Ahmad Rizky Mardhatillah Umar – IndoPROGRESS https://indoprogress.com Media Pemikiran Progresif Fri, 13 Oct 2023 15:31:16 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.4.3 https://indoprogress.com/wp-content/uploads/2021/08/cropped-logo-ip-favicon-32x32.png Ahmad Rizky Mardhatillah Umar – IndoPROGRESS https://indoprogress.com 32 32 Tugas Kita: Dukung Palestina hingga Penjajah Israel Gemetar di Hadapan Perjuangan Rakyat https://indoprogress.com/2021/05/tugas-kita-dukung-palestina-hingga-penjajah-israel-gemetar-di-hadapan-perjuangan-rakyat/ Mon, 17 May 2021 00:00:21 +0000 https://indoprogress.com/?p=233183 Ilustrasi: Illustruth


ANTARA Jalur Gaza dan Tepi Barat yang terpisah dalam bentang politis-sosiologis-agama, tersimpan sebuah pilihan: keluar sebagai sebuah negara berdaulat bernama Palestina, atau tetap terkungkung dalam konflik komunal tanpa daya apapun untuk melawan relasi-kuasa yang silang sengkarut di luar sana.

Palestina telah lama menjadi medan pertempuran para raksasa yang pernah ada di dunia. Kekuatan pertama, Amerika Serikat, menancapkan kuku-kuku hegemoninya melalui Israel, sebuah negara-bangsa yang dirancang oleh praktik imperialisme berkedok eksodus pasca-Perang Dunia II. Dalam geopolitik kawasan itu, Israel dirancang untuk menguasai sebuah kawasan kaya raya yang konon diperuntukkan untuk kaum Yahudi. Ia terbentang dari Dataran Tinggi Golan hingga Sinai, dan mengitari Masjid Al-Aqsha di Jerusalem.

Kekuatan kedua adalah negara-negara Arab, yang hingga kini masih tidur pulas. Mereka tak sadar telah terpecah belah menjadi beberapa kekuatan. Dulu, kekuatan ini pernah cukup disegani dan ditakuti, mengancam Eropa dari Tours hingga Bordeaux. Selama ratusan tahun berdiri, kekuasaannya membentang dari sebelah Barat di Andalus hingga sebelah Timur di India. Sayang, konflik internal yang melanda kekuatan ini sukses menidurkan Arab-Islam dalam lelap malam modernisasi dan otoriterisme.

Sejarah pertumpahan darah Israel-Palestina adalah sejarah penjajahan yang belum usai. Ia bermula dari akhir sebuah masa penjajahan negara-negara Eropa, yang digantikan oleh penjajahan satu negara ke negara lain. Penjajahan itu diwariskan dari satu entitas ke entitas lain. Rezim boleh berganti—dari pemimpin-pemimpin Partai Buruh sampai kebangkitan kelompok imperialis garis keras pimpinan Netanyahu. Tapi, tidak ada yang berubah. Sejarah berdirinya Israel adalah juga sejarah penindasan terhadap rakyat Palestina. Benarlah kata Hannah Arendt: imperialisme adalah asal-usul kedua dari totaliterisme, yang kini terhampar di Israel dan Palestina dalam konflik yang tak kunjung usai.

Saya ingin memaparkan ulang sejarah konflik Israel-Palestina dengan melihatnya sebagai bentuk penjajahan modern. “Penjajahan” adalah konsep abad ke-19 yang telah memudar pengaruhnya selepas Perang Dunia II; Indonesia, Yugoslavia, Mesir, India, Ghana, dan negara-negara Asia Afrika melawannya dengan keras di PBB 1950an. Namun, bukan berarti penjajahan itu benar-benar musnah. Apa yang terjadi di Palestina adalah penjajahan dengan beragam dalih, dari perluasan pemukiman hingga upaya “mempertahankan diri” dari serangan kelompok militan. 

“Banyak yang bilang ke kita bahwa ‘kolonialisme sudah mati,’” ucap Bung Karno dalam pidato pembukaan Konferensi Asia Afrika 1955. “Jangan mau dibodohi oleh pernyataan semacam itu. Saya akan bilang, kolonialisme belum mati! Bagaimana mereka bisa bilang ia sudah mati, kalau banyak wilayah Asia dan Afrika yang belum bebas?”

Bung Karno benar; 66 tahun setelah beliau mendeklarasikan hak untuk menentukan nasib sendiri di Asia dan Afrika, Palestina belum pernah benar-benar merdeka dan bebas. 


Kronik

1948. Inggris menandatangani perjanjian Balfour pada 1947, memberi kesempatan kepada David Ben Gurion untuk mendirikan negara bernama “Israel” di tanah yang didiami orang-orang Arab. Dalihnya: memberikan ruang bagi para pengungsi korban Perang Dunia II sekaligus rumah baru untuk minoritas Yahudi di negara-negara Arab yang baru merdeka. Tapi, orang-orang Palestina telah menghuni tanah yang sama selama berabad-abad. Hasilnya: Perang Arab-Israel I. Negara-negara Arab gagal mencegah berdirinya negara baru bernama Israel, yang memaksa orang-orang Arab mengungsi ke wilayah yang kini kita kenal sebagai Palestina.

1955. Aspirasi merdeka bergelora di berbagai penjuru dunia. Bung Karno mengundang perwakilan negara-negara Asia dan Afrika ke Bandung. Di antara yang hadir adalah Mufti Yerusalem, yang mendeklarasikan penolakan atas kolonialisme Israel di Palestina. Negara-negara Timur Tengah lain—Iran, Iraq, Mesir, Yaman, dan lainnya—mengafirmasi penolakan rakyat Palestina. Muhammad Fadhil Jamali, Ketua Delegasi Iraq di Konferensi Bandung, terang-terangan menuding Zionisme sebagai bentuk penjajahan yang membuat perdamaian di Timur Tengah tidak pernah jadi kenyataan. 

1956. Kaum nasionalis di Mesir marah kepada Israel dan menutup Suez, jalur penghubung Laut Merah dan Laut Tengah yang sangat bernilai strategis bagi aktivitas pelayaran internasional. Inggris dan Perancis, yang kepentingan dagangnya terancam oleh aksi blokade sepihak Mesir, mulai merancang strategi untuk memaksa Kairo mengurungkan niatnya. Perang pun tak terelakkan. Suez akhirnya dibuka kembali—dengan pelbagai kompensasi.

1964. Perlawanan meledak di Palestina. Organisasi Pembebasan Palestina—yang kemudian kita kenal sebagai “Fatah”—lekas-lekas mengambil peran oposisi strategis terhadap dominasi Israel guna menggalang kekuatan perlawanan. Beragam aksi mereka lakukan untuk memerdekakan Palestina dari penjajahan gaya baru. Dipimpin oleh Yasser Arafat, yang kemudian menjadi pemimpin karismatik Palestina, kelompok ini tampil dalam arus moderatisme-nasionalisme berbasis Islam.

1967. Perang antara Israel dan negara-negara Arab kembali pecah. Warga Yahudi kian terkonsolidasi, sementara negara-negara Arab semakin lemah akibat kudeta dan kekacauan sosial. Di sini, lagi-lagi dunia Arab kocar-kacir: tentara Suriah, yang dulu dikenal hebat sebagai penakluk Eropa dan India, dipukul mundur dari Dataran Tinggi Golan dan terapksa menyerahkannya kepada Israel. Kekalahan ini memukul Nasser. Tiga tahun kemudian, ia meninggal dunia tanpa pernah berhasil mewujudkan mimpinya membebaskan Palestina. 

1973. Di tengah perayaan Yom Kippur yang sakral bagi orang Yahudi, pecah peperangan baru dengan negara-negara Arab. Mesir, yang sepeninggal Nasser dipimpin oleh Anwar Sadat, membuat satu dobrakan: membebaskan dataran tinggi Golan dan Sinai, yang tadinya dikuasai oleh Israel setelah perang 1967. Gebrakan ini berujung gencatan senjata, tapi membuka satu perspektif: Israel tidak selamanya tak terkalahkan. Sadat merebut Sinai, dan memaksa Israel ke meja perundingan. Berita buruknya: Mesir tak lagi tertarik untuk membebaskan Palestina, yang akhirnya kehilangan satu kawan terbaiknya masa itu. 

1978. Sebuah perjanjian damai yang lebih bernuansa kompromis dipertunjukkan Anwar Sadat. Di tempat teduh bernama Camp David, perjanjian gencatan senjata antara negara-negara Arab dengan Israel ditandatangani. Perjanjian ini membuat Nobel Perdamaian berlabuh ke tangan Sadat. Namun, ada harga mahal yang harus dibayar: Liga Arab berang, Mesir dikucilkan dalam pergaulan kawasan, seorang militan menembakkan peluru ke tubuh Sadat. Ia dibunuh karena bersikap kompromis dalam perjuangan pembebasan Palestina. Sejak itu, Mesir seakan enggan terlibat langsung dalam konflik. Ia menutup Sinai dari arus pengungsi, bahkan ketika perang.

1983. Orang-orang Palestina yang mengungsi di Shabra dan Shattila, di Libanon, tiba-tiba kedatangan tamu misterius. Kamp pengungsian diberondong peluru tak ubahnya ladang pembantaian manusiaPeristiwa ini kita kenal sebagai pembantaian Shabra dan Shattila. Palestina tak mampu berbuat apa-apa. Dunia ramai menghujat. Namun, berkat veto Washington, pembantaian ini tak menimbulkan konsekuensi apa-apa bagi Israel.

1987. Kekuatan bersenjata bernama Hamas—Gerakan Penegakan Islam—tampil di gelanggang politik. Kelompok ini menjawab keraguan atas sikap politik Fatah yang justru cenderung kompromistis saat berhadapan dengan Israel. Dipimpin seorang ulama karismatik bernama Syekh Ahmad Yassin dari sebuah kursi roda, Hamas tampil dengan wajah perjuangan baru: militansi membela Palestina. Hamas-lah yang pertama kali memperkenalkan intifadhah dan mempopulerkan aksi bom bunuh diri. Tak perlu senjata berat untuk melawan Israel; ketapel para remaja yang membidik tank-tank Israel di Jalur Gaza cukup membuka mata dunia bahwa perlawanan masih ada. Bom bunuh diri tampil sebagai simbol militansi yang mengejutkan Israel sekaligus meyakinkan dunia bahwa ketertindasan akan berbuah perlawanan dengan segala cara.

1993. Jalan diplomatik coba ditempuh Fatah. Merasa bahwa perjuangan politik mereka selama ini kurang menuai hasil, Fatah mencoba mendiskusikan penyelesaian konflik dua negara. Difasilitasi oleh Bill Clinton, Yasser Arafat dan Yitzhak Rabin bertemu di Oslo. Perjanjian ditandatangani, Otoritas Palestina berdiri, lalu dimulailah era pemerintahan transisi. Pada tahun ini berdirilah negara Palestina yang sebelumnya adalah tanah tanpa pemerintahan. Namun, seperti halnya Anwar Sadat yang berusaha mendamaikan kedua belah pihak, Yitzhak Rabin juga ditembak oleh seorang militan Yahudi bernama Yigal Amir akibat tindakannya bernegosiasi dengan Arafat.

2000Intifadhah kedua berkobar. Rencana pemindahan ibukota Palestina ke Yerusalem Timur gagal setelah Ariel Sharon, perdana menteri Israel dan pemimpin politik Partai Likud, berkunjung ke Yerusalem dan memicu kerusuhan. Hamas bergerak menggelorakan perlawanan, terlebih mengingat Sharon-lah yang berada di belakang pembantaian Shabra dan Shattila. Pada tahun ini pula kelompok Syiah bersenjata, Hizbullah, menantang Israel di Lebanon Selatan. Israel menghadapi dua ancaman dari dua kekuatan politik yang berbeda.

2002. Tembok pemisah didirikan di Jalur Gaza guna membatasi eksodus berkelompok di Jalur Gaza dan Tepi Barat. Ketegangan pun semakin memuncak. Palestina marah, Israel semakin agresif. Perlawanan dan represi berlanjut. Perlawanan dari Hamas semakin intens, bom bunuh diri bertambah, dan tekanan internasional meningkat. Tapi, tetap saja Palestina tak bisa berbuat apa-apa.

2004.Yasser Arafat meninggal dunia. Sebelumnya, dua orang pemimpin Hamas, Syekh Ahmad Yassin dan Abdul Aziz Rantissi, tewas dihantam roket Israel. Sejak itu Hamas menjadi organisasi rahasia. Arafat digantikan oleh seorang koleganya, Abu Mazen alias Mahmoud Abbas. Fatah dan Hamas semakin menyembunyikan kecurigaan satu sama lain dan melemahkan posisi masing-masing di Palestina. 

2006. Pemilihan Umum Palestina digelar. Hasilnya mengejutkan: Hamas tampil sebagai pemenang, memunggungi Fatah yang telah berjuang selama 40 tahun. Kemenangan Hamas ini menimbulkan ketegangan baru. Negara-negara Barat tak rela melihat sebuah kelompok radikal, yang sangat membahayakan kepentingan mereka di Timur Tengah, tampil sebagai pemimpin politik baru. Di sisi lain, Fatah juga tak rela kedudukannya direbut. Ketegangan memuncak di Tepi Barat. Kantor-kantor pemerintah menjadi ajang baku hantam dua saudara sedarah ini. Fatah menguasai Tepi Barat, sementara Hamas mengambil alih Jalur Gaza. 

2008. Hizbullah, kekuatan revolusioner yang didukung Iran di Lebanon, memperoleh kemenangan telak dalam Perang 10 hari melawan Israel. Waktu itu, Israel sudah menggadang-gadang Libanon Selatan akan jatuh kembali ke pangkuan mereka, lepas dari kekuasaan Hizbullah. Namun apa daya, Hizbullah lebih perkasa. Israel yang menanggung malu menarik pasukan dari Libanon Selatan. Perdana Menteri Israel Ehud Olmert, sang pemrakarsa perang, akhirnya mundur. Tahun berikutnya, Kadima, partai Olmert kalah telak oleh Likud, yang akhirnya membentuk pemerintahan di bawah Perdana menteri Benjamin Netanyahu. 

2009. Israel mengisolasi dan menyerang Gaza. Milisi Hamas berjuang mempertahankan kota dari pendudukan. Parade pendudukan itu berakhir hanya beberapa hari sebelum Barrack Obama terpilih menjadi Presiden AS. Gerilyawan Hamas dengan gagah menembaki tank Israel. Ribuan jadi korban serangan—baik militer maupun sipil.

2010. Politik isolasi menggagalkan masuknya suplai bantuan pangan. Mavi Marmara, kapal bantuan kemanusiaan dari beberapa negara dunia untuk meringankan penderitaan orang-orang di Palestina, diblokade sehingga tak bisa masuk. Ankara marah besar karena kapal itu berbendera Turki. Dunia mengecam, tapi lagi-lagi tak ada tindakan yang diambil. Syukurnya, Mavi Marmara tidak apa-apa—walaupun kita tak tahu bantuannya sampai atau tidak.

2011. Palestina membuat sebuah manuver baru: mencoba masuk sebagai anggota PBB. Pro dan kontra menyertai upaya ini. Mahmoud Abbas secara cerdas bermanuver walaupun ia tahu pasti akan diveto oleh Amerika Serikat di Dewan Keamanan. Tapi sepertinya mata dunia mulai melihat Palestina; Brazil, Turki, Rusia, dan lain-lain menyatakan mendukung Palestina. Dinamika kawasan yang kacau-balau sejak Revolusi Arab Spring kembali terhenyak. Palestina mulai melangkah pasti menuju negara-bangsa, meski tahu upaya ini akan sia-sia belaka tanpa keadilan dalam rezim internasional. Hal ini terbukti. Tanpa pengakuan kedaulatan, PBB hanya menjadi “macan kertas” yang gagal member jalan perdamaian dan kemerdekaan bagi Palestina. 

2021. Pada bulan suci Ramadan, penduduk Palestina di Kawasan Syaikh Jarrah, Palestina Timur, diusir dari tempat tinggalnya oleh Pengadilan Israel. Warga melawan. Hamas yang masih berkuasa di Jalur Gaza menembakkan roket. Israel, yang menganggap aksi ini ajakan untuk berperang, mengirim pesawat tempur dan pasukan ke jalur Gaza. Mata dunia Kembali terbuka: Palestina memang belum merdeka, dan perjuangan untuk melawan penjajahan di muka bumi—apapun bentuknya—belumlah usai. 


Menentukan Nasib Sendiri

Hans J. Morgenthau jauh-jauh hari telah menyatakan bahwa seharusnya politik internasional itu berada dalam lingkup hukum internasional. Agaknya pesan dedengkot realisme itu belum terlaksana hingga saat ini. Sebab, nyatanya, dunia ini masih tetap anarkis, tanpa hukum, tanpa stabilitas—hukum internasional itu rupa-rupanya adalah politik internasional itu sendiri. Kekuatan-kekuatan besar (great powers) masih tidak mau menunaikan tanggungjawabnya untuk menghormati dan membela Palestina, atau minimal menggunakan kekuatan yang mereka punya untuk sesuatu yang positif: membebaskan Palestina dari cengkeram penjajahan Israel. 

Buktinya? Lihat saja respons Joe Biden terhadap kekerasan tentara Israel terhadap pejuang kemerdekaan Palestina di Jalur Gaza dan Kawasan Syeikh Jarrah di Yerusalem. 

Kita sudah terlampau lama menyaksikan penindasan di Gaza oleh tentara Israel. Masalahnya dari tahun ke tahun sama belaka: ketidakberdayaan sebuah negara yang hak kedaulatannya tidak pernah diakui. Sejarah Palestina adalah sejarah penjajahan manusia atas manusia lain pada masa modern. Karena sejarah Palestina adalah sejarah penjajahan, mereka harus punya hak untuk menentukan nasib mereka sendiri. Sebagai negara-bangsa, Palestina butuh pengakuan atas kedaulatannya layaknya negara merdeka dengan hak-hak warga negara dan batas-batas wilayah yang harus dihormati.

Mampukah negara-negara berpenduduk mayoritas Muslim, utamanya Indonesia, menjamin pengakuan kedaulatan tersebut sampai ke telinga negara-negara pemilik kuasa itu? Entahlah—jika Indonesia juga masih alergi dengan istilah “hak menentukan nasib sendiri” karena dianggap “melemahkan kedaulatan bangsa” dan enggan menyuarakannya di pentas politik global. 

‘Ala kulli hal, perjuangan rakyat Palestina adalah perjuangan melawan penjajahan modern. Tugas kita adalah mendukung perjuangan mereka hingga penjajah Israel gemetar terhadap revolusi dan perjuangan rakyat. 

Rakyat Palestina tidak akan kehilangan apapun selain belenggu yang mengekang mereka selama ini. Mereka punya dunia untuk dimenangkan.

