Liputan Khusus – IndoPROGRESS https://indoprogress.com Media Pemikiran Progresif Wed, 07 May 2025 23:37:52 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.4.3 https://indoprogress.com/wp-content/uploads/2021/08/cropped-logo-ip-favicon-32x32.png Liputan Khusus – IndoPROGRESS https://indoprogress.com 32 32 Potret Hidup Orang-Orang Gunung https://indoprogress.com/2025/05/potret-hidup-orang-orang-gunung/ Wed, 07 May 2025 23:37:52 +0000 https://indoprogress.com/?p=238922

Foto: Dokumentasi pribadi


MATAHARI hampir tenggelam sempurna ketika saya tiba di halaman rumah Tata, seorang laki-laki lanjut usia yang sepanjang hidup mengabdi sebagai juru kunci salah satu gunung di Sulawesi Selatan, setelah kurang lebih empat jam mengendarai roda dua. Tata adalah orang yang sering saya kunjungi rumahnya saat hendak melakukan pendakian. Saat berada di sana, setiap kali Tata ingin ke kebun, saya selalu bersedia menemani, entah hanya untuk mengecek aliran air atau sekadar membersihkan semak belukar. Meski saat itu belum pulang, tapi rumah Tata selalu terbuka. 

Saya lalu meletakkan carrier di ruang tamu yang sudah penuh dengan barang-barang para pendaki. Angin berembus sedikit kencang. Kabut pun perlahan turun. Dengan sigap saya mengambil jaket untuk melindungi tubuh dari angin yang perlahan menggulung Lembang Bu’ne, kampung di pinggiran Kabupaten Gowa yang berada di ketinggian kurang lebih 1.320 MDPL, terletak di barat daya salah satu puncak gunung yang pasti akrab di telinga para pendaki. Musim kemarau memang sudah tiba, tapi jika malam justru suhu rata-rata bisa lebih dingin dari biasanya, minimum 15 derajat Celsius.


Hidup yang Lain

Tempat yang saya kunjungi ini, wilayah pegunungan atau dataran tinggi, kerap tidak diperhitungkan dengan patut sebagaimana dataran rendah. Itu sering dianggap sebagai dunia yang sama sekali berbeda. Oleh sejumlah kalangan terutama pemerintah, dataran tinggi bahkan dipandang sebagai wilayah terbelakang, tidak produktif, marginal, liar, bahkan di masa kolonial dianggap sebagai wilayah yang masih bersifat mistis dan penuh dengan hal-hal irasional (Santoso, 2019: 25). 

Dataran tinggi, utamanya di Indonesia, telah dikonstruksi sedemikian rupa melalui beragam wacana dan praktik. Sebagai komunitas yang hidup “jauh” dari kerumunan, mereka didefinisikan, dibentuk, dibayangkan, dikelola, dikendalikan, dieksploitasi, dan “dibangun” dengan deretan pendekatan, baik melalui karya akademik, kebijakan, aktivisme nasional dan internasional, hingga pemahaman masyarakat awam (Li 2002). Konstruksi mengenai wilayah dataran tinggi semakin tegas saat mereka yang menghuninya juga mengidentifikasi diri sebagai kelompok yang memilih melakoni jalan hidup berbeda. Istilah—yang mungkin akrab didengar—seperti “wong gunung” semakin memperlebar jarak dengan orang-orang yang mendiami dataran rendah. 

Namun bukan berarti mereka sepenuhnya tertutup dari kehidupan luar, apalagi saat ini. Berdasarkan catatan Li (2002), penetrasi tanaman-tanaman komersial telah membuat ekonomi hingga setiap sisi dari relasi sosial menjadi makin terintegrasi ke dalam pasar. Dia memberi contoh Sulawesi Tengah. Ledakan tanaman komersial seperti cokelat telah mengubah lanskap bentang alam dan bahkan lapisan sosial menjadi semakin tajam. 

Di Asia Tenggara, perluasan pertanian komersial atau boomcrop seperti yang dikatakan Li terjadi sejak abad ke-19. “Demam” komoditas dan akses kredit yang mudah menandai peran pasar semakin intensif hingga membuat komodifikasi atas tanah mengakar. Ketika suatu wilayah mengalami “demam” terhadap komoditas tertentu, orang-orang dari luar akan datang alias mendorong migrasi besar-besaran. Orang yang pindah berharap menjadi makmur. Akibat dari ini adalah meningkatnya penjualan tanah kepada para pedagang (Hall.et.all, 2020). Sebelum dapat melakukan itu, para petani akan berupaya mendapatkan klaim formal dan sifatnya perseorangan atas tanah yang sebelumnya diatur dengan kesepakatan lebih luwes. 

Demam komoditas budi daya punya tiga ciri penting. Pertama, melibatkan pesatnya konversi lahan besar-besaran untuk produksi monokultur (nyaris monokultur) (Hall. et. all, 2020). Kedua, biasanya diikuti dengan perubahan penggunaan tanah. Terakhir soal peran dan fungsi para aktor. Ada tiga aktor utama dalam soal ini: petani kecil yang adalah jantung dari semua demam ini; pemerintah yang biasanya berperan memberi subsidi, pinjaman, bantuan, dan infrastruktur; dan perusahaan-perusahaan agrobisnis yang mendirikan perkebunan, menyediakan teknologi produksi, serta merancang industri hilir pengolahan dan pemasaran (Hall. et. all, 2020).

Apa yang terjadi di di Lembang Bu’ne tidak jauh berbeda. Sebelum istilah “desa” atau “kelurahan” dikenal luas, masyarakat sekitar menyebut lingkungan mereka sebagai “galarang”. Lembang Bu’ne merupakan bagian dari Galarang Lembayya, sekarang dikenal dengan Desa Rappolemba. Dahulu, berdasarkan penuturan warga, orang-orang dapat memanfaatkan lahan secara kolektif. Setiap orang dapat mengakses tanah secara bebas dan mengambil manfaat darinya. “Satu petak lahan biasa dipakai oleh 10 orang sekaligus,” begitu kata salah satu dari mereka. “Bu’ne” dalam Lembang Bu’ne berarti ‘buah-buahan’, sementara “Lembang” itu sendiri berarti ‘lembah’. Nama sudah menandakan kemakmuran tempat itu. 

Pada 1970-an, kampung yang awalnya memenuhi kebutuhan pangan dari nasi jagung dan umbi-umbian ini mulai dipenuhi oleh beras dan sayuran seperti sawi dan wortel. Komoditas ini diperkenalkan oleh pemerintah dengan dalih bantuan. “Supaya bisa berkembang masyarakat,” ucap Tata kepada saya menurut ingatannya yang sudah samar, sembari kami mengerjakan tanah yang akan ditanami. Pada tahun 1990-an, penanaman tanaman hortikultura semakin intensif. Hal ini ditandai dengan membeludaknya bantuan bibit dan pupuk dari pemerintah setempat. 

Saat boomcrop hortikultura “mendarat” di Lembang Bu’ne, kepemilikan atas tanah menjadi lebih tegas. Semua orang mulai memagari kebun masing-masing. Dengan kata lain, skema kepemilikan pribadi mulai tampak. Skema penguasaan atas lahan-lahan penghidupan berubah sedemikian rupa juga terjadi di tengah-tengah situasi konflik antara ABRI dan gerombolan DI/TII. Saat situasi memanas, menurut salah satu warga, mereka diungsikan ke wilayah dataran rendah. Selama masa pengungsian itu warga berjarak dengan tanah-tanah di kampung mereka. 

Pola penguasaan atas tanah berubah drastis di kampung tersebut sejak sawi muncul. Tentu ada yang tersingkir. Salah satunya adalah Tata. Dia menggarap lahan yang bukan miliknya sendiri. Petani kecil atau yang biasa disebut petani gurem terpaksa menggarap lahan meskipun hasilnya jauh dari kata cukup. Mereka bertahan karena terbatasnya pilihan yang dapat diambil. Berusaha memiliki tanah sendiri jelas sulit, jika tak mau dibilang mustahil, pun jika hendak beralih ke pekerjaan lain di luar sektor pertanian sebab minimnya keterampilan hingga rezim tenaga kerja yang semakin sulit menyediakan peluang.  

Tata mengerjakan lahan milik Armi, nama samaran, seorang Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang sebenarnya masih keluarganya. Dalam relasi produksi semacam ini, hubungan keluarga tidak lagi penting dan menjadi prinsip untuk kesejahteraan bersama. Armi tetaplah pemilik lahan, sedang Tata hanya petani penggarap, tidak lebih. Hasil panen (dalam kasus Tata, sayur-mayur) dijual seluruhnya, hasilnya kemudian harus dibagi dengan pemilik lahan. Jadi, ketika tetap mendapatkan upah stabil per bulan sebagai PNS, Armi juga mengumpulkan pundi-pundi keuntungan dari lahan miliknya yang dikerjakan oleh orang lain tanpa perlu menginjakkan kaki secara langsung pada tanah. 

Armi dapat digolongkan ke dalam kategori “petani-kapitalis profesional”, orang yang memiliki pekerjaan non-pertanian, berpendidikan tinggi, serta memiliki pekerjaan profesional (Yistiarani, 2024). Sedangkan Tata tergolong “kelas pekerja” pertanian yang dikontrol oleh penguasa desa. Mereka tidak memiliki alat produksi dan menjual tenaga kerja sepanjang tahun untuk memenuhi kebutuhan hidup (Yistiarani, 2024). 

Lahan-lahan yang dihiasi hutan-pegunungan sebagai latar, aliran sungai jernih, kabut tipis, hingga lanskap yang hampir semuanya hijau jelas memikat setiap orang, termasuk saya. Namun, potret orang-orang yang hidup di sana tidak selalu terwakilkan dari apa yang tampak di hadapan kita. Sebagian sisinya menggambarkan kesuraman seperti Tata. Meski sistem bagi hasilnya 50:50, petani penggarap tetaplah pihak yang mencurahkan tenaga kerja paling banyak. Segala bentuk ancaman pada lahan seperti kekeringan, serangan hama, biaya pergantian, hingga anjloknya harga pasar pun menjadi urusan penggarap. 

Dalam seluruh siklus produksi, Tata harus menghadapi banyak rantai yang dapat membuatnya menjadi semakin rentan. Mengurus kebun milik orang lain membuat hasil yang dapat ia terima sering kali tidak sebanding dengan tenaga kerja yang dicurahkan sepanjang tahun. Belum lagi ketidakpastian cuaca kerap membuat petani gagal menentukan waktu tanam yang tepat. Beberapa petani kecil yang lebih dulu menanam sayur harus merugi di tengah musim kemarau di Lembang Bu’ne saat itu. Tanaman mereka banyak yang mati. Opsi lain adalah mengurangi frekuensi tanam, namun akibatnya adalah semakin sedikit pendapatan. 

Kol, kentang, dan bawang merah merupakan komoditas andalan kampung ini. Tanaman-tanaman tersebut ada di hampir setiap lahan. Saat saya ke sana banyak tanaman kol sudah mati dan dibiarkan begitu saja. 

Para petani di desa ini bersaing dengan petani desa sebelah yang juga memiliki tanaman sama. Sayangnya petani di kampung ini lebih sering kalah. Akses jalan yang lebih sulit dan jauh (karena berada di ujung) membuat kampung Tata masuk dalam urutan terakhir yang didatangi pedagang. “Lebih sering ambil tanaman yang dekat-dekat,” ucap Tata. Dia menambahkan betapa para petani bergantung pada perantara (tengkulak). Meski harganya murah, namun mereka tetap menjualnya. “Daripada busuk ih,” katanya. Ancaman dan ketidakpastian seperti ini merupakan kenyataan mereka sehari-hari. 

Selain itu punya lahan saja jelas tidak cukup. Keterbatasan modal membuat banyak petani tetap tidak bisa berproduksi.  “Lihat mi itu (sambil menunjuk lahan di sebelah), Dibiarkan saja karena tidak ada sekali modalnya untuk beli bibit sama pupuk,” katanya. Meski di tengah deretan pegunungan dan lahan yang tampak kaya, beberapa petani yang hidup sebagai orang gunung tidaklah selalu menampakkan kesejahteraan dan ketenangan sebagaimana yang sering dinikmati oleh para pendaki. 

Saat perjalanan pulang, begitu hari mulai gelap, setelah mengurus pipa-pipa yang sudah mulai rusak, kami berhenti sejenak melihat sumber air yang begitu deras. Saya heran, di tengah mata air yang begitu deras, mengapa beberapa orang masih terjepit dengan kondisi kekeringan? Saya bertanya ke Tata dan dia menjawab, “Milik pribadi memang itu air. Siapa-siapa yang duluan dapat dan punya uang banyak bisa langsung na kerja. Dan tidak dibagi mi lagi, untuk satu keluarga ji saja.” Modal yang sedikit membuat beberapa orang terpaksa menahan diri untuk mengurus sistem irigasi lebih cepat. Modal pada akhirnya menentukan sejauh mana rumah tangga dapat mengontrol sumber penghidupan yang tersedia di kampung. Dalam beberapa kasus, orang yang lebih dulu mendapatkan sumber air tetap tak bisa berkutik banyak saat dihadapkan dengan modal untuk pembelian pipa (termasuk biaya yang lain). Siapa yang pertama kali memasang pipa, maka ia adalah pemiliknya. 

Kami melanjutkan perjalanan dan beristirahat kembali saat hampir sampai rumah. Kami menghisap rokok masing-masing sembari duduk di pinggir kebun. Saya mencoba menggali lebih banyak cerita. Tata selalu memberikan jawaban ringkas, termasuk perkara kepemilikan atas air. Menurutnya dahulu sumber air dapat dimanfaatkan oleh semua orang, baik untuk kebutuhan domestik maupun irigasi kebun. Namun, saat tanaman pasar seperti sawi dan wortel mulai muncul di kampung, relasi orang-orang dengan sumber daya bersama perlahan berubah. Kepemilikan atas sumber daya semakin tegas. Masing-masing sibuk dengan kebun sendiri dan mereka—mungkin secara tidak sadar–bersaing meraup keuntungan sebesar-besarnya dengan memproduksi tanaman pasar. Sumber daya yang tadinya dapat dimanfaatkan bersama pun menjadi terprivatisasi berdasarkan modal yang dimiliki oleh masing-masing rumah tangga. 

Didorong oleh persaingan, tuntutan produktivitas, hingga bayangan soal pundi-pundi uang yang dapat dikumpulkan, masing-masing rumah tangga akhirnya merasa perlu memiliki jaring pengaman sumber penghidupan yang sedang diusahakan. Salah satunya yakni sumber air. Air adalah penyangga kehidupan, utamanya bagi tanah pertanian. Seiring waktu, mata air yang mulanya berlimpah menjadi kian tipis. Ini semakin memperkuat konsentrasi kepemilikan dan akses atas air  yang dapat dimanfaatkan oleh orang-orang di kaki gunung. Orang-orang yang memiliki modal lebih banyak cenderung lebih diuntungkan.


Catatan Refleksi

Lembang Bu’ne dan banyak desa sejenis sering disebut sebagai “desa terakhir” oleh para pendaki gunung. Ia hanya dapat diakses setelah menempuh perjalanan panjang dan melelahkan. Namun demikian, segalanya terbayar setelah sampai. Gugusan vegetasi hijau dan rapat, kabut tipis, hingga suara cericit burung hingga serangga menghasilkan suasana magis yang dibutuhkan manusia perkotaan.  Semuanya kian lengkap dengan betapa hangatnya orang-orang desa menjamu tamu. Paket lengkap ini menegaskan bahwa perdesaan adalah tempat pelarian paling cocok. 

Kondisi-kondisi demikian menjadi dasar untuk memandang desa secara romantik; sebagai suatu komunitas yang adem ayem, guyub rukun, tenteram, hingga memiliki hubungan persaudaraan kuat, baik antaranggota keluarga, komunitas desa, maupun orang dari luar. Kesan ini tertanam di kepala kelompok para pendaki gunung. Mereka melihat desa tanpa konflik, apalagi jika memang hanya sekadar singgah. 

Pernahkah para pendaki memikirkan lebih dalam dari itu? Pernahkan para pendaki tidak sekadar memikirkan tentang kegagahan puncak gunung dan lebatnya hutan yang sedemikian rupa memanggil untuk dijelajahi? Pernahkah para pendaki berpikir tentang orang-orang yang mereka tumpangi rumahnya, tentang posisi mereka dalam masyarakat? Pernahkan para pendaki bertanya dan mendengar dengan segala kerendahan hati, kira-kira apa yang mengkhawatirkan mereka yang sepenuh hidupnya bergantung pada tanah, air, dan segala sumber daya yang dapat dimanfaatkan di hutan-hutan? Kompleksitas dinamika perdesaan khususnya masyarakat tani di kaki gunung seharusnya membawa kesadaran tertentu bagi para pendaki untuk tidak sekadar berkunjung, naik hingga beberapa hari, turun, lalu pamit pulang—begitu seterusnya. 

Naik gunung adalah perjalanan yang tidak pernah benar-benar berakhir karena yang sebenarnya kita tuju bukanlah semata tugu bertulis nama puncak, melainkan sesuatu yang terus kita jelajahi di dalam diri kita sendiri—yang terhubung dengan kehidupan yang lebih besar di luar sana. Kesederhanaan hidup di alam bebas telah mengajari kita untuk menikmati “apa yang ada, bukan apa yang diinginkan”. Sebotol air tampak sangat berharga saat seseorang berada dalam kondisi darurat. Begitu pula bagi sebagian petani yang tengah berjuang membangun penghidupan dan keluarganya. Oleh karena itu, hiduplah lebih lama bersama mereka yang terpinggirkan akibat kekuasaan segelintir orang.


Referensi

Hery Santoso (2019). Raja Merah di Ladang Kentang: Pertaruhan dan Pembentukan Relasi Kapitalis di Pegunungan. Interlude.

Tania Murray Li. 2022. Kisah Kebun Terakhir. Marjin Kiri: Tangerang Selatan.

Wida Dhelweis Yistiarani. 2024. Geger Gedhen di Pesisir Selatan Jawa: Pembangunan Bandara dan Dinamika Kelas Agraria di Yogyakarta. Yogyakarta: Penerbit Independen & IndoProgress.   

Hall, et.al. 2020. Kuasa Eksklusi. InsistPress: Yogyakarta


Muhammad Riski, akrab disapa Yoyo, bergiat di Perkumpulan Cita Tanah Mahardika (CTM), Gowa

]]>
Kerusakan Ekologis Pantura hingga Perampokan Hak Buruh https://indoprogress.com/2025/03/kerusakan-ekologis-pantura-hingga-perampokan-hak-buruh/ Fri, 07 Mar 2025 21:47:13 +0000 https://indoprogress.com/?p=238821

Foto: Buruh Semarang saat banjir rob (ANTARA via Republika)


DALAM sepuluh tahun terakhir, Provinsi Jawa Tengah menjadi tujuan relokasi pabrik dari berbagai wilayah di Jawa Barat dan Banten. Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Jabar mencatat jumlah pabrik yang direlokasi ke Jateng sepanjang 2019-2023 saja sebanyak 33. Sementara Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) Jateng menyebut per 2024 ada 97 perusahaan sudah pindah ke wilayah mereka. Investasi yang masuk ke Jateng didominasi oleh perusahaan berstatus Penanaman Modal Asing (PMA), terutama di sektor padat karya seperti barang dari kulit dan alas kaki, industri mesin, elektronik, alat kesehatan, dan tekstil.

Alasan yang mengemuka di media, banyak pabrik pindah karena upah minimum di daerah sebelumnya terlalu tinggi. Dengan kata lain, agar terus dapat menghasilkan profit semaksimal mungkin, pemodal memanfaatkan kesenjangan upah antarwilayah. Selain itu, Jateng juga dipilih karena adanya fasilitas lain dari negara, yaitu berbagai kawasan industri beserta infrastruktur pendukungnya. Hingga Juli 2024, Jateng memiliki delapan kawasan industri.

Apa hanya itu? Tidak. Berbagai regulasi lain dibuat oleh pemerintah pusat maupun daerah untuk melayani pemodal. Misalnya, Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Jateng 2024-2044 Pasal 44 melegitimasi alih fungsi lahan sampai 53.530 hektare di berbagai daerah untuk menjadi kawasan industri. Peraturan Gubernur Nomor 37 Tahun 2023 bahkan mencantumkan visi “Menjadikan Jawa Tengah Ladang Investasi 2025”. Di dalam tersebut terdapat berbagai promosi untuk pemodal seperti: 1) pengurangan, keringanan, atau pembebasan pajak daerah; 2) pengurangan, keringanan, atau pembebasan retribusi daerah; 3) pemberian dana stimulan; dan/atau 4) pemberian bantuan modal. Dua regulasi ini merujuk pada Peraturan Presiden Nomor 79 Tahun 2019 tentang Percepatan Pembangunan Ekonomi Kawasan. Dalam peraturan tersebut diatur perluasan kawasan industri di beberapa daerah Jateng: Kedungsepur yang terdiri dari Kendal, Kota Semarang, Semarang, Kota Salatiga, Demak, dan Grobogan; Purwomanggung yang terdiri dari Purworejo, Wonosobo, Magelang, Kota Magelang, dan Temanggung; serta Bregasmalang yang terdiri dari Brebes, Kota Tegal, Tegal, dan Pemalang.

Pemerintah mempromosikan kawasan industri di Jateng dengan menonjolkan konektivitas infrastruktur (Arifin, 2023) seperti dengan jalan tol, pelabuhan, dan bandara. Soal perizinan pun dipangkas melalui sistem pelayanan satu atap. Kemudian para kepala daerah disiapkan untuk punya satu visi dalam melayani investasi.

