Edy Burmansyah – IndoPROGRESS https://indoprogress.com Media Pemikiran Progresif Thu, 17 Jun 2021 14:48:34 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.4.3 https://indoprogress.com/wp-content/uploads/2021/08/cropped-logo-ip-favicon-32x32.png Edy Burmansyah – IndoPROGRESS https://indoprogress.com 32 32 Ironi Komoditi Indonesia https://indoprogress.com/2017/07/ironi-komoditi-indonesia/ Sun, 30 Jul 2017 23:46:30 +0000 https://indoprogress.com/?p=18263  

Kredit foto: tribunnews.com

 

INDONESIA merupakan salah satu negara yang menguasai lima komoditas penting dunia, yaitu CPO (crude palm oil), karet, kopi, kakao, timah dan batubara. Ironisnya harga kelima komoditi itu ditentukan oleh negara-negara importer dari komoditi tersebut.

Seperti dikutip dari Tempo (31/3/2010), harga kopi Indonesia ternyata ditentukan oleh pasar London (Inggris), sementara kakao dan batu bara berpatokan kepada pasar Amerika Serikat. Untuk karet Indonesia bergantung pada harga di Singapura, sedangkan harga timah mengacu ke Malaysia dan London.

Padahal pasar-pasar komoditi negara lain yang menjadi referensi utama harga international, bergantung pada pasokan (supply) dari Indonesia. Berdasarkan laporan CNN Indonesia (19/6/2016), London Metal Exchange (LME) atau bursa berjangka London dan The Kuala Lumpur Tin Market (KLTM) atau bursa berjangka Malaysia, yang menjadi referensi utama harga timah dunia, mengandalkan hidupnya pada timah Indonesia.

Sebagai produsen utama, Indonesia seharusnya dapat menjadi penentu dan sumber referensi utama harga komoditi internasional. Pertanyaanya, mengapa Indonesia tidak dapat mengambil peran tersebut, padahal Indonesia memiliki dua bursa komiditi; Bursa Berjangka Jakarta (Jakarta Futures Exchange/JFX) dan Bursa Komoditi dan Derivatif Indonesia (Indonesia Commodity and Derivatives Exchange/ICDX)?

 

Bursa Berjangka Indonesia

Sebagai negara yang mengandalkan komoditi sebagai ekspor utamanya, Indonesia tergolong negara yang relatif terlambat mengembangkan bursa komoditi. Dalam laporan tahunannya, Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti) menjelaskan, Bursa Berjangka Jakarta (JFX) yang berdiri pada 21 November 2000 adalah bursa berjangka pertama yang dimiliki Indonesia. Sepuluh tahun kemudian, tepatnya 31 Maret 2010, diluncurkan bursa kedua, yakni Bursa Komoditi dan Derivatif Indonesia (ICDX).

Rencana pendirian bursa komoditi sesungguhnya sudah dirancang sejak tahun 1992. Kala itu pemerintah mengajukan pembentukan Undang-Undang perdagangan berjangka kepada DPR-RI. Dan saat bersamaan, pemerintah juga mendorong pihak swasta mendirikan bursa berjangka. Tiga asosiasi komoditi, yaitu Asosiasi Eksportir Kopi Indonesia (AEKI), Gabungan Asosiasi Pengusaha Kepala Sawit Indonesia (GAPKI), dan Federasi Asosiasi Minyak Nabati Indonesia (FAMNI) membentuk Tim yang kemudian diangkat melalui Surat Keputusan Menteri Perdagangan untuk melakukan studi kelayakan, rencana usaha, dan rancangan tata tertib bursa.

Namun dalam perjalanannya, tim tersebut ditolak oleh DPR-RI, akibatnya usulan pembentukan undang-undang juga tertunda. Sampai kemudian tahun 1997, DPR-RI mensahkan UU No. 32 Tahun 1997 tentang Perdagangan Berjangka Komoditi.

Seiring krisis yang melanda Indonesia tahun 1997-1998 dan aktivitas kegiatan ekonomi yang nyaris lumpuh, rencana pendirian bursa berjangka kembali mengalami penundaan. Rencana tersebut dihidupkan lagi pada tahun 1999. Saat itu AEKI dan FAMNI berhasil rekrutmen 29 perusahaan dari berbagai jenis industri yang bergerak di bidang usaha kopi, sawit, keuangan dan perdagangan, menjadi pendiri bursa.

Satu tahun kemudian, tepatnya pada 21 November 2000, Bursa Berjangka Jakarta resmi mendapatkan izin dari Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (BAPPEBTI) Kementerian Perdagangan, dan melakukan perdagangan perdananya pada 15 Desember 2000 berupa kopi robusta dan olein.

 

Masalah Bursa Indonesia

Setelah hampir 17 tahun berdiri, bursa komoditi Indonesia belum berkembang sebagaimana diharapkan yakni menjadi sarana pembentukan harga dan sumber referensi utama harga komoditi internasional. Sejauh ini baru tercatat sekitar 64 perusahaan pialang yang bermain di bursa komoditi berjangka Indonesia. Jumlah ini tentu sangat kecil dibandingkan jumlah penduduk maupun besarnya produksi komoditi yang dihasilkan Indonesia.

Ada sejumlah catatan yang menghambat perkembangan bursa komoditi dalam negeri: pertama, 90 persen volume transaksi berupa komoditas nonprime. Kedua, wholesaler (Pedagang dari bursa berjangka di luar negeri) seringkali membuat kontrak dagang dengan pedagang pengumpul di Indonesia untuk jangka waktu yang relatif lebih lama; ketiga, tidak memadainya infrastrutkur pasar perdagangan fisik. Terakhir, minimnya dukungan pemerintah.

Sejauh ini, hanya tiga komoditas primer yang berkembang melalui bursa berjangka komoditas, yaitu Emas, Olein (minyak goreng hasil penyulingan minyak kelapa sawit mentah) dan timah. Namun demikian volume transaksi ketiga komoditi masih relatif kecil.

Meskipun ada usaha dari dua bursa dalam negeri untuk mendongkrak kontrak berjangka multilateral berbasis komoditas, namun upaya tersebut selalu sepi peminat. Perusahaan pialang anggota bursa di JFX dan ICDX cenderung hanya mau terhadap produk-produk spekulatif seperti CFD (Contract For Difference)—CFD merupakan perjanjian antara dua pihak untuk membayar selisih antara harga beli dan harga penjualan (margin trading). Jika harga transaksi nilai kontrak meningkat maka penjual membayar perbedaan pembeli, jika harga turun maka pembeli membayar selisih kepada penjual. Pada dasarnya CFD merupakan instrumen keuangan.

Produk CFD pertama kali diterbitkan oleh ICDX pada Oktober 2011. Tiga tahun kemudian, tepatnya pada 16 Mei 2014, JFX melakukan hal serupa dengan meluncurkan 400 kontrak CFD. Penerbitan produk-produk CFD membuat kontrak berjangka multilateral berbasis komoditi terabaikan dari bursa Indonesia.

Masalah kedua yakni aktivitas pedagangan dari bursa berjangka di luar negeri (wholesaler) yang membuat kontrak dagang dengan pedagang pengumpul di Indonesia untuk jangka waktu yang relatif lebih lama (Nurlisa Arfani, Bisnis Indonesia, 2014). Dalam model ini, pedagang pengumpul mendekati para petani dengan membuat pola kerja sama pemberian benih dan kredit usaha tani, bahkan tidak sedikit yang mempraktikkan sistem ijon. “Kerja sama” wholesaler, pedagang pengumpul dan petani sudah berlangsung sangat lama dan berakar, sehingga sulit mengalihkan mata rantai perdagangan komoditas dari bursa luar negeri ke dalam negeri untuk dapat berperan sebagai sarana price discovery atau price maker.

Akibat praktik ini petani sesungguhnya sangat dirugikan karena harga yang diperoleh petani sudah dipatok berdasarkan kontrak jangka panjang yang dibuat antara wholesaler di bursa luar negeri dengan pedagang pengumpul. Jika harga turun, yang lebih dirugikan adalah petani karena pedagang pengumpul langsung mengaplikasikan harga yang turun tersebut dalam waktu singkat kepada petani. Sementara petani sendiri tidak dapat mengakses harga yang terbentuk di bursa berjangka luar negeri.

Disamping itu, menurut catatan Nurlisa, masalah lain yang membuat tidak berkembangnya bursa dalam negeri yaitu tidak memadainya infrastruktur pasar perdagangan fisik. Walaupun fungsi bursa berjangka merupakan sarana lindung nilai (hedging) dan menjaga kepastian harga komoditas yang diproduksi, namun perdagangan berjangka juga mengenal serah fisik sebagai salah satu cara penyelesaian kontrak berjangka.

Pasar fisik merupakan underlying market yang menghasilkan harga acuan (price reference) bagi pembentukan harga di bursa berjangka. Sementara untuk komoditas yang berorientasi ekspor, harga yang terbentuk di bursa berjangka merupakan harga freight on board di pelabuhan yang dekat dengan lokasi bursa.

Demikian kondisi pasar perdagangan fisik sangat memengaruhi besaran harga yang terbentuk di bursa berjangka. Semakin efisien pasar perdagangan fisik yang menjadi underlying market, maka akan semakin bersaing harga yang terbentuk di bursa berjangka. Jika pasar fisik yang dijadikan acuan tidak representatif maka perdagangan komoditas di bursa berjangka kurang diminati. Kondisi inilah yang menjadi penyebab bursa berjangka di Indonesia kurang digemari.

Pasar perdadangan fisik komoditas Indonesia kurang mencerminkan pasar yang efisien. Hal ini dapat dilihat dari tingginya biaya pengangkutan dan handling, ketidakpastian waktu bongkar muat, kurangnya kapasitas alat ukur dalam melakukan bongkar muat, banyaknya broker yang hanya mencari keuntungan dan sebagainya. Akibat tingginya harga di pasar fisik, harga yang terbentuk di bursa berjangka menjadi kurang menarik.

Kendala terakhir dalam pengembangan bursa komoditi Indonesia yakni kurangnya dukungan pemerintah, terutama dalam hal perpajakan. Kalangan industri bursa menghendaki diterapkannya pajak final, sehingga tidak lagi ada pembebanan pajak jual dan beli pada setiap transaksi. Pengenaan pajak hanya dikenakan satu kali transaksi. Pemberian insentif pajak dapat menarik produsen untuk masuk ke bursa.

Pemerintah selama ini dinilai kurang memberikan dukungan terhadap bursa komoditi, dibandingkan dukungan yang diberikan kepada pada bursa saham. Setiap awal tahun presiden selalu datang membuka perdagangan perdana bursa saham di gedung BIE (Bursa Efek Indonesia), bahkan Indek Saham Gabungan (IHSG) dijadikan salah satu rujukan dalam menyusun kebijakan ekonomi, padahal IHSG tidak mencerminkan kondisi rill perekonomian.

Keberpihakan pemerintah terhadap pasar komoditi merupakan salah satu kunci berkembanganya pasar komoditi Indonesia untuk dapat menjadi penentu dan referensi harga international.***

]]>
Kekeliruan Debt to GDP Ratio https://indoprogress.com/2017/05/kekeliruan-debt-to-gdp-ratio/ Tue, 09 May 2017 00:44:30 +0000 https://indoprogress.com/?p=17924 Kredit ilustrasi: http://www.sumbarsatu.com

MERUJUK pada rasio utang pemerintah terhadap Produk Domestik Bruto (PDB), yakni debt to GDP ratio, yang berada di kisaran 27 persen (di bawah 60 persen sebagaimana diatur dalam pasal 12 UU No.17/2003), dalam berbagai kesempatan pemerintah meyakinkan publik bahwa utang pemerintah meskipun terbilang besar, yakni sekitar Rp 3.600 triliun, namun diklaim masih aman dan terkendali.

Untuk menunjukkan bahwa kondisi utang pemerintah masih sangat sehat dan aman, pemerintah membandingkanya dengan Negara-negara lain yang perekonomiannya telah maju meskipun utangnya besar, bahkan debt to GDP ratio melampaui batas aman yang ditetapkan oleh IMF dan Bank Dunia.

Beberapa Negara yang sering dijadikan pembanding diantaranya: Jepang dengan total utangnya mencapai Rp 143.000 triliun dan rasio utang terhadap PDB sebesar 227,2 persen; begitu pula dengan Singapura yang total utangnya sebesar Rp 743.000 triliun dengan rasio utang terhadap PDB sebesar 105,5 persen; atau juga Amerika Serikat, dengan total utang sebesar Rp 170.000 triliun, dan debt to GDP ratio berada di level 101,5 persen.

Namun membandingkan Indonesia dengan negara-negara maju tidak-lah tepat, karena struktur ekonominya sangat jauh berbeda (tidak apple to apple). Pertumbuhan ekonomi Indonesia lebih dari 50 persen ditopang oleh konsumsi (baik konsumsi pemerintah maupun rumah tangga), sementara negara-negara tersebut mengandalkan produksi (ekspor) sebagai sumber utama pertumbuhannya.

Amerika dan Jepang meskipun debt to GDP ratio sangat tinggi, namun kedua negara memiliki kemampuan men-generate cash dalam bentuk devisa/valas sangat besar yang bersumber dari ekspor. Di samping itu mata uang kedua negara menjadi mata uang dunia yang masuk dalam SDR (Special Drawing Right) IMF (International Monetary Fund). Demikian bila harus melunasi utang-utangnya, kedua negara hanya tinggal mencetak uang, paling resikonya nilai tukar mata uang negara itu akan melemah atas mata uang negara lain, tapi tidak akan membuat Amerika Serikat bangkrut.

Begitu pula dengan Singapura, meski matanya tidak masuk dalam SDR, namun negara itu memiliki kemampuan men-generate cash dalam bentuk devisa/valas sangat besar yang bersumber dari ekspor. Sebagai negara maju, pertumbuhan Singapura bergantung pada produksi—dari ekspor. Kondisi sangat jauh berbeda dengan negara-negara berkembang seperti Indonesia, yang pertumbuhan ekonominya bergantung pada konsumsi.

