F. Fildzah Izzati – IndoPROGRESS https://indoprogress.com Media Pemikiran Progresif Sat, 14 Jun 2025 07:47:28 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.4.3 https://indoprogress.com/wp-content/uploads/2021/08/cropped-logo-ip-favicon-32x32.png F. Fildzah Izzati – IndoPROGRESS https://indoprogress.com 32 32 Rizomatik sebagai Taktik? https://indoprogress.com/2025/06/rizomatik-sebagai-taktik/ Fri, 13 Jun 2025 20:58:05 +0000 https://indoprogress.com/?p=239003 Ilustrasi: Illustruth


TIDAK ada orang waras yang tidak gelisah melihat kondisi Indonesia saat ini. Pemerintahan Prabowo-Gibran secara vulgar menyatakan hendak mengakui eksistensi penjajah dan pelaku genosida Israel, supremasi sipil kian jauh panggang dari api, represi aparat semakin banal, eksploitasi-perampokan alam atas nama pembangunan, kian panjangnya barisan penganggur, dan seterusnya. Kita, sebagai warga yang sadar hak, tidak tinggal diam. Kita memprotes, berdemonstrasi, atau paling minimal bawel di media sosial. Tapi, mengapa seperti tidak ada yang berubah? Malah, yang lebih parah, mengapa yang kita temukan di depan seolah hanyalah kabut asap yang kian tebal? Apa yang kurang? Mengapa penindasan dan eksploitasi terlihat lebih langgeng daripada gerakan perlawanan? 

Dalam situasi seperti ini, menurut kami, penting bagi kita untuk duduk sejenak memikirkan tentang gerakan sosial itu sendiri. Memang mudah menunjuk hidung aktor-aktor kekuasaan–pemerintah, kapitalis, oligarki, sebutlah mereka semua—sebagai penyebab dari apa yang terjadi saat ini. Tidak ada yang keliru dari itu; memang demikianlah adanya. Namun, itu tidak cukup. Kita harus melihat ke dalam; berefleksi mengenai bagaimana cara berlawan selama ini sehingga para penguasa lalim seperti tidak ada takut-takutnya untuk melakukan apa saja. Semua saling terhubung sehingga mengabaikan satu hal hanya berujung pada jalan buntu. 

Artikel ini akan membicarakan tentang hal tersebut, dengan titik berangkat pada konsep yang sedang ramai dibicarakan dalam beberapa tahun terakhir (dan kian sering muncul beberapa waktu belakangan): gerakan rizomatik atau rimpang. Posisi kami terhadap itu, sebelum dielaborasi lebih jauh, adalah: gerakan rimpang saja tidak cukup, ia perlu dilanjutkan dengan gerakan terorganisir yang terpimpin, terstruktur dan tidak cair. Jika tidak, gerakan ini tidak akan membawa kita ke mana-mana selain ke kekecewaan satu ke kekecewaan lainnya; kekalahan sekarang ke kekalahan berikutnya.


Apa itu Gerakan Rimpang?

Beberapa penulis menggambarkan gerakan sosial saat ini, terutama ketika variabel media sosial masuk sebagai alat memperbesar pengaruh dan gaung, mengambil ciri tumbuhan rizomatik atau rimpang. Salah satunya artikel di Tempo yang tayang awal bulan lalu, kemudian yang lebih elaboratif terbit di Palgrave Macmillan pada Juni 2024. Selain sekadar mendeskripsikan situasi kontemporer, penulis-penulis lain bergerak lebih jauh, menganggap hal ini sebagai ideal dan oleh karena itu semestinya “perlu terus didorong… agar terus menjalar dan mengakar kuat guna merawat gerakan prodemokrasi,” mengutip artikel di The Conversation. Pun dengan artikel terakhir di media ini, Indoprogress, yang menyatakan bahwa dalam situasi berbahaya seperti sekarang, perlawanan sehari-hari, kecil-kecilan, yang dilakukan kita semua “akan menciptakan jaringan gerakan kolektif yang rizomatik” yang “ketahanannya dapat diuji kala vis-a-vis dengan rezim.” Tiga tahun lalu, kanal ini juga membahas bahwa karakter rimpang dapat dipakai untuk “mengembangkan gerakan buruh.” 

Jadi, apa itu gerakan rimpang? Karya pertama dan utama yang membahas tentang gerakan rimpang adalah A Thousand Plateaus: Capitalism and Schizophrenia, dari duo filsuf Prancis, Gilles Deleuze dan Félix Guattari, yang terbit pertama kali pada 1980, kemudian versi bahasa Inggrisnya tujuh tahun kemudian. Kami kutip beberapa kalimat penting secara utuh. “…any point of a rhizome can be connected to anything other, and must be. This is very different from the tree or root, which plots a point, fixes an order” (hlm. 7). Kemudian, “…unlike trees or their roots, the rhizome connects any point to any other point, and its traits are not necessarily linked to traits of the same nature; … It is composed not of units but of dimensions, or rather directions in motion. It has neither beginning nor end, but always a middle (milieu) from which it grows and which it overspills” (hlm. 21). Lalu, yang terakhir agar tidak terlalu panjang, “The tree is filiation, but the rhizome is alliance, uniquely alliance. The tree imposes the verb ‘to be’, but the fabric of the rhizome is the conjunction, ‘and… and… and…’” (hlm. 25). 

Perlu ditekankan bahwa mereka tidak membahas konsep rimpang sebagai biomimikri untuk gerakan sosial saja. Pembahasan tentang itu malah bukan yang utama dari buku tersebut. A Thousand Plateaus lebih menawarkan kerangka konseptual secara luas, bukan semacam panduan langsung; seperti buku “how-to”. Ia mencakup banyak hal lain termasuk politik pengetahuan, karya sastra (keduanya pertama kali mengetengahkan konsep “rimpang” ketika mengomentari novel dan cerita pendek Franz Kafka pada 1975), dan cara berpikir. Bahkan, A Thousand Plateaus juga ditulis dengan cara rimpang, tidak linier, sehingga dapat dibaca dari banyak titik. Namun, sampai sini bisa disimpulkan bahwa pada dasarnya apa yang dimaksud gerakan rimpang adalah gerakan yang tidak hierarkis, cair, tidak terikat tapi terhubung satu sama lain alias otonom

Dari definisi tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa alih-alih sebagai sesuatu yang kontemporer—“model gerakan baru” kata penulis Tempo; “new youth movement” menurut judul bab buku terbitan Palgrave Macmillan; dan sejak “ramainya penggunaan media sosial” di The Conversation—pelabelan “rimpang” pada gerakan sosial sekarang justru menunjukkan bahwa kita tidak belajar dari sejarah, dan karena itu, sialnya, selalu kalah. Gerakan sosial yang tanpa hierarki, cair, tidak terikat, otonom, tidak dimulai sejak beberapa tahun ke belakang, atau ketika media sosial mulai dipakai untuk aktivisme, melainkan sejak Orde Baru berdiri. Setelah Partai Komunis Indonesia (PKI) dibantai sampai ke anak cucunya, gerakan di Indonesia secara umum selalu merupakan gerakan yang mengambil bentuk rimpang

Buku Edward Aspinall, Opposing Suharto (2005), dengan baik menggambarkan bagaimana situasi perlawanan terhadap sang tiran medioker selama puluhan tahun dia berkuasa. Di sana tergambar kelompok oposisi (dengan derajat kekeraskepalaan masing-masing) yang berserakan dan tidak saling terhubung satu sama lain. Ya, rimpang itu tadi, bedanya labelnya belum ada. Secara umum ada empat kategori oposisi di era Orde Baru (hlm 6-9). Pertama, mobilizational opposition, kelompok yang secara eksplisit mau mengganti rezim dan mengandalkan massa; kedua, semi opposition, mereka yang mencoba mengubah dari dalam dan paling umum di masa itu; ketiga, alegal opposition, diasosiasikan kepada individu berani dan vokal, para pembangkang, tapi biasanya sekadar memberikan khotbah moral kepada rezim agar berubah menjadi lebih baik; dan terakhir adalah proto opposition, yang nama lainnya adalah organisasi masyarakat sipil. Menurut Aspinall, semua aktivisme mereka menghasilkan “multi fronted battle”. Mereka pada akhirnya terhubung satu sama lain dengan cara “learn from, and compete with, one another” (hlm 11). 

Mengatakan bahwa gerakan sosial yang ada sekarang sebagai sebuah hal yang baru berimplikasi pada munculnya harapan bahwa itu akan berbuah sesuatu, sebab ia dianggap tidak ada sebelumnya, atau minimal berbeda dari yang sudah-sudah. Ada rasa optimistis di dalamnya. Harap-harap cemas, kata judul televisi tempo dulu. Namun, harapan ini sebenarnya menyesatkan. Ia adalah hasil dari tidak adanya pemahaman historis yang utuh. Media sosial memang berperan besar, katakanlah, dalam 10-15 tahun terakhir. Tapi keberadaannya dalam gerakan hanya menandakan medium baru, satu variabel tambahan, bukan bentuk apalagi prinsip baru. Pola gerakan sosial yang cair, informal, dan terpisah-pisah sudah lama merupakan kenyataan sosial masyarakat kita dan justru karena itu semestinya kita melihatnya kembali lebih dalam. Memberi label “baru” pada sesuatu yang sudah ada lama sekali justru menandakan kita jalan di tempat, sementara musuh kian canggih belaka. Tidak heran kalau dari berbagai indikator Indonesia semakin mundur alih-alih kian demokratis.


Implikasi Gerakan Rimpang dan Lalu Apa?

Meski menganggap gerakan rimpang bukan hal baru, kami memahami mengapa itu seolah tampak menjadi harapan. Salah satunya karena apa yang kita lihat sekarang seperti kebuntuan, termasuk kian meningkatnya ignorance/ketidaksadaran sebagian besar masyarakat terhadap situasi sosial-politik saat ini. Kami mengakui bahwa gerakan rimpang berdampak setidaknya pada peningkatan kesadaran mengenai masalah-masalah sosio-politik yang terjadi. Berbagai isu berkali-kali ramai dulu di media sosial, baru kemudian memicu gelombang protes dan perlawanan. Namun, perlu diakui pula bahwa peningkatan kesadaran ini masih terjadi di lingkup yang sangat terbatas, atau cenderung berada di seputar “bubble” para pegiat gerakan rimpang itu sendiri. 

Ini dibuktikan, misalnya, melalui kemenangan Prabowo-Gibran sebesar 58% pada Pemilu 2024 lalu. Ketika salah satu dari kami melakukan riset di sebuah kabupaten di Jawa tengah, seorang buruh perempuan, masih sangat muda, dengan entengnya mengatakan bahwa dia memilih Prabowo hanya karena dari media sosial terlihat mantan Danjen Kopassus itu lucu—sebuah citra yang, kita semua tahu, difabrikasi oleh mesin kampanye yang duitnya tidak terbatas. Sang buruh perempuan mengonsumsi konten-konten seperti itu di kamar kost-nya yang sempit selepas seharian bekerja. Algoritma akun media sosialnya tidak membawanya pada “pencerahan-pencerahan” dari para influencer/pemengaruh gerakan. Prabowo-Gibran, menurut sejumlah riset, memang paling populer di media sosial. Gerakan rimpang tidak terbukti cukup ampuh mengalahkan gerakan terstruktur para politisi borjuis yang tergabung dalam gerbong Prabowo-Gibran.

Sebagai pihak yang pernah terlibat di organisasi terpimpin-terstruktur selama bertahun-tahun, kami juga sedikit banyak memahami mengapa bentuk gerakan rimpang tampaknya lebih dipilih sebagai saluran “aktivisme” banyak orang. Gerakan rimpang adalah antitesis dari gerakan yang lebih terorganisir dan lebih terpimpin. Selain cenderung lebih sederhana, tidak terikat tanggung jawab yang rigid, gerakan rimpang dapat dibentuk dengan kerja-kerja perawatan yang lebih minim dibandingkan dengan yang disebutkan pertama. Bergabung ke organisasi yang terstruktur dan terpimpin membutuhkan komitmen yang kadang lebih besar dari yang bisa ditanggung. Di masa sekarang ini, siapa yang mau capek, bertungkus lumus berorganisasi, tekun menghimpun dalam keseharian, sementara mengajak bergerak via media sosial sering kali dirasa cenderung efektif juga? 

Belum lagi fakta bahwa organisasi terstruktur yang dibangun dari hasil pengorganisiran sehari-hari pun tak jarang memiliki banyak masalah. Mulai dari “ngabers” yang merupakan simtom dari minimnya nilai-nilai feminisme, tidak adanya pembagian kerja yang adil, ketiadaan kerja perawatan kolektif, dan sebagainya. Setidaknya, dari pengalaman kami, organisasi punya cita-cita luhur mewujudkan masyarakat yang adil dan setara, tetapi relasi sosial para anggotanya (atau kader) itu sendiri bermasalah. Dalam hal ini, artikel di Majalah Sedane menarik untuk disimak. Penulis menggambarkan bagaimana generasi muda kian tidak tertarik bergabung ke serikat buruh meski kian hari hidup mereka semakin rentan. Alasan yang dikemukakan di antaranya karena serikat buruh itu kaku, tidak menjalankan fungsi advokasi padahal itulah raison d’être mereka dan sekadar meminta iuran, bahkan oligarkis (pemimpinnya itu-itu saja, tidak ada kaderisasi, nondemokratis). Memang, idealnya masalah itu bukan malah dijauhi tapi diselesaikan secara internal. Tapi bicara jelas lebih mudah dibanding mempraktikannya. Terlebih, menyelesaikan berbagai masalah di organisasi tak jarang memerlukan “pertarungan internal” panjang dan membutuhkan ketahanan ekstra. Pada akhirnya, seperti yang sering kami dengar dan bahkan kadang saksikan sendiri, ada saja aktivis yang memutuskan keluar tak hanya dari organisasi tapi sekaligus dari “gerakan” karena demoralisasi. 

Bukan berarti gerakan rimpang bebas dari masalah yang sama. Hanya saja, cairnya gerakan ini membuat masalah menjadi relatif lebih mudah diselesaikan. Para pegiat gerakan rimpang bisa keluar atau mundur kapan saja tanpa harus melewati proses atau mendapatkan konsekuensi yang lebih rumit dibandingkan dengan yang ada di organisasi yang lebih terstruktur. Atau, dan ini cukup banyak contohnya beberapa tahun terakhir, jika subjek yang terlibat dalam gerakan ternyata membuat masalah, orang lain tinggal melakukan tekanan di media sosial, meng-cancel-nya, dan yang bersangkutan pun biasanya tidak punya pilihan lain selain mundur dan menghilang. Tidak ada konsekuensi lanjutan lagi.

Selain soal kapasitas subjektif (lelah, demoralisasi, merasa sia-sia, dan sejenisnya), ada juga faktor struktural yang membuat lebih banyak orang tertarik dengan gerakan rimpang alih-alih masuk ke dalam aktivisme pengorganisiran yang lebih terstruktur dan terpimpin. Neoliberalisme membuat kita, warga negara, kelas pekerja, semakin teratomisasi, memperparah keadaan depolitisasi yang merupakan warisan Orde Baru selama puluhan tahun. Kita memang terdisorganisasi. Itu tidak bisa dielakkan. Belum lagi legislasi seperti UU Cipta Kerja yang semakin mengerdilkan peran serikat, misalnya, dalam hal penentuan upah dan perundingan dengan pengusaha. Di sisi lain, ada saluran “mudah” bernama media sosial. Kita, orang-orang yang frustrasi dengan keadaan, menyalurkan semua kemarahan ke sana. Jadi, sekali lagi, untuk apa bersusah melibatkan diri dalam pengorganisiran terpimpin yang terstruktur jika kita dapat sesuka hati mempersepsikan setiap apa yang kita anggap “perlawanan kecil-kecilan-keseharian” sebagai “tindakan revolusioner”

Ketiadaan struktur dan pengorganisiran yang rapi akan menyebabkan gerakan rimpang harus terus mengulang membangun gerakannya. Oleh karena itu, pernyataan bahwa jaringan rizomatik “ketahanannya dapat diuji kala vis-a-vis dengan rezim” sebetulnya kurang akurat. Bagaimanapun, bagi kami, membangun gerakan dengan struktur yang kuat yang ditopang oleh pengorganisiran tekun yang terpimpin sehari-hari adalah krusial. Perlawanan sehari-hari yang kita lakukan pada akhirnya perlu dipimpin oleh tujuan yang terukur. Tujuan-tujuan yang dibentuk melalui berbagai manifesto, misalnya, tentu hanya dapat diwujudkan melalui struktur perlawanan yang tidak cair, tidak leaderless

Imajinasi tentang “tujuan” itu sendiri hanya mungkin lewat gerakan pengorganisiran yang terpimpin. Sulit membayangkan itu tercipta di luarnya (tentu “tujuan” itu sendiri perlu pendiskusian lebih lanjut, dan bukan di artikel ini tempatnya). Hal ini sekaligus mempertebal tesis kami sebelumnya, bahwa gerakan rimpang bukan baru muncul akhir-akhir ini. Selama ini, kalau kita mau terbuka mengakui, yang dilakukan oleh gerakan sosial lebih bersifat defensif, dalam arti sekadar mempertahankan apa yang sudah ada meski sebenarnya juga tidak selamanya baik (kita misalnya tidak bisa mengatakan bahwa UU Ketenagakerjaan lebih bagus dibanding UU Cipta Kerja, sebab dari sanalah sistem kerja kontrak dan alih daya dibenarkan). Akibatnya seperti sekarang: apa yang sering disebut sebagai “pencapaian” Reformasi pelan-pelan dikebiri satu per satu sampai tak tersisa, sebab apa yang kita lawan adalah sistem yang sangat terorganisir. Dalam beberapa kasus, kita tidak mengalami “kemenangan” tapi sekadar “menunda kekalahan”. 

Sifat gerakan rimpang yang leaderless menurut kami juga berisiko pada terjerumusnya gerakan perlawanan ke dalam jurang individualisasi. Sifat leaderless dari gerakan rimpang akhirnya membuatnya bertopang kepada para pemengaruh di media sosial. Menjadi pemengaruh tentu bukanlah hal yang salah; kita telah melihat banyak kegunaannya. Namun, penting pula untuk mengakui keterbatasan dari tren ini. Tren pemengaruh yang tidak ditopang oleh struktur perlawanan dan pengorganisiran yang kuat, yang leaderless, bisa menjadi jebakan bagi gerakan perlawanan itu sendiri. Jebakan ini, dapat kita lihat, misalnya, ketika beberapa lalu warganet dengan heboh mempertanyakan “menghilangnya” seseorang yang dapat dikatakan sebagai pemengaruh besar di gerakan rimpang saat ini pada beberapa isu politik. Fenomena ini persis menunjukkan letak jebakan dari tren pemengaruh dalam gerakan perlawanan: ia membuat kita lupa bahwa tiap-tiap dari kita punya kemampuan agensi yang sama di dalam struktur politik yang menindas dan mengeksploitasi ini. 

Bahkan sebagian dari kita memiliki kekuatan agensi yang lebih besar dari yang lain. Kelas buruh yang berada di jantung produksi kapitalisme, misalnya, memiliki structural power/kekuatan struktural yang lebih besar dibandingkan dengan mereka yang mengerjakan bullshit jobs di ruang-ruang kantor. Sejarah membuktikan bagaimana para pekerja dengan structural power yang sangat kuat terorganisir lalu bergerak dalam gerakan terstruktur dan terpimpin mampu mewujudkan berbagai tuntutan serta tujuan politik di seluruh dunia. Belum lagi soal associational power/kekuatan asosiasional. Kekuatan sebuah organisasi gerakan—seperti serikat pekerja atau organisasi komunitas—dapat benar-benar terlihat ketika ia memiliki struktur perlawanan yang kuat, tidak leaderless, apalagi cair.

Pada akhirnya memang harus diakui bahwa gerakan rimpang dapat membangun kultur perlawanan di tengah masyarakat meski cakupannya masih terbatas. Namun ia tidak bisa berhenti di sana saja. Gerakan tersebut semestinya menjadi langkah atau taktik awal untuk kemudian didorong maju ke gerakan yang lebih terstruktur, terpimpin, dan terorganisir. Dalam observasi kami yang terbatas, sering kali, gerakan rimpang ini terbentuk di tingkat aliansi dan bukan organisasi gerakan itu sendiri. Sehingga, sebetulnya, di sinilah letak pekerjaan rumah yang perlu diselesaikan: mengorganisir secara terpimpin dan tekun dalam keseharian, dengan tujuan perlawanan yang jelas, serta di berbagai tingkat/struktur perlawanan sembari menyelesaikan masalah-masalah di tubuh organisasi seperti, sekali lagi, “ngabers”, ketiadaan pembagian kerja yang adil, ketiadaan kerja perawatan kolektif, dan sebagainya. ***


Fathimah Fildzah Izzati – PhD Candidate di SOAS University of London dan editor Indoprogress; Rio Apinino – editor Indoprogress

]]>
Clash of Champions, Mahasiswi Mahasiswa Pintar, dan Tajamnya Ketimpangan Sosial https://indoprogress.com/2024/07/clash-of-champions-mahasiswi-mahasiswa-pintar-dan-tajamnya-ketimpangan-sosial/ Wed, 17 Jul 2024 15:01:00 +0000 https://indoprogress.com/?p=238244 Ilustrasi: Jonpey


ACARA Clash of Champions (selanjutnya disebut CoC) jadi perbincangan warganet di berbagai platform media sosial akhir-akhir ini. Acara dengan kemasan game show yang diinisiasi oleh lembaga bimbingan belajar Ruangguru ini dapat dikatakan cenderung bersifat edukatif dan menarik karena mempertontonkan kepintaran luar biasa dari para pesertanya. Mereka diminta untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan ekstrem, menghafalkan urutan dari puluhan kartu yang diacak, menghafalkan ratusan lukisan, dan sebagainya. Menampilkan mahasiswi-mahasiswa berprestasi dari berbagai universitas bergengsi di dalam dan luar negeri, acara ini mendapatkan jutaan viewers di setiap episode.

Narasi TV pernah membuat game show serupa, menampilkan kompetisi regu antar universitas di Indonesia dengan format cerdas cermat, dengan judul Tes Wawasan Kebangsaan. Namun acara itu cenderung tidak se-hype CoC. Di luar negeri, game show semacam ini, dengan format serupa tapi tak sama, juga telah banyak dibuat. Ada University Challenge yang menampilkan puluhan regu peserta dari berbagai universitas di Britania Raya dengan pertanyaan-pertanyaan sulit dari beragam disiplin keilmuan dan University War di Korea Selatan yang kuat menampilkan pertunjukkan kepintaran para peserta di bidang matematis.

Meski bukan yang pertama, dengan konteks Indonesia saat ini, di mana konten-konten “pamer kekayaan” kian bertebaran di berbagai platform media sosial, acara “pamer kepintaran” seperti CoC tentu jadi hal yang berbeda dan tak luput dari sorotan warganet.

Respons warganet terhadap CoC di berbagai platform media sosial cukup beragam. Dari mulai apresiasi terhadap game show ini, puja puji untuk para peserta yang luar biasa pintar, hingga respons (yang sayangnya) bernada nyinyir terhadap beberapa individu peserta, beberapa di antaranya bahkan bersifat seksis terhadap perempuan.

Ada pula beberapa respons unik yang terselip di antara tiga respons tersebut: menyoroti perbedaan nasib para peserta dengan warganet. Berbagai komentar yang cenderung disampaikan dengan nada candaan tersebut sebetulnya mencerminkan keresahan atau kritik terhadap tajamnya ketimpangan sosial, terutama di sektor pendidikan. Namun, proyeksi dari keresahan tersebut sering kali cenderung kurang terefleksi dengan baik. Akibatnya, komentar tersebut pun mendapat respons semacam “jangan iri, belajar saja jika mau pintar seperti mereka. Alih-alih, “iya ya, kenapa mereka bisa pintar-pintar dan berkuliah di kampus-kampus terbaik di Indonesia dan bahkan luar negeri… sementara kebanyakan dari kita tidak bisa berkuliah?”

Respons itu sebetulnya tidak mengherankan karena mirip dengan respons ketika ada yang mengkritisi konten-konten pamer kekayaan para youtuber, mereka kaya karena bekerja keras… jangan iri.” Alih-alih, “kenapa ya para youtubers itu bisa sampai hati memamerkan kekayaan di tengah tajamnya ketimpangan sosial yang ada?”


Normalisasi ketimpangan akibat depolitisasi

Respons warganet atas segelintir komentar kritis penonton CoC tersebut secara tidak langsung menunjukkan dalamnya depolitisasi—terjadi semenjak masa Orde Baru—yang kian menurunkan sikap kritis masyarakat dan kemudian membentuk sikap apatis terhadap ketimpangan sosial yang ada. Pada saat yang sama, ideologi neoliberalisme—yang disebarkan ke seluruh dunia sejak akhir tahun 1970-an—juga telah merasuki sendi-sendi kehidupan masyarakat Indonesia.

Ketimpangan sosial jadi dinormalisasi dengan cara mengindividualisasikan masalah. Dengan kata lain, menjadikannya sebagai perkara individu semata.

Individualisasi masalah jelas tercermin dari respons terhadap komentar kritis seperti  “jangan iri”, “jangan dengki”,kamu iri, dengki” terhadap para peserta CoC yang pintarnya luar biasa. Beberapa warga net juga merespons seperti, “acara bagus gini dijulidin. Sinetron-sinetron, tuh, gak mendidik, julidin.

Beberapa menilai bahwa CoC memotivasi para pelajar untuk belajar lebih giat agar pintar luar biasa seperti para peserta. Ini serupa tapi tak sama dengan acara-acara “pamer kekayaan” yang dianggap dapat memotivasi para penontonnya untuk lebih giat bekerja agar kaya luar biasa seperti para youtubers kesayangan mereka.

Problem dari keresahan yang disampaikan melalui komentar-komentar yang menyoroti perbedaan nasib para peserta CoC dengan warganet tersebut jelas bersifat struktural. Ketidakmampuan seseorang untuk menjadi pintar luar biasa dan berkuliah di universitas-universitas bergengsi dalam dan luar negeri seperti para peserta CoC tidak selalu disebabkan karena kurang bekerja keras atau tidak mau belajar, melainkan karena berbagai problem yang ada di luar diri mereka, termasuk tertutupnya akses terhadap pendidikan tinggi. Kita tahu banyak orang tidak bisa berkuliah atau mengakses pendidikan tinggi bukan karena malas atau kurang giat belajar, tapi sebab biaya kuliah mahal dan kebanyakan orang tak punya cukup duit untuk itu.

