Wawancara – IndoPROGRESS https://indoprogress.com Media Pemikiran Progresif Tue, 29 Apr 2025 13:14:52 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.4.3 https://indoprogress.com/wp-content/uploads/2021/08/cropped-logo-ip-favicon-32x32.png Wawancara – IndoPROGRESS https://indoprogress.com 32 32 Hizkia Yosias Polimpung: Teknofeodalisme, Pengaruh dan Dampaknya di Pemerintahan Donald Trump https://indoprogress.com/2025/04/teknofeodalisme-di-pemerintahan-donald-trump/ Mon, 28 Apr 2025 06:23:18 +0000 https://indoprogress.com/?p=238932

Ilustrasi: Current Affairs


SEGERA setelah Donald Trump dilantik sebagai Presiden Amerika Serikat (AS) pada 20 Januari 2025, serangkaian kontroversi segera menyeruak dari Gedung Putih. Selain retorika yang bernuansa ekstrem kanan atau kanan jauh, ada juga fenomena yang perlu kita soroti serta bicarakan, yaitu masuknya beberapa tokoh bisnis raksasa yang bergerak di sektor digital capitalism atau venture capitalists seperti Elon Musk dan Peter Thiel ke dalam lingkaran inti pemerintahan. Mereka ini, dalam perkembangan sistem ekonomi-politik kapitalisme saat ini, disebut-sebut sebagai kelompok teknofeodalisme atau neofeodalisme. 

Fenomena masuknya para Tech Giants ke dalam struktur kekuasaan politik ini menarik untuk didiskusikan lebih jauh, terkait dengan apa itu neofeodalisme dan bagaimana dampaknya pada kita. Untuk itu, Coen Husain Pontoh, editor IndoPROGRESS, berbincang-bincang dengan Hizkia Yosias Polimpung, peneliti di Monash University, Malaysia, dan juga sebagai editor IndoPROGRESS.


Coen Husain Pontoh (CHP): Bisa dijelaskan apa yang dimaksud dengan teknofeodalisme atau neofeodalisme ini?

Hizkia Yosias Polimpung (HYP): Dalam diskusi mengenai teknofeodalisme, beberapa pemikir seperti Yanis Varoufakis, Jodi Dean, Cedric Durand, dan lainnya kerap disebut. Meskipun pandangan mereka beragam, ada benang merah yang menghubungkan pemikiran mereka, yaitu perhatian terhadap meningkatnya praktik rent-seeking (perburuan rente) di era digital, di mana ekonomi tidak lagi semata-mata berlandaskan pada keuntungan dalam pengertian marxis. Dalam konsep marxis, profit diperoleh dari surplus nilai tenaga kerja yang dibayar lebih rendah daripada nilai produksinya—relasi yang asimetris antara pekerja dan kapitalis. Asimetris dalam artian kita tidak dibayar menurut kontribusi kita, tapi menurut satuan jam kerja dan seterusnya. 

Namun, dalam konteks ekonomi platform atau ekonomi cloud, sumber keuntungan utama tidak lagi berasal dari eksploitasi langsung atas upah pekerja, melainkan dari praktik penarikan sewa (rent). Pola sewa ini berbeda dari yang dijelaskan Marx di masanya, di mana sewa dibayar secara langsung dan nyata. Kini, bentuk sewanya tersembunyi melalui mekanisme iklan digital. Pengguna platform sesungguhnya “membayar” dengan data pribadi yang mereka hasilkan saat menggunakan layanan, dan data tersebut diolah menjadi informasi yang bernilai ekonomi. Sering kali muncul anggapan keliru bahwa perusahaan teknologi besar secara langsung menjual data pribadi pengguna. Padahal, dalam praktiknya, yang diperjualbelikan adalah analisis dan pola-pola perilaku (insights) yang diperoleh dari kumpulan data dalam skala besar. Misalnya, data pengguna aplikasi seperti Gojek, dapat menunjukkan pola keramaian di lokasi tertentu pada waktu tertentu—informasi ini kemudian dijual kepada pengiklan atau pelaku bisnis untuk menentukan strategi pemasaran mereka.

Dengan demikian, pengguna platform secara tidak langsung membayar “sewa” melalui kontribusi data, sebagai ganti atas akses gratis ke layanan digital. Fenomena ini mencerminkan munculnya sebuah pola ekonomi baru yang berpusat pada ekstraksi sewa digital, menggantikan dominasi sebelumnya yang berada di tangan kapital finansial. Kini, perusahaan-perusahaan teknologi besar seperti Apple, Amazon, Alphabet (Google), Microsoft, dan Nvidia, yang dikenal sebagai Big Six Tech Companies atau Big Tech, menjadi aktor utama dalam ekonomi global, bahkan melampaui keuntungan yang diperoleh bank-bank besar di AS. Perubahan ini menunjukkan adanya pergeseran struktural dalam modus produksi yang menentukan arah ekonomi Amerika saat ini. Dan menariknya, ini terjadi bahkan sebelum kita membahas dimensi politik global seperti peran AS sebagai kekuatan imperial informal. Pergeseran ini membantu menjelaskan mengapa perusahaan-perusahaan teknologi raksasa kini memiliki pengaruh begitu besar dalam struktur ekonomi dan kekuasaan Amerika.


CHP: Apakah kamu setuju dengan konsep tekno-feodalisme, yang pada intinya, adalah tentang ekonomi berbasis sewa (rent)?

HYP: Jika konsep ini kita gunakan sekadar untuk merujuk pada fenomena yang ada, maka ia mungkin berguna sebagai alat analisis. Namun, menurut saya, apabila konsep ini dijadikan landasan praksis, maka manfaatnya sangat terbatas. Jika merujuk pada pemikiran Marx, khususnya di Capital jilid III, Marx membagi kelas berdasarkan sumber pendapatan menjadi tiga: (1) kelas borjuis yang memperoleh pendapatan dari laba (profit); (2) kelas buruh yang memperoleh penghasilan dari upah; dan (3) kelas feodal yang hidup dari sewa (rent).

Dari ketiga kelas ini, hanya kelas buruh yang memiliki potensi sebagai subjek revolusioner utama, meskipun ketiganya bisa memiliki sisi revolusioner. Ketika berbicara mengenai pengorganisasian buruh dalam struktur sosial ini, kekuatan buruh hanya terletak pada proses produksi. Maka, jika kita memandang fenomena hari ini melalui lensa feodalisme, perspektif tersebut menjadi kurang relevan karena buruh tidak memiliki posisi tawar dalam relasi sewa. Pada akhirnya, dalam kerangka seperti itu, harapan satu-satunya hanya tertuju pada negara. Karena itu, menurut saya, perlu ada upaya teoretis untuk tetap memandang dinamika ini dalam kerangka produksi dan bukan semata-mata dalam kerangka feodalisme atau rent-seeking. Fokus kita seharusnya diarahkan pada bagaimana proses penciptaan nilai dan laba (profit making) tetap berlangsung di balik fenomena sewa tersebut. Dibutuhkan imajinasi teoretis yang lebih tajam untuk mengungkap aspek-aspek produktif yang mendeterminasi praktik rent-seeking ini.

Itu sebabnya, jika konsep teknofeodalisme diterima begitu saja tanpa kritik, maka secara teoretis kita kehilangan ruang untuk membicarakan perjuangan kelas. Sebab, dalam logika rent-seeking, kelas pekerja tidak lagi memiliki posisi sentral, bahkan tidak punya suara. Padahal, dalam kerangka marxian, kekuatan revolusioner terletak pada kelas buruh—dan konsep teknofeodalisme, jika diambil mentah-mentah, justru mengaburkan posisi strategis tersebut.


CHP: Tadi kamu menyebutkan bahwa secara data, kelompok yang disebut sebagai tekno-feodalisme saat ini memang sangat berpengaruh. Apakah ini yang menjadi alasan mengapa mereka berhasil masuk ke dalam struktur kekuasaan pemerintahan baru AS di era Donald Trump?

HYP: Dalam konteks tersebut, kemunculan dan dominasi big tech seyogianya tidak semata-mata dipahami melalui kacamata korupsi atau ketidakmampuan pemerintah. Pendekatan materialisme historis diperlukan untuk menunjukkan bahwa kebangkitan big tech berkaitan erat dengan perubahan struktural dalam pola produksi dan reproduksi kehidupan material. Ada pergeseran fundamental dalam sistem produksi di AS, dari fase finansialisasi menuju fase baru yang belum sepenuhnya terdefinisikan—untuk sementara dapat kita sebut sebagai teknologisasi. Pergeseran inilah yang, menurut saya perlu dianalisis secara sistemik, karena belum banyak yang mengaitkan dinamika ini dengan variabel-variabel makro-struktural yang kompleks. Kebetulan, selama dua hingga tiga tahun terakhir, kajian saya memang berfokus pada aspek makroekonomi dari perubahan ini. Namun sebelum masuk lebih jauh ke pembahasan tersebut, saya sempat menangkap satu potret menarik: video Elon Musk yang sedang menggendong anaknya di Oval Office—sebuah simbol yang merefleksikan bagaimana kekuatan big tech kini telah berkelindan dengan struktur politik.

Menurut saya, salah satu hal yang menarik dari fenomena bangkitnya big tech adalah karena, pada titik tertentu, narasi yang disuarakan oleh figur seperti Elon Musk dan Donald Trump memiliki kebenaran. Mereka menyoroti bagaimana perekonomian tidak lagi berpihak pada rakyat, bagaimana praktik korupsi hanya menguntungkan segelintir pihak, dan bagaimana manfaat ekonomi justru dinikmati oleh negara lain. Jika kita melihat dari data neraca transaksi berjalan, defisit AS sempat mencapai ratusan miliar dolar, bahkan menembus angka 300 miliar dolar pada 2008. Secara sederhana, angka ini menunjukkan besarnya ketergantungan pada impor. Pertanyaannya, jika sebagian besar kebutuhan dipenuhi melalui impor, lalu apa yang sebenarnya masih diproduksi di dalam negeri? Dari sini kita dapat melihat bagaimana tren deindustrialisasi berlangsung secara masif, yang pada gilirannya mendorong banyak pekerja ke kondisi ‘lumpen’—tercerabut dari pekerjaan tetap dan kehilangan kapasitas untuk berorganisasi secara ekonomi maupun sosial. Ketika sektor manufaktur mengalami kemunduran dan sektor finansial tidak mampu menyerap tenaga kerja dalam skala besar, satu-satunya sektor yang mampu menjadi penyangga adalah big tech. Pergeseran struktural inilah yang memungkinkan mereka mengisi kekosongan tersebut dan memperluas dominasinya.


CHP: Sebelum kita masuk lebih jauh ke pembahasan makroekonomi, saya ingin kamu memperjelas terlebih dahulu apa yang kamu maksud ketika menyebut bahwa kritik-kritik yang disampaikan oleh Donald Trump atau Elon Musk—tentang inefisiensi, korupsi, dan lain sebagainya—memang benar adanya. Apakah yang ingin kamu tunjukkan sebenarnya adalah bahwa semua itu merupakan bagian dari dinamika perubahan dalam perkembangan kapitalisme? Bahwa kita sedang menyaksikan transisi dari kapitalisme berbasis industri, bergeser ke kapitalisme finansial, dan kini menuju kapitalisme digital? Ataukah sebenarnya penjelasannya lebih tepat jika kita letakkan dalam konteks deindustrialisasi sebagai respons terhadap krisis kapitalisme industrial, atau sebagai konsekuensi dari kegagalan keynesianisme dan runtuhnya sistem Bretton Woods pada akhir dekade 1960-an?

HYP: Sebagian besar kritik yang disampaikan oleh Elon Musk dan Donald Trump, bahkan sejak masa kampanye mereka, pada dasarnya memiliki landasan karena memang mencerminkan adanya pergeseran dalam struktur kapitalisme atau basis material kapitalisme di AS. Pergeseran ini tidak bisa dilepaskan dari posisi AS sebagai pusat imperialisme global, meskipun sifatnya lebih informal. Namun, untuk memahami fenomena ini secara utuh, kita perlu menggunakan perspektif makroekonomi dan tidak sekadar membatasi pembacaan pada sektor industri atau dinamika produksi semata.

Jika kita tarik kaitannya dengan sistem Bretton Woods, hal pertama yang harus digarisbawahi adalah bahwa posisi Amerika tidak dapat dijelaskan dengan kerangka yang sama seperti negara-negara lain. Ini karena dolar AS berfungsi sebagai mata uang internasional, memberi Amerika kekuasaan yang unik—mereka dapat mencetak dolar tanpa batasan hukum internasional yang mengaturnya sebagai kekuatan imperial. Terkait dengan runtuhnya Bretton Woods, memang ada benang merah yang perlu dicermati. Kegagalan sistem ini berakar pada saat dolar AS dijadikan mata uang internasional. Patut dicatat, pada awalnya Amerika sebenarnya menolak posisi ini, karena saat itu mereka belum siap menanggung beban kebijakan ekonomi global seperti pengendalian suku bunga, nilai tukar, maupun stabilitas makroekonomi internasional. Menariknya, ada pula catatan historis yang menyebutkan adanya motif politik di balik kebijakan tersebut. Berdasarkan catatan harian Menteri Keuangan saat itu, Henry Morgenthau, muncul dugaan bahwa Partai Demokrat mendorong dominasi dolar agar dapat menciptakan ketergantungan global terhadap mata uang tersebut, yang pada akhirnya memberi keuntungan politik dan ekonomi bagi Amerika, khususnya bagi partai yang berkuasa saat itu.

Inti dari poin yang ingin saya sampaikan adalah bahwa, terlepas dari praktik politik transaksional yang melibatkan para oligarki, kita dapat melihat bahwa berbagai pergeseran struktural ini pada akhirnya menegaskan menguatnya dominasi kekuatan finansial. Penguatan sektor finansial, yang dibarengi dengan kebijakan memanfaatkan status dolar sebagai mata uang internasional, turut mendorong proses deindustrialisasi. Hal ini terjadi karena arus dolar yang terus mengalir keluar negeri tidak hanya membiayai konsumsi impor Amerika, tetapi juga menopang pembangunan sektor manufaktur di negara lain.

Sementara itu, kelas pekerja di Amerika justru terpinggirkan dan semakin kehilangan posisi dalam struktur ekonomi. Jeritan dan ketidakpuasan kelas pekerja inilah yang kemudian ditangkap dan dimanfaatkan secara politik oleh figur seperti Donald Trump. Sistem ekonomi yang semakin bergantung pada sektor finansial pada akhirnya lebih menguntungkan segelintir elite oligarki finansial. Kita bisa melihat contohnya pada bank-bank besar di Amerika yang mempekerjakan sangat sedikit tenaga kerja dibandingkan dengan perusahaan seperti Amazon atau Nvidia, yang mampu menyerap jutaan pekerja. Pola penyerapan tenaga kerja inilah yang kemudian menjadi bahan bakar politisasi dalam wacana populis. Oleh karena itu, penting bagi kita untuk membaca perubahan ini melalui lensa materialisme historis, dengan menyoroti bagaimana pergeseran basis produksi di Amerika berpengaruh terhadap posisinya sebagai kekuatan imperial global.


CHP: Dengan demikian, menjadi cukup masuk akal jika salah satu langkah awal yang diambil Donald Trump saat berkuasa adalah menerapkan kebijakan efisiensi, yang diwujudkan melalui pembubaran sejumlah institusi yang secara politik mungkin dianggap strategis bagi Amerika, tetapi dinilai tidak memiliki signifikansi ekonomi. Sebagai contoh, lembaga seperti USAID di luar negeri atau Departemen Pendidikan di dalam negeri menjadi sasaran kebijakan tersebut. Langkah kedua yang ditempuh Trump adalah menaikkan tarif impor, yang kemudian berdampak pada beberapa negara mitra dagang utama seperti Kanada, Meksiko, dan Tiongkok. Selain itu, tidak tertutup kemungkinan bahwa dalam waktu dekat, pemerintahan baru di Amerika Serikat juga akan mendorong implementasi kebijakan terkait keuangan digital, termasuk potensi peluncuran crypto finance. Berdasarkan perkembangan tersebut, menurut pandanganmu, apakah kebijakan-kebijakan ini dapat dibaca sebagai bentuk konkret dari transformasi menuju digital finance atau apa yang disebut sebagai cloud finance?

Yosie: Terkait konsep cloud finance, pandangan saya sebenarnya agak berbeda dari analisis yang diajukan oleh Yanis Varoufakis. Saya belum berani menarik kesimpulan yang lebih substansial mengenai isu ini, sebab fokus utama kajian saya bukanlah pada dinamika di Amerika Serikat. Namun, suka tidak suka, jika kita ingin membaca tren global saat ini, kita tetap perlu melihat Amerika Serikat sebagai episentrum perubahan. Dalam membaca argumen Varoufakis, menurut saya ada beberapa poin penting yang sering luput dari perhatian. Nilai utama dari bukunya bukan terletak pada gagasan mengenai tekno-feodalisme, melainkan pada analisisnya atas modus produksi kontemporer. Ia berhasil menunjukkan kemunculan apa yang ia sebut sebagai cloud capital, yakni bentuk baru dari akumulasi kapital berbasis infrastruktur digital.

Lebih jauh, Varoufakis menyoroti bagaimana cloud capital ini berkelindan dengan finance capital dalam konteks otoritarianisme Tiongkok. Menurutnya, kombinasi antara cloud capital dan finance capital di bawah kendali negara otoriter seperti Tiongkok berpotensi menjadi kekuatan baru yang mampu mengguncang tatanan global, bahkan membuka kemungkinan lahirnya sebuah modus produksi baru. Pertanyaannya tentu saja, apakah modus produksi ini tetap berada dalam kerangka kapitalisme atau justru mengarah ke sosialisme—meskipun itu adalah diskusi lain. Dalam konteks materialisme historis, pergeseran ini mencerminkan transformasi dalam basis produksi dan reproduksi kehidupan material sebagaimana dikemukakan oleh Marx. Varoufakis berargumen bahwa salah satu alasan mengapa Amerika Serikat tertinggal dalam perkembangan ini adalah ketidakmampuannya mengintegrasikan kedua bentuk kapital tersebut. Hal ini dapat diamati dari karakter sektor finansial di Amerika, yang beroperasi berdasarkan logika prediksi, kepastian, dan kontrol atas masa depan. Sebaliknya, pendekatan politik Donald Trump sangat tidak terduga, penuh ketidakpastian, dan tidak sejalan dengan kepentingan bisnis sektor finansial. Ini pula yang menjelaskan mengapa, pada awalnya, bank-bank besar di Amerika tidak berada di belakang Trump, meskipun setelah ia memenangkan pemilu, mereka tetap merapat demi kepentingan pragmatis.

Lebih jauh, kita bisa melihat adanya perbedaan mendasar antara logika bisnis sektor finansial dengan big tech. Keduanya beroperasi dengan kalkulasi dan orientasi yang berbeda. Namun, perkembangan terakhir menunjukkan dinamika baru: bank-bank besar seperti BlackRock dan JP Morgan Chase mulai memasuki ranah tokenisasi aset dunia nyata (Real World Assets/RWA), berupaya menjembatani dunia keuangan tradisional (off-chain) dengan ekosistem keuangan terdesentralisasi (on-chain). Sebaliknya, big tech, terutama yang berafiliasi dengan Trump dan lingkarannya, cenderung membangun jaringan fintech tersendiri yang berorientasi politik.

Fenomena ini tidak terlepas dari krisis struktural yang melatarbelakangi bangkitnya big tech di Amerika Serikat, di mana teknologi blockchain dan crypto menjadi medium baru bagi akumulasi kapital. Krisis tersebut juga terkait dengan kebijakan dolar sebagai senjata ekonomi global yang, dalam jangka panjang, mendorong tren de-dolarisasi. Fragmentasi kapitalisme global yang disebabkan oleh kebijakan proteksionis Amerika Serikat turut memperparah kondisi ini. Ironisnya, alih-alih memperkuat kapitalisme global, kebijakan-kebijakan tersebut justru memicu proses deglobalisasi.

Dalam konteks ini, bank-bank besar seperti BlackRock dan JP Morgan Chase terlihat mencoba ‘me-reglobalisasi’ sistem ekonomi dengan menghubungkan infrastruktur keuangan lama dan baru, sementara big tech justru semakin terintegrasi dengan politik domestik. Pertentangan antara dua kutub kapital besar di Amerika Serikat ini akan membawa implikasi serius di masa mendatang. Di satu sisi, kubu big tech semakin erat dengan politik populis, sementara bank-bank besar berusaha mempertahankan kapitalisme global melalui jalur finansialisasi digital yang berbeda. Keduanya menempuh jalur masing-masing, dan penolakan mereka untuk bersatu mencerminkan ketegangan mendalam dalam struktur kapitalisme Amerika hari ini.


CHP: Salah satu kritik utama terhadap fenomena finansialisasi adalah semakin jauhnya keterkaitan antara sektor finansial dengan sektor riil. Keterputusan ini menciptakan kerentanan struktural yang dapat memicu krisis, seperti yang terjadi pada krisis ekonomi global tahun 2008. Saat ini, situasinya bahkan semakin kompleks dengan kemunculan apa yang disebut sebagai cloud capital atau ekonomi digital. Dalam pandanganmu, bagaimana kamu melihat perkembangan ini ke depan? Apakah ada kemungkinan bahwa sektor finansial dan cloud capital dapat berjalan berdampingan secara stabil, atau justru potensi keterputusan keduanya akan melahirkan krisis ekonomi baru yang skalanya mungkin lebih besar dibandingkan krisis 2008?

HYP: Terkait dengan persoalan sektor ekonomi riil, selama saya mendalami literatur tentang finansialisasi, saya masih belum menemukan penjelasan yang memadai mengenai peran sektor riil dalam dinamika ini. Jika kita merujuk pada karya Costas Lapavitsas berjudul Profiting without Production, ia menyoroti kecenderungan dalam analisis finansialisasi yang lebih banyak menempatkan capital financial sebagai pusat perhatian, sementara capital industrial atau sektor produksi riil cenderung terabaikan. Dalam kerangka ini, akumulasi profit berbasis kapital fiktif sering kali dipandang seolah-olah berdiri sendiri, terlepas dari proses produksi riil. Namun, pandangan ini justru memunculkan pertanyaan kritis: apakah benar kapital finansial dapat sepenuhnya terlepas dari basis produksi material? Jika memang demikian, bagaimana kita dapat menjelaskan terjadinya krisis seperti bubble ekonomi? Oleh karena itu, penting bagi kita untuk memperjelas dan menegaskan kembali fungsi serta posisi sektor riil dalam keseluruhan dinamika kapitalisme finansial.

Namun, dalam konteks ini, saya harus mengakui bahwa saya belum menemukan argumen yang benar-benar meyakinkan. Karena itu, sejauh ini saya berpendapat bahwa konsep ekonomi riil kerap kali hanya dijadikan sebagai alibi dalam kerangka finansialisasi. Meski demikian, perlu diperjelas pada titik mana sektor riil ini benar-benar berfungsi sebagai alibi, misalnya melalui penghitungan kontribusinya terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) dan indikator lainnya. Jika kita merujuk pada penelitian Greta Krippner tahun 2004, ia menunjukkan bahwa sektor finansial – yang sering disebut sebagai FIRE (Finance, Insurance, Real Estate) – telah berkembang pesat di Amerika Serikat hingga mencapai porsi signifikan dalam PDB, bahkan belasan persen. Aspek inilah yang harus menjadi perhatian dalam pembacaan ekonomi saat ini.

Namun, jika kita memperluas definisi ekonomi riil, tidak hanya terbatas pada aktivitas produksi tetapi juga mencakup konsumsi, maka kita bisa melihat adanya dinamika baru. Sebagai contoh, dalam ekonomi digital, individu tetap dapat memperoleh pendapatan tanpa terlibat langsung dalam proses produksi konvensional, sehingga perputaran ekonomi riil tetap terjadi. Selain itu, kita juga perlu mengakui keberadaan sektor riil dalam pengertian tradisional, di mana perusahaan-perusahaan big tech seperti Amazon masih mempekerjakan jutaan pekerja, meskipun sektor ini tidak terlepas dari berbagai persoalan struktural.

Dengan demikian, secara keseluruhan, kita dapat melihat bahwa kedua sektor—yakni sektor ekonomi riil dalam bentuk tradisional maupun sektor digital—masih berjalan dan saling melengkapi. Kedua dimensi ini berhasil diintegrasikan dan dimanfaatkan oleh perusahaan-perusahaan big tech, sementara sektor perbankan besar (big banks) gagal untuk mengkapitalisasi peluang tersebut. Inilah yang menjelaskan mengapa big tech tetap memiliki posisi yang kokoh dan relevan dalam lanskap ekonomi saat ini. Lebih jauh, kondisi ini juga menjadi salah satu sumber energi politik bagi gerakan MAGA, karena mereka mampu menunjukkan secara konkret peningkatan jumlah tenaga kerja dan akumulasi kapital sejak era kepemimpinan Donald Trump. Sebaliknya, bank-bank besar tidak memiliki kapasitas untuk mengklaim hal serupa, sebab mereka tidak mampu mempertahankan narasi ekonomi riil yang bisa menopang logika finansialisasi dalam jangka panjang. Namun, ketika big tech mulai mengintegrasikan finansialisasi melalui teknologi blockchain, cloud finance, dan instrumen keuangan digital lainnya, kita mulai dapat membayangkan bagaimana proses ini membuka jalan bagi formasi ekonomi baru yang menggabungkan sektor riil dan finansial secara lebih efektif


CHP: Jika kita membahas soal eksploitasi, bisakah kamu jelaskan bagaimana mekanisme eksploitasi berlangsung dalam konteks ekonomi digital atau dalam apa yang disebut sebagai era tekno-feodalisme ini? Selain itu, bagaimana karakter eksploitasi tersebut berbeda dibandingkan dengan bentuk eksploitasi yang terjadi di sektor riil pada masa kapitalisme industrial maupun dalam fase kapitalisme finansial?

HYP: Ketika kita berbicara mengenai konsep eksploitasi, maka kerangka analisisnya harus kembali pada logika produksi dalam konteks ekonomi global, khususnya di Amerika Serikat. Penting untuk dipahami bahwa produksi dan sirkulasi kapital bukanlah dua hal yang terpisah, melainkan saling berkaitan secara dialektis. Dalam pengertian ini, sirkulasi kapital dapat dipandang sebagai bagian integral dari proses produksi itu sendiri—sesuatu yang selama ini jarang dijelaskan secara komprehensif.

Jika kita merujuk pada literatur Marx, khususnya dalam Grundrisse, ia pernah menyinggung bahwa pada tahap tertentu dalam perkembangan kapitalisme, proses sirkulasi akan berkembang sedemikian rupa hingga menjadi momen produksi tersendiri. Lalu, apa konsekuensi konkretnya? Saat ini, kita dapat melihat bahwa proses sirkulasi—yakni realisasi profit—terjadi pada saat konsumsi berlangsung, ketika orang melakukan pembelian. Dengan kata lain, proses konsumsi itu sendiri telah menjadi bagian dari proses produksi nilai. Pandangan ini tentu menuntut kita keluar dari kerangka marxisme ortodoks yang cenderung memisahkan produksi dan konsumsi secara kaku. Dan ironisnya, kondisi di mana konsumsi menjadi bagian dari produksi ini justru paling tampak dalam praktik bisnis big tech saat ini, yang berhasil memanfaatkan pola tersebut secara nyata.

Contoh paling sederhana dapat kita lihat ketika seseorang melakukan aktivitas scrolling di Instagram. Secara kasat mata, kita tampak seperti sekadar mengonsumsi produk digital yang disediakan oleh META. Namun, pertanyaannya: apakah aktivitas konsumsi ini menghabiskan atau mengurangi komoditas tersebut? Tentu saja tidak. Jika dilihat dari perspektif META, aktivitas ini justru merupakan proses produksi data. Data yang dihasilkan oleh pengguna kemudian diolah dan dimanfaatkan untuk memperbesar basis data perusahaan, yang pada akhirnya menjadi fondasi utama model bisnis mereka – seperti yang telah kita bahas sebelumnya. Dengan demikian, kita dapat memandang konsumsi ini sebagai bagian dari proses produksi, bahkan sebagai penciptaan nilai lebih yang lebih eksploitatif dibandingkan dengan kapitalisme manufaktur. Sebab, dalam kapitalisme manufaktur, buruh masih memperoleh upah dari hasil produksinya. Sementara dalam konteks kapitalisme digital hari ini, kita sebagai konsumen justru turut menambah akumulasi kapital tanpa mendapatkan kompensasi apa pun.

Dari pemahaman ini, saya berpandangan bahwa sudah saatnya kita mulai menggeser cara berpikir kita—bukan sekadar pada konsumsi etis seperti menolak produk-produk tertentu, melainkan pada bagaimana konsumsi itu sendiri merupakan bagian dari produksi dan bagaimana proses ini perlu diorganisasi secara politis. Meskipun gagasan ini terdengar abstrak, pendekatan semacam ini memungkinkan kita untuk memahami secara lebih tajam bagaimana logika produksi dan konsumsi kini telah berkelindan, khususnya dalam konteks kapitalisme berbasis cloud capital dan finance capital. Lebih jauh, hal ini juga membuka ruang untuk memetakan implikasi strukturalnya terhadap kondisi kelas pekerja saat ini.


CHP: Dari penjelasan yang kamu sampaikan sebelumnya, saya mulai memahami bagaimana keterkaitan antara big tech, ekonomi digital, dan pola konsumsi saat ini. Artinya, dalam konteks ekonomi digital, ketika kita mengonsumsi sesuatu, kita secara tidak langsung juga berkontribusi pada proses produksi bagi mereka. Dari pemahaman ini, muncul pertanyaan lebih lanjut mengenai dampak dominasi dan menguatnya posisi big tech, khususnya dalam konteks pemerintahan Donald Trump, terhadap dinamika internasional. Misalnya, bagaimana implikasinya terhadap hubungan Amerika Serikat dengan Tiongkok, yang saat ini sering dipandang sebagai pesaing utama dalam sektor ekonomi digital. Kamu juga sempat menyebutkan sebelumnya bahwa Tiongkok justru lebih berhasil dalam mengintegrasikan ekonomi digital dan finansial. Menurut pandanganmu, apakah situasi ini akan membawa dampak signifikan terhadap konfigurasi ekonomi politik global di masa mendatang?

 HYP: Ketika struktur imperialisme yang selama ini menopang kapitalisme mengalami keruntuhan, perlu dipahami bahwa keruntuhan ini tidak serta-merta berarti bahwa Amerika Serikat menjadi negara yang miskin atau kehilangan kekuatan. Sebaliknya, yang runtuh adalah karakter kapitalisme dalam bentuk globalisasinya. Dalam kajian Hubungan Internasional, terdapat satu pertanyaan mendasar yang menjadi titik tolak lahirnya disiplin ini, sebuah pertanyaan yang sederhana namun sangat krusial, yaitu: bagaimana mencegah terjadinya perang? Meskipun dalam perkembangannya muncul berbagai pendekatan baru seperti teori kritis, posmodernisme, dan pos-strukturalisme, inti dari studi Hubungan Internasional tetap berakar pada persoalan mendasar tersebut—mencari cara untuk menghindari konflik bersenjata di level global.

Pada dekade 1960-an, berkembang perspektif liberal-fungsionalisme dan teori-teori sejenis yang, menurut saya, sangat menarik dan relevan untuk diskusi kita saat ini. Hal ini disebabkan karena argumen yang diajukan oleh para pemikir liberal pada masa itu cukup meyakinkan. Mereka berpendapat bahwa salah satu cara paling efektif untuk mencegah terjadinya perang adalah dengan menciptakan keterkaitan yang kuat antarnegara, atau dalam istilah lain, melalui proses globalisasi—khususnya melalui jalur perdagangan dan kerja sama ekonomi. Dari gagasan ini lahirlah konsep interdependensi, yakni keyakinan bahwa saling keterikatan ekonomi antarnegara akan membuat konflik bersenjata menjadi tidak rasional dan terlalu mahal untuk dilakukan. Sebagai contoh, jika suatu negara berniat menyerang negara lain—misalnya Amerika Serikat hendak menyerang Tiongkok—maka tindakan tersebut tidak hanya akan merugikan pihak yang diserang, tetapi juga akan membawa kerugian besar bagi sektor-sektor ekonomi domestik negara penyerang. Dengan demikian, dalam logika liberal, semakin terhubungnya negara-negara melalui jaringan ekonomi global akan membuat perdamaian menjadi pilihan yang lebih rasional. Singkatnya, globalisasi dianggap identik dengan perdamaian.

Kondisi saat ini justru menunjukkan arah yang berbeda, di mana pemerintahan Donald Trump mendorong proses deglobalisasi. Situasi ini membawa kita kembali pada relevansi pertanyaan fundamental yang pernah mengemuka pada dekade 1960-an, yaitu bagaimana mencegah terjadinya perang. Sebab, dalam konteks deglobalisasi, insentif bagi Amerika Serikat untuk menjaga stabilitas dan keterhubungan global semakin menurun, sehingga biaya politik dan ekonomi untuk melancarkan konflik menjadi relatif lebih murah. Selain itu, jika kita mengamati konfigurasi kekuatan di sekitar Trump, mayoritas figur-figur utama di sektor big tech berada di spektrum politik kanan, yang menjadi karakteristik khas dalam politik Amerika Serikat. Narasi seperti “Make America Great Again” mencerminkan bagaimana Trump dan lingkarannya memandang Tiongkok bukan sebagai mitra strategis, melainkan sebagai ancaman langsung. Salah satu contohnya dapat dilihat dari isu terbaru terkait pelarangan Deepseek, yang mencerminkan kecenderungan untuk memandang segala sesuatu yang terkait dengan Tiongkok secara negatif dan penuh kecurigaan. Dalam konteks ini, prediksi-prediksi pesimistis yang sering muncul di kalangan studi Hubungan Internasional—bahwa dinamika semacam ini akan membawa pada ketegangan dan potensi konflik terbuka—kembali menemukan momentumnya. 

Saya pribadi pun berbagi kekhawatiran yang sama. Menurut saya, kita perlu mulai mempersiapkan diri atas kemungkinan meningkatnya risiko terjadinya perang, sebab bagi Amerika Serikat, biaya untuk melancarkan perang saat ini menjadi jauh lebih rendah dibandingkan pada masa ketika globalisasi masih berlangsung. Potensi kerugian yang harus ditanggung Amerika Serikat akibat konflik bersenjata tidak lagi sebesar sebelumnya. Yang perlu diwaspadai adalah situasi ketika Amerika Serikat mencapai titik keyakinan tertentu bahwa mereka mampu bertahan secara mandiri tanpa perlu mengandalkan keterkaitan global.

Jika kita berbicara mengenai kemungkinan terjadinya perang dalam arti konvensional atau fisik, realitas saat ini menunjukkan bahwa Tiongkok masih berada jauh di belakang Amerika Serikat dalam hal kekuatan militer. Bahkan jika kekuatan Tiongkok dikombinasikan dengan negara-negara seperti Rusia, Turki, dan lainnya, kesenjangan kekuatan militer tersebut masih tetap signifikan. Oleh karena itu, menjadi sangat penting bagi Tiongkok, dan juga Rusia, untuk menghindari tindakan-tindakan yang dapat memicu provokasi terhadap Amerika Serikat. Dalam kerangka berpikir untuk mencegah konflik, posisi strategis bagi kedua negara tersebut adalah tidak memberikan alasan atau justifikasi bagi Amerika Serikat untuk melancarkan aksi militer


CHP: Skenario yang kamu sampaikan ini tampak cukup suram dan mengarah pada situasi yang pesimistis. Jika kondisi ini terus berlanjut, atau jika agenda yang didorong oleh kalangan big tech berhasil terealisasi sepenuhnya, maka bukan tidak mungkin eskalasi konflik, bahkan potensi terjadinya perang, akan menjadi konsekuensi yang sulit dihindari. Dalam konteks tersebut, saya ingin mengetahui pandanganmu terkait posisi negara-negara berkembang seperti Indonesia. Menurutmu, sikap atau strategi seperti apa yang sebaiknya diambil oleh Indonesia dalam menghadapi dinamika global yang semakin tidak menentu ini?

HYP: Dalam hal ini, saya pribadi banyak terinspirasi oleh pemikiran Ho Chi Minh. Saat masih berada di Prancis, salah satu gagasan utama yang ia tekankan adalah pentingnya membangun koneksi antara kelas pekerja di pusat-pusat kekuasaan imperial (imperial metropol) dengan kelas pekerja di wilayah pinggiran (periphery). Bagi Ho Chi Minh, inilah esensi dari semangat internasionalisme. Tentu saja, gagasan ini mudah untuk dibicarakan, tetapi jika kita melihat kondisi saat ini, pertanyaannya adalah: kelas pekerja mana yang benar-benar memiliki orientasi internasionalis? Bahkan di Indonesia, misalnya, sejauh mana Partai Buruh atau konfederasi serikat pekerja telah berpikir dalam kerangka perjuangan kelas internasional? Pada kenyataannya, fokus utama mereka masih berkutat pada isu-isu mendasar seperti kenaikan upah atau pengurangan jam kerja.

Namun, apa yang hendak ditunjukkan oleh Ho Chi Minh adalah bahwa proses imperialisme—dalam konteksnya, imperialisme Prancis—tidak akan berhenti kecuali kekuatan imperial tersebut berhasil dilemahkan dari dalam, dan satu-satunya kekuatan yang dapat melakukannya adalah kelas pekerja di negara pusat imperialisme itu sendiri. Secara intuitif, hal ini terasa kontradiktif, karena seolah-olah kelas pekerja di negara periferi justru harus mendukung perjuangan kelas pekerja di negara pusat, seperti Amerika Serikat. Padahal, kondisi kelas pekerja di negara-negara seperti Indonesia sendiri masih jauh dari sejahtera. Inilah pekerjaan besar yang perlu diemban oleh para pemikir progresif, baik di Indonesia maupun di negara-negara lain. Mereka perlu menghidupkan kembali perspektif internasionalisme dalam perjuangan kelas, menggeser fokus dari sekadar tuntutan normatif seperti upah dan kebijakan pemerintah yang timpang. Dalam konteks saat ini, salah satu bentuk solidaritas internasional yang paling strategis adalah mendukung perjuangan kelas pekerja di Amerika Serikat dalam melawan dominasi tekno-feodalisme, big tech, big finance, dan bank-bank besar yang menjadi pilar utama kapitalisme global.

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.


CHP: Kalau di level negara, menurut kamu kira-kira apa yang bisa dilakukan oleh Indonesia? Atau kamu tidak punya harapan atau tidak melihat ada sesuatu yang bisa pemerintah Indonesia lakukan di tengah skenario terburuk seperti yang kamu sampaikan tadi?

HYP: Jika kita mengamati kondisi pemerintahan Prabowo saat ini, menurut saya cukup jelas bahwa tidak ada ruang bagi agenda semacam ini untuk dijalankan. Pada titik ini, sikap yang mungkin diambil hanyalah menerima kondisi yang ada.

Namun, mari kita bayangkan sebuah skenario utopis di mana negara dipimpin oleh kekuatan progresif. Dalam konteks tersebut, salah satu langkah strategis yang dapat diambil adalah mendorong dan mengampanyekan perspektif internasionalisme sebagai bagian dari kebijakan luar negeri. Kampanye ini dapat diwujudkan melalui pernyataan politik yang tegas dan luas untuk menunjukkan solidaritas terhadap perjuangan kelas pekerja di Amerika Serikat. Sebab, harus diakui bahwa kekuatan yang paling mungkin mampu melemahkan dominasi imperialisme Amerika Serikat adalah kelas pekerja di negara tersebut sendiri. Saya pribadi tidak melihat kemungkinan bahwa Tiongkok, misalnya, dapat melakukannya melalui intervensi langsung. Jika pun itu terjadi, besar kemungkinan pendekatannya akan bersifat militer dan terjadi di masa mendatang. Namun, dalam kerangka sistem kedaulatan negara yang berlaku saat ini, pada akhirnya hanya kelas pekerja di Amerika Serikat yang memiliki potensi riil untuk melemahkan dominasi imperialisme tersebut. Karena itu, internasionalisme harus selalu diarahkan untuk menopang perjuangan kelas pekerja di level akar rumput, melalui berbagai bentuk dukungan seperti pemberontakan, intervensi, bantuan finansial, dan strategi-strategi lainnya. 

Selain itu, ada langkah lain yang dapat diupayakan pada tataran moneter, meskipun secara intuitif hal ini tampak bertentangan. Salah satu kemungkinan strategis adalah mendorong penguatan dolar AS, namun di saat yang sama berupaya melepaskan keterikatan antara dolar dengan kepentingan politik Amerika Serikat. Gagasan ini masih bersifat hipotetis, tetapi jika kita perhatikan, apa yang sedang diupayakan oleh institusi seperti BlackRock tampaknya mengarah ke sana: memperkuat posisi dolar AS hingga melampaui sekadar instrumen kekuatan Amerika Serikat. Alasan utama di balik strategi ini adalah karena dolar AS sudah terlanjur menjadi tulang punggung globalisasi ekonomi dunia, dan saat ini hanya mata uang tersebut yang mampu menjaga keterhubungan sistem ekonomi global. Jika kita lihat dari sudut pandang para pelaku bisnis, pilihan mereka menggunakan dolar bukan semata-mata karena paksaan Amerika Serikat, melainkan karena tingkat keamanannya yang sangat tinggi. Di sisi lain, terdapat kecenderungan politik yang berlawanan, terutama yang diperlihatkan oleh Donald Trump, yang berupaya menarik kembali dominasi dolar ke dalam kerangka kepentingan nasional Amerika dan mendorong proses deglobalisasi—yang dalam arti tertentu bertentangan dengan logika kapitalisme global. Trump tidak menginginkan dolar menjadi simbol kapitalisme global, melainkan tetap menjadi milik eksklusif Amerika Serikat. Sementara itu, kapitalisme global justru menghendaki agar dolar tetap berfungsi sebagai infrastruktur utama bagi akumulasi kapital di tingkat global. Dengan demikian, perjuangan di level moneter terletak pada bagaimana menciptakan kondisi di mana dolar AS tetap memiliki fungsi internasional, bahkan melampaui kepentingan politik Amerika Serikat itu sendiri—sebuah proyek yang, secara ironis, sejalan dengan kepentingan kapitalisme global dan bertentangan dengan agenda politik Trump.

Mungkin gagasan ini masih terasa jauh dari diskursus yang umum kita temui saat ini. Namun, menurut saya, penting untuk mulai membuka ruang berpikir ke arah ini—yakni pada jalur yang lebih abstrak, yang berkaitan dengan persoalan moneter, finansial, dan struktur kebijakan ekonomi global. Dengan kata lain, perjuangan tidak boleh semata-mata terfokus pada sektor manufaktur atau ekonomi industrial semata. Sudah saatnya kita mulai mendiversifikasi bentuk perjuangan, termasuk mengupayakan intervensi dan keterlibatan di ranah kebijakan moneter serta sektor keuangan global.


CHP: Sebelumnya, kamu telah menjelaskan beberapa langkah yang dapat diambil oleh gerakan kelas sosial dan kelas pekerja dalam merespons menguatnya ekonomi digital dan implikasinya di tingkat internasional. Namun, menurutmu, adakah strategi lain yang juga bisa ditempuh oleh gerakan sosial dalam menghadapi dominasi kelompok tekno-feodal, baik dari segi politik maupun ekonomi?

HYP: Menurut saya, dalam jangka pendek situasinya cukup sulit dan saya sendiri cukup pesimis. Namun, jika kita berbicara dalam kerangka jangka panjang—dengan asumsi bahwa konflik besar atau perang tidak terjadi dalam lima hingga sepuluh tahun ke depan—maka masih ada ruang untuk berharap. Tentu saja, hal ini mensyaratkan adanya kemampuan untuk mengorganisasi gerakan secara efektif. Langkah pertama yang perlu dilakukan adalah masuk melalui jalur konsumsi dalam sistem ekonomi yang ada saat ini. Pertanyaan mendasarnya adalah bagaimana memastikan bahwa konsumsi tersebut dapat terlebih dahulu memenuhi kebutuhan dasar masyarakat. Sebab, selama kebutuhan dasar—seperti rasa kenyang—belum terpenuhi, masyarakat akan tetap rentan dimobilisasi atau dimanipulasi oleh kekuatan politik kanan.


CHP: Kalau ada yang mengatakan bahwa yang bisa dilakukan, misalnya, melakukan regulasi seperti kebijakan yang adil terhadap kalangan digital ekonomi ini atau membangun teknologi alternatif seperti open source. Bagaimana ide-ide ini dalam pandanganmu?

HYP: Jika kita berbicara secara lebih spesifik, platform blockchain yang saat ini digunakan oleh perusahaan-perusahaan besar seperti BlackRock atau Blackstone di Amerika Serikat adalah Ethereum. Menariknya, Ethereum sendiri merupakan salah satu ekosistem yang paling dekat dengan tradisi anarkis, terutama karena sifatnya yang open source. Sayangnya, dalam perkembangan teknologi open source ini, yang paling banyak terlibat justru kalangan anarko, sementara kontribusi dari kalangan marxis relatif sangat sedikit.

Karena itu, menurut saya, arah strategis yang perlu ditempuh sebenarnya hanya satu, yakni membangun infrastruktur internet yang benar-benar baru. Tentu saja, mewujudkan hal ini bukan perkara mudah dan membutuhkan proses yang panjang. Sejauh yang saya ketahui, hanya segelintir inisiatif yang mencoba mengupayakan hal ini, salah satunya adalah Economic Space Agency (ECSA), yang secara eksplisit membawa visi komunis dan tengah berupaya mengembangkan model internet alternatif. Adapun jika kita berbicara mengenai kebijakan dan regulasi, secara realistis saya belum melihat ada satu pun negara yang dapat dijadikan referensi untuk merumuskan kebijakan yang efektif dalam merespons perkembangan ini. Bahkan jika kita menawarkan rekomendasi kebijakan, pada akhirnya hal itu akan bersifat normatif semata, sebab hampir semua negara saat ini justru mengikuti arus perkembangan finansialisasi menuju tokenisasi. Fenomena ini bahkan sudah menjangkau kawasan ASEAN, di mana sejumlah negara mulai mengadopsi teknologi blockchain untuk melakukan tokenisasi aset dunia nyata.

Oleh karena itu, harapan agar pemerintah secara aktif merumuskan regulasi untuk membendung perkembangan ini mungkin penting sebagai wacana akademis, tetapi dalam praktiknya sangat sulit terealisasi. Justru karena alasan tersebut, perebutan kekuasaan negara tetap menjadi krusial, agar gagasan-gagasan normatif seperti internasionalisme, solidaritas bagi kelas pekerja Amerika Serikat, dan diplomasi moneter dapat diwujudkan dalam kebijakan nyata.


CHP: Jika poinnya adalah merebut kekuasaan negara, bagaimana menurutmu perkembangan situasi saat ini? Apakah sudah ada inisiatif atau upaya untuk membangun organisasi serikat pekerja, khususnya di kalangan pekerja digital maupun di lingkungan serikat pekerja secara umum di Indonesia? Selain itu, bagaimana pandanganmu mengenai ide bahwa perjuangan buruh tidak seharusnya berhenti pada pembentukan serikat, melainkan harus dilanjutkan ke tahap yang lebih radikal, yakni mendorong kelas pekerja untuk berjuang merebut kekuasaan negara? Bagaimana kamu melihat prospek dan tantangan dari gagasan ini dalam konteks Indonesia saat ini?

HYP: Menurut saya, ketika kita membahas strategi, maka titik tolak yang harus digunakan adalah analisis terhadap modus produksi. Pergeseran modus produksi yang sebelumnya telah saya uraikan perlu menjadi dasar utama, khususnya terkait bagaimana logika produksi dan konsumsi saat ini telah saling berkelindan dan tidak lagi dapat dipisahkan. Bahkan, Marx pernah menggarisbawahi bahwa sumber utama penciptaan nilai lebih tidak semata-mata berasal dari proses kerja itu sendiri, melainkan justru dari disposable time—yaitu waktu di mana individu tidak sedang bekerja, tidak terlibat dalam proses reproduksi sosial, bahkan tidak produktif dalam pengertian ekonomi. Pada kenyataannya, di luar jam kerja sekalipun, individu tetap berada dalam sirkuit konsumsi: mereka harus membayar cicilan rumah, membeli kebutuhan pokok, memenuhi kebutuhan sandang, pangan, serta kebutuhan hidup lainnya. Dengan demikian, baik saat bekerja maupun di luar jam kerja, individu tetap berkontribusi pada siklus akumulasi kapital melalui konsumsi. Mengingat waktu tidak bekerja secara umum lebih panjang dibandingkan waktu bekerja, maka konsumsi yang terjadi dalam periode tersebut menjadi sangat signifikan. Dari perspektif ini, kita dapat memahami bagaimana konsumsi memainkan peran yang sangat penting dalam kelangsungan kapitalisme kontemporer. Peran tersebut tidak sekadar bersifat normatif, melainkan menjadi salah satu penyumbang utama surplus nilai yang kemudian digunakan oleh kalangan kapitalis sebagai basis kekuatan politik mereka

Lalu, pertanyaannya adalah: apakah memungkinkan bagi serikat pekerja di sektor digital teknologi atau industri kreatif untuk, setidaknya, membatasi kekuasaan perusahaan dari sudut pandang manajemen hubungan industrial? Menurut saya, upaya ini tidak akan menghambat proses produksi nilai lebih, karena sumber utama ekstraksi nilai saat ini bukan hanya dari pekerja, coder, atau developer, melainkan juga dari kita semua sebagai konsumen. Dari situ, kita perlu mulai memikirkan bentuk baru dari serikat pekerja – bukan sekadar serikat konsumen, tapi serikat pekerja-konsumen. Artinya, kita harus mengubah cara pandang bahwa konsumsi hanyalah tindakan pasif. Justru, konsumsi di era digital ini adalah bentuk kerja yang memproduksi nilai, meskipun tak diakui dan tak dibayar. Karena itu, penting untuk mendorong agar undang-undang ketenagakerjaan mengakui bahwa aktivitas konsumsi digital – seperti menggunakan Instagram, TikTok, atau platform digital lainnya—adalah bagian dari proses produksi yang melibatkan kerja tak berbayar. Jika pengakuan ini tercapai, maka hubungan industrial bisa diperluas hingga mencakup para pengguna platform tersebut. Lebih jauh, kita perlu membayangkan skenario di mana, jika perusahaan-perusahaan ini tidak mampu membayar kontribusi para pengguna, ada kemungkinan bagi konsumen untuk mengambil alih kepemilikan, entah melalui koperasi, kepemilikan bersama, atau model serupa. Jadi, pergeseran konsumsi menjadi produksi menuntut kita untuk membangun imajinasi baru soal bagaimana berserikat dan memperjuangkan hak-hak kita di era digital ini.


