Dian Purba – IndoPROGRESS https://indoprogress.com Media Pemikiran Progresif Thu, 19 Jun 2025 23:17:05 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.4.3 https://indoprogress.com/wp-content/uploads/2021/08/cropped-logo-ip-favicon-32x32.png Dian Purba – IndoPROGRESS https://indoprogress.com 32 32 Luka yang Tak Terwakili dalam Narasi Negara https://indoprogress.com/2025/06/luka-yang-tak-terwakili-dalam-narasi-negara/ Thu, 19 Jun 2025 23:17:05 +0000 https://indoprogress.com/?p=239028 Ilustrasi: illustruth


PENYUSUNAN ulang sejarah resmi tidak bisa dianggap sebagai kado ulang tahun ke-80 republik seperti yang dikatakan pemerintah. Di baliknya tersembunyi motif yang patut diungkap. Penulisan sejarah resmi oleh negara bukanlah praktik netral, melainkan strategi hegemonik untuk mengukuhkan legitimasi ideologis; upaya yang dapat dibaca sebagai konsolidasi narasi dominan demi membentuk kesadaran nasional yang sesuai dengan kepentingan kekuasaan saat ini. Proyek semacam ini sering kali menjadi sarana untuk meneguhkan identitas politik tertentu dengan mengorbankan representasi kelompok-kelompok yang mengalami kekerasan sejarah. 

Untuk melihat bagaimana negara secara sistematis menampilkan sejarah secara selektif, tulisan ini akan mengangkat dua periode kekerasan paling besar dalam sejarah Indonesia, pembantaian 1965-1966 dan pemerkosaan Reformasi 1998.


I. Pembantaian 1965-1966

Negara dan Politik Pelupaan

Dalam periode 1965–1966, lebih dari 500 ribu orang diyakini menjadi korban pembantaian dengan dalih penumpasan Partai Komunis Indonesia (PKI). Namun, seperti ditunjukkan oleh John Roosa, narasi kudeta oleh PKI adalah dalih semata (Roosa, 2006). Bukti-bukti kuat berasal dari arsip-arsip militer (Melvin, 2018) dan kesaksian korban yang dikumpulkan dalam proyek-proyek sejarah lisan oleh lembaga swadaya masyarakat yang bergerak di bidang hak asasi manusia (Roosa et al., 2004). Dalam buku Tahun yang Tak Pernah Berakhir, wawancara dengan para penyintas menunjukkan bahwa banyak penangkapan dan pembunuhan dilakukan oleh militer lokal tanpa proses hukum, sering kali sekadar berdasarkan laporan dari tetangga atau aparat desa, bukan karena keterlibatan nyata dalam aktivitas PKI (Roosa et al., 2004). Kekerasan ini adalah operasi yang dirancang secara sistematis oleh militer (Robinson, 2018), yang juga mendapat legitimasi internasional sebagai bagian dari Perang Dingin sebagaimana dikaji Mattias Fibiger, yang menyebut rezim Soeharto sebagai pion regional dalam proyek kontra-revolusioner Amerika Serikat (Fibiger, 2023).

Di atas tumpukan tubuh tak bernyawa, narasi negara mendefinisikan peristiwa ini sebagai “penyelamatan bangsa”—dan melanggengkannya melalui film, museum, patung, kurikulum sekolah, serta upacara kenegaraan. Sebagaimana ditulis Ariel Heryanto, ini adalah bentuk teror simbolik: bukan hanya membungkam para korban, tetapi juga mengontrol cara rakyat mengingat dan menceritakan masa lalu mereka (Heryanto, 2005).

Negara menarasikan tragedi 1965 sebagai “pemberontakan” yang berhasil digagalkan. Dalam narasi ini, militer adalah pahlawan, sedangkan korban dihapuskan dari teks. Narasi ini dikokohkan melalui kurikulum pendidikan sejarah di sekolah menengah, buku teks resmi seperti Sejarah Nasional Indonesia, dan penggambaran visual dalam film Pengkhianatan G30S/PKI yang disiarkan setiap tahun hingga 1998. Seperti ditunjukkan Saskia Wieringa, penggambaran perempuan Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani) sebagai sadis dan tidak bermoral adalah bagian dari strategi misoginis negara dalam membentuk lanskap ingatan yang domestik, patriarkal, dan penuh rekayasa (Wieringa, 2002; 2019). Propaganda ini berhasil membangun ketakutan moral yang hingga kini masih bekerja secara efektif dalam menekan wacana alternatif.

Grace Leksana menyebut domestikasi ruang-ruang publik oleh negara sebagai pembentukan “lanskap ingatan” (Leksana, 2023). Budiawan (2004) menambahkan bahwa wacana anti-komunis telah menjadi struktur wacana yang diwariskan lintas rezim—dari Orde Baru hingga era Reformasi—yang terus-menerus mendefinisikan siapa yang dianggap sebagai bagian dari bangsa dan siapa yang dikucilkan. Dengan demikian, kita tidak sedang berhadapan dengan sejarah, tetapi dengan narasi tentang sejarah yang sangat politis.

Luka yang Tak Terucap: Trauma, Diam, dan Perjuangan Ingatan

Luka yang tidak diakui ini menjalar antar-generasi. Para penyintas dan keluarga korban tak hanya kehilangan orang yang dicintai, tetapi juga hak hidup, pekerjaan, pendidikan, dan martabat. Mereka dicap “eks-tapol”, disisihkan secara sosial, dan diawasi dalam diam. Trauma mereka diwariskan dalam bisik-bisik keluarga, cerita makan malam, dan nyanyian tidur. Salah satu kisah dalam buku Tahun yang Tak Pernah Berakhir mengisahkan seorang perempuan di Blitar yang baru menyadari bahwa ayahnya korban pembantaian setelah menemukan catatan rahasia yang disembunyikan ibunya selama puluhan tahun (Roosa et al., 2004). Leksana menyebut bentuk pewarisan seperti ini sebagai “ingatan terbenam” (embedded remembering), di mana memori trauma tetap hidup meskipun tidak diberi ruang dalam narasi resmi. John Roosa dan Hilmar Farid menyebut bentuk ingatan ini sebagai “ingatan yang terpenjara” (Roosa et al., 2004).

Dua film Joshua Oppenheimer—The Act of Killing (2012) dan The Look of Silence (2014)—menunjukkan dengan jelas bagaimana narasi pelaku dan korban beradu dalam ranah ingatan publik. The Act of Killing bahkan memperlihatkan bagaimana para algojo bangga atas pembantaian yang mereka lakukan, sementara The Look of Silence berfokus pada keberanian seorang adik korban untuk menghadapi para pembunuh saudaranya. Respons publik terhadap film ini sangat beragam: di satu sisi, banyak penonton yang terguncang dan mulai mempertanyakan narasi resmi; di sisi lain, negara dan sebagian elite militer menunjukkan resistansi dan menolak untuk membuka kembali peristiwa ini. Penolakan terhadap pemutaran film secara luas di Indonesia mencerminkan betapa narasi negara masih dominan dan berusaha menutupi ruang bagi ingatan alternatif. Gerombolan pelaku merasa bangga karena negara tak pernah menindak mereka, sementara para korban hanya bisa menyimpan dendam dan duka dalam sunyi.


II. Pemerkosaan Mei 1998

Kekerasan Simbolik dan Politik terhadap Perempuan

Dalam bincang-bincang di sebuah stasiun televisi pada 8 Juni silam,  Menteri Kebudayaan Fadli Zon melontarkan pernyataan kontroversial. Ia meragukan terjadinya pemerkosaan massal terhadap perempuan dalam kerusuhan Mei 1998. Menurutnya itu sebatas rumor. “Enggak ada proof-nya,” katanya. Peristiwa itu “hanya cerita” yang menurutnya belum ada dalam buku sejarah. Klaim ini, alih-alih menawarkan klarifikasi sejarah, justru memperpanjang derita para korban dan mencerminkan sikap negara yang terus gagal menegakkan keadilan.

[TW: dua paragraf berikutnya memuat konten eksplisit tentang kekerasan seksual dan rasial]

Laporan Komnas Perempuan dan Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) menunjukkan bahwa dalam kurun waktu Mei–Juli 1998, setidaknya 168 kasus kekerasan seksual terjadi terutama di Jakarta, termasuk pemerkosaan bergilir, penyiksaan seksual, mutilasi, dan pembakaran hidup-hidup (Komnas Perempuan, 1999). Komnas Perempuan menyebut sebagian besar korban adalah perempuan Tionghoa. Korban lain termasuk perempuan pekerja dan perempuan miskin kota yang kebetulan berada di wilayah kekerasan massa. Kenapa mayoritas perempuan Tionghoa yang jadi target pemerkosaan? Dalam laporan itu disebut: perempuan Tionghoa secara khusus ditargetkan karena simbolisasi mereka sebagai “asing”, “kaya”, dan bukan bagian dari bangsa Indonesia.

Lebih lanjut laporan itu menulis: kekerasan itu bukan kebetulan atau spontan. Ia adalah kekerasan simbolik dan politik, mengandung pesan: “karena kamu Cina, kamu diperkosa.” Pemerkosaan dijadikan alat untuk menghina identitas etnis, meruntuhkan harga diri komunitas, dan menanamkan teror. Dalam banyak kasus, pemerkosaan dilakukan secara berkelompok, di depan keluarga, bahkan sambil diteriakkan makian rasial (TGPF, 1999). Artinya tubuh perempuan dijadikan “panggung” simbolis untuk mempermalukan komunitas yang disasar—rasial, kelas, dan gender menjadi titik temu kekerasan politik.

Ariel Heryanto dalam esainya yang penting, Rape, Race, and Reporting (1999), menjelaskan bahwa kekerasan seksual Mei 1998 memiliki empat karakteristik: (1) kebrutalan yang dipertontonkan secara masif, (2) penciptaan rasa takut kolektif, (3) kekebalan pelaku dari hukum, dan (4) absurditas dari tindakan itu sendiri—bahwa ia terjadi bukan karena kebutuhan, melainkan demi mempertahankan dominasi simbolik.

Kekerasan ini bukan sekadar tindak kriminal melainkan bagian dari struktur kekuasaan negara pascakolonial yang bersifat maskulin dan represif. Pemerkosaan itu merupakan bentuk kekerasan simbolik yang dirancang untuk menanamkan rasa takut kepada kelompok tertentu: perempuan, etnis Tionghoa, dan warga sipil. Ia menyebut bahwa kekerasan ini dilakukan dalam konteks “vulgar masculinist postcolonial state power”, sebuah relasi kuasa yang menggabungkan brutalitas maskulin, kekebalan hukum bagi pelaku, dan represi negara. Kekerasan tersebut menyasar tubuh perempuan untuk menunjukkan dominasi politik dan kultural atas komunitas yang dianggap “asing” dan tidak berhak atas rasa aman di Indonesia.

Heryanto juga menyingkap lapisan lain dari tragedi ini: para secondary victims (korban sekunder)—mereka yang tidak diperkosa secara langsung namun hidup dalam ketakutan, stigma, dan kerentanan yang ekstrem. Dalam konteks perempuan Tionghoa, banyak yang meninggalkan Indonesia, berhenti bekerja, atau mengasingkan diri akibat trauma kolektif yang tidak pernah diakui negara secara utuh.

Hal ini ditegaskan pula oleh Charlotte Setijadi dalam Memories of Unbelonging (2023). Ia menulis bahwa peristiwa Mei 1998 meninggalkan luka identitas mendalam bagi etnis Tionghoa di Indonesia. Perempuan-perempuan Tionghoa tidak hanya menjadi korban kekerasan seksual, tetapi juga menjadi lambang dari eksistensi yang selalu disangkal oleh negara. Setijadi menuliskan bagaimana perempuan Tionghoa menjadi simbol dari konstruksi “yang asing” di Indonesia—meski telah hidup di tanah ini selama generasi. Saat kerusuhan terjadi, perempuan dari komunitas ini tidak hanya diserang karena jenis kelamin, tetapi juga karena representasi simboliknya sebagai “komunitas asing yang makmur”—narasi lama yang terus dihidupkan oleh elite kekuasaan.

Pemerkosaan terhadap perempuan Tionghoa dalam kerusuhan Mei 1998 adalah bentuk kekerasan politik berbasis ras dan gender, yang dipicu oleh runtuhnya legitimasi Orde Baru dan dibiarkan oleh aparat keamanan. Jemma Purdey dalam Anti-Chinese Violence in Indonesia (2006) menyebut bahwa serangan tersebut dilandasi oleh pengorganisasian yang memungkinkan kekerasan menjadi alat penyaluran frustrasi kolektif sambil tetap menjamin keamanan pelaku.

Hingga kini, tidak satu pun pelaku kekerasan seksual dibawa ke pengadilan. Laporan Komnas HAM dalam Merawat Ingatan Menjemput Keadilan (2020) menyatakan bahwa rekomendasi penyelidikan oleh Komnas Perempuan, TGPF, maupun lembaga internasional tidak pernah ditindaklanjuti secara serius oleh negara. Hanya tiga dari lima belas kasus pelanggaran HAM berat yang berhasil dibawa ke meja hijau, dan pemerkosaan Mei 1998 bukan salah satunya. Padahal, Presiden B.J. Habibie dalam autobiografinya Detik-detik yang Menentukan: Jalan Panjang Indonesia Menuju Demokrasi  (2006) secara eksplisit menyatakan telah menerima langsung kesaksian dari para relawan dan korban kekerasan seksual, yang kemudian mendorongnya membentuk Komnas Perempuan dan mengutuk kekerasan itu secara publik. Ia menyadari bahwa keadilan tidak bisa ditunda, dan negara harus bertanggung jawab.

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.


Penutup: Dari Luka yang Disangkal ke Ingatan yang Diperjuangkan

Sejarah Indonesia dalam versi resmi kerap tampil dalam narasi yang rapi, tertib, dan penuh kepastian. Namun, di balik konstruksi itu, terdapat kekacauan, luka, dan penderitaan yang disingkirkan. Tragedi 1965 dan kekerasan seksual dalam kerusuhan Mei 1998 adalah dua peristiwa besar yang tak hanya ditandai oleh kebrutalan, tetapi juga oleh upaya sistematis negara untuk menafikan keberadaannya dalam memori kolektif bangsa.

Setelah pembantaian massal 1965, negara menyusun narasi tunggal tentang “penumpasan pengkhianatan G30S/PKI”, menjadikan militer sebagai pahlawan dan menghapus para korban dari sejarah resmi. Kisah tentang ratusan ribu orang yang dibunuh, dipenjara, dan disiksa tanpa proses hukum dikaburkan lewat kurikulum, film propaganda, dan monumen. Dalam narasi ini, kebenaran tidak hanya diredam, tetapi juga direkayasa secara simbolik.

Tiga dekade kemudian, pada Mei 1998, sejarah kekerasan berulang. Di tengah keruntuhan Orde Baru, kekerasan massal menyasar komunitas Tionghoa. Tubuh perempuan menjadi simbol dominasi politik—diperkosa, dibakar, disiksa—bukan karena siapa mereka secara personal, tetapi apa yang mereka wakili secara etnis dan sosial. Namun, seperti pada 1965, tragedi ini segera dibungkam. Negara membentuk tim investigasi, tapi tak satu pun pelaku diadili. Peristiwa itu tidak diajarkan di sekolah, tidak ada peringatan nasional, bahkan tidak ada pengakuan formal yang konsisten.

Elizabeth Drexler dalam Infrastructures of Impunity (2024) menjelaskan bahwa kekerasan negara di Indonesia bukan hanya soal tindakan fisik, tetapi dilestarikan melalui infrastruktur impunitas: hukum yang tumpul, institusi yang lemah, dan narasi yang selektif. Kekerasan terjadi tetapi dihapus dari buku teks, tidak disebut dalam peringatan resmi, dan tidak mendapat tempat dalam kurikulum pendidikan nasional. Dengan kata lain, kekerasan itu tidak selesai di jalanan, melainkan terus berlangsung dalam bentuk penyangkalan dan penghapusan ingatan.

Puncak dari penyangkalan ini terjadi pada 8 Juni 2025, ketika Menteri Kebudayaan Fadli Zon menyatakan bahwa “tidak ada bukti pemerkosaan massal pada Mei 1998.” Pernyataan ini bukan sekadar penolakan fakta, tetapi bentuk kekerasan simbolik yang membunuh kembali para korban yang telah dihancurkan oleh trauma dan pengabaian. Seperti dicatat Komnas HAM (2020), inilah bentuk nyata dari politik impunitas—negara yang tidak hanya gagal memberikan keadilan, tetapi secara aktif memproduksi kebisuan.

Apa yang terjadi bukan sekadar penghilangan data atau kejadian, melainkan produksi makna yang dimonopoli oleh negara. Sejarawan posmodern seperti Alun Munslow menegaskan bahwa sejarah bukanlah cermin objektif dari masa lalu, melainkan konstruksi naratif yang dibentuk oleh ideologi, posisi sosial, dan strategi wacana dari penulisnya (Munslow, 2006). Sejarah tidak ditemukan, tetapi diciptakan—melalui proses emplotment dan troping, yakni pemilihan fragmen, struktur, dan bahasa yang mengarahkan pemaknaan tertentu. 

Menurut Munslow, sejarah bukan tentang “apa yang sebenarnya terjadi”, tetapi soal bagaimana peristiwa itu dinarasikan. Dalam konteks negara, sejarawan memilih dan menyusun fragmen-fragmen masa lalu dalam plot tertentu—romansa, tragedi, atau satire—yang pada akhirnya mengukuhkan posisi kekuasaan. Dalam sejarah Indonesia, terutama pasca-1965, yang terbentuk adalah emplotment hegemonik yang represif dan eksklusif terhadap suara korban.

Narasi resmi yang lahir dari proses ini selalu tampak sah dan tertutup. Namun kenyataan sejarah bersifat kompleks dan penuh luka. Munslow menyebutnya sebagai sublime history—sejarah yang tak dapat direpresentasikan sepenuhnya karena kedalaman traumanya. Ketika menulis sejarah hanya sebagai laporan kronologis “apa yang terjadi” dan menutup ruang tafsir dari perspektif korban, maka negara sedang menyingkirkan kemungkinan narasi yang lebih adil dan manusiawi.

Dalam kondisi semacam ini, kita membutuhkan sejarah yang jujur bukan untuk membuka luka lama, tetapi menyembuhkannya. Pendekatan dekonstruksionis seperti yang ditawarkan Munslow sangat relevan: kita harus menyadari bahwa setiap sejarah adalah representasi—dan karenanya, harus membuka ruang bagi representasi alternatif, khususnya dari mereka yang selama ini dibungkam.

Rekonsiliasi yang sejati hanya mungkin terjadi jika sejarah ditulis dari sudut pandang yang inklusif dan plural. Seperti dikemukakan John Roosa (2020), rekonsiliasi tidak mungkin terwujud tanpa pengakuan negara, penyebutan pelaku, dan restitusi bagi korban. Tanpa elemen-elemen itu, yang kita miliki hanyalah “rekonsiliasi semu” yang melanggengkan impunitas dan memperkuat dominasi narasi negara.

