Federico Fuentes – IndoPROGRESS https://indoprogress.com Media Pemikiran Progresif Sun, 29 Jun 2025 23:48:45 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.4.3 https://indoprogress.com/wp-content/uploads/2021/08/cropped-logo-ip-favicon-32x32.png Federico Fuentes – IndoPROGRESS https://indoprogress.com 32 32 Nancy Fraser: Kita Sedang Berada di Masa yang Penuh Ketidakpastian https://indoprogress.com/2025/06/nancy-fraser-kita-sedang-berada-di-masa-yang-penuh-ketidakpastian/ Sun, 29 Jun 2025 23:48:45 +0000 https://indoprogress.com/?p=239036 Ilustrasi: Flickr/Lanpernas


NANCY Fraser adalah profesor filsafat dan politik pada Henry dan Louise A. Loeb di New School for Social Research di New York, yang bekerja di bidang teori sosial, politik, dan feminis. Dia telah menulis beberapa buku, seperti Cannibal Capitalism: How Our System Is Devouring Democracy, Care, and the Planet—and What We Can Do About It. Dalam wawancara mendalam ini, Fraser berbincang dengan Federico Fuentes untuk LINKS International Journal of Socialist Renewal tentang bagaimana transfer kekayaan alam dan perawatan masuk dalam imperialisme modern, peran ekspropriasi dalam akumulasi modal, dan sifat batas inti-periferi yang semakin kabur di bawah kapitalisme yang terfinansialisasi.

Artikel ini diterjemahkan dan diterbitkan ulang di sini untuk kepentingan pembangunan gerakan anti-imperialisme di Indonesia.


Federico Fuentes (FF): Selama abad terakhir, istilah imperialisme telah digunakan untuk mendefinisikan situasi yang berbeda dan, pada beberapa kesempatan, digantikan oleh konsep-konsep seperti globalisasi dan hegemoni. Apakah konsep imperialisme tetap valid, dan jika ya, bagaimana Anda mendefinisikannya?

Nancy Fraser (NF): Istilah imperialisme, menurut saya, tetap esensial dan saya tidak sepakat jika menggantinya dengan konsep lain. Misalnya, menggantinya dengan istilah yang populer seperti globalisasi. Jika yang dimaksud dengan globalisasi hanyalah bahwa kebijakan industri dan ekonomi nasional kini dianggap telah usang, serta munculnya neoliberalisme dan dominasi kekuasaan kapitalis elite melalui agenda perdagangan bebas, maka itu bisa diterima. Namun, imperialisme berbicara tentang hal yang berbeda. 

Konsep hegemoni juga penting dalam kajian geopolitik. Secara umum, hegemoni merujuk pada peran yang dimainkan oleh kekuatan imperialis (atau blok kekuatan) dalam membentuk dan mengatur tatanan ruang global untuk memfasilitasi ekstraksi imperialis. Namun, ini merujuk pada organisasi politik ruang global. Lagi-lagi, ini berbeda dari imperialisme walaupun keduanya saling terkait, tetapi keduanya bukanlah hal yang sama. 

Saat ini juga populer istilah seperti kolonialitas dan dekolonialitas. Wacana ini berusaha menunjukkan bahwa meskipun kolonialisme langsung telah berakhir, hierarki kolonial dalam nilai budaya tetap ada. Ide ini sendiri tidak masalah. Namun, ketika digunakan untuk menggantikan konsep imperialisme—seperti yang sering terjadi—hal ini akhirnya menempatkan isu kapitalisme global atau imperial pada posisi yang kurang prioritas atau menjadi terpinggirkan. Padahal, justru di situlah analisis kita seharusnya dimulai.

Oleh karena itu, saya sangat mendukung penggunaan istilah imperialisme, meskipun menurut kita perlu memperluas dan memperdalam pemahamannya. Dalam pengertian ekonomi yang ketat, imperialisme merujuk pada proses transfer atau perampasan nilai (extraction of value) oleh kekuatan tertentu dari wilayah-wilayah yang dianggap sebagai wilayah pinggiran. Namun, kita tidak bisa lagi hanya membicarakan ekstraksi nilai ekonomi dalam bentuk kekayaan mineral atau nilai lebih (surplus value). Kita juga harus membicarakan ekstraksi kekayaan ekologi dan kapasitas perawatan dari negara-negara pinggiran ke negara-negara inti kapitalis.


FF: Diskusi di kalangan kiri mengenai imperialisme sering merujuk pada buku Vladimir Lenin, seorang revolusioner Rusia, tentang topik ini. Seberapa relevan buku tersebut hari ini, dan apakah ada elemen yang telah digantikan oleh perkembangan selanjutnya?

NF: Analisis Lenin tentang imperialisme merupakan kontribusi yang sangat berharga dan berpengaruh pada masanya. Namun, sejak itu konsep imperialisme telah mengalami pengembangan dan pendalaman. Saya juga melihat adanya sejumlah persoalan dalam definisi awal yang dikemukakan Lenin.

Lenin secara khusus mengaitkan imperialisme dengan finansialisasi. Memang benar kita hidup di era finansialisasi yang luar biasa pesat. Namun, saya tidak sepenuhnya setuju bahwa finansialisasi per se bisa dijadikan penanda utama untuk mendefinisikan imperialisme. Imperialisme juga mencakup transfer kekayaan – baik yang telah dikapitalisasi maupun yang belum sepenuhnya dikapitalisasi, seperti kekayaan alam dan kerja-kerja perawatan. Lenin juga menggambarkan bahwa imperialisme sebagai tahap terakhir dari kapitalisme. Gagasan “tahap terakhir” ini mengingatkan pada pandangan Rosa Luxemburg bahwa pada suatu titik, kapitalisme akan merambah ke seluruh dunia dan tidak akan ada lagi wilayah “luar’’ yang bisa dieksploitasi. Pada titik itu, kapitalisme dianggap tidak akan mampu lagi berkembang dan akan runtuh. Namun kenyataannya, imperialisme hari ini mencakup tidak hanya melibatkan integrasi bentuk-bentuk nilai sosial baru ke dalam sirkuit reproduksi kapitalis, tetapi juga pengusiran dan eksklusi. Misalnya, pengusiran miliaran orang dari ekonomi resmi (formal) ke zona informal atau abu-abu, yang justru menjadi sumber ekstraksi nilai baru bagi kapital. 

Selain itu, pola geografis dari transfer nilai kini tak lagi sejalan dengan peta lama antara Dunia Pertama, Dunia Kedua, dan Dunia Ketiga. Kita menyaksikan munculnya konfigurasi politik dan geografis baru, termasuk perpindahan basis industri dari negara-negara inti lama ke wilayah seperti BRICS (Brasil, Rusia, India, Tiongkok, dan Afrika Selatan). Bahkan, beberapa bekas kekuatan kolonial seperti Portugal kini berada dalam posisi subordinat dalam kerangka Uni Eropa, tunduk pada kebijakan lembaga seperti Troika (IMF, Komisi Eropa, dan Bank Sentral Eropa). Untuk pertama kalinya, populasi di negara-negara Global Utara (Global North) juga mengalami kondisi serupa dengan yang sebelumnya hanya dialami oleh masyarakat pinggiran.

Jadi, bentuk-bentuk imperialisme yang kita hadapi kini jauh lebih kompleks, tidak lagi mengikuti garis pemisah kolonial klasik antara yang menjajah dan yang dijajah. Namun demikian, meskipun lanskapnya telah berubah, imperialisme tetap menjadi istilah paling tepat untuk memahami dan menjelaskan dinamika ini.


FF: Seperti yang Anda catat, pembahasan Marxis tentang imperialisme cenderung fokus secara ketat pada transfer nilai ekonomi. Namun, Anda menyoroti kebutuhan untuk mempertimbangkan transfer kekayaan alam dan kapasitas perawatan. Bisakah Anda menjelaskan bagaimana transfer-transfer ini terjadi?

NF: Mari saya mulai dengan pembahasan ekonomi perawatan, atau apa yang oleh para feminis sebut sebagai kerja reproduksi sosial (social reproductive labour). Istilah ini berbeda dari ’’reproduksi sosial’’ dalam dari yang lebih umum, yang mencakup semua proses yang menopang kelangsungan suatu formasi/tatanan sosial.

Kerja reproduksi sosial merujuk secara khusus pada aktivitas-aktivitas yang memungkinkan pemulihan tenaga kerja sehari-hari dan regenerasi populasi tenaga kerja dari satu generasi ke generasi berikutnya. Ini mencakup aspek biologis seperti kelahiran, pekerjaan perawatan dan pengasuhan sehari-hari, serta proses sosialisasi yang membentuk individu sebagai anggota kelas tertentu dalam masyarakat tertentu. Historisnya, pekerjaan-pekerjaan ini dikaitkan dengan perempuan—meskipun laki-laki juga melakukan sebagian di antaranya. Dan sebagian besar pekerjaan ini, secara historis pula, berlangsung di luar wilayah ekonomi formal dalam masyarakat kapitalis. Kapitalisme secara khas memisahkan dengan tegas antara kerja upahan dan kerja reproduksi sosial (yang sering disebut sebagai kerja perawatan). Namun meskipun tidak dihitung sebagai bagian dari sektor formal, kerja perawatan ini sangat penting—karena ia menopang kerja upahan, memungkinkan akumulasi nilai lebih, dan menjadi fondasi bagi berjalannya sistem kapitalisme itu sendiri.

Kerja upahan tidak bisa berlangsung tanpa adanya berbagai bentuk kerja lain seperti pekerjaan rumah tangga, pengasuhan anak, pendidikan, perawatan emosional, dan aktivitas-aktivitas lain yang memastikan keberlanjutan tenaga kerja—baik dalam memperbarui pekerja yang sudah ada maupun membesarkan generasi pekerja baru. 

Secara historis, sistem kapitalis cenderung menganggap remeh fakta bahwa pasokan tenaga kerja akan selalu tersedia. Namun pada masa awal industrialisasi, dampaknya begitu drastis sehingga kehidupan keluarga menjadi hampir mustahil di banyak kota industri utama di negara-negara kapitalis inti. Kondisi ini menjadikan persoalan reproduksi sosial sebagai isu politik yang penting. Sebagai respons, negara-negara kaya yang memiliki sumber daya pajak yang cukup mulai membangun negara kesejahteraan, yang mengambil alih sebagian tanggung jawab kolektif dalam mendukung proses reproduksi sosial.

Salah satu cara yang digunakan negara-negara kaya untuk mengatasi kekurangan tenaga perawatan adalah dengan “mengimpor” pekerja perawatan murah dari negara-negara miskin. Agar perempuan di negara-negara maju bisa lebih bebas bekerja di sektor formal, maka pekerjaan reproduksi sosial—seperti mengasuh, merawat, dan membersihkan—perlu diperdagangkan sebagai jasa. Dampaknya, terjadi lonjakan migrasi perempuan dari negara-negara miskin yang datang untuk mengisi posisi sebagai pekerja perawatan berbayar.

Pemerintah di negara-negara miskin, yang sangat membutuhkan devisa, bahkan mendorong warganya untuk bermigrasi demi mendapatkan remitansi—yaitu uang yang dikirim balik ke keluarga di tanah air. Tapi ini menciptakan rantai beban baru: para migran perempuan itu harus menyerahkan pekerjaan perawatan di rumah mereka sendiri kepada perempuan lain yang lebih miskin, yang juga harus melakukan hal serupa, dan seterusnya. Hasilnya adalah pemindahan beban kekurangan perawatan dari keluarga kaya ke keluarga miskin, dan dari negara-negara di Global Utara ke negara-negara di Global Selatan.

Fenomena ini kini begitu meluas hingga dikaji sebagai bentuk baru dari imperialisme. Para feminis menyebutnya sebagai rantai perawatan global, istilah yang menggambarkan pola relasi global dalam kerja perawatan—sebuah permainan kata dari konsep rantai komoditas global yang lebih umum dikenal. Negara seperti Filipina menjadi contoh utama, di mana pemerintah sangat bergantung pada ekspor tenaga kerja perempuan di sektor perawatan ke tempat-tempat seperti Los Angeles, Israel, dan negara-negara Teluk. Saya merekomendasikan artikel dari Arlie Russell Hochschild, “Love and Gold”, di mana ia menjelaskan bagaimana cinta telah menjadi “emas baru”. Alih-alih mengekspor kekayaan mineral, negara-negara kini mengekspor komoditas yang telah dimonetisasi ini.

Hal serupa juga terjadi dalam hal kekayaan alam. Seperti halnya kerja reproduksi sosial, alam diperlakukan oleh kapital sebagai sumber daya yang bisa diambil secara gratis atau dengan biaya sangat rendah demi kepentingan akumulasi modal. Sejak awal kemunculannya, kapitalisme sangat bergantung pada pengambilan kekayaan alam—seperti perak, kapas, tembakau, gula, dan kakao—yang berperan penting dalam membentuk fondasi sistem kapitalis, bahkan sejak fase awal seperti kapitalisme merkantilis dan kapitalisme berbasis perbudakan. Selanjutnya, proses industrialisasi di kawasan seperti Eropa, Amerika Utara, dan Jepang tak lepas dari praktik ekstraktivisme di wilayah-wilayah pinggiran. Misalnya, kelancaran operasional pabrik-pabrik di Manchester sangat bergantung pada arus impor besar-besaran bahan mentah dari Amerika Selatan dan wilayah-wilayah kolonial lainnya.

Ekspor kekayaan alam bukanlah hal baru, namun kini fenomena ini berkembang dalam bentuk yang lebih kompleks akibat krisis iklim. Kita semakin menyadari bahwa persoalannya bukan lagi sekadar soal mengalirnya sumber daya dari wilayah pinggiran ke pusat kapitalis, tetapi juga soal ekspor limbah dan dampak perubahan iklim ke wilayah-wilayah yang tereksploitasi. Pandangan lama tentang imperialisme sebagai proses mengambil yang “bermanfaat” dari satu tempat untuk dinikmati di tempat lain kini tidak lagi memadai. Kita juga harus memperhitungkan kemana limbah dari proses tersebut dibuang, serta siapa yang menanggung akibat dari produksi yang dianggap ‘baik’ itu. Tentu saja, anggapan bahwa dampak lingkungan bisa selamanya dialihkan ke tempat lain adalah keliru, mengingat sistem iklim bersifat global. Namun pada kenyataannya, komunitas-komunitas di wilayah pinggiran saat ini menanggung beban lingkungan global secara sangat tidak seimbang.

