Alvino Kusumabrata – IndoPROGRESS https://indoprogress.com Media Pemikiran Progresif Wed, 11 Jun 2025 00:00:42 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.4.3 https://indoprogress.com/wp-content/uploads/2021/08/cropped-logo-ip-favicon-32x32.png Alvino Kusumabrata – IndoPROGRESS https://indoprogress.com 32 32 Apa yang Bisa Kita Lakukan Sekarang? https://indoprogress.com/2025/06/apa-yang-bisa-kita-lakukan-sekarang/ Wed, 11 Jun 2025 00:00:42 +0000 https://indoprogress.com/?p=238995 Ilustrasi: Illustruth


BELUM pudar ingatan saya melihat Prabowo Subianto tampil di atas podium untuk memperingati Hari Buruh Internasional di kawasan Monumen Nasional (Monas) pada 1 Mei lalu. Saya tak bisa menyembunyikan perasaan liminal melihat siaran tersebut saat itu. Tapi, dorongan naluriah memaksa saya untuk terus menonton siaran. Kemudian, tanpa bisa diduga siapa pun, mantan menantu Soeharto itu menyanyikan lagu-mars anarkis, sosialis, dan komunis seluruh dunia: “L’Internasionale”. Titik paradoksikal menemui puncaknya. Di panggung yang sama berdiri aristokrat-aristokrat buruh (saya tidak perlu sebut siapa sebab pembaca pasti tahu minimal salah satu dari mereka) tertawa sambil ikut bernyanyi tapi bersusah payah mengikuti Prabowo melantunkan syair suci itu. 

Di momen tersebut saya tiba-tiba mengingat Binatangisme (Animal Farm, 1983) karya George Orwell. Di sana diceritakan bagaimana para babi yang awalnya mengakui kolektivitas di peternakan “BINATANG” mengubah nama tempat itu menjadi “MANOR” sembari kembali pada tesis individualitas. Mereka awalnya hendak melakukan perubahan besar, tapi di akhir justru kembali ke titik awal bahkan lebih buruk. Saya tidak hendak bilang bahwa Prabowo dan para aristokrat buruh itu seperti babi dalam karya monumental itu. Justru sebaliknya: sejak awal, Prabowo dan aristokrat buruh itu tidak pernah menangkap agenda politik kelas buruh dengan meletakkannya di urutan buncit. Mempertahankan operasi-operasi logika ekonomi-politik oligarkilah yang menjadi prinsip utama mereka.

Pidato Prabowo pada hari itu juga tak lebih dari ampas kosong. Namun ampas itu adalah mekanisme kekuasaan yang memasok gambaran surga duniawi kepada rakyat; semata agar rezim mampu terus mengamankan kekuasaan dan mengambil sumber daya ekonomi-politik. Mungkin saja ada yang memvonis bahwa audiens yang datang di hari itu sebagai buruh yang tak tahu kelas dan kepentingan kelasnya sendiri—Prabowo pada akhirnya adalah bagian dari kelas kapitalis. Namun perlu diingat bahwa sampai sekarang dampak depolitisasi itu masih nyata, pun dengan upaya untuk terus mendepolitisasi kesadaran kelas, misalnya dengan program bantuan sosial dan makan bergizi gratis. 

Penjinakan kesadaran kelas tersebut merupakan alarm tanda bahaya, dan itu hanya satu aspek saja. Belum bidang-bidang kehidupan lain. Maka penting saat ini untuk mengaktifkan (atau mempolitisasi) kesadaran bahwa kita dalam situasi berbahaya bahkan dalam keseharian.


Bahaya Kita setelah 27 Tahun Reformasi

Kita tidak pernah keluar dari kondisi berbahaya setelah 27 tahun Reformasi. Ambil satu kasus: otonomi daerah atau desentralisasi. Desentralisasi diimplementasikan dengan asumsi bahwa ia akan membuka kesempatan partisipasi dari komunitas lokal dalam pengambilan keputusan. Ini jelas ide yang segar bagi banyak orang mengingat 32 tahun sebelumnya dikekang secara terpusat oleh Soeharto. Apa yang terjadi justru desentralisasi melahirkan pola baru dari korupsi. Ia kini amat cair dan tersebar. Pejabat lokal yang predatoris memegang kendali dan menutup ruang suara orang biasa. Politik uang menjadi panglima baru. 

Contoh lain adalah Dwifungsi ABRI. Penghapusan peran militer selain urusan pertahanan tak pernah benar-benar terlaksana, dan sekarang malah bubar di tengah jalan setelah muncul UU No. 3/2025 tentang TNI. Tidak hanya menjegal partisipasi publik yang bermakna dari aspek legal, revisi UU TNI harus dilihat sebagai instrumentalisasi atas kembalinya kontrol militer di negara ini. Revisi juga memperkuat peran tentara untuk mengontrol sumber daya ekonomi-politik sipil. Hal itu dibuktikan melalui penambahan komando teritorial—yang dianggap sebagai saluran terluas untuk mengakses sumber-sumber ekonomi. Militer pun mengooptasi area pendidikan. Lihat Universitas Udayana yang resmi bekerja sama dengan TNI AD. Akhirnya, batas-batas antara sipil-militer menjadi kabur sebab Prabowo-Gibran memiliterisasi ruang kita. Tak pernah ada harapan baik yang pantas disematkan pada rezim militer dewasa ini.

Adili Soeharto? Tidak pernah berhasil sampai dia mati. Dia tidak bisa diseret ke pengadilan karena sakit permanen. Saat itulah diktator dari Dusun Kemusuk ini selamanya menjadi simbol impunitas paling utama dalam riwayat bangsa Indonesia. Kemudian soal adili kroni-kroninya. Mereka beradaptasi dan berkembang secara struktural, melewati transisi politik paling drastis dari alam otoriter ke demokrasi. Kelas elite dominan itu mampu mengooptasi reformasi lembaga hukum dengan mudah; sebab hukum tak pernah netral dari proses ekonomi-politik.

Cita-cita Reformasi soal supremasi hukum pun sudah “dipetieskan” sejak lama. Ia jadi pepesan kosong bagi mahasiswa fakultas hukum. Tidak ada reformasi hukum hari ini. Hukum Indonesia sudah melenggang masuk dalam kategori negara hukum otoritarian. Hukum dengan operasi repressive state apparatuses menjadi sarana kontrol paling ampuh terhadap masyarakat sipil. Salah satu yang tengah bergulir, misalnya, mengenai RUU KUHAP sebagai pembaruan hukum acara pidana agar harmonis dengan KUHP Nasional. RUU KUHAP justru terefleksi kuat sebagai instrumen kekerasan terhadap tubuh manusia oleh negara. Belum lagi soal RUU Polri yang menambah kewenangan polisi secara eksesif.

Satu lagi, mari lihat sejauh mana tuntutan pemberantasan korupsi yang menggurita sejak era Soeharto? Perjuangan masyarakat sipil antikorupsi dan lahirnya institusi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menjadi bukti awal bagaimana demokratisasi sebetulnya telah membatasi kepentingan politik predator. Akan tetapi, demokratisasi tidak dapat membendung korupsi lebih lama lagi. Aktor elite dominan berhasil menguasai institusi antikorupsi dengan jaringan predator dan patronase yang kuat dalam ruang persaingan tertentu. Konkretnya? Revisi UU KPK.

Rasa-rasanya, tidak ada tuntutan Reformasi yang berhasil. Kondisi yang terjadi malah menggiring kita semua ke pinggir jurang. Militerisasi, rezim predatoris, korupsi luas, tak bisa percaya penuh pada hukum, hingga budaya impunitas.


Perlawanan Sehari-hari

Di level mikro, kita semua berkutat dengan rutinitas yang membosankan setiap hari. Kita bekerja, dihisap nilai lebihnya oleh kapitalisme, dan mendapat upah seadanya hanya agar bisa kembali dieksploitasi besok pagi. Kata Henri Lefebvre dalam Critique of Everyday Life 1 (1991), kesadaran baru untuk melawan semakin tumpul akibat keseharian ini. Menjadi tidak peduli terhadap “situasi bahaya”—belum tentu pula hal ini disadari–merupakan hal lumrah. Ketika kita semakin digerogoti dalam keseharian secara sadar atau tidak, para elite memakan habis hak-hak sipil kita dan tuntutan Reformasi. Kita seakan menunggu untuk mati di pinggir jurang bahaya ini. 

Lantas, apa yang tersisa dan bisa kita kerjakan sekarang? Perlawanan sehari-hari, kecil atau besar. Apa yang tertinggal dari kita hanyalah kesadaran melawan untuk merespons segala kondisi bahaya ini. 

Faktanya banyak hal yang terjadi sekarang adalah ketidakadilan. Keseharian kita pun tergolong di dalamnya. Perlawanan jadi pembeda. Melawan ketidakadilan berarti melibatkan menolak untuk bekerja sama dengan mekanisme yang memproduksi dan mempertahankannya. Berhadap-hadapan dengan ketidakadilan membutuhkan, paling tidak, mengambil sikap terhadapnya, dengan mengungkapkan atau secara diam-diam menandakan protes. Candice Delmas dalam A Duty to Resist (2018) mengungkapkan bahwa ketidaksetujuan individu secara mendadak dapat menjadi tindakan perlawanan. Meskipun, yang terbaik, melawan berarti mengorganisir secara kolektif untuk membongkar ketidakadilan sistemik.

Kita tidak boleh takut untuk melawan kebatilan dan kezaliman, sekecil apa pun wujudnya. Ketakutan untuk melawan disebabkan oleh apa yang disebut dengan kewajiban politik dan kesadaran—yang pada dasarnya adalah pembatasan ruang. Konsep tersebut diterjemahkan sebagai kewajiban kita sebagai masyarakat sipil untuk menaati hukum dalam negara yang sah dan adil. Tapi, perluaslah sedikit kewajiban politik itu, kata Delmas, sehingga ia bisa dimaknai sebagai kewajiban moral warga negara untuk melawan ketidakadilan meskipun via pelanggaran hukum yang berdasarkan prinsip. Dengan mendasarkan bentuk kewajiban politik seperti itu, kita mampu menjalankan perlawanan dalam praktik keseharian. 

Satu contoh adalah okupasi ruang publik di Balairung UGM yang menerabas jaring-jaring birokrasi kampus untuk bermain sepak bola, membaca, berkemah, dan sebagainya. Balutan kegiatan tersebut sebenarnya apolitis; tapi ia menjadi ekspresi politik bila disingkap. Pendeknya, ruang Balairung dibayangkan, direbut, dan diciptakan ulang oleh mahasiswa untuk medan perlawanan. Contoh lain, ketika buruh negeri sipil harus merasakan tekanan efisiensi anggaran mereka melakukan perlawanan sehari-hari dengan cara menolak patuh atau menunda pekerjaan.

Dalam “Everyday Forms of Resistance” (1989), James C. Scott menyebutkan tujuan perlawanan sehari-hari adalah untuk menghindari perhatian dan deteksi kontrol dari negara. Dengan demikian, dalam situasi berbahaya ini, siapa saja yang masih ragu atau takut untuk melakukan aksi politis secara terang-terangan seperti demonstrasi memiliki pilihan “bawah tanah” untuk dilakukan. Beragam praktik mungkin secara layak dapat diklaim mewakili bentuk perlawanan sehari-hari sehingga inklusif dan representatif. Perlawanan sehari-hari menjadi instrumen paling masuk akal untuk dilaksanakan hari ini. Alasan paling utama adalah militerisasi rezim sekarang sudah hampir mustahil untuk dijegal tanpa perlawanan kolektif dalam skala besar. Dengan perlawanan sehari-hari, ada totalitas kesatuan tertentu bahwa pembangkang adalah mereka yang selalu tenang, tersamar, anonim, dan acap kali tidak dinyatakan sebagai bentuk perlawanan oleh pihak-pihak yang punya akses terhadap kekuasaan.

Puluhan, ratusan, atau bahkan jutaan pembangkang yang konsekuen melawan sehari-hari akan menciptakan jaringan gerakan kolektif yang rizomatik. Gerakan tersebut fluktuatif, cair, dan berstatus non-hierarkial sehingga ketahanannya dapat diuji kala vis-à-vis dengan rezim. Sebagai sebuah jaringan berbentuk rimpang, menurut Gilles Deleuze dan Félix Guattari (1987), ia akan tanpa henti membangun hubungan antara rantai semiotik, organisasi kekuasaan, dan keadaan yang berkelindan dengan perjuangan sosial.

Jadi, sekali lagi, apa yang bisa kita kerjakan sekarang? Kanalnya cukup banyak; berkolektif dan berjejaring. Tapi bila ia tidak dimungkinkan, perlawanan sehari-hari adalah pilihan yang sedikit banyak dapat dikerjakan. Kita tidak memiliki apa pun yang tersisa sebab eksploitasi rezim dan keseharian kecuali satu: kesadaran untuk menolak bagian status quo. Kesadaran yang kemudian diterjemahkan menjadi perlawanan kecil-kecilan-keseharian secara kuat dan istikamah. Di tengah rezim militer dan kapitalisme yang menceraikan identitas kesadaran kita, perlawanan kecil sudah merupakan tindakan revolusioner.***


Alvino Kusumabrata adalah penulis. Tulisannya tersebar di IndoProgress, jurnal Prisma, majalah Basis, Inside Indonesia, Tirto, dll.

]]>
“Melenting Terus!”: Korea, Kelas, dan Trajektori Ekonomi-Politik Kita https://indoprogress.com/2025/01/melenting-terus-korea-kelas-dan-trajektori-ekonomi-politik-kita/ Thu, 09 Jan 2025 08:20:26 +0000 https://indoprogress.com/?p=238681 Ilustrasi: Ilustruth


“KOREA-KOREA itu kelas bawah, lah, sering disuruh-suruh. Gerombolan yang ke sana kemari, hidupnya kurang menentu. Tiba-tiba Reformasi, berubah. Nah, korea-korea ini naik ke atas. Kalau sudah di atas, jarang mau turun,” ucap Bambang Pacul, Wakil Ketua MPR RI sekarang, dalam suatu siniar. Tidak ada yang menarik dalam pernyataan tersebut kecuali kata “korea”. Pertama kali disebutkan pada Rapat Kerja Komisi III pada 2023 lalu, istilah “korea” mengudara cepat dan masih populer sampai sekarang.

Berdasarkan trajektori historis Indonesia, titel “korea” dapat diasumsikan sebagai orang-orang yang berasal dari kelas menengah dan agak bawah. Mereka yang disebut sebagai “korea” memiliki tingkat keuletan dan daya juang luar biasa, semua demi mengubah posisi kelas sosial agar lebih tinggi. Kadar keuletan setiap “korea”—yang kemudian diterjemahkan sebagai “pelentingan”—tersebut mendobrak tatanan, norma, dan kaidah yang berlaku. Sebagaimana yang dikatakan sendiri oleh Pacul, fitur canggih seorang “korea” adalah dapat bertindak berani meski dengan risiko tinggi, misalnya mengejar gelar profesor atau guru besar tanpa publikasi jurnal internasional, jam terbang mengajar, dan sebagainya.

Pacul memang mengatakan bahwa “korea” muncul sejak Reformasi. Namun dia tidak mengurai gamblang tentang siapa, mengapa, dan bagaimana “korea” muncul secara sistematis. Selain itu, apa kelas sosial yang melekat pada seorang “korea” juga bersifat abu-abu meski istilah tersebut selalu merujuk pada mereka yang berupaya menata kehidupan jadi lebih baik.


Orde Baru… dan Lahirlah Reformasi

Jaring-jaring hegemoni Orde Baru terkonsolidasi pada setiap lapis masyarakat secara utuh pada 1980-an. Medan politik yang telah sempit menjadi semakin sesak dengan munculnya peleburan partai-partai dan konsep “massa mengambang” (floating mass). Kekuasaan yang semakin terpusat pada segelintir orang dan terus hingga pucuknya, Soeharto, menimbulkan kehidupan politik kian monolitik.

Di era ini jalan bagi militer menduduki pos-pos strategis sangat terbuka. Orang-orang sipil disisihkan secara sistematis. Peristiwa ini, oleh  Julia Suryakusuma, disebut sebagai “penghijauan” pemerintah. 

Selanjutnya adalah penyeragaman dan pembunuhan potensi politik dari masyarakat menggunakan “mesin-mesin” canggih. Mesin pembunuh pertama adalah konsep tata tenteram dan persatuan—yang oleh Soeharto menjadi “regularisasi”, yakni peleburan kepentingan menjadi wadah tunggal. Lewat mesin itu terbentuklah Federasi Buruh Seluruh Indonesia (FBSI), Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI), Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI), dan lain-lain.

Mesin yang lain bertumpu pada reproduksi gagasan negara organik yang telah dicetuskan oleh Soepomo jauh hari sebelumnya. Ide itu adalah Indonesia merupakan keluarga besar: Presiden berperan menjadi ayah dan warga sebagai anak. Anak harus mendahulukan kepentingan keluarga; dia tidak boleh mengkritik apalagi berpolitik.

Aktor yang paling merasakan getaran relasi dengan Orde Baru adalah elite politik lokal. Posisi elite politik lokal direduksi hanya untuk berperan mewujudkan kepentingan pemerintah pusat, alih-alih kebutuhan daerah. Elite politik lokal hanyalah perpanjangan tangan Orde Baru untuk mencengkeram masyarakat secara menyeluruh. Elite politik lokal menjadi dependen dan ditopang oleh keberadaan negara kian masuk akal karena Orde Baru mengendalikan jaring birokrasi pemerintahan secara penuh. Sebagai akibat kontrol negara, akses terhadap sumber daya ekonomi tidak mampu dikuasai oleh elite politik lokal secara sempurna. Namun, di sisi lain, ada elite politik lokal yang menganggap kehadiran Orde Baru sebagai berkah karena memberikan pemberdayaan dan peluang untuk mengamankan kelas sosial sekaligus mengunci sumber daya dan politik tertentu.

Kejatuhan Soeharto pada 21 Mei 1998 menimbulkan banyak efek domino, termasuk rekonfigurasi radikal atas elite politik lokal. Ada dua hasil rekonfigurasi tersebut: elite politik lokal lama dan baru. 

Elite politik lokal lama, yang telah diinkubasi secara mapan pada masa Orde Baru, sadar perlu untuk menyesuaikan diri dengan perubahan sosial-politik-ekonomi yang drastis. Mereka dengan lihai beradaptasi dan belajar cepat, dari semula kondisi otoritarianisme ke alam demokratisasi. Upaya tersebut dimanifestasikan dengan membentuk aliansi baru dan bergeser ke lingkungan politik yang lebih cair-demokratis guna, sekali lagi, mengamankan kekuasaan dan sumber daya yang ada. Signifikansi seorang elite politik ini terletak pada kemampuannya untuk menyesuaikan dengan konteks kelembagaan demokratis. Tentu citra sebagai “elite lokal predator yang dipelihara oleh Orde Baru” menjadi tantangan tersendiri bagi mereka untuk bermobilitas secara luwes. Namun toh sebagian besar dari mereka berhasil beradaptasi.

Jadi, agenda Reformasi memang sedari mula telah dibajak oleh elite politik lokal lama bentukan Orde Baru. Yang tumbang hanya Soeharto, bukan Orde Baru.

Bagaimana dengan hasil rekonfigurasi lain, elite politik lokal baru? Munculnya desentralisasi dan good governance (deregulasi, privatisasi) membuat cengkeraman tangan negara terhadap sumber daya ekonomi-politik menjadi kendur dan semakin terlokalisasi. Desentralisasi dan good governance (kekuasaan lokal) membuka ceruk-ceruk sumber daya ekonomi dan kekuasaan yang lebih banyak ketimbang masa Orde Baru. 

Latar belakang cikal bakal elite lokal baru bervariasi, termasuk misalnya dari aktivis, kelas menengah, bahkan masyarakat sipil. Mereka membawa motif dan semangat tertentu, apalagi demokratisasi pasca-Soeharto memberikan ruang yang luas untuk membangun basis kekuasaan sendiri. Pendeknya, kekuasaan lokal menjadi arena pertarungan elite lokal baru yang tengah tumbuh untuk membentuk rezim-rezim ekonomi-politik tersendiri.

Pertanyaannya adalah: di mana posisi “korea” pada masa Reformasi dan setelahnya? Jawaban yang cukup jitu menurut saya adalah pada elite politik lokal baru. Dalam konstelasi ekonomi-politik pasca-Reformasi, elite politik lokal atau “korea” harus bertarung untuk mendapatkan kontrol atas sumber daya. “Korea” tidak bisa lagi mempertahankan posisinya dengan hanya menyandarkan diri pada negara. Ia dituntut untuk mampu memiliki mesin canggih berupa kalkulasi taktis (strategi) untuk meraih, mempertahankan, dan mengontrol kekuasaan. “Korea” pun juga harus saling sikut-menyikut di antara “korea” itu sendiri.


Kelas Korea?

“Korea” telah teridentifikasi jejaknya dalam trajektori ekonomi-politik kita. Kepingan puzzle berikutnya adalah seputar identitas kelas yang melingkupi mereka. Dalam hal ini saya kembali ke telaah klasik dalam diskursus marxisme mengenai elite politik lokal dari sosiolog marxis Nicos Poulantzas dalam karya Political Power and Social Classes (1976).

