Editorial – IndoPROGRESS https://indoprogress.com Media Pemikiran Progresif Tue, 25 Mar 2025 17:15:41 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.4.3 https://indoprogress.com/wp-content/uploads/2021/08/cropped-logo-ip-favicon-32x32.png Editorial – IndoPROGRESS https://indoprogress.com 32 32 Membangun Gerakan Sosial Baru: Sebuah Usul https://indoprogress.com/2025/03/membangun-gerakan-sosial-baru/ Sun, 23 Mar 2025 14:23:00 +0000 https://indoprogress.com/?p=238859

Ilustrasi: Ilustruth


PENGESAHAN RUU TNI menjadi UU oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), pada Kamis (20/3), menjadi lonceng kekalahan berulang bagi gerakan sosial di Indonesia. Oligarki, sekali lagi, dengan jemawanya mengabaikan dan merepresi suara dan protes rakyat yang menentang rencana pengesahan peraturan tersebut.

Kekalahan kesekian ini mencerminkan betapa lemahnya kekuatan gerakan sosial di Indonesia. Seorang teman menyatakan, “Lemah, sangat lemah.” Para elite bisa demikian percaya diri membangkitkan kembali arwah dwifungsi TNI yang otoriter bukan semata karena mereka korup, pengkhianat, pengecut, atau a-historis, tetapi lebih karena yakin bahwa apa yang dilakukan tidak akan menyebabkan kekuasaannya goyah. Mereka tahu persis kalau perlawanan rakyat akan muncul, tetapi juga tahu, berdasarkan pengalaman sebelumnya, bentuk dan sifat perlawanan tersebut adalah sporadis, terserak-serak, serta tidak memiliki struktur organisasi dan kepemimpinan yang kuat.

Kelemahan gerakan sosial juga terpengaruh oleh situasi di tingkat internasional. Perubahan dalam dinamika ekonomi-politik global yang tengah terjadi tidak memberikan dukungan pada gerakan sosial. Menguatnya gerakan kanan-jauh, terutama yang dipimpin oleh Presiden Amerika Serikat Donald Trump, membuat isu demokrasi dan hak asasi manusia (HAM) tidak menjadi prioritas bagi Gedung Putih. Pembubaran Agen Pembangunan Internasional Amerika Serikat (USAID) adalah sinyal dari perubahan tersebut. Sementara itu, walaupun peran ekonomi Cina semakin besar di Indonesia, tidak ada yang dapat diharapkan darinya dalam hal penguatan demokrasi, karena kebijakan non-intervensi dalam politik domestik negara tempat mereka berinvestasi.

#Gersosgelap ini adalah kenyataan yang mesti kita terima dengan lapang dada. ”Kita kalah”, demikian tulisan yang muncul di laman Facebook saya. ”Aktivisme klik” ternyata tidak memadai. ”Revolusi klik” juga tidak mencukupi. ”Caci maki” tidak menyelesaikan masalah. Setelah berlapang dada menerima kekalahan, saatnya untuk berpikir dan mencari strategi serta taktik baru untuk membangun kekuatan kembali dan memenangkan pertempuran melawan oligarki. Dalam semangat ini, saya ingin mengajukan beberapa usulan.


Pertama, melihat masalah secara totalitas

Dalam menganalisis permasalahan yang terjadi sejak runtuhnya rezim Orde Baru, salah satu hal yang mencolok dalam gerakan sosial adalah perspektif (cara pandang) parsial, yang berfokus pada isu-isu tertentu. Beberapa pihak menganggap bahwa masalah utama adalah korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN); sementara yang lain menyoroti isu militerisme, HAM, atau manipulasi konstitusi; ada juga yang menekankan pada masalah lingkungan; politik identitas atau populisme; serta beberapa yang melihat problem utamanya adalah ekstrimisme beragama; dan sebagian lain berpendapat kualitas sumber daya manusia yang rendah sebagai masalah yang paling mendasar. Dari perspektif yang parsial ini, pembangunan gerakan kemudian diarahkan untuk merespons isu-isu tersebut.

Saya tidak bermaksud menyatakan bahwa menyoroti dan memberikan fokus pada isu-isu parsial adalah hal yang keliru. Saya juga tidak bermaksud mengatakan kita bisa mengabaikan prioritas, terutama mengingat keterbatasan sumber daya yang ada. Bahkan, harus diakui bahwa analisis dan respons politik dari gerakan sosial terhadap isu-isu tersebut sangatlah cemerlang.

Namun, inti permasalahannya terletak pada perspektifnya yang parsial itu. Jika kita perhatikan, sejak tahun 1998, semua pemerintahan mulai dari Gus Dur hingga Prabowo, telah menerapkan strategi pembangunan kapitalisme-neoliberal yang diusulkan oleh lembaga-lembaga keuangan multilateral. Neoliberalisme menjadi acuan utama karena dianggap sebagai strategi pembangunan yang paling sesuai dengan sistem politik demokrasi liberal, metode terbaik dalam memberantas KKN, serta untuk mengatasi krisis dan pada akhirnya meningkatkan pertumbuhan ekonomi.

Dengan penerapan neoliberalisme yang konsisten selama ini, kita seharusnya bertanya: mengapa problem KKN, kerusakan lingkungan, politik identitas, militerisme, atau ekstremisme beragama terus ada dan berkembang biak? Perspektif totalitas menyatakan bahwa hanya dengan memahami kapitaisme-neoliberal (yakni, dalam totalitasnya) kita baru bisa memahami problem KKN atau militerisme (dalam parsialitasnya) yang terjadi. ”The true is the whole,” kata Hegel. Sebagai contoh konkret, neoliberalisme tidak akan berjalan efektif tanpa adanya oligarki, dan sebaliknya, oligarki akan semakin menguat seiring dengan penerapan neoliberalisme. Karena neoliberalisme (plus oligarki) ini berjalan beriringan dengan demokrasi, maka bukan oligarki yang membajak demokrasi (elektoral), melainkan demokrasi akan menjadi stabil jika ada ruang untuk perkembangan oligarki.

Dari perspektif totalitas ini juga, saatnya gerakan sosial membangun organisasi dan strategi-taktik perjuangannya.


Kedua, perlawanan terhadap kapitalisme-neoliberal

Sejak tahun 1998, kita menyaksikan secara jelas penerapan kebijakan neoliberal seperti liberalisasi perdagangan dan investasi, privatisasi perusahaan-perusahaan milik negara, pasar tenaga kerja yang semakin fleksibel, serta pemotongan anggaran belanja publik secara masif dan agresif. Akibatnya, kondisi ekonomi tidak menunjukkan perbaikan, utang luar negeri semakin membebani anggaran negara, jurang kaya miskin semakin lebar, KKN dan konflik sosial semakin menjadi, ketergantungan perekonomian nasional terhadap ekonomi internasional yang semakin dalam, disertai dengan meningkatnya militerisme, dan lain-lain.

Kondisi objektif ini harus melecut semangat perlawanan terhadap neoliberalisme sebagai inti pembangunan gerakan sosial. Mengandalkan niat baik untuk memberdayakan rakyat di luar konteks perlawanan terhadap neoliberalisme adalah sebuah tindakan karitatif yang tidak secara substansial mengubah kondisi rakyat miskin. Melawan militerisme dengan seruan moral juga sama tidak efektifnya. Sayangnya, dalam situasi kita, masih banyak yang tidak menyadari bahwa akar dari seluruh keterpurukan rakyat miskin selama ini adalah penerapan kebijakan neoliberal oleh rezim kediktatoran Orde Baru (Orba), dan terutama sejak tahun 1998. Masih banyak yang mengumbar analisis bahwa penyebab kemiskinan adalah kualitas pemerintahan yang buruk, sehingga solusinya adalah mengganti pemerintahan dengan yang baru yang (semoga) lebih bersih. Meskipun analisis semacam ini tidak sepenuhnya salah, tetapi menempatkan keburukan itu di luar konteks kapitalisme-neoliberal adalah kesalahan yang sangat serius.


Ketiga, perjuangan politik

Setelah mengidentifikasi kapitalisme-neoliberal sebagai musuh bersama, langkah selanjutnya adalah menentukan metode perjuangan yang akan digunakan. Pada tahap ini, gerakan sosial di Indonesia terbelah dalam dua kubu: pertama, mereka yang meyakini bahwa perubahan tidak harus melalui penggunaan instrumen kekuasaan langsung. Kelompok ini mengklaim dirinya sebagai kelompok non-partisan. Kedua, kelompok yang percaya bahwa tanpa melalui kekuasaan langsung, tidak mungkin kita dapat mengubah kebijakan neoliberal menjadi kebijakan yang anti-neoliberal. Kelompok ini dikenal sebagai kelompok partisan.

Kalau kita melihat garis perjuangan yang ditunjukkan oleh gerakan sosial yang sukses, perjuangan melawan rezim kapitalis-neoliberal pasti merupakan perjuangan politik. Ada dua pemaknaan mengenai perjuangan politik ini. Pertama, kita harus memandang bahwa neoliberalisme bukanlah sekumpulan kebijakan-kebijakan ekonomi semata. Ia bukanlah hitung-hitungan matematika mengenai berapa dana yang bisa dihemat akibat privatisasi BUMN, berapa jumlah total utang luar negeri yang mesti dibayarkan, berapa ongkos yang harus dikeluarkan akibat pemberlakuan subsidi. Neoliberalisme sesungguhnya adalah proyek politik dari kelas berkuasa (para bankir internasional, perusahaan transnasional, lembaga donor, organisasi ekonomi internasional, dan kolaborator lokal), dalam mengakumulasi kekuasaan dalam tangannya agar bisa sesuka hati mengatur dan mengontrol hajat hidup orang banyak.

Kedua, berdasarkan pengertian di atas, penolakan terhadap kebijakan neoliberal pertama-tama dan terutama adalah bersifat politik. Konkretnya, gerakan sosial harus berjuang untuk merebut kekuasaan politik dan mendayagunakan kekuasaan itu untuk menerapkan kebijakan alternatif di luar neoliberalisme. Tanpa perjuangan politik, aktivitas gerakan sosial hanya menjadi instrumen kontrol bagi kekuasaan untuk melanggengkan ketimpangan, ketidakadilan, dan diskriminasi. Padahal kontrol tak pernah mengubah kekuasaan ekonomi, politik, sosial, dan budaya yang timpang.


Keempat, berbasis massa

Dalam periode pasca-kediktatoran Orde Baru, gerakan sosial belum pernah berada dalam kondisi ”berjuang sendirian” seperti saat ini. Secara nasional, penguasa neoliberal berhasil memoderasi dan mengooptasi aktor dan lembaga sosial yang secara tradisional menjadi kawan seperjuangan. Kampus telah berubah menjadi pabrik pemburu profit, mayoritas akademisi dibungkam dengan kegiatan administratif, bahkan lembaga keagamaan seperti Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah akhirnya juga terkooptasi dalam skema neoliberal melalui pelibatan mereka dalam industri pertambangan. Sementara, secara internasional, seperti saya sebutkan sebelumnya, juga sulit memperoleh dukungan yang kuat.

Satu-satunya cara bagi gerakan sosial untuk tetap dapat bertahan dalam medan perjuangan melawan sistem kapitalisme-neoliberal adalah dengan ”bergerak bersama rakyat”. Di sini, perlu sedikit dikemukakan bahwa esensi neoliberalisme terletak pada pelembagaan kekuasaan politik dan ekonomi yang timpang antara rakyat dengan penguasa. Dalam kerangka neoliberal, rakyat diizinkan berpolitik secara damai melalui penyelenggaran pemilihan umum dalam periode waktu tertentu, di mana tujuan utama dari pemilu tersebut adalah untuk memilih pemimpin. Di luar episode pemilu, aspirasi politik rakyat diamanatkan kepada wakil rakyat yang terpilih yang dalam realitasnya sering sekali memperjuangkan aspirasi yang bertentangan dengan aspirasi rakyat pemilihnya. Salah satu contoh terbaiknya adalah pengesahan RUU TNI ini.

