Hizkia Yosias Polimpung – IndoPROGRESS https://indoprogress.com Media Pemikiran Progresif Tue, 29 Apr 2025 13:14:52 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.4.3 https://indoprogress.com/wp-content/uploads/2021/08/cropped-logo-ip-favicon-32x32.png Hizkia Yosias Polimpung – IndoPROGRESS https://indoprogress.com 32 32 Hizkia Yosias Polimpung: Teknofeodalisme, Pengaruh dan Dampaknya di Pemerintahan Donald Trump https://indoprogress.com/2025/04/teknofeodalisme-di-pemerintahan-donald-trump/ Mon, 28 Apr 2025 06:23:18 +0000 https://indoprogress.com/?p=238932 Ilustrasi: Current Affairs


SEGERA setelah Donald Trump dilantik sebagai Presiden Amerika Serikat (AS) pada 20 Januari 2025, serangkaian kontroversi segera menyeruak dari Gedung Putih. Selain retorika yang bernuansa ekstrem kanan atau kanan jauh, ada juga fenomena yang perlu kita soroti serta bicarakan, yaitu masuknya beberapa tokoh bisnis raksasa yang bergerak di sektor digital capitalism atau venture capitalists seperti Elon Musk dan Peter Thiel ke dalam lingkaran inti pemerintahan. Mereka ini, dalam perkembangan sistem ekonomi-politik kapitalisme saat ini, disebut-sebut sebagai kelompok teknofeodalisme atau neofeodalisme. 

Fenomena masuknya para Tech Giants ke dalam struktur kekuasaan politik ini menarik untuk didiskusikan lebih jauh, terkait dengan apa itu neofeodalisme dan bagaimana dampaknya pada kita. Untuk itu, Coen Husain Pontoh, editor IndoPROGRESS, berbincang-bincang dengan Hizkia Yosias Polimpung, peneliti di Monash University, Malaysia, dan juga sebagai editor IndoPROGRESS.


Coen Husain Pontoh (CHP): Bisa dijelaskan apa yang dimaksud dengan teknofeodalisme atau neofeodalisme ini?

Hizkia Yosias Polimpung (HYP): Dalam diskusi mengenai teknofeodalisme, beberapa pemikir seperti Yanis Varoufakis, Jodi Dean, Cedric Durand, dan lainnya kerap disebut. Meskipun pandangan mereka beragam, ada benang merah yang menghubungkan pemikiran mereka, yaitu perhatian terhadap meningkatnya praktik rent-seeking (perburuan rente) di era digital, di mana ekonomi tidak lagi semata-mata berlandaskan pada keuntungan dalam pengertian marxis. Dalam konsep marxis, profit diperoleh dari surplus nilai tenaga kerja yang dibayar lebih rendah daripada nilai produksinya—relasi yang asimetris antara pekerja dan kapitalis. Asimetris dalam artian kita tidak dibayar menurut kontribusi kita, tapi menurut satuan jam kerja dan seterusnya. 

Namun, dalam konteks ekonomi platform atau ekonomi cloud, sumber keuntungan utama tidak lagi berasal dari eksploitasi langsung atas upah pekerja, melainkan dari praktik penarikan sewa (rent). Pola sewa ini berbeda dari yang dijelaskan Marx di masanya, di mana sewa dibayar secara langsung dan nyata. Kini, bentuk sewanya tersembunyi melalui mekanisme iklan digital. Pengguna platform sesungguhnya “membayar” dengan data pribadi yang mereka hasilkan saat menggunakan layanan, dan data tersebut diolah menjadi informasi yang bernilai ekonomi. Sering kali muncul anggapan keliru bahwa perusahaan teknologi besar secara langsung menjual data pribadi pengguna. Padahal, dalam praktiknya, yang diperjualbelikan adalah analisis dan pola-pola perilaku (insights) yang diperoleh dari kumpulan data dalam skala besar. Misalnya, data pengguna aplikasi seperti Gojek, dapat menunjukkan pola keramaian di lokasi tertentu pada waktu tertentu—informasi ini kemudian dijual kepada pengiklan atau pelaku bisnis untuk menentukan strategi pemasaran mereka.

Dengan demikian, pengguna platform secara tidak langsung membayar “sewa” melalui kontribusi data, sebagai ganti atas akses gratis ke layanan digital. Fenomena ini mencerminkan munculnya sebuah pola ekonomi baru yang berpusat pada ekstraksi sewa digital, menggantikan dominasi sebelumnya yang berada di tangan kapital finansial. Kini, perusahaan-perusahaan teknologi besar seperti Apple, Amazon, Alphabet (Google), Microsoft, dan Nvidia, yang dikenal sebagai Big Six Tech Companies atau Big Tech, menjadi aktor utama dalam ekonomi global, bahkan melampaui keuntungan yang diperoleh bank-bank besar di AS. Perubahan ini menunjukkan adanya pergeseran struktural dalam modus produksi yang menentukan arah ekonomi Amerika saat ini. Dan menariknya, ini terjadi bahkan sebelum kita membahas dimensi politik global seperti peran AS sebagai kekuatan imperial informal. Pergeseran ini membantu menjelaskan mengapa perusahaan-perusahaan teknologi raksasa kini memiliki pengaruh begitu besar dalam struktur ekonomi dan kekuasaan Amerika.


CHP: Apakah kamu setuju dengan konsep tekno-feodalisme, yang pada intinya, adalah tentang ekonomi berbasis sewa (rent)?

HYP: Jika konsep ini kita gunakan sekadar untuk merujuk pada fenomena yang ada, maka ia mungkin berguna sebagai alat analisis. Namun, menurut saya, apabila konsep ini dijadikan landasan praksis, maka manfaatnya sangat terbatas. Jika merujuk pada pemikiran Marx, khususnya di Capital jilid III, Marx membagi kelas berdasarkan sumber pendapatan menjadi tiga: (1) kelas borjuis yang memperoleh pendapatan dari laba (profit); (2) kelas buruh yang memperoleh penghasilan dari upah; dan (3) kelas feodal yang hidup dari sewa (rent).

Dari ketiga kelas ini, hanya kelas buruh yang memiliki potensi sebagai subjek revolusioner utama, meskipun ketiganya bisa memiliki sisi revolusioner. Ketika berbicara mengenai pengorganisasian buruh dalam struktur sosial ini, kekuatan buruh hanya terletak pada proses produksi. Maka, jika kita memandang fenomena hari ini melalui lensa feodalisme, perspektif tersebut menjadi kurang relevan karena buruh tidak memiliki posisi tawar dalam relasi sewa. Pada akhirnya, dalam kerangka seperti itu, harapan satu-satunya hanya tertuju pada negara. Karena itu, menurut saya, perlu ada upaya teoretis untuk tetap memandang dinamika ini dalam kerangka produksi dan bukan semata-mata dalam kerangka feodalisme atau rent-seeking. Fokus kita seharusnya diarahkan pada bagaimana proses penciptaan nilai dan laba (profit making) tetap berlangsung di balik fenomena sewa tersebut. Dibutuhkan imajinasi teoretis yang lebih tajam untuk mengungkap aspek-aspek produktif yang mendeterminasi praktik rent-seeking ini.

Itu sebabnya, jika konsep teknofeodalisme diterima begitu saja tanpa kritik, maka secara teoretis kita kehilangan ruang untuk membicarakan perjuangan kelas. Sebab, dalam logika rent-seeking, kelas pekerja tidak lagi memiliki posisi sentral, bahkan tidak punya suara. Padahal, dalam kerangka marxian, kekuatan revolusioner terletak pada kelas buruh—dan konsep teknofeodalisme, jika diambil mentah-mentah, justru mengaburkan posisi strategis tersebut.


CHP: Tadi kamu menyebutkan bahwa secara data, kelompok yang disebut sebagai tekno-feodalisme saat ini memang sangat berpengaruh. Apakah ini yang menjadi alasan mengapa mereka berhasil masuk ke dalam struktur kekuasaan pemerintahan baru AS di era Donald Trump?

HYP: Dalam konteks tersebut, kemunculan dan dominasi big tech seyogianya tidak semata-mata dipahami melalui kacamata korupsi atau ketidakmampuan pemerintah. Pendekatan materialisme historis diperlukan untuk menunjukkan bahwa kebangkitan big tech berkaitan erat dengan perubahan struktural dalam pola produksi dan reproduksi kehidupan material. Ada pergeseran fundamental dalam sistem produksi di AS, dari fase finansialisasi menuju fase baru yang belum sepenuhnya terdefinisikan—untuk sementara dapat kita sebut sebagai teknologisasi. Pergeseran inilah yang, menurut saya perlu dianalisis secara sistemik, karena belum banyak yang mengaitkan dinamika ini dengan variabel-variabel makro-struktural yang kompleks. Kebetulan, selama dua hingga tiga tahun terakhir, kajian saya memang berfokus pada aspek makroekonomi dari perubahan ini. Namun sebelum masuk lebih jauh ke pembahasan tersebut, saya sempat menangkap satu potret menarik: video Elon Musk yang sedang menggendong anaknya di Oval Office—sebuah simbol yang merefleksikan bagaimana kekuatan big tech kini telah berkelindan dengan struktur politik.

Menurut saya, salah satu hal yang menarik dari fenomena bangkitnya big tech adalah karena, pada titik tertentu, narasi yang disuarakan oleh figur seperti Elon Musk dan Donald Trump memiliki kebenaran. Mereka menyoroti bagaimana perekonomian tidak lagi berpihak pada rakyat, bagaimana praktik korupsi hanya menguntungkan segelintir pihak, dan bagaimana manfaat ekonomi justru dinikmati oleh negara lain. Jika kita melihat dari data neraca transaksi berjalan, defisit AS sempat mencapai ratusan miliar dolar, bahkan menembus angka 300 miliar dolar pada 2008. Secara sederhana, angka ini menunjukkan besarnya ketergantungan pada impor. Pertanyaannya, jika sebagian besar kebutuhan dipenuhi melalui impor, lalu apa yang sebenarnya masih diproduksi di dalam negeri? Dari sini kita dapat melihat bagaimana tren deindustrialisasi berlangsung secara masif, yang pada gilirannya mendorong banyak pekerja ke kondisi ‘lumpen’—tercerabut dari pekerjaan tetap dan kehilangan kapasitas untuk berorganisasi secara ekonomi maupun sosial. Ketika sektor manufaktur mengalami kemunduran dan sektor finansial tidak mampu menyerap tenaga kerja dalam skala besar, satu-satunya sektor yang mampu menjadi penyangga adalah big tech. Pergeseran struktural inilah yang memungkinkan mereka mengisi kekosongan tersebut dan memperluas dominasinya.


CHP: Sebelum kita masuk lebih jauh ke pembahasan makroekonomi, saya ingin kamu memperjelas terlebih dahulu apa yang kamu maksud ketika menyebut bahwa kritik-kritik yang disampaikan oleh Donald Trump atau Elon Musk—tentang inefisiensi, korupsi, dan lain sebagainya—memang benar adanya. Apakah yang ingin kamu tunjukkan sebenarnya adalah bahwa semua itu merupakan bagian dari dinamika perubahan dalam perkembangan kapitalisme? Bahwa kita sedang menyaksikan transisi dari kapitalisme berbasis industri, bergeser ke kapitalisme finansial, dan kini menuju kapitalisme digital? Ataukah sebenarnya penjelasannya lebih tepat jika kita letakkan dalam konteks deindustrialisasi sebagai respons terhadap krisis kapitalisme industrial, atau sebagai konsekuensi dari kegagalan keynesianisme dan runtuhnya sistem Bretton Woods pada akhir dekade 1960-an?

HYP: Sebagian besar kritik yang disampaikan oleh Elon Musk dan Donald Trump, bahkan sejak masa kampanye mereka, pada dasarnya memiliki landasan karena memang mencerminkan adanya pergeseran dalam struktur kapitalisme atau basis material kapitalisme di AS. Pergeseran ini tidak bisa dilepaskan dari posisi AS sebagai pusat imperialisme global, meskipun sifatnya lebih informal. Namun, untuk memahami fenomena ini secara utuh, kita perlu menggunakan perspektif makroekonomi dan tidak sekadar membatasi pembacaan pada sektor industri atau dinamika produksi semata.

Jika kita tarik kaitannya dengan sistem Bretton Woods, hal pertama yang harus digarisbawahi adalah bahwa posisi Amerika tidak dapat dijelaskan dengan kerangka yang sama seperti negara-negara lain. Ini karena dolar AS berfungsi sebagai mata uang internasional, memberi Amerika kekuasaan yang unik—mereka dapat mencetak dolar tanpa batasan hukum internasional yang mengaturnya sebagai kekuatan imperial. Terkait dengan runtuhnya Bretton Woods, memang ada benang merah yang perlu dicermati. Kegagalan sistem ini berakar pada saat dolar AS dijadikan mata uang internasional. Patut dicatat, pada awalnya Amerika sebenarnya menolak posisi ini, karena saat itu mereka belum siap menanggung beban kebijakan ekonomi global seperti pengendalian suku bunga, nilai tukar, maupun stabilitas makroekonomi internasional. Menariknya, ada pula catatan historis yang menyebutkan adanya motif politik di balik kebijakan tersebut. Berdasarkan catatan harian Menteri Keuangan saat itu, Henry Morgenthau, muncul dugaan bahwa Partai Demokrat mendorong dominasi dolar agar dapat menciptakan ketergantungan global terhadap mata uang tersebut, yang pada akhirnya memberi keuntungan politik dan ekonomi bagi Amerika, khususnya bagi partai yang berkuasa saat itu.

Inti dari poin yang ingin saya sampaikan adalah bahwa, terlepas dari praktik politik transaksional yang melibatkan para oligarki, kita dapat melihat bahwa berbagai pergeseran struktural ini pada akhirnya menegaskan menguatnya dominasi kekuatan finansial. Penguatan sektor finansial, yang dibarengi dengan kebijakan memanfaatkan status dolar sebagai mata uang internasional, turut mendorong proses deindustrialisasi. Hal ini terjadi karena arus dolar yang terus mengalir keluar negeri tidak hanya membiayai konsumsi impor Amerika, tetapi juga menopang pembangunan sektor manufaktur di negara lain.

Sementara itu, kelas pekerja di Amerika justru terpinggirkan dan semakin kehilangan posisi dalam struktur ekonomi. Jeritan dan ketidakpuasan kelas pekerja inilah yang kemudian ditangkap dan dimanfaatkan secara politik oleh figur seperti Donald Trump. Sistem ekonomi yang semakin bergantung pada sektor finansial pada akhirnya lebih menguntungkan segelintir elite oligarki finansial. Kita bisa melihat contohnya pada bank-bank besar di Amerika yang mempekerjakan sangat sedikit tenaga kerja dibandingkan dengan perusahaan seperti Amazon atau Nvidia, yang mampu menyerap jutaan pekerja. Pola penyerapan tenaga kerja inilah yang kemudian menjadi bahan bakar politisasi dalam wacana populis. Oleh karena itu, penting bagi kita untuk membaca perubahan ini melalui lensa materialisme historis, dengan menyoroti bagaimana pergeseran basis produksi di Amerika berpengaruh terhadap posisinya sebagai kekuatan imperial global.


CHP: Dengan demikian, menjadi cukup masuk akal jika salah satu langkah awal yang diambil Donald Trump saat berkuasa adalah menerapkan kebijakan efisiensi, yang diwujudkan melalui pembubaran sejumlah institusi yang secara politik mungkin dianggap strategis bagi Amerika, tetapi dinilai tidak memiliki signifikansi ekonomi. Sebagai contoh, lembaga seperti USAID di luar negeri atau Departemen Pendidikan di dalam negeri menjadi sasaran kebijakan tersebut. Langkah kedua yang ditempuh Trump adalah menaikkan tarif impor, yang kemudian berdampak pada beberapa negara mitra dagang utama seperti Kanada, Meksiko, dan Tiongkok. Selain itu, tidak tertutup kemungkinan bahwa dalam waktu dekat, pemerintahan baru di Amerika Serikat juga akan mendorong implementasi kebijakan terkait keuangan digital, termasuk potensi peluncuran crypto finance. Berdasarkan perkembangan tersebut, menurut pandanganmu, apakah kebijakan-kebijakan ini dapat dibaca sebagai bentuk konkret dari transformasi menuju digital finance atau apa yang disebut sebagai cloud finance?

Yosie: Terkait konsep cloud finance, pandangan saya sebenarnya agak berbeda dari analisis yang diajukan oleh Yanis Varoufakis. Saya belum berani menarik kesimpulan yang lebih substansial mengenai isu ini, sebab fokus utama kajian saya bukanlah pada dinamika di Amerika Serikat. Namun, suka tidak suka, jika kita ingin membaca tren global saat ini, kita tetap perlu melihat Amerika Serikat sebagai episentrum perubahan. Dalam membaca argumen Varoufakis, menurut saya ada beberapa poin penting yang sering luput dari perhatian. Nilai utama dari bukunya bukan terletak pada gagasan mengenai tekno-feodalisme, melainkan pada analisisnya atas modus produksi kontemporer. Ia berhasil menunjukkan kemunculan apa yang ia sebut sebagai cloud capital, yakni bentuk baru dari akumulasi kapital berbasis infrastruktur digital.

Lebih jauh, Varoufakis menyoroti bagaimana cloud capital ini berkelindan dengan finance capital dalam konteks otoritarianisme Tiongkok. Menurutnya, kombinasi antara cloud capital dan finance capital di bawah kendali negara otoriter seperti Tiongkok berpotensi menjadi kekuatan baru yang mampu mengguncang tatanan global, bahkan membuka kemungkinan lahirnya sebuah modus produksi baru. Pertanyaannya tentu saja, apakah modus produksi ini tetap berada dalam kerangka kapitalisme atau justru mengarah ke sosialisme—meskipun itu adalah diskusi lain. Dalam konteks materialisme historis, pergeseran ini mencerminkan transformasi dalam basis produksi dan reproduksi kehidupan material sebagaimana dikemukakan oleh Marx. Varoufakis berargumen bahwa salah satu alasan mengapa Amerika Serikat tertinggal dalam perkembangan ini adalah ketidakmampuannya mengintegrasikan kedua bentuk kapital tersebut. Hal ini dapat diamati dari karakter sektor finansial di Amerika, yang beroperasi berdasarkan logika prediksi, kepastian, dan kontrol atas masa depan. Sebaliknya, pendekatan politik Donald Trump sangat tidak terduga, penuh ketidakpastian, dan tidak sejalan dengan kepentingan bisnis sektor finansial. Ini pula yang menjelaskan mengapa, pada awalnya, bank-bank besar di Amerika tidak berada di belakang Trump, meskipun setelah ia memenangkan pemilu, mereka tetap merapat demi kepentingan pragmatis.

Lebih jauh, kita bisa melihat adanya perbedaan mendasar antara logika bisnis sektor finansial dengan big tech. Keduanya beroperasi dengan kalkulasi dan orientasi yang berbeda. Namun, perkembangan terakhir menunjukkan dinamika baru: bank-bank besar seperti BlackRock dan JP Morgan Chase mulai memasuki ranah tokenisasi aset dunia nyata (Real World Assets/RWA), berupaya menjembatani dunia keuangan tradisional (off-chain) dengan ekosistem keuangan terdesentralisasi (on-chain). Sebaliknya, big tech, terutama yang berafiliasi dengan Trump dan lingkarannya, cenderung membangun jaringan fintech tersendiri yang berorientasi politik.

Fenomena ini tidak terlepas dari krisis struktural yang melatarbelakangi bangkitnya big tech di Amerika Serikat, di mana teknologi blockchain dan crypto menjadi medium baru bagi akumulasi kapital. Krisis tersebut juga terkait dengan kebijakan dolar sebagai senjata ekonomi global yang, dalam jangka panjang, mendorong tren de-dolarisasi. Fragmentasi kapitalisme global yang disebabkan oleh kebijakan proteksionis Amerika Serikat turut memperparah kondisi ini. Ironisnya, alih-alih memperkuat kapitalisme global, kebijakan-kebijakan tersebut justru memicu proses deglobalisasi.

Dalam konteks ini, bank-bank besar seperti BlackRock dan JP Morgan Chase terlihat mencoba ‘me-reglobalisasi’ sistem ekonomi dengan menghubungkan infrastruktur keuangan lama dan baru, sementara big tech justru semakin terintegrasi dengan politik domestik. Pertentangan antara dua kutub kapital besar di Amerika Serikat ini akan membawa implikasi serius di masa mendatang. Di satu sisi, kubu big tech semakin erat dengan politik populis, sementara bank-bank besar berusaha mempertahankan kapitalisme global melalui jalur finansialisasi digital yang berbeda. Keduanya menempuh jalur masing-masing, dan penolakan mereka untuk bersatu mencerminkan ketegangan mendalam dalam struktur kapitalisme Amerika hari ini.


CHP: Salah satu kritik utama terhadap fenomena finansialisasi adalah semakin jauhnya keterkaitan antara sektor finansial dengan sektor riil. Keterputusan ini menciptakan kerentanan struktural yang dapat memicu krisis, seperti yang terjadi pada krisis ekonomi global tahun 2008. Saat ini, situasinya bahkan semakin kompleks dengan kemunculan apa yang disebut sebagai cloud capital atau ekonomi digital. Dalam pandanganmu, bagaimana kamu melihat perkembangan ini ke depan? Apakah ada kemungkinan bahwa sektor finansial dan cloud capital dapat berjalan berdampingan secara stabil, atau justru potensi keterputusan keduanya akan melahirkan krisis ekonomi baru yang skalanya mungkin lebih besar dibandingkan krisis 2008?

HYP: Terkait dengan persoalan sektor ekonomi riil, selama saya mendalami literatur tentang finansialisasi, saya masih belum menemukan penjelasan yang memadai mengenai peran sektor riil dalam dinamika ini. Jika kita merujuk pada karya Costas Lapavitsas berjudul Profiting without Production, ia menyoroti kecenderungan dalam analisis finansialisasi yang lebih banyak menempatkan capital financial sebagai pusat perhatian, sementara capital industrial atau sektor produksi riil cenderung terabaikan. Dalam kerangka ini, akumulasi profit berbasis kapital fiktif sering kali dipandang seolah-olah berdiri sendiri, terlepas dari proses produksi riil. Namun, pandangan ini justru memunculkan pertanyaan kritis: apakah benar kapital finansial dapat sepenuhnya terlepas dari basis produksi material? Jika memang demikian, bagaimana kita dapat menjelaskan terjadinya krisis seperti bubble ekonomi? Oleh karena itu, penting bagi kita untuk memperjelas dan menegaskan kembali fungsi serta posisi sektor riil dalam keseluruhan dinamika kapitalisme finansial.

Namun, dalam konteks ini, saya harus mengakui bahwa saya belum menemukan argumen yang benar-benar meyakinkan. Karena itu, sejauh ini saya berpendapat bahwa konsep ekonomi riil kerap kali hanya dijadikan sebagai alibi dalam kerangka finansialisasi. Meski demikian, perlu diperjelas pada titik mana sektor riil ini benar-benar berfungsi sebagai alibi, misalnya melalui penghitungan kontribusinya terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) dan indikator lainnya. Jika kita merujuk pada penelitian Greta Krippner tahun 2004, ia menunjukkan bahwa sektor finansial – yang sering disebut sebagai FIRE (Finance, Insurance, Real Estate) – telah berkembang pesat di Amerika Serikat hingga mencapai porsi signifikan dalam PDB, bahkan belasan persen. Aspek inilah yang harus menjadi perhatian dalam pembacaan ekonomi saat ini.

Namun, jika kita memperluas definisi ekonomi riil, tidak hanya terbatas pada aktivitas produksi tetapi juga mencakup konsumsi, maka kita bisa melihat adanya dinamika baru. Sebagai contoh, dalam ekonomi digital, individu tetap dapat memperoleh pendapatan tanpa terlibat langsung dalam proses produksi konvensional, sehingga perputaran ekonomi riil tetap terjadi. Selain itu, kita juga perlu mengakui keberadaan sektor riil dalam pengertian tradisional, di mana perusahaan-perusahaan big tech seperti Amazon masih mempekerjakan jutaan pekerja, meskipun sektor ini tidak terlepas dari berbagai persoalan struktural.

Dengan demikian, secara keseluruhan, kita dapat melihat bahwa kedua sektor—yakni sektor ekonomi riil dalam bentuk tradisional maupun sektor digital—masih berjalan dan saling melengkapi. Kedua dimensi ini berhasil diintegrasikan dan dimanfaatkan oleh perusahaan-perusahaan big tech, sementara sektor perbankan besar (big banks) gagal untuk mengkapitalisasi peluang tersebut. Inilah yang menjelaskan mengapa big tech tetap memiliki posisi yang kokoh dan relevan dalam lanskap ekonomi saat ini. Lebih jauh, kondisi ini juga menjadi salah satu sumber energi politik bagi gerakan MAGA, karena mereka mampu menunjukkan secara konkret peningkatan jumlah tenaga kerja dan akumulasi kapital sejak era kepemimpinan Donald Trump. Sebaliknya, bank-bank besar tidak memiliki kapasitas untuk mengklaim hal serupa, sebab mereka tidak mampu mempertahankan narasi ekonomi riil yang bisa menopang logika finansialisasi dalam jangka panjang. Namun, ketika big tech mulai mengintegrasikan finansialisasi melalui teknologi blockchain, cloud finance, dan instrumen keuangan digital lainnya, kita mulai dapat membayangkan bagaimana proses ini membuka jalan bagi formasi ekonomi baru yang menggabungkan sektor riil dan finansial secara lebih efektif


CHP: Jika kita membahas soal eksploitasi, bisakah kamu jelaskan bagaimana mekanisme eksploitasi berlangsung dalam konteks ekonomi digital atau dalam apa yang disebut sebagai era tekno-feodalisme ini? Selain itu, bagaimana karakter eksploitasi tersebut berbeda dibandingkan dengan bentuk eksploitasi yang terjadi di sektor riil pada masa kapitalisme industrial maupun dalam fase kapitalisme finansial?

HYP: Ketika kita berbicara mengenai konsep eksploitasi, maka kerangka analisisnya harus kembali pada logika produksi dalam konteks ekonomi global, khususnya di Amerika Serikat. Penting untuk dipahami bahwa produksi dan sirkulasi kapital bukanlah dua hal yang terpisah, melainkan saling berkaitan secara dialektis. Dalam pengertian ini, sirkulasi kapital dapat dipandang sebagai bagian integral dari proses produksi itu sendiri—sesuatu yang selama ini jarang dijelaskan secara komprehensif.

Jika kita merujuk pada literatur Marx, khususnya dalam Grundrisse, ia pernah menyinggung bahwa pada tahap tertentu dalam perkembangan kapitalisme, proses sirkulasi akan berkembang sedemikian rupa hingga menjadi momen produksi tersendiri. Lalu, apa konsekuensi konkretnya? Saat ini, kita dapat melihat bahwa proses sirkulasi—yakni realisasi profit—terjadi pada saat konsumsi berlangsung, ketika orang melakukan pembelian. Dengan kata lain, proses konsumsi itu sendiri telah menjadi bagian dari proses produksi nilai. Pandangan ini tentu menuntut kita keluar dari kerangka marxisme ortodoks yang cenderung memisahkan produksi dan konsumsi secara kaku. Dan ironisnya, kondisi di mana konsumsi menjadi bagian dari produksi ini justru paling tampak dalam praktik bisnis big tech saat ini, yang berhasil memanfaatkan pola tersebut secara nyata.

Contoh paling sederhana dapat kita lihat ketika seseorang melakukan aktivitas scrolling di Instagram. Secara kasat mata, kita tampak seperti sekadar mengonsumsi produk digital yang disediakan oleh META. Namun, pertanyaannya: apakah aktivitas konsumsi ini menghabiskan atau mengurangi komoditas tersebut? Tentu saja tidak. Jika dilihat dari perspektif META, aktivitas ini justru merupakan proses produksi data. Data yang dihasilkan oleh pengguna kemudian diolah dan dimanfaatkan untuk memperbesar basis data perusahaan, yang pada akhirnya menjadi fondasi utama model bisnis mereka – seperti yang telah kita bahas sebelumnya. Dengan demikian, kita dapat memandang konsumsi ini sebagai bagian dari proses produksi, bahkan sebagai penciptaan nilai lebih yang lebih eksploitatif dibandingkan dengan kapitalisme manufaktur. Sebab, dalam kapitalisme manufaktur, buruh masih memperoleh upah dari hasil produksinya. Sementara dalam konteks kapitalisme digital hari ini, kita sebagai konsumen justru turut menambah akumulasi kapital tanpa mendapatkan kompensasi apa pun.

Dari pemahaman ini, saya berpandangan bahwa sudah saatnya kita mulai menggeser cara berpikir kita—bukan sekadar pada konsumsi etis seperti menolak produk-produk tertentu, melainkan pada bagaimana konsumsi itu sendiri merupakan bagian dari produksi dan bagaimana proses ini perlu diorganisasi secara politis. Meskipun gagasan ini terdengar abstrak, pendekatan semacam ini memungkinkan kita untuk memahami secara lebih tajam bagaimana logika produksi dan konsumsi kini telah berkelindan, khususnya dalam konteks kapitalisme berbasis cloud capital dan finance capital. Lebih jauh, hal ini juga membuka ruang untuk memetakan implikasi strukturalnya terhadap kondisi kelas pekerja saat ini.


CHP: Dari penjelasan yang kamu sampaikan sebelumnya, saya mulai memahami bagaimana keterkaitan antara big tech, ekonomi digital, dan pola konsumsi saat ini. Artinya, dalam konteks ekonomi digital, ketika kita mengonsumsi sesuatu, kita secara tidak langsung juga berkontribusi pada proses produksi bagi mereka. Dari pemahaman ini, muncul pertanyaan lebih lanjut mengenai dampak dominasi dan menguatnya posisi big tech, khususnya dalam konteks pemerintahan Donald Trump, terhadap dinamika internasional. Misalnya, bagaimana implikasinya terhadap hubungan Amerika Serikat dengan Tiongkok, yang saat ini sering dipandang sebagai pesaing utama dalam sektor ekonomi digital. Kamu juga sempat menyebutkan sebelumnya bahwa Tiongkok justru lebih berhasil dalam mengintegrasikan ekonomi digital dan finansial. Menurut pandanganmu, apakah situasi ini akan membawa dampak signifikan terhadap konfigurasi ekonomi politik global di masa mendatang?

 HYP: Ketika struktur imperialisme yang selama ini menopang kapitalisme mengalami keruntuhan, perlu dipahami bahwa keruntuhan ini tidak serta-merta berarti bahwa Amerika Serikat menjadi negara yang miskin atau kehilangan kekuatan. Sebaliknya, yang runtuh adalah karakter kapitalisme dalam bentuk globalisasinya. Dalam kajian Hubungan Internasional, terdapat satu pertanyaan mendasar yang menjadi titik tolak lahirnya disiplin ini, sebuah pertanyaan yang sederhana namun sangat krusial, yaitu: bagaimana mencegah terjadinya perang? Meskipun dalam perkembangannya muncul berbagai pendekatan baru seperti teori kritis, posmodernisme, dan pos-strukturalisme, inti dari studi Hubungan Internasional tetap berakar pada persoalan mendasar tersebut—mencari cara untuk menghindari konflik bersenjata di level global.

Pada dekade 1960-an, berkembang perspektif liberal-fungsionalisme dan teori-teori sejenis yang, menurut saya, sangat menarik dan relevan untuk diskusi kita saat ini. Hal ini disebabkan karena argumen yang diajukan oleh para pemikir liberal pada masa itu cukup meyakinkan. Mereka berpendapat bahwa salah satu cara paling efektif untuk mencegah terjadinya perang adalah dengan menciptakan keterkaitan yang kuat antarnegara, atau dalam istilah lain, melalui proses globalisasi—khususnya melalui jalur perdagangan dan kerja sama ekonomi. Dari gagasan ini lahirlah konsep interdependensi, yakni keyakinan bahwa saling keterikatan ekonomi antarnegara akan membuat konflik bersenjata menjadi tidak rasional dan terlalu mahal untuk dilakukan. Sebagai contoh, jika suatu negara berniat menyerang negara lain—misalnya Amerika Serikat hendak menyerang Tiongkok—maka tindakan tersebut tidak hanya akan merugikan pihak yang diserang, tetapi juga akan membawa kerugian besar bagi sektor-sektor ekonomi domestik negara penyerang. Dengan demikian, dalam logika liberal, semakin terhubungnya negara-negara melalui jaringan ekonomi global akan membuat perdamaian menjadi pilihan yang lebih rasional. Singkatnya, globalisasi dianggap identik dengan perdamaian.

Kondisi saat ini justru menunjukkan arah yang berbeda, di mana pemerintahan Donald Trump mendorong proses deglobalisasi. Situasi ini membawa kita kembali pada relevansi pertanyaan fundamental yang pernah mengemuka pada dekade 1960-an, yaitu bagaimana mencegah terjadinya perang. Sebab, dalam konteks deglobalisasi, insentif bagi Amerika Serikat untuk menjaga stabilitas dan keterhubungan global semakin menurun, sehingga biaya politik dan ekonomi untuk melancarkan konflik menjadi relatif lebih murah. Selain itu, jika kita mengamati konfigurasi kekuatan di sekitar Trump, mayoritas figur-figur utama di sektor big tech berada di spektrum politik kanan, yang menjadi karakteristik khas dalam politik Amerika Serikat. Narasi seperti “Make America Great Again” mencerminkan bagaimana Trump dan lingkarannya memandang Tiongkok bukan sebagai mitra strategis, melainkan sebagai ancaman langsung. Salah satu contohnya dapat dilihat dari isu terbaru terkait pelarangan Deepseek, yang mencerminkan kecenderungan untuk memandang segala sesuatu yang terkait dengan Tiongkok secara negatif dan penuh kecurigaan. Dalam konteks ini, prediksi-prediksi pesimistis yang sering muncul di kalangan studi Hubungan Internasional—bahwa dinamika semacam ini akan membawa pada ketegangan dan potensi konflik terbuka—kembali menemukan momentumnya. 

Saya pribadi pun berbagi kekhawatiran yang sama. Menurut saya, kita perlu mulai mempersiapkan diri atas kemungkinan meningkatnya risiko terjadinya perang, sebab bagi Amerika Serikat, biaya untuk melancarkan perang saat ini menjadi jauh lebih rendah dibandingkan pada masa ketika globalisasi masih berlangsung. Potensi kerugian yang harus ditanggung Amerika Serikat akibat konflik bersenjata tidak lagi sebesar sebelumnya. Yang perlu diwaspadai adalah situasi ketika Amerika Serikat mencapai titik keyakinan tertentu bahwa mereka mampu bertahan secara mandiri tanpa perlu mengandalkan keterkaitan global.

Jika kita berbicara mengenai kemungkinan terjadinya perang dalam arti konvensional atau fisik, realitas saat ini menunjukkan bahwa Tiongkok masih berada jauh di belakang Amerika Serikat dalam hal kekuatan militer. Bahkan jika kekuatan Tiongkok dikombinasikan dengan negara-negara seperti Rusia, Turki, dan lainnya, kesenjangan kekuatan militer tersebut masih tetap signifikan. Oleh karena itu, menjadi sangat penting bagi Tiongkok, dan juga Rusia, untuk menghindari tindakan-tindakan yang dapat memicu provokasi terhadap Amerika Serikat. Dalam kerangka berpikir untuk mencegah konflik, posisi strategis bagi kedua negara tersebut adalah tidak memberikan alasan atau justifikasi bagi Amerika Serikat untuk melancarkan aksi militer


CHP: Skenario yang kamu sampaikan ini tampak cukup suram dan mengarah pada situasi yang pesimistis. Jika kondisi ini terus berlanjut, atau jika agenda yang didorong oleh kalangan big tech berhasil terealisasi sepenuhnya, maka bukan tidak mungkin eskalasi konflik, bahkan potensi terjadinya perang, akan menjadi konsekuensi yang sulit dihindari. Dalam konteks tersebut, saya ingin mengetahui pandanganmu terkait posisi negara-negara berkembang seperti Indonesia. Menurutmu, sikap atau strategi seperti apa yang sebaiknya diambil oleh Indonesia dalam menghadapi dinamika global yang semakin tidak menentu ini?