Eksaminasi mengenai elite politik lokal, dalam khazanah ilmu politik, telah tertata ajeg pada teori elite politik (theory of elites). Teori tersebut telah lama mengkritisi analisis marxisme soal elite politik. Poulantzas-lah yang menekankan bahwa kritik yang dilontarkan teori itu merupakan hasil dari “interpretasi yang buruk terhadap marxisme.” Intisari kritik-salah-sasaran dari teori tersebut menegaskan bahwa marxisme menempatkan seluruh fungsi-fungsi politik ke tangan kelas dominan yang juga menguasai sumber daya ekonomi. Kritik tersebut pada akhirnya mendeformasi marxisme ke titik hanya sebatas determinisme ekonomi yang berlebihan (economic overdeterminism).

Tawaran Poulantzas melampaui teori elite. Pertama, dia menyatakan bahwa konsep “kelas” elite politik perlu dipahami secara utuh dengan mempertimbangkan struktur kelas dalam masyarakat. Ini tidak dilakukan teori elite. Terlebih lagi, kedua, teori elite tidak memasukkan unsur teori negara sebagai jantung kekuasaan politik.  

Untuk menyingkap identitas “kelas” korea, yang berpijak pada ranah kuasa politik, hanya memerlukan eksplorasi mengenai agen dan kelas. Konsep-konsep tersebut adalah kelas penguasa atau hegemonik (ruling or hegemonic class) dan, dalam bahasa Poulantzas, agen “yang mengendalikan” aparatus negara (agent ‘in charge of’ the state apparatus). Agen “yang mengendalikan” aparatus negara (selanjutnya the agent in charge of) mudah dijumpai, dari yang berlatar belakang politikus, birokrat, dan militer. Di sisi lain, kelas penguasa atau hegemonik, menurut Poulantzas, adalah kelas yang secara sistematis diuntungkan oleh kebijakan negara terlepas apakah kelas tersebut adalah agen politik kolektif yang mampu mengorganisir dirinya sendiri secara efektif atau tidak.

Perbedaan di antara agen dan kelas tersebut terpusat pada kontrol atas kekuasaan politik. Mereka yang mengendalikan dan mengelola sumber daya kekuasaan dalam aparatur negara–dan bukan kelas yang benar-benar memegang kekuasaan politik–diemban oleh class in charge of. Berbanding terbalik dengan kelas penguasa atau hegemonik yang menjadi kelas utama dan satu-satunya mendominasi dalam kancah politik sebagai hasil dari permainan politik.

Dari kedua hal tersebut, “korea” melekat pada profil the agent in charge of. Konsekuensinya, “korea” bukanlah kelas tersendiri seperti yang dipahami dalam pustaka marxisme. 

Dalam kritik terhadap Ralph Miliband dalam resensi The Problem of the Capitalist State (1972), Poulantzas mengungkapkan bahwa permasalahan aparatus negara perlu diklasifikasikan dalam kategori sosial, bukan kelas. Dengan begitu, seluruh “korea” yang berasal dari kelas yang berbeda—borjuis, menengah, atau proletariat sekalipun—tetap berfungsi (dalam wadah “kekoreaan” itu) sesuai dengan kesatuan internal (class position) tertentu. Mereka bersatu. Hal tersebut bermakna mereka memiliki fungsi objektif yang sama dan kategori sosial yang spesifik dan relatif “bersatu”: sebagai aktualisasi peran terhadap negara kapitalis Indonesia.

Sebagian besar “korea-korea” yang ada sekarang terikat dalam jejaring oligarki, baik nasional atau daerah. Orientasi mereka selalu, bagaimanapun caranya, mempertahankankan kontrol atas sumber daya ekonomi dan politik yang ada. Bahkan itulah kiblat utama mereka terlibat dalam politik. Naik, panjat, melenting terus ke status yang lebih tinggi untuk mengantongi lebih banyak dari yang dimiliki. 

Setelah mampu mengontrol, mereka terjun ke masyarakat; membangun persona “kerakyatan” demi berkuasa lima tahunan berikutnya. Itu semua dilakukan demi mampu mempertahankan penguasaan atas sumber daya. Oleh karena itu, sikap kita sebagai masyarakat sipil semestinya jelas terhadap “korea-korea” ini.


Alvino Kusumabrata, mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (FH UGM). Associate Research Fellow pada Pusat Kajian Hukum dan Keadilan Sosial FH UGM.

]]>
Meraba Wajah Hukum Rezim Prabowo-Gibran: Sketsa Awal https://indoprogress.com/2024/11/meraba-wajah-hukum-rezim-prabowo-gibran/ Wed, 06 Nov 2024 00:18:56 +0000 https://indoprogress.com/?p=238499 Ilustrasi: : Ilustruth


PERESMIAN status Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka sebagai Presiden dan Wakil Presiden RI membuat banyak orang menerka-nerka. Tidak ada yang tahu pasti wajah ekonomi, juga kesehatan, politik luar negeri, dan banyak hal lain hendak dibentuk konturnya dan di bawa ke mana. Kendati begitu, hemat saya, hukum menjadi salah satu bidang yang enteng untuk disingkap wajahnya selama lima tahun ke depan dengan satu tarikan saja.

Kadar benci Prabowo dengan hukum-yang-baik telah terjalin cukup lama, setidaknya sejak Orde Baru memasuki masa hamil tua. Ia harus vis-à-vis dengan tuduhan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) di Papua dan Timor Timur, memerintahkan penculikan aktivis pro-demokrasi —13 di antaranya tidak diketahui jejaknya sampai sekarang.[1] Kemudian, pasca-Reformasi, partai milik Prabowo, Partai Gerindra, selalu menganjurkan kembalinya sistem hukum yang berteraskan Undang-Undang Dasar 1945 asli keluaran 18 Agustus 1945 —tanpa polesan amendemen.[2] Hal itu bermakna UUD otoriter yang tidak mendukung pemilihan umum (pemilu) demokratis, perlindungan dan pemenuhan HAM, serta pembatasan masa jabatan presiden.

Riwayat pertautan Gibran dengan hukum pun sangat kotor. Ingatan kita masih segar tentang Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 90/PUU-XXI/2023 yang menetapkan soal batasan usia calon presiden dan wakil presiden. Putusan itu menjadikannya sebagai konfigurasi dasar hukum-jahat[3] dengan melanggengkan nirindependenitas dan nirintegritas; merusak republikanisme dan konstitusionalisme yang sudah dibangun oleh begawan-begawan hukum kita.

Sekarang mari kita lihat sedikit apa yang terjadi ketika kabinet Prabowo-Gibran terformulasi. Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Kemenkopolhukam) diurai menjadi dua kementerian: Kemenko Politik dan Keamanan serta Kemenko Hukum, HAM, Imigrasi, dan Kemasyarakatan. Lembaga kementerian terakhir tersebut dinakhodai oleh Yusril Ihza Mahendra. Baru sehari setelah pelantikan Prabowo-Gibran, Yusril langsung menggegerkan publik dengan pernyataan bahwa “pelanggaran HAM berpuluh-puluh tahun terakhir di tanah air itu tidak ada.”

Dengan titik pernyataan bodoh —atau tolol— dari Yusril itu, dan berbagai rekam historis dari Prabowo dan Gibran, sebetulnya sketsa awal wajah hukum Indonesia untuk lima tahun ke depan dapat ditorehkan. Mari kita gambar sketsa wajah itu.


Legalisme Otokratis

Kontur wajah hukum rezim Prabowo-Gibran dapat mulai ditelusuri dari segala dasar hukum yang digunakan untuk menopang pemerintahannya. Salah satunya Undang-Undang (UU) Nomor 61 Tahun 2024 tentang Perubahan atas UU Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara. Semula UU itu membatasi jumlah kementerian sebanyak 34. UU kemudian direvisi sehingga melancarkan jalan agar Prabowo-Gibran dapat menambah jumlah kementerian sesuka hati atas nama “kebutuhan”. Dalam keterangan Penjelasan Pasal 5, kebutuhan itu tercakup makna sebagai bentuk “sesuai dengan kebijakan Presiden.”[4]

Perhatian perlu dipusatkan pada aspek durabilitas penyusunan revisi UU tersebut yang terhitung kilat. Hal ini bertentangan dengan prinsip konstitusionalitas pembentukan undang-undang yang harus memenuhi partisipasi masyarakat secara bermakna (meaningful participation) sesuai dengan Putusan MK Nomor 91/2020.

Selain revisi UU Kementerian, penopang lainnya berupa RUU tentang perubahan atas UU Wantimpres (selanjutnya RUU Wantimpres). Secara normatif, ada benang merah antara RUU Wantimpres dengan UU Kementerian hasil revisi: menghapus ketentuan jumlah anggota. Awalnya anggota Wantimpres delapan orang, kemudian menjadi tak menentu, lagi-lagi karena disesuaikan dengan kebutuhan presiden sebagaimana tercantum dalam Pasal 7 ayat (1). Waktu yang dibutuhkan untuk menetapkan RUU Wantimpres juga linear dengan revisi UU Kementerian: tergolong cepat dan ugal-ugalan.

Pernyataan dua dasar hukum normatif tersebut menyingkap intensi yang sebenarnya. Tujuan itu dapat diketahui ketika bersentuhan dengan dimensi ekonomi-politik. Kekuatan elastisitas interpretasi hukum itu dapat secara luas digunakan untuk mengakomodasi kepentingan Koalisi Indonesia Maju yang gemuk bin banyak itu ke dalam struktur pemerintahan.

Dengan demikian, dua dasar hukum yang menjadi legitimasi penopang rezim Prabowo-Gibran justru melumrahkan praktik abusive law-making demi kepentingan penguasa.[5] Akan menjadi sangat besar probabilitasnya bila rezim hukum ke depan akan menormalisasi praktik nirpartisipasi dalam law-making. Dalam kata kunci politik hukum, praktik ini diberi stempel sebagai legalisme otokratis.

Tidak ada definisi rigid mengenai legalisme otokratis. Secara konseptual, ia merupakan berbagai fitur praktik-praktik hukum yang melanggar hukum itu sendiri. Salah satu fitur yang prominen mendasarkan pada legalitas baru yang merusak konstitusionalisme.[6] Perusakan tersebut tentu dapat terjadi sebab legalitas baru (baca: UU baru) telah menggantikan nilai-nilai konstitusionalisme yang inkonstitusional. Obat untuk UU yang melanggar nilai-nilai konstitusional adalah dengan meniadakan mereka sebagai inkonstitusional. Dengan kata lain, kalangan otokrat —seperti Jokowi dan Prabowo— memanfaatkan kekuatan normatif konstitusional formal untuk menjustifikasi tindakan mereka. Dalam derajat tertentu, perubahan serta revisi atas berbagai UU yang pernah dibentuk sebelumnya dijadikan indikator oleh Scheppele sebagai salah satu cara otokrat untuk mencapai dominasi terpadu dari semua lembaga negara yang ada.

Konsekuensi paling besar dari gejala-gejala legalisme otokratis ini adalah absennya kemampuan masyarakat untuk menggunakan hak-hak konstitusional mereka, salah satu contohnya adalah partisipasi. Bila mengangkat asumsi publik menggunakan hak-hak konstitusional, tentu otokrat tidak bisa bertindak sewenang-wenang untuk mendayagunakan hukum sesuai dengan kepentingan mereka.


Negara Hukum Otoritarian

Proyeksi kondisi hukum paling kuat di bawah rezim Prabowo-Gibran selama lima tahun ke depan adalah menguatnya negara hukum otoritarian. Meskipun negara hukum dan otoritarianisme cenderung diartikan saling bertentangan, sebenarnya dua konsep tersebut dapat diikat menjadi satu.[7]

Umumnya terdapat tiga pilar yang harus dijadikan penyangga dalam suatu negara hukum.[8] Pertama, elemen prosedural yang membidangi urusan menjalankan pemerintahan yang berdasarkan hukum; tunduk pada hukum. Kedua, elemen substantif yang menyasar pada aspek prinsip keadilan, kelayakan, hingga moralitas. Ketiga, elemen pengawasan yang meliputi pengawasan kekuasaan secara internal dan eksternal.

Koneksitas antara otoritarianisme dengan negara hukum bersandar pada kepatuhan terhadap otoritas yang dibentuk oleh hukum. Kepatuhan demikian menandakan kekuatan kontrol yang besar oleh negara. Artinya, aparat penegak hukum dan lembaga-lembaga hukum memiliki kekuatan untuk memaksa ketaatan dengan kekerasan dan menghukum ketidaktaatan berdasarkan interpretasi negara. Dengan begitu, pilar-pilar dalam negara hukum yang berwajah otoritarianisme menjadi bersifat formalistik dan berujung normatif saja yang mampu ditafsirkan oleh negara otoriter. Negara berusaha untuk mengendalikan hukum sebagai sarana kontrol sosial sebagian melalui monopoli.

Apa yang dapat memberikan bukti empiris dari proposisi negara hukum otoritarian di atas di antaranya adalah revisi UU Polri, UU TNI, dan UU MK —merupakan buah tangan rezim Joko Widodo pada rezim baru. Dua revisi pertama telah masuk pada tahap harmonisasi di Badan Legislasi DPR; kemungkinan besar akan segera disahkan pada awal periode rezim. Revisi UU Polri dan UU TNI dalam derajat tertentu mampu mencederai demokrasi dan kebebasan sipil dan dapat menghidupkan lagi Dwifungsi ABRI —bahkan sekarang sudah nyata. Ada beberapa pasal problematik, salah satunya Pasal 47 ayat 2 RUU TNI yang “memperbolehkan prajurit aktif untuk dapat menduduki jabatan pada kementerian/lembaga lain … sesuai dengan kebijakan Presiden.”[9] Di sisi lain, revisi UU MK mampu menyebabkan hakim konstitusi diliput oleh konflik kepentingan dari lembaga pengusul dengan munculnya proses evaluasi setiap lima tahun sekali.[10]

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.

Fitur kunci lain dari negara hukum otoritarian —yang juga paradoks— terletak pada upaya rezim yang secara sistematis melemahkan hukum dalam negara hukum. Paradoks tersebut, menurut Rajah, diakui oleh rezim bersangkutan secara tersirat atau tersurat.[11] Aturan hukum otoritarian secara teliti dan telaten menjalankan hukum dalam lapisan terluarnya, sementara pada saat yang bersamaan sedang membongkar hak-hak sipil dan politik, serta pembatasan —dapat pula pelemahan— substansial dan pengawasan kekuasaan negara.

Bukti konkret dari berbagai corak negara hukum otoritarian mulai terlihat dengan pembentukan koalisi partai politik (parpol) gemuk pendukung pemerintah.[12] Ada delapan partai yang lolos ke parlemen hasil Pemilu 2024: PDI-P, Partai Golkar, Partai Nasdem, Partai Gerindra, PKB, PKS, PAN, dan Partai Demokrat. Awalnya PDI-P menyatakan berada di luar, namun kini mereka memutuskan masuk mendukung pemerintahan. Walhasil, tidak ada oposisi. Konsekuensi logis dari rezim tanpa oposisi tentu menguatkan corak negara hukum otoritarian dengan kondisi pelemahan lembaga-lembaga negara yang memiliki mekanisme pengawasan dan penyalahgunaan kekuasaan secara sistematis.

Selain yang tersebut, ranah kekuasaan kehakiman yang menjadi corong negara hukum dalam kondisi otoritarianisme memunculkan dua wujud kemungkinan. Pertama, hakim dapat mempromosikan otoritarianisme substantif melalui prosedur tata acara, baik dengan menegaskan kekuasaan mereka sendiri untuk menghukum dan dengan menangguhkan kekerasan negara.[13] Hakim dapat menggunakan ratio decidendi berupa “mengganggu kekuasaan dan hak istimewa negara” dalam suatu perkara. Kedua, netralitas dan kemandirian kekuasaan kehakiman dapat dengan mudah dikooptasi oleh kekuasaan eksekutif mengingat tidak adanya mekanisme checks and balances yang proporsional.


What Is to Be Done?

Uraian-uraian dalam tulisan ini tampak suram; seakan awan kelabu hukum akan menyerang dalam jangka waktu yang lama. Meski begitu, memang proyeksi risiko terbesar akan terjadi demikian. What is to be done? Apa yang harus kita kerjakan? Tumpuan harapan kita pantas disematkan kepada kekuatan masyarakat sipil. Ada dua peran yang mampu dikerjakan oleh kita: mengawasi dan beroposisi.***


[1] Lihat, Tim Lindsey, “Indonesia’s new president, Prabowo Subianto, finds democracy ‘very tiring’. Are darker days ahead for the country?”, dalam The Conversation, 20 Oktober 2024, https://theconversation.com/indonesias-new-president-prabowo-subianto-finds-democracy-very-tiring-are-darker-days-ahead-for-the-country-241256 (diakses 26 Oktober 2024).

[2] Lihat, Ian Wilson, “An Election to End All Elections?”, dalam Fulcrum, 30 Januari 2024, https://fulcrum.sg/an-election-to-end-all-elections/ (diakses 26 Oktober 2024).

[3] Evil law diartikulasikan sebagai hukum yang berbahaya dan dapat menimbulkan “kengerian dan kerusakan”. Lihat, Anna Lukina, “Making Sense of Evil Law”, University of Cambridge Faculty of Law Research Paper No. 14/2022, 6 Agustus 2022, https://papers.ssrn.com/sol3/papers.cfm?abstract_id=4180729 (diakses 26 Oktober 2024).

[4] Lihat, Undang-Undang Nomor 61 Tahun 2024 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6994.

[5] Pusat Kajian Hukum dan Keadilan Sosial, “Pendapat Hukum: DPR dan Presiden Langgengkan Praktik Abusive Law-Making Pula Melanggar Hak Konstitusional Warga Negara, 22 September 2024 bit.ly/PandanganLSJ (diakses 26 Oktober 2024).

[6] Kim Lane Scheppele, “Autocratic Legalism”, The University of Chicago Law Review, Vol. 85, No. 2 (March 2018).

[7] Lihat, Lynne Henderson, “Authoritarianism and the Rule of Law”, Indiana Law Journal, Vol. 66 (2), 1991, hlm. 400

[8] Adriaan Bedner, “An Elementary Approach to the Rule of Law”, Hague Journal on The Rule Of Law, 2(1), hlm. 48-74 https://hdl.handle.net/1887/18070 (diakses 27 Oktober 2024).

[9] IMPARSIAL, Kertas Kebijakan: Mengawal Reformasi Tentara Nasional Indonesia Melalui Penolakan Usulan Perubahan dalam Revisi Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (Jakarta: Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan), 2023.

[10] TEMPO, “Legislasi Buruk di Pengujung Jabatan”, dalam Koran Tempo, 13 Juni 2024.

[11] Jothie Rajah, “Normalising Authoritarianism: Authoritarian Rule of Law in Singapore and Hong Kong”, dalam The Palgrave Handbook of Poliical Norms in Southeast Asia (Singapore: Palgrave MacMIillan), 2024.

[12] “Pemerintahan Prabowo berpotensi koalisi gemuk: apa jadinya negara tanpa oposisi?”, dalam The Conversation, 21 September 2024, https://theconversation.com/pemerintahan-prabowo-berpotensi-koalisi-gemuk-apa-jadinya-negara-tanpa-oposisi-232926 (diakses 27 Oktober 2024).

[13] Lynne Henderson, “Authoritarianism…”, hlm. 404.


Alvino Kusumabrata, mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Associate Research Fellow pada Pusat Kajian Hukum dan Keadilan Sosial FH UGM.

]]>
Tujuh Buku untuk Memandang Komunisme Indonesia Tanpa Balutan Narasi Orde Baru https://indoprogress.com/2024/01/tujuh-buku-untuk-memandang-komunisme-indonesia-secara-telanjang/ Tue, 30 Jan 2024 11:26:05 +0000 https://indoprogress.com/?p=237959 IlustrasiIllustruth


“KOMUNIS itu ateis!” 

Tiga patah kata itu, tak terelakkan lagi, menggambarkan keseluruhan pengajaran tentang komunisme di sekolah-sekolah Indonesia masa dan pasca-Orde Baru. Saya sendiri pernah mengamini definisi komunisme ala adat dan paham lama itu. Bagi saya, sewaktu itu, komunisme versi resmi menjadi kebenaran absolut karena tidak hanya diajarkan oleh satu guru spesifik, tetapi juga guru-guru lain. Guru adalah dewa, pikir saya waktu itu.

“Kebenaran” itu semakin mengukuhkan dirinya sendiri kala saya mengunjungi perpustakaan dan membaca buku putih sejarawan Orde Baru Nugroho Notosusanto. Saya juga membaca buku Nugroho lain, Tercapainya Konsensus Nasional, 1966–1969 (1985). Dalam buku yang disebut terakhir, disebutkan bahwa D. N. Aidit—digambarkan implisit sebagai orang licik—bisa memasukkan ide-ide komunis ke tubuh Manifesto Politik (Manipol)—zaman itu berstatus Garis Besar Haluan Negara (GBHN). Dua buku itu saja sudah mampu memantapkan pandangan saya ketika SMP: Partai Komunis Indonesia (PKI) dan komunisme harus pergi ke neraka secepatnya.