Namun, kasus yang menimpa kita ini bukan pengalaman unik kita semata. Hal yang sama juga terjadi di berbagai negara yang mengadopsi kebijakan neoliberal pada masa transisi dari kediktatoran menuju demokrasi. Bercermin dari keberhasilan pembangunan gerakan sosial di berbagai negara tersebut, strategi utama yang diambil gerakan sosial untuk melawan neoliberalisme adalah dengan mengupayakan perubahan radikal dalam hubungan kekuasaan, di mana rakyat menjadi pusat dan tujuan dari kekuasaan itu sendiri. ”Untuk dapat memberantas kemiskinan, berikan kekuasaan kepada rakyat!” ujar Hugo Chávez suatu ketika.

Dengan memprioritaskan pembangunan basis massa, gerakan sosial harus menampung dan memperjuangkan aspirasi massa secara kolektif. Gerakan sosial bukan sekadar perwakilan atau juru bicara bagi massa, melainkan harus menjadi bagian yang organik dari massa itu sendiri. Memparafrasekan kata-kata Mao Zedong, ”Rakyat adalah air, dan gerakan sosial adalah ikan yang berenang di dalamnya.”

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.


Kelima, demokrasi partisipatoris

Kita sudah menyaksikan bersama bagaimana, dalam era neoliberalisme, demokrasi hanya menjadi kereta kencana bagi oligarki. Oleh karena itu, gerakan sosial mesti memperjuangkan tegaknya demokrasi partisipatoris, di mana rakyat memiliki kekuasaan untuk mengelola dan mengontrol kebijakan yang dibuat dan diterapkannya tersebut. Demokrasi partisipatoris itu, misalnya, terlihat pada kepemilikan dan kontrol buruh atas tempat kerja, serta kontrol ekonomi melalui koperasi. Dalam beberapa kasus, bentuk demokrasi partisipatoris merupakan gabungan antara demokrasi perwakilan dan demokrasi langsung (semidirect democracy), seperti dalam kasus pelaksanaan kebijakan anggaran partisipatoris di Porto Alegre, Brasil.

Michael Kaufman dan Haroldo Dilla Alfonso, dalam buku Community Power & Grassroots Democracy The Transformation of Social Life (1997), menyatakan terdapat empat kata kunci dalam memahami demokrasi partisipatoris, yaitu proses, transisi, transformasi, dan pemberdayaan. Proses merujuk pada perubahan yang sedang berlangsung yang termuat di situ kesulitan, konflik yang membatu, dan perjuangan yang ditempuh. Transisi merujuk pada proses yang tidak secara sederhana bermakna modernisasi atau pembangunan, melainkan proses yang menuju pada masa depan yang bersifat alternatif. Prospek masa depan ini memang tidak sepenuhnya bisa dimengerti atau dijelaskan, namun masa depan itu dimengerti sebagai sesuatu yang substansial, yakni kebebasan dari mimpi-mimpi buruk seperti korupsi, pembodohan, kemiskinan, kekurangan gizi berkepanjangan, ketiadaan perumahan, pelayanan kesehatan yang buruk, pengangguran, rasisme, militerismem, seksisme, dan ketakutan.

Adapun transformasi merujuk pada proses transisi yang tidak hanya bersifat kuantitatif atau peningkatan yang bersifat linear, tetapi juga pergeseran yang substansial dan kualitatif dalam hubungan politik, ekonomi, sosial, dan budaya yang terjadi berlangsung setiap hari. Selanjutnya, pemberdayaan mengacu pada metode perubahan dan tujuan yang ingin dicapai. Pada tahap ini, gerakan sosial tidak hanya membahas tentang kontrol terhadap kekuasaan, tetapi juga berfokus pada siapa yang menderita di bawah kekuasaan yang ada, yaitu adalah mayoritas rakyat. Mayoritas ini tidak memiliki alat-alat produksi untuk mengubah kondisi hidupnya yang menderita. Mereka juga tidak memiliki akses ke alat kekuasaan politik yang efektif. Banyak dari mereka tidak terlatih, atau bahkan tidak memiliki kepercayaan diri untuk berpartisipasi dalam proses perubahan secara menyeluruh.

Dalam konteks ini, masih menurut Kaufman Alfonso, satu-satunya hal yang menyatukan pandangan gerakan sosial adalah kenyataan bahwa mayoritas rakyat tidak memiliki kekuasaan dalam membuat dan merealisasikan kebijakan yang berpihak kepadanya.


Keenam, program alternatif yang konkret

Sejak periode 1998, selain dipertontokan oleh dampak dari penerapan kebijakan neoliberal dan praktik durjana para elite, kita juga menyaksikan bangkitnya aksi-aksi perlawanan rakyat yang luar biasa. Tidak hanya kuantitas aksi perlawanannya, tetapi juga pengorbanan jiwa, raga, dan material yang tak terhingga. Agar gelombang perlawanan tersebut mendapatkan kemenangannya, saatnya gerakan sosial mengajukan alternatif pembangunan di luar neoliberalisme. Tanpa alternatif, gerakan sosial hanya akan mendaur ulang rantai “kekecewaan-kemarahan-perlawanan-dan kekalahan”. Gerakan sosial harus bergerak dari slogan “Panjang umur perlawanan!” menuju “Berlawan untuk menang!”

Persoalan merumuskan dan memperjuangkan kebijakan alternatif sudah pasti membutuhkan kerja keras, konsistensi, dan militansi gerakan. Tak ada jalan pintas untuk mencapai kemenangan rakyat miskin. Tetapi, ini saatnya sejarah kembali memberikan momentumnya kepada kita. Kejar, tangkap, dan pegang erat-erat momentum ini.


Coen Husain Pontoh adalah editor dan penerjemah di IndoPROGRESS.

]]>
EDITORIAL: Cukup Sudah, Jokowi! https://indoprogress.com/2023/04/editorial-cukup-sudah-jokowi/ Tue, 18 Apr 2023 18:50:01 +0000 https://indoprogress.com/?p=237468

Foto: Kim Hong-Ji/REUTERS


SEBAGAI lembaga yang pernah mendukung Joko Widodo (Jokowi), kami, IndoPROGRESS, tidak bisa lagi tinggal diam. Patut sekali ditegaskan bahwa pemerintahan Jokowi telah gagal dalam melayani rakyat. Kami sudah muak dengan kebijakan-kebijakannya yang anti-rakyat serta pengabaiannya terhadap demokrasi dan hak asasi manusia.

Kebijakan anti-rakyat itu tampak melalui Undang-Undang Cipta Kerja yang ditandatangani Jokowi pada November 2020. Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan peraturan tersebut cacat dan harus diperbaiki dalam waktu dua tahun. Bukannya mematuhi perintah tersebut, Jokowi malah menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Cipta Kerja pada Desember tahun lalu dan kemudian disahkan menjadi undang-undang oleh DPR pada Maret kemarin. 

Undang-undang ini telah memberi karpet merah bagi investasi (asing dan domestik) dan menciptakan lapangan kerja melalui rezim upah murah. Hak-hak pekerja dilucuti sehingga perusahaan lebih leluasa mengeksploitasi mereka. Untuk menarik investasi, undang-undang ini juga memberi kemudahan bagi perusahaan untuk mengeksplorasi dan mengeksploitasi lingkungan; sesuatu yang membahayakan keseimbangan ekologis Indonesia yang sudah rapuh. Singkatnya, aturan ini merupakan pengkhianatan terang-terangan terhadap rakyat, dan karena itu harus segera dicabut!

Pelemahan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) merupakan contoh lain bahwa upaya mewujudkan kesejahteraan rakyat tidak pernah menjadi perhatian pemerintahan Jokowi. Pemerintahan Jokowi secara sengaja melemahkan salah satu dari sedikit lembaga yang relatif efektif dalam memerangi korupsi tersebut dengan mengurangi kewenangannya serta merekayasa pemilihan pimpinan dan anggotanya sehingga yang terpilih adalah mereka yang loyal kepada pemerintah. Langkah ini telah sangat menghambat kemampuan KPK untuk melakukan tugasnya, dan ini merupakan indikasi yang jelas bahwa Jokowi tidak serius dalam memberantas korupsi. Ia tidak berbeda dengan pendahulunya, Susilo Bambang Yudhoyono, yang telah memulai upaya pelemahan KPK sejak besannya ditangkap karena terjerat korupsi. 

Lebih jauh lagi, pemerintahan Jokowi telah mempersempit ruang demokrasi. Pandemi Covid-19 dijadikan dalih untuk membatasi kebebasan berbicara dan berkumpul, alih-alih mengatasinya dengan serius. Ini bukanlah perilaku pemerintah yang demokratis, dan karena itu tidak dapat diterima. 

Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) adalah salah satu instrumen yang kerap digunakan untuk membungkam kritik dan perbedaan pendapat. Undang-Undang ini, yang pada awalnya dimaksudkan untuk memerangi kejahatan siber, telah digunakan untuk menangkap dan memenjarakan jurnalis, aktivis, dan warga negara biasa yang mengkritik pemerintah. Amnesty International Indonesia mencatat ada 316 kasus penyalahgunaan UU ITE sepanjang Januari 2019-Mei 2022. Rumusan pasal-pasal karet memungkinkannya untuk digunakan sebagai justifikasi dalam menekan kebebasan berekspresi dan memberangus perbedaan pendapat. Hal ini jelas merupakan pelanggaran terhadap hak warga atas kebebasan berbicara dan kebebasan pers.

Respons terhadap pandemi Covid-19 yang tidak memadai adalah alasan lain bagi kita untuk menyuarakan kemuakan secara lantang terhadap pemerintahan Jokowi. Ia membiarkan jutaan orang jatuh miskin dan berjuang untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka tanpa disokong jaringan pengaman sosial yang memadai dalam menghadapi pandemi. Di sisi lain, mereka dituntut menjalankan protokol kesehatan yang jelas-jelas membatasi keleluasaan dalam mencari penghidupan. Ini sama saja dengan membunuh rakyat miskin secara perlahan. Jokowi bertanggung jawab atas kematian itu! 

Namun, tentu, kekacauan dalam penanganan pandemi bukan karena pemerintahan Jokowi tidak mampu, tetapi karena memang tidak berkepentingan mengatasinya secara serius meski dia menyatakan sebaliknya. Bagi pemerintahan Jokowi, pandemi bukan masalah yang patut diatasi, tapi peluang yang dapat dieksploitasi untuk akumulasi kapital dan kekuasaan. Pandemi telah digunakan sebagai dalih merepresi kritik, meloloskan banyak aturan bermasalah serta mencuri uang rakyat di antaranya lewat korupsi dana bantuan sosial! Dengan itu semua, pemerintahan Jokowi sudah kelewat brengsek!

Yang dibutuhkan Indonesia saat ini adalah pemerintahan yang pro-rakyat. Redistribusi ekonomi, perlindungan lingkungan serta jaminan penghormatan dan perlindungan hak asasi manusia harus berada di garis depan agenda pemerintah. 

Jokowi sebenarnya memiliki mandat itu. Masih segar dalam ingatan kita kampanye awal Jokowi pada tahun 2014. Ia berjanji memprioritaskan kepentingan rakyat dan mempromosikan demokrasi dan hak asasi manusia. Namun, begitu berkuasa, pemerintahannya justru bergerak menghianati janji-janji kampanye itu. Soal penuntasan kasus pelanggaran HAM masa lalu, Jokowi sekadar mengakui hal itu terjadi tapi tidak menegakkan keadilan lewat pengadilan dan mengungkap kebenarannya

Kebijakan Jokowi lebih memprioritaskan kepentingan oligarki daripada kepentingan rakyat. Tidak mengherankan jika tidak ada perubahan signifikan terkait bagaimana kekuatan ekonomi dan politik terkonsentrasi di tangan segelintir elite. Tidak ada perubahan dalam perimbangan kekuatan yang memengaruhi kendali atas jalannya kekuasaan antara rakyat, khususnya kelas pekerja, dan jaringan oligarki yang terdiri dari para politikus, birokrat dan pebisnis. 

Persoalanya bukan sekadar bahwa dalam menjalankan kekuasaannya Jokowi dikelilingi para bandit dan tak bisa lepas dari pengaruh mereka. Perkaranya adalah Jokowi adalah bagian dari jaringan oligarki itu sendiri! Ia yang turut berinisiatif melemahkan KPK, menerbitkan UU Omnibus Cipta Kerja, memenjarakan dan merepresi para pendemo serta mengeksploitasi pandemi untuk melanggengkan kekuasaannya!