Inilah sebabnya mengapa konsep imperialisme ekologis menjadi sangat relevan dan penting. Beberapa kajian terbaru yang paling inovatif tentang imperialisme kini tidak hanya menyoroti rantai perawatan global, tetapi juga menekankan teori perpindahan beban ekologis dan bentuk pertukaran ekologis yang timpang. Ini bukan berarti meninggalkan fokus klasik pada ekstraksi nilai ekonomi, melainkan menambahkan dimensi bahwa analisis Marxian tentang imperialisme, secara tidak sengaja, telah mengadopsi cara pandang kapitalis tentang kekayaan—dan dengan begitu, melewatkan aspek-aspek penting lainnya yang juga menentukan.

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.


FF: Anda juga menggunakan konsep ekspropriasi, bersama dengan eksploitasi, saat menganalisis imperialisme. Dapatkah Anda menjelaskan apa yang Anda maksud dengan ini?

NF: Dalam teori Marxis klasik, eksploitasi merujuk pada situasi kerja upahan, di mana tenaga kerja dijual di pasar tenaga kerja dan pekerja hanya menerima upah untuk waktu kerja yang diperlukan (necessary labour time) tetapi tidak untuk waktu kerja lebih (surplus labour time). Dengan kata lain, upah hanya mencukupi untuk memenuhi kebutuhan hidup pekerja dan memastikan regenerasi tenaga kerja—setidaknya secara teoritis. Eksploitasi, dalam konteks ini, merujuk pada perbedaan antara nilai total yang dihasilkan oleh pekerja dan jumlah upah yang mereka terima—nilai surplus yang diserap oleh pemilik modal.

Sementara itu, ekspropriasi, bila dikaitkan dengan tenaga kerja, menggambarkan situasi yang lebih ekstrem: tenaga kerja bahkan tidak mendapat bayaran untuk waktu kerja yang diperlukan. Sebelum era industrialisasi, akumulasi kapital banyak bergantung pada kerja paksa atau kerja tidak bebas, yang diperoleh melalui kekerasan dan perampasan. Ekspropriasi juga dapat berarti penyitaan paksa atas tanah, hewan ternak, atau bentuk kekayaan lainnya. Jadi, ketika saya menyebut ekspropriasi, yang dimaksud adalah perampasan kekayaan—baik berupa tenaga kerja, tanah, maupun aset lain—yang kemudian dimasukkan secara paksa ke dalam mekanisme akumulasi kapitalis. Gagasan ini sebenarnya bukan hal baru: Rosa Luxemburg pernah membahasnya, dan David Harvey mengembangkannya lebih lanjut melalui konsep “akumulasi melalui perampasan” (accumulation by dispossession).

Dalam tradisi Marxisme, sering muncul anggapan bahwa proses akumulasi kapital terutama berlangsung melalui eksploitasi tenaga kerja. Namun, ekspropriasi sebenarnya selalu menjadi bagian penting dari dinamika kapitalisme—dan masih berlangsung hingga saat ini. Ekspropriasi bukan sekadar ciri khas tahap awal sistem kapitalis, melainkan elemen struktural yang terus melekat dalam cara kerja kapitalisme, sejajar dengan eksploitasi. Kapitalisme tidak bisa terus menumpuk modal hanya dengan mengandalkan eksploitasi tenaga kerja bebas di pabrik-pabrik yang diberi upah sekadar cukup untuk bertahan hidup dan bereproduksi. Ada batasnya. Karena itu, sistem juga sangat bergantung pada perampasan—baik tenaga kerja yang tidak dibayar maupun sumber daya alam—sebagai cara lain untuk meningkatkan keuntungan.

Dengan kata lain, ekspropriasi menjadi fondasi yang menopang eksploitasi. Tanpa perampasan yang terus-menerus atas kekayaan dan tenaga kerja, proses eksploitasi kapitalis tidak akan bisa bertahan.


FF: Bagaimana perampasan berbeda dari super-eksploitasi, yang juga merujuk pada tenaga kerja yang dibayar kurang dari waktu kerja yang diperlukan?

NF: Istilah super-eksploitasi sering digunakan untuk menjelaskan bagaimana pekerja kulit berwarna menerima upah yang lebih rendah dibandingkan dengan pekerja kulit putih, sehingga mengalami tingkat eksploitasi yang lebih parah. Saya tidak mengatakan pendekatan ini keliru, tetapi menurut saya ia terlalu menekankan aspek ekonomi secara sempit. Ekspropriasi tenaga kerja tidak hanya soal pengambilan nilai lebih, melainkan juga berkaitan dengan status sosial, struktur hierarki, dan bentuk-bentuk paksaan serta kekerasan yang dijalankan terhadap kelompok tertentu—termasuk penghinaan, peminggiran, dan tekanan sistemik yang berlangsung dalam intensitas yang berbeda-beda. Ekspropriasi bukan semata-mata mekanisme ekonomi, tapi juga dijalankan melalui cara-cara politik dan koersif. Bahkan di negara seperti Amerika Serikat, pekerja kulit berwarna menghadapi pemaksaan kerja di penjara, intimidasi dari aparat kepolisian, kekerasan fisik, bahkan pembunuhan, serta berbagai bentuk pelecehan dan perendahan martabat. Semua ini bukan fenomena terpisah dari akumulasi kapital, melainkan bagian darinya. Karena itu, saya memandang bahwa kategori super-eksploitasi terlalu membatasi masalah ini dalam kerangka ekonomi saja.

Saya ingin menambahkan, secara historis, pembagian antara eksploitasi dan ekspropriasi juga sering kali berjalan seiring dengan garis rasial global. Populasi Eropa, setelah melalui masa-masa ekspropriasi di awal sejarah kapitalisme, kemudian berperan sebagai kelas pekerja yang dieksploitasi melalui kerja upahan. Sementara itu, komunitas kulit berwarna di koloni dan wilayah pinggiran terus mengalami ekspropriasi yang berkelanjutan. Eksploitasi yang terjadi di pusat-pusat kapitalisme tidak bisa dipahami secara utuh tanpa melihat kaitannya dengan ekspropriasi yang terjadi di wilayah-wilayah pinggiran.

Pemikir Marxis kulit hitam seperti W.E.B. Du Bois dalam karya besarnya Black Reconstruction menunjukkan bahwa eksploitasi terhadap kelas pekerja industri kulit putih di Eropa dan Amerika Utara berlangsung secara bersamaan dan saling bergantung dengan ekspropriasi terhadap pekerja budak kulit hitam.


FF: Seberapa besar peran mekanisme ekspropriasi dan eksploitasi imperialis saat ini dibandingkan dengan masa lalu?

NF: Ekspropriasi dan eksploitasi sama-sama memainkan peran penting dalam proses akumulasi modal sepanjang sejarah perkembangan kapitalisme, meskipun dengan cara yang berbeda. Saya tertarik untuk menelusuri bagaimana hubungan antara kedua proses ini berkembang secara historis, serta bagaimana bentuk dan peran relatif masing-masing berubah dari satu fase kapitalisme ke fase berikutnya.

Sebagai contoh, dalam fase kapitalisme yang ditandai oleh dominasi sektor keuangan saat ini, utang telah menjadi salah satu instrumen utama dalam ekstraksi imperial. Lembaga-lembaga keuangan global menggunakan mekanisme utang untuk memaksa negara-negara mengurangi pengeluaran sosial, menerapkan kebijakan penghematan (austerity), dan bekerja sama dengan investor dalam pengambilan nilai dari masyarakat. Utang juga menjadi alat untuk merampas tanah dari petani di Selatan Global, memungkinkan korporasi menguasai sumber daya strategis seperti energi, air, lahan pertanian, dan bahkan proyek carbon offset. Selain itu, utang memainkan peran sentral dalam proses akumulasi modal di pusat-pusat kapitalisme. Pekerja sektor jasa yang hidup dalam kondisi kerja tidak tetap dan menerima upah di bawah standar kebutuhan reproduksi sosial kini dipaksa mengandalkan kredit konsumen untuk bertahan hidup—sebuah bentuk ekspropriasi yang berlangsung secara halus namun sistemik.

Di berbagai level dan wilayah, utang telah menjadi pendorong utama gelombang baru penguasaan sumber daya secara besar-besaran. Fenomena ini melahirkan bentuk-bentuk pengambilalihan dan eksploitasi yang baru dan bersifat campuran (hibrida). Contohnya, banyak pekerja bergaji di negara-negara pascakolonial secara formal dianggap bebas, tetapi mereka hidup dalam kondisi di mana utang negara yang sangat besar menyebabkan sebagian besar tenaga kerja nasional diarahkan untuk membayar utang tersebut. Situasi serupa juga muncul di negara-negara kaya, di mana peningkatan tajam utang konsumen dalam era neoliberalisme telah menciptakan kondisi di mana pekerja—yang sebelumnya hanya mengalami eksploitasi—kini juga terjebak dalam ekspropriasi finansial melalui kredit, pinjaman, dan utang pribadi.

Bentuk-bentuk baru ini mengaburkan batas tradisional antara pekerja kulit hitam yang dulu diperbudak dan dieksploitasi secara brutal, dan pekerja kulit putih yang dieksploitasi namun tetap dianggap bebas. Kini, garis pemisah itu menjadi jauh lebih kompleks dan tidak lagi mudah dipetakan. Namun, kondisi ini bukan berarti bahwa imperialisme telah berakhir—justru menunjukkan bahwa pola relasi kekuasaan dan penindasan global telah menjadi lebih rumit dan membutuhkan analisis yang lebih tajam.


FF: Kekuatan imperialis awal membangun kekayaan dan kekuatan militer mereka melalui penaklukan kolonial dan penjarahan masyarakat pra-kapitalis. Apakah ada kekuatan imperialis baru yang muncul sejak itu? Dan jika ya, apa dasar ekonomi dari kekuatan-kekuatan baru ini?

NF: Walaupun saya tidak akan membahas secara tuntas apakah negara-negara sosialis yang pernah ada bisa disebut sebagai imperialis—karena itu merupakan persoalan yang kompleks—saya tidak ragu bahwa beberapa negara pasca-Komunis memang bersifat imperialis.

China adalah contoh yang paling mencolok. Menurut saya, istilah imperialisme sangat tepat untuk menggambarkan praktik ekstraktivisme yang dilakukan China di benua Afrika. Ini tetap berlaku meskipun pendekatan China berbeda dari model kolonialisme langsung yang dulu dijalankan oleh perusahaan-perusahaan dari Amerika Serikat atau Eropa. Dalam kasus China, kita tidak melihat penaklukan militer atau eksploitasi kolonial dalam bentuk klasik.


FF: Mengingat apa yang terjadi dalam kapitalisme yang terfinansialisasi, apakah perusahaan transnasional kini dapat beroperasi dengan sukses tanpa akar institusional di negara imperialis?

NF: Finansialisasi telah mengubah keseimbangan kekuasaan antara negara dan korporasi, dengan hasil bahwa korporasi kini memiliki pengaruh yang jauh lebih besar, sementara negara—bahkan negara-negara yang kuat—mengalami penurunan kendali. Saat ini, kita menyaksikan kemunculan korporasi global raksasa yang kekayaannya sering kali melampaui kekayaan banyak negara berdaulat. Korporasi-korporasi ini beroperasi di luar jangkauan otoritas negara, sering bermarkas di yurisdiksi bebas pajak seperti Andorra, dan tidak lagi terikat kuat pada negara kapitalis tempat mereka bermula. Mereka bahkan mampu menantang otoritas negara seperti Amerika Serikat, yang meskipun secara formal masih menjadi kekuatan hegemonik global, jelas sedang mengalami penurunan. Negara AS, misalnya, tidak memiliki kendali langsung atas raksasa seperti Apple atau Google. Kita tidak lagi berada dalam era di mana perusahaan besar secara jelas berfungsi sebagai “juara nasional” yang dilindungi dan didorong oleh negara-bangsa. Konstelasi kekuasaan ekonomi saat ini jauh lebih kompleks dan tidak terikat pada batas-batas nasional seperti sebelumnya.

Meski begitu, menurut saya masih terlalu dini untuk menyimpulkan secara tegas bahwa perusahaan transnasional bisa sepenuhnya beroperasi tanpa dukungan institusional dari kekuatan-kekuatan imperialis. Amerika Serikat, misalnya, masih memiliki pengaruh besar melalui dominasi dolar AS sebagai mata uang global, sistem perbankan internasional, dan infrastruktur keuangan dunia. Selain itu, hukum properti AS telah menjelma menjadi standar hukum global melalui perjanjian seperti Trade-Related Aspects of Intellectual Property Rights (TRIPS) yang mengatur hak kekayaan intelektual.

Katharina Pistor, dalam bukunya The Code of Capital, menjelaskan bagaimana prinsip-prinsip hukum AS—termasuk hukum kontrak, hak milik, dan penyelesaian sengketa—telah diekspor dan diadopsi secara global, menjadi semacam perpanjangan dari kekuasaan hukum Amerika, meskipun tidak selalu secara langsung dari negara itu sendiri. Tapi apakah ini berarti pemerintah AS memiliki kendali penuh atas korporasi-korporasi tersebut, seperti Apple, adalah persoalan lain yang lebih rumit.


FF: Bagaimana kita memahami persaingan AS-China yang semakin intensif mengingat kedua ekonomi tersebut lebih terintegrasi daripada sebelumnya? Dan bagaimana Anda memandang dinamika saat ini dalam kapitalisme global mengingat bukan hanya kekuatan imperialis tradisional seperti AS dan Israel yang melancarkan perang skala besar, tetapi juga Rusia, bahkan Turki dan Arab Saudi, yang menggunakan kekuatan militer di luar perbatasan mereka?

NF: Terdapat banyak ujian yang sedang dihadapi AS. Secara militer, Amerika Serikat masih merupakan kekuatan besar, meskipun bukan satu-satunya negara yang memiliki senjata nuklir. Namun, dari sisi ekonomi, situasinya lebih kompleks—tidak sepenuhnya kuat, tapi juga belum runtuh. Sementara itu, secara moral, posisi dan kredibilitas global AS telah mengalami kemunduran yang cukup serius.