Seperti yang diungkapkan Wijaya Herlambang dalam Kekerasan Budaya Pasca 1965: Bagaimana Orde Baru Melegitimasi melalui Sastra dan Film (2019), Orde Baru sukses membakukan pandangan bahwa komunisme adalah ideologi iblis dan mampu menjustifikasi pembantaian massal 1965-1966 melalui produk-produk kebudayaan. Sejarah komunisme Indonesia didemonisasi untuk kepentingan rezim. Hal ini yang menyebabkan mesin kekuasaan Soeharto semakin solid. 

Dengan latar belakang itulah saya membuat artikel ini. Saya merekomendasikan tujuh buku yang memiliki daya gedor untuk melenyapkan legitimasi Orde Baru. Buku-buku yang saya pilih berusaha menawarkan pembacaan sejarah komunisme Indonesia yang apa adanya tanpa penambahan sana-sini—bersih tanpa tangan nakal Orde Baru.


1. Lahirnja PKI dan Perkembangannja (D. N. Aidit, 1955)

Penelusuran awal komunisme Indonesia sampai menjadi partai paling komprehensif terdapat dalam buku Aidit ini. Komunisme dan PKI, kata Aidit, adalah sesuatu yang niscaya. Hal itu karena imperialisme yang ada ketika itu memungkinkan lahirnya gerakan buruh, dan gerakan buruh adalah basis dari komunisme serta organisasi yang menjadikannya sebagai ideologi. 

Dalam proses perkembangannya, kata Aidit, PKI melewati berbagai jalan terjal. Pertama, pemberontakan 1926 gagal dan menghasilkan kondisi yang menyulitkan; PKI harus menghadapi “teror putih” pemerintah kolonial. Kedua, terkait dengan yang pertama; teror membuat PKI bergerak di bawah tanah sehingga terkendala mengakses dunia luar. Ketiga, PKI menghadapi “teror putih” kedua di bawah pemerintah nasional—bukan kolonial—imbas dari kegagalan Madiun Affair

Benang merah paling utama dari karya ini adalah Aidit berusaha membentuk pandangan bahwa jatuh bangun PKI tergantung dari “garis partai yang konsekuen dengan marxisme-leninisme.” Buku ini dapat diakses melalui marxists.org.


2. Kemunculan Komunisme Indonesia (Ruth T. McVey,2017)

Buku klasik yang ditulis oleh Ruth T. McVey ini menawarkan pandangan tentang komunisme Indonesia yang bebas dari dogma-propaganda Orde Baru. Semua sumber didasarkan atas dokumen atau surat kabar pada zamannya. Mungkin buku ini dan Zaman Bergerak karya Takashi Shiraishi adalah satu paket utuh.

Dalam buku ini McVey lebih menekankan pada perkembangan politik PKI dan interaksinya dengan kekuatan dunia luar. Hubungan PKI awal dengan Moskow, misalnya, sangat kaya. Polah Darsono dan Semaoen yang pulang-pergi Indonesia-Rusia ditulis dengan baik untuk menangkap semangat zaman (zeitgeist) revolusioner pemuda Jawa pada masa itu.

Buku ini pernah dilarang terbit pada masa Orde Baru. Tahun 2010 lalu Indoprogress menerbitkan ulasannya.


3. Zaman Bergerak: Radikalisme Rakyat di Jawa 1912-1926 (Takashi Shiraishi, 2023)

Dengan sumber yang berlimpah, dalam buku ini Shiraishi menelusuri bagaimana ide-ide revolusioner yang mengilhami berdirinya PKI bisa tumbuh. Itu semua dimulai dengan apa yang disebut Shiraishi sebagai “zaman modal pertama dan kedua.” Era tersebut memungkinkan tumbuhnya surat kabar yang membuat “orang buta dapat melihat.”

Dengan cara seperti itu, muncul kampiun seperti Mas Marco Kartodikromo dengan Doenia Bergerak-nya; Tjipto Mangoenkoesoemo dengan Panggoegah yang mengorganisasi kekuatan anti-raja di Solo dan vis-à-vis dengan kekuatan pro-kerajaan; dan H. M. Misbach dengan Medan Moeslimin-nya mempropagandakan kalangan petani di sekitar Solo untuk “djangan koewatir” melaksanakan pemogokan.

Kita harus merogoh kocek dalam-dalam untuk bisa memiliki buku, sebab semakin langka karena terakhir terbit pada dekade 90-an. Beruntung buku ini telah diterbitkan ulang tahun lalu dengan perbaikan sana-sini oleh Marjin Kiri.


4. Masjarakat Indonesia dan Revolusi Indonesia (D. N. Aidit, 1957)

Sulit untuk membicarakan komunisme Indonesia tanpa menyinggung buku lain dari Aidit ini. Filsafat marxisme, materialisme historis dan dialektis (MDH), diolah sedemikian rupa untuk menyesuaikan dengan kondisi konkret Indonesia. Hal demikianlah yang menjadi landasan teoretis bagi PKI untuk bergerak dan mengambil kebijakan ekonomi-politik kala itu.

Indonesia, seperti dinarasikan oleh Aidit, adalah negara setengah jajahan setengah feodal (SJSF) layaknya Tiongkok. Ada beberapa kontroversi yang meliputi dokumen ini, yakni kemiripannya dengan buku Mao bertitel The Chinese Revolution and the Chinese Communist Party (1939). Kedua buku ini nyaris kembar, dimulai dengan runutan topik pembahasan dan kesimpulan yang harus diambil bagi negara SJSF: revolusi nasional-demokratis.

Hemat saya, Aidit memang menganggap bahwa Indonesia seperti Tiongkok mengingat kesamaan geografi dan ekonomi. Perkembangan masyarakat Indonesia dimulai dengan corak produksi feodal. Transformasi pun terjadi ketika kolonialisme Belanda bercokol. Indonesia menjadi berciri khas kolonial. Revolusi Agustus 1945 menjadi titik awal perubahan masyarakat Indonesia menjadi SJSF.

Keputusan politik dengan menempuh jalan parlementer—alih-alih perjuangan bersenjata—tidak lepas dari konteks SJSF. PKI percaya diri untuk menggandeng kelas borjuis nasional dan kecil untuk ikut serta “membersihkan” jalan dari anasir-anasir feodal dan imperialis dalam front persatuan untuk mencapai sosialisme.

Anda bisa membaca karya Aidit ini di laman marxists.org.


5. Indonesian Communism under Sukarno: Ideologi dan Politik, 1959—1965 (Rex Mortimer, 2011)

Buku yang ditulis oleh Rex Mortimer, akademisi dari Australia ini, meneropong sepak terjang PKI selama masa Demokrasi Terpimpin. Menurutnya PKI bergerak secara fleksibel. PKI mampu mengompromikan ideologi yang mereka usung demi sejalan dengan roadmap yang diberikan Sukarno. Alih-alih mengkhianati marxisme-leninisme, PKI memberikan justifikasi bahwa ideologi mereka bisa disesuaikan dengan konteks sosial-politik tertentu.

Salah satu bentuk fleksibilitas PKI adalah bergabung dalam Front Nasional, sebuah persatuan lintas kelas yang tereksploitasi oleh feodal-kapitalis-imperialis. Front menemukan wujudnya dalam proyek politik Sukarno, seperti dalam persoalan Irian Barat dan konfrontasi Indonesia-Malaysia.

Kelas petani dengan sempurna diorganisasikan oleh PKI pada masa “politik sebagai panglima” ini. Kesadaran kelas ini dapat dilihat pada Aksi Sepihak untuk menegakkan reforma agraria. Namun penciptaan kesadaran kelas tani tidak bisa dikatakan instan; terbangun hanya 1-2 tahun. PKI sejak 1954 atau pada masa kongres, memang menyimpulkan bahwa “revolusi Indonesia pada dasarnya adalah revolusi agraria.” 

Buku ini memberikan perspektif kritis mengenai tingkah laku PKI. Hal yang tak luput disoroti oleh Mortimer adalah pertikaian antara Angkatan Darat dengan PKI, dan bagaimana peran Sukarno di tengah konflik itu.

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.


6. Metode Jakarta: Amerika Serikat, Pembantaian 1965, dan Dunia Global Kita Sekarang (Vincent Bevins, 2020)

Epos umat manusia yang tak bisa terabaikan adalah Perang Dingin. Sejak mula, yaitu pasca-Perang Dunia II, aktor utama dalam proxy war ini, Amerika Serikat (AS), mulai menyusun rencana “membasmi ancaman komunisme Soviet.” Beragam kebijakan ditelurkan, seperti Marshall Plan, Doktrin Truman, hingga histeria McCarthyism.

Dengan pendekatan jurnalistik, Vincent Bevins menangkap gerak kebijakan AS yang mulai memperhatikan Asia pada awal 1950-an. Pandangan ini dibakukan dalam prinsip “Axioma Jakarta” oleh Truman. Jakarta dianggap sebagai penyederhanaan bagi pihak yang netral dan bertendensi antikomunis di Asia. Kendati demikian, pandangan tersebut berumur pendek. Presiden-presiden AS selanjutnya melihat bahwa posisi netral dalam konstelasi politik dunia sebagai sikap malu-malu untuk mengakui diri sebagai komunis. Netralitas inilah yang banyak ditunjukkan oleh negara dunia ketiga.

Walhasil, gerakan demokratis-sosialis-komunis di negara dunia ketiga kian diawasi oleh AS. Jika gerakan tersebut bermain terlalu jauh, AS—yang selalu merasa polisi dunia—wajib mengintervensi. Hal ini terbukti dengan campur tangan mereka menegakkan rezim otoriter sebagai batu penghalang gerakan sosialis-komunis. 

Salah satunya, tentu saja, adalah penumpasan PKI 1965-66. Program brutal nan sistematis oleh Angkatan Darat itu tidak berhenti dalam teritorial Indonesia, tetapi kontinu menginspirasi gerakan antikomunis belahan bumi lain. Kata “Jakarta”—yang sebelumnya dikonotasikan sebagai  antikolonial—menjadi metafora untuk melegalisasi pendirian rezim militeristik berdarah bagi sebelas negara lain.

Buku ini telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia melalui penerbit Marjin Kiri, juga ulasannya telah terbit di Indoprogress


7. Pledoi Sudisman: Kritik-Otokritik Seorang Politbiro CC-PKI (Sudisman, 2000)

Pembaca, jangan anggap bahwa seluruh pemimpin PKI lila legawa menerima fakta bahwa partainya yang telah dihancurkan pasca-G30S sebagai “sesuatu yang memang demikian adanya.” Pembaca mungkin bisa mengarahkan dugaan tersebut pada sikap Aidit, Njoto, dan Lukman. Akan tetapi, Sudisman berani mengoreksi habis-habisan dalam pleidoinya, Otokritik Politbiro CC-PKI. 

Sejarah komunisme Indonesia tak akan lengkap tanpa mencantumkan nama Sudisman sebagai pemungkas. Pleidoi yang terakhir dibukukan oleh Teplok Press itu mengungkap avonturir pemimpin PKI dalam G30S sebagai konsekuensi logis dari dikerdilkannya prinsip marxisme-leninisme dalam penyusunan kebijakan partai.

Sudisman mengkritisi kebijakan front persatuan nasional. Dia juga mengoreksi pandangan Aidit soal negara yang menurutnya menyederhanakan teori negara Lenin. Aidit sendiri menekankan teori “dua aspek”, yakni negara tergantung adanya kekuatan “pro-rakjat dan anti-rakjat.”

Dalam pleidoinya, Sudisman cermat dalam membaca sejarah partainya sendiri. Ia kembali mengusung “Koreksi Besar Musso” untuk menyingkap kesalahan-kesalahan yang pernah dilakukan oleh Komite Sentral. Kesalahan itu oleh Sudisman ditunjukkan dalam garis politik PKI yang terlalu menyandarkan diri pada kekuatan borjuis nasional, dalam hal ini tidak lain adalah Sukarno. 

____________________

Tujuh buku di atas, menurut hemat saya, mampu memberikan “pencerdasan kehidupan bangsa”—sesuai amanat Konstitusi. Harapan besar akan tetap selalu ada dalam upaya memandang sejarah komunisme Indonesia secara telanjang; tanpa tambahan yang dilebih-lebihkan atau pengurangan yang berarti.***


Alvino Kusumabrata, mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada

]]>
Aksi Kamisan: 17 Tahun Berdiri Melihat Kemanusiaan Dikangkangi https://indoprogress.com/2024/01/17-tahun-aksi-kamisan/ Fri, 19 Jan 2024 07:21:34 +0000 https://indoprogress.com/?p=237945 Foto: Instagram Aksi Kamisan


“PRESIDEN JOKOWI adalah seorang pelindung pelanggar HAM (Hak Asasi Manusia) berat, dan ia adalah pengkhianat Reformasi,” ucap Maria Catarina Sumarsih sungguh-sungguh.

Ia berdiri tegak dan tidak pernah berhenti. Suaranya masih menggelegar meski usia telah menginjak kepala tujuh. Pandangannya masih tajam menatap Istana Negara setiap Kamis sore. Ia setia menuntut keadilan bagi anaknya, Bernardinus Realino Norma Irawan—Wawan, yang meninggal karena ditembak aparat Orde Baru pada Tragedi Semanggi I, 1998. 

Aksi Kamisan itulah, yang telah berpijak selama 17 tahun sejak 18 Januari 2007, menjadi wahana bagi Sumarsih dan siapa pun yang berspirit kemanusiaan untuk menunjuk hidung para pelanggar HAM dan menuntut mereka bertanggung jawab.


Spirit Gandhi

Perjuangan Mahatma Gandhi melawan kolonialisme Inggris telah usai. Namun, sari pati metode gerakannya tak mati begitu saja. Takdir membawa ahimsa—prinsip gerakan nonkekerasan—tumbuh mengakar ke mana-mana, termasuk Indonesia. Landasan Gandhi itulah yang bermuara menjadi Aksi Kamisan.

Alasan mengapa Aksi Kamisan terus ada adalah karena pelanggaran HAM tidak pernah tuntas diselesaikan, meski Reformasi, era setelah kediktatoran, telah bergulir seperempat abad silam. Jelas tidak pernah ada keseriusan dari semua presiden yang pernah berkuasa untuk menuntaskannya, tidak terkecuali Joko Widodo. 

Aksi Kamisan—yang, sekali lagi, sudah berumur 17 tahun—tak pernah henti-hentinya menampar muka pemerintah yang penuh bedak sekaligus meneriaki telinga mereka yang kelewat tebal. Namun selama itu pula pemerintah diam dan tak ambil pusing melihat penderitaan keluarga korban yang terombang-ambing penuh abu-abu. 

17 Tahun bukanlah periode yang singkat. Maka sama sekali bukan hal aneh jika banyak orang, termasuk kita, menduga bahwa presiden sengaja menjadikan penuntasan HAM berat sebagai barang dagangan alias komoditas dengan tujuan meraup suara elektoral semata.

Saya masih ingat dan bisa menangkap euforia para aktivis dan keluarga korban ketika Jokowi mulai berkuasa—walau saat itu masih berusia 10 tahun. Ia seorang populis yang tumbuh dari latar sipil, bukan bagian dari Orde Baru, dan suci dalam janji. Bahkan, dalam Nawacita 2014, sembilan prioritas pembangunan ala Jokowi, terang tertulis bahwa pemerintahannya akan “berkomitmen menyelesaikan secara berkeadilan terhadap kasus-kasus pelanggaran HAM di masa lalu”.

Secepat kilat kita diperlihatkan bahwa komitmen itu hanya sampai kerongkongan. Kegagapan Jokowi menuntaskan kasus HAM sudah terlihat ketika ia menunjuk Wiranto sebagai Menteri Koordinator Politik dan Hukum (Menkopolhukam) sebelum dua tahun berkuasa. Bagaimana bisa Jokowi mengangkat seseorang yang harusnya bertanggung jawab atas peristiwa Trisakti serta Semanggi I dan II menjadi pejabat negara?

Ketidakseriusan terus terlihat ketika Jokowi justru berbelok, mencoba menyelesaikan pelanggaran HAM berat dengan mekanisme nonyudisial pada periode kedua. Jalur itu justru sarat menunjukkan keengganannya untuk menyeret pelaku pelanggar HAM ke meja hijau, bahkan terkesan melindunginya. Tidak hanya itu, mekanisme nonyudisial justru semakin menebalkan impunitas yang memang sudah tebal.

Undang-Undang Nomor 26 tahun 200 tentang Pengadilan HAM sebenarnya tidak menyebutkan sama sekali disparitas mekanisme yudisial dan nonyudisial. Seharusnya pemerintah menggunakan piranti hukum tersebut karena ia amanat dan anak kandung Reformasi. Terlebih, ada UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM. Semua sebenarnya tergantung apakah pemerintah mau melaksanakannya atau tidak, konsekuen sebagai negara hukum atau tidak, dan setia pada konstitusi atau tidak. Oleh karena itu semua, kita bisa lantang mengatakan bahwa pemerintah memang tak punya kemauan untuk menyelesaikan sejarah hitam masa lalu. 

Pemerintah juga berat betul untuk meminta maaf atas nama negara, mengungkap kebenaran, dan mengembalikan hak-hak korban yang direnggut akibat pelanggaran HAM.

Di titik ini, jika pemerintah telah membaluti diri dengan busa peredam suara, kita bisa berbuat apa? 

Belum lagi, baru-baru ini, Prabowo Subianto, seorang calon presiden yang ketika aktif sebagai tentara merupakan tukang culik, enteng saja mengatakan bahwa isu pelanggaran HAM hanya muncul “tiap lima tahun” dan ketika “polling saya naik.” Sungguh, saya tidak bisa membayangkan bagaimana perasaan keluarga korban mendengar pernyataan hina itu. Sumarsih, Suciwati, atau keluarga korban tidak menampilkan isu itu secara sengaja saban lima tahun untuk dihidangkan kepada para elite politik. Isu tersebut selalu diadvokasi tiap waktu; tanpa henti.

Penyelesaian kasus HAM jelas akan menjadi tambah berat apabila Prabowo terpilih dalam pemilu—yang sudah diikutinya sekian kali. Rasa-rasanya Aksi Kamisan nyaris muskil tutup buku dengan cepat jika berkaca arah politik Indonesia dewasa ini. Tidak ada yang tahu, ironi tentu.

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.


Berlipat ganda

Mengubah sedikit kalimat awal yang tertuang dalam Manifesto Partai Komunis (1848), saat ini ada hantu yang berkeliaran menghantui presiden di Indonesia—hantu kasus pelanggaran HAM. Semua kekuasaan di Indonesia telah lama menyatukan diri dalam suatu persekutuan keramat untuk mengusir hantu ini: presiden, politikus-politikus yang abai tuntutan rakyat, Jaksa Agung yang malas melakukan penyidikan dan penuntutan, dan pelaku pelanggar HAM itu sendiri.

“Hantu-hantu” itu akan terus ada selama penyebabnya tak ditangani. Saya percaya bahwa lilin semangat Aksi Kamisan akan tetap dinyalakan oleh para pemuda. Keyakinan itu tumbuh sejak saya berkuliah. Aksi Kamisan rutin dilaksanakan di sana. Setiap Kamis sore di sekitar Tugu Jogja. Tidak ada seorang pun yang berusia 50 tahun ke atas mengikuti aksi, setidaknya berdasarkan amatan saya, tapi sekelompok pemuda yang memiliki kesadaran untuk menegakkan kemanusiaan. 

Isu yang diangkat bahkan meluas. Mereka yang bernaung di bawah lembaga-lembaga sosial aktif menggodok isu yang akan dibawa pada Aksi Kamisan di pekan berikutnya. Sekitar akhir November lalu, misalnya, isu yang digemakan adalah persoalan konflik dan ketidakadilan agraria yang memang marak terjadi. Pemandangan waktu itu dipenuhi oleh kawan-kawan—sekitar 30 orang—dari fakultas saya sendiri. Tidak ada hal lain yang saya rasakan kecuali hati bergetar melihat pemuda-pemuda yang sadar bahwa kemanusiaan di mana pun tidak boleh diinjak-injak.

Karena itu, saya tidak akan pernah khawatir bahwa perjuangan Sumarsih akan berhenti di tengah jalan. Akan ada banyak Sumarsih-Sumarsih lain yang mengemuka di kemudian hari.

Bagi Aksi Kamisan, tahun ini memang—mengutip Sukarno—tahun vivere pericoloso; tahun yang menyerempet bahaya. Tapi, vivere pericoloso itu mampu dijawab tangguh: Aksi Kamisan, ever onward and never retreat. A luta continua!***


Alvino Kusumabrata, mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada

]]>
RUU PPRT, Perjuangan yang Harus Dituntaskan https://indoprogress.com/2023/09/ruu-pprt-perjuangan-yang-harus-dituntaskan/ Wed, 20 Sep 2023 02:17:03 +0000 https://indoprogress.com/?p=237694 Ilustrasi: Jonpey


“MANAKALA baik perempuan, maka baiklah negeri. Sebaliknya, manakala buruk perempuan, buruklah negeri.” Kalimat-kalimat bersayap itu diucapkan oleh Megawati Sukarnoputri dalam pidato kebudayaan kala memperingati Hari Perempuan Internasional pada 8 Maret 2015.

Megawati kemudian mengatakan bahwa ia “…sudah meletakkan dasar-dasar keberpihakan terhadap perjuangan kaum perempuan” lewat beragam produk hukum selama menjabat presiden. Rancangan Undang-Undang (RUU) Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (PPRT) adalah salah satu yang dia sebut sebagai rancangan produk hukum yang perlu ditelurkan–yang tak sempat dirampungkannya.

