the Commercial Revolution in Medieval Northern Italy,” Critical Perspectives on Accounting, 4, 2 (1992) dan Eve Chiapello, “Accounting and the birth of the notion of capitalism,” Critical Perspectives on Accounting, 18, 3, 2007.

]]>
Fatsun atau Vulgaritas? https://indoprogress.com/2016/12/fatsun-atau-vulgaritas/ Mon, 12 Dec 2016 02:34:17 +0000 https://indoprogress.com/?p=16963 Kredit ilustrasi: http://blog.angsamerah.com/

 

BEBERAPA hari yang lalu, tepatnya tanggal 7 Desember 2016, Bloomberg memuat surat imajiner dari bos Foxconn Terry Gou kepada Presiden AS terpilih, Donald Trump. Di dalam surat tersebut “Terry Gou” mengomentari sesumbar Trump untuk “memaksa Apple” merelokasikan beberapa pabriknya ke AS. Hal ini disampaikan Trump di depan publik awal tahun lalu sewaktu masih menjadi kandidat, dan juga ditekankannya lagi beberapa hari yang lalu, kali ini setelah memenangkan pemilihan umum. Sebagai CEO perusahaan subkontraktor yang mengerjakan ide-ide briliant dan mutakhir dari para pekerja kreatif Apple di Amerika dan yang menjadikan ide-ide tersebut barang yang kongkrit, “Terry” menyatakan “bisa mengatur” supaya keinginan Trump tersebut terwujud. Tentu saja, syarat dan ketentuan berlaku.

Surat itu sengaja ditulis sebagai pesan satir kepada sang presiden terpilih akan betapa menggelikannya ide untuk memindahkan pabrik pembuatan Apple ke Amerika Serikat. Menggelikan, setidaknya dari perspektif dominan mengenai efisiensi produksi di dalam rantai produksi global. Seperti kata “Terry,” “saya tidak mendirikan pabrik di Cina hanya karena lebih murah, namun karena ribuan pemasok ada di sana dalam jarak sekali meludah saja dari pabrik saya.” Bukannya Trump tidak paham logika produksi berantai ini, namun nampaknya ia menggunakan perspektif yang lain. Demikianlah, apabila perspektif bergeser, maka mana yang mungkin dan yang mustahil pun juga bergeser. Namun, kemanapun ia bergeser, pastinya itu membuat Bloomberg dan para pelanggan setianya tertawa.

Namun yang menarik perhatian saya sebenarnya bukan substansi dari surat satir nan sarkas plus imajiner dari “Terry Gou” tersebut, melainkan justru mediumnya—gaya dan langgam bahasanya. Satu kata yang mewakili untuk ini: vulgar. Secara vulgar “Terry” menyombongkan kekuasaannya dengan mengatakan kalau nanti Trump berteleponan dengan Taiwan lagi, pastilah dengan dirinya dan bukan dengan Ibu Presiden. Vulgaritas machois juga diselorohkan “Terry,” “kita memiliki banyak kesamaan, anda dan saya. Kita sama-sama milyuner (walau saya lebih kaya), kita sama-sama menciptakan sesuatu, sama-sama menikahi wanita cantik yang lebih muda dari kita, dan kita sama-sama membenci Wall Street.” Memang, keduanya sama-sama vulgar dan tidak malu-malu menyampaikan isi hatinya di depan publik, tanpa perlu pikir panjang.

 

Fatsun

Nampaknya si penulis memang sengaja mengatur gaya penyampaiannya secara vulgar untuk “mengimbangi” sang presiden terpilih yang juga sama (bahkan lebih) vulgarnya. Mengatakan senator Ted Cruz sebagai “pussy” di depan publik, dan berulang-ulang kali menyebut rivalnya, Hillary Clinton, sebagai “crooked,” adalah sedikit contoh dari keseharian vulgaritas Trump. Contoh lainnya, saat mengomentari kematian Fidel Castro, Trump tidak bergaya kenegarawanan seperti saat Obama melakukannya. Sopan-santun dan hal-hal normatif tentu bukan trademark-nya. Sebaliknya, tanpa tedeng aling ia menyebut Castro sebagai “diktator brutal” yang warisannya adalah “regu penembak mati, pencurian, penderitaan yang tak terbayangkan, kemiskinan dan pelanggaran HAM.”

Vulgaritas publik ini mengingatkan kita pada Hugo Chavez saat berpidato di PBB 2006 yang lalu. Di podium, ia mengatakan “saya mencium bau sulfur di sini. Ada setan datang berbicara di sini kemarin. Di meja tempat saya berdiri ini.” Setan tersebut tidak lain adalah George W. Bush Jr., yang saat itu adalah presiden AS. Vulgaritas demikian juga mencirikan seruan dan komentar mereka-mereka yang berada di luar sorotan publik, aktivis misalnya. Tentu bukan barang langka mendengar aktivis menggilir pejabat dengan nama-nama satwa di kebun binatang. Namun tidak hanya di seruan aktivis, pembicaraan vulgar juga biasanya dilakukan di tempat tertutup, sambil berbisik, atau setidaknya disampaikan sambil berseloroh. Yang pasti, ia tidak dilakukan secara terus terang, tanpa sensor, di depan umum dan dilakukan oleh figur publik. Singkat kata, inilah yang kita kenal dengan fatsun politik, atau sopan-santun/kepatutan politik.

Kini ceritanya menjadi berbeda saat seorang figur publik top seperti presiden terpilih Donald Trump yang merabas fatsun ini, dan dengan tegas melakukannya. Atau lainnya, komentar tervulgar dalam kronik perjuangan kelas Amerika, yaitu dari trilyuner Warren Buffet saat mengatakan mengenai krisis 2008, “Ya baiklah, memang ada pertempuran kelas. Tapi adalah kelas saya, kelas orang kaya, yang membuat peperangan ini, dan kami memenangkannya”—dan itu disampaikannya ke harian publik ternama AS, the New York Times. Tren vulgaritas ini tentu saja bisa ditemukan di banyak tempat lainnya, sehingga saat Trump melakukannya, maka kita yang terbiasa dengan sopan-santun sudah harus memersiapkan diri menerima sopan-santun publik disobek-sobek sambil diiringi tawa menggelegar. Karena itulah yang setidaknya saya rasakan sebagai “warga dunia” yang mana penguasa adidayanya adalah dua orang yang sedang bersurat-suratan ini—Trump, sebagai presiden negara superpower, dan Gou sebagai CEO perusahaan manufaktur elektronik terbesar di dunia.

 

Publikasi Vulgaritas

Saat membaca surat imajiner tersebut, saya mencoba mengais-ngais di mana kira-kira saya diposisikan di dalam pembicaraan mereka. Dua orang besar bertukar bicara, berkelakar, membicarakan hajat hidup saya sebagai sebuah “permainan” belaka—sebuah perlakuan yang kata “Terry” kepada Trump “sudah sama-sama kita tahu.” Dalam surat tersebut bahkan Indonesia disebut secara khusus. “Terry” menceritakan keberhasilannya melemparkan umpan kepada Indonesia sehingga memercayai bahwa Foxconn akan berinvestasi US$ 5-10 milyar di sana. Umpan tersebut ditangkap oleh Mendag Gita Wiryawan saat itu, dan dibanggakannya di depan media. Umpan tersebut adalah trik “Terry” untuk membuat pejabat Indonesia menjadi harus merengek pada Foxconn saat sang CEO memainkan kartunya dengan meminta hal-hal yang mustahil diberikan Indonesia. Pemerintah Indonesia, merasa “harus” menyelamatkan wajahnya di publik, harus memutar otak mencari cara bagaimana supaya Foxconn jadi berinvestasi di sana. Jadi, jika Trump ingin punya bahan untuk dipamerkan ke konstituen melalui akun Twitternya—kontrak investasi multi-milyar dolar misalnya—tinggal sebut saja berapa nominalnya, kata “Terry”. Poinnya tetap sama: semuanya bisa diatur.

Memang benar surat ini imajiner, sehingga belum tentu merefleksikan apa yang benar-benar hendak dikatakan Terry Gou dan bagaimana ia akan mengatakannya. Namun demikian, sekalipun Terry Gou yang sebenarnya tidak sevulgar ini, tapi tetap saja kenyataan bahwa ada termuat surat seperti ini di media publik internasional sekelas Bloomberg menandakan bahwa vulgaritas sedang ngetren. Dan kenyataan bahwa Bloomberg bisa menerka-nerka kira-kira seperti apa Terry Gou akan menjawab, dan bahwa terkaan tersebut merupa dalam sebuah vulgaritas, tentu membuat kita harus menyeriusi tren vulgaritas ini dalam mengubah wajah perpolitikan dunia, yang dampaknya juga sampai ke tanah air. Menyimpang sedikit dari topik, bisa jadi vulgaritas Ahok juga turut mengikuti tren ini, sehingga mengatakan secara publik akan membunuh 2000 orang “di depan anda” apabila membahayakan 10 juta orang yang dipihakinya menjadi “wajar.” Kembali lagi ke Terry dan Trump.

Satu hal yang melatar-belakangi tren vulgaritas ini tidak lain adalah maraknya sopan-santun dan kepatutan politik di pelataran publik. Tumpah ruah dan ritual fatsun politik yang sarat dengan kemunafikan, tentunya membuat banyak orang muak. Terutama mereka yang berjumpa langsung dengan realitas yang coba dihaluskan dan disamarkan melalui fatsun tersebut. Suplai fatsun yang semakin berlebih dan semakin mubazir dengan sendirinya menciptakan prakondisi yang mana permintaan akan keterus-terangan semakin meningkat. Dan, dengan sendirinya, memberi jalan politik bagi mereka-mereka yang mampu berterus-terang di depan publik, dan mengudar kebohongan-kebohongan publik penguasa terdahulu. (Kemampuan ini, tentu saja, bias kelas; menjunjung tinggi integritas, umumnya, adalah privilese mereka yang sudah aman perut dan masa depannya).

Sebelum membicarakan vulgaritas, kita mesti jelas dahulu apa “dosa-dosa” fatsun politik. Fatsun politik sebenarnya, di realitanya, adalah manuver bahasa. Intinya adalah bagaimana menyamarkan kenyataan yang tidak berterima di pelataran publik, kemudian membungkusnya dengan idiom dan langgam yang tidak membuat publik berjengit. Kiasan dan eufimisme adalah teknik-teknik yang sering dipakai, misalnya, menyamarkan antagonisme kelas yang tersirat dalam kata “buruh” dengan kata “pekerja.” Lainnya, “pembantu” dengan “asisten rumah tangga.” Atau “kerja serabutan yang tidak menentu” sebagai “ekonomi berbagi” (sharing economy), dst. AS pun melakukan ini, menyamarkan “teroris” dengan “unlawful combatant,” misalnya. Itulah fungsi fatsun politik: menyamarkan realitas yang berkebalikan dengan retorika yang disampaikan, menetralisirnya, dan meredam kegaduhan yang bisa disebabkannya saat ia muncul di, misalnya, ruang gala dinner pejabat dengan pengusaha.

Dalam perkembangan politik belakangan ini, dengan semakin parahnya keadaan yang coba disamarkan kepatutan politik ini, tentu saja cadar fatsun politik menjadi semakin tidak dapat dipertahankan. Kiprah Wikileaks tentu saja turut andil dalam mengacak-acak kerapian tata krama politik tersebut. Alhasil, keterus-terangan dan kemuakkan bersintesa dalam wujud vulgaritas. Tapi pertanyaannya kemudian, apakah vulgaritas ini lantas mengubah keadaan bobrok yang dipelihara dan ditututup-tutupi oleh fatsun politik?—pertanyaan ini terlalu ambisius saya kira. Saya kecilkan sedikit debit ambisinya: apakah vulgarisme ini lantas tidak mengulangi penyamaran realitas sebagaimana yang dilakukan oleh fatsunisme politik? Saya cukup pesimis untuk hal ini.

Memang, vulgaritas adalah kejujuran yang tidak bisa dibendung oleh kemunafikan talkshop pejabat yang menjunjung tinggi kepatutan politik. Memang, vulgaritas adalah kenyataan yang selalu ditutupi oleh eufimisme fatsun liberal. Ia juga adalah keterusterangan yang selalu dipelintir dalam retorika sopan-santun borjuasi. Namun mengumbar vulgaritas tepat setelah rezim kepatutan politik dilengserkan justru menandakan bahwa vulgarisme ini akan meneruskan penyamaran realitas yang tadinya ditutup-tutupi oleh kenegarawanan liberal. Vulgaritas pasca-fatsun liberal tidak lebih dari sekedar olok-olok reaksioner untuk menutupi kenyataan ketidak-tahuannya akan program alternatif yang jelas.Vulgaritas pasca-fatsun liberal tidak akan mengubah kondisi apapun.

Mengapa demikian? Bayangkan anda adalah buruh Foxconn yang “diperlakukan lebih parah dari mesin” dan anda membaca surat “Terry Gou” ini. Tentu saja anda akan merasa seperti sebutir debu di semesta raya. Persis seperti almarhum saudara saya yang sempat mendengar bagaimana ia diperbincangkan sebagai “barang rusak” oleh para dokter di kamar operasi, setelah beberapa jam sebelumnya ia dihibur dengan kata-kata manis dari dokter yang sama. Adalah perasaan tak berdaya yang kita dapatkan saat dihadapkan dengan vulgaritas. Seketika kita menjadi sadar, bahwa mengetahui kebenaran yang ditutup-tutupi ternyata tetap tidak akan mengubah nasib hidup kita. Seketika kita harus menerima nasib untuk selalu hidup dalam jangkauan ludah Terry Gou.

Tapi satu hal harus saya luruskan, kita sebenar-benarnya telah selalu mengetahui bahwa kondisi yang kita alami seakan mustahil untuk diubah. Eufimisme dan fatsun liberal sebenarnya adalah pembenaran bagi kita untuk pura-pura tidak mengetahui ini, atau bahkan menyangkalnya. Kita membutuhkan fantasi palsu (yang kita tahu memang palsu) dari mereka untuk menenangkan kita. Fantasi bahwa kita hidup di era demokratis, sehingga kita merasa punya peluang untuk “melawan”; fantasi bahwa seolah-olah kita bisa berbicara secara setara dengan pengusaha, sehingga kita merasa dihargai dan diwongke. Seolah-olah kita yakin dengan terus mendesak pemerintah, lantas para penguasa akan berada di pihak kita untuk melawan kapitalisme. Seolah-olah kita yakin dengan menghardik pengusaha, lantas mereka bergidik dan membagikan kue-kue yang mereka simpan di lemari makan mewah mereka.

Tentu saja kita tahu bahwa itu semua tidak akan terjadi. Tapi tetap saja, “setidaknya kita melakukan sesuatu,” sebagaimana ungkapan populer. Ungkapan ini sekaligus menandakan bahwa sesungguhnya kita tidaklah benar-benar tahu apa yang harus dilakukan. Dan vulgaritas pasca-fatsoen adalah yang mengeksplisitkan apa yang selama ini disembunyikan oleh sopan-santun liberal, yang ironisnya selama ini kita tahu: yaitu tidak akan pernah ada alternatif dari penguasa dan pengusaha! Terlebih dari itu, kejayaan fatsun liberal adalah penanda dan sekaligus berhutang pada kegagapan kaum progresif dalam merumuskan alternatif.

Tepat di sinilah Trump dan kaum vulgaris lainnya memanfaatkan momen. Seraya mewakili kebenaran dan keterusterangan, mereka memandu manusia-manusia yang kebingungan ini dan memberikan arahan yang seolah “jelas.” Lihat bagaimana Trump menyapa pendukung Bernie Sanders yang bisa dibilang progresif itu, “untuk seluruh pemilih Bernie Sander yang sudah ditinggalkan begitu saja oleh sistem pendelegasian partainya, kami menyambut anda semua dengan tangan terbuka.” Namun ketimbang jalan untuk keluar dari sistem yang eksploitatif ini, ia justru mengantarkan kita kembali ke pabrik-pabrik tempat kita dieksploitasi kembali—hanya saja kali ini oleh manajemen yang berbeda. Jika sebelumnya oleh rezim profit, kali ini atas nama ‘Kembalinya Kejayaan Amerika’ (MAGA—Make America Great Again—adalah semboyan kampanye Trump), atau atas nama kebangsaan, atas nama pembangunan, dst. Vulgaritas kembali mengaburkan eksploitasi, pertama-tama dengan mengambinghitamkan fatsun politik (dan menjadikannya false enemy), dan kedua dengan memfantasikan kapitalisme tanpa eksploitasi. Umpan pertama dimakan para progresifis yang muak dengan kemunafikan penguasa, sementara umpan kedua dimakan para kelas menengah liberal naïf. Dan jadilah Trump presiden Amerika.

 

Alternatif

Bagi kaum progresif yang tetap berkomitmen di jalur transformasi sosial, maka apabila dalam rezim sopan-santun liberal perlawanan tampak tidak mungkin (karena musuhnya terkaburkan imaji-imaji dermawan), kini di dalam vulgarisme justru perlawanan menjadi hal yang memfrustrasikan. Pasalnya, kita berjumpa dengan kemustahilan yang sama dengan sebelumnya. Malahan, kali ini, kita harus terang-terangan menerima bahwa kenyataan bahwa kita adalah selalu dalam jarak ludahan Terry Gou menjadi terpublikasikan secara terang-terangan.

Namun demikian, vulgarisme pasca-fatsun liberal ini bisa jadi hal positif kalau kita menggeser perspektif kita. Bukankah dengan rontoknya justifikasi bagi kita untuk pura-pura tidak tahu (bahwa kita tahu perjuangan kita adalah tanpa arah) membuat kita tidak lagi memiliki alasan untuk terus menunda membicarakan suatu alternatif yang benar-benar sistemik dan programatik? Bukankah dengan diculaskannya kemunafikan pemerintah dan pengusaha oleh vulgarisme politik membuat kita tidak lagi memiliki alasan untuk bermalas-malasan memikirkan strategi alternatif yang tanpa mengharapkan belas kasihan penguasa, sedekah pengusaha, dan sokongan donor? Semoga saja surat Terry Gou ini menampar dan menyentakkan kita untuk sadar dan mulai memikirkan suatu keadaan baru yang mana kita tidak perlu terus diludahi seperti sekarang ini. Soalnya, berterima kasih kepada vulgarisme politik hari ini, kini semua orang bisa melihat jelas bagaimana hidup kita adalah selalu berputar-putar dalam jangkauan ludah mereka yang mengeksploitasi kita.***

 

Penulis adalah peneliti di Koperasi Riset Purusha, dan psikoterapis di Minerva Co-Lab

]]>
Tentang Jam Tidur, Jam Begadang, dan Malam Mingguan Para Borjuis Mini https://indoprogress.com/2016/07/tentang-jam-tidur-jam-begadang-dan-malam-mingguan-para-borjuis-mini/ Thu, 07 Jul 2016 14:05:10 +0000 https://indoprogress.com/?p=16092 APAKAH “BEGADANG”? Apakah “malam mingguan”? Apakah keduanya semata-mata aktivitas remeh? Tulisan singkat ini mengajak Anda untuk menggelengkan kepala untuk pertanyaan ini. Bahkan, akan ditunjukkan di sini bahwa melalui problematisasi dua istilah yang relatif “gak penting” ini, konsep-konsep “penting” lainnya, yang telah diterima begitu saja, perlu dipertanyakan.

Ada dua poin yang saya janjikan melalui tulisan ini: pertama, bahwa begadang dan malam-mingguan harus dilihat sebagai manifestasi ideologi kapitalisme kontemporer alias pasca-Fordis; dan kedua, bahwa kedua istilah ini erat kaitannya dengan, terutama, konsep jam kerja dan kerja itu sendiri. Satu penafian: tulisan ini akan membahas yang-pada-umumnya saja karena memang tujuannya adalah mengintervensi wacana di tingkatan generalitas, di tingkat yang-pada-umumnya.

Pengecualian-pengecualian spesifik, akhirnya, tetap butuh riset yang lebih spesifik. (Namun demikian, sayangnya totalitas ideologi kapitalisme kontemporer/pasca-Fordis akan membuat pengecualian-pengecualian ini menjadi tidak begitu penting, karena ia ternyata adalah negativitas yang by default disediakan oleh kapitalisme itu sendiri. Poin ini akan dibahas di kesempatan lainnya).

 

“Kalo begadang tuh pas malem-mingguan aja. Sering-sering gak baik, bisa sakit.”

