Imperialisme – IndoPROGRESS https://indoprogress.com Media Pemikiran Progresif Sun, 29 Jun 2025 23:48:45 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.4.3 https://indoprogress.com/wp-content/uploads/2021/08/cropped-logo-ip-favicon-32x32.png Imperialisme – IndoPROGRESS https://indoprogress.com 32 32 Nancy Fraser: Kita Sedang Berada di Masa yang Penuh Ketidakpastian https://indoprogress.com/2025/06/nancy-fraser-kita-sedang-berada-di-masa-yang-penuh-ketidakpastian/ Sun, 29 Jun 2025 23:48:45 +0000 https://indoprogress.com/?p=239036

Ilustrasi: Flickr/Lanpernas


NANCY Fraser adalah profesor filsafat dan politik pada Henry dan Louise A. Loeb di New School for Social Research di New York, yang bekerja di bidang teori sosial, politik, dan feminis. Dia telah menulis beberapa buku, seperti Cannibal Capitalism: How Our System Is Devouring Democracy, Care, and the Planet—and What We Can Do About It. Dalam wawancara mendalam ini, Fraser berbincang dengan Federico Fuentes untuk LINKS International Journal of Socialist Renewal tentang bagaimana transfer kekayaan alam dan perawatan masuk dalam imperialisme modern, peran ekspropriasi dalam akumulasi modal, dan sifat batas inti-periferi yang semakin kabur di bawah kapitalisme yang terfinansialisasi.

Artikel ini diterjemahkan dan diterbitkan ulang di sini untuk kepentingan pembangunan gerakan anti-imperialisme di Indonesia.


Federico Fuentes (FF): Selama abad terakhir, istilah imperialisme telah digunakan untuk mendefinisikan situasi yang berbeda dan, pada beberapa kesempatan, digantikan oleh konsep-konsep seperti globalisasi dan hegemoni. Apakah konsep imperialisme tetap valid, dan jika ya, bagaimana Anda mendefinisikannya?

Nancy Fraser (NF): Istilah imperialisme, menurut saya, tetap esensial dan saya tidak sepakat jika menggantinya dengan konsep lain. Misalnya, menggantinya dengan istilah yang populer seperti globalisasi. Jika yang dimaksud dengan globalisasi hanyalah bahwa kebijakan industri dan ekonomi nasional kini dianggap telah usang, serta munculnya neoliberalisme dan dominasi kekuasaan kapitalis elite melalui agenda perdagangan bebas, maka itu bisa diterima. Namun, imperialisme berbicara tentang hal yang berbeda. 

Konsep hegemoni juga penting dalam kajian geopolitik. Secara umum, hegemoni merujuk pada peran yang dimainkan oleh kekuatan imperialis (atau blok kekuatan) dalam membentuk dan mengatur tatanan ruang global untuk memfasilitasi ekstraksi imperialis. Namun, ini merujuk pada organisasi politik ruang global. Lagi-lagi, ini berbeda dari imperialisme walaupun keduanya saling terkait, tetapi keduanya bukanlah hal yang sama. 

Saat ini juga populer istilah seperti kolonialitas dan dekolonialitas. Wacana ini berusaha menunjukkan bahwa meskipun kolonialisme langsung telah berakhir, hierarki kolonial dalam nilai budaya tetap ada. Ide ini sendiri tidak masalah. Namun, ketika digunakan untuk menggantikan konsep imperialisme—seperti yang sering terjadi—hal ini akhirnya menempatkan isu kapitalisme global atau imperial pada posisi yang kurang prioritas atau menjadi terpinggirkan. Padahal, justru di situlah analisis kita seharusnya dimulai.

Oleh karena itu, saya sangat mendukung penggunaan istilah imperialisme, meskipun menurut kita perlu memperluas dan memperdalam pemahamannya. Dalam pengertian ekonomi yang ketat, imperialisme merujuk pada proses transfer atau perampasan nilai (extraction of value) oleh kekuatan tertentu dari wilayah-wilayah yang dianggap sebagai wilayah pinggiran. Namun, kita tidak bisa lagi hanya membicarakan ekstraksi nilai ekonomi dalam bentuk kekayaan mineral atau nilai lebih (surplus value). Kita juga harus membicarakan ekstraksi kekayaan ekologi dan kapasitas perawatan dari negara-negara pinggiran ke negara-negara inti kapitalis.


FF: Diskusi di kalangan kiri mengenai imperialisme sering merujuk pada buku Vladimir Lenin, seorang revolusioner Rusia, tentang topik ini. Seberapa relevan buku tersebut hari ini, dan apakah ada elemen yang telah digantikan oleh perkembangan selanjutnya?

NF: Analisis Lenin tentang imperialisme merupakan kontribusi yang sangat berharga dan berpengaruh pada masanya. Namun, sejak itu konsep imperialisme telah mengalami pengembangan dan pendalaman. Saya juga melihat adanya sejumlah persoalan dalam definisi awal yang dikemukakan Lenin.

Lenin secara khusus mengaitkan imperialisme dengan finansialisasi. Memang benar kita hidup di era finansialisasi yang luar biasa pesat. Namun, saya tidak sepenuhnya setuju bahwa finansialisasi per se bisa dijadikan penanda utama untuk mendefinisikan imperialisme. Imperialisme juga mencakup transfer kekayaan – baik yang telah dikapitalisasi maupun yang belum sepenuhnya dikapitalisasi, seperti kekayaan alam dan kerja-kerja perawatan. Lenin juga menggambarkan bahwa imperialisme sebagai tahap terakhir dari kapitalisme. Gagasan “tahap terakhir” ini mengingatkan pada pandangan Rosa Luxemburg bahwa pada suatu titik, kapitalisme akan merambah ke seluruh dunia dan tidak akan ada lagi wilayah “luar’’ yang bisa dieksploitasi. Pada titik itu, kapitalisme dianggap tidak akan mampu lagi berkembang dan akan runtuh. Namun kenyataannya, imperialisme hari ini mencakup tidak hanya melibatkan integrasi bentuk-bentuk nilai sosial baru ke dalam sirkuit reproduksi kapitalis, tetapi juga pengusiran dan eksklusi. Misalnya, pengusiran miliaran orang dari ekonomi resmi (formal) ke zona informal atau abu-abu, yang justru menjadi sumber ekstraksi nilai baru bagi kapital. 

Selain itu, pola geografis dari transfer nilai kini tak lagi sejalan dengan peta lama antara Dunia Pertama, Dunia Kedua, dan Dunia Ketiga. Kita menyaksikan munculnya konfigurasi politik dan geografis baru, termasuk perpindahan basis industri dari negara-negara inti lama ke wilayah seperti BRICS (Brasil, Rusia, India, Tiongkok, dan Afrika Selatan). Bahkan, beberapa bekas kekuatan kolonial seperti Portugal kini berada dalam posisi subordinat dalam kerangka Uni Eropa, tunduk pada kebijakan lembaga seperti Troika (IMF, Komisi Eropa, dan Bank Sentral Eropa). Untuk pertama kalinya, populasi di negara-negara Global Utara (Global North) juga mengalami kondisi serupa dengan yang sebelumnya hanya dialami oleh masyarakat pinggiran.

Jadi, bentuk-bentuk imperialisme yang kita hadapi kini jauh lebih kompleks, tidak lagi mengikuti garis pemisah kolonial klasik antara yang menjajah dan yang dijajah. Namun demikian, meskipun lanskapnya telah berubah, imperialisme tetap menjadi istilah paling tepat untuk memahami dan menjelaskan dinamika ini.


FF: Seperti yang Anda catat, pembahasan Marxis tentang imperialisme cenderung fokus secara ketat pada transfer nilai ekonomi. Namun, Anda menyoroti kebutuhan untuk mempertimbangkan transfer kekayaan alam dan kapasitas perawatan. Bisakah Anda menjelaskan bagaimana transfer-transfer ini terjadi?

NF: Mari saya mulai dengan pembahasan ekonomi perawatan, atau apa yang oleh para feminis sebut sebagai kerja reproduksi sosial (social reproductive labour). Istilah ini berbeda dari ’’reproduksi sosial’’ dalam dari yang lebih umum, yang mencakup semua proses yang menopang kelangsungan suatu formasi/tatanan sosial.

Kerja reproduksi sosial merujuk secara khusus pada aktivitas-aktivitas yang memungkinkan pemulihan tenaga kerja sehari-hari dan regenerasi populasi tenaga kerja dari satu generasi ke generasi berikutnya. Ini mencakup aspek biologis seperti kelahiran, pekerjaan perawatan dan pengasuhan sehari-hari, serta proses sosialisasi yang membentuk individu sebagai anggota kelas tertentu dalam masyarakat tertentu. Historisnya, pekerjaan-pekerjaan ini dikaitkan dengan perempuan—meskipun laki-laki juga melakukan sebagian di antaranya. Dan sebagian besar pekerjaan ini, secara historis pula, berlangsung di luar wilayah ekonomi formal dalam masyarakat kapitalis. Kapitalisme secara khas memisahkan dengan tegas antara kerja upahan dan kerja reproduksi sosial (yang sering disebut sebagai kerja perawatan). Namun meskipun tidak dihitung sebagai bagian dari sektor formal, kerja perawatan ini sangat penting—karena ia menopang kerja upahan, memungkinkan akumulasi nilai lebih, dan menjadi fondasi bagi berjalannya sistem kapitalisme itu sendiri.

Kerja upahan tidak bisa berlangsung tanpa adanya berbagai bentuk kerja lain seperti pekerjaan rumah tangga, pengasuhan anak, pendidikan, perawatan emosional, dan aktivitas-aktivitas lain yang memastikan keberlanjutan tenaga kerja—baik dalam memperbarui pekerja yang sudah ada maupun membesarkan generasi pekerja baru. 

Secara historis, sistem kapitalis cenderung menganggap remeh fakta bahwa pasokan tenaga kerja akan selalu tersedia. Namun pada masa awal industrialisasi, dampaknya begitu drastis sehingga kehidupan keluarga menjadi hampir mustahil di banyak kota industri utama di negara-negara kapitalis inti. Kondisi ini menjadikan persoalan reproduksi sosial sebagai isu politik yang penting. Sebagai respons, negara-negara kaya yang memiliki sumber daya pajak yang cukup mulai membangun negara kesejahteraan, yang mengambil alih sebagian tanggung jawab kolektif dalam mendukung proses reproduksi sosial.

Salah satu cara yang digunakan negara-negara kaya untuk mengatasi kekurangan tenaga perawatan adalah dengan “mengimpor” pekerja perawatan murah dari negara-negara miskin. Agar perempuan di negara-negara maju bisa lebih bebas bekerja di sektor formal, maka pekerjaan reproduksi sosial—seperti mengasuh, merawat, dan membersihkan—perlu diperdagangkan sebagai jasa. Dampaknya, terjadi lonjakan migrasi perempuan dari negara-negara miskin yang datang untuk mengisi posisi sebagai pekerja perawatan berbayar.

Pemerintah di negara-negara miskin, yang sangat membutuhkan devisa, bahkan mendorong warganya untuk bermigrasi demi mendapatkan remitansi—yaitu uang yang dikirim balik ke keluarga di tanah air. Tapi ini menciptakan rantai beban baru: para migran perempuan itu harus menyerahkan pekerjaan perawatan di rumah mereka sendiri kepada perempuan lain yang lebih miskin, yang juga harus melakukan hal serupa, dan seterusnya. Hasilnya adalah pemindahan beban kekurangan perawatan dari keluarga kaya ke keluarga miskin, dan dari negara-negara di Global Utara ke negara-negara di Global Selatan.

Fenomena ini kini begitu meluas hingga dikaji sebagai bentuk baru dari imperialisme. Para feminis menyebutnya sebagai rantai perawatan global, istilah yang menggambarkan pola relasi global dalam kerja perawatan—sebuah permainan kata dari konsep rantai komoditas global yang lebih umum dikenal. Negara seperti Filipina menjadi contoh utama, di mana pemerintah sangat bergantung pada ekspor tenaga kerja perempuan di sektor perawatan ke tempat-tempat seperti Los Angeles, Israel, dan negara-negara Teluk. Saya merekomendasikan artikel dari Arlie Russell Hochschild, “Love and Gold”, di mana ia menjelaskan bagaimana cinta telah menjadi “emas baru”. Alih-alih mengekspor kekayaan mineral, negara-negara kini mengekspor komoditas yang telah dimonetisasi ini.

Hal serupa juga terjadi dalam hal kekayaan alam. Seperti halnya kerja reproduksi sosial, alam diperlakukan oleh kapital sebagai sumber daya yang bisa diambil secara gratis atau dengan biaya sangat rendah demi kepentingan akumulasi modal. Sejak awal kemunculannya, kapitalisme sangat bergantung pada pengambilan kekayaan alam—seperti perak, kapas, tembakau, gula, dan kakao—yang berperan penting dalam membentuk fondasi sistem kapitalis, bahkan sejak fase awal seperti kapitalisme merkantilis dan kapitalisme berbasis perbudakan. Selanjutnya, proses industrialisasi di kawasan seperti Eropa, Amerika Utara, dan Jepang tak lepas dari praktik ekstraktivisme di wilayah-wilayah pinggiran. Misalnya, kelancaran operasional pabrik-pabrik di Manchester sangat bergantung pada arus impor besar-besaran bahan mentah dari Amerika Selatan dan wilayah-wilayah kolonial lainnya.

Ekspor kekayaan alam bukanlah hal baru, namun kini fenomena ini berkembang dalam bentuk yang lebih kompleks akibat krisis iklim. Kita semakin menyadari bahwa persoalannya bukan lagi sekadar soal mengalirnya sumber daya dari wilayah pinggiran ke pusat kapitalis, tetapi juga soal ekspor limbah dan dampak perubahan iklim ke wilayah-wilayah yang tereksploitasi. Pandangan lama tentang imperialisme sebagai proses mengambil yang “bermanfaat” dari satu tempat untuk dinikmati di tempat lain kini tidak lagi memadai. Kita juga harus memperhitungkan kemana limbah dari proses tersebut dibuang, serta siapa yang menanggung akibat dari produksi yang dianggap ‘baik’ itu. Tentu saja, anggapan bahwa dampak lingkungan bisa selamanya dialihkan ke tempat lain adalah keliru, mengingat sistem iklim bersifat global. Namun pada kenyataannya, komunitas-komunitas di wilayah pinggiran saat ini menanggung beban lingkungan global secara sangat tidak seimbang.

Inilah sebabnya mengapa konsep imperialisme ekologis menjadi sangat relevan dan penting. Beberapa kajian terbaru yang paling inovatif tentang imperialisme kini tidak hanya menyoroti rantai perawatan global, tetapi juga menekankan teori perpindahan beban ekologis dan bentuk pertukaran ekologis yang timpang. Ini bukan berarti meninggalkan fokus klasik pada ekstraksi nilai ekonomi, melainkan menambahkan dimensi bahwa analisis Marxian tentang imperialisme, secara tidak sengaja, telah mengadopsi cara pandang kapitalis tentang kekayaan—dan dengan begitu, melewatkan aspek-aspek penting lainnya yang juga menentukan.

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.


FF: Anda juga menggunakan konsep ekspropriasi, bersama dengan eksploitasi, saat menganalisis imperialisme. Dapatkah Anda menjelaskan apa yang Anda maksud dengan ini?

NF: Dalam teori Marxis klasik, eksploitasi merujuk pada situasi kerja upahan, di mana tenaga kerja dijual di pasar tenaga kerja dan pekerja hanya menerima upah untuk waktu kerja yang diperlukan (necessary labour time) tetapi tidak untuk waktu kerja lebih (surplus labour time). Dengan kata lain, upah hanya mencukupi untuk memenuhi kebutuhan hidup pekerja dan memastikan regenerasi tenaga kerja—setidaknya secara teoritis. Eksploitasi, dalam konteks ini, merujuk pada perbedaan antara nilai total yang dihasilkan oleh pekerja dan jumlah upah yang mereka terima—nilai surplus yang diserap oleh pemilik modal.

Sementara itu, ekspropriasi, bila dikaitkan dengan tenaga kerja, menggambarkan situasi yang lebih ekstrem: tenaga kerja bahkan tidak mendapat bayaran untuk waktu kerja yang diperlukan. Sebelum era industrialisasi, akumulasi kapital banyak bergantung pada kerja paksa atau kerja tidak bebas, yang diperoleh melalui kekerasan dan perampasan. Ekspropriasi juga dapat berarti penyitaan paksa atas tanah, hewan ternak, atau bentuk kekayaan lainnya. Jadi, ketika saya menyebut ekspropriasi, yang dimaksud adalah perampasan kekayaan—baik berupa tenaga kerja, tanah, maupun aset lain—yang kemudian dimasukkan secara paksa ke dalam mekanisme akumulasi kapitalis. Gagasan ini sebenarnya bukan hal baru: Rosa Luxemburg pernah membahasnya, dan David Harvey mengembangkannya lebih lanjut melalui konsep “akumulasi melalui perampasan” (accumulation by dispossession).

Dalam tradisi Marxisme, sering muncul anggapan bahwa proses akumulasi kapital terutama berlangsung melalui eksploitasi tenaga kerja. Namun, ekspropriasi sebenarnya selalu menjadi bagian penting dari dinamika kapitalisme—dan masih berlangsung hingga saat ini. Ekspropriasi bukan sekadar ciri khas tahap awal sistem kapitalis, melainkan elemen struktural yang terus melekat dalam cara kerja kapitalisme, sejajar dengan eksploitasi. Kapitalisme tidak bisa terus menumpuk modal hanya dengan mengandalkan eksploitasi tenaga kerja bebas di pabrik-pabrik yang diberi upah sekadar cukup untuk bertahan hidup dan bereproduksi. Ada batasnya. Karena itu, sistem juga sangat bergantung pada perampasan—baik tenaga kerja yang tidak dibayar maupun sumber daya alam—sebagai cara lain untuk meningkatkan keuntungan.

Dengan kata lain, ekspropriasi menjadi fondasi yang menopang eksploitasi. Tanpa perampasan yang terus-menerus atas kekayaan dan tenaga kerja, proses eksploitasi kapitalis tidak akan bisa bertahan.


FF: Bagaimana perampasan berbeda dari super-eksploitasi, yang juga merujuk pada tenaga kerja yang dibayar kurang dari waktu kerja yang diperlukan?

NF: Istilah super-eksploitasi sering digunakan untuk menjelaskan bagaimana pekerja kulit berwarna menerima upah yang lebih rendah dibandingkan dengan pekerja kulit putih, sehingga mengalami tingkat eksploitasi yang lebih parah. Saya tidak mengatakan pendekatan ini keliru, tetapi menurut saya ia terlalu menekankan aspek ekonomi secara sempit. Ekspropriasi tenaga kerja tidak hanya soal pengambilan nilai lebih, melainkan juga berkaitan dengan status sosial, struktur hierarki, dan bentuk-bentuk paksaan serta kekerasan yang dijalankan terhadap kelompok tertentu—termasuk penghinaan, peminggiran, dan tekanan sistemik yang berlangsung dalam intensitas yang berbeda-beda. Ekspropriasi bukan semata-mata mekanisme ekonomi, tapi juga dijalankan melalui cara-cara politik dan koersif. Bahkan di negara seperti Amerika Serikat, pekerja kulit berwarna menghadapi pemaksaan kerja di penjara, intimidasi dari aparat kepolisian, kekerasan fisik, bahkan pembunuhan, serta berbagai bentuk pelecehan dan perendahan martabat. Semua ini bukan fenomena terpisah dari akumulasi kapital, melainkan bagian darinya. Karena itu, saya memandang bahwa kategori super-eksploitasi terlalu membatasi masalah ini dalam kerangka ekonomi saja.

Saya ingin menambahkan, secara historis, pembagian antara eksploitasi dan ekspropriasi juga sering kali berjalan seiring dengan garis rasial global. Populasi Eropa, setelah melalui masa-masa ekspropriasi di awal sejarah kapitalisme, kemudian berperan sebagai kelas pekerja yang dieksploitasi melalui kerja upahan. Sementara itu, komunitas kulit berwarna di koloni dan wilayah pinggiran terus mengalami ekspropriasi yang berkelanjutan. Eksploitasi yang terjadi di pusat-pusat kapitalisme tidak bisa dipahami secara utuh tanpa melihat kaitannya dengan ekspropriasi yang terjadi di wilayah-wilayah pinggiran.

Pemikir Marxis kulit hitam seperti W.E.B. Du Bois dalam karya besarnya Black Reconstruction menunjukkan bahwa eksploitasi terhadap kelas pekerja industri kulit putih di Eropa dan Amerika Utara berlangsung secara bersamaan dan saling bergantung dengan ekspropriasi terhadap pekerja budak kulit hitam.


FF: Seberapa besar peran mekanisme ekspropriasi dan eksploitasi imperialis saat ini dibandingkan dengan masa lalu?

NF: Ekspropriasi dan eksploitasi sama-sama memainkan peran penting dalam proses akumulasi modal sepanjang sejarah perkembangan kapitalisme, meskipun dengan cara yang berbeda. Saya tertarik untuk menelusuri bagaimana hubungan antara kedua proses ini berkembang secara historis, serta bagaimana bentuk dan peran relatif masing-masing berubah dari satu fase kapitalisme ke fase berikutnya.

Sebagai contoh, dalam fase kapitalisme yang ditandai oleh dominasi sektor keuangan saat ini, utang telah menjadi salah satu instrumen utama dalam ekstraksi imperial. Lembaga-lembaga keuangan global menggunakan mekanisme utang untuk memaksa negara-negara mengurangi pengeluaran sosial, menerapkan kebijakan penghematan (austerity), dan bekerja sama dengan investor dalam pengambilan nilai dari masyarakat. Utang juga menjadi alat untuk merampas tanah dari petani di Selatan Global, memungkinkan korporasi menguasai sumber daya strategis seperti energi, air, lahan pertanian, dan bahkan proyek carbon offset. Selain itu, utang memainkan peran sentral dalam proses akumulasi modal di pusat-pusat kapitalisme. Pekerja sektor jasa yang hidup dalam kondisi kerja tidak tetap dan menerima upah di bawah standar kebutuhan reproduksi sosial kini dipaksa mengandalkan kredit konsumen untuk bertahan hidup—sebuah bentuk ekspropriasi yang berlangsung secara halus namun sistemik.

Di berbagai level dan wilayah, utang telah menjadi pendorong utama gelombang baru penguasaan sumber daya secara besar-besaran. Fenomena ini melahirkan bentuk-bentuk pengambilalihan dan eksploitasi yang baru dan bersifat campuran (hibrida). Contohnya, banyak pekerja bergaji di negara-negara pascakolonial secara formal dianggap bebas, tetapi mereka hidup dalam kondisi di mana utang negara yang sangat besar menyebabkan sebagian besar tenaga kerja nasional diarahkan untuk membayar utang tersebut. Situasi serupa juga muncul di negara-negara kaya, di mana peningkatan tajam utang konsumen dalam era neoliberalisme telah menciptakan kondisi di mana pekerja—yang sebelumnya hanya mengalami eksploitasi—kini juga terjebak dalam ekspropriasi finansial melalui kredit, pinjaman, dan utang pribadi.

Bentuk-bentuk baru ini mengaburkan batas tradisional antara pekerja kulit hitam yang dulu diperbudak dan dieksploitasi secara brutal, dan pekerja kulit putih yang dieksploitasi namun tetap dianggap bebas. Kini, garis pemisah itu menjadi jauh lebih kompleks dan tidak lagi mudah dipetakan. Namun, kondisi ini bukan berarti bahwa imperialisme telah berakhir—justru menunjukkan bahwa pola relasi kekuasaan dan penindasan global telah menjadi lebih rumit dan membutuhkan analisis yang lebih tajam.


FF: Kekuatan imperialis awal membangun kekayaan dan kekuatan militer mereka melalui penaklukan kolonial dan penjarahan masyarakat pra-kapitalis. Apakah ada kekuatan imperialis baru yang muncul sejak itu? Dan jika ya, apa dasar ekonomi dari kekuatan-kekuatan baru ini?

NF: Walaupun saya tidak akan membahas secara tuntas apakah negara-negara sosialis yang pernah ada bisa disebut sebagai imperialis—karena itu merupakan persoalan yang kompleks—saya tidak ragu bahwa beberapa negara pasca-Komunis memang bersifat imperialis.

China adalah contoh yang paling mencolok. Menurut saya, istilah imperialisme sangat tepat untuk menggambarkan praktik ekstraktivisme yang dilakukan China di benua Afrika. Ini tetap berlaku meskipun pendekatan China berbeda dari model kolonialisme langsung yang dulu dijalankan oleh perusahaan-perusahaan dari Amerika Serikat atau Eropa. Dalam kasus China, kita tidak melihat penaklukan militer atau eksploitasi kolonial dalam bentuk klasik.


FF: Mengingat apa yang terjadi dalam kapitalisme yang terfinansialisasi, apakah perusahaan transnasional kini dapat beroperasi dengan sukses tanpa akar institusional di negara imperialis?

NF: Finansialisasi telah mengubah keseimbangan kekuasaan antara negara dan korporasi, dengan hasil bahwa korporasi kini memiliki pengaruh yang jauh lebih besar, sementara negara—bahkan negara-negara yang kuat—mengalami penurunan kendali. Saat ini, kita menyaksikan kemunculan korporasi global raksasa yang kekayaannya sering kali melampaui kekayaan banyak negara berdaulat. Korporasi-korporasi ini beroperasi di luar jangkauan otoritas negara, sering bermarkas di yurisdiksi bebas pajak seperti Andorra, dan tidak lagi terikat kuat pada negara kapitalis tempat mereka bermula. Mereka bahkan mampu menantang otoritas negara seperti Amerika Serikat, yang meskipun secara formal masih menjadi kekuatan hegemonik global, jelas sedang mengalami penurunan. Negara AS, misalnya, tidak memiliki kendali langsung atas raksasa seperti Apple atau Google. Kita tidak lagi berada dalam era di mana perusahaan besar secara jelas berfungsi sebagai “juara nasional” yang dilindungi dan didorong oleh negara-bangsa. Konstelasi kekuasaan ekonomi saat ini jauh lebih kompleks dan tidak terikat pada batas-batas nasional seperti sebelumnya.

Meski begitu, menurut saya masih terlalu dini untuk menyimpulkan secara tegas bahwa perusahaan transnasional bisa sepenuhnya beroperasi tanpa dukungan institusional dari kekuatan-kekuatan imperialis. Amerika Serikat, misalnya, masih memiliki pengaruh besar melalui dominasi dolar AS sebagai mata uang global, sistem perbankan internasional, dan infrastruktur keuangan dunia. Selain itu, hukum properti AS telah menjelma menjadi standar hukum global melalui perjanjian seperti Trade-Related Aspects of Intellectual Property Rights (TRIPS) yang mengatur hak kekayaan intelektual.

Katharina Pistor, dalam bukunya The Code of Capital, menjelaskan bagaimana prinsip-prinsip hukum AS—termasuk hukum kontrak, hak milik, dan penyelesaian sengketa—telah diekspor dan diadopsi secara global, menjadi semacam perpanjangan dari kekuasaan hukum Amerika, meskipun tidak selalu secara langsung dari negara itu sendiri. Tapi apakah ini berarti pemerintah AS memiliki kendali penuh atas korporasi-korporasi tersebut, seperti Apple, adalah persoalan lain yang lebih rumit.


FF: Bagaimana kita memahami persaingan AS-China yang semakin intensif mengingat kedua ekonomi tersebut lebih terintegrasi daripada sebelumnya? Dan bagaimana Anda memandang dinamika saat ini dalam kapitalisme global mengingat bukan hanya kekuatan imperialis tradisional seperti AS dan Israel yang melancarkan perang skala besar, tetapi juga Rusia, bahkan Turki dan Arab Saudi, yang menggunakan kekuatan militer di luar perbatasan mereka?

NF: Terdapat banyak ujian yang sedang dihadapi AS. Secara militer, Amerika Serikat masih merupakan kekuatan besar, meskipun bukan satu-satunya negara yang memiliki senjata nuklir. Namun, dari sisi ekonomi, situasinya lebih kompleks—tidak sepenuhnya kuat, tapi juga belum runtuh. Sementara itu, secara moral, posisi dan kredibilitas global AS telah mengalami kemunduran yang cukup serius.

Terkait perang Israel di Gaza, sebagai seorang Yahudi Amerika, saya pribadi merasa sangat marah karena AS tidak menggunakan pengaruhnya untuk menghentikan konflik tersebut. Padahal, AS memiliki kekuatan besar atas Israel—cukup dengan menghentikan dukungan, sebenarnya bisa memberi tekanan. Namun, pengaruh ini tidak berlaku di semua konteks global.

Contohnya, kita melihat China muncul sebagai kekuatan ekonomi utama yang mulai memikirkan bagaimana dan kapan mereka akan mengambil peran lebih besar di panggung global. China tampak siap menjadi kekuatan besar, tetapi masih mempertimbangkan langkah strategis berikutnya. Ini menimbulkan pertanyaan: apakah China akan menggantikan AS sebagai kekuatan hegemonik baru, atau justru kita akan memasuki era dunia multipolar yang lebih kompleks? 

Di sisi lain, Rusia, meskipun secara kekuatan ekonomi dan militer tergolong menurun, tetap mampu memainkan peran geopolitik yang signifikan. Terlepas dari penilaian pribadi terhadap Putin, dia berhasil memperluas pengaruh Rusia jauh melampaui kekuatan riilnya—tidak hanya di wilayah sekitar Rusia, tetapi juga di Suriah, Afrika, dan berbagai kawasan lainnya. Bersama China, Rusia, Iran, Turki, dan beberapa negara lain, muncul blok tandingan terhadap dominasi AS. Sementara itu, Uni Eropa justru gagal tampil sebagai kekuatan politik global yang solid, karena berbagai kendala seperti fragmentasi internal dan struktur kelembagaan yang rumit.

Seperti yang Anda katakan, ekonomi AS dan China saling terhubung erat, dan hal ini justru memperlambat proses pergeseran kekuatan global. Namun, ada juga faktor yang sulit diprediksi, seperti kembalinya Trump sebagai Presiden AS, yang menjalankan kebijakan ekonomi yang lebih proteksionis seperti tarif dagang baru, atau bahkan ketegangan militer. Meski begitu, Trump dengan pendekatan isolasionis “America First”-nya terkadang justru lebih rasional dalam urusan luar negeri dibandingkan para elite kebijakan luar negeri arus utama.

Bagaimanapun juga, kita sedang menuju masa yang penuh ketidakpastian. Ketidakhadiran kekuatan hegemonik yang stabil adalah alasan yang sah untuk merasa cemas. Amerika Serikat tampak kehilangan arah dan tidak punya strategi yang jelas. Dalam situasi seperti ini, risiko bahwa AS akan mengambil tindakan yang sembrono sangatlah tinggi. Singkatnya, kita berada di masa yang berbahaya.


FF: Apakah Anda melihat kemungkinan untuk membangun jembatan antara perjuangan anti-imperialis? Secara umum, mengingat apa yang telah kita bahas, bagaimana bentuk anti-imperialisme dan internasionalisme anti-kapitalis abad ke-21?

NF: Ada kemungkinan, tetapi seberapa besar kemungkinan itu terwujud adalah pertanyaan lain.

Seperti yang saya katakan, kita kini hidup di zaman yang penuh resiko. Kita bisa saja tergelincir ke dalam perang nuklir atau perang dunia yang mengerikan kapan saja. Kita menghadapi krisis ekologi yang mengancam kelangsungan hidup planet ini. Dan ada ketidakpastian dan ketidakamanan yang luar biasa dalam hal penghidupan, bahkan di bagian dunia yang kaya. 

Di tengah situasi krisis yang ekstrem ini, di mana kepastian-kepastian normal telah runtuh, banyak orang bersedia mempertimbangkan kembali apa yang secara politik mungkin dilakukan. Hal ini telah membuka ruang bagi kekuatan kiri yang bersedia memikirkan jenis aliansi baru yang kita butuhkan untuk zaman ini. Namun, pada saat yang sama, kita juga menyaksikan munculnya populisme kanan—dan dalam beberapa kasus, proto-fasis atau setidaknya otoriter. Semua ini adalah respons terhadap keruntuhan hegemoni borjuis (dalam arti Gramscian, bukan geopolitik).

Saya telah memikirkan pertanyaan-pertanyaan ini sejak Krisis Ekonomi Global 2008 dan Gerakan Occupy pada 2011. Kadang-kadang saya merasa optimis tentang prospek kiri emansipatoris untuk membangun aliansi anti-kapitalis dan anti-imperialis. Pada saat lain, sepertinya sayap kanan jauh lebih berhasil dalam mengarahkan ketidakpuasan. Namun, intinya adalah kita tidak memiliki pilihan lain selain berjuang untuk internasionalisme anti-imperialis dan anti-kapitalis yang baru—yang feminis, anti-rasis, demokratis, dan hijau. Semua kata sifat ini menunjuk pada kekhawatiran eksistensial yang sah dari orang-orang yang bergerak. Kita tidak dalam posisi untuk mengatakan, misalnya, bahwa perjuangan melawan kekerasan polisi kurang penting dibandingkan dengan perjuangan melawan perubahan iklim: bagi mereka yang mengalami kekerasan polisi, tidak ada yang lebih penting.

Hal yang masih memberi saya secercah harapan adalah fakta bahwa berbagai krisis ini sebenarnya bukanlah persoalan yang berdiri sendiri. Semuanya memiliki akar yang sama, yang saya sebut sebagai kapitalisme kanibal dalam buku terbaru saya. Saya berargumen bahwa kapitalisme memiliki kecenderungan struktural untuk melahap segala hal: alam, kerja perawatan, kekayaan kolektif masyarakat tertindas, serta energi dan kreativitas para pekerja.

Jika kita bisa membantu lebih banyak orang memahami hubungan ini, maka gagasan dan upaya untuk membangun aliansi yang lebih luas akan mulai masuk akal. Tantangannya adalah menemukan cara menyatukan semua bentuk perjuangan ini tanpa menciptakan hirarki penindasan. Karena pada akhirnya, tidak ada satu gerakan pun yang cukup kuat untuk mengubah dunia sendirian.***

]]>
Adam Hanieh: Imperialisme AS dan Posisi Timur Tengah dalam Imperialisme Global https://indoprogress.com/2025/05/imperialisme-as-dan-posisi-timur-tengah-dalam-imperialisme-global/ Fri, 30 May 2025 15:35:47 +0000 https://indoprogress.com/?p=238980

Ilustrasi: The Break-Down


ADAM Hanieh adalah seorang profesor Ekonomi Politik dan Pembangunan Global di University of Exeter, Inggris, yang penelitiannya berfokus pada kapitalisme dan imperialisme di Timur Tengah. Buku terbarunya adalah Crude Capitalism:Oil, Corporat Power, and the Making of the World Market. Dalam wawancara mendalam dengan Federico Fuentes untuk LINKS International Journal of Socialist Renewal, Hanieh mengeksplorasi perlunya mengedepankan transfer nilai dalam memahami imperialisme, peran Israel dalam kapitalisme fosil global, dan meningkatnya pengaruh negara-negara Teluk.