CHP: Gagasanmu mengingatkan saya pada salah satu program politik yang muncul saat Revolusi Prancis 1848, yaitu mengenai hak atas pekerjaan (right to work). Pada masa itu, konsepnya adalah setiap orang yang bekerja berhak mendapatkan upah, sementara mereka yang tidak bekerja tetap menerima pendapatan, meskipun jumlahnya lebih kecil. Jika kita lihat hari ini, gagasan itu terasa relevan kembali, terutama dalam konteks ekonomi digital, di mana konsumen tampak tidak bekerja, tetapi sebenarnya tetap terlibat dalam proses produksi melalui aktivitas konsumsi mereka. Dengan kata lain, konsumen di era sekarang sebetulnya ikut menciptakan nilai, meskipun tidak diakui secara formal sebagai pekerja. Karena itu, muncul pertanyaan penting: mungkinkah mereka dimasukkan ke dalam kategori pekerja tertentu dan memperoleh hak-hak yang layak atas kontribusi mereka? Apakah skema semacam ini bisa diwujudkan?

HYP: Aku setuju dengan gagasan “hak atas pekerjaan”, tapi menurutku konsep itu masih menitikberatkan pada soal memasukkan kerja ke dalam sektor formal. Fokusnya lebih pada “pekerjaan” sebagai status, bukan pada “upah” atau kompensasi atas kerja yang dilakukan. Padahal, yang lebih relevan dalam konteks sekarang adalah menyoroti soal upah itu sendiri. Ini sejalan dengan tuntutan yang pernah disuarakan oleh para feminis dalam gerakan Wages for Housework. Mereka menyoroti bagaimana kerja-kerja rumah tangga selama ini dianggap tidak produktif karena tidak menghasilkan nilai lebih secara langsung, sehingga tidak dihargai sebagai kerja yang layak dibayar. Meski banyak yang menganggap tuntutan mereka sekadar argumen moral, sebenarnya inti dari perjuangan mereka – seperti yang disampaikan oleh tokoh-tokohnya, semisal Sylvia Federici, Leopoldina Fortunati, dan Mariarosa Dalla Costa – adalah bahwa kerja-kerja rumah tangga turut menghasilkan nilai lebih (surplus value).

Memang, argumen mereka masih bisa diperdebatkan, dan aku sendiri belum sepenuhnya sependapat karena mereka menganggap kontribusi kerja reproduktif ini sifatnya tidak langsung. Tapi, jika kita kaitkan dengan kondisi hari ini, kita bisa melihat bahwa kerja konsumsi di era digital bahkan melampaui kerja rumah tangga, karena kontribusi kita sebagai konsumen secara langsung memproduksi nilai lebih — bukan lagi secara tidak langsung. Jadi, ini adalah babak baru dari eksploitasi kerja yang tidak diakui, bahkan lebih tersembunyi daripada kerja-kerja reproduktif tradisional. Karena itu, perlu ada upaya serius untuk mengorganisir bentuk kerja semacam ini, di samping PR besar kita yang masih tertinggal dalam mengorganisir sektor-sektor kerja formal dan tradisional. Mungkin saja, ruang seperti IndoPROGRESS bisa mengambil peran dalam mendorong agenda ini.


CHP: Tapi kamu belum menjelaskan tentang kenapa penting bagi serikat pekerja baik di sektor digital maupun tradisional untuk merebut negara di era teknofeodalisme yang bukan tidak mungkin akan semakin dominan nantinya.

HYP: Kembali ke argumen saya sebelumnya soal alibi. Pada akhirnya, sebesar apa pun gelembung ekonomi (bubble economy) yang terbentuk, tetap saja ia membutuhkan fondasi ekonomi riil sebagai penyangga atau pembenaran. Terlebih jika kita melihat dari kacamata makroekonomi, bubble tidak akan bisa berdiri sendiri tanpa adanya sirkulasi ekonomi riil, dan sirkulasi itu hanya mungkin terjadi lewat aktivitas perdagangan, dalam hal ini konsumsi.

Karena itu, ketika kita bicara soal merebut kontrol atas negara, yang paling masuk akal dan strategis adalah dengan mensosialisasi alat produksi di sektor ekonomi riil. Sementara untuk sektor finansial, perjuangan untuk merebutnya masih jauh dan membutuhkan proses panjang. Maka, langkah yang lebih konkret saat ini adalah mulai dari sektor riil, melalui penguatan serikat pekerja. Inilah kenapa saya melihat pentingnya teman-teman tetap mendorong pengorganisiran serikat pekerja di sektor riil, walaupun kontribusi sektor ini terhadap ekonomi saat ini mungkin relatif kecil. Justru dari situ kita bisa membangun basis politik yang solid untuk memulai proses proletarianisasi bagi kawan-kawan pekerja yang selama ini lebih dekat pada posisi lumpenproletariat — yakni kelompok yang meskipun bekerja, tetapi tidak terhubung dengan relasi produksi formal yang memungkinkan mereka memiliki posisi tawar. Kita tahu, secara historis, lumpenproletariat jarang menjadi kekuatan progresif, bahkan sering kali mudah terkooptasi oleh kekuatan kanan. Karena itu, penting untuk menarik mereka masuk ke dalam relasi kerja yang jelas, di mana mereka mendapatkan upah, dan dari situ kita bisa mulai memisahkan upah tersebut dari mekanisme kapitalisasi. Dengan begitu, kita membuka ruang bagi mereka untuk mulai memiliki kesadaran progresif.

Meski sebelumnya aku menyebut pentingnya mengorganisir pekerja konsumsi, secara realistis aku pesimis bahwa hal itu bisa langsung dilakukan dalam waktu dekat. Karena itu, perlu ada kekuatan pendorong — semacam vanguard — yang tidak hanya bergerak di sektor manufaktur, tetapi juga mampu menjangkau dan membuka jalan bagi pekerja konsumsi. Bagi saya, saat ini belum ada jalan lain selain memulai dari proses proletarianisasi sektor-sektor kerja tradisional, untuk kemudian memimpin pergeseran menuju pengorganisiran serikat pekerja konsumsi di masa depan.


Wawancara ini adalah transkripsi yang dilakukan oleh Nandito Oktaviano dari program “Wawancara” kanal Youtube IndoPROGRESS TV.

]]>
Intan Suwandi: Neoliberalisme, Seperti Bentuk-bentuk Kapitalisme Lainnya, Bersifat Imperialistik https://indoprogress.com/2025/03/intan-suwandi-neoliberalisme/ Mon, 17 Mar 2025 09:19:41 +0000 https://indoprogress.com/?p=238846

Ilustrasi: @illinoisstateu


SETELAH cukup lama hanya menjadi bahan studi segelintir akademisi, topik imperialisme kini kembali menjadi perbincangan luas dan mendalam, baik di lingkungan akademia, media massa/sosial, dan kalangan aktivis. Perkembangan pesat ekonomi Cina, krisis kapitalisme yang dipicu oleh krisis finansial pada 2008, struktur pembagian kerja internasional yang semakin timpang, kebangkitan kembali gerakan kanan-jauh, dan serangan Pandemi Covid-19 yang mematikan, serta perlawanan-perlawanan yang terjadi di Utara (Global North) maupun Selatan (Global South), menjadi alasan mengapa studi dan perbincangan tentang imperialisme dan neoliberalisme kembali bergairah.

Dalam semangat itulah Candaş Ayan dan Ulaş Taştekin berbincang dengan Intan Suwandi, asisten profesor sosiologi di Illinois State University, Amerika Serikat, dan penulis buku Value Chains: The New Economic Imperialism (Monthly Review Press, 2019).


Candaş Ayan & Ulaş Taştekin (CA & UT): Dalam bukunya yang berjudul Imperialism: From the Colonial Age to the Present yang ditulis pada 1978, Harry Magdoff, berdasarkan teori imperialisme Lenin, membuat perbedaan antara imperialisme lama (old imperialism) dan imperialisme baru (new imperialism). Magdoff berpendapat bahwa imperialisme lama, yang mengindikasikan proses penciptaan dan perampasan tenaga kerja secara langsung di daerah jajahan, telah digantikan oleh imperialisme baru, yang bergantung pada diferensiasi barang dan jasa yang dihasilkan di negara-negara inti (core) dan pinggiran (periphery) dengan menciptakan pembagian kerja internasional, sehingga menghasilkan “nilai lebih” (surplus value) atau “nilai tambah” (value-added) di negara-negara inti.

Sejalan dengan pandangan Magdoff, Anda juga menekankan bahwa nilai lebih ekonomi yang signifikan yang diciptakan di Selatan dimasukkan sebagai “nilai tambah” pada PDB Utara; namun hal ini seharusnya dipahami sebagai “nilai yang dirampas” melalui imperialisme akhir (late imperialism) itu sendiri. Mempertimbangkan bahwa sudah empat dekade berlalu dan banyak perubahan yang terjadi terkait kedua definisi tersebut, hubungan berkelanjutan apa yang bisa diklaim antara bentuk baru imperialisme saat ini dan bentuk lamanya? Dapatkah dikatakan bahwa hubungan imperialis seperti pembagian kerja global, triadisasi, trinitas yang tidak suci, yang termasuk dalam definisi imperialisme abad ke-20, telah berevolusi ke dalam bentuk yang berbeda?

Intan Suwandi (IS): Harry Magdoff melihat imperialisme sebagai sesuatu yang terus berkembang sepanjang sejarah dan berakar pada logika kapitalisme. Dalam Imperialism: From the Colonial Age to the Present, ia dengan cermat dan cemerlang menjelaskan bagaimana karakteristik imperialisme berubah dalam kaitannya dengan hubungan kolonial antara negara-negara inti dan pinggiran. Penekanan pada pembagian kerja internasional terutama digunakan untuk menjelaskan karakteristik ekspansi Eropa setelah kebangkitan industri pasca-Revolusi Industri tahun 1870-an. Pada masa itu, koloni-koloni berfungsi terutama sebagai pemasok bahan mentah untuk industri yang sedang berkembang pesat di Eropa Barat, serta sebagai sumber bahan makanan yang dibutuhkan untuk populasi perkotaan yang terus berkembang yang terkait dengan industri-industri ini. Selain itu, koloni-koloni ini juga berfungsi sebagai pasar baru untuk komoditas yang diproduksi di Eropa. Bahkan setelah dekolonisasi, negara-negara inti (atau pusat-pusat metropolitan) tetap berusaha mempertahankan hubungan imperialis dengan daerah pinggiran untuk mengendalikan pasokan bahan baku dan semua peluang perdagangan dan investasi, baik melalui cara-cara langsung maupun tidak langsung—sebuah aspek penting dari ketergantungan. Magdoff juga menyoroti kapitalisme monopoli dan kebangkitan perusahaan-perusahaan raksasa (multinasional) pada tahun 1960-an sebagai komponen penting dari karakteristik imperialisme yang terus berkembang.

Banyak proses yang serupa masih dapat ditemukan hingga saat ini. Contoh yang jelas adalah kasus imperialisme AS baru-baru ini di Amerika Latin, seperti yang terjadi di Bolivia. Perdagangan internasional dan lembaga-lembaga keuangan seperti IMF, Bank Dunia, dan WTO, yang sebagian besar dikendalikan oleh Utara, terus memainkan peran penting dalam melanggengkan hubungan imperialis antara Selatan dan Utara.

Sebagai ilustrasi, kebijakan penyesuaian struktural (structural adjustment policies) yang terkenal kejam masih diterapkan dan terus melanggengkan penghisapan utang bagi negara-negara Selatan, meskipun namanya telah diubah menjadi program “pengentasan kemiskinan/poverty reduction).” Program-program ini, antara lain, memaksa negara-negara untuk memprivatisasi sektor publik dan menerapkan langkah-langkah penghematan. Mereka dipaksa untuk memotong anggaran di sektor-sektor penting seperti kesehatan dan pendidikan sehingga mereka dapat mengalihkan anggaran tersebut untuk pembayaran utang. Akibat dari kebijakan semacam ini, populasi yang paling rentan menjadi yang paling menderita. Sumber daya dasar, seperti air bersih dan layanan kesehatan, semakin tidak terjangkau oleh masyarakat miskin. Ketika akses terhadap barang dan jasa publik diserahkan kepada mekanisme pasar, maka ketimpangan sosial dan ekonomi akan semakin meningkat.

Lebih lanjut, ketika situasi seperti pandemi Covid-19 terjadi, Anda dapat melihat di mana letak prioritas dari lembaga-lembaga tersebut. Dalam sambutannya pada pertemuan virtual para menteri keuangan G20 pada bulan Maret 2020, Presiden Grup Bank Dunia, David Malpass, menekankan bahwa negara-negara, dalam upaya mereka untuk pulih dari dampak pandemi, perlu “mendukung sektor swasta dan melawan gangguan pasar keuangan.” Ia juga menekankan pentingnya “reformasi struktural.” Menurutnya, Bank Dunia akan bekerja sama dengan negara-negara yang “memiliki peraturan, subsidi, rezim perizinan, proteksi perdagangan yang berlebihan,” untuk memastikan bahwa mereka dapat “menumbuhkan pasar, pilihan, dan prospek pertumbuhan yang lebih cepat selama masa pemulihan.” Tentu saja, hal ini tidak ada hubungannya dengan penanganan pandemi. Apa yang dikemukakannya itu semuanya berkaitan dengan perluasan jangkauan globalisasi neoliberal, yang terutama menguntungkan negara-negara kaya, dan merugikan negara-negara miskin.

Namun, sejalan dengan pendekatan yang diusung oleh Magdoff, kita perlu mengakui bagaimana imperialisme telah berevolusi selama empat puluh tahun terakhir, dengan perubahan dalam ekonomi global yang sebagian dipengaruhi oleh perkembangan teknologi, terutama teknologi informasi. Perubahan-perubahan ini, termasuk pola-pola yang terkait dengan produksi global, seperti peningkatan arus investasi asing langsung ke Selatan dan, baru-baru ini, peningkatan kontrak-kontrak yang tidak terikat. Dalam konteks ini, perusahaan-perusahaan multinasional yang bermarkas di Utara (kebanyakan masih dalam Triad, dengan beberapa pengecualian di “negara-negara industri maju” di Asia Timur) terlibat dalam produksi yang dialihdayakan ke pemasok luar negeri, dan finansialisasi. Rantai komoditas global (global commodity chains) kini menjadi lebih kompleks, dengan setiap perusahaan multinasional memiliki ribuan, bahkan jutaan, pemasok di seluruh dunia. Dengan sebagian besar proses produksi terjadi di Selatan, menjadikan Selatan sebagai rumah bagi populasi tenaga kerja industri dunia yang besar dan terus bertambah.

Dengan perkembangan tersebut, pembagian kerja global telah mengalami perubahan signifikan. Sebelumnya, wilayah Selatan berfungsi sebagai pemasok bahan mentah, terutama dalam sektor industri ekstraktif atau pertanian, sementara area utama produksi bernilai tambah dan lapangan kerja yang terkait dengan manufaktur berada di wilayah Utara. Saat ini, meskipun beberapa pola pembagian kerja tradisional ini masih ada—terutama dalam konteks produk produk pertanian yang hanya dapat tumbuh di daerah beriklim sedang, seperti yang ditunjukkan oleh Utsa Patnaik dan Prabhat Patnaik dalam buku mereka A Theory of Imperialism—peran Selatan dalam lapangan kerja industri telah meningkat secara drastis.

Saat ini kita memiliki perusahaan-perusahaan yang berlokasi di Utara seperti Apple atau Nike, yang produknya, termasuk komponen-komponen perantaranya, seluruhnya atau hampir seluruhnya diproduksi di Selatan. Bahkan perusahaan-perusahaan yang secara tradisional beroperasi melalui anak perusahaan mereka sendiri untuk produksi di luar negeri, seperti Volkswagen atau General Motors, kini telah mengalihdayakan produksi mereka melalui kontrak jarak jauh (arm’s length contracts), yang melibatkan jaringan produksi yang luas di banyak negara.

Di sinilah muncul konsep atau ide tentang “menangkap atau mengamankan nilai/capturing value”. Pemahaman neoklasik mengenai “nilai tambah”, yang mengaitkan “nilai tambah” (yaitu nilai surplus yang dihasilkan dalam produksi) dengan perusahaan-perusahaan di pusat ekonomi dunia, meskipun lapangan kerja dan produksi berlangsung di negara-negara Selatan, mencerminkan kontradiksi mendasar dari imperialisme akhir. Argumen mengenai penangkapan nilai ini telah diajukan sebelumnya oleh ekonom politik marxis John Smith, dalam bukunya Imperialism in the Twenty-First Century, dan juga dikaji dalam karya saya sendiri. Saat ini, produksi sebagian besar terjadi di Selatan, di mana tingkat eksploitasi lebih tinggi karena biaya tenaga kerja per unit yang rendah—ukuran yang memperhitungkan upah dan produktivitas tenaga kerja—di banyak negara di Selatan yang telah menjadi pusat produksi, terutama dalam hal perakitan. Nilai tenaga kerja yang dihasilkan oleh produksi “ditangkap” dan tidak terdaftar sebagai berasal dari Selatan, akibat asimetri dalam hubungan kekuasaan, di mana perusahaan-perusahaan multinasional oligopoli berperan sebagai saluran utama.

Intinya adalah, meskipun terjadi perubahan signifikan, kita harus ingat bahwa imperialisme telah menyertai perkembangan kapitalisme sejak awal. Ketika kita berbicara tentang imperialisme kapitalis—sebuah sistem ekonomi dunia yang hirarkis dan tidak setara, yang didominasi oleh oligopoli raksasa dan segelintir negara di inti imperialisme—imperialisme ini memiliki karakteristiknya sendiri. Seperti yang dijelaskan Magdoff, berbeda dengan moda produksi sebelumnya, seperti pada zaman kuno, di mana imperialisme adalah tentang ekspansi ke wilayah geografis lain dan penarikan upeti, imperialisme kapitalis dicirikan oleh proses di mana wilayah yang didominasi, yaitu Selatan, diubah, diadaptasi, dan dimanipulasi untuk memenuhi kebutuhan akumulasi kapital di pusat. 

Seperti yang saya jelaskan dalam buku Values Chains, meskipun hubungan pasar secara keseluruhan di negara berkembang juga mengalami transformasi, perubahan di tingkat perusahaan sering kali terjadi tanpa hubungan organik yang nyata, atau logika yang berasal dari negara berkembang, dan dapat dengan mudah dibongkar dan dihilangkan. Hal ini, kemudian, menciptakan ilusi pembangunan dan produksi yang maju di negara-negara ini, yang tetap berada dalam kondisi ketergantungan. Dengan produksi jarak jauh (arm’s length production), bahkan lebih dari investasi asing langsung tradisional, apa yang diproduksi hanyalah bagian dari mata rantai nilai global, di mana titik-titik produksi tertentu ditentukan dan dikendalikan secara digital dari luar negeri. Seluruh sistem produksi dirancang untuk menjadi sangat mobile dan dapat dengan cepat dipindahkan ke tempat lain jika biaya tenaga kerja meningkat secara signifikan. Hal ini secara garis besar menjelaskan karakteristik imperialis dari ekonomi dunia saat ini.


CA & UT: Internasionalisasi kapital bukanlah sebuah fenomena baru. Namun, seperti yang juga Anda kemukakan, gelombang baru globalisasi yang dimulai pada tahun 1970-an mungkin memiliki karakteristik yang berbeda. Apa saja aspek-aspek yang membedakan ini, atau bagaimana kita dapat membandingkan dan membedakan apa yang disebut sebagai periode neoliberal dengan masa lalu kapitalisme imperialis?

IS: Saya merasa telah menjawab sebagian besar pertanyaan yang diajukan sebelumnya di atas. Namun, perlu ditambahkan di sini bahwa produksi global yang saya bahas, yang dimulai pada tahun 1970-an di tengah stagnasi ekonomi, kemudian diiringi dengan runtuhnya Uni Soviet. Hal ini juga melibatkan integrasi tenaga kerja dari negara-negara bekas sosialis seperti Cina dan negara-negara yang sebelumnya proteksionis seperti India ke dalam ekonomi dunia. Proses ini menghasilkan perluasan tenaga kerja global dan tentara cadangannya di Selatan. Selain itu, seperti yang dikatakan oleh Farshad Araghi, de-petani-sasi (depeasantization) yang dipicu oleh penyebaran agribisnis yang masif di Selatan, sebagian dilakukan untuk membongkar “negara kesejahteraan agraria” yang berfungsi dalam 25 tahun pertama setelah Perang Dunia Kedua, sebagai upaya untuk melawan penyebaran gerakan sosialis dan nasionalis yang berbasis petani. Struktur baru ekonomi dunia ini kemudian mengarah pada fenomena yang dikenal dalam literatur bisnis sebagai arbitrase tenaga kerja global (global labour arbitrage), yang berarti menggantikan tenaga kerja berupah tinggi dengan tenaga kerja berupah rendah secara global.

Kapital melihat ini sebagai “taktik bertahan hidup yang mendesak (urgent survival tactic)” bagi perusahaan, di mana mereka berusaha menurunkan biaya produksi, sebagian untuk mengatasi ketidakmampuannya dalam melakukan pemotongan harga akibat kapitalisme monopoli. Namun pada intinya, ini adalah cara bagi kapital untuk mengejar keuntungan yang lebih tinggi. Fakta bahwa kapital dapat bergerak relatif lebih bebas dibandingkan dengan tenaga kerja (yang sebagian besar masih dibatasi oleh berbagai kebijakan, seperti kebijakan imigrasi) memungkinkan kapital untuk mengambil keuntungan dari perbedaan besar dalam biaya tenaga kerja secara global melalui proses, yang saya sebutkan sebelumnya, seperti investasi asing langsung dan kontrak jarak jauh.

Fenomena ini sebenarnya berakar pada ketimpangan hubungan kekuasaan antara kapital dan tenaga kerja serta di antara negara-bangsa yang sering kali tersembunyi. Teori-teori arus utama tentang rantai komoditas global justru menyoroti kompleksitas rantai tersebut untuk mendorong argumen desentralisasi kekuasaan. Para ahli teori dan akademisi ini berargumen bahwa karena rantai komoditas global melibatkan banyak pelaku di berbagai negara, kekuasaan tidak lagi terkonsentrasi di puncak dan rantai tersebut, sebagian besar, tidak bersifat hierarkis. Perusahaan-perusahaan yang kurang kuat di negara-negara berkembang dapat mengalami “peningkatan” dan memperbaiki posisi mereka, yang pada gilirannya dapat mendorong pertumbuhan di negara-negara tersebut.

Gagasan tentang desentralisasi kekuasaan ini sering kali memperhitungkan jaringan yang lebih “digerakkan oleh pembeli”, yang dicirikan oleh kontrak-kontrak yang telah menjadi aspek penting dalam rantai komoditas global. Antara tahun 2010 hingga 2014, menurut Bank Dunia, tingkat pertumbuhan perdagangan jarak jauh (the growth rate of arm’s length trading) tumbuh pada tingkat 6,6%, lebih tinggi dibandingkan dengan pertumbuhan ekonomi global yang sebesar (4,4%). Selain itu, laporan UNCTAD mengungkapkan bahwa pada tahun 2010 saja, perdagangan jarak jauh menghasilkan penjualan sebesar US$2 triliun.

Namun, kita perlu mempertanyakan argumen ini. Apakah benar bahwa jaringan produksi yang tersebar benar-benar mengarah pada desentralisasi kekuasaan? Ini adalah salah satu pertanyaan yang saya ajukan dalam penelitian saya sendiri. Sebagai langkah awal, pendekatan kritis dan radikal sebelumnya, seperti yang dilakukan oleh ekonom Stephen Hymer, menunjukkan bahwa “perusahaan-perusahaan utama” dalam rantai komoditas global (dalam banyak kasus, ini berarti perusahaan multinasional) mengelola jaringan antar-perusahaan tersebut dalam struktur tata kelola yang berbeda-beda. Jauh dari mencerminkan desentralisasi kontrol atas produksi (dan valorisasi) seperti yang sering diasumsikan, jaringan “tersebar” yang terkait dengan moda produksi non-ekuitas baru pada akhirnya diatur oleh kantor pusat keuangan yang terpusat dari perusahaan-perusahaan raksasa yang mereka layani, yang mempertahankan monopoli atas teknologi informasi dan pasar serta mendapatkan porsi yang lebih besar dari nilai tambah.

Studi kasus yang saya lakukan juga menunjukkan bahwa meskipun melalui kontrak jarak jauh, perusahaan multinasional masih dapat mengendalikan sebagian besar aktivitas dalam rantai pasok mereka, baik secara langsung melalui anak perusahaan mereka yang berada di negara yang sama dengan pemasok, maupun secara tidak langsung melalui berbagai prosedur birokrasi dan proses-proses yang terlibat dalam apa yang dikenal dengan “produksi fleksibel”. Intinya, perusahaan multinasional berusaha untuk mengeksternalisasi biaya dengan, misalnya, memberikan tanggung jawab kepada pemasok mereka untuk menangani skenario berisiko, seperti ketidakakuratan perkiraan yang disebabkan oleh fluktuasi permintaan pasar dan pengelolaan limbah.

Kembali ke pertanyaan sebelumnya, rantai komoditas global di masa neoliberal ini sering dipandang sebagai semacam sistem meritokrasi yang terlepas dari hubungan imperialis karena kompleksitasnya. Namun, setelah ditelaah lebih lanjut, pandangan ini tidaklah benar. Melalui rantai komoditas global saat ini dan cara kerja ekonomi dunia, kapital Utara yang mewujud dalam perusahaan-perusahaan multinasional, bersama dengan aparatus negara dan antek-anteknya seperti Tritunggal Mahakudus, memiliki kekuatan untuk merestrukturisasi ekonomi di negara-negara Selatan demi memenuhi kebutuhan kekuatan imperialis inti. Seperti yang dijelaskan oleh Jason Hickel, jika negara-negara di Selatan berani melawan, mereka tahu bahwa konsekuensinya bisa fatal; mereka harus siap menghadapi berbagai kemungkinan, mulai dari sanksi ekonomi hingga intervensi militer.


CA & UT: Dalam literatur saat ini, hegemoni konsep neoliberalisme begitu kuat sehingga digunakan untuk mendefinisikan kapitalisme kontemporer itu sendiri. Dalam hal ini, apakah menurut Anda konseptualisasi neoliberalisme atau globalisasi neoliberal telah berubah menjadi sarana untuk menggantikan konsep imperialisme? Ketika Anda melihat diskusi-diskusi tersebut dari sudut pandang Anda sendiri, menurut Anda, hubungan seperti apa yang ada antara neoliberalisme dan imperialisme? Apakah mungkin untuk mengklaim bahwa ada dikotomi atau timbal balik antara neoliberalisme dan imperialisme?

IS: Jika seseorang mengasosiasikan globalisasi neoliberal dengan “dunia yang datar/flat world” ala Thomas Friedman atau dengan bidang meritokrasi di mana kekuasaan terdesentralisasi dan perusahaan serta negara dapat “memanjat tangga” untuk menjadi lebih baik, maka menurut saya hal tersebut bermasalah. John Bellamy Foster menjelaskan bahwa globalisasi produksi yang terjadi dalam imperialisme akhir telah menghasilkan kapitalisme monopoli yang digeneralisasikan, seperti yang diteorikan oleh para pemikir marxis seperti Magdoff, Paul Baran, Paul Sweezy, dan Samir Amin. Dengan mempertimbangkan aspek-aspek ini, jelas bahwa neoliberalisme, seperti bentuk-bentuk kapitalisme lainnya, bersifat imperialistik. Hal yang sama juga berlaku untuk globalisasi neoliberal. Terlepas dari karakteristiknya yang berubah, tujuan globalisasi tetap sama, seperti yang ditulis oleh Amin: untuk mengontrol perluasan pasar, menjarah sumber daya alam, dan mengeksploitasi cadangan tenaga kerja di wilayah pinggiran.


CA & UT: Selama empat dekade terakhir, telah terjadi perubahan besar dalam distribusi spasial produksi dan pembagian kerja global. Setelah krisis pada tahun 1970-an, sebagian besar negara pinggiran, yang sebelumnya menerapkan model industrialisasi substitusi impor (ISI) yang berorientasi ke dalam, mulai beralih ke strategi yang lebih terbuka dan terintegrasi ke dalam sistem kapitalisme global, yang menekankan pada pertumbuhan yang dipimpin oleh ekspor (export-led growth). Akibatnya, bagian-bagian konstituen dari ekonomi dunia mulai berintegrasi dengan pasar internasional. Ada keyakinan bahwa ekonomi semi-periferal dan periferal akan berkembang dan menyatu dengan ekonomi inti dalam hal kemakmuran dan tingkat industrialisasi.

Para pendukung posisi ini selalu mendukung rantai produksi dengan alasan bahwa hal ini membawa investasi asing dan peningkatan industri di daerah pinggiran, bersama dengan penciptaan lapangan kerja baru, peningkatan produktivitas, dan pengentasan kemiskinan. Namun, kenyataan tidak selalu sesuai dengan harapan tersebut. Dari sudut pandang penelitian Anda, bagaimana kita dapat menilai perbedaan antara harapan dan kenyataan ini?

IS: Seperti yang telah saya sebutkan di atas, kenyataannya tidak sejalan dengan argumen-argumen arus utama yang sering diajukan. Pertama-tama, tidak mungkin untuk mengevaluasi organisasi rantai komoditas global saat ini tanpa memperhitungkan sejarah panjang kolonialisme dan imperialisme, di mana kekuatan-kekuatan imperialis menjadi kaya dan berkuasa melalui eksploitasi dan penjarahan yang dilakukan terhadap daerah jajahan selama berabad-abad. Proses yang, pada dasarnya, membuat negara-negara Selatan terbelakang. Mengklaim bahwa negara-negara di Selatan dapat mengejar ketertinggalan mereka melalui, misalnya, peningkatan industri, tampaknya mengabaikan fakta tersebut.

Lebih jauh lagi, seperti yang ditulis Magdoff, meskipun tanpa koloni formal, hubungan imperialis tetap berlangsung, melanggengkan ketergantungan dan memungkinkan kekuatan imperialis untuk kembali mengendalikan bekas koloninya. Investasi asing langsung (foreign direct investment/FDI)—yang menjadi signifikan terutama setelah Perang Dunia Kedua—berfungsi sebagai sarana bagi kekuatan imperialis untuk menembus pasar luar negeri dan memungkinkan kapital mereka bersaing secara langsung di pasar-pasar ini, bukan hanya melalui ekspor. Di era produksi global, baik FDI maupun kontrak-kontrak jarak jauh adalah sarana bagi kapital untuk meningkatkan margin keuntungan melalui berbagai mekanisme, termasuk eksploitasi tenaga kerja, pemanfaatan zona-zona pemrosesan ekspor serta berbagai keuntungan yang terkait dan penjarahan sumber daya alam. Bagi negara-negara Selatan, menjadi “kompetitif” dalam menarik investasi asing berarti mereka harus mampu menawarkan upah rendah dan tenaga kerja yang “patuh”, “stabilitas politik” (yang berarti minimnya protes dan demonstrasi), pengecualian pajak, peraturan lingkungan yang longgar, dan masih banyak lagi.

Beberapa kelompok, seperti borjuasi nasional dan oligarki politik, akan diuntungkan dari situasi ini, tetapi kelas pekerja, termasuk pekerja industri dan informal, petani dan produsen kecil, serta kaum miskin kota, tidak mungkin merasakan manfaat yang berarti bahkan mungkin akan semakin menderita akibat tenaga kerja mereka dieksploitasi dan tanah mereka dirampas. Jadi, meskipun ekonomi mungkin tumbuh dengan cepat di beberapa negara di Selatan karena integrasi mereka ke dalam ekonomi kapitalis global—faktanya, untuk sebagian besar negara BRIICS (Brasil, Rusia, India, Indonesia, Cina, dan Afrika Selatan), pertumbuhan ekonomi selama satu dekade terakhir ternyata jauh lebih lambat dari yang diperkirakan secara optimis—pertumbuhan tersebut hanya mungkin terjadi dengan merugikan dan menciptakan kesengsaraan bagi sebagian besar penduduknya.

Arbitrase tenaga kerja global sendiri merupakan bentuk pertukaran yang tidak setara, di mana perusahaan multinasional pada dasarnya memperoleh lebih banyak tenaga kerja dengan harga yang lebih murah dan meraup keuntungan besar dari tenaga kerja berbiaya rendah di negara-negara Selatan. Sementara itu kelebihan surplus yang dihasilkan sering kali secara keliru dikaitkan dengan aktivitas ekonomi yang “inovatif”, finansial, dan ekstraktif nilai yang terjadi di negara Utara. Arbitrase tenaga kerja global adalah upaya untuk melakukan valorisasi, yaitu strategi untuk mengurangi biaya tenaga kerja yang diperlukan secara sosial dan memaksimalkan perolehan nilai lebih. Strategi ini mengeruk lebih banyak dari para pekerja melalui berbagai cara, termasuk lingkungan kerja yang represif di pabrik-pabrik di ekonomi pinggiran, pelarangan serikat pekerja yang dilakukan oleh negara, dan sistem kuota atau kerja borongan.

Inilah strategi “pengurasan” yang terjadi dari Selatan ke Utara, di mana surplus ekonomi disedot keluar tanpa memberikan keuntungan yang diharapkan; dan tenaga kerja adalah bagian dari kisah pertukaran yang tidak setara, bersama dengan aspek-aspek lain seperti energi, tanah, dan bahan baku. Jadi, sekali lagi, meskipun ada kisah sukses beberapa negara industri (“negara berkembang”) di Asia Timur, sebagian besar populasi Selatan tidak mendapatkan manfaat dari industrialisasi yang lahir dari integrasi negara mereka ke dalam ekonomi dunia. Kita tidak melihat industrialisasi yang berdaulat dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan rakyat, melainkan bentuk pembangunan yang bergantung yang dirancang untuk memenuhi kebutuhan kapital yang terlibat dalam akumulasi tanpa henti demi kemakmuran segelintir orang.


CA & UT: Khususnya setelah krisis 2008, metafora neo-feodalisme mulai digunakan untuk menggambarkan bentuk baru yang telah ditransformasikan oleh neoliberalisme dan, oleh karena itu, sistem kapitalisme. Dalam konseptualisasi ini, terungkap bahwa, seperti yang diuraikan dalam pertanyaan sebelumnya, posisi negara-bangsa dalam sistem kapitalis telah berangsur-angsur melemah, bahkan dalam perannya sebagai mediator dalam proses perampasan nilai lebih. Perusahaan-perusahaan multinasional telah mengeliminasi peran negara-bangsa dengan membangun rantai pasok mereka sendiri dan mulai berproduksi di lahan-lahan yang telah mereka beli di negara-negara pinggiran. Fakta bahwa perusahaan-perusahaan multinasional yang memiliki kemungkinan kontrol seperti itu di negara-negara Selatan, kini memiliki kekuatan untuk menentukan upah di wilayah-wilayah ini telah membuka pintu bagi klaim bahwa sistem ini telah berevolusi menjadi jenis feodalisme baru. Ini adalah situasi yang Anda dan Foster klaim sebagai perampasan nilai-lebih yang dilakukan oleh perusahaan multinasional dengan cara yang tidak terkendali di tanah-tanah yang telah dibeli.

Terdapat juga contoh di mana perusahaan-perusahaan semacam itu mempekerjakan polisi mereka sendiri dan memperoleh perangkat pemaksaan ekstra-ekonomi (seperti yang dilakukan perusahaan Renaissance Construction di Rusia, yang mencegah pekerja konstruksinya melakukan pemogokan dengan bantuan AMON/SORB), sehingga menambah dimensi baru dalam perdebatan tentang neo-feodalisme. Di sisi lain, posisi ini juga mengaitkan peran penting pada munculnya kedaulatan yang terfragmentasi, dan tuan-tuan dan petani-petani baru dalam memahami dunia saat ini. Anda memiliki pertimbangan tertentu mengenai hubungan antara desentralisasi proses produksi dan sentralisasi kekuasaan? Dalam konteks ini, bisakah Anda mengevaluasi perdebatan tentang neo-feodalisme dan hubungan perdebatan ini dengan imperialisme era neoliberal dari kerangka kerja yang Anda lihat?

IS: Apakah yang Anda maksud dengan pertanyaan ini adalah bahwa korporasi modern, seperti layaknya penguasa feodal, bertindak secara independen tanpa memperhatikan struktur negara? Saya tidak terlalu familier dengan perdebatan tentang neo-feodalisme, jadi saya tidak akan membahasnya lebih jauh di sini. Namun, saya pikir ada perbedaan mendasar antara feodalisme yang dipahami secara umum dan sistem sosial produksi kapitalisme. Saya tidak setuju jika dikatakan bahwa perusahaan multinasional modern bertindak seperti penguasa feodal. Dalam masyarakat feodal, kekuatan ekonomi dan politik tidak dipisahkan, melainkan terwujud dalam diri penguasa atau raja ketika ada struktur negara.

Dalam kapitalisme saat ini, lebih tepat jika dikatakan bahwa kekuatan korporasi telah menyusup ke dalam negara hingga tingkat yang belum pernah terjadi sebelumnya (seperti yang terlihat dalam praktik lobi yang ekstensif, seringnya orang yang sangat kaya memegang jabatan politik, dan seterusnya), tetapi masih ada negara dan memiliki kekuatan yang sangat besar, bahkan terhadap kapital tertentu, jika mereka ingin melakukannya.

Perbedaan lainnya adalah bahwa penguasa atau raja feodal memiliki kewajiban tertentu—meskipun tidak selalu dipatuhi—yang bersifat pribadi terhadap mereka yang berada di bawahnya. Di Eropa, misalnya, melanggar kewajiban-kewajiban ini adalah sebuah dosa, seperti halnya meminjamkan uang dengan bunga adalah dosa. Saat ini, meskipun kapital mungkin agak kebal dari peraturan negara, sama sekali tidak ada rasa kewajiban feodal. Selain itu, dalam kapitalisme modern, tidak ada perusahaan seperti East India Company atau the Dutch East India Company yang dapat memerintah seluruh bangsa.

Selain itu, ketika pekerja atau petani melakukan perlawanan, biasanya aparat militer negara yang menyerang mereka. Dalam beberapa kasus, perusahaan (seperti agribisnis) atau pemilik pabrik dapat menyewa kelompok paramiliter atau menggunakan penjaga keamanan pribadi mereka untuk melukai hingga membunuh buruh atau petani yang memprotes dan menolak untuk meninggalkan tanah mereka. Terkadang, mereka meminta kerja sama negara untuk mengerahkan militer di suatu wilayah guna memastikan bahwa industri ekstraktif yang sangat eksploitatif dapat beroperasi tanpa hambatan. Namun, bukan berarti kapital memiliki kemampuan atau kekuatan yang setara dengan negara.

Bahkan dalam hal upah, kapital Utara dapat, misalnya, menekan negara-negara di Selatan untuk menurunkan upah mereka melalui mekanisme yang terbatas. Misalnya, melalui cara kerja lembaga keuangan internasional dan program penyesuaian struktural mereka, atau dengan menekan negara-negara ini untuk tetap “kompetitif” dalam ekonomi dunia jika mereka ingin melihat investasi asing mengalir masuk. Namun, pada akhirnya, negara tetap memainkan peran utama dalam mengendalikan upah, dan negara juga yang merepresi gerakan buruh yang menuntut upah lebih tinggi. Jadi, sekali lagi, saya pikir ini lebih tentang bagaimana kapital dan negara saling berhubungan, dan karakteristiknya tidak sama dengan masyarakat feodal.

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.


CA & UT: Dalam konteks imperialisme akhir, para pemilik kapital di Selatan juga memainkan peran kunci dalam proses ini. Sebagai imbalannya, mereka mendapatkan banyak keuntungan; mereka juga memiliki kesempatan untuk melakukan investasi di luar negeri. Dalam beberapa kasus, hal ini memicu perdebatan sub-imperialisme atau perdebatan lain mengenai kemampuan atau fungsi pemilik kapital lokal. Apa yang dapat dikatakan dalam hal ini?

IS: Kapital Selatan memang memainkan peran penting. Dalam konteks imperialisme akhir (late imperialism), yaitu imperialisme arbitrase tenaga kerja global di bawah naungan kapital monopoli yang digeneralisasikan, para kapitalis di Selatan mendapatkan keuntungan dari proyek-proyek bisnis yang dimungkinkan oleh integrasi negara mereka (atau negara-negara lain di Selatan) ke dalam rantai komoditas global. Beberapa dari mereka adalah pemilik agribisnis; lainnya memiliki pabrik, tambang, dan sebagainya. Hal ini terkait dengan kapital komprador lama, namun dalam skala yang jauh lebih besar dalam konteks globalisasi. Kelompok ini sering kali terdiri dari segelintir orang, di mana beberapa di antaranya masih disebut sebagai “oligarki” di beberapa negara di Selatan. Mereka memiliki hubungan erat dengan para elite politik dan bertujuan untuk mendukung kebijakan-kebijakan neoliberal yang akan memfasilitasi proses-proses yang terkait dengan investasi asing, perampasan tanah, ekstraksi sumber daya alam, dan mekanisme-mekanisme lain yang terkait.

Saya akan memberikan contoh dari sektor manufaktur, karena ini merupakan fokus penelitian saya. Di negara-negara dengan kekuatan dan kekayaan yang kecil, para kapitalis ini umumnya berperan sebagai konglomerat lokal yang, misalnya, memiliki bisnis yang memproduksi merek-merek lokal untuk pasar lokal, dan dalam skala lebih kecil di pasar luar negeri (biasanya di negara-negara tetangga), atau para kapitalis yang terkait dengan perusahaan-perusahaan multinasional di dalam rantai komoditas global. Mereka memiliki bisnis lokal yang bertujuan memasok perusahaan multinasional yang berkantor pusat di Utara. Dalam kasus terakhir ini, para kapitalis ini berperan sebagai “perantara” antara tenaga kerja lokal dan perusahaan multinasional. Meskipun mereka tetap kapitalis yang mengatur dan mengontrol proses kerja para pekerjanya—sering kali sesuai permintaan klien multinasionalnya—dan dengan demikian secara aktif terlibat dalam eksploitasi, kekuatan mereka cukup terbatas dalam hal keterlibatannya dalam rantai komoditas global.

Para pemasok Indonesia yang saya teliti termasuk dalam kelompok ini. Awalnya, mereka mengklaim bangga menjadi perusahaan “berteknologi tinggi” yang melayani segmen pasar yang khusus, tetapi setelah ditelusuri lebih lanjut, mereka menyadari bahwa mereka hanya memenuhi permintaan klien multinasional. Teknologi sebagian besar dikendalikan oleh klien, tidak ada ruang untuk inovasi, dan mereka harus bersedia mengubah proses produksi mereka untuk memenuhi permintaan klien yang terus berubah. Mereka diharuskan menunjukkan rincian struktur biaya, sering kali sebagai persyaratan dalam mengikuti tender, dan klien multinasional dapat menentukan berapa margin keuntungan mereka.

Ada banyak mekanisme lain yang terlibat di sini yang menunjukkan bahwa perusahaan multinasional sangat dominan, bahkan dalam jaringan yang disebut tersebar yang didominasi oleh kontrak yang panjang. Jadi, dalam kasus-kasus seperti ini, kecil kemungkinannya ada diskusi yang luas mengenai apakah Indonesia dapat menjadi pemain besar berikutnya dalam rantai komoditas global, dengan potensi untuk menggantikan negara-negara dalam Triad sebagai kekuatan imperialis baru, atau untuk bersaing dengan “macan-macan Asia”. Ini tentu saja tidak mengabaikan fakta bahwa Indonesia terlibat dalam tindakan imperialis di Papua Barat, namun hal ini membutuhkan diskusi tersendiri, dan kasus ini juga melibatkan peran kapital Utara di wilayah tersebut.

Situasinya mungkin akan lebih rumit ketika kita berbicara tentang negara-negara seperti Korea Selatan atau “macan-macan” lainnya, seperti Hong Kong dan Taiwan. Diskusi tentang “pertumbuhan ajaib” mereka tentu saja membutuhkan analisis kritis, tetapi yang dapat kita buktikan adalah bahwa para kapitalis dari negara-negara ini telah mengembangkan bisnis mereka untuk sementara waktu dan mereka, misalnya, memiliki pabrik di negara-negara Asia Tenggara, termasuk Indonesia, untuk memasok perusahaan-perusahaan multinasional yang bermarkas di Triad. Foxconn, salah satu pemasok terbesar untuk Apple, adalah perusahaan Taiwan meskipun pabriknya berlokasi di Cina. Ini berarti bahwa para kapitalis ini terlibat dalam eksploitasi tenaga kerja di negara lain (sering kali mencakup kasus-kasus ekstrem dan praktik-praktik yang kejam), perampasan sumber daya, namun mereka juga masih menjadi pemasok yang bergantung pada rantai komoditas global. Klien multinasional mereka masih mendapatkan keuntungan terbesar dari pengaturan ini, tetapi tentu ada variasi dalam hubungan kekuasaan yang begitu kompleks.

Menariknya, ketika membahas sub-imperialisme, negara yang dimaksud biasanya adalah Cina, yang pada tahun 2014 (tahun terakhir yang tersedia dalam data yang digunakan dalam buku saya) memiliki biaya tenaga kerja satuannya sebesar 46 persen dari tingkat AS. Ada perdebatan mengenai apakah Cina telah menjadi sub-imperialis, atau sedang dalam proses menjadi kekuatan imperialis baru, terutama terkait dengan investasi dan proyek-proyeknya di beberapa wilayah di Asia dan Afrika. Beberapa pihak berpendapat bahwa eksploitasi kapitalis di luar negeri tidak selalu mengarah ke jalur imperialis, sementara yang lain tidak setuju. Andy Higginbottom, yang menulis untuk blog Review of African Political Economy, menunjukkan bahwa sepuluh besar negara dengan Penanaman Modal Asing (PMA) pertambangan di Afrika masih didominasi oleh perusahaan-perusahaan pertambangan yang berbasis di Triad, dengan Amerika Serikat, Inggris, dan Prancis berada di tiga besar. Saya tidak dapat membahas lebih jauh tentang perdebatan ini di sini, tetapi ada beberapa hal menarik yang perlu dipertimbangkan dari diskusi ini.

Cina tentu saja merupakan kasus khusus—ekonomi terbesar kedua di dunia, tetapi masih bisa dianggap miskin jika dilihat dari pendapatan per kapitanya; sebuah negara yang, mengutip John Bellamy Foster, “tidak sepenuhnya kapitalis dan tidak sepenuhnya sosialis” dalam perkembangan pasca-revolusinya. Tidak ada jawaban sederhana untuk menjawab pertanyaan ke mana arah Cina. Foster berpendapat, dan saya setuju dengan penilaiannya, bahwa banyak hal yang “masih tergantung pada apakah Cina di masa depan akan mengedepankan pendekatan horizontal atau hirarkis-imperialis dalam berhubungan dengan negara-negara di Selatan.” Setidaknya untuk saat ini, kita tidak boleh terjebak dalam narasi Perang Dingin baru yang telah dikobarkan oleh Amerika Serikat ketika membahas Cina. Penting untuk dipertimbangkan bahwa, terlepas dari apakah sub-imperialisme itu “sesuatu” atau tidak, keberadaannya tidak akan meniadakan hubungan imperialis yang ada dalam ekonomi dunia.


CA & UT: Pandemi Covid-19 dapat dianggap telah memengaruhi hubungan imperialis di era neoliberal dalam berbagai cara, sekaligus menciptakan peluang untuk memperbarui dan memperdalam hubungan eksploitasi imperialis dari perspektif yang berbeda. Seperti yang telah Anda tekankan sebelumnya, pandemi ini telah menyebabkan rantai pasokan perusahaan multinasional terputus secara signifikan, yang mengakibatkan produksi yang menciptakan “nilai tambah” di banyak sektor terganggu atau bahkan terhenti. Dalam konteks neoliberal, perusahaan-perusahaan multinasional yang telah mengurangi biaya penyimpanan dengan meniadakan kegiatan ini belum mampu mengatasi penurunan mendadak dalam permintaan konsumsi di beberapa sektor, dan tetap pasif dengan tidak memenuhi pesanan di beberapa sektor yang berbeda.

Akibatnya, seperti yang Anda sebutkan, perusahaan multinasional yang tidak menyadari titik-titik di mana rantai pasokan mereka di negara-negara pinggiran terpengaruh, telah terjebak dalam semacam perlombaan untuk mengatur kembali rantai pasokan mereka selama pandemi Covid-19. Jika kebangkrutan akibat gangguan rantai pasokan terjadi, bagaimana dampaknya terhadap proses ketenagakerjaan di negara-negara Selatan?Apakah kemungkinan ini dapat memicu perubahan radikal dalam bentuk imperialisme akhir di era pasca-Covid-19? Selain itu, Anda menggarisbawahi bahwa Cina adalah pemberhentian terakhir di mana banyak dari rantai pasokan ini berputar. Dalam konteks ini, dapatkah kita berargumen bahwa imperialisme akhir akan bubar di dunia setelah Covid-19 dan Cina akan memulai hegemoninya dengan proposal sistem yang baru? Atau haruskah kita mengharapkan Cina untuk memulihkan dan mempertahankan bentuk imperialisme akhir ini dan bangkit sebagai kekuatan hegemonik bersamaan dengan itu?