Ungkapan di atas adalah pesan singkat yang saya dapat dari seorang kawan saya saat tahu bahwa saya masih terjaga di sekitaran pukul tiga pagi, ketika pada umumnya orang sedang terlelap, tidur, mengisi ulang tenaga agar keesokan harinya bisa segar dalam bekerja atau mendulang pencaharian,… dan begitu seterusnya, berulang-ulang. Sampai tiba hari jumat: TGIF—thank God it’s Friday, kata orang-orang ini. Artinya, malam minggu telah tiba. Saatnya berhenti bekerja dan mulai bersenang-senang, hura-hura, rekreasi, menghilangkan kepenatan. Dan begitu pula seterusnya. Seolah-olah segalanya tampak normal; begitu pula ungkapan pesan singkat di atas.

Terkait pesan singkat yang menjadi subjudul di atas, saya akan menunjukkan dimensi ideologis yang terkandung di dalamnya. Hal ini tidak lantas membuat saya meragukan apalagi menafikan ketulusan yang terkandung dalam ungkapan tersebut. Sama sekali tidak! Justru ketulusan yang memotivasi ungkapan ini semakin menambah bobot mendesaknya analisis kritis ideologis atas ungkapan tersebut. Ugly truth-nya yang akan nampak apabila analisis tersebut berhasil adalah: bahwa ideologi dan kepentingan ideologis bahkan menunggangi ketulusan dan kebaikan-hati orang! Simpati terhadap ketulusan dan kebaikan-hati, dengan demikian, tidak seharusnya lantas membuat naluri analisis kritis menjadi tumpul. Malahan, analisis kritis adalah ungkapan terima kasih sekaligus balasan setimpal (dalam artian positif) bagi ungkapan ketulusan hati tersebut.

Maka, inilah ungkapan terima kasih saya.

‘Begadang’ adalah suatu istilah yang secara khas menunjuk pada kelas sosial tertentu, kondisi masyarakat tertentu yang menjadi latar belakang keberadaan kelas tersebut, dan bahkan ideologi yang menyelimuti masyarakat tersebut. Begadang mengasumsikan suatu jam tidur/istirahat (malam) yang tetap, yang saat “dilanggar”, tragedi “pelanggaran” itu disebut begadang. Jam tidur yang tetap tersebut adalah sekitar pukul 10 malam sampai 5 pagi. Dimensi ideologis dan kelas sosial segera terlihat dari jam tidur ini; istilah ini dimungkinkan untuk muncul pada, dan hanya pada, masyarakat yang terselimuti oleh ideologi kapitalistik. Dengan kata lain, istilah begadang ini berlaku untuk kelas yang sering disebut sebagai kelas menengah, atau yang akan saya sebut di sini sebagai “borjuis mini”—meminjam istilah Geger Riyanto yang lebih menggemaskan.

(Sederhananya, kelas borjuis mini berbeda dengan kelas borjuis gemuk dalam hal kepemilikan, akses, dan otonomi terhadap modal. Seperti namanya, borjuis mini memiliki modal yang hanya sedikit, sementara borjuis gemuk, banyak; borjuis mini memiliki akses yang relatif lebih sempit dan sesak dibanding borjuis gemuk; dan akhirnya borjuis mini tidak cukup memiliki otonomi untuk dengan leluasa mengalokasikan modal-modalnya [tenaga, uang, pengetahuan, keahlian, dst.] dibandingkan borjuis gemuk yang relatif seenak-jidatnya sendiri.. Definisi kelas seperti inilah yang melalui artikel ini menjadi berpotensi untuk dipertanyakan dengan keras relevansi dan validitasnya. Oleh karena itu, untuk sementara pendefinisian mini dan gendutnya borjuis ini sengaja dibiarkan tidak begitu presisi. Pembedaan besar-kecil hanya semata-mata untuk kepentingan pembeda sementara).

Mengapa borjuis mini? Karena hanya borjuis mini yang tidur pada jam-jam ini dan pada hari yang bukan hari malam Minggu (biasanya antara Jumat dan Sabtu malam). Mengapa demikian? Karena keesokan harinya mereka harus melakukan aktivitas (atau ritual?) sosial yang disebut “kerja”. Pukul 9 pagi, umumnya. Maka, perhitungannya bisa seperti berikut. Semenjak narasi medis yang berlaku hari-hari ini mengatakan bahwa jumlah jam tidur malam “yang baik” untuk orang dewasa (18 tahun ke atas) adalah 6 sampai 8 jam sehari maka jam aman untuk mulai beristirahat adalah pukul 9-11 malam. Hitungannya, orang butuh 6-8 jam waktu tidur sehingga paling lambat pada pukul 7 pagi mereka bisa (konon) bangun dengan kondisi badan segar. Apabila waktu untuk mandi, bersolek, dan sarapan butuh sekitar satu jam, dan perjalanan ke tempat kerja butuh juga sekitar satu jam, maka tepatlah paling lambat pukul 7 waktu mereka untuk bangun pagi. Ditambah dua jam, maka pukul 9 diperkirakan mereka sampai di tempat kerja. Jam sekolah/kuliah umumnya juga menggunakan perhitungan yang sama, atau bahkan lebih dimajukan (jam tidur pukul 9, karena pukul 7 pagi sudah harus ada di sekolah). Jadi, akan sulit ditemukan ada jam sekolah/kuliah yang dimulai dari pukul 4 pagi, misalkan. (Untuk sementara, pembedaan kerja dan kuliah akan diasumsikan demikian. Tapi nanti akan ditunjukkan bahwa keduanya menjadi tidak bisa dibedakan.)

Dari paragraf di atas terlihat jelas pengasumsian bagi definisi dua istilah: jam kerja dan kerja itu sendiri. Jam kerja adalah waktu (baik durasi maupun waktu presisi) bagi orang untuk bekerja, yang kemudian diartikan sebagai aktivitas untuk berproduksi atau, sederhananya, mencari nafkah dan/atau peng-hidup-an. Lalu di mana aspek ideologisnya? Kekhasan masyarakat kapitalistik tradisional adalah bahwa terdapat pola umum atas pembagian jam kerja dan jam non-kerja (rekreasi, senggang, santai, dan… malam-mingguan; singkatnya jam ketika orang “get a life!”—saya mengusut istilah ini pada artikel ini). Pola umum ini, karena dilakukan terus-menerus tanpa dipertanyakan, maka memperoleh status “normal”. Pengorganisasian jam tidur (dan jam hidup) ini akhirnya juga menjadi (ter)normal(kan), sedemikian rupa sehingga orang-orang yang melanggarnya dianggap aneh/sakit. Jelas di sini, pengorganisasian jam tidur dan jam kerja, erat kaitannya dengan pengorganisasian (jam) hidup itu sendiri.

Di sinilah dimensi aneh, tidak normal, tidak lazim, patologis, dst., dari begadang terlihat. Begadang menjadi sesuatu yang tidak sepantasnya dilakukan. Alasannya rasional, setidaknya terlihat rasional dalam logika yang dinarasikan di atas: jika seseorang begadang, maka jam hidupnya akan terganggu karena jam kerjanya terganggu dan dengan demikian kesehatannya (ingat narasi “normal” di atas) akan terganggu pula karena ia tidak mendapat waktu tidur yang cukup—lagi-lagi cukup dalam logika kesehatan di atas. Keprihatinan kawan saya di atas, yaitu supaya saya tidak sakit karena sering begadang, dapat dimengerti di sini. Logis! Namun, kondisi logis ini hanya dimungkinkan apabila diasumsikan adanya jam kerja tertentu, jam tidur pada kala dan durasi tertentu; singkatnya, pada pengorganisasian hidup tertentu… yaitu tentunya pada masa dan masyarakat kapitalis kontemporer/pasca-Fordis.

Titik tekan di sini adalah pengorganisasi jam tidur-kerja-hidup, bukan kapan pastinya hitungan jam tersebut dimulai. Ini penting untuk memahami pola hidup yang nampaknya berbeda, namun sebenarnya tetap sama, hanya saja dalam kondisi yang berkebalikan; misalnya, mereka-mereka yang bekerja pada malam hari: satpam, supir, bartender, dan pekerja seks komersial. Mereka tetap saja menganut pengorganisasian hidup kapitalis, bedanya waktunya saja yang digeser: saat orang pada umumnya bangun tidur pukul 7, mereka ini justru baru mulai tidur. Jadi, tetap saja, mereka-mereka ini sah disebut borjuis mini. Sedikit menambahkan, itulah mengapa seringkali pekerjaan-pekerjaan ini disebut “tidak normal”, yaitu karena jam kerjanya tidak seperti pada umumnya—pukul 9-5 alias nine-to-five.

Sekadar mengontraskan: mereka yang tidak menganut pengorganisasian hidup seperti ini tentu tidak memiliki jam tidur yang sama. Hal itu bisa dilihat dari, misalnya, pengemis, gelandangan dan anak-anak terlantar (yang konon dipelihara negara). Mereka tidak memiliki jam kerja yang tetap. Bahkan, mereka tidak memiliki konsep kerja yang jelas pula. Apapun definisi kelas mereka, yang pasti mereka bukan borjuis mini. Lainnya, borjuis gemuk, misalnya CEO, komisaris, direktur, bos, GM, dst, sering kali tidak terikat jam kerja (dan tempat kerja) yang tetap. Mereka bisa datang dan keluar kantor sewaktu-waktu; juga bekerja sewaktu-waktu. Pola kerja seperti ini hanya dimungkinkan apabila seseorang mempunyai tingkat kepemilikan, akses, dan otonomi yang relatif tinggi pada modal tentunya. (Ya saya sadar, beberapa memang akan menagih pertanggungjawaban saya akan ungkapan “otonomi yang relatif tinggi pada kapital”. Benar, secara sistemik, ini bisa dipertanyakan, tapi tidak untuk keseharian yang kasat mata, performatif, dan immediate!)

Selanjutnya, ‘malam mingguan’ adalah waktu ketika orang berhenti bekerja dan beristirahat. Setelah lelah dan penat bekerja sampai hari Jumat, tepatnya selepas jam kerja—biasanya pukul 5 sore, maka tiba saatnya orang untuk melakukan “non-kerja”. Untuk mengisi waktu non-kerja ini, biasanya orang berekreasi, tamasya, dugem, main, dst., dan yang pasti bukan bekerja! Akibatnya, saat ada orang bekerja di saat-saat yang, dari sudut pandang pengorganisasian jam hidup kapitalistik, seharusnya saatnya non-kerja, maka ia akan mendapat teguran: “Sabtu-sabtu kok masuk kantor?” “Malem mingguan kok kerja?” dst. Teguran ini, sama seperti ungkapan di atas, tidak sebaiknya diragukan ketulusannya. Teguran ini adalah reaksi spontan atas suatu hal yang tidak “normal”.

Saya pribadi pernah mengalaminya. Saat sedang berkumpul dengan beberapa kawan di sebuah bar, mendengar musik ajoji, tiba-tiba seseorang perempuan datang mengenakan pakaian yang, menurut saya dan kawan-kawan saya, unik. Sontak kami mengomentarinya. Berniat iseng, saya mengomentarinya dengan sedikit bernada “akademis”. “Jadi, kalau menurut psikoanalisis Lacan, cewek itu sebenernya sedang ingin memerangkap tatapan (gaze) orang sembari dia juga terperangkap jejaring gaze itu sendiri….” Belum sempat saya menyelesaikan analisis iseng saya, seorang kawan menghardik, “Ayolah, bro! Ini bukan di kampus. Jangan ngomong berat-beratlah. Malem minggu ini, man. Get a life!

Jelas dalam hardikan tersebut, kawan saya melihat saya sedang tidak santai alias tidak menunaikan non-kerja saat mengomentari perempuan berpakaian unik tadi. Semenjak saya bekerja di kampus, dan pekerjaan saya erat kaitannya dengan akademika, maka saat saya menganalisis perempuan tadi, hal itu diasosiasikan dengan kerja. Dan karena saat itu adalah hari Jumat malam—bukan jam kerja—maka saya dianggapnya “melanggar” pengorganisasian hidup yang “normal”.

Sekali lagi, di sini terlihat jelas bahwa sedari mula, istilah “malam minggu” dan “malam mingguan” adalah istilah yang sangat ideologis. Ia mengasumsikan pengorganisasian hari kerja tertentu, jam kerja tertentu, dan bentuk aktivitas bernama “kerja” yang juga tertentu… yang tentunya adalah kapitalistik. Istilah “malam minggu”, yang tepatnya jatuh pada hari Jumat Malam dan Sabtu, tidak akan mungkin ada jika tidak disepakati secara umum, normal, dan lazim bahwa hari kerja hanyalah hari Senin sampai Jumat (pukul 5 sore). Konsepsi malam mingguan sebagai waktu bersenang-senang, rileks, dan waktu keluarga, tentu juga tidak akan mungkin jika tidak disepakati bahwa kesemuanya itu tidak akan didapat saat bekerja. Pembedaan kerja dan non-kerja tertentu harus disepakati lebih dahulu supaya konsepsi malam minggu dan kata kerja malam mingguan bisa dimungkinkan maknanya seperti yang sedang berlaku saat ini.

Pembedaan kerja dan non-kerja ini umumnya akan berbuntut pada penisbatan konsep kesenangan: kerja tidak menyenangkan, non-kerja menyenangkan. Di sini bisa dipahami, misalnya, istilah lembur dan konotasi penderitaan yang tidak menyenangkan yang terkandung dalamnya. Begitu pula dalam ungkapan-ungkapan populer seperti “TGIF—Thank God It’s Friday” atau lainnya, “I hate Monday!”, di mana artinya Jumat sore dianggap sebagai saat dimulainya bersenang-senang, sementara Senin diangap sebagai saat diawalinya penderitaan seminggu.

Lagi-lagi, ini hanya berlaku bagi borjuis mini. Orang-orang miskin, gelandangan, dan anak terlantar (yang konon katanya dipelihara negara), tentu tidak mengenal waktu malam mingguan. Yang mereka lakukan ya itu-itu saja: mengemis, mengais-ngais makanan sisa, berkeliaran nggak jelas, dst., yang bahkan tidak jelas juga apakah itu sah atau tidak untuk coba dikategorisasikan di antara konsep “kerja” dan “non-kerja”. Demikian pula bagi para borjuis gemuk. Semenjak waktu yang longgar dan bisa diatur sendiri, maka bagi mereka, hari apapun bisa disulap menjadi “malam minggu”.

 

Sebelum berhenti.

Semisal saya berhenti di sini, pertanyaan-pertanyaan susulan pasti segera mencegat: lalu, kedua kelompok orang tadi—orang miskin dan borjuis gemuk—masuk dalam kategori pengorganisasian hidup seperti apa? Lalu bagaimana dengan mereka-mereka yang bekerja di rumah, tidak punya kantor tetap alias kerja serabutan tapi juga tidak bisa disebut borjuis gendut? Bukankah mereka juga bisa sewaktu-waktu menjadikan “setiap hari sebagai hari minggu” seperti kata kaus oblong di Bali yang populer itu? Pertanyaan-pertanyaan ini memang tidak terbahas di sini, dan akan dijadikan tugas untuk tulisan lainnya. Dan memang benar, kasus yang dibahas di sini lebih cocok untuk mereka-mereka yang tergolong sebagai “pekerja rutin”, yaitu pekerja yang punya rutinitas harian.[1] Hal itu tidak berlaku untuk para, misalnya, pekerja serabutan. Namun, sebenarnya tujuan utama tulisan ini bukan menunjukkan dinamika dan kerasnya drama hidup borjuis mini di dunia kerja. Tujuan terselubung tulisan ini sebenarnya adalah untuk mengajak kita semua mempertanyakan ulang konseptualisasi, segregasi, segmentasi, dan stratifikasi “kelas” itu sendiri dalam kapitalisme kontemporer/pasca-Fordis hari ini.

Nah, pertanyaan-pertanyaan terakhir ini tentunya tidak akan muncul apabila kita masih tetap melihat kelas secara kaku dan tidak berusaha membuatnya relevan dengan perkembangan kontemporer. Definisi kelas yang dipakai puluhan bahkan ratusan tahu lalu tentu tidak bisa begitu saja dipakai di sini. Soalnya dunia sudah bermutasi sedemikian rupa sehingga hal-hal yang menjadi basis peng-kelas-an ini menjadi bergeser pula: dua terutama yang sudah dibahas di sini adalah jam kerja dan jam non-kerja atau jam hidup. Tulisan ini baru membahas satu aspek, dan masih pada tingkat tubuh individu pekerja. Masih banyak hal lain yang belum, seperti misalnya yang terjadi di pabrik (dalam artian seluas-luasnya, yaitu sebagai tempat berlangsungnya proses produksi): manajemen kerja, manajemen produksi, manajemen pekerja, struktur organisasi, sistem pencatatan keuangan (akuntansi), sistem permesinan dan teknologi, sistem pengukuran/penilaian, dst.

Bagaimanapun, upaya memperbarui dan merelevankan ini bukan lantas berarti meninggalkan konsepsi lama. Buktinya, sedari tadi saya selalu kekeuh untuk menggunakan konsep “kelas” di tengah tren lain di luar sana yang mengatakan betapa konsep ini tidak lagi relevan. Untuk itulah di sini kata “kontemporer” tidak bisa dikatakan seenak jidat seperti obat kumur. Karena di sinilah kata “kontemporer” mendapatkan momen metodologisnya: sebagai upaya untuk menjelaskan keterhubungan lintas ruang dan waktu akan satu hal, yaitu sebagai yang pernah hadir di suatu titik ruang dan waktu yang spesifik di masa lalu sekaligus sebagai yang kini hadir secara spesifik di ruang dan waktu yang sekarang ini; karenanya, ko(n)-temporer. Keterhubungan yang sekarang dan yang dulu dalam satu titik inilah yang hendak mati-matian dijaga melalui terma “kontemporer”. Tanpa memperhatikan aspek kontemporalitas ini, kita akan menjadi nostalgik-romantik atau lainnya menjadi buta sejarah.

Demikianlah bagaimana ungkapan “memahami kontemporalitas kelas” bermakna sebagai usaha untuk memahami keterjalinan antara “apa yang pernah dulu ada”, “apa yang kini ada”, dan satu lagi, “apa yang terus ada sampai masa kini”. Tiga dimensi ini menunjukkan berturut-turut: partikularitas, spesifisitas, dan singularitas. Ada yang hilang!—mana universalitas kalau begitu? Universalitas tidak lain dan tidak bukan berada dalam kenyataan peristiwa kehadiran suatu ikhwal di momen yang sekarang (the now), yang merupakan muara pertemuan (konvergensi) partikularitas, spesifisitas, dan singularitasnya. Dan konsep “kontemporer” adalah salah satu (atau satu-satunya?) cara untuk sampai ke yang sekarang tersebut. Dengan penjelasan ini, maka harapannya makin tercapai pula tujuan selundupan saya lainnya, yaitu untuk mengedepankan cara tertentu dalam melihat “kelas”, yaitu secara kontemporer.

Namun, setidaknya janji saya di awal tentang tujuan tulisan ini sudah terpenuhi, yaitu untuk menunjukkan betapa istilah “begadang” dan “malam minggu” adalah manifestasi ideologis pengorganisasian hidup khas kapitalisme kontemporer/pasca-Fordis par excellence!


[1] “Pekerja rutin” sengaja dipilih untuk menghindari “pekerja tetap” yang lebih menekankan pada status legalnya. Poin pembahasan mengenai bentuk kerja di sini adalah pekerja yang memiliki rutinitas, dan terutama yang terstruktur di seputar jam kerja nine-to-five.


Hizkia Yosie Polimpung

Peneliti dan penulis; sedang melakukan penelitian mengenai “Drama Kehidupan Pekerja Imaterial di Era Feminisasi Ekonomi” di Unit Noctua Co-Studio: Artisan, DIY & Literati, di Koperasi Riset Purusha.

 

]]>
“Koperasi yang Politis”—Sebuah Pleonasme Yang Perlu https://indoprogress.com/2015/11/koperasi-yang-politis-sebuah-pleonasme-yang-perlu/ Fri, 20 Nov 2015 02:51:35 +0000 https://indoprogress.com/?p=14996 Tanggapan untuk Dodi Faedlulloh

BEBERAPA upaya di kalangan gerakan untuk kembali menjajal koperasi sebagai bentuk pengorganisasian sudah mulai marak bermunculan. Dikatakan ‘kembali menjajal’ karena sebenarnya memang koperasi selama ini sudah terlebih dahulu dianggap “sokoguru ekonomi Indonesia”—entah apakah ada makna dalam ungkapan ini atau tidak. Setidaknya, demikianlah yang jadi objek hapalan kita selama duduk di bangku SD sampai SMA, bahkan universitas. Namun demikian, sebagaimana yang juga diulas oleh Dodi Faedlulloh di harian ini, koperasi hanyalah avatar alias penjelmaan dari ekonomi negara maupun ekonomi kapitalis di negeri ini. Sebagai avatar ekonomi negara, koperasi hanyalah dilihat sebagai varian dari bentuk perusahaan yang didorong oleh negara—dengan tujuan-tujuan yang selalu telah dikoridorkan oleh pemerintah. Sementara sebagai avatar ekonomi kapitalis, koperasi hanya menjadi salah satu bentuk usaha untuk mengakumulasi modal perseorangan atau kelompok. Pola lainnya sebagai avatar ekonomi kapitalis, koperasi menjadi alat untuk membuat kelompok-kelompok yang tertinggal menjadi mampu untuk mengejar ketertinggalan mereka untuk bergabung dalam riuhnya persaingan di pasar bebas. Kesamaan dari ketiganya jelas: ekonomi pasar kapitalis tetap menjadi background yang tidak dipermasalahkan. Bahkan, khusus untuk bentuk ketiga, koperasi malah menjadi perantara untuk menghantarkan ke arena pasar bebas yang, setelah itu, perantara tersebut memudar, menjadi tidak terbedakan dengan entitas-entitas ekonomi kapitalis lainnya.