Artikel ini diterjemahkan dan diterbitkan ulang di sini untuk kepentingan pembangunan gerakan anti-imperialisme di Indonesia.


Federico Fuentes (FF): Selama satu abad terakhir, istilah imperialisme telah digunakan untuk mendefinisikan berbagai situasi yang berbeda dan, terkadang, digantikan oleh konsep-konsep seperti globalisasi dan hegemoni. Apakah konsep imperialisme masih berlaku? Jika ya, bagaimana Anda mendefinisikannya?

Adam Hanieh (AH): Tentu saja masih valid dan ada banyak hal yang dapat dipelajari dari para penulis klasik tentang imperialisme, seperti Vladimir Lenin, Nikolai Bukharin, dan Rosa Luxemburg, serta dari kontribusi dan perdebatan yang terjadi kemudian, termasuk dari para marxis anti-kolonial di tahun 60-an dan 70-an.

Pada tingkat yang paling umum, saya mendefinisikan imperialisme sebagai bentuk kapitalisme global yang berpusat pada ekstraksi dan transfer nilai yang terus-menerus dari negara-negara miskin (atau pinggiran) ke negara-negara kaya (atau inti), dan dari kelas-kelas di negara-negara miskin ke kelas-kelas di negara-negara kaya. Saya pikir ada kecenderungan untuk mereduksi imperialisme menjadi sekadar konflik geopolitik, perang, atau intervensi militer. Namun, tanpa memahami konsep inti mengenai transfer nilai ini, kita tidak dapat memahami imperialisme sebagai fitur permanen dari pasar dunia yang beroperasi bahkan di masa-masa yang seharusnya “damai”.

Cara-cara transfer nilai ini berlangsung sangat kompleks dan membutuhkan pemikiran yang cermat. Ekspor kapital sebagai investasi asing langsung ke negara-negara yang dikuasai adalah salah satu mekanismenya. Kontrol langsung dan ekstraksi sumber daya adalah mekanisme lainnya. Tetapi kita juga perlu melihat berbagai mekanisme dan hubungan keuangan yang telah meluas sejak tahun 1980-an: misalnya, pembayaran cicilan utang yang dilakukan oleh negara-negara di Global South. Ada juga perbedaan nilai tenaga kerja antara negara-negara inti dan pinggiran, sesuatu yang telah dieksplorasi oleh para ahli teori imperialisme dari tahun 60-an dan 70-an, seperti Samir Amin dan Ernest Mandel. Pertukaran yang tidak setara dalam perdagangan adalah jalan lain. Dan tenaga kerja migran adalah mekanisme lebih lanjut yang sangat penting di mana transfer nilai terjadi. Memikirkan berbagai bentuk ini membuka pemahaman kita tentang dunia saat ini – lebih dari sekadar pertanyaan tentang perang atau konflik antar negara.

Pendekatan terhadap imperialisme melalui transfer nilai ini membantu mengungkapkan siapa yang diuntungkan. Lenin mengedepankan kapital keuangan (finance capital), yang merupakan hasil dari semakin terintegrasinya kontrol atas kapital perbankan (banking capital) dan kapital industri (industrial capital), atau kapital produktif (productive capital). Hal ini masih berlaku. Namun, saat ini lebih rumit, di mana beberapa lapisan borjuasi yang mendominasi di pinggiran telah terintegrasi sebagian ke dalam kapitalisme di inti. Mereka tidak hanya sering memiliki kewarganegaraan di negara-negara tersebut, tetapi juga mendapatkan keuntungan dari hubungan imperialisme ini. Ada juga lebih banyak kepemilikan kapital lintas batas dan munculnya zona keuangan lepas pantai, yang membuatnya lebih sulit untuk melacak kontrol dan aliran kapital. Memahami imperialisme saat ini membutuhkan pemetaan yang lebih baik tentang siapa yang diuntungkan dari integrasi ke dalam pusat-pusat inti akumulasi kapital, dan cara-cara di mana pasar keuangan yang berbeda saling terhubung.

Fitur ketiga yang muncul dari transfer nilai ini adalah konsep aristokrasi buruh. Hal ini sangat penting dalam membahas kolonialisme dan imperialisme, yang sudah ada sejak zaman Karl Marx dan Friedrich Engels, tetapi sering disalahartikan atau tidak dimasukkan ke dalam pemikiran marxis kontemporer. Jika kita menelaah lebih mendalam pamflet Lenin, Imperialisme, Tahap Tertinggi Kapitalisme, dan melihat tulisan-tulisannya yang lain tentang imperialisme, kita akan menemukan bahwa ia mendedikasikan perhatian yang signifikan untuk menganalisis implikasi politik dari hubungan imperialisme dalam menciptakan lapisan-lapisan sosial di negara-negara inti yang politiknya menjadi berorientasi dan terhubung dengan kaum borjuis mereka sendiri. Wawasan ini masih tetap valid dan perlu dikedepankan lagi. Di Inggris, misalnya, hal ini membantu menjelaskan karakter Partai Buruh Inggris yang jelas-jelas pro-imperialis.

Salah satu ciri imperialisme kontemporer yang tidak diteorikan dengan baik di awal abad ke-20 adalah bagaimana dominasi imperialisme selalu terikat dengan jenis ideologi rasis dan seksis tertentu, yang membantu membenarkan dan melegitimasinya. Saat ini, kita dapat melihat hal ini dalam konteks Palestina. Sangatlah penting untuk mengintegrasikan anti-rasisme dan feminisme ke dalam cara kita berpikir tentang kapitalisme, anti-imperialisme, dan perjuangan anti-imperialisme. Neville Alexander melakukan hal ini dalam konteks Afrika Selatan, seperti halnya Walter Rodney, seorang marxis anti-kolonial dari Guyana, dan Angela Davis di Amerika Serikat.


FF: Banyak yang setuju bahwa setelah Perang Dingin, politik dunia didominasi oleh imperialisme AS/Barat. Namun, pergeseran relatif tampaknya sedang terjadi dengan kebangkitan ekonomi Tiongkok, Rusia menginvasi Ukraina, dan bahkan negara-negara yang lebih kecil, seperti Turki dan Arab Saudi, yang melebarkan kekuatan militer di luar perbatasan mereka. Secara umum, bagaimana kita dapat memahami dinamika yang terjadi di dalam sistem imperialis global?

AH: Sejak awal tahun 2000-an, kita telah melihat munculnya pusat-pusat akumulasi kapital baru di luar AS. Cina berada di garis depan dalam hal ini. Hal ini pada awalnya terkait dengan aliran investasi asing langsung ke Cina dan wilayah Asia Timur yang lebih luas, yang bertujuan untuk mengeksploitasi tenaga kerja murah sebagai bagian dari penataan ulang rantai nilai global. Namun sejak saat itu, kebangkitan Cina telah dikaitkan dengan melemahnya kapitalisme AS secara relatif dalam konteks krisis global yang mendalam dan semakin dalam.

Erosi relatif dari kekuatan AS ini dapat dilihat di berbagai metrik. Selama tiga dekade terakhir, dominasi AS atas teknologi, industri, dan infrastruktur utama telah melemah. Salah satu indikasinya adalah turunnya pangsa AS dalam PDB global dari 40% menjadi sekitar 26% antara tahun 1985-2024. Juga telah terjadi pergeseran relatif dalam kepemilikan dan kontrol perusahaan-perusahaan kapitalis terbesar di dunia. Jumlah perusahaan Tiongkok di Global Fortune 500, misalnya, menyalip AS pada tahun 2018 dan tetap seperti itu hingga tahun lalu, ketika AS mendapatkan kembali kepemimpinannya (139 perusahaan AS dibandingkan dengan 128 perusahaan Tiongkok). Representasi Tiongkok dalam daftar ini telah meningkat dari hanya 10 perusahaan pada tahun 2000. Meskipun kebangkitan Tiongkok sebagian besar mengorbankan perusahaan-perusahaan Jepang dan Eropa, ada juga penurunan kontrol AS atas kapital besar: dalam 25 tahun terakhir, pangsa AS di Global Fortune 500 telah turun dari 39% menjadi 28%.

Yang penting, indikasi-indikasi penurunan relatif AS ini tercermin di dalam negeri. Kapitalisme AS didera oleh masalah sosial yang parah: menurunnya angka harapan hidup, penahanan massal, tunawisma, penyakit mental, dan runtuhnya infrastruktur penting. Neoliberalisme dan polarisasi kekayaan yang ekstrem telah mengikis kapasitas negara AS untuk merespons krisis besar – seperti yang terlihat pada pandemi Covid-19 dan, yang terbaru, pada musim badai tahun 2024 dan kebakaran Los Angeles pada Januari 2025.

Namun, kita perlu menekankan melemahnya kekuatan AS adalah secara relatif. Saya tidak yakin dominasi AS akan segera runtuh. AS masih memiliki keunggulan militer yang sangat besar dibandingkan para pesaingnya, dan sentralitas dolar AS tidak perlu dipertanyakan lagi. Yang terakhir ini adalah sumber utama kekuatan AS karena memungkinkan AS untuk menyingkirkan pesaing dari pasar keuangan dan sistem perbankan AS (terutama terlihat jelas sejak peristiwa 9/11). Begitu banyak kekuatan geopolitik AS diartikulasikan melalui dominasi keuangannya – alasan lain mengapa kita perlu mempertimbangkan imperialisme lebih dari sekadar bentuk militernya.

Ada juga gambaran yang lebih besar dari persaingan global ini yang harus kita tekankan: berbagai krisis yang saling berhubungan yang sekarang menandai kapitalisme secara global. Kita dapat melihat hal ini dalam stagnasi tingkat keuntungan dan melimpahnya surplus kapital uang (money capital) yang kesulitan menemukan lokasi investasi yang menguntungkan; peningkatan besar dalam utang publik dan swasta; serta kelebihan produksi di banyak sektor ekonomi. Semua itu diperparah oleh situasi darurat iklim yang semakin nyata. Jadi, ketika kita berbicara tentang dinamika sistem imperialis global, ini bukan hanya masalah persaingan antar negara dan membandingkan kekuatan AS versus kekuatan kapitalis lainnya. Kita perlu menempatkan konflik-konflik ini dalam krisis sistemik jangka panjang yang sedang dihadapi oleh semua negara.


FF: Bagaimana Anda memahami kemunculan Presiden AS Donald Trump dalam semua ini?

AH: Banyak komentator liberal menggambarkan Trump sebagai sosok egosentris yang memimpin pemerintahan yang telah dibajak oleh miliarder ekstremis sayap kanan, atau bahkan secara diam-diam dituding dikendalikan oleh Rusia. Namun, menurut saya, perspektif semacam ini salah. Terlepas dari sifat narsistiknya, Trump sebenarnya mewakili sebuah proyek politik yang jelas, yang mencoba merespons masalah umum yang baru saja saya uraikan: bagaimana cara menghadapi kemunduran relatif posisi AS di tengah krisis sistemik yang lebih besar yang dihadapi kapitalisme global?

Jika Anda mengikuti diskusi di antara para penasihat ekonominya, terdapat bukti kuat mengenai hal ini. Contoh yang paling jelas adalah analisis panjang yang ditulis oleh Stephen Miran, seorang ekonom yang baru saja dikukuhkan sebagai ketua Dewan Penasihat Ekonomi Trump,  pada November 2024. Menurut Miran, ekonomi AS telah menyusut relatif terhadap PDB global selama beberapa dekade terakhir, namun AS menanggung biaya untuk mempertahankan “payung pertahanan” dunia dalam menghadapi persaingan antarnegara yang semakin meningkat. Yang paling penting, menurutnya, dolar AS dinilai terlalu tinggi karena perannya sebagai mata uang cadangan internasional, yang berakibat pada melemahnya kapasitas manufaktur AS.

Untuk mengatasi masalah tersebut, ia mengusulkan agar AS menerapkan ancaman tarif untuk memaksa sekutu AS menanggung bagian yang lebih besar dari biaya imperialisme. Miran mengatakan, pendekatan ini juga bertujuan untuk membawa kembali manufaktur ke dalam negeri – suatu hal yang dianggap strategis jika terjadi perang. Dia juga mengusulkan serangkaian langkah untuk membatasi dampak inflasi dari rencana ini dan mempertahankan dolar AS sebagai mata uang yang dominan meskipun terjadi devaluasi (dia secara eksplisit menunjukkan pentingnya dolar AS untuk memproyeksikan dan mengamankan kekuatan AS). Perspektif seperti ini sedang didorong oleh pemerintahan Trump, termasuk Menteri Keuangan Scott Bessent.

Poin kuncinya bukanlah apakah rencana ini berhasil atau masuk akal secara ekonomi, tetapi memahami motivasi di baliknya. Rencana ini secara eksplisit disusun sebagai cara untuk mengatasi masalah yang dihadapi AS dan kapitalisme global, dan untuk menegaskan kembali keunggulan global AS dengan mengalihkan biayanya ke bagian lain dunia. Pemerintahan Joe Biden mengusulkan solusi yang berbeda, tetapi bergulat dengan masalah yang sama, berbicara secara terbuka tentang mengintensifkan “persaingan strategis” dan kebutuhan untuk menemukan cara bagi AS untuk “mempertahankan keunggulan intinya dalam persaingan geopolitik”.

Jadi, kita harus mendekati pemerintahan Trump sebagai aktor dengan proyek yang koheren. Jelas ada banyak sekali kontradiksi dan ketegangan internal yang ditimbulkan oleh proyek ini, dan ketidaksepakatan yang jelas dari beberapa seksi kapital AS dan sekutu asing yang sudah lama ada. Tetapi ketegangan-ketegangan ini juga merupakan cerminan dari sifat kapitalisme global yang sangat tidak stabil saat ini.

Artikulasi domestik dari proyek ini, seperti yang sering terjadi pada masa krisis, dibangun di atas pengkambinghitaman, rasisme yang ganas dan sikap anti-migran, irasionalisme anti-ilmiah, penyangkalan terhadap iklim, serta politik gender dan seksualitas yang sangat konservatif. Semua jenis kiasan ideologis ini berfungsi untuk mempromosikan nasionalisme, militerisme, dan perasaan bahwa sebuah negara sedang dikepung. Hal ini memungkinkan lebih banyak lagi penindasan oleh negara dan pemotongan belanja sosial. Tentu saja, hal ini tidak hanya terjadi di Amerika Serikat. Kebangkitan global dari ideologi-ideologi sayap kanan ini merupakan indikasi lebih lanjut bahwa kita sedang menghadapi krisis sistemik yang lebih besar yang sedang dihadapi oleh semua negara kapitalis.

Saya ingin menekankan kembali keadaan darurat iklim. Kita dapat melihat bagaimana pemerintahan Trump merobek-robek peraturan lingkungan dan berusaha mempercepat produksi minyak dan gas dalam negeri sebagai salah satu cara untuk menegaskan kembali kekuatan kapitalisme AS (melalui penurunan biaya energi). Namun, sangat jelas pula bahwa kita sedang memasuki fase kehancuran iklim yang tidak dapat diprediksi, yang secara material akan berdampak pada miliaran orang dalam beberapa dekade mendatang. Kaum kanan mungkin menyangkal realitas perubahan iklim, tetapi pada akhirnya hal ini terjadi karena kapitalisme tidak dapat membiarkan apa pun berdampak buruk pada akumulasi. Kita perlu memusatkan perhatian pada masalah iklim dalam politik kita saat ini, karena masalah ini akan semakin merasuk ke dalam segala hal.

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.


FF: Berbagai penjelasan yang saling bersaing telah ditawarkan untuk menjelaskan dukungan imperialis AS/Barat terhadap perang Israel di Gaza. Apa pandangan Anda? Bagaimana proses normalisasi antara Israel dan negara-negara Arab cocok dengan hal ini? Dan apa dampak dari peristiwa 7 Oktober dan genosida Gaza terhadap hal ini?

AH: Kita harus melihat hubungan AS-Israel dalam konteks wilayah yang lebih luas, dan tidak hanya melalui lensa tentang apa yang terjadi di dalam perbatasan Palestina atau motivasi para pemimpin Israel. Hal ini membutuhkan latar belakang imperialisme AS dan sentralitas kawasan ini terhadap kapitalisme fosil global.

Bangkitnya AS sebagai kekuatan kapitalis yang dominan berkaitan erat dengan pergeseran ke minyak sebagai bahan bakar fosil utama pada pertengahan abad ke-20. Hal ini memberikan Timur Tengah – sebagai pusat ekspor minyak dunia dan zona produksi energi yang sangat penting – sebuah peran yang sangat penting dalam proyek global AS. Di Timur Tengah, Israel telah menjadi pilar utama pengaruh AS, terutama setelah perang (Arab-Israel) tahun 1967, di mana Israel menunjukkan kemampuannya untuk mengalahkan gerakan-gerakan nasionalis Arab dan perjuangan-perjuangan anti-kolonial. Dalam hal ini, AS selalu berada di kursi kemudi hubungan ini – bukan Israel, dan tentu saja bukan lobi Israel.

Pilar lain dari kekuatan AS di Timur Tengah adalah negara-negara Teluk, khususnya Arab Saudi. Sejak pertengahan abad ke-20, AS telah membangun hubungan istimewa dengan kerajaan-kerajaan Teluk, yang bertindak sebagai penghalang bagi kelangsungan hidup mereka selama mereka tetap berada dalam sistem aliansi regional AS yang lebih luas. Hal ini berarti menjamin aliran minyak ke pasar dunia dan memastikan bahwa minyak tidak pernah digunakan sebagai “senjata”. Hal ini juga berarti bahwa triliunan dolar yang diperoleh negara-negara Teluk melalui penjualan minyak sebagian besar disirkulasikan kembali ke pasar-pasar keuangan Barat.

Sama halnya dengan status globalnya, dominasi AS di kawasan ini telah terkikis selama dua dekade terakhir. Hal ini tercermin dari meningkatnya peran negara-negara asing lainnya di kawasan ini (seperti Cina dan Rusia), dan perjuangan kekuatan-kekuatan regional untuk memperluas pengaruh mereka (misalnya Iran, Turki, Arab Saudi, dan Uni Emirat Arab). Yang juga penting, ada juga pergeseran ke arah timur dalam ekspor minyak dan gas Teluk, yang sekarang mengalir terutama ke Cina dan Asia Timur, daripada ke negara-negara Barat.

Sebagai tanggapan, AS telah berusaha untuk menyatukan dua sekutu regional utamanya dengan menormalkan hubungan politik, ekonomi, dan diplomatik antara negara-negara Teluk dan Israel. Proyek ini sudah ada sejak beberapa dekade yang lalu, namun semakin intensif di bawah Perjanjian Oslo pada tahun 90-an. Baru-baru ini, kita melihat Israel menormalkan hubungan dengan UEA dan Bahrain melalui Perjanjian Abraham tahun 2020. Pada tahun itu, Israel juga menormalkan hubungan dengan Sudan dan Maroko. Langkah-langkah signifikan ini diikuti pada tahun 2022 dengan penandatanganan perjanjian perdagangan bebas antara UEA dan Israel.

Kita perlu membaca tindakan Israel dan genosida di Gaza melalui lensa ini. Bahkan saat ini, setelah peristiwa 7 Oktober dan genosida, dan di tengah-tengah pembicaraan tentang pengusiran lebih lanjut warga Palestina dari tanah mereka, tujuan AS tetaplah normalisasi hubungan antara Israel dan negara-negara Teluk sebagai sarana untuk menegaskan kembali keunggulannya di wilayah tersebut.


FF: Namun, apakah usulan Trump untuk membersihkan Gaza secara etnis akan mempersulit pemerintah-pemerintah di wilayah tersebut untuk menormalisasi hubungan dengan Israel?

AH: Usulan Trump untuk melakukan pembersihan etnis lebih lanjut di Gaza jelas beresonansi dengan sebagian besar spektrum politik Israel. Namun, ada banyak hambatan untuk melakukan hal ini, dimulai dengan fakta bahwa negara-negara seperti Yordania dan Mesir tidak ingin melihat pengungsi Palestina dalam jumlah besar ke wilayah mereka.

Namun negara-negara seperti Arab Saudi, Yordania dan Mesir tidak memiliki pandangan yang berbeda dengan proyek AS. Pada prinsipnya, kerajaan Saudi tidak memiliki masalah dalam menormalkan hubungan dengan Israel, dan mereka tentu saja memberikan lampu hijau bagi UEA untuk melakukannya sebagai bagian dari Kesepakatan Abraham. Ada keselarasan yang sangat erat antara AS dan negara-negara Teluk, yang semakin meningkat di bawah kepemimpinan Trump. Kita dapat melihat hal ini dari fakta bahwa Arab Saudi menjadi tuan rumah negosiasi AS-Rusia saat ini, dan dalam pengumuman UEA baru-baru ini bahwa mereka berencana untuk menginvestasikan 1,4 triliun dolar AS di AS selama dekade berikutnya.

Pada saat yang sama, jelas sangat sulit bagi proyek ini untuk bergerak maju tanpa adanya kekalahan dari pihak Palestina di Gaza dan di tempat lain, dan semacam persetujuan dari pihak Palestina. Solusi potensial untuk dilema ini ditemukan di Tepi Barat, dalam bentuk Otoritas Palestina (PA). PA adalah kuncinya karena PA telah menciptakan lapisan politisi Palestina dan kelas kapitalis Palestina yang kepentingannya terkait dengan akomodasi dengan Israel dan yang bersedia untuk memfasilitasi normalisasi regional (yang merupakan inti dari Perjanjian Oslo). Jadi, kita tidak boleh membaca negara-negara Arab sebagai sesuatu yang secara genetis menentang pembersihan etnis dan normalisasi seperti yang diusulkan oleh Trump.


FF: Monopoli minyak nasional yang dijalankan oleh negara-negara Timur Tengah (dan negara-negara non-Barat lainnya) telah mengambil alih posisi perusahaan-perusahaan Barat di pasar minyak global. Bagaimana hal ini memengaruhi posisi Timur Tengah dalam kapitalisme global?

AH: Selama dua dekade terakhir kita telah melihat kebangkitan perusahaan-perusahaan minyak nasional yang besar, yang mengubah dinamika industri minyak global. Negara-negara Teluk menonjol dalam hal ini, terutama Saudi Aramco, produsen dan eksportir minyak terbesar di dunia saat ini, melampaui perusahaan-perusahaan besar Barat yang mendominasi industri ini hampir sepanjang abad ke-20.

Perusahaan-perusahaan minyak nasional ini telah mengikuti jejak perusahaan-perusahaan minyak besar Barat untuk menjadi terintegrasi secara vertikal. Pada tahun 70-an, negara-negara penghasil minyak seperti Arab Saudi, sebagian besar berfokus pada ekstraksi minyak mentah hulu. Namun saat ini, perusahaan-perusahaan minyak nasional mereka aktif di sepanjang rantai nilai. Mereka terlibat dalam penyulingan dan produksi petrokimia dan plastik. Mereka memiliki jalur pelayaran, jaringan pipa, kapal tanker, dan stasiun layanan di mana bahan bakar dijual. Mereka memiliki jaringan pemasaran global.

Pada saat yang sama, kita telah melihat munculnya apa yang saya sebut dalam Crude Capitalism sebagai “poros hidrokarbon Timur-Timur”. Dengan kebangkitan Cina, ekspor minyak Teluk telah berpaling dari Eropa Barat dan AS, dan ke arah timur menuju Cina dan Asia Timur secara lebih luas. Kita tidak hanya berbicara tentang ekspor minyak mentah, tetapi juga produk penyulingan dan petrokimia. Hal ini telah menyebabkan saling ketergantungan yang semakin besar antara kedua wilayah ini, yang sekarang menjadi poros utama industri minyak global di luar AS.

Bukan berarti pasar dan perusahaan minyak Barat tidak penting. Perusahaan-perusahaan besar Barat masih mendominasi di AS dan blok Amerika Utara yang lebih luas. Tetapi kita dihadapkan dengan pasar minyak global yang terfragmentasi, di mana hubungan Timur-Timur ini semakin mencerminkan melemahnya pengaruh AS – secara global dan di Timur Tengah.


FF: Apa implikasi dari hal ini terhadap anggapan bahwa sejumlah perusahaan milik negara, baik yang berskala transnasional maupun berasal dari negara non-Barat, dapat beroperasi secara sukses tanpa bergantung pada dukungan institusional dari kekuatan imperialis?

AH: Perusahaan-perusahaan ini bukanlah perusahaan milik AS atau Barat, tetapi mereka masih memiliki hubungan penting dengan perusahaan-perusahaan minyak Barat (termasuk melalui proyek-proyek bersama) dan aktif di pasar-pasar Barat. Kilang minyak terbesar di AS adalah milik Saudi. Jadi, kita tidak perlu mengadu domba satu dengan yang lain, seolah-olah ada perbedaan mendasar tentang bagaimana mereka, sebagai blok fosil, melihat masa depan industri ini. Mereka benar-benar berdiri di sisi yang sama dalam hal darurat iklim. Kita dapat melihat hal ini dalam peran penting negara-negara Teluk dalam menghalangi dan mengalihkan setiap respons global yang efektif terhadap keadaan darurat ini.


FF: Selain memperdalam hubungan dengan Cina, negara-negara Teluk semakin menunjukkan kesediaan mereka untuk bertindak secara otonom dan bahkan bersaing untuk mendapatkan pengaruh di wilayah tersebut. Bagaimana Anda menjelaskan peran negara-negara Teluk ini?

AH: Terkait dengan melemahnya kekuatan AS secara relatif, aktor-aktor lain, termasuk negara-negara Teluk, telah berusaha untuk memproyeksikan kepentingan regional mereka sendiri.

Mereka telah menggunakan berbagai mekanisme: mensponsori berbagai kelompok bersenjata atau gerakan politik atau menjadi tuan rumah bagi berbagai kekuatan politik yang berbeda (kasus Qatar menonjol di sini); memberikan bantuan keuangan kepada negara-negara seperti Mesir dan Libya; intervensi militer di tempat-tempat seperti Yaman dan Sudan; dan dengan mengendalikan pelabuhan dan rute logistik. Dengan cara-cara ini, negara-negara Teluk telah berusaha untuk meningkatkan jejak regional mereka.

Hal ini sebagian berkaitan dengan akibat dari pemberontakan Arab (Arab uprisings) tahun 2011, yang dengan cepat menyebar ke seluruh wilayah, menggoyahkan penguasa otoriter yang telah lama berkuasa, seperti di Mesir dan Tunisia. Negara-negara Teluk memainkan peran utama dalam upaya memulihkan negara-negara otoriter ini setelah pemberontakan.

Ada juga persaingan antara negara-negara Teluk, terutama Arab Saudi dan Qatar, tetapi juga antara Arab Saudi dan UEA. Mereka tidak selalu sepakat dalam segala hal, dan terkadang mendukung pihak yang saling berlawanan – misalnya di Sudan (di mana Arab Saudi mendukung Angkatan Bersenjata Sudan dalam perang saudara yang sedang berlangsung, sementara UEA membantu Pasukan Dukungan Cepat/Rapid Support Forces).

Namun, meskipun relatif menurun, AS tetap menjadi kekuatan imperialis utama di kawasan ini. Hal ini terbukti melalui kehadiran militernya secara langsung di Teluk, di mana AS memiliki fasilitas dan pangkalan militer di negara-negara seperti Bahrain, Arab Saudi, dan UEA. AS masih menjadi penyangga terakhir – secara militer dan politik – bagi rezim-rezim Teluk.


FF: Istilah subimperialis kadang-kadang digunakan untuk menggambarkan negara-negara seperti ini, yang keduanya berada di bawah kekuatan imperialis tetapi beroperasi dengan otonomi dalam lingkup pengaruh mereka. Apakah Anda melihat ini sebagai istilah yang berguna untuk memahami negara-negara Teluk?

AH: Meskipun istilah subimperialisme dapat menangkap beberapa hal yang diwakili oleh negara-negara ini, negara-negara Teluk tidak memiliki kemampuan untuk memproyeksikan kekuatan militer mereka dengan cara yang sama seperti yang dilakukan oleh negara-negara Barat. Itu tidak berarti bahwa mereka tidak membangun kapasitas militer, tetapi mereka sebagian besar masih beroperasi melalui proksi dan sangat bergantung pada payung militer AS. Seperti yang telah saya sebutkan, ada pangkalan militer AS di seluruh Teluk. Ekspor perangkat keras militer dari negara-negara Barat ke wilayah ini semakin meningkatkan pengawasan Barat terhadap militer Teluk, karena ekspor ini membutuhkan pelatihan, pemeliharaan, dan dukungan yang berkelanjutan.

Meskipun demikian, ekspor kapital dari Teluk ke wilayah yang lebih luas – dan semakin banyak juga ke benua Afrika – sangat nyata. Ekspor kapital ini mencerminkan transfer nilai lintas batas. Juga sangat jelas bahwa konglomerat-konglomerat yang berbasis di Teluk telah menjadi penerima manfaat utama dari gelombang neoliberal yang melanda Timur Tengah selama beberapa dekade terakhir, di mana ekonomi dibuka, dan tanah serta aset-aset lainnya diprivatisasi. Saya tidak hanya berbicara tentang konglomerat Teluk milik negara, tetapi juga konglomerat swasta besar. Jika Anda melihat ke seluruh wilayah di sektor-sektor seperti perbankan, ritel, agribisnis, Anda akan melihat konglomerat negara dan swasta yang berbasis di Teluk.

Inilah sebabnya mengapa sangat penting untuk memikirkan kawasan ini dalam konteks kepentingan kapitalis dan pola akumulasi kapital, bukan hanya konflik antar negara.


FF: Iran terkadang dianggap sebagai kekuatan kecil atau subimperialis, mengingat konfliknya yang simultan dengan imperialisme AS dan perannya yang semakin meluas di kawasan ini. Yang lain melihatnya sebagai ujung tombak “Poros Perlawanan/Axis of Resistance” anti-imperialis di wilayah tersebut. Bagaimana Anda melihat peran Iran?

AH: Istilah “Poros Perlawanan” menyesatkan karena menyiratkan terlalu banyak kesepakatan bulat antara sekumpulan aktor yang cukup heterogen dengan kepentingan, basis sosial, dan hubungan dengan politik yang sangat berbeda, baik di dalam negeri maupun di kawasan. Pada dasarnya, hal ini berusaha untuk menempatkan tanda plus di mana (mantan Presiden AS George W Bush) meletakkan tanda negatif dengan “Axis of Evil”. Ini adalah cara yang sederhana dalam berpolitik.

Kita harus secara jelas dan tegas menentang segala bentuk intervensi imperialis Barat di Iran atau wilayah yang lebih luas (baik secara langsung atau melalui Israel). Ini bukan hanya berarti intervensi militer, tetapi juga intervensi ekonomi dan bentuk-bentuk intervensi lainnya. Sanksi adalah hal yang besar dalam kasus Iran.

Pada saat yang sama, kita harus menyadari bahwa Iran adalah negara kapitalis, dengan kelas kapitalisnya sendiri, yang memiliki tujuan-tujuannya sendiri di kawasan ini dan secara lebih luas. Sama seperti negara-negara Teluk, Iran mencoba memproyeksikan kekuatan regionalnya, di tengah konteks destabilisasi pasca-2011, melemahnya kekuatan AS dan semua hal lain yang telah kita bahas.

Memang benar bahwa Iran melakukannya di luar proyek AS untuk kawasan ini, seperti yang telah terjadi selama beberapa dekade. Namun, mengakui karakter kapitalis negara Iran berarti kita juga harus berdiri dalam solidaritas dengan gerakan-gerakan sosial dan politik yang progresif di Iran, baik itu perjuangan buruh dan serikat buruh (yang masih terus berlanjut), perjuangan perempuan, perjuangan rakyat Kurdi, dan seterusnya. Ini adalah gerakan-gerakan yang harus kita dukung sebagai kaum sosialis, dalam kerangka politik anti-imperialis.

Titik awalnya adalah secara konsisten bersikap anti-kapitalis dalam cara kita berpikir tentang negara dan gerakan, yang berarti tidak memberikan dukungan politik kepada pemerintah kapitalis – siapa pun mereka, di mana pun mereka berada. Kita dapat bersolidaritas dengan orang-orang yang sedang berjuang dan juga menentang intervensi imperialis dalam segala bentuknya. Tetapi, kita tidak boleh mereduksi kompleksitas kapitalisme di Timur Tengah menjadi semacam geopolitik manichean, yang memandang hubungan global secara biner dan moralistik: ”baik vs jahat”, ”kita vs mereka”, ”demokrasi atau otoritarianisme”.

]]>
Hizkia Yosias Polimpung: Teknofeodalisme, Pengaruh dan Dampaknya di Pemerintahan Donald Trump https://indoprogress.com/2025/04/teknofeodalisme-di-pemerintahan-donald-trump/ Mon, 28 Apr 2025 06:23:18 +0000 https://indoprogress.com/?p=238932

Ilustrasi: Current Affairs


SEGERA setelah Donald Trump dilantik sebagai Presiden Amerika Serikat (AS) pada 20 Januari 2025, serangkaian kontroversi segera menyeruak dari Gedung Putih. Selain retorika yang bernuansa ekstrem kanan atau kanan jauh, ada juga fenomena yang perlu kita soroti serta bicarakan, yaitu masuknya beberapa tokoh bisnis raksasa yang bergerak di sektor digital capitalism atau venture capitalists seperti Elon Musk dan Peter Thiel ke dalam lingkaran inti pemerintahan. Mereka ini, dalam perkembangan sistem ekonomi-politik kapitalisme saat ini, disebut-sebut sebagai kelompok teknofeodalisme atau neofeodalisme. 

Fenomena masuknya para Tech Giants ke dalam struktur kekuasaan politik ini menarik untuk didiskusikan lebih jauh, terkait dengan apa itu neofeodalisme dan bagaimana dampaknya pada kita. Untuk itu, Coen Husain Pontoh, editor IndoPROGRESS, berbincang-bincang dengan Hizkia Yosias Polimpung, peneliti di Monash University, Malaysia, dan juga sebagai editor IndoPROGRESS.


