Coen Husain Pontoh – IndoPROGRESS https://indoprogress.com Media Pemikiran Progresif Sun, 01 Jun 2025 11:38:21 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.4.3 https://indoprogress.com/wp-content/uploads/2021/08/cropped-logo-ip-favicon-32x32.png Coen Husain Pontoh – IndoPROGRESS https://indoprogress.com 32 32 Adam Hanieh: Imperialisme AS dan Posisi Timur Tengah dalam Imperialisme Global https://indoprogress.com/2025/05/imperialisme-as-dan-posisi-timur-tengah-dalam-imperialisme-global/ Fri, 30 May 2025 15:35:47 +0000 https://indoprogress.com/?p=238980 Ilustrasi: The Break-Down


ADAM Hanieh adalah seorang profesor Ekonomi Politik dan Pembangunan Global di University of Exeter, Inggris, yang penelitiannya berfokus pada kapitalisme dan imperialisme di Timur Tengah. Buku terbarunya adalah Crude Capitalism:Oil, Corporat Power, and the Making of the World Market. Dalam wawancara mendalam dengan Federico Fuentes untuk LINKS International Journal of Socialist Renewal, Hanieh mengeksplorasi perlunya mengedepankan transfer nilai dalam memahami imperialisme, peran Israel dalam kapitalisme fosil global, dan meningkatnya pengaruh negara-negara Teluk.

Artikel ini diterjemahkan dan diterbitkan ulang di sini untuk kepentingan pembangunan gerakan anti-imperialisme di Indonesia.


Federico Fuentes (FF): Selama satu abad terakhir, istilah imperialisme telah digunakan untuk mendefinisikan berbagai situasi yang berbeda dan, terkadang, digantikan oleh konsep-konsep seperti globalisasi dan hegemoni. Apakah konsep imperialisme masih berlaku? Jika ya, bagaimana Anda mendefinisikannya?

Adam Hanieh (AH): Tentu saja masih valid dan ada banyak hal yang dapat dipelajari dari para penulis klasik tentang imperialisme, seperti Vladimir Lenin, Nikolai Bukharin, dan Rosa Luxemburg, serta dari kontribusi dan perdebatan yang terjadi kemudian, termasuk dari para marxis anti-kolonial di tahun 60-an dan 70-an.

Pada tingkat yang paling umum, saya mendefinisikan imperialisme sebagai bentuk kapitalisme global yang berpusat pada ekstraksi dan transfer nilai yang terus-menerus dari negara-negara miskin (atau pinggiran) ke negara-negara kaya (atau inti), dan dari kelas-kelas di negara-negara miskin ke kelas-kelas di negara-negara kaya. Saya pikir ada kecenderungan untuk mereduksi imperialisme menjadi sekadar konflik geopolitik, perang, atau intervensi militer. Namun, tanpa memahami konsep inti mengenai transfer nilai ini, kita tidak dapat memahami imperialisme sebagai fitur permanen dari pasar dunia yang beroperasi bahkan di masa-masa yang seharusnya “damai”.

Cara-cara transfer nilai ini berlangsung sangat kompleks dan membutuhkan pemikiran yang cermat. Ekspor kapital sebagai investasi asing langsung ke negara-negara yang dikuasai adalah salah satu mekanismenya. Kontrol langsung dan ekstraksi sumber daya adalah mekanisme lainnya. Tetapi kita juga perlu melihat berbagai mekanisme dan hubungan keuangan yang telah meluas sejak tahun 1980-an: misalnya, pembayaran cicilan utang yang dilakukan oleh negara-negara di Global South. Ada juga perbedaan nilai tenaga kerja antara negara-negara inti dan pinggiran, sesuatu yang telah dieksplorasi oleh para ahli teori imperialisme dari tahun 60-an dan 70-an, seperti Samir Amin dan Ernest Mandel. Pertukaran yang tidak setara dalam perdagangan adalah jalan lain. Dan tenaga kerja migran adalah mekanisme lebih lanjut yang sangat penting di mana transfer nilai terjadi. Memikirkan berbagai bentuk ini membuka pemahaman kita tentang dunia saat ini – lebih dari sekadar pertanyaan tentang perang atau konflik antar negara.

Pendekatan terhadap imperialisme melalui transfer nilai ini membantu mengungkapkan siapa yang diuntungkan. Lenin mengedepankan kapital keuangan (finance capital), yang merupakan hasil dari semakin terintegrasinya kontrol atas kapital perbankan (banking capital) dan kapital industri (industrial capital), atau kapital produktif (productive capital). Hal ini masih berlaku. Namun, saat ini lebih rumit, di mana beberapa lapisan borjuasi yang mendominasi di pinggiran telah terintegrasi sebagian ke dalam kapitalisme di inti. Mereka tidak hanya sering memiliki kewarganegaraan di negara-negara tersebut, tetapi juga mendapatkan keuntungan dari hubungan imperialisme ini. Ada juga lebih banyak kepemilikan kapital lintas batas dan munculnya zona keuangan lepas pantai, yang membuatnya lebih sulit untuk melacak kontrol dan aliran kapital. Memahami imperialisme saat ini membutuhkan pemetaan yang lebih baik tentang siapa yang diuntungkan dari integrasi ke dalam pusat-pusat inti akumulasi kapital, dan cara-cara di mana pasar keuangan yang berbeda saling terhubung.

Fitur ketiga yang muncul dari transfer nilai ini adalah konsep aristokrasi buruh. Hal ini sangat penting dalam membahas kolonialisme dan imperialisme, yang sudah ada sejak zaman Karl Marx dan Friedrich Engels, tetapi sering disalahartikan atau tidak dimasukkan ke dalam pemikiran marxis kontemporer. Jika kita menelaah lebih mendalam pamflet Lenin, Imperialisme, Tahap Tertinggi Kapitalisme, dan melihat tulisan-tulisannya yang lain tentang imperialisme, kita akan menemukan bahwa ia mendedikasikan perhatian yang signifikan untuk menganalisis implikasi politik dari hubungan imperialisme dalam menciptakan lapisan-lapisan sosial di negara-negara inti yang politiknya menjadi berorientasi dan terhubung dengan kaum borjuis mereka sendiri. Wawasan ini masih tetap valid dan perlu dikedepankan lagi. Di Inggris, misalnya, hal ini membantu menjelaskan karakter Partai Buruh Inggris yang jelas-jelas pro-imperialis.

Salah satu ciri imperialisme kontemporer yang tidak diteorikan dengan baik di awal abad ke-20 adalah bagaimana dominasi imperialisme selalu terikat dengan jenis ideologi rasis dan seksis tertentu, yang membantu membenarkan dan melegitimasinya. Saat ini, kita dapat melihat hal ini dalam konteks Palestina. Sangatlah penting untuk mengintegrasikan anti-rasisme dan feminisme ke dalam cara kita berpikir tentang kapitalisme, anti-imperialisme, dan perjuangan anti-imperialisme. Neville Alexander melakukan hal ini dalam konteks Afrika Selatan, seperti halnya Walter Rodney, seorang marxis anti-kolonial dari Guyana, dan Angela Davis di Amerika Serikat.


FF: Banyak yang setuju bahwa setelah Perang Dingin, politik dunia didominasi oleh imperialisme AS/Barat. Namun, pergeseran relatif tampaknya sedang terjadi dengan kebangkitan ekonomi Tiongkok, Rusia menginvasi Ukraina, dan bahkan negara-negara yang lebih kecil, seperti Turki dan Arab Saudi, yang melebarkan kekuatan militer di luar perbatasan mereka. Secara umum, bagaimana kita dapat memahami dinamika yang terjadi di dalam sistem imperialis global?

AH: Sejak awal tahun 2000-an, kita telah melihat munculnya pusat-pusat akumulasi kapital baru di luar AS. Cina berada di garis depan dalam hal ini. Hal ini pada awalnya terkait dengan aliran investasi asing langsung ke Cina dan wilayah Asia Timur yang lebih luas, yang bertujuan untuk mengeksploitasi tenaga kerja murah sebagai bagian dari penataan ulang rantai nilai global. Namun sejak saat itu, kebangkitan Cina telah dikaitkan dengan melemahnya kapitalisme AS secara relatif dalam konteks krisis global yang mendalam dan semakin dalam.

Erosi relatif dari kekuatan AS ini dapat dilihat di berbagai metrik. Selama tiga dekade terakhir, dominasi AS atas teknologi, industri, dan infrastruktur utama telah melemah. Salah satu indikasinya adalah turunnya pangsa AS dalam PDB global dari 40% menjadi sekitar 26% antara tahun 1985-2024. Juga telah terjadi pergeseran relatif dalam kepemilikan dan kontrol perusahaan-perusahaan kapitalis terbesar di dunia. Jumlah perusahaan Tiongkok di Global Fortune 500, misalnya, menyalip AS pada tahun 2018 dan tetap seperti itu hingga tahun lalu, ketika AS mendapatkan kembali kepemimpinannya (139 perusahaan AS dibandingkan dengan 128 perusahaan Tiongkok). Representasi Tiongkok dalam daftar ini telah meningkat dari hanya 10 perusahaan pada tahun 2000. Meskipun kebangkitan Tiongkok sebagian besar mengorbankan perusahaan-perusahaan Jepang dan Eropa, ada juga penurunan kontrol AS atas kapital besar: dalam 25 tahun terakhir, pangsa AS di Global Fortune 500 telah turun dari 39% menjadi 28%.

Yang penting, indikasi-indikasi penurunan relatif AS ini tercermin di dalam negeri. Kapitalisme AS didera oleh masalah sosial yang parah: menurunnya angka harapan hidup, penahanan massal, tunawisma, penyakit mental, dan runtuhnya infrastruktur penting. Neoliberalisme dan polarisasi kekayaan yang ekstrem telah mengikis kapasitas negara AS untuk merespons krisis besar – seperti yang terlihat pada pandemi Covid-19 dan, yang terbaru, pada musim badai tahun 2024 dan kebakaran Los Angeles pada Januari 2025.

Namun, kita perlu menekankan melemahnya kekuatan AS adalah secara relatif. Saya tidak yakin dominasi AS akan segera runtuh. AS masih memiliki keunggulan militer yang sangat besar dibandingkan para pesaingnya, dan sentralitas dolar AS tidak perlu dipertanyakan lagi. Yang terakhir ini adalah sumber utama kekuatan AS karena memungkinkan AS untuk menyingkirkan pesaing dari pasar keuangan dan sistem perbankan AS (terutama terlihat jelas sejak peristiwa 9/11). Begitu banyak kekuatan geopolitik AS diartikulasikan melalui dominasi keuangannya – alasan lain mengapa kita perlu mempertimbangkan imperialisme lebih dari sekadar bentuk militernya.

Ada juga gambaran yang lebih besar dari persaingan global ini yang harus kita tekankan: berbagai krisis yang saling berhubungan yang sekarang menandai kapitalisme secara global. Kita dapat melihat hal ini dalam stagnasi tingkat keuntungan dan melimpahnya surplus kapital uang (money capital) yang kesulitan menemukan lokasi investasi yang menguntungkan; peningkatan besar dalam utang publik dan swasta; serta kelebihan produksi di banyak sektor ekonomi. Semua itu diperparah oleh situasi darurat iklim yang semakin nyata. Jadi, ketika kita berbicara tentang dinamika sistem imperialis global, ini bukan hanya masalah persaingan antar negara dan membandingkan kekuatan AS versus kekuatan kapitalis lainnya. Kita perlu menempatkan konflik-konflik ini dalam krisis sistemik jangka panjang yang sedang dihadapi oleh semua negara.


FF: Bagaimana Anda memahami kemunculan Presiden AS Donald Trump dalam semua ini?

AH: Banyak komentator liberal menggambarkan Trump sebagai sosok egosentris yang memimpin pemerintahan yang telah dibajak oleh miliarder ekstremis sayap kanan, atau bahkan secara diam-diam dituding dikendalikan oleh Rusia. Namun, menurut saya, perspektif semacam ini salah. Terlepas dari sifat narsistiknya, Trump sebenarnya mewakili sebuah proyek politik yang jelas, yang mencoba merespons masalah umum yang baru saja saya uraikan: bagaimana cara menghadapi kemunduran relatif posisi AS di tengah krisis sistemik yang lebih besar yang dihadapi kapitalisme global?

Jika Anda mengikuti diskusi di antara para penasihat ekonominya, terdapat bukti kuat mengenai hal ini. Contoh yang paling jelas adalah analisis panjang yang ditulis oleh Stephen Miran, seorang ekonom yang baru saja dikukuhkan sebagai ketua Dewan Penasihat Ekonomi Trump,  pada November 2024. Menurut Miran, ekonomi AS telah menyusut relatif terhadap PDB global selama beberapa dekade terakhir, namun AS menanggung biaya untuk mempertahankan “payung pertahanan” dunia dalam menghadapi persaingan antarnegara yang semakin meningkat. Yang paling penting, menurutnya, dolar AS dinilai terlalu tinggi karena perannya sebagai mata uang cadangan internasional, yang berakibat pada melemahnya kapasitas manufaktur AS.

Untuk mengatasi masalah tersebut, ia mengusulkan agar AS menerapkan ancaman tarif untuk memaksa sekutu AS menanggung bagian yang lebih besar dari biaya imperialisme. Miran mengatakan, pendekatan ini juga bertujuan untuk membawa kembali manufaktur ke dalam negeri – suatu hal yang dianggap strategis jika terjadi perang. Dia juga mengusulkan serangkaian langkah untuk membatasi dampak inflasi dari rencana ini dan mempertahankan dolar AS sebagai mata uang yang dominan meskipun terjadi devaluasi (dia secara eksplisit menunjukkan pentingnya dolar AS untuk memproyeksikan dan mengamankan kekuatan AS). Perspektif seperti ini sedang didorong oleh pemerintahan Trump, termasuk Menteri Keuangan Scott Bessent.

Poin kuncinya bukanlah apakah rencana ini berhasil atau masuk akal secara ekonomi, tetapi memahami motivasi di baliknya. Rencana ini secara eksplisit disusun sebagai cara untuk mengatasi masalah yang dihadapi AS dan kapitalisme global, dan untuk menegaskan kembali keunggulan global AS dengan mengalihkan biayanya ke bagian lain dunia. Pemerintahan Joe Biden mengusulkan solusi yang berbeda, tetapi bergulat dengan masalah yang sama, berbicara secara terbuka tentang mengintensifkan “persaingan strategis” dan kebutuhan untuk menemukan cara bagi AS untuk “mempertahankan keunggulan intinya dalam persaingan geopolitik”.

Jadi, kita harus mendekati pemerintahan Trump sebagai aktor dengan proyek yang koheren. Jelas ada banyak sekali kontradiksi dan ketegangan internal yang ditimbulkan oleh proyek ini, dan ketidaksepakatan yang jelas dari beberapa seksi kapital AS dan sekutu asing yang sudah lama ada. Tetapi ketegangan-ketegangan ini juga merupakan cerminan dari sifat kapitalisme global yang sangat tidak stabil saat ini.

Artikulasi domestik dari proyek ini, seperti yang sering terjadi pada masa krisis, dibangun di atas pengkambinghitaman, rasisme yang ganas dan sikap anti-migran, irasionalisme anti-ilmiah, penyangkalan terhadap iklim, serta politik gender dan seksualitas yang sangat konservatif. Semua jenis kiasan ideologis ini berfungsi untuk mempromosikan nasionalisme, militerisme, dan perasaan bahwa sebuah negara sedang dikepung. Hal ini memungkinkan lebih banyak lagi penindasan oleh negara dan pemotongan belanja sosial. Tentu saja, hal ini tidak hanya terjadi di Amerika Serikat. Kebangkitan global dari ideologi-ideologi sayap kanan ini merupakan indikasi lebih lanjut bahwa kita sedang menghadapi krisis sistemik yang lebih besar yang sedang dihadapi oleh semua negara kapitalis.

Saya ingin menekankan kembali keadaan darurat iklim. Kita dapat melihat bagaimana pemerintahan Trump merobek-robek peraturan lingkungan dan berusaha mempercepat produksi minyak dan gas dalam negeri sebagai salah satu cara untuk menegaskan kembali kekuatan kapitalisme AS (melalui penurunan biaya energi). Namun, sangat jelas pula bahwa kita sedang memasuki fase kehancuran iklim yang tidak dapat diprediksi, yang secara material akan berdampak pada miliaran orang dalam beberapa dekade mendatang. Kaum kanan mungkin menyangkal realitas perubahan iklim, tetapi pada akhirnya hal ini terjadi karena kapitalisme tidak dapat membiarkan apa pun berdampak buruk pada akumulasi. Kita perlu memusatkan perhatian pada masalah iklim dalam politik kita saat ini, karena masalah ini akan semakin merasuk ke dalam segala hal.

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.


FF: Berbagai penjelasan yang saling bersaing telah ditawarkan untuk menjelaskan dukungan imperialis AS/Barat terhadap perang Israel di Gaza. Apa pandangan Anda? Bagaimana proses normalisasi antara Israel dan negara-negara Arab cocok dengan hal ini? Dan apa dampak dari peristiwa 7 Oktober dan genosida Gaza terhadap hal ini?

AH: Kita harus melihat hubungan AS-Israel dalam konteks wilayah yang lebih luas, dan tidak hanya melalui lensa tentang apa yang terjadi di dalam perbatasan Palestina atau motivasi para pemimpin Israel. Hal ini membutuhkan latar belakang imperialisme AS dan sentralitas kawasan ini terhadap kapitalisme fosil global.

Bangkitnya AS sebagai kekuatan kapitalis yang dominan berkaitan erat dengan pergeseran ke minyak sebagai bahan bakar fosil utama pada pertengahan abad ke-20. Hal ini memberikan Timur Tengah – sebagai pusat ekspor minyak dunia dan zona produksi energi yang sangat penting – sebuah peran yang sangat penting dalam proyek global AS. Di Timur Tengah, Israel telah menjadi pilar utama pengaruh AS, terutama setelah perang (Arab-Israel) tahun 1967, di mana Israel menunjukkan kemampuannya untuk mengalahkan gerakan-gerakan nasionalis Arab dan perjuangan-perjuangan anti-kolonial. Dalam hal ini, AS selalu berada di kursi kemudi hubungan ini – bukan Israel, dan tentu saja bukan lobi Israel.

Pilar lain dari kekuatan AS di Timur Tengah adalah negara-negara Teluk, khususnya Arab Saudi. Sejak pertengahan abad ke-20, AS telah membangun hubungan istimewa dengan kerajaan-kerajaan Teluk, yang bertindak sebagai penghalang bagi kelangsungan hidup mereka selama mereka tetap berada dalam sistem aliansi regional AS yang lebih luas. Hal ini berarti menjamin aliran minyak ke pasar dunia dan memastikan bahwa minyak tidak pernah digunakan sebagai “senjata”. Hal ini juga berarti bahwa triliunan dolar yang diperoleh negara-negara Teluk melalui penjualan minyak sebagian besar disirkulasikan kembali ke pasar-pasar keuangan Barat.

Sama halnya dengan status globalnya, dominasi AS di kawasan ini telah terkikis selama dua dekade terakhir. Hal ini tercermin dari meningkatnya peran negara-negara asing lainnya di kawasan ini (seperti Cina dan Rusia), dan perjuangan kekuatan-kekuatan regional untuk memperluas pengaruh mereka (misalnya Iran, Turki, Arab Saudi, dan Uni Emirat Arab). Yang juga penting, ada juga pergeseran ke arah timur dalam ekspor minyak dan gas Teluk, yang sekarang mengalir terutama ke Cina dan Asia Timur, daripada ke negara-negara Barat.

Sebagai tanggapan, AS telah berusaha untuk menyatukan dua sekutu regional utamanya dengan menormalkan hubungan politik, ekonomi, dan diplomatik antara negara-negara Teluk dan Israel. Proyek ini sudah ada sejak beberapa dekade yang lalu, namun semakin intensif di bawah Perjanjian Oslo pada tahun 90-an. Baru-baru ini, kita melihat Israel menormalkan hubungan dengan UEA dan Bahrain melalui Perjanjian Abraham tahun 2020. Pada tahun itu, Israel juga menormalkan hubungan dengan Sudan dan Maroko. Langkah-langkah signifikan ini diikuti pada tahun 2022 dengan penandatanganan perjanjian perdagangan bebas antara UEA dan Israel.

Kita perlu membaca tindakan Israel dan genosida di Gaza melalui lensa ini. Bahkan saat ini, setelah peristiwa 7 Oktober dan genosida, dan di tengah-tengah pembicaraan tentang pengusiran lebih lanjut warga Palestina dari tanah mereka, tujuan AS tetaplah normalisasi hubungan antara Israel dan negara-negara Teluk sebagai sarana untuk menegaskan kembali keunggulannya di wilayah tersebut.


FF: Namun, apakah usulan Trump untuk membersihkan Gaza secara etnis akan mempersulit pemerintah-pemerintah di wilayah tersebut untuk menormalisasi hubungan dengan Israel?

AH: Usulan Trump untuk melakukan pembersihan etnis lebih lanjut di Gaza jelas beresonansi dengan sebagian besar spektrum politik Israel. Namun, ada banyak hambatan untuk melakukan hal ini, dimulai dengan fakta bahwa negara-negara seperti Yordania dan Mesir tidak ingin melihat pengungsi Palestina dalam jumlah besar ke wilayah mereka.

Namun negara-negara seperti Arab Saudi, Yordania dan Mesir tidak memiliki pandangan yang berbeda dengan proyek AS. Pada prinsipnya, kerajaan Saudi tidak memiliki masalah dalam menormalkan hubungan dengan Israel, dan mereka tentu saja memberikan lampu hijau bagi UEA untuk melakukannya sebagai bagian dari Kesepakatan Abraham. Ada keselarasan yang sangat erat antara AS dan negara-negara Teluk, yang semakin meningkat di bawah kepemimpinan Trump. Kita dapat melihat hal ini dari fakta bahwa Arab Saudi menjadi tuan rumah negosiasi AS-Rusia saat ini, dan dalam pengumuman UEA baru-baru ini bahwa mereka berencana untuk menginvestasikan 1,4 triliun dolar AS di AS selama dekade berikutnya.

Pada saat yang sama, jelas sangat sulit bagi proyek ini untuk bergerak maju tanpa adanya kekalahan dari pihak Palestina di Gaza dan di tempat lain, dan semacam persetujuan dari pihak Palestina. Solusi potensial untuk dilema ini ditemukan di Tepi Barat, dalam bentuk Otoritas Palestina (PA). PA adalah kuncinya karena PA telah menciptakan lapisan politisi Palestina dan kelas kapitalis Palestina yang kepentingannya terkait dengan akomodasi dengan Israel dan yang bersedia untuk memfasilitasi normalisasi regional (yang merupakan inti dari Perjanjian Oslo). Jadi, kita tidak boleh membaca negara-negara Arab sebagai sesuatu yang secara genetis menentang pembersihan etnis dan normalisasi seperti yang diusulkan oleh Trump.


FF: Monopoli minyak nasional yang dijalankan oleh negara-negara Timur Tengah (dan negara-negara non-Barat lainnya) telah mengambil alih posisi perusahaan-perusahaan Barat di pasar minyak global. Bagaimana hal ini memengaruhi posisi Timur Tengah dalam kapitalisme global?

AH: Selama dua dekade terakhir kita telah melihat kebangkitan perusahaan-perusahaan minyak nasional yang besar, yang mengubah dinamika industri minyak global. Negara-negara Teluk menonjol dalam hal ini, terutama Saudi Aramco, produsen dan eksportir minyak terbesar di dunia saat ini, melampaui perusahaan-perusahaan besar Barat yang mendominasi industri ini hampir sepanjang abad ke-20.

Perusahaan-perusahaan minyak nasional ini telah mengikuti jejak perusahaan-perusahaan minyak besar Barat untuk menjadi terintegrasi secara vertikal. Pada tahun 70-an, negara-negara penghasil minyak seperti Arab Saudi, sebagian besar berfokus pada ekstraksi minyak mentah hulu. Namun saat ini, perusahaan-perusahaan minyak nasional mereka aktif di sepanjang rantai nilai. Mereka terlibat dalam penyulingan dan produksi petrokimia dan plastik. Mereka memiliki jalur pelayaran, jaringan pipa, kapal tanker, dan stasiun layanan di mana bahan bakar dijual. Mereka memiliki jaringan pemasaran global.

Pada saat yang sama, kita telah melihat munculnya apa yang saya sebut dalam Crude Capitalism sebagai “poros hidrokarbon Timur-Timur”. Dengan kebangkitan Cina, ekspor minyak Teluk telah berpaling dari Eropa Barat dan AS, dan ke arah timur menuju Cina dan Asia Timur secara lebih luas. Kita tidak hanya berbicara tentang ekspor minyak mentah, tetapi juga produk penyulingan dan petrokimia. Hal ini telah menyebabkan saling ketergantungan yang semakin besar antara kedua wilayah ini, yang sekarang menjadi poros utama industri minyak global di luar AS.

Bukan berarti pasar dan perusahaan minyak Barat tidak penting. Perusahaan-perusahaan besar Barat masih mendominasi di AS dan blok Amerika Utara yang lebih luas. Tetapi kita dihadapkan dengan pasar minyak global yang terfragmentasi, di mana hubungan Timur-Timur ini semakin mencerminkan melemahnya pengaruh AS – secara global dan di Timur Tengah.


FF: Apa implikasi dari hal ini terhadap anggapan bahwa sejumlah perusahaan milik negara, baik yang berskala transnasional maupun berasal dari negara non-Barat, dapat beroperasi secara sukses tanpa bergantung pada dukungan institusional dari kekuatan imperialis?

AH: Perusahaan-perusahaan ini bukanlah perusahaan milik AS atau Barat, tetapi mereka masih memiliki hubungan penting dengan perusahaan-perusahaan minyak Barat (termasuk melalui proyek-proyek bersama) dan aktif di pasar-pasar Barat. Kilang minyak terbesar di AS adalah milik Saudi. Jadi, kita tidak perlu mengadu domba satu dengan yang lain, seolah-olah ada perbedaan mendasar tentang bagaimana mereka, sebagai blok fosil, melihat masa depan industri ini. Mereka benar-benar berdiri di sisi yang sama dalam hal darurat iklim. Kita dapat melihat hal ini dalam peran penting negara-negara Teluk dalam menghalangi dan mengalihkan setiap respons global yang efektif terhadap keadaan darurat ini.


FF: Selain memperdalam hubungan dengan Cina, negara-negara Teluk semakin menunjukkan kesediaan mereka untuk bertindak secara otonom dan bahkan bersaing untuk mendapatkan pengaruh di wilayah tersebut. Bagaimana Anda menjelaskan peran negara-negara Teluk ini?

AH: Terkait dengan melemahnya kekuatan AS secara relatif, aktor-aktor lain, termasuk negara-negara Teluk, telah berusaha untuk memproyeksikan kepentingan regional mereka sendiri.

Mereka telah menggunakan berbagai mekanisme: mensponsori berbagai kelompok bersenjata atau gerakan politik atau menjadi tuan rumah bagi berbagai kekuatan politik yang berbeda (kasus Qatar menonjol di sini); memberikan bantuan keuangan kepada negara-negara seperti Mesir dan Libya; intervensi militer di tempat-tempat seperti Yaman dan Sudan; dan dengan mengendalikan pelabuhan dan rute logistik. Dengan cara-cara ini, negara-negara Teluk telah berusaha untuk meningkatkan jejak regional mereka.

Hal ini sebagian berkaitan dengan akibat dari pemberontakan Arab (Arab uprisings) tahun 2011, yang dengan cepat menyebar ke seluruh wilayah, menggoyahkan penguasa otoriter yang telah lama berkuasa, seperti di Mesir dan Tunisia. Negara-negara Teluk memainkan peran utama dalam upaya memulihkan negara-negara otoriter ini setelah pemberontakan.

Ada juga persaingan antara negara-negara Teluk, terutama Arab Saudi dan Qatar, tetapi juga antara Arab Saudi dan UEA. Mereka tidak selalu sepakat dalam segala hal, dan terkadang mendukung pihak yang saling berlawanan – misalnya di Sudan (di mana Arab Saudi mendukung Angkatan Bersenjata Sudan dalam perang saudara yang sedang berlangsung, sementara UEA membantu Pasukan Dukungan Cepat/Rapid Support Forces).

Namun, meskipun relatif menurun, AS tetap menjadi kekuatan imperialis utama di kawasan ini. Hal ini terbukti melalui kehadiran militernya secara langsung di Teluk, di mana AS memiliki fasilitas dan pangkalan militer di negara-negara seperti Bahrain, Arab Saudi, dan UEA. AS masih menjadi penyangga terakhir – secara militer dan politik – bagi rezim-rezim Teluk.


FF: Istilah subimperialis kadang-kadang digunakan untuk menggambarkan negara-negara seperti ini, yang keduanya berada di bawah kekuatan imperialis tetapi beroperasi dengan otonomi dalam lingkup pengaruh mereka. Apakah Anda melihat ini sebagai istilah yang berguna untuk memahami negara-negara Teluk?

AH: Meskipun istilah subimperialisme dapat menangkap beberapa hal yang diwakili oleh negara-negara ini, negara-negara Teluk tidak memiliki kemampuan untuk memproyeksikan kekuatan militer mereka dengan cara yang sama seperti yang dilakukan oleh negara-negara Barat. Itu tidak berarti bahwa mereka tidak membangun kapasitas militer, tetapi mereka sebagian besar masih beroperasi melalui proksi dan sangat bergantung pada payung militer AS. Seperti yang telah saya sebutkan, ada pangkalan militer AS di seluruh Teluk. Ekspor perangkat keras militer dari negara-negara Barat ke wilayah ini semakin meningkatkan pengawasan Barat terhadap militer Teluk, karena ekspor ini membutuhkan pelatihan, pemeliharaan, dan dukungan yang berkelanjutan.

Meskipun demikian, ekspor kapital dari Teluk ke wilayah yang lebih luas – dan semakin banyak juga ke benua Afrika – sangat nyata. Ekspor kapital ini mencerminkan transfer nilai lintas batas. Juga sangat jelas bahwa konglomerat-konglomerat yang berbasis di Teluk telah menjadi penerima manfaat utama dari gelombang neoliberal yang melanda Timur Tengah selama beberapa dekade terakhir, di mana ekonomi dibuka, dan tanah serta aset-aset lainnya diprivatisasi. Saya tidak hanya berbicara tentang konglomerat Teluk milik negara, tetapi juga konglomerat swasta besar. Jika Anda melihat ke seluruh wilayah di sektor-sektor seperti perbankan, ritel, agribisnis, Anda akan melihat konglomerat negara dan swasta yang berbasis di Teluk.