Penerapan debt to GDP ratio sendiri diadopsi dari standar yang dibuat oleh International Monetary Fund (IMF) dan World Bank (Bank Dunia). Bank Dunia merumuskan bahwa kondisi debt to GDP ratio yang aman adalah 21 persen– 49 persen, sementara IMF menetapkan batas aman utang antara 26 persen – 58 persen.

Namun, sudah sejak lama, debt to GDP ratio dikritik banyak kalangan ekonom, karena dinilai bukan sebuah perbandingan yang logis. Rasio hutang terhadap PDB tidak mencerminkan kondisi sesungguhnya dari kemampuan negara dalam membayar utang-utangnya, padahal keberadaan utang justru terletak pada kemampuan pemerintah melunasi kewajibannya.

PDB merupakan output atas seluruh unit usaha yang ada dalam wilayah negara tertentu, yang tidak berbentuk cash, melainkan hanya merupakan perhitungan semata. Definisi PDB menurut BPS (Badan Pusat Statistik) adalah jumlah nilai tambah yang dihasilkan oleh seluruh unit usaha dalam suatu negara tertentu, atau merupakan jumlah nilai barang dan jasa akhir yang dihasilkan oleh seluruh unit ekonomi. PDB dirumuskan dalam persamaan:

 

PDB = C+ G + I + (X-M)

 

Karena hanya merupakan perhitungan semata, maka PDB tidak dapat dijadikan ukuran pembanding rasio utang pemerintah. Jika rasio utang/PDB rendah tidak berarti bahwa negara memiliki kemampuan yang tinggi untuk melunasi utang-utangnya, sebab PDB sendiri tidak berbentuk cash.

Sementara dalam berbagai teori ekonomi keuangan, kemampuan melunasi utang (jangka pendek maupun jangka panjang) dinilai dari rasio keuangan pengutang, baik rasio likuiditas maupun rasio solvabilitas.

 

Current Ratio

Dalam literatur ekonomi keuangan, kemampuan suatu perusahaan untuk melunasi semua kewajibannya yang harus segera dipenuhi (utang jangka pendek) digambarkan dengan rasio likuiditas. Rasio likuiditas umumnya, dibagi atas: Current Ratio, Quick Ratio dan Cash Ratio. Namun pada artikel pendek ini, hanya akan dibahas tentang Current Ratio, yaitu kemampuan satu unit usaha/perusahaan membayar utang-utangnya yang dinilai dari perbandingan antara aktiva lancar dan utang lancar.

Current Ratio bertujuan memberikan informasi tentang kemampuan aktiva lancar dalam menutup utang lancar. Aktiva lancar meliputi kas, piutang dagang, efek, persediaan, dan aktiva lainnya. Sedangkan utang lancar terdiri atas utang dagang, utang wesel, utang bank, utang gaji, dan utang lainnya yang segera harus dibayar. Current Ratio dirumuskan dalam persamaan;

 

 

Apabila current rationya 1:1 atau 100 persen, maka berarti aktiva lancar dapat menutupi semua utang lancar. Demikian perusahaan dapat dikategorikan sehat karena aktiva lancarnya berada di atas jumlah utang lancarnya. Semakin besar aktiva lancar dibandingkan utang lancar, maka semakin tinggi kemampuan perusahaan menutupi kewajiban jangka pendeknya.

 

Debt Ratio

Rasio keuangan lainnya yang digunakan untuk melihat kemampuan perusahaan dalam memenuhi segala kewajibannya adalah rasio solvabilitas. Ada dua jenis rasio solvabilitas yaitu Total Debt to Total Assets Ratio (Debt ratio) dan Debt To Equity Ratio. Namun pada kesempatan ini, hanya akan dibahas tentang debt ratio.

Debt ratio merupakan rasio utang yang digunakan untuk mengukur perbandingan antara total utang dengan total aktiva. Dengan kata lain, seberapa aktiva perusahaan dibiayai oleh utang atau seberapa besar utang perusahaan berpengaruh terhadap pengelolaan aktiva. Debt ratio dirumuskan dalam persamaan;

 

 

Semakin kecil rasionya maka semakin tinggi tingkat keamanannya (solvable), atau juga dapat diartikan porsi utang harus lebih kecil terhadap aktiva.

Debt to ratio banyak dijadikan acuan oleh para kredior dan lembaga pemeringkat internasional dalam menilai peringkat utang satu negara (sovereign credit rating). Tahun lalu lembaga pemeringkat S&P’s memberikan peringkat utang Indonesia BB- (double B minus), yang mengindikasikan adanya kemungkinan risiko kredit dalam sejumlah instrumen investasi Indonesia (Surat Utang Negara dan Sukuk Negara) maupun pembiayaan terhadap proyek-proyek Pemerintah.

 

Rasio Utang Terhadap Penerimaan

Merujuk pada dua pendekatan rasio keuangan di atas, maka penilaian kemampuan pemerintah melunasi utang-utangnya, lebih tepat bila membandingkan utang pemerintah (plus bunga) dengan penerimaan negara (penerimaan pajak dan non pajak).

Berdasarkan data kementerian keuangan, rasio pembayaran cicilan utang pemerintah (termasuk bunga) terhadap penerimaan negara (pajak dan bukan pajak), cenderung meningkat setiap tahunnya. Jika 2011 rasionya sekitar 19,03 persen, pada 2016 rasionya meningkat mencapai 27,87 persen. Sedangkan rasio pembayaran cicilan utang pemerintah (termasuk bunga) terhadap penerimaan perpajakan meningkat dari 26,25 persen (2011) menjadi 32,31 persen (2016).

Rasio utang terhadap penerimaaan negara ini (pajak dan non pajak) jarang sekali dipublikasikan pemerintah, bahkan cenderung “ditutupi”. Yang lebih sering diungkap ke publik hanya rasio utang terhadap PDB, alasannya karena perintah UU No.17/2003 hanya menyangkut rasio utang terhadap PDB, bukan yang lain.

Data rasio pembayaran cicilan utang pemerintah terhadap penerimaan Negara, sesungguhnya menginformasikan dua hal kepada kita. Pertama, beban pembayaran utang pemerintah semakin meningkat. Kedua, kemampuan pemerintah dalam menghasilkan penerimaan negara (pajak dan nonpajak) untuk membayar kembali utangnya melemah. Dengan demikian, kemampuan fiskal dalam mengurangi beban utang sesungguhnya juga rendah.

Rendahnya kemampuan fiskal dalam mengurangi beban utang pemerintah juga tercermin dari indikator keseimbangan primer (primary balance) dalam APBN yang terus mengalami defisit sejak tahun 2012 lalu. Ini mengindikasikan bahwa kesehatan fiskal (fiscal sustainability) dalam kondisi berbahaya.

Dalam kaitan tersebut, maka pasal 12 UU No.17/2003 harus menegaskan bahwa rasio utang pemerintah diukur berdasarkan penerimaan negara, bukan berdasarkan PDB. Rasio utang terhadap PDB, bukan saja tidak dapat menjelaskan kemampuan pemerintah dalam melunasi kewajibannya, tetapi juga hasil analisisnya tidak layak dipakai sebagai pedoman pengambilan keputusan, karena tidak menggambarkan apapun tentang kondisi keuangan negara.***

]]>
Harga Rumah dan Pasar Oligopoli https://indoprogress.com/2017/03/harga-rumah-dan-pasar-oligopoli/ Sun, 26 Mar 2017 22:14:32 +0000 https://indoprogress.com/?p=17714 Foto: Fortune


TERLEPAS dari wacana program Down Payment (DP) rumah 0 rupiah salah pasangan Cagub DKI, harga rumah di Jakarta menyimpan persoalan terkait bagaimana pasar sesungguhnya bekerja.

Merujuk pada pemikiran ekonomi klasik seperti Thomas Robert Malthus (1766-1834), maupun aliran neo-klasik, dari Herman Heinrich Gossen (1810-1858), Alfred Marshall (1842-1924), hingga Augustin Cournot (1801-1877) yang menteorikan pasar oligopoli, para pengambil kebijakan, ekonom bahkan media massa percaya bahwa harga rumah terbentuk dari hasil tarik menarik antara penawaran-permintaan dalam pasar persaingan sempurna dan bebas.

Teori Malthus

Malthus dalam bukunya ”Essay on Principle of Population it Affects the Future” menyatakan pertumbuhan penduduk selalu lebih cepat dibandingkan dengan pertumbuhan produksi barang dan jasa. Jumlah penduduk mengikuti deret ukur, sementara jumlah produksi hanya tumbuh mengikuti deret hitung.

Demikian jumlah kebutuhan lebih banyak dari ketersediaan alat pemuas (barang dan jasa). Ketidakseimbangan ini mendorong terjadinya kelangkaan atas alat pemuas. Kelangkaan memaksa orang mengeluarkan pengorbanan lebih untuk memperoleh alat pemuas.

Merujuk pada teori kelangkaan Malthus, pengambil kebijakan dan ekonom kemudian menyimpulkan bahwa tingginya harga rumah disebabkan tidak sebandingnya laju pertumbuhan penduduk dengan ketersediaan rumah. Laju pertumbuhan penduduk Jakarta mencapai 2,3 persen setiap tahunnya, sedangkan laju pertumbuhan perumahan hanya sebesar 2,02 persen.

Rendahnya ketersediaan rumah, disebabkan tingginya biaya produksi, yang dipicu oleh mahalnya harga tanah, akibat terbatasnya ketersediaan lahan.

Di Jakarta dan sekitarnya, kenaikan rata-rata harga tanah mencapai 20-50 persen per tahun, bahkan saat booming property tahun 2012, harga tanah melambung sampai 200 persen. Sebagai gambaran, harga tanah di Alam Sutera (Tanggerang) berkisar angka Rp 16 juta-Rp 21 juta per m2; di BSD City, antara Rp 11 juta-Rp 16 juta; di Bekasi tanah dilepas pada harga Rp 8 juta-Rp 9 juta; sementara di Bogor sekitar Rp 5 juta-Rp 10 juta per m2.

Dalam struktur biaya produksi rumah, porsi harga tanah mencapai 25 persen dari total ongkos produksi. Secara keseluruhan biaya produksi mencapai sekitar 70-80 persen dari harga jual.

Sebagai catatan, struktur biaya produksi terdiri dari atas komponen struktur dan infrastruktur, serta komponen nonstruktur. Komponen biaya struktur dan infrastruktur meliputi atas Harga Pokok Penjualan (HPP) yang terdiri dari biaya pembangunan (harga tanah sebesar 25 persen, bahan bangunan 15 persen, dan biaya pekerja 10 persen), dan fasilitas pendukung lainnya yang besarnya bisa mencapai 5 persen. Sedangkan biaya infrastruktur terbagi atas biaya pembangunan fasilitas umum dan fasilitas sosial yang mencapai 5 persen. Sementara komponen biaya non struktur terdiri atas Pajak Penghasilan (PPh) besarnya 5 persen, Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 10 persen, serta biaya promosi yang nilainya bervariasi antara 5-10 persen dari harga jual.

Namun, kenyataannya kelangkaan bukan disebabkan tingginya laju pertumbuhan penduduk, namun disebabkan terkonsentrasinya penguasaan lahan secara besar-besaran pada sekelompok orang dan perusahaan. Ini terkonfirmasi dari rencana pemerintah mendorong harga tanah menjadi kembali lebih rasional, melalui penerapan sistem pajak berkeadilan yang dijabarkan dalam tiga skema pajak lahan, yaitu pajak progresif kepemilikan tanah, pajak atas transaksi jual-beli tanah (capital gain tax) dan pajak atas lahan tidak produktif (unutilized asset tax).

Situasi yang sama, juga terjadi pada penguasaan rumah tinggal. Tingginya harga rumah disebabkan rumah terkonsentrasi pada segelintir orang kaya. Orang-orang kaya menempatkan rumah bukan sekedar tempat tinggal, tapi sebagai ajang investasi dan spekulasi.

Penguasaan rumah oleh segelintir orang kaya terekam dari pemberitaan Media Indonesia (30/4/2016) yang mengungkapkan Rusun Muara Karang, Penjaringan, yang semula diperuntukkan bagi relokasi korban pengusuran, 95 persen telah dikuasai orang lain.

Pemandangan yang sama juga terjadi di apartemen Kalibata City yang mulanya dibangun untuk masyarakat menengah ke bawah, justru disesaki penghuni bermobil pribadi, bahkan banyak unit rusun disewakan, mulai harian hingga tahunan. Sebagai ilustrasi, satu unit apartemen tipe studio ukuran 28 m2 di Kalibata City disewakan Rp 2,5-3 juta per bulan, sementara tariff sewa harian berkisar Rp 100 hingga Rp 200 ribu.

Kegagalan Gossen dan Marshall

Rumah yang diletakkan sebagai alat investasi, sesungguhnya telah mengugurkan teori marginal utility yang dirumuskan oleh Herman Heinrich Gossen (1810-1858) ke dalam hukum Gossen I yang berbunyi; “jika jumlah suatu barang yang dikonsumsi dalam jangka waktu tertentu terus ditambah, maka kepuasaan total yang diperoleh juga bertambah. Akan tetapi, kepuasan marginal akan semakin berkurang, bahkan bila konsumsi terus dilakukan, pada akhirnya tambahan kepuasaan yang diperoleh akan menjadi negatif dan kepuasaan total menjadi berkurang.”

Sebagai alat investasi kepuasaan total tidak berhenti hanya pada barang pertama tapi pada barang-barang selanjutnya. Sebagaimana rumah pertama, pada rumah kedua dan seterusnya kepuasaan total tetap tercapai, karena pemilik memperoleh pendapatan dari sewa rumah-rumah yang dikuasainya.

Begitu juga dengan hukum Gossen II yang berbunyi; “Seorang konsumen akan membagi-bagi pengeluaran uangnya untuk membeli berbagai macam barang sedemikian rupa hingga kebutuhan-kebutuhannya terpenuhi secara seimbang.”

Pada kenyataannya, seorang konsumen tidak selalu membagi-bagi pengeluarannya untuk membeli berbagai macam barang untuk menyeimbangkan kebutuhannya, tapi juga bisa membeli barang yang sama secara berulang-ulang guna mendapatkan keuntungan lebih lanjut di masa depan.