Terkait perang Israel di Gaza, sebagai seorang Yahudi Amerika, saya pribadi merasa sangat marah karena AS tidak menggunakan pengaruhnya untuk menghentikan konflik tersebut. Padahal, AS memiliki kekuatan besar atas Israel—cukup dengan menghentikan dukungan, sebenarnya bisa memberi tekanan. Namun, pengaruh ini tidak berlaku di semua konteks global.

Contohnya, kita melihat China muncul sebagai kekuatan ekonomi utama yang mulai memikirkan bagaimana dan kapan mereka akan mengambil peran lebih besar di panggung global. China tampak siap menjadi kekuatan besar, tetapi masih mempertimbangkan langkah strategis berikutnya. Ini menimbulkan pertanyaan: apakah China akan menggantikan AS sebagai kekuatan hegemonik baru, atau justru kita akan memasuki era dunia multipolar yang lebih kompleks? 

Di sisi lain, Rusia, meskipun secara kekuatan ekonomi dan militer tergolong menurun, tetap mampu memainkan peran geopolitik yang signifikan. Terlepas dari penilaian pribadi terhadap Putin, dia berhasil memperluas pengaruh Rusia jauh melampaui kekuatan riilnya—tidak hanya di wilayah sekitar Rusia, tetapi juga di Suriah, Afrika, dan berbagai kawasan lainnya. Bersama China, Rusia, Iran, Turki, dan beberapa negara lain, muncul blok tandingan terhadap dominasi AS. Sementara itu, Uni Eropa justru gagal tampil sebagai kekuatan politik global yang solid, karena berbagai kendala seperti fragmentasi internal dan struktur kelembagaan yang rumit.

Seperti yang Anda katakan, ekonomi AS dan China saling terhubung erat, dan hal ini justru memperlambat proses pergeseran kekuatan global. Namun, ada juga faktor yang sulit diprediksi, seperti kembalinya Trump sebagai Presiden AS, yang menjalankan kebijakan ekonomi yang lebih proteksionis seperti tarif dagang baru, atau bahkan ketegangan militer. Meski begitu, Trump dengan pendekatan isolasionis “America First”-nya terkadang justru lebih rasional dalam urusan luar negeri dibandingkan para elite kebijakan luar negeri arus utama.

Bagaimanapun juga, kita sedang menuju masa yang penuh ketidakpastian. Ketidakhadiran kekuatan hegemonik yang stabil adalah alasan yang sah untuk merasa cemas. Amerika Serikat tampak kehilangan arah dan tidak punya strategi yang jelas. Dalam situasi seperti ini, risiko bahwa AS akan mengambil tindakan yang sembrono sangatlah tinggi. Singkatnya, kita berada di masa yang berbahaya.


FF: Apakah Anda melihat kemungkinan untuk membangun jembatan antara perjuangan anti-imperialis? Secara umum, mengingat apa yang telah kita bahas, bagaimana bentuk anti-imperialisme dan internasionalisme anti-kapitalis abad ke-21?

NF: Ada kemungkinan, tetapi seberapa besar kemungkinan itu terwujud adalah pertanyaan lain.

Seperti yang saya katakan, kita kini hidup di zaman yang penuh resiko. Kita bisa saja tergelincir ke dalam perang nuklir atau perang dunia yang mengerikan kapan saja. Kita menghadapi krisis ekologi yang mengancam kelangsungan hidup planet ini. Dan ada ketidakpastian dan ketidakamanan yang luar biasa dalam hal penghidupan, bahkan di bagian dunia yang kaya. 

Di tengah situasi krisis yang ekstrem ini, di mana kepastian-kepastian normal telah runtuh, banyak orang bersedia mempertimbangkan kembali apa yang secara politik mungkin dilakukan. Hal ini telah membuka ruang bagi kekuatan kiri yang bersedia memikirkan jenis aliansi baru yang kita butuhkan untuk zaman ini. Namun, pada saat yang sama, kita juga menyaksikan munculnya populisme kanan—dan dalam beberapa kasus, proto-fasis atau setidaknya otoriter. Semua ini adalah respons terhadap keruntuhan hegemoni borjuis (dalam arti Gramscian, bukan geopolitik).

Saya telah memikirkan pertanyaan-pertanyaan ini sejak Krisis Ekonomi Global 2008 dan Gerakan Occupy pada 2011. Kadang-kadang saya merasa optimis tentang prospek kiri emansipatoris untuk membangun aliansi anti-kapitalis dan anti-imperialis. Pada saat lain, sepertinya sayap kanan jauh lebih berhasil dalam mengarahkan ketidakpuasan. Namun, intinya adalah kita tidak memiliki pilihan lain selain berjuang untuk internasionalisme anti-imperialis dan anti-kapitalis yang baru—yang feminis, anti-rasis, demokratis, dan hijau. Semua kata sifat ini menunjuk pada kekhawatiran eksistensial yang sah dari orang-orang yang bergerak. Kita tidak dalam posisi untuk mengatakan, misalnya, bahwa perjuangan melawan kekerasan polisi kurang penting dibandingkan dengan perjuangan melawan perubahan iklim: bagi mereka yang mengalami kekerasan polisi, tidak ada yang lebih penting.

Hal yang masih memberi saya secercah harapan adalah fakta bahwa berbagai krisis ini sebenarnya bukanlah persoalan yang berdiri sendiri. Semuanya memiliki akar yang sama, yang saya sebut sebagai kapitalisme kanibal dalam buku terbaru saya. Saya berargumen bahwa kapitalisme memiliki kecenderungan struktural untuk melahap segala hal: alam, kerja perawatan, kekayaan kolektif masyarakat tertindas, serta energi dan kreativitas para pekerja.

Jika kita bisa membantu lebih banyak orang memahami hubungan ini, maka gagasan dan upaya untuk membangun aliansi yang lebih luas akan mulai masuk akal. Tantangannya adalah menemukan cara menyatukan semua bentuk perjuangan ini tanpa menciptakan hirarki penindasan. Karena pada akhirnya, tidak ada satu gerakan pun yang cukup kuat untuk mengubah dunia sendirian.***

]]>
Adam Hanieh: Imperialisme AS dan Posisi Timur Tengah dalam Imperialisme Global https://indoprogress.com/2025/05/imperialisme-as-dan-posisi-timur-tengah-dalam-imperialisme-global/ Fri, 30 May 2025 15:35:47 +0000 https://indoprogress.com/?p=238980 Ilustrasi: The Break-Down


ADAM Hanieh adalah seorang profesor Ekonomi Politik dan Pembangunan Global di University of Exeter, Inggris, yang penelitiannya berfokus pada kapitalisme dan imperialisme di Timur Tengah. Buku terbarunya adalah Crude Capitalism:Oil, Corporat Power, and the Making of the World Market. Dalam wawancara mendalam dengan Federico Fuentes untuk LINKS International Journal of Socialist Renewal, Hanieh mengeksplorasi perlunya mengedepankan transfer nilai dalam memahami imperialisme, peran Israel dalam kapitalisme fosil global, dan meningkatnya pengaruh negara-negara Teluk.

Artikel ini diterjemahkan dan diterbitkan ulang di sini untuk kepentingan pembangunan gerakan anti-imperialisme di Indonesia.


Federico Fuentes (FF): Selama satu abad terakhir, istilah imperialisme telah digunakan untuk mendefinisikan berbagai situasi yang berbeda dan, terkadang, digantikan oleh konsep-konsep seperti globalisasi dan hegemoni. Apakah konsep imperialisme masih berlaku? Jika ya, bagaimana Anda mendefinisikannya?

Adam Hanieh (AH): Tentu saja masih valid dan ada banyak hal yang dapat dipelajari dari para penulis klasik tentang imperialisme, seperti Vladimir Lenin, Nikolai Bukharin, dan Rosa Luxemburg, serta dari kontribusi dan perdebatan yang terjadi kemudian, termasuk dari para marxis anti-kolonial di tahun 60-an dan 70-an.

Pada tingkat yang paling umum, saya mendefinisikan imperialisme sebagai bentuk kapitalisme global yang berpusat pada ekstraksi dan transfer nilai yang terus-menerus dari negara-negara miskin (atau pinggiran) ke negara-negara kaya (atau inti), dan dari kelas-kelas di negara-negara miskin ke kelas-kelas di negara-negara kaya. Saya pikir ada kecenderungan untuk mereduksi imperialisme menjadi sekadar konflik geopolitik, perang, atau intervensi militer. Namun, tanpa memahami konsep inti mengenai transfer nilai ini, kita tidak dapat memahami imperialisme sebagai fitur permanen dari pasar dunia yang beroperasi bahkan di masa-masa yang seharusnya “damai”.

Cara-cara transfer nilai ini berlangsung sangat kompleks dan membutuhkan pemikiran yang cermat. Ekspor kapital sebagai investasi asing langsung ke negara-negara yang dikuasai adalah salah satu mekanismenya. Kontrol langsung dan ekstraksi sumber daya adalah mekanisme lainnya. Tetapi kita juga perlu melihat berbagai mekanisme dan hubungan keuangan yang telah meluas sejak tahun 1980-an: misalnya, pembayaran cicilan utang yang dilakukan oleh negara-negara di Global South. Ada juga perbedaan nilai tenaga kerja antara negara-negara inti dan pinggiran, sesuatu yang telah dieksplorasi oleh para ahli teori imperialisme dari tahun 60-an dan 70-an, seperti Samir Amin dan Ernest Mandel. Pertukaran yang tidak setara dalam perdagangan adalah jalan lain. Dan tenaga kerja migran adalah mekanisme lebih lanjut yang sangat penting di mana transfer nilai terjadi. Memikirkan berbagai bentuk ini membuka pemahaman kita tentang dunia saat ini – lebih dari sekadar pertanyaan tentang perang atau konflik antar negara.

Pendekatan terhadap imperialisme melalui transfer nilai ini membantu mengungkapkan siapa yang diuntungkan. Lenin mengedepankan kapital keuangan (finance capital), yang merupakan hasil dari semakin terintegrasinya kontrol atas kapital perbankan (banking capital) dan kapital industri (industrial capital), atau kapital produktif (productive capital). Hal ini masih berlaku. Namun, saat ini lebih rumit, di mana beberapa lapisan borjuasi yang mendominasi di pinggiran telah terintegrasi sebagian ke dalam kapitalisme di inti. Mereka tidak hanya sering memiliki kewarganegaraan di negara-negara tersebut, tetapi juga mendapatkan keuntungan dari hubungan imperialisme ini. Ada juga lebih banyak kepemilikan kapital lintas batas dan munculnya zona keuangan lepas pantai, yang membuatnya lebih sulit untuk melacak kontrol dan aliran kapital. Memahami imperialisme saat ini membutuhkan pemetaan yang lebih baik tentang siapa yang diuntungkan dari integrasi ke dalam pusat-pusat inti akumulasi kapital, dan cara-cara di mana pasar keuangan yang berbeda saling terhubung.

Fitur ketiga yang muncul dari transfer nilai ini adalah konsep aristokrasi buruh. Hal ini sangat penting dalam membahas kolonialisme dan imperialisme, yang sudah ada sejak zaman Karl Marx dan Friedrich Engels, tetapi sering disalahartikan atau tidak dimasukkan ke dalam pemikiran marxis kontemporer. Jika kita menelaah lebih mendalam pamflet Lenin, Imperialisme, Tahap Tertinggi Kapitalisme, dan melihat tulisan-tulisannya yang lain tentang imperialisme, kita akan menemukan bahwa ia mendedikasikan perhatian yang signifikan untuk menganalisis implikasi politik dari hubungan imperialisme dalam menciptakan lapisan-lapisan sosial di negara-negara inti yang politiknya menjadi berorientasi dan terhubung dengan kaum borjuis mereka sendiri. Wawasan ini masih tetap valid dan perlu dikedepankan lagi. Di Inggris, misalnya, hal ini membantu menjelaskan karakter Partai Buruh Inggris yang jelas-jelas pro-imperialis.

Salah satu ciri imperialisme kontemporer yang tidak diteorikan dengan baik di awal abad ke-20 adalah bagaimana dominasi imperialisme selalu terikat dengan jenis ideologi rasis dan seksis tertentu, yang membantu membenarkan dan melegitimasinya. Saat ini, kita dapat melihat hal ini dalam konteks Palestina. Sangatlah penting untuk mengintegrasikan anti-rasisme dan feminisme ke dalam cara kita berpikir tentang kapitalisme, anti-imperialisme, dan perjuangan anti-imperialisme. Neville Alexander melakukan hal ini dalam konteks Afrika Selatan, seperti halnya Walter Rodney, seorang marxis anti-kolonial dari Guyana, dan Angela Davis di Amerika Serikat.


FF: Banyak yang setuju bahwa setelah Perang Dingin, politik dunia didominasi oleh imperialisme AS/Barat. Namun, pergeseran relatif tampaknya sedang terjadi dengan kebangkitan ekonomi Tiongkok, Rusia menginvasi Ukraina, dan bahkan negara-negara yang lebih kecil, seperti Turki dan Arab Saudi, yang melebarkan kekuatan militer di luar perbatasan mereka. Secara umum, bagaimana kita dapat memahami dinamika yang terjadi di dalam sistem imperialis global?

AH: Sejak awal tahun 2000-an, kita telah melihat munculnya pusat-pusat akumulasi kapital baru di luar AS. Cina berada di garis depan dalam hal ini. Hal ini pada awalnya terkait dengan aliran investasi asing langsung ke Cina dan wilayah Asia Timur yang lebih luas, yang bertujuan untuk mengeksploitasi tenaga kerja murah sebagai bagian dari penataan ulang rantai nilai global. Namun sejak saat itu, kebangkitan Cina telah dikaitkan dengan melemahnya kapitalisme AS secara relatif dalam konteks krisis global yang mendalam dan semakin dalam.