Inilah sebabnya mengapa sangat penting untuk memikirkan kawasan ini dalam konteks kepentingan kapitalis dan pola akumulasi kapital, bukan hanya konflik antar negara.


FF: Iran terkadang dianggap sebagai kekuatan kecil atau subimperialis, mengingat konfliknya yang simultan dengan imperialisme AS dan perannya yang semakin meluas di kawasan ini. Yang lain melihatnya sebagai ujung tombak “Poros Perlawanan/Axis of Resistance” anti-imperialis di wilayah tersebut. Bagaimana Anda melihat peran Iran?

AH: Istilah “Poros Perlawanan” menyesatkan karena menyiratkan terlalu banyak kesepakatan bulat antara sekumpulan aktor yang cukup heterogen dengan kepentingan, basis sosial, dan hubungan dengan politik yang sangat berbeda, baik di dalam negeri maupun di kawasan. Pada dasarnya, hal ini berusaha untuk menempatkan tanda plus di mana (mantan Presiden AS George W Bush) meletakkan tanda negatif dengan “Axis of Evil”. Ini adalah cara yang sederhana dalam berpolitik.

Kita harus secara jelas dan tegas menentang segala bentuk intervensi imperialis Barat di Iran atau wilayah yang lebih luas (baik secara langsung atau melalui Israel). Ini bukan hanya berarti intervensi militer, tetapi juga intervensi ekonomi dan bentuk-bentuk intervensi lainnya. Sanksi adalah hal yang besar dalam kasus Iran.

Pada saat yang sama, kita harus menyadari bahwa Iran adalah negara kapitalis, dengan kelas kapitalisnya sendiri, yang memiliki tujuan-tujuannya sendiri di kawasan ini dan secara lebih luas. Sama seperti negara-negara Teluk, Iran mencoba memproyeksikan kekuatan regionalnya, di tengah konteks destabilisasi pasca-2011, melemahnya kekuatan AS dan semua hal lain yang telah kita bahas.

Memang benar bahwa Iran melakukannya di luar proyek AS untuk kawasan ini, seperti yang telah terjadi selama beberapa dekade. Namun, mengakui karakter kapitalis negara Iran berarti kita juga harus berdiri dalam solidaritas dengan gerakan-gerakan sosial dan politik yang progresif di Iran, baik itu perjuangan buruh dan serikat buruh (yang masih terus berlanjut), perjuangan perempuan, perjuangan rakyat Kurdi, dan seterusnya. Ini adalah gerakan-gerakan yang harus kita dukung sebagai kaum sosialis, dalam kerangka politik anti-imperialis.

Titik awalnya adalah secara konsisten bersikap anti-kapitalis dalam cara kita berpikir tentang negara dan gerakan, yang berarti tidak memberikan dukungan politik kepada pemerintah kapitalis – siapa pun mereka, di mana pun mereka berada. Kita dapat bersolidaritas dengan orang-orang yang sedang berjuang dan juga menentang intervensi imperialis dalam segala bentuknya. Tetapi, kita tidak boleh mereduksi kompleksitas kapitalisme di Timur Tengah menjadi semacam geopolitik manichean, yang memandang hubungan global secara biner dan moralistik: ”baik vs jahat”, ”kita vs mereka”, ”demokrasi atau otoritarianisme”.

]]>
Hizkia Yosias Polimpung: Teknofeodalisme, Pengaruh dan Dampaknya di Pemerintahan Donald Trump https://indoprogress.com/2025/04/teknofeodalisme-di-pemerintahan-donald-trump/ Mon, 28 Apr 2025 06:23:18 +0000 https://indoprogress.com/?p=238932 Ilustrasi: Current Affairs


SEGERA setelah Donald Trump dilantik sebagai Presiden Amerika Serikat (AS) pada 20 Januari 2025, serangkaian kontroversi segera menyeruak dari Gedung Putih. Selain retorika yang bernuansa ekstrem kanan atau kanan jauh, ada juga fenomena yang perlu kita soroti serta bicarakan, yaitu masuknya beberapa tokoh bisnis raksasa yang bergerak di sektor digital capitalism atau venture capitalists seperti Elon Musk dan Peter Thiel ke dalam lingkaran inti pemerintahan. Mereka ini, dalam perkembangan sistem ekonomi-politik kapitalisme saat ini, disebut-sebut sebagai kelompok teknofeodalisme atau neofeodalisme. 

Fenomena masuknya para Tech Giants ke dalam struktur kekuasaan politik ini menarik untuk didiskusikan lebih jauh, terkait dengan apa itu neofeodalisme dan bagaimana dampaknya pada kita. Untuk itu, Coen Husain Pontoh, editor IndoPROGRESS, berbincang-bincang dengan Hizkia Yosias Polimpung, peneliti di Monash University, Malaysia, dan juga sebagai editor IndoPROGRESS.


Coen Husain Pontoh (CHP): Bisa dijelaskan apa yang dimaksud dengan teknofeodalisme atau neofeodalisme ini?

Hizkia Yosias Polimpung (HYP): Dalam diskusi mengenai teknofeodalisme, beberapa pemikir seperti Yanis Varoufakis, Jodi Dean, Cedric Durand, dan lainnya kerap disebut. Meskipun pandangan mereka beragam, ada benang merah yang menghubungkan pemikiran mereka, yaitu perhatian terhadap meningkatnya praktik rent-seeking (perburuan rente) di era digital, di mana ekonomi tidak lagi semata-mata berlandaskan pada keuntungan dalam pengertian marxis. Dalam konsep marxis, profit diperoleh dari surplus nilai tenaga kerja yang dibayar lebih rendah daripada nilai produksinya—relasi yang asimetris antara pekerja dan kapitalis. Asimetris dalam artian kita tidak dibayar menurut kontribusi kita, tapi menurut satuan jam kerja dan seterusnya. 

Namun, dalam konteks ekonomi platform atau ekonomi cloud, sumber keuntungan utama tidak lagi berasal dari eksploitasi langsung atas upah pekerja, melainkan dari praktik penarikan sewa (rent). Pola sewa ini berbeda dari yang dijelaskan Marx di masanya, di mana sewa dibayar secara langsung dan nyata. Kini, bentuk sewanya tersembunyi melalui mekanisme iklan digital. Pengguna platform sesungguhnya “membayar” dengan data pribadi yang mereka hasilkan saat menggunakan layanan, dan data tersebut diolah menjadi informasi yang bernilai ekonomi. Sering kali muncul anggapan keliru bahwa perusahaan teknologi besar secara langsung menjual data pribadi pengguna. Padahal, dalam praktiknya, yang diperjualbelikan adalah analisis dan pola-pola perilaku (insights) yang diperoleh dari kumpulan data dalam skala besar. Misalnya, data pengguna aplikasi seperti Gojek, dapat menunjukkan pola keramaian di lokasi tertentu pada waktu tertentu—informasi ini kemudian dijual kepada pengiklan atau pelaku bisnis untuk menentukan strategi pemasaran mereka.

Dengan demikian, pengguna platform secara tidak langsung membayar “sewa” melalui kontribusi data, sebagai ganti atas akses gratis ke layanan digital. Fenomena ini mencerminkan munculnya sebuah pola ekonomi baru yang berpusat pada ekstraksi sewa digital, menggantikan dominasi sebelumnya yang berada di tangan kapital finansial. Kini, perusahaan-perusahaan teknologi besar seperti Apple, Amazon, Alphabet (Google), Microsoft, dan Nvidia, yang dikenal sebagai Big Six Tech Companies atau Big Tech, menjadi aktor utama dalam ekonomi global, bahkan melampaui keuntungan yang diperoleh bank-bank besar di AS. Perubahan ini menunjukkan adanya pergeseran struktural dalam modus produksi yang menentukan arah ekonomi Amerika saat ini. Dan menariknya, ini terjadi bahkan sebelum kita membahas dimensi politik global seperti peran AS sebagai kekuatan imperial informal. Pergeseran ini membantu menjelaskan mengapa perusahaan-perusahaan teknologi raksasa kini memiliki pengaruh begitu besar dalam struktur ekonomi dan kekuasaan Amerika.


CHP: Apakah kamu setuju dengan konsep tekno-feodalisme, yang pada intinya, adalah tentang ekonomi berbasis sewa (rent)?

HYP: Jika konsep ini kita gunakan sekadar untuk merujuk pada fenomena yang ada, maka ia mungkin berguna sebagai alat analisis. Namun, menurut saya, apabila konsep ini dijadikan landasan praksis, maka manfaatnya sangat terbatas. Jika merujuk pada pemikiran Marx, khususnya di Capital jilid III, Marx membagi kelas berdasarkan sumber pendapatan menjadi tiga: (1) kelas borjuis yang memperoleh pendapatan dari laba (profit); (2) kelas buruh yang memperoleh penghasilan dari upah; dan (3) kelas feodal yang hidup dari sewa (rent).

Dari ketiga kelas ini, hanya kelas buruh yang memiliki potensi sebagai subjek revolusioner utama, meskipun ketiganya bisa memiliki sisi revolusioner. Ketika berbicara mengenai pengorganisasian buruh dalam struktur sosial ini, kekuatan buruh hanya terletak pada proses produksi. Maka, jika kita memandang fenomena hari ini melalui lensa feodalisme, perspektif tersebut menjadi kurang relevan karena buruh tidak memiliki posisi tawar dalam relasi sewa. Pada akhirnya, dalam kerangka seperti itu, harapan satu-satunya hanya tertuju pada negara. Karena itu, menurut saya, perlu ada upaya teoretis untuk tetap memandang dinamika ini dalam kerangka produksi dan bukan semata-mata dalam kerangka feodalisme atau rent-seeking. Fokus kita seharusnya diarahkan pada bagaimana proses penciptaan nilai dan laba (profit making) tetap berlangsung di balik fenomena sewa tersebut. Dibutuhkan imajinasi teoretis yang lebih tajam untuk mengungkap aspek-aspek produktif yang mendeterminasi praktik rent-seeking ini.

Itu sebabnya, jika konsep teknofeodalisme diterima begitu saja tanpa kritik, maka secara teoretis kita kehilangan ruang untuk membicarakan perjuangan kelas. Sebab, dalam logika rent-seeking, kelas pekerja tidak lagi memiliki posisi sentral, bahkan tidak punya suara. Padahal, dalam kerangka marxian, kekuatan revolusioner terletak pada kelas buruh—dan konsep teknofeodalisme, jika diambil mentah-mentah, justru mengaburkan posisi strategis tersebut.


CHP: Tadi kamu menyebutkan bahwa secara data, kelompok yang disebut sebagai tekno-feodalisme saat ini memang sangat berpengaruh. Apakah ini yang menjadi alasan mengapa mereka berhasil masuk ke dalam struktur kekuasaan pemerintahan baru AS di era Donald Trump?

HYP: Dalam konteks tersebut, kemunculan dan dominasi big tech seyogianya tidak semata-mata dipahami melalui kacamata korupsi atau ketidakmampuan pemerintah. Pendekatan materialisme historis diperlukan untuk menunjukkan bahwa kebangkitan big tech berkaitan erat dengan perubahan struktural dalam pola produksi dan reproduksi kehidupan material. Ada pergeseran fundamental dalam sistem produksi di AS, dari fase finansialisasi menuju fase baru yang belum sepenuhnya terdefinisikan—untuk sementara dapat kita sebut sebagai teknologisasi. Pergeseran inilah yang, menurut saya perlu dianalisis secara sistemik, karena belum banyak yang mengaitkan dinamika ini dengan variabel-variabel makro-struktural yang kompleks. Kebetulan, selama dua hingga tiga tahun terakhir, kajian saya memang berfokus pada aspek makroekonomi dari perubahan ini. Namun sebelum masuk lebih jauh ke pembahasan tersebut, saya sempat menangkap satu potret menarik: video Elon Musk yang sedang menggendong anaknya di Oval Office—sebuah simbol yang merefleksikan bagaimana kekuatan big tech kini telah berkelindan dengan struktur politik.

Menurut saya, salah satu hal yang menarik dari fenomena bangkitnya big tech adalah karena, pada titik tertentu, narasi yang disuarakan oleh figur seperti Elon Musk dan Donald Trump memiliki kebenaran. Mereka menyoroti bagaimana perekonomian tidak lagi berpihak pada rakyat, bagaimana praktik korupsi hanya menguntungkan segelintir pihak, dan bagaimana manfaat ekonomi justru dinikmati oleh negara lain. Jika kita melihat dari data neraca transaksi berjalan, defisit AS sempat mencapai ratusan miliar dolar, bahkan menembus angka 300 miliar dolar pada 2008. Secara sederhana, angka ini menunjukkan besarnya ketergantungan pada impor. Pertanyaannya, jika sebagian besar kebutuhan dipenuhi melalui impor, lalu apa yang sebenarnya masih diproduksi di dalam negeri? Dari sini kita dapat melihat bagaimana tren deindustrialisasi berlangsung secara masif, yang pada gilirannya mendorong banyak pekerja ke kondisi ‘lumpen’—tercerabut dari pekerjaan tetap dan kehilangan kapasitas untuk berorganisasi secara ekonomi maupun sosial. Ketika sektor manufaktur mengalami kemunduran dan sektor finansial tidak mampu menyerap tenaga kerja dalam skala besar, satu-satunya sektor yang mampu menjadi penyangga adalah big tech. Pergeseran struktural inilah yang memungkinkan mereka mengisi kekosongan tersebut dan memperluas dominasinya.


CHP: Sebelum kita masuk lebih jauh ke pembahasan makroekonomi, saya ingin kamu memperjelas terlebih dahulu apa yang kamu maksud ketika menyebut bahwa kritik-kritik yang disampaikan oleh Donald Trump atau Elon Musk—tentang inefisiensi, korupsi, dan lain sebagainya—memang benar adanya. Apakah yang ingin kamu tunjukkan sebenarnya adalah bahwa semua itu merupakan bagian dari dinamika perubahan dalam perkembangan kapitalisme? Bahwa kita sedang menyaksikan transisi dari kapitalisme berbasis industri, bergeser ke kapitalisme finansial, dan kini menuju kapitalisme digital? Ataukah sebenarnya penjelasannya lebih tepat jika kita letakkan dalam konteks deindustrialisasi sebagai respons terhadap krisis kapitalisme industrial, atau sebagai konsekuensi dari kegagalan keynesianisme dan runtuhnya sistem Bretton Woods pada akhir dekade 1960-an?

HYP: Sebagian besar kritik yang disampaikan oleh Elon Musk dan Donald Trump, bahkan sejak masa kampanye mereka, pada dasarnya memiliki landasan karena memang mencerminkan adanya pergeseran dalam struktur kapitalisme atau basis material kapitalisme di AS. Pergeseran ini tidak bisa dilepaskan dari posisi AS sebagai pusat imperialisme global, meskipun sifatnya lebih informal. Namun, untuk memahami fenomena ini secara utuh, kita perlu menggunakan perspektif makroekonomi dan tidak sekadar membatasi pembacaan pada sektor industri atau dinamika produksi semata.

Jika kita tarik kaitannya dengan sistem Bretton Woods, hal pertama yang harus digarisbawahi adalah bahwa posisi Amerika tidak dapat dijelaskan dengan kerangka yang sama seperti negara-negara lain. Ini karena dolar AS berfungsi sebagai mata uang internasional, memberi Amerika kekuasaan yang unik—mereka dapat mencetak dolar tanpa batasan hukum internasional yang mengaturnya sebagai kekuatan imperial. Terkait dengan runtuhnya Bretton Woods, memang ada benang merah yang perlu dicermati. Kegagalan sistem ini berakar pada saat dolar AS dijadikan mata uang internasional. Patut dicatat, pada awalnya Amerika sebenarnya menolak posisi ini, karena saat itu mereka belum siap menanggung beban kebijakan ekonomi global seperti pengendalian suku bunga, nilai tukar, maupun stabilitas makroekonomi internasional. Menariknya, ada pula catatan historis yang menyebutkan adanya motif politik di balik kebijakan tersebut. Berdasarkan catatan harian Menteri Keuangan saat itu, Henry Morgenthau, muncul dugaan bahwa Partai Demokrat mendorong dominasi dolar agar dapat menciptakan ketergantungan global terhadap mata uang tersebut, yang pada akhirnya memberi keuntungan politik dan ekonomi bagi Amerika, khususnya bagi partai yang berkuasa saat itu.

Inti dari poin yang ingin saya sampaikan adalah bahwa, terlepas dari praktik politik transaksional yang melibatkan para oligarki, kita dapat melihat bahwa berbagai pergeseran struktural ini pada akhirnya menegaskan menguatnya dominasi kekuatan finansial. Penguatan sektor finansial, yang dibarengi dengan kebijakan memanfaatkan status dolar sebagai mata uang internasional, turut mendorong proses deindustrialisasi. Hal ini terjadi karena arus dolar yang terus mengalir keluar negeri tidak hanya membiayai konsumsi impor Amerika, tetapi juga menopang pembangunan sektor manufaktur di negara lain.

Sementara itu, kelas pekerja di Amerika justru terpinggirkan dan semakin kehilangan posisi dalam struktur ekonomi. Jeritan dan ketidakpuasan kelas pekerja inilah yang kemudian ditangkap dan dimanfaatkan secara politik oleh figur seperti Donald Trump. Sistem ekonomi yang semakin bergantung pada sektor finansial pada akhirnya lebih menguntungkan segelintir elite oligarki finansial. Kita bisa melihat contohnya pada bank-bank besar di Amerika yang mempekerjakan sangat sedikit tenaga kerja dibandingkan dengan perusahaan seperti Amazon atau Nvidia, yang mampu menyerap jutaan pekerja. Pola penyerapan tenaga kerja inilah yang kemudian menjadi bahan bakar politisasi dalam wacana populis. Oleh karena itu, penting bagi kita untuk membaca perubahan ini melalui lensa materialisme historis, dengan menyoroti bagaimana pergeseran basis produksi di Amerika berpengaruh terhadap posisinya sebagai kekuatan imperial global.


CHP: Dengan demikian, menjadi cukup masuk akal jika salah satu langkah awal yang diambil Donald Trump saat berkuasa adalah menerapkan kebijakan efisiensi, yang diwujudkan melalui pembubaran sejumlah institusi yang secara politik mungkin dianggap strategis bagi Amerika, tetapi dinilai tidak memiliki signifikansi ekonomi. Sebagai contoh, lembaga seperti USAID di luar negeri atau Departemen Pendidikan di dalam negeri menjadi sasaran kebijakan tersebut. Langkah kedua yang ditempuh Trump adalah menaikkan tarif impor, yang kemudian berdampak pada beberapa negara mitra dagang utama seperti Kanada, Meksiko, dan Tiongkok. Selain itu, tidak tertutup kemungkinan bahwa dalam waktu dekat, pemerintahan baru di Amerika Serikat juga akan mendorong implementasi kebijakan terkait keuangan digital, termasuk potensi peluncuran crypto finance. Berdasarkan perkembangan tersebut, menurut pandanganmu, apakah kebijakan-kebijakan ini dapat dibaca sebagai bentuk konkret dari transformasi menuju digital finance atau apa yang disebut sebagai cloud finance?

Yosie: Terkait konsep cloud finance, pandangan saya sebenarnya agak berbeda dari analisis yang diajukan oleh Yanis Varoufakis. Saya belum berani menarik kesimpulan yang lebih substansial mengenai isu ini, sebab fokus utama kajian saya bukanlah pada dinamika di Amerika Serikat. Namun, suka tidak suka, jika kita ingin membaca tren global saat ini, kita tetap perlu melihat Amerika Serikat sebagai episentrum perubahan. Dalam membaca argumen Varoufakis, menurut saya ada beberapa poin penting yang sering luput dari perhatian. Nilai utama dari bukunya bukan terletak pada gagasan mengenai tekno-feodalisme, melainkan pada analisisnya atas modus produksi kontemporer. Ia berhasil menunjukkan kemunculan apa yang ia sebut sebagai cloud capital, yakni bentuk baru dari akumulasi kapital berbasis infrastruktur digital.

Lebih jauh, Varoufakis menyoroti bagaimana cloud capital ini berkelindan dengan finance capital dalam konteks otoritarianisme Tiongkok. Menurutnya, kombinasi antara cloud capital dan finance capital di bawah kendali negara otoriter seperti Tiongkok berpotensi menjadi kekuatan baru yang mampu mengguncang tatanan global, bahkan membuka kemungkinan lahirnya sebuah modus produksi baru. Pertanyaannya tentu saja, apakah modus produksi ini tetap berada dalam kerangka kapitalisme atau justru mengarah ke sosialisme—meskipun itu adalah diskusi lain. Dalam konteks materialisme historis, pergeseran ini mencerminkan transformasi dalam basis produksi dan reproduksi kehidupan material sebagaimana dikemukakan oleh Marx. Varoufakis berargumen bahwa salah satu alasan mengapa Amerika Serikat tertinggal dalam perkembangan ini adalah ketidakmampuannya mengintegrasikan kedua bentuk kapital tersebut. Hal ini dapat diamati dari karakter sektor finansial di Amerika, yang beroperasi berdasarkan logika prediksi, kepastian, dan kontrol atas masa depan. Sebaliknya, pendekatan politik Donald Trump sangat tidak terduga, penuh ketidakpastian, dan tidak sejalan dengan kepentingan bisnis sektor finansial. Ini pula yang menjelaskan mengapa, pada awalnya, bank-bank besar di Amerika tidak berada di belakang Trump, meskipun setelah ia memenangkan pemilu, mereka tetap merapat demi kepentingan pragmatis.

Lebih jauh, kita bisa melihat adanya perbedaan mendasar antara logika bisnis sektor finansial dengan big tech. Keduanya beroperasi dengan kalkulasi dan orientasi yang berbeda. Namun, perkembangan terakhir menunjukkan dinamika baru: bank-bank besar seperti BlackRock dan JP Morgan Chase mulai memasuki ranah tokenisasi aset dunia nyata (Real World Assets/RWA), berupaya menjembatani dunia keuangan tradisional (off-chain) dengan ekosistem keuangan terdesentralisasi (on-chain). Sebaliknya, big tech, terutama yang berafiliasi dengan Trump dan lingkarannya, cenderung membangun jaringan fintech tersendiri yang berorientasi politik.

Fenomena ini tidak terlepas dari krisis struktural yang melatarbelakangi bangkitnya big tech di Amerika Serikat, di mana teknologi blockchain dan crypto menjadi medium baru bagi akumulasi kapital. Krisis tersebut juga terkait dengan kebijakan dolar sebagai senjata ekonomi global yang, dalam jangka panjang, mendorong tren de-dolarisasi. Fragmentasi kapitalisme global yang disebabkan oleh kebijakan proteksionis Amerika Serikat turut memperparah kondisi ini. Ironisnya, alih-alih memperkuat kapitalisme global, kebijakan-kebijakan tersebut justru memicu proses deglobalisasi.

Dalam konteks ini, bank-bank besar seperti BlackRock dan JP Morgan Chase terlihat mencoba ‘me-reglobalisasi’ sistem ekonomi dengan menghubungkan infrastruktur keuangan lama dan baru, sementara big tech justru semakin terintegrasi dengan politik domestik. Pertentangan antara dua kutub kapital besar di Amerika Serikat ini akan membawa implikasi serius di masa mendatang. Di satu sisi, kubu big tech semakin erat dengan politik populis, sementara bank-bank besar berusaha mempertahankan kapitalisme global melalui jalur finansialisasi digital yang berbeda. Keduanya menempuh jalur masing-masing, dan penolakan mereka untuk bersatu mencerminkan ketegangan mendalam dalam struktur kapitalisme Amerika hari ini.


CHP: Salah satu kritik utama terhadap fenomena finansialisasi adalah semakin jauhnya keterkaitan antara sektor finansial dengan sektor riil. Keterputusan ini menciptakan kerentanan struktural yang dapat memicu krisis, seperti yang terjadi pada krisis ekonomi global tahun 2008. Saat ini, situasinya bahkan semakin kompleks dengan kemunculan apa yang disebut sebagai cloud capital atau ekonomi digital. Dalam pandanganmu, bagaimana kamu melihat perkembangan ini ke depan? Apakah ada kemungkinan bahwa sektor finansial dan cloud capital dapat berjalan berdampingan secara stabil, atau justru potensi keterputusan keduanya akan melahirkan krisis ekonomi baru yang skalanya mungkin lebih besar dibandingkan krisis 2008?

HYP: Terkait dengan persoalan sektor ekonomi riil, selama saya mendalami literatur tentang finansialisasi, saya masih belum menemukan penjelasan yang memadai mengenai peran sektor riil dalam dinamika ini. Jika kita merujuk pada karya Costas Lapavitsas berjudul Profiting without Production, ia menyoroti kecenderungan dalam analisis finansialisasi yang lebih banyak menempatkan capital financial sebagai pusat perhatian, sementara capital industrial atau sektor produksi riil cenderung terabaikan. Dalam kerangka ini, akumulasi profit berbasis kapital fiktif sering kali dipandang seolah-olah berdiri sendiri, terlepas dari proses produksi riil. Namun, pandangan ini justru memunculkan pertanyaan kritis: apakah benar kapital finansial dapat sepenuhnya terlepas dari basis produksi material? Jika memang demikian, bagaimana kita dapat menjelaskan terjadinya krisis seperti bubble ekonomi? Oleh karena itu, penting bagi kita untuk memperjelas dan menegaskan kembali fungsi serta posisi sektor riil dalam keseluruhan dinamika kapitalisme finansial.

Namun, dalam konteks ini, saya harus mengakui bahwa saya belum menemukan argumen yang benar-benar meyakinkan. Karena itu, sejauh ini saya berpendapat bahwa konsep ekonomi riil kerap kali hanya dijadikan sebagai alibi dalam kerangka finansialisasi. Meski demikian, perlu diperjelas pada titik mana sektor riil ini benar-benar berfungsi sebagai alibi, misalnya melalui penghitungan kontribusinya terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) dan indikator lainnya. Jika kita merujuk pada penelitian Greta Krippner tahun 2004, ia menunjukkan bahwa sektor finansial – yang sering disebut sebagai FIRE (Finance, Insurance, Real Estate) – telah berkembang pesat di Amerika Serikat hingga mencapai porsi signifikan dalam PDB, bahkan belasan persen. Aspek inilah yang harus menjadi perhatian dalam pembacaan ekonomi saat ini.

Namun, jika kita memperluas definisi ekonomi riil, tidak hanya terbatas pada aktivitas produksi tetapi juga mencakup konsumsi, maka kita bisa melihat adanya dinamika baru. Sebagai contoh, dalam ekonomi digital, individu tetap dapat memperoleh pendapatan tanpa terlibat langsung dalam proses produksi konvensional, sehingga perputaran ekonomi riil tetap terjadi. Selain itu, kita juga perlu mengakui keberadaan sektor riil dalam pengertian tradisional, di mana perusahaan-perusahaan big tech seperti Amazon masih mempekerjakan jutaan pekerja, meskipun sektor ini tidak terlepas dari berbagai persoalan struktural.

Dengan demikian, secara keseluruhan, kita dapat melihat bahwa kedua sektor—yakni sektor ekonomi riil dalam bentuk tradisional maupun sektor digital—masih berjalan dan saling melengkapi. Kedua dimensi ini berhasil diintegrasikan dan dimanfaatkan oleh perusahaan-perusahaan big tech, sementara sektor perbankan besar (big banks) gagal untuk mengkapitalisasi peluang tersebut. Inilah yang menjelaskan mengapa big tech tetap memiliki posisi yang kokoh dan relevan dalam lanskap ekonomi saat ini. Lebih jauh, kondisi ini juga menjadi salah satu sumber energi politik bagi gerakan MAGA, karena mereka mampu menunjukkan secara konkret peningkatan jumlah tenaga kerja dan akumulasi kapital sejak era kepemimpinan Donald Trump. Sebaliknya, bank-bank besar tidak memiliki kapasitas untuk mengklaim hal serupa, sebab mereka tidak mampu mempertahankan narasi ekonomi riil yang bisa menopang logika finansialisasi dalam jangka panjang. Namun, ketika big tech mulai mengintegrasikan finansialisasi melalui teknologi blockchain, cloud finance, dan instrumen keuangan digital lainnya, kita mulai dapat membayangkan bagaimana proses ini membuka jalan bagi formasi ekonomi baru yang menggabungkan sektor riil dan finansial secara lebih efektif


CHP: Jika kita membahas soal eksploitasi, bisakah kamu jelaskan bagaimana mekanisme eksploitasi berlangsung dalam konteks ekonomi digital atau dalam apa yang disebut sebagai era tekno-feodalisme ini? Selain itu, bagaimana karakter eksploitasi tersebut berbeda dibandingkan dengan bentuk eksploitasi yang terjadi di sektor riil pada masa kapitalisme industrial maupun dalam fase kapitalisme finansial?

HYP: Ketika kita berbicara mengenai konsep eksploitasi, maka kerangka analisisnya harus kembali pada logika produksi dalam konteks ekonomi global, khususnya di Amerika Serikat. Penting untuk dipahami bahwa produksi dan sirkulasi kapital bukanlah dua hal yang terpisah, melainkan saling berkaitan secara dialektis. Dalam pengertian ini, sirkulasi kapital dapat dipandang sebagai bagian integral dari proses produksi itu sendiri—sesuatu yang selama ini jarang dijelaskan secara komprehensif.

Jika kita merujuk pada literatur Marx, khususnya dalam Grundrisse, ia pernah menyinggung bahwa pada tahap tertentu dalam perkembangan kapitalisme, proses sirkulasi akan berkembang sedemikian rupa hingga menjadi momen produksi tersendiri. Lalu, apa konsekuensi konkretnya? Saat ini, kita dapat melihat bahwa proses sirkulasi—yakni realisasi profit—terjadi pada saat konsumsi berlangsung, ketika orang melakukan pembelian. Dengan kata lain, proses konsumsi itu sendiri telah menjadi bagian dari proses produksi nilai. Pandangan ini tentu menuntut kita keluar dari kerangka marxisme ortodoks yang cenderung memisahkan produksi dan konsumsi secara kaku. Dan ironisnya, kondisi di mana konsumsi menjadi bagian dari produksi ini justru paling tampak dalam praktik bisnis big tech saat ini, yang berhasil memanfaatkan pola tersebut secara nyata.