Tak hanya itu: Jokowi yang belasan tahun lalu masih pedagang berbakat di Surakarta, menjelang 2024 ini mencoba peruntungan sebagai king maker. Setidaknya, itulah istilah yang dipilih beberapa media daring tentang usahanya membangun sendiri koalisi di luar PDIP. Para jurnalis menghimpun data pertemuan-pertemuan petinggi beberapa parpol koalisi saat ini untuk menunjukkan kelihaian baru Jokowi dalam peruntungan menjadi penentu arah politik. Penampakan di muka itu mungkin menggoda para pencandu drama perseteruan politik, apalagi misalnya yang mengidamkan Jokowi berhadap-hadapan secara terbuka dengan Megawati Sukarnoputri dan kekuatan kelompok islamis.

Yang jangan sampai luput dari sorotan kita terhadap langkah itu, sebagaimana yang diwanti-wanti Jeffrey Winter saat Jokowi pertama kali berangkat ke ibu kota sebagai calon gubernur, adalah lingkaran oligarki di belakangnya.

Jika sematan king maker itu dikelupas, segera muncul wajah-wajah oligark yang mengincar kepastian proyek setelah Jokowi turun tahta. Tumpukan tebal uang di rekening mereka mungkin telah siap dikeluarkan untuk menciptakan narasi tentang pentingnya melanjutkan capaian Jokowi. Jika satu dasawarsa lalu meraih hasil memuaskan, mereka tentu lebih percaya diri untuk mengulanginya lagi–ditambah platform yang kian beragam dan algoritma yang semakin dipelajari untuk memoles citra.

Ongkos dana bagi praktik manipulasi itu ringan belaka dibanding keuntungan yang telah dan akan mereka raup dari seluruh “proyek strategis”, sedangkan ongkos sosialnya bukan perkara penting. Konsentrasi kapital, konsolidasi oligarki, dan depolitisasi masyarakat akan menjadi lebih liar lagi jika itu terjadi. 

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.

Kembali tegas kita berseru: Cukup sudah Jokowi! Pada saat yang sama, kita harus percaya diri mengatakan bahwa nasib Indonesia berada di tangan rakyatnya. Untuk saat ini, kita harus bersatu menuntut pemerintah agar bekerja untuk semua rakyat, bukan hanya demi mereka yang kaya dan berkuasa. Kita harus menuntut kebijakan yang memprioritaskan keadilan sosial, redistribusi ekonomi, perlindungan lingkungan dan hak asasi manusia. Kita harus menuntut para pejabat yang terpilih untuk bertanggung jawab kepada kita, rakyat yang telah memilih mereka.

Tapi kita tidak boleh naif berharap bahwa pemerintah akan menjalankan tuntutan ini. Tanpa ditopang oleh kekuatan rakyat yang dapat mengancam secara nyata kepentingan oligarki dan mengubah perimbangan kekuatan, tuntutan-tuntutan rakyat hanya seperti gonggongan anjing di siang bolong!

Karena itu, langkah selanjutnya yang jauh lebih penting adalah mempersiapkan kekuatan rakyat untuk bisa mengubah perimbangan kekuatan dalam mengendalikan jalannya kekuasaan. Kita harus terlibat secara bermakna dalam sistem politik untuk menantang kekuasaan oligarki. Ini artinya kita mesti berpartisipasi aktif dalam pemilu, mencalonkan diri, dan mendukung kandidat yang memprioritaskan kebijakan pro-rakyat dan mengadvokasi masyarakat yang lebih demokratis dan adil. Kuasa oligarki yang melingkupi pemerintahan sekarang haruslah mulai ditantang dengan serius. Keterlibatan politik dalam sistem yang berlaku kemudian menjadi keharusan.

Selain itu, penting untuk membangun gerakan akar rumput yang dapat menantang narasi dominan dan mengekspos dampak nyata dari kebijakan Jokowi terhadap kehidupan masyarakat. Hal ini membutuhkan pembangunan outlet media dan jaringan media sosial yang independen dari kuasa oligarki agar dapat memberikan platform bagi suara-suara yang terpinggirkan.

Kita juga harus bekerja melakukan pendidikan politik yang memberdayakan warga agar lebih kritis memahami situasi yang tengah dihadapi dan tergerak untuk menjadi bagian dari gerakan politik progresif yang terorganisir dan berpartisipasi secara bermakna dalam proses politik. Ini adalah kerja panjang, bagian dari investasi gerakan. 

Hanya dengan cara itu kekuasaan oligarki dapat ditantang, perimbangan kekuatan dapat diubah, serta keadilan sosial dan demokrasi dapat diwujudkan, bukan melalui perjuangan sporadis dan reaksioner!***

]]>
Kami Bersama Gerakan Massa #ReformasiDikorupsi https://indoprogress.com/2019/09/kami-bersama-gerakan-massa-reformasidikorupsi/ Sun, 29 Sep 2019 23:09:33 +0000 https://indoprogress.com/?p=45714

Ilustrasi oleh Alit Ambara (Nobodycorp. International Unlimited)


SEJAK seminggu yang lalu, kaum muda Indonesia (mahasiswa dan pelajar) serta elemen rakyat pekerja lainnya melancarkan aksi-aksi massa yang masif di berbagai daerah. Mereka mengusung sejumlah tuntutan yang diberi nama 7 Desakan #ReformasiDikorupsi dan #RakyatBergerak.

Tuntutan yang paling mengemuka adalah membatalkan revisi UU KPK dan menolak RKUHP. Revisi UU KPK dianggap melemahkan kewenangan dan independensi KPK, sementara RKUHP banyak mengandung pasal yang berwatak represif.

Selain itu, gerakan massa #ReformasiDikorupsi juga menolak RUU Pertambangan Minerba, RUU Pertanahan, RUU Permasyarakatan, RUU Ketenagakerjaan, dan UU Sumber Daya Air. Mereka juga mendesak pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dan RUU Perlindungan Tenaga Kerja.

Kemudian, mereka juga meminta pembatalan pengangkatan pimpinan KPK bermasalah pilihan DPR; menolak TNI dan Polri menempati jabatan sipil; meminta penghentian militerisme di Papua dan daerah lain; meminta pembebasan tahanan politik Papua dengan segera, dan penghentian kriminalisasi aktivis.

Terakhir, gerakan massa #ReformasiDikorupsi juga meminta penghentian pembakaran hutan di Kalimantan dan Sumatera oleh korporasi, serta pemidanaan dan pencabutan izin korporasi pembakar hutan; penuntasan kasus-kasus pelanggaran HAM dan mengadili penjahat HAM, serta meminta pemulihan hak-hak korban dengan segera.

Pemerintah dan sebagian pendukungnya merespons aksi massa #ReformasiDikorupsi dengan black campaign dan kekerasan yang brutal. Untuk mendiskreditkan aksi massa yang dipelopori kaum muda ini, berbagai fitnah dan hoax ditebar. Aksi ini, misalnya, difitnah sebagai bagian dari pekerjaan kelompok fundamentalis Islam untuk menggagalkan pelantikan Jokowi.

Sementara, pemerintah melancarkan kekerasan yang brutal terhadap aksi massa #ReformasiDikorupsi. Sampai tulisan editorial ini dibuat, sudah ada setidaknya tiga anak muda yang gugur selama aksi-aksi #ReformasiDikorupsi. Yang pertama, Randi, mahasiswa Universitas Halu Oleo, gugur ditembak saat berdemonstrasi di Gedung DPRD Sulawesi Tenggara, Kendari.

Kedua, Muhammad Yusuf Kardawi, juga mahasiswa Universitas Halu Oleo yang berdemonstrasi di Gedung DPRD Sulawesi Tenggara, gugur setelah sempat dirawat secara intensif di RS Bahteramas. Ketiga, Bagus Putra Mahendra, pelajar SMA Al-Jihad, gugur saat mengikuti aksi di depan Gedung DPR, Jakarta, tanggal 25 September lalu.

Belum lagi yang luka-luka parah. Dicky Wahyudi, misalnya, mahasiswa Universitas Bosowa saat ini sedang kritis di RS Ibnu Sina karena tertabrak kendaraan taktis polisi hingga masuk ke kolong mobil, saat aksi tanggal 28 kemarin di Makassar.

Mengenai yang ditangkap dan hilang, belum jelas berapa jumlahnya secara total. Tapi, untuk aksi di DPR tanggal 24 September saja, menurut informasi kepolisian, ada 143 orang yang ditangkap. Menurut laporan Kontras, sebagian besar dari mereka kini sudah dipulangkan, tetapi masih ada 30 orang yang ditahan. Namun, ini hanyalah data untuk aksi tanggal 24 di Gedung DPR. Belum jelas berapa total yang ditangkap dan hilang dalam aksi-aksi yang terjadi di berbagai kota secara nasional.

Meski dipukul dengan kekerasan yang brutal, tapi karena perlawanan massa kali ini begitu masif, gerakan #ReformasiDikorupsi berhasil mendesak Negara memberikan konsesi-konsesi terbatas. Negara pada akhirnya menunda pengesahan lima RUU, yaitu RKUHP, RUU Pertanahan, Pemasyarakatan, Minerba dan Kenetagakerjaan. Pemerintah menyatakan bahwa kelima RUU ini tidak akan disahkan pada masa periode DPR 2014-2019.

Penundaan ini bisa dimaknai sebagai “kemenangan kecil” dari desakan demokratik aksi-aksi #ReformasiDikorupsi. Namun, kita tidak boleh terlena oleh konsesi sangat terbatas yang diberikan pemerintah ini. Kita bisa menduga dengan cerdas bahwa kepentingan Negara mengakomodir sebagian kecil tuntutan gerakan #ReformasiDikorupsi adalah untuk meredam radikalisasi dan perluasan aksi-aksi #ReformasiDikorupsi, bukan karena Negara berniat baik.

Kalau Negara berniat baik, harusnya dari dulu tidak perlu ada UU dan RUU yang merugikan rakyat. Lagipula, penundaan tidak sama dengan pembatalan sepenuhnya. Kelima RUU itu masih bisa dilanjutkan pembahasannya di DPR periode berikutnya hasil Pemilu 2019.

Kemudian, sebagian besar tuntutan lain gerakan #ReformasiDikorupsi belum direspons oleh Negara. Terkait Perppu untuk membatalkan revisi UU KPK, Presiden Jokowi yang awalnya bersikeras tidak akan mengeluarkan Perppu KPK, mulai terbuka terhadap wacana itu. Meski demikian, hal ini masih ditentang oleh koalisi partai-partai oligarki pendukungnya.

Berdasarkan perkembangan kondisi sosial-politik terkini di Indonesia, kami dari Redaksi IndoPROGRESS menyatakan sikap sebagai berikut:

Pertama, kami mendukung penuh gerakan massa #ReformasiDikorupsi yang dipelopori oleh kaum muda. Batalkan semua UU dan RUU yang menyerang hak-hak politik, ekonomi, sosial dan budaya rakyat, termasuk revisi UU KPK. Sahkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dan RUU Perlindungan Tenaga Kerja.

Kedua, kami berbela sungkawa terhadap korban yang meninggal dan luka-luka, serta mengutuk kekerasan brutal yang dilakukan oleh aparat keamanan terhadap aksi-aksi #ReformasiDikorupsi. Kami meminta Komnas HAM untuk mengusut tuntas potensi pelanggaran HAM yang terjadi pada massa aksi #ReformasiDikorupsi, agar Negara, termasuk kepolisian, bisa dimintai pertanggungjawabannya.

Ketiga, kami menuntut pembebasan seluruh demonstran #ReformasiDikorupsi yang masih ditahan. Bebaskan juga Surya Anta Ginting dan aktivis-aktivis Papua yang beberapa waktu lalu ditangkap karena menuntut hak penentuan nasib sendiri atas rakyat Papua. Hentikan kriminalisasi terhadap aktivis seperti Veronica Koman dan Dandhy Dwi Laksono.

