Lembar Kebudayaan Indoprogress – IndoPROGRESS https://indoprogress.com Media Pemikiran Progresif Wed, 03 Jan 2024 21:02:52 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.4.3 https://indoprogress.com/wp-content/uploads/2021/08/cropped-logo-ip-favicon-32x32.png Lembar Kebudayaan Indoprogress – IndoPROGRESS https://indoprogress.com 32 32 Berebut Nafkah di Daerah Ekstraktif: Cerita dari Magelang https://indoprogress.com/2023/07/berebut-nafkah-di-daerah-ekstraktif-cerita-dari-magelang/ Tue, 04 Jul 2023 06:17:24 +0000 https://indoprogress.com/?p=237593

Ilustrasi: Kompas/Ferganata Indra Riatmoko


PERMINTAAN pasokan pasir untuk kepentingan bisnis konstruksi terus meningkat, menghasilkan penambangan yang semakin mendekati wilayah gunung api. Inilah kisah yang terjadi di Kabupaten Magelang, Jawa Tengah. Masuknya permintaan pasokan pasir telah mengubah lanskap penghidupan dan basis sosial-ekologis rakyat di sekitar Gunung Merapi.

Pasir Merapi pada dasarnya adalah “sumber daya lintas batas” karena digunakan untuk kebutuhan konstruksi di Pulau Jawa. Karakter lintas batas juga muncul ketika pasir Merapi diangkut melewati batas dua provinsi dan dua kabupaten, sehingga menyulitkan pengaturan terhadap eksploitasi alam yang dilakukan oleh korporasi (pihak luar). Padahal, mereka bersinggungan dengan warga setempat (Miller, 2022). 

Pasir Merapi selalu menjadi incaran para pebisnis karena konon memiliki keunggulan seperti mampu membuat daya tahan beton lebih lama, jika dibandingkan menggunakan pasir dari sungai dan lahan pribadi. Pasir Merapi lebih cepat laku dibandingkan pasir sungai dan lahan pribadi yang bisa tersimpan di depo selama seminggu bahkan lebih. Batu andesit dari Merapi juga mendukung perkembangan kerajinan batu ukir di sepanjang kota-kota Jawa Tengah (Miller, 2022).


Merapi Santapan Khalayak

Penambangan pasir di Magelang dimulai sekitar tahun 1970, di mana masyarakat sekitar sungai yang berhulu di Gunung Merapi mencoba mengambil pasir. Mereka mengambil pasir menggunakan alat seperti cangkul, linggis, slenggrong, ayakan, dan sebagainya (Varhan & Taufik, 2019). Tambang pasir Merapi di Magelang pertama diatur melalui Peraturan Daerah Provinsi Jawa Tengah No. 6 Tahun 1994, tentang Usaha Pertambangan Bahan Galian Golongan C di Provinsi Dati I Jawa Tengah.

Setelah itu, penambangan menggunakan alat berat dimulai pada tahun 1998. Kegiatan penambangan pasir sekitar Merapi dilakukan di beberapa daerah aliran sungai yakni, Sungai Apu, Sungai Trising, Sungai Senowo, Sungai Pabelan, Sungai Lamat, Sungai Blongkeng, Sungai Putih, Sungai Batang, Sungai Bebeng, Sungai Krasak, dan Sungai Progo serta pekarangan ataupun ladang warga di sekitar sungai (Pangastuti, 2012). 

Penambangan manual dilakukan oleh penduduk sekitar maupun pendatang dari luar Magelang. Penambangan dilakukan secara berkelompok sejak pagi dan bersama-sama dijual kepada truk pasir yang datang. Penambang manual maupun penambang dengan alat berat memiliki prinsip sama bahwa hasil tambang adalah hak setiap orang. Penambang tak segan untuk merambah daerah Taman Nasional Gunung Merapi (TNGM) (Pangastuti, 2012). 

Pelaksanaan desentralisasi sejak tahun 2001 memberikan kewenangan pada gubernur dan bupati untuk memperluas pemberian izin pertambangan di Merapi, padahal pengaturan di era sebelumnya diserahkan pada menteri. Desentralisasi, yang tak diikuti dengan kontrol dengan pengetahuan rakyat sekitar yang memadai mengenai praktik pertambangan berkelanjutan, membuat tiap kepala daerah berupaya terus memperluas operasi pertambangan di sekitar Merapi. Japan International Cooperation Agency (JICA) sebenarnya sudah berbuat baik dengan memberikan bantuan pembangunan berbagai dam untuk penanganan risiko bencana kegunungapiaan, tetapi akibat aktivitas pertambangan yang tak terkontrol dengan baik menyebabkan adanya kerusakan infrastruktur (Miller, 2022). 

Penetapan Gunung Merapi sebagai kawasan Taman Nasional Gunung Merapi (TNGM) sejak tahun 2004 yang menyisihkan masyarakat dari wilayah hutan justru membawa celah pada masuknya pihak yang akan mengeksploitasi alam seperti “Goro” (Paguyuban Gotong Royong). Goro adalah organisasi para buruh yang mengambil pasir dan menaikkannya ke truk yang anggotanya tersebar di Kecamatan Srumbung dan Salam.

Setiap truk pasir yang melintas di wilayah penambangan harus berhenti di salah satu gardu Goro, di mana masing-masing menyediakan buruh. Upah buruh didasarkan kesepakatan antara pengusaha dengan buruh pengambil pasir di gardu tersebut. Goro berfungsi untuk menyediakan buruh bagi pengusaha yang akan menambang pasir (Kuswijayanti et al., 2007). 

Pendapatan Goro berasal dari penarikan ongkos langganan buruh dan anggota setiap setahun sekali mendapatkan fasilitas asuransi keselamatan kerja, bantuan kelahiran, dan pemberian paket lebaran. Goro juga menyediakan bantuan beras sebanyak 5 kg bagi 562 keluarga anggota yang berkategori tidak mampu. Keberadaan Goro memiliki topangan kuat dengan Pemda Magelang, di mana bupati berkedudukan sebagai “pelindung organisasi” (Kuswijayanti et al., 2007).

Penduduk Merapi yang melakukan penambangan pada dasarnya dilakukan dengan dua pertimbangan, yakni untuk mengurangi risiko bencana dari aliran vulkanik dan mempertahankan ekonomi pasir dengan menyesuaikan pada periode letusan gunung dengan menambang secara manual. Kegiatan ekstraktif yang tak berkelanjutan diklaim hanya dilakukan oleh pihak korporasi dari luar yang menambang menggunakan alat berat.

“Penambang rakyat” memiliki strateginya sendiri untuk menghindari kerusakan alam, yakni dengan memastikan pengumpulan pasir setidaknya 100 meter dari hulu dan 300 meter dari bendungan sabo yang berada di aliran sungai Merapi, mereka juga menggunakan berbagai peralatan manual dalam mengontrol jumlah pasir yang diambil dari titik penyangga (Miller, 2022). 

Para penambang manual yang tersisih oleh penambangan dengan alat berat memilih naik ke lereng Merapi dan mencari lokasi yang belum ditambang. Penambang manual lambat laun mulai berani melawan penambang dengan alat berat sejak tahun 1997 di Kecamatan Salam. Latar belakang perlawanan adalah penambang manual kalah bersaing dan pelaku penambangan dengan alat berat dianggap sebagai orang dari luar Magelang. Aksi tersebut tak berhasil membawa keuntungan bagi penambang manual. Para penambang manual memilih mencari lokasi yang lebih tinggi dan kucing-kucingan dengan Satpol PP Kabupaten Magelang dalam menambang (Varhan & Taufik, 2019). 

Penambang dengan alat berat terus bertambah sejak era pemerintahan Gusdur. Mereka mengatasnamakan ikatan dengan elit agamawan, sehingga pihak lain tak berani menanggapi kegiatan penambangan. Penambang manual merespons dengan membakar pos-pos pertambangan dan memicu kekerasan “preman tambang” terhadap mereka. Penambang manual pada tahun 2004 bersama LSM Gemasika (Gerakan Masyarakat untuk Transparansi Kebijakan) kemudian beraudiensi ke pemkab Magelang untuk mengeluarkan moratorium pertambangan.

Penambang manual kemudian bersatu membentuk Paguyuban Gerakan Serikat Buruh Slenggrong (Punokawan) yang berdiri sebagai wadah aspirasi untuk mendapatkan izin penambangan pasir. SIPR (Surat Izin Penambangan Rakyat) keluar pada tahun 2009 dan berlaku selama satu tahun (Varhan & Taufik, 2019).

Kondisi berubah semenjak letusan Merapi tahun 2010. Sawah dan rumah warga terkubur menyebabkan mereka perlu mendapatkan izin reklamasi tanah untuk menyewa alat berat dari perusahaan properti kota terdekat. Letusan membuat petani yang kehilangan hasil panen dan ternak beralih pada penambangan pasir untuk mengumpulkan bahan baku membuat rumah sekaligus mencari pendapatan. Penggunaan alat berat secara ilegal semakin marak sejak letusan tahun 2010 dan didukung oleh elite desa, elite pemerintah dan bos perusahaan konstruksi (Miller, 2022). SIPR yang dimiliki Punokawan menjadi tak bisa diperpanjang (Varhan & Taufik, 2019).


Kita Semua Butuh Penghidupan

Sejak letusan tahun 2010, penambangan menggunakan alat berat dan manual pada dasarnya berjalan beriringan seperti yang ada di Sungai Pabelan. Penggunaan alat berat yang beroperasi 24 jam menyebabkan endapan pasir dan batu cepat habis. Penambangan tidak diatur secara tegas, sehingga menyebabkan konflik horisontal antara sesama penambang, meskipun terdapat perbedaan kemampuan ekonomi antara penambang manual dengan yang menggunakan alat berat (Bappeda Kabupaten Magelang & Litbangda Kabupaten Magelang, 2018). 

Peningkatan kebutuhan pasir untuk pembangunan infrastruktur menyebabkan perluasan penambangan pada areal persawahan semenjak tahun 2015. Aktivitas tambang menyebabkan berkurangnya lahan tanaman pangan dan meninggalkan lubang dengan kedalaman tiga sampai delapan meter. Penambangan juga tak diikuti dengan reklamasi disebabkan tak memiliki izin (Bappeda Kabupaten Magelang & Litbangda Kabupaten Magelang, 2018). 

Truk angkutan pasir juga memunculkan masalah sebab membawa pasir melebihi kemampuan muatan. Hal tersebut dapat terjadi karena pengangkutan sesuai batas tonase diklaim merugikan bagi sopir truk pasir. Akibatnya pasir menjadi berceceran dan merusak jalan karena kelebihan muatan.

Banyaknya dugaan pungutan liar di jembatan timbang sepanjang DI Yogyakarta dan Tengah justru menyebabkan penghentian operasi jembatan timbang dan berujung pada maraknya truk pasir dengan kelebihan muatan. Pembangunan infrastruktur seperti Bandara Kulonprogo, Tol Trans Jawa dan berbagai proyek lainnya diduga membuat penambangan pasir di Magelang semakin tak terkendali (Bappeda Kabupaten Magelang & Litbangda Kabupaten Magelang, 2018). 

Keputusan Bupati Magelang Nomor 188.45/1/KEP/25/2011 muncul untuk mengatur wilayah-wilayah pertambangan rakyat, yakni berada di luar TNGM, berada pada alur sungai yang ditetapkan sebagai wilayah tambang rakyat, dilakukan secara manual, dan berada di luar wilayah batas layak tambang (Pangastuti, 2012). Para penambang manual tak setuju dengan regulasi tersebut karena mereka hanya mendapatkan bagian sungai bagian bawah yang sudah tak memiliki material pasir yang memadai, sementara bagian atas menjadi lokasi penambangan umum (Varhan & Taufik, 2019).

Peraturan Bupati No. 26 Tahun 2014 menjadi dasar selanjutnya untuk memberikan kewenangan pada pemerintah desa untuk menentukan lokasi penambangan. Regulasi tersebut keluar dengan tujuan untuk meminimalisir kerusakan jalan akibat angkutan pertambangan. Pelarangan penggunaan alat berat menjadi salah satu poin penting dalam regulasi tersebut, sedangkan penambangan secara manual diklaim akan menghidupi masyarakat sekitar wilayah penambangan (Nurhidayat & Dewi, 2015). Hadirnya UU 23/2014 yang menarik kewenangan pemberian izin pada pemerintah provinsi, sehingga membuat peraturan bupati Magelang tak berlaku. Penambang rakyat menjadi belum bisa melakukan pengurusan SIPR akibat adanya perubahan kebijakan (Varhan & Taufik, 2019).

Punokawan kemudian berupaya bekerja sama dengan PT. SKS untuk mendapatkan izin usaha pertambangan umum. Mereka bekerjasama dalam melakukan penambangan menggunakan alat berat. Ini memunculkan friksi di dalam Punokawan dan memicu munculnya kelompok baru bernama Serikat Buruh Manual (SBM). SBM tak memiliki arah perjuangan yang jelas, sehingga masih belum berhasil mendapatkan SIPR (Varhan & Taufik, 2019).

Kegiatan penambangan rakyat seperti yang terjadi di Kecamatan Dukun sebenarnya juga tak memiliki Surat Izin Pertambangan Rakyat (SIPR). Penambangan yang memanfaatkan tanah penduduk dilakukan dengan sistem sewa tanah dengan jangka waktu 10-15 tahun, tetapi tanpa surat izin yang membuat reklamasi tak menjadi kewajiban yang mengikat penambang. Penambang “yang baik” hanya akan mengurug sisa galian dengan batu yang tak terpakai. Wilayah penambangan pada dasarnya juga berpindah-pindah mengikuti ketersediaan galian, sehingga menyulitkan pengawasan (Pangastuti, 2012).

Konversi lahan pertanian seperti di Desa Keningar, Kecamatan Dukun telah membawa dampak berupa beralihnya fungsi sawah yang ada di sampingnya untuk keperluan tambang pula. Hal tersebut disebabkan sawah tak mungkin dipertahankan akibat rawan longsor, rusaknya irigasi, menurunnya permukaan air tanah, hilangnya lapisan unsur hara, serta berkurangnya daerah resapan air. Desakan dari penambang juga memicu adanya konversi lahan untuk tambang. Ada upaya dari calo yang merupakan anak buah para kontraktor untuk mendesak para pemilik lahan sawah untuk mengkonversi lahannya (Wicaksono & Lestari, 2017). 

70 persen lahan di Keningar tak dikuasai warga sendiri, melainkan disewa oleh penambang pasir. Sejak tahun 1995 penambangan di Keningar awalnya berada di lahan bengkok dan merambah ke lahan Perhutani. Lestari Karya menjadi satu-satunya penambang legal di Keningar yang beroperasi pada 2021 sampai 2024. Penambangan ilegal sulit dicegah dengan adanya celah di mana hanya satu yang memiliki izin, tetapi pihak lain ikut melakukan penambangan. Barokah Merapi menjadi pemilik tambang legal lain di Desa Krinjing, Kecamatan Dukun sejak tahun 2016. 

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.

Kegiatan penambangan sendiri sebenarnya membawa risiko bertaruh nyawa bagi penambang. Misalnya pada 18 Desember 2017 sebanyak delapan penambang wafat dan delapan lainnya menderita luka-luka terkena longsoran tebing pasir setinggi 25 meter. Sepanjang bulan Agustus, Oktober dan November 2017 juga terjadi longsoran dengan setidaknya memakan minimal satu penambang. Lonsoran pada 18 Desember 2017 adalah kejadian paling buruk sejak tahun 2007. Salah satu kerentanan di wilayah tambang pasir Merapi adalah ketiadaan data penambang akibat penambangan terbuka, sehingga siapa pun bisa datang. 

Pada 18 April 2018, penambang yang tergabung dalam Merapi Trans Community (MTC) melakukan pertemuan dengan Ganjar Pranowo yang akan maju lagi dalam Pilkada Jateng 2018, untuk membahas soal tambang rakyat. Mereka bersepakat untuk melakukan pengaturan bagi tambang rakyat sembari memastikan truk pasir mengangkut sesuai ketentuan tonase.

MTC bersama Buruh Slenggrong Merapi (BSM) pada 30 Agustus 2021 melakukan protes beroperasinya penambangan dengan alat berat pada wilayah tambang pasir Ngori, Desa Kemiren, Kecamatan Srumbung di Lapangan Srumbung. Mereka menduga operasi alat berat adalah tindakan ilegal dan membuat penambang manual terdesak ke wilayah yang lebih tinggi di tengah aktivitas Merapi yang sedang aktif. Protes tersebut dilanjutkan ke Polres Magelang untuk meminta kepolisian menindak penggunaan alat berat. Mereka juga keberatan disebabkan alat berat diduga telah menyebabkan kerusakan jalan. 

Protes kembali berlangsung pada 25 Oktober 2021 di Gedung DPRD Kabupaten Magelang. MTC dan BSM menuntut wilayah Ngori hanya dijadikan lokasi “tambang rakyat” dan hanya boleh ditambang secara manual. Wakil Ketua DPRD kemudian berjanji akan mengirimkan surat kepada provinsi dan kementerian Lingkungan Hidup untuk memperjelas status penambangan di wilayah Ngori. Warga Desa Sewukan, Sengi, dan Paten, Kecamatan Dukun pada 16 September 2022 juga melakukan penolakan penambangan menggunakan alat berat di sungai Tlingsing.

Salah satu perusahaan bahkan sudah memberikan uang muka Rp500 ribu pada enam warga yang sebenarnya tidak setuju, namun dikembalikan setelah pihak desa menengaskan tak boleh ada penambangan dengan alat berat. 

Pihak Balai Besar Wilayah Sungai Serayu Opak mengklaim tidak pernah mengeluarkan rekomendasi teknis penambangan di Sungai Tlingsing, meskipun pada sistem Minerba One Map Indonesia (MOMI) tercantum 3 perusahaan yang memiliki Izin Usaha Pertambangan (IUP) yakni Bumi Karya Sembada, Barokah Sukses Mineral, dan Amertha Sakti Wiguna. Pihak perusahaan diduga menakut-nakuti pemilik lahan dengan ancaman akan diperkarakan, apabila tak mau bekerja sama untuk peruntukan pertambangan. Perusahaan juga menggunakan beberapa warga setempat untuk membujuk warga lainnya.

Pemerintah Desa Sewukan, Sengi dan Paten kemudian menindaklanjuti dengan membuat Peraturan Bersama Kepala Desa Sewukan, Sengi dan Paten No. 1/2022 tentang Pelestarian Sungai Tlingsing. Regulasi tersebut dibuat untuk melindungi keberlanjutan pertanian dan ketersediaan air bersih.

Pihak Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Jawa Tengah yang mendengar berbagai keresahan terkait penambangan di Desa Kemiren, Srumbung melakukan peninjauan lapangan pada 11 Januari 2023. Pihak ESDM Jateng kemudian berhasil mengamankan lokasi tambang yang diduga milik eks-narapidana terorisme dan diduga melibatkan aparat disebabkan alat berat yang digunakan merupakan pinjaman dari aparat

Warga Srumbung kembali melakukan protes pada 11 Februari 2023. Mereka berupaya menggerebek lokasi tambang ilegal dan menemukan bekas aktivitas penambangan. Warga melakukan aksi bersama anggota Majelis Wakil Cabang (MWC) Nahdlatul Ulama Kecamatan Srumbung dan menemukan alat berat yang ditinggal di lokasi. Warga menduga pemilik tambang sudah mengetahui adanya kegiatan aksi. Aksi tersebut adalah rentetan sejak tanggal 3 Februari dan 10 Februari 2023. Ketua DPC SPTI (Serikat Pekerja Transportasi Indonesia) Kabupaten Magelang menyatakan bahwa ribuan sopir truk pasir menjadi terdampak akibat penutupan penambangan menggunakan alat berat.

Ketua DPC SPTI mempertanyakan alasan penambangan pasir di Srumbung yang sudah berlangsung sejak lama baru dipermasalahkan pada awal tahun 2023, dan ia berdalih bahwa sopir truk lebih melirik penambangan menggunakan alat berat karena, “Sekarang semua butuh percepatan.”

Data MODI Kementerian ESDM sebenarnya menunjukkan bahwa terdapat 20 IUP eksplorasi di lereng Merapi yang sedang melakukan pengurusan IUP Operasional Produksi, namun terkendala Perpres 70 Tahun 2014 yang menetapkan wilayah tersebut sebagai tata ruang kawasan TNGM. Persoalan status lahan eks-desa pasca erupsi Merapi tahun 1960-an yang tak jelas terus memunculkan tarik menarik kepentingan hingga sekarang.

Munculnya UU Minerba 3/2020 untuk daerah lain berjalan mulus dalam pengurusan izin, tetapi di Merapi menjadi kompleks disebabkan berlakunya regulasi mengenai sungai dan lingkungan hidup pula. Proses penambangan secara legal di Merapi terkendala dengan regulasi dari tiga kementerian yang berbeda. Hal tersebut menunjukkan lagi-lagi sektoralisme agraria menjadi kunci persoalan.

Polresta Magelang pada 25 Februari 2023 menindak penambangan pasir di Kemiren, Srumbung dan menyita alat berat bersama kendaraan lainnya. Pihak ESDM Jateng dan Polresta Magelang menindak tambang ilegal lainnya yang menggunakan alat berat di Ngori, Srumbung pada 7 April 2023. MTC, BSM, Gawe Rukun Armada Merapi (GRAM), dan Driver Berkah Bantak (DBB) pada 13 Juni 2023 menggelar aksi untuk mendesak kepolisian menangani masalah penambangan ilegal menggunakan alat berat di Magelang. Mereka mendatangi Kantor Gubernur Jateng dan Mapolda Jateng untuk menyampaikan aspirasinya. 


Refleksi atas Benang Merah

Karakter pasir Merapi sebagai “sumber daya lintas batas” yang dibutuhkan oleh berbagai pihak sayangnya tak diikuti dengan tata kelola yang memadai, mulai dari perencanaan, eksplorasi, sampai dengan reklamasi pasca tambang. Di tingkat sosial, tak terjadi pula pembagian kesejahteraan di antara pemangku kepentingan. “Sumber daya lintas batas yang tak tertata” justru menjadi kelindan dari interaksi modal lintas batas di antara pihak-pihak yang ingin menyantap pasir Merapi dengan membabi buta dan saling bersaing keras satu sama lain.

Baik yang dilakukan oleh penambang manual maupun penambang alat berat sebenarnya tak mempedulikan dampak lebih lanjut terhadap lingkungan dan penghidupan rakyat pada sektor lainnya. Ketidakjelasan kelola atas “sumber daya lintas batas” turut menghasilkan ketakjelasan dalam penentuan fungsi dari tiap-tiap bagian sumber daya, sehingga memicu gesekan di antara lintas sektor dan antar pelaku ekonomi dengan kapasitas ekonomi yang berbeda. Apa yang terjadi di Magelang tak bisa disebut sebagai konflik vertikal, melainkan benturan yang bersifat horisontal sekaligus diagonal. 

Konflik horisontal terjadi kala itu bersinggungan dengan sesama pelaku ekonomi pada sektor penghidupan tertentu, namun sifat konflik menjadi diagonal ketika bersentuhan dengan pemangku kepentingan lain yang berbeda sektor sekaligus berbeda urusannya. Realitas diagonal misalnya dapat kita lihat pada betapa kompleksnya sengkarut pada level pusat, provinsi sampai tingkat desa juga antara aspek lingkungan dan sosial, permukiman bersama infrastruktur yang beririsan dengan ekonomi yang menunjukkan betapa rumitnya sengkarut ekstraktif di Magelang.


Daftar Pustaka

Bappeda Kabupaten Magelang, & Litbangda Kabupaten Magelang. (2018). Laporan Akhir Penelitian Pengelolaan Potensi Sumber Daya Alam Di Kawasan Merapi Berbasis Konservasi (Kasus Alur Sungai Pabelan). https://bappeda.magelangkab.go.id/download/file/Penelitian Pengelolaan Potensi SDA Kawasan Merapi Berbasis Konservasi 2018.pdf

Kuswijayanti, E. R., Dharmawan, A. H., & Kartodiharjo, H. (2007). Krisis-Krisis Socio-Politico-Ecology di Kawasan Konservasi: Studi Ekologi Politik di Taman Nasional Gunung Merapi. Sodality: Jurnal Sosiologi Pedesaan, 1(1), 41–66.

Miller, M. A. (2022). A Transboundary Political Ecology of Volcanic Sand Mining. Annals of the American Association of Geographers, 112(1), 78–96.

Nurhidayat, & Dewi, D. A. S. (2015). Implementasi Peraturan Bupati Magelang Nomor 26 Tahun 2014 Tentang Usaha Pertambangan Pada Kawasan Gunung Merapi Di Kabupaten Magelang (Studi Kasus Di Desa Keningar, Banyudono, Dan Ngargomulyo). Varia Justicia, 11(1), 133–149.

Pangastuti, A. N. (2012). Pelaksanaan Pengawasan Usaha Pertambangan Rakyat Di Kecamatan Dukun Kabupaten Magelang Oleh Dinas Pekerjaan Umum, Energi Dan Sumber Daya Mineral Kabupaten Magelang [Undergraduate Thesis]. Universitas Sebelas Maret Surakarta.

Varhan, V., & Taufik, A. (2019). Analisis Gerakan Serikat Buruh Slenggrong Merapi “Punokawan” Dalam Upaya Resolusi Konflik Tambang Pasir. Journal of Politic and Government Studies, 8(4), 401–410.

Wicaksono, Y., & Lestari, P. (2017). Dampak Konversi Lahan Pertanian Menjadi Tambang Pasir Terhadap Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat Di Desa Keningar, Kecamatan Dukun, Kabupaten Magelang. E-Societas: Jurnal Pendidikan Sosiologi, 6(8), 1–16.


Anggalih Bayu Muh Kamim adalah pegiat kajian agraria

]]>
Perampasan Tanah untuk Akumulasi Kapital: Ihwal Pertambangan di Dairi Sumatra Utara https://indoprogress.com/2022/12/pertambangan-di-dairi/ Mon, 26 Dec 2022 00:24:24 +0000 https://indoprogress.com/?p=237191

Ilustrasi: Illustruth


APA JADINYA kalau sumber daya alam melukai masyarakat? Salah satu cara menjawabnya adalah dengan melihat apa yang dialami masyarakat Kabupaten Dairi, Sumatra Utara. Timah hitam (timbal) dan seng di bawah tanah yang dipijak, di mana biasanya terdapat pertanian di atasnya, menjadi dalih menyingkirkan masyarakat dari ruang hidupnya. Dua logam itu dikeruk demi kepentingan segelintir korporasi dibantu instrumen hukum dan pemerintahan.

Luka masyarakat Dairi dipicu dan terus diperdalam oleh PT. Dairi Prima Mineral (DPM) yang mendapatkan izin eksplorasi dan kemudian operasi produksi penambangan sampai saat ini. DPM mendapat Kontrak Karya (KK) Generasi VII berdasarkan SK Presiden Republik Indonesia Nomor B.53/Pres/1/1998 tertanggal 19 Januari 1998. Lahan yang mereka dapat seluas 27.520 Ha, membentang dari Sumatra Utara sampai Nanggroe Aceh Darussalam. Sejak 2018, DPM menjadi perusahaan patungan antara Bumi Resources Mineral milik Keluarga Bakrie dan perusahaan milik Tiongkok bernama China Nonferrous Metal Industry’s Foreign Engineering and Construction (NFC).

Tapi selain luka juga muncul kisah perlawanan dan perjuangan masyarakat mempertahankan ruang hidup dari gerusan perusahaan tambang yang ditopang negara itu.


Hadirnya Dairi Prima Mineral

Pasca naiknya rezim neoliberal Soeharto, investasi asing dan dalam negeri (ekspansi kapital) menjadi indikator utama dalam pembangunan. Akomodasi hukum dan kebijakan untuk itu turut ikut di belakangnya. UU No. 1/1967 tentang Penanaman Modal Asing, misalnya, seperti otomatis lahir di awal masa kepemimpinan Soeharto.

UU pertama era Orba itu diikuti oleh berbagai UU sektoral, salah satunya UU No. 11/1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan. UU ini menggunakan bentuk perjanjian berupa Kontrak Karya dan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) antara negara dan swasta. Kontrak Karya dan PKP2B diberikan kepada perusahaan swasta untuk melakukan eksplorasi dan operasi produksi di beberapa daerah potensial.

Peraturan itulah yang memungkinkan Dairi Prima Mineral mengantongi Kontrak Karya, melegitimasi mereka untuk melakukan eksplorasi hingga operasi produksi.

Perusahaan dengan leluasa mulai “menata” daerah di sekitar operasi pertambangan agar “ramah” terhadap bisnisnya. Selain mendapatkan legalitas atas seluruh kegiatan pertambangan dari negara, mereka juga sebisa mungkin menciptakan ruang sosial yang “ramah”.

DPM wajib melakukan pembebasan tanah milik masyarakat di sekitar wilayah operasi. Mereka butuh tanah yang disulap menjadi komoditas atas nama “pembebasan lahan”. DPM diuntungkan atas tren sertifikasi tanah individual pada warga sekitar tambang. Tanah-tanah komunal yang terpecah dan tersertifikasi secara individual tentu lebih mudah untuk dikuasai.

Paradigma “tanah sebagai komoditas” kemudian terus terpatri di kepala masyarakat. Narasi-narasi dari DPM juga memperdalam hal tersebut, yaitu: Apabila masyarakat menjual tanah untuk ditambang, hidup mereka akan sejahtera. Bahkan tambang sendiri yang akan menyejahterakan mereka. Uang dari penjualan tanah memang menggiurkan meski tidak akan cukup untuk menopang hidup dalam waktu yang lama. Karena itu DPM berjanji memberikan pekerjaan kepada masyarakat sebagai bagian dari narasi “investasi menunjang kesejahteraan”.

Terus berekspansi seperti kasus di atas adalah keniscayaan kapitalisme. Kapitalisme membutuhkan solusi ruang (spatial fix) sebagai objek “penyuntikan” kapital guna menghindari krisis yang merupakan bagian inheren dalam dirinya (Harvey, 2018). Penghindaran krisis juga dapat kita lihat dari riwayat bisnis Bumi Resources Mineral. Mereka saat ini paling tidak telah melakukan eksplorasi dan mengantongi izin operasi produksi di Palu, Gorontalo dan Linge.

Guna menjamin ketersediaanya, produksi ruang berlangsung dengan mengatribusi suatu teritorial dengan apa yang paling dapat dieksploitasi (dalam konteks Dairi adalah seng dan timah hitam). Untuk ini, hukum dan kebijakan memainkan peran penting. Hal ini tampak jelas ketika mereka mengajukan Addendum ANDAL RKL-RPL  tahun 2019. Addendum atau amandemen adalah dokumen yang harus dibuat jika hendak mengubah izin lingkungan.  

Salah satu yang hendak mereka ubah adalah sarana pengolahan limbah dan bahan peledak (handak). Lokasinya terlalu dekat dengan permukiman warga. Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) menemukan bahwa apabila bendungan dan gudang handak dibangun di Tiongkok, perusahaan akan melanggar regulasi. Tidak ada konsekuensi hukum yang diterima DPM hingga saat ini dari Indonesia.

Jejak bisnis NFC di sektor pertambangan tidak bersih. Tercatat sebuah kecelakaan yang disebabkan ledakan gudang handak di Zambia menewaskan 51 orang. Pun dengan perusahaan rekannya. Kita bisa melihat dosa Keluarga Bakrie pada peristiwa Lumpur Lapindo di Sidoarjo, Jawa Timur. 

Sampai di sini terlihat bagaimana Dairi adalah ruang yang diproduksi untuk akumulasi kapital khususnya sektor pertambangan.


Peminggiran Pranata Adat

Masih dalam konteks komodifikasi tanah, meminggirkan pranata adat adalah tugas penting kapitalis guna meminimalisasi hambatan investasi. Salah satu pranata yang menghambat modal itu adalah pengelolaan bersama atas tanah.

Pengarusutamaan mengelola tanah secara komunal sudah mulai tergerus setidaknya dalam dua sampai tiga dasawarsa ke belakang. Dalam konteks wilayah tambang di Dairi, kehadiran DPM membuat tanah berubah fungsi dan bernilai ekonomis sehingga mendorong terjadinya tarik-menarik kepemilikan hak. Tanah mulai dipandang dapat diperjualbelikan seturut mekanisme pasar atau seolah seturut pranata adat (disebut “seolah” karena dimanipulasi).

Kondisi ini dikehendaki oleh DPM. Pembebasan tanah-tanah individual akan lebih mudah dibanding tanah komunal, apalagi berbasis pranata adat. 

Sebelumnya jual beli tanah tidak boleh dilakukan sembarangan. Dulu seluruh tanah dikelola secara bersama dan tanah sendiri bersifat komunalistik-religius bukan ekonomis (Manurung 2009). Perubahan nilai ini dapat dilihat dari perkembangan relasi antara Cibro yang merupakan marga tanoh (marga pembuka kampung) di Desa Bongkaras, Tungtung Batu, Longkotan dan Bonian dengan marga lain serta pendatang etnis Toba dan Simalungun. Saat ini, meski sulang silima marga Cibro (lembaga adat marga Cibro) masih sering dilibatkan dalam transaksi tanah ulayat marga, ketentuan-ketentuan tidak tertulis tidak lagi diterapkan secara memadai–termasuk dalam agenda pemulusan pembebasan tanah.

Sejak 2007, lembaga-lembaga adat marga sebagai Pemegang Hak Ulayat (PHU) memang diaktifkan kembali, tapi sekadar menjadi organisasi yang “membantu” pembebasan tanah ulayat kepada DPM. Upacara adat pembebasan tanah untuk tambang sering diterapkan secara manipulatif, misalnya dalam upacara rading beru. DPM berperan seolah-olah anak perempuan yang diberi tanah oleh marga tertentu. Cara itu jelas merupakan upaya peminggiran pranata adat karena dimanipulasi agar sesuai kepentingan kapital.

Kegagalan akumulasi kapital memang dapat disebabkan oleh sistem hukum dan administrasi tradisional seperti di atas. Untuk kelancaran akumulasi, semua itu perlu disingkirkan. Hukum harus menjadi pranata yang menunjang keberhasilan akumulasi kapital, dan bukan sebaliknya yakni menjadi hambatan.

Max Weber mengatakan akumulasi kapital membutuhkan hukum untuk memberikan perhitungan (calculability) dan prediksi (predictability) (Weber, 1978). Dalam hal ini hukum harus pasti agar mampu memberikan pijakan bagi kapitalis dalam menyusun “rencana bisnis” tanpa hambatan. Kelancaran akumulasi kapital ditentukan oleh seberapa mampu (pasti) hukum mengakomodasi setiap proses dan menyediakan perhitungan baku bagi langkah-langkah yang akan diambil.

Ini dapat dirasakan dari semangat deregulasi dalam pembentukan peraturan belakangan. Semakin sedikit hukum yang diberlakukan bagi kegiatan bisnis, semakin mudah ia diprediksi dan semakin gampang pula bagi kapitalis mengambil langkah.

Bila dikaitkan dengan bisnis pertambangan yang hadir di Dairi dan banyak daerah lain, maka peminggiran instrumen dan institusi hukum tradisional menjadi perlu, bahkan wajib. Pranata adat adalah pranata yang “hidup” dan senantiasa menyesuaikan diri dengan keadaan materiil kelompok. Sifatnya yang hidup mengaburkan secara bersamaan predictability dan calculability.  

Kondisi demikian tidak disukai kapitalis, termasuk DPM. Pranata adat, bila dibiarkan hidup “dengan sebenar-benarnya” berdampingan dengan proses akumulasi kapital, akan mendistraksi kepentingan kapital sepanjang jalan. Maka peminggiran pranata adat dan/atau memanipulasinya sehingga sesuai dengan kepentingan DPM menjadi suatu keharusan.


Perampasan Tanah dan Konflik Semu

Perampasan tanah sering disempitkan maknanya dengan penggusuran, kekerasan, dan semacamnya yang bernuansa “melawan hukum”. Apakah perpindahan hak yang memenuhi syarat legal-formal tidak dapat disebut sebagai perampasan tanah? Tentu bisa!

Adalah naif untuk melihat perpindahan hak atas tanah yang “resmi”, “sah” atau “legal” selalu berlangsung dalam posisi setara. Poin penting dari perampasan tanah adalah perubahan kontrol/penguasaan tanah sebagai penunjang akumulasi kapital. Karena itu tidaklah berlebihan untuk memvonis DPM melakukan manipulasi ke masyarakat supaya mau “membebaskan” tanah mereka. Di sini, apa yang dilakukan DPM dapat dilihat dalam konteks powers of exclusion atau kuasa eksklusi; mulai dari regulasi, pemaksaan, pasar dan legitimasi (Hall, Li, Hirsch, 2011).

DPM menggunakan narasi pembangunan dan kesejahteraan, dan di saat yang sama mengupayakan dirinya hadir sebagai malaikat yang mampu memberi kesejahteraan. Kuasa legitimasi diperoleh menggunakan basis moral yang diterima banyak pihak, dan lambat laun menjadi nalar wajar (common sense) di tengah masyarakat sekitar tambang.

Narasi seperti “DPM membuka lapangan pekerjaan bagi putra-putri Dairi” mulai tampak normal bahkan diterima. Ini terlihat dari adanya masyarakat yang pro-tambang. Mereka kerap mengusir aksi penolakan tambang dengan dalih “kami butuh pekerjaan,” “investasi akan membawa kesejahteraan,” dan lainnya. Investasi dan kesejahteraan berjalan beriringan dalam nalar wajar masyarakat lingkar tambang pasca-kehadiran DPM.