Contoh paling sederhana dapat kita lihat ketika seseorang melakukan aktivitas scrolling di Instagram. Secara kasat mata, kita tampak seperti sekadar mengonsumsi produk digital yang disediakan oleh META. Namun, pertanyaannya: apakah aktivitas konsumsi ini menghabiskan atau mengurangi komoditas tersebut? Tentu saja tidak. Jika dilihat dari perspektif META, aktivitas ini justru merupakan proses produksi data. Data yang dihasilkan oleh pengguna kemudian diolah dan dimanfaatkan untuk memperbesar basis data perusahaan, yang pada akhirnya menjadi fondasi utama model bisnis mereka – seperti yang telah kita bahas sebelumnya. Dengan demikian, kita dapat memandang konsumsi ini sebagai bagian dari proses produksi, bahkan sebagai penciptaan nilai lebih yang lebih eksploitatif dibandingkan dengan kapitalisme manufaktur. Sebab, dalam kapitalisme manufaktur, buruh masih memperoleh upah dari hasil produksinya. Sementara dalam konteks kapitalisme digital hari ini, kita sebagai konsumen justru turut menambah akumulasi kapital tanpa mendapatkan kompensasi apa pun.

Dari pemahaman ini, saya berpandangan bahwa sudah saatnya kita mulai menggeser cara berpikir kita—bukan sekadar pada konsumsi etis seperti menolak produk-produk tertentu, melainkan pada bagaimana konsumsi itu sendiri merupakan bagian dari produksi dan bagaimana proses ini perlu diorganisasi secara politis. Meskipun gagasan ini terdengar abstrak, pendekatan semacam ini memungkinkan kita untuk memahami secara lebih tajam bagaimana logika produksi dan konsumsi kini telah berkelindan, khususnya dalam konteks kapitalisme berbasis cloud capital dan finance capital. Lebih jauh, hal ini juga membuka ruang untuk memetakan implikasi strukturalnya terhadap kondisi kelas pekerja saat ini.


CHP: Dari penjelasan yang kamu sampaikan sebelumnya, saya mulai memahami bagaimana keterkaitan antara big tech, ekonomi digital, dan pola konsumsi saat ini. Artinya, dalam konteks ekonomi digital, ketika kita mengonsumsi sesuatu, kita secara tidak langsung juga berkontribusi pada proses produksi bagi mereka. Dari pemahaman ini, muncul pertanyaan lebih lanjut mengenai dampak dominasi dan menguatnya posisi big tech, khususnya dalam konteks pemerintahan Donald Trump, terhadap dinamika internasional. Misalnya, bagaimana implikasinya terhadap hubungan Amerika Serikat dengan Tiongkok, yang saat ini sering dipandang sebagai pesaing utama dalam sektor ekonomi digital. Kamu juga sempat menyebutkan sebelumnya bahwa Tiongkok justru lebih berhasil dalam mengintegrasikan ekonomi digital dan finansial. Menurut pandanganmu, apakah situasi ini akan membawa dampak signifikan terhadap konfigurasi ekonomi politik global di masa mendatang?

 HYP: Ketika struktur imperialisme yang selama ini menopang kapitalisme mengalami keruntuhan, perlu dipahami bahwa keruntuhan ini tidak serta-merta berarti bahwa Amerika Serikat menjadi negara yang miskin atau kehilangan kekuatan. Sebaliknya, yang runtuh adalah karakter kapitalisme dalam bentuk globalisasinya. Dalam kajian Hubungan Internasional, terdapat satu pertanyaan mendasar yang menjadi titik tolak lahirnya disiplin ini, sebuah pertanyaan yang sederhana namun sangat krusial, yaitu: bagaimana mencegah terjadinya perang? Meskipun dalam perkembangannya muncul berbagai pendekatan baru seperti teori kritis, posmodernisme, dan pos-strukturalisme, inti dari studi Hubungan Internasional tetap berakar pada persoalan mendasar tersebut—mencari cara untuk menghindari konflik bersenjata di level global.

Pada dekade 1960-an, berkembang perspektif liberal-fungsionalisme dan teori-teori sejenis yang, menurut saya, sangat menarik dan relevan untuk diskusi kita saat ini. Hal ini disebabkan karena argumen yang diajukan oleh para pemikir liberal pada masa itu cukup meyakinkan. Mereka berpendapat bahwa salah satu cara paling efektif untuk mencegah terjadinya perang adalah dengan menciptakan keterkaitan yang kuat antarnegara, atau dalam istilah lain, melalui proses globalisasi—khususnya melalui jalur perdagangan dan kerja sama ekonomi. Dari gagasan ini lahirlah konsep interdependensi, yakni keyakinan bahwa saling keterikatan ekonomi antarnegara akan membuat konflik bersenjata menjadi tidak rasional dan terlalu mahal untuk dilakukan. Sebagai contoh, jika suatu negara berniat menyerang negara lain—misalnya Amerika Serikat hendak menyerang Tiongkok—maka tindakan tersebut tidak hanya akan merugikan pihak yang diserang, tetapi juga akan membawa kerugian besar bagi sektor-sektor ekonomi domestik negara penyerang. Dengan demikian, dalam logika liberal, semakin terhubungnya negara-negara melalui jaringan ekonomi global akan membuat perdamaian menjadi pilihan yang lebih rasional. Singkatnya, globalisasi dianggap identik dengan perdamaian.

Kondisi saat ini justru menunjukkan arah yang berbeda, di mana pemerintahan Donald Trump mendorong proses deglobalisasi. Situasi ini membawa kita kembali pada relevansi pertanyaan fundamental yang pernah mengemuka pada dekade 1960-an, yaitu bagaimana mencegah terjadinya perang. Sebab, dalam konteks deglobalisasi, insentif bagi Amerika Serikat untuk menjaga stabilitas dan keterhubungan global semakin menurun, sehingga biaya politik dan ekonomi untuk melancarkan konflik menjadi relatif lebih murah. Selain itu, jika kita mengamati konfigurasi kekuatan di sekitar Trump, mayoritas figur-figur utama di sektor big tech berada di spektrum politik kanan, yang menjadi karakteristik khas dalam politik Amerika Serikat. Narasi seperti “Make America Great Again” mencerminkan bagaimana Trump dan lingkarannya memandang Tiongkok bukan sebagai mitra strategis, melainkan sebagai ancaman langsung. Salah satu contohnya dapat dilihat dari isu terbaru terkait pelarangan Deepseek, yang mencerminkan kecenderungan untuk memandang segala sesuatu yang terkait dengan Tiongkok secara negatif dan penuh kecurigaan. Dalam konteks ini, prediksi-prediksi pesimistis yang sering muncul di kalangan studi Hubungan Internasional—bahwa dinamika semacam ini akan membawa pada ketegangan dan potensi konflik terbuka—kembali menemukan momentumnya. 

Saya pribadi pun berbagi kekhawatiran yang sama. Menurut saya, kita perlu mulai mempersiapkan diri atas kemungkinan meningkatnya risiko terjadinya perang, sebab bagi Amerika Serikat, biaya untuk melancarkan perang saat ini menjadi jauh lebih rendah dibandingkan pada masa ketika globalisasi masih berlangsung. Potensi kerugian yang harus ditanggung Amerika Serikat akibat konflik bersenjata tidak lagi sebesar sebelumnya. Yang perlu diwaspadai adalah situasi ketika Amerika Serikat mencapai titik keyakinan tertentu bahwa mereka mampu bertahan secara mandiri tanpa perlu mengandalkan keterkaitan global.

Jika kita berbicara mengenai kemungkinan terjadinya perang dalam arti konvensional atau fisik, realitas saat ini menunjukkan bahwa Tiongkok masih berada jauh di belakang Amerika Serikat dalam hal kekuatan militer. Bahkan jika kekuatan Tiongkok dikombinasikan dengan negara-negara seperti Rusia, Turki, dan lainnya, kesenjangan kekuatan militer tersebut masih tetap signifikan. Oleh karena itu, menjadi sangat penting bagi Tiongkok, dan juga Rusia, untuk menghindari tindakan-tindakan yang dapat memicu provokasi terhadap Amerika Serikat. Dalam kerangka berpikir untuk mencegah konflik, posisi strategis bagi kedua negara tersebut adalah tidak memberikan alasan atau justifikasi bagi Amerika Serikat untuk melancarkan aksi militer


CHP: Skenario yang kamu sampaikan ini tampak cukup suram dan mengarah pada situasi yang pesimistis. Jika kondisi ini terus berlanjut, atau jika agenda yang didorong oleh kalangan big tech berhasil terealisasi sepenuhnya, maka bukan tidak mungkin eskalasi konflik, bahkan potensi terjadinya perang, akan menjadi konsekuensi yang sulit dihindari. Dalam konteks tersebut, saya ingin mengetahui pandanganmu terkait posisi negara-negara berkembang seperti Indonesia. Menurutmu, sikap atau strategi seperti apa yang sebaiknya diambil oleh Indonesia dalam menghadapi dinamika global yang semakin tidak menentu ini?

HYP: Dalam hal ini, saya pribadi banyak terinspirasi oleh pemikiran Ho Chi Minh. Saat masih berada di Prancis, salah satu gagasan utama yang ia tekankan adalah pentingnya membangun koneksi antara kelas pekerja di pusat-pusat kekuasaan imperial (imperial metropol) dengan kelas pekerja di wilayah pinggiran (periphery). Bagi Ho Chi Minh, inilah esensi dari semangat internasionalisme. Tentu saja, gagasan ini mudah untuk dibicarakan, tetapi jika kita melihat kondisi saat ini, pertanyaannya adalah: kelas pekerja mana yang benar-benar memiliki orientasi internasionalis? Bahkan di Indonesia, misalnya, sejauh mana Partai Buruh atau konfederasi serikat pekerja telah berpikir dalam kerangka perjuangan kelas internasional? Pada kenyataannya, fokus utama mereka masih berkutat pada isu-isu mendasar seperti kenaikan upah atau pengurangan jam kerja.

Namun, apa yang hendak ditunjukkan oleh Ho Chi Minh adalah bahwa proses imperialisme—dalam konteksnya, imperialisme Prancis—tidak akan berhenti kecuali kekuatan imperial tersebut berhasil dilemahkan dari dalam, dan satu-satunya kekuatan yang dapat melakukannya adalah kelas pekerja di negara pusat imperialisme itu sendiri. Secara intuitif, hal ini terasa kontradiktif, karena seolah-olah kelas pekerja di negara periferi justru harus mendukung perjuangan kelas pekerja di negara pusat, seperti Amerika Serikat. Padahal, kondisi kelas pekerja di negara-negara seperti Indonesia sendiri masih jauh dari sejahtera. Inilah pekerjaan besar yang perlu diemban oleh para pemikir progresif, baik di Indonesia maupun di negara-negara lain. Mereka perlu menghidupkan kembali perspektif internasionalisme dalam perjuangan kelas, menggeser fokus dari sekadar tuntutan normatif seperti upah dan kebijakan pemerintah yang timpang. Dalam konteks saat ini, salah satu bentuk solidaritas internasional yang paling strategis adalah mendukung perjuangan kelas pekerja di Amerika Serikat dalam melawan dominasi tekno-feodalisme, big tech, big finance, dan bank-bank besar yang menjadi pilar utama kapitalisme global.

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.


CHP: Kalau di level negara, menurut kamu kira-kira apa yang bisa dilakukan oleh Indonesia? Atau kamu tidak punya harapan atau tidak melihat ada sesuatu yang bisa pemerintah Indonesia lakukan di tengah skenario terburuk seperti yang kamu sampaikan tadi?

HYP: Jika kita mengamati kondisi pemerintahan Prabowo saat ini, menurut saya cukup jelas bahwa tidak ada ruang bagi agenda semacam ini untuk dijalankan. Pada titik ini, sikap yang mungkin diambil hanyalah menerima kondisi yang ada.

Namun, mari kita bayangkan sebuah skenario utopis di mana negara dipimpin oleh kekuatan progresif. Dalam konteks tersebut, salah satu langkah strategis yang dapat diambil adalah mendorong dan mengampanyekan perspektif internasionalisme sebagai bagian dari kebijakan luar negeri. Kampanye ini dapat diwujudkan melalui pernyataan politik yang tegas dan luas untuk menunjukkan solidaritas terhadap perjuangan kelas pekerja di Amerika Serikat. Sebab, harus diakui bahwa kekuatan yang paling mungkin mampu melemahkan dominasi imperialisme Amerika Serikat adalah kelas pekerja di negara tersebut sendiri. Saya pribadi tidak melihat kemungkinan bahwa Tiongkok, misalnya, dapat melakukannya melalui intervensi langsung. Jika pun itu terjadi, besar kemungkinan pendekatannya akan bersifat militer dan terjadi di masa mendatang. Namun, dalam kerangka sistem kedaulatan negara yang berlaku saat ini, pada akhirnya hanya kelas pekerja di Amerika Serikat yang memiliki potensi riil untuk melemahkan dominasi imperialisme tersebut. Karena itu, internasionalisme harus selalu diarahkan untuk menopang perjuangan kelas pekerja di level akar rumput, melalui berbagai bentuk dukungan seperti pemberontakan, intervensi, bantuan finansial, dan strategi-strategi lainnya. 

Selain itu, ada langkah lain yang dapat diupayakan pada tataran moneter, meskipun secara intuitif hal ini tampak bertentangan. Salah satu kemungkinan strategis adalah mendorong penguatan dolar AS, namun di saat yang sama berupaya melepaskan keterikatan antara dolar dengan kepentingan politik Amerika Serikat. Gagasan ini masih bersifat hipotetis, tetapi jika kita perhatikan, apa yang sedang diupayakan oleh institusi seperti BlackRock tampaknya mengarah ke sana: memperkuat posisi dolar AS hingga melampaui sekadar instrumen kekuatan Amerika Serikat. Alasan utama di balik strategi ini adalah karena dolar AS sudah terlanjur menjadi tulang punggung globalisasi ekonomi dunia, dan saat ini hanya mata uang tersebut yang mampu menjaga keterhubungan sistem ekonomi global. Jika kita lihat dari sudut pandang para pelaku bisnis, pilihan mereka menggunakan dolar bukan semata-mata karena paksaan Amerika Serikat, melainkan karena tingkat keamanannya yang sangat tinggi. Di sisi lain, terdapat kecenderungan politik yang berlawanan, terutama yang diperlihatkan oleh Donald Trump, yang berupaya menarik kembali dominasi dolar ke dalam kerangka kepentingan nasional Amerika dan mendorong proses deglobalisasi—yang dalam arti tertentu bertentangan dengan logika kapitalisme global. Trump tidak menginginkan dolar menjadi simbol kapitalisme global, melainkan tetap menjadi milik eksklusif Amerika Serikat. Sementara itu, kapitalisme global justru menghendaki agar dolar tetap berfungsi sebagai infrastruktur utama bagi akumulasi kapital di tingkat global. Dengan demikian, perjuangan di level moneter terletak pada bagaimana menciptakan kondisi di mana dolar AS tetap memiliki fungsi internasional, bahkan melampaui kepentingan politik Amerika Serikat itu sendiri—sebuah proyek yang, secara ironis, sejalan dengan kepentingan kapitalisme global dan bertentangan dengan agenda politik Trump.

Mungkin gagasan ini masih terasa jauh dari diskursus yang umum kita temui saat ini. Namun, menurut saya, penting untuk mulai membuka ruang berpikir ke arah ini—yakni pada jalur yang lebih abstrak, yang berkaitan dengan persoalan moneter, finansial, dan struktur kebijakan ekonomi global. Dengan kata lain, perjuangan tidak boleh semata-mata terfokus pada sektor manufaktur atau ekonomi industrial semata. Sudah saatnya kita mulai mendiversifikasi bentuk perjuangan, termasuk mengupayakan intervensi dan keterlibatan di ranah kebijakan moneter serta sektor keuangan global.


CHP: Sebelumnya, kamu telah menjelaskan beberapa langkah yang dapat diambil oleh gerakan kelas sosial dan kelas pekerja dalam merespons menguatnya ekonomi digital dan implikasinya di tingkat internasional. Namun, menurutmu, adakah strategi lain yang juga bisa ditempuh oleh gerakan sosial dalam menghadapi dominasi kelompok tekno-feodal, baik dari segi politik maupun ekonomi?

HYP: Menurut saya, dalam jangka pendek situasinya cukup sulit dan saya sendiri cukup pesimis. Namun, jika kita berbicara dalam kerangka jangka panjang—dengan asumsi bahwa konflik besar atau perang tidak terjadi dalam lima hingga sepuluh tahun ke depan—maka masih ada ruang untuk berharap. Tentu saja, hal ini mensyaratkan adanya kemampuan untuk mengorganisasi gerakan secara efektif. Langkah pertama yang perlu dilakukan adalah masuk melalui jalur konsumsi dalam sistem ekonomi yang ada saat ini. Pertanyaan mendasarnya adalah bagaimana memastikan bahwa konsumsi tersebut dapat terlebih dahulu memenuhi kebutuhan dasar masyarakat. Sebab, selama kebutuhan dasar—seperti rasa kenyang—belum terpenuhi, masyarakat akan tetap rentan dimobilisasi atau dimanipulasi oleh kekuatan politik kanan.


CHP: Kalau ada yang mengatakan bahwa yang bisa dilakukan, misalnya, melakukan regulasi seperti kebijakan yang adil terhadap kalangan digital ekonomi ini atau membangun teknologi alternatif seperti open source. Bagaimana ide-ide ini dalam pandanganmu?

HYP: Jika kita berbicara secara lebih spesifik, platform blockchain yang saat ini digunakan oleh perusahaan-perusahaan besar seperti BlackRock atau Blackstone di Amerika Serikat adalah Ethereum. Menariknya, Ethereum sendiri merupakan salah satu ekosistem yang paling dekat dengan tradisi anarkis, terutama karena sifatnya yang open source. Sayangnya, dalam perkembangan teknologi open source ini, yang paling banyak terlibat justru kalangan anarko, sementara kontribusi dari kalangan marxis relatif sangat sedikit.

Karena itu, menurut saya, arah strategis yang perlu ditempuh sebenarnya hanya satu, yakni membangun infrastruktur internet yang benar-benar baru. Tentu saja, mewujudkan hal ini bukan perkara mudah dan membutuhkan proses yang panjang. Sejauh yang saya ketahui, hanya segelintir inisiatif yang mencoba mengupayakan hal ini, salah satunya adalah Economic Space Agency (ECSA), yang secara eksplisit membawa visi komunis dan tengah berupaya mengembangkan model internet alternatif. Adapun jika kita berbicara mengenai kebijakan dan regulasi, secara realistis saya belum melihat ada satu pun negara yang dapat dijadikan referensi untuk merumuskan kebijakan yang efektif dalam merespons perkembangan ini. Bahkan jika kita menawarkan rekomendasi kebijakan, pada akhirnya hal itu akan bersifat normatif semata, sebab hampir semua negara saat ini justru mengikuti arus perkembangan finansialisasi menuju tokenisasi. Fenomena ini bahkan sudah menjangkau kawasan ASEAN, di mana sejumlah negara mulai mengadopsi teknologi blockchain untuk melakukan tokenisasi aset dunia nyata.

Oleh karena itu, harapan agar pemerintah secara aktif merumuskan regulasi untuk membendung perkembangan ini mungkin penting sebagai wacana akademis, tetapi dalam praktiknya sangat sulit terealisasi. Justru karena alasan tersebut, perebutan kekuasaan negara tetap menjadi krusial, agar gagasan-gagasan normatif seperti internasionalisme, solidaritas bagi kelas pekerja Amerika Serikat, dan diplomasi moneter dapat diwujudkan dalam kebijakan nyata.


CHP: Jika poinnya adalah merebut kekuasaan negara, bagaimana menurutmu perkembangan situasi saat ini? Apakah sudah ada inisiatif atau upaya untuk membangun organisasi serikat pekerja, khususnya di kalangan pekerja digital maupun di lingkungan serikat pekerja secara umum di Indonesia? Selain itu, bagaimana pandanganmu mengenai ide bahwa perjuangan buruh tidak seharusnya berhenti pada pembentukan serikat, melainkan harus dilanjutkan ke tahap yang lebih radikal, yakni mendorong kelas pekerja untuk berjuang merebut kekuasaan negara? Bagaimana kamu melihat prospek dan tantangan dari gagasan ini dalam konteks Indonesia saat ini?

HYP: Menurut saya, ketika kita membahas strategi, maka titik tolak yang harus digunakan adalah analisis terhadap modus produksi. Pergeseran modus produksi yang sebelumnya telah saya uraikan perlu menjadi dasar utama, khususnya terkait bagaimana logika produksi dan konsumsi saat ini telah saling berkelindan dan tidak lagi dapat dipisahkan. Bahkan, Marx pernah menggarisbawahi bahwa sumber utama penciptaan nilai lebih tidak semata-mata berasal dari proses kerja itu sendiri, melainkan justru dari disposable time—yaitu waktu di mana individu tidak sedang bekerja, tidak terlibat dalam proses reproduksi sosial, bahkan tidak produktif dalam pengertian ekonomi. Pada kenyataannya, di luar jam kerja sekalipun, individu tetap berada dalam sirkuit konsumsi: mereka harus membayar cicilan rumah, membeli kebutuhan pokok, memenuhi kebutuhan sandang, pangan, serta kebutuhan hidup lainnya. Dengan demikian, baik saat bekerja maupun di luar jam kerja, individu tetap berkontribusi pada siklus akumulasi kapital melalui konsumsi. Mengingat waktu tidak bekerja secara umum lebih panjang dibandingkan waktu bekerja, maka konsumsi yang terjadi dalam periode tersebut menjadi sangat signifikan. Dari perspektif ini, kita dapat memahami bagaimana konsumsi memainkan peran yang sangat penting dalam kelangsungan kapitalisme kontemporer. Peran tersebut tidak sekadar bersifat normatif, melainkan menjadi salah satu penyumbang utama surplus nilai yang kemudian digunakan oleh kalangan kapitalis sebagai basis kekuatan politik mereka

Lalu, pertanyaannya adalah: apakah memungkinkan bagi serikat pekerja di sektor digital teknologi atau industri kreatif untuk, setidaknya, membatasi kekuasaan perusahaan dari sudut pandang manajemen hubungan industrial? Menurut saya, upaya ini tidak akan menghambat proses produksi nilai lebih, karena sumber utama ekstraksi nilai saat ini bukan hanya dari pekerja, coder, atau developer, melainkan juga dari kita semua sebagai konsumen. Dari situ, kita perlu mulai memikirkan bentuk baru dari serikat pekerja – bukan sekadar serikat konsumen, tapi serikat pekerja-konsumen. Artinya, kita harus mengubah cara pandang bahwa konsumsi hanyalah tindakan pasif. Justru, konsumsi di era digital ini adalah bentuk kerja yang memproduksi nilai, meskipun tak diakui dan tak dibayar. Karena itu, penting untuk mendorong agar undang-undang ketenagakerjaan mengakui bahwa aktivitas konsumsi digital – seperti menggunakan Instagram, TikTok, atau platform digital lainnya—adalah bagian dari proses produksi yang melibatkan kerja tak berbayar. Jika pengakuan ini tercapai, maka hubungan industrial bisa diperluas hingga mencakup para pengguna platform tersebut. Lebih jauh, kita perlu membayangkan skenario di mana, jika perusahaan-perusahaan ini tidak mampu membayar kontribusi para pengguna, ada kemungkinan bagi konsumen untuk mengambil alih kepemilikan, entah melalui koperasi, kepemilikan bersama, atau model serupa. Jadi, pergeseran konsumsi menjadi produksi menuntut kita untuk membangun imajinasi baru soal bagaimana berserikat dan memperjuangkan hak-hak kita di era digital ini.


CHP: Gagasanmu mengingatkan saya pada salah satu program politik yang muncul saat Revolusi Prancis 1848, yaitu mengenai hak atas pekerjaan (right to work). Pada masa itu, konsepnya adalah setiap orang yang bekerja berhak mendapatkan upah, sementara mereka yang tidak bekerja tetap menerima pendapatan, meskipun jumlahnya lebih kecil. Jika kita lihat hari ini, gagasan itu terasa relevan kembali, terutama dalam konteks ekonomi digital, di mana konsumen tampak tidak bekerja, tetapi sebenarnya tetap terlibat dalam proses produksi melalui aktivitas konsumsi mereka. Dengan kata lain, konsumen di era sekarang sebetulnya ikut menciptakan nilai, meskipun tidak diakui secara formal sebagai pekerja. Karena itu, muncul pertanyaan penting: mungkinkah mereka dimasukkan ke dalam kategori pekerja tertentu dan memperoleh hak-hak yang layak atas kontribusi mereka? Apakah skema semacam ini bisa diwujudkan?

HYP: Aku setuju dengan gagasan “hak atas pekerjaan”, tapi menurutku konsep itu masih menitikberatkan pada soal memasukkan kerja ke dalam sektor formal. Fokusnya lebih pada “pekerjaan” sebagai status, bukan pada “upah” atau kompensasi atas kerja yang dilakukan. Padahal, yang lebih relevan dalam konteks sekarang adalah menyoroti soal upah itu sendiri. Ini sejalan dengan tuntutan yang pernah disuarakan oleh para feminis dalam gerakan Wages for Housework. Mereka menyoroti bagaimana kerja-kerja rumah tangga selama ini dianggap tidak produktif karena tidak menghasilkan nilai lebih secara langsung, sehingga tidak dihargai sebagai kerja yang layak dibayar. Meski banyak yang menganggap tuntutan mereka sekadar argumen moral, sebenarnya inti dari perjuangan mereka – seperti yang disampaikan oleh tokoh-tokohnya, semisal Sylvia Federici, Leopoldina Fortunati, dan Mariarosa Dalla Costa – adalah bahwa kerja-kerja rumah tangga turut menghasilkan nilai lebih (surplus value).

Memang, argumen mereka masih bisa diperdebatkan, dan aku sendiri belum sepenuhnya sependapat karena mereka menganggap kontribusi kerja reproduktif ini sifatnya tidak langsung. Tapi, jika kita kaitkan dengan kondisi hari ini, kita bisa melihat bahwa kerja konsumsi di era digital bahkan melampaui kerja rumah tangga, karena kontribusi kita sebagai konsumen secara langsung memproduksi nilai lebih — bukan lagi secara tidak langsung. Jadi, ini adalah babak baru dari eksploitasi kerja yang tidak diakui, bahkan lebih tersembunyi daripada kerja-kerja reproduktif tradisional. Karena itu, perlu ada upaya serius untuk mengorganisir bentuk kerja semacam ini, di samping PR besar kita yang masih tertinggal dalam mengorganisir sektor-sektor kerja formal dan tradisional. Mungkin saja, ruang seperti IndoPROGRESS bisa mengambil peran dalam mendorong agenda ini.


CHP: Tapi kamu belum menjelaskan tentang kenapa penting bagi serikat pekerja baik di sektor digital maupun tradisional untuk merebut negara di era teknofeodalisme yang bukan tidak mungkin akan semakin dominan nantinya.

HYP: Kembali ke argumen saya sebelumnya soal alibi. Pada akhirnya, sebesar apa pun gelembung ekonomi (bubble economy) yang terbentuk, tetap saja ia membutuhkan fondasi ekonomi riil sebagai penyangga atau pembenaran. Terlebih jika kita melihat dari kacamata makroekonomi, bubble tidak akan bisa berdiri sendiri tanpa adanya sirkulasi ekonomi riil, dan sirkulasi itu hanya mungkin terjadi lewat aktivitas perdagangan, dalam hal ini konsumsi.

Karena itu, ketika kita bicara soal merebut kontrol atas negara, yang paling masuk akal dan strategis adalah dengan mensosialisasi alat produksi di sektor ekonomi riil. Sementara untuk sektor finansial, perjuangan untuk merebutnya masih jauh dan membutuhkan proses panjang. Maka, langkah yang lebih konkret saat ini adalah mulai dari sektor riil, melalui penguatan serikat pekerja. Inilah kenapa saya melihat pentingnya teman-teman tetap mendorong pengorganisiran serikat pekerja di sektor riil, walaupun kontribusi sektor ini terhadap ekonomi saat ini mungkin relatif kecil. Justru dari situ kita bisa membangun basis politik yang solid untuk memulai proses proletarianisasi bagi kawan-kawan pekerja yang selama ini lebih dekat pada posisi lumpenproletariat — yakni kelompok yang meskipun bekerja, tetapi tidak terhubung dengan relasi produksi formal yang memungkinkan mereka memiliki posisi tawar. Kita tahu, secara historis, lumpenproletariat jarang menjadi kekuatan progresif, bahkan sering kali mudah terkooptasi oleh kekuatan kanan. Karena itu, penting untuk menarik mereka masuk ke dalam relasi kerja yang jelas, di mana mereka mendapatkan upah, dan dari situ kita bisa mulai memisahkan upah tersebut dari mekanisme kapitalisasi. Dengan begitu, kita membuka ruang bagi mereka untuk mulai memiliki kesadaran progresif.

Meski sebelumnya aku menyebut pentingnya mengorganisir pekerja konsumsi, secara realistis aku pesimis bahwa hal itu bisa langsung dilakukan dalam waktu dekat. Karena itu, perlu ada kekuatan pendorong — semacam vanguard — yang tidak hanya bergerak di sektor manufaktur, tetapi juga mampu menjangkau dan membuka jalan bagi pekerja konsumsi. Bagi saya, saat ini belum ada jalan lain selain memulai dari proses proletarianisasi sektor-sektor kerja tradisional, untuk kemudian memimpin pergeseran menuju pengorganisiran serikat pekerja konsumsi di masa depan.


Wawancara ini adalah transkripsi yang dilakukan oleh Nandito Oktaviano dari program “Wawancara” kanal Youtube IndoPROGRESS TV.

]]>
Membangun Gerakan Sosial Baru: Sebuah Usul https://indoprogress.com/2025/03/membangun-gerakan-sosial-baru/ Sun, 23 Mar 2025 14:23:00 +0000 https://indoprogress.com/?p=238859 Ilustrasi: Ilustruth


PENGESAHAN RUU TNI menjadi UU oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), pada Kamis (20/3), menjadi lonceng kekalahan berulang bagi gerakan sosial di Indonesia. Oligarki, sekali lagi, dengan jemawanya mengabaikan dan merepresi suara dan protes rakyat yang menentang rencana pengesahan peraturan tersebut.

Kekalahan kesekian ini mencerminkan betapa lemahnya kekuatan gerakan sosial di Indonesia. Seorang teman menyatakan, “Lemah, sangat lemah.” Para elite bisa demikian percaya diri membangkitkan kembali arwah dwifungsi TNI yang otoriter bukan semata karena mereka korup, pengkhianat, pengecut, atau a-historis, tetapi lebih karena yakin bahwa apa yang dilakukan tidak akan menyebabkan kekuasaannya goyah. Mereka tahu persis kalau perlawanan rakyat akan muncul, tetapi juga tahu, berdasarkan pengalaman sebelumnya, bentuk dan sifat perlawanan tersebut adalah sporadis, terserak-serak, serta tidak memiliki struktur organisasi dan kepemimpinan yang kuat.