Luka sejarah bukan sekadar urusan masa lalu; ia adalah persoalan hari ini dan masa depan. Jika kita terus membiarkan negara menarasikan sejarah secara tunggal dan hegemonik, kita sedang menciptakan generasi yang buta terhadap nilai-nilai kemanusiaan. Perjuangan melawan pelupaan adalah perjuangan untuk keadilan yang paling dasar.

Reformasi 1998 memang melahirkan harapan, tetapi juga mewariskan pengkhianatan—terutama terhadap para perempuan yang tubuhnya dijadikan medan perang simbolik. Mereka diperkosa bukan karena kesalahan pribadi, tetapi karena konstruksi sosial yang menjadikan mereka target.

Maka pertanyaannya kini bukan sekadar “apa yang terjadi”, tetapi: sejarah siapa yang sedang ditulis? Jika pemerkosaan massal Mei 1998 dan pembantaian 1965 terus dihapus dari ingatan sejarah nasional, maka yang kita rayakan di ulang tahun Indonesia yang ke-80 nanti bukanlah kebebasan, melainkan keberhasilan penyingkiran.

Melawan pelupaan bukan nostalgia akan luka lama, melainkan perlawanan terhadap kekuasaan yang terus berusaha menghapus jejak kekerasan yang dilakukannya.


Referensi

Budiawan. Mematahkan Pewarisan Ingatan: Wacana Anti-Komunis dan Politik Rekonsiliasi Pasca-Suharto. Jakarta: ELSAM, 2004.

Drexler, Elizabeth. Infrastructures of Impunity: New Order Violence in Indonesia. Cornell University Press, 2024.

Fibiger, Mattias. Suharto’s Cold War: Indonesia, Southeast Asia, and the World. Oxford: Oxford University Press, 2023.

Habibie, B.J., Detik-detik yang Menentukan: Jalan Panjang Indonesia Menuju Demokrasi. Jakarta: THC Mandiri, 2006.

Heryanto, Ariel, “Rape, Race, and Reporting”, dalam Reformasi: Crisis and Change in Indonesia, ed. Arief Budiman dkk. Monash Asia Institute, 1999. 

Heryanto, Ariel. State Terrorism and Political Identity in Indonesia: Fatally Belonging. London & New York: Routledge, 2005.

Komnas HAM. Merawat Ingatan Menjemput Keadilan: Ringkasan Eksekutif Peristiwa Pelanggaran HAM Yang Berat. Jakarta: Komnas HAM, 2020. 

Komnas Perempuan, Seri Dokumen Kunci: Laporan TGPF dan Relawan untuk Kemanusiaan, Jakarta: Komnas Perempuan, 2002.

Leksana, Grace Tjandra. Memory Culture of the Anti-Leftist Violence in Indonesia: Embedded Remembering. Amsterdam: Amsterdam University Press, 2023.

Melvin, Jess. The Army and the Indonesian Genocide: Mechanics of Mass Murder. Ithaca, NY: Cornell University Press, 2018.

Munslow, Alun. Deconstructing History. 2nd ed. London & New York: Routledge, 2006.

Purdey, Jemma. Anti-Chinese Violence in Indonesia, 1996–1999. Honolulu: University of Hawai‘i Press, 2006.

Robinson, Geoffrey B. The Killing Season: A History of the Indonesian Massacres, 1965–66. Princeton, NJ: Princeton University Press, 2018.

Roosa, John, et al. Tahun yang Tak Pernah Berakhir: Memahami Pengalaman Korban 65. Jakarta: ELSAM (Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat), 2004.

Setijadi, Charlotte. Memories of Unbelonging: Ethnic Chinese Identity Politics in Post-Suharto Indonesia. Honolulu: University of Hawai‘i Press, 2023.

Wieringa, Saskia E. Sexual Politics in Indonesia. Houndmills, Basingstoke, Hampshire & New York: Palgrave Macmillan, 2002.

Wieringa, Saskia E., and Nursyahbani Katjasungkana. Propaganda and the Genocide in Indonesia: Imagining Victims and Perpetrators. London & New York: Routledge, 2019.


Dian Purba, alumni Pascasarjana Ilmu Sejarah Universitas Gadjah Mada dan dosen di Institut Agama Kristen Negeri (IAKN) Tarutung.

]]>
Cerita Reformasi di Medan https://indoprogress.com/2018/05/cerita-reformasi-di-medan/ Wed, 02 May 2018 02:09:22 +0000 https://indoprogress.com/?p=19371 Kredit ilustrasi: feroviarul.ro

 

REFORMASI bergema lebih awal di Medan, Sumatera utara, dibandingkan dengan daerah-daerah lain di Indonesia. Tanggal 30 April 1998, delapan kampus di Medan, yakni AMIK Kesatria, STIKP, ITM, UMSU, UNIKS, UMA, IAIN Sumatera Utara, dan IKIP Negeri Medan berdemonstrasi di sekitar kampus mereka masing-masing. Mereka membawa poster bertuliskan “Laksanakan Sidang Istimewa”, “Satu Nusa Satu Bangsa…Koq Ada Pelor”.[1] Mereka melalui rute Jalan Sutrisno/Antara ke Jalan Laksana, lalu ke Jalan Amaliun dan kemudian bergerak ke Jalan Masjid Raya, kemudian ke Jalan Brigjen Katamso lalu ke Jalan Djuanda, Ahmad Dahlan, dan berakhir di Jalan Imam Bonjol. Di jalan Imam Bonjol, mereka berorasi di depan kampus Harapan. Mereka menuntut segera dilakukan reformasi politik, ekonomi, dan hukum. Tujuan utama mereka sesungguhnya hendak berdemonstrasi ke DPRD Sumut. Namun, aparat keamanan menghadang mereka di Jalan Masjid Raya.[2]

Di tempat berbeda, di kampus UMSU yang letaknya berhadapan dengan ITM, berkumpul ratusan mahasiswa menggelar poster panjang terbuat dari kain warna merah bertuliskan “Kampus Bukan Arena Untuk Tembak-Menembak”. Mereka tidak bisa keluar dari area kampus karena aparat keamanan telah memblokir beberapa ruas jalan di sekitarnya, termasuk sebagaian jalan lingkar Stadion Teladan yang dekat dengan kampus tersebut. Sambil membentangkan poster, mereka berjalan mendekati pasukan keamanan. Begitu pasukan keamanan bergerak, mereka mundur lagi ke depan kampus ITM. Tidak lama kemudian, muncul lemparan batu ke arah aparat keamanan. Batu-batu kecil juga melayang yang diperkirakan dilontarkan dengan ketapel. Menyusul kemudian lemparan bom molotov. Akibat pelemparan itu, salah seorang petugas keamanan terkena batu di wajah dan menyebabkan giginya patah. Ronald Siahaan, mahasiswa ITM, terkena peluru petugas. Dia harus dirawat di rumah sakit. Dalam aksi tersebut, pihak keamanan menciduk seorang mahasiswa yang mencoba melarikan diri dari kampus ITM.[3]

Di Jalan Willem Iskandar, mahasiswa IKIP Medan, Universitas Medan Area, dan IAIN Sumatera Utara menggelar aksi sejak pagi pukul 9.30. Mereka sempat keluar dari kampus namun segera kembali ke kampus masing-masing karena dihadang aparat. Sementara di Tanjung Sari, letak kampus UNIKA ST Thomas, aksi unjuk rasa semakin memanas. Warga setempat bergabung dan melempari petugas kemanaan yang berjaga-jaga di lokasi tersebut. Mereka membakar ban dan kayu di tengah jalan untuk menghadang pasukan anti-huru-hara mendekat ke depan kampus. Massa pun melempari petugas dengan batu, menggunakan ketapel, dan bom molotov. Aparat membalas dengan menembakkan gas air mata. Petugas berhasil menangkap 13 orang.[4]

Berbeda dengan kampus UMSU dan UNIKA yang berakhir rusuh, mahasiswa STIKP memilih menggelar unjuk rasa berupa pemajangan beberapa pamflet dan mimbar bebas. Pamflet-pamflet yang terbuat dari kertas karton itu diletakkan di depan kampus mereka di Jalan Sisingamangaraja.[5]

Pada 1 Mei terjadi dua unjuk rasa besar di Medan. Unjuk rasa pertama terjadi di UISU. Pagi itu, sekitar pukul 9.00, mahasiswa UISU berbaris di depan kampus di Jalan Sisingamangaraja. Tujuan mereka adalah ke kantor DPRD Sumatera Utara. Mereka membawa poster-poster. Beberapa personil aparat keamanan mencoba berdialog agar mahasiswa mengurungkan niatnya itu. Sementara itu, pasukan anti-huru-hara sudah memagar betis Jalan Pelangi dan Jalan Sisingamangaraja. Dialog yang awalnya tampak berjalan tenang tidak berhasil menemukan kata sepakat. Mahasiswa bergerak memasuki Jalan Pelangi yang sudah diblokir. Petugas segera menghadang. Kemudian mahasiswa seolah-olah hendak bergerak ke arah Jalan Turi. Pasukan keamanan juga bergerak menghadang. Mahasiswa tampaknya kehilangan kesabaran. Tak punya pilihan lain, mereka kemudian menerobos barisan barikade pasukan anti-huru-hara. Aksi dorong-mendorong pun tak terelakkan. Petugas berusaha mendorong massa mundur sambil memukulkan pentungan ke tubuh mereka. Mendapat tekanan dari aparat, massa bergerak mundur ke dalam kampus. Sementara pasukan anti-huru-hara mulai meletuskan tembakan ke udara hingga puluhan kali. Dari dalam kampus, massa melempari aparat dengan batu yang membuat petugas keamanan terpaksa mundur sekitar 50 meter dari kampus UISU. Hingga pukul 10.30, perang batu diselingi tembakan terus berlansung antara mahasiswa dan aparat keamanan. Massa kemudian membakar satu unit sepeda motor yang terparkir di luar kampus. Dibantu pelajar SMU, massa terus menggempuri petugas keamanan dengan batu. Sekitar pukul 11.45, dua mobil taktis Brimob Poldasu menembakkan gas air mata ke arah massa. Beberapa anak sekolah dasar yang letak sekolahnya bersebelahan dengan kampus UISU, terkena tembakan gas air mata. Bahkan ada satu orang yang pingsan. Aksi baru reda sekitar pukul 16.00.[6]

 

Ratusan mahasiswa UISU diblokir aparat keamanan saat hendak menuju gedung DPRD Sumut.
Sumber: Waspada, 2 Mei 1998.

 

Sementara itu, di kampus Universitas HKBP Nomensen di Jalan Sutomo, aksi berlanjut hingga sore hari. Di sekitar kampus rumah-rumah penduduk, toko, gedung perkantoran, outlet Kentucky Fried Chicken (KFC), dan Hotel Sahid Angkasa mengalami kerusakan pada kaca-kaca bagian depan karena terkena lemparan batu dari dalam kampus. Mahasiswa juga melempari petugas anti-huru-hara dengan batu dan bom molotov. Tak dapat dielakkan, aksi balas-membalas lemparan pun terjadi. Petugas memukuli seorang mahasiswa yang tertangkap di sebuah warung makan seberang kampus hingga babak belur. Petugas juga memukuli masyarakat yang menonton yang berkerumun di luar kampus. Gas air mata yang ditembakkan petugas ke arah massa tidak mampu meredam aksi. Masyarakat yang awalnya menonton saja bergabung dengan mahasiswa dan menyerang aparat keamanan dengan lemparan batu. Petugas melarang wartawan memfoto aksi tersebut. Dalam aksi itu, sebelas mahasiswa UHN, dua laki-laki dan sembilan perempuan, ditangkap dan dibawa ke Poltabes Medan.[7] Sementara itu, seorang mahasiswa IAIN Sumatera Utara harus dirawat di rumah sakit. Dia sebenarnya tidak ikut berunjuk rasa. Saat itu dia sedang makan lontong di warung dekat kampusnya di Jalan Willem Iskandar. Tiba-tiba datang satu truk petugas keamanan dan kemudian menangkap siapa saja yang ada di warung tersebut. Dia mengalami geger otak karena digebuki sekitar 30 petugas.[8]

Sedikitnya 200 toko dan perkantoran di beberapa kawasan inti kota Medan terpaksa tutup dan menghentikan aktivitasnya akibat aksi unjuk rasa mahasiswa itu.[9]

Aksi di kampus UHN kembali terjadi keesokan harinya. Dalam aksi ini masyarakat dan mahasiswa bergabung. Massa bergerak ke sebuah show room mobil. Mereka membuka pintu dengan paksa dan mendorong keluar sebuah mobil mini bus Mazda dan menggulingkannya untuk kemudian membakarnya. Dua mobil lain juga dirusak. Kaca-kaca show room tidak luput dari lemparan batu. Kaca depan Hotel Elbruba dan KFC, dekat kampus UHN, juga menjadi sasaran lemparan batu massa. Pihak rektorat meliburkan seluruh kegiatan akademik UHN hingga 9 Mei.[10]

Hingga hari Minggu, 3 Mei, Poltabes Medan telah memeriksa ratusan mahasiswa, pelajar, dan masyarakat. Namun, tidak seorang pun ditahan. Pangdam I/Bukit Barisan Mayjen TNI Ismed Yuzairi mengatakan pihaknya tidak pernah menyuruh dan menyarankan prajurit Bukit Barisan menggunakan senjata untuk mengamankan aksi unjuk rasa mahasiswa. Namun, dia tidak memberikan penjelasan lebih lanjut tentang aksi aparatnya di lapangan.[11]

Aksi mahasiswa hanya libur sehari di hari Minggu. Awal pekan, 4 Mei, mahasiswa IKIP Medan berdemonstrasi di dalam kampus. Paling tidak sekitar 500 orang terlibat dalam aksi tersebut. Mereka menyanyikan lagu-lagu nasional. Selang beberapa saat, mereka mencoba berdemonstrasi keluar dari kampus dan menerobos pasukan keamanan yang berjaga di luar kampus. Mereka berpawai di sekitaran kampus. Polisi melihat aksi itu berpotensi menimbulkan kerusuhan. Polisi kemudian menghentikan mereka. Kontak fisik pun terjadi. Mahasiswa kemudian melempari petugas dengan batu, memanah dengan ketapel, dan melempar bom molotov. Petugas membalas aksi tersebut. Mahasiswa juga membakar ban dan tumpukan kayu di badan jalan untuk menghalangi pasukan anti-huru-hara mendekat. Melihat pasukan anti-huru-hara bertambah banyak, mahasiswa masuk ke dalam kampus dan menutup pintu pagar. Selanjutnya mereka melempari petugas dengan batu dari dalam kampus.[12]

 

Truk pasukan anti-huru-hara pecah kaca depan akibat lemparan batu dalam aksi unjuk rasa di Kampus IKIP Medan, Jalan Pancing, Senin, 4 Mei. Sumber: Waspada, 5 Mei 1998.

 

Sekitar pukul 19.00, aksi unjuk rasa mulai reda. Karena mengira situasi sudah kondusif, beberapa mahasiswa memutuskan keluar dari kampus. Rupa-rupanya polisi menghadang mereka di gerbang.[13] Polisi membentak mereka dengan kata-kata kasar. Juga dengan kata-kata cabul. Laki-laki disuruh berjalan berjingkrak beriringan sambil memegang bahu masing-masing. Kemudian, SN, salah seorang dari mahasiswa yang keluar itu, diremas payudaranya setelah kerudungnya direnggut paksa hingga terlepas. Dia juga dipeluk. Sebelum diremas, si polisi itu membuka resteling celananya dan menunjukkan kemaluannya ke SN dan teman-temannya seperti seakan-akan hendak melakukan pemerkosaan. Perlakuan bejat itu membuat SN pingsan.[14]

Warga menyaksikan tindakan aparat tersebut. Mereka pun menjadi geram. Segera terbentuk sekutu antara mereka dan mahasiswa. Malam itu juga massa dari berbagai penjuru mendatangi pos polisi lalu lintas di jalan Pancing. Mereka berusaha mencari polisi itu. Isu pelecehan seksual itu beredar begitu cepat sehingga warga semakin ramai ikut bergabung. Yang dicari tidak tersua. Polisi mencoba membubarkan massa. Namun, tindakan itu semakin membuat warga marah. Mereka semakin merangsek ke pos polisi. Polisi yang merasa semakin terkepung kemudian meminta bantuan kepada Polsekta Percut Sei Tuan. Tak berapa lama kemudian bala bantuan datang. Warga semakin marah melihat penambahan pasukan itu. Mereka kemudian melempar bom molotov ke arah mobil truk yang terparkir di depan pos polisi. Batu-batu pun beterbangan. Bahkan, mereka membakar mobil truk dan sepeda motor yang terparkir di depan pos, mengobrak-abrik semua isi pos tersebut lalu membakar brankas dan perlengkapan kantor yang ada di dalamnya dan kemudian menghancurkan pos polisi itu. Kerusuhan itu berlangsung sekitar sejam, pukul 20:00 hingga 21:00. Aksi itu berhenti setelah kota gelap gulita karena listrik sengaja dimatikan.[15]

Di malam yang gelap, massa melanjutkan aksi mereka. Mereka kemudian bergerak ke pusat-pusat pertokoan di sepanjang jalan Pancing. Mereka juga membakar ban di jalan. Sejumlah toko di sepanjang jalan itu dirusak dan dijarah isinya. Di tempat yang lain, di jalan Moh. Yamin, juga terjadi perusakan dan penjarahan. Di jalan ini, Buana Plaza, menjadi sasaran amuk massa. Mereka menghancurkan pusat perbelanjaan tersebut. Di jalan Letda Sujono, massa membakar beberpa ruko (rumah toko), sebuah mobil truk, sebuah mobil pick up, dan sebuah sepeda motor milik polisi. Di jalan M. Yakob, sebuah rumah dihancurkan dan massa menjarah barang-barang elektronik yang terdapat di rumah tersebut. Di jalan Buluh Perindu, massa membakar dua unit kendaraan roda empat. Aksara Plaza dan toko-toko di sekitarnya juga tak luput dari perusakan dan penjarahan. Aparat keamanan menembakkan senjata api ke udara untuk menghalau massa. Massa pun kemudian kocar-kacir. Mereka berlarian ke beberapa penjuru kota.[16] Sekelompok massa juga bergerak ke arah Rumah Sakit Umum Pirngadi. Di sepanjang jalan mereka melempari rumah-rumah penduduk dan perkantoran. Di antara massa terlihat ada yang membawa senjata tajam. Namun, sebelum mencapai Pirngadi, mereka dicegat aparat keamanan. Aparat bertindak tegas membubarkan kerumunan massa itu. Massa kemudian terpecah menjadi beberapa kelompok. Sebagian dari mereka bergerak ke Sukaramai. Di sini mereka melempari toko-toko dan menjungkirbalikkan mobil-mobil yang parkir di pinggir jalan. Sampai Selasa dini hari, sekitar pukul 1.00, kerusuhan masih terus berlangsung.[17]

 

Lantai dasar Buana Plaza di Jalan Aksara Medan hancur berantakan dilempari massa pada Senin, 4 Mei, malam. Sumber: Waspada, 5 Mei 1998.