Masyarakat sebisa mungkin direkonstruksi menjadi kelompok-kelompok dengan kepentingan yang bertolak belakang. Masyarakat yang tidak mau menjual tanahnya, atau masyarakat penolak tambang, akan dilabeli sebagai kelompok anti-pembangunan, tidak mau maju, atau kolot. Fenomena demikian terjadi beberapa kali, dipakai kelompok masyarakat yang pro-tambang untuk mendukung kehadiran DPM. 

Konflik yang terjadi di masyarakat semata-mata adalah konflik yang diciptakan DPM untuk memuluskan jalan bagi bisnis kotornya. Masyarakat dan pranata yang diakui secara tradisional terpinggirkan oleh akumulasi kapital. Apa yang dilakukan DPM tidak lain adalah perampasan tanah.


Untuk Gerakan yang Lebih Berkelanjutan

Saya ingin menutup tulisan ini dengan terlebih dahulu mengucapkan selamat dan apresiasi atas perjuangan masyarakat Dairi hingga akhirnya menang sengketa informasi data tambang di tingkat banding. Saya tak terlibat langsung, hanya ikut sekali dalam aksi di PTUN Jakarta, beberapa hari sebelum PTUN “memenangkan” masyarakat.

Saya melihat betapa masyarakat terorganisasi dengan baik dan konsisten, bahkan hingga putusan di tingkat banding di PTUN Jakarta. Beberapa bahkan terbang dari Dairi untuk memperjuangkan tanah mereka; memperjuangkan hidupnya sebagai sebuah komunitas, yang bukan tanpa tantangan. Meninggalkan sawah dan kebun untuk ikut dalam aksi sudah merupakan tantangan besar.

Data tambang memang harus transparan dan putusan PTUN Jakarta adalah kemenangan signifikan. Namun perjuangan dan perlawanan tidak boleh berhenti pada sengketa informasi.

Dari segala hal yang telah dilakukan DPM, kita dapat menyimpulkan bahwa kesalahannya bukan saja pada hal-hal administratif, melainkan kegiatan penambangan dan kehadiran DPM sendiri yang problematik. Tambang layak untuk ditolak.

Saya tetap yakin kalau keterbukaan informasi semakin membuka mata kita, bahkan mungkin menjadi dasar untuk mengusir DPM lewat jalur hukum, untuk kemudian menolak segala kegiatan tambang di Dairi. Tetapi yang harus diingat, syarat mendasarnya adalah memandang kehadiran DPM sebagai pelaku perampasan tanah.

DPM tidak hanya berisiko menimbulkan kerusakan ekologis, namun juga telah membuktikan daya rusak sosial yang besar. DPM memecah masyarakat menjadi pendukung dan penolak tambang. Maka mari lakukan penyadaran akan bahaya tambang lebih luas lagi. Advokasi hukum tidak akan pernah cukup, ia harus dibarengi penyadaran bahwa tambang akan merusak alat produksi masyarakat (tanah untuk pertanian), relasi sosial, hingga lingkungan hidup.

Apabila masyarakat menggunakan cara pandang demikian, maka gerakan penolakan tidak akan gampang mengalami delegitimasi. Kita tidak hanya mampu melihat dosa-dosa DPM dalam kerangka hukum, namun juga analisis ekonomi-politik. Begitulah semestinya perjuangan masyarakat di semua daerah yang juga berjuang melawan perampasan tanah mereka.

Kesadaran harus dibangun, dan daya rusak kapitalisme harus dipandang sebagai akibat dari sebuah sistem, bukan kasuistis. Solidaritas masyarakat harus terus terorganisasi dengan baik, sepanjang perampasan tanah atas nama investasi (akumulasi kapital) masih membayangi; sepanjang investasi masih menjadi indikator utama pembangunan di dunia neoliberal.


Referensi

Hall, Derek, Philip Hirsch, Tania M. Li. “Introduction to powers of exclusion: land dilemmas in Southeast Asia.” 2011.

Harvey, David. The Limits to Capital. Verso Books. 2018.

Manurung, Sandrak H. Penguasaan Tanah (Kajian Deskriptif Terhadap Kelompok Pendatang di Desa Bongkaras, Kecamatan Silima Pungga-pungga, Kabupaten Dairi, Sumatera Utara). Universitas Sumatera Utara. 2009.

Weber, Max. Economy and society: An outline of interpretive sociology. Vol. 2. University of California press, 1978.


Dion Pardede, Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

]]>
70 Tahun Lembaga Kebudajaan Rakjat: Perjuangan dan Warisannya https://indoprogress.com/2020/08/70-tahun-lembaga-kebudajaan-rakjat-perjuangan-dan-warisannya/ Mon, 17 Aug 2020 10:57:43 +0000 https://indoprogress.com/?p=232425

Ilustrasi diambil dari “Lekra Woodcuts in the Early 1960s: Socialist Realism, National Culture, and Cosmopolitan Patriots” (Michael Bodden, 2018)


17 AGUSTUS 1950, tepat hari ini 70 tahun yang lalu, sekelompok anak muda berkumpul di Jalan Wahidin 10, Jakarta. Mereka hendak mengaktualisasikan gagasan tentang pembangunan kebudayaan yang selaras dengan spirit kemerdekaan dan anti-kolonialisme sebagai bentuk partisipasi pekerja. Mereka sepakat mendirikan organisasi kebudayaan yang kelak menjadi besar dan ikonik pada zamannya: Lembaga Kebudajaan Rakjat alias Lekra.

Berdirinya Lekra tak dapat dilepaskan dari geliat zaman untuk membangun “kebudayaan baru”—sebuah frasa yang masih abstrak saat itu. Latar sosial dan kebijakan politik dalam negeri menjadi faktor penentu. Meski Belanda sudah hengkang, anasir-anasir kontrarevolusi dan pesimisme pasca-kemerdekaan membuat tak sedikit masyarakat skeptis akan masa depan negara yang baru berusia lima tahun ini.

Agresi militer Belanda yang mencoba meruntuhkan republik dua kali disusul perundingan-perundingan yang berujung ‘Politik Malino’—pembentukan negara federal gagasan H.J. Van Mook—ikut memengaruhi ranah kebudayaan. Salah satu organ penerbitan bergengsi yang berdiri sejak 1917, Balai Pustaka, tidak luput dari stigma ‘alat federal’[1] yang mempropagandakan takluknya republik di tangan Belanda. Apalagi, sebagaimana ditulis sejarawan Hilmar Farid, lembaga ini memang didirikan sebagai “lembaga kolonial” yang bertugas “mempertahankan kekuasaan”.

Gambaran situasi ini tampak jelas dalam MukadimahLekra alinea ketiga—saya kutip verbatim:

Gagalnja revolusi Agustus 1945 berarti memberi kesempatan kepada kebudajaan feodal-imperialis untuk melandjutkan usahanja, meratjuni dan merusakbinasakan budipekerti dan djiwa Rakjat Indonesia. Pengalaman menundjukkan bahwa kebudajaan feodal dan imperialis telah membikin Rakjat Indonesia bodoh, menanamkan djiwa pengetjut-penakut, menjebarkan watak lemah, dan rasa hina-rendah tiada kemampuan untuk berbuat dan bertindak.

Dalam mukadimah pula Lekra merumuskan enam konsepsi ‘Kebudayaan Rakyat’[2]: (1) rakyat harus berjuang memiliki dan menguasai kesenian, ilmu, dan industri sebagai dasar-dasar kebudayaan; (2) perjuangan demokrasi rakyat sebagai tujuan mutlak akan menyediakan kebebasan perkembangan kebudayaan rakyat yang menandakan kebebasan pengembangan diri rakyat sendiri; (3) kebudayaan rakyat adalah senjata perjuangan menghancurkan imperialisme dan feodalisme, serta mengajar rakyat menjadi pahlawan dalam perjuangannya; (4) kolonialisme masa lampau masih menyisakan jejak yang menghasilkan faktor degeneratif yang memisahkan pekerja kebudayaan (seniman) dari pergerakan rakyat banyak dan menjadikan seniman berpilin dalam kebudayaan borjuis; (5) kebudayaan asing yang progresif tetap diterima secara kritis dan pragmatis dalam usaha memajukan kebudayaan rakyat; (6) hakikat Lembaga Kebudajaan Rakjat adalah organ penghimpun kemajuan intelektual yang revolusioner serta memperjuangkan anti-imperialisme di bidang kebudayaan.

Dari petikan tersebut tujuan Lekra pun menjadi jelas: mengembalikan kebudayaan kepada pencipta kebudayaan, yakni rakyat sendiri. Pemulangan ini tidak semata-mata dimaksudkan untuk menyingkirkan imperialisme di bidang kebudayaan, namun juga untuk memberikan ruang bagi praktik-praktik kesenian yang lebih meluas dan meninggi, yang bersumber pada realitas dan kehidupan rakyat banyak.


Turba dan Seni untuk Rakyat

Tujuan tersebut semakin jelas terlihat ketika mereka menetapkan observasi sebagai fondasi utama dalam berkesenian. Bagi Lekra, kualitas karya seni tidak dapat dikembangkan hanya dengan mendalami rupa-rupa ekspresi seni yang telah ada sebelumnya. Dalam kerja-kerja kebudayaan kreatif-inovatif, seniman-seniman Lekra diajak turut “membantu aktif perombakan sisa-sisa kebudajaan pendjadjah jang mewariskan kebodohan, rasa rendah serta watak lemah pada sebagian bangsa kita.”[3]

Dengan demikian, kerja-kerja kebudayaan mereka tidak semata-mata menjadi pengungkapan imajinasi dan renungan, melainkan turut membawa misi politik.

“Turun ke bawah” (Turba) menjadi salah satu metode observasi seniman-seniman Lekra sebelum berproses kreatif. Gagasan yang resmi dianjurkan Rukiah Kertapati dalam Kongres Nasional I Lekra di Surakarta, 22-28 Januari 1959 ini seterusnya menjadi identitas yang melekat pada Lekra.

Njoto, salah satu anggota Komite Sentral Partai Komunis Indonesia (CC PKI), mengapresiasi Turba sebagai berikut, “Saja pun setudju sekali dengan jang dikemukakan kawan Rukiah Kertapati bahwa jang diutamakan haruslah apa2 jang mengolah perdjuangan kaum buruh dan kaum tani dan dengan demikian kita ‘mem-bantu perdjuangan massa’ dan ‘mendorong perkembangan sedjarah’. Saja djuga setudju dengan andju-rannja, supaja LEKRA mengusahakan mengirimkan anggota2nja ke tempat2 penting, ke desa2 kaum tani dan ke kampung2 kaum buruh. …”[4]

Sebagai langkah awal dalam proses kreatif, Turba bukan hanya sebentuk laku menyerap semangat kerja, perasaan, dan penderitaan rakyat—khususnya buruh dan tani—untuk digunakan menjadi basis empirik dalam penggarapan karya, tetapi juga menjadi metode yang berguna untuk memahami perkembangan sosial terbaru serta gerakan rakyat di desa. Walhasil, karya tersebut bisa memenuhi kriteria ‘kekinian-revolusioner’.

Para seniman tak serta merta Turba. Tujuh pedoman, yang dibagi menjadi 3-sama dan 4-djangan, harus mereka patuhi. 3-sama ialah singkatan ‘sama-makan, sama-kerja, sama-tidur’. Maksudnya, seniman diharuskan menikmati makanan yang sama dengan kaum tani, bekerja bersama di sawah atau ladang, serta tidur dengan alas yang sama di rumah kaum tani. Sementara 4-djangan merupakan singkatan dari: djangan tidur dirumah kaum pengisap desa; djangan merepot-kan tuanrumah dan kaumtani; djangan menggurui kaum tani; djangan mentjatat didepan kaum tani.

Sesudah menjalani Turba selama tiga hingga enam bulan, seniman haruslah mengungkapkan pengalaman itu dalam berbagai rupa karya yang diekspresikan terbuka maupun terbatas. Cerita-cerita pendek, puisi, cukilan kayu, sketsa, patung sampai lagu adalah medianya. Gambaran karya-karya ini haruslah realisme-sosialis—bertolak pada kenyataan, diungkapkan secara artistik dan efektif, namun berciri optimistis dan memiliki spirit progresif.

Di samping menciptakan karya, seniman-seniman Lekra juga wajib ikut urun-rembuk memecahkan persoalan yang mereka temui di lokasi Turba, khususnya dalam bidang seni dan kebudayaan. Dari sini Lekra mengorientasikan diri untuk menggarap persoalan-persoalan ‘seni rakyat’ dengan menambahkan bobot pada aspek artistik, ideologi, dan pengorganisasian. Proyeksi inilah yang mengubah ‘seni rakyat’ menjadi ‘seni untuk rakyat’.

Salah satu garapan terkenal Lekra ialah seni-panggung ludruk dan ketoprak. Kesenian khas Jawa Timur ini dikelola Lekra dengan menggubah cerita rakyat yang memuat aspek ideologis, slogan progresif-revolusioner, serta perkembangan aktual keseharian yang autentik dengan peri kehidupan rakyat sekitar. Unsur-unsur ini mutlak dibutuhkan agar kesenian tidak sekadar menjadi hiburan, melainkan juga membangun kesadaran politik (politieke bewustzijn) di kalangan rakyat banyak.

Ketoprak Lekra terkenal pernah memanggungkan repertoar lakon yang kontroversial seperti Matine Gusti Allah (Matinya Tuhan Allah), Malaikat Jibril Rabi (Malaikat Jibril Kawin) dan Gusti Allah Ngunduh Mantu (Tuhan Allah Mengambil Menantu). Pemilihan lakon ini ditengarai terinspirasi penderitaan dan menampilkan jerih-payah rakyat akibat keadaan perekonomian yang serba sulit. Meski demikian, pemilihan kemasan yang cenderung menyinggung agama membuat pesan penting dari lakon cenderung tidak tersampaikan.[5]

Pemilihan seni panggung ini tepat, sesuai laporan Badan Kontak Organisasi Ketoprak Seluruh Indonesia (Bakoksi) menjelang konferensi pertama di akhir 1963: di seluruh Indonesia saat itu telah berdiri tidak kurang 800 organisasi ketoprak, sebagian besarnya berlokasi di Pulau Jawa.[6]


Menolak Status Onderbouw

Pengembangan kreativitas seniman-seniman Lekra tidak dapat dilepaskan dari peran surat kabar resmi PKI, Harian Rakjat. Mulai terbit pada 31 Januari 1951, Harian Rakjat disetir dewan redaksi Njoto, Mula Naibaho, dan Supeno. Kontribusi Harian Rakjat terlihat ketika memberikan tempat terhormat bagi seniman-seniman Lekra untuk mengisi lembar khusus ‘Kebudajaan’—terbit setiap Sabtu di halaman tiga. Kelak terbitan edisi Minggu memuat lebih banyak karya, yang beralih nama menjadi HR Minggu sejak 30 Juni 1963.[7]

Menurut sejarawan Universitas Negeri Yogyakarta Rhoma Dwi Arya Yuliantri, sejak terbit sampai edisi 21 Januari 1964, HR Minggu telah menampilkan 120 sajak, 21 cerita pendek, 15 reportase, 23 resensi, 10 esai, 15 partitur lagu dan 26 sketsa cukilan kayu.[8] Dalam publikasi lain yang disunting bersama Muhidin M. Dahlan, yaitu antologi Gugur Merah: Puisi Lekra Harian Rakjat (1950-1965) dan Laporan dari Bawah: Cerpen Lekra Harian Rakjat (1950-1965), ia menyebut sedikitnya Harian Rakjat—baik ketika masih melalui rubrik ‘Kebudajaan’ maupun setelah dikhususkan dalam HR Minggu—telah menerbitkan 450 puisi dan 100 cerita pendek.

Produktivitas yang ditunjukkan Lekra adalah gabungan tiga komponen: gairah kerja yang menyala-nyala, keuletan berproses, dan sikap politik. Poin terakhir terbukti terutama saat meruncingnya polarisasi kebudayaan 1962-1964. Lekra membuktikan konsistensi haluan politik kebudayaan agar tetap sesuai dengan Manifesto Politik yang digariskan oleh Presiden Sukarno pada 1959.

Di samping itu, produktivitas Lekra menjadi bukti konkret dari komitmen seniman-seniman untuk memajukan kiprah dan perkembangan proyek mereka, baik dalam hal kuantitas maupun kualitas karya.

Matangnya ideologi, luasnya jaringan kerja, serta kokoh-mapannya struktur organisasi membuat PKI sempat mempertimbangkan Lekra menjadi counterpart partai untuk mendulang suara dari kalangan seniman dan pekerja budaya. Pertimbangan yang kemudian memantik perdebatan sengit antara Njoto dan CC PKI ini lalu berujung pada kerancuan yang dimanfaatkan oleh para sejarawan anti-komunis dengan menyebut bahwa “Lekra adalah onderbouw PKI.”

Perdebatan sengit ini terjadi dalam Konferensi Sastra dan Seni Revolusioner (KSSR) di Jakarta pada 27 Agustus—2 September 1964. Ketua CC PKI yang ikut menyampaikan pidato dalam konferensi ini, Dipa Nusantara Aidit, mengutarakan maksud utama pelaksanaan konferensi tersebut adalah mendukung integrasi sastra dan seni dengan massa rakyat pekerja.[9] Di samping itu, terdapat hipotesis lain bahwa KSSR bertujuan menandingi perhelatan Konferensi Karjawan Pengarang Indonesia yang diselenggarakan pada 1-7 Maret 1964 di Jakarta, tetapi digerakkan dan difasilitasi sastrawan pendukung Manifes Kebudajaan.[10]

Ringkasnya, CC partai bermisi ‘memerahkan’ total Lekra dan agar partai berhak menjangkau Lekra sebagai anak-organisasi atau onderbouw.[11]

Njoto, cendekiawan utama sekaligus penggerak Lekra, dengan tegas menolak langkah ini. Penolakan Njoto didasarkan pada penghormatan terhadap seniman-seniman non-komunis dan non-partisan seperti Pramoedya Ananta Toer dan Utuy Tatang Sontani. Njoto menilai langkah ‘memerahkan’ total Lekra akan membuat mereka yang non-komunis dan non-partisan pergi.


Pelajaran dari Lekra

Lekra sebagai organisasi sudah tamat pada 2 Oktober 1965. Gerakan gagal yang dilancarkan sehari sebelumnya, disusul penutupan Harian Rakjat—yang kebetulan menerbitkan edisi Sabtu dan Minggu sebagai edisi terakhirnya—serta penangkapan dan pembasmian orang-orang kiri membubarkan riwayat Lekra dari sejarah seni dan kebudayaan Indonesia. Tragedi lainnya: meski telah dikerangkeng dan dibunuh, Lekra tetap menanggung dosa tak terampuni sebagai ‘setan kebudayaan’ dalam historiografi Orde Baru.

Namun, meski sudah mati, tetap ada yang diwariskan dari organisasi kebudayaan ini. Lekra sedikitnya mewariskan tiga hal pokok. Pertama dan yang terutama adalah Lekra menghormati rakyat sebagai satu-satunya pencipta kebudayaan. Mereka berusaha keras supaya kebudayaan menjadi milik rakyat dan dikembangkan rakyat dengan semaksimal mungkin demi kemaslahatan rakyat.

Kebudayaan yang dimusuhi Lekra tidak lain bersumber dari pengaruh negara-negara imperialis. Hegemoni budaya Barat, bacaan ‘ilmiah-populer’, dan film-film cabul yang destruktif bertebaran dalam industri kebudayaan di masa itu. Perjuangan Lekra sejak lahir hingga tamat di mahkamah sejarah semata-mata ditujukan untuk mengembalikan rakyat pada kebudayaannya sendiri, mengembangkan, memodifikasi dan mengkreasikannya sesuai dengan derap semangat revolusi. Aspek “K” dalam USDEK, yakni Kepribadian Indonesia, ditanggapi Lekra sebagai tantangan untuk memberi kesempatan bagi kebudayaan nasional agar berkembang secara aktif, partisipatif, dan menjadi tuan rumah di negeri sendiri.

Kedua, Lekra mengajarkan seniman akan pentingnya berorganisasi. Secara tegas, Lekra menggariskan bahwa pembangunan kebudayaan berarti juga pembangunan kepribadian seniman sebagai pekerja budaya yang disiplin dan berorientasikan karya. Hal ini diwujudkan dengan menggerakkan (ya, bukan cuma mengimbau) seniman-seniman agar membangun suatu organisasi kebudayaan yang aktif menyokong kerja-kerja kebudayaan lewat promosi, donasi, dan publikasi.

Dengan berorganisasi pula, Lekra mendapatkan kekuatan personalia berjumlah besar yang cakap dan kreatif serta repertoar gagasan berkesenian yang tidak pernah kering. Menurut saya, apa yang dilakukan Lekra belum tergantikan sampai hari ini: menyatukan seniman lintas rumpun, media dan aliran dalam sebuah melting-pot dengan kebulatan tujuan, konsepsi dan semangat. 

Di samping berorganisasi, seniman-seniman Lekra ditempa menjadi kokoh dan bersahaja. Seniman boleh (bahkan wajib) kreatif dan ekspresif, tetapi diharuskan memegang kuat moralitas baik sebagai pekerja budaya yang diharapkan tak hanya berdiri sebagai ‘penghibur’ jalannya revolusi, tetapi menjadi bagian integral dalam barisan penyokong revolusi. Lekra menggembleng seniman-senimannya agar menghindari minuman keras, gaya urakan dan sembrono, serta mengecam poligami sebagai kebejatan. Disiplin diterapkan dengan tidak main-main. Salah satu contohnya adalah A.S. Dharta, yang langsung dipecat ketika ketahuan selingkuh. Perselingkuhannya bahkan diumumkan di Harian Rakjat.

Ketiga, Lekra menunjukkan konsistensi sikap dan independensi organisasi dengan menolak upaya dijadikan onderbouw partai. Persaudaraan ideologis dengan PKI tidak meniadakan kemandirian Lekra sebagai organisasi kebudayaan besar yang pernah memberi torehan penting namun secara sistematis dilupakan dalam sejarah kebudayaan—dan secara umum sejarah Indonesia.***


Chris Wibisana adalah pelajar dan peneliti sejarah independen


[1] D.S. Moeljanto & Taufiq Ismail, Prahara Budaya: Kilas Balik Ofensif LEKRA/PKI (Jakarta, Mizan Pustaka, 1995), 175

[2] Muhidin M. Dahlan dan Rhoma Dwi Arya Yuliantri, Lekra Tak Membakar Buku: Suara Senyap Lembar Kebudayaan Harian Rakjat 1950-1965 (Yogyakarta, Merakesumba, 2008), 499-500

[3] Njoto, Dokumen Kongres Nasional Pertama Lembaga Kebudajaan Rakjat (Jakarta, Bagian Penerbitan Lembaga Kebudajaan Rakjat, 1959).

[4] ibid, 60

[5] Arif Zulkifli, et.al, op.cit, 85

[6] Moeljanto & Ismail, op.cit, 72

[7] Arif Zulkifli, et.al, Lekra dan Geger 1965 (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2014), 46

[8] Arif Zulkifli, et.al, loc.cit

[9] D.N. Aidit, Tentang Sastra dan Seni (Jakarta, Jajasan Pembaruan, 1964), 36-68

[10] Moeljanto & Ismail, op.cit, 248

[11] Dahlan & Yuliantri, op.cit, 52-64

]]>
Dari Agama hingga Ulang Tahun Sekutu: Lima Puisi Daniel Sihombing https://indoprogress.com/2020/05/dari-agama-hingga-ulang-tahun-sekutu-lima-puisi-daniel-sihombing/ Thu, 21 May 2020 03:13:10 +0000 https://indoprogress.com/?p=214493

Illustrasi: Illustruth


Semak Berapi

Bangun pagi mau ke gereja
Lupa ada virus Corona
Laptop menyala, Alkitab dibuka
Dunia maya bak pujasera
Semua tergantung selera

Agama membius massa
Membuai lagi menggairahkan
Hidup jadi bermakna
Menguntungkan siapa?

Sejak Musa hingga José Miranda
Semak berapi menyala-nyala


Papua

Kulihat orang Papua ditangkap
Pipi diinjak ke aspal
Lubang hidung ditarik aparat

Asrama diserbu teror dieksekusi
Kepala dipukul muka diludahi
Dibilang monyet dimaki-maki

1 Mei 1963 NKRI aneksasi
Kini dibilang harga mati!
Puluhan tahun diduduki TNI
AMP gugat lima ratus ribu dibikin mati

Gunung Grasberg begitu diminati
Emas melimpah, senjata adalah kunci
Mako Tabuni ditembak mati
Sagu pun dipaksa ganti nasi

Merdeka! Papua merdeka!
Terdengar di jalan-jalan pekik bertenaga
Sejak kecil hafal kemerdekaan hak segala bangsa
Teringat cerita usir Belanda


Welfare State

Kelas menengah suka negara kesejahteraan
Upah besar bisa jalan-jalan
Ada jaminan kesehatan
Kadang juga pendidikan

Tapi ada yang tak dipikirkan
Kapital abadi karena penghisapan
Negara kesejahteraan butuh jajahan

Laba runtuh siapa yang tanggung
Negara berkembang dipaksa jadi panggung
Bahan melimpah buruh dipentung
Ini nekolim kata si bung


Bumi Manusia

Dikarantina gara-gara Corona
Anak muda baca Pramoedya
Sudah tayang film Bumi Manusia
Jangan lupa penulisnya orang Lekra

Di Buru Pramoedya dipenjara
Karena Amerika ambil alih kuasa
Indonesia dulunya inisiator KAA
Sekarang cuma kerja, kerja, kerja

Kapan bersatu lagi Asia Afrika
Ganyang nekolim dari Utara!
Jangan lupa mereka makmur karena kita
Sekarang ditambah lagi negara Cina

Pramoedya kandidat nobel sastra
Makin dibaca makin sadar bumi manusia
Demi anak semua bangsa
Siap robohkan rumah kaca


Sekutu

Andai masih bernafas dirimu
Besok dua-ratus-dua usiamu
Tak perlu kusebutkan namamu
Di negeri ini dianggap tabu

Raoul Peck menyutradarai filmmu
Paris kota pelarianmu
London kuburanmu
Dunia tertindas adalah rumahmu

Para pengusir Belanda membaca bukumu
Soekarno muda menggemarimu
Imperialis berkali-kali menguburmu
Kacung-kacungnya membredel warisanmu

‘Kritik tanpa ampun’ itulah sloganmu
Telaah struktur dunia biar tak ditipu
Kau tak beriman tapi kita sekutu


Daniel Sihombing adalah anggota Kristen Hijau dan tim editor IndoProgress.

]]>
Selasih: Cerita Perampasan Tanah Yang Tak Pernah Usai https://indoprogress.com/2019/12/selasih-cerita-perampasan-tanah-yang-tak-pernah-usai/ Mon, 09 Dec 2019 01:55:44 +0000 https://indoprogress.com/?p=91573

Kredit foto: radarbali.jawapos.com


SEJAK beberapa minggu lalu, laman Facebook saya dihiasi dengan gambar-gambar dari Banjar Selasih, Desa, Puhu, Kecamatan Payangan, Gianyar. Bukan gambar-gambar yang menyenangkan. Yang terlihat oleh saya adalah gerombolan polisi yang menghadapi para pemrotes. Beberapa diantaranya perempuan yang hanya mengenakan Beha. Bulldozer dan alat-alat berat berat merangsek masuk ke wilayah Selasih. Aparat keamanan mengawalnya.

Ternyata protes tersebut berkaitan dengan pembersihan lahan yang dilakukan oleh PT Ubud Duta Resort Development (UDRD). Perusahan ini kabarnya telah menguasai 200 hektar tanah di banjar itu sejak tahun 1990an. Rencananya, tanah sebesar itu akan diubah menjadi resort mewah dengan lapangan golf.

Yang mengejutkan untuk saya adalah reaksi masyarakat di Bali terhadap penggusuran tersebut. Sebagian masyarakat menentang penggusuran itu. Sebagian juga membenarkan. Sebagian besar, tentu saja, diam.

Mereka yang menentang berpendapat bahwa masyarakat sudah mendiami tanah itu sejak lama. Tidak adil rasanya mengusir mereka begitu saja. Sementara mereka yang mendukung mengatakan bahwa PT UDRD adalah penguasa tanah yang sah. Investor ini memiliki sertifikat.

Mereka yang mendukung punya argumen yang lebih panjang. Daripada menjadi penyerobot tanah, demikian kata mereka, lebih baik membiarkan perusahan membangun resort dan lapangan golf. Penduduk desa bisa bekerja di sana. Pembangunan ini baik untuk pertumbuhan industri pariwisata di Bali.

Sebuah posting di Facebook yang beredar secara viral secara gamblang menuduh para petani sebagai pihak yang sudah menerima duit. Dia juga mengklaim bahwa tanah itu sudah dijual pihak Puri kepada investor. Dengan gagah penulisnya membela investor. “Selama tanah belum dimanfaatkan oleh investor, masyarakat diijinkan untuk menanaminya, bahkan sdh 30 th diberi ijin dan investor tidak minta bagi hasil semua diambil warga hasilnya,” demikian tulisnya.

Posting semacam itu tidak sedikit. Sebagai orang yang cukup lama berada di media sosial, saya membaui ada semacam serangan yang terkoordinasi terhadap para petani yang hanya memperjuangkan hak hidupnya. Apakah investor juga sudah memakai buzzer untuk membentuk opini masyarakat, sama seperti para politisi yang telah lebih dulu melakukannya? Saya tidak tahu. Tapi itu soal lain.

Protes dan demonstrasi seperti di Selasih ini memang sedang marak di mana-mana. Pemerintah yang sekarang berkuasa sudah mencanangkan untuk menggenjot investasi. Kebijakan itu memberikan suntikan darah kepada para pemodal untuk kembali mengerjakan proyek-proyek yang dulu dianggap bermasalah. Dengan orientasi penanaman modal, para pengusaha merasa memperoleh beking dari penguasa. Tidak aneh bila polisi dan tentara juga dikerahkan untuk mengamankan investasi ini. Seperti yang kita lihat di Selasih dengan PT UDRD ini.

Untuk saya ada sesuatu yang khusus tentang Selasih. Entah mengapa ketika mendengar nama Selasih, ingatan saya samar-samar kembali kepada beragam masalah perampasan tanah untuk investasi pariwisata yang mencuat di Bali pada akhir 1980 hingga akhir 1990an. Dalam periode itu, terjadi kasus-kasus besar perampasan tanah (land-grabbing) seperti di Garuda Wisnu Kencana (GWK), Bali Nirwana Resort (BNR), Pecatu Graha, reklamasi Pulau Serangan, reklamasi Padang Galak, dan lain-lain. Kebetulah itu semua terjadi pada zaman Orde Baru. Secara khusus, kasus-kasus pertanahan ini marak terjadi ketika Bali diperintah oleh Gubernur Prof. dr. Ida Bagus Oka (1988-1998).

Akhirnya saya memutuskan untuk menelusuri kembali peristiwa Banjar Selasih ini. Saya bisa memastikan bahwa ini adalah salah satu kasus perampasan tanah oleh penguasa lokal yang bekerja sama dengan elite politik nasional. Kasus ini bukan barang baru. Ia sudah dimulai sejak tahun 1992.


Narasi Ketidakadilan

Ketika menelusuri kasus Selasih, saya menemukan paling tidak dua buku yang membahasnya. Yang pertama adalah buku “Penghancuran Hak Masyarakat Adat Atas Tanah.” Buku ini diterbitkan oleh Konsorsium Pembaruan Agraria[1]. Yang kedua adalah  sebuah buku yang diterbitkan  oleh Penerbit Bali Post. Judulnya adalah “Baliku Tersayang, Baliku Malang.”[2] 

Dalam setiap kasus perampasan tanah, selalu ada narasi (cerita). Orang boleh berargumen bahwa tanah-tanah tersebut adalah milik Puri (kerajaan-kerajaan kecil di Bali). Pihak Puri mensertifikatkan miliknya. Kemudian sertifikat itulah yang dijual kepada pihak investor. Perkara selesai karena upaya penerbitan sertifikat itu berarti secara legal-formal pihak negara – yang sekarang menjadi penguasa tunggal berdaulat bahkan atas Puri – mengakui kepemilikan tanah oleh Puri itu. 

Upaya menerbitkan sertifikat itu menguburkan asal-usul tanah. Para petani yang mengerjakan tanah itu secara turun temurun tidak dianggap sebagai pihak yang perlu diperhitungkan. Di Republik yang merdeka ini, para petani tersebut seharusnya adalah warga negara. Namun kedudukan mereka di depan hukum masih sama seperti sebelum kemerdekaan. Mereka hanyalah orang-orang taklukan – lahir takluk pada satu kekuasaan dan tidak pernah bisa lepas dari takdir bahwa mereka hanya mahluk taklukan. Mereka tetap hidup dalam sistem feudal di Republik yang seharusnya mengakui mereka sebagai warga negara. Bukan manusia taklukan.

Itulah sebabnya, setiap argumen yang menyodorkan sertifikat sebagai barang bukti, sesungguhnya mengabadikan status para petani ini sebagai manusia taklukan. Oleh karena itu, dalam kasus-kasus perampasan tanah, sangat penting bagi kita melihat narasi-narasi bagaimana status tanah itu dan menyesuaikannya dengan status petani sebagai warga yang berdaulat atas tanah yang dikerjakannya sebagai sumber penghidupannya itu.

Sertifikasi yang melegalkan perampasan tanah adalah bentuk ketidakadilan. Sertifikasi itu hadir karena ketimpangan kekuasaan. Pihak petani, sebagai orang taklukan, jelas tidak akan pernah memiliki tanah yang dikerjakannya secara turun temurun dan sudah menghidupinya dari generasi ke generasi. Sertifikasi adalah sebuah bentuk ketidakadilan yang terlembaga secara kokoh dan anehnya didukung di Republik ini, sekalipun memiliki undang-undang agraria yang mengatur pembatasan kepemilikan tanah.


Selasih, Dari Narasi Para Petani

Narasi tentang petani-petani Selasih adalah salah satu kasus dari banyak kasus yang dibahas dalam buku terbitan Konsorsium Pembaruan Agraria. Buku ini menelusuri kasus-kasus perampasan tanah yang menimpa beberapa masyarakat adat di Indonesia. Untuk kasus Bali, desa-desa adat  yang dibahas adalah Tenganan Pegeringsingan, Pecatu, dan Selasih[3].

Bagian Bali ditulis oleh Tim Peneliti KPA wilayah Bali. Para penelitinya mendokumentasikan sejarah sosial terjadinya setiap masyarakat adat, merangkai struktur sosialnya, penguasaan dan distribusi tanah (sumber-sumber agrarian), serta konflik agraria yang muncul.

Ada sedikit latar belakang konflik agrarian yang muncul di Desa Adat Selasih. Buku ini mengatakan bahwa pada tahun 1993 ada upaya melakukan pembebasan lahan seluas 200 Ha (65% dari luas Selasih) untuk pembangunan lapangan golf dan resort mewah. “Upaya pembebasan tersebut disertai serangkaian penekanan dan intimidasi yang menimbulkan berbagai keresahan. Aksi penolakan dilakukan dengan cara berdemonstrasi ke kantor camat Ubud pada tanggal 21 Juni 1993, karena mereka (petani, red.) menolak menjual tanah-tanah mereka,” demikian tulis Tim Peneliti di buku ini.

Berbagai upaya dilakukan untuk mematahkan perlawanan para petani ini. Pihak-pihak yang berkepentingan agar proyek ini berjalan menempuh berbagai macam taktik, seperti menutup saluran air, memberikan bantuan sepeda motor, dan membentuk Yayasan Desa Selasih yang menyatakan setuju akan pembangunan resort dan lapangan golf tersebut. Persetujuan Yayasan itulah yang dijadikan dasar oleh Kepala Kanwil Departemen Pertanahan Kabupaten Gianyar untuk memberikan persetujuan lokasi untuk pembangunan resort oleh PT Ubud Resort Duta Development.

Narasi yang lebih lengkap diberikan oleh buku “Baliku Tersayang, Baliku Malang.” Sebuah tulisan didalamnya yang berjudul “Proyek Golf, Nasib Petani dan Mengapa Sundria Menolak” diabdikan khusus untuk kasus Selasih. Tulisan tersebut adalah laporan jurnalistik dari Tim Wartawan Balipost (TWB). Karenanya narasi dari para petani penggarap sempat terekam dengan baik. Saya sengaja mengulang narasi yang ditulis TWB tersebut di sini untuk memberikan konteks terhadap perlawanan petani kecil di Selasih.

TWB memulai liputannya dengan menggambarkan kecemasan di wajah petani-petani Selasih. Terutama petani penyakap (penggarap) yang tidak jelas nasibnya. Proyek lapangan golf dan resort dari PT URDD ini sudah mulai sejak 1992. Namun baru pada saat laporan itu ditulis (1998) rencananya akan mulai dikerjakan lagi.