Sampai sini, tampak tiga faktor yang kerap digunakan untuk mempromosikan kawasan industri di Jateng, yaitu upah “kompetitif” (baca: murah), aksesibilitas, dan ketersediaan pasokan buruh. Bahkan untuk faktor terakhir pemerintah menarasikan bahwa buruh di Jateng itu loyal dan ramah terhadap pemilik perusahaan, ditandai dengan minimnya aktivis perburuhan atau serikat buruh yang berkonfrontasi dengan perusahaan yang melanggar hak normatif. Semua narasi yang dibangun diarahkan untuk menciptakan citra bahwa Jateng itu ramah investasi.


Alih Fungsi Lahan dan Krisis Ekologi

Alih fungsi lahan untuk kawasan industri di Jateng memicu krisis ekologi yang tidak saja berdampak pada perubahan bentang alam, tapi juga menjadi persoalan struktural. Contoh kasusnya terjadi di Semarang. Tanah berbukit yang masih rindang dengan hutan belantara diubah menjadi kawasan industri Bukit Semarang Baru (BSB). Akibatnya bisa ditebak, daerah tersebut menjadi kerap diterjang banjir (Batubara, 2021). Perkara banjir tentu saja memicu masalah-masalah lain termasuk kesehatan.

Di hulu, alih fungsi lahan untuk industri juga meminggirkan warga lokal pemilik tanah. Mereka dipaksa menjual tanahnya kepada pengembang. Sementara di hilir, alih fungsi semakin memiskinkan para petani tambak.

Negara juga abai melihat dampak krisis lingkungan terhadap buruh. Di kawasan industri Lamicitra Nusantara, banyak perusahaan meliburkan buruh karena pabrik terendam air rob. Jika terjadi banjir, aktivitas produksi memang lumpuh total. Tapi perusahaan tidak mau rugi. Apa yang mereka lakukan adalah memotong upah buruh atau buruh dipaksa mengambil cuti tahunan. Situasi ini terjadi di sepanjang kawasan industri di Pantai Utara (Pantura) Jateng.

Setiap musim penghujan, daerah Pantura memang langganan banjir karena permukaan tanah menurun serta masifnya pembangunan kawasan-kawasan industri di sepanjang bibir pantai. Beberapa media melaporkan ketinggian banjir bisa mencapai hingga dua meter. Berikut peta kerentanan banjir Pantura Semarang-Demak:

Dalam proses industrialisasi, sepaket dengan infrastruktur adalah ketersediaan lahan, baik untuk permukiman para buruh maupun tempat produksi. Pembangunan sepuluh tahun terakhir telah mengubah struktur ruang sehingga menciptakan kerentanan terhadap banjir. Dengan kalimat sederhana, banjir disebabkan karena hancurnya daerah tangkapan air oleh masifnya alih fungsi lahan untuk Industri.


Meraup Untung di Tengah Kerusakan Ekologi

Selain Lamicitra, Kawasan Industri Wijayakusuma (KIW) yang terletak di Kecamatan Mangkang, Semarang Barat, juga menjadi langganan banjir. Jika banjir datang, perusahaan-perusahaan di kawasan tersebut merumahkan pekerjanya tanpa upah. Bahkan banjir kerap dimanfaatkan oleh perusahaan untuk melakukan pemecatan massal. Sialnya lagi, pemecatan kerap tidak dibarengi dengan pemberian pesangon. Banyak perusahaan memaksa buruh yang dipecat sekadar menerima uang tali asih. Uang tali asih adalah uang yang diberikan perusahaan kepada buruh ketika tidak ada lagi hubungan kerja. Nominalnya suka-suka perusahaan, tidak memperhitungkan berapa lama buruh sudah bekerja.

PT Lucky Textile adalah salah satu yang mempraktikkan uang tali asih. Pada 2023 lalu mereka merelokasi pabrik yang berujung pada pemecatan massal. Relokasi dilakukan karena banjir rob sampai menenggelamkan kawasan industri Lamicitra. Mereka menawarkan para buruh ke tempat baru di Kabupaten Demak, namun dengan upah yang disesuaikan. Upah minimum Kabupaten Demak sebesar Rp2.761.236, lebih sedikit dari Kota Semarang yang sebanyak Rp3.243.969. Karena perbedaan upah cukup besar dan pertimbangan harus pindah tempat tinggal atau menempuh perjalanan yang jauh untuk ke pabrik, ada yang akhirnya menolak. Mereka yang tidak ikut hanya mendapatkan uang tali asih.

Kasus serupa juga terjadi di perusahaan asal Korea Selatan yang berdiri pada 2006, PT Victory Apparel Semarang. Dalih perusahaan adalah banjir menyebabkan produksi tidak berjalan dan rugi. Sebanyak 50 buruh yang rata-rata masa kerjanya 2-3 tahun di-PHK. Mereka hanya menerima uang tali asih sebesar satu bulan upah, padahal hubungan kerjanya adalah pekerja tetap (PKWTT).

Selama banjir rob, keselamatan buruh dipertaruhkan dan mereka sendirilah yang menanggung akibatnya. Momen banjir rob 2022 lalu contohnya. Serikat menyebut sekitar 15.000-an buruh terdampak banjir rob, dengan satu pabrik rata-rata memiliki 1.500 buruh. Perusahaan-perusahaan yang terkena dampak dijamin Pemerintah Kota Semarang berupa asuransi atau biaya pemulihan/ganti kerugian, tapi di sisi lain aset yang dimiliki buruh seperti sepeda motor tidak ditanggung sama sekali baik oleh perusahaan atau pemerintah. Perusahaan akan berdalih bahwa banjir rob juga merugikan mereka secara material sehingga mengelak kewajiban.

Surutnya banjir juga tidak begitu saja menyelesaikan persoalan. Setelah banjir, kondisi jalan masuk kawasan industri akan sangat parah. Licin. Banyak buruh yang tergelincir. Sudah banyak yang mengeluhkan kondisi di Lamicitra ini, namun pengelolah kawasan industri mengabaikan keluhan.

Berikut daftar perusahaan di kawasan industri Lamicitra yang merumahkan buruh pada saat banjir rob 2021-2023:

Berikut dampak yang ditanggung buruh kawasan industri Lamicitra hasil wawancara langsung:

Dinas Tenaga Kerja Tidak Berguna

Dinas tenaga kerja tumpul. Jika ada buruh melaporkan pelanggaran, alih-alih menjatuhkan sanksi tegas, mereka malah menjadi seperti humas perusahaan. Dinas tidak bisa menjalankan tugas sebagai pengawas. Hal ini dilihat dari pembiaran adanya PHK massal terhadap ribuan buruh. Lebih dari itu, kompensasi sepenuhnya diserahkan kepada “kesepakatan” antara pengusaha dan buruh yang posisinya tidak pernah seimbang. Dalam kondisi yang rentan, tentu banyak buruh menerima PHK tanpa kompensasi atau sekadar uang tali asih yang nominalnya sangat sedikit.

Dinas juga justru menerangkan bahwa masih banyak perusahaan yang membuka lowongan pekerjaan baru serta masih ada pula perusahaan melakukan relokasi ke Jateng. Pernyataan ini coba menghilangkan jejak pertanggungjawaban kepada publik soal pengendalian gelombang PHK massal yang terjadi.

Hal lain yang menunjukkan betapa dinas tidak berguna adalah kasus di PT Grand Best Indonesia (PT GBI). Karena terdampak banjir, mereka hanya memberikan pembayaran upah selama seminggu. Selebihnya tidak ada kompensasi sama sekali bagi para buruh. Federasi Kesatuan Serikat Pekerja Nasional (FKSPN) lalu meminta PT GBI memenuhi hak-hak buruh selama dirumahkan. Namun permintaan itu diabaikan. Serikat kemudian mengadu ke Dinas Tenaga Kerja (Disnaker) Semarang. Alih-alih mendapatkan jaminan serta melakukan pemantauan atau memeriksa perusahaan, dinas malah cenderung tidak peduli. PT GBI berdalih mengalami kerugian seperti produksi tidak berjalan, ekspor terhenti, dan lain-lain. Perusahaan tidak bisa membuktikan klaim merugi.

Ketika banjir terjadi, pemerintah hanya fokus memperbaiki tanggul yang jebol dengan menguras air di kawasan industri dengan pompa. Apa yang dialami buruh ditanggung mereka sendiri, selain bantuan seadanya dari sesama buruh lain yang bersolidaritas.

Jumaris, bukan nama asli, adalah salah satu buruh yang merasakan langsung betapa tidak ada gunanya dinas. Dia pernah bekerja di PT Bogowonto Primalaras, perusahaan furnitur yang terletak di Wijayakusuma (KIW).

Perusahaan ini memaksa buruh untuk tetap bekerja meskipun dalam kondisi banjir yang airnya bisa setinggi lutut orang dewasa. Upah para buruh dipotong jika tidak masuk. Beberapa buruh mencoba berkomunikasi ke HRD karena tidak bisa masuk sebab kebanjiran. Tapi perusahaan tetap memaksa dengan ancaman PHK. Perusahaan ini mempekerjakan buruh dengan status PKWT dan PKWTT tanpa salinan perjanjian kerja (hanya lisan). Total buruh yang dipekerjakan sebanyak 300-an.

Dengan alasan banjir, perusahaan dengan mudah melakukan PHK sepihak. Mereka juga tidak memberikan hak-hak buruh selama dirumahkan. Total buruh yang kemudian menerima surat PHK sebelum Lebaran 2024 mencapai 72. Salah satunya adalah Jumaris yang sudah bekerja 7 tahun dengan status pekerja kontrak.

Jumaris dan teman-temannya yang bekerja di bagian gudang kemudian melapor ke Disnaker Kota Semarang. Pada saat mediasi, perusahaan berdalih tidak memiliki kemampuan finansial untuk membayar THR dan terpaksa memutus hubungan kerja. Perusahaan hanya memberikan keterangan secara lisan bahwa mereka akan memberikan THR sebesar 30 persen bagi pekerja kontrak dan 100 persen bagi pekerja tetap. Namun itu pun belum jelas kapan. “Kontrak kerja kami sudah selesai. Untuk THR perusahaan mencoba berusaha, tetapi perusahaan tidak bisa menjanjikan apakah diberi atau tidak. Walaupun THR ada tetapi tidak full, berapa persennya perusahaan belum menentukan,” kata Jumaris.  “Akan diusahakan nanti di bulan Januari 2024. Pihak perusahaan tidak wajib memberikan THR sebelum hari Lebaran,” demikian ucap manajemen saat mediasi.

Tidak berhenti di situ, Jumaris dan teman-temannya pun kesulitan mengklaim Jaminan Hari Tua (JHT) karena status mereka telah dinonaktifkan oleh perusahaan sebelum di-PHK.

Maka demikianlah perbincangan sehari-hari buruh Pantura yang terdampak banjir rob: tentang ancaman banjir, ancaman efisiensi, ancaman PHK, dan ancaman-ancaman lain.

Nasib serupa dialami Sugi, juga bukan nama asli. Sejak 2010 sampai 2023 dia bekerja di PT Wijaya Mandiri Pratama di Kecamatan Mranggen Kabupaten Demak sebagai pegawai tetap. Dia awalnya ditempatkan sebagai operator mesin lewat secara lisan (tanpa perjanjian tertulis). Kemudian, pada suatu hari, Sugi dimutasi ke bagian serbuk kayu (mengolah limbah furnitur). Dia mulai di divisi baru pada November 2023.

Selama bekerja di divisi baru, Sugi digaji Rp100 ribu per hari, dibayarkan tiap dua pekan sekali. Pendapatan maksimalnya sebulan hanya Rp2,6 juta—Rp3 juta kalau lembur. Angka ini lebih rendah dibanding yang dia dapat di divisi lama. Selain itu pekerjaan barunya juga lebih berisiko karena setiap hari dia terpapar serbuk/debu sisa furnitur. Perusahaan tidak menyediakan alat pelindung diri. Sugi protes. Perusahaan malah merespons dengan meminta Sugi mengundurkan diri. Perusahaan berjanji memberinya uang tali asih dan uang jasa. Namun sampai saat ini janji itu masih sekadar janji. Dia belum mendapatkan kabar sama sekali dari perusahaan.

Dengan motif menagih janji, Sugi kemudian melaporkan kronologi ke dinas tenaga kerja. Dia kemudian hanya diberikan sepucuk surat draf bipartit oleh bagian pelayanan tanpa mendapatkan penjelasan yang melegakan perasaan. Selang beberapa hari kemudian surat tersebut ia ajukan ke PT Wijaya Mandiri Pratama melalui HRD dan personalia. Saat itu dia mendapatkan kabar bahwa uang kompensasi masih diproses.

Saat ini Sugi telah di-PHK, tapi surat PHK-nya tidak ada. “Saya enggak minta banyak, semau perusahaan mau ngasih berapa saya terima, daripada ini satu rupiah pun tidak pernah diberikan. Uang tersebut saya mau pakai kebutuhan keluarga pada bulan Ramadan ini dan keperluan belanja kebutuhan menjelang Idulfitri,” kata Sugi.

Sugi sudah berupaya berkonsultasi ke salah satu perwakilan serikat yang lumayan tenar di Kabupaten Demak, namun tak kunjung mendapat kabar. Nomornya pun diblokir oleh HRD. Beberapa kali ia berupaya menelepon dan mendatangi perusahaan namun tidak direspons. Kejadiannya selalu terulang. Pada saat menagih ke perusahaan, HRD meminta salinan surat keputusan (SK) kerja, padahal perusahaan tidak pernah memberikannya. “Meskipun saat ini saya bekerja di perusahaan lain, tempat kerja baru, namun belum ada kepastian terkait THR, padahal sudah bekerja hampir 2 tahun,” pungkas Sugi.


Pabrik Baru, Rasa Penindasan Lama

Pada Oktober 2024, keluar pernyataan mengejutkan dari ketua Apindo Jateng. Dia menyatakan bahwa Kota Semarang dan Kabupaten Demak mulai ditinggalkan investor. Mereka pindah karena beberapa alasan, katanya, mulai dari banjir rob terlampau sering, harga tanah mahal, sampai upah minimum yang terlalu tinggi. Para investor kemudian relokasi ke Brebes, Tegal, Pati, Jepara hingga Grobogan. Jejak yang mereka tinggalkan setelah relokasi tidak lain adalah kerusakan lingkungan. Perusahaan membiarkannya begitu saja, begitu juga pemerintah yang mengukur dari sisi pertumbuhan ekonomi saja.

Selain itu, perusahaan juga meninggalkan kawasan industri semarang dengan melakukan PHK tanpa pesangon, memaksa para buruh menerima uang tali asih saja, juga langkah-langkah lain yang bertentangan dengan aturan hukum. Banyak perusahaan tidak berunding dulu dengan serikat ketika proses relokasi. Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Semarang menemukan perusahaan melakukan PHK secara bertahap, dengan dalih kondisi sedang merugi (tidak ada pesanan).

Di tempat baru pun situasi tidak membaik bagi buruh. Contohnya yang terjadi di  PT Lucky Textile di Kabupaten Demak (LTS 3 Demak). Perusahaan yang berdiri pada 2021 dan beroperasi setahun kemudian ini adalah perluasan dari PT Lucky Textile Kota Semarang. Salah satu yang bekerja di sana adalah Nur. Ketika rumahnya terdampak banjir, begitu juga 6 kilometer jalan menuju perusahaan sepanjang Jalan Pantura Demak, perusahaan memintanya mengambil cuti tahunan dengan bukti surat keterangan dari RT/RW setempat. Hal ini dialami ratusan buruh lain. Perusahaan akan memotong upah buruh jika tidak menunjukkan surat keterangan RT/RW.

Pelanggaran lain yang dilakukan PT Lucky Textile adalah mereka melakukan demosi terhadap 350 buruh. Mereka diberikan surat peringatan (satu dan dua) dan diancam di-PHK. Para buruh bahkan mendapat surat peringatan satu hanya karena terlambat lima menit. HRD pun kerap membuat aturan sendiri di luar peraturan perusahaan.

Cerita lain dialami buruh PT RCL Travelware Indonesia, perusahaan yang memproduksi koper, beralamat Kabupaten Demak. Ratna, bukan nama asli, bekerja sebagai operator di sana dengan status kontrak sejak 19 November 2023, lalu masa kerja diperpanjang selama 4 bulan hingga 27 Maret 2024. Pada Februari 2024, daerah Karanganyar Demak kebanjiran. Aktivitas Jalan Pantura lumpuh. Bukan hanya Ratna, kawan-kawannya juga terdampak. Seorang buruh kemudian meminta HRD “dispensasi” terhadap karyawan terdampak. Namun HRD malah menjawab bahwa buruh “boleh izin tanpa upah.” Dia juga mengatakan “perusahaan butuh karyawan yang niat bekerja. Jika dirasa tidak niat kerja, silakan resign.”

Perusahaan kemudian mengeluarkan surat pengumuman libur selama dua hari (12-13 Februari), namun buruh tidak mendapatkan gaji penuh. Dengan kata lain, terjadi pemotongan upah. Cerita lain dari kawan Ratna, di bagian supervisor, tidak masuk kerja sehari karena terdampak banjir dan upahnya dipotong sampai Rp500 ribu. Setelah masuk, mereka dipaksa lembur selama dua sampai tiga jam. “Banyak teman-teman yang dikena SP karena tidak ikut lembur,” kata Ratna.

Perusahaan pun sering telat memberikan slip gaji. “Rincian slip gaji tersebut membuat saya dan rekan-rekan kerja kaget karena potongannya banyak sekali. Hal tersebut mengundang reaksi dari saya dan rekan-rekan kerja, mengeluhkan pemotongan upah karena pemotongan tersebut tanpa dasar dan alasan yang jelas,” kata Ratna.

Ratna dan kawan-kawannya mengeluh di grup Whatsapp soal semua ini. Obrolan pun melebar. Ratna dan teman-temanya juga mengeluhkan jangka waktu kontrak mereka yang sangat pendek—satu sampai tiga bulan saja. Ratna dan teman-temanya kemudian berpikir untuk membentuk serikat dan ingin melaporkan tindakan perusahaan sebab mereka menyalahi aturan yang berlaku.

Pada 26 Maret 2024, Ratna tiba-tiba dipanggil HRD. “Akhirnya saya diberi surat PHK dari perusahaan tanpa alasan yang jelas,” cerita Ratna. Menurutnya pada saat pertemuan tersebut HRD sempat menyinggung pembicaraan Ratna dan kawan-kawannya di grup Whatsapp. “Saya baca semua percakapan di grup ‘line 12-softcase’… Mbak Ratna bisa mencari perusahaan yang dirasa lebih baik,” kata HRD sepenuturan Ratna. Pada hari itu juga dia di-PHK. Tidak ada surat peringatan sama sekali. Ratna yang tidak sepakat kemudian mengirimkan surat penolakan PHK sepihak tertanggal 28 Maret, namun surat tersebut tidak diterima oleh HRD dan dia pun menolak menandatangani tanda terima surat tersebut.

Setelah Ratna di-PHK, dia mendapat kabar dari kawan-kawannya di line yang sama bahwa HRD menyuruh mereka tidak lagi membicarakan apa pun di luar pekerjaan di grup Whatsapp. Ini termasuk membentuk serikat dan menuntut hak.


Penutup

Ada tiga poin yang dapat merangkum artikel ini. Pertama, negara menyediakan regulasi pro-pemodal dengan mempercepat kawasan industri, yang dampaknya adalah kerusakan lingkungan di sepanjang Pantura.Kedua, karena pro-pemodal, pemerintah pun mengabaikan eksploitasi perusahaan terhadap buruh. Ketiga adalah pelanggaran perusahaan itu sendiri. Dari mulai memaksa buruh bekerja walaupun banjir, memotong upah mereka, sampai menjadikan banjir rob sebagai alasan melakukan PHK massal atau mengganti status buruh dari tetap ke harian.

Pemerataan sering menjadi alasan pemerintah ketika “membangun” suatu daerah. Namun, dalam kasus ini, itu hanya berujung pada kerusakan.


Muhammad Safali adalah advokat publik divisi buruh LBH Semarang

]]>
Cerita Kaum Miskin Kota di Ujung Jakarta https://indoprogress.com/2025/01/cerita-kaum-miskin-kota-di-ujung-jakarta/ Tue, 21 Jan 2025 00:00:30 +0000 https://indoprogress.com/?p=238701

Foto: Salah satu bangunan yang tenggelam karena kenaikan air laut. Dokumentasi pribadi.


RASANYA sudah menjadi rahasia umum bahwa Jakarta seperti koin yang memiliki dua sisi. Di satu sisi ia adalah kota metropolitan dengan segala gemerlap kemewahan, tapi di sisi lain juga terkenal dengan ketimpangan. Slum area menjadi momok yang tidak bisa lepas dari kota ini. Sudah tidak terhitung berapa banyak karya yang mengabadikan situasi ini, namun rasanya kurang bila tidak melihatnya secara langsung. 

Maka, siang itu, kami bertolak ke Kampung Muara, salah satu daerah terujung Jakarta. Daerah ini cukup terkenal sebab terdapat Wal Adhuna, masjid yang tenggelam dimakan air laut. Awalnya kami ke sana sekadar untuk menyelesaikan tugas kuliah, meneliti dampak pembangunan kota, tetapi ternyata berakhir dengan mendapatkan cerita baru yang tidak terlupakan. 

Di depan pintu masuk permukiman, kami disambut oleh ramainya aktivitas industri dan masyarakat yang bergantian menggunakan jalan selebar satu mobil. “Misi bu” dan “misi pak” terus terucap seiring kami melanjutkan langkah ke jalan yang kian mengecil. Tatapan bingung serta sinis cukup terasa dari warga yang sedang berkumpul di pinggir jalan, seakan memvonis bahwa kami tidak seharusnya di sini. 

Sesekali kami melihat layar ponsel untuk memastikan lokasi kediaman Ibu Enny, seorang warga yang akan kami wawancara. Kami sampai setelah melewati gang yang tidak lebih dari sehasta orang dewasa. Di depan rumah tergeletak berbagai perabotan rumah tangga, dari piring hingga mesin cuci. Di sampingnya menjulang tinggi pagar besi pembatas permukiman dan area industri. Salah satu dari kami langsung teringat tulisan yang baru dibaca beberapa waktu lalu. “Oh ini yang dimaksud, ya.” 