HYP: Dalam hal ini, saya pribadi banyak terinspirasi oleh pemikiran Ho Chi Minh. Saat masih berada di Prancis, salah satu gagasan utama yang ia tekankan adalah pentingnya membangun koneksi antara kelas pekerja di pusat-pusat kekuasaan imperial (imperial metropol) dengan kelas pekerja di wilayah pinggiran (periphery). Bagi Ho Chi Minh, inilah esensi dari semangat internasionalisme. Tentu saja, gagasan ini mudah untuk dibicarakan, tetapi jika kita melihat kondisi saat ini, pertanyaannya adalah: kelas pekerja mana yang benar-benar memiliki orientasi internasionalis? Bahkan di Indonesia, misalnya, sejauh mana Partai Buruh atau konfederasi serikat pekerja telah berpikir dalam kerangka perjuangan kelas internasional? Pada kenyataannya, fokus utama mereka masih berkutat pada isu-isu mendasar seperti kenaikan upah atau pengurangan jam kerja.

Namun, apa yang hendak ditunjukkan oleh Ho Chi Minh adalah bahwa proses imperialisme—dalam konteksnya, imperialisme Prancis—tidak akan berhenti kecuali kekuatan imperial tersebut berhasil dilemahkan dari dalam, dan satu-satunya kekuatan yang dapat melakukannya adalah kelas pekerja di negara pusat imperialisme itu sendiri. Secara intuitif, hal ini terasa kontradiktif, karena seolah-olah kelas pekerja di negara periferi justru harus mendukung perjuangan kelas pekerja di negara pusat, seperti Amerika Serikat. Padahal, kondisi kelas pekerja di negara-negara seperti Indonesia sendiri masih jauh dari sejahtera. Inilah pekerjaan besar yang perlu diemban oleh para pemikir progresif, baik di Indonesia maupun di negara-negara lain. Mereka perlu menghidupkan kembali perspektif internasionalisme dalam perjuangan kelas, menggeser fokus dari sekadar tuntutan normatif seperti upah dan kebijakan pemerintah yang timpang. Dalam konteks saat ini, salah satu bentuk solidaritas internasional yang paling strategis adalah mendukung perjuangan kelas pekerja di Amerika Serikat dalam melawan dominasi tekno-feodalisme, big tech, big finance, dan bank-bank besar yang menjadi pilar utama kapitalisme global.

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.


CHP: Kalau di level negara, menurut kamu kira-kira apa yang bisa dilakukan oleh Indonesia? Atau kamu tidak punya harapan atau tidak melihat ada sesuatu yang bisa pemerintah Indonesia lakukan di tengah skenario terburuk seperti yang kamu sampaikan tadi?

HYP: Jika kita mengamati kondisi pemerintahan Prabowo saat ini, menurut saya cukup jelas bahwa tidak ada ruang bagi agenda semacam ini untuk dijalankan. Pada titik ini, sikap yang mungkin diambil hanyalah menerima kondisi yang ada.

Namun, mari kita bayangkan sebuah skenario utopis di mana negara dipimpin oleh kekuatan progresif. Dalam konteks tersebut, salah satu langkah strategis yang dapat diambil adalah mendorong dan mengampanyekan perspektif internasionalisme sebagai bagian dari kebijakan luar negeri. Kampanye ini dapat diwujudkan melalui pernyataan politik yang tegas dan luas untuk menunjukkan solidaritas terhadap perjuangan kelas pekerja di Amerika Serikat. Sebab, harus diakui bahwa kekuatan yang paling mungkin mampu melemahkan dominasi imperialisme Amerika Serikat adalah kelas pekerja di negara tersebut sendiri. Saya pribadi tidak melihat kemungkinan bahwa Tiongkok, misalnya, dapat melakukannya melalui intervensi langsung. Jika pun itu terjadi, besar kemungkinan pendekatannya akan bersifat militer dan terjadi di masa mendatang. Namun, dalam kerangka sistem kedaulatan negara yang berlaku saat ini, pada akhirnya hanya kelas pekerja di Amerika Serikat yang memiliki potensi riil untuk melemahkan dominasi imperialisme tersebut. Karena itu, internasionalisme harus selalu diarahkan untuk menopang perjuangan kelas pekerja di level akar rumput, melalui berbagai bentuk dukungan seperti pemberontakan, intervensi, bantuan finansial, dan strategi-strategi lainnya. 

Selain itu, ada langkah lain yang dapat diupayakan pada tataran moneter, meskipun secara intuitif hal ini tampak bertentangan. Salah satu kemungkinan strategis adalah mendorong penguatan dolar AS, namun di saat yang sama berupaya melepaskan keterikatan antara dolar dengan kepentingan politik Amerika Serikat. Gagasan ini masih bersifat hipotetis, tetapi jika kita perhatikan, apa yang sedang diupayakan oleh institusi seperti BlackRock tampaknya mengarah ke sana: memperkuat posisi dolar AS hingga melampaui sekadar instrumen kekuatan Amerika Serikat. Alasan utama di balik strategi ini adalah karena dolar AS sudah terlanjur menjadi tulang punggung globalisasi ekonomi dunia, dan saat ini hanya mata uang tersebut yang mampu menjaga keterhubungan sistem ekonomi global. Jika kita lihat dari sudut pandang para pelaku bisnis, pilihan mereka menggunakan dolar bukan semata-mata karena paksaan Amerika Serikat, melainkan karena tingkat keamanannya yang sangat tinggi. Di sisi lain, terdapat kecenderungan politik yang berlawanan, terutama yang diperlihatkan oleh Donald Trump, yang berupaya menarik kembali dominasi dolar ke dalam kerangka kepentingan nasional Amerika dan mendorong proses deglobalisasi—yang dalam arti tertentu bertentangan dengan logika kapitalisme global. Trump tidak menginginkan dolar menjadi simbol kapitalisme global, melainkan tetap menjadi milik eksklusif Amerika Serikat. Sementara itu, kapitalisme global justru menghendaki agar dolar tetap berfungsi sebagai infrastruktur utama bagi akumulasi kapital di tingkat global. Dengan demikian, perjuangan di level moneter terletak pada bagaimana menciptakan kondisi di mana dolar AS tetap memiliki fungsi internasional, bahkan melampaui kepentingan politik Amerika Serikat itu sendiri—sebuah proyek yang, secara ironis, sejalan dengan kepentingan kapitalisme global dan bertentangan dengan agenda politik Trump.

Mungkin gagasan ini masih terasa jauh dari diskursus yang umum kita temui saat ini. Namun, menurut saya, penting untuk mulai membuka ruang berpikir ke arah ini—yakni pada jalur yang lebih abstrak, yang berkaitan dengan persoalan moneter, finansial, dan struktur kebijakan ekonomi global. Dengan kata lain, perjuangan tidak boleh semata-mata terfokus pada sektor manufaktur atau ekonomi industrial semata. Sudah saatnya kita mulai mendiversifikasi bentuk perjuangan, termasuk mengupayakan intervensi dan keterlibatan di ranah kebijakan moneter serta sektor keuangan global.


CHP: Sebelumnya, kamu telah menjelaskan beberapa langkah yang dapat diambil oleh gerakan kelas sosial dan kelas pekerja dalam merespons menguatnya ekonomi digital dan implikasinya di tingkat internasional. Namun, menurutmu, adakah strategi lain yang juga bisa ditempuh oleh gerakan sosial dalam menghadapi dominasi kelompok tekno-feodal, baik dari segi politik maupun ekonomi?

HYP: Menurut saya, dalam jangka pendek situasinya cukup sulit dan saya sendiri cukup pesimis. Namun, jika kita berbicara dalam kerangka jangka panjang—dengan asumsi bahwa konflik besar atau perang tidak terjadi dalam lima hingga sepuluh tahun ke depan—maka masih ada ruang untuk berharap. Tentu saja, hal ini mensyaratkan adanya kemampuan untuk mengorganisasi gerakan secara efektif. Langkah pertama yang perlu dilakukan adalah masuk melalui jalur konsumsi dalam sistem ekonomi yang ada saat ini. Pertanyaan mendasarnya adalah bagaimana memastikan bahwa konsumsi tersebut dapat terlebih dahulu memenuhi kebutuhan dasar masyarakat. Sebab, selama kebutuhan dasar—seperti rasa kenyang—belum terpenuhi, masyarakat akan tetap rentan dimobilisasi atau dimanipulasi oleh kekuatan politik kanan.


CHP: Kalau ada yang mengatakan bahwa yang bisa dilakukan, misalnya, melakukan regulasi seperti kebijakan yang adil terhadap kalangan digital ekonomi ini atau membangun teknologi alternatif seperti open source. Bagaimana ide-ide ini dalam pandanganmu?

HYP: Jika kita berbicara secara lebih spesifik, platform blockchain yang saat ini digunakan oleh perusahaan-perusahaan besar seperti BlackRock atau Blackstone di Amerika Serikat adalah Ethereum. Menariknya, Ethereum sendiri merupakan salah satu ekosistem yang paling dekat dengan tradisi anarkis, terutama karena sifatnya yang open source. Sayangnya, dalam perkembangan teknologi open source ini, yang paling banyak terlibat justru kalangan anarko, sementara kontribusi dari kalangan marxis relatif sangat sedikit.

Karena itu, menurut saya, arah strategis yang perlu ditempuh sebenarnya hanya satu, yakni membangun infrastruktur internet yang benar-benar baru. Tentu saja, mewujudkan hal ini bukan perkara mudah dan membutuhkan proses yang panjang. Sejauh yang saya ketahui, hanya segelintir inisiatif yang mencoba mengupayakan hal ini, salah satunya adalah Economic Space Agency (ECSA), yang secara eksplisit membawa visi komunis dan tengah berupaya mengembangkan model internet alternatif. Adapun jika kita berbicara mengenai kebijakan dan regulasi, secara realistis saya belum melihat ada satu pun negara yang dapat dijadikan referensi untuk merumuskan kebijakan yang efektif dalam merespons perkembangan ini. Bahkan jika kita menawarkan rekomendasi kebijakan, pada akhirnya hal itu akan bersifat normatif semata, sebab hampir semua negara saat ini justru mengikuti arus perkembangan finansialisasi menuju tokenisasi. Fenomena ini bahkan sudah menjangkau kawasan ASEAN, di mana sejumlah negara mulai mengadopsi teknologi blockchain untuk melakukan tokenisasi aset dunia nyata.

Oleh karena itu, harapan agar pemerintah secara aktif merumuskan regulasi untuk membendung perkembangan ini mungkin penting sebagai wacana akademis, tetapi dalam praktiknya sangat sulit terealisasi. Justru karena alasan tersebut, perebutan kekuasaan negara tetap menjadi krusial, agar gagasan-gagasan normatif seperti internasionalisme, solidaritas bagi kelas pekerja Amerika Serikat, dan diplomasi moneter dapat diwujudkan dalam kebijakan nyata.


CHP: Jika poinnya adalah merebut kekuasaan negara, bagaimana menurutmu perkembangan situasi saat ini? Apakah sudah ada inisiatif atau upaya untuk membangun organisasi serikat pekerja, khususnya di kalangan pekerja digital maupun di lingkungan serikat pekerja secara umum di Indonesia? Selain itu, bagaimana pandanganmu mengenai ide bahwa perjuangan buruh tidak seharusnya berhenti pada pembentukan serikat, melainkan harus dilanjutkan ke tahap yang lebih radikal, yakni mendorong kelas pekerja untuk berjuang merebut kekuasaan negara? Bagaimana kamu melihat prospek dan tantangan dari gagasan ini dalam konteks Indonesia saat ini?

HYP: Menurut saya, ketika kita membahas strategi, maka titik tolak yang harus digunakan adalah analisis terhadap modus produksi. Pergeseran modus produksi yang sebelumnya telah saya uraikan perlu menjadi dasar utama, khususnya terkait bagaimana logika produksi dan konsumsi saat ini telah saling berkelindan dan tidak lagi dapat dipisahkan. Bahkan, Marx pernah menggarisbawahi bahwa sumber utama penciptaan nilai lebih tidak semata-mata berasal dari proses kerja itu sendiri, melainkan justru dari disposable time—yaitu waktu di mana individu tidak sedang bekerja, tidak terlibat dalam proses reproduksi sosial, bahkan tidak produktif dalam pengertian ekonomi. Pada kenyataannya, di luar jam kerja sekalipun, individu tetap berada dalam sirkuit konsumsi: mereka harus membayar cicilan rumah, membeli kebutuhan pokok, memenuhi kebutuhan sandang, pangan, serta kebutuhan hidup lainnya. Dengan demikian, baik saat bekerja maupun di luar jam kerja, individu tetap berkontribusi pada siklus akumulasi kapital melalui konsumsi. Mengingat waktu tidak bekerja secara umum lebih panjang dibandingkan waktu bekerja, maka konsumsi yang terjadi dalam periode tersebut menjadi sangat signifikan. Dari perspektif ini, kita dapat memahami bagaimana konsumsi memainkan peran yang sangat penting dalam kelangsungan kapitalisme kontemporer. Peran tersebut tidak sekadar bersifat normatif, melainkan menjadi salah satu penyumbang utama surplus nilai yang kemudian digunakan oleh kalangan kapitalis sebagai basis kekuatan politik mereka

Lalu, pertanyaannya adalah: apakah memungkinkan bagi serikat pekerja di sektor digital teknologi atau industri kreatif untuk, setidaknya, membatasi kekuasaan perusahaan dari sudut pandang manajemen hubungan industrial? Menurut saya, upaya ini tidak akan menghambat proses produksi nilai lebih, karena sumber utama ekstraksi nilai saat ini bukan hanya dari pekerja, coder, atau developer, melainkan juga dari kita semua sebagai konsumen. Dari situ, kita perlu mulai memikirkan bentuk baru dari serikat pekerja – bukan sekadar serikat konsumen, tapi serikat pekerja-konsumen. Artinya, kita harus mengubah cara pandang bahwa konsumsi hanyalah tindakan pasif. Justru, konsumsi di era digital ini adalah bentuk kerja yang memproduksi nilai, meskipun tak diakui dan tak dibayar. Karena itu, penting untuk mendorong agar undang-undang ketenagakerjaan mengakui bahwa aktivitas konsumsi digital – seperti menggunakan Instagram, TikTok, atau platform digital lainnya—adalah bagian dari proses produksi yang melibatkan kerja tak berbayar. Jika pengakuan ini tercapai, maka hubungan industrial bisa diperluas hingga mencakup para pengguna platform tersebut. Lebih jauh, kita perlu membayangkan skenario di mana, jika perusahaan-perusahaan ini tidak mampu membayar kontribusi para pengguna, ada kemungkinan bagi konsumen untuk mengambil alih kepemilikan, entah melalui koperasi, kepemilikan bersama, atau model serupa. Jadi, pergeseran konsumsi menjadi produksi menuntut kita untuk membangun imajinasi baru soal bagaimana berserikat dan memperjuangkan hak-hak kita di era digital ini.


CHP: Gagasanmu mengingatkan saya pada salah satu program politik yang muncul saat Revolusi Prancis 1848, yaitu mengenai hak atas pekerjaan (right to work). Pada masa itu, konsepnya adalah setiap orang yang bekerja berhak mendapatkan upah, sementara mereka yang tidak bekerja tetap menerima pendapatan, meskipun jumlahnya lebih kecil. Jika kita lihat hari ini, gagasan itu terasa relevan kembali, terutama dalam konteks ekonomi digital, di mana konsumen tampak tidak bekerja, tetapi sebenarnya tetap terlibat dalam proses produksi melalui aktivitas konsumsi mereka. Dengan kata lain, konsumen di era sekarang sebetulnya ikut menciptakan nilai, meskipun tidak diakui secara formal sebagai pekerja. Karena itu, muncul pertanyaan penting: mungkinkah mereka dimasukkan ke dalam kategori pekerja tertentu dan memperoleh hak-hak yang layak atas kontribusi mereka? Apakah skema semacam ini bisa diwujudkan?

HYP: Aku setuju dengan gagasan “hak atas pekerjaan”, tapi menurutku konsep itu masih menitikberatkan pada soal memasukkan kerja ke dalam sektor formal. Fokusnya lebih pada “pekerjaan” sebagai status, bukan pada “upah” atau kompensasi atas kerja yang dilakukan. Padahal, yang lebih relevan dalam konteks sekarang adalah menyoroti soal upah itu sendiri. Ini sejalan dengan tuntutan yang pernah disuarakan oleh para feminis dalam gerakan Wages for Housework. Mereka menyoroti bagaimana kerja-kerja rumah tangga selama ini dianggap tidak produktif karena tidak menghasilkan nilai lebih secara langsung, sehingga tidak dihargai sebagai kerja yang layak dibayar. Meski banyak yang menganggap tuntutan mereka sekadar argumen moral, sebenarnya inti dari perjuangan mereka – seperti yang disampaikan oleh tokoh-tokohnya, semisal Sylvia Federici, Leopoldina Fortunati, dan Mariarosa Dalla Costa – adalah bahwa kerja-kerja rumah tangga turut menghasilkan nilai lebih (surplus value).

Memang, argumen mereka masih bisa diperdebatkan, dan aku sendiri belum sepenuhnya sependapat karena mereka menganggap kontribusi kerja reproduktif ini sifatnya tidak langsung. Tapi, jika kita kaitkan dengan kondisi hari ini, kita bisa melihat bahwa kerja konsumsi di era digital bahkan melampaui kerja rumah tangga, karena kontribusi kita sebagai konsumen secara langsung memproduksi nilai lebih — bukan lagi secara tidak langsung. Jadi, ini adalah babak baru dari eksploitasi kerja yang tidak diakui, bahkan lebih tersembunyi daripada kerja-kerja reproduktif tradisional. Karena itu, perlu ada upaya serius untuk mengorganisir bentuk kerja semacam ini, di samping PR besar kita yang masih tertinggal dalam mengorganisir sektor-sektor kerja formal dan tradisional. Mungkin saja, ruang seperti IndoPROGRESS bisa mengambil peran dalam mendorong agenda ini.


CHP: Tapi kamu belum menjelaskan tentang kenapa penting bagi serikat pekerja baik di sektor digital maupun tradisional untuk merebut negara di era teknofeodalisme yang bukan tidak mungkin akan semakin dominan nantinya.

HYP: Kembali ke argumen saya sebelumnya soal alibi. Pada akhirnya, sebesar apa pun gelembung ekonomi (bubble economy) yang terbentuk, tetap saja ia membutuhkan fondasi ekonomi riil sebagai penyangga atau pembenaran. Terlebih jika kita melihat dari kacamata makroekonomi, bubble tidak akan bisa berdiri sendiri tanpa adanya sirkulasi ekonomi riil, dan sirkulasi itu hanya mungkin terjadi lewat aktivitas perdagangan, dalam hal ini konsumsi.

Karena itu, ketika kita bicara soal merebut kontrol atas negara, yang paling masuk akal dan strategis adalah dengan mensosialisasi alat produksi di sektor ekonomi riil. Sementara untuk sektor finansial, perjuangan untuk merebutnya masih jauh dan membutuhkan proses panjang. Maka, langkah yang lebih konkret saat ini adalah mulai dari sektor riil, melalui penguatan serikat pekerja. Inilah kenapa saya melihat pentingnya teman-teman tetap mendorong pengorganisiran serikat pekerja di sektor riil, walaupun kontribusi sektor ini terhadap ekonomi saat ini mungkin relatif kecil. Justru dari situ kita bisa membangun basis politik yang solid untuk memulai proses proletarianisasi bagi kawan-kawan pekerja yang selama ini lebih dekat pada posisi lumpenproletariat — yakni kelompok yang meskipun bekerja, tetapi tidak terhubung dengan relasi produksi formal yang memungkinkan mereka memiliki posisi tawar. Kita tahu, secara historis, lumpenproletariat jarang menjadi kekuatan progresif, bahkan sering kali mudah terkooptasi oleh kekuatan kanan. Karena itu, penting untuk menarik mereka masuk ke dalam relasi kerja yang jelas, di mana mereka mendapatkan upah, dan dari situ kita bisa mulai memisahkan upah tersebut dari mekanisme kapitalisasi. Dengan begitu, kita membuka ruang bagi mereka untuk mulai memiliki kesadaran progresif.

Meski sebelumnya aku menyebut pentingnya mengorganisir pekerja konsumsi, secara realistis aku pesimis bahwa hal itu bisa langsung dilakukan dalam waktu dekat. Karena itu, perlu ada kekuatan pendorong — semacam vanguard — yang tidak hanya bergerak di sektor manufaktur, tetapi juga mampu menjangkau dan membuka jalan bagi pekerja konsumsi. Bagi saya, saat ini belum ada jalan lain selain memulai dari proses proletarianisasi sektor-sektor kerja tradisional, untuk kemudian memimpin pergeseran menuju pengorganisiran serikat pekerja konsumsi di masa depan.


Wawancara ini adalah transkripsi yang dilakukan oleh Nandito Oktaviano dari program “Wawancara” kanal Youtube IndoPROGRESS TV.

]]>
Apakah Geopolitik Selalu Militeris dan Nasionalis? Krisis Imperialisme dan Politik Internasional Kelas Pekerja https://indoprogress.com/2024/08/apakah-geopolitik-selalu-militeris-dan-nasionalis/ Sun, 25 Aug 2024 09:20:20 +0000 https://indoprogress.com/?p=238371 Ilustrasi: Ilustruth


KAWAN-KAWAN sebangsa, setanah air, dan seideologi.

Sebelum memulai risalah ini, bolehlah saya mengutip inspirator utama gerakan kita, Karl Marx, mengenai tema ini, yaitu geopolitik dan politik internasional.

Perluasan besar-besaran dan tak terhalang dari kekuatan barbar itu [Imperialisme Tsar Rusia], yang kepalanya berada di St. Petersburg, dan tangannya ada di setiap kabinet Eropa, telah mengajarkan kelas pekerja akan tugasnya untuk menguasai misteri politik internasional; untuk mengawasi tindakan diplomatik dari pemerintah mereka masing-masing; untuk melawan mereka, jika perlu, dengan segala cara yang mereka miliki; ketika tidak mampu mencegah, untuk bergabung dalam kecaman serentak, dan untuk mengedepankan hukum sederhana atau moral dan keadilan, yang seharusnya mengatur hubungan individu pribadi, sebagai aturan utama dari hubungan antar bangsa. Perjuangan untuk kebijakan luar negeri seperti itu merupakan bagian dari perjuangan umum untuk emansipasi kelas pekerja. Proletar dari semua negeri, bersatulah!1Dlm. MECW 20, h. 13.

Agar supaya penjarahan menjadi mungkin, harus ada sesuatu untuk dijarah, yaitu hasil produksi. Dan modus penjarahan (mode of pillage) itu sendiri pada gilirannya ditentukan oleh modus produksi. Bangsa para broker saham, misalnya, tidak akan bisa dijarah dengan cara yang sama yang dipakai untuk menjarah bangsa penggembala sapi.2Dlm. “Introduction (Notebook M) (1857),” Grundrisse (Penguin, 1973), h.98.

Tiga hal yang saya mau saya soroti dengan bertolak dari nukilan di atas: pertama, imperialisme sebagai sumber misteri politik internasional; kedua, hubungan intim antara sistem persenjataan (sebagai alat manuver geopolitik) sebagai modus penjarahan dan dinamika di lini modus produksi; ketiga, politik internasional sebagai bagian perjuangan kelas pekerja. Tujuan utama risalah ini tentu di poin ketiga, namun untuk bisa sampai di sana, kita membutuhkan pemahaman dan informasi terkini mengenai poin pertama dan kedua. Namun demikian, sebelum bisa tenang membahas imperialisme, politik internasional, dan geopolitik kelas pekerja, ada satu masalah sekaligus penghalang utama yang harus dibereskan.

Masalah itu tak lain tak bukan adalah yang tertulis di judul tulisan ini: apakah geopolitik selalu militeris dan nasionalis? Pertanyaan ini merujuk pada anggapan paling mudarat, paling simplistis, paling buta sejarah, paling acuh sains, paling kontraproduktif, paling kontrarevolusioner bahkan, belum lagi machois nan borjuis, mengenai geopolitik dan politik internasional secara umum: yaitu wataknya yang selalu militeristik dan nasionalistik. Sebagai yang belajar secara formal ilmu hubungan internasional, setiap kali mendengar atau terlibat dalam perbincangan—termasuk dengan yang seideologi, bahkan—yang menyebut kata ‘geopolitik’ dan ‘politik internasional’, perbincangan selalu langsung bergeser ke nuansa perang militer, konflik bersenjata, dan diplomasi antar negara. Refleksi kritis akan anggapan ini, menurut saya, adalah langkah wajib dan utama untuk bisa mendapatkan relevansi watak dan asal-usul kelas (pekerja!) dari keduanya.

Untuk memantik refleksi ini, mari kita simak beberapa data “geopolitis” kontemporer. Sembari saya meracau, silakan pegang pertanyaan ini di benak Anda: “Apa geopolitisnya dari data dan informasi ini?” 


Eskalasi Geopolitik 2023-2024

Para pengamat dan pengepul data konflik bersenjata sepakat bahwa setahun terakhir ini, tengah 2023 sampai tengah 2024, adalah tahun terpanas untuk konflik di tataran internasional. Dua monumen penting: Perang Rusia-Ukraina, perang pertama sejak Perang Dunia Kedua yang melibatkan kekuatan besar dunia secara langsung ke dalam teater perang; perang Israel-Hamas dan genosida di Gaza, perang asimetris internasional sekaligus dengan korban terbesar pertama sejak genosida di Rwanda 1994.

Menurut pantauan ACLED (The Armed Conflict Location & Event Data Project), setidaknya rata-rata 1 dari 6 orang di dunia sedang terpapar keselamatannya oleh kekerasan bersenjata, baik secara langsung maupun terjebak di medan pertempuran. Data Global Peace Index (GPI) 2024, sekitar 110 juta orang sedang luntang-lantung karena perang (sebagai pengungsi, manusia perahu, nomad menjauhi perang, dst.). Sementara berdasar pantauan Armed Conflict Survey 2023 (rilis Desember) dari International Institute of Strategic Studies (IISS), saat ini sedang berlangsung setidaknya 183 konflik berskala kawasan di dunia. 

Selain perang di Ukraina dan Gaza, sebenarnya banyak konflik dengan skala yang tak kalah mematikannya yang tidak sampai, setidaknya, ke ruang diskusi, doa, solidaritas dan simpati warga Indonesia, termasuk kelas pekerja. Perang di Provinsi Tigray (berbatasan langsung dengan Eritrea di Utara) di Ethiopia misalnya, yang sejak 2020 sampai hari ini sudah memakan 600 ribu korban jiwa (bandingkan korban genosida Gaza di angka antara 36 ribu–40 ribu korban jiwa, dan korban Ukraina di 83 ribu, data GPI).3Perang di Tigray ini juga menjadi kasus terbaru tentang ‘perkosaan sistematis sebagai senjata perang’ (rape as a weapon of war). Perkosaan terjadi sampa skala harian, mulai anak umur 8 tahun bahkan, dan tidak jarang dilakukan di depan keluarganya.

Perang saudara di Ethiopia ini amat berpotensi menjadi perang regional di Afrika, dan bahkan mendunia. Sejak Eritrea memerdekakan diri, Ethiopia menjadi  kehilangan akses ke Laut Merah (landlocked).4Akses ke laut berarti akses ke perdagangan, yang berarti punya makna ekonomi bagi ruang/teritori maritim. Untuk ini, Etiopia menjalin kerja sama dengan Somaliland di sebelah Timur, yang memiliki akses ke laut. Masalahnya, Somaliland ini tidak diakui kedaulatannya oleh negara-negara Afrika yang lebih pro Somalia. Manuver Ethiopia ini bisa memantik perang dengan Somalia, dan akhirnya menyeret seantero Afrika dan dunia (para Eropa eks penjajah, yang masih berkepentingan tentunya). Di Afrika pun, kudeta-kudeta yang terjadi banyak ditengarai sebagai ditunggangi oleh Rusia. Seperti di Burkina Faso, Niger, Gabon, Sierra Leone, dan Mali. Perang Dingin tampaknya bukan lagi sejarah di Afrika, ia adalah kenyataan kontemporer. 

Di Timur Tengah, dunia (termasuk AS) sedang keringat dingin untuk menurunkan ketegangan Israel vs Hezbollah dan Iran. Di studi strategi, khususnya studi aliansi, ini disebut chain ganging atau kondisi saat aliansi penting berperang, mau tidak mau, suka tidak suka, kita harus ikut mendukung di belakangnya, sekalipun kita tahu perang itu tidaklah perlu. Bagi imperialisme AS, membuka garda ‘perang panas’ (baku tempur yang manifes di lapangan) satu saja sudah berat. AS sudah tombok banyak di Ukraina; kini ia harus tombok lagi di Israel kalau pecah perang dengan Hezbollah.

Ini akan menyedot banyak sumber daya ekonomi, yang harusnya bisa dipakai untuk melawan, dari perspektif AS, kebangkitan ekonomi Tiongkok. Sekadar gambaran, gara-gara perang di Ukraina dan Gaza, kerugian dunia secara perhitungan PDB adalah sebesar US$19,1 triliun, atau per orang di dunia harus urunan US$2300 (Rp34,5 juta). Penyia-nyiaan produktivitas kerja untuk perang ini lompat sebanyak 20% dari tahun lalu menurut data GPI. Itu secara ekonomi. Secara politik, pecahnya perang Israel dan Hezbollah akan menyeret Iran yang adalah adidaya regional di Timur Tengah. Dalam studi strategi, ‘perang’ (war, dan bukan skirmish) didefinisikan sebagai 1) konflik terbuka di antara para hegemon, dan 2) konflik yang berpotensi mengganti (melenyapkan) salah satu adidaya. Di atas kertas para ilmuwan strategi, mungkin tampak datar-datar saja; di dunia nyata, ‘perang’ seperti ini kalau tidak salah kita beri julukan “Perang Dunia” beserta seluruh horornya. 

Sekadar info saja, saat ini sebagian besar penduduk utara Israel dan selatan Lebanon sudah mengungsi. Artinya, kedua belah pihak sudah siap perang.

Bukan analisis geopolitik namanya kalau tidak ada peta. Maka simak peta berikut, yang saya pinjam dari Caspian Report, untuk mengilustrasikan dalam bentuk sederhana apa yang disebut para ahli strategi sebagai perimbangan serangan dan pertahanan (ODB, Offense-Defense Balance).

Gambar 1. Atas: Tiga rudal utama Hezbollah dan daya jangkaunya; Bawah: lima rudal utama Israel dan daya jangkaunya. 

Sekalipun tidak “sesempurna” Israel yang bisa menjangkau seluruh wilayah Lebanon, rudal Hezbollah bisa menjangkau setidaknya Bandara Ben Gurion di Tel Aviv dan kartu Joker Israel yang adalah pangkalan nuklir (rahasia) Dimona di selatan Tepi Barat. Memangnya berapa banyak rudal Hezbollah? Media arus utama (umumnya Barat) memperkirakan paling banter 200 ribu. Sumber Caspian Report dari Iran membocorkan: lebih dari 1 juta!

Gertakan Israel tidak salah, bahwa kalau pecah perang, IDF (TNI-nya Israel) akan “mengirimkan Lebanon kembali ke Zaman Batu.” Tapi jangan lupa, dengan infrastruktur kritis Israel dan juga modal geopolitik utamanya (nuklir) vis-a-vis Iran musnah dihujani rudal, Israel bukan apa-apa kalau harus diadu dengan Iran.5Dalam teori skala serangan-bertahan (offense-defense scaling), postur bertahan Israel akan membuatnya menang dalam jangka panjang. Namun postur menyerang Hezbollah (sejuta rudal, jika benar) akan memorak-porandakan pertahanan rudal Israel (yang konon tidak lebih dari 10 surface-to-air missiles, SAM, saja, yang itu pun tidak mampu mengintersepsi semua rudal Hamas. Dibandingkan Hezbollah, Hamas masih jauh di bawah dalam ukuran kekuatan militer). Israel baru menang setelah Hezbollah kehabisan amunisi menyerang, yang sendirinya sudah lebih dahulu meluluhlantakkan Israel Utara dan Pusat (termasuk Tel Aviv). Untuk teorinya, lih. Garfinkel & Dafoe (2019) “How does the offense-defense balance scale?,” Journal of Strategic Studies, 42:6.

Ini, mau tidak mau, membuat AS turun tangan. Kuis logika sederhana: akankah Tiongkok dan Rusia tinggal diam kalau Iran, anggota BRICS, terlibat perang dengan AS? Kutukan chain ganging akan menghantui para peserta “geopolitik” selamanya. Omong-omong, jangan lupa juga: siapa pun yang menang, kita—kelas pekerja sedunia—akan tetap kalah. 

Satu fakta yang bagi pembelajar HI, geopolitik, dan strategi sudah mafhum, namun pasti bikin emosi telinga-telinga moralis-humanis adalah: bahwa perang itu lumrah, dan bahwa ia berbahaya saat ia menjadi tidak rasional. Para penjunjung tinggi HAM akan berkata, “apa-apaan, mana ada perang rasional?!” Lagi-lagi, jika benar mau memahami “misteri politik internasional”, perlu jelas dulu, rasional di sini adalah rasional sejauh status quo sistem internasional terjaga. Awam akan mengenal kondisi ini dengan ‘damai’. Damai ini, bagi para adidaya, adalah fungsi/efek dari sistem internasional yang stabil, yang indikatornya adalah: tidak ada perubahan sebaran konstelasi adidaya berikut sistem ekonomi dunia yang menopang sirkulasi modal, buruh, komoditas, dan sumber daya. Jadi, rasional itu damai; damai itu stabil; dan bagi kita, kelas pekerja, stabil ini selalu berarti eksploitasi nilai lebih pekerja secara berkelanjutan tentunya.

Kembali ke Israel vs Hezbollah, konflik ini tidak rasional sama sekali. Lihat saja betapa susah payahnya Biden merayu-sampai-menekan Israel untuk deeskalasi. Lihat lagi ongkos ekonomi dan penyia-nyiaan surplus nilai kerja di atas. Dalam cakrawala kapitalisme, perang itu berguna sejauh ia menghabisi perlawanan manusia sebagai kelas pekerja dan/atau anti-kapitalis. Kalau ia dihabisi sebagai manusia saja (sebagai pemilik suku, bangsa, ras, dan agama saja), adalah sebuah kebodohan yang merugikan: pasalnya, bagi neoliberalisme, jiwa-jiwa ini diperlukan!—buat kapitalis: sebagai pekerja baik produktif dan reproduktif, dan juga sebagai konsumen; buat negara: sebagai rakyat yang menopang ekonomi melalui keterlibatannya sebagai entitas pasar tenaga kerja (buruh) dan entitas pasar komoditas (konsumen). Inilah yang mereka maksudkan “tidak rasional”.