Kelemahan gerakan sosial juga terpengaruh oleh situasi di tingkat internasional. Perubahan dalam dinamika ekonomi-politik global yang tengah terjadi tidak memberikan dukungan pada gerakan sosial. Menguatnya gerakan kanan-jauh, terutama yang dipimpin oleh Presiden Amerika Serikat Donald Trump, membuat isu demokrasi dan hak asasi manusia (HAM) tidak menjadi prioritas bagi Gedung Putih. Pembubaran Agen Pembangunan Internasional Amerika Serikat (USAID) adalah sinyal dari perubahan tersebut. Sementara itu, walaupun peran ekonomi Cina semakin besar di Indonesia, tidak ada yang dapat diharapkan darinya dalam hal penguatan demokrasi, karena kebijakan non-intervensi dalam politik domestik negara tempat mereka berinvestasi.

#Gersosgelap ini adalah kenyataan yang mesti kita terima dengan lapang dada. ”Kita kalah”, demikian tulisan yang muncul di laman Facebook saya. ”Aktivisme klik” ternyata tidak memadai. ”Revolusi klik” juga tidak mencukupi. ”Caci maki” tidak menyelesaikan masalah. Setelah berlapang dada menerima kekalahan, saatnya untuk berpikir dan mencari strategi serta taktik baru untuk membangun kekuatan kembali dan memenangkan pertempuran melawan oligarki. Dalam semangat ini, saya ingin mengajukan beberapa usulan.


Pertama, melihat masalah secara totalitas

Dalam menganalisis permasalahan yang terjadi sejak runtuhnya rezim Orde Baru, salah satu hal yang mencolok dalam gerakan sosial adalah perspektif (cara pandang) parsial, yang berfokus pada isu-isu tertentu. Beberapa pihak menganggap bahwa masalah utama adalah korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN); sementara yang lain menyoroti isu militerisme, HAM, atau manipulasi konstitusi; ada juga yang menekankan pada masalah lingkungan; politik identitas atau populisme; serta beberapa yang melihat problem utamanya adalah ekstrimisme beragama; dan sebagian lain berpendapat kualitas sumber daya manusia yang rendah sebagai masalah yang paling mendasar. Dari perspektif yang parsial ini, pembangunan gerakan kemudian diarahkan untuk merespons isu-isu tersebut.

Saya tidak bermaksud menyatakan bahwa menyoroti dan memberikan fokus pada isu-isu parsial adalah hal yang keliru. Saya juga tidak bermaksud mengatakan kita bisa mengabaikan prioritas, terutama mengingat keterbatasan sumber daya yang ada. Bahkan, harus diakui bahwa analisis dan respons politik dari gerakan sosial terhadap isu-isu tersebut sangatlah cemerlang.

Namun, inti permasalahannya terletak pada perspektifnya yang parsial itu. Jika kita perhatikan, sejak tahun 1998, semua pemerintahan mulai dari Gus Dur hingga Prabowo, telah menerapkan strategi pembangunan kapitalisme-neoliberal yang diusulkan oleh lembaga-lembaga keuangan multilateral. Neoliberalisme menjadi acuan utama karena dianggap sebagai strategi pembangunan yang paling sesuai dengan sistem politik demokrasi liberal, metode terbaik dalam memberantas KKN, serta untuk mengatasi krisis dan pada akhirnya meningkatkan pertumbuhan ekonomi.

Dengan penerapan neoliberalisme yang konsisten selama ini, kita seharusnya bertanya: mengapa problem KKN, kerusakan lingkungan, politik identitas, militerisme, atau ekstremisme beragama terus ada dan berkembang biak? Perspektif totalitas menyatakan bahwa hanya dengan memahami kapitaisme-neoliberal (yakni, dalam totalitasnya) kita baru bisa memahami problem KKN atau militerisme (dalam parsialitasnya) yang terjadi. ”The true is the whole,” kata Hegel. Sebagai contoh konkret, neoliberalisme tidak akan berjalan efektif tanpa adanya oligarki, dan sebaliknya, oligarki akan semakin menguat seiring dengan penerapan neoliberalisme. Karena neoliberalisme (plus oligarki) ini berjalan beriringan dengan demokrasi, maka bukan oligarki yang membajak demokrasi (elektoral), melainkan demokrasi akan menjadi stabil jika ada ruang untuk perkembangan oligarki.

Dari perspektif totalitas ini juga, saatnya gerakan sosial membangun organisasi dan strategi-taktik perjuangannya.


Kedua, perlawanan terhadap kapitalisme-neoliberal

Sejak tahun 1998, kita menyaksikan secara jelas penerapan kebijakan neoliberal seperti liberalisasi perdagangan dan investasi, privatisasi perusahaan-perusahaan milik negara, pasar tenaga kerja yang semakin fleksibel, serta pemotongan anggaran belanja publik secara masif dan agresif. Akibatnya, kondisi ekonomi tidak menunjukkan perbaikan, utang luar negeri semakin membebani anggaran negara, jurang kaya miskin semakin lebar, KKN dan konflik sosial semakin menjadi, ketergantungan perekonomian nasional terhadap ekonomi internasional yang semakin dalam, disertai dengan meningkatnya militerisme, dan lain-lain.

Kondisi objektif ini harus melecut semangat perlawanan terhadap neoliberalisme sebagai inti pembangunan gerakan sosial. Mengandalkan niat baik untuk memberdayakan rakyat di luar konteks perlawanan terhadap neoliberalisme adalah sebuah tindakan karitatif yang tidak secara substansial mengubah kondisi rakyat miskin. Melawan militerisme dengan seruan moral juga sama tidak efektifnya. Sayangnya, dalam situasi kita, masih banyak yang tidak menyadari bahwa akar dari seluruh keterpurukan rakyat miskin selama ini adalah penerapan kebijakan neoliberal oleh rezim kediktatoran Orde Baru (Orba), dan terutama sejak tahun 1998. Masih banyak yang mengumbar analisis bahwa penyebab kemiskinan adalah kualitas pemerintahan yang buruk, sehingga solusinya adalah mengganti pemerintahan dengan yang baru yang (semoga) lebih bersih. Meskipun analisis semacam ini tidak sepenuhnya salah, tetapi menempatkan keburukan itu di luar konteks kapitalisme-neoliberal adalah kesalahan yang sangat serius.


Ketiga, perjuangan politik

Setelah mengidentifikasi kapitalisme-neoliberal sebagai musuh bersama, langkah selanjutnya adalah menentukan metode perjuangan yang akan digunakan. Pada tahap ini, gerakan sosial di Indonesia terbelah dalam dua kubu: pertama, mereka yang meyakini bahwa perubahan tidak harus melalui penggunaan instrumen kekuasaan langsung. Kelompok ini mengklaim dirinya sebagai kelompok non-partisan. Kedua, kelompok yang percaya bahwa tanpa melalui kekuasaan langsung, tidak mungkin kita dapat mengubah kebijakan neoliberal menjadi kebijakan yang anti-neoliberal. Kelompok ini dikenal sebagai kelompok partisan.

Kalau kita melihat garis perjuangan yang ditunjukkan oleh gerakan sosial yang sukses, perjuangan melawan rezim kapitalis-neoliberal pasti merupakan perjuangan politik. Ada dua pemaknaan mengenai perjuangan politik ini. Pertama, kita harus memandang bahwa neoliberalisme bukanlah sekumpulan kebijakan-kebijakan ekonomi semata. Ia bukanlah hitung-hitungan matematika mengenai berapa dana yang bisa dihemat akibat privatisasi BUMN, berapa jumlah total utang luar negeri yang mesti dibayarkan, berapa ongkos yang harus dikeluarkan akibat pemberlakuan subsidi. Neoliberalisme sesungguhnya adalah proyek politik dari kelas berkuasa (para bankir internasional, perusahaan transnasional, lembaga donor, organisasi ekonomi internasional, dan kolaborator lokal), dalam mengakumulasi kekuasaan dalam tangannya agar bisa sesuka hati mengatur dan mengontrol hajat hidup orang banyak.

Kedua, berdasarkan pengertian di atas, penolakan terhadap kebijakan neoliberal pertama-tama dan terutama adalah bersifat politik. Konkretnya, gerakan sosial harus berjuang untuk merebut kekuasaan politik dan mendayagunakan kekuasaan itu untuk menerapkan kebijakan alternatif di luar neoliberalisme. Tanpa perjuangan politik, aktivitas gerakan sosial hanya menjadi instrumen kontrol bagi kekuasaan untuk melanggengkan ketimpangan, ketidakadilan, dan diskriminasi. Padahal kontrol tak pernah mengubah kekuasaan ekonomi, politik, sosial, dan budaya yang timpang.


Keempat, berbasis massa

Dalam periode pasca-kediktatoran Orde Baru, gerakan sosial belum pernah berada dalam kondisi ”berjuang sendirian” seperti saat ini. Secara nasional, penguasa neoliberal berhasil memoderasi dan mengooptasi aktor dan lembaga sosial yang secara tradisional menjadi kawan seperjuangan. Kampus telah berubah menjadi pabrik pemburu profit, mayoritas akademisi dibungkam dengan kegiatan administratif, bahkan lembaga keagamaan seperti Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah akhirnya juga terkooptasi dalam skema neoliberal melalui pelibatan mereka dalam industri pertambangan. Sementara, secara internasional, seperti saya sebutkan sebelumnya, juga sulit memperoleh dukungan yang kuat.

Satu-satunya cara bagi gerakan sosial untuk tetap dapat bertahan dalam medan perjuangan melawan sistem kapitalisme-neoliberal adalah dengan ”bergerak bersama rakyat”. Di sini, perlu sedikit dikemukakan bahwa esensi neoliberalisme terletak pada pelembagaan kekuasaan politik dan ekonomi yang timpang antara rakyat dengan penguasa. Dalam kerangka neoliberal, rakyat diizinkan berpolitik secara damai melalui penyelenggaran pemilihan umum dalam periode waktu tertentu, di mana tujuan utama dari pemilu tersebut adalah untuk memilih pemimpin. Di luar episode pemilu, aspirasi politik rakyat diamanatkan kepada wakil rakyat yang terpilih yang dalam realitasnya sering sekali memperjuangkan aspirasi yang bertentangan dengan aspirasi rakyat pemilihnya. Salah satu contoh terbaiknya adalah pengesahan RUU TNI ini.

Namun, kasus yang menimpa kita ini bukan pengalaman unik kita semata. Hal yang sama juga terjadi di berbagai negara yang mengadopsi kebijakan neoliberal pada masa transisi dari kediktatoran menuju demokrasi. Bercermin dari keberhasilan pembangunan gerakan sosial di berbagai negara tersebut, strategi utama yang diambil gerakan sosial untuk melawan neoliberalisme adalah dengan mengupayakan perubahan radikal dalam hubungan kekuasaan, di mana rakyat menjadi pusat dan tujuan dari kekuasaan itu sendiri. ”Untuk dapat memberantas kemiskinan, berikan kekuasaan kepada rakyat!” ujar Hugo Chávez suatu ketika.

Dengan memprioritaskan pembangunan basis massa, gerakan sosial harus menampung dan memperjuangkan aspirasi massa secara kolektif. Gerakan sosial bukan sekadar perwakilan atau juru bicara bagi massa, melainkan harus menjadi bagian yang organik dari massa itu sendiri. Memparafrasekan kata-kata Mao Zedong, ”Rakyat adalah air, dan gerakan sosial adalah ikan yang berenang di dalamnya.”

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.


Kelima, demokrasi partisipatoris

Kita sudah menyaksikan bersama bagaimana, dalam era neoliberalisme, demokrasi hanya menjadi kereta kencana bagi oligarki. Oleh karena itu, gerakan sosial mesti memperjuangkan tegaknya demokrasi partisipatoris, di mana rakyat memiliki kekuasaan untuk mengelola dan mengontrol kebijakan yang dibuat dan diterapkannya tersebut. Demokrasi partisipatoris itu, misalnya, terlihat pada kepemilikan dan kontrol buruh atas tempat kerja, serta kontrol ekonomi melalui koperasi. Dalam beberapa kasus, bentuk demokrasi partisipatoris merupakan gabungan antara demokrasi perwakilan dan demokrasi langsung (semidirect democracy), seperti dalam kasus pelaksanaan kebijakan anggaran partisipatoris di Porto Alegre, Brasil.

Michael Kaufman dan Haroldo Dilla Alfonso, dalam buku Community Power & Grassroots Democracy The Transformation of Social Life (1997), menyatakan terdapat empat kata kunci dalam memahami demokrasi partisipatoris, yaitu proses, transisi, transformasi, dan pemberdayaan. Proses merujuk pada perubahan yang sedang berlangsung yang termuat di situ kesulitan, konflik yang membatu, dan perjuangan yang ditempuh. Transisi merujuk pada proses yang tidak secara sederhana bermakna modernisasi atau pembangunan, melainkan proses yang menuju pada masa depan yang bersifat alternatif. Prospek masa depan ini memang tidak sepenuhnya bisa dimengerti atau dijelaskan, namun masa depan itu dimengerti sebagai sesuatu yang substansial, yakni kebebasan dari mimpi-mimpi buruk seperti korupsi, pembodohan, kemiskinan, kekurangan gizi berkepanjangan, ketiadaan perumahan, pelayanan kesehatan yang buruk, pengangguran, rasisme, militerismem, seksisme, dan ketakutan.

Adapun transformasi merujuk pada proses transisi yang tidak hanya bersifat kuantitatif atau peningkatan yang bersifat linear, tetapi juga pergeseran yang substansial dan kualitatif dalam hubungan politik, ekonomi, sosial, dan budaya yang terjadi berlangsung setiap hari. Selanjutnya, pemberdayaan mengacu pada metode perubahan dan tujuan yang ingin dicapai. Pada tahap ini, gerakan sosial tidak hanya membahas tentang kontrol terhadap kekuasaan, tetapi juga berfokus pada siapa yang menderita di bawah kekuasaan yang ada, yaitu adalah mayoritas rakyat. Mayoritas ini tidak memiliki alat-alat produksi untuk mengubah kondisi hidupnya yang menderita. Mereka juga tidak memiliki akses ke alat kekuasaan politik yang efektif. Banyak dari mereka tidak terlatih, atau bahkan tidak memiliki kepercayaan diri untuk berpartisipasi dalam proses perubahan secara menyeluruh.

Dalam konteks ini, masih menurut Kaufman Alfonso, satu-satunya hal yang menyatukan pandangan gerakan sosial adalah kenyataan bahwa mayoritas rakyat tidak memiliki kekuasaan dalam membuat dan merealisasikan kebijakan yang berpihak kepadanya.


Keenam, program alternatif yang konkret

Sejak periode 1998, selain dipertontokan oleh dampak dari penerapan kebijakan neoliberal dan praktik durjana para elite, kita juga menyaksikan bangkitnya aksi-aksi perlawanan rakyat yang luar biasa. Tidak hanya kuantitas aksi perlawanannya, tetapi juga pengorbanan jiwa, raga, dan material yang tak terhingga. Agar gelombang perlawanan tersebut mendapatkan kemenangannya, saatnya gerakan sosial mengajukan alternatif pembangunan di luar neoliberalisme. Tanpa alternatif, gerakan sosial hanya akan mendaur ulang rantai “kekecewaan-kemarahan-perlawanan-dan kekalahan”. Gerakan sosial harus bergerak dari slogan “Panjang umur perlawanan!” menuju “Berlawan untuk menang!”

Persoalan merumuskan dan memperjuangkan kebijakan alternatif sudah pasti membutuhkan kerja keras, konsistensi, dan militansi gerakan. Tak ada jalan pintas untuk mencapai kemenangan rakyat miskin. Tetapi, ini saatnya sejarah kembali memberikan momentumnya kepada kita. Kejar, tangkap, dan pegang erat-erat momentum ini.


Coen Husain Pontoh adalah editor dan penerjemah di IndoPROGRESS.

]]>
Demokrasi Terpimpin Sukarno Bukan Rezim Bonapartis Sayap Kiri https://indoprogress.com/2024/12/demokrasi-terpimpin-sukarno-bukan-rezim-bonapartis-sayap-kiri/ Wed, 04 Dec 2024 02:00:40 +0000 https://indoprogress.com/?p=238566 Ilustrasi: Ilustruth


ARTIKEL Iqra Anugrah yang berjudul “Konservatif Dadakan? Teknokrat Ekonomi dan Modernisasi di Indonesia Masa Orde Baru”, yang secara umum membahas peran teknokrat di masa rezim Orde Baru (Orba), menarik untuk didiskusikan lebih lanjut. Namun saya tidak akan membahas soal watak dan peran teknokrat itu sendiri, melainkan tergelitik untuk menanggapi satu kalimat pendek tapi sangat penting dari artikel tersebut, yakni terkait dengan posisi Sukarno di masa Demokrasi Terpimpin. Iqra menulis: “Demokrasi Terpimpin adalah tipikal pemerintahan bonapartis sayap kiri (garis miring dari saya) yang populer di seluruh Dunia Selatan pascakolonial…”

Iqra tidak memberikan penjelasan lebih jauh tentang apa yang dimaksud pemerintahan bonapartis sayap kiri, padahal klaim itu memiliki dampak analitis dan politik yang signifikan dalam cara kita memandang Sukarno dan Demokrasi Terpimpin serta menempatkan peran dan posisi teknokrat berkaitan dengan sikap dan tindakan politik mereka di masa itu. Perlu disampaikan di sini bahwa Iqra bukan orang pertama yang menyematkan klaim bonapartis kepada Sukarno. Beberapa intelektual dan aktivis marxis dari sayap trotskyisme juga memberikan label serupa.


Apa Itu Bonapartisme?

Bonapartisme adalah istilah yang merujuk pada dua peristiwa: pertama, ketika Napoléon Bonaparte melakukan kudeta pada 1799 (yang kemudian dikenal dengan sebutan Coup of 18 Brumaire) terhadap rezim le Directoire; dan kedua merujuk pada masa kepemimpinan Louis-Napoléon Bonaparte (keponakan Napoleon) yang melakukan kudeta militer terhadap Dewan Legislatif Nasional atau Parlemen Prancis pada 2 Desember 1851. Pasca kudeta, Louis-Napoléon yang sebelumnya adalah presiden terpilih Republik Kedua Prancis mendeklarasikan dirinya sebagai kaisar, pemimpin tertinggi dengan kekuasaan absolut. Walaupun bonapartisme merujuk pada dua peristiwa ini, namun konsep Marx tentang negara bonapartis digunakan untuk menjelaskan peristiwa yang disebut terakhir. 

Mayoritas analis dan pengamat politik melihat bahwa bonapartisme muncul karena kelas-kelas sosial yang bertarung ada dalam posisi yang seimbang. Di sini kelas kapitalis tidak bisa lagi menjalankan agenda-agenda ekonomi-politiknya secara mulus agar bisa melakukan akumulasi modal tanpa batas, tapi di sisi lain, kelas pekerja, walaupun aktif melakukan perlawanan masif, tidak mampu merebut kekuasaan politik negara. Keseimbangan ini kemudian melahirkan ketidakstabilan politik berkepanjangan yang pada ujungnya bisa menghancurkan keseluruhan sistem sosial politik. Kehancuran total sangat ditakutkan terjadi sehingga dibutuhkan figur kuat yang bisa menghentikan sementara, bukan mengatasi, pertarungan kelas-kelas tersebut. Dengan kata lain, bonapartisme adalah suatu keadaan ketika negara memiliki “otonomi relatif” dari kelas-kelas sosial yang eksis.

Pemaknaan bonapartisme yang seperti ini perlu dinilai kembali. Dalam kasus Prancis, penting mempertimbangkan pernyataan Engels: untuk bisa mengerti esensi dari bonapartisme, maka kita mesti melihat sejarah pertarungan kelas-kelas itu dalam masa empat tahun terakhir Republik Kedua, yang dimulai pada Februari 1848. Oleh Marx, periode empat tahun itu dibagi ke dalam tiga periode: pertama adalah periode Februari 1848; kemudian periode kedua, dimulai pada Mei 1848 hingga 28 Mei 1849 yang disebut sebagai periode republik konstitusi atau majelis konstituante atau republik borjuis; dan ketiga periode republik konstitusional atau majelis legislatif nasional yang dimulai pada 28 Mei 1849 hingga 2 Desember 1851.  

Pada periode Februari, tepatnya pada 24 Februari, terjadi revolusi sosial menggulingkan Raja Louis Philippe yang disokong oleh para bangsawan keuangan (finance aristocracy). Proponen dari revolusi ini adalah sebuah koalisi yang terdiri dari para tuan tanah besar, borjuis republikan, borjuis manufaktur, borjuis kecil republikan-demokratik, petani, dan proletar. Hasil dari revolusi Februari ini adalah pemerintahan sementara yang berisi semua elemen. Karena merupakan pemerintahan sementara, maka semua keputusan politik pun bersifat sementara. 

Dalam kondisi itu proletariat kemudian mendeklarasikan berdirinya sebuah republik sosial yang bertujuan mendorong lebih jauh hasil-hasil positif yang sudah dicapai revolusi. Elemen lain dalam koalisi merasa terganggu dan kemudian bermanuver demi menyingkirkan proletariat dan agenda politiknya tersebut. Pertama dengan memindahkan secara mendadak kantor pemerintahan ke Hotel de Ville dan menyusun pemerintahan baru yang impoten; para wakil proletariat disingkirkan dari posisi politik mereka. Kedua dengan pembasmian berdarah terhadap perlawanan massa proletariat pada Juni 1848. 

Pada periode kedua yang dimulai pada Mei 1848, praktis kekuasaan sudah di tangan kelas borjuis. Marx menyebutnya sebagai “republik borjuis”, disokong oleh koalisi yang terdiri dari petani, borjuis kecil, borjuis besar, tentara, dan sebagian proletariat yang menentang si tukang jagal jenderal Louis Eugene Cavaignac pada pemberontakan Juni 1848. Praktis, setelah pemberontakan Juni 1848, proletariat dan agenda-agenda politiknya tersingkir dari orbit kekuasaan politik nasional. Parlemen kemudian dikuasai oleh Partai Ketertiban (Party of Order) yang mewakili kepentingan dua faksi borjuasi besar yang saling berkonflik, yakni kelas tuan tanah (faksi Legitimis) yang berkuasa di bawah Restorasi dan faksi aristokrasi keuangan (faksi Orleanis) yang berkuasa di bawah Monarki Juli serta kelas menengah. 

Kekacauan dan instabilitas politik serta krisis ekonomi yang muncul di masa republik borjuis inilah yang pada akhirnya mengondisikan kemunculan Louis-Napoléon Bonaparte ke kekuasaan, pertama melalui kemenangan dalam pemilihan umum Desember 1848, dan kemudian melalui kudeta militer pada Desember 1851. Kekuatan-kekuatan politik yang menyokong Napoleon adalah kapital keuangan, faksi Legitimis, borjuis industrial, lumpenproletariat, pegawai negeri, dan tentara.

Dari lawatan sejarah singkat ini, kita bisa menyimpulkan bahwa bonapartisme muncul dalam situasi ketika kekuasaan proletariat dan agenda-agenda politik-ekonominya telah disingkirkan secara sistematis, terencana, dan melalui pembantaian brutal. Walaupun kalangan kiri radikal tetap berusaha membangun kekuatan dengan mengorganisir kelas buruh dan petani, bahkan sempat melakukan aksi protes yang cukup signifikan pada 1849 untuk menentang intervensi imperialis Roma, namun ini dengan segera dipadamkan secara brutal oleh pemerintahan republik borjuis. Karena itu, kata Engels, kemunculan kekaisaran Bonaparte adalah hasil dari kemenangan panjang kontra-revolusi yang dipimpin oleh kelas borjuis dan kelas menengah. Dengan naiknya Bonaparte melalui kudeta, tidak ada lagi yang bisa dirampok dari kelas pekerja karena memang sejak Mei 1848 mereka sudah tidak memiliki apa-apa. 

Lalu apakah kelas pekerja harus mendukung Bonaparte yang membekukan “demokrasi liberal”? Engels tegas mengatakan bahwa proletariat tidak boleh terlibat dalam gegap gempita paduan suara yang mendukung kudeta Bonaparte dan melihat bahwa kekuasaannya mewakili kepentingan mereka. Bahkan kelas pekerja harus melawan kediktatoran Bonaparte dan bonapartisme ini karena ia pada esensinya adalah rezim yang berfungsi untuk memperbarui dan kemudian memperkuat/mengonsolidasikan kekuasaan kapital atas proletariat. 

Dengan demikian, garis politik dari bonapartisme ini adalah kanan-jauh (far-right). Tidak pernah ada bonapartisme sayap kiri. Selain itu, perlu ditekankan bahwa bonapartisme adalah anak kandung dari liberalisme yang diagung-agungkan oleh figur seperti Alexis de Tocqueville. Ia bukan penyimpangan dari liberalisme yang kini populer disebut sebagai pemerintahan yang tidak liberal (illiberal)

Richard Saul mengatakan bahwa bonapartisme adalah kebutuhan strategis untuk melakukan intervensi politik di tengah situasi krisis ganda, yaitu krisis ekonomi dan politik. Krisis ekonomi adalah hancurnya kerangka kerja paling mendasar dari orde pasar kapitalis dalam pengertian investasi produktif dan menguntungkan dari faktor-faktor produksi. Hal ini ditandai dengan penurunan produksi, jatuhnya tingkat keuntungan, dan meningkatnya angka pengangguran sehingga secara internal pasar gagal dalam mereproduksi dirinya sendiri atau kembali ke kondisi keseimbangan/equilibrium. Sementara krisis politik ditandai oleh dua hal: (1) ketidakmampuan sistem perwakilan/parlementer yang ada untuk menghadapi tantangan-tantangan revolusioner (misalnya, bagaimana menghadapi ancaman dari kelas pekerja, karena walaupun kekuatan proletariat telah diberangus sejak 1848, para elite borjuis dan kelas menengah tetap merasa bahwa penghancuran kekuatan kelas pekerja belum sepenuhnya tuntas hingga ke akar-akarnya); dan (2) ketidakmampuan perwakilan-perwakilan politik kelas berkuasa ini untuk membangun aliansi kelas sebagai basis baru bagi hegemoni politik kapital. 

Dari sini, masih menurut Saul, konsep bonapartisme menyediakan kepada kita sebuah penjelasan tentang reproduksi tatanan sosio-ekonomi kapitalis di tengah absennya kekuasaan politik dari perwakilan kelas kapitalis dan bangkrutnya legitimasi kelembagaan politik dan proses-proses demokrasi borjuis untuk mengamankan dukungan atau legitimasi populer dari rakyat untuk berkuasa. Di situasi ini, guna memulihkan dan mengatur kembali orde sosial kapitalis, maka norma-norma, institusi-institusi, dan hubungan-hubungan politik perwakilan liberal dibekukan dan hubungan-hubungan politik baru (negara dan institusi-institusi politiknya) kemudian direorganisasi melalui dan di sekitar figur pemimpin karismatik yang merupakan perwujudan dari aspirasi dan kehendak massa. Sang pemimpin karismatik ini menjadi perantara dari karakter republik demokratik dan “pemenuhan” keinginan massa melalui organisasi massa yang terasosiasi dengan sang pemimpin serta daya tarik personalnya dan kemampuan berkomunikasinya dengan massa. Bonapartisme juga menggunakan jurus pedang untuk menghancurkan organisasi-organisasi sosial dan politik yang menentang dominasi dan otoritasnya.


Sukarno Seorang Populis Kiri

Secara historis, sudah jelas bahwa Demokrasi Terpimpin Sukarno lahir dari kekacauan dan ketidakstabilan politik di masa sebelumnya, rezim demokrasi liberal. Dalam disertasi yang kemudian dibukukan, Adnan Buyung Nasution mengatakan bahwa terdapat empat kondisi yang saling berkaitan dalam menentukan nasib Dewan Konstituante. Pertama, kemerosotan ekonomi yang pesat; kedua, perpecahan bangsa yang semakin meruncing; ketiga, bangkitnya Angkatan Darat (AD) sebagai kekuatan utama dalam negara; dan keempat, timbulnya gagasan Demokrasi Terpimpin sebagai rumusan politik yang mengganti cita-cita negara konstitusional. Demokrasi Terpimpin diajukan sebagai resep untuk mengatasi krisis yang terjadi dengan cara membentuk pemerintahan yang kuat dan memulihkan ketertiban negara. 

Sukarno, sebagai seorang presiden simbolis yang tidak memiliki kekuatan politik nyata, memang semakin gerah melihat pertikaian dan kekacauan politik itu. Semenjak 1956 ia sudah mengemukakan gagasan untuk “mengubur partai-partai politik yang ada dan berkeinginan membentuk sebuah parpol yang sama sekali baru.” Tetapi, hingga saat itu, tidak ada niat darinya untuk kembali ke Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 dan membubarkan Dewan Konstituante. 

Ide dan tindakan politik nyata untuk kembali ke UUD 1945 dan pembubaran Dewan Konstituante muncul dari kekuatan politik lain yang sangat kuat, yakni AD yang dipimpin oleh Jenderal Abdul Haris Nasution, terutama setelah diberlakukannya Undang-Undang (UU) Nomor 79 Tahun 1957 tentang Pengesahan Pernyataan Keadaan Perang melalui keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 225 Tahun 1957 Tanggal 17 Desember 1957. Nasution adalah perwira yang sejak republik berdiri sudah  menentang supremasi sipil dan merupakan aktor utama di balik gagasan dwifungsi yang melegitimasi keterlibatan tentara dalam jabatan-jabatan politik kenegaraan. Dengan disahkannya UU keadaan perang (Staat van Oorlog en Beleg/SOB), menurut Herbert Feith, untuk pertama kalinya kekuasaan sipil tentara dilegitimasi oleh undang-undang. Kekuasaan mereka tidak lagi bergantung pada presiden. Malah sebaliknya, hampir semua jabatan sipil, dari tingkat gubernur hingga bupati, dikendalikan atau sekurang-kurangnya dikontrol oleh AD.  

Kekuasaan AD semakin bertambah ketika pada 13 Desember, berbekal UU SOB, tentara mengambil alih seluruh manajemen perusahaan yang telah direbut oleh serikat buruh. Masuknya tentara ke sektor bisnis membuat kedudukan mereka sebagai institusi semakin independen dari pemerintah. Dalam kata-kata Daniel S. Lev, “Kalau Undang-Undang Keadaan Perang tahun 1957 menjadi semacam konstitusi politik buat tentara, maka nasionalisasi perusahaan Belanda pada tahun 1958 itu memberi landasan ekonomi bagi tentara. Sepertinya, tentara jadi punya anggaran belanja sendiri, punya sumber uangnya sendiri.”

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.