IS: Ketika Pandemi Covid-19 dimulai, dengan adanya lockdown dan pembatasan sosial yang meluas, gangguan pada rantai pasokan merupakan konsekuensi yang tak terhindarkan. Seluruh sistem produksi global sangat terganggu, sehingga oleh beberapa kalangan, Pandemi Covid-19 dijuluki sebagai “krisis rantai pasokan global pertama”. Ditambah dengan faktor-faktor lain, seperti kompleksitas rantai komoditas global dan pemanfaatan produksi yang fleksibel dan tepat waktu, ketergantungan yang besar pada negara-negara dengan biaya tenaga kerja yang rendah, terutama Cina, sebagai simpul penting dalam rantai komoditas global, berkontribusi pada memburuknya “efek banteng” yang disebabkan oleh pandemi.

Penguncian dan penghentian aktivitas produksi di Cina sendiri menyebabkan gangguan besar dalam rantai komoditas global, terutama terkait dengan komoditas (atau bagian dari komoditas) yang diproduksi atau dirakit di Cina, serta bahan baku yang diperoleh dari negara tersebut. Perusahaan-perusahaan yang berbasis di AS yang bergantung pada pemasok Cina untuk merakit produk akhir mereka jelas mengalami kesulitan sejak awal pandemi, tetapi gangguan tersebut juga berdampak pada semua pihak di sepanjang rantai komoditas. Sebagai contoh, Cina adalah mitra dagang terbesar Indonesia, dan sekitar 20 hingga 50 persen bahan baku industri Indonesia berasal dari Cina. Contoh lain, Vietnam, yang juga menjadi tujuan manufaktur atau perakitan bagi perusahaan multinasional, mengalami masalah ketika pasokan bahan baku atau suku cadang setengah jadi dari Cina terhenti akibat pandemi. Tentu saja Cina dapat memulihkan produksinya dengan cukup cepat karena penanganan Covid-19 yang efektif. Namun demikian, kerentanan sistem terungkap. Perusahaan multinasional biasanya memiliki beberapa strategi untuk mengantisipasi masalah seperti ini, dengan bekerja sama dengan beberapa pemasok dari wilayah yang sama yang melakukan perakitan atau yang memproduksi suku cadang perantara yang sama, tetapi ketika pandemi seperti ini terjadi, strategi tersebut ternyata tidak memadai.

Pandemi ini, tentu saja, telah memengaruhi seluruh perekonomian dunia, sehingga menyebabkan gangguan rantai pasokan di berbagai tempat. Di satu sisi, pekerja di Global South sebagian besar terkena dampaknya, yang dalam banyak hal mirip dengan pekerja di Global North yang berupah rendah dan rentan: banyak yang kehilangan pekerjaan karena PHK atau penutupan pabrik, sementara yang masih bekerja harus mempertaruhkan nyawanya setiap hari, terutama di tempat kerja yang tidak memiliki langkah-langkah perlindungan yang memadai terhadap virus. Pekerja yang berada di posisi rentan, seperti pekerja temporer dan informal, bahkan lebih menderita. Di negara-negara yang sistem perawatan kesehatannya sudah buruk, pandemi ini berarti bahwa mereka yang tidak mampu membayar perawatan yang mahal akan dibiarkan mati.

Di sisi lain, tampaknya ada semacam optimisme di beberapa negara di Selatan terkait keinginan mereka untuk menggantikan Cina dalam rantai komoditas global. Pandemi, ditambah dengan perang dagang yang diprakarsai oleh pemerintahan Trump, telah mendorong banyak perusahaan multinasional untuk secara serius mempertimbangkan untuk memindahkan produksi mereka ke luar dari Cina (dan berusaha untuk mendiversifikasi kelompok pemasok mereka secara umum). Hal ini telah menarik perhatian dari negara-negara seperti India dan Malaysia, misalnya.

Ada laporan berita yang menyebutkan bahwa negara-negara ini berusaha keras untuk menarik investor dengan menawarkan insentif atau mempromosikan potensi mereka. Di Malaysia, ada optimisme bahwa negara ini dapat menjadi pusat industri baru untuk manufaktur elektronik atau industri otomatis kelas atas. Negara ini melihat perang dagang AS-Cina sebagai peluang untuk memulihkan kekayaan mereka yang hilang di tahun 1990-an, ketika banyak perusahaan multinasional meninggalkan Malaysia ke Cina setelah membangun pabrik elektronik di Penang. Dengan mempromosikan “infrastruktur yang lebih baik” dibandingkan dengan negara-negara tetangga di Asia Tenggara, Malaysia telah menarik investasi baru. Dalam sepuluh bulan pertama tahun 2019, Penang mendapatkan investasi asing sebesar US$2,94 miliar, meningkat 456 persen dari tahun sebelumnya.

Di India, pemerintah berencana untuk menawarkan insentif senilai US$23 miliar guna menarik perusahaan-perusahaan untuk mendirikan pabrik di negara ini, termasuk pabrik mobil, panel surya, dan baja khusus. Awal tahun ini, pemerintah menyetujui insentif sekitar US$5,3 juta untuk manufaktur ponsel lokal-sektor yang sangat berharga bagi India—sebagai bagian dari inisiatif “Made in India” yang telah ditetapkan, serta US$900 ribu untuk manufaktur komponen elektronik. Ravi Shankar Prasad, Menteri Telekomunikasi dan TI India, menyatakan bahwa dana ini akan mendorong “investasi di segmen elektronik yang penting sekaligus memosisikan India sebagai pusat manufaktur global.” Dua lusin perusahaan, termasuk Samsung dan Foxconn, berencana untuk mendirikan pabrik-pabrik ponsel di India, dengan total investasi mencapai US$1,5 miliar.

Selain itu, perusahaan-perusahaan multinasional juga mulai memikirkan kembali komitmen mereka pada produksi yang tepat waktu dan fleksibel. Namun semua ini tidak akan berjalan mulus. Di sisi Selatan, akan ada pertanyaan mengenai apakah negara tersebut memiliki infrastruktur yang memadai untuk mendukung industri berskala besar. Yang paling penting, saya percaya kapital global tidak akan rela meninggalkan faktor-faktor yang membuat akumulasi profit tetap berlangsung, seperti komitmen untuk mencari biaya tenaga kerja yang rendah dan kemampuan untuk menghindari berbagai tanggung jawab—baik tentang kondisi kerja dan kesejahteraan pekerja, pelestarian lingkungan, maupun dalam menangani pemborosan tenaga kerja dan material ketika terjadi kesalahan dalam perhitungan. Kapital global akan lebih memilih untuk mencari solusi yang masih mengikuti logika yang sama.

Mungkin dalam jangka panjang, kapital global akan berusaha melakukan restrukturisasi ekonomi dunia demi keuntungan mereka sekali lagi. Mungkin peran Cina dalam rantai komoditas global juga akan berubah. Kita tidak tahu. Perang Dingin Baru yang dilancarkan oleh AS terhadap Cina merupakan faktor yang signifikan. Ada kemungkinan bahwa pengucilan paksa Cina dari ekonomi dunia akan memicu beberapa perubahan dalam dinamika kekuatan, tetapi sejauh mana perubahan tersebut terjadi, saya tidak dapat memprediksi. Yang bisa kita yakini adalah bahwa apa pun perubahan yang mungkin terjadi—jika dilakukan untuk melayani kepentingan kapital Utara—tidak akan menghasilkan penurunan radikal dalam ketidaksetaraan global dan berakhirnya imperialisme.

Saya percaya hanya solidaritas internasional itulah yang dapat menghapuskan imperialisme. Akan sangat baik jika kita bisa membangun suatu bentuk kerja sama Selatan-Selatan dalam semangat Konferensi Bandung, dan kerja sama tersebut haruslah berkomitmen penuh pada cita-cita sosialis. Tetapi apa pun bentuk gerakannya, gerakan ini harus melibatkan dan menempatkan kelas buruh (dalam arti luas, tidak hanya terbatas pada buruh industri) di garis depan gerakan. Kita tidak dapat bergantung pada arahan satu negara atau kepemimpinan beberapa orang. Saya telah mengatakan hal ini dalam buku saya, dan saya akan mengatakannya lagi di sini: Saya setuju dengan Michael Yates, yang menulis bahwa “mereka yang paling menderita—buruh dan petani di Selatan, minoritas di Utara, perempuan kelas pekerja di semua tempat—akan memimpin perjuangan atau mereka akan gagal.”


CA & UT: Kondisi ketenagakerjaan saat ini memberikan gambaran yang buruk bagi para pekerja, terutama di negara-negara Selatan. Bahkan “perang melawan virus” telah membebani kelas pekerja. Di beberapa negara tertentu, kami juga menemukan kebangkitan melawan penindasan. Apa evaluasi, proyeksi, atau prediksi Anda mengenai reaksi melawan eksploitasi imperialis, gerakan kelas pekerja di Selatan, dan gerakan sosial dalam arti luas?

IS: Elemen-elemen kelas buruh, terutama yang berada di Selatan, telah lama terlibat dalam perlawanan terhadap bentuk-bentuk dan akibat-akibat imperialisme. Mereka mempertahankan tanah mereka, melawan eksploitasi, menghadapi kapital dan aparatus negara yang paling menindas dan kejam terhadap mereka. Pabrik-pabrik telah diduduki oleh para buruh di Argentina, dan tanah-tanah telah diambil kembali oleh para petani di Brasil. Masyarakat adat di seluruh dunia tanpa henti melakukan perlawanan terhadap perampasan dan penindasan. Semua ini tidak berhenti bahkan di masa dan sesudah pandemi. Para pekerja terus mogok, para petani terus melakukan protes, dan mereka semua berorganisasi. Dalam banyak kasus, ukuran protes semacam itu sangat besar, menunjukkan bagaimana masyarakat tidak menyerah pada penindasan.

Rakyat Bolivia baru-baru ini telah memenangkan sebuah pertempuran penting melawan imperialisme AS. Saya pikir contoh-contoh ini saja sudah menunjukkan bahwa gerakan kelas buruh di Selatan akan terus berkembang. Selalu ada pekerjaan rumah-pertanyaan tentang strategi, tentang cara-cara membangun solidaritas yang kuat, tentang membangun hubungan dengan sekutu-sekutu di Utara, dan seterusnya. Namun, ide dasarnya tetap sama: kita harus memutus rantai penindasan, termasuk organisasi rantai komoditas global saat ini. Kita harus terus berpikir tentang bagaimana membangun jaringan produksi dan distribusi kita sendiri – mungkin dimulai dari wilayah lokal. Pengetahuannya ada di sana, dan kita sudah cukup kuat untuk melawan. Jadi, di masa krisis ini, mari kita gunakan ini sebagai kesempatan untuk menggerakkan dunia ke arah yang berbeda.


Daftar Pustaka

Magdoff (1978). Imperialism: From to Colonial Age to the Present, New York: Monthly Review Press.

B. Foster dan I. Suwandi (2020 COVID-19 and Catastrophe Capitalism: Commodity Chains and Ecological-Epidemiological-Economic Crises. Monthly Review72(2), 1-20.

Suwandi, I. (2019). Value Chains: The New Economic Imperialism. New York: Monthly Review Press

J. Dean (2020). Neofeudalism: The End of Capitalism?, Los Angeles Review of Books.


Artikel wawancara ini pertama kali diterbitkan di Textum pada 20 Februari 2021, dengan judul asli Neoliberalism and Imperialism: Interview with Intan Suwandi, diterbitkan ulang di sini untuk tujuan pendidikan dan membantu pembangunan gerakan progresif anti-imperialisme di Indonesia.

]]>
Marxisme dan Interseksionalitas: Wawancara dengan Ashley Bohrer https://indoprogress.com/2024/05/marxisme-dan-interseksionalitas/ Fri, 10 May 2024 18:44:15 +0000 https://indoprogress.com/?p=238119

Ilustrasi: Illustruth


Pengantar penerjemah: Salah satu isu penting yang kerap menjadi sumber ketegangan di kalangan akademisi dan aktivis gerakan sosial adalah kelas dan identitas. Ketegangan itu muncul di seputar pertanyaan: mana yang lebih menentukan (determinan), kelas atau identitas? Sebagian menjawab bahwa kelas lebih determinan ketimbang identitas, sebagian lainnya sebaliknya. Ada pula yang mencoba mendamaikan ketegangan itu dengan mengatakan bahwa baik kelas maupun identitas berada dalam posisi yang setara satu sama lain. Sebagian lainnya memilih posisi bahwa baik identitas maupun kelas adalah dua tradisi analisa dan praktik politik yang berbeda tetapi tidak berhadapan secara oposisional bahkan keduanya saling bersinggungan erat (interseksionalitas). Artikel di bawah ini turut mendiskusikan hal tersebut, berisi wawancara George Souvlis dari Salvage dengan Ashley J. Bohrer, seorang akademisi dan aktivis marxis yang menulis buku Marxism and Intersectionality.


George Souvlis (GS): Mengapa Anda memilih untuk menulis buku Marxism and Intersectionality: Race, Gender, Class and Sexuality Under Contemporary Capitalism?

Ashley Bohrer (AB): Saya menulis buku ini sebagian karena rasa frustrasi dengan kondisi pembicaraan saat ini tentang politik identitas dan anti-kapitalisme. Saya adalah seseorang yang bergerak dengan cukup fleksibel (baik sebagai aktivis maupun akademisi) di antara komunitas marxis dan politik identitas. Meskipun ada banyak perdebatan di antara mereka, saya mulai merasa bahwa tidak banyak percakapan yang produktif di antara kedua aliran ini, yang ada hanyalah kritik tanpa ampun untuk meruntuhkan satu sama lain. Saya frustrasi dengan keadaan itu. Bagi saya, berpikir tentang interseksionalitas telah meningkatkan dan memperdalam komitmen saya pada pemahaman marxis tentang kapitalisme. Pada saat yang sama, anti-kapitalisme saya hanya mempertajam dan memperjelas pentingnya memahami bagaimana perbedaan membentuk dunia tempat kita hidup, berpikir, dan berorganisasi. Dan saya pikir saya tidak sendirian dalam hal ini – banyak orang yang berorganisasi dengan saya tahu bahwa ada kekuatan dan sinergi di antara cara-cara berpikir ini. 

Karena itu, saya ingin menulis sesuatu yang menyoroti aspek interseksionalitas dan marxisme, bukan hanya perdebatan sengit di antara keduanya. Saya selalu berpikir bahwa adalah tugas kita untuk membaca secara luas – dan menemukan wawasan di berbagai tempat. Mungkin ini berasal dari pengalaman saya sebagai seorang organisator – untuk menjalankan kampanye yang sukses, kita selalu mengambil potongan-potongan dari berbagai tempat, menemukan sumber daya dan sekutu yang tak terduga untuk mencoba memobilisasi kekuatan dan melawan ketidakadilan. Jadi, meskipun buku ini berbicara banyak tentang kritik antara tradisi marxis dan tradisi interseksional, saya menulis buku ini karena saya ingin kita bergerak melampaui apa yang terasa seperti jalan buntu. Bagaimana kita dapat mengambil sesuatu yang berwawasan luas, kuat, memobilisasi, dan benar dari kedua tradisi ini dan memajukannya? Bagaimana kita dapat melibatkan diri dengan kedua tradisi ini untuk mengungkap wawasan baru bagi pengorganisasian dan teori kita?

Selain itu, saya juga menulis buku ini buat diri saya sendiri guna menginterogasi beberapa keyakinan dan praktik saya sendiri. Para akademisi tidak selalu membicarakan hal ini, tetapi penting untuk terbuka dalam mengubah ide-ide Anda selama penelitian. Menulis adalah salah satu praktik yang memberi kita kesempatan untuk menginterogasi apa yang kita (baik dalam arti kolektif maupun dalam arti kepenulisan) yakini dan mengapa. Apa yang selama ini saya anggap benar? Narasi apa yang telah saya terima melalui percakapan-percakapan dan konferensi-konferensi? Apa kearifan kolektif dari ruang-ruang pengorganisasian saya atau jaringan akademik saya, dan seberapa sejalankah saya dengannya? Saya mendekati menulis sebagai semacam hadiah, sebagai persembahan atau pembuka untuk mendorong diri saya berpikir lebih jauh dan lebih keras, untuk menekan asumsi-asumsi saya sendiri, untuk memaksa diri saya membenarkan posisi saya dengan cara-cara yang biasanya tidak dituntut oleh presentasi konferensi selama 15 menit atau keputusan-keputusan yang cepat dalam pengorganisasian.

GS: Apakah Anda ingin membongkar argumen kunci yang mendukung penelitian Anda?

AB: Jika saya harus mengatakannya dalam istilah yang paling jelas yang saya bisa, saya akan mengatakan, buku ini menyajikan argumen yang sangat sederhana: analisis menyeluruh tentang kapitalisme membutuhkan wawasan dan alat dari tradisi marxis dan tradisi interseksional.

GS: Apa yang dimaksud dengan interseksionalitas? Apakah hal ini sesuai dengan marxisme? Jika ya, apa implikasi dari dialektika ini terhadap studi realitas sosial?

AB: Ha! Ini adalah pertanyaan yang sangat bagus. Beberapa bentuk marxisme tentu saja cocok dengan beberapa bentuk interseksionalitas. Marxisme yang mereduksi segalanya sebagai melulu persoalan kelas tidak cocok dengan interseksionalitas, seperti halnya interseksionalitas yang berorientasi pada reformasi liberal tidak cocok dengan marxisme reproduksi sosial revolusioner. Versi lain dari marxisme dan interseksionalitas jauh lebih dekat, bahkan mungkin dapat disintesiskan. Saya pikir kita sering berbicara tentang marxisme atau interseksionalitas seolah-olah keduanya merupakan satu kesatuan yang utuh. Dan meskipun saya pikir ada beberapa prinsip yang menjadi ciri khas masing-masing, keduanya merupakan bidang yang heterogen dan harus didekati dengan cara itu. Itulah yang saya maksudkan ketika mengatakan bahwa kita harus berpikir tentang marxisme dan interseksionalitas sebagai “tradisi” dan bukan sebagai “posisi” yang jelas.

Alih-alih menanyakan apakah kerangka-kerangka kerja ini secara keseluruhan kompatibel, buku ini justru menanyakan hal-hal bermanfaat dan penting apa yang dapat kita pikirkan jika kita menyatukan versi terbaik, terkuat, dan paling luas dari masing-masing kerangka kerja tersebut untuk mendefinisikan kembali arti kapitalisme.

GS: Bisakah kita menghindari pembacaan yang tidak reduksionis terhadap kapitalisme? Apa implikasinya secara teoretis dan politis?

AB: Saya terkadang berpikir bahwa percakapan seputar kapitalisme, setidaknya dalam ruang teori, menunjukkan bahwa pemahaman kita tentang kapitalisme adalah yang terbaik atau terkuat ketika kapitalisme dapat direduksi menjadi faktor-faktor yang paling sedikit atau dapat dijelaskan oleh logika tunggal yang univokal – semacam argumen pisau cukur Ockham. Namun, tatanan sejarah kapitalisme yang sebenarnya tidaklah seperti itu – kapitalisme sangat luas, bervariasi, dan tidak merata. Kapitalisme itu bervariasi dan dapat berubah, bersifat plastis dan responsif terhadap berbagai kondisi. Saya pikir, kadang-kadang ketika kita mencoba untuk mengikis semua keragaman dan kerumitan tersebut untuk mendapatkan teori yang paling “elegan” atau teori yang paling mudah dicerna dalam satu kalimat singkat, kita kehilangan banyak hal yang membuat kapitalisme menjadi sebuah sistem yang berbeda.

Dalam pengertian ini, saya mendukung pendekatan maksimalis daripada minimalis dalam memikirkan kapitalisme – bagaimana kita dapat mempertahankan sebanyak mungkin faktor, sebanyak mungkin kekhususan historis, sebanyak mungkin perbedaan internal? Bagaimana kita dapat berpikir tentang cara kapitalisme menggunakan, memobilisasi, dan juga terkadang berusaha menghilangkan perbedaan sebagai bagian dari apa itu kapitalisme, apa yang dilakukannya, dan apa yang kita perlukan untuk melawannya?

Salah satu area utama di mana saya pikir pendekatan “maksimalis” terhadap kapitalisme sangat membantu adalah dalam memikirkan tentang penindasan. Saya pikir di kalangan marxis, kita sering mendapatkan argumen bahwa kapitalisme (hanya) pada dasarnya adalah eksploitasi (penghisapan). Dalam pendekatan ini, penindasan (opresi) hanyalah sesuatu yang membuat Anda lebih rentan terhadap eksploitasi – semacam penguat eksploitasi, atau sebuah narasi sosial yang digunakan untuk mempertahankan eksploitasi. Tentu saja ini adalah beberapa cara kapitalisme berhubungan dengan penindasan, tapi tentu saja tidak semuanya. Bagian dari pertanyaan yang ingin saya ajukan dalam buku ini adalah – jika kita memiliki pemahaman yang kuat tentang berbagai cara eksploitasi dan penindasan terhubung dan berhubungan di bawah kapitalisme, bagaimana hal tersebut dapat meningkatkan pemahaman kita tentang kapitalisme, baik secara historis maupun logis?

Jadi, dalam buku tersebut, saya berpendapat bahwa kita harus memikirkan kembali kapitalisme sebagai sebuah sistem yang pada dasarnya, secara logis, dan historis dibentuk melalui eksploitasi dan penindasan. Dalam buku ini, saya melakukan pembacaan cermat (close readings) yang luas untuk menunjukkan bagaimana, pada dasarnya, sebagian besar teoretisi telah mereduksi kapitalisme hanya menjadi soal penindasan atau eksploitasi semata.

Namun, cara kapitalisme sebagai sebuah sistem global berfungsi tidak dapat dipahami secara memadai hanya dengan eksploitasi atau penindasan saja. Keduanya bekerja sama untuk membentuk sistem. Tentu saja kapitalisme tidak dapat berfungsi tanpa eksploitasi tenaga kerja, tetapi kapitalisme akan dengan mudah digulingkan tanpa penindasan. Saya akan memberikan satu contoh saja dari sekian banyak jenis hubungan yang saya telusuri dalam buku ini: pikirkan tentang akses terhadap institusi-institusi sosial, politik, dan kehidupan bersama. Salah satu cara kapitalisme mereproduksi dirinya sendiri adalah melalui narasi bahwa beberapa kehidupan tidak ada gunanya, bahwa ini bukanlah kehidupan yang layak untuk dijalani. Pikirkan bagaimana pendidikan di bawah kapitalisme terstruktur, bagaimana institusi-institusi produksi ideologi seperti media terus menerus berfungsi untuk mendisiplinkan kita agar menerima gagasan bahwa kita bukan siapa-siapa dan tidak pantas mendapatkan apa-apa. Pikirkan tentang bagaimana hambatan-hambatan terhadap sistem politik yang benar-benar demokratis diberlakukan: tes melek huruf, hukuman pidana, menolak memberikan surat-surat kepada para migran dan pengungsi, cara-cara korporasi memengaruhi keputusan-keputusan politik – ini semua adalah cara-cara signifikan kapitalisme beroperasi dan berubah, dan tak satu pun dari mereka yang dapat ditangkap secara memadai hanya dengan “eksploitasi” saja (meskipun tentu saja mereka melibatkan eksploitasi). Anda tidak dapat memiliki sistem kapitalis di mana orang-orang yang dieksploitasi mengetahui nilai mereka. Dalam hal ini, kapitalisme direproduksi dan dijamin tidak hanya melalui eksploitasi tetapi juga melalui penindasan.

GS: Dalam studi Anda, Anda berargumen bahwa “kapitalisme telah dan masih sangat terlibat dalam bentuk tertentu dari berbagai penindasan yang saling bertautan, di tingkat politik, ekonomi, sosial, dan ideologi”. Dapatkah Anda menguraikannya lebih lanjut?

AB: Kita tidak dapat memahami dunia yang kita tinggali ini tanpa memahami kapitalisme. Salah satu pelajaran yang saya ambil dari interseksionalitas adalah berbagai cara yang berbeda dan terputus-putus di mana gender, ras, seksualitas, kemampuan, kewarganegaraan, dan lain-lain secara fundamental saling terkait. Mereka bukanlah sistem yang terpisah yang melintas di tempat tertentu atau pada orang tertentu. Gender dirasialisasikan dan diklasifikasikan serta ditembakkan dengan ekspektasi kemampuan normatif. Hal ini berlaku untuk semua identitas dan posisi sosial; mereka mendapatkan makna melalui konstitusi yang bersifat relasional, dalam sebuah matriks.

Sebagaimana yang saya soroti dalam buku ini, baik teoretisi marxis maupun interseksional sangat jelas mengatakan bahwa kapitalisme juga merupakan bagian dari kisah ini, baik secara historis maupun di dunia kontemporer. Kita tidak dapat memahami ras (dalam pengertian gender, seksual, dan ableist) tanpa memahami bahwa gagasan modern tentang ras diciptakan di dunia kapitalis, bahwa kita semua mengalami ras di dunia kapitalis. Tidak ada yang bisa memisahkan kategori-kategori ini dari kapitalisme dan tidak ada yang bisa memisahkan kapitalisme dari ras, gender, seksualitas, ableist, atau kebangsaan.

Artinya, para ahli teori kapitalisme yang mencoba memberi tahu Anda apa itu kapitalisme tanpa menjelaskan bagian yang sangat penting dari cerita ini telah sepenuhnya menutupi beberapa bagian yang paling kuat dan penting tentang bagaimana kapitalisme beroperasi secara logis dan historis, dan oleh karena itu, apa itu kapitalisme.

Dari sudut pandang praktis, mereka (para teoretisi) itu juga telah mengorbankan sejumlah besar pengorganisasian. Padahal kebijaksanaan lama mengajarkan bahwa dalam melakukan pengorganisiran kita akan bertemu dengan orang-orang dengan kondisi konkret di mana mereka berada. Kita akan lebih mudah untuk terhubung dengan operasi skala besar dari sistem kekuasaan yang luas dengan melihat bagaimana hal itu terhubung dengan situasi spesifik dan kehidupan spesifik Anda. Kita semua hidup di dalam dan melalui identitas, dan sering kali berdasarkan identitas itulah kita memahami dunia. Dalam beberapa situasi, memulai dengan status kelas seseorang mungkin merupakan jalan masuk terbaik untuk memikirkan kapitalisme sebagai sebuah sistem. Kadang-kadang bukan gaji saya yang paling mengacaukan hari saya, tetapi adalah bos saya yang terus mengirimi saya foto-foto tentang alat kelaminnya. Atau status dokumentasi saya. Atau bagaimana saya harus berjuang mati-matian untuk mendapatkan segala bentuk akomodasi untuk disabilitas saya, baik di tempat kerja atau di dunia secara umum. Kapitalisme jelas berkelindan dalam semua contoh ini, kapitalisme yang telah dibentuk oleh seksisme, xenofobia, kolonialisme, dan ableism. Kita harus mampu menunjukkan logika ini secara keseluruhan agar mampu tanggap terhadap kebutuhan masyarakat dan memastikan bahwa dalam gerakan kita dan apapun yang kita impikan untuk menggantikan neraka tempat kita hidup ini, dan tidak berakhir dengan mereproduksinya.

GS: Bagaimana Anda memandang dialektika antara teori dan politik? Bagaimana posisi Anda terkait topik ini?

AB: Saya adalah seorang aktivis dan teoritikus sekaligus. Saya menghabiskan banyak waktu di ruang-ruang gerakan dan melakukan kerja-kerja gerakan. Terkadang teori dapat membantu memandu pilihan strategi dan taktik kita pada saat tertentu; terkadang wawasan yang paling penting untuk teori datang dari jalanan. Sebagian besar dari buku ini adalah refleksi teoretis atas beberapa masalah dan komplikasi yang saya temui selama satu dekade terakhir di ruang-ruang aktivisme – bagaimana mendamaikan pendekatan marxis dengan pendekatan interseksional, bagaimana memikirkan penindasan dengan cara yang anti-kapitalis, dan bagaimana memikirkan solidaritas di berbagai lokasi sosial yang berbeda.

Namun, saya rasa sering kali ketika kita mengajukan pertanyaan tentang teori-politik, kita memiliki pemahaman yang sangat terbatas tentang apa yang dimaksud dengan masing-masing istilah tersebut. Teori tidak hanya berarti buku-buku tentang topik-topik abstrak yang ditulis oleh orang-orang yang memiliki gelar PhD. Para aktivis, yang terlibat, maka tak terhindarkan dalam proses membaca, berpikir, berefleksi, dan bermimpi, juga berteori sepanjang waktu, sama seperti apa yang disebut sebagai “ahli teori” yang juga terlibat dalam aktivitas politik sepanjang waktu, bahkan ketika mereka tidak melakukannya di tempat-tempat politik yang “terorganisir” secara tradisional. Teori adalah sebuah praksis, berpikir adalah sebuah tindakan. Saya tidak terlalu tertarik dengan pemisahan tradisional antara teori dan politik. Saya lebih tertarik untuk mengajukan pertanyaan: bagaimana yang Anda lakukan dan pikirkan dapat berkontribusi pada pembebasan?

Menurut saya, pertanyaan ini lebih menarik dan lebih jujur. Dan pada akhirnya, saya pikir ini adalah pertanyaan yang lebih mendesak untuk diajukan. Tentu saja ada beberapa orang yang menghabiskan lebih banyak waktunya untuk “politik”, yang kesetiaan utamanya bukan pada pembebasan. Dan juga ada banyak sekali orang yang menulis teori “radikal”, berkoar-koar tentang dominasi, yang pekerjaannya tidak benar-benar membantu orang untuk bebas. Jadi bagi saya, pertanyaannya bukan tentang apakah seseorang melakukan kerja teori atau kerja politik, tetapi apa pun keterampilan dan keahlian seseorang, bagaimana itu berguna dalam perjuangan? Bagaimana Anda menilainya? Kriteria apa yang Anda gunakan untuk menentukan apakah proyek Anda saat ini (politik atau teoretis) hanyalah obsesi pribadi Anda atau apakah ini adalah bagian dari upaya untuk membebaskan kita semua? Saya pikir gerakan akan lebih kuat dan hubungan antara aktivis dan akademisi akan lebih dekat dan tidak terlalu mengasingkan jika pertanyaan-pertanyaan ini menjadi jangkar bagi kita, bukannya asumsi-asumsi mengenai aktivitas kita.

GS: Anda menjelaskan bahwa Anda melakukan “pembacaan gerilya” terhadap teks-teks yang Anda teliti. Bisakah Anda menjelaskan kepada kami apa yang dimaksud dengan hal ini secara politis dan epistemologis?

AB: Saya pikir ada manfaat yang besar dalam memahami apa yang dikatakan oleh berbagai penulis, terutama ketika karena rasisme dan heteroseksisme, kata-kata mereka tidak ditanggapi dengan serius atau dibaca dengan cermat. Banyak hal yang saya soroti dalam hal interseksionalitas adalah bahwa tradisi ini sengaja disalahartikan oleh kaum marxis (kulit putih) untuk menafikannya. Dan saya pikir ada politik pengetahuan yang sangat merusak yang terjadi ketika kita punya waktu untuk membaca setiap “daftar belanjaan” yang pernah dibuat oleh seorang marxis laki-laki kulit putih, tetapi mengabaikan seluruh tradisi perempuan kulit berwarna yang berteori hanya dengan membaca sekilas. Saya tidak bisa mengatakan seberapa sering dalam ruang-ruang marxis seseorang ingin mereduksi semua interseksionalitas menjadi argumen yang dibuat oleh Kimberlé Crenshaw dalam upaya pertamanya untuk mengartikulasikan konsep tersebut. Artikel itu ditulis pada tahun kelahiran saya. Dan itu bukanlah satu-satunya hal yang ditulis Crenshaw selama kariernya yang panjang, dan bagaimanapun juga, Crenshaw tidak memiliki monopoli atas interseksionalitas; ada banyak versi, ketidaksepakatan, dan perbedaan dalam bidang ini sehingga banyak orang yang membawa konsep ini ke tempat yang berbeda dari Crenshaw. Jadi, pertama-tama, saya pikir penting untuk mengatakan bahwa ketika kita mendekati sebuah tubuh pengetahuan yang diciptakan oleh orang-orang yang tertindas dan berbicara tentang penindasan mereka, kita memiliki kewajiban untuk membaca dengan cermat dan memahami apa yang dikatakan dan dimaksudkan oleh sang penulis. Menolak untuk terlibat dengan itikad baik dalam situasi seperti ini adalah sebentuk kekerasan epistemik.

Dengan semua hal tersebut, ada juga beberapa hal yang perlu kita pikirkan di luar teks sebagaimana yang tertulis atau dimaksudkan. Saya pikir kita memang memiliki kewajiban untuk terlibat dengan itikad baik dengan teks, tetapi tidak berarti hanya membatasi diri pada apa yang dipikirkan atau dikatakan oleh orang lain. Ketika saya menggunakan istilah “membaca gerilya”, saya menggunakannya untuk membaca teks-teks di luar teks itu sendiri, mencoba menemukan tempat-tempat di mana sesuatu dikatakan secara implisit atau secara tersirat. Bagaimana dan di mana kita dapat menambang teks, mengungkap prasangkanya, menemukan apa yang berguna dan kuat di dalamnya, dan bagaimana kita perlu membawa teks ke luar teks itu sendiri untuk, kadang-kadang, memanfaatkan wawasan yang baru lahir? Saya tidak pernah merasa puas, bahkan sebagai seorang yang memiliki gelar PhD dalam bidang filsafat, bahwa semua pemikiran yang baik adalah sekadar eksplikatif – yaitu, kembali lagi dan lagi ke teks yang sama untuk mencoba menemukan apa yang “benar-benar” dikatakan atau apa yang “benar-benar” dimaksudkan oleh penulisnya, seolah-olah itulah satu-satunya hal yang penting, seolah-olah, jika kita akhirnya sampai pada apa yang sebenarnya dimaksudkan atau dipikirkan oleh Marx atau Crenshaw atau Cedric Robinson, seolah-olah hal tersebut akan menyelesaikan semua masalah kita, baik secara filosofis maupun praktis. Ini adalah proyek yang layak, ini bisa menjadi proyek yang bermanfaat, dan terkadang, seperti yang telah saya katakan, kita melakukannya terlalu sedikit. Tetapi tidak semua pertanyaan yang kita miliki dapat diselesaikan dengan membaca Alkitab tentang apa yang telah ditulis. Kadang-kadang kita perlu mendorong teks lebih jauh, dan salah satu cara untuk melakukannya adalah dengan membaca teks itu sendiri untuk mengekspos celah-celah dan komplikasi serta arah baru untuk berpikir, yang saya dan yang lainnya sebut sebagai “pembacaan gerilya”.

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.

GS: Anda juga merefleksikan pertanyaan tentang solidaritas. Apa pendapat Anda tentang istilah ini, baik sebagai konsep analitis maupun sebagai realitas politik?

AB: Solidaritas sejati adalah kehidupan. Tidak ada cara lain, menurut saya, untuk tidak mengorientasikan diri kita pada perjuangan dan pada satu sama lain. Ada sesuatu yang sangat indah tentang solidaritas, tentang cara jutaan orang bekerja untuk mencapai kepentingan bersama, bukan atas dasar hubungan pribadi atau kenalan perorangan, tetapi atas dasar kejelasan dan keyakinan bahwa kita semua layak mendapatkan dunia yang lebih baik. Kami melakukan wawancara ini di tengah-tengah krisis Covid dan kerja gotong royong yang saya dan banyak orang lain telah berpartisipasi di dalamnya, saya pikir, telah membawa sekelompok orang yang sama sekali baru untuk memahami perasaan itu.

Namun saya pikir terkadang ketika menggunakan istilah solidaritas, yang kita maksud adalah semacam penyelamatan. Saya sering melihat hal ini ketika orang berbicara tentang perbedaan kekuatan sosial: “Saya bukan queer/trans/POC/tidak berdokumen/dipenjara/dll, tapi saya bersolidaritas dengan mereka”. Dalam hal ini, orang terkadang menggunakannya untuk menunjukkan bahwa mereka memiliki kepedulian politik yang tidak dapat direduksi dengan penindasan yang mereka alami. Tentu saja, saya pikir, kita perlu menunjukkan kepada orang-orang dari berbagai identitas, lokasi sosial, dan pengalaman. Namun, menurut saya apa yang terlewatkan oleh pemahaman semacam solidaritas ini adalah bahwa bagaimanapun kita semua terpengaruh oleh sistem dominasi yang ada. Kita semua diciptakan di dalam dan melalui sistem-sistem tersebut, dan kita semua menjadi lebih buruk karena keberadaan sistem-sistem itu.

Mari ambil contoh tentang supremasi kulit putih (white supremacy). Saya adalah seorang Yahudi Ashkenazi berkulit putih, saya tinggal dan memiliki hak istimewa karena berkulit putih dan segala sesuatu yang terkait dengannya. Sebagian besar hidup saya ditempa untuk tidak belajar dan menentang supremasi kulit putih, dan tumbuh di dunia supremasi kulit putih memiliki efek yang sangat mendasar sehingga hampir tidak terlihat oleh saya. Inilah yang dimaksud, dalam arti tertentu, untuk percaya pada penjelasan materialis tentang dunia – lingkungan dimana kita hidup mencipta dan membentuk, bahkan bertentangan dengan keinginan kita (dan tentu saja, bahkan mencipta dan membentuk keinginan kita). Diciptakan di dalam dan melalui dunia supremasi kulit putih, tidak peduli seberapa besar komitmen saya untuk membatalkan dan menghapusnya, tetap saja saya telah dirusak oleh supremasi kulit putih. Frantz Fanon, misalnya, sangat jelas dalam hal ini: mengambil manfaat dari sistem eksploitasi dan penindasan, yang dibuat di dalam dan melalui sistem tersebut, merendahkan kemanusiaan kita. Jadi, ketika saya berpikir untuk menghapus supremasi kulit putih, saya tidak berkomitmen untuk perjuangan itu hanya atas nama orang lain. Saya tidak berada di luar perjuangan atau sistem ini. Saya juga merupakan bagian darinya.

Ketika kita berpikir tentang proyek untuk menghapuskan dominasi, kita harus memahami bahwa kapitalisme, supremasi kulit putih, heteroseksisme, ableism, dan sebagainya, semuanya merugikan bahkan bagi mereka yang “diistimewakan” olehnya. Supremasi kulit putih tentu saja memberikan keuntungan, hak istimewa, mobilitas sosial dan fisik, dan sebagainya kepada orang kulit putih, seperti halnya logika-logika lainnya. Namun, hidup di dunia yang ditempa melalui struktur yang mengajarkan kita, di setiap kesempatan, bahwa ada kehidupan yang berharga dan ada yang tidak berharga, memengaruhi kita semua. Inilah, menurut saya, perbedaan krusial antara pendekatan liberal dan revolusioner terhadap pembebasan. Kaum liberal menginginkan inklusi ke dalam sistem; mereka ingin kaum proletar menjadi “sama seperti” kaum kapitalis atau perempuan menjadi “sama seperti” kaum laki-laki. Filosofi liberal mempertahankan gagasan-gagasan yang berkuasa tentang bagaimana seharusnya kita. Kaum revolusioner tahu bahwa bahkan mereka yang memiliki keuntungan paling besar dalam sistem yang ada saat ini adalah salah. Mereka adalah produk dari dunia yang salah. Kami tidak menginginkan kesetaraan dengan mereka; kami menginginkan sesuatu yang sama sekali berbeda. Kita menginginkan sebuah dunia yang belum pernah ada.

Itulah mengapa ketika orang mengambil pendekatan bahwa “Saya bukan X, saya bersolidaritas”, saya sedikit merasa ngeri, karena hal ini menunjukkan bahwa mereka yang memiliki hak istimewa atau memiliki kekuatan sosial tidak melihat diri mereka sendiri sebagai bagian dari apa yang perlu diubah. Dan saya pikir, pada dasarnya, solidaritas adalah cara untuk bersatu melawan dominasi, kita mengubah komunitas kita, diri kita sendiri, dan dunia. Jadi, ketika saya berpikir tentang solidaritas, saya menggunakannya untuk menandai pengakuan akan sebuah hubungan. Sekarang, kita perlu memperjelas: solidaritas tidak berarti kesamaan. Saya sama sekali tidak mengatakan bahwa supremasi kulit putih atau apa pun memengaruhi kita semua dengan cara yang sama. Ini tidak masuk akal. Ada konsekuensi yang sangat berbeda untuk menjadi orang kulit putih di bawah supremasi kulit putih dan menjadi orang kulit berwarna. Saya jelas tidak berada di posisi yang sama di bawah supremasi kulit putih dengan orang kulit berwarna (yang tidak semuanya berada di posisi yang sama dalam hubungan satu sama lain). Seperti yang sering diingatkan oleh para neo-Nazi, sebagai seorang Yahudi Ashkenazi, posisi saya tidak sama dengan kulit putih lainnya di bawah supremasi kulit putih. Namun, apa yang disebut solidaritas adalah pemahaman bahwa ada logika (supremasi kulit putih) yang menyentuh kita semua – neo-Nazi, saya sendiri, orang kulit berwarna, dll. Ketika saya berjuang melawan supremasi kulit putih bersama dengan orang lain dalam perjuangan itu dan melawan neo-Nazi, kita terlibat dalam perjuangan ini dari dalam, bahkan jika kita berada di dalamnya dari posisi dan tempat yang berbeda. Namun dalam kasus ini, solidaritas menandai sebuah koneksi (tetapi bukan kesamaan); solidaritas menandai pengakuan bahwa, di berbagai lokasi sosial, sistem dominasi menghubungkan kita dan hanya dengan memobilisasi dan memutus koneksi tersebut kita dapat menggulingkan sistem tersebut.

GS: Optimisme kehendak atau pesimisme intelek?

AB: Kedua-duanya! Ini adalah keyakinan yang mesti dimiliki oleh para organiser: kita harus bertindak seolah-olah dunia dapat berubah secara radikal setiap saat, seolah-olah revolusi dapat terjadi di setiap tarikan napas. Pada saat yang sama, kita tidak boleh memiliki optimisme tak berdasar yang memperlakukan revolusi sebagai sesuatu yang tak terelakkan. Gerakan revolusioner sering kali mengkhianati diri mereka sendiri tepat pada saat mereka meremehkan betapa dalamnya penindasan dan eksploitasi.

Kita membutuhkan kritik tajam/brutal (ruthless criticism) terhadap segala sesuatu yang ada (termasuk diri kita sendiri) dan keyakinan yang tak tergoyahkan, hampir seperti mesianis, bahwa kita dapat dan akan membangun dunia baru dari abu yang lama.***


Ashley J. Bohrer adalah seorang akademisi, aktivis dan intelektual publik. Penulis buku Marxism and Intersectionality: Race, Gender, Class and Sexuality under Contemporary Capitalism. Saat ini ia menjadi assistant professor di University of Notre Dame, AS, dan sebelumnya memangku posisi postdoctoral di Hamilton College. Lingkup penelitiannya mencakup filsafat, studi ras kritis, teori dekolonial, feminisme interseksional, dan marxisme yang mengeksplorasi interseksi antara kapitalisme, kolonialisme, rasisme, dan hetero/seksisme. Sebagai seorang aktivis, Ashley terafiliasi dengan berbagai kolektif akar rumput feminis, anti-rasis, dan anti-kapitalis. 

Artikel ini terbit pertama kali di majalah Salvage pada 28 Mei 2020, diterjemahkan dan diterbitkan ulang di sini untuk tujuan pendidikan.

]]>
Hubungan Partai dan Gerakan: Berkaca dari Pengalaman Eropa, Amerika Latin dan Afrika https://indoprogress.com/2024/04/hubungan-partai-dan-gerakan/ Sun, 07 Apr 2024 00:23:53 +0000 https://indoprogress.com/?p=238063

Ilustrasi: Illustruth


Pengantar Penerjemah

BAGI banyak kaum sosialis, model politik klasik sumbernya bisa ditelusuri ke partai-partai sayap kiri yang berakar pada gerakan buruh yang terbentuk di Eropa lebih dari seratus tahun yang lalu. Saat ini, banyak dari tujuan-tujuan utama sayap kiri dan lawan utamanya masih tetap sama, tetapi kondisi di mana kaum sosialis mengejar tujuan-tujuan tersebut kini telah berubah secara drastis. Selain itu, iklim sosial dan politik juga telah sangat bervariasi di seluruh planet kita yang tidak setara ini.

Menghadapi tantangan yang sangat berbeda tersebut, editor Dissent, Nick Serpe, bulan Oktober 2023 lalu menggelar perbincangan meja bundar yang mempertemukan para akademisi yang berfokus pada wilayah yang berbeda untuk membantu kita memahami tantangan-tantangan yang dihadapi oleh formasi politik kiri dan gerakan-gerakan rakyat di seluruh dunia. Mereka adalah Sheri Berman, Andre Pagliarini, dan Zachariah Mampilly. Apa kesamaan yang mereka miliki? Di mana letak perbedaan perspektif mereka? Apa yang membawa mereka ke titik ini–dan ke mana tujuan mereka?


Wawancara Utama

Nick Serpe: Mari kita mulai dengan satu cerita tentang apa yang sedang terjadi dengan kaum kiri, khususnya di belahan Dunia Utara (Global North): perkembangan dari apa yang disebut Thomas Piketty sebagai kaum kiri Brahmana, melawan kaum kanan populis, di tengah-tengah kesepakatan kelas. Sheri, apakah cerita ini merupakan kerangka kerja yang baik untuk memikirkan tantangan-tantangan yang ada di Eropa saat ini?

Sheri Berman: Jelas ada sebuah cerita yang bisa dituturkan tentang bagaimana kelompok-kelompok yang memilih partai-partai sayap kiri telah bergeser selama beberapa dekade terakhir. Orang-orang khawatir dengan partai-partai populis sayap kanan bukan hanya karena mereka berpotensi mengancam demokrasi, tapi juga karena mereka telah merebut hati pemilih tradisional partai-partai kiri dari kalangan kelas pekerja dalam jumlah yang signifikan. Piketty telah banyak menulis tentang bagaimana sayap kiri saat ini sering kali lebih diasosiasikan dengan orang-orang seperti mereka yang membaca Dissent–orang-orang berpendidikan tinggi, kelas menengah yang liberal secara sosial dan mungkin juga liberal secara ekonomi, tetapi lebih banyak didefinisikan oleh yang pertama daripada yang kedua.

Penting untuk dicatat bahwa kaum kiri pascaperang di Eropa dan Amerika Serikat tidak pernah mendapatkan suara sepenuhnya dari kelas pekerja, karena kelas pekerja tidak pernah menjadi mayoritas pemilih seperti yang diperkirakan Marx dan yang lainnya. Karena itu, membangun koalisi lintas kelas selalu menjadi bagian dari strategi kaum kiri demokratik. Problemnya, kini keseimbangan koalisi tersebut telah bergeser, dan para pemimpin, para aktivis, dan sebagian besar pemilih telah menjadi lebih terdidik dan lebih banyak berasal dari kelas menengah. Pergeseran ini telah mengubah makna kiri secara substansial, tidak hanya untuk memahami kiri tetapi juga untuk memahami mengapa partai-partai populis sayap kanan berhasil mendapatkan daya tarik.

Serpe: Andre, Brasil menawarkan sebuah kasus koalisi lintas kelas yang signifikan di sebelah kiri. Apakah koalisi ini telah berubah sejak Lula pertama kali terpilih dua puluh tahun yang lalu?

Andre Pagliarini: Salah satu isu utama dalam pemilu terakhir di Brasil adalah deindustrialisasi yang telah berlangsung selama beberapa dekade. Lula sangat mencurahkan perhatiannya pada tren tersebut, dan fakta bahwa ekonomi Brasil semakin bergantung pada agrobisnis, yang merupakan bagian dari koalisi pemilihan Jair Bolsonaro–jenis kekuatan ekonomi yang menghancurkan hutan hujan di Amazon untuk mendapatkan lebih banyak lahan penggembalaan. Terdapat perselisihan yang mencolok antara visi yang berbeda ini.

Perlu diketahui bahwa Brasil adalah negara dengan lebih dari dua lusin partai politik. Sebagian besar dari mereka tidak memiliki kejelasan ideologi. Partai Buruh (PT/ O Partido dos Trabalhadore) adalah salah satu dari sedikit pengecualian. Partai tempat Bolsonaro bertarung memperebutkan kursi kepresidenan, Partai Liberal, adalah partai yang tidak dikenal sampai ia bergabung. Sekarang, partai ini adalah partai terbesar di kongres, dan PT berada di urutan kedua. Kedua tokoh ini (Lula dan Bolsonaro) menghasilkan polarisasi pemilih hingga ke tingkat yang belum pernah terjadi di masa lalu di Brasil.

Serpe: Zachariah, Anda menulis sebuah artikel untuk Dissent pada ulang tahun kesepuluh Occupy tentang mengapa kaum kiri Barat mengabaikan Occupy Nigeria, dan secara umum hanya memberikan sedikit perhatian pada gerakan-gerakan rakyat Afrika. Sejauh mana percakapan tentang kiri ini memetakan dinamika gerakan-gerakan ini, yang bahkan mungkin tidak diidentikkan dengan kiri?

Zachariah Mampilly: Banyak dinamika yang diidentifikasi oleh Piketty bahkan lebih terlihat dalam konteks Afrika, dan di Asia Selatan, di mana telah terjadi lonjakan besar dalam ketidaksetaraan, berbeda dengan tahun 1970-an dan 1980-an, ketika tempat-tempat ini sangat miskin tetapi jauh lebih setara. Di Amerika Serikat, kita sering mencampuradukkan posisi kiri dan posisi liberal; bahasa kiri diterapkan pada hal-hal yang secara historis tidak disukai oleh kaum kiri, seperti kebangkitan politik identitas yang hanya memiliki sedikit ketertarikan pada isu-isu kelas. Kontradiksi-kontradiksi tersebut mungkin lebih terlihat di beberapa bagian di Dunia Selatan (Global South) daripada di Barat.