Lantas apakah perang “tidak rasional” ini bisa dicegah AS? Itu yang saya pribadi juga khawatirkan. Khususnya menjelang pemilu AS September 2024 nanti. Satu hal yang bisa kita percayakan dari para kapitalis adalah bahwa mereka akan sangat rasional untuk menjaga kepentingannya, tidak terkecuali dalam bentuk imperialnya. AS di bawah Biden bisa dibilang cukup rasional (dari cakrawala fungsi imperial dalam kapitalisme tentunya). Namun di bawah Trump? Ini yang mengkhawatirkan. Dalam teori Marx,6Yang saya maksud adalah eksposisi Marx mengenai totalitas produksi dan sirkulasi di Capital, vol. 3, dan tidak hanya sirkuit produksi sebagaimana yang banyak dirujuk orang (lewat pembacaan hanya dari Capital, vol 1). Lihat juga catatan kaki no 8. bentuk terkomplit dari kapitalisme adalah dunia yang terpartisi (negara mana memproduksi apa) dan terintegrasi di dalam kesatuan sirkuit pasar dunia (world market) dengan satu mata-uang dunia (world money). Apa yang disebut imperialisme oleh Lenin, kemudian, adalah negara yang bertanggung jawab menjaga dan mengamankan (dengan cara apa pun) ini semua: partisi dan integrasi dunia ke dalam sirkuit pembagian kerja internasional (untuk mentransfer nilai kerja masing-masing), pasar dunia dan uang dunia.

Donald Trump menolak ini semua. Benar Biden sudah menunjukkan gestur ke arah sini,7Simak wacananya soal ‘decoupling’ (melepas ketergantungan) dan ‘derisking’ (mengurangi risiko) dengan memutus dan mengalihkan hubungan ekonomi, bisnis, pasokan, dst., dari negara-negara yang menolak tata-aturan internasional (rules-based order)  ke negara-negara “teman” (friend-shoring, near-shoring, dst.), yang sebenarnya hanya istilah keren untuk kembali ke proteksionisme. Itulah kenapa banyak pengamat menyebut ini sebagai ‘deglobalisasi’, ‘pasca-neoliberalisme’, atau ‘kapitalisme negara baru’. namun Trump lah yang paling tegas. Trump tidak tertarik menjaga infrastruktur ekonomi (kapitalis) dunia. Ia lebih penting menjaga perasaan subjektifnya dan kebencian sayap kanannya akan identitas “yang asing” (imigran, Tiongkok, dst.), suatu hal yang sangat tidak kapitalis. Jika Nazi adalah kutub ekstrem sosialisme nasionalis, maka Trump adalah kutub ekstrim dari kapitalisme nasionalis.8Diskusi soal ini bisa panjang, tapi di kepala saya, tema ini banyak merujuk pada diskusi Alberto Toscano di bukunya Late Fascism: Race, Capitalism, and the Politics of Crisis (Verso, 2023).

Grafik SEQ; Grafik perbandingan anggaran pertahanan AS dan semua negara (sumber: Military Balance 2024)

Perang tidak rasional akan menjadi berbahaya dan mematikan level dewa saat ia bersumbu pada kekuatan adidaya. Untuk kasus warga planet bumi di 2024: AS. Negeri Paman Sam ini, kekuatan militernya tidak tertandingi sejagat raya. Bahkan, 15 negara dengan peringkat di bawahnya saja, apabila dipadukan kekuatannya, masih tidak mampu menandingi. Tiongkok? Jangan harap; digabungkan dengan Rusia saja masih belum sampai sepertiganya. Kekuatan “mentah” ini yang sebenarnya perlu dijaga seantero jagat dari AS. Ibarat Zeno dalam anime Dragon Ball Super, AS di bawah Trump adalah entitas terkuat sejagat namun dengan mentalitas kanak-kanak. Di Dragon Ball, Son Goku dan Vegeta, dua makhluk terkuat di jagat raya, bahkan harus memanjakan Zeno. Demikian juga di dunia kita, semua harus menyenangkan dan menjaga suasana hati Trump, jangan sampai ia mengamuk dan menghancurkan dunia. Tapi masalahnya, lantas kapan akan ada revolusi proletariat jika kita harus terus menjaga mood dan suasana hati imperialis?

Data dan info di atas masih belum memasukkan titik-titik panas di Asia. Menurut pantauan Asia-Pacific Regional Security Assessment 2024 dari IISS, AS sudah melakukan sebanyak 1.113 latihan bersenjata gabungan, sementara Tiongkok hanya 130 saja dalam kurun 20 tahun terakhir. Sejauh berkaitan dengan Tiongkok, insiden bersenjata (tidak harus pecah konflik, bisa saja adu gertak) sejak setahun terakhir, 2022-2023, naik sebanyak 15 insiden atau 100% dibanding kurun 20 tahun sebelumnya 2001-2021. Presiden Taiwan baru, Lai Ching-te, memperkeruh suasana dengan pidato nasionalisnya yang anti-Tiongkok, yang tentunya memprovokasi Sang Naga dan bikin Paman Sam tambah pusing. Malaysia dan Thailand baru-baru ini menyatakan komitmen bergabung BRICS. Arab Saudi yang sepakat mulai beralih perdagangan minyak dengan Yuan. Persitegangan terbuka (walau senjata belum menyalak, masih diangkat-angkat saja) antara Tiongkok dan Filipina. Semua ini menunjukkan bahwa kawasan Asia dan Asia Tenggara tidak juga luput dalam audisi teater perang hegemonik AS-Tiongkok. 


Geopolitik Kelas Pekerja?

Kembali ke pertanyaan yang saya titipkan sebelumnya: apa geopolitiknya data dan info-info di atas? Berani taruhan mayoritas akan mengamini dugaan saya: geopolitis karena menyangkut perang militer, konflik bersenjata, dan hubungan antar negara. Tapi apa salahnya?

Tidak ada yang salah dengan pandangan nasionalis dan militeris ini. Tidak ada yang salah jika Anda masih mengedepankan identitas nasional tentunya. Pertanyaan ini sebenarnya adalah ujian soal sejauh mana internasionalisme perjuangan kelas itu tidak berhenti hanya di lagu saja. Tapi, baiklah, kita kesampingkan isu etis-personal ini.

Di tataran analitis, pandangan nasionalis-militeris ini sama sekali menghilangkan posisi kelas pekerja dan meratakan semuanya sebagai “orang Israel”, “rakyat Gaza”, “orang Cina”, “orang Amerika”, dst. Di hadapan kibaran bendera nasional, kontradiksi kelas dalam kapitalisme dipendam dalam-dalam, dan kesamaan identitas kebangsaan dijunjung tinggi-tinggi. Kemudian saat fokus kita ada pada artileri perang, maka posisi produksi (dalam artian modus produksi kapitalisme) menjadi terabaikan. Tidak ada produksi, maka tidak akan ada posisi kelas. Di dalam hubungan negara, hanya ada ‘pemerintah dan warga’, ‘sipil dan militer’. Padahal, ‘borjuis dan proletar’ adalah spesies modus produksi. Artinya tidak ada kelas pekerja dalam wacana geopolitik nasionalis dan militeris! Itulah mengapa agenda epistemik kelas pekerja dalam geopolitik adalah: mengembalikan sentralitas internasionalisme, kelas dan produksi di dalam analisis dan pembacaan situasi. 


Imperialisme sebagai Misteri Politik Internasional

Tentu kerja berat untuk menuntaskan agenda tersebut di risalah ini. Namun tiga hal yang saya sampaikan di depan, agaknya masih mungkin dibahas di tempat yang pendek ini. Pertama, imperialisme sebagai misteri politik internasional. Kontra pandangan buruk mengenai AS, sebenarnya ia menjalankan peran imperialnya dengan lumayan baik. Dari cerita saya di atas, jika pakai standar HAM liberal, sudah pasti peran AS akan sangat berstandar ganda. Namun kalau kita mau menginsyafkan sedikit impuls liberal humanis kita, dan mulai belajar menggunakan analisis marxis, peran AS itu konsisten. Ingat yang saya bilang di atas: satu hal yang bisa kita percayakan pada para kapitalis dan imperialis yaitu ia akan sungguh-sungguh dan rasional untuk menjaga keamanan sirkuit kapital. AS memasok Ukraina karena itu menjadi sarana memerangi oknum yang anti aturan internasional liberal, yang artinya adalah anti sirkuit kapital ala imperialisme Amerika (yaitu sirkuit dolar dan aturan ekonomi dari tritunggal IMF-World Bank-WTO yang dijaga oleh ‘hukum internasional’ dan PBB). AS menahan-nahan Israel, karena kalau pecah perang Israel vs Hezbollah-Iran, maka sudah pasti sirkuit kapital dunia ikut hancur. Imperialisme AS tepat dalam krisis karena ia semakin berkurang kemampuannya mendisiplinkan negara-negara yang problematik dan berisiko bagi sirkuit kapital. 

Di sini kita bisa lihat jelas bahwa politik internasional, termasuk semua tata hukum, aturan dan organisasi internasional, berikut pernak-pernik retorika perdamaian lainnya, tidak lain adalah artefak imperialis untuk menjaga supaya dunia berjalan pada sirkuit kapital yang menopang imperialisme AS, yaitu hegemoni dolar dan integrasi pasar dunia.

Jika Anda percaya Xi Jinping dan corong-corong intelektual-nasionalisnya, mungkin benar Tiongkok bangkit secara bersahabat. Tapi di politik internasional, tidak ada itu yang namanya kebangkitan damai (peaceful rise). Anda semakin kuat berarti saya semakin terpapar bahaya, karenanya saya harus makin kuat dan sebisa mungkin merintangi bahkan menjegal kebangkitan Anda. Prinsip ini dikenal semua pembelajar dan pelaku politik internasional sebagai ‘dilema keamanan’ (security dilemma). AS paham itu. Tiongkok pun paham itu. (Banyak pemikir strategi dan keamanan Tiongkok yang mengidolakan pemikir-pemikir strategi dari AS, seperti Andrew Marshal, yang disebut-sebut Yoda dari Pentagon). Tiongkok sudah tahu bahwa berapa kali pun ia bilang kebangkitannya damai, tetap saja itu tidak akan mengubah suudzon AS. Artinya, Tiongkok pun sudah paham bahwa satu-satunya cara meredakan ketegangan adalah dengan secara resmi menggantikan pucuk imperial itu sendiri: mengalahkan AS. John Mearsheimer, salah satu pemikir top AS mengenai geopolitik, yang menariknya juga sering diundang ke Beijing, menyebut ini sebagai “the tragedy of great power politics”: sekali negara menjadi negara kuat, ia akan terkutuk, mau tidak mau, untuk terus melaju menjadi yang terkuat. Menjadi kuat adalah jalan satu arah; mundur berarti musnah. 

Apakah Tiongkok imperialis? Sebelum dijawab, kita harus jelas dulu: imperialisme itu persoalan manajemen sirkuit kapitalisme dengan penundukan seantero jagat ke imperatif akumulasi modal, dan tidak ada hubungannya dengan pelanggaran HAM, brutalisme aparat, dst. Walaupun sejarahnya tidak terpisahkan, tapi sebenarnya ini dua hal berbeda. Sialnya, kapitalisme selalu butuh manajer, pelindung, kendaraan, dst., yang mana tidak lepas dari kutukan-kutukan identitas kemanusiaan: nasionalisme, rasisme, seksisme, spesiesisme, fanatisme, irasionalisme, dst. (Lihat catatan kaki No. 8). Jika jelas demikian, maka dengan asumsi ini bisa kita katakan bahwa Tiongkok beraspirasi imperial, suka atau tidak suka.

Pandangan ini sebenarnya tidak membantah temuan-temuan menarik mengenai suudzon terhadap perlakuan non-manusiawi terhadap pekerja-pekerja di Afrika, Asia Tenggara, termasuk Indonesia. Demikian pula dengan ‘jebakan hutang’, seperti di Sri Lanka dan beberapa negara Afrika. Banyak riset yang menunjukkan ini semua adalah mitos: cerita-cerita itu sebenarnya benar-benar bersumber dari keteledoran pengusaha Tiongkok yang baru pertama kali menjadi kapitalis internasional,9Sebenarnya kapitalisme yang paripurna (dalam gambaran “utopis” Marx di Capital vol. 3) itu “enak”. Benar bahwa ia didirikan secara berdarah-darah lewat kolonialisme dan akumulasi primitif. Namun setelah itu, jika tanpa intervensi negara berdaulat, sirkuit M-M’ akan berjalan baik-baik saja dan dua hal tadi hanya akan jadi masa lalu yang dimusiumkan. Pasalnya, hak asasi manusia akan terjaga. Krisis akan terjadi, benar, namun kapitalisme akan mampu mengatasi itu secara internal. Jika Anda jadi buruh, kerja yang baik maka akan ada promosi ke piramida ekstraktor surplus nilai di atas karena sistem bekerja dengan baik. Tidak ada rasisme, seksisme, umur-isme. Mereka yang di kelas bawah akan dijaga dengan baik: karena, kalau dibiarkan sakit, sedih, dan mati, tidak akan ada penghasil surplus nilai, kan? Kerja remeh diotomasi AI semua, sehingga seluruh kelas pekerja bisa masuk ke sektor yang lebih maju. Asalkan ikut dan setia pada sistem, tidak usah berpolitik bahkan, kita akan bahagia sekalipun kita tidak memiliki segala-galanya. Visi kapitalis murni ini mungkin paling dekat ada di World Economic Forum dengan klaimnya “You will own nothing and be happy.”  Inilah mengapa menjadi sosialis tidaklah cukup mengadvokasi “sistem yang bersih dan profesional”, “sains ilmiah,” “kesejahteraan pekerja”, “kesetaraan hak umat manusia”, dst. Menjadi sosialis, bahkan komunis, lebih dari sekedar ini semua. Kegagalan membaca Marx tidak dengan kritis akan rawan membuat gerakan politik kita semata-mata berlandaskan kata hati nurani dan moral “heroisme melawan ketidak-adilan”, dan ujungnya menjadi pendukung radikal visi WEF ini. Lihat blog WEF ini, https://medium.com/world-economic-forum/welcome-to-2030-i-own-nothing-have-no-privacy-and-life-has-never-been-better-ee2eed62f710. (Tulisan ini kontroversial sehingga diturunkan dari website resmi WEF, untuk kemudian dinaikkan lagi namun di situs blog yang sedikit lebih informal) atau dari keteledoran penguasa lokal. Riset lain menunjukkan banyak keterbukaan tangan dari perusahaan Tiongkok, khususnya yang BUMN, terhadap hak-hak pekerja saat itu dikomunikasikan dengan baik –artinya di sini ada rintangan bahasa.10Nian Peng, Ming Yu Cheng, peny., The Reality and Myth of BRI’s Debt Trap: Evidences from Asia and Africa (Springer, 2024); Pradumna Bickram Rana & Jason Ji Xianbai, “BRI’s ‘Debt Trap Diplomacy’: Reality or Myth?,” RSIS, 2020. Namun tetap saja, poin tekan saya mengenai imperialisme Tiongkok adalah ia harus, mau tidak mau, mengambil alih sirkuit kapital global yang kini dikuasai AS. Pengambilalihan itu—semua teori yang pernah saya pelajari soal transisi tata dunia mengatakan—mensyaratkan perang global tentunya, namun tidak harus mensyaratkan dehumanisasi pekerja. 

Di sini, mungkin, posisi kita bisa berpencar jalur: mereka yang melihat masih ada harapan bahwa Tiongkok benar-benar bersetia pada jalur sosialis, harus benar-benar mengupayakan jalur komunikasi langsung kepada PKC, misalnya. Atau mulai mewarnai diskusi di level elite pengambil keputusan di BUMN mereka, khususnya yang beroperasi di tanah air. Tapi mereka yang belum teryakinkan dengan sosialisme Tiongkok, persis dengan alasan bahwa “memanusiakan pekerja” belum tentu sosialis, maka bisa terus fokus pada seruannya anti-imperialisme. Sampai saat ini, saya masih pada posisi yang kedua ini. Yang saya pegang, sosialisme adalah upaya sadar, sistematis, dan programatik untuk pertama-tama dan terutama memperkuat posisi produktif pekerja akan sarana produksi. Pengambilalihan kuasa politik negara harus dalam rangka memindahkan kuasa kapital akan sarana produktif ke tangan kelas pekerja. Saya belum melihat data-data ke arah sini; data-data yang mampu diberikan semua pendukung ‘sosialisme Tiongkok’, bagi saya, tidak terbedakan dari data-data pendulang skor nasionalisme Tiongkok, ketimbang internasionalisme, apalagi sosialisme.

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.


Geopolitik dan Modus Produksi

Tanpa menunjukkan pendasaran analisis pada modus produksi (yang mana di dalamnya memaktubkan penjabaran relasi produksi, kekuatan produksi, analisis nilai, komoditas dst.), maka tidak akan ada secercah harapan bagi kelas pekerja. Kelas pekerja berkuasa—setidaknya potensial dan secara teoritik—hanya di ranah produksi. Hilangkan dimensi produksi dari analisis, maka analisis itu mematikan kelas pekerja sekalipun ia mendaku kiri, sosialis, pro-pekerja, mengutip Marx, dst. Tabiat intelektual biasanya akan dengan gampangnya kemudian, karena sulit mencari basis produksi persis karena secara kasat mata tidak ada perlawanan efektif dari pekerja yang terorganisir, menyerahkan agensi revolusioner sebagai penggerak sejarah kepada kelas penguasa, negara, militer, oligarki, konglomerat, dst. Saat mereka bilang “analisis kelas”, yang selalu dimaksud kelas adalah selalu kelas penguasa dan kelas borjuis, tidak pernah kelas pekerja. 

Tapi seperti apa analisis geopolitik yang meletakkan sentralitas produksi, ketimbang adu rudal antara penguasa negara atau intrik bisnis senjata antar kapitalis perang? Ada banyak cara, namun dengan info terbatas di atas, setidaknya satu yang terpenting adalah mengenai definisi dari geopolitik itu sendiri: geo adalah ruang, politik adalah pertarungan merebut/menggunakan kuasa. Dengan definisi ini maka dengan sendirinya kita bisa lihat bahwa pertarungan kuasa atas ruang tidak harus selalu militeristik, dan tidak hanya bisa dilakukan oleh negara, bukan? Benar, inilah lintasan yang dilalui tradisi-tradisi geopolitik alternatif seperti Geopolitik Kritis dan Geopolitik Feminis, yang sering kali tak lebih dari corong liberal humanis belaka. Tapi jika kita kembali ke Marx, pertanyaan keruangan yang terpenting adalah soal bagaimana ruang diperebutkan bukan demi ruang itu sendiri, melainkan demi produktivitas yang dijanjikan oleh ruang itu sendiri: yaitu nilai produktif dari teritorialitas.11Lihat tradisi Geopolitik Marxis seperti Alejandro Colas, Gonzalo Pozo-Martin, dkk.

Dengan analisis nilai guna dari ruang, misalnya, kita bisa lihat betapa ruang bernama ‘Gaza’ punya nilai-guna berbeda: bagi warga Palestina, ruang hidup; bagi Israel, ruang aman; bagi imperialisme AS, ruang sirkulasi kapital untuk menghidupi aliansinya, Israel; bagi Iran & Hezbollah, ruang solidaritas; dst. Beda posisi kelas, maka akan beda pula nilai sebuah ruang. Namun demikian, sekalipun berbeda-beda, tetap kita bisa percayakan satu pada imperialis: ruang adalah selalu ruang sirkulasi untuk menyedot nilai kerja dan mengalihkannya seturut kebutuhan sang imperialis. Kita bisa lihat kegunaan ruang-ruang teritorial ini berdasarkan partisi imperial berdasarkan kegunaannya, yang ditentukan dari corak produksi masing-masing yang mampu dihasilkannya, berdasarkan keunggulannya masing-masing. Namun demikian, di situasi krisis imperialisme AS hari ini, kegunaan imperial utama dari ruang adalah bahwa ia terintegrasi dalam sirkuit dolar dan pasar dunia ala AS

Keluar dari dunia perang-perangan global ini, pertanyaan geopolitik dalam versi ini menjadi relevan buat kelas pekerja. Jika geopolitik selalu dikaitkan dengan perang, senjata, nuklir, dan diplomasi, maka kelas pekerja menjadi variabel yang tidak relevan sama sekali. Namun apabila geopolitik diartikan secara produktif, ceritanya jadi berbeda. Geopolitik dalam artian kelas pekerja, yaitu dalam artian produksi, bisa berarti:

  • Upaya perebutan kuasa atas ruang produktif; 
  • Kuasa untuk membuat ruang menjadi produktif
  • Merebut kuasa penentu produktivitas sebuah ruang;
  • Daya dan kuasa untuk menciptakan ruang-ruang produktif baru.

Tapi apa itu ruang, apakah harus selalu teritorial ala teritori kedaulatan negara? Tentu tidak. Ruang itu selalu bersifat abstrak, walaupun ia dibatasi substrat material. Ruang waktu misalnya, bagaimana membuat waktu menjadi produktif bagi konsolidasi kekuatan produktif kelas? Ruang interaksi sosial; bagaimana membuat hubungan sosial menjadi produktif demi kekuatan daya produktif kelas? Masih banyak ruang lainnya yang juga menjadi perhatian ahli-ahli geopolitik jika kita mau siuman dari bius nasionalisme dan militerisme. Kita sudah kenal, misalnya, ruang politik, ruang elektoral, ruang serikat, ruang kerja, dst. Namun yang masih sedikit dijajaki perjuangan kelas atasnya: ruang harapan, ruang cinta kasih, ruang reproduksi, ruang kesehatan, ruang layar ponsel, dst. Dengan menghidupkan mindset kelas pekerja hidup (living labour), kita bisa bertanya: manuver keruangan apa yang dapat membuat ruang-ruang ini semua menjadi produktif, mengorganisirnya, mengonsolidasikannya sebagai kekuatan produktif kelas pekerja, yang nantinya dapati memandirikan kita dari ketergantungan kontra-produktif pada pasar tenaga kerja dan pasar komoditas? Produktivitas dari ruang adalah selalu tujuan dan target utama manuver dan perjuangan geopolitik kelas pekerja. 

Sedikit catatan untuk poin ini: lantas bagaimana dengan perjuangan reproduksi sosial? Dengan kerangka geopolitik kelas pekerja ini, jawabannya sama: ia harus mampu dijadikan basis penciptaan ruang produktif dari, bagi, dan untuk kelas pekerja. Ini bukan berarti mengomersialisasikan perhatian, perawatan, dst., melainkan menginsyafi kenyataan bahwa kerja-kerja reproduktif kita semua hari ini, sudah selalu diintegrasikan ke dalam sirkuit produktif kapitalisme, dan membuatnya menjadi kerja tak berbayar. Kapitalisme sudah sadar terlebih dahulu bahwa kerja reproduktif adalah basis dari seluruh kerja produktif. Namun demikian, perspektif geopolitik kelas pekerja ini justru ingin mengarahkan sebaliknya. Persis berangkat dari kesadaran bahwa ternyata kerja reproduktif itu adalah basis produktif, maka geopolitik kelas pekerja berupaya mengalihkan transfer nilai produktif dari kerja reproduktif ke sirkuit yang produktif bagi kelas pekerja, dan bukan bagi kapitalisme. Inilah pentingnya pemahaman integral akan kedua sayap produksi dan reproduksi di dalam kapitalisme, ketimbang mengedepankan salah satu dan menafikan lainnya. Keduanya vital bagi kapitalisme, maka keduanya perlu direbut dan dijadikan ruang pertempuran kelas. 


Politik Internasional Kelas Pekerja

Dengan melihat geopolitik dan politik internasional yang tidak lagi dalam dikte nasionalisme dan militerisme, harapannya, seruan Marx di depan untuk melihat politik internasional sebagai bagian dari perjuangan politik kelas pekerja menjadi lebih masuk akal.

Secara geopolitik, semoga saya sukses memberikan pemahaman baru, setidaknya secara abstrak-teoritik mengenai bagaimana produktivitas ruang adalah sentral dalam upaya, manuver, dan strategi perebutan ruang. Lalu bagaimana dengan politik internasional? Geopolitik adalah bagian dari politik internasional, tapi tidak lantas 100% identik. Di studi HI, kata ‘internasional’ itu bermakna banyak: KKKI, singkatnya: bisa konflik, bisa kerja sama, bisa kompetisi, dan juga integrasi. Tapi jangan lupa, itu semua selalu dalam kerangka nasional, kerangka negara-sentris: oleh aparatus negara dan/atau atas nama negara. Lantas bagaimana dengan perspektif kelas pekerja? Sayangnya studi HI masih sangat miskin perspektif ini, dan saya pun belum banyak kesempatan memikirkan pertanyaan ini. 

Namun demikian, satu refleksi yang menurut saya penting adalah bahwa politik internasional bagi kelas pekerja bisa berarti dua hal yang terikat dalam kerangka praksis. Pertama, ia bersifat analitis situasi—seperti yang kita lakukan saat ini sekarang. Namun bukan sekadar paparan berita terkini belaka, melainkan juga analisis mengenai modus produksi apa yang menghidupi sebuah negara, sebuah imperalis, atau sekelompok aliansi negara, dst. Analisis kekhususan modus produksi ini tidak cukup hanya sekadar tunjuk hidung oligarki; ia harus mampu melihat sampai ke sirkulasi empat komponen produksi—buruh, bahan baku, modal (uang dan teknologi), dan komoditas. Analisis kontemporer biasanya juga menambahkan analisis infrastruktur sirkulasi—modus produksi apa yang menghasilkan infrastruktur bagi sirkulasi tersebut (mulai dari lahan, pabrik, sistem tata-kelola, perangkat keras, piranti digital, server, satelit, dst.).

Kedua, analisis modus produksi ini kemudian dilihat jejaringnya secara internasional: perusahaan apa saja, di mana, siapa rekanannya, dst. Kemudian imperatif internasionalisme diaktifkan di sini: yaitu membangun jejaring koordinatif perjuangan kelas pekerja di sekujur sirkuit lintasan sirkulasi komponen produksi tersebut. Di sini, koordinasi internasional dan pengorganisasian internasional menjadi tidak terelakkan. Analisis Rantai Nilai Global (Global Value Chain), misalnya, harus mulai direbut dari intelektual-intelektual “progresif” yang hobi merayakan “penghisapan berantai nilai kerja buruh”, dan mendisiplinkan mereka, menugaskan mereka untuk menganalisis persis hal yang sama namun demi menunjukkan titik strategis untuk memulai pengorganisasian kelas berbasis rantai nilai global. Politik internasional kelas pekerja adalah politik yang mengorganisasikan, mengonsolidasikan dan mengoordinasikan perlawanan di basis modus produksi yang sirkuitnya terbentang melintasi batas-batas teritorial kedaulatan negara, imajiner bangsa, etnis keturunan, dan belenggu identitas-identitas kultural lainnya. 

***

Akhir kata, memensiunkan kerangka nasionalis dan militeris dari geopolitik dan politik internasional yang sudah bercokol di kepala kita memang hal sulit. Perlu mulai dilatih, sama seperti melatih untuk keluar dari kerangka tribalisme, rasisme, seksisme, spesies-isme, able-isme, dst., yang bisa jadi sudah tertanam sejak kecil. Perjuangan kelas pekerja juga sejatinya adalah perjuangan menuju pencerahan untuk menyiangi pikiran-pikiran lama yang hanya terus mereproduksi penindasan dan perpecahan kelas pekerja.

Tidak hanya itu, pemikiran negara-sentris akan selalu menggembosi kepercayaan diri pekerja untuk berani melangkah secara sepihak, mandiri, sebagai pionir, ketimbang selalu menitipkan nasib ke pemerintah, menuntut nurani penguasa, dan merengek welas asih dan kesadaran moral dari penindas. Saya selalu memegang peringatan Marx: “adalah pekerja itu sendiri, dengan keberanian, keteguhan hati dan pengorbanan dirinya, yang paling bertanggung jawab untuk merebut kemenangan. [..] Emansipasi kelas pekerja hanya bisa dilakukan oleh kelas pekerja itu sendiri.”12Marx, “The International Workingmen’s Association 1864: General Rules,” October 1864, MECW 20. Saya harap kawan sekalian juga. Salam.


Artikel ini sebelumnya disampaikan di konsolidasi nasional Komite Politik Nasional Partai Buruh (Kompolnas PB) di Jakarta, 6-7 Juli 2024.


Hizkia Yosias Polimpung adalah Juru Bicara sekaligus Bidang Ideologi dan Kaderisasi Partai Buruh; juga Editor Jurnal IndoProgress.

Catatan kaki

Catatan kaki
1 Dlm. MECW 20, h. 13.
2 Dlm. “Introduction (Notebook M) (1857),” Grundrisse (Penguin, 1973), h.98.
3 Perang di Tigray ini juga menjadi kasus terbaru tentang ‘perkosaan sistematis sebagai senjata perang’ (rape as a weapon of war). Perkosaan terjadi sampa skala harian, mulai anak umur 8 tahun bahkan, dan tidak jarang dilakukan di depan keluarganya.
4 Akses ke laut berarti akses ke perdagangan, yang berarti punya makna ekonomi bagi ruang/teritori maritim.
5 Dalam teori skala serangan-bertahan (offense-defense scaling), postur bertahan Israel akan membuatnya menang dalam jangka panjang. Namun postur menyerang Hezbollah (sejuta rudal, jika benar) akan memorak-porandakan pertahanan rudal Israel (yang konon tidak lebih dari 10 surface-to-air missiles, SAM, saja, yang itu pun tidak mampu mengintersepsi semua rudal Hamas. Dibandingkan Hezbollah, Hamas masih jauh di bawah dalam ukuran kekuatan militer). Israel baru menang setelah Hezbollah kehabisan amunisi menyerang, yang sendirinya sudah lebih dahulu meluluhlantakkan Israel Utara dan Pusat (termasuk Tel Aviv). Untuk teorinya, lih. Garfinkel & Dafoe (2019) “How does the offense-defense balance scale?,” Journal of Strategic Studies, 42:6.
6 Yang saya maksud adalah eksposisi Marx mengenai totalitas produksi dan sirkulasi di Capital, vol. 3, dan tidak hanya sirkuit produksi sebagaimana yang banyak dirujuk orang (lewat pembacaan hanya dari Capital, vol 1). Lihat juga catatan kaki no 8.
7 Simak wacananya soal ‘decoupling’ (melepas ketergantungan) dan ‘derisking’ (mengurangi risiko) dengan memutus dan mengalihkan hubungan ekonomi, bisnis, pasokan, dst., dari negara-negara yang menolak tata-aturan internasional (rules-based order)  ke negara-negara “teman” (friend-shoring, near-shoring, dst.), yang sebenarnya hanya istilah keren untuk kembali ke proteksionisme. Itulah kenapa banyak pengamat menyebut ini sebagai ‘deglobalisasi’, ‘pasca-neoliberalisme’, atau ‘kapitalisme negara baru’.
8 Diskusi soal ini bisa panjang, tapi di kepala saya, tema ini banyak merujuk pada diskusi Alberto Toscano di bukunya Late Fascism: Race, Capitalism, and the Politics of Crisis (Verso, 2023).
9 Sebenarnya kapitalisme yang paripurna (dalam gambaran “utopis” Marx di Capital vol. 3) itu “enak”. Benar bahwa ia didirikan secara berdarah-darah lewat kolonialisme dan akumulasi primitif. Namun setelah itu, jika tanpa intervensi negara berdaulat, sirkuit M-M’ akan berjalan baik-baik saja dan dua hal tadi hanya akan jadi masa lalu yang dimusiumkan. Pasalnya, hak asasi manusia akan terjaga. Krisis akan terjadi, benar, namun kapitalisme akan mampu mengatasi itu secara internal. Jika Anda jadi buruh, kerja yang baik maka akan ada promosi ke piramida ekstraktor surplus nilai di atas karena sistem bekerja dengan baik. Tidak ada rasisme, seksisme, umur-isme. Mereka yang di kelas bawah akan dijaga dengan baik: karena, kalau dibiarkan sakit, sedih, dan mati, tidak akan ada penghasil surplus nilai, kan? Kerja remeh diotomasi AI semua, sehingga seluruh kelas pekerja bisa masuk ke sektor yang lebih maju. Asalkan ikut dan setia pada sistem, tidak usah berpolitik bahkan, kita akan bahagia sekalipun kita tidak memiliki segala-galanya. Visi kapitalis murni ini mungkin paling dekat ada di World Economic Forum dengan klaimnya “You will own nothing and be happy.”  Inilah mengapa menjadi sosialis tidaklah cukup mengadvokasi “sistem yang bersih dan profesional”, “sains ilmiah,” “kesejahteraan pekerja”, “kesetaraan hak umat manusia”, dst. Menjadi sosialis, bahkan komunis, lebih dari sekedar ini semua. Kegagalan membaca Marx tidak dengan kritis akan rawan membuat gerakan politik kita semata-mata berlandaskan kata hati nurani dan moral “heroisme melawan ketidak-adilan”, dan ujungnya menjadi pendukung radikal visi WEF ini. Lihat blog WEF ini, https://medium.com/world-economic-forum/welcome-to-2030-i-own-nothing-have-no-privacy-and-life-has-never-been-better-ee2eed62f710. (Tulisan ini kontroversial sehingga diturunkan dari website resmi WEF, untuk kemudian dinaikkan lagi namun di situs blog yang sedikit lebih informal)
10 Nian Peng, Ming Yu Cheng, peny., The Reality and Myth of BRI’s Debt Trap: Evidences from Asia and Africa (Springer, 2024); Pradumna Bickram Rana & Jason Ji Xianbai, “BRI’s ‘Debt Trap Diplomacy’: Reality or Myth?,” RSIS, 2020.
11 Lihat tradisi Geopolitik Marxis seperti Alejandro Colas, Gonzalo Pozo-Martin, dkk.
12 Marx, “The International Workingmen’s Association 1864: General Rules,” October 1864, MECW 20.
]]>
Workshop Perencanaan dan Transisi Sosialisme dalam Tradisi Marxisme – Undangan Mendaftar dan Kerangka Acuan (ToR) https://indoprogress.com/2024/04/workshop-perencanaan-dan-transisi-sosialisme-dalam-tradisi-marxisme/ Sun, 14 Apr 2024 21:47:55 +0000 https://indoprogress.com/?p=238077 IlustrasiJonpey


PERKUMPULAN IndoProgress dengan senang hati mengundang para pembaca budiman yang memiliki komitmen memenangkan politik kelas pekerja sejagat raya dan mewujudkan sosialisme di muka bumi untuk berpartisipasi di rangkaian acara Workshop Perencanaan dan Transisi Sosialisme dalam Tradisi Marxis. Tulisan ini memberikan kerangka acuan untuk mempertimbangkan mendaftar, mempersiapkan diri, dan berpartisipasi di dalam workshop

Versi pdf dokumen ini bisa diakses pada tautan ini: https://bit.ly/tor_plantrans_ip2024.


Konteks

Salah satu perdebatan kontemporer terkait Republik Rakyat Cina (RRC) di kalangan ilmuwan dan akademisi, baik borjuis maupun revolusioner, adalah sejauh mana kiprah negara tersebut, khususnya di bawah pemerintahan Partai Komunis Cina (PKC) pascareformasi 1979, dan bahkan lebih spesifik lagi di kendali Xi Jinping, dapat dikatakan sosialis atau tidak (Xi Jinping penting disorot di sini khususnya pascainsiden pengusiran halus Hu Jintao dari kongres partai pada 2022 dan penobatan pemikirannya sebagai ideologi negara di acara yang sama). Dari perspektif revolusioner, sekalipun seolah akademis-keilmuan, sejatinya pertanyaan ini memiliki implikasi praksis yang amat sangat dalam. Tidak hanya soal RRC, melainkan bagaimana mengkualifikasi praksis dan turunan strategi-taktik sosialisme itu sendiri yang menjadi taruhan, khususnya terkait sikap terhadap negara dan kebijakan-kebijakan “neoliberal”.

