Kristen Progresif – IndoPROGRESS https://indoprogress.com Media Pemikiran Progresif Sun, 15 Aug 2021 09:07:20 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.4.3 https://indoprogress.com/wp-content/uploads/2021/08/cropped-logo-ip-favicon-32x32.png Kristen Progresif – IndoPROGRESS https://indoprogress.com 32 32 Tak Ada Bangsawan di Taman Eden: John Ball dan Pemberontakan Petani Inggris 1381 https://indoprogress.com/2020/07/di-taman-eden-tidak-ada-bangsawan-john-ball-dan-pemberontakan-petani-inggris-tahun-1381/ Wed, 22 Jul 2020 03:49:38 +0000 https://indoprogress.com/?p=232288

Ilustrasi: Socialist Appeal


DIBANDING Thomas Müntzer, nama John Ball mungkin terasa lebih asing di telinga pembaca. Siapakah John Ball? Beliau adalah rohaniwan di Inggris yang berkarya pada abad ke-14. Bersama nama-nama lain seperti Wat Tyler dan John Straw, John Ball menjadi salah satu tokoh penggerak pemberontakan petani pada 1381. Boleh dibilang, ia adalah Thomas Müntzer-nya Inggris.

Sejarawati Juliet Barker menyebut bahwa pemberontakan pada abad ke-14 tersebut merupakan peristiwa yang belum pernah terjadi sebelumnya di Kerajaan Inggris. Selama berabad-abad, para bangsawan telah berulang kali melakukan percobaan kudeta terhadap pemegang kunci kerajaan. Namun, baru kali itulah kekuasaan digoyang oleh rakyat jelata dengan agenda politik dari bawah yang hendak menransformasi tatanan masyarakat yang ada secara radikal. Mereka menuntut penghapusan sistem perhambaan di bidang pertanian (serfdom), pembebasan petani-petani penggarap dari kewajiban-kewajiban mereka pada tuan-tuan tanah, hingga pengambilalihan kekayaan dan properti gereja untuk dibagi-bagikan kepada rakyat biasa.[1]

Tulisan ini tidak akan membahas detail sejarah pemberontakan petani 1381 tersebut. Fokus pengamatan tulisan ini ialah bagaimana John Ball mengolah teologi Kristen menjadi bagian dari perjuangan rakyat jelata melawan tuan-tuan tanah. Sejarah mencatat bahwa khotbah-khotbah John Ball dan tulisan-tulisannya turut membakar semangat massa rakyat dalam pemberontakan tersebut. Beliau juga telah gencar mengkhotbahkan pesan-pesan radikal di berbagai tempat sejak dua puluh tahun sebelum pemberontakan meletus, aktivitas yang menjerumuskannya pada berbagai masalah dengan aparat keamanan serta institusi gereja sendiri.[2]


Terinspirasi Kisah Adam dan Hawa

Berbeda dengan Müntzer yang pesan-pesannya kental dengan nuansa apokaliptik, John Ball banyak menarik inspirasi dari kisah Adam dan Hawa. Salah satu kutipan dari khotbahnya yang paling terkenal berbunyi demikian:

When Adam delved and Eve span,

who was then a gentleman?[3]

Ketika Adam menggali dan Hawa memintal,

siapakah yang jadi bangsawan?[4]

Konon pertanyaan puitis ini digunakan John Ball sebagai pembuka khotbah legendarisnya di depan dua ratus ribu massa. Melalui dua baris syair tersebut, Ball mengundang pendengarnya untuk mempertanyakan kenyataan sosial pada masa itu, di mana orang-orang biasa harus mengabdi pada kaum bangsawan. Pertanyaan tersebut lantas dilanjutkannya dengan argumen bahwa karena pada mulanya semua manusia diciptakan sederajat, maka sistem perhambaan yang berlaku di dunia adalah hasil dari kejahatan dan penindasan manusia alih-alih ekspresi kehendak Tuhan. Jika Allah memang menghendaki tatanan feodal, tentu sejak semula ia menciptakan siapa yang jadi tuan dan siapa yang jadi hamba.[5]

Dari sana John Ball kemudian mengajak para pendengarnya untuk mempertimbangkan bahwa sesungguhnya Allah telah menetapkan waktu di mana sekiranya mereka betul-betul berkehendak untuk menyingkirkan beban yang telah lama mereka tanggung tersebut, mereka bisa melakukannya. Sembari dengan bijak menantikan momen yang tepat, mereka perlu “membunuh para bangsawan, “menyembelih” aparat-aparat hukum, dan menyingkirkan potensi bahaya di masa depan. Barulah setelah itu mereka akan mencapai keadaan yang aman dan tenteram, asal keadaan sederajat yang mereka capai itu dipertahankan.[6]

Sebelum buru-buru menilai John Ball sebagai sosok yang haus darah, pembaca perlu menyadari bahwa cerita di atas bersumber dari catatan Thomas Walsingham, sejarawan Inggris di abad ke-15 yang merupakan seorang rahib gereja yang dekat dengan penguasa kerajaan. Kita perlu curiga bahwa kisah yang ia susun tentang John Ball dibumbui sikap permusuhan terhadap gerakan sosial dari bawah yang hendak merombak struktur kekuasaan politik yang ditopang oleh institusi gereja. Bandingkan dengan cerita-cerita tentang PKI yang digembar-gemborkan oleh rezim Orde Baru selama puluhan tahun. Saat ini, semakin banyak generasi muda yang mempertanyakan ketepatan berbagai penggambaran yang sarat dengan unsur demonisasi tersebut. Penjelasan Walsingham mengenai John Ball bisa jadi juga menempuh strategi yang sama.

Namun, meski narasi yang dibangunnya tentang John Ball mungkin saja mengandung bias dari kepentingan kelas penguasa, catatan Walsingham malah melestarikan gambaran tentang sosok rohaniwan Kristen yang berdiri di barisan rakyat tertindas dan mendayagunakan imajinasi teologisnya untuk mengobarkan semangat perombakan tatanan sosial. Ia menunjukkan kepada kita bagaimana kisah tentang Adam dan Hawa ternyata mengandung potensi revolusioner. Di Taman Eden tidak ada bangsawan dan karena itu tatanan masyarakat yang menjalankan sistem perhambaan bukanlah kehendak Allah. Ia sah untuk dilawan dan ditumbangkan.


Adam dan Hawa dalam Kitab Kejadian

Kisah tentang Adam dan Hawa di Taman Eden dalam Alkitab sendiri umumnya dipandang oleh tradisi kesarjanaan Alkitab kritis sebagai hasil olahan mereka yang menjadi representasi kelompok yang berkuasa di zamannya. Pasal 2 dan 3 kitab Kejadian yang menuturkan kisah ini biasanya dianggap berasal dari sumber J (Jahwist). Sumber ini merepresentasikan kepentingan monarki Israel untuk membentuk identitas kebangsaan di tengah kepungan bangsa-bangsa lain di Timur Dekat Kuno. Ini tercermin dalam setting agrikultural yang digunakan dalam Kejadian 2 serta himbauan untuk bekerja dan berkeluarga.

TUHAN Allah mengambil manusia itu dan menempatkannya dalam taman Eden, untuk mengusahakan dan memelihara taman itu (Kej. 2:15).

TUHAN Allah berfirman: ‘Tidak baik, kalau manusia itu seorang diri saja. Aku akan menjadikan penolong baginya, yang sepadan dengan dia.’ […] Lalu TUHAN Allah membuat manusia itu tidur nyenyak; ketika ia tidur, TUHAN Allah mengambil salah satu rusuk dari padanya, lalu menutup tempat itu dengan daging. Dan dari rusuk yang diambil TUHAN Allah dari manusia itu, dibangun-Nya lah seorang perempuan, lalu dibawa-Nya kepada manusia itu. Lalu berkatalah manusia itu: ‘Inilah dia, tulang dari tulangku dan daging dari dagingku. Ia akan dinamai perempuan, sebab ia diambil dari laki-laki.’ Sebab itu seorang laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan isterinya, sehingga keduanya menjadi satu daging (Kej. 2:18-24).

Dalam kajian Marxis, bekerja dan berkeluarga biasa dikategorikan sebagai bagian dari proses produksi dan reproduksi sosial yang tanpanya suatu masyarakat tidak mungkin bertahan. Dengan menggambarkan kegiatan mengusahakan tanah dan berkeluarga sebagai hal yang kodrati sejak manusia pertama, bahkan merupakan perintah Tuhan, kepentingan penguasa Kerajaan Israel kuno untuk memastikan bahwa proses produksi dan reproduksi sosial dalam masyarakat berbasis pertanian ini dilanjutkan oleh rakyat pekerja jadi mendapatkan dukungan berbobot teologis.

Dengan kata lain, kisah tentang Adam dan Hawa di Taman Eden dalam kitab Kejadian bisa dibaca sebagai manuver ideologis untuk membuat tatanan sosial Israel kuno tampak wajar. Seperti dijelaskan oleh Barbara Foley, ideologi bekerja lewat siasat naturalisasi dan dehistorisisasi. Naturalisasi adalah penggambaran perilaku dan kepercayaan-kepercayaan yang berkembang dalam formasi sosial tertentu sebagai produk dari proses-proses yang kodrati dan alamiah, yang terjadi di luar intervensi manusia. Sementara dehistorisisasi berarti penggambaran fenomena yang spesifik dalam formasi sosial tertentu bukan sebagai hasil dari kekuatan-kekuatan dalam sejarah, melainkan sebagai ciri-ciri yang sifatnya abadi.[7] Dengan melangkahi penelusuran sejarah perkembangan masyarakat yang melatarbelakangi terbentuknya arahan tentang peran-peran sosial ini dan mengklasifikasikannya sebagai bagian dari kodrat manusia yang sudah ditetapkan Allah sejak semula, tatanan masyarakat yang ada mendapatkan legitimasi yang kuat.


Ambivalensi Ideologi

Jika kisah Adam dan Hawa dalam Alkitab sendiri pada dasarnya mengandung kepentingan kelas penguasa, lalu mengapa pemberontakan petani di Inggris justru bisa menimba inspirasi dari cerita ini? Hal ini dimungkinkan oleh watak ambivalen dari suatu gambaran ideologi. Dalam manual filsafat untuk awam, filsuf Marxis asal Prancis, Louis Althusser, memaparkan bagaimana ideologi selalu bekerja dengan mengupayakan dominasi atas ideologi-ideologi alternatif. Ini dilakukannya dengan menginkorporasikan elemen-elemen dari ideologi-ideologi alternatif ini, lalu menundukkan mereka ke dalam kerangka dominasinya.[8] Di sinilah kita bisa melihat mengapa ideologi berwatak ambivalen. Dengan menghisap unsur-unsur ideologi lawannya untuk ditundukkan, secara tidak langsung ideologi dominan malah memelihara ‘musuh dalam selimut’ yang sewaktu-waktu bisa membangkang.

Sebagai narasi ideologis, kisah Adam dan Hawa di Taman Eden juga tidak luput dari ambivalensi. Teks yang tadinya dibentuk untuk mewajarkan proses produksi dan reproduksi sosial yang dilakukan oleh kelas pekerja dalam sebuah kerajaan ternyata juga dapat mengundang pertanyaan tentang kelompok yang terhindar dari cetakan narasi tersebut. Celah ini mampu dilihat dengan jeli oleh John Ball di tengah pergolakan sosial pada zamannya. Adam dan Hawa sebagai representasi elemen-elemen ideologis kelas pekerja yang dihisap oleh ideologi dominan untuk disubordinasi lewat kisah Taman Eden dilepaskannya dari kerangkeng agenda kelas penguasa dan diposisikan untuk melakukan gugatan. Mitos keadaan asali hasil manuver naturalisasi dan dehistorisisasi dari ideologi dominan justru dijadikan senjata untuk menembak balik mereka yang tadinya diuntungkan oleh narasi tersebut. Ketika Adam menggali dan Hawa memintal, siapakah yang jadi bangsawan? Bukankah semuanya adalah pekerja yang turut berjerih lelah dalam proses produksi?

Sama seperti Müntzer, John Ball meninggal tak lama setelah pemberontakan petani tersebut direpresi oleh penguasa Kerajaan Inggris. Ia ditangkap, diadili, lalu dihukum gantung. Tubuhnya ditarik hingga robek menjadi empat bagian.[9]

Pemberontakan John Ball dan para petani Inggris di abad ke-14 berakhir dengan kegagalan. Namun, seperti halnya kisah Thomas Müntzer di Jerman, cerita tentang perjuangan Ball di Inggris sekali lagi menjadi saksi tentang konten subversif yang seringkali terkubur dalam penghayatan iman Kristen ‘arus utama’.***


Daniel Sihombing adalah anggota Kristen Hijau dan tim editor IndoProgress


[1] Juliet R. V. Barker, 1381: The Year of the Peasants’ Revolt, First Harvard University Press edition (Cambridge, Massachusetts: The Belknap Press of Harvard University Press, 2014), ix.

[2] Andrew Prescott, ‘Ball, John’ dalam Colin Matthew, Brian Harrison, and British Academy, eds., Oxford Dictionary of National Biography: From the Earliest Times to the Year 2000. Vol. 3: Avranches – Barnewall (Oxford: Oxford Univ. Press, 2004), 560-1.

[3] Versi ejaan lamanya konon tertulis sebagai berikut, ‘Whan Adam dalf, and Eve span, Wo was thanne a gentilman?’ (Richard B. Dobson, The Peasants’ Revolt of 1381, 2. ed., reprinted, History in Depth [Houndmills: Macmillan, 1993], 374).

[4] Terjemahan dari saya.

[5] Ibid., 375.

[6] Ibid.

[7] Barbara Foley, Marxist Literary Criticism Today (London: Pluto, 2019), 126-7.

[8] Louis Althusser, Philosophy for Non-Philosophers (New York: Bloomsbury, 2017), 172-3.

[9] Prescott, 561.

]]>
Surat Thomas Müntzer kepada Penduduk Allstedt (1525): Terjemahan dan Pengantar https://indoprogress.com/2020/07/surat-thomas-muntzer-kepada-penduduk-allstedt-1525-terjemahan-dan-pengantar/ Mon, 06 Jul 2020 02:42:45 +0000 https://indoprogress.com/?p=232248

Ilustrasi oleh Jonpey


MEREKA yang akrab dengan teks-teks klasik dalam tradisi Marxis tentu tidak asing dengan nama Thomas Müntzer.[i] Ernst Bloch menyebutnya sebagai ‘teolog revolusi’.[ii] Friedrich Engels memujinya sebagai teolog revolusioner yang berdiri di sisi kaum jelata dan sosok yang melampaui zamannya.[iii] Pada masa-masa awal berdirinya Republik Demokratik Jerman Timur, Müntzer dijadikan simbol kepahlawanan, menantang tradisi panjang di negeri Jerman yang berpusat pada figur Martin Luther. Kisah hidupnya juga beberapa kali dijadikan drama oleh seniman-seniman kiri Jerman seperti Berta Lask dan Friedrich Wolf.[iv]

Thomas Müntzer berkarya pada abad ke-16, ketika benua Eropa tengah mengalami gejolak hebat. Reformasi Protestan meletus dan semangat perombakan tatanan lama yang mendominasi Eropa sepanjang Abad Pertengahan tengah bertebaran di udara. Müntzer bukan hanya terlibat dalam upaya-upaya pembaharuan yang sedang berlangsung di masa itu, namun ia juga berusaha mendorong laju Reformasi ke arah yang lebih radikal lagi. Aspirasi tersebut membawanya pada berbagai kontroversi dan bentrokan, termasuk dengan Luther yang menjadi tokoh utama Reformasi. Dinamika ini berujung pada kematiannya di usia muda, 35 tahun, setelah upayanya mengorganisir pemberontakan petani melawan tuan-tuan tanah di beberapa wilayah Jerman menemui kekalahan.

Surat Müntzer yang terjemahannya saya tampilkan berikut ini adalah salah satu tulisannya yang paling banyak menarik perhatian. Konon Ernst Bloch menyebutnya sebagai manifesto revolusi yang paling liar dan berkobar-kobar sepanjang masa.[v] Ditulis kira-kira satu bulan sebelum ia kalah perang dan kemudian dihukum mati, surat tersebut ditujukannya kepada penduduk Allstedt, basis pelayanannya yang utama. Di kota kecil ini Müntzer sempat menetap, menikah dengan mantan suster yang lari dari biara, dan dianugerahi seorang putra. Di sana pula ia melahirkan karya-karya utamanya sebagai pendeta yang dicintai jemaat karena semangat egalitarian serta anti-klerikalnya.

Pada waktu surat ini ditulis, Müntzer tengah mengalami euforia karena badai pemberontakan rakyat jelata di utara wilayahnya sedang bertiup kencang. Kastil-kastil dibakar, biara-biara dirampok dan dihancurkan. Kecemasan yang hebat dan perasaan diteror tengah melanda mereka yang memegang otoritas sekuler dan spiritual.[vi] Müntzer melihat momen ini sebagai waktu Tuhan yang harus disambut dengan ketaatan orang-orang beriman. Wujudnya adalah keberanian memasuki perang yang dipimpin oleh Tuhan sendiri.