Upaya pengarusutamaan koperasi sebagai ihwal politis yang disampaikan Dodi Faedlulloh, saya kira, adalah upaya yang teramat penting dalam rangka mengevakuasi koperasi dari portofolio ekonomi negara dan kapitalis. Dengan tetap membawa semangat yang sama dengan Dodi, tulisan ini ingin memberi beberapa catatan kritis. Tujuannya bukan untuk mendiskualifikasi poin-poin argumen beliau, namun justru untuk membawa argumen tersebut ke implikasi-implikasi yang lebih jauh. Setidaknya ada tiga poin:

 

1. Tentang kehadiran negara dalam koperasi.

Dodi melihat negara serba hadir dengan menunjukkan pada kenyataan turut campurnya negara dalam pembentukan, pendorongan, pengarahan, pengaturan dan bahkan pengoordinasiannya secara nasional, misalnya, dengan Dekopin. Namun apabila dipertimbangkan lagi lebih jauh, anggapan ini sebenarnya justru mengafirmasi suatu asumsi yang amat spesifik dan partikular mengenai ‘kehadiran negara’. Negara dianggap hadir pada saat ia mengerahkan aparatus dan aparaturnya, baik orang, regulasi maupun institusinya dalam dinamika perkoperasian. Angapan ini, sayangnya, hanya melihat ‘kehadiran’ sebagai suatu tindakan aktif. Pula anggapan ini mengidealkan kondisi yang mana absensi negara adalah suatu kondisi positif bagi koperasi; sementara kehadiran negara dianggap sesuatu yang negatif. “Fobia negara,” adalah istilah Foucault untuk anggapan-anggapan seperti ini yang, nyatanya, adalah berasal dari keluarga liberalisme, baik yang konservatif maupun yang anarkis sekalipun. Negara dianggap mengganggu keharmonisan spontanitas dari kolektivitas di dalam koperasi. Efek sampingnya bagi gerakan koperasi, kita akan selalu punya excuse ampuh saat koperasi gagal: ‘habis negara ikut campur sih!’

Yang menjadi terlewatkan dari anggapan demikian ada beberapa. Pertama, yaitu suatu kenyataan bahwa sebenarnya negara telah selalu hadir, sekalipun secara kongkrit ia pasif dan cuci tangan dari perkoperasian. Akibatnya, kedua, anggapan ini tidak bisa melihat pasivitas negara justru sebagai sebentuk kehadiran tersendiri, sebentuk intervensi aktif par excellence. Pasivitas bisa dilihat sebagai suatu aktif-itas apabila kita melihatnya sebagai sebentuk pembiaran dan pengabaian: dibiarkan mati, dibiarkan menderita, dibiarkan terhanyut dalam ‘ganasnya’ kompetisi di pasar bebas, sedemikian rupa sampai koperasi akhirnya mengakui bahwa hanya dengan negara lah ia bisa maju dan hidup. Dengan kata lain, kita beresiko untuk mengabaikan bentuk kehadiran yang seolah pasif, namun sebenarnya sangat aktif dari kejauhan.

Memahami aktivitas dari kejauhan ini tidak sukar. Dengan memberi ruang, tempat dan dukungan (regulasi, moril, simpati) pada sistem dan mentalitas pasar bebas kapitalistik, negara telah secara pasif hadir dalam perkoperasian. Bagaimana demikian? Untuk ini, kita harus melihat kekinian atau kontemporalitas dari kapitalisme, terutama pola dan cara kerjanya yang spesifik di hari ini. Salah satunya adalah dengan modus frustrasi. Kapitalisme hari ini akan oke oke saja dengan koperasi dan/atau bentuk pengorganisasian ekonomi lainnya yang (seolaholah) nir-kapitalis. Hanya saja sistem yang dibuatnya akan dengan sendirinya membuat koperasi dan lainnya menjadi semakin tidak relevan dan cepat putus asa sepanjang mereka mencoba memutuskan diri dari sirkuit dan logika ekonomi pasar bebas. Penciptaan sistem kapitalis yang memfrustrasikan seperti ini hanya ada karena ia “diizinkan” oleh negara tentunya. Tepat di sinilah bagaimana negara telah selalu hadir dalam ekonomi pasar. Tanpa perlu intervensi langsung, koperasi menjadi terkondisikan oleh kapitalisme.

Sedikit catatan, pandangan mengenai kehadiran dari kejauhan ini tidak serta merta bisa disamakan dengan kehadiran negara secara tidak langsung. Sama sekali berbeda. Kehadiran tidak langsung selalu mensyaratkan perantara atau proxy. Istilahnya, negara menggunakan tangan lain untuk mengatur koperasi. Namun bukan ini yang dimaksud aktivitas dari kejauhan. Poinnya ada pada intensi; intervensi tidak langsung mensyaratkan kesengajaan ke objek, sementara intervensi dari kejauhan sama sekali tidak mensyaratkan kesengajaan ke objek yang hendak diintervensikan. Contohnya adalah bagaimana negara ikut mendorong dan melestarikan pendidikan, reproduksi artifak kebudayaan (film, tayangan, seminar, tulisan, dst.) yang menekankan ide-ide kreativitas, kebebasan dan eksplorasi yang kesemuanya berbasiskan pada narsisisme dan individualisme vulgar—ketimbang berbasis solidaritas kolektif. Efeknya, tentu saja individu-individu generasi muda produk-produk pendidikan ini menjadi asing terhadap koperasi. Koperasi menjadi suatu aktivitas nyentrik yang esoterik. Atau dalam tulisan Dodi, ia menjadi suatu sampingan semata yang benar-benar tereduksi dari nilai-nilai solidaritas, boro-boro perlawanan terhadap sistem. Di sini, negara hadir justru melalui ketidakhadirannya. (Inilah yang disebut Foucault sebagai negara neoliberal. Untuk uraian ini, lihat Birth of Biopolitics dan Security, Territory, Population).

 

koperasiIlustrasi gambar diambil dari http://newint.org dengan sedikit penyesuaian

 

2. Masih terkait dengan poin pertama sebenarnya.  Dalam tulisan Dodi, dinamika perkoperasian amat kental, bahkan sampai taraf tersandera, pada elitisme, institusionalisme dan oknumisme—siapa yang mengarahkan, siapa yang menyetir, siapa yang mengatur, dst. Tipologi Dawam Raharjo yang diikuti Dodi pun jelas sangat elitis, yang mengasumsikan koperasi sebagai suatu entitas yang nir-kontradiksi yang bisa di-wrap-up dan diarahkan sesuka hati. Alegori “koperasi yang berdiri tanpa diri” dan aspirasi “koperasi yang berbicara bagi dirinya sendiri” yang dipakai Dodi juga kental mengasumsikan ini; sebuah antropomorfisme yang, ironisnya, mendasari seluruh politik totaliter dan fasistik. (Saya membahas ini secara ekstensif di buku saya, Asal Usul Kedaulatan).

Perlu ditekankan di sini, hal ini bukan berarti bahwa persoalan elit, kepemimpinan dan institusi bukan hal yang penting untuk dipikirkan. Namun yang ingin ditekankan justru bagaimana melihat problem-problem ini secara berbeda; tidak top-down, melainkan bottom-up; tidak sebagai sesuatu kekuasaan yang terkonstitusi (constituted power), melainkan sebagai kekuatan konstituensi (constituent power). Karena tanpa pergeseran pandangan demikian, ketiga pekerjaan rumah yang diusulkan Dodi hanya akan menjadi ceklis-ceklis pimpinan/pengurus koperasi saja. Misalnya, tentang pendidikan ekopol koperasi. Tanpa pergeseran pandang dari elitisme ke solidaritas kolektivisme, ia hanya akan menjadi kursus dan kelas-kelas dari suhu-suhu koperasi semata; ia hanya akan selalu menjadi mata pelajaran dan bukan poin-poin pembelajaran. Lalu tentang kolaborasi dengan gerakan lain; jelas ini adalah hal yang penting, terutama apabila itu dikaitkan dengan aspirasi koperasi sebagai gerakan politik. Namun, sekali lagi, apabila ini menjadi ceklis program atau to-do list semata, dan bukan sebagai agenda politik yang disadari dan dirumuskan bersama sebagai satu-satunya cara agar koperasi bisa tetap hidup, tetap menghidupi ekonomi anggota, dan tetap mampu menghidupkan gerakan politik melawan kapitalisme, maka kolaborasi lintas-gerakan hanya akan menjadi arisan-arisan nostalgik heroik saja, dan malah menjadikan koperasi sebagai tahanan kolektivitas—yang penting kumpul dan terdaftar, tapi dinamika internal kosong, pertukaran ide minim, hutang-hutang anggota menumpuk, produktivitas anggota stagnan, dst. Poinnya adalah bahwa ketiga PR yang diusulkan Dodi sama sekali tidak salah, dan bahkan saya pribadi juga tengah mengupayakan hal serupa. Namun yang terpenting bahwa itu semua haruslah menjadi sesuatu yang ditemukan di lapangan di dalam kiprah anggota dalam berkoperasi, dan bukan suatu agenda yang dipaksakan dari atas atau dari luar. Akibatnya, kita harus juga menerima kemungkinan bahwa bisa saja anggota koperasi tidak mengganggap ketiga PR itu penting untuk dikerjakan, dan bahwa kita tidak lantas melihat itu sebagai “koperasi yang tidak politis.” Ini membawa kita pada poin ketiga.

 

3 Tentang yang politis dari koperasi.

Bagi Dodi, koperasi yang politis adalah yang ‘keluar dari kotak keajegan koperasi yang hanya beraktivitas dalam soal ekonomi saja. Koperasi perlu politis, yaitu kritis terhadap lingkungan sekitarnya. Mereka wajib melek kondisi ekonomi-politik baik Indonesia maupun global.’ Bagi saya, konsepsi ini masih kurang terelaborasi, dan saya yakin Dodi mampu mengelaborasinya lebih jauh. Bagaimanapun juga, catatan saya, frasa ‘koperasi yang politis’ adalah suatu pleonasme, sama seperti mengatakan “masuk ke dalam” dan “naik ke atas.” Ia mengatakan sesuatu yang sebenarnya sudah jelas, yaitu bahwa koperasi memang pada dasarnya, khitah-nya, adalah memang politis. Saya melihat aspek politis koperasi di sini sebagai suatu fakta objektif, ketimbang aspirasi subjektif. Dengan kata lain, tanpa anggotanya berniat mempolitisasi koperasi (dalam artian Dodi, atau dalam artian konvensional—aksi massa, parlemen, pemerintahan) pun, koperasi itu sendiri telah selalu politis. Bagaimana demikian?

Di titik ini saya kira saya harus berbeda pendapat dengan Dodi yang memusuhi ide mengenai koperasi sebagai suatu “medan kekosongan.” Katanya,

“[s]elubung gelap merasuki pemahaman masyarakat tentang koperasi. Inilah yang berbahaya. Bila tidak segera direformasi, koperasi akan menjadi medan kekosongan. Koperasi beraktivitas tapi minus subjek yang paham dengan dirinya sendiri. Koperasi diusung, dibangga-banggakan, diseremonialkan ─setidaknya setiap tanggal 12 Juli, tapi tanpa ruh sama sekali.”

Berbeda dari Dodi, saya melihat ini bukan hanya sebagai sesuatu yang positif, melainkan bahwa itu memang adalah koperasi sebagaimana adanya: suatu medan kekosongan. Bagaimana apabila kenyataan bahwa koperasi mungkin untuk diapropriasi oleh negara dan diekspropriasi oleh pasar kapitalistik adalah tanda bahwa koperasi memang suatu medan kekosongan? Bukankah karakter kekosongan ini pula yang, sebaliknya, memungkinkan kita untuk menjadikannya alat perjuangan melawan kapitalisme dan neoliberalisme negara? Alih-alih menafikan, saya justru hendak mengusulkan suatu afirmasi mengenai koperasi sebagai medan kekosongan. Karena hanya dengan mengakui dan mengafirmasi koperasi sebagai medan kekosongan yang bisa dipolitisasi (tidak hanya negara dan pasar, melainkan juga aktivis pergerakan), dengan itulah kita bisa mendemistifikasi normalitas yang berlaku saat ini bahwa koperasi hanya bisa berjalan dengan negara dan bahwa arena pasar bebas adalah muara takdir satu-satunya bagi koperasi. Afirmasi kekosongan tidak harus selalu menjadi eskapis dan apatis, justru ia bisa menjadi (ehem..) revolusioner. Itulah mengapa, bagi saya, afirmasi koperasi yang politis haruslah selalu dalam bentuk pleonasme. Yaitu untuk selalu mengingatkan kepada kita semua bahwa koperasi adalah selalu politis di tengah upaya negara dan pasar untuk mendepolitisasi koperasi dan menjadikannya sebagai semata-mata komponen kekuasaannya.

Saya kira kita harus jelas mengenai natur koperasi, yaitu pada dirinya adalah suatu bentuk pengorganisasi dan/atau manajemen ekonomi: produksi, anggota, dan orientasi. Sebagai sebentuk pengorganisasian ekonomi yang nir-esensialis, koperasi bisa mengambil bentuk apa saja. Itulah mengapa kita mesti mampu membayangkan, misalnya, Starbucks diorganisasikan secara koperatif, dan sebaliknya, bahwa koperasi petani di desa bisa malah menjadi supereksploitatif. (Contoh fenomenal lainnya adalah Koperasi Mondragon, yang sekalipun berbasiskan kolektivisme, tetap saja bisa menjadi eksploitatif).[1] Dengan kata lain, apabila menggunakan kategori moral, ‘baik dan jahat’-nya, suksesnya koperasi tidak dilihat dari apa yang diproduksinya, melainkan dari bagaimana dinamika itu diorganisir dan diarahkan … secara ideologis. Lebih spesifiknya, bagaimana ia diarahkan secara kontesktual-spesifik untuk membangkrutkan dan membuat sistem yang ada (kapitalisme) menjadi tidak relevan. Singkatnya, menjadi koperasi tidak lantas nir-kapitalis atau bahkan anti-kapitalistik; dan sebaliknya, koperasi yang mengaku nir-kapitalis juga tidak serta-merta berarti anti-kapitalistik, dan bisa jadi malah tanpa disadari justru memperkuatnya.

Dengan kata lain, untuk menjadi revolusioner, koperasi harus menjadi pembeda yang antagonis terhadap kapitalisme. Dalam konsepsi inilah frase “berbeda adalah melawan” dari Antonio Negri harus diartikan.[2] Berbeda haruslah berbeda dan anti-tesis bagi corak yang berlaku dan berkuasa. Sehingga sekalipun berangkat dari konteks spesifik anggotanya (urban, sub-urban, rural, dst.), koperasi yang berbeda-beda corak ini tetap harus bermuara pada tohokan pada universalitas kapitalisme. (Poin ini tidak bisa saya elaborasi di sini, mungkin di kesempatan lain). Untuk menjadi pembedaan yang melawan, maka kapitalisme juga mesti dilihat dari corak organisasional dan manjerialnya untuk bisa diperbandingkan dengan pengorganisasian dan manajemen secara koperatif. Sehingga akhirnya kita bisa menggariskan pembedaan, misalnya, Starbucks yang dikelola secara kapitalistik dengan yang dikelola secara koperatif.

Aspek nir-esensial ini yang memungkinkan kita untuk membatalkan stigmatisasi koperasi sebagai melulu yang ada di desa, sebagai melulu milik kalangan ekonomi menengah ke bawah, dan stigma-stigma lainnya. Aspek nir-esensial (namun tidak anti-esensial!) yang mendorong kita untuk tidak mengutamakan corak koperasi yang satu ketimbang lainnya (misalnya, koperasi petani ketimbang koperasi buruh atau pegawai, atau lainnya). Dan akhirnya, justru aspek nir-esensial inilah yang menjadi kondisi objektif yang mampu menyatukan koperasi-koperasi yang berbeda corak ini sebagai suatu kesatuan untuk menjadi penantang kapitalisme, yang notabene juga memanifestasi pada bentuk-bentuk usaha yang beragam (mulai yang di desa sampai kota bahkan internasional, mulai yang sok DIY, ekonomi kreatif, M-SMEs, industri rumah tangga, sampai industri besar, mulai arisan sosialita sampai kartel bahkan pakta seperti BITs, TPP, RECP, dst.)[3]. Aspek nir-esensial koperasi inilah yang menjadikannya sebagai suatu politik tersendiri; koperasi adalah politis karena ia memungkinkan untuk menjadi medan kontestasi terbuka kepentingan dan aspirasi politik.

Lalu pertanyaan kemudian, corak pengorganisasian seperti apa yang menjadikan koperasi koperatif dan nir-kapitalistik, bahkan anti-kapitalistik? Pengorganisasian produksi seperti apakah yang membedakan koperasi dari sentralitas kepemilikan modal kapitalisme? Pembagian kerja seperti bagaimanakah yang membedakan koperasi dari kapitalisme? Pengukuran nilai kerja dengan standar seperti apakah yang membedakan koperasi dari pengaburan nilai kerja dengan waktu kerja yang dipakai kapitalisme? Lalu politik seperti apakah dari pengorganisasian produksi koperatif yang potensial untuk menjadi alternatif dalam membangkrutkan kapitalisme? Pertanyaan ini saya serahkan kepada kawan-kawan pegiat koperasi lainnya untuk meneruskan dan menghidupkan wacana ‘koperasi yang politis’ ini. Tidak hanya Dodi Fadlulloh dan kawan-kawan Kopkun Institute atau kawan-kawan saya di Koperasi Riset Purusha, melainkan juga kawan-kawan lain di, misalnya, Koperasi Litera, Koperasi Sorge, Credit Union Gerakan Lingkar Massa, Koperasi Komunitas Kalimetro, dan lainnya yang mungkin luput saya sebutkan.

Mengakhiri risalah singkat ini, saya ingin menukil surat Lenin kepada Maxim Gorky pada 1913. Dalam keprihatinan mendalam terhadap kawannya yang saat itu mendukung ideologi humanisme universal, Lenin mengingatkan Gorky untuk menjaga kesehatannya supaya tidak terkena flu mengingat saat itu sedang musim dingin. Kita saat ini tengah berada pada musim penghujan ideologi kapitalisme neoliberal, maka tidak ada salahnya bagi kita untuk saling mengingatkan kawan-kawan kita dan koperasinya untuk juga menjaga kesehatan masing-masing agar tidak terjangkit flu ideologis ini.***

 

Penulis adalah pegiat di Koperasi Riset Purusha

 

————-

[1] Lihat terjemahan kawan-kawan dari Koperasi Litera, “Belajar dari Kebangkrutan Mondragon: Keterbatasan Kooperasi dalam Sistem Kapitalisme,” http://literasi.co/Belajar-dari-Kebangkrutan-Mondragon)

[2] Lihat “The Italian Difference,” Cosmos & History, 5, 1, 2009.

[3] DIY—do-it-yourself; M-SMEs—Micro, Small and Medium Enterprises; BITs—Bilateral Investment Treaties; TPP—Trans-Pacific Partnership; RECP—Regional Economic Partnership.

]]>
John Bamba: CU Gerakan Adalah Alternatif terbaik Saat Ini Buat Gerakan Civil Society di Indonesia https://indoprogress.com/2015/10/john-bamba-cu-gerakan-adalah-alternatif-terbaik-saat-ini-buat-gerakan-civil-society-di-indonesia/ Wed, 07 Oct 2015 01:03:35 +0000 https://indoprogress.com/?p=14743 CREDIT UNION (CU) merupakan salah satu aliran gerakan koperasi di Indonesia. CU tumbuh subur di tanah Borneo sejak empat dekade lalu.[1] Umur yang tak lagi begitu muda cukup membuat gerakan CU berbenah diri. John Bamba (JB) sebagai salah satu aktivis gerakan CU sekaligus juga seorang dayakolog membuat refleksi panjang sekaligus tawaran baru bagi gerakan CU di Indonesia. Dalam bukunya, Credit Union Gerakan Konsepsi Filosofi Petani (2015) JB mengajak seluruh elemen gerakan CU untuk menemukan kembali peran strategisnya di tengah sistem yang semakin kapitalistik. Pertanyaannya sederhana: benarkah CU ampuh sebagai alternatif dari sistem keuangan ala kapitalis? Jika tidak, mengapa? Jika ya, apa ukurannya? Buku ini ditulis dengan bahasa yang sederhana, segar dan provokatif. Pendekatannya historis juga reflektif. “Tolong dibaca dan diberi kritik,” begitu pesan beliau ketika menghadiahkan bukunya pada kami.