Keempat, mengusulkan kepada gerakan massa #ReformasiDikorupsi untuk juga mengangkat isu revisi aturan kepemiluan. Berbagai peraturan perundangan yang kita protes bobrok karena DPR kita yang memiliki kewenangan legislatif juga bobrok. DPR kita bobrok karena dikuasai oleh oligarki—persekutuan pengusaha dan pejabat—dan tidak ada representasi rakyat di dalamnya.

Selama ini, upaya menghadirkan representasi rakyat dalam bentuk partai yang kerakyatan selalu dijegal oleh aturan kepemiluan yang ada. Aturan kepemiluan yang ada saat ini menetapkan syarat yang sangat berat bagi partai baru untuk bisa berdiri dan mengikuti Pemilu, sehingga yang bisa mengikuti pemilu hanyalah partai-partai oligarki.

Karenanya, jika gerakan reformasi 98/99 pernah melawan sistem tiga partai di masa Orde Baru dengan menuntut pencabutan 5 Paket UU Politik dan demokrasi multipartai kerakyatan, maka saat ini gerakan #ReformasiDikorupsi juga perlu mengangkat isu revisi aturan kepemiluan agar kita bisa menghadirkan representasi rakyat dalam DPR untuk menandingi oligarki.

Kelima, menolak segala bentuk ajakan dan propaganda bahwa perlawanan massa kali ini adalah bagian dari upaya “penurunan Jokowi” atau “penggagalan pelantikan Jokowi.” Narasi seperti ini berpotensi menjadi alat pembenaran bagi manuver elite-elite tertentu atau kelompok anti demokrasi berbajukan fundamentalisme agama untuk menelikung aksi gerakan rakyat #ReformasiDikorupsi.

Alih-alih memajukan dan memperdalam kualitas demokrasi, kelompok-kelompok seperti ini hanya akan membawa mundur proses perjuangan demokrasi yang berlandaskan pada kesetaraan, keadilan, dan persaudaraan sebagaimana yang terjadi sekarang ini.

Keenam, kami mengajak segenap lapisan masyarakat untuk mendukung aksi-aksi #ReformasiDikorupsi. Penuntasan segala persoalan yang ada di Indonesia memerlukan partisipasi aktif dari kita semua.

Dukungan bisa diberikan dalam bentuk penyebarluasan bacaan dan pernyataan―termasuk penyebarluasan artikel editorial ini―memberikan bantuan logistik, menghadiri aksi-aksi #ReformasiDikorupsi dan mengajak anggota keluarga, rekan kerja, tetangga, dlsb., untuk juga turut serta dalam aksi-aksi tersebut. Sekecil apapun tindakan Anda, itu sangat berarti untuk mewujudkan Indonesia yang demokratis dan berkeadilan sosial.

Kami bersama gerakan massa #ReformasiDikorupsi. Mari berjuang bersama untuk Indonesia yang demokratis, sejahtera, dan berkeadilan sosial.***

]]>
Mendesaknya Kebutuhan Akan Pendidikan Bersama https://indoprogress.com/2019/07/mendesaknya-kebutuhan-akan-pendidikan-bersama/ Mon, 01 Jul 2019 09:43:33 +0000 https://indoprogress.com/?p=21112

Kredit ilustrasi: Yohanes Andreas Iswinarto


SAAT ini gerakan Kiri sedang dalam keadaan terpuruk di hampir segala front: teori, politik, dan organisasi. Secara objektif (dalam relasinya dengan kekuatan-kekuatan di luar dirinya), gerakan Kiri tidak bisa memberikan respon yang maksimal dan efektif terhadap menguatnya kekuatan-kekuatan reaksi kanan, baik yang berbasis keagamaan maupun yang didukung negara atas nama Pancasila dan NKRI. Secara subjektif (dalam dirinya sendiri), gerakan Kiri tidak beranjak maju terlalu jauh dari keadaan sebelumnya: organisasi yang kecil dan tercerai berai membuatnya secara politik mudah ditarik ke sana-sini oleh agenda kekuatan-kekuatan lain dan juga sulit membangun koalisi bersama yang ajeg dan solid. Dalam keadaan sedemikian, apa yang bisa dilakukan?

Di sini, kita mungkin bisa mengambil pelajaran atau inspirasi dari masa lalu yang jauh, tepatnya di Jerman pada saat revolusi 1848. Sesaat setelah kegagalan telak gerakan Kiri yang dipimpin oleh Partai Marx pada masa revolusi itu, Karl Marx dan Fridriech Engels kemudian kembali ke London, Inggris. Setelah melakukan studi mengenai situasi ekonomi politik internasional saat itu, pada pertengahan musim panas tahun 1850, keduanya tidak lagi yakin akan kebutuhan pembangunan organisasi revolusioner yang siap untuk melakukan pemberontakan. Bagi mereka, segala upaya untuk melakukan pemberontakan politik dan juga militer, pastilah akan sia-sia. Dengan kata lain, revolusi tidak lagi menjadi agenda mendesak. Kini saatnya memusatkan perhatian pada pembangunan organisasi. Dan titik utama dari pembangunan organisasi itu adalah kerja-kerja keilmuan, yakni pendidikan dan penelitian.

Kesimpulan dan proposal Marx-Engels ini rupanya tidak disetujui secara bulat oleh para pimpinan Liga Komunis lainnya. Figur-figur revolusioner seperti August Willich dan Karl Schapper dengan tegas menolak proposal ini. Bagi mereka, kemenangan komunisme bisa dicapai dalam revolusi berikutnya oleh orang-orang yang berani dari segala penjuru Eropa. Pandangan ini diamini oleh para pimpinan lainnya yang barusan kembali dari wilayah pergolakan lainnya di Eropa. Di sini kata kuncinya adalah keberanian, antusiasme, pantang menyerah, dan siap mengorbankan kepentingan diri sendiri. Sementara Marx berpendapat, sebagaimana direkam oleh August H. Nimitz, Jr., dalam bukunya Marx and Engels Their Contribution to the Democratic Breakthrough (2000) bahwa perjuangan untuk komunisme akan memakan waktu yang lama dan melalui berbagai tahap, dan secara umum perjuangan itu akan efektif melaui pendidikan dan pembangunan yang bertahap.

Perbedaan pandangan ini begitu panas, tidak hanya di level teori dan politik, tapi juga menjurus ke perkelahian fisik. Willich dikabarkan menantang duel fisik satu lawan satu dengan Marx. Dan karena perbedaan ini begitu fundamental dan tak terjembatani, maka disepakati untuk diadakan pembentukan faksional di dalam Liga Komunis.

Kelak Engels mengakui bahwa posisi dia dan Marx berkaitan dengan persoalan ini terbukti benar. Setelah 1850, tidak ada lagi peristiwa revolusioner besar yang mengguncang Eropa. Karl Schapper kemudian hari kembali bergabung ke dalam barisan Marx dan menjadi salah satu pengikutnya yang paling setia.

Kembali ke kondisi kita sekarang, maka tampak sekali relevansi dari proposal Marx-Engels ini. Saat ini, hampir tidak ada situasi politik yang revolusioner, sekuat dan semilitan apapun kita mengusahakannya. Tindakan-tindakan heroik dan slogan-slogan bombastis hanya akan berujung pada parade meme dan debat kusir tak berujung pangkal. Yang diperlukan saat ini adalah kerja-kerja tekun, terencana, dengan kesabaran tak terbatas. Dan karena itu pendidikan-pendidikan teori, kursus-kursus politik secara regular harus dijadikan sebagai prioritas oleh gerakan. Baik dilakukan secara sendiri-sendiri oleh masing-masing organ atau dilakukan bersama-sama. Tetapi saya berpendapat, pendidikan dan kursus bersama adalah lebih penting dan bermanfaat bagi pembangunan gerakan kiri ke depan. Sebab dari sana kita bisa saling belajar tidak hanya teori tapi juga pengalaman perjuangan bersama, dimana kekurangan dan kelebihannya sehingga akan lebih mudah melakukan akumulasi pengetahuan dan praktik politik.***

]]>
Solusi Kiri https://indoprogress.com/2017/11/solusi-kiri/ Mon, 27 Nov 2017 02:41:10 +0000 https://indoprogress.com/?p=18787

BEBERAPA waktu lalu, IndoPROGRESS menurunkan artikel bertajuk Mengapa Kami Menolak Panas Bumi di Gunung Slamet? Tulisan itu, seperti biasanya tulisan yang muncul di laman ini, memicu kontroversi: setuju dan tidak setuju. Yang menarik adalah pada pertanyaan “apa solusi yang ditawarkan?”

Pertanyaan soal solusi ini, tampaknya wajar. Apalagi di tengah-tengah banjir opini di era media sosial saat ini, sehingga sekadar melontarkan kritik tanpa memberikan solusi alternatif bisa dianggap nyinyir, tanda tak mampu, atau pokoknya gak suka aja (haters).

Editorial ini tidak hendak membahas soal makna Kritik itu, tapi mau meladeni pertanyaan soal solusi, khususnya solusi kiri atas persoalan sosial-ekonomi-politik yang terjadi sehari-hari.

Kalau ditanya soal solusi, maka ada dua hal yang harus segera kita pahami berkaitan dengan pertanyaan itu. Pertama, solusi yang bagaimana yang dibutuhkan? Kedua, apakah solusi yang dibutuhkan itu harus sesegera mungkin berimplikasi praktis pada kehidupan sehari-hari? Nah di sini, kita mesti membedakan dua jenis solusi: (1) solusi yang bersifat teknokratis dan (2) solusi yang bersifat ekonomi-politik.

Solusi teknokratis berkaitan dengan hal-hal kebijakan praktis, yang disusun, direncanakan dan dikerjakan oleh para intelektual teknis (akademisi dan birokrat), dengan melibatkan seminimal mungkin partisipasi rakyat. Dalam kasus artikel di atas, tampaknya solusi yang dibutuhkan itu adalah solusi teknokratis ini: kalau Anda tidak setuju dengan proyek panas bumi tersebut, apa alternatif yang Anda tawarkan? Masak Anda menolak listrik? Mau hidup seperti apa tanpa listrik?

 

 

Dari wataknya, solusi teknokratik ini tidak mempertanyakan alasan-alasan ekonomi-politik atau struktural di balik setiap penyusunan atau pelaksanaan kebijakan. Sistemnya sudah benar, kebijakannya atau agensinya yang bermasalah. Utang luar negeri itu, misalnya, tidak bermasalah asalkan digunakan untuk kepentingan investasi, tidak dikorupsi dan proyeknya tidak diselewengkan. Dan orang-orang atau para aktivis kiri biasanya dianggap paling payah dalam soal solusi teknokratik ini. Solusi kiri dituduh terlalu umum, bombastis, dogmatik, omong doang (omdo) dan karena itu tidak bisa diterapkan dalam kebijakan praktis.

Tapi, bagaimana jika bukan hanya kebijakannya atau agensinya yang bermasalah tapi sistemnya itu sendiri yang merupakan sumber dari masalah tersebut? Di sini kita dituntut untuk menawarkan solusi ekonomi-politik, yakni solusi yang melampaui keberadaan sistem itu sendiri. Sederhananya begini, apapun solusi yang ditawarkan sebagai alternatif dari proyek panas bumi itu pasti akan bermasalah bagi lingkungan hidup dan sosial warga terdampak langsung dan tidak langsung, selama sistem yang berlaku adalah sistem kapitalisme. Sebab, kapitalisme hanya mengejar keuntungan semaksimal mungkin tanpa henti dan kompetisi tiada akhir, sehingga solusi teknokratik pastilah hanya akan memfasilitasi cara kerja kapitalisme tersebut.

Solusi ekonomi-politik dengan demikian haruslah solusi yang yang non-kapitalistik. Apa itu? Sebelum menjawabnya, saya ingin mengingatkan bahwa kapitalisme itu bekerja atas dasar logika keuntungan dan kompetisi (profit logic and competition). Anda inves dana Rp. 1000., untuk mendapatkan keuntungan sebesar Rp. 1.100., Tidak ada investor yang tidak ingin meraup keuntungan dari investasinya, apapun agama, etnis, suku-bangsa, warna kulit, maupun keyakinan politiknya. “Akumulasi, akumulasi, itulah nabi-nabi mereka”, kata Karl Marx. Jika ada yang berani gila tidak mau meraup keuntungan sepeser pun dari investasinya, pasti dia akan digilas bangkrut oleh investor pesaingnya. Dan jangan bayangkan persaingan ini berlangsung secara indah, penuh tepo seliro. Persaingan ini berlangsung dengan segala cara. Bisa melalui permainan harga, kolusi dengan aparat negara, memanfaatkan sentimen agama, etnis, rasa, suku bangsa, perbedaan politik, dengan cara-cara damai mapun dengan cara-cara kekerasan bersenjata, pembunuhan, genosida, dst. Inilah hukum besi kapitalisme.