Pasar perumahan Jakarta, bukan saja tak sejalan dengan hukum Gossen, namun juga menegasi hukum permintaan-penawaran yang dikembangkan Alfred Marshall (1842-1924)

Hukum permintaan berbunyi: “apabila harga naik maka jumlah barang yang diminta akan mengalami penurunan, dan apabila harga turun maka jumlah barang yang diminta akan mengalami kenaikan. ”

Pada kenyataanya, ketika harga rumah terus naik, dan semakin tidak terjangkau masyarakat, permintaan atas rumah justeru mengalami peningkatan. Pada tahun lalu (2016) permintaan perumahan tumbuh sebesar 3,9 persen atau naik 0,3 persen dibandingkan tahun 2015 yang hanya tumbuh sebesar 3,6 persen.

Sementara, hukum penawaran berbunyi “bila tingkat harga mengalami kenaikan maka jumlah barang yang ditawarkan akan mengalami kenaikan, dan bila tingkat harga turun maka jumlah barang yang ditawarkan akan mengalami penurunan.”

Tapi pada kenyataannya ketika harga rumah mengalami kenaikan, pasokan rumah justru mengalami penurunan. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat pada tahun 2015 terjadi kekurangan kebutuhan (backlog) perumahan di Indonesia mencapai 11,4 juta unit. Dalam kurun waktu lima tahun (2010-2015), diperkirakan jumlah suplai pembangunan rumah per tahun hanya sekitar 400.000 sampai 500.000 unit. Sementara kebutuhan rumah bagi masyarakat mencapai 800.000 unit rumah per tahun.

Tak bekerjanya hukum permintaan-penawaran maupun gugurnya teori marginal utility milik Gossen, mencerminkan bahwa harga rumah seungguhnya tidak bekerja dalam persaingan sempurna, namun ditentukan oleh “kongkalingkong” antara produsen dan segelintir konsumen orang-orang kaya.

Pasar Oligopoli

Harga yang dibentuk dari hasil “kongkalingkong” antara produsen dan segelintir konsumen, mengindikasikan bahwa harga sesungguhnya menyimpan persoalan serius pada dirinya, yakni bergantung pada kebohongan dan penipuan.

Harga yang bergantung pada kebohongan dan penipuan, hanya dapat terjadi dalam pasar persaingan yang tidak sempurna, dan agaknya pasar semacam ini yang sedang berlangsung dalam bisnis perumahan di Jakarta—yang mengambil bentuk pasar oligopoli.

Beroperasinya pasar oligopoli membenarkan pernyataan kaum neo-klasik bahwa laba sepenuhnya dihasilkan dalam ranah sirkulasi, dimana komoditi dapat dijual dengan harga sangat tinggi, sehingga hanya sedikit orang yang mampu membelinya. Ketika rumah dikuasai oleh segelintir orang, maka pemenuhan kebutuhan rumah masyarakat dilakukan dengan sistem sewa.

Namun, ekonomi semacam ini memperlihatkan dengan nyata bagaimana akumulasi keuntungan tanpa batas yang eksploitatif merupakan bentuk dari kapitalisme yang paling brutal.

Kritik Marx

Karl Marx (1818-1883) menyatakan eksploitasi merupakan hal yang inheren dalam sistem kapitalisme. Sistem ini hanya dapat hidup selama modus eksploitasi (mode of exploitation) dapat terus berlangsung.

Melalui teori nilai kerja-nya, eksploitasi dirumuskan Marx kedalam Sirkulasi Kapital, yang secara matematis dituliskan dalam persamaan; M-C-M’ (Money-Commodity-Money).

Dalam persamaan M-C-M’, diandaikan seorang kapitalis membelanjakan uangnya untuk membeli sarana produksi dan bahan baku (constan capital) dan tenaga kerja—upah (variable capital) untuk menghasilkan komoditas yang dapat dijual kembali dan merealisasikan laba.

Karena constan capital bersifat tetap, menurut Marx satu-satunya sumber nilai lebih (laba) adalah variable capital. Demikian nilai lebih merupakan eskpresi dari eksploitasi.

Marx membangun teori nilai lebih dalam asumsi pasar persaingan sempurna. Namun pada pasar oligopoli seperti pasar perumahan di Jakarta, eksploitasi terjadi jauh lebih brutal dari banyangan Marx. Eksploitasi bukan hanya dialami kaum buruh, tapi dialami oleh setengah penduduk Jakarta, terutama yang berpenghasilan rendah.

Demikian, program DP rumah 0 rupiah tidak akan menyelesaikan persoalan perumahan yang dihadapi penduduk Jakarta, sejauh corak produksinya masih eksploitatif dan bentuk pasarnya tidak mengalami perubahan. ***

]]>
Rumah Untuk Generasi Millennial https://indoprogress.com/2017/02/rumah-untuk-generasi-millennial/ Mon, 20 Feb 2017 03:11:36 +0000 https://indoprogress.com/?p=17493 UNTUK kesekian kalinya, saya mendengarkan keluh-kesah mereka yang khawatir tidak bisa memiliki rumah. Akhir bulan lalu, di bilangan Senayan, ketakutan itu datang dari seorang pemuda yang hendak menikah.

“Bang, saya akan menikah akhir minggu ini. Setelah menikah kami memutuskan kost tak jauh dari kantor. Saya tidak mampu membeli rumah. Jangankan di Jakarta, di pinggiran seperti Depok dan Tanggerang saja harga rumah sudah Rp 500 sampai Rp 600 juta. Ada memang yang sedikit lebih rendah di Jakarta, apartemen tipe studio ukuran 21 m2 seharga Rp 300 juta. Dengan gaji Rp 7 juta, ini masih tergolong mahal, angsurannya sekitar Rp 3-4 juta per bulan selama 15 tahun. Selain itu, kalau sudah punya anak, apartemen ukuran ini tidak layak lagi di tempati. ” keluhnya.

Kekhawatiran tak bisa memiliki rumah merupakan salah satu masalah khas yang dihadapi generasi millenial saat ini, sebagaimana diungkapkan oleh Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Darmin Nasution awal Februari lalu. “Dalam waktu beberapa tahun generasi millenial itu tidak ada yang bisa cicil rumah,” katanya seperti dikutip berbagai media.

Ketidakmampuan generasi millennial memiliki rumah didorong oleh tidak terkontrolnya harga rumah. Dalam hitungan bulan, harga rumah ukuran kecil (36/72 m2) di pinggiran seperti Depok dan Tanggerang, bisa melonjak hingga 30 persen. Lonjakan harga rumah ini tidak sebanding dengan gaji pekerja yang naik hanya sebesar 10 persen dalam beberapa tahun terakhir.

Tidak terkontrolnya laju kenaikan harga rumah dapat dilihat dari dua sisi; penawaran (supply), dan permintaan (demand).

 

Sisi Penawaran

Sisi penawaran, tidak terlepas dari struktur biaya produksi yang terbagi atas komponen biaya struktur dan infrastruktur, serta komponen biaya nonstruktur. Secara keseluruhan, biaya produksi mencapai sekitar 70-80 persen dari harga jual.

Komponen biaya struktur dan infrastruktur meliputi atas Harga Pokok Penjualan (HPP) terdiri atas biaya building (harga tanah dan bahan bangunan, biaya pekerja) dan fasilitas pendukung lainnya. Sedangkan biaya infrastruktur terbagi atas biaya pembangunan fasilitas umum (Fasum) dan fasilitas sosial (Fasos). Sementara komponen biaya nonstruktur terdiri atas Pajak Penghasilan (PPh) yang besarnya 5 persen, Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 10 persen, dan biaya promosi, yang nilainya bervariasi dari 5 sampai 10 persen dari harga jual.

Salah satu komponen yang mendongkrak tingginya struktur biaya produksi rumah adalah ketersediaan lahan mentah. Rata-rata kenaikan harga tanah mencapai 20-50 persen per tahun, bahkan saat terjadi booming property pada tahun 2012, harga tanah melambung hingga 200 persen.

Sebagai gambaran, harga tanah di luar Jakarta, misalnya di Alam Sutera (Tanggerang), berkisar angka Rp 16 juta-Rp 21 juta per meter persegi. Di BSD City, antara Rp 11 juta-Rp 16 juta per meter persegi, kemudian di Bekasi harga tanah dilepas antara Rp 8 juta-Rp 9 juta per meter persegi, dan di Bogor harga tanah sekitar Rp 5 juta-Rp 10 juta per meter persegi.

Tingginya harga tanah disebabkan terkonsentrasinya penguasaan lahan secara besar-besaran pada sekelompok orang dan perusahaan besar. Celakanya, sebagian dari lahan-lahan tersebut dibiarkan terlantar.

Guna mengatasi ketimpangan kepemilikan lahan tersebut, pemerintah berencana menerapkan sistem pajak berkeadilan. Sistem ini dijabarkan dalam tiga skema pajak lahan menganggur, yang terdiri atas pajak progresif atas kepemilikan tanah, pajak atas transaksi jual-beli tanah (capital gain tax) dan pajak atas lahan tidak produktif (unutilized asset tax).

Kebijakan sistem pajak berkeadilan diharapkan dapat mengikis praktik pemusatan kepemilikan tanah pada segelintir orang, dan mendorong harga tanah menjadi lebih rasional, sehingga dapat mengurangi beban struktur biaya produksi. Namun, tampaknya kebijakan ini tidak akan berjalan mulus. Menteri Agraria dan Tata Ruang (ATR/ Kepala BPN) Sofyan Djalil kabarnya “melobby” Menteri Keuangan Sri Mulyani agar membebaskan tabungan lahan (land bank) milik pengembang properti dan kawasan industri dari pengenaan pajak progresif.

Upaya lain pemerintah untuk menekan harga jual rumah yakni memanfaatkan tanah negara yang terlantar (idle) untuk membangun perumahan. Namun langkah ini dinilai tidak akan efektif, bila tidak diiringi dengan kebijakan pembatasan pembangunan rumah tipe kecil oleh pengembang swasta.

Pemerintah perlu mempertimbangkan untuk mengadopsi kebijakan penyediaan rumah skala kecil yang diselenggarakan oleh pemerintah melalui BUMN (Perumnas), dengan pemberian fasilitas pengurangan pajak untuk menekan harga jual yang ditujukan kepada pekerja dengan penghasilan rendah. Sementara pengembangan rumah skala menengah dan mewah, diserahkan kepada swasta.

Memang ada program 1 juta rumah yang didorong oleh pemerintah, dengan memberikan fasilitas penurunkan KPR dari 7,25 persen menjadi 5 persen, serta bantuan pengembangan saran dan utilitas dan kemudahan perizinan. Namun program ini tidak banyak membantu karena lokasi pengembangan dilakukan di pinggiran, dan jauh dari tempat kerja mereka yang berpenghasilan rendah, sehingga akibatnya banyak yang tidak tertarik pada program ini.

Di samping itu struktur biaya produksi dalam program 1 juta rumah tidak banyak berubah. Pemerintah tetap menetapkan pajak yang tinggi kepada pengembang, sekain itu harga lahan juga tidak mampu ditekan, bahkan pada lokasi-lokasi dimana program 1 juta akan dilaksanakan, meningkat sangat pesat.

Dari sisi supply, kebijakan yang ditempuh pemerintah untuk mengendalikan harga rumah menggunakan dua instrumen yang dimilikinya. Pertama instrumen regulasi (perpajakan) dan kedua intervensi pasar (program 1 juta rumah dan pemanfaatkan lahan idle untuk dibangun perumahan).

Namun upaya yang dilakukan pemerintah dari sisi penawaran ini, tidak akan berdampak signifikan bagi turunnya harga jual rumah, jika tidak diiringi dengan terobosan-terobosan kebijakan pada sisi permintaan.

 

Sisi Permintaan

Secara teori semakin, tinggi jumlah penduduk maka semakin tinggi permintaan akan rumah, demikian semakin tinggi pula harga jual rumah.

Namun, tingginya jumlah penduduk tak selalu berbanding lurus dengan permintaan. Jakarta, misalnya, hampir separoh penduduknya (48,91 persen) tidak memiliki rumah atau tempat tinggal sendiri. Angka ini jauh di bawah rata-rata nasional sebesar 82,63 persen. Besarnya jumlah penduduk Jakarta yang tidak memiliki rumah sendiri disebabkan tinggi harga jual rumah.

Menariknya, properti residensial yang dibangun pengembang selalu habis terjual. Berdasarkan Survei Harga Properti Residensial (SHPR), SHPR kuartal IV-2016 volume penjualan properti residensial tumbuh sebesar 5,06 persen (qtq), lebih tinggi dibandingkan dengan triwulan sebelumnya yang sebesar 4,65 persen (qtq). Padahal Bank Indonesia (BI) mencatat terjadi kenaikan pertumbuhan harga properti residensial, seperti tercermin dari indeks harga properti residensial (IHPR) pada kuartal IV-2016 yang tumbuh sebesar 0,37 persen (qtq). Ini sedikit lebih tinggi dibandingkan dengan pertumbuhan kuartal III-2016 yang tercatat sebesar 0,36 persen (qtq). Kenaikan terutama terjadi pada rumah tipe kecil, yakni sebesar 0,57 persen.

Tingginya permintaan properti disebabkan segelintir orang yang memiliki uang menjadikan properti sebagai ajang spekulasi (investasi). Satu orang bisa memiliki banyak rumah dan unit apartemen. Selanjutnya unit-unit tersebut disewakan kepada orang lain. Sebagai ilustrasi, satu unit apartemen tipe studio ukuran 28 m2 di Kalibata City disewakan seharga Rp 2-3 juta per bulan, sedangkan sewa kamar kos-kosan di wilayah pemukiman (perkampungan) dengan fasilitas AC dan tempat tidur ditawarkan sekitar Rp 1,5 sampai 2 juta perbulan. Tanpa fasilitas AC berkisar Rp 1-1,5 juta. Untuk rumah ukuran 36 m2 disewakan sekitar Rp 35-40 juta per tahun.

Berkaca dari banyaknya rumah tipe kecil dikuasai oleh orang kaya, pemerintah perlu mempertimbangkan untuk mengambil langkah terobosan, dengan memberlakukan kebijakan larangan kepemilikan rumah ukuran kecil lebih dari satu.