Erosi relatif dari kekuatan AS ini dapat dilihat di berbagai metrik. Selama tiga dekade terakhir, dominasi AS atas teknologi, industri, dan infrastruktur utama telah melemah. Salah satu indikasinya adalah turunnya pangsa AS dalam PDB global dari 40% menjadi sekitar 26% antara tahun 1985-2024. Juga telah terjadi pergeseran relatif dalam kepemilikan dan kontrol perusahaan-perusahaan kapitalis terbesar di dunia. Jumlah perusahaan Tiongkok di Global Fortune 500, misalnya, menyalip AS pada tahun 2018 dan tetap seperti itu hingga tahun lalu, ketika AS mendapatkan kembali kepemimpinannya (139 perusahaan AS dibandingkan dengan 128 perusahaan Tiongkok). Representasi Tiongkok dalam daftar ini telah meningkat dari hanya 10 perusahaan pada tahun 2000. Meskipun kebangkitan Tiongkok sebagian besar mengorbankan perusahaan-perusahaan Jepang dan Eropa, ada juga penurunan kontrol AS atas kapital besar: dalam 25 tahun terakhir, pangsa AS di Global Fortune 500 telah turun dari 39% menjadi 28%.

Yang penting, indikasi-indikasi penurunan relatif AS ini tercermin di dalam negeri. Kapitalisme AS didera oleh masalah sosial yang parah: menurunnya angka harapan hidup, penahanan massal, tunawisma, penyakit mental, dan runtuhnya infrastruktur penting. Neoliberalisme dan polarisasi kekayaan yang ekstrem telah mengikis kapasitas negara AS untuk merespons krisis besar – seperti yang terlihat pada pandemi Covid-19 dan, yang terbaru, pada musim badai tahun 2024 dan kebakaran Los Angeles pada Januari 2025.

Namun, kita perlu menekankan melemahnya kekuatan AS adalah secara relatif. Saya tidak yakin dominasi AS akan segera runtuh. AS masih memiliki keunggulan militer yang sangat besar dibandingkan para pesaingnya, dan sentralitas dolar AS tidak perlu dipertanyakan lagi. Yang terakhir ini adalah sumber utama kekuatan AS karena memungkinkan AS untuk menyingkirkan pesaing dari pasar keuangan dan sistem perbankan AS (terutama terlihat jelas sejak peristiwa 9/11). Begitu banyak kekuatan geopolitik AS diartikulasikan melalui dominasi keuangannya – alasan lain mengapa kita perlu mempertimbangkan imperialisme lebih dari sekadar bentuk militernya.

Ada juga gambaran yang lebih besar dari persaingan global ini yang harus kita tekankan: berbagai krisis yang saling berhubungan yang sekarang menandai kapitalisme secara global. Kita dapat melihat hal ini dalam stagnasi tingkat keuntungan dan melimpahnya surplus kapital uang (money capital) yang kesulitan menemukan lokasi investasi yang menguntungkan; peningkatan besar dalam utang publik dan swasta; serta kelebihan produksi di banyak sektor ekonomi. Semua itu diperparah oleh situasi darurat iklim yang semakin nyata. Jadi, ketika kita berbicara tentang dinamika sistem imperialis global, ini bukan hanya masalah persaingan antar negara dan membandingkan kekuatan AS versus kekuatan kapitalis lainnya. Kita perlu menempatkan konflik-konflik ini dalam krisis sistemik jangka panjang yang sedang dihadapi oleh semua negara.


FF: Bagaimana Anda memahami kemunculan Presiden AS Donald Trump dalam semua ini?

AH: Banyak komentator liberal menggambarkan Trump sebagai sosok egosentris yang memimpin pemerintahan yang telah dibajak oleh miliarder ekstremis sayap kanan, atau bahkan secara diam-diam dituding dikendalikan oleh Rusia. Namun, menurut saya, perspektif semacam ini salah. Terlepas dari sifat narsistiknya, Trump sebenarnya mewakili sebuah proyek politik yang jelas, yang mencoba merespons masalah umum yang baru saja saya uraikan: bagaimana cara menghadapi kemunduran relatif posisi AS di tengah krisis sistemik yang lebih besar yang dihadapi kapitalisme global?

Jika Anda mengikuti diskusi di antara para penasihat ekonominya, terdapat bukti kuat mengenai hal ini. Contoh yang paling jelas adalah analisis panjang yang ditulis oleh Stephen Miran, seorang ekonom yang baru saja dikukuhkan sebagai ketua Dewan Penasihat Ekonomi Trump,  pada November 2024. Menurut Miran, ekonomi AS telah menyusut relatif terhadap PDB global selama beberapa dekade terakhir, namun AS menanggung biaya untuk mempertahankan “payung pertahanan” dunia dalam menghadapi persaingan antarnegara yang semakin meningkat. Yang paling penting, menurutnya, dolar AS dinilai terlalu tinggi karena perannya sebagai mata uang cadangan internasional, yang berakibat pada melemahnya kapasitas manufaktur AS.

Untuk mengatasi masalah tersebut, ia mengusulkan agar AS menerapkan ancaman tarif untuk memaksa sekutu AS menanggung bagian yang lebih besar dari biaya imperialisme. Miran mengatakan, pendekatan ini juga bertujuan untuk membawa kembali manufaktur ke dalam negeri – suatu hal yang dianggap strategis jika terjadi perang. Dia juga mengusulkan serangkaian langkah untuk membatasi dampak inflasi dari rencana ini dan mempertahankan dolar AS sebagai mata uang yang dominan meskipun terjadi devaluasi (dia secara eksplisit menunjukkan pentingnya dolar AS untuk memproyeksikan dan mengamankan kekuatan AS). Perspektif seperti ini sedang didorong oleh pemerintahan Trump, termasuk Menteri Keuangan Scott Bessent.

Poin kuncinya bukanlah apakah rencana ini berhasil atau masuk akal secara ekonomi, tetapi memahami motivasi di baliknya. Rencana ini secara eksplisit disusun sebagai cara untuk mengatasi masalah yang dihadapi AS dan kapitalisme global, dan untuk menegaskan kembali keunggulan global AS dengan mengalihkan biayanya ke bagian lain dunia. Pemerintahan Joe Biden mengusulkan solusi yang berbeda, tetapi bergulat dengan masalah yang sama, berbicara secara terbuka tentang mengintensifkan “persaingan strategis” dan kebutuhan untuk menemukan cara bagi AS untuk “mempertahankan keunggulan intinya dalam persaingan geopolitik”.

Jadi, kita harus mendekati pemerintahan Trump sebagai aktor dengan proyek yang koheren. Jelas ada banyak sekali kontradiksi dan ketegangan internal yang ditimbulkan oleh proyek ini, dan ketidaksepakatan yang jelas dari beberapa seksi kapital AS dan sekutu asing yang sudah lama ada. Tetapi ketegangan-ketegangan ini juga merupakan cerminan dari sifat kapitalisme global yang sangat tidak stabil saat ini.

Artikulasi domestik dari proyek ini, seperti yang sering terjadi pada masa krisis, dibangun di atas pengkambinghitaman, rasisme yang ganas dan sikap anti-migran, irasionalisme anti-ilmiah, penyangkalan terhadap iklim, serta politik gender dan seksualitas yang sangat konservatif. Semua jenis kiasan ideologis ini berfungsi untuk mempromosikan nasionalisme, militerisme, dan perasaan bahwa sebuah negara sedang dikepung. Hal ini memungkinkan lebih banyak lagi penindasan oleh negara dan pemotongan belanja sosial. Tentu saja, hal ini tidak hanya terjadi di Amerika Serikat. Kebangkitan global dari ideologi-ideologi sayap kanan ini merupakan indikasi lebih lanjut bahwa kita sedang menghadapi krisis sistemik yang lebih besar yang sedang dihadapi oleh semua negara kapitalis.

Saya ingin menekankan kembali keadaan darurat iklim. Kita dapat melihat bagaimana pemerintahan Trump merobek-robek peraturan lingkungan dan berusaha mempercepat produksi minyak dan gas dalam negeri sebagai salah satu cara untuk menegaskan kembali kekuatan kapitalisme AS (melalui penurunan biaya energi). Namun, sangat jelas pula bahwa kita sedang memasuki fase kehancuran iklim yang tidak dapat diprediksi, yang secara material akan berdampak pada miliaran orang dalam beberapa dekade mendatang. Kaum kanan mungkin menyangkal realitas perubahan iklim, tetapi pada akhirnya hal ini terjadi karena kapitalisme tidak dapat membiarkan apa pun berdampak buruk pada akumulasi. Kita perlu memusatkan perhatian pada masalah iklim dalam politik kita saat ini, karena masalah ini akan semakin merasuk ke dalam segala hal.

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.


FF: Berbagai penjelasan yang saling bersaing telah ditawarkan untuk menjelaskan dukungan imperialis AS/Barat terhadap perang Israel di Gaza. Apa pandangan Anda? Bagaimana proses normalisasi antara Israel dan negara-negara Arab cocok dengan hal ini? Dan apa dampak dari peristiwa 7 Oktober dan genosida Gaza terhadap hal ini?

AH: Kita harus melihat hubungan AS-Israel dalam konteks wilayah yang lebih luas, dan tidak hanya melalui lensa tentang apa yang terjadi di dalam perbatasan Palestina atau motivasi para pemimpin Israel. Hal ini membutuhkan latar belakang imperialisme AS dan sentralitas kawasan ini terhadap kapitalisme fosil global.

Bangkitnya AS sebagai kekuatan kapitalis yang dominan berkaitan erat dengan pergeseran ke minyak sebagai bahan bakar fosil utama pada pertengahan abad ke-20. Hal ini memberikan Timur Tengah – sebagai pusat ekspor minyak dunia dan zona produksi energi yang sangat penting – sebuah peran yang sangat penting dalam proyek global AS. Di Timur Tengah, Israel telah menjadi pilar utama pengaruh AS, terutama setelah perang (Arab-Israel) tahun 1967, di mana Israel menunjukkan kemampuannya untuk mengalahkan gerakan-gerakan nasionalis Arab dan perjuangan-perjuangan anti-kolonial. Dalam hal ini, AS selalu berada di kursi kemudi hubungan ini – bukan Israel, dan tentu saja bukan lobi Israel.

Pilar lain dari kekuatan AS di Timur Tengah adalah negara-negara Teluk, khususnya Arab Saudi. Sejak pertengahan abad ke-20, AS telah membangun hubungan istimewa dengan kerajaan-kerajaan Teluk, yang bertindak sebagai penghalang bagi kelangsungan hidup mereka selama mereka tetap berada dalam sistem aliansi regional AS yang lebih luas. Hal ini berarti menjamin aliran minyak ke pasar dunia dan memastikan bahwa minyak tidak pernah digunakan sebagai “senjata”. Hal ini juga berarti bahwa triliunan dolar yang diperoleh negara-negara Teluk melalui penjualan minyak sebagian besar disirkulasikan kembali ke pasar-pasar keuangan Barat.

Sama halnya dengan status globalnya, dominasi AS di kawasan ini telah terkikis selama dua dekade terakhir. Hal ini tercermin dari meningkatnya peran negara-negara asing lainnya di kawasan ini (seperti Cina dan Rusia), dan perjuangan kekuatan-kekuatan regional untuk memperluas pengaruh mereka (misalnya Iran, Turki, Arab Saudi, dan Uni Emirat Arab). Yang juga penting, ada juga pergeseran ke arah timur dalam ekspor minyak dan gas Teluk, yang sekarang mengalir terutama ke Cina dan Asia Timur, daripada ke negara-negara Barat.

Sebagai tanggapan, AS telah berusaha untuk menyatukan dua sekutu regional utamanya dengan menormalkan hubungan politik, ekonomi, dan diplomatik antara negara-negara Teluk dan Israel. Proyek ini sudah ada sejak beberapa dekade yang lalu, namun semakin intensif di bawah Perjanjian Oslo pada tahun 90-an. Baru-baru ini, kita melihat Israel menormalkan hubungan dengan UEA dan Bahrain melalui Perjanjian Abraham tahun 2020. Pada tahun itu, Israel juga menormalkan hubungan dengan Sudan dan Maroko. Langkah-langkah signifikan ini diikuti pada tahun 2022 dengan penandatanganan perjanjian perdagangan bebas antara UEA dan Israel.

Kita perlu membaca tindakan Israel dan genosida di Gaza melalui lensa ini. Bahkan saat ini, setelah peristiwa 7 Oktober dan genosida, dan di tengah-tengah pembicaraan tentang pengusiran lebih lanjut warga Palestina dari tanah mereka, tujuan AS tetaplah normalisasi hubungan antara Israel dan negara-negara Teluk sebagai sarana untuk menegaskan kembali keunggulannya di wilayah tersebut.


FF: Namun, apakah usulan Trump untuk membersihkan Gaza secara etnis akan mempersulit pemerintah-pemerintah di wilayah tersebut untuk menormalisasi hubungan dengan Israel?

AH: Usulan Trump untuk melakukan pembersihan etnis lebih lanjut di Gaza jelas beresonansi dengan sebagian besar spektrum politik Israel. Namun, ada banyak hambatan untuk melakukan hal ini, dimulai dengan fakta bahwa negara-negara seperti Yordania dan Mesir tidak ingin melihat pengungsi Palestina dalam jumlah besar ke wilayah mereka.

Namun negara-negara seperti Arab Saudi, Yordania dan Mesir tidak memiliki pandangan yang berbeda dengan proyek AS. Pada prinsipnya, kerajaan Saudi tidak memiliki masalah dalam menormalkan hubungan dengan Israel, dan mereka tentu saja memberikan lampu hijau bagi UEA untuk melakukannya sebagai bagian dari Kesepakatan Abraham. Ada keselarasan yang sangat erat antara AS dan negara-negara Teluk, yang semakin meningkat di bawah kepemimpinan Trump. Kita dapat melihat hal ini dari fakta bahwa Arab Saudi menjadi tuan rumah negosiasi AS-Rusia saat ini, dan dalam pengumuman UEA baru-baru ini bahwa mereka berencana untuk menginvestasikan 1,4 triliun dolar AS di AS selama dekade berikutnya.