Berbekal kekuatan politik dan ekonomi, AD segera melakukan manuver-manuver untuk membonsai partai dan membubarkan demokrasi liberal. Mereka mengusulkan kembali ke UUD 1945 dan melarang aktivitas politik di seluruh negeri serta mobilisasi massa jalanan secara bergelombang. Ini menciptakan situasi “demam dekrit”, yaitu, seperti dikatakan Ulf Sundhaussen, ketika setiap orang menghendaki agar Sukarno membuat keputusan terakhir. Sukarno sebenarnya ragu dengan usulan untuk kembali ke UUD 1945, apalagi untuk membubarkan Dewan Konstituante. Bahkan, hingga 29 Juni 1959, setelah melawat ke luar negeri, di Bandara Kemayoran, ia masih mengatakan “tidak akan tunduk pada tentara.” Namun kampanye “demam dekrit” terbukti efektif. Dan keputusan terakhir itu adalah pembubaran Dewan Konstituante, yang artinya pembekuan demokrasi liberal dan menggantinya dengan Demokrasi Terpimpin. Sukarno resmi menjadi penguasa tertinggi. 

Sukarno memang memenuhi gambaran seorang pemimpin karismatik, dengan kemampuan komunikasi massa yang tiada banding di masanya. Sukarno menjadikan dirinya sendiri sebagai pusat dan kompas politik, pemimpin besar revolusi, panglima tertinggi angkatan bersenjata, penyambung lidah rakyat, dan sekaligus bapak bangsa. Tetapi, berbeda dengan Napoleon III, Sukarno tidak pernah benar-benar memiliki kontrol dan kekuasaan yang nyata atas angkatan bersenjata, khususnya AD. Ia juga tidak memiliki atau memimpin partai yang bisa digunakan setiap saat untuk membela dan mewujudkan ambisi-ambisi politiknya. Itu juga sebabnya mengapa ia tidak bisa mencegah ketika tentara membungkam aktivitas Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra)/Partai Komunis Indonesia (PKI) di masa Demokrasi Terpimpin.

Dengan fakta sejarah ini, tidak mencukupi untuk mengklaim bahwa Demokrasi Terpimpin merupakan rezim bonapartis sayap kiri dan Sukarno adalah seorang bonapartis. Apakah Sukarno secara sistematis dan terencana sedang berusaha memulihkan dan kemudian mengelola tatanan sosial-politik kapitalis yang telah bangkrut warisan demokrasi liberal? Apakah Sukarno secara sistematis dan brutal menghancurkan kekuasaan politik dan ideologi proletariat? Apakah ia melarang hak berkumpul, hak berserikat, dan melakukan demonstrasi dari proletar? Apakah ia membungkam pers proletar? Apakah ia menyingkirkan perwakilan proletar dari posisi-posisi politik kenegaraan? Jawabannya adalah tidak dan karena itu secara politik tidak ada alasan mencukupi buat proletar untuk melawan atau menolak bekerja sama dengan Sukarno.

Sebaliknya, apa yang dilakukan oleh Sukarno dengan Demokrasi Terpimpin, meminjam uraian James Petras, adalah menjalankan strategi pembangunan: rezim nasional beraliansi dengan rakyat pekerja, memperluas area-area kontrol nasional (melalui nasionalisasi), menginvestasikan kembali surplus ekonomi nasional, atau mempromosikan redistribusi pendapatan dalam lingkup struktur kelas nasional. Agar strategi ini berjalan, maka ia harus membangun aliansi national-popular, yakni aliansi kelas dari “bawah dan dari dalam/from below and inside”. Melalui strategi pembangunan dan model aliansi ini, maka Sukarno memosisikan dirinya sebagai musuh dari kelas borjuasi (asing dan domestik) dan kelas menengah yang mendapati bahwa kebebasan sipilnya di-plekotho. 

Sukarno dan Demokrasi Terpimpinnya lebih tepat disebut sebagai rezim populis kiri.


Daftar Pustaka

Coen Husain Pontoh, Menentang Mitos Tentara Rakyat, Resist Book, 2005.

James Petras, Class, State and Power in Third World with Case Studies on Class Conflict in Latin America, Allanheld, Osmun & Publishers, Inc., 1981

Karl Marx, The 18th Brumaire of Louis Bonaparte, CreateSpace Independent Publishing Platform, 2012.

Mark Cowling and James Martin (Ed.), Marx’s Eighteenth Brumaire (Post)modern Interpretations, Pluto Press, 2002.

Richard Saul, Capital, Race and Space the Far Right From Bonapartism to Fascism (1), Brill, 2023.

Spencer A. Leonard (Ed.), Marx and Engels on Bonapartism Selected Journalism, 1851-1859, Lexington Books, 2023.


Coen Husain Pontoh adalah editor dan penerjemah di IndoProgress.

]]>
Prabowo dan Kediktatoran Kapital https://indoprogress.com/2024/05/prabowo-dan-kediktatoran-kapital/ Thu, 02 May 2024 20:52:54 +0000 https://indoprogress.com/?p=238102 Foto: Prabowo (Antaranews)


Tanggapan untuk Abdil Mughis Mudhoffir

KEMENANGAN Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming dalam Pemilu Presiden (Pilpres) 2024 telah membelah kalangan pengamat kritis dan aktivis ke dalam dua kubu. Pertama adalah mereka yang merasa khawatir bahwa kemenangan pasangan nomor dua ini adalah lonceng kematian bagi demokrasi di Indonesia. Sementara kubu kedua melihat bahwa kemenangan Prabowo, walaupun akan semakin menggerus fondasi demokrasi, tetapi tak akan sampai membonsainya.

Abdil Mughis Mudhoffir adalah contoh proponen dari kubu kedua. Menurutnya, dalam artikel yang juga tayang di Indoprogress, analisis kubu pertama terlalu personalistik. Pendekatannya sudah terbukti gagal sejak digunakan untuk menganalisis kemunculan figur Joko Widodo dalam Pilpres 2014 dan sepuluh tahun masa kekuasaannya. Bagi Mughis, Prabowo tidak mungkin mengganti demokrasi dengan sistem otoriter karena ada kendala struktural yang justru disediakan oleh sistem demokrasi itu sendiri. Kendala struktural yang menghalangi “ambisi” Prabowo, menurut Mughis, “…bukan datang dari masyarakat sipil, melainkan dari persaingan di antara para elite predator yang berupaya memusatkan kekuasaan dan kekayaan di tangan mereka sendiri.”

Dalam tulisan ini saya ingin menunjukkan bahwa melalui pendekatan analisis kelas marxis, pemerintahan Prabowo justru akan semakin otoriter ketimbang pemerintahan Jokowi. Namun, otoriterisme Prabowo-Gibran ini tidak semata-mata karena keinginan pribadi mereka, melainkan akibat tekanan struktural dari logika akumulasi kapital saat ini. Dalam pengertian ini, pemerintahan Prabowo-Gibran adalah pemerintahan yang mewakili kepentingan kelas kapitalis yang hendak terus melestarikan eksploitasi dan dominasinya terhadap kepentingan kelas pekerja dan rakyat miskin secara keseluruhan. 


Kondisi Struktural Ekonomi Indonesia

Beberapa waktu lalu, Badan Pusat Statistik (BPS) mengeluarkan laporan bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun 2023 adalah sebesar 5,05%. Angka ini lebih baik dari perkiraan pemerintah yang hanya sebesar 5%, tetapi lebih rendah dibandingkan dengan pertumbuhan tahun 2022 yang sebesar 5,31%. Angka pertumbuhan sebesar itu juga jauh lebih baik dibandingkan dengan angka pertumbuhan ekonomi Amerika Serikat yang hanya sebesar 2,5% pada 2023 dan rata-rata angka pertumbuhan di tujuh negara kapitalis maju lainnya yang hanya sebesar 1,3% pada 2023, turun dibandingkan dengan 1,4% pada 2022.

Dari data itu, kita bisa optimistis bahwa ekonomi Indonesia akan baik-baik saja ke depannya. Tetapi, seperti yang sudah disorot oleh banyak akademisi kritis, angka Produk Domestik Bruto (PDB) ini tidak selalu mencerminkan kenyataan sesungguhnya. Kalau kita lihat lebih jauh, penyumbang terbesar dari 5,3% itu adalah konsumsi rumah tangga (4,82%) dan investasi (4,40%). Konsumsi rumah tangga yang tinggi itu disebabkan oleh kenaikan upah dan bantuan sosial pemerintah. Tetapi, BPS mengatakan bahawa angka 4,82% itu sendiri sebenarnya turun dibandingkan dengan tahun sebelumnya yang mencapai 4,94%. Penurunan itu disebabkan karena pengeluaran atau belanja dari kelas menengah ke atas yang menurun.

Apa artinya ini? Menurut saya, paling tidak ada dua hal: pertama, fondasi ekonomi kita sebenarnya sangatlah rapuh karena tidak berdiri di atas topangan sektor ekonomi yang produktif berskala besar dan berteknologi tinggi; kedua, kesenjangan ekonomi yang semakin tinggi sehingga terjadi ketergantungan pada sekelompok lapisan masyarakat. Masih menurut BPS, yang menghitung ketimpangan pengeluaran penduduk Indonesia berdasarkan rasio Gini, angkanya mencapai 0,388 dari skala 0-1 poin pada Maret 2023. Angka itu meningkat 0,007 poin bila dibandingkan rasio Gini September 2022 yang sebesar 0,381. Rasio Gini Maret 2023 juga lebih tinggi 0,004 poin dibandingkan torehan Maret 2022 lalu yang sebesar 0,384 poin.

Sebagai informasi, nilai rasio Gini atau koefisien Gini diukur pada skala 0 hingga 1 poin. Rasio Gini bernilai 0 poin menunjukkan kesetaraan sempurna, yang berarti seluruh penduduk memiliki pengeluaran per kapita yang sama. Sedangkan rasio Gini bernilai 1 poin menunjukkan ketimpangan sempurna. Hal itu menggambarkan, hanya satu penduduk saja yang memiliki pengeluaran per kapita dan yang lainnya tidak sama sekali. Kita bisa mencermatinya dari grafik di bawah ini:

Tren Ketimpangan Pengeluaran/Rasio Gini Indonesia Berdasarkan Daerah, Maret 2017-Maret 2023 (Sumber: Katadata)

Grafik ini menunjukkan perbedaan tingkat kesenjangan di perkotaan dan perdesaan. Jika tingkat kesenjangan semakin tinggi di perkotaan, di perdesaan justru relatif stabil dan bahkan menurun pada 2023, di mana angkanya pada Maret 2023 adalah 0,313 poin, turun sebesar 0,001 poin dibandingkan kondisi Maret 2022 yang sebesar 0,314 poin. Tetapi lagi-lagi angka ini tidak menggambarkan hal sebenarnya, karena kita ingat bahwa penduduk perdesaan bukanlah penyumbang signifikan dari konsumsi rumah tangga. Artinya juga, bahwa mayoritas penduduk perdesaan hidup dalam kemiskinan.

Gambaran lebih rinci tentang tingkat kesenjangan ekonomi ini dilaporkan oleh World Inequality Report (WIR) pada 2022, di mana 1% penduduk terkaya di Indonesia menguasai 30,16% dari total aset rumah tangga secara nasional pada 2022. Angka ini meningkat dibandingkan pada 2001 yang sebesar 25,75%. Sementara itu, kelompok 10% terkaya di Indonesia punya 61,28% total aset rumah tangga secara nasional pada 2022, lebih tinggi dibandingkan pada 2001 yang sebesar 58,64%. Sementara, kelompok 50% terbawah di Indonesia hanya memiliki 4,5% dari total kekayaan rumah tangga nasional pada 2022. Persentase itu justru menurun dibandingkan pada 2001 yang sebesar 4,84%.

Tak hanya itu, laporan WIR 2022 juga menunjukkan adanya ketimpangan pendapatan di antara masyarakat Indonesia. Pendapatan kelompok 50% terbawah sebesar Rp25,11 juta per tahun pada 2022, sementara kelompok 10% teratas memiliki pendapatan sebesar Rp333,77 juta per tahun. Adapun kelompok 1% terkaya punya pendapatan lebih tinggi lagi mencapai US$1,2 miliar per tahun.

Distribusi Kekayaan Kelompok 1% Teratas, 10% Teratas, dan 50% Terbawah di Indonesia, 2001-2022) (Sumber: Katadata)

Dari paparan ini tampak bahwa sistem ekonomi kapitalis yang dianut oleh pemerintahan Indonesia sejak masa kediktatoran Orde Baru hingga sekarang, selain bertumbuh di atas fondasi yang keropos, juga hanya menguntungkan segelintir kecil lapisan atas masyarakat Indonesia yang kita sebut sebagai kelas kapitalis. 


Negara Kapitalis Indonesia

Dalam situasi ekonomi sedemikian, kemudian muncul pertanyaan, diskusi, dan desakan agar negara dan pemerintah yang berkuasa bisa mengoreksi dan selanjutnya mengubah struktur ekonomi yang timpang dan eksploitatif itu. Dalam masa pemilu lalu, para kandidat, juru kampanye, dan pengamat saling bertukar gagasan bagaimana seharusnya negara dikelola untuk kepentingan masyarakat luas sebesar-besarnya. Keyakinan semacam ini tampak lumrah karena dalam diskursus akademik, media massa, kalangan masyarakat sipil, maupun perbincangan publik di Indonesia, negara senantiasa dilihat sebagai sebuah entitas yang netral, sebuah institusi yang berdiri di atas kepentingan-kepentingan golongan masyarakat yang saling berkompetisi untuk mengejar dan mempertahankan kepentingannya masing-masing.

Karena posisinya yang dipandang netral tersebut, kebijakan negara dengan sendirinya dianggap sangat bergantung kepada individu-individu atau kelompok-kelompok (oligarki) yang menguasai lembaga-lembaga negara. Tidak heran jika individu seorang presiden kemudian menentukan maju mundurnya kualitas demokrasi (tesis kubu pertama), atau persaingan di kalangan oligarki yang lebih menentukan (tesis kubu kedua).

Kita, kaum marxis, melihat bahwa negara bukanlah sebuah lembaga yang netral. Negara kapitalis (capitalist state) adalah negara yang mengabdi pada kepentingan kelas kapitalis. Karena Indonesia menganut sistem ekonomi kapitalis, maka negara ini dengan sendirinya adalah negara kapitalis. Tetapi dalam negara kapitalis, kelas kapitalis tidak dengan otomatis menguasai secara langsung kekuasaan negara untuk kemudian melayani kepentingannya. Ada dua cara di mana kelas kapitalis menggunakan kekuasaannya untuk menguasai dan mengontrol kekuasaan negara: pertama, dengan kontrol langsung atau kolonisasi atas kekuasaan negara dengan cara menempatkan individu-individu anggota kelas kapitalis ke dalam jabatan-jabatan tinggi dan strategis negara. Misalnya, menempatkan figur seperti Joko Widodo, Jusuf Kalla, Prabowo, Gibran, Luhut Binsar Pandjaitan, Sandiaga Uno, dan atau Erick Thohir.

Cara kedua adalah melalui kontrol tidak langsung. Karena membutuhkan dana yang tidak sedikit—baik itu lewat pajak maupun investasi—untuk bisa menjalankan operasionalnya sehari-hari, negara mesti memastikan bahwa sumber pendanaan ini harus terus berjalan tanpa hambatan, ancaman, ataupun gangguan yang membuatnya berhenti. Karena negara Indonesia adalah negara kapitalis, di mana sumber utama bagi pendanaan operasional negara berasal dari kelas ini, maka negara harus memastikan kepentingan kelas kapitalis ini terjaga dan terpenuhi. Berbagai macam aturan dan kebijakan dibuat untuk memuluskan kepentingan kelas kapitalis, dan berbagai macam tindakan politik militer dipakai untuk menghalau segala kemungkinan bagi munculnya ancaman, hambatan dan gangguan bagi kelancaran aktivitas kelas kapitalis ini (lebih rinci tentang ini, lihat Pontoh, 2023).

Dari sinilah kita lihat munculnya tekanan atau paksaan struktural bagi setiap bentuk pemerintahan—kediktatoran maupun demokrasi—ataupun mereka yang menduduki jabatan tinggi pemerintahan—Jokowi ataupun Prabowo—untuk senantiasa harus berpihak kepada kepentingan kelas kapitalis. Mereka yang mencoba menentang paksaan struktural ini harus disingkirkan dengan segala macam cara, berdarah melalui kudeta militer atau damai melalui pemilihan umum. Inilah yang dalam literatur marxis (seperti Zafirovski, 2021) disebut dengan istilah Kediktatoran Kapital.

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.


Prabowo dan Masa Depan Demokrasi

Kembali ke pertanyaan tentang bagaimana masa depan demokrasi di bawah pemerintahan Prabowo-Gibran. Untuk menjawabnya, saya ingin mengajak lagi pembaca untuk berbalik sebentar ke musim kampanye lalu, karena di sana ada banyak bertebaran informasi tentang keterlibatan para kapitalis di belakang para kandidat ketiga capres.

Dari laporan Mongabay, yang didasarkan pada penelusuran Jaringan Advokasi Tambang (Jatam), terkuak bahwa Prabowo-Gibran mendapatkan dukungan paling luas dari para pengusaha energi dan tambang, yakni sebanyak 21 orang. “Paslon itu bahkan tercatat sebagai pemegang saham perusahaan tambang dan energi.” Temuan Jatam ini diperkuat oleh salah satu pendukungnya, konglomerat Garibaldi Thohir atau Boy Thohir, yang merupakan kakak dari Menteri BUMN Erick Thohir. Seperti dikutip Project Multatuli, Boy Thohir mengatakan, “Walaupun kami jumlahnya sedikit, tapi ya di ruangan ini mungkin sepertiga perekonomian Indonesia ada di sini.”

Tetapi, bukan saja pendukung utama paslon 02 ini adalah para kapitalis, karena Prabowo-Gibran itu sendiri adalah anggota dari kelas kapitalis. Masih menurut Mongabay, Prabowo, misalnya, memiliki sejumlah perusahaan di bidang tambang batu bara di Kalimantan, seperti PT Nusantara Energy, PT Nusantara Kaltim Coal, PT Erabara Persada, dan PT Nusantara Energindo Coal dengan total seluas 45.703 hektare. Di sisi lain, Gibran memiliki jaringan tambang lewat perusahaan bapaknya, yakni PT Rakabu Sejahtera, terafiliasi dengan PT Toba Sejahtera milik Luhut. Perusahaan itu juga terafiliasi dengan para keluarga Gibran, mulai dari adik, kakak sepupu, hingga paman.

Jaring Bisnis Prabowo Subianto (Sumber: Jatam)

Meski demikian, data-data di atas belum mencukupi untuk menyimpulkan bahwa pemerintahan Prabowo-Gibran akan membawa Indonesia ke masa kelam otoriterisme seperti klaim kubu pertama, atau juga tidak akan bertindak sejauh itu karena kendala kepentingan oligarki itu sendiri seperti kesimpulan kubu kedua—yang diwakili oleh Mughis.

Untuk membuat data ini berbicara kepada kita, ia perlu dilengkapi dengan data lain berupa serangkaian kebijakan dari masa lalu yang menguntungkan kelas kapitalis dan merugikan kepentingan kelas pekerja perkotaan maupun perdesaan.

Mari kita ambil contoh pemerintahan Jokowi yang demi memuluskan kepentingan investasi asing maupun domestik kemudian mengeluarkan kebijakan Undang-undang Cipta Kerja (Omnibus Law) yang sangat pro-kapitalis sekaligus merugikan kelas pekerja. Salah satu sektor usaha yang mendapat karpet merah dari UU Cipta Kerja ini adalah sektor pertambangan, dengan pengenaan royalti 0% bagi pelaku usaha yang pelaku usaha yang melakukan peningkatan nilai tambah batu bara. Tidak heran jika UU Cipta Kerja ini dianggap sebagai kitab resep penjarahan sumber daya alam secara terstruktur dan sistematis.

Apa dampak dari penerapan UU Cipta Kerja ini di bidang SDA? Sudah pasti: kerusakan lingkungan. Lebih dari itu adalah semakin panasnya konflik agraria. Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mencatat bahwa sepanjang 2023 terdapat 241 konflik, di mana jumlah ini meningkat dari konflik tahun 2022 yang sebesar 212 kejadian. Dari konflik ini, ada sebanyak 135 ribu keluarga terdampak sepanjang 2023, dan sebanyak 346 desa atau kampung, beberapa kota yang terdampak situasi konflik agraria. Kasus konflik agraria tertinggi berasal dari sektor perkebunan (99), infrastruktur (32), properti (26), pertambangan (21), kehutanan (20), fasilitas militer (6), pertanian/agribisnis (4), serta pesisir dan pulau-pulau kecil (4).

Ujung dari konflik ini tentu saja adalah tindakan kekerasan oleh korporasi dan aparatus kekerasan negara. Menurut KPA, sepanjang 2023, ada sebanyak 508 korban kriminalisasi yang ditangkap karena memperjuangkan hak atas tanah dan wilayah adat mereka. Dari jumlah itu, 91 orang mengalami penganiayaan bahkan ada korban penembakan, dengan 79 laki-laki dan 12 lain perempuan dan tiga orang diantaranya tewas.

Sampai di sini, berbeda dengan Mughis, saya menyimpulkan bahwa masa depan demokrasi di bawah pemerintahan Prabowo-Gibran akan semakin berwajah garang dan kebijakan-kebijakannya akan semakin represif. Kebijakan dan tindakan represif itu akibat tekanan struktural dari kapitalisme dan, walaupun saya berbagi keresahan yang sama dengan kubu pertama soal masa depan suram dari demokrasi di bawah Prabowo, hal itu bukan terutama disebabkan oleh personalitas Prabowo sebagaimana yang diklaim oleh kubu pertama.

Demokrasi di bawah Prabowo-Gibran adalah demokrasinya para orang kaya (plutokrasi), di mana ia akan membagi-bagi kekuasaannya di antara kalangan super kaya ini untuk meraih dukungan sekaligus mencegah konflik di antara mereka. Di sini, ia akan tetap melanjutkan gaya kepemimpinan Jokowi. Namun, ketika berhadapan dengan kepentingan publik, demokrasi baginya hanya akan menjadi tameng legitimasi dari kebijakan-kebijakan dan tindakan-tindakan politiknya yang represif. Karena ia berhadapan dengan pertumbuhan ekonomi yang melambat, fondasi ekonomi yang keropos, ketimpangan ekonomi yang makin buruk, dan warisan kebijakan-kebijakan Jokowi yang pro-kapital yang menimbulkan konflik luas, tak pelak pemerintahan Prabowo-Gibran ini akan lebih otoriter ketimbang pemerintahan Jokowi. 


Penutup

Hanya dengan menempatkan rezim elektoral yang eksis saat ini, dalam konteks dinamika perkembangan dan pembangunan kapitalisme, kita baru bisa lebih jernih dan utuh membaca masa depan demokrasi di masa pemerintahan Prabowo-Gibran nanti.

Sudah saatnya para intelektual kritis dan aktivis gerakan sosial untuk mengarahkan telunjuknya kepada sistem kapitalisme yang dianut oleh rezim berkuasa sebagai dasar utama terjadinya kekerasan, ketimpangan, kebodohan, dan kemelaratan meluas yang terjadi saat ini. Pada saat yang sama, advokasi-advokasi terhadap korban-korban pembangunan ini tidak bisa lagi berhenti pada isu HAM atau perbaikan dan perlindungan kerja, melainkan pada perlawanan terhadap sistem kapitalisme beserta negara kapitalis yang melindunginya.

Muara dari kesemuanya ini adalah mulai diserukannya alternatif pembangunan non-kapitalis. Tanpa ini, dalam setiap pergantian kekuasaan secara periodik, kita akan kembali membaca angka-angka yang kian menyedihkan, mendengarkan janji-janji palsu para capres yang sedang bertarung, lalu bertanya, “Bagaimana masa depan demokrasi di bawah pemerintahan si Anu dan si Anu?***


Bibliografi

Pontoh, Coen Husain, “Teori Negara Instrumentalis”, IndoProgress: Jurnal Pemikiran Marxis, 2023.

Zafirovski, Milan. 2021. Capitalist Dictatorship: A Study of Its Social Systems, Dimensions, Forms and Indicators. Leiden: Brill.


Coen Husain Pontoh adalah editor dan penerjemah di IndoPROGRESS.

]]>
Politik Identitas ≠ Politisasi Identitas https://indoprogress.com/2022/11/politisasi-identitas/ Tue, 15 Nov 2022 23:00:11 +0000 https://indoprogress.com/?p=237120 Ilustrasi: Angelina Bambina/Teenvogue


“DASAR cebong, kampret, kadrun, buzzeRp!”

Semenjak Pemilihan Presiden (Pilpres) 2014, Pilpres 2019, dan hingga kini, stigma-stigma di ataslah yang meriuhkan dunia politik dan pertukaran wacana publik. Istilah itu ditujukan untuk pendukung politikus yang saling berkompetisi, Joko Widodo dan Prabowo Subianto, atau kepada siapa saja yang berbeda pendapat.

Para pengamat di luar kedua kubu mengatakan penggunaan label tersebut adalah simbol dari menguatnya penggunaan politik identitas dalam perebutan kekuasaan politik. Dalam konteks Indonesia, politik identitas lekat dengan masalah etnisitas, agama, ideologi, dan kepentingan-kepentingan lokal yang pada umumnya diwakili para elite dengan artikulasinya masing-masing.[i] Lebih jauh lagi, politik identitas macam ini dimaknai sebagai alat penguasa untuk memanipulasi dan menggalang kekuasaan bagi pemenuhan kepentingan ekonomi dan politiknya.[ii]

Karena karakteristiknya yang demikian—bisa merusak atau bahkan menghancurkan kebersamaan, toleransi, keragaman, serta kesatuan dan persatuan bangsa yang sangat multikultur ini—banyak pihak menganggap bahwa maraknya penggunaan politik identitas dalam kontestasi politik sangat berbahaya. Bahkan Jokowi turut menyuarakan kekhawatiran ini. Dalam pidato di Sidang Tahunan MPR 16 Agustus lalu, ia mengatakan, “Saya ingatkan, jangan ada lagi politik identitas. Jangan ada lagi politisasi agama. Jangan ada lagi polarisasi sosial.”

Tetapi, apakah benar politik identitas sedemikian buruk maknanya? Apakah benar fenomena politik yang mengusung identitas ini layak disebut sebagai politik identitas, atau sebenarnya hanyalah bentuk dari politisasi identitas? Artikel ini hendak menjelaskan secara singkat apa itu politik identitas dan menunjukkan perbedaannya dengan politisasi identitas. Pembedaan ini penting agar kita tidak mencampuradukkan secara semena-mena antara teori dan praktik politik, sehingga tidak kehilangan arah dan kejernihan dalam berteori dan berpraksis.


Apa itu politik identitas?

Dalam artikel lalu, saya menjelaskan bahwa sebelum dekade 1950-an, istilah politik identitas sebagaimana yang digunakan secara luas saat ini tidaklah dikenal. Istilah ini baru muncul pada pertengahan dekade 1960-an.

Menurut Keeanga Yamahtta Taylor dalam How We Get Free Black Feminism and the Combahee River Collective, istilah “politik identitas” untuk pertama kalinya digunakan oleh Combahee River Collective (CRC), sebuah kolektif radikal feminis kulit hitam yang didirikan pada 1974 di Boston, Amerika Serikat. Anggota awal CRC terdiri dari Barbara Smith, Beverly Smith, Demita Frazier, Cheryl Clarke, Akasha Hull, Margo Okazawa-Rey, Chirlane McCray, dan Audre Lorde.

Melalui refleksi yang mendalam, CRC menyatakan, “Kami menyadari satu-satunya pihak yang cukup peduli kepada kita untuk bekerja secara konsisten demi kebebasan kita tidak lain adalah kita sendiri. Politik kita berkembang dari cinta yang sehat untuk diri kita sendiri, saudari-saudari kita, dan komunitas kita yang memungkinkan kita melanjutkan perjuangan dan kerja-kerja kita.” Selanjutnya CRC mengatakan, “Pemfokusan pada penindasan atas diri kita diwujudkan dalam konsep politik identitas (huruf tebal dari penulis). Kami percaya bahwa politik yang paling mendalam dan berpotensi paling radikal adalah yang berakar pada identitas kita sendiri, sebagai lawan dari upaya untuk mengakhiri penindasan orang lain.”

Untuk bisa memahami konsep politik identitas yang diusung oleh CRC, kita mesti menempatkannya dalam konteks ketertindasan perempuan kulit hitam AS yang terjadi selama berabad-abad. Perempuan kulit hitam yang minoritas kala itu merupakan subjek paling tertindas dalam struktur masyarakat Amerika. Dengan mengusung politik identitas ini, maka, menurut Taylor, CRC memahami bahwa “…jika kita bisa membebaskan rakyat paling tertindas, maka kita bisa membebaskan setiap orang.”[iii]

CRC juga memahami bahwa penindasan yang dialami oleh perempuan kulit hitam AS tidak bisa dipisahkan dari persoalan ekonomi dan politik. Karena itu, dalam pernyataannya, mereka mengatakan, “Pembebasan seluruh rakyat tertindas mengharuskan penghancuran sistem ekonomi-politik kapitalisme dan imperialisme serta patriarki.”[iv]

Dari sini kita mengetahui bahwa bagi CRC, penindasan yang dialami oleh perempuan kulit hitam AS tidak secara sempit dimaknai sebagai penindasan oleh laki-laki (baik kulit putih maupun hitam). Karena itu, CRC tidak mempropagandakan atau mendukung politik segregasi yang diusung oleh kalangan feminis sebelumnya. Mereka sebaliknya mengatakan, “Walaupun kami feminis dan lesbian, kami perlu bersolidaritas dengan laki-laki progresif kulit hitam dan tidak mengampanyekan fraksionalisasi seperti yang dituntut oleh perempuan kulit putih.” Karena berorientasi sosialis, mereka juga mengatakan, “Kami tidak yakin bahwa revolusi sosialis yang tidak berkarakter feminis dan anti-rasis bisa menjamin pembebasan kami.”[v]

Dari pengertian politik identitas yang dikemukakan oleh CRC ini, kita bisa menyimpulkan: pertama, karakter politik identitas itu adalah berpihak kepada kaum minoritas yang tertindas; kedua, politik identitas tidak mengusung agenda sempit atau partikular dari kaum minoritas tertindas dalam masyarakat dan kemudian dipertentangkan dengan agenda kelompok tertindas lain; ketiga, politik identitas mengampanyekan solidaritas di semua kalangan masyarakat yang tertindas; dan keempat, politik identitas itu anti-kapitalisme, imperialisme, dan patriarki—oleh karena itu berwatak progresif dan revolusioner.