Dalam CoC sendiri, beberapa peserta mengaku mengakses Ruangguru sebagai sarana belajar mereka. Ini saja sudah mencerminkan aspek lain dari tidak meratanya pendidikan Indonesia. Tidak semua orang bisa mengakses bimbel di luar sekolah seperti Ruangguru, bukan?

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.


Model pendidikan kritis yang kian langka

Selain soal di atas, beberapa hal yang ditunjukkan oleh game show CoC ini juga perlu dilihat dengan lebih kritis.

Dalam episode-episode yang ditayangkan sejauh ini, CoC menyoroti bidang science, technology, engineering, and mathematics (STEM) dan IPK tinggi sebagai tolok ukur kepintaran para peserta. Ilmu sosial cenderung tidak ada. Hal ini terlihat biasa saja dan tidak berbahaya sama sekali. Namun, kalau dinormalisasi melalui game show semacam ini, narasi dominan tentang “kepintaran” yang memang sudah ada sebelumnya seperti “mereka yang ada di jurusan science/STEM lebih pintar dari mereka yang ada di social science[1] secara umum akan terus dilanggengkan.

Orientasi-orientasi jangka pendek dari mereka yang mengenyam pendidikan tinggi melalui obsesi terhadap hasil semacam “IPK tinggi” memang sah saja dan tidak ada yang salah dengan itu. Namun, orientasi semacam ini tentu saja tidaklah cukup.

Dapat dimengerti jika orientasi jangka panjang dari pendidikan tinggi—misalnya untuk transformasi sosial, mengatasi ketimpangan dengan ilmu pengetahuan—tak dapat ditunjukkan via CoC. Bagaimanapun, CoC hanyalah game show yang terlepas dari aspek edukasinya, bertujuan untuk menghibur para pemirsa. Namun demikian, melalui game show ini, kita dapat menyadari bahwa memang, pendidikan di Indonesia secara umum masih belum berfokus pada mempertanyakan “kenapa”—salah satu ciri dari pendidikan kritis, fondasi bagi transformasi sosial.


Penutup

Memamerkan kepintaran. So what?” kurang lebih begitu bunyi dari secuil komentar skeptis warganet terhadap CoC. Sebuah keresahan dan refleksi yang valid.[2] Meski mungkin terlihat tidak berhubungan secara langsung dengan CoC, namun sebetulnya punya keterkaitan erat, karena pada akhirnya, di tengah tajamnya ketimpangan sosial seperti saat ini, pertanyaan yang diajukan tetaplah sama: Jika mereka yang pintar-pintar itu dan kita yang berpendidikan tinggi (di mana angkanya sangat rendah dibandingkan dengan jumlah penduduk Indonesia secara keseluruhan, akibat problem struktural yang ada sebagaimana dijelaskan pada bagian sebelumnya) hanya berujung di menara gading, apa gunanya kepintaran-kepintaran itu?

Meminjam kata-kata Wiji Thukul “apa gunanya banyak baca buku, kalau mulutmu kau bungkam melulu?” ***


[1] Yang mana dampaknya sangat luas, termasuk pada perkembangan ilmu-ilmu sosial itu sendiri.

[2] Bukan iri, ya, warganet 🙂


Fathimah Fildzah Izzati, PhD Candidate di Development Studies – SOAS University of London dan Pemimpin Redaksi marsinah.id

]]>
Dunia yang Lebih Baik Itu Mungkin dan Harapan Selalu Dapat Diciptakan: Refleksi Tahun Pertama Menjadi Mahasiswa Doktoral https://indoprogress.com/2023/07/refleksi-tahun-pertama-menjadi-mahasiswa-doktoral/ Thu, 27 Jul 2023 23:23:53 +0000 https://indoprogress.com/?p=237641 Ilustrasi: Grace Lee Boggs/Amplifier


MENJALANI studi doktoral di London, Inggris semakin membuka mata saya terhadap tabir dunia akademik yang selama ini cenderung belum banyak diketahui. Di tahun pertama ini, setiap hari saya melihat dan merasakan suramnya dunia akademik di bawah kapitalisme yang semakin mendalam. Di negeri kapitalis monarki ini, berbagai aksi mogok yang dilakukan dosen dan pekerja berbagai universitas mewarnai hari-hari studi saya. Selama berbulan-bulan, mereka menuntut agar hak-hak mereka ditunaikan para pejabat universitas. Aksi boikot untuk menilai ujian para mahasiswa yang berujung pada dipotongnya gaji para dosen dengan cukup drastis pun belakangan menjadi sorotan. 

Di Inggris, semakin mahalnya biaya pendidikan tinggi terutama untuk mahasiswa internasional ternyata tidak serta merta meningkatkan kesejahteraan para dosen dan pekerja universitas. Banyak di antara mereka bahkan masih bekerja dengan status fraksional (kontrak dengan sedikit jam kerja)—membuat kondisi mereka semakin rentan di tengah biaya hidup di London yang kian melangit setiap hari.

Berbagai aksi mogok dan protes yang dilakukan oleh para dosen dan pekerja universitas—yang didukung penuh oleh sebagian besar mahasiswa—ini membuat saya semakin ingin berteriak bahwa bekerja di dunia akademik memang tidak (pernah) semegah dan semewah itu. Pada kenyataannya, dosen dan pekerja universitas sama saja dengan pekerja di sektor-sektor lain: semuanya hidup dalam kondisi kerja yang dipenuhi ketidakpastian dan kerentanan. Semua yang bekerja di bawah kapitalisme juga sesungguhnya sama-sama harus terus berjuang untuk mendapatkan hidup yang layak. 

Jadi, bersolidaritas dengan sesama kelas pekerja adalah hal yang penting untuk terus dilakukan. 

Selain itu, dosen, pekerja universitas, pekerja di kafe, sopir, pekerja kantoran, pekerja pabrik, dan semua pekerja sama terhormatnya. Saya makin ingin meneriakkan dengan lantang pada semua orang untuk berhenti bersikap classists atau mendiskriminasi berdasarkan persepsi mengenai kelas sosial. Misalnya, mengejek seseorang karena bekerja sebagai kasir di swalayan dan memuji peneliti karena bergengsi. Selain tidak ada gunanya, sikap classist juga tidak berdasar.

Dari sisi kehidupan personal, tingginya biaya hidup dan beratnya beban studi membuat saya yang belajar dengan beasiswa ini merasa kerja-kerja perawatan/care work –bagian dari reproduksi sosial- begitu menyita hari-hari saya. Setiap hari, saya (dan banyak mahasiswa lain) harus terus berpikir bagaimana menyiasati agar semua kebutuhan dari mulai makan, kesehatan, hingga istirahat dapat terpenuhi selayak mungkin. Di tahun pertama studi doktoral ini, saya semakin menginsafi dengan penuh betapa memasak, mencuci pakaian, mencuci piring, dan semua kerja-kerja domestik yang tidak dianggap sebagai kerja itu sungguh tak mudah dilakukan. 

Kondisi ini membuat saya jadi berpikir tentang irisan care work/kerja perawatan dengan banyak hal, termasuk mental health, dan individualisme yang terus meningkat di bawah kapitalisme neoliberal. Individualisme yang sudah menjalar ke relung sukma hampir setiap orang tak jarang membuat banyak mahasiswa doktoral merasa sendirian. 

Kepedulian dan kesadaran akan pentingnya kesehatan mental memang cukup tinggi di sini. Namun, sayangnya, juga semakin terindividualisasi. Masalah kesehatan mental hampir selalu dianggap sebagai ketidakmampuan individu dalam mengatasi persoalan-persoalan hidup alias “derita lo”, alih-alih dilihat sebagai problem struktural yang terkait erat dengan kehidupan di bawah sistem ekonomi politik kapitalisme yang mengisap daya hidup kita setiap hari. Akibatnya, masing-masing menderita sendirian. Tak ada solidaritas, tak ada collective care.

Pada saat yang sama, stoic life, seperti digembar-gemborkan banyak orang, saya pikir kurang relevan untuk menjawab tantangan kejamnya hidup di bawah kapitalisme dan patriarki ini. Ketangguhan dalam menyikapi berbagai persoalan hidup tentu tak dapat disederhanakan sebagai pilihan filosofis setiap individu semata. Toh, akar penyebab masalahnya pun bersifat struktural dan sistematis. Sebagai ilustrasi, secara individual, mungkin saja kita bisa mengabaikan omongan orang yang tak relevan untuk kehidupan kita. Tapi, apa iya kita dapat serta merta membiarkan saja ketimpangan yang terjadi–hanya karena tak terdampak secara langsung–karena berprinsip harus hidup dengan stoik? Rasanya kurang bijak. Lagi pula, salah satu nilai dari stoikisme itu kebajikan, bukan?

Daripada stioikisme, saya lebih percaya bahwa solidaritas dan collective care-lah yang dapat mengatasi persoalan kesehatan mental yang disebabkan oleh kapitalisme dan patriarki ini. Solidaritas dan collective care begitu penting namun sering kali dilupakan. Dalam kehidupan doktoral, para mahasiswa apalagi mahasiswa yang jauh sekali dari rumah dan keluarga seperti saya, yang juga mengalami kondisi penuh kerentanan di tengah badai kapitalisme ini, tentu membutuhkan collective care dan solidaritas. Namun, secara umum, saya masih jarang menemukan collective care kecuali tingkah kawan-kawan yang kerap membagikan meme-meme lucu yang dalam beberapa derajat tertentu memang sangat membantu, menghibur, sehingga menyembuhkan di masa-masa sulit. 

Tentu wujud dari solidaritas dan collective care semestinya melampaui itu. Mungkin seperti yang Bell Hooks katakan dalam bukunya All About Love (2001, 142-143), “The willingness to sacrifice is a necessary dimension of loving practice and living in community…; Giving up something is one way we sustain commitment to the collective well-being,” ‘Agar dapat hidup bersama di dalam sebuah komunitas, kita harus mau mengorbankan sesuatu karena pada dasarnya pengorbanan adalah dimensi yang dibutuhkan dalam praktik hidup yang baik di dalam sebuah komunitas…; Mengorbankan sesuatu adalah cara kita mempertahankan komitmen demi kesejahteraan kolektif.’ Dengan segala keterbatasan, saya berusaha mempraktikkan solidaritas dan collective care dalam keseharian. Misalnya dengan menanyakan kabar, bekerja bersama, atau mengajak kawan-kawan satu angkatan untuk piknik bersama di taman. 

Saya teringat buku yang bisa dibilang salah satu karya paling berpengaruh dalam tahun pertama studi doktoral ini. Buku itu berjudul We, the Heartbroken karya Gargi Bhattacharya. Dalam buku setebal 117 halaman itu, selain melakukan analisis mengenai kepatahhatian di bawah sistem dunia saat ini, Gargi juga memvalidasi setiap kepatahhatian yang mungkin kita miliki dan mungkin sedang kita jalani. Ia menganalisis bahwa kepatahhatian, selain memang menyakitkan, juga dapat menguatkan dan memberdayakan. 

Gargi tidak membuat buku tersebut menjadi seperti buku motivasi yang mengajak para pembacanya untuk mengambil pelajaran atas duka atau kesedihan yang sedang dialami. Gargi justru menekankan bagaimana masyarakat cenderung mengabaikan kepatahhatian dan mengklasifikasikan bahwa ada rasa sakit serta kehilangan yang tak perlu, selain juga cenderung memaksa kita untuk membuat kepatahhatian sebagai sesuatu yang bermakna namun pada saat yang sama menghindari untuk membicarakan duka-kesedihan itu secara mendalam. 

Seperti itu pulalah amatan saya (atas berbagai masalah yang ada) di tahun pertama studi doktoral ini: keresahan dan kesedihan yang sebetulnya dirasakan oleh banyak orang cenderung tak sempat menjadi kesedihan yang kemudian jadi sumber kekuatan bersama. 

Di sisi lain, pengalaman keseharian juga perjalanan belajar selama tahun pertama ini membuat saya semakin yakin akan pentingnya riset yang saya lakukan. Sebagaimana dikemukakan Gargi (2023, 27), “…we must travel with our sadness because every dream of a new world requires us to understand we have been broken by the old,” ‘…kita harus berjalan dengan kesedihan kita karena setiap mimpi mengenai sebuah dunia yang baru hanya dapat muncul ketika kita sudah memahami bahwa kita dibuat patah hati oleh tatanan yang lama.’ Itu benar adanya. Kalau dipikir-pikir, perasaan patah hati akan dunia yang begitu kacau balau ini-lah yang membuat saya berjalan hingga sejauh ini. Kepatahhatian menyaksikan sekaligus mengalami penindasan di masyarakat patriarkis-rasis-kapitalis inilah yang membuat saya ingin melakukan riset yang sedang saya lakukan (dan kemudian untuk mengubah kondisi tersebut), sepenuh hati, semampu yang saya bisa.

Apalagi, di London ini, sangat terasa dampak dari pembangunan kapitalis yang menimbulkan kesenjangan yang begitu mendalam antara dunia Utara dan Selatan. Di kota ini, langit begitu biru dan dipenuhi taman-taman yang indah. Udara bersih dan segar serta cahaya matahari di musim semi dan panas yang begitu hangat merupakan hal yang biasa saja. Hati saya begitu sedih mengingat bagaimana kelas pekerja di Indonesia tak dapat menikmati lingkungan seperti ini.

Hal itu sama sekali tidak mengherankan semenjak semua polusi dari negara-negara dunia Utara seperti Inggris ini memang diimpor ke negara-negara dunia Selatan dengan upah murah dan sumber daya berlimpah, seperti Indonesia, Vietnam, Bangladesh, dan sebagainya. Di Indonesia, pabrik-pabrik dibangun dan perkebunan-perkebunan sawit didirikan sementara limpahan kekayaan atau surplus nilai yang dihasilkan mengalir ke kantong para kapitalis, termasuk di negara-negara Utara. Akibatnya, kerusakan lingkungan di mana-mana dan kemiskinan serta jurang ketimpangan pun semakin mendalam. 

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.

Meski demikian, di tengah suramnya kehidupan di kota yang tampak gemerlap ini, perjalanan belajar saya di bawah bimbingan dua feminis marxis dalam praksis telah membuat saya merasa merasa sangat berdaya dan bahagia. Pada saat yang sama, dua guru ini semakin meneguhkan keyakinan saya akan tiga hal. Pertama, dunia akademik sudah semestinya meninggalkan budaya patriarkis dan feodalisme dalam keseharian; kedua, didukung dan mendukung sesama perempuan yang bukan sebatas jargon itu mungkin diwujudkan; ketiga, iklim akademik yang baik adalah iklim akademik yang feminis. 

Ketiga hal ini membuat saya meyakini bahwa di tengah karut-marutnya dunia akademik secara global, kita dapat selalu menemukan harapan. Dosen-dosen yang tak kolot, maju, feminis, dan menunjukkan semua itu dalam praksis, di antaranya, adalah wujud dari harapan itu. Selain itu, memiliki kawan-kawan mahasiswa doktoral seperjuangan yang kritis, marxis, feminis pun merupakan hal berharga yang membuat kehidupan studi menjadi lebih indah untuk dijalani. Pengalaman-pengalaman yang menginspirasi ini pun tak lain hanya meneguhkan keyakinan saya bahwa solidaritas dan collective care dapat terus diupayakan dan diwujudkan. 

Dunia yang lebih baik itu selalu mungkin untuk diwujudkan dan harapan-harapan selalu dapat diciptakan dalam keseharian kita.


F. Fildzah Izzati, kandidat doktor di bidang development studies dari SOAS University of London

]]>
Peneliti Tapi Tak Memikirkan Apa Yang Krusial dari Penelitian: Sebuah Refleksi https://indoprogress.com/2022/10/peneliti-tapi-tak-memikirkan-apa-yang-krusial-dari-sebuah-penelitian-sebuah-refleksi/ Thu, 27 Oct 2022 21:00:44 +0000 https://indoprogress.com/?p=237058 Ilustrasi: charliehr.com


SEBAGIAN besar peneliti di Indonesia, apalagi yang tergabung dalam institusi riset milik pemerintah tempat saya bekerja, sebetulnya cenderung tak punya ruang berpikir yang memadai.

Bagaimana tidak? Di institusi tempat saya bekerja, para peneliti selalu dituntut untuk menerbitkan artikel ilmiah dengan cepat. Artikel yang bisa diterbitkan di jurnal-jurnal akademik bereputasi tinggi, atau bab buku, juga buku di penerbit bertaraf internasional. Sampai-sampai ada slogan ”terbitkan publikasi atau tersingkir”—yang menunjukkan kuantitas sebagai hal terpenting dari sebuah penelitian. 

Ironisnya, hal-hal yang paling krusial dari proses bernama penelitian malah dilupakan (dan cenderung diabaikan). Saya resah dengan proses penelitian seperti ini: kian lama kian instan dan menjadi aktivitas yang bersifat robotik sehingga tak menyisakan cukup ruang bagi para peneliti untuk berpikir dan merefleksikan penelitian itu sendiri.

Refleksi ini saya tulis berdasarkan pengalaman berkecimpung sebagai peneliti bidang ilmu sosial dan ilmu politik selama 7,5 tahun di sebuah lembaga riset milik pemerintah Indonesia. 


Penelitian tidak pernah bersifat netral—tidak terkecuali di bidang ilmu sosial. Beberapa kajian akademik sudah membahasnya.[1] Linda Tuhiwai Smith (2021) bahkan menyatakan bahwa bagi masyarakat asli yang tinggal di tempat-tempat terpencil, penelitian tak ubahnya sebuah “kata kotor” karena sering kali digunakan sebagai alat opresi kelas berkuasa.

Meski hasil penelitian bisa berdampak besar, para peneliti cenderung melupakan (dan malah mengabaikan) hal-hal yang paling krusial. Dari mulai untuk apa melakukan riset, untuk (kepentingan) siapa riset dilakukan, proses risetnya itu sendiri (metode apa yang digunakan, kenapa memilih metode atau suatu teori atau pendekatan dan bukan yang lain, dan lain-lain) sangat jarang dipikirkan secara mendalam, apalagi direfleksikan.

Membongkar metode riset, yang  selama ini mungkin saja hanya bersifat ekstraktif[2] (dan saya duga kebanyakan penelitian memang demikian), mungkin tak pernah terpikirkan. Mungkin karena abai, tidak peduli, tapi yang jelas juga dikondisikan secara struktural. Para peneliti di tempat saya bekerja terlalu disibukkan dengan pemenuhan angka kredit, yang tanpanya akan sangat mustahil bertahan di tengah lingkungan sejawat (baca: mendapatkan tunjangan kinerja utuh dan hidup dengan upah layak).


Bertahun-tahun menjadi peneliti di lingkungan akademik, di bidang riset, tapi tak pernah memikirkan metodologi penelitian secara mendalam dapat membuat seseorang jadi peneliti yang tumpul. Setidaknya itulah yang saya rasakan. Kalau tidak bergabung dengan komunitas akar rumput di luar gedung kantor nan dingin itu, mungkin saya tak akan memikirkan apalagi bisa menuliskan refleksi ini.

Bagaimana tidak. Di lembaga riset milik negara tempat saya bekerja ini, penelitian menjelma aktivitas yang robotik: tiap awal tahun ajukan proposal penelitian, lalu meneliti (dapat saya katakan: cenderung seadanya), dan hasilnya terbit di akhir tahun. Apa isi penelitiannya, mengapa melakukan penelitian, untuk (kepentingan) siapa/apa penelitian dilakukan, bagaimana metodenya, mengapa memilih metode tertentu, bagaimana positionality/posisionalitas (pemaknaan posisi) periset dengan subjek penelitian, dan sebagainya, cenderung tidak terlalu dipikirkan dengan matang.

Semua itu sangat krusial. Ambil contoh dalam hal positionality. Antara peneliti dan subjek peneliti jelas terdapat hubungan kekuasaan yang tidak setara. Hal ini tampak jelas, misalnya, dalam penelitian yang dilakukan di daerah terpencil dengan subjek penelitian masyarakat perdesaan dengan akses pendidikan tinggi yang sangat terbatas. 

Dalam situasi ini, sebagai peneliti, kita harus terus-menerus mempertanyakan positionality kita dengan subjek selama proses penelitian (termasuk hingga proses diseminasi hasil riset). Hal tersebut penting dilakukan oleh peneliti untuk menjamin hasil penelitian tidak sekadar mengekstraksi serta mengapropriasi pengetahuan yang dimiliki subjek. Banyak peneliti sekadar mengekstraksi pengetahuan yang telah ada tersebut tanpa memikirkan hubungan posisionalitasnya dengan subjek penelitian.

Peneliti mengasumsikan dapat menggali, mengekstraksi sebanyak-banyaknya data/keterangan dari subjek penelitian sembari melupakan kenyataan bahwa subjek penelitian juga memiliki pengetahuan. Hal itu terjadi karena peneliti cenderung masih sering mengasumsikan bahwa mereka adalah pencipta/pembuat pengetahuan. 

Contoh dari pemahaman bahwa peneliti adalah pencipta/pembuat pengetahuan juga dapat dilihat dari ketiadaan hubungan yang berkelanjutan antara mereka dengan subjek penelitian. Di dalam kebanyakan penelitian, setelah penelitian selesai, tak ada proses perkembangan ilmu pengetahuan yang berkelanjutan antara peneliti dan subjek penelitian. Setelah riset dilakukan dan hasilnya terbit di akhir tahun, angka kredit aman, selesai. 

Adapun diseminasi hasil penelitian sering kali hanya berbentuk formalitas—semacam forum sosialisasi—tanpa interaksi timbal balik yang berarti dengan subjek penelitian. Lebih jauh, pencantuman penghargaan dalam bentuk pengakuan—yang merupakan bentuk penghormatan dasar—pada subjek penelitian dalam hasil penelitian juga kerap kali dilupakan.

Penelitian yang pada dasarnya merupakan sebuah proses yang kompleks disederhanakan menjadi suatu hal yang bersifat instan. Tujuan penelitian untuk menciptakan perubahan-perubahan sosial yang transformatif untuk masyarakat dan alam semesta pun kian jauh panggang dari api. 

Memang tak semua penelitian ditujukan untuk menciptakan perubahan sosial yang transformatif. Ada yang bersifat untuk perkembangan ilmu pengetahuan itu sendiri (biasanya berada di level teoritis), ada yang ditujukan untuk kepentingan-kepentingan spesifik, misalnya pembuatan rekomendasi kebijakan. Akan tetapi, terlepas dari tujuan-tujuan itu, penelitian kini tak ubah sebuah rutinitas, yang harus dijalani seorang peneliti, meski robotik, meski instan, meski seadanya. 

Meminjam istilah anak-anak muda saat ini: mengsedih.


Sebagai peneliti ilmu sosial dan politik, saya dan rekan-rekan sejawat memang memiliki apa yang disebut Althusser sebagai “otonomi relatif”. Akan tetapi, tata kelola penelitian di institusi tempat saya bekerja cenderung membatasi saya menggunakan otonomi tersebut. Sebagai contoh, adanya kelompok-kelompok penelitian yang ajeg (sudah seperti pakem yang cenderung sulit diubah) cenderung menghambat perkembangan riset di bidang yang saya tekuni—riset tentang persoalan gender dan pembangunan dari sudut pandang ekonomi politik feminis—karena tidak ada kelompok penelitian soal itu.

Soal pembentukkan kelompok-kelompok penelitian itu lagi-lagi mungkin tak pernah terpikirkan untuk dievaluasi atau diperbaharui berdasarkan perkembangan terbaru. Toh yang penting, kan, tulisan terbit. Apakah kelompok-kelompok penelitian yang sudah ajeg itu sudah menjawab perkembangan terkini ilmu pengetahuan atau tidak, belum menjadi salah satu sumber kekhawatiran utama.

Entah apa tujuan sebenarnya dari banyak-banyak menerbitkan tulisan selain tak menyisakan ruang bagi peneliti untuk membaca, berpikir, dan merefleksikan apa yang sudah diteliti, diterbitkan, dengan seksama. Hingga saat ini pun saya masih heran. Belum lagi persoalan bagaimana publikasi-publikasi—yang dihasilkan oleh para peneliti—tersebut kemudian cenderung tidak terdata apalagi terarsipkan dengan baik. 

Pun di tengah komodifikasi dunia riset dan akademik saat ini, yang dapat mengakses serta membaca hasil-hasil penelitian masih sangat terbatas pada kalangan tertentu.

Saya sendiri bahkan selalu mengakses jurnal akademik melalui platform yang ditemukan oleh pahlawan kita semua, Alexandra Asanovna Elbakyan, karena kantor tempat saya bekerja tak berlangganan jurnal-jurnal akademik secara luas. Baru beberapa waktu belakangan ini-lah, kantor saya (katanya) berlangganan beberapa jurnal akademik. Itu pun masih dengan beberapa syarat dan ketentuan.

Tapi, ya, selain aksesnya, membaca jurnal akademik dengan saksama pun memang sulit. Bagaimana tidak. Para peneliti yang bekerja di institusi tempat saya bekerja lebih disibukkan dengan tetek bengek birokrasi yang sebetulnya dapat diurus, dikelola secara profesional oleh pekerja yang ahli di bidangnya. Para rekan sejawat saya lebih disibukkan mengurus (dan mengadvokasi) anggaran penelitian yang secuil, dipusingkan dengan pengelolaan lembaga yang amburadul, dan sebagainya.

Hasilnya, peneliti di Indonesia—sebagaimana warga lain—dibuat sulit memikirkan hal-hal yang bermakna lebih substantif seperti tentang apa makna penelitian, metodologi apa yang sebaiknya digunakan, dan sebagainya. Kita terus dibuat ruwet dengan urusan-urusan seputar birokrasi dan pengelolaan yang payah. Ya seputar itu saja.


“Tapi, kan, jadi peneliti itu keren. Sering tampil di TV.”

Justru di situlah masalahnya. Saking tak adanya ruang memadai untuk berpikir, beberapa peneliti bahkan tak keberatan dimintai berpendapat soal apa pun, meski ia bukan pakarnya. Terkadang saya ingin menghentikan sejenak dunia ini dan mengajak “hey, ayo duduk dan berpikir sebentar.” Tapi, apa daya, yang penting publisitas dan popularitas. Supaya terkenal sehingga mudah mendapat proyek penelitian.

Ya, beberapa penelitian kini memang menjelma proyekan. Sarana mencari pemasukan. Temanya dan harus selesai dalam waktu cepat? Tak masalah. Semua bisa dilakukan. Yang penting saldo aman dan kembali lagi: tulisan terbit. Makin banyak publikasi, makin keren. Soal isi, urusan belakangan. 