Kita bisa melihat secuplik gambaran tentang kepiawaian Müntzer melakukan agitasi dalam kerangka teologi Kristen sewaktu membaca surat tersebut. Pembaca yang akrab dengan tradisi Kristen warisan kolonial Belanda dan Orde Baru mungkin akan terkejut ketika mendapati bahwa retorika pemberontakan yang begitu vulgar keluar dari pena seorang pendeta berikut pencantuman ayat-ayat Alkitab yang meneguhkan posisinya. Selain dua bagian Alkitab yang ia jelaskan isi dan maksud penyebutannya, yakni Kejadian 33 tentang Esau yang bermaaf-maafan dengan Yakub dan Ulangan 7 tentang perintah untuk tidak memberi ampun kepada penduduk tanah Kanaan, Müntzer juga menyebutkan Matius 24, Yehezkiel 34, Daniel 7, Ezra 16, Wahyu 6, dan Roma 13, tanpa penjelasan. Demi mempermudah pembaca dalam membayangkan teks-teks Alkitab seperti apa yang dimaksud, berikut ini saya cuplikkan penggalan teks-teks tersebut dengan sedikit penjelasan:

  • Matius 24 diawali dengan cerita tentang nubuat Yesus mengenai keruntuhan Bait Allah dalam waktu dekat. “Sesudah itu Yesus keluar dari Bait Allah, lalu pergi. Maka datanglah murid-muridnya dan menunjuk kepada bangunan-bangunan Bait Allah. Ia berkata kepada mereka: ‘Kamu melihat semuanya itu? Aku berkata kepadamu, sesungguhnya tidak satu batu pun di sini akan dibiarkan terletak di atas batu yang lain; semuanya akan diruntuhkan.” (Mat. 24:1-2). Kita bisa menduga bahwa Müntzer mengaitkan ayat ini dengan kehancuran biara-biara berikut tatanan agama yang beraliansi dengan penguasa di masanya.
  • Yehezkiel 34 berisi tentang nubuat sang nabi melawan gembala-gembala Israel. “Lalu datanglah firman TUHAN kepadaku: ‘Hai anak manusia, bernubuatlah melawan gembala-gembala Israel, bernubuatlah dan katakanlah kepada mereka, kepada gembala-gembala itu: Beginilah firman Tuhan ALLAH: Celakalah gembala-gembala Israel, yang menggembalakan dirinya sendiri! Bukankah domba-domba yang seharusnya digembalakan oleh gembala-gembala itu? Kamu menikmati susunya, dari bulunya kamu buat pakaian, yang gemuk kamu sembelih, tetapi domba-domba itu sendiri tidak kamu gembalakan.” (Yeh. 34:1-3). Gembala-gembala di sini merujuk pada raja-raja Israel yang praktik penggembalaannya gagal mencerminkan penggembalaan dari Allah sendiri. Dalam konteks Müntzer, bisa diduga bahwa paralelnya adalah para pangeran, bangsawan, dan tuan-tuan tanah.
  • Daniel 7 mengisahkan visi apokaliptik nabi Daniel tentang kejatuhan imperium-imperium zaman kuno, yang diilustrasikan sebagai binatang-binatang besar dan menakutkan, berkat intervensi Allah yang akan menegakkan keadilan bagi orang-orang kudus. Orang-orang inilah yang disebut-sebut bakal memegang pemerintahan yang kemudian. “Aku terus melihatnya, karena perkataan sombong yang diucapkan tanduk itu; aku terus melihatnya, sampai binatang itu dibunuh, tubuhnya dibinasakan dan diserahkan ke dalam api yang membakar […] sampai Yang Lanjut Usianya itu datang dan keadilan diberikan kepada orang-orang kudus milik Yang Mahatinggi dan waktunya datang orang-orang kudus itu memegang pemerintahan.” (Dan. 7:11,22). Teks-teks apokaliptik dalam Alkitab seperti Daniel 7 memang kerap digunakan oleh Müntzer dalam agitasinya, dan di sini kita menemukannya diberdayakan kembali untuk menebalkan semangat revolusi.[vii]
  • Wahyu 6, yang juga merupakan sebuah teks apokaliptik, berbicara tentang visi Yohanes mengenai enam meterai pertama yang dibuka oleh Anak Domba yang mengawali hari besar murka sorga atas bumi: “Dan raja-raja di bumi dan pembesar-pembesar serta perwira-perwira, dan orang-orang kaya serta orang-orang berkuasa, dan semua budak serta orang merdeka bersembunyi ke dalam gua-gua dan celah-celah batu karang di gunung. Dan mereka berkata kepada gunung-gunung dan kepada batu-batu karang itu: ‘Runtuhlah menimpa kami dan sembunyikanlah kami terhadap Dia, yang duduk di atas takhta dan terhadap murka Anak Domba itu.’ Sebab sudah tiba hari besar murka mereka dan siapakah yang dapat bertahan?” (Why. 6:15-17)
  • Ezra 16 kemungkinan besar adalah kesalahan cetak atau penulisan karena kitab Ezra berakhir di pasal 10. Peter Matheson yang menerjemahkan dan menyunting sumber primer yang saya gunakan menduga bahwa yang dimaksudkan di sini adalah pasal 10. Namun saya meragukan ketepatannya dan memutuskan untuk melewatinya.
  • Roma 13, yang disebut di akhir dan didaulat sebagai teks terpenting, adalah teks yang justru sering digunakan untuk menghimbau ketaatan umat Kristen pada pemerintah. Sayangnya Müntzer tidak menunjukkan dalam surat ini bagaimana ia menafsirkan teks tersebut. Kita harus mencari petunjuknya dalam tulisan-tulisannya yang lain. Hans-Jürgen Goertz, penulis biografi Müntzer, sedikit memberikan gambaran tentang pokok ini ketika ia menceritakan tentang pembacaan Müntzer atas teks tersebut dengan fokus pada ayat 3 dan 4: “Karena pemerintah adalah hamba Allah untuk kebaikanmu. Tetapi jika engkau berbuat jahat, takutlah akan dia, karena tidak percuma pemerintah menyandang pedang. Pemerintah adalah hamba Allah untuk membalaskan murka Allah atas mereka yang berbuat jahat.” (Rom 13:4). Kuncinya di sini adalah posisi pemerintah sebagai hamba yang sepatutnya tunduk kepada Allah. Ketika ia tidak menjalankan fungsinya seturut kehendak Allah, maka rakyat berhak untuk melawan.[viii]

Sebagaimana kita ketahui bersama dari sejarah, pemberontakan yang dikobarkan Müntzer berakhir dengan kekalahan telak. Dalam tempo singkat, pasukan para pangeran menghancurkan gerombolan petani yang maju berperang dengan iman. Mesias yang dinanti-nantikan ternyata tak kunjung datang. Gambaran apokaliptik yang digadang-gadang bakal melanda kelas penguasa justru berbalik menjadi bencana bagi mereka sendiri. Müntzer sendiri ditangkap dan tak lama kemudian dieksekusi. Potongan tubuhnya dipajang sebagai peringatan bagi mereka yang hendak meneruskan perlawanan.

Kegagalan Müntzer dan kaum tani Jerman abad ke-16 menyisakan bahan-bahan refleksi bagi kelas tertindas yang hidup di abad-abad berikutnya. Kita bisa berteori bahwa kondisi-kondisi sejarah waktu itu belum memungkinkan perwujudan masyarakat tanpa kelas, atau mengambil sikap kritis terhadap mesianisme naif pra-modern. Namun, api yang dikobarkan oleh Müntzer lewat keyakinan imannya pada abad ke-16 adalah sebuah warisan sejarah yang menunjukkan kepada kita konten subversif yang seringkali dikubur dalam penghayatan iman Kristen ‘arus utama’.


Müntzer kepada penduduk Allstedt. 1525 (c. 26, 27 April)[ix]

Semoga rasa takut yang murni akan Allah bersamamu, saudara-saudaraku yang terkasih. Berapa lama kamu akan tidur, berapa lama kamu akan menentang kehendak Allah karena mengira bahwa Ia telah meninggalkanmu? Ah, betapa seringnya aku mengatakan kepadamu bahwa ini semua harus terjadi, bahwa Allah tidak dapat menyatakan Diri-Nya dengan cara yang lain sehingga kalian bisa tetap bersantai. Jika kamu gagal dalam hal ini, maka pengorbananmu akan menjadi sia-sia, hatimu sedih dan menderita. Kamu harus mulai menderita lagi dari awal. Aku mengatakan hal ini kepadamu, yaitu bahwa jika kamu tidak mau menderita untuk Tuhan, maka kamu harus menjadi martir-martir bagi si iblis. Jadi hati-hatilah, jangan patah semangat, ceroboh, atau terus-menerus mengikuti kemauan para pelaku kejahatan dan orang-orang menyimpang; mulailah sesuatu dan berperanglah bagi Tuhan! Ini adalah waktu yang genting; jagalah saudara-saudaramu, supaya mereka tidak menghina kesaksian Allah dan binasa karenanya. Seluruh penduduk Jerman, Prancis, Italia sudah bangun; penguasa ingin menguasai pertandingan, dan para pelaku kejahatan sudah siap. Di Fulda empat biara ditinggalkan selama minggu Paskah, para petani di Klettgau dan Hegau di Hutan Hitam sudah bangkit, tiga ribu orang, dan jumlah petani lokal terus bertambah. Kekhawatiranku hanyalah jika rakyat akan menyepakati perjanjian palsu, karena mereka belum menyadari bobot situasi hari ini.

Bahkan jika hanya ada tiga orang di antaramu saja yang percaya kepada Allah dan mengejar kemuliaan-Nya semata, kamu tidak perlu takut melawan seratus ribu musuh. Majulah, maju, maju! Waktunya telah tiba, para pelaku kejahatan sudah berlari terbirit-birit bagaikan anjing yang ketakutan! Ingatkan saudara-saudara kita, supaya mereka merasakan damai sejahtera, dan bersaksilah atas pertobatan mereka. Hal ini sepenuhnya krusial—sepenuhnya kewajiban! Maju, maju, maju! Jangan beri ampun, meskipun Esau mengucapkan kata-kata manis kepadamu, Kejadian 33. Jangan perhatikan ratapan orang-orang fasik. Mereka akan memperlakukanmu dengan begitu hangat, mereka akan mengerang dan mendesakmu seperti anak-anak kecil. Jangan beri ampun, sebagaimana Allah perintahkan lewat kata-kata Musa dalam Ulangan 7; dan Ia telah menyatakan hal yang sama bagi kita juga. Peringatkan desa-desa dan kota-kota dan khususnya para pekerja tambang dan kawan-kawan baik lainnya yang akan berguna. Kita tidak bisa tertidur lagi.

Kalian lihat, selagi aku menuliskan kata-kata ini, sebuah pesan datang kepadaku dari Salza bahwa rakyat di sana ingin menangkap pemerintah wakil Tuan George dari kastilnya, karena ia hendak membunuh tiga orang dari antara mereka secara diam-diam. Para petani Eichsfeld telah memulai aksi melawan bangsawan-bangsawan setempat; pendeknya, mereka menolak bantuan apapun dari kaum tersebut. Ada banyak kejadian serupa yang menunjukkan kepadamu jalan ini. Kamu harus maju, maju, maju! Waktunya sudah tiba. Biarlah Balthasar dan Bartel Krump, Valentin dan Bischof memimpin tarian! Biarlah surat ini sampai ke para pekerja tambang. Alat cetakku akan datang dalam beberapa hari ke depan, menurut kabar yang disampaikan padaku. Tidak ada hal lain yang bisa kulakukan untuk saat ini, atau akan aku instruksikan pada saudara-saudara dengan begitu detilnya, agar hati mereka lebih besar daripada seluruh kastil dan senjata orang-orang fasik pelaku kejahatan di seluruh dunia.

Maju, maju, selagi api masih panas! Jangan biarkan pedangmu dingin, jangan biarkan ia tergantung begitu saja! Tancapkan paku-paku pada Nimrod, runtuhkan menara mereka ke tanah! Selama mereka masih hidup adalah mustahil bagimu untuk menyingkirkan rasa takut pada manusia lain. Seseorang tidak berhak berbicara kepadamu tentang Allah selama mereka berkuasa atasmu. Maju, maju, selagi masih terang! Allah berjalan di depanmu; ikuti Dia, ikuti! Semua urusan ini dapat dibaca dalam Matius 24, Yehezkiel 34, Daniel 7, Ezra 16, Wahyu 6, dan seluruh teks ini dijelaskan oleh Roma 13.

Jadi jangan kecil hati. Allah bersamamu, sebagaimana tertulis dalam 2 Tawarikh. Beginilah firman Tuhan, “Janganlah kamu takut dan terkejut karena laskar yang besar ini, sebab bukan kamu yang berperang melainkan Allah.” Ketika Yosafat mendengar kata-kata ini, berlututlah ia dengan muka ke tanah. Jadi lakukanlah hal yang sama, dengan pertolongan Allah; dan semoga Ia menguatkan kamu dalam iman yang sejati, tanpa rasa takut pada manusia. Amin.

Mühlhausen, 1525.

            Thomas Müntzer, seorang hamba Allah dalam melawan orang-orang fasik.***


Daniel Sihombing adalah anggota Kristen Hijau dan tim editor IndoProgress.


[i] Berdasarkan informasi yang saya terima dari seorang kawan, orang-orang Arab menyebutnya Tomas Mansyur.

[ii] Ernst Bloch, Thomas Münzer: als Theologe der Revolution, 24. Tsd, Bibliothek Suhrkamp, Bd. 77 (Frankfurt am Main: Suhrkamp, 1984).

[iii] Friedrich Engels, The Peasant War in Germany, https://www.marxists.org/archive/marx/works/1850/peasant-war-germany/ch02.htm.

[iv] Hans-Jürgen Goertz, Thomas Müntzer: Apocalyptic Mystic and Revolutionary (Edinburgh: Clark, 1993), 15-8.

[v] Goertz, Thomas Müntzer, 177.

[vi] Goertz, 176.

[vii] Penjelasan tentang peran sentral teks-teks apokaliptik dalam teologi perlawanan Thomas Müntzer dapat dibaca dalam Yohanes Hasiholan Tampubolon, “Sumbangan Teks Apokaliptik terhadap Gerakan Sosial Politik dalam Gereja”, Jurnal Ledalero,Vol. 18 No. 2 (2019), 267-86, http://dx.doi.org/10.31385/jl.v18i2.188.267-287.

[viii] Goertz, 129.

[ix] Sumber yang saya gunakan adalah Thomas Müntzer and Peter Matheson, The Collected Works of Thomas Müntzer (Edinburgh: T&T Clark, 1988), 140-2.

]]>
Gereja dan Kerja-Kerja Kebudayaan Progresif https://indoprogress.com/2020/06/gereja-dan-kerja-kerja-kebudayaan-progresif/ Thu, 18 Jun 2020 06:49:21 +0000 https://indoprogress.com/?p=232194

Foto: Alison McKellar/Flickr/Jacobin


BAGAIMANA gereja melibatkan diri dalam pergumulan sosial menyoal kemiskinan dan ketimpangan? Sebagian gereja, saya kira, akan langsung menjawab pertanyaan ini dengan melakukan kegiatan amal seperti bakti sosial (baksos). Dalam pengamatan saya, baksos kerap kali dianggap sebagai tanda bahwa gereja telah mewujudkan tanggung jawab sosialnya di tengah masyarakat.

Kegiatan sosial seperti baksos tentu saja memiliki manfaat, apalagi di tengah pandemi Covid-19 di mana kelas pekerja yang menjadi korban utamanya. Bantuan-bantuan berupa baksos sedikit banyak dapat membuat asap dapur mereka yang kekurangan tetap mengepul selama beberapa waktu.

Namun, gereja perlu menyadari bahwa program-program karitatif seperti baksos tidak akan mengubah struktur sosial kapitalistik yang penuh dengan ketimpangan. Jurang kaya-miskin tetap akan menganga lebar, perampasan ruang hidup akan terus terjadi, dan penghisapan tenaga kerja akan terus berjalan.

Kemiskinan yang coba ditambal secara insidental melalui kegiatan baksos tidak akan menyudahi kapitalisme yang secara terus menerus mereproduksi kemiskinan dan ketimpangan sosial. Oleh karena itu, upaya untuk menggumuli problematika sosial seperti kemiskinan dan ketimpangan mesti dilengkapi dengan pemahaman atas kapitalisme. Terkait itu, gereja bisa mengambil bagian dalam perjuangan melawan kapitalisme melalui kerja-kerja kebudayaan yang progresif yang berpihak kepada kelas pekerja dalam perjuangannya untuk menyudahi kapitalisme.

Selama ini, gereja sebenarnya telah melakukan kerja-kerja kebudayaan–yang kebanyakan diekspresikan melalui seni musik dan seni tarik suara. Ini menunjukkan bahwa gereja memiliki sumber daya untuk merealisasikan kerja kebudayaan yang progresif. Namun, gereja perlu menyadari fungsi ideologis dari ekspresi-ekspresi kebudayaan yang ada terlebih dahulu. Dalam hal ini, kebudayaan bukanlah sekadar wadah untuk mengembangkan potensi, ruang berekspresi, atau sarana hiburan semata, melainkan arena pertentangan ideologis yang amat krusial dalam pertarungan politik.

Agar klaim ini semakin jelas, saya ingin mengajak pembaca untuk menilik kembali sejarah perang kebudayaan antara Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) dan Manifes Kebudayaan (Manikebu) pada tahun 1960-an.[i] Yang pertama dikenal berpedoman pada garis realisme sosialis dan menganggap semangat humanisme universal[ii] tidak cocok bagi rakyat Indonesia yang masih berjuang untuk melawan imperialisme dan feodalisme sebagai bagian dari usaha penuntasan Revolusi Agustus 1945. Sedangkan yang kedua berusaha menyebarkan paham humanisme universal dan memandang realisme sosialis sebagai model kebudayaan yang mengekang kebebasan berekspresi.

Pertikaian ini berakhir pada tahun 1965 sejak organisasi-organisasi progresif—termasuk Lekra—dibubarkan pemerintah, lalu sebagian besar anggotanya ditangkap, dipenjarakan, dibuang ke kamp kerja paksa dan tidak sedikit yang dibunuh.[iii] Alhasil, semangat kebudayaan yang berpihak pada kelas pekerja sebagaimana dipromosikan Lekra meredup dalam wajah kebudayaan Indonesia pasca 1965. Dalam studinya, Wijaya Herlambang menunjukkan bahwa proses ini merupakan bagian dari manuver politik Amerika Serikat dan sekutunya untuk menaklukkan perjuangan rakyat Indonesia yang tengah melawan imperialisme.[iv]

Menurut saya, gereja dapat belajar dari perjuangan Lekra, yang memiliki komitmen politik tinggi dalam kerja kebudayaan. Meski keduanya adalah institusi yang jauh berbeda, setidaknya gereja dapat meneruskan atau mengobarkan kembali semangat pembebasan kelas pekerja melalui kerja kebudayaan. Penekanan saya tertuju pada Lekra yang memosisikan kebudayaan sebagai lapangan perjuangan untuk membebaskan rakyat pekerja dari belenggu kapitalisme.