Nah solusi non-kapitalistik itu berarti adalah solusi yang tidak berdasarkan pada logika keuntungan dan kompetisi tadi. Ada yang menyebutnya logika pembangunan manusia (logic of human development). Logika ini berdasarkan pada solidaritas sesama manusia; partisipasi rakyat yang seluas-luasnya pada pembuatan, pengambilan, dan pelaksanaan kebijakan yang berkaitan dengan hak dasar hidupnya; redistribusi kekayaan ekonomi sebesar-besarnya; serta demokratisasi seluas-luasnya atas akses pada sumberdaya ekonomi, sosial, dan kultural.

Kalau ada yang bertanya, apakah solusi ini bisa diterapkan? Jawabannya tentu saja bisa!***

]]>
Tersesat di Negeri Sendiri https://indoprogress.com/2017/10/tersesat-di-negeri-sendiri/ Mon, 30 Oct 2017 03:08:31 +0000 https://indoprogress.com/?p=18569

 

The muse of history. Kredit ilustrasi: Alit Ambara (Nobodycorp)

 

PADA 18 Oktober lalu, pemerintah Amerika Serikat mempublikasikan dokumen-dokumen rahasia terkait Peristiwa G30S 1965. Dari dokumen dengan tebal 30 ribu halaman itu, diketahui bahwa Negara Indonesia, dalam hal ini Tentara Nasional Indonesia-Angkatan Darat (TNI-AD), telah mengorkestrasi pembunuhan massal terhadap ratusan ribu hingga jutaan rakyat Indonesia yang merupakan anggota Partai Komunis Indonesia (PKI) dan yang dituduh terkait dengan PKI. Dokumen itu juga menunjukkan bahwa telah terjadi kudeta terhadap pemerintahan presiden Soekarno yang sah, yang dilakukan oleh TNI-AD di bawah pimpinan Jenderal Soeharto.

Informasi yang terdokumentasi itu, sebenarnya hanya memperkuat hasil-hasil penelitian serius selama ini tentang peristiwa paling berdarah di Indonesia. Dengan demikian, publikasi dokumen rahasia itu sesungguhnya bisa menjadi tenaga pendorong bagi pemerintah untuk terus mencari jalan penyelesaian atas kasus tersebut.

Sayangnya, yang kita saksikan adalah sebuah sikap diam, cari aman dan tak peduli dari pemerintahan Jokowi-JK. Jokowi bahkan melontarkan pujian terhadap organisasi Pemuda Pancasila (PP), sebuah organisasi bentukan tentara yang tangannya bau amis darah. Atau sikap sok jagoan, khas preman, yang ditunjukkan oleh panglima TNI Gatot Nurmantyo, yang dengan entengnya mengatakan, “… ngapain saya baca dokumen itu?” Atau sikap penyangkalan berbau konspiratif seperti yang dilontarkan mantan wapres Jenderal Try Sutrisno, “Kalau PKI menang, kamu hilang semua, dipotong lehernya, tahu kan, jadi negara komunis”.

Betapa mengerikannya. Kita adalah sebuah negara yang mengaku berbudaya adiluhung, membanggakan diri ke dunia luar sebagai masyarakat penuh sopan-santun, penuh welas asih dan luhur, bertuhan dan taat beragama, tetapi di belakang pintunya menyimpan perilaku yang brutal, keji, tak berperikemanusiaan, tak berani mengaku salah, apalagi memohon maaf atas kebrutalan dan kekejian yang dilakukan terhadap rakyatnya di masa lalu dan di masa kini.

Kita menyaksikan sebuah bangsa dengan kepribadian yang terbelah, yang wajahnya penuh bopeng tapi berusaha ditaburi bedak setebal-tebalnya untuk menutupi keburukannya itu. Kita ingin menjadi bangsa yang demokratis, tapi sekaligus berperilaku tidak demokratis. Kita mengklaim sebagai bangsa yang ramah, tapi sekaligus pembunuh berdarah dingin. Kita ingin menjadi bangsa yang maju dalam bidang ilmu pengetahuan, tapi sekaligus menunjukkan dan mempraktikkan sikap anti ilmu pengetahuan, anti intelektual. Kita adalah bangsa yang hidup dari kebohongan demi kebohongan, dari kesombongan demi kesombongan, dari kekejian demi kekejian, dari penyangkalan demi penyangkalan. Tapi sekaligus yang ingin melangkah sejajar dengan bangsa-bangsa beradab di dunia ini.

Setelah dibukanya dokumen rahasia yang tersimpan selama 52 tahun itu, saya tak bisa membayangkan apakah perwakilan Indonesia di PBB akan meneruskan kepongahannya dalam menyangkal tindakan-tindakan biadab aparat keamanan terhadap rakyat Papua. Dengan terbukanya dokumen sarat kekejian itu, saya tak bisa membayangkan apakah perwakilan Indonesia untuk urusan HAM di Jenewa, Swiss akan tetap percaya mengatakan bahwa Indonesia telah menjalankan HAM dengan sekonsisten-konsistennya. Dengan terbukanya dokumen bau darah itu, bagaimana mungkin menteri luar negeri akan menginisiasi proses perdamaian di Burma, Thailand, atau Filipina? Akankah ia didengar saran-sarannya? Bukankah sudah pasti mereka akan berbisik-bisik, “kejahatan yang mereka lakukan terhadap rakyatnya jauh lebih mengerikan ketimbang yang kita lakukan terhadap rakyat kita.” “Pelajaran terbaik dari mereka adalah jika ingin damai maka bunuhlah hingga ke akar-akarnya”.

Bisakah kita keluar dari lingkaran setan kekerasan, kebohongan, kesombongan, dan penyangkalan tak terperi ini? Atau dengan mengganti pertanyaannya menjadi: bersediakah negara mengaku salah dan meminta maaf kepada korban, memberikan kompensasi kepada mereka, dan seterusnya seperti yang sudah disarankan banyak pihak selama ini. Dengan dibukanya dokumen berdarah itu, berhentilah berdemagogi bahwa kita adalah bangsa yang berbudaya, penuh sopan santun. Berhentilah berambisi menjadi bangsa yang maju secara ekonomi, yang infrastrukturnya membentang lancar dari barat sampai ke timur, yang atap gedung-gedungnya menyentuh langit, tapi manusianya hidup terombang-ambing antara masa lalu yang keji dan tantangan perubahan yang datang silih berganti dengan cepat; manusia-manusia yang tak mendapatkan kejelasan sejarah masa lalu dan menghadapi ketidakjelasan di masa sekarang hingga ia tersesat di negerinya sendiri. ***

]]>
Gerakan Buruh Sebagai Gerakan Identitas? https://indoprogress.com/2017/06/gerakan-buruh-sebagai-gerakan-identitas/ Mon, 19 Jun 2017 02:02:52 +0000 https://indoprogress.com/?p=18113

BAGAIMANA kita menilai perkembangan gerakan buruh saat ini? Buat saya, secara organisasi gerakan buruh mengalami kemajuan yang sangat pesat dibandingkan 15 atau 20 tahun lalu. Kebebasan berorganisasi dijamin, serikat buruh menjamur di mana-mana, dan aksi-aksi buruh bukan lagi hal yang terlarang.

Namun demikian, secara politik dan ideologi, gerakan buruh mengalami kemunduran luar biasa. Gerakan buruh hanya asyik dan aktif mengadvokasi isu-isu partikularnya atau isu-isu sektoralnya semata: menuntut naik gaji, menuntut penghapusan kerja kontrak, menuntut penghapusan pasar kerja fleksibel, menuntut jaminan keselamatan kerja. Pokoknya, isu-isu yang hanya berkaitan dengan dirinya sendiri.

Di luar isu-isu sektoral itu, gerakan buruh bungkam dan tutup mata. Gerakan buruh diam ketika terjadi persekusi terhadap kelompok minoritas agama, etnis dan orientasi seksual. Gerakan buruh bungkam terhadap penindasan yang dilakukan korporasi dan aparat keamanan terhadap petani. Gerakan buruh tidak menunjukkan solidaritasnya terhadap aksi-aksi yang dilakukan oleh kelompok-kelompok tertindas lainnya dalam masyarakat. Intinya, selama itu tidak berkaitan dengan kepentingan khusus kaum buruh, maka gerakan buruh tidak peduli.

Pada titik ini, gerakan buruh hanya menjadi sekadar gerakan berbasis Politik Identitas. Dan karena itu, gerakan buruh sangat mudah terjebak menjadi gerakan yang konservatif, terpisah dan terisolasi dari gerakan rakyat tertindas lainnya. Apa-apa yang mengancam manfaat yang dinikmatinya akan mereka lawan, bahkan sesama buruh pun bisa saling bermusuhan. Itulah yang terjadi ketika sebagian serikat buruh menjadikan tenaga kerja asing (asal Cina) sebagai musuhnya. Di sini serikat buruh menjadi gerakan bersendikan nasionalisme sempit, bukan mengadvokasi solidaritas pekerja internasional yang sama-sama ditindas oleh sistem kapitalisme.

Politik Identitas gerakan buruh juga menyebabkan mereka gampang digiring oleh elit-elit serikat untuk kepentingan politik para elit tersebut. Dalam momen pilkada DKI yang sarat kampanye SARA, kita temukan elit-elit serikat buruh yang mendukung pasangan Anies-Sandi yang mempromosikan kampanye SARA itu. Padahal tidak ada sama sekali jaminan bahwa pemenang Pilkada ini akan memperbaiki kualitas hidup kaum buruh.

Politik Identitas gerakan buruh juga membuat kompetisi antar serikat menjadi tidak sehat: rebutan massa, rebutan pabrik, rebutan teritori pengorganisiran, atau karena perbedaan garis politik masing-masing serikat. Bahkan di antara sesama buruh individual terjadi saling sikut-menyikut, cari muka ke atasan atau majikan demi memerptahankan hidup dan pekerjaannya. Akibatnya, jangankan solidaritas dengan sesama kaum tertindas, solidaritas sesama serikat pun sangat sulit terbentuk.

Dengan menguatnya Politik Identitas gerakan buruh ini, maka sulit untuk menyaksikan gerakan buruh menjadi pelopor perubahan sosial secara keseluruhan. Dalam sistem kapitalisme pos-fordisme saat ini, dengan neoliberalisme sebagai ujung tombaknya, maka aksi-aksi sektoral gerakan buruh sama sekali tidak akan menggoyahkan kekuasaan kelas kapitalis. Dengan pergerakan kapital yang sangat cepat dari satu teritori ke teritori lainnya, maka aksi-aksi sektoral bukanlah jawaban. Bahkan, aksi-aksi sektoral itu hanya akan memperkuat kedudukan kapital. Aksi menuntut kenaikan upah, misalnya, mengasumsikan bahwa kaum buruh ingin agar pemodal itu tetap eksis, tetap meraih keuntungan maksimal dan berkelanjutan, dan juga tetap menindas mereka. Hanya saja, naikkan sedikitlah upah kami.

Namun jika serikat terus-menerus melakukan mogok, pabrik bisa tutup. Sebagian aktivis serikat berpendapat, jika pabrik tutup maka gerakan buruh harus merebut pabrik tersebut, mendudukinya dan menjalankannya secara swakelola. Bukankah anggota serikat sudah memiliki keahlian, baik dalam hal permesinan maupun manajerial? Dalam banyak kasus, tidak hanya di Indonesia, aksi-aksi perebutan dan pendudukan pabrik ini mengalami kegagalan: karena soalnya bukan hanya mengoperasikan pabrik, memproduksi barang dan menjualnya, tapi bagaimana keluar dari lingkaran penindasan kapital? Apa artinya pabrik yang dikelola oleh kaum buruh tapi tetap menjalankan prinsip-prinsip kerja kapitalisme?

