Logika – IndoPROGRESS https://indoprogress.com Media Pemikiran Progresif Fri, 05 May 2023 21:34:05 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.4.3 https://indoprogress.com/wp-content/uploads/2021/08/cropped-logo-ip-favicon-32x32.png Logika – IndoPROGRESS https://indoprogress.com 32 32 Marxisme dan Multiverse https://indoprogress.com/2023/05/marxisme-dan-multiverse/ Fri, 05 May 2023 21:34:05 +0000 https://indoprogress.com/?p=237484

Foto: ArminEP / Pixabay


SIAPA sih di dunia ini yang tidak mau punya jalan hidup mulus? Sayangnya, tidak semua hal bisa sesuai dengan keinginan dan rencana. Para pahlawan super Marvel seperti Spiderman bahkan ingin menghapus ingatan semua orang tentang dirinya; Scarlet Witch memanipulasi warga satu kelurahan untuk memenuhi mimpinya; dan Doctor Strange yang paling sakti pun di lubuk hatinya yang terdalam menyimpan keinginan untuk hidup bersama mantan kekasih

Kita yang cuma pekerja biasa tentu mengalami hal sama. Boro-boro mengganti tatanan kapitalisme atau mengubah dunia, membuat pengeluaran seimbang dengan pendapatan tiap bulan pun kadang cuma jadi wacana.

Di tengah gaji yang cuma segini, kadang ingin rasanya merekonstruksi kenyataan seperti Peter Parker atau mencoba melompat ke semesta lain seperti Wanda Maximoff. Ya, barangkali di sana kapitalisme tak pernah ada atau mungkin saja lebih baik ketimbang yang sekarang kita alami. 

Tapi apa benar begitu? Wah, kalau benar seperti itu, berarti dunia yang lebih baik mungkin ada tanpa perlu hadirnya sosialisme. Ini artinya marxisme, atau kajian kritis tentang cara produksi kapitalisme, selama ini salah total. Gawat, bisa-bisa Lenin dan Mao bangkit dari mausoleumnya kalau mendengar cerita ini.

Sebelumnya, apa sih sebenarnya multiverse itu? Mereka yang menonton Spider-Man: No Way Home dan Doctor Strange: Multiverse of Madness mungkin sudah paham. Singkatnya, multiverse merupakan berbagai semesta lain yang eksis paralel dengan semesta kita saat ini. Di sana ada ruang, waktu, materi, energi, manusia dan segala hal ihwal yang sama dengan yang kita rasakan sekarang. Ada kebudayaan, negara, pemerintah, politikus, selebritas, hingga influencer yang sama dengan sedikit variasi. Tentu ada saya juga di sana, tapi bukan Hugo si penulis Indoprogress melainkan Hugo si pebisnis sukses. 

Saya dalam satu universe tak pernah kenal dengan saya di universe lain karena saya hanya bisa hidup di semesta ini. Namun ada seorang anak perempuan bernama America Chavez yang punya kekuatan super untuk bisa melintasi tiap universe dalam multiverse.


Perabot yang Sama Persis

Mari bayangkan: Anda ikut bersama America dan Doctor Strange melintasi multiverse lalu mendarat di bumi dalam semesta lain, yang punya kondisi serupa namun tanpa hal-hal buruk. Dalam bumi paralel tersebut, para pekerja menikmati hari-harinya di perusahaan milik kapitalis yang dengan murah hati mengizinkan mereka berserikat namun tak pernah berdemo karena sudah bahagia. Buruh dan para intelektualnya mungkin tak kenal konsep eksploitasi, apalagi baca Das Kapital dan belajar pemikiran kiri. Para kapitalis pun sekaligus filantropis sejati dan berkontribusi besar kepada negara untuk melindungi lingkungan. Saya yakin Anda akan bahagia tinggal di sana.

Namun, misalnya Anda belajar marxisme, apakah saraf otak Anda tak tergerak untuk bertanya-tanya di mana kapitalisme yang selama ini disalahkan atas kemiskinan dan kerusakan lingkungan? 

Ternyata marxisme tidak relevan di bumi paralel itu. Barangkali di sana Marx hanya seorang wartawan dan Engels cuma kapitalis pemilik pabrik bahan. Habis sudah Anda dijadikan badut oleh para libertarian. Mereka bakal terbahak-bahak menertawakan keabsurdan marxisme yang selama ini Anda fafifu-kan. Sudahlah, nikmati saja hidup di universe-sebelah-sana itu sambil menertawakan diri sendiri.

Oh, tapi ternyata Anda orang yang kepo dan tidak mau ditertawakan. Lantas bagaimana membuktikan bahwa marxisme juga relevan di semesta paralel itu? Apa benar di universe lain tak ada kapitalisme? Mari kita coba telaah.

Pertama, coba kita amati kondisi keseluruhan masyarakat. Kita mulai dari hal ihwal apa saja yang ada di sana dan bagaimana kisahnya. Misalnya kita diajak ke Sanctum Sanctorum alias kediaman Doctor Strange. Perhatikan keramik, pintu, jendela, hingga perabot di dalam rumah. Benda-benda itu pasti dibuat oleh seseorang (atau sekumpulan orang) di luar–kecuali Doctor Strange memunculkannya memakai ilmu sihir.

Keberadaan benda-benda tersebut, yang jelas, mensyaratkan manusia biologis yang hidup dalam masyarakat yang berkebudayaan. Buktinya? Teknik menukang dasar sebelum ada Youtubemisalnya, kurang lebih hanya bisa ditemukan lewat tradisi lisan orang yang lebih tua atau pekerja bangunan yang entah sengaja tak sengaja berbincang dengan Anda. Belum lagi soal estetika desain perabot. Lalu ada bengkel-bengkel atau pabrik perabot, ada pemiliknya dan berbagai pekerjanya–dari penukang hingga akuntan. Semua hanya dimungkinkan lewat relasi sosial dalam masyarakat yang kehadirannya punya sejarah panjang–sejak Homo Habilis muncul sekitar 2 juta tahun yang lalu.

Kedua, sekarang kita amati bagaimana orang-orang di universe-sebelah-sana itu memenuhi kebutuhan hidupnya. America sempat bercerita kepada Doctor Strange bahwa di salah satu universe Anda tidak perlu membayar apa pun untuk makanan. Nah, coba kita perhatikan di semesta yang satu ini, apakah mereka menggunakan sesuatu seperti mata uang untuk membeli makan?

Kalau jawabannya “tidak”, berarti kita menemukan bentuk masyarakat baru yang unik dan perlu diteliti lebih lanjut. Jika “ya”, artinya kemungkinan besar orang-orang di sana hidup dalam sebuah hubungan yang dinamakan relasi upahan. Ini adalah relasi pertukaran sebuah komoditas, yaitu tenaga kerja, untuk sebuah komoditas universal yang dapat ditukarkan dengan semua komoditas untuk dikonsumsi nilai gunanya. Dari sana, kita bisa menemukan kategori sosial yang khas, yaitu pemilik komoditas tenaga kerja yang disebut pekerja dan pemilik komoditas universal atau uang yang disebut kapitalis. Biasanya hubungan keduanya menjadi relasi dominan yang menggerakkan kehidupan masyarakat.

Kita sudah menemukan dua kekhasan: banyaknya barang-barang yang diproduksi di sana dan relasi upahan antara pekerja dengan kapitalis. Apa sudah bisa disimpulkan bahwa gejala yang ada di semesta paralel ini juga adalah kapitalisme? Secara kasar sudah, namun ada satu lagi kekhasan yang tampaknya mesti dicari, yaitu yang ketiga: eksploitasi.

Bagaimana cara menemukannya? Sekarang, coba Anda amati lebih dalam mekanisme masyarakatnya. Lho, kok tidak kelihatan ya? Tentu saja, sebab eksploitasi tak dapat dilihat dengan mata telanjang kita yang dewasa ini dimanjakan oleh promo-promo e-commerce beserta serial menarik di Netflix dan Disney Hotstar. Eksploitasi bagaikan gravitasi dan evaporasi, prosesnya tak langsung menampak namun efeknya terkadang bisa teramati. Jika demikian, kita coba melihat dari yang terlihat, yaitu efeknya. Dan dengan bantuan teori, kita bedah mekanismenya.

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.


Relasi Eksploitasi

Sekarang kita lihat: apakah di universe ini ada sekelompok orang yang lebih kaya ketimbang sebagian lainnya? Lalu apakah ada orang-orang yang mesti bekerja seharian penuh untuk kehidupannya, orang-orang yang seakan memiliki pola tetap dalam kesehariannya dan lain sebagainya? Jika Anda menemukannya, barangkali tak sulit untuk membayangkan ada sebuah proses eksploitasi yang berlangsung di balik berjalannya roda masyarakat. Namun, apa sesungguhnya eksploitasi itu? 

Bayangkan Anda membuat perjanjian bekerja dengan pemilik pabrik. Isinya menyebut Anda akan bekerja selama 8 jam sehari dengan upah senilai 200 ribu per hari. Maka, kira-kira dalam sejam upah Anda senilai 416. Karena kemajuan teknologi dan alat-alat produksi yang canggih, dalam sejam Anda dapat membuat komoditas yang senilai 1.248 atau tiga kali lipatnya. Dalam 8 jam bekerja Anda sudah memproduksi komoditas senilai kurang lebih 600 ribu. Ada selisih 400 ribu–nilai yang tak Anda terima. Perbedaan antara nilai yang telah Anda curahkan dan yang Anda terima inilah yang menjadi persoalan.

Ke mana perginya? Tentu saja ke pemilik alat-alat produksi aka penguasa pabrik aka pemilik perusahaan atau, ya, kapitalis. 

Kekhasan ketiga inilah yang tak dapat dimungkiri kehadirannya, entah betapa pun baik dan indah kelihatannya bentuk masyarakat kapitalisme hari ini. Faktanya, tak cuma kepada pekerja, eksploitasi kapitalisme juga berdampak ke lingkungan hidup yang gerak reproduksinya berbeda dengan kapitalisme. Sementara alam punya batas dan waktu untuk sejenak berhenti, kapitalisme mesti terus berakumulasi.

Kalau Anda sudah menemukan kekhasan yang ketiga di bumi paralel, sudah dapat dipastikan di sana juga ada kapitalisme. Jika di sana kapitalisme eksis, marxisme sebagai pisau analisis dan kritik juga eksis. Atau, apabila tidak ada, ia minimal dapat hadir pula dalam sejarah.

Dengan demikian, Anda bisa mengingatkan para pekerja di sana untuk segera menyadari penyakit laten dari kapitalisme ini. Supaya bisa mengambil sikap. Sebab gejalanya baru terasa empiris ketika pekerja dirumahkan lalu kesulitan menjadi pekerjaan dan sangat terasa apabila kepunahan massal umat manusia datang kelak.

Duh, pupus sudah niatan pindah ke universe yang kita bayangkan tak terjangkiti kapitalisme. Ternyata di sana juga ada gejala-gejala yang sama dengan di bumi ini, entah kapitalisme atau apa namanya, yang pasti masyarakatnya bertopang pada eksploitasi satu kelas terhadap yang lainnya.

Kabar buruknya, kita terpaksa mesti menghadapi beratnya kenyataan hidup dan tidak dapat minta tolong kepada Doctor Strange untuk mengubahnya seperti kemauan kita. Jalan satu-satunya tentu lewat bertahan dan melawan. Lewat konsisten mempelajari perkembangan dari kapitalisme inilah, dan dengan serius bersatu berbagi tugas dalam memperjuangkan nasib kelas sendiri, maka kapitalisme kelak dapat diubah.

Kabar baiknya, selama masih ada penindasan satu kelas atas kelas lain dan pencurian nilai lebih, maka marxisme akan tetap selalu relevan sebagai kritik atas kapitalisme entah bagaimanapun tampilannya. Jadi, tuduhan tak berdasar yang selama ini dilayangkan, bahwa marxisme tak relevan lagi, hanya bermuara ke dua kesimpulan: antara mereka tak benar-benar memahami atau tak pernah membaca karya Marx-Engels sama sekali.

Namun, ada satu hal penting lain yang harus diingat: kebenaran konsep-konsep marxisme mesti ditemukan dan diuji di dunia nyata tempat kita semua menapak, bukan hanya dilantunkan ayat-ayatnya dari menara gading lalu dipercaya dapat mengusir roh jahat kapitalisme. Dengan itu biscaya marxisme akan terasa manfaatnya secara praktis bagi orang banyak. 

Memang tidak semudah itu, Ferguso! Kita kembali lagi ke dunia nyata. Faktanya marxisme masih kerap jadi momok di Indonesia. Buktinya TAP MPRS No. 25 tahun 1966 masih eksis. Ya, meski kita semua sudah mengetahui, barangkali belum tentu atau tentu bukan marxisme biang keroknya. Tapi sudah setengah abad telanjur dituduh bersalah, mau tak mau mesti diterima.

Mungkin ada benarnya unek-unek Wanda ke Doctor Strange: kamu melanggar aturan dan menjadi pahlawan, aku melakukannya dan aku menjadi musuh, rasanya tidak adil. Barangkali lebih tepatnya: kapitalisme melanggar aturan dan menjadi pahlawan, marxisme belum tentu melakukannya dan menjadi musuh, rasanya tidak adil.

]]>
Mengapa Einstein Memilih Sosialisme https://indoprogress.com/2022/04/mengapa-einstein-memilih-sosialisme/ Mon, 18 Apr 2022 07:16:48 +0000 https://indoprogress.com/?p=236750

Ilustrasi: Jonpey


SIAPA tak kenal Albert Einstein? Fisikawan termasyhur penemu teori relativitas, peraih nobel fisika, dan salah satu orang terjenius yang pernah hidup di bumi. Kawan-kawan yang mempelajari ilmu eksak kurang lebih sudah tidak asing dengan kajiannya, berbeda dengan mereka ilmu sosial, termasuk saya sendiri, yang bahkan menonton Interstellar karya Christopher Nolan saja sudah cukup kebingungan.

Tapi jangan kuatir. Anda masih bisa mengenal pemikiran Einstein salah satunya lewat tulisan yang terbit di Monthly Review pada 1949 dan barangkali paling dapat dicerna. Artikel tersebut tidak terlalu panjang, tidak bertele-tele, dan cukup ringan sehingga saya menyarankan Anda membacanya sendiri secara langsung terlebih dahulu. Saya akan memetik pesan-pesan utama dari tulisannya beserta beberapa catatan tentangnya.

Judulnya: “Why Socialism?” Lho, kok, seorang ilmuwan fisika bisa sampai membahas ilmu sosial? Penasaran bagaimana pandangan beliau tentang kapitalisme sampai sosialisme? Mari kita telusuri.

Tulisan ini berangkat dari keresahan Einstein akan karakter manusia dalam masyarakatnya di masa Perang Dunia II dan setelahnya. Seperti merebaknya individualisme, ketidakpedulian, lalu ketimpangan sosial, konflik horizontal hingga peperangan berskala besar. Ia pun mempertanyakan penyebabnya dan mencari jalan keluar.

Einstein memulainya dengan membedah esensi dari manusia dan masyarakat. Menurutnya, manusia sebagai makhluk individual yang punya keunikan dapat hidup mandiri di satu sisi, namun di sisi lain juga makhluk sosial yang keberadaannya bergantung pada masyarakat. Masyarakat yang merupakan konsep abstrak dari sejumlah relasi langsung tak langsung antarindividu terhadap orang-orang di kelompoknya dan juga orang-orang di masa lalu. Bagi Einstein, masyarakatlah yang sejak awal mula hadir memberi penopang kepada manusia, mulai dari makanan, pakaian, tempat tinggal, bahasa, teknologi, hingga ide-ide beserta nilai-nilai sosial yang ada.

Namun, kondisi kala itu seakan terbalik dan tidak karuan. Keadaan inilah yang dipertanyakan oleh Einstein. Ada ketidakberesan yang menurutnya bersumber dari soal pemenuhan kebutuhan hidup.

Di sinilah ia mulai menjelaskan kapitalisme secara singkat mulai dari kepemilikan privat kapitalis atas sarana produksi, ketidaksesuaian yang dihasilkan serta yang didapatkan oleh para pekerja, hingga bangkitnya oligarki.

Kira-kira beberapa perhatian Einstein soal kapitalisme adalah sebagai berikut. Pertama, Einstein menganggap produksi dalam kapitalisme bukanlah untuk kemanfaatan, namun keuntungan pemilik modal. Pemilik sarana produksi berusaha mencari keuntungan sebesar-besarnya sementara para pekerja dipaksa bersaing, kesulitan mencari kerja, dan kerap dihantui ancaman kehilangan pekerjaan. Nilai persaingan ini telah ditanamkan bahkan sejak dalam dunia pendidikan–bahwa untuk sukses di masa depan maka seseorang mesti menyelamatkan diri dengan mengorbankan yang lain.