Rentang kerja kebudayaan Lekra sangat luas, mulai dari kesusastraan, perfilman, seni rupa, seni pertunjukan, seni tari, hingga seni musik. Beberapa contoh hasil kerja kebudayaan Lekra: di bidang kesusastraan, kita tentu tidak asing lagi dengan nama Pramoedya Ananta Toer, sastrawan Lekra yang melahirkan Tetralogi Buru; di bagian perfilman, ada Bachtiar Siagian, sutradara Lekra yang menyutradarai beberapa film, salah satunya berjudul Violetta; di aras seni panggung, Lekra pernah mementaskan kisah tentang rakyat miskin di tengah perayaan Jumat Agung dan Paskah berjudul Matine Gusti Allah, sebuah lakon tentang penyaliban Yesus.

Gereja sendiri sebenarnya memiliki materi yang potensial untuk kerja-kerja kebudayaan seperti ini. Dalam Alkitab kita menemukan narasi eksodus—keluarnya Israel dari tanah perbudakan Mesir—yang berperan penting dalam tatanan masyarakat Israel baru pasca-eksodus. Kuncinya terletak pada Keluaran 20:2 yang berbunyi: “Akulah TUHAN, Allahmu, yang membawa engkau keluar dari tanah Mesir, dari tempat perbudakan.” Kisah pembebasan tersebut diingat dan terus direlevansikan dalam konteks-konteks baru yang dihadapi Israel dalam bentuk puji-pujian yang tercatat di dalam Mazmur (misalnya: Mzm. 78, 114, 136).

Di Alkitab yang sama pula, kritik para nabi terhadap ketidakadilan sosial di masanya yang tersebar luas di banyak bagian juga bisa kita pertimbangkan. Berikut beberapa kutipannya:

Basuhlah, bersihkanlah dirimu, jauhkanlah perbuatan-perbuatanmu yang jahat dari depan mata-Ku. Berhentilah berbuat jahat, belajarlah berbuat baik; usahakanlah keadilan, kendalikanlah orang kejam; belalah hak anak-anak yatim, perjuangkanlah perkara janda-janda! (Yesaya 1:16-17)

Bukan! Berpuasa yang Kukehendaki, ialah supaya engkau membuka belenggu-belenggu kelaliman, dan melepaskan tali-tali kuk, supaya engkau memerdekakan orang yang teraniaya dan mematahkan setiap kuk, supaya engkau memecah-mecah rotimu bagi orang yang lapar dan membawa ke rumahmu orang miskin yang tak punya rumah, dan apabila engkau melihat orang telanjang, supaya engkau memberi dia pakaian dan tidak menyembunyikan diri terhadap saudaramu sendiri! (Yesaya 58:6-7)

Sangkamu rajakah engkau, jika engkau bertanding dalam hal pemakaian kayu aras? Tidakkah ayahmu makan minum juga dan beroleh kenikmatan? Tetapi ia melakukan keadilan dan kebenaran, serta mengadili perkara orang sengsara dan orang miskin dengan adil. Bukankah itu namanya mengenal Aku? Demikianlah firman TUHAN. (Yeremia 22:15-16)

Sebab itu, karena kamu menginjak-injak orang yang lemah dan mengambil pajak gandum dari padanya, sekalipun kamu telah mendirikan rumah-rumah dari batu pahat, kamu tidak akan mendiaminya; sekalipun kamu telah membuat kebun anggur yang indah, kamu tidak akan minum anggurnya. Sebab Aku tahu, bahwa perbuatanmu yang jahat banyak dan dosamu berjumlah besar, hai kamu yang menjadikan orang benar terjepit, yang menerima uang suap dan yang mengesampingkan orang miskin di pintu gerbang. (Amos 5:11-12)

Berapa lama lagi, TUHAN, aku berteriak, tetapi tidak Kaudengar, aku berseru kepada-Mu: “Penindasan!” tetapi tidak Kautolong? Mengapa Engkau memperlihatkan kepadaku kejahatan, sehingga aku memandang kelaliman? Ya, aniaya dan kekerasan ada di depan mataku; perbantahan dan pertikaian terjadi. Itulah sebabnya hukum kehilangan kekuatannya dan tidak pernah muncul keadilan, sebab orang fasik mengepung orang benar; itulah sebabnya keadilan muncul terbalik. (Habakuk 1:2-4)

Beberapa nukilan di atas memang tidak cukup memetakan keseluruhan kritik para nabi, akan tetapi, kita dapat memperoleh sedikit gambaran bahwa melalui tradisi profetik, para nabi jelas berpihak kepada kaum tertindas pada zamannya.

Selain narasi eksodus dan tradisi profetik para nabi, kita juga bisa melihat bagaimana Yesus sendiri mengawali pelayanannya dengan sebuah deklarasi tentang pembebasan orang-orang tertindas. Injil Lukas 4:18-19 mencatat perkataan Yesus yang berbunyi:

Roh Tuhan ada pada-Ku, oleh sebab Ia telah mengurapi Aku, untuk menyampaikan kabar baik kepada orang-orang miskin; dan Ia telah mengutus Aku untuk memberitakan pembebasan kepada orang-orang tawanan, dan penglihatan bagi orang-orang buta, untuk membebaskan orang-orang tertindas, untuk memberitakan tahun rahmat Tuhan telah datang.

Bahkan sebelum deklarasi ‘Manifesto Nazaret’, Injil Lukas 1:52-53 menulis nyanyian Maria, Bunda Yesus, yang kemungkinan besar memengaruhi Yesus:

Ia menurunkan orang-orang yang berkuasa dari takhtanya dan meninggikan orang-orang yang rendah; Ia melimpahkan segala yang baik kepada orang yang lapar, dan menyuruh orang yang kaya pergi dengan tangan hampa. (Lukas 1:52-53)

Yesus dan Maria berani mengekspresikan keberpihakan dan rindu akan pembebasan kaum tertindas. Namun, ekspresi mereka ini acap kali luput dari perhatian gereja. 

Dengan melimpahnya bahan-bahan yang ‘siap olah’ seperti ini, tidak sulit bagi gereja untuk mengembangkan kerja-kerja kebudayaan yang progresif. Sebagai ilustrasi, gereja dapat menciptakan atau mengaransemen lirik lagu solidaritas rakyat pekerja dengan semangat kritik sosial para nabi. Gereja juga dapat mementaskan kisah Marsinah dalam bentuk drama musikal untuk mendemonstrasikan kenyataan pertentangan kelas. Selain itu, seiring dengan meningkatnya kemajuan teknologi dan kreativitas serta kemampuan kaum muda yang mumpuni, gereja juga memiliki potensi besar untuk memproduksi film-film indie dengan pesan yang sama. Sementara itu, di bidang seni lukis, gereja dapat memajang hasil-hasil karya seniman gereja—yang mengadaptasi gaya realisme sosialis—di dinding-dinding gereja. Gereja juga dapat memimpin pembuatan puisi dan prosa yang menyuarakan kritik sosial dan bertujuan untuk pembebasan kelas pekerja. Gereja perlu memikirkan lebih jauh agar kerja-kerja kebudayaan progresif ini dapat terwujud dengan cara yang terorganisir. Pembentukan jejaring antar gereja untuk melakukan berbagai upaya kolaborasi sangat penting dilakukan.

Meski demikian, saya melihat bahwa terdapat tantangan untuk merealisasikan kerja-kerja kebudayaan progresif ini. Dalam hal ini, gereja terdiri atas berbagai lapis kelas masyarakat yang memiliki kepentingan-kepentingan yang saling bertentangan. Artinya, gereja berhadapan dengan situasi dilematis yang menguji komitmen keberpihakan gereja kepada kelas tertindas.

Di sinilah, kerja-kerja kebudayaan menjadi panggung penting bagi kita untuk menyaksikan kepentingan kelas mana yang direpresentasikan dan diperjuangkan oleh gereja.***


Yasuo Huang adalah mahasiswa Sarjana Teologi di STT Amanat Agung, Jakarta; anggota Kristen Hijau


Kepustakaan

[i] Andreas Supartono, “Lekra vs Manikebu: Perdebatan Kebudayaan Indonesia 1950-1965,” Skripsi (Jakarta: STF Driyarkara, 2000).

[ii] H. B. Jassin, tulis Wijaya Herlambang, mengatakan bahwa kebudayaan aliran humanisme universal menekankan nilai-nilai kemanusiaan absolut, lihat Wijaya Herlambang, Kekerasan Budaya Pasca 1965: Bagaimana Orde Baru Melegitimasi Anti-Komunisme melalui Sastra dan Film (Serpong: Marjin Kiri, 2019), 86. Penekanan pada absolutisme itulah yang pada akhirnya berpandangan bahwa kerja kebudayan tidak bisa disetir oleh kepentingan politik.

[iii] Geoffrey B. Robinson, The Killing Season: A History of the Indonesian Massacres, 1965-66 (Princeton & Oxford: Princeton University Press, 2018).

[iv] Herlambang, Kekerasan Budaya Pasca 1965, 58-101.

]]>
Kerja Tekun Kristen Progresif: Usulan Trayektori https://indoprogress.com/2019/11/kerja-tekun-kristen-progresif-usulan-trayektori/ Fri, 29 Nov 2019 23:43:19 +0000 https://indoprogress.com/?p=86038

Kredit ilustrasi: Alit Ambara (Nobodycorp.International Unlimited)


MELALUI tulisan ini, saya hendak menyumbangkan usulan tentang trayektori penelitian yang strategis untuk dikerjakan di bidang teologi atau keagamaan Kristen, yang kiranya dapat mendukung perjuangan kelas pekerja di Indonesia untuk membebaskan diri dari kapitalisme. Seperti telah sering disebutkan dalam situs ini, kelas pekerja di Indonesia mengenal istilah ‘kerja tekun’ dalam tradisi pergerakannya, merujuk pada upaya pengorganisasian pengetahuan emansipatoris yang tidak bisa diabaikan di samping ‘kerja kobar’ pengorganisasian massa.[1] Setelah gelombang protes mahasiswa, pelajar STM, elemen gerakan buruh dan petani pada bulan September lalu relatif mereda, mungkin ada baiknya jika energi-energi perlawanan yang masih menggelora disalurkan sebagian ke jenis kerja ini.

Apa saja yang baiknya dikerjakan dalam bidang teologi Kristen? Dalam bayangan saya ada lima sub-bidang yang bisa digarap, yaitu penelitian empiris tentang dinamika kekristenan hari ini, tafsir Alkitab, teologi sistematika, sejarah kekristenan di Indonesia, serta kritik budaya populernya. Berikut ini adalah penjelasannya.


Penelitian Empiris

Seorang Marxis harus berpijak pada kenyataan. Teolog idealis-borjuis bisa mengabaikan tuntutan ini dan memperlakukan teologi sebagai wacana tertutup yang membenarkan dirinya sendiri serta membentengi diri dari perkembangan dunia dan pengetahuan di luarnya, atau bersandar pada ide-ide luhur dan moralitas, namun tidak demikian dengan mereka yang bermetodekan materialisme dialektis. Rancangan strategi dan trayektori penelitian demi emansipasi kelas pekerja harus berjangkar pada dinamika perjuangan kelas pekerja itu sendiri, dan karena itu penelitian empiris punya peran krusial di sini.

Apa saja pokok-pokok yang terkait dengan teologi Kristen dan dinamika perjuangan kelas yang baik untuk diteliti? Dalam bayangan saya, kita perlu memetakan pola-pola hegemoni ideologi kelas penguasa lewat teologi Kristen. Gambaran ini bisa diperoleh lewat penelitian terhadap para pekerja beriman Kristen. Ayat-ayat Alkitab apa, dengan tafsiran seperti apa, dan kerangka teologis yang bagaimanakah yang mengaburkan kesadaran mereka tentang pertentangan kelas, mendorong sikap berpasrah, atau memoderasi semangat berlawan? Dari sumber-sumber mana dan lewat media-media apakah kesadaran tersebut ditanamkan? Langkah selanjutnya adalah memetakan aktor-aktornya. Siapa saja aktor-aktor utama penyebaran ide-ide tersebut? Lewat institusi-institusi apa mereka beroperasi? Bagaimana mereka terhubung dengan jejaring oligarki atau kelas pemodal di Indonesia? Di sektor-sektor produktif manakah jejaring mereka ini mengakumulasi modalnya? Bayangkan jika kelas pekerja di Indonesia bisa terekspos pada dokumenter-dokumenter seperti hasil produksi WatchDoc, dengan konten pemetaan pola-pola hegemoni ini beserta jejaring aktornya. Atau dalam bentuk publikasi ilmiah seperti disertasi doktoral almarhum Wijaya Herlambang yang mengungkap kepentingan politik di balik persebaran ide-ide humanisme universal di Indonesia beserta jejaring aktor dan institusinya.[2] Tak kalah pentingnya juga adalah penelitian tentang proses eksploitasi yang terjadi di ‘korporasi-korporasi’ Kristen, semisal megachurch. Untuk yang terakhir ini tentu kita membutuhkan kerangka teori dan perangkat analisis yang mumpuni guna mengukur derajat eksploitasi secara akurat di industri spesifik ini, termasuk menjelaskan proses-proses yang terjadi di ranah afeksi dan subjektivitas, misalnya. Pokok-pokok ini bisa kita diskusikan dan pertajam bersama.


Tafsir Alkitab

Bagaimana dengan tafsir Alkitab? Idealnya, pemetaan lewat riset-riset empiris yang dijelaskan sebelumnya akan menunjukkan teks-teks Alkitab manakah yang perlu ditafsir kembali untuk kepentingan rakyat pekerja dan tafsiran-tafsiran seperti apakah yang menjadi kontestan. Dari sana kemudian kita bisa mengupayakan tafsir-tafsir tandingannya. Dalam tradisi teologi pembebasan di Amerika Latin, ada praktik pembacaan Alkitab partisipatoris-emansipatoris dalam komunitas-komunitas basis. Praktik ini selalu bisa diterapkan kembali dalam konteks Indonesia. Selain itu, penting juga untuk mendiseminasikan produk-produk dunia kesarjanaan tafsir Alkitab yang progresif. Kita perlu menginventarisasikan bacaan-bacaan dan nama-nama pakar di bidang ini yang telah membedah Alkitab dengan mengeksplisitkan konflik kelas dalam cerita dan proses pembentukannya, serta menunjukkan aplikasi pendekatan Marxian dalam pembacaan Alkitab. Alangkah baiknya jika ada yang me­-review karya klasik penafsir Perjanjian Lama Marxis Norman K. Gottwald, The Tribes of Yahweh, atau karya-karya yang lebih kontemporer seperti dari Richard Horsley dan Roland Boer, untuk kolom Left Book Review di situs ini, atau bahkan menerjemahkannya ke dalam bahasa Indonesia.


Teologi Sistematika

Teologi sistematika berusaha menjelaskan konten iman Kristen serta menunjukkan koherensi dan aktualitasnya. Dengan kecurigaan Marxis, kita bisa melihat bahwa obsesi terhadap koherensi dan sistematisnya suatu gambaran ideologis itu pada dasarnya berwatak idealistik dan merupakan bagian dari agenda kelas penguasa untuk melanggengkan posisinya. Pokok ini dijelaskan oleh Althusser dalam How to be a Marxist in Philosophy. Menurutnya, seorang pemikir materialis yang berpijak pada kenyataan pertentangan kelas justru akan melihat kontradiksi-kontradiksi dalam gambaran-gambaran ideologis yang berpretensi menyuguhkan suatu gambaran utuh.[3]

Alih-alih membangun teologi dengan model preskripsi atas suatu permasalahan, kita bisa membongkar kontradiksi kelas dalam skema-skema teologi sistematis yang beredar dan dikanonkan. Kita eksplisitkan watak kelasnya, angkat kepentingan kelas pekerja yang direpresinya, lalu ajukan itu sebagai gugatan atasnya. Penting juga untuk diingat bahwa banyak di antara para teolog ‘besar’ ini yang posisi kelasnya mengambang, sehingga rentan memunculkan ekspresi-ekspresi yang ambivalen. Apalagi teks Alkitab dan tradisi teologi yang menjadi sumber pemikirannya pun penuh dengan ambivalensi. Luther, misalnya, menggelorakan narasi pemberontakan terhadap kekuasaan Gereja Katolik Roma, namun represif terhadap pemberontakan petani. Kita bisa mengeksploitasi kebimbangan-kebimbangan semacam ini. Contoh pembacaan model semacam ini bisa kita temukan, misalnya dalam buku Roland Boer tentang Calvin, Political Grace.[4] Alih-alih meneruskan perdebatan-perdebatan di masa lalu tentang seberapa konservatif atau progresifnya Calvin, di mana dalam surveinya ia bahkan menunjukkan adanya studi-studi yang mengait-kaitkan Calvin dengan Marx dan Gramsci, Boer memilih untuk mengeksplisitkan ambivalensi Calvin serta dinamika elemen protes maupun represif dalam tulisan-tulisannya. Kita bisa menerapkan proses serupa pada teolog-teolog lainnya hingga dokumen-dokumen utama gereja. Supaya tepat sasaran, akan lebih strategis apabila teolog atau dokumen gereja yang hendak dibedah punya pengaruh yang cukup luas di Indonesia.