Komodifikasi ilmu pengetahuan juga jadi sumber masalah. Hal ini dapat dilihat misalnya dalam persoalan indeksasi jurnal. Para peneliti di tempat saya bekerja dituntut untuk menerbitkan tulisan-tulisannya di jurnal-jurnal akademik level internasional terindeks Scopus dengan cepat. Di level nasional juga sama. Tinggal mengganti kata “Scopus” dengan “Sinta”.

Akibatnya, sebagai bagian dari kapitalisme pendidikan, rezim “Scopus” dan “Sinta” telah sangat menentukan posisi kerja seseorang di dunia akademik. Seseorang yang telah menerbitkan artikel ilmiah di jurnal terindeks Scopus akan dianggap lebih mumpuni dari yang lain. Ini memunculkan ketimpangan penghargaan atas kerja antara yang “mumpuni” dan yang belum menerbitkan tulisan di jurnal terindeks global tersebut.

Selain itu, rezim “Scopus” dan “Sinta” juga membuat pilihan para peneliti menjadi kian terbatas. Banyak jurnal akademik tidak terindeks Scopus memiliki kualitas publikasi yang tinggi (secara substantif) dengan kredensialitas peninjau yang mumpuni. Namun, jika belum terbit di jurnal terindeks Scopus, kredibilitas kita sebagai peneliti cenderung diragukan. Seolah belum sah menjadi seorang peneliti jika belum menerbitkan tulisan di jurnal terindeks Scopus. Singkatnya, nilai sebuah publikasi pun ditentukan dari terbit atau tidaknya di jurnal ilmiah terindeks Scopus, bukan dari substansi/isi penelitian itu sendiri.

Belum lagi soal pemisahan ilmu-ilmu sosial dari ilmu-ilmu alam yang menempatkan yang terakhir sebagai bidang yang lebih unggul. Juga masalah politik kantor yang dihadapi para peneliti yang kritis, yang menginginkan perubahan sosial.

Sungguh membuat frustrasi.


Jadi peneliti di Indonesia itu berat. Dilan pun mungkin tak mau.

Tata kelola kehidupan penelitian di Indonesia cenderung membuat kita menjadi peneliti tumpul yang dibuat sangat susah berpikir dengan bebas dan substantif, apalagi merefleksikan apa yang telah dilakukan dan untuk apa meneliti serta sebagainya. Mungkin itu adalah kemewahan yang harus didapat dengan cara pergi dari lingkungan kerja penelitian itu sendiri.

Regulasi-regulasi yang ada selama ini cenderung memberatkan peneliti dengan beban birokrasi riset yang bertele-tele dan sebetulnya tidak terlalu dibutuhkan. Meski saat ini belum ada kebijakan yang mengharuskan atau melarang tema riset tertentu, namun kekhawatiran mengenai hal ini tentu tidak terelakkan.


Kalau seorang peneliti tidak memiliki ruang yang cukup untuk memikirkan hal-hal yang seharusnya dipikirkan oleh seorang peneliti, untuk apa, ya, jadi peneliti?***

 


[1] Lihat di antaranya Vedi R. Hadiz & Daniel Dhakidae (eds.) (2006). Ilmu Sosial dan Kekuasaan di Indonesia. Jakarta: PT. Equinox Publishing Indonesia

[2] Lihat Lisa Tilley (2017). Resisting Piratic Method by Doing Research Otherwise.” Sociology, Vol. 51(1) 27–42.

 


Kepustakaan

Hadiz, Vedi R. & Daniel Dhakidae (eds.) (2006). Ilmu Sosial dan Kekuasaan di Indonesia. Jakarta: PT. Equinox Publishing Indonesia

Smith, Linda Tuhiwai, (2021). Decolonizing methodologies: Research and indigenous peoples. Zed Books Ltd.

Tilley, Lisa (2017). Resisting Piratic Method by Doing Research Otherwise.” Sociology, Vol. 51(1) 27–42.

 


F. Fildzah Izzati, Mahasiswi MPhil/PhD Development Studies – SOAS, University of London.

]]>
Feminisme dalam Sekolah Pemikiran Perempuan: Sebuah Refleksi https://indoprogress.com/2022/07/feminisme-dalam-sekolah-pemikiran-perempuan-sebuah-refleksi/ Mon, 11 Jul 2022 14:49:07 +0000 https://indoprogress.com/?p=236879 Ilustrasi: Jonpey


PADA Januari 2022, sebuah unggahan muncul di feed instagram saya. Isinya undangan untuk mendaftar dan mengikuti “Sekolah Pemikiran Perempuan 2022” (selanjutnya disebut SPP). Saya segera mengirimkan email menyatakan keinginan untuk menjadi peserta. Tak lama, email saya pun dibalas dan … voila!; betapa bahagianya bisa belajar bersama para ‘penyihir’ yang membuat saya semakin yakin bahwa dunia yang adil bagi perempuan itu sangat mungkin untuk diwujudkan.

Di SPP, para perempuan seniman, penulis, aktivis, dan perempuan yang bergiat di bidang seni dan budaya dari berbagai wilayah di Indonesia berkumpul secara online (daring) setiap Sabtu siang. Meski berasal dari berbagai latar belakang yang berbeda, tidak ada feminis (tapi) neolib, feminis (tapi) rasis, atau feminis yang tidak mendukung kepentingan kelas-kelas tertindas di dalamnya. Selain itu, SPP tidak melihat feminisme sebagai suatu hal yang tuntas tapi sebagai proyek politik jangka panjang untuk merombak dunia yang masih kapitalis dan patriarkis ini.

Inisiatif seperti SPP sebetulnya bukan hal baru. Sudah banyak organisasi atau institusi yang menyelenggarakan pendidikan informal tentang kesetaraan gender, tentang aktivisme perempuan, atau tentang feminisme. Yang membedakan SPP dari pendidikan informal sejenis lainnya yang pernah saya ikuti: tidak ada nuansa girl gang yang membuat para perempuan yang terbiasa soliter seperti saya merasa terkucilkan. Persahabatan yang terjalin secara genuine selama SPP menunjukkan wujud feminisme yang kolaboratif, kritis, inklusif, apresiatif, ceria, tapi juga mendalam.

Singkatnya, SPP memang tidak terjebak pada slogan. Prinsip-prinsip feminis dipraktikkan dalam setiap sesi pembelajaran sehingga esensinya dapat dirasakan langsung. Hasilnya, feminisme bukan hanya dibincangkan dan menjadi suatu mitos yang membuat sebagian orang takut ketika mendengarnya.

Beberapa kegelisahan muncul di awal sesi SPP: bagaimana jika pesertanya nanti kurang bisa nyambung karena berbeda bidang? Kebanyakan dari pengampu, para peserta, dan penyelenggara kelas berkecimpung di bidang seni dan budaya. Sementara saya di dunia akademik. Bagaimana jika ada hal yang ingin dikritisi atau tidak disepakati? Mendebat atau mengkritisi sesama feminis terkadang lebih menimbulkan rasa sungkan (dan bersalah yang mendalam dan berkepanjangan). Bagaimana jika dalam proses belajar nanti, masing-masing dari kami terlalu menunjukkan bias-bias individual? Bagaimana mengatasi itu? Apakah semua prosesnya nanti akan mengubah orang menjadi seorang people pleasure? Meski diawali berbagai pertanyaan “what ifs”, saya malah merasa betah mengikuti dua puluh pekan pertemuan.

Kurikulum SPP dibagi ke dalam tiga modul pembelajaran. Modul pertama bicara tentang teori-teori feminisme sekaligus pemikiran-pemikiran para perempuan yang cenderung dilupakan sejarah. Pemikiran-pemikiran feminis (dengan pandangan non-western feminism) seperti bell hooks, Saba Mahmood, Audre Lorde, Chandra Talpade Mohanty, dan sebagainya, dibahas di modul ini. Selain itu, pemikiran dan kiprah para perempuan di Indonesia seperti Marianne Katoppo, Saparinah Sadli, dan sebagainya pun dipelajari secara mendalam di modul pertama ini. Beragam refleksi dan kritisisme pun muncul dalam modul pertama.

Ada beberapa catatan singkat (yang tentu tidak lengkap) yang ingin saya bagi mengenai pemikiran-pemikiran mereka:

Pertama, Audre Lorde, seorang feminis lesbian kulit hitam, begitu menekankan solidaritas bagi sesama perempuan tertindas. Audre Lorde juga menekankan pentingnya komunitas feminis sebagai salah satu kunci menuju pembebasan perempuan yang diimpikan.

Kedua, definisi bell hooks soal opresi/ketertindasan sebagai “the absence of choice” begitu akurat. Apalagi, bagi kebanyakan perempuan, keputusan macam “saya memilih jadi (sebut nama pekerjaan/profesi-dalam hal ini termasuk ibu rumah tangga)” sebetulnya datang di tengah pilihan yang serba terbatas. Di tengah masyarakat yang patriarkis ini, berapa banyak yang misalnya dapat menentukan pilihan hidupnya dengan bebas tanpa prasyarat ini itu? Ada, tapi sedikit sekali.

Selain itu, bell hooks juga mempertanyakan equality (kesetaraan) seperti apa, sih, yang hendak kita capai. Ia sekaligus berpendapat bahwa feminisme harus menjadi gerakan politik berbasis massa karena (meminjam kata-kata guru saya, Coen Husain Pontoh), “kemenangan politik itu tak cukup hanya berada di level narasi.”

Ketiga, pemikiran Gloria Anzaldua tentang bahasa misalnya, mengingatkan saya pada ucapan Bo Jong Hoo yang menyutradarai Parasite (film terbaik Oscar 2020): “Anda akan menemukan banyak film dahsyat jika Anda mau membaca terjemahan selebar satu inci di layar kaca”.  Pada saat yang sama, pemikiran Gloria Anzaldua tentang perempuan yang seringkali dijadikan “token” juga masih relevan hingga saat ini.

Keempat, dalam “Under the Western Eyes: Revisited” (2003), Chandra Talpade Mohanty melakukan otokritik atas pemikirannya pada 1984 yang cenderung masih mendikotomikan “feminis Barat” dan “Non-Barat” secara hitam putih. Ia menekankan bahwa posisinya saat itu (2003) ialah mendukung feminisme transnasional yang anti-kapitalis dan anti-rasis. Selain itu, Mohanty juga menjelaskan tiga metode pedagogis dalam menginternalisasi kurikulum mengenai kajian/studi perempuan. Kemudian, dalam bukunya Feminism without Borders: Decolonizing Theory, Practicing Solidarity (2003), Mohanty juga menekankan pentingnya posisi feminisme yang anti-imperialis dan anti-rasis. Menurut Mohanty, “kapitalisme tidak cocok dengan visi feminis tentang keadilan sosial.”

Kelima, tulisan Linda Tuhiwai Smith berjudul Decolonizing Methodologies mengingatkan saya pada white saviorism dalam riset-riset pembangunan (contoh paling banal dari white saviourism ini bisa dilihat dalam foto anak-anak dari negara Dunia Ketiga yang diambil tanpa persetujuan, dengan peneliti bule tampil tersenyum lebar seolah telah berhasil menyelamatkan anak-anak tersebut). Linda Tuhiwai Smith mengajukan pertanyaan-pertanyaan mendasar, misalnya untuk siapa riset ditulis, siapa yang memiliki risetnya, siapa yang diuntungkan, bagaimana riset akan ditulis, bagaimana riset akan disebarkan, pengetahuan seperti apa yang akan dihasilkan. Pertanyaan-pertanyaan ini sangat penting untuk terus dijadikan dasar ketika melakukan sebuah riset. Apalagi, pengetahuan dan riset-riset yang mendasarinya memang seringkali dan hampir selalu dijadikan alat legitimasi para penindas alih-alih amunisi bagi perjuangan pembebasan kelas-kelas tertindas (termasuk perempuan).

Di modul kedua dan ketiga, tak banyak catatan tertulis yang saya buat. Pengalaman-pengetahuan mengenai politik gender di bidang seni budaya serta pengorganisiran feminis mendominasi kedua modul. Dalam kedua modul ini, para peserta berbagi pikiran dan apresiasi terhadap kerja-kerja di bidang seni budaya (termasuk kerja-kerja reproduktif). Semuanya dihargai sama besarnya, sama pentingnya. Tidak ada yang lebih tinggi atau rendah; tidak ada seni tinggi atau rendah.

Kami belajar, misalnya, bagaimana proses menenun melibatkan kerja kolektif para desainer hingga tukang tenun; bagaimana kerja-kerja di panggung pertunjukkan melibatkan manajer panggung hingga artis yang jadi penampil; bagaimana proses menerbitkan sebuah buku melibatkan periset, penulis, penerjemah, hingga para penjual buku. Semua didefinisikan dengan kerja (labour) bukan romantisme yang rawan menempatkannya dalam hierarki: ada yang lebih begawan di antara para pariah.

SPP sangat tidak Jakarta-sentris. Di modul ketiga, pengalaman-pengalaman yang dibagi oleh para organizer feminis, yang berasal dari berbagai daerah di Indonesia, begitu kaya dan membuka berbagai percakapan sekaligus kemungkinan-kemungkinan baru. Proses di balik kerja-kerja seni budaya seperti kerja kuratorial, atau bagaimana metode-metode feminis yang mengedepankan proses dengan narasi perempuan sebagai subjeknya dapat dipraktikkan dalam berbagai penelitian, juga dibahas dan didiskusikan secara kritis dan reflektif.

Pendekatan lintas disiplin juga begitu dikedepankan sehingga analisis feminisme yang hadir di SPP menjadi lebih kaya. Dari SPP, saya semakin menginsyafi bahwa ketidaknyamanan yang mungkin timbul dari perdebatan di antara sesama feminis harus diterima dan diwajarkan karena dari situlah pengetahuan justru dapat bertumbuh. Adapun bias-bias individu yang muncul selama pembelajaran dapat menjadi sumber pengetahuan baru yang dapat direfleksikan sekaligus dapat dikritisi tanpa kehilangan makna personalnya yang juga bernilai. Dari hal-hal inilah, proses dekolonisasi pikiran berlangsung, dipraktikkan, dan terus berjalan hingga saat ini. Di SPP, “decolonize your mind” atau dekolonisasi pikiran tidak berhenti sebagai slogan atau kata-kata menggugah semata.

Sebagaimana sekolah pada umumnya (lihat tulisan ahli pendidikan panutan saya, Ben K.C. Laksana, di sini), tentu ada yang banyak hal yang bisa disempurnakan lagi dari SPP. Baik dari aspek kurikulumnya, proses kurasi para pesertanya, penyelenggarannya, hubungan pengajar dan peserta, dan sebagainya. Tapi, ada satu hal maju yang bisa dipastikan: para peserta dan pengampu (baik tetap maupun tamu) yang berasal dari berbagai latar belakang menunjukkan bahwa kolaborasi banyak perempuan lintas wilayah, generasi, sangat mungkin diwujudkan—dan itulah yang saya saksikan selama berminggu-minggu bersekolah di SPP.***

]]>
Dana Desa: Konsep dan Realitas di Lapangan https://indoprogress.com/2022/03/dana-desa-konsep-dan-realitas-di-lapangan/ Mon, 21 Mar 2022 04:43:15 +0000 https://indoprogress.com/?p=236716 Ilustrasi: Ilustruth


DANA DESA diatur dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa dan pengalokasiannya juga diatur dalam sebuah peraturan/regulasi tersendiri. Dana desa di satu sisi dianggap sebagai sarana yang efektif untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat miskin perdesaan, tapi di sisi lain banyak juga riset-riset yang menunjukkan bahwa prioritas pembangunan infrastruktur di desa dan juga alokasi dan distribusi dana desa dikuasai oleh kelas-kelas sosial tertentu sehingga tidak efektif. Juga banyak kekurangan dan masalah lain yang ditimbulkan dari dana desa itu sendiri.

Untuk mencari tahu lebih jauh soal ini, Februari lalu F. Fildzah Izzati dari IndoPROGRESS TV (IPTV) berbincang-bincang dengan Arie Sudjito, peneliti di Institute for Research and Empowerment (IRE) Yogyakarta, dan Muhtar Habibi, dosen di Universitas Gadjah Mada (UGM) dan juga bergiat di IISRE Indoprogress. Berikut petikannya.


F. Fildzah Izzati (FFI): Bagaimana pandangan masing-masing narasumber mengenai dana desa yang perdebatannya tidak pernah usai hingga saat ini?

Arie Sudjito (AS): Kebutuhan mengenai UU Desa sudah meningkat sejak 2007. Dalam diskursus demokrasi lokal, lahirnya UU 6/2014 yang disahkan pada 18 Desember 2013 itu pergulatannya panjang.

UU Desa diperlukan sebagai piranti konstitusional yang diharapkan akan menjadi dasar dari penyelenggaraan reformasi desa yang telah lama mengalami “mutilasi” secara politik karena pola-pola yang dikembangkan selama ini cenderung tidak menghadirkan keadilan. Jadi UU Desa itu salah satu strategi.

Di dalam UU Desa ada komponen dana desa. Membaca dana desa harus diletakkan dalam tiga kerangka. Pertama, rekognisi. Kedua, dibutuhkan otorisasi sebagai konsekuensi dari rekognisi. Ketiga, redistribusi. Redistribusi dimaksudkan agar ada resource yang dibagikan karena otonomi daerah tidak menjawab masalah desa. Ini karena pola desentralisasi masih top-down.

Dana desa harus dibaca sebagai politik anggaran. Tapi [ada] jebakan teknokrasi dan administrasi melalui PP [60/2014 tentang Dana Desa]. PP tentang Dana Desa cenderung teknokratik. [Dalam] PP, administrasi ini sangat dominan, membuat desa terjebak pada administrasi daripada politik anggaran.

Politik anggaran itu maksudnya dana desa harus menjadi arena untuk membangun kesadaran politik tentang alokasi penanganan kemiskinan, politik tata ruang, kontrol publik, dan demokratisasi. Pengaturan politik anggaran itu menjadi perdebatan karena PP turunan dari UU Desa cenderung mengalami teknokratisasi.

Mengapa [dana desa] cenderung [hanya digunakan untuk] infrastruktur? Itu karena dulu memikirkan desa tidak hanya Jawa. Tidak semua [pembangunan] infrastruktur itu salah, tapi harus ada politik anggaran, produknya musdes (musyawarah desa). Maka RPJM Desa sebagai manifesto politik pembangunan di desa itu harus dipilari oleh partisipasi, bukan teknokrasi.

Satu lagi, jangan mencurigai orang desa. Di desa ada fakta mengenai oligark, patron-klien, pencari rente, itu banyak sekali. Tetapi sekali lagi, ini adalah set up awal yang mengharuskan ada pendamping desa.


FFI: Kalau bung Habibi bagaimana memandang Dana Desa ini?

Muhtar Habibi (MH): Saya melihat dana desa sebagai intervensi sosial di perdesaan. Kalau kita amati, dana desa ini tidak/bukan suatu program yang baru di Indonesia. Sebelumnya, pada 1998-2006, ada program pembangunan kecamatan, kemudian 2007-2013 ada PNPM Mandiri Desa.

Ada tiga leksikon kunci di situ. Pertama, melihat komunitas desa sebagai komunitas yang cenderung homogen. Itu menjadi dasar awal dari intervensi sosial di perdesaan. Pengambil kebijakan seringkali melihat desa sebagai komunitas yang homogen, seolah di desa hanya ada gotong royong, tidak ada eksploitasi di desa.

Dengan komunitas dipahami seperti itu, ketika diberi bantuan dari luar, maka bantuan itu bisa digunakan untuk kesejahteraan bersama dan di situ tinggal mengembangkan bagaimana tata governance-nya, kapasitas building diperkuat, kemudian modal sosialnya diperkuat juga, agar semakin baik.

Leksikon ini, community, kemudian partisipasi dalam rangka memperbaiki tata governance di desa, dan modal sosial, sebenarnya dari segi pembangunan tidak luput dari intervensi lembaga pembangunan global yang sangat powerful, yaitu Bank Dunia.

Di akhir 1980-an, strategi pembangunan neoliberal sangat pro pasar, anti negara, dan top down. Di tahun 1990-an terjadi pergeseran [karena] kritik yang dahsyat terhadap pembangunan Bank Dunia. Bank Dunia mulai mengadopsi beberapa kritik tadi, yang tadinya sangat anti negara sekarang berubah. Sentimen anti negara menjadi berkurang. Bank Dunia mulai mengadopsi program-program pembangunan yang justru mengandalkan peran negara termasuk intervensi sosial di perdesaan.

Sentimennya menjadi “negara penting untuk pertumbuhan ekonomi” karena diinspirasi oleh neoinstitusional ekonomi, yaitu ekonomi kelembagaan, yang intinya kira-kira untuk bisa membuat pertumbuhan ekonomi yang memadai itu butuh institusi di luar pasar itu sendiri. Misalnya dibutuhkan negara, sistem sosial yang baik, sistem budaya yang mendukung itu, kemudian tatanan pengelolaan pemerintahan yang lebih baik.

Bank Dunia juga mulai menggeser strateginya menjadi lebih ke community driven development (CDC). CDC ini menjadi semacam pembangunan yang lebih bottom up, seperti partisipasi, kemudian demokrasi di tingkat lokal. Ini yang diadopsi Bank Dunia, menjadi semacam leksikon yang penting di tahun 1990-an.

Yang akan saya kritisi lebih lanjut, ini partisipasinya substantif atau formalitas? Dalam demokrasi liberal seperti ini, apakah partisipasi yang formal itu punya dampak yang signifikan terhadap upaya perbaikan orang paling lemah di perdesaan?

Yang tidak berubah dari Bank Dunia sejak 1980-an sampai 1990-an adalah pendekatan yang sangat teknokratik dan antipolitik. James Ferguson menyebutnya anti politik, Tania Li menyebunya teknikalisasi masalah. Seolah-olah, kalau duit datang, komunitas yang dibayangkan itu bisa kerja sama dengan baik, maka mereka bisa makmur bersama. Persoalannya tinggal ada enggak political will dari elite setempat untuk membuat kelembagaan yang mumpuni untuk memfasilitasi perkembangan lokal tadi.

Bagi orang yang punya perspektif ekopol seperti Tania Li, Vedi Hadiz, atau termasuk saya sendiri, akan meragukan asumsi-asumsi seperti itu (bahwa masyarakat desa itu homogen) karena tentu saja pembangunan tidak berada dalam ruang hampa. Terjadi di sebuah masyarakat yang ada pertarungan kekuasaan, yang ada ketidaksetaraan power. Kita harus memperhitungkan dinamika kekuasaan ini ketika mau memperhitungkan gagal/berhasilnya sebuah proyek pembangunan.

Tahun 1990-an ke sini, orang-orang menyebut post-Washington Consensus. Ada community, social capital, public space, yang kemudian jadi mantra dan berlanjut ke Indonesia juga. Tadi saya sebut ada program untuk kecamatan, PNPM, dan dana desa. Itu punya ketiga hal itu.

Problemnya adalah, karena cenderung teknikalisasi masalah, dia abai terhadap dinamika kekuasaan yang ada di desa. Meskipun mungkin Mas Ari menyinggung itu adalah langkah awal yang bisa dilakukan, tapi apakah langkah awal ini punya dampak yang signifikan terutama bagi pemberdayaan orang-orang yang lemah di desa? Atau selama ini desa akhirnya dibajak [dan] dinikmati oleh orang-orang yang sudah terlanjur powerful?


FFI: Saya ingin ke Bung Ari dulu, tentang politik anggaran tadi. Memang pada awalnya dana dewa ditujukan untuk pembangunan infrastruktur yang tidak merata di wilayah luar Jawa terutama. Tapi, dalam kenyataannya, dari beberapa data yang saya temukan, misalnya di NTT, dana desa ternyata tidak berhasil mencegah permasalahan kesehatan, yaitu stunting. Kemudian, adanya peningkatan nilai komoditi di perdesaan, dll. Bagaimana melihat permasalahan yang timbul akibat tidak berjalannya politik anggaran seperti yang Bung Ari sebutkan?

AS: Cara pandang kita mengenai dana desa yang ditafsir sebagai politik anggaran itu kuncinya terletak pada partisipasi. Dari situ ada arena yang disebut dengan musdes, musrembangdes, dst.

Apa yang disampaikan Habibi tadi itu perdebatan lama, awal-awal penyusunan UU desa. Antara yang romantis sama liberal itu tarik ulur. Di satu sisi memelihara social capital lama, cara pandang klasik, dengan mengembalikan romantisme adat; di sisi lain ingin mengubah, seolah desa ini totalitas.

Kita dalam posisi transformasi. Debat mengenai perencanaan top down sudah tuntas dan kita membaca Indonesia itu dengan pluralitas desa yang beragam, ditandai oleh karakter. Adat harus kita bela, tapi dengan cara apa? Tidak sekadar meromantisasi soal social capital itu.

Relokasi kuasa yang membuat ketimpangan kekuasaan itu harus kita pecahkan. Kata kuncinya harus ada desentralisasi kuasa politik. Politisasi desa itu harus ditandai oleh memaknai dana desa sebagai arena perebutan kuasa–dan di situ perebutan pengaruh.

Dulu, yang namanya PPK, desainnya zamannya SBY, dianggap sukses. PPK itu lahir dari proses konsolidasi global. Dulu itu desa hanya jadi lokasi, tidak pernah jadi subjek. Dana desa itu antitesis manajemen politik yang selama ini dilakukan–pembangunanisme. UU Desa itu dirancang sebagai upaya untuk mengonsolidasi dengan pendekatan politik anggaran. Justru ini (dana desa) antitesis atas teknokratisasi berlebihan yang dilakukan dari dulu. Tidak ada pembuktian yang mengatakan desain UU Desa itu teknokrasi.

Pendampingan desa, misalnya, lahir dari proses-proses politisasi desa dari bawah. Sementara pendampingan yang sekarang atau era-era awal itu, apalagi sebelum UU Desa, termasuk awal-awal UU Desa, itu modelnya dicangkokkan, tidak ada pergulatan ideologis, relasi kekuasaannya seperti apa.

Kalau pendekatan teknokratis mengatasi kemiskinan, itu jelas enggak bisa. Tapi intervensi sejauh ini, dalam pendekatan tertentu, membuat dana desa paling tidak bisa menggerakan ekonomi lokal. Contohnya di Bantul, bagaimana kepala desa bisa menggerakan ekonomi lokal. Soal kemiskinan, mereka teratasi. Buka lapangan kerja di level minimal tingkat desa.