Kedua, persaingan yang saling memangsa membawa kehancuran unit produksi yang tidak dominan dan pemusatan kapital ke tangan sebagian orang. Seperti oligarki yang perlu dukungan legal lewat perpolitikan demokrasi untuk menguasai perekonomian, orang-orang kaya juga membeli dukungan dan masuk gelanggang politik sehingga suara orang biasa khususnya kelas pekerja tak tersampaikan. Para penguasa ini dapat mengatur semua hal bahkan sistem pendidikan dan akhirnya juga memengaruhi kesadaran tiap individu.

Hal itu mengantarkan kita pada poin ketiga: yaitu lumpuhnya kesadaran individu. Menurut Einstein, ketergantungan manusia terhadap masyarakat merupakan hal yang alamiah. Namun, masalahnya, saat ini manusia yang sadar merasa tidak bergantung kepada masyarakat, bahkan masyarakat dianggap mengganggu hak pribadinya dan eksistensinya. Akibatnya, manusia secara egois berusaha sedemikian rupa terus-menerus memenuhi kebutuhan pribadi tanpa memikirkan orang lain dan masyarakat, apalagi lingkungan.

Konsekuensinya, kini manusia kerap merasa kesepian, sedih, dan kehilangan harapan. Sebab menurut Einstein manusia dapat menemukan makna hidup hanya melalui relasi timbal balik dalam aktivitas di masyarakat.

Merosotnya karakter manusia bagi Einstein merupakan dampak dari formasi ekonomi kapitalisme–yang menurutnya merupakan sumber kedurjanaan.

Tak seperti kebanyakan ilmuwan yang kerap memilih status quo, Einstein tak menyerah pada keadaan dan berusaha ambil sikap yang tegas. Ia paham betul meski manusia kerap merusak alam, namun manusia jugalah yang dapat menyelamatkannya. Lantas bagaimana pendapat Einstein untuk mengatasi permasalahan ini? Ia menjawabnya dengan ekonomi sosialisme yang disertai sistem edukasi yang berorientasi kemaslahatan sosial.

Bagaimana ekonomi sosialisme yang dibayangkan Einstein? Ia menggambarkan itu sebagai situasi ketika sarana produksi yang dimiliki masyarakat dimanfaatkan secara terencana. Perekonomian terencana yang mengatur produksi untuk pemenuhan kebutuhan komunitas ini akan mendistribusikan pekerjaan bagi mereka yang dapat bekerja dan menjamin penghidupan bagi semua orang.

Namun, Einstein memberikan catatan bahwa perekonomian terencana ini belum tentu merupakan sosialisme. Sebab perekonomian seperti ini rawan mengarah kepada penindasan individu atas nama kepentingan bersama. Di sini barangkali ia menyinggung Uni Soviet ala Stalin yang kala itu mendaku sebagai negara dengan sistem perekonomian sosialis yang, di sisi lain, banyak melanggar batas kemanusiaan.

Di akhir tulisan, Einstein memberikan tantangan kepada sistem sosialisme. Misalnya, bagaimana mencegah birokrasi menjadi sangat berkuasa dan melampaui batas? Lalu, bagaimana sosialisme melindungi hak-hak individu sehingga dengan demikian penyeimbang demokratis terhadap kekuasaan birokrasi dapat dijamin? Menurutnya inilah pekerjaan rumah yang mesti dijawab.

Sampai sini ada beberapa hal penting yang bisa didapat. Pertama, Einstein membuktikan bahwa ilmu pengetahuan beserta para ilmuwan tak terlepas dari relasi serta struktur masyarakat yang menjadi prasyarat keberadaannya, yaitu kapitalisme. Einstein berpendapat bahwa ilmuwan yang tak berfokus di ilmu sosial pun boleh berargumen tentang ekonomi dan hal-hal kemasyarakatan. Pasalnya, secara esensial, metode ilmu alam dan ilmu sosial kurang lebih sama namun objek penelitiannya saja yang berbeda. Bahkan setiap orang terlepas ilmuwan atau bukan, menurut Einstein, boleh berpendapat karena hampir semua orang sekarang ini bersentuhan dengan kapitalisme.

Kedua, Einstein menerangkan bahwa ilmu pengetahuan hanyalah alat yang tergantung pada pemanfaatnya. Ia menambahkan bahwa sains tak pernah memiliki tujuan dan manusialah yang memberikannya.

Dengan ini, pertanyaan Einstein di atas justru harusnya terjawab dengan jelas: perkembangan sains yang melahirkan berbagai kemajuan teknologi semestinya memudahkan kita memantau berlangsungnya organisasi birokrasi. Dengan sains, hal-hal dapat dijalankan dengan terukur dan bekerja secara objektif. Di sinilah Einstein memberikan kita salah satu cara untuk mencapai sosialisme, yaitu melalui ilmu pengetahuan.

Ketiga, apa yang terjadi di masa Einstein hidup sebenarnya masih terjadi hari ini. Namun, kenyataan empiris hari ini lebih pelik ketimbang pertengahan abad ke-20. Di posisi ini, dalam melihat realita kehidupan kapitalisme, kita bukan saja dihadapkan pada realitas abu-abu. Dalam perkembangannya, kapitalisme beradaptasi dengan nilai-nilai moral masyarakat yang ada sehingga hari ini eksploitasi seakan tak hadir di dalam hidup sehari-hari. Ia hadir dengan tampilan terbaiknya, tak seperti wajahnya yang dahulu. Kedurjanaan atau kejahatan kapitalisme yang disebutkan Einstein seakan tak ada karena ia tak kasat mata.

Situasi ini memudahkan para pendukung kapitalisme untuk mematahkan pandangan Einstein bahwa ada yang tak beres dengan kondisi masyarakat. Ranah etika yang di dalamnya berdiri moral dan norma dari kebudayaan akhir-akhir mendominasi pemikiran. Walhasil, apabila Bill Gates dan Elon Musk bersedekah, maka disimpulkan begitu saja bahwa sejatinya sistem kapitalisme itu baik adanya. Ini tak bisa disalahkan, sebab otak manusia cenderung memilih fakta secara selektif.

Di sinilah letak penting dari ilmu pengetahuan dan edukasi, khususnya dalam memberikan fakta objektif yang dapat diterima serta dipahami semua orang. Fakta objektif itu adalah bahwa kapitalisme mengandung kontradiksi internal yang membahayakan masa depan umat manusia. Sains dapat menggambarkan realita objektif secara jernih di luar bias moral dan norma. Selain itu, lewat sains pula kemaslahatan sosialisme mesti dibuktikan agar orang-orang mendukung untuk mewujudkannya.

Kapitalisme bagaikan kotak pandora yang ketika dibuka tak hanya menciptakan semua masalah di bumi, tapi juga meninggalkan kita harapan. Tentu saja harapan akan bentuk masyarakat yang lebih baik yaitu sosialisme.

Kabar baik akan harapan inilah yang mesti diwartakan kepada semua dengan segala cara dan diupayakan bersama mengingat perubahan menuju masyarakat yang baru tak jatuh dari langit. Ia dibangun dari reruntuhan mode produksi yang telah ada sebelumnya. Sejarah membuktikan bahwa keruntuhan tiap mode produksi tak terjadi dengan sendirinya dan dalam waktu semalam, tapi lewat pengupayaan dan perjuangan kelas yang panjang.

Tulisan Einstein ini mengingatkan kita kepada kata-kata Engels dalam Socialism: Utopian and Scientific (1880), bahwa penyebab perubahan akhir dari semua perubahan sosial dan revolusi politik tidaklah dicari di dalam kepala manusia atau ide-ide moral kebenaran serta keadilan abadi, namun di dalam perubahan mode produksi. Artinya, sosialisme yang dituju tidak ditemukan dari awang-awang, melainkan dari kondisi nyata yang eksis hari ini. Engels menambahkan di akhir tulisan bahwa tugas gerakan kaum proletariat ialah memberikan pengetahuan penuh tentang kondisi hari ini dan materialisme dialektis historis yang merupakan sosialisme ilmiah kepada segenap proletariat lainnya yang tertindas, yang kelak pengetahuan itu mesti diamalkan secara nyata.

Albert Einstein wafat karena pendarahan akibat aneurisma aorta perut pada 18 April 1955. Meski telah tiada, warisannya dalam dunia pengetahuan tak ternilai harganya. Einstein memberikan contoh dari sikap yang mesti dimiliki setiap ilmuwan, yaitu membela kemaslahatan umat manusia. Tanpa menyebut dirinya seorang Marxis, Einstein adalah seorang Marxis.

Seperti pesan Marx kepada Paul Lafargue: ilmu pengetahuan tidak boleh menjadi kesenangan pribadi dan siapa saja yang beruntung dapat mengabdikan diri pada tujuan ilmu pengetahuan haruslah yang pertama menempatkan pengetahuan mereka untuk melayani kemanusiaan. Maka, bekerjalah untuk kemanusiaan.***

]]>
Partainya Lenin, Katanya Stalin https://indoprogress.com/2021/11/partainya-lenin-katanya-stalin/ Thu, 25 Nov 2021 07:13:59 +0000 https://indoprogress.com/?p=236369

Foto: Jan Banning


SIAPA yang tak kenal Stalin? Sang manusia baja yang konon merupakan pelindung Revolusi Oktober. Kita mengenalnya lewat pembersihan besar musuhnya yang dijalankan sepanjang 1936-1938 di Uni Soviet dan Perang Dunia II yang dimenanginya. Soal kisah Stalin, Anda pasti lebih kenal. Sebagian memujanya dan sebagian lagi membencinya. Namun, di tengah kesibukan dan kontroversi, Stalin menelurkan salah satu esai yang menurut saya cukup penting berjudul The Foundations of Leninism yang dipaparkan dalam beberapa sesi di Universitas Sverdlov pada 1924. Esai ini kemudian diterbitkan di Pravda.

Kurang lebih esai Stalin membahas apa yang dimaksud dengan Leninisme. Dimulai dari akar sejarahnya, metode, teori, kediktatoran proletariat, persoalan tani, persoalan nasional, strategi dan taktik, partai lalu sampai soal gaya bekerja. Dalam tulisan kali ini saya akan membahas salah satu bab saja, khususnya bagian delapan yang menjelaskan soal partai. Mengingat hal ini yang kerap diperbincangkan kawan-kawan di persimpangan kiri jalan dan tentu saja karena dewasa ini muncul beberapa partai yang berusaha mewakili kelas pekerja di Indonesia.

Sebagian dari kita pasti malas jika membahas soal partai-partaian. Dalam imajinasi kita sekarang ini partai tak lain merupakan kumpulan elit yang mengaku mewakili mayoritas rakyat, tetapi berperilaku mewakili segelintir orang atau bahkan kepentingan pribadi saja. Belum lagi bicara soal politik praktis dan slogan-slogan omong kosong yang sama sekali tak mengenyangkan perut. Meski saya paham betul bahwa partai hanyalah salah satu jalan dari berbagai macam cara memenangkan kepentingan proletariat, akan tetapi saya pikir penting kiranya kita coba menyimak kembali apa yang dicatat oleh Stalin soal partai ala Lenin.

Membuka babnya dengan mengkritik sikap Internasional Kedua menghadapi Perang Dunia Pertama, Stalin berpendapat bahwa mereka tak siap menghadapi kondisi genting yang penuh benturan antara proletariat dengan para musuh kelasnya. Menurutnya, hal ini disebabkan karena Internasional Kedua merupakan sekadar mesin pemilihan umum untuk perjuangan dalam parlemen yang minim militansi dan tak dapat mengarahkan pekerja menghadapi perubahan zaman. Stalin menegaskan kondisi yang berubah di masa itu memaksa proletariat untuk mengemban tugas baru yaitu reorganisasi sistem kerja partai, edukasi revolusioner untuk perjuangan kelas pekerja, menjalin aliansi dengan proletariat sedunia dan mendukung gerakan pembebasan dari kolonialisme. Walhasil, bagi Stalin, diperlukan organisasi yang siap dengan perubahan. Organisasi tersebut adalah suatu partai yang berpondasikan pemikiran Lenin. Kenapa sih mesti partai? Lantas partai seperti apa?

Stalin menjelaskannya dengan enam fitur spesifik partai ala Lenin. Namun, kita akan mencoba membahas tiga dari enam fitur tersebut terlebih dahulu. Pertama, ia berpendapat bahwa kondisi perjuangan proletariat melawan pion-pion kapitalisme bagai prajurit yang bertempur di medan perang. Dalam pertempuran ini, proletariat membutuhkan sebuah detasemen yang dapat mengumpulkan segenap kelas pekerja dalam satu unit pasukan. Detasemen ini pastinya akan terdiri atas sejumlah banyak ‘prajurit’ yang mana akan tercerai-berai dalam pertempuran jika tanpa arahan serta koordinasi dari para perwira sehingga partai di sini hadir sebagai detasemen sekaligus perwira bagi segenap kelas pekerja.

Namun, Stalin mengingatkan bahwa sebelum menjadi detasemen dan perwira bagi proletariat, partai mesti lebih dahulu menjadi bagian dari proletariat itu sendiri dan haruslah memenangkan simpati para pekerja. Oleh karena itu, partai mesti memahami lalu mengambil tindakan yang berangkat dari kenyataan kondisi pekerja hari ini. Partai diharapkan supaya dapat selalu hadir dan mengawal kepentingan segenap kelas pekerja, sembari memupuk kesadaran kelas sebagai amunisi dan membuat orang banyak ingin bergabung untuk berjuang bersama melawan kapitalisme. Inilah salah satu tugas pertama dan yang terpenting dari sebuah partai kelas pekerja.

Kedua, karena kapitalisme berkembang pesat dan hampir selalu selangkah di depan, maka proletariat wajib senantiasa sanggup menghimpun kekuatan. Di sinilah kedisiplinan dan organisasi yang profesional diperlukan agar kelas pekerja bisa mengenal kapan waktu untuk menyerang dan kapan waktu untuk bertahan atau bahkan mundur. Tanpa hal tersebut, pekerja akan hanyut tergulung ombak kapitalisme. Bahkan partai mesti mengilhami pekerja di luar partai yang tak terorganisir dengan semangat organisasi dan ketahanan. Dengan demikian, partai, menurut Stalin, merupakan detasemen kelas pekerja yang terorganisir.

Jika ingin memenangkan pertandingan bulu tangkis, kita harus berhadapan dengan Greysia Polii dan Apriyani Rahayu dengan latihan yang cukup keras. Lalu, kita mesti masuk ke dalam lapangan dan menggunakan raket bulu tangkis dan bukan raket tenis meja. Artinya, untuk menang atas kapitalisme, kita mesti terjun ke dalamnya lalu mempelajari cara kerja sistemnya dan memanfaatkan kelemahannya untuk mengalahkan. Kita berpikir bahwa partai akan seperti perusahaan pribadi milik kapitalis yang mana struktur organisasi ditentukan oleh besarnya kepemilikan saham. Namun, dalam detasemen kelas pekerja ini, struktur berlaku sebaliknya: dipilih secara demokratis dan representatif. Inilah yang membedakan pengorganisiran kerja ala kapitalis dan ala proletariat.

Ketiga, banyaknya kelas pekerja berarti banyak pula keragaman yang ada, sehingga tak dapat dipungkiri terdapat banyak organisasi atau kelompok di luar partai yang mewadahi bermacam kegiatan golongan pekerja. Mulai dari serikat buruh, koperasi, lembaga advokasi, organisasi perempuan, kelompok tani dan nelayan, media progresif, komunitas belajar dan lain-lain. Stalin berpendapat bahwa kelompok-kelompok ini dalam kondisi tertentu memang diperlukan karena dapat menguatkan wadah proletariat dan membangun kesadaran. Namun, ia bertanya, bagaimana memastikan setiap kelompok yang beragam tersebut sejalan dalam perjuangan kelas pekerja melawan kapitalisme? Lalu siapa yang dapat menyelaraskan bidang-bidang yang beragam dalam setiap organisasi tersebut saat berhadapan dengan para borjuis hari ini?

Jawaban Stalin tentu saja partai dan para anggotanya. Sebab, senada dengan Lenin, menurut Stalin partai merupakan bentuk termutakhir dari organisasi kelas proletariat. Mengapa demikian? Pertama karena partai adalah pusat dari perwakilan kelas pekerja yang paling kompeten dan memiliki banyak koneksi. Kedua karena partai adalah sekolah terbaik untuk menciptakan pemimpin kelas pekerja yang dapat mengarahkan setiap kelompok-kelompok di mana mereka berkecimpung. Lalu ketiga, karena pengalaman dan wibawa, partai adalah satu-satunya organisasi yang mampu memusatkan perjuangan proletariat yang dengan demikian sanggup mengubah setiap kelompok di luar partai menjadi bagian tambahan dan membangun jaringan antara partai dengan kelas pekerja.

Lantas apakah dengan demikian semua kelompok tersebut mesti tunduk di bawah partai? Tentu saja tidak. Namun, menurut Stalin, anggota partai yang ikut serta di dalam setiap kelompok dapat mensosialisasikan misi-misi partai dan mensinergiskan dengan agenda setiap kelompok. Tujuannya: supaya setiap gerak kelompok-kelompok di luar partai dalam perjuangan proletariat bisa didukung sehingga menjadi lebih terorganisir dan terencana dengan baik. Sebab, menurut Stalin di poin selanjutnya bahwa partai merupakan alat bagi kelas pekerja menumbangkan tatanan borjuasi dan membangun serta mempertahankan kediktatoran proletariat.