Kaum pecinta kemerdekaan di seluruh dunia, bersatulah!***


Ahmad Rizky Mardhatillah Umar adalah mahasiswa PhD di The University of Queensland – UQ, Australia


]]>
Kudeta Myanmar di Antara Proyek Demokratisasi AS dan Infrastruktur Tiongkok https://indoprogress.com/2021/05/kudeta-myanmar-di-antara-proyek-demokratisasi-as-dan-infrastruktur-tiongkok/ Fri, 07 May 2021 04:10:13 +0000 https://indoprogress.com/?p=233149 Foto: Wikimedia.org


KUDETA militer kembali terjadi di Myanmar pada 1 Februari 2021 lalu. Kudeta ini adalah reaksi angkatan bersenjata Myanmar (Tatmadaw) yang menuduh ada kerucangan dalam pemilu November 2020. Kudeta kemudian memicu protes massal besar-besaran di jalanan dan direpresi oleh militer. Hingga kini, sekitar 730 warga meninggal, menurut laporan BBC pada 13 April lalu.

Ada beragam analisis tentang kudeta ini. Pertama, kudeta dipandang sebagai reaksi militer atas pemilu yang dimenangkan Liga Nasional Demokrasi (NLD), partainya Aung Sang Suu Kyi. Ada juga yang mengatakan bahwa kudeta ini merupakan konsekuensi dari persaingan personal antara jenderal militer Myanmar dengan Suu Kyi sebagai seorang pemimpin sipil. 

Ahmad Rizky Mardhatillah Umar adalah mahasiswa PhD di Universitas Queensland, Australia. Ia menekuni soal-soal geopolitik terutama di kawasan Asia Tenggara. Minggu lalu, Coen Husain Pontoh dari IndoPROGRESS mewawancarainya untuk menggali aspek lain dari kudeta Myanmar, yakni geopolitik di Asia Tenggara. Berikut petikannya. 


Coen Husain Pontoh

Halo Bung Rizky. Bagaimana Bung melihat kudeta ini dari sudut pandang geopolitik Asia Tenggara atau global atau Asia secara keseluruhan?


Ahmad Rizky Mardhatillah Umar

Terima kasih Bung Coen sudah mengundang saya untuk ngobrol di sini. Sebelum kita bicara tentang kudeta di Myanmar, mungkin kita perlu lihat dulu bahwa sebetulnya apa yang terjadi di Myanmar sedikit banyak dipengaruhi oleh dua konteks politik global saat ini, yang mana itu ada di kawasan Asia Tenggara, Asia Timur, dan Pasifik. 

Yang pertama, persaingan antara AS dan Tiongkok. Ini faktor utama dalam politik global, atau mungkin di kawasan Asia Tenggara dan Asia Timur dan Pasifik saat ini. Pertarungan antara AS dan Tiongkok ini, dua negara dengan kekuatan yang besar, berhubungan erat dengan kepentingan geopolitik dan geoekonomi. Di negara-negara seperti AS atau Australia, narasi yang berkembang itu adalah bahwa Tiongkok mengembangkan ekspansi geopolitik melalui Belt Road Initiative, bahwa mereka juga punya proyek di Myanmar. Ini bagian dari konteks politik pertama yang perlu kita lihat.

Kedua, Tiongkok bukanlah satu-satunya kekuatan geopolitik utama di Asia Tenggara. Sebelumnya kita tahu AS juga punya proyek yang sangat besar dalam hal demokratisasi. Dan dalam banyak hal, proses demokratisasi di Myanmar sendiri difasilitasi beberapa lembaga seperti USAID atau melalui diplomasi kekuatan lain di Asia Tenggara seperti Indonesia. Dan [proyek demokratisasi] ini juga punya ‘saham’ yang kuat. Dalam beberapa hal, itu kemudian memengaruhi kontestasi domestik yang ada di Myanmar. Awal dekade ini, Aung Sang Suu Kyi berhasil mendorong proses demokratisasi yang mungkin tidak terlalu jauh, tapi cukup menonjol untuk mendorong reformasi politik di Myanmar. Meskipun kemudian apa yang dilakukan oleh Aung Sang Suu Kyi itu juga terbatas dalam banyak hal. Ia, misalnya, tidak bisa menggenggam kontrol penuh atas militer. Militer bergerak secara otonom, bergerak dalam logika mereka sendiri dalam beberapa hal terutama yang terkait keamanan nasional seperti di Rohingnya.

Dalam banyak hal, baik proses demokratisasi yang didorong oleh Aung Sang Suu Kyi maupun kudeta sebetulnya juga diuntungkan atau dimungkinkan oleh aspek perubahan kontestasi geopolitik global. Dulu, awal 2010-an, Aung Sang Suu Kyi punya momentum yang kuat karena memang AS punya proyek demokratisasi yang dominan di zaman Obama. Namun, semakin ke sini, orang semakin kritis dengan apa yang dilakukan oleh Aung Sang Suu Kyi. Kemudian, ketidakmampuan Aung Sang Suu Kyi untuk mengontrol militer juga membuat posisinya dilematis. Apalagi kita melihat sekarang ada beberapa proyek geopolitik yang diinisiasi oleh Tiongkok, misalnya Belt Road Initiative yang memberikan insentif bagi militer untuk melakukan pengambilalihan kekuasan. 

Kita harus melihatnya dalam konteks ini.


Coen Husain Pontoh

Lalu apa posisi strategis Myanmar di dalam konteks pertarungan antara AS dan Tiongkok ini?


Ahmad Rizky Mardhatillah Umar

Beberapa tahun terakhir, proyek infrastruktur Tiongkok, baik yang sifatnya fisik maupun infrastruktur energi, misalnya minyak, melewati beberapa daerah Myanmar, misalnya Mandalay. Sangat banyak kepentingan Tiongkok di situ. Di sisi lain, yang perkempingan bukan Tiongkok. Wilayah yang dalam banyak hal dikuasai oleh militer sehingga militer agak punya kepentingan. Berbeda dengan AS, dalam banyak hal, secara politis Tiongkok tidak ambil pusing dengan negara yang bersangkutan. Bagi Tiongkok, siapa pun yang bisa memuluskan jalan untuk ekspansi infrastuktur mereka, itulah yang dikasih insentif. 

Yang kemudian terjadi adalah proyek-proyek konektivitas, proyek-proyek infrastruktur yang menghubungkan kawasan, terutama dari Asia Timur ke Asia Tenggara. Keberadaan proyek-proyek ini memberikan semacam ruang bagi militer maupun Aung Sang Suu Kyi untuk saling bermanuver. Saya melihat tindakan yang dilakukan oleh militer Myanmar bertujuan untuk mencari posisi yang lebih menguntungkan bagi mereka untuk mengeksekusi proyek. Tentu bukan hanya proyek konektivitas seperti dari Tiongkok. Dalam beberapa hal, Myanmar juga seperti Indonesia maupun negara-negara Asia Tenggara lain: sangat bergantung pada investasi. 

Politik untuk mendapatkan dan mengelola investasi yang lebih luas inilah yang kemudian dilakukan oleh masing-masing kekuatan. Militer, dengan kekalahan USDP ketika pemilu, menggunakan dalih ini untuk melakukan kudeta. 


Coen Husain Pontoh

Kudeta militer ini sebenarnya tidak terlalu positif buat ekonomi Tiongkok karena di masa pemerintahan Aung Sang Suu Kyi terjadi proyek liberalisasi dan privatisasi. Kita tahu bahwa militer Myanmar ini memiliki perusahaan yang sangat besar di sektor dari pertambangan, komunikasi, dan sebagainya. Ketika Aung Sang Suu Kyi mulai membuka ekonomi dan melakukan privatisasi, Tiongkok punya lahan investasi yang lebih luas. Myanmar tidak hanya tergantung terhadap Tiongkok, tapi juga pada Jepang, AS dan negara-negara lain. Jadi, ketika kudeta ini dilakukan, mereka tidak perlu bergantung besar kepada Tiongkok. Alasan bahwa Tiongkok memiliki kepentingan besar di masa kudeta ini sebenarnya kurang kuat. Bagaimana menurut Bung?


Ahmad Rizky Mardhatillah Umar

Saya melihatnya justru sebaliknya. Bukan Tiongkok yang punya kepentingan, tapi justru militer Myanmar. Bisa jadi dalam banyak hal, dengan Aung Sang Suu Kyi atau dengan militer, proyek Tiongkok selalu akan tetap jalan dan yang kemudian mereka lakukan adalah memberi insentif ke siapa pun yang ada di wilayah industri mereka. Di daerah dengan kontrol militer yang kuat, misalnya, mereka tinggal kasih insentif ke militer. Di wilayah-wilayah dengan sipil lebih kuat, mereka juga akan kasih insentif ke sana. Yang punya kepentingan justru militer. 

Ini terkait perubahan politik yang tidak sempurna dan tidak tuntas ketika Aung Sang Suu Kyi bisa mengambil alih proses kepemimpinan secara demokratis di awal tahun 2011 atau 2012—saya lupa persisnya. Di awal-awal tahun itu sebetulnya Aung Sang Suu Kyi berjuang di parlemen untuk mendapatkan legitimasi. Legitimasi Suu Kyi dalam banyak hal tidak kuat. Ini yang membuat kedua kekuatan ini (militer dan unsur pro-demokrasi) saling berkontestasi. Sebenarnya ini kontestasi domestik yang diuntungkan oleh posisi Myanmar dalam skema ekonomi politik global saat ini. Jadi, ini merefleksikan sisa-sisa tegangan dari proses reformasi yang tidak tuntas. 

Statement dari Menlu China menunjukkan mereka tidak ingin ikut campur dan malah mendorong ASEAN untuk tampil dan menyelesaikan negosiasi. Sebagai kekuatan besar, Tiongkok tak punya kepentingan yang terlalu strategis. Mereka punya kepentingan strategis untuk mengamankan aset karena ada investasi Tiongkok di situ. Mereka juga bisa menarik aset-aset itu dengan tidak terlalu susah. 

Pertarungan militer dan Aung Sang Suu Kyi ini kebanyakan adalah perebutan sumber daya dan sumber daya ini dibangun oleh kekuatan-kekuatan politik global, misalnya Tiongkok dalam banyak hal, beberapa investasi Jepang, atau proyek demokratisasi AS di tangan Joe Biden. Selama tiga tahun ini, AS relatif terlihat lepas tangan dalam mengawal proses demokratisasi. Kita melihat banyak rezim sayap kanan global yang kemudian muncul dan ini dipengaruhi oleh melemahnya AS dalam ekonomi-politik global. Tapi kalau dalam konteks Myanmar, ini membuat dua kekuatan itu saling berkontesasi. 

Jadi, kalau kita ingin melihat refleksinya secara teoritis, ini adalah refleksi dari pertarungan kekuatan politik domestik yang di-set up dalam skema politik global hari ini.


Coen Husain Pontoh

Kasus Myanmar ini merefleksikan pertarungan antara AS dan Tiongkok di Asia Tenggara secara umum karena punya dampak ekonomi yang sangat besar. Proyek infrastruktur di Myanmar, kalau berjalan sesuai rencana Tiongkok, maka dia bisa mem-bypass jalur Selat Malaka. Jadi dia tidak perlu lagi lewat Selat Malaka, tapi bisa langsung masuk ke jalur infrastruktur yang dibangun di Myanmar. 

Apa dampak kontestasi dua kekuatan besar ini buat Asia Tenggara? Indonesia juga seperti Myanmar [yang] secara ekonomi saat ini sangat bergantung pada ekonomi ekstraktif dan di situ peran Tiongkok juga makin lama makin kuat. 


Ahmad Rizky Mardhatillah Umar

Dalam banyak hal ini sangat terkait dengan skema kepentingan proyek infrastruktur untuk menghubungkan; konektivitas. Bagian dari skema besar Belt Road Initiative. Tapi dalam banyak hal ini juga merefleksikan tegangan antara kelompok-kelompok yang mendorong proses demokratisasi di dalam negeri, tapi itu juga tidak sempurna. Dalam banyak hal, demokrasi di Myanmar ini menyingkirkan etnis-etnis minoritas. Ini yang membuat beberapa minoritas tidak sepakat dengan militer tapi dalam banyak hal agak tersingkir di pentas politik era demokratisasi yang sekarang. Ini juga punya tegangan dalam konteks domestik. 

Tapi ada juga hal lain yang membuat Indonesia dan negara-negara ASEAN jadi cukup concerned, yaitu potensi kekerasan yang kalau tidak bisa diselesaikan bisa berkembang menjadi perang sipil. Ini tidak bagus baik bagi AS maupun Tiongkok. Dalam banyak hal, skenario semacam itu akan mengesankan proyek demokratisasi yang dilakukan oleh AS gagal. Tidak baik juga bagi Tiongkok karena proyek konektivitas mereka yang melewati Myanmar akan terbengkalai. Dampak strategisnya akan panjang. Makanya, AS dan beberapa sekutunya di Asia Pasifik seperti Jepang, dan dalam beberapa hal juga India dan Bangladesh, punya concern supaya Myanmar tidak jatuh pada perang sipil. Itulah mengapa baik Tiongkok maupun AS punya kepentingan untuk menyelesaikan konflik ini walaupun kapasitas mereka terbatas. 

Sebenarnya agak lucu ketika Tiongkok dan AS akhirnya meminta ASEAN untuk menyelesaikan masalah. Padahal, ASEAN tidak pernah punya track record yang cukup bagus untuk memediasi isu yang terkait politik domestik. 


Coen Husain Pontoh

Dalam waktu [dekat] ini akan ada KKT ASEAN (wawancara ini dilakukan sebelum KTT ASEAN yang diselenggarakan di Jakarta pada Sabtu 24 April—red). Tampaknya ASEAN tidak punya track record yang bagus dalam menyelesaikan konflik di internal mereka sendiri, bahkan pemimpin militernya hadir di pertemuan itu (Min Aung Hlaing—red). Itu seperti memberikan justifikasi “Anda adalah bagian dari kami”, seperti yang sudah-sudah. 

Apa dampak kejadian di Myanmar ini buat ASEAN dan Indonesia dalam konteks konsolidasi demokrasi? Ketika kita memberikan solidaritas terhadap proses demokratisasi di Myanmar, kita mesti tahu bahwa ada juga konteks geopolitik yang melatari itu dan juga ada sikap pemerintahan ASEAN yang lunak. Kita mesti tahu sampai batas mana kita bersolidaritas dan sejauh mana efektivitasnya, tidak saja buat kawan-kawan di Myanmar, tapi juga buat kita sendiri dalam mengonsolidasikan proses demokrasi di dalam negeri yang sampai sekarang ini masih punya banyak potensi untuk goyang.


Ahmad Rizky Mardhatillah Umar

Dalam konteks solidaritas ke Myanmar, mesti kita tempatkan, pertama, bahwa apa yang dilakukan oleh pemimpin-pemimpin kudeta itu bertentangan dengan kehendak rakyat Myanmar. Kita tahu bahwa resistensi dari elemen-elemen masyarakat terhadap kudeta sangat kuat. Artinya, dalam banyak hal, kudeta ini sebenarnya tidak mempunyai basis legitimasi. Represi dan penindasan militer diarahkan bukan hanya terhadap aktivis pro-demokrasi di kota besar, tapi juga di kota-kota kecil. 

Di sini kita perlu mendorong solidaritas bahwa kita dan Myanmar sama-sama negara yang punya problem terhadap demokratisasi dan bahwa demokratisasi masih berada di bawah ancaman aparatus yang menginginkan kembalinya otoritarianisme. Dimensi solidaritas kita perlu ditempatkan dalam konteks ini. Kita juga punya banyak isu yang sudah kita dorong. Aksi menentang Omnibus Law, misalnya, atau kritik terhadap otoritarianisme. 

Dalam konteks diplomasi, yang dilakukan oleh negara-negara ASEAN untuk Myanmar ini sebetulnya muncuil atas undangan dari Jokowi (KTT ASEAN—red). Artinya Jokowi yang mengundang jenderal militer Myanmar. Kita perlu mengawal secara kritis apa yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia. Kita bisa mengkritisi sejauh mana Kemenlu dan Jokowi memberikan legitimasi untuk mengakui kudeta dalam konteks internasional. 

Saya terus terang belum paham apa yang diinginkan Jokowi dan menlu. Tapi kalau kita lihat, mereka mengundang delegasi Myanmar ke Sekretariat ASEAN di Jakarta—ibu kota diplomatiknya ASEAN. Ini sebetulnya peluang dan bahaya. Bahaya ketika kemudian kita mengundang junta ke Jakarta, berarti ASEAN secara de facto memberikan pengakuan. Ini yang harus kita lihat secara kritis. Jokowi dan menlu bisa melakukan diplomasi yang lebih kritis. Dulu, saya masih ingat tahun 2011, Pak Marty (Marty Natalegawa, Menlu Indonesia 2009-2014—red) sempat melakukan apa yang disebut dengan shuttle diplomacy ketika dia menengahi konflik antara Thailand dan Kamboja. Ini proses diplomasi yang panjang tapi juga dalam banyak hal berisiko. 

Yang bisa kita lakukan adalah mendorong solidaritas. Proses demokratisasi yang didorong oleh kawan-kawan di Myanmar, seberapa pun tidak sempurna, mesti kita bela. 


Coen Husain Pontoh

Terima kasih Bung Umar atas diskusi kita kali ini. 

Satu hal yang perlu kita garis bawahi adalah proses demokratisasi baik di Indonesia dan Myanmar ini punya banyak peluang untuk bisa terjatuh kembali ke dalam otoritarianisme, baik melalui kudeta langsung seperti yang terjadi di Myanmar maupun kudeta dalam bentuk yang lebih halus misalnya dengan memberikan ruang yang lebih besar kepada aparatus bersenjata untuk melakukan represi terhadap rakyat yang melawan kebijakan pemerintah yang dianggap merugikan kepentingannya. 

Sekali lagi terima kasih, semoga kita bertemu lagi di waktu dan topik yang berbeda. Tetap jaga kesehatan, Bung. Salam.***



]]>
‘Front Pembela Islam’ yang Sesungguhnya https://indoprogress.com/2021/01/front-pembela-islam-yang-sesungguhnya/ Fri, 08 Jan 2021 05:22:44 +0000 https://indoprogress.com/?p=232918 Ilustrasi: Illustruth


BELUM lama ganti tahun, Indonesia sudah ribut lagi. Pemerintah membubarkan Front Pembela Islam (FPI), organisasi yang selama beberapa tahun terakhir menjadi pion penting dari arus populisme Islam di Indonesia dan aktor kunci mobilisasi gerakan Islam setelah Reformasi 1998. Mereka tidak pernah—dan tidak berkeinginan—untuk jadi partai politik. Namun, kekuatan mereka diperlukan oleh siapapun rezim politik yang ingin bermain dalam pentas politik Indonesia. Mereka menjadi kekuatan pemukul yang efektif terhadap siapapun yang dianggap mengancam rezim, mulai dari kelompok yang dilabeli “liberal”, “komunis”, hingga kelompok-kelompok minoritas keagamaan.

Laporan Wikileaks menunjukkan bahwa FPI banyak menerima dana dari Polri, dan jejaring intelijen nasional, yang tentu tidak pernah diafirmasi secara resmi baik oleh penyandang dana maupun yang diberi dana.

Sejarah dan rekam jejak FPI bisa dibaca di berbagai laporan riset hingga Wikipedia, tapi ada satu hal menarik: mengapa mereka menggunakan istilah ‘front’, yang sebenarnya awal mulanya berakar dari gagasan gerakan komunisme dan kelompok kiri dalam melawan fasisme di awal abad ke-20?