Apa yang saya maksudkan dengan hal itu? Jika Anda melihat lanskap gerakan rakyat Afrika, banyak dari mereka mengartikulasikan posisi yang sangat terkait dengan kondisi material-realitas pertumbuhan yang luar biasa yang terjadi di seluruh Dunia Selatan yang terkonsentrasi di tangan minoritas yang sangat sempit. Salah satu tantangan yang kami hadapi adalah mencoba untuk memahami apa sebenarnya politik mereka. Mereka tidak menggunakan bahasa yang secara historis diasosiasikan dengan kaum kiri di Amerika Serikat. Mereka mengartikulasikan serangkaian tuntutan yang jauh lebih abstrak di sekitar transformasi mendasar dari sistem. Apa yang kurang dari mereka adalah basis institusional untuk mewujudkan politik ini. Anda melihat peningkatan keterputusan ini tidak hanya dalam kesenjangan kelas yang semakin besar, tetapi juga dalam hal kurangnya aliansi antara, katakanlah, kekuatan-kekuatan Occupy dan partai politik mana pun yang mencoba untuk menangkap energi tersebut dan membuatnya menjadi kenyataan dalam politik Nigeria. Masalahnya bukanlah populisme sayap kanan, tetapi populisme sayap kiri tanpa pemimpin atau saluran institusional.

Serpe: Apa yang menyebabkan keterputusan hubungan antara gerakan-gerakan untuk demokrasi dan kesetaraan dengan partai-partai politik?

Mampilly: Kita harus kembali ke tahun 1990-an dan melihat pendisiplinan partai-partai oposisi di Afrika. Afrika Selatan adalah contoh paling menonjol. Partai komunis dan partai-partai kiri lainnya memainkan peran sentral dalam meruntuhkan rezim apartheid, namun ketika “dispensasi baru” (pemerintahan baru pasca-apartheid) berkuasa dengan partai komunis sebagai bagian dari koalisi tersebut, hampir semua kebijakan ekonomi yang diterapkan bersifat neoliberal. Di seluruh lanskap Afrika, sepanjang tahun 1980-an dan 1990-an, terdapat sekumpulan partai komunis yang kuat. Banyak dari mereka dilarang oleh rezim yang berkuasa, tetapi mereka masih menjadi ruang intelektual dan politik yang sangat hidup. Saat ini, ketiadaan partai-partai kiri di seluruh Afrika sangat mencolok.

Serpe: Kita telah mengalami lebih dari satu dekade gerakan protes besar di seluruh dunia. Tampaknya cerita di Amerika Latin agak berbeda, karena ada partai-partai sayap kiri dari berbagai garis yang sukses merespons momentum populer ini. Gelombang Merah Muda (Pink Tide) dimulai jauh sebelum momen ini.

Pagliarini: Satu episode baru-baru ini di Brasil terkait dengan apa yang Zachariah sebutkan–bagaimana politik identitas berinteraksi dengan strategi pemerintahan. Lula memiliki kesempatan untuk memilih seorang hakim agung yang baru, dan ada gerakan akar rumput yang kuat yang mendesaknya untuk menunjuk seorang perempuan kulit hitam. Berbagai organisasi Afro-Brasil menyusun sebuah manifesto yang meminta Lula untuk mempertimbangkannya. Jumlah reaksi yang diterima di media sosial dan dari beberapa anggota PT, yang mengklaim berbicara atas nama basis kelas pekerja yang lebih tradisional, sangat mengejutkan banyak pihak. Mereka menyebut politik identitas semacam ini sebagai pemaksaan imperialis dari Dunia Utara, dan berpendapat bahwa tidak ada jaminan bahwa hakim kulit hitam akan menjadi progresif, sehingga presiden harus memilih siapa yang secara pribadi diyakininya sebagai orang terbaik untuk pekerjaan itu. Pilihan pertamanya untuk Mahkamah Agung, pada awal tahun ini, adalah seorang pria kulit putih berambut pirang–pengacara pribadinya saat ia menghadapi tuduhan korupsi. Dan sekarang, sepertinya dia tidak akan menunjuk seorang wanita kulit hitam untuk menjadi hakim agung.

Ini adalah momen yang sangat berbeda dari Pink Tide. Ketika PT muncul pada akhir tahun 1970-an dan awal 1980-an, partai ini merupakan semacam partai pelopor (vanguard party). Ada ketegangan LGBT di dalam partai. Ada ketegangan identitas Afro. Pada saat itu, penyebab ketegangan-ketegangan tidak ditangani oleh kaum kiri Brasil selama beberapa dekade. Saat ini, meskipun kekuatan-kekuatan ini masih ada di dalam PT, Partai Sosialisme dan Kebebasan (PSOL)–partai Marielle Franco, anggota dewan kota Rio yang dibunuh pada tahun 2018–telah merangkul isu-isu ini dengan lebih nyata. Partai ini memiliki transpuan yang terpilih menjadi anggota kongres. Ada pula tokoh seperti Guilherme Boulos, yang tampaknya akan menjadi kandidat PSOL untuk wali kota São Paulo tahun depan, kota terbesar di Amerika Latin. Ia adalah bagian dari gerakan sosial perkotaan yang menganggap bahwa menempati rumah-rumah yang ditinggalkan secara strategis sangat penting.

PT adalah partai yang kuat dan berpengalaman. Namun, satu hal yang telah kita lihat sejak Lula dilantik Januari lalu adalah kewaspadaan partai ini terhadap kerentanan demokrasi Brasil setelah Bolsonaro–gagasan bahwa PT perlu berhati-hati untuk tidak menekan terlalu keras pada isu-isu tertentu. Tidak memaksakan kehendak, misalnya, dalam hal aborsi, yang ilegal di Brasil kecuali dalam kondisi yang ekstrem. Kehati-hatian ini tidak ada pada Pink Tide yang asli, yang didefinisikan dengan tindakan yang berani dan progresif dalam hal kebijakan. Saya tidak ingin mengecilkannya, karena ini adalah hal yang besar, namun yang paling terlihat dari Lula sejauh ini adalah kebangkitan kembali dari agenda sebelumnya. Kita tidak melihat adanya lonjakan pemikiran baru yang kreatif. Hal ini menunjukkan adanya kendala baru pada saat ini.

Serpe: Sheri, di Eropa, telah terjadi penurunan keanggotaan partai yang cukup universal, tanpa memandang ideologi. Seberapa besar pengaruhnya terhadap prospek partai-partai kiri, yang secara tradisional berakar pada politik massa dan memiliki basis yang terorganisir?

Berman: Hingga dekade pascaperang, partai-partai politik di Eropa sangat kuat, dalam arti memiliki keanggotaan massa. Partai-partai memiliki hubungan yang luas dengan berbagai macam organisasi masyarakat sipil, termasuk serikat pekerja, dan mereka adalah organisasi yang mencakup semuanya. Pada masa kejayaan SPD Jerman, ada pepatah yang mengatakan bahwa Anda dapat hidup di dalamnya sejak dari buaian hingga liang lahat. Anda bisa lahir di rumah sakit dan dirawat oleh perawat yang berafiliasi dengan partai, lalu pemakaman Anda akan didanai sebagian oleh asosiasi pemakaman gerakan sosialis. Kini, hal-hal seperti itu tinggal menjadi cerita nostalgik. Dan kemunduran partai semacam itu memengaruhi jenis kebijakan yang ditawarkan partai-partai tersebut. Dan kemudian kebijakan-kebijakan itu mendorong orang semakin menjauh dari mengidentifikasi dirinya dengan partai.

Kami menggunakan istilah “keberpihakan” secara merendahkan di Amerika Serikat, karena jika terlalu kuat, hal ini dapat menyebabkan polarisasi dan perpecahan yang dapat menjadi masalah bagi demokrasi. Namun, itulah yang terjadi di Eropa pada dekade-dekade awal pascaperang, dan hal ini memperkuat demokrasi. Hal ini benar-benar tergantung pada jenis isu yang menjadi polarisasi masyarakat, dan jenis partai yang menjadi partisan mereka.

Peran penting lain yang dimainkan oleh partai-partai kiri demokratis di Eropa adalah menstabilkan demokrasi setelah tahun 1945, bukan hanya karena mereka berkomitmen pada sistem, tetapi karena mengintegrasikan masyarakat yang kurang beruntung–pemilih berpendidikan dan berpenghasilan rendah–ke dalam demokrasi. Jadi kemunduran partai-partai ini terkait dengan pertanyaan-pertanyaan yang lebih besar mengenai pembusukan demokrasi.

Serpe: Demokrasi adalah ruang terbaik untuk putaran selanjutnya. Andre, pengalaman kepresidenan Bolsonaro menimbulkan pertanyaan besar tentang rapuhnya demokrasi Brasil. Apakah ini telah mengubah pendekatan kaum kiri dalam memerintah, atau dalam berkampanye? Apakah demokrasi telah menjadi isu utama?

Pagliarini: Dalam beberapa tahun terakhir, politik global telah mempertanyakan kembali hal-hal yang, baik atau buruk,  yang menganggap bahwa demokrasi adalah pilihan terbaik. Dalam kasus Brasil, sejak kembalinya demokrasi pada tahun 1980-an, sebelum kemunculan Bolsonaro, kami tidak pernah melihat seorang kandidat yang mencalonkan dirinya untuk jabatan publik secara eksplisit merayakan kudeta militer tahun 1964 dan rezim kediktatoran yang mengikutinya.

Brasil sangat berbeda dengan, katakanlah, Cile, di mana terdapat kasus-kasus hukum yang diajukan terhadap para diktator dan penyiksa. Brasil menandatangani undang-undang amnesti pada tahun 1979 yang pada dasarnya melindungi militer saat mereka bersiap untuk meninggalkan panggung kekuasaan. Hal ini memiliki konsekuensi historis. Amnesti itu membantu melanggengkan narasi bahwa apa yang dilakukan militer pada tahun-tahun tersebut dapat dibenarkan karena kondisi politik yang lebih luas.

Bolsonaro datang pada saat yang penting dalam sejarah negara ini: bencana ekonomi dan krisis politik. Dilma Rousseff, penerus Lula, telah kehilangan kemampuan untuk memerintah. Namun, pada momen yang sama telah terjadi suksesi kandidat sentris atau kanan-tengah yang dikalahkan oleh PT dalam pemilihan umum. Jadi antara tahun 2016 dan 2018, para pemilih konservatif mencari-cari suara anti-PT yang paling ekstrem. Hal ini mirip dengan Amerika Serikat, di mana Donald Trump muncul setelah Mitt Romney dan John McCain kalah.

Bolsonaro telah menghabiskan kariernya sebagai anggota parlemen, ia seorang pengganggu (gadfly), yang mengatakan bahwa masalah dari kediktatoran adalah bahwa kediktatoran tidak berjalan cukup jauh–ia tidak membunuh cukup banyak orang. Pada tahun 2018, banyak yang memperingatkan bahwa mengangkat orang ini adalah bahaya nyata bagi demokrasi Brasil. Dia membawa Brasil ke tepian jurang serangkaian krisis konstitusional.

Jika Trump masih berkuasa ketika Brasil mengadakan pemilihan umum tahun 2022 lalu, kita mungkin akan melihat cerita yang sangat berbeda. Untungnya, pemerintahan Biden menunjukkan posisi yang sangat jelas bahwa jika pemerintah Bolsonaro mencoba melakukan sesuatu, Amerika Serikat tidak akan mendukung militer Brasil, dan sanksi akan menyusul. Jadi, ketika Bolsonaro mencoba untuk menyuarakan kepada para petinggi militer untuk melakukan kudeta, tidak ada dukungan, kecuali–kabarnya–panglima angkatan laut.

Seruan kudeta itu merupakan sebuah kejadian yang nyaris terjadi di Brasil, dan memecah belah orang-orang di kubu kiri. Beberapa orang penting di PT sangat marah karena CIA mengatakan sesuatu tentang pemilu Brasil. Orang-orang lain di sayap kiri mengatakan, “Bukankah lebih baik jika mereka mengatakan bahwa pemilu harus dihormati?”

Bolsonaro, pada tahun 2018, menyatakan bahwa jika demokrasi menghasilkan krisis politik dan ekonomi, kita harus mencoba sesuatu yang berbeda. Lula membantahnya–dengan mengatakan bahwa demokrasi di Brasil, seperti halnya di tempat lain, berantakan, sering kali tidak memuaskan, tetapi melalui cara-cara bertahap, kita dapat meningkatkan taraf hidup jutaan orang, seperti yang telah kita lakukan sebelumnya. Tahun lalu, argumen itu menang. Kekhawatiran saya adalah, setelah Lula meninggalkan panggung, apakah ada orang yang mampu menyampaikan argumen tersebut secara kredibel dalam konteks berbagai krisis yang saling tumpang tindih? Ini bukan momen Pink Tide yang baru. Seseorang seperti Lula bisa menang, tetapi saya tidak yakin ada orang lain yang bisa mempertahankan koalisi tersebut.

Mampilly: Satu pertanyaan yang sangat mengganggu saya adalah, mengapa kita mesti menghargai partai politik? Peran apa yang mereka mainkan dalam demokrasi? Dorongan untuk demokrasi multi-partai di Afrika muncul dari gagasan bahwa suara rakyat telah ditolak oleh otoritarianisme, dan memelihara serta mendukung partai-partai politik akan memberikan pilihan demokratis kepada rakyat. Namun, gagasan bahwa semakin banyak partai politik berarti demokrasi menjadi semakin baik dan kuat telah menjadi lelucon selama beberapa dekade ini. Khususnya di beberapa bagian dari Dunia Selatan, partai-partai politik merupakan alat atau preferensi komunitas internasional, tanpa hubungan langsung dengan kehendak rakyat. Faktanya memang tidak selalu demkian: jika kita melihat gerakan anti-kolonial di banyak bagian Afrika, partai-partai politik muncul dari gerakan sosial. Namun, saat ini partai-partai politik merupakan sarana untuk memperkaya diri para elite, hanya menjadi kendaraan para elite untuk mendapatkan atau mempertahankan kekuasaan, dan mereka sering kali kepentingannya sangat terputus dari kepentingan masyarakat yang lebih luas.

Gerakan sosial, seperti LUCHA di Republik Demokratik Kongo, merespons kenyataan tersebut. Mereka menolak untuk bersekutu dengan partai politik mana pun, meskipun mereka telah diminta untuk mendukungnya. Di seluruh Afrika, gerakan sosial pada umumnya menolak politik elektoral. Kenyataan ini adalah sesuatu yang harus kita semua perhitungkan. Mungkin kita seharusnya tidak terlalu terobsesi dengan kemunduran partai politik dan kita harus lebih memperhatikan formasi-formasi baru yang muncul, dan jenis-jenis politik institusional dan non-institusional yang mereka coba artikulasikan, meskipun tidak selalu berhasil seperti yang kita harapkan.

Berman: Menurut saya, kritik bahwa partai-partai dapat menjadi klientelistik dan korup, bahwa mereka dapat menjadi kendaraan bagi individu-individu yang tidak memiliki hubungan atau keinginan untuk mewakili akar rumput, adalah valid. Kritik-kritik tersebut juga berlaku di Eropa, yang memiliki sejarah partai dan demokrasi elektoral yang lebih panjang. Namun pertanyaannya adalah: apakah kita ingin membunuh tikus dengan membakar lumbung padinya sekaligus? Memang benar bahwa partai politik bisa berdampak negatif terhadap demokrasi, namun dapatkah kita membayangkan demokrasi yang berfungsi dengan baik tanpa sesuatu yang menyerupai partai politik? Pertanyaan itu tidak memiliki jawaban yang jelas bagi saya.

Partai-partai secara historis telah menjadi penghubung antara warga negara dan pemerintah; mereka menyatukan kepentingan, memobilisasi pemilih, menyediakan arus informasi bolak-balik, dan menghasilkan agenda politik yang beragam. Gerakan sosial–yang cenderung berfokus pada satu kepentingan atau satu kelompok–tidak memiliki struktur atau fungsi yang sama.

Pagliarini: Di Brasil, negara terbesar di Amerika Latin dan salah satu negara demokrasi terbesar di dunia, partai memang penting. Namun kini ada begitu banyak partai sehingga kepentingan relatifnya menjadi berkurang. Lula terpilih dengan PT, sebuah partai dengan visi sosial demokrasi yang kuat, tetapi ada sekitar tiga puluh partai di kongres. Untuk mengeksekusi apa pun yang dibicarakan dan dijanjikan Lula selama kampanye, ia membutuhkan dukungan dari banyak partai tersebut. Cara yang biasa dilakukan oleh para presiden Brasil adalah dengan membentuk lusinan kementerian–ada lebih dari dua puluh lima posisi kabinet–dan membagikannya secara proporsional, sesuai dengan representasi di kongres. Jadi, Lula memiliki kabinet yang diisi oleh orang-orang dari kelompok kanan-tengah yang dulunya mendukung Bolsonaro. Insentifnya adalah menciptakan partai kecil yang benar-benar terpisah dari konstituen alamiah apa pun, karena di negara yang sangat terpecah belah, lima suara di kongres sangat berarti, dan Anda memiliki presiden yang mendatangi Anda dan berkata, “Apa yang Anda inginkan? Apa yang Anda butuhkan?” Dilma ditinggalkan oleh basis yang berubah-ubah ini ketika ekonomi memburuk, dan dia diusir dari kekuasaan.

Mampilly: Sheri telah memberikan pembelaan yang kuat atas peran yang dimainkan partai politik dalam demokrasi, dan saya terpikat dengan era keemasan di Eropa yang ia gambarkan. Di belahan dunia yang saya perhatikan, Asia Selatan dan Afrika, ada beberapa contoh partai politik yang mungkin memenuhi standar tersebut: Partai Komunis India adalah partai yang bisa Anda ikuti sejak muda hingga tua. Pejuang Kebebasan Ekonomi di Afrika Selatan juga mencoba membangun struktur partai yang menyediakan berbagai layanan kepada masyarakat sambil juga mencoba mengartikulasikan sudut pandang di badan legislatif yang mewakili konstituen mereka. Namun di luar itu, sulit untuk memikirkan contoh-contohnya.

Hal ini menimbulkan pertanyaan bagi saya: dari mana kita membuat generalisasi? Haruskah kita mengistimewakan era keemasan partai-partai politik di Eropa, dan menyarankan bahwa seperti itulah seharusnya demokrasi? Atau haruskah kita melihat para aktivis yang saya ajak bicara di Republik Demokratik Kongo? Di seluruh Dunia Selatan, setidaknya, jelas bahwa Kongo tidak terkecuali. Kita mungkin mengabaikan bentuk-bentuk demokrasi ini; kita mungkin mengatakan bahwa demokrasi Afrika belum sepenuhnya matang. Namun pada akhirnya, jenis demokrasi yang berlaku di banyak tempat ini adalah proses yang sangat sinis di mana partai politik tidak berpura-pura mewakili kehendak publik.

Pertanyaan berikutnya adalah apakah ada suatu lintasan yang dapat digunakan untuk mengubah elektoralisme dangkal yang berlaku di sebagian besar negara demokrasi Afrika menjadi bentuk yang lebih substantif, di mana partai-partai politik memainkan peran seperti yang kita inginkan. Pada titik ini, hal tersebut masih jauh dari yang bisa dibayangkan di tempat seperti Republik Demokratik Kongo, di mana partai-partai politik maupun sistem pemilihan umum tidak memungkinkan partai-partai semacam itu untuk eksis dan berfungsi.

LUCHA muncul dari orang-orang yang berusaha mencegah presiden mencalonkan diri untuk masa jabatan ketiga. Semula adalah upaya untuk membuat demokrasi lebih kuat. Dan kemudian presiden memutuskan untuk tetap bertahan untuk masa jabatan berikutnya. Ketika ia akhirnya setuju untuk mundur dari kekuasaan, ia melarang beberapa kandidat oposisi untuk mencalonkan diri, dan kemudian ketika pemilihan berlangsung, ia lantas menyisihkan sosok yang memenangkan suara terbanyak, dan menempatkan kandidat dengan suara terbanyak kedua ke dalam jabatannya. Dan dia melakukan hal itu dengan persetujuan penuh dari pemerintah AS dan komunitas internasional yang lebih besar, yang dengan segera menyatakan dukungannya terhadap transisi demokratis yang damai.

Jadi, mengapa para aktivis ini terus percaya bahwa bentuk demokrasi yang dipaksakan kepada mereka lebih unggul daripada versi demokrasi yang dipimpin oleh gerakan yang coba mereka perjuangkan? Saya, misalnya, akan sulit mengatakan kepada mereka bahwa mereka salah; bahwa mereka seharusnya, seperti yang dikatakan oleh Departemen Luar Negeri AS, menyalurkan upaya mereka untuk mendukung proses politik yang ada dan percaya pada sistem pemilihan umum.

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.

Berman: Demokrasi bukan hanya soal pemilihan umum yang bebas dan adil. Demokrasi lebih dari itu. Demokrasi yang berfungsi dengan baik membutuhkan gerakan sosial, karena masyarakat memiliki hak untuk berorganisasi untuk mencoba mencapai tujuan kolektif apa pun yang mereka inginkan yang tidak secara langsung berkaitan dengan akses ke kekuasaan politik atau memenangkan pemilihan umum. Namun demokrasi tidak akan ada tanpa pemilihan umum yang bebas dan adil.

Saya tidak mengatakan bahwa bentuk-bentuk demokrasi yang ada di berbagai belahan dunia, termasuk Eropa dan Amerika Serikat, adalah ideal. Tetapi jika Anda menginginkan sistem politik yang demokratis–yang memungkinkan rakyat memilih pemimpin dan pemerintahan mereka sendiri, berpartisipasi dalam proses politik, berorganisasi sesuai keinginan, dan berbicara dengan bebas–sangat sulit bagi saya untuk membayangkan bagaimana hal itu bisa terjadi tanpa adanya partai politik.

Siapa pun yang menyangkal bahwa bentuk-bentuk demokrasi yang ada di berbagai belahan dunia adalah korup, klientelistik, tidak lengkap, dan tidak berfungsi dengan baik, adalah orang yang buta. Dan indeks peringkat demokrasi mengklasifikasikan Kongo sebagai negara demokrasi hanya dalam nama saja, meskipun faktanya pemerintah dan organisasi internasional berpura-pura sebaliknya. Di sana bahkan tidak ada negara yang berfungsi dengan baik, jadi bagaimana Anda bisa memiliki demokrasi yang berfungsi dengan baik?

Pagliarini: Titik manisnya adalah budaya politik di mana Anda memiliki sistem kepartaian yang cukup responsif dan berkembang serta gerakan sosial yang kuat. Salah satu hal yang mencirikan Pink Tide adalah kesuksesannya dalam merebut tampuk kekuasaan negara melalui gerakan sosial yang demokratis. Para petani koka di Bolivia berada di belakang kemenangan Evo Morales; Lula dan PT keluar dari ‘zona nyaman’ pengorganisiran industri otomotif; pengorganisasian akar rumput di Venezuela mengantarkan Hugo Chavez ke tampuk kekuasaan. Tetapi sistem partai yang sehat dan produktif serta masyarakat sipil yang menghasilkan gerakan sosial yang responsif, keduanya bergantung pada sejarah. Tidak ada jaminan bahwa ketika Anda memiliki salah satunya, Anda akan mendapatkan yang lainnya.

Di Brasil, Anda memiliki gerakan sosial yang kuat, stabil, dan bersemangat, seperti MST (Movimento dos Trabalhadores Rurais Sem Terra), Gerakan Pekerja Tak Bertanah. Gerakan ini paling aktif, dan paling agresif, di bawah pemerintahan sayap kiri, karena asumsinya adalah pemerintah akan merespons tuntutan-tuntutannya. Sedangkan, pada tahun-tahun kepresidenan Bolsonaro, para pemimpin MST berdiam diri dan mempertahankan apa yang mereka miliki, agar mereka tidak kehilangan keuntungan yang sudah diperoleh selama beberapa dekade.

Momen terbaik untuk kemajuan material mayoritas rakyat Brasil terjadi ketika Anda memiliki partai berkuasa yang responsif terhadap gerakan sosial dan merasa bahwa hal tersebut tidak akan merugikan mereka secara politis. Dalam hal ini, masa jabatan ketiga Lula sangat berbeda dengan dua masa jabatan pertamanya. MST, misalnya, tidak puas dengan laju reformasi agraria, sebagian karena MST mendorong pemerintah sayap kiri dengan keras. Namun dalam konteks demokrasi yang rentan warisan Bolsonaro, dan Lula terpilih sebagai tokoh koalisi, ada lebih banyak keraguan untuk memenuhi keseluruhan tuntutan gerakan sosial sayap kiri.

Kita mungkin akan melihat sebuah patahan dari siklus kebaikan yang mendefinisikan era sebelumnya, di mana terdapat keselarasan antara gerakan sosial dan partai-partai yang berkuasa.

Mampilly: Pertanyaannya bagi saya adalah, ke arah mana kita akan bergerak? Kemunduran partai politik adalah sebuah keprihatinan terhadap visi demokrasi tertentu, tetapi juga disertai dengan ledakan gerakan sosial. Saya pikir arahnya sudah jelas saat ini: semakin banyak orang yang tidak percaya pada peran partai politik, dan semakin banyak orang yang percaya, setidaknya di tingkat jalanan, bahwa gerakan sosial adalah kendaraan yang lebih baik untuk membawa perubahan. Apakah hal itu benar secara empiris atau tidak, masih harus dibuktikan. Tetapi saya pikir kita harus lebih memperhatikan gerakan sosial bukan sebagai sesuatu yang dimaksudkan untuk memberi masukan kepada partai politik, tetapi untuk jenis-jenis praktik dan bentuk demokratis yang dapat mereka kembangkan dengan sendirinya.

Apa yang Anda lakukan ketika negara tidak lagi menjalankan perannya dalam memastikan tata kelola pemerintahan yang baik bagi warganya–suatu kondisi yang terjadi di sebagian besar negara di dunia saat ini? Saya bekerja dengan sebuah gerakan di Atlanta, AS, bernama Project South, yang bereksperimen dengan konsep tata kelola gerakan. Gerakan sosial menjadikan hubungan antara negara dan tata kelola pemerintahan sebagai perhatian serius. Tidak harus sebagai upaya jangka panjang untuk memperkuat demokrasi, tetapi sebagai respons yang lebih cepat terhadap ketidakmampuan negara dalam memerankan dirinya sebagai pemerintah yang baik.

LUCHA muncul di Kongo bagian timur, sebuah wilayah di mana negara telah gagal selama, setidaknya dua puluh lima tahun, untuk menyediakan pemerintahan yang layak bagi warganya. Alih-alih menaruh kepercayaan pada gagasan bahwa negara akan tiba-tiba mulai memainkan perannya sebagaimana seharusnya, LUCHA mulai terlibat dalam pemerintahan langsung, dalam bentuk apa yang bisa kita sebut sebagai masyarakat gotong royong. Misalnya, mereka menyediakan layanan bagi para pengungsi yang melarikan diri dari pertempuran di bagian lain negara itu.

Saya mengunjungi kamp-kamp di mana mereka menyediakan makanan pokok dan layanan kesehatan yang terbatas. Jelas, ini tidak cukup. Ini adalah tata kelola yang minimalis. Namun, mungkin ini lebih dari apa yang dilakukan oleh negara, dan dalam beberapa kasus, lebih dari apa yang dilakukan oleh komunitas internasional.

Serpe: Melihat kecenderungan ini, menurut Anda ke mana arah politik demokrasi dan egalitarianisme yang secara tradisional diasosiasikan dengan sayap kiri?

Mampilly:  Minggu lalu, saya bersama sekelompok intelektual Tiongkok yang memiliki visi negara yang berbeda dengan visi sosial demokratik klasik yang berasal dari Barat. Eksperimen Tiongkok dalam memikirkan kembali sifat kapitalisme, pemerintahan, dan sebagainya sangatlah penting. Beberapa hal yang telah dilakukan Tiongkok di dalam negeri sangat mengesankan, namun di tingkat global, hal ini tidak begitu jelas bagi saya.

Baik Cina dan Barat tampaknya bersaing untuk mendapatkan perhatian dan kepentingan dari para elite politik di banyak negara di Afrika dan Asia Selatan, yang secara keseluruhan mempersulit gerakan rakyat. Saya selalu menjadi pengkritik intervensi Barat di Afrika, tetapi saya bukan orang yang memandang kebangkitan Cina sebagai sesuatu yang selalu mengarah pada perbaikan, baik dalam hal dukungan untuk demokrasi atau pembangunan ekonomi. Barat semakin tidak relevan di banyak negara ini, dan kita harus mulai memperhitungkan peran yang akan dimainkan oleh Cina dan negara-negara Asia lainnya di masa depan.

Berman: Dalam bentuknya yang terbaik, gerakan kiri adalah sebuah gerakan internasional, dan internasionalisme tidak hanya berarti mendukung gerakan kiri dan perjuangan untuk kebebasan di seluruh dunia, tetapi juga belajar dari inovasi-inovasi yang dilakukan oleh orang-orang dan partai-partai lain. Di satu sisi, tantangan utama kaum kiri adalah tantangan yang sama seperti yang selalu ada sejak dulu: menghadapi kapitalisme. Meskipun memiliki beberapa sisi positif, seperti menghasilkan pertumbuhan dan inovasi yang luar biasa, kapitalisme juga bisa sangat merusak. Tidak hanya secara ekonomi, dalam menciptakan kesenjangan dan kemiskinan yang besar, tetapi juga secara sosial dan politik. Sudah menjadi tugas kaum kiri untuk mencari cara guna memaksimalkan sisi baiknya dan meminimalkan sisi buruknya.

Kita, tentu saja, hidup di dunia yang sangat berbeda dengan dunia yang Marx hidupi, sehingga tantangannya pun telah berubah. Tetapi kaum kiri, apakah itu di Afrika, Amerika Latin, Eropa, atau Amerika Serikat, perlu membuat program untuk menciptakan masyarakat di mana orang-orang memiliki kemampuan untuk hidup produktif, terhormat, setara, dan setidaknya semi-sejahtera. Hal-hal lainnya adalah nomor dua. Sangat sulit bagi saya untuk membayangkan bagaimana Anda dapat memiliki masyarakat yang beragam tanpa hal tersebut. Sangat sulit bagi saya untuk membayangkan bagaimana Anda dapat memiliki demokrasi yang sukses tanpa fondasi ekonomi semacam itu. Jika Anda menginginkan stabilitas sosial dan demokrasi politik, tidak seorang pun boleh merasa bahwa mereka secara permanen tertinggal, dirugikan secara permanen, atau tidak memiliki kemampuan untuk menciptakan kehidupan yang aman dan sejahtera bagi diri mereka sendiri.

Itulah misi bersejarah kaum kiri. Saya tidak mengatakan bahwa itu mudah, tetapi tetap sama. Saya agak lebih optimis dibandingkan sepuluh tahun yang lalu. Terlepas dari krisis keuangan dan kegagalan-kegagalan lainnya, tatanan dunia neoliberal tetap sangat hegemonik di tingkat intelektual. Namun hal itu tidak berlaku lagi saat ini. Banyak tanda yang menunjukkan bahwa orang-orang mencoba untuk mendorong ke arah alternatif.

Pagliarini: Di Amerika Latin, hubungan antara kondisi material dan dukungan untuk demokrasi tidak pernah lebih penting ketimbang saat ini. Jika Lula menikmati angka popularitas dan kepercayaan yang tinggi, ini karena pertumbuhan ekonomi melampaui ekspektasi, inflasi turun, pengangguran turun. Kita dapat dengan mudah membayangkan situasi di mana tren-tren ini berbalik–krisis ekonomi baru, pandemi baru-dan tiba-tiba, karena munculnya gerakan anti-demokrasi yang kuat dalam beberapa tahun terakhir, seseorang seperti Bolsonaro kembali berkuasa.

Kita membutuhkan pemimpin-pemimpin baru yang muncul dari perjuangan-perjuangan baru yang akan terjadi. Namun, para pemimpin yang benar-benar baru di Amerika Latin dalam beberapa tahun terakhir, seperti Gabriel Boric di Cile atau Gustavo Petro di Kolombia, sangat tidak populer. Boric pada dasarnya mengalahkan seorang neo-Nazi dalam pemilihannya, dan selisihnya pun tidak terlalu banyak sehingga kita dapat melihat situasi di mana sayap kanan akan menang dalam pemilu berikutnya. Perbandingan dapat dilakukan dengan Prancis, di mana kemenangan Marine Le Pen tidak hanya dapat dipikirkan, tapi juga mungkin terjadi.

Saya terbelah antara harapan bahwa pemimpin baru dan jenis organisasi sosial baru yang sesuai dengan momen bersejarah akan muncul–ada berbagai macam gerakan yang melakukan hal tersebut–dan pengakuan bahwa ini adalah momen yang sangat kelam, di mana para pemimpin baru yang muncul mungkin tidak akan mampu menjalankan tugasnya. Lula harus mencalonkan diri sebagai presiden tiga kali dan membangun PT selama hampir dua dekade sebelum ia menang. Dalam banyak hal, kita tidak memiliki waktu selama itu. Kita membutuhkan jawaban dan solusi dengan cepat.***


Sheri Berman adalah profesor ilmu politik di Barnard College, Columbia University, AS. Buku terbarunya Democracy and Dictatorship in Europe: From the Ancien Régime to the Present Day.

Zachariah Mampilly adalah Marxe Endowed Chair of International Affairs di City University of New York (CUNY), salah satu pendiri dari Program on African Social Research.

Andre Pagliarini adalah Elliott Assistant Professor of History di Hampden-Sydney College di Virginia tengah, a faculty fellow di Washington Brazil Office, dan non-resident expert di Quincy Institute for Responsible Statecraft. Selain menulis kolom bulanan untuk Brazilian Report, ia sedang menyelesaikan sebuah buku tentang politik nasionalisme Brasil abad ke-20.

Nick Serpe adalah editor senior Dissent.

Wawancara ini telah dimuat di majalah Dissent dengan judul asli Parties and Movements. Coen Husain Pontoh menerjemahkan dan menerbitkan ulang di sini untuk tujuan pendidikan.

]]>
Dasar-Dasar Ekonomi Marxis: Wawancara dengan Deepankar Basu https://indoprogress.com/2023/05/dasar-ekonomi-marxis/ Mon, 15 May 2023 19:28:08 +0000 https://indoprogress.com/?p=237506

Ilustrasi: Illustruth


NAMA Karl Marx sering kali dikaitkan dengan sebuah gerakan politik revolusioner pada abad ke-19 dan ke-20 yang menyebut diri sebagai “marxis”. Karya paling terkenal Marx mungkin adalah Manifesto Komunis, pamflet politik yang ditulis bersama Friedrich Engels pada tahun 1848. Namun, pencapaian terbesar Marx adalah analisis ekonomi yang mendalam dan ketat tentang kapitalisme yang ia sempurnakan di tahun-tahun terakhir hidupnya, yang akhirnya menjadi volume I, II, dan III dari Kapital

Lebih dari 150 tahun sejak volume pertama Kapital diterbitkan, teori ekonomi Marx terus diperdebatkan dan didiskusikan secara luas–dan juga sering disalahpahami serta dicaci maki. Dalam konteks tersebut, Cale Brooks dari Jacobin berbicara dengan ekonom dari Universitas Massachusetts Amherst, Deepankar Basu, penulis buku The Logic of Capital: An Introduction to Marxist Economics (Cambridge University Press, 2021). Dia merangkum apa yang paling khas dan penting dalam ekonomi Marx. Transkrip ini telah diedit agar lebih mudah dipahami.


Cale Brooks | Apa yang khas dari ekonomi marxis dibandingkan dengan tradisi ekonomi lainnya?

Deepankar Basu | Setidaknya ada tiga elemen khas. Ekonomi marxis menempatkan studi tentang kapitalisme dalam alur sejarah yang lebih luas. Ia memahami kapitalisme sebagai salah satu bentuk organisasi produksi sosial, dan melihat kapitalisme sebagai masyarakat yang terbagi kelas, seperti feodalisme dan masyarakat berbasis perbudakan. Oleh karena itu, karakteristik pertama yang khas dari ekonomi marxis adalah mencoba memahami bagaimana masyarakat kapitalisme yang terbagi-bagi dalam kelas menimbulkan dan didasarkan pada eksploitasi.

Kedua, ekonomi marxis melihat kapitalisme sebagai sistem yang kontradiktif. Hal ini berasal dari karya Marx, di mana Marx menyoroti aspek positif kapitalisme dibandingkan dengan mode produksi sebelumnya. Aspek positif ini menciptakan kekayaan yang sangat besar yang, jika didistribusikan dengan benar, dapat memenuhi kebutuhan sebagian besar penduduk–tetapi hal ini tidak terjadi karena cara hubungan kapitalisme diorganisir. Ada aspek yang kontradiktif: kapitalisme meningkatkan produktivitas tenaga kerja dan memungkinkan penciptaan kekayaan yang sangat besar; namun karena kapitalisme didorong oleh keuntungan dan bukan untuk memenuhi kebutuhan, hal ini tidak memenuhi kebutuhan sosial sistem.

Elemen ketiga yang khas, yang membedakannya dari semua tradisi ekonomi lain, adalah fokus pada krisis. Analisis Marx tentang kapitalisme selalu menekankan bahwa kapitalisme adalah sistem yang rentan terhadap krisis. Meskipun ada periode ketika tampaknya kapitalisme berjalan dengan baik, jika kita melihat di bawah permukaan, kecenderungan krisis akan berkembang, yang hampir pasti akan meledak menjadi krisis. Jadi jika Anda melihat sejarah kapitalisme, setiap tiga atau empat dekade sistem tersebut terperangkap dalam krisis yang mendalam.

Dalam tulisan Marx, Anda tidak akan pernah menemukan sesuatu seperti akhir yang pasti dari kapitalisme. Ada diskusi yang kaya tentang berbagai kecenderungan yang menuntun kapitalisme ke dalam krisis, tetapi bagaimana krisis itu diatasi dan apa yang muncul dari itu tidak diprediksi. Penyelesaian hanya dapat muncul sebagai hasil dari tindakan sosial oleh kelompok besar orang.

Cale Brooks | Buku Anda jelas bukan pengantar pertama untuk ekonomi marxis. Tapi berbeda dengan pengantar klasik lain, Anda mengorganisasikan sebagian besar buku dalam perkembangan logis yang sama dengan yang digunakan oleh Marx dalam Kapital. Bisakah Anda menjelaskan bagaimana argumen Marx diorganisasikan?

Deepankar Basu | Antara tahun 1857-1858, ketika serius mulai menulis Kapital, dan 1865, ketika telah lebih atau kurang menyelesaikan beberapa draf awal, kita melihat Marx melewati beberapa cara yang berbeda dalam mengorganisir dan menyajikan karya tersebut.

Apa yang akhirnya muncul berasal dari dua ide penting yang dimiliki Marx. Pertama, ia menyadari, setelah hampir satu dekade mempelajari sistem kapitalis, bahwa fokus karyanya akan berada pada kapital (modal). Yang dia maksud dengan “kapital” adalah sebuah sistem di mana sejumlah uang datang ke pasar, membeli komoditas, memproduksi beberapa komoditas dengan komoditas yang dibeli tadi–salah satu komoditas penting adalah tenaga kerja–dan kemudian menjual komoditas yang telah diproduksi untuk mendapatkan uang lebih banyak. Ini adalah sistem yang diatur berdasarkan kebutuhan untuk menghasilkan lebih banyak uang dengan cara menginvestasikan uang.

Apa yang Marx pahami dari kata “kapital” adalah itu merupakan proses “nilai yang melahirkan lebih banyak nilai” atau “nilai yang bergerak.” Marx memahami bahwa bahwa kapitalisme adalah representasi dari dinamika ini, dari logika ini, dari kebutuhan ini. Oleh karena itu, konsep sentral yang ingin ia pelajari dalam bukunya adalah kapital.

Hal berikutnya adalah, jika dia ingin menyajikan kepada pembaca analisis tentang logika kapital, maka itu tidak harus mengikuti lintasan sejarah di mana kapitalisme muncul, tetapi harus mengikuti logika dari konsep-konsep yang diperlukan untuk memahami struktur sosial dan dinamika kapitalisme sebagaimana yang ada pada masa Marx. Itulah sebabnya mengapa Marx tidak menyajikan narasi sejarah, tetapi struktur konseptual.

Selain itu, struktur konseptual yang disajikan oleh Marx diorganisasikan ke dalam apa yang dia sendiri sebut sebagai “tingkatan abstraksi yang berbeda.” Sama seperti ilmu lain, ilmu sosial juga diabstraksi dari berbagai aspek perifer sebuah fenomena dan mencoba untuk mereduksi dan memahami hal dasar yang merupakan logika suatu sistem. Itulah yang ingin dilakukan Marx pada tingkatan abstraksi pertama, yang ia sebut “kapital secara umum.” Di sana dia ingin memahami interaksi murni antara dua elemen yang membentuk kapital–di satu sisi kapital atau uang, di sisi lain tenaga kerja–dan bagaimana interaksi keduanya menimbulkan berbagai kecenderungan yang kita lihat dalam kapitalisme.

Volume I dan II Kapital diorganisasikan pada tingkat abstraksi yang tinggi ini. Ada dua hal yang Marx abstraksikan di sana. Pertama adalah fakta persaingan, yaitu fakta bahwa dalam kapitalisme tidak ada satu blok kapital, tetapi pengusaha individu yang bersaing satu sama lain. Kedua adalah bahwa dalam kapitalisme ada fenomena kredit, di mana bank dapat menyediakan kredit bagi kapitalis, dan kapitalis dapat memberikan kredit bagi rumah tangga.

Kemudian, dalam volume III Kapital, ia membawa kembali hal-hal yang telah diabstraksikannya ke dalam analisis. Jadi, pada saat mencapai akhir volume III, kita telah memahami logika kapital pada tingkat yang sangat abstrak tetapi juga mengerti bagaimana ia beroperasi di tingkat abstraksi yang lebih rendah–di mana persaingan antara pengusaha dan fenomena kredit juga memainkan peran penting.


Cale Brooks | Salah satu fitur khas lain dari karya Marx adalah teori nilai. Bisakah Anda menjelaskan dasar-dasar teori nilai kerja Marx?

Deepankar Basu | Pertanyaan tentang nilai (‘value’) adalah pusat pemikiran ekonomi, dan sudah lama menjadi perdebatan. Ini dimulai dengan fenomena sederhana. Cobalah amati dunia komoditas di mana barang-barang dibeli dan dijual. Kita akan menyadari bahwa satu komoditas ditukar dalam rasio tertentu untuk komoditas lain. Misalnya, katakanlah harga sebuah meja adalah empat puluh dolar dan harga sebuah kemeja adalah dua puluh dolar. Artinya, dua kemeja dapat ditukar dengan satu meja.

Bentuk pertukaran satu komoditas dengan komoditas lain telah ada sejak lama, dan para teoretisi ekonomi telah bertanya-tanya apa yang mendasari fenomena pertukaran ini. Nilai adalah jawaban atas pertanyaan ini: Apa yang bisa menjelaskan fenomena pertukaran? Ada dua pendekatan utama dalam sejarah pemikiran ekonomi yang mencoba menjawab itu. Satu adalah pendekatan subjektif–ini adalah pendekatan ekonomi neoklasik. Kemudian ada tradisi yang lebih tua yang berasal dari Adam Smith, David Ricardo, dan Karl Marx. 

Kelompok nama yang disebut terakhir memberikan jawaban yang sangat berbeda untuk pertanyaan ini. Ricardo, Smith dan Marx menjawab, apa yang dapat menjelaskan fenomena pertukaran dan apa yang dapat menjelaskan nilai komoditas adalah jumlah kerja yang telah dicurahkan untuk menghasilkan komoditas. Jawaban dari pendekatan klasik ini dikenal sebagai teori nilai kerja (‘labor theory of value’).

Di sisi lain, tradisi neoklasik, yang mulai terkenal sejak sekitar tahun 1870, menjawab pertanyaan yang sama dengan melihat apa yang disebut “utilitas”. Menurut mereka, komoditas saling bertukar dalam rasio tertentu karena berbagai komoditas memberikan tingkat utilitas yang berbeda bagi orang yang ingin membelinya.

Sekarang utilitas atau kegunaan diakui oleh para pemikir klasik sebagai satu aspek dari komoditas. Namun, mereka juga menyadari bahwa ada aspek lain dari komoditas, yaitu fakta bahwa komoditas dapat saling dipertukarkan satu sama lain. Ketika mereka menyadari bahwa apa yang bisa menjelaskan fakta pertukaran bukanlah utilitas atau kegunaan, mereka ingin memberikan teori nilai yang objektif. Oleh karena itu, mereka melihat pada proses produksi dan pada jumlah relatif kerja yang telah digunakan untuk menghasilkan berbagai komoditas. Jawaban mereka adalah bahwa jumlah relatif kerja yang telah digunakan untuk menghasilkan komoditas dapat menjelaskan pertukaran, baik fitur kualitatif maupun fitur kuantitatifnya.

Itulah mengapa jawaban mereka berbeda dengan jawaban para ekonom neoklasik yang mengandalkan utilitas atau kegunaan, yang pada dasarnya adalah fitur subjektif. Seberapa banyak kegunaan atau utilitas yang saya dapatkan dari konsumsi suatu komoditas tertentu tergantung pada saya. Hal itu tergantung pada lingkungan saya, pada keadaan saya, perasaan hati saya, bahkan cuaca hari itu. Satu es krim dengan merek yang sama akan memberikan saya utilitas yang berbeda, tergantung apakah saya menikmatinya saat hari panas atau dingin. 

Jadi utilitas adalah fenomena subjektif, dan oleh karena itu teori nilai yang berasal dari utilitas adalah teori nilai subjektif.

Di sisi lain, teori nilai yang berasal dari jumlah kerja yang masuk ke dalam produksi suatu komoditas adalah teori nilai objektif karena produksi adalah fakta objektif. Bagaimana kita mengukur nilainya adalah pertanyaan yang berbeda, dan mungkin sulit mengukur dengan tepat jumlah kerja yang masuk ke dalam produksi. Tetapi, tetap saja, itu adalah teori nilai objektif.

Teori nilai kerja, yang menegaskan bahwa komoditas memiliki nilai karena dan sejauh mereka telah menyerap sejumlah kerja produktif masyarakat, diambil Marx dari para ekonom klasik. Tetapi kemudian Marx memberikan nuansa yang lebih banyak. Dia bertanya, “Dapatkah kita mengatakan lebih banyak tentang kerja yang telah digunakan untuk memproduksi komoditas dan dengan demikian dapat menimbulkan nilai?” Marx kemudian memberikan konsep kerja abstrak (‘abstract labor’) dan mengatakan bahwa kerja abstrak-lah, alih-alih kerja konkret (‘labor’), yang menimbulkan nilai suatu komoditas.

Marx juga membawa konsep kerja yang diperlukan secara sosial (‘socially necessary labor’). Marx mengatakan bahwa pada setiap titik waktu tertentu, dengan teknologi produksi dan intensitas kerja, jumlah kerja yang dibutuhkan untuk menghasilkan satu unit komoditas apa pun akan kurang lebih tetap. Apa yang hendak Marx katakan adalah, ketika kita berpikir tentang nilai, kita harus juga memikirkan konteks sosial, teknologi yang ada, dan intensitas kerja. Ini kemudian akan menentukan berapa banyak kerja yang dibutuhkan.

Terakhir, Marx menyadari bahwa kita tidak bisa membandingkan satu jam kerja buruh terampil dengan satu jam kerja buruh tidak terampil. Oleh karena itu, ia menunjukkan bahwa harus ada cara konseptual untuk memastikan bahwa kita mengonversi unit kerja yang kompleks menjadi unit kerja yang sederhana. Jadi, setelah kita memahami konsep-konsep ini dari kerja sosial yang diperlukan, kerja abstrak, dan pengurangan kerja kompleks menjadi sederhana, kita memiliki fondasi yang sangat solid dari tulisan-tulisan Marx untuk teori nilai kerja.


Cale Brooks | Sebagian besar volume I Kapital dikhususkan untuk menjelaskan munculnya nilai lebih (‘surplus value’) dan pentingnya dalam proses akumulasi kapital. Dapatkah Anda menjelaskan signifikansi konsep nilai lebih dalam analisis Marx?

Deepankar Basu | Konsep nilai lebih signifikan bagi Marx dalam dua cara. Pertama, Marx menempatkan analisis ekonominya dalam pemahaman sejarah yang lebih luas, yaitu apa yang ia sebut sebagai “konsepsi materialisme atas sejarah” atau “materialisme historis.” Dalam materialisme historis, kapitalisme dipahami sebagai satu bentuk masyarakat berkelas. Dalam masyarakat berkelas, terjadi pengambilalihan usaha kerja suatu kelas oleh kelas lain. Itulah cara sentral yang dipahami Marx mengenai fenomena eksploitasi.

Marx ingin memahami dan menjelaskan kepada pembacanya bagaimana fenomena eksploitasi beroperasi dalam masyarakat berkelas. Marx membandingkan pemahaman eksploitasi dalam feodalisme, yang sangat mudah dipahami karena terbuka, dengan cara yang jauh lebih kompleks dalam kapitalisme.

Dalam feodalisme, untuk memberikan analisis yang sangat sederhana, hukum menegaskan bahwa para buruh tani akan bekerja selama empat hari seminggu di tanah tuan tanah dan selama tiga hari bekerja di tanah mereka sendiri. Jadi, empat dari tujuh hari waktu buruh tani langsung diambil oleh tuan tanah. Fakta eksploitasi, di mana tuan tanah mengambil hasil kerja buruh tani, tampak transparan.

Marx mengklaim bahwa fenomena yang sama terjadi dalam kapitalisme. Namun, apa yang mengaburkan hal ini adalah kenyataan bahwa semuanya dimediasi melalui proses pasar dan kenyataan pertukaran. Dalam kapitalisme, kelas pekerja menjual kemampuan kerjanya kepada kapitalis untuk upah. Marx ingin menunjukkan bahwa ketika kapitalis menggunakan tenaga kerja yang telah mereka beli dan memproduksi komoditas lalu menjualnya ke pasar, mereka mampu mengambil lebih banyak nilai daripada yang dibayarkan kepada pekerja dalam bentuk upah.