Kemiskinan itu bukan produk desa. Kalau semua hal (penanggulangan kemiskinan) dibebankan pada dana desa, enggak fair dong. Kemiskinan juga produk dari ketidakadilan global. Bahwa ada perangkat desa yang korupsi, harus kita atasi. Caranya dengan apa? Harus ada politik desa. Bumbes dirancang sebagai penggerak ekonomi, faktanya masih formalisasi, itu [juga] harus kita koreksi.

Kalau menghubungkan UU Desa dengan SDGs dsb, jangan, terlalu berlebihan. Justru pendekatan dana desa yang terkonsolidasi itu counter terhadap apa yang disebut dengan PPK, PNPM, dsb.


FFI: Iya, UU Desa hanya bagian dari yang besar tadi dan tidak bisa semuanya ke UU Desa. Tapi bahwa terdapat 72 ribu desa yang dapat dana ini kan juga jumlah yang besar dan perlu diperbincangkan.

Saya ingin ke Bung Habibi. Tadi, kan, kuncinya partisipasi. Sementara seperti yang kita tahu, partisipasi tidak bisa dilepaskan dari konteks dinamika kekuasaan yang ada di desa itu sendiri. Lalu gimana sih wajah partisipasi di desa itu dalam kaitannya dengan dinamika kekuasaan dan juga dengan formasi kekuasaan yang ada di desa?

MH: Kebetulan saya dan kolega sedang menulis. Kami meneliti di sebuah desa di sebelah selatan Jawa Tengah. Nanti bisa cek argumen lebih lengkapnya di situ. Di situ kami ingin berargumen bahwa demokrasi atau partisipasi sifatnya formal. Itu sama sekali tidak membantu bagi kalangan kelas pekerja di perdesaan untuk memperoleh bagian dana desa yang signifikan.

Saya akan mulai dengan mengidentifikasi struktur kelas yang ada di perdesaan yang saya dan kolega saya teliti. Pertama, kelas penguasa di desa adalah para petani kapitalis, petani majikan. Mereka punya tanah di atas 0,6 ha, enggak pernah bekerja untuk orang lain dan dia selalu mempekerjakan buruh upahan di ladang/sawahnya. 0,6 ha ini ternyata sudah luar biasa di desa karena desa ini produktivitasnya itu dua lipat dari rata-rata nasional.

Mereka ini hanya empat keluarga trah yang sangat berkuasa, sudah menguasai kontestasi pertarungan kepala desa selama hampir tiga dekade terakhir. Basis kekuasaan mereka adalah kepemilikan lahan terutama sawah yang dimiliki sejak nenek moyang.

Ketika mempunyai tanah, kemampuan ekonomi, punya jabatan kepala desa, termasuk menguasai jabatan-jabatan kepala urusan termasuk sekdes, mereka bisa menentukan siapa ketua bumdes-nya, BPD-nya. Dari penelitian saya, orang-orang sekitar mereka bahkan ada hubungan darah dari si kepala desa itu. Setelah menguasai BPD, susunan bumdes, mereka tinggal menyusun aturannya. Mereka men-set up aturan tentang dana desa–akan tergantung pada mereka.

Misalnya yang paling mencolok aturan bumdes terkait investasi. Di situ ada aturan bahwa investasi bagi kepala desa boleh sampai Rp 25 juta, sekdes dan kaur-kaurnya (kepala urusan) mungkin Rp 10-15 juta. Sementara orang biasa yang di luar jangkauan itu hanya Rp 5 juta dengan pembagian keuntungan sekitar 5%. Orang yang bisa berinvestasi di bumdes, yang Rp 5 juta ini, pertama-tama, hanya orang biasa.

Orang-orang buruh tani, yang enggak punya tanah atau hanya secuil, jangankan Rp 5 juta, Rp 200-300 ribu untuk bertahan hidup saja sulit. Jadi mereka tidak mungkin bisa terlibat dalam investasi. Yang bisa terlibat hanya petani kapitalis atau petani mandiri atau secara konseptual saya menyebutnya petty commodity producer , yaitu mereka yang tidak bekerja pada orang lain tapi tidak mempekerjakan orang lain. Tanahnya 0,3-0,6 ha.

Bisa jadi BPD, kepala desa, ini kan perlu duit, resources, dan riset-riset politik sudah banyak menjelaskan bagaimana untuk menjadi kepala desa perlu miliaran dll.

Sementara petani kelas pekerja, tanahnya di bawah 0,1 ha pasti akan bekerja sepanjang tahun. Dengan hasil dari tanah segitu tidak cukup untuk menghidupi keluarga. Ini yang membuat mereka jadi kelas pekerja dan tidak pernah bisa menguasai jabatan desa yang penting. Bahkan ketua RT, RW, dikuasai oleh petani mandiri, tidak ada kelas pekerja, padahal Ketua RT RW biasanya terlibat dalam pembahasan dana desa.

Kelas pekerja secara umum memang ada jatah dari interest group, kelompok perwakilan orang miskin. Ada beberapa yang mengikuti musdes, membahas dana desa. Tapi yang kami temukan, beberapa orang bahkan semua yang terlibat sebagai perwakilan orang miskin itu adalah orang-orang miskin yang punya hubungan patron klien dengan kepala desanya, termasuk tim suksesnya. Orang-orang miskin inilah yang bekerja secara reguler kepada petani kapitalis ini.

Semua sudah tahu itu sudah diatur, hanya datang ke arena itu. Jadi orang miskin dalam rembug desa secara formal dilibatkan. Partisipasi menjadi formalitas saja. Ada orang miskin, tapi enggak akan bersuara dan ketika bersuara kalah dengan orang-orang yang mendominasi di arena itu yang tadi sudah saya jelaskan: yang punya tanah, yang mengendalikan produksi pertanian di desa.


FFI: Dengan dinamika kekuasaan yang telah dijelaskan Bung Habibi tadi, bagaimana dong politik anggaran bottom up yang tadi Bung Ari bilang itu mungkin untuk dilakukan?

AS: Cerita mengenai penguasaan politik berbasis kelas-kelas oleh penguasaan ekonomi itu sama juga [seperti] cerita pilkada. Itu sudah terjadi lama, sebelum UU Desa juga begitu. Kalau cerita itu ya sejak tahun era patron klien seperti itu.

Pertanyaannya apakah dana desa bisa mengubah itu? Apakah UU desa bisa mengubah formasi politik? Sekarang anak-anak muda mulai jadi kepala desa, pembabakan awal menunjukkan gejala itu. Kemudian di Sleman itu bukan incumbent yang menang.

Gerak ekonomi baru yang ditumbuhkan dana desa melalui politik anggaran melahirkan tumbuhnya anak-anak muda kembali ke desa, memberi perhatian bahwa ekonomi desa harus diselamatkan. Misalnya di NTT, ada seorang kepala desa membuat gerakan membangun partisipasi dengan mengolah lahan kritis.

Seberapa besar dana desa menjawab problem kemiskinan, persentasenya, agregatnya? Kalau tumpuannya dana desa, enggak mungkin menjawab beban kemiskinan 70 ribu sekian desa. Tapi faktanya dana ini memberi ruang untuk menciptakan sesuatu. Dulu ibu-ibu PKK enggak pernah dapat duit sebelum dana desa.

Membaca partisipasi tidak formal saja. Fakta pengambilan keputusan di warung-warung, keputusan informal, itu, kan, banyak sekali. PR kita soal rent seeker perlu dipecahkan di desa.

Mengajari orang protes dengan dana desa itu lebih penting dari soal pembagian merata. Yang kita butuhkan dari dana desa bukan pemerataan, tapi keadilan. Pengambilan keputusan soal itu dibutuhkan partisipasi warga. Faktanya, ada warga yang aktif ada juga yang tidak. Jangankan di desa, memangnya di kabupaten enggak?

Jadi, saya kira terlalu naif untuk mengatakan bahwa terjadi enclave-enclave baru di desa. Kita harus adil. Dorongan untuk membuat terobosan untuk meningkatkan kualitas partisipasi itu matter dan mengurangi pendekatan teknokratis. Maka RPJM desa jangan sampai terjebak urusan administrasi. Tugas kabupaten memfasilitasi desa belajar bareng.

Ini ada data menarik, jangan menyepelekan desa. Banyak sekali sekolah anggaran yang dikerjakan teman-teman CSO, belajar menyusun perencanaan, memilah-milah, data yang tepat apa, membuat data desa lebih kredibel. Dan saat ini informasi juga sudah menjadi power baru, dana desa ini jumlahnya berapa, misalnya, sudah bisa diakses siapa saja dan dari mana saja.


FFI: Soal partisipasi ini menarik ya. Tadi Bung Habibi bilang bahwa selama ini partisipasi yang ada itu partisipasi formal, sementara Bung Ari bilang partisipasi ini harus ditransformasi. Dengan dinamika kekuasaan yang tadi Bung Habibi bilang, gimana pandangan Bung Habibi tentang politik anggaran yang melibatkan partisipasi warga ini? dan transformasi seperti apa yang mungkin terjadi di perdesaan dengan kondisi seperti itu?

MH: Tadi Bung Ari menyebutkan politisasi sebagai salah satu tujuan dana desa, jadi warga lebih melek politik, dan berpartisipasi dalam makna apa pun untuk terlibat dalam kegiatan yang ada di desa. Itu barangkali adalah salah satu aspek yang berbeda dari zaman Orba yang sangat otoritarian. Tapi ini sudah berlangsung sejak masa Soeharto, ketika orang sudah mulai melek ke arah situ.

Tapi yang ingin saya lihat, politisasi ini, yang paling melek politik lagi-lagi adalah orang-orang yang punya akses ekonomi, punya resources yang kemudian memonopoli resources yang ada di desa. Sementara orang-orang kelas pekerjanya sangat skeptis karena mereka sadar bahwa, kenapa dari ribuan yang misalnya hanya dipilih tiga atau lima, hanya orang-orang itu, yang bekerja untuk kepala desa dan jajarannnya.” Ini yang membuat orang skeptis justru dengan dana desa, dengan proses politiknya.

Mereka merasa powerless dan merasa nggak ada yang bisa dilakukan karena semuanya sudah ditentukan.

AS: Ada enggak data yang bisa kau tunjukkan tentang powerless yang terjadi barusan?

MH: Ini sudah saya submit mas.

AS: Mana? Coba sebutin aja.

MH: Maksudnya?

AS: Saya mau cerita begini…

FFI: Mungkin bisa disebutkan saja Bung Habibi datanya?

MH: Yang saya maksud powerless adalah mereka merasa tidak punya kekuatan apa apa untuk mempengaruhi apa yang terjadi di desa itu.

AS: Bisa enggak disebut contoh dana desa yang membuat dia powerless?

FFI: Mungkin bisa diberikan contoh ilustrasi kasusnya?

AS: Saya memberikan contoh, FITRA punya sekolah-sekolah anggaran. Di Bima, Grobogan, di beberapa tempat, partisipasi publik itu berjalan misalnya memikirkan anggaran untuk kelompok rentan, itu dilakukan, terjadi konsensus. Kedua, sejak kapan awal Reformasi terjadi politik anggaran? enggak banyak. Itu terjadi sejak dana desa. Sebelumnya PPK itu enggak ada yang kritis. Politisasi anggaran lahir dorongannya ketika ada dana desa. PPK rata-rata menerima, sebagai anugerah.

FFI: Bung Habibi, mungkin bisa diberikan contoh ketidakberdayaan kelas pekerja dalam mengakses politik anggaran yang ada di desa, misalnya karena bumdes-nya dikuasai kelas tertentu. Mungkin bisa dijelaskan bagaimana masuknya petani kapitalis ke dalam bumdes [yang] memarjinalkan petani-petani kecil lainnya? Mungkin bisa dijelaskan gambaran konkretnya?

MH: Sebelumnya, kan, sudah saya jelaskan bagaimana bumdes dikuasai petani majikan dll. Sudah saya jelaskan proses dan mekanismenya. Orang-orang miskin yang masuk pun adalah mereka yang bekerja untuk petani majikan yang punya hubungan patron-klien dengan petani majikan. Sementara yang tidak, mereka inilah yang tereksklusi dan mereka inilah yang merasa program-program pembangunan tidak bermanfaat buat mereka. Mereka hanya bisa ngrasani di belakang “oh itu hanya dinikmati pak ini..” dll.

FFI: Berarti kalau kondisinya seperti itu, transformasi seperti apa yang harusnya terjadi agar tidak ada lagi ketimpangan seperti itu?

MH: Studi-studi politik misalnya dari Aspinall dll menyebut terjadi elite gap, menurunnya demokrasi yang lebih radikal. Mereka saran dan rekomendasinya ke arah pemberdayaan partisipasi yang lebih substansial. Tapi bagi saya yang menggunakan kacamata ekopol akan melewati yang seperti itu. Ilmuwan politik seperti Aspinall jarang sekali menyinggung basis dari kekuasaan orang-orang elite desa. Karena basis mereka ilmuwan politik, maka jarang sekali kepala desa digambarkan punya tanah berapa–karena fokusnya ke politik itu adalah dia bertarung menggunakan jaringan apa, resources-nya apa. Enggak dijelaskan, ini kepala desa punya tanah berapa, apa dedikasinya di pertanian yang memungkinkan, kok dia dulu bisa menempati itu, sumber daya ekonomi macam apa yang dia miliki.

Kalau orang yang berangkat dari ekopol punya pandangan yang berbeda. Kalau akar dari kekuasaan di desa itu adalah sumber-sumber ekonomi dan yang paling penting salah satunya adalah kepemilikan tanah, maka kira-kira saya akan berargumen, tanpa ada reorganisasi, restrukturisasi kepemilikan tanah, termasuk produksi pertanian di desa, program sosial apa pun, termasuk dana desa, hanya akan menjadi “hadiah” bagi kelas penguasa desa. Kenapa? Karena dengan penguasaan ekonomi, menguasai jabatan politik, mampu menciptakan aturan yang menguntungkan mereka dan itu meninggalkan sebagian besar orang yang tidak mendapatkan apa pun.

FFI: Apakah ada kaitannya dengan dana desa ini Bung Habibi? Maksudnya, apakah perubahan tersebut bisa dimungkinkan dengan kehadiran dana desa ini?

MH: Kalau dana desa logikanya memberikan dana, mereka punya medan pertarungan yang sangat jomplang, dengan majikan menguasai, saya agak skeptis politisasi itu hanya akan mempolitisasi orang-orang yang sudah berkuasa saja, sementara orang-orang yang selama ini memang tidak punya power di desa itu malah justru makin apatis dengan apa yang terjadi.

FFI: Kalau menurut Bung Ari, apakah dana desa ini mungkin digunakan untuk mengubah, misalnya, ketimpangan kepemilikan lahan, mengubah struktur, melalui politik anggaran yang partisipatif tadi?

AS: Fokus saya soal transformasi desa. Pandangan Habibi tadi, kan, pandangan strukturalis lama–melihat bahwa kuasa politik itu hanya formal. Sekarang masyarakat punya pengetahuan, informasi. Dana desa ini adalah bagian dari argumen penting, bukan uangnya, tapi proses pembentukan konsensus, politik anggaran, itu bagian dari pendidikan politik. Itu penting dan bukan omong kosong. Belum semua, iya.

Saya ambil contoh beberapa praktik baik pendidikan politik melek anggaran yang dikerjakan oleh FITRA dan teman-teman CSO yang lain. Itu isu-isu yang membawa isu kemiskinan pada isu anggaran.

Sekarang-sekarang ini banyak anak-anak muda pintar jadi perangkat desa. Sudah banyak. Itu menjadi penanda penting. Saya memberi catatan serius soal ini. Kalau dana desa dianggap enggak berguna, saya kritik itu. Dana desa tetap berguna paling tidak dia ingin menunjukkan bahwa ada pengakuan negara terhadap desa. Rekognisi, otorisasi, dan redistribusi.

Pandangan kita jangan strukturalis klasik yang melihat power hanya bekerja pada ranah formal. Bukan hanya itu. Pengetahuan itu, sistem informasi desa itu, terdistribusi. Orang bisa mengkritik kok lahan kritis yang dikuasai sekelompok orang. Kalau cara pandang melihat desa seperti itu, ketinggalan zaman.

Priayi-priayi desa ini tidak seperti tuan tanah dulu. Sekarang ini anak-anak muda yang punya inovasi teknologi bisa jadi power baru. Ini poststruktural. Maksud saya, saya tidak mengabaikan yang harus kita atasi sekarang ini adalah rent seeker dalam berbagai hal: pangan, teknologi, SDA. Caranya desa harus transparan, dikelola dengan teknologi.

FFI: Sebelum ke teknologi, tadi Bung Ari bilang, sebenarnya itu dimungkinkan karena kekuasaan tidak seperti yang kaku. Saya ingin bertanya ke Bung Ari, ada tidak sih dana desa yang dipergunakan untuk mengatasi ketimpangan kelas yang tadi Bung Habibi bilang, misalnya ketimpangan penguasaan lahan? Ada enggak dari risetnya Bung Ari, dana desa pernah dialokasikan untuk itu?

AS: Pertama, normatifnya dana desa itu menggerakkan ekonomi lokal. Beberapa riset yang kami kerjakan menunjukkan bahwa sumber daya desa baru yang disebut dana desa ini awal, sebelum muncul perpres dan pasca soal infrastruktur, dialokasikan misalnya untuk mendidik masyarakat, misalnya pendidikan masyarakat dari infrastruktur jadi aktivitas non infrastruktur. Dan penguasaan lahan sudah mengalami perubahan luar biasa dan yang disalahkan bukan dana desa tapi pentingnya proteksi negara atas sumber daya desa.

Aset desa mestinya dikembalikan pada desa. Tapi ini tergantung komitmen negara untuk melakukan perlindungan itu. Pemikiran strukturalis lama itu harus kita akui dalam sejarah lama. Tapi, pemilihan kepala desa sekarang ini, misalnya yang kaya itu, itu kita lihat habisnya miliaran, kan mencontoh pilkada. Apakah ini hubungannya dengan dana desa, ya enggak dong.

FFI: Singkatnya, berarti dari 6 atau 7 tahun pelaksanaan dana desa ini, ada enggak sih perubahan transformasi yang tadi Bung Ari bilang? Yang struktural ya. Sejauh ini ada enggak konkretnya perubahan itu, atau sama saja strukturnya timpang terus?

AS: Kalau kuasa politik itu dipahami tidak hanya sekadar tanah, formasi sosial desa akibat politisasi desa melalui UU Desa telah mengubah formasi itu. Dan seolah-olah hanya seperti dulu, enggak juga. Bahwa masih ada penguasaan-penguasaan kepala desa, para juragan itu, ada. Kayak misalnya soal tembakau. Ya enggak mungkin kasus tembakau, beberapa tempat di desa, diserahkan pada soal dana desa. Tapi bahwa instrumen membekali mereka untuk tahu perlunya kita mewujudkan keadilan, ya itu terjadi.

Beberapa kasus yang kami gambarkan, terjadi pergeseran formasi sosial, iya. Tapi bahwa pemerintah harus me-reform regulasinya supaya beban yang dialami oleh desa bisa dipecahkan sebagian oleh dana desa, tapi sebagian yang lain harus butuh intervensi-intervensi lain yang terutama yang membuat ketergantungan itu tidak semakin tinggi, contohnya tadi soal pangan, soal reforma agraria itu tugas negara. Nah bongkar itu perspektifnya negara untuk mendorong keadilan agraria. Kalau keadilan agraria dihubungkan dengan dana desa, enggak fair.

FFI: Saya berhenti di pernyataan Bung Ari tadi ada perubahan formasi sosial. Saya ingin bertanya ke Bung Habibi, apakah benar ada perubahan formasi sosial seperti yang Bung Ari bilang? Karena dari riset yang Bung Habibi dan Bung Ari lakukan sepertinya ada perbedaan.

Nanti dari bung Habibi saya akan ke Bung Ari untuk closing statement secara singkat dan nanti saya akan ke Bung Habibi untuk closing statement juga.

MH: Sebaiknya kita perlu membedakan antara formasi kelas sosial dengan formasi generasi. Mas Ari menyebut banyak kepala desa dari generasi muda dan Mas Ari menganggapnya sebagai perubahan formasi sosial. Kalau dari riset saya, lagi-lagi, generasi sosial yang dimaksud generasi baru ini, ya, sebenarnya mereka dari formasi lama. Mereka ini anaknya kepala desa di satu wilayah, di Solo atau Semarang atau di Jogja. Begitu lulus kuliah, nyalon dari kades didukung penuh oleh bapaknya yang punya tanah 1,1 ha dan itu bapaknya, ya, petani kapitalis tadi. Dengan modal itu dia bisa jadi kepala desa.

Saya kira kurang produktif kalau kita men-judge pendekatan orang, ekonomi politik yang dianggap klasik, lama, padahal ini di jurnal-jurnal internasional masih sangat banyak dipakai untuk menjelaskan apa yang terjadi hari ini di perdesaan. Itu ada jurnal Peasant Studies, Agrarian Change, yang impact factor-nya tinggi-tinggi semua. Kalau itu dianggap tidak laku lagi, gimana? Di tingkat global masih sangat dipakai.

AS: Bukan itu, asumsimu itu.. (memotong pembicaraan)

FFI: Sebentar, Bung Habibi selesaikan dulu, ya, nanti kan Bung Ari ada gilirannya.

AS: (tetap bicara)

FFI: Bung Habibi dulu selesaikan nanti Bung Ari lagi, ya.

MH: Sekarang kita lihat saja, di jurnal-jurnal yang saya sebut tadi, ada itu pendekatan ekopol yang saya gunakan. Dengan mudah kawan-kawan bisa menilai apakah pendekatan yang saya gunakan ini pendekatan lama atau memang pendekatan kontemporer–yang karena Bung Ari enggak setuju kemudian memberi labelnya sebagai pendekatan lama. Saya kira tidak produktif untuk perdebatan ini.

FFI: Iya betul.

MH: Jadi bagi saya, formasi sosialnya tidak ada yang berubah. Yang berubah ya generasinya berubah, orang-orang lebih muda, tapi dari keluarga yang sudah berkuasa di situ. Anak-anak kepala desa yang sudah berkuliah kembali ke sana jadi kepala desa, sekdes, kaur, karena orang yang enggak punya enggak mungkin bisa kuliah ke Jogja, Solo, atau Semarang.

FFI: Berarti formasi kelasnya tetap sama ya Bung Habibi?

MH: Iya.


FFI: Pertanyaan terakhir untuk kedua narasumber: Kalau begitu, kalau jawabannya tidak berhenti di dana desa, apa dong hal yang bisa mendorong perubahan sosial di desa? Singkat saja karena waktunya sudah mau habis. Dari Bung Ari dulu nanti baru ke Bung Habibi. Silakan closing statement.

AS: Jadi gini, variasi ekopol, pendekatan-pendekatan ekopol, itu banyak variasi. formasi yang kau bayangkan itu formasi dari pandangan yang dulu. Pandangan ekopol misalnya kita katakan bahwa penguasaan teknologi dan pengetahuan itu penting. Pandangan-pandangan baru yang melihat bahwa para priayi baru di desa itu tidak lagi seperti dulu zamannya Geertz. Saya pelajari itu. Yang mau saya katakan, bahwa penting melihat potret data secara realistis. Kalau orang berasumsi semua lurah itu apakah anak lurah, itu kalau ada temuan beberapa? Kalau kita lihat faktanya sekarang, terjadi pergeseran luar biasa. Itu rata-rata lurah-lurah baru.

Bahwa apakah ini bukan pandangan ekopol, terjadi pertarungan baru bahwa memengaruhi orang itu dengan inisiatif baru. Memperoleh dukungan tidak semata-mata karena dia anaknya lurah, itu enggak juga, itu asumsi. Bahwa dulu berlaku, iya.

Pertanyaannya adalah, apakah kelompok-kelompok baru ini tidak menjadi bagian dari kelompok-kelompok lama? Sebagian iya. Makanya saya katakan, ini kan diskusinya soal dana desa. Apakah dana desa itu bisa mengubah secara totalitas? tidak totalitas. Tetapi dana desa telah mendorong tumbuhnya politik anggaran dan demokratisasi di dalam perencanaan, itu iya. Tapi memberi beban dalam lima tahun mengubah karena dana desa itu kenaifan.

Saya menggunakan pendekatan ekopol dalam artian bahwa yang dialami desa ini adalah rantai dari ketidakadilan. Contoh konkretnya adalah kegagalan Indonesia untuk bargaining pada kelompok-kelompok neoliberal. Itu punya dampak, pada desa. Ini ekopol. Cara baca ekopol itu beragam dan perspektifnya ada gradasi, tidak hitam putih. Teknologi penting untuk mendorong demokratisasi. Teknologi akan menjadi alat dan ini berproses, terjadi artikulasi dan deartikulasi.

Tantangan kita menurut saya adalah reformasi di level kementerian untuk melihat cara pandang ini. Kalau desa diberi beban berlebihan untuk mengubah ketimpangan kelas itu terlalu naif. bahwa ada anak-anak muda mulai banyak membuat inisiatif, itu relevan. Dorongan demokratisasi membuat [warga] desa sekarang tahu ini anggaran untuk siapa, resource ini milik siapa, sudah mulai tahu dan salah satu kata kuncinya adalah bagaimana membuat rakyat terdidik secara politik agar mereka tahu anggaran.

Dana desa jangan terjebak pada administrasi keuangan tapi harus menjadi politik anggaran.

FFI: Oke terima kasih Bung Ari. Silahkan Bung Habibi, masih pertanyaan yang sama dan sekalian closing statement. Karena keterbatasan waktu, dimohon singkat juga, ya.

MH: Jadi saya akan mulai dengan, bahwa tentu saja saya enggak akan bertanya apakah dana desa bisa mengubah, mentransformasi kelas di desa atau tidak. Karena jawabannya sudah jelas bagi saya, yaitu tidak. Dan kalau Mas Ari bisa tadi berargumen bahwa itu akan bertahap, nah ini yang justru, paling tidak dari temuan saya, menunjukkan sebaliknya. Karena problemnya justru dana desa itu memperparah ketimpangan. Jadi bukan sekadar melanggengkan ketimpangan.

Kok bisa? karena dana desa yang bisa dimanfaatkan hanya oleh kelas penguasa tadi. Mereka bisa mengakumulasi dari situ, memperoleh manfaat terbesar dari situ. Mereka memperoleh uang lebih banyak misalnya dengan menjadi pembicara dengan adanya studi banding, kemudian dia bisa mengakumulasi.