Menjelaskan implikasi praksis ini bisa menggunakan kontras perdebatan di kalangan akademisi borjuis. Misalnya, di studi Ekonomi Politik Internasional (EPI), Perbandingan Ekonomi Politik (PEP), dan Geoekonomi, diskusi mengenai perkembangan RRC ini dikerangkakan sebagai pertanyaan mengenai penyelenggaraan ekonomi pasar yang ditengarai sebagai kembali kepada negara, ketimbang korporasi. Alhasil, diskusi mengenai “pasca-neoliberalisme”, “deglobalisasi”, dan konsep-konsep anakannya seperti “de-risking”, “decoupling”, “post-Washington Consensus”, “Beijing Consensus”, “return of the state”, “negara hadir” (kalau di Indonesia) bermunculan dan mendominasi kosakata perbincangan. 

Sosialisme di sini tak lebih dari sekadar julukan—persis seperti kampanye hitam borjuis—bagi pemerintahan kuat, sentralistik, dan melanggar hak-hak rakyat (sendiri dan negara lain). Hilang sudah makna sosialisme dalam artian sebuah pemerintahan berbasiskan kepentingan kelas pekerja yang memang sejatinya antagonis (baca: membatasi hak, mengekang kebebasan, dan kendali opresif) terhadap kekuatan-kekuatan yang anti pada kemenangan kelas pekerja. 

Ironisnya, narasi liberal ini pun menyeruak dan mendarah daging di kalangan yang mendaku progresif, mengutip Marx dan para marxis, menyerukan “pro-pekerja”, “pro-rakyat”, dan seterusnya (sekaligus menekankan bahwa sekadar “ekopol” tidak serta merta membuat jadi revolusioner). Contohnya, juga relevan dengan diskusi ini, beberapa tendensi “kritis”, “kiri”, “progresif”, dan “marxian” dalam EPI/PEP/Geoekon soal ini yaitu maraknya diskusi mengenai “kapitalisme negara” atau state capitalism setidaknya dalam 10 tahun terakhir. Di kalangan akademisi borjuis kecil pseudo-revolusioner ini, kapitalisme negara menjadi semacam kulminasi dari konsep-konsep pseudo-marxis lainnya (atau bahkan reaksioner) yang sudah ada sebelumnya seperti “kapitalisme otoritarian”, “developmental state”, “dirigisme”, “economic statecraft”, “kapitalisme oligarki”, “kapitalisme kroni” dan, kalau di studi Asia, “kapitalisme ersatz”

Motivasi utama mereka, biasanya, adalah bahwa “gara-gara RRC, sekarang Amerika Serikat dan akhirnya semua negara memperkuat intervensinya dan enggak liberal lagi.” Kurang lebih begitu. Mereka “menyayangkan” masa-masa liberal dari kapitalisme yang, sejak naiknya RRC menjadi dominan di ekonomi global, membuat negara-negara merasa perlu ikut mengencangkan cengkeraman politiknya. Mereka “mengomel” karena negara-negara “otoriter”, “totaliter”, “fasis”, “oligarkis”, dst., dsb., kini ter-upgrade kebengalan dan kebengisannya menjadi juga “kapitalis” (oh, sekalipun membawa-bawa “kapitalisme”, jangan harapkan analisis modus produksi dari karya-karya ini. Buang juga ekspektasi mendapat pencerahan, strategi, atau taktik bagi agensi kelas pekerja sebelum membaca. Siap-siap saja mendapat simpulan moralis dan serba nasihat intelek khas akademia penghobi “solidaritas”). 

Sekalipun berbeda secara redaksi, namun kesamaan umum yang muncul adalah bahwa mereka memberi makna baru bagi terma “geoekonomi” yang sejatinya berbeda dari inventornya, seorang konservatif penasihat Reagan, Edward Luttwak. Geoekonomi hari ini adalah kapitalisme negara, begitu singkatnya bagi mereka. Negara melakukan petualangan ekonomi lintas geografis sebagai sang kapitalis itu sendiri, ketimbang, mengacu ke artikel terkenal Luttwak pada 1990, mengerahkan perusahaan, kamar dagang, diplomat ekonomi, dan kebijakan-kebijakan ekonomi ofensif sebagai pasukan dan artileri geopolitik. Dan bisa ditebak, siapa yang pertama dinobatkan sebagai kapitalisme negara oleh mereka? Ya, tentu saja RRC. 

Dengan dominan dan represifnya PKC di RRC, maka slogan nasional “Sosialisme berkarakter Cina”, bagi rekan-rekan akademisi ini, tidak lebih dari sekadar topeng bagi watak yang mereka sebut “kapitalisme negara”. Kesimpulan yang sungguh… mudah. Namun demikian, yang mungkin paling penting dan juga menarik disoroti terang benderang adalah, bagi mereka, kapitalisme negara punya bagasi moral yang buruk. 

Ironisnya, ini justru 180 derajat berbeda dengan penggunaan pertamanya oleh tak lain tak bukan kamerad kita semua: Vladimir Lenin. Kapitalisme negara dalam formulasi Lenin adalah sebuah hal yang positif!

Lenin bisa dibilang orang pertama yang mengeluarkan istilah “kapitalisme negara”, setelah sebelumnya, di State and Revolution, menyebutnya state-capitalist monopoly. Setidaknya sejak 1918, ia menyebutnya “state capitalism” (lihat daftar bacaan wajib di bawah). State capitalism dalam Lenin adalah bentuk sementara dan transisional pemerintahan diktatorial kelas pekerja selagi—dan di sini dimensi EPI/Geoekonomi yang penting ditekankan—dunia internasional masih dikuasai sirkuit kapital (baik dagang maupun finansial, dan kini ketambahan data dan digital). Konteks ekonomi internasional membuat Lenin mengimprovisasi (merevisi?) siklus Marx mengenai transisi dari feodalisme-kapitalisme-sosialisme-komunisme dengan menambahkan kapitalisme negara di antara “kapitalisme” dan “sosialisme”. Ketimbang sebagai sebuah deviasi atau pengkhianatan sosialisme, kapitalisme negara justru dilihat sebagai sebuah “gigantic step forward” menuju sosialisme.

“When the working class has learned how to defend the state system against the anarchy of small ownership, when it has learned to organise large-scale production on a national scale, along state capitalist lines, it will hold, if I may use the expression, all the trump cards, and the consolidation of socialism will be assured” (“‘Left-Wing’ Childishness and the Petty-Bourgeois Mentality,” 1918, h. 338-9)

‘Saat kelas pekerja sudah belajar mengenai bagaimana mempertahankan sistem negara melawan anarki kepemilikan kecil, saat ia sudah belajar bagaimana mengorganisasikan produksi skala-besar dalam skala nasional, seturut garis kapitalisme negara, ia akan memegang, jika boleh saya bilang demikian, semua kartu truf, dan konsolidasi sosialisme akan terjamin’ (terjemahan bebas penulis).

Namun Lenin tetap tegas—dan ini punya arti penting bagi siapa pun, terlebih yang menempuh jalur praksis perebutan negara—kapitalisme negara tetaplah sebuah kapitalisme dan bukan sosialisme. Lenin enggan menyebutnya sosialisme. Namun perlu ditandaskan sekuat-kuatnya di sini: Kapitalisme negara dalam cakrawala Lenin sangatlah erat dengan gagasan “memudarnya negara” (withering away of the state). Pasalnya, tugas utama kapitalisme negara adalah menggunakan seluruh daya, kekuatan dan aparatur (persuasif terhadap pekerja maupun opresif terhadap kapitalis) untuk mempersiapkan basis-basis sosialisme (kekuatan kelas pekerja, elektrifikasi soviet, modernisasi dan amplifikasi produksi, penguatan institusi sampai keluarga, pendidikan pemuda, konsolidasi koperasi petani, pemberantasan diskriminasi gender, inovasi sains teknologi, dst.). Kuatnya basis sosialisme kelak dengan sendirinya membuat negara menjadi tidak relevan, dan sampailah pada cita-cita masyarakat tanpa kelas ala komunisme. Lenin menekan bahwa tawaran ini mengejawantahkan Marx yang mengatakan bahwa komunisme haruslah lahir dari rahim kapitalisme, dan bukan terpisah darinya.

“What we have to deal with here is a communist society, not as it has developed on its own foundations, but, on the contrary, just as it emerges from capitalist society; which is thus in every respect, economically, morally, and intellectually, still stamped with the birthmarks of the old society from whose womb it emerges” (Marx, “Critique of Gotha Programme,” h. 85)

‘Di hadapan kita saat ini adalah sebuah masyarakat komunis, bukan sebagaimana ia berkembang di atas fondasinya sendiri, namun, justru sebaliknya, ia muncul dari dalam masyarakat kapitalis; yang karenanya di segala sisi, secara ekonomis, secara moral dan intelektual, masih terstempel dengan tanda lahir dari masyarakat lama yang dari rahimnyalah ia muncul’ (terjemahan bebas penulis).

Ini tentu berbeda dari yang ditengarai Lenin sebagai “mentalitas borjuis kecil” di kalangan “sayap kiri yang kekanak-kanakan” yang selalu melihat dan mempersepsi “alternatif” bagi kapitalisme adalah sesuatu yang sama sekali berbeda, yang seluruhnya di luar dari kapitalisme, dan yang merasa “kotor” untuk beroperasi dengan logika kapital, sekalipun itu demi kepentingan kemenangan kelas pekerja. 

Kritik Marx dan Lenin ini sebenarnya cukup gemar dibaca, namun tetap saja masih marak kita jumpai hari ini. Bahkan ironisnya, di tengah-tengah kawan-kawan kita sendiri yang banyak dan konon mendominasi kepesertaan diskusi-diskusi dan kolom-kolom komentar konten-konten di seluruh kanal media IndoProgress.

Secara analitis, nosi kapitalisme negara tidak bertujuan sekadar memberikan deskripsi setebal-tebalnya dan/atau membuktikan p-value sesignifikan-signifikannya akan perubahan negara menjadi seekor kapitalis. Poin metodologis ini krusial untuk digaris bawahi dan dipegang erat-erat. Bahkan, perlu juga sebisa mungkin di-syi’ar-kan kepada kawan-kawan akademisi kita yang tersesat dalam petualangannya menembus jurnal terindeks Scopus demi karier akademik dengan ikut-ikutan di hype kapitalisme negara hari-hari ini. 

Kapitalisme negara bukan semata soal kehadiran negara, proteksionisme ekonomi, intervensi kebijakan, operasi pasar, kontrol harga, pembatasan arus modal, pemolisian kebijakan, dst. Urgensi praksis terutama dari konsep kapitalisme negara adalah sebuah strategi perencanaan programatik untuk menavigasi kekuatan formal/institusional kelas pekerja di tengah-tengah rivalitas inter-imperialis internasional dalam rangka mentransisikan seluruh aspek kehidupan ke komunisme. Berhasil atau gagalnya kapitalisme negara penting untuk dinilai dari ukuran ini, dan bukan dengan standar-standar liberal soal gebyah uyah kebebasan (bagi kapitalis untuk memperbudak, dan borjuis kecil untuk diperburuh lewat “dunia kerja”), kesetaraan (di antara para borjuis besar dan kecil untuk dijamin hak mengeksploitasi dan dieksploitasi), dan rekognisi (keragaman identitas di mata dunia bisnis ekstraksi nilai lebih pekerja). 

Penggunaan peyoratif (konotasi buruk) akan istilah kapitalisme negara bukan hanya anakronis dan menggelikan secara kanon historis intelektual, melainkan juga berkontradiksi bagi praksis revolusioner itu sendiri. Jika akan ada kritik yang sahih akan kapitalisme negara, maka ia haruslah berada dalam suluh menyukseskan perencanaan berperspektif kelas pekerja dan transisi menuju sosialisme, dan bukan sekadar ratapan dan omelan liberal bernada sumbang “demokrasi”, “akuntabilitas” dan “hak asasi”.

Kembali ke ihwal awal mengenai implikasi praksis dari debat “apakah RRC kapitalis/imperialis atau sosialis/kapitalisme negara leninis?” Dengan kembali menjangkarkan debat ini ke tradisi marxisme, maka pertanyaannya harus diubah: “dalam garis batas revolusioner dan standar acuan sosialis seperti apa kita bisa mengkualifikasi/mendiskualifikasi RRC sebagai sebuah kapitalis/imperialis atau sosialis/kapitalisme negara—ala Lenin?” Lebih khususnya, para proponen “sosialisme dengan karakter Cina” perlu memberikan analisis mengenai sejauh mana kiprah RRC hari ini adalah hasil perencanaan yang tidak hanya berkarakter Cina, melainkan juga berkarakter sosialis. Sebaliknya, para skeptis juga harus mampu menunjukkan bagaimana kompromi atau pragmatisme RRC dalam struktur unipolar, imperialistik AS ini telah membuatnya melenceng dari ambang batas revolusioner dan berpindah ke posisi kontrarevolusioner. 

Pertanyaan-pertanyaan inilah yang mendorong kami di Perkumpulan IndoProgress untuk menyelenggarakan workshop dengan mengacu ke teks-teks fundamental dalam tradisi marxisme, dan juga mempertimbangkan teks-teks kontemporer yang sudah coba merefleksikan pertanyaan ini.

Pertanyaan mengenai perencanaan dan transisi sosialisme, khususnya dalam konteks penyelenggaraan kekuasaan kelas pekerja lewat bentuk negara, sebenarnya pernah muncul dalam tradisi marxisme. Salah seorang ekonomi neoliberal dari Mazhab Austria, Ludwig von Mises, pertama kali melancarkan kritik terhadap penyelenggaraan negara sosialis ala Republik Sosialis Uni Soviet (RSUS) sekaligus memantik apa yang disebut-sebut Debat Kalkulasi Sosialis  (DKS), Socialist Calculation Debate atau singkatnya “debat kalkulasi”. Kritik yang mulanya diarahkan pada Otto Neurath, seorang sosialis yang juga kolega von Mises di Lingkaran Wina, sejatinya menyoal persoalan perencanaan sentral (central planning) yang dibayangkan marxisme dan diselenggarakan sosialisme lewat RSUS. Sudah banyak studi mengenai penyelenggaraan negara secara liberal, namun von Mises melihat belum ada studi serius mengenai kemungkinan (feasibilitas) perencanaan ekonomi tersentral. 

Debat ini melibatkan banyak ekonom dan akuntan dari berbagai aliran, mulai dari liberal, marxis, keynesian/post-keynesian, ricardian, walrasian, dst. Nama-nama besar seperti (selain Otto Neurath) Klara Tisch, Oskar Lange, Maurice Dobb, Paul Sweezy, dan Karl Polanyi, adalah beberapa yang juga mewarnai perdebatan di fase-fase awal.

Singkatnya, DKS ini berkisar di pertanyaan para liberal soal ketidakmungkinan perencanaan tersentral (central planning) ala sosialisme (baca: kapitalisme negara ala NEP Lenin). Ketidakmungkinan ini ditengarai secara fundamental, bukan sekadar kritik receh seputar pelanggaran HAM dan nasionalisasi properti (sebagaimana yang ditakutkan masyarakat liberal). Salah satu titiknya, menurut Mises, Hayek, dst., adalah ketidakcukupan teori nilai marxian untuk menawarkan indikator empirik untuk bisa mengkalkulasi (hence nama DSK) seluruh komponen bernilai dalam ekonomi demi membuat perencanaan makro berbasis simulasi (di sini, bisa kita bayangkan bentuk yang jauh lebih kompleks dari Input/Output Table ala Leontief—yang marak dipakai negara dan organisasi internasional sampai hari ini—yang juga mengoperasionalisasikan “nilai guna” ala Marx. Atau lainnya, bentuk I/O Table yang menginklusi “kerja reproduksi sosial” yang kini sedang populer di kalangan feminis marxis. Sekadar info, dua terma ini konon diteorikan para marxis sebagai against measure alias “anti-ukuran”). 

Kritik lain adalah soal luasnya jangkauan geografis (bayangkan RSUS). Ini dianggap akan membuat daya jangkau pemerintah sentral menjadi lemah dalam arus informasi dan membuat tidak hanya implementasi yang tidak terjamin, melainkan juga perencanaan tepat sasaran menjadi tidak mungkin. Belum lagi kemungkinan korup yang akut dikarenakan desain pemerintahan tersentral yang sudah pasti gemuk dan berkuasa penuh. 

Intinya, bagi sisi liberal dalam DKS, sosialisme adalah kemustahilan dilihat dari hitung-hitungan ekonomi perencanaan (baik figuratif maupun literal). Dalam acuan Indonesia, apabila seorang marxis menjadi kepala Bappenas, bayangkan kerumitan yang akan dihadapinya jika hendak keluar dari indeks-indeks ala Bank Dunia, OECD, dan IMF yang sudah terlanjur dominan dan common sensical, itu pun jika ia berhasil membuat indikator (berikut justifikasi) baru berbasiskan konsep-konsep ekonomi marxis. 

Respons dari para marxis sendiri sangat banyak dan menarik, khususnya dalam upaya mengklarifikasi sendiri juga mengenai gagasan kenegaraan dan perencanaan transisi dalam Marx dan Lenin. Sayangnya debat ini tidak banyak diteruskan sejak RSUS “mundur” dari Perang Dingin dan berubah menjadi Rusia di 1989. Demikian pula di skena akademik-teoritik 1970-an mulai bermunculan teori-teori dan kritik-kritik kebudayaan, identitas, gender, lingkungan, dan hal-hal lain yang selama Perang Dingin terepresi. Istilah “relasi kuasa”, “keliyanan”, dst., mengaburkan konsep “modus produksi” dan “perjuangan kelas”; mood teoritik bergeser pada kritik dan dekonstruksi ketimbang perencanaan dan strategi. Debat ini menjadi terlupakan. Implikasi praksisnya, kita lupa pula bahwa dalam tradisi marxisme kontemporer pernah ada tradisi pemikiran teknokratis, strategis, dan programatik, tidak hanya kritik, protes, dan serapah sebagaimana mewarnai secara pekat khazanah akademik dan praktik “kiri” hari ini. 

Belakangan, debat ini muncul kembali, khususnya karena pemikir marxis/sosialis  semakin tereksposnya dengan pengetahuan dan teknologi mahadata, kecerdasan artifisial, dan pembelajaran mesin. Sayangnya tren ini tidak sampai masuk ke Indonesia. Ketimbang perencanaan dan transisi, yang cenderung lebih teknokratik dan sistematik, tren impor pemikiran “kiri” dari Barat (termasuk yang non-kaukasian) masih dipenuhi tema-tema yang lebih mengeksplorasi apa yang disebut Wendy Brown “melankolia” dan, oleh Raymond Williams, “nestapa” kelas pekerja.

Dengan meletakkan diskusi mengenai kiprah RRC dari perspektif tradisi marxisme ini juga ke dalam konteks debat kalkulasi sosialis, kita bisa melihat secara lebih mawas. Soalnya, sudah banyak pemikiran terdahulu yang dapat dan perlu dipertimbangkan dan dipelajari sebelum kita tergesa-gesa menjatuhkan putusan. Namun juga sebaliknya, kita bisa memberi napas baru bagi debat tersebut: apabila dalam DKS pertama para marxis sibuk mendemonstrasikan kemungkinan (feasibilitas) dan urgensi revolusioner perencanaan tersentral, maka mungkin sekarang, bayangan saya, kita bisa melihat DKS dalam konteks perencanaan-tanding (counterplanning), misalnya. Pasalnya, dalam konteks DKS pertama, soal perencanaan sentral sudah ada nyata barangnya, yaitu RSUS; sementara sekarang, kecuali RRC yang masih dalam perdebatan, masih amat minoritas kelas pekerja revolusioner menguasai pemerintahan. 

Dengan perencanaan-tanding, kita bisa mulai membayangkan strategi penyusupan ide kebijakan di dalam kebijakan-kebijakan harian negara namun dalam rangka me-redirect sumber daya ke arah-arah yang menguntungkan atau sejalan dengan misi pembangunan kekuatan kelas pekerja. Atau lainnya, khususnya apabila bisa dipastikan garis sosialis dalam kiprah RRC, dalam bagaimana menyinkronisasikan dan mengarahkan kebijakan nasional ke arah alignment dengan RRC, seraya unsur revolusioner kita mencoba membangun kontak dan koordinasi kebijakan dalam semangat internasionalisme.


Tujuan dan Target Workshop

  1. Memformulasikan ambang batas untuk mengkualifikasi kualitas “revolusioner” dari suatu program yang mendaku sosialis dari pemikiran Marx dan Lenin (teks wajib).
  2. Memformulasikan standar acuan minimum (sebisa mungkin maksimum) mengenai program perencanaan sosialis dan transisi menuju komunisme dari pemikiran Marx dan Lenin (teks wajib) dan elaborasinya oleh para marxis di Debat Kalkulasi (teks pilihan).
  3. Mengevaluasi gagasan kapitalisme negara ala NEP Lenin dengan mengacu pada ambang batas dan standar acuan program sosialis dari pemikiran Marx dan pembacaan Lenin atas Marx sendiri (yi. poin tujuan 1 dan 2).
  4. Mengevaluasi kiprah RRC dan PKC kontemporer dengan mengacu pada ambang batas dan standar acuan program sosialis dari pemikiran Marx dan pembacaan Lenin atas Marx dan juga eksperimen kapitalisme negara ala NEP Lenin (yi. poin tujuan 1, 2 , dan 3).

Pertanyaan Diskusi

  1. Apa itu perencanaan sosialisme? Apa standar dan ukurannya? Apa yang membuatnya sosialis? Di aspek mana ia menjadi revolusioner?
  2. Apa dan bagaimana transisi dari kapitalisme ke sosialisme dikonseptualisasikan? Apakah transisi dari kapitalisme ke sosialisme merupakan sebuah kontinum atau sebuah patahan? Apa implikasinya bagi upaya perencanaan transisi ini?
  3. Apa dan bagaimana gagasan Lenin mengenai kapitalisme negara dan/atau state-monopoly capitalism? Sejauh mana ini berkontradiksi atau malah relevan dengan misi sosialisme?
  4. Dari perspektif perencanaan transisi, apa peran negara yang membuatnya menjadi spesifik/khusus nan tak tergantikan bagi misi sosialisme?
  5. Bagaimana melihat perjuangan/perencanaan transisi di tingkat nasional dari kacamata rivalitas interimperialis internasional yang sudah diwanti-wanti sejak Lenin dan Rosa?
  6. Sejauh mana “sosialisme berkarakter Cina” bersesuaian (atau tidak) dengan model kapitalisme negara ala NEP? Modifikasi apa yang dilakukan, dan sejauh mana itu sejalan dengan misi sosialisme?
  7. Sejauh mana keberatan von Mises, Hayek dan para liberal dalam SCD dapat dijawab, baik secara prinsipil maupun teknokratis melalui tradisi gagasan perencanaan sosialis? Mises soal nilai marxian yang tidak terhitungkan, dan Hayek soal ketidakmungkinan efisiensi dan efektivitas tepat sasaran?
  8. Bagaimana kemungkinan teknologis hari ini (mahadata, AI, kriptografi, kuantum) mungkin untuk memungkasi kritik marxis ke para liberal dalam DSK? Atau malah problem perencanaan dan transisi baru akan muncul dengan hadirnya paradigma teknosains ini?
  9. Mengapa kapitalisme negara ala NEP gagal membuat, dalam bahasa Lenin pada 1922, “Rusia NEP menjadi Rusia sosialis,” dan apa penjelasan marxis soal perencanaan dan transisi dari kegagalan ini? Dan sejauh mana sosialisme berkarakter Cina akan mengulangi, atau justru menghindari kegagalan ini?

Linimasa Penyelenggaraan

ToR: skrg s.d. Minggu, 14 April

Publikasi Open Reg dan ToR: Senin, 15 April

Pendaftaran dan Waktu Baca: Senin, 15 April s.d. Sabtu, 15 Juni

Diskusi Publik Pra-Workshop & TM: Sabtu, 28 April, pkl. 18.30 WIB/19.30 WITA

Pengumuman Peserta Final: Panelis (28 April); Pendengar/Penonton (18 Juni)

Penyelenggaraan: Minggu, 23 Juni, pkl. 19.30 – 22.30 WITA

Ruang: Zoom (dikirim ke surel terdaftar)


Batasan dan Format Workshop

Seperti namanya, workshop ini merupakan upaya bersama untuk menjawab sebuah pertanyaan, problem, atau teka-teki, ketimbang diseminasi ide dan gagasan. Artinya, seluruh peserta wajib untuk memahami problem dan memenuhi syarat minimum kepesertaan yang dalam hal ini adalah membaca teks wajib dan beberapa teks pilihan. Workshop ini fokus pada upaya menentukan ambang batas dan memformulasikan standar ukur penyelenggaraan kekuasaan kelas pekerja dalam bentuk negara dalam perspektif perencanaan dan transisi menuju sosialisme. 

Workshop ini juga fokus pada acuan tekstual fundamental dari tradisi marxisme (dalam hal ini Marx dan Lenin [dan Rosa, sejauh diskusi soal partai dan serikat masuk]), ketimbang tawaran gagasan orisinil dari peserta. Yang diharapkan dari para peserta (termasuk pemantik) adalah gagasannya dalam membaca dan menafsirkan teks-teks yang diacu workshop ini. Subjek workshop ini adalah ide Marx dan Lenin mengenai perencanaan dan transisi (mengacu pada teks-teks wajib), dan bukan ide para pemantik/peserta mengenai perencanaan dan transisi (sekalipun mengutip Marx dan Lenin). Semua gagasan yang tidak berangkat dari, mengacu pada, dan kembali ke teks dipersilakan untuk disajikan di kesempatan lain. Moderator akan sangat ketat dalam mewasiti peserta yang nantinya keluar dari teks.


Daftar Bacaan (Wajib dan Pilihan)

Daftar bacaan utuh, beserta bacaannya dalam format digital (.pdf), akan diberikan hanya kepada rekan-rekan yang berhasil terdaftar. Semua bacaan dalam versi bahasa Inggris atau terjemahan ke bahasa Inggris.

Wajib

  1. Marx, K. 1875, “Critique of Gotha Programme,” MECW, v. 24, p. 77-99. — (22 hal)
  2. Lenin, V. I., 1917, “The State and Revolution, Chapter V. The Economic Basis of the Withering Away of the State,” LCW v. 25, h. 461-479. — (18 hal.)
  3. Lenin, V. I., 1918, … — (30 hal)
  4. Lenin, V. I., 1920, …  — (21 hal).
  5. Lenin, V. I., 1921, …  — (41 hal)
  6. Lenin, V. I., 1921, …  — (18 hal)
  7. Cheng, Enfu, 2012, … — (11 hal)
  8. Zhang, Xinwen, 2023, … — (15 hal)

Total alokasi waktu dan daya kerja membaca: 176 halaman x 10 menit/hal = 1.760 menit = +/- 29 jam, atau 3 jam 40 menit per minggu atau 31 menit per hari selama 8 minggu. (Kecil lah dibanding alokasi doom scrolling di medsos kita).

Pilihan 

  1. Lenin, V. I., 1921, “Integrated Economic Plan,” LCW v. 32, p. 137-145 — (8 hal).
  2. Lenin, 1905, “Two Tactics of Social-Democracy in the Democratic Revolution,” dlm LCW, v. 9, h. 17-140. — (123 hal)
  3. Lenin, 1917, … — (42 hal)
  4. Lenin, V. I., 1921, … — (9 hal)
  5. Negri, Antonio, 1978, … — (109 hal).
  6. Ernest Mandel, 1986, …— (34 hal).
  7. … — (19 hal)
  8. … — (13 hal).
  9. … — (12 hal)
  10. … — (12 hal)
  11. …  — (34 hal).
  12. …  — (20 hal)
  13. …  — (13 hal)
  14. …  — (19 hal)
  15. …  — (24 hal).
  16. … — (18 hal)
  17. … — (9 hal)
  18. … — (20 hal)
  19. … — (28 hal)
  20. … — (13 hal)
  21. …  — (16 hal)

Total alokasi waktu dan daya kerja membaca daftar pilihan: 595 halaman x 10 menit/hal = 5.950 menit = +/- 99 jam, atau 12,5 jam per minggu atau 1 jam 46 menit per hari selama 8 minggu. (Kecil lah dibanding alokasi kerja abstrak kita untuk kapitalis yang seminggu bisa bisa ditotal lebih dari 40 jam) []~( ̄▽ ̄)~*


Partisipasi dan Biaya

IndoProgress melihat kerja-kerja akademik reproduktif yang selama ini tampak sepele, tak berbayar, dan cenderung dilihat sebagai secara moril (liberal) “harusnya dibagikan gratis” seperti membaca, memahami teks, memformulasi pemikiran sistematis, mengulas ide, mempresentasikan gagasan, berdebat argumentasi, menyelenggarakan acara, merancang ToR diskusi, menghubungi peserta/pemateri, dst., sebagai kerja-kerja yang bernilai. Untuk meminimalisir ekspropriasi nilai (lebih) dari kerja-kerja ini, kami mengenakan tarif nilai-tukar untuk acara ini. Tarif ini bukan sebagai sumbangan, melainkan kompensasi kerja. Bagi yang kesulitan alat tukar finansial, kami juga menyediakan alat tukar lain non-finansial yang berharga (bernilai guna) bagi kami, baik secara materiel maupun ideologis. 

Dengan mengadaptasi model koperasi pekerja marxis (lih. Jossa, Menzani, Zamagni, dst.), para moderator, pemantik, panelis dan panitia akan mendapatkan imbal hasil kerjanya selama perancangan, penyelenggaraan, dan penyelesaian kegiatan (skema perhitungan akan dirancang setelah seluruh partisipan workshop sudah final).


Cakupan Pertukaran: 

  1. 3 jam diskusi dengan pemantik dan panelis yang serius menekuni isu dalam kegiatan yang terkurasi secara sistematis.
  2. Daftar bacaan dan soft file semua bacaan. 
  3. Daftar peserta dan pemantik, beserta profil, akan disampaikan H-1 minggu, menunggu proses.
  4. Akses ke rekaman selama masa embargo (1 tahun).
  5. Akses ke semua materi tertulis (tulisan, review, ppt, notula).
  6. Kontribusi langsung dalam diskusi (bergantung pada tipe kepesertaan, lihat di bawah).

Tipe Kepesertaan

Moderator dan Panitia (3 orang)

  1. Berdasarkan kesepakatan internal Perkumpulan IndoProgress.
  2. Rancang acara, materi, dan arah diskusi,
  3. Notulis,
  4. Administrasi Zoom,
  5. Korespondensi,
  6. Tim redaksi naskah kepesertaan dan workshop

Pemantik

  1. Penunjukan dan kesepakatan internal Perkumpulan IndoProgress.
  2. Publik dapat mengusulkan diri atau orang lain, namun keputusan tetap menjadi prerogatif Perkumpulan IndoProgress. 
  3. Sudah baca semua bacaan wajib,
  4. Mau membaca seluruh bacaan rekomendasi, selemah-lemahnya iman sesuai subtopik yang akan dibahasnya (Debat Kalkulasi, teori kapitalisme negara, atau debat sosialisme RRC),
  5. Memiliki atau sedang mengembangkan area kepakaran dan proyek intelektual di subbidang perencanaan dan transisi sosialis,
  6. Memberikan 1 paragraf profil untuk buku acara. Maksimal 1 minggu setelah konfirmasi kepesertaan sebagai pemantik.
  7. Menyiapkan paparan pemantik yang berisi:
    • Ulasan poin-poin yang dianggap penting dari bacaan, khususnya yang wajib,
    • Refleksi kritis,
    • Tawaran gagasan,
    • Pertanyaan lanjut untuk didiskusikan,
    • Maksimal 10 menit. SHARP!!!

Panelis

  1. Terbuka untuk umum,
  2. Maks 15 orang,
  3. Semua wajib bekerja membaca materi wajib, dan akan ada mekanisme penyaringan.
  4. Prioritas diberikan bagi yang memiliki atau sedang mengembangkan area kepakaran dan proyek intelektual di subbidang perencanaan dan transisi sosialis.

Pendengar/Penonton

  1. Jumlah tidak dibatasi.
  2. Semua yang berpartisipasi melalui skema syarat organisasi dan/atau membayar biaya (lihat bagian berikutnya).
  3. Tidak wajib baca materi, walau tetap amat sangat diminta dan dimohon baca sedapatnya.
  4. Boleh bertanya via chat, tapi tidak bisa menyampaikan secara lisan. Moderator akan menyaring pertanyaan dan menganonimkan asal penanya.
  5. Uang, pengalaman dan keanggotaan institusi adalah kapital. Mari tidak membiasakan memberi karpet merah untuk kapital dapat berbicara secara leluasa di forum-forum pekerja 🙂

Tipe Partisipasi Berdasarkan Syarat Pendaftaran

Sebagai Moderator, Panitia & Pemantik

  1. Dibatasi hanya berdasarkan keputusan dan solisitasi internal Perkumpulan IndoProgress.
  2. Publik dipersilakan memberi rekomendasi juga kepada kami.

Sebagai Panelis 

  1. Kerja akademik in-kind: 
    • Review minimal 1.200 kata (+/- 3 halaman), gaya tulis akademis atau pop-akademis (pilih salah satu, jangan dicampur), minimal mengenai semua materi wajib dan maksimal semua materi wajib dan opsional. Untuk skema ini, kami tidak menerima ulasan selain artikel-artikel yang kami berikan.
    • Framing review: fokus mengulas dan menekankan aspek mengenai perencanaan ekonomi nasional dan persoalan mentransisikan relasi sosial kapitalis ke sosialis dan bahkan komunis yang terdapat dalam teks. Anda boleh memberikan komentar, kritik atau refleksi, namun tetap berikan posisi sentral pada gagasan materi yang direview, ketimbang opini Anda. Silakan gunakan pertanyaan di bagian “Pertanyaan Diskusi” di atas sebagai kerangka; bisa pilih satu atau lebih, dan tidak harus semua.
    • Ps. sesuai gaya penulisannya, dan atas perkenan penulis ybs, tulisan yang kami anggap baik secara redaksi akan ditawarkan masing-masing kepada editor Jurnal IP, Seri Buku Saku IP, dan/atau Harian IP untuk dimuat. Partisipasi di workshop ini tidak menentukan keputusan pemuatan naskah; semua dikembalikan ke editor masing-masing outlet, dan para penulis akan diarahkan berkorespondensi ke sana.