Wajah melongo pecah setelah terdengar suara “sebentar kak!” dari dalam rumah. Tak berselang lama, Ibu Enny keluar dengan raut wajah yang cukup lelah tetapi ditutupi dengan senyum. “Maaf ya jadi nunggu. Ibu tadi lagi beresin rumah sisa kebakaran kami,” katanya. Ibu Enny sudah menyampaikan hal itu saat kami hubungi melalui Whatsapp, namun mendengarnya secara langsung  membawa perasaan pilu tersendiri.


Hanya untuk Bertahan Hidup 

Sebelum studi perkotaan dipenuhi oleh para pemikir marxis, fenomena ruang kota hanya berfokus pada estetika fisik saja. Seiring berjalannya waktu, studi perkotaan berkembang menjadi studi multidisipliner yang juga melihat aspek individu yang menempatinya. Henri Lefebvre (1967) menjadi tokoh awal yang mengenalkan “hak atas kota” setelah melihat perebutan ruang hidup. Senada dengan Lefebvre, Manuel Castell (1978) dan David Harvey (1971) melihat kota sebagai ruang akumulasi kapital dipusatkan. Dalam hal ini, semua pihak akan bersaing mendapatkan bagian. 

Penjelasan lebih menyeluruh disampaikan oleh sosiolog asal Amerika Serikat, Harvey Molotch, lewat Urban Growth Machine (UGM) Theory. Teori ini menyatakan bahwa proses terbentuknya sebuah kota sangat dipengaruhi oleh kepentingan ekonomi. Teori UGM juga menggambarkan koalisi yang dibentuk untuk meningkatkan nilai tukar ruang kota, mencakup pengusaha, politisi, serta perusahaan publik dan swasta. Pembangunan yang berfokus pada nilai tukar lahan ini menyebabkan marginalisasi atau penggusuran masyarakat yang lebih mengutamakan nilai guna lahan untuk kehidupan sehari-hari atau komunitas. Nilai guna bagi mereka mencakup tempat tinggal yang aman serta rasa kebersamaan dan keterikatan pada komunitas. 

Penggambaran ini terasa nyata bahkan saat wawancara baru dimulai. Meski awalnya kami berfokus meneliti masalah penurunan air tanah, rasanya pembahasan Ibu Enny lebih besar dari itu. Dia menjelaskan bagaimana kehidupannya berubah sangat cepat. “Ibu itu tinggal di sini sudah dari ‘89. Dulu jalan belum setinggi ini. Ini rumah-rumah kelihatan tenggelam karena jalan sudah puluhan kali diuruk,” katanya saat kami tanya soal perubahan terbesar. 

Sebagai ground zero penurunan muka tanah, Muara Baru sering kali terdampak banjir rob. Masalah ini memang berhenti setelah giant sea wall dibangun di zaman Gubernur Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), namun proyek itu memiliki konsekuensi besar lain pada masyarakat. Mereka yang sebelumnya hidup sebagai nelayan mulai berganti profesi sebab melaut tidak lagi menguntungkan. Semenjak ada tembok setinggi tiga meter ini, nelayan harus mencari rute baru sehingga membutuhkan ongkos lebih besar. Belum lagi proyek reklamasi yang letaknya tidak terlalu jauh dari sana sudah mencemari perairan di pesisir. 

Reklamasi itu sendiri bukan sekadar proyek infrastruktur, tetapi juga simbol pembangunan kapitalistik. Proyek ini melibatkan aliansi antara pemerintah, pengembang properti, dan investor besar. Mereka membangun kawasan elite yang terdiri dari apartemen mewah, pusat bisnis, dan area hiburan yang hanya dapat diakses oleh golongan menengah ke atas. Dalam narasi pembangunan ini, masyarakat pesisir dipandang sebagai “penghalang” pembangunan, bukan sebagai pihak yang perlu diberdayakan. 

Kerusakan lingkungan menjadi konsekuensi utama dari proyek reklamasi. Pasir laut yang diambil untuk menimbun area reklamasi menyebabkan abrasi di wilayah lain, sementara aktivitas konstruksi mengganggu habitat ikan. Hal ini membuat nelayan kehilangan area tangkapan tradisional mereka. Selain itu, polusi yang dihasilkan dari pembangunan memperburuk kualitas air laut, memengaruhi kesehatan ikan dan hasil tangkapan lainnya. 

“Kalau sekarang, mau melaut harus lebih jauh lagi karena di pinggiran sudah enggak ada ikan. Tapi, nelayan kita juga enggak punya perlengkapan untuk melaut di tengah yang punya arus lebih kencang,” ujar Pak Iwan, warga yang tinggal di dekat giant sea wall

Setelah mendengar cerita itu, kami memutuskan untuk melihat langsung giant sea wall. Bangunan ini tidak lagi terbuka untuk umum karena berada di tanah milik PT Pelindo, sebuah BUMN bidang transportasi laut. Untungnya saat itu tidak ada satu pun petugas yang berjaga. Kami langsung masuk tanpa berpikir panjang. Di balik tembok tinggi itulah berdiri masjid Wal Adhuna, monumen yang menjadi bukti tenggelamnya Jakarta. 

Baru saja berjalan beberapa langkah, kami terhenti sebab melihat pemandang lain dari Jakarta. Terlihat laut membentang sampai ujung cakrawala, dipenuhi kapal kargo lalu lalang. Di sisi kiri terdapat bangunan yang seperti gudang penyimpanan berdampingan dengan lahan kosong dipenuhi puing-puing. Tak jauh dari situ apartemen berdiri megah di tepi laut. Di dekatnya ada permukiman yang berbeda 180 derajat, berdiri di atas tumpukan sampah, dikenal sebagai Kampung Bengek. Kehidupan masyarakat Kampung Bengek jauh dari kata layak. Hunian terbuat dari tripleks, belum ada jalan cor, dan tanpa sistem sanitasi yang memadai. Kondisi nyata dari masyarakat yang terpinggirkan karena pembangunan

“Jadi ini yang dimaksud Lefebvre, ya?” tebersit dalam pikiran.

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.


Antara Hak, Perjuangan, dan Kehidupan 

Ibu Enny mengatakan bahwa masyarakat Kampung Muara cenderung tidak paham dengan hak mereka sebagai warga, apalagi sampai tahap berserikat. “Masyarakat di sini betah sama kondisi mereka sendiri. Mereka selalu merasa itu bukan urusan mereka. Baru nanti resah pas mau ada penggusuran.” Bagi masyarakat, yang rumit-rumit itu urusan pemerintah dan mereka hanya mengikuti keputusan. Raut wajah Ibu Enny terlihat cukup jengkel saat membicarakan topik ini. 

Kami mencoba melihat masalah ini lebih mendalam. Rasanya tidak tepat mengatakan masyarakat salah 100 persen karena tidak berpartisipasi untuk mengupayakan hidup lebih baik secara kolektif. Ini lebih kepada ketidaktahuan mereka atas adanya pilihan lain selain berserah diri. Masyarakat kurang atau bahkan mungkin tidak mengetahui bahwa mereka berhak terjamin kesejahteraannya, untuk didengar suaranya, dan untuk dilibatkan dalam pembangunan. Dapat dikatakan ini adalah konsekuensi dari lingkungan kota yang menjadi tempat akumulasi kapital seperti yang dikatakan Molotch.

Pemerintah belum benar-benar hadir di sini. Hal ini diperkuat dengan hasil perbincangan dengan warga yang mengatakan peran komunitas dan NGO lebih besar. Pemerintah hampir tidak pernah terlibat, membiarkan konsekuensi cepatnya pembangunan tanpa mengambil sikap. 

Bahkan pengabaian terjadi di lingkup terbawah pemerintahan. RW, misalnya, lebih tepat disebut jabatan untuk “raja-raja kecil” untuk mengakumulasi kapital. Dan sebagaimana proses akumulasi, untuk mendapatkan jabatan itu mereka perlu modal. Angkanya setidaknya Rp200 juta. Jumlah ini terhitung kecil mengingat keuntungan yang didapatkan bisa menjadi Rp5-10 miliar per tahun. Ini bukan hal mengagetkan mengingat Muara Baru adalah daerah “basah”, tempat industri-industri besar beroperasi. 

Tidak terasa sudah 5 sore. Matahari berada di ujung cakrawala. Kami kembali ke kediaman masing-masing. Meski sebentar, pengalaman ini memberikan gambaran nyata bagaimana sistem kota bekerja. Kami merasa banyak mendapatkan pengetahuan baru namun juga tidak tahu cara menyelesaikan masalah struktural ini. Di seluruh ruang kota, termasuk di wilayah ujungnya ini, kami melihat semua pihak bertarung merebut dan mengamankan sumber daya masing-masing. Tapi pertarungan itu tidak pernah setara. Perjuangan dalam mesin pertumbuhan kota lebih sering membuat warga biasa kalah.


Referensi

Castells, M. (1978). City, Class, and Power. Macmillan.

Geddes, M. (2009). Marxism and Urban Politics. In J. S. Davies & D. L. Imbroscio (Eds.), Theories of Urban Politics (pp. 55-72). SAGE Publications.

Harvey, D. (1973). Social Justice and the City. University of Georgia Press.

Harvey, D. (2001). Spaces of Capital: Towards a Critical Geography. Routledge.

King, Loren. (2018). Henri Lefebvre and the Right to the City. 10.4324/9781315681597-7.


Syahzmil Mohazidan Gosarli dan Daniel Pareaktua Putra adalah mahasiswa Ilmu Politik Universitas Indonesia

]]>
4 Dekade Tambang Semen Cirebon Menggerogoti Hak Warga atas Air https://indoprogress.com/2025/01/4-dekade-tambang-semen-cirebon-menggerogoti-hak-warga-atas-air/ Fri, 10 Jan 2025 23:40:44 +0000 https://indoprogress.com/?p=238685
Foto: Aktivitas tambang kapur di Pegunungan Kromong. Sebuah dump truck sedang berjalan membawa batuan kapur menuju pabrik Indocement (27 Juli 2024). (Dok. Pribadi/ Muhamad Nabil Gunawan)

AIR merupakan elemen esensial untuk manusia. Kita hanya bisa bertahan hidup tanpa air sampai tiga hari, padahal mampu tanpa makanan hingga tujuh hari. Fakta bahwa bumi ini diliputi oleh 70% air juga menjadi penanda nyata bahwa kita tidak bisa terpisahkan dari air dan tidak akan pernah bisa. Kita butuh air untuk diminum, mandi-cuci-kakus (MCK), juga memasak. Produksi pertanian juga bergantung pada irigasi. 

Lalu, bagaimana jadinya jika sumber air yang juga sumber kehidupan tidak ada lagi? Bagaimana jika alih-alih menjaga sumber air, industri justru merusaknya, bahkan menghilangkannya? Sudah pasti itu akan membunuh orang di sekitarnya secara tidak langsung. 

Ini terjadi di Desa Cikeusal. Warga di sana menghadapi krisis air akibat dari industri tambang kapur, bukan baru-baru ini saja melainkan sudah berjalan selama empat dekade. Gemercik air sungai yang mengalir di tengah terik musim kemarau sekarang hanya menjadi memori masa lalu yang sepertinya sulit diwujudkan kembali. Ketika saya tinggal selama satu pekan di sana, air hanya mengucur tiga jam setiap hari dan itu sudah pasti tak dapat mencukupi kebutuhan domestik warga yang terlampau banyak.


Tambang kapur rakyat

Desa Cikeusal terdiri dari empat dusun, yakni Desa, Karang Baru, Kedung Kijeng, dan Telar Gaga. Cikeusal adalah salah satu desa yang berdiri di tengah Pegunungan Kromong yang membentang luas di selatan Cirebon. Ini adalah pegunungan batu yang menjulang dan menyimpan cadangan karst terbesar di Indonesia. 

Awalnya warga menganggap sumber daya itu sebagai karunia. Mereka memanfaatkan kapur untuk memenuhi kebutuhan hidup. Sutrisno (2007) menyebut tambang rakyat, industri skala kecil, sudah tercatat ada sejak tahun 1700-an. Batu alam dan kapur mereka angkut menggunakan gotrok ke tungku pembakaran atau pabrik batu alam yang tersebar di Kecamatan Palimanan dan Gempol.

Hisyam, 70 tahun, warga Desa, mengatakan kepada saya bahwa tambang rakyat merupakan mata pencarian dominan pada tahun 1980-an. Dia pun termasuk yang bergantung dengan kapur untuk hidup. Hisyam sudah sejak remaja menambang terutama di salah satu gunung di Pegunungan Kromong, Gunung Curi. Dia diupah Rp30 ribu per muatan pikap. Karena dalam sehari bisa memuat sebanyak tiga kali, Hisyam maksimal bisa mengumpulkan Rp90 ribu—jumlah yang sangat banyak saat itu. Meski begitu, dia dan warga Cikeusal lain menambang sekadar untuk subsisten, menyambung hidup, bukan demi akumulasi.  

Pada 1985, ketika pabrik PT Indocement Tridaya Manunggal (selanjutnya disebut Indocement saja) mulai beroperasi, tambang rakyat mulai terpinggirkan. Indocement mendapatkan konsesi lahan seluas 480 hektare. Di lahan seluas itu sebelumnya banyak terdapat tambang rakyat. Warga hanya mendapat sisa 21 hektare di luar area konsesi. Area yang tak terlampau luas tersebut juga hanya menyediakan sumber daya kapur yang terbilang sedikit, dan habis setelah beberapa tahun diambil. 

Warga pada akhirnya harus mencari pekerjaan baru. Seperti yang dikatakan Hisyam, “pas zaman itu banyak warga yang merantau akhirnya, saya aja ke Jakarta buat cari kerja.”

Tak hanya soal pemasukan, Indocement sekaligus menjadi penanda babak baru ekspansi kapital yang pada kelanjutannya meminggirkan warga. Mereka terpaksa digusur dan dijauhkan dari sumber kehidupan, mata air.


Penggusuran dusun-dusun dan hilangnya mata air

Gunung Curi yang mulai diekstraksi sedari 1985 pada akhirnya juga tak mampu memenuhi kebutuhan industri semen. Seperti yang jamak dimengerti pembaca, kapitalisme akan selalu mencari lahan baru untuk diekstraksi sampai titik nadir. Pun demikian dengan Indocement. Mereka mulai berekspansi ke lahan-lahan permukiman warga. Pada 1993, warga Dusun Pesantren yang pertama menjadi korban. Dusun Pesantren terletak tak jauh dari area tambang, bahkan hanya selemparan batu. 

Proses penggusuran bukan tak meninggalkan masalah. Ruminah, 65 tahun, adalah salah satu yang terdampak penggusuran. Dia mengatakan kepada saya bahwa warga pada saat itu tertekan sehingga mau tidak mau angkat kaki dari dusun tempat kelahiran mereka. Selain itu dia juga bilang uang yang dijanjikan Indocement tak sepenuhnya dibayarkan kepada mereka yang tergusur. 

Foto 1.2 : Daerah tambang yang sebelumnya Dusun Pesantren. Sumber mata air dulu banyak tersebar di sini dan sekarang sudah hilang tak tersisa (28 Juli 2024). (Dok. Pribadi/ Muhamad Nabil Gunawan)

Menurut Arsyadi, 76 tahun, dulu warga Dusun Pesantren memiliki tiga mata air di wilayahnya, yaitu: mata air Cidadap, Cicariu, dan Kalengronggong. Penggusuran turut menggerus mata air tersebut. Semua mata air sudah tidak memancar dan bahkan ada yang tak menyisakan bekas atau tanda. Ketika saya mencoba menelusurinya, hanya tersisa jejak lalu-lalang truk pembuangan dan ekskavator yang dipenuhi oleh debu-debu putih khas kapur. “Di sini dulu mata airnya. Kalau sekarang ya udah ilang,” kata Arsyadi sembari menunjuk ke tanah yang sudah menjadi jalur mesin tambang. “Di sana itu juga, di bawah pohon-pohon itu juga ada mata air, masih ada bekas tampungannya. Dulu banyak orang yang mandi di sana, sudah serupa sendang,” tambahnya, seakan air mengalir deras masih segar dalam ingatan. 

Mata air seharusnya merupakan hak semua warga. Sumber air tersebut seharusnya dijaga dan dimiliki secara bersama dan pada kelanjutannya didayagunakan untuk kepentingan kolektif, alih-alih diprivatisasi atau bahkan dihilangkan perlahan. Pada realitanya, Indocement hanya menganggap mata air sebagai sesuatu yang dapat dibeli, sama halnya dengan tanah-tanah warga yang ditukar dengan uang. 

Inilah cerita bagaimana kapitalisme bekerja di sebuah wilayah. Kapitalisme hanya melihat tanah sebagai komoditas. Akumulasi harus terus dilakukan agar kapital berputar dan kian besar. Tapi sumber daya akan habis pada waktunya. Imbasnya, kapitalisme harus terus mencari sumber baru untuk diekstraksi lagi, salah satunya dengan memprivatisasi yang merupakan milik umum; menghilangkan kepemilikan bersama. Dalam hal ini Harvey (2017) menyebutnya sebagai accumulation by dispossession (akumulasi dengan penjarahan). Pemberian konsesi lahan seluas 480 hektare kepada Indocement yang meminggirkan pertambangan rakyat dan penggusuran Dusun Pesantren menjadi salah satu manifestasi accumulation by dispossession. 

Ini terus dijalankan demi memutar laba. Di sini terlihat bagaimana akumulasi primitif tak hanya terjadi di awal kapitalisme berdiri saja, tetapi ketika kian berkembang.


Keretakan metabolik di tengah industri kapur

Air mempunyai tempat khusus dalam ingatan warga Cikeusal. Bagaimana tidak, mereka menyaksikan sendiri bagaimana sungai-sungai surut perlahan demi perlahan dan mata air yang merupakan sumber utama aliran sungai mengering, bahkan menghilang sepenuhnya dari permukaan tanah. 

Saat ini warga ditimpa oleh krisis air berkepanjangan. Ruminah bercerita bahwa mata air yang tersisa sekarang hanya tinggal dua—yaitu mata air Cikadoya dan Cihaneut—padahal sebelumnya ada enam. 

Ketika saya mendatangi mata air Cikadoya yang berjarak 1,5 kilometer dari permukiman, air yang memancar pun tak terlalu deras. Air dialirkan menggunakan pipa menuju tampungan besar yang terletak tak jauh dari balai desa. Lalu air didistribusikan ke delapan tampungan kecil di setiap RT. Ada total delapan pipa berukuran 1’’ yang dialirkan bergantian ke delapan tampungan kecil setiap tiga jam. Jadi, satu RT yang memiliki satu tampungan kecil mendapatkan jatah aliran air selama tiga jam saja. 

Foto 1.3 : Penampungan kecil yang terletak di RT 06. Sebelum dialirkan ke setiap rumah, air dari penampungan besar dialirkan terlebih dahulu ke tampungan kecil yang tersebar di seluruh RT (27 Juli 2024). (Dok. Pribadi/ Muhamad Nabil Gunawan)  

Foto 1.4 : Sungai Cikeusal yang mengering di musim kemarau (27 Juli 2024). (Dok. Pribadi/ Muhamad Nabil Gunawan)   

Pada kenyataannya, dua sumber air tersebut tidak mampu mencukupi kebutuhan air harian warga. Air yang hanya mengalir setiap tiga jam tak bisa memenuhi kebutuhan domestik orang-orang desa. Beberapa warga bahkan ada yang membeli air dari Kecamatan Palimanan dengan harga 70 ribu/kubik. Harga yang jauh dari kata terjangkau. Warga yang tak mampu membeli air dari sumber lain harus berusaha keras mencukupi kebutuhan dari aliran mata air yang tak seberapa deras itu.

Urip, 56 tahun, bercerita bagaimana krisis air yang melanda Cikeusal begitu tragis mengingat mereka dulunya mempunyai sumber mata air yang melimpah dan mudah dijangkau. Keadaan semakin parah ketika musim kemarau. Musim kemarau adalah tanda datangnya kekeringan. Air yang dari sananya sudah sedikit semakin menipis. “Kalau musim kemarau, kalau kamu keluar malam, ibu-ibu itu bawa ember, jeriken di penampungan air malem-malem pada ngantre air. Itu salah satu dampak nyata dari kerusakan lingkungan adanya Indocement,” katanya. 

Kerusakan sumber mata air yang semakin tahun semakin memprihatinkan pada akhirnya harus menjadi harga yang dibayarkan dari proses ekspansi kapital industri tambang dan kegiatan ekstraktif yang berlebih tanpa memikirkan dampak jangka panjang yang akan ditimbulkan. Fenomena ini sekaligus menandai keretakan hubungan metabolik antara alam dengan manusia yang tercipta melalui proses produksi dan konsumsi. Foster (2000) menyebut proses tersebut sebagai metabolic rift, ‘keretakan metabolik’, proses metabolik antara alam dengan manusia terganggu karena eksploitasi sumber daya alam yang tidak memperhitungkan keseimbangan ekologis.

Tak ada upaya konkret yang dilakukan oleh Indocement untuk membayar itu semua. Dalam laporan tahunan 2023, Indocement berjanji mengonservasi area-area tambang yang sudah tak mereka gunakan kembali. Tetapi semua itu hanya janji belaka, atau, seperti kata Urip, “cuma hoaks aja itu mah.” Lagi pula, krisis ekologi tak mungkin hanya diganti dengan uang.


Sebuah upaya merawat air

Krisis yang semakin mencekik memaksa warga sebisa mungkin merawat sumber mata air yang masih tersisa. Bisa jadi dua sumber tersebut akan menjadi target berikutnya dari ekspansi Indocement. Warga kemudian menunjuk satu orang untuk mengurus dan memastikan air yang tersisa mengalir ke rumah-rumah sepenuhnya. Warga menyebutnya sebagai “mayor air”. Jabatan tersebut sekarang dipegang Misnan. 

