Oase – IndoPROGRESS https://indoprogress.com Media Pemikiran Progresif Mon, 25 Nov 2024 16:14:09 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.4.3 https://indoprogress.com/wp-content/uploads/2021/08/cropped-logo-ip-favicon-32x32.png Oase – IndoPROGRESS https://indoprogress.com 32 32 Film Murahan Rilisan Musim Dingin 2025 https://indoprogress.com/2024/11/film-murahan-rilisan-musim-dingin-2025/ Sun, 24 Nov 2024 23:00:24 +0000 https://indoprogress.com/?p=238574

Ilustrasi: Getty Images


MARINIR AS menyerbu Pantai Scheveningen, Belanda. Segerombolan tentara keluar dari kapal. Tepat di atas mereka, helikopter Black Hawk mengumumkan sesuatu dalam bahasa lokal yang patah-patah.

Warga setempat kaget tapi tidak panik. Dutchies being Dutchies—ketentraman adalah nilai luhur kebangsaan. Seorang pesepeda berhenti, menghela napas, bergumam, “Moet dat nou?”—“Ngapain dah?”

Mau apa marinir-marinir ini? Membebaskan sandera? Mencegah ancaman nuklir? Rupanya bukan. “Blijf kalm, mensen! We komen alleen onze oorlogsmisdadigers ophalen!”—“Tenang saudara-saudara, kami cuma ingin membebaskan penjahat perang!”

Marinir-marinir yang masih menunggak bayar student loan ini ingin membebaskan Benjamin Netanyahu dan Yoav Gallant. Keduanya ditahan Pengadilan Kriminal Internasional (ICC) ketika sedang pelesiran di kawasan bordil Amsterdam.

(saya paham ini tidak masuk akal—tapi terima sajalah mengingat ini film kelas B dan setelah 7 Oktober kita tahu ada banyak pandir di Israel). Film jelek. Tapi dalam skenario terburuk, ia bisa menelurkan banyak sekuel.

Mari kita kembali ke Dunia Nyata bersama Hague Invasion Act, sebuah undang-undang betulan yang memungkinkan Washington membombardir Belanda jika ICC nekat mengadili warga AS atas kejahatan perang. Bayangkan tingkat kepercayaan diri para legislator zaman Bush Jr. sehingga bisa mengarang undang-undang macam ini. Seolah-olah mereka bangun pagi dan langsung ingat: “Oh, blandis-blandis tengil ini dulu nyaris mati kelaparan kalau saja Marshall Plan kita setop. Masih untung bekas jajahannya bisa digencet sampai bayarin utang perang mereka sampai 19 tahun lalu.”

Absurditas tidak berhenti di situ. Pekan ini, Kanselir Olaf Scholz menyatakan bakal menolak mengeksekusi surat perintah ICC jika Netanyahu dan Gallant mendarat di Jerman—negara yang praktis menulis Buku Pedoman Moralitas Eropa sebelum mengobrak-abriknya 86 tahun silam.

Begitulah Jerman, tanah kelahiran para filsuf, pakar mesin, dan aturan-aturan parkir njelimet yang catatan kakinya bahkan punya catatan kaki. Sebuah negara yang setelah Holocaust memoles slogan Nie wieder—“Jangan Lagi”—menjadi semacam ideologi nasional. Sekarang? Ya masih “Jangan Lagi”—kecuali ada hubungannya dengan urusan sumber daya alam dan perdagangan senjata.

Masih dari sekitaran Pantai Scheveningen, berdirilah Penjara ICC—sebuah fasilitas yang sangat nyaman. Para terdakwa kejahatan perang tidak meringkuk di dalam sel, melainkan di kamar yang cukup luas dengan kasur empuk, meja, kamar mandi, dan jendela yang memungkinkan sinar matahari masuk. Mereka punya akses ke perpustakaan, gym, dan dapur. Bayangkan satu co-living space yang penghuninya bukan tech bro tapi para pensiunan jenderal.

Di luar tembok penjara, tak terhitung migran yang harus kucing-kucingan dengan aparat Belanda setelah lolos dari mulut buaya di negeri sendiri. Belum lagi keluarga-keluarga miskin yang harus menunggu puluhan tahun supaya dapat tinggal di social housing. Namun di sini, di penjara ICC, para pelaku kejahatan perang dijatah makan tiga kali sehari, boleh membaca War and Peace atau bahkan merilis album (ehem). Bayangkan, di tengah krisis perumahan Belanda sejak 1970an, seorang lulusan Amsterdam yang nyaris jadi gembel melihat foto-foto Penjara Scheveningen dan berseloroh ke temannya, Bruh, kalau tempatnya kayak gini, kenapa enggak dari dulu aja kita jadi penjahat perang?”

Kecuali untuk Afrika dan Putin, demikian ancaman seorang pejabat senior kepada bos ICC Karim Khan, hukum internasional tampaknya bukan hukum tulen. Ia sekadar saran tentang perlunya menjaga sopan santun.

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.

Di tahun 2024 ini kita masih hidup seperti di zaman bankir-bankir Italia yang mengongkosi perang di sana-sini. Krisis geopolitik adalah rezeki nomplok dan stimulus Q3. Kita masih hidup bersama Paman Sam, imperium yang jelas-jelas menua tapi ogah pensiun. Ekonominya memang tak sepenuhnya bergantung pada sektor pertahanan—yang lebih mirip doping dalam perlombaan pasar. Pengeluaran pertahanan hanya 3% dari PDB. Tapi seandainya besok industri senjata bangkrut, dampaknya akan terasa. Negara-negara bagian seperti Virginia, Texas, dan California akan jadi kota setengah sekarat. Dan tahun depan, orang-orang Amerika yang cuma mau lihat peta ketika Washington mengumumkan perang itu pasti akan bertanya-tanya: “Eh, memangnya di sana pernah ada industri senjata?”

Industri ini bukan cuma soal misil dan tank, tapi juga soal citra. Bom-bom yang dijatuhkan di Gaza, misalnya, adalah panggung untuk pamer dominasi. Tipikal kelakuan artis lawas sudah lewat masanya lalu tiba-tiba muncul di berita karena tertangkap saat pesta narkoba. Ya, malu-maluin sih, tapi setidaknya dunia harus tahu kalau mereka masih ada.

Masalahnya industri pertahanan telanjur jadi pengaman kapitalisme. Perusahaan seperti Raytheon dan Lockheed Martin tak cuma bikin senjata; mereka juga investasi besar di banyak bisnis, termasuk teknologi, terutama AI.

Sialnya, dilihat dari dampaknya, bisnis-bisnis ini ”too big too fail”. Jika terancam bangkrut, pemerintah akan secepatnya mem-bail out. Sekarang coba bayangkan: industri senjata kolaps dalam semalam. Apa ekonomi AS runtuh? Ya tidak sih, tapi pasti ada rusuh-rusuh. Tentara akan kesulitan cari suku cadang. Kota-kota yang bergantung pada kontrak-kontrak pertahanan dari Pentagon akan jadi kota hantu, dan Wall Street, well, krisis. Silicon Valley mungkin akan terus bikin aplikasi kencan, sementara bank-bank akan merilis produk keuangan baru bernama ”sekuritas berbasis misil”. Hidup di Paman Sam akan terus berjalan—bedanya: bom lebih sedikit, pengangguran lebih banyak.

Mungkin industri senjata tetap eksis bukan karena ekonomi mustahil hidup tanpanya, tetapi karena lebih gampang bikin bom ketimbang bangun industri yang super super padat karya. Mereka hanya butuh sedikit pekerja dengan keterampilan hi-tech. Dengan ledakan geopolitik di mana-mana, uang pun berputar lebih cepat di sektor ini—belum lagi yang kecipratan.

Pada suatu hari di Den Haag, seorang jaksa membaca berita tentang surat penahanan ICC yang diabaikan negeri jiran, tentang serangan-serangan dari Tel Aviv yang terus ditolerir. Dia menghela napas, mengaduk kopi, dan mengenang saran-saran lama bekas koleganya yang kini tajir melintir setelah banting setir jadi agen properti.***


Bagus Anwar adalah Pemerhati Sosial Politik

]]>
Bisa Apa Soeharto Kalau Enggak Masuk KNIL? https://indoprogress.com/2023/02/soeharto-masuk-knil/ Fri, 24 Feb 2023 19:19:01 +0000 https://indoprogress.com/?p=237345

Ilustrasi: jonpey


SOEHARTO ingin disebut anak tani dari desa. Tapi majalah Pop menebar gosip bahwa dia sebenarnya adalah anak priayi bernama Raden Rio Padmodipuro alias RL Prawirowiyono.[1] Barangkali karena itu Soeharto akhirnya mau berbagi cerita tentang dirinya.

Dulu, di era 1970-an, seorang Jerman bekas SS Nazi pernah membuat The Smiling General: President Soeharto of Indonesia. Buku OG Roeder itu lalu dialihbahasakan menjadi Anak Desa: Biografi Presiden Soeharto. Belasan tahun setelahnya, ayah dari penggebuk drum Gilang Ramadhan, Ramadhan KH, menyusun buku bertema sama berjudul Pikiran, Ucapan dan Tindakan Saya.

Soeharto tentu saja bercerita tentang masa kecilnya yang pilu. Suatu hari, di zaman pakaian tidak semurah sekarang, kakeknya dari ibu Mbah Notosudiro menyuruh Soeharto memakai sebuah baju. Soeharto senang. Namun rupanya baju itu bukan untuknya, melainkan untuk Mas Darsono, sepupunya. Kesedihan lainnya: Soeharto bocah sering diolok-olok kawan-kawan sepermainannya dengan ejekan “den bagus tahi mabul” yang artinya kira-kira ‘raden bagus tahi kering’. Soeharto kecil diolok sebagai keturunan bangsawan Jawa yang dekat dengan keraton.[2]

Soeharto, untuk ukuran kebanyakan orang Indonesia, berasal dari keluarga yang tidak bahagia. “Hubungan orang tua saya kurang serasi hingga akhirnya setelah saya dilahirkan, mereka bercerai,” aku Soeharto. Tapi Soeharto tidak sial-sial amat. Paman dan bibi di Wuryantoro, Wonogiri, sangat peduli padanya. Bahkan anak paman dan bibinya, Sudwikatmono, yang kemudian tajir melintir di zaman Orde Baru, sempat merasa Soeharto adalah kakak kandungnya.

Soeharto sering dipersamakan seperti Ken Arok meski di masa muda bukan begundal. Penyebabnya, keduanya sama-sama dianggap penguasa yang berasal dari kalangan bawah. Bedanya tentu ada. Ken Arok yang bekas maling itu kerap diakui sebagai leluhur para raja Jawa. Meski Soeharto jelas tidak seperti itu, ia tetap guru yang dimuliakan para jenderal di Indonesia, bahkan di Myanmar yang masih merasakan “Orde Baru” sampai hari ini.


Teekensoldij KNIL

Salah satu ormas yang layak diberikan ucapan terima kasih oleh Soeharto adalah Muhammadiyah sebab salah satu sekolah mereka, Schakel School (sekolah sambungan), menerimanya sebagai murid meski berlatar abangan. Soeharto berhasil lulus dan punya ijazah setara SD 7 tahun macam Hollandsch Inlandsche School (HIS).

Setelahnya Soeharto bekerja di Volksbank (Bank Desa) meski sebentar. Dia melakoninya meski tak suka. Soeharto mengaku mau pekerjaan “apa saja, asal halal.” Walhasil, dia juga pernah kerja serabutan.

Suatu hari kawannya pernah mengabari lowongan juru masak di Koninklijke Marine (Angkatan Laut Belanda), tapi Soeharto menjadikannya “cadangan yang paling akhir.” Apa yang dicoba Soeharto saat itu adalah melamar ke Koninklijk Nederlandsch Indische Leger (KNIL), tentara kolonial yang mengamankan Hindia Belanda untuk Kerajaan Belanda.

Pada masa itu, menjadi tentara hanya jalan keluar bagi orang miskin dan terhina. Di Sulawesi Selatan, ada istilah tongguruk sorodadu, yang artinya seseorang akan jatuh derajatnya jika menjadi serdadu.[3] Sebagian keluarga di Jawa juga menganggap buruk profesi ini meski lebih dari 10 ribu KNIL berasal dari suku Jawa. Bagi orang yang merasa terhina apalagi miskin, jadi serdadu atau teekensoodij adalah jalan untuk bertahan hidup. Dia akan dapat upah rutin dan tidak ada yang berani menghina karena bisa menakut-nakuti orang kampung dengan kelewang.

Soal dunia priayi, buat apa Soeharto memikirkannya? Priayi tidak membuatnya keluar dari kesengsaraan dan kehinaan olokan den bagus tahi mabul.

“Terasa agak lama sampai saya mendapat panggilan atas lamaran saya itu. Saya ikut ujian dan ternyata lulus dan diterima,” aku Soeharto.[4] Maka jadilah Soeharto anggota kompeni.

Soeharto dilatih di Gombong Jawa Tengah selama enam bulan. Ia mulai masuk KNIL sejak 1 Juni 1940 atau setelah Belanda diserang Jerman. Sejak 2 Desember 1940, Soeharto masuk sekolah kader yang membuatnya bisa jadi kopral. Soeharto ditempatkan di Batalion Infanteri KNIL ke-VIII di Rampal, Malang.[5] Soeharto juga pernah ditempatkan di pertahanan pantai Gresik dalam rangka praktik. Seingat Soeharto, kawan-kawannya di sana antara lain Amat Sudono, Kosasih, Yayi Suwondo dan Suwoto.

Soeharto menikmati hidup barunya itu. Menjadi tentara memberinya pengalaman berbeda dari pekerjaan-pekerjaan sebelumnya.

Pada bulan-bulan pertama Soeharto dilatih di Gombong, hadir Gustav Adolf Kamagi dari Tondano. Mereka seumuran. Kamagi mengaku dilatih dari 17 Juli 1940 hingga 8 Januari 1941. Kamagi pernah ditempatkan di batalion yang sama dengan Soeharto di Malang, tepatnya sejak 8 Januari hingga 16 Desember 1941. Dia kemudian dikirim bergerilya ke Timor lalu Australia.[6] Kamagi belakangan memimpin pemberontakan tentara KNIL Indonesia melawan otoritas Belanda di Australia.