Diberikan juga sedikit cerita tentang bagaimana Selasih pada jaman dulu. Selasih adalah dusun yang kurang beruntung. Penduduk dililit kemiskinan. Mereka sering hanya makan nasi campur ketela, simbol kemiskinan saat itu. Itulah yang digambarkan oleh Wayan Comot, Pekaseh Subak Dusun Selasih. “Tapi itu dulu. Sebelum ada swadaya menaikkan air pada awal tahun 1970an,” katanya dikutip Balipost. Setelah air berhasil dinaikkan, masyarakat mulai bertanam padi yang hasilnya sangat baik, yakni 4 ton/Ha. “Bapak lihat sendiri, apakah tanah kami subur atau tidak,” tanya Wayan Comot kepada wartawan Balipost yang berkunjung kesana pada 29 Oktober 1997. Saat itu Selasih yang luasnya 300ha itu memang tampak hijau. Apalagi dengan adanya Tukad Ayung (Sungai Ayung) di sisi sebelah timur Selasih.

PT UDRD mulai membebaskan tanah sejak tahun 1992. Sekalipun Direktur PT UDRD ketika itu, AA Bagus T. Boewana mengatakan bahwa mereka tidak menggunakan calo untuk membebasakan tanah, kenyataan di lapangan menunjukkan lain. Wartawan Balipost mewawancarai seorang warga: “Tadinya kami tidak mau melepaskan tanah dan pekarangan kami. Tetapi karena digertak dan dijepit, sebab di sebelah-sebelah kami sudah dijual, terpaksa kami ikut menjual.” Warga ini tidak mau menyebutkan namanya karena takut.

Balipost juga mencatat kejanggalan lain. Seperti yang dialami I Mekeh dan I Tambun, yang pengakuannya dimuat di koran Prima, Jumat 31 Oktober 1997.  Kedua petani ini menyerahkan surat-surat tanahnya kepada investor. Mereka diberi uang muka Rp 15 juta dari harga Rp 300 juta. Mulanya mereka dijanjikan bahwa tanah mereka akan dihargai Rp 1,5 juta per are (100 m2). Namun yang mereka terima hanya Rp 1,2 juta per are.

Intimidasi diriingi penyiksaan juga direkam oleh TWB ini. Mereka mengutip cerita I Lantur (orang Bali dulu biasa menggunakan hanya satu nama seperti ini), salah seorang pemilik tanah. Setelah melakukan transaksi penjualan tanahnya senilai Rp 500 juta, I Lantur malah disiksa oleh anggota militer atas suruhan dua calo tanah Mg dan Mn. Mata I Lantur agak rabun akibat dipukuli benda tumpul serta dipukul dan ditendang. Tidak itu saja, I Lantur menjadi trauma didatangi orang tidak dikenal. Bahkan ketika ditemui TWB, dia minta didampingi kepala dusun yang datang dengan diiringi empat Hansip.

“Situasi ini menandakan betapa tercekamnya penduduk sehingga enggan buka mulut. Tidak hanya pemilik tanah yang memilih diam, warga Selasih yang ikut prihatin dengan nasib rekannya pun lebih banyak enggan bicara. Kalaupun berbicara dengan syarat namanya dirahasiakan, sepertinya takut nasibnya “dilanturkan” (diperlakukan seperti Lantur). Calo-calo tanah yang mengaku membantu PT UDRD dalam membebaskan tanah, sering mengatasnamakan aparat keamanan sebagai beking,” demikian tulis Tim Wartawan Balipost (TWB).

Sebagian tanah yang dibebaskan PT UDRD memang dengan cara membeli dari pemilik tanah. Namun ada masalah yang lebih penting, yakni para petani penggarap (penyakap). Mereka adalah pihak yang bernasib paling nahas. Petani ini menggarap tanah yang secara administratif adalah “milik” puri.

Di sini persoalan menjadi rumit karena dasar kepemilikan tanah adalah hubungan adat-istiadat antara pihak puri dan parekan (mereka yang mengaku tunduk kepada kekuasaan puri). Pada awalnya, leluhur para petanilah yang membuka hutan. Karena hutan diklaim sebagai milik puri, maka para petani ini meminta ijin kepada raja yang berkuasa di sana. TWB mewawancarai Pan Sari (bukan nama sebenarnya) untuk mengetahui status tanahnya. Menurut Pan Sari, sebelum Belanda masuk ke Bali (awal abad ke-20), Kumpi atau kakek buyutnya membuka lahan alas (hutan) Sengkulun yang lokasinya berada di Munduk Tengah dan Munduk Sengkulun Kangin. Pembukaan hutan itu atas ijin raja setempat di Puri Payangan. Para penyakap menyetor setengah dari hasil dari tanah tersebut kepada pihak puri.

Masalah kemudian muncul, siapakah pemilik tanah itu ketika hendak dibebaskan oleh PT UDRD? Apakah petani penggarap? Ataukah pihak keluarga puri?

Seorang warga penyakap diwawancarai TWB ketika itu mengatakan, “Selain bagi hasil, keluarga tiang (saya) pernah memberikan uang beberapa ribu ringgit ke puri untuk tanah ini. Tetapi soal sertifikat, tiang tidak ada,” kata seorang petani penggarap.

Ini adalah penyakit akut agraria di Indonesia. Penguasa-penguasa tradisional dulunya berkuasa mutlak atas tanah karena mereka mendudukkan dirinya sebagai negara. Namun ketika zaman berubah dan kedaulatan ada di tangan rakyat, seringkali kekuasaan mereka terhadap tanah itu tetap. Mereka bebas menguasai seluruh tanah. Sementara para petani yang susah payah membuka hutan, menggarap dan memelihara lahan, tidak memiliki hak atasnya.

Ketika tanah itu dibebaskan, pihak puri ternyata sudah mensertifikatkan tanah itu. Petani penggarap yang sebagian besar buta huruf itu tidak pernah diajak bicara. Bahkan mendapatkan informasi tentang pensertifikatan pun tidak. “Yang tiang tahu, pernah tiang diminta ke puri untuk tanda tangan dan dapat uang Rp 3 juta. Katanya sebagai pengganti rumah dan tanah yang tiang garap. Sebagai panjak (kawula) tiang nurut dan pasrah saja,” kata Pan Sari.

Mereka tidak tahu bahwa tanda tangan itu adalah sebuah surat persetujuan untuk melepas tanah dan rumah. Pan Sari mengaku bahwa kalau proyek ini berjalan dia tidak tahu akan tinggal dimana. Dia mengaku, kalau digurus dia mungkin akan tidur di bale banjar, balai komunitas yang umum terdapat di Bali.


Sebagian warga Selasih yang protes menolak PT UDRD. Kredit foto: Balinetizen

Kontroversi Resort dan Lapangan Golf

Rencana PT Ubud Duta Resort Development untuk membangun resort dan lapangan golf tidak saja dipersoalkan di tingkat petani. Laporan Balipost juga mengungkap penolakan dari jajaran pemerintahan ketika itu. I Ketut Sundria, Ketua DPRD Bali yang juga ketua PGI (Persatuan Golf Indonesia) Bali ketika itu juga mengutarakan penolakannya. Dia mengaku bahwa DPRD dan Pemda Provinsi tidak akan memberikan ijin.

Sundria mengemukakan ada tiga alasan untuk menolak proyek itu. Pertama adalah soal lingkungan. Selasih adalah daerah di dataran tinggi yang menjadi daerah tangkapan air. Lapangan golf hanya akan mengurangi fungsi resapan air.

“Lapangan golf itu kan strukturnya berbeda dengan humus dan tanah pegunungan. Dia tidak mampu meresap air seperti tanah pegunungan. Karena itu, daya serap airnya pun pasti sangat berkurang akibat struktur buatan lapangan golf itu,” demikian jelas Sundria.

Jika konversi ke lapangan golf ini terjadi, dikuatirkan Selasih akan menjadi daerah pengirim banjir di waktu musim hujan karena daerah itu tidak lagi bisa menangkap air. Lagipula, lokasi pembangunan lapangan golf itu terletak di dekat Tukad Buahan, yang merupakan hulu Sungai Ayung, salah satu sungai besar yang mengalir ke Denpasar.

Alasan kedua adalah karena Selasih adalah daerah pertanian. Daerah ini adalah daerah subur dan ekonomi pertanian akan jauh lebih bermanfaat untuk rakyat kebanyakan dan rakyat Bali. Sundria menganjurkan sebaiknya lapangan golf dibangun di daerah pesisir yang lebih landai.

Sedangkan alasan ketiga adalah kebutuhan akan lahan yang sangat luas. 200 Ha untuk resort dan lapangan golf itu adalah mega-project untuk ukuran Bali. Sundria tidak setuju pembangunan ini karena akan menggusur banyak sekali orang Bali, yang adalah pendukung utama kebudayaan Bali. “Bali ini kecil. Pembangunan yang dilakukan juga harus berdasarkan pembangunan pulau kecil. Jangan yang besar-besar begitu,” demikian Sundria kala itu.


Siapa dibalik PT Ubud Duta Resort Development?

Jika dihitung sejak awal perencanaannya (1992) hingga sekarang, maka 27 tahun sudah rencana pembangunan resort dan lapangan golf ini berlangsung. Orang-orang yang dahulu menjual tanah dan digusur sebagian besar telah meninggal. Namun keturunan mereka masih ada.

Proyek ini sudah mulai mengambil ancang-ancang akan mulai pada tahun 1998. PT UDRD sudah mengantongi Hak Guna Bangunan (HGB) untuk menguasai tanah  pembangunan resort dan lapangan golf itu. Menurut aturan, HGB hanya memiliki masa berlaku selama 30 tahun. HGB bisa diperpanjang masa berlakunya selama dua puluh tahun lagi. Jika tanah yang bersertifikat HGB luasnya kurang dari 600 meter per segi maka pemilik berhak mengonversi menjadi hak milik dengan mengajukan permohonan ke Badan Pertanahan Nasional (BPN).

Dari urutan waktu ini, kita bisa menduga bahwa PT UDRD sudah memegang HGB ini lebih dari 20 tahun. Mereka memiliki waktu yang kurang dari 10 tahun untuk segera memanfaatkan tanah tersebut. Namun mereka tidak melakukan pembangunan hingga akhir-akhir ini.

Siapakah sebenarnya pemilik dari PT UDRD ini?

Dari berita yang beredar, Presiden Direktur PT UDRD adalah H. Dudhie Makmun Murod, MBA. Dia adalah mantan anggota DPR-RI periode 2009-2014. Dia berasal dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) dan menjadi wakil dari Sumatera Selatan. Namun karir di politik tidak terlalu moncer. Pada tahun 2011, dia berhenti menjadi anggota DPR-RI karena terlibat dalam kasus cek pelawat untuk pencalonan gubernur Bank Indonesia. Untuk itu dia dihukum dua tahun.

Dudhie Makmun Murod adalah anak dari Jenderal TNI (Pur.) Makmun Murod, bekas Kepala Staf Angkatan Darat (Kasad) pada 1974-78. Makmun Murod adalah tokoh masyarakat Komering di Sumatera Selatan. Selain tokoh militer, Murod adalah presiden komisaris PT Gajah Tunggal, yang sekarang menjadi salah satu pabrik ban terbesar di dunia. Pemilik dari Gajah Tunggal adalah Sjamsul Nursalim, salah seorang terkaya Indonesia yang sekarang menjadi buronan KPK karena penyelewengan dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Menurut ilmuwan politik Amerika yang menulis politik lokal di Sumatera Selatan, Elizabeth Collins, Dudhie merintis karir politik karena berkat kedekatannya dengan almarhum Taufik Kiemas, politikus PDIP yang adalah juga suami Ketua Umum PDIP Megawati Sukarnoputri.[4] 

Penelusuan lebih lanjut ternyata memperlihatkan jejaring yang lebih rumit. PT UDRD ternyata adalah sebuah anak perusahan dari sebuah perusahan property PT Indonesia Prima Property TBK. Presiden komisaris perusahan ini adalah Husni Ali, keponakan dari Sjamsul Nursalim, sang pemilik. 

Karena telah menjadi perusahan publik, PT Indonesia Prima Property TBK harus membuat laporan tahunan. Dari Laporan  Tahunan 2017, diketahui bahwa  presiden direktur perusahan ini adalah seorang berkewarganegaraan Singapura bernama Ong Beng Kheong. Yang menarik di sini, ada banyak sekali pensiunan militer dan polisi yang duduk  dalam jajaran pimpinan perusahan ini.

Posisi wakil presiden direktur diduduki oleh Sriyanto Muntasram. Dia pensiunan Mayor Jenderal TNI AD. Muntasram pernah menjabat sebagai Danjen Kopasssus, Pangdam III Siliwangi, dan Gubernur Akmil. Keistimewaan Munstasram adalah karena dia pernah diadili dalam kasus pelanggaran HAM berat Tanjung Priok, 1984. Ia yang ketika itu menjadi Komandan Seksi Operasi Kodim Jakarta Utara, dianggap ikut terlibat dalam pembantaian di Tanjung Priok itu. 

Anggota militer lain yang duduk di jajaran komisaris adalah Ngakan Gede Sugiartha Garjitha, lulusan Akmil kelas 1981. Dia menghabiskan karir militernya di Kopassus dari letnan dua hingga kolonel. Dia pernah menjabat sebagai Komandan Intel Kodam Jaya, Danrem di Solo, Komandan Pusintelstrat, dan Kepala Staf Territorial Panglima TNI. Dia pensiun sebagai Mayor Jenderal. Selain itu dia menjadi pejabat Eselon 1 Badan Intelijen Negara (BIN).

Wartawan Radar Bali yang baru-baru ini meliput ke Selasih menggambarkan suasana tegang di wilayah itu. Ketika lewat dia direkam video oleh aparat. Namun yang menarik adalah sebuah papan pengumuman terpampang di lahan yang dibuldozer. Plank papan itu berbunyi, “Tanah Milik PT. Ubud Resort Duta Development dengan dalam pengawasan Mayor Jenderal TNI Purn. Gatot Subroto”.

Siapakah Mayjen TNI Purn. Gatot Subroto ini? Dia ternyata adalah perwira TNI-AL lulusan AAL tahun 1982. Gatot Subroto berasal dari kesatuan Marinir. Dia pernah menjadi Wakil Gubernur AAL. Gatot Subroro adalah komisaris PT Indonesia Prima Property TBK. Dalam penelusuran lebih lanjut, Gatot Subroto juga bekerja bersama Husni Ali di PT KMI Wire and Cable Tbk.

Selain militer, PT Indonesia Prima Property TBK juga mempekerjakan mantan perwira kepolisian. Luthfi Dahlan adalah salah satunya. Dia adalah mantan Wakil Kepala Polri dan menyandang jenderal bintang tiga. Di perusahan ini dia menjabat sebagai wakil presiden komisaris.

PT Indonesia Prima Property TBK memegang 92.8% saham PT UDRD. Dalam buku Laporan Tahunan 2017, jenis usaha yang kerjakan oleh PT UDRD adalah “land bank.” Ini berarti bahwa tanah ini dibeli untuk nantinya dibangun atau dijual ketika harga sudah meningkat.

Harga tanah di Selasih memang meningkat gila-gilaan dan pembangunan proyek PT UDRD tidak diragukan lagi akan semakin meningkatkan harga tanah di sana. Pada bulan Februari tahun ini, sebuah akun Facebook bernama “Bali land property sale” menawarkan tanah di Selasih seluas 25,000 m2 (250 are).  Tanah tersebut dihargai US $65/m2 (US$ 6,538). Seluruh tanah seluas 250 are tersebut berharga US$ 1,634,615.


Mediasi atau Advokasi?

Perlawanan oleh para petani dan masyarakat Selasih telah mendorong beberapa politisi untuk melakukan mediasi dengan PT UDRD. Itu dilakukan akhir November lalu oleh anggota DPR RI I Nyaman Parta, DPD RI Arya Wedakarna, DPRD Provinsi I Made Rai Warsa, dan DPRD Kabupaten Gianyar I Nyoman Kandel dan Nyoman Amertayasa. Mediasi tersebut menghasilkan beberapa kesepakatan seperti soal Pura yang ada dalam tanah yang dikuasai PT UDRD. Perusahan tidak akan menganggu gugat keberadaan pura tersebut; petani tetap boleh menggarap sebelum dibangun; janji untuk mempekerjakan tenaga kerja lokal bila sudah beroperasi; dan soal nasib 30/32 keluarga yang hendak digusur karena secara tidak sah menempati “tanah milik” perusahan.

Persoalan Selasih adalah persoalan para spekulan yang membuat bank-bank tanah. Mereka berusaha untuk menaikkan nilai tanah dengan segala macam cara. Tentu tanah yang dikuasai oleh PT UDRD ini nilainya telah berlipat-lipat dari ketika mereka membelinya.

Melihat semua aspek keadilan dalam kasus agraria ini, tentu kita harus bertanya, apakah para petani ini memerlukan mediasi? Bukankah sesungguhnya mereka lebih butuh advokasi (pembelaan) karena bagaimana pun juga mereka tidak mendapatkan keadilan sejak awal dari pembebasan tanah mereka?

Para politisi di Bali dan para pembuat kebijakan harus memikirkan secara serius soal seperti Selasih ini. Kasus-kasus struktural seperti ini tidak seharusnya dipakai untuk mencari panggung politik. Kasus-kasus seperti ini harus dipakai untuk membela rakyat yang tidak berdaya.

Melihat kasus Selasih ini, saya justru tertarik dengan pernyataan I Ketut Sundria, mantan Ketua DPRD Bali dan sekaligus Ketua Persatuan Golf Indonesia (PGI) Cabang Bali. Dia tidak setuju dengan pembangunan ini karena melihat rakyat Bali. Dia tidak melakukan mediasi dengan investor. Dia menolak mentah-mentah dengan alasan yang sangat masuk akal.

Pendirian I Ketut Sundria ini ada benarnya. Apa jadinya kalau orang Bali sudah tergusur ditanahnya sendiri? Masih adakah Bali tanpa orang Bali? Masih adakah orang Bali tanpa tanah milik orang Bali sendiri? ***


Made Supriatma adalah seorang jurnalis sekaligus peneliti sosial, politik dan militer


—————

[1] Mari R.Ruwiastuti, Noer Fauzi, Dianto Bacriadi, Penghancuran Hak Masyarakat Adat Atas Tanah. Sistem Penguasaan Tanah Masyarakat Adat dan Hukum Agraria, Bandung: KPA, 1997.

[2] Wayan Supartha (Penyunting), Baliku Tersayang, Baliku Malang. Potret Otokritik Pembangunan Bali dalam Satu Dasa Warsa, Denpasar: Penerbit Bali Post, 1998. 

[3] Saya memilih untuk memakai istilah Desa Adat untuk menggambarkan Selasih. Secra administrative, Selasih adalah sebuah Banjar yang berinduk pada Desa Puhu, Kecamatan Payangan, Kabupaten Gianyar, Provinsi Bali.

[4] Elizabeth Fuller Collins, Indonesia Betrayed. How Development Fails. Honolulu: Hawaii University Press, 2007, hal. 132.

]]>
Ex-Gafatar: Kami Cuma Upgrade Keyakinan Dengan Sikap Egaliter https://indoprogress.com/2019/08/ex-gafatar-kami-cuma-upgrade-keyakinan-dengan-sikap-egaliter/ Fri, 23 Aug 2019 00:54:04 +0000 https://indoprogress.com/?p=21430

Kredit foto: www.suaramuhammadiyah.id


ADAM Mirza (41) dan Faldiaz Bachtiar (45) duduk di bangku depan gardu. Mereka sedang bercerita dengan Imam Shofwan (Direktur Yayasan Pantau) yang berdiri di depannya. Keduanya adalah ex-Gafatar. Sebuah komunitas Eko-Spiritual atau mereka sendiri menyebutnya persaudaraan iman Millah Abraham, yang anggotanya kerap mendapat persekusi dan intimidasi bahkan tiga pimpinan mereka sudah dipenjarakan.

Pagi itu, sabtu 3 agustus, ada janji peretemuan di kantor YLBHI (Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia) yang sudah direncanakan sebelumnya. Tak seperti kebanyakan gerakan spiritual yang cenderung berseragam agamis. Mereka justru tampil necis. Adam, misalnya, mengenakan kemeja kotak-kotak biru-putih yang tampak ketat di badannya. Rambut kilimis – berjambul, chino pants berwarna krem, dan boots.

Diaz sedikit berebeda. Selain tentu lebih tinggi dibanding Adam, dia Lebihkasual. Berkacamata, brewokan namun tipis saja, kemeja hitam polos, celana bahan warna abu-abu, dan sneakers puma. Di bawah telapak tangan kanannya ada tato karakter cina yang artinya Harimau, sedikit tertutupi oleh jam tangan. leher belakangnya dirajah dengan kata “freedom”.

Gambar karakter cina merujuk shio tahun kelahiran Diaz, sementara“freedom” baginya adalah kata yang bermakna bebas dari hawa nafsu, belenggu dogma, jeratan ekonomi dan ikatan sosial.

Saya tak sengaja melewati mereka berdua, mungkin karena penampilannya itu. Dan lagi saya belum pernah menemui anggota ex-Gafatar sebelumnya. Belum juga Imam Shofwan memperkenalkan mereka, dengan luwes Adam dan Diaz menunjukkan senyum keakraban. Senyum yang sama terlihat di garis wajah anggota ex-Gafatar dan anak-anaknya kala memulai sistem pertanian terpadu bebas limbah di Kalimantan.

Satu video yang diteruskan oleh Adam Mirza ke whatsapp saya memperlihatkan kerukunan dan kebahagiaan itu. Beternak sapi, menggarap sawah, menanam sayur-sayuran. Anak-anak bermain bola, bercengkrama di kebun, dan emak-emak sedang bersenam.

Mereka membangun turbin sebagai pembangkit listrik, mencipta satu mekanisasi untuk air sungai yang keruh supaya bisa dikonsumsi. Semua dilakukan bersama dan hasilnya dirasakan bersama. Dari tanah bergambut, mereka bisa menghasilkan 6 ton beras dari luas lahan 1,8 hektare.

2015 mereka ke Kalimantan. Adam mengatakan sebanyak 12 ribu orang yang ikut dengan menempati 33 titik di Kalimantan. Kalimantan Barat sebanyak 10 titik, Kalimantan Timur 11 titik, dan Kalimantan Tengah 12 titik. Masing-masing orang menjual apapun yang bisa dijual: rumah, perusahaan, dan lainnya untuk membeli tanah dan kebutuhan hidup di Kalimantan.

Adam sendiri bersama 16 orang lainnya, termasuk Diaz, dengan barang-barang hasil jualannya berurunan untuk membeli tanah  seluas 200 hektare di Kabupten Melawi, Kalimantan Barat. Kepindahan mereka bukan tanpa sebab. Izin organisasi tidak diperpanjang oleh Kementerian Dalam Negeri dengan alasan doktrin mereka. Ya tuduhan atas Gafatar – penyebutan yang digunakan sebelum mereka membubarkan diri pada Agustus 2015 – melakukan separatis dan akan mendirikan negara agama selalu dijadikan wacana tunggal. Bahkan kepindahan anggota ex-Gafatar ke Kalimantan tidak terkonfirmasi dengan baik sehingga pemberitaan yang muncul bahwa sebagian dari mereka diculik. Seperti kasus dokter Rica Tri Handayani di Jogja. Hamir semua media memberitakan bahwa dokter itu diculik. Sementara kita tahu bahwa dokter itu diajak dan diapun merupakan anggota Gafatar.

Adam berceletuk dengan nada candaan, “ada om saya juga tidak menerima (maksudnya ikut ke Kalimantan) dan menganggap kami di culik.”

Satu orang menimpali, “kenapa harus Kalimantan?” – sementara di sana kita tahu tanah bergambut, yang ada hanya tambang dan sawit.

“Di tempat yang lebih sulit, orang lebih struggle”, jawab Adam yakin.

Ada beberapa hal yang mengemuka dalam melihat permasalahan ex-Gafatar. Persekusi terus terjadi karena narasi datang dari satu sumber. Banyak yang belum terkonfrmasi namun sudah mengambil kesimpulan terhadap ex-Gafatar. Dengan cepat-cepat merasa bahwa permasalahan ex-Gafatar adalah masalah hukum dan tentunya mereka telah melanggar hukum tanpa mau tahu ada atau tidaknya hukum yang dilanggar.

Sementara permasalahan ex-Gafatar ini sebaiknya dilihat dari perspektif korban. Karena realitanya ada orang yang dilanggar haknya. Bertani diintimidasi, jalan sana-sini dituduh “sesat”. Ada pembatasan ruang. Laporan Human Rights Watch juga menunjukkan bahwa tahun 2015 enam anggota Gafatar dihukum tiga sampai empat tahun penjara di Banda Aceh.

Hingga akhirnya peristiwa di Januari 2016. Massa datang memasuki lahan, menolak kehadiran ex-Gafatar. Kejadian ini terjadi di Kabupaten Mampawah Kalimantan Barat. Alasannya anggota ex-Gafatar dinilai terlalu eksklusif, padahal mereka mempersilahkan masyarakat setempat mengambil air bersih dari hasil proyek peyaringannya. Mereka juga membeli tanah masyarakat di sana, bahkan ada yang dengan surat MoU.

Perkiraan Adam ada ratusan massa datang – perhitungannya mencapai 300-an orang –  sebagian membawa balok kayu. Berlari memasuki lahan, menginjak sayuran, memaki, dan memorak-porandakan rumah sampai membakarnya. Yang tersisa hanya bendera merah-putih yang tetap berkibar di halaman rumah. Terlihat juga beberapa polisi, berjejalan di kebun, melindas sayur yang segar berwarna hijau. Tak berusaha menenangkan amarah masyarakat.

Adam meyakini massa tersebut sengaja dimobilisasi untuk mengusir mereka.

Penyerangan terhadap anggota ex-Gafatar ini terjadi di dua titik di Kabupaten Mempawah. Andreas Harsono, peniliti Human Rights Watch yang hadir dalam diskusi pagi itu memotong sejenak cerita Adam untuk menjelaskan kondisi sosial-politik di wilayah itu. “Mempawah adalah basis Muhamadiyah. Mempawah juga salah satu titik yang paling banyak terjadi pembunuhan terhadap orang madura di tahun 1999. Waktu itu Mempawah ada di bawah Kabupaten Sambas, ” katanya.

Setelah penyerangan itu, anggota ex-Gafatar yang lainnya dijemput oleh aparat dengan bersenjata lengkap. Mereka dipaksa keluar dari Kalimantan dengan 9 pesawat komersil dan 4 kapal perang. Anggota ex-Gafatar di usir dari tanah garapan mereka.

Andreas Harsono menilai bahwa tindakan yang dilakukan oleh pemerintah tidak bisa disebut pemulangan tapi pengusiran paksa. Dan memang demikian. Laporannya menuliskan jika anggota ex-Gafatar yang terusir dari Kalimantan Barat dan Kalimantan Timur sebanyak 6.000 orang ditahan ke tempat penahanan tak resmi di Jakarta, Surabya, Yogyakarta, Bekasi, dan Boyolali .

“Ketika kami dihadapkan dengan pilihan pergi meninggalkan semua aset. Menurut kami itu aneh,” tukas adam.

Anggota ex-Gafatar mengalami nuansa yang problematis ketika harus berhadapan dengan kenyataan yang dialami. Kemungkinan akan dihina oleh keluarga dan lingkungan begitu menguat. Bahkan melintas pertanyaan apakah keluarga mau menerima mereka?

Sedangkan yang mereka lakukan selama ini untuk dua hal, yakni menjalani hidup dengan kesabaran dan mengejar amal soleh. Hanya itu. Meninggalkan semua yang dimiliki sebelumnya dan memilih bertani ke Kalimantan adalah cara bagi mereka untuk menguji kesabaran. Sementara itu kedatangan mereka ke tempat yang baru supaya lebih berguna dengan orang-orang yang ada di sana.

Untuk konsep toleransi sendiri, adalah bagian yang tak terpisahkan dari kesabaran dan mengejar amal soleh. Dari latar belakang sosial yang berbeda, kedua hal itu diharapkan masih tetap bekerja. Di Gafatar atau ex-Gafatar memang anggotanya ada yang beragama Kristen Protestan, Katolik, Islam, Penghayat, dan Yahudi. Dari situ mereka meyakini bahwa toleransi bukan sekadar menerima perbedaan tapi bagaimana membangun ikatan yang intim satu dengan yang lainnya.

“Kita (ex-Gafatar) bisa membuktikan keuniversalitasan agama itu sendiri,” aku Diaz.

Namun karena perbedaan itu sendiri yang menjadikan mereka dibenci oleh banyak pihak. Tuduhan bahwa mereka “sesat” karena Millah Abraham adalah ajaran yang menggabungkan antara Islam, Kristen, dan Yahudi. Juga dituduh membawa misi Negara Islam Indonesia (NII). Sampai akhirnya Februari 2016, keluar Fatwa MUI (Majelis Ulama Indonesia) yang menyatakan bahwa mereka adalah kelompok spiritual terlarang. Padahal mereka hanya mencoba mengelola kesabaran dan amal soleh untuk menjadi manusia paripurna.

“Kami cuma upgrade keyakinan kami dengan sikap egaliter,” ujar Adam kemudian.


Kredit foto: beritakaltara.com

Jejak Langkah Diaz

Diaz lebih banyak diam, sesekali menambahkan jawaban Adam dengan singkat. Sesaat matanya melirik ke atas seperti sedang memikirkan sesuatu. Atau mengumpulkan jawaban. Entahlah…

Dulunya Diaz adalah seorang pemuda yang meragu. Ragu terhadap agama-agama. Dia sendiri tumbuh dalam lingkungan Islam. Dari TK – SMA di Al-Azhar. Ungkapan bahwa hanya agamanya yang masuk surga adalah satu hal yang tidak bisa diterima oleh Diaz. Akhirnya ia memilih melakukan perjalanan spiritual. Tahun 1999 ia ke Bali, mengunjungi pura dan banyak bertanya soal ajaran yang di anut oleh orang-orang di sana. Dua tahun setelahnya, ia memperjauh jangkaunnya sampai ke Thailand. Mengunjungi kuil-kuil.

Baginya semuanya sama, hanya masing-masing punya ritus berbeda. “Saya masuk ke yang lain ohh sama juga cuma dalam bahasa yang berbeda. Dagangannya surga dan neraka,” kata Diaz.

Tahun 2013 menjadi titik balik dalam kehidupan Diaz. Di tahun itu ia bergabung dengan Millah Abaraham, juga menikahi anak Ahmad Mushaddeq – penggerak ajaran Millah Abraham-cum guru spiritual bagi anggota Gafatar.

Beberapa hari setelah pertemuan di kantor YLBHI, saya menghubungi Diaz melalui email. Penasaran bagaimana tanggapan Mushaddeq soal tato yang ada di tangan dan lehernya.

“Pak Mushaddeq tidak menganjurkan tato karena sebenarnya prosesnya merusak tubuh, sesuatu yang tidak perlu dilakukan dan tak bernilai apa-apa,” tulis Diaz. Tubuh manusia baginya merupakan titipan sementara agar dapat menjadi makhluk utuh yang bisa menjaga alam.

Diaz mengakui bahwa bertemu dengan Millah Abraham membuka cakrawala berpikirnya: bersikap toleran dan menjadi naturalis.

2015 Ia ikut hijrah ke Kalimantan dengan modal tabungan dan menjual vespanya. Dari uang yang dimiliki, ia menyewa rumah dua tingkat selama dua tahun. Namun tak cukup dua tahun ia diusir dari Kalimantan.

Kini Diaz sedang menyibukkan dirinya dengan Proudction House (PH) yang dimiliki. Temata namanya, sebuah akronim dari Telinga Mata Nusantara. Bersama Temata, Diaz berkreasi demi upaya memperkenalkan Indonesia dari berbagai perspektif. Mungkin masih ingat video Presiden Joko Widodo saat pembukaan Asian Games yang melakukan aksi freestyle dengan motor gede? Nah, itu Temata yang memimpin produksinya. PH Diaz ini  berada di kawasan Fatmawati, di wilayah selatan kota Jakarta.

Terlibat dalam tim produksi video atapun film bukan sesuatu yang baru bagi Diaz. Sebelum bergabung dengan Gafatar, dirinya sudah bekerja di PH bidang iklan, korporasi dan dokumenter. Di Flex Films Asia.

Diaz termasuk orang yang memiliki selera musik cukup unik. Meyukai Grunge, Psikedelis, Progressive Rock, juga Hip-Hop. Bahkan band favoritnya tergolong tidak maisntream. Beberapa nama yang ia sebutkan ketika saya tanyai ialah Nine Inch Nails, Pink Floyd, Velvet Underground, Soulwax, dan Massive Attack. Tiga nama band yang disebutkan lebih awal juga biasa saya dengarkan.

Pernah ia terlibat dalam pembuatan film drama komedi Make Money, sebagai Music Producer. Film yang disutradarai oleh Sean Monteiro – waktu itu Sean menempuh pendidikan Performing Arts di Monash University dan Make Money adalah film panjang pertamanya. Film ini rilis 14 November 2013, dibintangi oleh Pandji Pragiwaksono, Ray Sahetapy, Ence Bagus, juga Tara Basro.

“Hidup saya memang dikelilingi oleh dunia film dan musik,” jawab Diaz melalui email.


Arus Balik Adam

Di ruang PK Ojong di kantor YLBHI, Adam begitu bersemangat menceritakan kisahnya. “Nah itu nanti, mungkin kita selesaikan ceritanya dulu,” kata Adam ketika orang di sebelah saya bertanya. Memang Adam kelihatan percaya diri menceritakan segala sesuatunya.

Adam muda adalah seorang pecandu narkoba. Keluar masuk tempat rehabilitasi sampai dibawa ke pesantren oleh keluarga. Dan akhirnya ia masuk penjara. Di sanalah menjadi titik awal bagi Adam dalam menekuni ajaran agama.

Dia bertemu dengan kelompok Milata Ibrahim – kelompok yang terindikasi sebagai teroris, anggotanya ditahan karena kasus pemboman. Dari cerita Adam, kelompok ini sangat khusuk dalam beribadah. Sehingga itulah yang membuat dia bergabung. Tapi Adam tak dijadikan “penganten” – sebutan untuk pengebom. Dia dijadikan sebagai komunikator Milata Ibrahim.

Di Milata Ibrahim, Adam memiliki guru spiritual, dipanggil Abu Mushaf, nama sebenarnya Agus – sekarang Agus ditahan di Rutan Cipinang dengan kasus terorisme.

Fase kedua yang menjadi titik balik bagi Adam sekaligus keluar dari Milata Ibrahim saat ibunya meninggal. Itu terjadi di tahun 2009. Di pemakaman ibunya di Aceh, Adam bertemu dengan kakak iparnya. Mereka berdebat soal teologi. Adam kalah. Dia kemudian mendalami ajaran kakak iparnya sehingga bertemu dengan Millah Abraham. Di tahun yang sama ia bergabung dengan Millah Abraham.

“Sampai detik ini saya tidak pernah mencopot keislaman saya. Saya tidak pernah convert menjadi Millah Abraham karena Millah Abraham menjadikan saya umat muslim yang memahami keislaman saya,” ungkap Adam.

Adam termasuk salah seorang yang ikut mengembangkan komunitas Millah Abraham yang kemudian menamai dirnya Gerakan Fajar Nusantara atau Gafatar, lalu berganti lagi menjadi ex-Gafatar setelah pembubarannya pada Agustus 2015. Tapi perjalanannya tidak mulus, Gafatar mendapat penolakan dari masyarakat kebanyakan. Pernah ketika menggalang aksi donor darah di Bali mereka mendapat penolakan. Mereka mendatangi tiga rumah sakit di satu Kabupaten di Bali dan di tolak. Kata Adam penolakan itu berdasarkan instruksi dari Bupati. Cuma satu rumah sakit di Provinsi yang menerima aksi donor darah mereka.

Puncak dari intimidasi yang diperlakukan kepada anggota ex-Gafatar saat terjadi pengusiran paksa di Kalimantan. Ribuan anggotanya dipaksa meninggalkan wilayah pertanian mereka. kebetulan Adam saat itu berada di Jakarta.

Adam mencoba melihat peristiwa ini dari sudut pandang berbeda. “Pengusiran ini sesuatu yang baik buat kita… kita susah cari sabar, kita dapat ujian ini kalo dapat koin bisa seabrek,” candanya.

Memilih untuk bergabung dengan Millah Abraham merupakan arus balik yang paling menentukan dalam kehidupan Adam. “Millah Abaraham yang membuat saya sembuh dari radikalisme,” kata Adam.

Dalam hitungan saya, Ia menyebut kata itu dua kali di Ruang PK Ojong.***


Arief Bobhil, peserta kursus jurnalisme Yayasan Pantau. Menggemari musik dan sastra, meraba-raba sosial dan politik.

]]>
Gentrifikasi dan Pertarungan Melawan Perampasan Ruang Hidup Perkotaan https://indoprogress.com/2019/07/gentrifikasi-dan-pertarungan-melawan-perampasan-ruang-hidup-perkotaan/ Thu, 04 Jul 2019 23:41:07 +0000 https://indoprogress.com/?p=21144

Ilustrasi oleh Deadnauval


“AKU ingin pindah ke Meikarta!” Sekitar dua tahun lalu, khalayak ramai seperti mendapat teror dari suara anak perempuan kecil yang melafalkan kalimat itu dalam sebuah iklan. Secara dramatis, iklan itu menggambarkan persoalan kebobrokan ekosistem megapolitan Jakarta yang berbahaya untuk ditinggali manusia. Sebagai jalan keluarnya, iklan itu menawarkan sebuah kawasan permukiman baru yang penuh dengan segala kecanggihan modernitasnya, bernama Meikarta.

