Analisis – IndoPROGRESS https://indoprogress.com Media Pemikiran Progresif Sun, 13 Apr 2025 23:42:31 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.4.3 https://indoprogress.com/wp-content/uploads/2021/08/cropped-logo-ip-favicon-32x32.png Analisis – IndoPROGRESS https://indoprogress.com 32 32 Undang-Undang TNI Bukan Hanya tentang Dwifungsi https://indoprogress.com/2025/04/undang-undang-tni-bukan-hanya-tentang-dwifungsi/ Sun, 13 Apr 2025 23:42:31 +0000 https://indoprogress.com/?p=238888

Ilustrasi: Ilustruth


KEKHAWATIRAN akan kembalinya otoritarianisme di Indonesia semakin mengemuka, terutama setelah Prabowo Subianto, mantan jenderal militer terduga pelaku pelanggaran berat hak asasi manusia (HAM), menjabat sebagai presiden.

Sejumlah faktor tampak mengafirmasi kekhawatiran ini, terutama setelah disahkannya amendemen Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI). Pasal 7(2b) dari aturan baru ini, misalnya, memperluas cakupan operasi militer selain perang (OMSP), salah satunya untuk merespons ancaman siber. Menurut aturan ini, operasi semacam itu tidak lagi memerlukan keputusan politik dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), tapi cukup hanya melalui pengesahan presiden.

Banyak pengamat menilai perubahan aturan itu akan membawa kembalinya dwifungsi TNI, yang memungkinkan militer tidak hanya mengurusi masalah keamanan tetapi juga terlibat aktif dalam urusan sosial-politik, praktik yang berjalan selama beberapa dekade di bawah pemerintahan Soeharto. Terdapat kekhawatiran bahwa hal itu juga akan membuka jalan bagi kembalinya rezim otoriter.

Namun, pada kenyataannya, dwifungsi tidak pernah benar-benar berakhir bersamaan dengan jatuhnya Soeharto. Peran ganda TNI terus berlanjut meskipun demokratisasi telah terjadi. Militer Indonesia tidak pernah sepenuhnya “kembali ke barak”, yang menegaskan keterbatasan capaian reformasi sektor keamanan.

Yang juga luput dari pengamatan adalah kekuasaan dalam tubuh militer tidak monolitik. TNI tidak sepenuhnya berada di bawah kendali penguasa tunggal, termasuk seorang yang berambisi menjadi diktator seperti Prabowo. Seperti juga lembaga negara lainnya, berbagai aktor berkompetisi memegang kendali atas institusi militer. Kondisi ini menciptakan faksi-faksi dan ketegangan di dalam institusi koersi negara ini. Revisi UU TNI mencerminkan perebutan kekuasaan itu, khususnya sebagai respons atas terus berlanjutnya pengaruh mantan Presiden Joko Widodo (Jokowi) terhadap lembaga-lembaga negara.

Artinya, upaya mengembalikan pemerintahan otoriter dengan dukungan militer seperti era Soeharto bukan perkara mudah, termasuk bagi Prabowo dan Jokowi, bahkan dengan keberadaan UU TNI yang baru. Di samping itu, ruang politik demokrasi sejauh ini juga telah dapat memfasilitasi kepentingan akumulasi kekuasaan dan kekayaan aktor-aktor ekonomi-politik yang utama.


Bagaimana rezim otoriter dapat terkonsolidasi?

Salah satu hal pokok yang diperlukan untuk membentuk pemerintahan otoriter yang relatif stabil adalah tersedianya sumber daya ekonomi memadai untuk memastikan loyalitas dari sekutu-sekutu utama, termasuk dari kalangan militer. Di tahun 1970-an, Soeharto bergantung pada surplus minyak, dan lewat perusahaan negara Pertamina, ia bisa membeli loyalitas militer dan memobilisasinya untuk menundukkan lawan-lawan politiknya secara keji serta membentuk rezim otoriter yang relatif stabil. Relatif stabilnya rezim otoriter Soeharto juga bagian dari politik Perang Dingin untuk mencegah meluasnya pengaruh komunis. 

Namun, stabilitas ini mulai goyah saat harga minyak dunia jatuh di awal tahun 1980-an bersamaan dengan mulai diintroduksinya neoliberalisme. Militer tersingkir bersamaan dengan kebijakan privatisasi ekonomi yang lebih memberi keuntungan materiil bagi konglomerat keturunan Tionghoa dan keluarga Soeharto. Ketegangan dengan militer, terutama dengan faksi Benny Moerdani, bahkan membuat Soeharto harus beraliansi dengan faksi Islam konservatif dan terus berlanjut hingga mengantarkan pada kejatuhannya dari tampuk kekuasaan di tahun 1998.

Melalui Danantara, Prabowo juga tampak berupaya mengonsentrasikan kekuasaan ekonomi untuk membeli loyalitas sekutu-sekutunya. Namun, tanpa surplus ekonomi dan hanya mengandalkan efisiensi anggaran, Prabowo akan cenderung lebih bergantung pada pengusaha keturunan Tionghoa yang dibesarkan oleh Orde Baru dan sejak itu telah menguasai ekonomi Indonesia, ketimbang sebaliknya. Upaya mengonsolidasikan kekuatan ekonomi ini juga tidak mudah, terlebih ada kecenderungan bahwa Prabowo mengutamakan pengusaha “pribumi” seperti Andi Syamsuddin Arsyad atau Haji Isam dan para pengusaha tambang terutama yang bernaung di bawah Kamar Dagang dan Industri Indonesia (Kadin) dan Himpunan Pengusaha Pribumi Indonesia (HIPPI)

Sementara itu, dalam beberapa tahun terakhir para taipan keturunan Tionghoa telah difasilitasi kepentingan materiilnya oleh Jokowi, di antaranya melalui lebih dari 200 Proyek Strategis Nasional (PSN). Sengketa pagar laut yang melibatkan Sugianto Kusuma alias Aguan dan perusahaannya Agung Sedayu Group, evaluasi PSN yang memangkasnya menjadi hanya 77 proyek, serta adanya pertemuan Prabowo dengan sejumlah konglomerat di Istana Kepresidenan Jakarta adalah beberapa di antara sejumlah indikator negosiasi dan reorganisasi kekuatan ekonomi itu.


Stagnasi reformasi sektor keamanan 

Disahkannya UU TNI yang baru juga mencerminkan adanya kontestasi di antara faksi-faksi politik dan pengusaha, ketimbang semata-mata soal kembalinya dwifungsi. Agenda reformasi yang bertujuan untuk menegakkan supremasi sipil atas militer juga cenderung stagnan.

Sejak Reformasi yang menandai peralihan rezim otoriter ke demokrasi pada tahun 1998, sejumlah pensiunan jenderal dan perwira militer aktif terus mengambil peran sipil dalam birokrasi, partai politik, dan bisnis. Hal ini menegaskan bahwa militer tetap menjadi kekuatan politik yang signifikan dalam politik dan ekonomi Indonesia. 

Satu-satunya keberhasilan nyata dari proses reformasi sektor keamanan adalah pemisahan kepolisian dari institusi militer melalui Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (Tap MPR) No. VI/MPR/2000

Artinya, UU TNI 2025 tidak membuka jalan bagi kembalinya dwifungsi karena memang peran militer di ranah sipil ini tidak pernah benar-benar hilang. Aturan baru hanya memperkuat landasan hukum bagi praktik-praktik tersebut, yang sudah dijustifikasi oleh berbagai undang-undang, peraturan presiden, maupun nota kesepahaman (MoU) dengan sektor swasta dan publik.

Sebagai contoh, peran tentara dalam keamanan perbatasan telah dituangkan dalam Peraturan Menteri Pertahanan Nomor 13 Tahun 2014 tentang Kebijakan Keamanan Perbatasan. Dalam konteks penanggulangan bencana, Pasal 73(3) Peraturan Presiden Nomor 29 Tahun 2021, yang mengubah Peraturan Presiden Nomor 1 Tahun 2019 tentang Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), memungkinkan prajurit TNI aktif menempati posisi sebagai Deputi Bidang Penanggulangan Bencana pada BNPB. Sementara itu, Pasal 43I UU Nomor 5 Tahun 2018 tentang Perubahan UU Terorisme mengatur peran TNI dalam penanggulangan terorisme sebagai bagian dari OMSP.

Ketentuan lain yang memperbolehkan prajurit TNI untuk menduduki jabatan sipil adalah Pasal 62A Peraturan Presiden Nomor 15 Tahun 2021 tentang Perubahan Kedua Peraturan Presiden Nomor 38 Tahun 2010 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kejaksaan Agung. Pasal ini memberi kesempatan bagi prajurit TNI aktif untuk menduduki jabatan Jaksa Agung Muda Bidang Pidana Militer.

Yang juga penting untuk dicatat adalah, revisi UU TNI mempertahankan struktur kekuasaan yang ada yang telah memberi keistimewaan dan impunitas bagi prajurit, khususnya jajaran elite. Pemberlakuan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer Orde Baru, misalnya, memungkinkan personel militer untuk diadili secara militer ketimbang melalui tuntutan pidana di pengadilan umum yang cenderung lebih berat hukumannya.

Sementara itu, struktur komando teritorial yang luas, khususnya komando daerah militer dan lembaga terkaitnya, sebagaimana diatur dalam Pasal 60 dan 106 Peraturan Presiden Nomor 66 Tahun 2019 tentang Susunan Organisasi Tentara Nasional Indonesia, terus membayangi birokrasi pemerintahan di tingkat daerah.


Respons atas dominasi Jokowi?

UU TNI hasil revisi memperkuat justifikasi hukum atas dwifungsi militer, tetapi tidak serta merta membuka jalan bagi kembalinya kekuasaan otoriter yang militeristis di bawah Prabowo. Sebab, upaya-upaya pemusatan kekuasaan secara inheren akan mengancam pembagian sumber daya yang tersedia bagi aktor-aktor ekonomi-politik lainnya.

Karena Jokowi masih punya pengaruh politik yang cukup kuat, ia akan berusaha menghalangi berbagai upaya pemusatan kekuasaan yang dilakukan Prabowo. Meski secara formal tidak lagi berkuasa, Jokowi masih dapat membayangi Prabowo setidaknya selama anaknya, Gibran Rakabuming Raka, menjabat sebagai wakil presiden.

Jokowi masih memiliki pengaruh atas lembaga-lembaga penegak hukum, termasuk Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri), Kejaksaan Agung (Kejagung), dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), yang para pimpinannya dipilih dalam masa pemerintahannya. Selama beberapa tahun, pemerintahan Jokowi telah memanfaatkan lembaga-lembaga ini untuk menjinakkan para pesaing politiknya, memastikan loyalitas dari para sekutunya, serta membungkam para pengkritik. 

Jokowi juga relatif masih memiliki pengaruh atas militer, khususnya melalui Panglima TNI, Jenderal Agus Subiyanto, dan Kepala Staf Angkatan Darat Jenderal Maruli Simanjuntak. Keduanya diangkat pada periode pemerintahannya. Maruli adalah menantu pensiunan jenderal Luhut Binsar Pandjaitan yang juga merupakan sekutu loyal Jokowi.

Terlalu dini bagi Prabowo, yang masih berupaya mengonsolidasikan kekuasaan dengan berbagai aktor, untuk mengganti pimpinan lembaga-lembaga penegakan hukum dan militer itu dengan para loyalisnya sendiri. Tindakan semacam itu akan memicu konfrontasi langsung dengan faksi-faksi Jokowi. Sementara itu, kendali Jokowi atas banyak cabang kekuasaan negara juga memberinya keleluasaan untuk dapat membalas berbagai ancaman, termasuk yang direpresentasikan lewat revisi UU TNI.

UU TNI tentu memberi keuntungan bagi Prabowo, terutama untuk memperluas pengaruhnya dalam mengontrol institusi militer. Aturan baru ini memberikan justifikasi hukum yang lebih kuat untuk perluasan peran TNI, yang diharapkan dapat digunakan Prabowo untuk mendapatkan loyalitas yang lebih besar dari figur-figur militer yang berpengaruh.


Tantangan membentuk rezim otoriter 

Di ujung pemerintahannya pada tahun 2024 lalu, Jokowi telah menunjukkan ambisinya dalam memperpanjang masa jabatan presiden melalui amandemen konstitusi. Namun, usulan ini ditolak oleh partainya sendiri, PDIP, terutama karena bertentangan dengan agenda ketua umum partai, Megawati Soekarnoputri, yang saat itu berkepentingan menominasikan putrinya sebagai kandidat calon presiden 2024. Pada akhirnya, Jokowi justru meninggalkan PDIP dan berbalik mendukung Prabowo. Hal ini menyebabkan persaingan sengit antara Jokowi dan Megawati.

Amandemen UU TNI mengindikasikan bahwa Prabowo juga berambisi mengonsentrasikan kekuasaan dalam genggamannya sendiri. Akan tetapi, ia terlebih dahulu harus mengurangi pengaruh Jokowi. Salah satu caranya adalah dengan mengonsolidasikan militer, dan mungkin juga dengan membangun aliansi dengan Megawati.

Meskipun Megawati sebelumnya menolak usulan amandemen UU TNI tahun 2004, pada akhirnya, anaknya, Puan Maharani, yang juga Ketua DPR RI, secara aktif mendukung pengesahan revisi itu. Karena revisi UU TNI dengan jelas menguntungkan militer, tampak bahwa manuver PDIP adalah bagian dari upaya membangun pengaruh kepada institusi koersi ini dan juga Prabowo.

Manuver ini dilakukan terutama setelah KPK pada akhirnya menahan Sekretaris Jenderal PDIP Hasto Kristiyanto, pada Februari 2025. Hasto ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus suap pada Desember 2024, akan tetapi penundaan penahannya diduga sebagai hasil negosiasi antara Megawati dan Prabowo. Namun, penahanan Hasto tampaknya membuat kepercayaan Megawati untuk menjadikan Prabowo sebagai sekutunya menjadi memudar. Instruksi Megawati kepada kadernya agar kepala daerah dari PDIP tidak menghadiri retret pemerintah pada 21-28 Februari 2025 merefleksikan hal ini.

Penangkapan Hasto juga merupakan pengingat yang kuat bagi semua aktor politik lain bahwa Jokowi masih punya pengaruh atas KPK dan dapat mengerahkannya, termasuk untuk melemahkan musuh politiknya, Megawati dan PDIP. 

Sebagaimana UU TNI, rencana amandemen UU Kepolisian, UU Kejaksaan, dan KUHAP akan menjadi arena kontestasi baru bagi Prabowo, Megawati, dan Jokowi. Paket revisi aturan ini memuat reformulasi kewenangan penyidikan lembaga penegak hukum, yang akan kembali membuka ruang kontestasi bagi faksi-faksi politisi dan pengusaha. Seperti telah ditunjukkan Jokowi dalam beberapa tahun terakhir, kontrol atas lembaga-lembaga penegak hukum dengan kewenangan penyidikan yang substansial memberi kesempatan baginya dalam mempermainkan kasus-kasus hukum untuk tujuan-tujuan politik sempit.