Kopral Soeharto kembali ke sekolah kader Gombong untuk dilatih menjadi sersan. Pangkat itu sudah merupakan prestasi yang sangat bagus bagi kebanyakan serdadu Jawa. Waktu itu jumlah orang Jawa yang menjadi perwira pun tidak banyak. Soeharto mengaku “menemukan kesenangan dan mulai tertarik untuk benar-benar bisa hidup” sebagai tentara.[7]

Tentara mendapat gaji 60 gulden sebulan dan dapat jatah rumah.[8] Cukup besar bagi orang kampung macam Soeharto. Jadi, angkatan bersenjata kolonial KNIL yang kerjanya menindas orang kampung bersenjata golok yang melawan pemerintah kolonial itu punya jasa kepada pemuda terhina macam Soeharto.

Tapi masa bahagia Soeharto di KNIL hanya berlangsung hingga Maret 1942, ketika Belanda ternyata kecut dan menyerahkan kekuasaan kepada Jepang. Kala itu Soeharto berada di sekitar Cisarua. Dia lalu kembali ke Yogyakarta dan Wuryantoro, jadi pengangguran lagi.


Jepang Datang, Soeharto Gemilang

Soeharto memulai hidupnya dari nol lagi karena KNIL bubar. Mula-mula ia melamar menjadi polisi (keibuho) di Yogyakarta. Lagi-lagi Soeharto menonjol. Dia lulus dengan predikat peringkat pertama dan dilatih sekitar empat bulan. Setelah itu dia diangkat sebagai asisten kepala polisi di Yogyakarta.[9] Di kota itu terdapat seorang polisi bumiputra bernama Raden Panji Soedarsono yang pangkatnya sudah senior waktu Jepang datang. Soedarsono pun menjadi atasan Soeharto. Pada 23 April 1943, waktu hari ulang tahun Kaisar Hirohito, Soeharto masih polisi dan ikut bertugas menjaga keamanan.[10]

Setelah beberapa bulan Soeharto menjadi polisi, Jepang membuka lowongan calon perwira untuk tentara sukarela Pembela Tanah Air (Peta). Soeharto mendaftar untuk calon perwira shodancho (komandan peleton). Pilihannya masuk Peta bukan atas dasar ideologis, melainkan oportunis.[11] Menjadi perwira Peta tentu lebih menarik ketimbang menjadi polisi rendahan. Toh sebelumnya Soeharto muda juga cukup mentereng sebagai sersan KNIL.

Soeharto mengaku: dari sekian banyak pelamar dari Yogyakarta, dia satu-satunya dari polisi yang lulus ujian. Menurutnya dia lancar mengikuti ujian berkat pengalaman pendidikan militer di KNIL.[12] Setelah itu Soeharto dikirim ke Bogor untuk dilatih di Boei Gyugun Rensentai bersama para calon shodancho dari seluruh Jawa. Shodanco setara dengan letnan. Karena itu pelatihan calon komandan peleton jauh lebih berat daripada pelatihan calon komandan kompi dan komandan batalion yang cuma dalam hitungan hari. Supio dan Pranoto Wiyono adalah kawannya semasa pendidikan di sana.

Lulus pelatihan di Bogor, Soeharto ditempatkan di batalion Wates. Dia dan perwira lain seperti Pranoto Reksosamudro ikut membentuk dan melatih batalion PETA tersebut. Soeharto kemudian diikutkan dalam pelatihan calon chudancho (komandan kompi, umumnya terdiri dari tiga atau empat peleton) bersama Pranoto. Pangkat chudancho setara dengan kapten (di atas letnan).

Pada 1942, Soeharto yang masih 24 tahun sudah menjadi kapten di Peta. Pencapaian yang tak terpikirkan olehnya ketika masih remaja di zaman Hindia Belanda. Waktu zaman Hindia Belanda, menjadi sersan di KNIL sudah cukup luar biasa bagi orang desa macam dirinya. Menjadi kapten tentu pencapaian yang lebih membanggakan baginya dan itu sudah cukup membuat orang-orang di Desa Kemusuk, desa kelahiran tempatnya agak kurang dihargai ketika bocah, untuk hormat padanya.

Kalahnya Jepang dalam Perang Pasifik membuat Soeharto jadi pengangguran lagi meskipun sebentar. Dalam hal ini dia harus mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada revolusi kemerdekaan Indonesia. Revolusi memungkinkannya menjadi seseorang yang tidak pernah dia bisa bayangkan ketika masih tinggal di Kemusuk atau Wuryantoro. Pemuda lulusan SD dengan pengalaman sebagai sersan KNIL dan kapten di Peta itu menjadi komandan militer yang dihormati tak hanya oleh rakyat jelata. Di zaman revolusi kepriayian mulai turun harganya.


Memuncak di TNI

Soeharto ikut Badan Keamanan Rakyat (BKR) sebelum masuk Tentara Keamanan Rakyat (TKR). Di sini Soeharto awalnya dapat pangkat mayor dengan jabatan komandan Batalion X di Yogyakarta. Hanya segelintir orang Indonesia yang mencapai pangkat mayor di KNIL. Militer Jepang membuatnya lebih banyak dan Revolusi 1945 membuatnya jauh lebih banyak lagi. Pangkat mayor lalu letnan kolonel tentu membuat Soeharto makin terpandang, baik di militer maupun di masyarakat. Tak ada lagi ejekan den bagus tahi mabul untuknya.

Selain karena memilih militer jauh sebelum 1945, revolusi tak disangkal juga ikut mengangkat derajat daripada Soeharto. Revolusi mampu membuat pemuda dari kampung macam dirinya berharga. Benar kata Parakitri Simbolon, “Revolusi meruntuhkan sistem nilai lama dan menyusun sistem nilai baru.” Parakitri menggambarkan nasib Kusni Kasdut dan mayor bernama Abdullah bekas penarik becak yang di masa revolusi jadi berharga. [13] Bahkan di zaman ini perempuan indo atau priayi rela dinikahi oleh pria-pria yang bukan indo atau bukan priayi.

Pada masa-masa inilah Soeharto berhasil menikahi Raden Ajeng Siti Hartinah yang keturunan keraton pada 26 Desember 1947. Ini adalah sesuatu yang tak dinyana olehnya ketika remaja. Ketika menikah itu Soeharto bukan lagi orang sembarangan. Ia perwira dengan banyak pasukan.

Sebelum 1942, peluang Soeharto diterima keluarga Tien sangat tipis kecuali dia berpangkat letnan. Sebelum 1942, peluang Soeharto jadi letnan di KNIL bukan hanya tipis tapi tidak ada karena tak punya ijazah SMA macam Abdul Haris Nasution. Setelah 1945, Soeharto adalah Letnan Kolonel Komandan Resimen III di Yogyakarta. Soeharto tentu diingat dalam Peristiwa Serangan Umum 1 Maret 1949, terlepas apakah dia otaknya atau sekedar komandan operasi. Soeharto punya jasa sendiri dalam peristiwa itu, seperti juga tokoh lain yang semasa Orde Baru kurang disebut-sebut.

Pada 1950 atau saat revolusi kemerdekaan berlalu, tatanan sosial perlahan kembali seperti semula, hanya saja dengan susunan yang berbeda. Mungkin raden tidak seprestius golongan priayi baru yang tidak jelas darahnya. Soeharto adalah salah satu dari priayi baru itu. Perpindahan kelas katanya memang terbuka tapi sebenarnya tidaklah mudah bagi banyak orang.

Setelah 1950, Soeharto meneruskan apa yang telah dipilihnya pada satu dekade sebelumnya, yaitu terus menjadi tentara. Masa-masa di KNIL telah menyadarkannya bahwa profesi tentara cocok untuknya dan revolusi membuat dirinya melesat menjadi seorang perwira. Setelah pertengahan era 1950-an, dirinya adalah Panglima Komando Tentara dan Teritorium Diponegoro Jawa Tengah.

Setelah 1960 atau 20 tahun setelah diterima di KNIL, Soeharto sudah jadi brigadir jenderal di Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat (TNI AD). Di tahun 1965, Soeharto bahkan menjadi panglima pasukan penting, Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Kostrad), dengan pangkat mayor jenderal. Jadi jenderal adalah sesuatu yang tak dinyana. Ketika dia kecil, tak satu pun orang Indonesia punya pangkat itu kecuali raja-raja Jawa yang dapat pangkat jenderal tituler dari Raja Belanda.

Ketika G30S pecah, Soeharto masih Panglima Kostrad. Setelah Menteri Panglima Angkatan Darat (Menpangad) Letnan Jenderal Ahmad Yani terbunuh bersama beberapa pembantunya, Soeharto mau tak mau dipercaya sebagai Menpangad dan akhirnya Panglima Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib).

Tak ada orang sekuat Soeharto di kalangan tentara setelah 1965. Bahkan Presiden Sukarno pun lebih banyak berharap kepada Soeharto. Meski jauh dari kesan intelek, Mayor Jenderal Soeharto adalah orang terkuat yang menguasai banyak pasukan serta didukung jenderal Angkatan Darat lain. Perlahan tapi pasti, sebagai tentara terkuat, Soeharto menggantikan Sukarno sebagai orang nomor satu di Indonesia.

Begitulah yang dilalui Soeharto lama setelah dia memutuskan masuk KNIL. Tak ada yang bisa sepertinya, baik dulu atau sekarang: cuma lulus SD tapi bisa jadi jenderal lalu presiden.

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.

Zaman sebenarnya tidak sepenuhnya berubah. Apa yang kini terjadi adalah pengulangan zaman sebelumnya dengan kondisi yang agak berbeda saja. Bahkan jenis-jenis priayi baru mulai bermunculan saat revolusi kemerdekaan berlalu. Setelah Reformasi, mahalnya biaya pendidikan tentu melestarikan kemiskinan keluarga-keluarga yang perekonomiannya lemah dan menjaga derajat hidup keluarga-keluarga berada.

Semua tahu saat ini jalan keluar dari kemiskinan makin sulit ditemukan, bahkan tidak lebih baik daripada di zaman Hindia Belanda. Dulu, sebelum 1927, pemuda miskin tapi sedikit bernyali punya dua jalan keluar dari kemiskinan. Pertama, jadi anggota KNIL karena menjamin tidak akan kelaparan. Kedua, ikut Partai Komunis Indonesia (PKI) sebab partai ini memperjuangkan agar rakyat bisa melawan kemiskinan mereka. Kini dua solusi itu tak pernah ada lagi. PKI sudah lama tidak ada dan meski tetap membanggakan, jadi tentara sekarang justru perlu uang. Bahkan banyak orang tua rela bayar ratusan juta agar anaknya jadi tentara.

Soeharto, yang kerap diagungkan pada bulan Maret meski lahir di bulan Juni, tak bisa lagi ditiru perjalanan kariernya. Tak ada lulusan sekolah bintara yang jadi Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD). Kata gosip-gosip di NKRI, KSAD adalah jatah lulusan Akademi Militer di Magelang. Itu terjadi dari zaman Edi Sudrajat sampai Dudung Abdurachman saat ini. Jadi mirip dengan zaman Hindia Belanda, legercommandant (panglima tentara) KNIL selalu lulusan Akademi Militer Breda.

Sulit menemukan lulusan sekolah bintara jadi jenderal setelah 1980-an, apalagi sekarang. Tidak adanya pemuda macam Sersan Soeharto yang bisa jadi jenderal adalah suatu pertanda bahwa kelas perwira di TNI semakin mapan. Artinya revolusi sudah lama berlalu untuk militer di Indonesia.


[1] Di Sekitar Silsilah Pop Itu, Tempo 9 November 1974.

[2] Soeharto dkk, Pikiran, Ucapan dan Tindakan Saya, Jakarta, Citra Lamtoro Gung,1991, hlm. 10.

[3] Haji Daeng Mangemba, H.D. Mangemba, Takutlah Pada Orang Jujur: Mozaik Pemikiran, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2002. hlm. 46-47.

[4]  Soeharto dkk, op. cit., hlm. 19.

[5] OG Roeder, Anak Desa: Biografi Presiden Soeharto, Jakarta, Gunung Agung, 1976, hlm 375.

[6] Arsip Kementerian Pertahanan RI nomor 333: Kumpulan Daftar Riwayat Hidup sesuai daftar tahun 1946-1948.

[7] Soeharto dkk, op. cit., hlm. 20.

[8] Boediardjo, op. cit., hlm. 20.

[9] OG Roeder, op. cit., hlm. 174.

[10] David Jenkins, Soeharto and the Japanese Occupation dalam Jurnal Indonesia Oktober 2009, hlm. 26.

[11] Robert Edward Elson, Suharto: Sebuah biografi politik, Jakarta, Pustaka Minda Utama, 2005, hlm. 39.

[12] Soeharto dkk, op. cit., hlm. 23.

[13] Parakirti Simbolon, Roman Kehidupan Kusni Kasdut, majalah Tempo 8 Maret 1980.


Petrik M, pekerja media sejarah di Jakarta; menulis sejarah sejak kuliah di Yogyakarta.

]]>
Sang Matriarch https://indoprogress.com/2023/01/sang-matriarch/ Sat, 14 Jan 2023 23:35:06 +0000 https://indoprogress.com/?p=237282

PIDATO politik Megawati Soekarnoputri pada peringatan hari ulang tahun Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) ke-50, yang juga dihadiri oleh Presiden Joko Widodo dan beberapa menteri, menjadi peristiwa penting di awal tahun politik ini. Pidato itu menjadi penting karena orang menantikan di dalamnya ada deklarasi calon presiden dukungan PDIP pada pemilihan 2024 nanti. 

Harapan yang sia-sia belaka. Yang terjadi adalah sebaliknya. Megawati mengarahkan pidato kepada Jokowi. Dia mengatakan bahwa nasib politik Jokowi akan “kasihan sekali” kalau tidak ada dukungan legal formal dari PDIP. Terlihat Jokowi tersenyum masam mendengar sentilan tersebut. 

Pidato ini dengan segera menuai kontroversi. Banyak pengamat, dan terlebih para pendukung Jokowi, menganggap Megawati keterlaluan karena tidak menghormati lembaga kepresidenan. Beberapa intelektual merasa tidak nyaman dengan pidato yang kebanyakan memuji diri sendiri itu. Namun, tidak sedikit pula yang mengatakan bahwa melalui pidato itu Megawati sesungguhnya ingin menunjukkan who is the boss dalam PDIP.