Di tahun 1922, Tan Malaka berkesempatan pidato di hadapan sidang Komunis Internasional keempat di Moskow. Masa itu adalah masa-masa kejayaan pergerakan nasional—“zaman bergerak” menurut Takashi Shiraishi—dan tentu saja masa kejayaan tiga kekuatan penentang kolonialisme terbesar: Pan-Islamisme, Komunisme, dan Nasionalisme.

Tan hadir sebagai wakil Partai Komunis Hindia Belanda. Ia mengaku tiba di Moskow setelah menempuh perjalanan yang melelahkan selama 40 hari. Tidak mudah menempuh perjalanan masa itu. Mata-mata kolonial bertebaran di mana-mana, dan komunisme dianggap sebagai ancaman utama di mata imperialis Eropa, terutama setelah Revolusi 1917. Tan hadir dengan agenda yang berbeda dengan resolusi Komunisme Internasional yang kedua yang diajukan oleh Zinoviev dan Lenin. Dengan membawa konteks Hindia-Belanda, ia menyerukan sebuah ide tentang ‘front persatuan’ antara kekuatan komunis dengan kekuatan kelompok Pan-Islamis.

Pidato ini kemudian dikenal luas sebagai satu pikiran Tan yang khas. sebagaimana diulas dengan cukup baik oleh Oliver Crawford dalam disertasi Doktoralnya (2019). Tapi ada satu hal penting yang perlu dicatat dari pidato ini—Tan memulainya dengan diskusi yang penting terkait dengan “front”. Tentu front yang disini bukan front yang sama dengan FPI—kendati FPI mencomot istilah komunis itu untuk mengidentifikasi dirinya. Tapi penting untuk melihat bagaimana istilah ‘front’ ini bermula dalam debat-debat politik masa lampau.

Tan memulai pidatonya dengan mengkritik rekomendasi Komunisme Internasional kedua tentang ‘front persatuan’. Komunisme Internasional Kedua menggariskan pentingnya membentuk sebuah ‘front persatuan’ dengan kekuatan progresif lain untuk memperjuangkan hak-hak kelas pekerja dan terutama membendung kaum-kaum reaksioner yang kerap menjadi poin kekuatan imperialis. Gerakan Pan-Islamis, menurut kecenderungan elit Komunis dan Sosialis Eropa masa itu, adalah perwujudan wajah kaum reaksioner tersebut. Tapi menurut Tan,

Mungkin Jenderal Zinoviev tidak memikirkan mengenai sebuah front persatuan di Jawa; mungkin front persatuan kita adalah sesuatu yang berbeda. Tapi keputusan dari Kongres Komunis Internasional Kedua secara praktis berarti bahwa kita harus membentuk sebuah front persatuan dengan kubu nasionalisme revolusioner….  Namun taktik yang digunakan oleh kaum nasionalis seringkali berbeda dengan taktik kita; sebagai contoh, taktik pemboikotan dan perjuangan pembebasan kaum Muslim, Pan-Islamisme.

Front yang dimaksud dengan Tan adalah persatuan perjuangan antara gerakan Komunis dengan kekuatan lain dalam payung melawan imperialisme dan kolonialisme Barat. Di sini front perjuangan mesti dibikin secara strategis. Kekuatan imperialisme Barat begitu kokohnya menajamkan kuku dan cakarnya di negara jajahan mereka, dan mereka berhadapan dengan banyak ragam kekuatan antikolonial, seperti Komunis, Nasionalis, dan Pan-Islamis. Tentu mereka punya aspirasi dan ranah gerak yang berbeda.

Tapi, Tan melihat bahwa dalam banyak hal Pan-Islamisme di Hindia Belanda dulu punya sisi progresif yang bisa bersinggungan dengan sisi progresif Komunisme. Menurut Tan kemudian,

“Saat ini, Pan-Islamisme berarti perjuangan untuk pembebasan nasional, karena bagi kaum Muslim Islam adalah segalanya: tidak hanya agama, tetapi juga Negara, ekonomi, makanan, dan segalanya. Dengan demikian Pan-Islamisme saat ini berarti persaudaraan antar sesama Muslim, dan perjuangan kemerdakaan bukan hanya untuk Arab tetapi juga India, Jawa dan semua Muslim yang tertindas. Persaudaraan ini berarti perjuangan kemerdekaan praktis bukan hanya melawan kapitalisme Belanda, tapi juga kapitalisme Inggris, Perancis dan Itali, oleh karena itu melawan kapitalisme secara keseluruhan. Itulah arti Pan-Islamisme saat ini di Indonesia di antara rakyat kolonial yang tertindas, menurut propaganda rahasia mereka – perjuangan melawan semua kekuasaan imperialis di dunia.”

Gerakan Pan-Islamisme ini tentu saja perlu dipahami sebagai bentuk Islamisme anti-kolonial di awal abad ke-20. Dalam banyak hal, gerakan-gerakan Islamis menjadi sangat berubah terutama setelah kemerdekaan dan Perang Dingin (ketika kelompok Islamis berhadap-hadapan dengan gerakan-gerakan kiri). Tapi ide tentang ‘front perjuangan’ di Indonesia sebetulnya adalah sebuah ide tentang persatuan perjuangan gerakan Islam dan kiri untuk melawan kolonialisme Belanda.

Persatuan ini dimungkinkan ketika umat Islam menjadi korban dari penjajahan Belanda. Ketika kyai-kyai progresif dimata-matai dan mereka yang kembali dari ibadah haji disangka sebagai orang-orang berbahaya di mata administrasi kolonial Belanda.

Di titik inilah sebetulnya kita bisa memahami makna ‘front’: persatuan perjuangan dari kelompok-kelompok yang punya visi utama sama. Zaman dulu, front dibentuk untuk memfasilitasi kelompok-kelompok progresif yang saling bekerjasama untuk mengusir penjajah.


Ide tentang ‘front persatuan’ menjadi lebih populer ketika di tahun 1930an. Sukarno, tokoh nasionalis kenamaan Indonesia, menggagas perlunya persatuan tiga ideologi besar: Nasionalisme, Islamisme, dan Marxisme. Tiga ideologi ini, bagi Bung Karno, adalah Spirit of Asia, kekuatan pendorong kemerdekaan Indonesia. Ketiganya tidak terpisahkan dalam imajinasi antikolonial Indonesia masa itu.

Ide tentang front tiga ideologi ini berakar dari satu hal yang penting dalam perjuangan melawan kolonialisme, yaitu soal rezeki. Orang-orang Eropa datang ke nusantara sebagai ikhtiar untuk mencari penghidupan dan dagang. Dari sana, muncullah eksploitasi dan kehendak berkuasa yang lebih luas. Sebagaimana diungkap oleh Bung Karno,

“Yang pertama-tama menyebabkan kolonisasi ialah hampir selamanya kekurangan bekal-hidup dalam tanah-airnya sendiri, begitulah Dietrich Schaefer berkata. Kekurangan rezeki, itulah yang menjadi sebab rakyat-rakyat Eropah mencari rezeki di negeri lain…. Begitulah tragisnya riwayat negeri-negeri jajahan! Dan keinsyafan atas tragedy inilah yang menyadarkan rakyat-rakyat jajahan itu…yang walaupun dalam maksudnya sama, ada mempunyai tiga sifat: Nasionalistik, Islamistik, dan Marxistis-lah adanya.”

Di sini, Bung Karno melihat bahwa ketiga ideologi tersebut—Nasionalisme, Islamisme, dan Marxisme, dipersatukan oleh kenyataan bahwa rakyat Indonesia terjajah. Keterjajahan ini bukan semata karena pendudukan politik, melainkan juga karena pendudukan ekonomi, yang disebut oleh Bung Karno sebagai masalah ‘kekurangan rezeki’. Dari pendudukan ekonomi, hasrat untuk berkuasa dan menguasai menjadi semakin kuat. Inilah dasar dari pentingnya ‘front persatuan’ –antara kekuatan nasionalis, Islamis, dan komunis, untuk melawan hasrat menjajah dari negara-negara Eropa.

Di sini, bagi Bung Karno, persatuan dari nasionalisme, Islamisme, dan komunisme hanya dimungkinkan oleh perasaan marah atas ketertindasan dan eksploitasi ekonomi dari semua kelompok tertindas, tak peduli basis ideologinya. Di sini Bung Karno menggariskan apa yang ia sebut sebagai nasionalisme sejati, yaitu,

Nasionalis yang sejati, yang cintanya pada tanah air itu bersendi pada pengetahuan atas susunan ekonomi-dunia yang riwayat, dan bukan semata-mata timbul dari kesombngan bangsa belaka …”

Dan tentu saja nasionalisme ini bukan nasionalisme yang bicara “anti-asing” dan “anti-aseng”, tetapi memuluskan investasi asing yang memeras kaum pekerja dengan dalih ‘Cipta Kerja’.

Dari konsepsi tentang nasionalisme inilah Bung Karno kemudian bicara tentang Islam. Sejak akhir abad ke-19, Pan-Islamisme muncul sebagai kekuatan besar yang “membangunkan rasa-perlawanan di hati rakyat-rakyat Muslim terhadap bahaya imperialisme Barat”. Di sini Bung Karno menyebut dua tokoh Pan-Islamis terkemuka masa itu: Syekh Muhammad ‘Abduh beserta gurunya, Sayyid Jamaluddin Al-Afghani. Keduanya memang punya semangat memodernisasi umat Islam untuk menentang penjajahan Barat masa itu. Dan banyak pemimpin umat Islam yang terinspirasi dari Abduh dan Al-Afghani: salah satunya, KH Ahmad Dahlan, pemimpin Persyarikatan Muhammadiyah.

Semangat inilah yang, menurut Bung Karno, sejalan dengan cita-cita kaum nasionalis dan Marxisme di masa itu.


Lantas, dari sini, kita mungkin perlu bertanya, kalau menggunakan pengertian yang demikian, apakah yang disebut sebagai ‘front pembela Islam’?

Jika kita memahami ‘front’ sebagai persatuan perjuangan antara elemen-elemen progresif, dimana umat Islam adalah salah satu bagian penting di dalamnya, maka front pembela Islam sesungguhnya adalah mereka yang membela kepentingan umat yang paling penting, yaitu hak-hak untuk hidup dan memperoleh rezeki secara adil. Hak-hak ini secara tidak sadar terampas dari umat Islam hari ini.

Banyak kelompok yang kemudian mengklaim diri sebagai ‘pembela’ kepentingan umat ini. Tapi berapa banyak mereka yang tidak ‘salah fokus’ atau malah offside menyalahkan etnis atau agama lain, dan bukannya menentang orang-orang kaya yang gemar memupuk modal dengan cara mengeksploitasi orang lain? Seberapa banyak yang tidak ‘sektarian’ dalam membela Islam serta terbuka pada arus progresif lain yang juga berpikir sehaluan?

Di sinilah ‘front pembela Islam’ jadi penting untuk dimaknai secara berbeda. Front pembela Islam adalah gabungan dari kekuatan progresif yang hari ini berjuang untuk mempertahankan kehidupan masing-masing, dari penghisapan dan eksploitasi. Front pembela Islam adalah mereka yang berjuang menolak liberalisasi pendidikan dan uang kuliah mahal, apapun latar belakang gerakannya. Front pembela Islam adalah kelompok rakyat-bantu-rakyat yang terhimpit dampak pandemi COVID-19. Front pembela Islam adalah front perlawanan terhadap kapitalisme pertambangan yang semakin ekspansif dan mengancam masyarakat adat.

Dan karena itu, mereka yang hobi mempermainkan ayat sebagai dalih politik identitas, atau sekadar tampil dengan simbol agama hanya ketika ada elit politik yang membayar, sesungguhnya tidak pantas mendaku sebagai pembela Islam. Kita perlu front pembela Islam yang sesungguhnya: membela umat yang harus membayar mahal untuk pengobatan COVID-19, mereka yang tidak bisa mengakses dan membeli vaksin, atau mereka yang kehilangan pekerjaan akibat pandemi. Membela mereka adalah membela Islam, dan kita perlu front yang lebih kuat untuk melakukan pembelaan itu di masa depan.***

Nashrun Minallah wa Fathun Qariib.


Ahmad Rizky Mardhatillah Umar adalah mahasiswa PhD di The University of Queensland – UQ, Australia

]]>
Jalan Mentok Gerakan Islam https://indoprogress.com/2020/11/jalan-mentok-gerakan-islam/ Fri, 20 Nov 2020 05:43:41 +0000 https://indoprogress.com/?p=232794 Ilustrasi: Illustruth


PADA 19 Desember 2014 lalu, Indoprogress mempublikasikan perbincangan antara saya dan Indoprogress dalam tulisan berjudul Tarbiyah yang Dikembangkan oleh PKS sudah Mentok. Sebetulnya itu hanya obrolan santai di warung burjo, yang isinya berpusat pada Forum Diskusi KAMMI Kultural dan aktivisme Jamaah Shalahudin tahun 1990an. Tak disangka, tulisan itu direspons berlebihan dan heboh oleh banyak kalangan. Senior-senior di gerakan mahasiswa tiba-tiba ribut; seorang ‘ustaz’ yang tidak saya kenal menuduh kami “kemasukan paham komunis”; dan orang lain yang juga tidak dikenal menulis panjang di blognya bahwa yang dibawa oleh KAMMI Kultural adalah “wacara absurd.”

Kini enam tahun telah berlalu. Politik nasional menjadi seperti roller coaster—meliuk tapi tak tajam. Dalam beberapa tahun terakhir, partai politik Islam tidak lagi jadi aktor utama dalam pentas politik nasional. Peta politik Islam bergerak, sebagaimana dibilang oleh peneliti, ke “balikan konservatif.” Tokoh-tokoh seperti Rizieq Shihab, Novel Bamukmin dan sejenisnya menjadi penggerak demonstrasi dan mobilisasi politik menggantikan ketua-ketua partai yang kini terjebak dalam politik tenda besar yang dibawa oleh rezim politik.

Selain itu, yang lebih menakjubkan adalah partai-partai politik Islam kini tengah dilanda kegembiraan dengan lahirnya ‘adik-adik kandung’ baru. Partai Keadilan Sejahtera (PKS), yang selama satu dekade terakhir mendominasi politik nasional, resmi punya ‘adik’ bernama Partai Gelora, didirikan oleh mantan presidennya, Anis Matta. Partai Amanat Nasional (PAN) menyusul punya ‘adik’ setahun kemudian, didirikan oleh Amien Rais, dengan nama Partai Ummat. Sementara Partai Bulan Bintang (PBB) sepertinya tinggal tunggu waktu menyusul dua partai lain dalam bentuk Partai Masyumi (baru).

“Jalan mentok” yang kami diskusikan enam tahun lalu sepertinya tidak sepenuhnya ‘mentok’ karena ternyata tarbiyah dan gerakan-gerakan politik Islam punya masa depannya sendiri-sendiri di tahun pandemi ini.

***

Perbincangan kami bertiga bertahun-tahun yang lalu itu berkisar pada tarbiyah—gerakan anak-anak muda yang tampil di masa reformasi 1998. Saya dan Tia Pamungkas pernah menjadi bagian dari gerakan itu di dua masa yang berbeda. Awal-awal 1998, tarbiyah tampil dengan nafas baru gerakan politik Islam. Pada masa itu, sebagaimana kata Tia, adalah “masa-masa yang politis.” Soeharto tampak tak lagi bakal bertahan lama dan semua elite politik mengonsolidasikan diri. NU berkonsolidasi di Gus Dur; Muhammadiyah di bawah Amien Rais; Dewan Dakwah Islam Indonesia (DDII) menyusun tenaga bawah dua pemimpin muda mereka, Yusril Ihza Mahendra dan Ahmad Soemargono.

Pun demikian dengan tarbiyah, gerakan yang telah muncul sejak 1980an, terinspirasi (atau memang terpengaruh) oleh gagasan-gagasan politik Ikhwanul Muslimin dari Mesir. Muhammad Najib dan Andi Rahmat, dua juru bicara gerakan ini di masa pendirian, menyebut kemunculan Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI)–representasi organisasi dari tarbiyah—sebagai “gerakan perlawanan dari masjid kampus.” Pernyataan ini sekaligus menunjukkan basis sosial perkaderan generasi mereka: kampus-kampus negeri.

Quinton Temby menyebut gerakan ini dibawa oleh almarhum ustaz Hilmi Aminuddin, aktivis yang di medio 1970an menempuh pendidikan di Timur Tengah.

Ikhwanul Muslimin pada pada masa itu tengah bangkit kembali setelah 15 tahun direpresi oleh rezim nasionalis Gamal Abdel Nasser yang meninggal tahun 1970. Ia digantikan oleh Anwar Sadat, perwira militer moderat. Ia membebaskan pemimpin-pemimpin Ikhwan dari penjara dan memberikan konsesi pada mereka: silakan kembali ke masyarakat, tapi tidak boleh berpolitik. Pemimpin baru Ikhwan saat itu, Syaikh Umar At-Tilmisani, lantas mengorientasikan ulang gerakan Ikhwan. Dibantu oleh Abbas as-Sisi, pendakwah keagamaan terkemuka, Tilmisani merekrut banyak aktivis mahasiswa, profesional, bisnis, hingga anak-anak muda Mesir untuk bergabung dengan Ikhwan.

Tilmisani juga membangun jejaring global. Di Eropa, perkembangan Ikhwan di antaranya dipimpin oleh Said Ramadan, menantu Hasan Al-Banna yang tidak lain merupakan pendiri Ikhwan, yang eksil di Swiss. Anaknya, Tariq, menjadi intelektual Muslim Eropa kenamaan di kemudian hari. Salah satu Ikhwan, Muhammad Qutb, diterima oleh Raja Faisal di Arab Saudi, dan beberapa yang lain seperti Yusuf Al-Qaradhawi pindah ke Qatar.

Corak Ikhwan era Tilmisani berbeda dengan masa sebelumnya. Pada masa Hasan Al-Banna, Ikhwan cukup kental dengan nuansa ‘Pan-Islamisme’ dan nostalgia akan Khilafah. Sementara di bawah Tilmisani, Ikhwan menjadi gerakan sosial yang efektif. Mereka membangun serikat pengacara dan serikat profesional di Mesir (di antaranya Issam al-Erian dan Abdul Mun’im Abul Futuh). Beberapa kemudian menjadi pebisnis (seperti Khairat AL-Shater) atau akademisi (seperti almarhum Mohammad Morsy). Di luar negeri, jejaring masjid berdiri dengan bantuan dana dari pengusaha-pengusaha Muslim.

Dari sinilah pertemuan antara generasi baru Ikhwan dengan aktivis-aktivis muslim Indonesia bermula.

Di medio 1980an-1990an, gerakan tarbiyah melakukan apa yang disebut Antonio Gramsci sebagai ‘revolusi pasif’—membangun basis sosial dan menantang dua gerakan Islam lain yang sudah mapan, NU dan Muhammadiyah. Secara politik, mereka dekat dengan DDII yang berakar dari sesepuh-sesepuh Masyumi. Kelak, beberapa aktivis DDII dan eksponen Masyumi lama memilih mendirikan PBB, yang membuat beberapa aktivis tarbiyah gamang.