 

“Perekonomian Medan Lumpuh”, demikian satu berita utama koran Medan.[18] Pusat-pusat perbelanjaan seperti Deli Plaza, Perisai Plaza, Medan Plaza, Medan Mall, Pusat Pasar, Medan Baru Plaza tutup total. Pertokoan juga melakukan hal yang sama. Hampir di setiap kawasan bisnis kota Medan seperti Jalan Gatot Subroto, Yos Sudarso, HM Yamin, Brigjen Katamso, SM Raja, Pemuda Baru, Semarang, Cirebon, Thamrin, Aksara tidak ada toko yang buka. Demikian juga dengan bank dan perkantoran. Sementara itu, di Pelabuhan Belawan, puluhan truk yang sudah memuat barang dari kapal tidak berani meneruskan perjalan ke Medan. Begitu juga sebaliknya. Aktifitas bongkar-muat barang sepi. Beberapa kapal terpaksa tidak membongkar muatannya karena truk pengangkut tidak ada.[19]

 

Sebuah mobil sedan Suzuki Baleno milik PT Hari Rezeki Kita Semua dibakar massa di Jalan Brigjen Katamso, Kampung Baru, Rabu siang, 6 Mei. Sumber: Waspada, 7 Mei 1998.

 

Tanggal 6 Mei kerusuhan semakin menyebar ke berbagai penjuru Medan. Kerusuhan, pelemparan, pembakaran, dan penjarahan ruko terjadi di Pulau Brayan, Glugur/Jalan Sutomo, Kampung Baru/Brigjen Katamso, Titi Kuning, Jalan Sampali, Jalan Krakatau, Kampung Lalang, Kampung Madras/Jalan Zainul Arifin, Mandala By Pass, Simpang Limun/Jalan Sisingamangaraja, Tanjungsari, dan Martubung. Di Simpang Limun, dua foto studio diobrak-abrik dan dijarah massa berikut empat toko di sampingnya. Dari sebuah show room Bursa Motor, massa mengeluarkan puluhan sepeda motor dari ruang pajang, lalu ditumpuk di pinggir jalan dan kemudian dibakar. Petugas keamanan baru tiba di lokasi setelah api sudah melahap tumpukan kendaraan itu. Massa kemudian berhamburan berbaur dengan warga yang menonton aksi mereka tersebut. Sebagian lari ke gang-gang kecil di kawasan tersebut. Begitu petugas meninggalkan lokasi, massa kembali datang. Mereka membongkar studio Setia Baru, mengobrak-abriknya lalu membakarnya. Api dari studio itu segera merambat ke toko di sampingnya. Dalam waktu singkat tiga toko terbakar. Warga berusaha memadamkan api sampai pemadam kebakaran tiba.[20]

 

Setelah mengambil berbagai jenis mobil, kursi kantor dan lainnya massa membakarnya di luar gedung show room Bursa Motor di Jalan Sisingamangaraja dekat Simpang Limun pada Rabu 6 Mei. Sumber: Waspada, 7 Mei 1998.

 

Sepanjang jalan dari Percut sampai ke Aksara terlihat bekas amukan massa. Bangkai mobil tergeletak di pinggir jalan. Di sepanjang jalan Medan Tembung juga bergelimpangan belasan bangkai bekas mobil terbakar. Di Tembung belasan sepeda motor milik satu show room juga habis dibakar. Demikian juga dengan pertokoan. Di Jalan Sutomo Ujung, massa melempari Bank Lippo, Bank Bali, show room sepeda motor. Ruko di sepanjang jalan tersebut tutup total. Begitu petugas keamanan tiba, massa pun bubar. Di Jalan Krakatau massa melempari ruko dan perkantoran dan membalikkan sebuah mobil ke tengah jalan. Sementara itu, di Pulau Brayan, massa menyeret puluhan sepeda motor dari salah satu show room dan kemudian membakarnya di tengah jalan. Tiga bank, yakni Bank Mestika beserta ATM-nya, BDNI, dan BRI dirusak. Massa juga merusak pertokoan dan perkantoran dan pemukiman milik warga keturunan Tionghoa yang sebagian bersembunyi di dalam rumah karena ketakutan dan tidak sempat mengungsi ke tempat lain menghindari huru-hara. Di Kampung Baru, satu mobil dibakar massa di tengah jalan.[21]

Dalam kerusuhan di berbagai tempat itu, dilaporkan lima orang tewas dan 80 orang luka-luka terkena tembak. Empat dari lima korban tersebut tewas terbakar di ruko di Jalan Sutrisno pada Selasa 5 Mei. Keempat korban itu adalah tiga orang warga keturunan Tionghoa (tidak diketahui identitasnya) dan seorang remaja bernama Bobi, 13 tahun, penduduk Jalan Brigjen Katamso. Sedangkan seorang lagi adalah pemuda bermarga Sihotang, penduduk Perumnas Mandala yang tewas dalam kerusuhan di Mandala. Sedangkan 80 orang yang luka akibat tertembak tercatat dari kerusuhan yang terjadi di Pulau Brayan, Simpang Limun, Kampung Baru, Sempali, Medan Percut, Krakatau, dan Mandala. Para korban luka itu mayoritas berasal dari mahasiswa dan pelajar. Bahkan, ada yang masih duduk di sekolah dasar dan sekolah menengah pertama.[22]

 

 

Kaca-kaca gedung Bank Lippo di Jalan Sutomo Ujung pecah akibat dilempari massa pada Rabu 6 Mei.       Sumber: Waspada, 7 Mei 1998.

 

Jejak-jejak aksi massa tidak hanya terlihat dari kehancuran gedung dan mobil. Juga tak semata-mata menyisakan korban meninggal dan luka-luka. Hilangnya rasa aman, terutama bagi kalangan orang kaya, menjadi salah satu dampak huru-hara. Kompleks perumahan Setia Budi Indah, salah satu perumahan mewah di Medan, mendapat pengawalan ketat dari petugas keamanan. Penjagaan itu dimulai pada hari Kamis, 7 Mei 1998. Sebelumnya, perumahan ini menjadi salah satu sasaran massa. Pintu gerbang masuk ke perumahan dibuka setengah saja sehingga mempersulit setiap orang yang akan masuk.[23]

Sementara itu, kondisi kota Medan berangsur normal. Pada 8 Mei sudah tampak toko-toko mulai buka. Petugas keamanan disebar di hampir setiap sudut kota. Mereka terdiri dari pasukan dari Kostrad yang dikirim dari Jakarta, Marinir, dan Kopassus. Mereka juga berjaga di depan toko-toko. Pusat kota Medan sudah tidak terdapat lagi aksi kerusuhan.[24] Di Delitua, hampir seluruh toko, kedai nasi dan penjual bahan bangunan kembali membuka usahanya. Saat aksi kerusuhan, para pedagang keturunan Tionghoa tidak berani membuka tokonya. Tidak demikian dengan warga “pribumi”, mereka tetap berjualan. Di bagian depan toko-toko tampak tulisan “Milik Pribumi”, “Usaha Muslim”, “Usaha Sihombing”.[25]

Di daerah pinggiran Medan justru masyarakat semakin khawatir. Daerah Marelan, Martubung dan Belawan penjarahan terjadi. Dari ketiga daerah itu petugas keamanan menangkap 25 tersangka pelaku penjarahan. Mereka ditahan beserta barang bukti hasil jarahannya.[26] Demikian juga di Tembung, Batangkuis, Tanjungmorawa, Lubukpakam, Perbaungan, Pangkalanbrandan, Binjai, Tebingtinggi, dan Pematang Siantar. Seakan-akan aksi kerusuhan itu menular. Daerah-daerah tersebut bergolak mulai Kamis 7 Mei. Sebagian masyarakat memilih mengungsi ke rumah famili untuk menghindari kemungkinan terburuk. Ribuan karyawan hingga 9 Mei tidak bisa bekerja karena pabrik, toko, ataupun perusahaan masih banyak yang tutup. Timbul pula kekhawatiran para karyawan itu kehilangan pekerjaan mengingat banyaknya toko dan pabrik dibakas massa.[27]

Hal yang sama terjadi di kota-kota di luar Medan. Di Pematangsiantar, Jumat pagi 8 Mei, massa menjarah secara paksa gudang penyimpanan besar di Jalan Patuan Nagari dan Jalan Cokroaminoto. Begitu juga di beberapa tempat di daerah pinggiran Siantar, massa menjarah kilang padi dan gudang beras sebuah perusahaan. Massa juga menjarah dua toko milik warga Tionghoa. Kerusuhan itu membuat kota Siantar lengang. Nyaris hanya petugas keamanan yang berjaga-jaga yang tampak berada di jalan-jalan. Kota itu tampak lumpuh. Para pengusaha enggan membuka usahanya sehingga masyarakat kesulitan memenuhi kebutuhan sembako.[28]

Di Perdagangan, seorang wanita yang sedang hamil dilaporkan meninggal. Dia berusaha mempertahankan hartanya dari amukan massa. Di Indrapura, pada 8 Mei dini hari, isi sejumlah toko di kota itu disikat habis oleh ribuan orang yang datang dari segala penjuru Indrapura. Dalam aksi massa yang diperkirakan menelan kerugian hampir Rp 1 miliar ini 8 orang yang tertangkap tangan menjarah ruko-ruko itu ditangkap dan dibawa ke Kodim 0208 Asahan di Kisaran, sementara 12 orang ditahan di Koramil Indrapura dan 6 orang lagi dimintai keterangan di Polsek Indrapura.[29]

Kepolisian Sumatera Utara memberikan data-data dampak kerusakan hingga 4 Mei 1998. Tercatat sebanyak 270 ruko/gudang dibakar, 295 dirusak dan 88 dijarah. Selain itu 18 rumah dibakar, 14 dirusak dan 30 dijarah. Sebanyak 34 kendaraan roda empat/truk 34 unit dibakar, 13 dirusak, sementara 37 sepeda motor dibakar, 4 dirusak. Korban yang terdata masing-masing mahasiswi 6 orang luka berat dan 15 orang luka ringan, warga masyarakat 6 orang luka berat dan 36 orang luka ringan, petugas 23 orang luka-luka, sementara 4 orang meninggal masing-masing tiga masyarakat umum dan seorang lagi masih dalam penyidikan. Kapolda mengatakan belum ditemukan indikasi penembakan secara langsung kepada massa.[30] Sementara itu, Poltabes Medan mencatat terhitung sejak tanggal 4 Mei hingga 7 Mei 1998 sebanyak 423 orang ditangkap, 372 orang dibina, 51 orang ditahan. Di luar Medan, Polres Deliserdang: 28 orang ditangkap, 9 orang ditahan, 19 orang dibina. Polres Simalungun: 265 orang ditangkap. Polres Langkat: 55 orang ditangkap, 3 orang ditahan, dan 52 orang dibina.[31]

 

“Eksodus” Orang Tionghoa

Sejak 4 Mei jalanan di kota Medan tak pernah sepi dari aksi unjuk rasa. Tanggal 8 Mei aksi kerusuhan sudah mulai reda. Keadaan kota yang semakin kondusif tidak membuat warga, terlebih ketururunan Tionghoa, sudah merasa aman. Arus keberangkatan melalui kapal laut dan pesawat justru meningkat. Di pelabuhan Belawan, pelayaran ke Penang, Malaysia, mengalami lonjakan penumpang. Timbul desas-desus yang mengatakan bahwa pemeriksaan di Bea dan Cukai cenderung dilonggarkan. Petugas Bea dan Cukai dikabarkan bersekongkol dengan warga yang mau ke luar negeri. Mereka disebut-sebut ber-“hubungan samping” dengan penumpang kapal sehingga hal yang ditakutkan pemerintah, yakni “pengaliran rupiah” ke luar negeri, menjadi tak terawasi. Pemerintah sendiri sudah mengeluarkan larangan membawa dan memasukkan uang ke Indonesia lebih dari lima juta rupiah.[32]

Di kantor Imigrasi Kelas I dan Kantor Imigrasi Polonia mengalami peningkatan pemohon paspor pasca-kerusuhan. Dari data Kantor Wilayah Departemen Kehakiman Sumatera Utara, untuk enam UPT (Unit Pelaksana Teknis) Imigrasi yang ada di Sumut seperti Imigrasi Kelas I Medan, Imigrasi Polonia Medan, Imigrasi Belawan, Imigrasi Pematangsiantar, Imigrasi Tanjungbalai dan Imigrasi Sibolga, bulan Januari telah dikeluarkan sebanyak 2258 paspor, Februari 2589 dan Maret 3662 paspor perorangan. Sedangkan paspor keluarga, bulan Januari 88 paspor, Februari 116 dan Maret 123 paspor, di mana separoh lebih dikeluarkan oleh Imigrasi Kelas I Medan. Kebanyakan pemohon itu adalah warga keturunan Tionghoa. Mereka memilih pergi ke luar negeri untuk alasan keamanan. Mereka akan kembali bila situasi sudah benar-benar aman. Sebagian yang lain memilih tinggal sementara di hotel-hotel di pusat kota. Hotel menjadi pilihan utama karena relatif lebih aman. Sementara orang Tionghoa yang tinggal di daerah pinggiran Medan seperti Percut, Sei Tuan, Tembung, Lubuk Pakam memilih mengungsi ke tempat famili di pusat kota Medan karena tidak memiliki cukup uang pergi ke luar negeri.[33]

Sementara itu, beberapa maskapai menambah penerbangan. Diyakini akibat kerusuhan yang melanda Medan beberapa hari itu, arus keberangkatan ke luar negeri dari Medan langsung ke Singapura atau melalui Medan-Batam-Singapura meningkat tajam. Garuda Indonesia tujuan Medan-Batam hingga tanggal 11 Mei selalu penuh. Maskapai Silk Air mengatakan banyak penumpang yang pergi ke Singapura untuk sementara karena alasan keamanan. Beberapa orang kaya Medan memiliki keluarga di Singapura. Beberapa di antara mereka bahkan memiliki rumah di sana. Silk Air melakukan penerbangan dua kali per hari tiap hari Rabu, Jumat, dan Minggu. Mereka mengaku masih banyak penumpang yang belum tertampung.[34]

***

Seiring situasi keamanan berangsur aman, bahkan sudah pulih, sejumlah warga Medan berkeliling kota melampiaskan rasa gembira. Hilir-mudik kendaraan mulai ramai memadati jalan-jalan di pusat kota. pusat-pusat perbelanjaan sudah banyak yang buka. Tempat-tempat hiburan malam di kawasan Petisah yang sebelumnya nyaris tanpa pengunjung, terlihat mulai ramai. Daerah pinggiran kota Medan tidak terjadi lagi kerusuhan massa. Kondisi aman dan terkendali ini tidak terlepas pula dari kegiatan Siskamling Swakarsa yang diterapkan warga di sejumlah tempat di Medan.[35]

Namun, pada 14 Mei, ketenangan kota yang sudah mulai normal kembali terusik. Beredar rumor tentang adanya kerusuhan kembali. Warga kota kembali panik. Di beberapa tempat juga menerima ancaman bom. Medan Plaza di Jalan Iskandar Muda, menerima ancaman bom dari penelepon gelap sekitar pukul 11.00. Demikian juga dengan Medan Mall. Mereka ditelepon penelepon gelap pukul 13.00. Dikatakan akan ada ledakan bom di pusat perbelanjaan terramai di Medan itu. Hotel Semarak di Jalan Sisingamangaraja juga mengalami hal yang sama. Pukul 15.15 hotel itu menerima ancaman bom dari penelepon gelap. Di hotel ini, kata penelepon gelap, terpasang 10 bom waktu yang siap meledak. Tim penjinak bom dari kepolisian Sumatera Utara segera dikerahkan ke lokasi-lokasi tersebut. Setelah melakukan pemeriksaan, tim penjinak tidak menemukan satu pun bom. Sementara itu, Thamrin Plaza di Jalan Thamrin diisukan akan dibakar massa.[36]

Isu kerusuhan tidak saja membuat panik masyarakat melainkan merepotkan pihak keamanan karena terpaksa mengerahkan personilnya ke seluruh tempat berkembangnya isu tersebut. Memilih tidak mengambil resiko, para pemilik usaha di jalan-jalan utama Medan memilih menutup tempat usahanya. Plaza Medan Baru di Jalan Iskandar Muda dan deretan toko di sekitarnya memilih untuk tidak buka. Keputusan itu, tanpa mempertimbangkan benar atau tidaknya isu yang beredar, diperkuat oleh aparat keamanan yang segera berjaga di depan toko mereka. Hal yang sama terjadi di Jalan Surabaya, Jalan Bogor, Jalan Cirebon, Jalan Sutomo, Jalan Yos Sudarso, Jalan Gatot Subroto, Jalan Majapahit, Jalan KH Zainul Arifin, Jalan Ahmad Yani, Jalan Pemuda, Jalan Mesjid, Jalan Brigjen Katamso, Jalan Sisingamangaraja serta sejumlah kawasann yang berada di pusat kota. Kota Medan tampak seperti kota mati.[37]

Di sisi kota yang lain, pada 15 Mei para nasabah harus antri mengambil uang melalui ATM. Bank-bank swasta di Medan menghentikan aktivitasnya. Bank-bank tersebut menempelkan pengumuman di dinding yang menyatakan kerusakan di pusat bank mengharuskan mereka berhenti beraktivitas. Salah satu bank, BCA, hanya menyediakan pintu kecil bagi nasabah dan karyawan.[38] Di Medan, BCA mengoperasikan satu kantor cabang utama dan empat kantor capem masing-masing di Jalan Bukit Barisan, Jalan Asia, Jalan Komodor Laut Yos Sudarso dan Jalan Sultan Iskandar Muda. Selain itu, BCA juga mengoperasikan sebanyak 21 unit anjungan tunai mandiri (ATM) yang tersebar di berbagai kantor cabang pembantu, pusat perbelanjaan, rumah sakit, dan perguruan tinggi di kota Medan.[39]

***

Mahasiswa kembali berdemonstrasi. Mereka menuntut reformasi dilaksanakan secepatnya. Mahasiswa Unika St Thomas melakukan aksi mogok makan. Mereka tidak akan berhenti sebelum tuntutan reformasi yang diperjuangkan tercapai. Selain itu, sebelas mahasiswa kampus tersebut menuntut penggantian Kabinet Pembangunan VII dan segera mengadakan Sidang Istimewa MPR. Aksi mogok makan ini akan dibuat estafet: bila regu pertama semakin lemah kondisinya maka akan digantikan regu berikutnya. Sementara 50 mahasiswa Universitas Darma Agung dan Institut Sains Teknologi Pardede melangsungkan aksi keprihatinan serta ungkapan belasungkawa terhadap peristiwa berdarah Trisakti, dengan mengadakan mimbar bebas di depan rumah walikota Medan di Jalan Walikota setelah niat mereka menuju Taman Makam Pahlawan terhenti. Di kampus Nommensen Jalan Perintis Kemerdekaan Medan, aksi mimbar bebas juga berlangsung. Mereka menuntut reformasi segera dilaksanakan dan mengutuk aksi penembakan hingga menyebabkan tewasnya enam mahasiswa Trisakti dalam peristiwa 12 Mei 1998 di Jakarta. Aksi serupa berlangsung di Universitas Islam Sumatera Utara (UISU) Jalan Sisingamangaraja. Mereka menaikkan bendera hitam di sisi bendera merah putih sebagai tanda duka cita atas peristiwa Trisakti. Rektor dan pejabat Yayasan UISU meminta mahasiswa terus menyuarakan reformasi.[40]

