Felix Nathaniel – IndoPROGRESS https://indoprogress.com Media Pemikiran Progresif Sat, 23 Dec 2023 00:36:06 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.4.3 https://indoprogress.com/wp-content/uploads/2021/08/cropped-logo-ip-favicon-32x32.png Felix Nathaniel – IndoPROGRESS https://indoprogress.com 32 32 Pemanfaatan Biomassa Memperbesar Ancaman Krisis Pangan di Bangka Belitung https://indoprogress.com/2023/12/pemanfaatan-biomassa-memperbesar-ancaman-krisis-pangan-di-bangka/ Sat, 23 Dec 2023 00:36:06 +0000 https://indoprogress.com/?p=237881 Ilustrasi: Illustruth


EMBER Mas’ud sore itu, Jumat 14 Juli 2023, hanya terisi puluhan butir cabai setan. Hari itu dia sebenarnya sekadar memeriksa kebunnya yang tersebar di beberapa lokasi. Dia tahu pertengahan tahun bukan waktu terbaik untuk menikmati hasil panen, tapi tak ada salahnya mengembangkan asa.

Setelan Mas’ud ke ladang biasanya sama: celana panjang dan kaus oblong. Tapi kebetulan hari itu dia pakai kaus polo yang sudah tak jelas warnanya, putih yang sudah tercampur hitam akibat kerja di kebun. Masih soal penampilan, yang mencolok darinya adalah gigi yang bisa dihitung jari. Sepertinya tinggal lima. Saat dia tertawa atau membuka mulut, seluruhnya terpampang, ada di bagian atas. 

Di usia yang menginjak 63, badan kecil Mas’ud tak kenal lelah. Dia mengaku setiap hari pergi ke kebun. Bukan hanya Senin-Jumat, tapi juga Sabtu dan Minggu. “Gatal badan kalau tidak ke kebun, malah enggak tenang,” kata Mas’ud sumringah. 

Meski hari itu tak banyak memetik hasil, sebenarnya Mas’ud cukup puas. Lebaran tahun ini, tepatnya sekitar dua bulan lalu, dia berhasil memanen puluhan kilogram nanas. Mas’ud tak pernah menghitung berapa banyak persisnya yang dihasilkan, namun selama lebih dari 20 tahun hidup dari ladang, ia mengatakan selalu berkecukupan, mampu menghidupi istri dan tiga anak. 

Tapi fokus artikel ini bukan Mas’ud, melainkan apa yang terjadi di tempat dia bekerja. 

Sekitar 2,5 kilometer saja dari kebun Mas’ud, di Desa Air Duren, Kecamatan Mendo Barat, Kabupaten Bangka, Kepulauan Bangka Belitung, terdapat pabrik yang mengolah kayu menjadi kepingan kayu (wood chip). Setiap bulan, pabrik yang menurut warga dinaungi oleh kerja sama operasi (KSO) PT Biro Teknik Sinar Baru, Koperasi Energi Terbarukan Indonesia (Kopetindo) dan PT Solusi Energindo Inovasi itu menampung 1.500 hingga 1.600 ton kayu, bahkan jika tidak dibatasi jumlahnya bisa 5.000 ton. Kayu-kayu itu diambil dari hutan rakyat, hutan desa, dan juga hutan produksi melalui Kelompok Tani Hutan dan Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH). 

Jika satu truk memiliki daya tampung sekitar 5-6 ton, itu berarti setidaknya ada sekitar 300 truk mondar-mandir hampir tiap hari di kawasan tersebut. Untuk satu kali angkut, biayanya sekitar Rp800 ribu hingga Rp1 juta. 

Dari pabrik, kepingan kayu akan menyusuri jalan sekitar 17 kilometer ke PLTU Air Anyir. Ini adalah PLTU yang menggunakan teknik co-firing, yaitu tidak hanya menggunakan batu bara tapi biomassa, dalam hal ini tidak lain kepingan kayu tadi. Jadi dua bahan itu dibakar secara bersamaan pada rasio tertentu. Tujuan teknik yang dimulai tahun lalu ini adalah demi mewujudkan impian energi ramah lingkungan (green energy).

Penggunaan wood chip diprediksi akan terus bertambah. Berdasarkan data dari Trend Asia tahun 2022, Bangka Belitung sempat punya tiga perusahaan yang bisnisnya terkait dengan pemanfaatan hutan. Pertama, PT Bangkanesia dengan luas konsesi 51,2 ribu hektare (sekarang izinnya sudah dicabut). Kedua, PT Istana Kawi Kencana, pemegang konsesi seluas 13,4 ribu hektare. Lalu terakhir Inhutani V dengan luas konsesi 15,7 ribu hektare. Inhutani V sempat hendak menjalin kerja sama dengan Koperasi Energi Terbarukan Indonesia (Kopetindo) dengan luasan konsesi 7,4 ribu hektare pada 2021, namun urung. Sekarang, salah satu perusahaan yang dinaungi oleh Kopetindo, PT Maharaksa Biru Energi, memanfaatkan Hutan Tanaman Rakyat (HTR) untuk mengepul kayu akasia–satu dari enam tanaman yang telah ditetapkan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) sebagai tanaman energi. Luas lahannya diperkirakan mencapai 50 ribu hektare. 

Di Desa Air Duren sendiri ada PT Mentari Biru Energi, anak perusahaan PT Maharaksa Biru Energi, yang Juli lalu meresmikan pembangunan pabrik potongan kayu. Diproyeksikan, pabrik di lahan seluas 6.800 meter persegi ini akan mampu memotong kayu sebanyak 12 ribu ton per bulan. Artinya, akan lebih banyak pohon di Bangka Belitung yang harus ditebang dan disetor ke perusahaan. 

Tidak semua pohon bisa langsung dijadikan kayu potong. Untuk mencapai ukuran besar atau setidaknya siap panen, misalnya, akasia membutuhkan waktu 5-6 tahun. Sedangkan, tiap hari, ratusan ton akasia ditebang untuk wood chip

Trend Asia mencoba menghitung seberapa luas deforestasi yang mungkin terjadi. Jika luas areal tanamnya adalah 2.758.799 hektare, maka ada potensi deforestasi seluas 1 juta hektare. Dihitung juga biomassa selain akasia. Pemanfaatan kaliandra dengan luasan yang sama misalnya berpotensi menghasilkan deforestasi seluas 755 ribu hektare, gamal 2 juta hektare, dan eukaliptus 1 juta hektare.


Ogah Jadi Petani, Hilang Tradisi Behume

Kita kembali ke Mas’ud. Meski hasil panen masih mencukupi, dia punya kekhawatiran lain yang terkait dengan situasi di atas. Ketiga anaknya mulai berubah pikiran untuk melanjutkan pekerjaan di kebun semenjak mendengar informasi tentang adanya pabrik baru. 

Mas’ud tidak bisa melarang anak-anak untuk mencari kerja di perusahaan. Baginya, lebih bagus kerja di perusahaan yang minim risiko soal penghasilan. Lagipula dia mengaku banyak kesulitan untuk hidup sejahtera–kendati sendiri senang jadi petani. Mas’ud misalnya mengeluh tentang harga pupuk yang mahal. Tidak ada bantuan subsidi atau pupuk dari pemerintah. “Jadinya, kadang lebih banyak harga modal daripada produksinya,” kata Mas’ud yang meski mengeluh tetap mengatakannya sambil tertawa kecil. 

Risikonya tentu saja kebun yang sudah puluhan tahun dia urus akan terbengkalai. “Itulah, nanti tidak ada lagi yang jadi petani, tapi mau bagaimana lagi.”