Mayor adalah orang paling bertanggung jawab dalam distribusi air di Cikeusal. Mayor di blok Desa setiap tiga jam harus memindah aliran pipa di penampungan besar ke delapan pipa yang berbeda yang dimiliki oleh delapan RT. Ia dituntut harus berlaku adil bagi masyarakat. Tak jarang terjadi konflik antarwarga karena distribusi yang timpang dan hanya menguntungkan RT tertentu.

Foto 1.5 : Misnan, mayor air yang bertanggung jawab merawat sumber-sumber air yang masih tersisa (27 Juli 2024). (Dok. Pribadi/ Muhamad Nabil Gunawan)   

Ketika terjadi masalah di hulu mata air, ia adalah orang pertama yang harus memperbaikinya, berjalan sejauh tiga kilometer termasuk mendaki Gunung Suminta. Air tersumbat atau pipa terlepas adalah masalah yang paling sering terjadi. Perjalanan menuju mata air bukanlah perjalanan yang mudah. Saya yang mencoba ke sana pun pasti akan kesulitan jika tidak ada warga lokal yang memandu. 

Mayor adalah kepingan kecil dari relasi sosial antara masyarakat Cikeusal dengan air yang begitu kompleks, terbentuk karena upaya-upaya perawatan air yang semakin tergerus dan hilang imbas dari industri ekstraktif. Alih-alih memandang sumber daya air sebagai subjek yang terus eksploitasi, warga lebih memilih untuk merawatnya. Saya melihat mayor sebagai representasi kompleks relasi yang disebut Liao dan Schmidt (2023) sebagai siklus hidro-sosial. Menurutnya, air bukalah benda mati yang tak punya ruang dalam hubungan sosial. Ia menempati tempat tersendiri yang membentuk sebuah siklus sosial dengan masyarakat.

Ratusan rumah tangga bergantung kepadanya. Ruminah, warga Desa yang rumahnya kami tinggali selama satu pekan di Cikeusal, mengatakan bagaimana tiga jam air mengalir setiap hari adalah waktu yang sangat berharga, setidaknya bagi keberlanjutan hidup satu hari ke depan.  

Mayor bukanlah status sosial, tetapi beban moral. Ketika saya bertemu langsung dengan Misnan, dia bercerita bahwa hanya digaji Rp300 ribu per bulan. Tapi ini bukan masalah. “Saya enggak pernah mengharapkan gaji besar, hanya beribadah kepada masyarakat. Biarin aja yang penting bisa ngerokok.”


Meneguhkan hak atas air warga

Air tidak boleh dimonopoli hanya sebagian pihak, apalagi dihilangkan. Sumber daya air harus selalu didayagunakan untuk kepentingan masyarakat luas. Dalam diskursus hak asasi manusia, hal tersebut selaras dengan Resolusi PBB No. 64/292 yang mengakui bahwa air merupakan bagian vital dari kehidupan manusia dan hak atasnya diakui secara universal tanpa bisa dinegosiasikan. 

Pengakuan hak atas air sebagai bagian integral dari hak asasi manusia ditemui di dalam Komentar Umum No. 15 (2002) tentang Hak atas Air yang diterbitkan oleh Committee on Economic, Social and Cultural Rights (ICESCR)–Komite Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya (Ekosob). Secara normatif, hak atas air sudah diakui secara universal oleh negara ini, terlebih ICESCR sudah diratifikasi melalui Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2005 tentang Pengesahan ICESCR. Konsekuensinya adalah negara harus terlibat aktif dalam pemenuhan hak atas air bagi masyarakat.

Potret yang muncul di Cikeusal memberikan gambaran bahwa banyak masyarakat perdesaan yang masih belum terpenuhi haknya. Alih-alih merekognisi hak tersebut dan terlibat aktif dalam pemenuhannya, pemerintah malah membiarkan industri tambang bergeliat selama lima dekade. Hal tersebut dapat dipahami sebagai praktik dari neoliberalisme yang untuk meminggirkan peran negara dalam memenuhi hak asasi warganya. Moyn (2014) menyebut struktur ekonomi neoliberal memang memaksa negara untuk acuh terhadap komitmen pemenuhan hak-hak asasi manusia dalam ICESCR.

Melalui Cikeusal, kita melihat bahwa hak tersebut ternyata takluk di depan kapitalisme. Semuanya dipinggirkan demi memutar sirkuit kapital untuk keuntungan segelintir pihak.


Referensi

David Harvey. “The ‘new’ imperialism: accumulation by dispossession.” Karl Marx. Routledge, 2017. 213-237.

Endang Sutrisno, Budaya Hukum Masyarakat dalam Melindungi Pencemaran Lingkungan, (Cirebon: Swagati Press, 2007).

John Bellamy Foster, Marx’s Ecology: Materialism and Nature, (New York: Monthly Review Press, 2000).

Samuel Moyn, “A Powerless Companion: Human Rights in the Age of Neoliberalism,” Law and Contemporary Problems 77, no. 4 (2014): 147–69, http://www.jstor.org/stable/24244651.

United Nation Economic and Social Council, General Comment No. 15: The Right to Water (Arts. 11 and 12 of the Covenant), E/C.12/2002/11, UN Committee on Economic, Social and Cultural Rights (CESCR), 20 January 2003.

Yu-Kai Liao dan Jeremy J. Schmidt, “Hydrosocial Geographies: Cycles, Spaces and Spheres of Concern,” Progress in Environmental Geography 2, no. 4 (2023): 240-265, https://doi.org/10.1177/27539687231201667.


Data lapangan termasuk wawancara diambil dalam kegiatan “Sekolah Riset Ekologi” yang diadakan oleh Salam Institute pada 20-31 Juli 2024. Laporan awal yang disusun oleh penulis dengan judul “Sang Mayor dalam Kepungan Mesin-Mesin Tambang” didesiminasikan kepada publik pada 24 November 2024.

Muhamad Nabil Gunawan adalah mahasiswa Ilmu Politik Universitas Negeri Semarang (Unnes) sekaligus pegiat Amnesty International Chapter Unnes.

]]>
Peregulasian Kendaraan Listrik adalah Solusi Palsu Masalah Lingkungan di Bali https://indoprogress.com/2024/12/solusi-palsu-masalah-lingkungan-di-bali/ Sun, 29 Dec 2024 03:19:50 +0000 https://indoprogress.com/?p=238630

Foto: Antaranews/Fikri Yusuf


Pengantar: Transformasi Bali di Bawah Rezim Energi

MASYARAKAT Bali pada dasarnya sudah terbiasa mengutamakan gerak alam. Diskursus alam buktinya sudah ada dalam Tri Hita Karana, falsafah yang menjadi basis dalam keseharian hidup mereka, terutama yang berkenaan dengan praktik upacara. Dalam tata upacara, masyarakat Bali berprinsip “apa yang menjadi hasil alam kemudian dijadikan sarana upacara”, atau dalam bahasa yang lebih religius sering disebut sebagai “persembahan pada dewa/dewi”. 

Tak hanya itu, praktik ini juga mencerminkan prinsip komunal masyarakat. Seperti yang dikatakan Helen Creese dalam artikel Acts of citizenship? Ruler and ruled in traditional Bali, pada masa pra-kolonial, kerja adat sebagai reproduksi sosial menjadi kerja perawatan kolektif. Jadi, alih-alih dikerjakan oleh rumah tangga, kebutuhan sarana upacara dengan skala besar dilaksanakan oleh komunitas itu sendiri, yang diregulasikan adat. 

Setelah masuknya industri pariwisata yang dimulai pada 1930-an oleh pemerintah kolonial Belanda, yang sekaligus menandai terintegrasinya Bali ke dalam ekonomi politik global, terjadilah transformasi pada sistem kerja. Kerja adat yang sebelumnya merupakan kerja kolektif, bagian dari perawatan komunal (communal care), menjadi termediasikan oleh pasar. Pergeseran ini karena akumulasi primitif yang terjadi secara terus-menerus membuat ketersediaan lahan rendah dan sumber daya alam untuk konsumsi langsung masyarakat menipis. 

Pergeseran ini terlihat misalnya dari penyesuaian regulasi desa adat. Saya mewawancarai I Ketut S (70), mantan pembantu umum Desa Adat Jinengdalem, Kabupaten Buleleng, terkait peregulasian kerja komunal oleh otoritas desa adat. I Ketut S mengatakan dengan lugas bahwa saat ini desa adat sudah bisa menerima urun dana (disebut peturunan) dari mereka yang sudah berkeluarga tapi tidak bisa menyumbang tenaga untuk menggarap upacara. “Orang-orang yang bekerja itu ‘kan cukup dengan bayar peturunan saja sekarang, karena sudah banyak orang tidak sempat ikut ngayah (kerja adat) ke pura,” katanya. Praktik dan regulasi ini sudah lumrah dilaksanakan di seluruh wilayah desa adat di Bali. 

Rezim kapitalisme pariwisata ini singkatnya telah menjadi payung dari retaknya relasi masyarakat Bali dengan ekologinya. Dengan menggunakan bingkai ekologis-marxis, keretakan metabolik telah terjadi di Bali dan bahkan lebih kompleks pada abad ke-21 ini karena overtourism

Dengan latar belakang masalah seperti itu, negara lantas datang dengan solusi pembangunan berkelanjutan, tapi sembari tetap mendukung rezim kapitalisme pariwisata. Solusi tersebut menjadi bagian dari program transisi energi, dan salah satu regulasi yang dimasifkan di Bali adalah soal kendaraan listrik (electric vehicle/EV). 

Pemerintah Provinsi Bali mengeluarkan beberapa peraturan terkait kendaraan listrik, dari mulai Peraturan Gubernur (Pergub) No. 45 Tahun 2019, Pergub No. 48 Tahun 2019, sampai Peraturan Daerah (Perda) No. 9 Tahun 2020 tentang Rencana Umum Energi Daerah 2020-2050. Ketiga regulasi ini merupakan respons terhadap Peraturan Presiden (Perpres) No. 55 Tahun 2019 tentang akselerasi program kendaraan listrik untuk transportasi darat. Program kendaraan listrik merupakan salah satu bagian dari ambisi besar Indonesia sekaligus juga yang disebut sebagai komitmen internasional untuk zero-net carbon. Di sini Bali dijadikan satu dari tujuh provinsi percontohan.

Industri kendaraan listrik di Bali dipelopori oleh PT Wika Industri Manufaktur (WIMA), dibangun di Kabupaten Jembrana pada 2021 dan membawahi merek dagang kendaraan listrik roda dua bernama Gesits. Setelah itu muncul pula beragam merek lain meramaikan pasar. Bahkan, dilansir dari Antara, dalam mendukung proyek percepatan kendaraan listrik di Bali, Perusahaan Listrik Negara (PLN) menggandeng jenama otomotif asal Korea Selatan, Hyundai Motor Group dan PT Dat Mobility Systems. Kerja sama berupa dukungan infrastruktur seperti baterai pada charging-station, juga pemberian unit.


Bali: Pasar EV yang Menggiurkan

Setelah ada regulasi terkait, pusat penyewaan kendaraan listrik tampak segera menjamur, terutama pada area padat pariwisata. Pasar kendaraan listrik tidak hanya datang dari rumah tangga, melainkan juga dari desa adat. Penting menggarisbawahi bahwa belanja kendaraan listrik dari desa adat juga ditujukan untuk usaha penyewaan. Artinya, tidak berbeda jauh dengan usaha-usaha swasta pada umumnya. Tapi, kenapa hal ini dilakukan? 

Untuk menjawabnya, perlu diketahui dulu bahwa otoritas di Bali tidak hanya dimiliki oleh negara yang pusatnya di Jakarta, tapi juga adat. Otoritas adat menjadi penanggung jawab hal-hal yang berkenaan dengan aturan (awig-awig) adat termasuk tata upacara. Upacara di Bali itu jenis dan levelnya sangat beragam, dan bisa sangat besar. Tentu saja upacara-upacara ini membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Dan untuk menyelenggarakannya tak lagi bisa dengan cara seperti dulu. 

Seperti yang dikemukakan di awal, setelah Bali terintegrasi dengan sistem ekonomi-politik global melalui jaring pariwisata, transformasi juga terjadi di level adat yang kebutuhannya dimediasi oleh pasar. Untuk produksi banten (nama Bali untuk sajen), diperlukan bahan-bahan alam seperti buah, janur, bambu, daun, dan lain sebagainya. Di masa kini, akses terhadap bahan-bahan tersebut sebagian besar didapatkan melalui pasar dan tentu saja dibutuhkan dalam jumlah besar. Persis di sini desa adat mesti memikirkan dari mana uang untuk membelinya, yang upayanya bisa diparalelkan dengan kegiatan Badan Usaha Milik Desa (BUMDes). Menyewakan kendaraan listrik adalah salah satu realisasinya. 

I Kadek Restu Widhi, Ketua Paguyuban Transportasi Roda Dua Desa Adat Ubud, mengatakan kepada saya bahwa dalam waktu dekat desa adat akan meregulasi badan usaha yang mengelola pemasukan dari sektor transportasi roda dua, termasuk yang bertenaga listrik. “Pemasukan badan usaha akan digunakan untuk kepentingan upacara Tawur lima tahunan di Ubud,” ujarnya.  

Desa Adat Besakih, Kabupaten Karangasem, adalah salah satu desa adat yang menggantungkan pendapatannya pada sektor pariwisata. Desa adat ini menjadi pengelola dari situs pura terbesar di Pulau Bali yang juga tempat ibadah terbesar umat Hindu se-Bali. Merespons kebijakan daerah terkait energi bersih, Desa Adat Besakih menetapkan peraturan penggunaan kendaraan listrik di kawasan Pura Besakih, terutama untuk wisatawan. Desa Adat Besakih menyediakan penyewaan sepeda dan motor listrik di kawasan pura. Kondisi serupa juga kemungkinan besar terjadi di Desa Adat Jatiluwih, Kabupaten Tabanan dan Kintamani, Kabupaten Bangli. Di samping rumah tangga, desa adat menjadi pasar besar bagi kendaraan listrik. 

Di Ubud, Kabupaten Gianyar, salah satu proyek kendaraan listrik untuk publik diinisiasi oleh kerja sama antara Pemprov Bali dan Toyota Mobility Foundation (TMF). Proyek infrastruktur ini diberi tajuk SMART Shuttle Ubud, menggunakan Toyota Zenic. Menurut Restu Widhi, Ketua Paguyuban Transportasi, SMART Shuttle tidak melibatkan kelompok masyarakat saat melaksanakan baseline research. Hal ini sempat memicu protes dari pekerja transportasi kecil. Setelah terjadi protes dan keramaian di media sosial, TMF baru mengadakan rapat bersama dengan mengundang desa adat, masyarakat setempat, dan kelompok pekerja transportasi. Informasi tentang kejadian ini juga disebut oleh Camat Ubud dan Ketua Yayasan Bina Wisata Ubud dalam sesi FGD bersama Universitas Udayana.

Gambar 1. Unit TMF yang beroperasi sebagai SMART @Ubud Shuttle.

Dalam acara peluncuran program, Toyota menyebut SMART Shuttle Ubud dimaksudkan untuk mengatasi masalah kemacetan parah di wilayah itu. Namun tawaran ini tidak didukung dengan baseline research yang komprehensif terkait kemacetan itu sendiri, yang adalah salah satu konsekuensi dari overtourism di selatan Bali. 

Pada akhirnya, SMART Shuttle Ubud hanya satu contoh dari setumpuk “solusi” tanpa analisis dengan perspektif lingkungan. Apa yang ingin dipertontonkan oleh program ini tidak lain adalah imaji dekarbonisasi dan green-solution melalui penggunaan kendaraan listrik.

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.


Kendaraan Listrik: Ladang Rebutan Baru

Agung Wardana, dosen hukum lingkungan di Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta, dalam bukunya Contemporary Bali: Contested Space and Governance (2019), mengatakan bahwa kepemerintahan dualistik di Bali—yakni negara dengan unit terkecil “desa dinas” dan otoritas adat dengan wujud “desa adat”—telah melahirkan institusi tata kelola yang sering kali berkonflik soal penerimaan hibah atau proyek pembangunan. Konflik ini berupa perebutan klaim atas siapa yang lebih layak menjadi pengelola utama proyek. Di Ubud, misalnya, hal ini terjadi dalam proyek transportasi hibah dari BRI. Proyek itu dikelola langsung oleh Desa Adat Ubud tapi di sisi lain dinas sudah memiliki pengelola transportasi utama, yakni Yayasan Bina Wisata Ubud. Sistem otoritas dualistik seperti ini semakin menambah kompleksitas konstelasi kapital, termasuk menyangkut proyek-proyek pembangunan hijau.

Gambar 2. Test drive EV pada jalan raya di Seminyak.

Pemasifan kendaraan listrik (EV) di Bali juga disokong oleh lembaga swadaya masyarakat/non governmental organization (LSM/NGO) dengan haluan environmentalisme ala Sustainable Development Goals (SDGs) yang dicanangkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Mengapa mereka mendukung? Pada dasarnya, model operasi NGO sangat bergantung pada pihak yang mendanai (funding). Hal ini membuat NGO mesti menjalankan proyek yang sesuai dengan agenda dan kepentingan patron. Pemasifan suatu isu dan solusi yang ditawarkan NGO harus melalui proses seleksi dan disetujui oleh patron. Ketidaksesuaian proyek yang dijalankan sama saja dengan dicabutnya pendanaan atau dieliminasinya kelompok sosial yang terlibat. Basis materiel ini menjelaskan mengapa NGO tidak bisa secara bebas mendesain proyek suka-suka meskipun misalnya mereka menginginkannya. 

Salah satu proyek yang mendukung serta melakukan riset media dan riset audiens mengenai pengadopsian EV adalah KemBali Becik. Ini adalah program kampanye green-lifestyle di bawah naungan Purpose Foundation, organisasi nirlaba berbasis di Amerika Serikat yang pengoperasiannya di Bali sempat dieksekusi oleh Yayasan K (nama yayasan terpaksa disamarkan karena alasan relasi kerja yang masih berlangsung dengan klub studi yang dikelola penulis). Dengan baseline research bersama Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Udayana, KemBali Becik menjadi perpanjangan tangan peraturan daerah Bali terkait transisi energi bersih. Melalui aktivasi media sosial, proyek kampanye KemBali Becik memuat konten bertema lingkungan dan praktik hijau, salah satunya penggunaan EV. 

Di samping itu, fitur utama proyek kampanye ini adalah sebuah laman direktori untuk pelaku bisnis berbasis di Bali yang dianggap berkomitmen menjalankan ekonomi hijau. Terdapat lima sektor bisnis yang diakomodasi fitur ini, salah satunya adalah sektor transportasi dan bisnis EV atau yang berkaitan dengan penggunaan EV. Menurut pelaku bisnis, fitur ini cukup menguntungkan. Nama bisnis yang terdaftar di laman direktori KemBali Becik bisa digunakan untuk memperkuat citra mereka terutama di media sosial. Mereka merasa itu penting sebab berdasarkan survei Rakuten Insights 2024 di Asia Pasifik, sebanyak 68% dari responden warga Indonesia setuju dan mendukung  praktik konsumsi ramah lingkungan. Survei ini sendiri ditujukan untuk mendukung pengembangan bisnis, menjadi acuan brand dan korporat untuk pengambilan keputusan terkait strategi pemasaran.

Gambar 3. Tampilan laman direktori di kembalibecik.com. Bisnis yang logonya terpampang telah melalui sistem penilaian berkala KemBali Becik terkait komitmennya pada praktik hijau.

KemBali Becik sering mendapat pertanyaan terkait indikator penilaian pada bisnis yang telah terdaftar pada laman direktorinya. Sependek pengalaman saya sebagai pemagang di sana, pertanyaan yang paling sering muncul adalah, “Bagaimana cara Anda sebagai inisiator lingkungan memastikan semua bisnis yang terdaftar benar-benar melakukan praktik yang ramah lingkungan dan bukan greenwashing?” Pertanyaan ini hampir selalu muncul setiap KemBali Becik terlibat dalam forum publik. 

Merespons pertanyaan tersebut, KemBali Becik meluncurkan sistem penilaian dalam rangka evaluasi dan pemantauan pada bisnis-bisnis yang terdaftar di  halaman direktori mereka. Pada sistem penilaian ini, tim enumerator KemBali Becik (pihak ketiga yang biasanya dikontrak untuk mengambil data lapangan dan bersifat outsource) akan mengunjungi lokasi bisnis yang terdaftar dan mengevaluasi apakah mereka telah menerapkan praktik-praktik hijau dengan indikator praktik hijau yang diadopsi dari SDGs. Hasil evaluasi digunakan sebagai dasar pengambilan keputusan terkait program lanjutan yang bisa disediakan KemBali Becik untuk meningkatkan kapasitas bisnis-bisnis ini. 

Indikator penilaian dibagi enam: praktik terkait transportasi, biodiversitas, pemanfaatan air, energi, pengelolaan sampah, dan pemberdayaan komunitas—semuanya merujuk pada standardisasi  internasional SDGs. Salah satu indikator adalah apakah EV telah digunakan dalam operasional bisnis. 

Sistem penilaian ini bukan tanpa masalah. Kebijakan dari KemBali Becik adalah bisnis bisa kembali mendapatkan badge—menunjukkan telah diuji kelayakan praktik hijau—apabila telah memenuhi satu sektor saja. Singkatnya, bisa dikatakan, yang problematis dari regulasi ini adalah penyederhanaan terhadap praktik yang betul-betul bisa dianggap sebagai praktik dengan konsiderasi ekologis. Mengabaikan esensi keterhubungan antara satu praktik dengan praktik lainnya pada dasarnya tidak berperspektif ekologis. 