Selanjutnya setelah menerbitkan kebijakan pembatasan, pemerintah perlu mempertimbangkan penghapusan pajak untuk pembeli (bea perolehan hak atas tanah dan bangunan [BPTHB]). Selama ini komponen BPTHB dianggap terlalu membebani mereka yang berpenghasilan rendah. Memang ada kebijakan pada daerah tertentu, misalnya Jakarta yang menghapuskan BPTHB untuk rumah ukuran kecil, namun daerah lain tidak menerapkan kebijakan serupa.

Terakhir, pemerintah perlu berkoordinasi dengan BI untuk menurunkan tingkat suku bunga kredit perumahan (KPR), khususnya rumah tipe kecil yang masuk dalam program pemerintah. Saat ini rata-rata suku bunga KPR berada pada kisaran 11 persen hingga 14 persen.

Pilihan menurunkan tingkat suku bunga KPR sesungghunya cenderung lebih realitis, ketimbang usulan program Uang Muka (Down Payment/DP) nol rupiah yang ditawarkan oleh salah satu pasangan calon (Paslon) Gubernur Jakarta beberapa waktu lalu. DP 0% ini berpotensi mengganggu sistem makro prudential, karena dapat meningkatkan risiko sistemik, walaupun dimungkinkan oleh Peraturan Bank Indonesia No.18/16/PB/2016 tentang rasio loan to value untuk kredit properti dan rasio financing to value untuk pembiayaan properti, khususnya untuk program penyediaan rumah yang dilakukan pemerintah pusat dan daerah, sebagaimana diatur dalam pasal 17.

Sayangnya, sejauh ini tampaknya pemerintah condong melihat masalah harga rumah hanya secara parsial, hanya dari sisi penawaran saja, belum samasekali melirik sisi permintaan. Padahal masalah ini seharusnya diatasi dengan pendekatan yang kompehensif dan berimbang. Kebijakan pemerintah yang cenderung parsial dikhawatirkan tidak akan mampu untuk menjawab keresahan generasi millennial akan perumahan yang murah dan terjangkau. ***

]]>
Mengakhiri Rezim Defisit Pada Kebijakan Fiskal https://indoprogress.com/2017/01/mengakhiri-rezim-defisit-pada-kebijakan-fiskal/ Sun, 22 Jan 2017 23:32:14 +0000 https://indoprogress.com/?p=17109 Kredit ilustrasi: http://www.trafficchallan.co.in

 

DARI semenjak merdeka hingga hari ini, pengelolaan anggaran Indonesia selalu berkutat dengan masalah defisit. Satu celah yang membuat Indonesia tidak bisa lepas dari ketergantungan terhadap utang.

Kebijakan anggaran yang dijalankan pemerintah acapkali menimbulkan sejumlah persoalan. Pada masa orde lama yang menganut kebijakan anggaran moneter pemerintah berkutat dengan masalah defisit dan inflasi, sedang pada masa orde baru yang menerapkan kebijakan anggaran berimbang, utang luar negeri ditempatkan sebagai sumber utama pembiayaan pembangunan, sementara pada era reformasi yang mengadopsi kebijakan anggaran defisit, utang menjadi faktor penentu bagi keberlanjutan fiskal.

Runtuhnya rezim orde baru membawa Indonesia memasuki era reformasi. Di bawah bimbingan lembaga donor (IMF dan World Bank), pemerintah melakukan perombakan besar-besar dalam pengelolaan anggaran.

Pada tahun 2001, pemerintah mengadopsi standar Internasional Government Finance Statistics (GFS) dalam penyajian APBN. Penandanya adalah diterapkannya kebijakan anggaran defisit, dimana struktur APBN dipilah kedalam lima bagian; pendapatan, belanja, keseimbangan primer, defisit anggaran, dan pembiayaan.

Anggaran defisit adalah kebijakan yang menghendaki posisi pengeluaran negara lebih besar dari pada posisi penerimaan negara dalam satu tahun anggaran. Karena pengeluaran lebih besar dari penerimaan maka anggaran negara mengalami defisit (kekurangan). Selanjutnya, defisit ditutupi dengan mengajukan utang ke negara donor atau menerbitkan obligasi.

Sebagaimana diatur Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, setiap tahunnya, pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menetapkan defisit dalam APBN tidak lebih dari 3 persen, sementara rasio utang pemerintah dibatasi pada level 60 persen terhadap PDB.

Sejak penerapan anggaran defisit, utang merupakan kata kunci dalam pengelolaan APBN. Ketidakmampuan pemerintah menutup defisit berpotensi meningkatkan resiko fiskal. Risiko fiskal merujuk pada suatu situasi dimana pemerintah sebagai pengelola keuangan negara kesulitan mendapatkan utang tambahan untuk mengatasi defisit anggaran. Utang sebagai sumber pembiayaan menutup defisit dijadikan faktor penentu bagi keberlanjutan fiskal, yakni keberlanjutan atas penerimaan dan pengeluaran pemerintah, baik pada sisi rencana maupun realisasi. Demikian, keberlanjutan fiskal sangat bergantung pada kemampuan pengelolaan utang pemerintah.

Namun, pada kenyataannya kemampuan pengelolaan utang pemerintah terus mengalami penurunan dari tahun ke tahun. Ini diindikasikan meningkatnya Debt Service Ratio (DSR) dan membengkaknya defisit keseimbangnya primer. DSR adalah perbandingan antara nilai pembayaran utang luar negeri (pokok dan bunga) dengan nilai ekspor barang dan jasa. Sampai kuartal II 2016, tingkat DSR telah mencapai 66 persen. Angka ini telah melampaui batas kewajaran DSR yang ditetapkan oleh IMF yaitu sebesar 30-33 persen. Dengan kata lain kemampuan penerimaan ekspor untuk membayar utang luar negeri semakin lama semakin berkurang

Sementara, defisit keseimbangan primer yang merupakan selisih antara pendapatan negara dikurangi belanja negara tanpa memperhitungkan pembayaran bunga utang. Defisit keseimbangan primer terus membengkak dalam lima tahun terakhir (2012-2016).

Pada 2012 defisit keseimbangan primer tercatat sebesar Rp 52,7 triliun, tahun berikutnya (2013) membengkak jadi Rp 98,6 triliun, pada tahun 2014 sedikit turun, berada pada kisaran Rp 93,2 triliun. Memasuki tahun pertama pemerintahan Jokowi (2015), defisit keseimbangan primer melambung sebesar Rp 142,4 triliun. Sementara hingga tutup tahun 2016, defisit keseimbangan primer mendekati angka 110 triliun, melampaui jumlah yang ditetapkan APBN-P 2016 sebesar 106 triliun. Sementara untuk tahun 2017 defisit keseimbangan primer diprediksi terbang ke angka Rp 111,4 triliun.

Membengkaknya defisit keseimbangan primer, mengisyaratkan bahwa APBN telah kehilangan kemampuannya untuk membayar bunga utang dari hasil penerimaan negara, bahkan pemerintah dipaksa mencari utang baru hanya untuk membayar bunga utang lama. Situasi ini membuat utang Indonesia terus membengkak dan semakin sulit keluar dari jeratannya.

Menutup tahun 2016, utang luar negeri pemerintah sudah menembus angka Rp 3.500 triliun. Bahkan untuk tahun 2017, Pemerintah berencana menarik utang baru melalui penerbitan SBN sebesar Rp 597 triliun. Penerbitan SBN ini, ditujukan membayar cicilan bunga dan utang pokok untuk tahun 2017 sebesar Rp 500 triliun. Pembayaran bunga utang tahun 2017 diperkirakan mencapai Rp 221,4 triliun atau naik dibandingkan tahun 2016 sebesar Rp 191 triliun dan tahun 2015 sebesar Rp 156 triliun.

Untuk mengatasi membengkaknya utang dan defisit APBN, pemerintah hanya memiliki dua opsi; mengenjot penerimaan atau memangkas belanja. Sejauh ini, tampaknya pemerintah lebih cenderung memilih untuk meningkatkan penerimaan dibandingkan memangkas pengeluaran. Namun, pilihan pemerintah untuk mengenjot penerimaan, di tengah situasi ekonomi global yang masih bergejolak dan kondisi perekoromian dalam negeri yang tidak stabil, sesungguhnya merupakan keputusan yang kurang realtis

Sampai hari ini, perekonoian global masih dilanda gejolak Trump Tantrum (bergejolaknya ekonomi dunia akibat terpilihnya Donald Trump sebagai presiden USA). Sementara perekonomian di dalam negeri masih diwarnai rasio pajak (tax ratio) terhadap PDB yang diperkirakan berada di kisaran angka 10-11 persen, sehingga tidak acceptable untuk mendongkrak penerimaan negara. Idealnya tax ratio sebesar 16 persen.

Walaupun, potensi dari penerimaan pajak relatif rendah, namun tidak menghalangi keinginan pemerintah untuk tetap mendongkrak penerimaan. Melalui berbagai cara pemerintah menaikkan PNBP (Penerimaan Negara Bukan Pajak). Dipermulaan tahun 2017, rakyat dikejutkan oleh rencana kenaikan tafif listrik dan biaya pengurusan BPKB dan STNK kendaraan bermotor.

Langkah pemerintah, yang bersikukuh menaikkan penerimaan, bukan saja tidak bijaksana namun juga tidak tepat dalam membaca sinyal beragam indikator makro ekonomi, yang sesungguhnya menghendaki penyegaran kebijakan pengelolaan anggaran, yakni perubahan dari kebijakan anggaran defisit menuju kebijakan anggaran surplus.

 

Anggaran Surplus

Secara teoritis, kebijakan anggaran defisit ditempuh jika perekonomian dalam keadaan resesi dan pemerintah ingin meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Setelah diberlakukan selama 16 tahun (2001), apakah Indonesia masih dalam situasi resesi? Para pengambil kebijakan di pemerintahan tidak pernah menyebut bahwa negara dalam situasi resesi.

Mengingat Indonesia tidak dalam situasi resesi, maka perlu kiranya pemerintah mempertimbangkan menganti kebijakan pengelolaan anggaran dari kebijakan anggaran defisit menjadi kebijakan anggaran surplus, dimana belanja negara disusun sedemikian rupa sehingga belanja negara lebih kecil dibandingkan dengan penerimaan negara. Besaran Surplus tiap tahunnya dapat saja ditetapkan antara 2 sampai kurang dari 3 persen dari PDB.

Secara umum, kebijakan anggaran surplus diterapkan untuk mengatasi kondisi perekonomian yang inflasif, dimana nilai uang semakin merosot akibat kenaikan harga-harga. Demikian pemerintah berusaha mengurangi pengeluaran, sehingga lambat laun jumlah uang yang beredar akan berkurang dan harga kemudian dapat dikendalikan.

Saat ini, merosotnya nilai uang dapat dibaca dari masuknya rupiah sebagai salah satu dari 10 mata utang terendah di dunia. Disamping itu, diindikasi lain, tergambar dari usaha Bank Indonesia (BI) untuk segera memberlakukan kebijakan redenominasi rupiah. Redenominasi adalah penyederhanaan mata uang dengan memangkas jumlah angka nol dibelakang, tanpa mengubah nilainya. Melalui redenominasi, harga barang dan jasa akan turut disesuaikan sebanding penyederhanaan mata uang.

Di sela-sela acara peluncuran pecahan uang Rupiah baru, di Gedung Thamrin, Bank Indonesia, 19 Desember 2016, Gubernur BI, Agus Martowardoyo meminta dukungan presiden Jokowi untuk mempercepatan Rancangan Undang-Undang (RUU) Redenominasi Rupiah yang masih terganjal persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sejak tahun 2013. Bahkan pada 2017 RUU tersebut tidak masuk ke dalam list Program Legislasi Nasional (Prolegnas).

Di samping nilai uang, penerapan angaran surplus juga mempertimbangkan peningkatan inflasi yang diakibatkan ekspansifnya belanja yang dilakukan pemerintah. Dalam dua tahun terakhir belanja pemerintah sangat ekspansif. Pada APBN 2017, belanja ditetapkan sebesar Rp 2.070,5 triliun, turun sedikit dibandingkan belanja tahun 2016 sebesar Rp 2.095,7. Namun lebih tinggi dibandingkan belanja tahun 2015 sebesar Rp 2.039,5.

Belanja pemerintah yang begitu ekspansif tersebut, tidak sebanding dengan tingkat penerimaan yang dipatok pemerintah. Tahun 2017 penerimaan dipatok sebesar Rp Rp 1.737,6 triliun, sedangkan pada tahun 2016 dari proyeksi penerimaan sebesar Rp 1.822,5, realisasi penerimaan hanya sebesar Rp 1.551,8 triliun. Untuk tahun 2015, dari proyeksi penerimaan sebesar Rp 1.762,3 triliun, realisasi penerimaan hanya mencapai Rp 1.491,5 triliun.

Besarnya belanja dibandingkan penerimaan, membuat defisit dalam APBN terus membengkak dari tahun ke tahun. Defisit tersebut selalu ditutupi dengan mengajukan utang baru, baik utang langsung kepada debitur (lembaga donor) maupun melalui penerbitan SBN (Surat Berharga Negara). Dan seperti biasa utang tersebut akan menjadi beban pada APBN tahun-tahun berikutnya.

Defisit dan utang yang mengerogoti APBN tersebut harus segera diakhiri. Pemerintahan Jokowi harus berani membuat terobosan dalam pengelolaan anggaran negara dengan menerapakan kebijakan anggaran surplus, dimana belanja ditekan sedemikian rupa hingga mencapai angka di bawah penerimaan.

Terobosan tersebut dapat dimulai dengan segera mengajukan APBN perubahan 2017. Jika penerimaan dipatok sebesar Rp 1.737,6 triliun, maka APBN-P dapat menetapkan belanja sebesar Rp 1.600 triliun. Demikian terdapat surplus sebesar Rp 137,6 triliun.

Penerapan anggaran surplus tersebut, tentu akan berimplikasi pada pemangkasan terhadap sejumlah pos pengeluaran. Pemangkasan terutama ditujukan terhadap belanja perjalanan dinas, rapat, belanja honorarium, iklan serta anggaran yang memiliki estimasi harga terlalu tinggi. Tahun lalu pemerintah berhasil memangkas pengeluaran sebesar Rp 137,6 triliun. Kebijakan tersebut ternyata tidak berpengaruh signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi tahun 2016 yang ditutup sebesar 5 persen.