“Saya yakin, kita semua berharap adanya pemenuhan janji-janji politik itu,” ucapnya.

Janji politik seperti RUU PPRT tentu sangat penting. Kelahiran produk hukum tersebut akan selalu dinantikan oleh mereka yang membutuhkan. Ini disebabkan tak pernah ada produk hukum–termasuk hukum perburuhan kita–yang secara spesifik melindungi kepentingan PRT. Praktis selama ini kondisi PRT terkatung-katung.

Naskah RUU PPRT pertama kali diinisiasi pada 2004 oleh berbagai lembaga dan organisasi ke DPR. Artinya, RUU ini sudah mendekam di parlemen lebih dari 19 tahun. Berbagai revisi juga telah dilakoni. Sampai sekarang, masyarakat sipil terkhusus PRT terus mengupayakan agar RUU itu segera disahkan sebab substansial bagi kelangsungan pekerjaan mereka.

Selain itu, pada 16 Juni 2011, Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) mengadopsi Konvensi Nomor 189 tentang Kerja Layak bagi PRT yang mewajibkan negara mengambil langkah-langkah agar PRT dapat bekerja secara layak. Seribu sayang, sama halnya dengan RUU PPRT, elite-elite politik tidak pernah ambil sikap proaktif, bahkan cenderung reaktif.


Kerja Berdarah-darah

Sudah 19 tahun RUU PPRT mangkrak. Namun pedihnya segala bentuk kekerasan dalam bekerja tentu sudah PRT alami lebih lama dari itu. 

Dalam laporan Toward a better estimation of total population of domestic workers in Indonesia (2018, hlm. 26), ILO mencatat jumlah PRT di Indonesia mencapai 4,2 juta pada 2015–semakin bertambah pada akhir 2022. Jumlah itu membuat Indonesia menjadi salah satu negara dengan jumlah PRT terbanyak. Sebanyak 84,27% dari mereka adalah perempuan. 

Namun, kuantitas PRT tidak diikuti dengan kualitas perlindungan kerja bagi mereka. Sedari awal, PRT tidak pernah terlindungi seutuhnya oleh payung hukum perburuhan. Karena itu, posisinya rentan terhadap segala diskriminasi dan kekerasan. Jaringan Nasional Advokasi (JALA) PRT mendokumentasikan setidaknya terdapat 2.637 kasus kekerasan terhadap PRT sepanjang 2017-2022.

Bagong Suyanto dalam artikel “Perlindungan PRT, Siapa Peduli” (Kompas, 6 Februari 2023) mencatat, kekerasan yang dialami oleh PRT tergolong ke dalam beberapa jenis. Jenis pertama (sebesar 41%) adalah kekerasan psikis, antara lain berwujud pelecehan, penyekapan, dan perendahan. Jenis lainnya adalah kekerasan ekonomi (37%), seperti tidak diberi upah layak, korban PHK karena sakit, dan tidak mendapatkan tunjangan dasar. Sebanyak 22% berupa kasus multikekerasan, luka parah, hingga pencederaan.

Hasil kerja PRT acapkali dianggap rendahan. Pendiri JALA PRT Lita Anggraini dalam wawancara dengan Project Multatuli mengatakan bahwa PRT bukan unskilled labor atau pekerja informal, tetapi pekerja yang di-informal-kan. Pekerjaan domestik distempel sebagai “pekerjaan yang tak membutuhkan ilmu pengetahuan dan keterampilan.” Stigma-stigma itulah yang melahirkan ragam bentuk diskriminasi terhadap profesi PRT.

Tak hanya stigma, beban kerja juga menghantui mereka. Nihilnya peraturan hukum mengakibatkan tiada batasan yang jelas dalam mengatur porsi pekerjaan PRT. Hal ini juga disebabkan lingkup kerja PRT bersifat domestik, apalagi negara tidak bisa mengawasi karena tak ada regulasi. Hubungan kerja antara PRT dengan si pemberi kerja yang bersifat informal juga tidak dilindungi oleh Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan–selanjutnya disebut UU Ketenagakerjaan

Eksploitasi kerja berlebihan menjadi hal yang lumrah. Laporan Kementerian Ketenagakerjaan yang dikutip Bagong Suyanto merekam bahwa PRT yang menginap di rumah majikan justru “…rawan diperlakukan salah karena harus bekerja lebih dari 40 jam per minggu.” Di samping itu, Yohanes Mega Hendarto dalam artikel “Mengapa Perlu UU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga?” (Kompas, 1 November 2021) mengutip laporan Kemnaker bahwa telah terjadi tren kenaikan PRT dengan jam kerja lebih dari 12 jam per hari.

Draf terakhir RUU PPRT mengelompokkan pekerjaan yang menjadi ranah kerja PRT menjadi delapan jenis saja. Namun, selama produk hukum itu belum disahkan, PRT rentan melakukan pekerjaanyang sebenarnya bukan tanggung jawab mereka–di luar delapan jenis itu atas perintah si pemberi kerja. Satu contoh adalah seorang pekerja rumah tangga bernama Wina, sebagaimana pengakuannya dalam wawancara dengan Project Multatuli. Dia mengatakan beban kerjanya bertambah di luar kesepakatan awal, yakni harus pula membersihkan kolam renang hingga memotong rumput.

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.


Teralienasi dari Hukum Perburuhan

PRT adalah pekerja. Definisi luas “pekerja” yang tertuang dalam Pasal 1 angka 3 UU Ketenagakerjaan adalah “Setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain.” Dokumen Peraturan tentang Pekerja Rumah Tangga di Indonesia terbitan ILO (2006, hlm. 10) juga menyebut majikan dari PRT didefinisikan sebagai pemberi kerja. Posisi pemberi kerja sendiri termaktub dalam Pasal 1 angka 4 UU yang sama, dengan pengertian “Orang perseorangan, pengusaha, badan hukum, atau badan-badan lainnya yang mempekerjakan tenaga kerja dengan membayar upah […].” Status PRT sebagai pekerja kemudian dipertebal kembali dalam Peraturan Menteri Tenaga Kerja No. 2 Tahun 2015 (selanjutnya disebut Permenaker). 

Namun, kedudukan PRT tak dapat sepenuhnya terlindungi hukum perburuhan. Hal ini dapat dilihat ketika berbicara mengenai hubungan kerja. Hubungan kerja dalam konteks PRT bersifat informal, sedangkan Pasal 1 angka 15 UU tersebut mengacu pada hubungan kerja formal. Terbukti dengan adanya cakupan perjanjian kerja yang harus “memenuhi unsur pekerjaan, upah, dan perintah yang jelas.”

Borok-borok penelantaran hak PRT tak hanya di situ saja. Dalam Pasal 35 ayat 2, misalnya, disebutkan bahwa pemberi kerja “…wajib memberikan perlindungan sejak rekrutmen sampai penempatan tenaga kerja.” Fakta lapangan tidak membuktikan itu. Dalam penelitiannya, Yafi Azhari dan Abdul Halim menemukan bahwa PRT telah rapuh sejak perekrutan. Perekrutan itu terbagi menjadi dua jenis. Pertama, berasal dari perantara informal seperti kerabat/calo. Kedua, melalui agen penyalur. Bukti kerentanan ditunjukkan dalam beberapa kasus, misalnya ketika calo meminta komisi kepada PRT. Ini misalnya dialami seorang PRT berinisial NN yang sempat diliput Kompas TV. NN mengaku tidak memegang kontrak, dan bahkan diancam upah ditahan jika meminta majikan baru.

Bukti lain Permenaker tetap rentan bagi PRT terdapat dalam Pasal 5. Di sana tertulis, “Pengguna [pemberi kerja] dan PRT  wajib membuat Perjanjian Kerja tertulis atau lisan yang memuat hak dan kewajiban dan dapat dipahami oleh kedua belah pihak […].” Sifat vulnerabilitas dalam pasal tersebut terdapat dalam bentuk perjanjian kerja secara lisan, yang notabene dapat mengaburkan ketentuan-ketentuan pekerjaan bagi PRT. Ini kemudian diperkuat oleh dokumen ILO yang menyatakan mayoritas PRT tak punya kontrak tertulis dengan majikan mereka mengenai ranah kerja yang akan dilakukan, ketentuan durasi kerja, dan upah. Hal ini disebabkan pada sifat pekerjaan yang privat sehingga rawan terjadinya “penyalahgunaan kekuasaan” oleh pemberi kerja. Ditambah lagi, hal ini akan menjadi sulit untuk dibuktikan apabila terjadi sengketa (Azhari & Halim, 2021). 

Solusi dari Yatini Sulistyowati dari Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia (KSBSI) dalam lokakarya yang didokumentasikan dalam Perlindungan PRT Melalui Kontrak Kerja (2017) menjadi relevan. Secara garis besar, ia mengajukan penyelesaian dengan kontrak kerja yang dibuat secara tertulis dan minimal rangkap dua untuk dimiliki masing-masing pihak (Sulistyowati, 2017).

Soal ketentuan upah pun tidak jernih. PRT jelas menjadi pihak yang dirugikan dalam masalah upah. Permenaker No. 2 Tahun 2015 sama sekali tidak menetapkan regulasi upah minimum. Hanya tertulis “…mendapatkan upah sesuai Perjanjian Kerja” dalam Pasal 7 huruf c. Tanpa adanya payung hukum, si pemberi kerja memiliki otoritas absolut untuk menentukan besaran upah yang diberikan, dan umumnya seminimal mungkin. Hal ini terlihat dari upah nominal PRT yang acapkali di bawah standar upah minimum regional walau mengalami kenaikan. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), rata-rata upah PRT sebesar Rp437.416 pada Desember 2022. Dengan upah sesedikit itu, mereka tentu akan sukar untuk memenuhi kebutuhan dasar, apalagi di kota-kota besar.


(Harus) Terus Menyala

Jalan untuk mengesahkan RUU PPRT sebenarnya sudah dekat. Harian Kompas mencatat, proses pembahasan RUU PPRT sudah rampung di Badan Legislasi DPR. Pada 21 Marer lalu, DPR mengesahkan RUU PPRT sebagai RUU Inisiatif DPR untuk segera diselesaikan. Namun, hingga sekarang belum ada pembahasan lebih rinci. Memang satu-satunya cara untuk terus memaksa parlemen adalah dengan aksi “politik-serikat”. 

Berjamurnya serikat-serikat PRT seperti JALA PRT, Serikat PRT Sapulidi, Perempuan Mahardhika, SPRT Merdeka, dan berbagai cabang serikat di berbagai kota-kabupaten di Indonesia harus disambut baik. Itu menandakan bahwa daya gedor PRT dewasa ini semakin besar. Berkelindan dengan itu, PRT di Indonesia menanjak kesadaran politiknya. Politik yang diusung bukan tidak jelas bentuknya, melainkan politik kelas sebagai kelas buruh sebagai kesatuan.***


Alvino Kusumabrata, mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada

]]>
Darsono, Anak Revolusi Kala Fajar Pergerakan Kiri Menyingsing https://indoprogress.com/2023/04/darsono-anak-revolusi/ Mon, 03 Apr 2023 19:28:25 +0000 https://indoprogress.com/?p=237438 Ilustrasi: illustruth


DI USIA SENJA, ia mencoba mengingat kembali pengalaman puluhan tahun lalu tentang betapa terjalnya menyadarkan kelas buruh Indonesia akan kondisinya pada awal abad ke-20. “Rakyat Jawa [kala itu] masih bodoh. Untuk menyadarkannya diperlukan cambuk, yaitu artikel-artikel yang berani. Tulisan-tulisan logis dan ilmiah tidak ada gunanya. Cara yang tepat adalah main hantam kromo,” kenang pria bernama Darsono tersebut saat wawancara dengan Soe Hok Gie. Wawancara tersebut berlangsung pada Januari 1964. 

Ketika itu Darsono sudah tidak lagi aktif dalam politik praktis. Ia telah melepas seluruh mantel organisasi politik kiri yang melekat padanya sejak muda. “Sekarang ini yang diperlukan adalah orang-orang yang berani,” ucapnya sebagaimana dicatat Gie dalam buku Di Bawah Lentera Merah (1999).


Menggodok Seorang Agitator

Darsono lahir di Pati, Jawa Tengah, pada 1897, dari keluarga pegawai negeri. Namun sejak belia ia terbiasa hidup di kalangan kaum tani. Setelah menyandang gelar ahli pertanian, ia mulai bekerja di sebuah perkebunan. Berdasarkan catatan Gie, Darsono sempat berusaha melanjutkan studinya di sekolah kedokteran hewan. Nahasnya ia tak lolos. Saat itu juga Darsono keluar dari pekerjaannya dan bertolak menuju Semarang (Gie, 1999: 33).

Di kota tersebut, pada Maret 1917, tensi politik memanas. Menurut Ruth T. McVey dalam buku Kemunculan Komunisme Indonesia (2017: 30), pemicunya adalah karena pada sore hari tanggal 18 menggema sebuah berita tentang kejatuhan Tsar Rusia. Henk Sneevliet, pendiri Indische Sociaal-Democratische Vereniging (ISDV), segera menyambutnya dengan menulis artikel yang diberi judul “Zegepraal” alias ‘Kemenangan’. Dalam tulisan tersebut Sneevliet menyanjung kemenangan revolusi Rusia sekaligus mengutuk kolonialisme Belanda. 

Pemerintah kolonial menjadi waspada dan segera merespons dengan mengadili Sneevliet. Untuk pertama kalinya Sneevliet diadili sejak datang ke Hindia Belanda pada Februari 1913 pada usia 30 tahun. Persidangan tersebut diikuti oleh banyak orang, termasuk Darsono. “… ia mengikuti sidang Sneevliet dan ia sangat terkesan pada adanya orang Belanda yang memihak rakyat,” tulis Gie (1999: 33). 

Ketika menyaksikan Sneevliet, Darsono juga bertemu Semaun, mitra politiknya di kemudian hari. Semaun mengajak Darsono untuk aktif di Sarekat Islam (SI) cabang Semarang. Lewat persidangan itulah pintu perjuangan untuk Darsono terbuka.

Saat itu internal SI terpolarisasi ke dalam dua kutub: Central Sarekat Islam (CSI) dan CSI Semarang. Masing-masing kubu memiliki pandangan yang berbeda. CSI condong konservatif dan religius, sedangkan CSI Semarang—diisi oleh Semaun dan Darsono—lebih bertendensi sekuler dan sosialis.

Polarisasi tersebut salah satunya tampak lewat saling serang via artikel. Darsono pernah menyerang pemimpin anti-Semarang, Abdul Muis, melalui artikel berseri sebelum kongres kedua CSI pada 1918. Selain mengkritik sikapnya yang pro wajib militer untuk pribumi, Indië Weerbaar, Darsono juga menuduh Muis cenderung mendukung ekspansi perkebunan tebu di tengah krisis pangan (McVey, 2017: 50).

Selama berlangsungnya kongres, kontradiksi antara Muis dengan CSI Semarang semakin tegang. Alhasil, pimpinan tertinggi SI, Tjokroaminoto, menunda kongres beberapa waktu. 

Menurut Gie, Tjokro banyak memberikan konsesi kepada kelompok Semarang. Hasil kongres dianggap banyak menguntungkan mereka, termasuk posisi Darsono. “… cabang Semarang puas atas penunjukan Darsono sebagai anggota propagandis resmi CSI dan Semaun sebagai komisaris CSI Jawa Tengah,” tulis Ruth T. McVey (2017: 51).

Posisi baru tersebut membuat Darsono rajin beragitasi dalam surat kabar. Seperti yang Darsono katakan pada awal naskah ini, artikel-artikelnya memang tidak berbelit sehingga mudah dipahami pembaca. Satu contoh adalah artikelnya di koran ISDV, Soeara Ra’jat. Di sana, sebagai “pengagum berat Revolusi Bolshewik”, Darsono mengajak pembaca mengorganisasi revolusi serupa: “Bukan penguasa yang mempunyai kekuatan, tetapi rakyat. Kibarkan bendera merah di setiap tempat sebagai lambang KEMANUSIAAN, PERSAMAAN, dan PERSAUDARAAN. Apa yang bisa menghentikan seseorang ketika ia memberontak? Mari kibarkan bendera merah!” (McVey, 2017: 37).

Pemerintah kolonial, yang semakin memusatkan kekuasaan dan tidak bersikap lunak terhadap agitasi kaum ekstremis, mengartikulasikan kalimat-kalimat Darsono sebagai ancaman pemberontakan. “Hal ini menyebabkan ia ditahan dan dihukum selama setahun pada November 1918,” tulis Ruth T. McVey (2017: 50).

Pada 1919, anggota-anggota ISDV yang revolusioner (di organisasi tersebut juga ada sayap moderat) menghendaki perubahan nama organisasi. Hal ini dipicu oleh terbentuknya Indische Sociaal Democratische Partij (ISDP) oleh SDAP Hindia pada tahun yang sama. Selain pelafalan yang hampir mirip, desakan mengubah nama juga untuk memisahkan diri dengan ISDP yang revisionis-evolusioner. 

Anjuran juga datang dari Sneevliet melalui surat dari Kanton pada awal 1920. Surat tersebut menyarankan agar ISDV menjadi anggota Komintern, dan “untuk itu harus dipenuhi 21 syarat, antara lain memakai nama terang partai komunis dan menyebut nama negaranya,” tulis Gie (1999: 54).

Ketika mendekam di penjara Surabaya, Darsono menyetujui perubahan nama partai saat berbicara dengan Hartogh, pemimpin ISDV waktu itu. Selain memberi lampu hijau, Darsono menambahkan dua catatan bernada humor: (1) manifesto yang ditulis oleh Marx dan Engels berjudul Manifesto Komunis dan bukannya Manifesto Sosial Demokrat; (2) rakyat Indonesia tidak dapat membedakan ISDV dengan ISDP. 

Setelah berbagai diskusi yang alot dalam kongres, akhirnya mayoritas anggota setuju perubahan nama dari ISDV menjadi Partai Komunis Indonesia (PKI) pada 23 Mei 1920 (Gie, 1999: 54)

Setelah menjalani masa penjara, Darsono kembali terjun berpolitik dan menulis. Tak menunggu waktu lama, pada 6 Oktober, dia kembali membuat gempar dunia pergerakan melalui serangkaian artikel yang pedas. Kali ini bukan pemerintah kolonial Belanda yang disasar, melainkan Tjokroaminoto. Darsono menyinggung “terkait penyalahgunaan sejumlah besar dana SI oleh Tjokroaminoto dan menuntut dilakukannya pemeriksaan keuangan organisasi tersebut” (McVey, 2017: 125). Menurut McVey, Darsono tidak dapat disalahkan karena kas SI hampir kosong. 

Akibat kritik-kritik Darsono, citra Tjokro yang agung menjadi tercoreng. Berkelindan dengan itu, pamor kubu Semarang semakin naik. 

Kritik Darsono kemudian ditanggapi oleh Tjokro dan CSI yang “menerangkan butir-butir bahwa mereka tidak bersalah.” Kritik Darsono kembali dibahas rinci dalam Kongres SI yang diadakan pada Maret 1921. 

Sesaat sebelum kongres, Darsono sempat berkeluh kepada Tan Malaka: “Masih terlalu persoonlijk (‘personal’) dalam perbedaan paham. Mereka belum dapat membedakan antara paham atau kecakapan seseorang dengan dirinya sendiri, apalagi dengan orang yang mereka cintai (dalam hal ini Tjokro).” Tan Malaka dalam autobiografi Dari Penjara ke Penjara (2017: 92) menambahkan bagaimana frustrasinya Darsono saat itu. “Darsono kelihatan sedikit dipengaruhi serangan atas dirinya sendiri, karena ia diancam orang lain kalau ia membela dirinya di muka rapat.” 

Karena antara kubu Semarang dan CSI ingin mengonsolidasikan kekuatan kembali, Darsono—yang selalu dicela loyalis SI—akhirnya dimaafkan oleh Tjokro tetapi bukan tuduhannya. Menurut Tan Malaka, panitia kongres tidak membenarkan kritik yang keras sekalipun panitia memberikan hak kepada Darsono untuk mengkritik. Akhirnya Darsono diangkat menjadi anggota komite yang menginvestigasi penggunaan dana SI (McVey, 2017: 129).


Dari Utara ke Selatan Lagi

Berbekal pengalaman dalam organisasi massa yang kuat, Darsono berangkat ke Moskow untuk menghadiri kongres ketiga Komintern pada musim gugur 1921 sebagai wakil PKI. Kehadiran Darsono dan kemudian Semaun menguatkan kontak reguler antara Komintern dengan PKI.

Aleksandr Reznikov dalam buku The Comintern and the East: Strategy and Tactics in the National Liberation Movements (1984: 108-109) mencatat di samping memberi tugas untuk membangun serikat buruh di Jawa, Seksi Timur dari Komintern juga menginstruksikan Darsono untuk menjalin aliansi dengan gerakan-gerakan nasional. Perintah terakhir tersebut bertolak belakang dengan pemikiran pribadi Darsono. Ia mengecap negatif segala kemungkinan kerja bersama gerakan nasionalis. Darsono dan orang-orang yang selaras dengannya yakin untuk tidak pernah membuka diri terhadap aliansi antiimperialis dan menganggap kelas borjuis nasional—yang identik dengan gerakan nasionalis—sebagai musuh kelas buruh.