Perbedaan ini, yang pada dasarnya muncul sebagai keuntungan seluruh kelas kapitalis, adalah apa yang dipahami Marx sebagai nilai lebih. Ini mungkin adalah aspek paling penting dari konsep nilai lebih. Sebab, dengan menunjukkan dengan cara yang ketat bahwa sistem pertukaran berbasis pasar juga dapat menimbulkan dan perampasan nilai lebih dari satu kelas oleh kelas lain–oleh kelas kapitalis dari kelas pekerja–Marx menunjukkan dengan tegas bahwa kapitalisme juga didasarkan pada eksploitasi, sama seperti masyarakat berbasis kelas sebelumnya.

Poin kedua adalah bahwa Marx memahami bahwa penciptaan, realisasi, dan distribusi nilai lebih adalah dinamika utama dari sistem kapitalis ketika dilihat dari perspektif makro. Kapitalisme adalah tentang menghasilkan keuntungan, dan sumber keuntungan adalah nilai lebih. Itulah mengapa yang dilakukan oleh kelas kapitalis dengan nilai lebih memiliki implikasi langsung pada bagaimana sistem berevolusi dari waktu ke waktu. Marx juga berpendapat bahwa kecenderungan krisis yang muncul dalam sistem kapitalis terkait baik dengan penciptaan dan realisasi nilai lebih.

Konsep nilai lebih memainkan kedua peran tersebut. Pertama, ia menekankan bahwa kapitalisme adalah masyarakat yang terbagi kelas dan karenanya bergantung pada eksploitasi pekerja, dalam arti bahwa sebagian nilai lebih milik kelas pekerja diambil oleh kelas kapitalis tanpa imbalan apa pun. Kedua, dinamika sistem, termasuk kecenderungan krisisnya, muncul dari kedua ranah ini: satu di mana nilai lebih dihasilkan dan yang lain di mana nilai lebih direalisasikan melalui penjualan komoditas.

Cale Brooks | Volume I Kapital mencapai puncak menjelang akhir, di mana Marx menjelaskan proses akumulasi. Ini adalah dinamika sentral dari perkembangan dan pertumbuhan kapitalis. Dapatkah Anda menjelaskan apa arti akumulasi kapital bagi Marx dan, terkait dengan itu, apa yang dia maksud tentang teori pengangguran yang terus-menerus (‘persistent unemployment’)?

Deepankar Basu | Cara abstrak untuk memahami masyarakat kapitalis adalah dengan melihat apa yang dilakukan kelas kapitalis di titik awal. Mereka memasuki dengan sejumlah uang dan menggunakan uang itu untuk membeli dua jenis komoditas: tenaga kerja–kemampuan untuk bekerja–dan semua input non-tenaga kerja lain yang digunakan dalam produksi. Kemudian kita pergi bersama kapitalis ke pabrik. Di sana dia menggabungkan dua elemen yang baru saja didapat dan komoditas baru diproduksi. Kapitalis pun kembali lagi ke pasar–sekarang bukan sebagai pembeli tetapi penjual, karena ia memiliki barang jadi dengan dia. Kemudian ia menjualnya.

Dalam proses tersebut, kapitalis berakhir dengan lebih banyak uang daripada sebelumnya. Uang ekstra ini adalah ekspresi moneter dari nilai lebih. Itu adalah bagian dari waktu kerja yang tidak dibayar milik para pekerja, pihak sebenarnya yang memproduksi komoditas. Setelah kita memahami ini, maka Marx bertanya: Apa yang dilakukan oleh kapitalis dengan jumlah uang ekstra yang berhasil diekstraknya dari kelas pekerja, yaitu waktu kerja yang tidak dibayarkan ke kelas pekerja?

Jawaban Marx adalah bahwa sebagian besar nilai lebih yang telah direalisasikan digunakan kembali dalam proses produksi untuk menghasilkan lebih banyak nilai lebih. Dan pada akhir siklus lain, uang tersebut akan diinvestasikan kembali untuk menghasilkan lebih banyak nilai lebih. Reinvestasi nilai lebih ke dalam proses produksi dengan tujuan menghasilkan lebih banyak nilai lebih adalah yang disebut Marx sebagai “akumulasi kapital.”

Proses akumulasi kapital menimbulkan teka-teki yang tampaknya sulit dipecahkan. Mari kita katakan para kapitalis menginvestasikan semua keuntungan mereka kembali ke dalam produksi. Dalam hal ini, skala produksi akan meningkat dan permintaan terhadap tenaga kerja akan meningkat. Jika ini terus terjadi selama beberapa kuartal dan tahun, permintaan akan tenaga kerja pada akhirnya akan melampaui pasokan tenaga kerja. Begitu hal ini terjadi, upah riil yang diperoleh oleh kelas pekerja akan mulai naik. Dan jika itu terus naik, pada akhirnya akan mulai menggerogoti keuntungan. Jika tidak dicegah, maka hal itu akan menyebabkan, dalam kasus ekstrem, keuntungan menjadi nol.

Sistem kapitalis diarahkan untuk menghasilkan keuntungan. Jika dinamika internal sistem mengarahkan pada situasi di mana keuntungan akan menjadi nol, maka hal ini menunjukkan kontradiksi tersembunyi dalam kapitalisme. Jadi Marx bertanya: Apakah ada mekanisme yang tersedia untuk kapitalisme untuk memastikan bahwa permintaan akan tenaga kerja tidak meningkat sedemikian rupa sehingga mulai menggerogoti keuntungan dan, pada titik ekstrem, menekan keuntungan menjadi nol? Dan jawaban Marx adalah “ya”. Mekanisme yang ia bicarakan adalah apa yang ia sebut sebagai “tentara cadangan tenaga kerja”(‘reserve army of labor’) atau “populasi cadangan relatif” (‘relative surplus population’). 

Tentara cadangan tenaga kerja adalah bagian dari kelas pekerja yang saat ini tidak dipekerjakan oleh perusahaan-perusahaan kapitalis tetapi sebenarnya tersedia untuk dipekerjakan jika diperlukan. Marx mengatakan bahwa tentara cadangan tenaga kerja terdiri dari tiga bagian. Satu, yang disebutnya sebagai tentara cadangan tenaga kerja “mengambang”, yaitu bagian dari kelas pekerja yang berpindah antara pekerjaan dan pengangguran. Terkadang mereka bekerja, dan ketika terjadi resesi atau perusahaan tutup mereka dipecat dan menjadi pengangguran.

Unsur besar kedua dari pasukan cadangan tenaga kerja disebut Marx sebagai cadangan tenaga kerja “laten”. Ini adalah fragmen dari kelas pekerja yang belum dimanfaatkan oleh sistem kapitalis tetapi berpotensi tersedia. Di sini dia memikirkan dua segmen demografi penting. Pertama adalah petani pemilik lahan kecil yang mampu menghasilkan pendapatan cukup sehingga tidak perlu datang ke pasar untuk menjual kemampuan bekerja mereka. Kedua adalah tenaga kerja domestik, terutama perempuan, yang untuk waktu lama berada di luar angkatan kerja. Segmen ini dapat diambil oleh kapital jika diperlukan.

Segmen ketiga adalah cadangan tenaga kerja “stagnan”. Ini adalah bagian dari kelas pekerja yang benar-benar keluar dari sistem: pekerja yang telah kehilangan keterampilan mereka atau telah, karena berbagai alasan, berhenti mencari pekerjaan. Semua ini bersama-sama merupakan cadangan tenaga kerja.

Dan di bab dua puluh lima volume I Kapital, Marx menunjukkan bahwa fluktuasi di dalam tentara cadangan tenaga kerja adalah mekanisme utama yang menjaga pergerakan upah riil dan memastikan bahwa upah riil tidak naik hingga pada akhirnya menghilangkan keuntungan. Ini adalah konsep yang sangat penting dan revolusioner karena menyoroti bahwa fakta pengangguran telah dibangun ke dalam sistem kapitalisme.

Meskipun mungkin bagi kapitalisme untuk memecahkan masalah pengangguran dalam jangka waktu yang singkat, selama waktu lama, pengangguran sebagai fitur dari kapitalisme akan ada di sana. Jika mekanisme tersebut tidak tersedia, maka kapitalisme akan terancam karena tidak akan ada cara untuk memastikan bahwa upah tidak naik hingga pada akhirnya keuntungan turun menjadi nol.


Cale Brooks | Orang-orang yang memiliki pandangan politik harus mengakui implikasi dari analisis ini, yaitu bahwa pengangguran adalah fenomena bersinambung dalam kapitalisme dan merupakan turunan dari akumulasi. Hal ini relevan ketika kita memikirkan berbagai proposal sosial demokrat atau sejarah upaya untuk menciptakan lapangan kerja penuh, dan banyak dinding yang mereka hadapi pada saat-saat krusial dalam sejarah; atau ketika kita memikirkan kegagalan keynesianisme pada tahun 1970-an untuk menjelaskan apa yang terjadi dengan stagflasi. Sangat penting bahwa akumulasi yang mendorong proses ini–bukan, seperti yang terkadang terdengar, pekerja yang meminta terlalu banyak–yang pada akhirnya menyebabkan stagnasi.

Marx adalah seorang revolusioner politik sepanjang hidupnya yang banyak menghabiskan masa tuanya untuk berkontribusi pada gerakan politik kelas pekerja. Pada saat yang sama, dia mengatakan bahwa ada batasan bawaan dalam mendorong kenaikan upah. Ini tidak berarti Anda tidak melakukannya, tetapi Anda harus menemukan solusi politik untuk menangani struktur ekonomi objektif ini yang tak terpisahkan dari kapitalisme.

Bagi kebanyakan orang, di situlah cerita berakhir karena mereka tidak membaca melebihi volume I. Tetapi saya ingin beralih ke volume II sekarang. Bisakah Anda menjelaskan pentingnya sirkulasi dan realisasi nilai tambah, serta bagaimana Marx memahami pertumbuhan ekonomi dalam kapitalisme?

Deepankar Basu | Dalam volume I Kapital, Marx hendak memahami bagaimana nilai lebih dihasilkan dan apa yang dilakukan kelas kapitalis dengan itu. Jadi salah satu bagiannya adalah menjelaskan bagaimana nilai lebih itu dihasilkan. Bagian lainnya adalah akumulasi kapital, yang terjadi ketika nilai lebih itu diinvestasikan kembali. 

Sebuah isu penting telah diabstraksikan oleh Marx ketika melakukan analisis: nilai lebih hanya dapat direalisasikan dan menjadi bagian dari kumpulan uang kapitalis ketika komoditas yang dibuat terjual dengan harga yang memadai. Di volume II, dia kembali dengan pertanyaan: Bagaimana sistem kapitalis mampu membuat banyak sekali komoditas dan memastikan semuanya dibeli dengan harga yang diperlukan untuk merealisasikan semua nilai? Marx menyediakan jawaban atas pertanyaan ini dalam dua level. 

Pada level agregat, hal terpenting yang dia mau katakan adalah bahwa, ketika kita melihat semua komoditas yang telah diciptakan sebuah negara kapitalis dalam periode waktu tertentu, katakanlah satu tahun, kita akan menyadari bahwa semua komoditas tersebut akan dibeli antara oleh kepas kapitalis atau kelas pekerja. Jadi kelas kapitalis akan saling membeli semua yang dibutuhkan untuk produksi. 

Bagian lain akan dibeli kelas pekerja, tapi itu pun pada akhirnya didorong oleh pembelian kelas kapitalis. Mengapa demikian? Sebab kelas kapitalis memutuskan berapa banyak tenaga kerja yang dipekerjakan. Ketika tenaga kerja dipekerjakan, mereka akan mendapat upah, lalu membeli komoditas untuk kebutuhan sendiri. Demikian pula keputusan berapa banyak yang akan diinvestasikan dan komoditas yang ingin dihasilkan. Semua pada akhirnya akan menentukan apakah semua komoditas yang telah diproduksi akan dibeli. 

Secara keseluruhan, ekonomi kapitalis mampu membeli semua yang mereka produksi dengan harga yang telat untuk menghasilkan dan merealisasikan semua nilai lebih, jika kelas kapitalis bersedia berinvestasi dalam jumlah memadai. Oleh karena itu, dari sudut pandang Marx, penting untuk mengembangkan teori investasi kapitalis yang solid. 

Marx tidak menyelesaikan proyek itu di volume II, dan saya pikir para cendikiawan marxis perlu mengerjakannya. 

Perspektif kedua adalah untuk memahami apa yang terjadi ketika menganggap ekonomi terbagi ke dalam apa yang disebut Marx sebagai “departemen”. Katakanlah ada dua departemen: satu membuat mesin dan lainnya memproduksi barang konsumsi. Begitu kita memikirkannya sedikit saja, jelas bahwa ekonomi agregat kapitalis, yang dibagi menjadi dua departemen, akan mampu memproduksi dan menjual apa pun hanya jika ada proporsionalitas antara jumlah mesin dan barang konsumsi yang dibuat. Anda tidak  bisa membuat salah satunya lebih banyak. Alasannya karena banyak mesin yang sedang dibuat akan dibeli kapitalis yang sedang memproduksi barang-barang konsumsi. Dan banyak barang-barang konsumsi yang sedang diproduksi akan dibeli tidak hanya oleh para pekerja di pabrik-pabrik barang-barang konsumsi tapi juga para buruh di pabrik-pabrik penghasil mesin. 

Ada saling ketergantungan antara dua sektor tersebut. Itulah sebabnya Marx menekankan, melalui apa yang dikenal sebagai skema reproduksi, bahwa jika sistem kapitalis ingin mereproduksi dirinya sendiri dengan lancar dari waktu ke waktu dan tidak terjebak dalam masalah permintaan yang terlalu banyak atau sedikit, ia harus memproduksi barang-barang konsumsi dan barang-barang produsen secara proporsional. Rasio spesifik dan presisi yang harus diproduksi oleh kedua departemen ini agar sistem dapat mereproduksi dirinya sendiri dengan lancar dari waktu ke waktu bisa saja dicari tahu. 

Mari kita langsung ke pertanyaan tentang pertumbuhan. Bagi Marx, kapitalisme adalah sistem yang diarahkan untuk menghasilkan dan mewujudkan nilai lebih. Nilai lebih lalu dimasukkan kembali ke dalam sistem sehingga meningkatkan skala proses produksi. Oleh karena itu Marx memahami pertumbuhan sebagai ukuran aliran nilai seluruh ekonomi kapitalis dari waktu ke waktu. 

Seiring waktu, dari tahun ke tahun, ukuran nilai meningkat. Peningkatan ini terjadi karena dua alasan. Pertama, lebih banyak nilai lebih yang diekstraksi dari pekerja karena populasi mereka, yang dipekerjakan oleh kapital, meningkat. Kedua, karena perubahan teknologi, komoditas terjual lebih cepat. Kecepatan nilai melintasi seluruh proses dan kembali dalam bentuk moneter ke tangan kapitalis untuk diinvestasikan kembali meningkat seiring waktu. Semakin banyak nilai lebih yang diekstraksi dan direalisasikan dengan cepat, maka sistem pun tumbuh lekas dari waktu ke waktu. 

Marx paham betul bahwa pertumbuhan kapitalis adalah proses yang amat kontradiktif, yang punya kemungkinan untuk diinterupsi di berbagai titik. Gangguan terhadap penciptaan, sirkulasi dan realisasi nilai lebih inilah yang disebut Marx sebagai “periode krisis.” Krisis dapat terjadi jika komoditas tidak dapat dijual karena beberapa alasan sehingga semua nilai lebih yang telah tercipta tidak dapat direalisasikan. Jika itu terjadi, maka di periode berikutnya kapitalis akan mengurangi investasi, banyak orang kehilangan pekerjaan, dan permintaan terhadap barang dan jasa semakin menurun. 

Krisis juga dapat muncul jika ada konflik di tempat kerja, di mana kapitalis tidak mampu menghasilkan nilai lebih yang cukup. Hal itu mungkin muncul dengan sendirinya akan memanifestasikan diri sebagai penurunan tingkat keuntungan yang direalisasikan pada investasi.

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.


Cale Brooks | Mari beralih ke volume III Kapital. Di sana Marx mendiskusikan tentang bagaimana kelas kapitalis mendistribusikan surplus dan hubungan sosial yang menyatukan kelas penguasa. Marx tidak mengatakan bahwa setiap kapitalis secara langsung mengeksploitasi pekerja, tapi sebaliknya, banyak dari mereka saling tawar-menawar untuk mengamankan bagian surplus masing-masing. 

Bisa jelaskan tentang pembagian tersebut dan bagaimana surplus didistribusikan di antara kelas kapitalis? 

Deepankar Basu | Argumennya bergerak dalam dua tahap. Pada tahap pertama, ia melihat apa yang disebutnya sebagai fungsi kapitalis: kapitalis yang secara langsung terlibat dalam produksi komoditas dan kapitalis yang memastikan bahwa komoditas terjual. Marx menyebut kelompok pertama sebagai kapital “industri”, sementara kelompok kedua kapitalis disebut kapital “komersial”. Kapital industri secara langsung mengorganisir produksi komoditas dan kemudian menyerahkannya kepada kapital komersial, yang kemudian memastikan komoditas tersebut terjual kepada konsumen akhir. Contohnya, ada pemilik General Motors yang membuat mobil, lalu ada pemilik diler yang menjual mobil-mobil tersebut. Yang pertama adalah kapital industri, yang kedua adalah kapital komersial.

Marx sangat jelas bahwa nilai lebih hanya dapat dihasilkan dalam produksi. Semua nilai lebih yang didistribusikan dan didistribusikan ulang dihasilkan dalam produksi. Itulah tempat pertama untuk memahami bagaimana nilai lebih kemudian secara bertahap mengalir melalui masyarakat dan berakhir sebagai aliran pendapatan dari berbagai fragmen kelas non-pekerja.

Di dalam kelompok kapitalis industri, jenis produsen yang berbeda memiliki intensitas kapital yang berbeda pula. Beberapa produksi membutuhkan banyak tenaga kerja per mesin, dan beberapa yang lain membutuhkan sebaliknya. Jadi ada suatu proses di mana total nilai lebih yang dihasilkan dalam produksi komoditas didistribusikan kembali di antara berbagai fragmen kapital industri.

Ini diperlukan untuk memastikan bahwa setiap kapitalis pada akhirnya membuat tingkat keuntungan rata-rata yang sama. Mengapa hal tersebut perlu dilakukan? Sebab, jika ada segmen produksi yang menghasilkan tingkat keuntungan di atas rata-rata, maka banyak kapitalis akan masuk ke dalam sektor tersebut sehingga produksi serta pasokan komoditasnya akan meningkat. Ini membuat harga akan turun, pun dengan tingkat keuntungan.

Kita dapat memvisualisasikan proses ini berjalan dengan sendirinya selama periode yang lama untuk memastikan bahwa setiap kapitalis yang terlibat dalam produksi komoditas–tidak peduli mereka terlibat di jalur produksi apa, apakah membuat mobil atau komputer atau baju–mendapatkan tingkat keuntungan yang sama. Fakta bahwa produksi mobil mungkin membutuhkan mesin yang lebih banyak per pekerja daripada produksi baju berarti ada redistribusi nilai lebih di antara kapitalis industri itu sendiri pada putaran pertama. Kemudian hasil produksi diserahkan kepada perusahaan yang menjual komoditas tersebut. Perusahaan-perusahaan itu tidak memproduksi apa pun; mereka hanya memastikan bahwa komoditas yang telah diproduksi dijual. 

Jadi, bagian kedua dari argumen ini adalah bahwa apa yang terjadi antara kapital industri dan kapital komersial adalah distribusi nilai lebih. Jika total nilai lebih yang dihasilkan sama dengan $100, ada beberapa proses di mana $100 itu didistribusikan antara produsen yang sebenarnya mengorganisir produksi dan perusahaan-perusahaan yang menjual komoditas.

Nilai lebih pun dihasilkan; sebagian diambil oleh para kapitalis yang membuatnya, sebagian lagi diserahkan ke kapital komersial yang akan memastikan bahwa komoditas terjual. Tanpa komoditas yang terjual, nilai lebih tidak dapat direalisasikan. Itulah mengapa kapital komersial dapat mengekstrak sebagian dari surplus nilai.

Proses tersebut tidak berakhir di situ karena semua perusahaan tersebut membutuhkan dua hal. Pertama, meminjam uang untuk membiayai investasi–karena sering kali mereka tidak memiliki semua uang yang dibutuhkan untuk memperluas produksi, memperkenalkan mesin baru, atau memperluas jaringan toko. Kapitalis akhirnya meminjam dari kelompok nonpekerja lain yang mengkhususkan diri untuk memberikan pinjaman kepada kapitalis fungsional. Kelompok ini adalah apa yang Marx sebut sebagai “kapital  uang”. Sekarang terjadi perundingan antara kapitalis fungsional dan kapital uang. Sebagian dari nilai lebih yang telah direalisasikan harus diserahkan kepada kapital uang sebagai pendapatan bunga.

Potongan terakhir berasal dari sekelompok orang yang tidak bekerja dan memiliki sumber daya alam seperti tanah. Tanah diperlukan untuk produksi kapitalis–pikirkan bukan hanya pertanian, tapi juga tambang, real estat, pariwisata. Semuanya membutuhkan sumber daya alam atau akses ke sumber daya alam. Pemilik sumber daya alam dapat memperjuangkan sebagian dari nilai lebih dari kapitalis fungsional. Bagian yang diambil oleh pemilik sumber daya alam seperti tanah adalah apa yang Marx sebut “sewa tanah”, atau apa yang bisa kita sebut “sewa” saja. 

Jadi, pada akhir volume III, kita telah membahas semua segmen penting dari kelas non-pekerja–kelas penguasa–dan telah memahami bagaimana aliran pendapatan pada akhirnya berasal dari tenaga kerja yang tidak dibayar. Potongan pertama diberikan kepada kapitalis industri, kedua kepada kapitalis komersial, ketiga kepada kapitalis uang, dan terakhir kepada pemilik sumber daya alam. Dua kelompok pertama mendapatkan keuntungan, kapitalis uang mendapatkan bunga, dan pemilik sumber daya alam mendapatkan sewa.

Itulah bagaimana Marx menyimpulkan analisisnya: dengan menunjukkan bagaimana nilai lebih dihasilkan dalam volume I, bagaimana direalisasikan dalam volume II, dan bagaimana didistribusikan dan berakhir sebagai aliran pendapatan dari berbagai fragmen kelas non-pekerja dalam volume III Kapital.

Cale Brooks | Fakta bahwa semua orang bergantung pada pasar untuk bertahan hidup dalam kapitalisme, baik sebagai pekerja dalam pasar tenaga kerja atau kapitalis yang mencoba mengumpulkan keuntungan dalam pasar komoditas yang terbatas, berarti bahwa persaingan dihasilkan dari struktur kelas, dan itu adalah sesuatu yang harus dihadapi dengan satu cara atau lainnya dalam kapitalisme.

Hal kunci yang muncul dari proses persaingan ini adalah perubahan teknis, yang merupakan penambahan mesin yang lebih besar dan perangkat hemat tenaga kerja dalam proses kerja. Bagaimana seorang marxis memahami persaingan dan perubahan teknis dibandingkan dengan pemahaman ekonomi lain tentang fenomena ini?

Deepankar Basu | Marx selalu mempertimbangkan struktur kelas ketika menjabarkan teori kapitalisme, dan ia membuat dua poin berikut. Pertama, ada hubungan yang sangat bertentangan antara kapital dan tenaga kerja, tetapi ada juga hubungan yang bertentangan antara kapitalis individu atau kelompok kapitalis dalam kelas kapitalis. Interaksi antara mereka adalah apa yang bisa kita pahami sebagai proses persaingan.

Kapitalis baik sebagai individu dan kelompok tertarik untuk menghasilkan dan merealisasikan nilai lebih yang lebih banyak lagi. Karena kapitalisme bukan sistem yang direncanakan, masing-masing kapitalis individu tidak selalu mencoba untuk mengoordinasikan tindakan mereka dengan kapitalis lainnya. Sebenarnya, kebalikannya adalah yang kebanyakan terjadi. Kapitalis individu dalam satu industri, atau kapitalis yang berbeda antarindustri, selalu mencoba untuk saling mengungguli satu sama lain untuk menghasilkan lebih banyak keuntungan bagi diri mereka sendiri. Proses persaingan yang sengit, tanpa henti, dan berkelanjutan adalah kenyataan kehidupan dalam kapitalisme. Marx menghabiskan banyak waktu untuk menjelaskan dan menganalisis fenomena ini.

Dalam kompetisi antara dua kapitalis, kapitalis yang mampu menurunkan biaya produksi akan mampu memenangkan pertarungan kompetitif. Mengapa? Karena kapitalis individual yang memproduksi komoditas yang sama dengan biaya lebih rendah akan mampu menghasilkan lebih banyak nilai lebih dan keuntungan pada saat menjual dengan harga pasar yang berlaku. Dan dengan menginvestasikan nilai lebih atau keuntungan ke dalam proses produksi, ia akan dapat meningkatkan ukuran basis kapitalnya dan meningkatkan teknik produksi yang digunakan.

Jadi, kapitalis yang mampu menurunkan biaya produksi akan memenangkan pertarungan kompetitif. Oleh karena itu, dalam logika kapitalisme, ada kebutuhan bagi kapitalis untuk terus-menerus mencari metode produksi baru yang dapat menurunkan biaya produksi. 

Kita juga perlu menyadari bahwa salah satu elemen biaya yang paling penting bagi kapitalis adalah upah. Pertarungan kompetitif mengarah langsung pada pencarian teknik produksi baru yang dapat mengurangi jumlah tenaga kerja yang digunakan untuk menghasilkan setiap unit output. Sistem kapitalis terus meningkatkan metode produksi dengan menghemat tenaga kerja dan sebagai gantinya meningkatkan non-tenaga kerja. Proses persaingan, yang inheren dalam kapitalisme, dengan demikian mengarah pada fitur khusus perubahan teknis ini (pengurangan tenaga kerja). 

Apa yang menarik adalah bahwa bukti empiris berjangka waktu yang lama, dan bahkan saat ini, telah sepenuhnya memvalidasi pemahaman Marx bahwa perubahan teknis dan kecenderungan nyata teknik penghematan tenaga kerja memang kerja terus terjadi. Fitur analisis Marx ini benar-benar relevan untuk memahami sejarah teknologi kapitalis dan juga untuk memahami periode kapitalisme saat ini.


Artikel ini pertama kali terbit di Jacobin pada Maret 2023 dengan judul “The Basics of Marxist Economics”. Diterjemahkan oleh Yanuar Farhanditya. Dimuat ulang untuk tujuan pendidikan.

]]>
Invasi Indonesia ke Timor Leste: Australia Jadi ‘Buzzer’ Rezim Soeharto https://indoprogress.com/2022/04/invasi-indonesia-ke-timor-leste-australia-jadi-buzzer-rezim-soeharto/ Tue, 26 Apr 2022 11:40:58 +0000 https://indoprogress.com/?p=236768

Foto: dua sobat brunch, Gough Whitlam dan Soeharto, April 1975 (NAA)


PROSES dekolonisasi bergulir di tanah-tanah jajahan Iberia pasca-revolusi Portugal 1974. Salah satunya Timor Leste, yang mendeklarasikan kemerdekaan pada 1975. Dipelopori partai kiri bernama Frente Revolucionária de Timor-Leste Independente (FRETILIN), kemerdekaan Timor Leste segera menghadapi ancaman rezim Soeharto Indonesia dan sekutu-sekutu Baratnya.

Soeharto berkuasa di Indonesia sejak 1965, ketika ia membantai sekitar satu juta orang kiri dengan dukungan AS. Rezim Soeharto telah bertahun-tahun berusaha menggagalkan proses dekolonisasi Timor Leste. Ketika kemerdekaan Timor Leste diproklamasikan, militer Indonesia langsung menyerbu dan akhirnya mencaplok negeri itu pada Mei 1976. Narasi resmi rezim Orde Baru berbunyi: Indonesia ogah-ogahan turun tangan dalam konflik sipil Timor dan TNI hanya bertindak sebagai pasukan penjaga perdamaian.

Pemerintah Australia saat itu adalah salah satu sekutu utama Soeharto. Canberra mengkritik para aktivis Australia yang mengabarkan tentang kelaparan, kekejaman, dan pembantaian pasca-aneksasi di Timor Leste. Salah seorang aktivis ini, Peter Job, meneliti dokumen-dokumen yang telah dideklasifikasikan. Dokumen-dokumen itu membuktikan bahwa para politikus dan birokrat Australia membohongi publik seraya memuluskan tindakan-tindakan paling kejam rezim Soeharto. Jurnalis Zacharias Szumer mewawancarai Peter Job tentang buku terbarunya, A Narrative of Denial: Australia and the Indonesian Violation of East Timor. Berikut petikannya.


Bagaimana Anda bisa terlibat dalam aktivisme solidaritas untuk Timor Leste?

Waktu itu usia saya 20 tahun dan saya sedang menggarap jaringan Radio Maubere ke FRETILIN. Sebelum invasi Indonesia 1975, beberapa aktivis Australia bertemu FRETILIN di Timor Leste untuk memberikan radio dua arah. Setelah invasi, ketika FRETILIN tengah bergerilya di hutan melawan Indonesia, radio itu digunakan untuk mengirim informasi ke luar negeri.

Saat itu pemerintah Australia melakukan apa yang bisa diperbuat untuk memutus jejaring radio itu dan membantah pernyataan-pernyataan Timor Leste tentang operasi-operasi militer besar Indonesia, yang di antaranya dilakukan dengan membuat penduduk kelaparan, menghancurkan hasil bumi dan sumber daya pangan, dan pelanggaran hak-hak asasi manusia lainnya.

Akibatnya, ada seorang operator radio di hutan sekitar Darwin yang harus terus pindah tempat supaya tidak ditangkap. Orang inilah yang mengirimkan pesan ke Timor Leste. Mustahil bagi dia untuk datang ke Darwin dan mengirim pesan-pesan FRETILIN karena dia akan ditangkap. Jadi, kami mendirikan stasiun penerima terpisah yang juga terletak di hutan di luar Darwin. Saya jaga stasiun ini selama enam bulan terakhir operasinya. Saya rekam pesan-pesan yang mereka terima, yang akhirnya disebarkan ke markas-markas eksternal FRETILIN di Mozambique dan ke José Ramos-Horta di New York. [Saat itu José Ramos-Horta secara de facto adalah menteri luar negeri de-facto FRETILIN dan utusan untuk PBB].

Meski pemerintah Indonesia dan Australia menyangkal kejahatan militer Indonesia, kita sekarang tahu bahwa sebagian besar informasi FRETILIN benar belaka. Hal ini menumbuhkan pemahaman dan komitmen terhadap masalah Timor dalam diri saya seumur hidup.

Kita masuk ke argumen utama buku Anda. Apa garis kebijakan resmi pemerintah Australia pada masa pencaplokan Timor Leste oleh Indonesia?

Di bawah pemerintahan Perdana Menteri Gough Whitlam dan Malcolm Fraser Australia main dua kaki. Yang mereka katakan di hadapan masyarakat umum dan komunitas internasional berbeda dari yang mereka nyatakan ke Indonesia. Nah, yang mereka sampaikan ke Indonesia itulah apa yang sebetulnya mereka lakukan.

Awalnya, PM Whitlam (dari Partai Buruh) dan kemudian pemimpin oposisi Fraser mengaku mendukung penentuan nasib sendiri bagi Timor Leste. Namun, pada September 1974, Whitlam mengatakan kepada Soeharto bahwa dia tidak percaya bahwa Timor Leste harus menjadi negara merdeka, bahwa kemerdekaan Timor Leste akan mengacaukan kawasan. Kepala OPSUS Indonesia saat itu mengatakan bahwa pertemuan [dengan para pejabat Australia] adalah faktor utama yang menguatkan keputusan mereka untuk “mengintegrasikan” Timor Leste ke Indonesia.

Bahkan sebelum itu, Whitlam telah mengirim sekretaris pribadi pribadinya ke Jakarta untuk bertemu OPSUS, sayap pemerintahan Soeharto yang paling berjasa mengagalkan proses dekolonisasi Timor. Sebelum invasi, OPSUS juga memberitahu kedutaan Australia di Jakarta tentang operasi rahasia dan kekerasan yang dilakukan oleh Indonesia untuk memaksa integrasi. Aktivitas-aktivitas Indonesia ini mencakup siaran radio, infiltrasi ke partai-partai politik Timor, dan operasi militer rahasia di mana personil TNI menyamar sebagai aktivis pembangkang Timor.

Whitlam dan Fraser membohongi rakyat Australia dan komunitas internasional tentang apa yang sesungguhnya mereka ketahui. Whitlam mengatakan Indonesia tidak berniat mengintegrasikan Timor Leste dengan paksaan, meskipun badan intelijen Australia dan Kementerian Luar Negeri tahu persis Indonesia melakukan itu.


Bagaimana dukungan Whitlam terhadap posisi Indonesia di Timor Leste bisa menyatu dengan aspek-aspek yang lebih progresif dalam rekam jejak politiknya?

Dalam kebijakan luar negeri, Whitlam cukup konservatif. Ketika Soeharto mengambil alih kekuasaan pada 1965–66, Whitlam sangat mendukung rezim baru itu. Di artikel yang dia tulis di The Australian pada 1967, Whitlam menyatakan betapa bersyukurnya kita bahwa rezim pro-Barat ini telah berkuasa. Partai Buruh Australia di bawah pemimpin sebelumnya, Arthur Calwell, tidak suka pemerintah-pemerintah yang berkuasa di Asia. Whitlam ingin memutuskan ketidaksukaan ini dan menjangkau Asia Tenggara, khususnya negara-negara ASEAN. Indonesia adalah yang terbesar dan terdekat, dan Whitlam melihatnya sebagai kunci. Dia percaya permainan blok-blok negara besar dan kurang menyokong negara-negara kecil. Jadi, dia percaya bahwa sudah semestinya Timor Leste menjadi bagian dari Indonesia.


Seperti yang Anda tulis dalam Narrative of Denial, pemerintahan Whitlam dan Fraser konsisten menggaungkan narasi bahwa Indonesia ogah-ogahan intervensi dan sekadar menjadi penengah dalam konflik antar kelompok di Timor Leste. Namun, pemerintah Australia rupanya sudah menerima arahan dari intel-intel top Indonesia yang menunjukkan bahwa mereka telah secara aktif berusaha menggagalkan proses dekolonisasi sejak awal 1970an.

Australia sadar bahwa Indonesia secara aktif mendestabilisasi Timor Leste dan menggunakan destabilisasi ini sebagai dalih invasi. Namun, pemerintah Australia juga meneruskan narasi bohong Indonesia ini.

Padahal sebelum 1975 partai-partai politik Timor Leste sudah berusaha keras mengadakan kontak dengan rezim Soeharto. Mereka ingin ada hubungan baik dengan Indonesia. Mereka paham harus hidup berdampingan dengan tetangga besar dan tidak ingin memusuhinya.

Isu Timor Leste ini pun tidak disambut dengan suara bulat di internal rezim Soeharto sendiri. Saat itu Indonesia sedang mengincar posisi kepemimpinan Gerakan Non-Blok. Dan salah satu faksi dalam rezim Soeharto khawatir—dan kekhawatiran ini benar—bahwa ambisi ini akan gagal jika Indonesia mencaplok Timor Leste. Sampai batas-batas tertentu Soeharto sendiri tampaknya punya kekhawatiran yang sama. Australia memutuskan untuk mendukung faksi lain dalam rezim Soeharto —yakni faksi OPSUS—guna mendorong kebijakan Indonesia ke arah intervensi di Timor Leste. Tanpa dukungan Australia, mungkin invasi Indonesia ke Timor Leste tidak akan terjadi.

Tampaknya adalah titik balik kritis dalam sejarah Indonesia. Sebelum penggulingan Presiden Sukarno pada 1965, Indonesia ada di garis depan dalam upaya penciptaan blok ketiga—Gerakan Non-Blok—di luar dua kubu Perang Dingin. Di bawah Soeharto, Indonesia makin mendekat ke Amerika Serikat dalam Perang Dingin. Invasi Timor Leste mempercepat kedekatan ini.

Australia membingkai kemerdekaan Timor Leste sebagai perang proksi dalam Perang Dingin. Sayangnya, tak ada alasan untuk menggunakan bingkai itu. Kedua faksi politik besar di Timor Leste bersedia bekerjasama dengan Australia. Dua-duanya tidak berminat membiarkan gerakan kemerdekaan mereka menjadi arena pertempuran proksi dalam Perang Dingin.

FRETILIN memang bukan organisasi Marxis. Ada beberapa Marxis di dalamnya. Tapi toh juga ada Marxis di Partai Buruh Australia saat itu. FRETILIN adalah front besar (broad front) yang pada dasarnya pro-kemerdekaan. Dalam banyak hal, politik mereka cukup moderat.

Meski begitu, AS dan Australia membingkai gerakan pembebasan nasional Timor Leste sebagai konflik Perang Dingin, sebagian karena mereka ingin membekingi rezim Soeharto. Ingat, pada 1975, Asia Tenggara baru saja mengalami banyak perubahan. Vietnam kembali bersatu setelah kekalahan AS dan rezim-rezim Marxis baru saja berkuasa di Kamboja dan Laos. Ini hanya terjadi beberapa bulan sebelum invasi Indonesia.

AS dan Australia melihat Soeharto sebagai kekuatan pro-Barat dan benteng melawan komunisme. Para pejabat Australia—termasuk menteri luar negeri saat itu—bahkan menggambarkan rezim Soeharto sebagai orang yang moderat, bertanggung jawab, dan layak mendapatkan dukungan Australia, betapapun rezim ini memiliki rekam jejak berdarah.


Mari kita bicara periode 1975 hingga 1982. Seperti yang Anda katakan, pemerintah Fraser secara efektif menjadi propagandis dan apologis rezim Soeharto.

Pemerintah Australia tidak secara resmi mendukung invasi Indonesia. Di PBB, Australia bahkan enggan memilih resolusi Majelis Umum 1975 yang mengkritik invasi tersebut. (Namun, setelah itu, Australia pindah ke posisi abstain, sebelum akhirnya menentang resolusi-resolusi yang mengkritik invasi.)

Sejak awal, Australia secara resmi menyerukan penarikan mundur Indonesia dari Timor Leste. Tapi di belakang layar, Australia menyatakan ke negara-negara lain bahwa mereka harus menerima kekuasaan Indonesia di Timor Leste. Pada Oktober 1975, Fraser melawat ke Jakarta dan bertemu Soeharto. Setelah pertemuan itu, pemerintahannya efektif menjadi propagandis dan apologis tindakan-tindakan Indonesia.

Pertama-tama, Australia salah menggambarkan sejarah Timor Leste sebelum invasi. Australia sengaja membuat Indonesia seolah tampil sebagai pihak yang dirugikan dan ogah-ogahan melakukan intervensi. Kedua, ketika invasi terjadi, Australia membantah kadar pelanggaran HAM yang dilakukan Indonesia dan menyebut laporan-laporan HAM ini desas-desus belaka. Ini terlepas dari bukti-bukti yang masuk lewat jejaring radio, lewat sumber-sumber Gereja Katolik, melalui surat-surat yang diselundupkan, dan melalui kesaksian para pengungsi. Akhirnya, ada begitu banyak bukti sehingga Australia tidak bisa lagi menyangkal apa yang sedang terjadi. Lalu, mereka muncul dengan sederet rekomendasi untuk memutarbalikkan situasi. Alih-alih menyangkal, mereka menyalahkan orang Timor sendiri. Mereka bilang Timor Leste selalu miskin, selalu nyaris kelaparan, dan bahwa masalah Timor Leste diperparah oleh perang saudara.

Tentu pemerintah Australia sangat sadar akan kampanye Indonesia untuk mengepung dan memusnahkan kekuatan pro-kemerdekaan di Timor Leste. Mereka sadar bahwa TNI sedang berusaha menghancurkan sumber-sumber pangan. Ini dibuktikan dengan laporan-laporan petugas Australia yang mengunjungi Timor Leste dan berbicara dengan pejabat Indonesia. Laporan-laporan ini telah dideklasifikasikan. Mereka tahu Indonesia memiliki kebijakan melarang distribusi pangan ke daerah-daerah yang dikuasai FRETILIN, yang awalnya mencakup mayoritas penduduk. Australia tidak berusaha menghubungkan kebijakan ini dengan tragedi mengerikan kelaparan buatan yang melanda seluruh Timor Leste. Sebaliknya, mereka menyalahkan infrastruktur Timor yang buruk, diabaikannya Timor oleh kolonialis Portugis, seraya menuding betapa tidak bertanggungjawabnya orang Timor dalam perang saudara.

Kebijakan ini punya konsekuensi serius. Beberapa negara Barat mulai tertarik mendukung Timor Leste, sebagai respons atas bukti-bukti yang baru dirilis. Australia berulang kali melobi mereka, mengklaim bahwa Indonesia secara umum telah mengambil sikap yang bertanggungjawab. Karena negara-negara ini menganggap Australia negara demokrasi dan pembela hak asasi manusia di kancah internasional, narasi Australia ini sungguh-sungguh dipercaya.

Reputasi pro-HAM Australia dipoles oleh sikap pemerintah Fraser terhadap apartheid di Afrika Selatan. Fraser juga mendukung diakhirinya rezim kulit putih di Zimbabwe. Akibatnya, lobi-lobi pemerintah Fraser untuk membela invasi Indonesia cukup ampuh dan sukses menunda masuknya bantuan ke Timor Leste, meredam kritik terhadap rezim Soeharto, dan membiarkan pelanggaran HAM di sana berlanjut. Kalau bukan karena lobi Australia, pelanggaran HAM yang dilakukan Indonesia pasti mustahil berlanjut dengan cara yang sama.


Buku Anda menyebutkan bagaimana pemerintah Fraser menyebarkan “narasi penyangkalan” resmi ini melalui sekelompok akademisi dan jurnalis yang simpatik. Anda sebut mereka “Lobi Jakarta”. Bisa Anda jelaskan bagaimana pemerintah membina kelompok ini dan menyuarakan posisinya melalui mereka?

Mereka ini kelompok yang merasa harus mengabarkan apa yang mereka sebut “posisi bertanggung jawab” terkait rezim Soeharto. Mereka tahu setelah Soeharto berkuasa, ada kebencian terhadap rezim ini dan bahwa beberapa kekejaman Soeharto diketahui di Australia. Oleh karena itu, mereka mengorganisir akademisi di Australian National University, termasuk beberapa jurnalis dan diplomat seperti Richard Woolcott. Mereka rutin bertemu untuk membahas hal-hal yang bisa mereka lakukan guna mendukung kebijakan Australia agar terus mendukung rezim Soeharto.

Yang dilakukan kelompok ini klop dengan kebijakan luar negeri Australia. Walhasil, baik pemerintah maupun Kementerian Luar Negeri tidak mempermasalahkannya. Ketika invasi Timor Leste terjadi, Lobi Jakarta menyebarkan narasi resmi. Ketika para pengkritik invasi Indonesia menekan anggota-anggota kelompok ini tentang keadaan di Timor Leste, Lobi Jakarta rupanya tidak cukup melek informasi. Namun demikian, mereka terlihat kredibel karena punya posisi sebagai akademisi, jurnalis kawakan, dan pejabat senior urusan luar negeri. Kredibilitas palsu inilah yang turut membuat khalayak yakin bahwa mereka harus dipercaya dan menjadikan mereka pendukung kebijakan pemerintah yang efektif.


Dalam Narrative of Denial, Anda menjelaskan bahwa para diplomat Australia memberikan saran untuk pemerintah mereka sendiri sekaligus menjadi konsultan bagi rezim Soeharto. Ketika muncul berita kekejaman di Timor Leste, misalnya, mereka menyarankan rekan-rekan di Indonesia untuk membungkus kekejaman itu sebagai perilaku spontan dan sembrono beberapa prajurit rendahan di awal invasi.

Hal semacam itu dilakukan oleh banyak elemen di kedutaan Australia di Jakarta. Di PBB di New York, diplomat Australia melakukan hal yang persis sama. Mereka aktif berunding dengan Indonesia tentang Timor Leste dan bekerjasama untuk melobi negara-negara lain terkait isu ini; para pejabat Indonesia sangat berterimakasih kepada mereka. Mereka paham bahwa Australia dipandang sebagai negara Barat yang tahu bagaimana cara berpikir negeri-negeri Barat, dan bagaimana segala sesuatu bisa diputarbalikkan.

Australia sering memberikan saran kepada Indonesia untuk siaran pers dan pernyataan publik. Dan Australia mendukung pernyataan-pernyataan publik ini dengan lobinya sendiri.


Apa para pejabat senior atau jurnalis yang mendukung Soeharto waktu itu menyatakan penyesalan?

Tidak, para diplomat dan jurnalis berpengaruh ini tak banyak mengungkapkan penyesalan. Demikian pula masyarakat Australia secara umum. Ini harus dianggap sebagai salah satu kegagalan utama kebijakan luar negeri Australia. Bukan hanya kegagalan, tetapi kejahatan yang kami lakukan. Australia tidak hanya menutup mata, tapi bahkan aktif berkampanye untuk mempermulus pelanggaran-pelanggaran HAM tersebut. Kasus-kasus ini tidak akan terjadi tanpa kita dan tidak akan tertutup dari sorotan publik tanpa peran pemerintah Australia. Saya yakin seharusnya ada proses rekonsiliasi untuk mengakui apa yang sudah kita lakukan. Rupanya, minat untuk menuju ke sana juga masih kurang.***


Wawancara ini sebelunya diterbitkan di Jacobin. Diterjemahkan dan dimuat ulang di IndoPROGRESS untuk kepentingan pendidikan.

]]>
Dana Desa: Konsep dan Realitas di Lapangan https://indoprogress.com/2022/03/dana-desa-konsep-dan-realitas-di-lapangan/ Mon, 21 Mar 2022 04:43:15 +0000 https://indoprogress.com/?p=236716

Ilustrasi: Ilustruth


DANA DESA diatur dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa dan pengalokasiannya juga diatur dalam sebuah peraturan/regulasi tersendiri. Dana desa di satu sisi dianggap sebagai sarana yang efektif untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat miskin perdesaan, tapi di sisi lain banyak juga riset-riset yang menunjukkan bahwa prioritas pembangunan infrastruktur di desa dan juga alokasi dan distribusi dana desa dikuasai oleh kelas-kelas sosial tertentu sehingga tidak efektif. Juga banyak kekurangan dan masalah lain yang ditimbulkan dari dana desa itu sendiri.

Untuk mencari tahu lebih jauh soal ini, Februari lalu F. Fildzah Izzati dari IndoPROGRESS TV (IPTV) berbincang-bincang dengan Arie Sudjito, peneliti di Institute for Research and Empowerment (IRE) Yogyakarta, dan Muhtar Habibi, dosen di Universitas Gadjah Mada (UGM) dan juga bergiat di IISRE Indoprogress. Berikut petikannya.


F. Fildzah Izzati (FFI): Bagaimana pandangan masing-masing narasumber mengenai dana desa yang perdebatannya tidak pernah usai hingga saat ini?

Arie Sudjito (AS): Kebutuhan mengenai UU Desa sudah meningkat sejak 2007. Dalam diskursus demokrasi lokal, lahirnya UU 6/2014 yang disahkan pada 18 Desember 2013 itu pergulatannya panjang.

UU Desa diperlukan sebagai piranti konstitusional yang diharapkan akan menjadi dasar dari penyelenggaraan reformasi desa yang telah lama mengalami “mutilasi” secara politik karena pola-pola yang dikembangkan selama ini cenderung tidak menghadirkan keadilan. Jadi UU Desa itu salah satu strategi.

Di dalam UU Desa ada komponen dana desa. Membaca dana desa harus diletakkan dalam tiga kerangka. Pertama, rekognisi. Kedua, dibutuhkan otorisasi sebagai konsekuensi dari rekognisi. Ketiga, redistribusi. Redistribusi dimaksudkan agar ada resource yang dibagikan karena otonomi daerah tidak menjawab masalah desa. Ini karena pola desentralisasi masih top-down.

Dana desa harus dibaca sebagai politik anggaran. Tapi [ada] jebakan teknokrasi dan administrasi melalui PP [60/2014 tentang Dana Desa]. PP tentang Dana Desa cenderung teknokratik. [Dalam] PP, administrasi ini sangat dominan, membuat desa terjebak pada administrasi daripada politik anggaran.

Politik anggaran itu maksudnya dana desa harus menjadi arena untuk membangun kesadaran politik tentang alokasi penanganan kemiskinan, politik tata ruang, kontrol publik, dan demokratisasi. Pengaturan politik anggaran itu menjadi perdebatan karena PP turunan dari UU Desa cenderung mengalami teknokratisasi.

Mengapa [dana desa] cenderung [hanya digunakan untuk] infrastruktur? Itu karena dulu memikirkan desa tidak hanya Jawa. Tidak semua [pembangunan] infrastruktur itu salah, tapi harus ada politik anggaran, produknya musdes (musyawarah desa). Maka RPJM Desa sebagai manifesto politik pembangunan di desa itu harus dipilari oleh partisipasi, bukan teknokrasi.

Satu lagi, jangan mencurigai orang desa. Di desa ada fakta mengenai oligark, patron-klien, pencari rente, itu banyak sekali. Tetapi sekali lagi, ini adalah set up awal yang mengharuskan ada pendamping desa.


FFI: Kalau bung Habibi bagaimana memandang Dana Desa ini?

Muhtar Habibi (MH): Saya melihat dana desa sebagai intervensi sosial di perdesaan. Kalau kita amati, dana desa ini tidak/bukan suatu program yang baru di Indonesia. Sebelumnya, pada 1998-2006, ada program pembangunan kecamatan, kemudian 2007-2013 ada PNPM Mandiri Desa.

Ada tiga leksikon kunci di situ. Pertama, melihat komunitas desa sebagai komunitas yang cenderung homogen. Itu menjadi dasar awal dari intervensi sosial di perdesaan. Pengambil kebijakan seringkali melihat desa sebagai komunitas yang homogen, seolah di desa hanya ada gotong royong, tidak ada eksploitasi di desa.