Demikian, pemerintah sesungguhnya tidak perlu khawatir dengan penurunan pertumbuhan ekonomi akibat kebijakan anggaran surplus. Pengoperasian anggaran surplus memungkinkan pemerintah mampu menjaga kelangsungan fiskal dan mengurangi ketergantungan terhadap utang.

Bukankah amanat Nawacita adalah membangun kemandirian. Defisit dan utang tidak akan pernah membawa bangsa ini mencapai kemandirian. Maka kewajiban utama Jokowi hari ini adalah mengakhiri rezim defisit dalam kebijakan fiskal Indonesia.

Keengganan mengakhiri rezim defisit adalah pengingkaran terhadap Nawacita.***

]]>
Memperdagangkan Infrastruktur https://indoprogress.com/2016/12/memperdagangkan-infrastruktur/ Mon, 19 Dec 2016 00:45:39 +0000 https://indoprogress.com/?p=17008 Kredit ilustrasi: katadata.co.id

 

DI TENGAH hilanganya kemampuan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) melakukan ekspansi belanja akibat membengkaknya defisit keseimbangan primer, pemerintah menempuh berbagai cara untuk terus menggenjot pembangunan proyek-proyek infrastruktur.

Ambisi pemerintah yang begitu besar tersebut, pada kenyataannya tidak dimbangi dengan kemampuan anggaran yang dimiliki. Dari lebih Rp 5.000 triliun kebutuhan dana untuk membiayai berbagai proyek pembangunan infrastruktur hingga tahun 2019 nanti, APBN hanya dapat menanggung dana sebesar Rp 1.500 triliun.

Demi mewujudkan ambisinya, pemerintah berupaya memperluas ruang gerak fiskal melalui peningkatan penerimaan pajak dan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP), serta mendorong perluasan peran swasta dan BUMN (Badan Usaha Milik Negara). Upaya perluasan peran swasta dan BUMN dalam pembangunan proyek-proyek infrastruktur tersebut dilakukan dengan mengintensifkan keterlibatan swasta melalui program kerja sama pemerintah dan badan usaha (KPBU), serta melirik program sekuritisasi asset BUMN sebagai sumber pembiayaan baru untuk proyek infrastruktur.

 

 KPBU

Program KPBU ditawarkan melalui dua skema kerjasama, yakni pemberian konsesi pengelolaan untuk proyek infrastruktur baru yang dibangun melalui pembiayaan oleh swasta; dan kedua menawarkan skema pengelolaan asset yang telah beroperasi (kerja sama pemanfaatan barang milik Negara).

Pada sektor perhubungan, misalnya, Kementerian Perhubungan (Kemenhub) menawarkan skema kerjasama pembangunan sejumlah proyek transportasi strategis, diantaranya pengembangan Terminal Mengwi di Badung-Bali, Terminal Tirtonadi Solo, dan pembangunan angkutan massal perkotaan. Kemudian pengembangan Kereta Api (KA) Express Line Bandara Internasional Soekarno-Hatta (Soetta), KA Akses Bandara Adi Sumarmo Solo, KA Kertapati-Simpang-Tanjung Api-Api, dan Kereta Cepat/High Speed Train (HST) Jakarta-Surabaya. Sedangkan pada perhubungan laut, pemerintah menawarkan pembangunan Pelabuhan Kuala Tanjung, dan pembangunan Bandara Karawang dan Bandara Bali Baru untuk perhubungan udara.

Sementara dalam kerja sama pemanfaatan barang milik negara, Kemenhub menawarkan sepuluh pelabuhan laut, diantaranya; KSOP Gunung Sitoli, KSOP Sintete, KSOP Badas, KSOP Lembar, KSOP Bima, KSOP Kendari, KSOP Arar, KSOP Bitung, KSOP Manokwari, dan KSOP Merauke. Sedangkan di perhubungan udara, Kemenhub menawarkan lima bandar udara, terdiri dari; Bandar Udara Samarinda Baru, Bandar Udara Hananjoedin, Bandar Udara Kalimarau, Bandar Udara Radin Inten II, dan Bandar Udara Juwata.

Kerjasama dengan swasta ditempuh Kemhub karena terbatasanya anggaran yang digelontorkan pemerintah dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJM) tahun 2015-2019, yakni hanya sebesar Rp 491 triliun. Sementara kebutuhan dana untuk mewujudkan ambisi pembangunan berbagai proyek infrastruktur pada sektor transportasi sebesar Rp 1.823 triliun.

Namun dalam pelaksanaannya banyak terdapat kendala yang dihadapi. Beberapa diantaranya, ketidakmampuan sektor swasta untuk masuk ke dalam risiko investasi pada proyek-proyek yang ditawarkan, dan belum optimalnya dukungan pemerintah dan para pemangku kepentingan untuk memungkinkan peran serta swasta yang lebih besar dalam proyek infrastruktur yang ditawarkan.

Berbagai masalah tersebut membuat skema KPBU tidak berjalan mulus. Dari sekian banyak proyek  instrastruktur yang ditawarkan pemerintah, hanya hanya tiga proyek saja yang kemungkinan dapat dikerjasamakan.

 

Sekuritisasi Aset

Dalam kondisi ekonomi yang terus melambat dan tekanan terhadap APBN semakin kuat, serta tidak optimalnya program KPBU, pemerintah melirik program sekuritisasi asset BUMN sebagai skema pembiayaan baru untuk proyek infrastruktur yang telah ditetapkan.

Pemerintah berpandangan, sekuritisasi asset lebih efektif ketimbang BUMN hanya mengandalkan modal dari penghasilannya, maupun meminjam uang dari lembaga keuangan yang nilainya relatif terbatas. Disamping itu, sekuritisasi asset dinilai dapat mengurangi ketergantungan BUMN terhadap Penyertaan Modal Negara (PMN) yang dapat semakin memberatkan APBN.

Saat membuka acara Indonesia Infrastructure Week di Jakarta Convention Center, 9 November lalu, Presiden Jokowi meminta BUMN, terutama yang bergerak di bidang infrastruktur, melakukan sekuritisasi asset.

Gayung bersambut. Permintaan Jokowi tersebut disambut oleh asing. Sejumlah perusahaan asing mengirimkan proposal untuk Perusahaan Listrik Negara (PLN) dan PT. Jasa Marga. Belakangan juga kepada BUMN yang bergerak di sektor transportasi udara, seperti PT. Angkasa Pura I dan II. Kementerian BUMN kabarnya mematok target sekuritasi aset untuk PLN sebesar Rp 65 triliun, sementara untuk PT. Jasa Marga sebesar Rp 5 triliun.

Melalui skema sekuritisasi, BUMN didorong melepas hak pengelolaannya atas sejumlah asset yang produktif kepada pihak swasta, baik lokal maupun asing, agar mendapatkan dana lebih. Selanjutnya dana yang dihimpun dari program itu digunakan kembali untuk membangun proyek-proyek infrastruktur baru, terutama proyek strategis dan prioritas yang telah ditetapkan pemerintah.

Sekuritisasi asset dapat dilakukan dengan beberapa cara, diantaranya: pertama, penawaran langsung melalui lelang terbuka pelepasan hak pengelolaan BUMN atas infrastruktur yang sudah matang dan menghasilkan keuntungan; kedua, menjual surat utang (obligasi); dan ketiga, melalui skema pembentukan anak usaha baru (spin off).

Terkait skema spin off, PT. Angkasa Pura I dan II dikabarkan tengah membentuk anak usaha baru yang akan diberikan hak pengelolaan atas bandar udara Bandara Kualanamu di Medan, Sumatera Utara dan bandara udara Sepinggan, Balikpapan. Selanjutnya saham anak usaha baru itu akan dijual kepada swasta dalam negeri dan swasta asing.

Menyusul, ketertarikan sejumlah perusahaan asal Perancis, India, Jepang, dan Korea Selatan untuk mengelola bandar udara Bandara Kualanamu dan Sepinggan, PT. Angkasa Pura I dan II dikabarkan mempercepat penyelesaian kajian dan prosedur rencana pelepasan hak pengelolaan, paling lambat awal tahun depan (2017).

 

Privatisasi

Langkah pemerintah melepas hak pengelolaan asset BUMN yang telah matang dan menghasilkan keuntungan kepada swasta melalui skema sekuritisasi asset untuk mendapatkan dana segar guna membiayai proyek-proyek infrastruktur baru, dipertanyakan sebagian kalangan karena berpotensi merugikan negara, dan menghilangkan kewajiban pelayanan publik (public service obligation/PSO).

Pilihan melepas asset-aset yang sudah matang dan telah menghasilkan keuntungan, cenderung bertentangan dengan kaidah sekuritisasi asset, yakni mentransformasi asset yang tidak likuid menjadi lukuid dengan tujuan mengalihkan resiko kepada pihak lain dan menambah pendapatan perusahaan.

Di sisi lain, implikasi pelepasan hak pengelolaan terhadap sejumlah asset negara kepada swasta, membuat pelayanan publik terabaikan, mengingat perusahaan swasta hanya semata-mata berorientasi mengejar keuntungan. Akibatnya infrastruktur yang dibangun tidak dapat dinkmati dengan murah oleh rakyat.

Berbeda dengan swasta, di samping bertujuan mengejar keuntungan, BUMN juga memiliki fungsi pelayanan sosial dan public (PSO). PSO adalah biaya yang harus dikeluarkan oleh negara akibat disparitas/perbedaan harga pokok penjualan BUMN/swasta dengan harga atas produk/jasa tertentu yang ditetapkan oleh Pemerintah agar pelayanan produk/jasa tetap terjamin dan terjangkau oleh sebagian besar masyarakat (publik). Dengan kata lain, pemerintah memberikan “subsidi” kepada masyarakat.

Umumnya penggunaan PSO diterapkan pada segala macam moda transportasi publik, termasuk pesawat udara, kereta api, kapal, dan lain-lain, bahkan juga diterapkan untuk semua barang yang dikuasai oleh negara.

Di Indonesia, PSO diterapkan melalui penugasan BUMN oleh pemerintah untuk menyelenggarakan fungsi kemanfaatan umum dengan tetap mempertahankan maksud dan tujuan kegiatan BUMN itu sendiri. Apabila tidak visibel menurut kajian secara finansial, Pemerintah memberikan kompensasi atas semua biaya yang dikeluarkan BUMN itu, termasuk margin yang diharapkan. Akibatnya, terjadi intervensi politik dalam penentuan harga, sehingga harga tetap dapat terjangkau oleh masyarakat.

Hilangnya kewajiban pelayanan publik (PSO) akibat pelepasan hak pengeloaan kepada swasta melalui program sekuritisasi asset, membuat infrastruktur yang dibangun tidak dapat dinikmati dengan murah oleh rakyat.

Logika sederhananya, ketika infrastruktur, seperti bandara, di kelola oleh swasta maka perusahaan swasta akan mengenakan tarif tinggi kepada pengguna jasa bandara, misalnya maskapai penerbangan. Implikasi selanjutnya adalah harga tiket pesawat akan mengalami kenaikan dratis, begitu pula harga makanan dan minuman yang dijual di bandara, yang memang sudah tinggi akan semakin melambung ke langit, karena pengelola baru akan menaikkan harga sewa kios di bandara.

Demikianlah infrastruktur yang dibangun dengan ambisius selama ini terkesan bukan ditujukan untuk memenuhi pelayanan publik, namun “sengaja” untuk diperdagangkan guna mendapatkan keuntungan.

Langkah pemerintah memperdagangkan infrastruktur ini, pada akhirnya membuat infrastruktur yang dibangun dengan ambisius tersebut sengaja dimaksudkan untuk “diprivatisasi”. Meskipun, pemerintah menolak tudingan melakukan “privatisasi”, karena sebatas melepas hak pengelolaan arus kas (cash flow) terhadap asset-aset tertentu kepada swasta, sementara fisik bangunan (asetnya) tetap dimiliki oleh BUMN. Namun, bagaimanapun kebijakan tersebut sesungguhnya ditujukan untuk “memfasilitasi” swasta.

Jika ambisi pemerintah membangun berbagai infrastruktur yang dibangga-banggakan tersebut, pada akhirnya hanya untuk “memfasilitasi” swasta, lalu apa gunanya pembangunan infrastruktur besar-besaran belakangan ini? Untuk siapa sesungguhnya pemerintah bekerja selama ini. Untuk rakyat yang ratusan juta itu, atau hanya untuk segelintir para pemilik modal?***

]]>
Ambisi Jokowi dan Defisit Keseimbangan Primer https://indoprogress.com/2016/12/ambisi-jokowi-dan-defisit-keseimbangan-primer/ Mon, 05 Dec 2016 00:43:41 +0000 https://indoprogress.com/?p=16927 KETIKA menerima tongkat estafet kepemimpinan nasional, Jokowi mewarisi APBN dalam kondisi yang sakit yaitu berupa penyempitan ruang fiskal, sehingga tidak memungkinkan baginya untuk segera mengeksekusi ambisinya terhadap sejumlah proyek infrastruktur.

Menurut diagnosis Jokowi bersama doktor-doktor pribadinya, penyempitan ruang fiskal disebabkan oleh besarnya subsidi energi dalam APBN, khususnya subsidi bahan bakar minyak (BBM). Bagi mereka, keberadaan subsidi telah menghambat ketersediaan infrastruktur, dan membuat Indonesia tertinggal dari negara-negara tetangga.

Demikian, kurang dari satu bulan usai dilantik, tepatnya 18 November 2014, dengan percaya diri Jokowi segera mencabut subsidi BBM dan menyerahkannya kepada mekanisme pasar. Keputusaanya mencabut subsidi BBM memungkinkan Jokowi memperoleh dana segar lebih dari Rp 200 triliun. Dana tersebut digunakan Jokowi untuk mempercepat pembangunan sejumlah infrastruktur diantaranya jalan, jembatan, bandara dan pelabuhan.