Selain upaya-upaya membongkar kontradiksi, ada juga kerja-kerja yang sifatnya lebih ‘membangun’. Dalam segala keterbatasan yang ada pada model-model teologi Kristen kiri, saya pikir kita tetap membutuhkan yang semacamnya. Selain menjadi jembatan untuk mereorientasikan kelas pekerja dari ‘ketersesatan’ ideologisnya, ia juga dapat menolong mereka yang membutuhkan imajinasi lebih dalam perjuangannya. Warisan teologi pembebasan Amerika Latin, teologi politik Eropa, kelompok Thomis-kiri Inggris, Barthian-kiri Jerman-Belanda, perlu lebih dipopulerkan dan dikembangkan.


Sejarah Kekristenan di Indonesia

Buku Wijaya Herlambang yang saya sebut sebelumnya menunjukkan kepada kita bagaimana konsolidasi kekuasaan Orde Baru di level kebudayaan adalah topik yang menarik dan penting untuk dibahas. Alangkah bermanfaatnya jika proses serupa ditelusuri juga dalam dunia teologi dan gereja di Indonesia. Menurut saya, disertasi Julianus Mojau, Meniadakan atau Merangkul?,[5] adalah pintu masuk yang sangat baik. Sebagian buku tersebut membahas teolog-teolog Protestan penting di masa lalu yang turut melegitimasi Orde Baru. Buku Memori-Memori Terlarang: Perempuan Korban dan Penyintas Tragedi ’65 di Nusa Tenggara Timur[6] juga menunjukkan kepada kita gambaran tentang peran gereja dan kekristenan dalam hiruk-pikuk sekitar 1965. Namun yang tidak boleh dilupakan dalam rekonstruksi-rekonstruksi sejarah semacam ini, dalam agenda perjuangan kelas pekerja, adalah bagaimana meletakkannya dalam sejarah pertentangan kelas, dan bukan mengerangkakannya hanya sebagai tragedi kemanusiaan atau membebankan kesalahan semata-mata kepada figur-figur jahat.

Sejarah kekristenan kiri di Indonesia juga penting untuk didokumentasikan. Amir Sjarifuddin, misalnya, adalah sosok yang penting untuk diangkat, karena jejak kirinya di institusi-institusi ‘pusat’ kekristenan Indonesia.[7] Selain itu juga orang-orang Kristen yang terlibat dalam Lekra sebelum 1965. Tidak kalah pentingnya juga adalah ekspresi-ekspresi Kristen dengan semangat pembebasan di level akar rumput yang mungkin dapat ditemukan di lokasi-lokasi ketertindasan, misalnya Papua. Dokumentasi tentang nubuatan-nubuatan yang pernah dilontarkan namun terbukti tidak terjadi mungkin juga menarik untuk dibuat.


Kritik Budaya Populer

Last but not least, kita harus menyadari kemungkinan bahwa hegemoni atas kelas pekerja melalui teologi Kristen lebih mungkin dimediasi oleh ekspresi-ekspresi populernya seperti lagu-lagu rohani, khotbah-khotbah pendeta idola, dan buku-buku renungan, daripada buku-buku teks teologi akademik (apalagi jurnal-jurnal ilmiahnya). Karena itu kritik-kritik yang bersemangatkan perjuangan pembebasan kelas pekerja atas ekspresi-ekspresi ini justru sangat penting untuk dikerjakan. Kolom Kristen Progresif di situs IndoProgress tidak harus diisi dengan ulasan tentang buku-buku teologi yang tebal-tebal dan berbahasa asing, tetapi juga lagu-lagu Sidney Mohede, khotbah-khotbah Philip Mantofa, buku-buku John Piper, hingga edisi-edisi Renungan Harian. Materinya banyak sekali dan mudah diakses. Secara garis besar, prosedur kritiknya kurang lebih sama seperti dalam penjelasan sebelumnya: kita eksplisitkan watak kelasnya, kita cari ambivalensinya, kita gumuli tafsir alternatifnya, kita runut problem sosial yang diasumsikannya lalu menunjukkan jalan pembebasannya, kita bongkar kontradiksinya, kita selidiki posisi kelasnya dalam tatanan sosial yang ada beserta jejaringnya, kita pegang posisi kelas pekerja yang direpresinya lalu kita gugat dari sana, atau kita cari elemen-elemen narasinya yang bisa direbut untuk kepentingan kelas pekerja. Menarik juga untuk dianalisis kespesifikan metode dan bentuk penyebaran ekspresi-ekspresi ini, mulai dari penataan ruang ibadah, model pujian dan penyembahan, jenis musik dan forma lirik lagu, penggunaan mimbar atau panggung, gaya dan struktur khotbah, tema-tema yang dibahas, hingga literary form dari buku-buku renungan.


Penutup

Dalam tulisan ini saya telah menunjukkan trayektori penelitian yang menurut hemat saya strategis untuk dikerjakan di bidang teologi atau keagamaan Kristen. Saya harap usulan sederhana ini dapat memicu kerja-kerja tekun di bidang ini. Ada banyak topik yang bisa dikerjakan, dan tidak harus digarap oleh teolog profesional. Jika ada yang hendak menambahkan atau mempertajam, silakan menulis tanggapannya di kolom Kristen Progresif ini.***


Daniel Sihombing bergiat di Kristen Hijau


————-

[1] Bdk. Iqra Anugrah, ‘Kerja-Kerja Riazanov’, https://indoprogress.com/2016/12/kerja-kerja-riazanov/; ‘Martin Suryajaya: Materialisme Dialektis Sebagai Metode’, https://indoprogress.com/2012/08/wawancara/. Lihat juga roadmap dari Martin Suryajaya tentang pengembangan karya almarhum Wijaya Herlambang dalam obituarinya di Martin Suryajaya, ‘Yang Saya Kenang dari Wijaya Herlambang’, https://indoprogress.com/2015/12/yang-saya-kenang-dari-wijaya-herlambang/.

[2] Wijaya Herlambang, Kekerasan Budaya Pasca 1965: Bagaimana Orde Baru Melegitimasi Anti-Komunisme Melalui Sastra dan Film (Serpong: Marjin Kiri, 2013).

[3] Louis Althusser, G. M. Goshgarian, and Louis Althusser, How to Be a Marxist in Philosophy (London ; New York: Bloomsbury Academic, 2017).

[4] Roland Boer, Political Grace: The Revolutionary Theology of John Calvin (Louisville: Westminster John Knox, 2009).

[5] Julianus Mojau, Meniadakan atau Merangkul? Pergulatan Teologis Protestan dengan Islam Politik di Indonesia (Jakarta: BPK-GM, 2012).

[6] Mery Kolimon&Liliya Wetangterah(eds.), Memori-Memori Terlarang: Perempuan Korban dan Penyintas Tragedi ’65 di Nusa Tenggara Timur (NTT: Yayasan Bonet Pinggupir, 2012).

[7] Bisa mulai dengan dua artikel Martin Hutagalung tentang Amir di Islam Bergerak, https://islambergerak.com/2016/08/amir-sjarifuddin-seorang-komunis-sekaligus-kristen-taat-bagian-1/, dan https://islambergerak.com/2016/10/amir-sjarifuddin-seorang-komunis-sekaligus-kristen-taat-bagian-2/.

]]>
Alkitab dan Transformasi Dunia https://indoprogress.com/2019/11/alkitab-dan-transformasi-dunia/ Wed, 13 Nov 2019 01:30:21 +0000 https://indoprogress.com/?p=74751

Kredit ilustrasi: thisishell.com


ARTIKEL berjudul “Communism and Religion Can’t Coexist” yang ditulis oleh Marion Smith, direktur eksekutif yayasan Victims of Communism Memorial,dalam harian Wall Street Journal mengusik saya. Komunisme dan agama tidak bisa bersatu, begitu kata Smith. Bukankah Karl Marx sendiri pernah berkata bahwa agama adalah candu masyarakat (baca: opium)? Smith membeberkan tindakan-tindakan represif rezim komunis atas religiositas sejak Uni Soviet yang menghancurkan 600 bangunan suci Ortodox hingga Republik Rakyat Cina (RRC) saat ini terhadap etnis Uygur. Dengan tidak menjustifikasi segala bentuk kekejaman yang dilakukan oleh rezim komunis, saya melihat bahwa ada kesempatan untuk menghubungkan antara Marxisme dan agama. Memang betul Marx berpendapat bahwa agama adalah candu masyarakat dipahami dalam artian membuat penganutnya lari dari realita dunia dan memilih untuk berfantasi. Di sisi lain, bagi Marx, agama dapat menjadi perlawanan terhadap situasi kekinian yang penuh penindasan dan ketidakadilan.[1]

Saat kita sudah mengetahui bahwa pernyataan “agama adalah candu masyarakat” bermuatan ambivalen, bagaimana hubungan antara Marxisme dan kitab suci umat beragama, misalnya Alkitab? Bukankah Alkitab sering digunakan untuk menjadi alat penindasan? Dengan mengutip dan meramu berbagai ayat secara parsial, Alkitab dideklarasikan oleh sebagian orang untuk menjustifikasi penindasan dan ketidakadilan. Dalam tulisan ini, kita akan melihat bahwa Alkitab, apabila dibaca secara berbeda, melawan segala bentuk penindasan dan ketidakadilan.

***

Alkitab milik siapa saja, termasuk bagi kaum yang tertindas. Kondisi yang mereka alami menuntut pembacaan Alkitab yang berbeda. Oleh karenanya, dibutuhkan suatu pembacaan Alkitab yang segar di tengah arus penafsiran yang selama ini mewarnai kesarjanaan biblika. Dalam dunia teologi, studi biblika dikenal sebagai kajian penelitian yang membedah teks kitab suci bernama Alkitab. Hermeneutik sebagai metode menginterpretasi teks menjadi bagian yang terintegrasi di dalam studi tersebut. Studi biblika yang lekat dengan lingkaran kesarjanaan akademis, maupun kehidupan pribadi umat beragama mesti menjaga ketat kaitannya dengan realitas sosial.

Metode hermeneutik Alkitab yang beredar selama ini tidak banyak yang memerhatikan kajian-kajian Marxisme. Bagi saya ini janggal karena para sarjana biblika menggunakan disiplin-disiplin ilmu lain sebagai metode hermeneutik, tetapi acap kali Marxisme ditepikan. Jika sudah antipati terhadap Marxisme, pertautan antara pembacaan Alkitab dan Marxisme sulit terjadi.

Roland Boer, seorang teolog yang mengerjakan proyek pertalian Marxisme dan teologi, dalam pembacaannya atas Atheism in Christianity, berpendapat bahwa,“para Marxis butuh untuk mempertimbangkan Alkitab secara serius sebagai dokumen revolusioner, dan para sarjana biblika dan teolog tidak bisa menghindari Marxisme dalam interpretasi mereka.”[2] Tentu pernyataan Boer ini sangat kontroversial. Ingatan kita terus dihantui hubungan kelam antara agama dan Marxisme (seperti diangkat Smith). Akan tetapi, pemikiran dan pengembangan proyek untuk menghubungkan keduanya tidak boleh berhenti guna membangkitkan benih-benih perlawanan terhadap status quo.

Gegara pemberangusan secara sistematis, masif, dan terstruktur oleh rezim Orde Baru, Marxisme dianggap tabu dan berdosa di Indonesia. Hal tersebut membuat diskusi dan penelitian tentang Marxisme menjadi terhambat karena ribuan label disematkan bagi mereka yang mempelajarinya. Padahal, Marxisme dapat digunakan untuk menjadi pisau bedah yang melengkapi studi biblika dalam menginterpretasi dan mentransformasi masyarakat Indonesia. Marxisme, sebagai ilmu sosial, mengkritisi kondisi sosial, ekonomi, dan politik masyarakat yang dicengkeram keganasan kapitalisme. Oleh karena itu, studi biblika memerlukan kajian Marxisme sebagai alat bantu untuk memahami dan mengubah dunia. Perlu digarisbawahi, Marxisme sebagai ilmu sosial yang menjadi alat bantu pembacaan Alkitab tidak serta merta mengafirmasi pandangan teologis Marx. Ini dua hal yang berbeda. 

Meski Norman Gottwald yang menerbitkan buku penting berjudul The Tribes of Yahweh: A Sociology of the Religion of Liberated Israel, 1250-1050 B.C.E. (1979) dianggap sebagai pioner dalam kesarjanaan biblika Marxis, akhir-akhir ini, goresan kecil terlihat dalam salah satu bab di buku John W. Rogerson,[3] seorang sarjana biblika asal Inggris yang berkecimpung dalam kesajarnaan biblika Jerman mengutip ucapan Marx, “Para filsuf hanya menafsirkan dunia, dalam berbagai cara; poinnya adalah mengubahnya.”[4] Ini berarti, Rogerson menangkap ide Marx bahwa pembaca Alkitab tidak hanya bisa berpasrah diri dan berpangku tangan dalam realitas dunia ini. Pembaca Alkitab mengemban tanggung jawab transformatif. Akan tetapi, argumentasi Rogerson tidak terlalu kental ke arah hermeneutik Alkitab.

Sebenarnya, keterhubungan antara Marxisme dan studi biblika sebagai bagian dalam ilmu teologi bukan hal baru. Dalam konteks Amerika Selatan, terdapat pertemuan antara teologi dan Marxisme yang kemudian dikenal dengan istilah Teologi Pembebasan. Jika menarik benang antara teologi dan Marxisme, transformasi dunia merupakan konsen utama kedua disiplin ilmu ini.[5] Transformasi seperti apa? Merombak tatanan kapitalisme dan menggantinya dengan tatanan yang melenyapkan kepemilikan pribadi atas alat produksi. Untuk merengkuh sesuatu yang utopis ini, mau tidak mau harus ada perlawanan terhadap mereka yang ingin status quo tetap bertahan. Hal ini tidak mungkin tercapai apabila Alkitab terus-menerus dipakai untuk menguatkan penindasan.

***

Untuk sementara ini, pembacaan Alkitab yang menggandeng Marxisme adalah hermeneutik pembebasan. Model pembacaan seperti demikian berangkat dari konteks masyarakat tertindas. Pokok pikiran dari hermeneutik pembebasan adalah mengubah keadaan dalam terang konsep teologis. Dengan mempertimbangkan hermeneutik ini, Alkitab yang sebelumnya dipakai untuk melegitimasi penindasan, menjadi berbalik melawan penindasan![6]

Hermeneutik pembebasan berangkat dari konteks akar rumput mendorong dialog dengan berbagai disiplin ilmu, terkhusus Marxisme. Kunci dari metode ini terletak pada pergulatan kelas. Pertentangan kelas secara mendasar antara penindas dan yang ditindas. Meski di zaman Alkitab belum ada kapitalisme, konflik tersebut kerap kali tergambar dengan gamblang.[7] Misalnya, elemen yang penting dalam kerangka Marxis adalah peristiwa eksodus Israel dari Mesir. Kemudian, yang jarang disorot oleh banyak orang adalah krisis menjelang perpecahan kerajaan Israel menjadi utara dan selatan. Kerajaan Utara, biasa disebut Israel, mendirikan ibukota di Samaria. Kerajaan Selatan, biasa disebut Yehuda, berpusat di Yerusalem. Israel didominasi oleh kaum (totalnya 10 suku!) yang merasa tercekik akibat pajak yang dikenakan oleh raja Salomo. Sedangkan Yehuda hanya terdiri dari 2 suku yang meyakini bahwa mereka meneruskan dinasti Daud.

Contoh di atas sedikit menggambarkan bahwa ada ketegangan politik yang terjadi dalam kisah-kisah Alkitab. Ini berarti, Alkitab sama sekali tidak absen terhadap kondisi sosial-politik. Namun, mengapa di Indonesia sangat jarang sekali dibahas, dikhotbahkan, dan menjadi pokok pikiran umat Protestan (terutama dalam lingkaran konservatif)? Kesenjangan sosial di Indonesia begitu tajam, yang kaya semakin kaya, yang miskin semakin miskin. Kondisi ini menuntut pembacaan Alkitab yang tidak bisa melanggengkan hegemoni status quo tersebut. Jika kapitalisme masih bergentayangan dan mencengkeram kehidupan masyarakat Indonesia, kolaborasi antara studi biblika dan Marxisme dapat menjadi alternatif perlawanan terhadap sistem penghisap tersebut.

Sebagai contoh, peristiwa eksodus Israel dari Mesir tidak melulu dimengerti secara spiritual. Kisah spektakuler dalam sejarah manusia tersebut dapat dibaca bahwa terdapat pertentangan kelas antara penindas dan yang tertindas. Saat itu, bangsa budak menjadi pemenang! Intervensi ilahi atas sejarah tidak boleh dipinggirkan yang memotori revolusi. Tidak hanya berhenti di sana, Allah menciptakan komunitas alternatif yang kontras dari Mesir.

Selain itu, kisah kematian dan kebangkitan Kristus sebagaimana dicatat Gutierrez, “Pembebasan radikal adalah hadiah yang Kristus berikan untuk kita. Melalui kematian dan kebangkitan-Nya Dia menebus kita dari dosa dan semua konsekuensinya, seperti yang telah ditulis kita kutip lagi: ‘Itu adalah Allah yang sama, yang dalam kepenuhan waktu, mengirim anak-Nya dalam daging, supaya Dia datang untuk membebaskan umat manusia dari perbudakan yang mana dosa telah menaklukkan mereka: kelaparan, penderitaan, penindasan, dan pengabaian, dengan kata lain, ketidakadilan dan kebencian tersebut yang berasal dari keegoisan manusia.”[8] Kristus yang bangkit itu (dalam artian yang luas) mengutus Roh Kudus, sehingga Gereja hadir di dunia. Gereja bukan komunitas yang mengasingkan diri dari dunia, tetapi justru menceburkan diri ke dalamnya dan menyaksikan pesan pembebasan bagi dunia yang dieksploitasi.