Jadi bukan sekadar apakah dana desa ini bisa mengubah formasi kelas atau tidak, karena sudah pasti tidak. Tetapi, justru kita ingin mengatakan bahwa dana desa itu memperparah ketimpangan. Dan kalau memperparah ketimpangan, saya khawatir ke depannya makin sulit untuk memperbaiki kondisi orang-orang terlemah di perdesaan. Karena bagi mereka yang tidak manfaat dari dana desa, mereka akan makin terpinggirkan dan tereksklusi dari pembangunan di desa.

Bagi saya, upaya pembangunan di perdesaan harus selalu berdasarkan pada upaya untuk mengintervensi ketimpangan di perdesaan terlebih dahulu. Jadi bukan dengan mengasumsikan bahwa ketimpangan itu akan bisa dikurangi atau tidak dengan adanya suatu program, tapi sejak awal harus menarget ketimpangan ekonomi terutama karena itu akan menjalar pada ketimpangan politik dan akan menjalar pada ketimpangan siapa mendapatkan apa dari proses pembangunan itu.

Dan itu salah satunya bisa jadi program-program seperti land reform. Reforma agraria barangkali lebih memadai daripada program penggelontoran dana ke desa yang manfaatnya itu hanya dinikmati oleh segelintir orang di desa. Terima kasih.

FFI: Oke terima kasih. Jadi prioritasnya soal ketimpangan, dan ini ada dua pandangan yang berbeda, ya. Menarik sekali.

Terima kasih atas kehadiran dan waktu luang dari Bung Ari dan Bung habibi. Sampai ketemu lagi di Forum IndoProgress berikutnya.

Terima kasih.***

 

]]>
Kerja-Kerja yang Kabur dalam Kapitalisme https://indoprogress.com/2022/02/kerja-kerja-yang-kabur-dalam-kapitalisme/ Thu, 03 Feb 2022 09:50:17 +0000 https://indoprogress.com/?p=236594 Ilustrasi: Illustruth


PROGRAM magang mahasiswa dalam Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM) mendapat sorotan. Ekspolitasi terselubung atas nama “pengalaman” dan “bagian dari pendidikan” menjadi pangkal soalnya. Kelindan erat rezim komersialiasi pendidikan dan link and match antara dunia pendidikan dan industri (yang tak jelas-jelas amat blueprint-nya) menjadi konteks dari program keluaran Kementerian Pendidikan tersebut.

Selain itu, praktik program magang ini pun tak lepas dari konteks eksploitasi dalam kapitalisme. Dalam hal ini, kapitalisme telah memisahkan secara ketat sekaligus mengaburkan batasan kerja produktif dan reproduktif, yang hingga kini juga masih menjadi pedebatan di dunia akademik. Pengaburan-pengaburan kerja ini bisa juga dilihat pada apa yang dialami ribuan mahasiswa di Indonesia yang saat ini tergabung dalam program magang di bawah Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM).

Untuk mencari tahu lebih jauh soal ini, Joan Aurelia dari IndoPROGRESS TV (IPTV), berbincang-bincang dengan Dhia ul-Uyun, dosen Fakultas Hukum Universitas Brawijaya dan Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademis (KIKA) dan F. Fildzah Izzati, peneliti di Pusat Penelitian Politik BRIN dan editor IndoProgress. Naskah wawancara ini ditranskrip dan telah dipadatkan. Berikut petikannya.


Joan Aurelia (JA): Menurut kalian, definisi kerja itu apa?

Fildzah Izzati (FFI): Definisi kerja sendiri banyak banget, ya. Tapi, karena kita hidup di bawah sistem ekonomi politik kapitalisme, tentu yang dianggap kerja, yang di-value sebagai kerja oleh kapitalis adalah kerja-kerja yang bersifat “produktif”. Kerja-kerja produktif ini biasanya diasosiasikan dengan pekerjaan laki-laki. Sementara kerja-kerja yang dianggap tidak memberikan kontribusi langsung terhadap ekonomi biasanya bersifat reproduktif dan diasosiasikan sebagai pekerjaan perempuan.

Dari pemisahan kerja yang ketat di dalam kapitalisme mengenai kerja produktif dan reproduktif ini, kemudian timbul banyak problem. Banyak scholar feminis yang telah menganalisis hal tersebut. Pemisahan kerja produktif dan reproduktif di dalam kapitalisme ini kemudian mengubah hidup masyarakat dan terutama kehidupan perempuan, sebagai pihak yang paling banyak terkena dampak dari pemisahan ketat kedua jenis kerja.


JA: Kalau menurut Dhia?

Dhia ul-Uyun (DU): Karena ini soal kerja, saya coba ambil dari background saya di fakultas hukum. Ketika kita bicara tentang kerja, maka itu terkait dengan jasa dan barang. Jadi, kerja itu adalah soal memproduksi barang, jasa, beserta timbal baliknya, yaitu upah. Tapi, dalam konteks yang lebih umum, kerja itu adalah melakukan sesuatu. Apapun yang kita lakukan adalah kerja. Tinggal kita memaknainya dalam dunia apa.

JA: Fildzah, tadi kan sempat dibahas soal kerja produktif dan reproduktif. Mungkin sekarang bisa dibahas lebih detail lagi.

FFI: Sekarang, kita bicara dulu apa yang dimaksud sebagai kerja produktif dan reproduktif itu sendiri. Di dalam sistem kapitalisme, kerja-kerja produktif adalah kerja-kerja yang menghasilkan nilai lebih (surplus value), memberikan kontribusi bagi peningkatan akumulasi di dalam sistem kapitalisme. Sementara itu, kerja-kerja yang tidak dianggap memberikan kontribusi secara langsung bagi ekonomi itu dianggap sebagai kerja-kerja yang tidak bersifat produktif.

Dalam perkembangannya, seiring perubahan-perubahan misalnya di dalam rezim pasar tenaga kerja, sektor kerja produktif juga justru sebenarnya sangat diuntungkan oleh keberadaan konstruksi sosial yang patriarkal di tengah masyarakat. Dalam hal ini, kerja-kerja produktif pada akhirnya cenderung memilih perempuan untuk terlibat di dalamnya. Kenapa? Karena perempuan dianggap sebagai pekerja yang bisa memberikan potensi ekonomi yang lebih karena beberapa hal, yang nanti kita bahas.

Kerja-kerja reproduktif seperti merawat, memelihara yang membuat tenaga kerja di bidang produktif agar bisa melangsungkan kehidupannya, sering dianggap sebagai kerja-kerja pinggiran. Padahal posisinya sangat sentral di dalam akumulasi kapital. Kerja-kerja reproduktif ini hampir selalu diasosiasikan dengan kerja-kerja perempuan karena dalam sejarahnya, kerja-kerja untuk bertahan hidup atau subsisten, ditanggung oleh perempuan, dan itu terus berlangsung. Hari ini, pemisahan kerja produktif dan reproduktif pun berkembang menjadi semakin kabur karena kerja-kerja reproduktif pada akhirnya juga menyatu ke dalam kerja-kerja yang produktif. Jadi, di satu sisi ada pemisahan yang ketat dan di sisi lain, ada juga pengaburan di dalam pemisahan itu dalam konteks untuk kepentingan akumulasi.

JA: Tadi dijelaskan bahwa kerja-kerja produktif lebih banyak melibatkan perempuan. Sebelum kita masuk ke ranah mahasiswa dan kerja-kerja magang, kapan sih perempuan mulai masuk ke kerja-kerja produktif itu dan kemudian apa yang membuat demand itu terus berkembang dan akhirnya mengaburkan batasan antara kerja produktif dan reproduktif?

FFI: Pertama, sebetulnya banyak kerja perempuan yang memberikan kontribusi langsung terhadap ekonomi itu dianggap sebagai bukan kerja yang produktif. Jadi, ada kerja-kerja yang dilupakan oleh kapitalisme dan dianggap sebagai kerja-kerja yang pinggiran. Ambil contoh, kerja-kerja di bidang agrikultur, atau pekerjaan-pekerjaan yang terinformalisasi, yang tidak terlalu dianggap penting di dalam perhitungan ekonomi. Padahal, sebetulnya kerja-kerja itu berkontribusi langsung terhadap ekonomi. Banyak perempuan yang terlibat di dalamnya.

Kedua, secara umum, sejak tahun 1970an, tingkat partisipasi perempuan di dalam pasar tenaga kerja secara global lebih rendah dibanding laki-laki. Akan tetapi, tingkat partisipasi tersebut terus meningkat hingga saat ini. Ini karena ada faktor feminisasi kerja di dalam kapitalisme yang memanfaatkan nilai-nilai patriarkal untuk merekrut perempuan, misalnya perempuan itu dianggap punya “jari-jari yang lentik”, “cekatan”, “perempuan itu docile”, “gampang diatur”, “penurut”, dll. sehingga kelas kapitalis cenderung merekrut perempuan karena dianggap dapat lebih mudah diatur untuk peningkatan surplus value.

Di sisi lain, sejak kapan sih perempuan itu jadi seolah-olah terjebak di dalam mekanisme itu? Karena memang ada keterdesakan ekonomi juga di dalam kehidupan perempuan. Seiring dengan berkembangnya neoliberalisme, misalnya, di mana social protection sudah semakin tidak ada lagi, perempuan tidak memiliki pilihan selain terlibat dalam pasar tenaga kerja. Jadi, di satu sisi ada nilai-nilai patriarkal yang menguntungkan kapitalisme, dan di sisi lain juga ada kebutuhan ekonomi dari perempuan yang memaksa mereka untuk terlibat di dalam kerja yang bersifat produktif tadi, yang menghasilkan pemasukan (income) untuk perempuan.

Sementara itu, untuk kerja-kerja reproduktif yang lebih banyak di sisi unpaid work, seperti misalnya kerja-kerja di dalam rumah tangga (kerja-kerja domestik), seiring dengan berjalannya neoliberalisme, semakin banyak perempuan yang tidak bisa mengakses itu dengan bebas (misalnya mengakses daycare, dll). Jadi, mau tidak mau perempuan tidak punya pilihan selain menjalankan kerja-kerja reproduktif itu.

Ketiga, bagaimana kerja produktif dan reproduktif bisa kabur. Ada satu tulisan dari seorang scholar feminis, Alessandra Mezzadri, yang menganalisis bagaimana pada akhirnya kerja-kerja reproduktif menyatu di dalam kerja-kerja produktif.Dia mencontohkan bagaimana mess atau bedeng atau asrama buruh (di tempat kerja) bisa mengaburkan batasan mana kerja produktif dan reproduktif. Di sisi lain, ada juga debat tentang bagaimana nilai (value) di dalam kerja reproduktif dapat dilihat sehingga bisa menentukan apakah kerja reproduktif ini sentral, dan se-penting apa reproduksi sosial ini sehingga perlu dikembalikan ke dalam posisinya (yang sentral tadi).

Pertanyaan berikutnya apakah betul kerja reproduktif itu tidak memiliki nilai (value)? Dan ada juga pertanyaan apakah kerja reproduktif itu merupakan kerja produktif juga? Jadi ada macam-macam debat yang perlu kita lihat.

Contoh yang paling gamblang di Indonesia bisa dilihat dalam mekanisme kerja putting-out-system di mana mesin-mesin pabrik dipindahkan ke rumah-rumah buruh karena anggapan bahwa lokus buruh perempuan itu, ya, di rumah untuk mengerjakan tugas-tugas reproduksi sosial tak berbayar. Sistem ini merugikan perempuan karena semua mesin dipindahkan ke rumah buruh perempuan sehingga semua risiko kerja yang harusnya ditanggung pihak perusahaan/pabrik, jadi ditanggung oleh buruh. Selain itu, jam kerja juga menjadi kabur; mana yang reproduktif dan produktif sudah tidak kelihatan lagi. Dalihnya, perempuan sudah kerja “sebisanya” saja sembari mengurus rumah tangga. Padahal, kenyataannya mereka bekerja dari pagi sampai sore dan pekerjaan rumah atau kerja-kerja domestik pun jadi tidak terurus. Selain itu, upah yang mereka terima pun tidak sama karena mereka tidak dianggap seperti bekerja di pabrik secara langsung. Pekerjaan mereka kadang dianggap sebagai pekerjaan “tambah-tambah” saja.

Contoh lainnya, di home-based labour. Misalnya di pabrik boneka, banyak pekerjaan misalnya menambahkan manik-manik itu dioutsource-kan, dikerjakan di rumah-rumah buruh perempuan, dan kemudian pekerjaan itu dianggap sebagai pekerjaan tambahan iseng-iseng karena dikerjakan di luar pabrik.


JA: Oke, sekarang saya berangkat dari contoh kasus. Saya baca di Project Multatuli, mereka bikin serial naskah soal magang. Naskah terbaru (tulisan Ann Putri) menceritakan soal mahasiswa magang. Nah, saya jadi ingat yang tadi Fildzah bilang, ini bukan hanya jadi kabur tapi kaburnya juga sudah kacau. Nah, bagaimana pendapat Dhia soal program magang mahasiswa ini?

DU: Sejak awal diluncurkan, “Kampus Merdeka” sudah menimbulkan masalah karena banyak pergeseran dalam tata kelola universitas yang mengarah ke komersialisasi pendidikan. Pendidikan yang mestinya semangatnya itu education for all, kini jadi eksklusif. Jadi, orang yang diakui pendidikannya adalah yang bisa menghasilkan uang atau meraih jabatan-jabatan. Akhirnya pendidikan turun tingkat, padahal pendidikan sendiri tidak memiliki fungsi ke arah seperti itu.

Hal ini terjadi di seluruh tingkatan di universitas, bagaimana relasi antar dosen, bagaimana dosen mengarahkan mahasiswanya, bagaimana mahasiswanya, manajemen universitasnya, bagaimana komposisi pengambil kebijakan di dalam universitas. Contohnya kita lihat misalnya, bagaimana dosen rangkap jabatan komisaris di UI yang kemudian menimbulkan masalah. Ketika ada aksi demonstrasi oleh mahasiswa) respon dari rektor jadi berlebihan, seperti terlihat dalam aksi kritik “Jokowi lip service”.

Kemudian, ada situasi-situasi bargaining dalam universitas dalam pemberian gelar honoris causa. Terjadi obral dalam pemberian gelar honoris causa, obral gelar profesor. Sementara mahasiswa misalnya, harus berkeringat sekali untuk meraih gelar sarjana. Bagiamana orang yang sebetulnya tidak layak menerima gelar-gelar akademik menjadi dapat menerima gelar-gelar akademik tidak lain karena adanya komersialisasi ini.

Di sisi lain, kemampuan berpikir kreatif dan kritis mahasiswa semakin tergerus karena mereka hanya)diarahkan nanti harus kerja dengan sistem yang sudah ditentukan dan ditanamkan pada diri mahasiswa sebagai sistem yang ideal. Dengan kata lain, program ini cukup sukses mengurangi sikap kritis mahasiswa terhadap apa yang terjadi di lingkungan sekitar mereka, karena laporan MBKM ini sangat banyak secara administratif dan sangat birokratis.

JA: MBKM ini bagian dari komersialisasi pendidikan ya. Tapi, apa ada mekanisme yang bisa menahan itu

DU: Secara umum, kreativitas itu dilindungi. Ada di UU (tentang kebebasan akademik). Tapi, pada kenyataannya, mahasiswa tidak mungkin kritis ketika dijejali banyak pekerjaan administratif—yang juga menjerat para dosen. Kerja-kerja administratif ini juga terjadi hampir di semua tingkatan kampus sehingga semua jengah.

Dalam program MBKM ini, mahasiswa harus bertanggung jawab selain pada kampus dan tempat magang. Belum lagi kalau tempat magangnya tidak mengetahui bahwa mahasiswa yang magang tersebut masih berkuliah, dll. Akhirnya si mahasiswa magang diberikan beban-beban kerja yang tidak seharusnya.

Mengenai ada tidak proses secara sistemik? Sebetulnya sudah ada, tapi kebanyakan juga tidak didengar. Itu yang jadi masalah. Kritik tentang Badan Hukum Pendidikan (BHP) sudah luar biasa banyak, tapi sekarang juga masih tetap berlangsung.


JA: Apa tidak ada yang bisa tetap menjaga pendidikan pada martabatnya?

FFI: Kalau kita lihat sejarahnya, Indonesia sudah memulai komersialisasi pendidikan jauh sebelum BHP disahkan. Dulu, awal tahun 2000an, ada BHMN, kemudian beranjak jadi ada RUU BHP yang merupakan (bagian dari) Structural Adjustment Programs (SAPs) dan kemudian RUU BHP disahkan menjadi UU pada 17 Desember 2008. Setelah mendapat penolakan yang luas, UU BHP pun dibatalkan oleh MK tahun 2010.

Nama boleh berganti, tapi sistem tidak berubah. UU hanya alat. Jadi, setelah UU BHP dibatalkan, mereka membuat lagi UU dengan nafas yang sama, yakni UU Dikti. Sebetulnya kita ada di rezim komersialisasi pendidikan sejak 2000an awal itu tadi.

Soal mengapa dan bagaimana kita tidak beranjak dari situasi tersebut, saya jadi ingat kemenangan gerakan kiri di Cile baru-baru ini, Pada 2011, mereka juga menolak komersialisasi pendidikan besar-besaran di sana. Sekarang Boric, salah satu aktivis yang melawan saat itu, jadi presiden di Cile. Bikin iri, ya. Kemudian kabinetnya juga diisi tokoh-tokoh yang menolak komersialisasi pendidikan di sana. Pertanyaannya, kenapa kita tidak bisa seperti itu? Jawabannya banyak, ya. Selain ketiadaan partai ideologis seperti di Chile, dan adanya “link and match” antara pendidikan dan industri (yang tidak jelas juga arahnya ke mana), orientasi pendidikan pun berakhir menjadi mesin profit saja, tanpa melihat aspek-aspek lainnya.


JA: Dari sisi perlindungan hukum untuk mahasiswa?

DU: Terima kasih Fildzah udah mengingatkan. UU BHP memang kacau sekali. Kalau universitas dapat BHP, mestinya ia sudah mandiri, sudah lepas dari pemerintah. Tapi, ternyata dana serapannya lebih besar ketika jadi BHP dan jumlah UKT-nya lebih banyak. Siapa yang menyedot keuntungan?

Perlindungan sebenarnya ada dalam UU, tapi sebagai warga negara. Untuk proses magang sendiri bisa dibilang tidak ada. UU 39 tahun 1999 sifatnya deklaratif sehingga tidak ada sanksi terhadap pelanggaran. Jadi, kalau bicara sudah diatur atau belum, ya diatur. Tapi di Indonesia, penerapan pengaturan, itu selalu terkait dengan pengaturan-pengaturan teknis dan itu yang tidak ada.

Sekarang, kita baru move on dari luring ke daring, itu saja masih beradaptasi. Kemudian ada MBKM, dan perubahan dari kuliah yang biasa dengan kuliah dengan melibatkan banyak universitas. Itu semua masih adaptasi dan pola-pola pengawasan kontrol itu tidak berjalan juga. Kontrolnya mau diberikan kepada siapa? Dosen? Sementara dosen sudah dipusingkan dengan banyak pekerjaan adminstrasi sehingga tidak mungkin mengontrol mahasiswa satu per satu. Itu sekilas carut marut yang tidak dipertimbangkan dalam proses pengambilan kebijakan. Soal UKT, misalnya, lebih urgent mana menurunkan UKT atau memberikan laptop? Ternyata menteri memilih laptop. Padahal banyak sekali mahasiswa yang tidak berkuliah karena tidak dapat membayar UKT, bahkan banyak yang mengambil cuti karena itu. Kemudian, mengenai MBKM, MBKM juga menyedot dana dari mahasiswa.

JA: Jadi apa yang bisa dilakukan ya? karena programnya juga terus berlanjut, apa yang bisa dilakukan untuk melindungi?

DU: Yang bisa dilakukan adalah memperkuat mahasiswa agar mereka bisa memilih dan memberikan alternatif lainnya (di luar program MBKM). Tapi, kebanyakan mahasiswa datang dengan ketidaktahuan. Jadi, mereka baru tahu mengenai program magang setelah merasakan magang itu sendiri di mana banyak dari mereka merasakan dampak-dampak yang tidak terprediksi sebelumnya. Tidak perlindungan sama sekali. Seperti kasus yang terjadi di Universitas Lambung Mangkurat yang menyasar korban pada saat proses magang. Universitas tidak bisa mengatakan bahwa mereka tidak tahu karena bagaimanapun proses magang harus dilakukan dengan kontrol dan pengawasan dari kampus.


JA: Sekarang kita balik lagi ke soal kerja secara umum, mendasar. Fildzah, kenapa kerja reproduktif diidentikkan dengan perempuan?

FFI: Kalau ditelusuri, kerja reproduktif seperti kerja-kerja unpaid work yang ada di rumah tangga (mengurus anak, mengurus rumah, dll) memang selalu diasosiasikan sebagai pekerjaan perempuan. Itu ada sejarahnya. Sebelum kapitalisme ada, kebanyakan pekerjaan dilakukan untuk subsistensi. Dan di masa feodal itu, pemisahan kerja produktif dan reproduktif juga tidak seketat di zaman kapitalisme. Di era kapitalisme, pemisahan kerja produktif dan reproduktif jadi semakin ketat, terpisah, dan dianggap sebagai pekerjaan perempuan, karena nilai-nilai patriarkal yang dilanggengkan di dalam masyarakat.

Selain itu, dalam kapitalisme, kerja-kerja yang dianggap sebagai kerja-kerja yang sepele, terberi, sudah natural utk perempuan—padahal sebetulnya tidak seperti itu—dianggap sebagai kerja pinggiran padahal sentral perannya dalam kapitalisme.

Kemudian, berkaitan dengan kerja magang yang dialami mahasiswa dan pelajar, sebetulnya ada irisan, ya. Kerja magang seringkali dianggap sebagai bukan sebuah kerja yang “sungguhan” karena dianggap tidak memberikan kontribusi langsung bagi ekonomi dan kita bisa lihat masalah muncul dari sana. Pelajar dan mahasiswa yang magang seringkali dieksploitasi tanpa diberitahu bahwa mereka itu sedang bekerja seperti pekerja lainnya (yang ada di tempat kerja tersebut).

Saya beri contoh, banyak para pelajar atau mahasiswa yang magang di sebuah kantor melakukan kerja-kerja (yang sama dengan pekerja) tapi tidak mendapatkan hak yang sama seperti para pekerja lainnya. Mereka tidak mendapatkan upah dan jaminan-jaminan pekerjaan yang lain. Kenapa? Salah satu faktornya adalah karena kerja magang tidak dianggap kerja karena dianggap bagian dari pendidikan. Banyak mahasiswa atau pelajar, misalnya di sektor perhotelan, mengalami hal seperti ini. Mereka magang di hotel-hotel. Pekerjaannya sama dengan para pekerja di hotel tapi tidak dibayar seperti yang seharusnya, dengan dalih “bagian dari pendidikan” tadi.

Apa yang bisa dilakukan untuk melindungi mereka? Saya pikir harus melibatkan ada MoU yang aktif antara institusi pendidikan dan tempat kerja. Jadi harus ada kesepakatan yang jelas sehingga kedua tempat ini harus melindungi mahasiswa dan pelajar yang magang. Saya sendiri belum tahu ini apakah ada peraturan seperti ini?

DU: Ada kasus itu Fildzah. Ada pelajar SMK yang bekerja di tempat hiburan keluarga dan mereka dipaksa (dengan kekerasan) untuk bekerja dan mereka tidak dibayar. Padahal, di UUK 13/2003 itu jelas indikator mengenai kapan seseorang dianggap bekerja, kemudian ketika bekerja mereka berhak mendapatkan hak-hak sebagai pekerja, termasuk hak untuk memilih pekerjaan, mendapatkan upah.

Kemudian, di lingkungan (institusi) pemerintahan, malah lebih banyak mahasiswa yang bekerja daripada pegawai. Akhirnya, eksploitasi yang terjadi dan itulah yang buruk dari sistem kerja magang: tanpa job description yang jelas dan di fase ini sangat rawan sekali institusi-institusi yang ada melakukan perbudakan atau melakukan proses pembiaran ketika terjadi. Selain itu, (proses magang) ini juga membuat mahasiswa yang mestinya belajar tentang keilmuan, menjadi lebih mem-value hal-hal yang punya nilai ekonomis. Itu akan menurunkan masyarakat kita jadi komersil sekali.

Soal regulasi, ada di UUK 13/2003 dan ada juga konvensi ILO, pekerja laki-laki dan perempuan itu seharusnya mendapatkan upah yang sama. Kalau dari yang Fildzah sampaikan tadi, ternyata perempuan dan laki-laki upahnya tidak sama. Belum lagi kalau mereka difable, dll. kondisimya bisa semakin buruk. Kebanyakan dari mereka masuk dalam kelompok yang tidak punya bargaining, mereka tidak dapat menerima keuntungan dalam proses tersebut.

Menurut saya kok MoU seperti itu tidak dapat mencegah, ya, karena program-program semacam ini kan sudah ‘cacat’ sejak lahir. Mau dibuat turunan yang baik pun, kalau aturan payungnya sudah buruk, ya, tetap saja buruk.

FFI: Tapi mungkin saya pikir begini. Ini kan fenomenanya sudah terjadi. Setidaknya, sembari mengatasi problem strukturalnya, mungkin bisa dibuat MoU antara kampus dan tempat magangnya. Sepertinya itu yang paling mungkin. Sementara kita mengusahakan mengubah akarnya, kenapa tidak mengatasi dulu fenomena yang sudah terjadi dengan MoU-MoU dulu.

DU: Kita berandai-andai, ya bisa. Kalau pun demikian—dibuat MoU—semoga posisinya setara antara kampus dan perusahaan. Kalau tidak setara, otomatis tidak akan masuk pasal perlindungan itu. Mungkin MoU bisa jadi salah satu cara untuk melindungi dan mungkin pengawasan juga bisa dilakukan. Pengawasan ini penting karena kalau tidak ada kontrol dari pihak lain yang independen, mungkin sekali eksploitasi terhadap para mahasiswa yang magang akan terjadi.


JA: Pertanyaan terakhir, seperti apa kita bisa merumuskan kerja yang adil di sini?

FFI: Sebelum menjawab itu, menarik sekali ya perbincangan mengenai kerja magang dan link and match pendidikan dan dunia kerja ini karena sampai sekarang saya sendiri belum menemui sinergi antara Kemendikbud dan Kemenaker ini dalam mengatasi persoalan ini. Sepertinya tidak ada ya?

DU: Iya sepertinya tidak, karena ini programnya Kemendikbud. Kemendikbud dan Kemenaker saling lempar.

FFI: Padahal sebetulnya mereka bersinergi ya.

JA: Karena banyak permasalahan oleh pemerintah itu dianggapnya sektoral saja, tidak mau diselesaikan bersama-sama, kan jadi bingung, ya.