Asih, Ketua Lembaga Adat Suku Mapur yang sudah lama berdiam di Desa Gunung Pelawan, Kecamatan Belinyu, Kabupaten Bangka, mengaku masyarakat setempat dahulu senang bertani dan berkebun. Mereka menanam salah satu bahan pangan yang paling penting, padi, secara gotong-royong. Tradisi ini mereka sebut sebagai behume

Dalam setahun, biasanya ada dua atau tiga kali panen. Dalam satu kali panen, Asih yang sudah menanam padi sejak 1980-an mengatakan bisa mengumpulkan hingga 300-an kilogram beras. Namun, di panen terakhir sekitar Februari lalu, jumlahnya hanya sepertiganya. Perubahan ini malah sudah terasa dalam 2-3 tahun terakhir. “Jangankan 3 bulan, seminggu dia habis,” ungkap Asih.

Ada sekitar 150 keluarga di Dusun Air Abik, Kecamatan Belinyu, dan hampir seluruhnya aktif berladang. Namun sekarang mereka mulai banting setir. Salah satu sebabnya karena menanam padi menjadi sulit. “Banyak hama, tikus dan segala macamnya. Kami percaya dari leluhur kami, hutan itu harus dilestarikan karena bisa mencegah penyakit dan hama. Namun, sekarang, karena hutan tergerus, hama itu jadi pengganggu utama,” katanya. 

Sama seperti Mas’ud, jika begini, Asih memperkirakan petani tak akan lagi jadi profesi umum. Ia tidak heran banyak warga yang akhirnya beralih pekerjaan. Masyarakat adat sendiri sekarang sedang mengembangkan sektor pariwisata dengan membuka penginapan yang dibantu oleh perusahaan timah. Sisanya memilih untuk bekerja di perusahaan timah atau malah membongkar lahannya untuk kebun sawit yang lebih menguntungkan dan mudah dirawat. “Itulah kekhawatirannya, tidak ada lagi tradisi behume di sini.”

Asih menganggap hal tersebut juga terjadi karena pemerintah kurang sigap mengawasi seluruh kawasan hutan. Oleh sebab itu, dia dan kawan-kawannya berharap kelompok adat dapat diberikan kewenangan untuk menindak penebang ilegal. “Dulu 2019 lebih parah, sekarang setelah ada (lembaga) masyarakat adat membaik. Tapi, kan, kami tidak punya kekuatan hukum. Begitu. Jadi sebenarnya kami berharap pemerintah bisa memberikan itu, karena bagaimanapun untuk mengawasi daerah yang sangat luas ini tidak bisa sendiri,” kata Asih lagi. 

Data dari Trend Asia menyebut bahwa di Bangka ada empat PLTU batu bara dan punya potensi dijadikan co-firing biomassa. Salah satu yang sudah aktif adalah PLTU Air Anyir yang telah dibahas. PLTU Air Anyir punya kebutuhan wood chip 20,46 ton per hektare tanah setiap tahun. Sedangkan lahan yang diperkirakan akan dipakai untuk produksi wood chip mencapai 1.020 hektare. Bagi orang seperti Mas’ud dan Asih, itu bukan sekadar angka. Itu tentang kehidupan mereka.

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.


Salah Kaprah Deforestasi?

Jika diukur melalui Indeks Ketahanan Pangan (IKP), maka Bangka Belitung masih terbilang baik dalam dua tahun terakhir. Pada 2019, Bangka Belitung menempati posisi ke-29 dengan skor 56,03. Tahun berikutnya bahkan menanjak ke posisi 21 dengan skor 71,21 dan tetap berada di peringkat yang sama tahun 2021 dengan angka 73,22. 

Namun bila diukur dari produktivitas padi, Bangka Belitung punya masalah besar. Produksi padi Bangka Belitung fluktuatif. Pada 2020, misalnya, padi yang dihasilkan adalah 57,3 ribu ton. Di tahun 2021 meningkat menjadi 70,4 ribu ton, tetapi kembali turun di tahun 2022 ke angka 61,4 ribu ton. Hanya satu yang konsisten: Bangka Belitung selalu berada di 10 peringkat terbawah produksi padi dalam beberapa tahun belakangan, tepatnya di posisi ke-6 dari bawah. 

Kepala Desa Air Duren Sawaluddin mengaku bahwa sebagian besar warganya adalah petani dan suka berkebun, sisanya berdagang. Namun, kehadiran perusahaan membuat banyak warga berbondong-bondong mengajukan permohonan kerja. “Sekarang sudah ada sekitar 60 yang mendaftar kepada saya,” kata Sawaluddin. Anak Mas’ud salah satunya.

Masuri mengaku pasrah dengan tindakan pemerintah yang terkesan lebih menomorsatukan program co-firing biomassa daripada pertanian. Dia tidak heran jika banyak teman-temannya yang akhirnya lebih memilih beralih ke tanaman lain selain padi ladang, atau bahkan bekerja untuk perusahaan tambang.  “Sekarang ini petani ladang sudah sedikit sekali.” 

Menurut data kantor Desa Pangkal Niur 2022, dari 900 hektare lahan desa, hanya 50 hektare yang merupakan lahan padi ladang dan 153 hektare padi sawah. Paling banyak dipakai untuk perkebunan kelapa sawit dengan luas 331 hektare. Saking minimnya, padi ladang dan padi sawah bahkan tidak tercatat hasilnya. Ini adalah gambaran kecil yang juga tercermin di level Bangka. Pada 2020 dan 2021, lahan panen padi memang meningkat menjadi 17,8 ribu hektare dan 18,2 ribu hektare, namun menurun jauh menjadi 15,1 ribu hektare tahun lalu. 

Bangka juga masih kesulitan memenuhi kebutuhan beras warga. Tercatat setidaknya sejak 2016 Bangka belum mampu swasembada beras. Pada 2023, dari 205.420 ton pasokan beras, semuanya impor. 

Data Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Bangka Belitung juga mencatat bahwa produksi perkebunan andalan seperti lada dan karet menurun, baik dari luas lahan ataupun hasil produksi. Hanya kelapa sawit yang meningkat baik secara luas lahan atau hasil produksi. “Selama timah masih ada dan harga menjanjikan/tinggi, maka tantangan sektor pertanian akan cukup berat,” kata Kepala Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan (DPKP) Bangka Belitung Edi Romdhoni. “Luasan sawah di Babel ini yang tercetak ada sekitar 22.400 hektare. Itu saja yang tertanam tidak lebih dari 10.000 hektare,” tambahnya. 

Dalam situasi itulah perusahaan seperti PT Maharaksa Biru Energi Tbk justru ingin menanam pohon untuk bahan baku wood chip seluas 50 ribu hektare. Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Bangka Belitung mengaku belum mengetahui soal rencana tersebut. Terkait soal kemungkinan ada penebangan ilegal dan mengganggu pertanian, Kepala DLH Bangka Belitung Feri Apriyanto tidak menjawab tegas. Dia menyerahkan sepenuhnya pada pemerintah pusat. “Kalaupun nanti ada proses perizinan berusaha di bidang kehutanan, maka dari kementerian pasti ada kajian-kajiannya sesuai ketentuan,” pungkas Feri. 

PLN mengklaim penggunaan teknologi co-firing biomassa batu bara mampu menekan emisi gas rumah kaca. Dari Januari-Februari 2022 saja, penggunaan co-firing mampu menekan 96 ribu ton gas Co2

Widi Pancolo, Project Director PT Mentari Biru Energi yang membuka pabrik wood pellet di Bangka, meyakini tidak akan ada dampak terhadap masyarakat dari pengambilan kayu-kayu di hutan. Selain karena nantinya perusahaan akan membangun hutan sendiri, pohon yang diambil merupakan hasil sisa kebun karet yang sudah tak menghasilkan. “Kami berkolaborasi dengan masyarakat. Jadi mereka kami libatkan. Dan targetnya juga lahan-lahan kritis di sana,” kata Widi kepada saya. 