Coen Husain Pontoh (CHP): Bisa dijelaskan apa yang dimaksud dengan teknofeodalisme atau neofeodalisme ini?

Hizkia Yosias Polimpung (HYP): Dalam diskusi mengenai teknofeodalisme, beberapa pemikir seperti Yanis Varoufakis, Jodi Dean, Cedric Durand, dan lainnya kerap disebut. Meskipun pandangan mereka beragam, ada benang merah yang menghubungkan pemikiran mereka, yaitu perhatian terhadap meningkatnya praktik rent-seeking (perburuan rente) di era digital, di mana ekonomi tidak lagi semata-mata berlandaskan pada keuntungan dalam pengertian marxis. Dalam konsep marxis, profit diperoleh dari surplus nilai tenaga kerja yang dibayar lebih rendah daripada nilai produksinya—relasi yang asimetris antara pekerja dan kapitalis. Asimetris dalam artian kita tidak dibayar menurut kontribusi kita, tapi menurut satuan jam kerja dan seterusnya. 

Namun, dalam konteks ekonomi platform atau ekonomi cloud, sumber keuntungan utama tidak lagi berasal dari eksploitasi langsung atas upah pekerja, melainkan dari praktik penarikan sewa (rent). Pola sewa ini berbeda dari yang dijelaskan Marx di masanya, di mana sewa dibayar secara langsung dan nyata. Kini, bentuk sewanya tersembunyi melalui mekanisme iklan digital. Pengguna platform sesungguhnya “membayar” dengan data pribadi yang mereka hasilkan saat menggunakan layanan, dan data tersebut diolah menjadi informasi yang bernilai ekonomi. Sering kali muncul anggapan keliru bahwa perusahaan teknologi besar secara langsung menjual data pribadi pengguna. Padahal, dalam praktiknya, yang diperjualbelikan adalah analisis dan pola-pola perilaku (insights) yang diperoleh dari kumpulan data dalam skala besar. Misalnya, data pengguna aplikasi seperti Gojek, dapat menunjukkan pola keramaian di lokasi tertentu pada waktu tertentu—informasi ini kemudian dijual kepada pengiklan atau pelaku bisnis untuk menentukan strategi pemasaran mereka.

Dengan demikian, pengguna platform secara tidak langsung membayar “sewa” melalui kontribusi data, sebagai ganti atas akses gratis ke layanan digital. Fenomena ini mencerminkan munculnya sebuah pola ekonomi baru yang berpusat pada ekstraksi sewa digital, menggantikan dominasi sebelumnya yang berada di tangan kapital finansial. Kini, perusahaan-perusahaan teknologi besar seperti Apple, Amazon, Alphabet (Google), Microsoft, dan Nvidia, yang dikenal sebagai Big Six Tech Companies atau Big Tech, menjadi aktor utama dalam ekonomi global, bahkan melampaui keuntungan yang diperoleh bank-bank besar di AS. Perubahan ini menunjukkan adanya pergeseran struktural dalam modus produksi yang menentukan arah ekonomi Amerika saat ini. Dan menariknya, ini terjadi bahkan sebelum kita membahas dimensi politik global seperti peran AS sebagai kekuatan imperial informal. Pergeseran ini membantu menjelaskan mengapa perusahaan-perusahaan teknologi raksasa kini memiliki pengaruh begitu besar dalam struktur ekonomi dan kekuasaan Amerika.


CHP: Apakah kamu setuju dengan konsep tekno-feodalisme, yang pada intinya, adalah tentang ekonomi berbasis sewa (rent)?

HYP: Jika konsep ini kita gunakan sekadar untuk merujuk pada fenomena yang ada, maka ia mungkin berguna sebagai alat analisis. Namun, menurut saya, apabila konsep ini dijadikan landasan praksis, maka manfaatnya sangat terbatas. Jika merujuk pada pemikiran Marx, khususnya di Capital jilid III, Marx membagi kelas berdasarkan sumber pendapatan menjadi tiga: (1) kelas borjuis yang memperoleh pendapatan dari laba (profit); (2) kelas buruh yang memperoleh penghasilan dari upah; dan (3) kelas feodal yang hidup dari sewa (rent).

Dari ketiga kelas ini, hanya kelas buruh yang memiliki potensi sebagai subjek revolusioner utama, meskipun ketiganya bisa memiliki sisi revolusioner. Ketika berbicara mengenai pengorganisasian buruh dalam struktur sosial ini, kekuatan buruh hanya terletak pada proses produksi. Maka, jika kita memandang fenomena hari ini melalui lensa feodalisme, perspektif tersebut menjadi kurang relevan karena buruh tidak memiliki posisi tawar dalam relasi sewa. Pada akhirnya, dalam kerangka seperti itu, harapan satu-satunya hanya tertuju pada negara. Karena itu, menurut saya, perlu ada upaya teoretis untuk tetap memandang dinamika ini dalam kerangka produksi dan bukan semata-mata dalam kerangka feodalisme atau rent-seeking. Fokus kita seharusnya diarahkan pada bagaimana proses penciptaan nilai dan laba (profit making) tetap berlangsung di balik fenomena sewa tersebut. Dibutuhkan imajinasi teoretis yang lebih tajam untuk mengungkap aspek-aspek produktif yang mendeterminasi praktik rent-seeking ini.

Itu sebabnya, jika konsep teknofeodalisme diterima begitu saja tanpa kritik, maka secara teoretis kita kehilangan ruang untuk membicarakan perjuangan kelas. Sebab, dalam logika rent-seeking, kelas pekerja tidak lagi memiliki posisi sentral, bahkan tidak punya suara. Padahal, dalam kerangka marxian, kekuatan revolusioner terletak pada kelas buruh—dan konsep teknofeodalisme, jika diambil mentah-mentah, justru mengaburkan posisi strategis tersebut.


CHP: Tadi kamu menyebutkan bahwa secara data, kelompok yang disebut sebagai tekno-feodalisme saat ini memang sangat berpengaruh. Apakah ini yang menjadi alasan mengapa mereka berhasil masuk ke dalam struktur kekuasaan pemerintahan baru AS di era Donald Trump?

HYP: Dalam konteks tersebut, kemunculan dan dominasi big tech seyogianya tidak semata-mata dipahami melalui kacamata korupsi atau ketidakmampuan pemerintah. Pendekatan materialisme historis diperlukan untuk menunjukkan bahwa kebangkitan big tech berkaitan erat dengan perubahan struktural dalam pola produksi dan reproduksi kehidupan material. Ada pergeseran fundamental dalam sistem produksi di AS, dari fase finansialisasi menuju fase baru yang belum sepenuhnya terdefinisikan—untuk sementara dapat kita sebut sebagai teknologisasi. Pergeseran inilah yang, menurut saya perlu dianalisis secara sistemik, karena belum banyak yang mengaitkan dinamika ini dengan variabel-variabel makro-struktural yang kompleks. Kebetulan, selama dua hingga tiga tahun terakhir, kajian saya memang berfokus pada aspek makroekonomi dari perubahan ini. Namun sebelum masuk lebih jauh ke pembahasan tersebut, saya sempat menangkap satu potret menarik: video Elon Musk yang sedang menggendong anaknya di Oval Office—sebuah simbol yang merefleksikan bagaimana kekuatan big tech kini telah berkelindan dengan struktur politik.

Menurut saya, salah satu hal yang menarik dari fenomena bangkitnya big tech adalah karena, pada titik tertentu, narasi yang disuarakan oleh figur seperti Elon Musk dan Donald Trump memiliki kebenaran. Mereka menyoroti bagaimana perekonomian tidak lagi berpihak pada rakyat, bagaimana praktik korupsi hanya menguntungkan segelintir pihak, dan bagaimana manfaat ekonomi justru dinikmati oleh negara lain. Jika kita melihat dari data neraca transaksi berjalan, defisit AS sempat mencapai ratusan miliar dolar, bahkan menembus angka 300 miliar dolar pada 2008. Secara sederhana, angka ini menunjukkan besarnya ketergantungan pada impor. Pertanyaannya, jika sebagian besar kebutuhan dipenuhi melalui impor, lalu apa yang sebenarnya masih diproduksi di dalam negeri? Dari sini kita dapat melihat bagaimana tren deindustrialisasi berlangsung secara masif, yang pada gilirannya mendorong banyak pekerja ke kondisi ‘lumpen’—tercerabut dari pekerjaan tetap dan kehilangan kapasitas untuk berorganisasi secara ekonomi maupun sosial. Ketika sektor manufaktur mengalami kemunduran dan sektor finansial tidak mampu menyerap tenaga kerja dalam skala besar, satu-satunya sektor yang mampu menjadi penyangga adalah big tech. Pergeseran struktural inilah yang memungkinkan mereka mengisi kekosongan tersebut dan memperluas dominasinya.


CHP: Sebelum kita masuk lebih jauh ke pembahasan makroekonomi, saya ingin kamu memperjelas terlebih dahulu apa yang kamu maksud ketika menyebut bahwa kritik-kritik yang disampaikan oleh Donald Trump atau Elon Musk—tentang inefisiensi, korupsi, dan lain sebagainya—memang benar adanya. Apakah yang ingin kamu tunjukkan sebenarnya adalah bahwa semua itu merupakan bagian dari dinamika perubahan dalam perkembangan kapitalisme? Bahwa kita sedang menyaksikan transisi dari kapitalisme berbasis industri, bergeser ke kapitalisme finansial, dan kini menuju kapitalisme digital? Ataukah sebenarnya penjelasannya lebih tepat jika kita letakkan dalam konteks deindustrialisasi sebagai respons terhadap krisis kapitalisme industrial, atau sebagai konsekuensi dari kegagalan keynesianisme dan runtuhnya sistem Bretton Woods pada akhir dekade 1960-an?

HYP: Sebagian besar kritik yang disampaikan oleh Elon Musk dan Donald Trump, bahkan sejak masa kampanye mereka, pada dasarnya memiliki landasan karena memang mencerminkan adanya pergeseran dalam struktur kapitalisme atau basis material kapitalisme di AS. Pergeseran ini tidak bisa dilepaskan dari posisi AS sebagai pusat imperialisme global, meskipun sifatnya lebih informal. Namun, untuk memahami fenomena ini secara utuh, kita perlu menggunakan perspektif makroekonomi dan tidak sekadar membatasi pembacaan pada sektor industri atau dinamika produksi semata.

Jika kita tarik kaitannya dengan sistem Bretton Woods, hal pertama yang harus digarisbawahi adalah bahwa posisi Amerika tidak dapat dijelaskan dengan kerangka yang sama seperti negara-negara lain. Ini karena dolar AS berfungsi sebagai mata uang internasional, memberi Amerika kekuasaan yang unik—mereka dapat mencetak dolar tanpa batasan hukum internasional yang mengaturnya sebagai kekuatan imperial. Terkait dengan runtuhnya Bretton Woods, memang ada benang merah yang perlu dicermati. Kegagalan sistem ini berakar pada saat dolar AS dijadikan mata uang internasional. Patut dicatat, pada awalnya Amerika sebenarnya menolak posisi ini, karena saat itu mereka belum siap menanggung beban kebijakan ekonomi global seperti pengendalian suku bunga, nilai tukar, maupun stabilitas makroekonomi internasional. Menariknya, ada pula catatan historis yang menyebutkan adanya motif politik di balik kebijakan tersebut. Berdasarkan catatan harian Menteri Keuangan saat itu, Henry Morgenthau, muncul dugaan bahwa Partai Demokrat mendorong dominasi dolar agar dapat menciptakan ketergantungan global terhadap mata uang tersebut, yang pada akhirnya memberi keuntungan politik dan ekonomi bagi Amerika, khususnya bagi partai yang berkuasa saat itu.

Inti dari poin yang ingin saya sampaikan adalah bahwa, terlepas dari praktik politik transaksional yang melibatkan para oligarki, kita dapat melihat bahwa berbagai pergeseran struktural ini pada akhirnya menegaskan menguatnya dominasi kekuatan finansial. Penguatan sektor finansial, yang dibarengi dengan kebijakan memanfaatkan status dolar sebagai mata uang internasional, turut mendorong proses deindustrialisasi. Hal ini terjadi karena arus dolar yang terus mengalir keluar negeri tidak hanya membiayai konsumsi impor Amerika, tetapi juga menopang pembangunan sektor manufaktur di negara lain.

Sementara itu, kelas pekerja di Amerika justru terpinggirkan dan semakin kehilangan posisi dalam struktur ekonomi. Jeritan dan ketidakpuasan kelas pekerja inilah yang kemudian ditangkap dan dimanfaatkan secara politik oleh figur seperti Donald Trump. Sistem ekonomi yang semakin bergantung pada sektor finansial pada akhirnya lebih menguntungkan segelintir elite oligarki finansial. Kita bisa melihat contohnya pada bank-bank besar di Amerika yang mempekerjakan sangat sedikit tenaga kerja dibandingkan dengan perusahaan seperti Amazon atau Nvidia, yang mampu menyerap jutaan pekerja. Pola penyerapan tenaga kerja inilah yang kemudian menjadi bahan bakar politisasi dalam wacana populis. Oleh karena itu, penting bagi kita untuk membaca perubahan ini melalui lensa materialisme historis, dengan menyoroti bagaimana pergeseran basis produksi di Amerika berpengaruh terhadap posisinya sebagai kekuatan imperial global.


CHP: Dengan demikian, menjadi cukup masuk akal jika salah satu langkah awal yang diambil Donald Trump saat berkuasa adalah menerapkan kebijakan efisiensi, yang diwujudkan melalui pembubaran sejumlah institusi yang secara politik mungkin dianggap strategis bagi Amerika, tetapi dinilai tidak memiliki signifikansi ekonomi. Sebagai contoh, lembaga seperti USAID di luar negeri atau Departemen Pendidikan di dalam negeri menjadi sasaran kebijakan tersebut. Langkah kedua yang ditempuh Trump adalah menaikkan tarif impor, yang kemudian berdampak pada beberapa negara mitra dagang utama seperti Kanada, Meksiko, dan Tiongkok. Selain itu, tidak tertutup kemungkinan bahwa dalam waktu dekat, pemerintahan baru di Amerika Serikat juga akan mendorong implementasi kebijakan terkait keuangan digital, termasuk potensi peluncuran crypto finance. Berdasarkan perkembangan tersebut, menurut pandanganmu, apakah kebijakan-kebijakan ini dapat dibaca sebagai bentuk konkret dari transformasi menuju digital finance atau apa yang disebut sebagai cloud finance?

Yosie: Terkait konsep cloud finance, pandangan saya sebenarnya agak berbeda dari analisis yang diajukan oleh Yanis Varoufakis. Saya belum berani menarik kesimpulan yang lebih substansial mengenai isu ini, sebab fokus utama kajian saya bukanlah pada dinamika di Amerika Serikat. Namun, suka tidak suka, jika kita ingin membaca tren global saat ini, kita tetap perlu melihat Amerika Serikat sebagai episentrum perubahan. Dalam membaca argumen Varoufakis, menurut saya ada beberapa poin penting yang sering luput dari perhatian. Nilai utama dari bukunya bukan terletak pada gagasan mengenai tekno-feodalisme, melainkan pada analisisnya atas modus produksi kontemporer. Ia berhasil menunjukkan kemunculan apa yang ia sebut sebagai cloud capital, yakni bentuk baru dari akumulasi kapital berbasis infrastruktur digital.

Lebih jauh, Varoufakis menyoroti bagaimana cloud capital ini berkelindan dengan finance capital dalam konteks otoritarianisme Tiongkok. Menurutnya, kombinasi antara cloud capital dan finance capital di bawah kendali negara otoriter seperti Tiongkok berpotensi menjadi kekuatan baru yang mampu mengguncang tatanan global, bahkan membuka kemungkinan lahirnya sebuah modus produksi baru. Pertanyaannya tentu saja, apakah modus produksi ini tetap berada dalam kerangka kapitalisme atau justru mengarah ke sosialisme—meskipun itu adalah diskusi lain. Dalam konteks materialisme historis, pergeseran ini mencerminkan transformasi dalam basis produksi dan reproduksi kehidupan material sebagaimana dikemukakan oleh Marx. Varoufakis berargumen bahwa salah satu alasan mengapa Amerika Serikat tertinggal dalam perkembangan ini adalah ketidakmampuannya mengintegrasikan kedua bentuk kapital tersebut. Hal ini dapat diamati dari karakter sektor finansial di Amerika, yang beroperasi berdasarkan logika prediksi, kepastian, dan kontrol atas masa depan. Sebaliknya, pendekatan politik Donald Trump sangat tidak terduga, penuh ketidakpastian, dan tidak sejalan dengan kepentingan bisnis sektor finansial. Ini pula yang menjelaskan mengapa, pada awalnya, bank-bank besar di Amerika tidak berada di belakang Trump, meskipun setelah ia memenangkan pemilu, mereka tetap merapat demi kepentingan pragmatis.

Lebih jauh, kita bisa melihat adanya perbedaan mendasar antara logika bisnis sektor finansial dengan big tech. Keduanya beroperasi dengan kalkulasi dan orientasi yang berbeda. Namun, perkembangan terakhir menunjukkan dinamika baru: bank-bank besar seperti BlackRock dan JP Morgan Chase mulai memasuki ranah tokenisasi aset dunia nyata (Real World Assets/RWA), berupaya menjembatani dunia keuangan tradisional (off-chain) dengan ekosistem keuangan terdesentralisasi (on-chain). Sebaliknya, big tech, terutama yang berafiliasi dengan Trump dan lingkarannya, cenderung membangun jaringan fintech tersendiri yang berorientasi politik.

Fenomena ini tidak terlepas dari krisis struktural yang melatarbelakangi bangkitnya big tech di Amerika Serikat, di mana teknologi blockchain dan crypto menjadi medium baru bagi akumulasi kapital. Krisis tersebut juga terkait dengan kebijakan dolar sebagai senjata ekonomi global yang, dalam jangka panjang, mendorong tren de-dolarisasi. Fragmentasi kapitalisme global yang disebabkan oleh kebijakan proteksionis Amerika Serikat turut memperparah kondisi ini. Ironisnya, alih-alih memperkuat kapitalisme global, kebijakan-kebijakan tersebut justru memicu proses deglobalisasi.

Dalam konteks ini, bank-bank besar seperti BlackRock dan JP Morgan Chase terlihat mencoba ‘me-reglobalisasi’ sistem ekonomi dengan menghubungkan infrastruktur keuangan lama dan baru, sementara big tech justru semakin terintegrasi dengan politik domestik. Pertentangan antara dua kutub kapital besar di Amerika Serikat ini akan membawa implikasi serius di masa mendatang. Di satu sisi, kubu big tech semakin erat dengan politik populis, sementara bank-bank besar berusaha mempertahankan kapitalisme global melalui jalur finansialisasi digital yang berbeda. Keduanya menempuh jalur masing-masing, dan penolakan mereka untuk bersatu mencerminkan ketegangan mendalam dalam struktur kapitalisme Amerika hari ini.


CHP: Salah satu kritik utama terhadap fenomena finansialisasi adalah semakin jauhnya keterkaitan antara sektor finansial dengan sektor riil. Keterputusan ini menciptakan kerentanan struktural yang dapat memicu krisis, seperti yang terjadi pada krisis ekonomi global tahun 2008. Saat ini, situasinya bahkan semakin kompleks dengan kemunculan apa yang disebut sebagai cloud capital atau ekonomi digital. Dalam pandanganmu, bagaimana kamu melihat perkembangan ini ke depan? Apakah ada kemungkinan bahwa sektor finansial dan cloud capital dapat berjalan berdampingan secara stabil, atau justru potensi keterputusan keduanya akan melahirkan krisis ekonomi baru yang skalanya mungkin lebih besar dibandingkan krisis 2008?

HYP: Terkait dengan persoalan sektor ekonomi riil, selama saya mendalami literatur tentang finansialisasi, saya masih belum menemukan penjelasan yang memadai mengenai peran sektor riil dalam dinamika ini. Jika kita merujuk pada karya Costas Lapavitsas berjudul Profiting without Production, ia menyoroti kecenderungan dalam analisis finansialisasi yang lebih banyak menempatkan capital financial sebagai pusat perhatian, sementara capital industrial atau sektor produksi riil cenderung terabaikan. Dalam kerangka ini, akumulasi profit berbasis kapital fiktif sering kali dipandang seolah-olah berdiri sendiri, terlepas dari proses produksi riil. Namun, pandangan ini justru memunculkan pertanyaan kritis: apakah benar kapital finansial dapat sepenuhnya terlepas dari basis produksi material? Jika memang demikian, bagaimana kita dapat menjelaskan terjadinya krisis seperti bubble ekonomi? Oleh karena itu, penting bagi kita untuk memperjelas dan menegaskan kembali fungsi serta posisi sektor riil dalam keseluruhan dinamika kapitalisme finansial.

Namun, dalam konteks ini, saya harus mengakui bahwa saya belum menemukan argumen yang benar-benar meyakinkan. Karena itu, sejauh ini saya berpendapat bahwa konsep ekonomi riil kerap kali hanya dijadikan sebagai alibi dalam kerangka finansialisasi. Meski demikian, perlu diperjelas pada titik mana sektor riil ini benar-benar berfungsi sebagai alibi, misalnya melalui penghitungan kontribusinya terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) dan indikator lainnya. Jika kita merujuk pada penelitian Greta Krippner tahun 2004, ia menunjukkan bahwa sektor finansial – yang sering disebut sebagai FIRE (Finance, Insurance, Real Estate) – telah berkembang pesat di Amerika Serikat hingga mencapai porsi signifikan dalam PDB, bahkan belasan persen. Aspek inilah yang harus menjadi perhatian dalam pembacaan ekonomi saat ini.

Namun, jika kita memperluas definisi ekonomi riil, tidak hanya terbatas pada aktivitas produksi tetapi juga mencakup konsumsi, maka kita bisa melihat adanya dinamika baru. Sebagai contoh, dalam ekonomi digital, individu tetap dapat memperoleh pendapatan tanpa terlibat langsung dalam proses produksi konvensional, sehingga perputaran ekonomi riil tetap terjadi. Selain itu, kita juga perlu mengakui keberadaan sektor riil dalam pengertian tradisional, di mana perusahaan-perusahaan big tech seperti Amazon masih mempekerjakan jutaan pekerja, meskipun sektor ini tidak terlepas dari berbagai persoalan struktural.

Dengan demikian, secara keseluruhan, kita dapat melihat bahwa kedua sektor—yakni sektor ekonomi riil dalam bentuk tradisional maupun sektor digital—masih berjalan dan saling melengkapi. Kedua dimensi ini berhasil diintegrasikan dan dimanfaatkan oleh perusahaan-perusahaan big tech, sementara sektor perbankan besar (big banks) gagal untuk mengkapitalisasi peluang tersebut. Inilah yang menjelaskan mengapa big tech tetap memiliki posisi yang kokoh dan relevan dalam lanskap ekonomi saat ini. Lebih jauh, kondisi ini juga menjadi salah satu sumber energi politik bagi gerakan MAGA, karena mereka mampu menunjukkan secara konkret peningkatan jumlah tenaga kerja dan akumulasi kapital sejak era kepemimpinan Donald Trump. Sebaliknya, bank-bank besar tidak memiliki kapasitas untuk mengklaim hal serupa, sebab mereka tidak mampu mempertahankan narasi ekonomi riil yang bisa menopang logika finansialisasi dalam jangka panjang. Namun, ketika big tech mulai mengintegrasikan finansialisasi melalui teknologi blockchain, cloud finance, dan instrumen keuangan digital lainnya, kita mulai dapat membayangkan bagaimana proses ini membuka jalan bagi formasi ekonomi baru yang menggabungkan sektor riil dan finansial secara lebih efektif


CHP: Jika kita membahas soal eksploitasi, bisakah kamu jelaskan bagaimana mekanisme eksploitasi berlangsung dalam konteks ekonomi digital atau dalam apa yang disebut sebagai era tekno-feodalisme ini? Selain itu, bagaimana karakter eksploitasi tersebut berbeda dibandingkan dengan bentuk eksploitasi yang terjadi di sektor riil pada masa kapitalisme industrial maupun dalam fase kapitalisme finansial?

HYP: Ketika kita berbicara mengenai konsep eksploitasi, maka kerangka analisisnya harus kembali pada logika produksi dalam konteks ekonomi global, khususnya di Amerika Serikat. Penting untuk dipahami bahwa produksi dan sirkulasi kapital bukanlah dua hal yang terpisah, melainkan saling berkaitan secara dialektis. Dalam pengertian ini, sirkulasi kapital dapat dipandang sebagai bagian integral dari proses produksi itu sendiri—sesuatu yang selama ini jarang dijelaskan secara komprehensif.

Jika kita merujuk pada literatur Marx, khususnya dalam Grundrisse, ia pernah menyinggung bahwa pada tahap tertentu dalam perkembangan kapitalisme, proses sirkulasi akan berkembang sedemikian rupa hingga menjadi momen produksi tersendiri. Lalu, apa konsekuensi konkretnya? Saat ini, kita dapat melihat bahwa proses sirkulasi—yakni realisasi profit—terjadi pada saat konsumsi berlangsung, ketika orang melakukan pembelian. Dengan kata lain, proses konsumsi itu sendiri telah menjadi bagian dari proses produksi nilai. Pandangan ini tentu menuntut kita keluar dari kerangka marxisme ortodoks yang cenderung memisahkan produksi dan konsumsi secara kaku. Dan ironisnya, kondisi di mana konsumsi menjadi bagian dari produksi ini justru paling tampak dalam praktik bisnis big tech saat ini, yang berhasil memanfaatkan pola tersebut secara nyata.

Contoh paling sederhana dapat kita lihat ketika seseorang melakukan aktivitas scrolling di Instagram. Secara kasat mata, kita tampak seperti sekadar mengonsumsi produk digital yang disediakan oleh META. Namun, pertanyaannya: apakah aktivitas konsumsi ini menghabiskan atau mengurangi komoditas tersebut? Tentu saja tidak. Jika dilihat dari perspektif META, aktivitas ini justru merupakan proses produksi data. Data yang dihasilkan oleh pengguna kemudian diolah dan dimanfaatkan untuk memperbesar basis data perusahaan, yang pada akhirnya menjadi fondasi utama model bisnis mereka – seperti yang telah kita bahas sebelumnya. Dengan demikian, kita dapat memandang konsumsi ini sebagai bagian dari proses produksi, bahkan sebagai penciptaan nilai lebih yang lebih eksploitatif dibandingkan dengan kapitalisme manufaktur. Sebab, dalam kapitalisme manufaktur, buruh masih memperoleh upah dari hasil produksinya. Sementara dalam konteks kapitalisme digital hari ini, kita sebagai konsumen justru turut menambah akumulasi kapital tanpa mendapatkan kompensasi apa pun.

Dari pemahaman ini, saya berpandangan bahwa sudah saatnya kita mulai menggeser cara berpikir kita—bukan sekadar pada konsumsi etis seperti menolak produk-produk tertentu, melainkan pada bagaimana konsumsi itu sendiri merupakan bagian dari produksi dan bagaimana proses ini perlu diorganisasi secara politis. Meskipun gagasan ini terdengar abstrak, pendekatan semacam ini memungkinkan kita untuk memahami secara lebih tajam bagaimana logika produksi dan konsumsi kini telah berkelindan, khususnya dalam konteks kapitalisme berbasis cloud capital dan finance capital. Lebih jauh, hal ini juga membuka ruang untuk memetakan implikasi strukturalnya terhadap kondisi kelas pekerja saat ini.


CHP: Dari penjelasan yang kamu sampaikan sebelumnya, saya mulai memahami bagaimana keterkaitan antara big tech, ekonomi digital, dan pola konsumsi saat ini. Artinya, dalam konteks ekonomi digital, ketika kita mengonsumsi sesuatu, kita secara tidak langsung juga berkontribusi pada proses produksi bagi mereka. Dari pemahaman ini, muncul pertanyaan lebih lanjut mengenai dampak dominasi dan menguatnya posisi big tech, khususnya dalam konteks pemerintahan Donald Trump, terhadap dinamika internasional. Misalnya, bagaimana implikasinya terhadap hubungan Amerika Serikat dengan Tiongkok, yang saat ini sering dipandang sebagai pesaing utama dalam sektor ekonomi digital. Kamu juga sempat menyebutkan sebelumnya bahwa Tiongkok justru lebih berhasil dalam mengintegrasikan ekonomi digital dan finansial. Menurut pandanganmu, apakah situasi ini akan membawa dampak signifikan terhadap konfigurasi ekonomi politik global di masa mendatang?

 HYP: Ketika struktur imperialisme yang selama ini menopang kapitalisme mengalami keruntuhan, perlu dipahami bahwa keruntuhan ini tidak serta-merta berarti bahwa Amerika Serikat menjadi negara yang miskin atau kehilangan kekuatan. Sebaliknya, yang runtuh adalah karakter kapitalisme dalam bentuk globalisasinya. Dalam kajian Hubungan Internasional, terdapat satu pertanyaan mendasar yang menjadi titik tolak lahirnya disiplin ini, sebuah pertanyaan yang sederhana namun sangat krusial, yaitu: bagaimana mencegah terjadinya perang? Meskipun dalam perkembangannya muncul berbagai pendekatan baru seperti teori kritis, posmodernisme, dan pos-strukturalisme, inti dari studi Hubungan Internasional tetap berakar pada persoalan mendasar tersebut—mencari cara untuk menghindari konflik bersenjata di level global.

Pada dekade 1960-an, berkembang perspektif liberal-fungsionalisme dan teori-teori sejenis yang, menurut saya, sangat menarik dan relevan untuk diskusi kita saat ini. Hal ini disebabkan karena argumen yang diajukan oleh para pemikir liberal pada masa itu cukup meyakinkan. Mereka berpendapat bahwa salah satu cara paling efektif untuk mencegah terjadinya perang adalah dengan menciptakan keterkaitan yang kuat antarnegara, atau dalam istilah lain, melalui proses globalisasi—khususnya melalui jalur perdagangan dan kerja sama ekonomi. Dari gagasan ini lahirlah konsep interdependensi, yakni keyakinan bahwa saling keterikatan ekonomi antarnegara akan membuat konflik bersenjata menjadi tidak rasional dan terlalu mahal untuk dilakukan. Sebagai contoh, jika suatu negara berniat menyerang negara lain—misalnya Amerika Serikat hendak menyerang Tiongkok—maka tindakan tersebut tidak hanya akan merugikan pihak yang diserang, tetapi juga akan membawa kerugian besar bagi sektor-sektor ekonomi domestik negara penyerang. Dengan demikian, dalam logika liberal, semakin terhubungnya negara-negara melalui jaringan ekonomi global akan membuat perdamaian menjadi pilihan yang lebih rasional. Singkatnya, globalisasi dianggap identik dengan perdamaian.

Kondisi saat ini justru menunjukkan arah yang berbeda, di mana pemerintahan Donald Trump mendorong proses deglobalisasi. Situasi ini membawa kita kembali pada relevansi pertanyaan fundamental yang pernah mengemuka pada dekade 1960-an, yaitu bagaimana mencegah terjadinya perang. Sebab, dalam konteks deglobalisasi, insentif bagi Amerika Serikat untuk menjaga stabilitas dan keterhubungan global semakin menurun, sehingga biaya politik dan ekonomi untuk melancarkan konflik menjadi relatif lebih murah. Selain itu, jika kita mengamati konfigurasi kekuatan di sekitar Trump, mayoritas figur-figur utama di sektor big tech berada di spektrum politik kanan, yang menjadi karakteristik khas dalam politik Amerika Serikat. Narasi seperti “Make America Great Again” mencerminkan bagaimana Trump dan lingkarannya memandang Tiongkok bukan sebagai mitra strategis, melainkan sebagai ancaman langsung. Salah satu contohnya dapat dilihat dari isu terbaru terkait pelarangan Deepseek, yang mencerminkan kecenderungan untuk memandang segala sesuatu yang terkait dengan Tiongkok secara negatif dan penuh kecurigaan. Dalam konteks ini, prediksi-prediksi pesimistis yang sering muncul di kalangan studi Hubungan Internasional—bahwa dinamika semacam ini akan membawa pada ketegangan dan potensi konflik terbuka—kembali menemukan momentumnya. 

Saya pribadi pun berbagi kekhawatiran yang sama. Menurut saya, kita perlu mulai mempersiapkan diri atas kemungkinan meningkatnya risiko terjadinya perang, sebab bagi Amerika Serikat, biaya untuk melancarkan perang saat ini menjadi jauh lebih rendah dibandingkan pada masa ketika globalisasi masih berlangsung. Potensi kerugian yang harus ditanggung Amerika Serikat akibat konflik bersenjata tidak lagi sebesar sebelumnya. Yang perlu diwaspadai adalah situasi ketika Amerika Serikat mencapai titik keyakinan tertentu bahwa mereka mampu bertahan secara mandiri tanpa perlu mengandalkan keterkaitan global.

Jika kita berbicara mengenai kemungkinan terjadinya perang dalam arti konvensional atau fisik, realitas saat ini menunjukkan bahwa Tiongkok masih berada jauh di belakang Amerika Serikat dalam hal kekuatan militer. Bahkan jika kekuatan Tiongkok dikombinasikan dengan negara-negara seperti Rusia, Turki, dan lainnya, kesenjangan kekuatan militer tersebut masih tetap signifikan. Oleh karena itu, menjadi sangat penting bagi Tiongkok, dan juga Rusia, untuk menghindari tindakan-tindakan yang dapat memicu provokasi terhadap Amerika Serikat. Dalam kerangka berpikir untuk mencegah konflik, posisi strategis bagi kedua negara tersebut adalah tidak memberikan alasan atau justifikasi bagi Amerika Serikat untuk melancarkan aksi militer


CHP: Skenario yang kamu sampaikan ini tampak cukup suram dan mengarah pada situasi yang pesimistis. Jika kondisi ini terus berlanjut, atau jika agenda yang didorong oleh kalangan big tech berhasil terealisasi sepenuhnya, maka bukan tidak mungkin eskalasi konflik, bahkan potensi terjadinya perang, akan menjadi konsekuensi yang sulit dihindari. Dalam konteks tersebut, saya ingin mengetahui pandanganmu terkait posisi negara-negara berkembang seperti Indonesia. Menurutmu, sikap atau strategi seperti apa yang sebaiknya diambil oleh Indonesia dalam menghadapi dinamika global yang semakin tidak menentu ini?