Sikap itu tidak terlalu baru. Kita ingat di masa awal pemerintahan Jokowi, Megawati mengeluarkan pernyataan bahwa sang Presiden hanyalah “petugas partai.”  Kontan pernyataan itu menimbulkan kegusaran di kalangan pendukung Jokowi. Para relawan mendorong Jokowi membentuk partai politik sendiri, lazimnya dilakukan orang-orang kuat di republik ini. Dengan demikian dia tidak tergantung pada belas kasihan PDIP. Jokowi menolak. Ia lebih suka mengandalkan dukungan partai-partai. Dia cukup percaya diri bisa bermanuver di kalangan partai-partai politik. 

Jokowi juga tetap memelihara ikatan dengan para relawan. Sebagian dari pemimpin relawan diganjar sebagai komisaris perusahaan negara yang dulunya umum diberikan kepada jenderal-jenderal militer. Sebagian lainnya diangkat sebagai pejabat tinggi negara. 

Jokowi memang tidak punya partai, tapi dia bisa memobilisasi massa.

Hubungan Megawati dengan Jokowi tidak selalu mulus. Jokowi adalah pendatang baru di partai banteng ini. Ia menjadi anggota PDIP pada 2004, menjelang mencalonkan diri sebagai wali kota Solo. Ia berbeda dengan Ganjar Pranowo yang meniti karier politik sejak mahasiswa sebagai anggota Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI). Organisasi ini dianggap sebagai underbow Partai Nasional Indonesia (PNI), faksi terkuat yang membentuk Partai Demokrasi Indonesia (PDI). 

PDI sendiri adalah hasil fusi atau penggabungan paksa oleh pemerintahan militer Orde Baru (Orba). Yang dilebur ke dalam PDI adalah partai-partai nasionalis seperti PNI dan IPKI; partai-partai Kristen yaitu Parkindo dan Partai Katolik; dan partai sosialis kecil bernama Partai Murba. Sejak 1996, PDI pecah menjadi PDI faksi Soerjadi yang didukung oleh Orba dan PDI Mega yang menjadi oposisi Soeharto. Dari sejak itu hingga kini PDI tetap dipimpin oleh Megawati. 

Megawati Soekarnoputri adalah politikus Indonesia yang paling diperhitungkan Jokowi, dan mungkin juga yang paling ia takuti. Selain karena pemimpin partai terbesar, juga karena negosiasi dengan Megawati harus lewat jalan berliku. Politik transaksional yang biasa dilakukan oleh Jokowi terhadap partai-partai lain tidak berlaku untuk Megawati. 

Megawati terkenal sulit diajak bernegosiasi secara langsung. Akibatnya, hubungan keduanya lebih banyak lewat perantara-perantara. Karena itu juga, ketika keduanya bertemu, sering kali ada konfrontasi seperti saat pidato kemarin. Itu bukan pertama kali Megawati me-roasting Jokowi di depan warga PDIP. Itu dilakukan Megawati hanya untuk menunjukkan bahwa sang Presiden bukan apa-apa jika tidak ada dukungan dari partainya. 

Namun, dalam banyak hal, perbedaan antara Jokowi dan Megawati tidaklah esensial. Megawati tidak terlalu peduli dengan ideologi. Kadang-kadang ia masih bicara tentang marhaenisme, sebuah ideologi yang diciptakan ayahnya, Presiden Sukarno. Tapi itu sebagai pemanis bibir. 

Megawati juga bukan pemimpin populis. Ia memang sesekali berbicara tentang “kaum marhaen”, namun tidak pernah mempersoalkan kebijakan-kebijakan Jokowi yang merugikan marhaen atau wong cilik yang diklaim sebagai massa PDIP. Dia juga tidak pernah membicarakan ketimpangan-ketimpangan pembangunan serta tidak memiliki visi tentang bagaimana pengelolaan bumi, tanah, serta air Indonesia yang dieksploitasi habis-habisan oleh kaum modal.

Akhir-akhir ini Megawati sangat menaruh perhatian pada pada ideologi negara, Pancasila. Meski demikian, dia jarang sekali membicarakan bagaimana Pancasila menjadi operatif untuk menyelesaikan persoalan-persoalan bangsa ini. Seperti halnya pada masa Orba, Pancasila ditafsirkan semata-mata sebagai kompas moral yang, sialnya, arahnya tidak pernah jelas. 

Megawati adalah Ketua Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP). BPIP di bawah Megawati hanya meneruskan apa yang pernah dirumuskan oleh Orba. Bedanya, jika Orba memakai Pancasila sebagai alat untuk membersihkan ide-ide yang dianggap tidak sehaluan, BPIP tidak bergerak ke jurusan itu. 

BPIP juga tidak memiliki ide yang jelas dan operasional tentang Pancasila. Misalnya, nilai-nilai Pancasila tidak pernah menjadi  policy guidance untuk memerintah. Apakah sistem perpajakan sekarang itu sudah adil menurut Pancasila? Apakah operasi-operasi militer di Papua sudah sesuai dengan nilai keadaban dan persatuan bangsa dalam Pancasila? Banyak pertanyaan senada bisa diajukan. 

Seperti pada zaman Orba, Pancasila yang “dibina” BPIP lebih ditujukan untuk mengatur dan mengontrol tingkah laku masyarakat dan bukan mengatur tingkah laku negara supaya berbuat maksimal untuk rakyatnya. 

Berbeda dengan ayahnya, Megawati tidak tertarik untuk masuk ke dalam perdebatan-perdebatan mendalam seperti ini. Ia tidak tertarik pada kedalaman berpikir. Megawati memang tidak terlalu tertarik pada intelektualisme, menurut beberapa politikus PDIP yang mengenal ketuanya dari dekat yang pernah saya wawancarai.

Tetapi, seperti ayahnya, Megawati adalah pemimpin karismatik. Ia juga seorang organisator partai yang baik. Ia menjaga PDIP seperti induk ayam melindungi kuthuk atau anak-anaknya. 

Satu karakteristik kepemimpinan Megawati adalah tekad (determination) yang sangat kuat dan nyaris keras kepala. Ini adalah sesuatu yang kontradiktif dengan dunia politik, di mana seorang politikus dituntut untuk fleksibel, pintar bernegosiasi dan mahir membaca situasi. Tapi determinasi dan kekerasan hati Megawati inilah yang justru menyelamatkan PDIP. 

Pada zaman Soeharto, Megawati dikenal sebagai politikus yang sangat pendiam. Ini yang membuat pendukung-pendukung Soeharto meremehkannya. Ia dilihat hanya seorang ibu rumah tangga yang kebetulan anak Sukarno sehingga bisa memimpin partai. Dia bahkan ditertawakan karena masih sempat tidur siang. 

Namun Megawati tidak sediam yang diperkirakan orang. Ia membangun partai dari puing-puing sesudah militer Orba menyerbu markas mereka di Jalan Diponegoro Jakarta dan menyerahkannya kepada Soerjadi, pengurus yang direstui Soeharto. Hari itu dikenal sebagai Peristiwa 27 Juli 1996 atau Kerusuhan 27 Juli (Kudatuli). Para pendukung PDI bekerja keras membangun oposisi hingga ke tingkat basis. Inilah yang membuat PDIP sedikit banyak memiliki andil dalam kejatuhan Soeharto. 

Pengorganisasian ini pula yang membuat PDIP menjadi partai yang paling siap setelah Soeharto lengser. PDIP meraih suara tertinggi pada Pemilu 1999, sebesar 33,74%. 

Namun ketika itu PDIP melakukan blunder besar. Karena yakin memenangkan 1/3 kursi DPR, mereka memutuskan untuk berjalan sendirian (going alone) alias tidak mau berkoalisi dengan partai-partai lain. Akibatnya, partai-partai Islam membentuk koalisi Poros Tengah dan menaikkan K. H. Abdurrahman Wahid menjadi presiden (Megawati menjadi wakil presiden). 

Pada 23 Juli 2001, Presiden Wahid dimakzulkan juga oleh Poros Tengah. Megawati menjadi presiden meneruskan masa jabatan Wahid hingga 2004. 

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.

Sikap going alone ini juga ditunjukkan pada masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), yang mengalahkan Megawati dengan angka mutlak 60,62% vs 39,38% dalam Pemilihan Presiden 2004. SBY adalah mantan menteri dalam pemerintahan Megawati. Secara diam-diam, SBY membangun kekuatan elektoral yang nantinya menjadi Partai Demokrat.

Megawati kembali menantang SBY dalam Pilpres 2009. Lagi-lagi kalah. Megawati tetap enggan membuka pintu kerja sama dengan SBY. Bahkan hingga akhir masa pemerintahan SBY, sikap Megawati adalah tanpa kompromi. 

Selama sepuluh tahun, PDIP menjadi oposisi dan Megawati memakai kesempatan itu untuk membenahi internal partai.

Pada Pemilu Legislatif 2014, PDIP berada di urutan pertama dengan 18,95% suara sehingga meraih kursi terbanyak (109). Selain itu, PDIP juga menaikkan salah satu kadernya menjadi presiden. Penampilan elektoral PDIP semakin membaik pada 2019 dengan meraih 19,33% suara. Partai ini mendudukkan 128 anggota di DPR. Ia merupakan faksi terbesar, jumlahnya 22,26% dari seluruh kursi di Senayan. Perolehan ini menjadikan PDIP sebagai satu-satunya partai yang berhak mencalonkan sendiri kandidat presiden tanpa berkoalisi. 

Kondisi ini melahirkan tanya: akankah PDIP melangkah sendiri untuk mencalonkan kandidat presiden? Selain mampu, juga karena salah satu kader mereka, Ganjar Pranowo, memiliki elektabilitas sebagai front-runner dalam pencalonan presiden. Sebelum memasuki JIExpo Kemayoran, Jakarta, ia bahkan dielu-elukan oleh sesama kader. Namun Megawati tutup mulut. Tak sedikit pun ia menyebut nama Ganjar. 

Sudah rahasia umum bahwa Megawati mengajukan anaknya, Puan Maharani, yang saat ini menjabat Ketua DPR. Namun elektabilitas Puan sangat rendah. Berbagai polling menunjukkan mustahil menyandingkannya dengan kandidat lain yang elektabilitasnya tinggi seperti Ganjar, Anies Baswedan, dan Prabowo Subianto. 

Apakah Megawati akan mengabaikan gravitasi bumi dengan berjalan sendirian dan mencalonkan Puan? Sulit untuk diketahui. Hingga saat ini Megawati menyimpan rapat preferensi politiknya. 

Di dalam PDIP sendiri dukungan terhadap Ganjar terus menguat. Ini karena PDIP tidak memiliki calon lain yang memiliki elektabilitas tinggi. “Pasti Ganjar. Hanya deklarasinya kapan, itu yang kita tunggu,” kata seorang politikus PDIP kepada saya.

Jika langkah politik masa lalu bisa menjadi ukuran, agaknya Megawati memperlakukan Ganjar sekarang seperti ia memperlakukan Jokowi dulu. Ganjar dibiarkan menunggu. Mungkin juga ia sedang menguji loyalitas Ganjar. Megawati tidak ingin Ganjar menjadi mirip Jokowi yang tidak bisa ia kontrol sepenuhnya. 

Megawati telah menunjukkan diri sebagai seorang matriarch dalam PDIP. Ada kelebihan dan kekurangannya. Megawati menjadi tidak tergantikan dan partai ini akan menghadapi masalah besar ke depan, yakni persoalan suksesi. Bila pun Puan naik, dia tidak akan gampang mengambil alih posisi Megawati sebagai matriarch.  

Ironi lain adalah bahwa Megawati justru menjadi seperti Soeharto, pemimpin dominan yang tak tergantikan. Dalam hal ini, dia juga seperti ayahnya, Sukarno, yang juga menganggap dirinya tak tergantikan. 

Masalah terbesar dalam organisasi, entah itu di tingkat negara, partai atau organisasi apa pun, adalah bila seorang pemimpin mengidentifikasikan dirinya sebagai organisasi itu sendiri. Jika itu terjadi, hampir pasti umur organisasi akan sekadar sepanjang umur pemimpinnya. Kalau tidak, perlu pertumpahan darah untuk melakukan suksesi kekuasaannya.***

]]>
Lupa Aturan Main https://indoprogress.com/2021/12/lupa-aturan-main/ Sat, 04 Dec 2021 15:11:49 +0000 https://indoprogress.com/?p=236428

Ilustrasi oleh Jonpey


PADA Februari 2013, sebuah keputusan bersejarah diketok: Kementerian Perempuan Prancis menyatakan Dekrit November 1799 tidak lagi berlaku. Dektrit itu menyatakan larangan bagi perempuan untuk mengenakan celana panjang.

Sepanjang sejarahnya, Prancis sedikit sekali mengubah aturan ini, yakni pada 1892 dan 1909. Hanya ketika bersepeda atau berkuda perempuan dibolehkan menanggalkan rok dan menggantinya dengan celana—itu pun harus minta ijin polisi.

Dalam konteks tertentu, penghapusan Dekrit menjadi penting, mengingat rok masih dipandang sebagai pakaian standar bagi pejabat dan politisi perempuan di pelbagai lembaga negara. Pada akhir 1970an, Chantal Leblanc, anggota parlemen dari Partai Komunis Prancis, sempat sekali dilarang memasuki gedung DPR Prancis karena tak memakai rok. Bertahun-tahun kemudian, Leblanc diingat sebagai seorang dari segelintir warga DPR perempuan yang mengenakan pantalon.

Apakah selama 200 tahun tidak ada perempuan Prancis yang nekat bercelana panjang? Bagi kebanyakan orang, penghapusan itu terlambat. Selama dua abad, tak terhitung banyaknya pelanggaran atas Dektrit. Pasca-Perang Dunia II, ketika semakin banyak perempuan bekerja di sektor-sektor yang sebelumnya didominasi laki-laki, rok semakin usang. Puncaknya, pada hari-hari setelah protes akbar Mei 1968, perempuan yang mengenakan celana panjang—atau pakaian laki-laki secara keseluruhan—adalah pemandangan lumrah.