Sebagai Penonton/Pendengar 

Keanggotaan organisasi sosialis
    • Lebih dari 3 tahun keanggotaan AKTIF di organisasi-organisasi bermisi sosialis (tidak harus eksplisit.
    • Nama lengkap dan panggilan,
    • Surel untuk kontak,
    • Nama organisasi dan kontak koordinator/ketuanya (pastikan sudah minta izin ybs dan beri heads-up akan dikontak tim IndoProgress),
    • Penjelasan singkat mengenai:
      • organisasi, misi sosialisnya, dan peran pendaftar
      • motivasi dan ekspektasi ikut workshop
      • alasan mengapa memilih jalur pertukaran ini, ketimbang membaca seluruh materi wajib yang hanya sedikit saja meminta waktu Anda selama 3 jam 40 menit per minggu atau 31 menit per hari selama 8 minggu, yang notabene sama-sama gratisnya.
Uang
    • Rp300.000
    • Dikirim ke Bank BRI Perkumpulan IndoProgress – No. Rekening 2074.01.000295.56.3

Pernyataan soal Kepesertaan

Workshop ini terbuka, mendorong dan amat mengharapkan partisipasi yang tidak melulu pria. Diversitas partisipasi dari sebanyak mungkin identitas suku, agama, gender, seksualitas, neurodiversitas dan terutama dari diversitas posisi sosial dalam ketimpangan hierarkis kapitalisme di Indonesia: daerah, pendidikan, dan penguasaan bahasa Inggris amat kami nantikan. Namun demikian, syarat kepesertaan utama tetap wajib dipenuhi, yaitu membaca SELURUH teks wajib tanpa terkecuali. Bagi calon peserta yang membutuhkan dukungan teknis khusus untuk dapat berpartisipasi di workshop, mohon bisa disampaikan ke kami. Dukungan akan diberikan sesuai sumber daya yang tersedia untuk dialokasikan di penyelenggaraan workshop ini. 

Walau demikian, penyelenggara amat tidak merekomendasikan kepesertaan bagi mereka yang tidak memiliki semangat memenangkan sosialisme. Sifat workshop ini bukan sebuah diskusi publik karena akan berangkat dari asumsi minimum mengenai superioritas kemenangan kelas pekerja atas kapitalisme, yang kami sadari belum tentu diterima oleh semua kalangan. Pula diskusi ini bukan merupakan kelas atau pendidikan publik, melainkan lebih ke diskusi di kalangan tertentu yang memiliki komitmen intelektual dan praksis dengan tema terkait. Artinya, ada prasyarat minimum soal keterpaparan pada gagasan dan keseriusan politiko-intelektual pada marxisme dan sosialisme. Moderator akan sangat ketat dalam mewasiti kontribusi-kontribusi dalam workshop yang tidak berlandaskan semangat ini, dan akan tidak segan mengeluarkan yang bersangkutan dari forum secara sepihak. IndoProgress amat terbuka bagi kritik dan tantangan se-hostile apa pun untuk pemikiran marxisme, sejauh itu diselenggarakan di ruang-ruang publik, yang mana bukan sifat yang dirancangkan untuk workshop kali ini.


Pendaftaran

Pastikan Anda sudah membaca dan memahami poin-poin dalam kerangka acuan/ToR ini. Pula secara teknis, kami harap Anda sudah dapat mengira-ngira tipe partisipasi apa yang akan Anda pilih. Jika sudah menetapkan pilihan, silakan menuju tautan pendaftaran berikut ini: https://bit.ly/reg_plantrans_ip (Senin, 15 April s.d. Sabtu, 15 Juni).


Kontak

Pertanyaan dan/atau informasi lebih lanjut, silakan berkorespondensi melalui surel sbb:
?: indoprogressjournal@gmail.com


Siaran Pra-Workshop (update)

Hadiri pra-workshop bersama para pemantik dan moderator yang akan mengantarkanmu pada workshop utama.

Youtube

Facebook

Twitter

 

Workshop diselenggarakan oleh Perkumpulan IndoProgress. ToR disusun oleh Hizkia Yosias Polimpung, Pemred Jurnal IndoProgress

]]>
Permohonan Maaf Editor https://indoprogress.com/2019/12/permohonan-maaf-editor/ Tue, 31 Dec 2019 01:18:27 +0000 https://indoprogress.com/?p=107647

MENYUSUL pelaporan publik akun Twitter @shandyanggar melalui linimasanya akan indikasi penjiplakan (plagiarisme) yang dilakukan oleh Eva Novi Karina, dalam tulisannya yang diterbitkan Harian IndoPROGRESS dengan judul “Benarkah Tiongkok hanya Negara Kapitalis Biasa?” (23 Desember 2019), maka saya, atas nama segenap editor IndoPROGRESS, menyampaikan permintaan maaf kepada pembaca sekalian dan kepada @shandyanggar yang sudah dirugikan. Kecolongan ini, tentu saja, tidak terlepas dari kelengahan kami dalam menggawangi tulisan berkualitas di IndoPROGRESS. Kami juga sudah meminta Eva untuk mengklarifikasi, dan beliau sudah mengakui “keteledorannya” dan “sangat menyesal dan berjanji tidak akan mengulanginya lagi.” Kami pun meminta Eva menulis surat permohonan maaf terbuka (dan pribadi, jika memiliki kontak ybs.), yang isinya dapat dibaca pada bagian berikutnya dari tulisan ini.

Berseiringan dengan ini, IndoPROGRESS dengan tegas menolak segala bentuk plagiarisme dengan dalih apapun. Alasan “menulis untuk gerakan dan perjuangan kelas” sama sekali bukan alasan yang bisa dipakai sebagai pembenar tindakan plagiarisme. Bahkan, ia bertentangan dengan semangat perjuangan sosialisme ilmiah itu sendiri yang menjunjung tinggi integritas prosedur observasi ilmiah. Terkait tulisan Eva, alasan bahwa bagian yang diplagiasi (tentang Hardt-Negri) “tidak memengaruhi argumentasi” keseluruhan artikel (bahkan, menurut hemat kami, apabila bagian itu dihilangkan juga tidak akan berpengaruh apa-apa, karena Eva lebih memilih jalur analisis Harveyian ketimbang Hardt-Negrian yang ditulis di paragraf setelahnya), tetap tidak bisa menjadi alasan permisif bagi plagiarisme sekecil apapun.

Bagaimanapun juga, secara substansi, keputusan editor untuk menerbitkan tulisan tersebut tetap tidak berubah. Pasalnya, dalam artikel tersebut, terdapat sejumput orisinalitas dan banyak paparan analitis yang kami yakin akan berguna dan menarik bagi pembaca IndoPROGRESS di satu sisi, dan yang terpenting, di sisi lain, dapat memperkaya khazanah masyarakat dalam merespon secara objektif dan rasional—ketimbang emosional dan sentimental—akan tantangan kebangkitan Tiongkok di dunia internasional, khususnya dalam kancah perdebatan rivalitas antar-kapitalis dan/atau imperialisme global.***


Hizkia Yosias Polimpung

Editor IndoPROGRESS


]]>
Geopolitik 5G? Tentang Beberapa Kerancuan Geopolitis https://indoprogress.com/2019/07/geopolitik-5g-tentang-beberapa-kerancuan-geopolitis/ Sun, 14 Jul 2019 23:29:00 +0000 https://indoprogress.com/?p=21212 Kredit ilustrasi: SlideShare


MASIH hangat wacana mengenai “geopolitik” peperangan teknologi (tech war geopolitics) antara Amerika Serikat melawan Huawei, sang pionir teknologi 5G itu, mewarnai pelataran media, linimassa media sosial dan—tentu saja, favorit orang-orang (tua) pecinta hoax Indonesia—Whatsapp Group (WAG) . Dari pengalaman saya pribadi, beberapa kali tautan tulisan dari dunia daring dibagikan ke saya, baik melalui jaringan pribadi (japri) maupun kelompok (jarkom)—yi., tentu saja, Whatsapp Group (WAG). Yang menarik bagi saya adalah bagaimana istilah ‘geopolitik’ kerap dipakai hampir di semua tulisan yang dibagikan ke saya tersebut. Dan bagi yang tidak secara langsung menggunakan terma ‘geopolitik’, tetep saja jargon-jargon geopolitis banyak bertaburan, seperti ‘dominasi global’, ‘peperangan’, ‘percaturan dunia’, ‘lansekap geopolitik’, ‘perebutan kuasa’, ‘geopolitik di awan’, ‘amunisi’, ‘senjata’, ‘pertahanan keamanan’, dst.

Namun demikian, ternyata penggunaan alegori geopolitis ini bukanlah hal yang langka. Pembaca sekalian bisa coba mengetikkan ‘geopolitics 5G’ ke dalam mesin pencari langganan Anda, dan dijamin: Anda akan menemukan puluhan artikel di sana. Kata kunci yang sama dalam bahasa Indonesia pun juga menghasilkan daftar bacaan yang tidak kalah panjangnya. Tentu saja tidak ada yang salah dengan penggunaan istilah ‘geopolitik’ tersebut. Hanya saja, kekhawatiran saya, sebagaimana diutarakan Hegel, “semakin sering suatu kata diucapkan, maka semakin tidak dipahami maknanya.”

Artikel ini tidak akan banyak mengulas peristiwa-peristiwa heroik, besar, monumental, mendunia, headline, dst., mengenai “pertempuran teknologis” nan geopolitis ini. Jika Anda ingin tahu bagaimana AS (lewat Kanada) menahan Direktur Keuangan Huawei tahun lalu, atau bagaimana AS memasukkan Huawei ke dalam daftar hitam—yang kemudian dibalas pemerintah Tiongkok, atau peristiwa-peristiwa lainnya yang mewarnai linimasa kronologis perang teknologis ini, saya yakin Anda tidak akan menemukan masalah dalam meng-google-nya. Begitu pula dengan spesifikasi teknologi 5G, yang disebut-sebut termasuk super-high-frequency (dibanding 3G dan 4G yang ultra-high), tentang bagaimana ia bisa mengunduh film bertera-terabita dalam beberapa menit atau detik saja, atau bagaimana ia memungkinkan perpindahan data hampir dalam bentuk—sebagaimana alegori satu artikel—teleportasi, pula saya optimis Anda tidak akan kesulitan menemukan di Google atau Youtube. (Tentu saja, lain soal kalau Anda menuntut disuapi artikel ini). 

Sebaliknya, artikel ini adalah tentang konsep. Teori bahkan—atau malah filsafat, mengenai geopolitik. Bombardir dan repetisi informasi rawan menjadi Senjata Penyelimur Massal (weapons of mass distraction)—maafkan pemilihan istilah saya yang Jawa-sentris. Lagi-lagi, kekhawatiran saya, wabil khusus kepada kelas pekerja Indonesia, apabila diberondong informasi-informasi demikian justru berpotensi menyalahartikan peristiwa ini. “Salah arti” yang saya maksud tentu saja dalam cakrawala pemaknaan kelas pekerja: yaitu arti yang diluar dari kebenaran makna perjuangan kelas pekerja. (Lebih jauh, saya membahas di lain kesempatan tentang apa artinya perpsektif kelas sebagai kebenaran yang paling objektif). Lalu bagaimana sebaiknya mengartikan peristiwa ‘geopolitik 5G’ ini dari perspektif kelas pekerja?

Artikel singkat ini akan menjawabnya melalui upaya mendudukkan konsep geopolitik secara akademik—ketimbang secara retorik sebagaimana secara berbusa-busa diulang-ulang para insan dan pandit “melek teknologi dan politik”ini. Menariknya—dan saya berani bersumpah akan ini—jika kita letakkan konsep ‘geopolitik’ secara akademik (yi. sebagaimana ia didiskusikan dan dikembangkan sebagai suatu bidang studi), justru malah ia lebih berfaedah bagi perjuangan kelas pekerja ketimbang penggunaan populernya sebagaimana saya keluhkan di atas. Tapi tenang saja, walau ‘akademis’, saya akan berusaha untuk tidak ketat-ketat banget, sehingga tetap bisa diakses pembaca non-akademis. Namun sebelum itu, saya ingin membagikan alasan kekhawatiran saya kalau-kalau kawan-kawan kelas pekerja terus dipapar artikel-artikel “geopolitis” ini.


Geopolitik?

Mari kita samakan persepsi terlebih dahulu. ‘Geopolitik’ akan teknologi awan dan data besar ini maksudnya adalah pertempuran negara-negara besar (yi. AS dan Tiongkok) akan perebutan teknologi dan infrastruktur penyimpanan data yang banyak dan tak berstruktur (unstructured) di “awan” (cloud). Tentu saja tidak di awan, tapi di …. laut. Di manapun itu (dan tidak harus di laut), yang pasti, belum ada teknologi yang dapat membuat rak-rak server di lapisan-lapisan awan: entah itu cirrus, stratus, kumulus ataupun nimbus. (Saya bukan pakar per-awan-an, jadi silakan lihat entri Wikipedia saja). Teknologi 5G, yang dipelopori oleh Huawei,[1] konon berpotensi disruptif bagi dunia bisnis global. Bisnis-bisnis yang saat ini semakin tidak terlepaskan dari penggunaan data banyak (large data) maupun data besar (big data), tentu akan terdampak oleh teknologi 5G yang notabene merupakan kendaraan bagi transfer, transmisi, dan transaksi data tersebut.Oleh karenanya, negara-negara besar ingin berlomba-lomba untuk lebih dulu dan lebih terdepan dalam menguasainya…  Setidaknya, demikianlah bagaimana para penulis dan penggiring opini tipikal bernarasi.

Dari narasi tipikal ini—satu bahkan memaksakan diri untuk populer dengan menggunakan alegori film Game of Thronesetidaknya terdapat tiga makna dari terma ‘geopolitik’, yang ketiga-tiganya bukan hanya terlampau menyederhanakan, melainkan juga membahayakan pola pikir kelas pekerja. Pertama, geopolitik adalah permainan politik (atau “percaturan”) dari pemilik kekuatan-kekuatan besar dunia, dan kekuatan tersebut adalah negara. Seolah-olah adalah dan hanyalah negara saja yang adalah subjek dari aktivitas bernama geopolitik. Alhasil, geopolitik menjadi negara-sentris, dan bahkan negara-besar-sentris. Hal ini amat jelas terasa di dua artikel yang paling sering saya dapat ini: pembahasan tersentral ke bagaimana AS dan Tiongkok berebut dominasi, mengadu regulasi dan menyabung perusahaan-perusahaan digitalnya satu sama lain (Google, Apple, Facebook, Instagram, Amazon, AT&T, dst., di satu sisi dan Huawei, Alibaba, Tencent, dst.); lainnya membahas forum-forum dan upaya regulasi dari negara-negara sedunia dalam menghadapi dan merespon perkembangan teknologi terkini, seperti 5G, khususnya dalam konteks strategi kebijakan nasional.

Pendekatan ini bermasalah karena kelas pekerja akan salah mengira bahwa saat negara memperjuangkan kepentingan nasionalnya melalui manuver-manuver geopolitis ini, lantas itu adalah untuk kepentingannya. Perkiraan ini lebih pada sebuah harapan (wish) ketimbang perkiraan, dan karenanya asumsi yang berbahaya. Mungkin perlu ditekankan: tujuan negara adalah kedaulatannya, dan BUKAN revolusi kelas pekerja—sosialisasi dan demokratisasi sarana produksi.

Kedua, geopolitik seolah-olah adalah persoalan perebutan dan pertahanan wilayah, dan bahwa wilayah (territory) adalah suatu yang terberi begitu saja dan ajeg sifatnya. Perebutan dan pertahanan wilayah erat kaitannya dengan upaya untuk “mensterilkan” wilayah dari musuh. Artikel dari Digital Watch, contohnya, banyak menekankan upaya menjaga keamanan (baca: ke-steril-an) wilayah negara dari infiltrasi teknologi Huawei yang berpotensi mengandung backdoor yang dapat mengompromikan dan mencuri data-data, bahkan secara aktif mengintai keadaan sebuah negara.

Ini pun harus mengasumsikan bahwa ada penguasa eksklusif wilayah (yi. negara); bahkan asumsi ini pun harus mengasumsikan lagi sebentuk penguasaan tertentu akan suatu wilayah (yi. kedaulatan teritorial yang disebut Kedaulatan Westphalia—bentuk kedaulatan yang berbasiskan batas-batas negara, pemerintahan eksklusif akan wilayah di dalam batas-batas tersebut, dan pengakuan kedaulatan pemerintahan negara lain).[2] Implikasi bagi kelas pekerja, pemaknaan ini menyeolah-olahkan kekuasaan sebagai hanya berwajah kewilayahan/teritorial. Bentuk kekuasaan seperti ini, jika diamini sebagai satu-satunya bentuk kekuasaan, maka berarti game over bagi kelas pekerja: kapan kira-kira pekerja akan memiliki wilayahnya sendiri, jika bukan sama sekali mustahil hari ini? Menghadapi realisme politik (internasional), kelas pekerja perlu sedikit lebih realistis saya kira.

Kekhawatiran ketiga, sekaligus kekhawatirann saya yang paling serius, adalah pemaknaan geopolitik dari para penjaja eksploitasi (exploitation mongering). Umumnya, pemaknaan ini muncul dari karya monumental profesor Harvard, Shoshana Zuboof, The Age of Surveillance Capitalism: The Fight for a Human Future at the New Frontier of Power (2019). Surveillance capitalism atau kapitalisme pengawasan, akhirnya, menjadi kata kunci tersendiri. Poin dari buku tersebut yang berbusa-busa diracaukan orang (di sekitar saya atau bacaan saya, setidaknya) adalah bahwa perusahaan-perusahaan digital besar hari ini merupakan manifestasi termutakhir dari kapitalisme yang, kini, mengeruk profit dari: menguantifikasi seluruh prilaku manusia/pengguna, menambangnya, memolakannya, memprediksinya, dan menciptakan kebutuhan-kebutuhan berdasarkan hasil prediksi tersebut, atau menjual hasil prediksi tersebut bagi perusahaan lain untuk juga menciptakan kebutuhan dengan mengantisipasi prilaku manusia yang diawasi tadi.[3] Masalah intinya adalah, dengan demikian: pelanggaran privasi demi pengerukan profit perusahaan yang didukung oleh negara.

Hampir semua aktivis data di tanah air menarik suara dalam tangga nada yang sama: bla..bla.. privasi, bla..bla.. privasi, bla..bla.. privasi. Harian rujukan kaum cerdik pandai humanis nan moralis tanah air misalnya, pernah memuat artikel yang banyak dibagikan (juga ke saya) yang secara lugas memiliki judul yang memuat “eksploitasi” dan “privasi”. Dan, si penulis juga mengutip Zuboff—siapa tah yang tidak akan mengutip Zuboff untuk menjustifikasi dirinya dilecehkan secara digital hari-hari ini? Pula artikel tersebut berujung naas dengan melempar bola ke aparat perumus dan penegak hukum. Inilah argumen dan penyimpulan khas penjaja eksploitasi: narasi korban, sepenuhnya pasif dan hanya bisa mengeluh, menuntut, dan menunggu tangan penguasa—yang ironisnya sehari-hari dimaki-maki—untuk turun tangan. Di sisi lain, ia terus mendambakan mimpi-mimpi konservatif nan liberal: kebebasan, kehormatan (dignity), keputusan, persetujuan, dst.

Kawan-kawan kelas pekerja yang budiman tentu saja tidak seyogianya jatuh pada godaan “perlindungan-privasi-isme” seperti ini. Kita perlu jelas mengenai ini: perlindungan privasi bukanlah agenda politik digital kelas pekerja; ia bisa saja menjadi salah satu target capaian, namun ia harus terlebih dahulu dikerangkakan dalam perencanaan strategis yang lebih visioner ke arah perebutan sarana produksi, baik digital maupun analog, daring ataupun luring. Begitu pula dari segi problematisasi: bagi kelas pekerja, permasalahan mendasar dari penambangan sepihak, otomatis (yi. algoritmis) dan “diam-diam” oleh perusahaan digital besar sama sekali bukan privasi; melainkan, problemnya adalah apakah penambangan tersebut sesuai dengan strategi perencanaan sosialis yang demokratis, dan apakah nilai lebih yang tercipta dari penambangan tersebut dikembalikan ke masyarakat-pengguna yang adalah sumber data itu sendiri. Sekali lagi: inilah problemnya, dan sama sekali bukan se-receh privasi.

Oleh karena itu, tanpa strategi visioner, kelas pekerja hanya akan terdengar seperti—menggunakan istilah Lenin—“komunis infantil” yang terus mencuap-cuapkan “kapitalisme pengawasan” tanpa pernah serius memikirkan revolusi. “Kapitalisme” selalu muncul sebagai entitas moral yang terbalik—yaitu ‘jahat’ (evil)—ketimbang sebuah problem sistemik yang harus dipecahkan secara ilmiah dan strategis. Kaum yang disebut Zizek “revolusioner formalitas” ini lebih memikirkan privasi dan “kedaulatan” data/dirinya sendiri, ketimbang komitmen historisnya akan revolusi. Oleh karena itu, kita perlu menggaungkan cuitan Evgeny Morozov di sini:

Gambar 1. Tangkapan Layar cuitan Morozov. (“Kritik saya akan buku Zuboff bisa disimpulkan dengan memparafrase ungkapan Horkheimer: ‘kalau kamu tidak mau membicarakan kapitalisme, sebaiknya kamu jangan berisik tentang kapitalisme pengawasan’.”)


Lebih serius lagi, permasalahan mendasar bagi argumen “pengawasan plus eksploitasi minus privasi = kapitalisme pengawasan” ini adalah bagaimana eksploitasi seolah terjadi begitu saja, secara satu arah, dan bahwa kelas pekerja adalah entitas geografis-digital yang pasif belaka. Kata eksploitasi pun tampak sebagai predikat moral yang “jahat”. Yang absen di argumen ini adalah analisis nilai, kerja, dan komoditas yang wajib muncul saat menganalisis kapitalisme secara objektif dan ilmiah—dan bukan baper (bawa perasaan)dan emosional. Kelas pekerja perlu membalik cara pandang reaksioner ini yang selalu mencoba membuat, sebagaimana Raymond Williams, “eksploitasi tampak meyakinkan, ketimbang harapan tampak mungkin.” Cara pandang berperspektif pekerja, dengan demikian, harus mampu mendeskripsikan secara objektif proses eksploitasi dalam “kapitalisme pengawasan” ini, namun kali ini dengan menegaskan agensi dari kelas pekerja. Perspektif pekerjaisme, misalnya, selalu menekankan bahwa seluruh kebaruan senarai doktrin, mekanisme, teknologi dan peralatan dalam menundukkan dan mengeksploitasi pekerja telah, selalu dan akan selalu merupakan respon kalap terhadap resistensi pekerja.[4] Tidak terkecuali kapitalisme pengawasan, atau algoritma-algoritma Google dan Facebook, tidak juga teknologi 5G—mau Huawei kek, Samsung kek, Qualcomm kek, siapapun!

Demikianlah ketiga kekhawatiran saya akan penggunaan terma ‘geopolitik’ dan terma-terma lain yang bernuansa geopolitis: negara-sentrisme beresiko memonopoli aktor yang dapat bergeopolitik, sekaligus beresiko bercampur aduk dengan godaan nasionalisme sempit; determinasi kewilayahan beresiko mengasumsikan begitu saja bentuk penguasaan dan tipe kekuasaan yang mensyaratkan kewilayahan, plus semakin menjauhkan kelas pekerja dari kekuasaan itu sendiri; dan terakhir penjajaan eksploitasi kapitalisme pengawasan atas nama pelanggaran privasi dan kebebasan pengguna digital yang berpotensi mengaburkan dan mengalihkan fokus ‘perjuangan kelas melawan kapitalisme demi perebutan sarana produksi’ menjadi ‘perjuangan emosional borjuis kecil manja melawan pelecehan hak digitalnya demi memelas pada sang peleceh untuk tidak melecehkan dirinya’. Pengaburan dan pengalihan fokus ini dengan sendirinya menafikan sentralitas pekerja dalam proses ekploitasi tersebut, dan alhasil sama sekali menghapus kemungkinan perjuangan kelas.  


Mungkinkah Geopolitik Berperspektif Pekerja?

Pemaknaan geopolitik yang berperspektif pekerja, dengan demikian harus mampu keluar dari jebakan negara-sentrisme, sekalipun tidak menafikan begitu saja kehadiran negara dalam kontestasi geopolitis; ia juga harus mampu membangun landasan argumentasi keruangan, dan bukan kewilayahan, sebagai basis manuver politis; dan terakhir ia harus mampu mengidentifikasi dan menemukan aspek politik keruangan dari proses eksploitasi dari kapitalisme pengawasan—dan kali ini terma ‘kapitalisme’ harus dikonfrontir secara serius sebagaimana harusnya, yaitu suatu sistem akumulasi modal berbasis ekspropriasi nilai lebih melalui penciptaan kelas buruh (proletarianisasi) dan penciptaan komoditas secara berkelanjutan.

Menariknya, dengan mengamati seluruh tradisi pemikiran geopolitik, perkembangan konsepsi ruang geopolitis itu sendiri menjanjikan perangkat untuk keluar dari tiga kekhawatiran di atas. Itu berlaku, bahkan semenjak fase “fasis”-nya, yaitu saat lahir teori lebensraum dan negara sebagai organisme dari Friedrich Ratzel, lalu sang bapak istilah ‘geopolitik’ Rudolf Kjellen, dan muridnya Karl Haushoffer yang menjadikan geopolitik sebagai doktrin politik Nazi Jerman, kemudian teori jantung dunia (heartland) dan sabuk dunia (rimland) dari Mackinder dan Spykman, geopolitik maritim Mahan dan supremasi udara Seversky, geopolitik lingkungan Harold dan Margaret Sprout, terus sampai politik geososial Lefebvre dan politik geokultural Wallerstein, dan lagi menyusuri pemikiran geopolitik kecepatan dan kekuasaan patroli ala Paul Virilio dan geopolitik sibernetis/jaringan ala John Arquilla dan David Ronfeldt. Kekayaan tradisi geopolitik juga hinggap di tradisi marxian sebagaimana diinisiasi Yves Lacoste (dan yang sering terlupakan, Trotsky!, melalui konsep ‘uneven and combined’-nya), dipopulerkan Gearoid Ó Tuathail, Simon Dalby sampai Alejandro Colás. Begitu juga ia berkembang ke ranah estetis sebagaimana geopolitik estetis Michael Shapiro dan geopolitik tabloid François Debrix. Dan tentu saja, di ranah digital, nama terpenting bagi saya dalam tradisi geopolitik kontemporer: Benjamin Bratton, dengan gagasan desain geopolitiknya dan keenam tumpuk lapisan tatanan abstrak yang menstruktur kontestasi geopolitis hari ini, yaitu Stack. [Stack merupakan tumpukan dari: lapis bumi (earth), awan (cloud), kota (city), alamat (address), antarmuka (interface), dan pengguna (user)].

Menjabarkan secara singkat dan kilat dua ratusan tahun tradisi pemikiran geopolitik seperti ini saja, menurut hemat saya, sudah bisa menunjukkan betapa tiga corak pemaknaan geopolitik hari ini sudah amat-sangat termiskinkan dari potensi eksplanatori dan praktis dari terma geopolitik itu sendiri. Memang, seluruh tradisi geopolitik mengamini bahwa pemeo “geografi adalah kutukan.” Namun demikian determinasi geografis seperti ini tidak lantas berarti determinasi kewilayahan, dan bahkan terreduksi lagi pada wilayah negara bangsa hari ini. Seluruh pemikir geopolitik memiliki filosofinya  sendiri mengenai apa itu “geo” dan apa itu “grafi”; artinya, adalah keruangan itu sendiri yang menjadi basis dari refleksi dan perumusan taktik geopolitik (disebut geostrategi). Adalah pemikiran geopolitis yang menciptakan ruang geopolitis itu sendiri, berikut posisi sang pemikir sebagai aktor geopolitik,[5] dan nilai dari ruang geopolitis tersebut menjadi target geostrateginya.[6] Singkatnya: geopolitik adalah pertarungan konsepsi keruangan, ketimbang pertarungan antar negara; geopolitik adalah perebutan nilai sebuah ruang, ketimbang perebutan wilayah; geopolitik adalah soal pengelolaan sumber daya secara strategis dan visioner, ketimbang segampangan eksploitasi demi penumpukkan sumber daya.

Artikel berikutnya akan memobilisasi cara berpikir geopolitik-geostrategis dan juga geopolitikus-geostrategiwan dalam memandang persoalan ribut-ribut “geopolitik 5G” ini, dan terlebih akan coba untuk memosisikan dirinya dalam kosmologi keruangan visi revolusioner kelas pekerja.***


Hizkia Yosias Polimpung adalah pegiat di Prakerti Collective Intelligence; peneliti ekonomi politik keamanan di Pusat Kajian Keamanan Nasional (Puskamnas)


———–

[1] Guo, Lei, Marina Yue Zhang, Mark Dodgson, and David Gann. “Huawei’s Catch-up in the Global Telecommunication Industry: Innovation Capability and Transition to Leadership.” Technology Analysis and Strategic Management 0, no. 0 (2019): 1–17. https://doi.org/10.1080/09537325.2019.1615615.

[2] Ya, apa yang dirujuk sebagai “kedaulatan” itu sebenarnya banyak bentuknya: ada kedaulatan imperial, kedaulatan teokratis, kedaulatan suzerain, dst. Saya membahas ini di buku saya, Asal Usul Kedaulatan (Kepik, 2014).

[3]  Perlu ditekankan di sini, buku ini sangat luar biasa dari segi eksposisinya; walau demikian, detil dan kekayaan eksposisi ini tidak seharusnya lantas dengan mudah berhasil menggertak kita semua untuk bersepakat dengan argumen-argumennya. Atau, setidaknya saya harap saya tidak sendirian dalam sama sekali tidak bergeming dengan argumen-argumen beliaunya.

[4] Tronti, Mario, “Factory and Society,” Worker and Capital, akses di: https://operaismoinenglish.wordpress.com/2013/06/13/factory-and-society/.

[5] Lih. Ashley, Richard Ashley, Richard K. “The Geopolitics of Geopolitical Space: Toward a Critical Social Theory of International Politics.” Alternatives: Global, Local, Political 12, no. 4 (October 1987): 403–34. https://doi.org/10.1177/030437548701200401.

[6] Lih. Colás, Alejandro, and Gonzalo Pozo. “The Value of Territory: Towards a Marxist Geopolitics.” Geopolitics 16, no. 1 (2011): 211–20. https://doi.org/10.1080/14650045.2010.493993.

]]>
Ekonomi Pengetahuan, atau Kognitarianisasi? https://indoprogress.com/2019/04/ekonomi-pengetahuan-atau-kognitarianisasi/ Tue, 02 Apr 2019 23:26:21 +0000 https://indoprogress.com/?p=20800 Kredit ilustrasi: fotolia.com



DILIHAT dari perspektif pekerjaisme (Tronti, dkk), setiap kali ada jenis ekonomi baru yang muncul maka persis di situ kapitalisme menemukan cara baru dalam meredam resistensi pekerja (supresi), sekaligus dalam meringkus lebih banyak lagi nilai kerja dari sang pekerja (eksploitasi) demi pertambahan profitnya. Oleh karena itu, apabila kita bersepakat bahwa hari-hari ini kita berada pada apa yang disebut-sebut ‘ekonomi pengetahuan’ (knowledge economy), maka pemetaan cara baru opresi dan supresi pekerja menjadi mutlak dibutuhkan jika kita mendambakan suatu exit strategy dari ini semua.


Ekonomi Pengetahuan

Namun sebelumya, apa dan mengapa ekonomi pengetahuan (EP)? EP juga sering disebut dengan nama-nama lain seperti ekonomi berbasis pengetahuan (knowledge-based economy) dan/atau ekonomi padat pengetahuan (knowledge-intensive economy). Ia pertama kali diutarakan oleh Peter Drucker, seorang sarjana manajemen dan juga filsuf di bidang perbisnisan dan korporasi, pada 1969 melalui bukunya The Age of Discontinuity. Singkatnya, EP merupakan suatu ekonomi yang mana pengetahuan merupakan alat untuk menciptakan nilai dan aset, baik yang terlihat maupun yang tidak terlihat. EP merupakan penggerak inovasi; tanpa pengetahuan, maka tidak mungkin ada inovasi. Pasalnya, EP membutuhkan baik tenaga kerja yang berketerampilan tinggi, dan sekaligus ide-ide baru yang inovatif. Oleh karenanya peran institusi-institusi pengetahuan dan riset dan pengembangan (R&D) menjadi penting dalam mendongkrak perekonomian.

Lalu mengapa penting menyoal EP ini? Sederhana, karena hari ini semua kegiatan ekonomi/bisnis ditempel-tempelkan dengan gimmick “inovasi,” maka aspek pengetahuan darinya—khususnya dari perspektif pekerja—penting untuk diklarifikasi. Perlu bukti empirik? Jika kita lihat dalam laporan lembaga konsultansi McKinsey, Globalization in Transition: The Future of Trade and Value Chain (2019), disimpulkan bahwa transisi utama globalisasi perdagangan yang sedang berlangsung saat ini ditandai dengan semakin berubahnya corak produksi nilai barang dan jasa menjadi semakin padat-pengetahuan (knowledge intensive). Hal ini nampak dari beberapa hal, beberapa di antaranya: lonjakan signifikan pembelanjaan aset-aset tak terlihat (intangible assets: riset, merek, piranti lunak, dan hak cipta) terjadi di seluruh  rantai nilai dalam kurun 2000-2016; semakin banyak perusahaan yang merelokasi/buka cabang ke tempat-tempat yang banyak ditinggali pekerja high-skilled, ketimbang buruh murah sebagaimana penalaran umum; sekalipun secara volume masih kalah dari sektor perdagangan barang, pertumbuhan sektor jasa meningkat 60% lebih cepat dalam 10 tahun terakhir, malahan untuk sub-subsektor seperti jasa telekomunikasi, TIK, konsultansi bisnis dan konsultansi HAKI meningkat 200-300%. Jika perhatian kita saat ini banyak tersedot pada unicorn-unicorn startups, maka sebaiknya kita juga mulai melihat aspek-aspek pengetahuan dan imajinasi yang menjadi kandang dan lahan peternakan kuda-kuda mahal ini.

Laporan ASEAN Investment Report 2018 juga mengonfirmasi hal serupa. Khususnya apabila melihat alur investasi ke perusahaan-perusahaan rintisan (startup), yang tak lain adalah primadona dari paradigma inovasi dalam ekonomi. Secara umum, dalam dua tahun terakhir (2016-2017) terjadi peningkatan volume investasi ke ASEAN, dari $123 Miliar ke $137 Miliar. Menariknya, Singapura dan Indonesia bertengger di dua besar yang mendominasi dalam memarkirkan dana investasi tersebut; lebih menarik lagi, sekalipun masih kalah besarannya dari Singapura, Indonesia mengalami peningkatan lima kali lipat volume penanaman modal asing, dari $3,9 Miliar pada 2016, menjadi $23,1 Miliar pada 2017. Tren peningkatan investasi ini juga sejalan dengan yang terjadi di startup: hanya dalam tiga tahun saja sejak 2015, perusahaan-perusahaan rintisan di ASEAN mampu mengumpulkan dana investasi sebanyak hampir 1400% lebih banyak—$1 Miliar pada 2015 dan kini $13,8 Miliar (Juni 2018). Dari sekitar 13.500 startup di ASEAN, lagi-lagi Singapura dan Indonesia mendominasi dari segi jumlah, masing-masing 34% dan 31%. Sembilan (9) dari 50 besar startup di ASEAN berbendera—yang sama sekali bukan berarti milik—“anak bangsa.”

Semakin dominannya pengetahuan di dalam pertumbuhan ekonomi merupakan pertanda bagaimana pengetahuan tidak lagi menjadi sekedar penunjang ataupun pelengkap kegiatan produksi, melainkan menjadi jantung dari aktivitas ekonomi itu sendiri hari-hari ini.