Dalam perkembangannya, konsep politik identitas yang dikemukakan oleh CRC mengalami moderasi dan kooptasi karena, dalam bahasa Olúfẹ́mi O. Táíwò, dibajak oleh elite ekonomi dan politik pendukung neoliberalisme.[vi] Di sini, walaupun tetap dimaknai sebagai pembelaan terhadap kaum minoritas identitas yang tertindas (perempuan, LGBT, agama/kepercayaan minoritas, masyarakat adat, dsb), karakter progresif revolusioner yang ditekankan CRC telah dibonsai. Politik identitas yang kita kenal saat ini lebih menekankan pada slogan “yang personal bersifat politik/the personal is political” untuk menggantikan politik berbasis kelas yang mereka anggap reduksionis dan deterministik.

Pada tahap ini, agenda politik identitas kemudian menjadi sejalan dengan agenda kebijakan kapitalisme-neoliberal.[vii]


Politisasi identitas

Merujuk pada pengertian mula-mula dari politik identitas sebagaimana dicetuskan oleh CRC, maka stigma cebong, kampret, kadrun, buzzeRp dan sebagainya itu sama sekali tidak layak atau tidak pantas disebut sebagai representasi dari politik identitas. Dalam stigma-stigma itu sama sekali tidak tercermin pembelaan terhadap kaum minoritas yang tertindas atau mengampanyekan solidaritas di antara sesama kaum tertindas untuk membebaskan dirinya dari penindasan kapitalisme, imperialisme, dan patriarki.

Stigma-stigma itu justru merupakan perwujudan dari apa yang ingin saya sebut sebagai politisasi identitas. Politisasi identitas dicirikan oleh penggunaan sentimen-sentimen identitas (ras, etnis, agama, nasionalisme, suku, warna kulit, dan atau gabungan dari beberapa identitas itu) untuk perebutan dan pertahanan kekuasan politik-ekonomi dari para elite (politik dan bisnis).[viii] Agenda politik-ekonominya sama sekali tidak ditujukan untuk membebaskan kaum tertindas dalam masyarakat dan, karena itu juga, politisasi identitas selalu mendasarkan pada kelompok yang identitasnya adalah mayoritas.

Inilah yang, misalnya, dilakukan oleh Adolf Hitler. Ia menggunakan identitas Arya yang merupakan identitas mayoritas rakyat Jerman sebagai ideologi unggul dan superior dibandingkan dengan identitas lain, terutama Yahudi. Hal serupa dilakukan oleh kelompok Hindu-nasionalis-ekstremis India (Hindutva) yang mengklaim bahwa Hindu sebagai agama mayoritas adalah lebih unggul, tinggi, dan pantas mengelola kekuasaan politik dibandingkan dengan agama-agama lain. Ada pula kalangan Buddhis-nasionalis-ekstrim di Myanmar yang mempersekusi kelompok muslim Rohingnya yang minoritas.

Hal yang sama kita lihat juga di Indonesia. Identitas nasionalisme dipertentangkan dengan identitas keislaman dalam perebutan dan pertahanan kekuasaan politik dari elite. Bukan hal yang kebetulan jika kedua identitas ini merupakan mayoritas dibandingkan dengan identitas lain, dan agenda-agenda politik-ekonominya sama sekali tidak berpihak kepada kepentingan rakyat tertindas.

Pada saat yang sama, sembari mendasarkan klaimnya pada identitas mayoritas dalam masyarakat, para pendukung/penggerak politisasi identitas ini selalu menjadikan kelompok/identitas minoritas sebagai ancaman bagi kepentingan ekonomi-politiknya. Inilah yang sering dikatakan para pengamat sebagai “mayoritas yang bermental minoritas.”

Di sisi koin sebelahnya, politisasi identitas ini sekaligus menjadikan kaum minoritas sebagai sumber dari segala macam persoalan sosial-ekonomi yang muncul dalam masyarakat. Politisasi identitas, karenanya, senantiasa bergandengan tangan dengan politik pengkambinghitaman kelompok minoritas. Hitler menjadikan komunitas Yahudi sebagai sumber penyakit sosial masyarakat Jerman; Hindutva menganggap minoritas muslim sebagai ancaman bagi identitas India yang Hindu; Orde Baru menjadikan Partai Komunis Indonesia (PKI) sebagai sumber ancaman sekaligus biang kerok seluruh persoalan bangsa; kalangan islamis menumbuhkan rasa takut yang mendalam/paranoid akan bahaya kristenisasi. Daftar ini bisa diperpanjang lagi.

Dengan karakternya yang demikian, politisasi identitas ini sama sekali tidak bersifat progresif apalagi revolusioner, melainkan konservatif dan reaksioner.


Penutup

Melalui penjelasan singkat ini, saya berharap kita berhenti memberi label “politik identitas” pada stigma-stigma cebong, kampret, kadrun, atau buzzeRp yang gaduh berseliweran saat ini. Labelisasi politik identitas pada tukang stigma ini membuat mereka menjadi merasa terhormat, karena mendudukkannya pada posisi sebagai pembela/pejuang identitas minoritas yang tertindas. Padahal yang terjadi adalah sebaliknya.

Dengan membombardir wacana dan aktivitas publik melalui politisasi identitas, para tukang stigma ini secara sengaja melakukan pengaburan dan pembelokan perhatian massa rakyat dari masalah-masalah substansial yang nyata terjadi dalam masyarakat akibat dari dianutnya sistem kapitalisme-neoliberal: kemiskinan yang meluas, kesenjangan kaya-miskin yang semakin lebar, akumulasi kekayaan yang semakin besar di kalangan segelintir orang dari tahun ke tahun, akses terhadap sumber-sumber kebudayaan yang sangat timpang antara elite dan massa; korupsi yang merajalela, pelayanan publik yang bobrok, ketimpangan antar-daerah yang sangat tinggi, dan lain sebagainya.

Melalui politisasi identitas, para tukang stigma itu secara sengaja menggeser konflik vertikal antara rakyat pekerja (dengan identitas yang sangat beragam) versus kapitalis menjadi konflik horizontal di antara sesama rakyat pekerja yang ditindas oleh kapitalis.***


[i] Assyari Abdullah, “Membaca Komunikasi Politik Gerakan Aksi Bela Islam 212: antara Politik Identitas dan Ijtihad Politik Alternatif”, An-Nida’, Jurnal Pemikiran Islam, Edisi Desember 2017 Vol. 41 No. 2. h. 206, https://ejournal.uin-suska.ac.id/index.php/Anida/article/viewFile/4654/2850, diunduh pada 29/11/2012.

[ii] Lihat Yeni Sri Lestari, “Politik Identitas Di Indonesia: Antara Nasionalisme Dan Agama”, Journal of Politics and Policy Volume 1, Number 1, Desember 2018, h. 23, https://jppol.ub.ac.id/index.php/jppol/article/view/4, diunduh pada 29/10/2022.

[iii] Keeanga Yamahtta (ed.), 2017, How We Get Free Black Feminism and the Combahee River Collective,  (Haymarket Books, Chicago, AS), p. 9.

[iv] Ibid., p. 20.

[v] Loc.Cit.

[vi] Lihat bukunya, Olúfẹ́mi O. Táíwò, 2022, Elite Capture How the Powerful Took Over Identity Politics (and Everything Else), (Pluto Press, London).

[vii] Kritik lebih lengkap atas politik identitas ini bisa dibaca pada tulisan saya berjudul “Rasisme, Politik Identitas, dan Masalah Papua: Sebuah Penjelasan”, https://indoprogress.com/2020/06/rasisme-politik-identitas-dan-masalah-papua-sebuah-penjelasan/

[viii] Harus ditekankan di sini, bahwa tidak seluruh aktivitas politik yang menggunakan identitas sebagai simbol perjuangan adalah buruk (misalnya penggunaan identitas nasionalisme untuk melawan penjajahan satu bangsa atas bangsa lain), namun dalam banyak kasus pasca-kemerdekaan, politisasi identitas lebih banyak bersifat negatif.


Coen Husain Pontoh adalah editor IndoPROGRESS

]]>
Kapitalisme, Kelas Kapitalis dan Krisis Ekologi https://indoprogress.com/2022/02/kapitalisme-kelas-kapitalis-dan-krisis-ekologi/ Thu, 10 Feb 2022 20:31:35 +0000 https://indoprogress.com/?p=236649 Illustrasi: Illustruth


PADA artikel saya sebelumnya yang mendiskusikan soal antroposen, dinyatakan bahwa manusia adalah penyebab utama terjadinya krisis ekologi saat ini. Sebabnya, sebagaimana disimpulkan oleh para ilmuwan sistem Bumi (Earth system), “dalam 50 tahun terakhir telah terjadi transformasi yang sangat cepat terkait hubungan manusia dengan alam dalam sejarah spesies.” [1]

Namun, fakta-fakta keras yang dikemukakan oleh para pengusung epos antroposen itu bukan tanpa kritik. Terutama karena kata “Manusia” dalam narasi antroposen tersebut dianggap terlalu umum atau terlalu universal. Ada dua dampak dari penggunaan kata manusia secara umum ini: pertama, karena hubungan manusia dengan alam begitu erat maka krisis ekologi dengan demikian adalah sebuah keniscayaan, sesuatu yang tidak bisa dihindari kecuali kita memisahkan atau memutus hubungan tersebut. Tapi, hal itu mustahil dilakukan karena manusia hidup dan membangun peradabannya di atas bumi ini. Konsekuensinya, apapun solusi yang ditawarkan untuk penyelesaian krisis ekologi tidak akan berdampak signifikan bagi keselamatan ekosistem bumi.

Kedua, karena manusia yang dirujuk itu bersifat universal maka pelaku kerusakan alam itu adalah manusia secara keseluruhan tanpa melihat latar belakang dan aktivitasnya. Di sini muncul ketidakadilan dalam melihat hubungan manusia dengan alam. Sebab tidak semua manusia memiliki sumber daya (ekonomi, kekuasaan politik dan jaringan kerja) yang sama, dan karena itu tidak semua aktivitas manusia terhadap alam memiliki dampak merusak yang juga sama. Aktivitas pengusaha pemilik ratusan ribu hektar perkebunan kelapa sawit dalam proses penggundulan hutan, pencemaran air, pemanasan global dan konflik pertanahan, misalnya, tentu tidak sama dampaknya dengan aktivitas penduduk yang hidup dari memungut hasil-hasil hutan secara terbuka. Oleh karena itu, tidak adil jika kemudian seluruh manusia harus memikul (atau diminta memikul) tanggung jawab yang sama terkait krisis ekologi yang semakin memburuk saat ini.

Kalau demikian adanya, maka pertanyaan yang muncul kemudian adalah siapa manusia antroposen yang paling bertanggung jawab atas terjadinya krisis ekologi ini? Mengikuti pembabakan yang dibuat oleh Paul Crutzen, Eugene Stoermer dan para ahli ilmu bumi lainnya, saya akan mencoba menjawabnya dengan menempatkan epos antroposen ini dalam corak produksi kapitalisme dan kemudian melihat peran kelas kapitalis ketika berhubungan dengan alam.


Kapitalisme

Menjelaskan kapitalisme secara singkat adalah perkara susah-susah-gampang. Susah karena kita terpaksa harus memangkas banyak persoalan teoritik terkait dengannya. Misalnya, penjelasan tentang apa itu komoditi, apa itu kerja, atau apa itu nilai lebih, dsb yang sejatinya merupakan fondasi penting untuk kita bisa memahami kapitalisme secara mendalam dan komprehensif.

Kita bisa memulai penjelasan tentang kapitalisme melalui formula M->C->ΔM, dimana M adalah Money (Uang), C adalah Commodity (Komoditi) dan ΔM adalah Uang yang lebih besar lagi. Formula ini disebut Karl Marx sebagai medan sirkulasi kapital. Menurut Marx, kapitalisme adalah sebuah sistem sosial produksi yang bermula dari Uang (M) yang kemudian uang itu digunakan untuk membeli Komoditi (C) untuk selanjutnya dijual ke pasar untuk mendapatkan Uang lebih lebih besar lagi (ΔM). Pertanyaannya, dari mana tingkat keuntungan lebih besar (ΔM) itu diperoleh? Mengikuti formula M–>C–> ΔM, Marx mengatakan bahwa ketika si kapitalis membelanjakan uangnya untuk membeli komoditi (C) maka komoditi yang dibelinya itu adalah alat-alat produksi (means of production/MP) dan tenaga kerja (labor power/LP). Hanya dengan adanya kedua jenis komoditi inilah baru kemudian si kapitalis bisa menghasilkan komoditi (C’) yang nantinya dijual di pasar untuk menghasilkan ΔM, sehingga formulasinya menjadi M-C-C’- ΔM. Tetapi, proses ini tidak berhenti di ΔM, melainkan terus bergulir dan berbiak tanpa henti M-C- ΔM’’, lalu M-C- ΔM’’’, dan seterusnya.

Dari penjelasan sederhana ini, kapitalisme sebagai sebuah sistem hubungan sosial produksi dicirikan oleh lima hal yang tak terpisahkan satu sama lain (bersifat organik): pertama, adanya produksi komoditi (production of commodities), dimana produksi barang dilakukan bukan untuk dikonsumsi secara langsung tapi dipertukarkan di pasar. Untuk bisa mengonsumsi sebuah produk tertentu, Anda harus membelinya di pasar; kedua, adanya kerja-upahan (wage-labour) atau kelas buruh yang dieksploitasi oleh kelas kapitalis sehingga melahirkan konflik kelas yang tak terdamaikan di antara keduanya; ketiga, kehendak kelas kapitalis untuk menumpuk kekayaan tanpa batas (acquisitiveness) melalui eksploitasi tenaga kerja buruh dan eksploitasi terhadap alam yang melintasi batas ruang dan waktu. Dari sini kita bisa mengerti mengapa krisis ekologi mengalami percepatan di bawah sistem kapitalisme; keempat, kapitalisme dicirikan oleh organisasi yang rasional; dan terakhir, kelima, sebagai konsekuensi dari kehendak untuk akumulasi kapital, kapitalisme berwatak ekspansionis dan dinamis yang membuatnya berbeda dengan sistem non-kapitalis yang statis.[2]


Kelas Kapitalis

Berbeda dengan para ekonom arus utama, Marx melihat esensi kapitalisme pertama-tama dan terutama adalah hubungan antar manusia, bukan hubungan antara manusia dengan benda, apalagi hubungan di antara benda-benda. Karena kapitalisme merupakan hubungan sosial produksi, maka hubungan antara manusia yang dimaksud adalah hubungan antara pemilik alat-alat produksi yang tujuan utamanya adalah meraih keuntungan tanpa batas di satu pihak, dengan mereka yang tidak memiliki alat-alat produksi, yang untuk hidup mereka harus menjual tenaganya kepada pemilik alat-alat produksi di pihak lain. Mereka yang memiliki alat-alat produksi ini disebut sebagai kelas kapitalis.

Masih menurut Marx, kelas kapitalis ini memiliki kekuasaan, bukan karena kemampuan personal atau kualitas kemanusiaannya, tetapi lebih karena kedudukannya sebagai seorang pemilik (owner) dari kapital. “Kekuasaannya adalah kekuasaan membeli (purchasing) dari kapitalnya tersebut yang tak ada seorang pun bisa menahannya.”[3] Seperti yang sudah disebutkan di atas, karena sistem kapitalisme adalah sistem yang berorientasi pada pengejaran dan penumpukan profit setinggi-tingginya tanpa terinterupsi, maka secara alamiah demikian pula tujuan utama kelas kapitalis ini.

Dalam Capital Vol. I, Marx menulis bahwa dalam medan sirkulasi kapital, kelas kapitalis ini memiliki dua tujuan: pertama, ia ingin memproduksi sebuah produk yang memiliki nilai-guna (use-value) yang kemudian akan dipertukarkannya, yakni barang yang ditakdirkan untuk dijual, sebuah komoditi; kedua, ia ingin memproduksi sebuah komoditi yang memiliki nilai lebih besar dibandingkan dengan jumlah total nilai komoditi (C) yang digunakannya untuk memproduksi komoditi (C’) itu di pasar terbuka. Ringkasnya, kelas kapitalis tidak hanya bertujuan memproduksi nilai-guna, tetapi juga menghasilkan sebuah komoditi; tidak hanya nilai-guna, tapi juga nilai (value); dan bukan hanya nilai tapi juga nilai-lebih (surplus-value).[4] Dalam bahasa sehari-hari, tujuan utama dari si kapitalis adalah untuk meraup keuntungan sebesar-besarnya secara terus-menerus. Jika dalam aktivitasnya itu tingkat keuntungan yang diraupnya menurun—apalagi sampai merugi—(dengan berbagai penyebab) maka ia akan keluar atau dipaksa keluar dari medan sirkulasi kapital itu.

Sampai di sini, bagaimana kita menghubungkan penjelasan tentang kapitalisme dan kelas kapitalis ini dengan krisis ekologi? Mari kita ambil contoh kasus industri berbasis fosil khususnya batu bara (coal). Bukan kebetulan jika Crutzen dan Stoermer mengatakan bahwa epos antroposen ini bermula sejak akhir abad ke-18, yang bertepatan dengan penemuan mesin uap (steam engine) oleh James Watt. Seperti ditulis dengan brilian oleh Andreas Malm dalam bukunya Fossil Capital, penggerak utama mesin uap ini adalah batu bara. Bersamaan dengannya penemuan mesin uap inilah fondasi ekonomi fosil ini diletakkan.[5]

Sejak penemuan mesin uap, pertumbuhan ekonomi berlangsung dalam skala raksasa—sebagaimana dikatakan Marx dan Engels dalam Manifesto Komunis, keajaiban kapitalisme melampaui segala bentuk keajaiban dunia yang pernah ada sebelumnya. Tetapi, harga yang harus dibayar dari ekonomi berbasis fosil ini juga tidak kalah gigantiknya: kesenjangan lebar antara kaya-miskin baik intra negara maupun antar negara, kolonialisme, imperialisme, rasisme, perang, dan krisis ekologi.

Akibat dari penambangan batu bara ini, misalnya, terjadi pelepasan karbon dioksida, nitrogen oksida, sulfur dioksida, dan gas metana yang menyebabkan terjadinya pemanasan global dan perubahan iklim secara ekstrim, peningkatan suhu bumi, mencairnya es di kutub, terjadinya hujan asam, dst. Selain itu, akibat dari penambangan batu bara ini kualitas kesuburan tanah menurun drastis, air tercemar limbah merkuri dan zat logam, muncul bekas lubang galian, banjir dan tanah longsor. Dari aspek kesehatan, pembakaran batu bara ini menyebabkan kanker paru-paru, penyakit ginjal kronis, jantung, pneumokoniosis, dan silikosis bagi buruh dan warga sekitar area penambangan. Deretan dampak negatif dari penambangan batubara dan industri berbasis bahan bakar batubaru ini bisa lebih panjang lagi.

Celakanya, Indonesia adalah salah satu negara produsen batu bara terbesar di dunia, dengan produksi mencapai 606,7 juta ton pada 2021. Dengan demikian, Indonesia juga merupakan salah satu penyumbang terbesar dari krisis ekologi saat ini. Tetapi, seperti yang sudah saya sebutkan di atas, kita mesti lebih spesifik lagi melihat bahwa tidak semua orang Indonesia terlibat dalam aktivitas penambangan batu bara ini. Juga, tidak semua yang terlibat dalam bisnis sektor ini memiliki daya merusak yang setara. Para kapitalis yang bergerak di sektor penambangan batu bara itulah yang paling bertanggung jawab atas krisis ekologi ini.

Laporan yang dibuat oleh Project Multatuli (PM)[6] menunjukkan bahwa hingga 2021, ada 66 perusahaan batubara beroperasi dengan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) dan 1.162 perusahaan dengan izin usaha pertambangan (IUP). Dari jumlah tersebut, pada tahun 2020 tercatat lima induk usaha batubara terbesar di Indonesia, yakni PT Bumi Resources yang dikendalikan keluarga Bakrie, Grup Sinar Mas Mining milik keluarga Widjaja, PT Adaro Energy yang dikontrol bersama oleh keluarga Thohir serta keluarga Soeryadjaya dan kerabatnya, PT Indika Energy yang dikontrol keluarga Sudwikatmono, dan PT Bayan Resources yang dipimpin Low Tuck Kwong. Selain itu, masih menurut PM, setidaknya ada delapan oligark yang menguasai enam induk usaha batubara tersebut, yakni Aburizal Bakrie, Fuganto Widjaja, Sandiaga Uno, Edwin Soeryadjaya, Garibaldi “Boy” Thohir, Erick Thohir, Agus Lasmono, dan Low Tuck Kwong. Selain para raksasa ini, di bisnis arang ini mencuat nama dua pensiunan jenderal yang memilliki pengaruh sangat besar, yakni Prabowo Subianto dan Luhut Binsar Pandjaitan.


Penutup

Dari paparan singkat ini, menjadi jelas bahwa ketika berbicara tentang krisis ekologi di epos antroposen ini, kita tidak bisa melepaskanya dari konteks kapitalisme dan kelas kapitalis sebagai penyebab utamanya. Melepaskan konteks kapitalisme dari krisis ekologi ini akan menyebabkan upaya-upaya penanggulan krisis ekologi hanya akan bersifat tambal-sulam dan sekadar menunda kepunahan ekosistem bumi dan manusia yang hidup di atasnya. Ini memang tidaklah mudah, karena kapitalisme bukan hanya sesuatu yang bersifat abstrak dan struktural, tetapi sudah menjadi sebuah gaya dan budaya hidup sehari-hari. Tidaklah heran jika kita akhirnya menganggap bencana alam yang terjadi sebagai hal normal belaka dan kehidupan akan kembali bergerak seperti sebelumnya.

Demikian juga, ketika kita berbicara tentang siapa yang paling bertanggung jawab atas krisis ekologis saat ini, jawabannya tidak lain adalah kelas kapitalis. Secara politik, senjata kritik dan perlawanan gerakan pro-lingkungan harus diarahkan kepada mereka, bukan kepada manusia secara umum.***


Coen Husain Pontoh, editor IndoPROGRESS


Catatan Akhir

[1] Camilla Royle, “Marxism and the Anthropece”, International Socialism a quartely review of socialist theroy, http://isj.org.uk/marxism-and-the-anthropocene/#footnote-10080-35. Diunduh pada 6/2/2022.

[2] M.C. Howard and J.E. King, The Political Economy of Marx, (New York: New York University Press, 1985), 8.

[3] Karl Marx, Economic and Philosophic Manuscripts of 1844 and the Communist Manifesto, (New York: Promotheus Books, 1988), 36.

[4] Karl Marx, Capital Volume I, (London: Penguin Books, 1990), 293.

[5] Andreas Malm, Fossil Capital, The Rise of Steam Power and the Roots of Global Warming, (London: Verso, 2016), 16.

[6] Viriya Singgih, “Profil & Peta Koneksi Bisnis dan Politik 10 Oligark Batubara Terbesar di Indonesia di bawah Pemerintahan Jokowi”, Project Multatuli, https://projectmultatuli.org/profil-peta-koneksi-bisnis-dan-politik-10-oligark-batubara-terbesar-di-indonesia-di-bawah-pemerintahan-jokowi/. Diunduh pada 8/2/2022.

 

]]>
Asal-Usul Antroposen dan Efeknya terhadap Hubungan Manusia dan Alam https://indoprogress.com/2022/01/asal-usul-antroposen-dan-efeknya-terhadap-hubungan-manusia-dan-alam/ Wed, 12 Jan 2022 09:44:36 +0000 https://indoprogress.com/?p=236498 Illustrasi: Jonpey


PADA Februari 2000, bertempat di Cuernavaca, ibukota dari negara bagian Morelos di Meksiko, sekelompok ahli ilmu alam yang tergabung dalam organisasi bernama International Geosphere-Biosphere Program (IGBP), tengah menghelat pertemuan tahunan mereka. Salah satu peserta pertemuan itu adalah Paul J. Crutzen, wakil ketua dari IGBP. Crutzen adalah seorang meterolog dan ahli kimia atmosfer asal Belanda yang pada 1995 memenangkan hadiah Nobel untuk penelitiannya tentang lapisan ozon.

Pada satu sesi pertemuan di sore hari, Crutzen tampak serius mendengarkan paparan para kolega ilmuwannya tentang perubahan-perubahan besar yang sedang terjadi pada bumi tempat kita tinggal ini. Di tengah-tengah presentasi itu, Crutzen tiba-tiba menginterupsi para koleganya yang kerap menggunakan istilah Holosen untuk menjelaskan tentang fenomena perubahan yang sedang terjadi sekarang. “Stop menggunakan istilah Holosen. Kita tidak sedang berada di Holosen lagi. Kita sedang berada di… Antroposen.”[1] ujar Crutzen.[2]

Eva Horn dan Hannes Bergthaller dalam buku mereka Anthropocene Key Issues for the Humanities bercerita bahwa interupsi Crutzen mendatangkan kebingungan di kalangan koleganya. Bahkan ketika sesi istirahat minum kopi, tidak ada pembicaraan lebih lanjut soal itu. Karenanya, segera setelah pertemuan tahunan tersebut usai, Crutzen mengajak ahli biologi air tawar (limnolog) Eugene F. Stoermer, dari University of Michigan, Amerika Serikat, yang beberapa kali menggunakan istilah antroposen pada dekade 1980an, untuk menulis paper programatik pendek guna menjelaskan apa yang dimaksud dengan antroposen di buletin terbitan IGBP. Dalam artikel bertajuk “The Anthropocene”, keduanya menulis bahwa setelah melalui berbagai studi dan penelitian terkait dampak dari perkembangan pesat aktivitas manusia di bumi dan atmosfer, mereka mengusulkan penggunaan istilah “antroposen” untuk zaman (epos) geologis terkini.[3]

Apa dampak dari keterlibatan manusia yang sangat besar dan berskala global terhadap bumi dan seisinya itu? Paparan Crutzen dan Stoermer menunjukkan bahwa peran sentral manusia dalam geologi dan ekologi ini ternyata lebih bersifat menghancurkan ketimbang menghasilkan manfaat. Keduanya, misalnya, mendaftar beberapa hal buruk yang disebabkan oleh aktivitas manusia tersebut: pertumbuhan populasi manusia berlangsung 10 kali lipat dalam tiga abad terakhir, ketika populasi sebesar itu telah memelihara 1,4 miliar ternak sapi penghasil metana (CH4), yang merupakan salah satu penyumbang gas rumah kaca. Selain itu, untuk memenuhi kebutuhannya dan perkembangan-perkembangan hidupnya, manusia antroposen ini kemudian mengeksploitasi lebih dari 30-50 persen permukaan tanah, menghancurkan hutan hujan tropis, mengalihkan aliran sungai dan membangun bendungan-bendungan raksasa, dan mengkonsumsi lebih dari setengah keseluruhan air tawar yang bisa diakses. Intervensi manusia ini juga menyebabkan terjadinya penurunan sebesar 25 persen ikan di wilayah laut dalam dan 35 persen di laut dangkal, meningkatkan penggunaan pupuk nitrogen lebih dari dua kali lipat dalam pertanian seperti yang digunakan secara alami di semua ekosistem terestrial yang digabungkan, menyebabkan terjadinya peningkatan sebesar 16 kali lipat penggunaan energi pada abad kedua puluh, yang menyebabkan terjadinya peningkatan emisi sulfur dioksida (SO₂) menjadi lebih dari dua kali tingkat alami dan meningkatkan konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer untuk level tertinggi mereka dalam lebih dari 400.000 tahun.[4]

Karena sifat intervensi manusia yang destruktif itu, antroposen juga adalah sebuah epos dimana ekologi bukan hanya sedang berada dalam kondisi krisis, dimana pada tahap tertentu di masa depan bisa diatasi, tapi lebih dari itu, antroposen adalah sebuah ambang batas ekologi, sebuah patahan radikal (radical break) dari kondisi-kondisi ekologi yang sangat stabil pada epos holosen.[5] 


Manusia sebagai Pusat

Kapan tepatnya epos antroposen ini bermula? Para sarjana geologi memiliki jawaban beragam soal ini. Ahli paleoklimatologi William Rudiman, misalnya, berpendapat bahwa epos antroposen ini sudah dimulai 5000-8000 tahun lalu, yang ditandai oleh pembukaan lahan untuk kebutuhan pertanian yang menyebabkan peningkatan level karbondioksida dan metana di udara. Sementara sarjana lingkungan Erle Ellis mengatakan bahwa asal muasal antroposen ini berjarak lebih jauh ke belakang ketimbang perkiraan Rudiman, yakni semenjak era Pleistocene (1,808.000-11,500) tahun lalu. Atas dasar itu, Ellis mengusulkan sebaiknya seluruh 11.000 tahun terakhir dari holosen seharusnya diganti saja namanya menjadi antroposen.”[6]

Jika kita mengikuti pandangan Rudiman dan Ellis ini[7], maka sebenarnya tidak ada yang perlu dikhawatirkan terkait dengan campur tangan atau keterlibatan manusia terhadap bumi dan seisinya. Perubahan iklim, bocornya lapisan ozon, kadar pengasaman laut yang makin tinggi adalah sebuah krisis ekologi biasa, sebuah proses alamiah hasil dari aktivitas manusia sejak jutaan tahun lalu. Tidak heran jika argumen ini mendapatkan sambutan hangat di kalangan borjuasi dan para pelobi anti-lingkungan.

Crutzen dan Stoermer sendiri berpendapat, walaupun bukan sebuah kesimpulan yang pasti, bahwa epos antroposen ini dimulai pada bagian terakhir abad ke-18, yang bertepatan dengan penemuan mesin uap oleh James Watt.[8] Dalam literatur ekonomi politik periode ini dikenal sebagai periode Revolusi Industri, yang mengawali pembakaran batubara dalam skala besar telah memicu kenaikan jangka panjang dalam konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer. Singkatnya, industrialisasi adalah titik mula dari antroposen.