Jadi, dapat kita simpulkan sementara pemikiran Lenin yang dirangkum Stalin ini berpendapat bahwa partai adalah pusat dari perjuangan yang berintegritas, terorganisir dan bersifat menyeluruh yang dapat menjadi wadah segenap kelas pekerja. Apabila kita jeli, kita mendapati dua keunikan. Pertama, Stalin sama sekali tidak membahas bahwa partai bertujuan sekedar memenangkan perjuangan parlementer. Lebih dari itu, ia menempatkan partai sebagai sarana untuk menangkis serangan borjuasi dan mencapai kediktatoran proletariat. Tentu saja karena ketika ia menuliskan esai ini, konfrontasi antara pion-pion dari masa feodalisme serta kapitalisme sedang merongrong perjuangan kelas pekerja di selimut kediktatoran proletariat yang masih muda di Rusia.

Namun, jika kita perhatikan lebih mendalam apa, yang disampaikan oleh Stalin merupakan apa yang disampaikan pula oleh Lenin—sebuah antitesis dari Internasional Kedua kala itu—bahwa partai bukan melulu soal memenangakan perjuangan di dalam parlemen, tapi juga sarana berkoordinasi mempersiapkan setiap kemungkinan konfrontasi dan yang terpenting yaitu memenangkan hati para pekerja. Bagaimana caranya? Pastinya dengan keberpihakan dan selalu hadir di dalam hidup keseharian kelas pekerja. Mulai dari menjangkau setiap golongan kelas pekerja di perdesaan dan perkotaan, membangun jaringan komunikasi ke organisasi atau kelompok proletariat di luar partai, hingga menjadi wadah paling mutakhir bagi perjuangan kelas melawan borjuasi.

Kedua, dalam esai ini Stalin lebih mengutamakan soal prakondisi bagi sebuah partai yang mewakili segenap kelas pekerja. Mengingat partai adalah bagian dari kelas pekerja, maka partai mesti mendapatkan kepercayaan dari segenap pekerja. Caranya dengan kembali lagi ke poin di atas. Namun, lebih dari itu, pondasi lainnya adalah struktur dan mekanisme kerja di dalam partai yang transparan dan demokratis. Hal ini mencegah hadirnya elit serta fraksi-fraksi atau bahkan para oportunis yang kerap menghambat kinerja partai dalam bergerak sebagaima mestinya. Oleh karena itu, lewat pendidikan yang disiplin, profesionalitas dan penyusunan aturan bersama pun menjadi salah satu kunci keberhasilan partai yang disampaikan oleh Stalin.

Kira-kira inilah pendapat Stalin jika ditanyakan soal partai kepadanya di tengah diskusi warung kopi. Apakah kiranya ide Stalin ini benar adanya karena ini kata Lenin? Belum tentu. Sebab sekali lagi, kondisi objektif yang nyata paruh kedua abad ke-21 cukup drastis perbedaannya dengan kondisi seabad lalu. Meski masih berada di bawah relasi upahan dan rumus umum kapital yang eksploitatif, kondisi kelas pekerja kini memiliki banyak perkembangan. Terlebih lagi, wajah kapitalisme hari ini tak sevulgar pada zaman Marx-Engels. Bagaimana cara menyadarkan proletariat akan posisinya sebagai kelas pencipta nilai lebih di dunia yang terlihat seakan baik-baik saja? Bagaimana pula menyatukan dan memobilisasi semua kelas pekerja yang makin beragam ke dalam satu organisasi bernama partai?

Jawabnya mungkin ada di ujung langit, belum lagi pertanyaan soal modal pendanaan dan keuangan partai. Sayangnya, kita tak mungkin menanyakan semua ini ke Stalin, yang jasadnya telah bersemayam di dinding Kremlin Necropolis. Satu-satunya cara mendapatkan jawaban dari pertanyaan tersebut ialah melalui praktik dan uji coba. Lenin dan Stalin meninggalkan kita sebuah garis pedoman soal partai kelas pekerja yang semestinya. Kini tugas kitalah untuk mengujinya. Semoga para kelas pekerja yang hari ini menguji coba dengan membangun partai bisa membaca kembali dengan seksama pedoman Lenin yang dirangkum Stalin ini.***

]]>
Kaya, Sekaya Midas dan Kroisos https://indoprogress.com/2021/09/kaya-sekaya-midas-dan-kroisos/ Wed, 22 Sep 2021 06:17:23 +0000 https://indoprogress.com/?p=236144

ALKISAH pada zaman besi, di bagian barat Anatolia, berdiri kerajaan bernama Frigia. Selain karena kisahnya dalam mitologi Perang Troya dan perang melawan para perempuan pejuang Amazon, Frigia terkenal dengan kisah tentang Raja Midas. Sebagai raja kaya raya yang kurang populer di antara rakyatnya, Midas memimpin negerinya dari balik dinding istana megah yang penuh dengan taman yang indah. Berpesta pora sambil menghabiskan anggur adalah kegemarannya, sehingga ia merasa dekat dengan Dionysus sang dewa anggur dan pesta. 

Suatu hari Midas menemukan makhluk mitologi yang disebut Satyr mabuk dan tidur di taman indahnya. Mengetahui bahwa Satyr adalah sahabat dari Dionysus, Midas tak menghukumnya, dan malah menjamu Satyr dengan hidangan mewah dalam istananya. Ketika mendengar hal itu, sang dewa pun memberikan tawaran satu permintaan untuk Midas. Meski kaya raya dan memiliki apa saja yang ada di dunia, Midas merasa kekurangan sesuatu yang berkilau. Akhirnya Dionysus memberikan Midas sebuah kekuatan untuk mengubah apapun yang Midas sentuh menjadi emas.

Kegirangan dengan kekuatan barunya, Midas pun menyentuh segala benda yang ada di istananya. Mulai dari dinding hingga perabotan rumahnya, semuanya menjadi emas. Setelah kelelahan, ia pun menjadi lapar. Namun ketika makanan dan minuman disentuhnya, semua jadi berkilau seketika. Ia kebingungan dan menjadi sedih. Suatu ketika permaisuri dan putrinya datang menghibur, namun mereka pun menjadi emas ketika tangan Midas menyentuhnya. Ia pun kembali ke Dionysus, memohon pada sang dewa untuk melepaskan kekuatan tersebut. Sang dewa menyuruhnya mandi di sungai Pactolus yang konon pasir sungainya hingga kini berkilauan bagai emas. Ia pun kembali ke istananya dan menemukan semuanya kembali seperti sebelumnya. 

Di sekitar waktu yang sama dan di tempat yang berdekatan, terdapat kerajaan yang dikenal dengan nama Lydia. Sejarawan mencatat seorang raja di Sardis yang membangun Kuil Artemis di Efesus yang sangat megah. Ia bernama Raja Kroisos. Konon kekayaan keluarganya berasal dari pasir emas sungai Pactolus. Namun, kelimpahan tersebut sebenarnya merupakan hasil upeti dan perdagangan. 

Orang Lydia menemukan bentuk mata uang terbaru dan paling mutakhir di masanya yaitu koin logam. Sementara bangsa-bangsa di belahan dunia lain menggunakan ternak, kerang, biji kakao atau garam, orang Lydia di abad ke-7 SM telah mencetak koin emas dan perak. Dengan ukuran dan berat yang seragam, perdagangan dimudahkan dari yang tadinya harus mengukur berat logam menjadi tinggal menghitung pecahan koin saja. Lalu, tempat bertransaksi atau pasar pun hadir untuk pertama kalinya. Inilah yang membuat Kerajaan Lydia kaya raya.

Meski bergelimang harta, kemakmuran Lydia tak berlangsung lama. Seiring dengan kejayaannya, bangkit pula Raja Koresh Agung dari Akhemeniyah Persia yang menaklukan Media dan Babilonia. Kroisos yang merasa terancam pun bertanya kepada peramal di Delphi apakah ia harus bersekutu atau berseteru. Peramal Delphi pun menjawab bahwa jika Kroisos menyerang Persia, ia akan menghancurkan kerajaan besar. Kroisos yang percaya diri nyatanya salah mengartikan ramalan tersebut. Kerajaan besar yang dimaksud adalah kerajaannya sendiri yaitu Lydia. Setelah beberapa operasi militer yang gagal total, Kroisos kalah dan Lydia tinggal debu sejarah yang terlupakan. 

Walau lenyap, warisannya yaitu uang koin menyebar ke Yunani, bahkan bertahan sampai setidaknya abad ini. Meski dua kisah dari zaman besi Anatolia ini berselimut legenda, namun sesungguhnya Midas dan Kroisos menggambarkan setidaknya dua fakta dari sebuah relasi objektif dalam upaya bertahan hidup manusia. 

Mari kita bicarakan lebih lanjut mengenai relasi tersebut. 


Terbentuknya logam menjadi komoditas yang bernilai adalah gejala umum dalam sejarah manusia, khususnya sejak zaman perunggu 3000 SM hingga kini. Manusia mulai melebur berbagai bijih logam dan dari semuanya, emaslah yang paling bernilai. Selain karena kelangkaannya, emas juga tahan lama. Sementara tembaga menghijau, besi berkarat dan perunggu memudar, emas sama sekali tak berubah. Orang Mesir kuno mengaitkannya dengan Dewa Ra dan orang Maya mempersembahkannya kepada para dewa. Sekitar tahun 2500 SM, logam mulai digunakan sebagai uang di Mesopotamia, meski koin baru digunakan setelahnya di Lydia. 

Layaknya semua komoditas, emas pun memiliki kegunaan yang beragam dalam setiap masa dalam tiap kultur masyarakat. Mengingat ia tak keluar dengan sendirinya dari perut bumi, emas diproduksi dari kerja-kerja manusia saat mengolah bijih emas dalam durasi waktu kerja tertentu. Dengan kata lain, emas memiliki nilai-guna. Oleh karena punya nilai, emas pun seperti benda-benda buatan manusia lainnya. Ia dapat disepadankan dengan barang-barang buatan manusia lainnya, seperti laptop ASUS, Honda Beat, sepatu Ventela, sepeda United dan lain-lain. Hal inilah yang memungkinkan pertukaran di antara benda, sehingga emas begitu juga dengan benda lain memiliki nilai-tukarnya.

Ketika saya punya 20 Gram emas untuk ditukarkan dengan 1 Honda Beat milik Lenin, emas milik saya berbentuk nilai relatif sedangkan Honda Beat milik Lenin merupakan nilai ekuivalen. Dalam posisi sebaliknya pun demikian, jika saya ingin menukarkan 1 Honda Beat dengan 3 buah laptop ASUS milik Mao, Honda Beat menjadi bentuk relatif dan laptop jadi ekuivalen. Seperti dalam tulisan sebelumnya, di sinilah emas menjadi uang atau ekuivalen yang universal sehingga memungkinkan banyak transaksi pertukaran.

Transaksi pertukaran atau sirkulasi komoditas antara saya, Lenin dan Mao dinamakan pertukaran langsung komoditas ke komoditas (K-K), yang dalam perkembangannya diperantarai oleh uang sehingga menjadi komoditas-uang-komoditas (K-U-K), atau aktivitas menjual untuk membeli. Saya menjual 2 sepatu Ventela seharga 1 Gram emas, lalu 1 Gram emas tersebut saya gunakan untuk membeli 1 sepatu Compass dan 1 pasang kaos kaki. 1 Gram emas di atas kini diwakilkan oleh mata uang rupiah sekitar Rp 900.000, maka kiranya inilah yang selama ini kita lakukan ketika kita pergi ke warung atau shopping di e-commerce.

Namun faktanya tak hanya sirkulasi K-U-K saja yang ada dalam masyarakat manusia. Hadir pula bentuk sirkulasi lainnya yaitu uang-komoditas-uang (U-K-U). Bentuk ini dimulai dari sejumlah uang untuk membeli komoditas yang akan dijual kembali demi mendapatkan uang lebih banyak di akhir sirkulasi atau U-K-U’. Dinamakan dengan aktivitas membeli untuk menjual, bentuk inilah yang digunakan sejak zaman sebelum masehi oleh pedagang di pasar Lydia, pedagang Venesia dan Genoa di abad pertengahan, hingga para re-seller di era e-commerce hari ini.

Kiranya inilah yang membedakan kedua raja zaman antik yang saya ceritakan di awal. Keduanya sama-sama pecinta emas, namun yang membedakan ialah Midas mengonsumsi emasnya, sementara Kroisos menjadikannya uang. Midas ibaratnya berada dalam sirkulasi menjual untuk membeli, sedangkan Kroisos ada dalam sirkulasi membeli untuk menjual.


Apabila kita membuka kembali Das Kapital, Marx menerangkan bahwa dari sirkulasi U-K-U’ inilah kapital lahir. Namun, keuntungan besar-besaran yang memberikan kekayaan kepada para kapitalis menurutnya bukan berasal dari sirkulasi, melainkan dari produksi. Mengapa? Sebab dalam proses pertukaran, nilai hanya berpindah dari satu komoditas ke komoditas lain yang sepadan. Terlepas dari adanya penipuan atau keserakahan, sejatinya nilai tetap sama, sehingga tak memungkinkan hadirnya nilai-lebih. 

Maka menurut Marx, nilai-lebih muncul dari proses produksi komoditas. Bagaimana caranya? Tentu saja dengan menambahkan nilai serta nilai-guna pada sebuah komoditas lewat bantuan kerja manusia. Lantas manusia yang seperti apa? Manusia yang dengan rela menjual tenaga-kerjanya sebagai komoditas, untuk dicurahkan dalam kurun waktu tertentu, dengan didukung instrumen kerja, untuk menciptakan sebuah komoditas. Manusia tersebut ialah kita semua yang tak punya pilihan lagi selain menjual tenaga kerja untuk upah agar bisa bertahan hidup. Tentu saja namanya adalah proletariat atau kelas pekerja.

Seperti Midas, kelas pekerja hidup dalam sirkulasi K-U-K, menukarkan tenaga kerjanya sebagai komoditas dengan uang untuk membeli komoditas lain seperti mie instan, bensin motor dan lain-lain. Sedangkan di sisi seberang, para pemilik alat produksi atau para kapitalis layaknya Kroisos hidup dalam sirkulasi U-K-U’ yang dengan uang mesti membeli komoditas instrumen kerja dan tentu saja tenaga kerja untuk menghasilkan lebih banyak uang. 

Dari sini sudah jelaslah dua kepentingan kelas, proletariat dan kapitalis, yang berseberangan. Kelas yang satu menguasai kelas yang lain. Tentu bukan lewat paksaan, namun melalui keharusan. Buruh Nike harus membeli sepatu Nike yang ia buat sendiri dengan uang, karena sepatu tersebut milik perusahaan Nike. Lalu ia harus berdiri 7-8 jam selama 5-6 hari memasang tali dan sol sepatu sepanjang hidupnya untuk membeli sepatu yang dibuatnya. Ketika hampir semua hal ihwal dikomodifikasi dan dunia tak henti berinflasi, mereka yang menguasai kapital inilah yang menjadi juara bertahannya.

Selain itu, di sinilah juga terletak satu permasalahan akut yang dipandang sebelah mata. Sementara sirkulasi K-U-K selesai ketika Che sudah menukarkan Rp30.000 dengan Paket Panas McD, Che mengonsumsi nilai-guna ayam goreng tersebut dan sirkulasi selesai. Namun, lain ceritanya dengan sirkulasi U-K-U’ yang tak akan ada akhir. Nilai dalam uang di akhir sirkulasi harus terus bertambah dan berputar kembali ke awal sirkulasi tanpa henti. Padahal alam, tempat manusia mendapatkan sumber dayanya, memiliki batas dan perlu waktu untuk menyeimbangkan diri.

Inilah sebuah bukti objektif bahwa corak produksi kapitalisme bermasalah. Ia tak hanya merugikan para pekerja, namun secara laten juga kepada tiap kapitalis sejati, sejauh hidung mereka masih menghirup oksigen dan kaki mereka masih menapak di bumi. Kiranya bisa kita saksikan, krisis ekologi dan krisis ekonomi yang selama ini menghantui seakan bisa diusir dengan menyebut nama sang trinitas: demokrasi oligarki, investasi dan regulasi. Maka ke depannya entah mana yang lebih dulu akan sungguh-sungguh meruntuhkan kapitalisme, kelas pekerja atau alam itu sendiri.