Tahun 1998: momentum datang. Ketidakpuasan terhadap Soeharto mengemuka dan semua gerakan berkonsolidasi. Gerakan-gerakan kiri yang memang sudah lebih dulu dihajar rezim bertumpu di bawah Partai Rakyat Demokratik (PRD) dan organ-organ progresif lain. Amien Rais dan Gus Dur tampil sebagai dua figur oposisi di bawah Muhammadiyah dan NU, sementara kelompok Marhaenis kian solid di bawah kepemimpinan Megawati Sukarnoputri. Sementara aktivis-aktivis tarbiyah, melalui Forum Silaturrahmi Lembaga Dakwah Kampus, mendirikan KAMMI pada akhir Maret 1998 di Malang dengan dua pemimpin utama: Fahri Hamzah dan Haryo Setyoko.

Mei 1998, ketika Soeharto jatuh, semua gerakan itu berlomba-lomba mendeklarasikan kendaraan politik mereka. Amien Rais mendirikan PAN, Gus Dur membuat PKB, Megawati mendeklarasikan PDIP, dan Yusril membangun PBB. Sementara aktivis tarbiyah maju ke gelanggang dengan mendirikan partai sendiri: PKS. Semua gerakan itu bertransformasi menjadi gerakan politik elektoral dengan pilihan politiknya sendiri-sendiri.

********

22 tahun sudah berlalu. Partai politik adalah partai politik dengan segala kompleksitasnya. PKS lantas masuk ke pemerintahan bersama Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)—mantan jenderal tentara, presiden dua periode sejak 2004, yang memang akomodatif terhadap kelompok Islam. Selama pemerintahan SBY, partai politik Islam—termasuk PAN dan PKB—menyemai padi. Di PKS sendiri situasi ini memunculkan dinamika internal. Sayup-sayup terdengar kabar persaingan dua kelompok besar, antara ‘faksi keadilan’ dan ‘faksi kesejahteraan’. Tentu kabar itu tidak boleh beredar di halaqah-halaqah pengajian kader. Semuanya diharuskan untuk tsiqah (percaya) terhadap keputusan elite-elite jamaah.

Pada titik inilah muncul beberapa otokritik yang konon tidak begitu populer di masa itu tapi sebenarnya sederhana: gerakan mahasiswa melupakan basis sosial mereka di masyarakat, luput terhadap problem-problem nyata yang dihadapi oleh umat Islam, dan melupakan pijakan nalar intelektual kritis. Mereka hanya akan menghadapi jalan mentok, digilas oleh nalar politik yang menghisap, dan kehilangan daya kritisnya terhadap kekuasaan. Akibatnya adalah gerakan-gerakan Islam dan partai politik sekadar menjadi kendaraan para pemodal, dimobilisasi oleh elite tertentu, untuk kepentingan yang jauh dari semangat memperjuangkan hak-hak dan kehidupan ekonomi umat Islam di level yang terbawah.

Kritisisme ini pernah kami lontarkan di forum diskusi KAMMI Kultural. Menariknya, pada waktu itu, kami malah dianggap seperti ‘benalu’ di tubuh jamaah dakwah.

Tapi toh waktu juga yang memberikan jawaban. Tak sampai lima tahun berselang, jamaah dakwah pecah. Sebagian tetap bersama dengan ‘jamaah’, dan sebagian lagi—dipimpin mantan presidennya—membentuk jamaah dakwah baru yang (konon kabarnya) ingin lebih ‘progresif’ dari pendahulunya. Tapi setelah setahun berselang, tidak ada yang progresif dari partai baru itu. Orang-orangnya tetap orang-orang yang dulunya, 20 tahun lalu, dianggap sebagai anak muda. Tidak ada pula tawaran kebijakan progresif untuk memperbaiki keadaan umat Islam.

Akhirnya gerakan-gerakan ini menghadapi kutukan sebagai ‘kendaraan politik’ jangka pendek yang habis manis sepah dibuang kekuasaan. Orde Baru awalnya sangat mendukung NU, tapi justru meminggirkannya tahun 1980an. Begitu juga dengan Muhammadiyah dan organisasi lain.

Pengalaman Orde Baru seperti terulang di Pemilu 2014 dan dampaknya terasa hingga sekarang. Polarisasi identitas diembuskan tidak hanya di grup-grup Whatsapp dan Twitter, tetapi juga (sayangnya) dikhotbahkan di mimbar-mimbar Jumat. Nostalgia dengan masa tahun 1955, ketika partai Islam terkonsolidasi di bawah Masyumi, NU dan PSII, menghampiri. Ini tentu tidak salah. Tapi, ketika itu diembuskan bersamaan dengan aspirasi kebencian terhadap identitas, atau dengan mendatangkan kembali ‘hantu’ yang sudah lama meninggal dunia, yang ada justru mobilisasi tanpa tujuan yang produktif.

Apa yang kemudian terjadi adalah gairah-gairah politik ‘atas nama’ umat Islam kian menguat tapi tidak dengan kebijakan yang partai-partai tersebut bawa di parlemen. UU yang melindungi muslimah dari kekerasan seksual tak juga disahkan, sementara peraturan yang melegalkan penindasan terhadap pekerja muslim dan muslimah melenggang kangkung. Alih-alih menperjuangkan perbaikan nasib umat Islam yang terhimpit oleh rezim upah murah, kehilangan tanah yang dicaplok oleh pengusaha tambang dan sawit, dan hak-hak bekerja yang dirampas, partai politik Islam malah menyuarakan hal-hal yang tidak penting. Mereka juga mengalihkan isu omnibus law dan korupsi ke moralitas dan kebencian terhadap identitas tertentu. Sudah itu, punya kebiasaan berpecah belah pula.

‘Ala kulli hal, mungkin partai dan gerakan Islam, sejak tahun 2014, memang sudah menemui jalan mentok. Partai dan gerakan Islam yang kian berjarak ini menjadikan mereka kian tidak relevan, kecuali sebagai tukang stempel oligarki yang tidak peduli dengan nasib umat.

Untuk itulah jalan mentok ini perlu ditinggalkan dengan jalan lain yang lebih terang benderang: jalan sosialisme yang berpihak pada umat Islam—yang jumlahnya banyak itu. Bukan jalan oligarki elite yang hobi memperkaya diri sendiri tanpa peduli pada nasib orang lain.

Ihdinash shirathal Mustaqiim.***


Ahmad Rizky Mardhatillah Umar adalah mahasiswa PhD di The University of Queensland – UQ, Australia

]]>
Belajar HI Bukan Cuma Buat Jadi Diplomat: 9 Teman Belajar untuk Mahasiswa Indonesia https://indoprogress.com/2020/11/belajar-hi-bukan-cuma-buat-jadi-diplomat-9-teman-belajar-untuk-mahasiswa-indonesia/ Mon, 16 Nov 2020 03:50:21 +0000 https://indoprogress.com/?p=232757 Ilustrasi: Deadnauval


KAMU seorang mahasiswa jurusan hubungan internasional (HI) yang tak terlalu tertarik menjadi diplomat? Apakah dirimu berkuliah di jurusan HI namun lebih tertarik ke hal-hal di luar urusan studi HI? Ataukah dirimu berkuliah di jurusan HI, namun lebih senang membaca literatur humaniora lainnya—seperti sastra, sejarah, hingga filsafat—yang bikin rentan ditanya oleh orang tua: “memangnya itu bacaan mahasiswa HI, ya?”

Tenang, kamu tidak sendiri.

Saya ingat, saat masih menjadi mahasiswa baru HI bertahun-tahun lalu, salah seorang dosen—yang kini telah menjadi politikus kondang—melontarkan satu pertanyaan yang pasti dan kudu didengar oleh kami mahasiswa anyar: “siapa yang ingin menjadi diplomat?”. Hampir separuh isi kelas mengacungkan tangan. Namun, belakangan realitasnya jauh dari itu.

Setelah kami lulus, semuanya berubah. Ternyata yang berminat terus masuk korps diplomatik Pejambon—sebutan tenar lokasi Kementerian Luar Negeri yang berada di Jalan Pejambon, Jakarta Pusat—cuma sedikit. Bayangkan, dari hampir setengah isi kelas tadi, yang berhasil masuk diplomat itu tadi hanya tiga orang. Sisanya? Tersebar di perusahaan multi-nasional, start-up, organisasi masyarakat sipil, lembaga-lembaga internasional, atau yang “apes“, jadi peneliti kacangan—ya, seperti saya ini.

Saya pikir fenomena seperti itu terjadi di banyak kampus. Entah itu kampus yang diklaim terbagus se-Pulau Jawa—yang sebenarnya biasa-biasa saja—maupun kampus-kampus kecil lainnya di setiap pelosok Indonesia. Apalagi ditambah adanya fakta bahwa: makin banyak jurusan HI dibuka, namun Pejambon tak kunjung merekrut pegawai baru. Alhasil, yang diterima menjadi diplomat semakin sedikit ketika lulusan HI melimpah tiap tahunnya.

Masalahnya, di benak para mahasiswa baru HI sudah tertancap impian bahwa menjadi diplomat adalah cita-cita sejak lulus SMA, dan salah satu jalannya adalah dengan menjadi mahasiswa HI. Saat masih berstatus mahasiswa baru, yang sering saya ikuti adalah kegiatan pelatihan semacam table manner yang lengkap dengan simulasi diplomasi persidangan PBB—dan itu cukup membuat kantong mahasiswa kering. Ada juga komunitas yang isinya mengajarkan simulasi persidangan itu, bahkan sampai ke luar negeri.

Namun, semakin kita bergelut dengan skripsi, lalu lulus, dan bekerja, bayangan itu tidak seindah cerita-cerita semasa semester pertama. Kita harus berhadapan dengan dunia yang kian berubah—dengan fakta pahit bahwa lulusan sarjana adalah buruh, yang tidak semuanya punya perlindungan hukum dan finansial. Semua itu ditambah beban kerja yang makin melimpah setelah adanya Omnibus Law berlaku.

Untuk itu, semakin relevan dan penting bahwa stigma “lulusan HI adalah calon-calon diplomat” layak digugat. Padahal, belajar studi HI bukan hanya untuk dapat ijazah keren, lalu kemudian bersaing di pasar tenaga kerja dan mendapatkan pekerjaan mentereng. Mempelajari studi HI adalah belajar tentang kontestasi ragam kekuatan politik yang selalu bertarung untuk mendefinisikan realitas politik internasional hari ini. Pun, sebagian dari realitas itu juga menentukan apa yang kita alami di Indonesia hari ini.

Lho, kok jadi mumet?

Oleh karena itu untuk menghindari kebingungan, saya akan merekomendasikan beberapa buku bagus, yang mungkin bisa jadi referensi alternatif para mahasiswa agar diskursus HI menjadi lebih segar dan kritis, dan tentu saja, sesuai dengan realitas Indonesia hari ini. Mengapa itu semua penting? Agar mahasiswa HI tidak dituding belajar sesuatu yang mengawang-awang nan abstrak, alias tidak bisa diraba karena hanya jadi urusan elite semata.

Di dalam daftar bacaaan  ini, ada tujuh buku—plus satu bonus—yang saya rekomendasikan sebagai alternatif teman belajar HI di Indonesia, yang ditulis oleh akademisi asal Indonesia. Mudah-mudah, ini bisa membangun cara berpikir baru tentang studi HI hari ini.


1. Konferensi Asia-Afrika 1955: Asal Usul Intelektual dan Warisannya bagi Gerakan Global Antiimperialisme (Wildan Sena Utama, 2017)



Jika ada satu warisan terbesar Indonesia dalam studi hubungan internasional kontemporer, mungkin Konferensi Bandung tahun 1955 patut menjadi kandidat paling kuat. Diselenggarakan atas sponsor lima negara—yang disebut oleh Cindy Ewing sebagai “Colombo Powers”, yaitu Indonesia, India, Pakistan, Burma, dan Sri Lanka—Konferensi Bandung menjadi satu trademark dari proses ‘dekolonisasi global’.

Buku Wildan Sena Utama menceritakan dengan apik sejarah Konferensi Bandung itu—yang bukan hanya pelaksanaannya, namun juga asal-usul intelektualnya dan warisannya bagi politik internasional hari ini. Sekarang, Konferensi Bandung mungkin hanya menjadi ritual seremonial yang dirayakan setiap tahun atas nama “Kerjasama Selatan-Selatan”. Namun, seperti pernah saya tulis di artikel lain, ratusan negara di seantero Asia dan Afrika berterima kasih pada Indonesia karena Konferensi Bandung membantu mendorong proses ‘dekolonisasi’, sebagai Resolusi Majelis Umum PBB bulan September 1960, yang jadi momen kemerdekaan banyak negara dari kolonialisme Eropa.

Buku ini awalnya ditulis untuk tesis di Leiden University di bawah bimbingan Thomas Lindblad. Konferensi Asia-Afrika 1955 menunjukkan bagaimana proses dekolonisasi tersebut bermula di Bandung dan beberapa konferensi pendahuluan di Kolombo, Bogor, Delhi, hingga Brussels.

Satu pertanyaan yang unik: kenapa penulisnya seorang sejarawan, bukan sarjana HI? Bukankah akan makin banyak orang bertanya “di mana letak HI-nya”? Jangan khawatir, ternyata selain Wildan, ada banyak akademisi studi hubungan internasional dari banyak negara yang juga pernah menulis tentang Konferensi Bandung. Beberapa bisa disebut, seperti Robbie Shilliam dan Quynh Pham, Vijay Prashad, Adom Getachew, hingga Amitav Acharya dan See Seng Tan.

Karya Wildan melengkapi karya-karya mereka dengan perspektif sejarah yang khas, dan tentu saja ditulis dalam bahasa Indonesia. Cocok buat yang ingin belajar HI dengan perspektif sejarah yang kaya.


2. Trilogi Ekonomi-Politik Internasional: Ekonomi Politik-Internasional dan Pembangunan (Mohtar Mas’oed, 1994); 3. Politik, Birokrasi, dan Pembangunan (Mohtar Mas’oed, 1994); dan 4. Negara, Kapital, dan Demokrasi (Mohtar Mas’oed, 1994)



Professor Mohtar Mas’oed sering disebut-sebut sebagai salah satu peletak dasar studi hubungan internasional di Indonesia melalui dua karya klasiknya: satu kitab babon tentang disiplin hubungan internasional, dan terjemahan disertasi doktoral beliau tentang ekonomi dan struktur politik Orde Baru.

Namun, menurut saya, karya beliau yang tak kalah bagus adalah trilogi tentang ‘ekonomi-politik internasional’. Karya pertama mengulas perspektif ekonomi politik tentang pembangunan, yang kedua tentang birokrasi dan politik, dan yang ketiga meletakkan dasar teori tentang negara dan demokrasi—yang juga masih memakai perspektif ekonomi politik yang kental. Ketiga buku tipis ini terdiri dari kumpulan esai yang diterbitkan oleh salah satu penerbit di Yogyakarta yang legendaris bagi para mahasiswa karena harga yang terjangkau: Pustaka Pelajar.

Memang, ketiga buku ini hanya kumpulan esai dan mungkin tidak sekomprehensif buku babon yang saya sebut di atas. Namun, di dalam tiga buku Mohtar ini, ia berusaha membangun cara berpikir ekonomi politik yang kritis-strukturalis untuk memahami diskursus politik internasional. Tiga buku ini berangkat dari disertasinya yang membahas perspektif ekonomi politik guna memahami fondasi struktur politik Orde Baru, yang akhirnya ia perluas spektrum kajiannya untuk ragam isu lain.

Ada banyak karya ekonomi politik internasional di kemudian hari, yang ditulis oleh murid-murid dan koleganya. Salah satunya adalah buku Muhadi Sugiono, Kritik Antonio Gramsci terhadap Pembangunan di Dunia Ketiga, yang banyak memperkenalkan mahasiswa—saya salah satunya—Antonio Gramsci dan teori-teori sosialisme kontemporer. Saya pernah menulis ulasan bukunya bertahun-tahun lalu di sini. Perspektif strukturalisme yang digunakan Mohtar membikin kita kenal dengan realitas ekonomi politik internasional hari ini, yang jauh lebih kompleks dari sekadar pertarungan diplomat di meja-meja perundingan.

5. Politik Pembebasan: Teori-Teori Negara Pascakolonial (Vedi Hadiz, 1999)



Vedi Renandi Hadiz dikenal luas di kalangan mahasiswa asal Indonesia di Australia, sebagai ‘guru’ kajian Indonesia di Melbourne. Kajiannya bertebaran dalam bahasa Inggris, dari politik perburuhan di Indonesia hingga populisme Islam. Konon, ia cukup disegani di komunitas studi mengenai Indonesia di Australia. Tapi, menurut saya, salah satu karya klasik beliau yang cukup orisinil, menarik, dan mudah diakses oleh mahasiswa berkantong receh seperti saya dulu adalah buku tipisnya tentang “teori negara pascakolonial”.

Buku ini adalah hasil dari skripsinya di Universitas Indonesia di bawah bimbingan Alm. Farchan Bulkin di akhir tahun 1980-an, yang akhirnya diterbitkan oleh INSIST dan Pustaka Pelajar. Lewat buku ini, Vedi berargumen bahwa teori-teori negara pascakolonial, yang dibawa baik oleh teori-teori dependensi maupun perspektif Marxis klasik, gagal menjelaskan banyak fenomena ekonomi politik di banyak negara berkembang. Pasalnya, perspektif mereka cenderung untuk melihat kapitalisme sebagai sesuatu yang berkembang secara global dan gagal menjelaskan variasi dan dinamika struktur ekonomi politik domestik.

Di dalam karyanya ini, ia mengajukan perspektif ‘produksionis’ yang waktu itu baru saja diajukan oleh Richard Robison dan beberapa murid beliau di Murdoch University. Kelak, Vedi melanjutkan studi doktoralnya di  bawah bimbingan Robison dan menjadi salah satu intelektual mazhab Murdoch paling terkemuka di eranya.

Menurut saya, buku ini menarik bukan hanya karena argumen teoretisnya, tapi kemampuannya mengkritik beberapa tendensi teoretis di kajian Marxisme masa itu, dan menunjukkan satu perspektif alternatif. Ini sesuatu yang langka untuk sebuah skripsi seorang sarjana. Bahkan seringkali saya menemukan kolega mahasiswa doktoral Indonesia di luar negeri kesulitan mengkaji aspek ini. Kalau ada yang sedang ingin menulis skripsi, buku ini layak jadi salah satu acuan mahasiswa.

6. Value Chain: A New Economic Imperialism (Intan Suwandi, 2019)



Beberapa waktu lalu, Ingrid Kvangraven menulis satu artikel tentang pentingnya membangkitkan kembali teori dependensi dalam studi ekonomi politik internasional. Salah satu karya baru yang dirujuk oleh Ingrid adalah buku terbaru Intan Suwandi tentang ‘rantai nilai global’. Buku ini lahir dari disertasi doktoralnyadi University of Oregon, yang beliau selesaikan di bawah bimbingan John Bellamy Foster.

Argumen Intan kira-kira seperti ini: kapitalisme global hari ini beroperasi melalui ‘rantai nilai’, yang hari ini bekerja melalui outsourcing dan rezim upah murah untuk memproduksi barang-barang mahal bermerk di negara-negara maju. Skema rantai nilai global ini menjadikan negara-negara yang tak punya industri—salah satunya Indonesia—sebagai bagian erat dari rantai produksi global, yang menyediakan tenaga kerja berupah murah yang siap dieksploitasi atas nama produktivitas.

Kedengaran familiar dengan keadaan hari ini, bukan?