Pembacaan Alkitab bukan hanya dilakukan secara individu sebagaimana ditekankan kalangan tertentu, melainkan juga di dalam komunitas iman yang dirundung pergulatan kelas sambil mengharapkan akan pembebasan.[9] Gereja sebagai salah satu komunitas iman yang membaca Alkitab mesti menyadari kembali keberadaannya. Bukankah Gereja hadir di tengah dunia sebagai komunitas alternatif yang mendemonstrasikan kasih dan keadilan untuk turut menjadikan dunia yang dipenuhi oleh kedua poin tadi? Namun, bagaimana bisa memikirkan poin krusial tersebut apabila Alkitab dibaca hanya dalam kerangka konservatif? Nampaknya, metode pembacaan Alkitab yang berbeda memang segera dibutuhkan.***


Yasuo T. Huang adalah mahasiswa Sarjana Teologi di STT Amanat Agung; aktivis Kristen Hijau

—————–


[1] Ernst Bloch, Atheism in Christianity: The Religion of the Exodus and the Kingdom, terj. J. T. Swan(London; New York: Verso, 2009), 50.

[2] Roland Boer, Criticism of Heaven: On Marxism and Theology, Historical Materialism 18 (Leiden; Boston: Brill 2007), 4.

[3] Old Testament Theology: Cultural Memory, Communication and Being Human (London: SPCK, 2009).

[4] Karl Marx, “Theses on Feuerbach XI,” dalam Karl Marx dan Friedrich Engels, The German Ideology (London: Lawrence & Wishart, 1970), 123.

[5] Gustavo Gutierrez, A Theology of Liberation: History, Politics, and Salvation, terj. dan ed. Sister Caridad Inda dan John Eagleson (Maryknoll: Orbis, 1988), 8; Pablo R. Andiñach dan Alejandro F. Botta, “Introduction: The Bible and The Hermeneutics of Liberation: Worldwide Trends and Prospects,” dalam The Bible and The Hermeneutics of Liberation, ed. Alejandro F. Botta dan Pablo R. Andiñach, Society of Biblical Literature 59(Atlanta: Society of Biblical Literature, 2009), 2.

[6] Andiñach dan Botta, “Introduction,” 7.

[7] Boer, Criticism of Heaven, 20.

[8] Gutierrez, A Theology of Liberation, 103.

[9] Andiñach dan Botta, “Introduction,” 7.

]]>
Cerita-Cerita Perlawanan dalam Injil https://indoprogress.com/2019/10/cerita-cerita-perlawanan-dalam-injil/ Sat, 19 Oct 2019 00:16:19 +0000 https://indoprogress.com/?p=59525

Kredit ilustrasi: selphinflicted.wordpress.com


Alkitab seringkali dipandang sekadar mengurus hal-hal sorgawi dan persoalan moral pribadi yang tidak ada kaitannya dengan persoalan ekonomi-politik. Sehingga tidak jarang mendengar para pengkhotbah memandang persoalan kesenjangan sosial sebagai akibat orang-orang miskin yang malas, bodoh hingga kurang diberkati oleh Tuhan. Persoalan-persoalan dunia harus dihadapi dengan bersabar, bersyukur, pasrah dan berserah pada keadaan dan menjanjikan sesuatu yang lebih baik kelak di surga. Wajar pula respon nyinyir umat terhadap demonstrasi akhir-akhir ini. Demonstrasi dianggap bukan solusi, yang harus dilakukan oleh mereka sebagai pelajar adalah belajar dengan giat, mereka yang bekerja adalah bekerja dengan rajin, perlawanan dalam wujud demonstrasi dianggap tidak lagi relevan di zaman modern. Namun mereka tidak menunjuk jarinya kepada sistem yang tidak adil, corak produksi yang tidak demokratis, struktur ekonomi yang memberi peluang seluas-luasnya bagi penghisapan manusia sebagai akar persoalan. Mereka juga tidak belajar dari sejarah, bahwa kehidupan yang lebih baik dalam perkembangannya dibangun di atas perlawanan dengan darah dan air mata bukan hadiah dari yang berkuasa.

Hubungan agama dan kekuasaan adalah topik abadi. Agama dapat secara terbuka bergabung dengan perebutan kekuasaan, seringkali agama berperan dalam menopang kekuatan yang ada. Tetapi, agama juga dapat memberikan kontribusi bagi semangat gerakan perlawanan. Dalam perjuangan revolusi, umat gereja pernah berperan dalam pergerakan sebagai oposisi pemerintahan. Umat mereoreintasi iman mereka untuk menantang rezim. Cerita-cerita dalam Alkitab memainkan peran dalam mobilisasi revolusioner dari umat. Beberapa cerita dalam Alkitab secara khusus digunakan kaum revolusioner untuk menegaskan, mengeksplorasi dan mempromosikan model aksi dan orientasi moral yang konsisten dengan keyakinan revolusioner. Cerita Alkitab dapat memberi peluang bagi pengguna cerita untuk mendefinisikan komitmen mereka terhadap revolusi sesuai dengan prinsip yang radikal.

Pengakuan bahwa cerita, mitos hingga dongeng berperan dalam pendorong mobilisasi gerakan sosial dapat terlihat di berbagai literatur. Fransesca Polletta, dalam bukunya It Was Like a Fever: Storytelling in Protest and Politics, menuliskan bahwa cerita dapat menopang kelompok-kelompok perjuangan perubahan sosial, membantu membangun identitas kolektif baru, menghubungkan tindakan saat ini dengan masa lalu dan perubahan di  masa depan, bahkan sebelum gerakan terorganisir muncul, cerita-cerita yang beredar di dalam komunitas subaltern memberikan tandingan bagi mitos yang dipromosikan oleh yang kuat.[1] Christian Smith menuliskan bahwa dengan menceritakan sebuah kisah berarti mendefinisikan siapa kita sebagai manusia, untuk apa kita di sini, bagaimana kita harus hidup, apa yang baik dan buruk, benar dan salah, adil dan tidak adil, adil dan tidak layak, layak dan tidak layak, makna yang ada dalam skema realitas yang lebih besar dalam kehidupan.[2]

Peran cerita bernada subversif penting dalam perubahan sosial terutama menantang status quo. Cerita subversif adalah tandingan dari hegemoni cerita-cerita yang melihat kenyataan sekarang yang dikaburkan dan diterima begitu saja. Jika hegemoni cerita mengatur keheningan dan menjajah kesadaran, cerita subversif adalah cerita yang memecah keheningan itu.[3]

Penggunaan cerita subversif dapat menjadi alat konfirmasi dalam keterlibatan politik bahkan dapat mempertahankan imajinasi alternatif tentang realitas yang lebih baik. cerita subversif dapat menghadirkan dinamika perubahan sosial karena memberikan identitas, solidaritas, orientasi, dan semangat bagi para aktor perlawanan.

Cerita-cerita Alkitab juga pernah digunakan seorang revolusioner di Rusia, Lenin, seperti yang ditulis oleh Roland Boer, “Not only does Lenin turn out to be a creative and innovative exegete, appropriating, redirecting, and providing new angles on the biblical texts, but he also deploys the genre of parables throughout his writings.”[4] Sekalipun Lenin lebih cenderung menolak membandingkan perjuangannya dengan agama (kekristenan), namun, Roland Boer melihat Lenin secara kreatif menggunakan teks-teks alkitabiah sendiri, bergerak melampaui pendahulunya, Marx dan Engels, dia bahkan disebut meradikalisasi wawasan mereka.

Kisah-kisah dalam Alkitab dapat memperkuat identitas semangat revolusioner. Hal tersebut dapat dilakukan dengan mendramatisasi sejarah kolektif orang-orang Kristen, memberikan pesan moral pada revolusi, menetapkan batas-batas moral antara para pengguna cerita dan musuh-musuh mereka, dan mengaitkan perasaan urgensi dengan kondisi aktual yang terjadi.

Kisah perlawanan di El Salvador, contohya, banyak diinspirasi dari kisah kehidupan, kematian, dan kebangkitan Yesus. Kisah di dalam Injil tersebut memberikan sebuah lensa yang digunakan untuk memahami dunia yang sedang mereka jalani. Pembunuhan uskup agung mereka (Oscar Romero), kematian yang kejam dari orang-orang terkasih, dan pengorbanan mereka semua memperoleh makna penebusan dalam terang sengsara Yesus. peristiwa tersebut membuat kelas pekerja menempatkan hidup mereka sendiri dalam konteks narasi mengenai iman, penganiayaan, menjadi perlawanan yang nyata dan sakral.[5]

Kisah-kisah perlawanan seringkali mengambil referensi dari Perjanjian Lama, secara khusus mengenai kisah pembebasan bangsa Israel dari perbudakan Mesir hingga kritik profetis para Nabi, namun, dalam tulisan ini mencoba sedikit mengeksplorasi cerita-cerita dalam Perjanjian Baru secara khusus cerita-cerita dalam Injil mengenai kelahiran dan kehidupan Yesus,  perumpamaan dan mujizat.


Kelahiran dan kehidupan Yesus,  perumpamaan dan mujizat 

Dalam prolog di cerita-cerita Injil, baik itu Firman yang telah menjadi manusia (Yohanes 1: 1–18), pemberitaan kelahiran (Lukas 1:26 –36), nyanyian pujian Maria (Lukas 1:46 – 55), kidung Zakharia (Lukas 1:67–80 ), kelahiran Yesus (Lukas 2: 6–7), Gembala Betlehem (Lukas 2: 8-20), Pembunuhan anak-anak di Betlehem (Matius 2: 12–23), Yesus dan Simeon (Lukas 2:29 –36),  Injil memberikan pelajaran bahwa diperlukan  transformasi radikal dalam kehidupan. Injil menyediakan peta bagi pembaca agar dapat mengorientasikan diri mereka di dunia. Injil menyerukan pemerataan kekayaan berdasarkan prinsip-prinsip keadilan dan demi persatuan. Pembaca dapat belajar bahwa manusia menjadi agen menggulingkan yang bertahta, yang kaya, dan yang tinggi hati. Orang-orang miskin, yang terpinggirkan, dan yang rendah hati diharuskan bangkit melawan.

Pada zaman itu, kekuasaan Romawi digambarkan sebagai periode terbaik dan terdamai dalam sejarah. Namun, kedamaian itu adalah kedamaian dengan pertumpahan darah. Untuk mempertahankan kekuatannya, Kekaisaran Romawi tidak ragu untuk menggunakan “pedang”. Para pemimpin politik lokal pada zaman Yesus juga korup. Anak-anak Herodes cenderung mencari pujian dari kaisar Romawi dan pada saat yang sama membebani orang-orang Yahudi dengan banyak jenis pajak untuk membiayai birokrasi dan kepentingan politik.

Dalam situasi seperti itu, hadir seorang Yesus yang memiliki model unik dalam visiNya tentang kekuasaan. Dia mengurangi dan membatasi kekuatan memaksa dari yang “kuat” dan pada saat yang sama dia mengajak yang tidak memiliki kekuatan sebagai agen dari perubahan.  Namun, dalam kisah Injil, tidak ada konfrontasi langsung antara Yesus dan otoritas Romawi. Sekalipun demikian, Yesus dieksekusi oleh otoritas Romawi, prefek Yudea, Pontius Pilatus dan pemuka agama karena dituduh sebagai subversif.  Hal ini tidak berarti bahwa Yesus apolitis. Beberapa kisah dalam Injil mengisahkan kata-kata kritis Yesus kepada kekuatan politik. Salah satu contoh pengajaran politik Yesus ada dalam tanggapannya terhadap pertanyaan Yohanes dan Yakobus yang meminta untuk membagikan kuasa Yesus (Markus 10: 35-44).

Kita juga menemukan cerita ibu Yesus yang dapat membentuk identitas seorang revolusioner. Cerita tersebut sebagai inspirasi tanpa rasa takut menghadapi kekuatan yang menindas, seperti yang dilakukan oleh banyak wanita di Solentiname.[6] Maria adalah prototipe seorang ibu yang revolusioner yang bersedia berdiri dan dengan setia mendukung setia mendukung misi anaknya. Maria terlibat dalam proyek pembebasan, seperti para wanita di Solentiname yang berjuang untuk itu. Begitu pula dengan Yohanes Pembaptis yang menentang ketidakadilan dan tidak takut mati demi keyakinannya. Seperti Yohanes, Simeon adalah orang yang benar dan saleh, seorang yang beriman pada nubuat tentang Israel yang baru.

Cerita dalam Injil dapat memberikan kepada pengguna cerita untuk mengidentifikasi dan secara moral mengutuk musuh-musuh dan kondisi-kondisi objektif yang tidak berpihak pada yang lemah, miskin dan terpinggirkan. Contoh sikap Yesus terhadap sistem ekonomi pada masanya adalah kisah tentang seorang pria muda yang kaya raya (Markus 10: 17-27). Dari kisah tersebut terlihat jawaban Yesus tentang kehidupan kekal mengecewakan pria muda kaya raya tersebut. dalam kisah tersebut Yesus meminta si kaya untuk melakukan keadilan kepada si miskin. Pada zaman itu, orang kaya mendapatkan harta mereka melalui eksploitasi orang miskin. Bisa saja orang mendapatkan kekayaan dengan sah mereka secara hukum, namun demikian, sistem hukum, politik, dan ekonomi pada masa itu korup dan represif bagi orang miskin. Disini terlihat, ajaran yang Yesus berikan bukan sebatas ajaran rohani, tetapi juga memiliki implikasi politik dan ekonomi. Yesus tidak hanya menuntut orang kaya ini untuk menunjukkan kasihnya kepada orang miskin, tetapi untuk mengembalikan apa yang sebenarnya menjadi hak mereka. Kisah tersebut memperlihatkan kepedulian Yesus akan keadilan ekonomi.

Kisah-kisah perumpamaan dalam Alkitabpun dapat memberikan kepada kita landasan moral dan spiritual sebagai seorang revolusioner. Kisah mengenai kasihilah musuhmu dalam Lukas 6:27 –31, orang Samaria yang baik hati dalam Lukas 10:25 –37,  orang-orang upahan di kebun anggur dalam Matius 20: 1–16 dan jalan yang benar dalam Matius 7:12-14, cerita-cerita tersebut menggambarkan seorang Kristen secara moral berkewajiban untuk hidup dengan aturan emas: lakukan kepada orang lain apa yang ingin mereka lakukan kepadaku dan kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri. Cinta kepada Allah, diri sendiri dan sesama tidak dapat dipisahkan. Dalam dunia sekarang, distribusi kekayaan yang tidak merata meniadakan aturan emas tersebut, meniadakan “kehidupan” dan menjadi aib bagi kerja-kerja manusia. Seorang Kristenpun secara moral berkewajiban untuk mengutuk dunia dunia yang didasari pada hak milik pribadi dan pola pengorganisasian kerja kemudian dapat terlibat dalam praksis politik dengan berbagai macam cara (mogok kerja, demonstrasi, menggagas partai politik alternatif bahkan pengambilalihan alat produksi demi menantang pembagian kelas di era kapitalisme). Selanjutanya adalah kisah mengenai mujizat. Dalam Alkitab bisa dibagi tiga kategori kisah mujizat: yang berkaitan dengan alam, penyembuhan, dan pengusiran setan. Mukjizat pada zaman itu bisa disebut sebagai sarana untuk melegitimasi otoritas Yesus dalam pelayanannya. Kisah-kisah tersebut menyaksikan bahwa pelayanan Yesus sangat peduli dengan aspek fisik manusia. Kisah-kisah mujizat tersebut dapat memberikan pesan sebagai revolusioner Kristen perlu berjuang melawan segala rintangan, mengatasi ketakutan, menghadapi kecemasan (Mat. 14:22-33) untuk mempertahakan keyakinan moral di hadapan penindasan dan penganiayaan hingga keyakinan akan datangnya hal-hal baik di tengah ketidakmungkinan (Luk. 5:1-11). Peristiwa mujizat merupakan bukti bahwa Yesus mengambil tindakan tegas melawan kuasa-kuasa yang berlawanan dengan visiNya di tengah dunia.[7] Cerita mujizat pula digunakan oleh gerakan di Solentinamen untuk melawan selubung ideologis yang mengaburkan semangat perjuangan. Hal itu terwujud dalam kesombongan, keegoisan, kebencian, keserakahan, pengabaian terhadap orang lain yang disebut sebagai gejala-gejala dirasuki roh jahat.[8]

Agama memang bersifat adaptif, sehingga seringkali agama berperan dalam menopang kekuatan yang ada. Oleh karena itu, dalam sejarah, sulit menemukan gereja sebagai institusi mengajak umat terlibat dalam gerakan-gerakan perlawanan. Namun, perlawanan juga hadir dari para pemuka agama sebagai intelektual organik (bisa disebut borjuis kecil), yaitu mereka yang telah melakukan bunuh diri kelas (istilah Almircar Cabral). 

Cerita religius oleh para intelektual organik dapat digunakan untuk menegaskan rasa identitas yang kuat berdasarkan apa yang mereka anggap bernilai spiritual. Cerita religius dapat dipakai sebagai sarana reartikulasi ideologi. Dengan cerita yang memiliki dimensi subversif dapat memungkinkan pembaca/pendengar menilai batasan-batasan moral dan tidak bermoral, mendorong adanya perubahan radikal dalam sistem kehidupan hingga menemukan motif untuk bertindak. Ketika cerita religius berdimensi subversif dapat dipercaya, dapat menjadi batu loncatan pengguna cerita untuk menemukan landasan politik bersama, mengembangkan dan mempertahankan identitas kolektif hingga menjalankan agensi mereka sebagai aktor perubahan. Bercerita agama subversif dapat menjadi cara yang signifikan untuk mendramatisir ketidakadilan, memahami apa yang terjadi dalam situasi sosial hingga membentuk identitas kolektif. Cerita-cerita di Alkitab dapat menjadi pembelajaran bahwa kita harus berjuang untuk keadilan, melawan kekuatan-kekuatan destruktif (kapitalisme) dan jangan lupa, perlawanan adalah perjalanan historis awal kekristenan.***


Yohanes Tampubolon aktif di Jaringan Pemuda Kristen Hijau, Alumni Institut Injil Indonesia

—————-

[1]Fransesca Polletta, It Was Like a Fever: Storytelling in Protest and Politics (Chicago: University of Chicago Press, 2006), 3.