Barangkali tak berlebihan jika sebagian orang menyamakan penghapusan Dektrit 1799 dengan pengakuan Gereja Katolik bahwa teori Galileo sepenuhnya benar. Masalahnya, Vatikan baru mengakui bahwa bumi mengelili matahari pada 1992, tepatnya 359 tahun setelah mereka memenjarakan Galileo dengan tuduhan bid’ah.

Dekrit November 1799, dengan kata lain, telah lama tidak relevan ketika dihapus pada 2013. Dalam kurun 200 tahun itu memang ada beberapa perjuangan legal untuk meninjau kembali Dektrit. Namun, yang lebih punya daya desak tinggi rupanya adalah pelanggaran-pelanggaran sehari-hari yang tak terhitung jumlahnya, yang kerap dilakukan secara sporadis dan perseorangan, tapi tapi tak jarang juga dilakukan beramai-ramai dalam aksi-aksi protes berskala besar. Berkat pelanggaran-pelanggaran inilah Dektrit ditinggalkan. Polisi pun malu jika harus menahan perempuan dengan alasan pakaian.

Satu pelajaran penting dari sini adalah normalisasi pelanggaran. Ini tidak hanya berlaku untuk aturan berpakaian, tapi di banyak area hukum lainnya. Salah satunya isu penodaan agama.

Hampir seluruh negara Eropa hari ini memiliki pasal yang bisa memenjarakan orang dengan tuduhan penodaan agama. Belanda baru menghapusnya pada 2012, disusul tiga tahun kemudian oleh Norwegia dan Islandia. Belakangan, seiring dengan maraknya aksi teror berdalih ‘pembalasan atas penista agama’ di Eropa, debat tentang hukum penodaan agama kembali muncul. Namun, puluhan tahun lamanya, setidaknya sejak 1960an, pasal-pasal ini amat jarang dipakai. Di Denmark, orang yang dituntut dengan pasal penodaan agama pada 1970an, dengan mudahnya dibebaskan dari dakwaan.

Otoritas keagamaan tradisional di Eropa memang telah lama tergerus, sehingga wajar jika pasal-pasal penodaan agama akhirnya diabaikan. Tapi sungguh keliru jika Anda membayangkan proses ini berlangsung seketika berkat rasionalitas pemuka agama, politisi, pembuat kebijakan, dan aparat negara. Sekularisme diperjuangkan dengan darah dan barikade—juga oleh lelucon dan pembangkangan kecil-kecilan. Pemuka agama, politisi, pembuat kebijakan, dan aparat semua dipaksa untuk beradaptasi dengan pelanggaran-pelanggaran hukum oleh khalayak, yang seringkali dipraktikkan dalam keseharian, tapi kadang muncul sebagai ledakan protes yang merepotkan aparat.

Di alam demokrasi, tidakkah lebih repot untuk mengirimkan puluhan ribu orang ke dalam penjara karena satu pelanggaran ketimbang membatalkan aturan yang menyalahkan pelanggaran itu?

***

Pada Maret 2014, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menandatangi sebuah keppres yang mengganti istilah “Cina” menjadi “Tionghoa”. Kata “Cina” dinilai diskriminatif dan merugikan minoritas warga Tionghoa yang telah menjadi korban persekusi di Indonesia bertahun-tahun lamanya.

Namun, tak sampai tiga tahun kemudian, “Cina” kembali digunakan beramai-ramai sejak 2 Desember 2016. Hanya dalam semalam, Gerakan 212, sebuah gerakan protes yang didorong oleh sentimen rasial dan dijustifikasi oleh keresahan ekonomi, mengobrak-abrik Keppres dan sekian banyak upaya yang telah ditempuh untuk mengakhiri diskriminasi rasial.

Sejak itu para politikus lebih leluasa memainkan kartu ras baik secara subtil maupun terang-terangan. Sejak itu Gerakan 212 sukses menciptakan voting bloc yang memainkan isu ras dan agama di setiap pemilihan atas nama “syariah” dan “pribumi”.

Kita sudah paham bagaimana Gerakan 212 adalah gerakan reaksioner. Tidak ada nilai yang bisa dibela dari gerakan ini. Namun, jika ada yang bisa dipelajari dari 212, maka itu adalah pelanggaran norma sosial dan hukum secara kolektif melalui gerakan massa. Anda dipersilakan merisak ‘Cina’. Anda diperbolehkan menyerang apapun yang bukan ‘pribumi’. Dan akhirnya, pada 2 Desember 2016 dan setelahnya, Anda diharuskan mengambil sikap apakah untuk berada di dalam atau di luar ‘umat’.

Lima tahun setelah aksi 212, Keppres SBY dan semua aturan polisi yang melarang ujaran kebencian masih berlaku. Tapi siapa yang ingat?

***

Hanya beberapa bulan setelah protes besar-besaran #ReformasiDikorupsi pada September 2019, UU Cipta Kerja disahkan. Dalam situasi pandemi yang mempersulit protes, Presiden Jokowi mengumumkan bahwa keberatan atas undang-undang yang akrab disebut Omnibus Law tersebut bisa diajukan melalui Mahkamah Konstitusi.

Setahun kemudian, November 2021, Mahkamah Konstitusi menyatakan UU Ciptaker tidak konstitusional. Respons cepat Jokowi: materi dan substansi UU Ciptaker tetap berlaku.

Sampai di sini kita perlu mengingat kembali kapan saja negara kalah di hadapan hukum namun terus melanjutkan kebijakan-kebijakan yang bermasalah. Pada 2009, Mahkamah Agung melarang pelaksanaan Ujian Nasional. Ujian Nasional baru dihentikan pada 2020 … karena pandemi. Setahun kemudian, UU Badan Hukum Pendidikan yang menempatkan lembaga pendidikan sebagai bisnis komersil dinilai inkonstitusional oleh Mahkamah Konstitusi. Setahun kemudian, muncul UU Dikti yang substansinya sama dengan UU BHP. Pada awal 2017, Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) mengabulkan gugatan warga Bukit Duri terkait penggusuran permukiman untuk normalisasi Kali Ciliwung. Basuki Tjahaja Purnama, yang saat itu masih menjabat gubernur DKI Jakarta, menyatakan akan tetap melanjutkan proyek Ciliwung. Ini baru beberapa contoh kecil.

Advokasi-advokasi hukum yang telah dilakukan pun mentah. Pada akhirnya ia hanya membuktikan bahwa negara salah dan menyalahi hukum. Dan tentu naif jika Anda percaya negara akan setop melanggar hukum hanya karena pengadilan menyatakan bahwa negara telah melanggar hukum.

Kita mengamini bahwa hukum adalah instrumen kuasa. Dengan kesadaran itu kita selalu bersiasat lewat hukum dengan harapan keadilan akan datang dari meja hijau. Tapi itu segenap upaya itu rupanya tidak menjamin bahwa kita mengingat sebuah aturan main: penyelenggaraan hukum sangat bergantung pada alat-alat kekerasan negara … atau oleh massa yang terorganisir. Untuk pilihan kedua, jalan yang perlu ditempuh adalah menyusun daya dan kuasa dari bawah, lantas merawatnya dalam aksi-aksi massa bernapas panjang dan tindakan-tindakan keseharian yang mampu mendelegitimasi produk-produk hukum yang rusak.

Penyelenggaraan—atau sebaliknya, pelanggaran—hukum sangat bergantung pada alat-alat kekerasan negara atau pada massa yang terorganisir. Prinsip ini bahkan dipahami dengan baik oleh negara, dipahami dengan sempurna oleh pemilik modal, lalu dipraktikkan oleh kedua belah pihak melalui tangan aparat.

Bukankah pemberlakuan Omnibus Law adalah puncak pembangkangan terorganisir para pemodal terhadap aturan-aturan perburuhan yang telah mereka langgar selama bertahun-tahun?***


Bagus Anwar adalah pemerhati sosial politik


 

]]>
Breakroom adalah Cara Kapital Mengajarkan Kita Marah https://indoprogress.com/2021/11/breakroom-adalah-cara-kapital-mengajarkan-kita-marah/ Wed, 24 Nov 2021 09:43:31 +0000 https://indoprogress.com/?p=236371

Ilustrasi: Jonpey


SIAPA bilang amarah tak bisa berbuah keuntungan?

Ada masanya kelas menengah identik dengan sekelompok orang yang tidak suka kericuhan dan gandrung harmoni. Mereka kerap dipandang sebagai penghamba orde, pencari wisdom, pecandu mindfulness. Orang terdidik, demikian yang sering kita dengar, tidak semestinya sembrono mengumbar emosi. Hidup yang baik haruslah sesuai tata krama. Belajarlah menjadi stoik, sebab itu akan membantumu berlayar di dunia yang makin kacau.

Itu dulu, zaman ketika kita diminta percaya bahwa segala teater horor abad ke-20 sudah tutup tirai pada 1989. Komunisme ala Soviet habis. Tembok Berlin runtuh. Akhir Sejarah sudah tiba. Teknokrasi menggantikan ideologi. Dialog menggeser konfrontasi. Semua partai bergerak ke tengah. Dengan pemberlakuan pasar bebas di berbagai belahan dunia, mobilitas kelas adalah soal waktu. Partai atau serikat tak penting lagi bagi proletariat; pekerja lebih butuh stock options di perusahaan-perusahaan tempat mereka bekerja.

Tapi dekade 1990-an sekadar menanam bara di dalam sekam. Selama dua dasawarsa berikutnya warga dunia terhenyak dari mimpi Akhir Sejarah: dunia membara akibat kampanye teror dari kelompok-kelompok sipil dan negara, pengungsi di mana-mana, siklus krisis kapitalisme semakin pendek, dan akhirnya tibalah pandemi. Berkebalikan dengan segala spirit stoisisme dekade 1990-an, kemarahan adalah norma dua puluh tahun terakhir.

Pada 2008, Jepang terkena imbas krisis ekonomi dunia. GDP negeri sakura menurun. Ekspor anjlok. Angka pengangguran bertambah meski tidak seburuk Amerika Serikat yang jadi biang kerok krisis. Pada tahun yang sama, berdirilah The Venting Place di Tokyo.

Konsumen The Venting Place, lapor Telegraph, boleh memilih barang mana saja yang akan mereka hancurkan. “Harganya bisa 200 yen untuk cangkir kecil sampai 1.000 yen untuk piring besar.”

“Hidup sangat susah. Banyak hal membuat kita cemas. Aktivitas seperti ini menyegarkan. Saya bisa menjalani hari esok,” ujar Masaki Ogaware, seorang salesman, kepada Telegraph.

Konsep The Venting Place, yang muncul dari pengalaman resesi Jepang, kelak ditiru di berbagai kota lain di dunia, termasuk Breakroom di Jakarta yang belakangan ramai dibicarakan.

Di alam neoliberal, apapun termasuk kemarahan bisa mendatangkan untung. Partai-partai sayap kanan di banyak negara mendulang suara besar dengan menjual kemarahan terhadap minoritas. Para politisi Indonesia memimpikan elektabilitas yang lebih besar, lalu mereka mengadakan sidak dan marah-marah kepada bawahan di depan kamera.

Kaitan erat kemarahan dan politik bukan barang baru. Kumpulan esai Pankaj Mishra berjudul Age of Anger (2017), misalnya, mendokumentasikan bagaimana dunia modern hari ini dibentuk dan ditempa oleh amarah, mulai dari Perang Dunia I yang melahirkan black shirts di Italia, imigran terasing yang bergabung dengan kelompok teroris, hingga para pemimpin dunia yang berambisi merombak tatanan global dengan fondasi yang lebih brutal.

Tentu pebisnis The Venting Place berharap cuan dari orang-orang marah. Sayangnya, saluran kemarahan bukan sesuatu yang netral. Tiap kanal kemarahan mengajarkan kita cara yang khas untuk mengekspresikannya.

Ressentiment (rasa dengki, benci, dan bermusuhan) yang digali Mishra dari Rousseau—yang disebutnya sebagai “indignant outsider in Parisian salons”—lahir dari dunia yang kacau balau akibat kapitalisme industrial. Kapitalisme punya janji inklusif, namun dalam praktiknya mengasingkan sebagian besar orang dan memupuk kebencian dan amarah massal.

Tapi, pelbagai ekspresi marah itu tak selamanya menyasar ke jantung eksploitasi terhadap manusia dan alam. Partai-partai kiri memang mekar sepanjang abad ke-20 dan mengarahkan ressentiment kepada pemilik modal. Namun, sebagian orang lainnya memilih menyalurkan amarah sebagai pengikut Mussolini, dan sebagian lagi menjadi Timothy McVeigh atau Noordin M. Top. Yang satu ingin mendirikan Negara Islam, yang lain ingin mengusir Muslim dan membuat India menjadi sehindu-hindunya.

Semua kemarahan tersebut berkembang menjadi ideologis. Ia menjadi bahan bakar untuk berbagai proyek sosial yang melibatkan orang banyak, serta benih tatanan politik yang dimimpikan bersama—terlepas dari jenis dan kualitasnya. Kemarahan bersemayam di dalam individu. Tapi dalam ideologi, ia menjadi milik khalayak.

Dan inilah yang membuat Breakroom berbeda dari proyek-proyek ideologis: ia mengindividualisasikan kemarahan dengan tarif Rp50.000 hingga Rp100.000 per sekian menit. Orang-orang yang setiap hari diinjak di tempat kerja bisa menghempaskan amarah dengan memecahkan piring dan perabot rumah tangga lainnya agar, sebagaimana dikatakan sang salesman Jepang, “bisa menjalani hari esok.”

Kita sudah sangat sering menyimak berbagai macam kisah tentang kekerasan massal di ruang publik. Penembakan massal di sekolah-sekolah dan kantor-kantor di Amerika Serikat misalnya. Atau kerusuhan dan penjarahan pada Mei 1998 di Jakarta. Meski melibatkan faktor eksternal—misalnya bisnis senjata api di AS atau elemen-elemen rezim lama dalam kerusuhan di Indonesia—orang-orang marah ini pada dasarnya menghendaki spontanitas. Orang berharap kemarahannya lekas tuntas begitu ia bertindak—dengan cara apapun, dengan sponsor siapapun.

Tempat seperti Breakroom menawarkan kelekasan semacam itu tanpa darah orang lain—dan tanpa telinga orang lain.