Menurut JB, CU Gerakan (CUG) sungguh menjadi gerakan manakala CU dengan sadar dan sengaja (by design) juga melibatkan dirinya dalam perjuangan rakyat, melakukan transformasi sosial tanpa mengabaikan ‘profesionalitas’ CU sebagai lembaga keuangan. Sederhananya, CU selain melek finansial, juga harus melek urusan sosial, budaya, politik. Pilihan ini muncul atas dasar kesadaran bahwa sistem kapitalisme tidak cukup jika dilawan hanya dengan kekuatan uang. Di Kalbar, tempat di mana JB bergiat, musuh utama rakyat adalah perusahaan perkebunan (sawit) dan pertambangan skala besar. Perampasan lahan adat terjadi bersamaan dengan pemiskinan dan subordinasi adat dayak. JB menjelaskan lebih dari 50% lahan perkebunan di Kalimantan sudah dikuasai korporasi. Adalah GPPK (Gerakan Pemberdayaan Pancur Kasih) yang dipandang dan diharapkan berpotensi mencari sistem alternatif di luar kapitalisme. GPPK adalah sebuah kumpulan organisasi baik non-profit maupun profit—yang digunakan untuk menopang aktivitas gerakan masyarakat adat Dayak melawan kerakusan korporasi. Gerakan Credit Union (GCU)[2] hanyalah salah satu anak dari keluarga besar GPPK. Ada Lembaga Bela Banua Talino (LBBT), Aliansi Masyarakat Adat Nusantara Kalimantan Barat (AMAN-Kalbar), SD-SMP Santo Fransiskus Asisi, Radio Komunitas Suara Masyarakat Adat (RAMA), RUAI TV, dll yang juga berada di dalam ekosistem ini. Menurut JB, efektivitas gerakan CU berbasis gerakan mesti disokong oleh elemen kekuatan lain sebagaimana terdapat dalam GPPK.

Lalu apa beda CUG ala GPPK dengan CU-CU lain yang ada di Kalimantan maupun Indonesia? Pada 2011 lalu, sejumlah aktivis GPPK menerbitkan kebijakan baru terkait arah gerak CU ke depan. Mereka merumuskan sebuah landasan konseptual mengenai bentuk ideal CUG: berbasis konsepsi filosofi petani. Secara ideal, mereka memandang moral hidup petani –tanam-tuai/ setia proses; disiplin; punya perencanaan; subsisten; solidaritas/guyub—sebagai landasan pola pikir dan laku organisasi. Idealisasi ini mewujud dalam bentuk kebijakan terkait syarat keanggotaan, ragam produk simpanan-pinjaman, besaran balas jasa, alokasi dana solidaritas dan gerakan, dsb. Menurut JB, meski nilai dan prinsip CUG diambil dari kearifan masyarakat petani bukan berarti CUG hanya terbatas pada petani. Masyarakat tertindas lainnya, baik itu kelompok buruh, nelayan, miskin kota juga bisa memanfaatkan sistem ini sebagai alat menuju transformasi sosial yang berkeadilan.

Untuk mengetahui lebih jauh seluk-beluk dan tujuan CUG, kami dari tim Koperasi Riset Purusha dan Credit Union Gerakan – Lingkar Massa, mewawancarai John Bamba. Berikut petikannya:

 

Apa yang membawa Pak John Bamba pada kondisi hari ini, terutama pada usia yang cukup tua, untuk tetap komit pada gerakan sebagaimana yang saat ini dilakukan?

Pendorong utama bagi saya adalah pengalaman masa kecil, latar belakang saya pribadi. Saya lahir dan besar memang di kampung, sekurang-kurangnya hingga sekolah menengah. Kampung di sini dalam pengertian yang masih benar-benar “asli”. Jadi, kalau sekarang kita bicara tentang kehidupan masyarakat adat yang ideal, itulah yang saya alami ketika saya masih kecil. Dan, selama 30-an tahun lebih, saya melihat dan mengikuti setiap perubahan yang terjadi. Sebagian besar, perubahan itu tidak mengarah ke keadaan yang lebih baik, tapi sebaliknya, khususnya dalam konteks kualitas hidup. Itu yang mendorong komitmen saya untuk tetap membangun gerakan ini. Kebetulan juga, saat menjadi aktivis di Pancur Kasih ini, saya mengikuti seluruh proses pengembangan gerakan ini. Saat saya bergabung tahun 1985, Pancur Kasih baru punya SMP dan SMA Assisi. Jadi, saya terlibat dalam pengembangan gerakan ini sejak saat itu.

Saya melihat, Pancur Kasih, terlepas dari kekurangan dan kelemahannya, berkontribusi sangat signifikan. Saya bisa sebutkan, diantaranya, bagaimana Pancur Kasih membangun kesadaran orang Dayak tentang indentitas mereka, tentang pentingnya budaya, nilai-nilai luhur, pengetahuan lokal dan lain-lain. Alasannya, tahun-tahun 1980-an itu, orang Dayak bahkan malu mengaku diri orang Dayak. Macam-macam bentuknya. Misalnya, mengubah kata Dayak menjadi Daya dan mengubah nama. Nah, menurut saya, dalam konteks membangun kesadaran, kontribusi Pancur Kasih, terutama melalui Institut Dayakologi (ID) tidak dapat disangkal. Penilaian atau penafsiran negatif tentu saja ada. Misalnya, ada tuduhan bahwa yang dilakukan oleh Pancur Kasih dan ID adalah membangun etnosentrisme. Tapi, saya tidak melihat seperti itu.

Kedua, dalam konteks pengembangan gerakan Credit Union (CU), peran penting dan kontribusi Pancur Kasih tentu tidak bisa disangkal. Saya punya keyakinan dan optimisme bahwa yang dilakukan oleh gerakan ini adalah sesuatu yang baik. Saya merasa tidak perlu lagi mencari bentuk kontribusi lain untuk perubahan dan untuk membangun kemanusiaan yang lebih baik dan lebih adil. Bagi saya, di sinilah saya bisa melakukan itu. Itu juga sebabnya saya tidak tertarik masuk politik [praktis-ed.] atau yang lain-lain.

 

Pak John umumnya dikaitkan dengan dua hal: sebagai Dayakolog dan sebagai aktivis koperasi, dalam hal ini Credit Union Gerakan. Apa itu Dayakologi? Dan, bagaimana itu sejalan dengan pengorganisasian ekonomi dalam Credit Union Gerakan?

 Jadi dulu karena memang fokus saya, ketika bergabung di gerakan ini dan mulai dengan membangun Institut Dayakologi yang dimulai dengan kelompok diskusi tahun 1987, dan memang semenjak itulah fokus saya di Institut Dayakologi. Nah, Institut Dayakologi itu memang isu utamanya, yaitu mandat yang ia terima dari gerakan, adalah melakukan upaya-upaya revitalisasi Budaya Dayak. Jadi isu dan fokusnya adalah budaya. Tetapi, sebagaimana yang kita ketahui, ketika kita berbicara soal Budaya Dayak, terutama dalam konteks Institut Dayakologi, itu tidak dalam konteks performing arts, jadi bukan dalam konteks seni pertunjukan. Tetapi, budaya itu betul-betul keseluruhan eksistensi dan jati diri Orang Dayak. Sehingga kalau Institut Dayakologi bicara tentang Budaya Dayak, ia juga bicara tentang pengelolaan sumber daya alam, hak-hak masyarakat adat, dan semua hal itu. Itu yang kemudian menarik. Institut Dayakologi kemudian berkembang dan dikenal tidak sebagai sebuah lembaga yang “melestarikan” Budaya Dayak – ‘melestarikan’ dalam konteks an sich seni pertunjukan. Tetapi justru menyentuh persoalan-persoalan yang sangat prinsipil yang menyangkut eksistensi Orang Dayak, yaitu soal lingkungan, hak-hak masyarakat adat, hak atas tanah, dan segala macam.

Dalam konteks itulah, kemudian, tidak mengherankan kalau Institut Dayakologi juga bekerja di Credit Union Gerakan. Dan sesungguhnya, CU Gemalaq Kemisiq (CU GK)[3] itu kan adalah CU yang difasilitasi oleh Institut Dayakologi sejak dari awal. Bahkan sebelum ia berdiri. Jadi, CU Gemalaq Kemisiq itu kan berdiri tahun 1999 bulan Februari, tapi Institut Dayakologi sudah bekerja memfasilitasi masyarakat di wilayah itu, jauh sebelum itu sebenarnya, melalui beberapa kegiatan: ada upaya dokumentasi dan revitalisasi budaya dilakukan di situ – waktu itu kita bekerja dengan beberapa shaman, tabib-tabib, tentang pengobatan; kemudian kita juga bekerja dengan beberapa petani, peladang, dengan melakukan riset tentang biodiversity di ladang; kemudian melakukan pemetaan wilayah adat di beberapa tempat di situ; melakukan advokasi [petani] sawit – waktu itu ada ancaman dari perusahaan dari Malaysia.

Jadi sebelum CU itu [CU GK] berdiri, itu sudah dilakukan. Sehingga kita sudah memiliki beberapa aktivis lokal sebenarnya. Dan ketika diputuskan tahun 1999 kita mulai melakukan pemberdayaan di bidang ekonomi melalui Credit Union, CU GK identitasnya sudah CU Gerakan, sesungguhnya. Itu bisa kelihatan dari misalnya kebijakan-kebijakan yang dibuat CU GK, pengembangan CU-nya sendiri di sana yang sangat holistik – jadi ia tidak bekerja di satu bidang ekonomi saja, tetapi ia memiliki banyak sekali aktivitas dan inisiatif yang dilakukan di sana di lini semua aspek – dan bagaimana prinsip-prinsip yang dipegang oleh CU ini – yang tidak terjebak dalam pengumpulan aset dan uang (idiologi uang) – itu berlaku sampai sekarang. Dari bangunan kantornya saja, itu sudah beda sekali karena ia menggunakan arsitektur lokal. Orang banyak bertanya-tanya awalnya, karena persepsi orang tentang CU kan sesuatu yang moderen, wah, megah, kota, tetapi kok CU GK seperti itu.

Nah, jadi pemberdayaan ekonomi, mengapa Institut Dayakologi masuk ke situ, itu karena pemberdayaan ekonomi dianggap sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari upaya merevitalisasi kehidupan Orang Dayak itu sendiri, dan karena pendekatan kita holistik, pendekatan kita integratif, itu yang terjadi.

 

Bagaimana dengan CU-CU lainnya? Apakah cara pandang bahwa “CU bukan pemadam kebakaran” – melainkan juga ada komponen pengorganisasian; riset aksi; juga pendokumentasian yang serius—juga berlaku di CU-CU yang lain? Sejauh mana gagasan tersebut berhasil direalisasikan di CU- Gemalaq Kemisiq dan direplikasi di CU yang lain?

Begini, di beberapa tempat, walaupun tidak banyak, proses yang sama atau mirip, itu juga terjadi. Bedanya adalah di CU lain tidak sejak awal mendesain CU-nya sebagai CU Gerakan. Maksudnya, ketika CU-nya berdiri, tidak ada paradigma bahwa CU itu adalah CU Gerakan – jadi paradigmanya tetap sebagailembaga keuangan. Itu yang menyebabkan mengapa di tempat lain sulit sekali membangun CU Gerakan. Itu juga yang sekarang sebenarnya menjadi tantangan para pegiat CU har ini

Tetapi, kami, Gerakan CU Filosofi Petani Kalimantan (GCU FPK) yang sudah beranggotakan lima Credit Union, melalui “Deklarasi 5-3 Rumah Gemalaq,”[4] kesadaran sebagai gerakan kita bangun kembali, dan itu memang inisiatifnya dari CU GK. Kesadaran itu kami bangun kembali melalui beberapa diskusi intensif, beberapa kali perdebatan, akhirnya setidak-tidaknya kelima CU ini sepakat “Oh iya, benar, kita melakukan kesalahan di masa lalu. Ada kelemahan-kelemahan di masa lalu yang sekarang harus kita perbaiki,” dan mereka berkomitmen untuk melakukan itu. Jadi begitu prosesnya. Tapi juga sebagian besar memang CU-CU tidak mempunyai background gerakan sama sekali. Ada yang punya proses seperti itu, tetapi ketika berurusan dengan CU, perspektifnya bukan CU Gerakan. Karena itu memang tidak pernah muncul. Perspektif CU Gerakan tidak pernah dikenal, dan bisa jadi itu dianggap sebagai sesuatu yang mengada-ada – bahwa CU itu harus menjadi CU Gerakan. Karena yang dipahami, CU ya seperti yang mereka terima dari para fasilitator, konsultan, dari siapapun yang men-train tentang CU [melatih, ed.], itu semua dalam konteks lembaga keuangan.

 

Dalam dinamika CU yang seperti itu, apakah Pak John pernah coba intervensi untuk mengenalkan model CU Gerakan yang ada di CU Gemalaq Kemisiq?

Saya memutuskan justru untuk mengambil sikap untuk tidak intervensi.

(JB diam sejenak lalu menghela napas ☺)

Bagaimana saya harus katakan, yahh…… CU GK sendiri kan menjadi anggota BKCUK [Badan Koordinasi Credit Union Kalimantan, ed.]. Dulu jaringan kita di sini juga BKCUK, dan BKCUK tentu saja mereka punya style dan identitas sendiri dalam pengembangan gerakan CU seperti yang kita lihat selama ini. Dalam konteks sebagai anggota BKCUK, CU GK memenuhi segala kewajiban-kewajibannya. Dalam konteks berjaringan, aktivitas, dan segala macamnya, umumnya ada perwakilan CU GK biasanya yang terlibat dalam kegiatan BKCUK. Tetapi saya memang memutuskan selama itu untuk tidak terlibat secara langsung, termasuk dalam konteks fasilitasi. Mengapa? Karena saya menyadari betul bahwa gerakan CU yang terbangun pada waktu itu begitu kuat hegemoninya. Dan saya tidak perlu memaksakan konsepsi saya kepada sebuah gerakan yang sudah begitu besar. Kemudian, saya menyadari juga, bahwa orang perlu belajar dari kesalahan. Jadi yang saya lakukan justru menjaga CU GK sebagai sebuah CU Gerakan – jangan sampai ia ikut-ikutan terkontaminasi. Itu yang saya lakukan.

Nah, momentum muncul pada tahun 2010-2011 ketika terjadi dinamika di BKCUK,[5] munculnya Konsepsi Filosofi Petani, munculnya refleksi yang sangat kritis di internal GPPK [Gerakan Pemberdayaan Pancur Kasih, ed.] tentang keberadaan gerakan CU. Di situ saya kemudian masuk dengan konsep CU Gerakan. Sehingga terbentuklah CU Gerakan seperti yang saat ini – gerakan CU Gerakan. Saya berbicara di beberapa tempat, termasuk di CU Cindelaras [Yogyakarta, ed.], di Kalimantan Tengah juga. Tidak semua merespon positif, tetapi untuk teman-teman di sini ada beberapa yang juga setuju.

 

Bisa dijelaskan secara singkat tentang CUG Filosofi Petani, dan mengapa Pak John yakin bahwa itu adalah desain CU yang bisa berorientasi gerakan, dan mampu mengemban visi dan misi gerakan.

Sebenarnya ketika saya berbicara mengenai CU Gerakan, saya selalu mengatakan bahwa ketika kita mendirikan CU, mengelola CU, kita sesungguhnya ingin berkontribusi untuk mewujudkan kehidupan manusia yang lebih baik lah. Dalam konteks yang holistik – jadi tidak hanya dalam masalah keuangan saja. Dan kalau kita menengok ke belakang, sejarah dari ketika CU didirikan, Raiffeisen[6] sendiri sebagai pendiri CU tegas mengatakan bahwa tujuan CU itu bukan uang. Sangat tegas dia katakan itu. Dia bilang tujuan CU itu bukan uang; tujuan CU itu adalah membangun kekuatan moral dan fisik manusia supaya ia bisa memenuhi kebutuhannya dalam segala hal. Jadi tidak hanya dalam hal ekonomi saja. Itu kalau kita lihat ke belakang.

Kemudian kalau kita lihat dalam konteks CU sendiri, yang harus kita dekati dengan kritis: CU ini berurusan dengan uang, dan kita tahu uang sangat-sangat powerful; dia dengan gampang bisa membuat orang terjebak dalam ekonomi uang, karena uang sangat-sangat powerful. Oleh sebab itu menurut saya, CU itu harus menetapkan tujuan-tujuan yang jauh lebih daripada hanya sekedar uang dalam konteks bagaimana pencapaian kehidupan manusia yang manusiawi, yang punya harkat, punya martabat. Uang itu hanya alat yang kita gunakan untuk mencapai itu semua. Nah, itu sebabnya saya kenapa saya berpikir ketika CU hanya mengelola uang saja, maka dia tidak lebih daripada alat-alat Kapitalisme sesungguhnya yang justru menjadi penyebab dari begitu banyak persoalan yang ada di manusia sekarang ini. Justru itu yang mau kita selesaikan, tapi kenyataannya kita malah terjebak menjadi bagian daripadanya.

Nah, konsepsi Filosofi Petani itu sendiri sebenarnya lebih ke semacam cara atau alat kita mewujudkan bagaimana kita bisa mencapai tujuan dari CU Gerakan yang mau memenuhi kebutuhan-kebutuhan secara holistik tadi itu. Konsepsi Filosofi Petani menawarkan caranya. Karena dengan memenuhi empat kebutuhan dasar itu, yang diterjemahkan dalam bentuk produk-produk di CU, sebenarnya bisa menjamin bahwa kebutuhan-kebutuhan manusia sebagaimana yang ideal itu bisa terpenuhi. Jadi sebenarnya ia lebih menawarkan cara, lebih ke teknisnya. Kalau kita lihat, Filosofi Petani kemudian ditransfer menjadi produk. Walaupun, di filosofi petani itu ada konsepsi karena ia digali dari nilai-nilai petani lokal. Nah nilai-nilai itulah yang kemudian coba diformulasikan dan diterjemahkan ke dalam produk-produk di CU. Tetapi, ketika ia hanya berhenti pada filosofi petani, CU juga masih bisa terjebak dalam CU yang hanya mementingkan uang. Makanya, ia harus menjadi CU Gerakan.

Jadi, dua kata itu tidak bisa dipisah. CU Gerakan sendiri kalau ia tidak dibantu oleh Konsepsi Filosofi Petani, mungkin agak kesulitan ia untuk menemukan bagaimana cara mewujudkan itu, memenuhi kebutuhan. Sebaliknya, Konsepsi Filosofi Petani sendiri kalau tidak ada gerakan ia tetap akan rentan terjebak dalam urusan memenuhi kebutuhan-kebutuhan empat hal itu saja yang semuanya ukurannya adalah uang. Makanya, di GCU kami perkenalkan terminologi CU Gerakan Berbasis Konsepsi Filosofi Petani.

 

Credit Union itu sendiri sering diasosiasikan sebagai ‘Dayak’ dan ‘Katolik’. Bagaimana klarifikasi Pak John terkait ini?

Itu sebenarnya tidak bisa kita salahkan persepsi itu, walaupun persepsi itu salah. Tetapi tidak bisa dipersalahkan. Karena memang CU itu masuk ke Indonesia ini melalui gereja. Itu masalahnya. Dulu, masuknya kan melalui – dulu MAWI (Majelis Agung Waligereja Indonesia, ed.) tahun 1970-an sekarang KWI (Konferensi Waligereja Indonesia, ed.). Nah, pastor Albrecht Karim, kan memang pastor, SJ (Serikat Jesuit, ed.). [7] Dan ketika CU itu dikembangkan, diperkenalkan ke seluruh pelosok Indonesia, yang gencar adalah Gereja Katolik. Jadi, mau tidak mau, persepsi itu muncul. Nah, kebetulan, di Kalimantan ini, terutama di Kalimantan Barat, yang Katolik itu Orang Dayak. Tidak ada Orang Melayu yang Katolik. Kalau Orang Tionghoa tidak begitu tertarik lah dengan urusan CU, awalnya. Nah, tetapi persepsi itu sebenarnya keliru. Bahwa CU itu adalah Katolik, adalah Dayak: itu keliru. Bukan demikian yang dimaksud dengan CU. Tetapi bahwasanya muncul persepsi itu karena proses sejarah masuknya itu memang sesuatu yang kita tidak bisa sangkal. Sekarang kita bersyukur bahwa persepsi itu tidak lagi seperti itu.[8]

 

Sekarang kalau diskusi ini kita tarik ke konteks gerakan dan aktivisme secara nasional, kira-kira pengorganisasian ekonomi berbasis CU ini apakah punya potensi untuk dikembangkan oleh aktivis-aktivis gerakan di Nusantara?