Dengan komunitas dipahami seperti itu, ketika diberi bantuan dari luar, maka bantuan itu bisa digunakan untuk kesejahteraan bersama dan di situ tinggal mengembangkan bagaimana tata governance-nya, kapasitas building diperkuat, kemudian modal sosialnya diperkuat juga, agar semakin baik.

Leksikon ini, community, kemudian partisipasi dalam rangka memperbaiki tata governance di desa, dan modal sosial, sebenarnya dari segi pembangunan tidak luput dari intervensi lembaga pembangunan global yang sangat powerful, yaitu Bank Dunia.

Di akhir 1980-an, strategi pembangunan neoliberal sangat pro pasar, anti negara, dan top down. Di tahun 1990-an terjadi pergeseran [karena] kritik yang dahsyat terhadap pembangunan Bank Dunia. Bank Dunia mulai mengadopsi beberapa kritik tadi, yang tadinya sangat anti negara sekarang berubah. Sentimen anti negara menjadi berkurang. Bank Dunia mulai mengadopsi program-program pembangunan yang justru mengandalkan peran negara termasuk intervensi sosial di perdesaan.

Sentimennya menjadi “negara penting untuk pertumbuhan ekonomi” karena diinspirasi oleh neoinstitusional ekonomi, yaitu ekonomi kelembagaan, yang intinya kira-kira untuk bisa membuat pertumbuhan ekonomi yang memadai itu butuh institusi di luar pasar itu sendiri. Misalnya dibutuhkan negara, sistem sosial yang baik, sistem budaya yang mendukung itu, kemudian tatanan pengelolaan pemerintahan yang lebih baik.

Bank Dunia juga mulai menggeser strateginya menjadi lebih ke community driven development (CDC). CDC ini menjadi semacam pembangunan yang lebih bottom up, seperti partisipasi, kemudian demokrasi di tingkat lokal. Ini yang diadopsi Bank Dunia, menjadi semacam leksikon yang penting di tahun 1990-an.

Yang akan saya kritisi lebih lanjut, ini partisipasinya substantif atau formalitas? Dalam demokrasi liberal seperti ini, apakah partisipasi yang formal itu punya dampak yang signifikan terhadap upaya perbaikan orang paling lemah di perdesaan?

Yang tidak berubah dari Bank Dunia sejak 1980-an sampai 1990-an adalah pendekatan yang sangat teknokratik dan antipolitik. James Ferguson menyebutnya anti politik, Tania Li menyebunya teknikalisasi masalah. Seolah-olah, kalau duit datang, komunitas yang dibayangkan itu bisa kerja sama dengan baik, maka mereka bisa makmur bersama. Persoalannya tinggal ada enggak political will dari elite setempat untuk membuat kelembagaan yang mumpuni untuk memfasilitasi perkembangan lokal tadi.

Bagi orang yang punya perspektif ekopol seperti Tania Li, Vedi Hadiz, atau termasuk saya sendiri, akan meragukan asumsi-asumsi seperti itu (bahwa masyarakat desa itu homogen) karena tentu saja pembangunan tidak berada dalam ruang hampa. Terjadi di sebuah masyarakat yang ada pertarungan kekuasaan, yang ada ketidaksetaraan power. Kita harus memperhitungkan dinamika kekuasaan ini ketika mau memperhitungkan gagal/berhasilnya sebuah proyek pembangunan.

Tahun 1990-an ke sini, orang-orang menyebut post-Washington Consensus. Ada community, social capital, public space, yang kemudian jadi mantra dan berlanjut ke Indonesia juga. Tadi saya sebut ada program untuk kecamatan, PNPM, dan dana desa. Itu punya ketiga hal itu.

Problemnya adalah, karena cenderung teknikalisasi masalah, dia abai terhadap dinamika kekuasaan yang ada di desa. Meskipun mungkin Mas Ari menyinggung itu adalah langkah awal yang bisa dilakukan, tapi apakah langkah awal ini punya dampak yang signifikan terutama bagi pemberdayaan orang-orang yang lemah di desa? Atau selama ini desa akhirnya dibajak [dan] dinikmati oleh orang-orang yang sudah terlanjur powerful?


FFI: Saya ingin ke Bung Ari dulu, tentang politik anggaran tadi. Memang pada awalnya dana dewa ditujukan untuk pembangunan infrastruktur yang tidak merata di wilayah luar Jawa terutama. Tapi, dalam kenyataannya, dari beberapa data yang saya temukan, misalnya di NTT, dana desa ternyata tidak berhasil mencegah permasalahan kesehatan, yaitu stunting. Kemudian, adanya peningkatan nilai komoditi di perdesaan, dll. Bagaimana melihat permasalahan yang timbul akibat tidak berjalannya politik anggaran seperti yang Bung Ari sebutkan?

AS: Cara pandang kita mengenai dana desa yang ditafsir sebagai politik anggaran itu kuncinya terletak pada partisipasi. Dari situ ada arena yang disebut dengan musdes, musrembangdes, dst.

Apa yang disampaikan Habibi tadi itu perdebatan lama, awal-awal penyusunan UU desa. Antara yang romantis sama liberal itu tarik ulur. Di satu sisi memelihara social capital lama, cara pandang klasik, dengan mengembalikan romantisme adat; di sisi lain ingin mengubah, seolah desa ini totalitas.

Kita dalam posisi transformasi. Debat mengenai perencanaan top down sudah tuntas dan kita membaca Indonesia itu dengan pluralitas desa yang beragam, ditandai oleh karakter. Adat harus kita bela, tapi dengan cara apa? Tidak sekadar meromantisasi soal social capital itu.

Relokasi kuasa yang membuat ketimpangan kekuasaan itu harus kita pecahkan. Kata kuncinya harus ada desentralisasi kuasa politik. Politisasi desa itu harus ditandai oleh memaknai dana desa sebagai arena perebutan kuasa–dan di situ perebutan pengaruh.

Dulu, yang namanya PPK, desainnya zamannya SBY, dianggap sukses. PPK itu lahir dari proses konsolidasi global. Dulu itu desa hanya jadi lokasi, tidak pernah jadi subjek. Dana desa itu antitesis manajemen politik yang selama ini dilakukan–pembangunanisme. UU Desa itu dirancang sebagai upaya untuk mengonsolidasi dengan pendekatan politik anggaran. Justru ini (dana desa) antitesis atas teknokratisasi berlebihan yang dilakukan dari dulu. Tidak ada pembuktian yang mengatakan desain UU Desa itu teknokrasi.

Pendampingan desa, misalnya, lahir dari proses-proses politisasi desa dari bawah. Sementara pendampingan yang sekarang atau era-era awal itu, apalagi sebelum UU Desa, termasuk awal-awal UU Desa, itu modelnya dicangkokkan, tidak ada pergulatan ideologis, relasi kekuasaannya seperti apa.

Kalau pendekatan teknokratis mengatasi kemiskinan, itu jelas enggak bisa. Tapi intervensi sejauh ini, dalam pendekatan tertentu, membuat dana desa paling tidak bisa menggerakan ekonomi lokal. Contohnya di Bantul, bagaimana kepala desa bisa menggerakan ekonomi lokal. Soal kemiskinan, mereka teratasi. Buka lapangan kerja di level minimal tingkat desa.

Kemiskinan itu bukan produk desa. Kalau semua hal (penanggulangan kemiskinan) dibebankan pada dana desa, enggak fair dong. Kemiskinan juga produk dari ketidakadilan global. Bahwa ada perangkat desa yang korupsi, harus kita atasi. Caranya dengan apa? Harus ada politik desa. Bumbes dirancang sebagai penggerak ekonomi, faktanya masih formalisasi, itu [juga] harus kita koreksi.

Kalau menghubungkan UU Desa dengan SDGs dsb, jangan, terlalu berlebihan. Justru pendekatan dana desa yang terkonsolidasi itu counter terhadap apa yang disebut dengan PPK, PNPM, dsb.


FFI: Iya, UU Desa hanya bagian dari yang besar tadi dan tidak bisa semuanya ke UU Desa. Tapi bahwa terdapat 72 ribu desa yang dapat dana ini kan juga jumlah yang besar dan perlu diperbincangkan.

Saya ingin ke Bung Habibi. Tadi, kan, kuncinya partisipasi. Sementara seperti yang kita tahu, partisipasi tidak bisa dilepaskan dari konteks dinamika kekuasaan yang ada di desa itu sendiri. Lalu gimana sih wajah partisipasi di desa itu dalam kaitannya dengan dinamika kekuasaan dan juga dengan formasi kekuasaan yang ada di desa?

MH: Kebetulan saya dan kolega sedang menulis. Kami meneliti di sebuah desa di sebelah selatan Jawa Tengah. Nanti bisa cek argumen lebih lengkapnya di situ. Di situ kami ingin berargumen bahwa demokrasi atau partisipasi sifatnya formal. Itu sama sekali tidak membantu bagi kalangan kelas pekerja di perdesaan untuk memperoleh bagian dana desa yang signifikan.

Saya akan mulai dengan mengidentifikasi struktur kelas yang ada di perdesaan yang saya dan kolega saya teliti. Pertama, kelas penguasa di desa adalah para petani kapitalis, petani majikan. Mereka punya tanah di atas 0,6 ha, enggak pernah bekerja untuk orang lain dan dia selalu mempekerjakan buruh upahan di ladang/sawahnya. 0,6 ha ini ternyata sudah luar biasa di desa karena desa ini produktivitasnya itu dua lipat dari rata-rata nasional.

Mereka ini hanya empat keluarga trah yang sangat berkuasa, sudah menguasai kontestasi pertarungan kepala desa selama hampir tiga dekade terakhir. Basis kekuasaan mereka adalah kepemilikan lahan terutama sawah yang dimiliki sejak nenek moyang.

Ketika mempunyai tanah, kemampuan ekonomi, punya jabatan kepala desa, termasuk menguasai jabatan-jabatan kepala urusan termasuk sekdes, mereka bisa menentukan siapa ketua bumdes-nya, BPD-nya. Dari penelitian saya, orang-orang sekitar mereka bahkan ada hubungan darah dari si kepala desa itu. Setelah menguasai BPD, susunan bumdes, mereka tinggal menyusun aturannya. Mereka men-set up aturan tentang dana desa–akan tergantung pada mereka.

Misalnya yang paling mencolok aturan bumdes terkait investasi. Di situ ada aturan bahwa investasi bagi kepala desa boleh sampai Rp 25 juta, sekdes dan kaur-kaurnya (kepala urusan) mungkin Rp 10-15 juta. Sementara orang biasa yang di luar jangkauan itu hanya Rp 5 juta dengan pembagian keuntungan sekitar 5%. Orang yang bisa berinvestasi di bumdes, yang Rp 5 juta ini, pertama-tama, hanya orang biasa.

Orang-orang buruh tani, yang enggak punya tanah atau hanya secuil, jangankan Rp 5 juta, Rp 200-300 ribu untuk bertahan hidup saja sulit. Jadi mereka tidak mungkin bisa terlibat dalam investasi. Yang bisa terlibat hanya petani kapitalis atau petani mandiri atau secara konseptual saya menyebutnya petty commodity producer , yaitu mereka yang tidak bekerja pada orang lain tapi tidak mempekerjakan orang lain. Tanahnya 0,3-0,6 ha.

Bisa jadi BPD, kepala desa, ini kan perlu duit, resources, dan riset-riset politik sudah banyak menjelaskan bagaimana untuk menjadi kepala desa perlu miliaran dll.

Sementara petani kelas pekerja, tanahnya di bawah 0,1 ha pasti akan bekerja sepanjang tahun. Dengan hasil dari tanah segitu tidak cukup untuk menghidupi keluarga. Ini yang membuat mereka jadi kelas pekerja dan tidak pernah bisa menguasai jabatan desa yang penting. Bahkan ketua RT, RW, dikuasai oleh petani mandiri, tidak ada kelas pekerja, padahal Ketua RT RW biasanya terlibat dalam pembahasan dana desa.

Kelas pekerja secara umum memang ada jatah dari interest group, kelompok perwakilan orang miskin. Ada beberapa yang mengikuti musdes, membahas dana desa. Tapi yang kami temukan, beberapa orang bahkan semua yang terlibat sebagai perwakilan orang miskin itu adalah orang-orang miskin yang punya hubungan patron klien dengan kepala desanya, termasuk tim suksesnya. Orang-orang miskin inilah yang bekerja secara reguler kepada petani kapitalis ini.

Semua sudah tahu itu sudah diatur, hanya datang ke arena itu. Jadi orang miskin dalam rembug desa secara formal dilibatkan. Partisipasi menjadi formalitas saja. Ada orang miskin, tapi enggak akan bersuara dan ketika bersuara kalah dengan orang-orang yang mendominasi di arena itu yang tadi sudah saya jelaskan: yang punya tanah, yang mengendalikan produksi pertanian di desa.


FFI: Dengan dinamika kekuasaan yang telah dijelaskan Bung Habibi tadi, bagaimana dong politik anggaran bottom up yang tadi Bung Ari bilang itu mungkin untuk dilakukan?

AS: Cerita mengenai penguasaan politik berbasis kelas-kelas oleh penguasaan ekonomi itu sama juga [seperti] cerita pilkada. Itu sudah terjadi lama, sebelum UU Desa juga begitu. Kalau cerita itu ya sejak tahun era patron klien seperti itu.

Pertanyaannya apakah dana desa bisa mengubah itu? Apakah UU desa bisa mengubah formasi politik? Sekarang anak-anak muda mulai jadi kepala desa, pembabakan awal menunjukkan gejala itu. Kemudian di Sleman itu bukan incumbent yang menang.

Gerak ekonomi baru yang ditumbuhkan dana desa melalui politik anggaran melahirkan tumbuhnya anak-anak muda kembali ke desa, memberi perhatian bahwa ekonomi desa harus diselamatkan. Misalnya di NTT, ada seorang kepala desa membuat gerakan membangun partisipasi dengan mengolah lahan kritis.

Seberapa besar dana desa menjawab problem kemiskinan, persentasenya, agregatnya? Kalau tumpuannya dana desa, enggak mungkin menjawab beban kemiskinan 70 ribu sekian desa. Tapi faktanya dana ini memberi ruang untuk menciptakan sesuatu. Dulu ibu-ibu PKK enggak pernah dapat duit sebelum dana desa.

Membaca partisipasi tidak formal saja. Fakta pengambilan keputusan di warung-warung, keputusan informal, itu, kan, banyak sekali. PR kita soal rent seeker perlu dipecahkan di desa.

Mengajari orang protes dengan dana desa itu lebih penting dari soal pembagian merata. Yang kita butuhkan dari dana desa bukan pemerataan, tapi keadilan. Pengambilan keputusan soal itu dibutuhkan partisipasi warga. Faktanya, ada warga yang aktif ada juga yang tidak. Jangankan di desa, memangnya di kabupaten enggak?

Jadi, saya kira terlalu naif untuk mengatakan bahwa terjadi enclave-enclave baru di desa. Kita harus adil. Dorongan untuk membuat terobosan untuk meningkatkan kualitas partisipasi itu matter dan mengurangi pendekatan teknokratis. Maka RPJM desa jangan sampai terjebak urusan administrasi. Tugas kabupaten memfasilitasi desa belajar bareng.

Ini ada data menarik, jangan menyepelekan desa. Banyak sekali sekolah anggaran yang dikerjakan teman-teman CSO, belajar menyusun perencanaan, memilah-milah, data yang tepat apa, membuat data desa lebih kredibel. Dan saat ini informasi juga sudah menjadi power baru, dana desa ini jumlahnya berapa, misalnya, sudah bisa diakses siapa saja dan dari mana saja.


FFI: Soal partisipasi ini menarik ya. Tadi Bung Habibi bilang bahwa selama ini partisipasi yang ada itu partisipasi formal, sementara Bung Ari bilang partisipasi ini harus ditransformasi. Dengan dinamika kekuasaan yang tadi Bung Habibi bilang, gimana pandangan Bung Habibi tentang politik anggaran yang melibatkan partisipasi warga ini? dan transformasi seperti apa yang mungkin terjadi di perdesaan dengan kondisi seperti itu?

MH: Tadi Bung Ari menyebutkan politisasi sebagai salah satu tujuan dana desa, jadi warga lebih melek politik, dan berpartisipasi dalam makna apa pun untuk terlibat dalam kegiatan yang ada di desa. Itu barangkali adalah salah satu aspek yang berbeda dari zaman Orba yang sangat otoritarian. Tapi ini sudah berlangsung sejak masa Soeharto, ketika orang sudah mulai melek ke arah situ.

Tapi yang ingin saya lihat, politisasi ini, yang paling melek politik lagi-lagi adalah orang-orang yang punya akses ekonomi, punya resources yang kemudian memonopoli resources yang ada di desa. Sementara orang-orang kelas pekerjanya sangat skeptis karena mereka sadar bahwa, kenapa dari ribuan yang misalnya hanya dipilih tiga atau lima, hanya orang-orang itu, yang bekerja untuk kepala desa dan jajarannnya.” Ini yang membuat orang skeptis justru dengan dana desa, dengan proses politiknya.

Mereka merasa powerless dan merasa nggak ada yang bisa dilakukan karena semuanya sudah ditentukan.

AS: Ada enggak data yang bisa kau tunjukkan tentang powerless yang terjadi barusan?

MH: Ini sudah saya submit mas.

AS: Mana? Coba sebutin aja.

MH: Maksudnya?

AS: Saya mau cerita begini…

FFI: Mungkin bisa disebutkan saja Bung Habibi datanya?

MH: Yang saya maksud powerless adalah mereka merasa tidak punya kekuatan apa apa untuk mempengaruhi apa yang terjadi di desa itu.

AS: Bisa enggak disebut contoh dana desa yang membuat dia powerless?

FFI: Mungkin bisa diberikan contoh ilustrasi kasusnya?

AS: Saya memberikan contoh, FITRA punya sekolah-sekolah anggaran. Di Bima, Grobogan, di beberapa tempat, partisipasi publik itu berjalan misalnya memikirkan anggaran untuk kelompok rentan, itu dilakukan, terjadi konsensus. Kedua, sejak kapan awal Reformasi terjadi politik anggaran? enggak banyak. Itu terjadi sejak dana desa. Sebelumnya PPK itu enggak ada yang kritis. Politisasi anggaran lahir dorongannya ketika ada dana desa. PPK rata-rata menerima, sebagai anugerah.

FFI: Bung Habibi, mungkin bisa diberikan contoh ketidakberdayaan kelas pekerja dalam mengakses politik anggaran yang ada di desa, misalnya karena bumdes-nya dikuasai kelas tertentu. Mungkin bisa dijelaskan bagaimana masuknya petani kapitalis ke dalam bumdes [yang] memarjinalkan petani-petani kecil lainnya? Mungkin bisa dijelaskan gambaran konkretnya?

MH: Sebelumnya, kan, sudah saya jelaskan bagaimana bumdes dikuasai petani majikan dll. Sudah saya jelaskan proses dan mekanismenya. Orang-orang miskin yang masuk pun adalah mereka yang bekerja untuk petani majikan yang punya hubungan patron-klien dengan petani majikan. Sementara yang tidak, mereka inilah yang tereksklusi dan mereka inilah yang merasa program-program pembangunan tidak bermanfaat buat mereka. Mereka hanya bisa ngrasani di belakang “oh itu hanya dinikmati pak ini..” dll.

FFI: Berarti kalau kondisinya seperti itu, transformasi seperti apa yang harusnya terjadi agar tidak ada lagi ketimpangan seperti itu?

MH: Studi-studi politik misalnya dari Aspinall dll menyebut terjadi elite gap, menurunnya demokrasi yang lebih radikal. Mereka saran dan rekomendasinya ke arah pemberdayaan partisipasi yang lebih substansial. Tapi bagi saya yang menggunakan kacamata ekopol akan melewati yang seperti itu. Ilmuwan politik seperti Aspinall jarang sekali menyinggung basis dari kekuasaan orang-orang elite desa. Karena basis mereka ilmuwan politik, maka jarang sekali kepala desa digambarkan punya tanah berapa–karena fokusnya ke politik itu adalah dia bertarung menggunakan jaringan apa, resources-nya apa. Enggak dijelaskan, ini kepala desa punya tanah berapa, apa dedikasinya di pertanian yang memungkinkan, kok dia dulu bisa menempati itu, sumber daya ekonomi macam apa yang dia miliki.

Kalau orang yang berangkat dari ekopol punya pandangan yang berbeda. Kalau akar dari kekuasaan di desa itu adalah sumber-sumber ekonomi dan yang paling penting salah satunya adalah kepemilikan tanah, maka kira-kira saya akan berargumen, tanpa ada reorganisasi, restrukturisasi kepemilikan tanah, termasuk produksi pertanian di desa, program sosial apa pun, termasuk dana desa, hanya akan menjadi “hadiah” bagi kelas penguasa desa. Kenapa? Karena dengan penguasaan ekonomi, menguasai jabatan politik, mampu menciptakan aturan yang menguntungkan mereka dan itu meninggalkan sebagian besar orang yang tidak mendapatkan apa pun.

FFI: Apakah ada kaitannya dengan dana desa ini Bung Habibi? Maksudnya, apakah perubahan tersebut bisa dimungkinkan dengan kehadiran dana desa ini?

MH: Kalau dana desa logikanya memberikan dana, mereka punya medan pertarungan yang sangat jomplang, dengan majikan menguasai, saya agak skeptis politisasi itu hanya akan mempolitisasi orang-orang yang sudah berkuasa saja, sementara orang-orang yang selama ini memang tidak punya power di desa itu malah justru makin apatis dengan apa yang terjadi.

FFI: Kalau menurut Bung Ari, apakah dana desa ini mungkin digunakan untuk mengubah, misalnya, ketimpangan kepemilikan lahan, mengubah struktur, melalui politik anggaran yang partisipatif tadi?

AS: Fokus saya soal transformasi desa. Pandangan Habibi tadi, kan, pandangan strukturalis lama–melihat bahwa kuasa politik itu hanya formal. Sekarang masyarakat punya pengetahuan, informasi. Dana desa ini adalah bagian dari argumen penting, bukan uangnya, tapi proses pembentukan konsensus, politik anggaran, itu bagian dari pendidikan politik. Itu penting dan bukan omong kosong. Belum semua, iya.

Saya ambil contoh beberapa praktik baik pendidikan politik melek anggaran yang dikerjakan oleh FITRA dan teman-teman CSO yang lain. Itu isu-isu yang membawa isu kemiskinan pada isu anggaran.

Sekarang-sekarang ini banyak anak-anak muda pintar jadi perangkat desa. Sudah banyak. Itu menjadi penanda penting. Saya memberi catatan serius soal ini. Kalau dana desa dianggap enggak berguna, saya kritik itu. Dana desa tetap berguna paling tidak dia ingin menunjukkan bahwa ada pengakuan negara terhadap desa. Rekognisi, otorisasi, dan redistribusi.

Pandangan kita jangan strukturalis klasik yang melihat power hanya bekerja pada ranah formal. Bukan hanya itu. Pengetahuan itu, sistem informasi desa itu, terdistribusi. Orang bisa mengkritik kok lahan kritis yang dikuasai sekelompok orang. Kalau cara pandang melihat desa seperti itu, ketinggalan zaman.

Priayi-priayi desa ini tidak seperti tuan tanah dulu. Sekarang ini anak-anak muda yang punya inovasi teknologi bisa jadi power baru. Ini poststruktural. Maksud saya, saya tidak mengabaikan yang harus kita atasi sekarang ini adalah rent seeker dalam berbagai hal: pangan, teknologi, SDA. Caranya desa harus transparan, dikelola dengan teknologi.

FFI: Sebelum ke teknologi, tadi Bung Ari bilang, sebenarnya itu dimungkinkan karena kekuasaan tidak seperti yang kaku. Saya ingin bertanya ke Bung Ari, ada tidak sih dana desa yang dipergunakan untuk mengatasi ketimpangan kelas yang tadi Bung Habibi bilang, misalnya ketimpangan penguasaan lahan? Ada enggak dari risetnya Bung Ari, dana desa pernah dialokasikan untuk itu?

AS: Pertama, normatifnya dana desa itu menggerakkan ekonomi lokal. Beberapa riset yang kami kerjakan menunjukkan bahwa sumber daya desa baru yang disebut dana desa ini awal, sebelum muncul perpres dan pasca soal infrastruktur, dialokasikan misalnya untuk mendidik masyarakat, misalnya pendidikan masyarakat dari infrastruktur jadi aktivitas non infrastruktur. Dan penguasaan lahan sudah mengalami perubahan luar biasa dan yang disalahkan bukan dana desa tapi pentingnya proteksi negara atas sumber daya desa.

Aset desa mestinya dikembalikan pada desa. Tapi ini tergantung komitmen negara untuk melakukan perlindungan itu. Pemikiran strukturalis lama itu harus kita akui dalam sejarah lama. Tapi, pemilihan kepala desa sekarang ini, misalnya yang kaya itu, itu kita lihat habisnya miliaran, kan mencontoh pilkada. Apakah ini hubungannya dengan dana desa, ya enggak dong.

FFI: Singkatnya, berarti dari 6 atau 7 tahun pelaksanaan dana desa ini, ada enggak sih perubahan transformasi yang tadi Bung Ari bilang? Yang struktural ya. Sejauh ini ada enggak konkretnya perubahan itu, atau sama saja strukturnya timpang terus?

AS: Kalau kuasa politik itu dipahami tidak hanya sekadar tanah, formasi sosial desa akibat politisasi desa melalui UU Desa telah mengubah formasi itu. Dan seolah-olah hanya seperti dulu, enggak juga. Bahwa masih ada penguasaan-penguasaan kepala desa, para juragan itu, ada. Kayak misalnya soal tembakau. Ya enggak mungkin kasus tembakau, beberapa tempat di desa, diserahkan pada soal dana desa. Tapi bahwa instrumen membekali mereka untuk tahu perlunya kita mewujudkan keadilan, ya itu terjadi.

Beberapa kasus yang kami gambarkan, terjadi pergeseran formasi sosial, iya. Tapi bahwa pemerintah harus me-reform regulasinya supaya beban yang dialami oleh desa bisa dipecahkan sebagian oleh dana desa, tapi sebagian yang lain harus butuh intervensi-intervensi lain yang terutama yang membuat ketergantungan itu tidak semakin tinggi, contohnya tadi soal pangan, soal reforma agraria itu tugas negara. Nah bongkar itu perspektifnya negara untuk mendorong keadilan agraria. Kalau keadilan agraria dihubungkan dengan dana desa, enggak fair.

FFI: Saya berhenti di pernyataan Bung Ari tadi ada perubahan formasi sosial. Saya ingin bertanya ke Bung Habibi, apakah benar ada perubahan formasi sosial seperti yang Bung Ari bilang? Karena dari riset yang Bung Habibi dan Bung Ari lakukan sepertinya ada perbedaan.

Nanti dari bung Habibi saya akan ke Bung Ari untuk closing statement secara singkat dan nanti saya akan ke Bung Habibi untuk closing statement juga.

MH: Sebaiknya kita perlu membedakan antara formasi kelas sosial dengan formasi generasi. Mas Ari menyebut banyak kepala desa dari generasi muda dan Mas Ari menganggapnya sebagai perubahan formasi sosial. Kalau dari riset saya, lagi-lagi, generasi sosial yang dimaksud generasi baru ini, ya, sebenarnya mereka dari formasi lama. Mereka ini anaknya kepala desa di satu wilayah, di Solo atau Semarang atau di Jogja. Begitu lulus kuliah, nyalon dari kades didukung penuh oleh bapaknya yang punya tanah 1,1 ha dan itu bapaknya, ya, petani kapitalis tadi. Dengan modal itu dia bisa jadi kepala desa.

Saya kira kurang produktif kalau kita men-judge pendekatan orang, ekonomi politik yang dianggap klasik, lama, padahal ini di jurnal-jurnal internasional masih sangat banyak dipakai untuk menjelaskan apa yang terjadi hari ini di perdesaan. Itu ada jurnal Peasant Studies, Agrarian Change, yang impact factor-nya tinggi-tinggi semua. Kalau itu dianggap tidak laku lagi, gimana? Di tingkat global masih sangat dipakai.

AS: Bukan itu, asumsimu itu.. (memotong pembicaraan)

FFI: Sebentar, Bung Habibi selesaikan dulu, ya, nanti kan Bung Ari ada gilirannya.

AS: (tetap bicara)

FFI: Bung Habibi dulu selesaikan nanti Bung Ari lagi, ya.

MH: Sekarang kita lihat saja, di jurnal-jurnal yang saya sebut tadi, ada itu pendekatan ekopol yang saya gunakan. Dengan mudah kawan-kawan bisa menilai apakah pendekatan yang saya gunakan ini pendekatan lama atau memang pendekatan kontemporer–yang karena Bung Ari enggak setuju kemudian memberi labelnya sebagai pendekatan lama. Saya kira tidak produktif untuk perdebatan ini.

FFI: Iya betul.

MH: Jadi bagi saya, formasi sosialnya tidak ada yang berubah. Yang berubah ya generasinya berubah, orang-orang lebih muda, tapi dari keluarga yang sudah berkuasa di situ. Anak-anak kepala desa yang sudah berkuliah kembali ke sana jadi kepala desa, sekdes, kaur, karena orang yang enggak punya enggak mungkin bisa kuliah ke Jogja, Solo, atau Semarang.

FFI: Berarti formasi kelasnya tetap sama ya Bung Habibi?

MH: Iya.


FFI: Pertanyaan terakhir untuk kedua narasumber: Kalau begitu, kalau jawabannya tidak berhenti di dana desa, apa dong hal yang bisa mendorong perubahan sosial di desa? Singkat saja karena waktunya sudah mau habis. Dari Bung Ari dulu nanti baru ke Bung Habibi. Silakan closing statement.

AS: Jadi gini, variasi ekopol, pendekatan-pendekatan ekopol, itu banyak variasi. formasi yang kau bayangkan itu formasi dari pandangan yang dulu. Pandangan ekopol misalnya kita katakan bahwa penguasaan teknologi dan pengetahuan itu penting. Pandangan-pandangan baru yang melihat bahwa para priayi baru di desa itu tidak lagi seperti dulu zamannya Geertz. Saya pelajari itu. Yang mau saya katakan, bahwa penting melihat potret data secara realistis. Kalau orang berasumsi semua lurah itu apakah anak lurah, itu kalau ada temuan beberapa? Kalau kita lihat faktanya sekarang, terjadi pergeseran luar biasa. Itu rata-rata lurah-lurah baru.

Bahwa apakah ini bukan pandangan ekopol, terjadi pertarungan baru bahwa memengaruhi orang itu dengan inisiatif baru. Memperoleh dukungan tidak semata-mata karena dia anaknya lurah, itu enggak juga, itu asumsi. Bahwa dulu berlaku, iya.

Pertanyaannya adalah, apakah kelompok-kelompok baru ini tidak menjadi bagian dari kelompok-kelompok lama? Sebagian iya. Makanya saya katakan, ini kan diskusinya soal dana desa. Apakah dana desa itu bisa mengubah secara totalitas? tidak totalitas. Tetapi dana desa telah mendorong tumbuhnya politik anggaran dan demokratisasi di dalam perencanaan, itu iya. Tapi memberi beban dalam lima tahun mengubah karena dana desa itu kenaifan.

Saya menggunakan pendekatan ekopol dalam artian bahwa yang dialami desa ini adalah rantai dari ketidakadilan. Contoh konkretnya adalah kegagalan Indonesia untuk bargaining pada kelompok-kelompok neoliberal. Itu punya dampak, pada desa. Ini ekopol. Cara baca ekopol itu beragam dan perspektifnya ada gradasi, tidak hitam putih. Teknologi penting untuk mendorong demokratisasi. Teknologi akan menjadi alat dan ini berproses, terjadi artikulasi dan deartikulasi.

Tantangan kita menurut saya adalah reformasi di level kementerian untuk melihat cara pandang ini. Kalau desa diberi beban berlebihan untuk mengubah ketimpangan kelas itu terlalu naif. bahwa ada anak-anak muda mulai banyak membuat inisiatif, itu relevan. Dorongan demokratisasi membuat [warga] desa sekarang tahu ini anggaran untuk siapa, resource ini milik siapa, sudah mulai tahu dan salah satu kata kuncinya adalah bagaimana membuat rakyat terdidik secara politik agar mereka tahu anggaran.

Dana desa jangan terjebak pada administrasi keuangan tapi harus menjadi politik anggaran.

FFI: Oke terima kasih Bung Ari. Silahkan Bung Habibi, masih pertanyaan yang sama dan sekalian closing statement. Karena keterbatasan waktu, dimohon singkat juga, ya.

MH: Jadi saya akan mulai dengan, bahwa tentu saja saya enggak akan bertanya apakah dana desa bisa mengubah, mentransformasi kelas di desa atau tidak. Karena jawabannya sudah jelas bagi saya, yaitu tidak. Dan kalau Mas Ari bisa tadi berargumen bahwa itu akan bertahap, nah ini yang justru, paling tidak dari temuan saya, menunjukkan sebaliknya. Karena problemnya justru dana desa itu memperparah ketimpangan. Jadi bukan sekadar melanggengkan ketimpangan.

Kok bisa? karena dana desa yang bisa dimanfaatkan hanya oleh kelas penguasa tadi. Mereka bisa mengakumulasi dari situ, memperoleh manfaat terbesar dari situ. Mereka memperoleh uang lebih banyak misalnya dengan menjadi pembicara dengan adanya studi banding, kemudian dia bisa mengakumulasi.

Jadi bukan sekadar apakah dana desa ini bisa mengubah formasi kelas atau tidak, karena sudah pasti tidak. Tetapi, justru kita ingin mengatakan bahwa dana desa itu memperparah ketimpangan. Dan kalau memperparah ketimpangan, saya khawatir ke depannya makin sulit untuk memperbaiki kondisi orang-orang terlemah di perdesaan. Karena bagi mereka yang tidak manfaat dari dana desa, mereka akan makin terpinggirkan dan tereksklusi dari pembangunan di desa.

Bagi saya, upaya pembangunan di perdesaan harus selalu berdasarkan pada upaya untuk mengintervensi ketimpangan di perdesaan terlebih dahulu. Jadi bukan dengan mengasumsikan bahwa ketimpangan itu akan bisa dikurangi atau tidak dengan adanya suatu program, tapi sejak awal harus menarget ketimpangan ekonomi terutama karena itu akan menjalar pada ketimpangan politik dan akan menjalar pada ketimpangan siapa mendapatkan apa dari proses pembangunan itu.

Dan itu salah satunya bisa jadi program-program seperti land reform. Reforma agraria barangkali lebih memadai daripada program penggelontoran dana ke desa yang manfaatnya itu hanya dinikmati oleh segelintir orang di desa. Terima kasih.

FFI: Oke terima kasih. Jadi prioritasnya soal ketimpangan, dan ini ada dua pandangan yang berbeda, ya. Menarik sekali.

Terima kasih atas kehadiran dan waktu luang dari Bung Ari dan Bung habibi. Sampai ketemu lagi di Forum IndoProgress berikutnya.

Terima kasih.***

 

]]>
Kerja-Kerja yang Kabur dalam Kapitalisme https://indoprogress.com/2022/02/kerja-kerja-yang-kabur-dalam-kapitalisme/ Thu, 03 Feb 2022 09:50:17 +0000 https://indoprogress.com/?p=236594

Ilustrasi: Illustruth


PROGRAM magang mahasiswa dalam Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM) mendapat sorotan. Ekspolitasi terselubung atas nama “pengalaman” dan “bagian dari pendidikan” menjadi pangkal soalnya. Kelindan erat rezim komersialiasi pendidikan dan link and match antara dunia pendidikan dan industri (yang tak jelas-jelas amat blueprint-nya) menjadi konteks dari program keluaran Kementerian Pendidikan tersebut.

Selain itu, praktik program magang ini pun tak lepas dari konteks eksploitasi dalam kapitalisme. Dalam hal ini, kapitalisme telah memisahkan secara ketat sekaligus mengaburkan batasan kerja produktif dan reproduktif, yang hingga kini juga masih menjadi pedebatan di dunia akademik. Pengaburan-pengaburan kerja ini bisa juga dilihat pada apa yang dialami ribuan mahasiswa di Indonesia yang saat ini tergabung dalam program magang di bawah Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM).

Untuk mencari tahu lebih jauh soal ini, Joan Aurelia dari IndoPROGRESS TV (IPTV), berbincang-bincang dengan Dhia ul-Uyun, dosen Fakultas Hukum Universitas Brawijaya dan Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademis (KIKA) dan F. Fildzah Izzati, peneliti di Pusat Penelitian Politik BRIN dan editor IndoProgress. Naskah wawancara ini ditranskrip dan telah dipadatkan. Berikut petikannya.


Joan Aurelia (JA): Menurut kalian, definisi kerja itu apa?

Fildzah Izzati (FFI): Definisi kerja sendiri banyak banget, ya. Tapi, karena kita hidup di bawah sistem ekonomi politik kapitalisme, tentu yang dianggap kerja, yang di-value sebagai kerja oleh kapitalis adalah kerja-kerja yang bersifat “produktif”. Kerja-kerja produktif ini biasanya diasosiasikan dengan pekerjaan laki-laki. Sementara kerja-kerja yang dianggap tidak memberikan kontribusi langsung terhadap ekonomi biasanya bersifat reproduktif dan diasosiasikan sebagai pekerjaan perempuan.

Dari pemisahan kerja yang ketat di dalam kapitalisme mengenai kerja produktif dan reproduktif ini, kemudian timbul banyak problem. Banyak scholar feminis yang telah menganalisis hal tersebut. Pemisahan kerja produktif dan reproduktif di dalam kapitalisme ini kemudian mengubah hidup masyarakat dan terutama kehidupan perempuan, sebagai pihak yang paling banyak terkena dampak dari pemisahan ketat kedua jenis kerja.


JA: Kalau menurut Dhia?

Dhia ul-Uyun (DU): Karena ini soal kerja, saya coba ambil dari background saya di fakultas hukum. Ketika kita bicara tentang kerja, maka itu terkait dengan jasa dan barang. Jadi, kerja itu adalah soal memproduksi barang, jasa, beserta timbal baliknya, yaitu upah. Tapi, dalam konteks yang lebih umum, kerja itu adalah melakukan sesuatu. Apapun yang kita lakukan adalah kerja. Tinggal kita memaknainya dalam dunia apa.

JA: Fildzah, tadi kan sempat dibahas soal kerja produktif dan reproduktif. Mungkin sekarang bisa dibahas lebih detail lagi.

FFI: Sekarang, kita bicara dulu apa yang dimaksud sebagai kerja produktif dan reproduktif itu sendiri. Di dalam sistem kapitalisme, kerja-kerja produktif adalah kerja-kerja yang menghasilkan nilai lebih (surplus value), memberikan kontribusi bagi peningkatan akumulasi di dalam sistem kapitalisme. Sementara itu, kerja-kerja yang tidak dianggap memberikan kontribusi secara langsung bagi ekonomi itu dianggap sebagai kerja-kerja yang tidak bersifat produktif.

Dalam perkembangannya, seiring perubahan-perubahan misalnya di dalam rezim pasar tenaga kerja, sektor kerja produktif juga justru sebenarnya sangat diuntungkan oleh keberadaan konstruksi sosial yang patriarkal di tengah masyarakat. Dalam hal ini, kerja-kerja produktif pada akhirnya cenderung memilih perempuan untuk terlibat di dalamnya. Kenapa? Karena perempuan dianggap sebagai pekerja yang bisa memberikan potensi ekonomi yang lebih karena beberapa hal, yang nanti kita bahas.

Kerja-kerja reproduktif seperti merawat, memelihara yang membuat tenaga kerja di bidang produktif agar bisa melangsungkan kehidupannya, sering dianggap sebagai kerja-kerja pinggiran. Padahal posisinya sangat sentral di dalam akumulasi kapital. Kerja-kerja reproduktif ini hampir selalu diasosiasikan dengan kerja-kerja perempuan karena dalam sejarahnya, kerja-kerja untuk bertahan hidup atau subsisten, ditanggung oleh perempuan, dan itu terus berlangsung. Hari ini, pemisahan kerja produktif dan reproduktif pun berkembang menjadi semakin kabur karena kerja-kerja reproduktif pada akhirnya juga menyatu ke dalam kerja-kerja yang produktif. Jadi, di satu sisi ada pemisahan yang ketat dan di sisi lain, ada juga pengaburan di dalam pemisahan itu dalam konteks untuk kepentingan akumulasi.

JA: Tadi dijelaskan bahwa kerja-kerja produktif lebih banyak melibatkan perempuan. Sebelum kita masuk ke ranah mahasiswa dan kerja-kerja magang, kapan sih perempuan mulai masuk ke kerja-kerja produktif itu dan kemudian apa yang membuat demand itu terus berkembang dan akhirnya mengaburkan batasan antara kerja produktif dan reproduktif?

FFI: Pertama, sebetulnya banyak kerja perempuan yang memberikan kontribusi langsung terhadap ekonomi itu dianggap sebagai bukan kerja yang produktif. Jadi, ada kerja-kerja yang dilupakan oleh kapitalisme dan dianggap sebagai kerja-kerja yang pinggiran. Ambil contoh, kerja-kerja di bidang agrikultur, atau pekerjaan-pekerjaan yang terinformalisasi, yang tidak terlalu dianggap penting di dalam perhitungan ekonomi. Padahal, sebetulnya kerja-kerja itu berkontribusi langsung terhadap ekonomi. Banyak perempuan yang terlibat di dalamnya.

Kedua, secara umum, sejak tahun 1970an, tingkat partisipasi perempuan di dalam pasar tenaga kerja secara global lebih rendah dibanding laki-laki. Akan tetapi, tingkat partisipasi tersebut terus meningkat hingga saat ini. Ini karena ada faktor feminisasi kerja di dalam kapitalisme yang memanfaatkan nilai-nilai patriarkal untuk merekrut perempuan, misalnya perempuan itu dianggap punya “jari-jari yang lentik”, “cekatan”, “perempuan itu docile”, “gampang diatur”, “penurut”, dll. sehingga kelas kapitalis cenderung merekrut perempuan karena dianggap dapat lebih mudah diatur untuk peningkatan surplus value.

Di sisi lain, sejak kapan sih perempuan itu jadi seolah-olah terjebak di dalam mekanisme itu? Karena memang ada keterdesakan ekonomi juga di dalam kehidupan perempuan. Seiring dengan berkembangnya neoliberalisme, misalnya, di mana social protection sudah semakin tidak ada lagi, perempuan tidak memiliki pilihan selain terlibat dalam pasar tenaga kerja. Jadi, di satu sisi ada nilai-nilai patriarkal yang menguntungkan kapitalisme, dan di sisi lain juga ada kebutuhan ekonomi dari perempuan yang memaksa mereka untuk terlibat di dalam kerja yang bersifat produktif tadi, yang menghasilkan pemasukan (income) untuk perempuan.

Sementara itu, untuk kerja-kerja reproduktif yang lebih banyak di sisi unpaid work, seperti misalnya kerja-kerja di dalam rumah tangga (kerja-kerja domestik), seiring dengan berjalannya neoliberalisme, semakin banyak perempuan yang tidak bisa mengakses itu dengan bebas (misalnya mengakses daycare, dll). Jadi, mau tidak mau perempuan tidak punya pilihan selain menjalankan kerja-kerja reproduktif itu.

Ketiga, bagaimana kerja produktif dan reproduktif bisa kabur. Ada satu tulisan dari seorang scholar feminis, Alessandra Mezzadri, yang menganalisis bagaimana pada akhirnya kerja-kerja reproduktif menyatu di dalam kerja-kerja produktif.Dia mencontohkan bagaimana mess atau bedeng atau asrama buruh (di tempat kerja) bisa mengaburkan batasan mana kerja produktif dan reproduktif. Di sisi lain, ada juga debat tentang bagaimana nilai (value) di dalam kerja reproduktif dapat dilihat sehingga bisa menentukan apakah kerja reproduktif ini sentral, dan se-penting apa reproduksi sosial ini sehingga perlu dikembalikan ke dalam posisinya (yang sentral tadi).

Pertanyaan berikutnya apakah betul kerja reproduktif itu tidak memiliki nilai (value)? Dan ada juga pertanyaan apakah kerja reproduktif itu merupakan kerja produktif juga? Jadi ada macam-macam debat yang perlu kita lihat.

Contoh yang paling gamblang di Indonesia bisa dilihat dalam mekanisme kerja putting-out-system di mana mesin-mesin pabrik dipindahkan ke rumah-rumah buruh karena anggapan bahwa lokus buruh perempuan itu, ya, di rumah untuk mengerjakan tugas-tugas reproduksi sosial tak berbayar. Sistem ini merugikan perempuan karena semua mesin dipindahkan ke rumah buruh perempuan sehingga semua risiko kerja yang harusnya ditanggung pihak perusahaan/pabrik, jadi ditanggung oleh buruh. Selain itu, jam kerja juga menjadi kabur; mana yang reproduktif dan produktif sudah tidak kelihatan lagi. Dalihnya, perempuan sudah kerja “sebisanya” saja sembari mengurus rumah tangga. Padahal, kenyataannya mereka bekerja dari pagi sampai sore dan pekerjaan rumah atau kerja-kerja domestik pun jadi tidak terurus. Selain itu, upah yang mereka terima pun tidak sama karena mereka tidak dianggap seperti bekerja di pabrik secara langsung. Pekerjaan mereka kadang dianggap sebagai pekerjaan “tambah-tambah” saja.

Contoh lainnya, di home-based labour. Misalnya di pabrik boneka, banyak pekerjaan misalnya menambahkan manik-manik itu dioutsource-kan, dikerjakan di rumah-rumah buruh perempuan, dan kemudian pekerjaan itu dianggap sebagai pekerjaan tambahan iseng-iseng karena dikerjakan di luar pabrik.


JA: Oke, sekarang saya berangkat dari contoh kasus. Saya baca di Project Multatuli, mereka bikin serial naskah soal magang. Naskah terbaru (tulisan Ann Putri) menceritakan soal mahasiswa magang. Nah, saya jadi ingat yang tadi Fildzah bilang, ini bukan hanya jadi kabur tapi kaburnya juga sudah kacau. Nah, bagaimana pendapat Dhia soal program magang mahasiswa ini?

DU: Sejak awal diluncurkan, “Kampus Merdeka” sudah menimbulkan masalah karena banyak pergeseran dalam tata kelola universitas yang mengarah ke komersialisasi pendidikan. Pendidikan yang mestinya semangatnya itu education for all, kini jadi eksklusif. Jadi, orang yang diakui pendidikannya adalah yang bisa menghasilkan uang atau meraih jabatan-jabatan. Akhirnya pendidikan turun tingkat, padahal pendidikan sendiri tidak memiliki fungsi ke arah seperti itu.

Hal ini terjadi di seluruh tingkatan di universitas, bagaimana relasi antar dosen, bagaimana dosen mengarahkan mahasiswanya, bagaimana mahasiswanya, manajemen universitasnya, bagaimana komposisi pengambil kebijakan di dalam universitas. Contohnya kita lihat misalnya, bagaimana dosen rangkap jabatan komisaris di UI yang kemudian menimbulkan masalah. Ketika ada aksi demonstrasi oleh mahasiswa) respon dari rektor jadi berlebihan, seperti terlihat dalam aksi kritik “Jokowi lip service”.

Kemudian, ada situasi-situasi bargaining dalam universitas dalam pemberian gelar honoris causa. Terjadi obral dalam pemberian gelar honoris causa, obral gelar profesor. Sementara mahasiswa misalnya, harus berkeringat sekali untuk meraih gelar sarjana. Bagiamana orang yang sebetulnya tidak layak menerima gelar-gelar akademik menjadi dapat menerima gelar-gelar akademik tidak lain karena adanya komersialisasi ini.

Di sisi lain, kemampuan berpikir kreatif dan kritis mahasiswa semakin tergerus karena mereka hanya)diarahkan nanti harus kerja dengan sistem yang sudah ditentukan dan ditanamkan pada diri mahasiswa sebagai sistem yang ideal. Dengan kata lain, program ini cukup sukses mengurangi sikap kritis mahasiswa terhadap apa yang terjadi di lingkungan sekitar mereka, karena laporan MBKM ini sangat banyak secara administratif dan sangat birokratis.

JA: MBKM ini bagian dari komersialisasi pendidikan ya. Tapi, apa ada mekanisme yang bisa menahan itu

DU: Secara umum, kreativitas itu dilindungi. Ada di UU (tentang kebebasan akademik). Tapi, pada kenyataannya, mahasiswa tidak mungkin kritis ketika dijejali banyak pekerjaan administratif—yang juga menjerat para dosen. Kerja-kerja administratif ini juga terjadi hampir di semua tingkatan kampus sehingga semua jengah.

Dalam program MBKM ini, mahasiswa harus bertanggung jawab selain pada kampus dan tempat magang. Belum lagi kalau tempat magangnya tidak mengetahui bahwa mahasiswa yang magang tersebut masih berkuliah, dll. Akhirnya si mahasiswa magang diberikan beban-beban kerja yang tidak seharusnya.

Mengenai ada tidak proses secara sistemik? Sebetulnya sudah ada, tapi kebanyakan juga tidak didengar. Itu yang jadi masalah. Kritik tentang Badan Hukum Pendidikan (BHP) sudah luar biasa banyak, tapi sekarang juga masih tetap berlangsung.


JA: Apa tidak ada yang bisa tetap menjaga pendidikan pada martabatnya?

FFI: Kalau kita lihat sejarahnya, Indonesia sudah memulai komersialisasi pendidikan jauh sebelum BHP disahkan. Dulu, awal tahun 2000an, ada BHMN, kemudian beranjak jadi ada RUU BHP yang merupakan (bagian dari) Structural Adjustment Programs (SAPs) dan kemudian RUU BHP disahkan menjadi UU pada 17 Desember 2008. Setelah mendapat penolakan yang luas, UU BHP pun dibatalkan oleh MK tahun 2010.

Nama boleh berganti, tapi sistem tidak berubah. UU hanya alat. Jadi, setelah UU BHP dibatalkan, mereka membuat lagi UU dengan nafas yang sama, yakni UU Dikti. Sebetulnya kita ada di rezim komersialisasi pendidikan sejak 2000an awal itu tadi.