Singkatnya, revisi UU TNI merefleksikan persoalan yang lebih kompleks dari sekadar kembalinya dwifungsi militer atau bangkitnya pemerintahan otoriter. UU ini mencerminkan proses negosiasi kekuasaan di antara kekuatan-kekuatan ekonomi-politik utama, yang tak satupun sungguh-sungguh dominan–atau, setidaknya belum dominan.


Abdil Mughis Mudhoffir adalah research fellow Alexander von Humboldt di German Institute for Global and Area Studies (GIGA), Hamburg, Germany dan honorary fellow di Asia Institute, University of Melbourne, Australia.

Rafiqa Qurrata A’yun adalah dosen Fakultas Hukum di Universitas Indonesia dan  associate di Centre for Indonesian Law, Islam and Society (CILIS), Melbourne Law School, University of Melbourne, Australia.

Artikel ini merupakan terjemahan dari “The new TNI Law is about much more than just military dual function” yang diterbitkan Indonesia at Melbourne pada 4 April 2025, dengan sejumlah penyuntingan dan penambahan oleh penulis. Penerjemahan dan penerbitan di Indoprogress untuk tujuan pendidikan atas seizin penerbit.

]]>
Wajah-wajah Kapital Marx https://indoprogress.com/2024/10/wajah-wajah-kapital-marx/ Fri, 11 Oct 2024 09:23:19 +0000 https://indoprogress.com/?p=238471

Ilustrasi: Getty Images/Jacobin


MESKI sebagian orang menganggapnya kuno, Kapital Karl Marx adalah karya klasik yang masih saja menjadi pusat perdebatan. Usianya kini 157 tahun (pertama kali terbit pada 14 September 1867) dan mengandung semua keutamaan karya klasik raksasa; ia merangsang pemikiran baru setiap kali dibaca ulang, serta mampu menggambarkan aspek-aspek penting dari zaman ini maupun masa lalu.

Sebuah karya, kata penulis Italia Italo Calvino, menjadi klasik karena kemampuannya membantu pembaca untuk “membawa peristiwa-peristiwa terkini mundur perlahan ke masa lalu.” Karya semacam ini memberi kita daftar pertanyaan dan hal penting yang sering muncul, sehingga kita mampu memahami peristiwa terkini dengan benar dan menemukan jalan keluarnya. Inilah sebabnya mengapa karya klasik selalu menarik minat para pembaca muda. Karya klasik tetap tak tergantikan meskipun waktu terus melenggang.

Kapital adalah karya klasik unggulan untuk membantu kita memahami perkembangan situasi terkini, termasuk orang-orang penting di masa kini yang ngawur, lewat perspektif sejarah yang tepat. Itulah yang dapat kita katakan tentang Kapital; satu setengah abad sejak pertama kali terbit, Kapital semakin kuat seiring persebaran kapitalisme ke setiap sudut planet ini—dan meluas ke semua bidang kehidupan kita.


Kembali ke Marx

Setelah Krisis Ekonomi Global 2007–2008, menengok kembali karya raksasa Marx ini merupakan kebutuhan mendesak—bagaikan semua respons atas peringatan darurat. Meski sempat terlupakan setelah keruntuhan Tembok Berlin, Kapital masih menyediakan kunci yang jitu untuk memahami penyebab hakiki dari kegilaan dan daya rusak Kapitalisme. Jadi, sementara indeks pasar saham dunia menghabiskan ratusan miliar dolar dan banyak lembaga keuangan dinyatakan bangkrut, oplah Kapital dalam beberapa bulan saja melonjak ketimbang jumlah yang terjual selama dua dasawarsa sebelumnya.

Sayang sekali, laris manisnya Kapital tak berkelindan dengan sisa-sisa kekuatan politik kiri. Kita sedang menipu diri ketika berpikir mampu mengotak-atik sistem yang masih mungkin direformasi. Ketika benar-benar masuk pemerintahan, mereka sekadar jadi pereda nyeri yang tak berdampak apa pun dalam mengurangi kesenjangan sosial-ekonomi dan krisis ekologi yang sedang berlangsung. Hasil dari pilihan-pilihan tersebut dapat dilihat oleh semua orang.

Namun, “kebangkitan” Kapital ini sekaligus menanggapi kebutuhan lain: menentukan secara definitif—juga dibantu banyaknya penelitian mutakhir—versi yang paling dapat diandalkan dari teks yang menjadi fokus Marx dalam sebagian besar kerja intelektualnya. Niat awal Sang Revolusioner Jerman itu, saat menyusun naskah persiapan pertama karya tersebut (Grundrisse tahun 1857–58), adalah membagi karyanya ke dalam enam jilid. Tiga jilid pertama akan membahas kapital, kepemilikan tanah, dan upah buruh; jilid-jilid berikutnya membahas negara, perdagangan luar negeri, dan pasar dunia.

Kesadaran Marx yang semakin kuat selama bertahun-tahun, bahwa rencana yang begitu luas itu tak mungkin terlaksana, memaksanya untuk mengembangkan proyek yang lebih praktis. Ia berpikir untuk menghilangkan tiga jilid terakhir dan mengintegrasikan beberapa bagian yang membahas kepemilikan tanah dan upah buruh ke dalam buku tentang kapital. Buku yang terakhir terbit tersusun dalam tiga bagian: Jilid I membahas Proses Produksi Kapital, Jilid II membahas Proses Sirkulasi Kapital, dan Jilid III membahas Proses Keseluruhan Produksi Kapitalis. Selain itu, ditambahkan pula Volume IV—yang membahas sejarah teori tersebut—yang, bagaimanapun, tidak pernah dimulai dan sering kali keliru disamakan dengan teori nilai lebih.


Lima Draf Volume I

Sebagaimana diketahui, Marx sebenarnya hanya menyelesaikan Jilid I Kapital. Jilid II dan III baru terbit setelah kematiannya; keduanya terbit masing-masing pada 1885 dan 1894, berkat upaya penyuntingan besar-besaran oleh Friedrich Engels.

Para intelektual dengan telaten berulang kali mempertanyakan keterandalan kedua jilid ini, yang disusun berdasarkan naskah-naskah belum rampung dan berserakan yang ditulis dalam rentang waktu bertahun-tahun, mengandung banyak masalah teoretis yang belum terpecahkan pula. Namun, hanya sedikit yang mengabdikan diri pada pertanyaan lain yang tidak kalah pelik: apakah pada kenyataannya ada versi final dari Jilid I?

Perselisihan ini kembali menjadi pusat perhatian para penerjemah dan penerbit, dan dalam beberapa tahun terakhir banyak edisi baru yang cukup penting dari Kapital. Di tahun 2024 ini saja, beberapa di antaranya terbit di Brasil, Italia, dan Amerika Serikat, di mana Princeton University Press menerbitkan terjemahan bahasa Inggris baru pertama dalam lima puluh tahun (dan keempat secara keseluruhan) berkat Paul Reitter dan editor Paul North.

Diterbitkan pada tahun 1867, setelah lebih dari dua dekade penelitian persiapan, Marx tidak sepenuhnya puas dengan struktur volume tersebut. Ia lantas membaginya menjadi hanya enam bab yang sangat panjang. Yang terpenting pula: ia tidak senang dengan caranya sendiri menguraikan teori nilai, yang memaksanya membuat dua bagian bahasan: satu di bab pertama, yang lain di lampiran yang ditulisnya tergesa-gesa, setelah naskah diserahkan. Penulisan Volume I ini dengan demikian menguras tenaga Marx bahkan setelah dicetak.

Dalam persiapan untuk edisi kedua, yang dijual secara bertahap antara tahun 1872 dan 1873, Marx menulis ulang bagian penting tentang teori nilai, menyisipkan beberapa tambahan mengenai perbedaan antara modal konstan dan variabel, nilai lebih, serta penggunaan mesin dan teknologi. Ia juga merombak seluruh susunan buku, membaginya menjadi tujuh bagian, yang terdiri dari 25 bab, yang pada gilirannya dibagi dengan hati-hati menjadi beberapa bagian.

Marx mengikuti dengan saksama proses penerjemahan Kapital ke bahasa Rusia (1872) dan mencurahkan lebih banyak perhatian untuk versi bahasa Prancisnya, yang muncul—juga secara bertahap—antara tahun 1872 dan 1875. Ia harus menghabiskan lebih banyak waktu dari yang diharapkan untuk memeriksa terjemahan tersebut. Tak puas dengan teks penerjemah yang terlalu harfiah, Marx menulis ulang seluruh halaman untuk membuat bagian-bagian yang sarat dengan eksposisi dialektis lebih mudah dicerna oleh pembaca berbahasa Prancis, sekalian untuk membuat apa yang ia anggap perlu diubah.

Perubahan-perubahan tersebut sebagian besar menyangkut bagian akhir, yang dikhususkan untuk “Proses Akumulasi Kapital”. Ia juga membagi teks tersebut menjadi lebih banyak bab. Dalam catatan tambahan untuk edisi bahasa Prancis, Marx menulis bahwa versi bahasa Prancis memiliki “nilai ilmiah yang independen dari aslinya” dan mencatat bahwa versi tersebut “juga harus dirujuk oleh pembaca yang akrab dengan bahasa Jerman.”

Tidak mengherankan, ketika edisi bahasa Inggris diusulkan pada tahun 1877, Marx menunjukkan bahwa penerjemah “harus membandingkan edisi Jerman kedua dengan edisi Prancis,” karena dalam edisi terakhir ini ia telah “menambahkan sesuatu yang baru dan … menggambarkan banyak hal dengan lebih baik.” Oleh karena itu, edisi yang satu ini bukan sekadar perubahan gaya. Perubahan yang ia tambahkan pada berbagai edisi juga merangkum hasil studinya yang sedang berlangsung dan perkembangan pemikiran kritis yang terus berkembang.

Marx meninjau kembali versi Prancis, menyoroti pro dan kontranya, lagi-lagi pada tahun berikutnya. Ia menulis kepada penerjemah Rusia dari Kapital, Nikolai Danielson, bahwa teks Prancis memuat “banyak variasi dan tambahan penting,” tetapi mengakui bahwa ia “juga dipaksa, khususnya pada bab pertama, untuk ‘meratakan’ penjelasan.” Karena itu, ia merasa perlu mengklarifikasi bahwa bab-bab tentang “Komoditas dan Uang” dan “Transformasi Uang Menjadi Kapital” harus “diterjemahkan secara eksklusif mengikuti teks Jerman.” Bagaimanapun, dapat dikatakan bahwa versi Prancis merupakan lebih dari sekadar terjemahan.

Marx dan Engels memiliki ide yang berbeda mengenai masalah ini. Marx sebagai penulis merasa senang dengan versi baru tersebut, menganggapnya, dalam banyak hal, sebagai perbaikan dari versi sebelumnya. Namun Engels, meskipun memuji beberapa perbaikan teoretis yang dilakukan, skeptis terhadap gaya sastra yang dipaksakan oleh bahasa Prancis. Ia menulis bahwa “Saya akan menganggapnya sebagai kesalahan besar untuk menjadikan versi ini sebagai dasar terjemahan bahasa Inggris.” Jadi, ketika diminta menyiapkan edisi Jerman ketiga (1883) dari Jilid I Kapital—tak lama setelah kematian teman baiknya itu, Engels mengubah “hanya hal-hal yang paling penting.”

Kata pengantar Engels untuk versi itu memberi tahu para pembaca bahwa Marx bermaksud untuk “mengerjakan ulang teks tersebut secara besar-besaran,” tetapi kesehatannya yang buruk telah mencegahnya untuk melakukannya. Engels memanfaatkan salinan bahasa Jerman, yang telah dikoreksi di beberapa tempat oleh penulisnya, serta salinan terjemahan bahasa Prancis yang di dalamnya Marx telah menunjukkan perubahan yang perlu. Engels berhati-hati dalam campur tangannya, melaporkan bahwa “dalam edisi ketiga ini tidak ada kata yang berubah yang saya tidak tahu dengan pasti, bahwa penulisnya sendiri akan mengubahnya.” Akan tetapi, ia tidak menyertakan semua perubahan yang ditunjukkan oleh Marx.

Terjemahan bahasa Inggris (1887), yang diawasi penuh oleh Engels, didasarkan pada edisi Jerman ketiga. Ia menegaskan bahwa teks ini, seperti edisi Jerman kedua, lebih unggul daripada terjemahan Prancis—paling tidak karena struktur babnya. Ia mengklarifikasi dalam kata pengantar teks bahasa Inggris bahwa edisi Prancis telah digunakan terutama untuk menguji “seberapa besar penulis sendiri siap berkorban, di mana pun dalam penerjemahan harus dikorbankan sesuatu dari makna penuh aslinya.”

Dua tahun sebelumnya, dalam artikel How Not to Translate Marx, Engels dengan tajam mengkritik terjemahan John Broadhouse yang suram dari beberapa halaman Kapital. Kata dia, “Bahasa Jerman yang kuat membutuhkan bahasa Inggris yang kuat untuk menerjemahkannya; istilah-istilah Jerman yang baru diciptakan membutuhkan penciptaan istilah-istilah baru yang sesuai dalam bahasa Inggris.”

Edisi Jerman keempat terbit pada tahun 1890; edisi kali ini menjadi edisi terakhir yang disiapkan Engels. Dengan lebih banyak waktu luang, ia berhasil memadukan beberapa koreksi yang dibuat Marx ke versi Prancis, sambil mengecualikan beberapa koreksi lainnya. Engels menyatakan dalam kata pengantarnya, “Saya telah membandingkan lagi edisi Prancis dengan catatan-catatan dalam tulisan tangan Marx sendiri dan memasukkan beberapa tambahan lain dari edisi tersebut ke dalam teks Jerman.” Ia sangat puas dengan hasil akhirnya, dan hanya edisi populer yang disiapkan Karl Kautsky pada tahun 1914 yang mengalami perbaikan lebih lanjut.

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.


Mencari Versi Final

Edisi Jilid I Kapital suntingan Engels tahun 1890 itu menjadi versi kanonik yang menjadi sumber terjemahan terbanyak di seluruh dunia. Hingga saat ini, Jilid I telah terbit dalam 66 bahasa, dan dalam 59 proyek ini Jilid II dan Jilid III juga telah diterjemahkan. Kecuali Manifesto Komunis, yang ditulis bersama Engels dan kemungkinan dicetak lebih dari 500 juta eksemplar, serta Buku Merah Kecil karya Mao Zedong, yang sirkulasinya bahkan lebih besar—tidak ada karya klasik politik, filsafat, atau ekonomi lain yang sirkulasinya sebanding dengan Jilid I Kapital.

Namun, perdebatan tentang versi terbaik tidak pernah berakhir. Manakah dari kelima edisi ini yang menyajikan struktur terbaik? Versi mana yang mencakup perolehan teoretis Marx selanjutnya? Meskipun Volume I tidak menyajikan kesulitan editorial Volume II dan III, yang mencakup ratusan perubahan yang dilakukan oleh Engels, hal itu juga cukup merepotkan.