FFI: Iya, padahal saling terkait ya.

DU: Iya, tidak ada itu misalnya ada masalah kemudian berbagai kementerian saling merapat untuk menyelesaikan permasalahan itu. Kalau di institusi pemerintahan, tidak ada surat tugas, tidak ada tupoksi, maka mereka tidak mau mengerjakan.

JA: Iya makanya mungkin butuh aturan turunan, tapi ternyata problematis juga, ya.

FFI: Iya, jadi saling terkait tapi saling lempar. Tapi, di sisi lain, kita bisa lihat bahwa sebetulnya ada paradoks. Di Omnibus Law, misalnya, berbagai macam peraturan bisa disatukan. Jadi di satu sisi, untuk hal-hal yang penting, berbagai kementerian ini saling lempar tanggung jawab, tidak mau saling bersinergi. Tapi, kalau urusan yang menguntungkan kepentingan akumulasi kapital, bisa ya jadi bersatu—di.Omnibus Law tadi misalnya. Ini paradoks yang semakin menampakkan wajah asli dari kapitalisme.

Kembali lagi ke pertanyaan Joan mengenai definisi kerja yang adil, menurut saya, kerja yang adil itu adalah kerja ideal yang tidak ada di bawah kapitalisme. Seperti kata Marx “From each according to their ability, for each according to their needs”. Itu yang ideal, yang tidak mungkin ada di bawah kapitalisme dan harus kita terus perjuangkan, karena di masa depan sangat mungkin ada kerja seperti itu.

Tapi, sembari menuju yang ideal tadi, kalau ditanya mengenai kerja yang adil, saya sendiri melihatnya sebagai kerja yang demokratis. Dalam arti ada demokratisasi kerja di mana sebetulnya pemisahan kerja yang ketat (antara kerja produktif dan reproduktif) tidak merugikan the vast majority, dalam hal ini terutama perempuan dan kaum yang termarjinalisasi. Jadi kerja-kerja yang adil itu adalah kerja-kerja yang tentu saja yang tidak eksploitatif, memanusiakan manusia, atau kerja-kerja yang tidak membuat the vast majority ini terdehumanisasi. Di bawah kapitalisme saat ini, bisa dikatakan bahwa tidak ada kerja yang adil, yang bisa dijadikan contoh.

Salah satu bentuk demokratisasi kerja yang tadi saya singgung adalah ketika perempuan, misalnya, bisa terlepas dari konstruksi mana yang merupakan “kerja perempuan” dan mana yang bukan. Terkait itu, banyak sekali scholar—ini juga debat yang cukup klasik juga—yang berdebat mengenai apakah pasar tenaga kerja yang produktif akan membebaskan perempuan, atau sebetulnya apa pun bisa membebaskan asalkan mereka bisa memilih dengan kehendak bebas mereka.

Saya sendiri setuju dengan pendapat beberapa feminis Marxis bahwa kerja yang membebaskan itu adalah kerja-kerja yang menghapuskan fungsi tradisional ibu rumah tangga (housewives) di dalam kapitalisme. Kenapa? Karena, misalnya, ada ide tentang “kerja reprodusi sosial ditanggung jawabkan secara sosial ke dalam komunitas/masyarakat”, pada akhirnya yang akan dirugikan ya perempuan juga. Tetap perempuan yang akan menjadi penanggung jawab (atas kerja-kerja tersebut) di dalam komunitas. Jadi bisa dibilang, demokratisasi kerja itu kuncinya. Gampangnya itu.

JA: Kalau Dhia gimana?

DU: Dalam bahasa yang lain, sebenarnya saya berpikir bahwa kerja yang adil itu ada ketika pemimpinnya adil. Dalam arti, pemimpin di tempat kerja berani mengambil sikap atas apa yang menjadi keinginan para pekerjanya. Saya ingat tulisan Marx, yang kemudian saya dalami, bahwa melihat kebutuhan individu pekerja itu penting. Apa yang dibutuhkan masing-masing kelompok bisa jadi sangat berbeda dengan kelompok lainnya. Ada yang butuh upah yang lebih tinggi, ada yang butuh kenyamanan, dll. Dalam sistem kerja, yang perlu dibangun itu adalah bargaining position pekerja dan itu bisa ditingkatkan melalui serikat pekerja agar menimbulkan kesetaraan yang pastinya membuat nyaman para pihak.

Selain itu, setahu saya, dalam analisis risiko, ketika buruh merasa perusahaan itu adalah rumah mereka, maka mereka akan bekerja dengan lebih baik dibanding kalau tidak, akan lebih terpaksa.

JA: Karena kita bahasannya lagi soal kerja, mahasiswa dan magang, bagaimana Dhia memandang ini agar kondisi kerja bisa lebih baik untuk mahasiswa?

DU: Sebenarnya mereka harus tahu hak-haknya, ya, sehingga bisa punya bargaining. Selain itu, perlu juga ada MoU dari stakeholders yang menjelaskan hak dan kewajiban masing-masing. Kemudian, saya ingat para buruh migran diberikan buku yang berisi nomor darurat dan barangkali itu juga perlu diberlakukan oleh Kementerian Pendidikan kita (untuk para mahasiswa magang). Banyak universitas yang mahasiswa-mahasiswanya itu bingung dengan output dari MBKM ini tapi mereka tidak dibebaskan untuk mengetahui apa yang akan mereka dapatkan, hak mereka apa, termasuk mengenai perlindungan bagi mereka.

JA: Sedih, ya. Kapitalisme mengaburkan segalanya.

FFI: Iya dan kalau kita bahas tentang magang ini sebetulnya kan akarnya udah salah. Kenapa? karena para mahasiswa pada akhirnya tidak diberikan kesempatan untuk melihat kenyataan sosial dari sudut pandang lain yang sesuai dengan tujuan pendidikan. Yang dilihat sebatas realitas dunia kerja yang kapitalistik saja.

Kemudian, kapitalisme memang mengaburkan kerja-kerja dan salah satu yang tercermin di dalam kerja magang pelajar/mahasiswa ini, kerja-kerja yang dilakukan oleh pelajar/mahasiswa seringkali tidak dianggap sebagai kerja alih-alih hanya dianggap sebagai pengalaman, bagian dari pendidikan, sehingga jadi pembenaran untuk memanfaatkan tenaga kerja mereka dengan tidak dibayar.

Saya tekankan lagi, kerja-kerja yang sifatnya reproduktif seringkali dianggap bukan pekerjaan. Di dunia industri kreatif, mislanya, pekerjaan mendesain, seringkali dianggap bukan sebagai pekerjaan, karena “Ah, cuma pakai aplikasi di komputer”, “gampang”, dll. Kemudian, kalau dari riset saya, misalnya, pekerjaan (admin) sosial media, seringkali dianggap bukan pekerjaan karena “Ah, itu kan main Instagram aja”, “iseng-iseng aja” atau dianggap “Ah, itu kerjaan tambahan aja” sehingga pekerjaan ini semakin kabur. Chat, memelihara hubungan dengan customer dianggap “kegiatan iseng-iseng” saja, padahal itu pekerjaan juga. Kemudian, di institusi pemerintahan, sebagaimana yang telah disinggung Dhia, harus diakui itu terjadi.


JA: Kira-kira kita harus kasih batasan yang kayak gimana Dhia?

DU: Batasannya itu sebenarnya jelas, merujuk di UUK 13/2003, antara kurikulum kerja magang dan pendidikan. Selain itu, harus jelas pekerjaan yang dimagangkan, kewajiban-kewajiban dan arenanya juga. Kemudian, ketika batasan-batasan itu dilaksanakan, harus ada monitoring proses kerja magang sesuai dengan yang diharapkan. Saat ini, universitas-universitas masih pusing sekali dengan pengawasan kerja magang ini dan dari proses itu belum terlihat output dari mahasiswa setelah melakukan kegiatan magang, sehingga belum bisa dikaji sejauh mana dampaknya bagi proses pendidikan mahasiswa. Itu yang saya belum lihat dari proses kerja magang ala MBKM ini. Mungkin karena baru setengah tahun ini berjalan.

JA: Tapi katanya bakal diterusin, kan?

DU: Iya pemerintah optimis sekali sepertinya, ya, karena akan banyak tenaga kerja yang terserap. Padahal, bukan masalah tenaga kerja yang terserap itu yang utama tapi bagaimana mahasiswa bisa menciptakan pekerjaan mereka sendiri. Kondisinya, kita bersaing dengan negara-negara lainnya di tengah globalisasi. Ketika bicara tenaga kerja Indonesia, pada akhirnya, kita selalu bicara tentang tenaga kerja yang menerima dipekerjakan kapan pun dan diberhentikan kapanpun. Dengan kata lain, sebagai tenaga kerja murah. Apalagi dengan adanya Omnibus Law, ini bisa semakin parah, semakin tidak ada lagi perlindungan.

JA: Kasarnya, program ini dibuat untuk men-supply tenaga kerja murah?

DU: Iya, tapi itu harus dibuktikan dengan riset dulu, ya. Tapi, arahnya ke sana, bahwa program magang ini tidak murni untuk meningkatkan kemampuan seseorang, apalagi ada di dalam semester-semester tengah ke akhir. Jadi, otomatis yang terekam itu pengalaman-pengalaman di semester-semester yang terakhir. Nilai-nilai yang diperoleh selama magang itu yang menghancurkan yang ideal yang ada di dalam pendidikan.

JA: Fildzah mau menambahkan?

FFI: Sebetulnya sebelum ada kebijakan MBKM ini, praktik kerja magang mahasiswa dan pelajar sudah berlangsung. Jadi, bisa dikatakan, kebijakan MBKM ini hanya melegalisasi saja. Apakah arahnya untuk menciptakan tenaga-tenaga kerja murah? Kita bisa klaim itu benar karena kalau kita lihat, praktik magang di level pendidikan yang menengah pun arahnya ke sana. Memang perlu dibuktikan lebih lanjut untuk program MBKM ini karena baru berjalan setengah tahun. Tapi, untuk praktik magang di kalangan mahasiswa dan pelajar yang sudah berlangsung sejak lama, arahnya memang untuk membiasakan jadi tenaga kerja yang murah tadi. Karena, apa ada pendidikan khusus yang membekali mahasiswa, misalnya, tentang hak-hak sebagai pekerja? Tidak ada kan? Dulu di UI tidak ada, kecuali di mata kuliah tertentu yang tidak semua mahasiswa pula diberi pengetahuan tentang hak-hak sebagai pekerja. Jadi, sementara orientasi pendidikan mengarahkan mahasiswa dan pelajar untuk jadi pekerja, tapi pengetahuan tentang hak-hak sebagai pekerja tidak diberikan. Ada paradoks, ada kontradiksi-kontradiksi di dalamnya.

JA: Terimakasih banyak Dhia dan Fildzah atas waktunya di IndoProgress. Teman-teman, demikian wawancara Forum IndoPROGRESS TV kali ini, semoga bermanfaat. Saya Joan Aurelia, sampai ketemu di program IndoPROGRESS TV selanjutnya.***

 

 

]]>
Menuliskan Pengalaman Berlawan Rakyat: Merekam Sejarah juga Menumbuhkan Harapan Perubahan https://indoprogress.com/2021/04/menuliskan-pengalaman-berlawan-rakyat-merekam-sejarah-juga-menumbuhkan-harapan-perubahan/ Sun, 25 Apr 2021 14:58:53 +0000 https://indoprogress.com/?p=233128 Ilustrasi: Jonpey


Judul buku: Paralegal: Titik Balik Kesadaran

Penulis: Eman, Wahyudin, Hikmat, Herlia, 

Muhammad Ridwan, Sayid M.

Penyunting: Erni Herdiani dan Tim LBH Bandung

Penata letak: Wirdan Ardi Rukmana

Ilustrasi dan sampul: Heri Herdiansyah Suhandi

Penerbit: LBH Bandung, 

didukung oleh Yayasan TIFA Foundation


Pengantar

PADA Juli 2017, saya memutuskan untuk ‘main’ ke basis kawan-kawan buruh di Majalaya dan Majalengka, Jawa Barat sembari melakukan penelitian pribadi mengenai kehidupan buruh dan gerakan buruh di sana, sebelum berangkat melanjutkan studi ke London. Sekitar dua minggu, saya makan, tidur, tinggal dan belajar bersama kawan-kawan buruh yang diorganisir oleh Konfederasi Serikat Nasional (KSN), sebuah konfederasi serikat buruh yang didirikan tahun 2011.

Saya yang datang sendirian disambut oleh kawan Hermawan di Cileunyi, Bandung. Setelah naik motor sekitar 15 menit, sore itu kami makan di sebuah warung tenda pecel lele di pinggir jalan Cicalengka yang panas dan penuh debu dengan lahap. Setelah makan, saya ditemani ke rumah seorang kawan buruh perempuan di Majalaya untuk menginap dan tinggal di sana. Selama sekitar 10 hari berada di Majalaya, saya makan, tidur dan ngobrol bersama kawan-kawan buruh perempuan di rumah-rumah mereka, mencamil seblak terenak sambil melakukan wawancara penelitian, dan juga menyaksikan langsung proses kerja mereka sehari-hari. Hasil penelitian saya di Majalaya ini di antaranya saya tuangkan dalam tulisan ini

Dari Majalaya, saya pun melanjutkan perjalanan ke Majalengka. Ketika itu, ada beberapa rapat pengorganisiran dan semuanya dipimpin oleh anak-anak muda yang literally harapan bangsa: buruh-buruh pabrik keramik yang berserikat. Di penghujung hari terakhir saya di Majalengka, selepas perbincangan soal penelitian selesai, seorang kawan buruh memberikan sebuah buku yang ia tulis kepada saya, judulnya Paralegal: Titik Balik Kesadaran, lengkap dengan tanda tangannya di dalam buku. Katanya, ‘buat kenang-kenangan, teh. Sukses kuliahnya, ya, nanti main lagi ke sini.’ 

Buku tersebut, bersama beberapa buku kesayangan lainnya, saya bawa ke London dan menemani perjalanan studi saya. Setelah menamatkan kuliah sampai sekarang, saya belum pernah lagi mengunjungi kawan-kawan di Majalengka. Saya pun belum pernah melakukan tinjauan yang menyeluruh atas isi buku tersebut; hanya sesekali saja saya menceritakan isi buku itu di kelas tutorial dan seminar ketika berkuliah di negeri orang. Sekarang, setelah hampir empat tahun berselang, saya ingin melakukan tinjauan yang lebih lengkap atas buku yang spesial itu. Hitung-hitung sebagai bentuk terima kasih saya kepada kawan-kawan di Majalengka.


Kisah-kisah pengalaman berlawan yang detail dan saling terhubung 

Sebelum meninjau buku Paralegal: Titik Balik Kesadaran, saya telah melakukan tinjauan atas dua buku yang ditulis langsung oleh para aktivis gerakan buruh di Indonesia. Buku ini, dalam hemat saya, memiliki cara bertutur yang sama dengan dua buku tulisan para aktivis gerakan buruh. Mirip dengan kedua buku tersebut, buku setebal 145 halaman ini juga menyajikan kisah-kisah perlawanan rakyat di era neoliberal melalui tuturan langsung para pelaku/aktivis di dalamnya. Namun, berbeda dengan kedua buku yang telah saya tinjau lebih dulu, keenam penulis dalam buku ini berasal dari latar belakang yang berbeda. Tidak semuanya bekerja sebagai buruh pabrik atau merupakan pengurus serikat buruh/pekerja. Beberapa dari mereka merupakan warga yang lingkungannya dicemari, organizer buruh-tani, atau mahasiswa dan pelajar. 

Namun, sama dengan dua buku sebelumnya, buku ini juga menyalakan harapan. Di tengah gempuran berbagai narasi gegap gempita tentang pembangunan infrastruktur yang meningkatkan pertumbuhan ekonomi, memajukan negara, dan lain sebagainya, buku ini justru menunjukkan kenyataan sebaliknya: bahwa berbagai pembangunan infrastruktur yang dilakukan sering kali justru mengabaikan kesejahteraan manusia dan alam. Selain itu, buku ini juga menggarisbawahi hal penting lainnya, bahwa rakyat terus mengorganisir diri dan melakukan perlawanan atas berbagai model pembangunan yang menyengsarakan manusia dan lingkungan yang dilakukan oleh kelas penguasa tersebut; sebuah kenyataan sosial yang sering kali tidak diberitakan oleh media mainstream apalagi menjadi sorotan publik.

Dalam buku ini, keenam penulis menceritakan pengalaman berlawan mereka yang beragam, mulai dari melawan pembangunan pabrik semen yang mengabaikan kesehatan masyarakat dan lingkungan, bersolidaritas menghadiri sidang-sidang kriminalisasi aktivis, menuntut dipenuhinya hak-hak dasar sebagai buruh di tempat kerja, hingga pengalaman mereka digebuki dan disiksa aparat (nan keparat). Meski cerita yang disajikan berbeda-beda, akan tetapi, semua cerita yang disajikan sebetulnya memiliki benang merah, terutama dalam persinggungan setiap penulis di dalamnya dengan Lembaga Bantuan Hukum (LBH), baik sebagai paralegal maupun sebagai pihak yang didampingi oleh LBH. 

Selain itu, semua cerita yang disajikan juga berada dalam konteks situasi sosial politik yang sama. Cerita-cerita mengenai perlawanan rakyat sehari-hari ini berada di dalam konteks politik neoliberalisme yang mengedepankan narasi bahwa neoliberalisme merupakan akhir dari sejarah melalui slogannya yang terkenal there is no alternative (tidak ada alternatif, terj.).  Dalam hal ini, keenam tulisan di dalam buku ini merupakan kontra narasi atas hal tersebut. Melalui kisah-kisah di dalamnya, buku ini menunjukkan bahwa “there is always alternative” (selalu ada alternatif, terj.). Selain itu, pengalaman-pengalaman berlawan rakyat yang dituliskan di dalam buku ini juga berperan penting dalam membentuk imajinasi perubahan yang keberadaannya semakin menghilang di tengah masyarakat. 

Terlebih lagi, dalam konteks Indonesia, masyarakat yang secara historis dikonstruksikan sebagai floating mass atau massa mengambang semasa Orde baru selalu ditempatkan sebagai pihak yang pasif dalam pembangunan. Namun, di era reformasi, partisipasi masyarakat dalam pembangunan pun ternyata masih belum terlalu banyak mengalami perubahan. Dalam hal ini, bentuk partisipasi paling tinggi yang melibatkan elemen masyarakat masih sebatas menerima ‘sosialisasi’ atas berbagai kebijakan politik yang dirumuskan oleh para penyelenggara negara secara paternalistik, top-down, dan tidak demokratis. Dampaknya, secara umum, masyarakat cenderung terbiasa mengamini peran para penerima kebijakan tanpa mampu mempertanyakan atau mengkritisinya. Dalam buku ini, hal tersebut dipotret Eman dalam kisah bertajuk ‘Kembalikan Lingkungan Sehat Kami.’ 

Kemudian, di tengah hilangnya diskursus dan analisis kelas, di mana konsekuensinya masyarakat selalu didefinisikan sebagai entitas yang tunggal dengan kepentingan yang seragam, buku ini menegaskan bahwa hingga kini masyarakat masih terdiri atas kelas-kelas sosial yang bertentangan kepentingannya satu sama lain. Kisah ‘Investor Datang, Sejahterakan Kami (Penguasa, Pengusaha Bagi Komisi)’, yang ditulis oleh Hikmat, misalnya, dengan gamblang menggambarkan perjuangan para buruh di sebuah pabrik keramik di Majalengka dalam melawan kelas pemilik modal yang mempekerjakan mereka secara kurang manusiawi. 

Selain karena menunjukkan kisah-kisah perlawanan rakyat sehari-hari, cerita-cerita dalam buku ini pun penting karena disajikan dari sudut pandang orang pertama, pelaku gerakannya langsung. Selama ini penulisan sejarah cenderung masih didominasi oleh mereka yang merepresentasikan kepentingan kelas penguasa. Akibatnya, banyak hal-hal penting justru malah ditutupi dan tidak diketahui kebenarannya oleh rakyat banyak. Oleh karena itu, kehadiran buku ini dapat dikatakan merupakan oase di tengah kegersangan intelektual dan imajinasi politik tersebut. 

Dari tuturan para penulis buku ini, kita juga dapat mengetahui wajah perlawanan yang mereka lakoni, lengkap dengan nama setiap orang beserta organisasi-organisasi rakyat yang terlibat dalam semua pengalaman yang mereka lalui. Penyebutan nama-nama, organisasi dan peristiwa secara detail ini, menurut saya, menunjukkan bahwa para aktivis gerakan rakyat cenderung tidak menganggap siapa pun memiliki peran yang kecil atau tidak penting. Para penulis—secara tidak sadar—telah berusaha memberikan apresiasi atas berbagai aktor dan organisasi tersebut dan tidak menghilangkan siapa pun dari kisah dan sejarah yang telah dilalui. Ini tentu berbeda dengan sejarah yang datang dari penguasa yang biasanya justru menghilangkan peran orang-orang kecil atau rakyat biasa di dalamnya. 

Meski demikian, ketiadaan penghilangan nama dalam kisah-kisah yang dituturkan oleh para penulis ini juga memiliki dua sisi. Di satu sisi, hal itu menunjukkan bahwa ketika sejarah direkam oleh pelakunya langsung, maka hal-hal yang detail itu menjadi terekam dengan baik. Namun, di era yang marak mengkriminalisasi aktivis ini, penyebutan nama-nama secara detail tersebut, menurut saya, cenderung mengandung risiko apalagi ketika perjuangan atau perlawanan yang dilakukan masih terus berlanjut. Namun begitu, bagi saya, buku ini—sebagaimana pula dua buku yang saya sebutkan sebelumnya—tetap merupakan dokumentasi sejarah yang amat berharga bagi gerakan rakyat di Indonesia yang dapat dikatakan masih cenderung belum terlalu kuat dalam mendokumentasikan gerakan/perjuangannya sendiri. 


Potret perlawanan rakyat di tengah menguatnya neoliberalisme

Kisah-kisah perlawanan di tengah konflik lahan, terutama perampasan lahan petani kecil/buruh tani oleh perusahaan milik negara, merupakan kisah paling banyak diceritakan dalam buku ini. 

Perampasan lahan telah membuat para petani dan rakyat kecil semakin kehilangan akses terhadap tanah. Akibatnya, sebagian besar dari mereka pada akhirnya bekerja sebagai buruh tani dengan penghasilan yang sangat tidak memadai atau pindah ke kota dan menjadi pekerja informal. Sebagian lagi, seperti di Indramayu, misalnya, mengirimkan anak-anak mereka untuk menjadi pekerja domestik di luar negeri. Perampasan lahan yang merupakan salah satu bentuk dari akumulasi primitif ini memang kian marak di era neoliberalisme. Data Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) menunjukkan bahwa perampasan lahan terus terjadi di berbagai daerah dengan intensitas yang semakin meningkat; ribuan orang dikriminalisasi karena mempertahankan tanah yang mereka miliki.

Meski demikian, para buruh-tani yang tersingkir dari tanahnya ini tidaklah tinggal diam dan justru terus melakukan perlawanan. Upaya perlawanan dan pengorganisiran diri para buruh-tani ini misalnya dikisahkan dalam ‘Catatan di Medalsari’ yang ditulis oleh Wahyudin. Dengan cukup detail, Wahyudin menceritakan keterlibatannya dalam pengorganisiran buruh-tani di Karawang, Jawa Barat, melalui organisasi bernama Serikat Petani Karawang (Sepetak). Wahyudin bahkan menceritakan tantangan-tantangan yang ia hadapi dalam kesehariannya ketika terlibat sebagai organiser petani di Karawang. Selain itu, Wahyudin—sebagaimana para penulis lain di dalam buku ini—juga mencantumkan detail gugatan hukum yang mereka perjuangkan, di dalam tulisannya.

Cerita-cerita perlawanan di tengah meningkatnya pembangunan yang mengabaikan keselamatan manusia dan lingkungan juga dikisahkan dalam buku ini. Kisah perlawanan dan pengorganisiran warga dalam melawan pembangunan sebuah pabrik semen di wilayah Sukabumi misalnya, dikisahkan Eman dalam ‘Kembalikan Lingkungan Sehat Kami.’ Menurut Eman, pembangunan pabrik semen yang berjarak hanya beberapa meter dari permukiman warga itu telah merusak kondisi lingkungan dan kesehatan masyarakat.

Para penyelenggara negara seperti Bupati sama sekali tidak menunjukkan pembelaannya terhadap warga dan cenderung mendukung kepentingan pemilik pabrik. Hal seperti ini terjadi juga di Jawa Tengah dan di tempat-tempat lainnya di Indonesia. Di tengah semakin menguatnya neoliberalisme, peran negara memang semakin bergeser menjadi pengakomodir kepentingan investor/pemilik modal semata. Keberpihakan para penyelenggara negara terhadap kepentingan pemilik modal/investor ini pun memang merupakan salah satu sorotan dari buku ini. 

Selain itu, praktik race to the bottom –di mana kelas pemilik modal berlomba-lomba mencari, membuat atau memindahkan lokus produksi ke wilayah dengan tenaga kerja murah dan berlimpah—juga disorot dalam buku ini melalui cerita yang ditulis oleh Hikmat berjudul ‘Investor Datang, Sejahterakan Kami (Penguasa, Pengusaha Bagi Komisi).’ Dengan cukup rinci, Hikmat menceritakan perjuangan Cemut dan kawan-kawan dalam melawan praktik race to the bottom ini di sebuah pabrik keramik di Majalengka tempat mereka bekerja. Upah yang sangat rendah dan tanpa tunjangan sosial, jam kerja yang panjang, serta ketiadaan jaminan kesehatan merupakan kondisi kerja yang dihadapi dan dilawan oleh Cemut dan kawan-kawannya.

Kisah pengorganisiran diri yang dilakukan oleh Cemut dan kawan-kawannya di pabrik keramik ini pun diceritakan dalam tulisan yang sama. Mulai dari proses pembentukan serikat tingkat pabrik, siapa saja yang terlibat dan bagaimana caranya, cerita-cerita perjuangan aksi dan advokasi yang mereka lakukan, hingga upaya pemberangusan serikat berupa intimidasi serta pelarangan berserikat yang mereka alami, semuanya diceritakan dengan cukup detail. Proses pengorganisiran diri para buruh di pabrik keramik ini pun memperkaya pengetahuan kita mengenai pengorganisiran buruh pasca Orde Baru, yang selain menggeliat tapi juga menghadapi banyak tantangan, termasuk pemberangusan serikat/union busting. Kini, tantangan itu juga mencakup ancaman kriminalisasi aktivis serikat atau gerakan buruh, yang semakin marak di tengah pemberlakuan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) yang dipenuhi dengan pasal karet.