Pada saat yang sama, jelas sangat sulit bagi proyek ini untuk bergerak maju tanpa adanya kekalahan dari pihak Palestina di Gaza dan di tempat lain, dan semacam persetujuan dari pihak Palestina. Solusi potensial untuk dilema ini ditemukan di Tepi Barat, dalam bentuk Otoritas Palestina (PA). PA adalah kuncinya karena PA telah menciptakan lapisan politisi Palestina dan kelas kapitalis Palestina yang kepentingannya terkait dengan akomodasi dengan Israel dan yang bersedia untuk memfasilitasi normalisasi regional (yang merupakan inti dari Perjanjian Oslo). Jadi, kita tidak boleh membaca negara-negara Arab sebagai sesuatu yang secara genetis menentang pembersihan etnis dan normalisasi seperti yang diusulkan oleh Trump.


FF: Monopoli minyak nasional yang dijalankan oleh negara-negara Timur Tengah (dan negara-negara non-Barat lainnya) telah mengambil alih posisi perusahaan-perusahaan Barat di pasar minyak global. Bagaimana hal ini memengaruhi posisi Timur Tengah dalam kapitalisme global?

AH: Selama dua dekade terakhir kita telah melihat kebangkitan perusahaan-perusahaan minyak nasional yang besar, yang mengubah dinamika industri minyak global. Negara-negara Teluk menonjol dalam hal ini, terutama Saudi Aramco, produsen dan eksportir minyak terbesar di dunia saat ini, melampaui perusahaan-perusahaan besar Barat yang mendominasi industri ini hampir sepanjang abad ke-20.

Perusahaan-perusahaan minyak nasional ini telah mengikuti jejak perusahaan-perusahaan minyak besar Barat untuk menjadi terintegrasi secara vertikal. Pada tahun 70-an, negara-negara penghasil minyak seperti Arab Saudi, sebagian besar berfokus pada ekstraksi minyak mentah hulu. Namun saat ini, perusahaan-perusahaan minyak nasional mereka aktif di sepanjang rantai nilai. Mereka terlibat dalam penyulingan dan produksi petrokimia dan plastik. Mereka memiliki jalur pelayaran, jaringan pipa, kapal tanker, dan stasiun layanan di mana bahan bakar dijual. Mereka memiliki jaringan pemasaran global.

Pada saat yang sama, kita telah melihat munculnya apa yang saya sebut dalam Crude Capitalism sebagai “poros hidrokarbon Timur-Timur”. Dengan kebangkitan Cina, ekspor minyak Teluk telah berpaling dari Eropa Barat dan AS, dan ke arah timur menuju Cina dan Asia Timur secara lebih luas. Kita tidak hanya berbicara tentang ekspor minyak mentah, tetapi juga produk penyulingan dan petrokimia. Hal ini telah menyebabkan saling ketergantungan yang semakin besar antara kedua wilayah ini, yang sekarang menjadi poros utama industri minyak global di luar AS.

Bukan berarti pasar dan perusahaan minyak Barat tidak penting. Perusahaan-perusahaan besar Barat masih mendominasi di AS dan blok Amerika Utara yang lebih luas. Tetapi kita dihadapkan dengan pasar minyak global yang terfragmentasi, di mana hubungan Timur-Timur ini semakin mencerminkan melemahnya pengaruh AS – secara global dan di Timur Tengah.


FF: Apa implikasi dari hal ini terhadap anggapan bahwa sejumlah perusahaan milik negara, baik yang berskala transnasional maupun berasal dari negara non-Barat, dapat beroperasi secara sukses tanpa bergantung pada dukungan institusional dari kekuatan imperialis?

AH: Perusahaan-perusahaan ini bukanlah perusahaan milik AS atau Barat, tetapi mereka masih memiliki hubungan penting dengan perusahaan-perusahaan minyak Barat (termasuk melalui proyek-proyek bersama) dan aktif di pasar-pasar Barat. Kilang minyak terbesar di AS adalah milik Saudi. Jadi, kita tidak perlu mengadu domba satu dengan yang lain, seolah-olah ada perbedaan mendasar tentang bagaimana mereka, sebagai blok fosil, melihat masa depan industri ini. Mereka benar-benar berdiri di sisi yang sama dalam hal darurat iklim. Kita dapat melihat hal ini dalam peran penting negara-negara Teluk dalam menghalangi dan mengalihkan setiap respons global yang efektif terhadap keadaan darurat ini.


FF: Selain memperdalam hubungan dengan Cina, negara-negara Teluk semakin menunjukkan kesediaan mereka untuk bertindak secara otonom dan bahkan bersaing untuk mendapatkan pengaruh di wilayah tersebut. Bagaimana Anda menjelaskan peran negara-negara Teluk ini?

AH: Terkait dengan melemahnya kekuatan AS secara relatif, aktor-aktor lain, termasuk negara-negara Teluk, telah berusaha untuk memproyeksikan kepentingan regional mereka sendiri.

Mereka telah menggunakan berbagai mekanisme: mensponsori berbagai kelompok bersenjata atau gerakan politik atau menjadi tuan rumah bagi berbagai kekuatan politik yang berbeda (kasus Qatar menonjol di sini); memberikan bantuan keuangan kepada negara-negara seperti Mesir dan Libya; intervensi militer di tempat-tempat seperti Yaman dan Sudan; dan dengan mengendalikan pelabuhan dan rute logistik. Dengan cara-cara ini, negara-negara Teluk telah berusaha untuk meningkatkan jejak regional mereka.

Hal ini sebagian berkaitan dengan akibat dari pemberontakan Arab (Arab uprisings) tahun 2011, yang dengan cepat menyebar ke seluruh wilayah, menggoyahkan penguasa otoriter yang telah lama berkuasa, seperti di Mesir dan Tunisia. Negara-negara Teluk memainkan peran utama dalam upaya memulihkan negara-negara otoriter ini setelah pemberontakan.

Ada juga persaingan antara negara-negara Teluk, terutama Arab Saudi dan Qatar, tetapi juga antara Arab Saudi dan UEA. Mereka tidak selalu sepakat dalam segala hal, dan terkadang mendukung pihak yang saling berlawanan – misalnya di Sudan (di mana Arab Saudi mendukung Angkatan Bersenjata Sudan dalam perang saudara yang sedang berlangsung, sementara UEA membantu Pasukan Dukungan Cepat/Rapid Support Forces).

Namun, meskipun relatif menurun, AS tetap menjadi kekuatan imperialis utama di kawasan ini. Hal ini terbukti melalui kehadiran militernya secara langsung di Teluk, di mana AS memiliki fasilitas dan pangkalan militer di negara-negara seperti Bahrain, Arab Saudi, dan UEA. AS masih menjadi penyangga terakhir – secara militer dan politik – bagi rezim-rezim Teluk.


FF: Istilah subimperialis kadang-kadang digunakan untuk menggambarkan negara-negara seperti ini, yang keduanya berada di bawah kekuatan imperialis tetapi beroperasi dengan otonomi dalam lingkup pengaruh mereka. Apakah Anda melihat ini sebagai istilah yang berguna untuk memahami negara-negara Teluk?

AH: Meskipun istilah subimperialisme dapat menangkap beberapa hal yang diwakili oleh negara-negara ini, negara-negara Teluk tidak memiliki kemampuan untuk memproyeksikan kekuatan militer mereka dengan cara yang sama seperti yang dilakukan oleh negara-negara Barat. Itu tidak berarti bahwa mereka tidak membangun kapasitas militer, tetapi mereka sebagian besar masih beroperasi melalui proksi dan sangat bergantung pada payung militer AS. Seperti yang telah saya sebutkan, ada pangkalan militer AS di seluruh Teluk. Ekspor perangkat keras militer dari negara-negara Barat ke wilayah ini semakin meningkatkan pengawasan Barat terhadap militer Teluk, karena ekspor ini membutuhkan pelatihan, pemeliharaan, dan dukungan yang berkelanjutan.

Meskipun demikian, ekspor kapital dari Teluk ke wilayah yang lebih luas – dan semakin banyak juga ke benua Afrika – sangat nyata. Ekspor kapital ini mencerminkan transfer nilai lintas batas. Juga sangat jelas bahwa konglomerat-konglomerat yang berbasis di Teluk telah menjadi penerima manfaat utama dari gelombang neoliberal yang melanda Timur Tengah selama beberapa dekade terakhir, di mana ekonomi dibuka, dan tanah serta aset-aset lainnya diprivatisasi. Saya tidak hanya berbicara tentang konglomerat Teluk milik negara, tetapi juga konglomerat swasta besar. Jika Anda melihat ke seluruh wilayah di sektor-sektor seperti perbankan, ritel, agribisnis, Anda akan melihat konglomerat negara dan swasta yang berbasis di Teluk.

Inilah sebabnya mengapa sangat penting untuk memikirkan kawasan ini dalam konteks kepentingan kapitalis dan pola akumulasi kapital, bukan hanya konflik antar negara.


FF: Iran terkadang dianggap sebagai kekuatan kecil atau subimperialis, mengingat konfliknya yang simultan dengan imperialisme AS dan perannya yang semakin meluas di kawasan ini. Yang lain melihatnya sebagai ujung tombak “Poros Perlawanan/Axis of Resistance” anti-imperialis di wilayah tersebut. Bagaimana Anda melihat peran Iran?

AH: Istilah “Poros Perlawanan” menyesatkan karena menyiratkan terlalu banyak kesepakatan bulat antara sekumpulan aktor yang cukup heterogen dengan kepentingan, basis sosial, dan hubungan dengan politik yang sangat berbeda, baik di dalam negeri maupun di kawasan. Pada dasarnya, hal ini berusaha untuk menempatkan tanda plus di mana (mantan Presiden AS George W Bush) meletakkan tanda negatif dengan “Axis of Evil”. Ini adalah cara yang sederhana dalam berpolitik.

Kita harus secara jelas dan tegas menentang segala bentuk intervensi imperialis Barat di Iran atau wilayah yang lebih luas (baik secara langsung atau melalui Israel). Ini bukan hanya berarti intervensi militer, tetapi juga intervensi ekonomi dan bentuk-bentuk intervensi lainnya. Sanksi adalah hal yang besar dalam kasus Iran.

Pada saat yang sama, kita harus menyadari bahwa Iran adalah negara kapitalis, dengan kelas kapitalisnya sendiri, yang memiliki tujuan-tujuannya sendiri di kawasan ini dan secara lebih luas. Sama seperti negara-negara Teluk, Iran mencoba memproyeksikan kekuatan regionalnya, di tengah konteks destabilisasi pasca-2011, melemahnya kekuatan AS dan semua hal lain yang telah kita bahas.

Memang benar bahwa Iran melakukannya di luar proyek AS untuk kawasan ini, seperti yang telah terjadi selama beberapa dekade. Namun, mengakui karakter kapitalis negara Iran berarti kita juga harus berdiri dalam solidaritas dengan gerakan-gerakan sosial dan politik yang progresif di Iran, baik itu perjuangan buruh dan serikat buruh (yang masih terus berlanjut), perjuangan perempuan, perjuangan rakyat Kurdi, dan seterusnya. Ini adalah gerakan-gerakan yang harus kita dukung sebagai kaum sosialis, dalam kerangka politik anti-imperialis.

Titik awalnya adalah secara konsisten bersikap anti-kapitalis dalam cara kita berpikir tentang negara dan gerakan, yang berarti tidak memberikan dukungan politik kepada pemerintah kapitalis – siapa pun mereka, di mana pun mereka berada. Kita dapat bersolidaritas dengan orang-orang yang sedang berjuang dan juga menentang intervensi imperialis dalam segala bentuknya. Tetapi, kita tidak boleh mereduksi kompleksitas kapitalisme di Timur Tengah menjadi semacam geopolitik manichean, yang memandang hubungan global secara biner dan moralistik: ”baik vs jahat”, ”kita vs mereka”, ”demokrasi atau otoritarianisme”.

]]>
Geopolitik, Sistem Imperialisme, dan Anti-Imperialisme Sosialis: Wawancara dengan Claudio Katz https://indoprogress.com/2025/02/geopolitik-sistem-imperialisme-dan-anti-imperialisme-sosialis/ Mon, 10 Feb 2025 02:29:13 +0000 https://indoprogress.com/?p=238783 Ilustrasi: Ilustruth


Pengantar penerjemah: Claudio Katz adalah profesor ekonomi di Universitas Buenos Aires (Argentina) dan anggota Economists of the Left. Ia telah menulis berbagai artikel dan buku tentang kapitalisme dan imperialisme kontemporer, termasuk Bajo el Imperio del Capital, Dependency Theory After Fifty Years, dan yang terbaru, La Crisis del Sistema Imperial. Dalam wawancara mendalam bersama Federico Fuentes dari LINKS International Journal of Socialist Renewal ini, Katz menjelaskan tentang pentingnya untuk tidak hanya memandang imperialisme dari sudut pandang ekonomi, membahas kebangkitan yang ia sebut sebagai “sistem imperial” dan kompleksitas gerakan anti-imperialisme di abad ke-21.


Federico Fuentes  (FF): Apakah konsep imperialisme masih relevan saat ini? Dan, jika ya, bagaimana Anda mendefinisikan imperialisme?

Claudio Katz (CK): Kita harus mengakui bahwa imperialisme memainkan peran yang menentukan dalam berfungsinya kapitalisme, tetapi pada saat yang sama, imperialisme tidak identik dengan kapitalisme. Imperialisme tidak dapat disamakan dengan kapitalisme: yang terakhir adalah modus produksi yang dominan, sedangkan yang pertama adalah instrumen yang memastikan kelangsungan sistem tersebut. Kapitalisme selalu menunjukkan karakteristik kolonial atau imperialisme, dan menggunakan berbagai bentuk penindasan untuk memaksakan dominasinya. Imperialisme modern adalah bagian dari kesinambungan ini. Ia bukanlah sekadar tahap dalam perkembangan kapitalisme, seperti liberalisme abad ke-19 atau intervensionisme negara pascaperang. Imperialisme juga bukan sebuah bentuk pengelolaan negara, seperti keynesianisme atau neoliberalisme. Pembedaan ini sangat penting untuk memberikan konteks pada apa yang ingin kita definisikan.