Widi yakin, dengan memberdayakan hutan tanaman milik rakyat, maka tidak akan ada lagi risiko deforestasi karena pemanfaatan pohon akasia. Apalagi, día membebaskan masyarakat untuk menanam apa saja, bukan hanya akasia. “HTR itu, kan, dari lahan mereka sendiri. Jadi di luar perhitungan deforestasi dari lahan kehutanan. Ini yang perlu dimengerti,“ jelasnya. Padahal, HTR yang masuk dalam skema Perhutanan Sosial (PS) seharusnya masih termasuk dalam kawasan hutan–dan tentunya masuk dalam potensi deforestasi.


Felix Nathaniel, Jurnalis

]]>
Tambang Mengisap Hidup dan Asa Warga Pulau Obi (Bagian 2) https://indoprogress.com/2023/02/tambang-mengisap-hidup-warga-pulau-obi/ Tue, 31 Jan 2023 20:40:50 +0000 https://indoprogress.com/?p=237258 Foto: Bisnis.com


Artikel sebelumnya: Ambisi Mobil Listrik dan Hari-Hari Menderita di Pulau Obi

KAPAL nelayan yang keluar dari Pulau Obi, Halmahera Selatan, Maluku Utara, sekarang lebih mudah dihitung daripada jumlah pekerja smelter milik Harita Group, pemilik konsesi terluas di pulau ini, termasuk di Desa Kawasi.

Situasinya tentu tidak ujug-ujug demikian. Awalnya, nelayan adalah profesi yang paling mudah ditemui (dan ibu-ibu berkebun). Ini sesuatu yang lazim di daerah yang perairannya luas.

Salah satu nelayan yang masih bertahan adalah Anis, pria usia 60-an yang tinggal di Desa Kawasi sejak 2006. Hari itu dia termangu di depan pintu rumah setelah kembali dari laut. Hasil tangkapannya, seperti hari yang sudah-sudah, tidak seberapa. Jangankan dibagi untuk tetangga, memenuhi urusan perut diri sendiri saja masih sulit.

Penyebabnya tidak lain karena air laut yang sudah tercemar perusahaan.

“Sekarang sudah susah karena ikan tidak liat umpan, gelap. Kalau dulunya kita jauh besi sepenggal ke bawah ada umpan dia langsung tarik, sekarang ya setengah mati,” kata Anis kepada saya akhir Januari 2022.

Memang limbah-limbah dari perusahaan itu sering kali dialirkan ke laut. Di salah satu sisi perusahaan yang langsung bersentuhan dengan laut, misalnya, limbah disalurkan lewat pipa.

Diduga limbah itu berasal dari sedimentasi limbah ore nikel (nikel mentah) anak usaha Harita Group, PT Trimegah Bangun Persada, dan PT Gane Permai Sentosa–sekarang perusahaan bertambah satu, PT Halmahera Persada Lygend (HPL), yang juga anak usaha Harita Group. Bentuknya lumpur sehingga membuat lautan berwarna cokelat kemerahan.

Dalam beberapa kali kesempatan, saat musim hujan, pemandangan bibir pantai akan semakin mengerikan. Laut berwarna cokelat kemerahan akan terlihat sejauh mata memandang. Limbah-limbah diperkirakan terbawa arus.

“Karena limbah to, lautan merah,” ucapnya. “Sebatas perusahaan dari sana itu sampe di Haul Sagu (tempat PT Wanatiara Persada, perusahaan pengolahan biji nikel dengan investor asal Cina sama seperti Harita). Kalau kita ke pulau lain, kan, jernih karena tidak ada perusahaan.

Dahulu Anis sering melaut subuh dan pulang menjelang zuhur dengan tangkapan mencapai 20 hingga 30 kilogram ikan. Sekarang, jika beruntung, penghasilan per hari bisa mencapai Rp500 ribu. Jika tidak maka hanya cukup untuk makan.

“Sekarang, ya, 2 kilo saja sudah sudah boleh pulang. Sudah setengah mati mau taruh makan ini. Karena ikan tidak lihat umpan, karena dia kabur, kabur air merah,” keluh Anis.

Meski sering gigit jari, Anis tak punya pilihan selain bertahan dengan keahlian yang ia tempa semenjak keluar dari Bitung, Sulawesi Utara, puluhan tahun lalu. Dia dan istri tidak mungkin menjadi, misalnya, karyawan di perusahaan tambang sebab usia yang sudah tidak muda lagi. “Saya nelayan,” tegasnya. “Saya nelayan. Saya mancing.”

Kekecewaan Anis semakin dapat saya pahami usai ikut berlayar menemani Parigi (nama disamarkan) dengan kapal ketinting. Sudah beberapa hari dia tidak pergi memancing, dan kalau terus begitu, katanya, sebentar lagi “bisa marah mama.”

Dahulu Parigi bisa menangkap dengan membuat rompong, bangunan di tengah laut yang bisa jadi rumah ikan. Ditinggal semalam saja, ikan sudah banyak berkumpul dan dia tinggal angkut ikan yang dimau. Tapi sekarang, dengan pesisir pantai yang makin jorok dengan lumpur, hal itu hampir tidak mungkin lagi.

Di sekitar Pulau Obi, dekat pintu masuk PT HPL, Parigi dan rekannya menebar jala. Dia sibuk memainkan dayung membentuk lingkaran di air laut yang warnanya tercampur dengan tanah, sedangkan rekannya sibuk terus menjulur jaring. Hasilnya tak seberapa, paling banyak hanya 10 ikan kecil.

“Kita lanjut lagi ya,” katanya sedikit memaksa. Saya paham, di satu sisi dia tidak enak mengajak saya–yang tak terbiasa melaut–terapung selama hampir enam jam, tapi di lain sisi dia punya anak istri yang harus diberi makan.

Sampailah kami di Pulau Malamala. Jaraknya mungkin tak sampai satu jam dari pintu masuk Harita. Di sini belum ada perusahaan yang beroperasi. Setelah mengamati permukaan beberapa menit, Parigi langsung memukulkan dayungnya berkali-kali ke permukaan air. Dia menggiring ikan masuk ke dalam jaring. Tidak sampai 15 menit, 1,5 ember sudah terisi ikan–meski kecil-kecil. Ikan jenis tude itu kami santap malam itu.

“Kalau dulu, bisa lebih besar lagi, tidak harus ke Malamala juga,” ucap Parigi.

Nelayan Pulau Obi dari Desa Kawasi kian tersingkir. Mereka yang masih muda dan bertenaga juga tidak ingin bekerja seperti itu. Mereka menjadi buruh tambang atau pengolahan nikel–yang sebagian besar dikuasai Harita Group. Sekretaris Desa Kawasi Frans Datang mengaku kepada saya bahwa di daerahnya “nelayan sudah anggap su tidak ada kalau untuk warga kita.”

Dari 971 (2019) warga yang terdaftar di Kawasi, mayoritas hanya berkebun dan menjadi karyawan perusahaan. Frans memperkirakan sebanyak 60% warga yang masih bisa bekerja sudah direkrut perusahaan–termasuk di antaranya banyak anak muda. Dalam catatan lain, memang sekitar 66,7% penduduk Kawasi pekerjaannya erat dengan pertambangan.

Petani dan nelayan yang dahulu sempat banyak sekarang jumlahnya menurun drastis. Dalam catatan perusahaan di semester I (2021) saja ada 932 karyawan PT TBP. Jumlah ini meningkat 675 orang atau sebanyak 263% dari laporan semester sebelumnya.

Frans mengaku bahwa pada tahun 2016, ketika perusahaan menghentikan pekerjaan sementara, kondisi warga jadi lebih sulit. Mereka kembali jadi nelayan, tapi tidak ada lagi yang membeli hasil tangkapan. Sebaliknya, ketika perusahaan ada, ikan terjual berkilo-kilo karena disantap oleh karyawan. Bedanya, ikan-ikan itu justru berasal dari nelayan kawasan lain seperti dari desa tetangga, Desa Soligi.