HYP: Dalam hal ini, saya pribadi banyak terinspirasi oleh pemikiran Ho Chi Minh. Saat masih berada di Prancis, salah satu gagasan utama yang ia tekankan adalah pentingnya membangun koneksi antara kelas pekerja di pusat-pusat kekuasaan imperial (imperial metropol) dengan kelas pekerja di wilayah pinggiran (periphery). Bagi Ho Chi Minh, inilah esensi dari semangat internasionalisme. Tentu saja, gagasan ini mudah untuk dibicarakan, tetapi jika kita melihat kondisi saat ini, pertanyaannya adalah: kelas pekerja mana yang benar-benar memiliki orientasi internasionalis? Bahkan di Indonesia, misalnya, sejauh mana Partai Buruh atau konfederasi serikat pekerja telah berpikir dalam kerangka perjuangan kelas internasional? Pada kenyataannya, fokus utama mereka masih berkutat pada isu-isu mendasar seperti kenaikan upah atau pengurangan jam kerja.

Namun, apa yang hendak ditunjukkan oleh Ho Chi Minh adalah bahwa proses imperialisme—dalam konteksnya, imperialisme Prancis—tidak akan berhenti kecuali kekuatan imperial tersebut berhasil dilemahkan dari dalam, dan satu-satunya kekuatan yang dapat melakukannya adalah kelas pekerja di negara pusat imperialisme itu sendiri. Secara intuitif, hal ini terasa kontradiktif, karena seolah-olah kelas pekerja di negara periferi justru harus mendukung perjuangan kelas pekerja di negara pusat, seperti Amerika Serikat. Padahal, kondisi kelas pekerja di negara-negara seperti Indonesia sendiri masih jauh dari sejahtera. Inilah pekerjaan besar yang perlu diemban oleh para pemikir progresif, baik di Indonesia maupun di negara-negara lain. Mereka perlu menghidupkan kembali perspektif internasionalisme dalam perjuangan kelas, menggeser fokus dari sekadar tuntutan normatif seperti upah dan kebijakan pemerintah yang timpang. Dalam konteks saat ini, salah satu bentuk solidaritas internasional yang paling strategis adalah mendukung perjuangan kelas pekerja di Amerika Serikat dalam melawan dominasi tekno-feodalisme, big tech, big finance, dan bank-bank besar yang menjadi pilar utama kapitalisme global.

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.


CHP: Kalau di level negara, menurut kamu kira-kira apa yang bisa dilakukan oleh Indonesia? Atau kamu tidak punya harapan atau tidak melihat ada sesuatu yang bisa pemerintah Indonesia lakukan di tengah skenario terburuk seperti yang kamu sampaikan tadi?

HYP: Jika kita mengamati kondisi pemerintahan Prabowo saat ini, menurut saya cukup jelas bahwa tidak ada ruang bagi agenda semacam ini untuk dijalankan. Pada titik ini, sikap yang mungkin diambil hanyalah menerima kondisi yang ada.

Namun, mari kita bayangkan sebuah skenario utopis di mana negara dipimpin oleh kekuatan progresif. Dalam konteks tersebut, salah satu langkah strategis yang dapat diambil adalah mendorong dan mengampanyekan perspektif internasionalisme sebagai bagian dari kebijakan luar negeri. Kampanye ini dapat diwujudkan melalui pernyataan politik yang tegas dan luas untuk menunjukkan solidaritas terhadap perjuangan kelas pekerja di Amerika Serikat. Sebab, harus diakui bahwa kekuatan yang paling mungkin mampu melemahkan dominasi imperialisme Amerika Serikat adalah kelas pekerja di negara tersebut sendiri. Saya pribadi tidak melihat kemungkinan bahwa Tiongkok, misalnya, dapat melakukannya melalui intervensi langsung. Jika pun itu terjadi, besar kemungkinan pendekatannya akan bersifat militer dan terjadi di masa mendatang. Namun, dalam kerangka sistem kedaulatan negara yang berlaku saat ini, pada akhirnya hanya kelas pekerja di Amerika Serikat yang memiliki potensi riil untuk melemahkan dominasi imperialisme tersebut. Karena itu, internasionalisme harus selalu diarahkan untuk menopang perjuangan kelas pekerja di level akar rumput, melalui berbagai bentuk dukungan seperti pemberontakan, intervensi, bantuan finansial, dan strategi-strategi lainnya. 

Selain itu, ada langkah lain yang dapat diupayakan pada tataran moneter, meskipun secara intuitif hal ini tampak bertentangan. Salah satu kemungkinan strategis adalah mendorong penguatan dolar AS, namun di saat yang sama berupaya melepaskan keterikatan antara dolar dengan kepentingan politik Amerika Serikat. Gagasan ini masih bersifat hipotetis, tetapi jika kita perhatikan, apa yang sedang diupayakan oleh institusi seperti BlackRock tampaknya mengarah ke sana: memperkuat posisi dolar AS hingga melampaui sekadar instrumen kekuatan Amerika Serikat. Alasan utama di balik strategi ini adalah karena dolar AS sudah terlanjur menjadi tulang punggung globalisasi ekonomi dunia, dan saat ini hanya mata uang tersebut yang mampu menjaga keterhubungan sistem ekonomi global. Jika kita lihat dari sudut pandang para pelaku bisnis, pilihan mereka menggunakan dolar bukan semata-mata karena paksaan Amerika Serikat, melainkan karena tingkat keamanannya yang sangat tinggi. Di sisi lain, terdapat kecenderungan politik yang berlawanan, terutama yang diperlihatkan oleh Donald Trump, yang berupaya menarik kembali dominasi dolar ke dalam kerangka kepentingan nasional Amerika dan mendorong proses deglobalisasi—yang dalam arti tertentu bertentangan dengan logika kapitalisme global. Trump tidak menginginkan dolar menjadi simbol kapitalisme global, melainkan tetap menjadi milik eksklusif Amerika Serikat. Sementara itu, kapitalisme global justru menghendaki agar dolar tetap berfungsi sebagai infrastruktur utama bagi akumulasi kapital di tingkat global. Dengan demikian, perjuangan di level moneter terletak pada bagaimana menciptakan kondisi di mana dolar AS tetap memiliki fungsi internasional, bahkan melampaui kepentingan politik Amerika Serikat itu sendiri—sebuah proyek yang, secara ironis, sejalan dengan kepentingan kapitalisme global dan bertentangan dengan agenda politik Trump.

Mungkin gagasan ini masih terasa jauh dari diskursus yang umum kita temui saat ini. Namun, menurut saya, penting untuk mulai membuka ruang berpikir ke arah ini—yakni pada jalur yang lebih abstrak, yang berkaitan dengan persoalan moneter, finansial, dan struktur kebijakan ekonomi global. Dengan kata lain, perjuangan tidak boleh semata-mata terfokus pada sektor manufaktur atau ekonomi industrial semata. Sudah saatnya kita mulai mendiversifikasi bentuk perjuangan, termasuk mengupayakan intervensi dan keterlibatan di ranah kebijakan moneter serta sektor keuangan global.


CHP: Sebelumnya, kamu telah menjelaskan beberapa langkah yang dapat diambil oleh gerakan kelas sosial dan kelas pekerja dalam merespons menguatnya ekonomi digital dan implikasinya di tingkat internasional. Namun, menurutmu, adakah strategi lain yang juga bisa ditempuh oleh gerakan sosial dalam menghadapi dominasi kelompok tekno-feodal, baik dari segi politik maupun ekonomi?

HYP: Menurut saya, dalam jangka pendek situasinya cukup sulit dan saya sendiri cukup pesimis. Namun, jika kita berbicara dalam kerangka jangka panjang—dengan asumsi bahwa konflik besar atau perang tidak terjadi dalam lima hingga sepuluh tahun ke depan—maka masih ada ruang untuk berharap. Tentu saja, hal ini mensyaratkan adanya kemampuan untuk mengorganisasi gerakan secara efektif. Langkah pertama yang perlu dilakukan adalah masuk melalui jalur konsumsi dalam sistem ekonomi yang ada saat ini. Pertanyaan mendasarnya adalah bagaimana memastikan bahwa konsumsi tersebut dapat terlebih dahulu memenuhi kebutuhan dasar masyarakat. Sebab, selama kebutuhan dasar—seperti rasa kenyang—belum terpenuhi, masyarakat akan tetap rentan dimobilisasi atau dimanipulasi oleh kekuatan politik kanan.


CHP: Kalau ada yang mengatakan bahwa yang bisa dilakukan, misalnya, melakukan regulasi seperti kebijakan yang adil terhadap kalangan digital ekonomi ini atau membangun teknologi alternatif seperti open source. Bagaimana ide-ide ini dalam pandanganmu?

HYP: Jika kita berbicara secara lebih spesifik, platform blockchain yang saat ini digunakan oleh perusahaan-perusahaan besar seperti BlackRock atau Blackstone di Amerika Serikat adalah Ethereum. Menariknya, Ethereum sendiri merupakan salah satu ekosistem yang paling dekat dengan tradisi anarkis, terutama karena sifatnya yang open source. Sayangnya, dalam perkembangan teknologi open source ini, yang paling banyak terlibat justru kalangan anarko, sementara kontribusi dari kalangan marxis relatif sangat sedikit.

Karena itu, menurut saya, arah strategis yang perlu ditempuh sebenarnya hanya satu, yakni membangun infrastruktur internet yang benar-benar baru. Tentu saja, mewujudkan hal ini bukan perkara mudah dan membutuhkan proses yang panjang. Sejauh yang saya ketahui, hanya segelintir inisiatif yang mencoba mengupayakan hal ini, salah satunya adalah Economic Space Agency (ECSA), yang secara eksplisit membawa visi komunis dan tengah berupaya mengembangkan model internet alternatif. Adapun jika kita berbicara mengenai kebijakan dan regulasi, secara realistis saya belum melihat ada satu pun negara yang dapat dijadikan referensi untuk merumuskan kebijakan yang efektif dalam merespons perkembangan ini. Bahkan jika kita menawarkan rekomendasi kebijakan, pada akhirnya hal itu akan bersifat normatif semata, sebab hampir semua negara saat ini justru mengikuti arus perkembangan finansialisasi menuju tokenisasi. Fenomena ini bahkan sudah menjangkau kawasan ASEAN, di mana sejumlah negara mulai mengadopsi teknologi blockchain untuk melakukan tokenisasi aset dunia nyata.

Oleh karena itu, harapan agar pemerintah secara aktif merumuskan regulasi untuk membendung perkembangan ini mungkin penting sebagai wacana akademis, tetapi dalam praktiknya sangat sulit terealisasi. Justru karena alasan tersebut, perebutan kekuasaan negara tetap menjadi krusial, agar gagasan-gagasan normatif seperti internasionalisme, solidaritas bagi kelas pekerja Amerika Serikat, dan diplomasi moneter dapat diwujudkan dalam kebijakan nyata.


CHP: Jika poinnya adalah merebut kekuasaan negara, bagaimana menurutmu perkembangan situasi saat ini? Apakah sudah ada inisiatif atau upaya untuk membangun organisasi serikat pekerja, khususnya di kalangan pekerja digital maupun di lingkungan serikat pekerja secara umum di Indonesia? Selain itu, bagaimana pandanganmu mengenai ide bahwa perjuangan buruh tidak seharusnya berhenti pada pembentukan serikat, melainkan harus dilanjutkan ke tahap yang lebih radikal, yakni mendorong kelas pekerja untuk berjuang merebut kekuasaan negara? Bagaimana kamu melihat prospek dan tantangan dari gagasan ini dalam konteks Indonesia saat ini?

HYP: Menurut saya, ketika kita membahas strategi, maka titik tolak yang harus digunakan adalah analisis terhadap modus produksi. Pergeseran modus produksi yang sebelumnya telah saya uraikan perlu menjadi dasar utama, khususnya terkait bagaimana logika produksi dan konsumsi saat ini telah saling berkelindan dan tidak lagi dapat dipisahkan. Bahkan, Marx pernah menggarisbawahi bahwa sumber utama penciptaan nilai lebih tidak semata-mata berasal dari proses kerja itu sendiri, melainkan justru dari disposable time—yaitu waktu di mana individu tidak sedang bekerja, tidak terlibat dalam proses reproduksi sosial, bahkan tidak produktif dalam pengertian ekonomi. Pada kenyataannya, di luar jam kerja sekalipun, individu tetap berada dalam sirkuit konsumsi: mereka harus membayar cicilan rumah, membeli kebutuhan pokok, memenuhi kebutuhan sandang, pangan, serta kebutuhan hidup lainnya. Dengan demikian, baik saat bekerja maupun di luar jam kerja, individu tetap berkontribusi pada siklus akumulasi kapital melalui konsumsi. Mengingat waktu tidak bekerja secara umum lebih panjang dibandingkan waktu bekerja, maka konsumsi yang terjadi dalam periode tersebut menjadi sangat signifikan. Dari perspektif ini, kita dapat memahami bagaimana konsumsi memainkan peran yang sangat penting dalam kelangsungan kapitalisme kontemporer. Peran tersebut tidak sekadar bersifat normatif, melainkan menjadi salah satu penyumbang utama surplus nilai yang kemudian digunakan oleh kalangan kapitalis sebagai basis kekuatan politik mereka

Lalu, pertanyaannya adalah: apakah memungkinkan bagi serikat pekerja di sektor digital teknologi atau industri kreatif untuk, setidaknya, membatasi kekuasaan perusahaan dari sudut pandang manajemen hubungan industrial? Menurut saya, upaya ini tidak akan menghambat proses produksi nilai lebih, karena sumber utama ekstraksi nilai saat ini bukan hanya dari pekerja, coder, atau developer, melainkan juga dari kita semua sebagai konsumen. Dari situ, kita perlu mulai memikirkan bentuk baru dari serikat pekerja – bukan sekadar serikat konsumen, tapi serikat pekerja-konsumen. Artinya, kita harus mengubah cara pandang bahwa konsumsi hanyalah tindakan pasif. Justru, konsumsi di era digital ini adalah bentuk kerja yang memproduksi nilai, meskipun tak diakui dan tak dibayar. Karena itu, penting untuk mendorong agar undang-undang ketenagakerjaan mengakui bahwa aktivitas konsumsi digital – seperti menggunakan Instagram, TikTok, atau platform digital lainnya—adalah bagian dari proses produksi yang melibatkan kerja tak berbayar. Jika pengakuan ini tercapai, maka hubungan industrial bisa diperluas hingga mencakup para pengguna platform tersebut. Lebih jauh, kita perlu membayangkan skenario di mana, jika perusahaan-perusahaan ini tidak mampu membayar kontribusi para pengguna, ada kemungkinan bagi konsumen untuk mengambil alih kepemilikan, entah melalui koperasi, kepemilikan bersama, atau model serupa. Jadi, pergeseran konsumsi menjadi produksi menuntut kita untuk membangun imajinasi baru soal bagaimana berserikat dan memperjuangkan hak-hak kita di era digital ini.


CHP: Gagasanmu mengingatkan saya pada salah satu program politik yang muncul saat Revolusi Prancis 1848, yaitu mengenai hak atas pekerjaan (right to work). Pada masa itu, konsepnya adalah setiap orang yang bekerja berhak mendapatkan upah, sementara mereka yang tidak bekerja tetap menerima pendapatan, meskipun jumlahnya lebih kecil. Jika kita lihat hari ini, gagasan itu terasa relevan kembali, terutama dalam konteks ekonomi digital, di mana konsumen tampak tidak bekerja, tetapi sebenarnya tetap terlibat dalam proses produksi melalui aktivitas konsumsi mereka. Dengan kata lain, konsumen di era sekarang sebetulnya ikut menciptakan nilai, meskipun tidak diakui secara formal sebagai pekerja. Karena itu, muncul pertanyaan penting: mungkinkah mereka dimasukkan ke dalam kategori pekerja tertentu dan memperoleh hak-hak yang layak atas kontribusi mereka? Apakah skema semacam ini bisa diwujudkan?

HYP: Aku setuju dengan gagasan “hak atas pekerjaan”, tapi menurutku konsep itu masih menitikberatkan pada soal memasukkan kerja ke dalam sektor formal. Fokusnya lebih pada “pekerjaan” sebagai status, bukan pada “upah” atau kompensasi atas kerja yang dilakukan. Padahal, yang lebih relevan dalam konteks sekarang adalah menyoroti soal upah itu sendiri. Ini sejalan dengan tuntutan yang pernah disuarakan oleh para feminis dalam gerakan Wages for Housework. Mereka menyoroti bagaimana kerja-kerja rumah tangga selama ini dianggap tidak produktif karena tidak menghasilkan nilai lebih secara langsung, sehingga tidak dihargai sebagai kerja yang layak dibayar. Meski banyak yang menganggap tuntutan mereka sekadar argumen moral, sebenarnya inti dari perjuangan mereka – seperti yang disampaikan oleh tokoh-tokohnya, semisal Sylvia Federici, Leopoldina Fortunati, dan Mariarosa Dalla Costa – adalah bahwa kerja-kerja rumah tangga turut menghasilkan nilai lebih (surplus value).

Memang, argumen mereka masih bisa diperdebatkan, dan aku sendiri belum sepenuhnya sependapat karena mereka menganggap kontribusi kerja reproduktif ini sifatnya tidak langsung. Tapi, jika kita kaitkan dengan kondisi hari ini, kita bisa melihat bahwa kerja konsumsi di era digital bahkan melampaui kerja rumah tangga, karena kontribusi kita sebagai konsumen secara langsung memproduksi nilai lebih — bukan lagi secara tidak langsung. Jadi, ini adalah babak baru dari eksploitasi kerja yang tidak diakui, bahkan lebih tersembunyi daripada kerja-kerja reproduktif tradisional. Karena itu, perlu ada upaya serius untuk mengorganisir bentuk kerja semacam ini, di samping PR besar kita yang masih tertinggal dalam mengorganisir sektor-sektor kerja formal dan tradisional. Mungkin saja, ruang seperti IndoPROGRESS bisa mengambil peran dalam mendorong agenda ini.


CHP: Tapi kamu belum menjelaskan tentang kenapa penting bagi serikat pekerja baik di sektor digital maupun tradisional untuk merebut negara di era teknofeodalisme yang bukan tidak mungkin akan semakin dominan nantinya.

HYP: Kembali ke argumen saya sebelumnya soal alibi. Pada akhirnya, sebesar apa pun gelembung ekonomi (bubble economy) yang terbentuk, tetap saja ia membutuhkan fondasi ekonomi riil sebagai penyangga atau pembenaran. Terlebih jika kita melihat dari kacamata makroekonomi, bubble tidak akan bisa berdiri sendiri tanpa adanya sirkulasi ekonomi riil, dan sirkulasi itu hanya mungkin terjadi lewat aktivitas perdagangan, dalam hal ini konsumsi.

Karena itu, ketika kita bicara soal merebut kontrol atas negara, yang paling masuk akal dan strategis adalah dengan mensosialisasi alat produksi di sektor ekonomi riil. Sementara untuk sektor finansial, perjuangan untuk merebutnya masih jauh dan membutuhkan proses panjang. Maka, langkah yang lebih konkret saat ini adalah mulai dari sektor riil, melalui penguatan serikat pekerja. Inilah kenapa saya melihat pentingnya teman-teman tetap mendorong pengorganisiran serikat pekerja di sektor riil, walaupun kontribusi sektor ini terhadap ekonomi saat ini mungkin relatif kecil. Justru dari situ kita bisa membangun basis politik yang solid untuk memulai proses proletarianisasi bagi kawan-kawan pekerja yang selama ini lebih dekat pada posisi lumpenproletariat — yakni kelompok yang meskipun bekerja, tetapi tidak terhubung dengan relasi produksi formal yang memungkinkan mereka memiliki posisi tawar. Kita tahu, secara historis, lumpenproletariat jarang menjadi kekuatan progresif, bahkan sering kali mudah terkooptasi oleh kekuatan kanan. Karena itu, penting untuk menarik mereka masuk ke dalam relasi kerja yang jelas, di mana mereka mendapatkan upah, dan dari situ kita bisa mulai memisahkan upah tersebut dari mekanisme kapitalisasi. Dengan begitu, kita membuka ruang bagi mereka untuk mulai memiliki kesadaran progresif.

Meski sebelumnya aku menyebut pentingnya mengorganisir pekerja konsumsi, secara realistis aku pesimis bahwa hal itu bisa langsung dilakukan dalam waktu dekat. Karena itu, perlu ada kekuatan pendorong — semacam vanguard — yang tidak hanya bergerak di sektor manufaktur, tetapi juga mampu menjangkau dan membuka jalan bagi pekerja konsumsi. Bagi saya, saat ini belum ada jalan lain selain memulai dari proses proletarianisasi sektor-sektor kerja tradisional, untuk kemudian memimpin pergeseran menuju pengorganisiran serikat pekerja konsumsi di masa depan.


Wawancara ini adalah transkripsi yang dilakukan oleh Nandito Oktaviano dari program “Wawancara” kanal Youtube IndoPROGRESS TV.

]]>
Intan Suwandi: Neoliberalisme, Seperti Bentuk-bentuk Kapitalisme Lainnya, Bersifat Imperialistik https://indoprogress.com/2025/03/intan-suwandi-neoliberalisme/ Mon, 17 Mar 2025 09:19:41 +0000 https://indoprogress.com/?p=238846

Ilustrasi: @illinoisstateu


SETELAH cukup lama hanya menjadi bahan studi segelintir akademisi, topik imperialisme kini kembali menjadi perbincangan luas dan mendalam, baik di lingkungan akademia, media massa/sosial, dan kalangan aktivis. Perkembangan pesat ekonomi Cina, krisis kapitalisme yang dipicu oleh krisis finansial pada 2008, struktur pembagian kerja internasional yang semakin timpang, kebangkitan kembali gerakan kanan-jauh, dan serangan Pandemi Covid-19 yang mematikan, serta perlawanan-perlawanan yang terjadi di Utara (Global North) maupun Selatan (Global South), menjadi alasan mengapa studi dan perbincangan tentang imperialisme dan neoliberalisme kembali bergairah.

Dalam semangat itulah Candaş Ayan dan Ulaş Taştekin berbincang dengan Intan Suwandi, asisten profesor sosiologi di Illinois State University, Amerika Serikat, dan penulis buku Value Chains: The New Economic Imperialism (Monthly Review Press, 2019).


Candaş Ayan & Ulaş Taştekin (CA & UT): Dalam bukunya yang berjudul Imperialism: From the Colonial Age to the Present yang ditulis pada 1978, Harry Magdoff, berdasarkan teori imperialisme Lenin, membuat perbedaan antara imperialisme lama (old imperialism) dan imperialisme baru (new imperialism). Magdoff berpendapat bahwa imperialisme lama, yang mengindikasikan proses penciptaan dan perampasan tenaga kerja secara langsung di daerah jajahan, telah digantikan oleh imperialisme baru, yang bergantung pada diferensiasi barang dan jasa yang dihasilkan di negara-negara inti (core) dan pinggiran (periphery) dengan menciptakan pembagian kerja internasional, sehingga menghasilkan “nilai lebih” (surplus value) atau “nilai tambah” (value-added) di negara-negara inti.

Sejalan dengan pandangan Magdoff, Anda juga menekankan bahwa nilai lebih ekonomi yang signifikan yang diciptakan di Selatan dimasukkan sebagai “nilai tambah” pada PDB Utara; namun hal ini seharusnya dipahami sebagai “nilai yang dirampas” melalui imperialisme akhir (late imperialism) itu sendiri. Mempertimbangkan bahwa sudah empat dekade berlalu dan banyak perubahan yang terjadi terkait kedua definisi tersebut, hubungan berkelanjutan apa yang bisa diklaim antara bentuk baru imperialisme saat ini dan bentuk lamanya? Dapatkah dikatakan bahwa hubungan imperialis seperti pembagian kerja global, triadisasi, trinitas yang tidak suci, yang termasuk dalam definisi imperialisme abad ke-20, telah berevolusi ke dalam bentuk yang berbeda?

Intan Suwandi (IS): Harry Magdoff melihat imperialisme sebagai sesuatu yang terus berkembang sepanjang sejarah dan berakar pada logika kapitalisme. Dalam Imperialism: From the Colonial Age to the Present, ia dengan cermat dan cemerlang menjelaskan bagaimana karakteristik imperialisme berubah dalam kaitannya dengan hubungan kolonial antara negara-negara inti dan pinggiran. Penekanan pada pembagian kerja internasional terutama digunakan untuk menjelaskan karakteristik ekspansi Eropa setelah kebangkitan industri pasca-Revolusi Industri tahun 1870-an. Pada masa itu, koloni-koloni berfungsi terutama sebagai pemasok bahan mentah untuk industri yang sedang berkembang pesat di Eropa Barat, serta sebagai sumber bahan makanan yang dibutuhkan untuk populasi perkotaan yang terus berkembang yang terkait dengan industri-industri ini. Selain itu, koloni-koloni ini juga berfungsi sebagai pasar baru untuk komoditas yang diproduksi di Eropa. Bahkan setelah dekolonisasi, negara-negara inti (atau pusat-pusat metropolitan) tetap berusaha mempertahankan hubungan imperialis dengan daerah pinggiran untuk mengendalikan pasokan bahan baku dan semua peluang perdagangan dan investasi, baik melalui cara-cara langsung maupun tidak langsung—sebuah aspek penting dari ketergantungan. Magdoff juga menyoroti kapitalisme monopoli dan kebangkitan perusahaan-perusahaan raksasa (multinasional) pada tahun 1960-an sebagai komponen penting dari karakteristik imperialisme yang terus berkembang.

Banyak proses yang serupa masih dapat ditemukan hingga saat ini. Contoh yang jelas adalah kasus imperialisme AS baru-baru ini di Amerika Latin, seperti yang terjadi di Bolivia. Perdagangan internasional dan lembaga-lembaga keuangan seperti IMF, Bank Dunia, dan WTO, yang sebagian besar dikendalikan oleh Utara, terus memainkan peran penting dalam melanggengkan hubungan imperialis antara Selatan dan Utara.

Sebagai ilustrasi, kebijakan penyesuaian struktural (structural adjustment policies) yang terkenal kejam masih diterapkan dan terus melanggengkan penghisapan utang bagi negara-negara Selatan, meskipun namanya telah diubah menjadi program “pengentasan kemiskinan/poverty reduction).” Program-program ini, antara lain, memaksa negara-negara untuk memprivatisasi sektor publik dan menerapkan langkah-langkah penghematan. Mereka dipaksa untuk memotong anggaran di sektor-sektor penting seperti kesehatan dan pendidikan sehingga mereka dapat mengalihkan anggaran tersebut untuk pembayaran utang. Akibat dari kebijakan semacam ini, populasi yang paling rentan menjadi yang paling menderita. Sumber daya dasar, seperti air bersih dan layanan kesehatan, semakin tidak terjangkau oleh masyarakat miskin. Ketika akses terhadap barang dan jasa publik diserahkan kepada mekanisme pasar, maka ketimpangan sosial dan ekonomi akan semakin meningkat.

Lebih lanjut, ketika situasi seperti pandemi Covid-19 terjadi, Anda dapat melihat di mana letak prioritas dari lembaga-lembaga tersebut. Dalam sambutannya pada pertemuan virtual para menteri keuangan G20 pada bulan Maret 2020, Presiden Grup Bank Dunia, David Malpass, menekankan bahwa negara-negara, dalam upaya mereka untuk pulih dari dampak pandemi, perlu “mendukung sektor swasta dan melawan gangguan pasar keuangan.” Ia juga menekankan pentingnya “reformasi struktural.” Menurutnya, Bank Dunia akan bekerja sama dengan negara-negara yang “memiliki peraturan, subsidi, rezim perizinan, proteksi perdagangan yang berlebihan,” untuk memastikan bahwa mereka dapat “menumbuhkan pasar, pilihan, dan prospek pertumbuhan yang lebih cepat selama masa pemulihan.” Tentu saja, hal ini tidak ada hubungannya dengan penanganan pandemi. Apa yang dikemukakannya itu semuanya berkaitan dengan perluasan jangkauan globalisasi neoliberal, yang terutama menguntungkan negara-negara kaya, dan merugikan negara-negara miskin.

Namun, sejalan dengan pendekatan yang diusung oleh Magdoff, kita perlu mengakui bagaimana imperialisme telah berevolusi selama empat puluh tahun terakhir, dengan perubahan dalam ekonomi global yang sebagian dipengaruhi oleh perkembangan teknologi, terutama teknologi informasi. Perubahan-perubahan ini, termasuk pola-pola yang terkait dengan produksi global, seperti peningkatan arus investasi asing langsung ke Selatan dan, baru-baru ini, peningkatan kontrak-kontrak yang tidak terikat. Dalam konteks ini, perusahaan-perusahaan multinasional yang bermarkas di Utara (kebanyakan masih dalam Triad, dengan beberapa pengecualian di “negara-negara industri maju” di Asia Timur) terlibat dalam produksi yang dialihdayakan ke pemasok luar negeri, dan finansialisasi. Rantai komoditas global (global commodity chains) kini menjadi lebih kompleks, dengan setiap perusahaan multinasional memiliki ribuan, bahkan jutaan, pemasok di seluruh dunia. Dengan sebagian besar proses produksi terjadi di Selatan, menjadikan Selatan sebagai rumah bagi populasi tenaga kerja industri dunia yang besar dan terus bertambah.

Dengan perkembangan tersebut, pembagian kerja global telah mengalami perubahan signifikan. Sebelumnya, wilayah Selatan berfungsi sebagai pemasok bahan mentah, terutama dalam sektor industri ekstraktif atau pertanian, sementara area utama produksi bernilai tambah dan lapangan kerja yang terkait dengan manufaktur berada di wilayah Utara. Saat ini, meskipun beberapa pola pembagian kerja tradisional ini masih ada—terutama dalam konteks produk produk pertanian yang hanya dapat tumbuh di daerah beriklim sedang, seperti yang ditunjukkan oleh Utsa Patnaik dan Prabhat Patnaik dalam buku mereka A Theory of Imperialism—peran Selatan dalam lapangan kerja industri telah meningkat secara drastis.

Saat ini kita memiliki perusahaan-perusahaan yang berlokasi di Utara seperti Apple atau Nike, yang produknya, termasuk komponen-komponen perantaranya, seluruhnya atau hampir seluruhnya diproduksi di Selatan. Bahkan perusahaan-perusahaan yang secara tradisional beroperasi melalui anak perusahaan mereka sendiri untuk produksi di luar negeri, seperti Volkswagen atau General Motors, kini telah mengalihdayakan produksi mereka melalui kontrak jarak jauh (arm’s length contracts), yang melibatkan jaringan produksi yang luas di banyak negara.

Di sinilah muncul konsep atau ide tentang “menangkap atau mengamankan nilai/capturing value”. Pemahaman neoklasik mengenai “nilai tambah”, yang mengaitkan “nilai tambah” (yaitu nilai surplus yang dihasilkan dalam produksi) dengan perusahaan-perusahaan di pusat ekonomi dunia, meskipun lapangan kerja dan produksi berlangsung di negara-negara Selatan, mencerminkan kontradiksi mendasar dari imperialisme akhir. Argumen mengenai penangkapan nilai ini telah diajukan sebelumnya oleh ekonom politik marxis John Smith, dalam bukunya Imperialism in the Twenty-First Century, dan juga dikaji dalam karya saya sendiri. Saat ini, produksi sebagian besar terjadi di Selatan, di mana tingkat eksploitasi lebih tinggi karena biaya tenaga kerja per unit yang rendah—ukuran yang memperhitungkan upah dan produktivitas tenaga kerja—di banyak negara di Selatan yang telah menjadi pusat produksi, terutama dalam hal perakitan. Nilai tenaga kerja yang dihasilkan oleh produksi “ditangkap” dan tidak terdaftar sebagai berasal dari Selatan, akibat asimetri dalam hubungan kekuasaan, di mana perusahaan-perusahaan multinasional oligopoli berperan sebagai saluran utama.

Intinya adalah, meskipun terjadi perubahan signifikan, kita harus ingat bahwa imperialisme telah menyertai perkembangan kapitalisme sejak awal. Ketika kita berbicara tentang imperialisme kapitalis—sebuah sistem ekonomi dunia yang hirarkis dan tidak setara, yang didominasi oleh oligopoli raksasa dan segelintir negara di inti imperialisme—imperialisme ini memiliki karakteristiknya sendiri. Seperti yang dijelaskan Magdoff, berbeda dengan moda produksi sebelumnya, seperti pada zaman kuno, di mana imperialisme adalah tentang ekspansi ke wilayah geografis lain dan penarikan upeti, imperialisme kapitalis dicirikan oleh proses di mana wilayah yang didominasi, yaitu Selatan, diubah, diadaptasi, dan dimanipulasi untuk memenuhi kebutuhan akumulasi kapital di pusat. 

Seperti yang saya jelaskan dalam buku Values Chains, meskipun hubungan pasar secara keseluruhan di negara berkembang juga mengalami transformasi, perubahan di tingkat perusahaan sering kali terjadi tanpa hubungan organik yang nyata, atau logika yang berasal dari negara berkembang, dan dapat dengan mudah dibongkar dan dihilangkan. Hal ini, kemudian, menciptakan ilusi pembangunan dan produksi yang maju di negara-negara ini, yang tetap berada dalam kondisi ketergantungan. Dengan produksi jarak jauh (arm’s length production), bahkan lebih dari investasi asing langsung tradisional, apa yang diproduksi hanyalah bagian dari mata rantai nilai global, di mana titik-titik produksi tertentu ditentukan dan dikendalikan secara digital dari luar negeri. Seluruh sistem produksi dirancang untuk menjadi sangat mobile dan dapat dengan cepat dipindahkan ke tempat lain jika biaya tenaga kerja meningkat secara signifikan. Hal ini secara garis besar menjelaskan karakteristik imperialis dari ekonomi dunia saat ini.


CA & UT: Internasionalisasi kapital bukanlah sebuah fenomena baru. Namun, seperti yang juga Anda kemukakan, gelombang baru globalisasi yang dimulai pada tahun 1970-an mungkin memiliki karakteristik yang berbeda. Apa saja aspek-aspek yang membedakan ini, atau bagaimana kita dapat membandingkan dan membedakan apa yang disebut sebagai periode neoliberal dengan masa lalu kapitalisme imperialis?