Komposisi EP

Cukup sudah analisis lingkungan strategis bisnis, dan izinkan saya berpindah dari moda konsultan bisnis kembali ke pegiat gerakan kelas pekerja. Fenomena di atas, apabila dilihat dari perspektif pekerja, maka bisa kita cacah-cacah komposisinya—baik komposisi modal maupun komposisi kelasnya. Dari komposisi kelasnya—yi. seluruh pola spesifik yang berkaitan dengan proses penciptaan nilai—maka bisa dipetakan proses kerja yang disyaratkan dalam skema EP, yakni kerja-kerja yang mencakup satu hal: berpikir. Dalam genus ‘berpikir’ ini, bisa kita masukkan aktivitas-aktivitas yang termaktub di dalamnya: beralasan, berlogika, menginterpretasi, memaknai, menarik implikasi, mengekstrapolasi, merefleksikan, menyimpulkan, berimajinasi, berinovasi, berkreasi, dst. Aktivitas kerja sekunder/penunjang yang juga dibutuhkan adalah, a.l.: keterampilan membaca, mengulas, menyarikan, merangkum, mengamati, menganalogikan, merisa, dst., yang merupakan komponen penting dari kerja-kerja berpikir sebelumnya,

Sebagai sebentuk kerja, berpikir adalah mensyaratkan modal, yang dalam hal ini tentu adalah modal pengetahuan, a.l.: gelar, jabatan akademis, sertifikasi, keturunan profesor, wawasan, pengetahuan, daya logika, keluasan imajinatif, kecerdasan, sistematika pemikiran, kapasitas kreatif, dst. Modal lain yang tak kalah penting adalah yang mampu mengefisienkan pengoperasian modal-modal primer sebelumnya: keterampilan mengoptimalisasi piranti (lunak, keras dan digital), keterampilan mengolah data dan informasi, pengetahuan sumber-sumber data, keterampilan bertanya dan menggali data dan informasi, mentalitas dan ketahanan membaca, kedisiplinan meriset, dan juga modal-modal material nan klasik seperti: uang, infrastruktur, jejaring sosial, waktu luang, dst. Demikianlah komposisi modal yang disyaratkan dalam skema EP. Kesemua modal inilah yang dipekerjakan (put to work) oleh kerja berpikir untuk menghasilkan lini produk (product line) hasil kerja pengetahuan: ide, gagasan, inspirasi, konsep, model, hipotesis, teori, cetak biru, rekomendasi, konsultasi, pendapat, opini, pemikiran, usulan, proposisi, dst.  

Lini produk inilah yang menjadi komoditas dalam EP. Sebagai komoditas, tentu saja produk-produk tadi harus memiliki nilai jual di pasar (yi. nilai tukar), sehingga ia harus menjelma sebagai, a.l.: ide bisnis, model bisnis, inovasi bisnis, rencana bisnis, ide konten kreatif untuk pemasaran, rekomendasi kebijakan, rekomendasi bisnis, analisis pasar, analisis peluang bisnis, model manajemen, tapi juga visi misi pengembangan, trajektori pertumbuhan, taktik politik, manuver gerakan, siasat perlawanan dan yang terpenting saya kira strategi besar revolusioner, dst., dsb. Komoditas-komoditas inilah yang dengan bersamaan menciptakan pasar ide (marketplace of idea) berikut segmentasi konsumennya. Inilah dunia ekonomi di mana para pekerja kognitif (cognitive workers) berada.

Sejauh ini semuanya baik-baik saja, bukan? Apalagi bagi mereka yang sehari-hari terlibat di EP sebagaimana digariskan di atas, semuanya nampak normal-normal saja. Lalu di mana letak supresi dan eksploitasinya?


Pengetahuan sebagai Modal

Banyak aspek yang bisa dibahas untuk mengilustrasikan supresi dan menggambarkan eksploitasi pekerja kognitif di dalam EP. Namun demikian, waktu dan energi saya yang terbatas membuat saya harus mencicilnya dalam beberapa kesempatan. Untuk kali ini, saya hanya akan bahas aspek eksploitatif (pencurian nilai) dulu, dan itupun dari segi modal/kapital dan kerja saja. Aspek supresi (peredaman potensi resistensi dari proses kognisi) dan segi-segi lain (komoditas, nilai, produk, dan pasar) akan diteruskan lain kali.

Untuk memahami eksploitasi dalam EP, kita perlu memperhatikan keunikan dari pengetahuan sebagai modal. Apapun substansi dan kontennya, sebagai modal, pengetahuan dipakai untuk menciptakan nilai, yang kemudian dibekukan dalam bentuk produk kerja/komoditas. Saya yang memiliki pengetahuan mengenai ikan cupang dapat menggunakan pengetahuan itu untuk mengoptimalisasikan upaya dan usaha/bisnis ikan cupang saya. Dari contoh ini, bisa diintuisikan bahwa modal pengetahuan merupakan modal yang masih bersifat virtual; artinya, ia adalah berupa potensialitas. Sebagai potensi, modal pengetahuan harus diumpankan ke modal lainnya—uang, mesin, operator (sebagai aset)—untuk dimunculkan aktualisasinya sebagai “nyawa” dari sebuah produk, atau yang dalam bisnis lebih dikenal dengan sebutan: diferensiasi produk, unique selling point (USP), atau proposisi nilai produk. Saya tahu ini bukan dari Rhenal Kasali atau Tung Desem Waringin atau sejenisnya, tapi dari Gilles Deleuze, di  Negotiations (1995): “[w]e are told businesses have souls, which is surely the most terrifying news in the world.” Nyawa virtual ini harus menubuh di tubuh aktual agar supaya potensialitas pengetahuan bisa termaterialisasi dan beroperasi dalam menciptakan nilai. Inilah keunikan pertama, modal pengetahuan tidak bisa berdiri sendiri untuk menciptakan nilai, ia harus teroperasionalisasi dan termaterialisasi dalam dan melalui senarai modal lainnya.

Kedua, penciptaan pengetahuan-pengetahuan baru berbanding lurus dengan proliferasi dan bahkan penggunaannya (lebih jauh, lih. Dmytri Kleiner, The Telekommunist Manifesto [2010]). Semakin pengetahuan dibicarakan, didiskusikan dan disosialisasikan secara terbuka di masyarakat, maka ia akan semakin berkembang. Umpan balik, dialektika, dialog dan juga urun rembug dari semakin banyak orang justru akan membuat pengetahuan itu semakin tajam lagi. Itulah mengapa dari perspektif ini adalah konyol, tolol dan oksimoron untuk menutup akses pengetahuan dengan tembok uang (wall of cash) (lebih jauh, lih. Gary Hall, Digitize This Book! The Politics of New Media, or Why We Need Open Access Now [2008]). Lalu penggunaan: berbeda seperti mesin yang semakin sering digunakan justru semakin aus; pengetahuan, semakin digunakan, akan semakin menjadikan pekerjanya lebih ber-pengetahuan. Di sinilah kita harus memahami arti kata ‘pakar’ (expert): orang yang sering menggunakan pengetahuannya akan semakin memperdalam pengetahuannya tersebut.


Kredit ilustrasi: www.irna.ir

Kognitarianisasi

Pada kedua karakter unik modal pengetahuan inilah—sifat virtual yang perlu diaktualisasikan dengan modal lain dan amplifikasi melalui persebaran dan penggunaan—eksploitasi terhadap pekerja kognitif muncul. Tapi sebelumnya, siapakah pekerja kognitif itu sebenarnya? Jika dilihat dari karakter-karakter di bagian sebelumnya, kita bisa simpulkan bahwa kapasitas untuk berpikir, modal untuk berpikir, dan produk ide adalah hal-hal yang dimiliki dan bisa dihasilkan oleh semua—ya, semua—orang di dunia ini. Tentu saja, derajatnya akan berbeda-beda. Namun tetap tidak kemudian mendiskualifikasi kenyataan dasar bahwa semua orang bisa dan memiliki kognisi. Generalitas pekerja kognitif ini penting untuk ditandaskan, karena pasalnya pengetahuan/kognisi itu adalah selalu kognisi general atau yang bahasa teknisnya disebut general intellect. Suatu pengetahuan hanya akan menjadi pengetahuan saat ia bisa diketahui (intelligible) oleh dan mengikuti kaidah-kaidah kognitif yang berlaku di masyarakat. Hal ini demikian karena memang, sebuah pengetahuan selalu munculnya dari tenagh-tengah masyarakat. (Dalam hal ini, ilham dan wahyu sayangnya tidak terkualifikiasi sebagai anggota dari genus ‘pengetahuan’). Dari perspektif EP, maka bukan pengetahuan namanya apabila ia tidak menemukan rumahnya di masyarakat (mis. karena tidak terpahami, tidak aplikatif, dan tidak berkontribusi bagi masyarakat). Pasalnya, lagi-lagi, hanya di dalam masyarakatlah EP menjelmakan diri dalam bentuk pasar ide untuk dikonsumsi oleh elemen-elemen masyarakat tersebut (individu, akademisi, pebisnis, pemerintah, dan kesemua yang membutuhkan ide, gagasan, rekomendasi dan inspirasi).

Kembali lagi ke eksploitasi. Mari secara sederhana mengartikan eksploitasi secara minimal, yaitu sebagai pencurian nilai kerja dari pekerja oleh pemilik modal. Disebut pencurian karena ada hasil kerja yang diambil dan dipakai tanpa memberikan kompensasi yang sebangun kepada sang pekerja. Dalam EP, proses eksploitasi ini erat kaitannya dengan kedua aspek unik modal pengetahuan. Pertama, karena pengetahuan itu muncul dari dalam masyarakat akibat persebaran dan penggunaannya oleh masyarakat secara timbal balik, dialogis dan dialektis, maka sederhananya: pengetahuan itu pada dasarnya berserakan di masyarakat. Siapakah pekerjanya?—seluruh masyarakat. (Lagi-lagi, tentu dengan derajat dan kualitas kerja yang bervariasi). Pengetahuan ini tentu saja masih bersifat mentah dan virtual, dan umumnya masih belum menjadi produk matang yang sudah aktual. Perlu kerja-kerja sekunder/pengolahan pengetahuan seperti pembacaan, pemaknaan, interpretasi, pengkodean, kategorisasi, dst., akan pengetahuan ini agar supaya ia bisa dijual dan menghasilkan profit. Eksploitasi terjadi saat ada orang/kelompok yang memiliki kapasitas mengolah pengetahuan yang ada dalam masyarakat, dan kemudian dengan […masukkan kata makian disini…]-nya memprivatisasi, memagari dan mencerabutnya dari masyarakat demi kepentingan pribadi. 

Semisal saya memiliki ide mengenai trik unik untuk mempercantik joget twerk, dan saya menunjukkan itu ke teman-teman saya. Lalu salah seorang teman saya mempelajarinya, dan menggunakannya untuk membuat video YouTube, dan kemudian mendapat uang dari sana. Dalam kasus ini, saya dieksploitasi oleh teman saya tersebut. Lainnya sekelompok akademisi menyelenggarakan pelatihan keterampilan akademis kepada publik dengan harapan memacu literasi masyarakat demi perubahan-perubahan sosial yang progresif. Namun ada beberapa orang yang melihatnya sebagai wahana memuaskan hasrat egois akan aktualisasi diri, mencari ilmu untuk menambah dekorasi curriculum vitae, dan mengepul sertifikat-sertifikat pelatihan belaka tanpa memiliki sedikitpun kesungguhan untuk secara serius mewujudkan perubahan sosial melalui jalur-jalur kognitif. Dalam kasus ini, sekelompok akademisi penyelenggara tersebut dieksploitasi. Para penulis IndoProgress dan media sejenis juga rentan dieksploitasi: tulisan-tulisan yang ditujukan untuk memajukan gerakan sosial hanya dipakai untuk memenuhi hasrat konsumeris pengetahuan pembaca yang masturbatoris pengetahuan, untuk menghiasi laman-laman medsos agar supaya nampak progresip, untuk “tetap menjaga kewarasan” sembari tetap berkubang di zona kenyamanan minimum di pekerjaan-pekerjaan yang mereka tahu pasti adalah bullshit jobs Graeberian tanpa ada upaya untuk mencoba membebaskan diri darinya, dst.

Mengerikannya (bagi saya), eksploitasi ini berlangsung normal secara etis, dan sekaligus mendapatkan perisai moralnya: adalah jahat dan jelek dan pelit lagi kikir ilmu apabila seseorang menolak untuk membagikan, untuk sharing pengetahuan dan pengalamannya kepada orang lain. Malahan bagi para pekerja kognitif yang memasang harga sedikit saja langsung dicap komersialisasi pengetahuan. Uniknya para pencibir ini tidak pernah secara serius mengarahkan cibirannya ke universitas, sekolah, les-lesan, dst., yang jelas-jelas menarik uang pangkal dan bulanan.

Eksploitasi juga datang dari aspek kedua keunikan modal pengetahuan, yaitu proliferasi dan penggunaan yang berbanding lurus dengan peningkatan kualitasnya. Seorang pekerja kognitif menjadi terkesploitasi tepat saat pengetahuannya dikoridori persebarannya dan dibatasi penggunaannya. Hal-hal ini mewujud dalam upaya-upaya mengerdilkan, membatasi dengan kriteria sempit, membirokratisasi, memonopoli luaran/capaian, dst. Semisal seorang teman saya yang adalah seorang programmer komputer, saat ia dipekerjakan di sebuah perusahaan, ia dibatasi keterampilannya hanya untuk satu jenis bahasa pemrograman saja. Waktunya habis untuk bekerja memelihara sistem perusahaan tersebut. Semakin lama ia bekerja, memang semakin tajam keterampilannya di satu bahasa pemrograman tersebut, namun sayangnya, semua keterampilan bahasa lainnya menjadi semakin memudar dan akhirnya  terlupakan. Begitu pula dengan seorang peneliti yang dipaksa/terpaksa melulu mengerjakan riset-riset pesanan, atau yang diribetkan dengan administrasi yang berbelit, atau yang ditundukkan superioritas profesor atau penyelianya untuk hanya menggunakan pendekatan atau metode tertentu saja. Dalam kedua kasus ini, mereka tereksploitasi; tapi apa yang dicuri dari mereka? Tidak lain adalah potensialitas tak terbatas dari pengetahuan lah yang dicuri dari mereka. Pembatasan dan pengekangan pengetahuan dengan cara apapun hanya akan mematikan kreativitas dan membunuh “nyawa” yang terkandung dalam pengetahuan. Ia akan stagnan, membusuk, dan semakin jauh dari masyarakat, dan semakin redup relevansinya. Pekerja yang memiliki modal pengetahuan yang dikekang ini akan semakin kehilangan modal tersebut, dan pada gilirannya menurunkan posisi tawarnya di pasar tenaga kerja pengetahuan (cognitive labor market).

Para pekerja kognitif yang terkesploitasi inilah yang bisa kita sebut sebagai kognitariat. Kognitariat adalah pekerja kognitif yang terkena imbas proletarianisasi oleh dinamika EP. Sebagai varian proletarianisasi di sektor kognitif, seorang kognitariat ter-kognitarianisasi dalam beberapa artian. Pertama, dalam artian ia bekerja secara gratisan bagi orang-orang yang memanfaatkan pengetahuannya tanpa memberinya kredit dan kompensasi yang setara. Nilai pengetahuan yang dicuri ini nilainya bervariasi seturut senarai modal-modal lain yang mampu mengaktualisasikan potensi yang terkandung dalam pengetahuan tersebut. Biasanya, semakin besar modal dampingannya (uang, misalnya), maka semakin besar magnitude aktualisasi suatu pengetahuan. Oh ya, tentu saja ini menjelaskan kenapa para investor malaikat pengembara (angelic venture capital) suka mencari ide-ide dari pekerja-pekerja kognitif (baca: founder startup) yang relatif misqueen. Supaya saat ide tersebut teramplifikasi, ia bisa ikut menuai profit dari pekerja tersebut. Ketimpangan dalam modal untuk mengaktualisasi pengetahuan bisa dituduh sebagai biang eksploitasi di sini. Kedua, dalam artian ia dimatikan dan dibatalkan secara bertahapn kepemilikannya akan modal pengetahuannnya. Dengan memaksa, mengerdilkan dan membatasi kreativitas dan ke-liar-an pengembangan dan eksperimentasi pengetahuan, dengan kata lain juga memutus sumbu nyawa dari pengetahuan. Di era EP yang mana pengetahuan adalah modal kerja, sang pekerja kognitif ini akan semakin terdesak posisinya dan semakin terperosok lebih dalam ke pasar tenaga kerja fleksibel.

Sialnya, lagi-lagi, proses-proses eksploitasi dan kognitarianisasi di atas adalah hal-hal yang normal, wajar, dan kerap kita temukan (dan alami) hari ini. Kita tidak bisa lagi melihat EP secara lugu, karena apabila dibedah dari perspektif pekerja seperti di atas, EP tidak lain adalah eufimisme bagi proses kognitarianisasi; dan karena inovasi adalah imperatif, maka eksploitasi pekerja kognitif akan terus menjadi sesuatu yang wajib dilakukan agar supaya ekonomi terus maju dan tumbuh.***


Hizkia Yosias Polimpung adalah peneliti di Koperasi Riset Purusha

]]>
Bagamana Memilih Program? https://indoprogress.com/2019/02/%ef%bb%bfbagamana-memilih-program/ Mon, 11 Feb 2019 02:08:16 +0000 https://indoprogress.com/?p=20544  Kredit ilustrasi: Managed Programs, LLC


KONON kata para warganet bijak pandai nan mahabenar, dalam memilih presiden nanti, jangan pilih orangnya, tapi pilih programnya. Pandangan ini juga beranak-pinak—sejauh yang mampir ke linimasa medsos dan japri saya—beberapa puluh infografis, pamflet dan meme yang mencoba “secara objektif” menyombongkan capaian-capaian program pemerintah/pasangan calon (paslon) capres-cawapres inkumben maupun rancangan program paslon penantangnya dalam kompetisi Pemilu 2019. Begitu banyak program, begitu meriah janji, dan begitu bersemangat para tim sukses dan para pengikut masing-masing kubu memberi penjelasan, pembelaan dan serangan ke kubu lain. Tapi sebenarnya, bagaimana cara menilai sebuah program? Atau, lebih tepatnya, bagaimana cara menilai sebuah program tanpa harus terjebak pada pengultusan sosok capres dan ban serepnya?

Saya ingin menyumbang ide tentang hal-hal yang perlu diperhatikan dalam menilai sebuah program paslon capres-cawapres (dan juga program politik secara umum) secara objektif dan tanpa baper (bawa perasaan). Khusus yang terakhir ini, yaitu tanpa baper, hanya bisa dicapai apabila kita benar-benar memiliki standar objektif untuk menilai sebuah program. Sehingga pilihan (atau tidak memilih) kita adalah karena program, dan bukan karena orangnya. Alhasil jutaan kali calon kita dihujat secara ad hominem, dijadikan bulan-bulanan meme, dan diolok-olok di grup Whatsapp, kita tidak akan tersinggung. Soalnya, kita tidak akan peduli secara personal dengan orangnya, sejauh program yang dijanjikannya dapat dipertanggungjawabkan. Sama seperti ide, program itu relatif otonom dari pencetusnya. Kita bisa saja menjadi psikoanalis Lacanian tanpa harus cinta pada sang psikoanalis Jacques Lacan, sama halnya kita bisa memilih sepasang capres-cawapres karena programnya tanpa harus menjadi cebong ataupun kampret.


Dua Objektivitas

Lalu standar objektif. Di titik ini kita harus benar-benar jelas. Yang saya maksud dengan standar objektif di sini tidak hanya persoalan objektivitas ilmiah, namun terlebih penting adalah objektivitas idiologis. Objektivitas ilmiah harus tunduk pada objektivitas idiologis. Objektivitas idiologis merupakan kenyataan tak terelakkan bahwa objektivitas hanya bisa diakses melalui subjektivitas tertentu. Posisi universal tidak akan bisa digapai apabila subjek tidak berpijak pada posisi partikular dan spesifik, dan bahkan ikatan ruang-waktu tertentu (dan para penggemar kepatutan politik, silakan tambahkan: suku, ras, jender, orientasi seksual, hobi, bla..bla..). Namun demikian, posisi partikular-spesifik idiologis yang paling pokok adalah posisi kelasnya. Sentralitas posisi kelas ketimbang posisi lainnya adalah dikarenakan posisi ini berpengaruh pada keberlangsungan hidup seseorang dari hari ke hari, yang pada gilirannya memengaruhi pilihan-pilihan—sadar atau tidak—posisi identitas lainnya. Dengan demikian, objektivitas idiologis menunjuk pada fakta bahwa: 1) objektivitas hanya akan menjadi objektif dari perspektif kelas tertentu; dan 2) seluruh objektivitas yang berlaku umum adalah selalu objektivitas dengan corak partikular kelas tertentu.[1]

Di atas landasan objektivitas idiologis inilah kemudian dibangun argumentasi-argumentasi rasional dan ilmiah untuk menjustifikasinya. Amdal (analisis dampak lingkungan) akan pertambangan semen di Pegunungan Kendeng tentu saja mengikuti kaidah-kaidah ilmiah. (Perlu diingat: ilmiah bukan berarti jaminan benar; ilmiah berarti prosedural dan terbuka untuk diperdebatkan sedari asumsi, metode, analisis sampai interpretasinya). Namun bentuk keilmiahan yang seperti itu, adalah selalu bias kepentingan idiologis dari kelas yang menyeponsorinya. Alhasil, keilmiahan dari Amdal Kendeng tampak sebagai irasionalitas apabila dipandang dari posisi kelas yang lain. Demikian pula sebaliknya, analisis-analisis yang dipakai untuk mengecam rencana penambangan Kendeng tentu tampak irasional bagi para pendukungnya. Kata teman saya yang mendukung, “mereka yang menolak ini nggak mikir berapa keuntungan yang bisa dipakai untuk membangun Rembang.” Takaran mengenai apa yang penting dan yang menentukan (determinan) selalu berbeda-beda di dalam setiap analisis; ia selalu bersembunyi di balik tirai asumsi, namun menentukan arah sistematika, paparan dan simpulan analisis tersebut.

Sebelum lebih jauh, beberapa dari pembaca yang kebetulan hobi mempersekusi posmodernisme pasti langsung bermuka kecut sejak membaca poin di atas. Tapi tenang saja, arah saya bukan ke sana. Karena saat saya menandaskan bahwa objektivitas ilmiah hanyalah ilmiah sejauh posisi subjektif kelas yang membiaskannya, dan bahwa yang universal hanya bisa diakses oleh posisi partikular, dan bahwa, karenanya, objektivitas dan universalitas adalah selalu berbeda-beda berdasarkan corak pembiasnya, sebenarnya klaim ini belum selesai. Klaim lanjutan saya, yang bahkan saya yakin Anda sobat anti-posmo tidak cukup punya nyali untuk mengklaim—dan mempertanggung-jawabkan—adalah ini: bahwa hanya objektivitas dan universalitas yang dihasilkan dari posisi partikular atau perspektif kelas pekerja sajalah yang paling objektif dan universal. Paling objektif: karena ia mampu menjelaskan “objektivitas-objektivitas” lain yang dihasilkan perspektif lain non-pekerja: penguasa, pemodal, moral, relijius, jender, kultural, etika, dst. Pula karena mencakup kelompok-kelompok yang selain dirinya sendiri, maka ia universal. Penjelasan lebih lanjut tentu bukan menjadi kompetensi artikel how to ini.[2]

Hikmah yang bisa dipetik sampai di sini adalah bahwa berhubung objektivitas ilmiah akan selalu tunduk pada objektivitas idiologis, maka seluruh analisis/klaim kebenaran ilmiah harus merengkuh terlebih dahulu objektivitas idiologisnya. Catatan tebal di sini: hal ini sama sekali tidak lantas berarti bahwa setelah objektivitas idiologis disadari dan direalisasikan, lantas objektivitas ilmiah sama sekali diabaikan. Dengan kata lain, tidak bisa kita memilih program hanya karena pemimpinnya mengklaim berpihak pada kita (rakyat, pekerja, dst.); lebih dari itu, keberpihakan tersebut harus bisa dijelaskan dan dipertanggungjawabkan secara rasional. Kelembaman, kecerobohan dan kesembronoan ini amat perlu didisiplinkan, bahkan dihukum bila perlu. Mao tegas mengatakan, kontra aktivis liberal pro-kebebasan berpendapat, “tidak ada investigasi, maka jangan ia diberi hak bicara! [..] Karena ia justru akan menyesatkan massa. Omong kosong tidak menyelesaikan masalah, lantas mengapa menjadi tidak adil melarangnya berbicara?” Alasan lainnya, karena ia juga justru akan menciderai potensi universal dan absolut dari posisi idiologis tersebut; karena hanya melalui prosedur rasional sajalah suatu klaim objektif akan menjadi universal.


Posisi Politik Kelas Pekerja

Jadi apabila kita sudah memahami apa arti anti-baper dan objektivitas dalam artikel ini, maka kita bisa mulai ke poin saya mengenai cara menilai program. Karena saya memilih posisi partikular sebagai perspektif pekerja, maka sentralitas pekerja sebagai kelas adalah yang akan membiaskan objektivitas ilmiah yang akan dibangun. Pekerja sebagai kelas, di sini, jelas kepentingan idiologisnya, yaitu bukan sekadar hak normatif, bukan kenaikan upah, bukan hak asasi manusia, bukan kesetaraan, bukan kekayaan, bukan kelayakan, bukan bebas pelecehan, bukan keselamatan kerja, bukan kemenangan paslon, bukan pengakuan historis maupun legal; bukan sekedar atau bahkan sama sekali bukan ini semua! Kepentingan pekerja sebagai kelas cuma ini: kehancuran total sistem yang selamanya membuatnya menjadi pekerja yang tereksploitasi, yaitu sistem kapitalisme, titik. Seperti kata Winston di 1984-nya Orwell, “if this is granted, all else follow” (kalau ini diizinkan, maka yang lainnya akan mengikuti); bila kehancuran kapitalisme bisa diperoleh, maka semua rentetan hak normatif, hak ekosob dan apapun label aktivis-aktivis liberal moralis-humanis itu semua akan didapatkan.

Jika seorang pekerja, atau yang mengklaim berperspektif pekerja tidak memiliki kepentingan politik akan kehancuran kapitalisme—dan tidak bisa mempertanggungjawabkan kepentingan ini secara objektif, maka sebenarnya ia belum menjadi bagian dari kelas pekerja itu sendiri.[3] Memang benar pekerja tersebut secara objektif tidak memiliki akses ke kapital-mesin dan otonomi akan kapital-hidup/tenaganya sendiri (ini definisi kelas yang saya ajukan). Namun objektivitas pekerja tersebut seketika menjadi gugur apabila diletakkan dalam idiologi perjuangan kelas pekerja yang tujuannya hanyalah kebangkrutan kapitalisme secara total.

Mengapa? Karena pekerja semacam ini cenderung melihat kesengaraan dan ketertindasannya semata-mata sebagai persoalan etis dan moralis: kejahatan negara, ulah asing dan aseng, konspirasi Yahudi, plot patriarki, kerakusan manusia, hegemoni Barat, dst. Cara pandang yang absen adalah yang melihat kemalangan ini sebagai akibat dari ketimpangan sistemik dalam kapitalisme yang setidaknya bisa dilihat dalam tiga relasi ini: relasi kelas (aspek ekonomi-politik), relasi produksi (aspek sosio-ekonomi) dan relasi kerja-upahan (aspek politik-bisnis); ketiga relasi inilah yang kemudian memanifestasi dalam apa yang kita sebut kejahatan negara, ketidakhadiran negara, dominasi Barat, hegemoni maskulin, dst.—dan bukan sebaliknya! Pelembagaan ketimpangan sistemik ini adalah proyek politik kelas;[4] karenanya ia harus dilihat pula sebagai perjuangan politik kelas. Melihat diri kita sebagai kelas, dan perjuangan kita sebagai perjuangan kelas, ketimbang sekadar drama “perjuangan kehidupan yang keras,” adalah satu-satunya cara bagi kita untuk bisa merengkuh subjektivitas politik kelas pekerja. Dikatakan politik, karena ia tidak sekadar hak normatif, ekonomis dan kekenyangan harian; ia politis karena ia berambisi pada perubahan tatanan sosial yang ada dan perlawanan terhadap mereka (kelas lawan) yang mempertahankan status quo tatanan sosial yang ada tersebut. Visi tatanan sosial tanpa kelas dan perlawanan terhadap eksploitasi sistemik adalah yang membentuk subjektivitas pekerja, dan bukan sebaliknya.

Saat subjektivitas kelas pekerja ini terbentuk maka hal yang otomatis akan diperolehnya adalah objektivitas idiologi perjuangan kelasnya, yaitu bahwa segala bentuk perjuangan dan perlawanan kelas pekerja harus diarahkan pada dan direncanakan untuk pengakhiran ketiga relasi sentral dalam kapitalisme—kelas, produksi dan kerja-upahan—yang timpang. Adalah arahan dan perencanaan ini yang perlu dikaji secara rasional, dan dirancang strateginya ke dalam program-program yang memiliki luaran terukur, lengkap dengan kerangka waktu yang jelas. Selama tidak ada penjelasan ilmiah dan sistematis mengenai langkah-langkah strategis dan taktis perjuangan untuk membangkrutkan modus produksi kapitalisme, maka seluruh analisis “saintifik” berikut turunan rekomendasi dan program-programnya tidaklah valid dan, malangnya, justru dengan sendirinya memperkuat kapitalisme itu sendiri. Oleh karena itu, sekali lagi saya tekankan: hanya bias perspektif kelas saja lah yang paling valid bagi pekerja sebagai kelas itu sendiri, dan bukan perspektif-perpektif lainnya.[5]


Kredit ilustrasi: monabaker.org


Jadi, Bagaimana Caranya?

Baiklah, cukup sudah teori. Jadi, bagaimana langkah-langkah menilai program paslon?


1. Tentukan tujuan akhir yang kita mau untuk menjadi tolak ukur baik/buruknya suatu program.

Harus jelas: yang ‘kita’ mau di sini, persis seperti uraian saya sebelumnya, adalah kita sebagai kelas pekerja. Kita, kelas pekerja, di sini mencakup seluruh orang di sektor apapun (mulai tambang, manufaktur, dagang, kreatif, seni, digital, finansial, sampai janitor, asisten rumah tangga, dan bahkan pekerja seks komersial) yang: 1) secara objektif tidak memiliki akses akan alat produksi/kerja, akan entitas produksi (pabrik, perusahaan, dst.), dan yang tidak otonom dalam menentukan penggunaan tenaga/keterampilan kerjanya, dalam menentukan jam hidup/kerjanya, dan dalam menentukan arah bisnis/unit usahanya. Seorang pekerja di pabrik di Cikarang, dengan demikian sama buruhnya dengan CEO startup yang tergantung sepenuhnya pada investor dan Direktur Eksekutif NGO yang tak punya asa jika tanpa donor. 2) secara subjektif memilih melihat objektivitas kondisinya di poin 1 tidak semata-mata sebagai kemalangan, kegagalan hidup atau azab ilahi, melainkan memandangnya sebagai diakibatkan oleh perjuangan kelas (pekerja yang kalah). “Kita” di sini adalah kita sebagai kelas pekerja yang memenuhi syarat secara objektif maupun subjektif; keduanya mutlak harus terpenuhi.

Tujuan akhir yang kita mau sebagai kelas pekerja sudah jelas: adalah tamatnya sistem relasi kelas, produksi dan kerja yang timpang yang menjadi muara dari seluruh penderitaan dan ketertindasan kelas pekerja berjender apapun, berjabatan apapun, dan di sektor manapun, yaitu kapitalisme. Nah, menentukan tujuan akhir tidak bisa hanya abstrak seperti ini. Meminjam anak-anak startup, menentukan visi haruslah SMART: Specific, Measurable, Attainable, Relevant, Timely (terperinci, terukur, bisa dicapai, relevan dan ada deadline-nya).

Jadi, berdasarkan SMART, kita harus merumuskan bagaimana itu spesifiknya kondisi kelak saat kapitalisme tidak ada lagi. Sehingga andaikata menggunakan perincian yang saya pakai di atas, terdapat tiga penjelmaan kapitalisme yang menurut saya paling sentral: relasi kelas, relasi sosial produksi, dan relasi kerja-upahan. (Relasi-relasi lainnya—relasi kuasa, relasi jender, rasisme, baratsentrisme, relasi industrial, dst.—adalah turunan dari ketiga relasi ini). Saat ketiga relasi sentral dalam kapitalisme ini sudah tidak ada lagi, barulah jargon tamatnya kapitalisme mendapatkan bentuk kongkritnya. Dengan kata lain, kita perlu membayangkan imajinasi alternatif mengenai dunia tanpa kapitalisme. Untuk menggantikan ketiga relasi ini dengan alternatif yang berpihak pada kepentingan pekerja, maka kelas pekerja perlu terlebih dahulu merumuskan bentuk dan kondisi-kondisi yang memungkinkan: i) masyarakat yang tidak lagi tersegregasi berdasar akses terhadap modal untuk mengupayakan penghidupan/kehidupan, ii) tatanan sosial-politik yang tidak lagi melestarikan ketimpangan kelas dan rezim kerja-upahan, dan iii) relasi kerja yang tidak lagi berbasis upah. Berikutnya kita perlu merumuskan standar ukuran untuk mengukur apakah alternatif ini sudah benar-benar terjadi. Tanpa ini, sayangnya, menjadi tidak mungkin untuk memilih program mana yang paling baik. Karena dengan absennya standar, maka menjadi tidak berdasar pula pilihan program kita. Bukan sekadar karena menjadi ilmiah, melainkan ia akan kehilangan pendasaran kelasnya.

Kemudian, visi dan tujuan tersebut harus dapat dicapai, artinya realistis. Dengan lain kata, tujuan tersebut harus mungkin untuk dicapai dengan bercermin pada situasi dan kondisi sumber daya dan modalitas yang ada. Tujuan yang berlebihan dan tidak berjejak pada realitas dan batasan kondisi riil justru akan berujung bencana. Berikutnya, setelah realistis, ia harus relevan … tentu saja bagi perjuangan kelas pekerja untuk mengakhiri kapitalisme. Artinya, program-program yang akan dinilai harus dinilai seberapa jauh ia menyumbang bagi pencapaian cita-cita perjuangan kelas untuk mengakhiri kapitalisme. Program-program tersebut mesti diperiksa bagaimana ia mampu memfasilitasi, mempercepat atau bahkan secara langsung mengakhiri proyek politik kelas untuk melanggengkan ketimpangan dalam relasi kelas, relasi produksi, dan relasi kerja-upahan. Alhasil, program yang tidak memiliki visi, atau tidak mengandung potensi, atau bahkan berkontradiksi dengan visi dunia tanpa kelas, visi produksi yang demokratis (non-oligopoli dan non-oligarkis) dan visi kerja tanpa harus menjebloskan diri dalam relasi timpang berbasis gaji dengan bumbu-bumbu moralis work-ethic-nya, maka program tersebut tidak layak di pilih.

Terakhir, apabila ia memang layak di pilih, kita perlu tentukan deadline capaian-capaian yang bisa diukur. Dengan kata lain, kita perlu perencanaan dengan kerangka waktu yang jelas. Meleset tidak apa; karena ia akan bisa dievaluasi dan diperbaiki. Pasalnya, yang terpenting di sini adalah visi dan perencanaan jangka panjang yang jelas dari kelas pekerja. Tanpa perencanaan strategis, maka kelas pekerja hanya akan selalu mengeluh, bersenandung agoni, menuntut, dan akan selalu kecewa. (Kekecewaan mereka yang “mengaku” kelas pekerja ini pun sebenarnya menggelikan: sudah tahu bahwa negara dan penguasa adalah berpihak pada kepentingan kapital, mengapa kaget dan kecewa saat menyaksikan dan merasakan tersebut? Dan lebih oxymoron lagi, ketimbang merancang perencanaan dan program strategis jangka panjang untuk pembebasan dan kemandirian, seluruh energinya malah habis buat memaki, berkampanye, dan mempublikasikan heroisme “perlawanan”-nya yang sebenarnya tidak terbedakan dari tindakan konyol memprovokasi kebrutalan kekuasaan). Oh kemanakah hilangnya tradisi panjang perencanaan sosialis sejak Lenin sampai Allende yang tersohor itu?