Soal mengapa dan bagaimana kita tidak beranjak dari situasi tersebut, saya jadi ingat kemenangan gerakan kiri di Cile baru-baru ini, Pada 2011, mereka juga menolak komersialisasi pendidikan besar-besaran di sana. Sekarang Boric, salah satu aktivis yang melawan saat itu, jadi presiden di Cile. Bikin iri, ya. Kemudian kabinetnya juga diisi tokoh-tokoh yang menolak komersialisasi pendidikan di sana. Pertanyaannya, kenapa kita tidak bisa seperti itu? Jawabannya banyak, ya. Selain ketiadaan partai ideologis seperti di Chile, dan adanya “link and match” antara pendidikan dan industri (yang tidak jelas juga arahnya ke mana), orientasi pendidikan pun berakhir menjadi mesin profit saja, tanpa melihat aspek-aspek lainnya.


JA: Dari sisi perlindungan hukum untuk mahasiswa?

DU: Terima kasih Fildzah udah mengingatkan. UU BHP memang kacau sekali. Kalau universitas dapat BHP, mestinya ia sudah mandiri, sudah lepas dari pemerintah. Tapi, ternyata dana serapannya lebih besar ketika jadi BHP dan jumlah UKT-nya lebih banyak. Siapa yang menyedot keuntungan?

Perlindungan sebenarnya ada dalam UU, tapi sebagai warga negara. Untuk proses magang sendiri bisa dibilang tidak ada. UU 39 tahun 1999 sifatnya deklaratif sehingga tidak ada sanksi terhadap pelanggaran. Jadi, kalau bicara sudah diatur atau belum, ya diatur. Tapi di Indonesia, penerapan pengaturan, itu selalu terkait dengan pengaturan-pengaturan teknis dan itu yang tidak ada.

Sekarang, kita baru move on dari luring ke daring, itu saja masih beradaptasi. Kemudian ada MBKM, dan perubahan dari kuliah yang biasa dengan kuliah dengan melibatkan banyak universitas. Itu semua masih adaptasi dan pola-pola pengawasan kontrol itu tidak berjalan juga. Kontrolnya mau diberikan kepada siapa? Dosen? Sementara dosen sudah dipusingkan dengan banyak pekerjaan adminstrasi sehingga tidak mungkin mengontrol mahasiswa satu per satu. Itu sekilas carut marut yang tidak dipertimbangkan dalam proses pengambilan kebijakan. Soal UKT, misalnya, lebih urgent mana menurunkan UKT atau memberikan laptop? Ternyata menteri memilih laptop. Padahal banyak sekali mahasiswa yang tidak berkuliah karena tidak dapat membayar UKT, bahkan banyak yang mengambil cuti karena itu. Kemudian, mengenai MBKM, MBKM juga menyedot dana dari mahasiswa.

JA: Jadi apa yang bisa dilakukan ya? karena programnya juga terus berlanjut, apa yang bisa dilakukan untuk melindungi?

DU: Yang bisa dilakukan adalah memperkuat mahasiswa agar mereka bisa memilih dan memberikan alternatif lainnya (di luar program MBKM). Tapi, kebanyakan mahasiswa datang dengan ketidaktahuan. Jadi, mereka baru tahu mengenai program magang setelah merasakan magang itu sendiri di mana banyak dari mereka merasakan dampak-dampak yang tidak terprediksi sebelumnya. Tidak perlindungan sama sekali. Seperti kasus yang terjadi di Universitas Lambung Mangkurat yang menyasar korban pada saat proses magang. Universitas tidak bisa mengatakan bahwa mereka tidak tahu karena bagaimanapun proses magang harus dilakukan dengan kontrol dan pengawasan dari kampus.


JA: Sekarang kita balik lagi ke soal kerja secara umum, mendasar. Fildzah, kenapa kerja reproduktif diidentikkan dengan perempuan?

FFI: Kalau ditelusuri, kerja reproduktif seperti kerja-kerja unpaid work yang ada di rumah tangga (mengurus anak, mengurus rumah, dll) memang selalu diasosiasikan sebagai pekerjaan perempuan. Itu ada sejarahnya. Sebelum kapitalisme ada, kebanyakan pekerjaan dilakukan untuk subsistensi. Dan di masa feodal itu, pemisahan kerja produktif dan reproduktif juga tidak seketat di zaman kapitalisme. Di era kapitalisme, pemisahan kerja produktif dan reproduktif jadi semakin ketat, terpisah, dan dianggap sebagai pekerjaan perempuan, karena nilai-nilai patriarkal yang dilanggengkan di dalam masyarakat.

Selain itu, dalam kapitalisme, kerja-kerja yang dianggap sebagai kerja-kerja yang sepele, terberi, sudah natural utk perempuan—padahal sebetulnya tidak seperti itu—dianggap sebagai kerja pinggiran padahal sentral perannya dalam kapitalisme.

Kemudian, berkaitan dengan kerja magang yang dialami mahasiswa dan pelajar, sebetulnya ada irisan, ya. Kerja magang seringkali dianggap sebagai bukan sebuah kerja yang “sungguhan” karena dianggap tidak memberikan kontribusi langsung bagi ekonomi dan kita bisa lihat masalah muncul dari sana. Pelajar dan mahasiswa yang magang seringkali dieksploitasi tanpa diberitahu bahwa mereka itu sedang bekerja seperti pekerja lainnya (yang ada di tempat kerja tersebut).

Saya beri contoh, banyak para pelajar atau mahasiswa yang magang di sebuah kantor melakukan kerja-kerja (yang sama dengan pekerja) tapi tidak mendapatkan hak yang sama seperti para pekerja lainnya. Mereka tidak mendapatkan upah dan jaminan-jaminan pekerjaan yang lain. Kenapa? Salah satu faktornya adalah karena kerja magang tidak dianggap kerja karena dianggap bagian dari pendidikan. Banyak mahasiswa atau pelajar, misalnya di sektor perhotelan, mengalami hal seperti ini. Mereka magang di hotel-hotel. Pekerjaannya sama dengan para pekerja di hotel tapi tidak dibayar seperti yang seharusnya, dengan dalih “bagian dari pendidikan” tadi.

Apa yang bisa dilakukan untuk melindungi mereka? Saya pikir harus melibatkan ada MoU yang aktif antara institusi pendidikan dan tempat kerja. Jadi harus ada kesepakatan yang jelas sehingga kedua tempat ini harus melindungi mahasiswa dan pelajar yang magang. Saya sendiri belum tahu ini apakah ada peraturan seperti ini?

DU: Ada kasus itu Fildzah. Ada pelajar SMK yang bekerja di tempat hiburan keluarga dan mereka dipaksa (dengan kekerasan) untuk bekerja dan mereka tidak dibayar. Padahal, di UUK 13/2003 itu jelas indikator mengenai kapan seseorang dianggap bekerja, kemudian ketika bekerja mereka berhak mendapatkan hak-hak sebagai pekerja, termasuk hak untuk memilih pekerjaan, mendapatkan upah.

Kemudian, di lingkungan (institusi) pemerintahan, malah lebih banyak mahasiswa yang bekerja daripada pegawai. Akhirnya, eksploitasi yang terjadi dan itulah yang buruk dari sistem kerja magang: tanpa job description yang jelas dan di fase ini sangat rawan sekali institusi-institusi yang ada melakukan perbudakan atau melakukan proses pembiaran ketika terjadi. Selain itu, (proses magang) ini juga membuat mahasiswa yang mestinya belajar tentang keilmuan, menjadi lebih mem-value hal-hal yang punya nilai ekonomis. Itu akan menurunkan masyarakat kita jadi komersil sekali.

Soal regulasi, ada di UUK 13/2003 dan ada juga konvensi ILO, pekerja laki-laki dan perempuan itu seharusnya mendapatkan upah yang sama. Kalau dari yang Fildzah sampaikan tadi, ternyata perempuan dan laki-laki upahnya tidak sama. Belum lagi kalau mereka difable, dll. kondisimya bisa semakin buruk. Kebanyakan dari mereka masuk dalam kelompok yang tidak punya bargaining, mereka tidak dapat menerima keuntungan dalam proses tersebut.

Menurut saya kok MoU seperti itu tidak dapat mencegah, ya, karena program-program semacam ini kan sudah ‘cacat’ sejak lahir. Mau dibuat turunan yang baik pun, kalau aturan payungnya sudah buruk, ya, tetap saja buruk.

FFI: Tapi mungkin saya pikir begini. Ini kan fenomenanya sudah terjadi. Setidaknya, sembari mengatasi problem strukturalnya, mungkin bisa dibuat MoU antara kampus dan tempat magangnya. Sepertinya itu yang paling mungkin. Sementara kita mengusahakan mengubah akarnya, kenapa tidak mengatasi dulu fenomena yang sudah terjadi dengan MoU-MoU dulu.

DU: Kita berandai-andai, ya bisa. Kalau pun demikian—dibuat MoU—semoga posisinya setara antara kampus dan perusahaan. Kalau tidak setara, otomatis tidak akan masuk pasal perlindungan itu. Mungkin MoU bisa jadi salah satu cara untuk melindungi dan mungkin pengawasan juga bisa dilakukan. Pengawasan ini penting karena kalau tidak ada kontrol dari pihak lain yang independen, mungkin sekali eksploitasi terhadap para mahasiswa yang magang akan terjadi.


JA: Pertanyaan terakhir, seperti apa kita bisa merumuskan kerja yang adil di sini?

FFI: Sebelum menjawab itu, menarik sekali ya perbincangan mengenai kerja magang dan link and match pendidikan dan dunia kerja ini karena sampai sekarang saya sendiri belum menemui sinergi antara Kemendikbud dan Kemenaker ini dalam mengatasi persoalan ini. Sepertinya tidak ada ya?

DU: Iya sepertinya tidak, karena ini programnya Kemendikbud. Kemendikbud dan Kemenaker saling lempar.

FFI: Padahal sebetulnya mereka bersinergi ya.

JA: Karena banyak permasalahan oleh pemerintah itu dianggapnya sektoral saja, tidak mau diselesaikan bersama-sama, kan jadi bingung, ya.

FFI: Iya, padahal saling terkait ya.

DU: Iya, tidak ada itu misalnya ada masalah kemudian berbagai kementerian saling merapat untuk menyelesaikan permasalahan itu. Kalau di institusi pemerintahan, tidak ada surat tugas, tidak ada tupoksi, maka mereka tidak mau mengerjakan.

JA: Iya makanya mungkin butuh aturan turunan, tapi ternyata problematis juga, ya.

FFI: Iya, jadi saling terkait tapi saling lempar. Tapi, di sisi lain, kita bisa lihat bahwa sebetulnya ada paradoks. Di Omnibus Law, misalnya, berbagai macam peraturan bisa disatukan. Jadi di satu sisi, untuk hal-hal yang penting, berbagai kementerian ini saling lempar tanggung jawab, tidak mau saling bersinergi. Tapi, kalau urusan yang menguntungkan kepentingan akumulasi kapital, bisa ya jadi bersatu—di.Omnibus Law tadi misalnya. Ini paradoks yang semakin menampakkan wajah asli dari kapitalisme.

Kembali lagi ke pertanyaan Joan mengenai definisi kerja yang adil, menurut saya, kerja yang adil itu adalah kerja ideal yang tidak ada di bawah kapitalisme. Seperti kata Marx “From each according to their ability, for each according to their needs”. Itu yang ideal, yang tidak mungkin ada di bawah kapitalisme dan harus kita terus perjuangkan, karena di masa depan sangat mungkin ada kerja seperti itu.

Tapi, sembari menuju yang ideal tadi, kalau ditanya mengenai kerja yang adil, saya sendiri melihatnya sebagai kerja yang demokratis. Dalam arti ada demokratisasi kerja di mana sebetulnya pemisahan kerja yang ketat (antara kerja produktif dan reproduktif) tidak merugikan the vast majority, dalam hal ini terutama perempuan dan kaum yang termarjinalisasi. Jadi kerja-kerja yang adil itu adalah kerja-kerja yang tentu saja yang tidak eksploitatif, memanusiakan manusia, atau kerja-kerja yang tidak membuat the vast majority ini terdehumanisasi. Di bawah kapitalisme saat ini, bisa dikatakan bahwa tidak ada kerja yang adil, yang bisa dijadikan contoh.

Salah satu bentuk demokratisasi kerja yang tadi saya singgung adalah ketika perempuan, misalnya, bisa terlepas dari konstruksi mana yang merupakan “kerja perempuan” dan mana yang bukan. Terkait itu, banyak sekali scholar—ini juga debat yang cukup klasik juga—yang berdebat mengenai apakah pasar tenaga kerja yang produktif akan membebaskan perempuan, atau sebetulnya apa pun bisa membebaskan asalkan mereka bisa memilih dengan kehendak bebas mereka.

Saya sendiri setuju dengan pendapat beberapa feminis Marxis bahwa kerja yang membebaskan itu adalah kerja-kerja yang menghapuskan fungsi tradisional ibu rumah tangga (housewives) di dalam kapitalisme. Kenapa? Karena, misalnya, ada ide tentang “kerja reprodusi sosial ditanggung jawabkan secara sosial ke dalam komunitas/masyarakat”, pada akhirnya yang akan dirugikan ya perempuan juga. Tetap perempuan yang akan menjadi penanggung jawab (atas kerja-kerja tersebut) di dalam komunitas. Jadi bisa dibilang, demokratisasi kerja itu kuncinya. Gampangnya itu.

JA: Kalau Dhia gimana?

DU: Dalam bahasa yang lain, sebenarnya saya berpikir bahwa kerja yang adil itu ada ketika pemimpinnya adil. Dalam arti, pemimpin di tempat kerja berani mengambil sikap atas apa yang menjadi keinginan para pekerjanya. Saya ingat tulisan Marx, yang kemudian saya dalami, bahwa melihat kebutuhan individu pekerja itu penting. Apa yang dibutuhkan masing-masing kelompok bisa jadi sangat berbeda dengan kelompok lainnya. Ada yang butuh upah yang lebih tinggi, ada yang butuh kenyamanan, dll. Dalam sistem kerja, yang perlu dibangun itu adalah bargaining position pekerja dan itu bisa ditingkatkan melalui serikat pekerja agar menimbulkan kesetaraan yang pastinya membuat nyaman para pihak.

Selain itu, setahu saya, dalam analisis risiko, ketika buruh merasa perusahaan itu adalah rumah mereka, maka mereka akan bekerja dengan lebih baik dibanding kalau tidak, akan lebih terpaksa.

JA: Karena kita bahasannya lagi soal kerja, mahasiswa dan magang, bagaimana Dhia memandang ini agar kondisi kerja bisa lebih baik untuk mahasiswa?

DU: Sebenarnya mereka harus tahu hak-haknya, ya, sehingga bisa punya bargaining. Selain itu, perlu juga ada MoU dari stakeholders yang menjelaskan hak dan kewajiban masing-masing. Kemudian, saya ingat para buruh migran diberikan buku yang berisi nomor darurat dan barangkali itu juga perlu diberlakukan oleh Kementerian Pendidikan kita (untuk para mahasiswa magang). Banyak universitas yang mahasiswa-mahasiswanya itu bingung dengan output dari MBKM ini tapi mereka tidak dibebaskan untuk mengetahui apa yang akan mereka dapatkan, hak mereka apa, termasuk mengenai perlindungan bagi mereka.

JA: Sedih, ya. Kapitalisme mengaburkan segalanya.

FFI: Iya dan kalau kita bahas tentang magang ini sebetulnya kan akarnya udah salah. Kenapa? karena para mahasiswa pada akhirnya tidak diberikan kesempatan untuk melihat kenyataan sosial dari sudut pandang lain yang sesuai dengan tujuan pendidikan. Yang dilihat sebatas realitas dunia kerja yang kapitalistik saja.

Kemudian, kapitalisme memang mengaburkan kerja-kerja dan salah satu yang tercermin di dalam kerja magang pelajar/mahasiswa ini, kerja-kerja yang dilakukan oleh pelajar/mahasiswa seringkali tidak dianggap sebagai kerja alih-alih hanya dianggap sebagai pengalaman, bagian dari pendidikan, sehingga jadi pembenaran untuk memanfaatkan tenaga kerja mereka dengan tidak dibayar.

Saya tekankan lagi, kerja-kerja yang sifatnya reproduktif seringkali dianggap bukan pekerjaan. Di dunia industri kreatif, mislanya, pekerjaan mendesain, seringkali dianggap bukan sebagai pekerjaan, karena “Ah, cuma pakai aplikasi di komputer”, “gampang”, dll. Kemudian, kalau dari riset saya, misalnya, pekerjaan (admin) sosial media, seringkali dianggap bukan pekerjaan karena “Ah, itu kan main Instagram aja”, “iseng-iseng aja” atau dianggap “Ah, itu kerjaan tambahan aja” sehingga pekerjaan ini semakin kabur. Chat, memelihara hubungan dengan customer dianggap “kegiatan iseng-iseng” saja, padahal itu pekerjaan juga. Kemudian, di institusi pemerintahan, sebagaimana yang telah disinggung Dhia, harus diakui itu terjadi.


JA: Kira-kira kita harus kasih batasan yang kayak gimana Dhia?

DU: Batasannya itu sebenarnya jelas, merujuk di UUK 13/2003, antara kurikulum kerja magang dan pendidikan. Selain itu, harus jelas pekerjaan yang dimagangkan, kewajiban-kewajiban dan arenanya juga. Kemudian, ketika batasan-batasan itu dilaksanakan, harus ada monitoring proses kerja magang sesuai dengan yang diharapkan. Saat ini, universitas-universitas masih pusing sekali dengan pengawasan kerja magang ini dan dari proses itu belum terlihat output dari mahasiswa setelah melakukan kegiatan magang, sehingga belum bisa dikaji sejauh mana dampaknya bagi proses pendidikan mahasiswa. Itu yang saya belum lihat dari proses kerja magang ala MBKM ini. Mungkin karena baru setengah tahun ini berjalan.

JA: Tapi katanya bakal diterusin, kan?

DU: Iya pemerintah optimis sekali sepertinya, ya, karena akan banyak tenaga kerja yang terserap. Padahal, bukan masalah tenaga kerja yang terserap itu yang utama tapi bagaimana mahasiswa bisa menciptakan pekerjaan mereka sendiri. Kondisinya, kita bersaing dengan negara-negara lainnya di tengah globalisasi. Ketika bicara tenaga kerja Indonesia, pada akhirnya, kita selalu bicara tentang tenaga kerja yang menerima dipekerjakan kapan pun dan diberhentikan kapanpun. Dengan kata lain, sebagai tenaga kerja murah. Apalagi dengan adanya Omnibus Law, ini bisa semakin parah, semakin tidak ada lagi perlindungan.

JA: Kasarnya, program ini dibuat untuk men-supply tenaga kerja murah?

DU: Iya, tapi itu harus dibuktikan dengan riset dulu, ya. Tapi, arahnya ke sana, bahwa program magang ini tidak murni untuk meningkatkan kemampuan seseorang, apalagi ada di dalam semester-semester tengah ke akhir. Jadi, otomatis yang terekam itu pengalaman-pengalaman di semester-semester yang terakhir. Nilai-nilai yang diperoleh selama magang itu yang menghancurkan yang ideal yang ada di dalam pendidikan.

JA: Fildzah mau menambahkan?

FFI: Sebetulnya sebelum ada kebijakan MBKM ini, praktik kerja magang mahasiswa dan pelajar sudah berlangsung. Jadi, bisa dikatakan, kebijakan MBKM ini hanya melegalisasi saja. Apakah arahnya untuk menciptakan tenaga-tenaga kerja murah? Kita bisa klaim itu benar karena kalau kita lihat, praktik magang di level pendidikan yang menengah pun arahnya ke sana. Memang perlu dibuktikan lebih lanjut untuk program MBKM ini karena baru berjalan setengah tahun. Tapi, untuk praktik magang di kalangan mahasiswa dan pelajar yang sudah berlangsung sejak lama, arahnya memang untuk membiasakan jadi tenaga kerja yang murah tadi. Karena, apa ada pendidikan khusus yang membekali mahasiswa, misalnya, tentang hak-hak sebagai pekerja? Tidak ada kan? Dulu di UI tidak ada, kecuali di mata kuliah tertentu yang tidak semua mahasiswa pula diberi pengetahuan tentang hak-hak sebagai pekerja. Jadi, sementara orientasi pendidikan mengarahkan mahasiswa dan pelajar untuk jadi pekerja, tapi pengetahuan tentang hak-hak sebagai pekerja tidak diberikan. Ada paradoks, ada kontradiksi-kontradiksi di dalamnya.

JA: Terimakasih banyak Dhia dan Fildzah atas waktunya di IndoProgress. Teman-teman, demikian wawancara Forum IndoPROGRESS TV kali ini, semoga bermanfaat. Saya Joan Aurelia, sampai ketemu di program IndoPROGRESS TV selanjutnya.***

 

 

]]>
Kaum Progresif Harus Punya Agenda Reformasi Kepolisian https://indoprogress.com/2022/01/kaum-progresif-harus-punya-agenda-reformasi-kepolisian/ Thu, 27 Jan 2022 06:44:57 +0000 https://indoprogress.com/?p=236568

Ilustrasi: Jonpey


PADA awal Oktober 2021 lalu, media sosial diramaikan oleh viralnya #percumalaporpolisi. Tagar itu kemudian memantik banyak kisah soal kinerja buruk polisi terutama dalam menangani aduan dari masyarakat. Sejak itu, hampir setiap hari muncul berita soal kekerasan yang dilakukan polisi. Ada polisi yang membunuh dan menyiksa sesama polisi, polisi memperkosa warga sipil, polisi melakukan penangkapan sewenang-wenang, hingga polisi memeriksa barang pribadi warga sipil.

Viralnya #percumalaporpolisi berujung pada pesimisme dan aktivisme akut pada lembaga kepolisian. Kita makin bertanya-tanya, apakah kinerja lembaga kepolisian yang semestinya menjaga dan melayani kepentingan publik bisa diperbaiki?

Untuk mencari tahu lebih jauh soal ini, Joan Aurelia dari IndoPROGRESS TV (IPTV), berbincang-bincang dengan Hizkia Yosie Polimpung, peneliti isu keamanan (Associate Chair Puskamnas Universitas Bhayangkara, Jakarta) dan Muhammad Ridha, mahasiswa PhD Ilmu Politik di Northwestren University, Chicago, AS. Berikut petikannya:


Joan Aurelia (JA): Menurut kalian, kenapa kinerja kepolisian sedemikian buruk di masa sekarang ini?

Hizkia Yosie Polimpung (HYP): Kita harus clear dulu, yah. Pertama, kinerja polisi buruk diukur dari mana? Dan kedua, kita mesti tahu juga Polri, seperti juga dosen, mahasiswa, buruh, dan petani itu tidak satu. Poinnya itu. Jadi, polisi huru-hara punya divisi sendiri. Ada Sabhara, ada Brimob, ada Intel, Lantas, Reskrim, belum lagi Reskrimsus dan seterusnya. Jadi, kecenderungan kita menilai sebuah lembaga, saya kira, sedikit banyak terpengaruh oleh viralitas. Pada saat ada satu fenomena muncul ke permukaan langsung kita generalisir menjadi kinerja Polri buruk hanya karena satu, dua, tiga kasus. Poinnya, pertanyaan saya lebih ke ukurannya sih.

JA: Kalau, kita batasi dulu pada kejadian belakangan ini, dari kasus Luwuk Timur yang viral dan kasus-kasus setelahnya yang memicu pemberitaan-pemberitaan lain terkait polisi, bagaimana Anda melihatya?

HYP: Nah, ini poin pertama yang perlu kita lihat. Kalau kita isolir oknum atau personel tertentu, apa yang dilakukan oknum tidak akan lepas dari sebuah aransemen yang lebih besar. Ada problem sistemik dalam kepolisian sendiri. Di sini saya harus bikin jarak, saya bukan ahli soal kepolisian. Kajian saya keamanan, lebih tepatnya strategi keamanan. Jadi, saya akan melihat persoalan-persoalan kepolisian dari perspektif keamanan. Kalau ditanya hukum atau institusinya, saya tidak menguasai.

Nah, kalau kita lihat polisi, kita tidak bisa lepas dari isu praetrorianisme Dunia Ketiga, yaitu bagaimana kultur militerisme itu masih ada di tubuh Polri. Jadi, bagaimanapun Polri menampakkan wajahnya yang kelihatannya lucu dan ramah, itu upaya mereka membaur menjadi sama dengan masyarakat. Tapi, tidak bisa kita lepaskan bahwa pembentukan kultur di kepolisian itu masih erat kaitanya dengan kultur militerisme yang umumnya terjadi di Dunia Ketiga. Itulah sebabnya kenapa disebut praetrorian. Praetorianisme itu gampangnya begini: negara-negara pascakolonial atau negara Dunia Ketiga menempuh kemerdekaan dengan jalan militer. Orang yang tadinya ”membebaskan” negaranya dari penjajah merasa bahwa mereka lebih memiliki andil ketimbang pihak sipil. Jadi, kita bisa melihat bagaimana militer masuk menyeruak ke dunia politik itu karena mereka ini merasa memiliki tanggung jawab untuk menjaga kemerdekaan.

Seiring reformasi sektor keamanan yang sampai hari ini masih debatable, sudah selesai atau belum, kita harus lihat bahwa upaya memprofesionalkan sektor keamanan itu juga bukannya tanpa masalah. Masalahnya banyak, mulai dari masalah bisnisnya, masalah politik, campur tangan kekuasaan dan seterusnya, yang intinya membuat sektor keamanan ini tidak profesional. Nah, pada saat Polri dipisah dari militer, dari Tentara Nasional Indonesia (TNI), kultur militerisme ini masih ada di dalam Polri. Sehingga mungkin sikap-sikap yang kita lihat hari ini, yang tampak arogan dan seterusnya itu, bisa terjelaskan karena mereka merasa lebih berhak atas negara yang mereka perjuangkan dengan menumpahkan darah. Sementara sipil, di mata mereka, cuma baca buku, nulis puisi, cuma bikin film dan seterusnya. Jadi, pskologi itu juga yang perlu kita pertimbangkan sehingga kalau kita mau melakukan reformasi akan kinerja Polri, kita tidak bisa melepaskan atau menutup mata dengan sejarah panjang kultur yang sudah masak di sistem kepolisian itu sendiri.


JA: Kalau menurut Bung Ridha, kenapa kinerja kepolisian bisa sedemikian buruk di masa sekarang yang, katanya, demokrasinya semakin terbuka dan partisipasi publik semakin meluas?

Muhammad Ridha (MR): Mungkin saya punya perspektif berbeda dari pernyataan Bung Yosie di sini. Menurut saya, struktur ekonomi politik itu menjadi unsur yang penting untuk diperhatikan lebih jauh. Kita harus membuang ilusi bahwa Kepolisian Republik Indonesia adalah suatu bentuk kepolisian yang bisa kita bangun profesional, mengayomi, melindungi masyarakat dan lain-lain. Karena secara struktur politik dan ekonomi, polisi sejarahnya muncul sebagai bagian dari instrumen politik kelas berkuasa. Karena kelas kapitalis adalah kelas yang berkuasa, maka polisi tentu digunakan untuk melindungi kepentingan mereka. Menurut saya, secara garis besar posisi struktural ini yang perlu diperhatikan.

Namun, kita juga perlu melihat bahwa—dan ini juga dikemukakan Bung Yosie—perihal pentingnya melihat polisi terkait dinamika struktural yang lebih luas. Walau saya sepakat bahwa polisi adalah instrumen kelas, dalam hal ini kelas kapitalis, tapi politik kelas itu dinamis. Kelas kapitalis, karena posisinya adalah kelas bekuasa, selalu memiliki kerentanan dan selalu mengalami, dalam bahasa marxisnya, perjuangan kelas. Jadi, tidak heran kalau kita lihat, walaupun kepolisian di mana-mana sifatnya sama, tapi ada variasi tentang bagaimana instrumentalisasi ini digunakan kelas berkuasa. Dalam arti ada institusi kepolisian yang sangat represif atau praetrorian—kalau pakai bahasa Bung Yosie. Tapi, di sisi lain, kita bisa menemukan, dalam konteks masyarakat tertentu, polisinya tidak terlalu represif. Di sini menjadi penting untuk memahami dinamika perjuangan kelas atau dinamika keseimbangan kekuatan sosial yang ada di masyarakat.


Penanganan demonstrasi tolak Omnibus Law. Sumber: Kompas

Penanganan demonstrasi tolak Omnibus Law. Sumber: Kompas


Nah, kembali ke pertanyaan mengenai problem performa kepolisian yang tidak sesuai harapan. Bagi saya, pertama-tama, justru kita jangan berharap polisi punya kepentingan internal, kepentingan retoris dan yang lain. Tapi kita berharap peranannya dapat diubah dalam batas tertentu—dalam arti sejauh mana kekuatan represif dari kepolisian itu bisa dikurangi. Karena sangat penting mendorong agar kepolisian tidak lagi menjadi sebatas kekuatan instrumen dari kelas berkuasa. Dan dalam konteks itu, perlu sekali meningkatkan kapasitas keterorganisiran kelas-kelas tertindas. Kenapa saya bilang itu penting? Kita belajar dari sejarah, kita ambil contoh di Jerman, Swedia, bahkan di Belanda, yang bisa dikatakan sanggup mengurangi jumlah personel kepolisiannya karena relasi antara kekuatan yang marjinal dan yang dominan atau kelas kapitalis relatif seimbang. Kelas marjinal, seperti kalangan buruh, menjadi bagian penting dari politik negara di sana. Ketika mereka menjadi bagian dari politik negara, maka tidak ada kepentingan bagi negara secara keseluruhan untuk mempertahankan kapasitas represif dari polisi.

Poin saya di sini, kinerja kepolisian yang buruk adalah buah dari absennya kekuatan oposisi dari politik negara yang biasa diisi oleh kelas-kelas tertindas, oleh kelas-kelas yang tidak mempunyai kepentingan akumulasi kapital. Kenapa ini penting? Karena ini menjadi prasyarat juga bagi reformasi kepolisian. Dalam studi reformasi kepolisian di Amerika Latin, salah satu prasyarat yang negara seperti Argentina atau Kolombia bisa mendorong institusi kepolisian menjadi lebih reformis, cenderung kurang represif dan juga akuntabel dihadapan publik, adalah keberadaan oposisi sosial yang berasal dari kelas-kelas sosial yang disingkirkan oleh sistem itu sendiri. Dalam konteks Kolumbia dan Argentina, oposisi sosial itu berasal dari kelas menengah terdidik yang tidak mendapat tempat di dalam sistem, dan dari kaum buruh tentu saja, juga kalangan petani yang sering kali mendapat represi dari negara.

Jadi, kinerja buruk Polri ini adalah buah dari relasi sosial di Indonesia yang memang tidak memberikan ruang bagi keterorganisiran oposisi masyarakat. Bagi saya, dan di sini mungkin saya setuju dengan posisi Bung Yosie, kita perlu melihat kepolisian bukan sebagai satu entitas militer absolut yang tunggal. Kalau dilihat fungsi-fungsi represifnya, polisi kita sangat efektif. Kalau Joan melihat bagaimana mereka bisa melakukan represi terhadap mobilisasi masyarakat pada tahun 2020 yang menentang UU Cipta Kerja (Omnibus Law), polisi bekerja sangat efisien dan efektif kala meredam perlawanan massa. Tapi mereka tidak efektif dan efisien ketika melayani kepentingan publik, untuk memastikan kasus diselesaikan secara adil, pelaku kejahatan bisa ditangkap dengan segera, dsb. Kalau kita baca secara struktural, itu karena fungsi dia memang bukan ke arah itu (melayani kepentingan publik). Jadi kalaupun kita mau ngomong tentang reformasi kepolisian, yang penting adalah kita perlu meruntuhkan dulu asumsi-asumsi bahwa polisi adalah suatu bentuk institusi yang profesional yang akan mengayomi masyarakat.


JA: Kembali ke Bung Yosie. Kalau menurut Anda, reformasi seperti apa yang dibutuhkan untuk menyelesaikan masalah yang sistemik di Kepolisian ini?

HYP: Sependapat dengan apa yang disampaikan Ridha bahwa perlu ada oposisi dari kelompok-kelompok yang bisa memberi tekanan ke polisi. Nah, kita kurang di situ, sangat kurang. Saya dan teman-teman yang mengkaji studi keamanan, kita kayak kesepian gitu, karena [mengkaji] polisi dan TNI itu sudah langsung dianggap jelek, intel dan seterusnya. Sehingga teman-teman yang bisa berpikir kritis itu enggak masuk ke dalam ranah studi ini.

Jadi, apa yang dimaksud kelompok oposisi dan seterusnya? Walaupun saya sepakat sama argumen Ridha tapi saya sampai pada poin ini dengan trajektori yang berbeda, bahwa masih penting melihat polisi bisa profesional dan harus profesional. Dengan profesionalitas bukan mengurangi represi (tolong ini digaris bawahi), tapi yang lebih diperlukan adalah bagaimana mengontrol dan mengendalikan represi ini secara demokratis. Kalau kita baca tulisan Antonio Negri atau Giorgio Agamben dan seterusnya, rahasia sovereignty (kedaulatan) itu bukan di law (hukum) tapi di polisi. Dan karena polisi adalah yang menjaga kedaulatan, maka ia dipandang harus tetap ada. Maka, kalau mau menganalisis negara, analisislah polisinya. Artinya apa? Dia ujung tombak dalam menjaga kedaulatan negara. Balik ke persoalan demokrasi tadi, pada saat ujung tombak ini tidak bisa kita masuki dia akan dikuasai oleh kekuatan yang menguasai negara, kelas-kelas yang menguasai negara. Jadi, pertanyaan kemudian ketika kita ”mengarahkan” politik kelas, class action, dan seterusnya ke negara—dari perspektif keamanan kritis, ini useless (percuma).

Kenapa? Karena itu tadi, yang menjaganya tidak disentuh sama sekali. Sementara kita tidak punya orang-orang yang berpikir kritis yang bisa meletakkan analisis kelas, misalkan materialisme historis, untuk bisa membedakan pistol dengan senjata laras panjang atau laras pendek dengan milimeter tertentu dari balistiknya. Ketika analisis seperti ini absen, maka sektor keamanan di bagian ini akan cenderung melihat komunitas akademik sebagai pihak yang enggak paham dengan yang mereka kerjakan. Karena enggak paham, ngapain diajak ngobrol? Kalau ini yang terjadi, pertanyaannya ngajak ngobrol siapa? Tentu saja ngajak ngobrol mereka-mereka yang mendanai, mereka-mereka yang meloloskan anggaran, yakni DPR. Jadi, profesionalisme itu bagi saya beriringan dengan demokrasi, demokratisasi polisi. Demokratisasi bukan dalam artian liberal bahwa semua orang boleh jadi polisi, bahwa semua orang bisa mengambil tindakan-tindakan pemolisian macam ormas-ormas tertentu. Bukan itu. Kalau kita gunakan konsep Weber, polisi yang demokratis itu tetap memiliki monopoli kekuasaan, tapi monopoli kekuasaan itu harus tetap di bawah kontrol demokratik.

Agar polisi bisa profesional, maka harus ada yang menjaga. Masalahnya, orang yang menjaga ini mundur semua. Pada saat semuanya mundur, maka tidak ada lagi sarjana-sarjana yang bisa memberikan pandangan-pandangan kritis. Yang ada adalah sarjana-sarjana mapan dan bukan dari masyarakat sipil. Ya, okelah mereka mengaku dari masyarakat sipil tapi apa kepentingan masyarakat sipil atau bahkan kepentingan kelas pekerja yang mereka perjuangkan?

Kembali lagi poinnya apa yang harus dilakukan? Menurut saya intelektual organik mungkin tidak hanya masuk ke dalam sistem, tapi bisa berbicara dengan bahasa mereka, dengan bahasa keamanan, dengan bahasa-bahasa teknokratik bahkan bahasa-bahasa yang sangat teknikal, pada saat kita bicara analisis ancaman. Pokoknya, semua bahasa-bahasa itu harus kita obrolin, harus kita diskusikan, dan pada saat kita bicara seperti itu, apa yang bisa kita pengaruhi? Ancaman selalu merupakan persepsi tentang ancaman. Ini sebagai contoh: katakanlah guru dipersepsikan sebagai ancaman, maka guru jadi ancaman. Pada saat guru menjadi ancaman, polisi akan bertindak. Namun, mereka akan bertindak sebagai tool. Dan tool seperti ini akan tetap dibutuhkan.

Dalam rezim berbeda, polisi yang sangat represif tetap dibutuhkan untuk menghalau orang-orang yang menghalangi, merintangi, atau menyakiti kepentingan rakyat pekerja. Jadi, kepentingan polisi untuk profesional sebenarnya tidak universal. Kalau kesempatan ini kita buang, saya kira kita akan kehilangan momen.

Ini kan sama ketika dokter-dokter dipandang tidak profesional hanya karena dokter adalah manifestasi dari kapitalisme perusahaan farmasi. Riset-riset biotek didanai oleh kepentingan kapitalis seperti Elon Musk, misalnya. Kalau kita biarkan dokter enggak profesional, man, this is dangerous.

Logika yang sama ini perlu kita terapkan pada saat kita bicara dengan aparat-aparat keamanan. Mungkin terlihat mustahil, mungkin terlihat susah, tapi itu bukan sesuatu yang mustahil untuk diperjuangkan. Kalau saya berkaca pada pengalaman saya di dalam sistem atau di dalam komunitas ini, enggak semustahil itu diubah. Yang penting ada orang yang terlibat untuk membicarakan ini, tapi tidak secara normatif. Pembicaraannya harus teknikal-teknokratik. Nah, komunitas sarjana keamanan seperti ini, hari hari ini sangat minim, terutama kalau saya lihat di kalangan teman-teman progresif.


JA: Bung Ridha ada komentar dari apa yang disampaikan Yosie tadi?

MR: Ada beberapa poin. Pertama, saya sepakat dengan Yosie di sini soal klarifikasi ketika saya berbicara tentang represifitas. Saya bicara represi berdasarkan kelas. Jadi, saya salah satu orang yang tidak percaya bahwa ada represi punya nilai dalam dirinya sendiri. Represi selalu merupakan representasi dari kepentingan sosial tertentu, dan posisi kelas sangat menentukan untuk menjelaskan kenapa represi ini digunakan seperti itu. Ketika saya bicara represi, pada dasarnya itu adalah sinonim dari kepentingan kelas kapitalis yang sedang diejawantahkan. Sehingga ketika kita bicara tentang profesionalisme polisi, bayangan saya adalah kita bicara satu entitas kepolisian yang diharapkan berlaku tidak mewakili kepentingan sosial tertentu. Kalau dalam bahasanya Hegel, ia menjadi kekuatan universal melampaui kepentingan sosial tertentu. Sayangnya secara historis itu enggak mungkin. Bahkan di kasus negara-negara yang kepolisiannya sudah sangat reformis, seperti di Jerman atau di Swedia, kepolisian tetap bermasalah khususnya ketika berhadapan dengan kasus-kasus yang melibatkan imigran dan kelompok minoritas lainnya. Jadi, saya masih tetap melihat bahwa aspirasi tentang profesionalisme polisi harus kita tinggalkan.

Tapi, ini poin kedua yang saya setuju, kita harus punya agenda kepolisian sendiri. Dan di sini saya melihat Yosie spot on (akurat) terkait absennya agenda kepolisian versi kelas tertindas di Indonesia. Karena ketika kita sudah mengkritik bahwa kepolisian itu adalah instrumen kelas dengan represinya, kan bukan berarti problemya hilang dengan sendirinya. Kita harus punya jawaban tentang bagaimana situasi ini bisa direformasi.

Di sinilah saya melihat bahwa agenda reform menjadi penting untuk dibawa oleh kelas tertindas seperti kaum buruh dan kelompok progresif lainnya. Sebab, seperti dibilang Yosie, profesionalisme polisi ini enggak mungkin bisa dilakukan dengan menggunakan retorika profesionalisme semata, karena substansi utamanya bukan di sana. Subtansi utamanya adalah mengurangi represifitas kelas kapitalis yang membatasi aktivitas pengorganisiran kelas tertindas. Jadi, ketika saya bilang less repressive, yang saya maksud adalah kekuatan polisi yang enggak bisa merepresi aktivitas kebebasan dan keteroganisasian rakyat tertindas atau masyarakat secara luas. Misalnya, ketika demo kita harus pastikan bahwa demo yang dilakukan oleh kaum buruh bisa berlangsung secara aman tanpa ada ancaman represif.

Kalau kita bilang bahwa polisi enggak boleh represif untuk membawa agenda kelas yang dominan, itu juga berimplikasi bahwa dia juga bisa digunakan untuk kepentingan kelas tertindas. Dalam arti kalau kita mau, katakanlah, mendorong ada peningkatan pajak maka kita harus punya kekuatan koersi yang mumpuni agar bisa memaksa orang kuat seperti Elon Musk supaya membayar pajak sebagaimana dihendaki oleh negara. Itu adalah posisi yang, tentu saja, bagian dari agenda politik reformasi yang harusnya diperjuangkan oleh kelas tertindas.

Tetapi aktivitas ini hanya bisa dipenuhi kalau politik yang berlaku secara keseluruhan di negara dipengaruhi oleh kelas tertindas itu sendiri. Jadi, ketika saya bicara represi, saya memang secara sengaja mengontekstualisasikannya dalam kerangka represi di bawah kepentingan kelas kapitalis. Di sinilah letak perbedaan antara saya dengan dengan Yosie.

Tapi saya setuju dengan Yosie tentang perlunya engagement progresif terkait agenda reformasi kepolisian dan titik berangkatnya harus dimulai dengan menghilangkan argumentasi mengenai profesionalisme. Tapi, buat saya, prinsip utamanya adalah membangun kapasitas keteroganisiran rakyat tertindas atau kelas pekerja yang nantinya berperan sebagai social opposition untuk mendorong agenda reformasi kepolisian agar bisa membantu perjuangan kelas menjadi lebih maju.


JA: Dari penjelasan kalian tadi, apa sebenarnya yang membuat intelektual progresif absen dan luput memikirkan soal reformasi polisi ini?

HJP: Itu kecenderungan aktivis atau intelektual progresif di Indonesia. Ini dugaan awam saja, ya. Ada anggapan seolah peace itu sesuatu yang morally good, sementara violence adalah sesuatu yang yang morally bad. Sehingga kita langsung antipati kepada hal-hal yang berkaitan dengan violence. Marx menyebutnya beautiful soul, jiwa-jiwa cantik, yang merasa dunia ini kotor, sementara dia bersih, tidak mau terlibat dengan dunia yang kotor, sehingga dia mencaci-maki habis dunia kotor itu.

Jadi, balik lagi ke persoalan kenapa banyak intelektual progresif tidak masuk ke dalam sistem. Di sini saya harus clear, ketika saya ngomong intelektual progresif yang saya maksud adalah intelektual yang secara sadar dan yang mengaku secara verbal di publik bahwa dia, karya-karyanya, kajian-kajianya adalah untuk memperjuangkan kepentingan kelas pekerja. Intelektual progresif di Indonesia masih mengasosiasikan violence sebagai hal yang secara moral—ini perlu digaris bawahi, bukan secara objektif—buruk. Padahal dari awal violence itu morally neutral secara objektif. Persoalan siapa yang menggunakan kekerasan itulah yang menjadi kontestasi politik.


Polisi Indonesia dalam kekerasan pasca-referendum Timor Leste 1999. Sumber: easttimorgenocide.weebly.com


MR: Merujuk literatur klasik seperti Thomas Hobbes, violence itu sebenarnya public goods untuk mencegah konflik antar-manusia. Makanya harus ada yang mengontrol violence dan kontrol diperlukan untuk untuk memastikan bahwa masyarakat bisa berjalan. Saya juga setuju dengan Yosie bahwa banya kalangan progresif Indonesia melihat violence sebagai sesuatu yang sangat moralistik; karena ada kekerasan maka dengan sendirinya kekerasan itu salah. Bagi saya, dalam posisi sebagai intelektual yang menjadi bagian dari perjuangan kelas, violence sangat diperlukan.

Saya kasih ilustrasi si Elon Musk tadi. Gimana caranya kita bisa memaksa Elon Musk bayar pajak tinggi kalau dia sendiri enggak takut sama negara? Caranya kita harus punya sarana violence dan kapasitas koersi yang kuat. Itu hanya bisa dilakukan kalau kita punya skema security yang sesuai dengan kepentingan kelas pekerja.

Nah, jadi kalau mau dijawab mengapa intelektual progresif kita cenderung apatis sama agenda reformasi keamanan, karena mereka enggak melihat pentingnya politik negara yang violent ini untuk keperluan kelas. Mereka menganggap perjuangan kelas itu terjadi ujug-ujug muncul karena ada struktur kelas, orang miskin banyak, terus kemudian orang miskin sadar, dan mereka nantinya bisa bertempur melawan orang-orang kaya. Padahal semua hal itu hanya ada artinya kalau dimediasi oleh politik negara. Nah, kalau misalnya negaranya sangat represif, orang-orang miskin seperti kaum buruh, kaum tani dll pasti akan kesulitan untuk mengorganisir perlawanan. Bikin spanduk digebukin. Mau jalan ditembak polisi. Itu menunjukkan bahwa perlawanan, mobilisasi, keterorganisiran itu juga ditentukan oleh politik negara yang violent ini.

Makanya, kalau kita mau sukses mendorong agenda perjuangan kelas, penting untuk mengubah pola relasi violence yang ada di negara. Salah satu caranya adalah kita pahami dulu apa posisi struktural institusi kekerasan seperti kepolisian dalam skema masyarakat yang sekarang didominasi oleh kapitalisme. Dari sana kemudian kita bisa melihat kira-kira peluang-peluang apa saja yang bisa didorong agar ada reformasi yang dalam tahapan tertentu bisa berguna untuk mendorong pengorganisiran kelas tertindas.

Jadi, kalau secara umum ditanya kenapa kalangan progresif tidak mau masuk ke urusan reformasi kepolisian, ya karena mereka menganggap itu enggak ada gunanya buat perjuangan mereka.


JA: Oke, masih untuk Bung Ridha, apakah reformasi institusi kepolisian ini cukup untuk menjawab tuntutan perbaikan kinerja polisi seperti yang Anda bilang tadi itu, terutama di tengah struktur sosial ekonomi kita yang kebijakannya neoliberal? Bisa dijelaskan pakai contoh?

MR: Begini, ketika saya beragumen bahwa reformasi kepolisian itu penting, saya enggak mencoba untuk menawarkannya dalam skema yang biasa, seperti misalnya yang ditawarkan oleh Yosie tentang profesionalisme. Saya melihatnya dalam skema sejauh mana reformasi ini bisa memberikan ruang demokratis yang lebih luas bagi pengorganisiran rakyat tertindas, dalam artian, ia terkait dengan demokrasi yang lebih luas. Jadi, skema ini harus bisa memastikan bahwa setiap orang diperbolehkan untuk menyampaikan pendapatnya sendiri tanpa harus takut ada kekerasan yang akan menimpanya karena ada kepolisian yang menjamin kebebasan berekspresinya itu. Atau juga ketika ia mau melakukan aktivitas perlawanan dalam skema yang legal seperti mogok, mereka tidak harus takut bahwa polisi akan masuk dan menindas mereka.

Jadi, bagi saya yang penting adalah reformasi spesifik untuk menjamin aktivitas demokratis rakyat tertindas, karena kalau kita ambil tuntutan reformasi yang lebih luas, justru kita kehilangan fokus di sana.

Jadi, ketika saya ngomong reformasi kepolisian maka saya melihat ini sebagai kesempatan untuk bisa membangun kapasitas politik penekan dari bawah tersebut. Kalau ditanya apakah itu mencukupi? Tentu tidak mencukupi, tapi itu necessary step yang harus diambil sekarang. Bagi saya, di situlah gerakan progresif seperti gerakan buruh, gerakan tani, gerakan nelayan bisa ikut serta karena mereka juga punya kepentingan agar organisasi mereka tidak direpresi oleh negara. Kalau ditanya skema besarnya seperti apa, saya enggak punya jawaban. Tapi yang harus dilakukan sekarang ini adalah membangun oposisi sosial dan itu hanya bisa lakukan kalau kapasitas represi yang dipegang polisi hari ini bisa dikurangi. Itulah menurut saya yang perlu menjadi bagian dari agenda reformasi yang harus segera dibangun.

JA: Adakah yang seperti itu di negara-negara lain?

MR: Argentina mengalami demokratisasi ketika militernya turun dari kekuasaan. Kebetulan demokratisasi membuka ruang politik untuk masyarakat sipil dan itu membuat mereka relatif punya posisi lebih kuat terhadap aparatus-aparatus negara yang saat itu mengalami disintegrasi karena perubahan politik. Salah satunya kepolisian, karena kepolisian saat itu, seperti yang dibilang Yosie, menjadi bagian dari militer. Masyarakat sipil punya kesempatan untuk memengaruhi institusi kepolisian dan itu yang akhirnya menjadi kesempatan mereka untuk mereformasi institusi kepolisian. Jadi prasyarat utamanya adalah kekuatan dari bawah ini. Itu yang harus dibangun dulu.

Reformasi kepolisian kita harus menyasar itu. Kalau enggak ada itu (kekuatan dari bawah—ed.), saya enggak terlalu yakin kita bisa bangun agenda dan skema yang lebih besar, yang lebih ambisius.


JA: Kalau dilihat dari pengalaman di beberapa negara, perbaikan kinerja polisi mensyaratkan gerakan akar rumput, misalnya aksi-aksi di BLM (Black Lives Matter). Apa yang harus dilakukan rakyat untuk mengoreksi kepolisian?