Imperialisme memastikan kelangsungan kerja kapitalisme melalui tiga cara. Pertama, dalam aspek ekonomi, ia berfungsi sebagai mekanisme di mana para kapitalis di negara-negara inti menguasai dan mengambil alih sumber daya dari negara-negara pinggiran. Kedua, dalam aspek geopolitik, ia berperan sebagai mekanisme untuk menyelesaikan persaingan antara kekuatan-kekuatan yang bersaing untuk mendominasi pasar. Dan ketiga, dalam aspek politik, ia berfungsi untuk melindungi kepentingan para penindas.

Untuk memahami imperialisme, kita perlu mempertimbangkan ketiga aspek ini. Ini berarti, yang terpenting, kita harus menjauhkan diri kita dari pendekatan liberal yang memisahkan isu kekuatan imperialis dari akar kapitalisnya. Namun, kita juga harus mengambil jarak dari pendekatan marxis tradisional kita sendiri, yang cenderung memandang imperialisme hanya dari sudut pandang ekonomi dan mengabaikan dimensi politik dan geopolitik.

Dalam beberapa dekade terakhir, telah terjadi penilaian ulang yang signifikan terhadap interpretasi yang terlalu sederhana mengenai imperialisme. Pengenalan konsep “dua logika” oleh Giovanni Arrighi sangat penting. Konsep ini memberikan pemahaman yang lebih tepat tentang geopolitik dalam kerangka imperialisme, serta membantu menjelaskan ketegangan antara AS dan Cina sebagai sesuatu yang lebih kompleks dari sekadar persaingan ekonomi. Saya berusaha untuk menambahkan komponen lain dalam analisis ini: dimensi politik ketiga dari imperialisme, yang menyoroti bagaimana para penindas memanfaatkan imperialisme untuk menguasai yang tertindas. Penaklukan ini sering kali dilakukan melalui ancaman atau kekerasan. Imperialisme beroperasi pada skala global untuk menghadapi perlawanan rakyat, pemberontakan, dan revolusi.

FF: Anda baru saja menerbitkan The Imperial System in Crisis. Mengapa Anda menggunakan istilah ”sistem imperialisme” dan apa yang Anda maksudkan dengan hal ini?

CK: Saya menggunakan konsep ini untuk menjelaskan keunikan imperialisme modern. Menurut pendapat saya, saat ini kita berada dalam sebuah sistem imperialisme yang pertama kali muncul pada pertengahan abad ke-20. Sistem ini memiliki karakteristik yang sangat unik yang membedakannya dari model-model sebelumnya.

Sistem kekaisaran ini berbeda, pertama dan terutama, dari konsep tradisional kekaisaran yang sering kali kabur. Banyak ilmuwan telah menggunakan istilah ini untuk menggambarkan berbagai kekuatan sepanjang sejarah yang beroperasi dengan cara yang sama untuk mengendalikan negara-negara yang ditaklukkan. Definisi umum seperti itu tidak memadai jika kita ingin mencapai pemahaman yang lebih mendalam. Definisi tersebut mengabaikan fakta bahwa terdapat berbagai jenis kekaisaran, yang masing-masing memiliki perbedaan yang signifikan karena didasarkan pada moda produksi yang berbeda. Konsep sistem imperialisme menekankan perbedaan ini. Imperialisme modern sangat berbeda dari kerajaan-kerajaan pra-kapitalis seperti Roma, Yunani, Persia, Spanyol, Portugis, atau Belanda, yang didorong oleh keinginan untuk memperluas wilayah atau ambisi perdagangan.

Sistem kekaisaran juga berbeda dari model kekaisaran informal yang lebih modern yang muncul selama konsolidasi kapitalisme antara tahun 1830 dan 1870. Dalam model ini, penggunaan kekerasan hanya merupakan aspek pelengkap dari dominasi Inggris. John A. Hobson menyoroti keunikan ini, dan banyak penulis yang menggunakan konsep tersebut untuk menggambarkan skenario selanjutnya, seperti dominasi Amerika Serikat (AS) setelah Perang Dunia II. Penulis lain juga menerapkan konsep yang sama untuk menjelaskan supremasi AS selama periode globalisasi. Saya lebih memilih konsep sistem imperialisme karena konsep ini menekankan bahwa imperialisme modern merupakan struktur pemaksaan yang ditopang oleh jaringan pangkalan militer yang digunakan untuk melancarkan berbagai jenis perang hibrida. AS tidak bertindak sendiri ketika melakukan invasi, melainkan berperan sebagai pemimpin dari jaringan sistemik yang luas ini.

Terakhir, konsep sistem imperialisme ini berbeda dari imperialisme klasik yang dianalisis oleh Vladimir Lenin pada awal abad ke-20, ketika negara-negara besar bersaing satu sama lain dalam Perang Dunia. Mereka yang ingin memperbarui model Lenin dan mengantisipasi kembalinya perang antar-imperialis, sering kali menggambarkan Cina dan Rusia sebagai kekuatan imperialis yang bersaing dengan AS dan Eropa untuk mencapai supremasi global. Mereka percaya bahwa bentrokan antara kekaisaran Timur dan Barat akan diselesaikan di medan perang. Pada akhirnya, mereka melihat bahwa akhir dari globalisasi akan menciptakan kembali ketegangan dan situasi yang sangat mirip dengan Perang Dunia I.

Sebaliknya, saya menunjukkan bahwa terdapat perbedaan substansial antara masa lalu dan sekarang. Yang paling mencolok adalah tidak adanya perang antara kekuatan kapitalis besar sejak pertengahan abad ke-20. Tidak ada konflik militer antara Prancis dan Jerman atau Jepang dan AS. Bahkan, meskipun ada  ketegangan yang meningkat dengan Uni Soviet, yang memiliki karakteristik yang berbeda, tidak berujung pada konfrontasi bersenjata secara langsung. Kehadiran senjata nuklir menghadirkan ancaman yang jelas bahwa perang yang meluas dapat mengakhiri umat manusia. Selain itu, tidak ada persaingan antara kekuatan yang setara. Sebaliknya, terdapat kekuatan global yang melindungi seluruh sistem melalui kekuatan militer Pentagon, dengan AS sebagai inti dari sistem kekaisaran. Terdapat juga perbedaan ekonomi yang signifikan antara kapitalisme di masa Lenin dan kapitalisme di abad ke-21. Upaya untuk menganalisis situasi kontemporer dengan menggunakan kriteria Lenin pada akhirnya mengarah pada kategorisasi yang dipaksakan, terutama terkait dengan status Rusia atau Cina.

Sistem kekaisaran muncul pada paruh kedua abad ke-20. Semua institusi dan instrumen yang, dalam satu atau lain bentuk, ada saat ini muncul pada periode itu. AS memimpin sistem ini dan beroperasi sebagai penjaga kapitalisme, sebuah peran yang didelegasikan kepadanya oleh negara-negara sekutunya. AS memainkan peran sentral dalam menumpas berbagai pemberontakan revolusioner di Afrika, Asia, dan Amerika Latin. Orang dapat berargumen bahwa metode intervensi AS telah berubah di abad ke-21, tetapi perannya sebagai penyokong kapitalisme Barat tetap tidak berubah.

Sistem kekaisaran memiliki struktur hierarki. AS berdiri di puncak piramida yang memiliki aturan tentang keanggotaan, koeksistensi, dan pengecualian. Setiap wilayah atau negara yang tergabung dalam sistem ini memiliki posisi tertentu dalam struktur tersebut, yang pada gilirannya menentukan intensitas konflik. Konflik antara mereka yang berada dalam sistem imperialisme tidak sebanding dengan perselisihan dengan negara-negara di pinggiran. Misalnya, perbedaan antara AS dan Eropa mengenai nilai tukar euro/dolar (atau supremasi Boeing atas Airbus) memiliki karakter yang sangat  berbeda dengan perselisihan dengan Cina dan Rusia. Hal ini memiliki skala yang berbeda karena melibatkan kekuatan yang berada di luar sistem kekaisaran.

Eropa merupakan mitra utama AS dalam sistem ini, meskipun beberapa negara memiliki tingkat otonomi operasional yang cukup tinggi dari Washington. Akibatnya, mereka memiliki status sebagai kekuatan alternatif imperial. Prancis, misalnya, menerapkan kebijakan imperialisnya sendiri terhadap bekas jajahannya di Afrika. Namun, biasanya meminta izin, bersekutu, atau meminta nasihat dari AS sebelum mengambil langkah internasional yang signifikan. Mitra-mitra lain beroperasi pada tingkat yang berbeda dalam sistem ini, seperti Israel, Australia dan Kanada. Kepentingan mereka saling terkait dengan kepentingan AS, dan mereka menjalankan peran-peran kekaisaran yang spesifik di berbagai wilayah di dunia.

Penting juga untuk mengakui bahwa sistem imperialisme telah mengubah hubungan antara negara-negara dan kelas-kelas dominan, tetapi perubahan ini tetap berlangsung pada skala nasional. Hal ini bertentangan dengan ekspektasi Antonio Negri atau William I. Robinson, yang membayangkan bahwa imperialisme berevolusi menjadi imperium global dengan negara-negara dan kelas-kelas transnasional yang beroperasi di dalam tatanan dunia yang lebih seragam. Harapan-harapan ini telah terbantahkan dengan berakhirnya euforia globalisasi dan munculnya persaingan geopolitik antara AS dan Cina. Konflik ini menegaskan tidak ada keterkaitan yang berarti antara kelas-kelas atau negara-negara dari dua kekuatan besar dunia tersebut. Sistem kekaisaran membantu kita memahami situasi saat ini.

FF: Seberapa besar bobot relatif dari mekanisme eksploitasi imperialis saat ini, dibandingkan dengan masa lalu?

CK: Mekanisme-mekanisme ini telah diteliti secara ekstensif dalam studi-studi tentang ekonomi imperialisme. Mekanisme-mekanisme ini merupakan elemen penting dari sistem ini karena tujuan utama struktur ini adalah untuk mengeruk keuntungan dari negara-negara pinggiran yang ditaklukkan. Terdapat persaingan yang ketat antara kekuatan-kekuatan untuk mendapatkan keuntungan dari eksploitasi sumber daya di Eropa Timur, Afrika, Amerika Latin, dunia Arab, dan sebagian besar Asia. Dalam konteks ekonomi, sistem imperialisme berfungsi sebagai mekanisme internasional yang mentransfer sumber daya dari pinggiran ke pusat. Eksploitasi ini dimungkinkan karena kekuatan tertentu mengendalikan negara-negara lain yang kedaulatannya dibatasi, dinetralkan, atau dilucuti. Jelas bahwa negara-negara pinggiran tidak terlibat dalam sistem imperialisme atau dalam perselisihan mengenai keuntungan yang diekstraksi dari mereka.

Studi tentang ekonomi imperialisme berkembang pesat pada tahun 1960-an dan 1970-an. Terdapat berbagai diskusi mengenai dinamika pertukaran yang tidak merata dan berbagai metode yang digunakan untuk mengalirkan nilai dari pinggiran ke pusat. Beberapa peneliti menyoroti bagaimana ekonomi yang lebih padat modal menyerap nilai lebih dari ekonomi yang lebih bergantung. Prinsip ini menjelaskan logika ekonomi objektif dari imperialisme. Sangatlah penting untuk mengungkap misteri seputar masalah ini. Namun, jelas terdapat berbagai mekanisme yang digunakan untuk memindahkan sumber daya dari daerah pinggiran ke pusat. Ada mekanisme produktif, seperti maquilas dan zona pemrosesan ekspor yang didirikan di negara-negara pinggiran; terjadi pertukaran yang tidak setara ketika barang-barang manufaktur atau layanan teknologi tinggi diperdagangkan dengan komoditas dasar; dan ada mekanisme transfer keuangan seperti utang luar negeri. Penting untuk mempertimbangkan berbagai mekanisme ini, berbeda dengan pendekatan yang hanya berfokus pada bidang produktif atau hanya tertarik pada aspek keuangan. Transfer sumber daya dari wilayah pinggiran ke pusat terjadi melalui berbagai jalur.

Beberapa penulis telah mengeksplorasi bagaimana proses-proses ini berbeda dengan yang terjadi pada abad sebelumnya. Arus utama dalam kajian ini sangat terkait erat dengan teori ketergantungan marxis, yang dapat dilihat sebagai salah satu cabang dalam ekonomi imperialisme. Para penulis ini menawarkan beberapa jalur penelitian yang menjanjikan, tetapi tetap memerlukan beberapa catatan tambahan.

Para pendukung pendekatan ini dengan tepat menekankan bentuk-bentuk transfer nilai saat ini dari ekonomi yang kurang berkembang ke ekonomi yang lebih maju. Namun, kita perlu lebih cermat dalam mendefinisikan aktor-aktor yang terlibat. Sebagai contoh, kita harus berhati-hati ketika merujuk pada Global South (Dunia Selatan): siapa saja yang termasuk dalam kelompok negara-negara ini, dan siapa yang tergolong dalam dalam kutub yang berlawanan, Global North (Dunia Utara)? Apakah Global North mencakup semua negara inti, sementara Global South mencakup semua negara pinggiran? Jika demikian, di manakah posisi Cina? Jika kita mengategorikan  Cina sebagai bagian dari Selatan, maka akan sangat sulit untuk menjelaskan bagaimana transfer nilai beroperasi saat ini.

Pendekatan saya juga berusaha menyoroti karakteristik unik dari ekonomi menengah. Terdapat jurang pemisah yang sangat besar antara negara-negara seperti Brasil dengan Haiti, Turki dengan Yaman, dan India dengan Mali. Memahami hal ini adalah kunci untuk mencatat berbagai cara yang digunakan untuk menguras, mempertahankan, atau menyerap nilai dalam dinamika akumulasi kapitalis.

Saya juga berpendapat bahwa gagasan tentang produksi global, di mana nilai lebih dihasilkan secara eksklusif di Selatan dan disita oleh Utara, sebagai pandangan yang terlalu sederhana. Pendekatan ini mengabaikan fakta bahwa nilai lebih dihasilkan di seluruh dunia. Yang membedakan antara inti dan pinggiran bukanlah penciptaan nilai lebih itu sendiri, melainkan siapa yang paling diuntungkan dari nilai lebih yang dirampas dari para pekerja. Eksploitasi tenaga kerja terjadi di mana-mana; perbedaannya terletak pada kapasitas yang lebih besar yang dimiliki oleh para kapitalis di pusat untuk meraih keuntungan dari eksploitasi tersebut.