Di pengantar bukunya, Intan menulis bahwa kajiannya ini terinspirasi dari pengalaman masa kecilnya di Indonesia. Ketika ada bangunan-bangunan besar milik orang kaya yang bersanding dengan gubuk-gubuk reot adalah bagian dari realitas normal masa itu. Anak-anak yang terlahir kaya memiliki sepatu bermerk Nike dan Adidas mahal, kebingungan tentang nasib Indonesia sebagai “dunia ketiga”, dan para pekerja serabutan yang bangun pagi sekadar untuk mencari nafkah.

Menurut Intan, realitas semacam ini justru menimbulkan pertanyaan: apa yang jadi akar masalahnya secara global? Jawaban yang ditemukan Intan: dari satu untaian rantai yang terhubung secara global—dari pekerja di pabrik, manajer-manajer perusahaan di Jakarta, konsultan manajemen di berbagai kota besar, hingga eksekutif di negara-negara maju. Jawaban ini melahirkan kesimpulan bahwa praktik produksi semacam ini adalah bagian dari imperialisme global baru.

Buku ini mendapatkan penghargaan Paul Baran-Paul Sweezy Award sebagai buku terbaik kajian sosiologi ekonomi di Amerika Serikat—diberikan oleh American Sociological Association. Sebagian isinya bisa diakses di sini.

Kendati demikian, buku ini tetap bagus untuk menambah referensi kita tentang ekonomi politik internasional hari ini—terutama karena realitas yang diangkat juga tidak jauh dari sekitar kehidupan Indonesia. Bagi rekan-rekan mahasiswa Indonesia di luar negeri (apalagi yang sekolah dengan beasiswa), buku ini mungkin bisa jadi referensi bagus untuk dibeli.


7. Competitive Pressure and Labour Rights (Hariati Sinaga, 2020)



Dikenal di Twitter sebagai @buruhsiluman, Hariati Sinaga punya kajian yang cukup segar dan baru tentang model produksi global yang baru berkembang dalam satu dasawarsa terakhir yang didorong oleh liberalisasi perdagangan. Kajiannya cukup spesifik: tentang hak-hak buruh. Lagi-lagi, mungkin orang akan bertanya: ini HI-nya di mana? Padahal, diskusi tentang hak-hak buruh sudah menjadi bagian dalam pembahasan politik internasional sejak era Karl Marx.

Buku ini baru saja diterbitkan oleh Rainer Hampp Verlag, sebuah penerbit di Jerman.

Argumennya cukup menarik dan datanya empiris. Menurut Hariati, liberalisasi perdagangan melahirkan model-model kerja dan produksi yang bertitik tumpu pada tenaga kerja (‘labour-intensive’) dan pada gilirannya menindas hak-hak pekerja dengan alasan menaikkan produktivitas.

Mirip dengan kajian Intan, kajian Hariati Sinaga melihat rantai produksi sebagai sesuatu yang terhubung secara global, dan menurutnya malah terjejaring melalui liberalisasi perdagangan. Melalui perspektif yang disebut sebagai ‘jejaring produksi global’, Hariati meneliti bagaimana perusahaan mobil Jepang dan kelapa sawit Singapura-Malaysia—serta milik Indonesia—terhubung dengan negara, yang jadi regulator utama perekonomian, untuk memuluskan proses eksploitasi sumber daya alam dan tenaga kerja di Indonesia. Konsekuensinya pun cukup banyak terutama bagi hak-hak buruh di Indonesia.

Buku ini lahir dari penelitian Hariati di University of Kassel, Jerman, yang memang cukup terkenal dengan kajian-kajian perburuhan. Kajiannya melengkapi perspektif ‘imperialisme baru’ yang diajukan oleh Intan, dan tentu sangat erat kaitannya dengan kita para pekerja yang siap-siap ditindas oleh satu set peraturan baru melalui UU Cilaka. Buku Hariati Sinaga bisa diunduh secara terbuka di laman ini.


8. Asal-Usul Kedaulatan: Telusur Psikogenealogis atas Hasrat Mikrofasis Bernegara (Hizkia Yosias Polimpung, 2014)



Konon, di antara jajaran editor IndoPROGRESS, Hizkia Yosias Polimpung adalah salah satu yang memiliki banyak fans. Sebagai pengusung perspektif psikoanalisis dan post-strukturalisme yang teguh, tulisan Yosie cukup banyak dijumpai di IndoPROGRESS maupun media lain. Salah satu yang cukup banyak jadi acuan adalah buku beliau tentang Asal-Usul Kedaulatan ini. Asal-Usul Kedaulatan adalah hasil dari tesis di Universitas Indonesia beberapa tahun silam, diterbitkan oleh Penerbit Kepik di Depok.

Dengan menggabungkan psiko-analisis Lacan dan genealogi Foucault, Yosie berargumen bahwa sejak zaman pencerahan hingga sekarang, negara memang didesain untuk mengurus kedaulatan dirinya sendiri di hadapan negara lain, dan tidak pernah benar-benar peduli dengan rakyatnya sendiri. Ini karena ada “hasrat mikrofasis” ketika negara itu dibentuk. Hasrat itu muncul memenuhi tujuan utama negara ketika ia dibentuk oleh para elitenya, yaitu untuk memenuhi kedaulatannya di mata negara lain. Jika ada ada retorika semacam HAM, demokrasi, memenuhi hak rakyat, atau seabreg janji-janji kampanye, ia cuma pemanis yang sifatnya artifisial. Negara dibentuk tidak untuk tujuan itu.

Dari itu semua, Yosie membikin satu teori yang kompleks tentang ‘kedaulatan’ dalam politik global kontemporer.

Bagi yang suka dengan teori (terutama yang kompleks), buku ini patut jadi rujukan. Hanya saja, kelemahannya satu: bukunya agak langka. Kendati demikian, masih ada di beberapa toko daring.


9. Genealogi Sastra Indonesia: Kapitalisme, Islam, dan Sastra Perlawanan (Okky Madasari, 2019)



Buku berikutnya yang akan saya rekomendasikan adalah karya teranyar Okky Madasari tentang sejarah sastra Indonesia. Sekilas, buku ini tidak ada sedikit pun memancarkan atmosfer studi hubungan internasional—selain fakta bahwa Okky adalah lulusan HI Universitas Gadjah Mada. Konon, buku ini lahir dari tesisnya saat studi sosiologi di Universitas Indonesia. Apalagi, Okky dikenal luas sebagai penulis banyak karya sastra berkualitas, dan bukan akademisi HI.

Lagi-lagi akan muncul pertanyaan: di mana letak HI-nya?

Pertanyaan itu akan hilang saat kalian membaca detil isi buku ini. Okky berargumen bahwa sejarah sastra Indonesia pada dasarnya adalah sejarah pertarungan wacana politik, yang dibentuk tidak hanya dalam konteks politik nasional—semisal Lekra versus Manikebu, tapi juga refleksi dari perubahan politik internasional. Okky melacak konflik Lekra dan Manikebu, yang berakhir saat pembantaian sepanjang 1965-1966, dan akhirnya disusul oleh komodifikasi karya sastra setelah Perang Dingin.

Polemik semacam itu, dengan manifestasinya dalam penulisan karya sastra di tingkat lokal, adalah warisan dari pentas politik global masa Perang Dingin antara Blok Barat versus Blok Komunis. Sejarah sastra Indonesia tak lepas seluruh diskursus itu. Bahkan, saat komodifikasi sastra menjadi umum akibat logika pasar yang menggiring pembaca, sastra perlawanan tetap menemukan ruangnya. Cara pandang ini yang menurut saya menarik dan penting untuk melihat penulisan sastra sebagai sesuatu yang terkait dalam pentas ekonomi dan politik global kontemporer.

Buku Okky ini dibaca dengan tandem bersama buku lain dari Almarhum Wijaya Herlambang, Kekerasan Budaya Pasca-1965. Almarhum Wijaya menceritakan lebih detil konteks transnasional dari pergulatan wacana sastra sekitar Orde Baru dan reformasi, menjadikan penulisan karya sastra bukan sesuatu yang ‘adiluhung’ atau bebas nilai, tapi terdapat kepentingan rezim politik yang sedang berkuasa. Belakangan, Okky kembali ke dunia HI dengan mencalonkan diri sebagai Ketua KAHIGAMA –Keluarga Alumni HI UGM—meski akhirnya tidak terpilih.


Aksi Massa (1926)


Yang terakhir ini bonus. Buku ini jelas bukan buku akademik hubungan internasional. Penulisnya tidak pernah kuliah, dan malah melajang hingga akhir hayat. Ia teguh dalam perjuangan mewujudkan kemerdekaan Indonesia dari Hindia-Belanda. Tapi siapapun yang pernah membaca karya-karya Tan Malaka, terutama Aksi Massa, kita akan melihat bahwa pemikirannya disandarkan pada analisis tentang situasi politik internasional yang cukup jitu dan unik. Pemikiran Tan adalah perspektif ‘Indonesia’ atas politik global, yang melahirkan gagasan tentang antikolonialisme yang khas.

Tan, sebagaimana tokoh pergerakan lain semacam Soekarno dan Hatta, tidak mendasarkan perjuangan kemerdekaan semata sebagai perjuangan ‘Pribumi versus Asing-Aseng’. Mereka meleburkan diri dalam konteks perjuangan politik global. Soekarno sejak tahun 1928 menulis bahwa gagasan perjuangan Indonesia adalah bagian tak terpisahkan dari Pan-Asianisme. Hatta datang ke pertemuan-pertemuan Liga Melawan Imperialisme di Perancis dan Belgia. Tan Malaka terhubung dengan komunisme global—dan belakangan dipecat dari PKI setelah membelot pada masa pemberontakan 1926-1927. Namun, alih-alih hanya copy-paste wacana komunisme global, Tan punya jalan pikiran sendiri.

Di dalam buku Aksi Massa, ia membayangkan federasi antara Indonesia, Malaya, dan Filipina, sebagai sebuah federasi geopolitik anti-kolonialisme yang memboikot semua moda produksi kolonial. Ia mengagumi Jose Rizal, yang dikenal sebagai bapak nasionalisnya Filipina. Dan perjalanannya dalam pelarian melahirkan gagasan tentang Republik Indonesia, bahkan jauh sebelum Soekarno-Hatta memproklamasikannya tahun 1945.

Sebagai pelengkap, buku Tan Malaka ini cukup memberikan perspektif ‘global’ tentang sejarah Indonesia, yang mestinya dibaca dengan gembira oleh mahasiswa-mahasiswa HI di Indonesia. Tidak kurang karena buku ini memberikan kita fondasi untuk memahami hubungan internasional hari ini, sebagaimana ditunjukkan oleh tujuh karya di atas. ***


Ahmad Rizky M. Umar adalah Mahasiswa Doktoral di University of Queensland, Australia. Aktif menulis untuk kolom Tabayyun dan pernah menjadi peneliti di Pusat Kajian ASEAN, FISIPOL, Universitas Gadjah Mada.


Pada awal abad ke-20, pemerintah Hindia Belanda melalui tangan Balai Poestaka berusaha membendung arus penerbitan buku dan artikel karya para aktivis anti-kapitalis dan anti-kolonialis. Barisan literatur yang berperan besar menyuburkan gerakan politik kelas di Indonesia ini dicap Belanda sebagai “batjaan liar”. Kami mengklaim kembali istilah tersebut untuk sebuah rubrik berisi rekomendasi bacaan yang disusun secara tematik untuk merespons berbagai macam isu. Haris Prabowo adalah editor tamu Batjaan Liar. Sehari-hari ia bekerja sebagai jurnalis Tirto.id.

]]>
Ayat-Ayat Menentang Penjajahan https://indoprogress.com/2020/10/ayat-ayat-menentang-penjajahan/ Fri, 09 Oct 2020 06:08:16 +0000 https://indoprogress.com/?p=232623 Ilustrasi: Illustruth


“Dan apabila dikatakan kepada mereka, ‘Janganlah berbuat kerusakan di bumi!’ Mereka menjawab, ‘Sesungguhnya kami justru orang-orang yang melakukan perbaikan.’ Ingatlah, sesungguhnya merekalah yang berbuat kerusakan, tetapi mereka tidak menyadari.”

(Al-Qur’an Surah Al-Baqarah: 11-12)


KITA seringkali disuguhi cerita tentang penjajahan sebagai pertarungan antara ‘pribumi tertindas’ versus ‘asing penjajah’. Penjajahan seakan-akan hanya cerita tentang dominasi orang-orang Eropa terhadap penduduk lokal. Kisah tentang itu biasanya berakhir dengan cerita tentang pengusiran orang-orang Eropa dari tanah air sehingga  berakhir pula penjajahan. Cerita ini kerap kita baca dari buku-buku sejarah, dan menjadi narasi resmi tentang bagaimana Indonesia dibangun.

Tentu cerita itu tidak keliru. Penjajahan di Indonesia khususnya  adalah cerita tentang orang-orang Eropa yang datang ke Nusantara, berdagang, menguasai lahan, perlahan-lahan menaklukkan kerajaan—baik secara langsung maupun tidak—dan membangun struktur politik baru yang bernama negara kolonial.

Namun demikian, kita sering bertanya-tanya pula: benarkah praktik yang dilakukan oleh penjajah itu berakhir setelah ‘dekolonisasi’, alias setelah orang-orang Eropa dan Jepang angkat kaki? Mungkinkah ada penjajahan yang tetap berlangsung dengan aktor dan cara yang berbeda, tapi dengan mempertahankan sistem yang sama?

***

Ada satu kisah menarik dari Mohammad Hatta soal penjajahan. Peristiwa yang ia ceritakan dalam sebuah memoar ini terjadi pada 1933.

Bung Hatta melakukan safari politik di cabang-cabang baru PNI—organisasi politiknya masa itu—seperti Bandung ke Solo dan Yogyakarta sebagai pemimpin baru pergerakan nasionalis. Di sana ia bertemu calon-calon anggota baru organisasi dan menggelar rapat-rapat umum. Di masa-masa krisis itu PNI memang giat melakukan perkaderan. Rapat umum adalah salah satunya. Bung Hatta sendiri giat menulis untuk menentang kolonialisme Belanda.

Tentu pada masa itu rapat-rapat umum pergerakan nasionalis adalah aktivitas yang dianggap subversif. Melakukan rapat-rapat umum, apalagi berbicara tentang kapitalisme dan nasionalisme, harus dikontrol. Perizinan harus diperketat, kontra-narasi mesti dilakukan, dan orang-orangnya harus dipantau, apalagi aktivis penerima beasiswa yang baru kembali semacam Hatta.

Di sinilah Politieke Inlichtingen Dienst (PID, Dinas Intelijen Politik) berperan. Ketika itu PID sedang giat-giatnya membangun sistem pengawasan di mana-mana, baik di dalam atau luar negeri. Lembaga ini dibentuk pada 1916. Tugas utamanya antara lain memantau pergerakan nasionalis atau siapa pun yang ingin merongrong negara kolonial.

Tak semua agen PID adalah orang Eropa. Bahkan, dalam struktur keamanan masa kolonial itu, banyak agen-agen PID berstatus wedana, semacam pembantu bupati, yang pribumi. Aparat kolonial lain juga banyak yang sebenarnya orang-orang pribumi.

Tapi Bung Hatta tetap datang dan berpidato. Di Solo dan Yogyakarta, beliau berbicara tentang perkembangan kapitalisme dalam politik dunia. Dari awal kehidupan manusia sebelum kapitalisme, kapitalisme muda masa revolusi industri, lalu menjadi kapitalisme raya masa perdagangan bebas abad ke-19 di masa kolonial, hingga masa kapitalisme penghabisan, ketika kontradiksi-kontradiksi dalam kapitalisme itu menghasilkan krisis.

Pidato semacam itu adalah bagian dari pendidikan politik kepada kader-kader pergerakan, semata—menurut pandangan Hatta, Sjahrir, dan lain-lain—agar mereka punya cara pandang yang ilmiah dan kritis terhadap kolonialisme dan politik global.

Ketika di Yogyakarta, seorang wedana agen PID menginterupsi Hatta setelah setengah jam berpidato. Ia bertanya, “Apa itu kapitalisme?” Secara tersirat, sang wedana bertanya, “Apa maksud Hatta bicara tentang kapitalisme di negara Hindia Belanda ini?”

Hatta menjawab ringkas, “Sudah setengah jam aku bicara tentang kapitalisme dengan jelas, masih saja ada yang bertanya tentang apa itu kapitalisme!”

Hadirin langsung bertepuk tangan dengan riuh, disambut wedana intelijen itu dengan muka merah. Hatta mau melanjutkan pidato, tapi tiba-tiba intel itu menggebrak meja dan melarang Hatta terus bicara. Hatta turun dari mimbar dan ketua sidang menutup acara.

Konon, setelah pulang, Hatta diberitahu kalau dia sudah menang ‘duel’ melawan wedana kolonial itu, karena biasanya tidak ada yang bisa bertahan lebih dari dua menit ketika diinterupsi dan dibubarkan.

Kejadian di Yogyakarta ini kemudian semakin genting. Beberapa waktu kemudian, Bung Hatta ditangkap dan dibuang ke Boven Digoel karena semakin dianggap subversif. Ia kemudian diasingkan ke Banda Neira lalu tinggal di sana hingga Jepang datang.

Kini zaman telah berubah, tapi mungkin kita tidak akan terkejut ketika taktik pemerintah kolonial di atas sedikit banyaknya diadopsi untuk merepresi demonstrasi-demonstrasi menentang UU kontroversial.

***

Apa sebenarnya yang membuat orang-orang semacam Soekarno, Hatta, Semaoen, Rasuna Said, maupun pejuang-pejuang anti-kolonial itu melawan meskipun harus kucing-kucingan dengan intelijen?

‘Republik Indonesia’ awalnya adalah gagasan yang ditulis oleh Tan Malaka dalam pamflet Naar de Republiek Indonesia. Tan Malaka mengumpamakan munculnya Republik Indonesia dengan kaum Republiken masa Revolusi Perancis. Di Perancis, Republik muncul sebagai antitesis dari kekuasaan korup para bangsawan yang melegitimasi kekuasaan monarki. Bangsawan Perancis dan elite-elite politiknya hidup boros dan menindas orang-orang biasa, yang hanya mendapatkan kemiskinan, kelaparan, dan penyakit.

Ketika terjadi wabah, dalam struktur ancien regime model Perancis itu, orang-orang miskinlah yang mendapatkan malapetakan. Lalu petani, buruh dan kaum borjuis kelas menengah itu mengorganisasi diri, dan akhirnya terbentuklah “Majelis Permusyawaratan Nasional”. Dari situlah muncul kemerdekaan Perancis dan ‘cita-cita Republik’.

Namun, menurut Tan, yang terjadi di Indonesia, pelaku korupsi dan pemborosan hidup bermewah-mewahan itu bukannya bangsawan, melainkan pemerintah kolonial Belanda. Bahkan menurut Tan lebih parah; uang yang dihabiskan di Versailles masih ‘jatuh’ ke rakyat Perancis dalam bentuk eceran. Namun, uang yang dihabiskan di Zandveert dan Scheveningon tidak jatuh ke rakyat Indonesia.