“Dengan hadirnya perusahaan ini, yang kita punya, hasil tani [seperti] singkong, pisang, sekarang bisa diuangkan,” katanya yakin.

Perkataan Frans mungkin ada benarnya, setidaknya bagi dia sendiri. Rumahnya yang berasal dari hasil menjual lahan dan menjadi sekretaris desa terlihat layak dibanding warga lain–yang lantainya hanya sekadar beton tanpa keramik apa pun. Dia juga punya dua mobil sekelas Toyota Hi-Lux yang harganya tak kurang dari Rp250 juta–terparkir depan rumah. Dari empat anak, tiga di antaranya sudah berhasil disekolahkan sampai bangku kuliah.

Masalahnya tidak semua warga seperti Frans. Sebagian lain harus ikhlas anaknya jadi buruh tambang di Harita. Frans sendiri tak mau anaknya jadi seperti itu karena penghasilan di Kawasi sebenarnya tidak banyak–kontradiktif dengan pernyataan sebelumnya.

“Jadi biarpun masih kuliah didahulukan di sana juga pun,” kata Frans.


Cemaran Laut

Biota laut di sekitar Pulau Obi sudah terindikasi tercemar logam. Dalam penelitian Kontaminasi Logam Nikel (Ni) pada Struktur Jaringan Ikan (2021), Ketua Peneliti Pusat Studi Aquakultur Universitas Khairun, Muhammad Aris, menyebut di Desa Kawasi dan Soligi kandungan logam sudah terbilang tinggi. Salah satu dugaannya, itu berasal dari limbah proses bijih nikel yang dibuang ke laut.

Nikel sebenarnya termasuk logam dengan kandungan merusak yang ringan. Namun, jika jumlahnya masif, maka akan berpengaruh pada habitat laut juga. “Kontaminasi logam berat menyebabkan terjadinya gangguan secara fisiologis pada ikan. Gangguan ini membuat ikan harus beradaptasi dan dapat menyebabkan kerusakan jaringan pada organ-organ ikan seperti insang, hati, otot, usus, dan lainnya,” catat Aris.

Penelitian lain bertajuk Status Kualitas Air dan Kesehatan Biota Laut di Perairan Obi, Kabupaten Halmahera Selatan, Maluku Utara (2019) menemukan ada 12 biota laut yang diduga tercemar dari logam akibat aktivitas pertambangan. Mulai dari bai, kakap batu (Lutjanus griseus), kakap kalur (Lutjanus sp.), dan kakap merah (Lutjanus campechanus), kerapu macan (Epinephelus fuscoguttasus), kerapu sunu (Plectropomus leopardus), kima (Tridacna), kuwe (C. Ignobilis), lencam (Lethrinidae), mata bulan (Megalops cyprinoides), selar atau tude (Selaroides leptolepis), dan tongkol (Euthynnus affinis).

Ikan yang dijadikan bahan riset dibedah dan di dalamnya ditemukan organ-organ yang sudah rusak. Meski logam banyak jenisnya dan sulit dideteksi, Aris percaya salah satunya adalah nikel yang berasal dari pertambangan.

“Dari hasil penelitian, saya temukan kondisi ikan di sana itu sudah rusak. Sudah buruk. Kalau dugaan kami, kuat itu semua sudah terpapar logam,” kata Aris kepada saya, Oktober 2022.

Selain ikan, Aris juga menggunakan kerang kima sebagai tolok ukur baku mutu air di sekitar Pulau Obi. Kerang kima yang populasinya terus menurun menjadi “bioindikator lingkungan perairan karena dapat mengakumulasi logam berat lebih besar dari organisme perairan lainnya.”

Air di Pulau Obi ditemukan sudah masuk kategori di atas baku mutu. Hal ini terlihat dari nilai pH setinggi 8,64 yang masuk kategori terlalu basa. Dalam kesempatan lain saya menemukan pH air sekitaran Obi masuk dalam tingkat pH 9 ke atas. Dalam salah satu tulisan yang dipublikasi Safe Drinking Water Foundation (SDWF), pH air 8,64 sudah hampir masuk kategori baking soda, bukan lagi air laut. Angka 9 ke atas bisa dikatakan mengandung banyak magnesium.

Tidak semua yang ada di atas baku mutu artinya baik. Dari 10 parameter yang ditetapkan Aris, ada 7 yang masuk dalam kategori di atas baku mutu dan 2 di bawah baku mutu, sedang satu lagi sesuai dengan baku mutu.

Selain pH, suhu air, kandungan amonia, nitrat, tingkat konsentrasi ortofosfat, logam besi, nikel ada di atas baku mutu laut. Sedangkan kandungan oksigen terlarut dan salinitas di bawah baku mutu. Hanya tingkat kecerahan air saja yang sesuai dengan baku mutu berdasar Peraturan Pemerintah Nomor 22 tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Untuk baku mutu pH air, pemerintah mematok kisaran 6-8,5 untuk air sungai dan 6-9 untuk air laut. Dalam sampel yang saya ambil di sungai, angkanya sudah melebihi ambang batas tersebut. Sedang untuk amonia, pemerintah mematok angka paling tinggi di 0,5. Penelitian Aris menunjukkan amonia di sekitar Pulau Obi sebesar 0,4 atau di atas baku mutu–ketika penelitian keluar, acuan yang digunakan masih Peraturan Lingkungan Hidup Nomor 51 tahun 2004.

Kandungan logam seperti besi (0,6) dan nikel (0,06) yang bisa memengaruhi degenerasi dan nekrosis sel kerang kima dalam penemuan Aris selaras dengan aturan pemerintah kiwari. Dua kandungan logam itu berada di atas baku mutu yang ditetapkan: besi (0,3) dan nikel (0,05).

“Lautnya sudah tercemar begitu. Termasuk ikannya juga sudah rusak,” lanjutnya. Dia sama sekali tidak mendukung ikan di sana jadi lauk-pauk. “Bahaya. Bayangkan itu logam masuk tubuh lama-lama terakumulasi. Apa tidak meninggal?”

Aris meneliti tentang mutu air di Pulau Obi dengan biaya dari perusahaan tambang. Begitu hasil penelitian merugikan donor, pendanaan dicabut. Perusahaan geram, padahal yang Aris ingin adalah mencari solusi dari permasalahan ini.

Kini Aris paham bahwa solusi paling sederhana adalah menghentikan aktivitas pertambangan. “Tapi tidak mungkin, toh?” lanjutnya pesimistis.

Sebetulnya ada solusi kedua, yaitu membangun pipa besar dan panjang ke dalam laut sampai pembuangannya bersih. Tapi ini pun tetap berisiko.

“Peringatan Pencemaran Logam Berat Berdasarkan Indeks Saprobik di Perairan Pulau Obi, Maluku Utara,” judul penelitian lain dari Aris, kali ini bersama Tamrin dari kampus yang sama, menemukan bahwa di Akegula, Kampung Baru, Kawasi, dan Soligi–keempatnya berada di Pulau Obi–analisis saprobik indeks (SI) sebesar 1,0 dan tropik saprobik indeks (TSI) 1,3. Untuk kategori TSI, Kawasi berada di peringkat paling tinggi dan masuk kategori “tercemar ringan sampai sedang”.

Meski “ringan sampai sedang”, Aris menekankan bahwa penelitiannya “mengungkapkan peringatan dini terkait pencemaran logam berat.” “Hal ini perlu dicermati mengingat sifat logam berat sulit didegradasi sehingga mudah terakumulasi dalam lingkungan dan biota perairan serta keberadaannya secara alami sulit dihilangkan.”