Beberapa penerjemah memutuskan untuk mengandalkan versi 1872–73, yakni edisi Jerman terakhir yang direvisi oleh Marx. Versi Jerman tahun 2017 suntingan Thomas Kuczynski, dengan klaim kesetiaan yang lebih besar pada maksud Marx sendiri, baru-baru ini mengusulkan varian yang mencakup perubahan tambahan yang disiapkan untuk terjemahan Prancis tetapi diabaikan oleh Engels. Pilihan pertama memiliki keterbatasan karena mengabaikan bagian-bagian versi Prancis yang lebih unggul daripada versi Jerman, sedangkan pilihan kedua menghasilkan teks yang membingungkan dan sulit dibaca. Masih lebih baik edisi yang menyertakan lampiran dengan varian yang dibuat Engels untuk setiap versi dan juga beberapa manuskrip persiapan penting Marx, yang sejauh ini hanya diterbitkan dalam bahasa Jerman dan beberapa bahasa lainnya.

Akan tetapi, tidak ada versi definitif dari Volume I. Perbandingan sistematis revisi yang dibuat oleh Marx dan Engels masih bergantung pada penelitian lebih lanjut oleh murid-murid mereka yang telaten. Marx memang kerap disebut kuno dan lawan-lawan pemikiran politiknya gemar membahas “kekalahannya”. Namun, sekali lagi, generasi pembaca, aktivis, dan intelektual baru mulai mengkritik kapitalisme. Di masa-masa sulit seperti sekarang, inilah pertanda baik bagi masa depan.


Marcello Musto adalah Profesor Sosiologi di Universitas York, Kanada. Tulisan ini berasal dari artikelnya di Jacobin, Why Karl Marx Kept Reworking Capital, Volume I, dan diterjemahkan dengan persetujuannya oleh Ismail Al-‘Alam untuk tujuan pendidikan.

]]>
Manuver Elite Partai Buruh dan Kebutuhan Membangun Partai Progresif https://indoprogress.com/2024/09/manuver-elite-partai-buruh/ Sat, 21 Sep 2024 08:39:37 +0000 https://indoprogress.com/?p=238429

Ilustrasi: Sriwijaya Media


PADA tanggal 18 September 2024, Partai Buruh (PB) memperingati tiga tahun kelahirannya. Acara dengan tajuk 3 Tahun Kebangkitan Kelas Buruh yang diselenggarakan di Istora Senayan menghadirkan anggota serikat-serikat buruh yang tergabung dalam PB. Tidak hanya buruh di Pulau Jawa, anggota PB dari Sumatera, Sulawesi, Kalimantan, hingga Papua turut hadir. Bahkan, ada anggota PB dari Riau yang naik motor ke Jakarta untuk menghadiri peringatan kelahiran PB.

Kemeriahan acara PB ternodai oleh keputusan mengundang Prabowo Subianto. Prabowo diberi panggung untuk memberikan pidato kebangsaan. Namun, Prabowo tidak hadir dalam acara tersebut dan hanya mengirimkan video ucapan selamat.

Dalam video berdurasi 6 menit itu, Prabowo sama sekali tidak menyinggung masalah perburuhan, termasuk UU Cipta Kerja maupun upah. Padahal, pimpinan PB mengundang Prabowo di acara partai untuk meminta keberpihakan Prabowo terhadap buruh. Mereka berharap adanya revisi UU Cipta Kerja dan kenaikan upah yang signifikan. Namun, harapan tersebut sia-sia belaka. Di sinilah pimpinan PB tidak pernah belajar dari sejarah. Sudah berkali-kali gerakan buruh dikhianati oleh Prabowo, tetapi tidak kapok merangkulnya. Pada tahun 2019, KSPI mendukung Prabowo sebagai calon presiden, namun partainya mendukung UU Cipta Kerja dan politik upah murah. Bahkan, Prabowo sendiri turut mendukung UU Cipta Kerja karena dianggap mampu memenuhi kepentingan masyarakat.


Cawe-Cawe Elite Partai Buruh

Kelakuan elite Partai Buruh yang jauh dari cita-cita kelas pekerja sudah sedari dulu dipertontonkan. Kita masih ingat Presiden Said Iqbal bertemu dan ‘sungkem’ dengan salah satu calon presiden, Ganjar Pranowo, setelah aksi May Day 2023. Lalu, pada aksi mendukung putusan MK tanggal 22 Agustus 2024, PB memberikan panggung kepada salah satu anggota DPR RI dari Partai Gerindra, Habiburokhman. Massa aksi sedang marah dan muak kepada DPR, tetapi PB justru mengajak anggota dewan untuk memberikan orasi (Ada dugaan salah satu pimpinan Partai Buruh melobi Habiburokhman untuk memberikan pernyataan di depan peserta aksi). Tak pelak lagi, mobil komando PB menjadi sasaran kemarahan massa yang melempar botol minuman ke arah pemimpin aksi.

Tidak berhenti di situ, dalam momen Pilkada saat ini, PB mengusung Calon Kepala Daerah yang diidentikan dengan politik dinasti, yakni Airin sebagai calon Gubernur Banten. Padahal, Said Iqbal sendiri pernah menyatakan bahwa dia tidak setuju dengan kekuasaan yang dibangun atas dasar dinasti.

Sikap ‘cawe-cawe’ elite PB semakin kelihatan terang-benderang ketika terjadi konflik internal di Kamar Dagang dan Industri (KADIN) Indonesia. Said Iqbal hadir dalam konferensi pers mendukung kepemimpinan Arsjad Rasjid. Dalam konferensi pers tersebut, Said Iqbal tidak mengakui kepemimpinan KADIN hasil Munaslub. Meskipun tidak mengatasnamakan Partai Buruh—Said Iqbal hadir sebagai Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI)—kehadiran Said Iqbal menimbulkan pertanyaan. Pasalnya, konflik di organisasi pengusaha tidak ada hubungannya secara langsung dengan kepentingan buruh. Justru, pengusaha yang ada di KADIN mempunyai kepentingan berbeda dengan buruh.

Kekecewaan publik akibat ulah segelintir elite PB semakin besar saat mengundang Prabowo di acara ‘3 Tahun Kebangkitan Klas Buruh.’ Bukan lagi kecewa, tetapi publik semakin geram dan marah. Media sosial PB dipenuhi dengan komentar negatif, hingga kemarahan. Kekecewaan datang tidak hanya dari luar, tetapi juga dari anggota PB.

Padahal, PB sebenarnya telah mendapatkan momentum untuk menjadi partai alternatif yang bisa dipercaya rakyat saat memenangkan gugatan UU Pilkada terkait ambang batas pencalonan kepala daerah. PB dianggap punya peran besar dalam gerakan #Peringatandarurat, di mana muncul protes besar dari rakyat. Tren positif PB sudah sangat bagus dan popularitasnya semakin tinggi. Apalagi pada saat PB mengusung Anies Baswedan sebagai Calon Kepala Daerah, banyak warga Jakarta yang bersimpati terhadap Partai Buruh.

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.


Anggota Berhak dan Harus Kritis

Keputusan Partai Buruh mengundang Prabowo di acara ‘3 Tahun Kebangkitan Klas Buruh’ mendapatkan respons yang beragam. Tidak sedikit yang merasa kecewa, kesal, dan marah. Kekecewaan banyak diluapkan melalui komentar di akun media sosial PB. Banyak yang menyayangkan sikap PB yang mengundang Prabowo. Prabowo (dan juga Partai Gerindra) dianggap bagian dari rezim yang berkuasa, dan turut andil dalam meloloskan UU Omnibus Law Cipta Kerja. 

Salah satu unsur PB yang melakukan kritik terbuka adalah Komite Politik Nasional Partai Buruh (Kompolnas PB). Dalam pandangan dan pernyataan sikapnya, Kompolnas PB secara eksplisit menolak hadir di acara PB tersebut.

Kompolnas PB memandang bahwa Prabowo sama saja dengan oligarki lainnya, yang tidak pernah berpihak pada kepentingan buruh dan rakyat. Bahkan, Prabowo dan partainya bertanggung jawab atas pengesahan UU Omnibus Law Cipta Kerja. Mengutip pernyataan Kompolnas PB sendiri:

Dari rekam jejak selama ini tidak ada satupun statemen dari Prabowo yg berpihak kepada kelas pekerja, bahkan dia dan partainya adalah pendukung UU Cipta Kerja yg paling ditentang oleh Partai Buruh. Prabowo juga politisi yg paling sering mengeluarkan retorika nasionalisme dan kemandirian ekonomi. Pada akhirnya Prabowo hanya akan melanjutkan kebijakan ekonomi Jokowi yg pro-pasar yang semakin memiskinkan rakyat. Dan yg perlu diingat bahwa Prabowo adalah salah satu elit kapitalis terkaya di Indonesia yang menguasai konsesi lahan sangat luas di Kalimantan.

Menggantungkan harapan pada Prabowo adalah sebuah kekeliruan dan semakin menjauhkan Partai dari cita-cita dan idealismenya. Pasca pemilu ini adalah sebuah ujian bagi partai buruh. Tantangan terbesar yang dihadapi Partai Buruh saat ini adalah bagaimana mempertahankan kemandirian politik kelas dan memperluas basis dukungan.

Anggota Partai Buruh yang merasa kecewa terhadap sikap segelintir pimpinan perlu menjaga daya kritisnya. Elite PB yang sering bermanuver dan merugikan kepentingan kelas pekerja perlu dikontrol supaya PB tidak terjerembab di jalur kepentingan oligarki. Anggota PB tidak perlu takut berbeda dengan sikap elite yang ada di PB karena prinsip utama yang dipegang adalah membangun partai yang mementingkan perjuangan kelas pekerja. Apalagi, PB dibangun di atas fondasi demokrasi, di mana anggota punya hak, peran, dan tanggung jawab yang sama.


Gerakan Rakyat Membangun Partai Politik Alternatif-Progresif

Sikap Partai Buruh yang mendukung pemerintahan Prabowo-Gibran menyebabkan kekosongan kekuatan oposisi politik. Secara politis, rakyat tidak mempunyai pilihan partai politik yang bisa menjadi saluran aspirasi mereka untuk beroposisi. Kekosongan tersebut harus diisi dengan pembangunan partai politik yang akan menjadi alat perjuangan terhadap rezim yang baru.

Partai politik yang akan dibangun harus dipersiapkan untuk bertarung dalam politik elektoral. Susah dan rumitnya sistem kepartaian serta pemilu Indonesia membuat waktu yang diperlukan untuk mempersiapkan diri mengikuti pemilu menjadi panjang. Jika ingin mengikuti Pemilu 2029, gerakan rakyat harus segera mulai (di tahun 2024 ini) membangun partai politiknya sendiri untuk memenuhi syarat administrasi sebagai partai politik peserta pemilu. Belum lagi, mengikuti pemilu membutuhkan biaya yang sangat besar, sehingga gerakan rakyat harus memikirkan besarnya biaya politik. Di sisi lain, UU Partai Politik dan Pemilu harus direvisi untuk mempermudah rakyat terlibat dalam konstestasi politik elektoral. Revisi UU Partai Politik dan UU Pemilu harus terus digaungkan di setiap aksi sebagai tuntutan demokratisasi. Isu ini mungkin bisa digunakan sebagai kelanjutan aksi #Peringatandarurat.

Selain bertarung dalam politik elektoral, partai alternatif-progresif diperlukan untuk memimpin gerakan massa; mengambil peran pelopor dalam protes-protes dan demonstrasi rakyat; hadir di setiap aksi dan pemogokan buruh; terlibat dalam perjuangan petani dan warga yang digusur dan dirampas tanahnya, serta memberikan solusi terhadap persoalan-persoalan rakyat ke depannya.

Organisasi buruh, seperti KASBI, FPBI, KSN, dan organisasi lainnya yang ada di aliansi GEBRAK ataupun organisasi lain di luar GEBRAK, seperti PHI, KPRI, Komite Politik (organisasi yang dibangun Eko Prasetyo dkk.), bisa menjadi inisiator pembangunan partai alternatif-progresif. Organisasi buruh, petani, nelayan, perempuan, kaum muda, masyarakat adat, dan NGO, sudah saatnya serius dan sungguh-sungguh. Tidak hanya jargon dan slogan!

Konferensi Gerakan Rakyat (KGR) yang pernah diselenggarakan di tahun 2018 merupakan modal untuk kembali mengonsolidasikan gerakan yang mulai ramai belakangan ini. Hari Sumpah Pemuda bisa saja dijadikan momentum bagi gerakan rakyat untuk mendeklarasikan oposisi dan seruan bersama membangun partai politik alternatif-progresif. Ketidaksukaan dan kritik terhadap Partai Buruh perlu dimanifestasikan dalam bentuk yang lebih berkualitas, yaitu membangun partai politik alternatif-progresif. Tidak hanya bullying dan cemooh di media sosial, atau menggerutu dalam hati.


Akbar Rewako adalah anggota Komite Politik Nasional, Partai Buruh

]]>
Darurat Pembangkangan Sipil https://indoprogress.com/2024/09/darurat-pembangkangan-sipil/ Thu, 19 Sep 2024 05:06:43 +0000 https://indoprogress.com/?p=238418

Ilustrasi: Ilustruth


MARTIN Luther King, Jr. pernah memperingatkan bahwa “tragedi terbesar bukanlah penindasan dan kekejaman oleh orang jahat, tetapi diamnya orang-orang baik terhadap kejahatan tersebut.”

Aksi Peringatan Darurat yang dilancarkan berbagai elemen pelajar (siswa dan mahasiswa), buruh, dan aktivis di depan Gedung DPR RI dan MK, dan di berbagai titik di Nusantara mengirimkan pesan kuat bahwa rakyat tidak bodoh dan berpangku tangan di hadapan tirani atas konstitusi. Aksi yang menolak rencana parlemen dalam merevisi UU Pilkada itu berguna dalam membendung ambisi jagoan dari Istana untuk berkuasa melalui tiket pencalonan pilkada. DPR akhirnya urung menggelar sidang paripurna yang sedianya membahas agenda legislasi pilkada.

Namun, selain tindak kekerasan terhadap demonstran selama aksi, perlu pula diantisipasi langkah-langkah apa lagi yang sedang disiapkan di parlemen dan di KPU untuk membobol demokrasi yang substantif. Sudah muncul pula kekhawatiran bahwa aksi ini akan mengulang kegagalan gerakan Reformasi Dikorupsi 2019 dan justru ditunggangi oleh kepentingan kelompok oligarki yang bersaing (baca: PDIP, Anies, dan Prabowo).

Tulisan ini tidak berpretensi mengaburkan cara lain dalam melihat Peringatan Darurat dan rentetan peristiwa politik saat ini. Alih-alih ia lebih tepat dianggap sebagai upaya untuk menjelaskan kedudukan aksi Peringatan Darurat dan prospeknya dalam mengawal demokrasi ke depan dalam rangka menjawab dua kekhawatiran di atas.  