Jika kita ingat bahwa epos antroposen merupakan sebuah patahan radikal dari epos holosen, maka dalam kaitan hubungan manusia dengan alam, kita bisa katakan bahwa telah terjadi perubahan yang sangat radikal di antara kedua epos geologis ini. Pada epos holosen, misalnya, baik manusia dan alam dilihat sebagai sumber kerendahhatian, kekaguman dan ketakjuban. Di sini manusia membangun hubungan estetis dan spritual dengan dirinya sendiri dan dengan alam, dimana alam internal dan eksternal harus diapresiasi karena kualitasnya sendiri, bukan pada nilainya sebagai sumberdaya material atau komoditi bagi kepentingan manusia semata. Karena itu penghormatan terhadap entitas non-manusia sangat diperlukan. Organisme, menurut pandangan ini, lebih dari sekadar mesin dan kumpulan dari atom-atom; mereka adalah entitas menyeluruh dan bersifat independen.[9]

Tetapi pada epos antroposen, hubungan yang harmonis dan setara antara manusia dengan alam itu kemudian dijungkirbalikkan, bermula pada zaman pencerahan (age of enlightment) di abad ke-17 dan 18. Para ‘Pangeran Pencerahan’ seperti Isaac Newton, Francis Bacon dan Rene Descartes memaklumatkan sebuah diktum baru bahwa manusia adalah pusat dari segalanya, bahwa manusia sendirilah yang menentukan takdir hidupnya, bukan kekuatan-kekuatan adikuasa yang transenden dan mistis. Dipandu oleh rasionalisme, empirisme, pragmatisme, dan sekularisme, manusia-manusia pencerahan ini memberontak terhadap tatanan dunia lama yang gelap, terbelakang, dan barbar. Sapere Aude (berani berpikir) adalah motto dari keseluruhan zaman pencerahan, kata filsuf Immanuel Kant.

Dalam hubungannya dengan alam, Francis Bacon, nabinya ilmu pengetahun modern, berpendapat bahwa posisi manusia adalah superior atas alam. Walaupun secara filsafati Bacon adalah seorang monis dan materialis, tetapi dalam hubungan manusia dengan alam filsafatnya mengusung dualisme fungsionalis yang kelak menjadi populer dan berpengaruh di tangan Rene Descartes. Karena itu, ketimbang melihat manusia sebagai bagian dari jejaring alam (web of nature)sebagaimana dalam epos holosen, Bacon melihat alam itu keras dan kejam dan karenanya harus ditundukkan oleh manusia. Bagi Bacon, manusia adalah Kaisar dari Kerajaan Bumi, wilayahnya adalah bumi itu sendiri yang harus dikuasai, dikelola dan ditransformasikan untuk melayani kebutuhan dan kepentingan manusia.[10] Dan dalam epos antroposen penundukkan dan pengelolaan kerajaan bumi itu dilakukan melalui proses industrialisasi dan penemuan-penemuan ilmiah.

Pemisahan manusia dari alam yang ditindaklanjuti oleh dominasi dan penundukkan manusia atas alam ini mencapai titik puncaknya pada bapak filsafat modern asal Prancis, René Descartes (1596-1650). Warisan pemikiran Descartes yang paling berpengaruh dan hingga kini masih terus diperbincangkan adalah pemisahannya yang tegas antara pikiran (mind) dan materi/tubuh (matter/body), yang terkenal dengan sebutan Dualisme Cartesian atau Revolusi Cartesian dalam bahasa sosiolog Jason W. Moore.[11] Dalam kaitan hubungan manusia dengan alam, dualisme Cartesian ini tampak dalam cara pandang yang saling berhadap-hadapan antara masyarakat dan alam (society and nature).

Lebih jauh dalam bukunya Discourse and Method (1637), Descartes mengasosiasikan manusia (human beings) dengan mind, sementara hewan derajatnya diturunkan ke level mesin (machine) atau mesin alamiah.[12] Dalam konteks ini, maka, menurut Moore, Revolusi Cartesian mencakup tiga hal: pertama, pemberlakuan status ontologis pada entitas (substansi) sebagai lawan dari hubungan (yaitu energi, materi, orang, gagasan dan sebagainya menjadi sekadar benda); kedua, pemaksaan … agar segaris dengan logika memilih hanya salah satu (bukan keduanya) mendominasi atau didominaasi; dan ketiga, dukungan atas gagasan mengenai kontrol terencana atas alam melalui penggunaan metode-metode saintifik. Dari ketiga doktrin ini, Moore dengan memparafrasekan Tesis kesebelas Marx Tentang Feuerbach, mengatakan bahwa “bagi kalangan materialisme modern awal, soalnya bukan sekadar menafsirkan dunia tapi bagaimana mengontrolnya: (mengutip Descartes) ‘untuk memungkinkan kita (manusia) menjadi tuan dan pemilik alam’”.[13]


Penutup

Dari paparan singkat di atas, krisis ekologi yang terjadi saat ini memaksa kita untuk memikirkan kembali secara serius bagaimana hubungan manusia dengan alam. Sudah jelas bahwa doktrin manusia sebagai pusat dari ekosistem dan cara pandang binary (manusia/alam atau manusia dan alam) yang merupakan warisan zaman pencerahan, tidak bisa lagi dipertahankan. Fakta-fakta geologis sudah membuktikan bahwa “anak-cucu ” pencerahan” ini adalah sumber masalah dari krisis ekologi saat ini.

Namun demikian, mengadopsi secara mentah-mentah nilai-nilai Romantik yang mengusung hubungan yang monistik antara manusia dengan alam seperti pada epos holosen, bukan tanpa masalah. Secara ekonomi-politik, epos holosen ditandai oleh corak produksi perbudakan dimana kelas-kelas sosial yang dominan adalah kelas budak vs kelas tuan budak, dan corak produk feodal dimana kelas-kelas sosial yang dominan adalah kelas petani hamba vs kelas tuan tanah. Sementara epos antroposen dicirikan oleh corak produksi kapitalisme dengan kelas buruh vs kelas borjuasi sebagai kelas sosial yang dominan.

Tanpa mempertimbangkan secara serius perbedaan di antara berbagai corak produksi (sistem ekonomi yang spesifik) ini, maka upaya untuk mengharmoniskan dan menyeimbangkan hubungan manusia dengan alam di epos antroposen ini hanya akan menjadi isu moral: penanaman sejuta pohon, pertanian organik, membuat mobil tenaga surya, mengganti kantong plastik dengan kantong kertas, jangan buang sampah sembarangan, dst, dst. Dari temuan-temuan ilmiah terbaru, tindakan-tindakan moralistik seperti ini gagal dalam menghentikan laju krisis ekologi. Sapere Aude!***


Coen Husain Pontoh adalah editor IndoPROGRESS


Catatan Akhir

[1] Secara etimologis, antroposen adalah gabungan dari dua kata anthropo (dari bahasa Yunani anthropos yang berarti manusia) dan cene (dari kainos, yang berarti baru). Antroposen dengan demikian berarti manusia baru.

[2] Eva Horn and Hannes Bergthaller, Anthropocene Key Issues for the Humanities, (London: Routledge, 2020), 1.

[3] Paul Crutzen and Eugene F. Stoermer, “The Anthropocen”, Global Change NewsLetter, No. 41, May 2000, 17-18, http://www.igbp.net/download/18.316f18321323470177580001401/1376383088452/NL41.pdf. Diunduh pada 9/1/2022. Lihat juga Ian Angus, facing the anthropocene fossil capitalism and the crisis of the earth system, (NY: Monthly Review Press, 2016), 33.

[4] Ibid. Lihat juga Ian Angus, facing the anthropocene fossil capitalism and the crisis of the earth system, (NY: Monthly Review Press, 2016), 36.

[5] Eva Horn and Hannes Bergthaller, Anthropocene, 1-2.

[6] Clive Hamilton, Defiant Earth: The Fate of Humann in the Anthropocen, (Australia: Allen&Unwin, 2017), 20-21; Ian Angus, facing the anthropocene, 53.

[7] Fakta-fakta saintifik telah menunjukkan bahwa pandangan keduanya tidak cukup solid untuk dijadikan patokan asal-mula kemunculan antroposen.

[8] Op.Cit

[9] Peter Dickens, Society & Nature, (Cambridge: Polity Press, 2008), 4-5. Pandangan romantik tentang hubungan manusia dengan alam ini bisa kita saksikan saat ini dalam tradisi agama-agama Abrahamik dan komunitas-komunitas masyarakat Adat.

[10] Ibid., 2.

[11] Jason W. Moore, Capitalism in the Web of Life: Ecology and the Accumulation of Capital, (London: Verso, 2015), 19.

[12] John Bellamy Foster and Brett Clark, The Robbery of Nature Capitalism and the Ecological Rift, (NY: Monthly Review Press, 2020), 135.

[13] Op.Cit., 19-20.

]]>
Dua Pendekatan Penyelesaian Krisis Ekologi https://indoprogress.com/2021/12/236433/ Mon, 06 Dec 2021 09:15:01 +0000 https://indoprogress.com/?p=236433 Illustrasi: Jonpey


AKIBAT peningkatan permukaan air laut ini, 10 juta orang di seluruh dunia diperkirakan terancam hidupnya oleh banjir yang berasal dari luapan air laut.[1] Perkiraan ini bukanlah isapan jempol belaka, atau sekadar kabar burung yang disebarkan luas untuk menakut-nakuti orang banyak agar tidak membakar sampah secara serampangan, misalnya. Ia merupakan hasil studi dari para ilmuwan lingkungan selama bertahun-tahun terkait perubahan iklim dan penyebabnya. Belum lama berselang, tepatnya pada 9 Oktober lalu, atau tiga minggu menjelang pelaksanaan UN Climate Change Conference of the Parties (COP26) di Glasgow, Skotlandia, pada 31 Oktober hingga 13 November 2021, Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC), sebuah badan dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang mengurus persoalan sains dalam hubungannya dengan perubahan iklim (climate change), merilis laporan yang bernada muram terkait perubahan iklim global. Dalam laporan setebal hampir 4.000 halaman yang disusun oleh 234 ilmuwan dari 66 negara plus 517 kontributor, disebutkan bahwa kenaikan suhu akibat pemanasan global akan mendekati level 1,5°C atau bahkan melampauinya (mendekati level 2°C pada 20 tahun mendatang).[2]

Laporan tersebut memproyeksikan bahwa pemanasan global pada level 1,5°C akan meningkatkan gelombang panas, dan menjadikan musim panas lebih panjang dan musim dingin lebih pendek. Sementara jika mencapai level 2°C, maka cuaca panas ekstrem akan mencapai ambang batas toleransi kritis untuk pertanian dan kesehatan. Tetapi perubahan iklim tidak hanya terkait dengan temperatur. Masih menurut laporan tersebut, perubahan iklim juga turut mengintensifkan siklus air yang menyebabkan curah hujan menjadi lebih tinggi, yang diiringi dengan banjir bandang di satu wilayah dan kekeringan hebat di wilayah lainnya. Sebagai tambahan, perubahan iklim juga memengaruhi pola curah hujan. Di lintang tinggi, curah hujan cenderung meningkat, sementara di sebagian besar wilayah subtropis diproyeksikan menurun. Perubahan curah hujan musiman diduga akan bervariasi menurut wilayah. Tidak kalah mengerikan dari itu, laporan tersebut menulis bahwa akibat pemanasan global ini maka permukaan air laut akan meningkat secara berkelanjutan, terjadi gelombang pemanasan laut, pengasaman air laut, dan penurunan kadar oksigen. Pada dekade mendatang kita juga akan semakin sering menyaksikan mencairnya lapisan gunung es (gletser) dan hilangnya lautan es Arktik di musim panas.

“Sangat jelas terbukti bahwa karbon dioksida (CO2) adalah penyumbang utama dari terjadinya perubahan iklim, disamping gas rumah kaca dan polusi-polusi udara lainnya”, demikian kesimpulan dari laporan tersebut.


Pendekatan Modernisasi Ekologi

Panmao Zhai, salah satu ketua dari PCC Working Group I IPCC, mengatakan bahwa untuk bisa menstabilisasi iklim pada level di bawah 1,5°C, dibutuhkan tindakan pengurangan emisi gas rumah kaca yang kuat, cepat, dalam skala besar dan berkelanjutan, sehingga tercapai emisi bersih CO2 hingga level nol (net-zero emission). Pertanyaannya, tindakan seperti apa yang harus dilakukan agar stabilisasi iklim itu terjadi?

Dalam khazanah literatur ekologi, ada dua pendekatan prinsipil yang ditawarkan untuk mencegah krisis lingkungan ini menjadi semakin parah. Yang pertama adalah pendekatan  modernisasi ekologis (ecological modernization)dan yang kedua adalah pendekatan ekologi radikal (radical ecologies).[3] Di bawah ini saya akan menjelaskan secara ringkas kedua pendekatan ini.

Pendekatan modernisasi ekologi semula tidak dikenal di kalangan para ilmuwan sosial lingkungan pada dekade 1980an, kecuali di kalangan segelintir ahli ilmu perbandingan politik. Namun, dalam waktu singkat pendekatan ini menjadi sangat populer dan berpengaruh di kalangan ilmuwan sosial lingkungan. Seperti ditulis Maarten Hajer, salah satu proponen utama pendekatan ini, sejak pertengahan 1980an dan seterusnya, pendekatan modernisasi telah sukses menaklukkan ruang diskursif dalam domain lingkungan dan kemudian dipandang sebagai cara yang paling sah (legitimate) dalam mendiskusikan dan mengonseptualisasikan lingkungan sebagai problem pembuatan kebijakan.[4] Tidak heran jika kemudian di semua pertemuan profesional mereka, pengadaan sesi khusus yang membahas tentang modernisasi ekologi terlihat menjadi kewajiban.[5] Selain Haajer, pemikir yang sangat berpengaruh dari pendekatan ini adalah sosiolog lingkungan Arthur P.J. Mol dan Gert Spaargaren. 

Tesis utama pendekatan ini dicetuskan dalam Konferensi Internasional Ekonomi dan Lingkungan pada Juni 1984, bahwa “ekonomi dan lingkungan, jika dikelola dengan baik, akan saling memperkuat; dan mendukung serta didukung oleh inovasi teknologi”.[6] Dengan begini maka krisis ekologi yang terjadi secara global saat ini lebih dilihat sebagai problem salah urus kebijakan lingkungan oleh negara. Haajer sendiri berpendapat bahwa pendekatan modernisasi ekologi harus dilihat dalam kerangka diskursus kebijakan ketimbang diskursus ilmu sosial. Terkait dengannya, menurut Mol ada dua hal yang harus dilakukan: pertama, kebijakan negara dalam hal lingkungan sejauh ini harus diubah dari yang sifatnya kuratif dan reaktif menjadi kebijakan yang bersifat preventif; dari yang sifatnya eksklusif ke pembuatan kebijakan partisipatif; dari yang terpusat menjadi terdesentralisasi sedapat mungkin; dan dari dominasi kebijakan lingkungan yang terlalu diatur dan diarahkan menjadi kebijakan yang menciptakan kondisi yang menguntungkan dan kontekstual untuk praktik ramah lingkungan dan menjadi perilaku dari produsen dan konsumen. Terkait itu, hal kedua yang harus dilakukan adalah pengalihan tanggung jawab, insentif, dan tugas dari negara ke pasar. Mol yakin bahwa kebijakan ini akan memajukan dan mempercepat proses transformasi ekologi, karena pasar dianggap menjadi mekanisme yang lebih efisien dan efektif untuk mengoordinasikan penanganan masalah lingkungan ketimbang jika itu dilakukan oleh negara. Bahkan, dalam nada yang lebih optimistik, Covins dan Cohen mengatakan bahwa mekanisme pasar sanggup menyelesaikan masalah krisis iklim.[7]

Tetapi Mol tidak menyarankan agar negara angkat kaki dalam urusan pengelolaan lingkungan. Yang dianjurkannya adalah transformasi dalam hubungan antara negara dan masyarakat dan penekanan yang berbeda pada kendali peran negara. Tugas negara bukan lagi menjadi promotor tunggal, melainkan menjadi penyedia dan penjamin kondisi-kondisi terwujudnya kebijakan lingkungan yang tepat, baik melalui mekanisme dan dinamika ekonomi, atau melalui partisipasi ruang publik kelompok-kelompok warga, LSM lingkungan dan organisasi-organisasi konsumen.[8] Melalui pembuatan kebijakan lingkungan yang benar, kata Haajer, maka politik lingkungan bukan hanya tidak akan berkontradiksi dengan kebijakan ekonomi, malahan disarankan untuk menjadi instrumen potensial bagi pemulihan ekonomi.[9]

Dengan menempatkan masalah krisis ekologi sebagai problem kebijakan, maka pendekatan modernisasi ekologi tidak melihat krisis ekologi sebagai akibat dari beroperasinya sistem kapitalisme. Mereka bahkan percaya bahwa pembangunan ekonomi kapitalis, yang disebut sebagai “modernisasi”, akan menyediakan alat-alat untuk mengatasi dan mengoreksi masalah-masalah lingkungan.[10] Di kalangan ekonom, krisis ekologi bahkan lebih ekstrem lagi dilihat sebagai potensi untuk mendinamisir dan memobilisasi proses akumulasi kapital tanpa akhir. Pada poin inilah letak perbedaan pendekatan modernisasi ekologi dengan pendekatan ekologi radikal.


Pendekatan Ekologi Radikal

James Gustav Speth, mantan penasihat lingkungan Presiden Amerika Serikat Jimmy Carter, dan kepala agen pembangunan internasional Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), menulis bahwa dalam konteks AS, pendekatan modernisasi ekologi sejauh ini memperlihatkan adanya kemajuan. Namun, secara keseluruhan penanganan masalah lingkungan ini jauh dari memadai. “Kita memang berhasil memenangkan pertempuran, termasuk dalam beberapa isu kritikal, tapi kita kalah dalam peperangan”, ujarnya. Mengapa? Speth menjawab, “sebagian besar dari kita yang peduli lingkungan bekerja di dalam sistem, tetapi sistem itu sendiri tidak bekerja. …. Karena itu, inilah saatnya para pegiat lingkungan, siapapun itu, keluar dari sistem ini dan membangun sebuah kritik yang mendalam tentang apa yang sebenarnya sedang terjadi.”[11]

Tetapi sistem apa yang telah gagal dalam mengatasi krisis ekologi ini? Naomi Klein mengatakan bahwa kita mesti menempatkan krisis ekologi ini berhadap-hadapan dengan kapitalisme. Pasalnya, saat ini kapitalisme adalah pemenang di hampir semua lini kehidupan. Karena itu, “Tantangannya”, demikian tulis Klein, “bukanlah sesederhana kita mesti membelanjakan lebih banyak uang dan mengubah begitu banyak kebijakan, tapi yang harus kita lakukan adalah berpikir secara sangat berbeda, berbeda secara sangat radikal, agar perubahan itu dimungkinkan dari jauh”.[12]

Apa yang diserukan oleh Speth dan Klein ini disebut oleh sosiolog John Bellamy Foster dkk. sebagai Pendekatan Ekologi Radikal. Para pengusung pendekatan ini yakin bahwa kapitalisme, yang merupakan sebuah sistem sosial ekonomi yang menempatkan pengejaran keuntungan setinggi-tingginya tanpa batas adalah akar masalah dari krisis ekologi saat ini. Dan untuk melayani mesin produksi keuntungan ini agar tetap bekerja, sektor produksi, distribusi dan konsumsi digenjot semaksimal mungkin dan seglobal mungkin. Industri-industri raksasa berbasis fosil (minyak bumi, batubara, gas alam dan orimulsion), misalnya, merupakan penyumbang terbesar emisi karbon, yakni sebesar sekitar 35 miliar ton (35 gigaton) karbon dioksida (CO2) per tahun, atau sekitar 89 persen dari seluruh emisi karbon dioksida. Distribusi produk-produk berbasis fosil ini (melalui kendaraan mobil, kapal laut, dan pesawat udara) ke seluruh penjuru bumi juga semakin memperparah produksi emisi karbon. Pembangunan jalan-jalan raya yang luas dan panjang, jembatan, pelabuhan laut dan bandar udara, tidak hanya menelan biaya ekonomi yang sangat besar, tapi juga kerusakan lingkungan yang parah, seperti pembabatan hutan untuk jalan raya dan pencemaran air laut.

Sementara pada sisi konsumsi, untuk memastikan agar produk-produk berbasis fosil ini sampai ke tangan konsumen terakhir (individu maupun rumah tangga), maka kemasan produk dan selera konsumen pun harus dibentuk sedemikian rupa melalui propaganda pemasaran yang masif. Dari segi kemasan produk misalnya, sekitar 300 juta ton plastik diproduksi setiap tahunnya di seluruh dunia. Kebutuhan iklan seperti sabun mandi menelan biaya sekitar 10-12 persen, dan 15 persen untuk produk-produk mainan. Di AS sendiri, ratusan milyar dollar dikeluarkan khusus untuk kebutuhan propaganda pemasaran.[13]

Jalinan rantai produksi, distribusi dan konsumsi ini kemudian membentuk struktur sosial kita yang dicirikan oleh: pertama, strategi dan teknik pemasaran yang meraksasa dan berkelanjutan sehingga bisa merangsek masuk ke dalam struktur produksi itu sendiri; kedua, produksi barang-barang dan juga psikologi konsumen yang cepat sekali berubah menjadi usang atau lapuk untuk diganti dengan yang baru; ketiga, produksi barang-barang mewah untuk kebutuhan minoritas superkaya; keempat, pengeluaran yang sangat besar untuk belanja militer dan elite kekuasaan negara yang mengontrol secara langsung personel dan instrumen hukum; keempat, pertumbuhan yang menyeluruh pada superstruktur spekulasi dalam bentuk pasar keuangan, asuransi, dan perumahan (real estate).[14]

Melalui pendekatan ekologi radikal ini, krisis lingkungan tidak dilihat sebagai sesuatu yang terpisah dari krisis sistem ekonomi dan sosial itu sendiri. Sehingga upaya-upaya untuk mencegah kerusakan lingkungan yang semakin parah hanya bisa dilakukan dengan mengubah sistem kapitalisme beserta cara dan gaya hidup kita. Tanpa perubahan sistem kapitalisme ini, maka setumpuk perubahan dan pembuatan kebijakan lingkungan hanyalah upaya untuk menunda, bukan hanya kekalahan, tapi kepunahan spesies-spesies penghuni bumi.***


Coen Husain Pontoh adalah editor IndoPROGRESS


 Kepustakaan

[1] Umar Irfan, “What’s the worst that could happen?” https://www.vox.com/22620706/climate-change-ipcc-report-2021-ssp-scenario-future-warming. Diunduh pada 21/11/2021.

[2] https://www.ipcc.ch/2021/08/09/ar6-wg1-20210809-pr/. Diunduh pada 21/11/2021.

[3] John Bellamy Foster, Brett Clark and Richard York, The Ecological Rift Capitalism’s War on the Earth, (Monthly Review Press, NY, 2010), 8.

[4] Maarten A. Hajer, The Politics of Environmental Discourse Ecological Modernization and the Policy Process, (Oxford University Press, NY, 1995), 101.

[5] F. H. Buttel, “Ecological modernization as a social theory”. Geoforum 31 (2000) 57-65. http://citeseerx.ist.psu.edu/viewdoc/download?doi=10.1.1.486.917&rep=rep1&type=pdf. Diunduh pada 23/11/2021.

[6] Hajer, The Politics, 99.

[7] L. Hunter Lovins and Boyd Cohen, Climate Capitalism: Capitalism in the Age of Climate Change, (Hill and Wang, NY, 2011), 3.

[8] Buttel, Ecological, 61.

[9] Haajer, The Politics, 98.

[10] Foster, Clark, and York, The Ecological Rift, 251.

[11] James Gustav Speth, The Bridge at tha Edge of the World Capitalism, the Environment, and Crossing from Crisis to Sustainabilty, (Yale University Press, New Haven and London, 2008), xii-xiii.

[12] Naomi Klein, This Changes Everything Capitalism vs The Climate, (Simon and Schuster Paperback, NY, 2014), 22-23.

[13] John Bellamy Foster and Brett Clark, The Robbery of Nature, (Monthly Review Press, NY, 2020), 253.

[14] Ibid, 249.

]]>
Ekspresi Politik Kelas Menengah Sebagai Sebuah Kelas https://indoprogress.com/2021/09/ekspresi-politik-kelas-menengah-sebagai-sebuah-kelas/ Fri, 24 Sep 2021 05:33:11 +0000 https://indoprogress.com/?p=236121 Ilustrasi: Jonpey


Tulisan ini adalah bagian kelima dari perdebatan yang dimulai oleh tulisan Abdil Mughis Mudhoffir di Project Multatuli berjudul “Aktivisme Borjuis: Mengapa Kelas Menengah Reformis Gagal Mempertahankan Demokrasi” (9 Juni 2021). Bagian kedua adalah tanggapan Coen Pontoh berjudul “Menginvestigasi Kelas Menengah: Tanggapan untuk Abdil Mughis Mudhoffir” (16 Juni). Redaksi juga menerbitkan terjemahan tulisan Eduard Lazarus berjudul “Kiri Indonesia: Dihantui Warisan Anti-Komunis dan “Masyarakat Sipil” yang sebelumnya terbit di Jacobin sebagai bagian ketiga untuk perdebatan ini (29 Juni). Bagian keempat adalah respons Abdil Mughis bertajuk “Ilmu Sosial Borjuis: Mengapa Aktivisme Borjuis Liberal Dominan di Indonesia” (16 Agustus)


“HANYA kritisismelah yang bisa memajukan teori Marxis”, demikian tulis Nicos Poulantzas dalam pembuka ulasannya atas buku babon Ralph Miliband, The State in Capitalist Society.[1] Ulasan Poulantzas ini kelak memicu sebuah debat klasik dalam studi-studi Marxis tentang Negara hingga sekarang. Dan dalam semangat yang dicanangkan Poulantzas pada 52 tahun yang lalu tersebut, saya ingin menanggapi tulisan Abdil Mughis Mudhoffir yang berjudul “Ilmu Sosial Borjuis: Mengapa Aktivisme Borjuis Liberal Dominan di Indonesia?”.

Dalam artikelnya yang menjelaskan kecenderungan reformis dari kelas menengah Indonesia, Mughis melacak peran dan dominasi ilmu-ilmu sosial borjuis terutama semenjak rezim Orde Baru berkuasa pasca-pembantaian massal pada Peristiwa G30S 1965. Arah penjelasan ini dipakai Mughis karena ia tidak puas dengan penjelasan bahwa ekspresi politik kelas menengah ditentukan oleh posisi kelasnya dalam struktur masyarakat kapitalis. Menurut Mughis, argumen seperti ini bisa terjatuh pada determinisme strukturalis, yang menempatkan individu sebagai menjadi aktor yang pasif dan ditentukan oleh posisi strukturalnya, sementara sejarah menunjukkan tidak sedikit individu progresif-revolusioner yang berasal dari kelas menengah, seperti Vladimir Lenin, Mao Tse-tung, dan Tan Malaka. Untuk terhindar dari deteminisme strukturalis tersebut, Mughis mengusulkan agar kita harus melihat pengalaman sejarah konflik sosial di mana ekspresi kelas menengah itu mencuat.

Berdasarkan argumentasi dan penjelasan tersebut, Mughis tiba pada kesimpulan bahwa ekspresi politik kelas menengah yang reformis itu disebabkan oleh dominasi produksi pengetahuan Weberian dan berbagai turunannya di Indonesia, baik di dalam maupun di luar lembaga-lembaga formal. Hasilnya kemudian, saya kutip agak panjang,

Ilmu-ilmu sosial borjuis ini yang mengilhami banyak aktivis LSM dan akademisi menganut pandangan-pandangan seperti pluralisme liberal, neo-institusionalisme dan kulturalisme. Perspektif-perspektif ini tidak hanya mengilhami artikulasi politik reformis yang cenderung gagap dan penuh kontradiksi internal dalam merespons persoalan-persoalan kekuasaan, tetapi juga melahirkan pengetahuan-pengetahuan teknokratik yang justru tanpa disadari menjustifikasi sifat-sifat kekuasaan politik yang ditentang oleh kelas menengah reformis itu”.

Argumentasi dan penjelasan Mughis ini sangat penting, karena ia menjelaskan bahwa kelemahan gerakan sosial yang dimotori oleh kelas menengah adalah karena pengaruh pengetahuan yang dimiliki oleh para aktivisnya, dan pengetahuan serta kesadaran itu bukan sesuatu yang alamiah atau sesuatu yang berakar pada budaya tertentu yang diwariskan secara turun-temurun. Pengetahuan dan kesadaran itu dibentuk melalui sebuah politik pengetahuan yang sistematis, masif dan terstruktur oleh rezim Orde Baru untuk memuluskan dan mempertahankan agenda-agenda kekuasaannya. Melalui penjelasan mengenai dampak substansial dari politik pengetahuan tersebut, maka diskusi mengenai kebuntuan ataupun kegagalan dalam membangun gerakan anti-kapitalisme-neoliberal menjadi lebih mendasar dan bergerak lebih maju melampaui problem-problem personal, moral, kultural dan juga organisasi.


Problem metodologis[2]

Secara empiris saya tidak memiliki keberatan dengan penjelasan Mughis mengenai politik pengetahuan dan dampaknya bagi ekspresi politik kelas menengah bukan tanpa kritik. Kenyataan memang demikian adanya. Persoalannya, bagaimana secara metodologis kita menjelaskan kenyataan empiris tersebut. Pada titik inilah saya melihat problem mendasar dari artikel itu. Melalui apa yang saya sebut sebagai “penjelasan ideologis”, Mughis telah melakukan simplifikasi permasalahan melalui pernyataan bahwa ekspresi politik kelas menengah Indonesia saat ini adalah akibat mereka terpapar oleh ilmu-ilmu borjuis, khususnya paradigma Weberian dan berbagai turunannya.

Persoalan metodologis dari penjelasan ideologis tersebut berimplikasi pada: pertama, Mughis menggeser konsep kelas dan perjuangan kelas (class and class struggle) ke konsep ideologi dan perjuangan ideologis (ideology and ideological struggle). Melalui pergeseran metodologis ini, secara implisit Mughis menganggap bahwa problem kelas menengah itu adalah problem ideologi, bukan problemnya sebagai sebuah kelas yang posisinya terjepit di antara kelas borjuasi dan kelas pekerja. Secara komparatif, dalam studi tentang fasisme, sejarawan Dylan Riley menyebut pendekatan seperti ini sebagai pendekatan Tocquevillian (diambil dari nama filsuf dan ilmuwan sosial liberal Alexis de Tocqueville), yang melihat kemunculan fasisme sebagai hasil dari pergulatan ide-ide, yang dilawankan oleh Riley dengan pendekatan Marxis yang melihat fasisme sebagai gejala kontra-revolusi.[3] Melalui penjelasan ideologis tersebut, apa yang dilakukan Mughis adalah melakukan kritik terhadap ilmu-ilmu borjuis melalui metodologi ilmu-ilmu borjuis tersebut.