Ada benarnya kata-kata Rosa Luxemburg seabad yang lalu bahwa masyarakat hari ini berada di persimpangan jalan, entah transisi ke sosialisme atau regresi ke barbarisme. Mungkinkah kita menuju sosialisme? Mungkin kalau kita upayakan, sebelum alam mendahului kita. Namun sayangnya, mungkin hanya sebagian kecil dari 7,9 milyar manusia yang menyadari wejangan Rosa. Sisanya beranggapan bahwa masyarakat hari ini berada di persimpangan jalan, entah menjadi sekaya Midas atau sekaya Kroisos.***

]]>
Marxisme dan Money Heist https://indoprogress.com/2021/08/marxisme-dan-money-heist/ Mon, 23 Aug 2021 06:36:32 +0000 https://indoprogress.com/?p=233604

Ilustrasi: Jonpey


SEBAGIAN besar kawan-kawan yang berlangganan Netflix kemungkinan besar sudah menonton atau minimal pernah dengar Money Heist, sebuah film serial Spanyol seru penuh aksi dan drama rilisan 2017 yang kini sudah mencapai dua musim. Maafkan jika spoiler, tapi saya perlu bercerita sedikit soal alur cerita film tersebut.

Semua berawal dari El Profesor yang menyusun rencana merampok kantor percetakan uang di Spanyol. Ia mengajak para kriminal terlatih yang menggunakan nama kota sebagai alias: Tokyo, Rio, Berlin, Denver, Nairobi, Moscow, Helsinki dan Oslo. Tak hanya merampok, mereka juga berniat mencetak uang hingga 2,4 miliar euro.

Rencana pun dieksekusi. Mereka menawan para pekerja bank dan berusaha mengulur waktu. Segenap aparat andal seperti Inspektur Raquel Carillo, Angel Rubio dan kepala intelijen militer Kolonel Luis Prieto tentu berusaha mencegahnya. Para perampok yang menggunakan topeng Salvador Dali lengkap dengan pakaian hazmat merah terkepung tak berdaya.

Mengapa para perampok ini rela membahayakan diri sendiri demi segepok kertas kecil bertuliskan euro tersebut? Pertanyaan yang sama dapat juga ditujukan untuk kita semua, meski memang lebih cocok diajukan seorang petapa ketimbang penulis artikel di kolom Logika seperti saya. Uang menginspirasi Pink Floyd membuat lagu di album Dark Side of The Moon; membuat Paulus dalam Timotius mengatakan bahwa kecintaan terhadapnya merupakan sumber dari kejahatan; dan tentu saja membuat Pablo Escobar kebingungan untuk menyimpannya. Bagaimana bisa benda tersebut mengendalikan kehidupan kita sedemikian rupa?

Pertanyaan di atas mau tak mau membawa kita kepada pencarian jawaban dalam rimba filsafat, sejarah dan ekonomi politik dengan segala macam fafifu wasweswos-nya. Kalau begitu, bagaimana jika kita bertanya ke Marx? Asumsi saya kawan-kawan semua sudah kenal beliau, mengingat Anda saat ini sedang berada di IndoPROGRESS dan sering membaca tulisan saya (ya, meski tidak semenarik alur cerita Money Heist…).

Seorang ekonom legendaris Austria, Joseph Schumpeter, mengatakan bahwa hanya ada dua paradigma pemikiran dalam perdebatan soal uang dalam sejarah ekonomi, yaitu pemikiran kartalis dan metalis. Sementara kartalis berpendapat bahwa uang adalah simbol semata, metalis berpendapat terdapat nilai intrinsik dalam uang yang itu berasal dari komoditas khususnya emas. Uang, dari perspektif ini, berbasis pada nilai intrinsiknya. Soal ini Anda bisa menyimak penjelasan kawan saya, Dicky Ermandara, dalam tulisan berjudul “Konsepsi Metalis atas Uang.”

Beberapa ahli berpendapat bahwa Marx cenderung lebih dekat kepada metalis. Namun Anitra Nelson dalam buku Marx’s Concept of Money (1999) menyatakan hal lain, yaitu bahwa teori Marx tentang uang bukanlah metalis atau kartalis, melainkan “uang komoditas”. Mengapa demikian? Sebab secara spesifik Marx membahas uang dalam Kapital Vol. 1 Bab 2 dan 3, yang  tak dapat dilepaskan dari bab pertama yang membahas komoditas serta nilai yang dihasilkan dari kerja. Di sinilah letak uniknya teori Marx tentang uang.

Marx mencatat fakta historis yang dijelaskan Jack Weatherford dalam buku The History of Money (1997). Dalam buku tersebut dijelaskan bahwa sebelum hadirnya uang fiat, uang digital atau uang crypto seperti hari ini, manusia telah menggunakan bermacam bentuk “uang” untuk melakukan berbagai pertukaran, mulai dari ternak, kulit kerang, biji kakao, garam hingga logam. Ia menyebutnya dengan uang komoditas: uang yang tak hanya dapat digunakan sebagai alat tukar namun dapat dikonsumsi fisik-materialnya.

Masyarakat di Mesopotamia pada Zaman Perunggu pun telah mengenal logam sebagai alat tukar. Pada 600 SM, orang-orang Lydia menciptakan inovasi terbaik, yaitu koin emas dan perak. Mereka membentuk logam jadi sebesar jempol orang dewasa dengan berat yang seukur lalu untuk menjamin keaslian memberikannya stempel kepala singa. Berkat teknologi ini pedagang dimudahkan: dari mesti mengukur berat logam jadi hanya menghitung pecahan. Lalu tempat bertransaksi yang kelak dinamakan pasar pun hadir untuk pertama kalinya.

Dari uraian sejarah tersebut, Marx menyimpulkan bahwa uang mengkristal dari proses pertukaran. Uang adalah komoditas yang mengalami perubahan wujud dari bentuk relatifnya, yaitu ketika suatu nilai komoditas ditentukan oleh relasinya dengan nilai-guna komoditas lain, ke bentuk ekuivalen yang mana merupakan bentuk nilai komoditas yang hanya melaluinyalah nilai komoditas lain mendapatkan kesepadanannya. Uang pun jadi ekuivalen atau penyetara universal.

Marx menambahkan, hanya proses sosial dalam masyarakatlah yang dapat menentukan suatu komoditas tertentu menjadi ekuivalen yang universal. Puluhan, ratusan hingga ribuan transaksi dalam puluhan hingga ratusan dasawarsa sejarah masyarakat telah melahirkan salah satu komoditas yang diakui dan disetujui bersama sebagai alat tukar yaitu uang.


Lantas, apa yang memungkinkannya? Marx menjawabnya dari beberapa fungsi uang, yang antara lain sebagai ukuran dari nilai, sarana sirkulasi, sarana penimbunan, sarana pembayaran dan mata uang universal. Di sini kita akan membahas dua fungsi utama saja.

Pertama, uang sebagai ukuran dari nilai. Selain jadi tempat penyimpanan dan ekspresi material nilai, uang juga mampu menampilkan nilai-nilai dari komoditas lain yang disandingkan padanya. Meski bukan ia sendiri yang menyepadankan komoditas, namun nilai yang berasal dari kerja manusia dalam durasi waktu sosial tertentu yang imanen dalam dirinya sebagai komoditas emas yang menyepadankan pertukaran.

Uang atau emas di sini adalah ukuran nilai yang merupakan inkarnasi dari kerja manusia di satu sisi dan menjadi standar harga karena kuantitas logamnya dengan berat yang tetap di sisi lain. Emas memiliki nama-berat, seperti contohnya pound di Inggris, yang seiring proses historis lewat kesepakatan komunitas serta hukum mengubahnya menjadi sekadar nama-uang.

Sebuah logam 1 ons emas, misalnya, dibagi secara alikuot lewat hukum menjadi poundsterling, lalu dibagi lagi menjadi shilling dan penny. Uama-uang pun mewakili proses pertukaran meski masih mewakili nama-berat dari logamnya. Ketimbang menyebut sepasang sepatu setara 1 ons emas, orang-orang kemudian lebih menyebutnya dengan 1 poundsterling, 20 shillings atau 80 pennies. Dengan demikian komoditas diekspresikan nilainya lewat nama-uang dan uang menjadi satuan alat hitung ketika berhadapan dengan berbagai nilai dari beragam komoditas.

Nama-uang ini kentara di uang fiat atau kertas, yang sudah muncul sejak Dinasti Yuan dan Ming abad ke-13-17 namun tenar kembali pada abad ke-18 dan 19 di Koloni Amerika lewat Bills of Credits. Pada 1971, Richard Nixon membatalkan perjanjian Bretton Woods nama uang beserta nominalnya sehingga tak lagi berbasis kepada emas namun kepada kebijakan negara berdaulat.

Kita yang sehari-hari membelanjakan Rp25 ribu untuk nasi ayam geprek barangkali hanya menyadari nominal dari uang kertas tersebut tanpa mengenal kisah panjang yang ada di balik kertas sakti itu.

Kedua, sebagai sarana sirkulasi. Dalam hal ini uang memungkinkan transaksi pertukaran produk Komoditas–Komoditas (K-K) menjadi kelangsungan proses metamorfosis nilai melalui sirkulasi Komoditas–Uang–Komoditas (K-U-K). Lalu uang menciptakan pemisah antara proses menjual (K-U) dan membeli (U-K) yang mana dapat memecahkan keterbatasan proses transaksi. Uang pun melahirkan pemisahan yang tegas antara kategori sosial “penjual” dan “pembeli” hingga “kreditur” dan “debitur”. Bahkan pada akhirnya membawa kepada cikal bakal rumus umum akumulasi kapital yaitu Uang–Komoditas–Uang (U-K-U), yang saat ini dominan dalam relasi sosial masyarakat dan bergerak tiada henti.

Semua dapat diseukurkan sehingga dapat dipertukarkan; yang tak terjual dijual dan yang tak terbeli pun terbeli. Uang mengubah tatanan masyarakat yang tadinya dikuasai raja-raja dan pemuka agama menjadi dimiliki oleh bankir dan pedagang kaya raya.

Tapi orang-orang yang bukan merupakan golongan mereka pun, misalnya buruh tani, buruh nelayan hingga buruh perkotaan terikat pada kebutuhan atas uang. Mengapa demikian? Menurut Marx ini adalah salah satu gejala fetisisme uang. Apa itu? Pencinta bantal guling dan kain jarik? Tentu saja bukan.

Fetisisme merupakan kondisi ketika sebuah benda diyakini memiliki kekuatan supranatural. Sedangkan fetisisme uang, menurut Marx, dapat ditelusuri dari fetisisme komoditas, yaitu kondisi ketika relasi antar benda atau komoditas lebih tampak secara empiris ketimbang relasi sosial antar manusia yang sesungguhnya merupakan prasyarat dari benda-benda itu sendiri. Ini membuat komoditas seakan memiliki nilai dengan sendirinya dan bergerak dalam sirkulasi dengan kekuatannya sendiri. Jadi uang yang hadir di sekeliling kita saat ini, walau secara historis kitalah yang membuatnya, seakan mengondisikan hidup kita.

Dalam masyarakat yang cara mempertahankan hidupnya lewat produksi massal komoditas beserta konsumsinya, kita yang tak mampu memiliki alat produksi untuk konsumsi mesti hidup dengan membeli komoditas dari mereka yang memiliki alat produksi. Untuk membelinya kita mesti punya uang dan untuk mendapatkannya kita harus masuk ke dalam relasi kerja upahan.

Mereka yang tak masuk ke dalam relasi upahan ini juga mesti punya uang untuk bertahan, sehingga cara lain dalam memperoleh uang pun mereka temukan. Sebagian orang melakukan penipuan, pemerasan, perampasan, pencurian hingga perampokan untuk mendapatkan uang. Bonnie dan Clyde merampok, Al Capone mengorganisir bisnis illegal, Miguel Angel Felix Gallardo menyatukan kartel hingga Charles Ponzi dan Bernie Madoff menipu orang banyak. Begitu pula El Profesor dan kawan-kawan perampok Money Heist. Meski ia pribadi merampok demi mimpi dan idealismenya, rekan-rekan perampok lainnya tak demikian. Mereka merampok uang untuk menjadi kaya dan hidup bahagia.


Demikianlah. Ada tiga pesan yang tampaknya bisa kita petik dari obrolan panjang kali ini.

Pertama, keberadaan uang dihasilkan dari kontradiksi antara kerja-konkrit dan kerja-abstrak yang menghasilkan kontradiksi antara nilai-guna dan nilai-tukar atau nilai yang ada di dalam komoditas itu sendiri. Ketika relasi pertukaran, nilai komoditas dapat mewujud sebagai bentuk nilai relatif dan bentuk nilai ekuivalen. Dari yang kedua inilah komoditas yang menjadi uang lahir.

Kedua, eksistensi uang hanya dimungkinkan apabila ada material untuk menubuhnya nilai dan juga sirkulasi nilai melalui transaksi pertukaran. Sebab uang hanyalah sarana untuk nilai berpindah dari satu komoditas ke komoditas yang lain. Selain itu, keabsahannya pun hanya diakui apabila segenap masyarakat tertentu menggunakannya dan menyetujuinya sebagai uang.

Ketiga, dalam bentuk masyarakat yang bertopang pada produksi masal komoditas dan perniagaan, uang menjadi lingua franca kehidupan. Ia yang dibuat oleh manusia kini seakan hidup dan mengendalikan kembali sang penciptanya. Hanya mereka yang menguasai alat produksilah yang sanggup menaklukan dan mengembangbiakkannya. Proletariat atau mereka yang tak memiliki apa pun selain tenaga kerjanya untuk ditukarkan dengan uang hidupnya dikendalikan oleh uang dan tentu saja para penakluknya, yaitu kapitalis.

La Casa de Papel memberikan kita gambaran bahwa uang, khususnya uang fiat, dibuat dan keberadaannya mengandaikan negara. Sebaliknya negara pun bergantung kepada uang. Itulah sebabnya El Profesor dan kawan-kawan merasa bangga ketika mencurinya. Sampai-sampai menyanyikan “Bella Ciao” karena merasa seperti partisan yang melawan penindasan. Namun yang paling penting, film ini juga menjadi contoh bahwa sistem kapitalisme melahirkan ketimpangan ekonomi yang beranak cucu menjadi kriminalitas. Segala cara dihalalkan untuk mendapatkan uang, bahkan jika harus dicium oleh timah panas dan mengorbankan nyawa. Bukankah kita, kelas pekerja, juga demikian? Rela dieksploitasi, bekerja gila-gilaan, diupah seadanya dan menderita demi mendapatkan uang? Lagi pula, memangnya kita bisa makan uang?

Money Heist menegaskan kebenaran satu ungkapan: Uang memang bukan segalanya, tapi segalanya (dalam dunia dengan corak produksi kapitalisme) butuh uang.***

]]>
Marxisme dan Vo Nguyen Giap https://indoprogress.com/2021/06/marxisme-dan-vo-nguyen-giap/ Sat, 12 Jun 2021 09:01:24 +0000 https://indoprogress.com/?p=233271

Foto: nbcnews.com


SIAPA tak kenal Perang Vietnam? Ini adalah salah satu konflik terpanjang di pertengahan abad ke-20 yang pasti tak akan dilupakan orang Amerika. Kisahnya sering diangkat justru untuk memberikan citra adikuasa, dari mulai layar lebar seperti First Blood hingga gim Call of Duty Black Ops.

Faktanya perang itu adalah Perang Indochina Kedua yang berlangsung sejak 1955 hingga 1975.

Perang pertama, yang barangkali jarang diingat dan tidak lebih populer, adalah perang antara tentara ekspedisi kolonial Perancis—yang berusaha merebut kembali wilayah kekuasannya sebelum Perang Dunia—melawan tentara Viet Minh yang baru saja merebut kemerdekaan dan berusaha mempertahankannya. Perang yang berlangsung kurang lebih delapan tahun ini diawali oleh Insiden Haiphong pada 23 November 1946, ketika kapal perang Perancis memborbardir kota pelabuhan tersebut; dan disudahi oleh kekalahan Perancis di Pertarungan Dien Bien Phu pada 7 Mei 1954.


Nama yang pasti diingat ketika membicarakan perjuangan kemerdekaan rakyat Vietnam adalah Ho Chi Minh. Namun, di balik Paman Ho, ada pula seorang ahli strategi militer terbaik di masanya yang semestinya juga dikenang: Ia bernama Vo Nguyen Giap, lahir di Provinsi Quang Binh pada 25 Agustus 1911 dari keluarga petani.

Pada usia 13, Giap mendapatkan kesempatan bersekolah di Quoc Hoc atau Akademi Nasional. Di sekolah ini dia adalah junior Ho Chi Minh dan Ngo Dinh Diem, yang kelak menjadi Presiden Vietnam Selatan. Ia telah bergabung dengan Partai Komunis Indochina pada 1931 sebelum lulus pada 1938 dari Universitas Nasional Indochina sebagai sarjana hukum dengan fokus kajian ekonomi-politik.

Di masa mudanya ia mengajar di sekolah dan diam-diam aktif di dunia aktivisme. Ia kerap menulis artikel di koran Tieng Dan dan koran sosialis bawah tanah berbahasa Perancis, Le Travail. Selain membaca karya-karya marxisme, ia pun membaca Sun Tzu, mempelajari tulisan Lawrence of Arabia dan mengagumi Napoleon Bonaparte.

Setelah Pakta Non Agresi antara Jerman dan Soviet pada 1940, pemerintah Perancis melarang Partai Komunis Indochina dan mengasingkan tokoh-tokoh pentingnya ke Cina. Di sinilah ia berjumpa dengan Ho Chi Minh dan mempelajari stratak Partai Komunis Cina.