Reznikov menyebut sikap Darsono tersebut sebagai sektarianisme. Menurutnya (1984: 107), penyakit sektarianisme merupakan corak umum di kalangan komunis muda di Timur Jauh saat itu. 

Dengan penolakan tersebut, Reznikov menyebut bahwa Darsono juga mengesampingkan hukum perkembangan revolusi; memaksakan revolusi sosialis dan tidak mengindahkan tugas-tugas dalam revolusi demokratik di tanah jajahan. Tak hanya itu, masih kata Reznikov (1984: 107), Darsono bahkan Semaun secara membabi buta ingin membuat “sistem manajemen pemerintahan buruh-tani” ala Soviet. Maka tepat kiranya analisis McVey yang menyatakan: “… ia (Darsono) terkadang menghadapi masalah dalam menerapkan gagasan-gagasan komunis Barat yang dipelajarinya dengan kondisi yang ada di negara Timur.”

Tahun 1923 menjadi penanda buruk bagi aktivisme PKI. Akibat kurang tajamnya pendidikan teori dan organisasi politik komunis, sebagian besar kader akhirnya tenggelam ke dalam avonturisme. “Kekerasan politik revolusioner” menjadi tema besar yang diusung oleh para kader PKI. Alih-alih berorganisasi dengan disiplin tinggi, mereka lebih memilih jalan bertindak individual atau “putchisme”. “Konsekuensinya ditunjukkan pada 1923, setelah kepergian Semaun, ketika terjadi pelemparan bom di Surakarta dan Semarang. Secara otomatis kaum komunis dianggap bertanggung jawab,” terang McVey (2017: 259).

Tahun itu, pada bulan Februari, Darsono kembali ke Hindia Belanda melalui Batavia. Buku-buku literatur marxis yang dibawanya dari Uni Soviet sempat disita oleh pegawai bea cukai. 

Merespons huru-hara putchisme, Darsono langsung bergerak mengadakan rapat di Semarang. Di sana dia memaparkan pandangan negatif PKI terhadap terorisme dan avonturisme. 

Di samping itu, untuk mengembalikan harkat komunisme, ia juga mengatakan: “Kawan-kawan kita di negeri jajahan sering kali berbuat kesalahan dengan mengambil jalan komunisme kiri. Mereka terdidik dengan buku-buku yang menyatakan perjuangan untuk diktator proletariat yang baru lahir dan para pengrajin dari Cina, Korea, India, dan Mesir, melawan borjuasi asing dan pribumi, dengan upaya mendukung gerakan nasional untuk persamaan hak dari borjuasi pribumi yang masih muda melawan pusat kaum kapitalis yang menindas” (McVey, 2017: 259).

Konsistensi Darsono mengangkat disiplin komunisme yang benar dapat ditemukan dalam suatu kongres pada Juni 1924. Ia mengatakan, “partai tanpa disiplin seperti dinding tanpa semen, mesin tanpa sekrup; tapi dengan disiplin, bahkan di sebuah partai kecil, seperti Bolshewik di Rusia, dapat meraih kemenangan besar (McVey, 2017: 266).

Satu tahun setelahnya, aksi-aksi pemogokan buruh terjadi di berbagai wilayah Hindia Belanda. Buku Pemberontakan Nasional Pertama di Indonesia (1926) yang disusun oleh Lembaga Sedjarah PKI (1961: 46) menyebut buruh-buruh percetakan Tionghoa yang dibantu oleh buruh Indonesia mengorganisasikan pemogokan di Semarang pada Juli 1925. Satu bulan kemudian, para pegawai rumah sakit pusat menggelorakan pemogokan di kota yang sama. Buruh-buruh yang bekerja di bidang pemerintah, perbengkelan, dan listrik pun unjuk gigi sepanjang tahun itu. Tak salah jika PKI menisbahkan tahun 1925 sebagai “tahun penuh pemogokan”.

Laporan Semaun yang berjudul “Labor in Far East (Indonesia)” dalam surat kabar The Daily Worker nomor 250 edisi 2 November 1925 menyebut Darsono terlibat dalam perencanaan pemogokan di pelabuhan yang melibatkan sekitar 1.600 buruh di Semarang. Semaun melukiskan: “Layanan pelabuhan benar-benar berhenti. Pemogok dari tempat lain menolak untuk bekerja. Walaupun pemogokan telah berkurang intensitasnya, tetapi armada pelabuhan masih terhenti karena sabotase yang terjadi.” 

Politik represi pemerintah kolonial mulai bekerja merespons pemogokan yang bertubi-tubi. Pemerintah menargetkan menangkap pemimpin-pemimpin komunis, termasuk Darsono. Koran Darmo-Kondo nomor 99 edisi 30 Desember 1925 melaporkan bahwa klimaksnya adalah ketika tiga pemimpin PKI—Darsono, Mardjohan, dan Aliarcham—ditangkap. “Saudara Darsono itoe sebagaimana diketahoei sampai sekarang masih ada dalam tahanan pendjara Eropah (Centrale Gevangenis) di Semarang. Beberapa hari berselang sdr. Mardjohan poen laloe ditahan, demikian djoega saudara Aliarcham,” tulis koran tersebut. 

Di kemudian hari, pemerintah kolonial memberikan hukuman alternatif pada Darsono: diizinkan pergi ke pengasingan. Ia tidak berangkat ke Belanda seperti eksil politik lain, melainkan langsung menuju Uni Soviet (McVey, 2017: 433).

Selama di Soviet, Darsono memfokuskan kerjanya untuk Komintern. Dua pemimpin PKI lain, Alimin dan Musso, juga datang ke Moskow pada Juli 1926 untuk bekerja bersama Darsono dan Semaun yang telah berada di kota itu selama setahun. Keempat tokoh prominen komunis itu kemudian memaparkan presentasi tentang kondisi objektif Hindia Belanda dan partai kepada Komite Eksekutif Komintern. Mereka menjelaskan bahwa “SI benar-benar hancur, partai dan serikat buruh praktis dilarang, dan kemarahan tumbuh di kalangan rakyat” (Reznikov, 1984: 116-117).

Antara rentang tahun 1925-1929, Darsono banyak memberikan kontribusi untuk Komintern. Namun janya secuil saja pandangannya diarahkan untuk mengamati kondisi Hindia Belanda. 

Pada 1929, menurut koran Daulat Ra’jat nomor 40 edisi 20 Oktober 1932, Darsono sempat ke Belanda dan mencalonkan diri sebagai anggota parlemen dari Partai Komunis Belanda. Beribu sayang, satu kursi di parlemen tak berhasil didapatnya.

Berlin menjadi destinasi lain bagi para pejuang antikolonial. Di sana mereka mengadakan kongres Liga Melawan Imperialisme—sebuah organisasi yang dibentuk pada 1927. Alih-alih menunjuk pemimpin PKI lain, Darsono—yang masih berada di Moskow— menyarankan agar Komintern mengundang seorang insinyur cum Ketua Partai Nasional Indonesia (PNI), Sukarno, untuk menghadiri acara tersebut. Tanpa diketahuinya sedikit pun, saran tersebut akan menjadi puncak dari segalanya untuk Darsono di kemudian hari (Reznikov, 1984: 122).

Pada akhir 1929, akhirnya Darsono dikeluarkan dari Komintern akibat pandangannya yang bersifat kompromi terhadap gerakan nasionalis-reformis. Koran AKSI nomor 16 edisi 15 April 1931 melaporkan bahwa, “Tahoen-tahoen paling belakang Darsono telah ambil sikap opportunistisch. Ia bilang, bahwa Komintern perloe bekerdja sama dengan nationaal reformisten di Indonesia.” Menurut koran tersebut, Indonesia tak memiliki borjuasi nasional, dengan demikian juga “tidak ada dasar jang baik boeat gerakan perobahan.” Darsono sendiri menolak habis-habisan mengkritik pemimpin reformis nasional di tempat umum dalam suatu kongres di Frankfurt. 

Koran yang sama nomor 5 edisi 31 Maret 1931 menuliskan bahwa Moskow sangat berhati-hati dan bahkan cenderung mengecam siapa pun yang hendak terus terang merangkul kaum nasionalis. Kejadian serupa pernah menimpa Semaun. “Semaoen disoedoetkan [oleh Moskow] akibat ketahoean pernah berdjabat tangan dengan pimpinan Perhimpunan Indonesia di Belanda.” 

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.


“Kommunist” atau “Tjoema Koroso-Koroso”

Setelah sekian puluh tahun berada di luar negeri, Darsono akhirnya kembali ke Indonesia pada 1950. Saat itu Darsono tua sudah tidak memiliki koneksi apa pun dengan gerakan komunis Indonesia yang saat itu dipimpin D. N. Aidit. Ia menghabiskan sisa hidup dengan bekerja sebagai penasihat untuk Kementerian Luar Negeri sampai 1960.

Bagaimanapun juga, kendati putus relasi dengan gerakan kiri di masa tua, nama Darsono akan tetap selalu menggema dalam sejarah perkembangan komunisme di Indonesia; sekaligus sebagai proto-komunis di samping Semaun, Tan Malaka, Haji Misbach, dan lain-lain. Hal itu telah diakui pada tahun 1930-an, ketika PKI generasi pertama sudah ditumpas habis oleh pemerintah. 

Dalam koran Daulat Ra’jat nomor 38 edisi 30 September 1932, pada kolom “Soerat Kiriman” dengan judul artikel “No Sacrifice is Wasted” (‘Tidak ada korban jang terboeang’), misalnya, penulis dengan nama samaran A. S. menulis:

“Penoelis berkejakinan, bahwa bagaimanapoen djoega paham dan kejakinan mereka itoe, tetapi dalam toedjoean jang tertinggi ialah melepaskan rak’jat Indonesia dari pendjadjahan bangsa asing. […]. Boeat memboektikan tjoekoeplah kita seboetkan Tan-Malaka, Semaoen, Darsono. Apakah nama jang terseboet belakangan ini tjoema koroso-koroso dan ampas manoesia belaka? Ataukah mereka takoet poela ditoedoeh kommunist d.l.l,, seoempama menengok hantu pada tengah hari?” 

Darsono wafat pada 1976, saat Orde Baru sukses mengukuhkan legitimasi antikomunis dalam masyarakat.***


Alvino Kusumabrata, pelajar kelas dua belas SMA di Kota Surakarta

]]>
Bagaimana Komunis Indonesia Memandang Proklamasi 17 Agustus 1945 https://indoprogress.com/2023/03/komunis-indonesia-memandang-proklamasi/ Tue, 14 Mar 2023 02:19:23 +0000 https://indoprogress.com/?p=237363 Ilustrasi: illustruth


SELEPAS berkelana ke negeri-negeri lain, D. N. Aidit dan M. H. Lukman akhirnya kembali ke Indonesia pada 1950 pasca-Madiun Affair. Sejarawan Donald Hindley dalam buku The Communist Party of Indonesia, 1951-1963 (1960) meyakini sebelum pulang dua pemuda komunis itu berada di Vietnam dan bertempur dengan gerilyawan Viet Minh, serta turut menyambangi Cina dalam rangka menghadiri konferensi serikat buruh Asia-Australasia di Peking pada Desember 1949.[1]

Keduanya, ditambah Njoto, segera mengambil alih kepemimpinan Partai Komunis Indonesia (PKI) dari generasi lama. Apa yang dilakukan trio muda itu tak sepenuhnya disukai oleh generasi pendahulu. Orang-orang PKI lama, setidaknya Wikana, Tan Ling-djie, Alimin, dan Ngadimin Hardjosubroto tidak setuju dengan kebijakan Aidit. Namun para pemimpin lama tak mengorganisir perlawanan dan akhirnya “tersingkir satu demi satu.”[2]

Tugas-tugas politik dan ekonomi menanti pucuk pimpinan baru PKI. Salah satunya ialah menghasikan apa yang disebut Aidit sebagai “peng-Indonesiaan marxisme-leninisme,” yang bersubstansi “satunja antara teori marxisme-leninisme dengan praktik konkrit revolusi Indonesia” kala itu.

Hasil kerja tugas primer tersebut dimanifestasikan dalam beberapa hal. Pertama, rumusan analisis kondisi Indonesia sebagai setengah-jajahan dan setengah-feodal (SJSF). Walau bernapaskan “pikiran Mao”, ia masih berlandaskan marxisme-leninisme. Kedua, program “front nasional”. Konsep tersebut berangkat dari premis perlunya unifikasi antarkelas proletar, tani, borjuis kecil, dan borjuis nasional dalam kerangka revolusi demokratis sebagai jalan keluar dari kondisi SJSF.[3] Ketiga, yang hendak saya uraikan lebih jauh, adalah penafsiran terhadap Proklamasi 17 Agustus 1945—selanjutnya disebut Revolusi Agustus.

Tafsir terhadap Revolusi Agustus penting karena itu menjadi dasar dari segala kebijakan partai. Kerja-kerja selama Demokrasi Liberal dan Demokrasi Terpimpin pun tidak lepas dari pemahaman partai merah itu terhadap Revolusi Agustus.

Dalam Kongres Nasional ke-V tahun 1954, misalnya, PKI mengesahkan program untuk mendirikan “Pemerintahan Demokrasi Rakyat”. Ada benang merah antara program tersebut dengan upaya untuk “memenuhi tuntutan-tuntutan” dalam Revolusi Agustus. Contoh lain bagaimana PKI berusaha menyempurnakan Revolusi Agustus adalah pembentukan “Rencana Tiga Tahun untuk Organisasi dan Pelatihan” dalam Pleno Keempat Komite Sentral (CC) PKI. Rencana tersebut di antaranya: menetapkan kuota untuk cabang-cabang dalam pendaftaran anggota baru; indoktrinasi dan intensifikasi publikasi literatur; dan memperketat disiplin partai.[4]

Jadi, apa makna 17 Agustus 1945 bagi PKI?


Memerahkan Revolusi Agustus

Pengertian Revolusi Agustus dari sudut PKI pernah dijelaskan oleh Wakil Ketua I M. H. Lukman dalam brosurnya, Apa Sebab Revolusi Agustus ’45 Belum Selesai (1961). Dalam brosur yang awalnya ditujukan untuk teks kuliah umum ini, mula-mula Lukman menyitir roh utama dari Revolusi Agustus ’45, yakni revolusi. Ia kemudian mengutip pengertian revolusi menurut Lenin: “Perpindahan kekuasaan negara dari satu klas kepada klas jang lain, adalah tanda jang pertama, jang essensiil, jang terpokok daripada sesuatu revolusi, baik dalam arti kata jang sepenuhnja ilmiah maupun dalam arti kata politik praktis”[5]

Lukman memang hendak menyatakan bahwa Revolusi Agustus adalah suatu perpindahan kekuasaan kelas atas kelas lain, tetapi ia tidak mengidentifikasinya sebagai revolusi borjuis atau revolusi sosialis.[6]

Pertanyaan mengapa Revolusi Agustus bukanlah revolusi sosialis pernah dijawab Aidit dalam buku Introduksi Tentang Soal² Pokok Revolusi Indonesia (1959). Aidit menilai bahwa ekonomi Indonesia yang terbelakang dan “ekonomi agraris setengah-feodal yang sangat tergantung pada pasar luar negeri” adalah indikator yang tak memenuhi syarat revolusi sosialis. Dalam hal ini Revolusi Agustus adalah pembuka jalan menuju revolusi sosialis di kemudian hari, yang harus mengubah kondisi “ekonomi agraris setengah-feodal” menjadi ekonomi nasional dengan “industri strategis dengan borjuis nasionalnya.”

Sementara paradigma bahwa Revolusi Agustus bukan juga revolusi borjuis bersumber dari karya-karya yang menganalisis Cina dari sudut materialisme historis-dialektis. Para komunis Indonesia menilai ada kemiripan antara Indonesia dan Cina. Secara garis besar, karena basis material yang berbeda, revolusi borjuis bercabang menjadi dua arah: (1) berujung kediktatoran borjuis atau (2) borjuis-demokratis.

Kediktatoran borjuis, menurut PKI, tak akan pernah ditempuh oleh Revolusi Agustus. Sebaliknya PKI meyakini bahwa revolusi borjuis-demokratis-lah ciri khas dari Revolusi Agustus.[7] Lukman menyatakan Revolusi Agustus sebagai revolusi nasional (borjuis) bertipe demokratis merupakan warna umum di berbagai negeri jajahan.

Lalu bagaimana jika revolusi tersebut ditinjau dalam pisau analisis marxisme? “Tidak perlu ada keraguan sedikit pun bahwa setiap gerakan nasional tidak bisa lain kecuali suatu gerakan borjuis-demokratis,” jawab Lenin dalam The National Liberation Movement in the East.[8]

Kehendak mengapa Revolusi Agustus harus bercorak borjuis-demokratis tidak lepas dari kondisi sosial objektif Indonesia. Ekonomi kolonial dan feodalisme-lah, menurut Lukman, yang menjadi corak produksi dominan Indonesia prakemerdekaan. Dan itu pula–imperialisme dan feodalisme–yang mesti disingkirkan.

Sebagai basis ekonomi kolonial, Indonesia telah dijadikan tempat penanaman modal imperialis, sumber tenaga kerja murah, dan pasar bagi komoditas-komoditas negeri induk. Di samping itu, yang menjadi inti pengisapan feodal yakni “terikatnya kaum tani dalam berbagai bentuk kepada tanah.”[9]

Perubahan-perubahan dalam revolusi tersebut memiliki karakteristiknya tersendiri. Dalam Revolusi Agustus, menurut Lukman, prospek perpindahan kekuasaan negara akan menyasar dari kelas borjuis asing-imperialis, tuan-tanah feodal dan komprador, “kepada rakjat”.[10] Lukman tidak secara gamblang mendefinisikan pengertian dan terdiri dari kelas apa saja yang tergolong dalam rakjat itu. Namun ia secara implisit mengartikan rakjat sebagai kelas sosial yang antiimperialisme dan kolonialisme secara umum.

Kelas-kelas yang dimaksud dieksplisitkan PKI dalam konstitusinya yang menyatakan: “tenaga penggerak revolusi Indonesia adalah kelas buruh, kaum tani, kelas borjuis kecil, dan elemen-elemen demokratis lainnya yang dirugikan oleh imperialisme.

Revolusi Agustus memiliki tujuan yang indah. Ia diharapkan dapat “membentuk negara nasional yang merdeka dengan pemerintahan yang demokratis.” Mereka menyebutnya sebagai “Pemerintahan Demokrasi Rakyat”— seperti yang ditetapkan dalam Kongres ke-V. Soal bagaimana “Pemerintahan Demokrasi Rakyat” berjalan, PKI menunjuk bahwa seluruh kelas-kelas yang terhimpun dalam rakjat atau kediktatoran rakyat inilah yang akan menakhodai jalannya Indonesia.

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.


Revolusi Belum Selesai

Kondisi sosial Indonesia tak banyak berubah bertahun-tahun pascakemerdekaan atau usai Revolusi Agustus. Kolonialisme dan feodalisme masih bercokol. Itulah yang hendak dikatakan oleh PKI baik dari sudut ekonomi atau politik.

Situasi ekonomi pernah dijabarkan oleh Aidit dalam laporan yang disampaikan di Cina berjudul The Indonesia Revolution and the Immediate Tasks of the Communist Party of Indonesia (1963). Aidit menyebut “Indonesia belum merdeka secara ekonomi” dan “sifat feodal hubungan tanah masih tidak berubah dan petani dalam kemiskinan.” Mengutip data White Engineering Corporation (1952), Aidit menjelaskan total modal asing di Indonesia sebesar 2,240 juta dolar AS. Rinciannya: modal Belanda (sebelum pengambilalihan) 1,470 juta; AS 350 juta; Inggris 262,5 juta; Prancis dan Belgia 105 juta; dan kekuatan asing lainnya 52,5 juta. Hasil Konferensi Meja Bundar (KMB) dan Irian Barat yang masih dikuasai Belanda juga menambah keyakinan bahwa Indonesia belum merdeka.

Aidit juga memperlihatkan bukti bagaimana jurang pemisah antara tuan tanah dan petani upahan sungguh lebar. Dia mengandalkan hasil investigasi kader gerakan tani di dua daerah sebagai studi kasus. Di Karangduren, Jember, konsentrasi tanah sekitar 31% dimiliki oleh 6% populasi tuan tanah, sedangkan petani miskin dan buruh tani upahan yang berjumlah 64% total dari populasi hanya memiliki tanah sekitar 17%. Di Leuwigajah, Batujajar, 87,5% populasi petani miskin dan buruh tani upahan hanya mendapatkan remah-remah seluas 16,52% total tanah, sementara tanah seluas 83,48% dimiliki oleh 12,5% tuan tanah.

Mengapa bisa terjadi demikian? Terdapat empat alasan dari sudut politik:

Pertama, politik antiimperialisme yang setengah-setengah dan kompromi. Contohnya adalah persetujuan Linggarjati, Renville, dan KMB. Kedua, kegagalan menyusun kebijakan antifeodal yang secara “tegas menyerang tuan tanah dan menarik kaum tani ke dalam revolusi.” Ketiga, kebijakan yang tidak konsekuen perihal front persatuan dengan borjuasi nasional. Keempat, kegagalan proletar dan borjuis untuk memegang kepemimpinan dalam revolusi.