HYP: Disclaimer: saya tidak sedang mengoreksi kepolisian karena itu bukan kajian saya. Saya jawab dengan common sense. Saya tidak menentang ide bahwa harus ada gerakan dari bawah, tapi saya kurang optimistis dengan gerakan dari bawah, khususnya hari ini. Profesionalitas penting. Tapi profesionalitas dalam artian mungkin enggak sih kinerja Polri atau kinerja sektor keamanan ini dikritisi oleh orang-orang yang secara hukum dimandatkan untuk mengawasi itu. Sehingga, pertanyaannya: mandat hukum itu turunnya ke siapa? Apakah turun ke akademisi, apakah juga turun ke masyarakat sipil. Inilah yang harus kita pertanyakan. Keterlibatan-keterlibatan elemen masyarakat sipil ini dibutuhkan juga. Menariknya, ini pengalaman pribadi saya, sebenarnya banyak anggota personil keamanan ini yang gerah dengan politik. Tapi mereka tidak kuasa saat atasan-atasannya berpolitik.

Jadi, ada dorongan untuk melakukan reformasi, bahwa mereka sadar bahwa ini adalah untuk keamanan—not necessarily kepentingan penguasa. Kesadaran itu ada walaupun enggak merata. Tapi poinnya adalah kita punya peluang untuk menegakkan kepolisian yang sifatnya akuntabel. Akuntabel dalam artian kita menyepakati rule of law. Menyepakati aturan-aturan atau standar-standar penggunaan kekerasan, pelibatan rule of engagement.

MR: Secara prinsip saya tidak ada problem dengan perlunya engagement (keterlibatan), terlebih jika ada ruang-ruang yang sudah disediakan oleh kekuasaan. Cuma keterlibatan itu kan mensyaratkan power dan power itu bisa dibuat, bisa dibentuk, dengan prasyarat ada perubahan relasi politik negara terkait monopoli kekerasan. Kalau kekerasannya yang terjadi selama ini relatif represif terhadap agenda kelas tertindas, maka itu yang harus diubah dulu pertama kali.

Jadi, enggak ada soal dengan engagement, tapi saya akan mempermasalahkan langkah-langkah apa yang bisa memastikan bahwa engagement yang dilakukan itu meaningful. Jangan sampai kemudian kita sudah engage lalu yang dilakukan adalah—karena enggak punya kuasa—cuma jadi stempel. Dan ini sudah jadi problem: ketika orang-orang masuk ke dalam selalu dituduh “Ah, lu cuma jadi stempel.” Ya karena mereka tidak mempresentasikan kekuatan sosial tertentu.

Nah, di sinilah kemudian saya melihat prioritas utama adalah building the power. Pembangunan kekuasaan itu bisa dilakukan kalau kita bisa mengubah hubungan dalam kekerasan negara.

Problemnya, bahkan untuk building power kita butuh agenda reformasi kepolisian. Dan di sini saya sepakat sama Yosie: enggak ada orang progresif yang ngomongin reformasi kepolisian versinya sendiri. Kebanyakan pihak bereaksi lebih karena sering kena pentung polisi. Ini pengalaman yang sangat empiris untuk bilang bahwa negara itu najis, kepolisian itu najis. Implikasinya, karena pengalaman kayak begitu, pandangan tentang kekerasan kepolisian dan negara jadi moralistik.

Saya juga punya pengalaman kena gas air mata dan pernah kena pentung polisi, tapi saya melihat bahwa kita harus membuang cara pandang yang moralistik seperti itu. Kalau kita ingin memajukan gerakan, kita juga harus bisa punya agenda reformis terkait kekerasan negara ini.

JA: Seberapa optimis kita bisa kayak begitu?

MR: Saya studi ilmu politik, jadi saya akan melihat masalah ini dari segi konjungtur-konjungtur politik. Kita coba lihat reformasi kepolisian di Kolombia. Salah satu hal yang membuat mereka bisa efektif itu adalah ada kapitalisasi skandal. Ada kasus-kasus di kepolisian di Kolombia yang berhasil diungkap ke publik dan kemudian menjadi skandal. Skandal publik ini kemudian mengaktifkan kritik masyarakat terhadap kepolisian. Sebenarnya prosesnya mirip dengan yang terjadi sekarang. Bedanya di Kolombia, ini sudah didahului oleh keberadaan masyarakat sipil yang relatif kuat. Salah satu penentunya adalah kelompok kiri FARC (The Revolutionary Armed Forces of Colombia). Mereka punya kaki di LSM yang mengampanyekan agenda Hak Asasi Manusia. Ketika ada skandal dan kemudian ketemu oposisi sosial yang relatif terorganisir, muncullah kesempatan itu.


FARC, Kolombia. Sumber: BBC


Problemnya di Indonesia enggak ada oposisi sosial. Skandal viral terjadi di mana-mana. Ada tagar #PercumaPercayaPolisi, misalnya, tapi enggak ada oposisi sosial. Nah, sekarang pertanyaanya, kita mau mulai dari mana kalau skandalnya ada tapi enggak ada oposisi sosialnya? Harusnya kita bikin oposisi sosialnya, kan? Oposisi sosial yang membawa agenda reformasi kepolisian itulah yang diperlukan sekarang. Kita punya banyak gerakan buruh ngomongin upah tapi enggak ada sama sekali gerakan buruh yang bicara tentang reformasi kepolisian, padahal itu salah satu bagian penting untuk mempertahankan organisasi mereka sebagai serikat. Kita punya mobilisasi tani yang besar, tapi kenyataannya mereka selalu direpresi dalam konflik tanah, dan anehnya enggak memunculkan aspirasi tentang reformasi kepolisian. Bagi saya ini aneh, karena mereka tidak melihat kepolisian sebagai bagian penting untuk perjuangan mereka.

Di situlah kita butuh duduk dan berefleksi. Agenda perjuangan kelas kaum progresif itu mensyaratkan keberadaan ruang-ruang politik di negara. Semakin sempit politik di negara semakin susah juga kita untuk mendorong agenda kelas.


JA: Terakhir buat Bung Yosie dan Bung Ridho. Jadi kesimpulannya, Anda berdua ini optimis atau tidak kalau kepolisiannya bisa diperbaiki?

HYP: Optimis sih enggak ya. Secara pribadi saya pesimis mengharapkan perubahan bisa muncul dari internal polisi. Tapi saya akan lebih optimis kalau melihat perubahan itu bisa dibawa oleh orang-orang eksternal yang menjadi mitra/partner polisi. Di situlah pentingnya pressure group. Dia bisa menekan kekuasaan partai atau penguasa politik untuk mengarahkan kepolisian. Tapi lagi-lagi ya susah kalau tidak ada massa yang besar dan agenda setting yang juga juga jelas. Sementara hari ini yang bisa dilakukan rakyat untuk men-challenge agenda setting yang ada pun masih sangat terbatas. Di sisi yang lain, masih ada kepercayaan dan peluang dari kelompok-kelompok akademisi atau intelektual progresif. Progresif dalam artian yang memang berjuang demi kepentingan kelas, demi kepentingan masyarakat, dan seterusnya.

Masalahnya, kita akan kembali ke persoalan penghidupan. Intelektual dan akademisi umumnya tidak punya kemandirian ekonomi. Semua masih tergantung pada negara, hibah, donor, konsultan, pemerintah, Kemendikbud, dan seterusnya. Artinya semakin sempit ruang, energi, dan nafas kita untuk bisa mengasah keterampilan dan pengetahuan tentang keamanan ini . Sementara kecenderungan untuk terkooptasi di lembaga-lembaga ini tinggi.

Kita perlu strategi yang sifatnya lebih holistik, dalam artian ada di level pengetahuan, tapi juga ada di level kehidupan sehari-hari. Selagi masyarakat sipil dan kelas pekerja berbenah untuk membangun kekuatan social bloc, penting juga bagi kalangan intelektual untuk juga membangun kekuatan-kekuatan ini. Karena apa? Kita butuh interlocutor, kita butuh membangun, menggabungkan kapital bersama untuk bisa menghidupi diri kita sendiri dan menghidupi penelitian yang sifatnya meaningful, daripada penelitian yang hanya untuk memecahkan problem-problem yang tidak kita ajukan sendiri.

Rakyat pekerja punya PR membangun kekuatan sosial. Kalangan intelektual juga punya PR: tidak hanya mengasah expertise di bidang keamanan tapi juga meng-cover kehidupan hariannya supaya dia tidak terkooptasi ketika sudah memiliki pengetahuan-pengetahuan ini. Itulah pentingnya membentuk serikat, paguyuban, arisan, atau whatever. Yang penting adalah pengorganisasian di kalangan kelas intelektual.

MR: Kalau agenda reformasi kepolisian enggak ada di gerakan sosial, saya tidak optimis. Pesimis bahkan. Prasyaratnya, kita sadar bahwa negara harus diintervensi, bahwa agenda reformasi harus didorong. Di situlah mungkin kita bisa bicara harapan. Yang dikatakan Yosie itu bisa dijawab dengan syarat ada agenda dan program intelektual yang harus dibangun. Tidak mungkin kita bicara reformasi kepolisian tapi tidak ada infrastruktur intelektual di sana. Karena kebijakan pada akhirnya mensyaratkan knowledge, know how, dan di situlah peran-peran intelektual.

Pertarungan di tingkat gagasan ini sangat penting. Ruang-ruang untuk ngomong bahwa gerakan rakyat harus membangun agenda reformasi kepolisian ini perlu diperbanyak. Sering kali gerakan rakyat hanya akan bergerak ketika ada dinamika wacana. Karena itu saya tidak melihat keinginan untuk mendorong agenda reformasi kepolisian itu bisa muncul tiba-tiba. Ia dikondisikan juga oleh situasi sosial. Dan di titik inilah salah satu peran sosial yang bisa dilakukan intelektual adalah membuka ruang ini sebanyak mungkin dan menyebarkan gagasan seluas mungkin, karena hanya dengan itu kemudian gerakan rakyat bisa melihat urgensinya.

Tuntutan tentang upah yang kemudian menjadi tuntutan untuk demokrasi sebagaimana muncul di banyak perjuangan gerakan buruh, bisa terjadi, salah satunya, karena ada perubahan diskursus intelektual di masyarakat. Ketika itu sudah menjadi program politik bagi rekan-rekan gerakan progresif, di situlah mungkin kita bisa bahwa bilang ada optimisme untuk mendorong perubahan institusi kepolisian.***

JA: Terimakasih banyak Bung Yosie dan Bung Ridho, untuk waktunya di Indoprogress. Teman-teman, demikian wawancara Forum IndoPROGRESS TV kali ini, semoga bermanfaat. Saya Joan Aurelia, sampai ketemu di program IndoPROGRESS TV selanjutnya.***

]]>
Álvaro García Linera: Bagaimana Kami Menyikat Balik Komplotan Kudeta 2019? https://indoprogress.com/2021/04/alvaro-garcia-linera-bagaimana-kami-menyikat-balik-komplotan-kudeta-2019/ Tue, 13 Apr 2021 06:15:01 +0000 https://indoprogress.com/?p=233077

Ilustrasi: Illustruth


MANTAN wakil presiden Bolivia Álvaro García Linera adalah salah seorang intelektual terkemuka dan politikus paling berpengalaman di Amerika Latin. Selama 14 tahun memerintah, García Linera merancang sebagian besar strategi politik Evo Morales, sekaligus menyediakan landasan teoritis bagi partai yang berkuasa, Movimiento al Socialismo–Instrumento Político por la Soberanía de los Pueblos (MAS/Gerakan Menuju Sosialisme). 

Pada 1980-an, García Linera dan kawan-kawannya memimpin Tentara Gerilya Túpac Katari yang berhaluan Marxis. Aktivitas politik menyeret García Linera ke dalam penjara. Ia menjalani hukuman kurungan selama lima tahun atas tuduhan keterlibatan dalam pemberontakan bersenjata melawan pemerintahan Jaime Paz Zamora. Di situlah ia menghabiskan periode awal dalam hidupnya sebagai intelektual. Di balik jeruji, ia mempelajari Marx dan Marxisme dan menulis Forma Valor Y Forma Comunidad (Corak Nilai dan Corak Masyarakat, 2015) yang kini menjadi karya klasik.

Pengaruh intelektual García Linera sangat beragam dan eklektik: Marxisme dan indigenismo, pemikiran Marxisme otonomis Toni Negri, dan sosialisme demokratik Nicos Poulantzas. Dalam banyak hal, García Linera adalah salah satu pemikir kiri paling orisinal—baik di Amerika Latin maupun kawasan lainnya.

Sebelum pulang ke Bolivia untuk menghadiri pelantikan presiden terpilih Luis Arce, García Linera duduk satu meja bersama Martín Mosquera dan Florencia Oroz, dua editor Jacobin América Latina, di Buenos Aires, Argentina, untuk membicarakan pemerintahan progresif di Amerika Latin dan strategi politik menuju sosialisme.


Kami akan mulai dengan peristiwa yang baru-baru ini terjadi di Bolivia. Dalam analisis Anda tentang kudeta 2019, Anda cenderung berfokus pada peranan kelompok yang Anda sebut sebagai “kelas menengah tradisional” (berlawanan dengan kelas menengah baru yang terbentuk di bawah pemerintahan MAS). Sejauh mana kemenangan Luis Arce pada 2020 mengonfirmasi atau mengubah pembacaan awal tentang kudeta itu?


Pertama-tama, meskipun kudeta selalu merupakan manuver kelompok-kelompok kecil, kelangsungan hidupnya ditentukan oleh faktor-faktor lain. Dukungan elemen-elemen masyarakat yang lebih luas mutlak diperlukan agar kudeta bisa berjalan. Elemen inilah yang mampu menciptakan konsensus umum untuk meninggalkan demokrasi dan tatanan politik yang konstitusional.

Di dalam komplotan yang bertanggung jawab atas kudeta 2019, ada serangkaian kepentingan khusus yang diwakili oleh jenderal-jenderal angkatan bersenjata, klik bisnis yang menyuap perwira dan komandan pasukan, Luis Almagro [Sekjen Organisasi Negara-Negara Amerika/OAS], Kementerian Luar Negeri, sejumlah orang Gereja Katolik, dan beberapa mantan presiden. Kelompok inti ini menggerakkan dan menyatukan kekuatan yang diperlukan untuk melancarkan aksi kudeta.

Tapi kudeta ini tidak lahir dari ruang kosong. Empat tahun terakhir, kami menyaksikan tumbuhnya elemen masyarakat yang semakin anti-demokrasi. Elemen ini, seperti yang sudah Anda singgung, adalah kelas menengah tradisional Bolivia. Dengan bahasa rasis mereka di media sosial dan media lainnya, kelas menengah tradisional ini menciptakan iklim yang akhirnya mengarah pada penggulingan kekuasaan dengan senjata dan cara-cara otoriter.

Elemen ini masih ada di Bolivia. Mereka muncul di depan barak militer dan menyerukan kudeta lagi. Mereka menuduh pemilu 2020 diwarnai kecurangan setelah hasil penghitungan suara keluar. Meskipun tidak ada bukti, buat orang-orang ini, kemenangan masyarakat adat dalam pemilu adalah buah kecurangan. Ya tentu mereka kalah dan akan terus kalah karena jumlah mereka sedikit—dekaden pula.  


Banyak orang terkejut menyaksikan kudeta November 2019 tidak mendapat banyak perlawanan dari rakyat Bolivia dan pemerintahan MAS. Apa dilema Salvador Allende—kepercayaan berlebihan pada “netralitas angkatan bersenjata”—sedang terulang? Dengan kata lain, bagaimana mestinya kita menghadapi manuver komplotan [sayap kanan] seperti yang terjadi pada November 2019, padahal kita tahu akan selalu ada upaya kudeta terhadap pemerintah populer oleh imperialis sayap kanan?


Yang terjadi pada November 2019 adalah kekalahan proyek politik nasional-kerakyatan secara militer. Kekuatan kaum konservatif dikerahkan untuk menduduki berbagai kota dan daerah. Pemerintah MAS menghadapi aksi ini dengan cara-cara non-koersif; [kami] mencoba mendorong aksi-aksi kolektif yang diharapkan mampu memecah gelombang protes sayap kanan. Awalnya kami berharap mereka akan capek sendiri.  

Respons kami sifatnya politis. Kami akan menang seandainya rentetan peristiwa yang mengarah pada kudeta tetap di ranah politik. Yang tidak kami perhitungkan—dan ini kesalahan besar kami—adalah bahwa kubu ultrakonservatif memperoleh dukungan dari kalangan tentara. Nah, dukungan militer inilah kebaruan di dalam kudeta 2019. Ketika mereka mencoba melancarkan kudeta pada 2008, kami memakai dua taktik. Pertama, kami menangkal mereka secara politik. Kami mencoba mengisolasi kekuatan-kekuatan ini hingga akhirnya melemah. Kedua, kami menyerukan pengerahan massa untuk menekan mereka.

Tetapi sebelum kekuatan konservatif dapat dilemahkan, rupanya mereka sudah lebih dulu kontak dengan militer dan polisi. Kami tidak menduga mereka akan menyuap serdadu. 

Ketika komplotan kudeta ini memilih opsi untuk bertindak secara militer, kami punya dua pilihan: mengerahkan massa untuk menghadapi polisi dan militer, atau tidak sama sekali. Keputusan itu ada di tangan presiden. Hari-hari pertama, pada 9 dan 10 November, presiden berpikir: “Saya tidak mau mengorbankan rekan-rekan seperjuangan saya.” Ada keputusan sadar yang sandarannya adalah moral. Di atas kertas, kami bisa saja terlibat konfrontasi terbuka. Tapi kami juga akan mengalami kehilangan dalam jumlah besar. Akan ada banyak korban. Dus, kami memutuskan tidak memobilisasi massa dan presiden memilih mundur.

Pelajaran pertama yang bisa diambil: Anda harus menjinakkan sel-sel operasional [kubu kudeta] ini secara politis. Anda perlu membereskan sebab-sebab mendasar yang mengarahkan kelompok-kelompok ini pada fasisme tanpa mencabut kebijakan-kebijakan yang berorientasi kesetaraan sosial. Jika Anda mulai kendor mendukung program-program yang menjamin kesetaraan sosial dan hak-hak masyarakat adat, Anda tak bisa lagi mendaku pemerintahan progresif. Yang bisa Anda lakukan adalah mempertahankan kebijakan yang mensejahterakan lapisan masyarakat bawah dan rakyat secara umum sekaligus mendorong mobilitas dan rotasi kelas menengah tradisional. Dengan cara itu Anda bisa menahan mereka agar tidak terus bergerak ke arah ultrakonservatisme.

Urusan dengan polisi dan tentara lebih sulit lagi. Anda mustahil mencegah pengusaha kaya menyogok aparat dengan duit jutaan dolar. Militer akan terus ada dan kewenangan mereka dijamin negara. Militer punya dinamikanya sendiri, tapi harus ada kebijakan untuk mencegah mereka berbuat yang tidak-tidak. Kebijakan ini harus menghormati status kelembagaan militer sekaligus menciptakan semangat korps yang tidak mudah disogok, kebijakan yang bisa membuat mereka lebih bersolidaritas dengan kepentingan rakyat banyak. Singkatnya, komposisi kelas dalam angkatan bersenjata harus diubah.

Sebagian serdadu mendukung kudeta karena tak ada mobilitas sosial. Waktu itu, faktor mobilitas sosial dalam tubuh militer ini bukan masalah besar buat kami—toh, selama bertahun-tahun upaya semacam itu sudah dilakukan. Tapi intinya begini, jangan terlalu percaya pada diri sendiri atau pengalaman-pengalaman Anda di masa lalu. Ketika kelas pebisnis bersekongkol dengan para jenderal dan mulai terkoneksi dengan kelas menengah tradisional yang lebih konservatif, mereka harus dihadapi dengan pengerahan massa.

Saya sedang bicara soal moral sosial yang lebih dalam: kami harus mengerahkan massa untuk mempertahankan apa yang sudah kami punya. Kami melihat bagaimana mobilisasi massa dipraktikkan pada Agustus 2020 [ketika pendukung MAS memblokir jalan dan memprotes rencana penundaan pemilu]. MAS menyerukan kepada tiap orang dan organisasi masyarakat untuk berhadap-hadapan langsung dengan militer dan polisi. Caranya? Dengan merebut kendali atas wilayah, seperti yang terjadi pada tahun 2000.

Rakyat—bukan pemimpin politik atau partai—paham bahwa gelombang baru represi hanya bisa dilawan jika kita menguasai wilayah. Inilah sumber kekuatan kami pada Agustus 2020: masyarakat menggunakan kecakapan praktis dan taktis untuk mencegah pembantaian atau operasi militer berdarah lainnya yang bisa dilakukan para pelaku kudeta.

Ketangkasan kolektif ini perlu ditekankan dan diperkuat. Ini bukan melulu soal angkat senjata; ini soal bagaimana Anda bisa menghadirkan pengalaman taktis dalam aksi-aksi kolektif untuk menghadapi ancaman konflik bersenjata. Di negara seperti Bolivia—negeri dengan jumlah penduduk di pedesaan yang banyak, “kaum miskin kota” yang berlimpah, dan kelas pekerja di pusat-pusat industri kurang terorganisir—orang menemukan cara untuk membela diri lewat organisasi kolektif. Untuk ke depan, kami harus memperluas dan mempercanggih aksi-aksi kolektif seperti ini untuk melumpuhkan kudeta yang dipimpin militer dan polisi.


Bagaimana Anda menggambarkan situasi politik hari ini  di Amerika Latin? Sepertinya ada “siklus progresif baru” yang sedang bergulir. Tapi siklus ini juga terlihat lebih moderat dan kalem dibanding sebelumnya. Anda setuju dengan pandangan ini?


Saya lebih suka menyebutnya gelombang alih-alih siklus. “Siklus” menunjukkan pola yang pasti, sedangkan “gelombang” lebih cair dan dinamis. Marx menggunakan konsep gelombang pada 1848 untuk menunjukkan bahwa ada berbagai gerakan dalam sebuah revolusi, dan gerakan-gerakan ini muncul secara bergelombang.

Kita tidak bisa mengharapkan gelombang baru ini akan menjadi pengulangan yang pertama karena berbagai alasan. Pertama, boom ekonomi sumber daya alam sudah berakhir. Beberapa tahun terakhir muncul resesi ekonomi yang luar biasa hebat. Plus, sekarang kita berhadapan dengan orang-orang yang berbeda, tokoh-tokoh baru.

Bahkan sekarang ada masalah yang lebih gawat. Tidak seperti era 2005-2015, ketika kelompok kanan kewalahan menghadapi arus progresif, kaum kanan hari ini mulai menemukan pijakan sosial—meski masih ala kadarnya dan sama-sama cupet, itu tetap saja penting sebagai dukungan. Respons politik dari basis sosial baru ini bersifat anti-demokratis, sejenis neoliberalisme dalam bentuk yang kejam, misoginis, rasis, dan konservatif.

Kaum kanan dulu tak punya solusi berarti untuk krisis politik dan ekonomi yang dihadapi Amerika Latin. Mereka butuh satu dekade untuk menerapkan resep lagu lama neoliberal—dan tak seorang pun suka dicekoki resep itu. Kubu kanan hari ini belum benar-benar berubah, tapi akhirnya mereka sadar mereka sedang menghadapi musuh yang berbeda: Gelombang Pink (Pink Tide).

Artinya, kita sekarang menyaksikan zaman munculnya gelombang-gelombang baru dan arus pukulan balik (counterwaves). Gelombank Pink kini terfragmentasi, tapi demikian pula gelombang konservatif. Dua-duanya akan terus berhadap-hadapan langsung untuk beberapa waktu ke depan. Di titik ini keliru jika kita beranggapan bahwa konsensus progresif yang sebelumnya ada bisa serta merta diterapkan lagi. Ini harapan yang mustahil karena semua kemenangan dalam politik sifatnya sementara.

Ada masalah lain yang perlu dipertimbangkan juga. Kita sekarang hidup di zaman serba nanggung, zaman ketika kita miskin cakrawala, tak punya skema jangka panjang, dan tak jelas mau ke mana. Di balik disorientasi ini, sekarang semua orang merasakan ketidakpastian hampir di semua lini kehidupan—kita tak tahu apa besok kita masih bisa kerja, apa akan ada pandemi lagi, dan seterusnya.

Ini skenario yang saya bayangkan: adu siasat akan semakin intens dan kita akan semakin sulit untuk merumuskan strategi. Bicara taktik, hal yang seharusnya berlangsung sepanjang sepuluh tahun di Bolivia ternyata hanya bertahan setahun. Siklus kekuasaan konservatif yang mestinya berjalan 14 tahun di Argentina ternyata berakhir dalam empat tahun saja [masa jabatan presiden sayap kanan Mauricio Macri]. Hal yang sama berlaku untuk siklus politik kaum progresif saat ini: kita tidak tahu apakah siklus kebangkitan kaum progresif ini kali ini akan bertahan lebih dari empat tahun ke depan. Begitu juga Bolivia: siapa berani jamin kami akan bertahan dua, empat, atau enam tahun?

Ketidakpastian soal strategi ini adalah perkara baru yang harus dipecahkan gelombang progresif yang muncul belakangan. Pada 2005 lalu tidak ada reaksi dari kalangan konservatif sehingga siklus progresif saat itu bisa dipandang sebagai pengganti sistem neoliberalisme. Tapi hari ini? Politik progresif bukan satu-satunya tawaran karena ada juga gerakan ultrakonservatif.

Dalam arti tertentu, yang terjadi pada Trump di Amerika Serikat menunjukkan keterbatasan wacana politik konservatif yang dimotori kebencian. Neoliberalisme konservatif Trump itu seperti halte saja, tetapi begitu juga semua proyek politik hari ini. Di tengah kekacauan inilah penting bagi proyek politik progresif untuk melakukan refleksi mendalam, mengatasi kelemahan-kelemahan mereka sendiri, dan membangun sesuatu di atas pijakan yang sebelumnya telah mereka bangun dengan benar.

Dengan kata lain, keliru jika kita berdebat apakah ini siklus baru atau bukan, atau apakah siklus lama bisa dihidupkan lagi. Saya kira Bolivia menawarkan pelajaran berharga. Di tengah kekacauan ini, prospek kiri progresif akan bergantung pada dua hal, salah satunya sudah kita bahas: harus ada tahap aksi kolektif sebelum proyek ini bisa bergulir. Kedua, proyek ini harus bersumber dari kekuatan massa-rakyat (popular classes)—bukan proyek untuk massa-rakyat, tapi proyeknya massa-rakyat itu sendiri.

Dari Bolivia kami belajar: kudeta dan kemunduran temporer mungkin saja terjadi, tapi pada akhirnya Anda akan menang, selama pemerintahan yang berpijak pada rakyat dan masyarakat adat ini menjadi proyeknya kaum-kaum terpinggirkan (subaltern sectors). Jika sudah sampai tahap itu, Anda akan punya banyak bahan bakar sejarah untuk diolah. Jika Anda selalu ingat bahwa masa depan kaum tertindas ditentukan oleh rencana, organisasi, kapasitas mereka sendiri, musuh Anda mungkin bisa menerabas semua rintangan, tapi Anda akan mampu bangkit lagi.


Ada perdebatan lama tentang bagaimana pemerintah massa-rakyat (popular governments) di Amerika Latin harus berhadapan dengan kelas-kelas dominan yang terus melancarkan serangan. Apakah konsesi [dengan musuh] untuk memperluas dukungan politik adalah keniscayaan? Atau sebaliknya, haruskah memperdalam konflik supaya muncul kondisi yang lebih menguntungkan guna menaklukkan kekuatan-kekuatan reaksioner?


Menghadapi oligarki adalah perkara rumit. Revolusi yang berhasil dicapai melalui kemenangan militer tak perlu berurusan dengan hal semacam itu. Gampang—dalam revolusi lewat perjuangan bersenjata, oligarki cukup dibubarkan. Tapi, dalam skema transformasi politik lewat pemilihan demokratis, oligarki akan terus jadi masalah selama Anda memerintah karena Anda mau tidak mau akan hidup berdampingan dengan kelas pengusaha. Terus terang saja: Anda harus hidup berdampingan dengan mereka karena dalam kondisi itulah Anda bisa meraih kekuasaan, dan Anda tak memiliki kapasitas untuk meniadakan sebuah kelas sosial. Sederhananya, inilah konteks transformasi sosial dan politik di Amerika Latin hari ini (yang akan terus berlanjut).

Ide sosialisme demokratik harus dipahami berdasarkan kondisi-kondisi ini. Selama upaya transformasi sosial harus mengikuti koridor pemilihan demokratis, pemerintahan progresif perlu mencari cara-cara praktis untuk hidup berdampingan dengan sektor bisnis. Bukan hanya karena kelas pengusaha menikmati sumber daya dan kepemilikan yang diakui dalam konstitusi, tapi juga karena kelas ini memiliki kekuatan untuk mendorong pembangunan ekonomi. Nasionalisasi industri saja tak cukup mampu menyelesaikan masalah dalam sistem ekonomi. Nasionalisasi alat-alat produksi itu sekadar menyerahkan segala sesuatu ke tangan monopoli. Negara itu sendiri adalah bentuk monopoli—tepatnya monopoli atas berbagai praktik monopoli—sedangkan sosialisasi (socialization) adalah soal demokratisasi alat produksi.

Negara bisa turut mempertahankan proses transformasi sosial dan meredam aksi-aksi kelas pengusaha. Tapi itu sekadar tindakan taktis, khusus, dan sewaktu-waktu saja. Pemerintahan progresif bisa dan harus mengadopsi langkah-langkah ini. Untuk melakukan itu semua—jika tidak ingin dimakan oleh kekuatan ekonomi yang ada—butuh negara yang dapat mengontrol setidaknya sepersekian Produk Domestik Bruto (PDB) dan bisa menjalankan kebijakan-kebijakan tertentu: perpajakan, kebijakan fiskal, penanaman modal, dan—jika dibutuhkan—nasionalisasi.

Momen kunci bagi pemerintahan progresif adalah ketika ia cukup kokoh secara ekonomi sehingga tidak dibatasi oleh kekuatan ekonomi yang lebih besar. Negara perlu mengontrol tiga puluh persen PDB sehingga memungkinkannya berinteraksi dengan sektor bisnis dari posisi yang lebih berdaulat, bukan dari posisi lebih rendah dari pebisnis. Jika para pengusaha ini berkomplot, negara bisa menginjak balik: selidiki laporan pajak mereka, kepemilikan properti, rekening bank, dan sebagainya.

Lalu, kapan gerakan progresif bisa melampaui siasat hidup berdampingan [dengan kelas pengusaha] ini? Ketika masyarakat mampu menguasai sektor bisnis; ketika masyarakat pada umumnya—bukan pemerintahan progresif, bukan partai—memanfaatkan peluang untuk mendemokratisasi kekayaan yang ada. Jika masyarakat belum sampai pada tuntutan ini, maka pemerintah hanya mampu menggeser satu monopoli dengan monopoli lainnya. Bentuknya akan berbeda—bukan monopoli swasta, tapi monopoli atas sumber daya kolektif. Secara hakiki, negara mewakili dualisme ini: monopoli atas sumber daya kolektif. 

Jika Anda menasionalisasi sektor tertentu, maka sumber daya yang tersedia akan menjadi milik bersama, tapi statusnya tetap milik negara sebagai barang monopoli. Pada titik ini Anda belum menghilangkan jarak antara pekerja dan alat produksi. Kemungkinan untuk melangkah ke sebuah rezim kepemilikan yang berbeda sangat bergantung pada kapasitas masyarakat untuk  memperjuangkan pengelolaan sosial atas kekayaan yang ada—dan ini pada akhirnya bergantung pada pekerja di setiap sektor (perbankan, industri, dan sebagainya) dan masyarakat secara keseluruhan. Jika memang itu yang mereka inginkan, maka pemerintahan progresif akan mengambil peran untuk memandu dan mengawal proses itu sampai selesai.

Anda bertanya, haruskah pemerintahan progresif melemahkan kelas pengusaha? Jawabannya: itulah yang mestinya mereka lakukan. Dengan catatan, asalkan masyarakat juga bergerak ke arah sana.  


Anda menekankan bahwa transformasi sosial pada akhirnya bersumber dari masyarakat sipil, bukan dari negara. Ada masalah pelik di sini: jika secara keseluruhan jangkauan proyek pemerintahan progresif bergantung pada masyarakat yang dimobilisasi, dan jika pilihan terbaik bagi negara adalah membatasi diri untuk semata berurusan dengan “urusan-urusan kenegaraan”, tidakkah pandangan ini akhirnya mereduksi masyarakat menjadi semacam deus ex machina? Dalam pandangan ini, bagaimana kita bisa mengharapkan masyarakat sipil agar terus termobilisasi dan mendorong perubahan yang lebih radikal ketika kaum kiri berkuasa?


Sebuah negara tentulah mewakili keadaan masyarakatnya. Sebagaimana ada materi dalam bentuk cair, gas, dan padat, negara mewakili corak dan keadaan masyarakatnya. Jika kita memikirkan negara dalam kerangka ini, kita bisa terhindar dari interpretasi beberapa aliran Marxis yang naif, instrumentalis, dan anti-negara (anti-statist). Kerangka berpikir ini sejalan dengan pemahaman Marx tentang negara sebagai komunitas ilusi: negara adalah komunitas, tetapi sifatnya ilusif sejauh ia tercipta dari berbagai monopoli—betapa pun pandangan ini terlihat seperti paradoks.

Kaum anarkis dan beberapa Marxis akan mengatakan bahwa tidak semestinya kita mengambil alih kekuasaan, karena kekuasaan sudah menjadi sesuatu yang dimiliki masyarakat secara umum. Tapi apa saja sih yang dimiliki masyarakat Argentina pada umumnya? Semua hal yang sama-sama mereka miliki sudah tercakup di dalam negara: bahasa, lembaga, sejarah, kekayaan alam, pajak, sistem jaminan kesehatan, hak, dan sebagainya. Semua itu ada di dalam negara—meski tidak lahir dari negara.

Kemudian negara memusatkan (centralize) hal-hal yang sudah mereka miliki bersama itu. Negara mengambil alih dan menguasai (appropriate) semua itu. Ya, begitulah watak negara: alat untuk memonopoli dan memusatkan apapun yang bersumber dari masyarakat. Mustahil membayangkan negara di luar masyarakat karena, seperti yang saya bilang sebelumnya, negara adalah cerminan masyarakatnya.

Secara materiil, kekuatan sekaligus kelemahan suatu negara juga berangkat dari masyarakatnya. Di Amerika Latin, sumber daya dinasionalisasikan ketika masyarakat sudah menyimpulkan bahwa itulah yang mereka butuhkan, karena segala sumber daya ini adalah milik rakyat Bolivia, Ekuador, Venezuela, dan sebagainya. Sebelum Evo Morales, Rafael Correa, atau Hugo Chavez berkuasa, rakyat sudah mulai merasakan kebutuhan itu.

Akhirnya pemerintah menasionalisasi industri dan sumber daya. Dari situ kami punya uang untuk membangun sekolah dan rumah sakit, untuk membayar upah yang lebih layak, dan seterusnya. Segalanya membaik tapi tidak mengubah fakta bahwa ada monopoli di balik seluruh upaya perbaikan itu. Tak ada kontrol langsung atas kekayaan kecuali lewat monopoli—orang mungkin merasa terwakili atau terlibat dengan monopoli semacam itu. Tapi, monopoli tetaplah monopoli. Dalam ruang-ruang terbatas inilah pemerintahan progresif harus bekerja.

Betul, selalu ada batasan ruang otonomi bagi setiap pemerintah. Pemerintahan yang berakar pada massa-rakyat akan lebih berani bertindak langsung untuk memperluas hak-hak rakyat, untuk menegaskan apa yang menjadi kebaikan bersama, untuk menjalankan nasionalisasi, dan seterusnya. Tapi, pemerintahan progresif dari garis mana pun akan selalu memanfaatkan gelombang sosial yang ada.

Nah, pertanyaan selanjutnya: Mengapa pemerintahan progresif tidak bisa bertindak lebih jauh? Mengapa mereka tidak langsung loncat ke jalan menuju sosialisme? 

Dalam hal ini, apa sih arti sosialisme? Apa sosialisme artinya kita menasionalisasi perbankan, perusahaan, dan industri? Sayangnya, bukan itu yang dimaksud dengan sosialisme. Jika kita kembali ke tahun 1917, atau lebih ke belakang lagi, Komune Paris 1871, kita menemukan pandangan Marxis yang sama: sosialisme tidak sama dengan nasionalisasi. Sosialisme bukanlah demokratisasi akses ke barang dan jasa, melainkan demokratisasi kontrol, kepemilikan, penggunaan, dan pengelolaan barang dan jasa.

Pertanyaannya pun berubah: bagaimana kita bisa memperkokoh komunitas yang mengontrol pengelolaan barang dan jasa ini? Lewat dekrit dari atas? Jelas tidak, karena dekrit adalah sesuatu yang dipaksakan oleh birokrasi atau elite, meskipun elite itu bisa saja pro-rakyat, revolusioner, atau apapun itulah. Tapi, ada satu hal yang kami pelajari dari revolusi-revolusi sosial abad ke-20: Anda tidak bisa bilang “Saya mewakili kelas pekerja”. Tidak boleh saya mendaku sebagai wakil kelas pekerja, atau perempuan, atau masyarakat adat. Gerakan perempuan akan dijalankan oleh perempuan, gerakan masyarakat adat oleh masyarakat adat, dan gerakan buruh oleh buruh.

Abad ke-20 telah menunjukkan bahwa Anda tidak dapat menggantikan masyarakat dengan negara. Lalu bagaimana dengan kita hari ini? Sebuah pemerintahan dapat didorong ke arah yang radikal hanya ketika masyarakat ingin sampai ke tahap itu.

Bisakah itu terjadi? Kami tentu berharap demikian, karena itulah impian sosialisme demokratis. Sosialisme demokratis bukan serangkaian pakem kebijakan ini dan itu. Sosialisme demokratis adalah suatu puncak yang mungkin dicapai oleh pelbagai transformasi sosial yang bergerak bersama untuk kemenangan. Sosialisme demokratis adalah gagasan tentang perluasan demokrasi selebar-lebarnya: dari ranah elektoral ke negara, dari negara ke ekonomi, ke pabrik, ke bank, uang, kepemilikan, dan seterusnya.


Tidakkah berbahaya melebih-lebihkan risiko pendekatan politik yang berpusat pada negara (state-centric approach)? Anda sepertinya mengesankan bahwa corak relasi sosial tertentu—uang, pasar, nilai—tidak bisa begitu saja diubah dengan dekrit pemerintah atau nasionalisasi serta merta, bahwa perlu ada proses transformasi yang lebih lama.

Kalau pun nasionalisasi memunculkan masalah-masalahnya sendiri, bukankah ia tetap diperlukan untuk membatasi tindakan-tindakan pelaku bisnis yang bisa digunakan untuk melawan negara? Seperti yang dikatakan Fred Block dkk., bukankah kita terancam oleh “pemogokan kapital” jika tidak tegas terhadap monopoli kapitalis? Kita sudah menyaksikannya di Chili zaman Allende dan baru-baru ini di Venezuela. Ini bahkan terjadi juga pada pemerintahan yang jauh lebih moderat ketika program-program reformasi sosial yang mereka jalankan bentrok dengan keharusan mencari laba. Bukankah keajekan proses transformasi ini akhirnya tergantung pada sejauh mana kita bisa melemahkan borjuasi sebagai kelas ekonomi yang dominan?


Fokus Block ini menarik. Tidak seperti interpretasi Marxis lainnya, ia mempertimbangkan realitas praktis, nyata, dan konkret: ketika pemerintahan progresif berkuasa, kaum kapitalis sebagai sebuah kelas secara naluriah cenderung menyembunyikan aset mereka. Ini bahkan mereka lakukan tanpa harus ngobrol dengan sesamanya.

Tapi pandangan ini mengandaikan pemerintahan sayap kiri atau progresif mengambil alih kekuasaan ketika kapitalisme sedang stabil-stabilnya. Padahal yang terjadi sebaliknya. Pemerintahan progresif biasanya muncul pada saat krisis, yaitu ketika kaum kapitalis tidak membelanjakan anggaran atau merekrut pegawai, ketika pemerintahan tidak berjalan dan ekonomi macet.

Memangnya pernah pemerintah sayap kiri berkuasa ketika tidak ada pengangguran (full-employment)? Pemerintahan progresif justru muncul persis ketika kapital kabur ke luar negeri, ketika investasi nol dan spekulasi merajalela, ketika terjadi pengangguran massal dan meluasnya kekacauan sosial. Pemerintah sayap kiri merespons kehendak masyarakat untuk menangani situasi tersebut. Itulah sumber legitimasinya.

Kalau pemerintahan kiri tidak memenuhi tuntutan-tuntutan tersebut, itu bukan karena mereka dihimpit oleh kelas-kelas dominan, tapi karena karena mereka enggan bertarung atau takut akan dampak negatifnya. Dengan kata lain, kendalanya ada pada pemerintahan itu sendiri, pada cara pandang dan kepercayaan dirinya.

Kami naik ke tampuk kekuasaan ketika Bolivia dilanda krisis ekonomi. Jika kami tidak menasionalisasi sektor-sektor vital, krisis bisa berlangsung sepuluh tahun lebih lama. Lalu di mana kami bisa cari uang? Di bidang telekomunikasi, energi listrik, dan hidrokarbon. Dengan menempatkan sektor-sektor energi di bawah kontrol negara, Anda bisa menetapkan kebijakan publik.

Upah langsung jadi isu penting. Tapi, selama lebih dari 14 tahun, tak pernah sekalipun kami duduk bareng bos-bos itu untuk merundingkan upah—kami memilih bertemu dengan COB (Central Obrera Boliviana/Sentra Pekerja Bolivia). Tentu Anda juga harus menghitung kinerja penjualan di sektor tertentu, bagaimana keuntungannya, bagaimana pajak ditarik, bagaimana ekonomi tumbuh. Anda mungkin menginjak kelas borjuis, tetapi Anda harus mengalirkan uang [yang diperoleh dari pengusaha] ke subsidi listrik, transportasi, bensin, dan seterusnya. Dengan begitu, saat pengusaha-pengusaha itu protes, Anda bisa bilang begini: “Saya kan sudah kasih Anda-Anda ini bensin dan air dengan harga subsidi. Trus, Anda enggak mau menaikkan upah pekerja? Gimana kalau subsidi Anda kami cabut biar seimbang?”

Salah satu bentuk monopoli negara adalah kewenangan menetapkan harga, tingkat konversi properti, kurs mata uang, dan layanan. Anda perlu menggunakan semua alat ini karena, seperti yang sudah kami alami, Anda punya cakrawala yang berbeda sebagai pemerintah kiri.

Kami menaikkan upah riil hingga 450 persen, dari USD 50 menjadi USD 306. Mungkin Anda akan bertanya: Kok enggak lebih? Jika Anda terus menaikkan upah, Anda menghadapi risiko—dan ini pernah terjadi—kebijakan Anda memengaruhi bisnis kecil yang tingkat labanya jauh lebih rendah. Kami ingin mematok upah minimum USD 400. Tapi kami langsung menyadari bahwa bisnis-bisnis kecil yang cuma punya—katakanlah— empat karyawan akan merugi. Sebuah pemerintahan rakyat bukan hanya harus selalu memperhatikan nasib buruh, tetapi juga kelompok yang berada di atas mereka: sektor menengah, UMKM. Di masyarakat kami, sektor UMKM adalah elemen dalam blok massa-rakyat dan harus dirawat.

Pada sektor ekonomi yang dominanlah Anda bisa menerapkan kebijakan yang mencekik (austerity). Kami awalnya menasionalisasi bisnis-bisnis asing dan setelah itu menyasar bank: kami memberlakukan pajak 50 persen untuk laba yang mereka raup. Sektor perbankan rupanya juga bisa menjadi penghambat pertumbuhan laba. Jadi, Anda harus menekan bank-bank ini, seperti yang kami lakukan, agar memberikan pinjaman untuk aktivitas produktif; 60 persen dari semua pinjaman dialirkan ke sektor produktif, sisanya untuk spekulasi, suku bunga, dan sebagainya. Monopoli ini ada di tangan negara, yang diatur untuk memacu pertumbuhan ekonomi dengan uang swasta yang Anda salurkan ke sejumlah sektor. Dengan kata lain, di mana pun Anda mengendus ada cukup kekuatan bagi kapitalis untuk memveto kebijakan, di situlah Anda harus masuk, mematahkan kekuatan mereka, dan mendirikan perusahaan negara.

Bagaimanapun, yang masih menjadi masalah utama pemerintahan progresif adalah cukup-tidaknya energi masyarakat untuk mendorong langkah-langkah regulasi ini. Hal-hal seperti ini tidak bergantung pada negara. Beberapa rekan saya, sesama orang kiri di Amerika Latin, melabeli siklus progresif ini sebagai “revolusi pasif”, seolah-olah ada arus besar aksi kolektif yang menghendaki terciptanya hubungan kepemilikan baru dan demokratisasi secara radikal. Dalam pandangan mereka, pemerintahan progresif justru telah menahan gerak masyarakat yang tak terhindarkan ini.

Tetapi kamerad-kamerad saya itu mestinya mampu menunjukkan secara konkret bagaimana masyarakat bisa berjuang melampaui corak hubungan kepemilikan dan pengelolaannya hari ini. Dalam  pemerintahan MAS dulu, misalnya, pernah ada beberapa penambang timah Huanini yang bersikeras memutus corak kepemilikan dan pengelolaan sumber daya yang dominan. Pemerintah akhirnya mendukung upaya mereka. Tapi, yang terjadi di lapangan malah bertolak belakang dengan apa yang dibayangkan rekan-rekan saya itu: lima ribu pekerja memanfaatkan anggaran publik untuk mengelola sebuah tambang dan menikmati semua keuntungan yang diperoleh untuk diri mereka sendiri. Tak satu pun dari keuntungan itu kembali ke masyarakat. Model swakelola pekerja yang berlangsung sejak 2010 hingga 2011, dan 2017 hingga 2018 justru berakhir dengan penguasaan sumber daya secara privat (private appropriation). 


Tapi bukankah ada risiko pemerintah berubah menjadi perwakilan pasif masyarakat? Tidak ada titik tengah antara visi kepeloporan negara (vanguardist vision of the state) dan pandangan yang menempatkan negara sebagai pendamping gerakan masyarakat? Jika kita membayangkan pemerintah sebagai agen dan bukan sebagai perwakilan masyarakat, bukankah ia berperan sebagai penyeimbang pelbagai kekuatan sosial?


Pemerintahan progresif tentu bisa memperjuangkan isu-isu tertentu agar diprioritaskan  dan dengan begitu mengekspos hal-hal yang selama ini dialami masyarakat. Ada banyak sekali yang dapat dilakukan pemerintah selain hanya memerintah. Namun, sosialisme adalah pengalaman yang berakar di masyarakat.

Untuk perkara ini, saya seorang Leninis. Bukan Lenin era Komunisme Perang (War Communism), tetapi Lenin zaman New Economic Policy (NEP). NEP adalah pengakuan terbesar Lenin: tak peduli seradikal apapun organisasi pelopor dan seberapa banyak kebijakan berkemajuan yang diterapkan, Anda hanya bisa bergerak melampaui kapitalisme jika masyarakat merasakan kebutuhan untuk itu.

Lenin menulis artikel singkat yang bagus pada 1923. Judulnya “Lebih Baik Sedikit, Tapi Lebih Baik”. Dia mengevaluasi periode Komunisme Perang (1918-1921), memeriksa apa yang terjadi sepanjang tahun-tahun bergejolak itu, ketika anggapan bahwa serangkaian tindakan berani saja sudah cukup untuk melampaui kapitalisme sangat dominan. Dia melihat ke belakang dan intinya mengatakan, “Sejujurnya kita berakhir dengan kapitalisme negara”. Bisa saja kita nasionalisasi ini dan itu sesuka hati, tapi mustahil kita melampaui kapitalisme kecuali ada orang-orang yang bekerja di sektor ekonomi untuk membangun komunitas yang riil.  

Itulah inti dari sosialisme: membangun komunitas. Sosialisme bukan membangun komunitas dari atas, melainkan membangun komunitas dengan satu-satunya cara yang mungkin, yaitu di tengah rakyat. Negara adalah negasi dari masyarakat sejauh negara adalah monopoli. Tentu saja negara bisa terlibat dan menunjukkan arah yang benar. Tapi kita tahu apa yang terjadi ketika Anda mencoba membangun masyarakat dari atas.

Perdebatan di Kuba sepuluh tahun terakhir cenderung berputar-putar di topik itu: bagaimana bertindak lebih dari sekadar yang diputuskan negara. Karena, seperti yang dikatakan Lenin, itulah kapitalisme negara.

Di titik inilah kita bergumul dengan persoalan mengembangkan komunitas dalam masyarakat. Alam masyarakat adat dan tani memiliki warisan komunitas—meski mungkin sudah cacat. Alam perkotaan juga punya komunitasnya sendiri di tingkat lokal, di lingkungan tempat tinggal. Yang kita miliki sekarang adalah fragmen-fragmen komunitas, yang bisa menjadi titik tolak tumbuhnya masyarakat kolektif baru. Negara dapat terlibat dalam proses itu, tapi tidak dapat menggantikan komunitas, karena sebuah komunitas mensyaratkan keberadaan kaum pekerja yang bebas berhimpun. 

Nah, jawaban untuk pertanyaan Anda dapat ditemukan pada Lenin. Ini yang dia bilang: Anda harus selalu selangkah dan tidak lebih dari satu langkah di depan rakyat. Bukan dua, bukan empat. Satu langkah dari apa yang dirasakan dan dipikirkan rakyat. Saya suka ungkapan Lenin: jangan pernah mengambil lebih dari satu langkah di depan kaum pekerja dan massa-rakyat.***


Martín Mosquera, sarjana filsafat, profesor di Universitas Buenos Aires, anggota dewan editorial Revista Intersecciones, dan aktivis Democracia Socialista

Florencia Oroz, sejarawan dan editor Jacobin América Latina


Wawancara asli dilakukan dalam bahasa Spanyol oleh Jacobin América Latina dan diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Nicholas Allen untuk Jacobin. Diterbikan di IndoPROGRESS dengan seizin Jacobin untuk tujuan pendidikan. Penerjemahan dikerjakan dari bahasa Inggris ke bahasa Indonesia oleh Indoprogress. Sabda Armandio berkontribusi dalam penyuntingan.


]]>