Ini tidak lain ialah iklan megaproyek hunian baru berskala super besar di daerah Bekasi yang dikerjakan raksasa kapitalis properti Indonesia: Grup Lippo. Dikembangkan di atas lahan seluas 500-an hektare, dengan estimasi investasi mencapai 20 miliar dolar AS atau Rp278 trilliun, Meikarta diyakini akan menjadi kota terpenting untuk menopang kebobrokan Jakarta. Meikarta membidik para pekerja kerah putih yang masih belum memiliki hunian di Jakarta. Iklan itu terbukti ampuh menciptakan antusiasme terhadap Meikarta. Di hari pertama penjualan, sekitar 16.800 unit telah ludes dipesan, sampai-sampai diganjar rekor MURI sebagai penjualan unit apartemen terbanyak dalam satu hari. Sayangnya, megaproyek itu kini mangkrak terjerat masalah ijin, yang berujung pada kasus korupsi (Tirto.id).

Tren lahirnya kawasan hunian baru dalam branding kota modern seperti Meikarta, juga terjadi di kota-kota seluruh dunia. Abu Dhabi, Rio De Janiero, Cairo, Seoul, Karachi, Buenos Aires, Istanbul, Damacuss atau yang paling terkenal, sebut saja di Shenzen, China, semua mengalami fenomena serupa belakangan ini. Bahkan, di kota negara berkembang Afrika Selatan seperti Cape Town pun, juga mengalami fenomena yang sama (Lees, Slater, & Wyly, 2008). Orang-orang menyebutnya: GENTRIFIKASI! Sebagai konsep yang terus berkembang dan diperdebatkan hingga sekarang, gentrifikasi memiliki aneka macam pengertian. Namun tenang saja, ahli perkotaan kontemporer yang bergelut dengan tema ini telah berbaik hati menyediakan penjelasan yang paling fleksibel dan sederhana. Gampangnya, gentrfikasi itu mengacu pada proses transformasi dari kawasan dengan kondisi fisik buruk (baca: kumuh) atau juga lahan bisa kosong di perkotaan, menjadi aneka macam properti mewah yang hanya dapat dinikmati pekerja kerah putih (atau “kelas menengah”) atau properti lain untuk fungsi komersil (Lees et al., 2008).

Tidak perlu pendidikan khusus untuk dapat merasakan tanda-tanda kemunculan gentrifikasi. Ketika dalam kurun waktu yang singkat, properti hunian mewah untuk pekerja kerah putih seperti, apartemen, condotel, real estate, atau properti lainya seperti mall, hotel dan pusat pertokoan muncul secara pesat di perkotaan, dapat dipastikan gentrifikasi melanda wilayah itu. Sayangnya, istilah yang berasal dari bahasa Inggris ini, masih belum masuk dalam bahasa sehari-hari masyarakat di banyak negara berkembang. Oleh karenanya, mereka yang di lingkunganya mengalami gentrifikasi, seringkali hanya memandangnya sebagai pembangunan kota biasa saja (Lees, 2014). Padahal gentrifikasi bukanlah sesederhana pembangunan kota seperti yang dibayangkan.

Ibarat malapetaka, hadirnya gentrifikasi seolah selalu diikuti munculnya konflik sosial. Gentrifikasi terlihat menjadi proses mengerikan karena ditolak masyarakat, khususnya kelas pekerja, dan lebih spesifik yakni pekerja kerah biru. Penolakan gentrifikasi oleh pekerja kerah biru bahkan marak berlangsung di negara maju. Lewat aksi massa turun ke jalan menyuarakan protes, membuat vandal di properti-properti gentrifikasi, hingga bentrok dengan aparat, semua dijalani demi satu tujuan: melawan kehadiran gentrifikasi. Kejatuhan korban jiwa ketika bentrok tidak lagi dapat dihindari, sudah menjadi ongkos yang diketahui para demonstran. Barangkali melawan gentrifikasi, sama halnya dianggap jihad bagi mereka. Di hari sakral kelas pekerja seluruh dunia–may day, gentrifikasi lolos sebagai agenda utama yang disepakati untuk dilawan bersama. Saking pentingnya, gentrifikasi di negara maju sudah setara dengan isu upah, pendidikan, kesehatan dan pangan. Lalu mengapa gentrifikasi begitu mengusik kehidupan pekerja kerah biru ?


Persepektif Arus Utama Gentrifikasi dan Keterbatasanya

Mesikpun terdapat definisi yang luas cakupannya, setiap kalangan masih saja memaknai gentrifiaksi secara berbeda-beda. Arus utama, lebih melihat gentrifikasi sebagai sebuah fenomena pembaharuan kualitas fisik perkotaan. Rujukannya berawal dari kecenderungan penggantian istilah gentrifikasi dalam berbagai kebijakan perkotaan di Eropa, menjadi Urban Development, atau Urban Renewal. Munculnya perubahan dipicu oleh stigma istilah gentrifikasi pada tahun 80an yang mengganggapnya sebagai gambaran proses buruk: “bad words”. Kita akan mendiskusikan sifat buruknya nanti. Guna meminimalisir stigma di masyarakat, maka istilah-istilah “pembangunan” dipilih untuk menggantikannya. Istilah seperti itu diharap akan lebih mewakili efek peningkatan kualitas fisik lingkungan perkotaan yang muncul dari gentrifikasi. Hasilnya cukup memuaskan, sebagian besar kamus dan pengertian umum menjelaskan gentifikasi memang sebagai pembaharuan ruang fisik kota. Makna baru gentrifikasi lebih membuatnya terkenal sebagai simbol proses kemajuan kota (N. Smith, 2007).

Implikasi kemunculan makna baru gentrifikasi dalam bidang akademik cukup besar. Para peneliti arus utama, seringkali memaknai gentrfikasi dengan cara ini. Riset-riset yang dihasilkan tidak lagi bersifat mengkritisi, sebaliknya malah menyediakan pembenaran tentang peremajaan kota yang dihasilkan gentrifikasi. Lantaran dipandang positif, riset dengan sudut pandang ini semakin banyak jumlahnya dan mendominasi dunia akademis gentrifikasi sebagai pandangan arus utama (Slater, 2006). Proses melenggangnya pandangan arusutama, juga besar dipengaruhi oleh tren absenya pandangan kritis dalam studi gentrifikasi.

Bagi ilmuwan arus utama, kemunculan gentrifikasi dianggap lahir dari preferensi (selera konsumsi) pekerja kerah putih untuk memilih hunian. Selera konsumsi individu dianggap secara efektif menaikkan permintaan barang. Dalam kasus ini barang yang mereka minta ialah hunian modern, hasil renovasi bekas hunian pekerja kerah biru di perkotaan. Tingginya minat hunian seperti ini, sebab: harganya lebih murah jika dibanding membangun hunian baru, letaknya strategis di tengah kota dekat fasilitas hiburan, dan akhirnya dapat menghemat biaya transportasi dari tempat asal. Karena pekerja kerah putih pemicu gentrifikasi ini berasal dari keturunan kelas yang sama dengan yang sebelumnya memilih pergi dan tinggal kawasan sub-urban, maka gentrifikasi kadang disebut juga “gerakan kembalinya pekerja kerah putih dari kawasan sub-urban”. (N. Smith, 1979).

Dimaknai sebagai pembaharuan kota, membuat dampak gentrifikasi begitu ditunggu-tunggu kehadirannya oleh pemerintah kota. Arus utama menganggap gentrifikasi akan menciptakan kawasan lingkungan modern perkotaan. Bersamanya, kawasan kumuh akan hilang digantikan permukiman modern kerah putih, atau pusat komersil. Properti semacam ini, diyakini memicu dibangunnya berbagai fasilitas perkotaan: bioskop, supermarket, toko modern, restoran, hingga sekolah swasta (Atkinson, 2004). Inilah yang menyilapkan pandangan umum, dan melahirkan mitos bahwa gentrifikasi akan membawa pembaruan dan mengantarkan menuju kota impian.

Pemerintah kota, khususnya di negara berkembang memang sangat membenci keberadaan kawasan kumuh. Pemerintah seringkali bersungut-sungut menganggap jika kawasan kumuh beserta penghuninya ialah masalah yang lebih besar, dibanding masalah terbesar perkotaan: banjir (Voorst, 2018). Mengacu padat target-target “Sustainable Development Goals (SDGs)”, kawasan kumuh ditetapkan sebagai masalah yang harus ditangani pemerintah kota “entah bagaimanapun caranya”. Menyelesaikan masalah kekumuhan, merupakan hal yang rumit dan begitu melelahkan bagi mereka. Kehadiran gentrifikasi tentu menjadi berkah luar biasa bagi pemerintah kota. Gentrifikasi dapat menggantikan peran pemerintah untuk membereskan masalah kekumuhan secara “cuma-cuma”, sehingga pemerintah tidak perlu menyediakan alokasi anggaran besar untuk progam-program penataan kawasan kumuh. Sayangnya, tuntutan target “SDGs” membuat pemerintah lupa bila wilayah kumuh merupakan satu-satunya tempat yang menyediakan hunian terjangkau bagi masyarakat miskin perkotaan dengan pekerjaan rentannya: pengamen, penjual gorengan, buruh serabutan di pasar, buruh cuci, atau cleaning service. Lagi-lagi mereka juga lupa bahwa penyediaan hunian terjangkau bagi masyarakat miskin, tidak lain adalah tanggungjawab pemerintah (Kusno, 2012).

Bagi mereka yang tinggal di kawasan kumuh, gentrifikasi-pun dianggap akan mendatangkan banyak manfaat positif. Anggapan ini sekaligus untuk menampik tudingan jika gentrifikasi hanya menguntungkan pekerja kerah putih saja. Tidak tanggung-tanggung, gentrifikasi diyakini akan memberi manfaat dari aspek ekonomi, politik, hingga sosial (Byrne, 2003). Secara ekonomi, gentrifikasi diyakini akan menciptakan lapangan pekerjaan ketika pekerja kerah putih dengan gaya hidup sibuknya membutuhkan bantuan “jasa” domestik. Nah pekerja kerah biru-lah dianggap sebagai pihak yang tepat menempati lowongan ini: mereka dapat bekerja sebagai pekerja rumah tangga, buruh cuci, penjual makanan, tukang kebun, pelayan toko atau restoran yang nantinya juga akan muncul. Tetapi apakah pekerjaan ini, sudah pantas dengan resiko hilangnya hunian murah mereka? Tentu sangat meragukan. Naifnya lagi, gentrifikasi dinilai akan meningkatkan kualitas demokrasi ketika pekerja kerah biru dan pekerja kerah putih dapat duduk bersama dalam komunitas barunya, untuk menyelesaikan kepentingan-kepentingan mereka. Tapi, bukankah relasi di antara keduanya tidak seimbang, sehingga yang lebih logis terjadi hanyalah pemaksaan kepentingan pekerja kerah putih. Status ekonomi masih berpengaruh besar membentuk stratifikasi sosial. Lalu secara sosial, akan tercipta kemajemukan dalam masyarakat bila terjadi percampuran dua lapisan ini, sehingga ancaman marginalisasi kelas sosial tertentu dapat terhindar. Benarkah semikian? Praktiknya, gentrifikasi yang terus berjalan tetap akan membuat pekerja kerah biru terpaksa pindah, dan ujung-ujungnya lingkungan juga menjadi ekskluif.

Layakanya panacea, gentriikasi bahkan dianggap ampuh menyelesaikan problematika kemiskinan perkotaan. Konon katanya, proses ini akan menciptakan “social mix”-percampuran penduduk antara pekerja kerah putih dengan pekerja kerah biru- , yang sungguh mempan memecah konsentrasi kemiskinan di sebuah wilayah. Logikanya memang masuk akal: gentrifikasi akan “membawa” pekerja kerah putih untuk ikut tinggal di tengah-tengah permukiman kerah biru, dan membawa berbagai efek yang sebelumnya dibahas, sehingga pekerja kerah biru meningkat perekonomiannya. “Social mix” juga menjadi trik yang dapat mengeluarkan kawasan tersebut dari kawasan miskin. Tentu sebuah prestasi menganggumkan bagi pemerintah yang dapat menyelesaikan masalah kemiskinan, meskipun dengan trik ngawur seperti itu. Logika “social mix” yang berjalan searah cukup menggelitik. Mengapa “social mix” justru tidak berjalan sebaliknya: membawa pekerja kerah biru untuk tinggal bersama dengan pekerja kerah putih di kawasan eksklusifnya (Slater, 2006). Sebenarnya mudah saja diketahui bahwa “social mix” tidak lebih dari akal-akalan untuk menyediakan legitimasi moral dan memperoleh dukungan bagi kedatangan gentrifikasi. Lebih lagi keberadaan bukti konkrit dampak positif gentrifikasi, sukar ditemukan dalam berbagai riset. Jauh dari impian manfaat positif, seperti yang sejak awal dicurigai gentrifikasi secara empiris malah membawa masalah sangat serius bagi pekerja kerah biru: displacement (Atkinson, 2004). Masalah serius ini, akan dibahas secara kusus nanti.


Pandangan Marxis menyoal Gentrifikasi

Pandangan arus utama yang memaknai gentrifikasi sebagai kemajuan kota, telah menutupi proses kelam kekerasan sosial yang terjadi di baliknya. Secara historis, gentrifikasi berasal dari fenomena permukiman di daerah perkotaan London, paska Perang Dunia ke II (Lees et al., 2008). Ketika perekonomian kota mulai bangkit, terjadi fenomena unik dan baru di permukiman distrik Islington, London. Fenomenanya berupa suksesi permukiman pekerja kerah biru dan tidak terampil (unskilled worker), oleh pekerja kerah putih yang mulai banyak datang untuk bekerja di kota.

Dari segi etimologis gentrifikasi berasal dari kata “gentry”: sebutan kelas sosial yang memiliki posisi “berbeda” dalam stratifikasi aktor pertanian pedesaan Inggris abad 18. Meskipun punya tanah dalam jumlah yang cukup, tapi kaum gentry tidak memperoleh kedudukan sejajar sebagai tuan tanah karena tidak punya gelar bangsawan. Tetapi mereka juga enggan disamakan sebagai kelas pekerja pertanian, karena merasa memiliki posisi sosial terpandang dengan kesejahteraan ekonomi yang cukup. Kelas ini biasanya diisi oleh mereka memiliki profesi cukup berpengaruh sepertihalnya, pemuka agama atau aristokrat pegawai kerajaan. Eksistensi mereka di masyarakat cukup mencolok, karena gaya hidupnya yang cenderung berkelas walaupun bukan golongan bangsawan. Di era kapitalisme industri, kelas ini diisi oleh pekerja kerah putih yang biasa bekerja di sektor jasa keuangan. Sampai sekarang semakin banyak profesi masuk dalam kategori ini, seperti akademisi, manajer perusahaan, pegawai negeri, pegawai bank dll. Tren sekarang -yang didominasi pandangan kelas ala Weber- secara gampangnya menyebut mereka sebagai “kelas menengah”. Lantaran banyaknya masalah konseptual dari istilah “kelas menengah”  (Gubbay, 1997), kiranya lebih baik membuang jauh-jauh istilah ini, dan menggantikan dengan pekerja kerah putih saja.

Istilah gentry dipinjam untuk menunjukan bahwa datangnya orang-orang dari golongan inilah, yang menggantikan keberadaan pekerja kerah biru (Lees et al., 2008). Di perkotaan negara maju jumlah mereka membengkak signifikan bersama dengan proses deindustrialisasi. Penutupan pabrik-pabrik selama deindustrialisasi, membuat jasa keuangan lahir sebagai sektor unggulan di perkotaan yang menggantikan industri. Kebutuhan pekerja kerah putih akhirnya meningkat, dan menarik kalangan terdidik yang awalnya tinggal di daerah sub-urban untuk bekerja di kota. Namun dengan kondisi lahan kota yang sudah penuh sesak, lalu dimana mereka akan tinggal ?

“Bekas” permukiman pekerja kerah biru, muncul sebagai jawaban pertanyaan itu. Deindustrialisasi juga berarti hilangnya pekerjaan kerah biru, pasalnya mayoritas dari mereka ialah pekerja manual di pabrik. Hilangnya pekerjaan yang berkolaborasi dengan meningkatnya sewa hunian secara “tiba-tiba”, tak ayal membuat mereka terpaksa meninggalkan huniannya. Bekas permukiman ini lalu direnovasi sesuai gaya hidup pekerja kerah putih yang modern, agar mereka tertarik untuk ganti menyewanya. Kebanyakan dari mereka ialah keluarga-keluarga muda, dengan satu sampai dua anak.

Suksesi kelas, menjadi makna yang lebih ditekankan dari proses gentrifikasi dari sudut pandang ini. Inilah yang kemudian menjadi makna kritis gentrifiaksi, serta dikategori sebagai “bad words”. Lantaran dapat mengekspos suksesi, analisis kelas dianggap sebagai tulang punggung yang menjaga makna kritis dari gentrifikasi (Slater, 2006). Memang gentrifikasi akan membawa perubahan kualitas fisik lingkungan perkotaan, namun hunian pekerja kerah biru perlu dikorbankan lebih dulu untuk menciptakannya. Tanpa analisis kelas, suksesi dalam gentrifikasi tidak dapat dilihat, sehingga yang muncul hanyalah sebatas proses pembaharuan ruang.

Berbicara mengenai penyebab gentrifikasi, asumsi arus utama tentang selera individu tidak terbukti secara empiris. Kurang memadai kiranya menjelaskan sebuah proses kompleks, hanya dengan dasar asumsi rasionalitas individu seperti selera konsumsi. Buktinya, di Philadelphia, kota di Amerika Utara yang mengalami gentrifikasi pada awal kemunculannya, tidak terbukti banyak pekerja kerah putih yang kembali dari sub-urban. Data empiris malah menunjukan, lebih banyak pekerja kerah putih dari kota lain yang menempati hunian gentrifikasi dibanding mereka yang dari sub-urban. Tindakan satu pihak saja masih belum kuat memberikan efek signifikan untuk membentuk kerja pasar perumahan. Pandangan itu sejak awal memang naif, pasalnya mengabaikan pihak-pihak lain dalam pasar properti yang berperan memproduksi komoditas: pengembang, tuan tanah, pemberi pinjaman, broker real estate, hingga pemerintah. Ketimbang selera pihak konsumen, sesungguhnya merekalah yang lebih besar perannya (N. Smith, 1979).

Dalam perspektif ini, kemunculan gentrifikasi tidak bisa dilihat semata sebagai respon bisnis terhadap perubahan selera konsumen. Pandangan arus utama keliru ketika mengandaikan selera konsumsi pembeli semata-mata turun dari langit begitu saja. Konsumsi tidak bisa dilepaskan dari sisi produksi. Orang kadang menganggap alasan-alasan, dekat dengan kota atau murahnya harga rumah gentrifikasi memengaruhi selera pekerja kerah putih untuk menentukan pilihan hunian. Padahal, terdapat faktor lain yang sebenarnya memiliki peran lebih besar ketimbang keduanya yakni: iklan. Iklan merupakan cara paling efektif untuk membentuk selera konsumen (N. Smith, 1979). Tentunya sudah tidak asing melihat berbagai iklan produk yang begitu menghipnotis pilihan, entah karena artis yang membintangi iklanya, slogan iklan, atau standar-standar yang dibuat iklan. Cantik itu kulit putih mulus seperti artis Korea, maka belilah krim pemutih asli Korea! Hal ini pun juga berlaku di hunian gentirikasi. Hunian bagi pekerja kerah putih dikonstruksikan memiliki gaya modern, dekat dengan pusat kota, dan dipenuhi segudang fasilitas canggih: makanya…Ayo pindah ke Meikarta! Sebenarnya, selera individu ialah hal yang dapat dikonstruksikan melalui iklan, sementara produknya telah diproduksi.

Produksi properti memang lebih memadai dan masuk akal bila berperan besar menyebabkan gentrifikasi dibanding konsumsi. Terlebih, produksi properti dimotori oleh kebutuhan mengeruk keuntungan. Keuntungan luar biasa diperoleh dari kesenjangan sewa yang tercipta di permukiman kumuh milik pekerja kerah biru selama gentrifikasi. Teori keberadaan kesenjangan sewa di permukiman kumuh, digunakan Geografer Marxis untuk membantah asumsi arus utama tadi (N. Smith, 1979). Permukiman kumuh yang telah berumur dan kualitas fisiknya menurun, mengalami penurunan nilai hunian atau depresiasi. Selama depresiasi, harga sewa lahan yang dapat dikapitalisasikan (dikeruk seketika itu juga) hanya sedikit dan terus mengalami penurunan: dapat diketahui dari harga sewa aktual hunian.  Sementara itu, tingkat sewa lahan potensial yang letaknya berada di kawasan perkotaan terus meningkat, akibat laju pembangunan fasilitas kota dan spekulasi broker properti. Akhirnya terciptalah sebuah “kesenjangan”: antara sewa lahan yang dapat dikapitalisasi dengan sewa lahan potensial. Kesenjangan sewa bagi aktor produksi perumahan memiliki arti sebagai kemunculan ceruk keuntungan yang memanggil-manggil untuk dieksploitasi. Satu-satunya jalan untuk mengeksploitasi ceruk ini, ialah mengganti properti lapuk sebelumnya, dengan properti baru bercirikan “higest and best use” (Slater, 2017). Properti inilah yang lalu dijual menjadi produk akhir dari proses gentrifikasi.

“Higest and best use” sebenarnya merujuk pada kegemaran para ekonom neoklasik, untuk mem-bahasa ilmiah-kan produk properti paling menguntungkan bagi investasi. Perbedaan karakteristik ekonomi suatu wilayah, menentukan jenis properti yang paling menguntungkan. Karena tujuannya membuat properti “highest and best use”, gentrifikasi hari ini memiliki produk yang beraneka ragam, tidak selalu persis seperti yang sebelumnya. Struktur ekonomi kota negara maju bergesar dari industri menuju sektor jasa hingga tahun 1960an diikuti melubernya jumlah pekerja kerah putih. Kondisi ini lalu membuat permukiman pekerja kerah putih menjadi paling menguntungkan –“higest and best use”, lantaran banyaknya target konsumen. Di perkotaan Inggris yang banyak Universitas terkemuka, produk gentrifikasi banyak berupa hunian untuk mahasiswa: flat atau apartemen mahasiswa (D. P. Smith, 2007). Produk gentrifikasi bahkan juga dapat berwujud pertokoan modern seperti yang terjadi di Chile (Schlack & Turnbull, 2018). Tren yang paling jamak sekarang, ialah munculnya gentrifikasi di kawasan wisata. Properti akomodasi -hotel, villa, resort, restoran, atau pusat hiburan- yang terus bermunculan pada akhirnya menciptakan enclave mewah di banyak kota wisata (Gotham, 2005).

Selain dari kesenjangan sewa, keuntungan lain gentrifikasi berkaitan dengan peran properti dalam sirkulasi kapital. Di dalamnya, properti memiliki peranan sebagai penyerap investasi dari sirkuit primer (industri manufaktur). Ketika terjadi overakumulasi dan pertumbuhan ekonomi di sektor industri terhambat, surplus modal perlu dialihkan ke tempat paling aman, tetapi juga terus dapat mengakumulasi kapital. Pembangunan properti menjadi jawaban terbaik. Investasi dalam kapital tetap seperti lahan dan properti, memiliki ancaman resiko yang lebih minim jika dibandingkan yang primer. Kapitalis tidak perlu aktif melakukan produksi untuk meningkatkan akumulasi, karena sifat nilai lahan yang walaupun dibiarkan tetap akan meningkat. Geografer Marxis lainya, menyebutnya sebagai spasial temporal fix (Harvey, 2003b). (Batas editing)

Peluang kesenjangan sewa dan alternatif pengaman kapital, dimanfaatkan aktor-aktor yang bekerja kolektif memproduksi gentrifikasi. Sebagai lakon utamanya, pengembang memperoleh bermacam-macam dukungan dari rekan lainnya, yang juga mendapatkan keuntungan dari kerjasama. Pengembang memulai produksinya ketika kesenjangan sewa menganga lebar, sehingga dapat membeli hunian bekas pekerja kerah biru dengan harga murah, membayar ongkos pembangunan, dapat mengangsur pinjaman dari bank, namun tetap dapat menjual produknya dengan keuntungan yang tinggi (N. Smith, 1979). Mereka tidak perlu khawatir soal modal pinjaman, intsitusi finansial (bank) siap sedia menyediakan bunga lunak kepada para pengembang properti. Keuntungan pengembang semakin bertambah, ketika ongkos konstruksi menjadi begitu murah akibat minimnya upah buruh konstruksi (Curran, 2004). Relasi informal menjadi rahasia murahnya upah di sektor konstruksi. Ironisnya, terkadang mereka berasal dari pekerja kerah biru yang hunianya raib akibat gentrifikasi. Celakanya, pemerintah turut serta menjadi pelayan pengembang menjalankan agenda akumulasinya. Tingkah aktor yang belakangan ini, perlu dipahami secara khusus nanti.

Sepenuhnya hanya menyalahkan selera konsumsi pekerja kerah putih bisa jadi keliru. Mereka hanya sekadar konsumen produk, yang “kebetulan” memiliki tingkat kesejahteraan lebih dibanding pekerja kerah biru. Melawan selera konsumsi individu dalam memilih lokasi seperti di banyak gerakan penolakan terhadap pekerja kerah putih, bisa jadi termasuk tindakan konyol. Selera konsumsi merupakan hak pribadi yang secara tidak sadar dikonstruksi oleh produsen komoditas. Oleh karenanya, Geografer Marxis generasi muda bersusah payah kembali membedah teori kesenjangan sewa, untuk mengetahui musuh asli yang harus dilawan dalam gentrifikasi (Slater, 2017). Mendapat kesimpulan sama seperti yang dalam bahasan sebelumnya, kolaborasi antar aktor produksilah yang memang paling bertanggungjawab terhadap kedatangan gentrifikasi. Relasi sosial saling menguntungkan di antara mereka, digunakan untuk memanfaatkan kesenjangan sewa yang tengah menganga lebar.

Jauh dari yang digembar-gemborkan arus utama, dampak yang paling nyata dari gentrifikasi bukan sekadar pembaharuan ruang, tetapi kekerasan sosial berbasis kelas bernama displacement. Jika diterjemahkan dalam istilah Indonesia, displacement (meskipun sedikit berbeda) dapat disamakan dengan pengusiran. Bedanya, displacement hanya terjadi jika perpindahan terpaksa yang dialami oleh pekerja kerah biru erat berhubungan dengan kemunculan gentrifikasi di arealnya (Slater, 2009). Hunian yang sebelumnya mereka tinggali akan dijual dan berubah fungsi maupun harga sewa akibat gentrifikasi. Hampir seluruh proses displacement selalu mengenai pekerja kerah biru, yang karena keterbatasan ekonominya memaksa mereka mencari hunian ter-murah di kota.

Di perkotaan negara maju, mereka tinggal di hunian formal berwujud flat reot atau apartemen lapuk di inner cities (kawasan di pusat kota di negara maju yang dihuni masyarakat minoritas dengan pendapatan rendah). Sedang di negara berkembang, mereka menghuni hunian informal gubuk-gubuk kayu kumuh, yang berdiri secara ilegal di atas tanah milik orang lain (atas seijinnya ataupun tidak), negara, atau juga bantaran kali (Ascensão, 2015). Ketika gelompang gentrifikasi muncul, pemilik lahan tentu lebih memilih menjual lahannya demi memperoleh keuntungan besar ketimbang hanya menyewakannya dengan murah kepada pekerja kerah biru. Cara pengusiranya beragam, yang paling sering dengan meningkatkan harga sewa secara mendadak, dan atau yang ekstrim langsung memaksa mereka pergi (Marcuse, 1985).

Kendati seolah-olah terbiasa dengan usiran, beraneka masalah tetap saja tidak dapat dihindari korban displacement. Contoh paling sepele, mereka akan kehilangan banyak rutinitas sehari-hari, rasa keamanan, dan ikatan sosial yang kadung terbentuk (Helbrecht, 2018). Di negara berkembang yang kental budaya kebersamaannya, ikatan sosial antara pekerja kerah biru dalam sebuah komunitas permukiman memiliki arti penting layaknya keluarga inti: penyelamat ketika ada masalah. Masalah lain dan yang paling menggangu, ialah meningkatnya pengeluaran untuk menyewa hunian (Atkinson, Wulff, Reynolds, & Spinney, 2011). Hunian murah menjadi barang langka yang sukar ditemukan, karena telah berubah menjadi hunian mahal untuk pekerja kerah putih. Hunian di pinggiran kota yang harganya lebih murah, menjadi alternatif rasional bagi mereka. Bukanya tanpa masalah, hunian pinggiran kota memaksa mereka untuk mengencangkan ikat pinggang lebih erat. Pasalnya, dengan jarak yang jauh biaya transportasi ke tempat kerja akan meningkat. Beruntung jika mereka memiliki kerabat yang dapat ditumpangi. Alternatif paling akhir, atau sebenarnya bukan termasuk pilihan, ialah berakhir menjadi gelandangan (homeless). Pada musim dingin tahun lalu, puluhan gelandangan -yang sangat mungkin termasuk korban displacement, mati membeku di jalanan kota London. Segala ancaman permasalahan ini tidak dapat disangkal juga akan membuat kesehatan sosio-psikis korban displacement memburuk: depresi adalah hal lumrah yang dialami korban displacement (Atkinson, 2015).

Sebagai sebuah komponen vital yang menunjukan sifat asli gentrifikasi, displacement memiliki berbagai tantangan untuk diteliti. Dari segi metodologis, proses displacement susah disajikan dalam jumlah angka yang akurat (Atkinson, 2000). Korban yang akan didata tentunya sudah terusir dari kawasan yang mengalami gentrifikasi, ketika riset lapangan dilakukan. Menemukan keberadaan mereka merupakan sebuah tantangan besar yang cukup menguras waktu, biaya dan tenaga. Di sisi lain, masyarakat luas yang terkontaminasi paradigma positivis hari ini, lebih memercayai riset ala ilmu eksak yang diimbuhi tabel-tabel dan angka dari data kuantitatif. Pasalnya data kuantitatif yang secara spesifik menghimpun data korban displacement, memang sukar ditemukan: atau tidak ada. Mengharapkan data ini  kepada instansi statistik negara, dipastikan akan memperoleh kekecewaan. Keberadaan data korban displacement sama halnya dengan mengekspose kegagalan pemerintah perkotaan untuk melayani masyarakatnya (Herrera, Smith, & Vera, 2007). Tentu tidak ada instansi yang ingin menunjukkan kebobrokanya sendiri.

Meskipun begitu, masih banyak peneliti yang tetap memegang teguh perspektif kritis gentrifikasi demi membela pekerja kerah biru. Justru umumnya mereka merupakan ilmuan profesional yang mempelajari gentrifikasi sejak lama. Kekritisan riset gentrifikasi terletak pada digunakanya analisis kelas –kelas mana yang terusir, dan kelas mana yang mengusir-, dan menunjukan efek terburuk dari displacement. Keduanya lebih dari cukup menjadi bukti otentik bahwa gentrifkasi tidak akan berubah maknanya, selain sebagai kekerasan sosial kepada pekerja kerah biru (Slater, 2006).


Penggusuran di Kampung Aquarium, Jakarta, 2016. Foto: The Conversation


Gentrifikasi di Negeri Kapitalis Pinggiran

Peran negara atau pemerintah kota di balik gentrifikasi menjadi fenomena paling menarik. Bukan hal yang baru memang ketika pemerintah kota juga terlibat dalam kerjasama dengan  para komprador penguasa-kapital (baca: menjadi pelayan kepentingan) di era kapitalisme maju seperti sekarang. Peningkatan keterlibatan pemerintah, sangat mencolok terlihat ketika gentrifikasi menyebar ke berbagai negara berkembang. Awalnya gentrifikasi dikira hanya sebuah kasus tertentu yang terjadi di kota-kota negara maju Eropa dan Amerika Utara. Dugaan itu jauh meleset setelah ditemukannya kemunculan gentrifikasi di banyak negara berkembang usai tahun 1990an. Penyebab utama menularnya fenomena gentrifikasi berkaitan erat dengan fenomena terintegrasinya sistem perdagangan dunia atau dikenal sebagai “globalisasi”. Namun, bukan hanya integrasi seperti itu yang dimaksud di sini. Melainkan, sebuah pergeseran sistem ekonomi-politik dunia paska 1980an, dari yang awalnya Keynesian menuju dengan sistem malapetaka bernama Neoliberal (N. Smith, 2006).

Neoliberalisme digunakan untuk menggambarkan pemaksaan kebijakan penyesuaian struktural yang dilakukan oleh agensi keuangan internasional negara maju –Dana Moneter Internasional & Bank Bunia- kepada negara dan kota di negara berkembang. Negara dan kota berkembang di dikte untuk memangkas belanja sosial dan regulasi pemerintah, sekaligus dipaksa untuk mendukung terciptanya perdagangan bebas hambatan dan tidak mengekang hak dari investasi luar negeri yang mengeruk sebanyak mungkin keuntungan dari wilayahnya. Dalam bahasa lain, neoliberal seringkali juga menjadi perwakilan dari pemberlakuan tren “reformasi pemerintahan” agar lebih terbuka kepada modal: deregulasi, komersialisasi, privatisasi, fleksibilitas pasar tenaga kerja, kerjasama pemerintah-swasta, dan pemangkasan subsidi pemerintah terhadap kelompok rentan (Lees et al., 2008). Singkatnya, injeksi neoliberalisme memaksa negara agar menciptakan “iklim investasi” yang mendukung akumulasi kapital. Dalam level global, kedaulatan negara harus diletakkan di bawah dan tunduk kepada mekanisme pasar (Habibi, 2016).

Pola penyebaran gentrifikasi ke seluruh penjuru dunia di mulai dari kota New York, ketika globalisasi juga berarti sebagai perubahan sistem adminsitrasi pemerintahan. Benar, banyak kota di negara maju yang juga merasakan tekanan untuk melakukan penyesuaian struktural neoliberal. Di bawah cengkeraman paradigmanya, sistem administrasi New York pada tahun 1990an dirombak agar semakin bersahabat dengan modal. Ada berbagai macam cara melakukan perombakan. Resep yang paling sering dilakukan ialah menghilangkan berbagai kebijakan yang menghambat laju investasi: deregulasi kebijakan. Tindakan ini memang sangat tidak asing dikerjakan oleh banyak pemerintahan negara belakangan ini. Tidak hanya deregulasi, seringkali pemerintah juga malah mensubsidi para pengembang melalui berbagai bonus pemotongan pajak(N. Smith, 2006).

Upaya pemerintah menjadi pelayan agar datang dan menciptakan gentrifikasi di kotanya, merupakan salah satu strategi pembangunan ala neoliberal yang diresepkan. Jika sudah seperti ini, selera konsumsi pekerja kerah putih seolah tidak lagi ada gunanya. Jalan kedatangan gentrifikasi menjadi lebih sistematis, mencerminkan hasil kerjasama apik antara pemerintah dan swasta yang ditopang penuh fasilitas negara (N. Smith, 2006). Resep ini dijalankan pemerintah kota, dengan atas hasil diagnosa dari beberapa dalih permasalahan (Hackworth & Smith, 2001). Pertama, minimnya transfer anggaran dari pemerintah pusat, memaksa pemerintah daerah agar menjadi mandiri mencari sumber pendapatan. Potensi besar pajak properti dalam proses gentrifikasi, menjadi rayuan yang banyak menjerat mereka untuk memicu kedatangannya. Lalu, sebagai “pelayan” yang telah diberi upah berupa pajak properti, pemerintah harus menjadi pengawal selama proses gentrifikasi. Secara spesifik yang dimaksud adalah pengawalan dari perlawanan pekerja kerah biru yang menolak kedatangan gentrifiaksi. Selanjutnya, resep-resep neoliberal yang kadung diamini pemerintah perkotaan, memaksa mereka untuk menanggalkan tanggungjawabnya untuk menyediakan kebutuhan reproduksi sosial pekerja kerah biru: hunian publik. Tugas menyediakan hunian lalu diserahkan ke menakisme pasar, yang produksinya berlangsung selama gentrifikasi. Terakhir, kadang mereka masih juga menambahi bahwa, gentrifkasi akan mendatangkan lapangan pekerjaan bagi masyarakat atau akan meningkatkan pertumbuhan pariwisata (N. Smith, 2002).

Jika melihat alur perjalanannya, perkembangan gentrifikasi dapat dibagi menjadi tiga tahapan. Paling awal, merujuk pada momentum ditemukannya gentrifikasi paska perang dunia ke II. Sporadic gentrification menjadi sebutan tahap pertama ini, lantaran sifat kemunculanya terkesan insidental dalam perkembangan kota dan juga terpisah dari fenonema serupa di kota lain. Selanjutnya, ketika Kota New York mengalami krisis finansial pada tahun 1973-1977 muncul gentrifikasi tahap kedua. Pada tahap ini, modal yang awalnya mengalir ke pembangunan kawasan sub-urban, kembali ke pembangunan di dalam kota. Krisis di kota membuat kualitas permukiman mengalami penurunan hingga memunculkan kesenjangan sewa yang diburu pengembang. Di tahap kedua ini, peran pemerintah sebenarya sudah mulai bertambah, karena mulai memberikan subsidi bagi pengembang yang tertarik untuk memulai gentrifikasi di dalam kota. Lalu tahap terakhir, ialah menyebarnya gentrifikasi bersama globalisasi seperti yang dijelaskan sebelumnya.