Memori Pembangkangan

Pembangkangan sipil dirumuskan oleh Henry David Thoreau dalam Civil Disobedience (1849) untuk mengonsepsi penolakan terhadap penguasa yang memaksa orang untuk melanggengkan ketidakadilan yang bertentangan dengan panggilan hati nuraninya. Pembangkangan jenis ini kemudian diasosiasikan dengan perlawanan kuat tanpa senjata. Pembangkangan sipil semakin populer ketika digunakan oleh Mahatma Gandhi awal abad lalu dan Nelson Mandela setengah abad kemudian untuk melawan diskriminasi di negara masing-masing.

Di Indonesia, pembangkangan sipil merupakan konstruksi baru—ya, baru pada masanya—untuk melawan kekuatan imperialis atas penjajahan di Nusantara yang muncul sejak awal abad ke-20. Max Lane dalam Unfinished Nation: Indonesia Before and After Suharto (2008) mengemukakan tentang kemunculan pergerakan sebagai bentuk pembangkangan sipil yang menandai perubahan drastis dalam metode perlawanan terhadap penguasa kolonial Belanda.

Pergerakan mengatasi kegagalan tiga abad perang melawan kolonial yang dikobarkan oleh para raja dan pemimpin agama untuk merengkuh kemerdekaan dengan cara baru: dalam bentuk pengorgansiasian. Buruh dan petani aktif mengorganisir diri melalui pamflet perlawanan, pertemuan, demonstrasi, boikot, dan sebagainya. Pergerakan kemudian mewariskan formula aksi, mobilisasi massa, dan revolusi sebagai metode pembangkangan melawan kekuasaan.

Memang selalu ada tiran yang coba merepresi kekuatan pergerakan untuk memutus memori pembangkangan sipil, misalnya konsep politik Nasakom dan cap kontrarevolusi bagi yang menentangnya di masa Orde Lama atau hegemoni, kooptasi, hingga pemberian cap musuh pembangunan di masa Orde Baru. Belum lagi keberadaan militer dalam ranah politik dan perekonomian telah melancarkan pemberangusan gerakan kiri, penyingkiran aktivis, hingga sekuritisasi ruang sipil. Untunglah, memori kolektif tentang aksi massa bisa ditransmisikan antargenerasi melalui berbagai cara sehingga selalu saja muncul massa melawan bila kondisi memaksa.

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.


Urgensi Aksi

Dalam konteks demokratisasi hari ini, peringatan Martin Luther King, Jr. akan diamnya orang-orang yang jumlahnya besar semakin relevan. Kelompok mahasiswa-pelajar, buruh, dan aktivis yang menggelar aksi Peringatan Darurat memberi jawaban di tengah dominasi kepentingan oligarki yang predatoris. Konstitusi ditegakkan di jalan guna menekan kekuasaan agar menghentikan upayanya dalam menganulir keputusan MK yang bersifat final dan mengikat.

Peringatan Darurat ini menjadi penting karena, pertama, kedaruratan soal hidup-matinya konstitusi. Taruhan begitu besar bila revisi UU Pilkada menyalahi prosedur perundang-undangan dan menabrak konstitusi. Itu akan menjadi preseden paling buruk untuk membalikkan segala nilai dan merusak segala norma. Titik nadir peradaban sebuah negara terjadi saat konstitusinya sudah diinjak-injak dan disimpangkan oleh kekuasaan.

Kedua, menghentikan momentum kemenangan oligarkis. “Truk-truk tronton” telah dikemudikan sopir yang dikemudikan para parpol dan aparatus negara secara ugal-ugalan untuk membawa kepentingan oligarkis ke alam kemenangan demi kemenangan pemilu. Aksi massa sudah muak dengan ambisi elektoral yang tak terkendali, ambisi mana telah memuluskan Prabowo-Gibran menjadi presiden-wakil presiden (terpilih). Mereka marah melihat bagaimana elite hanya sibuk mengutak-atik negara dan konstitusi, dan menempatkan rakyat sekadar jadi penonton.

Ketiga, menciptakan optimisme. Aksi Peringatan Darurat menyentuh kita untuk berenung bahwa kita tidak ingin menyelesaikan sampah yang sama berulang-ulang. Bersolidaritas dan ikut dalam aksi telah membangung kesadaran dan kepercayaan diri untuk terus bergerak. Tidak sedikit pekerja kantoran yang turun ke jalan dari berbagai pusat bisnis, termasuk mereka yang menggemakan di media sosial masing-masing untuk mengajak publik turut mendukung.

Selain memahami hal-hal di atas, momentum yang tercipta dari aksi Peringatan Darurat menjadi ruang berpikir bagi semua elemen gerakan. Dibutuhkan refleksi tentang kerawanan dan potensi aksi dalam rangka mungkin-tidaknya sebuah perubahan yang lebih mendasar.  


Belum Selesai

Peringatan Darurat benar telah memberi hentakan kepada penguasa lalim. Namun, apakah saatnya berbangga? Jawabannya: belum; mengapresiasi boleh, merayakan masih jauh. Aksi Peringatan Darurat belum dapat dimaknai sebagai kemenangan. Hasil saat ini barulah mengganggu skenario dari kepentingan oligarkis yang sedang buying time untuk tidak memaksakan kehendak sesuka hati, namun kini mulai berhitung lebih cermat untuk mempertimbangkan kekuatan ekstraparlemen.

Sudah terlihat upaya kekuasaan untuk memastikan pembangkangan sipil tidak berlanjut dengan berbagai cara. Parlemen mengurungkan pembahasan UU Pilkada dalam rapat paripurna demi menurunkan suhu politik dan radikalisasi massa. Begitu pula aparat melakukan represi aksi-aksi di Semarang, Makassar, dan Bandung, misalnya, hingga penangkapan dan pengenaan hukuman kepada para demonstran. Sementara itu, deal-deal politik terus berlanjut di atas ataupun di bawah meja hingga pilkada berlangsung.

Peringatan Darurat tidak boleh lengah dan berakhir prematur karena kehilangan isu dan termakan agendanya sendiri. Dalam jangka pendek, selain menuntaskan kedaruratan konstitusi saat ini, gerakan harus pula mengonversi kemarahan publik menjadi suara dalam pilkada. Keberhasilannya diukur dari kemampuan pemilih dalam menghukum politisi busuk (dan partai-partai pengusung) untuk tidak menjadi kepala daerah.

Dalam jangka menengah, bukti-bukti yang dikumpulkan dari pengangkangan konstitusi, represi, dan kecurangan selama proses pemilu sejak pilpres dan pileg sebelumnya hingga pilkada nanti harus menjadi argumen untuk menuntut perbaikan yang mendasar bagi pelaksanaan demokrasi di Indonesia. Pengawalan pilkada jangan lagi sekadar menjaga proses dari kecurangan an sich seperti umum dilakukan oleh berbagai pemantauan pemilu yang semakin massif dan canggih, namun tetap tidak bisa membendung kekuatan otoritarian untuk berkuasa. Pemantauan tersebut perlu diletakkan dalam kerangka agenda politik yang lebih strategis, antara lain dengan orientasi untuk mengubah sistem kepemiluan dan politik yang ada.

Dalam jangka panjang, pembangkangan sipil harus ditransformasi ke dalam struktur politik formal sembari mengagendakan perubahan sistem yang radikal. Pahitnya pengalaman aksi Reformasi Dikorupsi sejak 2019 yang tidak satu pun tuntutannya dikabulkan banyak dipengaruhi oleh masih lemahnya daya tawar dari gerakan sosial. Ini menjadi ajakan untuk memikirkan dan mewujudkan kendaraan politik bagi kekuatan publik dalam berkonflik dengan penguasa.

Masing-masing tahapan di atas butuh strategi dan perangkat sendiri-sendiri. Apa pun itu, prasyaratnya berupa gerakan ekstra parlemen harus terbuka pada persilangan dengan partai-partai baru yang punya ideologi dan platform perjuangan politik yang sejalan. Sebaliknya, Partai Buruh dan Partai Hijau, yang sudah memiliki kendaraan dan agenda politik yang jelas harus mampu memanfaatkan momen ini untuk memfasilitasi—jika bukan memimpin—kekuatan pro-demokrasi demi agenda transformasi yang revolusioner.***


Ilham B. Saenong adalah Manager Yayasan Humanis untuk Kebebasan Sipil di Era Digital.

]]>
Apakah Geopolitik Selalu Militeris dan Nasionalis? Krisis Imperialisme dan Politik Internasional Kelas Pekerja https://indoprogress.com/2024/08/apakah-geopolitik-selalu-militeris-dan-nasionalis/ Sun, 25 Aug 2024 09:20:20 +0000 https://indoprogress.com/?p=238371

Ilustrasi: Ilustruth


KAWAN-KAWAN sebangsa, setanah air, dan seideologi.

Sebelum memulai risalah ini, bolehlah saya mengutip inspirator utama gerakan kita, Karl Marx, mengenai tema ini, yaitu geopolitik dan politik internasional.

Perluasan besar-besaran dan tak terhalang dari kekuatan barbar itu [Imperialisme Tsar Rusia], yang kepalanya berada di St. Petersburg, dan tangannya ada di setiap kabinet Eropa, telah mengajarkan kelas pekerja akan tugasnya untuk menguasai misteri politik internasional; untuk mengawasi tindakan diplomatik dari pemerintah mereka masing-masing; untuk melawan mereka, jika perlu, dengan segala cara yang mereka miliki; ketika tidak mampu mencegah, untuk bergabung dalam kecaman serentak, dan untuk mengedepankan hukum sederhana atau moral dan keadilan, yang seharusnya mengatur hubungan individu pribadi, sebagai aturan utama dari hubungan antar bangsa. Perjuangan untuk kebijakan luar negeri seperti itu merupakan bagian dari perjuangan umum untuk emansipasi kelas pekerja. Proletar dari semua negeri, bersatulah!1Dlm. MECW 20, h. 13.

Agar supaya penjarahan menjadi mungkin, harus ada sesuatu untuk dijarah, yaitu hasil produksi. Dan modus penjarahan (mode of pillage) itu sendiri pada gilirannya ditentukan oleh modus produksi. Bangsa para broker saham, misalnya, tidak akan bisa dijarah dengan cara yang sama yang dipakai untuk menjarah bangsa penggembala sapi.2Dlm. “Introduction (Notebook M) (1857),” Grundrisse (Penguin, 1973), h.98.

Tiga hal yang saya mau saya soroti dengan bertolak dari nukilan di atas: pertama, imperialisme sebagai sumber misteri politik internasional; kedua, hubungan intim antara sistem persenjataan (sebagai alat manuver geopolitik) sebagai modus penjarahan dan dinamika di lini modus produksi; ketiga, politik internasional sebagai bagian perjuangan kelas pekerja. Tujuan utama risalah ini tentu di poin ketiga, namun untuk bisa sampai di sana, kita membutuhkan pemahaman dan informasi terkini mengenai poin pertama dan kedua. Namun demikian, sebelum bisa tenang membahas imperialisme, politik internasional, dan geopolitik kelas pekerja, ada satu masalah sekaligus penghalang utama yang harus dibereskan.

Masalah itu tak lain tak bukan adalah yang tertulis di judul tulisan ini: apakah geopolitik selalu militeris dan nasionalis? Pertanyaan ini merujuk pada anggapan paling mudarat, paling simplistis, paling buta sejarah, paling acuh sains, paling kontraproduktif, paling kontrarevolusioner bahkan, belum lagi machois nan borjuis, mengenai geopolitik dan politik internasional secara umum: yaitu wataknya yang selalu militeristik dan nasionalistik. Sebagai yang belajar secara formal ilmu hubungan internasional, setiap kali mendengar atau terlibat dalam perbincangan—termasuk dengan yang seideologi, bahkan—yang menyebut kata ‘geopolitik’ dan ‘politik internasional’, perbincangan selalu langsung bergeser ke nuansa perang militer, konflik bersenjata, dan diplomasi antar negara. Refleksi kritis akan anggapan ini, menurut saya, adalah langkah wajib dan utama untuk bisa mendapatkan relevansi watak dan asal-usul kelas (pekerja!) dari keduanya.

Untuk memantik refleksi ini, mari kita simak beberapa data “geopolitis” kontemporer. Sembari saya meracau, silakan pegang pertanyaan ini di benak Anda: “Apa geopolitisnya dari data dan informasi ini?” 


Eskalasi Geopolitik 2023-2024

Para pengamat dan pengepul data konflik bersenjata sepakat bahwa setahun terakhir ini, tengah 2023 sampai tengah 2024, adalah tahun terpanas untuk konflik di tataran internasional. Dua monumen penting: Perang Rusia-Ukraina, perang pertama sejak Perang Dunia Kedua yang melibatkan kekuatan besar dunia secara langsung ke dalam teater perang; perang Israel-Hamas dan genosida di Gaza, perang asimetris internasional sekaligus dengan korban terbesar pertama sejak genosida di Rwanda 1994.

Menurut pantauan ACLED (The Armed Conflict Location & Event Data Project), setidaknya rata-rata 1 dari 6 orang di dunia sedang terpapar keselamatannya oleh kekerasan bersenjata, baik secara langsung maupun terjebak di medan pertempuran. Data Global Peace Index (GPI) 2024, sekitar 110 juta orang sedang luntang-lantung karena perang (sebagai pengungsi, manusia perahu, nomad menjauhi perang, dst.). Sementara berdasar pantauan Armed Conflict Survey 2023 (rilis Desember) dari International Institute of Strategic Studies (IISS), saat ini sedang berlangsung setidaknya 183 konflik berskala kawasan di dunia. 

Selain perang di Ukraina dan Gaza, sebenarnya banyak konflik dengan skala yang tak kalah mematikannya yang tidak sampai, setidaknya, ke ruang diskusi, doa, solidaritas dan simpati warga Indonesia, termasuk kelas pekerja. Perang di Provinsi Tigray (berbatasan langsung dengan Eritrea di Utara) di Ethiopia misalnya, yang sejak 2020 sampai hari ini sudah memakan 600 ribu korban jiwa (bandingkan korban genosida Gaza di angka antara 36 ribu–40 ribu korban jiwa, dan korban Ukraina di 83 ribu, data GPI).3Perang di Tigray ini juga menjadi kasus terbaru tentang ‘perkosaan sistematis sebagai senjata perang’ (rape as a weapon of war). Perkosaan terjadi sampa skala harian, mulai anak umur 8 tahun bahkan, dan tidak jarang dilakukan di depan keluarganya.

Perang saudara di Ethiopia ini amat berpotensi menjadi perang regional di Afrika, dan bahkan mendunia. Sejak Eritrea memerdekakan diri, Ethiopia menjadi  kehilangan akses ke Laut Merah (landlocked).4Akses ke laut berarti akses ke perdagangan, yang berarti punya makna ekonomi bagi ruang/teritori maritim. Untuk ini, Etiopia menjalin kerja sama dengan Somaliland di sebelah Timur, yang memiliki akses ke laut. Masalahnya, Somaliland ini tidak diakui kedaulatannya oleh negara-negara Afrika yang lebih pro Somalia. Manuver Ethiopia ini bisa memantik perang dengan Somalia, dan akhirnya menyeret seantero Afrika dan dunia (para Eropa eks penjajah, yang masih berkepentingan tentunya). Di Afrika pun, kudeta-kudeta yang terjadi banyak ditengarai sebagai ditunggangi oleh Rusia. Seperti di Burkina Faso, Niger, Gabon, Sierra Leone, dan Mali. Perang Dingin tampaknya bukan lagi sejarah di Afrika, ia adalah kenyataan kontemporer. 