Di dunia yang lebih lumrah, ketika Anda marah, orang lain bisa bersimpati dan boleh jadi merasakan kegelisahan yang sama. Dari sana bisa muncul percakapan, pertemanan, perkumpulan, dan mungkin juga aksi-aksi kolektif.

Situasinya berbeda di wahana penyalur kemarahan yang terkontrol seperti Breakroom. Pada akhirnya si orang marah mungkin akan lebih siap menjalani hari baru, atau bisa juga semakin akrab dengan pentungan dan akhirnya terbiasa memecahkan masalah dengan bahasa kekerasan. Yang jelas, tak ada yang mendengarnya. Kemarahannya pun menjadi urusan privat.

Bayangkan jika kelak banyak perusahaan menyediakan fasilitas marah-marah di tempat kerja. Anda, yang gajinya stagnan, tidak diharapkan untuk mogok dan protes. Anda akan dituntun untuk masuk ke sebuah ruangan di mana Anda akan menghancurkan puluhan printer. Bahkan foto bos Anda, ironisnya, mungkin juga akan dipajang dan perusahan memperbolehkan Anda untuk menggebukinya sampai habis berkeping-keping. Toh, itu lebih baik ketimbang Anda betul-betul memukuli atasan yang setiap hari merecoki kerja-kerja Anda.

Gambaran ini bukannya mustahil. Pada 1990, tidak ada orang yang membayangkan bahwa perusahaan tempatnya bekerja akan mengurusi suasana batin pekerjanya dengan membuat program mindfulness untuk karyawan. Kini mindfulness adalah mantra yang lumrah keluar dari mulut CEO. Hasilnya adalah pembiasaan solusi instan: jika Anda mengeluh karena dibayar rendah untuk jam kerja yang panjang, Anda cukup meditasi. Jika Anda masih menggerutu bahkan marah, itu artinya Anda bukan pribadi yang mindful, tidak cocok dengan gambaran warganegara yang rasional, kosmopolit, terpelajar, mawas diri, dan mampu menjadi tuan bagi diri sendiri.

Baiklah, ujar si bos. “Sudah marah-marahnya? Setelah ini Bapak dan Ibu semua perlu belajar financial planning.” ***


Bagus Anwar adalah pemerhati sosial politik


 

]]>
Muda Jual Hermes, Tua Main ke Mars, Mati Masuk Surga https://indoprogress.com/2021/07/muda-jual-hermes-tua-main-ke-mars-mati-masuk-surga/ Thu, 29 Jul 2021 07:54:34 +0000 https://indoprogress.com/?p=233421

Ilustrasi: Jonpey


MINGGU lalu, entah mengapa, saya ingin jadi orang kaya. Ini karena saya melihat sebuah berita. Seorang artis menyumbang 30 juta rupiah untuk dapur umum penanggulangan Covid-19. Nanti dulu. Saya tidak sinis. Sama sekali. Saya hanya gumun, kagum sambil bengong. Kok ya ada orang mau menyumbang sebesar itu!

Kalau orang-orang kaya menyisihkan uang jajannya Rp30 juta untuk membeli tas Hermès saya tidak akan begitu kagum. Itu biasa. Orang berduit membelanjakan kekayaannya. Biasa sekali bukan?

Bahkan orang kaya model Zuckerberg atau Gates, yang menyumbang puluhan milyar dolar untuk berbagai macam hal yang berhubungan dengan kemanusiaan tidak membuat mulut saya menganga. Saya tahu persis bahwa itu cara mereka mendistribusikan kekayaan sekaligus menghindari pajak. Itu cara mereka menghindar dari kontrol negara.

Bukankah itu bagus untuk kemanusiaan? Jawabnya bisa iya. Bisa tidak. Iya, karena mungkin orang ini benar-benar membelanjakan uangnya untuk orang banyak. Tidak, karena hanya dia yang bisa mengontrol untuk apa uang itu.

Negara dikontrol oleh banyak orang. Kalau saja uang-uang ini diberikan untuk negara dalam bentuk pajak, semakin banyak orang bisa mengontrolnya. Justru itu yang dihindari oleh orang-orang superkaya ini. Oh ya. Bukankah ditengah-tengah pandemi ini mereka justru bercita-cita meninggalkan bumi manusia dengan segala kesengsaraannya dan mau hidup di planet lain?

Orang seperti Jeff Bezos dan Elon Musk sudah bercita-cita mengkoloni Planet Mars. Bisa bayangkan mau jadi apa dia disana? Saya bayangkan mereka akan bikin koloni yang bisa mereka kontrol.

Nah, bisa paham mengapa menjadi kaya itu baik? Ya karena Anda bisa mengontrol sendiri apa yang Anda mau. Kontrol adalah kekuasaan.    

Nah, kita kembali pada Mbak Artis yang bikin patah hati banyak pria karena memilih kawin dengan anak sultan minyak itu. Apa yang dia lakukan jelas mulia. Sangat mulia. Dia berhak atas surga untuk kedermawanan itu.

Dia tidak hanya terkenal. Dia pintar. Dia bekerja keras dan kabarnya tidak melulu hidup dari kekayaan sang suami dan keluarganya. Ya, kerja keras. Sama seperti Kang Supri sopir GoJek tetangga saya yang pagi, siang, sore, hingga malam klayapan mengantar makanan.

Bedanya adalah Kang Supri hanya bisa mengumpulkan seratus ribu sehari. Perlu waktu 300 hari bagi Kang Supri agar bisa menyumbang seperti Mbak Artis kita itu. Hal yang tidak mungkin karena jika itu dia lakukan, pada hari kelima, dia, istri, dan dua anaknya sudah mati kelaparan.

Kang Supri adalah orang baik. Dia suka menolong orang lain. Dia pernah memberi boncengan gratis kepada si mbok dagang jamu gendong yang kelelahan berjalan pulang.

Mbak Artis juga orang baik. Dia baik kepada semua orang. Dan, seperti yang Anda lihat tadi, dia juga menolong orang dari kelebihan yang dia punya.

Bedanya cuma satu. Kang Supri tidak bisa mengontrol kekayaaan yang tidak dia punyai. Sebaliknya, Mbak Artis lebih punya kebebasan untuk mengontrol apa saja. Dia tidak bertanggungjawab atas makanan untuk buruh-buruh gendong di pasar. Namun, dia memutuskan ikut memberi makan buruh-buruh itu.

Kekayaan adalah kekuatan dan kekuasaan. Nah, disinilah kita masuk ke persoalan yang lebih serius.


Beberapa hari lalu saya membaca berita tentang bagaimana keputusan karantina (lockdown) di Indonesia diambil. Dalam berita itu dikatakan bahwa para elit super kaya Indonesia mendesak Presiden Jokowi agar tidak melakukan lockdown. Alasan mereka, kebijakan ini hanya akan mematikan ekonomi yang sudah mulai tumbuh kembali.

Sementara, saat itu rumah sakit dan segenap infrastruktur kesehatan sudah kolaps. Orang mati dalam jumlah ribuan – dan lebih banyak lagi yang tidak tercatat sebagai statistik. Tapi, orang-orang kaya ini berhasil membuat kebijakan yang menyelamatkan diri mereka. Lockdown berarti bisnis mereka harus tutup. Kekayaan mereka bisa menyusut.

Berita ini tentu saja membuat saya terheran-heran. Mengapa para elit super kaya ini tiba-tiba segaris dengan para penyangkal Covid? Bukankah para penyangkal Covid itu sedari dulu mengatakan bahwa Covid ini adalah ciptaan dan konspirasi para elit super kaya?

Akhirnya terungkap bahwa mereka yang anti-lockdown bukanlah para aktivis pejuang kemanusiaan itu. Tapi, para elit super kaya dan keputusan politik diambil setelah mendengarkan suara mereka! Persetan dengan para pejuang kemanusian dan aktivis yang sekarang lebih banyak berkiprah di medsos itu. Pikiran saya ikut-ikutan konspiratif. Jangan-jangan para pejuang anti-lockdown ini sebenarnya konco-konco para elit super kaya tersebut. Ah, sudahlah. Teori konspirasi tidak akan pernah selesai karena fungsinya hanya untuk menentramkan pikiran-pikiran delusional.

Begitulah. Kekayaan membuat Anda bisa berbuat apa saja. Kekayaan bisa menggoyangkan keputusan seorang presiden, penguasa tertinggi di sebuah negeri. Kekayaan bisa mengubah sikap seseorang.

Oh ya, selain soal anti-lockdown ini, saya juga membaca berita lain. Anda mungkin merasa bahwa pandemi ini sangat merugikan. Banyak usaha bangkrut. Banyak orang tidak bisa bekerja. Banyak yang bahkan tidak bisa makan juga.

Pandemi ini menghilangkan kekayaan. Jumlah orang kaya yang bangkrut tentu banyak sekali. Itu sebabnya para orang kaya melobi Presiden Jokowi agar tidak melakukan lockdown yang merugikan ekonomi dan membuat orang-orang kaya yang sudah terpuruk makin terpuruk. Begitu bukan? Salah sama sekali.

Tahukah Anda apa yang bertambah ditengah pandemi ini? Jumlah orang kaya! Credit Suisse, sebuah lembaga perbankan, dalam studinya mengatakan bahwa jumlah orang kaya yang memiliki kekayaan lebih dari US$1 juta dollar (Rp 14,5 milliar) bertambah dari 106,2 ribu pada 2019 menjadi 171,7 ribu pada 2020. Sebuah peningkatan sebesar 61,7%. Jumlah orang-orang kaya ini hanya 0,1% dari seluruh penduduk Indonesia.

Pandemi ini telah memperlebar kesenjangan sosial. Ia mempertajam jurang kaya dan miskin. Namun, itu tidak berarti yang kaya makin miskin; atau yang kaya tetap kaya; tapi yang miskin semakin miskin. Yang terjadi adalah yang kaya menjadi semakin kaya dan yang miskin menjadi semakin miskin.

Bank Dunia baru saja menurunkan status Indonesia dari negara berpenghasilan menengah atas (upper middle income) menjadi menengah bawah. Ekonomi kita terpuruk. Namun anehnya, yang kaya semakin kaya. Pandemi rupa-rupanya menciptakan kesempatan (opportunity) untuk orang-orang kaya menambah kekayaannya.

Kita kembali ke Mbak Artis tadi. Saya pernah membaca semboyan seorang rekan yang berkerja menjadi pekerja migran di luar negeri. Secara bergurau dia menancapkan semboyannya sebagai, “muda foya-foya, tua bahagia, mati masuk surga.” Mbak Artis kita, menurut saya, jauh melampaui itu. Di dunia pun dia sudah jelas-jelas berpahala dan berpeluang besar masuk surga.

Bayangkan. Kekayaan pun bisa mengontrol katrol Anda ke surga!

Namun, di tengah nafsu besar menjadi kaya tanpa kekurangan hingga surga pun bisa terkontrol itu, saya tiba-tiba mendapati diri saya tidak berdaya. Kalau Anda miskin, sulit sekali untuk Anda menjadi kaya. Sekali Anda terpuruk di dunia ini, Anda hanya akan tersedot lebih dalam seperti terjebak ke dalam lumpur.

Anda memerlukan bantuan. Anda tidak perlu bantuan perseorangan karena bantuan dari yang lebih mampu itu juga semacam kontrol bukan? Para pemikir modern menawarkan bantuan itu. Dialah sesuatu yang lebih besar dari individu, yang bernama komunitas, commune, atau organisasi sosial. Anda berinvestasi di dalam organisasi seperti itu. Ia bisa juga berupa negara – tapi negara yang benar-benar bisa Anda kontrol bukan dikontrol oleh kara plutokrat dan kleptokrat. ***

]]>
Samto, Bencana, Kepemimpinan https://indoprogress.com/2021/07/samto-bencana-kepemimpinan/ Sun, 18 Jul 2021 09:23:29 +0000 https://indoprogress.com/?p=233386

Ilustrasi: Deadnauval


NAMANYA Samto. Ya, hanya itu. Tidak lebih dan tidak kurang. Saya tidak tahu artinya. Barangkali orangtua Samto juga dulu tidak punya pikiran memberikan nama bermakna untuk anaknya. Tapi hari-hari ini, nama Samto menjadi cukup terkenal. Paling tidak, di sekitar kabupaten tempatnya tinggal, yaitu Sragen, Jawa Tengah. 

Samto bukan seorang sembarang. Dia seorang kepala desa atau lurah. Kalau Anda pernah hidup di Jawa, Anda mesti tahu bagaimana berpengaruhnya lurah di wilayah perdesaan di Jawa. Mereka dipilih dengan pemilihan yang kadang tidak kalah hiruk pikuknya dengan pemilihan presiden. 

Nama Samto saya kenal dari media massa. Secara kebetulan saya menyisiri berita-berita tentang PPKM Darurat yang ditetapkan oleh pemerintah demi mengatasi pandemi Covid-19 di wilayah Jawa dan Bali. Sragen terletak di Jawa Tengah. Otomatis ia termasuk wilayah yang terdampak. 

Awalnya saya menelusuri berbagai macam grup di media sosial. Pada umumnya, grup-grup di mana saya bergabung beranggotakan orang-orang biasa. Saya bergabung dengan banyak grup semacam ini di Facebook. Selain juga menjadi anggota beberapa grup WA, yang sebagian besar tidak saya baca. Namun, ada satu saat ketika saya serius membaca semua posting dan diskusi di dalamnya. Untuk saya, grup-grup seperti ini kadang tak sengaja merefleksikan ‘mood’ masyarakat dalam menanggapi banyak persoalan aktual. 

Ketika menelusuri grup-grup itulah saya tahu bahwa ketidakpuasan terhadap PPKM Darurat sedang memuncak di kalangan orang-orang biasa. Mereka bukan selebriti, bukan pula influencer. Mereka hanyalah orang kebanyakan. Tidak jarang saya mendapati mereka membuat meme yang mengolok-olok pemerintah dan aparat keamanan. Keterampilan seperti ini bukan hal istimewa di zaman media sosial.  

Hari-hari ini, sebagian besar yang menjadi sasaran adalah Luhut Binsar Panjaitan (LBP) yang oleh banyak meme dijuluki “Lord Luhut.” Saya tidak tahu persis artinya. Namun, prediksi saya, julukan itu muncul karena peran LBP yang sangat besar dalam pemerintahan Jokowi. 