Untuk mengetahui bagaimana penggunaan kendaraan listrik di level rumah tangga, saya mewawancarai AA (30), seorang desainer sekaligus pengusaha tekstil di Kabupaten Buleleng. Dia sehari-hari menggunakan motor listrik namun menurutnya itu tidak bisa diandalkan. “Kita di sini kan daerah dataran tinggi, sedangkan saya sering mengantar barang atau bahan baku dari daerah atas juga, jadi kalau pakai motor listrik sangat tidak membantu karena kilometernya sering tidak kuat.” 

Problem serupa juga dialami DH (23) asal Ubud. “Sebenarnya aku cukup waswas dengan penggunaan EV sehari-hari karena tidak bisa dikontrol dayanya saat di tengah jalan, apalagi jarak jauh.” 

Salah satu alasan mengapa mereka membeli kendaraan listrik adalah subsidi. “Punya EV ini karena lebih murah dan ada subsidinya,” ujar DH. WG (30) asal Denpasar, pemilik unit Toyota Zenic tipe hybrid, pun demikian. “Lebih karena lifestyle sih dan ada subsidi juga.” 

Di permukaan, subsidi untuk pembelian EV dari pemerintah tampak sebagai strategi untuk mengakselerasi transisi jenis kendaraan. Hal ini misalnya dikatakan oleh Institute for Essential Service Reform (IESR), dilansir dari Kontan. IESR sendiri mendukung insentif pemerintah ini. Pernyataan yang sama juga disebut langsung oleh perwakilan IESR pada forum peluncuran program penilaian KemBali Becik di Gianyar pada 21 Juli 2023. 

Lebih dari itu, menurut Trissia Wijaya dan Lian Sinclair (2024) dalam An EV –fix for Indonesia: the green development-resource nationalist nexus, peregulasian ini pada dasarnya adalah strategi de-riskanisasi untuk mengamankan investasi domestik pada industri energi secara global. Strategi deriskanisasi EV di Indonesia dilakukan dalam bentuk penggelontoran insentif pada investasi dan fiskal. Melalui proyek EV, konglomerat batu bara memastikan bahwa tetap ada akses terhadap kapital dan di satu sisi negara dapat memenuhi agenda hilirisasi nikel.


Regulasi EV di Bali: Bukan Solusi Keretakan Ekologis 

Bali, sebagai lokus industri pariwisata, menjadi pangsa pasar besar untuk akumulasi kapital industri ekstraktif yang menjadi penyokong industri EV. Secara ekologis, pada dasarnya peregulasian EV jauh dari konsiderasi ekologis. Solusi dekarbonisasi yang ditawarkan regulasi EV mengabaikan fakta bahwa perusakan ekologis di Bali adalah problem yang kompleks. Definisi dekarbonisasi yang ditawarkan dalam diskursus EV juga dipersempit secara habis-habisan dengan hanya melihatnya sebagai pengurangan polusi udara. Peregulasian EV jelas abai pada rantai pasok industri EV dari produksi, distribusi, hingga konsumsi, mereduksi diskursusnya pada semata persoalan pengurangan jejak karbon.

Kerusakan lingkungan di Bali semestinya dilihat sebagai permasalahan keretakan ekologis yang holistis, yakni keretakan pada keterhubungan hidup sosial dan gerak alam. Bagaimana regulasi EV bisa menjawab permasalahan polusi dan sampah di Bali tanpa menyasar overtourism yang merupakan konsekuensi kapitalisme pariwisata sebagai akar permasalahannya? Juga bagaimana regulasi EV bisa menjawab permasalahan polusi tanpa membongkar pasok industrinya yang berakar dari penambangan batu bara? 

Keretakan ekologis di Bali telah sampai pada level perusakan perawatan kolektif. Celakanya, belum ada kebijakan berbasis lingkungan yang bisa menyasar kerusakan yang ini. Misalnya, bagaimana mengatasi pergeseran praktik orang Bali pada pembuatan banten yang sebelumnya merupakan kerja kolektif namun kini dijembatani oleh pasar. Akibatnya, akses pada hasil-hasil alam yang digunakan untuk keperluan adat tidak lagi diambil dari alam secara langsung melainkan melalui pasar komoditas. 

Dalam hal ini, tidak berlebihan untuk menyebut bahwa regulasi EV di Bali yang diklaim sebagai solusi hijau (green-solution) sebetulnya adalah solusi hijau palsu (pseudo-green solution). Seperti kata WG kepada saya: “Sebenarnya saya tahu kalau kendaraan listrik ini akal-akalan saja untuk disebut program lingkungan. Logis saja, sumber listriknya memang datang dari mana?”


Daftar Pustaka 

Andi, D. (2022, December 21). IESR: Insentif Konversi Motor Listrik dan Elektrifikasi Transportasi Umum Didukung. kontan.co.id. https://industri.kontan.co.id/news/iesr-insentif-konversi-motor-listrik-dan-elektrifikasi-transportasi-umum-didukung 

Creese, H. (2019). Acts of citizenship? rulers and ruled in traditional Bali. Citizenship Studies, 23(3), 206–223. https://doi.org/10.1080/13621025.2019.160326

Lazuardi, A. (2023, August 29). PLN dan Hyundai percepat ekosistem kendaraan listrik di Bali. ANTARA News Bali. https://bali.antaranews.com/berita/323817/pln-dan-hyundai-percepat-ekosistem-kendaraan-listrik-di-bali 

Dokumen shareable deck KemBali Becik 

Dokumen riset analisis media sikap masyarakat terkait pariwisata hijau 

Dokumen Rakuten Insights 2024: Sustainable Consumption in APAC

Wardana, A. (2019). Contemporary Bali: Contested Space and Governance. Springer.

Wijaya, T., & Sinclair, L. (2024). An EV-fix for Indonesia: the green development-resource nationalist nexus. Environmental Politics, 1–23. https://doi.org/10.1080/09644016.2024.2332129


Putu Dinda Ayudia menekuni isu gender dan media. Saat ini tengah mengelola kelompok belajar Perempuan Mahima. Bisa dihubungi melalui ayudiapdinda@gmail.com

Naskah ini adalah liputan khusus program beasiswa kursus IISRE, kerja sama Indoprogress dan Trend Asia.

]]>
Halaman Belakang Semarak Ritual Kampung https://indoprogress.com/2024/12/halaman-belakang-semarak-ritual-kampung/ Wed, 11 Dec 2024 01:52:57 +0000 https://indoprogress.com/?p=238603

Foto: dok. pribadi


SUATU hari, di pulau yang terbentang di salah satu kabupaten di Sulawesi Selatan, saya mendengar cerita soal ritual kampung. “Kenapa baru datang?” demikian tanya warga di pekarangan rumah masing-masing saat melihat saya dan teman-teman. Kampung itu baru saja menggelar ritual tahunan tiga hari sebelum kami tiba. Namanya ialah Temmu Taung. Warga bakal jauh lebih sibuk dibanding hari biasa demi mempersiapkan segala hidangan ritual maupun konsumsi harian yang akan disantap bersama para tamu maupun kerabat. Kondisi pulau memang makin meriah karena turut dihadiri tamu dari luar, dari mulai kerabat sampai orang di pemerintah daerah. 

Temmu Taung diselenggarakan untuk menghormati seorang leluhur yang diberi gelar pahlawan masyarakat setempat. Menurut cerita yang beredar, dia adalah pelaut ulung. Saat masa kolonial Belanda di abad ke-20, sebagai ekspresi untuk melawan penjajahan, ia berlayar sambil mengibarkan bendera merah putih. Karena itu ia lalu ditangkap dan dijebloskan ke penjara oleh Belanda yang merasa terhina. Di sana dia bernazar jika kelak bebas akan a’tenne-tenne (membuat kue manis), a’janna-janna (membuat makanan lezat), dan a’rannu-rannu (bersenang-senang) di pulau yang telah lama dihuni. Nazar tersebut akhirnya kesampaian. Selain jadi bagian dari upaya menghargai nenek moyang, Temmu Taung yang konsepnya serupa ini sekaligus menjadi peringatan hari jadi pulau. 

Temmu Taung dirayakan selama hampir sebulan penuh, pada Muharam berdasarkan kalender Islam. Pada Jumat pekan pertama, masyarakat akan sibuk membuat makanan berbahan kelapa muda yang dicampur dengan gula aren, disebut akkaluku lolo. Usai salat Jumat, makanan yang telah dibuat akan disantap bersama. Pada Jumat kedua, masyarakat bakal sibuk kembali membuat makanan lain, yakni jepe’ sura (sejenis bubur dicampur telur dan tumpi). Bagi yang tidak sempat membuat hidangan tersebut, sebelum memasuki Jumat kedua, mereka harus membelinya agar dapat terlibat dalam doa bersama. Pada Jumat ketiga, puncak perayaan Temmu Taung, masing-masing rumah (dihitung berdasarkan jumlah kepala keluarga; satu rumah bisa beberapa kepala keluarga) harus menyediakan 12 macam kue manis yang dihidangkan di atas nampan berbentuk bulat. Itu adalah simbol untuk menggambarkan kebahagiaan. Salah satu kue khas yang selalu ada ialah dodoro atau dodol yang berbahan dasar ketan. 

Sekilas terlihat bahwa setiap prosesi ritual memiliki nilai adat tertentu. Namun, kira-kira fenomena seperti apa yang harus dilalui setiap rumah tangga agar dapat terlibat dalam seluruh rangkaiannya? Saat pertama kali tiba saja, saya terkejut mendengar warga yang saya inapi rumahnya tidak memiliki pasokan ikan untuk disantap. Mereka terpaksa pergi mencari atau membeli ke tetangga. Kondisi demikian membuat saya bertanya-tanya, apakah saat itu hanya kebetulan saja pasokan ikan mereka habis? Atau ada hal lain yang lebih besar? 

Berdasarkan cerita yang saya peroleh, ritual-ritual di kampung turut memberi pengaruh yang cukup serius terhadap kelangsungan produksi-reproduksi sosial beberapa rumah tangga. Di tengah kondisi sulit untuk mendapatkan ikan, keluarga nelayan kecil bisa jatuh makin jauh ke jurang yang mengenaskan.


Melihat Ulang Ritual Kampung

Masyarakat perdesaan kerap dianggap sebagai komunitas yang menyimpan banyak warisan kebudayaan sesuai dengan konteks sosial-historis wilayah yang mereka huni. Beragam tradisi layaknya darah daging yang telah mengakar dan perlu dirawat hingga lintas generasi. 

Ada beragam variasi ritual yang kerap dilakukan di kampung. Pertama, yang paling umum, ritual yang berkaitan dengan siklus kehidupan seperti kelahiran, pernikahan, hingga kematian. Kedua, ritual yang berkaitan dengan garis lintas sosial historis kampung. Temmu Taung, perayaan untuk mengungkapan rasa syukur sekaligus penghargaan/penghormatan terhadap perjuangan nenek moyang terdahulu, termasuk yang kedua. Sejak tiga pekan terakhir di Muharam, masyarakat akan sibuk mempersiapkan seluruh hidangan yang harus dibawa saat ritual. Bahkan sebelum memasuki Muharam, setiap rumah tangga akan membagi peran semakin tegas. 

Ongkos yang tidak sedikit untuk membuat berbagai hidangan membuat nelayan, yang kebanyakan laki-laki, lebih giat mencari ikan hingga titik terjauh (kadang berakhir di perairan Mandar, Sulawesi Barat). Sedang perempuannya berusaha sekuat tenaga melakukan kerja-kerja perawatan/domestik, bahkan beberapa di antara mereka turut mencari pendapatan sampingan seperti membuka warung kecil-kecilan. Seperti pengakuan salah satu di antara mereka: “Kalau tidak ikut ki cari uang, susahmi itu. Beli ketan saja bisa habis jutaan. Belum lagi bahan-bahan yang lain dan harus juga ada uang kalau hari H karena di situki biasa belanja, kayak pasar malam banyak penjual.” Modal yang besar untuk ikut serta dalam perayaan mendorong perempuan pulau menanggung beban ganda dalam waktu yang lebih panjang. 

Biaya ritual yang besar itu jelas menambah beban setiap rumah tangga, padahal sehari-harinya mereka sudah terhimpit. Hal ini membantah perspektif kulturalis arus umum ketika bicara tentang kegiatan ritual yang selalu lekat dengan ungkapan-ungkapan mengenai gotong royong, kebahagiaan, kebersamaan, perjuangan, spiritualitas, loyalitas, saling berbagi, kepedulian, dan lainnya. Intinya: cenderung berkonotasi positif. Sementara dilihat dari perspektif kelas, itu adalah ikatan transaksional yang rapuh antara rakyat kecil dengan kelas di atasnya (Robinson, 1981).

Kurangnya modal dan akses terhadap sumber-sumber produksi membuat mereka, para nelayan kecil, terpaksa menjalin relasi yang semakin dalam dengan penguasa desa, dan itu tidak menguntungkan. Hal ini misalnya dialami nelayan Nurdin, nama samaran. Ongkos ritual kampung membuatnya tercebur dalam lingkaran setan hubungan patronase. Di tengah kondisi hasil tangkapan yang semakin sedikit dan sulit didapat, ia harus menyusun ulang strategi bertahan hidup. Bergantung pada modal yang terbatas untuk melaut membuat deretan ketidakpastian seolah tidak berujung. “Kah bukan modal sedikit itu kalau mauki pergi melaut, manami semakin jauh dan tidak pasti bisaki dapat ikan atau tidak,” katanya. Modal awal turut memengaruhi sejauh mana mereka dapat membelah lautan, termasuk relatif menentukan jumlah ikan yang bisa ditangkap dalam satu siklus pelayaran. 

Situasi ini pada akhirnya mendorong mereka menggantungkan hidup pada orang lain. Toh berdiam diri juga bukan jawaban. Di tengah situasi sulit, demi menutupi ongkos kebutuhan harian ditambah beban biaya ritual dan memastikan mendapat modal lebih banyak, berutang sering kali menjadi satu-satunya pilihan yang tersedia. Seperti yang diungkapkan sendiri oleh Nurdin: “Susah sekali sekarang dapat ikan. Jadi kemarin waktu maumi masuk acara Temmu Taung terpaksa pinjamki di bos, karena tidak ada sekali bisa dipakai kecuali untuk kebutuhan hari-hari.” 

Utang dari penguasa desa (utamanya tengkulak dan penggawa) membuat monopoli atas hasil tangkapan makin runcing. Selama ini penggawa maupun tengkulak ikan lokal memang punya pengaruh cukup besar. Dalam penelitian yang dilakukan Maulana (2014), dikatakan bahwa hubungan patron-klien melalui utang mengikat nelayan, membentuk skema politik utang budi. Hasil tangkapan mereka dimonopoli oleh tengkulak, yang kemudian menjualnya ke luar desa dengan harga yang lebih tinggi dibanding beli langsung ke nelayan. Ketika saya tanya kemungkinan menjual ikan di tempat lain, Nurdin mengatakan, “Tidak mungkin dijual ke orang lain, karena dia (tengkulak) sering bantuki. Takut jki juga.”

Dalam konteks yang sering dicirikan dengan “kontrak saling mengunci”, Bhaduri (1983) memperlihatkan bahwa utang perdesaan menimbulkan sistem “perdagangan paksa”. Kondisi ini menggeser posisi nelayan kecil yang semula bebas menjual hasil tangkapan sejauh akses pasar yang dapat dijangkau oleh mereka menjadi terbatas ke satu orang (tengkulak atau elite desa pemberi pinjaman lain). Tentu saja hubungan patron-klien ini dapat memberi efek domino yang membuat nelayan kecil tidak dapat keluar dari lubang kemiskinan, kesenjangan sosial, dan tekanan-tekanan kehidupan yang secara intensif melanda mereka. 

Dengan jumlah pinjaman yang semakin menumpuk dari bulan ke bulan, para nelayan semakin meneguhkan diri sebagai klien dalam relasi patronase ini, dan hal itu memungkinkan pintu eksploitasi terbuka lebih lebar. Hal ini menjadi bentuk khusus “relasi produksi”—karena para nelayan semakin bergantung pada utang untuk mereproduksi rumah tangga mereka (Banaji 1977 & Roseberry 1978). Ditambah lagi karena para penguasa desa memang dapat “membantu” nelayan kecil kapan pun saat sedang terjepit. 

Ketergantungan yang besar kepada penguasa desa membuat posisi tawar nelayan secara umum menjadi semakin kecil. Utang sering kali mewujud sebagai ikatan kerja di antara pemodal dan peminjam demi tujuan sosial dan politik. Dalam beberapa literatur, dikatakan bahwa utang sering menjadi penghubung jangka panjang antara pemilik modal dan nelayan kecil. Dalam bentuk yang beragam, umumnya para pengambil utang wajib bekerja dengan pemberi pinjaman plus memberikan berbagai layanan sebagai balas budi. Melalui utang, patronase bekerja dengan cara yang jauh lebih halus untuk memastikan kesetiaan para klien. 

Keluarga Nurdin mengalami hal yang persis seperti ini. Akibat lilitan utang, ia merasa harus selalu menaruh simpati lebih ke orang yang telah memberinya pinjaman. Di setiap ritual siklus hidup seperti kelahiran, pernikahan, kematian, Nurdin sekeluarga wajib menyisihkan tenaga untuk membantu. Jika ada panggilan, mereka bergerak layaknya angin kencang, datang setepat mungkin memberi layanan. Tekanan sosial maupun politis pada akhirnya membuat keluarga Nurdin harus memberikan layanan dalam bentuk apa pun secara cuma-cuma, termasuk mengerjakan pekerjaan kasar seperti mengangkut barang, memasang tenda, memasak, melayani, dan lain-lain.

Dalam sejarah, utang di perdesaan juga telah berperan mengikis cara hidup berbasis komunitas. Secara langsung, utang dapat merusak hubungan harian dengan berbagai ancaman di baliknya (gosip, penyitaan, hingga penjualan aset penting). Hal ini kerap semakin mempertajam diferensiasi sosial. 

Namun demikian, perasaan takut dikucilkan jika tidak mengikuti ritual tahunan kampung sangat besar dan tak bisa dihilangkan. Hal ini yang membuat mereka berani mengambil utang. Semua demi dapat terlibat dalam segala proses perayaan. 

Jadi, di tengah laut, para nelayan kecil tidak hanya berhadapan dengan amukan ombak yang saling mengejar. Ketidakpastian menjadi bagian dari guncangan yang lain. Bayangan mendapat ikan untuk disantap bersama keluarga saat berlabuh di rumah sering kali menjadi tanda tanya besar. Kepungan biaya reproduksi, ritual, dan utang turut membuat amukan seolah tampak lebih ganas. 

Setiap rumah tangga menjadi lebih intensif mencari uang tunai, termasuk melakukan migrasi baik dalam waktu singkat atau lebih lama. Hal ini misalnya dilakukan salah satu anak Nurdin. Dalam usia yang masih muda, Emon, nama samaran, terpaksa pergi meninggalkan pulau demi mencari uang di darat. Ia bekerja serabutan sebagai buruh bangunan. Meski dengan penghasilan yang tidak seberapa dan tak juga menentu, setidaknya Emon beberapa kali dapat membawa uang ketika pulang. “Adapi biasa panggilki baru bisaki pergi, tergantung proyek ji,” ungkap Emon kepada saya. Penghasilan tersebut digunakan untuk menutupi segala daftar pengeluaran yang mungkin sudah amat panjang di keluarganya. 

Setiap mendengarkan cerita, saya menyadari bahwa ritual-ritual kampung memang mengharuskan setiap warga untuk terlibat meski seperti tanpa paksaan. Euforia untuk terlibat membuat setiap rumah tangga berani bertaruh. Gosip yang selalu menyebar cepat menyadarkan siapa saja bahwa jika mereka tidak terlibat maka konsekuensinya adalah dipinggirkan, malu, atau merasa kurang pantas karena tidak mengikuti arus umum. Berhemat dan tidak berkontribusi banyak dalam ritual hanya membuat suasana keruh. Tradisi kampung menjadi urusan semua rumah tangga. Setiap dari mereka harus berpikir lebih keras menyusun segala macam cara untuk mencari uang dan bertahan. Urusan pemenuhan biaya ritual akhirnya menjadi urusan yang sangat individual tapi dengan konsekuensi sosial.  

Belakangan, tradisi yang awalnya bersifat resiprokal atau seremonial merembes menjadi arena pertarungan sosial masing-masing rumah tangga. Beberapa rumah tangga harus meneguk kepahitan akibat kesulitan memenuhi kebutuhan ritual. Selain meminjam ke penguasa desa, beberapa dari mereka kadang harus menelan ludah melihat emasnya terjual atau bahkan mengambil kredit bank. Ini mewujud dalam ungkapan, “Kalau tidak ada sekalimi, emasta mami dijual atau pinjamki di bank.” 

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.

Berkebalikan dengan keluarga Nurdin dan banyak rumah tangga lain, Nobo, nama samaran, seorang tengkulak sekaligus penggawa, menjadikan ritual sebagai tempatnya menegaskan kuasa di pulau. Ia selalu tampak semringah saat ritual tahunan digelar. Situasi semacam ini membuka peluang baginya untuk terlibat lebih intim dengan para orang penting daerah. “Kalau acarami, di rumah ji biasa tidur itu orang-orang dari luar (termasuk perwakilan pemerintah daerah),” ucapnya saat bercerita mengenai suasana ritual tempo hari. Belakangan saya baru tahu bahwa dia adalah calon kepala kampung yang selalu keras menawarkan soal pemekaran desa ke pemerintah daerah.

Saat saya berada di rumahnya, beberapa bapak-bapak nelayan ada di belakang rumah. Salah satunya adalah orang yang berutang pada Nobo. Keberadaan orang-orang ini turut memperkuat kuasa yang dimiliki Nobo. Para nelayan bercerita banyak hal soal kondisi kampung, namun merasa segan menyuarakan persoalan yang sedang dihadapi karena menganggap keluarga Nobo telah membantu mereka dalam banyak hal, termasuk hal yang tampak kecil bagi orang luar seperti memberikan kopi hitam gratis.