Di Timur Tengah, dunia (termasuk AS) sedang keringat dingin untuk menurunkan ketegangan Israel vs Hezbollah dan Iran. Di studi strategi, khususnya studi aliansi, ini disebut chain ganging atau kondisi saat aliansi penting berperang, mau tidak mau, suka tidak suka, kita harus ikut mendukung di belakangnya, sekalipun kita tahu perang itu tidaklah perlu. Bagi imperialisme AS, membuka garda ‘perang panas’ (baku tempur yang manifes di lapangan) satu saja sudah berat. AS sudah tombok banyak di Ukraina; kini ia harus tombok lagi di Israel kalau pecah perang dengan Hezbollah.

Ini akan menyedot banyak sumber daya ekonomi, yang harusnya bisa dipakai untuk melawan, dari perspektif AS, kebangkitan ekonomi Tiongkok. Sekadar gambaran, gara-gara perang di Ukraina dan Gaza, kerugian dunia secara perhitungan PDB adalah sebesar US$19,1 triliun, atau per orang di dunia harus urunan US$2300 (Rp34,5 juta). Penyia-nyiaan produktivitas kerja untuk perang ini lompat sebanyak 20% dari tahun lalu menurut data GPI. Itu secara ekonomi. Secara politik, pecahnya perang Israel dan Hezbollah akan menyeret Iran yang adalah adidaya regional di Timur Tengah. Dalam studi strategi, ‘perang’ (war, dan bukan skirmish) didefinisikan sebagai 1) konflik terbuka di antara para hegemon, dan 2) konflik yang berpotensi mengganti (melenyapkan) salah satu adidaya. Di atas kertas para ilmuwan strategi, mungkin tampak datar-datar saja; di dunia nyata, ‘perang’ seperti ini kalau tidak salah kita beri julukan “Perang Dunia” beserta seluruh horornya. 

Sekadar info saja, saat ini sebagian besar penduduk utara Israel dan selatan Lebanon sudah mengungsi. Artinya, kedua belah pihak sudah siap perang.

Bukan analisis geopolitik namanya kalau tidak ada peta. Maka simak peta berikut, yang saya pinjam dari Caspian Report, untuk mengilustrasikan dalam bentuk sederhana apa yang disebut para ahli strategi sebagai perimbangan serangan dan pertahanan (ODB, Offense-Defense Balance).

Gambar 1. Atas: Tiga rudal utama Hezbollah dan daya jangkaunya; Bawah: lima rudal utama Israel dan daya jangkaunya. 

Sekalipun tidak “sesempurna” Israel yang bisa menjangkau seluruh wilayah Lebanon, rudal Hezbollah bisa menjangkau setidaknya Bandara Ben Gurion di Tel Aviv dan kartu Joker Israel yang adalah pangkalan nuklir (rahasia) Dimona di selatan Tepi Barat. Memangnya berapa banyak rudal Hezbollah? Media arus utama (umumnya Barat) memperkirakan paling banter 200 ribu. Sumber Caspian Report dari Iran membocorkan: lebih dari 1 juta!

Gertakan Israel tidak salah, bahwa kalau pecah perang, IDF (TNI-nya Israel) akan “mengirimkan Lebanon kembali ke Zaman Batu.” Tapi jangan lupa, dengan infrastruktur kritis Israel dan juga modal geopolitik utamanya (nuklir) vis-a-vis Iran musnah dihujani rudal, Israel bukan apa-apa kalau harus diadu dengan Iran.5Dalam teori skala serangan-bertahan (offense-defense scaling), postur bertahan Israel akan membuatnya menang dalam jangka panjang. Namun postur menyerang Hezbollah (sejuta rudal, jika benar) akan memorak-porandakan pertahanan rudal Israel (yang konon tidak lebih dari 10 surface-to-air missiles, SAM, saja, yang itu pun tidak mampu mengintersepsi semua rudal Hamas. Dibandingkan Hezbollah, Hamas masih jauh di bawah dalam ukuran kekuatan militer). Israel baru menang setelah Hezbollah kehabisan amunisi menyerang, yang sendirinya sudah lebih dahulu meluluhlantakkan Israel Utara dan Pusat (termasuk Tel Aviv). Untuk teorinya, lih. Garfinkel & Dafoe (2019) “How does the offense-defense balance scale?,” Journal of Strategic Studies, 42:6.

Ini, mau tidak mau, membuat AS turun tangan. Kuis logika sederhana: akankah Tiongkok dan Rusia tinggal diam kalau Iran, anggota BRICS, terlibat perang dengan AS? Kutukan chain ganging akan menghantui para peserta “geopolitik” selamanya. Omong-omong, jangan lupa juga: siapa pun yang menang, kita—kelas pekerja sedunia—akan tetap kalah. 

Satu fakta yang bagi pembelajar HI, geopolitik, dan strategi sudah mafhum, namun pasti bikin emosi telinga-telinga moralis-humanis adalah: bahwa perang itu lumrah, dan bahwa ia berbahaya saat ia menjadi tidak rasional. Para penjunjung tinggi HAM akan berkata, “apa-apaan, mana ada perang rasional?!” Lagi-lagi, jika benar mau memahami “misteri politik internasional”, perlu jelas dulu, rasional di sini adalah rasional sejauh status quo sistem internasional terjaga. Awam akan mengenal kondisi ini dengan ‘damai’. Damai ini, bagi para adidaya, adalah fungsi/efek dari sistem internasional yang stabil, yang indikatornya adalah: tidak ada perubahan sebaran konstelasi adidaya berikut sistem ekonomi dunia yang menopang sirkulasi modal, buruh, komoditas, dan sumber daya. Jadi, rasional itu damai; damai itu stabil; dan bagi kita, kelas pekerja, stabil ini selalu berarti eksploitasi nilai lebih pekerja secara berkelanjutan tentunya.

Kembali ke Israel vs Hezbollah, konflik ini tidak rasional sama sekali. Lihat saja betapa susah payahnya Biden merayu-sampai-menekan Israel untuk deeskalasi. Lihat lagi ongkos ekonomi dan penyia-nyiaan surplus nilai kerja di atas. Dalam cakrawala kapitalisme, perang itu berguna sejauh ia menghabisi perlawanan manusia sebagai kelas pekerja dan/atau anti-kapitalis. Kalau ia dihabisi sebagai manusia saja (sebagai pemilik suku, bangsa, ras, dan agama saja), adalah sebuah kebodohan yang merugikan: pasalnya, bagi neoliberalisme, jiwa-jiwa ini diperlukan!—buat kapitalis: sebagai pekerja baik produktif dan reproduktif, dan juga sebagai konsumen; buat negara: sebagai rakyat yang menopang ekonomi melalui keterlibatannya sebagai entitas pasar tenaga kerja (buruh) dan entitas pasar komoditas (konsumen). Inilah yang mereka maksudkan “tidak rasional”.

Lantas apakah perang “tidak rasional” ini bisa dicegah AS? Itu yang saya pribadi juga khawatirkan. Khususnya menjelang pemilu AS September 2024 nanti. Satu hal yang bisa kita percayakan dari para kapitalis adalah bahwa mereka akan sangat rasional untuk menjaga kepentingannya, tidak terkecuali dalam bentuk imperialnya. AS di bawah Biden bisa dibilang cukup rasional (dari cakrawala fungsi imperial dalam kapitalisme tentunya). Namun di bawah Trump? Ini yang mengkhawatirkan. Dalam teori Marx,6Yang saya maksud adalah eksposisi Marx mengenai totalitas produksi dan sirkulasi di Capital, vol. 3, dan tidak hanya sirkuit produksi sebagaimana yang banyak dirujuk orang (lewat pembacaan hanya dari Capital, vol 1). Lihat juga catatan kaki no 8. bentuk terkomplit dari kapitalisme adalah dunia yang terpartisi (negara mana memproduksi apa) dan terintegrasi di dalam kesatuan sirkuit pasar dunia (world market) dengan satu mata-uang dunia (world money). Apa yang disebut imperialisme oleh Lenin, kemudian, adalah negara yang bertanggung jawab menjaga dan mengamankan (dengan cara apa pun) ini semua: partisi dan integrasi dunia ke dalam sirkuit pembagian kerja internasional (untuk mentransfer nilai kerja masing-masing), pasar dunia dan uang dunia.

Donald Trump menolak ini semua. Benar Biden sudah menunjukkan gestur ke arah sini,7Simak wacananya soal ‘decoupling’ (melepas ketergantungan) dan ‘derisking’ (mengurangi risiko) dengan memutus dan mengalihkan hubungan ekonomi, bisnis, pasokan, dst., dari negara-negara yang menolak tata-aturan internasional (rules-based order)  ke negara-negara “teman” (friend-shoring, near-shoring, dst.), yang sebenarnya hanya istilah keren untuk kembali ke proteksionisme. Itulah kenapa banyak pengamat menyebut ini sebagai ‘deglobalisasi’, ‘pasca-neoliberalisme’, atau ‘kapitalisme negara baru’. namun Trump lah yang paling tegas. Trump tidak tertarik menjaga infrastruktur ekonomi (kapitalis) dunia. Ia lebih penting menjaga perasaan subjektifnya dan kebencian sayap kanannya akan identitas “yang asing” (imigran, Tiongkok, dst.), suatu hal yang sangat tidak kapitalis. Jika Nazi adalah kutub ekstrem sosialisme nasionalis, maka Trump adalah kutub ekstrim dari kapitalisme nasionalis.8Diskusi soal ini bisa panjang, tapi di kepala saya, tema ini banyak merujuk pada diskusi Alberto Toscano di bukunya Late Fascism: Race, Capitalism, and the Politics of Crisis (Verso, 2023).

Grafik SEQ; Grafik perbandingan anggaran pertahanan AS dan semua negara (sumber: Military Balance 2024)

Perang tidak rasional akan menjadi berbahaya dan mematikan level dewa saat ia bersumbu pada kekuatan adidaya. Untuk kasus warga planet bumi di 2024: AS. Negeri Paman Sam ini, kekuatan militernya tidak tertandingi sejagat raya. Bahkan, 15 negara dengan peringkat di bawahnya saja, apabila dipadukan kekuatannya, masih tidak mampu menandingi. Tiongkok? Jangan harap; digabungkan dengan Rusia saja masih belum sampai sepertiganya. Kekuatan “mentah” ini yang sebenarnya perlu dijaga seantero jagat dari AS. Ibarat Zeno dalam anime Dragon Ball Super, AS di bawah Trump adalah entitas terkuat sejagat namun dengan mentalitas kanak-kanak. Di Dragon Ball, Son Goku dan Vegeta, dua makhluk terkuat di jagat raya, bahkan harus memanjakan Zeno. Demikian juga di dunia kita, semua harus menyenangkan dan menjaga suasana hati Trump, jangan sampai ia mengamuk dan menghancurkan dunia. Tapi masalahnya, lantas kapan akan ada revolusi proletariat jika kita harus terus menjaga mood dan suasana hati imperialis?

Data dan info di atas masih belum memasukkan titik-titik panas di Asia. Menurut pantauan Asia-Pacific Regional Security Assessment 2024 dari IISS, AS sudah melakukan sebanyak 1.113 latihan bersenjata gabungan, sementara Tiongkok hanya 130 saja dalam kurun 20 tahun terakhir. Sejauh berkaitan dengan Tiongkok, insiden bersenjata (tidak harus pecah konflik, bisa saja adu gertak) sejak setahun terakhir, 2022-2023, naik sebanyak 15 insiden atau 100% dibanding kurun 20 tahun sebelumnya 2001-2021. Presiden Taiwan baru, Lai Ching-te, memperkeruh suasana dengan pidato nasionalisnya yang anti-Tiongkok, yang tentunya memprovokasi Sang Naga dan bikin Paman Sam tambah pusing. Malaysia dan Thailand baru-baru ini menyatakan komitmen bergabung BRICS. Arab Saudi yang sepakat mulai beralih perdagangan minyak dengan Yuan. Persitegangan terbuka (walau senjata belum menyalak, masih diangkat-angkat saja) antara Tiongkok dan Filipina. Semua ini menunjukkan bahwa kawasan Asia dan Asia Tenggara tidak juga luput dalam audisi teater perang hegemonik AS-Tiongkok. 


Geopolitik Kelas Pekerja?

Kembali ke pertanyaan yang saya titipkan sebelumnya: apa geopolitiknya data dan info-info di atas? Berani taruhan mayoritas akan mengamini dugaan saya: geopolitis karena menyangkut perang militer, konflik bersenjata, dan hubungan antar negara. Tapi apa salahnya?

Tidak ada yang salah dengan pandangan nasionalis dan militeris ini. Tidak ada yang salah jika Anda masih mengedepankan identitas nasional tentunya. Pertanyaan ini sebenarnya adalah ujian soal sejauh mana internasionalisme perjuangan kelas itu tidak berhenti hanya di lagu saja. Tapi, baiklah, kita kesampingkan isu etis-personal ini.

Di tataran analitis, pandangan nasionalis-militeris ini sama sekali menghilangkan posisi kelas pekerja dan meratakan semuanya sebagai “orang Israel”, “rakyat Gaza”, “orang Cina”, “orang Amerika”, dst. Di hadapan kibaran bendera nasional, kontradiksi kelas dalam kapitalisme dipendam dalam-dalam, dan kesamaan identitas kebangsaan dijunjung tinggi-tinggi. Kemudian saat fokus kita ada pada artileri perang, maka posisi produksi (dalam artian modus produksi kapitalisme) menjadi terabaikan. Tidak ada produksi, maka tidak akan ada posisi kelas. Di dalam hubungan negara, hanya ada ‘pemerintah dan warga’, ‘sipil dan militer’. Padahal, ‘borjuis dan proletar’ adalah spesies modus produksi. Artinya tidak ada kelas pekerja dalam wacana geopolitik nasionalis dan militeris! Itulah mengapa agenda epistemik kelas pekerja dalam geopolitik adalah: mengembalikan sentralitas internasionalisme, kelas dan produksi di dalam analisis dan pembacaan situasi. 