Konsep mengenai super-eksploitasi juga harus digunakan dengan hati-hati, dan tidak hanya diterapkan pada ekonomi pinggiran. Metode pemberian upah tenaga kerja di bawah nilai sebenarnya ini dapat ditemukan di sektor-sektor termiskin di semua negara. Perbedaan utama antara negara inti dan negara pinggiran bukanlah adanya eksploitasi berlebihan, melainkan karena negara pusat mengambil sebagian besar nilai yang dihasilkan melalui cara ini.

Saya juga percaya bahwa kita harus berhati-hati dengan isu-isu dan kontroversi ini. Penting untuk tidak kehilangan fokus pada gambaran besar saat membahas rincian tertentu. Isu-isu utama terkait teori imperialisme tidak dapat diselesaikan hanya dalam ranah ekonomi. Mempelajari super-eksploitasi, hukum nilai atau finansialisasi, misalnya, tidak akan memberi kita kejelasan tentang status Cina saat ini.

FF: Dalam beberapa tahun terakhir, tampaknya ada perubahan dalam sistem kekaisaran. Sementara AS dipaksa mundur dari Afganistan, Rusia telah menginvasi Ukraina, Cina terus bangkit, dan negara-negara seperti Turki dan Arab Saudi, di antaranya, telah mengerahkan kekuatan militer di luar perbatasan mereka. Secara garis besar, bagaimana Anda menjelaskan perubahan dinamika dalam sistem kekaisaran ini?

CK: AS tetap menjadi pemimpin sistem imperialisme. Ini berarti kita harus terus-menerus menganalisis kekuatan utama saat mempelajari imperialisme modern. Menilai kondisi AS dapat memberikan wawasan yang signifikan tentang arah sistem imperialisme. Teka-teki utama yang masih tersisa adalah sejauh mana skala penurunan ekonomi negara tersebut. Jelas bahwa AS telah terperosok ke dalam kemerosotan ekonomi struktural yang serius dan berkepanjangan. Buktinya terlihat jelas, seperti hilangnya daya saing perusahaan-perusahaannya dan tingkat de-dolarisasi tertentu yang terjadi secara global. Penurunan ini telah memicu konflik domestik antara dua kelompok ekonomi yang kuat di AS: kaum globalis yang berbasis di pesisir dan kaum amerikanis di pedalaman.

Cina telah membuat kemajuan penting dalam upayanya untuk mendominasi secara global, namun AS masih jauh dari mengalami kekalahan. Saat ini, AS belum memiliki jawaban yang memadai atas tantangan yang diajukan oleh Beijing. Saya sependapat dengan mereka yang skeptis terhadap prediksi penurunan ekonomi AS yang tak terelakkan. Sektor produktifnya mengalami proses rekomposisi secara berkala, yang meskipun tidak memulihkan supremasi AS, namun menangkal gagasan tentang penurunan yang tidak dapat dipulihkan.

Lebih penting lagi, kita tidak boleh melihat perselisihan global ini hanya sebagai pertarungan ekonomi. AS telah terlibat dalam aksi militer berskala besar untuk memengaruhi hasil dari konflik ini. Itulah mengapa sistem kekaisaran adalah konsep yang sangat diperlukan dalam merumuskan diagnosis yang akurat. Strategi utama negara adikuasa ini adalah mengimbangi kemerosotan ekonominya dengan memanfaatkan kekuatan militernya di seluruh dunia. AS menggunakan pendekatan ini untuk mencoba membangun kembali kepemimpinannya, yang pada gilirannya meningkatkan risiko perang dan, dengan demikian, memperkuat kompleks industri militer. Kompleks industri militer tetap menjadi pendorong utama inovasi teknologi, dengan Pentagon memainkan penting penting dalam revolusi informasi yang dipimpin oleh AS. Inovasi yang dikembangkan di sektor militer kemudian ditransfer ke ranah sipil untuk memastikan daya saing.

Namun, dalam upaya untuk menghentikan kemerosotan ekonominya melalui tindakan militer, AS telah terjebak ke dalam perangkap hipertrofi militer. Hal ini justru memperburuk situasi dan merusak upaya untuk memperbaiki ekonominya yang sedang kesulitan. Ternyata, obat yang diberikan lebih buruk daripada penyakitnya. Dengan menurunnya produktivitas, muncul ketegangan antara sektor militer dan sipil, yang memperparah pengeluaran yang tidak produktif. Kepentingan kontraktor berbenturan dengan kepentingan perusahaan yang mencari keuntungan. Ketidaksepakatan di dalam kelas penguasa meningkat terkait prioritas; misalnya, apakah akan mendukung ambisi ekspansionis Israel secara membabi buta atau berusaha mempertahankan dukungan Saudi untuk dominasi global dolar AS. Departemen Luar Negeri AS terus-menerus terganggu oleh ketegangan yang belum terselesaikan ini, yang terus berlanjut baik pada saat kemenangan (seperti pengeboman Yugoslavia), atau kekalahan (seperti di Afganistan dan Irak). Gigantisme militer memperbesar kemerosotan ekonomi dan mereproduksi ketegangan yang menggerogoti masyarakat AS.

Masalah utamanya terletak pada perbedaan kualitatif antara sistem kekaisaran modern saat ini dan model pada abad ke-20. Pada paruh kedua abad ke-20, AS memimpin sebuah sistem yang memiliki basis ekonomi yang kuat. Saat ini, meskipun AS masih memegang kendali, tetapi dominasi ekonominya tidak sekuat dulu. AS berusaha mengimbangi situasi ini dengan meningkatkan tindakan permusuhan.

Upaya serangan balik yang dilakukan Joseph Biden beberapa waktu lalu mencerminkan hal ini. Di satu sisi, ia memprovokasi perang Ukraina dengan mendukung inisiatif untuk menarik Ukraina ke dalam sistem jaringan rudal NATO. Ia berusaha menjebak Rusia dan mengulangi mimpi buruk kekalahan Uni Soviet di Afganistan. Namun, setahun kemudian, semua pihak masih terjebak dalam konflik yang hingga saat ini tidak menunjukkan siapa pemenangnya. AS tentu saja telah mencapai beberapa tujuan: mereka berhasil memaksakan pertumpahan darah tanpa harus mengerahkan pasukannya sendiri; mengembuskan kehidupan baru ke dalam NATO; dan  berhasil mengintegrasikan Finlandia dan Swedia ke dalam organisasi tersebut. NATO juga telah mampu mengalihkan biaya ekonomi, kemanusiaan, sosial, dan politik dari perang ke Eropa. Namun, kekalahan Rusia yang diharapkan tampaknya tidak akan terjadi dalam waktu dekat.

Hasil di medan perang lainnya juga masih belum pasti. AS telah mengirim pasukan ke Laut Cina untuk meningkatkan ketegangan dan membenarkan pembentukan NATO Pasifik bersama Jepang, Korea Selatan, dan Australia. Meskipun ini berhasil meningkatkan intensitas konflik, AS gagal memosisikan dirinya sebagai pemimpin yang jelas dalam pertarungan ini.

Biden menggabungkan keynesianisme dalam dalam kebijakan domestik dan menerapkan pendekatan luar negeri yang lebih agresif untuk menghidupkan kembali semangat Perang Dingin yang baru dan mengembalikan posisi sentral AS dalam aliansi Barat. Penting untuk dicatat bahwa strategi ini memiliki kemiripan dengan strategi yang pernah diterapkan pada paruh kedua abad ke-20. Serangan balasan di Ukraina dan Laut Cina merupakan reaksi terhadap tantangan yang dihadapi di Afganistan dan Irak. Hal ini menunjukkan bahwa AS menggunakan kekuatan militer sebagai upaya untuk menghentikan, atau setidaknya memperlambat, penurunan ekonominya.

FF: Apa yang bisa Anda ceritakan tentang peran Cina dan Rusia?

CK: Mari kita mulai dengan membahas Rusia. Periode traumatis setelah runtuhnya Uni Soviet telah berlalu, dan kapitalisme kini berkuasa. Ini menunjukkan bahwa Rusia memenuhi persyaratan pertama untuk diakui sebagai kekaisaran: adanya ekonomi kapitalis. Namun, meski demikian, ekonominya masih lemah dan sangat bergantung pada ekspor sumber daya alam. Negara ini menghadapi berbagai tantangan terkait produktivitas dan masih terdapat kesenjangan teknologi yang signifikan antara sektor militer dan industri sipilnya. Ketidakseimbangan ini terjadi dalam kerangka ekonomi kapitalis, tetapi tidak sepenuhnya menjelaskan status Rusia saat ini.

Status Rusia dipengaruhi oleh dualitas unik sebagai negara yang tertindas sekaligus penindas. Rusia mengalami penindasan, tetapi juga melakukan intervensi eksternal. Situasi yang dihadapi Rusia sangat kontradiktif. Di satu sisi, AS, melalui NATO, secara agresif mengganggu Moskow. Washington terus-menerus berusaha untuk memecah-belah mantan musuhnya. Boris Yeltsin (dan, pada awalnya, Vladimir Putin) mencoba meredakan tekanan ini dengan menawarkan integrasi Rusia ke dalam sistem kekaisaran, tetapi semua langkah tersebut diveto oleh AS. Elit neoliberal Rusia –yang terdiri dari oligarki internasional yang berinvestasi di Inggris, berlibur di Florida, dan mendidik anak-anak mereka di New York– terus berusaha untuk berasimilasi dengan Barat. Namun, upaya ini pun tidak cukup untuk mengurangi ambisi AS dalam memecah belah Rusia. Tekanan yang berkelanjutan ini mendorong Putin mengambil langkah defensif, dengan menegakkan aturan negara dan melaksanakan otoritas negara guna untuk mencegah disintegrasi.

AS memiliki obsesi agresif terhadap Rusia, dan alasan di baliknya sangat jelas: sulit untuk mengendalikan sistem kekaisaran ketika berhadapan dengan musuh yang memiliki persenjataan nuklir yang besar. Untuk menjalankan dominasi yang efektif, Pentagon perlu mengganggu musuhnya. Inilah yang menjadi tujuan dari semua serangan yang dilakukan sebelum dan selama konflik di Ukraina.

Namun, penting untuk dicatat bahwa Rusia bukan hanya korban dari sistem kekaisaran. Rusia juga merupakan kekuatan yang sangat aktif, terutama di wilayah pinggirannya, di mana ia menerapkan kebijakan dominasi dan melindungi kepentingan bersama dengan para elite yang bersekutu dengan Moskow. Kazakstan adalah salah satu contohnya. Di negara ini, Kremlin mengirimkan pasukan untuk melindungi kepentingan bisnis yang dimiliki bersama dengan mitra lokalnya. Oleh karena itu, melihat status Rusia perlu mempertimbangkan peran gandanya sebagai agresor dan korban.

Menurut pandangan saya, status Rusia saat ini dapat digambarkan sebagai kerajaan non-hegemonik yang sedang dalam fase pertumbuhan. Istilah non-hegemonik digunakan karena beroperasi di luar sistem kekaisaran yang mapan, sementara ”sedang dalam masa pertumbuhan” karena mencerminkaan karakter embrionik dari status barunya. Rusia tidak menunjukkan tingkat stabilitas yang sama dengan kekaisaran lainnya. Perang Ukraina kemungkinan besar akan menjadi penentu apakah negara ini berhasil mengonsolidasikan status kekaisarannya atau justru menghadapi kemunduran dini. Konsep kekaisaran non-hegemonik yang sedang dalam fase pertumbuhan ini memungkinkan kita untuk membedakan Rusia dari kekuatan imperialis lainnya. Konsep ini berbeda dari pandangan yang menempatkan Rusia pada level yang sama dengan AS. Selain itu, konsep ini juga menantang anggapan yang berlawanan bahwa Rusia tak lebih dari sekadar target agresi AS. Sementara rudal-rudal NATO mengepung Rusia, negara ini terus mengerahkan pasukan ke Suriah dan mengekspor tentara bayaran ke Afrika. Dalam konteks ini, meskipun Rusia berada di luar sistem kekaisaran dan menempati posisi ekonomi yang subordinat, ia berusaha menegaskan posisinya dalam tatanan global melalui penggunaan kekuatan. Hal ini menambah lapisan kompleksitas dalam mendefinisikan status Rusia.

Menggambarkan karakteristik Cina lebih mudah dilakukan. Seperti halnya Rusia, Cina  berada di luar sistem kekaisaran dan menjadi target agresi AS. Namun, berbeda dengan Rusia, kapitalisme belum sepenuhnya pulih di Cina. Meskipun kapitalisme hadir, ia tidak mengendalikan dan mendominasi ekonomi atau masyarakat Cina. Ciri khas ini menjelaskan kemajuan luar biasa negara ini dalam beberapa tahun terakhir. Cina berhasil memadukan fondasi sosialis lamanya dengan mekanisme pasar dan parameter kapitalis. Kombinasi ini memungkinkan Cina untuk mempertahankan surplusnya melalui sistem yang berbeda dengan neoliberalisme dan finansialisasi. Cina tidak akan bisa mencapai kemajuan luar biasa jika hanya menjadi negara kapitalis biasa.

Perbedaan utama antara Cina dan Rusia (dan negara-negara Eropa Timur lainnya) terletak pada bidang politik, terutama dalam pembatasan yang dikenakan pada kelas kapitalis. Sektor ini memang ada dan memiliki pengaruh penting, tetapi tidak mengendalikan negara atau memegang kekuasaan politik. Di Cina, terdapat modus produksi yang sebagian berakar pada tradisi sosialis lama dan birokrasi yang mengelola negara dengan cara yang sangat berbeda dari kapitalis.

Kebijakan luar negeri Cina tidak memiliki karakteristik yang sama dengan kekuatan imperialis. Cina menahan diri untuk tidak mengirim pasukan ke luar negeri, menghindari konflik militer, dan sangat berhati-hati dalam hal geopolitik. Beijing mengadopsi pendekatan defensif, mendukung pelemahan saingannya, Amerika Serikat, dan memprioritaskan tekanan terhadap Taiwan sebagai cara untuk menegaskan kembali status sah “Satu Tiongkok”. Oleh karena itu, menggambarkan kekuatan baru ini dengan istilah kekaisaran tidaklah tepat.