Penutup

Ritual-ritual yang kerap kali diromantisasi sebagai bagian dari jati diri komunitas di perdesaan, hingga dengan beragam nilai yang sering kali diungkapkan seperti menyimbolkan kebahagiaan, kebersamaan, perjuangan, spiritualitas, loyalitas, hingga semangat gotong royong memang dalam beberapa hal masih dapat ditemui. Namun, setiap rumah tangga di perdesaan saat ini masih belum setara secara ekonomi-politik, termasuk penguasaan atas modal, alat produksi, sumber daya dan kekuasaan. Ini membuat sebagian orang tertatih-tatih dalam mengusahakan reproduksi sosialnya. Ditambah lagi beban biaya ritual dapat mengancam setiap hubungan sosial semakin tajam ke bawah. Masing-masing rumah tangga melewati setiap perayaan dengan ongkos materiel maupun energi yang cukup banyak. Tidak semua dapat secara sempurna melewatinya. Sedang yang lain, yang secara ekonomi-politik memiliki posisi strategis, justru dapat dengan semringah menyambut setiap agenda rutin sebagai arena untuk mempertegas posisi sosialnya. 

Semarak ritual kampung secara bersamaan merawat kerentanan nelayan kecil sekaligus memperkuat posisi kelas-kelas atas (penguasa desa) untuk terus mengakumulasi modal dan membentengi diri dari gejolak rakyat kecil yang mendorong adanya redistribusi kesejahteraan dengan politik balas budi yang diraih melalui ikatan utang.


Kepustakaan

Tulisan yang termuat di Indoprogress. “Mitos Kebersamaan dalam Acara Informal Jawa”. Ditulis Oleh Anggalih Bayu Muh Kamim. 

Gerber, J.F. (2014). The Role of Rural Indebtedness in The Evolution of Capitalism. Journal of Peasant Studies, 41(5), 729–747.

Gerber, J.F. (2022). “Rural Indebtedness (Utang Pedesaan)” dalam Handbook of Critical Agrarian Studies diterjemahkan oleh STNPN PRESS. Yogyakarta.

Banaji, J. (1977). Modes of Production in a Materialist Conception of History, Capital and Class, 6, 1–44.

Badriadi, (2017). Pola Hubungan Patron-Klien Pada Komunitas Petani Rumput Laut di Desa Bungin Permai Kecamatan Tinanggea Kabupaten Konawe Selatan. Skripsi: Jurusan Agribisnis Fakultas Pertanian Universitas Halu Oleo.

Bhaduri, A. (1983). The Economic Structure of Backward Agriculture, London: Academic Press.

Roseberry, W. (1978). Peasants as proletarians, Critique of Anthropology, 3(11), 3–18.

Robinson, R. (1981). Culture, Politics, and Economy In The Political History of The New Order. Indonesia, 31, 1-29.

Maulana, A. (2014). “Hubungan Patron Klien Pada Masyarakat Nelayan Desa Kuala Karang Kecamatan Teluk Pekedai Kabupaten Kubu Raya”. Jurnal S-1 Sosiologi Volume 3 Nomor 2 Edisi Juni 2014.

Priyatna, F.N & Sumartono, (2011). “Pola Pemanfaatan Sumber Daya, Subsistensi Dan Pola Hubungan Patron-Klien Masyarakat Nelayan Danau Tempe, Sulawesi Selatan”. Jurnal Matematika, Sains Dan Teknologi. Volume 12, Nomor 1. Maret 2011, 37-45. 

Sudarmono, Sulehan, J., Rahamah, N., (2012). “Dinamika Langganan Dalam Masyarakat Nelayan: Artikulasi Ragam Pengeluaran Perikanan Berskala Kecil Di Kelurahan Cambayya, Kota Makassar, Sulawesi Selatan, Indonesia”. Malaysia Journal Of Society And Space 8 Issue 8 (65– 75).


Muhammad Riski, akrab disapa yoyo, saat ini terlibat di Perkumpulan Cita Tanah Mahardika (CTM). Tulisan ini adalah serial kunjungan lapangan di salah satu pulau yang ada di Sulawesi Selatan. 

]]>
Keretakan Metabolis di Piyungan: Lika-liku Darurat Sampah di Yogyakarta https://indoprogress.com/2024/11/lika-liku-darurat-sampah-di-yogyakarta/ Sat, 16 Nov 2024 00:17:01 +0000 https://indoprogress.com/?p=238517

Foto: Aktivitas pemotor pengangkut sampah di TPST Piyungan. Terlihat juga sapi-sapi yang sedang memakan sampah. Sabtu (31/8/2024). (Dok. Pribadi/Mirna Layli Dewi)


DUA hingga tiga sepeda motor silih berganti berdatangan saat saya menyambangi Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST) Piyungan, Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), akhir Agustus lalu. Satu per satu pengendara menurunkan kantong plastik berisi sampah yang memenuhi keranjang yang dipasang di jok belakang. Aktivitas tersebut juga dapat diamati langsung dari wilayah Ngablak, yang jaraknya kurang lebih 350 meter dari TPST.

Aktivitas pembuangan sampah itu berlangsung di tengah kabar penutupan TPST (juga disebut TPA) Piyungan karena alasan sudah overload. Faktanya, hingga beberapa bulan terakhir, sampah-sampah masih rutin masuk ke TPST ini menggunakan sepeda motor.

Marwan (40), pengawas lapangan TPST Piyungan, mengatakan bahwa sampah-sampah ini adalah sampah kota. “Jadi sebenarnya TPS Piyungan sudah benar-benar close dari dua bulan lalu (Mei). Tapi, karena khususnya Kota Yogya masih kesulitan untuk mengolahnya, jadi mau enggak mau sampahnya dibuang ke sini,” kata Marwan. Dia mengatakan Tempat Pengolahan Sampah Reuse, Reduce, dan Recycle (TPS3R) belum rampung dibangun.

Sebelum penutupan secara permanen, setiap harinya 600 ton sampah berakhir di TPST Piyungan. Sampah yang ditampung didominasi dari tiga wilayah, yaitu Kota Yogyakarta, Kabupaten Sleman, dan Kabupaten Bantul.

Awalnya Marwan mengatakan bahwa masalah sampah kota sebaiknya ditanyakan langsung saja ke Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kota Yogya. Namun, di tengah obrolan, dia menjelaskan bahwa penerimaan kembali sampah-sampah ini sifatnya sementara dan terbatas, bergantung pada ketersediaan lahan kosong di TPST Piyungan. “Dari gubernur diberi batasan sampah yang bisa dibawa ke sini berapa ton, 500 hingga 1.500 ton. Kalau ada sampah masuk, kita siapkan ruang. Apalagi kalau sudah ada surat. Biasanya sehari sebelum itu kita sudah persiapkan biar ada ruang,” tambahnya.

Keterangan Marwan selaras dengan kesaksian dari lapangan. Rahma, nama samaran, perempuan berusia 68 tahun asal Dusun Ngablak, mengatakan sekarang hanya motor yang diperbolehkan masuk dan membuang sampah. “Iya, [TPST] ditutup. Boleh tapi hanya pakai motor, kalau truk atau pikap, ya, enggak bisa,” ujarnya.

Sampah-sampah yang masuk tidak sekadar ditumpuk. Kismadi (57), Ketua RT 04 Ngablak, menyebut saat ini sampah yang masuk “banyaknya dibakar.” “Kalo punya lubang ya dibuatkan lubang, nanti ditutup lalu dibuat semacam tobong untuk membakar sampah.”

Asap yang keluar dari tobong pembakaran sampah kerap menimbulkan gangguan pernapasan, kata Kismadi. “Masalah dampaknya, yang jelas itu sekarang asap. Baunya juga, sudah kami rasakan. Akhirnya dibuat kesepakatan kalau jam 8 pagi sampai jam 3 sore pembakaran di tobong sudah dimatikan. Karena mengganggu aktivitas,” tambahnya.

Persoalan buka-tutup akses sampah ke TPST Piyungan bukan pertama kali ini terjadi. TPST Piyungan pernah dinyatakan hanya dapat menampung sampah hingga 2012. Sejak muncul kesepakatan itu buka-tutup TPST Piyungan terus terjadi. Akhirnya tempat ini terus dipaksakan untuk menampung berton-ton sampah setiap hari sampai sekarang.

Tentu kembali meningkatnya volume sampah di TPST Piyungan menambah daftar panjang persoalan ruang hidup masyarakat di sekitarnya. Pahit getir kembali dirasakan oleh warga, khususnya yang bermukim di empat pedukuhan berjarak kurang dari 3 kilometer dari TPST, yakni Ngablak dan Banyakan I-III, Kelurahan Sitimulyo.

TPS3R yang di atas telah disinggung adalah cara terkini Pemerintah Kota Yogyakarta mengatasi perkara sampah. TPS3R akan terdapat di tiga wilayah, yakni Karangmiri, Nitikan, dan Kranon. Melalui TPS3R, nantinya sampah akan dipilah hingga menghasilkan Refuse Derived Fuel (RDF). Singkatnya RDF adalah residu yang dapat menjadi bahan bakar. Nantinya RDF dikirim ke Cilacap, Kendal, dan Pasuruan untuk digunakan di pabrik semen.

Sayangnya, sistem pengolahan yang dianggap sebagai solusi tersebut belum dapat menampung seluruh sampah yang ada di Yogyakarta. Kapasitasnya sangat terbatas. Target sampah yang dapat diolah di TPS3R adalah 20 hingga 75 ton per hari, sementara total produksi sampah mencapai 600 ton per hari.

Pemerintah kota juga menggeser target kesiapan TPS3R. Awalnya seluruh TPS3R direncanakan dapat beroperasi tahun ini, namun hingga kini baru satu yang aktif, yaitu TPS3R di Nitikan.


Keretakan Metabolis Masyarakat Agraris

TPST Piyungan mulai beroperasi pada 1996 dengan luas awal 10 hektare. Area terus meluas hingga menjadi 12,5 hektare dengan kapasitas 2,7 juta meter kubik sampah. Sebelumnya TPST Piyungan adalah lembah yang lingkungan sekitarnya biasa dipakai masyarakat untuk menanam berbagai macam perdu.

Rahma adalah salah satu penduduk yang dulu memanfaatkan tanah itu untuk menanam. “Ketika TPS dibangun, umur saya 40 tahun. Sebelum adanya TPS, tanah di sekitarnya buat menanam ketela, sentul. Tapi itu hanya kalau hujan lho ya,” ujar Rahma. Menurutnya tanah di sana adalah tanah produktif.

Pemerintah kemudian membeli tanah-tanah yang berada di sana. Usai tanah tersebut diubah menjadi TPST, warga sekitar tak ada bertani. “Kalau tanahnya dibeli pemerintah, boleh tidak boleh, ya, jadi TPA,” katanya.

Rahma tinggal di RT 03 Ngablak. Rumahnya relatif dekat dengan pintu masuk TPST Piyungan, hanya berjarak kurang lebih 100 meter. Rahma sedang berdiri di depan rumahnya saat saya temui. Ia menyapa dengan begitu hangat, sembari kedua tangannya cekatan mengupas plastik merek dari botol plastik. Satu per satu botol tersebut kemudian ia pilah dan kemas ke dalam karung berwarna putih.

Tak hanya tinggal di dekat TPST, Rahma juga hingga kini masih menggantungkan hidup dari sampah yang masuk.

Sambil mengelap tangan ke bajunya, Rahma mempersilakan saya duduk dan mulai bercerita menggunakan bahasa Jawa Krama. “Saya kerja sudah lebih dari 25 tahun to. Mulainya pas saya masih muda. Kalau saya dulu, ya ngambilin sampah dari rumah ke rumah, gitu. Pernah ikut mobil sampah juga pas waktu muda” ujarnya.

Rahma (sekitar 68 tahun), warga RT 03 Ngablak, Sabtu (31/8/2024). (Dok. Pribadi/ Mirna Layli Dewi)

Menurut Rahma, seiring dengan meningkatnya produktivitas sampah di TPST Piyungan, warga lain juga mulai beralih bekerja sebagai pengepul–depo sampah. Ruang hidup yang berubah memaksa mereka secara perlahan beradaptasi.

Salah satu alasan mengapa banyak yang tertarik menjadi pengepul–depo sampah, kata Rahma, adalah karena pada saat itu lebih menjanjikan dibanding pilihan pekerjaan lain. Menurut penelitian Huzaimah (2020), warga Piyungan yang bekerja sebagai pemulung, pengepul, hingga depo sampah memang memiliki pendapatan dalam taraf relatif baik. Pendapatan per hari mereka sekitar Rp100 ribu hingga Rp200 ribu. Selain itu, rata-rata warga juga memiliki tempat tinggal layak, punya aset lain seperti kendaraan dan sapi, juga mampu menyekolahkan anak.

Maka, bagi mereka yang telanjur menggantungkan hidup dari tumpukan sampah, penutupan TPST jelas menjadi persoalan. Sumber pendapatan mereka anjlok drastis. Namun, bagi warga dengan profesi lain, kehadiran TPST Piyungan yang terus dipaksakan menampung sampahlah yang merupakan problem dan harus segera diatasi bahkan dihentikan.


Krisis Air Bersih: Dari Overload sampai Gangguan Kesehatan

Rusaknya lahan di sekitar TPS Piyungan tak hanya mengakibatkan warga kehilangan sumber pangan, tapi juga air bersih. Penyebabnya adalah kadar lindi yang begitu tinggi, yakni 99,9 persen atau lebih. Lindi merupakan cairan dari sampah, berbau busuk, yang awalnya merupakan air hujan biasa.

Dengan alasan kesehatan dan kebersihan, sebagian warga memilih untuk mengonsumsi air kemasan, tentu dengan biaya tambahan. Salah satunya adalah Triyanto, Ketua Banyakan Bergerak sekaligus warga Banyakan III. “Dulu di sini itu airnya jernih, untuk apa pun bisa. Tapi sekarang udah enggak bisa. Untuk sumur aja mungkin ragu, ya. Saat ini orang-orang juga enggak berani pakai air sumur, kecuali untuk mandi yang masih menggunakan air sumur. Untuk kebutuhan makan dan minum sekarang pakai air galon,” ujarnya.

Saat disambangi di rumahnya, Triyanto yang ditemani oleh Chozin Nur Anwar menyapa saya dengan hangat. Ia kemudian menyiapkan segelas teh manis untuk menemani obrolan. Saat bercerita sesekali ia menunjuk ke arah TPST dan mengernyitkan dahi, apalagi saat ditanya terkait kebutuhan air bersih baik keluarganya sendiri atau tetangga.

Triyanto kemudian menunjuk rumah yang tidak jauh dari rumahnya. Ia mengatakan bahwa salah satu penghuni rumah itu itu pernah sakit setelah mengonsumsi air sumur. “Ada satu warga di sini yang sakit-sakitan. Setelah pakai air galon kemasan udah lumayan.”

Triyanto (46, kiri), Ketua Aliansi Banyakan Bergerak, dan Chozin Nur Anwar (50), RT 1 Dusun Banyakan III, Yogyakarta, Sabtu (31/8/2024). (Dok. Pribadi/ Mirna Layli Dewi)

Dalam sebulan, Triyanto menghabiskan 8 galon kemasan berukuran 15 liter. Itu hanya untuk minum, belum termasuk memasak. “Kalau masak bisa lebih. Yang paling banyak itu untuk masak,” tuturnya. Dengan asumsi air per galon seharga Rp23 ribu, maka rata-rata biaya yang dihabiskan oleh Triyanto per bulan bisa mencapai Rp184 ribu rupiah. Angka ini amat besar, apalagi mengingat warga semestinya memiliki hak atas air bersih bagi keberlangsungan hidup.

Berbeda dengan Triyanto, sampai saat ini Rahma masih menggunakan air dari Perusahaan Air Minum (PAM). “Untuk masak dan minum air PAM. Tidak punya sumur lagi,” katanya. Sebelum PAM, dia dulu mengonsumsi air sumur (air tanah), namun akhirnya tidak lagi sebab menurutnya Ngablak kesulitan air karena posisinya lebih tinggi dibanding dusun lain. Menurutnya pula, aliran PAM yang menuju rumahnya berasal dari Ngablak bagian bawah.

Ia beralasan tidak masalah jika mengonsumsi air PAM, toh sejauh ini tidak merasakan hal buruk apa pun. “Enggak, enggak ada. Karena kalau ada tanda-tanda gitu langsung periksa, to.”

Untuk memenuhi kebutuhan air bersih plus pengeluaran untuk listrik, Rahma menghabiskan biaya sekitar Rp100 ribu hingga Rp140 ribu per bulan. “Bayar air PAM-nya meteran. Kalau buat nyuci motor bisa sampai 140 ribu rupiah,” ujarnya.

Meski Rahma menepis adanya gangguan kesehatan yang disebabkan oleh air tercemar, tapi sebagai lansia ia mengakui mengalami beberapa kali gejala penyakit tidak menular ketika berkegiatan. “Kadang, ya, pusing, batuk, dan pilek. Tapi sakitnya enggak sampai parah.”

Rahma juga bercerita bahwa setiap sebulan sekali ada pengecekan kondisi kesehatan dari puskesmas setempat. “Dari Puskesmas Piyungan. Biasanya adanya di posyandu, posyandu anak-anak, ibu hamil juga ada, lansia juga,” katanya.

Saya kemudian menemui Yanti (40 tahun), seorang bidan desa, di Kelurahan Sitimulyo. Yanti telah menjadi bidan di kelurahan ini sejak 2005. Ketika itu dia datang untuk merespons hasil rekapan data dari para kader. Dia tahu persis apa yang dialami warga. “Keluhan dari warga, bau yang menyengat,” ujarnya. Warga yang dia maksud bukan hanya satu atau dua, tapi mereka yang tinggal di empat dusun dekat TPST Piyungan.

Selain itu ia juga mengatakan ada warga yang memiliki lingkar lengan kecil dan masalah kesehatan lain. “Ada yang anaknya pengambil rongsok mengalami kelainan otak (hidrosefalus). Juga ada yang gizi buruk,” katanya. Sayangnya, karena bukan warga asli alias hanya mengontrak, mereka kesulitan mengakses bantuan. “Kemarin kesulitan cari dana karena KTP-nya bukan KTP sini (Sitimulyo).”

Yanti tidak bisa memberikan data yang valid atas kasus atau penyakit yang dialami oleh warga. Ia hanya mengatakan ada tim khusus yang tugasnya mengurus dan menangani dampak langsung TPST Piyungan terhadap kesehatan warga.

Kaderisasidi Kelurahan Sitimulyo, Kapanewon Piyungan, Kab. Bantul, Sabtu (31/8/2024). (Dok. Pribadi/ Mirna Layli Dewi)

Tim khusus Puskesmas Piyungan belum mau memberikan keterangan sampai liputan ini selesai ditulis. Sementara Kepala Puskesmas Piyungan Dr. Sigit Hendro Sulistyo memberikan konfirmasi bahwa di setiap pedukuhan memang ada aktivitas posyandu setiap bulan. Sigit juga mengatakan air sumur memang sudah jelas tercemar. Namun, katanya, air PAM aman karena memiliki saluran khusus.

Ada beberapa penyakit umum yang kerap diidap warga Piyungan karena air tercemar dan lingkungan rusak, kata Sigit. Dari mulai yang ringan hingga penyakit yang dapat berefek jangka panjang apabila terus-menerus dibiarkan tanpa pengobatan.

“Untuk dampaknya jelas, karena sampah sumber penyakit. Jadi, banyak sekali mikroorganisme, baik bakteri, virus, dan kuman yang berkembang di sana. Kemudian, gangguan kesehatan warga sekitar, ya, mungkin pencernaan. Airnya atau mungkin makanan yang tercemar akibat serangga lalat, dan lain-lain, sehingga bisa diare sampai mual,” ujar Sigit.

Selain pencernaan, warga juga mengalami penyakit kulit dan gangguan pernapasan. “Penyakit kulit, yang kontak langsung dengan limbah cair, padat, dari sampah. Sakitnya kayak gatal-gatal, infeksi, dan iritasi. Sedangkan gangguan pernapasan, misalnya karena bau menyengat sehingga bisa menyebabkan infeksi,” tambahnya.

Apabila warga berada di sekitar TPST dan terus-menerus berkontak langsung dengan sampah, maka risiko penyakit kronis juga menghantui mereka. “Kalau penyakit berbahaya itu bisa karena penyakitnya terjadi dalam jangka lama atau dari melalui sumber air ataupun kontak langsung. Lebih jauh bisa menyebabkan penyakit kanker.”

Bagaimana dengan pengalaman Rahma yang mengatakan dia tidak merasakan dampak kesehatan apa pun? Menurutnya, memang tidak semua warga yang terdampak langsung mengecek kondisi kesehatan mereka ke puskesmas.

Di akhir obrolan, Sigit menambahkan terdapat beberapa faktor yang memengaruhi kondisi kesehatan warga Piyungan, yakni jarak dari TPST, kondisi angin (arah dan kecepatan terkait dengan luas penyebaran polutan), kualitas pengelolaan TPST, dan kebiasaan hidup (pola hidup bersih dan sehat, pola makan yang bergizi).


Gerakan Akar Rumput: “Golek Penake Dewe…”

Tak hanya lindi dan bau yang telah sejak lama membuat warga khawatir. Mereka juga menakutkan gas metana yang terdapat dalam gunung sampah. Gunung sampah adalah konsekuensi pasti penerapan sanitary landfill method di TPST Piyungan. Ini singkatnya adalah sistem menimbun sampah dengan tanah. Metode ini dinilai tidak efektif karena hanya akan berujung penumpukan tanpa pengolahan, seperti yang terjadi selama ini.

“Yang kami takutkan itu gas metanya, suatu saat bisa meledak. Karena nanti untuk pipanisasi (lindi) kadang, kan, buntu. Kita kan enggak tahu kalau enggak dikontrol. Karena di sana juga enggak  ada pengontrolan,” ujar triyanto, yang tampak sesekali mengernyitkan dahi.