Dia nyaris dianggap sebagai perdana menteri-nya Jokowi karena diberi tugas membereskan banyak hal. Pun bagi Presiden Jokowi agaknya Luhut adalah “menteri urusan segala sesuatu.” Bahkan. Wakil Presiden pun tidak memiliki pengaruh dan kapasitas sebesar LBP. Sebagai balasannya, LBP menjalankan tugasnya dengan loyalitas penuh. Dia berani pasang badan untuk urusan tidak populer bagi bosnya itu. 

Oh, cukup sudah tentang LBP. Kita kembali ke Samto. Dia adalah Lurah Desa Jenar di Sragen. Dia masuk berita karena dia memasang spanduk sebesar 3×4 meter di jalan utama desa Jenar. Spanduk itu cukup jelas dibaca. Bunyinya pun tidak main-main:


“IKI JAMAN REVORMASI. ISIH PENAK JAMAN PKI. AYO PEJABAT MIKIR NASIBE RAKYAT. PEJABAT SENG SENENG NGUBER UBER RAKYAT KUI BANGSAT. PEGAWAI SENG GOLEKI WONG DUWE GAWE IKU KERE. PEGAWAI SING SIO KARO SENIMAN SENIWATI KUWI BAJINGAN” 

(Ini zaman reformasi, lebih enak zaman PKI. Ayo pejabat pikirkan nasib rakyat. Pejabat yang senang menguber-uber rakyat itu bangsat. Pegawai yang memburu orang hajatan itu kere. Pegawai yang menelantarkan seniman itu bajingan).

Nekat sekali bukan?

Kabarnya, kejengkelan Samto bermula dari aparat-aparat yang membubarkan acara-acara hajatan. Kabarnya juga, Samto jengkel karena petugas-petugas melarang orang berjualan. 

Media-media membentuk narasi bahwa Samto adalah seorang yang tidak percaya Covid-19. Sementara Bupati Sragen mengatakan bahwa Samto mengalami gangguan jiwa. Itu karena dia pernah stroke.


Baliho Samto (detik.com)

Untuk aparat dan pejabat, soal Covid-19 agaknya satu soal. Mungkin soal yang lebih ringan. Mereka lebih takut pada kata-kata “isih penak jaman PKI” (lebih enak zaman PKI) yang ditulis Samto di spanduknya. Glorifikasi terhadap PKI adalah batas yang tidak boleh dilanggar. 

Samto pun dipanggil aparat untuk ditanyai. Di hadapan petugas, dia minta maaf dan mengaku emosi. Dia mengaku melakukan itu karena kesal acara-acara hajatan warganya selalu dibubarkan. “Saya kecewa berat. Ada warga menggelar hajatan tinggal dua hari dibatalkan. Kan kasihan,” katanya.

Sehari setelah dia minta maaf, Samto memberikan izin warganya untuk menggelar hajatan. Ada 800 undangan disebarkan. Hajatan itu dimeriahkan oleh kesenian Campur Sari. Acara dimulai jam 8 pagi, Samto pun hadir disana memberi dukungan. Dia datang tanpa masker. 

Namun, dua setengah jam kemudian, Satgas Penanggulangan Covid-19 Kecamatan Jenar mendatangi hajatan tersebut dan memberikan waktu dua puluh menit kepada undangan untuk bubar. Hal ini memancing kemarahan Samto. Dia mendebat petugas Satgas dan membalikkan dua meja terdepan dengan semua isinya. 


Cerita seperti Samto ini bukan hal aneh. Ia terjadi di mana-mana. Di lapisan bawah, para petugas yang mengamankan kebijakan PPKM Darurat dengan melarang orang berkumpul. Para petugas inilah yang berhadapan langsung dengan rakyat biasa dan bertarung dengan mereka.

Tak jarang para petugas ini over-acting. Satpol PP di Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan, memukul seorang ibu pemilik café yang kebetulan sedang hamil. Ibu tersebut mengalami kontraksi ketika melaporkan kasusnya ke polisi. Satpol PP tersebut akhirnya diproses secara hukum dan menghadapi ancaman pemecatan. 

Di media sosial juga beredar video dan foto-foto petugas yang merampas dagangan para pedagang yang bersikeras untuk tetap berjualan. Tidak itu saja, para petugas juga mengangkuti kursi meja dan alat-alat masak si pedagang. 

Benturan antara para petugas dengan pedagang pun tak terhindarkan. Protes-protes bermunculan. Salah satu yang paling epic adalah protes dalam bentuk Big Promo seorang pemilik café untuk aparat dan pegawai negeri sipil (PNS). Berlawanan dengan promo biasa yang memotong harga kopi dan penganan, di café itu aparat dan PNS harus membayar harga tiga kali lebih mahal dari harga biasa. Namun, kabarnya promo ini tidak begitu berhasil karena tidak ada orang yang berbelanja ke café tersebut di masa PPKM darurat. 

Banyak ahli mengatakan bahwa pandemi ini harus diatasi dengan aksi-aksi kolektif (collective action). Semua anggota masyarakat dituntut untuk mengkoordinasikan aksinya, yakni berdiam di rumah dan tidak berhubungan secara sosial. Ini diperlukan untuk memutus mata rantai penyebaran virus. 

Jika demikian halnya, bukankah orang-orang seperti Samto ini yang justru membuat pandemi ini berkelanjutan? Bukankah pandemi ini menuntut aksi kolektif di mana semua orang diminta berkorban agar semua bisa selamat?   

Nah, disinilah pokok soalnya. Orang-orang yang harus mengoordinasikan aksinya tersebut tidak punya kemampuan dan kapasitas yang sama. Ada orang yang bisa “mantab” (mangan atau makan tabungan) sehingga tidak perlu kuatir akan lapar dan tidak punya tempat untuk tidur. Ada orang menerima gaji tetap – yang meski ada bencana sebesar apapun dia akan tetap mendapat gaji. Dus, dia tetap bisa hidup dan bertahan. 

Tetapi, tidak sedikit mereka yang hidup dengan bekerja harian dengan jatah makan harian pula. Mereka adalah orang-orang yang bekerja hari ini untuk makan hari ini juga. Mereka tidak akan bisa bertahan jika tidak bekerja juga tidak akan bisa bertahan dengan Bansos sebesar Rp300 ribu per bulan yang dijanjikan pemerintah. PPKM Darurat ini sangat memberatkan orang-orang kecil. Bahkan pemerintah pun mengakui itu. 

Anda bisa menuduh bahwa orang seperti Samto melakukan protes karena dia tidak bisa lagi menikmati musik campursari di acara-acara hajatan. Namun, di balik itu ada sesuatu yang sangat absah untuk dilihat. Seniman-seniman tradisional ini sudah tidak bisa bekerja sejak awal pandemi. Bagaimana mereka harus bertahan hidup?

Pandemi ini membuka banyak hal tentang cara kita hidup bernegara. Kita sudah hidup dalam situasi pandemi selama lebih dari 16 bulan. Sekian banyak peringatan dan pelajaran sudah disampaikan. Namun, negara kita tetap tidak bisa mengatasinya. Tidak salah kalau dikatakan bahwa lumpuhnya sistem kesehatan kita sekarang ini adalah mismanagement bencana dalam skala yang sangat epic

Namun, di sisi yang lain, ketika negara lumpuh, kita melihat satu keuletan dan ketangguhan yang luar biasa di sisi masyarakat. Orang-orang sukarela bekerja melayani mereka yang terinfeksi. Masyarakat mengorganisasi penyediaan makanan, shelter, bahkan menyediakan makam dan peti jenazah. 

Angka kematian di rumah sendiri melonjak dengan tajam. Itu juga menjadi bukti bahwa negara ini lumpuh. Jelas negara kita tidak akan mampu menangani bencana sebesar ini. Kita tidak seperti negara Amerika Serikat yang mampu memberikan kompensasi kepada penduduknya yang tidak bisa bekerja. 

Mengapa para pemimpin di negara ini tidak mengoordinasikan kemampuan masyarakat yang besar itu? Mengapa pemimpin tertinggi republik ini tidak menciptakan sistem yang mampu memobilisasi kekuatan rakyat sendiri sebelum bencana ini terjadi? Mengapa dia tidak muncul dan memberikan jaminan kepada rakyatnya bahwa semua ini akan teratasi? Mengapa dia membiarkan bawahannya saling sikut dalam menyampaikan pesan kepada publik? 

Anda mungkin menertawakan orang seperti Samto. Mungkin juga Anda mengutuknya karena akan menggagalkan PPKM Darurat yang kita perlukan untuk menanggulangi bencana ini. Namun, ada satu kualitas yang diperlihatkan oleh Samto yang tidak diperlihatkan oleh elit negeri ini: kepemimpinan. 

Krisis ini tidak saja merupakan bencana kesehatan yang sangat besar. Ia juga bencana kepemimpinan yang sangat besar. ***


]]>
Periskop Investasi Indonesia 2021 https://indoprogress.com/2021/01/periskop-investasi-indonesia-2021/ Sat, 09 Jan 2021 14:13:24 +0000 https://indoprogress.com/?p=232928

Illustrasi: Illustruth


2020 ialah tahun yang ambyar. Mungkin Anda gagal cuan. Mungkin penjualan real estate Anda seret. Mungkin kapal pesiar yang Anda inginkan itu tak bisa terbeli tahun kemarin. Tapi, jangan gusar! Wahai para investor dan manajer investasi, siapkan kocek Anda karena Indonesia siap lepas landas tahun ini!

Betul. Indonesia adalah negara di mana Bali berada kalau Anda belum tahu. Penduduknya diperkirakan akan mencapai 275 juta pada tahun ini, dan kelompok usia terbesarnya ialah… usia produktif! Anda tahu maksudnya bukan? Itu berarti negara ini bakal terus bertumbuh pesat perekonomiannya hingga sekurangnya saja 25-30 tahun ke depan. Pun, penduduknya masih akan terus bertambah. Proyeksinya, 320 juta. Tidak ada rem!

China adalah masa silam. Penduduknya tengah mengalami penuaan. Indonesia adalah masa depan! Dan itu baru berita baik pertama. Oh, sungguh, Indonesia adalah sekumpulan kabar baik.

Tahukah Anda tahun kemarin pemerintahan Presiden Joko Widodo baru saja mengesahkan UU Omnibus Law Cipta Kerja? Kami beritahu saja, UU ini menggembirakan bejibun bisnis dan taipan di negeri ini. UU ini melepas belenggu yang selama ini menghalangi Indonesia merealisasikan potensinya. Berkat UU ini, perusahaan-perusahaan kini leluasa memperkerjakan buruh tanpa mengangkat mereka. Upah minimum pun, kami jamin, tak bakal sama mencekiknya seperti sebelumnya. Ia jelas lebih rendah daripada China dan dalam beberapa tahun ke depan akan lebih rendah daripada Vietnam.

Dan situasi ini berbarengan dengan bakal dibukanya pabrik baterai dan mobil listrik di Indonesia yang memang berlimpah dengan nikel, bahan baku baterai mobil listrik. Pabrik dibuka, buruh murah tersedia. Sungguh kebetulan yang indah bagi perusahaan-perusahaan, wabilkhusus pertambangan dan otomotif di Indonesia!

UU yang luar biasa ini juga mempermudah izin usaha. Izin usaha salah satunya tak mensyaratkan lagi izin lingkungan. Sungguh mengada-ngada ketentuan yang ada sebelumnya! Bisnis sudah dicekik dengan pelbagai birokrasi pemerintahan, mengapa masih diharuskan untuk mengurus izin lingkungan? Dan kini, lahan subur Indonesia yang membentang, menganggur, dan tertutupi hutan itu pun bisa dimanfaatkan. Berterimakasihlah  kepada UU yang menghapus ketentuan lahan tutupan hutan ini.

Anda seharusnya sudah tahu apa artinya ini. Saham-saham perkebunan, kayu, kertas, alat berat eksploitasi hutan itu akan terbang. Saham-saham otomotif dan pertambangan nikel malah sudah ngacir.

Oh iya, saham-saham batu bara, yang selalu berbinar cuannya, juga belum akan redup. “Mengapa?” tanya Anda. “Bukankah tambang dan pembangkit listrik batu bara kini tengah ditutup di mana-mana?” Pertama-tama, UU ini menjamin terlindunginya kegiatan pertambangan dari provokator di masyarakat dan memberi insentif yang menarik untuk bisnis-bisnis terbesarnya. Kedua, jangan bayangkan negeri ini seperti negeri Anda. Kesadaran akan adanya perubahan iklim cuma ada di antara seupil anak muda dan biang masalah bayaran yayasan internasional ibu kota.

Usia bisnis batu bara di negara Anda mungkin sudah tinggal hitungan hari. Usia bisnis batu bara masih panjang di sini. Waktu yang tepat untuk memasukkan uang Anda ke pasar modal Indonesia, bukan? Selagi belum banyak orang yang tahu, Tuan dan Puan.

Dan banyak orang yang juga belum tahu betapa rasionalnya Presiden Indonesia. Hanya sosok pemimpin yang rasional dan berkomitmen 120 persen kepada dunia usaha yang dapat memblejeti segepok UU yang memperlambat bisnis dalam kurun tak sampai setahun. Kini, dia juga akan membentuk SWF—sovereign wealth fund. Bukan, bukan SWF yang akan menaruh cadangan kekayaan negara untuk investasi-investasi menguntungkan. SWF negara kami adalah instrumen untuk mengepul dana asing. Negara akan menghimpun dana dari mana-mana untuk mendanai proyek-proyek infrastruktur strategisnya.

Dampaknya buat Anda? Oh, tentu saja ada bila Anda berinvestasi kepada kami. Negara kami akan kian jor-joran membangun jalan tol, jalur kereta api, pelabuhan, bandara. Uang berjumlah miliaran dolar akan mengalir ke BUMN-BUMN pembangunan infrastruktur. Anda sudah bisa mengendus dari sini tentunya: saham-saham mereka bakal cuan!