Selang dua dekade semenjak kemunculanya, gentrifikasi telah benar-benar menyeberang ke negara berkembang (Atkinson & Bridge, 2005). Beramai-ramai pemeritah kota di negara berkembang meniru pola kota New York, yang menggunakan gentrifikasi sebagai strategi untuk membangun kota. Menelisik lebih dalam, ternyata penggandaan strategi ini berkaitan dengan universalitas nilai sistem administrasi New York ke berbagai negara berkembang lewat globalisasi. Kota-kota di negara berkembang kemudian juga menggelar karpet merah untuk menyambut datangnya gentrifikasi. Hasilnya, Investasi Asing Langsung/Foreign Direct Investmen (FDI) langsung mengalir ke kota-kota negara berkembang sejak tahun 1992. Sikap pemerintah kota yang begitu mendamba-dambakan investasi kapital, hingga menggunakan berbagai cara demi memicu kedatanganya, menggambaran perubahan watak mereka. Dari yang awal dan seharusnya sebagai aktor manajerial yang mengelola kota untuk menyediakan layanan kepada seluruh warganya, menjadi sesosok entrepreneur (Harvey, 2003a) yang mengobral daerahnya kepada para pengembang.

Segala perubahan dan perkembangan pesat dari gentrifikasi hari ini, mengerucut pada sebuah kesimpulan penting. Gentrifikasi sekarang sangat bersifat global. Seluruh ruang perkotaan dunia bahkan sampai-sampai pasrah dengan investasi dan re-investasi global maupun lokal, yang berniat mengubahnya menjadi properti baru sesuai dengan kebutuhan penduduk yang lebih sejahtera: gentrifikasi (Lees, Shin, & Lopez-Morales, 2015).


Urgensi Pandangan Marxis

Lebih dari sekadar menyediakan analisis akar persoalan gentrifikasi, perspektif Marxis dalam gentrifikasi memiliki agenda yang jauh lebih penting. Hunian, adalah hak mutlak untuk bereproduksi sosial, atau gampangnya hak untuk membuat kehidupan. Ketika hak itu terancam hilang oleh gentrifikasi, maka pertarungan untuk memperebutkannya merupakan tindakan yang paling relevan. Namun, seringkali jurnalis di berbagai kanal media atau ahli arus utama, mempertentangkan pekerja kerah biru yang terancam kehilangan haknya, HANYA dengan pekerja kerah putih yang menggantikan tempatnya. Kondisi yang sebenarnya terjadi tidak demikian. Pekerja kerah biru nampaknya diadu domba dengan pekerja kerah putih, yang disudutkan sebagai satu-satunya penyebab gentrifikasi. Ketika hanya mempersalahkan pekerja kerah putih, aktor utama yang memproduksi gentrifkasi dapat bersembunyi dan melenggang dengan mudahnya terbebas dari segala macam kesalahan. Bukan sekadar mencari kambing hitam saja, trik ini berimbas juga pada semakin terpecah belahnya pekerja kerah putih dengan pekerja kerah biru, yang pada dasarnya merupakan sama-sama kelas pekerja. 

Pandangan Marxis tentang kesenjangan sewa dapat meluruskan pertarungan kelas yang salah kaprah itu. Kesenjangan sewa menunjukkan adanya kekerasan struktural yang menghantam pekerja kerah biru di balik “pembangunan urban”, “pembaharuan urban”, (di negara maju), penataan atau revitalisasi permukiman kumuh (di negara berkembang). Kesenjangan sewa ingin mengekspose pertarungan antara mereka yang tinggal dihunian rentan dan berisiko terkena displacement, dengan aktor produksi gentrifikasi (pengembang, lembaga keuangan, agen real estate, dan pemerintah) yang melakukan produksi komoditas properti profit tinggi lewat eksploitasi ceruk keuntungan dari kesenjangan sewa. Tanpa menggunakan perspektif ini, pertarungan kelas yang presisi sulit diperoleh, karena perputaran investasi kapital tersembunyi rapi di balik gentrifikasi (Slater, 2017).

Mengidentifikasi kesenjangan sewa yang muncul, beserta aktor yang menciptakan dan memanfaatkanya untuk profit, merupakan point vital untuk memformulasikan strategi perlawanan terhadap gentrifikasi. Para aktivis dan akademisi perlu bersama untuk mengidentifikasi secara tepat arah perginya pengembang, pemerintah dan agen kapital lainya, melacak lahan yang potensial untuk gentrifikasi. Lalu mengekspose cara bagaimana keuntungan kegunaan lahan hanya ditentukan oleh mereka. Ahli dan aktivis juga perlu meyakinkan masyarakat, bahwa merupakan sebuah kesalahan fatal jika menentukan kegunaan lahan di perkotaan berdasarkan “higest and best use”: sama halnya dengan menuruti kebutuhan akumulasi kapital para pengembang dan koalisinya. Mereka juga perlu membongkar sisi gelap dari investasi yang selalu dipuja-puji kedatangannya atas nama “pertumbuhan ekonomi” atau “penciptaan lapangan kerja”.  Sementara itu, setiap kemungkinan strategi perlawanan terkoordinir juga perlu dicoba. Semuanya dilakukan demi tujuan akhir untuk mengembalikan seluruh lanskap perkotaan di bawah kedaulatan masyarakat, bukan kapital (Slater, 2017).

Cukup disayangkan, berbagai tuntutan penting seperti itu, sama sekali belum terjawab dalam banyak riset gentrifikasi di Indonesia. Selaras dengan ke-asing-an isunya, jumlah riset gentrifikasi di Indonesia cukup minim. Tidak hanya minim, beberapa riset masih saja terjebak dalam perspektif arus utama, yang hanya mementingkan fenomena perubahan visual fisik kota. Paling banter, hanya ditambahkan analisis tentang perbedaan gaya hidup antara pendatang sebelum dan sesudahnya (Prayoga, Esariti, & Dewi, 2013). Terlepas dari kekuranganya, satu diantaranya ada yang menunjukan displacement sebagai akibat gentrifikasi. Sayangnya, riset yang belakangan ini malah hanya melihat gentrifikasi sebatas pada fenomena alamiah kota saja, bukan berkaitan dengan proses penciptaan keuntungan dari lahan di perkotaan (Sholihah, 2016).

Beruntungnya, terdapat riset lain yang menunjukkan adanya kerjasama antar aktor yang menciptakan gentrifikasi. Riset ini menekankan lahirnya gentrifikasi, merupakan hasil dari kolaborasi antara “Raja Kecil” (Elite politik pemerintahan daerah) dengan para “Taipan” (Pengembang besar) yang melahirkan kesenjangan institusional. Sebuah kesenjangan -mirip kesenjangan sewa- yang terlahir dari menurunya kontrol institusi terhadap masuknya investasi lahan, sehingga membuat modal dapat merubah kawasan seenak keinginannya. Jauh dari harapan menghasilkan implikasi teoritis yang dapat berguna sebagai dasar agenda pertarungan kelas, riset yang terakhir ini secara aneh malah menawarkan agar gentrifikasi perlu dipahami bukan lagi sebagai sebuah suksesi antar kelas. Baginya telah terjadi sebuah kolaborasi kelas antara Taipan sebagai kelas pemilik modal, dengan elite pemerintah daerah sebagai kelas negara (Hudalah, Winarso, & Woltjer, 2016). Cukup aneh memang, jika melihat elite politik sebagai kelas yang berbeda dengan Taipan. Seperti yang sudah dibahas di bagian sebelumnya, elite politik–yang tindakanya mencerminkan sikap negara- secara jelas memang berada dalam kelas yang sama dengan Taipan atau pengembang, yaitu kelas penguasa. Elite politik merupakan rekanan kolaboratif yang melayani kepentingan kapital pengembang untuk mengeksploitasi lahan bekas hunian kelas pekerja (Slater, 2017). Lagipula, riset ini juga mengabaikan fakta, bahwa secara terstruktur peran negara memang semakin mendukung dan memicu kemunculan gentrifikasi akibat penyesuaian neoliberal (Hackworth & Smith, 2001).

Selain itu, keseluruhan riset gentrifikasi di Indonesia hampir tidak pernah menyinggung informalitas kondisi hunian dan pekerjaan korban displacement. Status pekerjaan dan hunian yang informal, padahal menjadi urgensi paling utama dari studi gentrifikasi di banyak negara kapitalis pinggiran (Lees et al., 2015). Struktur tenaga kerja di negara berkembang didominasi oleh mereka yang berkerja di sektor informal. Pandangan arus utama menggambarkan mereka sebagai entrepreneur sukses dengan pendapatan melimpah melebihi pekerja formal. Anggapan ini jauh dari fakta lapangan, sebagian besar dari mereka justru merupakan pekerja yang paling rentan: karena tidak dilindungi dalam undang-undang ketenaga kerjaan. Absennya perlindungan, membuat upah mereka sangat mungkin berada di bawah standar upah minimum (Habibi, 2016). Keterbatasan ekonomi membuat mereka kesulitan untuk mendapatkan hunian. Untungnya, mereka tertolong dengan hunian informal yang memiliki harga jauh lebih murah dari pasar perumahan formal. Pasalnya, hunian itu berdiri bukan di lahan milik pihak lain, sehingga peluang penggusuran jauh lebih besar daripada di negara maju (Alzamil, 2018).

Jadinya, riset-riset gentrifikasi di Indonesia secara kasar dapat dibilang “tidak berguna” bagi pekerja kerah biru yang setiap saat terancam terusir dari hunianya. Riset seperti ini, tidak lebih hanya sekadar ikut-ikutan merayakan kedatangan gentrifikasi saja, karena tidak punya implikasi nyata dan serius. Padahal di banyak tempat, gerakan perlawanan gentrifikasi mendasari strategi perjuangannya dengan menggunakan hasil riset gentrifikasi berperspektif Marxis. Menurut mereka, pandangan Marxis lewat teori kesenjangan sewa mudah membantu mereka untuk memahami kenapa gentrifikasi terjadi, sekaligus memberikan ide cara menghentikannya (Slater, 2017). Sebagai proses yang juga mulai muncul di berbagai kota besar di Indonesia, riset dengan pandangan ini sangat diperlukan keberadaannya. Soalnya, masih banyak gerakan yang belum mendasari perlawanannya dengan hasil riset. Tren seperti demikian membuat banyak gerakan tidak memiliki strategi perlawanan yang tepat. Daripada melakukan riset untuk sekadar merayakan gentrifikasi, riset dengan perspektif Marxis amat diperlukan untuk memberi sumbangan nyata bagi pekerja kerah biru perkotaan yang selalu dihantui ancaman terusir dari hunian sederhananya.***


Hardian Wahyu Widianto adalah Dosen Jurusan Administrasi Publik, Universitas Negeri Yogyakarta, dan Pegiat klub diskusi MAP Corner-Klub MKP UGM


Kepustakaan:

Alzamil, W. S. (2018). Evaluating Urban Status of Informal Settlements in Indonesia: A Comparative Analysis of Three Case Studies in North Jakarta. Journal of Sustainable Development, 11(4), 148. https://doi.org/10.5539/jsd.v11n4p148

Ascensão, E. (2015). Slum gentrification in Lisbon, Portugal: displacement and the imagined futures of an informal settlement. In L. Lees, H. B. Shin, & E. Lopez-Morales (Eds.), Global Gentrifications. Uneven development and displacement. (pp. 37–58). Policy Press University of Bristol.

Atkinson, R. (2000). Measuring Gentrification and Displacement in Greater London. Urban Studies, 37(1), 149–165.

Atkinson, R. (2004). The evidence on the impact of gentrification: New lessons for the urban renaissance. European Journal of Housing Policy, 4(1), 107–131. https://doi.org/10.1080/1461671042000215479

Atkinson, R. (2015). Losing One ’ s Place : Narratives of Neighbourhood Change , Market Injustice and Symbolic Displacement. Housing, Theory and Society, 6096, 1–16. https://doi.org/10.1080/14036096.2015.1053980

Atkinson, R., & Bridge, G. (2005). Gentrification in a Global Context: The New Urban Colonialism. Routledge.

Atkinson, R., Wulff, M., Reynolds, M., & Spinney, A. (2011). Gentrification and displacement: The household impacts of neighbourhood change. In AHURI Final Report.

Byrne, J. . (2003). Two cheers for gentrification. Howard Law Journal, 46(3).

Curran, W. (2004). Gentrification and the nature of work : exploring the links in Williamsburg, Brooklyn. 36, 1243–1258. https://doi.org/10.1068/a36240

Gotham, K. F. (2005). Tourism gentrification: The case of New Orleans’ Vieux quarter. Urban Studies, 42(7), 1099–1121. https://doi.org/10.1080

Gubbay, J. (1997). A MARXIST CRITIQUE OF WEBERIAN CLASS ANALYSES. Sociology, 31(1), 73–89.

Habibi, M. (2016). Surplus Pekerja di Kapitalisme Pinggiran : Relasi Kelas, Akumulasi dan Proletariat informal di Indonesia sejak 1980aj. Tangerang: Marjin kiri.

Hackworth, J., & Smith, N. (2001). The Changing State of Gentrification. Hydrocarbon Engineering, 6(9), 71–74. https://doi.org/10.1111/1467-9663.00172

Harvey, D. (2003a). From managerialism to entrepreneurialism: the transformation in urban governance in late capitalism. In SPACES OF CAPITAL (Vol. 22, pp. 345–368). https://doi.org/10.1016/S0962-6298(02)00091-4

Harvey, D. (2003b). The New Imperialism. Oxford University Press.

Helbrecht, I. (2018). Gentrification and Displacement. In I. Helbrecht (Ed.), Gentrification and Resistance : Researching Displacement Processes and Adaption Strategies (pp. 1–8).

Herrera, L. M. G., Smith, N., & Vera, M. Á. M. (2007). Gentrification, Displacement, and Tourism in Santa Cruz De Tenerife. Urban Geography, 28(3), 276–298. https://doi.org/10.2747/0272-3638.28.3.276

Hudalah, D., Winarso, H., & Woltjer, J. (2016). Gentrifying the peri-urban: Land use conflicts and institutional dynamics at the frontier of an Indonesian metropolis. Urban Studies, 53(3), 593–608. https://doi.org/10.1177/0042098014557208

Kusno, A. (2012). Housing the Margin: Perumahan Rakyat and the Future Urban Form of Jakarta. Indonesia, 94(94), 23–56.

Lees, L. (2014). Gentrification in the global south? In S. Parnell & S. Oldfield (Eds.), The Routledge Handbook on Cities of the Global South (Vol. 26, pp. 503–504). https://doi.org/10.1007/s12132-015-9261-9

Lees, L., Shin, H. B., & Lopez-Morales, E. (2015). Conclusion: global gentrifications. In L. Lees, H. B. Shin, & E. Lopez-Morales (Eds.), Global Gentrifications. Uneven development and displacement. (pp. 441–452).

Lees, L., Slater, T., & Wyly, E. K. (2008). Gentrification. 310. https://doi.org/10.4324/9780203940877

Marcuse, P. (1985). Gentrification, Abandonment, and Displacement: Connections, Causes, and Policy responses in New York City. Washington University Journal of Urban and Contemporary Law, 28(January), 195–240. https://doi.org/10.1525/sp.2007.54.1.23.

Prayoga, I. N. T., Esariti, L., & Dewi, D. I. K. (2013). The Identification of Early Gentrification in Tembalang Area, Semarang, Indonesia. Environment and Urbanization Asia, 4(1), 57–71. https://doi.org/10.1177/1103308813478606

Schlack, E., & Turnbull, N. (2018). Emerging retail gentrification in Santiago de Chile. In L. Lees, H. B. Shin, & E. Lopez-Morales (Eds.), Global Gentrification: Uneven Development and Displacement (pp. 349–373).

Sholihah, A. B. (2016). Traditional Streetscape Adaptability: Urban gentrification and endurance of business. Environment-Behaviour Proceedings Journal, 1(4), 2398–4287. https://doi.org/10.21834/e-bpj.v1i4.378

Slater, T. (2006). A response to “The eviction of critical perspectives from gentrification research.” International Journal of Urban and Regional Research, 32(1), 192–194. https://doi.org/10.1111/j.1468-2427.2008.00772.x

Slater, T. (2009). Missing marcuse: On gentrification and displacement. City, 13(2–3), 292–311. https://doi.org/10.1080/13604810902982250

Slater, T. (2017). Planetary Rent Gaps. Antipode. https://doi.org/10.1111/anti.12185

Smith, D. P. (2007). Studentification and `apprentice’ gentrifiers within Britain’s provincial towns and cities: extending the meaning of gentrification. Environment and Planning A, 39, 142–161.

Smith, N. (1979). Toward a theory of gentrification: A back to the city movement by capital, not people. Journal of the American Planning Association, 45(4), 538–548. https://doi.org/10.1080/01944367908977002

Smith, N. (2002). New Globalism, New Urbanism : Gentrification as Global Urban Strategy. New York, 34(3), 434–457.

Smith, N. (2006). Gentrification Generalized: From Local Anomaly to Urban ‘“Regeneration”’ as Global Urban Strategy. In M. S. Fisher & G. Downey (Eds.), frontiers of capital ethnographic reflections on the new economy (pp. 191–208). Duke University Press.

Smith, N. (2007). The Evolution of Gentrification. In T. Kaminer & Z. Joost (Eds.), Houses in transformation: Interventions in European gentrification (pp. 15–26). Rotterdam.

Voorst, R. Van. (2018). Tempat Terbaik di Dunia : Pengalaman Seorang Antropolog Tinggal di Kawasan Kumuh Jakarta. Tangerang: Marjin kiri.

]]>
Siapakah Lumpen-proletariat? Sebuah Diskusi Konseptual https://indoprogress.com/2018/02/siapakah-lumpen-proletariat-sebuah-diskusi-konseptual/ Mon, 26 Feb 2018 01:26:13 +0000 https://indoprogress.com/?p=19187

 

RAKYAT miskin, terutama mereka yang tidak menjadi bagian dari kelas pekerja, merupakan salah satu objek diskusi yang mungkin masih penuh dengan ketidakjelasan dalam tradisi Marxisme (lihat Bussard 1987; Draper 1972). Ini terutama terkait dengan ekspresi politik mereka, yang dalam tulisan Karl Marx dan Friedrich Engels sering disebut dengan nada negatif dan peyoratif sebagai lumpen-proletariat. Pengertian umum, terutama yang mengacu pada Manifesto Komunis (1848), amat tegas menyebutkan lumpen-proletariat sebagai kelas yang reaksioner, konservatif, dan berbahaya bagi perjuangan kelas karena mereka mudah disuap untuk mendukung kepentingan kelas kapitalis. Tapi apa dan siapa sebenarnya yang disebut oleh Marx sebagai lumpen-proletariat? Mengapa Marx dan Engels amat sinis menjelaskan peran politik lumpen-proletariat dalam masyarakat kapitalis?

Para teoretisi Marxis selama ini telah keliru memahami lumpen-proletariat sebagai kelompok sosial (underclass, non-kelas) dengan bentuk keagenannya yang spesifik, yakni yang reaksioner dan berbahaya. Kekeliruan itu sama persis dengan pandangan yang secara eksklusif menempatkan kelas pekerja sebagai agen transformatif yang utama dan satu-satunya.

Menurut saya, konsep lumpen-proletariat digunakan oleh Marx dan Engels untuk menjelaskan kategori subjektivitas atau keagenan terlepas dari posisi objektif kelasnya dalam relasi produksi. Artinya, Marx sebenarnya juga memahami potensi revolusioner tidak hanya melekat pada kelas pekerja, tetapi juga ada pada rakyat miskin. Sebaliknya, potensi non-revolusioner juga ada pada keduanya. Pembedaan Marx (1847) dalam The Poverty of Philosophy tentang class-in-itself dan class-for-itself menegaskan hal itu. Yang pertama merujuk sebagai posisi objektif dalam relasi produksi, sementara yang lainnya lebih dipahami sebagai kesadaran, subjektivitas dan keagenan yang dibentuk. Dengan demikian, proletariat adalah kategori subjektivitas yang progresif, revolusioner dan diperlukan dalam perjuangan kelas. Kategori ini tidak selalu melekat pada kelas pekerja, seperti halnya lumpen-proletariat yang tidak melekat sebagai bentuk subjektivitas rakyat miskin. Lumpen-proletariat adalah kategori keaganen yang menjadi anti-tesis dari proletariat. Oleh karena itu, definisi kelas pekerja tidak bisa dipertukarkan begitu saja dengan konsep proletariat, begitu juga rakyat miskin dengan lumpen-proletariat. Dengan kata lain, bentuk subjektivitas tidak semata-mata ditentukan oleh posisi objektif dalam relasi produksi, melainkan terutama oleh proses sejarah pertentangan kepentingan dalam proses perkembangan masyarakat kapitalis.

 

Kekeliruan Para Akademisi Marxis

Dalam tradisi Marxisme, sebenarnya bukan hanya rakyat miskin di luar kelas pekerja yang didefinisikan secara negatif oleh Marx. Para petani, kelas sosial utama dalam masyarakat pra-industri, juga tergolong sebagai kelompok yang diabaikan bisa memiliki potensi revolusioner. Namun, pandangan tentang kelompok ini, sebagaimana dikemukakan Bovenkerk (1984), telah berhasil direhabilitasi dalam berbagai studi akademik yang menunjukkan bahwa banyak gerakan revolusioner ditopang terutama oleh kaum tani. Sementara pemahaman terhadap rakyat miskin, baik yang di desa maupun di kota, belum sepenuhnya berhasil direhabilitasi dalam tradisi Marxisme.

Ketidakberhasilan merehabilitasi konsep lumpen-proletariat dan asosiasinya dengan rakyat miskin, sebenarnya di satu sisi bertolak dari dominannya pernyataan-pernyataan tegas Marx dan Engels sendiri yang memang bernada negatif. Di sisi lain, sebagai anti-tesis terhadap konsep lumpen-proletariat, Marx dan Engels juga menandaskan bahwa potensi revolusioner secara eksklusif ada pada kelas pekerja (proletar) karena posisinya dalam relasi produksi yang menjadi objek eksploitasi nilai lebih, fondasi kapitalisme. Namun, pemahaman akan hal ini tidak bisa dilepaskan dari penjelasan mengenai pembentukan kesadaran kelas dalam konteks perkembangan masyarakat kapitalis di Eropa abad ke-19.

Munck (2013) menyebutkan bahwa tradisi Marxisme telah meletakkan lumpen-proletariat berada di luar relasi produksi dan struktur kelas, dan karena itu mereka tidak dapat dianggap sebagai aktor sejarah. Sebab, secara eksistensial mereka dapat hadir dalam masyarakat apapun, baik tribal, feodal, kapitalis atau yang lain. Pontoh (2010) juga memandang konsep ini lebih sebagai “sindiran atau umpatan yang lahir dari kesombongan kalangan Marxis ortodoks,” untuk tidak menyebut kekeliruan Marx dan Engels sendiri secara langsung.

Untuk menghindari ambiguitas itu, para akademisi Marxis umumnya mengganti konsep lumpen-proletariat dengan istilah yang dianggap lebih netral, seperti informal proletariat (Mike Davis 2009), non-industrial urban proletariat (James Petras 2003) atau non-industrial proletariat (Max Lane 2010). Persoalannya, keduanya memiliki penekanan yang berbeda sehingga sebenarnya tidak begitu saja bisa digantikan.

Lumpen-proletariat dianggap problematik karena selama ini dipahami sebagai kelompok sosial yang sekaligus melekat orientasi politiknya yang khas. Sementara istilah penggantinya, lebih menekankan sebagai kelompok sosial (kelas) dalam suatu relasi produksi yang bentuk keagenannya tidak dapat dipahami secara esensialis bernada negatif. Istilah baru ini umumnya digunakan untuk menunjukkan bahwa rakyat miskin juga bisa punya potensi revolusioner. Dengan kata lain, Marx dan Engels selama ini dianggap telah salah dan sembarangan memahami rakyat miskin dengan konsep lumpen-proletariat.

Max Lane (2010), misalnya, terkesan amat meromantisasi peran informal proletariat, hanya karena kelompok ini mendominasi populasi masyarakat Indonesia yang belum sepenuhnya terindustralisasi dan karena itu dianggap dapat mengemban agenda politik radikal bersama dengan kelas pekerja. Faktanya, kaum miskin kota di Indonesia justru lebih banyak terserap dalam praktik politik yang reaksioner dan konservatif seperti dapat diamati pada mobilisasi kelompok-kelompok kekerasan. Artinya, argumen Lane sebenarnya lebih menggambarkan sebagai harapan ketimbang hasil observasi akademik yang objektif. Pandangan semacam itu mirip dengan penilaian gegabah dari tradisi anarkis, seperti yang dikemukakan oleh Ian Wilson (2015), yang percaya kelompok kekerasan–karena basis pengorganisasiannya kaum miskin kota–adalah organisasi transisi yang dapat melahirkan gerakan progresif. Berkebalikan dengan Marxisme, tradisi anarkis secara esensialis melihat rakyat miskin justru dapat mengemban peran revolusioner.

Sementara itu, Franz Fanon (1963) sebagaimana Mao Tse-Tung (1967) berusaha mempertahankan istilah lumpen-proletariat tetapi dengan menambahkan karakter revolusioner kepadanya jika kelas sosial ini memperoleh panduan dan pengorganisasian yang tepat. Revolusi di Cina dan gerakan kemerdekaan di Afrika yang terutama ditopang oleh lumpen-proletar adalah gambaran yang dikemukakan oleh Mao dan Fanon untuk mendukung argumen tersebut. Menurut Fanon (1963), jika lumpen-proletariat tidak diorganisasikan oleh kekuatan progresif, maka mereka akan menjadi elemen kontra-revolusioner. Konsekuensinya, konsep lumpen-proletariat dipahami dalam pengertian yang amat berbeda dari yang semula digunakan oleh Marx dan Engels. Di samping itu, baik Fanon maupun Mao tidak memberikan penjelasan yang memadai mengenai kondisi-kondisi yang membuat suatu panduan dan pengorganisasian tertentu dapat membawa rakyat miskin memiliki agensi revolusioner.

 

Lumpen-Proletariat sebagai Bentuk Subjektivitas Politik

Manifesto Komunis (1848) adalah karya yang paling sering dirujuk dalam memahami konsep lumpen-proletariat. Konsep ini dipahami sebagai:

“kelas yang berbahaya, sampah masyarakat, kelompok yang terbuang secara pasif sebagai sisa dari masyarakat sebelumnya, yang akan tersapu oleh gerakan revolusi proletariat; namun kondisi kehidupannya, bagaimanapun, mempersiapkannya menjadi bagian dari alat suap untuk politik yang reaksioner.”

Dari sini, definisi yang bernada negatif dan peyoratif itu terutama berasal. Padahal, karya ini semestinya ditempatkan bukan sebagai tulisan yang bersifat ilmiah-akademik, melainkan lebih sebagai propaganda politik dalam rangka perjuangan kelas pada masa itu. Pada titik ini, seharusnya dapat dimengerti bahwa Manifesto Komunis tidak bisa menjadi satu-satunya rujukan dalam memahami bagaimana Marx menjelaskan bekerjanya kapitalisme, termasuk soal lumpen-proletariat serta asosiasinya dengan ekspresi politik rakyat miskin.

Pada karya yang lebih akademik, Kapital Vol. 1, Marx (1887) hanya menyitir sekali istilah lumpen-proletariat terkait dengan surplus relatif populasi dalam relasi produksi. Di sini disebutkan komponen lumpen-proletariat terdiri dari kelompok yang menjadi bagian dari penopang relasi produksi sebagai cadangan tenaga kerja serta yang tidak menjadi bagian darinya seperti orang tua yang sudah tidak bisa bekerja serta para bandit dan kriminal. Sementara pada tulisan yang lain seperti di The Class Struggle in France 1848-1850, Marx (1895) menyebut lumpen-proletariat sebagai bagian dari proletariat secara general.

Pada The Eighteenth Brumaire of Louis Bonaparte, Marx (1852) menyebut segala yang terbuang dari relasi produksi, yang tidak menjadi bagian darinya sebagai lumpen-proletariat. Mereka dimobilisasi oleh Bonaparte ke dalam milisi Mobile Guard untuk menghadapi revolusi proletariat. Namun, di sini Marx juga menyebutkan Louis Bonaparte sebagai bagian dari lumpen-proletariat itu, sebagai pemimpin darinya. Aristokrat finansial juga termasuk menjadi bagian dari yang disebut sebagai lumpen-proletariat karena mengakumulasi kekayaan tidak dari relasi produksi, tetapi dengan merampok milik orang lain di antaranya melalui pengaturan pajak. Engels dalam The Role of Force in History (1896) juga menyebutkan aristokrat Prussia sebagai bagian dari lumpen-proletariat aristokrat.

Singkatnya, dalam menjelaskan lumpen-proletariat sebagai “kelompok sosial”, tidak ada rumusan yang tetap baik dari Marx maupun Engels. Penggunaan konsep ini tidak hanya merujuk pada rakyat miskin yang selama ini dipahami dalam tradisi Marxisme, tetapi juga mencakup kelas atas, termasuk kelas pekerja. Pada kasus kegagalan gerakan pemberontakan di Brussel tahun 1884, misalnya, Engels menyebut seluruh kelas pekerja sebagai lumpen-proletariat. Artinya, definisi yang tetap dari konsep ini lebih terkait sebagai ungkapan kekecewaan dan kemarahan Marx dan Engels atas kegagalan berbagai gerakan revolusi di Eropa abad ke-19. Henderson (1976) juga menemukan bahwa Engels menggunakan istilah ini untuk menyebut musuh-musuhnya.

Engels (1850) dalam The Peasant War in Germany sebenarnya juga menjelaskan lumpen-proletariat dengan sinis sebagai “gerombolan yang bisa dibeli dan dibayar untuk segentong anggur”. Menariknya, beberapa hari menjelang kematiannya, pernyataan ini direvisi oleh Engels (1968) yang dikemukakan dalam suratnya kepada Karl Kautsky pada tanggal 21 Mei 1895. Di sini Engels menyatakan kesalahannya yang mendasar dalam menjelaskan lumpen-proletariat dan berniat merevisi The Peasant War. Menurut Engels, rakyat miskin sebagai pre-proletariat adalah elemen yang memungkinkan terjadinya revolusi di daerah suburban di Paris tahun 1979.

Dari sini, ada dua hal yang patut diklarifikasi. Pertama, tidak seperti tuduhan para teoretisi Marxis pada umumnya, Marx dan Engels tidak mendefinisikan subjektivitas rakyat miskin secara esensialis sebagai semata-mata reaksioner dan anti-revolusi; mereka juga memiliki potensi sebagai bagian dari gerakan progresif. Kedua, lumpen-proletariat lebih dipahami sebagai bentuk subjektivitas yang bertentangan dengan kepentingan perjuangan kelas, yang dapat mencakup semua elemen kelas.

Pemahaman ini akan lebih jelas jika kita menelisik pembedaan konseptual antara class-in-itself dengan class-for-itself. Yang pertama merujuk pada posisi kelas dalam relasi produksi, seperti kelas pekerja atau underclass. Sedangkan yang kedua mengacu pada pembentukan kesadaran kelas dalam kaitannya dengan perjuangan kelas, sebagai proletariat atau lumpen-proletariat. Artinya, kelas buruh karena posisinya dalam relasi produksi, tidak secara mekanik akan memiliki kesadaran kelas sebagai proletariat. Sebagaimana dikemukakan E.P. Thompson (1963), kesadaran kelas adalah proses historis yang tidak begitu saja terbentuk semata-mata karena posisi ekonominya sebagai agen kelas. Kesadaran kelas sebagai proletariat atau sebagai lumpen-proletariat dibentuk dan ditransformasikan dalam proses sejarah konflik-konflik kepentingan.

Pandangan semacam ini merupakan kritik terhadap determinisme ekonomi dalam tradisi Marxisme. Posisi ekonomi seseorang tidak secara mekanik menentukan bentuk kesadaran politiknya. Subjektivitas rakyat miskin dengan demikian juga tidak ditentukan oleh keberadaan pemimpin atau panduan-panduan yang dapat membuat mereka menjadi revolusioner atau menjadi reaksioner seperti dikemukakan oleh Mao atau Fanon, melainkan dibentuk oleh konflik-konflik kepentingan yang menyejarah yang menyertai proses pembentukan negara dan perkembangan kapitalisme. Proses sejarah ini yang melahirkan kondisi-kondisi maupun kendaraan yang tersedia dalam pengorganisasian kaum miskin kota, yang menentukan arah subjektivitas mereka menjadi reaksioner atau revolusioner.***

 

Penulis adalah PhD Candidate di Asia Institute, The University of Melbourne, Australia

 

Kepustakaan:

 

Bovenkerk, Frank. 1984. “The Rehabilitation of the Rabble: How and Why Marx and Engels Wrongly Depicted the Lumpenproletariat as a Reactionary Force.” Netherlands Journal of Sociology, 20 (1): 13-41.

Bussard, Robert L. 1987. “The ‘Dangerous Class’ of Marx and Engels: The Rise of the Idea of the Lumpenproletariat.” History of European Idea, 8 (6): 675-692.

Davis, Mike. 2009. Planet of the Slums. New York: Verso.

Draper, Hal. 1972. “The Concept of the ‘Lumpenproletariat’ in Marx and Engels.” Economies et Societes, 6 (12): 2285-312.

Engels, Frederick. 1850. The Peasant War in Germany. https://www.marxists.org/archive/marx/works/download/pdf/peasant-war-germany.pdf

Engels, Frederick. 1896. Marx-Engels Correspondence 1985: Engels to Kautsky in Stutgart. https://www.marxists.org/archive/marx/works/1895/letters/95_05_21.htm

Engels, Frederick. 1896. The Role of Force in History. https://www.marxists.org/archive/marx/works/1887/role-force/index.htm

Fanon, Frantz. 1963. The Wretched of the Earth. New York: Grove Press.

Henderson, W.O. 1976. The Life of Frederick Engels. London: Frank Cass.

Lane, Max. 2010. “Indonesia and the Fall of Suharto: Ploterarian Politics in the ‘Planet of Slum’ Era.” The Journal of Labor and Society, 13: 185-200.

Marx, Karl. 1847. The Poverty of Philoshopy: Answer to the Philosophy of Poverty by M. Proudhon. https://www.marxists.org/archive/marx/works/download/pdf/Poverty-Philosophy.pdf

Marx, Karl. 1852. The Eighteenth Brumaire of Louis Bonaparte. https://www.marxists.org/archive/marx/works/download/pdf/18th-Brumaire.pdf

Marx, Karl. 1884. Manifesto of the Communist Party. https://www.marxists.org/archive/marx/works/download/pdf/Manifesto.pdf

Marx, Karl. 1887. Capital: A Critique of Political Economy, Vol. 1. https://www.marxists.org/archive/marx/works/download/pdf/Capital-Volume-I.pdf

Marx, Karl. 1895. The Class Struggle in France 1848-1850. https://www.marxists.org/archive/marx/works/download/pdf/Class_Struggles_in_France.pdf

Munck, Ronaldo. 2013. “The Precariat: A View from the South.” Third World Quarterly, 34 (5): 747-767.

Petras, James. 2003. The New Development Politics: The Age of Empire Building and New Social Movements. USA: Ashgate.

Pontoh, Coen Husain. 2010. “Ekspresi Politik Kaum Miskin Kota.” IndoPROGRESS. https://indoprogress.com/2010/08/ekspresi-politik-kaum-miskin-kota/

Thompson, E.P. 1963. The Making of the English Working Class. New York: Vintage Book.

Tse-Tung, Mao. 1967. Selected Works, Vol. I. Peking: Foreign Language Press.

]]>
Obituari: Perginya Rosidi, Sang Penyintas Panembong https://indoprogress.com/2017/10/obituari-perginya-rosidi-sang-penyintas-panembong/ Mon, 16 Oct 2017 00:05:07 +0000 https://indoprogress.com/?p=18527

Abah Rosidi. Kredit foto: Instanonymous.com

 

Satu dari sedikit orang yang bertahan dari kejahatan kemanusiaan tahun 1965 di Cianjur. Ia menjalani hidup dengan tegar, tanpa secuilpun dendam.

 

KABAR duka itu saya baca dari status Facebook Imam Shofwan semalam sekitar pukul 22.26. Tulisnya: Selamat jalan Abah Rosidi. Kebesaran hatimu adalah pelita. Samudra maafmu tak bertepi. Kau telan semua penjara dan kerja paksa dg gagah perkasa. Heningkan cipta.

Abah Rosidi meninggal Senin dini hari 8 Oktober lalu dalam usia 86 tahun.

Imam yang sehari-hari bergiat di Yayasan Pantau itu membagikan kembali naskah pendeknya berjudul Belajar dari Hidup Rosidi guna mengenang Rosidi. Imam mengulas buku berjudul Cerita Hidup Rosidi karya wartawan senior sekaligus petani kopi, Tosca Santoso, yang sudah bertahun-tahun hidup dan berkarya di sebuah kampung di mana Rosidi tinggal: Sarongge.

Sebelumnya, pada 7 Oktober pagi, Tosca menulis di akun Facebook-nya: Sejak melek semalaman nonton wayang golek, tgl 23/9 lalu, Rosidi sakit, sesak pernafasan. Semoga lekas sembuh Abah…”

Pada 12-13 Mei lalu, saya bersama belasan peserta Kelas Menulis Narasi di Pantau berkunjung ke Sarongge, Cianjur, Jawa Barat.

Masih jelas dalam ingatan, bagaimana kami mengunjungi tempat yang dulu disebut Kamp Panembong. Kami bertandang ke sana bersama Wawan Sudrajat, anak Rosidi dari Oneh, istri keenam sekaligus yang terakhir. Oneh meninggal dunia 1 April 2016.