Pengelolaan lindi di TPST Piyungan memang minim kontrol. TPS ini usianya sudah puluhan tahun dan selama itu pula mengeluarkan residu sampah, tetapi baru di tahun 2022 proses pipanisasi direspons pemerintah. Memang ada kolam yang disebut tempat pengolahan lindi di sekitar TPST Piyungan, tapi itu tidak difungsikan. “Untuk masalah pipanisasi direspons pemerintah. Tapi, untuk pengolahan lindi, belum ada pengambilan kebijakan. Membuat kolam tapi disfungsi. Sudah saya cek tapi, ya, enggak ada,” katanya.

Lindi yang terus mengalir dari TPST Piyungan diperkirakan masih terus ada hingga beberapa tahun ke depan. “Kalaupun TPS-nya ditutup, air lindinya itu tetap bisa mengalir bahkan sampai 5-6 tahun.”

Triyanto menambahkan bahwa lindi tidak hanya berdampak pada kesehatan tapi juga mengganggu perekonomian warga. Hal ini terutama disebabkan karena lindi yang mengalir ke Sungai Opak membuat rusaknya ekosistem sepanjang aliran sungai. “Selain kerugian karena gagalnya panen, juga ada kerugian ekonomi lainnya. Misalnya air yang harusnya bisa diakses, ini enggak bisa. Mau enggak mau beli air. Ada juga petani yang strok karena konsumsi air sumur yang sudah tercemar,” ujarnya.

Lokasi pengolahan lindi di TPST Piyungan. Terlihat lindi yang berwarna hitam pekat dan mengeluarkan bau. Tidak ada aktivitas apa pun saat dikunjungi, Sabtu (31/8/2024). (Dok. Pribadi/ Mirna Layli Dewi)

Mengalami kondisi hidup yang buruk akibat keberadaan TPST, warga Piyungan khususnya di empat dusun yang paling terdampak, yakni Ngablak dan Banyakan I hingga III, kemudian membentuk aliansi bernama Banyakan Bergerak. Dengan organisasi ini mereka menyampaikan langsung aspirasi kolektif.

Banyakan Bergerak misalnya beberapa kali menggelar aksi protes menolak TPST Piyungan diaktifkan kembali. Mereka juga menolak pembangunan pengolahan sampah di TPST Piyungan, yang akan digunakan oleh DLH Yogya. Aliansi menolak pembangunan sistem pengolahan sampah di TPST Piyungan sebab dari awal proses tidak ada mekanisme partisipasi, termasuk yang melibatkan Banyakan Bergerak sebagai pihak yang terdampak langsung.

“Kalau saya lihat pemerintah memang kurang serius untuk menanggapi hal ini, ya. Golek penake dewe, lah,” tambahnya.

Triyanto menegaskan jika Banyakan Bergerak akan terus mengawal TPST Piyungan hingga benar-benar ditutup. “Saat ini kita hanya menunggu itu, tuntutan yang kita ajukan sejalan dengan tahun 2025. TPS memang harus sudah ditutup secara permanen.” ujarnya.

Spanduk penolakan TPA transisi yang dibentangkan di TPST Piyungan oleh aliansi warga, Sabtu (31/8/2024). (Dok. Pribadi/ Mirna Layli Dewi)

Aktivis lain dari Banyakan Bergerak, Lilik Purwoko, mengatakan ketidaktegasan pemerintah provinsi dan kota dalam merespons persoalan sampah berakibat pada turunnya tingkat kepercayaan warga atas solusi-solusi yang diberikan oleh mereka.

“Warga bisa menilai pemerintah itu seperti apa, warga bisa melihat enggak omongannya. Jadi kalau masyarakat itu dijanjiin dengan pemerintah, ya, tingkat kepercayaan warga udah menurun,” tuturnya.

Atas semua yang terjadi, Elki Setiyo Hadi, Kepala Divisi Kampanye Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Wallhi) Yogyakarta, menduga “pemerintah seperti tidak ada masterplan” untuk mengatasi persoalan sampah. Hal ini berujung pada kondisi Yogya saat ini yang bisa dikatakan darurat sampah.

Tindakan-tindakan pemerintah reaktif belaka, misalnya dengan TPS3R, di mana mereka berencana mengalihkan sampah ke tiap kabupaten melalui Tempat Penampungan Sampah Sementara (TPSS). Jarak penumpukan sampah berlaku selama enam bulan. “Tiba-tiba membuat TPSS yang sampahnya ditumpuk di dalamnya selama enam bulan. Tetapi, setelah enam bulan, sampah diapakan itu enggak ada.”

Rencana TPSS itu, bagi Elki, justru menambah persoalan. “Justru itu membuat semakin banyak TPS baru, seperti Piyungan.”

Ini belum termasuk masalah pengolahan sampah organik yang lebih rumit. “Hari ini yang paling banyak itu organik. Di TPS Piyungan dan TPS lainnya. Ya, seharusnya sampah organik ini sudah diolah di hulu. Misalnya dengan penggunaan maggot (‘belatung’). Masalahnya pengelolaan sampah yang dihulu ini macet. Kalau plastik udah ada yang mengolahnya, misalnya, bank sampah. Kalau organik?”

Elki mengatakan “tidak aneh” jika pada akhirnya TPST Piyungan tetap menerima sampah meski pernah ada wacana akan menutupnya pada 2012. “Semua sudah telanjur bergantung. Kumpul angkut buang. Sudah enak, nyaman.”

“Ke depannya Walhi masih mencoba mendorong tanggung jawab pemerintah di Piyungan. Kita melihat hari ini seperti ada lepas tangan. Kami mendorong ada pengelolaan sampah ke depannya dari hulu baru ke hilir. Hari ini belum ada kejelasan di tingkat daerah. Lagi-lagi jatuhnya, ya, TPA. Enggak ada pengelolaan sampah.” pungkasnya. ***


Mirna Layli Dewi adalah mahasiswa Sastra Indonesia Universitas Negeri Semarang. Saat ini senang menekuni isu lingkungan dan sosial

Naskah ini adalah liputan khusus program beasiswa kursus IISRE, kerja sama IndoProgress dan Trend Asia

]]>
Lahan Tebu Polongbangkeng Takalar: Manis untuk Penguasa, Pahit Bagi Rakyat https://indoprogress.com/2024/10/lahan-tebu-polongbangkeng-takalar-manis-untuk-penguasa-pahit-bagi-rakyat/ Wed, 30 Oct 2024 20:47:40 +0000 https://indoprogress.com/?p=238490

Foto: Fajar.co.id


KALAU nda dikasi, natemba ki, karena nabilangiki PKI,kata Dg. Taba. Dg atau daeng adalah sapaan akrab orang Makassar. Dg. Taba sering kali ikut dalam perjuangan melawan perampasan tanah oleh pihak PT Perkebunan Nusantara (PTPN) XIV  (sebelumnya bernama PT Madu Baru). Ia melakukan audiensi ke pemerintah, propaganda, bahkan aksi. Tak heran jika dirinya kerap mendapatkan intimidasi, ancaman, dan berbagai tudingan. “Siapa yang mau biayai istriku, anakku, kalau aku ditembak atau dipenjara ki?” sambungnya.

Dalam kurun 2006-2009, berlanjut pada 2013-2015 saat aksi masyarakat di perkebunan tebu sedang besar-besarnya, banyak berjatuhan korban penembakan. Sebagian lagi ditangkap sehingga banyak yang pergi sembunyi atau bermalam di gubuk. Dg. Taba sendiri punya cara lain. “Kalau saya alasan mamika kerja di Makassar sebagai tukang batu, sekitar 20 hari sampai satu bulan.”

Dg. Taba sehari-hari bekerja sebagai tukang bangunan dan mengelola sedikit kebun warisan orang tua. Untuk pekerjaan yang disebut terakhir, dia kerap dibantu dua anak lelakinya. Kebunnya yang secuil itu lolos dari perampasan lahan di tahun 1980-an. 

Saya pertama kali bertemu dengan Dg. Taba di kediaman Dg. Sijaya pada malam hari. Ketika itu kami, juga masyarakat Desa Ko’mara, Kecamatan Polongbangkeng Timur, Kabupaten Takalar, Provinsi Sulawesi Selatan, tengah membahas pemetaan lahan yang sebelumnya dilakukan di Kampung Beru. Kami hendak membuktikan kepada pemerintah bahwa masyarakat memiliki lahan di tengah tanah yang dikelola oleh PTPN XIV. Hak Guna Usaha  (HGU) PTPN XIV telah berakhir sejak 9 Juli 2024.

Eh, merokok!”  Dg. Taba menawari sembari menunggu kawan lain mempersiapkan LCD untuk memperlihatkan peta lahan yang akan diukur esok hari.

Sebelumnya saya telah banyak berbincang dengan seorang warga Kampung Beru, Dg. Rasid, tentang bagaimana cara para elite lokal (karaeng) di pemerintah daerah dan PT Madu Baru merampas tanah masyarakat. “Itu mertuaku yang punya tanah, diajak pergi jalan-jalan katanya. Ternyata sudah dikelola mi lahannya. Pas itu mau protes, diancam ki itu mau dibawa pergi jauh dari kampung kalau nda mau nakasi tanahnya itu pihak PT Madu Baru yang sekarang PTPN,” katanya. Na pattolo-toloi mentongki (di bodoh-bodohi betul),” lanjutnya sembari tertawa.

Karena perampasan lahan, banyak warga yang pergi merantau untuk menghidupi diri dan keluarga. “Itu keluarga yang sering kutemani baku gea (adu mulut) na dari Makassar kodong itu jadi tukang parkir, ka ndada bisa na kerja di sini,” tutur Dg. Rasid sembari menghisap kreteknya.

Warga di Kampung Beru, Ko’mara, Timbuseng, Barugaya, dan lainnya sering melakukan penolakan dengan berbagai cara, seperti menanam padi atau jagung di tengah lahan yang dirampas PTPN XIV. Mereka juga sering memberi makan ternak di tengah tebu yang digarap PTPN XIV di atas tanah mereka itu.


Awal Mula Perampasan Lahan

Taufik Ahmad dalam Genealogi Konflik Agraria di Polongbangkeng Takalar menjelaskan bahwa konflik bermula pada 1978-1979, ketika PT Madu Baru mengambil alih lahan pertanian masyarakat. Tak lama setelah itu, di tahun 1981-1982, masuklah instruksi pemerintah pusat —di bawah rezim fasis Orde Baru— untuk melanjutkan pembebasan lahan oleh perusahaan gula, PTPN XIV.

Pada awalnya, perusahaan berusaha bernegosiasi ke masyarakat untuk membeli lahan mereka. Namun, karena tak kunjung menemukan titik temu, hal ini menuai konflik. Pembebasan lahan akhirnya berlangsung dengan cara yang licik, sarat manipulasi, dan intimidasi —baik mental maupun fisik. Tak sedikit petani yang tidak ingin menyerahkan lahannya dituduh sebagai anggota PKI.

Akhirnya, demi merampas 6700-an hektare tanah masyarakat untuk penanaman tebu serta pembangunan pabrik, mereka menggunakan kedok penerbitan Hak Guna Usaha (HGU) selama 25 tahun.

Pada pertemuan malam itu, kami membuat kelompok tugas untuk memetakan lahan dan menyebar ke beberapa rumah. Saya dan dua kawan lain mendapat bagian di rumah Dg. Taba. Rumahnya berbahan batu dengan luas 96 meter persegi.

Saat masuk, istri Dg. Taba menyuguhkan kami secangkir kopi. Kebetulan stok rokok pun masih banyak sehingga kami tidak langsung berstirahat melainkan duduk-duduk sejenak agar tak ada rasa canggung. “Minum, masih panjang pagi,” kata Dg. Taba dengan bercanda.

Ia lalu bercerita sedikit soal tanah yang dikelola bapaknya tetapi dirampas PTPN XIV. Saat cerita bergulir, saya terngiang kisah seseorang dengan julukan Karaeng Temba. Ia konon salah satu orang yang disegani karena punya identitas raja. Namun ini bukan kisah pahlawan; ia adalah salah seorang yang memaksa masyarakat untuk memberikan tanahnya pada PTPN XIV.

“Jadi dulu itu bukan pihak PTPN langsung yang paksa, tapi Karaeng Temba yang dulu kerja sama dengan pihak PTPN yang paksaki” katanya.

“Ia bahkan tidak ragu itu menembak kalau nda maui dikasi tanahta, karena nabilangimaki PKI, pengkhianat negara, dan orang tidak mau diatur. Semua masyarakat nakasi begitu. Bahkan banyak dulu tukang tembanya, jadi takut- takut mki,” lanjutnya.

“Jadi nabayar jaki?” tanyaku penasaran.

“Tidak ada nakasikanka biar seribu, baru nabilang pihak PTPN sudah mi dibayar, tidak tahu siapa nabayar.”

“Jadi kalau nabayarki mau jaki kasi?”

Ia menjawab dengan raut kesal, “siapa mau bodo-bodo kasi tanah, di mana ki mau makan kalau bukan dari tanah ta.”

Setelah mendapatkan informasi mengenai cara licik PTPN XIV yang memanfaatkan elite lokal (karaeng) dan pemerintah daerah, kami membereskan gelas dan beristirahat untuk melanjutkan pemetaan di beberapa titik yang sudah ditentukan.

Kami dibangunkan hawa yang begitu dingin saat matahari mulai menampakkan cahaya di sudut-sudut ruang melalui ventilasi. Kami pikir kami yang pertama bangun, tapi ternyata dari arah dapur sudah tercium aroma masakan yang begitu menusuk di hidung. “Bangun, sarapan dulu supaya segar-segar pergi mengukur,” kata Istri Dg. Taba. Kami pun dengan sigap membasuh muka, membersihkan tempat tidur, lalu bergegas menyantap makanan.

“Kalau di sini, tidak baik rasanya pergi kerja kalau tidak sarapan. Jadi, sarapan bukan sarapan yang sedikit makan, tapi harus sampai kenyang,” sambung Dg. Taba.

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.


Mereka yang Dirampas Ruang Hidupnya

Sehabis makan, kami disuguhkan secangkir teh. Sungguh kami sangat membuatnya repot, tetapi itulah kebiasaan Dg. Taba sebelum memulai pekerjaan.

Kami pun berkumpul di titik lokasi yang ditentukan semalam, sambil menunggu kawan-kawan lain, sebelum berbondong-bondong untuk masuk ke area pemetaan. Hanya butuh beberapa menit perjalan untuk tiba di lokasi pertama.

Waktu itu kami tak langsung mengukur tanah, melainkan membuat video propaganda penolakan atas berakhirnya HGU PTPN pada 9 juli 2024 terlebih dahulu. Selang beberapa menit setelah pembuatan video propaganda, kami pun berpencar ke banyak titik sesuai dengan pembagian lokasi.

Saya bersama Dg. Taba dan Dg. Gassing ke Desa Barugaya, mengukur lahannya yang kurang lebih 60 are. Di sepanjang perjalanan itu, kami hanya melihat barisan tanaman tebu; sangat jarang terlihat tanaman lain. Sambil terus berjalan, Dg. Taba menunjuk beberapa tempat lokasi mereka mengadang polisi dan PTPN XIV untuk memberhentikan proses pengolahan tanaman tebu. Ada juga beberapa lokasi di mana kelompok perampok di tahun 1997-2002 beraksi karena krisis moneter.

Kurang lebih setengah jam perjalanan, kami pun tiba di titik lokasi Dg. Taba. “Inimi tanah bapakku yang kemarin dirampas, ka di sana itu tanah Karaeng Temba, baru lahan ku di tengah-tengah. Jadi langsung na bilang ini tanahku semua, ka di sini bede dulu makan sapinya,” katanya, begitu jengkel.

Jika dulu mengolah lahan dengan tanaman padi, mereka kini harus bekerja menjadi buruh di atas tanah sendiri karena dipaksa hanya menanam tebu.

“Waktu dulu nagarap ini bapakku, sawah semua ditanam di sini, tidak pernah ki beli beras, ka cukup mi dimakan. hanya saja, ya begitumi, sekarang kerja tebu maki, baru hasilnya di pembelikan beras,” ungkap Dg. Gassing.

Ucapannya membikin darah saya naik ke ubun-ubun. Ceritanya sama dengan warga yang lain ketika saya menyempatkan berbincang dengan mereka.

Setelah 40 tahun menunggu, para petani yang sudah hidup tercekik ketidakpastian terus menempuh segala usaha: pendudukan, aktivasi ruang, audiensi, hingga pada aksi-aksi protes. Agenda-agenda tersebut terus berlangsung sebagai upaya menahan perpanjangan HGU PTPN XIV, yang sebagiannya berakhir di tahun 2023 dan sisanya di Juli lalu.


Muhammad Syarif adalah Wakil Presiden BEM Universitas Negeri Makassar dan Kepala Departemen Organisasi Front Mahasiswa Nasional.

]]>
Problematika di Balik Revitalisasi Danau Rawa Pening https://indoprogress.com/2024/09/problematika-di-balik-revitalisasi-danau-rawa-pening/ Sun, 15 Sep 2024 21:20:30 +0000 https://indoprogress.com/?p=238406

Ilustrasi: ANTARA FOTO/Aji Styawan/foc.


DANAU Rawa Pening, yang terletak di Kabupaten Semarang, Jawa Tengah, sedang tidak baik-baik saja. Ini bukan hanya soal danau itu sendiri, tapi juga manusia-manusia yang menggantungkan hidup padanya. Saat ini para warga sedang memperjuangkan hak yang hendak dirampas atas nama revitalisasi.  

Artikel ini tidak jauh berbeda dengan kajian ilmiah/kertas advokasi berjudul “Mempertahankan Rawa Pening” yang disusun oleh tim Amnesty International Chapter UNNES (Amnesty UNNES), terdiri dari saya sendiri, Syahwal, Nabil Gunawan, dan Hasan Kurnia Hoetomo. Kertas advokasi itu sendiri telah didiseminasikan ke publik, dengan mengundang masyarakat umum, warga, praktisi, dan akademisi.


Danau Rawa Pening yang Sedang Sakit

Rawa Pening berada di cekungan terendah di lereng Gunung Merbabu, Gunung Telomoyo, dan Gunung Ungaran yang terbentuk akibat pergeseran lempeng bumi pada zaman pleistosen. Hal ini membuatnya menjadi penampungan air alami dari aliran air gunung-gunung tersebut. Ia mencakup empat kecamatan: Ambarawa, Bawen, Tuntang, dan Banyubiru. Meskipun dangkal, Rawa Pening menjadi sumber Sungai Tuntang (Rahmawati et al., 2023). 

Pada mulanya Danau Rawa Pening memiliki segudang manfaat, termasuk sumber pembangkit listrik tenaga air (PLTA), destinasi wisata, dan pengendali banjir (Abimanyu, 2016). Sementara warga setempat memanfaatkannya untuk mencari dan membudidayakan ikan—dikenal dengan “keramba jaring apung” atau “keramba” saja. Sementara eceng gondok yang banyak sampai-sampai menutupi danau dimanfaatkan sebagai bahan kerajinan tangan. Mereka juga menanam padi di lahan sekitar danau. 

Namun lama kelamaan danau ini kehilangan manfaatnya. Rawa Pening senantiasa menyusut setiap tahunnya. Penyebab utama sedimentasi disebut-sebut adalah limbah dari ternak dan keramba ikan. Danau masuk dalam kondisi “sakit kronis”; danau mengalami degradasi yang sangat parah.

Karena sedang “sakit”, pemerintah kemudian coba memberikan “pengobatan”. Ini tidak hanya diterapkan di Danau Rawa Pening, tapi juga danau–danau lain yang kondisinya serupa. Upaya penyembuhan ini sudah dicanangkan setidaknya sejak 2009, ketika diadakan Konferensi Nasional Danau Indonesia (KNDI) I di Bali. Pada KNDI I inilah Danau Rawa Pening resmi ditetapkan sebagai salah satu dari 15 Danau Prioritas Nasional (DPN) yang bakal dipulihkan karena tingkat sedimentasi yang tinggi. Di antara seluruh danau tersebut, Rawa Pening-lah yang luasnya paling kecil. Meski demikian, ia tetap termasuk dalam wilayah strategis Jratunseluna, yaitu Daerah Aliran Sungai (DAS) di Provinsi Jateng. 

KNDI II di Semarang pada 2011 kemudian meluncurkan program Gerakan Penyelamatan Danau (Germadan). Rawa Pening-lah yang menjadi model percontohan bagi proyek ini. Di acara itu pula disusun dokumen Grand Design Penyelamatan Danau Indonesia. Setelah itu upaya-upaya untuk mengatasi sedimentasi dan pencemaran terus dilakukan baik oleh pusat dan daerah.


Danau Prioritas Nasional yang Problematik

Pada era Presiden Joko Widodo, tepatnya sejak 2015, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) dan beberapa kementerian lain sepakat membentuk Gerakan Nasional Kemitraan Penyelamatan Air (GN-KPA), yang di dalamnya termasuk revitalisasi 15 danau kritis. Kemudian, pada 2020, pemerintah mengeluarkan Keputusan Menteri PUPR No. 365/KPTS/M/2020 yang khusus mengatur revitalisasi Rawa Pening. Peraturan tersebut mencakup penetapan patok sempadan (tanda batas) di beberapa kecamatan dan desa sekitar danau. 

Peraturan lain yang terkait keluar setahun kemudian, 22 Juni 2021, yaitu Peraturan Presiden No 60/2021 tentang Penyelamatan Danau Prioritas Nasional (DPN). Di sana disebutkan bahwa program ini adalah “upaya untuk mengendalikan kerusakan, menjaga, memulihkan, dan mengembalikan kondisi serta fungsi badan air danau, daerah tangkapan air, dan sempadan danau sehingga dapat memberikan manfaat bagi kesejahteraan masyarakat secara berkelanjutan.” 

Namun, realitasnya, upaya penyelamatan DPN dalam bentuk revitalisasi justru mengandung segudang problematika. Salah satunya adalah, tidak seluruh warga yang terdampak dilibatkan. Mereka sering kali merasa tidak diakomodasi baik dalam perencanaan dan pelaksanaan proyek. Kurangnya sosialisasi dan partisipasi menyebabkan masyarakat merasa terpinggirkan.