Ya… akan ada dampak dari langkah ini. Infrastruktur-infrastruktur tidak akan menjadi milik publik lagi. Tarif mereka akan semakin sulit dijangkau. Wajar belaka. Bunga investasi asing, toh, perlu dibayar. Tapi, itu sama sekali tak perlu menjadi pikiran Anda selama Anda bukan pemakai infrastruktur di Indonesia.

Yang perlu menjadi pikiran Anda adalah kalau Anda kehilangan momen untuk berinvestasi. Bayangkan capital gain miliaran yang hilang dari genggaman Anda hanya karena Anda ragu atau menunda-nunda investasi. Bayangkan kekayaan Anda yang batal berganda begitu pandemi ini benar-benar kelar.

 “Tapi, bagaimana dengan pandemi?” tanya Anda. “Tidakkah itu masih akan menghalau bisnis buat bangkit?”

Ehem. Pandemi memang masih belum akan berakhir di tahun ini. Kami buka-bukaan saja. Vaksin tersedia namun masih belum akan cukup untuk menyuntik 70 persen populasi. Tapi, sudahkah Anda melihat bagaimana negara kami mengomunikasikan pandemi? Pandemi sudah ada di titik pengujungnya. Vaksin akan menjadi jalan keluar dari kegelapan panjang yang tampak tiada ujung ini.

Untuk penyuntikan vaksin perdana nanti, negara kami sudah mengundang banyak dan beragam tokoh publik. Anda akan melihat nanti ada seremoni besar yang mengirimkan sinyal pandemi sudah tiba di endgame. Covid-19 sudah terpojok. Tinggal diskakmat!

Apa lagi? Dalam setiap mengabarkan perkembangan kasus Covid-19, tingkat kesembuhan Covid-19 selalu ditonjolkan. Tingkat kesembuhan nasional “tinggi” dan tingkat kematian “rendah”. Virus ini tidak sefatal yang digembar-gemborkan. Para penggaung anonim siap menyikat para perusuh di media sosial yang melebih-lebihkan dampak virus ini dan tak peduli dengan pemulihan ekonomi negara.

Dan kalau Anda seperti saya yang tinggal di Indonesia, Anda akan tahu bahwa kami punya paspor istimewa yang memastikan kegiatan-kegiatan produktif tetap dapat berjalan. Anda akan mendengarnya setiap saat dan di mana-mana. Paspor itu adalah “protokol kesehatan”. Semua boleh dijalankan asal “memperhatikan protokol kesehatan yang berlaku”.

Kegiatan rapat instansi pemerintahan yang melibatkan ratusan orang di hotel? Boleh. Asal mereka tampak memakai masker selama rapat. Kunjungan-kunjungan kerja? Jalan terus, selama orang-orangnya tampak saling berjauhan selagi difoto.

Intinya, sentimen positif akan terus bertahan. Nilai investasi Anda tidak akan tiba-tiba terjun bebas seperti kalau Anda menaruhnya di negara-negara yang mendadak bisa menerapkan pembatasan ketat.

Jujur, saya tak akan selesai bicara berhari-hari kalau harus merunut satu-persatu proyeksi apik Indonesia di tahun 2021 ini. Saya mau bilang, tak perlu pikir panjang. Kereta saham di Indonesia sudah berjalan menuju puncak barunya, jangan sampai ketinggalan gerbong.

Plus, satu hal penting yang tak boleh ketinggalan saya singgung. Anda tak perlu takut dengan keruwetan politik lagi bila berinvestasi di negara ini. Politik di negara berkembang yang kekuatannya terpolarisasi memang bisa merepotkan. Kudeta dapat terjadi sewaktu-waktu. Demonstrasi berbulan-bulan dapat mematikan bisnis. Tapi, semua pihak yang menjadi oposisi serius di Indonesia sejak 2014 sudah menyeberang ke sisi pemerintahan berkuasa. Mereka sudah diberi mainannya sendiri-sendiri. Jadi, pertama-tama, tidak akan ada yang menjegal kebijakan-kebijakan progresif Joko Widodo.

“Bagaimana dengan gerakan sipil?” tanya Anda. Kalau ada satu hal yang lebih kami percaya daripada komitmen pemerintahan Joko Widodo kepada bisnis, hal itu adalah kebolehannya melucuti bibit-bibit oposisi dari bawah. Saya sulit menggambarkannya secara terperinci dan ringkas. Yang pasti, pemerintahan Joko Widodo bisa memerintahkan aparat, instansi pemerintahan, operator telekomunikasi, asosiasi bisnis dan industri hingga rektor untuk mematahkan potensi keributan.

Anda tentu tidak kenal Rizieq Shihab. Ia adalah orator populis ulung yang mengusung identitas habib. Ia dielu-elukan bak nabi di antara para pengikutnya. Ia menggalang unjuk rasa terbesar sepanjang sejarah Indonesia di tahun 2017. Sekarang, aparat meringkusnya seakan dia bukan siapa-siapa, dengan peraturan yang tak pernah dipakai menahan siapa-siapa. Anda lihat betapa menyedihkan kondisinya sekarang. Sakit dalam sel tahanan dan kesulitan mendapatkan layanan kesehatan.

Maaf, kalau suasana jadi agak muram. Tapi, percayalah, saya sejatinya ingin membagikan kabar baik: persatuan elite politik sangat solid saat ini di Indonesia dan itu kabar baik buat kita! Sepanjang tak ada lagi oposisi politik yang membekingi provokator sipil, situasi politik bakal terus kondusif.

Sekali lagi, kereta saham di Indonesia sudah berjalan. Jangan sampai ketinggalan gerbong.

Eh, omong-omong, ini bukan tabloid The World of Cuan ya?***


Geger Riyanto, Mahasiswa Ph.D. Institut Antropologi Universitas Heidelberg

]]>
Milenial Inovator, Berhala Ngablu Ciptaan Kapital https://indoprogress.com/2020/11/milenial-inovator-berhala-ngablu-ciptaan-kapital/ Sun, 08 Nov 2020 06:55:31 +0000 https://indoprogress.com/?p=232743

Foto: VOA Indonesia


SAYA punya seorang kenalan yang kesengsem dengan Adamas Belva Devara. Media sosialnya menjadi papan sanjungan setiap kali Belva diberitakan. Saking berlebihan pujian dari sang kenalan, saya kerap malu sendiri membacanya.

Dan tentu saja ia ada di pihak sang pujaan ketika Belva menjadi bulan-bulanan belum lama ini. Perusahaan Belva menjadi mitra program kartu prakerja yang kontroversial itu. Dan sisanya Anda sudah tahu, publik menghujat Belva. Fraksi-fraksi di DPR yang nampaknya tak kebagian kue juga ikut mencecarnya. Tak lama berselang, Belva mengundurkan diri dari jabatannya sebagai “staf khusus milenial”.

“Jangan menyerah, Mas,” ujar kenalan saya itu di unggahannya. “Biarkan yang lain berkomentar buruk tentangmu. Tetaplah berkarya untuk bangsa seperti yang sudah kamu lakukan selama ini.”

Saya meringis. Namun, seperti biasa, saya hanya menatap unggahannya. Tak banyak yang bisa dilakukan terhadap seseorang yang sudah memberhalakan satu sosok.

Saya paham kenalan saya bukan satu-satunya orang yang seperti itu. Manusia selalu mencari berhala. Pada “milenial inovator” seperti Belva itulah sebagian dari mereka menemukan berhala yang langka. Mereka mendapatkan sosok yang usianya belia namun kehadirannya sudah berdampak bagi sangat banyak orang. Temuan sosok-sosok ini, yang terasa cerdas dan canggih, mengubah kehidupan. Tak lupa, sosok-sosok ini kaya raya karena inovasinya.

Seorang guru besar ekonomi menyebut Gojek sebagai simbol perubahan, creative disruption, bagian dari proses alam memperbaiki kehidupan. Gojek menciptakan perubahan-perubahan yang mengharukan di masyarakat.

Andai Anda bisa melihat betapa meringisnya saya mendengar sanjungan yang terakhir.

***

Siapakah sesungguhnya para milenial istimewa ini? Saya akan memulai dengan satu kata: avatar.

Mereka adalah avatar kapital yang kini menyerbu sektor teknologi komunikasi. Yang paling istimewa dari mereka bukanlah pikiran inovatif melainkan nasib. Anda, pertama-tama, mesti tahu betapa menggiurkan—sekaligus tidak realistisnya—nilai saham perusahaan teknologi di AS hari-hari ini.

Minggu lalu dan pada Agustus silam, nilai saham yang tercatat di bursa Nasdaq merangkak naik. Ini benar-benar anomali. Indikator ekonomi AS belum memperlihatkan perbaikan berarti. Semua orang masih terperangkap di rumah dan kegiatan-kegiatan produktif belum dapat dimulai kembali lantaran pandemi. Siapa yang memimpin kenaikan saham ini? Perusahaan teknologi, dipimpin oleh Amazon yang eksekutifnya, Jeff Bezos, lebih kaya 48 miliar dolar AS sepanjang pandemi.

Potensi saham di perusahaan teknologi AS bukan cerita baru. Pertumbuhan valuasi saham seratus perusahaan teknologi AS di bursa Nasdaq dalam satu dekade terakhir saja mencapai tujuh kali lipat. Dan kalau Anda investor awal di Amazon dan Anda punya saham awal senilai setahun mengontrak di Yogyakarta, Anda bisa membeli rumah di daerah Menteng hari ini.

Apa yang dikerjakan perusahaan-perusahaan ini? Anna Wiener, yang empat tahun bekerja sebagai customer service di Silicon Valley, mencatat satu guyonan populer tentang apa yang dikerjakan perusahaan-perusahaan ini: mereka sekadar membungkus kembali komoditas barang dan jasa yang sudah lama ada.

Bos-bos dan para penyokong perusahaan-perusahaan teknologi tak suka guyonan itu—meski isinya benar belaka.

Rasanya, saya tak perlu panjang-lebar menjelaskan penerbit-penerbit sudah merambah berbagai kanal untuk berjualan sebelum Amazon lahir. Sebelum dirintisnya aplikasi pesan-antar makanan, penjual-penjual makanan sudah aktif menjajakan dagangannya. Penjualan tiket sudah dilakukan via berbagai agen meski kita belum mengenal platform penjual tiket.

Lalu apa yang dilakukan perusahaan-perusahaan teknologi? Mengepul penyedia komoditas barang atau jasa menjadi satu, menerapkan sistem koordinasi yang bukan cuma memudahkan kontrol tapi juga mengharuskan “mitranya” membanting harga dan bekerja nonstop. Mereka juga mendirikan satu ekosistem raksasa yang membuat “mitra” tak bisa hidup bila keluar darinya.

Namun, ketika perusahaan teknologi berhasil menampakkan bahwa platformnya dipakai masif, berkesinambungan, tak tergantikan, tak perlu membayar banyak-banyak pekerja, sahamnya akan divaluasi dengan luar biasa. Cukup dengan cara ini, para investor bisa mendapatkan kembali modal yang ditanamkannya berkali-kali lipat, sementara perusahaan tak perlu menghasilkan keuntungan spektakuler. Publik akan mengira ini bisnis potensial, baru muncul, tengah bertumbuh, dan … cuan. Mereka akan beramai-ramai memburu sahamnya.

Tapi, ada yang lucu dari sini. Tanyakan kepada analis mana pun: mereka tahu, nilai saham dari sektor teknologi divaluasi berlebihan. Apa sih yang tidak berlebihan dari bisnis yang nilainya melesat sementara semua aktivitas dilumpuhkan pandemi?

***

Dengan kisah sukses perusahaan-perusahaan teknologi melipatgandakan kapital seperti itu, tinggal persoalan waktu kapital meretas jalan untuk bisnis-bisnis teknologi pengepul jasa dan komoditas di negara-negara lain. Dan, percayalah, kapital tak mencari ide yang paling cemerlang atau sosok inovator yang andal.

Anda boleh tak percaya saya karena Anda menganggap saya kiri. Tapi Anda bisa percaya kutipan dari tulisan dalam Harvard Business Review ini. “Ada mitos bahwa para kapitalis ventura berinvestasi di sosok dan ide yang baik,” tandas sang penulis. “Kenyataannya, mereka berinvestasi di industri yang baik—industri yang kompetisinya lebih jinak.”

Saya sempat melihat bagaimana segelintir kolega bertransformasi dari mahasiswa yang baru lulus menjadi wajah depan startup yang paling diperhatikan di Indonesia. Mereka sama seperti saya dan Anda pada awalnya. Bedanya, mereka kenal dengan seorang patron, diminta olehnya mengajukan ide bisnis berbasis teknologi komunikasi yang sebenarnya bisa saja muncul dalam kepala saya dan Anda. Sang patron lantas mendanai seadanya. Mereka membentuk tim kecil, menyewa tempat sederhana, dan menjalankan platformnya yang masih dalam bentuk purwarupa.

Suatu hari, sang patron membawa mereka bertemu dengan investor besar. Presentasi mereka berhasil—entah karena kecemerlangan ide bisnis mereka, entah karena investor merupakan kenalan sang patron. Sekonyong-konyong, mereka harus mengelola uang yang berlimpah. Mereka bebas menghamburkannya asalkan tetap setia pada satu tujuan: menumbuhkan nilai perusahaan.

Setelah mendapat ekspos publik luas, mereka menjelma eksekutif yang kelihatannya memiliki kekuatan besar di usia yang masih belia. Perusahaan mereka diinstruksikan membakar uang sebanyak-banyaknya demi ekspansi—memberikan diskon sinting, menawarkan insentif kepada para “mitra” sebesar-besarnya, memborong prime time seluruh stasiun televisi. Mereka makin dikenal khalayak.

Para eksekutif ini tahu mereka harus tampil dengan meyakinkan dan menonjolkan kebeliaannya demi valuasi perusahaan. Dengan demikian, publik pun percaya perusahaan ini ialah bisnis masa depan.

Namun, apa yang terjadi jika mereka salah manuver, menimbulkan kontroversi, mengundang persepsi miring publik, dan terlihat membahayakan valuasi perusahaan? Mandor-mandor belia ini bisa dituntut mundur setiap saat.