Selain kriminalisasi, para aktivis gerakan rakyat pun sering kali menghadapi kekerasan berupa penyiksaan dan bahkan penembakan oleh aparat (baik TNI maupun kepolisian). Seperti dikisahkan oleh Herlia dalam ‘Aku dan Gunung Kandaga’ serta Sayid M. dalam ‘Curhat.’ Penyiksaan dan penembakan warga oleh aparat baik TNI maupun kepolisian memang merupakan hal yang sering terjadi dalam setiap konflik lahan. Dalam kurun waktu 2015-2019 saja tercatat sebanyak 757 orang dianaya, 75 orang ditembak dan 55 orang lainnya tewas ketika mempertahankan tanah mereka.

Namun, di balik kekerasan yang dihadapi oleh para aktivis ini, banyak pula cerita solidaritas yang hadir. Solidaritas yang hadir dalam berbagai bentuk, mulai dari menghadiri sidang kriminalisasi aktivis, seperti dituturkan oleh Muhammad Ridwan dalam ‘Perjuangan Masyarakat dari Sudut Pandang Pengikut’ hingga membantu merawat aktivis yang disiksa oleh para aparat nan keparat. Sayid M. dalam ‘Curhat’ misalnya, menceritakan pengalamannya dirawat oleh sepasang suami istri buruh-tani setelah ia disiksa oleh aparat. 

Solidaritas yang datang dari sesama warga yang saling bantu ketika ada yang diserang aparat ini, menurut saya, menggambarkan absennya peran negara dalam melindungi rakyat pekerja, dan pada saat yang sama, solidaritas yang ditunjukkan ini juga menunjukkan bahwa wajah perlawanan rakyat sehari-hari dibangun di atas nilai-nilai empati dan kepedulian pada sesama. 


Penutup

Secara personal, membaca setiap kisah yang ada di dalam buku ini telah membuat saya jadi ingin menelusuri lebih lanjut seluk beluk perlawanan yang dilakukan oleh masing-masing penulis. Selain itu, saya juga jadi ingin mengetahui lebih kelanjutan cerita perlawanan yang dilakukan oleh keenam penulis. Saya ingin mengetahui, misalnya, bagaimana kelanjutan cerita perlawanan Herlia setelah ia mengikuti sekolah paralegal di LBH Bandung. Juga cerita Sayid M., saya jadi penasaran, bagaimana kelanjutan perjuangannya baik dengan kawan-kawannya di Makassar maupun dengan kawan-kawannya yang berada di Indramayu.

Keenam kisah perlawanan di dalam buku ini tentu hanya sebagian kecil dari ribuan kisah lain yang ada hingga saat ini. Selain itu, masing-masing penulis dalam buku ini pun tentu memiliki ratusan kisah lain, selain yang mereka ceritakan dalam buku ini.  Namun, cerita-cerita perlawanan serta kemenangan perjuangan yang disajikan dalam buku ini—meski tidak terlalu banyak secara kuantitas—tetap memberikan optimisme bahwa gerakan rakyat selalu bisa membawa harapan.

Sesuai dengan judulnya, persinggungan keenam penulis buku ini dengan LBH baik sebagai paralegal maupun sebagai pihak yang didampingi oleh LBH dalam advokasi mereka, telah menjadi titik awal perlawanan yang mereka lakukan. Selain menunjukkan peran penting LBH dalam pengorganisiran rakyat, kisah-kisah yang disajikan dalam buku ini juga menunjukkan bahwa perlawanan rakyat dibangun di atas rasa empati, kepedulian, dan solidaritas yang tinggi terhadap sesama. Dalam hal ini, cerita-cerita perlawanan yang disajikan dalam buku ini juga sekaligus menunjukkan bahwa selalu ada alternatif dan masyarakat bisa terus berubah, bertransformasi menuju buen vivir/kehidupan baik yang mereka cita-citakan.***


Fathimah Fildzah Izzati: editor IndoPROGRESS; peneliti di Pusat Penelitian Politik LIPI; anggota SINDIKASI.


]]>
10 Buku tentang Perburuhan agar Risetmu Tidak se-Normies Laporan World Bank https://indoprogress.com/2020/11/10-buku-tentang-perburuhan-agar-risetmu-tidak-se-normies-laporan-world-bank/ Mon, 02 Nov 2020 04:15:36 +0000 https://indoprogress.com/?p=232714 Ilustrasi: Deadnauval


PENOLAKAN dan perlawanan hebat gerakan rakyat terhadap isi dan pengesahan omnibus law Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja (kini telah menjadi Undang-Undang) telah membuat buruh/pekerja kembali diperbincangkan dalam diskursus politik di Indonesia. Setidaknya, di tengah pandemi ini, fenomena itu terlihat di ruang-ruang diskusi daring seperti webinar, status, cuitan, story hingga video singkat di berbagai platform media sosial. Mulai dari langgengnya sistem kerja kontrak/outsourcing, masifnya upah rendah, hingga terancamnya hak cuti haid, adalah beberapa aspek dalam UU Cipta Kerja yang menjadi fokus banyak orang.

Namun, di saat yang sama, narasi-narasi yang merendahkan buruh seperti, “kok pakai iPhone?”, “minta naik upah mulu tapi punya motor Ninja”, atau “karyawan SCBD bukan buruh” pun bermunculan.

Dua narasi perbincangan yang kontradiktif ini sebenarnya tidak mengherankan. Depolitisasi kelas pekerja pada masa Orde Baru hingga kini masih menyisakan kuatnya pemahaman di tengah masyarakat bahwa ‘karyawan’ itu berbeda dengan ‘buruh’, atau bahwa ‘buruh’ itu adalah orang rendahan yang semua-orang-ingin-menghindarinya. Akibatnya, masih banyak orang—yang sebetulnya adalah bagian dari buruh alias rakyat pekerja—kemudian menjadi antipati terhadap perjuangan buruh. Kelas buruh pun seolah tidak boleh berdemo, atau dianggap bodoh ketika memperjuangkan kehidupan mereka agar menjadi lebih baik.

Pada masa Orde Baru, perbincangan mengenai kehidupan kelas pekerja memang hanya dapat terjadi di ruang-ruang yang terbatas dan seringkali bersifat bawah tanah. Aksi-aksi serikat buruh untuk memperjuangkan kehidupan yang lebih layak pun harus bertaruh nyawa. Tentu kita masih ingat peristiwa pembunuhan Marsinah pada 1993.

Seiring munculnya kebebasan berserikat—meski tetap saja ada upaya-upaya pemberangusan—setelah Orde Baru runtuh, kondisi kehidupan kelas buruh pun bukan hanya kembali ramai diperbincangkan tapi juga semakin luas diperjuangkan secara terbuka. Sudah banyak keberhasilan yang diraih oleh gerakan kelas pekerja. Namun, seiring kian intensifnya pengelabuan hubungan kerja di tengah menjamurnya bisnis teknologi saat ini, kesalahpahaman mengenai posisi kelas buruh pun kembali menguat. Kita bisa ambil contoh manipulasi diksi seperti pekerja start-up yang kerap disebut “entrepreneur”, atau pengemudi ojek online yang disebut “mitra”.

Kendati demikian, berbagai usaha untuk menjelaskan kenyataan-kenyataan sosial yang kadang tak kasatmata telah dilakukan. Di ranah pendidikan, situasi salah kaprah mengenai kelas buruh dan kehidupannya sudah mulai dibongkar secara mendalam di beberapa kampus lewat mata kuliah seperti politik perburuhan. Selain itu, riset-riset di Indonesia pun mulai banyak bermunculan, meski yang memijakkannya pada perspektif kelas dan perjuangan kelas masih terbatas jumlahnya.

Dengan kata lain, banyak riset mengenai kondisi pekerja di Indonesia sifatnya normies belaka seperti yang dilakukan oleh World Bank.

Selain dapat meluruskan berbagai kesalahpamahan yang terjadi di masyarakat tentang kelas buruh, riset tentang kelas pekerja dengan perspektif kelas dapat menjadi salah satu amunisi penting dalam aktivisme sosial. Oleh karena itu, dalam Batjaan Liar kali ini, saya akan memberikan rekomendasi 10 buku yang harus dibaca agar risetmu (kalau mau riset, ya) soal kelas buruh tidak se-normies laporan World Bank dan konco-konconya.


1. The Condition of the Working Class in England (Friedrich Engels, 1845)



Karya Friedrich Engels (ilmuwan tandem Karl Marx) ini pertama kali terbit pada 1845. Buku yang mengambil lingkup kota industri di Inggris sekitar abad 19 ini adalah salah satu contoh terbaik bagaimana riset tentang kelas pekerja itu semestinya dilakukan. Buku ini wajib dibaca siapa pun yang ingin meneliti kondisi kelas buruh di mana pun, termasuk di Indonesia. Saya memiliki tiga argumen.

Pertama, buku ini membahas kondisi kelas pekerja secara komprehensif. Mulai dari situasi sosial ekonomi politik yang melatari kehidupan buruh; kondisi umum di tempat kerja, seperti jam kerja, upah, kesehatan dan keselamatan buruh di tempat kerja, termasuk dampaknya pada kesehatan mental pekerja; hingga kehidupan buruh sehari-hari, bagaimana tempat tinggal buruh, relasi sosial buruh di dalam rumah tangga dan masyarakat. Dengan kata lain, buku ini menyumbangkan ide mengenai tema-tema apa saja yang dapat diteliti soal kondisi kehidupan kelas buruh.

Kedua, melalui buku ini kita dapat mempelajari bagaimana Engels menggunakan metode penelitian yang dibutuhkan untuk menjawab pertanyaan penelitian yang ia ajukan. Condition of the Working Class menunjukkan keberhasilan Engels menjawab pertanyaan penelitian mengenai kondisi kelas pekerja di Inggris pada abad ke-19 dengan memadukan data-data kuantitatif dan kualitatif, serta observasi etnografis.

Ketiga, Condition of the Working Class menyediakan panduan mengenai cara-cara menganalisis persoalan kehidupan kelas buruh dari perspektif kelas. Dengan bernas, Engels bisa menjelaskan bagaimana eksploitasi kelas kapitalis terhadap kelas pekerja telah menimbulkan kesengsaraan yang luas dan dalam pada kelas pekerja ketika itu.

Lewat buku ini, kita akan memahami bahwa antagonisme kelas antara pekerja dan pengusaha/pemilik modal tidak terdamaikan.


2. Value Chains: The New Economic Imperialism (Intan Suwandi, 2019)



Buku yang ditulis oleh Intan Suwandi—akademisi dan peneliti Marxis asal Indonesia—ini memberikan dasar-dasar teoretis tentang kondisi ekonomi politik yang melatari dan menentukan kehidupan kelas buruh secara global. Saya pernah mengulas buku ini beberapa waktu lalu.

Dengan menggunakan sudut pandang Marxis, Intan membuktikan bahwa imperialisme masih eksis dalam rantai komoditas global (global comodity chain) dan rantai nilai global (global value chain). Intan melakukan analisis atas bentuk kontemporer dari imperialisme dengan melihat kesenjangan antara global north (negara-negara Utara) dan global south (negara-negara Selatan), yang berpartisipasi dalam skema rantai komoditas dan nilai di atas tadi. Value Chains menjelaskan mengapa buruh-buruh di negara-negara dunia Selatan—seperti Indonesia—akan selalu mendapatkan tingkat upah yang rendah, sembari terus didesak untuk meningkatkan produktivitas.

Pendeknya: diupah semurah mungkin tapi terus-terusan dituduh malas.

Selain itu, Value Chains juga menyediakan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan seperti: pertama, mengapa lokasi-lokasi produksi komoditas selalu berada di negara-negara seperti Indonesia, Vietnam, Filipina, India, Bangladesh atau Sri Lanka, sementara kantor-kantor pusatnya kebanyakan berada di negara-negara kapitalis lanjut seperti negara-negara Eropa atau Amerika Serikat; kedua, mengapa pasar tenaga kerja fleksibel dengan sistem kerja casual yang selalu menjadi pilihan dan menjadi kian intensif di seluruh dunia; ketiga, mengapa kontrol atas proses produksi menjadi kunci dari jalannya akumulasi kapital sehingga tempat kerja sesungguhnya adalah battle ground dari kelas buruh; hingga keempat, mengapa negara-negara berkembang di dunia ketiga/dunia Selatan memiliki tingkat polusi udara dan pencemaran lingkungan yang tinggi lagi berbahaya.

Singkatnya, buku ini sangat berguna bagi siapa pun yang ingin melakukan riset tentang kelas pekerja, karena dapat memberikan konteks ekonomi politik yang lebih luas mengenai kondisi kelas buruh yang kita teliti di tempat tertentu.


3. Social Reproduction Theory: Remapping Class, Recentering Oppression (diedit oleh Tithi Bhattacharya, 2017)



Setelah membaca buku Silvia Federici berjudul Revolution at Point Zero: Housework, Reproduction, and Feminist Struggle (2012), saya menyadari kelindan erat antara kapitalisme dan patriarki sangat menentukan kondisi kehidupan kelas buruh di mana pun, termasuk di Indonesia. Beban kerja ganda yang dihadapi oleh perempuan dan feminisasi kerja, misalnya, merupakan hasil dari persinggungan yang erat dari kapitalisme dan patriarki. Oleh karena itu, ketika meneliti kondisi kelas pekerja, kita sudah tidak bisa lagi mengabaikan pertautan erat antara eksploitasi kelas pekerja dan ideologi supremasi laki-laki.

Di dalam buku yang terdiri atas 10 bab ini, tautan erat kapitalisme dan patriarki dijelaskan melalui teori-teori mengenai reproduksi sosial. Tulisan-tulisan para scholar di Social Reproduction Theory membongkar kenyataan tak kasatmata bahwa kapitalisme sesungguhnya bergantung dan ditopang oleh kerja-kerja reproduksi sosial, yang selalu dibebankan kepada perempuan. Kerja-kerja reproduksi sosial yang menciptakan beban ganda bagi perempuan seperti memasak, mengurus anak, membersihkan pakaian, dan sejenisnya ini, hampir selalu tidak dianggap sebagai sebuah kerja padahal posisinya amat krusial dalam kapitalisme.

Terkait itu, perjuangan para feminis Marxis otonomis seperti Silvia Federici dalam mengampanyekan Wages for Housework atau upah untuk kerja domestik pada 1970-an dapat dilihat sebagai upaya untuk mengakui bahwa reproduksi adalah bagian krusial dan tak terpisahkan dari kapitalisme, dan realm-nya tidak berada pada realm ‘of leisure’. Adapun para pekerja reproduksi sosial yang dibayar, seperti para pekerja di bidang pendidikan dan kesehatan, juga tengah berada di dalam masalah yang sama, yakni crisis of care (Fraser, 2017).

Selain karena menyediakan dasar teori mengenai reproduksi sosial dari berbagai sudut pandang—namun tetap menekankan pada posisinya di dalam kapitalisme—buku ini juga dapat menstimulasi periset dalam melihat tema soal kerja apa yang belum pernah diteliti atau cenderung dilupakan dalam riset-riset mengenai kelas buruh.


4. Bullshit Jobs: A Theory (David Graeber, 2019)



Buku yang ditulis oleh David Graeber–antropolog dengan pandangan politik radikal yang baru saja wafat—ini adalah salah satu karya riset yang paling menarik tentang kondisi kelas pekerja hari ini. Saya mengulas Bullshit Jobs secara khusus beberapa waktu lalu.

Dalam buku setebal 333 halaman ini, Graeber menumpahkan kegelisahannya mengenai bullshit jobs: pekerjaan-pekerjaan yang jika dilenyapkan pun tak akan membuat dunia terlihat berbeda. Graeber menulis berdasarkan pengakuan para pekerja yang berkorespondensi dengannya. Ia mengategorikan dan mendeskripsikan jenis-jenis pekerjaan yang termasuk ke dalam kategori bullshit jobs dan menganalisis mengapa serta bagaimana bullshit jobs terus berproliferasi di dunia. Selain itu, Graeber juga mengulas soal shit jobs atau pekerjaan-pekerjaan penting dan bermanfaat bagi masyarakat, yang dijalankan oleh para buruh dalam kondisi kerja yang buruk. Para pekerja cleaning service di kampus, misalnya.

Graeber berargumen bahwa berkembangnya bullshit jobs hingga saat ini berhubungan dengan dua hal. Pertama, menjamurnya bullshit jobs selaras dengan penurunan sektor agrikultur dan peningkatan service economy. Kedua, keberadaan bullshit jobs sejalan dengan logika feodalisme yang ada di dalamnya. Logika feodalisme dalam bullshit jobs ini, menurut Graeber, merujuk pada kebutuhan kapitalis dalam menunjukkan posisi mereka di kalangan kapitalis lainnya.

Meski terdengar masuk akal, namun menurut saya, tesis Graeber ini kurang memasukkan dimensi yang krusial, yakni “race to the bottom”, yaitu kolaborasi antara kelas kapitalis dan negara—yang selalu ada bersama kepentingan kelas kapitalis—yang berlomba-lomba untuk meningkatkan tingkat keuntungan/profit dengan menciptakan iklim yang baik bagi dunia investasi. Graeber luput mendiskusikan race to the bottom karena para pekerja yang berkorespondensi dengannya tinggal di negara-negara Eropa, AS, dan Jepang (negara-negara Utara). Dalam hal ini, ketika calon tenaga kerja di negara-negara Utara siap-siap menghadapi bullshit jobs, para calon tenaga kerja di Afrika, sebagian besar Asia, dan Amerika Selatan (negara-negara Selatan) siap-siap menghadapi shit jobs. Meski tentu saja kedua jenis pekerjaan ini tetap menjamur, baik di negara-negara Utara maupun Selatan.

Membaca buku ini membuat saya berpikir bahwa sesungguhnya kata-kata Marx: “From each according to their ability and to each according to their needs” adalah jawaban penyelesaian atas kondisi-kondisi kerja seperti bullshit jobs dan shit jobs yang dipaparkan Graeber dalam buku ini.


5/6.  Buruh Menuliskan Perlawanannya (2015) dan Menolak Tunduk (2016)



Sebelum melakukan riset soal kondisi kelas buruh/pekerja, ada baiknya untuk baca dulu dua buku yang ditulis langsung oleh buruh dan aktivis serikat serta gerakan pekerja di Indonesia ini. Dua buku ini—masing-masing setebal 482 dan 426 halaman—adalah kumpulan tulisan mengenai pengalaman 27 buruh dan aktivis buruh berjuang di sektor ketenagakerjaan. Mereka menuturkan perjalanan hidup secara lengkap, dari mengapa menjadi buruh (yang kebanyakan buruh pabrik), kondisi kehidupan sehari-hari, hingga proses ketika memutuskan menjadi aktivis serikat dan gerakan buruh.

Dua buku ini akan membuat kita memahami dinamika kerja para aktivis buruh dan relasi-relasi sosial dalam kehidupan sehari-hari. Relasi-relasi sosial ini misalnya, seperti para aktivis buruh perempuan menghadapi situasi patriarkis dalam kehidupan dan perjuangan mereka, bagaimana mereka berhadapan langsung dengan bos di tempat kerja, dan sebagainya. Selain itu, para penulis juga secara rinci menceritakan dinamika perlawanan yang mereka lakukan, mulai dari mengorganisir pemogokan, mengajak teman-temannya untuk berserikat, hingga menyiapkan pendidikan di serikat.

Melalui dua buku ini, kita mungkin menemui perspektif berbeda soal kehidupan kelas buruh/pekerja, yang kemudian dapat membantu kita untuk memformulasikan pertanyaan penelitian atau bahkan merumuskan ulang pertanyaan awal yang hendak kita jawab dalam riset kita.


7. Surplus Pekerja di Kapitalisme Pinggiran: Relasi Kelas, Akumulasi, dan Proletariat Informal di Indonesia sejak 1980an (Muhtar Habibi, 2016)



Buku nomor tujuh yang saya rekomendasikan ini bisa membantu peneliti melihat kelas buruh/pekerja dalam dimensi yang lebih luas. Dalam buku ini setebal 141 halaman ini, Muhtar Habibi—ilmuwan sosial asal Indonesia—membahas fenomena membludaknya para pekerja di sektor ekonomi informal lewat teori Marxis mengenai surplus populasi relatif. “Surplus populasi relatif” merujuk pada “para pekerja yang tidak terserap oleh akumulasi produktif kapital”, seperti proletariat informal atau pekerja lepas yang bekerja di sektor informal dan pengangguran. Secara spesifik, ia juga mengidentifikasi tipe-tipe pekerja dengan kondisi kerja rentan berdasarkan jenis-jenis surplus populasi dalam teori Marx.

Muhtar menganalisis tingginya jumlah pekerja—yang dihantui kerentanan—di sektor informal ini dengan melihat hubungan antara lemahnya proses industrialisasi dengan reorganisasi sektor pertanian di negara neoliberal Indonesia. Dalam hal ini, turunnya penyerapan pekerja di sektor industri berdampak pada meluasnya pekerja rentan di sektor informal. Kemudian, reorganisasi neoliberal sektor pertanian sejak 1980-an juga telah berkontribusi pada tingginya “global depeasanization” atau fenomena yang menunjukkan anjloknya jumlah petani yang memiliki akses langsung terhadap alat produksi (tanah). Hasilnya, banyak surplus pekerja dari sektor pertanian tidak terserap di sektor ekonomi produktif sehingga akhirnya mereka berada di dalam formasi surplus populasi relatif, termasuk menjadi buruh migran.

Lewat buku ini, Muhtar juga mengulas praktik neoliberal di Indonesia dalam kacamata historis. Satu poin penting yang perlu digarisbawahi adalah liberalisasi ekonomi tidak berarti menghapuskan sepenuhnya peran negara dalam mengatur ekonomi, melainkan mereorganisasi peran negara dalam ekonomi dengan melakukan deregulasi dan menciptakan iklim investasi bagi akumulasi kapital.

Sounds so familiar, bukan? Ingat MP3EI dan omnibus law Cipta Kerja bertujuan menghadirkan “iklim yang ramah bagi investasi”?


8. Manufacturing Consent: Changes in the Labor Process Under Monopoly Capitalism (Michael Burawoy, 1979)



Bicara soal riset kelas buruh/pekerja, buku karya Michael Burawoy—sosiolog Marxis asal Inggris—ini tentunya harus masuk ke dalam list. Karya terbitan tahun 1979 ini adalah salah satu buku yang memberikan contoh terbaik bahwa riset mengenai kelas pekerja dapat dilakukan dengan menggunakan kacamata teoretis empiris yang kuat sekaligus.

Terdiri atas 12 bagian setebal 266 halaman, Manufacturing Consent menceritakan dengan detail hasil studi Burawoy mengenai perubahan-perubahan proses kerja melalui pengorganisasian kerja di level lantai produksi sebuah pabrik mesin selama 30 tahun (1945-1975). Tesis Burawoy: kapitalis secara terus-menerus melakukan penyesuaian-penyesuaian proses kerja dalam rangka mengamankan (securing) proses penghisapan nilai lebih (surplus value), sekaligus menyembunyikan (obscuring) eksploitasi di baliknya. Dalam hal ini, ia membandingkan pengorganisasian kerja di bawah rezim kapitalisme kompetitif dan kapitalisme monopolistik.

Temuan Burawoy: pengorganisasian kerja di bawah rezim kapitalisme monopolistik lebih mengarah pada ‘penundukkan’ pekerja secara hegemonik (melalui pembentukan consent pekerja di lantai produksi) alih-alih despotik (melalui tindakan koersif seperti pemotongan upah, pengawasan kerja yang ketat dan pemecatan sewenang-wenang) sebagaimana terjadi di sektor kapitalisme kompetitif. Lewat buku ini, Burawoy menggunakan konsep metaforik kerja sebagai permainan (game) untuk menjelaskan pengorganisasian kerja melalui pembentukan consent di kalangan pekerja—sebagai cara untuk securing dan obscuring penghisapan nilai lebih tadi. Pembentukan consent melalui proses kerja yang sama dengan (=) game ini kemudian mengaburkan relasi kelas sehingga berhasil dalam mengamankan proses penghisapan nilai lebih/surplus value.

Namun, Manufacturing Consent cenderung mengabaikan fakta bahwa pengorganisasian kerja secara despotik—yang menekankan koersi untuk para pekerja di lantai produksi—juga masih terus terjadi bukan hanya di sektor kapitalis kompetitif tetapi juga di sektor kapitalis monopolistik. Saat ini, kita pun masih dapat melihat contohnya di banyak pabrik di Indonesia. Meski demikian, bagi saya, buku Burawoy ini tetap penting untuk dibaca oleh siapapun yang ingin melakukan riset soal kelas buruh/pekerja karena keunggulannya dalam menampilkan riset yang kuat baik secara teoritis maupun empiris.


9. Against Creativity (Oli Mould, 2018)



Against Creativity membongkar mitos-mitos yang ada seputar pekerja kreatif, kreativitas, dan praktik kerja kreatif itu sendiri (lihat ulasan mengenai buku ini di sini). Saya memasukkan Against Creativity ke dalam list karena karya Oli Mould ini dapat membantu kita mengenali hal-hal terselubung di balik maraknya pengaburan hubungan kerja lewat wacana ‘pekerja kreatif’. Singkat kata, Against Creativity dapat membantu kita melakukan riset tentang kelas pekerja di industri kreatif.

Mould mengungkap problem ‘kreativitas’ yang kini menjadi kosa kata wajib kaum milenial perkotaan yang penuh previlese & ‘tech savvy’. Ia membongkar makna kreativitas yang telah terkooptasi dalam skema pengerukan profit ala neoliberalisme. Menurut Mould, kreativitas hari ini hanya akan bernilai sejauh ia dapat menghasilkan profit. Walhasil, kreativitas di era digital tak lain merupakan kreativitas algoritmik, yang secara esensial menghapuskan daya cipta kita sebagai manusia. Tak heran jika berbagai ungkapan tentang ‘kreativitas’ hari ini bersifat individualistis dengan prasyarat previlese sosial para pelakunya.

Tak semua orang, tegas Mould, bisa menjadi pionir seperti Mark Zuckerberg. Previlese sosial seseorang menjadi prakondisi tak terelakkan. Mayoritas masyarakat lebih sibuk mencari cara untuk keluar dari berbagai kesulitan hidup ketimbang berinovasi menggunakan segenap waktu mencari algoritma mutakhir untuk menciptakan sebuah platform digital. Oleh karena itu, negara mengajak para inovator pionir nan kreatif untuk terus mengkampanyekan ‘enterpreneurship‘ demi menutupi penggerusan social welfare yang terus terjadi.