Kalau saya, jujur saya katakan, CU Gerakan ini adalah alternatif terbaik saat ini buat gerakan civil society di Indonesia. Saya punya keyakinan itu karena saya terlibat di sini 30-an tahun. Dan 30-an tahun saya terlibat, itu tidak hanya terlibat mengurusi CU saja, tetapi saya juga terlibat dalam gerakan civil society di Indonesia. Jadi saya sedikit banyak paham juga, apa yang digeluti teman-teman selama ini. Cuma, seperti yang saya katakan tadi, pertama saya menyadari teman-teman di gerakan civil society ini alergi kalau mendengar CU, mendengar koperasi, mendengar pemberdayaan di bidang ekonomi. Kenyataannya begitu. Kemudian yang kedua, saya sendiri, seperti yang saya ungkapkan, saya itu cenderung yang tidak mau secara gencar, proaktif, yang kesannya memaksa-maksakan atau mempromosikan sesuatu yang orang lain kurang begitu suka. Jadi saya tidak suka membangun gerakan yang seperti itu. Saya lebih suka, saya kerja saja, saya tunjukan saja bahwa ini tidak seperti itu, sehingga kemudian orang akan sadar dan akan melihat.

Tapi sampai saat ini, kalau anda tanya saya secara pribadi, belum ada opsi yang lebih baik dari CU Gerakan. Dari pengalaman saya 30-an tahun. Bahkan Grameen Bank sekalipun! Jadi, sesungguhnya, gerakan masyarakat sipil sangat-sangat rugi kalau tidak memanfaatkan CU Gerakan.

 

Termasuk gerakan buruh…

Semua! Semua! Bahkan, saya bercita-cita suatu saat CU ini, CU Gerakan, bisa masuk ke buruh, ke nelayan, ke petani, ke pedagang kaki-lima. Saya membayangkan betapa besar potensinya yang bisa disumbangkan oleh CU untuk membuat perubahan.

 

Apa kritik Pak John terkait Grameen Bank? – karena hari ini tidak bisa dipungkiri bahwa Grameen Bank menjadi semacam primadona, model untuk pemberdayaan ekonomi.[9]

Kritik saya sederhana saja: Grameen Bank ya Bank. Kita sudah tahu kalau yang namanya bank. Artinya kan ada investor, dan segala macamnya. Tidak swadaya.

 

Kembali ke penerapan konsep CU Gerakan ke aktivisme di Nusantara. Lantas apakah bisa disimpulkan bahwa praktik keuangan yang selama ini dilakukan oleh aktivis (akun bank, ATM, dst.) itu kontraproduktif terhadap perjuangan aktivisme itu sendiri?

Ya saya kira kontraproduktif! Karena bank kan bagian dari sistem kapitalis yang menyebabkan ketidak-adilan dan persoalan itu. Jadi kalau kita menggunakan itu, kita menjadi pendukung secara tidak langsung. Beda sekali dengan CU yang betul-betul swadaya dan sangat-sangat independen. Tpi dengan catatan: CU profesional. Jadi sekali lagi, ketika saya bicara tentang CU Gerakan, saya selalu bilang ‘CU plus’, tidak bisa ‘CU minus’. Yang saya maksud ‘CU plus’ itu artinya ia betul-betul profesional manajemennya, dan ia punya standar manajemen yang memang harus kita ikuti dengan konsisten. Tidak bisa kita bikin excuse, mentang-mentang kita ini adalah gerakan, adalah NGO, lalu ini kita langgar, kita labrak. Tidak bisa. Karena kalau begitu, gagal. Ia tidak bisa kontribusi secara maksimal. Tapi kalau kita konsisten, tidak ada keraguan saya.

 

Kalau kita bicara soal transformasi sosial kan tidak terlepas dari dinamika politik. Menurut Pak John, bagaimana CU sebagai alat pengorganisasian ekonomi bisa juga sampai pada pengorganisasian politik?

Kan begini ya, saya selalu – walaupun ini katakanlah jargon yang sering didengung-dengungkan, digunakan oleh banyak orang, juga termasuk oleh Jokowi – mengatakan secara sederhana, kita membayangkan kehidupan manusia yang ideal itu adalah kalau ia mandiri secara ekonomi, bermartabat secara sosial-budaya, kemudian berdaulat secara politik ; saya tambahkan lagi, berkesinambungan – jadi ada jaminan kelestarian, ada jaminan kesinambungan. Jadi, jelas sekali kedaulatan di bidang politik itu penting – dan buat CU, ia tidak bisa menegasikan itu. Contoh simpel saja, ketika UU Koperasi kemarin disahkan, itu kan bisa hancur CU itu.[10] Jadi kalau ia tidak peduli dengan hal-hal seperti itu, apa jadinya? Oleh sebab itu, maka tidak berarti bahwa CU itu harus terlibat secara langsung dalam politik praktis, partai, dan segala macamnya; tidak. Tetapi tidak boleh juga ia apriori dan anti-politik. Seolah-olah bahwa itu tidak ada urusannya, tidak ada pengaruhnya dengan mereka. Jadi, politik dalam konteks partisipasi politik rakyat – menentukan nasib mereka ke depan – CU harus peduli, dan harus ada satu kebijakan dan mekanisme di CU yang memungkinkan bahwa mereka bisa terlibat dalam pengambilan keputusan. Termasuk, misalnya, mengirimkan wakil-wakil mereka yang bisa memperjuangkan kepentingan CU, kepentingan anggota CU ke depan. Nah, bagaimana formulasinya, bagaimana formulasinya? – itu yang menjadi tantangan kita bersama, saya kira. Tetapi itu tidak boleh kita anggap sebagai sesuatu yang bukan ranahnya CU, bukan tanggung jawabnya CU…Gerakan, terutama. Kalau CU kapitalis, mungkin di akan begitu. Tapi kalau CU Gerakan, nggak bisa lepas dari itu. Itu pandangan saya. Dan saya selalu bicara begitu di manapun.

Jadi, menurut saya, tidak salah kalau anggota CU dijadikan basis politik – dalam konteks politik partisipasi rakyat. Kenapa tidak? Yah, yang tidak boleh itu kalau ia dijadikan alat partai.

 

Dari penjelasan tadi dan dari pengalaman Pak John sendiri dalam mengorganisir masyarakat, terutama masyarakat adat Dayak melalui CU Gerakan dan melalui Institut Dayakologi, kira-kira refleksi yang bisa diberikan, atau bahkan oto-kritik terhadap gerakan yang digagas Pak John sendiri, sejauh ini seperti apa?

Saya kira tantangan terberat yang saya rasakan saat ini – karena saya melakukan ini secara langsung – adalah mengubah paradigma masyarakat, teman-teman, para insan CU, pelaku CU, mengubah paradigma mereka bahwa CU itu bukan uang tujuannya! Ini yang paling sulit – mengapa? Karena ada peluang, ini persoalannya ada peluang, jadi masyarakat kita ini sebagian besar – sudah sekian generasi – berada dalam situasi yang sangat menyedihkan secara ekonomi. Sekarang muncul CU, dan CU menawarkan peluang untuk berubah – kondisi secara ekonomi bisa berubah. Dan ini sulit sekali ditolak orang. Karena kalau kita bicara soal CU Gerakan, maka kita harus berani mengatakan ‘tidak!’ – setidak-tidaknya ini harus balance. Nah ini yang sulit, yang saya rasakan sulit bahkan di kalangan aktivis sendiri. Mungkin bicaranya “ya,” tapi sampai pada praktiknya…[John Bamba menghela nafas.]

Nah, makanya, saya justru berpikir, kalau semisal ia tumbuh dari gerakan, sudah ada bibit gerakan –justru peluangnya lebih besar, tantangannya akan lebih sederhana. Karena tinggal memasukkan unsur-unsur kompetensi teknis manajemen saja, dan itu simpel sekali! – karena idiologinya sudah terbentuk. Yang susah itu: sudah piawai teknis, uangnya sudah banyak, lalu memasukkan ideologi.***

 

———-

[1] Tepatnya pada tahun 1975 di Kabupaten Nyarumkop dan Sanggau, Kalimantan Barat, pertama kali pendidikan Credit Union diselenggarakan oleh Delegatus Sosial (Delsos) Keuskupan Agung Pontianak agar masyarakat dapat mendirikan CU di sana. Lebih jauh, baca Richardus Giring (2012) ‘History of Credit Union Movement in West Kalimantan’ dalam Francis X. Wahono, dkk., Pancur Kasih Credit Union Movement, Baguio City dan Pontianak: Tebtebba Foundation dan Institut Dayakologi. Dapat diakses di: http://www.tebtebba.org/index.php/content/241-pancur-kasih-publications.

[2] Ada lima CUG yang tergabung di GCU FPK saat ini dan tiga calon anggota yang berada di luar Kalimantan Barat (Aceh, Jakarta [Tebet], Balikpapan). Lima anggota yang berada di Kalimantan yakni CU Filosofi Petani Pancur Kasih (CU FPPK), CU Sumber Kasih, CU Canaga Antutn, CU Gemalaq Kemisiq, dan CU Petemai Urip.

[3] Jika sebelumnya YKSPK hanya melayani anggota di sekitaran Pontianak, semenjak tahun 1993 aktivis YKSPK memfasilitasi pendirian CU-CU di daerah asal mereka. CU GK adalah CU yang berdiri tahun 1999 di Tanjung-Kabupaten Ketapang dan secara khusus difasilitasi oleh JB.

[4] Deklarasi 5-3 Rumah Gemalaq merupakan deklarasi yang menyatakan tanggung jawab anggota-anggota CU untuk mengembangkan dan menjaga CU Gerakan tetap pada “jalur”-nya.

[5] Tahun 2010 CU Pancur Kasih keluar dari GPPK. Perbedaan konsepsi atas apa itu ‘gerakan’ di antara para pengurus, staf, dan anggota mendasari pemisahan ini. Lebih jauh, perbedaan motivasi dan kepentingan telah memperlihatkan adanya celah dalam internalisasi nilai-nilai GPPK selama 20 tahun CU PK bernaung di bawah payung gerakan ekonomi-sosial-budaya tersebut. Dengan hanya berfokus kepada pemenuhan kebutuhan-kebutuhan ekonomi anggota yang mendesak, CU PK kemudian dilihat telah berdiri berseberangan dari GPPK . Lebih jauh dapat dilihat di Benyamin Efraim (2012), ‘GPPK Credit Union Movement: Inspiring the Nation’, dalam Francis X. Wahono, dkk., Pancur Kasih Credit Union Movement, Baguio City dan Pontianak: Tebtebba Foundation dan Institut Dayakologi. 30 April 2011, CU Filosofi Petani Pancur Kasih sepakat didirikan oleh GPPK untuk mengisi celah tadi.

[6] Frederick Wilhelm Raiffeisen mendirikan Heddesdorf Credit Union, CU pertama di dunia, pada tahun 1864 di Jerman untuk menjawab kebutuhan ekonomi pada kelompok masyarakat miskin di sana.

[7] Berasal dari Jerman, beliau adalah perintis CU di Indonesia sekaligus kepala Credit Union Counselling Office , atau CUCO (kemudian dikenal dengan nama Badan Koordinasi Koperasi Kredit Indonesia, atau BK3I, sebelum diganti lagi menjadi Induk Koperasi Kredit, atau INKOPDIT, hingga hari ini) ketika berdiri di Jakarta tahun 1970.

[8] Menilik aktivitas GPPK selama ini, dapat dicatat bahwa ia juga telah memfasilitasi pendirian CU yang beranggotakan masyarakat non-Dayak dan non-Katolik—cukup untuk menepis imej tentang CU yang ‘selalu sepaket dengan Gereja Katolik’—di dalam dan di luar Kalimantan Barat.

[9] Lihat Geger Riyanto, “Kesadaran Sosial atau Kesadaran Asosial? Grameen Bank di antara Agensi Pelaksana dan Agensi Sensual,” IndoProgress, 14 November 2014. URL: https://indoprogress.com/2014/11/kesadaran-sosial-atau-kesadaran-asosial-grameen-bank-di-antara-agensi-pelaksana-dan-agensi-sensual/

[10] Melalui UU No. 17 Tahun 2012 tentang Perkoperasian, peluang campur tangan pemerintah dan pemilik modal besar atas koperasi menjadi sangat besar. Tidak adanya jaminan atas kemandirian atau prinsip swadaya sangat bertolak belakang dengan karakteristik CU selama ini.

]]>
SAYA: Mengubah Dunia! (Tentang Kritis, Partisipatoris dan Tesis 11 Marx) https://indoprogress.com/2015/09/saya-mengubah-dunia-tentang-kritis-partisipatoris-dan-tesis-11-marx/ Wed, 23 Sep 2015 01:06:10 +0000 https://indoprogress.com/?p=14674
 

“Para ahli filsafat hanya telah menafsirkan dunia, dengan berbagai cara; padahal yang terpenting ialah mengubahnya”

Karl Marx, Tesis-Tesis tentang Feuerbach

 NATO

APABILA kita amat-amati dan renung-renungkan, sebenarnya kutipan di atas ini – yang saya yakin cukup sering kita dengar dalam rupa-rupa versinya – cukup bermasalah. Ya, bermasalah. Kutipan di atas adalah apa yang terkenal di kalangan ilmuwan sosial kritis sebagai tesis 11 Marx. Seperti diketahui, Marx menulis 11 tesis sebagai refleksi kritisnya atas Feuerbach melalui tulisan itu. Tesis 11 ini sering dipakai, saya juga pernah sih beberapa kali, untuk mengritik orang yang melulu berbicara sesuatu di tataran ideal, teori, filsafat, dan yang abstrak-abstrak nan melangit, tanpa pernah berjejak dan membicarakan hal yang kongkrit, apalagi melakukan sesuatu di kehidupan sehari-hari. Budaya populer kita punya sebutan untuk ini: NATO – no action, talk only.

Lalu mengapa tesis 11 ini cukup bermasalah? Pertama, apakah benar para ahli filsafat hanya telah menafsirkan dunia? Apakah benar para ahli filsafat sebelum Marx tidak memiliki keinginan untuk mengubah dunia, menjadikan dunia lebih baik dan, meminjam kosakata hari-hari ini, sustainable untuk anak-cucu kita di masa yang akan datang – ketimbang Cuma menafsir-nafsirkannya saja sambil lalu? Dibahasakan untuk penggunaan hari-hari ini, apakah benar orang-orang yang kita kritik sebagai NATO (No Action Talk Only) ini benar-benar ‘hanya menafsirkan dunia’ tanpa berusaha mengubahnya?

Pertanyaan kedua, apakah benar para ahli filsafat hanya telah menafsirkan dunia? Kata ‘telah’ merujuk pada suatu kondisi yang final, selesai, komplit, utuh, atau paripurna. Dengan kata lain, tesis 11 ini menganggap upaya penafsiran dunia ini sudah selesai, atau setidaknya sudah dilakukan – sehingga yang perlu dilakukan berikutnya adalah mengubahnya. Tapi kembali lagi, apakah upaya penafsiran dunia ini benar-benar telah selesai, rampung, final? Seolah-olah seluruh rangkaian kritisisme dan perdebatan (syukur-syukur kalau ada) terhadap tafsiran sang filsuf telah sampai pada terminal akhir kata sepakat. Seolah-olah bahkan pemikiran sang filsuf itu sendiri telah final dan, entah, mungkin saat ia merenung kembali di pispotnya, ia berubah pikiran. Atau mungkin, apakah benar upaya penafsiran ini telah dilakukan dengan baik dan benar, atau pakai bahasa Orde Baru, dengan murni dan konsekuen?

Saya kira kedua rangkaian pertanyaan ini, kalau saya boleh mewakilkan para pembaca sekalian, jawabannya adalah: ‘hmm.. ya nggak juga sih.’ Okelah, saya tidak akan membahas tesis 11 secara historis dalam konteks akademik dan sosial di zamannya.[1] Tapi yang penting bagi diskusi kita saat ini adalah sirkulasi dan artikulasi tesis 11 ini di kehidupan sehari-hari. Kita menjumpai tesis 11 ini, misalnya, dalam ungkapan-ungkapan sbb: ‘ah kamu cuma bisa ngritik terus, apa kerjamu untuk bangsa dan negara?’; ‘dasar omdo—omong doang, ngomong aja bisanya tanpa mempraktikkan.’ Bahkan ada yang lebih kasar, ‘bisanya cuma masturbasi intelektual saja, rakyat di luar sana sedang lapar dan menunggu tindakan kongkritmu!’ Saya yakin kita semua pernah dengar variasi lainnya—yang saya juga ingin dengar tentunya. Terhadap pertanyaan-pertanyaan ini, kita bisa ajukan dua rangkain pertanyaan di atas, dengan jawaban yang saya yakin sama.

Saya kira tesis tersebut bisa jadi tidak relevan lagi karena hari ini sudah menjadi etos dan anggapan umum bahwa “we have to do something.” Dimana-mana kita jumpai tentang istilah-istilah seperti: ‘saran praktis’, ‘rencana aksi’, ‘rekomendasi kebijakan’, ‘things to do list’, dst. Bahkan saya rasa amat susah kita sebut nama-nama orang, apalagi pemikir, yang tidak punya pendapat mengenai ‘apa yang harus kita lakukan’ di dunia ini. Bukan begitu?

Pula agaknya tesis tersebut perlu dipertimbangkan lagi karena, saya kira, kita semua tidak benar-benar bisa mengonfirmasikan bahwa ‘dunia telah selesai ditafsirkan’ atau bahwa ia ‘telah ditafsirkan dengan baik.’ Kita umumnya hanya bisa percaya kepada penafsiran-penafsiran ini tanpa ada usaha untuk berpikir ribet-ribet kritis mengenai penafsiran-penafsiran ini. Tidak ada engagement terhadap substansi dan logika ketimbang retorik dan simpulan akhir dari penafsiran-penafsiran tersebut. Sehingga bagaimana mungkin dikatakan upaya penafsiran ini telah benar-benar dilakukan kalau tidak ada yang bisa benar-benar memastikan bahwa ia telah benar-benar dilakukan?

 

So What?

Okelah, bung Yosie, apa yang mau kamu sampaikan dengan ngotot betapa bermasalahnya tesis 11 Marx ini? So what? – mungkin pembaca akan bertanya. Sederhana saja, tidakkah ini aneh: kita tidak tahu benar, atau tidak bisa benar-benar memastikan suatu pernyataan, namun kita sehari-hari menggunakannya, baik itu untuk mengritik orang lain, atau sekadar untuk memotivasi diri sendiri. Yang terakhir ini (memotivasi diri), bahkan memaksa kita untuk berpikir vulgar, sok realistis dan pragmatis; dan seakan-akan menjadi dosa dan/atau hal yang memalukan untuk berpikir sedikit abstrak dan ideal. Demikian pula saat seseorang dilabrak dengan ungkapan itu, serta-merta ia akan menjadi orang yang nerd, geek, berkaca-mata kuda, atau malah kalau di dunia gerakan sosial: mahasiswa dan intelektual yang tiada berguna, antek-antek feodalisme kampus, penghuni menara gading, dst. Jadilah seseorang tersebut sansak bulan-bulanan bully yang empuk. Hebat bukan fungsi ungkapan ini, bahkan saat ia beroperasi di luar makna dan substansinya? Ini poin pertama.

Poin kedua, saya akan memperluas bahasan dengan menghubungkan ke hal lain yang masih tetanggaan. Penggunaan ungkapan tesis 11 dalam bentuk yang barusan ini, biasanya punya asumsi mengenai suatu keharusan untuk kita menjadi, salah duanya, “kritis” dan “partisipatoris.” Artinya, pemikiran kita – atau bahasa tesis 11-nya penafsiran-penafsiran kita – hendaknya memiliki karakter kritis yang tidak hanya mengawang-awang saja. Melainkan, ia bisa menjadi penuntun untuk tindakan kongkrit kita saat kita melibatkan diri di kehidupan sehari-hari – Marx tentu akan menyebut keterlibatan dalam perjuangan kelas.