Saya sedang membicarakan sedikit orang yang saya kenal. Tapi, kalau Anda simak pengakuan manajer ventura yang agresif memodali perusahaan-perusahaan teknologi di Indonesia, Anda akan tahu cerita yang barusan saya uraikan ini berlaku untuk yang lain-lain. Para kapitalis ventura tidak menghiraukan apakah perusahaan-perusahaan yang disokongnya akan untung atau tidak. Mereka tahu bisnis sedang dalam “burn mode”. Yang mereka pedulikan: perusahaan perlu terlihat berkembang pesat dan sahamnya terjual mahal saat dilepas ke publik atau pihak lain.

“Yang penting fokus sekarang adalah value creation,” ujar sang manajer.

Dari wawancara itu jelas belaka bahwa sang manajer tak membutuhkan ide bisnis yang brilian. Buat sang manajer, yang penting founder-nya jago. Jago seperti apa? Well, jago adalah kriteria yang sangat rentan disusupi bias hubungan pribadi, rekomendasi orang dekat, atau gelar MBA dari kampus-kampus prestisius.

Sudah jelas mengapa saya meringis ketika ada celetukan bahwa eksekutif-eksekutif belia startup besar adalah inovator yang berkarya untuk bangsa?

***

Saya masih bisa paham kalau anak-anak muda terinspirasi oleh para “inovator belia” ini. Namun, guru besar ekonomi? Kok bisa kena kibul-kibul? Ayolah.

Masalahnya, sesudah pesta pora valuasi bisnis mereka selesai, apa yang terjadi selanjutnya mengkhawatirkan. Yang menyesakkan adalah nasib para pelapak barang dan jasa di ekosistem startup. Pelanggan tidak akan sebanyak itu lagi mencari barang atau jasa transportasi dari luar platform daring mereka. “Mitra” toko-toko daring harus berjualan dengan margin setipis pembatas buku. “Mitra” platform ojek daring hanya bisa pasrah mendapati bonusnya terus berkurang dan harus bekerja lebih lama. Pun, kini mereka harus bersedia didisiplinkan algoritma dan tak punya posisi tawar di depan pengguna serta perusahaan. Pemecatan dari perusahaan berarti hilangnya penghidupan mereka.

Seperti yang sudah disinggung, bisnis-bisnis ini tidak menghasilkan komoditas barang dan jasanya sendiri. Terlepas dari pujian-pujian sang presiden, mereka tak berkontribusi banyak untuk pertumbuhan ekonomi. Malah, kalau preseden di AS benar, tumbuhnya bisnis-bisnis ini adalah sinyal yang menggusarkan. Preseden itu berbunyi: dalam satu dekade terakhir pertumbuhan produktivitas menurun, namun nilai saham, terutama perusahaan teknologi, naik dan terus naik.

Anda anggap saya terlalu sinis lantaran mendakwa para milenial inovator ini sebagai avatar kapital? Saya berhak melakukannya—dan semua berhak sinis terhadap mandor-mandor kecil ini. Semua berhak muak bila mendengar para milenial inovator mulai menyanjung diri sendiri dan bilang ingin merevolusi negerinya.

Belva bilang Ruang Guru ingin merevolusi pendidikan di Indonesia? Oh, pernyataan ini datang dari pihak yang kerja sejatinya cuma broker guru, mendorong guru-guru menawarkan jasa semurah-murahnya, dan memungut biaya yang cukup mahal serta mempersiapkan valuasi yang tinggi untuk perusahaan. Pun, tanpa kehadiran Ruang Guru, akan ada platform sejenis yang siap mengisi posisinya—bukan tidak mungkin dengan pungutan yang lebih ringan karena mereka tak menghabiskan uang untuk promosi gencar dan kopong makna.

Satu hal yang saya tahu pasti: visi tukang urut di dekat rumah saya masih jauh lebih baik ketimbang visi perusahaan semacam ini. Suatu hari, saya membawa badan saya yang letih untuk dipijat di tempatnya. Di dinding rumah saya mendapati pigura bertuliskan visi usahanya:

“Memberikan kebugaran untuk pelanggan kami.”

Reaksi awal saya adalah terhibur. Saya pikir tempat sebetulnya ini tak membutuhkan visi formal, tapi si tukang urut repot-repot membuatnya. Kini, setelah merenungkan kelakuan para inovator muda beserta bisnis mereka, saya sadar betapa lebih apiknya visi si tukang urut. Jauh lebih bagus ketimbang seribu slogan dan kata motivasi mandor-mandor milenial.

Tak ada kebohongan dalam impian “Memberikan kebugaran untuk pelanggan kami”. Ia menggambarkan sebenar-benarnya usaha yang dijalani si tukang urut—seseorang yang tidak mengklaim kerja orang lain sebagai kerjanya.***


Geger Riyanto, Mahasiswa Ph.D. Institut Antropologi Universitas Heidelberg

]]>
Atas Nama Milenial https://indoprogress.com/2020/10/atas-nama-milenial/ Sun, 25 Oct 2020 06:08:20 +0000 https://indoprogress.com/?p=232692

Ilustrasi: Jonpey


APA impian saya setiap kali hari Sumpah Pemuda datang?

Tidak, impian saya tidak muluk-muluk. Saya tidak memimpikan pecahnya revolusi pemuda, datangnya hari pengadilan untuk boomer yang memborong properti dan mengerek harganya ke langit ketujuh, atau turunnya juru selamat berusia di bawah 40 tahun.

Mimpi saya sederhana: para boomer tidak lagi menyanyikan lagu lama yang sumbang itu. Ketika saya terbangun di hari Sumpah Pemuda, saya berangan-angan, tidak ada lagi yang cuap-cuap bahwa milenial generasi kreatif, tak bisa diam, suka tantangan. Tidak ada pembawa acara yang menaruh masa depan bangsa di pundak milenial beseta kecerdikannya berinovasi. Dua puluh delapan Oktober hanya hari biasa yang selingannya ialah seremoni-seremoni menjemukan di berbagai instansi pemerintahan.

Tapi, bahkan mimpi sederhana itu masih terlalu muluk-muluk. Menteri Tenaga Kerja belum lama ini menegaskan pentingnya UU yang tak usah disebutkan namanya itu. Dan seperti yang mungkin sudah Anda tebak, pernyataannya adalah tentang milenial. Bedanya, pernyataan ini membuat saya ingin memaki-maki lebih dari semua pernyataan tentang milenial yang sudah-sudah.

“Sekarang anak-anak milenial kita tidak ingin terikat. Dia suka dengan tantangan baru,” ujarnya. “Memang dinamika jenis pekerjaan dan passion dari anak-anak milenial kita sekarang seperti itu [serba kontrak]. Itu yang harus diakomodasi di UU Cipta Kerja ini.”

Alamak.

***

Tahukah siapa saja yang Ibu sebut milenial itu?

Itu pertanyaan yang langsung terbersit di benak saya dalam kejengkelan berapi-api terhadap pernyataan Menaker. Namun, saya lantas sadar, milenial sendiri ialah satu idiom yang bermasalah—sangat bermasalah. Kapan terakhir Anda mendengar kata milenial sebelum dari pernyataan Menaker tersebut? Tak usah bilang. Biarkan saya menerkanya:

  1. Anda mendapatinya dari brosur properti “hunian milenial”.
  2. Anda membacanya dari artikel “milenial membunuh… [silakan masukan apa pun yang disukai boomer]”.
  3. Anda mendengarnya dari seminar memberdayakan generasi milenial sebagai aset masa depan bangsa.
  4. Anda memperolehnya dari ujaran politisi atau partai politik yang mengklaim mereka memberikan ruang bagi milenial.

Anda perlu tahu, tidak ada satu pun dari antara keempat penggunaan idiom milenial di atas yang memperlakukan generasi yang direpresentasikannya dengan benar. Semuanya adalah bagian dari politik bahasa yang garing sekaligus culas.

“Hunian milenial” adalah hunian sempit yang tak jarang cuma sebesar satu kamar, yang itu pun harus dibeli dengan cicilan dua puluh tahun. Pencicilnya pun masih harus dikerjai secara rutin oleh pengelola hunian. Promosi-promosi kurang ajar pengembang adalah manuver agar hunian memprihatinkan itu seakan didambakan oleh satu generasi. Judul-judul artikel “milenial membunuh…” ialah umpan klik yang tak bermutu. Mereka ingin menjelaskan perubahan yang disebabkan pergeseran teknologi, corak ekonomi, dan komodifikasi. Tapi, apa yang lebih mengundang pembaca kalau bukan judul yang mengambinghitamkan generasi yang lebih belia?

Dua hal yang terakhir saya sebutkan, yang biasanya digadang pejabat dan politisi, adalah klise milenial yang paling garing dan paling culas. Generasi milenial adalah aset bangsa?

No shit kalau pengertian aset adalah penggerak ekonomi. Jumlah mereka besar. Mereka tinggal, mencari makan, dan buang air di NKRI. Namun, adakah sekali saja mereka yang rajin cuap-cuap milenial ini membayangkan juga bagaimana kualitas hidup generasi bersangkutan nantinya? Tidak ada, setahu saya. Konsekuensi dari jargon teknokratis-pop ini adalah generasi “milenial” harus dieksploitasi sebaik-baiknya sebagai motor pertumbuhan, tak peduli jika pertumbuhan itu tidak tentu sejalan dengan kualitas hidup.

Milenial kini direpresentasikan dalam politik? Benar, partai politik konsisten menyuarakan itu. Benar, jumlah caleg anak muda melonjak dalam pemilu 2019. Tapi, kalau Anda sudah lihat siapa-siapa yang terpilih dari generasi ini di pileg DPR, Anda akan mengamini slogan-slogan partai politik tak lebih dari kosmetik elektoral.

Benar, ada nama seperti Angela Tanoesoedibjo yang masih berumur 32 tahun ketika ia diangkat sebagai Wakil Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif. Namun, saya tak perlu menjelaskan bagaimana ia tak duduk di sana untuk mewakili generasinya lebih dari mewakili keluarganya.

***

Nyaris semua ungkapan tentang milenial di dunia politik dan bisnis hari ini luar biasa menyesatkan. Ia cuma menyenangkan penuturnya ketimbang menggambarkan kenyataan.

Wajar belaka apologi menyakitkan hati yang melibatkan milenial diucapkan oleh Menaker ketika ia menjadi samsak buruh dan masyarakat sipil. Presidennya sendiri adalah yang mengalungkan identitas milenial pada sosok seperti Adamas Belvara, Putri Tanjung yang getol bikin startup di sana-sini dan nampaknya takut ikatan kelembagaan akan membatasi kelincahan mereka mengepul koneksi. Kolega-koleganya adalah yang setiap hari memperlakukan generasi ini sebagai objek—sebagai mereka yang harus dimanfaatkan untuk mencapai atau bahkan melampaui target pertumbuhan.

Yang ingin saya bilang adalah bagaimana kita menjelaskan membeludaknya peminat lowongan CPNS setiap kali ia dibuka bila anak muda mendambakan ketidakterikatan? Mengapa banyak dari jebolan segar perguruan tinggi memburu ikatan kerja hingga akhir hayat dalam institusi negara kalau mereka dianggap sebagai penggemar tantangan?

Jawabannya terlampau sederhana: ikatan itu juga berarti ketenangan hingga akhir hayat.

Kenyataannya, ketenangan adalah barang mewah di kalangan milenial. Mewah karena tagihan, cicilan, kebutuhan hidup keluarga selalu menggentayangi mereka. Mewah karena mereka konstan berdebar-debar—kontrak kerja mereka harus dimutakhirkan setiap beberapa minggu sekali. Dan mereka, saya yakin, akan jauh lebih marah dari saya ketika mendengar pernyataan Menaker.

Saya tak tahu berapa jumlah persis kelompok yang saya sebutkan ini. Yang saya tahu dan saya pasti benar tentang ini, mereka jauh lebih banyak dari milenial yang ada dalam kata-kata Menaker dan, jangan-jangan, di imajinasi Jokowi cs ketika merumuskan UU Cipta Kerja. Para minion di Istana, yang dielu-elukan sebagai ‘teladan’ milenial bagi presiden dan jajarannya, adalah kecelakaan sejarah yang sama sekali tak mewakili generasinya. Mereka terdiri dari penerima kebaikan hati investor gede, keluarga pembesar partai atau taipan, broker donor atau makelar politik. Kemungkinan seorang milenial biasa mendapatkan koneksi atau terlahir di keluarga yang tepat seperti mereka jauh lebih dekat ke nol persen ketimbang satu persen.

Karena nyaris nol persen, mereka pada dasarnya adalah representasi yang fiktif. Tapi, seperti kata seorang kawan, anggapan tentang milenial tak ayal mitos pribumi malas yang berkembang di antara kaum penjajah Belanda pada masanya. Anggapan ini tak berdasar dan menghilangkan kemanusiaan dari subjek yang dimitoskannya. Namun, yang penting adalah fungsinya: menyamankan perasaan elite ketika mereka melanggengkan ketimpangan.

Para birokrat Belanda tak perlu merasa bersalah telah memaksa masyarakat jajahannya membanting tulang, menanam komoditas yang ujung-ujungnya bakal disetor kepada mereka. Bila tidak demikian, dalam fantasi mereka, masyarakat jajahan hanya akan bermalas-malasan.

Para pejabat kita pun tak perlu merasa bersalah bila nantinya angkatan kerja baru kita disakiti dengan kerja kontrak silih berganti pasca UU Cipta Kerja. Milenial, toh, menikmati kebebasan.

***

Dalam beberapa hari ke depan, Anda hanya bakal semakin sering mendengar kata “milenial” dicetuskan. Anda tahu apa yang mesti dilakukan: sikapi mereka dengan kecurigaan yang meruah. Generasi yang gemar tantangan, Anda tahu, bisa jadi sekadar basa-basi agar Anda mau diobral negara ke perusahaan-perusahaan. Tanggung jawab sebagai masa depan bangsa bisa berarti Anda harus memikul target pertumbuhan para politisi tanpa harus peduli apakah Anda kelak mendapat kehidupan yang berkualitas.

Saya tahu satu sumpah yang dapat Anda ucapkan tahun ini untuk menimpali mitos milenial bila ia menghampiri Anda. Izinkan saya menutup tulisan ini dengannya.

Kami
Putra dan putri milenial
Mengaku bernasib satu
Kerja kontrak selamanya***


Geger Riyanto, Mahasiswa Ph.D. Institut Antropologi Universitas Heidelberg

]]>