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.


Ditebus dengan ISPA

Bayi yang usianya hanya beberapa bulan itu menangis kencang. Suaranya bikin si mamak panik. Dia segera membuka sedikit kain yang menutupi badan agar si bayi bisa melepas dahaga. Beberapa hari sebelumnya si bayi diam saja dan orang tuanya malah lebih pusing. Dia diam tapi napasnya tersengal.

Pondok bersalin desa (polindes) tak mampu mengobati sesak napas bayi laki-laki itu karena ketiadaan alat. Si bocah diperkirakan ada masalah di paru-paru dan terkena bronkitis. Prediksi tersebut benar saat si anak diperiksa di RSUD Labuha. Dokter menyarankan si anak diberi alat bantu pernapasan di rumah. Icha, si mamak, tak mampu membeli. Alhasil, pengobatan tradisional seperti pemijatan badan dan doa-doa yang rutin dilakukan.

“Ya, bagaimana lagi, harusnya perusahaan to yang tanggung,” kata Icha kesal.

Penyebab anak Icha sakit diduga kuat adalah debu hasil aktivitas perusahaan. Dengan pohon-pohon yang mulai gundul di sekitar desa dan jalan tanah di depan rumah warga, tidak ada lagi yang jadi penghalang debu untuk masuk rongga hidung warga setiap hari.

Mantri, petugas jaga di polindes yang sudah tinggal di Desa Kawasi sejak 2009, tak perlu berpikir dua kali untuk mengatakan bahwa infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) adalah masalah kesehatan paling utama di Kawasi. Di tahun 2021 saja, jumlah penderita ISPA mencapai lebih dari 700 orang.

Kebanyakan dari pasien adalah balita. Mantri mencatat ada 124 bayi berusia antara 0-1 yang mendatangi polindes sejak Januari hingga Desember 2021. Balita umur 1-5 tahun tercatat sebanyak 283. Menyusul berikutnya adalah kelompok usia 20-44 tahun sejumlah 179 orang.

“Ya debu,” kata Mantri. “Karena banyak aktivitas [perusahaan], toh.”

Lily Mangundap, warga lain, merasa anaknya tinggal tunggu waktu untuk sakit juga. Dia punya empat anak dan si bungsu berusia di bawah 10. Tiap hari dia menyapu debu yang masuk ke rumah. “Tadi sore saya sudah sapu, nanti jam 12 sudah bisa begini: kita bisa tulis-tulis di papan (karena debu tebal),” ucap Lily. “Besok pagi kalau kita sapu, itu macam kita tidak pernah sapu saja. Debu minta ampun.”

Lily merasa perusahaan datang hanya untuk mengeruk hutan demi kekayaan tanpa peduli apa yang terjadi. Toh smelter nikel yang digenjot untuk menghasilkan batu baterai mobil listrik itu pun tidak berdampak langsung kepada masyarakat.

Dia memang sempat terbantu karena diberi kesempatan beberapa kali untuk mendatangi klinik perusahaan yang ada di atas perbukitan. Namun, lama-kelamaan, dokter mengeluh karena Lily dan anaknya bukan pekerja tambang.

“Bu, ini kan klinik perusahaan. Ibu kenapa tidak panggil bupati saja bikin rumah sakit di kampung sana?” kata Lily menirukan dokter. Mendengar itu suami Lily, marah. “Bapak ini sampai emosi. Saya tahan. Kalau sampai pukul dokter, nanti anak ini siapa yang layani.”

Lily pun menjawab: “Iya, betul ini klinik perusahaan. Tapi tahu tidak gara-gara ada perusahaan di sini saya punya anak sakit-sakit?”

Lily termasuk beruntung karena dia punya toko kelontong yang cukup laris. Dari hasil penjualan dia bisa membeli alat bantu pernapasan untuk anaknya.

“Kalau saya bisa memilih, pabrik itu taruh agak jauh, jangan di sini. Supaya kita punya kesempatan buka usaha. Dia menyerap tenaga kerja banyak, tapi tidak bikin kita sakit-sakitan.”

Soal ISPA ini, Harita melalui Manajer Komunikasi Anie Rahmi menyampaikan: “Secara rutin perusahaan sudah melakukan pemantauan udara sesuai dokumen Pengelolaan Lingkungan Hidup (RKL) dan Rencana Pemantauan Lingkungan Hidup (RPL) dan menunjukkan hasil bahwa udara sesuai dengan baku mutu.” Dia tidak menyinggung banyaknya warga yang mendera ISPA.

Deru debu di Kawasi memang sudah memberi nafkah bagi ribuan orang, tapi ratusan di belakangnya harus rela bernapas tersengal-sengal.


Laporan ini merupakan hasil fellowship Pasopati Hijaukan Program Pembangunan bersama Auriga Nusantara.


Felix Nathaniel, meliput isu nasional sebagai reporter dan penulis di Tirto.id sejak 2016

]]>
Ambisi Mobil Listrik dan Hari-Hari Menderita di Pulau Obi (Bagian 1) https://indoprogress.com/2023/01/mobil-listrik-dan-hari-hari-menderita-di-pulau-obi/ Fri, 13 Jan 2023 21:08:13 +0000 https://indoprogress.com/?p=237254 Foto: Antaranews


PEPOHONAN ditumbangkan. Tanah dikeruk meninggalkan lubang-lubang raksasa. Alat-alat berat bekerja bergantian di sekelilingnya. Tidak jauh dari sana mesin-mesin lain sibuk membangun sarana penunjang. Pertambangan nikel itu membuat pulau yang dulu hijau tampak seperti bukit gersang. Banyak hutan dan kebun sudah tergerus.

Tentu hasil kegiatan Pulau Obi, Halmahera Selatan, Maluku Utara ini menambah pemasukan negara. Tapi nasib penduduk pulau belum tentu jadi baik.

“Sampai sekarang tidak ada perubahan,” kata Lily Mangundap kepada saya, November tahun lalu. Bahkan lebih parahnya lagi adalah warga merasakan digusur. “Itu belum ada izin dari kita, dari kita pemilik, masyarakat ini. Tidak sepakat soal harga, langsung digusur saja.”

Lily adalah warga Kawasi, desa tertua di Pulau Obi. Di sana ada dermaga paling besar yang biasa jadi tempat berlabuh kapal-kapal dari berbagai wilayah–meski yang bersandar kalah ramai dengan truk dan mesin ekskavator perusahaan di sekitarnya.

Desa ini adalah wilayah perusahaan melakukan penambangan. Hanya satu sisi desa yang terbuka, itu pun karena berbatasan dengan laut.

Bila mengelilingi pulau, di bibir pantai yang dekat desa, kita dengan mudah melihat tulisan besar di antara aktivitas pertambangan bertuliskan “Welcome to Harita”. Harita yang dimaksud adalah Harita Group, pemilik konsesi terluas di Pulau Obi, termasuk di Desa Kawasi. Dari tepi desa saja tidak mungkin aktivitas perusahaan lolos dari pandangan mata.

Berdasar catatan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Maluku Utara, di Kawasi ada delapan perusahaan yang melakukan aktivitas pertambangan. Harita membawahi dua perusahaan besar, yakni PT Trimegah Bangun Persada (TBP) dan PT Gane Permai Sentosa (GPS). Di samping itu ada tiga lain yang juga terafiliasi dengan Harita yaitu PT Megah Surya Pertiwi (MSP), PT Halmahera Persada Lygend (HPAL), dan PT Halmahera Jaya Feronikel (HJF).

Dua perusahaan lain di Pulau Obi, PT Aneka Tambang (Antam) dan PT Telaga Bhakti, tidak masuk area Kawasi kendati lokasinya dekat.