Dalam Kongres Kedelapan Partai Komunis Indochina yang akhirnya membentuk Viet Minh, Giap ditugaskan untuk mengatur jaringan intelijen serta mengorganisir markas di bagian utara. Dari sinilah kiprahnya dalam dunia militer dimulai. Ketika Viet Minh bergerilya melawan tentara imperialis Jepang di Perang Dunia Kedua, ialah yang terlibat memobilisasi massa, berlatih perang, memberikan pendidikan politik dan bahkan diplomasi, hingga akhirnya Ho Chi Minh berhasil memproklamirkan Republik Demokratis Vietnam pada September 1945. Setelah kemerdekaan ia tetap membuktikan kualitas sebagai tentara jago dengan berhasil mengalahkan tentara Perancis di Dien Bien Phu, lalu dipercaya menjadi menteri pertahanan dan deputi perdana menteri Vietnam lebih dari 40 tahun.


Sampai sini mungkin sebagian dari kita berpikir ia memang jenius di bidang militer saja. Namun sebenarnya tak hanya itu. Giap juga seorang pemikir. Salah satu buku yang pernah ia tulis berjudul People’s War, People’s Army, diterbitkan pada 1961. Buku ini secara garis besar berisi tentang pengalaman rakyat Vietnam dalam Perang Indochina Pertama ditambah evaluasi serta analisis Giap tentangnya.

Namun yang terpenting dari semuanya ialah pembahasan soal pertempuran Dien Bien Phu. Dien Bien Phu merupakan kota di barat daya Vietnam. Bentuk geografisnya dataran luas yang dikelilingi perbukitan. Di sana terdapat sisa aset militer peninggalan Jepang.

Pada 1953, mengikuti perintah Jenderal Henri Navarre, pasukan Perancis memasuki wilayah tersebut lalu membangun pertahanan dengan maksud memotong gerakan pasukan Viet Minh yang sebelumnya telah menaklukan beberapa kota di utara dan menuju ke Laos. Dilengkapi 17 batalion prajurit ditambah artileri, kavaleri dan skuadron angkatan udara modern dari Amerika Serikat, operasi membangun benteng pertahanan ini didukung tanpa henti oleh bantuan logistik dan persenjataan lewat udara. Parit-parit, kawat berduri, puluhan artileri dan pesawat intai yang selalu berpatroli membuat Kolonel Christian de Castries merasa sangat yakin bahwa pasukan Viet Minh tidak mungkin mampu menembus pertahanannya.

Nyatanya ada kekeliruan fatal yang tak diprediksi oleh perwira-perwira Perancis. Selain tak menyadari kondisi geografis Dien Bien Phu yang berbentuk seperti mangkuk, selama ini mereka juga meremehkan kekuatan pasukan Viet Minh. Vo Nguyen Giap bersama puluhan ribu serdadu Viet Minh dengan kamuflase khas berhasil bergerak diam-diam mengelilingi kota tersebut. Menembus pelosok perbukitan, membuka jalur terjal secara manual, mengatur jalur suplai makanan dan yang paling menentukan yaitu menempatkan artileri-artileri hibahan Tentara Merah Cina ke tempat-tempat yang tak diduga oleh lawan.

Tengah hari 13 Maret 1954 Viet Minh memulai serangan ke pos paling utara pertahanan Perancis. Tembakan artileri bertubi-tubi ke Pos Beatrice dan keesokannya ke arah Pos Gabrielle seketika mengagetkan sekaligus mulai menjatuhkan moral pasukan Perancis. Mereka yang selama ini berburu berbalik diburu. Rencana serangan udara pun gagal karena Perancis tak menduga musuhnya memiliki senjata anti serangan udara. Lumpuhlah serangan udara menyisakan pertempuran sengit di darat. Hampir sebulan lebih pertarungan parit terjadi, juga hujan serangan artileri yang selama ini bersembunyi. Satu per satu pertahanan Perancis mulai dari Anne-Marie sampai Isabelle pun runtuh.

Pada 7 Mei 1954 pasukan Perancis yang terpojok akhirnya mengangkat bendera putih dan pasukan Giap mengibarkan bendera Viet Minh di benteng Perancis yang telah ditaklukan sebagai tanda kemenangan.


Keberhasilan pertarungan Dien Bien Phu, selain menjadi daya tawar yang kuat bagi Vietnam ketika berdiplomasi di Konferensi Jenewa pada 1954, juga menjadi bukti nyata bahwa ketika rakyat bangkit melawan maka segala bentuk kolonialisme bisa diusir. Kemenangan rakyat Vietnam ini merupakan keberhasilan pertama mereka sebelum 20 tahun kemudian berhasil mengusir sang dedengkot nekolim, Amerika Serikat.

Tentu ada beberapa aspek yang menjadi prasyarat kesuksesan selain teknik berperang apalagi sekadar heroisme saja. Hal-hal yang tak dibahas oleh para sejarawan inilah yang diceritakan oleh Vo Nguyen Giap dalam bukunya. Ia menyimpulkan beberapa faktor yang menurutnya paling menentukan.

Pertama, rakyat antusias dan bersatu membangun front persatuan melawan penjajahan karena peperangan ini menurutnya adalah perang yang dapat dibenarkan atau just war, yang tidak lain demi kemerdekaan. Faktor kedua, Tentara Rakyat Vietnam yang lahir dari rakyat pekerja, petani, pelajar dan intelektual selalu berada dalam garis haluan partai. Ketiga, karena kebijakan pemerintahan di bawah partai selalu dalam terang marxisme, yang karenanya menurut Giap tidak hanya mampu menganalisis bagaimana memenuhi kebutuhan rakyat sehari-hari, namun juga mencari solusi paling realistis dalam menyusun kebijakan di masa perang.

Sama seperti Ho Chi Minh, Giap adalah seorang yang mempelajari Marxisme, yang membuat setiap keputusan selalu didasarkan oleh prinsip materialisme dialektis historis. Pengaplikasian prinsip-prinsip Marxisme ke dalam praktik inilah pesan penting dari perang ini.

Giap menyadari bahwa kondisi objektif selalu dalam proses bergerak dan penuh dengan kontradiksi. Misalnya, ketika menyadari kekuatan pasukannya tak sebanding dengan pasukan Perancis setelah insiden Haiphong, ia lebih memilih mundur terlebih dahulu. Namun bukan untuk menyerah dan berhenti. Nyatanya ia tetap memobilisasi lewat cara persuasif dan edukatif kepada rakyat Vietnam di perdesaan. Sembari mengorganisir, ia pun tetap mencari informasi untuk mempelajari perkembangan stratak dan setiap jengkal pergerakan pasukan Perancis.

Di sinilah ia menemukan kontradiksi serta kelemahan musuhnya. Ia pun menganjurkan cara paling realistis dan efektif dalam konfrontasi, yaitu perang jangka panjang dengan metode gerilya. Sebab dalam perang gerilya, setiap perubahan adalah kesempatan menemukan kelemahan dan setiap kelemahan adalah peluang merebut kemenangan. Konsep perang gerilya pun tak selamanya diterapkan. Di Dien Bien Phu akhirnya ia memutuskan mesti menyerang secara besar-besaran dan langsung menusuk ke jantung pertahanan lawan. Sikap inilah yang berdasar dari pemahamannya tentang dialektika materialisme dan berhasil membuatnya lolos dari jebakan idealisme.

Ia pun paham betul bahwa sejarah umat manusia adalah soal proses pengorganisasian sumber daya alam untuk bertahan hidup—yang melahirkan kontradiksi antar kelas dalam masyarakat. Giap sadar betul bahwa peperangan jangka panjang ini tak mungkin dimenangkan hanya dengan ide-ide dan perut yang kelaparan. Di sisi lain ia pun paham mesti menyelesaikan kontradiksi antar kelas di masyarakat Vietnam. Oleh karena itu ia memperkuat garis belakangnya di perdesaan sebagai penyokong logistik dengan mendorong partai mengeluarkan kebijakan reforma agraria. Kebijakan ini mengembalikan tanah-tanah yang selama ini dikuasai tuan tanah feodal ke para petani yang selama ini mengolahnya. Lahan komunal ini dikelola mereka yang juga seorang pejuang gerilya dan hasilnya didistribusikan untuk mereka bahkan ke garis depan.

Bagi Giap, persatuan antara petani dan pekerja di dalam satu tujuan kemerdekaan inilah yang menjadi kunci keberhasilan mengusir pasukan kolonial Perancis. Inilah yang ia sebut dengan: Perang rakyat, tentara rakyat! Maka tak heran jika Viet Minh sanggup memenangkan Perang Indochina Pertama.

Giap memetik buah perjuangannya dengan menyaksikan Amerika Serikat angkat kaki dari Saigon pada 1975 dan kembalinya persatuan Vietnam yang dicita-citakan oleh Ho Chi Minh sejak lama. Menghabiskan masa tuanya aktif di partai dan menulis banyak buku soal perang, beliau mengembuskan nafas terakhir pada 4 Oktober 2013.

Lenin mengatakan bahwa tidak akan ada gerakan yang revolusioner tanpa teori yang revolusioner. Namun untuk mengetahui kebenaran teori, maka ia mesti diuji. Vo Nguyen Giap telah mengujinya dalam dunia kemiliteran dan berhasil meraih kemenangan. Giap mewariskan kita semua sebuah bukti bahwa Marxisme tak akan ke mana pun juga tanpa praktik nyata dan aksi.***


]]>
Marxisme dan Nadezhda https://indoprogress.com/2021/03/marxisme-dan-nadezhda/ Wed, 24 Mar 2021 15:46:11 +0000 https://indoprogress.com/?p=233049

Foto: abc.net.au


TENGAH hari 8 Maret 1917, jalan-jalan di sekitar Nevsky Prospekt, St. Petersburg telah diramaikan ribuan perempuan yang terdiri atas perempuan tani, pelajar dan pekerja. Mereka berdemonstrasi membawa spanduk berisi slogan meminta ketersediaan pasokan roti bagi semua dan jatah pangan bagi keluarga tentara sambil meneriakkan dengan lantang pesan untuk menurunkan tsar. Demonstrasi raksasa Hari Perempuan Sedunia yang berujung konfrontasi dengan polisi tersebut diyakini merupakan rangkaian awal yang menjadi pemicu terjadinya Revolusi Oktober atau Revolusi Rusia dalam beberapa bulan ke depannya. 

Revolusi Oktober kita kenal lekat dengan nuansa laki-laki revolusioner Bolshevik seperti Leon Trotsky, Joseph Stalin, Lev Kamenev, Mikhail Kalinin, dan banyak lainnya. Padahal, banyak perempuan-perempuan revolusioner di antara para sosok berkumis tersebut. Selain Alexandra Kollontai dan Inessa Armand, apakah kawan pernah dengar nama Nadezhda Krupskaya? Jika belum, wajar saja sebab selama ini namanya seakan tenggelam di bawah ombak kepopuleran sang suami, Vladimir Lenin. 


Nadezhda Konstantinovna Krupskaya. Lahir di St. Petersburg pada 26 Februari 1869 dari keluarga aristokrat yang menjadi miskin karena ayahnya seorang perwira militer yang terlibat kegiatan revolusioner dan ibunya keturunan bangsawan tak bertanah. Ini membuat Nadezhda bersahabat dengan kerasnya dunia semenjak belia, meskipun ia bisa dikatakan beruntung karena bisa mendapatkan edukasi yang cukup baik dari kedua orang tuanya.

Pandangan politiknya pertama kali, khususnya perihal edukasi, ia dapatkan dari karya-karya Leo Tolstoy. Ia berpendapat bahwa ilmu pengetahuan serta pendidikan mesti dimanfaatkan untuk kepentingan rakyat umum, ketimbang untuk dominasi kaum elit. Karena sering mengadakan beberapa lingkaran diskusi dan bertemu kawan-kawan baru, ia pun mengenal lalu memperdalam kajian Marxisme. 

Pada tahun 1891, ia mulai memberikan kelas malam hari untuk buruh pabrik seputar literasi serta aritmatika. Pada tahun 1898, kegiatan ini kemudian membawanya ke dalam aktivitas pengorganisiran serikat buruh di St. Petersburg. Dari sinilah ia berkenalan dengan Vladimir Ilych Ulyanov. Soal percintaan dan pernikahannya barangkali akan kita bicarakan di lain kesempatan, namun yang menjadi catatan penting ialah sumbangsih dan pemikirannya sebagai salah seorang revolusioner di kubu Bolshevik.

Selepas pengasingan bersama Lenin di Siberia, pada 1903 ia menjadi sekretaris dewan editor surat kabar “Iskra” di Jenewa. Di sinilah kehandalannya dalam mengorganisir sangat dikenal. Mulai dari memperluas jaringan informasi, mengatur soal manajemen organisasi, hingga menjadi kriptografer sandi rahasia dalam gerakan. Pada 1910, bersama Clara Zetkin, Nadezhda ikut menjadi salah satu penggagas Hari Perempuan Sedunia yang pertama kali dirayakan pada 1913 di Rusia.


Setelah revolusi, ia dipilih menjadi deputi divisi pendidikan bagi orang dewasa di bawah Komisariat Rakyat untuk Pendidikan. Selama karirnya, ia cukup banyak menelurkan karya penting seperti The Woman Worker (1889) dan Reminiscences of Lenin (1933). Namun, menurut saya, buah pikirannya yang paling menarik ada dalam artikelnya tahun 1921 yang berjudul Taylor’s System and Organization.

Dalam artikelnya ini, Nadezhda melayangkan kritiknya terhadap asas kolegialitas yang mengakibatkan inefisiensi birokrasi dalam pemerintahan Uni Soviet. Menurutnya, ini menyebabkan birokrasi tidak berjalan semestinya dan dewan buruh alias Soviet menjadi stagnan dan tidak responsif. Namun, alih-alih memetik ide pemikir Kiri, ia justru meminjam pemikiran Frederick Winslow Taylor (1856-1915), seorang berkebangsaan Amerika Serikat yang dikenal sebagai pencetus manajemen ilmiah dan gerakan efisiensi sekaligus merupakan bapak teknik industri. Apa saja kiranya ide-ide yang dipinjamnya? Untuk itu kita perlu mengenal sekilas pemikiran Frederick Taylor.

Jika mendengar namanya sebagian besar orang Kiri pasti akan alergi, apalagi kalau mesti mendengar gagasannya yang sangat terasa bernuasa eksploitasi. Akan tetapi, sebelum terlalu cepat kita menghakimi, Amelia Davenport dalam artikelnya Organizing for Power: Stealing Fire from The Gods di website Cosmonaut Magazine menjelaskan bahwa meski Taylor bukanlah seorang sosialis tapi ia bukan juga seorang fasis yang tak punya simpati atas kondisi pekerja. Maka, ia coba mencetuskan konsep manajemen yang ilmiah.

Amelia Davenport menambahkan bahwa manajemen ilmiah ini bertujuan menggantikan sistem manajemen lama yang dinilai tak efisien dan tak menguntungkan. Karena itu, tujuan utama Taylor sesungguhnya mencari kemakmuran maksimal bagi pemberi kerja sekaligus bagi setiap pekerja, mengubah cara kerja sehingga pekerja tak lagi tertekan akibat pengerahan tenaga habis-habisan atau membuang waktunya di tempat kerja, lalu meningkatkan produktivitas tenaga kerja secara umum sehingga melalui penurunan harga standar hidup rata-rata setiap orang meningkat. Ia percaya bahwa dengan menggunakan manajemen yang ilmiah, ia dapat mendamaikan dan mencari keuntungan untuk pemodal dan juga pekerja.

Meski kita semua tahu bahwa kontradiksi antara kapitalis dan proletariat tak dapat diperdamaikan kecuali lewat revolusi, namun yang menjadi fokus pembahasan Nadezhda adalah metode Taylor yang bisa jadi solusi dalam pengorganisasian proses-proses produkti. Sebab, menurut Taylor, manajemen ilmiah adalah landasan filosofi berorganisasi yang jika diterapkan pada konteks dan dengan tujuan yang berbeda tentu memerlukan teknik yang berbeda pula. Seperti sebilah pisau yang dapat digunakan oleh prajurit untuk memotong leher musuh dalam pertempuran, pisau pun juga dapat digunakan oleh Chef Juna untuk memotong ikan. Maka, jika manajemen ilmiah ini dapat berguna menjadi alat bagi para kapitalis, tentunya ini juga berguna sebagai alat proletariat dalam berorganisasi.

Dengan meminjam pemikiran Taylor, Nadezhda menyimpulkan bahwa beberapa hal yang mesti diterapkan di dalam birokrasi Soviet kala itu antara lain menyusun pembagian tugas secara spesifik dan jelas, menyusunan kerangka acuan atau Term of Reference untuk setiap bidang kerja, menempatkan pekerja dalam posisi yang tepat untuk setiap tenaga kerja menurut kemampuannya, melakukan transfer pengetahuan lewat pelatihan, dan pengumpulan data untuk laporan perkembangan serta proses evaluasi kinerja. 