Sampai di titik ini, kita lihat bahwa kemajuan organisasi yang dicapai oleh gerakan buruh saat ini tidak memadai dalam memperjuangkan hak-haknya. Tanpa kesadaran politik dan ideologi yang jelas, maka gerakan buruh hanya menjadi gerakan Politik Identitas yang akhirnya berujung buntu. Gerakan buruh harus meninggalkan Politik Identitas, karena ini secara esensial mengandaikan bahwa buruh itu sudah ada sejak adanya bumi ini dan akan terus ada selama bumi ini eksis. Sehingga apapun aktivitas gerakan buruh pasti sifatnya tambal-sulam. Inilah esensi politik identitas itu: a-historis.

Agar tidak tambal-sulam, maka kelas buruh mesti meyadari bahwa dirinya adalah sebuah kelas yang berelasi dengan kelas lainnya, yakni kelas kapitalis. Tanpa adanya kelas kapitalis maka tak ada kelas buruh, begitu sebaliknya. Dan relasi kelas buruh-kapitalis ini bukanlah sesuatu yang abadi, ia tidak muncul di zaman feudal atau perbudakan, tetapi baru muncul di zaman kapitalisme, karena itu relasi ini bisa dihapuskan. Dengan kesadaran ini, maka gerakan buruh berhadapan dengan kapitalis bukan dalam hubungan personal apalagi identitas, tapi hubungan politik dan struktural. Politiknya adalah Politik Kelas. Ia bergerak bukan untuk menuntut belas kasih kelas kapitalis, menuntut remah-remah dari keuntungan yang dipungut kelas kapitalis dalam bentuk kenaikan upah semata. Ia bergerak untuk menghapuskan sistem ini, sistem masyarakat berkelas yang membuatnya eksis sebagai buruh.

Dengan semakin gencarnya penetrasi kapitalisme di seluruh ruang dan aspek kehidupan sosial, ekonomi, dan ekologi saat ini, maka solidaritas kelas buruh terhadap kelompok masyarakat lainnya yang tertindas oleh sistem kapitalisme ini menjadi keharusan. Gerakannya menjadi inklusif, terkoneksi dengan yang lain, dan bersifat universal.

Pada titik inilah baru kita bisa mengklaim bahwa gerakan buruh adalah pelopor perubahan sosial.***

]]>
Kritik untuk Analisa Politisasi SARA Pasca Pilkada DKI https://indoprogress.com/2017/05/kritik-untuk-analisa-politisasi-sara-paska-pilkada-dki/ Mon, 15 May 2017 01:52:12 +0000 https://indoprogress.com/?p=17965

POLITISASI SARA (suku-agama-ras) jelas telah memengaruhi proses hasil pilkada DKI 2017. Itu memang fakta terlepas bagaimana ia diperdebatkan, termasuk oleh beberapa tulisan di media kita ini. Berbagai diskusi publik dan tulisan akademisi segera meramalkan bahwa ketegangan sosial dan hasil pilkada dki 2017 ini akan berlanjut dan menjadi faktor menentukan situasi politik Indonesia, setidaknya hingga pemilu 2019.

Perdebatan soal politisasi SARA dan meningkatnya suasana sektarian berlangsung panas bahkan cenderung kacau balau (chaos) di berbagai media sosial yang kini menjadi sarana komunikasi mudah dan massal. Sementara ketakutan akan terjadinya kerusuhan di jalanan hingga potensi kudeta menjadi trauma sekaligus intimidasi bagi banyak kalangan di masyarakat kita. Sejauh ini mungkin kita bisa bersukur bahwa potensi kerusuhan masih terkendali. Tapi seharusnya kita memperlakukan kondisi saat ini sebagai peringatan keras bagi kalangan progresif dan pendukung demokrasi tentang perlunya mengevaluasi kelemahan analisa sosial kita sejauh ini.

 

Kegagalan analisa
Kegagalan penjelasan atas realitas politik tak pelak turut berpengaruh pada kegagalan mengantisipasi meruncingnya ketegangan sosial yang manifes dalam pembelahan posisi politik di tengah masyarakat saat ini. Fenomena politisasi SARA yang sangat kental dan brutal di pilkada DKI ini telah gagal diprediksi, salah satunya, oleh analisa politik pluralis. Pendekatan pluralis ini berpengaruh kuat di berbagai kajian yang mengamati perilaku pemilih.

Analisa pluralis dijejalkan oleh para pengamat dan media arus utama secara berlebihan dengan memamerkan adu versi lembaga survey pemilu. Pendekatan analisa ini terlalu dangkal karena mengandaikan kekuatan itu tersebar meluas di kalangan masyarakat. Siapa yang berkuasa adalah yang paling banyak disukai di antara aktor sosial yang disangka punya kekuasaan menyebar acak tersebut. Metode utama pendekatan ini adalah memotret dan mengukur persepsi (pendapat) masyarakat dengan keyakinan bisa menunjukkan perilaku individu-individu yang diandaikan memiliki kekuasaan rasional atas pilihannya.

Nyatanya para pendukung ilmu pengukuran perilaku pasca kekalahan Ahok mengaku kebingungan. Sebab, sebagaimana terekam oleh berbagai survey warga berulangkali konsisten menjawab memiliki tingkat kepuasan yang sangat tinggi terhadap kinerja petahana. Sebuah studi dengan argumen kelas[1] sebagai aktor dalam masyarakat menjadi mitra debat analisa kubu pluralis dan memengaruhi munculnya argumen interseksi. [2] Analisa studi ini melaporkan bahwa sentimen sektarian dan politisasi SARA oleh kelompok sektarian punya titik temu (interseksi) dengan rasa frustasi dan harapan perubahan terkait kesenjangan sosial yang dirasakan beberapa kelompok miskin kota.

Yang banyak menjadi sorotan dalam argumen interseksi/titik temu ini adalah peranan aktif dan destruktif dari kelompok-kelompok sektarian Islam garis keras. Mereka aktif melakukan mobilisasi massa di jalanan dan ruang hidup masyarakat (pemukiman, sekolah, tempat ibadah). Mobilisasi dan propaganda konfrontatif juga berlimpah di media sosial sejak akhir tahun lalu — bahkan sebetulnya bila mau ditarik lebih jauh sebagai keberlanjutan dari kontes pilpres 2014. Beberapa artikel di media kita sejak akhir tahun pun telah membahas dan berpolemik soal strategi mobilisasi massa “populisme” dan kebangkitan berbahaya dari sektarianisme.[3]

Kesadaran pragmatis menggunakan momen pilkada DKI menurut kajian ini terkait kebijakan cenderung intimidatif dari petahana yang mengincar berbagai kelompok miskin kota di DKI — terutama sejak gelombang penggusuran bantaran kali sekitar dua tahun lalu. Pilihan strategi pemprov DKI oleh petahana juga cenderung mengabaikan partisipasi dan dialog demokratis demi pembersihan cepat dan teknokratis atas masalah-masalah sosial yang ruwet di Jakarta. Strategi ini sempat berhasil dan menuai popularitas yang tinggi di kalangan publik yang sudah sangat frustasi dengan kelambanan birokrasi dan juga penguasa illegal di kehidupan jalanan keseharian Jakarta.

Sementara itu kita juga bisa menemukan analisa lain soal titik temu. Kecaman ditujukan berbagai kalangan terdidik kepada beberapa tokoh intelektual dan politik yang semula dikenal sebagai kalangan Islam moderat yang dianggap lawan dari kalangan Islam garis keras. Gubernur terpilih Anis Baswedan adalah tokoh yang dulu digadang-gadang sebagai salah satu simbol tokoh Islam moderat. Ia dibanggakan para penggemar Jokowi karena pilihannya bergabung sejak masa kampanye pemilu 2014. Nyatanya agenda berkuasa secara politik setelah dipecat dari kabinet Jokowi lebih penting buat tokoh yang dulu terkenal “menjual” retorika pentingnya pluralisme dengan jargon “tenun kebangsaan” ini.

Belakangan kritik tentang tokoh yang selama ini pamer citra moderat juga menyasar Wapres Jusuf Kalla, yang terungkap mendukung kandidat lawan petahana dan sekaligus punya banyak kepentingan ekonomi politik di pembangunan infrastruktur, termasuk di DKI.[4] Sementara itu Eep Saifulah Fatah sebagai tim sukses kandidat Anis-Sandi, juga sejak lama dikenal publik dengan citra sebagai tokoh intelektual muslim yang moderat dan diharapkan menjadi pemikir demokrasi yang sehat. Tapi pilkada DKI ini mengungkap posisi Eep yang lebih mengutamakan kepentingan bisnis “political marketing”-nya di atas agenda apa pun lainnya.

Singkatnya, argumen “interseksi” seperti diuraikan dalam berbagai versi di atas, adalah soal titik temu antara politisasi SARA dan kepentingan oportunisme lewat medium pertarungan elit di pemilu. Ini dapat dilakukan siapa saja baik itu kalangan intelektual atau pun kelompok marjinal. Analisa ini umumnya mengedepankan bukti-bukti tentang mereka yang di suatu masa mengaku moderat atau terkategori non elit (miskin kota, buruh) namun tak segan mendukung fanatisme SARA di momen pilkada kali ini.

Di sini lah analisa interseksi menjadi penjelasan yang sama buntu dan mengecohkannya dengan analisa pendekatan pluralis. Konsekwensi logis lanjutan dari analisa ini adalah semua aktor sosial bisa menjadi oportunis akibat pemilu. Oportunisme para aktor sosial yang ditunjukkan oleh argumen interseksi rentan terperangkap dalam perdebatan soal pengkhianatan moral versus komitmen terhadap kemajemukan semata. Perdebatan moral semacam ini melelahkan sekaligus minim penjelasan yang mencerahkan apalagi menawarkan solusi progresif. Argumen interseksi, karenanya juga, punya resiko semakin menyuburkan antipati pada demokrasi elektoral secara tidak kritis. Antipati yang sesungguhnya mengancam demokrasi sejati justru karena praktik demokrasi yang sejak lama diperjuangkan kalangan progresif sejak masa Orde Baru adalah melawan agenda pendukung otoriterisme dan oligarki: pemilihan umum secara langsung untuk posisi-posisi pejabat publik.

 

Kebutuhan analisa kelas marxis.
Sekali pun mengakui adanya titik temu dengan faktor keresahan sejumlah kelompok marjinal atas kecenderungan ketidakadilan sosial, namun pendukung pendekatan pluralis bersikukuh bahwa fakta-fakta yang terekam dari jajak pendapat (survey, exit poll, dll) mendukung tesis “faktor agama” sebagai yang lebih menentukan. Prediksinya, situasi politik Indonesia ke depan terkait kontestasi menuju pemilu 2019 akan ditentukan oleh faktor tersebut. Konsekwensi dari prediksi ini bisa memengaruhi kekisruhan lebih lanjut untuk memahami kompleksitas politisasi SARA dan juga strategi apa yang harusnya dikembangkan kalangan progresif. Kompleks karena diceraikannya hubungan antara fenomena yang terlihat kasat mata soal politisasi SARA dengan penjelasan analisa kelas yang mencoba mengungkap realitas di balik yang tampak kasat mata tersebut.

Argumen tentang “faktor agama dan ras” serta “interseksi” sebetulnya seolah mengakomodir adanya dimensi kelas oleh beberapa survey dan exit poll dengan menggunakan kelas sebagai kategori penduduk dengan latar belakang pendapatan dan pendidikan (tinggi-sedang-rendah).[5] Dengan menggunakan konsep kelas semacam itu mereka menunjukkan bahwa “faktor agama” lebih menentukan pilihan di pilkada DKI. Tentu saja itu bukan lah analisa kelas marxis yang justru mesti membahas kelas dalam kaitannya dengan kapitalisme sebagai relasi dan proses produksi serta perjuangan kelas yang nyata dan berlangsung menyejarah hingga saat ini di masyarakat.