Aktivitas petambangan di Obi sudah dimulai sekitar 2007. Awalnya PT Antam-lah yang menginjakkan kaki. Mulai Dekade 2010, giliran Harita yang beraksi.

Dalam Laporan Pelaksanaan Rencana Pengelolaan dan Pemantauan Lingkungan PT TBP semester I 2021, baik PT MSP dan PT HPAL beroperasi di daerah PT TBP–satu naungan dengan Grup Harita. Keduanya punya area kerja kurang lebih 376,50 hektare dan 655,54 hektare. Sedangkan PT HJF seluas 118 hektare. Lokasi pengolahan nikel oleh PT TBP sendiri sekitar 504,40 hektare. Namun, berdasarkan SK Bupati Halmahera Selatan Nomor 18 tahun 2010, sebenarnya konsesi lahan PT TBP mencapai 4.247 hektare. Sedangkan PT TBP dalam keterangannya menyebut Izin Usaha Pertambangan (IUP) yang mereka miliki sejak 2010 seluas 5.523,99 hektare.

PT TBP menargetkan selama 13 tahun beroperasi mereka mampu meningkatkan produksi dari 6 juta menjadi 15,2 juta ton bijih nikel per tahun. Hasilnya nanti bisa diolah oleh PT HPAL dalam bentuk Mixed Hydroxide Precipitate (MHP)–yang target hasilnya sebanyak 365 ribu ton per tahun.

Rencana menambah cuan oleh Harita adalah kabar buruk bagi Lily dan sejumlah warga. Mereka tidak terima tanahnya diambil perusahaan untuk perluasan, apalagi dengan harga yang tak sepadan.

Lily dan suami, Andrias, punya berbagai tanaman mulai dari kelapa hingga jambu mete. Harganya dihitung-hitung mencapai Rp700 juta. Tapi perusahaan hanya mau ganti rugi total Rp38 juta. Tidak ada tawar-menawar.

Bupati setuju dengan harga yang ditawarkan ke warga dengan anggapan bahwa tanah itu punya negara. Namun Andrias dan Lily punya pendapat lain. Menurutnya pemerintah dan perusahaan hanya ingin mencari solusi mudah dengan memberi harga murah.

“Bukannya kita ini mau melawan pemerintah. Bukan. Tapi sekurang-kurangnya bupati itu sebelum dia bikin keputusan minimal datang ke sini. Buka rapat dengan masyarakat,” kata Lily. Dahinya mengerut ketika memutar ulang kisah itu.

Lily ingat pihak perusahaan datang medio 2016 saat dia sibuk menjaga toko kelontong. Andrias yang sedang tidur pun dibangunkan. Mereka langsung disuruh tanda tangan dengan harga yang sudah tertera. Orang perusahaan bilang saat itu para tetangga juga sudah tanda tangan. Ketika Lily mau konfirmasi, orang perusahaan tiba-tiba mengurungkan niatnya.

“Langsung saya tahu dari situ bahwa dia bohong.”

Lahan Lily dan Andreas yang diganti Rp38 juta itu luasnya 5,8 hektare. Sebagai perbandingan, tanah lain yang luasnya 15×20 meter saja dihargai Rp15-20 juta pada 2018–menurut ingatan keduanya.

“Saya bilang bahwa ini terlalu murah, terlalu murah. Begini, saya tanya begini: Rp38 juta itu dapat dari mana? Hitungannya dapat dari mana? Terus dia bilang: ‘ya dari ibu punya jumlah tanaman itu’.”

Total lahan yang dimiliki pasangan ini sekitar 33 hektare. Mereka tidak tahu berapa banyak yang sudah dipakai tanpa izin selain 5,8 hektare tersebut.

Suatu hari tahun 2018, perusahaan serta perangkat desa memutuskan berunding dengan Lily dan suami di rumah sekretaris desa. “Kita diundang. Jadi kita duduk begini, pihak perusahaan sebelah sana, terus pemerintah di depan. Pemerintah desa itu yang hadir itu Pak Sekdes,” ungkap Lily.

Tapi yang terjadi bukan perundingan. Di sana hanya ada adu ngotot antara perusahaan dengan warga. Perusahaan berkukuh dengan SK bupati, sedang warga tetap tak ikhlas lahannya diganti dengan harga murah.

Pada saat itulah Lily mengaku diancam oleh Sekdes bernama Frans Datang. “Masyarakat siapa yang melawan akan berurusan dengan polisi,” kata Frans sepenuturan Lily. “Saya ingat sampai hari ini. Saya tidak lupa, karena itu semacam trauma.”

Di hari itu pula Andrias dan Frans–yang merupakan saudara kandung–ribut sampai aparat memukul Andrias menggunakan popor senjata. Sejak itu pula hubungan mereka tak lagi sama.

“Kalau sampai terjadi apa-apa di lahan-lahan kita di sana, saya tidak cari perusahaan. Saya cari kamu, saya pe ade (adik saya!). Berarti kamu yang kasih izin sampai berani gusur kita punya lahan-lahan di sini,” ucap Andrias waktu itu pada adiknya.


Tidak Ramah bagi Kawasi

Pada tahun 2021, Indonesia resmi mencatatkan diri sebagai produsen nikel terbesar di dunia. Data US Geological Survey menyebut negara ini menyumbang 1 juta metrik ton atau setara 37,04% nikel dunia.

Potensi nikel yang besar ini menjadi perhatian negara, termasuk juga pertambangan bijih nikel di Pulau Obi. Data dari ESDM menyebut Indonesia setidaknya menghasilkan 2,47 juta ton pada 2021. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) punya target lebih tinggi lagi untuk memproduksi nikel di tahun 2022, yaitu hingga 2,58 juta ton.

Pabrik high pressure acid leach (HPAL) yang dikelola PT HPAL masuk ke dalam proyek strategi nasional dan diresmikan oleh Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Panjaitan Juni 2021 silam. Dia sengaja datang untuk meresmikan pabrik yang digenjot pembangunannya pada tahun 2018 dengan suntikan dana sebesar 1,5 miliar dolar AS. Bagi Luhut, kehadiran PT HPAL sangat baik.

Harita Group dan perusahaan asal Cina, Zhejiang Lygend Investment Co., Ltd (ZLI), menguasai HPAL. ZLI melalui anak perusahaan Ningboy Lygend Mining Co. sebesar 36,9% dan Harita lewat PT TBP punya saham mayoritas 63,1%.

Smelter hidrometalurgi ini difungsikan khusus untuk mengolah bijih nikel menjadi Mixed Hydroxide Precipitate (MHP)–Sampai November 2021, PT HPAL setidaknya telah mengekspor 60 ribu ton MHP–dan turunannya berupa nikel sulfat (NiSO4) dan cobalt sulfat (CoSO4). Semuanya adalah bahan baku yang bisa digunakan untuk menghasilkan baterai mobil listrik.

Mobil listrik digadang-gadang sebagai masa depan. Proyeksi sementara, pada tahun 2030 akan ada permintaan mobil listrik sebanyak 31,1 juta unit. Di Indonesia, pemerintah punya target memproduksi kendaraan listrik sebanyak 3,05 juta unit.

“Industri ini ikut berkontribusi mewujudkan cita-cita upaya penurunan kadar emisi dari penggunaan kendaraan berbahan fosil,” kata Luhut. “Ini aset bangsa. Kita harus lindungi namun lingkungan harus dijaga.”

Satu yang tak disinggung Luhut adalah desa di bawah pabrik-pabrik tersebut. Kehidupan dan lingkungan mereka tinggal bukan lagi harus “dijaga” melainkan “diperbaiki” karena sudah rusak.

Setiap hari Lily dan warga lain harus berkutat dengan debu dari aktivitas perusahaan. Perataan pohon untuk jalan produksi, misalnya, mengganti udara segar dengan debu jalanan yang hanya berupa tanah cokelat dan memperparah krisis iklim. Penggundulan hutan adalah salah satu penyebab utama perubahan iklim sejauh ini.