 

Defisit Keseimbangan Primer

Namun, Jokowi dan tim doktornya agaknya alpa bahwa penyakit penyempitan ruang fiskal sesungguhnya disebabkan oleh membengkaknya defisit keseimbangnya primer yang didorong oleh penurunan pendapatan, peningkatan belanja pemerintah, dan pada saat bersamaan juga terjadi lonjakan pembayaran utang.

Keseimbangan primer merupakan selisih antara pendapatan negara dikurangi belanja negara tanpa memperhitungkan pembayaran bunga utang. Bila neraca tersebut defisit, maka pemerintah sesungguhnya membayar bunga utang dengan utang baru, karena pendapatan tidak mampu lagi menutup belanja.

Sejak tahun 2012, APBN mengalami defisit keseimbangan primer, dan terus berlangsung hingga tahun depan (2017). Pada 2012 defisit keseimbangan primer tercatat sebesar Rp 52,7 triliun, tahun berikutnya (2013) membengkak jadi Rp 98,6 triliun. Pada tahun 2014 defisit sedikit turun, berada pada kisaran Rp 93,2 triliun. Memasuki tahun pertama pemerintahan Jokowi, defisit keseimbangan primer melambung sebesar Rp 142,4 triliun, tahun berikutnya (2016) sedikit turun yakni sebesar Rp 105,5 triliun, namun tahun depan (2017) defisit keseimbangan primer diproyeksi kembali terbang ke angka Rp 111,4 triliun.

Pada tahun 2014 dan 2015 Jokowi, sesungguhnya punya momentum untuk mengatasi defisit keseimbangan primer. Keputusannya menaikkan harga BBM (mencabut subsidi), menyediakan dana sekitar lebih dari Rp 200 triliun. Jumlah ini lebih dari cukup untuk menutup defisit keseimbangan primer pada tahun 2014 yang hanya sebesar Rp 93,2 triliun, atau defisit pada tahun 2015 yang hanya sekitar Rp 142,4 triliun. Namun, pada kenyataannya Jokowi lebih suka membelanjakan dana tersebut untuk mewujudkan ambisnya pada sejumlah proyek infrastruktur.

“Ketidakpedulian” Jokowi pada APBN yang sedang sakit parah akibat defisit keseimbangan primer membuat APBN kehilangan kemampuannya untuk membayar bunga utang dari hasil penerimaan negara. Bahkan pemerintah dipaksa mencari utang baru untuk sekedar membayar bunga utang lama.

Celakanya, dalam kondisi seperti ini, pemerintah justru mengajukan APBN 2017 yang semakin ekspansif kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Belanja yang disusun pemerintah tahun depan sebesar Rp 2.070,5 triliun, terdiri dari belanja pemerintah pusat sebesar Rp 1.310,4 triliun, dan alokasi transfer daerah dan dana desa sebesar Rp 760 triliun. Dari total belanja pemerintah pusat tersebut, sekitar Rp 500 triliun diantaranya digunakan untuk membayar cicilan bunga dan utang pokok. Pembayaran bunga utang tahun 2017 diperkirakan mencapai Rp 221,4 triliun atau naik dibandingkan tahun 2016 yang hanya sebesar Rp 191 triliun dan tahun 2015 sebesar Rp 156 triliun.

Dalam situasai seperti ini, pemerintah justru semakin ekspansif dalam belanja infrastruktur. Pemerintah mematok belanja infrastruktur sebesar Rp 387,3 triliun atau mengalami kenaikan sebesar Rp 70,2 triliun dari alokasi APBN tahun 2016 sebesar Rp 317,1 triliun. Belanja infrastruktur dimanfaatkan untuk pembangunan jalan, jembatan, bandara, pelabuhan laut, jalur kereta api dan terminal penumpang.

Belanja pemerintah yang begitu ekspansif tersebut, tidak sebanding dengan tingkat penerimaan yang dipatok untuk tahun 2017 yang hanya sebesar Rp 1.737,6 triliun. Proyeksi penerimaan tahun depan lebih rendah lagi, yakni sebesar Rp 84,9 triliun dibandingkan dengan penerimaan APBN 2016 sebesar Rp 1.822,5 triliun.

Penerimaan APBN 2017, bersumber dari penerimaan perpajakan sebesar Rp 1.495,9 triliun rupiah, dan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) ditargetkan sebesar Rp 240,4 triliun. Demikian defisit pada RAPBN 2017 sebesar Rp 332,9 triliun. Kemungkinan defisit ini akan ditutupi dengan mengajukan utang baru, baik utang langsung kepada debitur (lembaga donor) maupun melalui penerbitan SBN (Surat Berharga Negara).

Turunnya penerimaan negara 2017 tersebut akan semakin memperlebar defisit keseimbangan primer dalam APBN 2017, yang diprediksi akan mencapai Rp 111,4 triliun atau naik sekitar Rp 5,9 triliun dibandingkan APBN 2016 yang sebesar Rp 105,5 triliun.

 

Mengenjot Penerimaan

Untuk mengatasi defisit keseimbangan primer yang terus meningkat tersebut, pemerintah hanya memiliki dua opsi; meningkatkan penerimaan atau memangkas belanja.

Namun, opsi menggenjot penerimaan ini tampaknya sulit dicapai. Pemerintah sendiri pada APBN 2017 telah mematok penerimaan yang lebih rendah dari APBN 2016, karena situasi ekonomi tahun depan tidak terlalu mendukung, mengingat rasio pajak (tax ratio) terhadap produk domestik bruto (PDB) tahun depan berada dikisaran angka 10-11 persen, sehingga tidak acceptable untuk mendongkrak penerimaan pajak.

Mantan Menteri Keuangan, Chatib Basri, memprediksi penerimaan negara terancam makin seret pada tahun depan, terutama yang berasal dari asset-aset yang diikutkan dalam program pengampunan pajak (tax amnesty). Masih menurut Chatib Basri, jika dihitung berdasarkan return on asset (ROA) sebesar 5 persen, yang merupakan sumber perpajakan, maka hanya Rp 200 triliun dari total hampir Rp 4.000 triliun asset yang ikut dalam program tax amnesty, yang bisa dipajaki oleh pemerintah tahun depan.

Sementara pada saat yang sama, penambahan jumlah wajib pajak baru relatif kecil. Per September lalu, jumlah wajib pajak baru dari hasil amnesti pajak hanya mencapai 8.412 wajib pajak. Jumlah ini sangat kecil jika dibandingkan dengan jumlah WP yang wajib SPT Indonesia yang berjumlah lebih dari 22 juta.

Seretnya penerimaan pajak tahun depan, mendorong pemerintah mengajukan utang baru, baik utang langsung kepada debitur (lembaga donor) maupun melalui penerbitan SBN (Surat Berharga Negara).

Pemerintah berencana menarik utang melalui penerbitan SBN sebesar Rp 597 triliun untuk tahun 2017. Dari jumlah tersebut, sekitar Rp 358,22 triliun akan ditarik untuk pendanaan awal tahun (front loading), yakni sepanjang periode Januari-Juli 2017. Untuk keperluan itu, Pemerintah dan DPR RI telah sepakat menjadikan hampir 10 ribu aset negara yang tersebar di 50 Kementerian dan Lembaga sebagai underlying asset (jaminan) bagi penerbitan SBN tahun depan.

Bahkan untuk membiayai kebutuhan belanja operasional pemerintah pada Januari tahun 2017 (karena penerimaan pajak, baru akan diperoleh pada pertengahan Januari), pemerintah berencana menarik utang lebih awal (prefunding) melalui penerbitan surat utang syariah (sukuk) senilai Rp 43,6 triliun.

Namun penebitan SBN ini, diprediksi tidak akan memperoleh hasil optimal, mengingat kondisi pasar obligasi tengah bergejolak dan tingkat kepercayaan investor terhadap kredibilitas APBN sangat rendah, menyusul buruknya kondisi fiskal yang ditangani oleh pemerintah. Akibatnya, sejumlah lembaga rating internasional sulit menaikkan peringkat utang Indonesia ke level layak investasi atau investment grade.

Sejumlah lembaga rating internasional seperti Standard & Poor’s, Moody’s dan Fitch menyoroti buruknya kondisi fiskal, kredit bermasalah (non performing loan/NPL) yang tengah membelit perbankan di Indonesia, serta terdepresiasinya nilai tukar rupiah, yang memicu kenaikan risiko investasi (CDS/Credit Default Swap) Indonesia.

CDS obligasi pemerintah Indonesia dengan tenor 5 Tahun pada penutupan perdagangan 11 November 2016, melonjak 1.756 basis poin ke level 178,86 dari posisi sehari sebelumnya 161,3. Sementara Indeks obligasi pemerintah (total return) turun 1,12 persen menjadi 206,897 dari penutupan sehari sebelumnya. Indeks obligasi korporasi juga terkoreksi 0,15 persen ke level 221,795 dari penutupan sehari sebelumnya.

 

Pangkas Belanja

Rendahnya penerimaan dan besarnya utang yang akan ditarik pemerintah tahun depan akibat membengkaknya defisit keseimbangan primer, menuntut pemerintah untuk lebih menahan diri terhadap ambisi belanjanya, khususnya pada sejumlah proyek infrastruktur.

Namun, agaknya Jokowi enggan untuk meredam ambisinya pada infrastruktur. Ini tampak dari meningkatnya anggaran infrastruktur tahun 2017 dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Jokowi masih menyakini bahwa belanja infrastruktur jor-joran dapat mendorong pertumbuhan jangka pendek, meskipun selama dua tahun pemerintahannya kenyataan berkata lain.

Di sini muncul pertanyaan, haruskah Jokowi terus menggenjot ambisinya pada pembangunan infrastruktur dan “membiarkan” APBN terus berdarah-darah, akibat turunnya penerimaan dan semakin membesarnya defisit keseimbangan primer?

Kalau saya jelas, Jokowi tanggalkan dahulu ambisimu, kini rakyat semakin menderita.***

]]>
Sinyal Negatif Dari Penurunan Inflasi https://indoprogress.com/2016/11/sinyal-negatif-dari-penurunan-inflasi/ Mon, 07 Nov 2016 04:00:58 +0000 https://indoprogress.com/?p=16803 AKHIR dan awal bulan, lumrahnya pusat-pusat perbelanjaan hingga pasar tradisional akan dibanjiri ibu-ibu yang berbelanja bulanan untuk stok kebutuhan rumah tangga. Namun tidak pada awal November ini. Toko-toko sepi dari pengunjung.

Rekan saya, seorang ibu rumah tangga, dari kelas menegah, agak sedikit terkejut menyaksikan suasana tersebut. Kepada saya, dia bertanya, “kok toko-toko pada sepi ya, Ed. Padahal kan harga-harga lagi murah sekarang?”

Ketika berbelanja untuk kebutuhan bulanan di salah satu pusat perbelanjaan (Mall) yang berada tak jauh dari rumahnya, ia menyaksikan pusat perbelanjaan itu tak seramai biasanya. Padahal pusat perbelanjaan itu sedang menawarkan potongan harga lumayan besar hingga 50 persen pada banyak item barang.

Suasana yang tak jauh berbeda, saya saksikan ketika berbelanja peralatan lari (saya seorang penyuka lari) ke beberapa pusat penjualan alat olah raga. Toko-toko tersebut sepi dari para pengunjung, padahal mereka menawarkan potongan harga dari 50 sampai 70 persen.

Sepanjang tahun ini, inflasi memang mencatatkan penurunan. Pada periode Januari-Oktober 2016, inflasi tercatat berada pada kisaran 3,07-4,42 persen, turun jauh dibandingkan dengan periode yang sama tahun 2015 yang berada pada kisaran 6,25 -7,26 persen. Bahkan untuk Oktober 2016, inflasi terekam hanya sebesar 3,08 persen atau turun sebesar 3,17 persen dibandingkan periode yang sama tahun 2015, yakni sebesar 6,25 persen.

Turunnya inflasi tersebut “dirayakan” para pendukung pemerintah sebagai sebuah keberhasilan. Mereka membanjiri media sosial dengan menulis status dan komentar yang memuja-muja klaim pencapaian prestasi tersebut.

Namun untuk negara yang pertumbuhannya ditopang lebih dari 50 persen oleh konsumsi, seperti Indonesia, membaca data-data makro ekonomi, termasuk inflasi, perlu dilakukan dengan cermat dan hati-hati. Turunnya inflasi tak selalu merupakan kabar bagus, terkadang ia sebenarnya mengirimkan sinyal negatif tentang kinerja perekonomian.

Turunnya inflasi akan menjadi kabar baik, bila peristiwa tersebut disebabkan oleh efisiensi biaya seperti biaya logistik atau biaya produksi. Namun, yang terjadi saat ini turunnya inflasi disebabkan oleh merosotnya konsumsi, yang dilatar belakangi melemahnya daya beli. Secara teoritis, ketika permintaan (konsumsi) turun maka panawaran mengalami kelimpahan, akibatnya harga mengalami penurunan. Kalangan ekonom menyebut gejala ini sebagai deflation spiral.

Dalam berbagai literatur ekonomi, deflation spiral lebih berbahaya dibandingkan dengan inflasi, karena dapat menurunkan insentif bisnis untuk mendorong produksi, dan menurunkan insentif untuk melakukan investasi sehingga dalam jangka panjang ekonomi dapat mengalami penurunan.

 

Daya Beli

Melemahnya daya beli masyarakat dapat dilihat dari tingkat komponen pengeluaran rumah tangga yang mengalami perlambatan atas sejumlah barang, diantaranya pakaian, produk alas kaki, kesehatan, jasa perawatan, transportasi, komunikasi, penjualan sepeda motor, restoran dan lain-lain.

Data inflasi inti (diluar harga bergejolak dan harga diatur pemerintah) yang di rilis Badan Pusat Statistik (BPS) pada Oktober 2016, menunjukkan bahwa inflasi inti sebesar 0,10 persen, turun dari bulan September sebesar 0,33 persen dan 0,36 persen pada Agustus. Turunnya infllasi inti mengindikasikan masyarakat sedang melakukan penghematan.