Pertanyaan saya, lagi-lagi sama. Apa itu kritis, apa itu partisipatoris? Karena pertanyaan tersebut seolah-olah memang benar bahwa kita ‘hanya telah’ idealis dan tidak terlibat (engaged; participated)! Lagi-lagi, interogasi macam yang saya sampaikan di atas saya kerahkan. Kritis? Apa benar kita tidak kritis? Bukankah, kata common sense, “rakyat sekarang sudah pintar, tidak bisa ditipu lagi”? Juga lihat betapa kritisnya kita ke customer service saat Burger King kita ternyata ada kadal di dalamnya; atau saat ada SMS “mama minta pulsa” – kita bisa segera mengatakan itu bohong; atau bayangkan anda menjadi pegawai Lion Air saat harus merasakan keras, tajam dan berbobotnya kritik-kritik dari penumpang yang ditelatkan dan ditelantarkan maskapai anda.

Lalu partisipatoris. Apa benar kita selama ini tidak terlibat di dunia kita, dan tidak berusaha mengubah dunia? Seakan-akan kita saat ini ada di Mars dan mencerca Indonesia dan manusia-manusia uniknya, gitu. Saya tidak bisa berhenti heran betapa gandrungnya kita dengan film-film Reality Show: bedah rumah, atau bedah apa lah itu. Juga betapa Laskar Pelangi yang berbicara tentang kegigihan perjuangan sehari-hari, atau Slumdog Millionaire. Di dunia kampus, akademik dan gerakan pun, kita melihat gelombang – apa yang disebut kawan saya Geger Riyanto – sebagai “euforia etnografi”—begitu gandrung melihat partikularitas dan konteks-konteks keseharian; begitu gandrung dan ‘bangga’ untuk melakukan ‘penelitan lapangan yang langsung bersentuhan dengan masyarakat’; begitu cepatnya hati tergugah untuk turun mengajar anak-anak terlantar di kolong jembatan dan di ruang kelas yang sebentar lagi atapnya roboh.

Ya..ya.. “So what?” kan yang akan Anda tanya? Saya akan menjawab hal yang sama: bagaimana mungkin kita menyuruh orang kritis dan partisipatoris jika pada dasarnya mereka semua sudah sedang dan selalu kritis dan terlibat?! Itulah mengapa kita harus benar-benar tegas, jelas dan jernih di sini dengan apa yang kita maksudkan dengan ‘kritis’ – karena jika tidak, maka massa pelanggan Lion Air yang terorganisir, yang melakukan demo marah-marah, bisa jadi manifestasi kesadaran kritis revolusioner. Demikian pula halnya, tanpa orientasi keberpihakan yang jelas ke arah mana ‘partisipasi’ kita konsepsikan, maka program-program semacam Indonesia Mengajar bisa jadi bentuk praksis perjuangan paling revolusioner abad ini.

 

Penutup

Saya lebih tertarik sebenarnya pada pertanyaan lain yang menurut saya merupakan pintu masuk menjelaskan teka-teki ini. Ada apakah dengan kata ‘kritis’ dan ‘partisipatoris’ dan saudara-saudaranya ‘mengubah dunia’, ‘emansipatoris’, ‘terlibat’, ‘do something’, dst…ini sehingga orang begitu menghasratinya, mendambanya, merindukannya – padahal ia telah selama ini lakukan?

Kalau saya boleh sotoy, jawabannya mungkin ada di awal, yaitu di Tesis 11 Marx tadi. Kita terlalu tergesa-gesa menyerah pada dorongan impulsif dan refleks kita untuk menjadi kritis dan partisipatoris. Walaupun ini adalah hal lumrah: maraknya media massa (lama dan baru) yang menyorot dan memviralkan imaji-imaji penderitaan, krisis, dan kelaliman. Terketuklah di hati kita (para kelas menengah ini yang tentu saja sudah kenyang dan punya kehidupan yang yahh…cukup layak lah ya..) untuk bergerak dan berbagi. “Oh indahnya berbagi”—kata penutup yang selalu saya jumpai di akhir broadcast message yang selalu tanpa diundang nyelonong ke ponsel saya.

Oscar Wilde pernah mengatakan, “adalah mudah untuk bersimpati dengan penderitaan, ketimbang bersimpati dengan pemikiran.” Saya yakin dan percaya, Wilde sama sekali tidak memaksudkan untuk mengerdilkan bahkan menegasikan pentingnya upaya-upaya kongkrit, “simpati dengan penderitaan.” Namun yang mau saya tekankan, sekaligus peringatan ramah saya, adalah sia-sia apabila kita mau mengubah dunia, apabila dunia tersebut tidaklah telah benar-benar kita tafsirkan. Orang-orang yang berkeras, ‘ah nggak penting banyak-banyak mikir, yang penting aksi,’ ‘sudahlah nggak usah berteori panjang-panjang, kita mesti pikirkan apa yang kongkrit bisa dilakukan,’ ‘riset itu kelamaan, pekerja sudah sesak tereksploitasi,’ atau mungkin yang lebih keseharian, ‘ah bego ah, pusing pala Barbie, yang penting kerja yang baik aja lah, baik sama sesama, masuk surga deh..’: semuanya ini saya khawatir hanya ingin menyelamatkan imaji diri mereka untuk ‘yang penting aksi!’ – karena ya, memang, hanya aksi yang bisa tampil dan disorot mata dan kamera—diabadikan dan dijadikan profile picture, malahan; dan ya memang hanya aksi yang nggak banyak tanya yang disukai bos dan atasan kita.

Oya, kadang-kadang seruan mereka diimbuhi imbuhan heroik semacam ini juga: ‘rakyat sudah menjerit lapar,’ ‘umat di luar sudah menderita,’ ‘alam sudah meronta karena kita eksploitasi,’ dan rangkaian imaji-imaji urjensi semu bikinan kita tentang mereka-mereka yang malang yang menunggu pertolongan kita. (Ya, urjensi semu, kecuali memang kemalangan-kemalangan ini belum pernah terjadi selama ribuan tahun manusia ada, dan baru saja terjadi di era selfie kita saat ini?) Jelas bahwa yang terpenting dalam ungkapan dan seruan-seruan ini adalah SAYA; atau kenyataan bahwa SAYA mengubah dunia. SAYA-lah yang menjadi pusat, ketimbang perubahan di dunianya. Dunianya berubah atau tidak bukanlah jadi urusan, setidaknya SAYA sudah melakukan sesuatu. Masalah dan kemalangannya teratasi atau tidak, bukan menjadi soal, yang terpenting SAYA sudah ikut merasakannya bersama, mendengar keluh kesah mereka yang malang, menangis bersama, berbagi bersama (dan tak lupa: berfoto bersama!—atau, well, eksyennya saya nggak lihat kamera, gitu). SAYA, SAYA, SAYA. – daripada kamu, Yos, bisanya cuma ngritik aja.

Terakhir sekali, mungkin tesis 11 hanya akan menjadi benar adanya hanya kalau kita mengartikannya secara benar, yaitu: benar, bahwa dunia telah benar-benar ditafsirkan; dan benar, bahwa mengubah dunia hanya mungkin dilakukan kalau tafsiran terhadapnya telah benar-benar dilakukan. ***

 

Penulis adalah Peneliti di Koperasi Riset Purusha; Editor Jurnal IndoPROGRESS

 

Artikel ini sebelumnya adalah materi pemantik untuk diskusi rabuan, “Mempertanyakan Kembali Kehidupan: Berpikir Kritis dan Emansipatoris,” Gereja Komunitas Anugerah, 26 Agustus 2015, Thamrin, Jakarta.

 

———
[1] Marx sebenarnya hanya menyasar Hegel yang hanya ingin “paint grey on grey,” yaitu hanya berfilsafat saja dan mengatakan apa adanya, “kalau abu-abu ya abu-abu,” tanpa terlibat di kehidupan kongkrit – lagi-lagi menurut Marx. Filsafat Hegel ini, di zamannya, memiliki banyak pengikut. Sehingga, secara retorik, bagi saya sah-sah saja mengutarakan tesis 11 dengan merujuk pada subyek yang generik.

]]>
Bangkitnya Kelas Dramatis: Tentang kehidupan psikis homo economicus neoliberal di era media baru (studi kasus: pengguna Facebook dan Twitter Indonesia) https://indoprogress.com/2015/04/bangkitnya-kelas-dramatis-tentang-kehidupan-psikis-homo-economicus-neoliberal-di-era-media-baru-studi-kasus-pengguna-facebook-dan-twitter-indonesia/ Sun, 05 Apr 2015 02:12:22 +0000 https://indoprogress.com/?p=13772 KITA TENTU TAK BISA LUPA, beberapa tahun belakangan, membicarakan perasaan pribadi kita secara publik atau membuka masalah-masalah privat di ruang publik merupakan hal yang janggal secara sosial. Kita akan merasa malu kalau orang lain tahu urusan pribadi kita. Namun, pada era media baru hari ini, kita melihat gambaran yang sama sekali berbeda. Media sosial kini penuh sesak dengan konten kehidupan privat, dari gambar menu makan siang, ekspresi kejengkelan, mengasihani diri, doa dan harapan personal, makian vulgar, komentar nyeleneh yang bertele-tele, sampai informasi yang maha penting seperti punggung yang gatal tapi tak bisa digaruk. Kita tak butuh berusaha terlalu banyak untuk mendapatkan ekspresi-ekspresi macam ini di media sosial. Konten privat yang remeh macam ini semakin lama semakin menjadi.

Spesies konten privat yang akan kita diskusikan dalam tulisan ini adalah konten yang memiliki efek dramatis. Satu hal yang perlu dicatat, bukan konten privat per se yang akan menjadi fokus diskusi kita, melainkan hanya sejauh konten privat tersebut di-post secara publik oleh semacam subjek berdasarkan cerita personal subjek itu—drama kehidupan pribadi. Memiliki kehidupan dramatis adalah satu hal, namun membuatnya menjadi publik adalah hal yang berbeda dan menarik untuk ditinjau lebih jauh. Semua orang suka drama—cerita personal, kemalangan, kebahagiaan, kesedihan, romansa, dan erotika. Orang juga suka berbagi cerita-cerita ini dengan orang-orang terdekatnya. Tapi menceritakan hal-hal seperti ini seenaknya, di depan publik, tanpa tahu persis siapa yang mendengarnya—ini fenomena baru dalam sejarah.

Artikel ini berusaha menyusun pemahaman awal mengenai fenomena baru ini dengan melihat pengguna media sosial Facebook dan Twitter. Tujuan umum tulisan ini adalah untuk menyejarahkan fenomena “publikasi privasi” dalam bentang darat media baru. Menyejarahkan yang kami maksud di sini adalah upaya untuk mensituasikan kemunculan fenomena ini dalam konteks sosial yang lebih luas, untuk kemudian menyarikan implikasi sosialnya. Secara spesifik, kami akan mensituasikan fenomena tersebut dalam kapitalisme neoliberal, terutama dalam bagaimana ia menciptakan semacam subjektivitas yang berguna untuk menguatkan dan mengasingkan sistem dalam kehidupan sehari-hari dan, dalam pembahasan kita, dalam kapitalisme komunikatif kita hari ini. Pembaca juga mesti menyadari bahwa diskusi kita bukan hanya untuk mendeskripsikan situasi, namun yang lebih penting juga untuk menyudi kemungkinan-kemungkinan mengubahnya.

Dengan ambisi ini, diskusi kita akan dibagi dalam empat bagian. Pertama, dengan mengamati dinamika dalam kedua media tersebut untuk kemudian mencari tahu subjek macam apa yang didefinisikan oleh aktivitas dramatis di dalamnya. Aktivitas ini akan disebut sebagai dramatisasi. Teori hasrat dan sublimasi Jacques Lacan akan digunakan sebagai lensa yang darinya konsep dramatisasi dikembangkan lebih jauh. Melalui teori tersebut, dramatisasi dilihat sebagai sebuah moda berhasrat yang spesifik dalam era media baru kita. Dalam bagian kedua, artikel ini akan memperluas hipotesis genealogi Michel Foucault tentang noliberalisme bahwa dramatisasi adalah konsekuensi lebih jauh dari demokrasi kapitalis-neoliberal (DKN). Gagasan “privatisasi” menjadi salah satu fokus dalam memahami aktivitas homo economicus neoliberal. Bagian ketiga mencoba melihat dramatisasi sebagai sesuatu yang menyerupai kerja, yang dilakukan dengan sesuatu yang menyerupai tenaga kerja, menghasilkan sesuatu yang menyerupai nilai, dibayar dengan sesuatu yang menyerupai upah, dan dengan demikian membentuk sesuatu yang menyerupai kelas baru: kelas dramatis. Dengan menempatkan diskusi ini dalam palingan afektif dari teori sosial, akan tampak bahwa kelas dramatis ini dipenuhsesaki oleh manusia yang kapasitas afektifnya direnggut oleh Modal melalui konstelasi teknologi media baru yang demikian kompleks. Kelas dramatis tidak memiliki otonomi afeksi, ia hanya memiliki kebebasan afeksi artifisial di dalam arus media baru yang di bangun oleh algoritma yang demikian ruwet. Kami, sebagai penulis, berharap bagian terakhir tulisan ini menyediakan penutup yang berguna dalam pembahasan implikasi tesis tersebut, serta kemungkinan baru dalam mengarahkan kapasitas afektif kita melalui bangunan media baru untuk membawakan babak pamungkas dalam drama sistem kapitalis-neoliberal.

Drama, Dramatisasi, dan Subjek Dramatis

SEBELUM berlayar dalam diskusi teoretik yang abstrak, kami ingin pembaca menyicipi hidangan yang akan kami teorikan. Contoh acak dari Twitter, seorang “selebtweet” @radityadika pernah bercuit,

“Kucing gue kasian deh, makin tua makin susah dapet pacar soalnya dia udah kapok dikecewain terus”

Kalau ada orang dari tahun 1950an berpelancong dalam mesin waktu ke hari ini dan membaca twit ini, ia pasti mengira kucing @radityadika adalah kucing yang sangat penting, kucing istimewa, atau memiliki kualitas tertentu yang layak diperhatikan publlik. Orang itu pasti bakal keliyengan ketika berusaha memahami kata-kata berikut dengan terlampau serius: “Susah dapet pacar? Dikecewain terus? Kucing? Kampre…”

Contoh acak lain dari teman Facebook kita (yang tidak serta-merta berarti benar-benar teman kita),

“Semalam mimpi naik angkot bareng AyenJKT48 dari Tokyo ke Yokohama buat event hensek. Supirnya cw cakep yang mirip Sakura Mana <3.”

Kita tentu tahu lelucon garing membosankan yang jamak diketahui orang Indonesia, ketika seseorang bercerita (terkadang sangat panjang) hal yang tak punya relevansi dengan orang yang diajaknya bercerita, lalu ditanya, “Siapa?” yang kemudian dijawab dengan, “Gue” (kalau cerita itu tentang dirinya), lalu ditimpali dengan sangit, “Siapa yang tanya!?”

Tek-tok ini barangkali bisa dipakai untuk menanggapi post Facebook di atas—publik tidak peduli mimpi basah apa yang dimiliki kawan kita itu. Tapi tetap saja, kita tidak bisa menolak post tersebut untuk tampil di laman Facebook kita sejak mulanya. Kabar baiknya, post semacam itu sering kali datang dengan gambar!

kandi tomasoayosie 1

Sudah cukup kita mengumbar contoh publikasi privasi yang memiliki konten dramatis. Lalu, makhluk macam apakah drama itu? Apa yang membuat sebuah drama menjadi drama? Apabila kita lihat teks kanon sosiologi Erving Goffman, The Presentation of Self in Everyday Life, kita bisa bilang bahwa sebuah subjek melakukan drama dalam panggung utama sosial sebagai strategi untuk mendapatkan ekspektasi, norma, dan nilai yang tertanam dalam masyarakat. Pendekatan dramaturgi Goffman menunjukkan bahwa identitas adalah sebuah peran yang dijalankan subjek dalam konteks spasio-temporal yang spesifik. Identitas, dengan demikian, dilihat sebagai sesuatu yang cair, tergantung pada konteks interaksi sosial. Ada identitas asli subjek yang bersembunyi di belakang layar, selalu terpendam (atau teredam) dari mata publik. Polah subjek yang tersembunyi ini tentunya berbeda dari apa yang ia perankan di tengah panggung. Yang dimainkan subjek di panggung sosial adalah “drama”.

Dari bidang kajian drama, kita memahami bahwa tujuan drama adalah menyampaikan cerita pada sekumpulan audiens. Penyampaian ini dilakukan dengan melakukan semacam karakter dramatik, melalui plot yang berjalan menuju akhir tertentu.

“Tujuan sebuah drama adalah membuat audiens mempersepsikan apa yang secara intuitif disebut sebagai sebuah ‘cerita’ dengan menampilkan tindakan-tindakan beberapa karakter (dalam konflik); tindakan-tindakan yang diatur dalam sebuah plot; plot itu bergerak menuju satu tujuan. Nosi tentang tujuan, karakter (juga disebut dramatis personae) dan plot, yang bisa ditelusuri dalam berbagai literatur tentang analisis drama, adalah tiga komponen dari jenjang pengarahan dalam [analisis drama].”[1]

Namun, apa yang membuat audiens mau duduk dan menonton drama? Pemain drama mesti selalu sadar bahwa drama mereka hanya akan mendapat audiens sejauh drama itu menarik buat audiens. Kalau tidak, mereka hanya akan bermain untuk bangku-bangku kosong. Pemain drama, dengan demikian, mesti bisa membuat dan memainkan sebuah cerita yang cukup kuat sedemikian rupa untuk menenggelamkan penonton dalam cerita. Dengan kata lain, drama mesti punya kemampuan mengundang penonton untuk menemukan diri mereka sendiri dalam drama itu. Inilah alasan pemain drama yang baik sangat lihai dalam mengubah cerita personal menjadi cerita yang relevan bagi publik. “Penyair dan dramatis, sangat jauh dari pengkhayal yang terpencil, adalah pembangun dan pencipta kedalaman manusia serta interior manusia baru yang berhubungan dengan semesta,” tulis William Lynch.[2] Semakin kuat drama menarik penonton, semakin luas pula pengaruh cerita tersebut dalam kehidupan sosial.

Namun demikian, apabila kita melihatnya dari perspektif psikoanalitik yang disediakan oleh Jaqcues Lacan, persoalannya menjadi lebih rumit. Logika dramatisasi memiliki kecocokan sempurna dengan nosi “sublimasi” Lacan yang ia bahas dalam Seminar 7: Etika Psikoanalisis. Sublimasi, menurutnya mengikuti Freud, adalah sebuah moda berhasrat spesifik yang berjalan dengan mengalihkan dorongan libidinal personal kepada objek atau ekspresi yang bernilai secara sosial. Sublimasi “menciptakan nilai-nilai yang dikenal secara sosial.”[3] Mekanisme inilah yang bermain ketika, misalnya, seorang subjek menghibur dirinya sendiri bahwa pembunuhan-pembunuhan yang akan ia lakukan adalah pembelaan agama yang bisa dijustifikasi. Pengakuan sosial memainkan peran penting dalam teori kedua psikoanalis tersebut. Namun buat Lacan, berbeda dari Freud, pengalihan ini sama sekali tidak ada hubungannya dengan objek yang dihasrati, melainkan status objek yang dihasrati.[4]Dengan sublimasi, objek yang dihasrati akan dinaikkan derajatnya menjadi “melampaui-yang-ditandai” (beyond-the-signified),[5]yaitu menjadi objek sublim. Tanyakan saja sembarang partisipan naif gerakan Earth Hour, mereka akan bilang bahwa tindakan mematikan listrik untuk satu jam (objek yang dihasrati) sebagai sebuah pertolongan besar bagi ibu bumi (objek sublim) yang lindap (tapi tolong kasihani mereka dengan tidak bertanya bagaimana hal itu bisa terjadi secara logis).

Sebagai sublimasi, dramatisasi dengan demikian adalah tindakan memanggungkan cerita personal dengan membalutnya dalam nilai-nilai yang diterima secara sosial sedemikian rupa sehingga bisa menarik perhatian liyan. Subjek yang melakukan tindakan dramatisasi ini adalah apa yang kita sebut sebagai subjek dramatis. Dramatisasi terdiri atas gerakan memfiksikan plot atau cerita, membubuhinya dengan konten yang relevan secara sosial, dan mempertunjukkannya secara publik. Subjek mengambil peran, suatu posisi, di dalam plot yang sudah menjadi fiksi tersebut. Dengan demikian, dramatisasi adalah juga suatu bentuk aktif subjektifikasi, dalam arti seorang subjek dramatis membuat usaha artistik (menciptakan dekorasi fiktif, menggubah alur cerita, membuat peran, mencari kalimat-kalimat yang rancak, dst.) untuk menjadi sebuah persona, ego yang diidealkan. Meski demikian, tujuan dramatisasi bukan sekadar menjadi subjek atau persona yang dihasrati. Sebagaimana subjektifikasi pada umumnya, objek yang paling dihasrati oleh subjek saat melakukan dramatisasi adalah apa yang ia harap akan dapatkan dengan, dan hanya dengan, mengenakan suatu persona. Dengan kata lain, subjek mengambil kesenangan dengan menjadi medan perhatian. Hal ini mengemuka dengan gamblang dalam bentang media baru kita. Ketika kita mengutip satu larik dari buku tebal Karl Marx, misalnya, sering kali yang kita hasrati bukanlah implikasi dari kata-kata Marx, melainkan bagaimana orang melihat kita ketika kita mengutip kata-kata Marx.