Atas dasar ini, menurut Lukman, Revolusi Agustus terus berjalan walau Revolusi Fisik (1945-1949) telah usai. Ini disebabkan tugas-tugas objektif revolusi masih belum tuntas seluruhnya, yakni melenyapkan kolonialisme dan sisa-sisa feodal. Itu berjalan hingga bertahun-tahun setelahnya hingga entah sampai kapan. Dalam maksud lain, meminjam kata-kata Lukman, “sebelum dasar-dasar yang menimbulkan Revolusi Agustus ’45 itu sendiri dihapuskan sama sekali.”

Bagi PKI, untuk menuntaskan tuntutan-tuntutan Revolusi Agustus, diperlukan inti terpenting: “kewajiban untuk membangkitkan, memobilisasi, dan mengorganisasi massa, terutama proletar dan tani.” Selain itu tak lupa juga negara memberikan “kemerdekaan politik seluas-luasnya bagi rakjat.[11] Itu menjadi prinsip utama dari berbagai program PKI sepanjang hidupnya. Beribu sayang, belum sempat menyelesaikan Revolusi Agustus, PKI malah tertelan kontrarevolusi pasca-G30S.

Kini 77 tahun sudah Indonesia merdeka dan 56 tahun PKI lenyap. Yang disebut terakhir juga membuat analisis terhadap Proklamasi dari sudut marxisme-leninisme berhenti. Lalu apakah Revolusi Agustus sudah sepenuhnya selesai? Dan bagaimana seharusnya kelas buruh dan tani abad sekarang menyikapinya?***


[1] Donald Hindley, The Communist Party of Indonesia, 1951-1963 (Berkeley dan Los Angeles: University of California Press), hlm. 23.

[2] Ibid., hlm. 23.

[3] Lihat M.H. Lukman, Tentang Front Persatuan Nasional, (Jakarta: Jajasan Pembaruan), hlm. 18; juga Rex Mortimer, Indonesian Communism Under Sukarno: Ideologi dan Politik 1959 – 1965 (Yogyakarta: Pustaka Pelajar), hlm. 200.

[4] Justus M. Van der Kroef, The Communist Party of Indonesia: Its History, Program and Tactics (Vancouver: University of British Columbia), hlm. 86.

[5] M.H. Lukman, Apa Sebab Revolusi Agustus ’45 Belum Selesai (Jakarta: Jajasan “Universitas-Rakjat”), hlm. 4.

[6] Ibid., hlm. 4-5.

[7] D.N. Aidit, Introduksi Tentang Soal² Pokok Revolusi Indonesia (Jakarta: Jajasan “Universitas-Rakjat”), hlm. 13.

[8] M.H. Lukman, Loc. Cit.

[9] M.H. Lukman, Op. Cit., hlm. 7.

[10] M.H. Lukman, Op. Cit., hlm. 4.

[11] M.H. Lukman, Op. Cit., hlm. 16.


Alvino Kusumabrata adalah pelajar kelas dua belas SMA di Kota Surakarta

]]>
Oetomo Ramelan: Wali Kota Merah dan Akrobatnya dalam G30S di Surakarta https://indoprogress.com/2022/12/oetomo-ramelan-wali-kota-merah-dan-akrobatnya-dalam-g30s-di-surakarta/ Thu, 22 Dec 2022 19:47:07 +0000 https://indoprogress.com/?p=237164 Ilustrasi: Illustruth


JUMAT PAGI, 22 Mei 1959. Sekitar pukul 9, kantor Wali Kota Surakarta kedatangan seorang pengunjung dari Amerika Serikat. Oetomo Ramelan, Wali Kota Solo saat itu yang juga merupakan politikus Partai Komunis Indonesia (PKI), membeberkan pada sang tamu apa yang telah dicapainya setelah 15 bulan menjabat. 

“Wali Kota telah menggambarkan apa yang dia rasakan sebagai pencapaian terbesarnya, memperbaiki beberapa mil jalan dan membagikan obat-obatan kepada para dokter,” tulis Bernard Kalb dalam reportase untuk The New York Times edisi 19 Juni 1959. 

Tetapi Oetomo Ramelan tak cukup puas dengan apa yang sudah dia kerjakan. Menurutnya ada beberapa hal yang harus diperbaiki tapi sulit dan cukup terjal dilakukan. Dengan cepat ia menambahkan bahwa bahwa sumber masalah itu “bukan pada dirinya atau komunis.” Menurutnya, hal ini karena situasi secara umum buruk dan itu diakibatkan oleh kondisi ekonomi Indonesia.

Pukul 11 siang tiba. Wali kota merah telah menceritakan dirinya dan Surakarta selama berjam-jam.  “Sekarang saatnya orang pergi ke masjid,” ucap Oetomo Ramelan sembari menengok jam. “Saya sudah menceritakan kisah saya, jadi permisi.” 

Ia berjalan keluar dengan membawa harapan optimistis untuk Surakarta, sebelum akhirnya perubahan drastis terjadi pada 1965.


Jejak Samar Politikus Merah 

Oetomo Ramelan lahir di Sragen, Jawa Tengah, pada 9 Januari 1919. Tak seperti kalangan bumiputra lain, ia lahir dari keluarga keturunan bangsawan ternama. 

John Roosa dalam buku Buried Histories: The Anticommunist Massacres of 1965-1966 in Indonesia (2020) menyebut ayah Oetomo Ramelan pernah menjabat sebagai kepala kepolisian di Surakarta. Saudara-saudaranya juga berkedudukan tinggi. Oetoyo, kakak laki-laki Oetomo Ramelan , sempat meraih gelar sarjana hukum di Leiden dan kemudian hari menjadi bapak pendiri Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia. Kakaknya yang lain, Oetaryo, adalah seorang dokter. “Sedangkan kakak perempuannya, Oetami, menikah dengan sosok pendiri Angkatan Udara Republik Indonesia (AURI), Suryadi Suryadarma,” tulis John Roosa (2020: 127) 

Awalnya Oetomo Ramelan bekerja sebagai guru sekolah. Robyn J. dan John R. Maxwell (1989: 132) dalam bunga rampai To Speak with Cloth: Studies in Indonesian Textilles (1989, hlm. 132) mencatat bahwa Oetomo Ramelan mulai menerjunkan diri dan meniti karier di politik lokal pada akhir 1950-an. 

Pada saat itu, tahun 1957, Indonesia mengadakan pemilu daerah yang bertujuan memilih anggota DPRD dan DPD. Para legislator itu kemudian berhak memilih kepala daerah masing-masing. Hasilnya, PKI-lah yang keluar sebagai pemenang. Jika pada Pemilu 1955 hanya menempati peringkat ke-4 dengan perolehan suara 16,4%, maka kali ini mereka mendapat 27%. Tiga besar Pemilu 1955—PNI, Masyumi, NU—justru suaranya menurun. 

Setelah itu PKI menaruh wakil-wakilnya di banyak kota dan kabupaten, tak terkecuali Surakarta. Di kota tersebut PKI menang besar dengan perolehan 58% (146.000 suara). “Dengan suara ini, kaum komunis meraih 17 dari 30 kursi dewan Kota [Surakarta],” tulis The New York Times. Sementara Jawa Tengah sendiri adalah lumbung terbesar suara (2.706,893 suara).

Oetomo Ramelan-lah yang akhirnya ditunjuk untuk mengisi jabatan Wali Kota Surakarta. Ia resmi menjabat pada 17 Februari 1958.

Belum genap setahun Oetomo Ramelan menjabat, Surakarta dipilih sebagai tempat penyelenggaraan acara akbar: Kongres Nasional I Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra). Di samping merupakan sentra industri kecil bagi “buruh-buruh progresif”, Andika Krisna Wijaya dalam skripsi berjudul Lembaga Kebudayaan Rakyat (LEKRA) di Surakarta Tahun 1950-1965  (2011: 32) menyebut Surakarta juga dipilih karena faktor Oetomo Ramelan. 

Tidak hanya jadi tuan rumah, kongres yang diselenggarakan pada 23-30 Januari 1959 itu juga mengangkat Oetomo Ramelan menjadi Ketua Kehormatan Lekra (Wijaya, 2011: 47). 

Di bidang pemerintahan, kebijakan yang ditempuh Oetomo Ramelan sebenarnya tidak bersifat radikal; dia hati-hati. Contohnya, ia enggan mengambil alih properti milik borjuis Surakarta. “Kaum nonkomunis, seperti para pengusaha batik yang kaya raya dan para pedagang di lingkungan Laweyan, tetap menjadi kekuatan yang kuat,” terang John Roosa (2020: 127). 

Tentu saja masalah yang dihadapinya tidak ringan. Segudang masalah menunggu diselesaikan. “Pusat pasar di Surakarta, Jawa Tengah. Kondisi pengangguran dan krisis kekurangan perumahan tidak membaik selama lima belas bulan pertama rezim komunis [Oetomo Ramelan] berkuasa,” demikian deskripsi singkat foto sebuah pasar kumuh di Surakarta dalam The New York Times edisi 19 Juni 1959 halaman tiga. 

“Sekitar 30 persen dari 100.000 angkatan kerja di Surakarta masih menganggur atau setengah-menganggur,” tulis surat kabar itu. Salah satu program yang kemudian muncul adalah membangun rumah murah. 

Pada 1963, Oetomo Ramelan bercita-cita membangun universitas negeri di kotanya. Walhasil berdirilah Universitas Kotapraja Surakarta (UPKS)—cikal bakal UNS. Dalam Mengajarkan Modernitas: PKI Sebagai Sebuah Lembaga Pendidikan (2016: 43), Ruth T. McVey menggarisbawahi “lebih dari setengah organisasi mahasiswa membangun UPKS, yang kemudian hari dikontrol Central Gerakan Mahasiswa Indonesia (CGMI).” 


Bermain Api dalam Revolusi 

Angin kegagalan Dewan Revolusi dalam G30S 1965 berembus cepat dari Jakarta ke Surakarta.

Oetomo Ramelan secara gamblang mendukung apa yang dilakukan Dewan Revolusi sehari setelah peristiwa, 2 Oktober, menurut Ben. R. Anderson dan Ruth T. McVey dalam A Preliminary Analysis of the October 1, 1965, Coup in Indonesia (1971: 49). Pernyataan itu ia bacakan pada jam 6 sore di RRI Solo. “S. K. Wirjono, eksponen Lekra Surakarta, tampil di belakang Oetomo Ramelan dengan menandatangani pernyataannya,” terang keduanya.

Oetomo Ramelan telah terhanyut bermain api dalam revolusi lewat sepucuk pernyataan itu, sebuah langkah yang akan mengubah kondisi diri sendiri dan kotanya. 

Aidit, pemimpin partai, berlabuh ke Surakarta pada hari yang sama. Ia menggelar rapat antar-petinggi organisasi. Oetomo Ramelan hadir. Menurut buku Aidit: Dua Wajah Dipa Nusantara (2010) yang disusun Arif Zulkifli dan Bagja Hidayat, hasil rapat bertendensi “mendukung G30S dan partai harus melancarkan perjuangan bersenjata untuk mendukung gerakan Letnan Kolonel Untung tersebut.” Sementara di luar rapat itu, “… seluruh organisasi-organisasi kiri mengekor mendukung G30S,” tandas John Roosa dalam Dalih Pembunuhan Massal: Gerakan 30 September dan Kudeta Soeharto (2008: 77). 

Pada waktu itu juga Mayor Iskandar memelopori pembentukan Dewan Revolusi Surakarta, “sesuai dengan instruksi yang dikeluarkan dalam proklamasi kedua Untung” (Anderson dan McVey, 1971: 49). Dengan menyandang titel sebagai Ketua Dewan Revolusi Surakarta, Mayor Iskandar segera mengumandangkan, seperti John Roosa tulis, perintah penangkapan. “[Mayor Iskandar] memerintahkan prajurit-prajurit yang setia kepadanya untuk menahan perwira komandannya, Letnan Kolonel Ezy Suharto, kepala staf Korem (Komando Resort Militer) Solo, Kapten Parman, dan seorang perwira lain, Letnan Kolonel Ashari.” Mereka dianggap lamban dan malu-malu untuk mendukung G30S. 

Hari berikutnya, 3 Oktober, kekacauan politik semakin menjadi. Menurut Helen Jarvis dan Usamah dalam artikel di jurnal War and Humanity; Notes on Personal Experience, anggota Pemuda Rakyat, bermodalkan senjata chung, muncul di setiap penjuru kota: dari Semanggi, Kampong Sewu, dan Medjo. Mereka berseliweran di jalan-jalan Pasar Kliwon, Gading bahkan sampai ke ujung Purwosari. “Dari waktu ke waktu mereka meneriakkan: ‘Hancurkan Dewan Jenderal’. Ekspresi arogansi terpancar dari wajah mereka, mungkin karena kebanyakan dari mereka membawa senjata,” terang Helen Jarvis dan Usamah (1970: 90). 

Helen Jarvis dan Usamah menuding Oetomo Ramelan terlibat mengatur persiapan teror G30S. Kemudian, ketika kondisi sudah terdesak, Oetomo Ramelan mencoba memindahkan markasnya ke Baluwarti—benteng Keraton Kasunanan.

Puncak terkurungnya ruang gerak Oetomo Ramelan terjadi ketika Surakarta telah dikuasai oleh RPKAD sekitar 20 Oktober. Harold Crouch dalam buku The Army and Politics in Indonesia (2007: 150) menyebut Kolonel Sarwo Edhie, yang memulai misi pengganyangan PKI, sempat meringkus Oetomo Ramelan di Surakarta. Akhirnya, “22 Oktober, ia ditangkap dan ditahan di Markas AURI Panasan,” tulis A. K. Wijaya (2011: 108). 

Apa yang terjadi setelahnya gelap. Oetomo Ramelan tak diketahui rimbanya. 


Alvino Kusumabrata, pelajar kelas dua belas SMA di Kota Surakarta

]]>
Produksi dan Laras Senapan: Pemikiran Mao dalam Landasan dan Metode Gerakan Komunis di Asia (Bagian I) https://indoprogress.com/2022/08/produksi-dan-laras-senapan-pemikiran-mao-dalam-landasan-dan-metode-gerakan-komunis-di-asia-bagian-i/ Mon, 01 Aug 2022 02:36:31 +0000 https://indoprogress.com/?p=236918 Foto: gerilyawan Maois di India (sumber: internationalaffairsbd.com)


PASANG naik Revolusi Kebudayaan (1966-1976) di Tiongkok umumnya ditandai dengan: (1) pembentukan Penjaga Merah (Red Guards) dan; (2) diedarkan buku saku Quotations from Chairman Mao Tse-tung (1964) secara luas. Bagi saya dua hal tersebut tidak cukup. Ada satu alasan lain—terutama untuk melengkapi yang kedua—yakni diterbitkannya Quotations from Vice-Chairman Lin Piao (1968). Ini adalah buku yang terdiri dari berbagai kutipan pemimpin militer Lin Biao.

Di antara sekian banyak kutipan, salah satu yang cukup menarik adalah: “Pengalaman yang diperoleh dalam perjuangan revolusioner rakyat di berbagai negara sejak Perang Dunia II telah memberikan bukti terus-menerus bahwa pikiran Mao Tse-tung adalah aset bersama rakyat revolusioner di seluruh dunia.” Walaupun terkesan propagandistik, pernyataan di atas sedikit banyak mengandung kebenaran. Menurut Julia Lovell (2019: 54), Pikiran Mao (Mao Tse-tung Thought) telah memodifikasi gerakan komunis di berbagai wilayah dunia, termasuk Asia.

Mengapa bisa terjadi demikian? Lovell tidak menjawab persoalan tersebut secara memuaskan. Alih-alih berdasarkan olah teoretis Pikiran Mao, ia justru menjawab dari aspek historis semata.

Tulisan ini berusaha menjawab hal tersebut: Mengapa gerakan komunis di Asia menjadikan Pikiran Mao sebagai landasan dan metode perjuangan? Mengapa bukan Hoxhaisme, atau, barangkali, Titoisme? Dengan menjawab itu kita dapat mengerti apa yang diperjuangkan oleh gerakan-gerakan komunis berhaluan Pikiran Mao seperti di India, Filipina, Nepal, dan Sri Lanka—yang hingga detik ini masih aktif menenteng senjata.


Fondasi Teoretis Mao

Pada 1937, di tengah gempuran Jepang, Mao Tse-tung menulis tentang kontradiksi, jantung filsafat materialisme dialektis, yang diberi judul On Contradiction. Tulisan ini awalnya difungsikan untuk materi kuliah di Yenan. Beberapa materi filosofisnya akan bertalian erat dengan inti masalah yang hendak diangkat dalam artikel ini.

Menurut Mao, sebuah gerakan yang berlawanan hadir sejak permulaan hingga akhir dalam proses perkembangan setiap objek. Dengan kata lain, kontradiksi selalu ada dan menembus ke dalam proses perkembangan setiap objek. “Itulah yang disebut sebagai keuniversalan kontradiksi,” simpul Mao (1964: 316). Namun keuniversalan kontradiksi, yang selalu eksis di mana pun dan kapan pun, memiliki kekhususan pula. “Setiap bentuk gerak mengandung kekhususan kontradiksi di dalam dirinya sendiri,” tulisnya (1964: 320). Kekhususan kontradiksi, bagaimanapun juga, berkelindan dengan keuniversalan kontradiksi.

Dari beragam jenis kekhususan kontradiksi, menurut Mao, terdapat satu yang kehadiran dan perkembangannya dapat menentukan kontradiksi lain. Mao menyebutnya sebagai kontradiksi primer atau pokok (1964: 332). “Karenanya, jika dalam suatu proses terdapat sejumlah kontradiksi,” tulis Mao, “salah satunya harus menjadi kontradiksi primer yang memainkan peran utama dan menentukan, sementara sisanya menempati posisi sekunder dan subordinat.”

Karakteristik filsafat yang dikemukakan Mao tersebut kemudian ia refleksikan pada kondisi objektif Tiongkok. Corak produksi feodal telah bercokol-diri di Tiongkok 3.000 tahun lamanya. Corak produksi tersebut kemudian menemui jalan buntu pada pertengahan abad ke-19, yaitu ketika tumbuhnya politik imperialis—saat Perang Candu dimulai. Masuknya negara-negara asing memicu dasar ekonomi feodal hancur sekaligus membuka syarat-syarat objektif kelahiran produksi kapitalis.

Menurut Mao (1964: 65) dalam Why is it That Red Political Power Can Exist in China? (1928), politik imperialis di Tiongkok menunjukkan corak kekuasaan aneh dengan sistem pemerintahan yang tidak langsung (indirect rule). Hal ini berbeda dengan mayoritas tanah koloni yang berada di bawah sistem pemerintahan langsung (direct rule) oleh suatu negara imperialis. Kondisi ini kemudian diperjelas oleh Mao dalam The Chinese Revolution and the Chinese Communist Party (1930). Meski demikian, menurut Mao, negara-negara imperialis dengan pemerintahan tidak langsungnya tetap mengontrol jalannya politik, ekonomi, dan militer Tiongkok.

Di bidang ekonomi, imperialis banyak mendirikan industri kecil dan berat dengan tujuan mendapatkan bahan baku dan tenaga buruh yang murah serta menumbangkan industri nasional. Imperialis juga memonopoli perbankan dan keuangan dengan cara mendirikan bank-bank baru dan memberikan pinjaman kepada pemerintah (Mao, 2019: 17).

Imperialis pun memberi pukulan pada corak produksi feodal. Namun corak produksi tersebut tak serta mati. Albert Feuerwerker dalam China’s Modern Economic History in Communist Chinese Historiography (1965: 33) memandang setelah corak produksi feodal hancur akibat politik imperialis, Dinasti Qing mulai merekonsolidasi produksi pertanian dengan mengonsentrasikan kepemilikan modal di bawah tuan-tanah. Dengan 50% tanah pertanian Tiongkok dikontrol oleh 4% total populasi berkategori tuan-tanah, menurut Mao dalam How to Differentiate the Classes in the Rural Areas (1933) (1964: 137), kontradiksi antara kelas petani menengah dan miskin dengan tuan-tanah semakin tak terhindarkan.[1] Bentuk penindasan tuan-tanah pada umumnya berbentuk pemungutan sewa tanah.

Menurut Albert Feuerwerker (1965: 36-37), kondisi pertanian Tiongkok di bawah pemerintahan tidak langsung imperialis semakin dikomersialkan dan petani mulai tergantung pada pasar internasional. Pada akhirnya, kelas komprador beserta modal kompradornya (berupa akumulasi perdagangan atau industri yang terhubung langsung dengan imperialisme) mulai muncul dan merambah pertanian Tiongkok serta mengeksploitasi massa tani.[2]

Perubahan corak produksi feodal ini kemudian digeneralisasi oleh Mao dengan sebutan kondisi “setengah-jajahan dan setengah-feodal” (selanjutnya disebut SJSF). SJSF adalah buah Pikiran Mao dalam ekonomi-politik yang merupakan nterpretasi terhadap Marxisme.

Mao (1964: 322) membedah betapa banyak kekhususan kontradiksi kelas di dalam kondisi masyarakat SJSF. Dari mulai kontradiksi antara kelas-kelas tertindas dengan imperialisme; massa besar rakyat dengan feodalisme; proletariat dengan borjuis; dan massa tani dengan borjuis kecil kota. Di antara sekian banyak kekhususan kontradiksi tersebut, menurut Mao, kontradiksi primernya adalah kontradiksi antara kelas-kelas tertindas dengan imperialisme dan kontradiksi massa besar rakyat dengan feodalisme.