Sangat jelas bahwa mereka yang terlibat dalam titik temu oportunisme lewat arena elektoral/pemilu langsung semuanya menyadari bahwa sentimen sektarian dan politisasi SARA adalah bahan baku yang sejalan dengan penataan kompetisi ekonomi politik di era kapitalisme agresif yang berlaku secara global saat ini. Analisa kelas yang kritis tidak akan mengabaikan kepentingan dan kekuatan mereka yang terlibat signifikan dalam menentukan jalannya kapitalisme di Indonesia. Dalam hal ini, kita berbeda dengan analisa pluralis karena kita tidak bisa mengabaikan faktor yang menentukan jalannya kapitalisme di Indonesia sepanjang sejarah, yaitu kekuatan militer dan imperialis yang sudah terkenal dengan keahliannya dalam menyuburkan dan mengorkestrasi sektarianisme SARA.

Perlu dijernihkan bahwa editorial ini tidak menyarankan agar data dan informasi yang diungkap berbagai analisa non-marxis itu harus dibuang jauh-jauh. Akan tetapi untuk memahami realitas politisasi SARA yang tidak terpisah dari dinamika kapitalisme maka kita harus membacanya dalam kerangka ekonomi politik dan analisa pertentangan kelas. Data dan informasi yang sudah ada harus didorong untuk dianalisa lebih mendalam lagi dalam konteks ruang, relasi, dan proses yang dimungkinkan oleh logika keutamaan persaingan pasar dan produksi kapitalis yang aktual di Jakarta dan Indonesia saat ini.

Kita tentu sadar analisa marxis tidak punya ruang bergerak yang leluasa di kalangan akademisi Indonesia, salah satunya karena langgengnya pelarangan oleh Negara hingga saat ini. Akan tetapi justru momen meningkatnya potensi ketegangan dan ledakan sosial pasca pilkada DKI 2017 membuat analisa kelas marxis yang kritis, tajam, dan tepat sangat mendesak dan relevan sampai ke kesadaran kaum progresif dan tentu saja massa secara luas. Evaluasi atas kelemahan analisa politik guna memahami realitas politik seharusnya terkait dengan kebutuhan menyusun strategi dan pengorganisasian perjuangan kelas ke depan. Tentu tidak akan dibahas di editorial kali ini, tapi harapannya perdebatan tentang strategi dan pengorganisasian akan banyak muncul lebih banyak dalam berbagai tulisan IndoPROGRESS ke depannya.***

 

————–

[1] http://www.newmandala.org/making-enemies-friends/

[2] http://www.newmandala.org/economic-injustice-identity-politics-indonesia/

[3] https://indoprogress.com/2017/01/merebut-populisme/, https://indoprogress.com/2017/01/menguatnya-populisme-trump-brexit-hingga-fpi/, https://indoprogress.com/2017/02/yang-patut-dikhawatirkan-adalah-politik-yang-rasis-bukan-populisme-islam/

[4] https://indoprogress.com/2017/04/sisi-lain-pilkada-jakarta-kembali-surutnya-kapitalisme-negara/

[5] http://www.newmandala.org/economic-injustice-identity-politics-indonesia/ dimana kalau kita memblejeti secara kritis data statistik yang dipaparkan dalam artikel ini kita sebetulnya bisa mengajukan interpretasi yang berbeda sama sekali dan justru mendukung arti siginifikan dari dimensi kelas secara kritis.

]]>
Setelah Pilkada DKI? https://indoprogress.com/2017/04/setelah-pilkada-dki/ Mon, 24 Apr 2017 02:20:41 +0000 https://indoprogress.com/?p=17852

Kredit ilustrasi: Alit Ambara (Nobodycorp)

 

PESTA Pilkada DKI Jakarta, telah usai. Pemenangnya sudah ditentukan. Lalu apa yang tersisa? Kegembiraan, pesta, kesedihan, penyesalahan, dan rasa takut. Ini semua campur baur, bukan hanya di DKI Jakarta tapi meluas hingga pelosok tanah air. Jakarta adalah kunci, adalah cermin pertarungan politik nasional.

Di permukaan, Pilkada DKI ini memang memunculkan mobilisasi Politik Identitas (ras dan agama) yang paling brutal dalam sejarah pemilu/pemilukada Indonesia. Kubu Anies-Sandi menjadikan isu ras dan agama sebagai senjata utama dalam mengalahkan kubu Badja. Celakanya, kubu Badja juga menggunakan politik identitas ini, walaupun sumberdayanya kalah jauh. Bagi kubu Badja, isu identitas dijadikan tameng pelindung dari serangan kubu Anies-Sandi, melalui isu “kebhinekaan” dan sesekali melakukan serangan balik yang tidak efektif.

Yang tidak muncul di permukaan adalah bahwa mobilisasi Politik Identitas ini telah menutupi kenyataan sesungguhnya bahwa kedua pasangan ini sama-sama bagian atau perpanjangan tangan dari kelas kapitalis (borjuis). Kandidat Anies-Sandi, misalnya mendapat dukungan kuat dari konglomerat-konglomerat seperti Erwin Aksa, pemilik Bosowa Group, Wapres Jusuf Kalla, Hary Tanoesoedibjo, dan Hashim Djojohadikusumo. Sementara pasangan Badja mendapat dukungan dari pengusaha properti macam Agung Podomoro, Sinarmas, dan Agung Sedayu, serta Surya Paloh pemilik Metro TV. Sehingga itu pertarungan politik di DKI ini sejatinya merupakan pertarungan di kalangan fraksi borjuasi domestik. Dan tidak heran, seperti ditulis Ian Wilson jika kedua pasangan ini tidak peduli dengan ketimpangan ekonomi yang semakin parah di Jakarta. Pertanyaannya, fraksi borjuasi mana yang sedang bertarung ini?

Pasca kediktatoran Orde Baru, kita sering mengatakan bahwa pertarungan politik nasional tidak lebih dari pertarungan di antara fraksi-fraksi borjuasi. Tetapi, bagaimana kita memetakan fraksionalisasi itu, masih samar-samar atau abstrak. Pada Pilpres 2014, dengan kemunculan Jokowi, ada yang mengatakan bahwa ini adalah pertarungan antara borjuasi oligarkis vs borjuasi non-oligarkis. Ada juga yang melihatnya sebagai pertarungan antara borjuasi-nasional (bornas) dan borjuasi komprador.

Untuk Pilkada DKI ini, saya mau meminjam perkubuan di kalangan borjuasi di India. Tentu saja ini bukan perbandingan yang komprehensif, mengingat perbedaan historis perkembangan kapitalisme di kedua negara. Namun terdapat satu perkembangan penting dalam perkubuan di kalangan borjuasi India terkait dengan respon mereka terhadap kian terintegrasinya ekonomi India dengan ekonomi neoliberal global, yang jejaknya bisa ditelusuri pada reformasi ekonomi di era pemerintahan Indira Gandhi (1977-1991), yang kemudian dipertegas di masa kepemimpinan perdana menteri Rajiv Gandhi pada 1984. Pada tahun 1991, India secara resmi menganut kebijakan neoliberal dalam arah pembangunan ekonominya. Tahun 1991, oleh intelektual neoliberal paling terkemuka, Gurcharan Das, diklaim sebagai ‘tahun kemerdekaan India yang kedua – sebuah revolusi ekonomi – yang lebih penting ketimbang revolusi politik yang digagas oleh Jawaharlal Nehru pada 1947 (Meera Nanda, 2011).

Nah, di dalam konteks kapitalisme-neoliberal ini, di saat bersamaan berkembang gerakan fundamentalisme di kalangan umat Hindu, yang disebut Hindutva. Dengan klaim superioritasnya, gerakan Hindutva ini mempromosikan agama Hindu yang merupakan agama mayoritas rakyat India, menjadi sebuah identitas nasional, sebuah etos, sebuah cara hidup sehari-hari sekaligus mengeksklusi agama dan keyakinan minoritas. Ekonom kondang Prabhat Patnaik menyebut gerakan Hindutva ini sebagai gerakan fasis. Pada titik ini, borjuasi India terbelah ke dalam dua kubu: Hindutva Neoliberal dan Non-Hindutva Neoliberal. Kedua kubu ini sama-sama mendapatkan dukungan dari borjuasi besar maupun kecil, dan sama-sama mempromosikan dan menerapkan kebijakan neoliberal. Bedanya, Hindutva Neoliberal menggunakan agama Hindu sebagai medium untuk memperlancar penerapan kebijakan-kebijakan neoliberal, terutama di masa kekuasaan Bharatiya Janata Party (BJP), yang dianggap menyuarakan kepentingan umat Hindu. Sementara Non-Hindutva neoliberal mengadvokasi pluralisme, kebebasan individu, pemerintahan yang kecil (small government) dan pemisahan yang tegas antara agama dan negara untuk memuluskan agenda-agenda neoliberalnya.

Dari sini kita lihat bahwa dari sudut Politik Kelas keduanya membagi keyakinan yang sama, bahwa kapitalisme neoliberal merupakan jalan terbaik menuju kemakmuran bersama. Mereka juga membagi ketakutan bersama akan munculnya perjuangan berbasis kelas dalam melawan sistem ini. Namun dalam soal Politik Identitas keduanya sewaktu-waktu bisa berseberangan secara diametral guna memenangkan pertarungan politik kekuasaan, atau berebut pengaruh di kalangan elite politik dan bisnis.

Inilah yang kita saksikan dalam momen pilkada lalu. Kubu Anies-Sandi, dengan sangat telanjang berkoalisi dengan kalangan Islam Politik/Islamis untuk mengalahkan kubu Badja. Mereka memainkan isu Islam, bukan hanya sebagai agama mayoritas, tetapi juga sebagai identitas, sebuah etos, dan sebuah cara hidup. Dan untuk kepentingan ini, mereka memanfaatkan dengan sangat maksimal masjid-masjid dan langgar-langgar sebagai medium untuk kampanye dan aktivitas politiknya.

Di India, ketika BJP menang pemilu mereka kemudian menggunakan apa yang disebut Nanda sebagai “state-corporat-temple complex” dalam rangka menerapkan kebijakan neoliberalnya. Artinya, kebijakan neoliberal itu bukan hanya dijalankan oleh negara, melainkan melalui persekutuan antara negara, korporasi, dan kuil-kuil Hindu, sehingga kebijakan itu diterima bukan hanya karena terpaksa melainkan juga berdasarkan iman kehinduannya. Kita masih akan melihat apakah Anies-Sandi akan menggunakan “state-corporate-mosque complex” ketika mereka kelak menjalankan kekuasaannya di Jakarta.

Sementara Kubu Badja, sebagai tandingannya, kemudian mempromosikan isu “kebhinekaan” yang berakar pada paham pluralisme, kebebasan individu, pemerintahan yang kecil, dan pemisahan antara agama dan negara. Bagi kelompok ini, dukungan terhadap Ahok hanyalah sebuah taktik dari strategi besarnya dalam melawan apa yang dengan salah kaprahnya mereka sebut sebagai “Islam radikal.”

Mengkristalnya pertentangan Politik Identitas ini, dan sangat lemahnya kekuatan kelompok yang mendasarkan dirinya pada Politik Kelas, menyebabkan sebagian kelompok dan individu yang mengklaim dirinya demokrat atau progresif terseret dalam dukung mendukung kedua kubu tersebut. Mereka-mereka ini terseret ke dalam arus pertarungan politik dan perebutan pengaruh di kalangan borjuasi dan elit politik. Bagi mereka, Politik Identitas adalah esensi atau fondasi bagi kebaikan maupun keburukan hidup bersama.

Pilkada DKI memang telah usai. Namun banyak yang berpendapat bahwa pilkada Jakarta merupakan representasi dari pertarungan politik nasional, menjelang hingga pilpres 2019. Jika pendapat ini kita terima, maka kita masih akan menyaksikan pertentangan kedua kubu ini dalam intensitas yang lebih luas dan bisa jadi lebih brutal.