Imperialisme sebagai Misteri Politik Internasional

Tentu kerja berat untuk menuntaskan agenda tersebut di risalah ini. Namun tiga hal yang saya sampaikan di depan, agaknya masih mungkin dibahas di tempat yang pendek ini. Pertama, imperialisme sebagai misteri politik internasional. Kontra pandangan buruk mengenai AS, sebenarnya ia menjalankan peran imperialnya dengan lumayan baik. Dari cerita saya di atas, jika pakai standar HAM liberal, sudah pasti peran AS akan sangat berstandar ganda. Namun kalau kita mau menginsyafkan sedikit impuls liberal humanis kita, dan mulai belajar menggunakan analisis marxis, peran AS itu konsisten. Ingat yang saya bilang di atas: satu hal yang bisa kita percayakan pada para kapitalis dan imperialis yaitu ia akan sungguh-sungguh dan rasional untuk menjaga keamanan sirkuit kapital. AS memasok Ukraina karena itu menjadi sarana memerangi oknum yang anti aturan internasional liberal, yang artinya adalah anti sirkuit kapital ala imperialisme Amerika (yaitu sirkuit dolar dan aturan ekonomi dari tritunggal IMF-World Bank-WTO yang dijaga oleh ‘hukum internasional’ dan PBB). AS menahan-nahan Israel, karena kalau pecah perang Israel vs Hezbollah-Iran, maka sudah pasti sirkuit kapital dunia ikut hancur. Imperialisme AS tepat dalam krisis karena ia semakin berkurang kemampuannya mendisiplinkan negara-negara yang problematik dan berisiko bagi sirkuit kapital. 

Di sini kita bisa lihat jelas bahwa politik internasional, termasuk semua tata hukum, aturan dan organisasi internasional, berikut pernak-pernik retorika perdamaian lainnya, tidak lain adalah artefak imperialis untuk menjaga supaya dunia berjalan pada sirkuit kapital yang menopang imperialisme AS, yaitu hegemoni dolar dan integrasi pasar dunia.

Jika Anda percaya Xi Jinping dan corong-corong intelektual-nasionalisnya, mungkin benar Tiongkok bangkit secara bersahabat. Tapi di politik internasional, tidak ada itu yang namanya kebangkitan damai (peaceful rise). Anda semakin kuat berarti saya semakin terpapar bahaya, karenanya saya harus makin kuat dan sebisa mungkin merintangi bahkan menjegal kebangkitan Anda. Prinsip ini dikenal semua pembelajar dan pelaku politik internasional sebagai ‘dilema keamanan’ (security dilemma). AS paham itu. Tiongkok pun paham itu. (Banyak pemikir strategi dan keamanan Tiongkok yang mengidolakan pemikir-pemikir strategi dari AS, seperti Andrew Marshal, yang disebut-sebut Yoda dari Pentagon). Tiongkok sudah tahu bahwa berapa kali pun ia bilang kebangkitannya damai, tetap saja itu tidak akan mengubah suudzon AS. Artinya, Tiongkok pun sudah paham bahwa satu-satunya cara meredakan ketegangan adalah dengan secara resmi menggantikan pucuk imperial itu sendiri: mengalahkan AS. John Mearsheimer, salah satu pemikir top AS mengenai geopolitik, yang menariknya juga sering diundang ke Beijing, menyebut ini sebagai “the tragedy of great power politics”: sekali negara menjadi negara kuat, ia akan terkutuk, mau tidak mau, untuk terus melaju menjadi yang terkuat. Menjadi kuat adalah jalan satu arah; mundur berarti musnah. 

Apakah Tiongkok imperialis? Sebelum dijawab, kita harus jelas dulu: imperialisme itu persoalan manajemen sirkuit kapitalisme dengan penundukan seantero jagat ke imperatif akumulasi modal, dan tidak ada hubungannya dengan pelanggaran HAM, brutalisme aparat, dst. Walaupun sejarahnya tidak terpisahkan, tapi sebenarnya ini dua hal berbeda. Sialnya, kapitalisme selalu butuh manajer, pelindung, kendaraan, dst., yang mana tidak lepas dari kutukan-kutukan identitas kemanusiaan: nasionalisme, rasisme, seksisme, spesiesisme, fanatisme, irasionalisme, dst. (Lihat catatan kaki No. 8). Jika jelas demikian, maka dengan asumsi ini bisa kita katakan bahwa Tiongkok beraspirasi imperial, suka atau tidak suka.

Pandangan ini sebenarnya tidak membantah temuan-temuan menarik mengenai suudzon terhadap perlakuan non-manusiawi terhadap pekerja-pekerja di Afrika, Asia Tenggara, termasuk Indonesia. Demikian pula dengan ‘jebakan hutang’, seperti di Sri Lanka dan beberapa negara Afrika. Banyak riset yang menunjukkan ini semua adalah mitos: cerita-cerita itu sebenarnya benar-benar bersumber dari keteledoran pengusaha Tiongkok yang baru pertama kali menjadi kapitalis internasional,9Sebenarnya kapitalisme yang paripurna (dalam gambaran “utopis” Marx di Capital vol. 3) itu “enak”. Benar bahwa ia didirikan secara berdarah-darah lewat kolonialisme dan akumulasi primitif. Namun setelah itu, jika tanpa intervensi negara berdaulat, sirkuit M-M’ akan berjalan baik-baik saja dan dua hal tadi hanya akan jadi masa lalu yang dimusiumkan. Pasalnya, hak asasi manusia akan terjaga. Krisis akan terjadi, benar, namun kapitalisme akan mampu mengatasi itu secara internal. Jika Anda jadi buruh, kerja yang baik maka akan ada promosi ke piramida ekstraktor surplus nilai di atas karena sistem bekerja dengan baik. Tidak ada rasisme, seksisme, umur-isme. Mereka yang di kelas bawah akan dijaga dengan baik: karena, kalau dibiarkan sakit, sedih, dan mati, tidak akan ada penghasil surplus nilai, kan? Kerja remeh diotomasi AI semua, sehingga seluruh kelas pekerja bisa masuk ke sektor yang lebih maju. Asalkan ikut dan setia pada sistem, tidak usah berpolitik bahkan, kita akan bahagia sekalipun kita tidak memiliki segala-galanya. Visi kapitalis murni ini mungkin paling dekat ada di World Economic Forum dengan klaimnya “You will own nothing and be happy.”  Inilah mengapa menjadi sosialis tidaklah cukup mengadvokasi “sistem yang bersih dan profesional”, “sains ilmiah,” “kesejahteraan pekerja”, “kesetaraan hak umat manusia”, dst. Menjadi sosialis, bahkan komunis, lebih dari sekedar ini semua. Kegagalan membaca Marx tidak dengan kritis akan rawan membuat gerakan politik kita semata-mata berlandaskan kata hati nurani dan moral “heroisme melawan ketidak-adilan”, dan ujungnya menjadi pendukung radikal visi WEF ini. Lihat blog WEF ini, https://medium.com/world-economic-forum/welcome-to-2030-i-own-nothing-have-no-privacy-and-life-has-never-been-better-ee2eed62f710. (Tulisan ini kontroversial sehingga diturunkan dari website resmi WEF, untuk kemudian dinaikkan lagi namun di situs blog yang sedikit lebih informal) atau dari keteledoran penguasa lokal. Riset lain menunjukkan banyak keterbukaan tangan dari perusahaan Tiongkok, khususnya yang BUMN, terhadap hak-hak pekerja saat itu dikomunikasikan dengan baik –artinya di sini ada rintangan bahasa.10Nian Peng, Ming Yu Cheng, peny., The Reality and Myth of BRI’s Debt Trap: Evidences from Asia and Africa (Springer, 2024); Pradumna Bickram Rana & Jason Ji Xianbai, “BRI’s ‘Debt Trap Diplomacy’: Reality or Myth?,” RSIS, 2020. Namun tetap saja, poin tekan saya mengenai imperialisme Tiongkok adalah ia harus, mau tidak mau, mengambil alih sirkuit kapital global yang kini dikuasai AS. Pengambilalihan itu—semua teori yang pernah saya pelajari soal transisi tata dunia mengatakan—mensyaratkan perang global tentunya, namun tidak harus mensyaratkan dehumanisasi pekerja. 

Di sini, mungkin, posisi kita bisa berpencar jalur: mereka yang melihat masih ada harapan bahwa Tiongkok benar-benar bersetia pada jalur sosialis, harus benar-benar mengupayakan jalur komunikasi langsung kepada PKC, misalnya. Atau mulai mewarnai diskusi di level elite pengambil keputusan di BUMN mereka, khususnya yang beroperasi di tanah air. Tapi mereka yang belum teryakinkan dengan sosialisme Tiongkok, persis dengan alasan bahwa “memanusiakan pekerja” belum tentu sosialis, maka bisa terus fokus pada seruannya anti-imperialisme. Sampai saat ini, saya masih pada posisi yang kedua ini. Yang saya pegang, sosialisme adalah upaya sadar, sistematis, dan programatik untuk pertama-tama dan terutama memperkuat posisi produktif pekerja akan sarana produksi. Pengambilalihan kuasa politik negara harus dalam rangka memindahkan kuasa kapital akan sarana produktif ke tangan kelas pekerja. Saya belum melihat data-data ke arah sini; data-data yang mampu diberikan semua pendukung ‘sosialisme Tiongkok’, bagi saya, tidak terbedakan dari data-data pendulang skor nasionalisme Tiongkok, ketimbang internasionalisme, apalagi sosialisme.

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.


Geopolitik dan Modus Produksi

Tanpa menunjukkan pendasaran analisis pada modus produksi (yang mana di dalamnya memaktubkan penjabaran relasi produksi, kekuatan produksi, analisis nilai, komoditas dst.), maka tidak akan ada secercah harapan bagi kelas pekerja. Kelas pekerja berkuasa—setidaknya potensial dan secara teoritik—hanya di ranah produksi. Hilangkan dimensi produksi dari analisis, maka analisis itu mematikan kelas pekerja sekalipun ia mendaku kiri, sosialis, pro-pekerja, mengutip Marx, dst. Tabiat intelektual biasanya akan dengan gampangnya kemudian, karena sulit mencari basis produksi persis karena secara kasat mata tidak ada perlawanan efektif dari pekerja yang terorganisir, menyerahkan agensi revolusioner sebagai penggerak sejarah kepada kelas penguasa, negara, militer, oligarki, konglomerat, dst. Saat mereka bilang “analisis kelas”, yang selalu dimaksud kelas adalah selalu kelas penguasa dan kelas borjuis, tidak pernah kelas pekerja. 

Tapi seperti apa analisis geopolitik yang meletakkan sentralitas produksi, ketimbang adu rudal antara penguasa negara atau intrik bisnis senjata antar kapitalis perang? Ada banyak cara, namun dengan info terbatas di atas, setidaknya satu yang terpenting adalah mengenai definisi dari geopolitik itu sendiri: geo adalah ruang, politik adalah pertarungan merebut/menggunakan kuasa. Dengan definisi ini maka dengan sendirinya kita bisa lihat bahwa pertarungan kuasa atas ruang tidak harus selalu militeristik, dan tidak hanya bisa dilakukan oleh negara, bukan? Benar, inilah lintasan yang dilalui tradisi-tradisi geopolitik alternatif seperti Geopolitik Kritis dan Geopolitik Feminis, yang sering kali tak lebih dari corong liberal humanis belaka. Tapi jika kita kembali ke Marx, pertanyaan keruangan yang terpenting adalah soal bagaimana ruang diperebutkan bukan demi ruang itu sendiri, melainkan demi produktivitas yang dijanjikan oleh ruang itu sendiri: yaitu nilai produktif dari teritorialitas.11Lihat tradisi Geopolitik Marxis seperti Alejandro Colas, Gonzalo Pozo-Martin, dkk.

Dengan analisis nilai guna dari ruang, misalnya, kita bisa lihat betapa ruang bernama ‘Gaza’ punya nilai-guna berbeda: bagi warga Palestina, ruang hidup; bagi Israel, ruang aman; bagi imperialisme AS, ruang sirkulasi kapital untuk menghidupi aliansinya, Israel; bagi Iran & Hezbollah, ruang solidaritas; dst. Beda posisi kelas, maka akan beda pula nilai sebuah ruang. Namun demikian, sekalipun berbeda-beda, tetap kita bisa percayakan satu pada imperialis: ruang adalah selalu ruang sirkulasi untuk menyedot nilai kerja dan mengalihkannya seturut kebutuhan sang imperialis. Kita bisa lihat kegunaan ruang-ruang teritorial ini berdasarkan partisi imperial berdasarkan kegunaannya, yang ditentukan dari corak produksi masing-masing yang mampu dihasilkannya, berdasarkan keunggulannya masing-masing. Namun demikian, di situasi krisis imperialisme AS hari ini, kegunaan imperial utama dari ruang adalah bahwa ia terintegrasi dalam sirkuit dolar dan pasar dunia ala AS

Keluar dari dunia perang-perangan global ini, pertanyaan geopolitik dalam versi ini menjadi relevan buat kelas pekerja. Jika geopolitik selalu dikaitkan dengan perang, senjata, nuklir, dan diplomasi, maka kelas pekerja menjadi variabel yang tidak relevan sama sekali. Namun apabila geopolitik diartikan secara produktif, ceritanya jadi berbeda. Geopolitik dalam artian kelas pekerja, yaitu dalam artian produksi, bisa berarti:

  • Upaya perebutan kuasa atas ruang produktif; 
  • Kuasa untuk membuat ruang menjadi produktif
  • Merebut kuasa penentu produktivitas sebuah ruang;
  • Daya dan kuasa untuk menciptakan ruang-ruang produktif baru.

Tapi apa itu ruang, apakah harus selalu teritorial ala teritori kedaulatan negara? Tentu tidak. Ruang itu selalu bersifat abstrak, walaupun ia dibatasi substrat material. Ruang waktu misalnya, bagaimana membuat waktu menjadi produktif bagi konsolidasi kekuatan produktif kelas? Ruang interaksi sosial; bagaimana membuat hubungan sosial menjadi produktif demi kekuatan daya produktif kelas? Masih banyak ruang lainnya yang juga menjadi perhatian ahli-ahli geopolitik jika kita mau siuman dari bius nasionalisme dan militerisme. Kita sudah kenal, misalnya, ruang politik, ruang elektoral, ruang serikat, ruang kerja, dst. Namun yang masih sedikit dijajaki perjuangan kelas atasnya: ruang harapan, ruang cinta kasih, ruang reproduksi, ruang kesehatan, ruang layar ponsel, dst. Dengan menghidupkan mindset kelas pekerja hidup (living labour), kita bisa bertanya: manuver keruangan apa yang dapat membuat ruang-ruang ini semua menjadi produktif, mengorganisirnya, mengonsolidasikannya sebagai kekuatan produktif kelas pekerja, yang nantinya dapati memandirikan kita dari ketergantungan kontra-produktif pada pasar tenaga kerja dan pasar komoditas? Produktivitas dari ruang adalah selalu tujuan dan target utama manuver dan perjuangan geopolitik kelas pekerja. 