2. Takar ekses yang jadi efek samping dari moderasi

Buat saya, apabila suatu program tidak sesuai visi pekerja, dan secara realistis tidak ada tanda-tanda ia akan ke arah sana, maka saya lebih memilih untuk melupakan itu semua. Dari pada capek-capek dan habis energi untuk membahas hal yang tidak jelas jluntrungannya, sayalebih memilih fokus ke upaya merumuskan dan mengerjakan alternatif dengan skenario tanpa melibatkan “kebaikan hati” paslon-paslon tersebut. Apapun hasil pemilu nanti, siapapun yang menang, tinggal kita sesuaikan lebih lanjut taktik-taktik untuk mengakalinya. (Tentu saja saya akan dengan senang hati mendukung apabila ada kawan-kawan yang memang punya argumen untuk terlibat dalam paslon-paslonan ini). Tapi baiklah, bagi yang memilih moderat, mencoba konformis, dan berpikir “masa sih paslon-paslon ini tidak bisa dipengaruhi?” seraya memilih the lesser evil, mungkin saya bisa sumbangkan satu atau dua masukan bersahabat.

Kita perlu menakar ekses atau efek samping terekstrim dan terjauh dari program yang kita pilih berdasarkan moderasi kriteria pertama. Ukurannya dua: apabila ekses itu bisa secara realistis kita, kelas pekerja, mitigasi atau bahkan atasi sama sekali, maka silakan dipilih; namun apabila ekses tersebut tidak akan bisa dimitigasi atau diatasi bahkan apabila seluruh rakyat pekerja bersatu melawan, maka lupakan saja. Belum selesai. Ekses yang termitigasi tersebut juga perlu ditakar: apabila ekses tersebut berpotensi melemahkan basis-basis perjuangan rakyat (semangatnya, penghidupannya, pengetahuannya, solidaritasnya, dan bahkan populasinya), maka sebaiknya buang jauh-jauh pilihan tersebut. Karena sekalipun nanti kita berhasil mengatasi ekses tersebut, maka itu hanya akan jadi istilahnya pyrrhic victory, kemenangan yang sebenarnya tidak bisa disebut menang karena pihak kita benar-benar habis secara populasi, energi, biaya dan sumber daya. Istilah kerennya, nggak worth it. Sebaliknya, jika kita memiliki—nah ini poin pentingnya—strategi untuk mengantisipasi, memitigasi dan mengatasi ekses-ekses tersebut, maka silakan dipilih.

Lagi-lagi adalah strategi yang menjadi kata kunci di sini. Perencanaan strategis adalah mutlak dan vital bagi pilihan dan manuver moderasi yang kita ambil. Strategi ini, lagi-lagi, mesti terukur dan menjelma dalam langkah-langkah taktis yang kongkrit, bisa diverifikasi, dan ada tenggat waktunya. Tidak bisa lagi kita mengulang dalih-dalih senior-senior kita yang mengatakan “melawan dari dalam,” “masuk dulu ke sistem, baru kita pikirkan cara melawan dari dalam,” dan omong-kosong lainnya untuk menjustifikasi syahwat borjuis dan neolib mereka. Tidak! Kelas pekerja harus mencurigai (dan bila kedapatan, memusuhi) orang-orang yang menggunakan dalih ini untuk masuk ke lingkaran kekuasaan.

Namun demikian, kecurigaan tersebut tidak bisa hanya sebatas luapan emosional belaka. Kecurigaan tersebut, lagi-lagi, musti objektif: ia harus mampu menjelaskan bahwa kecurigaan tersebut adalah didasarkan pada absennya paparan strategis dan taktis dari mereka yang berdalih melawan dari dalam sistem tersebut, dan tidak sekadar dilandasi kecemburuan yang disuarakan seolah-olah revolusioner. Karena itu, sebaliknya, mereka yang beralasan melawan dari dalam, wajib hukumnya memiliki dan mengomunikasikan strategi-strategi dan ukuran-ukuran capaian yang ditargetkan dengan manuvernya untuk masuk bercengkerama dengan kekuasaan. Tanpa ini, tidak ada alasan bagi kita, kelas pekerja, untuk percaya pada seluruh omong kosongnya di ruang publik; jika memang begini, maka ajakan saya kepada kawan-kawan sekalian: recehkan!


3. Exit strategy, siapkan strategi untuk menyudahi moderasi dan kembali ke barisan kelas pekerja.

Saat kita memoderasi dan menurunkan (sedikiiit saja, jangan banyak-banyak) standar visioner kita untuk menilai program-program paslon yang adalah calon penguasa, maka selain kita harus memiliki strategi moderasi, kita juga wajib memiliki strategi keluar (exit strategy) dan menyudahi moderasi tersebut. Absennya strategi keluar ini justru seringkali berujung tidak terbedakannya kita dengan apa yang tadinya hendak kita lawan, dan akhirnya membuat kita melenceng sangat jauh dari visi perjuangan kelas pekerja. Kalau sudah seperti ini, saya pribadi hanya berharap Gulag yang terbaik untuk Anda.

Salah satu komponen strategi keluar adalah indikator terukur atau tenggat waktu terjadwal mengenai bilamana dan dalam kondisi apa tujuan-tujuan dari strategi moderasi kita sudah tercapai. Moderasi sebagai strategi harus juga memiliki garis batas mengenai syarat-syarat untuk menilai bahwa tujuan moderasi kita sudah tercapai, atau tidak akan tercapai. Perencanaan skenario adalah kerangka yang bisa dipakai di sini. Skenario yang dirancang mesti bisa merumuskan langkah-langkah yang akan diambil kelak saat tujuan moderasi sudah tercapai. Langkah tersebut, tentu saja harus membawa, membelokkan, dan mengarahkan hasil strategi moderasi tersebut ke arah pemenuhan visi perjuangan kelas pekerja. Sehingga menjadi penting bahwa dalam merumuskan strategi moderasi, ia juga harus  menghitung dan menginventarisir skenario-skenario taktis untuk keluar dan mengentikan moderasi. Itu pun jika moderasinya berhasil.

Namun demikian, apabila dalam perkembangannya, moderasi kita menunjukkan tanda-tanda kegagalan: semakin banyak indikator capaian yang tidak tercapai, semakin banyak sumber daya yang habis, dan semakin jauh (berkebalikan) kita dengan agenda-agenda perjuangan kelas, maka di titik ini strategi keluar juga diperlukan. Untuk ini, lagi-lagi kita harus menimang-nimang, dalam perhitungan strategis dalam rangka mencapai visi penyudahan ketimpangan sistemik kapitalisme, apakah masih tetap worth it untuk tetap berada di jalur moderasi? Jika masih, maka apa strategi cadangannya? Inilah mengapa kita perlu juga punya rencana cadangan atau, yang dalam jargon Holywood, plan B atau contingency plan. Lagi-lagi, kerangka SMART juga bisa membantu merumuskan ini. 

Terakhir, strategi moderasi harus juga menyertakan strategi dan bahkan program-program kongkrit untuk memperkuat basis-basis kekuatan kelas pekerja ekstra-kekuasaan politik resmi (yi. negara/pemerintah). Hal ini diperlukan karena pada dasarnya, strategi moderasi sebenarnya, dan seharusnya, adalah strategi untuk mengulur waktu dan mengondisikan kekuasaan dalam sistem agar supaya saat basis-basis dan strategi perjuangan kelas pekerja sudah mantap dan kongkrit dan siap eksekusi, maka di situ kita harus keluar dan menyudahi moderasi. Sehingga adalah konyol bagi setiap kita yang masuk ke dalam sistem namun sama sekali menjadi terputus dengan basis-basis kongkrit perjuangan kelas di luar sistem kekuasaan resmi. Lagi-lagi, untuk orang-orang seperti ini saya mendoakan Gulag termanis untuk anda.


Simpulan

Sampai di sini saya kira, kita, kelas pekerja, sudah punya cukup kerangka dalam menilai program-program para paslon Pemilu April 2019 mendatang. Adalah visi dan strategi pembebasan kelas pekerja dari kapitalisme yang berulang kali saya tekankan, justru karena kedua hal inilah yang absen ditemui di diskusi-diskusi, pertemuan, dan perdebatan mereka-mereka yang mengaku berpihak pada pekerja. Mengatakan “anti-kapitalisme”, “pro kesetaraan”, bla..bla.. adalah hal mudah, tentu saja; untuk itu, kita perlu lebih serius mengkualifikasi jargon-jargon instagrammable tersebut dengan menginterogasi visi dan strateginya: apakah berada pada jalan pengakhiran kapitalisme atau tidak.

Memilih paslon tentu saja harus berdasarkan programnya. Bahkan terlebih dari itu, eligibilitas dan elektabilitas paslon harus semata-mata ditentukan berdasarkan programnya. Hal ini dengan demikian akan mengeliminasi standar etis dan moral borjuis. Contoh ekstrimnya adalah Stalin, misalnya, yang mengualifikasi ‘kebaikan’ seseorang berdasarkan acuan-acuan yang sepenuhnya materialis dan menggunakan indikator perjuangan revolusioner (versinya, tentu saja). Di sampul belakang buku Lenin, Materialism and Empirio-Criticism, Stalin menulis dengan tinta merah:

“1) Kelembekan, 2) Kemalasan, 3) Kebodohan; Hanya ketiga hal inilah yang bisa disebut ‘keburukan’ (vices). Hal lainnya, asalkan tanpa ketiga hal tersebut, tidak diragukan lagi adalah ‘kebaikan’ (virtue).

NB! Kalau seseorang itu 1) kuat (secara mental), 2) aktif, 3) cerdas (atau cakap), maka ia adalah baik, tidak peduli dengan ‘keburukan-keburukan’-nya! No 1) ditambah 3) sama dengan 2).”[6]

Cara memandang “objektif” seperti Stalin ini tentu saja teramat sangat men-trigger mereka-mereka yang moralis dan esensialis di pergerakan. Pikir mereka, “jadi mentang-mentang seseorang punya strategi dan taktik yang bisa dipertanggungjawabkan secara eksekutif dan revolusioner, lantas ia bebas bertindak amoral?!” Tentu saja hal ini sah untuk dikeluhkan. Bahkan, justru dilema ini adalah yang penting untuk ditegaskan dan disepakati di kalangan pergerakan kelas pekerja. Apakah kita akan segera mendiskualifikasi seseorang karena tindakannya yang amoral? Apakah hukuman bagi mereka yang kerja-kerjanya kontributif bagi visi pembebasan kelas pekerja namun terpeleset kasus imoral adalah hukuman seumur hidup (mati, persekusi, eksil, dst.)? Dan, yang lebih penting, apakah moralitas akan selalu membawa kita keluar penindasan kapitalisme? Kita benar-benar perlu menyeriusi persoalan ini.

Kelas pekerja seharusnya memiliki moralitasnya sendiri. Visi dan garis perjuangan strategis berupa penghancuran total akan kapitalisme dan segala avatarnya, tidak lantas membuat kelas pekerja absen dari standar-standar moral. Namun demikian, seperti apa seharusnya takaran moralitas yang harus kita pakai saat berjumpa dengan kasus-kasus amoral di kalangan kita? Lenin, dalam “The Tasks of the Youth League,” yang ditulis pada 2 Oktober 1920 (LCW, vol. 31), menandaskan banyak hal tentang moralitas. Saya kutipkan agak panjang.

“Seringkali dikatakan bahwa kita tidak memiliki etika kita sendiri; acap kali para borjuis menuduh kita menolak seluruh moralitas. Ini adalah metode untuk mengaburkan isunya, untuk melemparkan debu di mata para pekerja dan petani [..] Kita menolak moralitas apapun yang didasarkan pada konsep-konsep di luar manusia dan di luar kelas. Kita harus katakan bahwa ini adalah pembodohan, penipuan, dan pelemahan pekerja dan petani yang menguntungkan kepentingan para tuan tanah dan kapitalis. Kita katakan pada mereka bahwa moralitas kita seluruhnya tunduk pada kepentingan perjuangan kelas proletariat. Moralitas kita berakar dari kepentingan perjuangan kelas proletariat. [..] Kita katakan: moralitas haruslah mengabdi pada upaya menghancurkan masyarakat lama yang eksploitatif dan pada upaya menyatukan seluruh pekerja di dalam kelas proletariat. Saat orang berkhotbah moralitas pada kita, kita balik katakan: bagi kami, moralitas terdapat pada kesatuan disiplin dan kesadaran massa akan perjuangan melawan kaum pengeksploitasi. Kita tidak percaya pada moralitas abadi, dan kita akan telanjangi kesesatan-kesesatan seluruh dongeng moralitas. Moralitas adalah melayani tujuan untuk mengangkat manusia dan masyarakat ke tingkatan yang lebih tinggi dan menghancurkan eksploitasi pekerja.” (hal, 291-4).[7]

Sehingga pertanyaan “moral” kita untuk menilai segala bentuk imoralitas adalah: sejauh mana imoralitas ini berdampak pada pelemahan dan terhambatnya “upaya menghancurkan masyarakat lama yang eksploitatif dan pada upaya menyatukan seluruh pekerja di dalam kelas proletariat”dandalammembentuk“kesatuan disiplin dan kesadaran massa akan perjuangan melawan kaum pengeksploitasi.”Ini dan hanya inilah yang bisa menjadi landasan argumen untuk menghukum sang imoral tersebut dengan mengacu pada visi pembebasan kelas pekerja. Dengan demikian, saat kita mendengar kecaman, tudingan, hujatan dan hukuman kawan-kawan kita yang mengaku kelas pekerja atau pro-pekerja, namun dalam kecamannya tersebut menggunakan justifikasi-justifikasi borjuis, moralis, dan etis seperti: kemanusiaan universal, cinta kasih, kesetaraan, dosa, bla..bla.., ketimbang argumentasi perjuangan kelas, maka kita tahu mereka adalah musuh-musuh yang berniat mengaburkan perjuangan kita dan memecah persatuan kita kelas pekerja.

Oleh karena itu, jangan gentar dan kecut hati apabila adalah kawan-kawan progresif Anda yang mencela Anda dalam menggunakan standar moral yang ketat dalam garis perjuangan kelas, dalam bersikeras menilai berdasarkan strategi visioner dan utopia pembebasan kelas pekerja dari kapitalisme. Karena orang-orang ini adalah jelmaan dan para minion dari idiologi kapitalisme hari ini yang kata Slavoj Zizek tugasnya hanya satu: “bukan menghancurkan oposisi, melainkan menghancurkan harapan akan dunia tanpa kapitalisme.” Dengan dalih realistis, imajinasi kita dibuat lumpuh; dengan dalih moral humanis, standar perjuangan kita dikaburkan. Bagi musuh dalam selimut ini, tentu saja hukuman “moralis” ala kelas pekerja juga bisa berbentuk Gulag. Akhirnya, seperti puisi Bertolt Brecht, “the Interrogation of the Good,” terhadap orang-orang “baik” ini, kita akan katakan:

“Karenanya dengarkan kami: kami tahu

Engkau adalah musuh kami. Inilah mengapa kami akan

Sekarang juga menghadapkan engkau ke tembok

Namun mempertimbangkan

Capaian-capaian dan karaktermu yang serba baik

Kami akan menghadapkan engkau ke tembok yang baik dan menembakmu

Dengan peluru yang baik dari pistol yang baik dan menguburkan engkau

Dengan sekop yang baik di tanah yang baik.”[8]

Sebelum saya mengingkari subjudul “simpulan” saya dengan tidak kunjung menyimpulkan artikel ini, maka baiklah saya memulainya di paragraf ini. Kembali ke dua kunci di atas untuk menilai segala macam program, baik program paslon, namun juga program kawan, lawan, dan juga program kita sendiri: yaitu visi dan strategi dalam menamatkan kapitalisme berikut seluruh ekspresinya dalam ketimpangan relasi kelas, produksi dan kerja-upahan. Dengan demikian, secara umum bisa kita simpulkan di sini bahwa cara kelas pekerja menilai sebuah program seharusnya adalah menilai sejauh mana suatu program memuluskan jalan menuju bubarnya kapitalisme. Kelas pekerja perlu memiliki standar ukuran baku dan operasional untuk menakar seberapa ampuh suatu program untuk menantang dominasi kapitalisme. Ukuran tersebut juga mesti bisa mendeskripsikan dan menunjukkan secara pasti kapan dan kondisi seperti apakah yang menandakan bahwa kapitalisme sudah tidak ada lagi. Dengan kata lain, kelas pekerja perlu untuk memiliki konsepsi alternatif bagi kapitalisme. Di sini penting untuk mengurai kapitalisme ke bentuk-bentuk dan penjelmaan operasionalnya di kehidupan sehari-hari sebagaimana yang saya usulkan di atas.

“Tolak!”, dan nada-nada lainnya yang sering kita jumpai di skena pergerakan sosial, sayangnya tidak bisa kita kualifikasi sebagai program. Kelas pekerja perlu lebih visioner dan lebih strategis. Apa yang akan dilakukan setelah menolak? Apa rencananya jika penolakan kita tidak digubris? Apa strateginya apabila sampai kapanpun penolakan kita tidak akan pernah berbuah positif, ketimbang malah semakin memicu brutalitas aparat kekuasaan? Saya bahkan sempat suudzon, jangan-jangan, dengan sedikit-sedikit mengatakan “tolak!”, sebenarnya ini sekadar kompensasi kita akan ketiadaan visi, ketiadaan harapan dan ketiadaan masa depan. Kekuasaan semakin brutal, eksploitasi semakin kurang ajar, dan pelecehan semakin frontal; tentu saja ini semua tidak mungkin tidak memantik emosi. Namun, emosi belaka tidak akan membawa kita kemana-mana. Hanya perencanaan strategis jangka panjang saja yang akan menunjukkan jalur kongkrit pembebasan kita.

Oleh karena itu, kawan-kawan sekalian, dilihat standpoint pekerja maka program apapun: politik, sosial, ekonomi, bisnis, kultural, dst., harus bermuara, dan hanya bermuara pada pengakhiran kapitalisme. Begitu pula dengan kualifikasi personal dan etis: jika hanya memilih pemimpin yang merakyat, maka rentenir dan tengkulak pun juga blusukan merakyat; demikian juga jika hanya sekadar tegas, maka Hitler pun juga bisa. Tidak peduli apakah yang mencanangkan program tersebut adalah aktivis senior, profesor progresif pujaan, pemuka agama kritis, ideolog sosialis, penggerak gerakan koperasi pekerja, pejuang HAM, penulis buku-buku “kiri,” atau bahkan dewan redaksi IndoPROGRESS, kita sudah punya kerangka objektif untuk menilainya. Seperti Antonio Negri, kini kita tahu bahwa “proposal politik apa pun yang katanya melawan sistem kapitalis, struktur politik yang menopangnya, dan seluruh sistem kehidupan yang ada, tanpa menyajikan perencanaan jelas untuk transformasi modus produksi, adalah revolusioner PALSU.”***


Hizkia Yosias Polimpung adalah peneliti di Koperasi Riset Purusha dan editor di IndoProgress


————–


[1] Uraian lebih jauh mengenai analisis materialis akan universalitas ini, yaitu mutlaknya partikularitas sebagai pintu masuk bagi universalitas, lihat Judith Butler, Ernesto Laclau, & Slavoj Žižek, Contingency, Hegemony, Universality: Contemporary Dialogues On The Left (Verso, 2000).

[2] Klaim ini, secara filosofis, saya buktikan secara ontologis di buku saya: Hizkia Y. Polimpung, Ontoantropologi: Fantasi Realisme Spekulatif Quentin Meillassoux (Aurora, 2017).

[3] Para pembaca Marx akan teringat persoalan ‘pembentukan kelas’, dari kelas-pada-dirinya-sendiri (class in itself) menjadi kelas-bagi-dirinya-sendiri (class for itself). Bagi yang juga membaca pekerjaisme, mis. Mario Tronti dan Toni Negri, pasti akan teringat dengan konsep ‘komposisi subjektif kelas’ yang membedakannya dari ‘komposisi teknis-organik kelas’. 

[4] Lihat, misalnya, Gérard Duménil & Dominique Lévy, Capital Resurgent: Roots of the Neoliberal Revolution (Harvard, 2004).

[5] Di lain kesempatan saya akan tunjukkan juga bahwa bahkan sekalipun apabila anda tidak merasa pekerja (mis. anda lebih merasa identitas jender, atau jabatan pekerjaan, atau asal-usul primordial anda adalah yang lebih mengemuka ketimbang kenyataan—yang anda sangkal—bahwa anda adalah kelas buruh), perspektif pekerja tetap adalah yang paling universal. Bahkan bagi kapitalis itu sendiri, menggunakan perspektif pekerja justru dapat menguntungkan, dan—berita buruk buat kita—bisa dipakai untuk menumpas gerakan pekerja itu sendiri. Ini adalah konsekuensi dari objektivitas dan universalitas perspektif pekerja. Berperspektif pekerja, memang, tidak lantas berarti berpihak pada pekerja. Dua hal yang sayangnya terpisah. Bahkan dalam perspektif pekerja, tetap perlu digelar pertempuran kelas!

[6] “1) Weakness, 2) Idleness, 3) Stupidity; These are the only things that can be called vices. Everything else, in the absence of the aforementioned, is undoubtedly virtue. | NB! If a man is 1) strong (spiritually), 2) active, 3) clever (or capable), then he is good, regardless of any other “vices”! 1) plus 3) make 2).” Dikutip dari Slavoj Zizek, Less Than Nothing, h. 126., terjemahan saya sendiri.

[7] Terjemahan saya sendiri dari teks Inggris: “It is often suggested that we have no ethics of our own; very often the bourgeoisie accuse us Communists of rejecting all morality. This is a method of confusing the issue, of throwing dust in the eyes of the workers and peasants [..] We reject any morality based on extra-human and extraclass concepts. We say that this is deception, dupery, stultification of the workers and peasants in the interests of the landowners and capitalists. We say that our morality is entirely subordinated to the interests of the proletariat’s class struggle. Our morality stems from the interests of the class struggle of the proletariat. [..] We say: morality is what serves to destroy the old exploiting society and to unite all the working people around the proletariat. When people tell us about morality, we say: to us all morality lies in this united discipline and conscious mass struggle against the exploiters. We do not believe in an eternal morality, and we expose the falseness of all the fables about morality. Morality serves the purpose of helping human society rise to a higher level and rid itself of the exploitation of labor.”

[8] Terjemahan saya sendiri dari nukilan teks Inggris. Puisi lengkap di sini; animasinya di sini.

]]>
Euforia Soft Skill https://indoprogress.com/2018/12/euforia-soft-skill/ Mon, 17 Dec 2018 00:26:13 +0000 https://indoprogress.com/?p=20269 Kredit ilustrasi: Porter and Chester Institute

 

DI KALANGAN pro-pekerja, setidaknya belum satupun saya temukan komentar bernada positif terhadap laporan tahunan Bank Dunia, World Development Report, yang tahun 2018 ini merilis edisi terbarunya bertajuk “The Changing Nature of Work” (perubahan sifat kerja). Bagaimana jika ternyata pembacaan objektif dokumen tersebut dengan perspektif pekerja (khususnya pekerjais, workeris) mampu memungut apa yang masih tersisa bagi pekerja untuk diselamatkan, diorganisir, dan dijadikan senjata untuk melawan balik (dan menang!). Boleh saja kita lari terbirit-birit diburu oleh penguasa dan aparatnya atau pemodal dan premannya yang hendak mengotomasi, mengefisiensi dan memplokoto kita para pekerja. Namun, jangan lupa slogan Situasionis, “lari, tapi sembari lari, pungut senjata!”

Genre tulisan yang mendemonisasi dan mengutuk laporan Bank Dunia ini sudah banyak. Dan bagi mereka yang mengikuti dan mengamati genre-genre perlawanan terhadap organisasi internasional ini, saya yakin kita tidak menemukan nada baru dalam kritik di luar nada-nada seperti: “hak buruh dilucuti,” “kedaulatan diintervensi,” “negara berpihak pada pemodal,” “pasar bebas memiskinkan petani,” bla bla.. Kosakatanya pun tidak akan jauh-jauh dari: “kutuk”, “tolak”, “boikot”, “lawan” bla..bla.. Tahun 2014 lalu, dengan kawan-kawan di Jaringan Riset Kolektif (JeRK), saat kami roadshow 10 kota di Jawa-Bali untuk paparan riset tentang dan melawan pertemuan Kongres Kementerian WTO ke-9 di Bali, saya sudah menjumpai nada-nada dan kosakata tersebut. Setelah empat tahun berselang, saya nggumun seperti poster demo yang saya pernah dapati di Pinterest: I can’t believe we’re still protesting this shit” (“Gila aja, kita masih harus mrotesin hal ini!”). Apakah ketel kritik sudah kehabisan uap, sehingga lokomotif gerakan tidak maju kemana-mana? #Bertanya #Padarumputyangbergoyang

Adalah respon reaksioner khas jiwa-jiwa cantik yang menurut tengara saya merupakan biang dari sumbatan imajinasi dan vitalitas gerakan. Salah satu contohnya adalah seperti saat saya mencari pandangan dari lingkungan gerakan progresif tentang laporan Bank Dunia ini, hampir semua seragam!: “tidak adil bagi kaum buruh“, “tolak IMF-WB“, “akal-akalan mengebiri hak-hak buruh“, “masa depan buruh di negeri ini terancam“, “merampas hak buruh“, “tolak pertemuan tahunan IMF-WB,” “IMF agen Neoliberalisme,” bla..bla.. Dari segi sorotan pun semua media yang saya kutip di atas berpusar pada aspek laporan yang itu-itu saja: fleksibilisasi aturan perekrutan/pemecatan pekerja, penghapusan pesangon, penghapusan upah minimum dan investasi modal manusia (human capital). Dan tentu saja hal tersebut JELEK dan harus di-TOLAK .. dan .. simsalabim! Rekomendasi IMF-WB batal diterapkan.

Jiwa-jiwa cantik (beautiful souls) senang melihat dan menggembar-gemborkan dirinya sebagai korban atau, mengutip bahasa Marx sendiri, “korban mangsaan Setan.” Posisi jiwa cantik selalu melihat dunia ini #kamujahat dan selalu ingin menjaga keberjarakan diri seraya menolak tangannya untuk kotor. Ketimbang berpikir dengan kepala dingin, ia selalu gampang mengumbar-umbar hal normatif, moralis, asumtif, simplistis, minim faedah, bla..bla.. singkatnya: sampah! Jiwa-jiwa cantik tidak kenal perencanaan revolusioner karena ia tidak bervisi, karena memang tidak ada masa depan dalam ceracauan jiwa-jiwa cantik.

Kembali ke laporan Bank Dunia.

Seperti klaim yang ditawarkan di atas, sebuah pembacaan yang khas pekerjais (workerist)—yaitu yang memosisikan sentralitas universal pekerja dalam seluruh evolusi peradaban kapitalisme, dan yang penuh dengan vitalitas visioner akan masa depan revolusioner pekerja—akan mampu melihat hal yang tidak akan pernah bisa dilihat para jiwa cantik. Pekerjaisme, yang dapat dilacak dari pemikiran Mario Tronti dan Antonio Negri, selalu berangkat dari aksioma bahwa seluruh perkembangan taktik manajemen dan senarai permesinan kapitalisme adalah respon kalap akan resistensi pekerja (Tronti). Respon tersebut ironisnya adalah dengan membekukan/mengkristalisasikan kekayaan potensi kreatif kerja para pekerja hidup ke dalam rupa-rupa artifak teknologis (yi. mesin), dan balik menghadap-hadapkannya dengan pekerja. Dengan sains, kreativitas manusia dalam bekerja dimodel, dikodekan, direplikasi dan diobjektivikasi dalam bentuk artifisial yang independen dari tubuh pekerja. (Lebih detilnya, lihat penjelasan saya tentang asal-usul robot joget Twerk-Bot dan akumulasi primitif). Sehingga pekerja pun menjadi terdepak—setidaknya inilah yang langsung terlihat di permukaan.

Namun demikian, karena selalu ada kontradiksi antara vitalitas dan kreativitas kerja hidup (living labor) dengan upaya-upaya kapital untuk menundukkan, mengkristalisasi dan membekukan kerja hidup ini menjadi rupa-rupa permesinan—istilah Marx, kerja mati (dead labor)—maka upaya tersebut akan selalu dirundung krisis.[1] Namun, sekalipun krisis, sejarah menunjukkan kapitalisme selalu bisa kembali lagi lebih canggih dan lebih cerdik dari pekerja. Pekerja selalu payah memanfaatkan krisis kapitalisme untuk benar-benar menyudahi sistem eksploitatif ini. Persis seperti di era yang disebut-sebut “Revolusi Industri 4.0” saat ini: pekerja hanya mampu mengenduskan gertakan ompong “tolak PHK.” Sekalipun begitu, tetap saja, siklus dialektis sejarah konfliktual antara kerja hidup dengan teknologi otomasi akan terus bergulir. Dan juga, tetap saja, jika aksioma pekerjais masih terus berlaku (seperti yang masih sampai hari ini), akan selalu ada titik di mana resistensi pekerja (atau bahasa pekerjais, penolakan kerja [refusal of work]) akan membuat krisis rezim teknologis kapital ini. Sehingga tugas historis kita pertama-tama adalah meraba kemungkinan-kemungkinan tersebut, mengidentifikasi peluangnya, dan merencanakan eksploitasi maksimalnya bagi agenda perjuangan—atau agenda otomasi 4.0—yang berpihak pada pekerja.

 

Modal Manusia

Satu dari sekian banyak tema yang sedikit direspon kawan-kawan progresif dari laporan Bank Dunia tersebut dan yang hendak saya bahas adalah tentang tema modal manusia (di samping, misalnya: kontrak sosial baru, pendidikan, dan atau malah statistik-statistiknya). Menurut laporan tersebut, seiring dengan terhapusnya banyak pos pekerjaan karena otomasi dengan mesin dan robot, maka akan terjadi inovasi-inovasi baru yang membutuhkan keterampilan kerja yang lebih tinggi. Itulah mengapa untuk memastikan tidak ada pekerja yang tidak mendapat tempat dalam rezim eksploitasi berbasis kerja-upahan pasar tenaga kerja yang baru, menjadi penting bagi serikat dan koperasi negara untuk mengerahkan investasinya pada modal manusia (hal. 29). Laporan ini berani menjamin bahkan bahwa investasi ini tidak akan mengecewakan (“no-regret investment”) (hal. 5)!

Memang, Bank Dunia bukan yang pertama melihat pentingnya modal manusia. World Economic Forum (WEF) sudah terlebih dahulu memantik dan bahkan memimpin euforia soft skills dan modal manusia ini. Ia memproduksi laporan penelitian yang banyak dikutip di mana-mana, baik oleh pemerintah, bisnis, akademik maupun awam: yaitu The Future of Jobs Report 2018. WEF, misalnya, menempatkan pemikiran analitis dan inovatif sebagai urutan teratas keterampilan masa depan, dengan diikuti pembelajaran aktif, perancangan teknologi, pemikiran kritis dan pemecahan masalah kompleks (complex problem solving, CPS). Google bahkan disebut-sebut “menghargai soft skills jauh melampaui nilai baik.” Diketahui bahkan bahwa Google meriset pegawai-pegawainya selama setidaknya lima tahun terakhir—dengan dua kali proyek riset: Project Oxygen (2013) dan Project Aristotle (2017). Hasilnya cukup mengejutkan, bahwa ciri pekerja-pekerja yang berkontribusi secara signifikan bagi perusahaan BUKANLAH mereka yang menguasai STEM (Science, Tech, Engineering, Mathematics), melainkan mereka yang memiliki keandalan dalam … soft skills. Google mendaftar sedikitnya 8 soft skills mulai dari menjadi coach, memilliki keterampilan komunikasi, mendengarkan, empati, suportif, dst. Kesemunya ini didokumentasikan Google dalam repositori manajemen pengetahuannya, Re-Work, dengan nama Kecerdasan Emosional (emotional intelligence).

Sekalipun mirip dengan soft skills ala WEF dan Google, laporan Bank Dunia punya caranya sendiri dalam melihat modal manusia. Ia mencakup pengetahuan, keterampilan dan kesehatan, yaitu hal-hal yang dibutuhkan untuk “memampukan manusia merealisasikan potensi-potensinya sebagai anggota masyarakat yang produktif” (hal. 50). Pengetahuan dan keterampilan yang dimaksud ini cukup spesifik dirujukkan kepada seperangkat keterampilan “yang mengombinasikan pengetahuan teknis (know-how), pemecahan-masalah dan berpikir kritis, dengan keterampilan lunak alias soft skills seperti kegigihan, kolaborasi dan empati” (hal. vii). Di bagian lain, dispesifikasikan lebih sistematis bahwa keterampilan yang perlu dibiakkan melalui investasi ke pendidikan dan kesehatan adalah: “keterampilan kognitif lanjut seperti pemecahan masalah kompleks (complex problem solving, CPS), keterampilan prilaku sosial (sociobehavioral skills) seperti kerjasama, dan kombinasi keduanya dalam kemampuan bernalar (reasoning) dan kemandirian” (hal. 3). Keterampilan-keterampilan inilah yang ingin dipetik apabila investasi diarahkan pada dasar-dasar modal manusia dan sikapnya untuk terus selalu kursus dan sertifikasi upskilling belajar (lifelong learning).

Mengamati definisi-definisi di atas, kita bisa lihat bagaimana keterampilan abstraksi non-teknis dan keterampilan sosial adalah yang dikejar oleh rekomendasi Bank Dunia untuk investasi di modal manusia. Kedua ini seringkali dirujuk sebagai keterampilan lunak atau soft skills.[2] Jika keterampilan keras bisa diajarkan secara langsung (seperti memainkan musik Internationale, menghafal kutipan-kutipan heroik Marx, membuat molotov, menyervis mobil komando, dan mengoperasikan komputer serikat), sayangnya keterampilan lunak (seperti membaca situasi kompleks eksploitasi, melihat konteks gambar besar peristiwa receh nasional yang diliput media arus utama, mengonsolidasi dan menjaga semangat perlawanan harian, apalagi merancang perencanaan revolusioner yang terukur dalam program dan indikator) adalah keterampilan yang tidak bisa diajarkan atau ditransmisikan langsung. Keterampilan lunak, dengan demikian, nampak pada kepiawaian orang tersebut dalam memobilisasi keterampilan kerasnya. Persis seperti kutipan motivasional yang sering saya jumpai, “life consists not in holding good cards but in playing those you hold well”: ya, soft skill adalah hidup (life) itu sendiri.