Dengan demikian, dalam kosmologi dramaturgi Goffman, seorang subjek memberi pertunjukan yang baik di panggung bukan hanya karena ia mesti berpura-pura menyerahkan diri pada sekumpulan norma yang diterima secara sosial. Lebih daripada itu, seorang subjek hanya bisa memperoleh identitas dengan mempertunjukkan peran sosial itu. Namun kita tak boleh terkecoh; tujuan utamanya bukanlah identitas ini, melainkan hasrat narsistik untuk dikenal, diterima, dan bahkan dicintai ketika subjek tersebut memakai sebuah identitas, sebuah peran sosial. Hal ini menantang asumsi lama kita bahwa, entah bagaimana caranya, sebuah subjek dramaturgi masih menyimpan identitas autentiknya di gelapnya belakang panggung, sambil memakai topeng peran sosial yang spesifik di terang panggung sosial. Tidak. Subjek justru hanya bisa memiliki identitas di atas panggung. Di belakang topeng sosial yang ia kenakan, di belakang panggung, hanya ada kosong.

Tentu, secara de facto, seorang subjek telah memiliki segepok identitas (ras, agama, ideologi, dst.) sebelum menjalankan sebuah peran sosial. Namun, untuk memastikan, sebuah identitas diperoleh hanya dalam panggung utama sosial, hanya disematkan oleh liyan. Tanpa liyan, tak akan ada identitas. Hanya dalam hubungannya dengan liyanlah subjek bisa memperoleh identitas. Apabila hal ini dipenuhi, kita bisa meninjau segepok identitas yang dimiliki subjek sebelum ia menjalankan peran sosial, dan bertanya: apakah segepok identitas ini ada begitu saja di sana sebelum subjek memainkan sebuah peran di panggung sosial? Kita tidak perlu bertanya dua kali untuk menjawab “tidak”. Identitas diperoleh ketika subjek memasuki relasi spasio-temporal (baca: panggung) dengan liyan. “Liyan” ini tidak mesti manusia; ia bisa juga ide, benda-benda, bahasa, imaji, dst.—semua yang merupakan exterior subjek. Seorang Jawa bisa saja menjadi Jawa ketika ia memasuki relasi dengan sekumpulan manusia, berbagi sekumpulan praktik sosial, dan membalut diri mereka dalam sebuah narasi tentang bangsa. Hal yang serupa terjadi di antara perokok, yang hanya menjadi perokok ketika ia masuk dalam relasi dengan lintingan tembakau bernama rokok.[6] Di luar relasi-relasi ini, subjek adalah entitas yang tak bisa dikenali, sebuah kekosongan. Namun, kekosongan yang menghasrati identitas (Yosie mendiskusikan topik ini secara mendalam dalam Asal-Usul Kedaulatan).

Implikasi lain dari hal ini berhubungan dengan status liyan dalam proses dramatisasi. Liyan, dalam kasus kita, mengejawantah dalam figur penonton. Siapakah mereka? Apakah mereka sekadar orang-orang yang menonton pertunjukan dramatik? Tidak. Apabila kita meremehkan peran penonton sebagai “mereka yang menonton”, kita tidak hanya gagal mengenali status perhatian penonton sebagai objek hasrat subjek, namun juga meninggalkan fakta bahwa penonton sebenarnya tidak perlu ada sama sekali! Subjek mendramatisasikan pertunjukan dengan mengambil peran tertentu sama sekali bukan karena ia menghargai peran bodoh itu. Sebaliknya, subjek mau memerankan peran tertentu hanya karena ia berharap akan ditonton penonton. Penonton diharapkan untuk menonton, inilah yang dihasrati subjek dramatis. Memang, “menonton” bisa diterjemahkan dalam kosakata Facebook dan Twitter sebagai “like”, “reply”, “comments”, “retweet”, “favorite”, “share”, dst.

Namun kemudian apa maksud dari pernyataan bahwa penonton tidak mesti ada? Kita bisa mengambil contoh demam panggung. Ketika seseorang berlatih drama, ia akan melakukannya berkali-kali tanpa penonton sungguhan, namun dengan keseriusan tinggi seolah-olah bangku penonton penuh sesak. Dengan demikian kita bisa menyimpulkan bahwa penonton drama menyerupai apa yang Lacan sebut sebagai subjek yang dibayangkan.[7] Penonton ada dalam fantasi dan menjadi kondisi fundamental yang darinya pertunjukan dramatik menjadi bermakna. Tanpa fantasi tentang penonton ini, tidak akan ada drama sama sekali. Namun bukan hanya keberadaan penonton yang difantasikan, predikat penonton itu sendiri juga hasil fantasi. “Tontonan” dari penonton hanyalah andaian subjek ketika ia mempertunjukkan dramanya. Sudah jelas bahwa penonton adalah subjek andaian yang diandaikan menonton subjek dramatis.

Kami berharap penjelasan tentang dramatisasi dalam sudut pandang sublimasi psikoanalitik Lacanian ini cukup untuk mempersenjatai pembaca dalam memahami sarkasme yang kami temukan di internet ini: “Kami dinasehati orangtua kami untuk tidak bicara pada orang asing. Sekarang, dengan Twitter, kami bahkan bicara dengan orang yang kami sendiri tidak yakin apakah dia benar ada atau tidak”. Yang baik—kalau ada yang baik—dari hal ini adalah bahwa Twitter mengajari kita untuk menjadi optimistik: teruslah ngetwit bahkan kalau kita tidak tahu apakah benar ada orang yang membacanya.  Atau membalasnya. Atau me-retweet-nya.

Dari Demokratisasi hingga Dramatisasi

BEBERAPA dari kita mungkin bertanya, apa urusannya demokratisasi dengan dramatisasi? Dramatisasi bisa jadi konsekuensi lebih lanjut, kalau bukan ekses, dari demokrasi neoliberal. Dalam bagian ini, kita tidak akan mendaku bahwa dua fenomena tersebut memiliki hubungan penyebaban langsung. Kita akan menaruh dugaan bahwa demokratisasi dan dramatisasi adalah dua peristiwa terpisah yang bertubrukan dalam lingkungan media baru kita hari ini. Kami akan mengelaborasikan bagaimana demokrasi neoliberal lanjut, dengan janji tentang kebebasan, partisipasi, serta homo economicus neoliberal yang ia butuhkan, punya andil besar dalam membentuk kemungkinan subjek dramatis—yang mempertunjukkan dramatisasi, karena dramatisasi adalah tindakan—untuk ada sejak mulanya. Bagian ini akan mengelaborasikan dramatisasi sebagai tindakan yang didukung oleh munculnya subjek dramatis dalam demokrasi neoliberal.

Untuk bisa sampai pada klaim tersebut, kita mesti mulai dari asumsi dasar bahwa kapitalisme neoliberal bukan hanya mengurusi produksi aktivitas ekonomi. Pengaruhnya menjalar lebih jauh dalam produksi relasi sosial—tentang rasionalitas, subjektivitas, bahkan gaya hidup. Dengan demikian, logika pasar akan mengemuka dalam masyarakat itu sendiri. Rekonstruksi sosial tentang kedirian ini—atau sebagian dari kita menyebutnya moda kepemerintahan baru[8] (suatu sikap atau mentalitas)— menciptakan kondisi sosial untuk mendukung produksi ekonomi dalam konteks neoliberal yang di dalamnya manusia diatur, mengatur dirinya sendiri, serta mengontrol satu sama lain.[9] Dalam The Birth of Biopolitics, Michel Foucault menyebut tipe subjektivitas ini sebagai homo economicus neoliberal. Untuk memahami hal ini lebih lanjut, kami akan mengelaborasikan apa itu homo economicus neoliberal secara singkat.

Homo economicus adalah istilah yang menempatkan manusia sebagai subjek ekonomi, membuat pertukaran sebagai dasar matriks sosial. Subjektivitas inilah yang dimiliki oleh liberalisme klasik maupun neoliberal. Liberalisme klasik menekankan nosi pertukaran dalam aktivitas manusia; karena seseorang bisa menukarkan barangnya begitu saja dan membiarkan pasar berjalan dengan sendirinya. Kebijakan laissez-faire yang mensyaratkan negara tidak mengintervensi “tangan gaib” pasar punya hubungan langsung dengan logika liberalisme klasik. Yang membedakannya dari neoliberalisme ada pada nosi tentang kompetisi.

Pergeseran ini terjadi karena, sementara pertukaran dianggap alamiah dalam liberalisme klasik, kaum neoliberal abad ke-20 memandang kompetisi sebagai relasi artifisial yang harus dipelihara, untuk menguatkan pasar dari ancaman monopoli dan intervensi negara dalam bentuk apa pun. Yang dimaksud Foucault sebagai homo economicus “neo”-liberal adalah pergeseran subjektivitas yang tak lagi menempatkan pertukaran sebagai dasar (base), melainkan kompetisi, dari subjek ekonomi neoliberal. Homo economicus neoliberal dengan demikian adalah suatu jenis subjektivitas yang bersedia dan secara otomatis menopang logika pasar neoliberalisme melalui pengaturan-diri tanpa campur tangan negara, karena logika pasar itu sendiri telah terinternalisasi sebagai identitas mereka. Subjek-subjek ini rela bertindak seperti itu karena, jika dipikir secara rasional, akan sangat merugikan bahkan mustahil untuk berpaling dari konsep hak dan kebebasan individu yang dihadirkan dalam logika pasar neoliberalisme. Kondisi kebebasan bagi subjek-subjek tersebut untuk menjalankan logika pasar adalah ihwal yang selama ini dipelihara oleh negara, yakni demokrasi.

Secara umum, demokrasi dipahami—atau direduksi besar-besaran—sebagai partisipasi dan kebebasan individu. Namun definisi lainnya tentang demokrasi—terutama yang dirumuskan oleh Friedrich A. Hayek—berbunyi “demokrasi pada dasarnya adalah sebuah alat, perangkat utilitarian untuk menjaga kedamaian diri serta kebebasan individu.”[10]Homo economicus neoliberal yang melekat  pada logika pasar akan berpikir bahwa kondisi yang dihadirkan oleh demokrasi adalah baik—bahkan benar secara moral: Kenapa sih gagasan partisipasi individu dan kebebasan harus ditolak? Orang kan bebas berekspresi, berpartisipasi, menjadi bagian dari dunia ini. Hak Asasi Manusia pun dijaga.

Masalahnya, ketika cara berpikir seperti ini diterima sebagai kewajaran, di situlah neoliberalisme mencengkeram diri kita.

Sejujurnya, yang dipertaruhkan di sini bukan hanya dimensi moral dari permasalahan di atas, bukan hanya soal “baik atau buruk”. Yang juga dipertaruhkan ketika orang sepakat bahwa konsep otonomi yang dihadirkan dalam kebebasan ini adalah sekadar kebebasan untuk memilih. Namun persis di sinilah homo economicus neoliberal menginternalisasi logika pasar. Artinya, homo economicus adalah mahluk rasional yang menimbang untung-rugi untuk jangka waktu ke depan, semacam investasi saja—mirip seorang wirausahawan yang merdeka dan sepenuhnya berhak memanfaatkan (atau dalam istilah yang lebih tepat, menginvestasikan) kapitalnya. Orang mungkin akan bertanya: kapital apa yang mereka punya? Jawabannya: diri mereka sendirilah yang menjadi kapital—kapital manusia (human capital). Lebih tepatnya, yang menjadi kapital manusia adalah “sumber daya immateriil” dalam diri (“immaterial resources” of the self) yang bersifat afektif dan kognitif.[11] Dalam cakrawala kapital manusia, hidup akan dipandang sebagai karir, sebagai investasi kehidupan yang berlaku sepanjang hayat.

Lebih sederhananya, homo economicus neoliberal sebagai sebuah subjek dalam demokrasi,  dikondisikan supaya bersikap  mandiri dan agentif supaya mampu mengatur dirinya sendiri, baik sebagai kapital sekaligus sebagai tata cara investor. Yang menarik adalah apa pun yang dilakukan subjek ini: ketika ia mengonsumsi, ia juga memproduksi, ia memerintah sekaligus diperintah, mengonsumsi sembari memproduksi, ia kapitalis sekaligus proletariat. Ini akan lebih memaksa homo economicus neoliberal untuk sekadar bertindak—untuk mengonsumsi, berinvestasi, untuk aktif. Karena ketika mereka melakukan aktivitas-aktivitas ini, mereka sedang memproduksi dan memperoleh keuntungan kapital (diri). Hal ini memberikan mereka kesan partisipasi, kesan melakukan sesuatu, semacam pencapaian dan perasaan penting dalam lingkungan yang demokratis. Sebuah “fantasi partisipasi,” kira-kira demikian yang akan dikatakan Jodi Dean.[12]

Perspektif ini memungkinkan seluruh aktivitas—bahkan yang kelihatannya tidak produktif—untuk diteoretisasikan sebagai corak investasi kapital.[13] Itulah sebabnya Foucault mengatakan bahwa homo economicus neoliberal adalah wirausahawan atas dirinya sendiri.[14] Mereka cukup memilih secara rasional lalu bertindak seturut pilihannya itu—betapapun tindakan tersebut tak berkesan penting, sementara tindakan tersebut akan mengasilkan perolehan kapital yang akan kembali ke diri sang subjek.

Dalam sistem demokrasi neoliberal, manusia adalah individu yang otonom. Ia bebas memilih apa yang bisa dipelajari, bebas bicara di publik, bebas memilih mau berteman dengan siapa (dalam hal berjejaring sosial), bebas memilih pasangan menikah, dan bahkan bebas memilih makanan apa yang hendak disantap. Yang dilakukan hari ini adalah investasi untuk hari esok. Segala sesuatu dipikirkan sebagai upaya memaksimalkan investasi personal atas kapital manusia yang dimilikinya sendiri sehingga mampu bersaing dengan (kapital diri) orang lain. Individu dikondisikan dan didorong untuk aktif dalam pasar bebas seraya diminimalisir keterlibatannya di pemerintahan. “Kekuasaan untuk rakyat, sistem di mana rakyat mengatur diri mereka sendiri; demokrasi!” Mentalitas mandiri pada sistem ini membuat keaktifan—tentunya ini hak kita—menjadi suatu hal yang rasional. Pola pikir ini pun lantas membuat kita selalu berandai-andai: jika kita memilih untuk tidak aktif, kita akan rugi, akan kehilangan kesempatan yang sesungguhnya penting buat diri kita sendiri. Mengikuti mentalitas wirausahawan, homo economicus neoliberal yang dikendalikan oleh kompetisi akan selalu dihantui perasaan ditinggalkan orang lain yang juga terlibat dalam kompetisi tersebut. Homo economicus neoliberal dirongrong untuk selalu tampil: untuk berpartisipasi, menjadi agen pasar yang lebih agentif, bisa membuat keputusan, voluntaristik dan dinamis[15] oleh kehendak bebas mereka sendiri.

Jenis subjektivitas inilah yang akan terus aktif menyesuaikan diri dengan sistem. Tapi apa sebetulnya hubungan semua ini dengan dramatisasi?

Di sinilah semuanya saling terkait. Aktivitas baru bernama dramatisasi ini tercipta oleh  demokratisasi –yang berperan sebagai kondisi yang memungkinkan partisipasi individu yang berbasis kebebasan untuk memilih—yang beriringan dengan jenis subjektivitas yang menghendaki peningkatan diri (self-improvement), partisipasi diri, investasi diri, dan pengaturan diri dalam fantasi partisipasi.

Bagian penting untuk digarisbawahi adalah, karena subjektivitas tersebut menganggap subjek sebagai individu otonom, di mana mereka mempertimbangkan segala sesuatu demi kepentingan pribadi mereka (setiap pilihan adalah investasi atas diri sendiri) maka mereka cenderung memprivatisasi segala hal—dalam artian, mereka menganggap segala sesuatu sebagai urusan pribadi. Privatisasi adalah aktivitas rasional homo economicus. Setiap pilihan dan setiap hal  mereka anggap sebagai peluang;  apapun yang mereka konsumsi dirasionalisasikan sebagai aktivitas—dengan kata lain, diprivatisasi. Mereka bisa menyaksikan bayangan diri mereka sendiri pada segala hal. Individualisasi yang kronis (untuk tidak menyebutnya narsistik) ini muncul saat para wirausahawan memprivatisasikan segala aspek kehidupan. Dramatisasi pada akhirnya adalah konsekuensi berlebihan dari aktivitas homo economicus neoliberal. Di sisi lain, potensi untuk mendramatisasi kehidupan pribadi mereka (karena kehidupan pribadi kapital dramatis) muncul beriringan dengan basis (base) homo economicus neoliberal.

Privatisasi segala hal, termasuk ruang-ruang publik, ada di jantung dramatisasi. Memahami tindakan dramatisasi adalah dengan menaruh segala hal dalam urusan personal, dan dengan demikian membuat nosi tentang agensi-diri dalam privatisasi menjadi variabel penting, ruang publik adalah situs yang dilihat sebagai gedung teater. Pada akhirnya, dengan logika neoliberalisme, pasar adalah situs untuk mengamalkan kebebasan ekspresi kita. Hal ini akan membuat ruang publik dipandang sebagai situs peluang untuk dimanfaatkan; situs-situs yang akan membantu merawat kedirian dalam kerangka investasi diri.

Subjektivitas semacam ini akan mendorong subjek dramatis untuk berpikir bahwa, dalam setiap aktivitas, mereka sedang menjadi bintang di bawah lampu sorot. Drama yang mereka buat dari sumber daya material mereka adalah hasil kerja dan investasi mereka. Ruang publik adalah sebuah teater di mana, seperti pasar, adalah situs untuk berkompetisi dengan individu-individu lain; dan ini termasuk media sosial. Keuntungan yang didapat termasuk perolehan-perolehan kultural dan non-moneter, sekaligus peningkatan dalam pendapatan dan pekerjaan, sementara ongkosnya biasanya tergantung terutama pada nilai waktu yang dihabiskan untuk investasi.[16] Ini artinya, perhatian, popularitas, simpati, atau sekadar respons saja (entah itu baik atau buruk) adalah hasil dari investasi drama semacam ini. Ini tergantung pada keuntungan apa yang diinginkan atau diharapkan untuk diraih dalam investasi dramatik, meskipun di sini kita bisa berargumen bahwa respons afektif adalah yang paling mencolok.

Kerja-drama: Melampaui Kerja Bebas

PADA bagian awal tulisan, kita telah mengelaborasi korelasi antara demokrasi dan media dalam menyediakan kondisi-kondisi untuk kemunculan subjektivitas tertentu, yakni subjek dramatis. Dalam pertaruhan kita, dramatisasi akhirnya bisa menjadi konsekuensi lebih jauh, jika bukan ekses, demokratisasi. Bukankah frase seperti “Silakan lihat-lihat, siapa tahu ada produk yang Anda suka di sini. Jika Anda tidak senang, Anda boleh pergi”  yang sering terdengar di toko-toko dapat diparafrasekan menjadi, mutatis mutandis, “Jika Anda tidak suka postingan saya, Anda boleh mem-block/unshare/unfollow saya” telah menjadi “norma” yang umum dalam ranah media sosial kita? Artinya, apa yang dilakukan orang di sosial media, termasuk ketika ia sengaja mendramatisasi kisah-kisah pribadinya, sudah dikalkulasi secara sungguh-sungguh. Dalam bagian ini, kami akan menunjukkan bagaimana tindakan dramatisasi ini ditangkap dan ditransformasikan menjadi sejenis kerja dalam, menggunakan diagnosis Jodi Dean, kapitalisme komunikatif hari ini.[17] Kami berpendapat bahwa sebuah subjek dramatik bekerja untuk menghasilkan nilai dalam wilayah media baru yang kompleks, yang menjadikannya kerja, sehingga kita sebut “kerja dramatis”.