Sedikit catatan untuk poin ini: lantas bagaimana dengan perjuangan reproduksi sosial? Dengan kerangka geopolitik kelas pekerja ini, jawabannya sama: ia harus mampu dijadikan basis penciptaan ruang produktif dari, bagi, dan untuk kelas pekerja. Ini bukan berarti mengomersialisasikan perhatian, perawatan, dst., melainkan menginsyafi kenyataan bahwa kerja-kerja reproduktif kita semua hari ini, sudah selalu diintegrasikan ke dalam sirkuit produktif kapitalisme, dan membuatnya menjadi kerja tak berbayar. Kapitalisme sudah sadar terlebih dahulu bahwa kerja reproduktif adalah basis dari seluruh kerja produktif. Namun demikian, perspektif geopolitik kelas pekerja ini justru ingin mengarahkan sebaliknya. Persis berangkat dari kesadaran bahwa ternyata kerja reproduktif itu adalah basis produktif, maka geopolitik kelas pekerja berupaya mengalihkan transfer nilai produktif dari kerja reproduktif ke sirkuit yang produktif bagi kelas pekerja, dan bukan bagi kapitalisme. Inilah pentingnya pemahaman integral akan kedua sayap produksi dan reproduksi di dalam kapitalisme, ketimbang mengedepankan salah satu dan menafikan lainnya. Keduanya vital bagi kapitalisme, maka keduanya perlu direbut dan dijadikan ruang pertempuran kelas. 


Politik Internasional Kelas Pekerja

Dengan melihat geopolitik dan politik internasional yang tidak lagi dalam dikte nasionalisme dan militerisme, harapannya, seruan Marx di depan untuk melihat politik internasional sebagai bagian dari perjuangan politik kelas pekerja menjadi lebih masuk akal.

Secara geopolitik, semoga saya sukses memberikan pemahaman baru, setidaknya secara abstrak-teoritik mengenai bagaimana produktivitas ruang adalah sentral dalam upaya, manuver, dan strategi perebutan ruang. Lalu bagaimana dengan politik internasional? Geopolitik adalah bagian dari politik internasional, tapi tidak lantas 100% identik. Di studi HI, kata ‘internasional’ itu bermakna banyak: KKKI, singkatnya: bisa konflik, bisa kerja sama, bisa kompetisi, dan juga integrasi. Tapi jangan lupa, itu semua selalu dalam kerangka nasional, kerangka negara-sentris: oleh aparatus negara dan/atau atas nama negara. Lantas bagaimana dengan perspektif kelas pekerja? Sayangnya studi HI masih sangat miskin perspektif ini, dan saya pun belum banyak kesempatan memikirkan pertanyaan ini. 

Namun demikian, satu refleksi yang menurut saya penting adalah bahwa politik internasional bagi kelas pekerja bisa berarti dua hal yang terikat dalam kerangka praksis. Pertama, ia bersifat analitis situasi—seperti yang kita lakukan saat ini sekarang. Namun bukan sekadar paparan berita terkini belaka, melainkan juga analisis mengenai modus produksi apa yang menghidupi sebuah negara, sebuah imperalis, atau sekelompok aliansi negara, dst. Analisis kekhususan modus produksi ini tidak cukup hanya sekadar tunjuk hidung oligarki; ia harus mampu melihat sampai ke sirkulasi empat komponen produksi—buruh, bahan baku, modal (uang dan teknologi), dan komoditas. Analisis kontemporer biasanya juga menambahkan analisis infrastruktur sirkulasi—modus produksi apa yang menghasilkan infrastruktur bagi sirkulasi tersebut (mulai dari lahan, pabrik, sistem tata-kelola, perangkat keras, piranti digital, server, satelit, dst.).

Kedua, analisis modus produksi ini kemudian dilihat jejaringnya secara internasional: perusahaan apa saja, di mana, siapa rekanannya, dst. Kemudian imperatif internasionalisme diaktifkan di sini: yaitu membangun jejaring koordinatif perjuangan kelas pekerja di sekujur sirkuit lintasan sirkulasi komponen produksi tersebut. Di sini, koordinasi internasional dan pengorganisasian internasional menjadi tidak terelakkan. Analisis Rantai Nilai Global (Global Value Chain), misalnya, harus mulai direbut dari intelektual-intelektual “progresif” yang hobi merayakan “penghisapan berantai nilai kerja buruh”, dan mendisiplinkan mereka, menugaskan mereka untuk menganalisis persis hal yang sama namun demi menunjukkan titik strategis untuk memulai pengorganisasian kelas berbasis rantai nilai global. Politik internasional kelas pekerja adalah politik yang mengorganisasikan, mengonsolidasikan dan mengoordinasikan perlawanan di basis modus produksi yang sirkuitnya terbentang melintasi batas-batas teritorial kedaulatan negara, imajiner bangsa, etnis keturunan, dan belenggu identitas-identitas kultural lainnya. 

***

Akhir kata, memensiunkan kerangka nasionalis dan militeris dari geopolitik dan politik internasional yang sudah bercokol di kepala kita memang hal sulit. Perlu mulai dilatih, sama seperti melatih untuk keluar dari kerangka tribalisme, rasisme, seksisme, spesies-isme, able-isme, dst., yang bisa jadi sudah tertanam sejak kecil. Perjuangan kelas pekerja juga sejatinya adalah perjuangan menuju pencerahan untuk menyiangi pikiran-pikiran lama yang hanya terus mereproduksi penindasan dan perpecahan kelas pekerja.

Tidak hanya itu, pemikiran negara-sentris akan selalu menggembosi kepercayaan diri pekerja untuk berani melangkah secara sepihak, mandiri, sebagai pionir, ketimbang selalu menitipkan nasib ke pemerintah, menuntut nurani penguasa, dan merengek welas asih dan kesadaran moral dari penindas. Saya selalu memegang peringatan Marx: “adalah pekerja itu sendiri, dengan keberanian, keteguhan hati dan pengorbanan dirinya, yang paling bertanggung jawab untuk merebut kemenangan. [..] Emansipasi kelas pekerja hanya bisa dilakukan oleh kelas pekerja itu sendiri.”12Marx, “The International Workingmen’s Association 1864: General Rules,” October 1864, MECW 20. Saya harap kawan sekalian juga. Salam.


Artikel ini sebelumnya disampaikan di konsolidasi nasional Komite Politik Nasional Partai Buruh (Kompolnas PB) di Jakarta, 6-7 Juli 2024.


Hizkia Yosias Polimpung adalah Juru Bicara sekaligus Bidang Ideologi dan Kaderisasi Partai Buruh; juga Editor Jurnal IndoProgress.

Catatan kaki

Catatan kaki
1 Dlm. MECW 20, h. 13.
2 Dlm. “Introduction (Notebook M) (1857),” Grundrisse (Penguin, 1973), h.98.
3 Perang di Tigray ini juga menjadi kasus terbaru tentang ‘perkosaan sistematis sebagai senjata perang’ (rape as a weapon of war). Perkosaan terjadi sampa skala harian, mulai anak umur 8 tahun bahkan, dan tidak jarang dilakukan di depan keluarganya.
4 Akses ke laut berarti akses ke perdagangan, yang berarti punya makna ekonomi bagi ruang/teritori maritim.
5 Dalam teori skala serangan-bertahan (offense-defense scaling), postur bertahan Israel akan membuatnya menang dalam jangka panjang. Namun postur menyerang Hezbollah (sejuta rudal, jika benar) akan memorak-porandakan pertahanan rudal Israel (yang konon tidak lebih dari 10 surface-to-air missiles, SAM, saja, yang itu pun tidak mampu mengintersepsi semua rudal Hamas. Dibandingkan Hezbollah, Hamas masih jauh di bawah dalam ukuran kekuatan militer). Israel baru menang setelah Hezbollah kehabisan amunisi menyerang, yang sendirinya sudah lebih dahulu meluluhlantakkan Israel Utara dan Pusat (termasuk Tel Aviv). Untuk teorinya, lih. Garfinkel & Dafoe (2019) “How does the offense-defense balance scale?,” Journal of Strategic Studies, 42:6.
6 Yang saya maksud adalah eksposisi Marx mengenai totalitas produksi dan sirkulasi di Capital, vol. 3, dan tidak hanya sirkuit produksi sebagaimana yang banyak dirujuk orang (lewat pembacaan hanya dari Capital, vol 1). Lihat juga catatan kaki no 8.
7 Simak wacananya soal ‘decoupling’ (melepas ketergantungan) dan ‘derisking’ (mengurangi risiko) dengan memutus dan mengalihkan hubungan ekonomi, bisnis, pasokan, dst., dari negara-negara yang menolak tata-aturan internasional (rules-based order)  ke negara-negara “teman” (friend-shoring, near-shoring, dst.), yang sebenarnya hanya istilah keren untuk kembali ke proteksionisme. Itulah kenapa banyak pengamat menyebut ini sebagai ‘deglobalisasi’, ‘pasca-neoliberalisme’, atau ‘kapitalisme negara baru’.
8 Diskusi soal ini bisa panjang, tapi di kepala saya, tema ini banyak merujuk pada diskusi Alberto Toscano di bukunya Late Fascism: Race, Capitalism, and the Politics of Crisis (Verso, 2023).
9 Sebenarnya kapitalisme yang paripurna (dalam gambaran “utopis” Marx di Capital vol. 3) itu “enak”. Benar bahwa ia didirikan secara berdarah-darah lewat kolonialisme dan akumulasi primitif. Namun setelah itu, jika tanpa intervensi negara berdaulat, sirkuit M-M’ akan berjalan baik-baik saja dan dua hal tadi hanya akan jadi masa lalu yang dimusiumkan. Pasalnya, hak asasi manusia akan terjaga. Krisis akan terjadi, benar, namun kapitalisme akan mampu mengatasi itu secara internal. Jika Anda jadi buruh, kerja yang baik maka akan ada promosi ke piramida ekstraktor surplus nilai di atas karena sistem bekerja dengan baik. Tidak ada rasisme, seksisme, umur-isme. Mereka yang di kelas bawah akan dijaga dengan baik: karena, kalau dibiarkan sakit, sedih, dan mati, tidak akan ada penghasil surplus nilai, kan? Kerja remeh diotomasi AI semua, sehingga seluruh kelas pekerja bisa masuk ke sektor yang lebih maju. Asalkan ikut dan setia pada sistem, tidak usah berpolitik bahkan, kita akan bahagia sekalipun kita tidak memiliki segala-galanya. Visi kapitalis murni ini mungkin paling dekat ada di World Economic Forum dengan klaimnya “You will own nothing and be happy.”  Inilah mengapa menjadi sosialis tidaklah cukup mengadvokasi “sistem yang bersih dan profesional”, “sains ilmiah,” “kesejahteraan pekerja”, “kesetaraan hak umat manusia”, dst. Menjadi sosialis, bahkan komunis, lebih dari sekedar ini semua. Kegagalan membaca Marx tidak dengan kritis akan rawan membuat gerakan politik kita semata-mata berlandaskan kata hati nurani dan moral “heroisme melawan ketidak-adilan”, dan ujungnya menjadi pendukung radikal visi WEF ini. Lihat blog WEF ini, https://medium.com/world-economic-forum/welcome-to-2030-i-own-nothing-have-no-privacy-and-life-has-never-been-better-ee2eed62f710. (Tulisan ini kontroversial sehingga diturunkan dari website resmi WEF, untuk kemudian dinaikkan lagi namun di situs blog yang sedikit lebih informal)
10 Nian Peng, Ming Yu Cheng, peny., The Reality and Myth of BRI’s Debt Trap: Evidences from Asia and Africa (Springer, 2024); Pradumna Bickram Rana & Jason Ji Xianbai, “BRI’s ‘Debt Trap Diplomacy’: Reality or Myth?,” RSIS, 2020.
11 Lihat tradisi Geopolitik Marxis seperti Alejandro Colas, Gonzalo Pozo-Martin, dkk.
12 Marx, “The International Workingmen’s Association 1864: General Rules,” October 1864, MECW 20.
]]>
Kekuasaan dan Kenabian https://indoprogress.com/2024/08/kekuasaan-dan-kenabian/ Sat, 17 Aug 2024 12:51:31 +0000 https://indoprogress.com/?p=238276

Ilustrasi: Ilustruth


KEKUASAAN bukan hanya urusan orang hidup, tetapi juga mereka yang sudah mati. Perihal ini saya pelajari dari tiga antropolog, Marc-Éric Gruénais, Florent Mbambi, dan Joseph Tonda, setelah membaca tulisan mereka tentang fenomena pemilu di Republik Kongo tahun 1992. Kala itu, rebutan kekuasaan terjadi antara tiga calon presiden: Bernard Kolélas, Pascal Lissouba, dan Denis Sassou Nguesso. Yang aneh dari pemilu itu, masing-masing calon sibuk menyematkan diri mereka dengan sosok orang mati tertentu.

Bernard Kolélas adalah calon yang dikenal religius. Selama kampanye, ia kerap menyitir ayat-ayat Bibel dan menyebut nama Yesus. Citra ini pula yang membuatnya dijuluki berbagai atribut Kekristenan: Si Musa, Mesias, Pejuang Perang Salib, Sang Martir, dan sebagainya. Namun tak cukup itu, Kolélas juga mencitrakan dirinya sebagai penjaga muruah tradisional. Inilah yang membuatnya kerap mengutip nama-nama pahlawan lokal seperti raja pertama Kongo Nzinga a Nkuwu atau pejuang lokal antikolonial dari suku Lari André Matsoua.

Berbanding terbalik dengan Kolélas, Pascal Lissouba adalah calon yang mencitrakan diri sebagai tokoh modern. Selama kampanye, ia selalu mengedepankan statusnya sebagai alumnus Universitas Sorbonne, peneliti agronomi, sampai pengamat teknologi. Pendukung fanatiknya menjulukinya: Bapak Saintifik, Profesor dari Segala Profesor, Calon Peraih Nobel, dan sebagainya. Lucunya, julukan itu sebetulnya tak tepat-tepat amat. Sebab, selama kampanye, Lissouba kerap mengumbar janji-janji politik yang di luar nalar. Ia, misalnya, ingin menyulap Kota Brazzaville menjadi Une petite Suisse africaine (Swiss Kecil dari Afrika) dengan kereta-kereta gantung dan pabrik-pabrik parfum berbahan dasar urin. Ironisnya, Lissouba tetap tak bisa sepenuhnya melepaskan diri dari sosok orang mati. Selama kampanye, ia tetap menjadi capres yang rajin safari dari gereja ke gereja. Dalam salah satu iklan kampanyenya, ia bahkan merepresentasikan dirinya mirip Yesus: turun dari langit dengan balutan cahaya ilahi.

Sementara itu, Sassou Nguesso, sang petahana, justru mencitrakan diri sebagai sosok antagonis. Alih-alih mendekati gereja, apalagi menjadi si paling empiris, Nguesso memilih menjadi penyihir. Ia memang tidak mencatut nama orang mati, tetapi menetapkan dirinya menjadi penguasa kematian itu sendiri. Sebelumnya, Nguesso memang sudah terkenal sebagai presiden otoriter. Ia tak segan menembak mati siapa pun yang mengkritiknya. Korban petrus berjatuhan. Uniknya, banyak orang percaya bahwa mereka tewas ditikam arwah-arwah pelindung Nguesso. Tak heran, ia dijuluki sebagai Penguasa Ilmu Hitam, Manusia Kebal, Penyihir dari Utara, Keburukan Absolut, dan sebagainya.

Sebetulnya apa yang terjadi di Kongo tak asing-asing amat bagi kita, orang Indonesia. Tak usah jauh-jauh, tengok saja dunia politik kita satu dekade terakhir.