IS: Saya merasa telah menjawab sebagian besar pertanyaan yang diajukan sebelumnya di atas. Namun, perlu ditambahkan di sini bahwa produksi global yang saya bahas, yang dimulai pada tahun 1970-an di tengah stagnasi ekonomi, kemudian diiringi dengan runtuhnya Uni Soviet. Hal ini juga melibatkan integrasi tenaga kerja dari negara-negara bekas sosialis seperti Cina dan negara-negara yang sebelumnya proteksionis seperti India ke dalam ekonomi dunia. Proses ini menghasilkan perluasan tenaga kerja global dan tentara cadangannya di Selatan. Selain itu, seperti yang dikatakan oleh Farshad Araghi, de-petani-sasi (depeasantization) yang dipicu oleh penyebaran agribisnis yang masif di Selatan, sebagian dilakukan untuk membongkar “negara kesejahteraan agraria” yang berfungsi dalam 25 tahun pertama setelah Perang Dunia Kedua, sebagai upaya untuk melawan penyebaran gerakan sosialis dan nasionalis yang berbasis petani. Struktur baru ekonomi dunia ini kemudian mengarah pada fenomena yang dikenal dalam literatur bisnis sebagai arbitrase tenaga kerja global (global labour arbitrage), yang berarti menggantikan tenaga kerja berupah tinggi dengan tenaga kerja berupah rendah secara global.

Kapital melihat ini sebagai “taktik bertahan hidup yang mendesak (urgent survival tactic)” bagi perusahaan, di mana mereka berusaha menurunkan biaya produksi, sebagian untuk mengatasi ketidakmampuannya dalam melakukan pemotongan harga akibat kapitalisme monopoli. Namun pada intinya, ini adalah cara bagi kapital untuk mengejar keuntungan yang lebih tinggi. Fakta bahwa kapital dapat bergerak relatif lebih bebas dibandingkan dengan tenaga kerja (yang sebagian besar masih dibatasi oleh berbagai kebijakan, seperti kebijakan imigrasi) memungkinkan kapital untuk mengambil keuntungan dari perbedaan besar dalam biaya tenaga kerja secara global melalui proses, yang saya sebutkan sebelumnya, seperti investasi asing langsung dan kontrak jarak jauh.

Fenomena ini sebenarnya berakar pada ketimpangan hubungan kekuasaan antara kapital dan tenaga kerja serta di antara negara-bangsa yang sering kali tersembunyi. Teori-teori arus utama tentang rantai komoditas global justru menyoroti kompleksitas rantai tersebut untuk mendorong argumen desentralisasi kekuasaan. Para ahli teori dan akademisi ini berargumen bahwa karena rantai komoditas global melibatkan banyak pelaku di berbagai negara, kekuasaan tidak lagi terkonsentrasi di puncak dan rantai tersebut, sebagian besar, tidak bersifat hierarkis. Perusahaan-perusahaan yang kurang kuat di negara-negara berkembang dapat mengalami “peningkatan” dan memperbaiki posisi mereka, yang pada gilirannya dapat mendorong pertumbuhan di negara-negara tersebut.

Gagasan tentang desentralisasi kekuasaan ini sering kali memperhitungkan jaringan yang lebih “digerakkan oleh pembeli”, yang dicirikan oleh kontrak-kontrak yang telah menjadi aspek penting dalam rantai komoditas global. Antara tahun 2010 hingga 2014, menurut Bank Dunia, tingkat pertumbuhan perdagangan jarak jauh (the growth rate of arm’s length trading) tumbuh pada tingkat 6,6%, lebih tinggi dibandingkan dengan pertumbuhan ekonomi global yang sebesar (4,4%). Selain itu, laporan UNCTAD mengungkapkan bahwa pada tahun 2010 saja, perdagangan jarak jauh menghasilkan penjualan sebesar US$2 triliun.

Namun, kita perlu mempertanyakan argumen ini. Apakah benar bahwa jaringan produksi yang tersebar benar-benar mengarah pada desentralisasi kekuasaan? Ini adalah salah satu pertanyaan yang saya ajukan dalam penelitian saya sendiri. Sebagai langkah awal, pendekatan kritis dan radikal sebelumnya, seperti yang dilakukan oleh ekonom Stephen Hymer, menunjukkan bahwa “perusahaan-perusahaan utama” dalam rantai komoditas global (dalam banyak kasus, ini berarti perusahaan multinasional) mengelola jaringan antar-perusahaan tersebut dalam struktur tata kelola yang berbeda-beda. Jauh dari mencerminkan desentralisasi kontrol atas produksi (dan valorisasi) seperti yang sering diasumsikan, jaringan “tersebar” yang terkait dengan moda produksi non-ekuitas baru pada akhirnya diatur oleh kantor pusat keuangan yang terpusat dari perusahaan-perusahaan raksasa yang mereka layani, yang mempertahankan monopoli atas teknologi informasi dan pasar serta mendapatkan porsi yang lebih besar dari nilai tambah.

Studi kasus yang saya lakukan juga menunjukkan bahwa meskipun melalui kontrak jarak jauh, perusahaan multinasional masih dapat mengendalikan sebagian besar aktivitas dalam rantai pasok mereka, baik secara langsung melalui anak perusahaan mereka yang berada di negara yang sama dengan pemasok, maupun secara tidak langsung melalui berbagai prosedur birokrasi dan proses-proses yang terlibat dalam apa yang dikenal dengan “produksi fleksibel”. Intinya, perusahaan multinasional berusaha untuk mengeksternalisasi biaya dengan, misalnya, memberikan tanggung jawab kepada pemasok mereka untuk menangani skenario berisiko, seperti ketidakakuratan perkiraan yang disebabkan oleh fluktuasi permintaan pasar dan pengelolaan limbah.

Kembali ke pertanyaan sebelumnya, rantai komoditas global di masa neoliberal ini sering dipandang sebagai semacam sistem meritokrasi yang terlepas dari hubungan imperialis karena kompleksitasnya. Namun, setelah ditelaah lebih lanjut, pandangan ini tidaklah benar. Melalui rantai komoditas global saat ini dan cara kerja ekonomi dunia, kapital Utara yang mewujud dalam perusahaan-perusahaan multinasional, bersama dengan aparatus negara dan antek-anteknya seperti Tritunggal Mahakudus, memiliki kekuatan untuk merestrukturisasi ekonomi di negara-negara Selatan demi memenuhi kebutuhan kekuatan imperialis inti. Seperti yang dijelaskan oleh Jason Hickel, jika negara-negara di Selatan berani melawan, mereka tahu bahwa konsekuensinya bisa fatal; mereka harus siap menghadapi berbagai kemungkinan, mulai dari sanksi ekonomi hingga intervensi militer.


CA & UT: Dalam literatur saat ini, hegemoni konsep neoliberalisme begitu kuat sehingga digunakan untuk mendefinisikan kapitalisme kontemporer itu sendiri. Dalam hal ini, apakah menurut Anda konseptualisasi neoliberalisme atau globalisasi neoliberal telah berubah menjadi sarana untuk menggantikan konsep imperialisme? Ketika Anda melihat diskusi-diskusi tersebut dari sudut pandang Anda sendiri, menurut Anda, hubungan seperti apa yang ada antara neoliberalisme dan imperialisme? Apakah mungkin untuk mengklaim bahwa ada dikotomi atau timbal balik antara neoliberalisme dan imperialisme?

IS: Jika seseorang mengasosiasikan globalisasi neoliberal dengan “dunia yang datar/flat world” ala Thomas Friedman atau dengan bidang meritokrasi di mana kekuasaan terdesentralisasi dan perusahaan serta negara dapat “memanjat tangga” untuk menjadi lebih baik, maka menurut saya hal tersebut bermasalah. John Bellamy Foster menjelaskan bahwa globalisasi produksi yang terjadi dalam imperialisme akhir telah menghasilkan kapitalisme monopoli yang digeneralisasikan, seperti yang diteorikan oleh para pemikir marxis seperti Magdoff, Paul Baran, Paul Sweezy, dan Samir Amin. Dengan mempertimbangkan aspek-aspek ini, jelas bahwa neoliberalisme, seperti bentuk-bentuk kapitalisme lainnya, bersifat imperialistik. Hal yang sama juga berlaku untuk globalisasi neoliberal. Terlepas dari karakteristiknya yang berubah, tujuan globalisasi tetap sama, seperti yang ditulis oleh Amin: untuk mengontrol perluasan pasar, menjarah sumber daya alam, dan mengeksploitasi cadangan tenaga kerja di wilayah pinggiran.


CA & UT: Selama empat dekade terakhir, telah terjadi perubahan besar dalam distribusi spasial produksi dan pembagian kerja global. Setelah krisis pada tahun 1970-an, sebagian besar negara pinggiran, yang sebelumnya menerapkan model industrialisasi substitusi impor (ISI) yang berorientasi ke dalam, mulai beralih ke strategi yang lebih terbuka dan terintegrasi ke dalam sistem kapitalisme global, yang menekankan pada pertumbuhan yang dipimpin oleh ekspor (export-led growth). Akibatnya, bagian-bagian konstituen dari ekonomi dunia mulai berintegrasi dengan pasar internasional. Ada keyakinan bahwa ekonomi semi-periferal dan periferal akan berkembang dan menyatu dengan ekonomi inti dalam hal kemakmuran dan tingkat industrialisasi.

Para pendukung posisi ini selalu mendukung rantai produksi dengan alasan bahwa hal ini membawa investasi asing dan peningkatan industri di daerah pinggiran, bersama dengan penciptaan lapangan kerja baru, peningkatan produktivitas, dan pengentasan kemiskinan. Namun, kenyataan tidak selalu sesuai dengan harapan tersebut. Dari sudut pandang penelitian Anda, bagaimana kita dapat menilai perbedaan antara harapan dan kenyataan ini?

IS: Seperti yang telah saya sebutkan di atas, kenyataannya tidak sejalan dengan argumen-argumen arus utama yang sering diajukan. Pertama-tama, tidak mungkin untuk mengevaluasi organisasi rantai komoditas global saat ini tanpa memperhitungkan sejarah panjang kolonialisme dan imperialisme, di mana kekuatan-kekuatan imperialis menjadi kaya dan berkuasa melalui eksploitasi dan penjarahan yang dilakukan terhadap daerah jajahan selama berabad-abad. Proses yang, pada dasarnya, membuat negara-negara Selatan terbelakang. Mengklaim bahwa negara-negara di Selatan dapat mengejar ketertinggalan mereka melalui, misalnya, peningkatan industri, tampaknya mengabaikan fakta tersebut.

Lebih jauh lagi, seperti yang ditulis Magdoff, meskipun tanpa koloni formal, hubungan imperialis tetap berlangsung, melanggengkan ketergantungan dan memungkinkan kekuatan imperialis untuk kembali mengendalikan bekas koloninya. Investasi asing langsung (foreign direct investment/FDI)—yang menjadi signifikan terutama setelah Perang Dunia Kedua—berfungsi sebagai sarana bagi kekuatan imperialis untuk menembus pasar luar negeri dan memungkinkan kapital mereka bersaing secara langsung di pasar-pasar ini, bukan hanya melalui ekspor. Di era produksi global, baik FDI maupun kontrak-kontrak jarak jauh adalah sarana bagi kapital untuk meningkatkan margin keuntungan melalui berbagai mekanisme, termasuk eksploitasi tenaga kerja, pemanfaatan zona-zona pemrosesan ekspor serta berbagai keuntungan yang terkait dan penjarahan sumber daya alam. Bagi negara-negara Selatan, menjadi “kompetitif” dalam menarik investasi asing berarti mereka harus mampu menawarkan upah rendah dan tenaga kerja yang “patuh”, “stabilitas politik” (yang berarti minimnya protes dan demonstrasi), pengecualian pajak, peraturan lingkungan yang longgar, dan masih banyak lagi.

Beberapa kelompok, seperti borjuasi nasional dan oligarki politik, akan diuntungkan dari situasi ini, tetapi kelas pekerja, termasuk pekerja industri dan informal, petani dan produsen kecil, serta kaum miskin kota, tidak mungkin merasakan manfaat yang berarti bahkan mungkin akan semakin menderita akibat tenaga kerja mereka dieksploitasi dan tanah mereka dirampas. Jadi, meskipun ekonomi mungkin tumbuh dengan cepat di beberapa negara di Selatan karena integrasi mereka ke dalam ekonomi kapitalis global—faktanya, untuk sebagian besar negara BRIICS (Brasil, Rusia, India, Indonesia, Cina, dan Afrika Selatan), pertumbuhan ekonomi selama satu dekade terakhir ternyata jauh lebih lambat dari yang diperkirakan secara optimis—pertumbuhan tersebut hanya mungkin terjadi dengan merugikan dan menciptakan kesengsaraan bagi sebagian besar penduduknya.

Arbitrase tenaga kerja global sendiri merupakan bentuk pertukaran yang tidak setara, di mana perusahaan multinasional pada dasarnya memperoleh lebih banyak tenaga kerja dengan harga yang lebih murah dan meraup keuntungan besar dari tenaga kerja berbiaya rendah di negara-negara Selatan. Sementara itu kelebihan surplus yang dihasilkan sering kali secara keliru dikaitkan dengan aktivitas ekonomi yang “inovatif”, finansial, dan ekstraktif nilai yang terjadi di negara Utara. Arbitrase tenaga kerja global adalah upaya untuk melakukan valorisasi, yaitu strategi untuk mengurangi biaya tenaga kerja yang diperlukan secara sosial dan memaksimalkan perolehan nilai lebih. Strategi ini mengeruk lebih banyak dari para pekerja melalui berbagai cara, termasuk lingkungan kerja yang represif di pabrik-pabrik di ekonomi pinggiran, pelarangan serikat pekerja yang dilakukan oleh negara, dan sistem kuota atau kerja borongan.

Inilah strategi “pengurasan” yang terjadi dari Selatan ke Utara, di mana surplus ekonomi disedot keluar tanpa memberikan keuntungan yang diharapkan; dan tenaga kerja adalah bagian dari kisah pertukaran yang tidak setara, bersama dengan aspek-aspek lain seperti energi, tanah, dan bahan baku. Jadi, sekali lagi, meskipun ada kisah sukses beberapa negara industri (“negara berkembang”) di Asia Timur, sebagian besar populasi Selatan tidak mendapatkan manfaat dari industrialisasi yang lahir dari integrasi negara mereka ke dalam ekonomi dunia. Kita tidak melihat industrialisasi yang berdaulat dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan rakyat, melainkan bentuk pembangunan yang bergantung yang dirancang untuk memenuhi kebutuhan kapital yang terlibat dalam akumulasi tanpa henti demi kemakmuran segelintir orang.


CA & UT: Khususnya setelah krisis 2008, metafora neo-feodalisme mulai digunakan untuk menggambarkan bentuk baru yang telah ditransformasikan oleh neoliberalisme dan, oleh karena itu, sistem kapitalisme. Dalam konseptualisasi ini, terungkap bahwa, seperti yang diuraikan dalam pertanyaan sebelumnya, posisi negara-bangsa dalam sistem kapitalis telah berangsur-angsur melemah, bahkan dalam perannya sebagai mediator dalam proses perampasan nilai lebih. Perusahaan-perusahaan multinasional telah mengeliminasi peran negara-bangsa dengan membangun rantai pasok mereka sendiri dan mulai berproduksi di lahan-lahan yang telah mereka beli di negara-negara pinggiran. Fakta bahwa perusahaan-perusahaan multinasional yang memiliki kemungkinan kontrol seperti itu di negara-negara Selatan, kini memiliki kekuatan untuk menentukan upah di wilayah-wilayah ini telah membuka pintu bagi klaim bahwa sistem ini telah berevolusi menjadi jenis feodalisme baru. Ini adalah situasi yang Anda dan Foster klaim sebagai perampasan nilai-lebih yang dilakukan oleh perusahaan multinasional dengan cara yang tidak terkendali di tanah-tanah yang telah dibeli.

Terdapat juga contoh di mana perusahaan-perusahaan semacam itu mempekerjakan polisi mereka sendiri dan memperoleh perangkat pemaksaan ekstra-ekonomi (seperti yang dilakukan perusahaan Renaissance Construction di Rusia, yang mencegah pekerja konstruksinya melakukan pemogokan dengan bantuan AMON/SORB), sehingga menambah dimensi baru dalam perdebatan tentang neo-feodalisme. Di sisi lain, posisi ini juga mengaitkan peran penting pada munculnya kedaulatan yang terfragmentasi, dan tuan-tuan dan petani-petani baru dalam memahami dunia saat ini. Anda memiliki pertimbangan tertentu mengenai hubungan antara desentralisasi proses produksi dan sentralisasi kekuasaan? Dalam konteks ini, bisakah Anda mengevaluasi perdebatan tentang neo-feodalisme dan hubungan perdebatan ini dengan imperialisme era neoliberal dari kerangka kerja yang Anda lihat?

IS: Apakah yang Anda maksud dengan pertanyaan ini adalah bahwa korporasi modern, seperti layaknya penguasa feodal, bertindak secara independen tanpa memperhatikan struktur negara? Saya tidak terlalu familier dengan perdebatan tentang neo-feodalisme, jadi saya tidak akan membahasnya lebih jauh di sini. Namun, saya pikir ada perbedaan mendasar antara feodalisme yang dipahami secara umum dan sistem sosial produksi kapitalisme. Saya tidak setuju jika dikatakan bahwa perusahaan multinasional modern bertindak seperti penguasa feodal. Dalam masyarakat feodal, kekuatan ekonomi dan politik tidak dipisahkan, melainkan terwujud dalam diri penguasa atau raja ketika ada struktur negara.

Dalam kapitalisme saat ini, lebih tepat jika dikatakan bahwa kekuatan korporasi telah menyusup ke dalam negara hingga tingkat yang belum pernah terjadi sebelumnya (seperti yang terlihat dalam praktik lobi yang ekstensif, seringnya orang yang sangat kaya memegang jabatan politik, dan seterusnya), tetapi masih ada negara dan memiliki kekuatan yang sangat besar, bahkan terhadap kapital tertentu, jika mereka ingin melakukannya.

Perbedaan lainnya adalah bahwa penguasa atau raja feodal memiliki kewajiban tertentu—meskipun tidak selalu dipatuhi—yang bersifat pribadi terhadap mereka yang berada di bawahnya. Di Eropa, misalnya, melanggar kewajiban-kewajiban ini adalah sebuah dosa, seperti halnya meminjamkan uang dengan bunga adalah dosa. Saat ini, meskipun kapital mungkin agak kebal dari peraturan negara, sama sekali tidak ada rasa kewajiban feodal. Selain itu, dalam kapitalisme modern, tidak ada perusahaan seperti East India Company atau the Dutch East India Company yang dapat memerintah seluruh bangsa.

Selain itu, ketika pekerja atau petani melakukan perlawanan, biasanya aparat militer negara yang menyerang mereka. Dalam beberapa kasus, perusahaan (seperti agribisnis) atau pemilik pabrik dapat menyewa kelompok paramiliter atau menggunakan penjaga keamanan pribadi mereka untuk melukai hingga membunuh buruh atau petani yang memprotes dan menolak untuk meninggalkan tanah mereka. Terkadang, mereka meminta kerja sama negara untuk mengerahkan militer di suatu wilayah guna memastikan bahwa industri ekstraktif yang sangat eksploitatif dapat beroperasi tanpa hambatan. Namun, bukan berarti kapital memiliki kemampuan atau kekuatan yang setara dengan negara.

Bahkan dalam hal upah, kapital Utara dapat, misalnya, menekan negara-negara di Selatan untuk menurunkan upah mereka melalui mekanisme yang terbatas. Misalnya, melalui cara kerja lembaga keuangan internasional dan program penyesuaian struktural mereka, atau dengan menekan negara-negara ini untuk tetap “kompetitif” dalam ekonomi dunia jika mereka ingin melihat investasi asing mengalir masuk. Namun, pada akhirnya, negara tetap memainkan peran utama dalam mengendalikan upah, dan negara juga yang merepresi gerakan buruh yang menuntut upah lebih tinggi. Jadi, sekali lagi, saya pikir ini lebih tentang bagaimana kapital dan negara saling berhubungan, dan karakteristiknya tidak sama dengan masyarakat feodal.

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.


CA & UT: Dalam konteks imperialisme akhir, para pemilik kapital di Selatan juga memainkan peran kunci dalam proses ini. Sebagai imbalannya, mereka mendapatkan banyak keuntungan; mereka juga memiliki kesempatan untuk melakukan investasi di luar negeri. Dalam beberapa kasus, hal ini memicu perdebatan sub-imperialisme atau perdebatan lain mengenai kemampuan atau fungsi pemilik kapital lokal. Apa yang dapat dikatakan dalam hal ini?

IS: Kapital Selatan memang memainkan peran penting. Dalam konteks imperialisme akhir (late imperialism), yaitu imperialisme arbitrase tenaga kerja global di bawah naungan kapital monopoli yang digeneralisasikan, para kapitalis di Selatan mendapatkan keuntungan dari proyek-proyek bisnis yang dimungkinkan oleh integrasi negara mereka (atau negara-negara lain di Selatan) ke dalam rantai komoditas global. Beberapa dari mereka adalah pemilik agribisnis; lainnya memiliki pabrik, tambang, dan sebagainya. Hal ini terkait dengan kapital komprador lama, namun dalam skala yang jauh lebih besar dalam konteks globalisasi. Kelompok ini sering kali terdiri dari segelintir orang, di mana beberapa di antaranya masih disebut sebagai “oligarki” di beberapa negara di Selatan. Mereka memiliki hubungan erat dengan para elite politik dan bertujuan untuk mendukung kebijakan-kebijakan neoliberal yang akan memfasilitasi proses-proses yang terkait dengan investasi asing, perampasan tanah, ekstraksi sumber daya alam, dan mekanisme-mekanisme lain yang terkait.

Saya akan memberikan contoh dari sektor manufaktur, karena ini merupakan fokus penelitian saya. Di negara-negara dengan kekuatan dan kekayaan yang kecil, para kapitalis ini umumnya berperan sebagai konglomerat lokal yang, misalnya, memiliki bisnis yang memproduksi merek-merek lokal untuk pasar lokal, dan dalam skala lebih kecil di pasar luar negeri (biasanya di negara-negara tetangga), atau para kapitalis yang terkait dengan perusahaan-perusahaan multinasional di dalam rantai komoditas global. Mereka memiliki bisnis lokal yang bertujuan memasok perusahaan multinasional yang berkantor pusat di Utara. Dalam kasus terakhir ini, para kapitalis ini berperan sebagai “perantara” antara tenaga kerja lokal dan perusahaan multinasional. Meskipun mereka tetap kapitalis yang mengatur dan mengontrol proses kerja para pekerjanya—sering kali sesuai permintaan klien multinasionalnya—dan dengan demikian secara aktif terlibat dalam eksploitasi, kekuatan mereka cukup terbatas dalam hal keterlibatannya dalam rantai komoditas global.

Para pemasok Indonesia yang saya teliti termasuk dalam kelompok ini. Awalnya, mereka mengklaim bangga menjadi perusahaan “berteknologi tinggi” yang melayani segmen pasar yang khusus, tetapi setelah ditelusuri lebih lanjut, mereka menyadari bahwa mereka hanya memenuhi permintaan klien multinasional. Teknologi sebagian besar dikendalikan oleh klien, tidak ada ruang untuk inovasi, dan mereka harus bersedia mengubah proses produksi mereka untuk memenuhi permintaan klien yang terus berubah. Mereka diharuskan menunjukkan rincian struktur biaya, sering kali sebagai persyaratan dalam mengikuti tender, dan klien multinasional dapat menentukan berapa margin keuntungan mereka.

Ada banyak mekanisme lain yang terlibat di sini yang menunjukkan bahwa perusahaan multinasional sangat dominan, bahkan dalam jaringan yang disebut tersebar yang didominasi oleh kontrak yang panjang. Jadi, dalam kasus-kasus seperti ini, kecil kemungkinannya ada diskusi yang luas mengenai apakah Indonesia dapat menjadi pemain besar berikutnya dalam rantai komoditas global, dengan potensi untuk menggantikan negara-negara dalam Triad sebagai kekuatan imperialis baru, atau untuk bersaing dengan “macan-macan Asia”. Ini tentu saja tidak mengabaikan fakta bahwa Indonesia terlibat dalam tindakan imperialis di Papua Barat, namun hal ini membutuhkan diskusi tersendiri, dan kasus ini juga melibatkan peran kapital Utara di wilayah tersebut.

Situasinya mungkin akan lebih rumit ketika kita berbicara tentang negara-negara seperti Korea Selatan atau “macan-macan” lainnya, seperti Hong Kong dan Taiwan. Diskusi tentang “pertumbuhan ajaib” mereka tentu saja membutuhkan analisis kritis, tetapi yang dapat kita buktikan adalah bahwa para kapitalis dari negara-negara ini telah mengembangkan bisnis mereka untuk sementara waktu dan mereka, misalnya, memiliki pabrik di negara-negara Asia Tenggara, termasuk Indonesia, untuk memasok perusahaan-perusahaan multinasional yang bermarkas di Triad. Foxconn, salah satu pemasok terbesar untuk Apple, adalah perusahaan Taiwan meskipun pabriknya berlokasi di Cina. Ini berarti bahwa para kapitalis ini terlibat dalam eksploitasi tenaga kerja di negara lain (sering kali mencakup kasus-kasus ekstrem dan praktik-praktik yang kejam), perampasan sumber daya, namun mereka juga masih menjadi pemasok yang bergantung pada rantai komoditas global. Klien multinasional mereka masih mendapatkan keuntungan terbesar dari pengaturan ini, tetapi tentu ada variasi dalam hubungan kekuasaan yang begitu kompleks.

Menariknya, ketika membahas sub-imperialisme, negara yang dimaksud biasanya adalah Cina, yang pada tahun 2014 (tahun terakhir yang tersedia dalam data yang digunakan dalam buku saya) memiliki biaya tenaga kerja satuannya sebesar 46 persen dari tingkat AS. Ada perdebatan mengenai apakah Cina telah menjadi sub-imperialis, atau sedang dalam proses menjadi kekuatan imperialis baru, terutama terkait dengan investasi dan proyek-proyeknya di beberapa wilayah di Asia dan Afrika. Beberapa pihak berpendapat bahwa eksploitasi kapitalis di luar negeri tidak selalu mengarah ke jalur imperialis, sementara yang lain tidak setuju. Andy Higginbottom, yang menulis untuk blog Review of African Political Economy, menunjukkan bahwa sepuluh besar negara dengan Penanaman Modal Asing (PMA) pertambangan di Afrika masih didominasi oleh perusahaan-perusahaan pertambangan yang berbasis di Triad, dengan Amerika Serikat, Inggris, dan Prancis berada di tiga besar. Saya tidak dapat membahas lebih jauh tentang perdebatan ini di sini, tetapi ada beberapa hal menarik yang perlu dipertimbangkan dari diskusi ini.

Cina tentu saja merupakan kasus khusus—ekonomi terbesar kedua di dunia, tetapi masih bisa dianggap miskin jika dilihat dari pendapatan per kapitanya; sebuah negara yang, mengutip John Bellamy Foster, “tidak sepenuhnya kapitalis dan tidak sepenuhnya sosialis” dalam perkembangan pasca-revolusinya. Tidak ada jawaban sederhana untuk menjawab pertanyaan ke mana arah Cina. Foster berpendapat, dan saya setuju dengan penilaiannya, bahwa banyak hal yang “masih tergantung pada apakah Cina di masa depan akan mengedepankan pendekatan horizontal atau hirarkis-imperialis dalam berhubungan dengan negara-negara di Selatan.” Setidaknya untuk saat ini, kita tidak boleh terjebak dalam narasi Perang Dingin baru yang telah dikobarkan oleh Amerika Serikat ketika membahas Cina. Penting untuk dipertimbangkan bahwa, terlepas dari apakah sub-imperialisme itu “sesuatu” atau tidak, keberadaannya tidak akan meniadakan hubungan imperialis yang ada dalam ekonomi dunia.


CA & UT: Pandemi Covid-19 dapat dianggap telah memengaruhi hubungan imperialis di era neoliberal dalam berbagai cara, sekaligus menciptakan peluang untuk memperbarui dan memperdalam hubungan eksploitasi imperialis dari perspektif yang berbeda. Seperti yang telah Anda tekankan sebelumnya, pandemi ini telah menyebabkan rantai pasokan perusahaan multinasional terputus secara signifikan, yang mengakibatkan produksi yang menciptakan “nilai tambah” di banyak sektor terganggu atau bahkan terhenti. Dalam konteks neoliberal, perusahaan-perusahaan multinasional yang telah mengurangi biaya penyimpanan dengan meniadakan kegiatan ini belum mampu mengatasi penurunan mendadak dalam permintaan konsumsi di beberapa sektor, dan tetap pasif dengan tidak memenuhi pesanan di beberapa sektor yang berbeda.

Akibatnya, seperti yang Anda sebutkan, perusahaan multinasional yang tidak menyadari titik-titik di mana rantai pasokan mereka di negara-negara pinggiran terpengaruh, telah terjebak dalam semacam perlombaan untuk mengatur kembali rantai pasokan mereka selama pandemi Covid-19. Jika kebangkrutan akibat gangguan rantai pasokan terjadi, bagaimana dampaknya terhadap proses ketenagakerjaan di negara-negara Selatan?Apakah kemungkinan ini dapat memicu perubahan radikal dalam bentuk imperialisme akhir di era pasca-Covid-19? Selain itu, Anda menggarisbawahi bahwa Cina adalah pemberhentian terakhir di mana banyak dari rantai pasokan ini berputar. Dalam konteks ini, dapatkah kita berargumen bahwa imperialisme akhir akan bubar di dunia setelah Covid-19 dan Cina akan memulai hegemoninya dengan proposal sistem yang baru? Atau haruskah kita mengharapkan Cina untuk memulihkan dan mempertahankan bentuk imperialisme akhir ini dan bangkit sebagai kekuatan hegemonik bersamaan dengan itu?

IS: Ketika Pandemi Covid-19 dimulai, dengan adanya lockdown dan pembatasan sosial yang meluas, gangguan pada rantai pasokan merupakan konsekuensi yang tak terhindarkan. Seluruh sistem produksi global sangat terganggu, sehingga oleh beberapa kalangan, Pandemi Covid-19 dijuluki sebagai “krisis rantai pasokan global pertama”. Ditambah dengan faktor-faktor lain, seperti kompleksitas rantai komoditas global dan pemanfaatan produksi yang fleksibel dan tepat waktu, ketergantungan yang besar pada negara-negara dengan biaya tenaga kerja yang rendah, terutama Cina, sebagai simpul penting dalam rantai komoditas global, berkontribusi pada memburuknya “efek banteng” yang disebabkan oleh pandemi.

Penguncian dan penghentian aktivitas produksi di Cina sendiri menyebabkan gangguan besar dalam rantai komoditas global, terutama terkait dengan komoditas (atau bagian dari komoditas) yang diproduksi atau dirakit di Cina, serta bahan baku yang diperoleh dari negara tersebut. Perusahaan-perusahaan yang berbasis di AS yang bergantung pada pemasok Cina untuk merakit produk akhir mereka jelas mengalami kesulitan sejak awal pandemi, tetapi gangguan tersebut juga berdampak pada semua pihak di sepanjang rantai komoditas. Sebagai contoh, Cina adalah mitra dagang terbesar Indonesia, dan sekitar 20 hingga 50 persen bahan baku industri Indonesia berasal dari Cina. Contoh lain, Vietnam, yang juga menjadi tujuan manufaktur atau perakitan bagi perusahaan multinasional, mengalami masalah ketika pasokan bahan baku atau suku cadang setengah jadi dari Cina terhenti akibat pandemi. Tentu saja Cina dapat memulihkan produksinya dengan cukup cepat karena penanganan Covid-19 yang efektif. Namun demikian, kerentanan sistem terungkap. Perusahaan multinasional biasanya memiliki beberapa strategi untuk mengantisipasi masalah seperti ini, dengan bekerja sama dengan beberapa pemasok dari wilayah yang sama yang melakukan perakitan atau yang memproduksi suku cadang perantara yang sama, tetapi ketika pandemi seperti ini terjadi, strategi tersebut ternyata tidak memadai.

Pandemi ini, tentu saja, telah memengaruhi seluruh perekonomian dunia, sehingga menyebabkan gangguan rantai pasokan di berbagai tempat. Di satu sisi, pekerja di Global South sebagian besar terkena dampaknya, yang dalam banyak hal mirip dengan pekerja di Global North yang berupah rendah dan rentan: banyak yang kehilangan pekerjaan karena PHK atau penutupan pabrik, sementara yang masih bekerja harus mempertaruhkan nyawanya setiap hari, terutama di tempat kerja yang tidak memiliki langkah-langkah perlindungan yang memadai terhadap virus. Pekerja yang berada di posisi rentan, seperti pekerja temporer dan informal, bahkan lebih menderita. Di negara-negara yang sistem perawatan kesehatannya sudah buruk, pandemi ini berarti bahwa mereka yang tidak mampu membayar perawatan yang mahal akan dibiarkan mati.

Di sisi lain, tampaknya ada semacam optimisme di beberapa negara di Selatan terkait keinginan mereka untuk menggantikan Cina dalam rantai komoditas global. Pandemi, ditambah dengan perang dagang yang diprakarsai oleh pemerintahan Trump, telah mendorong banyak perusahaan multinasional untuk secara serius mempertimbangkan untuk memindahkan produksi mereka ke luar dari Cina (dan berusaha untuk mendiversifikasi kelompok pemasok mereka secara umum). Hal ini telah menarik perhatian dari negara-negara seperti India dan Malaysia, misalnya.

Ada laporan berita yang menyebutkan bahwa negara-negara ini berusaha keras untuk menarik investor dengan menawarkan insentif atau mempromosikan potensi mereka. Di Malaysia, ada optimisme bahwa negara ini dapat menjadi pusat industri baru untuk manufaktur elektronik atau industri otomatis kelas atas. Negara ini melihat perang dagang AS-Cina sebagai peluang untuk memulihkan kekayaan mereka yang hilang di tahun 1990-an, ketika banyak perusahaan multinasional meninggalkan Malaysia ke Cina setelah membangun pabrik elektronik di Penang. Dengan mempromosikan “infrastruktur yang lebih baik” dibandingkan dengan negara-negara tetangga di Asia Tenggara, Malaysia telah menarik investasi baru. Dalam sepuluh bulan pertama tahun 2019, Penang mendapatkan investasi asing sebesar US$2,94 miliar, meningkat 456 persen dari tahun sebelumnya.