Media baru adalah sebuah fenomena yang mencurigakan. Kebangkitan media baru meningkatkan keterlibatan baru dengan isu-isu emosi dan afektivitas pada pertengahan dekade 1990-an. “Palingan afektif” dalam teori sosial, yang diantaranya diidentifikasi oleh Patricia Clough, menandai fokusnya di sekitar konsep kerja (dalam faktanya, jenis kerja yang berbeda) yang mulai populer bersamaan dengan dinamika media baru. Dari kerja afektif (Terranova, Hardt dan Negri), kerja emosional (Poynter), kerja immateriil, kerja bebas, kerja kreatif (Florida, Reich), kerja jejaring, kerja serabutan, dan seterusnya. Karena watak emosional yang melekat pada aspek “personal” manusia dalam kerja dramatis, kita akan membahasnya dalam kategori kerja afektif. Maka, bisa saja sah untuk mengatakan bahwa subjek dramatis, sebagai pekerja, mengerjakan kerja afektif, untuk memproduksi corak nilai afektif, yang mengkristal dalam corak produk yang afektif, demi menciptakan sebuah komoditas berupa efek afektif. Adalah corak nilai afektif ini yang juga diekspropriasi oleh kapital yang kemudian menjadikan pekerja dramatis sebagai proletariat yang kehilangan otonominya atas produksi afektif. Kita menyebutnya afektariat (affectariat).

Karena memiliki kedekatan dengan konsep psyche, kerja dramatis harus diperiksa dalam kaitannya dengan istilah-istilah yang sejenis seperti afek, emosi, perasaan, dan pikiran. Kami bersikeras bahwa psyche dan afek memiliki sinonimi, namun harus dibedakan dari emosi, perasan, dan pikiran. Lebih jauh, afek mesti juga meliputi tubuh dan pikiran. Baruch Spinoza, filsuf Belanda era Pencerahan, mengemukakan bahwa afek harus berada pada dua aspek yang otonom namun paralel; kekuatan pikiran untuk berpikir dan kekuatan tubuh untuk bertindak. Satu hal yang pasti, afek itu sendiri berbeda dari emosi; ia adalah tegangan yang tak terdamaikan antara tindakan dan gairah (passion) pikiran—tegangan antara kuasa untuk mempengaruhi sikap (to affect) dan untuk dipengaruhi (to be affected). Afek bersifat aktif; afek memungkinkan tegangan ini; sebuah relasi kuasa dimainkan dalam tegangan ini. Afeksi (affection) akan merujuk pada sentimen emosional dan perasaan dalam pikiran, sementara tubuh akan dipahami dalam kapasitas afektif.[18] Antonio Negri (terlalu) menyederhanakan konsep Spinoza tentang afek sebagai “kuasa untuk bertindak”.[19] Kerja dramatis yang memiliki dimensi afektif ini pun akan dianalisis secara mendalam dalam konteks aspek emosional dan materialnya pada media baru yang kekinian (postingan Facebook dan cuitan di Twitter).

Kerja dramatis dalam kapitalisme komunikatif pun bergerak menuju keadaan yang mengkhawatirkan. Sebagaimana kebanyakan pekerja afektif, kerja dramatis nampaknya dikondisikan sebagai kerja yang gembira dan bebas. Konsep-konsep kerja afektif dan emosional sering kali digunakan untuk memahami corak-corak khusus investasi, valorisasi, dan eksploitasi terhadap subjektivitas pekerja ini. Tiziana Terranova adalah salah seorang penulis yang mengidentifikasi watak emosional dan bergairah dalam kerja-kerja media baru—ia menggambarkan “kerja bebas di Internet” sebagai sesuatu yang terberi dan menyenangkan.[20]

“Namun demikian, pekerja bebas tidak melulu pekerja yang tereksploitasi. Dalam komunitas-komunitas maya awal, kita diberitahu, kerja benar-benar bebas: kerja-kerja membangun komunitas tidak diganjar oleh keuntungan finansial (maka dari itu,”bebas”, tak dibayar), namun kerja yang demikian pun juga dengan sukarela kebobolan dalam pertukaran yang diselenggarakan untuk kesenangan komunikasi dan pertukaran (sehingga ia “bebas”, nikmat, tidak dipaksakan).”[21]

Apa yang Terranova tekankan pada apa yang dia maksud sebagai kerja “bebas” adalah nilai uang yang bersumber darinya—berbeda dari “bebas” dalam artian otonom, seperti dalam pengertian yang sedang kita bangun saat ini. Benar bahwa kerja-kerja ini senang mendramatisasi ruang publik sebagai cara untuk menunaikan kebebasan mereka dan mengungkapkan kapabilitas afektif mereka untuk memenuhi hasrat narsistik mereka (sebagaimana yang telah dielaborasi bagian pertama). Kerja ini mengharapkan sejenis respons afektif dari siapa pun yang membacanya. Hal ini membuat pekerja dramatis terasa lebih daripada sekadar pekerja bebas sebagaimana yang dipikirkan Terranova. Kerja bebas ini berfokus pada fakta bahwa kerja yang legitim dengan jam kerja yang tak terhitung ini tidak dibayar, apa yang  senang mereka lakukan telah dieksploitasi.[22] Namun kami peduli dengan apa yang diekspropriasi modal dari kerja dramatis ini melalui kompleksitas teknologi media baru, yaitu otonomi afektif manusia.

Mari kita lakukan sebuah simulasi sederhana tentang bagaimana kapabilitas afektif manusia dapat divalorisasi ke dalam nilai kapital untuk membuktikan klaim kami. Pada 16 Juni, Dahlan Iskan, dikenal sebagai mantan menteri BUMN, membuat serangkaian cuitan di Twitter yang mempertunjukkan dramatisasi.

(1) skrg jam 22.00 di bndara Charlotte. Mestinya 19.40 terbang ke Milwaukee tp delay n delay. Akhirnya diumumkan pswt dibatalkan. Yg menarik>2

(3) Ptugas counter hanya 3 org. Melayani penumpang satu pesawat. Semua antre tertib. Tidak ada yg ngomel2 atau coba2 mengerubungi counter.>4

(4) Sy dpt antrean paling blakang. Blm tahu jam brp sampai di depan. Kalau bisa, akan pindah tujuan Chicago, lalu jalan darat ke Madison.>5

(5) Bsk pagi hrs tinjau penemuan baru sistem fusi plasma utk produksi neutron tanpa reaktor nuklir. Dulu diramalkan baru bs terjadi 2050.>6

(6) Siang td di Washington DC, kerjasama dg BUMN sdh ditandatangani. Sambil antre gini mencoba twitt lg ternyata pikiran bisa lbh santai (.)

Rangkaian cuitan ini berfokus pada sosok “saya”, sehingga sifatnya personal, untuk tidak menyebut bahwa ia mengungkapkan kebutuhan bagi siapa pun yang melihat dan mengikuti linimasanya akan memiliki semacam ketertarikan untuk mengetahui jadwalnya dan apa yang sedang ia lakukan. Ia mensublimasi saat-saat privatnya dan mengubahnya menjadi informasi yang sekiranya berharga yang penting bagi kita ketahui (lihat pada cuitan terakhir di mana ia mengungkapkan hal-hal privat bersamaan dengan yang publik tentang kerjasama kemitraan pemerintah yang sukses). Maka dari itu, ia sedang melaksanakan kerja afektifnya untuk memprivatisasi ruang publik yang disediakan Twitter. Dan betul, kita akan berargumen bahwa cuitan-cuitan ini adalah kerja hanya karena orangnya ngetwit—mereka menciptakan nilai; suatu corak nilai yang bukan uang.[23]

Pekerja dramatis melakukan kerja yang menghasilkan nilai mereka yang diekstrak dari kapabilitas afektifnya; semisal, menuturkan perasaan pribadi tentang mengapa dan bagaimana orang berpikir bahwa orang yang ia cintai adalah orang yang terbaik di dunia (dan sebaliknya), hari macam apa yang dialami seseorang, apa yang ia sedang lakukan, rencana masa depan, cita-cita, dan lain sebagainya. Pekerja dramatis ini, dalam hambatan-hambatan panggung media—katakanlah Twitter—harus mematerialkan kapabilitas afektif mereka untuk memproduki serangkaian cuitan. Inilah sebabnya Dahlan Iskan harus menyiarkan apa yang ia ingin ungkapkan melalui kapabilitas afektifnya ke dalam 140 karakter dan mungkin dengan tagar. Dalam algoritma yang kompleks, apa yang ia lakukan kemudian menghasilkan nilai untuk Twitter Inc. lewat komodifikasi cuitan-cuitan ke dalam produk yang dikapitalisasi untuk keuntungan moneter Twitter. Sampel dari apa yang dilakukan algoritma ini adalah mengubah afeksi-yang-beralih-menjadi cuitan ini ke dalam firehose” atau data publik yang menganalisis tren konsumen, isu dan riwayat tagar.[24] Ini menjadi sebuah fitur distingtif (atau keunggulan komparatif) provider—dalam hal ini adalah Twitter. Namun tentunya, tanpa tagar pun adalah mungkin untuk menghasilkan dan mengkomodifikasikan informasi berdasarkan kata kunci. Hal ini tidak berarti bahwa peran dramatis yang dimainkan Dahlan Iskan—nilai sosialnya, sebagaimana yang disebutkan dalam bagian pertama—juga dirampas oleh Twitter, dalam arti, identitasnya direduksi sebagai sebuah akun yang bersanding dengan jutaan akun Twitter lainnya dan diakumulasikan bersama sebagai jumlah yang bernilai untuk merepresentasikan sebuah situs pasar potensial bagi perusahaan iklan. Ini mensimulasikan bagaimana nilai diproduksi oleh pekerja dramatis dan bagaimana nilai ini diekstrak, diakumulasi, dan dikomodifikasikan untuk memprodukssi keuntungan moneter yang tidak kembali pada si pekerja; eksploitasi nilai afektif.

Kemudian, aktivitas kerja ini menciptakan (dan diharapkan untuk menciptakan) efek-efek afektif. Bentuknya mungkin saja efek iklan afektif, misalnya, yang “mendukung” atau setidaknya menviralkan isu, perilaku, opini, cerita tertentu,dan seterusnya; ini artinya, adalah mungkin untuk memiliki materi kampanye atau corak iklan yang voluntaristik (misalnya iklan layanan masyarakat—ed). Apa yang membuat pekerja dramatis menjadi pekerja bebas dan bahagia kemudian bermunculan adalah karena corak “upah” yang (ingin) mereka dapatkan tidak berupa uang, tetapi dalam bentuk efek-efek afektif yang mereka inginkan. Mereka memahami bahwa kebebasan mereka sendirilah yang mendorong mereka untuk berekspresi di ruang publik; adalah kapabilitas personal dan afektif mereka sendiri sebagai manusia yang disokong untuk berekspresi di media sosial (menyusun cuitan baru yang menyambutmu untuk mengetik “what’s happening” dan memposting status baru di Facebook tentang “apa yang Anda pikirkan”). Serangkaian cuitan ini diharapkan akan memicu efek-efek afektif; mungkin emosi yang menyejukkan hari, perasaan iri, pengetahuan yang informatif, bahkan kebencian (meski hanya dibicarakan, itu pun sudah cukup) yang akan diterima sebagai “upah” yang diinginkan dari kerja si buruh dramatis harus disiarkan dan direduksi ke dalam ikon seperti retweet, favourites, shared, commented, likes—tergantung platform medianya, namun tetap saja algoritma yang kompleks itu bisa mentransfer, membuatnya jadi bernilai, dan mengkomodifikasi kapabilitas afektif si pekerja dramatis.

Dengan demikian, para pekerja dramatis ini pun adalah afektariat (affectariat), yang otonomi afeksinya telah digembosi, dirampas oleh Kapital melalui perangkat lunak dengan platform yang penuh algoritma, untuk kemudian dijual. Afektariat ini diupah, tidak dengan uang, tetapi dengan corak nilai afektif—kesenangan yang memberi asupan pada hasrat narsistik mereka yang terinvestasi dalam dramatisasi. Dan ya, mereka kehilangan otonomi afeksi mereka dalam artian bahwa mereka bebas mengekspresikan dan mematerialkan kapabilitas afektifnya, namun hanya dalam batas-batas platform media. Maka, kelas dramatis ini tidak memiliki otonomi afek; ia hanya memiliki kebebasan artifisial afek yang berada di dalam sirkuit yang dibangun oleh algoritma kompleks media baru. Di sinilah afektariat sebagai sekelompok orang yang otonominya telah dirampas menjelma sebagai kelas yang akan kita sebut sebagai kelas dramatis. Konsep otonomi ini berbeda dari otonomi kapitalisme neoliberal yang bertautan dengan kebebasan individu, dengan kebebasan untuk memilih—untuk memilih dalam pilihan-pilihan yang sudah diatur, yang memungkinkan Negara melangsungkan kekuasaannya dengan memerintah dari jauh. Hal ini, meskipun membuat kita tidak pernah benar-benar bebas; justru membuka kemungkinan untuk melakukan yang sebaliknya—untuk menjadi sesuatu yang melampaui aktor-aktor dan pengarang-pengarang drama diri sendiri, tidak membiarkan kapabilitas afektifnya dirampas. Apa yang dipertaruhkan cukup mendesak: yaitu otonomi afektif dan/atau kapasitas kita akan produksi afektif (affective production) yang notabene adalah senjata utama kita untuk memerangi perampasan konstan kapitalisme neoliberal atas setiap aspek kehidupan, dan untuk membentuk sebuah dunia alternatif yang bebas dari perampasan kapitalis dan kendali kuasa neoliberal. []


 

Tulisan ini dipresentasikan di Simposium Internasional “The Ambivalence of New Media in Post-Suharto Indonesia: Propaganda, Resistance, Empowerment,” Pusat Kasian Antropologi dan Labsosio Universitas Indonesia, serta Goethe-University Frankfurt, Depok, 24 Februari.

Priska Sabrina Luvita adalah Peneliti Koperasi Riset Purusha. Surel: psluvita@purusharc.org.

Hizkia Yosie Polimpung adalah Peneliti Koperasi Riset Purusha; editor jurnal IndoProgress. Surel: yosieprodigy@gmail.com.


 

 

Daftar Pustaka

Athanasiou, A., P. Hantzaroula, and K. Yannakopoulos, “Towards a New Epistemology: The “Affective Turn””, Historein/Ιστορείν vol.8, nefeli publishing (2011), konten bisa diunduh di http://www.nnet.gr/historein/historeinfiles/histvolumes/hist08/historein8-intro.pdf

Becker, G. S., “Nobel Lecture: The Economic Way of Looking at Life.” (Nobel Foundation, 1993).

Binkley, Sam, “The Perilous Freedoms of Consumption: Toward a Theory of the Conduct of Consumer Conduct,” Journal for Cultural Research, 10, 4 (October 2006).

Clough, Patricia T. & Jean Halley, eds., The Affective Turn: Theorizing the Social (Duke University Press, 2007)

Damiano, Rossana, Vincenzo Lombardo, & Antonio Pizzo, “Formal Encoding of Drama Ontology,” in G. Subsol, ed., Virtual Storytelling: Using Virtual Reality Technologies for Storytelling (Springer, 2005).

Dean, Jodi, Blog Theory: Feedback and Capture in the Circuits of Drive (Polity Press, 2010).

Dean, Jodi, Democracy and Other Neoliberal Fantasies: Communicative Capitalism and Left Politics (Duke Univ. Press, 2009).

Dilts, Andrew, “From ‘entrepreneur of the self’ to ‘care of the self’: Neoliberal Governmentality and Foucault’s Ethics,” Foucault Studies, 6, 2010.

Foucault, Michel, The Birth of Biopolitics: Lectures at the Collège de France, 1978-1979, diterj. Graham Burchell (New York: Palgrave Macmillan, 2008).

Hayek, Friedrich, The Road to Serfdom (London, 1944).

Kennedy, Helen, “Going the Extra Mile: Emotional and Commercial Imperatives in New Media Work”, The International Journal of Research into New Media Technologies, 15, 2 (2009).

Lacan, Jacques, Fundamental Concepts of Psychoanalysis (Penguin Books, 1987).

Lacan, Jacques, Seminar VII: The Ethics of Psychoanalysis (Routledge, 1992).

Lazzarato, Maurizio, “Neoliberalism in Action: Inequality, Insecurity and the Reconstitution Seminar XI: Four of the Social”, Theory Culture Society, 26, (2009).

Lynch, William F., “The Drama of the Mind: An Ontology of the Imagination,” Notre Dame English Journal, 13, 1 (Fall, 1980).

Negri, Antonio, “Value and Affect,” trans. M. Hardt, boundary 2, 26,. 2 (Summer, 1999).

Read, Jason, “A Genealogy of Homo-Economicus: Neoliberalism and the Production of Subjectivity”, Foucault Studies, No 6, (February 2009).

Terranova, Tiziana, “Free labour: producing culture for the digital economy,” Social Text, 10, 2 (2000).

Terranova, Tiziana, Network Culture: Politics for the Information Age (England: Pluto Press, 2004).

Zizek, Slavoj, The Sublime Object of Ideology (Verso, 1989).


[1] Rossana Damiano, Vincenzo Lombardo, Antonio Pizzo, “Formal Encoding of Drama Ontology,” dalam G. Subsol, ed., Virtual Storytelling: Using Virtual Reality Technologies for Storytelling (Springer, 2005), hal. 98, cetak miring dalam terbitan asli.

[2] William F. Lynch, “The Drama of the Mind: An Ontology of the Imagination,” Notre Dame English Journal, 13,

1 (Fall, 1980), hal. 28

[3] Jacques Lacan, Seminar VII: The Ethics of Psychoanalysis (Routledge, 1992), hal. 107.

[4]Idem., hal. 112.

[5]Idem., hal. 125. Lihat juga Slavoj Zizek, The Sublime Object of Ideology (Verso, 1989)

[6] Hal ini mengingatkan perbincangan tentang individuasi dalam pemikiran Gilbert Simondon dan Gilles Deleuze, serta pembentukan subjek secara diskursif-pratis dalam karya-karya Michel Foucault dan Giorgio Agamben.

[7] Jacques Lacan, Four Fundamental Concepts of Psychoanalysis (Penguin Books, 1987), hal. 232.

[8] Jason Read, “A Genealogy of Homo-Economicus: Neoliberalism and the Production of Subjectivity”, Foucault

Studies, No 6, (February 2009), 29

[9]Ibid.

[10] F. Hayek. The Road to Serfdom. London. 1944. hal. 52.

[11] Maurizio Lazzarato, “Neoliberalism in Action: Inequality, Insecurity and the Reconstitution of the Social”,

Theory Culture Society, 26, (2009), hal. 126.

[12] Jodi Dean, Blog Theory: Feedback and Capture in the Circuits of Drive (Polity Press, 2010).

[13] Andrew Dilts, “From ‘entrepreneur of the self’ to ‘care of the self’: Neoliberal Governmentality and Foucault’s

Ethics”, 2010, hal. 6

[14] Michel Foucault, The Birth of Biopolitics: Lectures at the Collège de France, 1978-1979, diterj. Graham Burchell (New York: Palgrave Macmillan, 2008), 226

[15] Sam Binkley, “The Perilous Freedoms of Consumption: Toward a Theory of the Conduct of Consumer

Conduct” Journal for Cultural Research, 10: 4 (October 2006)

[16] Becker, G. S., “Nobel Lecture: The Economic Way of Looking at Life.” (Nobel Foundation, 1993), hal. 43.

[17] Jodi Dean, Democracy and Other Neoliberal Fantasies: Communicative Capitalism and Left Politics (Duke Univ.

Press, 2009)

[18]Affective Turn, hal. 22

[19] A. Athanasiou, P. Hantzaroula, and K. Yannakopoulos, “Towards a New Epistemology: The “Affective

Turn””, Historein/Ιστορείν Vol. 8, nefeli publishing (2011), konten bisa diunduh di

http://www.nnet.gr/historein/historeinfiles/histvolumes/hist08/historein8-intro.pdf

[20] Helen Kennedy, “Going the Extra Mile: Emotional and Commercial Imperatives in New Media Work”, The

International Journal of Research into New Media Technologies Vol 15, 2 (2009), hal. 179.

[21] Tiziana Terranova, “Free labour: producing culture for the digital economy,” Social Text, 10, 2 (2000), hal. 48.

 

[22] Menurut Terranova, “kerja bebas” yang ia sebut sebagai permukaan tegangan dan kontradiksi sebagai “aktivitas produktif […] yang dengan senang hati dianut sekaligus dieksploitasi asal-asalan.” Tiziana

Terranova, Network Culture: Politics for the Information Age (England: Pluto Press, 2004), hal. 216.

[23] Pembahasan lebih lanjut tentang hal ini bisa dipahami lewat Antonio Negri and Michael Hardt, “Value and

Affect”, boundary 2 Vol. 26, No. 2 (Summer, 1999)

[24]“How does Twitter make money?”BBC News, 7 November 2013 (URL: http://www.bbc.com/news/business-24397472)

]]>