Lalu terjadilah defisit anggaran dan krisis ekonomi maupun politik. Namun tidak seperti pemborosan yang dilakukan oleh elite-elite kolonial, krisis ini justru memukul orang-orang biasa di tanah air yang diupah dengan murah, tanpa perlindungan sosial yang memadai dan hak-hak tenaga kerja yang dieksploitasi untuk keperluan perkebunan, perkereta-apian, hingga pertambangan kolonial Belanda.

Menurut Tan, “Sekalipun nanti jika Amerika atau siapa saja bersedia memberikan pinjaman kepada Indonesia jutaan rupiah atau menanam kapital di Indonesia krisis ekonomi karenanya masih belum dapat diperbaiki. Sebab jutaan rupiah setahunnya yang harus diperoleh dengan memeras kaum buruh Indonesia untuk dikirim ke negeri asing. Lebih gelap adanya hari depan ekonomi bagi rakyat Indonesia daripada rakyat Prancis sebelum tahun 1789.”(1925).

Di sinilah menurut Tan ide tentang ‘Republik Indonesia’–di mana rakyat Indonesia diatur oleh Majelis Permusyawaratan Nasional yang mewakili aspirasi rakyatnya sendiri—jadi penting. Majelis Permusyawaratan Nasional, menurut Tan, harus menjadi alat dobrak yang besar terhadap kolonialisme; menasionalisasi pabrik-pabrik dan tambang-tambang strategis nasional, lalu mendistribusikan hasilnya secara adil kepada rakyat Indonesia. Gagasan ini adalah antitesis dari praktik kolonial Belanda yang membangun industri pertambangan lalu menjualnya di pasar Eropa, sebagiannya untuk memenuhi kas kerajaan.

Dan ide tentang Majelis Permusyawaratan Nasional ini bagi Tan juga berakar dari ide-ide kaum pembebasan nasional yang dilakukan oleh umat Islam, sebagaimana dilakukan di Banjarmasin dan Aceh. Itulah sebabnya, dalam pidatonya yang terkenal di tahun 1921, Tan Malaka justru menyerukan adanya front persatuan antara kaum kiri dan Pan-Islamis, yang masa itu memang merupakan dua kekuatan anti-kolonial terbesar di Hindia Belanda.

Saya tidak bisa membayangkan apa yang dirasakan almarhum Tan ketika melihat bahwa Majelis Permusyawaratan Nasional, yang bagi Tan adalah fondasi dasar berdirinya Republik Indonesia, justru melegitimasi UU yang memeras tenaga orang-orang Indonesia di atas narasi menciptakan lapangan pekerjaan.

***

Dalam Al-Qur’an Surah Al-Baqarah: 11-12, Allah menyitir orang-orang yang keras kepala, suka memanipulasi, dan zalim. Mereka menyatakan diri beriman kepada Allah dan hari akhir, namun pada praktiknya merusak bumi dan seisinya. Menurut Ibnu Katsir dalam tafsirnya, ayat ini merujuk pada orang-orang munafik. Mereka adalah orang-orang yang melakukan perbuatan maksiat kepada Allah dengan berbuat kerusakan di muka bumi, dan memerintahkan untuk melakukannya secara masif dan terorganisir.

Lalu ketika muncul peringatan dan kritik, orang-orang ini kemudian berkilah dengan anggapan bahwa yang mereka lakukan adalah “melakukan perbaikan di muka bumi”. Padahal, secara objektif, mereka yang punya pengetahuan telah menunjukkan dampak-dampak dari hal tersebut terhadap lingkungan, keseimbangan ekosistem hingga dampak sosialnya kepada masyarakat banyak.

Pada masa lampau, kolonialisme sering diklaim oleh para pengelolanya di Eropa sebagai praktik ‘misi pemberadaban’ (civilizing mission). Intelektual rasis semacam Lothrop Stoddard, misalnya, dengan bangganya menyatakan bahwa misi kolonialisme Eropa adalah untuk mengajarkan orang-orang di tanah jajahan terhadap ‘peradaban’ dan kemajuan. Peta dan atlas Inggris di abad ke-19 menyebut kolonialisme Eropa telah memberikan banyak kemajuan di tanah jajahan, dibanding masa-masa sebelum mereka.

Namun, tentu hal yang sama tidak dirasakan oleh orang-orang di koloni. Petani-petani biasa harus diperas tenaga pertaniannya melalui tanam paksa. Lalu datang masa perkebunan dan pertambangan, dan merekapun menjadi buruh dengan upah yang tidak seberapa. Sebagian mereka membuat infrastruktur jalan di pantai utara Jawa tanpa upah dan makanan yang memadai, sekadar untuk mempertahankan tanah Belanda dari gempuran rival penjajahnya, Inggris, di awal abad ke-19.

Ketika dulu kolonialisme bicara tentang pemberadaban, sebagian orang hari ini bicara tentang ‘pembangunan’. Tentu pembangunan hari ini berbeda dengan pembangunan jalan raya dari Anyer ke Panarukan di awal abad ke-19. Pun pembangunan hari ini, biar sedikit, juga memberikan jalan-jalan dan bangunan-bangunan yang tidak lagi dinikmati hanya oleh elite kolonial Eropa dan Jepang. Di Konferensi Bandung tahun 1955, pemimpin negara Asia dan Afrika menyerukan pentingnya kerja sama untuk membiayai pembangunan bagi negara-negara yang baru lepas dari kolonialisme, dengan Indonesia tentu bukan pengecualian.

Namun, menjadi problem jika ‘pembangunan’ atau ‘penciptaan lapangan kerja’, yang sesungguhnya punya niat yang mulia, berubah menjadi dalih untuk memberikan upah murah bagi pekerja, melucuti hak-hak dasar bagi pekerja (terutama pekerja perempuan), atau menjadikan para buruh gampang kena PHK tanpa tanggung jawab perusahaan. Hal ini takkan ada bedanya dengan apa yang diumpamakan oleh Tan Malaka sebagai “lintah-lintah darat Hindia Belanda”, yang melakukan hal-hal demikian untuk mengantisipasi krisis ekonomi,

“Pada bagian satunya memperbesar pasukan Armada dan polisi dan menaikkan gaji ambtennar-ambtenaar tinggi. Pada bagian lainnya melepaskan kaum buruh dan menurunkan gajinya, menarik lebih banyak dari rakyat yang melarat dan mengurangi pengeluaran untuk sekolah-sekolah rakyat dan kesehatan.” (1925).

Dan bertemulah hal-hal seperti itu dengan istilah Al-Qur’an dalam Surah Al-Baqarah di atas. Mereka yang ditegur karena berbuat kerusakan, mendapatkan kritik, namun justru defensif dengan berbagai macam argumen atas nama rakyat. Padahal, implikasinya besar dan buruk bagi lingkungan, rakyat, dan negara. Pada titik inilah Al-Qur’an kemudian mengingatkan kita untuk tidak melakukan ‘penjajahan modern’: mengeksploitasi tanah dan tenaga kerja secara sewenang-wenang, dan melakukan pembangunan tanpa peduli dampak lingkungan atau dampak sosial terhadap masyarakat yang hidup dan bercocok tanam dari tanah itu.

Hal-hal di atas tentu ditentang oleh umat Islam di masa lampau; dan juga ditentang oleh umat Islam yang sadar di hari ini –bagi mereka yang ‘membaca’.

Billahi fii Sabilil Haq. Fastabiqul Khairat.***


Ahmad Rizky Mardhatillah Umar adalah mahasiswa PhD di The University of Queensland – UQ, Australia

]]>
Tilik, Rumor, dan Dua Kerusuhan Kalimantan https://indoprogress.com/2020/08/tilik-rumor-dan-kenyataan-tragis-islam-indonesia/ Fri, 28 Aug 2020 08:09:00 +0000 https://indoprogress.com/?p=232456 Ilustrasi: Illustruth


BEBERAPA hari terakhir ramai orang membicarakan film Tilik—film berdurasi sekitar 30 menit tentang ibu-ibu Yogyakarta yang pergi membesuk Bu Lurah di RS melalui truk gotrek dan menggosipkan tetangga. Tidak ada yang spesial dari film itu; tapi ia mampu mengambil hati banyak penonton karena mampu menangkap satu realitas sehari-hari yang kerap dilakukan oleh masyarakat Indonesia di mana pun; di Masjid setelah pengajian, di TK ketika menunggu anak, atau di pesta pernikahan. Film ini menangkap realitas dengan caranya yang kocak namun sederhana.

Saya tidak ingin membicarakan filmnya (sudah banyak yang sudah melakukan kritik ini dan itu). Ketika saya menonton filmnya, entah mengapa saya menontonnya dengan cara yang berbeda. Saya langsung teringat beberapa momen gelap yang berhubungan dengan rumor di masa lalu. Sebagai orang yang lahir dan besar di Banjarmasin di pertengahan 1990-an hingga awal 2000-an, saya spontan membayangkan dua tragedi di bumi Kalimantan: Jumat Kelabu 23 Mei 1997 dan kerusuhan Sampit 2001. Keduanya erat terkait dengan rumor, sebagaimana halnya film Tilik, yang akhirnya menjadikan gosip dan ber-ghibah tidak lagi lucu dan normal alih-alih mencekam.


Pada 1997 Banjarmasin adalah kota yang cukup dinamis. Mei tahun itu, selama sebulan penuh, kampanye dilaksanakan oleh pemerintah untuk menyambut Pemilu. Masa itu adalah masa akhir Orde Baru. Orang-orang rupanya sudah mulai bosan dan muak dengan Soeharto dan Golkar. Pemilu diikuti oleh tiga partai sebagaimana lazimnya: PPP, PDI, dan Golkar.

Kalimantan Selatan adalah medan pertempuran antara Golkar dan PPP. Golkar “berkuasa” di basis-basis perkotaan— dan Banjarbaru—meskipun sudah mulai ‘digoyang’ oleh PPP yang punya basis massa religius. Hulu Sungai dan Martapura adalah basis PPP. Masyarakat yang merupakan ‘kaum tuha’ sedari dulu loyal kepada K.H. Idham Chalid, sesepuh NU yang berasal dari Amuntai, Hulu Sungai Utara. Selain itu, ulama-ulama Martapura banyak yang berkampanye untuk PPP. Ini adalah masa dimana pertarungan politik Kalsel sangat dinamis dan, dalam banyak hal, terpolar.

Kampanye berlangsung dinamis; orang menjual atribut partai dimana-mana. Masa itu adalah pertama kali saya mengenal dunia politik. Hari kedua kampanye, ayah saya membelikan atribut PPP dan saya menyetel pidato Buya Ismail Hasan Metareum di televisi, meskipun sebenarnya Golkar dan tentara juga masih menampakkan taringnya.

Syahdan, hari terakhir kampanye. Suasana sebenarnya sudah mulai panas karena masing-masing massa saling mengejek. Namun, tidak ada yang menyangka keributan kampanye di hari terakhir berubah menjadi kerusuhan besar, yang tidak hanya mengakhiri kampanye secara brutal, tetapi juga memperkenalkan saya dan warga kota dengan horror kerusuhan dan ‘jam malam’ yang diberlakukan selama seminggu.


Mulanya, sejauh yang terekam dalam memori saya, adalah rumor dan provokasi. Hari itu adalah jadwal kampanye Golkar yang bertepatan dengan hari Jumat. Pagi berlangsung seperti biasa. Golkar dijadwalkan berkampanye selepas shalat Jumat dengan menghadirkan beberapa juru kampanye nasional. Namun, sebelum shalat Jumat selesai, merebak berbagai rumor; orang-orang beratribut kuning yang kebut-kebutan di depan Masjid Noor—pusat kota Banjarmasin—lengkap dengan klakson tepat ketika khatib naik mimbar.

Rumor ini merebak dari mulut ke mulut. Selepas Jumatan, orang-orang membawa berita dari kampung-kampung, menyebarkan kabar tentang kampanye orang-orang berbaju kuning itu. Tidak ada yang tahu persis siapa mereka, apakah mereka benar-benar simpatisan atau fungsionaris Golkar, ataukah mereka hanyalah provokator yang menyaru untuk membatalkan kampanye. Tapi rumor berkembang sedemikian rupa.

Kampanye dimulai. Jalan Ahmad Yani –satu jalan protokol besar di Kota Banjarmasin—tiba-tiba sunyi senyap. Orang mulai berkampanye dengan konvoi. Tapi tiba-tiba suasana berubah mencekam. Entah dari mana, datang massa membawa parang, celurit, dan pisau, memburu orang-orang yang sedang berkampanye. Mereka berlarian. Konvoi tidak jadi berlangsung. Dua gelombang massa lewat. Beberapa orang beratribut kampanye berlindung ke rumah warga—termasuk ke rumah kami —sembari melepas atribut kampanye. Mereka selamat dari amuk massa.

Suasana menjadi tidak terkendali. Dari kejauhan titik api terlihat muncul di mana-mana: di Mitra Plaza (“mall” paling besar di Kota Banjarmasin masa itu), hotel Junjung Buih, hingga gereja. Tidak ada yang berani datang ke Kota. Kami sekeluarga berkumpul di rumah, menelepon keluarga dekat (kalau-kalau terjadi hal yang tidak diinginkan). Malam hari, listrik padam (bahkan sampai beberapa hari), dan pemerintah memberlakukan jam malam. Penangkapan massal konon terjadi di beberapa daerah pinggiran kota Banjarmasin, dan tentara didatangkan dari Kodam di Balikpapan.

Pagi hari, mayat-mayat ditemukan di reruntuhan Mitra Plaza yang terbakar serta beberapa tempat lain yang diamuk massa. Kira-kira 142 korban jiwa melayang di kerusuhan ini. Tentu mereka adalah orang-orang Islam yang banyak di antaranya tidak tahu apa-apa.

Rumor dan ghibah tidak lagi menjadi sesuatu yang lucu dan kocak. Pada masa lalu, gosip pernah menjelma tragedi Jumat Kelabu yang saya yakin masih membekas di memori warga Banjarmasin hingga saat ini. Hingga hari ini, tak ada yang tahu pasti siapa yang menyebarkan rumor, siapa yang memprovokasi, dan terutama siapa dalangnya. Tapi Tragedi Jumat Kelabu mengubah 180 derajat politik di Kalimantan Selatan. Mobilisasi massa berkurang drastis; politik menjadi bagian dari negosiasi elit sebagaimana biasanya, dan mengungkit tragedi ini menjadi sesuatu yang tidak mengenakkan.


Pada 2001, kerusuhan di Kota Sampit, Kalimantan Tengah, merebak. Kerusuhan ini jauh lebih parah dan melibatkan sentimen etnis. Lebih dari 500 orang tewas dan ratusan ribu lainnya harus mengungsi ke daerah lain. Konflik Sampit sampai saat ini masih terpatri dalam memori penduduk Kalimantan.

Sebagai orang Banjar, kami mendengar dan menyimak kerusuhan ini dengan hati was-was. Sampit berada jauh dari kota Banjarmasin, dan orang-orang Banjar sejak dulu tinggal di Sampit dan punya tradisi badangsanak (‘bersaudara’) dengan orang-orang Dayak. Hubungan antar-etnis di Kalimantan Selatan dan Tengah baik-baik saja. Namun, tidak halnya dengan orang-orang Madura dan Dayak. Sentimen ‘laten’ dan kecemburuan sosial berubah menjadi konflik yang mengerikan.

Catatan Helene Bouvier dan Glenn Smith mengulas tragedi ini dengan cukup gamblang: rumor demi rumor yang memupuk kebencian antara orang-orang Dayak dan Madura tidak diproduksi hanya pada masa itu, tapi sudah dari beberapa tahun sebelumya. Tahun 2000, kebakaran dan ledakan terjadi di Sampit, dan rumor berkembang kalau orang-orang Madura punya peledak. Namun, tak ada yang sebesar ‘peledak’ emosi sesungguhnya: ketika terjadi perkelahian maut di Kereng Pangi. Rumor yang kemudian dibawa baik kalangan orang-orang Madura dan Dayak berujung kekerasan etnis massal di Sampit, merebak hingga Palangkaraya, Pangkalanbun, bahkan konon juga sampai Kuala Kapuas.

Kerusuhan Sampit adalah salah satu episode sejarah yang kompleks dan jauh lebih kelam. Saya tidak ingin mendiskusikannya di sini; namun, selama tahun 2001, kami yang tinggal di Kalimantan Selatan berada dalam kondisi was-was dan ketakutan kalau-kalau konflik akan merembet ke Banjarmasin. Ketika muncul berita dan rumor kalau massa sudah bergerak di Kuala Kapuas –yang notabene hanya 40 km dari Kota Banjarmasin, semua orang ketakutan. Pelabuhan Banjarmasin padat oleh pengungsi. Kami bersyukur kalau rumor itu tidak menjadi kenyataan.


Mari kembali ke film Tilik. Film itu terasa dekat dengan kehidupan kita karena kita kerap membicarakan orang lain, bergosip, hingga menyebarkan rumor tentang seseorang dalam perbincangan-perbincangan santai kita dengan tetangga. Bergosip, ber-ghibah, dan sejenisnya dalam film Tilik mungkin adalah cara kita untuk melepas beban kehidupan atau sekadar mengisi waktu luang bersama tetangga dan kerabat.  Hal-hal itu adalah realitas sehari-hari. Bergosip, menurut James C Scott, bahkan bisa jadi senjatanya orang-orang lemah, meskipun juga sering menjadi alat untuk menegaskan ‘aturan sosial’ dari orang yang punya kuasa.  

Namun demikian, bagi sebagian kita yang lain, yang tidak punya privilese tinggal di pedesaan yang damai dan tenang di pulau Jawa, rumor, gosip, dan ghibah adalah cerita yang lain. Di Banjarmasin atau Sampit, gosip bisa berubah menjadi tragedi kerusuhan ketika salah sasaran dan menimbulkan salah paham. Tidak ada lagi yang lucu ketika rumor berubah menjadi kepala-kepala tanpa nyawa, hanya karena kita gagal menghalau hoax dan disinformasi. Rumor bahkan, dalam beberapa episode genosida, menjadi alat untuk menindas etnis atas nama identitas.

Di masa lalu, kita juga ingat tentang cerita-cerita ketika aparat memburu orang yang disangka komunis dan aktivis kiri selama 1965-1966 hanya karena rumor. Ironisnya, rumor itu tersebar atas ‘restu’ kekuatan politik yang dominan. Walhasil, mungkin rumor pulalah yang membuat orang berprasangka kepada etnis atau agama tertentu ketika kerusuhan 1998. Ia mereproduksi stereotype yang berkembang selama ini dan dilestarikan oleh rezim untuk melenggangkan kekuasaannya. Hasilnya, kita melihat sentimen rasial dan agama yang kemudian berkembang menjadi lebih canggih untuk kepentingan elektoral, misalnya, di Pilkada DKI Jakarta tahun 2017.

Semuanya bermula dari rumor, gosip, serta bumbu-bumbu agama dan politik di masyarakat yang sudah terpolar sejak awal. Di sini gosip menjadi alat politik yang memecah-belah masyarakat, menumbuhkan konflik, dan alat untuk menggapai kekuasaan secara kasar. Yang mungkin berbeda dengan yang kita rasakan dengan privilese identitas yang kita miliki.