Pada 16 Mei, mahasiswa Universitas Sumatera Utara (USU) melakukan aksi damai di DRPD Sumatera Utara. Aksi itu juga diikuti oleh beberapa dosen USU. Mereka long march dari kampus USU hingga ke kantor DPRD. Di sepanjang jalan mereka ‘memaksa’ kantor-kantor instansi dan bank segera mengibarkan bendera merah putih setengah tiang di depan kantor masing-masing. Menurut mereka, hal itu sebagai tanda bahwa rakyat Indonesia memang betul merasa berduka cita atas meninggalnya mahasiswa Universitas Trisakti dalam memperjuangkan reformasi di Jakarta. Aksi ini awalnya berjalan tertib. Mereka meminta MPR secara tegas menentukan sikap mengenai mundur tidaknya Soeharto. Selain itu mereka mendesak Sidang Istimewa segera dilaksanakan. Mereka juga meminta penghapusan lima paket UU Politik dan mencabut UU Subversif serta mengusut tuntas kejadian di Universitas Trisakti Jakarta dan kasus pelecehan seksual mahasiswa IKIP Medan, agar pelakunya di-Mahmil-kan. Ketua DPRD Sumut HM Iskak, didampingi Prof Dr. Mustafa Siregar, Dr H T Syaifuddin, Drs. H. Fadlan Tahir, M. Natsir, HM Hafiz memberikan penjelasan secara bergilir. Bahkan HM Iskak juga memberikan semacam pengakuan, bila reformasi tidak berjalan maka 54 anggota DPRD Sumut akan mundur.[41]

Mahasiswa yang sedang mendengar orasi para anggota dewan tiba-tiba dikejutkan dengan pengejaran mahasiswa terhadap seseorang yang sedang memfoto para demonstran. Mahasiswa keberatan dengan aksinya itu. Mahasiswa menduga dia aparat keamanan berpakaian preman. Dia langsung diserbu oleh mahasiswa yang lain hingga petugas berseragam PM mengamankan oknum tersebut. Tentara dari Kodam Bukit Barisan segera melakukan pengamanan saat aksi sudah menjadi rusuh. Mahasiswa melempari petugas keamanan. Serda BI Panjaitan dari Keuangan Dam I/Bukit Barisan terjatuh terkena lemparan batu.[42] Kepalanya berlumuran darah. Melihat ini, petugas Dakhura yang berjaga-jaga kontan naik darah dan menembakkan senjata sehingga ribuan mahasiswa yang berada di halaman gedung panik, lalu lari masuk ke dalam gedung hingga kaca depan hancur. Teriakan panik dan marah mulai muncul dari arah mahasiswa ketika tiga rekan mereka tumbang terkena peluru karet di bagian perut, bahu dan lengan kiri. Sedangkan dua mahasiswi pingsan karena takut.[43]

Pangdam I/Bukit Barisan Mayjen TNI Ismend Yuzairi segera mengeluarkan pernyataan. Pasukannya di lapangan tidak pernah diperintahkan menembak para demonstran. Menurutnya penembakan itu terjadi karena spontanitas petugas melihat rekannya terluka terkena lemparan batu. Pangdam menyesalkan aksi tersebut karena telah menimbulkan korban di dua belah pihak. Dijelaskannya, dua bintara Kodam mengalami gegar otak dan dirawat di Rumah Sakit Kodam. Meski demikian, Pangdam meminta maaf atas kejadian berdarah itu dan berjanji akan mengusut tuntas kasus tersebut. Oknum yang bersalah pasti akan diperiksa dan dijatuhi hukuman.[44] Sementara itu, korban dari mahasiswa dirawat di rumah sakit Elisabeth. Para mahasiswa dan dosen terus berdatangan menjenguk, tak terkecuali dari aparat keamanan.[45]

Di waktu yang bersamaan dengan aksi mahasiswa tersebut, ribuan warga Medan keturunan Tionghoa memadati Bandara Polonia. Mereka memilih meninggalkan Medan yang kembali bergolak. Pada umumnya mereka terbang ke Kuala Lumpur, Penang, dan Singapura menggunakan pesawat Silk Air, Malaysia Air, dan Garuda Indonesia. Garuda Indonesia harus membuka jalur penerbangan ekstra tujuan Penang dan Malaysia karena Silk Air dan Malaysia Air kewalahan melakukan pengangkutan.[46] Menjelang peringatan Hari Kebangkitan Nasional 20 Mei, beredar isu akan ada lagi gerakan massa. Selain melalui bandara, arus keberangkatan ke luar negeri kembali melonjak di pelabuhan Belawan.[47] Mereka yang memilih jalur laut adalah mereka yang tidak bisa lagi mendapat tiket pesawat terbang atau mereka yang tidak mampu membeli tiket pesawat.[48]

Dari Jakarta dilaporkan, pemerintah Indonesia telah menyetujui 105 penerbangan pesawat carter untuk mengevakuasi ribuan warga asing yang ingin keluar dari Indonesia akibat kerusuhan di Jakarta. Ada beberapa bandara yang disetujui sebagai embarkasi evakuasi warga negara asing, yakni Bandara Soekarno-Hatta, Halim Perdanakusumah, Husein Sastranegara dan Juanda Surabaya. Ada juga permintaan penerbangan carter Jakarta-Bali namun ditolak karena melanggar azas sabotase. Singapura dan Hongkong menjadi tempat terbanyak tujuan evakuasi. Kemungkinan besar mereka akan kembali lagi ke Indonesia saat situasi sudah betul-betul aman.[49]

Isu akan ada aksi besar-besaran tersebut membuat masyarakat Medan membanjiri pasar-pasar tradisional membeli sembako. Mereka membeli sembako dalam jumlah besar. Harga beras, minyak tanah dan minyak goring dilaporkan tidak mengalami peningkatan. Berbeda dengan harga sayur-mayur yang melambung tinggi.[50] Sejumlah bank-bank swasta di Medan diserbu nasabah yang akan menarik dana dalam jumlah besar sehingga terjadi rush. Dua bank di Medan yang paling ramai diserbu nasabahnya yakni BCA dan BII di Jalan Zainul Arifin. Nasabah berebutan antri di depan counter-counter untuk segera mencairkan dananya, begitu juga di ATM-ATM. Nasabah dan karyawan bank tampak panik, apalagi pada dinding-dinding di bank itu ditempelkan tulisan yang memohon agar para nasabah maklum karena pelayanan kliring hanya berlaku hingga pukul dua siang. Tidak sedikit pula nasabah yang menggerutu karena di cabang-cabang pembantu bank BCA diterapkan penarikan tunai dibatasi hanya sampai Rp 5.000.000. Kondisi itu membuat mereka terpaksa menarik uang dari ATM. Hal yang sama juga terjadi di BII dan beberapa bank swasta lainnya.[51]

Sementara itu, di kampus UNIKA St Thomas hingga Sabtu, 16 Mei, masih terus melanjutkan aksi mogok makan. Kali ini yang melakukan aksi mogok bertambah dua orang, yakni Hotland dari Fakultas Pertanian dan Johanes Cavlin T dari Fakultas Hukum. Dengan demikian, jumlah mahasiswa yang melakukan aksi mogok makan menjadi 15 orang, terhitung sejak Kamis, 14 Mei.[52]

 

Di Bawah Naungan Ketua

Ketika semua kota dalam keadaan membara, ada satu wilayah di kota Medan yang tidak tersentuh sama sekali oleh kerusuhan. Wilayah ini dihuni oleh banyak orang Tionghoa, meski tidak bisa disebut sebagai daerah pecinan. Nama tempat itu adalah Sekip. Wilayah ini berada di Kecamatan Medan Petisah, Medan Barat.[53] Selama huru-hara bulan Mei 1998, sejauh penelurusan berita-berita di surat kabar daerah, tidak ditemukan berita tentang adanya kerusuhan di daerah ini. Di tempat ini berdiri kantor pusat Ikatan Pemuda Karya, organisasi yang dikenal orang Medan sebagai organisasi preman. Ketuanya adalah Olo Panggabean. Olo biasa dipanggil Ketua. Peran Olo Panggabean dengan IPK-nya yang sangat penting menjadikan daerah itu sama sekali tidak tersentuh kerusuhan.[54]

 

Olo Panggabean di ulang tahunnya ke-65. Kredit foto: Vice

 

Olo Panggabean[55] lahir di Tarurung, Kabupaten Tapanuli Utara, Sumatera Utara 24 Mei 1941. Nama lengkapnya adalah Sahara Oloan Panggabean. Olo Panggabean diperhitungkan setelah keluar dari organisasi Pemuda Pancasila, saat itu di bawah naungan Effendi Nasution alias Pendi Keling, salah seorang tokoh Eksponen ’66’. Tanggal 28 Agustus 1969, Olo Panggabean bersama sahabat dekatnya, Syamsul Samah mendirikan IPK.

Wilayah kekuasannya terpusat di kawasan bisnis di Petisah. Dia juga sering dipergunakan oleh pihak tertentu sebagai debt collector. Sementara organisasi yang didirikannya terus berkembang, sebagai bagian dari lanjutan Sentral Organisasi Buruh Pancasila (SOB Pancasila), di bawah naungan Koordinasi Ikatan Pancasila (KODI), dan pendukung Penegak Amanat Rakyat Indonesia (Gakari).

Selain dikenal dengan sebutan “Ketua”, Olo juga dikenal sebagai “Kepala Preman”. Di setiap kendaraan Olo, plat mobilnya selalu diakhiri dengan “KP”, untuk “Kepala Preman”. Olo dikenal sebagai raja judi karena menguasai perjudian di Sumatera Utara. Dia sosok misterius. Tidak gampang menemukan keberadaannya. Ke manapun dia pergi selalu diikuti oleh berlapis-lapis pengawal. Beberapa kali dia berhadapan dengan kepolisian karena perkara judi namun selalu lolos. Namun, setelah Jenderal Sutanto menjabat sebagai Kapolri tahun 2005, bisnis Olo diberantas sampai ke akar-akarnya. Kerajaan bisnis judinya pun hancur. Olo kemudian mendirikan beberapa stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU) dan juga perusahaan otobus. Olo Panggabean meninggal pada 30 April 2005.

IPK adalah organisasi preman yang cukup terkenal di Medan. Tidak diketahui pasti kapan organisasi ini berdiri. Namun, setelah keluarnya Undang-undang Nomor 8 tahun 1985 tentang organisasi kemasyarakatan, IPK memilih Golkar sebagai “tempat menyalurkan aspirasi politiknya”. IPK kemudian menyebut organisasi ini sebagai bagian dari Keluarga Besar Golkar. Dukungan mereka terhadap Golkar ditunjukkan melalui bantuan-bantuan pengamanan setiap pemilu berlangsung.[56]

Seperti pada setiap organisasi pada lazimnya, IPK membuat struktur organisasi yang boleh dikatakan “gemuk”. Di tingkat pimpinan pusat—selain ketua, wakil ketua, sekretaris, wakil sekretaris, bendahara dan wakil bendahara—mereka memiliki dewan pimpinan dan dewan penasihat. Dewan pembina dijabat oleh Muspida Tingkat I Sumatera Utara, DPD Golkar Tingkat I Sumatera Utara, DPD Gakari Tingkat I Sumatera Utara. Sementara dewan penasehat dijabat oleh Kolonel P. Tampak Sebayang, Kolonel Pol. Otto Simanjuntak, dan Sabar Nainggolan. Sementara itu mereka memiliki tujuh biro, seperti roganisasi kaderisasi dan keanggotaan, pendidikan dan latihan, kesiswaan dan kemahasiswaan, olahraga dan kebudayaan, pengabdian masyarakat dan kerohanian, peranan wanita, dan penerangan dan hubungan masyarakat.[57]

Masyarakat Medan mengenal IPK sebagai organisasi yang gemar berderma. Mereka menyumbang untuk korban bencana alam, mengadakan pengobatan gratis bagi keluarga kurang mampu, mengadakan sunatan massal, membagikan sembako dan sarung ke panti-panti asuhan pada hari raya Idul Fitri, membantu biaya operasi di rumah sakit, dan memberikan beasiswa ke keluarga kurang mampu.[58] Sementara di internal IPK, organisasi ini berupaya dan berjuang mengaryakan anggotanya sebagai penjaga parkir, karyawan bengkel atau doorsmer, penjaga malam di komplek-komplek perumahan, satpam, pramuniaga di toko-toko dan restoran, cleaning service di plaza-plaza, pedagang asongan, atau dikaryakan sebagai karyawan tetap pada tempat-tempat hiburan seperti Medan Fair dan Taman Ria.[59]

***

Dapot tidak mengingat tanggal persis ketika massa mencoba memasuki kawasan Sekip melalui Bundaran Majestik di Jalan Gatot Subroto. Ketika massa semakin mendekat, sekitar tiga ribu anggota IPK berpakaian loreng hitam-biru menyambut kedatangan mereka. Mereka berbaris sepanjang bundaran. Masing-masing mereka membawa perlengkapan “perang” seperti linggis, kelewang, kayu balok, tombak, panah, dan sejenisya. Dapot bercerita, kawasan pertokoan persis di seberang Bundaran Majestik sudah hancur dirusak massa. Namun, di seberang bundaran menuju Sekip sama sekali tidak tersentuh. Melihat ribuan anggota IPK menghadang, massa pun memutuskan mundur. Sementara semua rumah dan toko di kawasan Sekip sudah tutup. Olo Panggabean sudah mengetahui sedari awal bahwa daerah Sekip akan menjadi sasaran massa. Pada pagi harinya, perintah tegas diberikan Ketua: “Pagar semua itu, jangan kasih masuk. Yang lewat matikan.” Selain memagar Bundaran Majestik, anggota IPK juga disebar di jalan-jalan menuju Sekip, juga seluruh daerah Petisah. Di Simpang Barat mereka melarang segala jenis kendaraan dari arah Binjai menuju Medan. Mereka juga menjaga Medan Plaza. Dapot mengatakan mereka berjaga selama sepuluh hari.

Ketika ditanya apakah anggota IPK mencukupi menjaga wilayah sedemikian luas, Dapot mengatakan setiap anggota IPK dari cabang-cabang IPK di seluruh kelurahan yang ada di Medan mengirim anggotanya. Selain itu setiap anggota diperbolehkan membawa hingga satu atau dua orang. Orang-orang yang diajak memanfaatkan situasi itu untuk mendapatkan uang. Di malam harinya, setelah “perang” selesai, pengakuan Dapot, setiap orang mendapatkan 300 ribu rupiah. Tidak hanya itu saja, selama mereka berjaga mereka disediadakan makan siang dan rokok. Massa IPK sebanyak itu disediakan makan siang oleh satu rumah makan besar yang ada di kawasan Sekip, Rumah Makan Garuda. Setiap hari selama jaga, kata Dapot, rumah makan tersebut menyediakan makan siang mereka. Sementara untuk rokok, mobil besar Gudang Garam dan Sampoerna datang ke Sekip. Mereka dijatah satu bungkus rokok per hari. Pengambilan makanan dan rokok dibagi ke setiap kepala cabang kelurahan. Setelah mendapatkan makanan dan rokok mereka harus menandatangani biar tidak ada yang mengambil dua kali. “Enaklah saat itu. Kalikan saja, 300 ribu kali sepuluh hari,” kata Dapot. “Sehingga saat itu banyak yang mengatakan kepanjangan IPK itu “ikut pasti kaya”.”

Pertanyaan besar yang timbul kemudian adalah dari mana IPK mendapatkan dana untuk jasa pengamanan tersebut? Atau hubungan seperti apa yang terjalin antara orang Tionghoa di Sekip dengan IPK?

IPK, kata Dapot, hidup dari memeras orang Tionghoa. Sementara orang Tionghoa di Sekip tahu betul bahwa mereka harus memberikan “setoran” kepada siapa saja yang bisa memberi mereka keamanan. Praktik-praktik pemerasan yang dilakukan IPK lebih kelihatan ketimbang yang dilakukan pemerintah, dalam hal ini kelurahan. Kepala Lingkungan, misalnya, memperlakukan mereka berbeda dengan warga non-Tionghoa dalam hal mengurus urusan administrasi kependudukan. Orang Tionghoa selalu membayar lebih mahal dari warga non-Tionghoa.

Setiap anggota IPK ditugaskan mengutip uang keamanan dari tiap rumah atau pertokoan orang Tionghoa. Dapot dan empat orang temannya (di Sekip mereka dikenal sebagai Lima Pandawa) sudah membagi-bagi rumah mana saja yang harus mereka kutip uang keamanannya. Mereka berlima harus mengutip 30 rumah tiap orang setiap bulan. Artinya ada 150 rumah yang mereka kutip dalam sebulan. Mereka kemudian mendatangi rumah-rumah yang sudah dibagi tersebut setiap hari satu rumah. Sebelum memanggil pemilik rumah, tendangan keras sudah menghantam pagar rumah. “Uang keamanan,” demikian mereka biasa berteriak. Lalu pemilik rumah akan menyahut untuk kemudian memberikan setoran keamanan. Dapot menyebut setiap rumah wajib memberiakn 100 ribu per rumah per bulan. Pemilik rumah kemudian diberikan kuitansi pembayaran lengkap dengan stempel IPK. Demikian setiap hari rumah digilir dikutip hingga di akhir bulan Dapot sudah berada di rumah ke-30. Dapot mengatakan tidak ada orang Tionghoa yang tidak memberikan uang keamanan. Demikian juga, setiap rumah hanya bisa dikutip sekali dalam sebulan. Bila ternyata dikutip lebih dari sekali, “Bisa bahaya kalau Ketua tahu.”

Menjelang hari raya seperti Natal atau Idul Fitri, IPK akan membagi-bagikan amplop ke setiap rumah. Perayaan Natal, misalnya, pada tanggal 23 Desember mereka akan membagikan amplop berisi kuitansi kosong ke setiap rumah. Keesokan harinya mereka akan kembali mengutip amplop tersebut. Tidak dipatok jumlahnya, namun Dapot mengatakan sebelum orang Tionghoa memasukkan uang ke dalam amplop tersebut mereka akan menelepon teman-temannya menanyakan jumlah yang mereka berikan sehingga setiap amplop dari setiap rumah akan sama jumlahnya. Dapot menceritakan pengalamannya. Saat itu dia harus pulang kampung ke Samosir. Dia ingin membawa anaknya yang masih kecil menemui kakek-neneknya. Dapot kemudian meminta uang keamanan untuk dua bulan ke beberapa rumah karena duitnya tidak mencukupi untuk pulang kampung.