***

Wawan Sudrajat kembali mendatangi bekas kamp itu. Di sanalah pada tahun 1968 ia dilahirkan. Di sana pula Rosidi pernah menjalani hukuman penahanan dan kerja paksa.

“Mungkin bangunannya dulu dekat ke jalan juga seingat saya. Di sini ada bangunan besar, di dalamnya ada beberapa keluarga gitu. Dalamnya kan kosong, nah sama teman-temannya Abah (Rosidi) itu dibikin sekat-sekat untuk keluarga. Ada beberapa keluarga di sini,” Wawan berkisah.

Rosidi menjalani penahanan dan kerja paksa selama 13 tahun. Selama periode itu, ia beberapa kali dipindah. Ia pernah jadi orang tahanan di Kamp Panembong antara 1965 hingga 1976. Lantas ia dan banyak tahanan lain dipindahkan ke Lembaga Pemasyarakatan Kebon Waru, Bandung, tahun 1976 sampai 1978.

Secara paksa ia menjalani pekerjaan semacam mengeruk pasir sungai, memasak di rumah makan, memecah batu, merintis perkebunan, dan sebagainya. Sebagian besar hasil pekerjaan-pekerjaan itu harus ia serahkan kepada tentara.

“Selama Abah di sini, 12 tahun, Abah selalu dioper-oper. Ada ke Cihea, ada ke Cilutung. Nah, terakhir Abah di Kebon Waru selama dua tahun. Selama Abah di sini, saya kan udah ngikut nih sama Emak, sehingga saya lahir di sini. Abah itu untuk menafkahi emak, caranya Abah itu kalau malam hari ngobor. Mencari swike. Ngobor kodok. Dari situ Abah bisa jalan sampe dua kilometer,” kata Wawan di bekas lokasi Kamp Panembong itu.

Kini di seberang lahan itu berdiri Hotel Bydiel. Posisinya persis di tepi jalan raya Cugenang-Cianjur. Sebelum tahun 1965, lahan yang berada sekitar 10 kilometer dari Istana Cipanas itu merupakan gudang penyimpanan karet bahan pembuatan ban. Lahan itu dimiliki warga keturunan Cina yang diduga terlibat G30S. Asetnya disita oleh tentara dan digunakan untuk menahan para warga yang bernasib apes tahun 1965. Penahanan di Kamp Panembong itu berlangsung hingga 1978.

Tempat itu kini berpagar batako setinggi kira-kira dua meter. Ada pohon pisang, kayu sengon, ilalang, dan kolam ikan yang belum lama dibuat. Di bagian depan tertulis, lahan ini dimiliki sebuah perusahaan.

Dalam buku Cerita Hidup Rosidi, Tosca Santoso menuliskan, Komandan Kamp Panembong (Letnan) CPM Dadang Mulyadi pernah bercerita pada anaknya, ada sekitar 1500 tahanan politik ’65 di Cianjur. Mereka ditangkap dari berbagai pelosok Jawa Barat seperti Cianjur, Bogor dan Sukabumi. Para tahanan kebanyakan ditampung di Kamp Panembong, yang sekarang berada di wilayah Desa Mekarsari, Kecamatan Cianjur, Cianjur, Jawa Barat.

Saat bertandang ke Sarongge, kami menemui sebagian anggota dari dua keluarga mantan tahanan politik di Cianjur. Pertama, keluarga Rosidi. Kedua, rekan sebaya dan senasibnya semasa di tahanan Endang Ahyudi. Mereka sudah laksana saudara. Kami juga berbincang dengan Entin Kartini (46) anak perempuan Rosidi, yang menjalankan bisnis pembuatan sabun, alat musik tiup karinding yang Rosidi mainkan, dan sejumlah kerajinan tangan lain.

Penahanan pada Rosidi bermula pada 10 Oktober 1965. Tentara mendatangi rumah Salna, pamannya, yang memang sudah diincar. Sebuah mobil tentara berhenti di pinggir jalan, tak jauh dari dekat rumah sang paman yang biasa ia sapa Mang Ocon itu. Kebetulan, Mang Ocon sedang masuk bilik, yang hanya tersekat kain.

“Salna mana?” tanya petugas itu.

“Tidak ada,” jawab Rosidi berbohong.

“Ke mana dia?”

“Ke sawah.”

“Kamu siapa?”

“Saya Rosidi, keponakan Mang Ocon.”

Tentara meminta identitas Rosidi. Dengan polos dan bangga ia menyerahkan kartu Sarikat Buruh Perkebunan Republik Indonesia (Sarbupri) kepada tentara berbedil itu. Kartu Sarbupri adalah satu-satunya tanda pengenal Rosidi pada masa itu. Sebulan sekali, kartu itu dipakainya untuk mengambil jatah beras dan ikan asin di pabrik teh tempatnya bekerja. Dengan kartu itu pula, saat lebaran datang, Rosidi mendapat hadiah kain baru dan daging sapi. Kartu itu kadang menolong pemiliknya saat sakit dan perlu perawatan dokter, atau untuk bepergian gratis.

“Kamu gantikan pamanmu. Naik ke mobil!” hardik tentara pada Rosidi.

Rosidi tak berani bertanya ini dan itu, karena tentara mengarahkan moncong senjata kepadanya. Ia patuh saja saat diperintah untuk jongkok. Perlahan mobil pun meninggalkan Cikawung menuju Sukanegara. Itulah hari di mana Rosidi mengawali masa 13 tahun sebagai tahanan politik. Ia meninggalkan Yayah, anak kedua Rosidi dari Mamah, istri pertamanya. Rosidi mengira, ia hanya akan sebentar ditahan. “Paling lama satu-dua hari. Jadi, saya hanya minta sarung.”

“Saya ingat disuruh Mamah secepatnya mengantar sarung. Abah sudah di dalam truk,” kata Yayah yang berusia sembilan tahun kala itu, dalam buku Cerita Hidup Rosidi.

Rosidi tak mengira Kartu Sarbupri itu ternyata justru membuatnya ditangkap. Sarbupri berdiri pada 17 Februari 1947. Pada masa itu, buruh perkebunan adalah golongan buruh terbesar di Indonesia, dan Sarbupri didirikan dengan tujuan untuk memperbaiki taraf hidup buruh dan kemerdekaan nasional yang penuh. Hanya dalam waktu singkat, Sarbupri sudah punya 520 ribu anggota. Basis massa mereka utamanya berada di daerah yang punya banyak lahan perkebunan: Jawa Barat, Jawa Tengah dan Sumatera Utara.

Selama menjadi anggota Sarbupri, Rosidi hanya disibukkan dengan urusan memetik teh merah di pabriknya. Sebagai pecinta Sukarno ia selalu mencoblos Partai Nasional Indonesia (PNI), namun ia tak terlibat dalam kegiatan politik apapun. Selama menjadi tahanan politik, Rosidi kehilangan hak pilih. Setelah mendapatkan kembali hak politiknya yang dicabut selama 13 tahun, ia selalu mencoblos Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) dalam setiap pemilihan umum.

Saat huru-hara 1965 meletus, Rosidi sedang bekerja di Goalpara, Sukabumi. Ia dinasihati salah satu majikannya, agar tak berurusan dengan politik. Kepada Rosidi, majikannya itu bercerita bahwa Pemuda Rakyat-lah yang membunuh jenderal-jenderal di Jakarta.

Rosidi, yang saat penangkapan itu berusia 34 tahun, mengaku tak menyesal menjadi pengganti pamannya. Kata Rosidi, “Kalau waktu itu Mang Ocon yang ditangkap, pasti akan lebih berat. Dia sudah tua. Kasihan dipaksa bekerja macam-macam. Saya masih muda, lebih kuat bekerja.”

Rosidi menjalani proses interogasi setelah ditangkap. Ia bingung setiap kali ditanya “Saudara ikut membunuh jenderal di Halim?” Jangankan ke Jakarta, saat itu ia bahkan belum pernah menginjakkan kaki ke kota Cianjur, yang berjarak sekitar 40 kilometer dari kampungnya. Pertanyaan macam itu sudah menjadi semacam prosedur baku bagi pihak militer yang berkuasa pada masa itu.

Wawan dan Rosidi bercerita bahwa selama menjalani proses interogasi, Rosidi biasanya selalu menjawab jujur setiap pertanyaan. Hal itu dilakukan para tahanan untuk menghindari pukulan atau bentuk siksaan lain dari para interogator.

“Kata Abah dulu, yang diperiksa itu semua kalau bilangnya ‘iya’, semua selamat. Nggak kena pukul, nggak kena siksa,” kata Wawan pada rombongan kami.

Tapi, ada dua di antara para tahanan itu yang bunuh diri dengan jalan menceburkan diri ke sumur di Kodim dan Ampera.

***

Bersama Rosidi kami juga bertandang ke rumah Endang Ahyudi. Rosidi dan Endang bersahabat baik sejak menjadi sesama tapol di Kamp Panembong. Rumah Endang kami tempuh dengan berjalan kaki sekitar lima belas menit dari bekas Kamp Panembong.

Tahun lalu Endang terserang stroke, sehingga ia sedikit kesulitan untuk berbicara. Tapi ia tampak selalu berusaha untuk ramah menyapa dan menerima salam kami yang bertandang ke rumahnya.

Ia ditangkap pada 1965 karena aktif di Barisan Tani Indonesia.

“Saya dulu tahanan tipe C,” katanya perlahan.

Secara umum, pihak penguasa militer pada tahun 1965 membagi para tahanan ke dalam tiga golongan. Golongan A berisi orang-orang yang dianggap terlibat dan bahkan diadili. Golongan B mencakup para kader penting dan pimpinan penting Partai Komunis Indonesia (PKI). Sementara golongan C terdiri dari mereka yang dianggap sebagai simpatisan PKI atau anggota dari organisasi underbouw PKI: Barisan Tani Indonesia, Serikat Buruh, dan sebagainya.

Aminah, istri Endang, yang sekarang menemani hidupnya bertutur dengan terbata menahan tangis, saat kembali menceritakan kisah itu.

Istri pertama Endang tak tahan menghadapi tekanan dari keluarga dan masyarakat sekitarnya. Ia menceraikan Endang, lantas menikahi Aminah, yang seperti halnya Oneh, juga mengalami pahit getirnya hidup di penjara bersama sang suami. Mereka tahu persis bagaimana rasanya mengonsumsi nasi beunyeur dari remah-remah beras. Tak jarang nasi yang mereka santap sudah bercampur kerikil.

“Makan nasi penuh kerikil. Kodok juga dimakan. Bukan dagingnya, tulangnya juga dimakan. Dikasih singkong yang pahit. Daripada kelaparan. Gimana?” kata Aminah kepada kami dengan suara bergetar sambil meneteskan air mata.

Anak mereka juga kerap berkelahi dengan teman sebayanya, karena dihina sebagai anak tapol.

Meski demikian, segetir apapun hidup yang dijalani, Aminah dan Endang sepakat untuk tidak menyembunyikan kondisi ini dari anak-anak dan calon menantunya. Para calon menantu pun tak ada yang merasa keberatan.

Perasaan rendah diri itu juga pernah dialami Entin Kartini (46), putri Rosidi dari Oneh, yang seperti Wawan juga lahir di Kamp Panembong.

“Jadi, semua anak-anaknya Abah [Rosidi] itu dulu minder. Kayak nggak mau ada orang yang berteman, nggak ada yang mau nikah. Karena, [ada ungkapan] jangan nikah sama si Anu, itu anak PKI. Jadi minder juga. Tapi saya nggak terima di dalam hati [disebut] anak PKI, dan yang dibunuh itu siapa? Masak masyarakat bisa bunuh jenderal? Saya sering ngebantah juga kalau ada orang ngomong kaya gitu,” ujar Entin.

 

***

Dibandingkan Endang, Rosidi cukup beruntung. Hingga akhir hayatnya, Rosidi tinggal di Dusun Sarongge, Kecamatan Pacet, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat. Dusun itu punya panorama indah dengan Gunung Gede di sisi timur laut. Tapi pemandangan indah itu kontras dengan pengalaman para mantan tahanan politik seperti Rosidi yang terkena imbas prahara 1965.

Rosidi masih mampu berjalan cukup lancar di jalanan rata meski dengan bantuan tongkat berukuran sekitar satu meter. Tawanya kerap berderai lantang. Telinganya masih mampu mendengarkan lawan bicara dari jarak 2-3 meter. Lelaki yang sampai sekarang masih menghisap dua bungkus rokok per hari ini juga kerap bercanda dengan lawan bicaranya. Saat berganti menjadi ‘korban’ candaan, ia biasa tertawa lepas sambil memamerkan rongga mulutnya yang telah ompong.

“Kenapa Abah (Rosidi) awet muda? Karena Abah selama ini tidak diambil hati. Ah, udah aja. Yang berlalu biarlah berlalu. Kalau teman yang lain kan ada yang sakit stroke, sakit-sakitan sepulang dari Kebon Waru,” kata Wawan anaknya kepada kami.

Dari enam perempuan yang pernah Rosidi nikahi, ia punya sepuluh anak, 28 cucu, 17 cicit dan seorang bao. Jaket kulit sering membungkus tubuh kurusnya. Kacamata minus maupun kacamata hitam untuk bergaya selalu bertengger di telinga dan hidungnya. Sejak muda ia dikenal selalu tampil rapi bin necis.

Di rumah Endang, Rosidi memamerkan beberapa koleksi kacamata dari tas kecilnya. Kami semua terbahak melihat polah dan mendengar ceritanya.

Soal Rosidi, yang berkali-kali menikah itu, dalam sebuah kunjungan ke Sarongge seorang wartawan pernah berkata, “Wah, bapak ini lebih hebat dari Brad Pitt.”

Pria penggemar cincin batu akik itu balik bertanya, “Brad Pitt itu siapa?” Semua terbahak.

Brad Pitt adalah aktor Hollywood, mantan suami aktris Angelina Jolie, yang pernah pula menikah dengan bintang film Jennifer Aniston.

Di rumah biliknya sekarang Rosidi, Wawan dan anak perempuan Rosidi yaitu Entin Kartini berjualan alat musik tiup karinding, beberapa kerajinan tangan dari tanah liat, serta sabun buatan tangan. Mereka biasa menjual hasil pekerjaan mereka pada para pengunjung yang datang. Kalau ada ajang pameran di Jakarta, mereka biasa menjual hasil karya mereka itu.

Dalam kegiatan penanaman pohon di Desa Sukatani-Sarongge Februari 2016, Menteri Kehutanan dan Lingkungan Hidup Siti Nurbaya Bakar bertemu Entin. Siti membeli 200 batang sabun buatan Entin. Uang sebanyak Rp. 3 juta pun masuk ke kantong Entin.

***

Rombongan kami menginap di Saung Sarongge, hunian berbentuk rumah panggung yang disewakan bagi para pengunjung di dusun itu. Kesannya bersih dan tertata rapi.

Saung Sarongge juga menyediakan fasilitas makanan khas pedesaan yang sederhana namun lezat, macam sambal lalap dan ayam, sayur asam, dan sebagainya.

Dinding papan di Saung Sarongge juga memajang sejumlah foto kunjungan Presiden Yudhoyono beserta ibu negara ke sana pada 2013. Tampak pula dalam foto Wakil Direktur Utama Bank BNI Felia Salim dan Menteri Kehutanan Zulkifli Lubis.

Mengenai kunjungan ini, Tosca Santoso punya cerita. Saat itu, Rosidi berada di lokasi acara karena ingin mendengarkan pidato SBY. Tosca terheran-heran dan bertanya-tanya dalam hati, “Kok duduknya diapit tentara gitu?”

Tosca belum mengenal Rosidi secara dekat, karena ia hanya bertandang ke Sarongge untuk urusan penanaman pohon.

Seusai selesai acara itu, Tosca bertanya pada Rosidi, “Itu bapak tadi siapa yang mepet gitu?”

“Aparat. Dari tadi malam sudah menginap di rumah Aki Emi. Dia bilang, kalau berangkat ke tempat acara harus bareng dia,” jawab Rosidi.

Orang itu menanyakan kepada Rosidi alasan kedatangan Ribka Tjibtaning ke Sarongge beberapa waktu sebelumnya. Rosidi mengaku tak tahu persis apa alasannya.

Rosidi mengaku mencoblos banteng dalam setiap pemilu, saat orang itu menanyakan parpol apa yang dipilihnya dalam setiap pilkada.

Ia lantas menunjukkan kartu anggota PDIP, yang diterbitkan DPC PDIP Cianjur tahun 1999. Rosidi cemas, karena kartulah yang membuatnya ditangkap setengah abad lalu.

Dusun Sarongge sendiri berada di Kawasan Taman Nasional Gede Pangrango (TNGP). Dalam kunjugannya saat itu, Presiden Yudhoyono bersilaturahmi dengan masyarakat sekitar Gunung Gede dan melakukan penanaman bibit pohon secara simbolik.

“Kami datang hari ini tekadnya sama, untuk berbakti pada negeri ini, melestarikan lingkungan yang ada di tempat ini, sekali lagi untuk masa depan negeri yang sama-sama cintai,” kata Presiden Susilo Bambang Yudhoyono saat itu.

Selain dua pohon yang ditanam secara simbolik, Presiden dan Ibu Negara menyumbang 200.000 bibit pohon untuk ditanam di kawasan TNGP.

Presiden juga menyumbangkan uang tunai senilai Rp1,175 miliar kepada penduduk sekitar kawasan konservasi hutan tersebut.

“Pak SBY itu berkesannya di sini, dia kasih sumbangan Rp.1.175 milyar. Jadi, masjid yang ini 100 juta, masjid yang di bawah 100 juta, kelinci 500, domba 250, puskesmas, posyandu, trus apa lagi ya? Pokoknya jumlah semuanya segitu,” kata Entin kepada kami di rumah mereka.

Rosidi senang dengan kunjungan SBY itu. Karena itu, seandainya memiliki Kartu Tanda Penduduk DKI Jakarta, Rosidi mengaku akan memilih Agus Harimurti Yudhoyono dalam Pilkada 2017 lalu. Agus tersingkir di putaran pertama dengan perolehan sekitar 17 persen suara pemilih. Di putaran kedua Anies Baswedan – Sandiaga Uno lantas mengalahkan pasangan petahana Basuki Tjahaja Purnama dan Djarot Saiful Hidayat.

“Makanya Abah teh rada ngedukung Agus. Tapi kalah,” kata Rosidi pada kami.

***

Rosidi dan Endang Ahyudi merupakan dua di antara mungkin ribuan orang yang menjalani perbudakan serta pemenjaraan dalam tragedi kemanusiaan tahun 1965. Pengadilan Rakyat Internasional atau International People’s Tribunal (IPT 1965) di Den Haag, Belanda, pada Juli 2016 menyatakan Indonesia bertanggung jawab atas sepuluh tindakan kejahatan HAM berat yang terjadi pada 1965-1978. Sepuluh kejahatan itu antara lain: pembunuhan massal, pemenjaraan, penyiksaan, perbudakan, penghilangan paksa, kekerasan seksual, persekusi atau pengasingan, propaganda kebencian, keterlibatan negara lain, genosida.

Rosidi dan Endang, begitu juga para tapol penghuni Kamp Panembong lain, adalah korban dari kejahatan kemanusiaan lebih dari setengah abad silam. Sementara banyak tahanan di Jawa Tengah, Bali, Maumere-Nusa Tenggara Timur, Moncongloe-Sulawesi Selatan, dan sejumlah tempat di tanah air, dibunuh. Para tertuduh komunis di Jawa Barat, termasuk di Cianjur, tidak mengalami pembunuhan massal. Hal ini terjadi karena peran dan wibawa dari Ibrahim Adjie selaku Panglima Komando Daerah Militer III/Siliwangi.

Dalam diskusi di Pantau 14 Januari 2017, dan juga dalam bukunya, Tosca mengatatakan, Ibrahim Adjie mendatangi Suharto dan meminta agar Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD) pimpinan Sarwo Edhie Wibowo tidak masuk dan melakukan penangkapan di Jawa Barat. Ibrahim lantas berjanji untuk menangani persoalan ini tanpa intervensi pihak di luar Jawa Barat.

“Suharto cukup berhitung juga. Satu, dia (Ibrahim Adjie) senior. Kedua, tentara yang loyal ke Suharto kan hari-hari pertama juga tidak terlalu banyak. Jadi, Suharto memutuskan untuk alokasikan tentara yang sangat loyal itu, mertuanya Pak SBY: Sarwo Edhie Wibowo,” kata Tosca.

Ibrahim Adjie sebelumnya pernah mendapat tugas untuk menangani pemberontakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) di Jawa Barat di awal dekade 1960-an. Berkaca dari pengalamannya dalam menghadapi pemberontakan yang memakan banyak korban rakyat jelata, ia tak ingin ada rakyat kecil yang kembali menjadi korban pembunuhan.

“Pembunuhan itu ada, tapi tidak semasif di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Karena itu, perintah dia ke Kodim, ke Danrem, ke bawah terus itu: tangkap saja, tapi tak boleh dibunuh. Dan itu diikuti,” lanjut Tosca.

***

Pada 13 Mei 2017 rombongan kami beranjak pulang dari Sarongge menuju Jakarta saat sore menjelang gelap. Rasa letih membuat saya ingin memejamkan mata dalam perjalanan. Tapi saya terus terngiang pada sosok Rosidi, Wawan Sudrajat, Entin Kartini, Endang Ahyudi, Aminah, dan sejumlah orang lain di Sarongge. Mereka manusia yang berjuang penuh martabat.

Mereka pernah menjalani hidup penuh pengorbanan di tahanan, terpisah dari keluarga dan orang-orang terdekat, menjalani kerja paksa, dan berbagai bentuk penghinaan pada kemanusiaan. Tapi mereka bertahan.

Di Sarongge ada banyak jalan tak mulus di rute menanjak. Kendaraan yang menyusuri jalan itu harus dipacu perlahan. Begitu juga terjal dan tak mulusnya perjalanan bangsa Indonesia dalam mencari duduk persoalan sebenarnya dalam persoalan 1965. Tapi, bagaimanapun kita harus tempuh perjalanan itu.

Pada 10 Oktober 1965 Rosidi menjalani awal masa penahanannya di Cikawung, dan 52 tahun kemudian kisah ini saya tulis. Kisah sederhana dari sosok luar biasa, yang tak pernah mengotori hatinya dengan secuilpun dendam.***

 

Penulis adalah seorang penulis lepas, alumnus kursus narasi di Yayasan Pantau

]]>
Kamerad Dalam Keyakinan: Pater Joop Beek, SJ dan Jaringan BA Santamaria di Asia Tenggara https://indoprogress.com/2016/09/kamerad-dalam-keyakinan-pater-joop-beek-sj-dan-jaringan-ba-santamaria-di-asia-tenggara/ Thu, 29 Sep 2016 02:07:15 +0000 https://indoprogress.com/?p=16527

 

Ilustrasi oleh Alit Ambara (Nobodycorp)

 

TANGGAL 6 Desember 1975, beberapa jam setelah tentara Indonesia bergerak dalam invasi ke Timor Leste, Harry Tjan, salah seorang yang sangat tahu akan invasi ini makan malam di sebuah restoran di Hongkong. Bersamanya duduk dua orang Australia, BA Santamaria (akrab dipanggil ‘Bob’) dan Frank Mount. Ketiganya baru saja selesai menghadiri konferensi Pacific Insitute, sebuah lembaga yang didirikan atas ide dan inisiatif Santamaria. Frank Mount adalah operator Santamaria di Asia Tenggara.

Ketiga orang ini saling mengenal. Mereka adalah bagian dari jaringan ‘intelektual’ di Asia Tenggara. Yang menyatukan mereka adalah kesamaan pandangannya yang sangat anti komunis. Namun ada juga persamaan yang lebih mendasar, yang sangat penting dalam pembentukan pandangan anti-komunis mereka, yakni ketiganya adalah penganut Katolik. Katolisisme menjadi perekat utama mereka. Mereka bertemu secara reguler pada konferensi-konferensi Pacific Institute (PI) yang didirikan khusus untuk mendukung organisasi-organisasi anti-komunis di wilayah Asia Tenggara, khususnya di Vietnam Selatan, Filipina, dan Indonesia.

Acara makan malam ini diungkap Frank Mount dalam buku memoarnya yang berjudul “Wrestling with Asia: A Memoir.”[1] Buku ini bercerita tentang berbagai aksi yang dilakukan oleh penulisnya sebagai jurnalis, operator politik, dan agen intelijen swasta di berbagai negara di kawasan Asia Tenggara. Ditulis dengan gaya populer, buku memoar ini berusaha meramu sejarah, strategi, sedikit intrik, serta petualangan bergaya James Bond di Asia Tenggara. Dalam beberapa bagian, terkesan Mount melebih-lebihkan. Namun, ia juga mengungkap banyak hal dari sejarah yang dilihatnya dari perspektif pengalaman pribadi.

Petualangan Mount di Asia Tenggara berawal pada tahun 1967. Ketika itu, dia yang baru berusia 24 tahun, ditawari Bob Santamaria untuk melakukan perjalanan ke seluruh Asia Tenggara. Kepada Mount, Santamaria berkata, “Laporkan secara pribadi kepada saya tentang bagaimana kita bisa membantu kawan-kawan kita yang anti-komunis di sana, promosikan ide saya tentang Komunitas Pasifik (Pacific Community), dan kalau mau, tulis beberapa artikel di News Weekly (media yang diterbitkan Santamaria) dan untuk berbagai penerbitan.”

Itulah yang kemudian dilakukan oleh Frank Mount. Dia melakukan perjalanan ke Vietnam Selatan, Laos, Kamboja, Thailand, Malaysia, Singapore, Filipina, dan, tentu saja, Indonesia. Disamping melakukan reportase, dia juga membangun jaringan politik. Sebagaimana diungkap dalam memoar ini, Bob Santamaria membekali Frank Mount dengan satu hal yang paling penting dalam menjalankan tugasnya, yakni gereja Katolik dan kongregasi Serikat Yesus (Yesuit). Santamaria rupanya memiliki jaringan yang luas di kalangan Katolik, baik awam maupun klerikal, di wilayah ini. Jaringan inilah yang dipakainya memperluas agenda anti-komunisnya.

Buku memoar ini memberikan sedikit gambaran tentang bagaimana sebuah kelompok di Australia memperluas jangkauan politiknya ke luar batas-batas negaranya dan membangun sekutu internasional. Kelompok ini berpusat pada diri Bob Santamaria, seorang politisi, organisator, komentator, dan intelektual yang memiliki pengaruh cukup besar di dalam dunia politik Australia. Pengaruhnya tetap terasa sekalipun dia sudah lama meninggal. Perdana Menteri Tony Abbott (2013-2015) kabarnya menganggap Santamaria sebagai mentor politiknya.

Jaringan Bob Santamaria di Indonesia berpusat pada sekelompok orang yang berada di lingkaran seorang imam Yesuit, Pater Josephus ‘Joop’ Gerardus Beek, SJ. Dia adalah figur yang sangat kontroversial, tidak saja didalam kongregasi Serikat Yesus (biasa disebut ‘Yesuit’ atau ‘Serikat’ saja), tapi di dalam gereja Katolik Indonesia, dan juga dalam sejarah politik negeri ini. Kiprah politiknya membuat dia seringkali berbenturan dengan hirarki gereja dan juga dengan rekan-rekannya sesama Yesuit serta imam-imam di luar Yesuit. Beberapa kali dia harus ‘diperiksa’ dan ‘diliburkan’ dari tugasnya. Namun pada saat itu, Beek memiliki jaringan kuat di lingkaran kekuasaan Soeharto. Keadaan ini menyulitkan pihak gereja Katolik dan Yesuit untuk mengambil tindakan keras karena khawatir akan menimbulkan berbagai kesulitan.

Pastur Katolik ini juga dikenal memiliki pusat pengkaderan yang dikenal dengan nama Khalwat Sebulan (Khasebul). Kelak, kader-kader hasil didikan Khasebul ini banyak yang menjadi operator-operator politik di bawah kendali asisten-asisten pribadi Soeharto, khususnya Ali Moertopo dan Soedjono Hoemardani. Mereka memiliki pengaruh yang amat besar pada masa-masa awal Orde Baru. Praktis merekalah yang menciptakan rancang bangun politik Orde Baru. Selain itu, mereka juga terlibat dalam dua peristiwa besar yaitu penentuan pendapat rakyat atau Pepera 1969 di Papua (lebih dikenal dengan nama Irian Jaya pada jaman Suharto) dan aneksasi Timor Timur ke dalam wilayah Indonesia 1975.

Tulisan ini berusaha menelusuri jaringan yang dibangun Bob Santamaria di Indonesia, khususnya hubungannya dengan Pastur Beek, SJ dan lingkaran kader beserta operator-operator politiknya. Titik tolaknya adalah memoar yang ditulis Frank Mount dan kemudian membandingkan dengan beberapa memoar serta biografi yang terbit di Indonesia dan Australia. Informasi dari memoar tersebut sedapat mungkin dikonfirmasi dengan wawancara. Lebih dari tiga lusin orang telah diwawancarai untuk kepentingan artikel ini. Wawancara tersebut dilakukan entah untuk melakukan konfirmasi atau untuk menggali informasi baru.

Artikel ini ditulis sebagai informasi awal. Banyak hal didalamnya yang sulit dikonfirmasi, kecuali jika ada informasi dari arsip yang menguatkannya. Wawancara tidak banyak menolong karena sebagian besar dari mereka yang diwawancarai menolak untuk dikutip namanya sekalipun mereka memberikan informasi baru. Sebagaimana tentang topik yang menyangkut periode awal Orde Baru, dimana telah terjadi pembantaian besar-besaran yang mengakibatkan lebih dari setengah juta rakyat Indonesia meninggal, orang masih dihantui ketakutan untuk bicara.

Hubungan antara Pater Beek dengan Bob Santamaria menarik untuk ditelusuri. Kita tidak tahu sejak kapan persisnya hubungan ini dimulai. Namun, dari memoar Frank Mount, tampak bahwa keduanya sudah menjalin komunikasi sejak awal tahun 1960an. Pater Beek ketika itu sudah mengirimkan analisisnya tentang situasi politik Indonesia kepada Santamaria. Jaringan Santamaria agaknya menjadi satu-satunya akses Pater Beek ke dunia internasional.

Dengan demikian, di sini ada kemungkinan untuk membantah teori yang mengaitkan Pater Beek dengan CIA (Central Intelligence Agency, dinas intelijen milik Amerika Serikat). Sekalipun, bukan tidak mungkin hubungan dengan CIA itu terjadi lewat jalur Australia, khususnya lewat pengaruh jaringan Bob Santamaria yang sering meneruskan analisis yang dia dapat dari luar ke politisi dan lembaga-lembaga politik Australia. Tidak diragukan bahwa Santamaria juga memiliki koneksi ke dalam komunitas intelijen Australia, khususnya ke dalam Australian Secret Intelligence Service (ASIS). Besar kemungkinan analisis-analisis yang dikirimkan oleh Beek juga mendarat di meja analis-analis intelijen Australia. Pada gilirannya, karena adanya kerjasama dengan CIA, analisis dan informasi ini pun dibagi dengan CIA. Hubungan antara Beek dan CIA sangat jauh namun bukan tidak mungkin.

Apa yang terungkap dari hubungan antara Pater Beek dengan Bob Santamaria ini adalah adanya jaringan luas anti-komunis di Asia Tenggara. Jaringan itu tidak dikoordinasi oleh negara namun oleh individu-individu yang memiliki pengaruh politik di negaranya masing-masing. Mereka digerakkan oleh kesamaan ideologi anti-komunisme. Yang menarik, mereka juga berasal dari kelompok agama minoritas di Asia Tenggara – kecuali di Filipina – yakni Katolik.

 

Jurnalis, Petualang, Intel

Seperti Bob Santamaria, Frank Mount berasal dari Melbourne. Keluarga mereka pun saling berteman. Santamaria lebih merupakan figur bapak untuk Mount karena usia mereka yang terpaut jauh. Mount adalah anggota National Civic Council (NCC), sebuah organisasi anti-komunis yang didirikan oleh Santamaria. Mount juga menjadi pengurus beberapa organisasi sayap kanan. Dia pernah memimpin organisasi “Wheat for India” (1964-65) yang bertujuan untuk mengalihkan ekspor gandum Australia dari Cina Komunis ke India. Reputasinya sebagai orang sayap kanan cukup bagus.

Frank Mount juga seorang petualang. Dia sudah mengunjungi Asia sebelum direkrut oleh Santamaria. Selain itu, dia juga penyuka makanan enak, wine yang baik, dan tentu saja perempuan cantik. Dengan sedikit menyombong dia katakan bahwa petualangannya di Asia mirip seperti James Bond, bahkan ketika “James Bond belum ada dipikiran orang.”[2]

Tidak diragukan bahwa dia memiliki kapasitas sebagai seorang intel. Dia pandai bergaul dan cukup cepat menjalin pertemanan dan memengaruhi orang. Namun dia adalah juga seorang jurnalis, yang menulis selain untuk News Weekly, koran konservatif sayap kanan yang didirikan oleh Santamaria, juga menulis untuk koran-koran lain di Asia. Mount menyebutkan bahwa hampir semua tulisannya diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dan diterbitkan oleh Kompas, sebuah koran Indonesia yang diasuh oleh orang-orang Katolik.[3]

Pada mulanya, tugas Mount di Asia Tenggara adalah mewujudkan gagasan Santamaria tentang Pacific Community. Dalam pikiran Santamaria, Pacific Community perlu dibentuk untuk menjaga kepentingan dan kelangsungan hidup Australia. Ini harus dilakukan dengan membendung pengaruh Cina Komunis, jalur perdagangan dan komunikasi antara Samudera Hindia dan Samudera Pasifik, yang di tengah-tengahnya terdapat Laut Cina Selatan yang merupakan jalur ekonomi Australia, Jepang, Korea, dan negara-negara non-komunis lainnya. Untuk itu, Cina harus ditangkal pengaruhnya dan Indonesia harus dirangkul.

Untuk mewujudkan ide ini, dibentuklah Pacific Insitute (PI). Santamaria mengendalikan organisasi ini dari Melbourne, dan Frank Mount menjadi direktur pelaksana yang bergerak di lapangan. PI mengadakan pertemuan sekali dalam setahun. Pada awalnya, para peserta konferensi hanya saling bertukar informasi. Kemudian diharapkan agar para peserta, yang merupakan orang-orang yang berpengaruh di negaranya, akan merumuskan kebijakan untuk persoalan-persoalan yang dianggap penting. Mereka akan memengaruhi kebijakan dinegaranya masing-masing.

Frank Mount berkeliling ke Asia Tenggara untuk menyebarkan ide ini dan mencari peserta konferensi tahunan PI. Di Vietnam Selatan, dia bertemu dengan Kol. Ted Serong, yang juga adalah kawan dekat Santamaria. Saat itu Serong bekerja untuk CIA dalam program kontra-gerilya yang bernama ‘Phoenix Program.’ Program ini bertujuan untuk menghancurkan jaringan Vietcong di daerah pedesaan Vietnam Selatan dengan mengindentifikasi dan membunuh kader-kader kuncinya dan mengumpulkan data intelijen.

Walaupun diorganisasi oleh CIA, program ini sepenuhnya dijalankan dengan memakai organisasi keamanan lokal dan orang-orang lokal. Disinilah kemudian timbul masalah. Penangkapan, penyiksaan, dan pembunuhan terjadi dalam jumlah yang amat besar. Diperkirakan sekitar 60 ribu orang terbunuh oleh program ini. Sebagian besar dari mereka adalah guru dan tukang pos yang bekerja di pedesaan. Merekalah yang paling sering dijadikan sasaran karena dianggap sebagai kader kunci Vietcong.

Santamaria menjadikan Serong sebagai direktur nasional PI di Vietnam Selatan. Namun keterlibatan Santamaria di Vietnam Selatan tidak hanya terbatas pada PI. Dia juga memerintahkan Frank Mount untuk membantu penciptaan partai politik di sana. Terbentuklah Partai Nhan-Xa, yang merupakan bagian dari PI untuk mengembangkan ‘demokrasi liberal’ di wilayah Pasifik. Tidak hanya mendirikan partai politik, Santamaria juga membantu pembiayaan partai ini. Itu dilakukannya dengan mengalihkan sebagian dana dari Catholic Project Compassion yang seharusnya untuk membiayai kegiatan-kegiatan sosial.[4]

Santamaria memberi satu jalur penting untuk mendulang informasi dari kawasan ini. Jalur itu adalah jaringan gereja Katolik, khususnya para uskup dan imam-imam Yesuit. Di Vietnam Selatan, Mount menjalin hubungan dengan uskup (kemudian menjadi kardinal) Mgr. Nguyen Van Thuan[5], yang adalah juga kemenakan Presiden Ngo Dinh Diem. Uskup Nguyen adalah orang penting di balik pendirian partai Nhan-Xa. Walaupun tidak menjadi anggota partai ini dia menjadi penyokong yang terpenting. Lewat Mount, Santamaria mengirimkan dana-dana yang dialihkan dari Catholic Project Compassion untuk Mgr. Nguyen Van Thuan, yang kemudian meneruskannya kepada kawan-kawannya yang anti komunis di Partai Nhan-Xa.[6]

Namun bagian terpenting dari koneksi Santamaria dan Frank Mount di Asia Tenggara adalah para Yesuit. Mount mengakui ini dan bahkan menulis satu bab khusus tentang Yesuit dalam memoarnya. Para Yesuit, tulisnya, telah memainkan peranan sangat penting dalam pembangunan lembaga-lembaga demokrasi liberal di wilayah ini. Mereka mendidik penduduk lokal yang non Katolik atau Kristen sesuai dengan prinsip-prinsip masyarakat sipil Barat yang modern. Mount mengutip seorang menteri di Indonesia yang dengan bangga mengatakan bahwa dirinya adalah seorang “Westernized Jesuit sufi Muslim.”[7]

Menurut Mount, paderi-paderi Katolik di Asia Tenggara adalah sumber informasi yang paling baik. Mereka adalah bagian dari lapisan tipis golongan terpelajar di kawasan ini. “Para misionaris asing dan paderi-paderi lokal sangat tahu akan apa yang terjadi secara politik, sosial dan ekonomi,’ tulisnya. Kemana pun dia pergi di seluruh kawasan ini, dia selalu mendatangi gereja Katolik dan jaringan klerikalnya serta membanding-bandingkan informasi yang dia dapat dari politisi, jurnalis, atau intelektual yang dia jumpai.