Kita tentu tidak ingin melibatkan diri dalam pertarungan Politik Identitas ini. Tetapi, kita juga tidak bisa berdiam diri menyaksikan pertarungan itu dalam kosakata mistik: Golput. Kita harus segera melakukan sesuatu sejak dari sekarang: Membangun kekuatan politik berbasis Politik Kelas yang independen dan radikal. Pertemuan-pertemuan bersama, diskusi-diskusi bersama, pendidikan-pendidikan bersama, penerbitan-penerbitan bersama, dan aksi-aksi bersama sudah saatnya diagendakan. Dan seperti pengalaman lalu-lalu, ini bukan perkara mudah, tetapi inilah satu-satunya cara kita melawan agresi dan hegemoni Politik Identitas yang dipromosikan dan dipraktikkan oleh fraksi-fraksi borjuasi nasional saat ini. Kecuali kita ingin mati merana karena menyaksikan kegilaan ini.***

]]>
Rumah Untuk Generasi Millennial https://indoprogress.com/2017/02/rumah-untuk-generasi-millennial/ Mon, 20 Feb 2017 03:11:36 +0000 https://indoprogress.com/?p=17493

UNTUK kesekian kalinya, saya mendengarkan keluh-kesah mereka yang khawatir tidak bisa memiliki rumah. Akhir bulan lalu, di bilangan Senayan, ketakutan itu datang dari seorang pemuda yang hendak menikah.

“Bang, saya akan menikah akhir minggu ini. Setelah menikah kami memutuskan kost tak jauh dari kantor. Saya tidak mampu membeli rumah. Jangankan di Jakarta, di pinggiran seperti Depok dan Tanggerang saja harga rumah sudah Rp 500 sampai Rp 600 juta. Ada memang yang sedikit lebih rendah di Jakarta, apartemen tipe studio ukuran 21 m2 seharga Rp 300 juta. Dengan gaji Rp 7 juta, ini masih tergolong mahal, angsurannya sekitar Rp 3-4 juta per bulan selama 15 tahun. Selain itu, kalau sudah punya anak, apartemen ukuran ini tidak layak lagi di tempati. ” keluhnya.

Kekhawatiran tak bisa memiliki rumah merupakan salah satu masalah khas yang dihadapi generasi millenial saat ini, sebagaimana diungkapkan oleh Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Darmin Nasution awal Februari lalu. “Dalam waktu beberapa tahun generasi millenial itu tidak ada yang bisa cicil rumah,” katanya seperti dikutip berbagai media.

Ketidakmampuan generasi millennial memiliki rumah didorong oleh tidak terkontrolnya harga rumah. Dalam hitungan bulan, harga rumah ukuran kecil (36/72 m2) di pinggiran seperti Depok dan Tanggerang, bisa melonjak hingga 30 persen. Lonjakan harga rumah ini tidak sebanding dengan gaji pekerja yang naik hanya sebesar 10 persen dalam beberapa tahun terakhir.

Tidak terkontrolnya laju kenaikan harga rumah dapat dilihat dari dua sisi; penawaran (supply), dan permintaan (demand).

 

Sisi Penawaran

Sisi penawaran, tidak terlepas dari struktur biaya produksi yang terbagi atas komponen biaya struktur dan infrastruktur, serta komponen biaya nonstruktur. Secara keseluruhan, biaya produksi mencapai sekitar 70-80 persen dari harga jual.

Komponen biaya struktur dan infrastruktur meliputi atas Harga Pokok Penjualan (HPP) terdiri atas biaya building (harga tanah dan bahan bangunan, biaya pekerja) dan fasilitas pendukung lainnya. Sedangkan biaya infrastruktur terbagi atas biaya pembangunan fasilitas umum (Fasum) dan fasilitas sosial (Fasos). Sementara komponen biaya nonstruktur terdiri atas Pajak Penghasilan (PPh) yang besarnya 5 persen, Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 10 persen, dan biaya promosi, yang nilainya bervariasi dari 5 sampai 10 persen dari harga jual.

Salah satu komponen yang mendongkrak tingginya struktur biaya produksi rumah adalah ketersediaan lahan mentah. Rata-rata kenaikan harga tanah mencapai 20-50 persen per tahun, bahkan saat terjadi booming property pada tahun 2012, harga tanah melambung hingga 200 persen.

Sebagai gambaran, harga tanah di luar Jakarta, misalnya di Alam Sutera (Tanggerang), berkisar angka Rp 16 juta-Rp 21 juta per meter persegi. Di BSD City, antara Rp 11 juta-Rp 16 juta per meter persegi, kemudian di Bekasi harga tanah dilepas antara Rp 8 juta-Rp 9 juta per meter persegi, dan di Bogor harga tanah sekitar Rp 5 juta-Rp 10 juta per meter persegi.

Tingginya harga tanah disebabkan terkonsentrasinya penguasaan lahan secara besar-besaran pada sekelompok orang dan perusahaan besar. Celakanya, sebagian dari lahan-lahan tersebut dibiarkan terlantar.

Guna mengatasi ketimpangan kepemilikan lahan tersebut, pemerintah berencana menerapkan sistem pajak berkeadilan. Sistem ini dijabarkan dalam tiga skema pajak lahan menganggur, yang terdiri atas pajak progresif atas kepemilikan tanah, pajak atas transaksi jual-beli tanah (capital gain tax) dan pajak atas lahan tidak produktif (unutilized asset tax).

Kebijakan sistem pajak berkeadilan diharapkan dapat mengikis praktik pemusatan kepemilikan tanah pada segelintir orang, dan mendorong harga tanah menjadi lebih rasional, sehingga dapat mengurangi beban struktur biaya produksi. Namun, tampaknya kebijakan ini tidak akan berjalan mulus. Menteri Agraria dan Tata Ruang (ATR/ Kepala BPN) Sofyan Djalil kabarnya “melobby” Menteri Keuangan Sri Mulyani agar membebaskan tabungan lahan (land bank) milik pengembang properti dan kawasan industri dari pengenaan pajak progresif.

Upaya lain pemerintah untuk menekan harga jual rumah yakni memanfaatkan tanah negara yang terlantar (idle) untuk membangun perumahan. Namun langkah ini dinilai tidak akan efektif, bila tidak diiringi dengan kebijakan pembatasan pembangunan rumah tipe kecil oleh pengembang swasta.

Pemerintah perlu mempertimbangkan untuk mengadopsi kebijakan penyediaan rumah skala kecil yang diselenggarakan oleh pemerintah melalui BUMN (Perumnas), dengan pemberian fasilitas pengurangan pajak untuk menekan harga jual yang ditujukan kepada pekerja dengan penghasilan rendah. Sementara pengembangan rumah skala menengah dan mewah, diserahkan kepada swasta.

Memang ada program 1 juta rumah yang didorong oleh pemerintah, dengan memberikan fasilitas penurunkan KPR dari 7,25 persen menjadi 5 persen, serta bantuan pengembangan saran dan utilitas dan kemudahan perizinan. Namun program ini tidak banyak membantu karena lokasi pengembangan dilakukan di pinggiran, dan jauh dari tempat kerja mereka yang berpenghasilan rendah, sehingga akibatnya banyak yang tidak tertarik pada program ini.

Di samping itu struktur biaya produksi dalam program 1 juta rumah tidak banyak berubah. Pemerintah tetap menetapkan pajak yang tinggi kepada pengembang, sekain itu harga lahan juga tidak mampu ditekan, bahkan pada lokasi-lokasi dimana program 1 juta akan dilaksanakan, meningkat sangat pesat.

Dari sisi supply, kebijakan yang ditempuh pemerintah untuk mengendalikan harga rumah menggunakan dua instrumen yang dimilikinya. Pertama instrumen regulasi (perpajakan) dan kedua intervensi pasar (program 1 juta rumah dan pemanfaatkan lahan idle untuk dibangun perumahan).

Namun upaya yang dilakukan pemerintah dari sisi penawaran ini, tidak akan berdampak signifikan bagi turunnya harga jual rumah, jika tidak diiringi dengan terobosan-terobosan kebijakan pada sisi permintaan.

 

Sisi Permintaan

Secara teori semakin, tinggi jumlah penduduk maka semakin tinggi permintaan akan rumah, demikian semakin tinggi pula harga jual rumah.

Namun, tingginya jumlah penduduk tak selalu berbanding lurus dengan permintaan. Jakarta, misalnya, hampir separoh penduduknya (48,91 persen) tidak memiliki rumah atau tempat tinggal sendiri. Angka ini jauh di bawah rata-rata nasional sebesar 82,63 persen. Besarnya jumlah penduduk Jakarta yang tidak memiliki rumah sendiri disebabkan tinggi harga jual rumah.

Menariknya, properti residensial yang dibangun pengembang selalu habis terjual. Berdasarkan Survei Harga Properti Residensial (SHPR), SHPR kuartal IV-2016 volume penjualan properti residensial tumbuh sebesar 5,06 persen (qtq), lebih tinggi dibandingkan dengan triwulan sebelumnya yang sebesar 4,65 persen (qtq). Padahal Bank Indonesia (BI) mencatat terjadi kenaikan pertumbuhan harga properti residensial, seperti tercermin dari indeks harga properti residensial (IHPR) pada kuartal IV-2016 yang tumbuh sebesar 0,37 persen (qtq). Ini sedikit lebih tinggi dibandingkan dengan pertumbuhan kuartal III-2016 yang tercatat sebesar 0,36 persen (qtq). Kenaikan terutama terjadi pada rumah tipe kecil, yakni sebesar 0,57 persen.

Tingginya permintaan properti disebabkan segelintir orang yang memiliki uang menjadikan properti sebagai ajang spekulasi (investasi). Satu orang bisa memiliki banyak rumah dan unit apartemen. Selanjutnya unit-unit tersebut disewakan kepada orang lain. Sebagai ilustrasi, satu unit apartemen tipe studio ukuran 28 m2 di Kalibata City disewakan seharga Rp 2-3 juta per bulan, sedangkan sewa kamar kos-kosan di wilayah pemukiman (perkampungan) dengan fasilitas AC dan tempat tidur ditawarkan sekitar Rp 1,5 sampai 2 juta perbulan. Tanpa fasilitas AC berkisar Rp 1-1,5 juta. Untuk rumah ukuran 36 m2 disewakan sekitar Rp 35-40 juta per tahun.

Berkaca dari banyaknya rumah tipe kecil dikuasai oleh orang kaya, pemerintah perlu mempertimbangkan untuk mengambil langkah terobosan, dengan memberlakukan kebijakan larangan kepemilikan rumah ukuran kecil lebih dari satu.

Selanjutnya setelah menerbitkan kebijakan pembatasan, pemerintah perlu mempertimbangkan penghapusan pajak untuk pembeli (bea perolehan hak atas tanah dan bangunan [BPTHB]). Selama ini komponen BPTHB dianggap terlalu membebani mereka yang berpenghasilan rendah. Memang ada kebijakan pada daerah tertentu, misalnya Jakarta yang menghapuskan BPTHB untuk rumah ukuran kecil, namun daerah lain tidak menerapkan kebijakan serupa.

Terakhir, pemerintah perlu berkoordinasi dengan BI untuk menurunkan tingkat suku bunga kredit perumahan (KPR), khususnya rumah tipe kecil yang masuk dalam program pemerintah. Saat ini rata-rata suku bunga KPR berada pada kisaran 11 persen hingga 14 persen.

Pilihan menurunkan tingkat suku bunga KPR sesungghunya cenderung lebih realitis, ketimbang usulan program Uang Muka (Down Payment/DP) nol rupiah yang ditawarkan oleh salah satu pasangan calon (Paslon) Gubernur Jakarta beberapa waktu lalu. DP 0% ini berpotensi mengganggu sistem makro prudential, karena dapat meningkatkan risiko sistemik, walaupun dimungkinkan oleh Peraturan Bank Indonesia No.18/16/PB/2016 tentang rasio loan to value untuk kredit properti dan rasio financing to value untuk pembiayaan properti, khususnya untuk program penyediaan rumah yang dilakukan pemerintah pusat dan daerah, sebagaimana diatur dalam pasal 17.

Sayangnya, sejauh ini tampaknya pemerintah condong melihat masalah harga rumah hanya secara parsial, hanya dari sisi penawaran saja, belum samasekali melirik sisi permintaan. Padahal masalah ini seharusnya diatasi dengan pendekatan yang kompehensif dan berimbang. Kebijakan pemerintah yang cenderung parsial dikhawatirkan tidak akan mampu untuk menjawab keresahan generasi millennial akan perumahan yang murah dan terjangkau. ***

]]>