Di India, pemerintah berencana untuk menawarkan insentif senilai US$23 miliar guna menarik perusahaan-perusahaan untuk mendirikan pabrik di negara ini, termasuk pabrik mobil, panel surya, dan baja khusus. Awal tahun ini, pemerintah menyetujui insentif sekitar US$5,3 juta untuk manufaktur ponsel lokal-sektor yang sangat berharga bagi India—sebagai bagian dari inisiatif “Made in India” yang telah ditetapkan, serta US$900 ribu untuk manufaktur komponen elektronik. Ravi Shankar Prasad, Menteri Telekomunikasi dan TI India, menyatakan bahwa dana ini akan mendorong “investasi di segmen elektronik yang penting sekaligus memosisikan India sebagai pusat manufaktur global.” Dua lusin perusahaan, termasuk Samsung dan Foxconn, berencana untuk mendirikan pabrik-pabrik ponsel di India, dengan total investasi mencapai US$1,5 miliar.

Selain itu, perusahaan-perusahaan multinasional juga mulai memikirkan kembali komitmen mereka pada produksi yang tepat waktu dan fleksibel. Namun semua ini tidak akan berjalan mulus. Di sisi Selatan, akan ada pertanyaan mengenai apakah negara tersebut memiliki infrastruktur yang memadai untuk mendukung industri berskala besar. Yang paling penting, saya percaya kapital global tidak akan rela meninggalkan faktor-faktor yang membuat akumulasi profit tetap berlangsung, seperti komitmen untuk mencari biaya tenaga kerja yang rendah dan kemampuan untuk menghindari berbagai tanggung jawab—baik tentang kondisi kerja dan kesejahteraan pekerja, pelestarian lingkungan, maupun dalam menangani pemborosan tenaga kerja dan material ketika terjadi kesalahan dalam perhitungan. Kapital global akan lebih memilih untuk mencari solusi yang masih mengikuti logika yang sama.

Mungkin dalam jangka panjang, kapital global akan berusaha melakukan restrukturisasi ekonomi dunia demi keuntungan mereka sekali lagi. Mungkin peran Cina dalam rantai komoditas global juga akan berubah. Kita tidak tahu. Perang Dingin Baru yang dilancarkan oleh AS terhadap Cina merupakan faktor yang signifikan. Ada kemungkinan bahwa pengucilan paksa Cina dari ekonomi dunia akan memicu beberapa perubahan dalam dinamika kekuatan, tetapi sejauh mana perubahan tersebut terjadi, saya tidak dapat memprediksi. Yang bisa kita yakini adalah bahwa apa pun perubahan yang mungkin terjadi—jika dilakukan untuk melayani kepentingan kapital Utara—tidak akan menghasilkan penurunan radikal dalam ketidaksetaraan global dan berakhirnya imperialisme.

Saya percaya hanya solidaritas internasional itulah yang dapat menghapuskan imperialisme. Akan sangat baik jika kita bisa membangun suatu bentuk kerja sama Selatan-Selatan dalam semangat Konferensi Bandung, dan kerja sama tersebut haruslah berkomitmen penuh pada cita-cita sosialis. Tetapi apa pun bentuk gerakannya, gerakan ini harus melibatkan dan menempatkan kelas buruh (dalam arti luas, tidak hanya terbatas pada buruh industri) di garis depan gerakan. Kita tidak dapat bergantung pada arahan satu negara atau kepemimpinan beberapa orang. Saya telah mengatakan hal ini dalam buku saya, dan saya akan mengatakannya lagi di sini: Saya setuju dengan Michael Yates, yang menulis bahwa “mereka yang paling menderita—buruh dan petani di Selatan, minoritas di Utara, perempuan kelas pekerja di semua tempat—akan memimpin perjuangan atau mereka akan gagal.”


CA & UT: Kondisi ketenagakerjaan saat ini memberikan gambaran yang buruk bagi para pekerja, terutama di negara-negara Selatan. Bahkan “perang melawan virus” telah membebani kelas pekerja. Di beberapa negara tertentu, kami juga menemukan kebangkitan melawan penindasan. Apa evaluasi, proyeksi, atau prediksi Anda mengenai reaksi melawan eksploitasi imperialis, gerakan kelas pekerja di Selatan, dan gerakan sosial dalam arti luas?

IS: Elemen-elemen kelas buruh, terutama yang berada di Selatan, telah lama terlibat dalam perlawanan terhadap bentuk-bentuk dan akibat-akibat imperialisme. Mereka mempertahankan tanah mereka, melawan eksploitasi, menghadapi kapital dan aparatus negara yang paling menindas dan kejam terhadap mereka. Pabrik-pabrik telah diduduki oleh para buruh di Argentina, dan tanah-tanah telah diambil kembali oleh para petani di Brasil. Masyarakat adat di seluruh dunia tanpa henti melakukan perlawanan terhadap perampasan dan penindasan. Semua ini tidak berhenti bahkan di masa dan sesudah pandemi. Para pekerja terus mogok, para petani terus melakukan protes, dan mereka semua berorganisasi. Dalam banyak kasus, ukuran protes semacam itu sangat besar, menunjukkan bagaimana masyarakat tidak menyerah pada penindasan.

Rakyat Bolivia baru-baru ini telah memenangkan sebuah pertempuran penting melawan imperialisme AS. Saya pikir contoh-contoh ini saja sudah menunjukkan bahwa gerakan kelas buruh di Selatan akan terus berkembang. Selalu ada pekerjaan rumah-pertanyaan tentang strategi, tentang cara-cara membangun solidaritas yang kuat, tentang membangun hubungan dengan sekutu-sekutu di Utara, dan seterusnya. Namun, ide dasarnya tetap sama: kita harus memutus rantai penindasan, termasuk organisasi rantai komoditas global saat ini. Kita harus terus berpikir tentang bagaimana membangun jaringan produksi dan distribusi kita sendiri – mungkin dimulai dari wilayah lokal. Pengetahuannya ada di sana, dan kita sudah cukup kuat untuk melawan. Jadi, di masa krisis ini, mari kita gunakan ini sebagai kesempatan untuk menggerakkan dunia ke arah yang berbeda.


Daftar Pustaka

Magdoff (1978). Imperialism: From to Colonial Age to the Present, New York: Monthly Review Press.

B. Foster dan I. Suwandi (2020 COVID-19 and Catastrophe Capitalism: Commodity Chains and Ecological-Epidemiological-Economic Crises. Monthly Review72(2), 1-20.

Suwandi, I. (2019). Value Chains: The New Economic Imperialism. New York: Monthly Review Press

J. Dean (2020). Neofeudalism: The End of Capitalism?, Los Angeles Review of Books.


Artikel wawancara ini pertama kali diterbitkan di Textum pada 20 Februari 2021, dengan judul asli Neoliberalism and Imperialism: Interview with Intan Suwandi, diterbitkan ulang di sini untuk tujuan pendidikan dan membantu pembangunan gerakan progresif anti-imperialisme di Indonesia.

]]>
Dari Libertarian Fasis hingga Kristen Zionis: Lingkaran Imperialis Trump https://indoprogress.com/2025/03/lingkaran-imperialis-trump/ Wed, 05 Mar 2025 16:41:20 +0000 https://indoprogress.com/?p=238832

Ilustrasi: Monthly Review


GAGASAN Nasionalis Konservatif Kristen Kulit Putih (NCWCA), yang secara agresif dipromosikan oleh Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump, telah mengejutkan Eropa dalam beberapa waktu terakhir. Di luar AS, banyak pihak mempertanyakan faktor-faktor internal yang mendorong dinamika ini: Apa ketegangan dalam kelas penguasa AS yang menyebabkan perubahan ini? Bagaimana transformasi dalam basis dan suprastruktur di AS? Apa konsekuensi ideologis dan politik jangka panjang terhadap kebijakan luar negeri AS? Dan yang tak kalah penting, bagaimana sebaiknya negara-negara di Dunia Ketiga merespons perkembangan ini?

Berikut adalah ringkasan untuk membantu menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut. Kami akan memulai dengan menganalisis kekuatan-kekuatan yang mengelilingi kepresidenan AS dan lembaga keamanan nasionalnya. Selanjutnya, kami memeriksa beberapa dampak yang mungkin terjadi pada kebijakan luar negeri.


Kubu Trump pada pertengahan Februari 2025

Kubu Trump sedang melakukan serangan yang sangat terencana terhadap elemen-elemen kunci dari aparatus negara AS (termasuk USAID yang kini secara eksplisit telah terpapar dan tertekan) serta menunjukkan sikap yang memandang rendah para elite Eropa.

Saat ini, Trump didukung oleh pasukan think tank MAGA di belakangnya. America First Policy Institute (AFPI) dan Center for Renewing America (CRA) mendominasi perencanaan sebelum pelantikan dan agenda “Trump 47”, yang merupakan rencana Trump untuk masa kepresidenannya yang kedua. Russel Vought, Brooke Rollins, dan kepala kebijakan Trump, Stephen Miller, semuanya bergabung dalam pemerintahan Trump jilid dua. CRA dan AFPI mengadvokasi penggunaan kekuasaan eksekutif yang jauh lebih agresif untuk membersihkan birokrasi.

Agenda baru ini jauh lebih efektif dibandingkan dengan proposal Heritage Foundation yang lama, yang perannya sudah tidak digunakan lagi. Trump bahkan menjauhkan diri dari Proyek 25, sebuah rencana berbahaya untuk melenyapkan lawan-lawan kebijakan luar negeri AS.  Esensi dari MAGA dan Trump adalah nasionalisme dengan karakteristik Kristen kulit putih yang konservatif.

Kubu Trump (yang terdiri dari pemerintahan resmi dan kelompok influencer serta penasihat informalnya) mencakup beberapa faksi yang terkadang tumpang tindih, masing-masing dengan kebijakan dan kontradiksinya sendiri. Seperti yang ditunjukkan oleh pidato Wakil Presiden James David Vance di Munich, kelompok ini yang sangat ideologis, meskipun Trump sendiri cenderung kurang ideologis. Susie Wiles, Kepala Staf Gedung Putih, adalah seorang operator Partai Republik yang efektif, berpengalaman, sayap kanan, dan tepercaya, yang berperang penting dalam memastikan bahwa Trump 2 jauh lebih terorganisir daripada Trump 1.

Dari empat puluh anggota inti kubu Trump yang kami analisis, sembilan di antaranya (Stephen Bannon, Robert F. Kennedy Jr., Pete Hegseth, Charlie Kirk, Elise Stefanik, Doug Collins, Marco Rubio, J.D. Vance, dan Pam Bondi) secara terbuka menyatakan dukungannya terhadap zionisme Kristen. Enam lainnya memiliki afiliasi atau keberpihakan secara umum terhadap tujuan-tujuan zionisme Kristen, yakni Donald Trump, Kristi Noem, Michael Waltz, Nigel Farage, Russel Vought, dan Tulsi Gabbard. Semua anggota ini saat ini tunduk pada kehendak Trump.

Meskipun Trump kini memegang kendali kemudi, MAGA adalah “gerakan” yang lebih luas dan beragam, mencakup suara yang pro-tentara, anti-pembangunan, anti-kebudayaan, anti-intelektual, nasionalis, dan anti-imigrasi. Beberapa retorika yang muncul terkadang bersifat anti-intervensi AS dan anti-“deep-state”, uakni jaringan atau kelompok dalam pemerintahan—terutama lembaga keamanan, militer, intelijen, dan birokrasi—yang beroperasi di luar kendali pemerintah resmi atau pemimpin terpilih.

Anggota kepemimpinan Kristen evangelis di kubu Trump, termasuk Pete Hegseth, Stephen Miller, dan Charlie Kirk, adalah kelompok yang berbeda namun tertanam dalam faksi lain dan tidak sepenuhnya berdiri sendiri. Beberapa pemimpin gerakan evangelis, termasuk mantan Wapres Mike Pence, telah dikecualikan dari Trump 2.

Fokus ideologi Trump 2 telah bergeser ke penghancuran birokrasi federal atau “negara administratif”. Serangan ini terus ditujukan kepada lembaga intelijen dan pertahanan, yang diberi label “deep-state” pada era Trump 1. Namun, kali ini, serangan tersebut dibenarkan secara ideologis dengan menggunakan istilah “pemborosan ekonomi”.

Inti dari negara keamanan nasional permanen AS hingga kini belum dapat mengendalikan arah harian pemerintahan Trump. Ketidaksesuaian ideologis di dalam kubu Trump mengingatkan pada salah satu pernyataan terkenal Marx bahwa negara kapitalis adalah kumpulan saudara yang saling bertikai. Meskipun demikian, di bawah kepemimpinan Trump, kelompok ini telah berhasil melancarkan serangan yang terorganisir dan mengungguli lawan-lawan mereka di kalangan elite penguasa AS, setidaknya untuk saat ini.

Selalu terdapat risiko ketika mengklasifikasikan daftar anggota individu dari suatu pemerintahan, sehingga Anda mungkin melewatkan Weltanschauung (pandangan dunia). Terdapat tiga seksi kapital yang merupakan kekuatan utama di balik gerakan sayap kanan. Saat ini, Silicon Valley sedang berupaya untuk menjadi pemimpin kompleks industri militer (military-industrial complex). Amazon, Palantir, Microsoft, Google, Anduril, SpaceX, OpenAI, dan Anthropic PBC adalah pemasok untuk militer AS. Sebagian besar memandang Cina sebagai hambatan dan ancaman utama mereka.

Ekuitas swasta sekarang berfokus pada unicorn teknologi, yang lebih tepat disebut sebagai monopoli dan duopoli dalam sektor teknologi. Mereka berada di titik temu antara militer, teknologi, dan keuangan. Seksi kapital minyak dan gas perlu mengatasi ancaman energi terbarukan dan mempertahankan posisi monopolinya. Sementara seksi lain dari kapital, pada umumnya, tetap pasif. Ada 13 miliarder dan beberapa jutawan dalam pemerintahan, banyak di antaranya berasal dari tiga kelompok di atas.

Seperti dalam semua gerakan fasis, kontradiksi internal yang signifikan di kalangan neofasis di AS adalah antara kaum kapitalis dan basis kelas menengah ke bawah, yaitu gerakan MAGA. Berikut ini adalah gambaran mengenai faksi-faksi dalam kubu Trump, termasuk beberapa tokoh kuncinya.

Pada pertengahan Februari 2025, terdapat delapan faksi dalam kubu, yang terdiri dari:

  1. Libertarian Rasialis Kulit Putih Teknologi;
  2. Nasionalis dan Paleo-konservatif AS;
  3. Loyalis MAGA & Trump;
  4. Pembangun Koalisi Kanan-Jauh Global ;
  5. Realis Sayap Kanan;
  6. Para Begawan Anti-Regulasi dan Reaganite Pro-Bisnis ;
  7. Brigade yang sangat anti-Tiongkok dan anti-Komunis; dan, 
  8. Maverick Politik yang digunakan untuk memperluas basis Trump dan melemahkan Partai Demokrat.

Kaum Libertarian Rasialis Kulit Putih

Kelompok ini berusaha menguasai bagian inti dari negara untuk meningkatkan upaya mereka untuk mengendalikan teknologi utama seperti AI dan Crypto. Berikut adalah beberapa tokoh kunci yang terlibat. Tiga tokoh pertama berasal dari mafia Paypal dan memiliki pengalaman serta koneksi masa kecil yang terkait dengan masa apartheid di Afrika Selatan/Namibia. Tokoh-tokoh kunci tersebut adalah:

Peter Thiel (penasihat teknologi dan Keamanan Nasional, Ketua Palantir): seorang miliarder teknologi yang memiliki pengaruh strategis secara geopolitik. Saat ini, ia memimpin bagian berbasis teknologi dari kompleks industri militer. Thiel mendukung pemerintahan yang berfokus pada pengawasan dan konsep “pasca-demokrasi”. Ia menyatakan, “Saya tidak lagi percaya bahwa kebebasan dan demokrasi itu saling menguatkan.” 6 pandangan rasialisnya terbentuk selama masa kecil ketika ayahnya adalah seorang pengusaha di Namibia yang menganut sistem apartheid.

Elon Musk (secara de facto menjabat sebagai Kepala Departemen Efisiensi Pemerintah/DOGE): Orientasinya adalah oligarkis, nasionalis, zionis, libertarian, dan transhumanis. Bagi Musk, transhumanisme berarti masa depan di mana AI dan manusia bersatu. Tumbuh dalam keluarga ultra-kanan di era apartheid Afrika Selatan, membentuk pandangan rasialis kulit putih dan simpati terhadap Nazi. Ia adalah cucu dari seorang Nazi yang sebenarnya, dan penghormatan ala Nazi yang dilakukannya dengan penuh permintaan maaf dianggap sebagai kegembiraan. 

David Sacks (tsar mata uang kripto).

Marc Andreessen (menggambarkan diri sebagai “pekerja magang DOGE yang tidak dibayar”): Mendukung tekno-otoritarianisme atau pemerintahan teknokratis korporat. Pada tahun 2016, ia mengatakan, “Anti-kolonialisme telah menjadi bencana ekonomi bagi rakyat India selama beberapa dekade. Mengapa harus berhenti sekarang?”

Kaum Nasionalis dan Paleo-konservatif AS

Pendukung kedaulatan nasional, proteksionisme ekonomi, dan kebijakan luar negeri yang “terkendali”. Tokoh-tokoh yang terkenal adalah:

* J. D. Vance (Wakil Presiden): Anak didik Peter Thiel.

* Stephen Miller (penasihat senior).

* Tucker Carlson (pemengaruh): Pemimpin sayap kanan anti-imperialis, suara yang paling konsisten menentang intervensi asing dan bersimpati pada Putin.

* Michael Anton (Wakil Menteri Luar Negeri untuk Analisis Kebijakan): Mungkin yang paling cerdas dari para intelektual sayap kanan. Ia mendukung caesarisme di AS. Anton terkenal dekat dengan Vance.

* Michael Waltz (penasihat Keamanan Nasional).

* Rand Paul (penasihat kebijakan luar negeri): Seorang tokoh marjinal.

Loyalis MAGA & Trump

Kelompok ini ditandai dengan dukungan yang tak tergoyahkan untuk agenda-agenda Trump. Faksi ini menekankan loyalitas dan keselarasan dengan visinya. Anggota-anggota yang menonjol termasuk:

* Pete Hegseth (Menteri Pertahanan): Seorang zionis Kristen ekstrem yang terobsesi untuk menghapus DEI dari militer.

* Pam Bondi (Jaksa Agung).

* Charlie Kirk (pendiri dan Presiden Turning Point USA [TPUSA]): TPUSA adalah organisasi konservatif terkemuka yang didedikasikan untuk melibatkan kaum muda dalam mempromosikan pasar bebas dan pemerintahan yang terbatas.

* Lori Chavez-DeRemer (Menteri Tenaga Kerja).

* Sean Duffy (Sekretaris Transportasi).

* Doug Collins (Sekretaris Urusan Veteran).

* Kristi Noem (Menteri Keamanan Dalam Negeri).

* Elise Stefanik (Duta Besar AS untuk PBB).

Pembangun Koalisi Kanan-Jauh Global

Faksi ini berusaha mengembangkan, mendukung, dan menyelaraskan gerakan-gerakan sayap kanan secara global, membina jaringan ultra-nasionalis transnasional yang permanen. Tokoh-tokoh terkemukanya antara lain:

*Steve Bannon (Kepala Ahli Strategi, operator dunia Trump yang tidak resmi): Penghubung ideologis utama antara trumpisme dan para pemimpin sayap kanan global seperti Jair Bolsonaro (Brasil), Javier Milei (Argentina), Marie Le Pen (Prancis), dan Victor Orbán (Hungaria). Bannon mencap dirinya sebagai pendukung “hak budaya” untuk kelas pekerja tetapi tidak konsisten pada populisme ekonomi, terkadang menyerukan pajak yang lebih tinggi pada orang kaya. Anti-Cina, tetapi itu bukan permainan utamanya, karena yang terpenting baginya adalah membangun gerakan sayap kanan global yang langgeng.

* Nigel Farage (penasihat utusan Eropa, pemimpin Reform UK): Dia adalah tokoh kunci dalam koordinasi sayap kanan trans-Atlantik, terutama di Inggris dan Uni Eropa. Pengaruhnya di dalam kubu Trump masih belum pasti.

Kaum Realis Sayap Kanan

Kelompok ini menolak pandangan orang-orang seperti John Bolton, yang dipandang Trump sebagai seorang hawkish, yakni mereka yang cenderung mendukung penggunaan kekuatan militer ketimbang diplomasi atau negosiasi dalam kebijakan luar negeri. Sementara kaum realis sayap kanan dikenal sebagai “pengekang” dan menolak ekspansionisme yang berlebihan. Mereka percaya pada realisme optimis yang diekspresikan dalam gagasan bahwa Iran harus dikekang, bukan diserang, dan bahkan Iran yang memiliki nuklir bukanlah ancaman bagi Israel atau AS karena Iran hanya memiliki kemampuan bertahan. Anggota-anggotanya meliputi:

* Elbridge Colby (Wakil Menteri Pertahanan untuk Kebijakan): Menganjurkan pengurangan kehadiran militer AS di Timur Tengah dan Eropa untuk memprioritaskan Teater Indo-Pasifik dan menahan Cina. Ia adalah putra William Colby, mantan Direktur CIA di bawah pemerintahan Nixon dan Ford.

* John Ratcliffe (Direktur CIA): Skeptis terhadap badan intelijen.

* Michael DiMino (Wakil Asisten Menteri Pertahanan untuk Timur Tengah): Dia percaya bahwa Timur Tengah tidak terlalu penting bagi AS. Ia berpendapat bahwa upaya apa pun untuk membasmi Hamas dari Gaza adalah tindakan bodoh

* Steve Witkoff (Miliarder real estate yang dekat dengan Trump): Utusan untuk pembicaraan Gaza dan Ukraina.

Para Begawan Reagan yang Pro-Bisnis dan Anti Regulasi

Tokoh-tokoh kuncinya antara lain:

* Scott Bessent (Menteri Keuangan).

* Russell Vought (Direktur Kantor Manajemen dan Anggaran): Dia terdengar seperti John Bircher tradisional (ultra kanan dari tahun 1960-an). Dia percaya bahwa Partai Demokrat adalah komunis. 

* Chris Wright (Menteri Energi): CEO, Liberty Oilfield Services.

* Doug Burgum (Menteri Dalam Negeri).

* Brooke Rollins (Menteri Pertanian).

* Howard Lutnick (Menteri Perdagangan).

* Lee Zeldin (Administrator EPA).

Brigade yang sangat anti-Cina dan anti-komunis

Kelompok ini menunjukkan perilaku konspiratif seperti sekte dan dikenal karena semangat ideologisnya yang ekstrem; melihat semua masalah internasional melalui lensa anti-komunis. Mereka melihat Cina tidak hanya sebagai saingan geopolitik tetapi juga musuh ideologis yang eksistensial, dan percaya bahwa Cina mendalangi hampir semua ancaman besar terhadap kekuatan AS. Mereka juga mempertahankan permusuhan gaya Perang Dingin terhadap Venezuela, Kuba, dan rezim sayap kiri lainnya, tetapi memprioritaskan Cina sebagai medan pertempuran utama. Tokoh-tokoh terkemukanya, misalnya:

* Peter Thiel (lihat kelompok 1): Dia sangat anti-komunis dan berpendapat bahwa perusahaan-perusahaan teknologi AS yang bekerja sama dengan Cina melakukan pengkhianatan dan telah mempromosikan strategi pemisahan diri yang ekstrem.

* Marco Rubio (Menteri Luar Negeri): Tidak dapat menegaskan garisnya, yang sangat anti-Venezuela, Kuba, dan Cina. Sekarang memainkan peran sebagai penengah dalam pemerintahan. Dengan lemah lembut mencoba melindungi USAID namun gagal.

* Landon Heid (Asisten Menteri Perdagangan untuk Administrasi Ekspor): Mengawasi kontrol ekspor untuk membatasi akses Cina ke teknologi AS.

* Peter Navarro (penasihat senior untuk perdagangan dan manufaktur): Bukunya yang berjudul Death by China membantu membentuk sikap anti-Tiongkok Trump 1

* Jamieson Greer (perwakilan dagang AS).

Maverick politik yang digunakan untuk memperluas basis Trump dan melemahkan Partai Demokrat

Figur sentralnya adalah:

* Tulsi Gabbard (Direktur Intelijen Nasional).

* Robert F. Kennedy Jr (Menteri Kesehatan dan Layanan Kemanusiaan).


Perkembangan berbahaya di Dewan Keamanan Nasional dan Pentagon

Dewan Keamanan Nasional (NSC) AS adalah dewan presiden untuk strategi besar AS (geopolitik, militer, dan nuklir). Tidak ada analogi paralel langsung antara fungsi negara AS dan proyek-proyek sosialis. Anda bisa menyebutnya sebagai biro politik untuk keamanan negara nasional. Anggota badan ini, sebagaimana didefinisikan oleh undang-undang saat ini, adalah:

* Donald Trump, Presiden

* J.D. Vance, Wakil Presiden

* Marco Rubio, Sekretaris Negara

* Pete Hegseth, Menteri Pertahanan

* Chris Wright, Menteri Energi

* Scott Bessent, Menteri Keuangan

* Gerald Parker, Direktur Kantor Kebijakan Kesiapsiagaan dan Respons Pandemi

Pejabat lain yang ditunjuk di bawah pemerintahan Trump antara lain:

* Michael Waltz, Penasihat Keamanan Nasional

* Kristi Noem, Menteri Keamanan Dalam Negeri

* Pam Bondi, Jaksa Agung

* Elise Stefanik, Duta Besar AS untuk PBB

* Susie Wiles, Kepala Staf Gedung Putih

* Doug Burgum, Menteri Dalam Negeri (dekat dengan miliarder minyak Harold Hamm)

NSC selalu menjadi kelompok yang berbahaya bagi seluruh dunia. Mereka menjadi ujung tombak perang, kudeta, revolusi warna (color revolution), pembunuhan, sanksi, dan operasi intelijen terhadap negara lain, kekuatan progresif, dan individu. Kelompok ini telah menjadi pusat kejahatan terhadap kemanusiaan sejak 1947.

Dari semua kapitalis, Peter Thiel memiliki cengkeraman terkuat di NSC. Peter Thiel adalah salah satu orang paling berbahaya di planet ini. Dia adalah supremasi kulit putih dan fasis yang setia, sekaligus anti-komunis paling cerdas di AS. Thiel memiliki hubungan dekat dengan Trump. Dia secara langsung terikat secara finansial dan atau politik dengan enam anggota NSC berikut ini: 

* J.D. Vance: Theil menggelontorkan jutaan dolar ke dalam super PAC yang mendukung kampanye Vance di tahun 2022. Thiel merangkul Vance sebagai anak didiknya sekitar satu dekade yang lalu.

* Pete Hegseth: Lingkaran dalamnya terdiri dari para eksekutif Palantir dan Anduril, yang menunjukkan integrasinya ke dalam jaringan teknologi militer Thiel. Seorang mantan penasihat dari dana lindung (hedge-fund) yang dimiliki Thiel juga termasuk di antara rekan-rekan Hegseth yang dikenal.

* Chris Wright: Dia terhubung dengan Thiel melalui perusahaan rintisan energi Oklo. Wright duduk di dewan direksi Oklo, dan perusahaan ventura Peter Thiel merupakan investor utama di perusahaan tersebut.

* Susie Wiles: Wiles termasuk dalam daftar “Saving Arizona PAC,” sebuah kelompok yang didanai Thiel untuk Blake Masters di Arizona. Ia telah bekerja sama dengan Thiel dan berbicara di acara yang diselenggarakan oleh Rockbridge Network, sebuah koalisi kelompok politik sayap kanan yang didukung oleh Thiel. 

* Pam Bondi: Thiel bekerja bersamanya di komite eksekutif tim transisi kepresidenan Trump tahun 2016.

* Michael Waltz: Thiel memberikan sumbangan langsung untuk kampanye Waltz di  Florida 2022.

Konferensi Konservatisme Nasional (NatCon), sebuah proyek yang didanai Theil, sering kali menampilkan Marco Rubio dan Thiel sebagai pembicara utama. Dalam Trump 1, para pembantu Thiel ditempatkan secara strategis di posisi-posisi kunci dalam Keamanan Nasional. Kevin Harrington diangkat sebagai wakil asisten presiden untuk perencanaan strategis.

Secara signifikan, tidak ada realis sayap kanan di NSC. Begitu juga dengan Tulsi Gabbard, Direktur Intelijen Nasional. Pengaruh politik Thiel di kalangan militer dan intelijen jauh melampaui AS. Ia telah menghadiri semua, kecuali dua (2017-2018), dari pertemuan tahunan trans-Atlantik Bilderberg yang terkenal sejak 2007 (tidak ada pertemuan yang diadakan pada 2020-2021).

Pada tahun 2016, ia menjadi anggota komite pengarah yang kuat. Tidak ada orang Amerika lainnya kecuali Henry Kissinger dan mungkin Marie-Josée Kravis yang menghadiri lebih banyak pertemuan dalam periode ini. Eric Schmidt dari Google adalah tokoh teknologi lainnya yang sering hadir di Bilderberg. Pada tahun-tahun sebelumnya, David Rockefeller, George Ball (Mantan Wakil Menteri Luar Negeri, Pejabat Departemen Keuangan AS) dan Paul Volcker (Mantan Ketua Federal Reserve) adalah tokoh-tokoh yang dominan.

Konferensi Bilderberg menjadi target teori konspirasi karena siapa saja yang hadir dan kerahasiaan Chatham House yang sangat dijaga ketat sejak didirikan pada 1954. Terlepas dari teori konspirasi yang beredar, konferensi ini dihadiri oleh para petinggi negara, presiden, perdana menteri, jenderal terkemuka, direktur militer dan intelijen, menteri, dan anggota akademisi, lembaga pemikir, dan jurnalis yang loyalis terhadap Barat, yang dipilih secara bergilir dan diseleksi secara ketat.

Setiap pertemuan dihadiri sekitar 125 orang, jumlah peserta lebih sedikit dibandingkan dengan mereka yang menghadiri Forum Ekonomi Dunia di Davos. Pada tahun 2024, 32 dari 131 peserta berasal dari AS, di mana sebelas di antaranya berasal dari bisnis besar dan tujuh di antaranya berasal dari korporasi sektor teknologi:

  1. Thiel Capital LLC (Dua orang – Peter Thiel dan CEO-nya Alex Carp)
  2. Google
  3. Microsoft Research
  4. Palantir Technologies Inc.
  5. Anduril Industries.
  6. PBC Antropik

Semua perusahaan ini adalah kontraktor militer AS.

Turut hadir pula tujuh anggota pemerintah AS:

  1. Direktur Senior untuk Perencanaan Strategis, Dewan Keamanan Nasional
  2. Direktur Senior untuk Teknologi dan Keamanan Nasional, Dewan Keamanan Nasional
  3. Wakil Penasihat Keamanan Nasional
  4. Kantor Direktur Intelijen Nasional
  5. Direktur Badan Keamanan Siber dan Infrastruktur
  6. Mantan Wakil Menteri Luar Negeri
  7. Wakil Sekretaris Departemen Keuangan

David H. Petraeus, mantan Direktur CIA dan jenderal bintang empat, hadir sebagai perwakilan KKR. Dia adalah peserta yang sering hadir. Boeing dan Lockheed tidak diundang. Peter Thiel telah menghabiskan tujuh belas tahun dengan hati-hati menempatkan dirinya di tengah-tengah jaringan perusahaan militer-intelijen AS. Eric Schmidt memiliki peran yang lebih formal dalam intelijen militer AS, termasuk mengetuai Dewan Inovasi Pertahanan (DIB), tetapi tidak terlalu jauh masuk ke dalam ranah politik. Thiel adalah tokoh non-negara paling berbahaya di dunia saat ini.

Lonceng tanda bahaya lainnya adalah bahwa Trump melakukan sesuatu yang tidak biasa minggu ini, memecat Kepala Staf Gabungan dan menggantinya dengan Letnan Jenderal Dan Caine dari sayap kanan, yang ia temui di Irak dan kemudian bertemu lagi di CPAC (konferensi politik sayap kanan) pada 2019. Hal ini tentu saja dirancang untuk menghilangkan kekangan militer di Gedung Putih, yang sekarang memiliki orangnya sendiri. Caine dianggap sebagai pilihan yang tidak biasa karena belum pernah memegang posisi yang lebih rendah sebelum dipilih untuk posisi ini. Di CPAC, Trump mengenang sang jenderal dengan mengatakan, “Saya mencintaimu, pak. Saya pikir Anda hebat, pak. Saya akan mati untuk Anda, pak.”

Menteri Pertahanan Pete Hegseth menyatakan bahwa ia akan memecat para jaksa agung atau JAG. Mereka adalah pengacara militer yang mengelola kode peradilan militer untuk Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan Angkatan Udara. Hal ini, secara ipso facto, merupakan pertanda yang tidak menyenangkan.


Aspek-aspek tertentu dari dampak Trump terhadap kebijakan luar negeri AS

Perintah Eksekutif “Kubah Besi untuk Amerika”

Pada 27 Januari 2025, Trump menandatangani sebuah perintah eksekutif berjudul “Kubah Besi untuk Amerika”. Inisiatif ini bertujuan untuk membangun perisai komprehensif yang mampu melindungi AS dari berbagai ancaman rudal, termasuk rudal balistik, hipersonik, dan rudal jelajah canggih. Inisiatif ini mencakup beberapa aspek, yaitu:

  1. Penerapan sensor dan pencegat canggih di darat maupun di angkasa;
  2. Pengembangan kemampuan pertahanan non-kinetik (laser, EMP, dll.); dan
  3. Peningkatan keamanan rantai pasokan untuk semua komponen.

Meskipun dibungkus dengan kata-kata “pertahanan”, tindakan ini merupakan perluasan jahat dari doktrin militer AS tentang kekuatan balasan, yang ditegaskan kembali dalam laporan Departemen Pertahanan tahun 2024 tentang Strategi Penggunaan Nuklir AS. Inti dari kekuatan balasan adalah memberikan kemampuan untuk meluncurkan serangan nuklir pertama terhadap kemampuan militer dan nuklir lawan.

Perencanaan militer AS mencakup penggunaan senjata nuklir pertama dengan tujuan untuk “memenangkan” perang nuklir dengan menghancurkan kemampuan Rusia dan Cina untuk melakukan serangan balasan terhadap serangan pertama AS. Strategi militer AS ini tidak bermoral dan merupakan ancaman sangat serius bagi umat manusia.

Ada dua alasan di balik rencana ekspansionis Trump untuk menjadikan Kanada sebagai negara bagian ke-51, membeli Greenland, dan mengklaim Panama. Alasan pertama adalah untuk memperluas zona perlindungan Kubah Besi. Alasan kedua adalah untuk menguasai mineral-mineral penting. Keinginan yang terakhir ini juga memperluas kepentingan AS ke Ukraina. Namun, tampaknya, obsesi Trump terhadap “Real Estate” salah arah dalam kasus ini. AS terus melakukan intervensi terhadap Guyana untuk memajukan kepentingan minyaknya, sekaligus memberikan  manfaat tambahan dengan melemahkan Venezuela.