[2]Christian Smith, Moral, Believing Animals: Human Personhood and Culture (New York: Oxford University Press, 2003), 78.

[3]Patricia Ewick dan Susan S. Silbey, “Subversive Stories and Hegemonic Tales: Toward a Sociology of Narrative”. Law & Society Review. Vol. 29 No. 2, 1995.

[4]Roland Boer, Lenin, Religion and Theology (New York: Palgrave Macmillan, 2013), 31.

[5]Peterson, “Religious narratives and political protest”. Journal of the American Academy of Religion. Vol. 64 No. 1, 2016, 28.

[6]Ernesto Cardenal, The Gospel in Solentiname (New York: Orbis Books, 2010), 28.

[7]R. T. France, Yesus Sang Radikal (Jakarta: bpk Gunung Mulia, 2004), 71.

[8]Ernesto Cardenal, The Gospel in Solentiname (New York: Orbis Books, 2010), 193.

]]>
Tidak Ada Salahnya (Mencoba) Untuk Melawan https://indoprogress.com/2019/10/tidak-ada-salahnya-mencoba-untuk-melawan/ Sat, 05 Oct 2019 00:45:33 +0000 https://indoprogress.com/?p=48906

SEBAGAI seorang dari tradisi Protestan,[1] saya sering mendengar, baik melalui khotbah maupun percakapan sehari-hari, bahwa tidak baik untuk melawan pemerintah. Atau dalam nada yang sedikit halus, mengkritisinya. Karena di dalam Alkitab dengan jelas mencatat bahwa pemerintah adalah hamba Allah (mis. Rm. 13:4). Bagaimanapun kondisi pemerintah, jangan dikritisi karena mereka telah berjuang keras untuk bekerja dan memberikan yang terbaik. Pasti ada kekurangan di sana-sini, itu hal yang manusiawi. “Coba kalau kita di posisi mereka, pasti merasakan kesulitan yang mereka alami, jadi jangan banyak kritik!” Mungkin perkataan seperti ini, karena saking seringnya, sudah menjadi makanan sehari-hari yang kita telan.

Bahkan, beberapa ayat Alkitab yang sering dipakai untuk melegitimasi ketundukan total, seperti:

“Usahakanlah kesejahteraan kota ke mana kamu Aku buang, dan berdoalah untuk kota itu kepada TUHAN, sebab kesejahteraannya adalah kesejahteraanmu” (Yer. 29:7).

“Tiap-tiap orang harus takluk kepada pemerintah yang di atasnya, sebab tidak ada pemerintah, yang tidak berasal dari Allah; dan pemerintah-pemerintah yang ada, ditetapkan oleh Allah” (Rm. 13:1ff).

“Tunduklah, karena Allah, kepada semua lembaga manusia, baik kepada raja sebagai pemegang kekuasaan yang tertinggi, maupun kepada wali-wali yang diutusnya untuk menghukum orang-orang yang berbuat jahat dan menghormati orang-orang yang berbuat baik” (1Ptr. 2:13ff).

Ayat-ayat di atas dianggap menegaskan bahwa perlawanan terhadap penguasa dianggap sebagai kesalahan karena Alkitab sendiri menasihatkan untuk tunduk. Padahal, ketundukan total dengan menggunakan ayat-ayat tersebut yang patut dipertanyakan lebih jauh. Bagaimana jika penindasan dan ketidakadilan datangnya dari atas sana? Apakah kita hanya diam saja? Seakan-akan, kitab Nabi-nabi (Ibrani: Nebi’im) dalam Perjanjian Lama tidak menegaskan perlawanan terhadap penguasa yang tidak adil. Alkitab tidak dibaca secara penuh.

Para nabi (mis. Yeremia, Yesaya, Amos, Habakuk) dipanggil untuk menyuarakan pesan Allah kepada umat. Mereka tidak hanya berkutat pada lingkup religius tanpa menyentuh aspek sosial-politik. Buktinya, mereka melawan ketidakadilan yang dilakukan oleh para penguasa. Mereka bertindak dalam situasi sosial-politik yang gencar melancarkan praktik penindasan atas orang-orang miskin dan terpinggirkan. Mereka tidak hanya diam, termangu-mangu, dan menikmati fasilitas sebagai penggiat keagamaan, tetapi justru menyuarakan ketidakadilan di hadapan para penguasa!

“Bukan! Berpuasa yang Kukehendaki, ialah supaya engkau membuka belenggu-belenggu kelaliman, dan melepaskan tali-tali kuk, supaya engkau memerdekakan orang yang teraniaya dan mematahkan setiap kuk, supaya engkau memecah-mecah rotimu bagi orang yang lapar dan membawa ke rumahmu orang miskin yang tak punya rumah, dan apabila engkau melihat orang telanjang, supaya engkau memberi dia pakaian dan tidak menyembunyikan diri terhadap saudaramu sendiri!” (Yes. 58:6-7).

Sampai-sampai pada bajumu terdapat darah orang-orang miskin yang tidak bersalah; bukan waktu mereka membongkar untuk mencuri kaudapati mereka! Meskipun semuanya itu demikian” (Yer. 2:34).

Sebab itu, karena kamu menginjak-injak orang yang lemah dan mengambil pajak gandum dari padanya, sekalipun kamu telah mendirikan rumah-rumah dari batu pahat, kamu tidak akan mendiaminya; sekalipun kamu telah membuat kebun anggur yang indah, kamu tidak akan minum anggurnya” (Am. 5:11).

Tergambar dari kesaksian para nabi, Allah yang mereka layani tidak absen dari kondisi sosial-politik Israel dan Yehuda pada masa itu. Allah dan keadilan saling terkait erat. Gustavo Gutierrez merefleksikan teks Yeremia 22:13-19 dan memberikan sub-judul pada salah satu bagian bukunya, sebagai “mengenal Allah adalah melakukan keadilan.” Ini menunjukkan bahwa ketika seseorang mengaku bahwa ia mengasihi Allah, secara serentak harus ada keadilan dari sana!

Namun demikian, akibatnya, hidup mereka diambang kematian. Ambil salah satu contoh dari Yeremia:  

“Lalu sesudah Yeremia selesai mengatakan segala apa yang diperintahkan TUHAN untuk dikatakan kepada seluruh rakyat itu, maka para imam, para nabi dan seluruh rakyat itu menangkap dia serta berkata: ‘Engkau harus mati!’” (Yer. 26:8).

Inilah konsekuensi menyuarakan keadilan dan membela mereka yang menjadi korban penghisapan para penguasa. Sayangnya, tindakan radikal para nabi seringkali tidak disampaikan dalam gerak kehidupan beragama kekinian. Sekarang lebih senang membicarakan kehidupan di surga nanti, dan lupa untuk menjejakkan kaki di bumi. Atau mungkin membuat aktivitas keagamaan yang hingar bingar dan melupakan solidaritas terhadap yang tertindas dan yang tidak mendapatkan ketidakadilan. Dan lupa untuk menyuarakan ketidakadilan yang terjadi yang tidak bisa dipungkiri juga disebabkan dari atas. Masalahnya, ketundukan tersebut salah dipahami. Karena itu, sikap umat Protestan terhadap pemerintah tidak bisa hanya diambil dari segelintir ayat saja, tanpa mempertimbangkan bagian-bagian lain yang tidak kalah pentingnya.

Saya tidak sendiri dalam menyikapi tentang kekeliruan ini. Sekitar tahun 1913/1914, Karl Barth, seorang “pendeta merah” dari tradisi Protestan, menyerukan, “Dalam pemahaman Kristen yang keliru tentang subordinasi, seseorang memandang superioritas majikan yang berdasarkan kepemilikan kapital menjadi suatu tatanan ilahi yang mana perlawanan terhadapnya dianggap sebagai ‘kemurkaan,’ ‘penggulingan,’ dll.”[2] Agama dipakai untuk menundukkan pemeluk-pemeluknya dalam suatu cengkeraman penindasan yang, sebenarnya, menghisap diri mereka sendiri. Gawatnya, itu dianggap sebagai kemahakuasaan Tuhan yang sudah mengatur segalanya. Secara tidak sadar (dan sadar, tentunya) jatuh dalam pemahaman fatalis semacam ini. Barth mengkritik konsep kekristenan yang menganggap bahwa jika tunduk secara total adalah pilihan yang tepat. Saya setuju dengan Barth di sini. Tapi apakah hanya umat Protestan secara umum yang tunduk secara total?

Sedikit berbeda dengan Barth (dia hanya menyebut “Kristen”), Ernst Bloch juga mengatakan hal senada, tapi menunjuk dengan tajam pada kalangan profesi tertentu, “Mereka [para rohaniwan], tentu saja, tidak diganggu tatkala para penindas menggunakan kekuasaan, apakah itu adalah intimidasi terus-menerus atau brutalitas yang bertopeng yang menghajar semua perlawanan dari bawah. Dalam contoh-contoh tersebut gas dan pistol yang disebut sebagai mempertahankan diri, dan perlawanan, bagaimanapun juga dijustifikasi, sebagai teror.”[3] Menurut Bloch, sikap eskapis dari realita sosial-politik juga dilakukan oleh para pemuka agama. Ketika yang tertindas bergulat dengan ketidakadilan, di mana kehadiran kaum yang katanya hidup mengabdi untuk melayani Allah? Suara Bloch patut dipertimbangkan oleh kaum Protestan untuk menyadari bahwa tidak bisa lagi hanya duduk dan diam melihat gejolak sosial-politik, apalagi tunduk secara buta terhadap penguasa.

Nampaknya, kalau boleh usul, saya menyarankan bagi para penggiat keagamaan untuk berdekatan dengan literatur yang menyuarakan perlawanan tentang ketidakadilan. Bacaan Barth dan Bloch sangat direkomendasikan. Setidaknya, supaya tidak lupa untuk menjejakkan salah satu kakinya di tanah. Dan juga tidak memahami ketundukan terhadap pemerintah secara buta. Tapi, tentu pembacaan yang lengkap terhadap Alkitab tidak boleh terlupakan, toh di sana juga dengan jelas mencatat kepada siapa keberpihakannya.

Berbicara tentang perlawanan, semestinya para rohaniwan belajar dari Pramoedya Ananta Toer. Salah satu karyanya yang terbaik, yakni Bumi Manusia patut dibaca dan dipelajari. Tidak mengherankan banyak orang memuji novel Pram ini. Kualitas sastranya diakui dunia internasional. Tapi yang menarik perhatian saya adalah novel ini berisi perlawanan atas ketidakadilan yang diciptakan oleh pemerintah kolonial Belanda. Dengan berlatar belakang kehidupan di Hindia Belanda di awal 1900-an, Pram melukiskan jurang yang tajam antara pribumi, orang indo, dan orang kulit putih. Yang terakhir disebut menindas yang pertama. Yang kedua keenakan karena lebih baik jadi kebaratan-baratan ketimbang bersolidaritas dengan pribumi. Yang pertama disebut tidak punya kekuatan untuk melawan. Bagian yang menuntut saya untuk berpikir dalam adalah tatkala Nyai Ontosoroh dan Minke akan kehilangan segalanya, harta, rumah, perusahaan, dan Annelies Mellema. Mereka tahu akan kalah—nasib pribumi. Dan senyatanya, mereka memang kalah. Annelies pergi ke Belanda, harta mereka menjadi milik Maurits Mellema sebagai anak yang sah di mata hukum. Andaikata Nyai Ontosoroh dan Minke menyerah sebelum melawan, mereka tidak jauh beda dengan antek-antek kolonial yang melanggengkan kekuasaan.

Beginilah cuplikan percakapan mereka:

“Minke, kita akan melawan. Berani kau, Nak, Nyo?”

“Kita akan berlawan, Ma, bersama-sama.”

“Biarpun tanpa ahlihukum. Kita akan jadi Pribumi pertama yang melawan Pengadilan Putih, Nak, Nyo. Bukankah itu suatu kehormatan juga?”

            Aku tak punya sesuatu pengertian bagaimana harus melawan, apa yang dilawan, siapa dan bagaimana. Aku tak tahu alat-alat apa sarananya. Biar begitu: Kita melawan!

            “Berlawan, Mama, berlawan. Kita melawan.”[4]

Setelah melawan dan mendapatkan hasil yang sudah mereka duga, dengan perkataan yang menggetarkan hati, Nyai Ontosoroh mengatakan kepada Minke:

“Kita telah melawan, Nak, Nyo, sebaik-baiknya, sehormat-hormatnya.”[5]

Yang dapat kita pelajari dari secuil karya Pram di atas adalah: perlawanan atas ketidakadilan! Meski tahu bahwa mereka tidak akan menang, setidaknya mereka tidak menyerah. Justru, dalam novel Pram ini, Nyai Ontosoroh dan Minke menjadi pribumi pertama yang melawan pengadilan Eropa.

Sebenarnya ada banyak pemikiran, seperti Pram, yang dapat menginspirasi kita untuk melawan ketidakadilan. Di sini umat beragama yang perlu paling banyak terpengaruh. Mengapa demikian? Jangan lupa tentang sejarah penindasan umat manusia, sedikit banyak, dilegitimasi oleh agama. Ketundukan total secara otomatis adalah ketundukan kepada Allah. Sekarang saatnya keluar dari penjara sempit semacam itu. Allah adalah adil. Bagaimana mungkin umat beragama (dan siapapun yang tergabung di dalamnya), yang katanya, menyembah, mengasihi, mengenal, dan melayani Allah yang adil, tapi di saat bersamaan membiarkan penindasan terjadi? Tatkala mendaku diri mengasihi Allah, seseorang harus mengejawantahkannya secara konkret, yakni keadilan. Untuk itu, umat Protestan, saat melihat ketidakadilan, jangan diam, tapi lawan!

Poin yang perlu digarisbawahi adalah perjuangan untuk melawan ketidakadilan yang dimotori oleh para rohaniwan. Kita tidak bisa naif dan berpikir bahwa pemerintah pasti memperjuangkan yang terbaik dan ketidakadilan merupakan sesuatu yang “sudah dari sananya”. Faktanya, ketidakadilan juga datang dari atas sana. Kalau begitu, apakah sikap yang diambil hanya diam saja? Ini adalah peran krusial dari para rohaniwan. Di satu sisi, mereka dapat melanggengkan ketidakadilan dengan mewajarkan hal tersebut. Namun di sisi lain, perlawanan dapat datang dari sana!

Di mana ada penindasan, di situ ada perlawanan, semoga.***


Yasuo T. Huang, Mahasiswa Sarjana Teologi di STT Amanat Agung, Jakarta; aktivis Kristen Hijau


—————–
[1] Saya menulis tulisan ini dari perspektif Protestan.

[2] Friedrich-Wilhelm Marquardt, “First Report on Karl Barth’s ‘Socialist Speeches’” dalam Theological Audacities: Selected Essays, ed. Andreas Pangritz dan Paul S. Chung, Princeton Theological Monograph Series (Eugene: Pickwick, 2010), 111.

[3] Ernst Bloch, Atheism in Christianity: The Religion of the Exodus and the Kingdom, terj. J. T. Swan (London; New York: Verso, 2009), 251.

[4] Pramoedya Ananta Toer, Bumi Manusia (Jakarta: Lentera Dipantara, 2019), 494.

[5] Toer, Bumi Manusia, 535.

]]>
Kredo dan Revolusi (3): ‘Pencipta Langit dan Bumi’ https://indoprogress.com/2019/05/kredo-dan-revolusi-3-pencipta-langit-dan-bumi/ Sat, 04 May 2019 03:13:18 +0000 https://indoprogress.com/?p=20884

Kredit ilustrasi: Katolisitas.org



BAGAIMANA seseorang bisa memaknai kredo tentang Allah sebagai ‘Pencipta Langit dan Bumi’ sebagai seorang Kristen sekaligus Marxis? Problematisasinya mungkin bisa dimulai dari kritik Louis Althusser atas pretensi total dari filsafat idealis yang dikaitkannya dengan penggagasan secara imajiner sosok Allah yang serba-maha, termasuk sedemikian mahakuasa sampai bisa menciptakan dunia dari ketiadaan dengan kuasa mutlak-Nya. Kritik ini dikemukakannya dalam pembahasan tentang abstraksi filosofis, yang disebut Althusser sebagai praktik yang biasa dilakukan oleh para filsuf idealis, mulai dari Plato, Descartes, Kant, Hegel, Leibniz, hingga Sartre, yang selalu membuat klaim-klaim yang sifatnya total atas kenyataan. Hasrat akan klaim-klaim total ini, menurut Althusser, menjadikan filsafat idealisme secara wajar memeluk ide tentang Allah yang serba-maha, guna menjustifikasi pretensi totalnya. Dan tentu saja, upaya menggambarkan kenyataan secara total tersebut tidak dapat dilepaskan dari proses pembentukan ideologi dari kelas penguasa untuk menaturalisasi kenyataan yang penuh dengan penindasan.[1]

Apakah kredo tentang Allah sebagai ‘Pencipta Langit dan Bumi’ termasuk dalam kategori di atas? Bisa jadi dalam resepsinya sepanjang sejarah gereja ia banyak difungsikan demikian. Bayangkan saja posisi gereja di Eropa Barat yang feodal pada abad pertengahan. Selain berkoalisi dengan tuan-tuan tanah, gereja juga tergolong institusi pemilik lahan garapan. Bisa ditebak fungsi ideologis seperti apa yang diperankan oleh pengajaran-pengajarannya pada umat yang mayoritasnya adalah para petani penggarap tanah yang dieksploitasi lewat sistem upeti. Gambaran tentang ke-maha-an Allah, yang antara lain coba ditanamkan di benak rakyat jelata lewat pembangunan katedral-katedral raksasa, seperti yang dipotretkan dengan apiknya dalam novel favorit Oprah Winfrey, Pillars of the Earth, sangat mungkin bersesuaian dengan penggambaran dari Althusser yang baru saja disebutkan di atas.