Selain itu, mereka mengutip uang keamanan bagi siapa saja yang membangun rumah. Setiap kali ada pasir bangunan teronggok di depan rumah, mereka segera mendatangi tempat tersebut. Orang Tionghoa yang membangun ruko dikutip satu juta rupiah. Terkadang ada perlawanan dari tukang, dan itu artinya mereka sedang dalam bencana. “Babi, sini kau sini kau, turun, turun kau. Belum siap urusannya ini, baluhap. Pande-pandean kau kerja. Nggak tau kau ini siapa? Ini kau tanya dulu bos kau, uda siap gak sama abang-abang?” Tukang itu kemudian menelepon si pemilik bangungan. Setelah datang ke lokasi, pemilik rumah dibentak. “Jadi maccem mana? Kau pun asal-asal aja, macam negara abang aja negara ini kami tengok. Kalau gak kami datangi gak mau orang abang nelepon. Apa bisa gini-gini aja rupanya ini? Jadi mau berapa, berapalah abang kasih ini?” Sebelum uang sejuta diberikan, bangunan tersebut tak bisa dilanjutkan dibangun.

Orang Tionghoa di Sekip, sebagaimana di tempat lain di Medan, membentengi rumah mereka dengan pagar berlapis. Di Medan dikenal dengan gerbang harimau. Menurut I. Wibowo, sebagaimana dikutip Chang-Yau Hoon (2012), membangun pagar tinggi di sekeliling rumah dan pemasangan gerbang pengaman menggambarkan hal ini sebagai bentuk “internal exit”, dalam arti orang Tionghoa tidak meninggalkan tempat kediaman, namun mereka “keluar” dari masyarakat. Perilaku membentengi diri ini, menurut Chang-Yau Hoon, adalah bentuk tindakan bela-diri yang didorong oleh rasa takut, mengingat sebelumnya mereka sering dijarah.[60] Di tempat lain, Tsai Yen-ling menyebut komunitas yang tinggal dalam benteng tersebut sebagai gated-community, komunitas tergerbangkan. Yen-ling mengatakan orang Tionghoa merasa aman dari perubahan-perubahan tak terduga.[61]

Tidak diketahui pasti kapan praktik pemungutan uang keamanan terhadap orang Tionghoa oleh IPK dimulai. Namun, menarik membandingkan praktik yang sama dengan yang dilakukan oleh Pemuda Pancasila di kota yang sama, Medan. Tsai Yen-ling, dengan mengutip Loren Ryter (2002), menggambarkan permulaan praktik “jasa” keamanan terjadi:

One night, while his neighbors were fast asleep, Pendi went outside and gathered stones the size of kendondong fruit … which he threw against the [corrugated iron] roofs of the homes of his mainly ethnic Chinese neighbors. Pendi ran inside his house via the back door. The Chinese … immediately woke up and opened their doors. Pendi then pretended to be awoken and to be angry that his sleep had been disturbed. The Chinese didn’t know who had thrown the stones. Maybe some of them suspected Pendy, but they didn’t have the guts to accuse him. [He repeated this “drama” for several nights.] Finally, these Chinese agreed to ask Pendi to guard against these disturbances and promised him a monthly compensation that was not too shabby. Since then, Pendi received routine monthly “security money”[62]

Bagi orang Tionghoa, Pemuda Pancasila dipandang sebagai kumpulan kriminal “busuk”, oportunistik, dan kasar. Sementara Olo Panggabean dan IPK dipandang berbeda karena mereka meminta uang keamanan dari mereka namun tidak untuk menciptakan rasa tidak aman.[63] Itulah yang terjadi pada peristiwa huru-hara Mei 1998. Dalam gerbang harimau mereka diperlakukan sebagai objek pemerasan. Namun, ternyata, hal ini tidaklah sesederhana itu. Orang Tionghoa, seperti ditulis Tsai Yen-ling, tahu bahwa sumber ketakutan adalah juga sumber keamanan. Mereka menjadikan IPK sebagai alat untuk mengenyahkan organisasi lain, Pemuda Pancasila, yang mereka anggap sebagai organisasi yang hanya “mengambil” saja namun tidak memberikan “imbalan” sebagai gantinya. IPK pun kemudian menjaga “basis keuangan” mereka dengan sangat baik ketika sedang berada dalam situasi krisis. Dengan demikian, terjadi hubungan saling menguntungkan antara orang Tionghoa dengan IPK.

 

Suharto Lengser

Sementara itu, Soeharto masih enggan untuk mengundurkan diri. Hal ini tampak saat Soeharto menerima Sembilan tokoh di Istana Negara. Sembilan tokoh ini disebut juga “Walisongo”. Mereka adalah Nurchlish Madjid, Abdurahman Wahid, Emha Ainun Nadjib, K.H. Ali Yafie, Malik Fadjar (dan lainnya). Soeharto sendiri menyebut pertemuan ini sebagai konsultasi. Soeharto diyakinkan bahwa tuntutan mahasiswa tidak lain tidak bukan menghendaki kemunduran dirinya. Dikatakan Soeharto menunjukkan kebelumrelaannya memenuhi tuntutan itu. Soeharto berusaha memberikan berbagai alternatif sehingga terkesan berbelit-belit dan hanya mengulur waktu. Soeharto meyakinkan kesembilan tokoh tersebut bahwa dia sendiri akan memimpin reformasi dengan cara me-reshuffle kabinet, membentuk komite reformasi, melaksanakan pemilu secepatnya, dan dia tidak bersedia dicalonkan lagi menjadi presiden.[64]

Tim ISAI menulis, “Malam harinya (19 Mei), Soeharto memanggil Mensesneg Saadillah Mursyid dan Yusril Ihza Mahendra, staf khusus sekretaris kabinet. Mereka ditugaskan menyusun daftar calon anggota komite reformasi. Rencananya, komite ini akan diumumkan bersamaan dengan kabinet baru hasil reshuffle pada Kamis, 21 Mei 1998. Dalam komite yang rencananya beranggotakan 45 orang ini, Soeharto mengusulkan 20 nama. Sisanya diusulkan oleh Saadillah dan Yusril. Berbagai nama, seperti Amien Rais, Gus Dur, bahkan Arbi Sanit, atau para tokoh kritis yang dulu tak terbayangkan bisa didengarkan suaranya saja oleh pemerintahan, kini berusaha dirangkul Soeharto. Malam itu, Soeharto seakan mendapat jalan keluar dalam mengatasi krisis kepercayaan. Dan malam itu, ia masih bisa tidur dengan tenang.”[65]

Koalisi dalam Golkar yang digalang untuk mendesak Soeharto mundur melancarkan pukulan telak terakhir. Bila pada tanggal 19 Mei Soeharto masih yakin mampu mengendalikan krisis, sehari kemudian dia harus menggugurkan keyakinannya itu. Lima koalisi di dalam tubuh Golkar—Habibie-Akbar-Ginanjar-Hendropriyono-Harmoko—melancarkan pukulan terakhir yang membuat Soeharto “KO”. Kelima kubu ini bersatu melalui keputusan 14 orang yang menolak diangkat Soeharto menjadi menteri. Mereka menandatangai kesepakatan bersama. Mereka adalah Akbar Tanjung, A.M. Hendropriyono, Ginanjar Kartasasmita, Giri Suseno, Haryanto Dhanutirto, Justika Baharsyah, Kuntoro Mangkusubroto, Rachmadi, Rahardi Ramelan, Subiakto Tjakrawerdaya, Sanyoto Sastrowardoyo, Sumahadi, Theo Sambuaga, dan Tanri Abeng.[66]

Soeharto merasa dikhianati dengan surat pengunduran 14 menteri itu. Keadaan semakin meruncing ketika Mensesneg Saadillah melaporkan bahwa komite reformasi yang ditugaskan ke mereka untuk dibentuk belum bisa terbentuk. Dari 45 nama yang ada pada mereka, hanya tiga orang yang menyatakan kesediaannya. Soeharto betul-betul terpukul. Soeharto mungkin tidak akan begitu tersakiti bila orang-orang yang diminta duduk di komite reformasi yang akan dibentuk menolak direkrut. Namun, ada beberapa nama dari 14 orang itu yang dianggap pernah diselamatkan Soeharto. Bahkan beberapa dari mereka memberikan masukan kepada Soeharto tentang reshuffle kabinet. Emha Ainun Nadjib menyebut tindakan keempatbelas orang itu sebagai “kudeta yang diperhalus”.[67]

Golkar tidak ingin hancur ditelan amuk massa. Masa-masa indah bersama Soeharto sepertinya harus segera diakhiri. Kalau selama ini tak ada satu orang pun yang berani meminta Soeharto untuk tidak mencalonkan diri kembali sebagai presiden, maka Golkar, melangkah melampaui itu. Golkar bukan memutuskan agar Soeharto mundur, tapi menyerukan sidang istimewa MPR untuk mendepaknya dari kekuasaan. Harmoko kemudian memberi ultimatum kepada Soeharto: mundur pada hari Jumat (22 Mei) atau menghadapi sidang istimewa pada hari Senin (25 Mei). Tak cukup sampai di sana, tanggal 20 Mei orang-orang dekat Soeharto pun kemudian mundur berjamaah dari kabinetnya. Angkatan bersenjata yang dikerahkan ke Senayan sebanyak 15.000 personel tak sanggup menghentikan pendudukan gedung parlemen oleh 30.000 massa rakyat. Dengan demikian pilar penopang terakhirnya sudah runtuh. Soeharto mengumumkan mundur sebagai presiden pada 21 Mei dan digantikan oleh wakilnya. B.J. Habibie.[68]

Beberapa kelompok mahasiswa di Medan menggelar beberapa aksi menyatakan dukungan kepada presiden baru.[69] Hal yang berbeda disampaikan mahasiswa Universitas Sumatera Utara. Dalam aksi ke kantor DPRD Sumatera Utara pada 25 Mei, mereka mengatakan pemerintahan Habibie hanyalah pemerintahan transisi, bukan permanen. Mereka menuntut Habibie mencabut undang-undang subversif dan melaksanakan pemilihan umum secepatnya. Selain itu mereka mendesak pemerintah mengusut harta kekayaan Suharto.[70] Sementara beberapa organisasi lembaga swadaya masyarakat di Medan mengatakan pengunduruan diri Suharto tidak konstitusional karena tidak disertai pertanggungjawaban kepada MPR. Sehingga menurut mereka pengangkatan Habibie sebagai presiden tidak memiliki landasan juridis, politik, dan moral.[71]

Sementara itu warga Tionghoa dan juga warga lain yang memilih pergi ke luar negeri sewaktu kerusuhan, sudah berangsur kembali ke Medan. Dilaporkan di Pelabuhan Belawan, pada tanggal 23 Mei beberapa kapal dari Penang atau Batam mengangkut penumpang 488 orang. Demikian juga keesokan harinya, sebanyak 925 penumpang tiba di Belawan dari Penang dan Batam.[72]

Hari-hari sesudahnya kemudian adalah masa-masa yang dikenal dengan sebutan Era Reformasi.***

 

Penulis adalah Alumni Pascasarjana Ilmu Sejarah, UGM

 

————

[1] Sebelumnya, satu bom molotov meledak saat aksi mahasiswa sedang berjalan. Aparat keamanan juga menciduk 14 orang.

[2]Waspada, 1 Mei 1998.

[3]Waspada, 1 Mei 1998.

[4]Waspada, 1 Mei 1998.

[5]Waspada, 1 Mei 1998.

[6]Waspada, 2 Mei 1998.

[7]Waspada, 2 Mei 1998.

[8]Waspada, 4 Mei 1998.

[9]Waspada, 2 Mei 1998.

[10]Waspada, 3 Mei 1998.

[11]Waspada, 5 Mei 1998.

[12]Waspada, 5 Mei 1998; Hawe Setiawan, Negeri Dalam Kobaran Api, hal. 14-16.

[13] Kapoltabes Medan Kol. Pol Nono Supriyono mengatakan sekitar pukul 19.00 petugas keamanan meninggalkan IKIP Medan karena menilai situasi sudah aman. Belasan mahasiswa berhasil diamankan. Waspada, 5 Mei 1998.

[14] Hawe Setiawan, Negeri Dalam Kobaran Api, hal. 16. IKIP Medan dalam laporannya ke Dinas Pendidikan dan Kebudayaan menuliskan berikut ini: “Kejadian pelecehan seksual itu terjadi saat mahasiswa mau pulang pukul 18.30 WIB setelah terjadi kesepakatan dengan aparat keamanan. Mahasiswa kemudian diangkut dengan menggunakan bis IKIP Medan. Ternyata begitu mahasiswi (jumlahnya sekitar 600 orang) keluar dari pintu gerbang IKIP Medan, oknum petugas keamanan memperlakukannya dengan tidak wajar dan sangat tidak manusiawi dengan meremas pantat dan buah dada, menunjang, memukul, menelanjangi dan memaki dengan kata-kata kotor. Perlakuan ini terjadi di sepanjang jalan dari pintu gerbang sebelah timur sampai persimpangan jalan umum yang jaraknya lebih 500 meter. Sementara bagi mahasiswa yang diangkut dengan menggunakan bis dihentikan petugas di depan pintu gerbang sebelah timur. Oknum petugas langsung masuk ke dalam bis dan memukuli mahasiswa yang ada di dalam bis dengan membabi-buta dan emosional.” Mimbar Umum, 16 Mei 1998.

[15] Hawe Setiawan, Negeri Dalam Kobaran Api, hal. 17.

[16] Hawe Setiawan, Negeri Dalam Kobaran Api, hal. 17-18; Waspada, 5 Mei 1998.

[17]Waspada, 5 Mei 1998; Hawe Setiawan, Negeri Dalam Kobaran Api, hal. 17-18.

[18]Waspada, 7 Mei 1998.

[19]Waspada, 7 Mei 1998.

[20]Waspada, 7 Mei 1998.

[21]Waspada, 7 Mei 1998.

[22]Waspada, 7 Mei 1998. Harian Waspada merinci sebagian korban luka tembak. Fery Padli, 12 tahun, pelajar SD di Mandala, penduduk Jalan Tangguk Bongkar, tertembak peluru petugas di paha kanan. Nazamuddin, 15 tahun, pelajar SMP Al-Wasliyah Medan, tertembak peluru di perut kanan. Jakson, 18 tahun, pelajar STM di SImpang Limun, tertembak di pinggang kanan. Andi, 17 tahun, penduduk Jalan Cucak Rawa Perumnas Mandala, tertembak di dada kanan. Hepi Tambunan, 25 tahun, penduduk Jalan Tangguk Bongkar, tertembak di dada kanan. Rahman, penduduk Jalan Bersama Mandala, ditembak dengan peluru tajam petugas di depan Kantor Polsekta Percut Sei Tuan. Salman, 17 tahun, mengalami kritis, diduga terterbak dalam aksi massa di Simpang Limun. Penduduk Mandala menjelaskan mereka tertembak tidak hanya oleh peluru petugas, namun mereka menduga para penduduk warga keturunan Tionghoa memiliki senjata api. Seorang mahasiswa juga terkena tembakan peluru petugas: Ratna Murniati Silalahi, 21 tahun, tertembak di pahanya.

[23]Mimbar Umum, 9 Mei 1998.

[24]Mimbar Umum, 9 Mei 1998.

[25]Mimbar Umum, 12 Mei 1998.

[26]Mimbar Umum, 9 Mei 1998.

[27]Mimbar Umum, 9 Mei 1998.

[28]Mimbar Umum, 9 Mei 1998.

[29]Mimbar Umum, 9 Mei 1998.

[30]Mimbar Umum, 14 Mei 1998.

[31]Mimbar Umum, 9 Mei 1998.

[32]Mimbar Umum, 9 Mei 1998.

[33]Waspada, 7 Mei 1998.

[34]Mimbar Umum, 10 Mei 1998.

[35]Mimbar Umum, 10 Mei 1998.

[36]Mimbar Umum, 15 Mei 1998.

[37]Mimbar Umum, 15 Mei 1998.

[38]Mimbar Umum, 16 Mei 1998.

[39]Mimbar Umum, 17 Mei 1998.

[40]Mimbar Umum, 16 Mei 1998.

[41]Mimbar Umum, 17 Mei 1998.

[42] Serda BI Panjaitan, korban pelemparan batu, meninggal di Rumah Sakit Kodam pada hari Minggu, 17 Mei. Orangtua BI Panjaitan tidak mau menyalahkan siapa-siapa untuk kematian puteranya tersebut. Mereka sudah memasrahkan kepergiaannya dan mengatakan memahami aksi mahasiswa menuntut reformasi. BI Panjaitan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Bukit Barisan Medan. Mimbar Umum, 19 Mei 1998.

[43]Mimbar Umum, 17 Mei 1998.

[44]Mimbar Umum, 17 Mei 1998.

[45]Mimbar Umum, 17 Mei 1998.

[46]Mimbar Umum, 17 Mei 1998.

[47]Mimbar Umum, 18 Mei 1998.

[48]Mimbar Umum, 20 Mei 1998. Harianto, bukan nama sebenarnya, mengatakan orang-orang keturunan Tionghoa yang pergi ke luar negeri saat kota Medan dilanda huru-hara berasal dari kalangan berada. “Bagaimana dengan orang yang tidak berduit?” tanya Hariyanto. “Yah, tinggal di Medan.” Lagipula, tambah Hariyanto, pergi ke luar negeri tidak akan menyelesaikan masalah, malah semakin mempertegas bahwa orang Tionghoa “hanyalah numpang” di Indonesia. “Ini negara kami juga,” kata Hariyanto. Wawancara, …….

[49]Mimbar Umum, 19 Mei 1998.

[50]Mimbar Umum, 20 Mei 1998.

[51]Mimbar Umum, 20 Mei 1998.

[52]Mimbar Umum, 17 Mei 1998.

[53] Jumlah penduduk Tionghoa di kelurahan Sekip tahun 1992/1993 sebesar 4.310 orang dari total 9.296 orang, atau sebesar 46,36 persen.[53] Sebagian besar mereka berprofesi sebagai pedagang. Mereka menjadikan lantai satu rumah mereka sebagai tempat berdagang sementara lantai duanya sebagai tempat tinggal. Kantor Kelurahan Sekip, 1992/1993 dalam Kencana Sembiring Pelawi dan Hilderia Sitanggang (penyusun), Corak dan Pola Hubungan Sosial Antar Golongan dan Kelompok Etnik di Daerah Perkotaan, hal. 37.

[54] Untuk peran yang dimainkan IPK dalam beberapa hari kerusuhan hebat di Medan didasarkan pada wawancara dengan mantan anak buah Olo Panggabean. Namanya minta disamarkan sehingga saya sebut saja namanya Dapot.

[55] Biografi singkat Olo Panggabean diambil dari https://pagonprakoso.wordpress.com/2012/03/08/3-preman-paling-berpengaruh-di-indonesia/, diakes 11 Mei 2017.

[56] Jaanri P. Hutabarat, Peranan IPK Sebagai Wadah Organisasi Kepemudaan di Sumatera Utara (1987-2000), (Skripsi Sarjana Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara, Medan, 2002), hlm. 35-36.

[57]Ibid.,hlm. 17-18.

[58]Ibid.,hlm. 39-46.

[59]Ibid.,hlm. 47-48.

[60] Chang-Yau Hoon, Identitas Tionghoa Pasca-Suharto: Budaya, Politik dan Media. (Jakarta: Yayasan Nabil-LP3ES, 20012), hlm. 185-186.