Dari sisi neraca perdagangan, indikasi melemahnya daya beli dikonfirmasi oleh turunnya impor barang-barang konsumsi sejak awal April 2016. BPS mencatat, impor barang konsumsi pada Januari 2016 masih tumbuh 5,12 persen, pada bulan selanjutnya (Februari) kembali tumbuh sebesar 9,87 persen. Namun, dua bulan berselang (Maret-April) pertumbuhannya malah minus masing-masing 2,8 persen dan 12,38 persen. Bahkan survey Bank Indonesia (BI) atas Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) pada April 2016 sebesar 109 atau turun dibandingkan bulan sebelumnya sebesar 109,8

Indikator lain yang mencerminkan melemahnya daya beli yakni turunnya pertumbuhan kegiatan dunia usaha yang tercermin dari Saldo Bersih Tertimbang (SBT), yaitu perkalian antara saldo bersih dan bobot masing-masing sektor ekonomi. Berdasarkan data BI, SBT pada kuartal ketiga 2016 sebesar 13,20 persen, lebih rendah dibandingkan dengan kuartal kedua 2016 sebesar 18,4 persen. Bahkan sektor industri makanan dan minuman pada kuartal kedua pertama 2016 hanya tumbuh 7,55 persen, lebih rendah dari kuartal pertama tahun sebelumnya (2015) yang tumbuh sebesar 8,16 persen.

Selain itu, melemahnya daya beli juga tercermin dari meningkatnya rasio kredit bermasalah atau non performing loan (NPL). Mengacu data Otoritas Jasa Keuangan (OJK), hingga akhir Juni 2016, NPL perbankan menunjukkan peningkatan 20 basis poin (bps) menjadi 2,9 persen dari posisi Maret 2016 di level 2,7 persen. Peningkatan NPL, membuat lembaga pemeringkat internasional, Standard & Poor’s (S&P), sulit untuk menaikkan peringkat utang Indonesia ke level layak investasi atau investment grade. Terlebih persoalan NPL yang kini tengah membelit perbankan di Indonesia disebabkan tekanan keuangan yang dialami korporasi.

 

Pertumbuhan

Peningkatan NPL ini merupakan imbas dari rendahnya pertumbuhan. BPS mencatat, data pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal pertama tahun 2016 tumbuh 4,92 persen. Hasil tersebut juga di bawah target pemerintah yakni sebesar 5,3 persen. Lebih rendah dari kuartal sebelumnya (kuartal IV tahun 2015) sebesar 5,04 persen. Pemerintah dan BI sendiri telah mengoreksi proyeksi pertumbuhan Indonesia tahun 2016 dari 5,3 persen menjadi 4,9 persen hingga 5 persen.

Secara teoritis, elastisitas setiap satu persen pertumbuhan ekonomi dapat menyerap sekitar 300-350 ribu tenaga kerja. Dengan pertumbuhan 5 persen diproyeksi dapat menyerap sekitar 1,5 juta sampai 1,75 juta tenaga kerja. Sayangnya, pertumbuhan rata-rata angkatan kerja (baru selesai sekolah dan kuliah) di Indonesia setiap tahunnya sekitra 2 juta orang. Maka ada sekitar 250 ribu sampai 500 ribu angkatan kerja baru yang tidak dapat terserap di pasar tenaga kerja. Ini belum ditambah dengan pengangguran habis kontrak dan lain-lain. Padahal untuk negara sebesar Indonesia, pertumbuhan ekonomi idealnya sebesar 6,5 sampai 7 persen per tahun.

Salah satu instrumen untuk mendongkrak pertumbuhan adalah government expenditure (belanja pemerintah). Namun saat ini kondisinya sulit untuk diharapkan, menyusul kebijakan pemerintah melakukan pemotongan anggaran besar-besar akibat semakin melebarnya defisit anggaran yang kini bertengger pada level 2,35 persen, atau mendekati batas defisit sebesar 3 persen.

Situasi ini semakin diperparah dengan adanya defisit keseimbangan primer (penerimaan dikurangi belanja negara tanpa pembayaran bunga utang) pada APBN, seperti yang diakui menteri keuangan Sri Mulyani. Defisit keseimbangan primer menggambarkan bahwa sesungguhnya saat ini, pemerintah menarik utang untuk membayar bunga utang. Dengan kata lain, APBN tidak lagi punya kemampuan melakukan ekspansi belanja lewat penerimaannya sendiri.

Harapan untuk mendongkrak pertumbuhan, kini tinggal bergantung pada investasi. Namun iklim yang ada saat ini sulit untuk memompa performa mesin investasi dapat kembali mengkilap. Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) memperkirakan pertumbuhan investasi pada 2016 hanya sebesar 12-14 persen, lebih rendah dari tahun lalu yang berada pada angka 17,8 persen. Bahkan untuk Penanaman Modal Asing (PMA), terjadi penurunan untuk pertama kalinya sejak tahun 2011 lalu. Investasi asing pada kuartal satu 2016 hanya sebesar Rp 96,1 triliun atau turun dari kuartal keempat tahun 2015 yang mencapai Rp 99,2 triliun.

Melemahnya kinerja investasi ini, semakin diperburuk dengan rendahnya daya serap investasi terhadap tenaga kerja. Hingga triwulan III-2016 penyerapan kerja sebesar 276.032 orang, lebih rendah jika dibandingkan pada periode yang sama tahun 2015 yang mencapai 373.560.

Celakanya, investasi yang masuk lebih banyak didominasi oleh industri padat modal, yang menuntut tenaga kerja berketerampilan tinggi. Sementara tenaga kerja Indonesia didominasi tenaga kerja berketerampilan rendah. Dari total tenaga kerja Indonesia, hanya 9 persen saja merupakan lulusan perguruan tinggi, selebihnya lulusan SMA, SMP dan SD.

Mayoritas tenaga kerja tersebut adalah kaum muda (usia 15-24 tahun), dimana jumlahnya sekitar 19,3 persen dari jumlah angkatan kerja Indonesia yang mencapai 127,6 juta orang, dan cenderung terus meningkat setiap tahun. Kaum muda berpendidikan SLTP sederajat ke bawah ini memiliki posisi yang sangat lemah di pasar tenaga kerja, dan secara piskologis rentan putus asa. Kerentanan tersebut dikonfirmasi oleh survey ILO (International Labour Organization), pada Februari 2015, yang menyatakan bahwa sekitar 17,9 persen kaum muda yang menganggur mengaku putus asa mencari pekerjaan. Mereka yang putus asa ini gampang dimanfaatkan kelompok-kelompok tertentu untuk kepentingan politiknya.

Berbagai kerusuhan di berbagai daerah seringkali melibatkan kaum muda yang putus asa mencari kerja ini. Tak tertutup kemungkinan demontrasi pada tanggal 4 November lalu yang “membakar” beberapa titik di Jakarta, juga melibatkan mereka.

Demikian, tepatkah langkah para pendukung pemerintah “merayakan” turunnya inflasi sebagai sebuah keberhasilan?***

]]>
Nawacita dan Pengangguran Kaum Muda https://indoprogress.com/2016/09/nawacita-dan-pengangguran-kaum-muda/ Mon, 26 Sep 2016 00:01:42 +0000 https://indoprogress.com/?p=16496 MENDEKATI satu tahun implementasi ASEAN Economic Comunity (AEC) yang diprediksi akan menciptakan 1,9 juta lapangan kerja baru pada tahap awal pelaksanaannya di Indonesia, negara ini justru terancam krisis pengangguran kaum muda (youth unemployment crisis).

Meskipun pemerintah telah menerbitkan berbagai paket ekonomi, namun minat investasi asing masih sangat rendah. Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) mencatat Penanaman Modal Asing (PMA) menurun untuk pertama kalinya sejak tahun 2011 lalu. Investasi asing pada kuartal satu 2016 sebesar Rp 96,1 triliun atau turun dari kuartal keempat tahun lalu yang mencapai Rp 99,2 triliun.

Situasi ini, semakin diperparah dengan kebijakan pemerintah memangkas anggaran belanja menyusul defisit yang semakin melebar, mendekati batasnya, sebesar 2,35 persen. Kebijakan pemotongan anggaran tersebut berdampak pada pertumbuhan, mengingat pertumbuhan Indonesia yang masih sangat bergantung pada investasi pemerintah (34 persen) dan konsumsi rumah tangga (54 persen). Bank Indonesia bahkan telah mengoreksi proyeksi pertumbuhan Indonesia pada tahun 2016 dari 5,2 persen menjadi 4,9 persen.

Koreksi atas proyeksi pertumbuhan ini mengindikasikan turunnya kemampuan Indonesia menyediakan lapangan kerja baru, dan meningkatkan pengangguran. Secara teoritis, elastisitas satu persen pertumbuhan ekonomi dapat menyerap sekitar 350 ribu tenaga kerja pada 2016. Dan jika merujuk “Okun’s law”(teori Ekonom Arthur Okun), setiap 4 persen pertumbuhan dapat mengurangi 1 persen jumlah pengangguran. Meskipun Indonesia masih mencatatkan pertumbuhan yang positif, namun, indikator-indikator kinerja pasar tenaga kerja memperlihatkan gambaran yang lain.

Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan pada Februari 2016, jumlah pekerja tidak penuh (jumlah jam kerja kurang dari 35 jam per minggu) sebanyak 36,33 juta orang. Sementara jumlah penganggur penuh sebesar 7,02 juta orang. Kendati demikian, menyusul pemangkasan anggaran belanja APBN, dan koreksi atas pertumbuhan ekonomi serta merosotnya investasi, kemungkinan sampai awal tahun 2017, pengangguran Indonesia akan mengalami tren peningkatan. Sejumlah analis memperkirakan kuartal ketiga tingkat pengangguran naik menjadi 6,2 persen, kuartal empat 2016 sampai kuartal pertama 2017 angkanya akan bertahan pada level 6 persen. Sementara jumlah orang yang menganggur diproyeksi pada kuartal ketiga 2016 naik menjadi 7,5 juta orang, kemudian kembali meningkat 7,6 juta orang di kuartal keempat 2016, dan naik kembali jadi 7,7 juta pada kuartal pertama tahun depan.

Pengangguran tersebut didominasi oleh kaum muda (usia 15-24 tahun) yakni sekitar 19,3 persen dari jumlah angkatan kerja Indonesia yang mencapai 127,6 juta orang atau sekitar lebih dari 4 juta orang, dan cenderung terus meningkat tajam dari tahun ke tahun. Dari jumlah pengagguran kaum muda tersebut, hanya 9 persen saja yang memiliki gelar lulusan universitas. Sisanya berpendidikan SMA sederajat ke bawah. Kelompok ini memiliki posisi yang sangat lemah di pasar tenaga kerja, sehingga secara piskologis rentan putus asa.

Kerentanan tersebut dikonfirmasi oleh survey ILO (International Labour Organization), yang pada Februari 2015 menyatakan sekitar 17,9 persen kaum muda yang menganggur mengaku mereka sudah putus asa mencari pekerjaan. Sebagian besar penganggur terbuka yang putus asa tersebut memiliki latar belakang pendidikan SLTP atau lebih rendah. Situasi ini menegaskan bahwa kaum muda tidak dipersiapkan dengan baik untuk masuk ke dalam pasar tenaga kerja.

Ini juga menjelaskan bahwa sesungguhnya kesempatan kerja bagi kaum muda masih belum berkembang sejak awal 1990-an. Dalam arti, pasar tenaga kerja Indonesia tidak pernah sepenuhnya pulih dari dampak krisis keuangan Asia 1997/98. Meskipun Indonesia mencatatkan pertumbuhan positif, namun gagal mengaitkan pertumbuhan tersebut dengan penciptaan lapangan kerja.

Kegagalan membangun keterkaitan antara pertumbuhan dengan penciptaan lapangan kerja, karena pemerintah selama ini gagal mengantisipasi terjadinya perubahan perekonomian Indonesia, dari sebelumnya didominasi sektor pertanian dan manufaktur padat karya, menuju perekonomian dengan kegiatan yang lebih besar di sektor jasa, yang membutuhkan keterampilan yang relatif tinggi, menyusul terjadi revolusi teknologi dan informasi. Dari dua puluh juta pekerjaan yang tercipta, tujuh diantaranya berada pada sektor jasa. Ini mencerminkan adanya ketimpangan antara kebutuhan dan ketersediaan keterampilan. Dengan kata lain, sektor jasa dan industri Indonesia masih didominasi oleh tenaga kerja kurang terampil.

Rendahnya tingkat keterampilan/keahlian tenaga kerja yang ditawarkan, disebabkan kualitas sistem pendidikan tidak mampu menutup celah keahlian. Dengan kata lain, sistem pendidikan yang dikembangkan Indonesia tidak mampu meningkatkan relevansi antara hasil lulusan lembaga pendidikan dengan keahlian yang dibutuhkan. Ini menimbulkan ketidaksesuaian dalam ketenagakerjaan, yakni situasi dimana perusahaan mengalami kesulitan mendapatkan tenaga kerja sesuai dengan bidang keahlian pekerjaan yang ditawarkan/dibutuhkan.

ILO dalam laporan Tren Tenaga Kerja dan Sosial di Indonesia 2014 –2015, menyatakan jabatan manajer, tenaga professional dan teknisi, pekerjaan yang membutuhkan keterampilan tinggi dengan pendidikan tertier, banyak diisi oleh mereka yang tidak sesuai persyaratan. Begitu pula dengan pekerjaan juru tulis, pekerja layanan dan penjualan, pekerja terampil di sektor pertanian, pedagang dan buruh produksi, yang membutuhkan pendidikan sekunder, sebagian besar diisi oleh pekerja yang tidak memenuhi syarat.

Tahun 2014, Bank Dunia, dalam laporannya menulis, dua per tiga perusahaan mengaku mengalami kesulitan dalam menemukan pegawai yang tepat untuk posisi-posisi managerial dan profesional; dan hampir 70 persen pemilik perusahaan dalam bidang manufaktur mengeluhkan bahwa sangat sulit untuk mengisi posisi-posisi tingkat profesional yang terampil (insinyur). Sejumlah perusahaan lain melaporkan tidak cukupnya ketersediaan lulusan pendidikan sebagai alasan mendapatkan tenaga kerja sesuai dengan kebutuhan, beberapa yang bergerak pada sektor-sektor lain mengeluhkan kualitas keahlian lulusan yang ada. Akibatnya perusahaan-perusahaan yang beroperasi di (khususnya PMA), cenderung mempergunakan tenaga kerja asing untuk mengisi sejumlah posisi yang ditawarkan.