Kedua, ini terkait dengan pertanyaan siapa agensi sosial yang paling bisa mengartikulasikan konsep ideologi dan perjuangan ideologis tersebut? Mughis tidak secara eksplisit menyebutkannya, tetapi alur argumentasinya mudah ditebak, bahwa agensi sosial itu adalah kaum intelektual, yang dalam konteks debat ini, tidak lain adalah kelas menengah itu sendiri.[4]

Sampai di sini kita lihat bahwa secara metodologis argumentasi dan penjelasan Mughis akhirnya justru menggiring kita pada kebuntuan teoritik dalam pembangunan gerakan sosial dan politik anti-kapitalisme: (1) kelas menengah berwatak reformis karena (2) mereka terpapar oleh ilmu-ilmu sosial borjuis, dan hanya (3) mereka sendirilah (agensi sosial) yang bisa membebaskan diri dari kungkungan ilmu-ilmu sosial borjuis itu, dimana langkah pertamanya adalah (4) mereka harus melawan dirinya sendiri.

Tetapi ini menjadi mustahil karena sejak awal kelas menengah itu sudah reformis. Begitu seterusnya, sehingga pada akhirnya kita bisa menyimpulkan bahwa perjuangan kelas menengah adalah perjuangan melawan dirinya sendiri dan untuk kepentingan dirinya sendiri, dan politik yang berbasis pada kelas menengah adalah politik yang tidak punya masa depan alias buntu.

Karena itu perlu bagi kita keluar dari kebuntuan secara teoritik maupun politik ini, dan persis di titik ini pentingnya pendekatan berbasis analisa kelas. Pendekatan analisa kelas selalu bermula dari hal-hal yang konkret (material), historis dan holistik. Konkret artinya analisa kita harus bertolak dari kondisi-kondisi material yang ada di sekeliling kita, dimana kondisi-kondisi material itu terbentuk dan berubah-ubah secara historis, dan pembentukan serta perubahan itu harus dilihat secara menyeluruh karena hanya dalam kemenyeluruhan itulah kita bisa menemukan kebenaran. Dengan demikian maka analisa kelas menolak pendekatan determinisme struktural di satu sisi dan kehendak bebas manusia di sisi lain.

Secara konkret kita saat ini hidup dalam sistem produksi dan reproduksi sosial kapitalisme yang eksistensinya sangat ditentukan oleh kelancaran akumulasi kapital. Jika akumulasi kapital ini terganggu maka kapitalisme akan mengalami krisis dan ketika proses akumulasi kapital tersebut berhenti maka kapitalisme pun bangkrut. Karena akumulasi kapital merupakan jantung eksistensial dari kapitalisme, maka penting sekali untuk mengetahuai bagaimana proses akumulasi kapital itu bekerja. Dari Karl Marx kita mengetahui bahwa proses itu terjadi ketika kelas kapitalis dengan segala cara mengeksploitasi dan kemudian merampas atau mengaproriasi nilai lebih yang diproduksi oleh produsen langsung, yakni kelas buruh. Dengan demikian, hubungan sosial eksploitatif dari kedua kelas inilah yang menentukan bagaimana proses akumulasi kapital berlangsung, yang dalam periode sejarah tertentu mengambil bentuk yang berbeda-beda. Karena itu, memeriksa hubungan sosial eksploitatif dari kedua kelas ini dalam proses akumulasi kapital (analisa kelas) menjadi sangat esensial, karena melaluinya kita bisa mengetahui taraf kebutuhan akan penggunaan teknologi dan manajemen kerja terbaru, sistem politik dan hukum seperti apa yang mampu memfasilitasi eksploitasi dan perampasan nilai lebih yang diproduksi kelas buruh oleh kelas kapitalis, dan dalam konteks debat ini adalah politik pengetahuan seperti apa yang menunjang keberlangsungan proses akumulasi kapital itu.


Ekspresi politik kelas menengah dalam sejarah

Pada artikel sebelumnya[5], saya telah mengemukakan bahwa karena posisi kelasnya yang terjepit di antara kelas buruh dan kelas kapitalis (sebagai kelas-kelas yang fundamental dalam sistem kapitalisme), maka ekspresi politik kelas menengah ini berwatak ambivalen, terombang-ambing di antara konflik tak terdamaikan dari kedua kelas fundamental tersebut. Nah, di bagian ini, saya ingin menunjukkan secara empirik ekspresi politik kelas menengah sebagai sebuah kelas dalam bentang sejarah perkembangan kapitalisme. Penekanan pada frase “kelas menengah sebagai sebuah kelas” ini perlu dilakukan karena kelas bukanlah kumpulan dari individu, dan antagonisme kelas itu juga bukan kumpulan dari antagonisme individu.[6] Karena itu, ekspresi politik perseorangan anggota sebuah kelas sosial tertentu tidak mencerminkan atau merepresentasikan ekspresi politik dari kelas sosial tersebut.

Ketika kapitalisme berjalan normal (baca: saat proses akumulasi kapital berlangsung tanpa gangguan) ekspresi politik yang dominan dari kelas menengah adalah penerapan mekanisme meritokrasi alias reformisme. Tetapi kapitalisme selalu dirundung krisis dan dalam kondisi kapitalisme yang mengalami krisis (tingkat penyerapan keuntungan terus menurun, terjadi krisis hegemoni di kalangan kelas berkuasa, dan muncul perlawanan radikal dari bawah), kelas menengah yang menolak dilakukannya transformasi sosial yang radikal dari sistem kapitalisme ke sistem yang non-kapitalis justru menjadi ‘tukang pukul kelas borjuasi’ dalam menghadapi gelombang besar perlawanan kelas buruh dan petani.

Namun, perlu dicatat bahwa fungsi kelas menengah sebagai ‘tukang pukul borjuasi’ tidak hanya muncul ketika gerakan buruh (serikat buruh dan partai buruh) secara organisasional sangat kuat dan aksi-aksi perlawanan terhadap kelas kapitalis berpotensi menghancurkan sistem itu, seperti dalam kasus kemunculan fasisme di antara zaman Perang Dunia I dan II. Pada masa kini, ketika gerakan kelas buruh dan petani sedang mengalami kemunduran dan kapitalisme tengah diguncang krisis, kekosongan politik dan ideologis itu diisi oleh kelas menengah yang menawarkan panacea bagi massa rakyat yang hidupnya semakin terpuruk di era kapitalisme neoliberal ini. Ekspresi politik kelas menengah itu muncul dalam dua bentuk: pertama, yang berwatak reformis seperti yang telah kita diskusikan sejauh ini; dan kedua adalah ekspresi politik yang reaksioner dan bertendensi fasis (anti-imigran, rasis, seksis, misoginis, sektarian, dan nasionalisme sempit, misalnya). Kedua bentuk ekspresi politik (reformis dan reaksioner) ini walaupun di permukaan saling bertentangan, tetapi keduanya sama-sama tidak memberikan solusi yang radikal dan komprehensif terhadap kapitalisme.

Ekspresi politik kelas menengah yang reaksioner secara terang benderang tampak pada kemunculan fasisme di masa Perang Dunia I dan II serta kebangkitan post-fasisme (sebagian menyebutnys neo-fasisme atau populisme) saat ini. Sejarawan Eric Hobsbawm, misalnya, dalam bukunya The Age of Extremes (1994) menulis bahwa tulang punggung dari gerakan fasisme sebelum dan sesudah kemenangannya adalah lapisan menengah dan menengah-bawah (the middle and lower-middle strata). Fakta ini, menurut Hobsbawm, tidak mendapatkan penolakan serius dari para sejarawan yang menggeluti tentang fasisme, bahkan oleh mereka yang meragukannya.[7] Memperkuat argumennya, Hobsbwam mengutip hasil pemilu pada masa perang di Austria. Karakteristik pemilih Austria yang berhasil mengantarkan calon dari partai National Socialist terpilih sebagai anggota dewan kota Vienna pada 1932 adalah: 18 persen wiraswasta, 56 persen pekerja kerah putih, pekerja kantoran dan pegawai negeri, dan 14 persen adalah pekerja kerah biru. Dari anggota Nazi yang terpilih sebagai anggota majelis di lima kota Austria di luar Vienna pada tahun yang sama, 16 persen pemilihnya adalah wiraswasta dan petani, 51 persen adalah pekerja kantoran, dan 10 persen adalah pekerja kerah-biru. Selanjutnya Hobsbawm mengatakan bahwa 13 persen dari anggota gerakan fasis Italia pada 1921 adalah mahasiswa. Di Jerman, antara 5-10 persen dari seluruh mahasiswa adalah anggota partai pada awal 1930, ketika mayoritas pendukung Nazi belum tertarik pada sosok Hitler.[8]

Senada dengan Hobsbawm, sejarawan Michael Mann mengatakan bahwa Mussolini adalah pemimpin dari sebuah gerakan kelas yang berkarakter petty-bourgeois (kelas menengah). Menurutnya mayoritas anggota fasis Italia berasal dari kelas menengah profesional, pekerja kulit putih, mahasiswa dan guru dengan perbandingan 5:1 dengan keterwakilan anggota dari buruh industrial, petani pemilik dan petani penyewa.[9] Menurut David Renton, Mussolini mengklaim bahwa mayoritas pendukungnya adalah buruh. Berdasarkan statistik dari Partai Nasional Fasis (National Fascist Party/PNF) pada 1921, sekitar sepertiga anggota yang tercatat adalah buruh dan petani. Namun, gambar yang lebih akurat menunjukkan angka yang mendekati hanya 15-20 persen. Sementara di Roma dan Milan keanggotaan dari kelas-pekerja hanya 10-12 persen, sangat kecil dibandingkan dengan jumlah keseluruhan kelas pekerja di kedua kota.

Sebuah laporan dari wartawan II Popolo d’Italia U. Pasela pada 8 November 1921, yang dikutip oleh sejarawan fasisme berpengaruh Renzo de Felice, menyediakan data cukup lengkap mengenai latar belakang pekerjaan dari para anggota dan pemimpin PNF Italia pimpinan Mussolini pada tahun 1921 (lihat tabel 1). Dari tabel tersebut tampak jelas bahwa mayoritas anggota PFN berasal dari kelas menengah, yakni 44,5 persen. Sosiolog Juan J. Linz memberikan catatan menarik mengenai tingginya keanggotaan PFN dari latar belakang pertanian yakni sebesar 36,3 persen (12% tuan tanah + 24,3% buruh tani), menunjukkan pentingnya pertanian fasisme baik secara sukarela maupun terpaksa dan juga mengingat kondisi Italia yang sektor agrarisnya masih sangat dominan saat itu. Namun demikian, tulis Linz, dibandingkan dengan Partai Nazi (NSDAP) Jerman, proporsi keanggotaan PFN tetap kurang agraris jika dibandingkan dengan proporsi penduduknya yang mayoritas beraktivitas di sektor pertanian.[10]



Diolah dari Juan J. Linz, “Some Notes Toward a Comparative Study of Fascism in Sociological Historical Perspective” dalam Walter Laquer (ed.), Fascism A Reader’s Guide Analyses, Interpretations, Bibliography (California, University of California Press: 1976), hlm. 61-62.


Sedangkan di Jerman, antara 1919 dan 1923, sekitar seperlima dari seluruh rekrutan dari Partai Buruh Nasional Sosialis Jerman (Nationalsozialistische Deutsche Arbeiterpartei/NSDAP) adalah pengrajin (21,7%) dan seperempatnya adalah buruh kerah-putih. Jika melihat jumlah populasi lapisan ini dalam keseluruhan masyarakat Jerman yang hanya berjumlah 13,5 persen dan 14,7 persen, maka keterwakilannya sungguh sangat tinggi. Bandingkan dengan perekrutan dari kalangan pekerja setengah terampil dan tidak terampil yang hanya sebesar 16,2 persen padahal jumlah populasinya dalam masyarakat Jerman adalah sebesar 33,1 persen. Elemen paling proletarian dari gerakan Nazi adalah SA (Sturmabteilung), sebuah organisasi paramiliter, yang merekrut anggotanya dari kalangan buruh pengangguran berusia muda. Pada 1931, ketika anggota partai mencapai hampir 1 juta, anggota yang berasal dari kelas buruh jumlahnya kurang dari 5 persen. Sementara itu, walaupun 20,7 persen populasi Jerman adalah petani, hanya 9 persen dari anggota Nazi adalah petani. Renton menyimpulkan bahwa lebih dari setengah anggota Nazi adalah pekerja kerah putih, pegawai negeri dan wiraswasta. Sebagian besar pemimpinnya berasal dari lapisan sosial ini, bukan hanya Hitler tapi juga Martin Bormann, Wilhelm Frick, Heinrich Himmler, Ernst Röhm, Alfred Rosenberg, dan yang lainnya.[11]



Diolah dari Linz dalam Lacqueur, Fascism, hlm. 64-66.


Dari kedua tabel di atas mengenai latar belakang pekerjaan dari anggota fasis baik di Italia maupun Jerman, mengonfirmasi kesimpulan Milward bahwa secara geografis basis massa dari gerakan fasis berasal dari: pertama, daerah perkotaan, yakni dari lapisan kelas atau yang diatribusikan sebagai kelas menengah (pemilik toko, birokrat dan pejabat rendahan, kalangan profesional, mahasiswa, kalangan pengangguran yang berasal dari tentara, buruh pengrajin); kedua, berasal dari daerah perdesaan (petani pemilik tanah, petani bagi hasil, pemilik tanah besar musiman).[12]

Meloncat ke panggung sejarah masa kini, berasal dari kelas sosial apa anggota dan massa pendukung gerakan post-fasis baik yang berkarakter sekuler maupun religius? Secara statistik memang tidak ada data yang secara akurat bisa menjawab pertanyaan ini. Tetapi dari berbagai survey hasil pemilihan umum, wawancara dan observasi mendalam kita bisa melihat gambaran umum dari basis sosial gerakan post-fasis ini.

Di Amerika Serikat, misalnya, analisis dari lembaga survey Gallup dan exit poll dari CNN pada pemilu 2016 menunjukkan bahwa mayoritas pemilih calon presiden Donald Trump berasal dari penduduk lapisan menengah, khususnya kelas menengah bawah dan segmen-segmen yang diuntungkan (privilege) dari kelas pekerja, terutama dari mereka yang pendapatannya berada di atas $56.000 per tahun. Analisis lain dari Gallup sehari menjelang pencoblosan menunjukkan bahwa berlawanan dengan standar pemilih-pemilih Republikan, sebagian besar dari pendukung terkuat Trump datang dari pekerja laki-laki kulit putih di dalam “industri-industri kerah-biru berkeahlian”. Sementara secara nasional, Trump memenangkan suara pemilih laki-laki dan perempuan kulit putih dengan selisih margin menentukan, dan mendapatkan dukungan kuat di antara pemilih perdesaan. Dari gambaran ini, sosiolog John Bellamy Foster kemudian melihat adanya persamaan antara basis pemilih Trump, yakni kelas menengah bawah (atau borjuis kecil) dengan basis pendukung Hitler dan partainya.[13]

Gambaran serupa juga terjadi di Eropa. Menurut Judith Delheim dan Lutz Brangsch, semenjak masifnya penerapan agenda-agenda kebijakan neoliberal (liberalisasi, deregulasi dan privatisasi) baik oleh partai-partai liberal-konservatif maupun partai-partai sosial-demokrat pada dekade 1970an hingga saat ini, tingkat kehidupan mayoritas rakyat, khususnya kalangan menengah dan menengah bawah, kelas buruh dan sektor non-kelas lainnya semakin memburuk. Kelas menengah yang diuntungkan oleh kebijakan-kebijakan pemerintah pasca Perang Dunia II yang pro-publik, terutama di Jerman dan Uni Eropa, kini sehari-hari berhadapan dengan kehidupan yang serba tidak pasti. “Pilar-pilar masyarakat” ini, yang oleh Delheim dan Brangsch diidentifikasi sebagai borjuis kecil, pegawai negeri, staf eksekutif, dan mereka yang berpendidikan tinggi, tiba-tiba mendapati dirinya berhadapan dengan ancaman terjatuh ke dalam kelompok sosial yang precariat dan terpinggirkan dalam kompetisinya untuk memperoleh bagian dari kekayaan sosial yang ada. Pada saat bersamaan, kekuatan gerakan kiri begitu lemah untuk menjadi mediator antara kalangan yang terancam kualitas kehidupannya dengan negara. Kekosongan politik inilah yang kemudian memberi peluang pada gerakan post-fasis untuk menawarkan dan memfasilitasi aspirasi-aspirasi dari kelas menengah tersebut. Itu sebabnya, menurut Delheim dan Brangsch, post-fasis (mereka menyebutnya populisme sayap-kanan) adalah sebuah gerakan dari sektor kelas menengah reaksioner.[14]

Dalam kasus India, basis sosial utama dari gerakan Hindutva (gerakan kanan-jauh Hindu) juga kelas menengah. Ini berbeda dengan kasus Eropa yang kelas menengahnya mendukung gerakan post-fasisme karena menjadi korban dari penerapan kebijakan neoliberal. Kelas menengah India adalah kelas yang paling mendapatkan keuntungan dari penerapan kebijakan neoliberal. Nanda mengatakan bahwa kelas menengah India ini sudah menyatakan talak tiga kepada “sosialisme dan elemen-elemen rasionalis warisan Nehruvian”. Tetapi kalangan ini juga tak kunjung menawarkan formula baru untuk membangun masyarakat yang lebih baik dan karena itu mereka kemudian menjadi pemeluk neoliberalisme. Sebuah survey yang dilakukan oleh Pew Global Attitude yang dikutip Nanda, menunjukkan bahwa 89 persen responden India mendukung pasar bebas, 73 persen menerima dengan tangan terbuka perusahaan-perusahaan asing, dan 76 persen dengan solidnya setuju dengan pasar bebas walaupun mereka sadar bahwa sebagian orang akan menjadi lebih kaya dan sebagian lainnya akan semakin miskin.

Menariknya lagi, kalangan elite dan kelas menengah ini gandrung pada ritual-ritual keagamaan, penyembahan berlebih-lebihan terhadap dewa-dewa, puasa dan berziarah ke tempat-tempat yang dianggap suci, dan rutinitas populer Hindu lainnya. Kesalehan simbolik ini juga seringkali bercampur dengan spiritualisme ala new age. Yang lebih baru dari ekspresi-ekspresi ritual ini, kata Nanda, adalah bergesernya ruang pemujaan tersebut dari yang sebelumnya di ruang privat ke ruang publik, ke domain prasangka dan kebanggaan, politik dan profit. [15]

Di dunia Islam, basis sosial dari gerakan Islamis juga berasal dari kelas menengah. Survey literatur yang cukup luas dari Chris Harman menunjukkan bagaimana basis sosial dari gerakan Islamis mulai dari Mesir, Sudan, Aljazair, Iran dan Turki menunjukkan bahwa kelas menengah baru yang terdiri dari mahasiswa, pekerja sektor teknologi industri, mereka yang diuntungkan dari industri minyak, merupakan proponen utama dari gerakan Islamis ini. Harman menunjukkan salah satu contoh bagaimana rekrutan paling penting dari FIS (Front Penyelamat Islam) di Aljazair adalah mahasiswa dan pelajar. Di Iran, basis utama dari organisasi Mujahidin Rakyat (People’s Mojahedin) berasal dari kelas menengah baru yang keluarga adalah borjuis kecil lama. Demikian juga basis sosial terbesar dari Partai Republikan Islam (IRP) pimpinan Imam Khomeini adalah kelas menengah. Studi Mansoor Moaddel menunjukkan bahwa lebih dari setengah anggota parlemen IRP berasal dari beragam profesi pedagang, guru, pegawai pemerintahan atau mahasiswa—bahkan seperempatnya datang dari keluarga pedagang pasar. Di Afghanistan, tulis Oliver Roy, basis sosial terbesar dari kalangan Islamis ini adalah para intelektual, produk dari kantong-kantong modernis dalam masyarakat tradisional. [16]


Pengalaman Indonesia

Dalam buku klasik Class, state and Power in Third World (1981)[17], sosiolog James Petras mengatakan bahwa setiap negara yang baru merdeka, yang langsung berhadapan dengan dominasi sistem kapitalisme global, memiliki tiga pilihan dalam strategi atau tipe aliansi kelasnya bagi kepentingan akumulasi kapital: pertama, mereka bergabung dengan rezim-rezim dan perusahaan-perusahaan imperial guna mengintensifkan pengerukan surplus tenaga kerja melalui berbagai variasi hubungan kerja. Petras menyebut strategi aliansi ini dengan nama neokolonialisme ketergantungan (dependent neocolonialism). Kedua adalah strategi dimana rezim nasional melalui negara dan/atau perusahaan-perusahaan swasta nasional mengeruk surplus tenaga kerja sembari membatasi atau menghilangkan pembagian hasil kerukan tersebut kepada perusahaan-perusahaan imperial. Strategi ini di sebut Petras sebagai strategi pembangunan nasional tanpa redistribusi (national development without redistribution), sehingga terjadi konsentrasi pendapatan di kalangan pejabat teras dalam hierarki kelas nasional. Dan ketiga adalah strategi di mana rezim nasional melakukan aliansi dengan rakyat pekerja, memperluas area-area kontrol nasional (melalui nasionalisasi), menginvestasikan kembali surplus ekonomi nasional, atau mempromosikan redistribusi pendapatan dalam lingkup struktur kelas nasional.

Dari segi aliansi kelas, Petras menyebut dua strategi pertama sebagai model neocolonial, yakni aliansi kelas “dari atas dan dari luar”, sementara strategi ketiga disebut model aliansi national-popular, yakni aliansi kelas dari “bawah dan dari dalam.” Walaupun area studi Petras adalah Amerika Latin, namun ia menyebut Orde Baru (Orba) sebagai salah satu rezim yang menggunakan aliansi kelas model neokolonial,[18] yang kekuatan penggerak utamanya adalah kapital (asing dan domestik), birokrasi, dan militer, yang didukung oleh sebagian sektor kelas menengah khususnya intelektual, wartawan, mahasiswa dan tuan tanah di perdesaan.

Merujuk kategorisasi Petras, kita harus menempatkan kemunculan dan konsolidasi kekuasaan rezim Orba dalam konteks integrasinya dengan sistem kapitalisme global. Dan dalam konteks itu, jika kita perhatikan strategi pembangunan Orba dan aliansinya, maka ada tiga tahapan strategis dan menentukan yang dijalankannya: pertama, tahap penghancuran (destruksi) melalui penggunaan aparatus kekerasan militer, intelijen, polisi, dan preman terhadap seluruh elemen rakyat yang menghalang-halangi terbangunnya model aliansi neokolonial tersebut. Tahap ini ditandai dengan pembantaian dan pemenjaraan secara sistematis, terstruktur, dan masif atas ratusan ribu bahkan jutaan orang yang dituduh sebagai anggota Partai Komunis Indonesia (PKI) atau terlibat PKI, disusul kemudian dengan penghancuran organisasi-organisasi massa radikal, serta demobilisasi kesadaran politik rakyat melalui kebijakan massa mengambang (floating mass) dan kontrol ketat terhadap sistem pendidikan dan media massa. Dari sinilah kemudian politik pengetahuan Orba yang mengarusutamakan ilmu-ilmu borjuis dicanangkan dan disebarluaskan dan pada saat bersamaan secara legal melarang penyebaran Marxisme hingga kini.

Fase penghancuran kekuatan gerakan rakyat ini merupakan fondasi pembangunan fase kedua model aliansi ini, yakni fase konsolidasi dan rekonstruksi aliansi kelas neokolonial. Fase ini dijalankan melalui kebijakan pintu terbuka yang selebar-lebarnya kepada kapital asing untuk menanamkan investasinya. Banjirnya investasi asing ini memungkinkan rezim Orba mengonsolidasikan kekuasaan ekonomi-politiknya secara leluasa. Perlahan-lahan borjuasi nasional mulai terbentuk melalui serangkaian kebijakan proteksi pasar, kemudahan-kemudahan pada akses permodalan, serta praktik korupsi, kolusi dan nepotisme yang meluas. Fase ini semakin diradikalkan melalui perluasan (ekstensifikasi) dan pendalaman (intensifikasi) pengerukan surplus tenaga kerja nasional melalui serangkaian paket kebijakan penyesuaian struktural yang dipaksakan oleh IMF dan Bank Dunia. Pada fase ini, repatriasi keuntungan ke luar negeri terus meningkat akibat ketergantungan yang sangat besar terhadap utang luar negeri dan investasi asing.

Pada tiap fase tersebut, kelas menengah sebagai bagian integral dari aliansi neokolonial secara aktif memainkan peranan sebagai pendukung rezim Orba: sebagai tukang pukul, juru bangun, juru runding, juru bicara, perencana pembangunan, dan agen propaganda. Bukan berarti seluruh sektor kelas menengah ini mendukung penuh rezim Orba. Tidak sedikit dari mereka memiliki sikap kritis. Aksi terbesar pertama menentang Orba pada 15 Januari 1974 yang terkenal dengan sebutan Malari, adalah wujud dari ekspresi politik kritis dari kelas menengah. Tetapi aksi tersebut juga merupakan penanda pertama dari ekspresi politik reformis kelas ini. Setelahnya berbagai aksi perlawanan yang dimotori oleh kelas menengah, khususnya mahasiswa, terus berlangsung baik dalam skala lokal maupun nasional. Capaian politik terbesar dari faksi reformis ini adalah ditumbangkannya sang patriakh Orba, Soeharto, pada 21 Mei 1998.

Faksi lain dari kelas menengah Indonesia yang berkembang di bawah rezim Orba kemudian mengambil jalur reaksioner dengan mengusung gagasan politik identitas berbasis keagamaan. Berbagai aksi mobilisasi massa digalang oleh faksi ini, baik melalui cara-cara damai maupun dengan jalan kekerasan untuk mengampanyekan aspirasinya. Capaian politik terbesar dari faksi ini adalah aksi besar-besaran menentang calon Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) pada 2 Desember 2016 yang dikenal dengan sebutan Aksi 212. Dalam survery terhadap 600 responden yang dilakukan oleh Vedi Hadiz dan Inaya Rakhmani terhadap peserta Aksi 212 ditemukan data bahwa 65 persen responden adalah laki-laki, sementara porsi signifikan darinya (109 orang) adalah kerah putih level bawah dan menengah di perusahaan-perusahaan swasta, dan 101 orang adalah mahasiswa. Dari segi pendapatan 44 persen darinya berpendapatan antara Rp4,5-7 juta yang menempatkannya di lapisan bawah kelas menengah. Dari segi usia, 60 persen responden berusia 20an tahun, 18 persen berusia 30an tahun, sementara yang berusia di atas 40an tahun hanya sekitar 14 persen.[19]


Penutup

Dari pemaparan ini saya, sekali lagi, ingin menekan bahwa agar diskusi kita tentang ekspresi politik kelas menengah ini semakin produktif maka ia harus diletakkan dalam situasi ekonomi politik yang konkret, yakni kapitalisme. Dan karena itu pendekatan berbasis analisa kelas merupakan metode terbaik dalam memeriksa dan menguraikan momen-momen ekspresi politiknya. Lebih dari itu, analisa kelas dapat memandu kita dalam membangun gerakan sosial politik anti-kapitalis secara konkret pula.***


Coen Husain Pontoh, editor IndoPROGRESS


 

Kepustakaan

[1] James Martin (ed.), The Poulantzas Reader Marxism, Law, and the State, (London, Verso: 2008), hlm. 172.

[2] Ada beberapa isu penting lain dalam artikel Mughis itu yang sebenarnya perlu diklarifikasi. Misalnya, ia secara tersirat menganggap bahwa kelas adalah kumpulan dari individu-individu dan karenanya perjuangan kelas adalah kumpulan dari perjuangan individu-individu tersebut; kurang bisa membedakan antara kelas dan kesadaran kelas, dan kemudian tampak mencampuradukkan antara teori dan praktik politik. Namun demikian, karena keterbatasan ruang dan juga guna mencapai perdebatan yang semakin jernih, saya akan fokus pada kritik metodologi atas tulisan Mughis tersebut.

[3] Dylan Riley, The Civic Foundations of Fascism in Europe, (London, Verso: 2019), hlm. xv-xvi.

[4] Untuk diskusi lebih jauh soal ini, saya menulisnya dalam artikel bertajuk “Suluh yang Tunduk Di Hadapan Kapital”, https://indoprogress.com/2011/09/suluh-yang-tunduk-di-hadapan-kapital/. Diakses pada 1/9/2021.

[5] Coen Husain Pontoh, “Menginvestigasi Kelas Menengah: Tanggapan untuk Abdil Mughis Mudhoffir”, https://indoprogress.com/2021/06/menginvestigasi-kelas-menengah-tanggapan-untuk-abdil-mughis-mudhoffir/. Diakses pada 8/9/2021.

[6] Diskusi lebih jauh tentang ini, bisa dibaca di buku karya Raju J. Das, Marxist Class Theory for a Skeptical World, (Haymarket Book, Chicago, IL: 2017), 224; juga Coen Husain Pontoh, “Kelas dan Perjuangan Kelas dalam Manifesto Komunis”, https://indoprogress.com/2011/06/kelas-dan-perjuangan-kelas-dalam-manifesto-komunis/.

[7] Eric Hobsbawm, The Age of Extremes A History of the World, 1914-1991, (NY, Pantheon Books: 1994), hlm. 121.

[8] Ibid., hlm. 121-122.

[9] David Renton, Fascism History and Theory, (London, Pluto Press: 2020), hlm. 29.

[10] Juan J. Linz, “Some Notes Toward a Comparative Study of Fascism in Sociological Historical Perspective” dalam Walter Laquer (ed.), Fascism A Reader’s Guide Analyses, Interpretations, Bibliography, (California, University of California Press: 1976), hlm. 63.

[11] Renton, Ibid., hlm. 20-30.

[12] Alan S. Milward, “Fascism and the Economy” dalam Walter Lacquer, Fascism, hlm. 387.

[13] John Bellamy Foster, Trump in the White House Tragedy and Farce, (NY, Monthly Review Press: 2017), hlm. 20-21.

[14] Judith Delheim and Lutz Brangsch (tanpa tahun), “Political Economy of Right Populism”,https://www.academia.edu/35892420/The_Political_Economy_of_Right_Populism. Diakses pada 29/3/2021.

[15] Meera Nanda, the God Market How Globalization is Making India More Hindu, (NY, Monthly Review Press: 2011), hlm. 66-67.

[16] Chris Harman, Nabi dan Proletariat Memahami Islam Fundamentalis dari Perspektif Kiri, (Jakarta, Indoprogres: 2018), hlm. 32-35.

[17] James Petras, Class, state and Power in Third World with Case studies on Class Conflict in latin America (New Jersey, Allanheld, Osmun & Publishers: 1981), hlm. 38.

[18] Ibid., hlm. 39.

[19] Vedi Hadiz and Inaya Rakhmani, “Marketing Morality in Indonesia’s Democracy”, https://asaa.asn.au/marketing-morality-indonesias-democracy/. Diakses pada 16 September 2021.

]]>