Dalam On New Democracy (1965: 342), Mao menyebut kontradiksi-kontradiksi primer dalam negara SJSF akan berujung pada sebuah revolusi demokrasi baru—new-democratic revolution/revolusi borjuis demokratis. Revolusi demokrasi baru tidak akan mengikuti kerangka jalan lama dari revolusi borjuis demokratis yang akan berbuntut pada kediktatoran borjuis. Ia akan mengikuti jalan baru, yakni revolusi dunia sosialis-proletar. Revolusi demokrasi baru akan dipimpin oleh kelas proletar atas nama kediktatoran gabungan dari kelas-kelas revolusioner yang tereksploitasi seperti proletar, petani, borjuis kecil, dan borjuis nasional. Dengan cara tersebut, perkembangan ke arah revolusi sosialis lebih mudah tercapai (Mao, 1965: 347).

Berangkat dari titik pijak tersebut, maka pertanyaan berikutnya dapat diajukan: Bagaimana   menarik Pikiran Mao sebagai basis perjuangannya?


Tinjauan terhadap Asia

Pada bagian ini tinjauan saya hanya dikerucutkan pada gerakan komunis di: Indonesia, Malaya, Filipina, Bangladesh, India, Sri Lanka, dan Nepal.

1. Indonesia

Setelah Geger Madiun, 19 September 1948, Partai Komunis Indonesia (PKI) yang tercerai-berai kembali mengonsolidasikan kekuatan lewat trisula muda: Aidit, Njoto, dan Lukman. Mereka mengemban tugas berat dengan mulai menggodok orientasi PKI baru (Zulkifli dan Hidayat, 2016: 15-16). Salah satu hal yang trisula PKI perhatikan dalam menggodok orientasi partai adalah soal bagaimana struktur sosial dan kelas masyarakat Indonesia pascakolonial.

Dalam buku Indonesian Communism Under Sukarno: Ideologi dan Politik 1963-1965 (2011: 180), Rex Mortimer mengatakan ketika Aidit sedang mencari kerangka untuk menganalisis struktur sosial dan kondisi masyarakat Indonesia, ia lebih mengandalkan pikiran-pikiran Mao yang termuat dalam The Chinese Revolution and the Chinese Communist Party (1939). Hal ini bukan tanpa alasan. Aidit meyakini terdapat paralelisme antara Pikiran Mao tentang kondisi sosial Tiongkok dengan Indonesia. Terdapat keselarasan universal yang dapat diterapkan dari Pikiran Mao pada kondisi Indonesia. Analisis Aidit tersebut kemudian dituangkan dalam Masjarakat Indonesia dan Revolusi Indonesia (1957), sebuah dokumen yang digunakan untuk pelatihan kader-kader PKI.

Mortimer (2011: 173) kemudian merangkum analisis Aidit perihal kondisi sosial feodalisme dan kolonialisme di Indonesia—saya kutip: “Dominasi kolonial mengganggu evolusi ‘normal’ dan transformasi masyarakat feodal ini, mencekik perkembangannya menuju kapitalisme, mengabadikan penindasan Belanda bagi pengeksploitasian feodal, dan menstimulasikan perlawanan lebih intens kaum tani.”

Menurut Aidit, masa kolonialisme dipatahkan oleh masyarakat Indonesia melalui Revolusi Agustus 1945. Nahas, Aidit menilai revolusi itu telah gagal membawa kesejahteraan karena tidak menggulingkan kelas tuan-tanah.

Aidit dalam artikel Hari Depan Gerakan Tani Indonesia yang termuat dalam buku Untuk Bekerdja Lebih Baik Dikalangan Kaum Tani (1958: 5) memperkirakan terdapat 70% penduduk Indonesia yang berprofesi petani—sekitar 64 juta jiwa kala itu. Kendati demikian, seperti yang dipaparkan di atas, corak produksi feodal dengan tuan-tanahnya “masih tetap berkuasa” dan, mengikuti kesimpulan Pikiran Mao, mengakibatkan masyarakat memasuki tahap setengah-feodal.

Mengenai permasalahan kelas pertanian dalam kondisi setengah-feodal ala Indonesia, Aidit membagi kekuatan kelas revolusioner gerakan tani sebagai berikut (2021: 33-37): kaum tani menengah, tani miskin, dan buruh tani (proletar desa). Aidit pun mengumandangkan tesis tujuh diferensiasi kelas penindas petani di Indonesia, seperti yang termaktub dalam laporan Kaum Tani Mengganjang Setan² Desa (1964), yaitu: tuan-tanah, lintah darat, tukang ijon, kapitalis birokrat (pegawai negeri yang korup), tengkulak, bandit-bandit desa, dan pemimpin jahat.

Karakteristik tahap setengah-feodal lalu dijelaskan melalui 4 poin besar oleh Aidit (1964: 35). Saya ambil 2 poin utama dan mengutipnya verbatim, yaitu: (1) “Hak tuantanah besar untuk memonopoli milik tanah jang dikerdjakan oleh kaum tani jang bagian terbesar tidak mungkin memiliki tanah dan karena itu terpaksa menjewa tanah dari pemilik² tanah menurut sjarat² jang ditentukan oleh tuantanah”; (2) “Pembajaran sewatanah dalam udjud barang kepada tuantanah² jang merupakan bagian penting dari hasil panen kaum tani dan jang mengakibatkan kemelaratan bagian terbesar kaum tani”.

Revolusi Agustus 1945 yang gagal kemudian dihantam kembali, seperti yang tercantum dalam Program PKI (1964: 32-33), dengan peristiwa Konferensi Meja Bundar (KMB) yang ditandatangani oleh pemerintahan Hatta dan pemerintah Belanda pada 2 November 1949 serta penyerahan kedaulatan pada 27 Desember 1949. Aidit mengecam dua peristiwa tersebut. Menurut Aidit, alih-alih memberikan kemerdekaan yang “nyata, penuh, dan tak bersyarat,” 2 peristiwa tersebut justru memberikan efek lamunan pengandaian kepada masyarakat Indonesia bahwa mereka benar-benar merdeka. Perihal penandatanganan KMB, Aidit pun menyerang pemerintah Hatta karena telah “merestorasi kekuasaan kaum imperialis Belanda atas ekonomi Indonesia” dan berdampak pada tereksploitasinya kelas buruh, borjuis kecil, dan borjuis nasional. Jalan yang dilalui oleh dua peristiwa tersebut, oleh Aidit, telah menjadikan Indonesia memasuki tahapan setengah-jajahan. (Aidit, 1964: 33).

Seperti yang dijelaskan Aidit, kaum imperialis telah menguasai ekonomi di berbagai sektor. Contohnya maskapai-maskapai seperti B.P.M., Caltex, dan Stanvac telah menguasai bidang perminyakan. Bidang perdagangan dalam negeri telah dikuasai oleh apa yang disebut Aidit sebagai “Big Five” yaitu N.V.² Internatio, Borsumy, Jacobson van den Berg, Lindetes-Stokvis, dan Geo Wehry & Co. Handelsbank, Escompto, Chartered Bank, dan Great Eastern Bank adalah contoh dominasi imperialis dalam perbankan. Dengan demikian, kaum imperialis memerintah tidak langsung “jalannya ekonomi dan politik di Indonesia” (Aidit, 1964: 34).

Di tengah kondisi SJSF tersebut, maka revolusi Indonesia saat itu haruslah, meminjam istilah Aidit (1964: 54), berwatak borjuis-demokratis. Revolusi borjuis-demokratis pun harus menyelesaikan dua tugas utamanya, yakni menyingkirkan imperialisme dan sisa-sisa feodal. Dalam menggulingkan imperialisme, PKI menekankan perlunya revolusi nasional yang bertujuan menghantam “komprador-komprador yang berhubungan erat dengan kapital asing.”

Pada sisi lain, sisa-sisa feodal dilenyapkan melalui alat revolusi demokratis (D.N. Aidit, 1964: 42). Aidit menilai bahwa revolusi nasional dan revolusi demokratis harus saling terhubung dalam bingkai revolusi borjuis-demokratis. Dapat dipastikan persoalan struktur kondisi, kelas, dan revolusi Indonesia pun sepenuhnya disandarkan oleh PKI pada hasil teoretis Pikiran Mao dan pengalaman Tiongkok.


2. Malaya

Menjelang pecahnya pemberontakan komunis di Malaya, Partai Komunis Malaya (PKM)—gerakan komunis paling menonjol di Malaya—tengah menghadapi dua pertentangan dalam internal partai. A. Dahana dalam buku Perang Dingin, Tiongkok, Malaya, dan Malaysia, 1949-1974 (2022: 91) menguraikan bahwa pada pihak pertama terdapat Sekretaris Jenderal PKM selama masa Pendudukan Jepang (1941-1945), Lai Te, dan pendukungnya yang percaya bahwa PKM harus menempuh jalur legal konstitusional; dan di pihak lain ada Chin Peng, gerilyawan muda yang mewakili suara radikal dalam PKM. Pada akhirnya Chin Peng-lah mendapat dukungan luas dari kalangan akar rumput.

Setelah menjabat Sekretaris Jenderal PKM, Chin Peng segera mengutuk jalur legal konstitusional sebagai kebijakan yang buta atas kondisi konkret Malaya, “menghentikan perjuangan bersenjata, dan merendahkan program partai.” Atas titik pijakan itu, ia mengubah haluan untuk PKM baru (V. Suryanrayan, 1977: 618).

Percobaan utama PKM baru ialah memetakan kondisi sosial dan struktur kelas. PKM di bawah Chin Peng, secara keseluruhan, juga mengacu kepada Pikiran Mao karena, menurut mereka, terdapat kesesuaian antara kondisi konkret Malaya dengan Tiongkok. PKM menggambarkan bahwa Malaya secara struktural adalah wilayah setengah-jajahan dari “produk imperialisme Inggris.” Malaya, telaah PKM seperti yang dijelaskan Gene Z. Hanrahan dalam The Communist Struggle in Malaya (1971: 173), hanya dijadikan sebagai pusat ekstraksi bahan mentah, terutama timah dan karet. Pemegang kekuatan ekonomi di Malaya tak lain adalah “lebih dari 60 perusahaan yang bermukim di London,” yang faktanya dikontrol oleh “golongan kapitalis monopoli” Amerika (A. Dahana, 2022: 90).

Karena itu, PKM berkesimpulan, industri nasional tak bisa berkembang dan “tidak mungkin modal nasional terkonsentrasi pada tingkat yang tinggi.” Akibatnya, tingginya proporsi borjuis kecil yang terpusat di berbagai kota kecil di Malaya menjadi hal yang lumrah. (Gene Z. Hanrahan, 1971: 173).

Menurut C. B. Khong dalam Feudalism in Pre-Colonial Malaya: The Past as a Colonial Discourse (1994: 261), penulis-penulis Inggris seperti Maxwell, Clifford, dan Winstedt tidak ragu menganggap bahwa masyarakat Malaya pra-kolonial adalah petani pedesaan dan berbasis lahan. Mereka mengidentifikasinya sebagai corak produksi feodal, di mana: (1) ikatan kepatuhan dan perlindungan antara kepala yang lebih besar dan kepala yang lebih rendah, antara kepala yang lebih rendah dan petani—hierarkis; (2) kepemilikan tanah di antara para kepala suku; dan (3) para kepala distrik memiliki hak pemerintahan, dan hak untuk mengenakan pajak, kerja paksa, dan dinas militer atas kelas tani.

Saat kolonialisme Inggris bersemayam, PKM mencatat feodalisme Malaya telah berubah menjadi setengah-feodal. PKM mencatat bahwa sisa-sisa feodal, dalam kondisi setengah-feodal, “tidak memiliki hak untuk memerintah maupun status politik maupun kekuatan ekonomi” dan hanya sekadar menjadi “alat dalam memperkuat cengkeraman imperialisme Inggris pada masyarakat Malaya” (Gene Z. Hanrahan, 1971: 173-174). Alhasil, status Malaya telah resmi berubah menjadi negara SJSF.

PKM memberikan penyelesaian atas masalah prospek revolusi Malaya dengan juga bersandar pada Pikiran Mao tentang revolusi demokrasi baru. Hal ini tertuang secara resmi dalam konstitusi baru PKM pada 1972 yang menyebutkan revolusi mendatang adalah “revolusi demokrasi baru yang dikontekstualisasikan dengan kondisi Malaya.” Revolusi ini dipanggul oleh “seluruh kelas-kelas tertindas seperti massa tani, borjuis kecil, dan kaum intelektual yang dipimpin oleh proletariat.”

“Menggulingkan imperialis Inggris—dan melenyapkan semua pengaruh ekonomi, politik, dan militernya—serta melenyapkan sisa-sisa feodal—dan sistem eksploitasi feodalistisnya—adalah dua tuntutan objektif yang harus diselesaikan oleh revolusi demokrasi baru ala Malaya.” (Gene Z. Hanrahan, 1971: 170-171).


3. Filipina

PARTAI Komunis Filipina (Partido Komunista ng Pilipinas, PKP-1930) berdiri di Templo del Trabajo, Manila, pada 7 November 1930. Sejak berdiri dan terutama saat Pendudukan Jepang (1942-1945) serta perebutan kembali oleh Amerika Serikat (1945), PKP-1930 selalu menggunakan strategi gerilya.

Strategi ini mulai berubah ketika pada 1955 Sekretaris Jenderal Jesus Lava mengeluarkan perintah untuk melikuidasi Tentara Rakyat dan mengubahnya menjadi brigade organisasional. Pada awal 1960-an, PKP-1930 secara resmi mengubah strategi angkat senjata menjadi perjuangan legal-terbuka. Akibatnya, seperti dicatat Armando Liwanag dalam Brief Review of the History of Communist Party of the Philippines (1988), kekuatan politik partai mulai terkikis dan partai mulai terbengkalai.

Perlawanan terhadap strategi baru tersebut muncul dari dalam, terutama oleh Jose Maria Sison, seorang Marxis cum pendiri Kabataang Makabayanorganisasi pemuda komunis. Dalam buku Jose Maria Sison: At Home in the World: Portrait of a Revolutionary (2004: 17),  Ninotchka Rosca menulis Sison menganggap PKP-1930 pimpinan Lava telah menempuh garis revisionis. Pada April 1967, Sison bersama gerakan pemuda, serikat pekerja, dan organisasi tani membentuk politbiro baru yang bersifat sementara.

Setahun berikutnya, tepatnya pada Desember 1968, dia mendirikan Partai Komunis Filipina (PKF) baru. Pada hari itu Sison dan kader-kader PKF mengesahkan dokumen dasar bagi pergerakan partai, Rectify Errors, Build the Party! (1968). Dokumen tersebut berfungsi sebagai otokritik agar organisasi terbebas dari subjektivisme, dogmatisme, dan oportunisme “kanan dan kiri”.

Pokok terpenting dari dokumen tersebut ialah menetapkan Pikiran Mao sebagai landasan PKF di samping Marxisme-Leninisme. “Pikiran Mao Tse-tung adalah panduan tertinggi dalam menganalisis dan menyimpulkan pengalaman Partai Komunis Filipina,” demikian tulis dokumen tersebut. Seperti dua partai yang telah dibahas di bagian pertama, PKF mengadopsi Pikiran Mao karena menganggapnya cocok dengan kondisi konkret Filipina. Implementasi Pikiran Mao oleh PKF dapat ditemukan dalam karya Sison untuk internal partai, Philippine Society and Revolution (1971).

Dalam obituarium Tribute to the Great Communist Mao Zedong (1976) yang terhimpun dalam On the Philosophy of Marxism-Leninism-Maoism (2021), Sison menjabarkan bahwa kondisi sosial masyarakat Filipina sebelum kedatangan Spanyol adalah setengah-komunal. Kedatangan penjajah membuat struktur tersebut menjadi feodal dan kolonial. Sison menghemat perubahan ini dengan pernyataan berikut: “Masyarakat yang pada dasarnya diperintah oleh kelas tuan tanah, termasuk pejabat kolonial Spanyol, ordo agama Katolik dan kepala boneka lokal. Massa rakyat dipertahankan pada status budak.”

Sison menyatakan bahwa pada abad ke-19 intensifikasi dan matangnya eksploitasi feodal dan kolonial telah melahirkan revolusi nasional-demokrasi, yakni Revolusi Filipina 1896. Kendati begitu, mengikuti cara berpikir Mao, menurutnya revolusi tersebut berjenis lama, yakni mengikuti kerangka ideologi borjuasi liberal.

Dua tahun kemudian, lewat Perjanjian Paris, kedudukan Spanyol sebagai penjajah digantikan oleh Amerika Serikat. “Imperialisme AS telah tertarik pada Filipina sebagai sumber bahan mentah, pasar untuk produk surplusnya, dan ladang investasi untuk modal surplusnya,” tulis Sison. Posisi Amerika menjadi penting karena kedatangan mereka membuat kondisi sosial Filipina mengalami peralihan, dari feodal menjadi setengah-feodal. Hal ini dibuktikan melalui pertumbuhan kelas proletar, borjuis kecil, dan terutama borjuis komprador yang terhubung langsung dengan tuan tanah.

Bentuk-bentuk dasar eksploitasi dalam kondisi setengah-feodal hingga dekade 1970-an, seragam dengan apa yang terjadi di Tiongkok, terjadi ketika tuan tanah di perdesaan menerapkan sewa tanah yang tinggi dari petani miskin dan menengah serta penerapan perbudakan upahan yang ekstrem pada buruh tani. Hal ini diperparah dengan praktik seperti manipulasi harga dan pengambilan upeti (Sison, 2021: 110).

Sementara babak setengah-jajahan muncul ketika Filipina merdeka pada 1946. Amerika sebelumnya tersingkir saat Jepang menduduki Filipina. Mereka baru kembali merebut negara tersebut saat Jepang kalah tapi gagal membendung gerakan kemerdekaan. Menurut Sison, Filipina setelah 1946 sepenuhnya disetir untuk kepentingan imperialisme AS. Mereka memerintah secara tidak langsung lewat Roxas, Quirino, Magsaysay, Garcia, Macapagal, dan Marcos–yang oleh Sison disebut sebagai “pemerintahan boneka”.

Kondisi setengah-jajahan terlihat nyata dari situasi ekonomi. “Dengan cara yang tidak merata dan tidak menentu,” tulisnya, “surplus modal AS telah diinvestasikan dalam ekonomi Filipina.” Filipina diisi setidaknya 50% total aset bisnis AS dengan buku aset mencapai $2,0 miliar per 1969 (Sison, 2021: 78). Sama halnya dengan Indonesia, Malaya, dan Tiongkok, sektor-sektor strategis pun dimonopoli oleh AS. Minyak bumi salah satunya. Lewat merek seperti seperti Esso, Caltex, Filoil, dan Getty Oil, AS memasok sekitar 90% minyak bumi di Filipina (Sison, 2021: 79).

Karena kuatnya karakter ekonomi yang kolonial dan agraris, Filipina sangat bertumpu pada pola perdagangan kolonial yang dicirikan oleh pertukaran bahan baku dan impor produk jadi dari luar negeri—terutama dari AS. Sepintas, kata Sison, perdagangan bebas menguntungkan Filipina. Namun yang terjadi tidak demikian. Baginya justru imperialis AS, komprador, dan tuan tanah yang mendapatkan keuntungan.

PKF tetap meyakini validitas tesis SJSF untuk menjawab persoalan Filipina bahkan sampai saat ini. Tercantum dalam Constitution & Program Communist Party of the Philippines (2018), PKF menyatakan Filipina tetap dalam status pra-industrial, agraris, dan setengah-jajahan. Struktur kelas dalam setengah-feodal terkini tetap didominasi oleh tuan tanah—1% dari total populasi. Massa tani yang tereksploitasi melingkupi 70% dari total populasi. Dengan demikian, dominasi strategis di Filipina bukanlah borjuis besar domestik terhadap industri, melainkan kelas komprador dan tuan tanah terhadap agrikultur (Constitution & Program, 2018: 58-59).

Sison juga meyakini Filipina masih SJSF. Dalam Upsurge of People’s Resistance in the Philippines and the World: Selected Works in 2020 of Jose Maria Sison (2020: 416-417) ia mengatakan, “imperialisme AS terus mendominasi Filipina secara politik, militer, ekonomi, budaya, dan melanggar kemerdekaan rakyat Filipina.”

Untuk mengubah kondisi tersebut maka diperlukan–seperti Pikiran Mao–sebuah revolusi demokrasi rakyat. Dalam Activist Study: Araling Aktibista (2020) yang ditulis oleh Departemen Pendidikan PKF (2020: 85), tertulis revolusi demokrasi rakyat adalah “penyelesaian ilmiah untuk menuntaskan akar-akar masalah dari masyarakat Filipina.” Penjabaran tentang tugas dan sasaran revolusi ini pertama kali tercantum dalam dokumen Program for a People’s Democratic Revolution (1968).

Kedigdayaan untuk seluruh kelas-kelas revolusioner—proletar, tani, borjuis kecil, dan borjuis nasional—tidak akan diperoleh tanpa alat revolusi demokrasi rakyat guna menghancurkan imperialisme AS dan feodalisme domestik. Tujuan paling nyata dari revolusi demokrasi rakyat di Filipina adalah mendirikan negara demokrasi rakyat. Negara ini dipimpin oleh proletariat dan diikuti partisipasi dari “koalisi Front Persatuan”—tani, borjuis kecil, dan borjuis nasional.