Pertanyaannya—berhubung ini adalah rubrik Tabayyun—bagaimana Islam memandang hal ini? Al-Qur’an jelas menggariskan hal ini di Al-Quran Surah Al-Hujurat: 6,

Wahai orang- orang yang beriman, jika ada seorang faasiq datang kepada kalian dengan membawa suatu berita penting, maka tabayyunlah (telitilah dulu), agar jangan sampai kalian menimpakan suatu bahaya pada suatu kaum atas dasar kebodohan, kemudian akhirnya kalian menjadi menyesal atas perlakuan kalian. (QS 49: 6)

Ayat ini menekankan pentingnya ‘penelitian ulang’ (tabayyun) ketika kita mendengar satu rumor, gosip, ghibahan, atau sesuatu yang sebenarnya benar tapi dikemas dengan sentimen kebencian tertentu. Hal ini tidak mudah ketika foto di facebook bisa diinterpretasikan untuk melegitimasi asumsi tertentu, tulisan tertentu disalah-pahami sebagai bahan provokasi, atau pidato yang direkam justru menjadi alat untuk melakukan kampanye hitam lengkap dengan sentimen ras dan agama.

Di sinilah pentingnya ‘membaca’ (iqra’). Membaca bukan hanya berarti mengeja huruf-huruf dan memahami makna dalam buku. Membaca adalah memahami realitas secara benar, komprehensif, dan tepat dengan melepaskan bingkai yang dibawa oleh si pembawa berita. Tujuannya, sebagaimana disampaikan oleh Al-Hujurat, adalah relevan dengan apa yang kita hadapi saat ini: agar kita tidak menimpakan bahaya pada suatu kaum atas dasar kebodohan.

Rumor yang berkembang menjadi konflik, apalagi jika disulut dengan kebencian atas identitas tertentu, tentu hanya akan menimbulkan penyesalan. Karena sebenarnya, baik kita yang bergosip atau mereka yang menjadi objek ghibah adalah sama-sama korban. Sementara mereka yang menebar provokasi dan menangguk keuntungan — politik maupun finansial—dari rumor semakin melenggang di puncak kekuasaan. Orang-orang zalim, yang mengambil untung dan kaya dari rumor dan konflik inilah musuh kita sesungguhnya.

Akhirul Kalam, film pendek Tilik mungkin menceritakan tentang kenyataan sehari-hari umat Islam Indonesia yang tetap mampu ber-ghibah lepas di tengah himpitan hidup di desa. Namun, bagi anak muda Banjar yang merasakan hidup di tengah rumor kerusuhan Jumat Kelabu 23 Mei 1997 atau pekan-pekan mencekam setelah huru-hara Sampit, kenyataan itu adalah kenyataan pahit. Ghibah menjadi rumor, dan rumor menjadi tidak lagi lucu ketika ia menjadi alasan untuk membunuh orang karena perbedaan etnis, agama, atau status minoritas. Itu adalah kenyataan tragis kita, umat Muslim Indonesia, yang juga mesti kita refleksikan bersama-sama untuk masa depan kita

Nuun Walqalami wa maa yasthuruun.***


Ahmad Rizky Mardhatillah Umar adalah mahasiswa PhD di The University of Queensland – UQ, Australia

]]>
Jangan Lupa, Rasisme juga Problem Umat Islam https://indoprogress.com/2020/06/jangan-lupa-rasisme-juga-problem-umat-islam/ Fri, 12 Jun 2020 07:41:23 +0000 https://indoprogress.com/?p=232159

Foto: Scott Takushi/Twin Cities


Dalam Al-Qur’an Surah Al-Hujurat: 13, Allah berfirman, “Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sungguh, Allah Maha Mengetahui dan maha teliti.”


DALAM persidangan Konferensi Asia Afrika di Bandung, delegasi Irak—jika tidak keliru, Muhammad Fadhil Jamali, anggota parlemen Irak—menutup pidatonya dengan menyitir ayat di atas.  Sebelumnya, ia menggelorakan beberapa hal yang kita kenal sebagai ‘semangat Bandung’ dalam pidatonya: dukungan terhadap rakyat Palestina untuk kembali ke rumah-rumah mereka, pembebasan negara Asia dan Afrika yang terjajah, dan pengakuan atas hak menentukan nasib sendiri dan pembebasan di mana pun mereka berada.

Ayat tersebut menegaskan satu hal yang diperjuangkan oleh negara-negara Asia dan Afrika ketika Konferensi Bandung—dan ditegaskan di PBB hingga akhir 1960an—yang menyerukan kesamaan ras, hak menentukan nasib sendiri, dan persamaan kedudukan di mata hukum internasional antara semua bangsa di dunia. Negara-negara ini adalah negara yang dulunya mengalami rasisme di masa kolonial, dimana orang-orang ‘pribumi’, yang tidak punya lahan dan kuasa, menjadi warga negara kelas dua di mata pemerintah kolonial.

Indonesia bukan pengecualian. Struktur kewarganegaraan di negara Hindia Belanda mengadopsi pembedaan warga negara berdasarkan ras. Secara hukum, dalam Konstitusi Hindia Belanda (Regeeringsreglement) tahun 1854, kewarganegaraan Hindia Belanda dibedakan menjadi dua jenis: orang-orang Eropa atau semacamnya, dan “orang-orang pribumi”) yang terdiri atas orang-orang Tionghoa, Arab, dan “oriental asing”. Pada 1920, muncul definisi baru tentang ‘pribumi’ yang dibedakan dari orang-orang “oriental asing” tersebut, dengan hierarki implisit yang mengatur hak dan tanggung jawab mereka di negara hukum.

Asumsi ini didasarkan pada sebuah asumsi tentang peradaban (civilite/civilization), dimana ada asumsi di kalangan pemikir Eropa masa itu bahwa orang-orang non-Eropa dianggap tidak gagal memenuhi “standar peradaban” hanya karena tidak punya kualitas tertentu yang dimiliki oleh rasionalitas pencerahan Eropa. Istilah “standar peradaban” ini, menurut Gerrit Gong, menjadi ‘pintu gerbang’ masuknya sebuah peradaban dalam tatanan peradaban universal yang diimajinasikan orang-orang Eropa. Cara berpikir ‘Eropa’ tentang orang-orang Asia sangat lekat dengan cara pandang ini; karena orang-orang Asia dianggap sebagai “despot oriental”, mereka harus diberadabkan dan dipisahkan (secara implisit) dari orang-orang Eropa ketika memerintah di Asia.

Jangan lupa, bagi pemikir-pemikir dan administrator kolonial masa dulu (semacam Daendels atau Raffles di Asia Tenggara), kolonialisme bukanlah eksploitasi paksa, melainkan misi pemberadaban, yakni misi untuk menjadikan orang-orang Asia dan Afrika lebih baik dari masa lalu despotik mereka.

Ketika orang-orang Jepang datang dan mendirikan pemerintahan sementara, hierarki semacam ini tetap ada; pemerintahan Jepang yang militeristik membagi warga negara secara hierarkis untuk memudahkan mereka mengatur dan memobilisasi semua warga negara melawan dua musuh bebuyutan mereka: Amerika Serikat dan Australia.

Pengalaman rasisme semacam ini membekas dan menjadi ‘pemersatu’ negara-negara Asia dan Afrika (termasuk di dalamnya satu kelompok negara Muslim) untuk bersuara vokal di politik internasional. Laporan Perwakilan Tetap RI di PBB tahun 1958 menyebut bahwa dalam debat-debat soal kesamaan ras di Majelis Umum PBB, ada satu negara yang cukup jarang ‘bersahabat’ dengan Indonesia di isu-isu semacam ini. Negara itu ialah Amerika Serikat.

Hal ini tidak mengherankan. Di perundingan damai Paris tahun 1919, yang menyelesaikan Perang Dunia I, proposal tentang “kesamaan ras dalam hukum internasional” yang diajukan oleh Jepang (sebagai salah satu negara Asia pemenang perang) ditolak mentah-mentah oleh Amerika Serikat dan Australia. Ide tentang superioritas Barat memang saat itu menjadi sebuah tren dalam pemikiran politik internasional (seperti, misalnya, diajukan oleh akademisi Inggris Lothrop Stoddard). Ide tentang persamaan ras dan warna kulit juga dianggap akan mendorong gerakan-gerakan pembebasan nasionalis di Asia dan Afrika untuk menemukan momentum dan meminta merdeka.

Tentu ini tidak diinginkan oleh negara-negara Barat, yang akan kehilangan negara jajahan dan kekayaan yang mereka ekstraksi dari sana, hanya karena dorongan atas “kesamaan ras”. Belum lagi problem rasialisme yang mengakar di Amerika Serikat (terhadap warga kulit hitam) atau Australia (terhadap warga “Bangsa Pertama”) di negara mereka yang dibangun di atas garis warna kulit.

Problem rasisme—yang hari ini muncul dan terbuka secara global—punya akar yang sangat kuat dalam kolonialisme dan imperialisme. Dekolonisasi tidak membuat hal tersebut hilang. Segregasi warna kulit masih menjadi hal biasa di Amerika Serikat hingga sekarang, dan mitos Kapten Cook masih diperingati sebagai bagian dari perayaan nasional Australia, menimbulkan bekas yang mendalam bagi masyarakat “Bangsa Pertama”.

***

Al-Qur’an punya posisi yang tegas untuk menolak rasisme. Ayat Al-Qur’an surah Al-Hujurat: 13, misalnya, mendorong orang untuk saling mengenal antar-ras dan antar-bangsa, yang secara implisit menolak perilaku rasisme. Tidak ada batas warna kulit dalam Islam. Sahabat seperti Bilal bin Rabah, yang notabene seorang Etiopia, atau Salman Al-Farisi yang berasal dari Persia, tidak menjadi warga negara kelas dua di Madinah. Mereka adalah bagian dari sesama saudara Muslim yang berjuang di jalan Allah.

Masa Rasulullah, Islam hadir untuk menolak praktik-praktik penindasan atas dasar suku bangsa dan warna kulit, dan menolak glorifikasi berlebihan atas qabilah tertentu. Bahkan, Nabi Muhammad pun dalam konteks sosial sebagai masyarakat, adalah manusia biasa yang sama kedudukannya di hadapan para sahabat. Yang membedakan beliau hanyalah bahwa beliau diberikan wahyu, sebagaimana firman Allah dalam Surah Al-Kahfi: 110,

Katakanlah: Sesungguhnya aku ini manusia biasa seperti kamu, yang diwahyukan kepadaku: “Bahwa sesungguhnya Tuhan kamu itu adalah Tuhan yang Esa”. Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada Tuhannya”.

Namun demikian, pada praktiknya bukan berarti umat Islam terbebas dari virus-virus rasisme. Ada banyak di antara kita yang secara sadar atau tidak sadar berperilaku rasis kepada orang dengan warna kulit yang berbeda, menganggap orang dengan ras tertentu lebih baik, atau melihat kepada identitas pribadi alih-alih argumen ketika berbeda pendapat.

Tidak usah jauh-jauh. Berapa banyak di antara kita yang gagal membedakan “Tiongkok” sebagai negara-bangsa (yang punya kepentingan ekonomi-politik tertentu) dengan “Orang Tionghoa” sebagai sebuah identitas yang kompleks (sebagian besarnya adalah diaspora) ketika membicarakan isu tertentu? Argumen-argumen rasis tentang suku bangsa tertentu kerap muncul di grup Whatsapp, ceramah di masjid, hingga pembicaraan di warung kopi atau angkringan hanya karena kita tidak suka dengan satu-dua elit politik yang berasal dari ras tertentu.

Atau, sebagaimana dengan cukup baik diulas oleh Amrina R. Wijaya setahun silam, berapa banyak di antara kita yang menganggap orang-orang Papua “tidak beradab” hanya karena mereka menggunakan pakaian adat di dalam kelas atau ketika berdemonstrasi? Kita tidak perlu mengulas dulu aspirasi politik mereka, namun kita perlu melakukan kritik-diri terhadap cara pandang kita terhadap sesuatu yang kita anggap berbeda dari kebiasaan.

Hal ini diperparah dengan praktik-praktik ekstraksi yang kerap menyertai rasisme. Banyak di antara kita yang—mungkin—memelihara prasangka rasis terhadap orang dengan latar belakang etnis tertentu, tapi tetap menghisap kekayaan alam di tempat mereka. Atau justru menjadikan argumen rasial sebagai dalih untuk berkuasa dan menurunkan orang dari kursi kekuasaan. Di banyak tempat, hal ini terjadi dengan skala yang begitu masif. Genosida di Rwanda, atau yang terjadi di Myanmar terhadap etnis Rohingya, menjadi salah satu contoh penting praktik eksklusi rasial yang didorong oleh motif ekonomi dan politik yang kental.

Inilah yang sebenarnya menjadi problem mendasar rasisme dalam politik global. Ada motif-motif ekonomi politik yang ruwet di balik cara pandang rasis kita terhadap orang lain. Hal yang semacam ini kental dalam pertumbuhan kapitalisme di masa kolonial—juga terjadi di Hindia Belanda, Karibia, dan Afrika—dan mungkin bekas-bekasnya masih kita rasakan hari ini, tidak terkecuali di negeri-negeri Muslim.

Tentu hal-hal semacam ini tidak dikenal dalam Islam. Mungkin pernah terjadi dalam sejarah dunia Islam (yang terbentang berabad-abad), tapi tidak dilakukan oleh Rasulullah. Pada titik inilah kritik diri terhadap praktik rasisme yang—sadar atau tidak sadar—telah kita lakukan menjadi penting sebelum melakukan kritik terhadap rasisme di negara lain.

***

Dalam konteks itulah kemudian ayat yang dibacakan oleh delegasi Irak di Bandung pada 1955 menjadi punya arti penting. Problem rasisme bukan sekadar problem diskriminasi atau hierarki rasial terhadap satu atau dua kelompok. Rasisme punya dimensi dan skala yang lebih besar, dikemas untuk tujuan yang kental dimensi ekonomi dan politiknya. Di masa lalu, rasisme tak terpisahkan dari kolonialisme dan ekstraksi terhadap kekayaan di negara jajahan; tak terpisahkan dari upaya mendudukkan kawan di tampuk kepemimpinan dengan alasan-alasan primordial.

Yang semacam itu perlu dikritik hari ini—sebagaimana gerakan Black Lives Matter di Amerika Serikat atau Papuan Lives Matter telah melakukannya dengan segenap risiko yang harus mereka terima.  Dan Umat Islam juga tidak terbebas dari kritik tersebut. Meskipun Allah dan Nabi Muhammad telah memberikan kita pedoman untuk tidak memandang rendah manusia berdasarkan warna kulit, banyak wacana rasisme yang muncul justru dibalut dengan nafas agama. Mulai dari memandang orang lebih tinggi hanya karena dia orang dengan ras tertentu sampai menolak hal-hal tertentu karena ia dianggap non-Muslim dan mendakwahkan agama-agama lain.

Saatnya rasisme terselubung ini juga dikritik dengan jujur, dikupas dimensi materialnya, dan dilihat sebagai problem mendasar umat Islam hari ini. Hal ini bukan untuk menghilangkan ‘keagungan Islam’. Berkebalikan dari itu, mengkritik rasisme yang terjadi hari ini adalah bagian dari semangat dan nilai Islam yang kita laksanakan sehari-hari.

Fastabiqul Khairat.***


Ahmad Rizky Mardhatillah Umar adalah mahasiswa PhD di The University of Queensland – UQ, Australia

]]>
Islam dan COVID-19: Antara yang “Utopis” dan yang “Ilmiah” https://indoprogress.com/2020/04/islam-dan-covid-19-antara-yang-utopis-dan-yang-ilmiah/ Fri, 24 Apr 2020 04:22:58 +0000 https://indoprogress.com/?p=196423

Illustrasi: Illustruth


Dalam salah satu teks klasiknya, Frederick Engels membedakan dua jenis ‘sosialisme’, yang ia sebut ‘utopis’ dan ‘ilmiah’. Sosialisme utopis, menurut Engels, muncul di Eropa akhir abad ke-18. Mereka –orang-orang seperti Saint-Simon, Owen, atau Fourier, adalah orang-orang yang ‘mengecam’ aristokrasi dan mendorong untuk mengakui hak-hak ‘rakyat’; menyerukan masyarakat tanpa kelas, dan mendorong solidaritas serta revolusi.

Tapi ada satu kesamaan mereka: tidak jelas siapa yang mereka wakili dan tidak jelas apa yang ingin mereka ubah. Pemikiran mereka tidak mewakili kondisi kaum proletariat yang masa itu sedang bangkit untuk melawan aristokrasi kerajaan yang korup dan kaum borjuis yang berkolaborasi dengan mereka. Pemikiran mereka, menurut Engels, bagai menurunkan “kerajaan akal-pikiran” dari surga ke bumi, tenggelam dalam pikiran-pikiran dan cita-cita, dan dan akhirnya, membangun “utopia”.

Salahkah jalan pikiran semacam ini? Tidak sepenuhnya. Konon menurut Erik Olin Wright dua abad kemudian, utopia penting untuk membangun imajinasi bersama tentang ‘keadilan’ dan membangkitkan kesadaran tentang ketidakadilan. Yang terpenting menurut Engels, utopia semacam ini harus disandarkan bukan atas akal-pikiran semata, tapi juga kenyataan. Ia harus dilandaskan pada pemahaman bahwa ada kontradiksi dalam masyarakat, ada kekuatan yang selama ini berkuasa dengan sewenang-wenang.

Dan untuk itu, sosialisme harus didasarkan atas pemahaman yang bersifat ‘Ilmiah’.

***

Ketika COVID-19 menyerang dunia, kita mendapati fenomena menarik: mereka yang ingin memerangi virus semata dengan “agama”. Mereka beredar di grup-grup Whatsapp, menyebarkan konspirasi-konspirasi, menyerukan orang untuk tetap ke mesjid dan berkumpul bersama meskipun ada pembatasan sosial berskala besar, dan lain-lain.

Yang seperti ini banyak ragamnya. Sebagian muncul secara sporadis; dengan menganggap bahwa COVID-19 ini adalah konspirasi WHO, menyerukan untuk “tidak memakai vaksi Bill Gates”, atau malah menyalahkan pihak-pihak yang menyosialisasikan pembatasan sosial untuk tidak mudik atau tidak ke tempat ibadah. Lalu beredar video kelompok keagamaan yang tetap berkumpul dalam skala besar di awal mula penyebaran virus, hingga muncul artis-artis yang bersikeras mencari masjid untuk salat Jumat walaupun sudah dilarang.

Lalu kemudian mereka menjadi ‘kluster’ baru penyebaran virus dan berkontribusi terhadap transmisi lokal.

Ada perilaku lain yang lebih terstruktur dan massif. Bilang bahwa COVID-19 bisa dilawan dengan ‘qunut’ atau sekadar berdoa; menolak saran ilmuwan dan otoritas kesehatan dengan membuka pariwisata, hingga kemudian merespons COVID-19 dengan candaan-candaan. Sedihnya, pernyataan seperti ini jutru terlontar dari orang-orang yang dianggap punya otoritas.

Salahkah perilaku semacam ini?

Tidak ada yang salah dengan doa, aktivitas keagamaan, datang ke masjid, atau memperkuat ibadah mahdhah. Konspirasi mungkin bisa ada sedikit kebenarannya. Tapi itu semua tidak akan membantu kita menghadapi COVID-19 dan dampak-dampak sosial, ekonomi, dan politik turunannya. Kita perlu sedikit menggeser pemahaman Islam yang “utopis” ini dengan cara pemahaman yang “Ilmiah”. Terutama untuk hal-hal yang bersifat mu’amalah duniawiyah seperti masalah pandemik dan kesehatan masyarakat.