Ketika Luhut datang, dia seakan tidak merasakan bagaimana debu-debu mengelilingi Kawasi. Tapi bagi Lily, jika saja Sang Menteri tinggal di rumah warga yang di bawah pabrik, pengalamannya akan berbeda.

“Lihat saja debu-debu ini sampai tutup begini,” kata Lily menunjukkan pintu depan rumahnya. Dia menyapunya baru beberapa jam lalu, tapi debu datang lagi. “Karena sudah botak, tidak ada saringan lagi. Pohon-pohon ini tidak ada, saya anggap alam ini punya saringan su tidak ada.”

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.


Bertahan Hidup di Lingkungan yang Sakit

“Felix mau mandi?” tanya pemilik rumah tempat saya menginap.

“Iya mama, memang kenapa?”

“Oh tidak, soalnya biasa ada yang tidak mau mandi karena air kami begitu.”

“Begitu” yang dimaksud adalah kotor dan tercemar.

Warga Pulau Obi punya beberapa sumber air. Pertama adalah Air Cermin. Dinamakan demikian karena airnya begitu jernih dan nelayan sering kali berhenti di sana untuk beristirahat dan menuntaskan dahaga. Sekarang sumber air itu sudah hilang. Tak ada yang tahu pasti kapan tepatnya sumber air raib, tapi yang pasti Air Cermin sudah tak lagi tampak sejak pertambangan ramai mulai 2010.

Kedua adalah Danau Karo. Letaknya jauh dari desa dan sekarang sudah masuk ke area perusahaan. Hanya perusahaan yang bisa mengakses air bersih di Danau Karo.

Dalam penelitian Analisa Potensi Air Danau Karo Pulau Obi Halmahera (2020), Teddy W. Sudinda menghitung debit air bulanan Danau Karo selama periode 2014-2018. Dia berkesimpulan bahwa pembukaan lahan di area sekitar seharusnya dihindari karena akan mengurangi debit air dan “menimbulkan erosi yang mengakibatkan kekeruhan air pada Danau Karo.” Tidak hanya itu, karena kebutuhan air yang besar, maka “bisa dipastikan kemampuan Danau Karo kurang dan harus dicari sumber lain untuk mengatasi kekurangan yang ada.”

Selain itu ada juga Sungai Ake Lamo, Sungai Loji, dan Sungai Toduku. Yang paling besar dan dekat berbatasan dengan permukiman warga adalah Sungai Toduku. Letaknya sekitar 500 meter dari desa. Mata air yang berasal dari Danau Karo mengalir deras ke Sungai Toduku. Air dari sumber air diteruskan ke desa dengan pipa. Pipa yang digunakan berukuran 4,5 inci sebanyak 3 buah, pipa 2 inci 4 buah, dan pipa ukuran 3 inci 2 buah.

Berdasar artikel Satmoko Yudo dan Taty Hernaningsih dari Pusat Teknologi Lingkungan-Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi Gedung Geostech berjudul Kondisi Kualitas dan Kebutuhan Air Desa Kawasi di Kawasan pertambangan Nikel Pulau Obi (2021), sumber air tersebut masih layak atau masuk kategori bersih. Itu bisa jadi benar. Tetapi yang jadi masalah adalah air yang mengalir di sungai tersebut dan kemudian mengarah ke laut. Sungai tersebut berwarna cokelat dan agak oranye–diduga akibat sedimentasi ore nikel.

Ada warga yang tidak mau mengambil risiko. Hasil survei menyatakan sebanyak 40% warga Kawasi memilih menggunakan air galon kemasan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, lalu sebanyak 13,3% memilih menggali sumur. Mereka yang masih menggunakan mata air tersebut untuk minum sebanyak 46,7%. Dari yang membeli air galon kemasan, sebanyak 70% menggunakan 100 hingga 200 liter air galon per bulan.

Anis, warga yang sudah tinggal di Pulau Obi sejak 2006, mengaku bahwa sebelum perusahaan masuk air masih bersih dan bisa diminum langsung dari sumbernya. Setelah perusahaan datang, mereka harus merogoh uang lebih hanya untuk masalah air. “Makannya ndak enak begini. Kayaknya kita timba di galon itu karena tanah merah-merah di dalam, masuk,” ucapnya. “Perusahaan masuk ini, masyarakat lebih siksa, air juga kotor.”

Tidak ada warga asli di Pulau Obi. Tapi pulau yang awalnya tanpa penghuni ini ditempati paling lama oleh orang dari Galela-Tobelo, sebagian lagi dari Wakatobi atau dari Ambon, Maluku.

Ibu Rodi, seorang guru di madrasah Desa Kawasi, berasal dari Wakatobi. Dia datang bersama suaminya, seorang nelayan, tahun 2009.

Rodi melihat permasalahan air bersih sudah menjadi sesuatu yang serius di desa sejak 2017. Indikatornya adalah ketika itu tidak semua warga bisa mendapat air bersih dari mata air. Pipa-pipa tidak seluruhnya tersalurkan ke rumah warga.

Rodi termasuk salah satu yang kebetulan bisa mendapat akses air bersih ke mata air. Dia kemudian menampung air banyak-banyak agar bisa dijual. Awalnya dia hanya bisa menjual sekitar 20 galon per hari. Sekarang, jumlahnya meningkat hingga lima kali lipat. Sebulan, dia bisa menjual sampai 3 ribu galon.

“Kadang-kadang air mati di tengah masyarakat itu, kadang pesan 5 untuk mandi, kadang pesan 1 untuk isi mesin diesel. Di seberang banyak yang tidak mendapat air bersih, mereka pakai sumur. Kadang-kadang mereka beli air itu 10 galon,” kata Rodi kepada saya Januari tahun lalu.

Kembali sedikit ke penelitian Satmoko dan Tety, mereka memperkirakan kebutuhan air bersih warga Kawasi tahun 2020 sebanyak 74.147 liter/hari. Jika sebanyak 40% menggunakan air galon dan 1 galon berisi 19 liter air, maka setidaknya ada 1.561 galon yang diperjualbelikan setiap hari. Dengan harga satu galon Rp10 ribu, maka warga harus menguras uang sebesar 15,6 juta hanya untuk memenuhi kebutuhan air bersih setiap hari.

“Padahal kalau untuk minum paling hanya 1 galon,” lanjut Rodi.

Bagi Rodi, perusahaan belum tuntas membantu perkara air bersih milik warga. Meski mendapatkan untung dari hasil penjualan air bersih, Rodi sebenarnya lebih senang jika akses air bersih bisa merata ke seluruh desa, meski berarti penghasilan dari jual air akan menurun atau bahkan hilang sama sekali. “Enggak apa-apa itu lebih bagus demi kesejahteraan semua.”

Selain masalah air bersih, warga sampai sekarang juga masih kesulitan dengan perkara listrik. Siang hari terasa gelap di rumah-rumah. Sunyi. Hanya sebagian yang punya genset, tentu dengan biaya operasional yang tidak kecil.

Rumah Rodi juga salah satu yang tidak mendapatkan akses listrik. Dia harus merogoh Rp 1 juta/bulan hanya untuk listrik. Jika masyarakat beruntung, perusahaan akan menyalakan listrik pada malam hari dari pukul 18.00 hingga 06.00. Namun, selama hampir seminggu saya di Kawasi, listrik tidak pernah menyala penuh selama 12 jam.

Inilah ironi dari tempat yang membuat bahan baku untuk baterai mobil listrik. “Baterai listrik buat apa? Kita torang di sini saja listrik susah,” keluh Rodi. Warga sampai sekarang belum pernah merasakan listrik seharian penuh, hanya listrik di perusahaan saja yang menyala 24 jam.