[61] Tsai Yen-ling, Spaces of Exclusion, Walls of Intimacy: Rethinking “Chinese Exclusivity” in Indonesia. Indonesia 92 (Oktober 2011), hlm. 126.

[62] Loren Ryter (2002) dalam Tsai Yen-ling, Spaces of Exclusion, Walls of Intimacy: Rethinking “Chinese Exclusivity” in Indonesia. Indonesia 92 (Oktober 2011), hlm. 145.

[63]Ibid.,hlm. 149.

[64] ISAI, Golkar Retak?. (Jakarta: Institut Studi Arus Informasi, 1999), hlm. 73-74.

[65]Ibid., hlm. 74.

[66]Ibid., hlm. 75-76.

[67]Ibid., hlm. 78.

[68] Dian Purba, Yang Tidak Hadir di Museum HM Suharto. IndoPROGRESS.com, https://indoprogress.com/2015/06/yang-tidak-hadir-di-museum-hm-soeharto/ (diakses 8 Agustus 2017)

[69]Mimbar Umum, 24 Mei 1998.

[70]Mimbar Umum, 26 Mei 1998.

[71]Mimbar Umum, 25 Mei 1998.

[72]Mimbar Umum, 25 Mei 1998.

]]>
Baperki, Komunitas Tionghoa, dan G30S di Kota Medan https://indoprogress.com/2017/09/baperki-komunitas-tionghoa-dan-g30s-di-kota-medan/ Mon, 25 Sep 2017 23:57:16 +0000 https://indoprogress.com/?p=18461 Kredit ilustrasi: Alit Ambara (Nobodycorp)

 

SAAT berita tentang G30S sampai di Medan pada 1 Oktober pagi 1965, pejabat resmi daerah masih belum mengetahui begitu jelas perihal kejadian di Jakarta. Pada malam harinya, Konsul Amerika di Medan mengirim telegram ke kedutaan di Jakarta menanyakan ijin menyediakan “informasi yang tak sensitif” kepada Mayjend A.J. Mokoginta, Komando Antar Daerah 1 Sumatera (Koanda 1), untuk “membantu element anti-komunis di sini mengambil keputusan yang tepat”.[1] Pagi keesokan harinya, pejabat senior militer di Koanda 1, bersama dengan Wakil Komandan Kostrad Brigjend Kemal Idris, berkesimpulan bahwa G30S adalah gerakan yang dilakukan oleh orang kiri bersama Menteri Luar Negri Subandrio, yang pada saat gerakan itu terjadi sedang berada di Medan. Pada sore harinya, Komando Aksi Pemuda (organisasi yang belum lama dibentuk), dipimpin oleh Pemuda Pancasila (sayap pemuda Ikatan Penerus Kemerdekaan Indonesia, IPKI), mengadakan aksi massa ke pusat kota menentang PKI.[2]

Pada 5 Oktober, Komandan Teritorium Sumatra Mayjend A.J. Mokoginta berpidato di Medan mengutuk Gerakan 30 September sebagai “kontra-revolusioner”. Dia menggambarkan gerakan itu sebagai “alat negara asing”, merujuk kepada Tiongkok. Mokoginta menuding Tiongkok berada di belakang gerakan ini.[3] Mokoginta menilai gerakan itu hendak menghancurkan revolusi Indonesia.[4] Bersamaan dengan kutukan Mokoginta terhadap G30S tersebut, Komando Aksi Pemuda mengadakan aksi massa lanjutan. Kali ini mereka menuntut agar PKI dilarang. Massa tersebut kemudian berbuat kekerasan. Mereka menghancurkan jendela dan menjarah kantor pusat provinsi PKI. Namun dilaporkan, mereka tidak menghancurkan dokumen yang berisi daftar-daftar anggota PKI. Mereka juga menghancurkan rumah-rumah yang dimiliki oleh pemimpin PKI, begitu juga dengan rumah pimpinan Baperki (Badan Permusyawaratan Kewarganegaraan Indonesia) dan sekolah Hua Zhong.[5]

Brigjend Darjatmo, Komandan Kodam Bukit Barisan, pada 29 Oktober, diganti oleh Brigjend Sobiran. Sobiran menurut pejabat Amerika Serikat adalah orang yang dikenal sangat anti-komunis.[6] Tidak menunggu waktu terlalu lama, pada 2 November militer menginisiasi demonstrasi besar-besaran. Dilaporkan sekitar 10.000 orang berdemonstrasi di pusat kota Medan menuntut pelarangan PKI, mengganti Gubernur Ulung Sitepu, memutus hubungan diplomatik dengan Republik Rakyat Cina, juga melarang Baperki dan menyita semua properti Baperki.[7]

Pada 6 November terjadi demonstrasi rakyat di Medan terhadap Konsulat Republik Rakyat Tiongkok (RRT). Mereka menuntut agar seluruh warga negara asing, khususnya RRT, untuk tidak melakukan insinuasi, apalagi ikut campur tangan dalam masalah dalam negeri Indonesia. Demonstrasi itu tidak perlu terjadi, kata Selamat Ginting, Wakil Ketua Komisi A (bidang luar negeri) DPRGR apabila RRT dapat menempatkan dirinya dalam perkembangan-perkembangan yang terjadi di Indonesia. Mereka menganggap RRT adalah “musuh utama kita, jaitu nekolim dan kontra revolusi”.[8] Laporan Keduataan Amerika pada 8 November melaporkan bahwa di Sumatera Utara terjadi penghancuran sistemik terhadap PKI dan terjadi pembunuhan besar-besaran.[9]

 

Baperki dan Orang Tionghoa di Medan

Tindakan lain yang dilakukan Brigjen Sobiran adalah memerintahkan penyitaan semua properti Baperki, Badan Permusyawaratan Kewarganegaraan Indonesia, dan Partindo dan memblokir rekening bank kedua organisasi tersebut.[10] Baperki dan Partindo dikenal sangat dekat. Salah satu pimpinan Partindo, Oei Tjoe Tat, menjadi wakil ketua umum Baperki.[11] Namun, untuk wilayah Medan, keterkaitan antara G-30-S dengan Baperki di satu sisi dan dengan orang Tionghoa di sisi yang lain harus diterangkan lebih lanjut. Apa yang membuat tentara dan massa mengidentikkan, bahkan menuduh, Baperki dan orang Tionghoa mendalangi G30S? Bagaimana kemudian posisi Baperki Medan setelah G30S terjadi di Jakarta? Dan di mana posisi orang Tionghoa Medan saat itu?

Untuk Baperki di Sumatera Utara, pertentangan Baperki dengan LPKB (Lembaga Pembina Kesatuan Bangsa) tidak sepanas di Jakarta. Hampir tidak ditemukan penolakan secara tegas terhadap kehadiran LPKB di Medan oleh Baperki dan juga organisasi-organisasi kiri. Demikian juga sebaliknya. Bagi Lekra Medan, misalnya, orang-orang yang duduk dalam kepengurusan LPKB Medan sering diplesetkan sebagai laki palak kepingin bini. “Bini” yang dimaksud adalah orang Tionghoa. Jadi, kata seorang anggota Lekra, orang-orang LPKB Medan yang di dalamnya juga terdapat angkatan darat (AD) memaksakan orang Tionghoa mengganti nama dan kemudian kawin campur, tidak lebih karena mereka menginginkan orang Tionghoa menjadi istri mereka.[12]

Baperki Medan memiliki kedekatan dengan organisasi-organisasi kiri. Hubungan dengan—terlebih melalui organisasi pemudanya, PPI[13] (Permusyawaratan Pemuda Indonesia)—Lekra terjalin melalui kerja bersama dalam kegiatan pers dan kesenian. Harian Harapan, harian yang dikenal sebagai harian PKI, diisi oleh wartawan-wartawan Lekra dan Baperki. Demikian juga di Harian Gotong Royong. Di harian ini wartawannya lebih beragam dari Harian Harapan. Selain dari Lekra dan Baperki, wartawannya juga berasal dari PKI dan Partindo. Di bidang kesenian, Lekra dan PPI berkolaborasi dalam beberapa pementasan drama. Sebut saja saat Lekra hendak memanggungkan drama yang disadur dari cerita rakyat Mongolia. Orang-orang Tionghoa di PPI mereka anggap sangat tepat mengisi aktor-aktor untuk cerita itu karena warna kulit mereka sangat mendukung untuk itu. Selain perkara penyediaan aktor, orang-orang Tionghoa juga sangat menguasai alat musik. Mereka bermain lebih piawai ketimbang anak-anak Lekra. Astaman Hasibuan menyebut mereka menguasai musik secara akademis. Untuk keperluan mengiringi musik pementasan tersebutlah mereka kemudian bekerja sama. Demikian juga ketika PPI mementaskan Gadis Teratai, drama Korea, mereka meminta orang Lekra mengisi beberapa peran. Astaman menilai kerjasama Lekra dan PPI didasarkan atas saling membutuhkan. “Orang itu butuh kita, kita juga butuh orang itu.”[14]

Kerja sama kesenian lain yang penting disebutkan adalah kerja sama di Ansambel Njanji dan Tari Madju Tak Gentar. Ansambel ini sesungguhnya tidak hanya diisi oleh orang PPI dan Lekra. Orang Nahdlatul Ulama juga ada di dalamnya. Bahkan, putra gubernur Sumatera Utara Ulung Sitepu, yang tidak punya organisasi apa pun, terlibat di dalamnya karena kepintarannya bernyanyi. Ansambel ini sangat terkenal sehingga kerap diundang Sukarno ke Istana Negara di Jakarta untuk perayaan 17 Agustus, atau untuk menyambut tamu negara. Astaman Hasibuan mengingat ansambel ini pun diundang saat pembukaan Ganefo di Jakarta.[15] Ide awal pembentukan ansambel ini muncul atas inisiatif misi kesenian Sumatera yang diketuia Banda Harahap (dikenal juga sebagai Hr. Bandaharo) ketika melakukan lawatan persahabatan ke RRC, Korea Utara, dan Republik Demokratik Vietnam pada tahun 1959.[16]

Baperki Medan sendiri, seperti sudah disinggung di atas, tidak hanya diisi oleh orang Tionghoa. Beberapa pengurus inti berasal dari orang Batak (Baktiar Sibuea), orang Aceh (Sjahriar Sandan), orang India (Krisna).[17] Dari segi organisasi, Baperki Medan juga berasal dari organisasi atau partai politik. Hal yang lumrah semata ketika dalam Baperki terdapat orang PKI, orang Lekra, orang Partindo. Demikian juga sebaliknya.[18]

Pada awal tahun 1964, Baperki membuka cabang Universitas Res Publica, Ureca, di Medan dengan membuka tiga fakultas, yakni sastra, kimia, dan ekonomi. Mahasiswanya terdiri dari banyak suku, meski yang jumlah terbanyak adalah orang Tionghoa.[19] Namun, Astaman Hasibuan memperkirakan perbandingan jumlah mahasiswa Tionghoa dengan mahasiswa dari suku lain tidak terpaut jauh. Astaman memberikan alasan karena banyak orang Tionghoa disekolahkan orangtuanya ke luar negeri.[20] Tenaga pengajar di Ureca Medan diambil dari berbagai universitas yang ada di Medan, seperti Universitas HKBP Nommensen dan Universitas Sumatera Utara. Pada Agustus 1965, saat Ureca Medan menambah satu lagi fakultasnya yakni fakultas kedokteran, tenaga pengajarnya diambil dari Rumah Sakit Elisabeth Medan. Namun, fakultas ini tidak berlangsung lama karena peristiwa G30S. Sementara pendanaan Ureca Medan, selain bantuan dari pusat, ditopang oleh sumbangan dari para pengusaha Tionghoa di Medan. Jumlah mahasiswa Ureca Medan sekitar 200 orang.[21]

Sekolah-sekolah Baperki diharapkan menjadi tempat bertemunya beragam suku dan ideologi. Mahasiswa Ureca Medan berasal dari beragam suku yang ada di Medan.[22] Bagi orang Tionghoa yang tidak diterima di perguruan tinggi negeri, atau mereka yang keadaan ekonominya tidak cukup kuat, Ureca menjadi alternatif. Sementara bagi anggota Lekra seperti Astaman Hasibuan, Ureca menjadi tempat mencari jodoh. Astaman mengatakan, “Seandainya tidak terjadi peristiwa itu (G30S), kemungkinan besar akan banyak dari kami (Lekra) menikah dengan orang Tionghoa.”[23]

Meski begitu, stigma Baperki dan lembaga-lembaga pendidikannya hanya dikhususkan untuk orang Tionghoa tetap didengung-dengungkan oleh mereka yang tidak suka dengan Baperki. Sekolah-sekolah Baperki dituduh eksklusif. Siauw Giok Tjhan, ketua Baperki, melihat tuduhan itu sesungguhnya berisi pengakuan atas keberhasilan lembaga pendidikan mereka. Namun, di sisi lain, Siauw melihat tudingan itu sebagai sesuatu yang serius. Karena itu Baperki kemudian membatasi penerimaan mahasiswa keturunan Tionghoa. Mula-mula 10 persen, kemudian dikurangi terus-menerus. Siauw memandang usaha-usaha yang dilakukan Baperki adalah bagian dari membantu negara mewujudkan janji konstitusionalnya. Dengan demikian, Baperki sedang melaksanakan amanat UUD 1945 untuk mewujudkan kehidupan berkeadilan dengan dengan menyediakan kesempatan pendidikan terbuka untuk semua warga-negara tanpa ada pembatasan. Karena itu, di satu kesempatan, Sukarno mengapresiasi usaha-usaha Baperki tersebut:

Apakah bahayanya BAPERKI, yang sebagai organisasi massa berusaha mengerahkan massa untuk mempercepat pelaksanaan janji yang dikemukakan dalam Manifesto Politik RI dan mendukung usaha RI untuk melaksanakan pembangunan atas dasar prinsip berdiri di atas kaki sendiri?! Hanya orang keblinger saja yang menganggap BAPERKI merugikan pelaksanaan UUD 45![24]

Kembali ke prahara 1965. Sumatera Utara adalah daerah yang sangat kuat pendukung PKI-nya. Tidak hanya kuat pada basis tradisionalnya—buruh dan petani—di sini mereka menikmati perkembangan pesat dukungan dari eselon atas di pemerintahan, termasuk dari gubernur Sumatera Utara Ulung Sitepu. PKI juga memiliki pengaruh kuat dalam pers, kantor berita Antara, radio, dan organisasi-organisasi pemuda. Pada tahun 1965 diperkirakan anggota PKI di Sumatera Utara berjumlah 120.000 orang, jumlah cabang PKI terbesar di luar Jawa.[25]

Yen-ling Tsai mengatakan ada beberapa orang Tionghoa di Medan menjadi anggota PKI. Namun, yang paling kelihatan jelas adalah orang Tionghoa Medan terbelah antara pendukung Republik Tiongkok dan Taiwan. Sementara itu, mereka merasakan tetap diperlakukan diskriminatif dengan menyebut mereka “orang asing”. Hal ini kemudian membuat mereka harus menunjukkan loyalitasnya dengan menjadi warga negara Indonesia. Pada titik inilah Baperki berperan. Baperki membantu banyak orang Tionghoa yang belum fasih berbahasa Indonesia mengurus kewarganegaraan Indonesia. Tidak heran kemudian Baperki Sumatera Utara dianggap sebagian orang Tionghoa sebagai “biro layanan”.[26]

 

Komunitas Tionghoa Setelah Prahara 1965

Hingga 28 Oktober belum terjadi pembunuhan terhadap orang PKI dan simpatisannya di Sumatera Utara. Beberapa demonstrasi dilakukan oleh pemuda anti-komunis ke kantor konsulat RRC. Mereka marah karena konsulat menolak mengibarkan bendera setengah tiang. Para pemuda juga menyerang kantor Baperki. Mereka memprotes siaran-siaran Radio Peking yang mereka anggap sangat provokatif dan dianggap mencampuri urusan dalam negeri Indonesia. Pada 25 Oktober dilaporkan dua orang pemuda anti-komunis meninggal karena bentrok dengan Pemuda Rakyat. Situasi drastis berubah ketika pada 29 Oktober Komandan Bukit Barisan Brigjen Darjatmo yang dikenal kiri diganti dengan Brigjen Sobiran yang oleh Amerika disebut seorang yang “violently anti-Communist” Tiga hari setelah menjabat, pada 2 November, sekitar 10.000 orang berpawai di pusat kota Medan. Mereka menuntut PKI dibubarkan, gubernur Ulung Sitepu dicopot, pemutusan hubungan diplomatik dengan Tiongkok, dan juga menuntuk Baperki ditutup serta semua aset mereka disita. Seorang pejabat Amerika mengatakan pada akhir November pejabat militer di Sumatera melaporkan bahwa tentara mendorong orang Muslim membunuh kader PKI. Laporan itu juga mengatakan dalam sehari ratusan orang terbunuh setiap harinya di Sumatera Utara.[27]

Pada tanggal 10 Desember 1965, konsulat Tiongkok di Medan dihujani batu dan bata, jendela-jendelanya hancur dan tiga orang di antara staf konsulat mengalami luka-luka. Selama demonstrasi ini dilepaskan tembakan, tampaknya oleh polisi, ke arah rombongan demonstran. Karena menyangka tembakan itu berasal dari konsulat, para demonstran “mengamuk ke seluruh kota, menyeret orang Tionghoa dari becak dan sepeda motor, menikam mereka dengan pisau panjang, menjarah kios-kios mereka di Pusat Pasar, membunuh atau melukai semua saja yang melawan.[28]

Namun, Coppel mengatakan, pendapat yang menyebut orang Tionghoa sebagai target utama pembunuhan massal tidaklah tepat. Pembunuhan orang Tionghoa, menurut Coppel, berlangsung sporadis dan tidak dilakukan secara sistematis. Coppel lebih lanjut menulis, dari massalnya pembunuhan yang terjadi pada bulan-bulan pasca-G30S, golongan Tionghoa terkena relatif kecil. Orang Tionghoa yang terbunuh bukanlah karena yang bersangkutan orang Tionghoa, tapi lebih karena dia menjadi anggota PKI atau organisasi yang dianggap simpatisan PKI.[29] Sjahriar Sandan mengingat seorang teman Tionghoanya, Tan Foe Kiong, wartawan Harian Harapan, diculik di satu malam dan tidak pernah muncul kembali. Sjahriar mengatakan Tan diculik bukan karena dia Tionghoa, tapi karena dia anggota PKI.[30] Hasil penelitian Yen-ling Tsai mengatakan kekerasan terhadap orang Tionghoa hanya sebatas pada penghancuran, penyitaan, pembekuan rekening, dan pengambilalihan kepemilikan properti. Tidak ada usaha sistematis untuk menahan atau membunuh etnis Tionghoa.[31] Coppel memperkirakan jumlah orang Tionghoa dibunuh tak lebih dari 2000 orang.[32]

Lalu, tanya Coppel, mengapa pembunuhan besar-besaran terhadap orang Tionghoa tidak terjadi? Coppel memberikan beberapa alasan. Pertama, pembunuhan besar-besaran terjadi untuk sebagian besar di daerah pedesaan Jawa dan Bali, di mana golongan Tionghoa kurang terwakili dalam jumlah penduduk secara keseluruhan, dan bukan di pusat-pusat pertokoan utama, di mana mereka diwakili dalam jumlah yang lebih besar. Kedua, orang Tionghoa yang terdapat di daerah-daerah, di mana pembunuhan biasa terjadi, cenderung merupakan kelas pemilik toko yang relatif kaya. Dengan kekayaan itu mungkin sekali beberapa di antara mereka mengadakan pengaturan perlindungan dengan pejabat militer dan sipil setempat. Alasan lainnya adalah kebanyakan di antara mereka mungkin sekali mempunyai sanak keluarga di pusat-pusat perkotaan yang lebih besar, ke mana mereka dapat melarikan diri untuk mencari keselamatan, dan mempunyai cara untuk berbuat demikian.[33] Alasan berikutnya menurut Robert Cribb dan Charles Coppel adalah kurangnya kesempatan melakukan pembunuhan. Hal ini disebabkan oleh PP 10 yang menyebabkan sekitar 85.000 pedagang keturunan Tionghoa meninggalkan desa-desa menuju ke kota propinsi atau kabupaten. Sementara pembunuhan besar-besaran tahun 1965 terjadi di pedesaan.[34]

 

Siauw Giok Tjhan, Ketua Baperki Pusat. Kredit ilustrasi: PinterPolitik.com

 

Dengan demikian, orang Tionghoa sebagai orang Tionghoa yang tidak terlibat dalam organisasi apa pun dan juga orang Tionghoa yang terlibat dalam organisasi seperti Baperki, Lekra, dan PKI di Medan harus dipisahkan satu sama lain. Untuk pembahasan berikut, akan dijelaskan tentang tindakan yang dilakukan terhadap orang-orang Tionghoa yang terlibat dalam organisasi politik, terlebih Baperki dan bagaimana mereka menyikapi situasi tersebut.