4. Bangladesh

Faktor utama munculnya negara Bangladesh disebabkan rasa kebangsaan sebagai masyarakat Bengal Timur. Rasa kebangsaan ini sendiri dipicu oleh, seperti yang ditulis G. W. Choudhury dalam Bangladesh: Why It Happened (1972: 242), adanya parlemen Pakistan yang hanya menjadi selubung kekuasaan segelintir kelompok.

Gerakan komunisnya tumbuh bersamaan dengan itu. Nurul Amin dalam Maoism in Bangladesh: The Case of the East Bengal Sarbohara Party  (1986: 759) menyatakan embrio gerakan komunis adalah sekelompok pemuda yang dipimpin Siraj Sikder yang mendirikan Mao Tse-tung Thought Research Centre pada 1967.

Pusat riset ini selalu berupaya dihancurkan oleh partai konservatif Jamaat-e-Islami. Dalam rangka mempertahankan diri, pada 1968, Sikder dan anggota yang lain membentuk East Bengal Workers Movement (EBWM). Tapi EBWM tak berumur panjang. Pada 3 Juni 1971, EBWM dilenyapkan dan diganti bentuknya menjadi partai komunis, Purba Banglar Sarbahara Party (PBSP, East Bengal Sarbohara Party) (Nurul Amin, 1986: 760).

Keutuhan PBSP pun tak bertahan lama. Menurut artikel Situation of the Maoist Movement in Bangladesh (2004), pada dekade 1990-an terjadi split sehingga PBSP terpecah menjadi beberapa partai: PBSP (CC), PBSP (MPK), dan PBSP (MBRM). Partai-partai komunis lain juga bermunculan pada abad ke-21, misalnya Communist Party Marxist-Leninist-Maoist (MLM) Bangladesh dan Communist Party of East Bengal (Maoists).

Walau gerakan komunis terfragmentasi, analisis kondisi sosial mereka tetap sekepala: berhilir dari pemikiran Siraj Sikder yang diperas dari Pikiran Mao.

Salah satu karya Sikder yang kerap dikutip untuk menjelaskan kondisi Bangladesh terkini ialah Class Analysis of East Bengal Society (1972) yang sekilas kembar dengan analisis Mao tentang kelas-kelas sosial Tiongkok dalam Analysis of the Classes in Chinese Society (1939). Dalam masyarakat urban, menurut Sikder, terdapat kelas reaksioner yang tidak lain adalah borjuis dan lumpenproletariat. Sementara kelas revolusioner diwakilkan oleh proletar, borjuis kecil, pengrajin kecil, penjaja, dan asisten toko. Pada masyarakat perdesaan, Sikder membagi menjadi dua kubu: pertama, kelas “jahat” yakni tuan tanah dan petani kaya; kedua, kelas “baik” yang selalu ditindas, yaitu petani miskin dan proletar desa.

Berangkat dari kerangka Pikiran Mao, kondisi kelas Bengal Timur yang dipaparkan Sikder mengalami kontradiksi-kontradiksinya tersendiri. Hal ini Sikder kemukakan dalam Theses of the East Bengal Movement (1968). Mengikuti Mao dalam On Contradiction (1939), menurut Sikder terdapat dua kontradiksi primer yang nyata pada perkembangan sosial masyarakat Bengal Timur, yakni:

Pertama, kontradiksi nasional antara masyarakat Bengal Timur dan kolonialisme Pakistan. Dalam kontradiksi ini sentimen agama cukup berperan kuat. Kelas borjuis dan feodal Islam di Benggala Timur berpikir mereka mampu melakukan pembangunan kelas sendiri melalui format negara Pakistan. Alhasil, mereka mendukung gerakan kemerdekaan Pakistan atas nama Islam pada 1947.

Karena kepemimpinan gerakan kemerdekaan berada di tangan kelas borjuis dan feodal non-Bengal (Pakistan), imperialisme Inggris menyerahkan kekuasaan politiknya pada mereka. Dengan cara demikian, kelas borjuis dan feodal non-Bengal merebut kepemilikan monopoli atas aparatus negara dan “mendapat kesempatan untuk mengembangkan fakultas-fakultas kelas mereka sendiri secara bebas.”

Dalam perkembangannya, “kepemilikan tenaga kerja murah dan pasar tujuh puluh juta orang” di Benggala Timur menjadi sumber penting bagi kelas borjuis dan feodal Pakistan. Sikder mengungkapkan kelas borjuis menengah dan kecil Bengal Timur kecewa atas dominasi orang-orang non-Bengal ini karena menghambat dalam perkembangan kelasnya. Pada akhirnya, menurut Sikder, Benggala Timur menjadi bentuk setengah-jajahan sebagai bagian dari Pakistan.

Kedua, kontradiksi antara massa petani Bengal Timur dan feodalisme. Menurut Sikder, kelas kolonial Pakistan terkoneksi langsung dengan kelas feodal Bengal Timur di perdesaan. Hal ini untuk memastikan penindasan terhadap kelas petani berlanjut. Manifestasi yang mempertajam kontradiksi ini ialah peningkatan pajak tanah, sistem bunga, dan sewa lain yang menjerat petani miskin. “Kelas kolaborator borjuis dan feodal pro-Pakistan di Benggala Timur dan sikapnya yang mempertahankan feodalisme di daerah perdesaan Benggala Timur,” tulis Sikder, “telah mengusung penindasan dan eksploitasi di negara ini.”

Dari hasil analisis kondisi kelas dan kontradiksi-kontradiksinya itulah Siraj Sikder menyimpulkan Bangladesh memasuki tahap SJSF.

Pelestarian Pikiran Mao pada abad ini dilanjutkan oleh Communist Party (MLM) Bangladesh. Tentang setengah-jajahan, CP (MLM) menegaskan kontradiksi primer bukan lagi terletak pada antagonisme dengan Pakistan, melainkan superpower (AS) dan negara-negara imperialis lain yang turut serta memerintah Bangladesh secara tidak langsung. Akibat “pemerintahan tidak langsung” ini, kekuatan borjuis nasional Bangladesh tetap lemah. Tentang struktur setengah-feodal, hal tersebut tampak pada bentuk kapitalisme birokratis. Menurut CP (MLM) Bangladesh, kapitalisme birokratis “lahir dari imperialisme dan aspek-aspek corak produksi setengah-feodal yang tetap berakar.”

Menurut mereka, kelahiran kapitalisme birokratis tak terlepas dari penggunaan sumber daya alam oleh kekuatan imperialis. Corak produksi feodal itu sendiri larut dalam imperialisme. “Inilah proses kapitalis,” tegas dalam dokumen tersebut, “tetapi kapitalis dari atas: kapitalisme birokratis.”

Analisis bahwa Bangladesh adalah SJSF menghasilkan kesimpulan bahwa revolusi haruslah berkarakter nasional dan demokratis–yang keseluruhannya mengutip Pikiran Mao. Seperti yang tertulis dalam Draft Constitution (1971), untuk menciptakan kondisi bagi perkembangan borjuis kecil, menengah, dan nasional dibutuhkan revolusi nasional. Sementara kontradiksi antara massa petani Bengal Timur dan feodalisme diselesaikan melalui revolusi demokratis. Tujuan yang konkret dari revolusi demokratis ialah menggulingkan corak produksi feodal dan mendistribusikan tanah dan properti feodal untuk petani miskin dan proletar desa.


5. India

Pada 1969, Partai Komunis India (Marxis)–CPI (M)–yang merupakan sempalan dari Partai Komunis India (CPI) sejak 1964 tengah mengalami gonjang-ganjing. Dalam artikel Naxalites, the New Left, J. Mohan (1970: 1.119) mengungkapkan gejolak internal terutama diakibatkan tumbuhnya kalangan radikal yang berbasis di Bengal Barat. Mereka menuduh CPI (M) telah menempuh garis revisionisme Soviet dan lunak terhadap kemungkinan berparlemen. Kalangan radikal percaya bahwa partai harus menempuh metode perjuangan bersenjata.

Kalangan yang dikepalai oleh Charu Mazumdar dan Kanu Sanyal ini kemudian disingkirkan oleh CPI (M). Mereka lantas mendirikan Partai Komunis India (Marxis-Leninis) atau CPI (ML) pada 1969 (J. Mohan, 1970: 1.119).

Kalangan radikal yang kemudian mendirikan CPI (ML) percaya dengan Pikiran Mao. Mereka menganggap terdapat kesesuaian antara teori tersebut dengan kondisi India. Dua tahun sebelumnya meletus revolusi petani dengan metode bersenjata di Naxalbari. CPI (ML) menganggap itu sebagai “corak revolusinya India” sekaligus verifikasi atas Pikiran Mao.

Mulai dekade 1970-an, CPI (ML) pecah menjadi beberapa kelompok seperti CPI (ML) Class Struggle, CPI (ML) Liberation, CPI (Maoist), dan lain-lain. Menurut Kartick Das dalam NAXALBARI TO TODAY’S MAOIST: Uprisings and Implications (2010: 492), alasan perpecahan juga tidak lain disebabkan oleh persepsi masing-masing tentang garis revolusioner Pikiran Mao dan upaya koreksi arah perjuangannya.

Kelompok-kelompok tersebut juga melanjutkan penerapan Pikiran Mao pada kondisi India terkini. Pada 1971, Charu Mazumdar dalam Long Live the Heroic Peasants in Naxalbari! mengatakan kondisi India saat itu selaras dengan Tiongkok sebelum 1949: setengah-feodal dan setengah-jajahan. Pada abad ke-21, persoalan setengah jajahan di India secara terperinci dijelaskan dalam Founding Documents of the Communist Party of India (Maoist) yang dikompilasi oleh Lucha (2004: 10). Praktik setengah-jajahan saat ini, menurut mereka, dijalankan lewat agen keuangan internasional seperti IMF dan Bank Dunia. Juga lewat masifnya investasi langsung oleh perusahaan multinasional.

Beberapa dampaknya, seperti dijelaskan N. Venugopal dalam buku Understanding Maoists: Notes of a Participant Observer from Andhra Pradesh (2013: 55) lewat contoh kasus Negara Bagian Andhra Pradesh, adalah berkurangnya investasi di bidang pertanian, promosi tanaman komersial, dan ketergantungan yang berlebihan pada pasar internasional. Hal ini menyebabkan meningkatnya kemiskinan petani bahkan membuat mereka tidak tahan hingga memutuskan bunuh diri. Pemotongan belanja kesejahteraan, pendidikan, kesehatan, dan sosial juga menjadi hal umum.

Dalam buku Towards Understanding Semi Feudal Semi Colonial Country, R. S. Rao (1995: 13) menjelaskan situasi setengah-jajahan dibuktikan melalui hadirnya kelas komprador dan kapitalis birokrat yang bertindak sebagai agen modal imperialis. Kelas komprador tidak mengembangkan teknologi dan modal sendiri serta sangat tergantung pada beragam kekuatan imperialis. Konsekuensinya, menurut Rao, mereka tidak melepaskan kekuatan-kekuatan produktif yang tersembunyi dalam masyarakat yang tercengkeram sisa-sisa feodal.

Sementara setengah-feodal sangat berkelindan dengan sistem kasta. Anuradha Ghandy dalam Caste Question in India yang terhimpun dalam Scripting the Change: Selected Writings of Anuradha Gandy (2011: 19-20) menjelaskan kebangkitan feodalisme terjadi pertama-tama ketika kasta brahmana mendapatkan hibah tanah dari kasta bawah yang mengelola tanah–umumnya petani. Corak feodal tak hancur sama sekali dan justru hidup berdampingan dengan relasi kapitalis saat kolonialisme Inggris masuk.

Menurut Rao (1995: 13), tuan tanah di India pascakolonial hingga dekade 1990-an tetap menikmati surplus ekonomi melalui pasar dan penindasan terhadap tenaga kerja pertanian. Inilah titik balik perubahan corak feodal menjadi setengah-feodal.

Cherukuri Rajkumar —anggota politbiro CPI (Maois)—dalam Maoists in India: Writings and Interviews (2018: 18), berujar bahwa tatanan setengah-feodal di India pada abad ke-21 dalam bentuk seperti itu telah mereproduksi polarisasi sosial: sebagian besar orang didorong ke dalam pengangguran, krisis agraria, dan kehancuran finansial. Adalah tugas komunis-komunis pro-Mao untuk mengubah kondisi-kondisi ini via revolusi.

Dasar-dasar revolusi bagi gerakan komunis di India telah dipahat oleh Charu Mazumdar dalam The Indian People’s Democratic Revolution (1968). Sama seperti konklusi dari gerakan-gerakan komunis sebelumnya, mereka mencanangkan “revolusi demokrasi rakyat” yang “hanya dapat dipimpin dengan kemenangan atas dasar Pikiran Ketua Mao.”

Secara prinsip, revolusi demokrasi rakyat bertujuan untuk menghantam dua kontradiksi primer dalam kondisi SJSF India, yakni: (1) antara imperialisme dan rakyat India, dan; (2) antara feodalisme dengan massa besar rakyat. Praktiknya, menurut Charu, adalah melalui pembentukan zona-zona pembebasan di perdesaan oleh petani bersenjata di bawah kepemimpinan proletariat.***

(Bersambung)


Catatan Akhir

[1] Diambil dari tabel data Tao Chi-fu (1930) direproduksi dalam Volume 32 dari Great Soviet Encyclopaedia yang dikutip oleh Isaac Deutscher (1951). Lihat https://www.marxists.org/archive/deutscher/1951/chinese-landlord.htm (diakses 18 Juni 2022).

[2] Menurut Mao, kelas komprador adalah kelas paling reaksioner dalam relasi produksi di Tiongkok dan selalu bergantung pada pertumbuhan dan mati-hidupnya imperialisme. Lihat Mao Tse-tung, 1964, “Analysis of the Classes in Chinese Society”, Selected Works: Volume 1, (Peking: Foreign Languages Press), hlm. 13.


Kepustakaan

Aidit, D.N. et al. (1958). Untuk Bekerdja Lebih Dikalangan Kaum Tani. Jakarta: Jajasan Pembaruan.

Aidit, D.N. (1964). Masjarakat Indonesia dan Revolusi Indonesia (soal² pokok revolusi Indonesia) Tjetakan ke-4. Jakarta: Jajasan Pembaruan.

Aidit, D.N., Fauzan (Ed.). (2021). Perang Tani di Jawa Barat. Bandung: Marxiyyah Libertary.

Azad. (2018). Maoists in India: Writings and Interviews. Utrecht: Foreign Languages Press.

Banerjee, Sumanta. (1984). India’s Simmering Revolution: The Naxalite Uprising. London: Zed Books Ltd,.

Biao, Lin. (1968). Quotations from Vice-Chairman Lin Piao. Diakses dari https://www.marxists.org/reference/archive/lin-biao/1968/quotations.htm

Central Committe Communist Party of the Philippines. (2018). Constitution and Program Communist Party of the Philippines 2016.

Central Committe CP-MLM Bangladesh. (2012). Declaration & Program of CP-MLM Bangladesh.

Choudhury, G. W. (1972). Bangladesh: Why It Happened. International Affairs (Royal Institute of International Affairs 1944-), 48(2), 242–249. https://doi.org/10.2307/2613440

Communist Party of Malaya. (1973) New Constitution of the Communist Party of Malaya. Journal of Contemporary Asia, 3: 2, 233237, DOI: 10.1080/00472337308566872.

Communist Party of Philippines Education Department. (2020). Activist Study: Araling Aktibista (ARAK). Paris: Foreign Languages Press.

Congress of Re-Establishment of the Communist Party of the Philippines. (1968). Program for a People’s Democratic Revolution. Diakses dari https://www.marxists.org/history/philippines/cpp/1968/program.htm

Congress of Re-Establishment of the Communist Party of the Philippines. (1968). Rectify Errors, Rebuild the Party! Diakses dari https://www.marxists.org/history/philippines/cpp/1968/rectify-errors.htm

Dahana, A. (2022). Perang Dingin, Tiongkok, Malaya, dan Malaysia, 1949-1974. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.

Das, Kartick. (2010). NAXALBARI TO TODAY’S MAOIST: Uprisings and Implications. The Indian Journal of Political Science, 71(2), 489–495. http://www.jstor.org/stable/42753711 (diakses 5 Juli 2022).

Feuerwerker, A. (1965). China’s Modern Economic History in Communist Chinese Historiography. The China Quarterly, 22, 31–61. http://www.jstor.org/stable/651542 (diakses 18 Juni 2022).

Hanrahan, Gene Z. (1971). The Communist Struggle in Malaya. Kuala Lumpur: University of Malaya Press.

Kessler, R. J. (1989). Origins of the Communist Party of the Philippines. In Rebellion and Repression in the Philippines (pp. 28–51). Yale University Press. https://doi.org/10.2307/j.ctt1xp3s8c.6

Kabir, Anwar. (2004). The Experience of Practice of Maoism in Bangladesh and Problems of Defending & Developing Maoism.

Kheng, C. B. (1994). Feudalism in Pre-Colonial Malaya: The Past as a Colonial Discourse. Journal of Southeast Asian Studies, 25(2), 243–269. http://www.jstor.org/stable/20071658 (diakses 21 Juni 2022).

Liwanag, Armando. (1988). Brief Review of the History of the Communist Party of the Philippines.

Lovell, Julia. (2019). Maoism: A Global History. New York: Vintage Books.

Malayan People’s Experience Refutes Revisionist Fallacies: Sixteenth Anniversary of the Malayan Peoples’ Armed Struggle. (1965). Peking: Foreign Languages Press.

Maria Sison, Jose., de Lima, Julieta (Ed.). (2021). On the Philosophy of Marxism-Leninism-Maoism: Sison Reader series 2. The Netherlands: International Network for Philippine Studies.

Maria Sison, Jose. (2021). Selected Readings From the Works of Jose Maria Sison. Paris: Foreign Languages Press.

Maria Sison, Jose. (2020). Upsurge of People’s Resistance in the Philippines and the World: Selected Works in 2020 of Jose Maria Sison. The Netherlands: International Network for Philippine Studies.

Mazumdar, Charu. (2020). Historic Eight Documents. Paris: Foreign Languages Press.

Mohan, J. (1970). Naxalites, the New Left. Economic and Political Weekly, 5(29/31), 1119–1122. http://www.jstor.org/stable/4360241 (diakses 3 Juli 2022).

Mortimer, Rex. (2011). Indonesian Communism Under Sukarno: Ideologi dan Politik 1959-1965. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Nurul Amin, Md. (1986). Maoism in Bangladesh: The Case of the East Bengal Sarbohara Party. Asian Survey, 26(7), 759–773. https://doi.org/10.2307/2644210

Rao, R. S., Reddy, D. Narasimha (Ed.). (1995). Towards Understanding Semi Feudal Semi Colonial Country. Hyderabad: Perspectives.

Sikder, Siraj. (1974). Heroic People of East Bengal, Our Struggle Has Not Yet Finished. Carry on the Great Struggle to Complete the Unfinished National Democratic Revolution of East Bengal.

Sikder, Siraj. (1972). Class Analysis of East Bengal Society: Second Edition. https://www.marxists.org/archive/sikder/1974/carry-on.htm

Sikder, Siraj. (1971). Draft Constitution of the Proletarian Party of East Bengal. https://www.marxists.org/archive/sikder/1971/draft-const.htm

Sikder, Siraj. (1970). The Difference of Marxist-Leninist-Mao Thought Follower Proletarian Revolutionaries of East Bengal with Hug-Toha Neo Revisionists, Deben-Motin Trotskyite-Guevarist, and the Conspirator Traitor Kaji-Rono Clique on Determining Principal Contradiction at the Present Stage of Social Development of East Bengal. https://www.marxists.org/archive/sikder/1970/a001.htm

Sikder, Siraj. (1968). Theses of the East Bengal Workers Movement. https://www.marxists.org/archive/sikder/1968/jan/08.htm

Situation of the Maoist Movement in Bangladesh. (2004).

Suryanrayan, V. (1977). Rise of Communism in Malaya (1930-1948). Proceedings of the Indian History Congress, 38, 613–620. http://www.jstor.org/stable/44139123 (diakses 21 Juni 2022).

The Statement of the Central Committe on the Recent Split in the Proletarian Party of Purbo Bangla (PBSP)/Bangladesh. (1999).

Tse-tung, Mao. (1964). Selected Works of Mao Tse-tung: Volume 1. Peking: Foreign Languages Press.

Tse-tung, Mao. (1965). Selected Works of Mao Tse-tung: Volume 2. Peking: Foreign Languages Press.

Tse-tung, Mao. (2019). Revolusi Tiongkok dan Demokrasi Rakyat. Yogyakarta: Tanah Merah Press.

Venugopal, N. (2013). Understanding Maoists: Notes of a Participant Observer from Andhra Pradesh. Kalkutta: Setu Prakashani.

Zulkifli, Arif., & Hidayat, Bagja (Eds.). (2010). Njoto: Peniup Saksofon di Tengah Prahara. Jakarta: KPG (Kepustakaan Populer Gramedia).


Alvino Kusumabrata adalah pelajar kelas dua belas SMA di Kota Surakarta

]]>