Ini bukan berarti saya setuju dengan pandangan yang memandang Cina sebagai bagian dari Global South. Beijing memanfaatkan daerah pinggiran, menyerap nilai surplus dari ekonomi yang paling terbelakang dan sering kali menjalin hubungan dominasi ekonomi dengan sebagian besar negara Asia, Afrika, dan Amerika Latin. Ini adalah tren yang umum terjadi, meskipun jika negara-negara pinggiran bernegosiasi dengan raksasa Asia ini dengan cara yang berbeda, mereka mungkin dapat mencapai pembangunan yang lebih merata.

FF: Bagaimana dengan negara-negara kecil, seperti Turki dan Arab Saudi, yang kini melebarkan kekuatan militer di luar perbatasan mereka. Bagaimana Anda melihat status negara-negara ini?

CK: Beberapa beberapa negara ini kini semakin berperan penting di panggung global, dan para pemain regional ini telah memberikan dampak yang tidak terduga. Contohnya adalah BRICS (Brasil, Rusia, India, Cina, dan Afrika Selatan), di mana Cina telah membangun berbagai kemitraan dengan negara-negara ini untuk memastikan pasokan energi, mengamankan rute laut, dan bersaing dalam memperebutkan kendali atas sumber daya Afrika.

Ada dua konsep yang berguna untuk menjelaskan status negara-negara ini. Yang pertama adalah gagasan ekonomi semi-periferal yang diperkenalkan oleh Immanuel Wallerstein untuk menunjukkan bahwa dalam pembagian kerja global, terdapat lebih dari sekadar negara-negara inti dan negara-negara pinggiran. Ada juga sekelompok negara yang berada di posisi tengah. Negara-negara ini, meskipun tidak dapat naik ke tingkat atas, mereka tidak mengalami tingkat ketidakberdayaan dan ketergantungan yang sama seperti negara-negara yang lebih terbelakang. Konsep lain yang membantu adalah gagasan Ruy Mauro Marini tentang sub-imperialisme. Istilah ini mengacu pada negara-negara berkembang yang mampu menggunakan kekuatan untuk menantang dominasi regional. Contoh terbaru dari konflik semacam itu adalah persaingan tripartit untuk dominasi ekonomi di Timur Tengah antara Turki, Arab Saudi, dan Iran.

Terdapat banyak variasi di antara negara-negara menengah ini. Dalam kelompok yang sama, terdapat negara yang ekonominya sangat bergantung (seperti Argentina), dan negara lain yang mampu bersaing di tingkat global dalam industri tertentu (seperti Korea Selatan), meskipun pengaruh politiknya relatif kecil. Selain itu, ada negara berkembang yang memiliki kehadiran geopolitik yang signifikan tetapi basis ekonominya lemah (seperti Turki), dan negara-negara yang memiliki pengaruh penting di kedua wilayah tersebut (seperti India). Situasi ini sangat kompleks dan terus berkembang, sehingga membutuhkan interpretasi yang cermat dan akurat.

Arab Saudi, misalnya, merupakan sebuah teka-teki yang besar. Negara ini tidak lagi beroperasi sebagai monarki pasif yang sepenuhnya dikendalikan oleh AS. Meskipun merupakan sekutu kunci dari sistem kekaisaran, Arab Saudi tidak terlibat secara langsung di dalamnya. Selama bertahun-tahun, negara ini telah memasok rente minyak yang digunakan pasar oleh keuangan global untuk mempertahankan supremasi dolar. Namun, dalam beberapa tahun terakhir, para raja Saudi telah mempertahankan otonomi tertentu dari AS dalam beberapa bidang kebijakan. Mereka telah melakukan langkah-langkah yang menimbulkan pertanyaan serius mengenai bagaimana mereka berencana untuk mengelola sewa minyak yang menopang dolar.

Saudi juga telah muncul sebagai klien penting untuk Inisiatif Sabuk dan Jalan Cina (Belt and Road Initiative), menerima investasi yang sangat besar-besaran. Konsekuensi dari peristiwa-peristiwa ini mulai terlihat, tetapi Departemen Luar Negeri AS kesulitan untuk meresponsnya. Mereka khawatir tentang kemungkinan de-dolarisasi di masa depan, tetapi tidak memiliki rencana untuk mencegahnya.

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.

FF: Apa pendapat Anda tentang konsep multipolaritas yang dipromosikan oleh beberapa sektor sayap kiri?

CK: Saya berpendapat bahwa konsep sistem imperialisme memberikan pemahaman yang lebih jelas tentang situasi global ketimbang ide-ide seperti multipolaritas. Istilah ini, bersama dengan unipolaritas dan bipolaritas, pada dasarnya bersifat deskriptif dan merujuk pada tingkat stabilitas tertentu dalam berbagai konfigurasi tatanan dunia. Terdapat perbedaan yang luas dalam bidang Hubungan Internasional mengenai mana yag lebih baik dalam menciptakan keseimbangan di antara kekuatan-kekuatan: multipolaritas atau unipolaritas.

Konteks multipolar yang ada saat ini menunjukkan adanya distribusi kekuatan yang sepadan dengan krisis sistem imperialisme. Aspirasi neokonservatif yang muncul setelah keruntuhan Uni Soviet, untuk menciptakan “Abad Amerika Baru” di bawah kepemimpinan Washington, telah mengalami kemunduran yang signifikan akibat  kekalahan militer dan kegagalan geopolitik AS. Pergeseran ke arah multipolaritas dapat dilihat sebagai hal yang positif dibandingkan dengan konteks unipolar sebelumnya, terutama jika itu berarti melemahnya kapasitas agresif imperialisme.

Namun, multipolaritas tidak dapat disamakan dengan anti-imperialisme. Para pemimpin dari semua pemerintahan yang berkonflik dengan AS dan sekutunya berusaha untuk meningkatkan kekuatan kelas penguasa atau birokrasi mereka. Tidak ada yang berusaha menetralisir imperialisme sebagai cara untuk menciptakan masyarakat baru. Oleh karena itu, saya tidak memiliki ketertarikan atau idealisasi naif yang dimiliki oleh banyak orang di sayap kiri terhadap multipolaritas. Pujian semacam itu sangat keliru ketika mengesampingkan tokoh-tokoh yang lebih konservatif dan sayap kanan yang berada di garis depan gerakan multipolar.

Usulan mendiang presiden Venezuela, Hugo Chavez, mengenai proyek pluripolaritas sosialis jauh lebih baik. Proyek ini tidak bertentangan dengan multipolaritas, tetapi berbeda karena berusaha melibatkan program dan kekuatan rakyat yang memiliki tujuan serupa untuk membangun masa depan pasca-kapitalis. Konsep ini telah diusulkan dalam berbagai pertemuan gerakan sosial dan partai kiri, terutama di Amerika Latin. Konsep ini mengikuti jalur yang sama dengan forum-forum yang diselenggarakan oleh gerakan anti-globalisasi. Saya percaya bahwa benih-benih gerakan kontra-hegemoni telah ditaburkan di Seattle dan Porto Alegre pada tahun 1990-an. Sayangnya, upaya-upaya ini tidak tahu bagaimana caranya atau gagal untuk berkolaborasi dengan pemerintah-pemerintah yang lebih radikal di Amerika Latin “Pink Tide”, yang menyebabkan kemunduran gerakan internasionalis.

Saat ini, kita menghadapi situasi yang sangat kompleks karena menguatnya konsolidasi gerakan kanan-jauh. Dengan retorika dan perilaku reaksionernya, kekuatan kanan-jauh ini berhasil menyalurkan ketidakpuasan rakyat dalam jumlah besar. Menghadapi tantangan ini, penting untuk memperkuat proyek kiri kita sendiri, dengan tujuan-tujuan egaliter dan aspirasi sosialisnya.

FF: Mengingat semua ini, seperti apa seharusnya anti-imperialisme abad ke-21?

CK: Pertama-tama, kita harus kembali ke akarnya. Karl Marx memulai warisannya dengan mengubah pandangannya bahwa kelas pekerja Eropa akan memimpin revolusi sosialis yang akan menyeret kaum pinggiran menuju dunia tanpa penindasan. Belakangan, ia menyadari pentingnya perlawanan dari masyarakat pinggiran. Pertama kali ia melihat ini di Irlandia, kemudian di Cina dan India, dan akhirnya memperluas pandangannya ke wilayah lain. Oleh karena itu, ia mengusulkan perlawanan terhadap kapitalisme yang menggabungkan pemberontakan anti-kolonial dengan aksi kelas pekerja di pusat-pusat industri.

Tesis ini dikembangkan lebih lanjut oleh Lenin, yang menyoroti hubungan positif antara perjuangan sosial dan nasional dalam melawan kapitalisme. Ia mendukung hak penentuan nasib sendiri di Eropa Timur dan menentang internasionalisme abstrak yang menolak konvergensi perjuangan semacam itu. Ketika dinamika revolusi bergeser ke Timur, Lenin sangat menganjurkan kerja sama dengan nasionalisme revolusioner di balik proyek anti-imperialisme sosialis. Konsep ini kemudian terbukti berhasil dalam revolusi di Tiongkok, Vietnam, dan Kuba.

Di abad ke-21, meskipun masih banyak perjuangan anti-kolonialisme, dunia telah berubah. Palestina adalah contoh yang paling menonjol. Anti-imperialisme tradisional juga muncul kembali di bekas koloni Prancis di Sahel Afrika, dengan kebangkitan semacam chavisme radikal di wilayah ini. Anti-imperialisme klasik, yang tampaknya telah memudar di awal abad ini kecuali di Amerika Latin, kini kembali mendapatkan momentum.

Namun, kita harus melihat dinamika saat ini dengan pandangan yang terbuka, mengakui bahwa anti-imperialisme saat ini lebih kompleks, beragam, dan rumit dibanding masa lalu. Banyak perlawanan terhadap imperialisme kini tidak lagi dipimpin oleh kekuatan nasionalis, progresif, atau kiri, melainkan oleh arus reaksioner yang eksplisit, seperti Taliban di Afganistan, yang berhasil mengalahkan AS tanpa menyempurnakan kemenangan bagi rakyat. Rezim penindas yang didirikan di Kabul adalah antitesis dari proyek progresif, berbeda dengan kemenangan-kemenangan anti-imperialis di paruh kedua abad ke-20.

Perang Ukraina juga menimbulkan pertanyaan yang berbeda: Di pihak manakah kubu anti-imperialis dalam konflik ini? Bagaimana seharusnya kita memosisikan diri? Menurut saya, tanggung jawab utama atas perang ini terletak pada AS, yang sengaja memprovokasi perang dengan mengepung Rusia dengan rudal, mendorong aksesi Kyiv ke NATO, memanipulasi pemberontakan Maidan, mendukung provokasi sayap kanan di Donbas, dan menolak proposal Rusia untuk penyelesaian yang dirundingkan. Namun, Putin juga melakukan invasi yang tidak dapat dibenarkan, menciptakan kepanikan di antara penduduk dan kebencian terhadap penjajah.

Hasil militer apa pun akan memiliki konsekuensi politik yang negatif: jika Zelensky dan NATO menang, sistem kekaisaran akan diperkuat; jika Putin menang, akan ada luka mendalam di Ukraina dan menciptakan kondisi untuk konfrontasi yang berkepanjangan. Saya tidak setuju dengan aliran sayap kiri yang membenarkan invasi Rusia dan lawan-lawan mereka yang membebaskan NATO (dan, dalam kasus yang paling aneh, menganjurkan untuk memasok senjata ke Ukraina). Solusi terbaik dalam skenario buruk ini adalah melanjutkan pembicaraan tentang gencatan senjata, hasil positif yang dipromosikan oleh banyak pemimpin progresif dan gerakan sayap kiri.

Secara lebih umum, saya melihat anti-imperialisme sebagai sebuah prinsip yang tetap relevan dalam konteks agresi, pembantaian, tragedi, dan perang saat ini, meskipun hal ini tidak sejelas pada abad ke-20. Oleh karena itu, mungkin kita perlu kembali ke Marx untuk menemukan panduan strategis. Marx hidup di masa peperangan yang hebat dan menolak penyederhanaan anarkis yang menganggap semua pihak dalam konflik sebagai kekuatan yang setara. Dia juga menolak pasifisme liberal yang menentang perang dengan alasan etika sambil mengabaikan logika politik dan akar kapitalisme. Marx menyarankan beberapa prinsip untuk memihak atau menentang dalam perang, siapa yang menjadi agresor, siapa yang mengajukan tuntutan yang adil, dan siapa yang menjadi musuh utama kedaulatan dan demokrasi. Secara khusus, dia menilai sejauh mana hasil dari konflik akan mendukung kekalahan pihak yang paling kuat dan pengembangan proses sosialis selanjutnya.

Mengadaptasi panduan ini ke dalam situasi saat ini dapat membantu kita menemukan beberapa kriteria panduan untuk internasionalisme anti-imperialis dan mengatasi dua masalah di sebelah kiri: evaluasi konflik dalam istilah geopolitik murni (antara kekuatan yang menurun dan yang meningkat atau yang regresif dan yang progresif); dan penyederhanaan yang menganjurkan untuk melawan semua pihak secara setara. Saya pikir, kita perlu menggabungkan penilaian-penilaian ini, mengarakterisasi makna dari setiap konfrontasi antara kekuatan atau pemerintah, sambil mengamati bagaimana konflik-konflik ini terkait dengan aspirasi kekuatan rakyat. Dengan kata lain, dalam konflik, kita perlu memperhatikan apa yang terjadi di atas sambil melihat aksi yang terjadi di bawah. Ini adalah sintesis yang dicari oleh semua pemimpin sosialis revolusioner sebelumnya, dan kita harus berusaha mengikuti jejak tradisi ini dalam perjuangan kita saat ini.


Artikel wawancara ini pertama kali terbit di Links International Journal of Socialists Renewal pada 24 Oktober, 2023. Diterjemahkan oleh Coen Husain Pontoh. Diterbitkan ulang di IndoProgress untuk tujuan pendidikan dan pembangunan gerakan progresif anti-imperialisme.

]]>