Sembari menyimpan catatan gelap tentang sejarah gereja di masa lampau dan menyadari bahwa sangatlah mungkin fungsi serupa masih terus diperankan hingga kini, ada baiknya kita mengingat bahwa dalam setiap penggambaran atas kenyataan yang melayani kepentingan kelas penguasa akan selalu terkandung kontradiksi yang berpotensi untuk membongkarnya. Hal ini dikarenakan oleh sifat pretensius dari penggambaran tersebut. Di satu sisi ia dimaksudkan untuk memperhalus gambaran atas kenyataan, namun kenyataan yang coba digambarkannya sama sekali tidak halus, melainkan kasar, kotor, dan bersimbah darah dalam proses pembentukannya. Ia berpretensi total, namun klaim totalnya akan selalu mengandung jejak-jejak perlawanan dari mereka yang ditaklukkan, ataupun dari masa lalunya sendiri. Terkhusus untuk penggunaan narasi Kristen demi kepentingan kelas penguasa, akan selalu terkandung potensi menyeruaknya kontradiksi dari jejak-jejak pemberontakan para budak di Mesir hingga penyaliban Yesus oleh kekaisaran Romawi dalam narasinya.

Dengan menjangkarkan proses interpretasi pada dua momen ini—exodus dan salib—narasi Kristen yang menarik minat kelas penguasa beserta barisan ideolog-nya untuk dijadikan instrumen legitimasi kekuasaan bisa direbut untuk kepentingan perjuangan kelas pekerja. Termasuk di antaranya ialah kredo tentang Allah Pencipta langit dan bumi yang telah diproblematisir di atas.

Konkretnya begini. Alih-alih membiarkan sifat abstrak dari sebutan ‘Allah Pencipta langit dan bumi’, kita konkret-kan siapa Allah yang dimaksud di sini: bukan Allahnya para filsuf idealis yang menghasrati perspektif total atas kenyataan, tetapi Allahnya budak-budak yang disebut Israel dan Bapa dari Yesus orang Nazaret yang disalibkan oleh imperium Romawi. Bukan Roh Absolut-nya Hegel, objek cogito-nya Descartes, atau idea sempurna-nya Plato, melainkan Allah yang berkoalisi dengan bangsa budak dan menyatakan Diri di Golgotha. Bukankah sifat konkret dalam penggambarannya tentang Allah ini juga yang memang menjadi ciri dari Pengakuan Iman Rasuli (sebagaimana saya tegaskan dalam tulisan pertama di seri ini)? Dengan menjangkarkan definisi ‘Allah’ pada karya menyejarah Kristus di bumi, yang lahir dari figur sejarah bernama Maria, menderita di bawah pemerintahan Pontius Pilatus, disalibkan, mati, dan dikuburkan, serta mengakui Allah yang sama sebagai Pencipta langit dan bumi, Pengakuan Iman Rasuli menarik benang merah antara iman yang berpusat pada Yesus yang tersalib dalam kekristenan mula-mula dengan imannya bangsa budak yang bernama Israel yang terdokumentasikan dalam Perjanjian Lama.

Klaim kesinambungan antara Allahnya Israel dengan Allah yang dikenal dalam Yesus Kristus, atau Allah Penebus dengan Allah Pencipta inilah yang menjadikan dua ajaran yang beredar di masa perkembangan kekristenan mula-mula, yaitu Marcionisme dan gnostisisme, ditolak. Marcionisme adalah ajaran yang menekankan diskontinuitas Allah Perjanjian Lama dengan Allah Perjanjian Baru. Menurut Marcion, sifat Allah Perjanjian Lama yang penuh dengan kemurkaan tak dapat diperdamaikan dengan Allah Perjanjian Baru yang Maha Pengasih dan Penyayang. Sementara gnostisisme—yang sempat populer di Indonesia pada awal tahun 2000-an seiring dengan kehebohan terkait novel Da Vinci Code, Injil Yudas,dan publikasi semacamnya—adalah ajaran yang mengidealkan pembebasan jiwa dari tubuh. Visi penebusannya bersifat eskapis: pembebasan dari jerat dunia material. Kedua ajaran ini secara otomatis didiskualifikasi oleh Pengakuan Iman Rasuli. Dengan menegaskan kontinuitas Allah Penebus dengan Allah Pencipta, Allahnya Israel dengan Allahnya jemaat Kristen mula-mula, Pengakuan Iman Rasuli menandaskan bahwa karakter dan intensi dari Allah yang membangkitkan Kristus dari antara orang mati adalah sama dengan Allah yang membebaskan Israel dari Mesir. Penebusan berarti pembebasan, di bumi, di dunia materi, bukan di surga yang letaknya di atas awan, dan bukan pula mengambil rupa iming-iming pie in the sky. Penebusan juga berarti pemulihan atau pembaharuan ciptaan, bukan penghancuran bumi dan segala isinya karena dianggap sudah terlalu bercacat-cela untuk ditinggal ke surga.

Poin tentang penebusan sebagai pemulihan atau pembaharuan ciptaan ini nampak terang dalam Alkitab, mulai dari visi Yesaya tentang serigala dan domba yang tinggal bersebelahan hingga khotbah Petrus yang menobatkan banyak orang di Serambi Salomo.

Serigala akan tinggal bersama domba dan macan tutul akan berbaring di samping kambing. Anak lembu dan anak singa akan makan rumput bersama-sama, dan seorang anak kecil akan menggiringnya. Lembu dan beruang akan sama-sama makan rumput dan anaknya akan sama-sama berbaring, sedang singa akan makan jerami seperti lembu. Anak yang menyusu akan bermain-main dekat liang ular tedung dan anak yang cerai susu akan mengulurkan tangannya ke sarang ular beludak. (Yes. 11:6-8) 

Kristus itu harus tinggal di sorga sampai waktu pemulihan segala sesuatu, seperti yang difirmankan Allah dengan perantaraan nabi-nabi-Nya yang kudus di zaman dahulu. (Kis. 3:21)

Bahkan dalam sastra apokaliptiknya Alkitab seperti kitab Wahyu sekalipun, yang secara teologis paling bersikap kritis terhadap kebobrokan dunia, visi tentang kebaruan radikalnya tetap digambarkan dengan kategori-kategori dunia lama: langit, bumi, kota, pohon, daun, jalan, sungai, dan seterusnya (bdk. Why. 21). Yang menjadi pembeda hanyalah sifat kebaruannya.

Visi penebusan model ini pulalah yang agaknya memengaruhi imajinasi Walter Benjamin—yang besar dalam tradisi kitabnya Yudaisme—tentang sosialisme. Dalam tesis kesebelasnya tentang filsafat sejarah, Benjamin menunjukkan kecondongan pada haluan yang akhir-akhir ini sering disebut sebagai eco-Marxism. Kecondongan itu ditampakkan lewat keterpikatannya pada mimpi utopis Charles Fourier bahwa kerja kooperatif akan membantu kelahiran potensi-potensi yang terpendam di alam raya, alih-alih mengeksploitasinya.

According to Fourier, cooperative labor would increase efficiency to such an extent that four moons would illuminate the sky at night, the polar ice caps would recede, seawater would no longer taste salty, and beasts of prey would do man’s bidding. All this illustrates a kind of labour which, far from exploiting nature, would help her give birth to the creations that now lie dormant in her womb.[2] 

Mirip bukan fantasi Fourier ini dengan apa yang tergambar dalam teks Yesaya 11:6-8 yang telah disebutkan tadi? Keduanya mengandung visi tentang pemulihan ciptaan, termasuk antara manusia dengan makhluk-makhluk lainnya.

Rujukan pada mimpi Fourier ini diletakkan Benjamin dalam kritiknya atas gerakan sosial-demokrasi di Jerman pada masa itu di bawah pimpinan Josef Dietzgen. Gerakan ini disebutnya telah mengambil posisi yang konformistik, bukan hanya dalam taktik politiknya, tetapi juga lewat pengadopsian konsep kerja yang berciri positivistik dan teknokratis. Dietzgen sendiri disebut Benjamin memuja kerja, sembari mengabaikan kenyataan bahwa hasil kerja mereka akan selalu dicuri oleh kelas pemodal yang empunya alat produksi. Tak luput pula dari kritik Benjamin adalah Marxisme vulgar yang meyakini bahwa perkembangan teknologi akan dengan sendirinya menggiring sejarah pada kemenangan kelas pekerja. Baik perspektif sosdem maupun Marxisme vulgar dikritiknya karena sama-sama meninggalkan visi ‘perjanjian dengan alam’ yang ada pada utopia Fourier.

Dengan merujuk pada Fourier, Benjamin bukannya meninggalkan sosialisme ilmiah lalu mengambil langkah regresif dengan mengusulkan kelas buruh berbondong-bondong mempraktikkan strategi dan taktiknya sosialisme utopis. Angan-angannya tetaplah revolusi dan mesiasnya adalah kelas pekerja. Yang coba diusulkannya hanyalah pembaharuan materialisme historis lewat reapropriasi elemen-elemen utopis, yang sangat diwarnai oleh tradisi Yudaiknya. Visi pembaharuan ciptaan dalam Alkitab yang mewarnai tesis kesebelas tadi adalah sebuah contoh bagaimana analoginya tentang teologi sebagai kurcaci yang tersembunyi di bawah meja dan menggerakkan boneka pecatur yang adalah materialisme historis diterapkan.[3] Lewat jalur pemikiran ini, seorang Kristen yang mengaku percaya pada Allah Pencipta langit dan bumi bukan hanya dapat sekaligus memeluk Marxisme sebagai metode dan teori perubahan. Imannya yang seturut Pengakuan Iman Rasuli pun dapat turut berkontribusi dalam perjuangannya bersama kelas pekerja sedunia.***


Daniel Sihombing adalah anggota Victorian Socialists.

Artikel terkait dari Daniel Sihombing:

1. Kredo dan Revolusi (1): ‘Aku Percaya kepada Allah’

2. Kredo dan Revolusi (2): ‘Bapa yang Mahakuasa’

—————-


[1] Louis Althusser, Philosophy for Non-Philosophers, ch. 5.

[2] Michael Löwy, Fire Alarm, Thesis XI.

[3] Lihat tesis I.

]]>
Protestantisme dan Gerakan Penghancuran Kebudayaan di Nusa Tenggara Timur https://indoprogress.com/2019/04/protestantisme-dan-gerakan-penghancuran-kebudayaan-di-nusa-tenggara-timur/ Fri, 05 Apr 2019 23:57:31 +0000 https://indoprogress.com/?p=20811

 Kredit foto:Pinterest

When the missionaries came to Africa they had the bible and we had the land. They said “Let Us Pray”. We closed our eyes. When we opened then we had the bible and they had the land (Witte & Alexander 2010, 1).


SARKASME di atas diungkapkan oleh Desmond Tutu, seorang teolog asal Afrika Selatan. Sebagai orang Afrika, Tutu merasakan langsung dampak dari penyebaran kekristenan. Dahulu kami memiliki tanah dan para misionaris memiliki Alkitab. Mereka kemudian mengajak kami berdoa bersama-sama. Setelah berdoa, “mukjizat” pun terjadi, kami memiliki Alkitab dan mereka memiliki tanah. Sungguh keadaan yang menyedihkan.

Apa yang disampaikan oleh Tutu merupakan kenyataan yang tak terbantahkan. Di berbagai belahan dunia, penyebaran kekristenan selalu diwarnai dengan penghancuran kebudayaan lokal. Di Australia, para misionaris Protestan menganggap bahwa kebudayaan mereka jauh lebih tinggi dari kebudayaan masyarakat Aborigin. Oleh karena itu, mereka berhak menindas dan memperlakukan kaum Aborigin dengan hina (Gilley & Stanley 2006, 8:545).

Apa yang dialami oleh masyarakat di Afrika dan Australia  sebagaimana dijelaskan di atas juga terjadi di Indonesia, khusunya Nusa Tenggara Timur (NTT). Penyebaran kekristenan di NTT – Protestan – dipenuhi kisah-kisah penghancuran kebudayaan. Tulisan ini bertujuan untuk menunjukkan bagaimana protestantisme berperan dalam penghancuran kebudayaan di NTT.


Protestantisme di Nusa Tenggara Timur (NTT)

Pada tahun 1613 Belanda berhasil mencapai NTT, tepatnya di pulau Solor. Kehadiran Belanda membawa perubahan besar dalam kehidupan masyarakat NTT, termasuk kehidupan keagamaan. Dengan hadirnya Belanda, masyarakat NTT diperkenalkan kepada suatu mazhab kekristenan yang baru, yakni Protestan (Wellem 2011, 6–7).

Secara garis besar misi Protestan di NTT terbagi menjadi dua. Misi pertama diusahakan oleh Nederlandsch Zendeling Genootschap (NZG) yang berfokus di beberapa pulau seperti Timor, Sabu, Rote dan Alor. Pada tahun 1947, jemaat-jemaat Protestan yang ada di daerah ini dimandirikan dengan nama Gereja Masehi Injili di Timor (GMIT). Misi Protestan yang kedua berfokus di pulau Sumba dan diusahakan oleh beberapa lembaga zending seperti Nederlands Gereformeerde Zendingsvereeniging (NGZV), Zending Van de Christelijk Gereformeerde Kerke (ZGCK), dan Zending Gereformeerde Kerken in Nederland (ZGKN). Jemaat-jemaat di Sumba juga dimandirikan pada tahun 1947 dengan nama Gereja Kristen Sumba (GKS).  

Tetapi Protestantisme tidak melulu menyebarkan agama, ia juga memainkan peran penting dalam penghancuran kebudayaan masyarakat NTT. Para misionaris yang bekerja di Timor tidak hanya berusaha melakukan kristenisasi/penginjilan, melainkan juga westernisasi. Orang-orang Timor dipaksa masuk ke dalam tradisi dan budaya barat. Cooley menyebut demikian:

Seluruh pola hidup gerejani di Nederland diwajibkan juga untuk Gereja-gereja di Indonesia . Bukan saja “kebaktian-kebaktian biasa”, tetapi juga upacara-upacara, peraturan-peraturan dan adat kebiasaan yang dipakai di Negeri Belanda (Cooley 1976, 29–30).

Hal yang sama juga berlaku bagi penyebaran kekristenan di Sumba. Isaac Esser, Residen Kupang, memandang orang-orang Sumba sebagai masyarakat rendah yang tak berbudaya dan karenanya ia mencanangkan penginjilan kepada mereka. Menurutnya, penginjilan menjadi satu-satunya cara untuk mengangkat harkat dan martabat masyarakat Sumba (Aritonang dan Steenbrink 2008, 320).

Para misionaris berpandangan bahwa budaya masyarakat lokal adalah sesuatu yang tertinggal dan lebih rendah derajatnya ketimbang kebudayaan Kristen barat. Kekristenan adalah lambang dari masyarakat modern, sedangkan kebudayaan lokal adalah lambang dari masyarakat primitif. Oleh karena itu, sudah menjadi kewajiban para misionaris untuk mengeluarkan orang-orang lokal dari “kegelapan” (Hägerdal 2012, 29). Dari sekian banyak misionaris asing yang bekerja di NTT, hanya nama Midellkoop yang muncul sebagai misionaris yang memberikan perhatian terhadap kebudayaan NTT, khususnya di Timor (Wellem 2011, 90).

Terdapat beberapa cara yang digunakan oleh para misionaris untuk menghancurkan kebudayaan di NTT. Pertama adalah dengan menghancurkan struktur tempat tinggal masyarakat pribumi. Di NTT, tempat tinggal tidak hanya mengandung makna “tempat kediaman”, melainkan juga mengandung nilai filosofis dan kosmis. Oleh karena itu, pemindahan masyarakat pribumi merupakan penghilangan terhadap nilai filosofis dan kosmis lokal yang termanifestasi dalam struktur tempat tinggal mereka (Aritonang dan Steenbrink 2008, 319). Kedua adalah dengan melarang – secara keras – orang-orang Kristen pribumi untuk mempraktikkan adat istiadat yang lama, termasuk cara bertingkah laku dan berpakaian. Orang-orang NTT dipaksa untuk menggunakan pakaian dan memangkas rambut layaknya orang Eropa. Nama mereka pun harus diubah sesuai nama-nama orang barat – Johan, Mark, Bryan, Michael – yang sebenarnya tidak memiliki hubungan dengan kosmologi orang NTT. 

Saya pernah memiliki seorang dosen bernama Pdt. Soleman Praing yang berasal dari Sumba. Suatu ketika ia  bercerita tentang bagaimana ia memberikan nama kepada anaknya. Alih-alih menamakan anaknya dengan nama-nama modern seperti “Michael” atau “Bryan”, ia lebih memilih menggunakan nama Sumba. Ia menamai anaknya Hina Kanyuru Maramba Awang Praing yang berarti Anugerah dari Penguasa Kerajaan Langit. Ia sengaja memilih nama itu agar anaknya kelak tidak melupakan tempat asalnya. Mungkin orang-orang akan berkata bahwa nama Michael atau Bryan terdengar lebih bagus dan modern. Tapi apa artinya “Michael” ataupun “Bryan” dalam kosmologi orang Sumba? Tidak ada! Hina Kanyuru Maramba Awang Praing lebih memiliki ikatan yang kuat dalam kosmologi orang Sumba.


Apa Dampaknya?