Nadezhda berharap dengan terperincinya pembagian kerja sesuai keahlian, dijalankannya pelatihan, serta transfer pengetahuan dan tercatat jelasnya tugas di setiap bagian, orang-orang di pemerintahan Soviet bisa memanfaatkan waktu kerjanya agar lebih produktif tanpa harus membuang waktunya. Selain itu, model ini ikut mendukung proses evaluasi kompetensi pekerja sehingga memudahkan pemberian bonus bagi mereka yang berprestasi. Intinya, Nadezhda ingin proses kerja sebagai satu organisasi menjadi sederhana dan menguntungkan bagi para pekerjanya.


Dari sini setidaknya ada tiga hikmah yang bisa dipetik. Pertama, Nadezhda mengingatkan pentingnya sebuah manajemen ilmiah dalam berorganisasi. Sebab, hanya dengan pengelolaan yang tertib dan efisien, sebuah organisasi minimal selangkah sampai ke tujuannya. Bukti-buktinya tak hanya bisa disaksikan dari bagaimana perusahaan seperti Unilever dan Philip Morris International dapat menguasai pasar dunia, namun juga keberhasilan Gerakan 26 Juli dalam meruntuhkan Rezim Batista dan pasukan Vietcong dalam mengusir Amerika dari Indochina.

Nadezhda menambahkan bahwa keberhasilan organisasi tak bergantung dari kemampuan individual semata, namun dari kerja seluruh anggota tim dalam jalur yang sama untuk mencapai tujuan bersama. Saya yakin kita semua yang telah bertahun-tahun aktif di organisasi tentu paham bagaimana analisis Nadezhda banyak kita temui di dinamika pengelolaan organisasi sehari-harinya, dan konsep manajemen ilmiah ala Taylor ini patut dipertimbangkan untuk diuji coba. Apalagi, hari ini kita telah dimudahkan oleh kemajuan teknologi, mulai dari platform kerja hingga beragam alat komunikasi.

Hikmah kedua adalah sikap Nadezhda yang berpegang pada prinsip materialisme dialektika dalam menanggapi kondisi realitas. Ia memahami bahwa hal ihwal material mendahului ide dan selalu dalam proses bergerak. Konsekuensinya perubahan kondisi objektif di satu sisi akan membawa perubahan di sisi yang lainnya. Kemenangan Bolshevik membawa Rusia ke sebuah fase baru tatanan kehidupan, sehingga mesti ada sebuah penyesuaian dalam cara berorganisasi. Hal ini disebabkan karena kondisi nyata kala itu bukan lagi seperti ketika di masa-masa sebelum revolusi, di tengah revolusi dan setelah revolusi, namun sosialisme.

Ini dibuktikannya dari keberaniannya memberikan kritik dengan meminjam ide dari tokoh yang sama sekali bukan seorang revolusioner. Di sini, ia memiliki posisi yang objektif dan tegas dalam menentukan bukan soal baik atau buruk, namun soal benar atau salahnya proses berorganisasi. Bukan hanya memberi kritik namun juga solusi. Bukan soal perasaan, lived experience, atau personal truths seperti rengekan liberal, tapi soal fakta keras dan keharusan untuk mencapai dan mempertahankan kemenangan. Sebab, Nadezhda bertujuan membangun sebuah birokrasi Soviet yang bukan hanya berlandasakan relasi persahabatan serta solidaritas saja, namun juga berdasarkan profesionalitas seperti manajemen moderen hari ini. Sebab, sosialisme bukanlah distribusi kemiskinan, melainkan soal redistribusi hasil produksi yang makin canggih dan berlimpah kepada mereka yang bekerja dan berkeringat – rakyat pekerja.

Bagi Nadezhda, metode kerja semacam ini adalah salah satu bentuk dari ilmu pengetahuan dan ilmu pengetahuan itu sendiri bergantung kepada siapa yang memanfaatkannya. Jika di masyarakat kapitalisme metode ini digunakan untuk menyokong rumus umum kapital dan menguntungkan kelas pemodal, di Uni Soviet dan proyek-proyek politik sosialis lainnya tentu saja ilmu pengetahuan dapat dipakai untuk meningkatkan tak hanya produktivitas namun juga untuk kesejahteraan pekerjanya. 

Hikmah ketiga yang bisa dicontoh darinya yaitu sikapnya yang realistis. Dengan mengangkat pemikiran Taylor, Nadezhda menegaskan bahwa kemajuan zaman bukan untuk dilawan tapi justru dipelajari dan dimanfaatkan. Ia menyerukan orang-orang di Rusia saat itu untuk mau belajar dan berdiskusi khususnya soal sistem manajemen ilmiah dari Taylor. Namun alih-alih copy paste, ia mengambil inti metodenya untuk diterapkan sesuai dengan kondisi nyata di Uni Soviet. Maka selain objektif, Nadezhda dapat disebut sebagai seorang organisator yang cukup realistis 


Ide organisasi atau manajemen ilmiah yang digaungkan Nadezhda sempat didukung oleh lembaga penelitian pekerja di bawah asuhan Aleksei Gastev dan berkat ini pulalah pada era 1920 sampai 1930an Uni Soviet mengundang beberapa konsultan dari Amerika Serikat yang salah satunya Charles Sorensen untuk mengembangkan manajemen ala Taylor serta Ford. Barangkali hal ini juga yang membuat Soviet bisa menyaingi Amerika Serikat menjadi negara adikuasa pasca Perang Dunia II. Meski kita semua tahu bahwa di akhir abad ke-20 terjadi stagnasi ekonomi dan politik sejak Leonid Brezhnev menutup mata akan perubahan sehingga Uni Soviet beserta Blok Timur pun akhirnya kalah telak oleh Blok Barat.

Singkatnya, terlepas dari pro dan kontra ide Taylorisme ala Soviet serta kegagalan para penerusnya, pesan Nadezhda kiranya masih relevan untuk kita semua di Asia Tenggara yang hari ini masih terus memperjuangkan nasib pekerja lewat berbagai gerakan dan organisasi. Bahwa, hanya dengan bersatu dan profesional dalam berorganisasi, kelas pekerja akan mampu menentukan masa depannya sendiri. Karena, satu batang lidi tentu saja lebih mudah dipatahkan ketimbang sapu lidi. 

Namun, organisasi seperti yang seperti dimaksud Nadezhda tidaklah dibangun hanya dari sekedar diksi-diksi dan teriakan revolusi, sebab hari ini kapitalisme bersama pion-pionnya berinovasi tanpa henti sementara kita semua punya perut untuk diisi dan perjuangan berdasarkan perencanaan kolektif tidak bisa berhenti.

Akhir kata, seiring dengan Hari Perempuan Sedunia 2021 izinkan saya mengucapkan panjang umur gerakan perempuan Indonesia. Sesuai dengan arti Nadezhda dalam bahasa Rusia yang berarti harapan, semoga dengan belajar darinya harapan untuk dunia yang lebih baik akan selalu ada untuk kaum perempuan pekerja. 

Perempuan pekerja se-Indonesia, berorganisasilah!***

]]>
Perang 200 Tahun Kelas Pekerja https://indoprogress.com/2021/02/perang-200-tahun-kelas-pekerja/ Wed, 03 Feb 2021 05:41:54 +0000 https://indoprogress.com/?p=232957

Foto: Barricades rue Saint-Maur à Paris pendant les journées insurrectionnelles de juin 1848/Fourth International


ANDA mungkin tak asing lagi dengan The Condition of the Working Class in England, Anti-Duhring atau Dialectics of Nature. Tapi, apa Anda mengenal judul seperti Prospects of a War of the Holy Alliance Against France dan Po and Rhine? Jika terdengar asing, faktanya tulisan tersebut dibuat oleh orang yang menulis Manifesto Komunis. Bukan Karl Marx, tapi Friedrich Engels. Kalau diperhatikan dari judulnya, kok gak ada marxis-marxisnya? Kok gak ada nuansa heroisme kelas pekerjanya sama sekali? Terang saja, buku-buku itu tidak bercerita soal pekerja, tapi tentang tentara. Lho bukannya Marxis itu cinta kemerdekaan, keadilan, dan kedamaian, anti perang, anti militerisme, kok Engels panutan kita menulis tentang kemiliteran dan peperangan? Wah gawat! Kalau begini, apa kita semua harus bersiap-siap bernyanyi serentak ‘Terpesona! Aku Terpesona!’ sambil rolling dan push up

Tapi tunggu dulu, apa betul dengan mempelajari serta masuk ke dalam dunia kemiliteran seketika Anda berubah menjadi seorang prajurit Schutszstaffel, Hydra atau Stormtrooper? Belum tentu. 

Lalu, apa sih yang Engels tulis tentang kemiliteran? Apa kira-kira hikmahnya? Untuk menjawabnya, kita perlu melihat kembali latar dunia ketika Engels hidup. Abad ke-18 dan 19 merupakan zaman berlangsungnya suatu peralihan besar dalam sejarah manusia. Perubahan besar tersebut ditandai dengan usangnya bentuk masyarakat feodal, lahirnya pemikiran pencerahan, bangkitnya ilmu pengetahuan, berkembangnya musik klasik, berseminya revolusi industri hingga serangkaian revolusi sosial di akhir abad 18 sampai pertengahan abad ke-19 yang diikuti oleh berbagai peperangan. Engels lahir pada 28 November 1820, di tahun yang sama ketika Royal Astronomical Society berdiri di London, HMS Beagle yang kelak berlayar bersama Charles Darwin baru diluncurkan, dan Robert Owen sedang menyusun eksperimen komunitas sosialisnya. Dengan kata lain, dapat dikatakan bahwa Engels merupakan anak zaman yang sedang berada pada pusaran dinamika transisi perubahan bentuk masyarakat modern.


Ketika memasuki usia 20 tahun, sesuai dengan undang-undang Kerajaan Prusia, Engels dipanggil untuk mengikuti wajib militer. Setelah menyelesaikan ujiannya di Berlin, ia ditempatkan di kompi artileri pertahanan kota. Pada 1841, ia menjadi kadet dan tinggal di barak battalion Infantri Kedua Belas Artileri Kota, yang lokasinya hanya sejengkal dari Universitas Friedrich Wilhelm Berlin. Serangkaian revolusi benua Eropa yang meletus sejak 1848 mendorong Engels berangkat ke Elberfeld untuk bergabung pemberontakan dengan Komite Keamanan Publik. Di sana, ia mempersiapkan pertempuran dengan menginstruksikan pembangunan barikade, zeni perang, mengevaluasi kesiapan persenjataan, dan mengatur posisi pos-pos prajurit serta senjata pertahanan. Engels pun selanjutnya pergi ke Kaiserlautern atau Palatinate untuk berkontribusi dalam pertempuran bersama pasukan August Willich. 

Di sinilah pertempuran antara para pemberontak dengan pasukan Prussia berlangsung sengit. Engels yang menjadi prajurit di barisan terdepan selama beberapa bulan akhirnya terpilih menjadi ajudan Willich. Meski bertugas sebagai ajudan, ia tetap ikut bekerja mencari serta mengumpulkan senjata, mesiu, peluru, hingga pakaian serta makanan. Sementara sembari bertugas melatih prajurit, Engels tidak pernah absen di garis terdepan dan pemberani di dalam pertempuran, setidaknya ini yang dicatat dari mereka yang pernah bertempur bersamanya. Hingga pada pertengahan Juli 1949, pasukan mereka dipukul mundur sampai ke perbatasan Swiss dan menjadi pasukan terakhir yang bertempur dalam revolusi di Jerman. Mundurnya pasukan ini pun menandakan babak terakhir dari revolusi 1848-1849 di Eropa. Tetapi, karena kekalahan itulah Engels justru menjadi semakin tertarik untuk menekuni dunia kemiliteran. Tak lama semenjak kembali ke London ia segera menelurkan beberapa karya penting tentang ketentaraan dan peperangan.

Dari beberapa karyanya, Prospects of a War of the Holy Alliance Against France merupakan salah satu tulisan soal kemiliteran yang menurut saya sangat menarik. Tulisan yang terbit pada tahun 1851 ini terbit ketika Prancis yang baru saja mengalami Revolusi 1848 terancam posisinya oleh negara-negara di sekitarnya yang berkoalisi satu sama lain untuk berusaha mengembalikan monarki di Prancis. Pasukan koalisi yang sering disebut dengan Holy Alliance atau Aliansi Suci ini digawangi oleh Russia, Prussia, Austria dan Negara-negara Konfederasi Jerman. Di awal tulisan, Engels membandingkan antara kondisi pasca Revolusi Prancis atau masa republik pertama tahun 1792 dengan Revolusi tahun 1848 di Eropa dan khususnya di Prancis. Lalu ia menceritakan bagaimana munculnya model perang modern yang jauh berbeda dari model peperangan yang pernah ada sebelumnya. Baru setelah itu ia juga membandingkan besaran serta kemampuan umum dari pasukan yang dimiliki Republik Prancis dengan pasukan koalisi dan kemungkinan terjadinya peperangan.


Sekilas tulisan sederhana ini hanya merupakan sebuah analisis kemiliteran saja, namun sesungguhnya memiliki beberapa pesan penting. Dalam bagian ketiga tulisan ini Engels membahas bahwa bentuk peperangan yang berlangsung saat itu merupakan bentuk perang modern warisan Napoleon Bonaparte yang lahir dari Revolusi Prancis. Perang modern itu sendiri bagi Engels dapat dikenali dari dua cirinya. Pertama, sistem penyerangan yang bersifat massal dengan kekuatan gabungan infantri, kavaleri, artileri, dan berbagai persenjataan. Kedua, mobilitas serta manuver cepat dari sistem penyerangan tersebut. 

Engels kemudian menunjukkan bahwa untuk menjalankan peperangan modern, dibutuhkan persiapan logistik yang fleksibel, persenjataan yang mumpuni, pendidikan militer yang profesional, proses rekrutmen yang efisien, kedisiplinan, moral, dan, yang paling mendasar, bentuk masyarakat dengan sistem ekonomi politik yang modern. Ia menegaskan bahwa perang modern disyaratkan oleh bentuk masyarakat kapitalisme. Ia muncul semenjak Revolusi Prancis, suatu bentuk emansipasi politik yang didominasi oleh para borjuis dan petani. Perang modern adalah ekspresi militer dari bentuk emansipasi tersebut.

Engels menambahkan bahwa emansipasi proletariat pun kelak memiliki ekspresi militernya sendiri dan akan menciptakan model peperangan baru yang spesifik pula. Namun, melihat kondisi objektif ekonomi dan politik serta posisi proletariat kala itu, Engels melihat bahwa lompatan langsung ke bentuk tentara proletariat belum memungkinkan. Sehingga, seperti di dalam pertanyaan soal industri dalam revolusi proletariat, alih-alih menghapuskan permesinan, justru pekerja mesti mengembangkannya supaya menjadi lebih baik. 

Oleh karena itu, menurut Engels, model terbaru peperangan kelas pekerja kelak tidaklah lahir dari ruang kosong, namun justru dari kondisi sosial yang nyata dengan warisan model peperangan sebelumnya yaitu peperangan modern itu sendiri. Engels belajar dari pengalaman kegagalan pertempuran dalam Revolusi 1848, bahwa sebuah pemberontakan atau perlawanan untuk revolusi tidak diperjuangkan hanya dengan heroisme, jargon dan diplomasi, namun juga taktik, strategi, dan senjata yang terisi.

Dari tulisan Engels ini kita dapat memetik tiga buah hikmah. Pertama, perkembangan kemiliteran layaknya setiap aspek di ranah suprastruktur, memiliki sebuah prasyarat yaitu perubahan di tatanan paling mendasar dalam mode produksi. Hal ini ia jelaskan lewat perang-perang yang terjadi sebelum dan sesudah Revolusi Prancis, khususnya di masa Napoleon Bonaparte. Bahwa sistem logistik, struktur pembagian kerja serta koordinasi, tekonologi, kedisiplinan, moral, dan pengetahuan di dalam bentuk masyarakat feodal tak memungkinkan peperangan berksala besar dengan kecepatan penuh layaknya peperangan modern. Melalui sistem kapitalisme yang diterapkan borjuasi inilah perang menjadi semakin terkoordinir, profesional dan dalam jumlah pasukan besar yang bergerak cepat. Ini dibuktikan dalam beberapa peperangan mulai dari Perang Napoleon (1803-1815), Perang Krimea (1853-1856), Perang Sipil Amerika (1861-1865), Perang Dunia I (1914-1918), dan Perang Dunia II (1939-1945).