Sjahriar Sandan saat itu menjabat sebagai sekretaris fakultas ekonomi Universitas Res Publica cabang Medan. Dekan fakultas ekonomi sendiri dijabat oleh keturunan Tionghoa. Sandan juga tercatat sebagai anggota Baperki Medan dan ditempatkan di biro hukum. Baperki Medan menjadi bagian dari organisasi yang dituduh membiayai G30S. Bersama beberapa pengurus Baperki, mereka diharuskan melapor ke Tim Pemeriksa Daerah di Jalan Sena. Orang-orang Baperki tidak ada yang diculik. Setelah diperiksa beberapa kali, mereka kemudian disuruh membawa perlengkapan pakaian dan perlengkapan tidur. Sandan dan ratusan orang Tionghoa anggota Baperki ditahan di TPUD (tempat perlindungan utama daerah) di Jalan Merbabu. Tempat itu dijadikan pusat penahanan tahanan-tahanan anggota Baperki.[35]

Tahanan orang Tionghoa anggota Baperki mendapat perlakuan berbeda dari tahanan PKI. Bahkan terdapat seorang pengusaha Tionghoa yang memiliki hubungan bisnis dengan pejabat militer. Bisnisnya berjalan seperti biasa dengan mendapat jaminan dari pejabat militer tersebut.[36] Dari sekitar 200 orang penghuni TPUD tersebut, Sandan memperkirakan tahanan non-Tionghoa sekitar 20 orang. Sandan mengaku semua tahanan di sana tidak pernah mendapatkan siksaan. Mereka bahkan diijinkan membuka dapur umum sehingga mereka bisa memasak untuk mereka sendiri. Mereka juga diperkenankan menerima bantuan dari keluarga mereka di luar. Di malam hari mereka bisa “makan angin” di lantai atas gedung itu sambil bermain harmonika. Bahkan, per dua minggu, komandan TPUD memberlakukan ijin keluar bergilir. Artinya mereka bisa keluar dari rumah tahanan dan pulang ke rumah mereka dan sore harinya kembali ke rumah tahanan. Mereka disebut “tahanan berdikari”.[37] Oei Tjoe Tat dalam tugasnya sebagai anggota Fact-finding Commission yang dibentuk Sukarno membenarkan “keistimewaan” yang diterima para tahanan Baperki. Oei merasa heran dengan sambutan hangat tentara dan juga para tahanan di Medan. Di tempat penampungan tahanan itu, Oei dibebaskan mewawancarai para tahanan yang kebanyakan adalah anggota Baperki dan Partindo. Bahkan, Oei terharu dan tak bisa menahan air mata ketika hendak meninggalkan tempat itu para tahanan dengan khidmat tanpa terlalu tertekan mengumandangkan “Indonesia Raya”.[38]

Sementara itu, perlakuan yang sangat berbeda dialami tahanan orang-orang kiri yang dipusatkan di Jalan Gandhi. Rumah tahanan berlantai dua ini dikenal sebagai neraka bagi para tahanan. Di sana berkumpul sekitar 1.800 tahanan. Selama interogasi mereka disiksa. Lalu mereka dimasukkan ke toilet penuh tinja dan tidur di sana. Seorang mantan tahanan di sana mengatakan seorang perwira militer yang dituduh PKI bahkan ditahan di dalam toilet bertinja itu selama tiga tahun. Bagi warga Medan kini, tempat ini dikenang melalui sebuah lagu yang cukup terkenal, Abang Pareman. Liriknya:

Kalau abang masuk Jalan Gandhi
Badan abang habis dipukuli
Pulang-pulang tinggal holi-holi (tengkorak)[39]

Kekerasan berlanjut setelah Suharto menerima Surat Perintah 11 Maret di Jakarta. Surat itu menjadi pemantik demonstrasi dan kekerasan di Medan dan di daerah lainnya di Sumatera Utara. Antara 26 hingga 31 Maret 1966, pemuda mengambil alih gedung dan sekolah milik 13 organisasi Tionghoa di Medan. Paling tidak sebanyak 31 gedung sekolah berhasil direbut. Kekerasan lainnya ditujukan kepada ribuan pengungsi Tionghoa dari Aceh. Pengusiran besar-besaran orang Tionghoa pada April 1966 dari Aceh menyebabkan mereka mengungsi ke Medan. Mereka dikumpulkan di barak-barak di pinggiran kota Medan. Mereka dilempari batu oleh ratusan pemuda. Mereka hidup dalam ketakutan. Pada bulan Mei 1966, pemerintah RRC berjanji akan mengirim kapal untuk mengangkut mereka ke Tiongkok. Tidak semua bisa diangkut karena hanya empat kapal yang dikirim. Para pengungsi yang naik ke kapal dilempari oleh ratusan pemuda yang anti-Cina.[40]

Hal lain yang harus disebutkan adalah dinamika pers di kota Medan menjelang dan sesudah G30S. Kota Medan menjelang tahun 1965 ditandai dengan sengitnya “pertengkaran” antara media yang dikatakan media PKI atau media yang dekat dengan PKI dengan media yang berseberangan dengan PKI. Media yang dekat dengan PKI seperti Bendera Revolusi, Harian Harapan, Gotong Royong, dan Obor Revolusi[41]. Sementara media yang berseberangan seperti Waspada, Mimbar Umum, Bintang Indonesia, Pembangunan, Indonesia Baru, Sinar Masyarakat, Tjerdas Baru, Waspada Taruna, Mimbar Teruna, Suluh Massa, Duta Minggu, Genta Revolusi, Resopin, Siaran Minggu, dan Mingguan Film.[42] Kedua belah pihak saling memberitakan di harian masing-masing kritik keras ke pihak yang lainnya. Bahkan, Arif Lubis dari Mimbar Umum harus berhadapan dengan pengadilan karena memplesetkan nama Yusuf Ajitorop, kader PKI, menjadi Yusuf Ajikurap.[43]

Para wartawan dari berbagai surat kabar tersebut kemudian menggabungkan diri ke BPS (Badan Pendukung Sukarno) daerah. BPS dibentuk 28 September 1964. BPS Sumatera Utara dipimpin oleh Arif Lubis (Mimbar Umum). Tidak ada tujuan yang lebih besar yang ditetapkan oleh BPS Sumatera Utara selain melawan PKI, yang menurut mereka, sedang giat-giatnya mengkomuniskan Indonesia. Karena itu, BPS dijadikan sebagai “tali pengikat” antar-surat kabar untuk menegakkan Pancasila dan Sukarnoisme untuk menghadang penyebaran Marxisme.[44] Pada 17 Desember 1964, BPS dibubarkan oleh Sukarno. Tidak bersurut langkah, BPS Sumatera Utara mengatakan keteguhan sikap.

Pada 21 Desember 1964, mereka mengeluarkan seruan yang dimuat di Mimbar Umum berjudul “Madju Terus!”. Seruan itu mereka mengatakan tetap menjadi murid/prajurit Sukarno yang militan dalam menyebarluarkan Sukarnoisme. Pembubaran BPS dijadikan bahan olok-olokan oleh media lawan BPS. Di satu pojok di Harian Harapan ditulis[45]:

Sebaik BPS dibubarkan Presiden Sukarno, spanduk-spanduk yang menganggarkan dia anggota BPS mulai kemarin turun panggung dari muka badak harian-harian BPS Medan.

Selamat berpisah, sampai tidak akan pernah berjumpa lagi.

Pasca peristiwa G30S juga ditandai dengan pemberangusan pers oleh Suharto. Seperti ditulis David T. Hill, “Begitu naik ke tampuk kekuasaan di awal pemberontakan 1 Oktober 1965, Mayor Jenderal Soeharto dan Orde Baru yang ia proklamirkan sendiri langsung membelenggu surat kabar-surat kabar yang ada di negeri ini. Dalam upaya pemberantasan yang tak ada tandingannya di Negara ini, nyaris sepertiga dari seluruh surat kabar ditutup. …”[46] David Hill mencatat, 46 dari 163 surat kabar ditutup karena surat kabar tersebut diduga terkait atau jadi simpatisan PKI dan onderbouw-nya. Ratusan staf redaksi di tahan dan wartawan-wartawan “kiri” di dalam Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) dipecat. Tidak sedikit kemudian wartawan-wartawan itu yang dibunuh.[47]

Di Medan sendiri, peristiwa G30S berdampak pada wartawan-wartawan yang dicap kiri. Juga peristiwa itu menjadi pemicu hilangnya wartawan-wartawan orang Tionghoa. Pada 19 Oktober 1965, sebanyak 29 orang wartawan yang diantaranya terdapat orang Tionghoa dipecat dari kepengurusan PWI Medan. Mereka dipecat karena dikatakan terlibat dalam “G30S PKI”. Mereka adalah: KH. Long, Sampit Ginting, Malim Tarigan, Onon Gusri, Sin Thian Siong, Chaidir, Tan Foe Kiong, Abdullah Nasution, Sunaryo K., Liem Bwan Tju, Mawardi, Syaifuddin, Zul Iskandar, S.R. Syam, Rumandang, Suheimi, Emas Djas, Bambang Budi Ardjo, Bonar Simanjuntak, Imran Zouny, Tong Lie Tek, Chang Chi Sek, M. Usman, Miswarbay, Nazariah Res, Senen Ahmad, Zuber AA., Cholid Hamid, Sy. Andjarasmara. Setelah itu PWI Medan periode 1965-1967 dijabat oleh Ka. Pendam I Bukit Barisan Mayor AR Surbakti.[48]

Dampak lain turut juga dirasakan oleh orang-orang Tionghoa yang kuliah di Universitas Sumatera Utara, terlebih mahasiswa kedokteran. Beberapa dari mereka terlibat dalam organisasi intra dan ektra kampus. Organisasi ekstra kampus besar kampus seperti HMI, CGMI, dan GMNI. Untuk yang disebutkan kedua terakhir inilah mahasiswa keturunan Tionghoa melibatkan diri. Untuk CGMI sendiri, jumlah orang Tionghoa yang menjadi anggota tidak lebih banyak daripada yang di GMNI. Seorang mahasiswa kedokteran saat itu mengingat dua orang teman Tionghonya yang menjadi anggota CGMI tiba-tiba saja tidak tampak lagi di kampus pada akhir bulan Oktober. Dia memperkirakan mereka korban penculikan.[49]

Dari buku peringatan 25 tahun kedokteran Universitas Sumatera Utara, kita mendapatkan dampak lain yang ditimbulkan peristiwa 1965. Semenjak fakultas kedokteran dibuka tahun 1952, terdapat dua orang mahasiswa Tionghoa.[50] Jumlah ini meningkat di penerimaan tahun berikutnya menjadi enam orang. Tahun ajaran 1954-1955, jumlahnya lima orang. Tahun 1956-1957, jumlahnya menjadi dua kali lipat, 12 orang. Jumlah mahasiswa Tionghoa untuk tahun-tahun berikutnya sangat fluktuatif. Di tahun ajaran 1960-1961, misalnya, hanya terdapat dua orang mahasiswa Tionghoa. Pada tahun ajaran 1965-1966 hanya terdapat dua mahasiswa Tionghoa. Dari tahun 1968 1971, tidak ditemukan seorang pun mahasiswa Tionghoa. Pada tahun ajaran 1971-1972, terdapat dua mahasiswa Tionghoa. Namun, nama Tionghoa mereka dicantumkan di dalam kurung setelah nama Indonesia, atau nama Indonesia digabung dengan nama Tionghoa, seperti: Jensen Lautan (Tan Tjun Po), Untung Chew (Tjiu Tjeng Un).[51] Dr. Alfred mengatakan, mahasiswa Tionghoa pasca-1965 di Universitas Sumatera Utara tidak mengalami penurunan drastis. Mereka tetap berkuliah tapi dengan nama yang baru.[52]***

 

Penulis adalah Alumni Pascasarjana Ilmu Sejarah, UGM

 

——–

[1] Yen-ling Tsai and Douglas Kammen, “Anti-communist Violence and the Ethnic Chinese in Medan, North Sumatra” dalam Douglas Kammen and Katharine McGregor (editor), The Countours of Mass Violence in Indonesia, 1965-68. (Singapore: NUS Press, 2012), hlm. 138.

[2] Ibid.

[3] Jess Melvin, Why Not Genocide? Anti-Chinese Violence in Aceh, 1965-1966, Journal of Current Southeast Asian Affairs, 32, 3, hlm. 74.

[4] Yen-ling Tsai dan Douglas Kammen, Op. cit., hlm. 138.

[5] Ibid., hlm. 138-139.

[6] Ibid., hlm. 141.

[7] Ibid.

[8] Sinar Harapan, 8 November 1965, Demonstrasi Rakjat Medan, Peringatan Bagi Semua Negara Asing.

[9] Yen-ling Tsai dan Douglas Kammen, Op.cit., hlm. 141.

[10] Ibid., hlm. 142.

[11] Oei Tjoe Tat, Memoar Oei Tjoe Tat: Pembantu Presiden Soekarno, ed. Pramoedya Ananta Toer dan Stanley Adi Prasetyo. (Jakarta: Hasta Mitra, 1995), hlm. 73-85.

[12] Wawancara dengan Astaman Hasibuan, mantan anggota Lekra Medan, 27 April 2015.

[13] Keanggotaan PPI Medan didominasi oleh orang Tionghoa. Satu nama anggota PPI yang non-Tionghoa yang sangat melekat di benak Astaman Hasibuan adalah Ten Sembiring. Ten bekerja sebagai guru di sekolah Andalas, salah satu sekolah yang berada di naungan Yayasan Baperki Medan. Ten yang orang Karo mengajar bahasa Mandarin di sekolah tersebut. Wawancara dengan Astaman Hasibuan, 27 April 2015.

[14] Wawancara dengan Astaman Hasibuan, 27 April 2015.

[15] Wawancara dengan Astaman Hasibuan, 27 April 2015.

[16] Rhoma Dwi Aria Yuliantri, Bersama LEKRA dan ansambel; Melacak panggung musik Indonesia, dalam Jennifer Lindsay dan Maya H.T. Liem (penyunting), Ahli Waris Budaya Dunia: Menjadi Indonesia 1950-1965. (Denpasar: Pustaka Larasan-KITLV-Jakarta, 2011), hlm. 482.

[17] Wawancara dengan Sjahriar Sandan, pengacara dan mantan anggota Baperki Medan, 16 Mei 2015.

[18] Wawancara dengan Astaman Hasibuan, 27 April 2015; Sjahriar Sandan, 16 Mei 2015.

[19] Wawancara dengan Sjahriar Sandan, 16 Mei 2015.

[20] Wawancara dengan Astaman Hasibuan, 27 April 2015.

[21] Wawancara dengan Sjahriar Sandan, 16 Mei 2015.

[22] Wawancara Sjahriar Sandan, 16 Mei 2015.

[23] Wawancara dengan Astaman Hasibuan, 27 April 2015.

[24] Tjan, Siauw Giok, Lima Jaman: Perwujudan Integrasi Wajar (Jakarta-Amsterdam: Yayasan Teratai, 1981), hlm. 257-258.

[25] Tsai, Yen Ling and Douglas Kammen, Op. cit., hlm. 133-134.

[26] Ibid., hlm. 135-136.

[27] Ibid., hlm. 140-141.

[28] Charles A. Coppel, Op. cit., hlm. 128.

[29] Ibid., hlm. 125.

[30] Wawancara dengan Sjariar Sandan, 16 Mei 2015.

[31] Tsai, Yen Ling and Douglas Kammen, Op. cit., hlm. 142.

[32] Charles A. Coppel, Op. cit., hlm. 125.

[33] Ibid.

[34] Robert Cribb & Charles A. Coppel (2009), A genocide that never was: explaining the myth of anti-Chinese massacres in Indonesia, 1965-66, Journal of Genocide Research, 11:4, 447-465. http://www.tandfonline.com/loi/cjgr20 , diakses 11 Desember 2016), hlm. 450.

[35] Wawancara dengan Sjahriar Sandan, 16 Mei 2015.

[36] Tsai, Yen Ling and Douglas Kammen, Op. cit., hlm. 148-149.

[37] Wawancara dengan Sjahriar Sandan, 16 Mei 2015.

[38] Oei Tjoe Tat, Op. cit., hlm. 183-190.

[39] Kurniawan, et al., Pengakuan Algojo 1965: Investigasi Tempo Perihal Pembantaian 1965. (Jakarta: Tempo Publishing, 2013), hlm. 101-103.

[40] Tsai, Yen Ling and Douglas Kammen, Op. cit., hlm. 150-153.

[41] Bendera Revolusi pada awalnya bernama Harian Patriot. Setelah Imran Zounty memimpin koran tersebut berganti nama menjadi Bendera Revolusi pada 31 Mei 1959. Harian Harapan terbit sejak 1 Juni 1959. Chang His Shek adalah pimpinannya dan pemimpin redaksinya Tan Fhu Kiong. Gotong Royong terbit pada 4 Oktober 1961, dipimpin oleh Suhaimi dan Umar Baki. Sementara Obor Revolusi dipimpin oleh Rumiati, kader Gerwani Sumatera Utara. Muhammad TWH, Perlawanan Pers Sumatera Utara terhadap Gerakan PKI. (Medan: Yayasan Pelestarian Fakta Perjuangan Kemerdekaan RI, 1996), hlm. 192-193.

[42] Ibid., hlm. 209.