Kreativitas yang individualistis itu pun menjadi prasyarat lahirnya berbagai jenis ‘creative work‘ yang kemudian menghasilkan berbagai macam kerentanan. Dimensi fleksibilitas dalam industri kreatif mensyaratkan pekerjanya untuk selalu berada dalam mode kerja sepanjang waktu. Sayangnya, kondisi ini belum sepenuhnya dipahami karena ilusi kreativitas yang tercipta telah mengaburkan hal tersebut.

Salah satu buktinya: fenomena ‘artwashing‘ atau gentrifikasi demi penciptaan ruang-ruang kapital atau wilayah-wilayah ‘trendi’ yang dapat menarik investasi. Maka dari itu, Mould menyerukan para ‘pekerja kreatif’ untuk melakukan perlawanan terhadap ‘artwashing‘ dengan selalu mempertimbangkan social ethics mereka di tengah pertarungan bertahan hidup.

Bagi Mould, menjadi kreatif berarti selalu mencari dan membuka kemungkinan terhadap hal-hal yang dianggap mustahil. Ia ingin menegaskan bahwa kreativitas sejatinya ialah manifestasi dari keyakinan bahwa “there are always alternatives!” Dengan kata lain, buku ini kemudian juga dapat mengajak kita untuk memikirkan dan memeriksa ulang tesis-tesis awal yang telah kita buat dalam riset yang akan kita jalankan.


10. Can the Working Class Change the World? (Michael D. Yates, 2018)



Last but not least, buku karya Michael D. Yates—akademisi Marxis sekaligus direktur Monthly Review Press—ini tak boleh dilewatkan. Di buku yang lebih menyerupai pamflet politik ini, Yates mengajukan tesis mengenai pentingnya orientasi politik buruh dan serikat buruh dalam mengubah kondisi kelas pekerja global. Pada bagian awal buku, Yates menguraikan data mengenai kondisi kelas buruh—dalam dimensi yang luas, artinya tidak terbatas pada mereka yang dikategorikan sebagai kelas buruh secara tradisional saja—mengulas persoalan reproduksi sosial, dan menjelaskan teori-teori dasar yang harus dipahami kelas pekerja, seperti kapitalisme, penghisapan nilai lebih, imperialisme, patriarki, rasisme, dan lain-lain.

Kemudian, Yates menjelaskan pentingnya serikat dan gerakan buruh yang dalam sejarah telah berperan penting dalam menciptakan kondisi kehidupan kerja yang lebih baik di seluruh dunia. Di tengah situasi serba sulit, perjuangan buruh rupanya telah mencapai banyak kemenangan.

Namun, untuk memenangkan pertarungan kelas, serikat dan gerakan buruh perlu melakukan dua hal. Pertama, melampaui berbagai tantangan yang ada seperti individualiasi pekerja yang kian masif, banyaknya involusi yang terjadi di dalam serikat buruh, dan sebagainya. Kedua, memastikan orientasi politik yang jelas. Argumen Yates: keterlibatan gerakan buruh dalam politik merupakan hal yang krusial. Ia pun memberikan contoh-contoh keberhasilan yang telah ada seperti yang ditunjukkan di Kuba, misalnya.

Can the Working Class Change the World? mengingatkan kita bahwa riset tentang kelas buruh perlu memiliki orientasi politik yang jelas agar dapat berkontribusi untuk gerakan buruh dalam pertarungan kelas.

Demi sebuah dunia yang akan kita menangkan.***


Fathimah Fildzah Izzati, peneliti di Pusat Penelitian Politik LIPI dan editor IndoPROGRESS. Ia lulus dari SOAS, University of London program studi MSc Labour, Social Movements and Development pada 2018.


Pada awal abad ke-20, pemerintah Hindia Belanda melalui tangan Balai Poestaka berusaha membendung arus penerbitan buku dan artikel karya para aktivis anti-kapitalis dan anti-kolonialis. Barisan literatur yang berperan besar menyuburkan gerakan politik kelas di Indonesia ini dicap Belanda sebagai “batjaan liar”. Kami mengklaim kembali istilah tersebut untuk sebuah rubrik berisi rekomendasi bacaan yang disusun secara tematik untuk merespons berbagai macam isu. Haris Prabowo adalah editor tamu Batjaan Liar. Sehari-hari ia bekerja sebagai jurnalis Tirto.id.

]]>
Feminisme Liberal Tak Cukup Demokratis dan Membebaskan bagi Kita Kaum 99% https://indoprogress.com/2020/08/feminisme-liberal-tak-cukup-demokratis-dan-membebaskan-bagi-kita-kaum99/ Thu, 20 Aug 2020 05:31:26 +0000 https://indoprogress.com/?p=232429 Ilustrasi: Illustruth


Judul buku: Feminism for the 99%: A Manifesto

Penulis: Cinzia Arruzza, Tithi Bhattacharya, dan Nancy Fraser

Penerbit: Verso

Kota terbit: London

Tahun terbit: 2019

Tebal buku: 85 halaman       


[t]he freedom of the free was the cause of the great oppression of the slaves …”

― Domenico Losurdo, Liberalism: A Counter-History


BELAKANGAN ini saya dibuat gerah oleh dukungan para feminis liberal di lini masa terhadap Kamala Harris, calon Wakil Presiden Amerika Serikat dari Partai Demokrat. Bahkan ada yang sampai menyatakan bahwa Kamala Harris itu semacam harapan dan lantas membuat analogi yang menyamakannya dengan perempuan Papua. Dukungan semacam ini bikin saya gerah karena sesungguhnya Kamala Harris bukanlah politisi yang patut didukung.

Sebetulnya dukungan terhadap Kamala Harris ini tidak terlalu mengherankan. Pada Pilpres AS 2016, para feminis liberal juga mendukung Hillary Clinton hanya karena ia perempuan, tak peduli kalau pada 2002 lalu ia mendukung Perang Irak. Perempuan politisi seperti Sarah Palin atau Condoleezza Rice di AS juga tidak serta merta layak mendapatkan dukungan dari kaum perempuan mengingat kebijakan mereka justru membahayakan keberlangsungan hidup banyak orang, termasuk perempuan (Power, 2009). 

Feminisme liberal memang bikin saya gerah sejak lama. Mereka menyamaratakan semua perempuan. Seolah Kamala Harris, Hillary Clinton, Liliana Tanoesoedibjo, Puan Maharani atau Sri Mulyani sama dengan para perempuan buruh pabrik di Majalaya atau Bekasi, ibu-ibu pejuang keadilan ekologis di Kendeng, atau ibu-ibu korban penggusuran di Bandung, Jakarta dan tempat-tempat lainnya. Padahal, para perempuan tersebut jelas berbeda kelas sosial dengan kepentingan yang saling bertentangan.

Alih-alih mengajak untuk bergerak bersama melawan berbagai bentuk penindasan struktural terhadap perempuan, feminisme liberal malah mengajukan tawaran serta mengadvokasi program-program yang merugikan sebagian besar perempuan. Saya beri tiga contoh. Pertama, mendukung politisi perempuan yang kebijakan-kebijakan politiknya merugikan orang kebanyakan. Kedua, mengajukan bentuk-bentuk ‘pemberdayaan’ perempuan yang justru tidak membuat sebagian besar perempuan berdaya. Ketiga, melanggengkan penindasan terhadap perempuan dengan mengabaikan masalah-masalah struktural yang menentukan adanya penindasan tersebut.

Beruntungnya, sejumlah intelektual feminis seperti Nancy Fraser, Cinzia Arruza dan Tithi Bhattacharya menuliskan sebuah pernyataan politik yang sangat baik untuk melawan pandangan feminisme liberal—atau yang disebut juga sebagai feminis imperialis (Power, 2009)—untuk kepentingan sebagian besar perempuan dan kelas pekerja di dunia atau yang disebut sebagai kaum 99%. Pernyataan tersebut dituangkan dalam buku berbentuk pamflet setebal 85 halaman yang terbit tahun lalu berjudul Feminism for the 99%: A Manifesto.

Beranjak dari situasi krisis di dalam kapitalisme saat ini, para penulis merumuskan manifesto tentang feminisme untuk kaum 99% melalui 11 tesis utama. Saya akan melakukan tinjauan atas buku tersebut.


Masalah yang kita hadapi saat ini dan akar subordinasi perempuan

Istilah 99% dalam buku ini merujuk kepada jargon yang dipopulerkan gerakan Occupy Wallstreet 2011 lalu. Istilah ini digunakan untuk menggambarkan mayoritas atau sebagian besar penduduk di muka bumi yang merupakan kelas pekerja, dari mulai buruh tani, nelayan, pekerja kantoran, pekerja rumahan, pekerja di industri media dan industri kreatif, hingga pekerja lepas/freelancer.

Seluruh tesis yang ada di dalam manifesto ini didasarkan pada berbagai permasalahan struktural yang diakibatkan oleh sistem ekonomi politik yang berlaku saat ini, kapitalisme neoliberal. Di bawah sistem ini, privatisasi yang terjadi di semua sektor termasuk pendidikan, kesehatan dan pelayanan publik, telah mengakibatkan kesengsaraan pada kaum 99%, terlebih para perempuan. Di banyak negara Global South, misalnya Indonesia, privatisasi di sektor-sektor publik muncul sebagai bagian dari Structural Adjusment Programs/SAPs dari lembaga pembangunan internasional seperti International Monetary Fund(IMF) atau World Bank. SAPs sendiri merupakan paket kebijakan yang harus dijalankan setiap negara yang mendapatkan bantuan dana dari lembaga-lembaga pembangunan internasional tersebut—salah satunya adalah pemotongan subsidi (Davis, 2004).

Selain privatisasi sektor publik, kerusakan lingkungan juga menjadi salah satu problem utama yang dihadapi oleh kaum 99%. Kerusakan berat lingkungan di berbagai tempat akibat eksploitasi alam berlebihan berkaitan erat dengan wacana pembangunan yang berlaku hampir di seluruh dunia hingga saat ini (Campbell, 2013; Roy, 2015; Shah and Lerche, 2017). Kebutuhan akan sumber-sumber alam yang ditentukan oleh segelintir penguasa kapital uang (money capital) telah mengubah alam menjadi komoditas (commodity) tersendiri (lihat Harvey, 2018). Kenyataan tersebut, sebagaimana diungkap dalam buku Manifesto ini, persis menggambarkan apa yang pernah dijelaskan oleh Roy (2015, hal. 46), bahwa “…kapitalisme tengah menghancurkan bumi.”

Dalam rezim pengelolaan sumber alam yang eksploitatif ini, buruh dengan upah murah adalah kuncinya (Pratap, 2014). Kasus Marikana Massacre di Afrika Selatan menjadi salah satu contoh yang paling mengerikan dari hal tersebut (Munusamy, 2015). Bukti lainnya, banyak perusahaan memindahkan pabrik-pabrik produksi ke wilayah dengan tenaga kerja murah dan sumber alam berlimpah di negara-negara Global South (Suwandi, 2019). Eksploitasi alam dan kerja-kerja manusia (labour) memang berkelindan erat (Pratap, 2014; Roy, 2015).

Selain itu, dalam masyarakat kapitalis, pembentukan kelas tidak hanya ditentukan oleh eksploitasi langsung dari labour, tapi juga dari hubungan-hubungan yang membentuk dan melanggengkan itu (hal. 24 & 68). Dalam buku ini, persoalan mengenai reproduksi sosial menjadi sorotan utama. Reproduksi sosial merupakan “segenap aktivitas yang dibutuhkan untuk menciptakan, memelihara, dan merestorasi komoditas tenaga kerja” (Mohandesi dan Teitelman, 2017, hal. 39). Kerja-kerja reproduksi sosial ini terbagi menjadi dua. Pertama, kerja-kerja yang ada di dalam rumah tangga yang tidak dibayar karena tidak dianggap sebagai sebuah kerja seperti memasak, mengurus rumah, mencuci pakaian, merawat anak. Kedua, kerja-kerja reproduktif yang dianggap sebagai kerja (dan dibayar) seperti pekerjaan di bidang kesehatan (misalnya pekerjaan-pekerjaan yang ada di rumah sakit) dan pendidikan (misalnya pekerjaan-pekerjaan yang ada di sekolah).

Posisi dari kerja reproduksi sosial ini sangatlah penting. Menurut Fraser (2017, hal. 23), reproduksi sosial merupakan “sebuah kondisi latar belakang yang tak terelakkan posisinya bagi kemungkinan produksi ekonomi dalam sebuah masyarakat kapitalis.” Meski demikian, tanggung jawab dari kerja-kerja reproduksi sosial selalu dieksternalkan kepada keluarga, dalam hal ini terutama kepada perempuan semata. Oleh karena itu, kerja-kerja reproduksi sosial akhirnya dikomodifikasi bagi yang dapat membayarnya dan menjadi urusan privat bagi yang tidak dapat melakukannya (hal. 79).

Di bagian postface buku, ketiga penulis mengatakan secara struktural aspek reproduksi sosial berhubungan erat dengan problem ketimpangan pembagian peran gender di dalam masyarakat. Mereka berargumen bahwa reproduksi sosial ini merupakan isu feminis karena kapitalisme menciptakan struktur subordinasi terhadap perempuan melalui kerja reproduksi sosial yang tanggung jawabnya diserahkan kepada perempuan (hal. 21). Logika homo economicus yang menempatkan laba (profit) sebagai lokus utama dari ekonomi memang dominan dan selalu menjadi yang utama di dalam kapitalisme (Marcal, 2020). Logika ini menyebabkan timbulnya pemisahan yang ketat antara kerja produktif dan reproduktif di dalam masyarakat kapitalis dan menyebabkan tersingkirnya reproduksi sosial sebagai center dari akumulasi kapital (Bhattacharya, ed., 2017).

Konsekuensinya, di dalam organisasi reproduksi sosial yang bergantung pada peran gender bersemayam opresi terhadap perempuan (hal. 22). Oleh karena itu, ketiga penulis buku ini berargumen bahwa akar dari seksisme itu bersifat struktural, yakni kapitalisme yang telah menciptakan bentuk ‘modern’ dari seksisme (hal. 21). Kerja-kerja produktif—yang berkaitan langsung dengan peningkatan laba—selalu dianggap sebagai kerja utama di dalam ekonomi dan menjadi domain utama laki-laki. Sementara kerja-kerja reproduksi sosial di dalam rumah tangga yang tidak dibayar karena tidak dianggap sebagai sebuah kerja seperti memasak, mengurus rumah, mencuci pakaian, merawat anak, selalu menjadi domain utama perempuan.

Selain itu, pembagian rasial yang juga terjadi dalam kerja-kerja reproduktif (hal. 22). Ketiga penulis, misalnya, memberikan ilustrasi mengenai para perempuan kulit berwarna yang mengerjakan kerja-kerja reproduksi sosial untuk para perempuan kulit putih. Di sisi lain, kerja reproduksi yang dianggap sebagai kerja (dan dibayar) seperti pekerjaan di bidang kesehatan (di rumah sakit, dll) dan pendidikan (sekolah, dll) pun kian tergerus neoliberalisme sebagaimana telah saya singgung pada bagian sebelumnya.

Atas fakta ini, tak heran jika kemudian persoalan reproduksi sosial-lah yang paling banyak menjadi tuntutan dari feminist strike yang militan (hal. 9). “Workers are revolting against capital’s assault on social reproduction,” kata ketiga penulis buku ini (hal. 9). Salah satu contohnya adalah adanya tuntutan penyamaan upah antara perempuan dan laki-laki. Buku ini mengilustrasikan dengan feminist strike di Spanyol. Para peserta strike menolak dibayar lebih murah dari laki-laki untuk kerja yang sama (hal. 2). Perbedaan upah yang menonjol ini tidak lain merupakan dampak dari seksisme di dalam lingkup produksi.

Buku ini juga menggarisbawahi adanya hubungan erat antara kekerasan berbasis gender dengan hubungan-hubungan sosial yang ada di dalam kapitalisme. Perempuan-perempuan yang dianggap ‘gagal’ dalam menjalankan perannya di dalam masyarakat kapitalis, yang tidak lain sebagai penanggung jawab utama kerja-kerja reproduktif, seringkali menghadapi kekerasan baik dari keluarga maupun masyarakat. Para perempuan yang bekerja di sektor produktif pun menghadapi hal serupa, sebagaimana diilustrasikan oleh ketiga penulis di dalam buku ini. Di Maquiladora, Mexico, para bos dan manajer di pabrik-pabrik memerkosa, melecehkan secara verbal, dan merendahkan tubuh perempuan melalui body searching dalam rangka meningkatkan produktivitas dan menghancurkan pengorganisiran buruh (hal. 32).


Kita butuh feminisme untuk kaum 99%,bukan feminisme liberal

Berbagai persoalan yang dihadapi oleh kaum 99%—termasuk perempuan dan kelompok marjinal lain—ini hanya dapat diatasi oleh feminisme yang bersatu dengan gerakan anti-kapitalis. Ketiga penulis buku ini menyebutnya sebagai ‘Feminisme untuk Kaum 99%’. Feminisme ini bertujuan untuk mencabut akar kapitalisme yang menyebarkan barbarisme (hal. 13). Feminisme ini tidak membatasi dirinya pada ‘isu-isu perempuan’ sebagaimana ia didefinisikan secara tradisional, melainkan berdiri untuk semua kelompok yang dieksploitasi, didominasi dan ditindas. Ketiga penulis buku ini menyebut feminisme untuk kaum 99% sebagai “sumber harapan bagi semua kemanusiaan.” (hal. 14).

Feminisme untuk kaum 99% secara khusus membahas persoalan subordinasi reproduksi sosial sebagai akar dari penindasan gender di dalam masyarakat kapitalis (hal. 20). Dengan lugas, ketiga penulis manifesto ini menyatakan bahwa feminisme untuk kaum 99% adalah feminisme yang bersatu dengan setiap gerakan yang berjuang untuk kepentingan kaum 99%, seperti gerakan untuk pendidikan tinggi yang gratis dan berkualitas, pelayanan publik bagi semua orang, perumahan layak dan terjangkau, perjuangan pemenuhan hak-hak buruh, perlindungan kesehatan universal, dan gerakan untuk keadilan ekologis (hal. 15). Manifesto yang ada di dalam buku ini menegaskan bahwa feminisme untuk kaum 99% juga bersifat eco-socialist. Feminisme untuk kaum 99% berbeda dengan gerakan ‘kapitalis hijau’ karena bertujuan untuk pembebasan perempuan dan perlindungan bumi dari bencana ekologis dengan melampaui kapitalisme (hal. 49). Mereka menekankan bahwa feminisme ini bukan hanya anti-neoliberalisme tapi juga anti kapitalisme.

Persis di titik ini para penulis menyerang feminisme liberal. Bagi mereka feminis liberal merupakan bagian dari permasalahan yang dihadapi oleh kaum 99%. Feminisme liberal menolak meng-address persoalan sosial ekonomi yang membuat kebebasan dan pemberdayaan tidak benar-benar ditujukan bagi kepentingan sebagian besar perempuan.

Salah satu program pemberdayaan ala feminisme liberal yang paling terkemuka –yang kemudian banyak diadopsi oleh berbagai lembaga pembangunan internasional—ialah program mikrokredit (Keating, Rasmussen & Rishi, 2010). Program mikrokredit tersebut telah membuat perempuan bergantung pada kreditor (hal. 30). Lebih jauh, pemberdayaan yang liberal seperti program mikrokredit atau peningkatan kapasitas kepemimpinan perempuan hanya berfokus pada perkembangan individu dalam perspektif yang atomistik/individualis (Sardenberg, 2008).

Para penulis buku ini kemudian menyebut feminisme liberal telah menyediakan alibi yang sempurna bagi neoliberal untuk beroperasi (hal. 12). Bukan hanya dengan budaya neoliberal yang transgressive, feminisme liberal, menurut ketiga penulis manifesto ini, juga sejalan dengan budaya korporat yang tentunya kapitalistik (hal. 12). Melalui slogan yang terkenal, ‘breaking the glass ceiling’, feminis liberal dengan logika yang selaras dengan kepentingan akumulasi kapital mengajak para perempuan berprivilese untuk menjadi pimpinan perusahaan dan menduduki jabatan-jabatan penting di dalam militer (hal. 11). Ajakan untuk mencapai ‘gender equality’ ala feminisme liberal ini bermasalah karena ini berarti tugas mengatur eksploitasi terhadap sebagian besar perempuan lainnya harus dibagi merata antara laki-laki dan perempuan (hal. 2).

Selain itu, seruan untuk menjadi CEO melalui slogan “cracking the glass ceiling” juga selaras dengan antusiasme korporat soal ‘keberagaman’ (hal. 11). Dalam hal ini, termasuk mengakomodasi kelompok LGBTQI+ di perusahaan-perusahaan namun tetap mengabaikan hak-hak mereka sebagai pekerja.


Dunia Tanpa Mandor

Equal opportunity domination,” begitu ungkap ketiga penulis, merupakan istilah untuk menggambarkan kondisi di mana orang-orang biasa, termasuk para perempuan, harus bersyukur bahwa yang memberangus serikat mereka atau yang mengurung anak-anak mereka di perbatasan adalah perempuan juga, bukan laki-laki (hal. 2).

Secara singkat, tujuan akhir dari feminisme liberal bukanlah kesetaraan, melainkan meritrokrasi. Dengan demikian, feminisme liberal, menurut para penulis manifesto, tidak lagi relevan saat ini karena mereka tidak dapat mencabut akar subordinasi perempuan secara menyeluruh, selain juga memberikan nama yang buruk bagi feminisme (hal. 12).

Feminisme untuk kaum 99% sama sekali tidak tertarik dengan ‘breaking the glass ceiling’, apalagi merayakan para perempuan borjuis yang menjadi CEO. Bertentangan dengan itu, feminisme untuk kaum 99% justru menginginkan dunia tanpa CEO dan tanpa tempat-tempat kerja yang menindas kaum 99% (hal. 13). Oleh karena itu, perjuangan kelas dan dari bawah menjadi kuncinya (hal. 84). Perjuangan kelas ini juga mencakup perjuangan untuk memusatkan kembali reproduksi sosial di dalam sistem sosial yang ada saat ini, termasuk di dalamnya untuk pelayanan kesehatan universal, pendidikan gratis, keadilan ekologis, akses untuk energi bersih, serta perumahan dan transportasi publik layak. Selain juga perjuangan politik untuk pembebasan perempuan melawan rasisme, xenophobia, perang serta kolonialisme (hal. 25).

Ringkasnya, feminisme untuk 99% bertujuan untuk menghubungkan perjuangan melawan kekerasan berbasis gender dengan perjuangan melawan semua bentuk kekerasan yang dihasilkan oleh sistem sosial di dalam masyarakat kapitalis saat ini (hal. 33).

Secara keseluruhan, manifesto feminisme untuk kaum 99% ini ditulis dengan sangat baik, lugas dan jelas. Masalah-masalah penting yang menjadi sorotan utama manifesto ini juga diulas dengan lengkap. Kritik-kritik fundamental atas sistem ekonomi politik kapitalisme dan neoliberalisme yang berkelindan erat dengan struktur opresi gender di dalam masyarakat yang dielaborasi dengan detail menjadi keunggulan utama buku ini. Hal tersebut membuat saya menempatkan buku ini sebagai salah satu buku rujukan utama mengenai feminisme kontemporer yang harus dibaca oleh semua orang.

Meski demikian, mengingat berbentuk pamflet, buku ini tidak cukup menyajikan banyak data secara mendetail. Selain itu, manifesto ini akan lebih memukau lagi jika lebih banyak memberikan ilustrasi mengenai apa yang banyak terjadi di negara-negara global south.

Pada akhirnya, di tengah berbagai masalah yang kita, kaum 99%, hadapi saat ini di bawah sistem ekonomi politik kapitalisme neoliberal, yang kita butuhkan memang bukan feminisme liberal yang dengan bangga mengusung orang-orang semacam Kamala Harris atau Hillary Clinton.

Yang kita butuhkan adalah feminisme untuk 99%. ***


Kepustakaan

Bhattacharya, Tithi, ed. 2017, Social Reproduction Theory: Remapping Class, Recentering Opression, London: Pluto Press.

Campbell, Beatrix 2013, End of Equality, Calcutta: Seagull Books.

Davis, Mike 2004, “Planet of Slums: Urban Involution and the Informal Proletariat,” New Left Review, vol. 26, March-April, hh. 5-34.

Fraser, Nancy 2017, “Crisis of Care? On the Social Reproduction of Labor and the Global Working Class,” dalam Social Reproduction Theory: Remapping Class, Recentering Opression, Tithi Bhattacharya, ed., London: Pluto Press.

Harvey, David 2018, Marx, Capital and the Madness of Economic Reason, London: Profile Books Ltd.

Keating, C, Rasmussen, C & Rishi P 2010, “The Rationality of Empowerment: Microcredit, Accumulation by Dispossession, and the Gendered Economy,” Signs (Feminist Theorize International Political Economy Special Issue), vol. 36, no. 1, hh. 153-176.

Marcal, Katrine 2020, Siapa Memasak Makan Malam Adam Smith: Kisah tentang Perempuan dan Ilmu Ekonomi (terjemahan oleh Ninus D. Andarnuswari), Tangerang Selatan: Marjin Kiri.

Mohandesi, Salar dan Emma Teitelman 2017, “Without Reserves,” dalam Social Reproduction Theory: Remapping Class, Recentering Opression, Tithi Bhattacharya, ed., London: Pluto Press.

Munusamy, Ranjeni 2015, “The Marikana massacre is a tale of utter shame for South Africa”, The Guardian, https://www.theguardian.com/world/2015/jun/26/marikana-massacre-ramaphosa-lonmin

Power, Nina 2009, One Dimensional Woman, O Books.

Pratap, Surendra 2014, Emerging Trends in Factory Asia: International Capital Mobility, Global Value Chains and The Labour Movements, Hongkong: Asia Monitor Resource Center.

Roy, Arundhati 2015, Capitalism: A Ghost Story, London: Verso.

Sardenberg, CMB 2008, “Liberal vs. Liberating Empowerment: A Latin American Feminist Perspective on Conceptualising Women’s Empowerment,” IDS Bulletin, vol. 39, no. 6, hh. 18-27.

Shah, Apla dan Jens Lerche 2017, Behind the Indian Boom: Inequality and Resistance at the heart of economic growth (Adivaani/One of Us).

Suwandi, Intan 2019, Value Chains: The New Economic Imperialism, New York: Monthly Review.

]]>