Keterampilan lunak adalah keterampilan yang lahir melalui pembelajaran terlibat dan imersif dalam keseharian kehidupan kelas sosial masyarakat. Keterampilan lunak tidak akan mungkin sepenuhnya dibekukan ke dalam modul-modul ajar; ia hanya bisa dilatih dan dipelajari secara tak sengaja (mis. sadarkah kita saat kita semakin mahir berbahasa Indonesia sejak kecil?). Pembelajaran keterampilan lunak adalah selalu pembelajaran sosial, dalam artian pembelajaran yang didapat dari keterlibatan langsung di masyarakat, sebagai bagian dari masyarakat itu sendiri. Sekalipun bersifat sosial, tetap saja ini bukan berarti seorang sarjana sosial-humaniora lantas otomatis memiliki keterampilan lunak; soft skills bukanlah monopoli disiplin manapun: tidak soshum, tidak juga STEM. Keterampilan lunak itu tidak terduga, se-tak-terduga improvisasi perilaku dan linguistik sehari-hari dalam menciptakan gestur dan bahasa plesetan, misalnya. Keterampilan lunak itu sifatnya memang tidak terprediksikan. Ini semua demikian adanya, karena keterampilan lunak adalah bahasa yang digunakan sistem ini untuk menyebut apa yang dua ratus tahun lalu disebut Marx sebagai ‘kerja hidup’ (living labor) yang tak lain adalah daya kerja (labor-power) itu sendiri.[3]

 

Kredit ilustrasi: Institute of Entrepreneurship Development

 

Perburuan Soft Skills

Mungkin ini yang menyebabkan Bank Dunia merasa perlu untuk menyeriusi upaya untuk “mengamankan” potensi-potensi dari keterampilan lunak alias soft skills ini. Tapi mengapa seserius itu? Di laporan itu kita bisa lihat betapa soft skills ini adalah apa yang selalu menjadi hambatan bagi otomasi; sedemikian rupa sehingga para pekerja yang memiliki soft skills tinggi menjadi terlindungi dari otomasi (hal. 29). Pasalnya, mesin tercanggih sekalipun masih kesulitan meniru soft skills (hal. 50). Lihat saja Zhang Zhow, si AI pembaca berita dari Cina, atau AI debat dari IBM: dalam sekali dengar saja kita bisa langsung tahu bahwa Zhang adalah robot, dan bahwa argumen debater AI adalah argumen umum nan buku-teks.

Menarik juga membaca pandangan laporan ini tentang kerja-kerja feminin. Beda dari pekerjais teknofeminis seperti Leopoldina Fortunati atau Ruth Cowan, laporan ini justru melihat bagaimana mesin cuci dan mikrowave pada zamannya dulu mampu membebaskan perempuan untuk menjebloskan dirinya ke rezim kerja-upahan bekerja dan mengaktualisasikan dirinya di luar rumah (29). Jika awalnya pekerjaan perempuan dibedakan dengan jelas, kini, pekerjaan dengan kualitas feminin relatif menjadi tergeneralisir; Cristina Morini, seorang feminis pekerjais, menyebut ini sebagai ‘feminisasi kerja’.[4] Kita bisa melihat feminisasi kerja ini secara nyata dalam bentuk kualitas afektif dan emosional yang secara tradisional diasosiasikan dengan jender feminin sebagai prasyarat kerja, misalnya: tahan banting, bisa bekerja sama, multi-tasking, murah senyum, berpenampilan dan kepribadian menarik, dst. …dan kita teringatkan kembali akan soft skills; memang, ia adalah aspek feminin dari keterampilan kerja! Nah, persoalan bagi laporan Bank Dunia ini malah bagaimana menguniversalkan lebih lanjut lagi, mengukurnya, dan mengomodifikasinya.

Ruth Cowan, dalam buku More Work for the Mother: The Ironies of Household Technology from the Open Hearth to the Microwave (1983) menunjukkan betapa janji teknologi domestik untuk mengurangi kerja perempuan justru membuat mereka bekerja lebih banyak lagi: setelah pulang kerja dari luar, mereka tetap harus menjaga anak, memasak, dan meladeni suaminya (kerja-kerja reproduktif yang tidak akan pernah dibayar kapitalisme). Demikian pula Fortunati dalam karya-karya belakangannya tentang robot (“Robotization and Domestic Sphere,” 2017), menyoroti betapa peningkatan otomasi ke sektor-sektor sosial (rumah tangga dan kesehatan, misalnya) hari ini, justru merupakan kelanjutan proyek kelas untuk menguasai jantung sosial produsen daya reproduktif dari kerja (yang membuat suplai daya kerja lestari). Setelah sukses mengapitalisasi feminitas perempuan, mempekerjakannya dan memberlakukannya secara universal,[5] kali ini teknokapitalisme ingin merangsek lebih dalam lagi ke intimitas relasi sosial masyarakat yang salah satu pilarnya adalah keluarga. Keluarga adalah simbol cinta, perhatian dan perawatan; ia memegang peran sentral dalam edukasi, pendewasaan dan kesehatan; membuatnya menjadi suatu no-regret investment bagi Bank Dunia. Sayangnya, laporan ini belum mampu menunjukkan ukuran pasti bagi investasi ke aspek feminin dan soft dari keterampilan kerja ini; belum ada rezim ukuran yang mampu mengukurnya secara pas, dan belum ada sistem jejaring saraf artifisial yang mampu mengajari mesin keterampilan ini.

Saya agak grogi, tapi saya cukup berani bertaruh sejago-jagonya seorang neurosaintis yang fundamentalis mengatakan bahwa semua keterampilan sosial tak lebih dari sekadar korelat saraf, dan secanggih-canggihnya programmer kecerdasan buatan mampu memprediksi prilaku sosial dan bahkan mereplikasi jejaring kemungkinannya dalam otak robot, tetap saja keterampilan sosial tidak akan bisa benar-benar dimesinkan.[6] Namun demikian, dilema dan pertaruhan macam ini tidaklah penting! Sekali lagi, tidaklah penting! Karena, taruhlah memang robot-robot ini mampu mengakusisi soft skills secara jauh lebih baik dari manusia, bukankah hal itu baik? Bukankah akhirnya manusia benar-benar terbebas dari bekerja, sehingga bisa lebih berkonsentrasi mengembangkan sains, seni, teknologi, dan relasi sosial sementara semua pekerjaan administratif bahkan pemerintahan dikerjakan robot?

Itulah mengapa dilema konservatisme dan fundamentalisme bahkan bigotisme tentang humanisme ini harus disudahi. Karena ia hanyalah isu yang mendistraksi kita dari persoalan sebenarnya: yaitu monopoli agenda perancangan, peruntukan dan penguasaan kendali penciptaan dan pengerahan robot-robot dan mesin-mesin otomasi produksi. Selama agenda otomasi tidak di tangan kita pekerja, maka seluruh artifak teknologi akan selalu memusuhi kita: merebut pencaharian (menggantikan pekerjaan omong kosong kita), memiskinkan kita (karena terus mengeruk uang kita), melukai kita (karena desain yang tidak manusiawi), dan limbah dan sampahnya merusak alam. Sebaliknya, apabila agenda otomasi ada di tangan kita kelas pekerja, maka senarai teknologi ini akan membebaskan kita dari kerja, dan memberi kita waktu lowong (disposable time) yang banyak.

Tentang waktu lowong, Marx menulis dengan sangat indah:

“Maka, menjadi jelas bahwa pekerja tidak lain adalah daya-kerja (labor-power) untuk sepanjang keseluruhan hidupnya, dan oleh karenanya seluruh waktu lowongnya adalah pada prinsipnya waktu-kerja (labor-time), untuk diabdikan kepada pengayaan nilai (valorisasi) Kapital. Waktu untuk pendidikan, untuk perkembangan intelektual, untuk pemenuhan fungsi-fungsi sosial, untuk pergaulan sosial, untuk bermain-main dengan vitalitas tubuh dan pikiran, bahkan waktu istirahat akhir pekan–oh sungguh bodohnya! [..] Kapital [..] merampas waktu untuk pertumbuhan, perkembangan dan perawatan kesehatan tubuh. Ia mencuri waktu yang dibutuhkan untuk menghirup udara segar dan mentari pagi. Ia menawar-nawar jam makan, dan jika memungkinkan akan dimasukkan juga ke dalam proses produksi itu sendiri, sehingga makanan dipakankan kepada pekerja layaknya alat-alat produksi, seperti batu bara ke ketel uap, dan minyak pelumas ke mesin-mesin. Ia memotong waktu tidur nyenyak yang dibutuhkan untuk penyegaran, pembaharuan, dan pemulihan daya vital sampai hanya sebanyak waktu estivasi [hibernasi, torpor] yang dibutuhkan untuk menghidupkan kembali organisme yang kehabisan tenaga. Pada dasarnya bukanlah perawatan normal daya-kerja yang menentukan batas-batas jam/hari kerja, melainkan seluruh kekayaan kemungkinan penggunaan harian daya-kerja tersebut yang membatasi” (Marx, Capital, Vol. 1, hal. 375-6).

Di Grundrisse, Marx lebih jelas lagi menghubungkannya apa yang disebut anak zaman now sebagai ‘pengembangan diri’.

“The free development of individualities, and hence not the reduction of necessary labour time so as to posit surplus labour, but rather the general reduction of the necessary labour of society to a minimum, which then corresponds to the artistic, scientific etc. development of the individuals in the time set free. [..] Kekayaan bukanlah penguasaan jam kerja surplus, melainkan waktu lowong di luar yang dibutuhkan untuk produksi langsung, baik untuk setiap individu dan juga keseluruhan masyarakat.” (Marx, Grundrisse, hal. 706).

 

Pengembangan Diri dan Masa Depan

Kembali ke Bank Dunia dan ambisinya menguasai soft skills. Jangan-jangan Marx memang memperingatkan kita, bahwa karena sumber dari kerja manusia sebenarnya adalah kerja hidup, yaitu soft skills, alias aspek feminin dari kerja, dan sialnya bagi kapitalis, ini semua tidak bisa diotomasi secara sempurna, maka ia akan mati-matian memburunya. Di pengantar laporan, Bank Dunia menyamakan antara kurangnya investasi modal manusia dengan “the lost productivity of the next generation of workers.” Produktivitas yang hilang ini tentunya adalah produktivitas dalam artian menambah tingkat akumulasi profit dari pemodal tentunya, dan bukan, produktivitas—dengan hard dan soft skills yang sama—untuk kerja-kerja serikat, koperasi dan program-program revolusioner. Laporan ini sudah menyadari, pengembangan diri itu tidak tunggal, dan bahwa diri yang berkembang itu juga tidak lantas mengabdi pada kapital; itulah kenapa investasi modal manusia adalah instrumen kendali biopolitis untuk menyekap, menyandera, dan mengarahkan pembiakan soft skills semenjak “perkembangan anak usia dini” karena “ini adalah cara paling efektif untuk membentuk keterampilan yang berharga bagi pasar tenaga kerja masa depan” (hal. 10).

Sehingga jelas, apa yang saat ini hendak dan sedang dan akan selalu diupayakan kapital untuk dirampas dari manusia lewat otomasi dan perkodingan dan mesin-mesin pembelajar BUKANLAH semata-mata nilai kerjanya. Itulah mengapa membingkai eksploitasi sebagai sekadar pencurian nilai kerja tidak akan membawa gerakan dan seruan pekerja kemana-mana. Karena pasalnya, yang dicuri oleh kapital sebenarnya adalah “kekayaan kemungkinan penggunaan harian daya-kerja” (the greatest possible daily expenditure of labour-power). Adalah masa depan non-eksploitatif, non-kerja omong kosong, non-kerja-upahan; atau masa depan yang mana manusia memiliki seluruh waktu luang untuk bebas mengembangkan diri dalam artian pasase Marx di atas; singkatnya, kemungkinan masa depan yang non-kapitalis yang coba diantisipasi kapitalisme dan dihapuskan kemungkinan keberadaannya dari ingatan seluruh rakyat pekerja.

Bisa jadi kapitalisme sudah menyadari kontradiksi bergerak (moving contradiction) ini yang pada waktunya akan membatalkan sendiri kapitalisme dengan secara total menghapuskan kerja manusia dan mengalihkannya ke kerja robot. Akibatnya, ia harus mencari-cari cara untuk tetap memegang kendali masa depan otomasi kapitalis. Elon Musk misalnya, yang konon salah satu rasul masa depan teknoutopia 4.0 bla bla, ketimbang mengatakan bahwa robot-robotnya kelak akan membebaskan umat manusia dari kerja, ia malah mengatakan bahwa manusia seharusnya bekerja 80 jam seminggu (dua kali lipat dari yang berlaku saat ini; artinya dua kali lipat lebih bullshit dari bullshit jobs Graeberian kita saat ini).

Barisan terdepan pertentangan kelas di medan teknologi menariknya hampir tidak teknologis sama sekali, melainkan lebih human-is, atau lebih tepatnya, feminis[7]; adalah soft-skills, kerja-kerja feminin, kreativitas dari kerja dan ke-hidup-an dari kerja-kerja manusia yang membuatnya suatu daya potensi kemungkinan tak terbatas. Adalah soft skills yang saat ini sedang berlomba-lomba diserbu otomasi kapitalis; sekalipun hal itu belum begitu berhasil—penelitian Future of Jobs 2018 dari World Economic Forum yang banyak dikutip pun belum melihat hal ini setidaknya dalam lima tahun ke depan (hal. 11). Hal ini nampaknya mengonfirmasi seruan Focaultian dari Hardt dan Negri, bahwa dalam setiap penundukan teknologis akan selalu ada resistensi kerja hidup; soft skills atau living labor berpotensi menjadi lonceng kematian bagi seluruh rezim kerja kapitalis; ia berpotensi menjadi senjata ampuh bukan hanya menggebrak meja tawar-menawar kerja dengan kapitalis, melainkan bahkan untuk mengambil alih seluruh semesta teknosains dari kapitalisme. Kelak, dalam suatu skenario masa depan decopunk yang saya dambakan, soft skills ini yang bisa menjadi sarana pemersatu manusia dan robot dalam sistem sosial kolektif 4.0 (AI-based), bahkan 5.0 (AI + transhuman augmented intelligence).

Namun, sebelum bermimpi lebih jauh, problemnya kemudian: apa agenda politik kita kelas pekerja dalam mengeksploitasi balik soft skills ini dan merebutnya dari incaran kapitalisme?***

 

Hizkia Yosias Polimpung adalah peneliti di Koperasi Riset Purusha dan editor IndoPROGRESS

** Tulisan ini juga merupakan refleksinya selama menjadi fasilitator workshop Complex Problem Solving dan Emotional Intelligence.

 

———-

[1] Sudahlah, Anda pasti terlalu malas untuk menggali lebih jauh tentang kondtradiksi yang disebut Marx di Grundrisse (hal. 706) sebagai ‘kontradiksi bergerak’ (moving contradiction). Pokoknya, intinya, gampangnya, selalu akan ada kontradiksi antara: 1) upaya kapitalis untuk melakukan R&D dengan ilmuwan-ilmuwan dan periset-perisetnya untuk menciptakan teknologi kerja mutakhir (INGAT, yang selalu dimodel dari kerja hidup) sehingga bisa memangkas pekerja itu sendiri, dengan 2) kenyataan bahwa kekayaan kapitalis hanya didapat dari pencurian nilai atas waktu kerja berlebih (surplus labor time) pekerja yang adalah orang hidup dan bukan entitas teknologis seperti mesin, algoritma atau robot. Nah, pembacaan pekerjais, Negri misalnya, adalah bahwa kontradiksi ini menunjukkan betapa seluruh rezim pengukuran nilai dari kerja akan selalu krisis, karena memang pada dasarnya vitalitas dan kreativitas dari kerja hidup akan selalu berontak terhadap setiap formula takaran kapitalis.

[2] Banyak perdebatan mengenai batasan keterampilan keras (hard skills) dengan lunak, yang tentunya bukan cekcok berarti dari perspektif argumen yang mau dibahas di artikel ini.

[3] “We mean by labour-power, or labour-capacity, the aggregate of those mental and physical capabilities existing in the physical form, the living personality, of a human being, capabilities which he sets in motion whenever he produces a use-value of any kind.” Marx, Capital, vol. 1, 270.

[4] Poin ini, lihat Cristina Morini, “The Feminization of Labour in Cognitive Capitalism,” Ephemera, 2007.

[5] Lagi, lihat Cristina Morini, Ibid.

[6] Saya tidak punya banyak tempat menjelaskan, namun argumen saya banyak terinspirasi dari Matteo Pasquinelli, Alleys of Your Mind: Augmented Intelligence and Its Traumas, 2015. Buku ini menunjukkan bahwa manusia memiliki model intelijensia yang berbeda dari mesin terpintar sekalipun, yaitu bahwa ia bisa salah. Mesin tidak bisa salah; apabila ia salah, ia rusak. Namun tidak bagi intelijensia manusia. Ia trauma, lalu belajar darinya.

[7] Tidak dalam artian politik identitas; melainkan lebih ke artian tekno- atau xeno-feminis, yaitu dalam artian merebut sarana reproduksi, berikut teknologi-teknologi otomasinya yang termutakhir: mulai dari biologis, molekular, sosial, bisnis, sampai filosofis; mulai dari rahim buatan, hormon, alat pel AI sampai planetary scale computation. Lih. The Shulamith Firestone, Dialectic of Sex: The Case for Feminist Revolution, 1970; Laboria Cuboniks, Xenofeminist Manifesto: A Politics for Alienation, 2015; Helen Hester, Xenofeminism, 2018.

]]>
Tentang “Publik”-nya Kebohongan Publik https://indoprogress.com/2018/10/tentang-publik-nya-kebohongan-publik/ Mon, 15 Oct 2018 09:28:39 +0000 https://indoprogress.com/?p=20024 Kredit ilustrasi: Megapixl

 

KONON, Ruang Publik adalah ruang deliberasi, yaitu ruang di mana orang mengartikulasikan kepentingan dan aspirasinya dalam suasana demokrasi. Problemnya kemudian adalah bagaimana mengafirmasi, mengemansipasi, menginklusi, dst., dsb., sebanyak mungkin orang—atau setidaknya perwakilannya—ke ruang publik ini. Setidaknya inilah yang dipercaya oleh filsuf Jurgen Habermas dan para pembela demokrasi yang bertradisikan deliberatif ini. Namun demikian, sisi lain dari ruang publik ini penting untuk juga dimaklumi dan dipertimbangkan sebagai pembelajaran politik: yaitu bahwa ruang publik juga adalah ruang deliberasi kebohongan. Saya akan hadirkan tiga kisah dari para hoaxster terkini untuk menunjukkan hal ini.

 

Para Hoaxsters Terkini

Kasus Ratna Sarumpaet yang mengumbar hoax bahwa dirinya dianiaya adalah salah satunya. Ke beberapa tokoh politik nasional, ia mengaku dianiaya. Sontak hal tersebut membuatnya memanen simpati dan pembelaan. Namun apa daya kebohongannya tidak dapat membendung upaya-upaya verifikasi. Alhasil, ia terdesak untuk mengakui bahwa ia adalah “pencipta hoax terbaik” di negeri ini. Ia pun akhirnya harus menghadapi UU Pidana dan UU ITE dengan tuduhan memicu kegaduhan publik.

Kasus kebohongan publik lainnya, yang juga belakangan muncul, adalah kasus Sokal Hoax jilid dua. Sokal hoax merupakan insiden hoax yang dilakukan fisikawan Alan Sokal pada pertengahan 1990an, saat ia mengirimkan artikel yang sepenuhnya bohong ke Social Text, jurnal top tentang kajian budaya (cultural studies). Alasan Sokal adalah ia ingin membuktikan betapa para ilmuwan humaniora telah serampangan dalam menggunakan istilah-istilah sains tanpa pemahaman dan penggunaan yang bertanggung-jawab. Dengan menerbitkan artikel hoax, Sokal ingin membuktikan keserampangan ini. Dan ia berhasil.

Kali ini, tiga orang ilmuan hoaxster juga melakukan hal seperti yang dilakukan Sokal dan dengan motivasi yang sama. Bedanya, menurut mereka, ilmuwan humaniora masih perlu Sokal hoax lainnya karena ternyata mereka belum “kapok” juga. Alhasil, mereka menulis total 20 artikel dan mengirimkannya ke jurnal-jurnal kajian budaya yang top. Dari 20 itu, tujuh di antaranya sudah diterima dan diterbitkan. Menyambut penerbitan hoax tersebut, mereka membeberkan aksi mereka di salah satu terbitan populer, Areo.

Kasus kebohongan ketiga terjadi di dunia fesyen. Seorang penulis VICE, terbitan populer, bernama Oobah Butler baru-baru ini mencoba menguji kekebalan industri fesyen terhadap hoax. Tidak main-main, ia menarget Paris Fashion Week (PFW), salah satu ajang fesyen ternama dunia di Prancis. Caranya, ia mengambil beberapa helai pakaian dari pasar tradisional yang menjual barang-barang “KW”; untuk aksi kali ini, ia memilih pakaian bermerek Georgio Peviani yang diduga-duganya sebagai palsuan dari merek kenamaan Giorgio Armani. Singkat cerita Butler berhasil mendapatkan nametag peserta bernamakan “Georgio Peviani”: fesyen hoax-nya berhasil diterima di PFW.

Butler dengan piawai bergaul dengan para desainer, model, dan blogger. Ia berhasil merayu model-model untuk mengenakan pakaiannya; ia pun berhasil dibahas di ulasan-ulasan para blogger fesyen populer; ia juga sukses mewarnai Instastory dari banyak pengunjung dan orang dalam PFW. Semuanya dilakukannya dengan “mengendarai” Georgio Peviani. Setelah sukses, ia pun mencari pemilik Georgio Peviani yang sesungguhnya. Ia mewawancarainya, dan akhirnya membeberkan kebohongan publiknya melalui video pendek yang diunggah di VICE.

 

Publik?

Ketiga cerita ini mungkin segera memantikkan pertanyaan: bagaimana mungkin para tokoh nasional, jurnal-jurnal top kajian budaya, dan Paris Fashion Week tidak menyadari hoax ini? Sayangnya, jika ini pertanyaannnya, maka kita menanyakan hal yang salah! Ketiga hoax ini, dan juga hoax lainnya di kancah publik, seharusnya mampu memantik kita untuk memikirkan ulang sifat dan watak dari ruang publik. Kali ini wataknya sebagai ruang hoax, ruang deliberasi kebohongan publik.

Memang, agak sulit bagi kita yang dibesarkan dalam tradisi yang disebut Marx sebagai Jiwa-Jiwa Cantik (beautiful soul). Jiwa cantik selalu merasa dunia ini kotor, sementara ia bersih. Dari posisi bersih ini ia meratapi, mencela, menyesalkan, dan bahkan—menggelikannya—mendoakan realita yang kotor ini. Bagi seorang jiwa cantik, masalah adalah selalu di sana; tidak pernah ia melihat dirinya di sini sebagai sang masalah. Alhasil, seorang jiwa cantik akan kesulitan untuk membiasakan dengan kenyataan objektif bahwa ternyata ruang publik adalah efek deliberasi “demokratis” akan kebohongan publik.

Setidaknya tiga hal dari cerita hoax di atas yang bisa membantu sang jiwa cantik ini siuman dari delusi ruang publiknya. Pertama, jika memang benar kata Habermas bahwa ruang publik adalah ruang deliberasi yang menjunjung tinggi rasionalitas dan kepentingan bersama, maka ketiga hoaxster di atas sebenarnya memperjelas maksud Habermas ini: yaitu bahwa rasionalitas dan kepentingan bersama ini cukup hanya seolah-olah saja. Selama argumentasi, pembawaan, dan komunikasi para hoaxster seolah-olah rasional dan seolah-olah berorientasi kepentingan publik, maka ia sah menjadi rasional dan berorientasi publik. Jika tidak, bagaimana mungkin tokoh-tokoh nasional yang mulia, jurnal-jurnal ilmiah, dan dewan PFW bisa “masuk angin” karena hoax? Hoax adalah seni tersendiri, karena ia harus mampu membungkus kebohongan secara rapi (baca: rasional dan publik).

Kedua, ruang publik ironisnya tidak memungkinkan kita untuk jujur. Sederhana: bisakah Ratna Sarumpaet mendapatkan simpati publik karena wajahnya yang sebenarnya lebam gara-gara operasi ketimbang dianiaya; atau akankah ketiga ilmuwan mendapati tulisan-tulisan hoax-nya dipublikasikan di jurnal apabila ia menyatakan bahwa artikelnya adalah kengawuran belaka yang disengaja; atau mungkinkah Oobah Butler dapat masuk PFW apabila ia jujur tentang pakaiannya yang didapat di pasar? Kita semua tahu bahwa jawabannya: tentu tidak! Hal serupa bisa kita aplikasikan ke SELURUH insan-insan publik yang menghiasi pelataran publik dengan statemen-statemen publik mereka ke publik. Mungkinkah mereka ter-publik-asi apabila mereka benar-benar menyatakan yang sebenarnya?

Ketiga, dan ini cukup menyinggung kelas pekerja, yaitu bahwa untuk menjadi publik, sesuatu/seseorang harus mengendarai banyak prasyarat yang hanya bisa diakses oleh modal-modal yang tidak kecil. Ratna tidak mungkin mendapat simpati publik apabila ia tidak memiliki modal sosial berupa jejaring tokoh-tokoh tenar; begitu pula para ilmuwan hoaxster harus mengakuisisi modal kultural pengetahuan untuk bisa secara “intelek” menyamarkan kengawuran mereka seturut standar jurnal ilmiah internasional; tak terkecuali Oobah Butler yang ditopang dana dan akses pergaulan untuk bisa menyusup dan menyelundupkan barang KW ke ajang fesyen bergengsi. Tanpa fasilitasi-fasilitasi modal, agak mustahil kita bisa menjadi “publik.” Sial nian, memperjuangkan kepentingan di ruang publik ternyata adalah berkat posisi kelas kita di masyarakat.

Tapi, rakyat pekerja sedunia tidak sebaiknya melihat perjuangan “publik” sebagai jalan buntu karena fakta dan terkaan saya ini. Pasalnya, hal ini mesti dipertimbangkan sebagai pertanda bagi kita semua untuk mulai bertobat dan menginsafi virus jiwa-jiwa cantik yang endemik di masyarakat. Sembari berlatih untuk bertobat dan insaf, kita bisa mulai menggunakan perangkat berpikir kita untuk melampaui ke-publik-an ruang publik ini.

 

Setelah Jiwa Cantik

Setidaknya dua hal yang bisa kita pikirkan dan diskusikan dalam rangka terus memajukan perjuangan kelas kita rakyat pekerja. Pertama, kita perlu merumuskan ‘kegunaan-kegunaan revolusioner dari hoax’; karena hanya dengan hoax saja kita bisa mengakses ruang publik dan memetik keuntungan dan fasilitas yang dimungkinkannya. Hal ini sekaligus memberikan definisi baru mengenai ruang publik yaitu bahwa memang, pada dasarnya, ruang publik adalah ruang deliberasi kebohongan. Tidak pernah ia merupakan ruang deliberasi rasional; kebenaran yang dijunjungnya adalah konsensus kebohongan publik. Oleh karena itu, jika memang kita teryakinkan bahwa ruang publik perlu untuk diperjuangkan, maka salah satu langkah awal yang perlu dipertimbangkan adalah penggunaan hoax. Tentu saja, penggunaan hoax ini bersifat revolusioner, dalam artian ia harus bisa dipertanggung-jawabkan kepada rekan seperjuangan bahwa ia merupakan batu lompatan strategis (dan bukan oportunis) menuju ide-ide revolusi.

Kedua, bagi yang ingin menjauhi ruang publik, hal yang perlu ditekankan adalah bahwa hal tersebut bukanlah karena efek dari kumatnya virus jiwa-jiwa cantik. Seringkali kita menjauh dan cuci tangan dari “politik” karena ia kotor (dan kita bersih). Tentu saja hal ini bukan hanya menggelikan, melainkan ia sama sekali gagal memberikan pendasaran rasional akan tindakannya. Karena itu, diperlukan suatu strategi kontra-, atau bahkan ekstra-publik yang sudah pasti akan berhadapan dengan kenyataan-kenyataan dan kebenaran-kebenaran objektif yang tidak akan pernah kompatibel dengan logika deliberasi kebohongan dari ruang publik. Adalah ‘penggunaan ekstrapublik akan kebenaran’ yang perlu kita pertimbangkan: bagaimana kebenaran dan kenyataan objektif (saintifik, logis) bisa digunakan untuk mengorganisir rakyat pekerja yang tercerai-berai dan mulai memikirkan strategi untuk memperjuangkan kepentingan kelas pekerja.

Dua hal ini, tentu saja, hanya bisa singgah di benak kita apabila kita sudah menengking jauh-jauh efek jelek dari jiwa-jiwa cantik, tidak hanya bagi kesehatan jiwa kita, melainkan juga bagi spirit perjuangan kelas pekerja.***

 

Hizkia Yosias Polimpung adalah Peneliti di Koperasi Riset Purusha dan Editor IndoPROGRESS

]]>
Apa Yang Dibutuhkan Untuk Tidak Ikut-ikutan Meributkan Dollar? https://indoprogress.com/2018/09/apa-yang-dibutuhkan-untuk-tidak-ikut-ikutan-meributkan-dollar/ Mon, 10 Sep 2018 00:40:14 +0000 https://indoprogress.com/?p=19834 Kredit ilustrasi: salasanews.blogspot.com

 

PERLUKAH kita meributkan tren melemahnya rupiah terhadap dollar? Bisa ya, bisa tidak. Mungkin tergantung pada banyak hal. Jika kita pemilik dollar dalam jumlah “kacangan,” insting ekonomi kita pasti mendorong kita untuk ikut meributkan kapan waktu yang tepat untuk melepas dollar-dollar kita yang tidak seberapa itu demi rupiah yang lebih banyak. Namun jika Anda pemilik dollar kelas “kakap,” hampir tidak mungkin Anda tidak meributkan rupiah: pasalnya, tidak mungkin Anda memegang dollar ratusan ribu bahkan jutaan jika cara Anda “cari makan berlian” tidak berhubungan dengan dollar.

Menariknya, di keseharian, saya tidak banyak melihat rembesan “darah” rupiah itu. Harga BBM dan kebutuhan sehari-hari, yang juga sehari-hari dekat di hati dan kantong masyarakat kelas menengah ke bawah, juga relatif biasa-biasa saja. Alhasil, jarang saya dengar/jumpai perbincangan seputar rupiah dan dollar ini di warung saya biasa makan atau kedai saya biasa ngopi dan laptopan. Jika saya tidak bias karena ke-kuper-an saya, maka bisa dipastikan bahwa secara sosio-ekonomi, perlu tidaknya ikut ribut soal dollar adalah bergantung dari kelas mana Anda berasal. Alhasil, Anda perlu punya banyak dollar untuk ikut-ikutan meributkan dollar. Dengan lain kata, Anda perlu ada di kelompok kelas menengah atas, bahkan atas sekali!

Tapi pandangan ini pun menjadi perlu dipertanyakan lagi, karena apabila kita masuk ke dunia maya: “pengen gue banting aja ini HP, timeline isinya dollar-dollaran terus,” keluh seorang kolega saya. Saya beruntung memilih untuk mem-follow akun-akun dagelan saja di Twitter, dan jarang membuka Facebook sehingga saya tidak ikut terpapar fenomena “mendadak ekonom”-nya para warganet. Dipertanyakan: karena saat isu melemahnya rupiah ini digoreng untuk saling serang kubu yang akan bertanding di pilpres 2019, ternyata kelas menengah ke bawah juga banyak yang ikut ribut—setidaknya yang saya temui di linimasa saya. Artinya, Anda perlu menjadi pendukung setia petahana atau penantang yang akan bertanding di pilpres tahun depan untuk ikut meramaikan perdebatan—jika bisa dikatakan demikian—mengenai dollar-dollaran ini.

Namun demikian, ketidak-perluan kelas menengah ke bawah untuk ikut meributkan dollar ini, menyedihkannya, bukan hanya karena konon pemerintah dan BI bekerja keras melindungi (yang suudzon-nya tentu saja untuk menjaga kredibilitas petahana di Pilpres mendatang). Melainkan juga karena posisi kelasnya yang kurang diuntungkan oleh ekonomi! Saya pribadi inginnya adalah bahwa saya berada pada posisi yang diuntungkan oleh ekonomi—yang memang tidak lagi mensyaratkan kelas—dan bisa hidup tentram tanpa perlu ikut-ikutan cebong dan kampret beradu “data” finansial tentang topi siapa yang paling bundar.

Keinginan inilah yang melatar-belakangi judul di atas: “apa yang dibutuhkan untuk tidak ikut-ikutan meributkan dollar?” Jika ditarik dari keinginan saya barusan, berarti hal yang diperlukan adalah suatu ekonomi yang di dalamnya saya sejahtera tanpa mengorbankan kesejahteraan orang lain. Dan karena ekonomi hari ini tidak mungkin ada tanpa adanya kelas dan ketimpangan akannya, maka sudah bisa dipastikan bahwa kita perlu sistem ekonomi alternatif yang kongkrit. Sayangnya saat ini kita tidak/belum punya.

Apapun alternatifnya, yang pasti ia harus memungkinan saya dan Anda sekalian untuk bisa sejahtera dalam masyarakat tanpa pengkelasan sosio-ekonomi dan juga untuk tidak ikut-ikut meributkan dollar.

Mengikuti salah satu saran Mark Manson, penulis buku laris The Subtle Art of Not Giving a F*ck (terbitan terjemahannya, Sebuah Seni untuk Bersikap Bodo Amat), untuk not giving a F* (bersikap bodo amat) terhadap sesuatu maka kita harus giving a F* (bersikap peduli) pada hal lain yang lebih penting. Sistem ekonomi lain yang tidak memerlukan hegemoni dollar, atau rupiah dan mata uang manapun, tentunya adalah yang harus dikualifikasi sebagai hal yang lebih penting tadi. Hanya orang-orang yang tidak memiliki hal yang penting untuk dikerjakan, difokuskan dan diperjuangkan saja yang, menurut Manson, akan mempedulikan banyak hal.

Sehingga bisa kita simpulkan satu lagi terkait perlu tidaknya meributkan dolar, yaitu bahwa Anda harus benar-benar tidak memiliki strategi, atau setidaknya gagasan, atau selemah-lemahnya iman, imajinasi mengenai alternatif sistem keuangan bagi ekonomi. Ya, Anda harus semenyedihkan itu. Ekonomi yang alternatif ini tentu saja harus memenuhi kualifikasi bahwa setiap orang bisa hidup sejahtera dalam masyarakat yang tidak mensyaratkan kelas-sosial dan bahwa setiap orang itu juga memiliki ketidak-perluan untuk meributkan dollar.

Pertanyaan kita kemudian sederhana, bukankah terlebih penting bagi kita untuk lebih memedulikan sepinya imajinasi sistematis, gagasan kongkrit, dan bahkan strategi serius untuk mewujudkan kehidupan sosio-ekonomi yang tanpa kelas dan sudah pasti tanpa dollar, ketimbang harus merapat ke barisan cebong dan/atau kampret dan menjadi ekonom dadakan? Karena saat kita memiliki gagasan kongkrit dan strategi yang terukur untuk mulai membangun tatanan sosial-ekonomi yang tanpa kelas dan juga tanpa rezim alat tukar berbasis uang, di situlah kita akan dapat bodo amat terhadap dollar. Sebaliknya, semakin kita peduli dengan dollar dan goreng-gorengan politiknya, semakin pula kita bodo amat dengan kenyataan bahwa kita miskin imajinasi, fakir gagasan dan defisit strategi untuk merumuskan, merencanakan dan mengeksekusi sejarah revolusioner menghapus tatanan ekonomi berbasis ketimpangan kelas ini. ***

 

Hizkia Yosias Polimpung, Peneliti di Koperasi Riset Purusha

]]>