Pengurangan Anggaran Militer dan Rencana Re-industrialisasi

Trump telah mengambil langkah untuk mengurangi anggaran militer AS, termasuk anggaran departemen-departemen lainnya. Dia mengklaim bahwa dana tersebut dapat digunakan lebih efektif dengan menginvestasikannya kembali dalam re-industrialisasi. Upaya terbaru untuk membangun pabrik besar cip menunjukkan bahwa investasi dalam kapital tetap dibutuhkan. Membangun kembali sistem pendidikan untuk mempersiapkan tenaga kerja yang modern dan maju membutuhkan waktu puluhan tahun.

Selain itu, hal ini juga membutuhkan infrastruktur yang sangat besar. Proses ini membutuhkan kapital yang “sabar”, yang bertentangan dengan pasar keuangan spekulatif saat ini. Tidak ada bukti bahwa AS dapat mengambil pelajaran dari Cina mengenai cara mengelola proses pembangunan selama tiga puluh tahun.

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.

Eropa yang Layu

Serangan J.D. Vance terhadap “liberalisme” Jerman dan Eropa, termasuk masalah imigrasi, telah menimbulkan reaksi besar di London, Berlin, dan Paris. Secara keseluruhan, kemarahan mereka disebabkan karena tidak diikutsertakannya Eropa dan Ukraina dalam upaya AS untuk menyelesaikan sengketa Ukraina.

Kishore Mahbubani, seorang pejabat publik terkemuka Singapura, baru-baru ini mengusulkan agar Eropa mempertimbangkan tiga jalan yang “tidak terpikirkan”. Pertama, meninggalkan NATO. Mereka tidak membutuhkan AS jika mereka harus membayar 5% dari PDB mereka untuk militer. Tetap berada di NATO menunjukkan bahwa mereka lemah: “… menjilat sepatu bot yang menendang wajah mereka.” Kedua, merumuskan strategi baru yang besar dengan Rusia, di mana masing-masing pihak mengakui kepentingan satu sama lain. Ketiga, menjalin kesepakatan dengan Cina.

Satu-satunya alasan mengapa hubungan antara Eropa dan Cina menurun karena Eropa secara membabi buta mengikuti kepentingan geopolitik AS. Secara teori, Eropa seharusnya meninggalkan jalur saat ini dan melindungi kepentingannya sendiri.

Pada 20 Februari, surat kabar Jerman BILD melaporkan rumor bahwa Trump mungkin akan setuju untuk menarik semua pasukan AS dari negara-negara bekas Uni Soviet. Tidak jelas apakah informasi ini berasal dari intelijen Eropa Barat yang keliru atau memang benar. Rusia dan AS memang sedang membahas kemungkinan proyek energi bersama di Kutub Utara.

Dengan demikian, pertanyaannya adalah, apakah pendukung neoliberal yang pengecut akan terus memerintah Eropa, sehingga membuatnya menjadi tidak relevan di abad ini dan menjadi bahan tertawaan dunia? Kelompok ekstrem kanan tumbuh di Prancis (Rassemblement National, RN), Inggris (Reform UK), Jerman (AfD) dan pada tingkat yang lebih rendah di Italia (Fratelli d’Italia dan Lega) dan Belanda (PV). Jika sayap kanan berkuasa, ada kemungkinan mereka akan membongkar beberapa institusi pasca-Perang Dunia II di Atlantik Utara dan mengupayakan pemulihan hubungan dengan Rusia. Namun, upaya untuk menciptakan perdamaian dengan Cina kemungkinan besar akan menimbulkan konflik dengan saudara-saudara MAGA mereka.

Hasil lain yang mungkin terjadi, meskipun saat ini tidak mungkin, adalah bahwa pembubaran aliansi Atlantik Utara dapat, seiring waktu, menyebabkan perbedaan kepentingan Prancis dan Jerman yang dipimpin oleh sayap kanan.

Saat ini, terdapat 100 pangkalan AS yang tersebar di seluruh Eropa, dan Italia dan Jerman dapat dianggap sebagai koloni militer AS. Meloni, pemimpin sayap kanan Italia, dengan patuh mengikuti arahan AS bahkan membungkuk di hadapan Biden di G20. Namun, anggota koalisi sayap kanannya jauh lebih bersahabat terhadap normalisasi hubungan dengan Rusia.

Eropa kini merasa dipermalukan oleh AS. Meskipun demikian, peluang Eropa untuk menegaskan kemandirian politiknya tetap rendah. Elite inti Eropa telah dijinakkan oleh AS, dengan generasi pemimpin yang dididik di kampus-kampus elite AS dan kekayaan mereka diinvestasikan di pasar saham AS. Rasanya mustahil untuk melihat mereka memiliki keinginan untuk bergabung dalam kampanye bersama untuk memblokir kebangkitan strategi pertama AS yang reaksioner dari Trump. Mereka tetap berkomitmen kuat pada posisi anti-Rusia. Intervensi militer Prancis dan kontrol atas mata uang nasional Afrika Barat menunjukkan bahwa mereka masih merupakan kekuatan imperialis yang tidak bertobat.

Amerika Serikat dan Rusia

Di bawah kepemimpinan Trump, AS berusaha untuk menarik Rusia kembali ke orbitnya, sehingga membuat mereka tidak lagi menjadi sekutu Cina. Strategi ini didasarkan pada keyakinan bahwa Cina merupakan ancaman eksistensial bagi AS, dan penting untuk tidak berkonflik dengan keduanya secara bersamaan.

AS memutuskan untuk menjauh dari Eropa dan memberikan suara menentang resolusi yang mengutuk Rusia di PBB pada 24 Februari. Tujuh belas negara menolak proposal Eropa, sementara 65 negara, termasuk Cina, abstain.

Henry Kissinger, dalam diskusi dengan Presiden Nixon pada 14 Februari 1972, meramalkan adanya perubahan strategis dalam kebijakan luar negeri AS. Dia menyatakan, “Saya pikir dalam 20 tahun, penerus Anda, jika dia sebijaksana Anda, akan lebih condong ke arah Rusia daripada Cina. Selama 15 tahun ke depan, kita harus lebih mendukung Cina melawan Rusia.” Satu-satunya kesalahan Kissinger adalah dalam memperkirakan jumlah tahun yang dibutuhkan.

Dari perspektif sejarah AS, negara ini merasa terpaksa untuk membuka hubungan dengan Cina pada tahun 1971 karena sadar bahwa mereka telah kalah dalam perang di Vietnam dan takut akan kemungkinan pemulihan hubungan antara Rusia, Cina, dan Vietnam. Adalah Kissinger yang realis, di bawah pemerintahan Partai Republik, yang bersedia mengabaikan kekuatan anti-komunis di dalam negeri AS untuk mengunjungi Beijing. Dia berpendapat bahwa lebih baik menerima “kekalahan sementara” dan fokus pada strategi melemahkan Uni Soviet.

Runtuhnya Uni Soviet pada tahun 1991 memvalidasi, dalam benak mereka, keputusan untuk menormalkan hubungan dengan Cina. Beberapa ahli teori realis sayap kanan di AS memproyeksikan 15 tahun ke depan tentang bagaimana mereka dapat mengalahkan Cina. Namun, para realis sayap kanan menghadapi periode sejarah yang sangat berbeda dari tahun 1970-1990. Saat ini Cina adalah kekuatan ekonomi yang sedang menanjak, sedangkan AS sedang menurun.

Memang terdapat kekuatan Kristen konservatif kulit putih reaksioner di Rusia yang mungkin akan menyambut aliansi dengan kekuatan NCWCA AS yang berpikiran serupa. Namun, dalam jangka pendek, mereka tidak mungkin memiliki pengaruh yang cukup untuk mengimbangi kekuatan politik dan militer Rusia yang lebih senior, yang menyadari akan taktik menipu dan tidak menentu yang ditawarkan oleh Trump.

Pada titik ini, tampaknya sangat tidak mungkin bagi Putin untuk mengambil risiko berkolaborasi dengan Barat. Benar bahwa 20 tahun yang lalu, dia sangat ingin menjadi bagian dari inti kubu imperialis Barat, tetapi  ia telah dikhianati terlalu sering. Dan saat ini, suasana hati rakyat Rusia sangat patriotik dan anti-Amerika. Putin menyadari bahwa Trump akan digantikan dalam empat tahun dan tidak ingin membuat kesalahan strategis dengan bertaruh habis-habisan untuk menjadi anggota yang aman di G8.

Dalam dua tahun terakhir, kelompok Rusia pro-Eropa yang berjumlah sekitar 10% dari populasi Rusia, terpaksa bersembunyi. Mereka tetap menjadi ancaman di masa depan bagi kedaulatan Rusia, tetapi saat ini tidak memiliki kekuatan. Perlu dicatat bahwa Putin mengandalkan kekuatan Kristen sayap kanan, beberapa di antaranya berideologi fasis, yang memperumit situasi. Sebuah persatuan baru antara Kristen konservatif kulit putih yang membentang dari AS hingga Rusia tampaknya mustahil. Masa depan Rusia tidak dapat bergantung pada Eropa yang sedang mengalami kemunduran (yang membenci mereka) dan AS, yang secara historis meremehkan orang-orang Slavia.

Usulan Trump agar AS, Rusia, dan Cina mengurangi anggaran militer mereka hingga setengahnya adalah langkah sinis untuk mempertahankan keunggulan militer AS. AS sendiri menyumbang lebih dari 50% dari total pengeluaran militer dunia dan mengontrol 25% lainnya melalui negara-negara sekutunya seperti Jerman dan Jepang. Jika kita mempertimbangkan pengeluaran historis dan faktor per kapita, kelicikan tawaran Trump menjadi jelas. Dunia tidak boleh membiarkan AS mengambil peran sebagai pembawa perdamaian dunia dengan tawaran ini.

Ketegangan Timur Tengah dan Rencana Gaza Trump

Rencana “Riviera” Gaza yang diajukan Trump akan memicu gelombang perlawanan besar-besaran di wilayah tersebut. Meskipun terdapat gencatan senjata, tindakan agresif pasukan penjajah Israel masih terus berlanjut. Lebih dari 160 petugas medis di Gaza ditahan di penjara-penjara Israel, di tengah-tengah laporan penyiksaan yang terjadi.

Kita telah menyaksikan bahwa Arab Saudi secara terbuka terpaksa mundur sementara dari keinginan mereka untuk bergabung dengan Israel dan AS. Tujuan Saudi adalah untuk memanfaatkan AS, Israel, dan India dalam menghadapi Cina, dengan harapan menjadikan diri mereka sebagai kekuatan ekonomi utama di kawasan tersebut. Mereka membayangkan sebuah era kebangkitan bagi Timur Tengah. Rencana Gaza Trump memberikan pukulan telak pada rencana mereka. Saat ini, Saudi sedang mendiskusikan proposal  pembangunan kembali mereka sendiri yang tidak menyingkirkan semua orang Palestina. Namun, apakah mereka akan menyambut baik rencana ini masih belum diketahui.

Global Selatan dan NCWCA

Seperti sudah disebutkan di atas, kubu Trump ini sangat ideologis meskipun tidak bersatu dan koheren. Perjalanan Vance menunjukkan bahwa mereka akan memaksakan pandangan mereka ke panggung utama kebijakan luar negeri AS. Hal ini tentu akan mengguncang kohesi internal kubu imperialis. Tidak tertutup kemungkinan bahwa Trump dapat dengan mudah berselisih dengan anggota-anggota kunci timnya.

Negara keamanan nasional (the national security state) harus bekerja ekstra keras untuk mencegah kerusakan jangka panjang yang signifikan pada hubungan AS dengan sekutu-sekutunya dan menghindari erosi aturan teror selama 80 tahun oleh NATO. Dalam jangka pendek hingga menengah, agenda NCWCA akan diumumkan,  yang mencakup penolakan terhadap “keragaman/pluralisme”, dengan fokus pada negara-negara yang memiliki gerakan sayap kanan yang sedang berkembang.

Kebangkitan fundamentalisme sayap kanan di AS akan memicu kekuatan reaksioner di negara-negara Selatan. Kekuatan kelas atas di beberapa negara kunci di Dunia Selatan tidak memiliki kepentingan rakyat dalam rencana mereka dan akan dimanfaatkan oleh AS untuk menyerang semua proyek sosialis.

Tidak akan ada penolakan yang konsisten terhadap NCWCA di setiap negara. Di dalam AS, fokus internal gerakan MAGA bersifat nasionalis dan konservatif. Namun, di negara-negara kulit hitam dan muslim, elemen Kristen kulit putih menjadi bagian penting dari presentasi mereka. Saat ini, terdapat sekelompok pemimpin sayap kanan yang sedang berkembang di negara-negara Selatan, terutama di Amerika Latin, yang akan menyambutnya. Di negara-negara yang menentang NCWCA, situasinya dapat dengan cepat menjadi kompleks.

Sebagai contoh, di Afrika Selatan, sebagian kapital monopoli kulit putih yang dipimpin oleh DA telah beralih untuk membela ANC yang sekarang sangat lemah untuk menentang serangan bermotif rasial yang dilancarkan oleh Elon Musk terhadap pemerintah. Masyarakat secara umum bersatu untuk mempertahankan diri dari serangan tersebut, tetapi tidak untuk menolak hegemoni ideologi AS secara keseluruhan. Sebagian elite (kulit hitam dan putih) telah terikat pada Partai Demokrat. Sayangnya, tanpa pemahaman yang tepat mengenai kelas dan sejarah, penolakan terhadap NCWCA tidak akan meningkatkan kesadaran bahwa masalah sebenarnya adalah hegemoni imperialis itu sendiri.

Dengan demikian, NCWCA tidak akan merugikan AS sebanyak yang terlihat. Di wilayah seperti Afrika Barat, kita dapat melihat peningkatan kepercayaan diri rakyat untuk menegaskan kemerdekaan mereka.

Secara ideologis, Narendra Modi memiliki beberapa elemen dari ideologi sayap kanan. Ia akan senang melihat AS mengurangi kritik mereka terhadap pelanggaran hak-hak sipil di India. Modi berusaha memanfaatkan semangat religius dan fundamentalisme kanan AS untuk memperkuat proyek jangka panjangnya. Namun, ia akan menghadapi reaksi keras dari basis pemilihnya karena ia telah gagal memberikan manfaat yang nyata bagi mereka.

Oleh karena itu, tidak jelas sekarang seberapa jauh ia dapat memajukan kampanyenya, yang terkadang menggunakan kekerasan yang kejam terhadap kaum Muslim dan kasta-kasta “rendah” di India. Selain itu, dia tidak dapat mengabaikan dua fakta penting: ia masih membutuhkan pasokan energi Rusia yang murah dan tidak dapat membiarkan penurunan perdagangan dengan Cina.

Masa Depan Kekuatan Lunak AS dan Narasi “Hak Asasi Manusia”

Para pemimpin dari banyak negara non-kulit putih dan non-Kristen kemungkinan besar akan mengabaikan provokasi dan percaya bahwa kepentingan utama AS akan menang dalam jangka panjang. Beberapa di antaranya mungkin akan mengurangi ketertarikan mereka pada liberalisme AS akibat penggunaan konsep “keragaman dan kesetaraan” yang ambigu. Tidak jelas apakah hal ini akan mengurangi peran AS sebagai mercusuar kepemimpinan dalam isu-isu tersebut, yang berpotensi melemahkan kekuatan lunaknya (soft power).

Jika gerakan progresif di negara-negara Selatan dapat menjadi lebih terorganisir dan efektif, maka daya tarik narasi Barat yang menyesatkan tentang hak asasi manusia akan berkurang. Namun, analisis yang lebih mendalam terhadap respons global terkait genosida yang disiarkan di televisi di Gaza mengungkapkan kenyataan yang mengkhawatirkan: meskipun guncangan awalnya sangat besar, kekejaman tersebut telah dinormalisasi.

Pergeseran Potensial dalam Gerakan Separatis

Kaum progresif di seluruh dunia harus berhati-hati dalam membedakan antara hak-hak asasi individu dan diri dan penentuan nasib sendiri versus proyek-proyek yang dipengaruhi Barat yang merusak persatuan kelas pekerja. Sulit untuk menentukan  apakah kebangkitan NCWCA akan berdampak jangka panjang terhadap konsep “pluralitas” dan “separatisme”. Konsensus yang kuat untuk menyebarkan narasi hak asasi manusia yang palsu dari Barat kemungkinan akan segera menurun. Ke depan, AS akan lebih mengandalkan pendekatan yang lebih keras (hard power), sementara diplomasi halus akan lebih jarang terlihat.

Pertanyaan yang muncul adalah apakah kelompok “separatis” pro-Barat, yang mengandalkan narasi Human Rights Watch dan Amnesty International, akan kehilangan pengaruhnya? Contohnya adalah Sudan Selatan, sebagian wilayah Kurdi, dan Uighur. Dalam jangka pendek, kita telah melihat beberapa orang di kubu Trump mulai menjauh dari para separatis.

Darren Beattie, yang kini menjabat sebagai Wakil Menteri Luar Negeri untuk Diplomasi Publik dan Urusan Publik, menyatakan bahwa tindakan Cina bukanlah genosida, melainkan penolakan atas “supremasi Uighur.” Pada 20 Februari, Departemen Keuangan AS menjatuhkan sanksi kepada seorang menteri pemerintah Rwanda karena perannya dalam mendukung pemberontak M-23 di Republik Demokratik Kongo. Ini adalah pertama kalinya Rwanda menghadapi sanksi sejak  2012.

Negara-Negara Perbatasan AS

Kanada Barat juga memiliki gerakan nativis kulit putih yang reaksioner meskipun jauh lebih lemah dibandingkan gerakan serupa di AS. Kanada terlalu bergantung pada perdagangan AS sehingga sulit untuk melakukan perlawanan. Mereka kemungkinan akan bergerak ke kanan tetapi akan menunggu untuk melihat apa yang terjadi pasca-Trump. Pandangan liberal tentang “keberagaman” yang khas Barat kemungkinan akan mengalami penurunan, tetapi tidak akan hilang.

Trump terus-menerus mengolok-olok Justin Trudeau, menyebutnya sebagai gubernur, bukan perdana menteri dari sebuah negara berdaulat, dan baru-baru ini dengan mengatakan, “Pertemuan ini diselenggarakan oleh Gubernur Justin Trudeau dari Kanada, yang saat ini menjabat sebagai ketua G7.” Penghinaan Trudeau telah mendapat cibiran tersembunyi di seluruh dunia.

Negara perbatasan lain yang menghadapi tantangan besar adalah Meksiko. Negara ini juga tidak dapat bertahan secara ekonomi tanpa AS, namun di bawah kepemimpinan Amlo dan sekarang Claudia Sheinbaum Pardo, telah terjadi kemajuan yang signifikan dalam kemampuan Meksiko untuk memiliki, setidaknya, sebagian elemen kebijakan luar negeri yang berdaulat. Seberapa jauh kesenjangan ini akan melebar masih harus dilihat.

Beberapa Pertimbangan Domestik

Di dalam negeri, Trump tidak hanya melakukan kampanye untuk menghapus inisiatif Keberagaman, Kesetaraan, dan Inklusi (DEI) di pemerintahan dan militer, tetapi banyak perusahaan besar termasuk Google, Walmart, dan Accenture dengan senang hati mengikuti jejaknya. Namun, dimensi rasial di AS sangatlah kompleks. Ada sebagian kecil warga kulit hitam dan Latin kelas menengah ke bawah yang mengidentifikasi diri mereka dengan kelompok konservatif, Kristen, dan nasionalis dalam MAGA.

Memang telah ada kemajuan dalam usaha untuk mengembalikan lintasan 90 tahun hak-hak sipil di AS, yang dimulai pada 1935 dengan Undang-Undang Hubungan Perburuhan Nasional dan mencakup tonggak-tonggak penting seperti Undang-Undang Hak Sipil tahun 1964 dan Amandemen Pendidikan tahun 1972. Namun, sejauh ini, kemunduran ini tidak dirancang untuk secara eksplisit mengembalikan hukum Jim Crow yang terkenal di AS untuk menegakkan segregasi.

Secara internal, AS kemungkinan akan melanjutkan langkahnya untuk mengisolasi dan mengintimidasi warga Cina di dalam perbatasannya. Meskipun sulit untuk mengatakannya, tetapi tampaknya tidak mungkin AS akan dapat meyakinkan orang-orang Eropa untuk menjadi rasis secara internal terhadap penduduk Cina seperti yang terjadi di AS. Ideologi anti-imigran di Eropa lebih berfokus pada sikap anti-kulit hitam dan anti-muslim.


Simpulan

Kebohongan bahwa demokrasi AS layak untuk ditiru, dengan konstitusi yang memiliki sistem checks and balances, dan bahwa sistem pemilu Barat mencegah “otokrasi”, kini telah sepenuhnya terbongkar. Faktanya, AS tidak pernah menjadi negara demokrasi bagi sebagian besar kelas pekerjanya, dan jelas tidak bagi kelas-kelas populer di Dunia Selatan.

Konsentrasi kekuatan ekonomi dan politik yang menyejarah oleh kapital semakin terkonsolidasi seiring dengan kebangkitan industri dan miliarder yang terkait dengan teknologi komputasi. Industri ini dimulai dengan satu transistor pada 1947 dan kini telah berkembang ke bidang cloud computing, big data, internet of things (IoT), blockchain, kecerdasan buatan (AI), crypto, pesawat tak berawak, kawanan satelit low earth orbit (LEO), command, control, communications, computers, and intelligence (C4I), operasi militer, komputasi kuantum, dan bioteknologi.

Monopoli dan duopoli yang diciptakan oleh revolusi ini memengaruhi berbagai sektor, termasuk bisnis-ke-bisnis (sekitar departemen pertama), bisnis-ke-konsumen (sekitar departemen kedua), media dan ide (“hegemoni”), serta militer dan intelijen (negara). Ini adalah pertama kalinya dalam sejarah dimana teknologi telah memainkan peran yang begitu besar dalam basis dan suprastruktur masyarakat secara bersamaan.

Para libertarian teknologi sekarang memiliki tangan mereka secara langsung pada tuas utama fungsi militer dan intelijen negara AS. Sejak Desember 1991, dengan kekalahan Uni Soviet, telah terjadi disintegrasi berkelanjutan dalam kapasitas intelektual publik Barat, baik yang liberal maupun konservatif. Mereka telah menjadi semakin delusional dan ahistoris.

Kubu Trump tidak mengikuti praktik “para jenderal yang bertempur dalam perang terakhir”. Mereka telah mengadopsi strategi baru yang sesuai dengan kondisi- kondisi baru. Negara-negara kiri dan progresif tidak dapat terus bertempur dalam pertempuran gaya lama melawan sayap liberal imperialisme yang munafik, yang dilambangkan oleh Partai Demokrat dan alat-alat “hak asasi manusia”-nya. Medan baru sedang kita hadapi.

Dunia menghadapi lingkungan politik dan militer yang semakin berbahaya.

Sebuah upaya bersama di seluruh dunia untuk membangun kutub oposisi harus terbentuk secepat mungkin. Tapi kita harus menyadari bahwa inisiatif ini tidak akan muncul dari dalam kubu imperialis. Meskipun secara objektif Dunia Selatan dapat menjadi lahan subur untuk pertumbuhan kutub baru ini, namun sebagian dari elitenya tidak berkomitmen pada proyek-proyek nasional patriotik yang tulus karena kekayaan ekonomi mereka begitu tergantung dan terhubung secara erat dengan Barat.

Pada titik ini, kita membutuhkan strategi yang sulit tapi juga kreatif untuk melibatkan semua pihak yang mau mengakui bahaya ekstrem dari kemunduran imperialisme AS. Negara-negara sosialis harus mulai memikul tanggung jawab untuk membangun moralitas bersama dalam melawan kemerosotan Barat.


Deborah Veneziale adalah jurnalis dan editor yang telah bekerja di sektor rantai pasokan global selama 35 tahun. Ia juga berkolaborasi sebagai peneliti dengan Tricontinental: Institute for Social Research. Saat ini ia tinggal di Venesia, Italia. Tulisan ini awalnya diterbitkan dalam bahasa Cina di Guancha pada 27 Februari; dimuat kembali dalam bahasa Inggris di MROnline, kemudian diterjemahkan dan diterbitkan ulang di sini dalam bahasa Indonesia untuk tujuan pendidikan.

]]>
Geopolitik, Sistem Imperialisme, dan Anti-Imperialisme Sosialis: Wawancara dengan Claudio Katz https://indoprogress.com/2025/02/geopolitik-sistem-imperialisme-dan-anti-imperialisme-sosialis/ Mon, 10 Feb 2025 02:29:13 +0000 https://indoprogress.com/?p=238783

Ilustrasi: Ilustruth


Pengantar penerjemah: Claudio Katz adalah profesor ekonomi di Universitas Buenos Aires (Argentina) dan anggota Economists of the Left. Ia telah menulis berbagai artikel dan buku tentang kapitalisme dan imperialisme kontemporer, termasuk Bajo el Imperio del Capital, Dependency Theory After Fifty Years, dan yang terbaru, La Crisis del Sistema Imperial. Dalam wawancara mendalam bersama Federico Fuentes dari LINKS International Journal of Socialist Renewal ini, Katz menjelaskan tentang pentingnya untuk tidak hanya memandang imperialisme dari sudut pandang ekonomi, membahas kebangkitan yang ia sebut sebagai “sistem imperial” dan kompleksitas gerakan anti-imperialisme di abad ke-21.


Federico Fuentes  (FF): Apakah konsep imperialisme masih relevan saat ini? Dan, jika ya, bagaimana Anda mendefinisikan imperialisme?

Claudio Katz (CK): Kita harus mengakui bahwa imperialisme memainkan peran yang menentukan dalam berfungsinya kapitalisme, tetapi pada saat yang sama, imperialisme tidak identik dengan kapitalisme. Imperialisme tidak dapat disamakan dengan kapitalisme: yang terakhir adalah modus produksi yang dominan, sedangkan yang pertama adalah instrumen yang memastikan kelangsungan sistem tersebut. Kapitalisme selalu menunjukkan karakteristik kolonial atau imperialisme, dan menggunakan berbagai bentuk penindasan untuk memaksakan dominasinya. Imperialisme modern adalah bagian dari kesinambungan ini. Ia bukanlah sekadar tahap dalam perkembangan kapitalisme, seperti liberalisme abad ke-19 atau intervensionisme negara pascaperang. Imperialisme juga bukan sebuah bentuk pengelolaan negara, seperti keynesianisme atau neoliberalisme. Pembedaan ini sangat penting untuk memberikan konteks pada apa yang ingin kita definisikan.

Imperialisme memastikan kelangsungan kerja kapitalisme melalui tiga cara. Pertama, dalam aspek ekonomi, ia berfungsi sebagai mekanisme di mana para kapitalis di negara-negara inti menguasai dan mengambil alih sumber daya dari negara-negara pinggiran. Kedua, dalam aspek geopolitik, ia berperan sebagai mekanisme untuk menyelesaikan persaingan antara kekuatan-kekuatan yang bersaing untuk mendominasi pasar. Dan ketiga, dalam aspek politik, ia berfungsi untuk melindungi kepentingan para penindas.

Untuk memahami imperialisme, kita perlu mempertimbangkan ketiga aspek ini. Ini berarti, yang terpenting, kita harus menjauhkan diri kita dari pendekatan liberal yang memisahkan isu kekuatan imperialis dari akar kapitalisnya. Namun, kita juga harus mengambil jarak dari pendekatan marxis tradisional kita sendiri, yang cenderung memandang imperialisme hanya dari sudut pandang ekonomi dan mengabaikan dimensi politik dan geopolitik.

Dalam beberapa dekade terakhir, telah terjadi penilaian ulang yang signifikan terhadap interpretasi yang terlalu sederhana mengenai imperialisme. Pengenalan konsep “dua logika” oleh Giovanni Arrighi sangat penting. Konsep ini memberikan pemahaman yang lebih tepat tentang geopolitik dalam kerangka imperialisme, serta membantu menjelaskan ketegangan antara AS dan Cina sebagai sesuatu yang lebih kompleks dari sekadar persaingan ekonomi. Saya berusaha untuk menambahkan komponen lain dalam analisis ini: dimensi politik ketiga dari imperialisme, yang menyoroti bagaimana para penindas memanfaatkan imperialisme untuk menguasai yang tertindas. Penaklukan ini sering kali dilakukan melalui ancaman atau kekerasan. Imperialisme beroperasi pada skala global untuk menghadapi perlawanan rakyat, pemberontakan, dan revolusi.

FF: Anda baru saja menerbitkan The Imperial System in Crisis. Mengapa Anda menggunakan istilah ”sistem imperialisme” dan apa yang Anda maksudkan dengan hal ini?

CK: Saya menggunakan konsep ini untuk menjelaskan keunikan imperialisme modern. Menurut pendapat saya, saat ini kita berada dalam sebuah sistem imperialisme yang pertama kali muncul pada pertengahan abad ke-20. Sistem ini memiliki karakteristik yang sangat unik yang membedakannya dari model-model sebelumnya.

Sistem kekaisaran ini berbeda, pertama dan terutama, dari konsep tradisional kekaisaran yang sering kali kabur. Banyak ilmuwan telah menggunakan istilah ini untuk menggambarkan berbagai kekuatan sepanjang sejarah yang beroperasi dengan cara yang sama untuk mengendalikan negara-negara yang ditaklukkan. Definisi umum seperti itu tidak memadai jika kita ingin mencapai pemahaman yang lebih mendalam. Definisi tersebut mengabaikan fakta bahwa terdapat berbagai jenis kekaisaran, yang masing-masing memiliki perbedaan yang signifikan karena didasarkan pada moda produksi yang berbeda. Konsep sistem imperialisme menekankan perbedaan ini. Imperialisme modern sangat berbeda dari kerajaan-kerajaan pra-kapitalis seperti Roma, Yunani, Persia, Spanyol, Portugis, atau Belanda, yang didorong oleh keinginan untuk memperluas wilayah atau ambisi perdagangan.

Sistem kekaisaran juga berbeda dari model kekaisaran informal yang lebih modern yang muncul selama konsolidasi kapitalisme antara tahun 1830 dan 1870. Dalam model ini, penggunaan kekerasan hanya merupakan aspek pelengkap dari dominasi Inggris. John A. Hobson menyoroti keunikan ini, dan banyak penulis yang menggunakan konsep tersebut untuk menggambarkan skenario selanjutnya, seperti dominasi Amerika Serikat (AS) setelah Perang Dunia II. Penulis lain juga menerapkan konsep yang sama untuk menjelaskan supremasi AS selama periode globalisasi. Saya lebih memilih konsep sistem imperialisme karena konsep ini menekankan bahwa imperialisme modern merupakan struktur pemaksaan yang ditopang oleh jaringan pangkalan militer yang digunakan untuk melancarkan berbagai jenis perang hibrida. AS tidak bertindak sendiri ketika melakukan invasi, melainkan berperan sebagai pemimpin dari jaringan sistemik yang luas ini.

Terakhir, konsep sistem imperialisme ini berbeda dari imperialisme klasik yang dianalisis oleh Vladimir Lenin pada awal abad ke-20, ketika negara-negara besar bersaing satu sama lain dalam Perang Dunia. Mereka yang ingin memperbarui model Lenin dan mengantisipasi kembalinya perang antar-imperialis, sering kali menggambarkan Cina dan Rusia sebagai kekuatan imperialis yang bersaing dengan AS dan Eropa untuk mencapai supremasi global. Mereka percaya bahwa bentrokan antara kekaisaran Timur dan Barat akan diselesaikan di medan perang. Pada akhirnya, mereka melihat bahwa akhir dari globalisasi akan menciptakan kembali ketegangan dan situasi yang sangat mirip dengan Perang Dunia I.

Sebaliknya, saya menunjukkan bahwa terdapat perbedaan substansial antara masa lalu dan sekarang. Yang paling mencolok adalah tidak adanya perang antara kekuatan kapitalis besar sejak pertengahan abad ke-20. Tidak ada konflik militer antara Prancis dan Jerman atau Jepang dan AS. Bahkan, meskipun ada  ketegangan yang meningkat dengan Uni Soviet, yang memiliki karakteristik yang berbeda, tidak berujung pada konfrontasi bersenjata secara langsung. Kehadiran senjata nuklir menghadirkan ancaman yang jelas bahwa perang yang meluas dapat mengakhiri umat manusia. Selain itu, tidak ada persaingan antara kekuatan yang setara. Sebaliknya, terdapat kekuatan global yang melindungi seluruh sistem melalui kekuatan militer Pentagon, dengan AS sebagai inti dari sistem kekaisaran. Terdapat juga perbedaan ekonomi yang signifikan antara kapitalisme di masa Lenin dan kapitalisme di abad ke-21. Upaya untuk menganalisis situasi kontemporer dengan menggunakan kriteria Lenin pada akhirnya mengarah pada kategorisasi yang dipaksakan, terutama terkait dengan status Rusia atau Cina.

Sistem kekaisaran muncul pada paruh kedua abad ke-20. Semua institusi dan instrumen yang, dalam satu atau lain bentuk, ada saat ini muncul pada periode itu. AS memimpin sistem ini dan beroperasi sebagai penjaga kapitalisme, sebuah peran yang didelegasikan kepadanya oleh negara-negara sekutunya. AS memainkan peran sentral dalam menumpas berbagai pemberontakan revolusioner di Afrika, Asia, dan Amerika Latin. Orang dapat berargumen bahwa metode intervensi AS telah berubah di abad ke-21, tetapi perannya sebagai penyokong kapitalisme Barat tetap tidak berubah.

Sistem kekaisaran memiliki struktur hierarki. AS berdiri di puncak piramida yang memiliki aturan tentang keanggotaan, koeksistensi, dan pengecualian. Setiap wilayah atau negara yang tergabung dalam sistem ini memiliki posisi tertentu dalam struktur tersebut, yang pada gilirannya menentukan intensitas konflik. Konflik antara mereka yang berada dalam sistem imperialisme tidak sebanding dengan perselisihan dengan negara-negara di pinggiran. Misalnya, perbedaan antara AS dan Eropa mengenai nilai tukar euro/dolar (atau supremasi Boeing atas Airbus) memiliki karakter yang sangat  berbeda dengan perselisihan dengan Cina dan Rusia. Hal ini memiliki skala yang berbeda karena melibatkan kekuatan yang berada di luar sistem kekaisaran.