Namun, meski kekuatan militer adalah produk dari tatanan basis dalam masyarakat, ia merupakan sebuah keniscayaan di dalam bentuk emansipasi sebuah kelas, khususnya kelas revolusioner. Sehingga, persoalan kemiliteran memiliki peranan pula dalam mengubah tatanan dan jalannya sejarah manusia. Kemampuan para jenderal dalam menentukan strategi serta pengambilan keputusan, lalu taktik dan aksi heroik para prajurit dalam medan perang secara tidak langsung dapat ikut menentukan perubahan besar dalam bentuk masyarakat. Buktinya bisa kita saksikan sendiri bagaimana peperangan yang dibawa Napoleon Bonaparte pada akhirnya membawa negara-negara di Eropa memeluk suatu bentuk masyarakat dengan sistem ekonominya yang paling modern yaitu kapitalisme. Kita juga bisa saksikan sendiri dari Revolusi Xinhai, Revolusi Oktober, Revolusi Kuba, Revolusi Nikaragua hingga perjuangan Viet Cong dan Zapatista yang mencoba mengubah bentuk masyarakat dan memenangkan perjuangan kelas lewat peperangan.

Kedua, cara berpikir materialisme dialektis dan historis sekali lagi terbukti dapat digunakan dalam menganalisis berbagai hal termasuk soal kemiliteran. Dalam karya kemiliterannya, Engels berangkat dari hal ihwal yang paling nyata dan paling menampak bukan untuk berhenti di sana dan mendeskripsikannya saja, namun justru membedahnya untuk mencari sebuah mekanisme yang mengondisikan bentuk-bentuk empiris tersebut. Hampir seperti Marx yang menemukan prinsip mekanisme sebuah masyarakat yang menganut sistem kapitalisme, Engels menemukan bagaimana masyarakat kapitalisme lewat kelas dominannya memiliki ekspresi yang tertentu di dalam ranah suprastruktur, salah satunya adalah aspek kemiliteran. Sebab, hanya bentuk masyarakat yang ditopang oleh produksi sarana hidup secara massal dan memiliki surplus produksi sajalah yang memungkinkan lahirnya bentuk perang modern. 

Dengan demikian, ia mencapai kesimpulan bahwa perang modern, yang mencakup bentuk keprajuritan, persenjataan, strategi, taktik, hingga sistem logistik yang modern, adalah sebuah produk yang lahir dari rahim revolusi borjuis. Jika emansipasi borjuasi memiliki corak ekspresi kemiliterannya, begitu juga dengan proletariat yang kelak harus merevolusi tatanan. Namun corak kemiliteran proletariat tidak muncul dari masa lalu atau masa depan, namun dari perang modern yang eksis hari ini. Mengapa? Sebab sistem berperang yang relevan saat ini dan digunakan oleh angkatan bersenjata atau tentara reguler di setiap negara ialah sistem perang modern. Bahkan para pejuang Ejército Zapatista de Liberación Nacional (EZLN) di Chiapas dan Yekîneyên Parastina Gel (YPG) di Rojava pun juga menggunakannya untuk melawan dan memperjuangkan revolusinya.

Ketiga, mengingat kemiliteran adalah produk dari sebuah bentuk masyarakat tertentu, seperti halnya kebudayaan beserta produknya seperti hukum, agama, kesenian, dan ilmu pengetahuan, sifatnya bergantung kepada siapa yang mempergunakannya atau dengan kata lain siapa yang menguasainya. Maka kemiliteran sebagai alat dapat pula dipergunakan untuk kepentingan proletariat. Untuk kepentingan apa? Tentu saja saat ini kita belum sampai pada tahap latihan menembak atau melancarkan operasi militer menaklukan lawan, tetapi masih dalam kepentingan di tahap edukasi, agitasi dan oganisasi. Oleh karena itu, beberapa nilai dari dunia kemiliteran kiranya penting untuk dipinjam dan diinterpretasikan ulang. Bahkan, nilai-nilai tersebut cocok diterapkan dalam perjuangan kita saat ini, di antaranya kesiapan logistik, koordinasi, dan kedisplinan. Untuk ketiga aspek ini mungkin akan saya jelaskan relevansinya dalam kesempatan yang berbeda. 

Dunia kemiliteran yang selama ini kita kenal mungkin penuh kekerasan dan kekejaman, namun tanpanya, hari ini Anda tidak mungkin bisa membaca tulisan saya lewat internet sambil mengantri di Transjakarta dan Anda tak mungkin bisa blast rapat kolektif lewat grup Whatsapp di tengah meeting kantor. Maka, alih-alih sekedar membenci dan menjauhinya, alangkah lebih menguntungkan jika kita belajar darinya. Bukan untuk menjadi seperti mereka namun jadi lebih baik dari mereka. Sama seperti kita yang mendaku anti terhadap kapitalisme. Bukan berarti kita menyangkal dan harus menjauh darinya, namun justru kita mesti mengenalnya dan menemukan celah untuk melampauinya. Peperangan dan kemiliteran merupakan bagian dari suprastruktur yang tak mungkin lepas dari bentuk masyarakat, cepat atau lambat walau tak dicari ia akan datang menghampiri. Dan jika tiba waktunya, kelas pekerja mesti siap mempertahankan diri lalu merebut kemenangan.


Akhir kata, lewat tulisannya kemiliterannya, Engels mengajak kita untuk berpikir rasional dan logis dalam kerangka materialisme dialektis-historis. Analisis militer Engels menjadi penting karena semenjak 200 tahun yang lalu sampai hari ini kita masih ‘berperang’ melawan musuh yang sama seperti yang dilawan oleh kelas pekerja di masa Marx dan Engels. Sebuah mekanisme kerja yang berkuasa menggerakan pion-pionnya untuk mengakumulasi kapital tanpa henti dan melanggengkan eksploitasi. 

Dalam penutup bab ketiga dalam tulisannya di Prospects of a War of the Holy Alliance Against France, dengan Bahasa Prancis ia menulis ce seront alors les gros bataillons qui l’emporteront yang artinya dengan demikian, batalion besarlah yang akan menang. Maka hanya dengan bersatu, kelas pekerja membentuk batalionnya, maju tak akan gentar ketika harus berhadapan dengan lawannya dan meraih kemenangan. Di sini kita mesti ingat bahwa kemenangan diraih dengan perjuangan dan pengorbanan, kecuali Anda menganggap Mao Zedong, Fidel Castro dan Ho Chi Minh cuma tidur-tiduran sambil twitter-an seharian. Kemenangan dalam pertarungan memang penting, meski kita juga perlu mempertimbangkan kata-kata Master Sun Tzu berabad-abad lalu bahwa seni berperang tertinggi yaitu mengalahkan musuh tanpa bertarung. 

Panjang umur Friedrich Engels. 

Proletariat sedunia, belajarlah dari Engels!***

]]>
Marxisme dan Tiga Samurai https://indoprogress.com/2020/10/marxisme-dan-tiga-samurai/ Sat, 31 Oct 2020 05:35:13 +0000 https://indoprogress.com/?p=232708

Ilustrasi: Illustruth


ANDA mungkin sudah sering mendengar tentang peristiwa penting yang pernah berlangsung dari abad ke-15 sampai abad 16. Mulai dari jatuhnya Konstantinopel dari Kekaisaran Byzantium ke tangan Kekaisaran Turki Ottoman pada 1453, kemenangan Kerajaan Perancis dalam Perang 100 tahun atas Inggris di tahun yang sama, mendaratnya Christopher Columbus di salah satu pantai kepulauan Bahamas pada 1492, penemuan mesin cetak oleh Johannes Gutenberg yang melahirkan Rennaisance, Reformasi Protestan Martin Luther terhadap Gereja Katolik Roma, berkembangnya merkantilisme di Venesia, Genoa dan Pisa, hingga maraknya penggunaan bubuk mesiu untuk meriam dan senapan sundut yang sejak saat itu akan mengubah jalannya sejarah manusia. Namun sepertinya Anda jarang mendengar kisah menarik tentang para samurai selain Seven Samurai atau Rurouni Kenshin.

Kala abad itu dunia bergejolak, Jepang punya dinamika tersendiri, yaitu suatu periode dalam sejarah negeri matahari terbit yang dikenal dengan Sengoku Jidai atau Zaman Negeri yang Berperang. Periode ini ditandai sebagai era paling kacau balau yang dihiasi oleh serangkaian perang saudara antar provinsi tanpa henti. Pertikaian kembali dimulai setelah berakhirnya Perang Onin tahun 1467 yang memporak-porandakan Kyoto dan daerah-daerah disekitarnya. Ketidakberdayaan dan surutnya pamor Keshogunan Ashikaga dimanfaatkan dengan baik oleh para panglima perang samurai dan beberapa klan memperebutkan kekuasaan di pulau itu. Zaman ini pun dilengkapi oleh kehadiran Ikko-ikki atau segerombolan pemberontak yang terdiri dari petani dan bhiksu pengikut sekte Buddhis Jodo Shinsu. Bangkitnya warga sipil dan tuan tanah melawan mereka yang berada di strata sosial yang lebih tinggi dan menjadi bagian dari keshogunan pada masa itu melahirkan istilah Gekokujo yang berarti mereka yang rendah menguasai yang lebih tinggi. Namun, tak disangka dari sinilah lahir kekuatan baru yang akan menentukan nasib masa depan negeri ini.

Di tengah pergolakan sosial tersebut, Oda Nobunaga (1534-1582), seorang daimyo atau tuan tanah Klan Oda penguasa Provinsi Owari muncul sebagai orang pertama yang bercita-cita menyatukan Jepang di bawah kekuasaannya. Sang pendekar jago pedang dengan kharisma serta wataknya yang keras itu melancarkan serangkaian perang dan meraih kemenangan telak atas samurai lainnya. Kisah paling tenarnya adalah kemenangan 2.000 prajuritnya melawan 40.000 pasukan Imagawa Yoshimoto dari Provinsi Suruga pada tahun 1560 dalam Pertarungan Okehazama. Lewat aliansi bersama Tokugawa Ieyasu dan penggunaan masal senapan hasil modifikasi yang bernama Tanegashima, ia pun segera berhasil menumbangkan Keshogunan Ashikaga dan mulai menguasai hampir seluruh Honshu. Sifat keras serta tak berperasaannya pada akhirnya menghantarkan Nobunaga ke akhir petualangannya. Konon ia menjemput kematiannya sendiri dengan melakukan seppuku dalam insiden Honno-ji di Kyoto ketimbang mesti mati di tangan salah seorang jenderal perangnya, Akechi Mitsuhide, yang menyimpan dendam atas kematian ibunya lalu berkhianat.

Akibat kekosongan kekuasaan dan masih banyaknya wilayah yang belum disatukan, kepemimpinan pun segera digantikan oleh sang pemersatu kedua yaitu Toyotomi Hideyoshi (1537-1598). Dengan latar belakang keluarga petani, ia memulai karirnya sebagai ashigaru, lalu menjadi pembawa sandal Nobunaga dan akhirnya tampil sebagai seorang negosiator handal. Meski permainan pedangnya tak sehebat Nobunaga, Hideyoshi memiliki kecerdikan yang tak dimiliki pendahulunya. Ia lebih mengutamakan negosiasi ketimbang pertumpahan darah. Di bawah kepemimpinannya ia berusaha menciptakan perdamaian dengan membuat peraturan untuk melucuti senjata dari kaum tani sehingga makin meguatkan pemisahan strata feodal menjadi kelas samurai, petani, pengrajin dan pedagang. Selain itu, warisan terpentingnya adalah survey kadaster nasional, pencatatan luas, kategori, hasil tanah pertanian beserta hasil panennya secara berkala di seluruh Jepang. Namun, pada akhir karirnya langkahnya menjadi semakin tak tertebak dan mulai melupakan kepiawaiannya dalam bernegosiasi. Hideyoshi mengobarkan perang terhadap Dinasti Ming dengan lebih dahulu pada 1592 menginvasi Dinasti Joseon di Korea. Di ambang kematiannya, pendekar ini meminta para jenderalnya bersumpah untuk melindungi putranya, Hideyori, hingga ia siap menjadi pemimpin baru.

Tokugawa Ieyashu (1543-1616) sang pemersatu ketiga, sahabat lama Oda Nobunaga dan salah satu jenderal yang bersumpah kepada Toyotomi Hideyoshi di sakratul mautnya, rupanya memiliki rencana lain untuk persatuan Jepang. Ia juga bermimpi menyatukan pulau tersebut sama seperti pendahulunya, namun tentu saja mesti dengan caranya. Dengan dalih melindungi keluarga dan penerus Hideyoshi, secara perlahan ia mengambil pengaruh menjadi penguasa nomer satu di Jepang. Hal ini membuat murka daimyo lainnya sehingga salah satunya, Ishida Mitsunari, bersama para samurai lainnya bersekutu melawan Tokugawa. Samurai pun terbagi menjadi Pasukan Barat yang mendukung Mitsunari dan Pasukan Timur yang tidak mendukung Mitsunari. Lewat kemenangannya dalam Perang Sekigahara pada 1600 dan pengangkatan dirinya sebagai shogun oleh Kaisar Go-Yozei pada 1603, Tokugawa menancapkan hegemoninya yang berlangsung selama 250 tahun di Periode Edo atau zaman terdamai dalam sejarah keshogunan. Meski tak sekuat Nobunaga dan secerdik Hideyoshi, Tokugawa Ieyasu merupakan pendekar yang memiliki kesabaran dalam mencapai tujuannya yaitu menjadi penguasa atas seluruh negeri matahari terbit.

Tiga pendekar ini sering dikisahkan kembali lewat sebuah cerita anak di Jepang. Seorang Master Zen menanyakan Nobunaga, Hideyoshi dan Tokugawa tentang apa yang akan mereka lakukan kepada burung merdu yang tak urung bernyanyi? Nobunaga berkata “Jika burung itu tak mau bernyanyi, maka aku akan membunuhnya.” Hideyoshi pun berkata “Jika burung itu tak mau bernyanyi, aku akan membuatnya bernyanyi.” Lalu Tokugawa berkata “Jika burung itu tak mau bernyanyi, maka aku akan menunggunya bernyanyi.” Dari cerita ini kita bisa mengenal perbedaan karakter dari tiga pendekar samurai itu, meski berbeda ketiganya merupakan kesatuan yang menciptakan Jepang bersatu sampai hari ini.

Jika kondisi dunia hari ini diibaratkan Sengoku Jidai dan kita dihadapkan kepada situasi seperti itu, apakah tepat jika kita mengikuti stratak, strategi-taktik, yang telah dicontohkan oleh trio pemersatu Jepang tersebut? Jika ya, lantas samurai mana kiranya yang akan kita pilih? Nobunaga, Hideyoshi atau Tokugawa?

Sebelum begitu saja mencontoh salah satu dari mereka, alangkah bijaknya jika kita terlebih dahulu memahami perangai yang berbeda dari tiga samurai tersebut. Sebagaimana eksistensi mendahului esensi, karakteristik atau sifat dari tiga pendekar ini tidak muncul sedari lahir. Ia dibentuk oleh kondisi objektif, historis dan sosial budaya yang dominan dalam masyarakat tertentu. Dalam biologi saja, spesies tanaman yang sejenis dapat memiliki dua sifat sekaligus dalam menanggapi sinar matahari (menuju ke bumi atau mendekati arah sinar matahari), apalagi Homo sapiens yang tak hanya merupakan mahkluk biologis namun juga sosial.

Nobunaga, Hideyoshi, dan Tokugawa dikondisikan oleh kondisi objektif yang riil, mereka adalah produk dari zamannya. Walau pada akhirnya memproduksi kembali zaman menurut impian mereka. Dengan demikian sifat keberanian, kecerdikan dan kesabaran mereka adalah nilai yang sifatnya relevan pada zaman perang sipil Jepang.

Lantas, pelajaran penting apa dari pengalaman mereka yang dapat kita petik untuk zaman ini?


Yang pertama adalah menemukan peluang untuk merealisasikan sebuah tujuan meski di dalam kekacauan. Pelajaran kedua adalah kesadaran bahwa tujuan tak mungkin tercapai tanpa suatu tindakan.

Jika kita refleksikan kembali, kondisi masyarakat kita hari ini lebih buruk ketimbang di Periode Sengoku. Kemiskinan merata, ketimpangan tinggi, kerusakan lingkungan, perang, pandemi dan lainnya. Lebih parahnya lagi keadaan kacau balau ini dimanfaatkan oleh kelas yang berkuasa dan elit negara yang mendukungnya untuk meraup banyak keuntungan di atas kebuntungan. Untuk itulah diperlukan tindakan supaya kekacauan ini tak berangsur menjadi kepunahan manusia. Namun tindakan seperti apa yang kiranya dapat kita lakukan? Tentu saja bukan berlatih kendo lalu memobilisasi rakyat baris berbaris membawa bendera menuju Istana Merdeka. Tapi yang paling utama yaitu terlebih dahulu mempelajari dan memahami seperti apa kondisi nyata masyarakat hari ini. Membedahnya lalu mencari alternatif dan solusi. Anda yang berdiri di persimpangan kiri jalan tentu saja tak ragu lagi menggunakan Marxisme sebagai pisau untuk membedah sistem kapitalisme dan merumuskan alternatif terhadapnya. Meskipun ‘kecil,’ pisau bedah bisa jadi lebih tajam ketimbang katana yang dibuat oleh Hatori Hanzo.