Tak heran jika mereka menganggap Harita hanya akronim dari “hari-hari menderita”.


Warga “Dipaksa” Pindah

Di tengah krisis air bersih, debu, dan konflik lahan, Lily dan Andrias bersama lima keluarga lain mau tak mau pasrah. Sampailah mereka pada klimaks: hanya mendapat uang Rp150 juta untuk dibagi enam.

Jika tidak mau menerima juga, mereka diancam penjara dengan UU Minerba. Polisi, menurut Lily, menuding bahwa ia dan suaminya memprovokasi warga untuk mencegah perusahaan beraktivitas di lahan yang sudah dibeli.

Ketika itu Andrias hanya bisa diam karena baru pertama kali tahu ada aturan yang bisa merebut lahan mereka tanpa diskusi terlebih dahulu.

“Bapak tahu tidak UU Minerba poin 9, atau entah poin berapa itu. Dia bilang di situ dikatakan bahwa barang siapa menghalang-halangi kegiatan di area pertambangan akan ditindak pidana 5 tahun penjara. ‘Bapak mau saya pidanakan?’ Dia bilang begitu,” kenang Lily.

Tentu saja diancam begitu Andrias ciut, apalagi pemidanaan bukan isapan jempol. Satu warga bernama Dominggus yang juga mantan perangkat desa sudah sempat mendekam di rumah tahanan setelah ditangkap di Gresik, Jawa Timur. Perkaranya karena dianggap mangkir dari laporan polisi setelah dia melindungi lahannya dari kerja-kerja mesin berat perusahaan.

Pemerintah desa tidak bisa diandalkan. Frans dianggap berpihak kepada perusahaan dan mengkhianati saudara kandungnya sendiri. Dia mendesak agar Andrias mau menerima ganti rugi. Ketika polisi datang, mereka menuding Andrias melanggar UU Minerba karena menghalangi kegiatan di areal pertambangan. Andrias sudah berpikir dia akan diancam penjara.

“Saya kasihan lihat bapak. Jadi saya bilang, ‘Ah, maaf, ya, Pak Kapolsek. Kita ini masyarakat biasa, saya ini tra sekolah. Mungkin tidak sekolah jadi saya tidak tahu UU ini. Sampai hari ini, rambut saya ini (putih), saya baru dengar UU Minerba. Saya tidak tahu UU apa itu. Saya hanya berdasarkan masuk akal dan tidak masuk akal’,” lanjutnya.

Sekarang, kondisi Andrias sedang stroke. Dan di tengah kemalangan itu, masalah lahan masih juga belum menemui titik terang. Dia dan warga Kawasi kemudian dihantam masalah lain. Selain lahan, rumah mereka ikut jadi sasaran.

Lily dan sebagian warga Kawasi tahu bahwa ada permukiman baru yang tengah dibangun oleh perusahaan. Letaknya sekitar lima kilometer dari desa sekarang dan berjarak sekitar 1 kilometer dari pantai. Rumah-rumah sudah berdiri rapi. Warga tidak dilibatkan dalam keputusan pembangunan kawasan seluas 80 hektare lebih itu.

Pemerintah Halmahera Selatan menandatangani nota kesepahaman dengan Harita pada tahun 2019 untuk relokasi warga ke daerah tersebut. Menurut sebagian warga, daerah itu bekas rawa dan tanaman sagu–yang kemudian ditebang dan dijadikan alas tempat mereka bakal tinggal.

Rumah itu juga tak sebanding dengan rumah saat ini. Dibandingkan salah satu rumah warga tempat saya menginap, misalnya. Meski tidak mewah, dindingnya berupa beton meski yang tidak rata dan ditutupi dengan kertas motif yang sering kita temui di pembungkus kado. Selain punya halaman, rumah itu mampu menampung dua rumah tangga dengan tiga kamar tidur, dapur, dan ruang tengah yang disambi jadi ruang makan. Adapun di permukiman baru, bangunannya kecil; hanya dua kamar tidur.

Sebab itulah, Anis, nelayan Kawasi, bersikeras tak mau pindah.

“Terserah mereka mau ukur, mau bilang pindah kampung saja, tidak tarada mau pindah. Kampung ini, kan, kampung pertama seluruh Pulau Obi, desa ini yang desa yang tertua. Jadi perusahaan datang ke belakang. Kalau dia bikin pabrik harus jauh dari kampung. Ini kampung tara jadi pindah, masyarakat banyak, baik Islam baik Kristen tidak mau pindah,” tegasnya.

Pemerintah Halmahera Selatan pernah berargumen bahwa lingkungan tempat tinggal warga sudah kumuh dan rawan bencana. Mereka berada di titik nol meter dari atas permukaan laut sehingga terancam tsunami. Lagi pula, banyak kendaraan berat yang melintas di area tersebut sehingga lingkungan tidak lagi sehat.

Ketika saya konfirmasi, Kepala Seksi Perencanaan dan Pengkajian Dampak Lingkungan Dinas Lingkungan Hidup Halmahera Selatan Ridwan La Tjadi tak mau berkomentar soal masalah relokasi. Untuk masalah air yang jadi berwarna merah, Ridwan mengklaim bahwa itu soal biasa; bahkan tak ada hal aneh. “Setiap habis hujan, biasanya air laut merah karena memang tanah di Kawasi itu [berwarna] merah,” katanya.

Saya juga bicara dengan Sekretaris Desa Kawasi Frans Datang. Menurutnya sebagian warga masih terbelah, antara yang ingin pindah dan tidak. Dia sendiri setuju dengan keputusan pindah. Frans mengatakan mau tidak mau Desa Kawasi akan menjadi korban kepungan perusahaan tambang. Sebagai imbalan, katanya, di tempat baru mereka harus mendapatkan kesejahteraan–harapan yang bagi sebagian warga sulit dibayangkan akan menjadi kenyataan.

“Kawasi pasti berubah,” kata Frans. “Dampaknya itu debu, jadi relokasi, ya sudahlah. […] Kalau pemerintahnya juga mengharuskan direlokasikan untuk pertambangan, kan, bagus juga.”

Ketika saya mengonfirmasi hasil temuan ke Dinas Lingkungan Hidup yang ada di Kota Bacan, semuanya menolak untuk berkomentar. Ditanya soal keberadaan kepala dinas pun mereka tak mau menjawab. “Kepala dinas sibuk,” kata salah satu staf.

Manajer Komunikasi Perusahaan Grup Harita, Anie Rahmi, menyatakan secara tertulis bahwa perusahaan telah mengelola pertambangan yang sesuai dengan Rencana Pengelolaan Lingkungan Hidup (RKL) dan Rencana Pemantauan Lingkungan Hidup (RPL). Adanya air berwarna merah dianggap perusahaan sebagai hasil sedimentasi belaka dan diperparah karena curah hujan yang tinggi.

“Tapi bukan merupakan limbah dari proses produksi,” kata Anie kepada saya akhir November lalu.

Perusahaan juga mengaku telah membayar ganti rugi tanaman warga di sekitar area pertambangan. Sedangkan untuk tanah sendiri tak dianggap karena sejak awal kepemilikannya atas nama perusahaan.

Untuk masalah relokasi, Harita mengklaim hanya mengikuti arahan dari program Pemda Halmahera Selatan–membangun permukiman baru.

“Tidak ada pemaksaan sama sekali terhadap warga. Mengingat ini adalah program pemerintah daerah, maka hal-hal terkait relokasi diatur oleh pemerintah daerah dengan perusahaan,” dia menambahkan.

(Bersambung…)


Laporan ini merupakan hasil fellowship Pasopati Hijaukan Program Pembangunan bersama Auriga Nusantara.


Felix Nathaniel, meliput isu nasional sebagai reporter dan penulis di Tirto.id sejak 2016

]]>