Eropa merupakan mitra utama AS dalam sistem ini, meskipun beberapa negara memiliki tingkat otonomi operasional yang cukup tinggi dari Washington. Akibatnya, mereka memiliki status sebagai kekuatan alternatif imperial. Prancis, misalnya, menerapkan kebijakan imperialisnya sendiri terhadap bekas jajahannya di Afrika. Namun, biasanya meminta izin, bersekutu, atau meminta nasihat dari AS sebelum mengambil langkah internasional yang signifikan. Mitra-mitra lain beroperasi pada tingkat yang berbeda dalam sistem ini, seperti Israel, Australia dan Kanada. Kepentingan mereka saling terkait dengan kepentingan AS, dan mereka menjalankan peran-peran kekaisaran yang spesifik di berbagai wilayah di dunia.

Penting juga untuk mengakui bahwa sistem imperialisme telah mengubah hubungan antara negara-negara dan kelas-kelas dominan, tetapi perubahan ini tetap berlangsung pada skala nasional. Hal ini bertentangan dengan ekspektasi Antonio Negri atau William I. Robinson, yang membayangkan bahwa imperialisme berevolusi menjadi imperium global dengan negara-negara dan kelas-kelas transnasional yang beroperasi di dalam tatanan dunia yang lebih seragam. Harapan-harapan ini telah terbantahkan dengan berakhirnya euforia globalisasi dan munculnya persaingan geopolitik antara AS dan Cina. Konflik ini menegaskan tidak ada keterkaitan yang berarti antara kelas-kelas atau negara-negara dari dua kekuatan besar dunia tersebut. Sistem kekaisaran membantu kita memahami situasi saat ini.

FF: Seberapa besar bobot relatif dari mekanisme eksploitasi imperialis saat ini, dibandingkan dengan masa lalu?

CK: Mekanisme-mekanisme ini telah diteliti secara ekstensif dalam studi-studi tentang ekonomi imperialisme. Mekanisme-mekanisme ini merupakan elemen penting dari sistem ini karena tujuan utama struktur ini adalah untuk mengeruk keuntungan dari negara-negara pinggiran yang ditaklukkan. Terdapat persaingan yang ketat antara kekuatan-kekuatan untuk mendapatkan keuntungan dari eksploitasi sumber daya di Eropa Timur, Afrika, Amerika Latin, dunia Arab, dan sebagian besar Asia. Dalam konteks ekonomi, sistem imperialisme berfungsi sebagai mekanisme internasional yang mentransfer sumber daya dari pinggiran ke pusat. Eksploitasi ini dimungkinkan karena kekuatan tertentu mengendalikan negara-negara lain yang kedaulatannya dibatasi, dinetralkan, atau dilucuti. Jelas bahwa negara-negara pinggiran tidak terlibat dalam sistem imperialisme atau dalam perselisihan mengenai keuntungan yang diekstraksi dari mereka.

Studi tentang ekonomi imperialisme berkembang pesat pada tahun 1960-an dan 1970-an. Terdapat berbagai diskusi mengenai dinamika pertukaran yang tidak merata dan berbagai metode yang digunakan untuk mengalirkan nilai dari pinggiran ke pusat. Beberapa peneliti menyoroti bagaimana ekonomi yang lebih padat modal menyerap nilai lebih dari ekonomi yang lebih bergantung. Prinsip ini menjelaskan logika ekonomi objektif dari imperialisme. Sangatlah penting untuk mengungkap misteri seputar masalah ini. Namun, jelas terdapat berbagai mekanisme yang digunakan untuk memindahkan sumber daya dari daerah pinggiran ke pusat. Ada mekanisme produktif, seperti maquilas dan zona pemrosesan ekspor yang didirikan di negara-negara pinggiran; terjadi pertukaran yang tidak setara ketika barang-barang manufaktur atau layanan teknologi tinggi diperdagangkan dengan komoditas dasar; dan ada mekanisme transfer keuangan seperti utang luar negeri. Penting untuk mempertimbangkan berbagai mekanisme ini, berbeda dengan pendekatan yang hanya berfokus pada bidang produktif atau hanya tertarik pada aspek keuangan. Transfer sumber daya dari wilayah pinggiran ke pusat terjadi melalui berbagai jalur.

Beberapa penulis telah mengeksplorasi bagaimana proses-proses ini berbeda dengan yang terjadi pada abad sebelumnya. Arus utama dalam kajian ini sangat terkait erat dengan teori ketergantungan marxis, yang dapat dilihat sebagai salah satu cabang dalam ekonomi imperialisme. Para penulis ini menawarkan beberapa jalur penelitian yang menjanjikan, tetapi tetap memerlukan beberapa catatan tambahan.

Para pendukung pendekatan ini dengan tepat menekankan bentuk-bentuk transfer nilai saat ini dari ekonomi yang kurang berkembang ke ekonomi yang lebih maju. Namun, kita perlu lebih cermat dalam mendefinisikan aktor-aktor yang terlibat. Sebagai contoh, kita harus berhati-hati ketika merujuk pada Global South (Dunia Selatan): siapa saja yang termasuk dalam kelompok negara-negara ini, dan siapa yang tergolong dalam dalam kutub yang berlawanan, Global North (Dunia Utara)? Apakah Global North mencakup semua negara inti, sementara Global South mencakup semua negara pinggiran? Jika demikian, di manakah posisi Cina? Jika kita mengategorikan  Cina sebagai bagian dari Selatan, maka akan sangat sulit untuk menjelaskan bagaimana transfer nilai beroperasi saat ini.

Pendekatan saya juga berusaha menyoroti karakteristik unik dari ekonomi menengah. Terdapat jurang pemisah yang sangat besar antara negara-negara seperti Brasil dengan Haiti, Turki dengan Yaman, dan India dengan Mali. Memahami hal ini adalah kunci untuk mencatat berbagai cara yang digunakan untuk menguras, mempertahankan, atau menyerap nilai dalam dinamika akumulasi kapitalis.

Saya juga berpendapat bahwa gagasan tentang produksi global, di mana nilai lebih dihasilkan secara eksklusif di Selatan dan disita oleh Utara, sebagai pandangan yang terlalu sederhana. Pendekatan ini mengabaikan fakta bahwa nilai lebih dihasilkan di seluruh dunia. Yang membedakan antara inti dan pinggiran bukanlah penciptaan nilai lebih itu sendiri, melainkan siapa yang paling diuntungkan dari nilai lebih yang dirampas dari para pekerja. Eksploitasi tenaga kerja terjadi di mana-mana; perbedaannya terletak pada kapasitas yang lebih besar yang dimiliki oleh para kapitalis di pusat untuk meraih keuntungan dari eksploitasi tersebut.

Konsep mengenai super-eksploitasi juga harus digunakan dengan hati-hati, dan tidak hanya diterapkan pada ekonomi pinggiran. Metode pemberian upah tenaga kerja di bawah nilai sebenarnya ini dapat ditemukan di sektor-sektor termiskin di semua negara. Perbedaan utama antara negara inti dan negara pinggiran bukanlah adanya eksploitasi berlebihan, melainkan karena negara pusat mengambil sebagian besar nilai yang dihasilkan melalui cara ini.

Saya juga percaya bahwa kita harus berhati-hati dengan isu-isu dan kontroversi ini. Penting untuk tidak kehilangan fokus pada gambaran besar saat membahas rincian tertentu. Isu-isu utama terkait teori imperialisme tidak dapat diselesaikan hanya dalam ranah ekonomi. Mempelajari super-eksploitasi, hukum nilai atau finansialisasi, misalnya, tidak akan memberi kita kejelasan tentang status Cina saat ini.

FF: Dalam beberapa tahun terakhir, tampaknya ada perubahan dalam sistem kekaisaran. Sementara AS dipaksa mundur dari Afganistan, Rusia telah menginvasi Ukraina, Cina terus bangkit, dan negara-negara seperti Turki dan Arab Saudi, di antaranya, telah mengerahkan kekuatan militer di luar perbatasan mereka. Secara garis besar, bagaimana Anda menjelaskan perubahan dinamika dalam sistem kekaisaran ini?

CK: AS tetap menjadi pemimpin sistem imperialisme. Ini berarti kita harus terus-menerus menganalisis kekuatan utama saat mempelajari imperialisme modern. Menilai kondisi AS dapat memberikan wawasan yang signifikan tentang arah sistem imperialisme. Teka-teki utama yang masih tersisa adalah sejauh mana skala penurunan ekonomi negara tersebut. Jelas bahwa AS telah terperosok ke dalam kemerosotan ekonomi struktural yang serius dan berkepanjangan. Buktinya terlihat jelas, seperti hilangnya daya saing perusahaan-perusahaannya dan tingkat de-dolarisasi tertentu yang terjadi secara global. Penurunan ini telah memicu konflik domestik antara dua kelompok ekonomi yang kuat di AS: kaum globalis yang berbasis di pesisir dan kaum amerikanis di pedalaman.

Cina telah membuat kemajuan penting dalam upayanya untuk mendominasi secara global, namun AS masih jauh dari mengalami kekalahan. Saat ini, AS belum memiliki jawaban yang memadai atas tantangan yang diajukan oleh Beijing. Saya sependapat dengan mereka yang skeptis terhadap prediksi penurunan ekonomi AS yang tak terelakkan. Sektor produktifnya mengalami proses rekomposisi secara berkala, yang meskipun tidak memulihkan supremasi AS, namun menangkal gagasan tentang penurunan yang tidak dapat dipulihkan.

Lebih penting lagi, kita tidak boleh melihat perselisihan global ini hanya sebagai pertarungan ekonomi. AS telah terlibat dalam aksi militer berskala besar untuk memengaruhi hasil dari konflik ini. Itulah mengapa sistem kekaisaran adalah konsep yang sangat diperlukan dalam merumuskan diagnosis yang akurat. Strategi utama negara adikuasa ini adalah mengimbangi kemerosotan ekonominya dengan memanfaatkan kekuatan militernya di seluruh dunia. AS menggunakan pendekatan ini untuk mencoba membangun kembali kepemimpinannya, yang pada gilirannya meningkatkan risiko perang dan, dengan demikian, memperkuat kompleks industri militer. Kompleks industri militer tetap menjadi pendorong utama inovasi teknologi, dengan Pentagon memainkan penting penting dalam revolusi informasi yang dipimpin oleh AS. Inovasi yang dikembangkan di sektor militer kemudian ditransfer ke ranah sipil untuk memastikan daya saing.

Namun, dalam upaya untuk menghentikan kemerosotan ekonominya melalui tindakan militer, AS telah terjebak ke dalam perangkap hipertrofi militer. Hal ini justru memperburuk situasi dan merusak upaya untuk memperbaiki ekonominya yang sedang kesulitan. Ternyata, obat yang diberikan lebih buruk daripada penyakitnya. Dengan menurunnya produktivitas, muncul ketegangan antara sektor militer dan sipil, yang memperparah pengeluaran yang tidak produktif. Kepentingan kontraktor berbenturan dengan kepentingan perusahaan yang mencari keuntungan. Ketidaksepakatan di dalam kelas penguasa meningkat terkait prioritas; misalnya, apakah akan mendukung ambisi ekspansionis Israel secara membabi buta atau berusaha mempertahankan dukungan Saudi untuk dominasi global dolar AS. Departemen Luar Negeri AS terus-menerus terganggu oleh ketegangan yang belum terselesaikan ini, yang terus berlanjut baik pada saat kemenangan (seperti pengeboman Yugoslavia), atau kekalahan (seperti di Afganistan dan Irak). Gigantisme militer memperbesar kemerosotan ekonomi dan mereproduksi ketegangan yang menggerogoti masyarakat AS.

Masalah utamanya terletak pada perbedaan kualitatif antara sistem kekaisaran modern saat ini dan model pada abad ke-20. Pada paruh kedua abad ke-20, AS memimpin sebuah sistem yang memiliki basis ekonomi yang kuat. Saat ini, meskipun AS masih memegang kendali, tetapi dominasi ekonominya tidak sekuat dulu. AS berusaha mengimbangi situasi ini dengan meningkatkan tindakan permusuhan.

Upaya serangan balik yang dilakukan Joseph Biden beberapa waktu lalu mencerminkan hal ini. Di satu sisi, ia memprovokasi perang Ukraina dengan mendukung inisiatif untuk menarik Ukraina ke dalam sistem jaringan rudal NATO. Ia berusaha menjebak Rusia dan mengulangi mimpi buruk kekalahan Uni Soviet di Afganistan. Namun, setahun kemudian, semua pihak masih terjebak dalam konflik yang hingga saat ini tidak menunjukkan siapa pemenangnya. AS tentu saja telah mencapai beberapa tujuan: mereka berhasil memaksakan pertumpahan darah tanpa harus mengerahkan pasukannya sendiri; mengembuskan kehidupan baru ke dalam NATO; dan  berhasil mengintegrasikan Finlandia dan Swedia ke dalam organisasi tersebut. NATO juga telah mampu mengalihkan biaya ekonomi, kemanusiaan, sosial, dan politik dari perang ke Eropa. Namun, kekalahan Rusia yang diharapkan tampaknya tidak akan terjadi dalam waktu dekat.

Hasil di medan perang lainnya juga masih belum pasti. AS telah mengirim pasukan ke Laut Cina untuk meningkatkan ketegangan dan membenarkan pembentukan NATO Pasifik bersama Jepang, Korea Selatan, dan Australia. Meskipun ini berhasil meningkatkan intensitas konflik, AS gagal memosisikan dirinya sebagai pemimpin yang jelas dalam pertarungan ini.

Biden menggabungkan keynesianisme dalam dalam kebijakan domestik dan menerapkan pendekatan luar negeri yang lebih agresif untuk menghidupkan kembali semangat Perang Dingin yang baru dan mengembalikan posisi sentral AS dalam aliansi Barat. Penting untuk dicatat bahwa strategi ini memiliki kemiripan dengan strategi yang pernah diterapkan pada paruh kedua abad ke-20. Serangan balasan di Ukraina dan Laut Cina merupakan reaksi terhadap tantangan yang dihadapi di Afganistan dan Irak. Hal ini menunjukkan bahwa AS menggunakan kekuatan militer sebagai upaya untuk menghentikan, atau setidaknya memperlambat, penurunan ekonominya.

FF: Apa yang bisa Anda ceritakan tentang peran Cina dan Rusia?

CK: Mari kita mulai dengan membahas Rusia. Periode traumatis setelah runtuhnya Uni Soviet telah berlalu, dan kapitalisme kini berkuasa. Ini menunjukkan bahwa Rusia memenuhi persyaratan pertama untuk diakui sebagai kekaisaran: adanya ekonomi kapitalis. Namun, meski demikian, ekonominya masih lemah dan sangat bergantung pada ekspor sumber daya alam. Negara ini menghadapi berbagai tantangan terkait produktivitas dan masih terdapat kesenjangan teknologi yang signifikan antara sektor militer dan industri sipilnya. Ketidakseimbangan ini terjadi dalam kerangka ekonomi kapitalis, tetapi tidak sepenuhnya menjelaskan status Rusia saat ini.

Status Rusia dipengaruhi oleh dualitas unik sebagai negara yang tertindas sekaligus penindas. Rusia mengalami penindasan, tetapi juga melakukan intervensi eksternal. Situasi yang dihadapi Rusia sangat kontradiktif. Di satu sisi, AS, melalui NATO, secara agresif mengganggu Moskow. Washington terus-menerus berusaha untuk memecah-belah mantan musuhnya. Boris Yeltsin (dan, pada awalnya, Vladimir Putin) mencoba meredakan tekanan ini dengan menawarkan integrasi Rusia ke dalam sistem kekaisaran, tetapi semua langkah tersebut diveto oleh AS. Elit neoliberal Rusia –yang terdiri dari oligarki internasional yang berinvestasi di Inggris, berlibur di Florida, dan mendidik anak-anak mereka di New York– terus berusaha untuk berasimilasi dengan Barat. Namun, upaya ini pun tidak cukup untuk mengurangi ambisi AS dalam memecah belah Rusia. Tekanan yang berkelanjutan ini mendorong Putin mengambil langkah defensif, dengan menegakkan aturan negara dan melaksanakan otoritas negara guna untuk mencegah disintegrasi.

AS memiliki obsesi agresif terhadap Rusia, dan alasan di baliknya sangat jelas: sulit untuk mengendalikan sistem kekaisaran ketika berhadapan dengan musuh yang memiliki persenjataan nuklir yang besar. Untuk menjalankan dominasi yang efektif, Pentagon perlu mengganggu musuhnya. Inilah yang menjadi tujuan dari semua serangan yang dilakukan sebelum dan selama konflik di Ukraina.

Namun, penting untuk dicatat bahwa Rusia bukan hanya korban dari sistem kekaisaran. Rusia juga merupakan kekuatan yang sangat aktif, terutama di wilayah pinggirannya, di mana ia menerapkan kebijakan dominasi dan melindungi kepentingan bersama dengan para elite yang bersekutu dengan Moskow. Kazakstan adalah salah satu contohnya. Di negara ini, Kremlin mengirimkan pasukan untuk melindungi kepentingan bisnis yang dimiliki bersama dengan mitra lokalnya. Oleh karena itu, melihat status Rusia perlu mempertimbangkan peran gandanya sebagai agresor dan korban.

Menurut pandangan saya, status Rusia saat ini dapat digambarkan sebagai kerajaan non-hegemonik yang sedang dalam fase pertumbuhan. Istilah non-hegemonik digunakan karena beroperasi di luar sistem kekaisaran yang mapan, sementara ”sedang dalam masa pertumbuhan” karena mencerminkaan karakter embrionik dari status barunya. Rusia tidak menunjukkan tingkat stabilitas yang sama dengan kekaisaran lainnya. Perang Ukraina kemungkinan besar akan menjadi penentu apakah negara ini berhasil mengonsolidasikan status kekaisarannya atau justru menghadapi kemunduran dini. Konsep kekaisaran non-hegemonik yang sedang dalam fase pertumbuhan ini memungkinkan kita untuk membedakan Rusia dari kekuatan imperialis lainnya. Konsep ini berbeda dari pandangan yang menempatkan Rusia pada level yang sama dengan AS. Selain itu, konsep ini juga menantang anggapan yang berlawanan bahwa Rusia tak lebih dari sekadar target agresi AS. Sementara rudal-rudal NATO mengepung Rusia, negara ini terus mengerahkan pasukan ke Suriah dan mengekspor tentara bayaran ke Afrika. Dalam konteks ini, meskipun Rusia berada di luar sistem kekaisaran dan menempati posisi ekonomi yang subordinat, ia berusaha menegaskan posisinya dalam tatanan global melalui penggunaan kekuatan. Hal ini menambah lapisan kompleksitas dalam mendefinisikan status Rusia.

Menggambarkan karakteristik Cina lebih mudah dilakukan. Seperti halnya Rusia, Cina  berada di luar sistem kekaisaran dan menjadi target agresi AS. Namun, berbeda dengan Rusia, kapitalisme belum sepenuhnya pulih di Cina. Meskipun kapitalisme hadir, ia tidak mengendalikan dan mendominasi ekonomi atau masyarakat Cina. Ciri khas ini menjelaskan kemajuan luar biasa negara ini dalam beberapa tahun terakhir. Cina berhasil memadukan fondasi sosialis lamanya dengan mekanisme pasar dan parameter kapitalis. Kombinasi ini memungkinkan Cina untuk mempertahankan surplusnya melalui sistem yang berbeda dengan neoliberalisme dan finansialisasi. Cina tidak akan bisa mencapai kemajuan luar biasa jika hanya menjadi negara kapitalis biasa.

Perbedaan utama antara Cina dan Rusia (dan negara-negara Eropa Timur lainnya) terletak pada bidang politik, terutama dalam pembatasan yang dikenakan pada kelas kapitalis. Sektor ini memang ada dan memiliki pengaruh penting, tetapi tidak mengendalikan negara atau memegang kekuasaan politik. Di Cina, terdapat modus produksi yang sebagian berakar pada tradisi sosialis lama dan birokrasi yang mengelola negara dengan cara yang sangat berbeda dari kapitalis.

Kebijakan luar negeri Cina tidak memiliki karakteristik yang sama dengan kekuatan imperialis. Cina menahan diri untuk tidak mengirim pasukan ke luar negeri, menghindari konflik militer, dan sangat berhati-hati dalam hal geopolitik. Beijing mengadopsi pendekatan defensif, mendukung pelemahan saingannya, Amerika Serikat, dan memprioritaskan tekanan terhadap Taiwan sebagai cara untuk menegaskan kembali status sah “Satu Tiongkok”. Oleh karena itu, menggambarkan kekuatan baru ini dengan istilah kekaisaran tidaklah tepat.

Ini bukan berarti saya setuju dengan pandangan yang memandang Cina sebagai bagian dari Global South. Beijing memanfaatkan daerah pinggiran, menyerap nilai surplus dari ekonomi yang paling terbelakang dan sering kali menjalin hubungan dominasi ekonomi dengan sebagian besar negara Asia, Afrika, dan Amerika Latin. Ini adalah tren yang umum terjadi, meskipun jika negara-negara pinggiran bernegosiasi dengan raksasa Asia ini dengan cara yang berbeda, mereka mungkin dapat mencapai pembangunan yang lebih merata.

FF: Bagaimana dengan negara-negara kecil, seperti Turki dan Arab Saudi, yang kini melebarkan kekuatan militer di luar perbatasan mereka. Bagaimana Anda melihat status negara-negara ini?

CK: Beberapa beberapa negara ini kini semakin berperan penting di panggung global, dan para pemain regional ini telah memberikan dampak yang tidak terduga. Contohnya adalah BRICS (Brasil, Rusia, India, Cina, dan Afrika Selatan), di mana Cina telah membangun berbagai kemitraan dengan negara-negara ini untuk memastikan pasokan energi, mengamankan rute laut, dan bersaing dalam memperebutkan kendali atas sumber daya Afrika.

Ada dua konsep yang berguna untuk menjelaskan status negara-negara ini. Yang pertama adalah gagasan ekonomi semi-periferal yang diperkenalkan oleh Immanuel Wallerstein untuk menunjukkan bahwa dalam pembagian kerja global, terdapat lebih dari sekadar negara-negara inti dan negara-negara pinggiran. Ada juga sekelompok negara yang berada di posisi tengah. Negara-negara ini, meskipun tidak dapat naik ke tingkat atas, mereka tidak mengalami tingkat ketidakberdayaan dan ketergantungan yang sama seperti negara-negara yang lebih terbelakang. Konsep lain yang membantu adalah gagasan Ruy Mauro Marini tentang sub-imperialisme. Istilah ini mengacu pada negara-negara berkembang yang mampu menggunakan kekuatan untuk menantang dominasi regional. Contoh terbaru dari konflik semacam itu adalah persaingan tripartit untuk dominasi ekonomi di Timur Tengah antara Turki, Arab Saudi, dan Iran.

Terdapat banyak variasi di antara negara-negara menengah ini. Dalam kelompok yang sama, terdapat negara yang ekonominya sangat bergantung (seperti Argentina), dan negara lain yang mampu bersaing di tingkat global dalam industri tertentu (seperti Korea Selatan), meskipun pengaruh politiknya relatif kecil. Selain itu, ada negara berkembang yang memiliki kehadiran geopolitik yang signifikan tetapi basis ekonominya lemah (seperti Turki), dan negara-negara yang memiliki pengaruh penting di kedua wilayah tersebut (seperti India). Situasi ini sangat kompleks dan terus berkembang, sehingga membutuhkan interpretasi yang cermat dan akurat.

Arab Saudi, misalnya, merupakan sebuah teka-teki yang besar. Negara ini tidak lagi beroperasi sebagai monarki pasif yang sepenuhnya dikendalikan oleh AS. Meskipun merupakan sekutu kunci dari sistem kekaisaran, Arab Saudi tidak terlibat secara langsung di dalamnya. Selama bertahun-tahun, negara ini telah memasok rente minyak yang digunakan pasar oleh keuangan global untuk mempertahankan supremasi dolar. Namun, dalam beberapa tahun terakhir, para raja Saudi telah mempertahankan otonomi tertentu dari AS dalam beberapa bidang kebijakan. Mereka telah melakukan langkah-langkah yang menimbulkan pertanyaan serius mengenai bagaimana mereka berencana untuk mengelola sewa minyak yang menopang dolar.

Saudi juga telah muncul sebagai klien penting untuk Inisiatif Sabuk dan Jalan Cina (Belt and Road Initiative), menerima investasi yang sangat besar-besaran. Konsekuensi dari peristiwa-peristiwa ini mulai terlihat, tetapi Departemen Luar Negeri AS kesulitan untuk meresponsnya. Mereka khawatir tentang kemungkinan de-dolarisasi di masa depan, tetapi tidak memiliki rencana untuk mencegahnya.

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.

FF: Apa pendapat Anda tentang konsep multipolaritas yang dipromosikan oleh beberapa sektor sayap kiri?

CK: Saya berpendapat bahwa konsep sistem imperialisme memberikan pemahaman yang lebih jelas tentang situasi global ketimbang ide-ide seperti multipolaritas. Istilah ini, bersama dengan unipolaritas dan bipolaritas, pada dasarnya bersifat deskriptif dan merujuk pada tingkat stabilitas tertentu dalam berbagai konfigurasi tatanan dunia. Terdapat perbedaan yang luas dalam bidang Hubungan Internasional mengenai mana yag lebih baik dalam menciptakan keseimbangan di antara kekuatan-kekuatan: multipolaritas atau unipolaritas.

Konteks multipolar yang ada saat ini menunjukkan adanya distribusi kekuatan yang sepadan dengan krisis sistem imperialisme. Aspirasi neokonservatif yang muncul setelah keruntuhan Uni Soviet, untuk menciptakan “Abad Amerika Baru” di bawah kepemimpinan Washington, telah mengalami kemunduran yang signifikan akibat  kekalahan militer dan kegagalan geopolitik AS. Pergeseran ke arah multipolaritas dapat dilihat sebagai hal yang positif dibandingkan dengan konteks unipolar sebelumnya, terutama jika itu berarti melemahnya kapasitas agresif imperialisme.

Namun, multipolaritas tidak dapat disamakan dengan anti-imperialisme. Para pemimpin dari semua pemerintahan yang berkonflik dengan AS dan sekutunya berusaha untuk meningkatkan kekuatan kelas penguasa atau birokrasi mereka. Tidak ada yang berusaha menetralisir imperialisme sebagai cara untuk menciptakan masyarakat baru. Oleh karena itu, saya tidak memiliki ketertarikan atau idealisasi naif yang dimiliki oleh banyak orang di sayap kiri terhadap multipolaritas. Pujian semacam itu sangat keliru ketika mengesampingkan tokoh-tokoh yang lebih konservatif dan sayap kanan yang berada di garis depan gerakan multipolar.

Usulan mendiang presiden Venezuela, Hugo Chavez, mengenai proyek pluripolaritas sosialis jauh lebih baik. Proyek ini tidak bertentangan dengan multipolaritas, tetapi berbeda karena berusaha melibatkan program dan kekuatan rakyat yang memiliki tujuan serupa untuk membangun masa depan pasca-kapitalis. Konsep ini telah diusulkan dalam berbagai pertemuan gerakan sosial dan partai kiri, terutama di Amerika Latin. Konsep ini mengikuti jalur yang sama dengan forum-forum yang diselenggarakan oleh gerakan anti-globalisasi. Saya percaya bahwa benih-benih gerakan kontra-hegemoni telah ditaburkan di Seattle dan Porto Alegre pada tahun 1990-an. Sayangnya, upaya-upaya ini tidak tahu bagaimana caranya atau gagal untuk berkolaborasi dengan pemerintah-pemerintah yang lebih radikal di Amerika Latin “Pink Tide”, yang menyebabkan kemunduran gerakan internasionalis.

Saat ini, kita menghadapi situasi yang sangat kompleks karena menguatnya konsolidasi gerakan kanan-jauh. Dengan retorika dan perilaku reaksionernya, kekuatan kanan-jauh ini berhasil menyalurkan ketidakpuasan rakyat dalam jumlah besar. Menghadapi tantangan ini, penting untuk memperkuat proyek kiri kita sendiri, dengan tujuan-tujuan egaliter dan aspirasi sosialisnya.

FF: Mengingat semua ini, seperti apa seharusnya anti-imperialisme abad ke-21?

CK: Pertama-tama, kita harus kembali ke akarnya. Karl Marx memulai warisannya dengan mengubah pandangannya bahwa kelas pekerja Eropa akan memimpin revolusi sosialis yang akan menyeret kaum pinggiran menuju dunia tanpa penindasan. Belakangan, ia menyadari pentingnya perlawanan dari masyarakat pinggiran. Pertama kali ia melihat ini di Irlandia, kemudian di Cina dan India, dan akhirnya memperluas pandangannya ke wilayah lain. Oleh karena itu, ia mengusulkan perlawanan terhadap kapitalisme yang menggabungkan pemberontakan anti-kolonial dengan aksi kelas pekerja di pusat-pusat industri.

Tesis ini dikembangkan lebih lanjut oleh Lenin, yang menyoroti hubungan positif antara perjuangan sosial dan nasional dalam melawan kapitalisme. Ia mendukung hak penentuan nasib sendiri di Eropa Timur dan menentang internasionalisme abstrak yang menolak konvergensi perjuangan semacam itu. Ketika dinamika revolusi bergeser ke Timur, Lenin sangat menganjurkan kerja sama dengan nasionalisme revolusioner di balik proyek anti-imperialisme sosialis. Konsep ini kemudian terbukti berhasil dalam revolusi di Tiongkok, Vietnam, dan Kuba.

Di abad ke-21, meskipun masih banyak perjuangan anti-kolonialisme, dunia telah berubah. Palestina adalah contoh yang paling menonjol. Anti-imperialisme tradisional juga muncul kembali di bekas koloni Prancis di Sahel Afrika, dengan kebangkitan semacam chavisme radikal di wilayah ini. Anti-imperialisme klasik, yang tampaknya telah memudar di awal abad ini kecuali di Amerika Latin, kini kembali mendapatkan momentum.

Namun, kita harus melihat dinamika saat ini dengan pandangan yang terbuka, mengakui bahwa anti-imperialisme saat ini lebih kompleks, beragam, dan rumit dibanding masa lalu. Banyak perlawanan terhadap imperialisme kini tidak lagi dipimpin oleh kekuatan nasionalis, progresif, atau kiri, melainkan oleh arus reaksioner yang eksplisit, seperti Taliban di Afganistan, yang berhasil mengalahkan AS tanpa menyempurnakan kemenangan bagi rakyat. Rezim penindas yang didirikan di Kabul adalah antitesis dari proyek progresif, berbeda dengan kemenangan-kemenangan anti-imperialis di paruh kedua abad ke-20.

Perang Ukraina juga menimbulkan pertanyaan yang berbeda: Di pihak manakah kubu anti-imperialis dalam konflik ini? Bagaimana seharusnya kita memosisikan diri? Menurut saya, tanggung jawab utama atas perang ini terletak pada AS, yang sengaja memprovokasi perang dengan mengepung Rusia dengan rudal, mendorong aksesi Kyiv ke NATO, memanipulasi pemberontakan Maidan, mendukung provokasi sayap kanan di Donbas, dan menolak proposal Rusia untuk penyelesaian yang dirundingkan. Namun, Putin juga melakukan invasi yang tidak dapat dibenarkan, menciptakan kepanikan di antara penduduk dan kebencian terhadap penjajah.

Hasil militer apa pun akan memiliki konsekuensi politik yang negatif: jika Zelensky dan NATO menang, sistem kekaisaran akan diperkuat; jika Putin menang, akan ada luka mendalam di Ukraina dan menciptakan kondisi untuk konfrontasi yang berkepanjangan. Saya tidak setuju dengan aliran sayap kiri yang membenarkan invasi Rusia dan lawan-lawan mereka yang membebaskan NATO (dan, dalam kasus yang paling aneh, menganjurkan untuk memasok senjata ke Ukraina). Solusi terbaik dalam skenario buruk ini adalah melanjutkan pembicaraan tentang gencatan senjata, hasil positif yang dipromosikan oleh banyak pemimpin progresif dan gerakan sayap kiri.

Secara lebih umum, saya melihat anti-imperialisme sebagai sebuah prinsip yang tetap relevan dalam konteks agresi, pembantaian, tragedi, dan perang saat ini, meskipun hal ini tidak sejelas pada abad ke-20. Oleh karena itu, mungkin kita perlu kembali ke Marx untuk menemukan panduan strategis. Marx hidup di masa peperangan yang hebat dan menolak penyederhanaan anarkis yang menganggap semua pihak dalam konflik sebagai kekuatan yang setara. Dia juga menolak pasifisme liberal yang menentang perang dengan alasan etika sambil mengabaikan logika politik dan akar kapitalisme. Marx menyarankan beberapa prinsip untuk memihak atau menentang dalam perang, siapa yang menjadi agresor, siapa yang mengajukan tuntutan yang adil, dan siapa yang menjadi musuh utama kedaulatan dan demokrasi. Secara khusus, dia menilai sejauh mana hasil dari konflik akan mendukung kekalahan pihak yang paling kuat dan pengembangan proses sosialis selanjutnya.

Mengadaptasi panduan ini ke dalam situasi saat ini dapat membantu kita menemukan beberapa kriteria panduan untuk internasionalisme anti-imperialis dan mengatasi dua masalah di sebelah kiri: evaluasi konflik dalam istilah geopolitik murni (antara kekuatan yang menurun dan yang meningkat atau yang regresif dan yang progresif); dan penyederhanaan yang menganjurkan untuk melawan semua pihak secara setara. Saya pikir, kita perlu menggabungkan penilaian-penilaian ini, mengarakterisasi makna dari setiap konfrontasi antara kekuatan atau pemerintah, sambil mengamati bagaimana konflik-konflik ini terkait dengan aspirasi kekuatan rakyat. Dengan kata lain, dalam konflik, kita perlu memperhatikan apa yang terjadi di atas sambil melihat aksi yang terjadi di bawah. Ini adalah sintesis yang dicari oleh semua pemimpin sosialis revolusioner sebelumnya, dan kita harus berusaha mengikuti jejak tradisi ini dalam perjuangan kita saat ini.


Artikel wawancara ini pertama kali terbit di Links International Journal of Socialists Renewal pada 24 Oktober, 2023. Diterjemahkan oleh Coen Husain Pontoh. Diterbitkan ulang di IndoProgress untuk tujuan pendidikan dan pembangunan gerakan progresif anti-imperialisme.

]]>