Jika sudah jelas sebab musabab dari kekacauan masyarakat kita hari ini, barulah kita dapat mengartikan ulang nilai keberanian, kecerdikan dan kesabaran para pendekar tersebut menjadi sebuah strategi menuju kemenangan yang relevan hari ini. Sama seperti Nobunaga yang dengan berani menguji kekuatan pasukannya di medan perang, kita yang mempelajari Marxisme mesti memberanikan diri menguji kekuatan tesis materialisme dialektis historis di medan perang saintifik,  perdebatan, dan juga praksis politik. Layaknya Hideyoshi yang handal dalam diplomasi dan bernegosiasi, Marxisme mesti menemukan cara paling relevan dalam berkomunikasi dengan segenap golongan masyarakat, dengan kata lain ia mesti bisa diterima dan bermanfaat. Bagaikan Tokugawa yang bersabar memilah waktu yang tepat meraih puncak kekuasaan, kita mesti paham betul siapa dan apa yang kita lawan, lalu kapan waktu yang tepat untuk melancarkan serangan untuk mengubah seluruh tatanan.

Namun ketimbang memilih salah satu jalan samurai, ketiganya patut dicontoh dan tetap digunakan di dalam situasi serta kondisi yang relevan. Ada kalanya kita mesti seperti Nobunaga, ada masanya kita seperti Hideyoshi, dan ada waktunya juga kita menjadi Tokugawa. Jika mereka mengobarkan semangat persatuan Jepang, proletariat hari ini barangkali tak usah muluk-muluk menyatukan dunia, cukup sajalah menyatukan gerakan pekerja dan segera menyusun agenda politik bersama – satu tugas yang enteng diucapkan, namun Maha Sulit untuk dilaksanakan dan diwujudkan. Sebab dunia selalu dalam proses bergerak dan sering tak kita sadari bahwa peluang untuk perubahan selalu hadir di depan mata.

Diangkatnya Kaisar Meiji tahun 1867 akhirnya menjadi bab penutup dari ribuan tahun kejayaan para pendekar pedang. Tokugawa Yoshinobu, sang shogun terakhir pada tahun 1868, menutup buku para samurai. Zaman Edo pun mau tak mau tergantikan zaman baru yaitu Era Meiji yang merestorasi kekuasaan Kaisar dan membawa Jepang ke dalam sistem pemerintah perwakilan yang lebih terbuka. Mengutip kata-kata Engels dalam pengantar Dialectics of Nature (1883), totalitas alam termanifetasikan dalam gerakan sebuah arus abadi dan siklusnya. Apabila alam selalu dalam proses gerak, lantas struktur masyarakat yang basisnya ditopang oleh alam pun pasti juga dalam proses bergerak. Bahkan gerakan dalam realitas sosial dan kultural pun dengan kontradiksi internalnya dapat timbal balik ikut mempengaruhi realitas alam.

Dengan demikian, kita yang mempelajari Marxisme mesti belajar banyak dari sepenggal cerita dari negeri sakura tersebut, bahwa gerak dan perubahan merupakan sebuah kepastian karena jika kita tetap nyaman dengan dongeng heroik dan dogma, tentu saja kita akan tersapu zaman dalam kegamangan bagaikan ronin atau samurai tak bertuan. Tapi di masa yang semakin tak menentu ini kita diingatkan oleh nilai dan strategi kolektivitas kreatif dari seorang pendekar bijak, Kanbei Shimada. Dalam pidatonya sebelum berperang bersama enam samurai dan para petani melawan bandit yang meneror desa, ia berkata “Inilah sifat dari perang. Dengan melindungi orang lain, Anda menyelamatkan diri sendiri. Jika hanya berpikir untuk diri sendiri, Anda akan hanya akan menghancurkan diri sendiri.”***

]]>
Jalan Terbuka Materialisme Historis https://indoprogress.com/2020/08/jalan-terbuka-materialisme-historis/ Thu, 27 Aug 2020 08:36:47 +0000 https://indoprogress.com/?p=232450

Ilustrasi: Jonpey


Setelah beberapa bulan membahas krisis COVID-19 dan Gerakan Black Lives Matter, kali ini saya baru berkesempatan untuk memberikan tanggapan atas analisis yang sangat apik dari Hendra Manggopa. Alangkah bahagianya ketika mengetahui bahwa tulisan saya dibaca dan ditanggapi oleh salah satu intelektual libertarian kanan Indonesia yang ahli dalam tradisi pemikiran Mazhab Austria.

Dalam tulisan di website Suara Kebebasan yang berjudul Jalan Buntu Materialisme Historis, Hendra Manggopa mengupas cara berpikir khas Marxian yaitu materialisme historis. Selain itu, dia juga meringkas soal bagaimana masyarakat kapitalisme dijelaskan lewat Das Kapital Volume I (1867) oleh Marx. Rangkuman apik ini bersepakat dengan analisis libertarian kanan Djohan Rady, Marxisme: Narasi Ideologis yang Tak Faktual bahwa menurutnya Marxisme adalah narasi ideologis ketimbang kajian sosial ilmiah yang mempunyai basis material dan empiris. Klaim inilah yang kiranya menarik untuk dibahas.


Mengingat konsep-konsep kunci Marxis seperti basis, superstruktur, corak produksi beserta tenaga produksi dan relasi produksinya telah dibahas di karya-karya Marxis sebelum Das Kapital, contohnya dalam karya Marx dan Engels yang berjudul The German Ideology (1845) dan A Contribution to the Critique of Political Economy (1859), maka saya pikir untuk diskusi kali ini kita cukup fokus ke konsep-konsep tersebut. Kali ini, saya akan mengajak Hendra dan para pembaca untuk meninjau kembali apa yang dimaksud dengan materialisme historis. Bukan sekedar dari teori, namun dari fakta dan bukti.

Hal pertama yang mesti diluruskan adalah bahwa corak produksi atau cara pengorganisiran dan pengelolaan sumber alam untuk melangsungkan kehidupan manusia sesungguhnya tidak hanya terdapat pada fase kapitalisme. Corak produksi dalam bentuknya yang partikular selalu hadir dalam tiap fase perkembangan masyarakat kelas. Fakta keras dari adanya proses tersebut bahkan terbukti setua spesies Homo sapiens itu sendiri. Jika tidak, bagaimana caranya spesies kita dapat bertahan sampai detik tulisan ini diketik? Manusia hanya dapat bertahan hidup dengan melakukan aktivitas produksi, yang coraknya berbeda di tiap fase historis perkembangan manusia.

Tak seperti kebanyakan primata dan bahkan hewan lainnya, yang dapat segera langsung berjalan dan beraktivitas setelah mbrojol, manusia, dalam kerentanan setelah dilahirkan, harus dirawat dalam buaian sang induk, diberi asupan makan minum secara cukup, dan dirawat serta dibesarkan dengan nilai-nilai yang ada dalam kelompoknya. Ini berkaitan dengan poin kedua kita, yaitu fakta bahwa kehidupan manusia bahkan dalam bentuknya yang paling elementer, sejak ia menghirup napas pertama ketika dilahirkan hingga napas terakhirnya sebelum kematian, tak mungkin lepas dari relasinya dengan manusia lain atau kelompoknya. Sebagian besar masyarakat, dari yang sederhana hingga yang paling kompleks, memberikan nilai sosial istimewa momen kelahiran dan kematian. Anda dapat menyaksikan sendiri Masyarakat Jawa dengan Upacara Brokohan dan Masyarakat Bali dengan Jatakarma, atau Rambu Solok di Masyarakat Toraja dan Saur Matua oleh Masyarakat Batak Toba.

Manusia masuk ke dalam berbagai relasi yang ada dalam kelompoknya, salah satunya yaitu relasi (sosial) produksi. Ini membawa kita kepada poin ketiga diskuski kita, bahwa dalam mempertahankan diri dari kerasnya lingkungan, untuk makan manusia terpaksa mengakali dan mengintervensi alam dengan bekerja sama membagi tugas dan peran diantara sesamanya. Namun, hanya alamlah yang dapat menyediakannya, sehingga lewat upaya trial and error dari proses intervensi tersebut manusia mampu mengakali alam dan mengumpulkan sumberdaya untuk bertahan hidup. Akibatnya muncullah pertanian, domestikasi hewan, teknik membuat pakaian, teknik membuat bangunan, dan berbagai aktivitas produksi yang ‘mengintervensi’ proses-proses fisis, biologis, dan kimiawi di alam. Hingga hari ini dengan pembagian kerja yang makin spesifik ia dapat memproduksi jutaan ton beras, ribuan chicken nugget, lusinan jeans, dan ratusan rumah KPR.


Sebagaimana yang sudah dijelaskan oleh Marx dan Engels, setiap masa dalam sejarah, umat manusia memiliki beragam cara memproduksi kebutuhan hidupnya. Mereka menjelaskan beberapa konsep corak produksi yang pernah ada seperti tribal, asiatik, antik, feudal, dan kapitalisme. Soal masyarakat mana dan dalam tahap rentang waktu mana yang mengadopsi corak produksi tertentu, kita dapat membuka kembali buku-buku sejarah dan antropologi. Namun, perlu kita ingat bahwa tak ada keseragaman kisah peralihan dari satu corak produksi ke yang lain. Bukti terdekatnya sementara orang-orang Rimba, Mentawai, Dani, Asmat dan Korowai masih mengadopsi cara hidup yang diwarisi para nenek moyang, di Jakarta orang-orang sibuk menabur industri dan menuai uang.

Marx menambahkan bahwa ada dua kekhasan utama dalam setiap corak produksi, yaitu adanya relasi produksi dan kekuatan produksi. Relasi produksi dijelaskan sebagai hubungan antar kategori sosial kelas dalam rangka produksi kebutuhan hidup yang ada di dalam corak produksi suatu masyarakat. Dalam masyarakat kapitalis relasi produksi tersusun atas hubungan antara kategori sosial kelas kapitalis dengan proletariat, antara mereka yang hidup lewat penguasaan sarana produksi dan mereka yang hidup dari menjual tenaga kerjanya yaitu lewat relasi upahan. Sedangkan dalam masyarakat bercorak produksi feodal hanya ada relasi perhambaan antara tuan tanah dengan petani hamba sahaya, antara mereka yang mendapatkan wewenang menguasai lahan yang luas dan mereka yang mengolah serta memanen hasil lahan.

Sedangkan kekuatan produksi lebih meliputi tenaga kerja manusia dan alat-alat produksi yang mendorong kegiatan pemenuhan kebutuhan hidup pada suatu masa yang beragam dalam sejarah manusia. Misalnya para budak di Masyarakat Yunani dan Romawi sejak sebelum masehi, para petani hamba sahaya di Eropa abad pertengahan dan juga para buruh semenjak Revolusi Industri. Selain itu ada pula faktor kekuatan produksi yang tersusun dari serangkaian peralatan dan teknologi. Seperti penggunaan roda dan hewan pengangkat beban pada masyarakat Asia Kecil yang tak ditemukan dalam masyarakat Mesoamerika. Lalu penguasaan lahan di nusantara sebelum era kolonial yang berbeda dengan sistem feodal di Eropa. Atau, alat tenun tradisional yang perlahan didominasi alat tenun bukan mesin dan akhirnya dikalahkan lagi oleh ketenaran alat tenun mesin. 


Corak produksi atau ekonomi inilah yang menurut Marx dan Engels merupakan basis penopang dari keseluruhan struktur bangunan masyarakat. Sementara ideologi, hukum, kesenian, agama, beserta aparatusnya membentuk bagian superstruktur masyarakat. Inilah salah satu aspek ontologis dari Marxisme, yaitu, meminjam istilah dari Martin Suryajaya, naturalisme non-reduksionis bahwa realitas ekonomi merupakan prakondisi material absolut bagi adanya realitas superstruktur, sementara realitas superstruktur merupakan prakondisi material relatif bagi adanya realitas ekonomi. Walhasil, superstruktur dapat mengubah realitas ekonomi dalam batas-batas tertentu yang dimungkinkan realitas ekonomi.

Sebagai contoh, corak produksi kapitalisme yang tumbuh subur di Indonesia membutuhkan akumulasi kapital tak henti untuk menopang struktur masyarakatnya. Namun prosesnya ternyata tersendat akibat undang-undang yang kurang sejalan. Sehingga mendorong DPR beserta segenap elemen pemerintahan menggandeng para pengusaha menyusun Omnibus Law RUU Ciptaker–yang cilaka–untuk melapangkan jalan dan menjaga keberlangsungan tatanan. Melalui RUU ini, sesungguhnya semua manusia dirugikan mengingat diabaikannya AMDAL dalam RUU tersebut akan berdampak pada kerusakan lingkungan yang lebih parah lagi. Membiarkan kerusakan lingkungan hidup artinya membiarkan ditiupnya sangkakala kepunahan Homo sapiens. Inilah salah contoh proses timbal balik yang terjadi dalam struktur masyarakat dan bukti nyata dari terujinya cara berpikir materialisme historis dalam menyeimbangkan ekosistem.


Materialisme historis berangkat dari yang nyata dan material, bukan imajinasi dan ide belaka. Anda bisa saja mengajak semua orang untuk hidup seminggu hanya mengkonsumsi Vitamin D dari matahari atau dengan sekedar membayangkan nasi goreng dan es teh manis. Peradaban umat manusia bukan dibangun dari sekedar imajinasi dan gagasan kebijaksanaan, namun dari perut yang mesti terlebih dahulu terisi. Tentu beserta unjuk kekuatan dan penaklukan. Sejarah bukanlah sekedar soal kehidupan nama-nama besar, namun soal siapa yang menyiapkan prasyarat mendasar kehidupan mereka sehingga namanya menjadi besar. Contoh lainnya, untuk membangun piramida Khufu dan Kukulkan, Tembok Besar Tiongkok dan Hadrian, atau Kuil Athena Parthenon dan Angkor Wat, dibutuhkan penunjang hidup yang utama yaitu ketersediaan pangan dalam jumlah besar, selain juga penindasan terkoordinir satu kelas terhadap yang lainnya dan tentunya drama perpolitikan.

Marx dan Engels menambahkan bahwa dalam tahap tertentu perkembangan setiap corak produksi akan muncul konflik antara relasi dengan kekuatan produksinya. Ini disebabkan oleh relasi produksi yang membelenggu kekuatan produksi yang ada, yang semakin bertambah. Dari sanalah muncul gejolak-gejolak yang dinamakan dengan revolusi. Contohnya, pemberontakan budak Spartacus terhadap Republik Roma, revolusi kaum borjuis di Amerika dan Prancis di abad ke-18, hingga revolusi kelas pekerja di Russia awal abad ke-20. Serentetan peristiwa ini muncul karena adanya proses dialektika tak henti, konflik antara relasi dan kekuatan produksi, dari tiap fase dan bentuk masyarakat. Meski gejolak ini seringnya berjubah identitas atau agama dan terkadang tidak nampak secara ‘kasat mata,’ persoalan nyatanya secara mendasar adalah selalu soal apa dan siapa yang mengendalikan sumber ekonomi dan untuk kepentingan siapa proses pengendalian dan dominasi tersebut dilakukan. Dalam bentuk masyarakat kita, tak pelak lagi konflik itu telah, sedang, dan akan terjadi, antara mereka yang menguasai alat-alat produksi dengan mereka yang hanya menyambung nyawa dengan menjual tenaga kerjanya tiap hari.

Seperti itulah singkatnya materialisme historis yang sejauh ini sama sekali tak terlihat bagai jalan buntu. Justru lewat cara berpikir ini kita mendapatkan terang untuk menembus kabut kegamangan. Barangkali hanya mereka yang belum pernah membaca Kartun Riwayat Peradaban karangan Larry Gonick sajalah yang bisa menyimpulkan materialisme historis sebagai jalan buntu. Oleh karena materialisme dialektis dan historis telah banyak dibuktikan, sehingga kritik atasnya sebaiknya disampaikan lewat bukti bukan hanya sekedar filosofi.


Akhir kata, Marxisme bukanlah soal kemaksiatan yang dilakukan kapitalis, narasi etis, kepercayaan, apalagi soal wahyu seperti yang diklaim Hendra Manggopa. Justru Marxisme bicara soal cara kerja kehidupan kita hari ini. Suatu kenyataan yang mungkin tidak terlihat atau bahkan enggan dilihat oleh sebagian besar libertarian kanan. Kenyataannya, bentuk masyarakat kita saat ini tidaklah muncul dari bimsalabim dan tidaklah ajeg sampai Isa Al-Masih datang untuk kedua kalinya. Kapitalisme bukanlah satu hal yang natural, terberi, dan kodrati – masyarakat kapitalis adalah suatu hasil dari proses-proses historis dalam konteks perkembangan masyarakat berkerlas. Masyarakat kita ini hanya merupakan salah satu fase dari sejarah yang kapan saja dapat segera berlalu. Sulit kiranya berbincang soal hal yang objektif jika masih nyaman dalam pemikiran subjektif. Berat pula tampaknya bicara soal kebebasan apabila masih berat menerima kenyataan-kenyataan sosial. Lagipula, apa sih artinya kebebasan kalau cacing di perut setiap hari masih koploan?***

]]>