[43] Ibid., hlm. 193.

[44] Ibid., hlm. 195-196. Pengurus BPS Sumatera Utara ditentukan sebagai berikut. Ketua: Tribuana Said (Waspada); Wakil Ketua: Ismail A.U. (Pembangunan, kemudian membelot); Sekretaris: Arshad Yahya (Waspada Teruna); Bendahara: Arif Lubis (Mimbar Umum); Biro Ideologi/indoktrinasi/pendidikan: Tribuana Said; Biro luar negeri: Soffyan (Antara); Biro dalam negeri: Yohannis Isya (Mingguan Film); Biro Research, bimbingan, pendidikan: Amir Hasan Lubis (Mimbar Teruna); Biro keuangan: Arif Lubis; dan Biro penyiaran/humas/rekreasi/olahraga: Haris Muda Nasution (Suluh Massa). Ibid., hlm. 201.

[45] Ibid., hlm. 209-210.

[46] David T. Hill, Pers di Masa Orde Baru. (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2011), hlm. 1.

[47] David T. Hill, Pers di Masa Orde Baru (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2011), hlm. 33-34.

[48] Muhammad TWH, Op. cit., hlm. 141-142.

[49] Wawancara dengan dr. Alfred, mahasiswa kedokteran Universitas Sumatera Utara saat peristiwa 1965 terjadi, 6 Mei 2017.

[50] Jumlah ini di dapat dari menghitung nama-nama yang menggunakan nama Tionghoa, misalnya Vincent Gan Ho San. Tidak menutup kemungkinan jumlah yang disebutkan di sini bertambah karena orang Tionghoa yang tidak lagi menggunakan nama Tionghoa.

[51] Buku Peringatan 25 Tahun Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara. (t.t), hlm. 295-328.

[52] Wawancara dengan dr. Alfred, 6 Mei 2017.

]]>
Yang Tidak Hadir di Museum HM Soeharto https://indoprogress.com/2015/06/yang-tidak-hadir-di-museum-hm-soeharto/ Wed, 10 Jun 2015 00:19:00 +0000 https://indoprogress.com/?p=14105 INGATAN apa yang tersisa kepada Soeharto? Akan sangat beragam jawaban. Bagi penjual kaos oblong di Jalan Malioboro Yogyakarta, wajah mantan presiden itu menjadi pembawa berkah. Bagi orang-orang yang kagum padanya, dan beberapa orang sudah melakukannya, mereka akan mengekalkan ingatan mereka ke bentuk hagiografi. Nah, salah satu bentuk hagiografi itu adalah museum. Probosutedjo, adik tiri Soeharto, mempersembahkan satu museum kepada sang kakak, Museum HM Soeharto. Museum itu berdiri di Desa Kemusuk, Argomulyo, Sedayu, Bantul, Yogyakarta. Saya tidak akan bercerita tentang detail museum itu, alih-alih akan mengisahkan tentang sesuatu yang tidak hadir di sana.

Tentu saja museum itu adalah ruang saripati ribuan item peristiwa masa silam. Museum juga menjadi etalase representasi ingatan. Di sanalah dipajang ingatan-ingatan paling menonjol. Nah, bila kunjungan kita ke museum itu sudah mendekati pintu keluar, kita segera tersadar lalu bertanya: Golkar, ke mana Golkar? Tak ada sepotong Golkar pun di museum itu. Ini tentu saja satu keganjilan. Demikian ganjilnya sehingga timbul tanya: kenapa Golkar absen di museum tersebut? Apa yang terjadi sehingga partai yang identik dengan namanya itu terlewatkan di sana? Bagaimana Soeharto mengingat Golkar, lebih-lebih di usia senjanya menjelang pamit selamanya dari bumi?

Golkar bagi Soeharto tidak hanya sebagai penunjuk syarat-syarat minimal sebuah negara demokrasi. Tapi, Golkar adalah Soeharto itu sendiri. Hubungan itu begitu rekat dan kental sehingga kemudian kita bisa berujar Soeharto adalah Golkar. Setelah Sukarno digulingkan, Golkar dan Soeharto bagaikan ulat dan kepompong. Tak ada yang lebih tepat menggambarkan ini selain pengakuan Soeharto bahwa setiap menjelang pemilihan presiden akan berlangsung, Golkarlah yang pertama sekali mencalonkannya kembali.

Golkar mencatat ‘prestasi’ gemilang di pertandingan pertama mereka di pemilihan umum tahun 1971. Mereka keluar sebagai pemenang. Tidak laiknya seorang atlet yang sangat sukar mempertahankan rekor selama bertahun-tahun, rekor-rekor gemilang Golkar tak pernah bisa diselip para pesaing hingga jauh ke tahun 1997. Namun hendaknya kita tidak abai, debut pertamanya tahun 1971 itu adalah debut kecurangan, debut teror. Negara dikerahkan agar  melakukan kekerasan untuk mencapai kemenangan: teror politik terhadap para pemimpin politik, pembekuan partai-partai seperti PNI, melarang Masjumi didirikan kembali, mewajibkan pegawai negeri memilih Golkar dengan resiko akan dipecat dari pekerjaannya. Tahun 1971 inilah Golkar menunjukkan dirinya sebagai partai Orde Baru yang militeristik. Dalam bahasa Daniel Dhakidae, Golkar adalah ABRI dalam wajah sipil, dan ABRI adalah Golkar dalam wajah militer. Maka, semua jajaran militer dan jajaran birokrasi sipil dengan sendirinya menjadi anggotanya.

Tahun-tahun pun berlalu. Pemilu lepas pemilu. Hentakan pertama di tahun 1971 itu begitu efektif melahirkan kemenangan sehingga tak ada alasan untuk meninggalkan metode ini. Tahun 1973, Soeharto hanya mengizinkan tiga partai: PDI, PPP, dan Golkar. Nyaris selepas itu tak ada fungsi terbesar PPP dan PDI selain sebagai penggembira pemilihan umum semata.

Menurut seorang jenderal pengkritik Soeharto, dalam masa 15 tahun berkuasa, ia begitu banyak berubah. Ia menjadi lebih kaku, otoriter, feudal, semakin percaya mistik, sinis, korup, dan lebih tidak mau mendengarkan kritik. Julie Southwood-Patrick Flanagan mencatat, tahun 1980 di Cipanas, tak kurang dari 60 pemuda muslim dibawa ke komando militer setempat. Banyak di antaranya yang dipukuli dengan sadis. Mereka diperingatkan—lebih dari 18 bulan sebelum pemilu—untuk memilih Golkar.

Soeharto sudah membubarkan PKI. Dengan demikian rezimnya sudah kehilangan musuh tertangguhnya. Namun, Soeharto sadar, rakyat punya hati dan pikiran. Juga aspirasi. Hati, pikiran, dan aspirasi itu punya potensi tak terpuaskan sehingga memberontak. Golkar sebagai mesin politik pemilihan umum, di samping birokrasi sipil dan birokrasi militer, menjadi sarana paling tepat menangkal benih-benih pemberontakan itu. Tentu saja Soeharto tidak membuka pintu dan ruang tempat menampung unek-unek. Baginya Golkar menjadi tempat untuk rakyat menyalurkan aspirasi. Rakyat di desa tak perlu menghabiskan waktu dan tenaga melibatkan diri dalam politik. Cukuplah perhatian mereka dikerahkan kepada usaha pembangunan nasional. Jika terlibat politik maka rakyat di desa akan terombang-ambing pikirannya karena mereka dianggap belum cukup rasional, kurang pendidikan, tidak paham tentang banyak soal, dan secara kultural rendah. Artinya rakyat di desa tidak boleh mempunyai aspirasi. Golkar adalah aspirasi itu sendiri. Inilah yang kita kenal sebagai massa mengambang.

Apakah sukses gilang-gemilang Golkar dan Soeharto dengan rekor tak terkalahkan sekali pun di setiap pemilihan umum itu tidak mengandung sesuatu yang berharga sehingga tak layak ditampilkan di museum H. M. Soeharto? Muhidin Dahlan (2014) mengatakan, Soeharto hanya menjadikan Golkar sebagai pertanda syarat-syarat minimal sebuah negara demokrasi. Namun, apakah persoalannya sesederhana itu?

Mari kita ke tahun 1998, saat-saat paling menentukan dalam pembentukan ingatan Soeharto akan Golkar. Menurut beberapa pengamat, Soeharto tidak akan mundur begitu cepat tanggal 21 Mei 1998 andai dia tidak buru-buru menaikkan harga bakan bakar minyak sebagai tanggapan terhadap krisis ekonomi saat itu. Malapetaka pun terjadi. Segera setelah kebijakan itu semua harga bahan pangan pokok naik. Gerakan yang selama ini tertanam di bawah tanah menemukan pemicunya untuk muncul sempurna ke permukaan. Jakarta dan kota-kota besar lain membara. Soeharto menjadi musuh semua orang. Soeharto menjadi simbol kemarahan rakyat yang selama ini dibungkam. Karena itu ia diminta mundur.

Beberapa hari menjelang 21 Mei 1998, Soeharto masih merasa dirinya sanggup mengendalikan situasi. Tanggal 19 Mei, didampingi sembilan tokoh muslim ternama, dia berpidato menyampaikan bahwa ia berjanji untuk mundur sesegera mungkin. Ia juga menjanjikan pemilu baru di bawah undang-undang yang baru tanpa keikutsertaannya sebagai calon. Ia akan membentuk sebuah dewan reformasi untuk memberantas korupsi, kolusi, dan nepotisme. Namun, angin berlalu tanpa meninggalkan jejak di kuping rakyat. Pertanyaannya: kenapa yang mendampingi dia saat itu bukan Golkar alih-alih para tokoh muslim? Di mana Golkar saat Soeharto butuh pertolongan?

Golkar tidak ingin hancur ditelan amuk massa. Masa-masa indah bersama Soeharto sepertinya harus segera diakhiri. Kalau selama ini tak ada satu orang pun yang berani meminta Soeharto untuk tidak mencalonkan diri kembali sebagai presiden, maka Golkar, melangkah melampaui itu. Golkar bukan memutuskan agar Soeharto mundur, tapi menyerukan sidang istimewa MPR untuk mendepaknya dari kekuasaan. Harmoko kemudian memberi ultimatum kepada Soeharto: mundur pada hari Jumat (22 Mei) atau menghadapi sidang istimewa pada hari Senin (25 Mei). Tak cukup sampai di sana, tanggal 20 Mei orang-orang dekat Soeharto pun kemudian mundur berjamaah dari kabinetnya. Angkatan bersenjata yang dikerahkan ke Senayan sebanyak 15.000 personel tak sanggup menghentikan pendudukan gedung parlemen oleh 30.000 massa rakyat. Dengan demikian pilar penopang terakhirnya sudah runtuh.

Soeharto yang menjabat sebagai Ketua Dewan Pembina Golkar sejak 1978, yang semua kata akhir selalu berada di tangannya, ditinggal sendirian. Seorang menterinya berkata, “Dia tidak merasa ditinggalkan oleh rakyat, tapi oleh orang-orang di sekelilingnya.” Begitu sakitnya ditinggal sendiri sehingga tidak ada lagi kartu yang bisa dimainkannya selain lengser. Dari titik inilah kemudian saya menduga alasan Museum H. M. Seoharto tidak menghadirkan Golkar di dalamnya. Adik tirinya, si pendiri museum, tentu saja tahu betul kakaknya seorang pendendam. Soeharto pernah berkata, “Politik saya ada di ujung bayonet.” Sedikit berspekulasi, Museum HM Soeharto pada beberapa titik adalah museum sakit hati Soeharto ke Golkar dan kepada orang-orang dekatnya yang mengkhianatinya.***

 

Penulis adalah mahasiswa Pascasarjana Ilmu Sejarah Universitas Gadjah Mada

]]>
Selamat Datang Mahasiswa Baru https://indoprogress.com/2009/08/selamat-datang-mahasiswa-baru/ Thu, 27 Aug 2009 15:25:00 +0000 https://indoprogress.com/2009/08/27/selamat-datang-mahasiswa-baru/ Postera crescam laude, saya akan bekerja untuk generasi mendatang (Semboyan Universitas Melbourne)

SEJUJURNYA, saya jenuh menulis tentang mahasiswa dengan cara-cara yang biasa. Saya ingin menulis sesuatu yang lain, untuk menyambut sekelompok pemuda beruntung ini. Saya berusaha membabarkannya dengan bahasa sederhana dan sekutil santai.

Inilah negeri tempat pemuda-pemudi berumur beranjak dewasa, yang mengimpikan dirinya menjadi mahasiswa. Naga-naganya ini pertanda buruk. Mengapa? Coba lihat Kuba, sebuah negeri kecil di Amerika Latin, negeri dimana menjadi mahasiswa sama nilainya dengan menjadi bukan mahasiswa. Di negeri itu, setiap orang dikasih hak menamatkan diri sampai jenjang pendidikan terakhir dan tanpa ongkos secuil pun. Kalau anda hendak bertanya kenapa bisa demikian, anda sudah berada di jalur yang benar. Menyederhanakannya dalam uraian singkat, kira-kira beginilah paparannya.

Di Kuba, semua orang berhak mengakses pendidikan dan negara berkewajiban menyelenggarakan pendidikan. Kemudian negara menjamin kesatuan utuh antara orang-orang yang sedang belajar dengan kebutuhan tenaga kerja dan lapangan kerja yang tersedia di seluruh negeri. Silakan memilih, mengikuti pra-universitas atau pendidikan teknisi dan professional. Pra-universitas akan mengarahkan Anda ke jenjang perguruan tinggi dan memperdalam bidang akademik atau menjadi tenaga pengajar. Sedangkan pendidikan teknisi dan profesional akan menghantar ke dunia kerja. Sekali lagi, itu semua gratis. Lantas, biayanya? Negara bertanggung jawab penuh melakukan “apa saja” dengan semua kekayaan alam yang dimiliki dan keuntungan dari itu semua dikembalikan kepada sang empunya: rakyat.

Menjadi mahasiswa di Indonesia? Mari saya hantarkan anda ke kondisi-kondisi umum yang senantiasa hadir dan akan bersinggungan dengan Anda nantinya, setiap saat.

I

Keberuntungan Anda yang pertama, lulus ujian nasional. Setelah itu Anda akan mati-matian belajar membahas kumpulan soal yang sudah dirancang sedemikian rupa. Rasanya kurang afdol, kurang pas sebelum mendapat “pelatihan” supersingkat dari mentor di tempat bimbingan. Anda pun ikut seleksi masuk perguruan tinggi negeri. Dan lulus. Selamat. Tapi tahukah Anda persentase antara yang lulus dan yang harus gigit jari? Hitung berapa banyak kawan-kawan SMA kalian yang sanggup meneruskan kuliah. Tidak berimbang. Itulah makanya Anda disebut kaum beruntung. Beruntung karena kesempatan menjadi mahasiswa tidak dimiliki setiap orang.

II

Selamat datang di kampus. Kakak-kakak senior kalian segera akan berceloteh: mahasiswa itu agen perubahan, mahasiswa itu calon pemimpin, mahasiswa itu intelektual muda. Jargon yang sanggup menembus relung hati terdalam dan menghantarkan kalian ke dunia mimpi. Hari ini kalian akan memasuki kampus yang memiliki tradisi pendidikan yang buram. Buram ketika absensi yang sangat ketat mengurung kreativitas mahasiswa. Buram saat pelajaran tidak membuat anda cerdik, tapi membikin lapar. Kalian akan saksikan: pengunjung perpustakaan tidak sepadan dibandingkan dengan jumlah pengunjung pusat-pusat perbelanjaan. Tidak usah ditanya lagi: perpustakaan menjadi tempat tersunyi. Kalian boleh tidak percaya, tapi inilah kenyataannya: sebagian besar kakak senior kalian hanyalah fokus mengejar nilai. Terkadang menghalalkan cara-cara kotor. Tradisi bertanya bukanlah sesuatu yang mudah didapati. Mereka begitu garang di luar kelas, tapi betapa pendiamnya mereka saat berhadapan dengan dosen, menjadi sangat lembek, dan penuh keraguan. Semuanya ditumpas habis karena mandat sekolah kini mirip dengan tugas bimbingan belajar: hanya meluluskan siswa.

III

Ilmu yang kalian gulati selama kuliah kelak akan mempermudah kalian menantang kehidupan. Demikian bentuk idealnya. Dan itukah yang akan terjadi? Setiap universitas, lajimnya, menjamin setiap lulusannya. Dan jaminan pasti yang tidak pernah melenceng: jadi pengangguran. Ada banyak sarjana menganggur dan lebih banyak lagi sarjana yang bekerja sia-sia. Lulusan sastra jadi tukang kredit. Lulusan ekonomi jadi satpam. Sarjana pertanian bekerja di bank. Adapun dokter akan menjadi dokter yang mahal layanannya. Lulusan hukum menghasilkan jaksa yang begitu gampang disuap.

IV

Negeri yang teramat kaya ini tidak bisa menggratiskan biaya kuliah kalian. Negeri ini adalah negeri uzur. Mencicipi alam kemerdekaan lebih dari enam dasawarsa, belum mampu memberikan jaminan apa pun selain jaminan ketidakpastian. Kalian menjadi pelajar di negeri yang mengalami kesusahan. Peminta-minta menjadi hiasan di perempatan jalan. Sawah-sawah penopang hidup petani beralih fungsi menjadi pemukiman elite. Hutan sudah gundul. Pedagang kaki lima harus kejar-kejaran dengan petugas pamong praja. Selayaknyalah realitas ini dikupas tuntas di ruang-ruang kuliah. Pendidikan gagal menjelaskan realitas ini. Pendidikan lebih banyak menampilkan fantasi dan mimpi. Pendidikan tak pernah mendekatkan kalian dengan alam sekitar.

V

Lantas, apa yang akan kalian perbuat? Masalah sudah mendekati penyelesaian akhir, ketika kita sudah tahu kenapa masalah itu bisa ada, siapa yang membuatnya, kelompok mana yang dirugikan. Kita tinggal melengkapinya dengan pertanyaan: bagaimana kita membasmi penyakit itu. Tidak ada tangkisan tunggal untuk itu. Saya akan menawarkan beberapa jalan di antara sekian banyak jalan yang mungkin dilalui. Berorganisasilah. Berkumpullah bersama teman-teman kalian. Sungguh, organisasi akan mendatangkan banyak faedah bagi kalian. Organisasi yang dewasa akan menyuburkan rasa kebersamaan. Akan menggembleng kalian dengan kerja-kerja organisasi, akan menjadikan kalian menjadi manusia bertanggung jawab. Organisasi paling “asyik” ada di kampus. Tempat berdiskusi. Di organisasi kalian akan mengalami, menyelesaikan, dan mengerjakan pelbagai perkara bersama. Organsisasi adalah jalan untuk mematahkan pengalaman sesat berpikir dalam pendidikan. Utuhkan pribadi kalian dengan kemampuan berikut, yang tidak boleh dianggap enteng: membaca dan menulis. Membaca yang membuat kita kenal dengan dunia dengan semua tetek bengeknya. Menulis akan mengenalkan siapa kalian sebenarnya. Selamat datang, saudara-saudariku.

]]>