Konferensi pertama PI diadakan di Manila, Filipina, pada tahun 1967. Konferensi ini dihadiri oleh peserta dari Vietnam Selatan, Malaysia, Filipina, Srilanka, dan Indonesia. Peserta-peserta yang hadir sangat berpengaruh di negerinya masing-masing. Dari Vietnam, hadir Uskup Thuan dan para petinggi partai Nhan-Xa; beberapa politisi dan senator dari Filipina termasuk kepala dinas intelijen Filipina, dan seorang aktivis partai MCA (Malaysian Chinese Association). Beberapa Yesuit juga datang dalam konferensi pertama ini. Selain tuan rumah Pater Horacio de la Costa, SJ (yang kemudian menjadi Provinsial Yesuit Filipina), ada juga Pater Bill Smith, SJ dari Australia.

Peserta dari Indonesia tidak lain dan tidak bukan adalah Pater Joop Beek, SJ yang datang bersama Lim Bian Kie (yang kemudian dikenal dengan nama Jusuf Wanandi). Disinilah Frank Mount pertama kali bertemu dengan Beek yang datang atas undangan langsung dari Santamaria. Hubungan antara Beek dan Santamaria sudah terjalin jauh sebelum konferensi ini.

Mount baru menginjakkan kakinya di Jakarta pada tahun 1968. Walaupun sebelumnya dia telah sering membaca analisis-analisis tentang situasi di Indonesia yang diberikan kepadanya lewat Bob Santamaria. Analisis tersebut ditulis oleh Pater Beek dan dikirim kepada Bob Santamaria, yang kemudian “meneruskannya kepada intelijen Australia.”[8] Seperti yang sudah disebutkan, Beek sudah berhubungan dengan Santamaria jauh sebelum Mount menemuinya. Bahkan Beek sudah memperingatkan Santamaria akan adanya kemungkinan kudeta di Jakarta pada awal tahun 1960.[9]

Mount menjelajahi Jakarta dan Indonesia lewat Beek dan jaringannya. Ketika dia masuk ke Indonesia, anak-anak didik (protégés) dari Beek sudah menempati posisi-posisi strategis, khususnya dalam bekerja untuk Opsus (Operasi Khusus), sebuah lembaga intelijen tidak resmi yang dikendalikan oleh asisten pribadi Soeharto, Ali Moertopo dan Soedjono Hoemardani. Anak-anak didik Beek, yang dibinanya bertahun-tahun jauh sebelum dia mendirikan Khasebul (khalwat sebulan) yang terkenal itu, menjadi tulang punggung dari banyak operasi Opsus.

Beek memiliki jaringan kader yang luas di Jawa dan bahkan seluruh Indonesia. Para kader ini memberi laporan mingguan kepada Beek, yang berisi informasi dan data intelijen tentang apa yang terjadi di daerah masing-masing kader. Mereka disuruh melaporkan segala kegiatan organisasi politik dan keagamaan lokal, badan-badan pemerintahan, angkatan bersenjata dan kepolisian. Menurut Mount, semua informasi ini diteruskan kepada Ali Moertopo lewat Jusuf Wanandi dan kepada Soedjono Heomardani lewat Sofjan Wanandi (Liem Bian Koen). Mekanisme ini mengokohkan kekuasaan Ali Moertopo atas militer dan komunitas intelijen Indonesia. “Demikian bagusnya intelijen ini sehingga beberapa jendral menduga bahwa Moertopo pastilah menjalankan jaringan intelijen pribadinya, yang barangkali dilatih oleh CIA, di dalam tubuh militer,” demikian tulis Mount. [10]

Jika ke Jakarta, Beek menjadi tujuan pertama dari Frank Mount. Dia akan menemuinya entah di kantor “Biro” di Jl. Gunung Sahari atau di tempat kaderisasinya di bilangan Klender. Dalam pandangan Mount, Beek adalah seorang yang sangat anti komunis sekaligus sangat konservatif. Tujuannya melatih kader-kader kaum muda Katolik tidak lain daripada melindungi komunitas Katolik dan Kristen yang kecil. Pada awalnya dari ancaman Partai Komunis dan kemudian dari ancaman golongan Islam. Namun, sekalipun menjalani kehidupan yang sangat asketik sebagai Yesuit, Beek juga berpikiran liberal sebagaimana umumnya Yesuit yang berasal dari Belanda. Dengan sedikit menggoda, Mount menulis bahwa Beek “bisa sangat toleran pada mereka yang jatuh pada godaan daging,[11] yang jelas tidak masuk dalam bilangan dirinya sebagai pertapa dan orang biara.” Beek menyukai minuman keras terutama gin Bols Genever, yang menurut Mount barangkali pada akhirnya ikut membunuhnya. Selama bertahun-tahun dia membawakan Beek botol-botol buram itu “bersama dengan banyak, banyak ribuan dollar dari Santamaria dan teman-temannya.”[12]

Di Indonesia, Mount juga bergaul dengan banyak Yesuit yang lain. Di dalam memoarnya, dia mengutip laporannya kepada Santamaria tentang ‘kesaksian’ dari dua orang Yesuit tentang Beek. Yang pertama adalah Pater (Theodoor Willem) Geldorp, SJ atau yang lebih dikenal dengan nama Indonesianya, Dick Hartoko, SJ. Dia mengatakan Beek adalah seorang pemikir politik orisinal dan organisator yang baik, yang ‘menyelamatkan negeri ini lebih dari sekali.’ Sedangkan Pater Thomas Huber SJ memuji kecakapan kader-kader Beek, khususnya di Irian Barat.[13]

 

ba-santamaria

Foto B.A. Santamaria

 

Santamaria dan Gerakan Katolik Konservatif Australia

Barangkali yang mengenal nama Bartholomew Augustine (B.A.) Santamaria di Indonesia bisa dihitung dengan jari. Namun, seperti yang sudah kita lihat, Santamaria pernah memiliki sedikit pengaruh di dalam politik Indonesia. Paling tidak, dia secara tidak langsung memengaruhi politik Indonesia karena dukungannya terhadap Pater Joop Beek SJ dengan para kader dan anak didiknya.

Di negerinya, Santamaria adalah figur politik yang sangat berpengaruh. Selama lima dekade dia malang melintang mewarnai politik Australia, sekalipun tidak menduduki jabatan politik apapun atau bergabung dengan partai politik manapun. Banyak orang mengatakan bahwa dia adalah tokoh politik Australia terpenting di abad ke-20. Dia adalah figur yang penuh kontroversi, yang dipuja pendukungnya dan dicaci oleh penentangnya.

Bob Santamaria, demikian panggilan akrabnya, lahir di Melbourne pada 1915. Orangtuanya adalah imigran dari Italia yang bekerja sebagai pemilik toko. Santamaria menyelesaikan pendidikan dasarnya di kota ini. Ia juga belajar di Universitas Melbourne hingga jenjang Master.

Sejak masa mudanya, dia sudah menjadi aktivis. Masa kecilnya sebagai imigran Katolik yang umumnya adalah kelas bawah dalam strata sosial Australia ketika itu juga membentuk sikap politiknya. Terlebih lagi, pada saat itu gereja Katolik sedang mengalami transisi. Ketika dia berusia dua tahun, revolusi Bolshevik meletus di Rusia. Revolusi ini membawa gelombang sekularisme dan anti-agama di mana-mana. Di beberapa tempat, kekayaan gereja dipreteli. Banyak imam dan suster dibunuh.

Dua dekade sebelumnya, gereja Katolik juga dipaksa untuk merumuskan sikapnya menghadapi gelombang besar kapitalisme dan sosialisme. Tahun 1891, Paus Leo XIII mengeluarkan ensiklik Rerum Novarum yang pada intinya menolak ajaran sosialisme dan kapitalisme. Ensiklik ini mencoba membendung ekses-ekses buruk baik dari kapitalisme maupun sosialisme. Ia menawarkan jalan keluar dengan memberikan kontrak sosial yang menjamin hak-hak kaum buruh. Dengan demikian, Rerum Novarum berpisah dari kapitalisme dalam hal hak-hak kaum buruh, namun di sisi yang lain menangkal sosialisme yang berdasarkan perjuangan kelas, pertama-tama demi alasan karena sosialisme berdasarkan materialisme sekuler yang anti agama. Ini awal dari ajaran sosial gereja.

Santamaria dengan cepat mengambil bagian di dalamnya. Pada usia 26 tahun dia mendirikan surat kabar Catholic Worker. Pada penerbitan awalnya, koran ini sibuk memerangi ekses-ekses buruk dari kapitalisme dan berjuang untuk hak-hak kaum buruh. Namun ini cepat berubah ketika Partai Komunis Australia (Communist Party of Australia atau CPA) juga mulai mengorganisir kaum buruh. Mulailah terjadi ketegangan antara kaum buruh yang diorganisir gereja Katolik dengan yang didukung oleh partai komunis. Pada tahun 1937, atas undangan Uskup Agung Melbourne, Mgr. Daniel Mannix, Santamaria bergabung dengan National Secretariat of Catholic Action, organisasi untuk kaum awam yang anti komunis.

Pada tahun 1941, Santamaria mendirikan Catholic Social Studies Movement atau yang di Australia dikenal dengan sebutan ‘The Movement” atau “The Grouper.” Ini adalah organisasi yang beroperasi secara rahasia atau setengah rahasia. Organisasi ini bersaing dengan CPA dalam mengorganisasi buruh di kantong-kantong industri Australia. Kehadirannya direstui dan bahkan disokong dengan dana oleh hirarki gereja Katolik.

Sekalipun bertarung sengit di lapangan, kedua organisasi ini tetap bernaung di bawah Partai Buruh (Labor Party) di Australia. Santamaria, yang didukung oleh kelompok-kelompok industrial, adalah sayap kanan dari partai ini. Namun setelah Perang Dunia II, khususnya ketika Perang Dingin mulai memanas, terjadi perpecahan di dalam Partai Buruh. Faksi kiri di dalam Partai Buruh menuduh Santamaria dan The Grouper sebagai penyebab kekalahan partai ini dalam pemilihan tingkat federal tahun 1954.

Perselisihan ini memuncak dan berakhir dengan didepaknya anggota parlemen yang berafiliasi pada Santamaria pada tahun 1955. Peristiwa ini dikenal sebagai ‘The Split’ dalam sejarah politik Australia dan akibatnya, dalam jangka waktu panjang, Partai Buruh tidak memenangkan pemilihan di tingkat federal. Santamaria kemudian membentuk Democratic Labor Party (DLP). Perpecahan dengan Partai Buruh ini juga mengakibatkan Santamaria kehilangan dukungan dari Gereja Katolik.

Tahun 1957, Santamaria mengubah Catholic Social Studies Movement menjadi National Civic Council (NCC). NCC juga memiliki corong sebuah suratkabar yang terbit secara berkala, News Weekly. Media ini tetap terbit secara teratur hingga sekarang. NCC sesungguhnya tidak berbeda dari The Movement. Ia tetap menjadi organisasi semi-rahasia. NCC juga bergerak lebih ke kanan dalam isu-isu sosial, seperti keyakinan akan keluarga sebagai dasar masyarakat, penentangan terhadap sentralisasi yang berlebihan, anti-aborsi, patriotisme, dan pemeliharaan nilai-nilai tradisi Judeo-Kristen.

Selain itu, Santamaria juga tampil di televisi dan memiliki show sendiri “Point of View.” Dia juga menjadi kolumnis di harian The Australian dan menulis komentar-komentarnya tentang situasi politik Australia.

Politik anti komunis membawa Santamaria ke Asia Tenggara. Partai Nhan-Xa yang dibentuk di Vietnam Selatan atas bantuannya didasarkan atas model Democratic Labor Party di Australia. Dia juga menciptakan jaringan elit-elit dari berbagai negara Asia Tenggara dan menciptakan sebuah lembaga yang bernama Pacific Institute. Sama seperti di Australia, para elit ini adalah elit-elit Katolik yang memiliki peranan dalam politik dinegaranya masing-masing.

Yang menarik adalah di Indonesia, dimana jaringan Santamaria bertumpu pada Pater Joop Beek, SJ dan anak-anak didiknya. Hingga di sini, kemudian muncul pertanyaan: Mengapa Santamaria memilih Pater Joop Beek, SJ dan kelompooknya? Sejak kapan sesungguhnya mereka saling mengenal? Apakah mereka pernah bertemu sebelum konferensi-konferensi yang diorganisir Pacific Institute?

Sebagian besar dari pertanyaan-pertanyaan tersebut sulit untuk dijawab secara langsung. Mungkin kalau arsip-arsip Santamaria diselidiki lebih lanjut akan didapat jawaban. Arsip-arsip ini disimpan di State Library of Victoria, Australia, dan pihak keluarga Santamaria sudah menetapkan bahwa arsip-arsip itu tidak bisa dibuka sampai 40 tahun setelah kematian Santamaria di tahun 1998. Walaupun demikian, pihak keluarga memberikan perkecualian kepada Patrick Morgan untuk menerbitkan dan menjadi editor sebagian kecil dari surat-surat Santamaria yang kemudian terbit dibawah judul “Your Most Obedient Servant.” Dari buku ini kita tahu bahwa Santamaria sudah menjalin korespondensi dengan Pater Beek sejak awal tahun 1960an dan mungkin juga jauh sebelum itu.

Sesungguhnya ada banyak persamaan antara Santamaria dan Beek dalam hal pandangan ideologis mereka dan cara-cara mereka membangun organisasi untuk mencapai tujuan-tujuan ideologis mereka. Bila diletakkan dalam konteks sejarah, pandangan ideologis Santamaria dan Beek ini sebenarnya adalah pandangan umum dan sikap gereja Katolik terhadap politik pada saat itu.

Seperti Santamaria, Beek juga pernah mengorganisir kaum buruh dan tani untuk menyaingi serikat buruh tani milik PKI (SOBSI dan BTI). Bersama dengan kawan seangkatannya di Yesuit, John (Johannes Baptista) Dijkstra, SJ, Beek pernah mendirikan Gerakan Pancasila[14] yang melahirkan Ikatan Buruh Pancasila, Ikatan Petani Pancasila, Ikatan Para-Medis Pancasila, dan Ikatan Usahawan Pancasila. Untuk waktu yang cukup lama, Beek menjadi moderator dari Ikatan Buruh Pancasila.

Namun Beek, seperti yang akan kita lihat di bawah ini, memutuskan untuk memusatkan perhatian pada kaderisasi. Pola yang dipakai pun mirip dengan pola The Movement, dan kemudian NCC, yang didirikan Santamaria. Sama seperti Santamaria, kaderisasi yang dilakukan oleh Beek – baik pada periode sebelum dan sesudah Khasebul – dipenuhi dengan kerahasiaan. Kader-kader ini kemudian ditanamkan atau menyusup ke organisasi-organisasi lain untuk memengaruhi pencapaian tujuan ideologis mereka.

 

Pastur Misterius Pencetak Kader

Josephus Gerardus Beek lahir di Amsterdam pada tahun 1917. Dia hampir seumuran dengan Santamaria. Seperti Santamaria, dia juga berasal dari kalangan kelas menengah bawah. Dia menghabiskan masa kecilnya di kota Amsterdam. Pada usia 18 tahun, dia memasuki ordo Serikat Yesus sebagai novis (calon imam). Dua tahun kemudian dia dikirim ke tanah misi di Jawa. Namun sayang, pada tahun 1942 kekuasaan pemerintah kolonial Belanda runtuh akibat pendudukan Jepang. Beek, sebagaimana orang Belanda lainnya, ditahan di kamp interniran. Dia baru dibebaskan empat tahun kemudian.

Sebagai bagian dari formasi imamatnya, Beek menempuh studi teologinya di Maastricth, Belanda pada tahun 1947 hingga 1950. Dia ditahbiskan menjadi imam Katolik pada Desember 1948. Setelah menerima licentiat dalam studi teologinya, Beek pergi ke Inggris untuk menjalani masa Tersiat. Ini adalah tahap terakhir dari proses yang harus dilalui sebelum seseorang menjadi anggota penuh dari Serikat Yesus.

Dia kembali ke Indonesia pada tahun 1952 dan bekerja sebagai pamong (perfect)[15] di Seminari (sekolah pendidikan calon imam Katolik) Menengah Kanisius di Jl. Code 2, Yogyakarta (kini Kolose St. Ignatius). Belum setahun bekerja di Seminari, Beek dipindah dan diberi tugas untuk membangun sebuah asrama untuk mahasiswa.

Itulah Asrama Mahasiswa Realino. Beek membangun asrama ini tidak saja secara fisik namun juga meletakkan ide dasar pengembangannya. Asrama ini dibangun secara fisik sebagai bangunan asrama modern pada masanya – dengan dapur, ruang makan, ruang studi, ruang rekreasi, kamar tidur, dan lapangan olahraga untuk lebih dari 250 mahasiswa. Ide dasar dari Beek adalah bahwa asrama ini hanya untuk mahasiswa dari Universitas Gadjah Mada yang memiliki ‘bakat dan kemampuan intelektual tinggi.’[16] Yang menarik adalah bahwa penghuni asrama ini tidak dibatasi untuk mereka yang Katolik saja namun terbuka bagi mahasiswa dari agama-agama lain. Para mahasiswa juga dibekali ketrampilan berorganisasi, dilatih berdiskusi, dan berbicara di depan umum (public speaking).

Ahmad Wahib, seorang intelektual pembaharu pemikiran Islam, pernah tinggal di asrama ini antara tahun 1961-1964. Saat itu, Beek sudah tidak lagi mengasuh asrama ini dan sudah pindah ke Jakarta. Tahun 1960an itu adalah tahun-tahun kejayaan asrama ini. Namun, dalam perkembangannya kemudian, semakin sedikit mahasiswa dari agama lain (khususnya yang Muslim) yang mau tinggal di Asrama Realino. Demikian pula kekhususan untuk mahasiswa Universitas Gadjah Mada juga tidak dapat dipertahankan. Sejak tahun 1980an, asrama ini dihuni mayoritas mahasiswa Katolik dan kualitasnya pun merosot. Tahun 1991, asrama mahasiswa ini ditutup untuk selamanya dan gedung-gedungnya dimanfaatkan untuk gedung kuliah Universitas Sanata Dharma dan sebagian kecil untuk sebuah lembaga riset, Lembaga Studi Realino.

Selain mengasuh Realino, Beek juga menjadi moderator PMKRI (Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia). Pada saat itu, PMKRI masih berupa perserikatan dari empat cabang yang ada di Jakarta, Bandung, Yogyakarta, dan Surabaya. Ketua organisasi ini dijabat bergiliran oleh cabang-cabang. Beek menjadi moderator cabang Yogyakarta.

Pada tahun 1959, Beek dipindahkan ke Jakarta. Kabarnya dia dipindahkan karena keluhan dari sesama Yesuit yang kesulitan bekerjasama dengannya. Pribadi Beek yang keras dan cenderung arogan serta mau menang sendiri untuk tujuan sendiri menimbulkan benturan dengan sesama Yesuit.

Di Jakarta, Beek diangkat menjadi Sekretaris Nasional Konggregasi Maria atau yang secara internasional lebih dikenal sebagai Sodality of the Blessed Virgin Mary. Ini adalah sebuah perkumpulan yang didirikan oleh seorang Yesuit Belgia, Jean Leunis, SJ, pada tahun 1563. Perkumpulan ini mencoba untuk menghayati kehidupan spiritual yang diajarkan oleh pendiri ordo Serikat Yesus, St. Ignatius dari Loyola. Anggotanya sebagian besar adalah orang-orang awam.

Di tangan Beek, Konggregasi Maria berubah dari sebuah perkumpulan spiritual[17] menjadi lebih ‘intelektual.’[18] Dia membentuk Konggregasi Maria untuk para sarjana,[19] mahasiswa, dan mereka yang sudah bekerja namun bukan sarjana. Kelompok ketiga ini disebutnya sebagai kelompok Pemuda Karya (sic). Rekrutmen untuk anggota-anggota Konggregasi Maria dilakukan lewat paroki-paroki. Namun ada sumber penting lain untuk mendapatkan kader-kader yang lebih ‘intelek.’ Beek memiliki akses ke organisasi mahasiswa ekstra kampus seperti PMKRI dan Pemuda Katolik. Kedua organisasi ini merupakan lahan subur untuk merekrut anggota.

Dari sinilah sesungguhnya Beek mengembangkan metode-metode pelatihan. Sekalipun dibungkus dengan metode Latihan Rohani Ignatian yang khas Yesuit, tujuan dari pelatihan-pelatihan ini lebih untuk melatih militansi, membentuk kader, menyusun organisasi, dan membuat mekanisme ‘pelaporan situasi’ yang bekerja mirip seperti sistem intelijen dimana Beek mengendalikan para kader ini.

Pada tahun-tahun inilah, seperti yang sudah kita ketahui, Beek menjalin hubungan dengan B.A. Santamaria di Australia. Kita tidak tahu apakah mereka pernah bertemu. Tapi setidaknya mereka melakukan korespondensi dan, seperti yang disebutkan oleh Frank Mount dalam memoarnya, banyak analisis yang sampai kepada Santamaria dikirim lewat saluran-saluran Yesuit.

Ketika menjalankan Konggregasi Maria, Beek sudah menerapkan latihan-latihan yang disebutnya khalwat – yang artinya pengasingan diri atau ‘retreat’ — untuk para sarjana dan mahasiswa. Khalwat ini diberikan dalam waktu sebulan. Pesertanya datang dari seluruh Indonesia. Rekrutmen dilakukan lewat paroki-paroki.[20] Bahkan saat mengurus Konggregasi Maria, Beek tidak lepas dari kontroversi yang mendatangkan keluhan dari sesama Yesuit. Pada tahun 1960, provinsial Yesuit memutuskan bahwa Beek harus mengambil sabbatical selama setahun. Dia dikirim ke Inggris untuk belajar psikologi anak-anak nakal.[21]

Pada tahun 1961, Provinsial Serikat Yesus Indonesia membentuk sebuah biro yang dinamakan Biro Dokumentasi. Biro ini pada awalnya dimaksudkan untuk memberikan informasi kepada para uskup Katolik Indonesia tentang situasi sosial dan politik di Indonesia. Beek yang baru pulang dari Inggris diserahi tugas untuk memulai biro ini, disamping tugasnya sebagai moderator Konggregasi Maria.

Di tangan Beek, Biro Dokumentasi ini beroperasi lebih mirip seperti sebuah think-tank ketimbang sebuah lembaga yang memberikan informasi untuk para uskup. Y.B. Soedarmanta, yang menulis biografi Pater Beek, menyebutkan bahwa biro ini “menyediakan bahan-bahan studi dan analisis keadaan berdasarkan tolok ukur ajaran dan moralitas Katolik agar dapat dipergunakan bagi para aktivis yang terlibat dalam organisasi kemasyarakatan.”[22]

Biro ini memiliki staf tiga orang sarjana yang bekerja penuh dan empat sarjana lain yang bekerja paruh waktu. Mereka bertugas mendokumentasi koran dan membuat ringkasan berita. Mereka juga melacak opini dan membuat semacam data-base para tokoh politik dan mengidentifikasi pandangan-pandangan politik mereka. Biro ini juga secara periodik mengeluarkan analisis-analisisnya yang tidak saja disebarkan di dalam negeri namun juga untuk konsumsi internasional dan berbahasa Inggris.

Biro Dokumentasi sengaja dibiarkan tumpang tindih dengan Konggregasi Maria. Ini pertama-tama dimaksudkan untuk “mendapatkan sumber tenaga yang bersemangat apostolis[23] … yang sadar akan kerasulan intelektual. “ Kedua, dengan menyamarkan biro ini di balik kegiatan religius maka akan “dihindarkan cap “terlalu politik” dengan ancaman bahwa usaha ini bisa dibreidel atau diganyang dengan mudah atau dibubarkan begitu saja. Sedangkan alasan ketiga adalah Biro Dokumentasi tidak bisa diasosiasikan langsung di bawah hirarki gereja karena ia hanya bernaung di bawah kelompok spiritual yang tidak ada hubungan apapun dengan hirarki gereja.[24]

Banyak orang menyamakan kegiatan Pater Beek ini dengan kegiatan seorang Yesuit keturunan Hungaria di Hongkong. Yesuit tersebut adalah Pater László Ladány, SJ pengamat masalah-masalah Cina. Pada tahun 1949, Ladány harus keluar dari Cina daratan setelah kemenangan Partai Komunis Cina (PKC). Dia menetap di Hongkong. Dari daerah protektorat Inggris ini dia mulai mengamati Cina dengan memonitor surat kabar dan majalah yang terbit di daratan serta meneliti dokumen-dokumen dari pejabat PKC. Namun yang terpenting adalah dia mendengarkan siaran radio, terutama dari daerah-daerah.

Pater Ladány menerbitkan China News Analysis pada 1953. Terbitan ini dengan segera menarik perhatian jurnalis, akademisi, peneliti, analis intelijen dan think tank, serta mereka yang menaruh perhatian terhadap masalah Cina. China News Analysis ini terbukti dapat melihat dengan tepat apa yang terjadi di Cina. Seperti misalnya, Ladány secara tepat menunjukkan terjadinya kelaparan hebat di daerah-daerah pedesaan Cina semasa Revolusi Kebudayaan.

Analisis Ladány yang sangat kritis terhadap Cina membuatnya mendapat cap ‘fanatik anti Komunis.’ Ini adalah cap yang bukan tidak lazim dikenakan terhadap Yesuit dan pada gereja Katolik pada saat itu. Seperti yang kita lihat di atas, gereja Katolik memang sangat anti komunis.

Kita tidak tahu apakah Pater Ladány mengenal BA Santamaria dan jaringannya. Sebenarnya tidak terlalu aneh kalau mereka saling mengenal karena sama-sama anti komunis. Konferensi Pacific Institute juga beberapa kali diadakan di Hongkong. Demikian pula, apakah ada hubungan antara Ladány dengan Beek? Buku memoar Yusuf Wanandi (Liem Bian Kie), salah seorang sekondan terdekat Beek, menulis bahwa Yusuf Wanandi kerap mengunjungi Pater Ladány kalau dia singgah di Hongkong.

Hanya saja, ada satu perbedaan besar antara Beek dan Ladány. Pater Ladány hanya bekerja sepenuhnya untuk China News Analysis. Dialah satu-satunya editor terbitan ini. Sehingga ketika dia memutuskan untuk berhenti maka berhenti pulalah penerbitan China News Analysis. Sedangkan Beek tidak membatasi dirinya hanya sekedar melakukan analisis seperti yang dilakukan oleh Ladány. Dia merekrut dan melatih kader-kader dan kemudian menciptakan sistem untuk mengontrolnya.

Pada akhir tahun 1966, Beek memulai program Khasebul (Khalwat Sebulan) yang pesertanya khusus mahasiwa. Ini meneruskan program kaderisasi yang sudah dia lakukan di dalam Konggregasi Maria. Hanya saja, pesertanya dibatasi pada mahasiswa saja. Tidak terlalu jelas apa alasan yang membuat Beek mengeluarkan program kaderisasi ini dari Konggregasi Maria.

Kemungkinan pertama adalah ‘persoalan’ antara Beek dengan ordonya sendiri dan dengan imam-imam di berbagai paroki. Biografi yang disusun oleh JB Soedarmanta memuat satu peristiwa yang terjadi pada tahun 1966. Disebutkan bahwa Beek diperiksa oleh Asisten Jendral Jesuit Pater Vincent O’Keefe yang sedang berkunjung ke Asia, termasuk Indonesia. Beek diperiksa berkaitan dengan metode pendidikan anak-anak muda yang dia lakukan. Agaknya, Jendral Jesuit di Roma mendengar bagaimana Konggregasi Maria tidak lagi semata-mata menjadi perkumpulan spiritual. Pada tahun 1967, Konggregasi Maria diubah menjadi Christian Life Community (CLC) dan fungsinya dikembalikan sebagai lembaga rohani.

Yang kedua adalah perkembangan politik. Kita tahu, kudeta gagal G30S dilancarkan setahun sebelumnya. Setelah itu, terbentuk aliansi antara mahasiswa – yang banyak dimotori dan dikendalikan oleh kader-kader Beek – dengan militer. Khasebul tampaknya adalah upaya untuk melatih mahasiswa yang diperlukan untuk menyokong Orde Baru yang baru saja berdiri itu.

Bagaimana Khasebul dijalankan?

Soedjati Djiwandono, salah seorang anak didik Beek pernah menulis sekilas tentang metode pelatihan Beek di Mingguan Hidup Katolik. Menurut Soedjati, program Khasebul dilakukan setelah terlebih dahulu dilakukan Kaderisasi Dasar (Kadas), yang berlangsung seminggu. Pesertanya sekitar 20 orang. Pembimbingnya adalah kader Khasebul senior. Terkadang kadas ini juga didampingi oleh Pastur Paroki atau bahkan Pater Beek sendiri. Materi Kadas adalah hal-hal yang mendasar seperti demokrasi, ormas, dan organisasi politik (orpol). Dari peserta Kadas inilah direkrut peserta Khasebul. Umumnya, Khasebul diikuti oleh 30 orang yang dipilih dari berbagai daerah di Indonesia.[25] Khasebul dilakukan empat kali dalam setahun.

Pendidikan di dalam Khasebul terkenal sangat keras. Para peserta dituntut berdisiplin sangat tinggi. Mereka diajarkan organisasi, berbicara di depan umum (public speaking), melakukan analisis dan menulis laporan. Mereka juga mendengarkan ceramah-ceramah yang disampaikan oleh elit-elit Katolik (bahkan yang sederajat menteri) dan intelektual.

Peserta juga harus berefleksi terhadap kelemahan-kelemahannya sendiri dan berusaha mencari jalan keluar dari kelemahan itu. Beek sendiri juga turun tangan dalam mengevaluasi kelemahan-kelemahan pribadi para peserta. Sanksi disiplin sangat keras. Setiap pelanggaran dikenakan hukuman dan sering hukuman itu adalah hukum fisik seperti ditempeleng.[26] Tidak jarang pula peserta dipulangkan sebelum menyelesaikan pendidikan. Baik mereka yang selesai menjalani kaderisasi maupun yang dikeluarkan di tengah jalan tidak akan pernah berbicara tentang Khasebul. Sama seperti NCC dari Bob Santamaria, kader-kader hasil pendidikan Khasebul menjadi mirip seperti sebuah ‘secret society.’ Kultur kerahasiaan ini menjadi ciri khas kader-kader Beek. Mereka tidak pernah berbicara tentang kaderisasi atau proses kaderisasi. Namun, di dalam gereja Katolik, kadangkala orang mudah mengidentifikasi orang-orang Khasebul karena keaktifan mereka berbicara politik dan jaringan yang mereka miliki dengan elit-elit Katolik tingkat nasional.

Dengan metode ini, Beek percaya bahwa dia akan mampu membentuk karakter peserta Khasebul. Selain pembentukan kepribadian, dia juga ingin memperkuat mereka secara rohani. JB Soedarmanta menguraikan dengan panjang lebar ‘kualitas’ seorang kader. Mereka diharapkan menjadi orang yang mengenal dirinya sendiri, pemberani, dan ‘rela memanggul salib’ – yang artinya sanggup menderita untuk orang lain. Menurut Soedjati Djiwandono, Beek tidak menentukan masa depan kadernya. “Mereka akan diperlukan dalam segala bidang kehidupan di masyarakat. Yang penting adalah keyakinan imannya dan keahlian dalam bidangnya sendiri,” demikian tulis Djiwandono.

Beek sendiri aktif mengekspresikan pandangan-pandangan politiknya kepada khalayaknya sendiri. Menurut Soedjati Djiwandono, Beek aktif menggelar diskusi setiap Jumat malam di tempat yang berpindah-pindah, kadang di Keuskupan, di Gedung KWI, atau di gedung sekolah Katolik. Mereka yang hadir adalah pengajar Khasebul, para kader, para pastor, bahkan uskup Jakarta, Mgr. Djajaseputra, SJ, serta tokoh-tokoh politik Katolik. Beek menyampaikan ‘evaluasinya’ terhadap masalah-masalah aktual.

Hasilnya ditulis dalam selebaran satu lembar yang diberi nama “Evaluasi.” Selebaran ini disebar ke berbagai pihak, termasuk surat-surat kabar. Menurut Djiwandono, kadang evaluasi ini “isinya satu-dua kali dimuat di majalah Times.[27] Penulisnya adalah Beek sendiri, tapi kadang juga ditulis oleh kader-kader senior seperti JB Oetoro, Haksoro, Kadjat Hartojo, Soedrajad Djiwandono[28], atau Soedjati Djiwandono sendiri. Tentu saja, Beek menjadi pemeriksa akhir dari naskah yang ditulis para kader ini. Beek juga mengeluarkan publikasi dalam bahasa Inggris Monthly Review, yang terbit sekali dalam sebulan

 

Dominasi Ideologi Kanan

Apakah yang menggerakkan Beek untuk membentuk kaderisasi ini? Tidak terlalu sulit untuk memahaminya. Sikap politik Beek sesungguhnya adalah sikap politik gereja pada waktu itu dalam menanggapi pergolakan-pergolakan politik. Ketika dihadapkan pada gelombang persaingan dua ideologi besar antara kapitalisme dan sosialisme, Gereja Katolik menolak keduanya. Gereja memilih untuk berpihak kepada buruh namun tidak dalam kerangka Marxisme. Sikap inilah yang juga diambil oleh BA Santamaria di Australia dan oleh politisi-politisi Katolik di banyak tempat di belahan dunia.

Namun ideologi yang diturunkan dari ajaran sosial gereja ini juga bisa memantik gerakan sosial yang berbeda. Di Amerika Serikat muncul gerakan Catholic Worker Movement yang digerakkan oleh Dorothy Day, seorang aktivis sosial yang menganut Katolisisme pada usia dewasa setelah sebelumnya hidup secara bohemia. Dorothy Day adalah penganjur distributisme, sebuah sistem ekonomi yang berasal dari ajaran sosial gereja, yang menolak dalil-dalil sosialisme dan kapitalisme. Prinsip-prinsip distributisme ini hampir mirip dengan yang diterapkan oleh Catholic Social Studies Movement yang didirikan oleh BA Santamaria pada tahun 1940an. Bedanya adalah Santamaria pada akhirnya bergerak ke kanan, sementara gerakan Dorothy Day di Amerika menjadi peletak dasar-dasar pasifisme, yang nantinya akan menjadi gerakan anti perang, khususnya anti Perang Vietnam tahun 1960-70an.

Permasalahan muncul ketika bangkit fasisme di Eropa. Ideologi ini sangat populer di kalangan kaum buruh dan kelas menengah bawah yang menginginkan pemimpin yang kuat. Para politisi Katolik dan hirarki gereja Katolik sendiri banyak yang tergoda dengan fasisme, terutama karena fasisme menolak liberalisme, Marxisme, dan anarkisme. Paus Pius XII, yang bertakhta sebelum dan selama Perang Dunia II, tidak menunjukkan sikap yang tegas terhadap fasisme baik di Italia (fasisme Mussolini) maupun di Jerman (Hitler). Sikap ini di kemudian hari dianggap sebagai dukungan terhadap fasisme.

Di Australia, BA Santamaria tidak menyembunyikan simpatinya kepada fasisme. Dia pernah berceramah mempertahankan Jenderal Franco, seorang jenderal fasis yang memerintah Spanyol dari tahun 1939 hingga 1975. Santamaria juga menulis tesis tentang Mussolini. Di kemudian hari, Santamaria menyangkal bahwa dia pernah mendukung fasisme.

Tidak pelak, ajaran sosial gereja dengan segala ramifikasi ideologisnya itu lah yang memengaruhi Pater Beek. Imam Yesuit ini tampaknya lebih dekat ke pemikiran Santamaria yang anti komunis itu. Ideologi yang cenderung ke kanan ini juga menjelaskan mengapa Beek sangat mudah menjalin persekutuan dengan tentara. Sekalipun tidak ada bukti bahwa Beek berhubungan langsung dengan tentara dan Soeharto, tidak dapat dipungkiri bahwa kader-kader terdekatnya bekerja untuk Soeharto atas restu dan berkat dari Beek.

Tidak terlalu sulit untuk mengerti bahwa ideologi politik kanan ini juga dekat dengan fundamentalisme keagamaan.[29] Dalam hal ini, ketika dihadapkan pada pilihan apakah bekerja sama dengan tentara atau dengan golongan Islam, kader-kader Beek kemudian memilih yang pertama. Mereka mempopulerkan prinsip ‘minus malum’ atau ‘the lesser of two evils’ yakni sebuah sikap untuk mengambil yang paling kurang keburukannya ketika dihadapkan pada dua pilihan buruk.