***

Dari mana kita mulai?

Berhubung kita akan memasuki bulan Ramadhan, ada baiknya mengulang kembali sejarah turunnya Al-Qur’an. Kita semua tahu bahwa perintah pertama yang muncul dalam Al-Qur’an adalah: Iqra! Bacalah!

Syahdan, ketika Malaikat Jibril pertama kali bertemu Nabi Muhammad di Gua Hira, tiga kali kata Iqra’ terucap. Tapi Baginda Nabi Muhamma—sebagai seorang tokoh yang ummi, tak pandai membaca dan menulis masa itu, menjawab: aku tidak bisa membaca. Hingga kemudian Malaikat Jibril membacakan lima ayat pertama dalam Surah Al-Alaq.

Dalam Surat Al-Alaq, Allah menyuruh kita untuk melakukan tiga hal penting: membaca, menulis, dan mengajarkan pengetahuan. Ini tiga elemen penting yang mendasari pijakan berkembangnya Islam hingga berabad-abad kemudian. Menurut Fazlur Rahman, bahkan pengetahuan sudah menjadi bagian tak terpisahkan dalam kehidupan manusia sejak Nabi Adam.

Tanpa kemauan membaca, susah mengharapkan tumbuhnya ‘ummat’ yang memiliki etos untuk mendorong kemajuan dalam peradaban. Tanpa kemauan menulis, ‘ilmu’ hanya akan berhenti di kalangan elite-elite tertentu, meninggalkan umat dalam kejumudan. Tanpa mengajarkan pengetahuan, kita akan gagal untuk memberikan pencerahan bagi orang lain.

Dengan konsepsi ini, kita tidak bisa memahami membaca sebatas ayat-ayat Al-Qur’an yang bersifat qauliyah, hanya pada membaca Al-Qur’an sebagai sebuah rutinitas. Iqra’ juga berarti membaca ayat-ayat kauniyah, yang berarti memahami cara alam bekerja dan memahami bagaimana manusia berinteraksi dengan alam, mengolahnya untuk bertahan hidup, membantu manusia lainnya, dan mengatasi masalah-masalah yang muncul ketika ‘alam’ menguji peradaban manusia –seperti munculnya penyakit dan virus.

Semuanya perlu dipelajari melalui satu hal penting: sains.

Kita tidak mempelajari sains dan ilmu pengetahuan yang luas semata sebagai ‘mengikuti tradisi Barat’. Islam justru yang mula-mula menjadikan pengetahuan sebagai panglima dalam memahami realitas-realitas sosial dan alam. Ilmu tentu tidak bisa dipilah hanya menurut kategori ‘geografis’ semacam Barat dan Timur.

Pada praktiknya, ilmuwan Muslim menerjemahkan teks-teks klasik filsafat dan pengetahuan Yunani dan mengembangkannya dalam konteks masa itu. Pada masa pencerahan, giliran teks-teks Muslim yang diterjemahkan. Tapi ada satu hal yang penting: perintah untuk menuntut ilmu adalah bagian tak terpisahkan dari ajaran Islam yang mulia.

***

Cukupkah hal tersebut? Ternyata belum.  

Dua tahun berselang setelah surah Al-Alaq turun, tidak ada tanda bahwa akan ada wahyu selanjutnya. Nabi gelisah, dan menurut riwayat mendapati diri beliau terasing dari orang-orang dan takut. Lalu muncullah ayat kedua.

Para ulama berbeda pendapat tentang ayat ini. Pendapat yang umum melihat bahwa wahyu kedua adalah QS al-Mudatsir 1-5. Tapi ada juga yang menyatakan kalau wahyu kedua adalah awal Surat al-Qalam.

Terlepas dari debat itu, mari kita bedah ayat ini. Allah berfirman dalam surah Al-Muddatsir: Hai orang yang berselimut, bangunlah, lalu berilah peringatan dan Tuhanmu agungkanlah, dan pakaianmu bersihkanlah.’ (Al-Mudatsir: 1-5)

Ayat ini menyuruh kita untuk turun dan menyampaikan peringatan kepada masyarakat. Jika kita memahami ayat ini dengan Surah Al-Alaq, perintah Allah adalah bahwa ketika kita sudah punya pengetahuan yang cukup, maka berilah peringatan. Bangunlah dari selimut, bersihkanlah pakaian dan atribut keduniaan kita, dan agungkanlah Tuhan. Perbaiki niat, pahami kontradiksi-kontradiksi dalam masyarakat, dan dorong kemajuan dalam masyarakat. Itulah pengejawantahan ajaran Islam.

Perintah dalam Surah Al-Muddatsir adalah perintah untuk melakukan “dakwah”. Di sini, dakwah penting untuk diinterpretasikan ulang, bukan hanya sebagai seruan kepada masyarakat atas ayat-ayat Al-Qur’an, tetapi juga pengorganisasian kolektif untuk dua hal: menolak kontradiksi-kontradiksi yang terjadi dalam masyarakat, dan berdasarkan pembacaaan yang ilmiah atas kontradiksi tersebut, mencoba menawarkan tatanan masyarakat yang adil.

Dalam Surah Al-Qalam: 10-15, Allah menegaskan,

“Serta janganlah kamu menuruti setiap orang yang suka bersumpah dan menghina. (10), orang yang melecehkan seraya menyebarkan fitnah (11), orang yang menghalangi kebajikan, orang yang melampaui batas serta penuh dosa juga keras kepala (12). Yang bertabiat kasar, dan terkenal kejahatannya; (13) Yang punya harta benda maupun anak-anak; (14) apabila disampaikan kepada orang itu tentang ayat-ayat Kami, orang itu mengatakan: “ini adalah dongeng orang-orang dahulu.” (15).

Hal-hal semacam ini seringkali muncul di masyarakat kita hari ini. Tapi ada yang lebih berbahaya dan menyengsarakan: jika orang-orang seperti ini adalah orang yang punya kekuasaan. Mereka menggunakan kekuasaannya untuk menindas orang lain, mencerca sains, menolak kebenaran ilmiah, dan menolak membantu orang-orang yang hilang tanahnya akibat dicaplok perusahaan tambang dengan berbagai cara.

Al-Qur’an, dengan demikian, menyuruh kita untuk ‘mengucapkan kebenaran kepada kekuasaan’. Kebenaran itu  bukan hanya sesuatu yang terbangun dalam akal-pikiran, tetapi juga merefleksikan kondisi masyarakat yang nyata. Masyarakat yang terdampak oleh banyak kebijakan pemerintah dan memerlukan keadilan untuk bisa hidup dengan layak. Masyarakat yang strukturnya dipenuhi ketimpangan antara mereka yang kaya, dan mereka yang harus bekerja lebih dari 8 jam sehari hanya untuk mendapatkan uang di atas upah minimum kota. 

***

Pada titik inilah semangat untuk “membaca” punya relevansi. Islam menyuruh kita untuk membuang jauh-jauh cara beragama yang utopis, yang terbatas hanya pada pengamalan hubungan kepada Allah (‘hablun minallah’) tapi menolak sains. Islam juga menyuruh kita untuk tidak buru-buru percaya pada konspirasi dan berpikir secara lebih kritis terhadap segala sesuatunya.

Maka, satu kesimpulan sederhana bisa kita tarik: untuk menghadapi COVID-19, kita harus membuang sejauh-jauhnya pemahaman Islam yang utopis, yang hanya melihat agama sebatas surga dan neraka, atau kafir atau beriman. Islam tidak hadir untuk itu. Islam mendorong kita untuk berpengetahuan, memahami kontradiksi dalam sistem sosial, ekonomi, dan kesehatan kita, dan mendorong penyelesaian masalah secara ilmiah.

Yang hanya bisa diselesaikan melalui pembacaan sains yang menyeluruh, kepercayaan pada orang-orang yang punya pengetahuan kesehatan, disertai dengan transparansi data dan penanggulangan dari pemerintah. Tidak perlu ngeyel untuk beribadah jika memang itu membahayakan orang lain.

Justru, yang diperintahkan oleh Allah dalam Al-Qur’an: bantulah orang-orang yang membutuhkan dan kelaparan. Kritiklah kebijakan yang keliru dan merugikan kita semua (dengan data dan fakta, bukan konspirasi). Tingkatkan solidaritas sosial untuk membantu saudara-saudara kita yang terdampak oleh krisis. Galanglah dana dan bantuan untuk tenaga kesehatan. Bantu mereka menyediakan alat pelindung diri yang cukup di rumah sakit. Jangan salah: hal-hal semacam itu juga bagian dari ‘ibadah’ kita kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Nuun Walqalami Wa Maa Yasthuruun.***


Ahmad Rizky Mardhatillah Umar adalah mahasiswa PhD di The University of Queensland – UQ, Australia  

]]>
Benarkah Umat Islam Tertindas? https://indoprogress.com/2020/03/benarkah-umat-islam-tertindas/ Fri, 13 Mar 2020 03:53:28 +0000 https://indoprogress.com/?p=164010

Sumber ilustrasi: Pixabay


AKHIR-AKHIR ini kita kerap mendengar pendapat bahwa ‘umat Islam sedang tertindas’. Beberapa kalangan membingkai anggapan ini dengan argumen yang beragam. Ada yang bilang bahwa umat Islam tertindas karena tidak lagi dihormati, dimuliakan, dan ditakuti di berbagai negeri. Sebagian lagi berkata karena tidak adanya khilafah.

Di pemilu yang lalu, argumen-argumen semacam ini berseliweran untuk menyerang pihak lawan. Banyak juga yang tidak setuju, dan kemudian bilang kalau anggapan-anggapan semacam itu dibangun sebagai bentuk dari ekspresi Islam Radikal.

Tapi, benarkah umat Islam selama ini memang tertindas? Jika memang benar, maka tertindas oleh apa, dari siapa, dan bagaimana melawannya?

***

Islam memiliki istilah yang cukup khas tentang ketertindasan: zalim. Menurut Cak Nur, dalam bahasa Arab, zhalim (ظلم) berarti ‘gelap’. Secara lebih luas, kata ini kemudian diinterpretasikan menjadi ‘menempatkan sesuatu tidak pada tempatnya’, atau dalam bahasa yang sederhana diartikan sebagai sesuatu yang bersifat tidak adil.

Dalam Al-Qur’an, kata ‘zalim’ merujuk pada beberapa makna. Ia bisa bermakna ‘menyakiti diri sendiri’ (zhalimu li anfusihim). Istilah ini diasosiasikan untuk kaum ‘Ad, Tsamud, dan kaum-kaum lain yang dibinasakan oleh Allah di masa lampau. Dalam Al-Qur’an Surah At-Taubah: 70, Allah berfirman,

Apakah tidak sampai kepada mereka kabar tentang orang-orang sebelum mereka, yaitu kaum Nuh, ‘Ad, Tsamud, kaum Ibrahim, penduduk Madyan, dan juga penduduk negeri-negeri yang telah musnah? Para Rasul telah datang kepada mereka dengan membawa bukti-bukti yang nyata. Allah tidak berbuat zalim kepada mereka, akan tetapi merekalah yang mendzalimi diri mereka sendiri.

Allah menggunakan istilah ‘zalim kepada diri sendiri’ untuk merujuk orang-orang yang mendustakan kebenaran yang disampaikan oleh nabi dan rasul. Mereka mendapatkan kenikmatan (privilege) dalam hal mengolah alam dan cara untuk menghidupi diri, tapi kemudian berbuat ‘zalim’ kepada diri sendiri dengan mendustakan perintah Allah.

Dalam Ar-Rum: 9, Allah berfirman,

“Dan tidakkah mereka berkelana di muka bumi lalu menyaksikan bagaimana kesudahan orang-orang sebelum mereka? Orang-orang itu lebih kuat dari mereka (sendiri), mereka telah mengolah dan memakmurkan bumi melebihi dari apa yang telah mereka makmurkan. Dan telah datang kepada mereka para rasul dengan membawa bukti-bukti yang nyata. Maka Allah sama sekali tidak berlaku zalim kepada mereka, akan tetapi merekalah yang berlaku zalim terhadap diri mereka sendiri.

Kezaliman pada diri sendiri terjadi ketika umat yang diberi ‘privilege’ tetapi melupakan tanggung jawabnya untuk merawat bumi dan berbuat baik kepada sesama manusia.

Istilah ‘zalim’ yang kedua, yang lebih dekat dengan soal ketertindasan yang dialami oleh umat, adalah ketika kita merusak muka bumi dan mendustakan perintah Allah. Dalam Surah An-Naml: 14, Allah berfirman,

Dan mereka mengingkarinya karena kezaliman dan kesombongannya, padahal hati mereka meyakini (kebenaran)nya. Maka perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang berbuat kerusakan.

Istilah ‘zalim’ secara spesifik dalam ayat ini bersanding dengan kerusakan di muka bumi –yang juga banyak disampaikan oleh Allah dalam ayat-ayat yang menyangkut soal lingkungan, kekerasan, hingga hubungan antara manusia. Zalim yang dimaksud di sini adalah merampas hak-hak orang lain, menyakiti baik secara fisik dan sosial, atau melakukan kekerasan pada mereka yang tidak berdaya. Kezaliman seperti ini inheren dalam sejarah manusia dan bersifat nyata: ia merampas hak orang untuk hidup, membuat mereka menderita, dan menciptakan struktur sosial yang timpang.

Salah satu yang diabadikan oleh Allah adalah cerita tentang Firaun. Dalam Al-Qur’an Surah Al-Qashash: 4 Allah berfirman,

“Sungguh, Firaun telah berbuat sewenang-wenang di bumi dan menjadikan penduduknya berpecah belah. Dia menindas segolongan dari mereka (Bani Israil), dia menyembelih anak laki-laki mereka dan membiarkan hidup anak perempuan mereka. Sungguh, dia (Firaun) termasuk orang yang berbuat kerusakan.”

Istilah “tertindas” dalam ayat ini muncul secara spesifik, yaitu “yastadh’ifu tha’ifatan minhum” (menindas sebagian dari mereka). Ayat ini menarik karena secara spesifik memberikan kita contoh tentang penindasan yang dilakukan Firaun, yaitu penindasan yang bersifat struktural. Konteks kezaliman dan penindasan dalam hal ini tidak hanya terjadi antara Firaun kepada Bani Israil, tetapi secara spesifik diceritakan dalam beberapa bentuk: memecah belah kelompok dan mengadu domba mereka dengan kekuasaan yang ia miliki, membunuh anak-anak kecil, dan berbuat sewenang-wenang terhadap kaum yang punya identitas berbeda.

Selain Firaun, ada dua orang lagi yang kerap disimbolkan sebagai bentuk kezaliman yang sistematis dan terlembaga: Haman, teknokrat yang menyalahgunakan pengetahuan untuk mendukung kekuasaan yang zalim; dan Qarun, kapitalis yang menumpuk harta di saat orang lain membutuhkan. Firaun membangun kekuasaan yang absolut, tidak terbatas, dan didirikan di atas kebencian terhadap kelompok lain; Haman, intelektual yang melegitimasi kekuasaan yang korup; dan Qarun, orang-orang yang memiliki kekayaan tetapi enggan untuk mendistribusikannya secara adil.

Ketiga karakter ini terus ada dan berlipat ganda, bahkan sampai sekarang. Sifat Firaun dapat kita lihat dalam diri para penguasa absolut yang membungkam oposisi dengan menebarkan kebencian berbasis identitas. Ketika ada orang-orang yang mengkritik, mereka dikriminalisasi, diusir, hingga dilabeli dengan macam-macam sebutan, entah ‘SJW’, ‘kadrun’, anti-nasionalis, atau tidak loyal terhadap bangsa.

Haman mati di laut merah, namun orang-orang yang punya pengetahuan dan menggunakannya untuk melegitimasi status quo seperti dia sering kita dengar. Ada ilmuwan yang berpendapat etnis dan ras tertentu lebih rendah dari yang lain, dan karenanya dapat dimusnahkan. Ada pula ‘orang-orang intelek’ yang membikin laporan sekadar untuk memuaskan penguasa alih-alih melakukan riset secara jujur dan ilmiah. Banyak pula ahli hukum yang membikin peraturan agar para buruh dapat semakin dieksploitasi karena alasan produktivitas mereka rendah di mata investor.

Qarun sudah terkubur beserta hartanya, tapi masih banyak yang hidup seperti dia: menguasai harta setara separuh kekayaan negara dan hidup di atas peluh para pekerja, punya uang berlimpah tapi hanya memberikan upah para pekerjanya di bawah standar minimum dan pelit memberi cuti, atau menimbun masker dan menjualnya dengan harga berlipat ketika terjadi wabah.

Inilah kezaliman-kezaliman zaman modern: ketika penindasan terjadi secara sistematis dan dilegalkan melalui undang-undang. Siapakah yang kemudian menjadi korban? Tidak lain adalah umat Islam, yang menjadi pekerja, buruh tani, peneliti kontrak, tenaga honorer, sampai serabutan karena tidak punya kesempatan mendapatkan pendidikan yang layak.

***

Mari kembali pada pertanyaan di awal: benarkah umat Islam tertindas? Umat Islam memang tertindas, tapi bukan karena ia tidak lagi ‘disegani’ di negeri-negeri orang atau sebab yang berkuasa kebetulan memeluk keyakinan yang berbeda.

Umat Islam tertindas karena hal-hal yang sifatnya lebih struktural: menjadi korban dari politikus zalim, intelektual yang kerjanya melegitimasi kekuasaan korup, dan sistem ekonomi yang memungkinkan segelintir orang berkuasa di atas peluh keringat mayoritas.

Umat Islam yang bekerja sebagai buruh pabrik, tenaga honorer, peneliti kontrak, petani gurem, buruh tani, atau mereka yang digaji dengan upah minimum jelas ditindas oleh hubungan kerja yang timpang dan dilegalkan dengan peraturan bikinan pemerintah/legislatif. Mereka yang dianggap tidak produktif sehingga upahnya layak diturunkan atau jam kerjanya patut ditambah jelas merupakan umat Islam yang tertindas. Mereka yang dihantui oleh kekerasan seksual di tempat kerja atau di ruang publik juga termasuk umat Islam yang tertindas.

Untuk keluar dari ketertindasan, umat Islam tidak boleh mengulang siklus yang sama untuk: menebar kebencian atas dasar identitas dan agama dan berbuat zalim ketika mendapatkan kuasa. Kita perlu memahami kezaliman dan ketidakadilan yang nyata, mengidentifikasinya secara tepat lewat pengalaman kita sehari-hari, dan melawannya dengan cermat tanpa harus terjebak pada rebutan kursi seperti politisi.

Umat Islam perlu bangkit, dengan, misalnya, berjuang menolak RUU bermasalah serta terus mendorong peraturan yang berpihak pada kepentingan umat yang tertindas dan hubungan kerja yang lebih manusiawi.

Inilah realitas umat Islam yang tertindas, dan di titik inilah pembelaan terhadap agama perlu ditujukan.*** 

Nashrun Minallah wa Fathun Qariib.


Ahmad Rizky Mardhatillah Umar adalah mahasiswa PhD di The University of Queensland – UQ, Australia

]]>