Belakangan, masuknya tenaga kerja asing mengisi berbagai posisi yang ditawarkan perusahaan-perusahaan yang beroperasi di Indonesia dimungkinkan seiring dengan implementasi ASEAN Economic Commmunity (AEC), yang mengizinkan lalu lintas tenaga kerja dalam lingkup negara-negara anggota ASEAN. Masuknya tenaga kerja dari negara-negara anggota ASEAN membuat tenaga kerja Indonesia tersingkar, karena kalah bersaing. Menurut survey Bank Dunia 2014, tingkat keahlian dan pendidikan tenaga kerja Indonesia berada di bawah Negara-negara anggota ASEAN, kecuali Cambodia.

Tersingkirnya tenaga kerja Indonesia di dalam negeri, berimplikasi pada dua hal: pertama, meningkatnya pergerakan tenaga kerja menuju jasa lapisan bawah (sektor informal); kedua, melonjaknya pengiriman buruh migran dengan kualifikasi keahlian rendah ke luar negari, dengan tanpa perlindungan yang maksimal.

Sektor informal—baik di kota maupun di desa—sampai sekarang masih berperan besar dalam perekonomian Indonesia. Walau agak sulit untuk menentukan jumlahnya secara pasti, namun diperkirakan lebih dari 50 persen pekerjaan di Indonesia adalah pekerjaan informal. Sekitar 80 persen dari pekerjaan informal terkonsentrasi di sektor ritel dan kulakan dan personal, jasa sosial dan konstruksi

Indonesia adalah salah satu negara pengirim buruh migran terbesar. Setiap tahun, dua juta orang meninggalkan Indonesia menuju negara-negara di Timur Tengah, beberapa bagian negeri China (Hongkong dan Taiwan), dan Malaysia, Korea Selatan, Jepang dan beberapa negara lain, untuk mendapatkan pekerjaan. Namun, meningkatnya pekerja sektor informal dan melonjaknya pengiriman buruh migran sebagai implikasi tersingkirnya tenaga kerja Indonesia di pasar tenaga kerja dalam negeri, tampaknya tidak menjadi persoalan serius bagi rezim Jokowi-JK.

Masalah peningkatan pekerja sektor informal cukup ditambal dengan dilegalkannya menjadi pekerjaan formal. Misalnya melegalkan ojek menjadi pekerjaan formal dengan masuk menjadi pengendara pada perusahaan yang diizinkan menyediakan jasa aplikasi online. Sementara terhadap pekerja migran, rezim ini justru tidak memberikan dukungan kepada buruh migran ketika memperjuangkan hak-hak mereka. Pidato Eni Lestari, buruh migran asal Indonesia, pada sesi pembukaan konferensi Tingkat Tinggi tentang Migran dan pengungsi (High Level Summit on Migrants and Refugee) ke-71 di PBB, 20/9/2016, ditanggapi dingin oleh Wapres Jusuf Kalla dengan mengatakan bahwa Eni tidak mewakili Indonesia, tapi imigran internasional.

Terkait dengan masalah ketidaksesuaian sistem pendidikan dengan pasar tenaga kerja, sejauh ini belum ada terobosan dari rezim Jokowi-JK. Upaya yang dilakukan masih terbatas pada gonta-ganti kurikulum, tidak melakukan perubahan mendasar terhadap sistem pendidikan nasional.

Sedangkan soal pasar tenaga kerja dalam negeri. Jokowi justru menghapus syarat wajib bisa berbahasa Indonesia bagi Tenaga Kerja Asing yang dimuat dalam Permenakertrans Nomor 12 tahun 2013. Padahal peraturan ini merupaan instrumen penting untuk melindungi tenaga kerja Indonesia dari persaingan yang tidak seimbang dengan pencari kerja negara lain.

Ketidakseriusan mengatasi masalah penciptaan lapangan kerja dan pengangguran kaum muda, menggambarkan dengan jelas bahwa Jokowi telah semakin menjauh dari Nawacita. Janji yang pernah dia ucapkan pada rakyat Indonesia. ***

]]>
Tax Amnesty: Dari Utang Luar Negeri ke Utang Publik https://indoprogress.com/2016/08/tax-amnesty-dari-utang-luar-negeri-ke-utang-publik/ Mon, 08 Aug 2016 00:54:12 +0000 https://indoprogress.com/?p=16232

Ilustrasi diambil dari www.koran.bisnis.com

 

TERBITNYA undang-undang tax amnesty tidak lepas dari kondisi keuangan negara (Angaran Penerimaan dan Belanja Negara/APBN) yang semakin hari semakin mengkhawatirkan. Sebabnya karena besarnya beban utang luar negeri pemerintah dari lembaga-lembaga donor (terutama China), yang sebagian besar bersifat jangka pendek untuk memenuhi ambisi pemerintah membangun berbagai proyek infrastruktur secara besar-besaran.

Kehadiran utang-utang jangka pendek dari China, dalam jangka pendek pada praktiknya bukan saja membebani keuangan negara namun juga memperburuk kondisi ekonomi dalam negeri. Berbagai proyek infrastruktur yang didanai dari utang pada praktiknya dikerjakan oleh perusahaan-perusahaan negara pemberi utang, sehingga kehadiran dana-dana utang tersebut tidak mampu merangsang perekonomian dalam negeri. Sementara APBN sendiri semakin mengalami tekanan akibat besar utang yang ditangung pemerintah.

Kondisi keuangan ini semakin diperparah dengan tidak tercapainya target penerimaan pajak. Target pajak sebesar Rp. 1.546 triliun tahun ini diprediksi tidak tercapai dan diperkirakan berkurang hingga Rp. 219 triliun. Ini kemudian memaksa pemerintah memangkas belanja kementerian dan lembaga serta transfer daerah sebesar Rp 133 triliun. Kondisi keuangan negara yang mengalami tekanan ini, juga mendorong pemerintah mengubah kebijakannya. Dari sebelumnya bergantung pada utang luar negeri (G to G—utang ke lembaga dan negara donor) ke utang publik, melalui penerbitan berbagai Surat Berharga Negara (SBN).

Langkah ini sesungguhnya bukan sebuah kebijakan yang baru. Di masa pemerintah sebelumnya (Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono/SBY), langkah serupa telah ditempuh terutama pada periode akhir masa jabatannya. Usai melunasi utang Indonesia kepada IMF (International Moneter Fund), SBY menambah penerbitan SBN untuk meningkatkan penerimaan negara.

Namun begitu terjadi pergantian rezim, pemerintahan baru kembali menempuh jalan utang luar negeri sebagai sumber penerimaan. Sayangnya kebijakan ini tidak berjalan seperti yang diharapkan, sehingga memaksa pemerintah kembali berpaling ke utang publik (pasar modal dan keuangan ).

 

Tax Amnesty

Walaupun sama-sama mengambil jalan utang publik sebagai sumber penerimaaan, namun kedua rezim berbeda dalam penerapannya. Jika pada era pemerintahan SBY, target pasar SBN adalah pelaku pasar modal asing, menyusul yang krisis yang terjadi di Eropa yang mendorong hot money berlomba-lomba masuk ke emerging market (termasuk Indonesia). Sementara pemerintah sekarang menerbitkan UU Tax Amanesty dengan target pasar pengusaha Indonesia yang menempatkan dananya di negara-negara yang menetapkan pajak sangat kecil atau bebas pajak (tax haven countries).

Berdasarkan data Global Financial Integrity tahun 2015, dana ‎warga Indonesia yang tercatat di luar negeri sekitar Rp. 3.000 triliun, namun dari jumlah tersebut hanya kurang dari 50 persen saja yang bisa masuk dalam program Tax Amnesty. Sisanya, sekitar lebih dari Rp. 1.500 triliun, tidak dapat masuk dalam program tax amnesty karena merupakan dana-dana yang bersumber dari kegiatan illegal, diantaranya sekitar 35 persen terkait dengan tindak pidana narkoba, human trafficking (perdagangan manusia), dan terorisme. Sementara sisanya (sekitar 15 persen) masuk dalam tindak korupsi. Dari jumlah dana kurang dari Rp. 1.500 triliun yang bisa masuk program tax amnesty, hanya sekitar Rp. 560 triliun yang mungkin direpatriasi, atau sekitar Rp. 560 tirliun dari jumlah itu, Negara hanya mampu menarik sekitar 1-3 persen sebagai penerimaan langsung yang bersumber dari dana tebusan. Jumlah ini tentu sangat kecil, terlebih bila diproyeksikan untuk menambal defisit APBN yang terancam melampaui limitnya di atas 3 persen atau sekitar di atas Rp. 313,34 triliun.

Seperti diketahui, pemerintah mematok target penerimaan dari Tax Amnesty sebesar Rp. 165 triliun dalam APBN 2016. Sementara deklarasi dari warga Negara Indonesia pemilik dana di luar negeri (repatriasi) yang masuk ke program tax amnesty baru mencapai sekitar Rp. 579 miliar, sedangkan deklarasi dari dalam negeri baru mencapai Rp. 2,54 triliun. Demikian total (asset) yang dilaporkan akan ikut program Tax Amnesty baru sekitar Rp. 3,75 triliun. Penerimaan Negara sendiri dari Tax Amnesty sejauh ini baru sebesar Rp. 84,3 miliar.

Demikian, target penerimaan dari tax amnesty ke kas penerimaan negara sebesar Rp. 165 Triliun dinilai tidak realistis, terlebih target tersebut dibuat berdasarkan asumsi awal jumlah dana asset reptraiasi yang ikut program tax amnesty sebesar Rp. 1.000 triliun, sedangkan asumsi realisasi penyerapan dana repatriasi saat ini hanya berkisar Rp. 560 triliun.

Kecilnya partisipasi jumlah dana aset repatriasi yang ikut progam tax amnesty mengindikasikan bahwa warga indoesia pemilik dana di luar negeri tidak terlalu antusias menyambut kebijakan ini. Situasi ini tentu dapat semakin mengancam kondisi APBN karena tidak tercapainya penerimaan yang telah ditetapkan sebelumnya.

 

Refinancing Risk

Terancamnya APBN, akan semakin diperparah oleh kebijakan pemerintah yang menyiapkan instrument investasi berupa Surat Berharga Negara (SBN), baik dalam bentuk Surat Utang Negara (SUN) maupun Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) dalam denominasi Rupiah maupun valuta asing (misalnya US Dollar, Euro, dan lain-lain), saham, dana investasi real estat (DIRE), reksadana, dan surat berharga BUMN, sebagai instrument yang akan menampung dana-dana hasil repatriasi asset dari kebijakan tax amnesty. Pemerintah kabarnya telah menyiapkan penerbitan Surat Berharga Negara (SBN) seri khusus dengan nilai awal sebesar Rp. 100 triliun.

Kebijakan pemerintah menggunakan instrumen investasi untuk menampung dana-dana repatriasi dari tax amnesty memiliki resiko tinggi, karena berpotensi memicu terjadinya refinancing risk (gagal pelunasan hutang) yang dapat menyebabkan pembayaran utang lama dengan menerbitkan utang baru berbiaya lebih besar. Kondisi ini terutama terjadi ketika penerimaan negara tidak mencapai target yang telah ditetapkan, dan bila terjadi penarikan dana dalam waktu yang bersamaan yang dapat menyebabkan tekanan harga SBN di pasar sekunder. Ini biasanya didorong oleh tingginya yield yang ditawarkan oleh SBN negara-negara lain. Apabila dana tersebut ke luar dari pasar dalam negeri, dapat menyebabkan tekanan terhadap nilai tukar rupiah dan mengurangi cadangan devisa.

Terlebih pada sisi lain instrumen investasi seperti SBN tidak bisa mengunci dana repatriasi dalam kurun waktu yang cukup lama, misalnya 3 tahun. Ini disebabkan SBN tidak memiliki sistem yang memungkinkannya untuk melakukan lock up seperti bank persepsi. Sementara bank persepsi sendiri cenderung tidak diminati oleh warga negara Indonesia pemilik dana di luar negeri karena pengawasannya terlalu ketat dan cenderung melanggar udang-undang kerahasian perbankan.

Dalam sistem bank persepsi, perbankan menjadi bank gateway yang akan membuat kontrak dengan nasabah (bukan rekening biasa), sehingga tidak akan di campur dengan yang lain (rekening khusus). Selain itu peserta tax amnesty juga harus menandatangani surat kuasa bahwa laporan investasinya diserahkan ke Ditjen Pajak. Sehingga Ditjen Pajak bisa memantau keberadaan dana repatriasi tersebut. Setiap bulan bank gateway akan memberikan laporan perkembangan dana-dana yang bersumber dari repatriasi kepada Ditjen Pajak.

Kecenderungan dana repatriasi masuk ke bank persepsi membuat pemerintah cenderung memaksakan dana repatriasi masuk ke pasar modal/keuangan. Padahal aliran dana yang masuk ke pasar modal rentan membuat guncangan terhadap keuangan negara, yang pada gilirannya berimbas pada perekonomian dalam negeri. Terlebih sampai saat ini pertumbuhan ekonomi Indonesia masih sangat bergantung pada konsumsi (termasuk belanja pemerintah).

Terlebih instrumen investasi, seperti SBN pada dasarnya merupakan utang negara kepada publik yang dihimpun melalui pasar modal/keuangan, beresiko tinggi, karena merupakan utang-utang jangka pendek (bertenor pendek; kurang dari 2 tahun).

Demikian, tax amnesty sesungguhnya bukanlah solusi jitu, untuk membawa bangsa ini keluar dari kesulitan yang sedang dihadapi. Sebaliknya, kebijakan tax amnesty yang ditempuh pemerintah masih berputar-putar pada persoalan klasik; pembiayaan yang bersumber dari utang, baik itu utang luar negeri maupun utang publik.

Padahal yang dibutuhkan dan ditunggu rakyat hari ini adalah perubahan mendasar kebijakan angaran, yaitu melepaskan bangsa ini dari ketergantungannya pada utang. Agar bangsa ini bisa mandiri dan berdaulat seperti janji Nawacita.***

]]>