Hancurnya budaya-budaya lokal akibat penyebaran kekristenan telah mendatangkan bencana dalam kehidupan masyarakat masa kini, khususnya di NTT. Bencana yang pertama adalah rusaknya alam NTT. Dalam kosmologi orang Timor, langit diartikan sebagai bapa dan bumi sebagai ibu. Keduanya harus dihargai dan dihormati. Penghormatan terhadap langit dan bumi terlihat jelas dalam ritus kelahiran bayi. Seorang bayi yang baru lahir akan dibawa keluar rumah untuk diperkenalkan kepada langit dan bumi (Middelkoop 1982, 141).

Pandangan yang sama juga berlaku terhadap hutan. Hutan dipandang sebagai saudara kandung dari orang-orang Timor. Oleh karena itu, ketika hendak mengambil sesuatu dari hutan, mereka harus terlebih dahulu mengadakan ritus sederhana untuk meminta izin kepada “saudara” mereka. Berdasarkan pemahaman ini, maka masyarakat Timor sangat menghargai bumi, hutan dan segala sesuatu yang terdapat di alam (Academia edu 2019). 

Ketika orang-orang Timor menjadi Kristen, mereka dipaksa meninggalkan pandangan hidup yang lama, termasuk penghargaan terhadap alam. Bahkan kekristenan “berhasil” mengubah perspektif orang Timor tentang hutan. Hutan yang sebelumnya simbol dari kehidupan, berubah menjadi sesuatu yang menakutkan dan jahat. Dalam banyak kasus penebangan pohon dianggap bermanfaat untuk mengusir setan yang berdiam di pohon tersebut.     

Bencana yang kedua adalah penyangkalan terhadap karya Allah di NTT. Hingga kini masih ada masyarakat NTT yang percaya bahwa Allah datang ke NTT bersamaan dengan para misionaris. Oleh karena itu, karya Allah di NTT hanya dihitung sejak kadatangan para misionaris. Sebelumnya orang NTT hanya mengenal “Iblis”. Tentu secara teologis hal ini tidak bisa diterima. Jauh sebelum agama Kristen datang ke NTT, Allah pun sudah terlebih dahulu bekerja di sana.

Ada sebuah lagu yang sering dinyanyikan oleh anak-anak sekolah minggu di NTT. Liriknya demikian:

Ada pertemuan di udara, pertemuan yang manis. Saya rindu bertemu di sana, jauh di udara. nyanyian yang terdengar dan yang tak pernah didengar adalah kegirangan. Dan Anak Allah yang pimpin kita, pertemuan di udara.

Lagu ini menunjukkan betapa menyedihkannya peghancuran kebudayaan di NTT. Sejak kecil anak-anak diajarkan untuk bertemu dengan Allah di udara, dan bukan di bumi tempat mereka berpijak. Oleh karena budaya dan bumi NTT merupakan sesuatu yang “hina”, maka Allah pun enggan berpijak di bumi NTT. Allah tidak ditemukan di bumi NTT. Sungguh ironis (Timo 2017, 160–61).

Dampak yang ketiga adalah hilangnya identitas diri. Sebagaimana yang telah disebutkan di atas, para missionaris selalu mengajarkan bahwa kebudayaan merekalah yang lebih baik dan mulia. Berkulit putih, berambut lurus, dan bertubuh tinggi merupakan lambang dari keindahan yang sesungguhnya. Pandangan ini pun kemudian diserap oleh banyak masyarakat NTT dan diakui sebagai sebuah kebenaran. Oleh karenanya, tidak sedikit dari masyarakat NTT yang berusaha menjadi seperti itu. Mereka yang percaya akan hal tersebut teralienasi dari eksistensi diri mereka sendiri. Mereka malu mengakui warna kulit yang hitam dan rambut yang keriting. Pada akhirnya, mereka tidak lagi menghargai keberadaan mereka sebagai sesuatu yang indah dan mulia sejak semulanya.


Bagaimana Selanjutnya?

Pertanyaan yang kemudian harus diajukan adalah “bagaimana selanjutnya ?” Apa yang dapat gereja di NTT lakukan untuk memperbaiki keadaan ini? Saya menawarkan beberapa hal. Pertama, gereja harus  mengakui dosa masa lalu yang mengimani bahwa kebudayaan barat lebih mulia ketimbang budaya NTT. Bagaimana pun juga karya Allah adalah universal (Timo 2015, 6). Bukankah sejak semula Allah adalah pencipta langit dan bumi (Kej. 1:1), termasuk langit dan bumi NTT? Karena itu, jikalau gereja pun turut mengimani bahwa budaya barat lebih mulia dari budaya NTT, maka gereja telah menyangkali pekerjaan Allah yang universal. Gereja telah menyangkali pengakuan iman dalam kekristenan “Pada mulanya Allah menciptakan langit dan bumi” (Kej. 1:1).

Kedua, gereja harus merekonstruksi identitas dirinya. Dalam Teologi, nama adalah kuasa. Karena itu, pemberian nama harus selalu mengandung unsur teologis. Jika ada gereja menyebut dirinya sebagai Gereja Kristen Sumba, maka segala Ke-sumba-an harus menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari gereja itu sendiri. Kata “Sumba” tidak boleh hanya menjadi penunjuk tempat, melainkan menunjukkan identitas diri. Dengan demikian, ke-Sumba-an dan kekristenan melebur menjadi satu.

Ketiga, gereja harus bertanggung jawab terhadap pemulihan alam dan identitas masyarakat NTT. Salah satu cara yang gereja bisa tempuh adalah dengan membangkitkan  rasa bangga terhadap budaya dan menghidupkan tradisi-tradisi yang bersinggungan dengan pemeliharaan alam. Sama seperti orang Timor yang memandang hutan sebagai saudaranya, demikian juga gereja harus memandang seluruh ciptaan sebagai saudaranya. Bukankah kitab Kejadian dengan jelas menunjukkan bahwa manusia adalah “si bungsu”? Gereja harus menyadari posisinya sebagai “si bungsu” dalam seluruh proses penciptaan Allah. Dengan demikian alam tidak hanya dipandang sebagai sesama ciptaan, melainkan sebagai sesama saudara yang keluar dari rahim Allah yang satu.***


Fransisco de Kristo Anugerah Jacob adalah anggota jemaat GMIT dan alumni Fakultas Teologi UKAW – Kupang. Saat ini Ia sedang menempuh studi magister di STT Jakarta dalam bidang Sejarah Gereja/Sejarah Kekristenan. Selain itu, Fransisco juga aktif dalam Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI).


Kepustakaan:

 Aritonang, Jan S., dan Karel A. Steenbrink, ed. 2008. A History of Christianity in Indonesia. 1st Edition. Leiden ; Boston: Brill.

Cooley, Frank L. 1976. Benih yang Tumbuh XI: Memperkenalkan Gereja Masehi Injili di Timor. Cet. 1. Jakarta: Lembaga Penelitian dan Studi Dewan Gereja-Gereja di Indonesia.

Gilley, Sheridan, dan Brian Stanley, ed. 2006. World Christianities, c.1815-c.1914. Vol. 8. The Cambridge History of Christianity. Cambridge: Cambridge University Press.

Hägerdal, Hans. 2012. Lords of The Land, Lords of The Sea: Conflict and Adaptation in Early Colonial Timor, 1600 – 1800. Verhandelingen van Het Koninklijk Instituut Voor Taal-, Land- En Volkenkunde 273. Leiden: KITLV Press.

Middelkoop, P. 1982. Atoni Pah Meto: Pertemuan Injil dan Kebudayaan di Kalangan Suku Timor Asli. Jakarta: BPK Gunung Mulia.

Timo, Eben Nuban. 2015. Pemberita Firman Pecinta Budaya. Jakarta: BPK Gunung Mulia.

———. 2017. Meng-Hari-Ini-Kan Injil di Bumi Pancasila: Bergereja Dengan Cita Rasa Indonesia. Cetakan ke-1. Jakarta, Indonesia: PT BPK Gunung Mulia.

Wellem, Frederiek Djara. 2011. Sejarah Gereja Masehi Injili di Timor. Cet. 1. Jakarta: Permata Aksara.

Witte, John, dan Frank S. Alexander, ed. 2010. Christianity and Human Rights: An Introduction. New York: Cambridge University Press.

Academia edu, “Hutan adalah Saudara”, https:// www.academia.edu/1649 64 96/ Hutan_Adalah_Saudara, (Diakses 1 April 2019).

]]>
Opus Inconclusum Gereja Kristen di Indonesia https://indoprogress.com/2019/02/opus-inconclusum-gereja-kristen-di-indonesia/ Fri, 01 Feb 2019 23:40:03 +0000 https://indoprogress.com/?p=20507

Theology has to become political theology.

-Dorothee Soelle-


HARI-hari ini percakapan dalam ruang publik ramai dengan topik pemilihan umum (pemilu) yang sebentar lagi akan kita rayakan pada April 2019. Akan tetapi, pemilu 2019 merupakan pemilu baru dengan rasa pemilu 2014, karena petahana berkompetisi dengan calon presiden yang sama. Alhasil, pemilu pemilu tahun ini hanya sekedar lanjutan drama politik dari tahun 2014, dalam hal ini perseteruan abadi antara loyalis Joko Widodo dan Prabowo Subianto sehingga percakapan soal pemilu hanya berisi soal pembelaan atas kritik yang reaksioner pun intelek. Kritik yang dilontarkan oleh tiap orang tak lagi dianggap sebagai evaluasi atau sudut pandang lain atas setiap kebijakan melainkan dianggap sebagai batu sandungan yang menghambat kinerja negara dan mengganggu para eksekutif yang sedang giat bekerja. Benar bila ada pepatah yang mengatakan bahwa masa lalu selalu aktual, karena rezim sekarang yang lahir dari sipil di zaman pasca-soeharto malah mengulang kembali kultur politik di zaman Orde Baru yang anti kritik dan intelektualitas.

Dalam pemilu kali ini, kita juga menyaksikan beberapa kontradiksi di ruang publik. Misalnya, terkait hubungan agama dengan negara. Pada kasus penistaan agama yang melibatkan mantan gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok),  wacana yang kuat berkembang adalah menolak agama dalam ruang publik, karena agama merupakan ranah privat. Akan tetapi, ketika memasuki pemilihan presiden ini penggunaan agama dalam politik diwajarkan guna memperoleh suara dominan. Seperti dilaporkan oleh Tirto.id (26/8/ 2018) yang mengutip Alvara Research Center, bahwa petahana banyak memainkan isu populisme agama sedangkan lawannya lebih banyak membicarakan isu ekonomi. Dapat kita lihat bahwa betapa permisifnya sikap para politisi berserta loyalisnya hanya untuk memenangkan kontestasi politik bukan untuk warga negara secara luas. Alhasil, realitas ini memicu tanya dalam benak kita tentang agama dalam hal ini kekristenan, apakah sikap kekeristenan terhadap negara dengan dinamika politiknya, anti atau pro atau malah ada yang melampaui kedua tempurung itu?


Candu Tidak Selamanya Merusak

Seringkali Karl Marx dan Friedrich Engels dituduh sebagai orang yang anti dengan agama. Pemikiran ini lahir dari kutipan Marx yaitu agama adalah candu masyarakat. Padahal, jika kita membaca lebih jauh Marx tidak sepenuhnya menyerang dan anti dengan agama. Malahan, Marx dan Engels melihat agama sebagai kekuatan sosial yang revolusioner dan militan. Mereka melihat itu melalui fakta historis yaitu reformasi Protestant 1517 yang dipicu oleh Martin Luther dan pembrontakan petani yang dipimpin oleh Thomas Muntzer. Bagi Marx, tindakan Luther menentang feodalisme gereja Katolik cukup berdampak secara sosial, termasuk mendukung pemberontakan petani walaupun ketika protstanisme berhasil melawan feodalisme gereja kemudian ia melahirkan monter baru yang ujungnya menindas para petani juga.

Akan tetapi, di sisi lain sejarah Protestanisme memberikan pengetahuan dan harapan kepada kita bahwa agama dapat terlibat ke dalam kancah politik secara kritis bukan pasif-permisif. St. Agustinus dari Hippo pernah mengatakan bahwa teologi terbagi menjadi tiga yakni mistis, fisis dan politis. Artinya, di dalam berteologi gereja tak mungkin apolitis, karena politik merupakan ruang yang juga harus dipenetrasi oleh gereja dengan kecakapan akal budinya. Itu merupakan tugas gereja dalam rangka mewujudnyatakan Kota Allah di tengah dunia.

Ketika rahim filsafat, yakni Jerman, melahirkan monster fasis yang mengguncang Eropa bahkan dunia yaitu Adolf Hitler dengan NAZI,  kenyataan itu akhirnya menuai kontroversi di berbagai kalangan termasuk di kalangan teolog Jerman. Sebagian teolog mendukung nasionalitas yang diusung oleh Hitler (Deutsche Christen), namun sebagian teolog lainnya menggugat gereja yang mendukung negara dan fasisme Hitler itu tersebut. Alhasil, perdebatan itu melahirkan sikap tegas para teolog yang menggugat untuk menentang dukungan gereja kepada negara dan fasisme Hitler dengan mendirikan Gereja yang Mengaku (die Bekennende Kirche). Salah satu teolog yang terlibat dalam gereja yang Mengaku adalah Dietrich Bonhoeffer, seorang pendeta Lutheran yang bersikap kritis kepada negara. Kritik yang dilontarkan Bonhoeffer karena Hitler adalah seorang tiran yang merebut otoritas Ilahi dan membangun relasi gereja dan negara tidak setara. Ia menggugat sikap pemberhalaan itu, karena negara bukan entitas yang Ilahi sehingga ia layak dikritik bahkan digugat bukan dibela dan disembah. Bagaimana mungkin negara dapat dibenarkan ketika terjadi penindasan dan eksploitasi terhadap ciptaan. Dari sini kita dapat melihat bahwa gereja memiliki posisi yang setara dengan negara bukan di bawah atau di atas melainkan sebagai mitra yang setara dan melawan kepada kekuasaan yang bertentangan dengan kehendak Allah seperti yang diupayakan oleh Boenhoeffer. Ia memberikan sebuah pesan bahwa kekristenan sejatinya melawan kepada apa atau siapapun yang hendak menjadi Tuhan dan merenggut kemanusiaan.


Dialektika Kota Allah di Indonesia

Hari-hari ini Indonesia sedang dijangkiti polarisasi karena politik elektoral dari tahun 2014 sampai hari ini. Bahkan, ada sebagian orang yang melihat realitas sipil dewasa ini dan juga kebijakan-kebijakan yang diproduksi negara memiliki kesamaan yang hakiki dengan rezim Orde Baru, membuat mereka sanksi untuk ikut mengambil bagian dalam pemilihan umum karena kedua pasangan mengandung kekacauan secara intelektual, kemanusiaan dan kebudayaan. Alhasil, sektarianisme dalam masyarakat semakin menguat karena identitas politik yang diusung masing-masing. Perlawanan yang harusnya ditujukan kepada tiran malah ditujukan kepada sesama masyarakat sipil. Realitas semacam ini harus segera diretas agar dapat terwujud apa yang diyakini sebagai kota Allah.

Dalam situasi yang chaos seperti ini, kekristenan memiliki tanggung jawab yang semakin dalam dan luas, karena seperti yang dikatakan St. Agustinus dari Hippo tadi, gereja memiliki peran untuk mempenetrasi ruang publik dengan akal budinya, karena berteologi bukan sekedar menyelamatkan diri ketika sangkakala berbunyi melainkan memperjuangkan kehidupan bersama di tengah dunia untuk mewujudkan kerajaan Allah. Artinya, gereja dalam hal ini memiliki peranan kritis dalam berdemokrasi bukan hanya setuju dan melegitimasi setiap ucapan negara. Pada hakikatnya gereja melawan mereka yang jahat bukan bersahabat atau pun menjadi suruhannya. Dalam hal ini, gereja harus memproduksi ide-ide alternatif sebagai bentuk perlawanan terhadap propaganda negara agar ruang publik tidak hanya diisi oleh narasi-narasi penguasa semata tetapi juga narasi itu dibedah dan dibantah bahkan dibuat narasi tandingan. Oleh sebab itu, di tengah keretakan sipil semacam ini gereja perlu hadir sebagai komunitas kritis yang menjadi ruang terbuka bagi pelbagai kelompok untuk bersatu melepas identitas politiknya dan membangun ide alternatif sebagai bentuk perlawanan yang relevan terhadap negara hari-hari ini. Kritisisme sipil di tengah masyarakat menjadi penting guna menciptakan demokrasi yang egaliter-intelek agar negara tidak bablas menjadi monster biadab yang merenggut kemanusiaan.

Akhirnya, ketika kita melampaui materialitas kita hanya dapat terdiam dihadapan yang Ilahi, namun sekembalinya kita kepada materialitas itu kita tak dapat diam dengan peristiwa atau realitas yang jahanam di dunia, karena memang tugas kekristenan di tengah dunia adalah mentransformasi tatanan masyarakat yang jomplang agar terwujudnyata kota Allah, dan itu belum selesai. Allah menitipkannya kepada kita untuk diteruskan.***


Fially Fallderama adalah alumnus sekolah tinggi filsafat teologi Jakarta dan warga DKI Jakarta yang baik


Kepustakaan:

Boer, Roland. Criticism of Earth: on Marx, Engels and Theology. Leiden: Koninklijke, Brill, NV, 2012.

Kleden, Paul Budi Ratzinger tentang Tema Politik dalam Dialektika Sekularisasi. Yogyakarta: Lamalera, 2010.

Mulyanto, Dede. Antropologi Marx. Bandung: Ultimus, 2011.

Morris, Kenneth E. Bonhoeffer’s Critique of Totalitarianism. Jcs.OxfordJournals.org Vol. 60, Issue 4, 2018. : 255.

Elstain, Jean Bethke. Augustine dalam The Blackwell companion to political theology. UK: Blackwell Publishing, 2004.


* Fially Fallderama adalah alumnus sekolah tinggi filsafat teologi Jakarta dan warga DKI Jakarta yang baik.

]]>