Prinsip ini diterapkan ketika golongan Katolik dalam masa transisi setelah kejatuhan PKI dan pemerintahan Presiden Sukarno harus memilih dengan siapa harus beraliansi. Kader-kader Beek mendefinisikan situasi pilihan ketika itu adalah antara berpihak pada militer atau kepada golongan Islam. Pilihan jatuh pada aliansi dengan pihak militer.

Sesungguhnya, dalam kenyataan ada plihan yang lebih luas yakni antara militer dan golongan sipil yang lebih luas (tidak hanya golongan Islam saja). Kader-kader Beek, karena dorongan fundamentalisme keagamaan, dengan tanpa ragu memilih beraliansi dengan militer. Segolongan kecil politisi Katolik yang pernah bergabung dengan aliansi Liga Demokrasi[30] menginginkan keadaan kembali seperti jaman Demokrasi Liberal. Namun suara mereka tenggelam karena dominannya kekuatan kader-kader Beek di dalam golongan Katolik. Puncaknya adalah ketika Partai Katolik dibubarkan pada tahun 1972.

 

pater-beek3

Ilustrasi oleh Alit Ambara (Nobodycorp)

 

Menghancurkan PKI: Satu Selimut Dengan Orde Baru

Kaderisasi oleh Beek dilakukan dalam waktu yang amat panjang. Dia sudah mulai bekerja di antara mahasiswa sejak 1952. Beberapa kadernya yang paling dekat direkrutnya jauh sebelum dia mendirikan Khasebul. Harry Tjan, misalnya, mengenal Beek sejak tahun 1953 saat masih duduk di bangku SMA. Dia bertemu Beek dalam sebuah retret untuk anak-anak SMA De Britto, Yogyakarta. Harry Tjan kemudian aktif di PMKRI dan akhirnya menjadi Sekretaris Jendral Partai Katolik, partai yang dibubarkan pada tahun 1972.

Tidak banyak diketahui bagaimana cara bergerak kader-kader Beek yang dilatih lewat berbagai lembaga seperti Realino, PMKRI, Konggregasi Maria, dan Biro Dokumentasi. Namun ada sedikit keterangan dari buku memoar Yusuf Wanandi, Shades of Grey,[31] yang terbit pada 2012. Sekalipun Wanandi bercerita terus terang tentang banyak hal yang tidak diketahui umum tentang masa-masa Orde Baru, buku memoar ini memiliki satu lubang besar. Itu adalah Pater Joop Beek, SJ. Wanandi tidak sekalipun menyebut nama Beek dalam bukunya ini. Sekalipun pastur Yesuit ini memiliki peranan amat penting dalam awal-awal perjalanan karirnya dan dalam hidupnya.

Wanandi juga menyebut cikal-bakal CSIS (Center for Strategic and International Studies) tanpa terang-terangan menyebut nama Biro Dokumentasi yang dikelola oleh Beek. “Cikal bakal dari apa yang nantinya akan menjadi Center for Strategic and International Studies – yang menjadi fokus dari kehidupan profesional saya – adalah sebuah rumah kecil di Jalan Gunung Sahari dekat Pasar Baru.”[32] Kita tahu bahwa ini adalah sebuah rumah di Jl. Gunung Sahari No. 88 yang dulu menjadi kantor Biro Dokumentasi. Tidak diketahui sejak kapan Biro Dokumentasi dibubarkan.[33]

Memoar Wanandi mengungkap beberapa aspek penting dari politik Katolik menjelang tahun 1965. Disamping secara intensif melakukan pengkaderan, Biro Dokumentasi juga melakukan analisis terhadap situasi. Wanandi menulis bahwa para intelektual dan mahasiswa Katolik secara serius mempersiapkan segala kemungkinan yang terjadi seandainya dalam waktu lima tahun PKI berkuasa. Wanandi menulis, “Dan, kami sebagai orang Katolik tahu bahwa kamilah yang pertama-tama harus menghadapi regu tembak (first up against the wall). Kami bisa mengelak dari Sukarno karena dia perlu minoritas seperti kami. Kami membuka kesempatan bagi dia untuk menunjukkan bahwa pemerintahannya bukanlah pemerintahan komunis. Namun ini juga alasannya PKI menjadi paling membenci kami.”[34]

Tidak banyak orang yang tahu bahwa kelompok Katolik ini sudah mempersiapkan segalanya untuk mengantisipasi kekuasaan PKI. Wanandi menulis bahwa generasi muda Katolik sangat bersemangat. Mereka juga bersiap untuk bergerak di bawah tanah jika keadaan menuntut. Mereka memiliki antara 2000 hingga 3000 orang kader politik yang terlatih. Kader-kader ini dilengkapi dengan mesin-mesin ketik, kertas, dan mesin stensil untuk mencetak selebaran.[35] Mereka juga sudah menyiapkan tempat-tempat persembunyian jika keadaan membutuhkan.

Yang paling menarik dari paparan Wanandi ini adalah pengakuannya bahwa mereka memiliki ‘senjata rahasia.’ Dia menulis, “Di jajaran petinggi PKI kami memiliki seorang informan, seorang anak muda lulusan Universitas Gadjah Mada di Yogyakarta, yang pada tahun 1958, kawin dengan seorang Katolik dan kemudian pindah agama. Anak muda ini sudah menjadi anggota CGMI[36] dan ketika dia memberitahu kami akan rencananya untuk pindah agama, kami katakan padanya untuk tidak memberitahu siapapun. Kami minta dia untuk melaporkan kepada kami apa yang dia lihat dan dengar. Anak ini sangat pintar, sehingga PKI dengan cepat mempromosikan dia, dan pada awal tahun 1960an mereka membawa dia ke Jakarta, dimana dia selama tiga tahun ditempatkan di Sekretariat (PKI, red.), sebelum menjadi pembantu Sudisman, orang penting nomor empat di PKI dan juga Sekretaris Jendral partai ini. Dan, anak muda pemberani ini – yang namanya masih terlalu sensitif untuk diungkap – membuat kami mampu mengikuti apa yang sedang terjadi (didalam tubuh PKI, Red.).”[37]

Sangat jelas di sini bahwa Beek juga memiliki kemampuan untuk melakukan infiltrasi, bahkan ke jantung PKI. Dari korespondensi dengan BA Santamaria, kita tahu bahwa Beek sudah memperingatkan Santamaria akan adanya kemungkinan kudeta oleh PKI sejak awal tahun 1960an. Dengan memiliki informan yang ditanam di Sekretariat PKI dan bahkan menjadi pembantu Sudisman, tentu Beek mendapatkan informasi yang cukup akurat tentang PKI.

Usaha untuk menyingkap siapa orang ini tidak menemui hasil. Saya menghubungi Tan Swie Ling yang juga menjadi salah satu pembantu Sudisman pada saat itu. Tan Swie Ling pun tidak tahu menahu akan adanya informan ini. Demikian pula beberapa bekas anggota CGMI di Universitas Gadjah Mada, semuanya tidak bisa mengidentifikasi orang yang diklaim Wanandi ini.

Apapun yang terjadi, yang jelas Beek dan Biro Dokumentasinya memiliki database yang sangat bagus tentang elit Indonesia pada saat itu. Seperti yang telah disebutkan di atas, mereka dengan sangat rajin mencatat nama-nama serta pandangan politik para elit di Jakarta. Tidak dapat disangkal bahwa Beek dan Biro Dokumentasinya adalah kelompok yang paling tahu (well-informed) tentang PKI.

Kemungkinan ini juga mengandung pertanyaan-pertanyaan lanjutan. Apakah Beek dan Biro Dokumentasinya pernah membuat daftar para elit PKI – kelompok politik yang mereka anggap sebagai musuh utama mereka? Jika pernah, kemanakah daftar ini dibagikan? Apakah Santamaria pernah menerimanya? Dari Frank Mount kita tahu bahwa Santamaria biasanya meneruskan informasi yang diterima dari Beek ke dinas intelijen Australia. Pertanyaan-pertanyaan seperti ini sulit dicari jawabnya. Kecuali kalau kita diijinkan membuka arsip-arsip, terutama arsip Santamaria.

Dari sisi organisasi, ketika kudeta G30S gagal, kader-kader Beek segera mengisi posisi-posisi penting dalam gerakan oposisi terhadap Soekarno. Kelompok ini yang paling siap dibandingkan dengan kelompok-kelompok lain. Sehingga tidak heran jika kader-kader Beek termasuk yang pertama dari kalangan sipil yang bergabung dengan Soeharto dan militer.

Selain film “Pengkhianatan G30S/PKI” dan buku putih[38] tentang kudeta yang gagal itu, hampir tidak ada kajian sejarah independen yang membahas saat-saat gagalnya percobaan kudeta G30S dan usaha-usaha lanjutannya dalam perebutan kekuasaan. Film “Pengkhianatan G30S/PKI” dibuat untuk kepentingan propaganda rezim Orde Baru. Sementara itu, buku putih versi Orde Baru tersebut kabarnya dibuat di Santa Monica, California, Amerika Serikat. Adalah Guy Pauker, staf think tank RAND Corporation, yang mengundang Ismail Saleh, SH dan Brigjen TNI Nugroho Notosusanto ke Santa Monica untuk menulis buku putih tersebut sebagai tandingan atas Cornell Paper.[39]

Kajian seperti ini sangat penting karena di masa-masa dini inilah sesungguhnya seluruh narasi Orde Baru dibentuk. Misalnya, siapa yang menasehati Soeharto untuk membentuk opini bahwa PKI-lah yang berada di balik kudeta gagal G30S? Siapakah yang memberikan nasehat untuk menciptakan mitos keji bahwa Gerwani yang menari dan menyilet tubuh para jendral yang dibunuh? Untuk tujuan apa? Pertanyaan-pertanyaan seperti itu penting diajukan dan dicari jawabannya.

 

Antara Kader dan ‘Apparatchik’ Rezim Orde Baru

Kader-kader Pater Beek memegang peranan menentukan dalam proses kudeta merayap oleh Soeharto untuk menggulingkan pemerintahan Soekarno. Tanggal 2 Oktober, hanya sehari setelah usaha kudeta ini digagalkan, Harry Tjan bersama aktivis-aktivis HMI (Himpunan Mahasiswa Islam) sudah membentuk Komite Aksi Pengganyangan Gestapu (KAP-Gestapu). Organisasi ini mendapat dukungan penuh dari Soeharto dan militer yang berpihak kepadanya. Pada akhir bulan Oktober 1965, Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) terbentuk. Ketuanya adalah Cosmas Batubara, yang adalah juga Ketua Presidium PMKRI dan kader Beek.

Di tingkat nasional, kader-kader Beek adalah sekumpulan anak-anak muda kelas menengah atas – sebagian adalah keturunan Tionghoa – yang terbiasa bergaul dengan kalangan elit politik baik sipil maupun militer. Latar belakang ini membuat mereka agak terisolasi dengan keadaan di daerah-daerah, khususnya yang berkaitan dengan pembantaian massal tahun 1965.

Seorang narasumber mengklaim bahwa kondisi para kader Beek ketika itu sama dengan kebanyakan orang di Jakarta. Mereka sama sekali tidak mengikuti (tepatnya: tidak peduli) dengan apa yang terjadi di daerah-daerah. Mereka tahu banyak anggota PKI yang ditahan namun tidak sadar bahwa telah terjadi pembantaian besar-besaran, khususnya di Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Bali. Namun kemungkinan bahwa kader-kader di daerah-daerah juga berpartisipasi dalam pembantaian ini tidak bisa diabaikan. Hampir semua organisasi non-PKI pada saat itu ikut dalam pembantaian.

Namun tidak dapat diabaikan juga bahwa kader-kader Beek di tingkat nasional ikut berpartisipasi dalam menciptakan narasi yang menghubungkan usaha kudeta G30S dengan Partai Komunis Indonesia dan mendukung narasi-narasi kekejaman PKI yang kemudian tidak terbukti kebenarannya itu. Tidak dapat disangkal bahwa narasi seperti anggota Gerwani yang menyilet wajah para jenderal yang diculik dan memotong kemaluannya telah menimbulkan provokasi terhadap massa di tingkat bawah. Narasi-narasi seperti ini telah mendorong terjadinya pembantaian besar-besaran terhadap anggota-anggota PKI. Hingga saat ini, belum ada penyelidikan yang mendalam tentang siapa yang menciptakan narasi-narasi ini ketika muncul pertama kali.[40]

Dengan tiba-tiba golongan Katolik, sebuah minoritas yang amat kecil dalam masyarakat Indonesia, memiliki pengaruh yang amat besar. Pengaruh itu disalurkan lewat pembantu-pembantu terdekat Soeharto, khususnya Ali Moertopo dan Soedjono Hoemardani. Mereka adalah orang-orang kepercayaan Soeharto dan sudah mendampingi dia sejak masih menjabat Panglima Kodam Diponegoro di Jawa Tengah.

Kita tidak tahu sejak kapan kader-kader Beek mengenal salah satu dari kedua orang ini atau berhubungan dengan Soeharto secara langsung.[41] Yang jelas kader-kader Beek, khususnya Harry Tjan, Jusuf Wanandi dan saudaranya Sofjan Wanandi memiliki akses yang sangat besar terhadap Soeharto lewat Ali Moertopo dan Soedjono Hoemardani.

Ali Moertopo adalah orang intelijen. Dia dikenal memiliki jaringan intelijennya sendiri yang disebut Opsus (Operasi Khusus). Jaringan intelijen ini berada di luar struktur dinas intelijen negara. Opsus memiliki akses langsung ke Soeharto dan dioperasikan seperti intelijen pribadinya.

Setelah ‘kemenangan’ terhadap PKI, tentu kader-kader yang jumlahnya ribuan ini harus melanjutkan hidup secara normal. Mereka membutuhkan pekerjaan. Banyak dari mereka yang masuk ke pemerintahan atau ke lembaga-lembaga yang baru dibentuk. Kader-kader Beek banyak mengisi posisi di dalam Golkar, baik di tingkat pusat maupun daerah. Kader-kader ini juga banyak mengisi Bapilu (Badan Pemenangan Pemilu) Golkar yang sangat berperan dalam ‘membuldozer’ partai-partai politik pada Pemilu tahun 1971 dan memenangkan Golkar.[42]

Tidak dapat dipungkiri, kader-kader Beek sukses menciptakan cetak biru (blue-print) sistem politik Orde Baru. Mereka berada di balik penciptaan Golkar, penyederhanaan sistem kepartaian, dan memenangkan Golkar dengan segala cara pada Pemilu tahun 1971. Dalam hal ini, mereka bekerjasama dengan erat dengan militer. Semua ini memberikan landasan yang kokoh untuk Orde Baru.

Ironisnya, kader-kader Beek jugalah yang mematikan Partai Katolik, yang dibubarkan pada bulan Desember 1972. Padahal Harry Tjan, salah seorang sekondan terdekat Beek, adalah Sekjen partai ini. Argumen yang dipakai adalah golongan Katolik harus masuk ke kekuatan politik dimana mereka bisa berperan (baca: berkuasa). Beek dan kader-kadernya seringkali mengutip perumpamaan sebagai ‘garam.’ Orang Katolik harus menjadi garam yang jumlahnya kecil namun menjadi penentu rasa dalam makanan. Inilah alasan utama untuk membubarkan Partai Katolik. Dengan dibubarkannya Partai Katolik, kader-kader Beek bebas masuk ke Golkar tanpa dicurigai sebagai penyusup dari Partai Katolik. Sementara, para politisi bekas Partai Katolik yang tidak masuk ke Golkar dialihkan ke Partai Demokrasi Indonesia (PDI) yang dipaksakan pembentukannya pada tahun 1973.

Sebagian dari kader-kader ini masuk ke dalam Opsus, jaringan intelijen yang dikendalikan Ali Moertopo. Kader-kader Beek berperan sangat besar dalam memenangkan Penentuan Pendapat Rakyat (The Act of Free Choice) atau Pepera tahun 1969. Ini adalah pemungutan suara untuk menentukan apakah Papua Barat akan bergabung dengan Indonesia ataukah menjadi negara tersendiri. Indonesia sukses meyakinkan PBB supaya Pepera tidak dilakukan dengan suara terbanyak rakyat Papua, tetapi ditentukan secara ‘mufakat’ lewat perwakilan. Ada 1,026 orang yang dikategorikan berhak untuk memilih pada Pepera tersebut. Lewat operasi intelijen, mereka semua bermufakat untuk bergabung dengan Indonesia. Di kemudian hari banyak dari orang-orang ini mengatakan bahwa Pepera sebenarnya adalah “the act of no choice” karena begitu hebatnya intimidasi dan manipulasi terhadap mereka yang berhak memilih.

Kader-kader Beek masuk ke Papua sebagai relawan dan merekalah yang menjadi ujung tombak operasi intelijen. Ironisnya, di Papua mereka berhadapan dengan gereja Katolik dan gereja-gereja Kristen lain yang sudah lebih dahulu hadir menjalankan misi di sana. Bentrokan antara kader-kader awam yang Katolik dengan gereja Katolik lokal tidak dapat dihindari. Pada saat itu, semua uskup Katolik di Papua Barat menyatakan mendukung Pepera asal dilakukan lewat mekanisme ‘satu orang, satu suara’ (one man, one vote). [43]

Kelihatan sekali kontras antara kader-kader Katolik ini dengan hirarki gereja Katolik lokal yang mencoba melindungi umatnya. Kader-kader Beek juga menekan gereja Katolik Indonesia untuk mendukung penyatuan Papua tersebut. Ketua MAWI (Majelis Agung Waligereja Indonesia)[44] saat itu, Mgr. Justinus Kardinal Darmojuwono, Pr. menulis surat kepada hirarki gereja di Papua[45] yang menjelaskan bagaimana sebaiknya posisi gereja Katolik dalam hal Pepera. Surat itu dikonsep oleh intelijen Indonesia dan diterjemahkan ke dalam bahasa Belanda oleh Drs. Lo Shiang Hien Ginting.[46] Setelah beberapa lama, Mgr. Darmoyuwono mengaku hanya diminta menandatangani surat tersebut

Tekanan kepada gereja Katolik lokal Papua pun tidak dapat dihindarkan. Bahkan seorang Yesuit Indonesia yang bekerja untuk Keuskupan Jayapura merasa keberatan. Pater Henricus Hadipranata, SJ saat itu berkomentar, “Buat apa dapat Irian Barat kalau di dunia internasional nama Indonesia menjadi jelek?”

Frank Mount memuji setinggi langit peranan kader-kader Beek dalam Pepera ini. “Sekitar seratusan orang yang dilatih khusus oleh Beek dikirim ke Irian Jaya untuk mendorong agar rakyat memilih penyatuan dengan Indonesia. Mereka semua memberi laporan kepada Beek yang kemudian meneruskannya kepada Ali Moertopo tentang apa yang dibikin oleh orang-orang militer karena Moertopo tidak pernah percaya pada apa yang dikatakan oeh para perwira-perwiranya yang berada di lapangan jauh dari Jakarta.”[47]

Tidak berhenti hingga Pepera. Kader-kader Beek juga ikut mengambil peranan dalam operasi intelijen untuk menginvasi Timor Leste tahun 1975. Banyak dari mereka yang terlibat dalam “operasi Komodo,” yang masuk ke Timor Leste sebagai relawan bersama dengan militer yang menanggalkan semua atribut kemiliterannya.

Namun peran kader-kader Beek paling besar terjadi pada tingkat diplomasi internasional. Pada saat itu, Harry Tjan dan Jusuf Wanandi diserahi tugas untuk berkomunikasi dengan Australia. Komunikasi dua konfidan terdekat Beek dengan Australia ini terekam pada sebuah buku setebal 900 halaman yang terbit pada tahun 2000, setahun setelah Timor Leste melakukan jajak pendapat dan akhirnya memilih merdeka dari Indonesia. Dalam buku yang memuat semua kabel dari Jakarta ke Canberra serta lalu lintas komunikasi dengan pihak Indonesia itu, terlihat bagaimana pentingnya peranan Harry Tjan dan Jusuf Wanandi.[48]

Yang lebih menarik lagi, ternyata Harry Tjan tidak hanya memainkan saluran-saluran diplomatik saja. Dia juga berhubungan dengan kawan-kawannya di kelompok BA Santamaria dan berusaha memainkan opini publik Australia lewat pengaruh kawan-kawannya ini. Frank Mount memperlihatkan bagaimana sikap Indonesia sebelum invasi. Dalam suratnya ke Santamaria pada 21 Juli 1974, misalnya, Mount berkesimpulan bahwa sikap Indonesia sudah jelas, yakni hendak memasukkan Timor Leste ke dalam wilayah Indonesia. Dalam surat itu juga digambarkan bagaimana Harry Tjan mengatur strategi untuk membentuk opini di kalangan pengambil kebijakan di Australia.[49]

Pada akhirnya, kader-kader yang semula dilatih untuk menjadi ‘intelektual’ dan aktivis ini dalam perjalanan waktu akhirnya hanya menjadi ‘apparatchik’ atau aparat Orde Baru. Banyak dari kader yang berkarir di Golkar akhirnya didepak ketika Soeharto mengubah partner yang menjadi aliansi kekuasaannya.

 

Gereja Katolik, Yesuit, dan Politik

“… [P]ada waktu gereja-gereja dibakar, dimana militer? Kalau kita mau mantap di Indonesia, maka bukan karena dilindungi oleh militer, melainkan karena berhubungan baik dengan saudara-saudara Muslim sendiri.

Franz Magnis-Suseno.[50]

Tidak pelak lagi, Beek dan kader-kadernya menimbulkan ketegangan tersendiri di dalam gereja Katolik dan di dalam Serikat Yesus. Di kalangan gereja, keluhan-keluhan mulai muncul karena kader-kader Beek, yang merasa lebih superior dari umat biasa dan bahkan dari pastor-pastor paroki, mulai menciptakan keresahan di kalangan komunitas umat. “Setelah tidak ada yang dimakan di luar, mereka mulai makan ke dalam,” demikian seorang pastor tua mengatakan pada saya.

Gereja takut mengambil tindakan karena kelompok ini memiliki akses yang sangat besar ke dalam kekuasaan. Namun konfrontasi antara pihak gereja dengan kelompok Pater Beek terjadi juga. Suatu kali Provinsial Yesuit Indonesia, Paulus Suradibrata, SJ bersama Uskup Agung Jakarta Mgr. Leo Soekoto, SJ harus berhadap-hadapan dengan Beek yang ditemani Harry Tjan dan Jusuf Wanandi. Kedua petinggi gereja itu mempertanyakan tujuan, materi, dan metode pembinaan. Pertemuan berlangsung panas. Harry Tjan menuduh Mgr. Leo Soekoto sebagai ‘Ponsius Pilatus,’ yang hendak cuci tangan saat mengadili Yesus.[51]

Hubungan dengan sesama Yesuit juga tidak kalah kontroversial. Persoalan Beek, seperti yang sudah kita lihat, ternyata menarik perhatian langsung dari Roma. Soedjati Djiwandono menulis bahwa Jenderal Jesuit sendiri, Pedro Aruppe, SJ, yang memerintahkan Beek menutup kaderisasinya.

Namun benturan antara sesama Yesuit ini seringkali tidak dapat dihindarkan. Konggregasi ini mendorong anggota-anggotanya bekerja dan membangun karya sendiri. Kadang terjadi gesekan yang cukup hebat antara sesama Yesuit, terlebih antara Yesuit yang memiliki karya serupa. Yang lebih parah adalah benturan yang bersifat ideologis. Ini pernah terjadi di Filipina pada tahun 2007. Penasehat keamanan nasional (NSA atau National Security Adviser) pada Presiden Gloria Macapagal Arroyo di Filipina, adalah seseorang yang bernama Norberto Gonzales. Dia adalah kawan BA Santamaria dan hadir secara reguler pada acara-acara konferensi Pacific Institute. Pada tahun tersebut, lebih dari 800 aktivis kiri dibunuh oleh pemerintahan Arroyo. Ideologi yang teramat kanan dari Gonzales ini mendapat dukungan dari seorang Yesuit, Pater Romeo “Archie” Intengan, SJ. Pater Intengan adalah aktor intelektual di balik Partidong Demokratiko Sosyalista ng Pilipinas atau Democratic Socialist Party[52] of the Philippines, partai dimana Gonzales dan Arroyo bergabung. Intengan adalah guru politik dari Gonzales.

Sementara, para aktivis kiri yang dibunuh Gonzales kebanyakan berasal dari CPP-NDF (Communist Party of the Philippines-National Democratic Front). Partai ini dipimpin oleh Jose Maria Sisson. Yang lebih menarik adalah guru politik dan spiritual Sisson adalah juga seorang Yesuit, Jose Blanco, SJ. Kedua faksi ini bertarung hingga berdarah-darah di medan politik namun mereka tetap berada dalam satu konggregasi.

Di Indonesia memang tidak separah itu, namun bukan berarti tidak ada. Salah satu pengkritik paling keras Pater Beek di dalam Yesuit adalah seorang pastur Jawa, Pater F. Danuwinata, SJ. Kritik dari Danuwinata berkisar pada pemihakan pada masyarakat atau mengabdi pada kepentingan elit. Untuk Danuwinata apa yang dikerjakan oleh Beek sepenuhnya untuk mengabdi pada elit. Hal yang serupa juga dikatakan oleh Pater Franz Magnis-Suseno, seorang Yesuit Jerman yang lama bekerja di Indonesia.

Kritik yang lain datang dari para politisi dan aktivis politik Katolik. Pertanyaan yang diajukan adalah apakah tindakan membubarkan Partai Katolik itu tepat? Haruskah menjadi ‘garam’ itu (meminjam semantik yang selalu dipakai oleh kader-kader Beek) selalu identik dengan kekuasaan dan nafsu berkuasa? Bukankah lebih baik memiliki Partai Katolik, dengan identitas dan prinsip yang jelas, sehingga orang-orang Katolik bisa dengan jujur berdialog dan bekerjasama dengan kelompok masyarakat lain? Bukankah dengan membuka identitas itu secara moral lebih bisa dipertanggungjawabkan ketimbang menyusup dan melakukan infiltrasi?

Pada akhirnya, fenomena Beek dan kelompoknya yang kita hadapi di sini tidak jauh berbeda dengan ulama atau agamawan dari kelompok agama lain yang memakai agama untuk mencapai kepentingan politiknya. Gereja Katolik Indonesia turut menanggung beban moral itu. Mungkin sudah waktunya gereja berpikir untuk meminta maaf secara tulus kepada korban-korban pembantaian 1965, rakyat Papua (yang punya cukup banyak pemeluk Kristen) dan rakyat Timor Leste (yang hampir 90 persen Katolik). Ironi terbesar menjadi orang Katolik Indonesia adalah menanggung beban korban yang sebagian besar adalah umat Kristen/Katolik sendiri. ***

 

—————

[1] Frank Mount, Wrestling with Asia, Connor Court Publishing: Ballan, Victoria, Australia, 2012.

[2] Ibid., hal. 3

[3] Ibid., hal. 125-126.

[4] Lihat Patrick Morgan (ed.), Your Most Obedient Servant: B.A. Santamaria: Selected Letters, 1938-1996, Melbourne: Melbourne University Press, 2007, p. 269.

[5] Mgr. Nguyen Van Thuan ditahbiskan menjadi Uskup Agung Saigon pada 24 April 1975 setelah sebelumnya menjadi uskup di Nha Trang. Enam hari, setelah menjadi Uskup Agung, Saigon jatuh ke tangan tentara Vietnam Utara. Mgr. Nguyen kemudian ditahan di kamp reedukasi selama 13 tahun, termasuk selama sembilan tahun dalam ruang tahanan isolasi. Dia meninggal di pengasingan pada tahun 2002. Pada tahun 2007, Vatikan memulai proses beatifikasi atas Mgr. Nguyen Van Thuan, sebuah proses yang akan mengangkatnya menjadi seorang santo.

[6] Lihat, Kevin Peoples, “Reflections on the adventures of Frank Mount,” Social Policy Connections, 19 Oktober 2012. http://www.socialpolicyconnections.com.au/?p=5572

[7] Frank Mount, op.cit. hal. 331.

[8] Ibid. Hal. 113.

[9] Dalam hal ini, Frank Mount, ibid. hal. 113-4, mengutip dokumen yang diedit oleh Partick Morgan, op.cit. hal. 545.

[10] Frank Mount, ibid. hal. 121.

[11] Dalam pandangan Katolik manusia terdiri atas roh dan daging (badaniah). Manusia harus hidup dari roh dan menjauhi kesenangan daging (badaniah).

[12] Frank Mount, op. cit. hal. 121.

[13] Ibid. hal. 257-8.

[14] Cukup mengesankan bahwa para pastur Belanda ini sudah memakai atribut Pancasila pada tahun 1950an, persis ketika pertentangan ideologis antara partai-partai politik mencapai puncaknya. Mereka bahkan belum menjadi warganegara Indonesia ketika itu. Kita tahu bahwa pemakaian atribut Pancasila menjadi sangat meluas di zaman Orde Baru. Banyak dari kader-kader dari jaringan kaderisasi Pater Beek yang menjadi ‘ideolog’ rezim ini.

[15] Pekerjaan seorang pamong atau perfect adalah mendisiplinkan para siswa.

[16] J.B. Soedarmanta, Pater Beek, SJ: Larut Tetapi Tidak Hanyut, Jakarta: Penerbit Obor, 2008. Hal 103.

[17] Setelah mengalami beberapa perubahan Sodality of the Blessed Virgin Mary kemudian berubah menjadi Christian Life Community (CLC) atau di Indonesia menjadi Komunitas Hidup Kristiani (KHK). Kelompok ini sangat jauh berbeda dengan sewaktu dikelola oleh Beek yang sangat militan dan berorientasi sangat politis.

[18] Ini diakui oleh Harry Tjan dalam wawancara dengan Forum Alumni Asrama Realino, 5 Agustus 2003. https://forsino.wordpress.com/2008/07/05/romo-beek/

[19] Konggregasi Maria untuk para sarjana diketuai oleh Prof. Dr. Jusuf Pang Lay Kim (sering ditulis Panglaykim) atau J.E. Pangestu. Dia adalah seorang ekonom yang kemudian bergabung ke CSIS. Putri Dr. Panglaykim adalah Dr. Mari Elka Pangestu, yang menjadi menteri di kabinet Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

[20] Paroki adalah unit paling bawah dalam hirarki gereja Katolik. Setiap paroki dipimpin oleh seorang imam (pastur) dan biasanya dilengkapi dengan paling tidak satu gereja.

[21] Y.B. Soedarmanta, op.cit. hal. 131.

[22] Ibid. hal. 137

[23] Artinya, orang yang memiliki semangat kerasulan, yaitu semangat untuk menyebarkan ajaran Kristen lewat tingkah laku dan tindakan sehari-hari.

[24] J.B. Soedarmanta, op. cit., hal. 143-4.

[25] http://www.hidupkatolik.com/2013/05/21/kader-katolik-menurut-romo-beek

[26] JB Soedarmanta, op.cit. hal. 184-200.

[27] Tidak jelas acuan majalah apa yang dimaksud oleh Soedjati Djiwandono ini.

[28] Soedrajat Djiwandono adalah adik dari Soedjati Djiwandono. Dia kemudian menjadi Gubernur Bank Indonesia di bawah Orde baru (1993-1998).

[29] Perlu diingat bahwa fundamentalisme agama tidak ada hubungannya dengan kesalehan dalam beragama. Fundamentalisme agama adalah sebuah sikap politik yang menjadikan agama sebagai landasan kepentingan dalam mengambil tindakan politik.

[30] Liga Demokrasi dibentuk 24 Maret 1960 untuk mengimbangi kekuasaan Soekarno. Kelompok ini didirikan oleh pemimpin-pemimpin Masyumi, PSI, NU, Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI), Partai Katolik, PSII, dan Parkindo.

[31] Yusuf Wanandi, Shades of Grey: A Political Memoir of Modern Indonesia 1965-1998, Singapore and Jakarta: Equinox Publishing, 2012.

[32] Ibid. hal. 20.

[33] Frank Mount bercerita dalam memoarnya bahwa Beek pernah ditahan oleh polisi dan Biro Dokumentasinya digeledah. Kejadian itu membuat Ali Moertopo berkeinginan untuk melindungi Beek dan semua dokumentasinya. Moertopo memberinya ruang di sebuah kantor riset swasta lengkap dengan apartemen untuk tinggal. Namun Beek menolak dengan tegas tawaran itu. op.cit. hal. 121-2.

[34] Wanandi, op.cit. hal. 32. Pernyataan ini sulit untuk dibuktikan. Kenyataannya, PKI adalah sebuah partai besar dengan 20 juta anggota. Sementara jumlah orang Katolik di seluruh Indonesia saat itu hanya berkisar dua juta orang saja. PKI tidak pernah menganggap orang Katolik sebagai ancaman yang serius karena hanya minoritas kecil.

[35] Tentu bukan hal yang mudah untuk mencetak dua hingga tiga ribu kader. Apalagi melengkapinya dengan segala macam peralatan seperti yang disebutkan oleh Wanandi di atas. Kalau klaim ini benar, tentu dibutuhkan logistik dan dana yang luar biasa besar. Darimana sumber dana ini? Sumber-sumber di kalangan Yesuit mengatakan hampir bisa dipastikan bahwa Serikat tidak akan membiayai kegiatan dengan dana sebesar itu. Demkian pula dengan gereja Katolik. Seorang sumber mengatakan bahwa gereja Katolik Indonesia terkategori gereja miskin. Ada banyak kebutuhan yang jauh lebih mendesak untuk dipenuhi ketimbang menciptakan kader politik.

[36] CGMI adalah singkatan dari Consentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia, organisasi mahasiswa yang berafiliasi pada PKI.

[37] Jusuf Wanandi, op.cit. hal. 34.

[38] Lihat, Gerakan 30 September, pemberontakan Partai Komunis Indonesia: latar belakang, aksi, dan penumpasannya, Jakarta: Sekretariat Negara Republik Indonesia, 1994.

[39] Wanandi, op.cit. hal. 181. Cornell Paper adalah sebuah analisis sementara yang dikerjakan oleh Benedict Anderson, Ruth McVey, dan dibantu oleh Fred Bunnell, A preliminary analysis of the October 1, 1965, coup in Indonesia, Ithaca, NY: Cornell Modern Indonesia Project, 1971.

[40] Seorang sejarawan yang saya temui dalam satu seminar di Universitas Yale mempertanyakan hal ini. Siapa yang mengonstruksi narasi tentang Gerwani? Adakah keterlibatan kader-kader Beek dalam penciptaan narasi oleh koran-koran militer yang terbit saat itu? Kita tahu, setelah kudeta G30S gagal, militer melarang semua publikasi dan penyebaran informasi. Yang boleh terbit hanya koran Berita Yudha dan Angkatan Bersenjata. Lewat kedua koran inilah narasi tersebut disebarkan.

[41] Jusuf Wanandi menulis bahwa dia bertemu dengan Ali Moertopo pertama kali pada tahun 1963 di satu seminar yang diadakan Kostrad. Wanandi, op.cit., hal. 66.

[42] Detail tentang peranan Wanandi dalam memenangkan Golkar, lihat hal. 103-107.

[43] Para uskup di Papua adalah imam yang berkewarganegaraan Belanda. Mereka adalah Mgr. Rudolf Josef Staverman OFM dari Jayapura, Mgr. H. Tilleman, MSC dari Merauke, dan Mgr. Pieter van Diepen OSA dari Manokwari. Lihat juga, JB Soedarmanta, op. cit. hal. 225.

[44] Sekarang menjadi Konferensi Waligereja Indonesia (KWI).

[45] Pada tahun 1967, Vatikan memasukkan gereja Katolik di Papua sebagai bagian dari wilayah provinsi Indonesia.

[46] Aktivis Golkar yang kemudian berganti nama menjadi Drs. Lohena Ginting.

[47] Frank Mount, op. cit. hal. 258.

[48] Documents on Australian Foreign Policy, Australia and the Indonesian Incorporation of Portuguese Timor, 1974-1976, Department of Foreign Affairs and Trade and Melbourne University Press, 2000. Jusuf Wanandi dalam memoarnya mengatakan bahwa para diplomat yang berhubungan dengannya dan tercatat dalam dokumen-dokumen ini salah menginterpretasikan perannya. Dia mengklaim tidak memiliki pengaruh sebesar yang digambarkan dalam dokumen-dokumen tersebut.

[49] Frank Mount, op. cit. hal. 270-271.

[50] Menjadi saksi Kristus di tengah masyarakat majemuk, Jakarta: Obor, 2004, hal. 150.

[51] Fragmen ini diambil dari JB Soedarmanta, hal. 234. Seorang imam yang bekerja untuk Keuskupan Agung Jakarta pernah mendengar cerita ini namun tidak bisa mengingat kapan persisnya pertemuan itu terjadi dan apa yang menjadi pokok persoalan. Namun dia mengakui bahwa hubungan antara Beek dan Khasebulnya dengan pihak gereja selalu dalam ketegangan.

[52] Nama ‘Democratic Socialist’ di sini sangat memperlihatkan pengaruh Santamaria. Frank Mount dalam memoarnya membedakan secara tegas antara ‘Democratic Socialist’ yang dianggapnya mirip dengan masyarakat di negara-negara Barat industrial dengan ‘Socialist Democratic’ yang Marxis.

]]>