Hal ini tidak sesuai dengan UU 25/2004 yang mengamanatkan pembangunan nasional semestinya bersifat partisipatif. Ini juga menunjukkan bahwa warga hanya dianggap sebagai objek, bukan subjek revitalisasi. 

Salah satu contoh tidak adanya sosialisasi yang jelas adalah penempatan patok di lahan-lahan milik warga yang berada di sekitar danau. Masyarakat belum sepenuhnya memahami tujuan dan dampak dari pemasangan patok tersebut. Pemasangan patok sempadan sendiri dasarnya adalah Kepmen PUPR No. 365/KPTS/M/2020. Meskipun hingga saat ini belum ada lahan warga yang secara resmi diambil alih untuk kepentingan revitalisasi, banyak patok batas sempadan yang sudah dipasang di tempat mereka. 

Semua ini menimbulkan ketidakpastian dan stres, bahkan gangguan kesehatan mental. Menurut kesaksian warga, “Karena adanya patok ini membuat warga jadi stres, dan bahkan ada salah satu warga yang dibawa ke rumah sakit jiwa.”


Potensi Pelanggaran HAM

Tak sekadar masalah sosialisasi, revitalisasi Danau Rawa Pening telah menimbulkan masalah signifikan bagi masyarakat lokal.

Penggunaan alat berat dalam pengendalian sedimentasi dan pembersihan eceng gondok telah merusak lahan pertanian di sekitar danau. Hal ini menyebabkan perubahan pola aliran air, sehingga mengancam mata pencarian nelayan serta petani. Lokasi lahan pertanian yang berada di sekitar danau menjadikan mereka sangat rentan terhadap dampak proyek ini. 

Tak hanya itu, berdasarkan hasil wawancara kami kepada warga, diketahui permukaan danau mengalami kenaikan (elevasi) dari 462,3 MDPL menjadi 463,32 MDPL. Hal ini menyebabkan 200 hektare lahan pertanian produktif warga terendam, menghentikan aktivitas bercocok tanam yang menjadi sumber penghidupan utama. 

Revitalisasi danau yang mengakibatkan relokasi atau perubahan penggunaan lahan ini membuat banyak warga khawatir kehilangan sumber pendapatan utama mereka. Banyak dari mereka memang bergantung pada lingkungan sekitar untuk mencari nafkah, misalnya dengan bertani dan menangkap ikan. Singkatnya, penggunaan alat berat serta penertiban keramba jaring apung turut menambah beban ekonomi warga.

Selain itu, perluasan kawasan danau yang tumpang tindih dengan tanah milik warga berstatus sertifikat hak milik (SHM) menciptakan ketidakpastian hukum. Hal ini terkait dengan patok-patok yang telah disinggung sebelumnya. Ketidakjelasan mengenai fungsi dan dampak patok ini memperkuat kekhawatiran warga terhadap potensi kehilangan akses terhadap lahan pertanian mereka, yang merupakan sumber utama penghidupan. Ini dikhawatirkan menjadi kasus pengambilalihan lahan tanpa kompensasi yang adil.  

Bahkan, menurut kesaksian warga, ada di antara mereka yang diintimidasi oleh aparat TNI dan Polri. Hal ini tentu sangat bertentangan dengan Konstitusi dan instrumen HAM internasional, yang mengamanatkan untuk mencegah adanya tindakan-tindakan represif dan intimidatif. 

Jelas bahwa semua ini menunjukkan adanya pelanggaran serius terhadap hak milik atas tanah, hak atas penghidupan yang layak, dan hak-hak lainnya. Padahal semua diatur dalam Konstitusi dan instrumen internasional seperti Universal Declaration of Human Rights (UDHR) dan International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights (ICESCR). Pemerintah sebagai pemangku kewajiban (duty bearer) HAM semestinya menghormati, melindungi, dan memenuhi hak-hak warga Rawa Pening, bukan sebaliknya. 

Warga sebenarnya tidak menolak revitalisasi, “Karena tujuannya ingin menyembuhkan danau yang sedang sakit,” kata salah satu dari mereka. “Tetapi yang kami tolak keras adalah perluasan (akibat proyek revitalisasi) yang bisa berimplikasi buruk pada lahan kami.” 

Saat ini mereka terus berjuang untuk mempertahankan hak melalui pelbagai upaya, meskipun tantangan tetap ada karena kebijakan yang masih bersifat top-down. Salah satu tuntutan dari masyarakat adalah pemerintah mengupayakan elevasi danau turun dan memberikan kompensasi atas kerugian ekonomi yang telah mereka alami. 

Meskipun proyek revitalisasi bertujuan untuk memulihkan ekosistem danau, dampaknya yang signifikan terhadap lahan, mata pencaharian, dan hak-hak warga membuat pemerintah harus meninjau kembali kebijakan tersebut. Solusi yang lebih adil dan transparan harus ditemukan untuk menghindari konflik yang lebih besar. 

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.

Apa yang terjadi dalam revitalisasi Danau Rawa Pening ini sama seperti revitalisasi danau lain, salah satunya Danau Tempe di Sulawesi Selatan, yang juga dilakukan oleh Kementerian PUPR. Danau Tempe mengalami pendangkalan akibat sedimentasi, pertumbuhan eceng gondok yang tak terkendali, dan okupasi lahan. Revitalisasi termasuk pengerukan sedimen seluas 8,58 juta meter persegi (yang kemudian digunakan untuk membuat pulau buatan sebagai objek wisata), pemancangan bambu, pembersihan rutin eceng gondok, serta pemasangan geokomposit dan geosintetis. Harapannya dengan itu kapasitas tampungan air dapat ditingkatkan dan ekosistem perikanan dipertahankan (Said, 2021). 

Meskipun bertujuan meningkatkan kualitas lingkungan dan memenuhi kebutuhan air, revitalisasi ini tidak diterima semua masyarakat. Program ini juga menimbulkan kontroversi karena manfaatnya tidak dirasakan merata. Sebagian orang, terutama nelayan skala kecil dan petani, menolak program ini karena mengancam mata pencaharian mereka. Revitalisasi membuat mereka kehilangan lahan pertanian dan populasi ikan di danau jadi berkurang. 


Penutup

Revitalisasi Danau Rawa Pening yang semestinya membawa manfaat justru telah menimbulkan masalah baru yang serius bagi masyarakat setempat. Pemerintah perlu mengevaluasi pendekatan yang digunakan dan memastikan keterlibatan aktif masyarakat dalam setiap tahap perencanaan dan pelaksanaan proyek. 

Upaya pemulihan ekosistem danau mesti sejalan dengan perlindungan hak-hak asasi manusia, termasuk hak atas penghidupan yang layak dan hak atas tanah. Hanya dengan pendekatan yang inklusif dan partisipatif, revitalisasi bisa mencapai tujuan yang diharapkan tanpa mengorbankan kesejahteraan masyarakat lokal. 

Sebagai bagian dari komitmen untuk menegakkan hak asasi manusia, pemerintah mesti mengutamakan dialog dan kerja sama dengan masyarakat Rawa Pening, serta memberikan kompensasi yang adil dan solusi alternatif bagi mereka yang terdampak. Dengan cara ini, proyek revitalisasi dapat berhasil dan membawa kesejahteraan yang berkelanjutan bagi semua pihak.


Daftar Pustaka

Abimanyu, K., Banowati, E., & Aji, A. (2016). Analisis Pemanfaatan Sumberdaya Alam Danau Rawa Pening Kabupaten Semarang. Geo Image. 

Rahmawati et al. (2023). Kajian Aspek Sejarah, Sosial Masyarakat, Ekonomi, dan Ekologi Danau Rawapening.” Center for Open Science. http://dx.doi.org/10.31219/osf.io/b6j7k

Said, M. (2021). Asimetri Kekuasaan: Paradoks Manajemen Kolaborasi Pengelolaan Danau Tempe Sulawesi Selatan. Jurnal Pengelolaan Sumberdaya Alam Dan Lingkungan (Journal of Natural Resources and Environmental Management), 11(2): 241–49. https://doi.org/10.29244/jpsl.11.2.241-249.


Raihan Muhammad, Direktur Eksekutif Amnesty International UNNES

]]>
Air Makin Jauh, Tangki Makin Banyak: Privatisasi Air dan Abainya Negara di Kupang https://indoprogress.com/2024/08/air-makin-jauh-tangki-makin-banyak/ Mon, 12 Aug 2024 06:59:01 +0000 https://indoprogress.com/?p=238270

Ilustrasi: Mongabay


BILA musim kemarau tiba antara bulan Mei sampai Oktober, pemandangan lumrah yang tampak di Kota Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT) adalah berjajarnya antrean panjang mobil tangki air di pangkalan pengisian air bersih. Armada tangki itu membeli air dari pangkalan, tapi si pemilik pangkalan pun umumnya memiliki mobil tangki sendiri. Jumlah armada tangki dari tahun ke tahun makin bertambah banyak. Bisnis air menjadi salah satu lahan rebutan perputaran uang di antara orang-orang berada.


Menilik krisis air di Kota Kupang

Layanan isi ulang air dibangun dari pengeboran bawah tanah dengan kedalaman antara 30-40 meter. Ongkos pengeboran variatif, berkisar antara Rp25-30 juta, lengkap dengan instalasi jaringan perpipaan menuju reservoir. Sementara harga sekali isi ulang pada mobil tangki dengan kapasitas 4.000-5.000 liter mencapai Rp15-20 ribu. Air bersih akan dijual lagi dengan harga Rp100-200 ribu. Nominal harga per tangki tergantung dari dekat-jauhnya rumah konsumen.

Terpaksa membeli air membuat pengeluaran warga membengkak. Sebagai gambaran, rata-rata rumah tangga harus menyiapkan Rp400-600 ribu untuk kebutuhan air bersih dan sanitasi setiap bulan. Itu artinya masing-masing harus menyisihkan 6 persen dari penghasilan bulanan untuk membeli air, sebab Upah Minimum Provinsi (UMP) di tahun 2023 sebesar Rp2.123.994. Bagaimana nasib kaum miskin kota yang tidak punya penghasilan tetap?

Memberikan layanan air bersih seharusnya menjadi tanggung jawab negara, tapi di Kota Kupang, yang terjadi justru privatisasi air dengan tujuan komersial. Sumber daya vital, yang seharusnya dikelola demi kemakmuran bersama sesuai amanat Konstitusi, malah dikuasai oleh pemodal yang mengomodifikasi sumber produksi hingga mempunyai nilai jual tinggi. Selagi pemenuhan air bersih mengikuti prinsip akumulasi modal, maka setiap tahun krisis air akan terus menjadi litani penderitaan bagi warga Kota Kupang.

Musim tak dapat ditebak. Bencana mudah saja bertandang. Selagi mobil tangki rajin mendagangkan air keliling kota, pelayanan oleh perusahaan pengelola milik negara malah kian mandek tata kelolanya. Air bisa mengalir seminggu sekali, kalau sempat. Kalau tidak, pencatat laju air akan terus berputar meski tak ada air yang mengaliri pipa menuju bak penampung. 

Dengan iklim yang bercorak kemarau panjang, tingkat krisis akan meningkat pada musim kemarau. Cadangan air bawah tanah pun menjadi minim karena rendahnya intensitas hujan. Hal ini ditambah lagi dengan faktor lain seperti maraknya betonisasi kontur permukaan kota; makin sempitnya ruang terbuka hijau sebagai wilayah tangkapan air; penambahan jumlah penduduk dan kepadatan sebagai konsekuensi dari urbanisasi; dan perubahan iklim yang memicu anomali cuaca. 


Tingkat konsumsi air warga kota

Secara administratif, Kota Kupang terdiri dari 6 kecamatan dan 51 kelurahan. Jumlah penduduk di tahun 2022 mencapai 421.621 jiwa, sesuai catatan Badan Pusat Statistik NTT. Bagaimana memenuhi kebutuhan air bagi ratusan ribu jiwa ini setiap harinya? 

Demi efisiensi pelayanan, perusahan air minum milik negara membagi Kota Kupang ke dalam 8 zona penyaluran air sesuai dengan luas dan jarak antar wilayah. Perbandingan persentase kapasitas air dan pelanggan menunjukkan bahwa rata-rata air bersih yang didistribusikan oleh layanan air pelat merah pada setiap konsumen adalah kurang lebih 3654, 25 m3/tahun. Selain menggunakan layanan air negara, warga Kota Kupang memanfaatkan 13 mata air dan juga sumur bor. Dari keseluruhan jumlah sumber air, kapasitas pelayanan mencapai 296,26 liter per detik.

Semua itu belum cukup. Persentase rumah tangga di Kota Kupang yang mengalami kesulitan air bersih terutama pada musim kemarau sebesar 35,8 persen, sementara tingkat konsumsi air tertinggi mencapai 50 liter per hari. Pada umumnya, demi mendapatkan air sebanyak 5 liter, masyarakat di NTT harus menunggu hingga dua hari.

Krisis atas air pernah memuncak pada 2017: dari 51 kelurahan di Kupang, 48 di antaranya mengalami paceklik air. Pemerintah akhirnya menjalankan tugasnya dengan membagikan air sebanyak 100 tangki.

Akses penduduk NTT terhadap air tergolong fluktuatif dari tahun ke tahun. Rendahnya pemakaian air menjelaskan kurangnya akses terhadap air, tata kelola yang buruk dalam pemenuhan hak atas air, sekaligus menempatkan Provinsi Nusa Cendana pada nomor wahid perihal rendahnya pemanfaatan air bersih di Indonesia. Bahkan, dalam penelitiannya berjudul Analisis Kebutuhan Air Bersih Kota Kupang Menurut Ketersediaan Sumber Air Bersih dan Zona Pelayanan, Theodolfi dan Waangsir menemukan bahwa beberapa sumber air bersih yang ada di Kota Kupang rata-rata memiliki kandungan total Coliform dan E.coli sebesar 45/100 milliliter. Jadi, masalahnya juga tak cukup tata kelola yang buruk. Kualitas air permukaan memberi gambaran tentang angka penyakit yang diderita akibat kualitas dan tentunya sistem sanitasi yang belum terpadu.

Modal sumber daya air berbanding terbalik dengan proyeksi penambahan angka penduduk Kota Kupang yang pada 2030 nanti diperkirakan berjumlah 601.263 jiwa, dengan kebutuhan air bersihnya sebanyak 695,9 liter per detik. Kuantitas produksi air bersih sampai pada 2030 belum mampu mencukupi standar rata-rata kebutuhan. Bila Kota Kupang yang merupakan ibu kota provinsi, sentra aktivitas ekonomi, sosial, dan politik di NTT saja lemah, bagaimana dengan nasib kota/kabupaten lain yang secara akses, tata kelola, Indeks Prestasi Manusia (IPM), angka kaum terdidik, angka kelompok kaya, angka angkatan kerja, dan anggaran masih jauh di bawahnhya?

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.


Hak warga atas air

Amanat Konstitusi terutama pasal 33 menegaskan bahwa setiap sumber air dikuasai negara dan digunakan demi kepentingan rakyat. Penegasan dilanjutkan lewat peraturan turunannya, Pasal 7 Undang-Undang Sumber Daya Air, yang mengatakan: Sumber daya air tidak dapat dimiliki atau dikuasai oleh perseorangan, kelompok masyarakat, atau badan usaha. Legislasi telah mengantisipasi kemungkinan penguasaan pribadi pada sumber-sumber produksi strategis, dengan maksud mengurangi ketimpangan yang bisa saja tercipta.

Penguasaan air secara mutlak oleh negara selaras dengan prinsip Demokrasi Pancasila yang dianut Indonesia dalam menjalankan sistem pemerintahannya. Kedaulatan individu dimandatkan pada negara sebagai institusi yang mampu mengatur tendensi personal atau komunal dari kelompok tertentu untuk mengeksplorasi kekayaan sumber daya alami. Tendensi perebutan dan eksploitasi sumber produksi diantisipasi dengan format regulasi yang baku sekaligus menjadi haluan negara. 

Regulasi yang sudah progresif ini dibatalkan sendiri oleh negara dengan membuka kemungkinan eksplorasi air pada individu dan kelompok bisnis. Sejak keran investasi dibuka dengan ditopang oleh arus pasar bebas yang meredusir kedaulatan negara, aturan hanyalah menjadi teks-teks kosong, tidak mampu menjelma nyata dalam praksis hidup warganya. Sedari awal regulasi bertujuan untuk mencegah kemungkinan ketimpangan yang akan terjadi bila sumber produksi yang menyangkut hajat hidup orang banyak tidak dibagi secara adil. Nyatanya, regulasi yang tegas di atas teks, bertolak belakang dengan fakta riil di lapangan.


Menolak ketimpangan hak atas air

Realitas ketimpangan pemenuhan hak atas air di Kota Kupang terjadi akibat, pertama, pengabaian negara dalam memenuhi tugasnya; dan kedua, privatisasi air dengan tujuan komersial. Mungkin saja muncul bantahan ala libertarian yang menyatakan bahwa tanggung jawab negara hanyalah menyediakan sistem dan menjalankan pelayanan. Namun, dalam perspektif komunitarian, negara sebagai pengampu kedaulatan rakyat wajib memastikan pemenuhan hak dasariah warga, terutama pada kelompok marjinal.

Melawan ketimpangan pemenuhan hak atas air bagi warga hendaknya sudah dimulai dari discourse atau pewacanaan tentang kewajiban negara untuk menyediakan hak dasariah warga. Sebagai bentuk pengarusutamaan hak atas air, kita harus membedah proses penghisapan yang secara akumulatif terjadi di depan mata.

Sayangnya, diskursus hak atas air jarang masuk dalam pembahasan pemangku kebijakan, apalagi berbuah kebijakan publik. Kelompok masyarakat kritis yang diharapkan mampu membangun narasi tandingan hingga membuka mata penguasa masih terjebak dalam pola eksklusivitas yang diciptakan negara. Pemahaman hak atas air jadi tidak masuk dalam relung pemikiran warga. Implikasinya, krisis atas air terus langgeng. 

Rakyat bukannya tidak mampu menalar hingga mencipta laku protes menuntut hak-hak dasariah. Yang terjadi adalah negara telah menciptakan sikap penerimaan, lapang dada. Hak dasar yang seharusnya dipenuhi oleh pemerintah dimanipulasi agar dibebankan pada rakyat. Praktik pengaburan tanggung jawab telah mereduksi pemahaman warga hingga mereka legawa menerima bahwa hak atas air bukan tanggung jawab negara, melainkan beban individu. “Jangan protes, turuti saja kata penguasa!”, demikian ciri warga negara yang baik.

Ketika prinsip akumulasi dalam eksplorasi sumber daya air melahirkan kompetisi meraup laba dan menihilkan nilai-nilai keadilan substansial, dengan sendirinya gugurlah prinsip demokrasi yang memastikan hak asasi dapat terpenuhi secara distributif bagi semua warga tanpa terkecuali. Proses akumulasi atas air berlangsung dengan cara pencaplokan wilayah strategis penghasil air. Akumulasi melalui perampasan merupakan proses yang berlangsung terus-menerus sebab kontinuitas memastikan sirkulasi laba tetap lancar (Harvey, 2005).

Dalam aras kebijakan, air tidak dipahami sebagai res commune atau barang bersama, tetapi dimengerti dalam paradigma ekonomi pasar sebagai res individualis, artinya barang pribadi yang dapat dikomersialisasikan untuk mendapatkan keuntungan sebanyak mungkin. Mirisnya lagi, kapitalisasi modal terjadi dalam situasi krisis. Tidak ada pertimbangan tentang akibat penghisapan yang sedang dan akan terus terjadi dalam proses akumulasi laba dari sumber material air. 

Dengan memprakarsai wacana yang membuahkan gerakan kritis menuntut hak, konstruksi gerakan bertatap wajah dengan multiproses sebagai produksi dan ekspresi kapitalisme yang terus berlangsung (Petrus, 2015: 6). Dalam kasus Kota Kupang, wajah yang dimaksud antara lain: menjamurnya bisnis air, rezim yang mementingkan infrastruktur dibanding mengembangkan suprastruktur, banalitas kejahatan negara dengan mengabaikan hak warga melalui perampasan lahan yang marak terjadi dengan tujuan investasi.

Setelah mengenali berbagai wajah perampasan hingga melahirkan krisis berkepanjangan, semisal anak balita meninggal karena air dan sanitasi yang buruk, gerakan baru yang mengkritisi hingga melahirkan pemenuhan hak atas air di NTT jadi mendesak. Jika kita terus berpangku tangan menonton penghisapan terus langgeng tanpa turun terlibat memberi pencerahan adalah kejahatan itu sendiri, sampai kapan manusia Nusa Cendana mati terus di tengah sumber air yang melimpah tetapi jauh dari permukiman? 


Daftar Pustaka

Batubara, Bosman. 2017. Ekologi Politis Air: Akses, Eksklusi dan Inklusi. INSIST Press; Yogyakarta.

Harvey, David. 2015. Imperialism. Oxford: Oxford University Press.

Talan, John Petrus Talan. 2015. Masa Depan Tata Kelola Air, Tantangan dan Keberlanjutan. IRGSC: Kupang.

Theodolfi, Ragu dan Ferry WF Waangsir, “Analisis Kebutuhan Air Bersih Kota Kupang Menurut Ketersediaan Sumber Air Bersih dan Zona Pelayanan”, Media Kesehatan Masyarakat Indonesia, Vol. 10, N0. 2, 2014.

Waishanti, Dewa Ayu Putu. “Mengapa Krisis Air dan Sanitasi selalu Terjadi di Nusa Tenggara Timur, juga di Pulau Jawa?” The Conversation, 2023 (diakses pada 15 Agustus 2023, pukul 19.00 WITA).


Ardy Milik adalah penggiat di Global Organizing School-Fight Inequality Nusantara

]]>