Menjelang Pilpres 2014, Joko Widodo tiba-tiba mendeklarasikan diri sebagai capres di rumah Si Pitung. Pada Pemilu 2024, urusan bawa-bawa orang mati ini justru semakin kentara. Lihat saja bagaimana Anies Baswedan selalu siaran langsung di TikTok di depan lukisan Pangeran Diponegoro; Prabowo yang tiba-tiba ziarah ke makam Kyai Hasyim Asy’ari—sebelum bertemu para petinggi Tebu Ireng; atau Ganjar Pranowo yang dimitoskan pendukungnya sebagai keturunan Sunan Kalijaga.

Di tiap sudut dunia, orang-orang mati akan dibangunkan lagi dari kuburnya, demi melegitimasi kekuasaan. Yang menjadi pertanyaan, apa benang merah dari semua orang mati tersebut? Jawabnya, mereka adalah nabi. Tetapi, bukankah nabi sudah tak ada lagi sejak Muhammad wafat?


Kenabian Tak Pernah Usai

Kenyataannya, nabi-nabi masih terus lahir. Tentu mereka tidak datang dari tradisi Islam. Hanya saja, konsep kenabian bukan eksklusif milik agama Abrahamik. Di semesta ini, ada banyak budaya yang mengenal konsep serupa.

Di Senegal misalnya, masyarakat dari Orovinsi Casamance mengenal seorang nabi perempuan bernama Alinesitoué Diatta. Ia lahir dari tradisi agama lokal bernama Awasena. Aline hidup di tahun 1940-an ketika Senegal tengah dijajah rezim Vichy Prancis. Suatu hari, ia tiba-tiba terkapar dan kejang di tengah pasar. Di tengah warga yang mengerubunginya, ia seketika bangkit dan mengaku mendapat wahyu dari Emitai, Sang Tuhan. Kata Aline, Tuhan membisikinya bahwa padi yang diimpor dari Asia (oryza sativa) adalah haram. Sebaliknya, ia mewajibkan semua pengikutnya merawat padi lokal (oryza glaberima). Barang siapa tidak menaatinya, ia sedang mengkhianati jalan Awasena.

Menurut Robert M. Baum, ajaran kenabian ini bukan hanya menunjukkan perlawanan terhadap revolusi hijau yang digaungkan pemerintah kolonial, tetapi juga menyiratkan kesadaran ekologis dari tradisi ajaran Awasena. Akibat ajaran kenabiannya tersebut, penduduk Casamance mulai menentang pemerintah kolonial. Mereka berhenti menanam padi impor. Sebagai konsekuensinya, Aline lalu ditangkap karena dianggap berbahaya. Ia diasingkan di Mali dan disekap dalam sel yang sempit dan lembab, hingga gugur karena lepra. Sejak itulah, namanya terus dikenang oleh penduduk Casamance sebagai simbol perlawanan terhadap otoritas kolonial.

Namun, seperti nasib nabi-nabi lainnya, namanya juga kerap dicatut di tengah kontestasi kekuasaan. Salah satunya oleh Abdou Diouf, mantan Presiden Senegal di tahun 1980-an. Bukan hanya Abdou Diouf, nama Alinesitoué juga dicatut oleh Mouvement des forces démocratiques de la Casamance (MFDC), sebuah kelompok pemberontak yang ingin memerdekakan Casamance dari Senegal. Menurut MFDC, perlawanan Alinesitoué terhadap Prancis adalah simbol nasionalisme Casamance, bukan Senegal.

Alinesitoué Diatta hanya satu dari ribuan nabi lain yang lahir di zaman kiwari. Kita masih bisa mendaftar deretan nama lain seperti Frédéric Bruly-Bouabre, Souleymane Kanté, André Ondo-Mba, Simon Kimbangu, André Matsoua, sampai Béatrice Kimpa Vita.

Namun, mengapa mereka bisa disebut nabi? Dan mengapa pula sosok-sosok yang sudah kita sebut sebelumnya juga bisa disebut nabi, atau setidaknya, figur kenabian?

Untuk menjawab pertanyaan tersebut, kita perlu menengok kembali definisi nabi menurut Max Weber dalam Sociology of Religion. Dalam buku tersebut, Weber menjelaskan bahwa nabi adalah manusia yang berfungsi sebagai jembatan antara suara Tuhan dengan manusia. Yang menjadi pertanyaan, setiap orang tentu bisa mengaku mendapat wahyu dari Tuhan. Tetapi, mengapa sebagiannya dianggap sakit jiwa seperti Lia Eden, sedangkan sebagiannya lagi dipercaya seperti Alinesitoué Diatta?

Di sinilah Weber menjelaskan bahwa seorang nabi setidaknya harus mempunyai tiga karakter. Karakter pertama, dan yang paling umum, harus mempunyai kekuatan supranatural. Ibrahim kebal api; Musa bisa membelah lautan; dan Alinesitoué Diatta konon bisa menurunkan hujan. Ingat pula cerita Si Pitung yang punya ilmu kebal atau keris Sunan Kalijaga yang bisa menangkap petir. Namun, menurut Weber, karakter ini justru yang paling tersier. Sebab, di zaman dulu, kekuatan magis bukan hal yang istimewa-istimewa amat. Tak perlu menjadi nabi, dukun dan penyihir pun punya kekuatan adimanusia.

Karakter kedua adalah sifat karismatik. Seorang nabi biasanya mempunyai karakter individu tertentu seperti fisik yang gagah atau kecerdasan di atas rata-rata, yang memberinya legitimasi untuk memerintah banyak orang. Figur karismatik ini mudah kita bayangkan pada sosok seperti Nzinga A Nkuwu atau Kiai Hasyim Asy’ari.

Karakter ketiga dan merupakan yang paling penting adalah revolusioner. Seorang nabi hanya bisa mendapat banyak pengikut jika ia turun di zaman yang sedang hancur lebur dan menawarkan ajaran tertentu yang tak umum di masa itu. Tengok saja bagaimana Yesus menawarkan nilai cinta kasih di tengah masyarakat Romawi yang militeristik dan gila maskulinitas; atau André Matsoua dan Pangeran Diponegoro yang dengan lantang berani menentang penjajah.

Semua nama yang sudah kita sebut tadi nyaris memiliki tiga spektrum kenabian weberian. Itulah kenapa, meski secara de jure mereka tidak disebut nabi, namun secara de facto mereka adalah sosok yang dinabikan, atau dengan kata lain, figur kenabian. Seperti sudah disinggung di awal tulisan, meski hanya benar-benar hidup selama puluhan tahun, mereka masih akan berkali-kali dibangkitkan ketika kekuasaan sedang membutuhkan. Maka jangan heran, jika menjelang tahun-tahun politik, para pejabat akan rajin sowan ke makam wali atau hobi mengutip nama tokoh karismatik.

Besar kemungkinan, mereka tidak sedang meneladaninya, melainkan menyeretnya ikut kampanye.

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.


Nabi yang Menjadi Tuhan

Apa yang lebih berbahaya dari penguasa yang meminjam legitimasi kenabian? Jawabnya adalah penguasa yang telah menjadi nabi itu sendiri. Sujiwo Tejo pernah bilang bahwa pemimpin yang otoriter mematikan nyali dan pemimpin yang dinabikan mematikan nalar. Masalahnya, otoritarianisme dan kenabian adalah dua sisi mata uang: di mana penguasa dinabikan, di situ ada kesewenang-wenangan.

Saya menyadari hal ini setelah membaca tulisan Roxana Bauduin yang meneliti tokoh Jean-Cœur-de-Père dalam novel La vie et demie (1979) karya Sony Labou Tansi. Dalam novel tersebut, Jean-Cœur-de-Père adalah presiden tiran yang berlumur darah. Ia digambarkan sebagai rezim teror yang mampu melacak, menangkap, dan menghabisi siapa pun yang berani menentangnya. Namun ironisnya, ia juga tokoh yang begitu dipuja. Ia, misalnya, dijuluki le père de la nation et de son peuple (Bapak Negara dan Bangsa) dan le commandant en chef de l’amour et de la fraternité (Komandan Tertinggi Cinta dan Persaudaraan) oleh para pengagumnya.

Bauduin kemudian menyimpulkan bahwa Jean-Cœur-de-Père adalah alusi dari penguasa yang perlahan berubah menjadi nabi, lalu menjelma seperti tuhan. Mengapa seperti tuhan? Sebab di satu sisi ia adalah kekuatan yang bisa menghukum dan mengancam, namun di saat bersamaan juga bisa menjamin kehidupan yang lega. Tentu bagi yang sudi menurutinya.

Argumen Bauduin juga mengingatkan saya pada tuhan-tuhan palsu dalam novel distopia, yang selalu merepresentasikan tiga sifat ketuhanan, yaitu omnipresent (ada di mana-mana), omnipotent (kekuatan tak terbatas), serta omniscient (tahu segalanya). Kita bisa menemukan tiga karakter tersebut, misalnya, dalam tokoh Big Brother dalam novel 1984 karya George Orwell, atau barangkali tokoh Pak Lurah dalam novel Tangan Kotor di Balik Layar karya Puthut EA. Dalam novel tersebut, mereka adalah sosok yang tak pernah benar-benar muncul, tetapi seolah selalu mengawasi, mengontrol, dan mengancam Winston Smith dan Hamam—dua tokoh utama.

Ironisnya, kita tak pernah sepenuhnya tahu bagaimana kekuatan maha besar—yang sebetulnya aparatus represif dan ideologi negara—itu bekerja. Yang jelas, setiap bentuk pembangkangan terhadapnya, hanya akan membawa dua tokoh utama kita pada nasib celaka.

Jika menengok realitas ekstratekstual, kita tentu akan lebih mudah membayangkan siapa saja raja yang telah berubah menjadi nabi, lalu berevolusi menjadi tuhan. Ia tak melulu sangar seperti Denis Sassou Nguesso atau Idi Amin Dada. Beberapa justru tampak sederhana, murah senyum, dan sayang keluarga. Tapi awas, jangan sekali-kali cari masalah. Sebab, setiap kekuasaan yang telah bersetubuh dengan kenabian, hanya akan melahirkan kekerasan.

Yogyakarta, 29 Juli 2024


Daftar Pustaka

Auge, Marc. (1975). Théorie des pouvoirs et idéologie. Étude de cas en Côte-d’Ivoire. Paris: Hermann

Balandier. Georges. (1953). Messianismes et Nationalismes en Afrique Noire. Les Cahiers internationaux de sociologie, vol. 14. Paris: Les Presses universitaires de France

Bauduin, Roxana. (2015). Le prophétisme dans les romans de Sony Labou Tansi, entre magie du verbe et imposture des êtres. Prophétismes ou discours de l’entre-deux voix. Paris: Presses Sorbonne Nouvelle

Baum, Robert M. (2015). West Africa’s Women of God: Alinesitoué and the Diola Prophétic Tradition. Indiana: Indiana University Press

Diop, Boubacar Boris. (1980). Les tambours de la mémoire. Paris : Harmattan

Dongala, Emmanuel Boundzéki. (2011). Les petits garçons naissent aussi des étoiles. Monaco: Rocher

EA, Puthut. (2024). Tangan Kotor di Balik Layar. Yogyakarta: Shiramedia

Fibrianto, Didik. (2023). Prabowo Nyekar Dan Masuk kamar KH Hasyim Asy’ari di Ponpes Tebuireng jombang. Available at: https://www.beritasatu.com/bersatu-kawal-pemilu/1046002/prabowo-nyekar-dan-masuk-kamar-kh-hasyim-asyari-di-ponpes-tebuireng-jombang (Accessed: 29 July 2024)

Gruénais, M.-E., Mouanda Mbambi, F., & Tonda, J. (1995). Messies, fétiches et lutte de pouvoirs entre les « grands hommes » du Congo démocratique. Cahiers d’études Africaines, 35(137). https://doi.org/10.3406/cea.1995.2029

Harris, Marvin. (2019). Sapi, Babi, Perang, dan Tukang Sihir. Tangerang Selatan: Marjin Kiri.

Kadari, Louiza & Leroux, Pierre. (2015). Introduction. Prophétismes ou discours de l’entre-deux voix. Paris: Presses Sorbonne Nouvelle.

Maksum, Ibnu. (2023). Sederek Ganjar: Keturunan Sunan Kalijaga, Nasab Ganjar Bisa Sampai rasulullah. Available at: https://suaranasional.com/2023/05/16/sederek-ganjar-keturunan-sunan-kalijaga-nasab-ganjar-bisa-sampai-rasulullah/#google_vignette (Accessed: 29 July 2024).

Moukoko, Phillipe. (199) Dictionnaire génerale du Congo-Brazzaville. Paris: Harmattan

Orwell, George. (1949). 1984. Penguin Classics

Sufa, Ira Guslina. (2014). Makna tersirat Deklarasi Jokowi di Rumah Pitung. Tempo. Available at: https://nasional.tempo.co/read/562418/makna-tersirat-deklarasi-jokowi-di-rumah-pitung (Accessed: 29 July 2024).

Tansi, Sony Labou. (1979) La vie et demie. Paris: Seuil.

Toliver-Diallo, Wilmetta J. (2005). The Woman Who Was More than a Man : Making Aline Sitoe Diatta into a National Heroine in Senegal. Canadian Journal of African Studies Vol. 39, No. 2.

Weber, Max. (2006). Sociologie de la religion. Paris: Flammarion


Ari Bagus Panuntun adalah dosen di jurusan Sastra Prancis, Universitas Gadjah Mada, yang mengambil spesialisasi kajian sastra frankofon Afrika sub-Sahara. Novel terjemahan terakhirnya adalah Murambi, Buku tentang Tulang Belulang (2023) karya Boubacar Boris Diop, yang diterbitkan Shiramedia.

]]>
Air Makin Jauh, Tangki Makin Banyak: Privatisasi Air dan Abainya Negara di Kupang https://indoprogress.com/2024/08/air-makin-jauh-tangki-makin-banyak/ Mon, 12 Aug 2024 06:59:01 +0000 https://indoprogress.com/?p=238270

Ilustrasi: Mongabay


BILA musim kemarau tiba antara bulan Mei sampai Oktober, pemandangan lumrah yang tampak di Kota Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT) adalah berjajarnya antrean panjang mobil tangki air di pangkalan pengisian air bersih. Armada tangki itu membeli air dari pangkalan, tapi si pemilik pangkalan pun umumnya memiliki mobil tangki sendiri. Jumlah armada tangki dari tahun ke tahun makin bertambah banyak. Bisnis air menjadi salah satu lahan rebutan perputaran uang di antara orang-orang berada.


Menilik krisis air di Kota Kupang

Layanan isi ulang air dibangun dari pengeboran bawah tanah dengan kedalaman antara 30-40 meter. Ongkos pengeboran variatif, berkisar antara Rp25-30 juta, lengkap dengan instalasi jaringan perpipaan menuju reservoir. Sementara harga sekali isi ulang pada mobil tangki dengan kapasitas 4.000-5.000 liter mencapai Rp15-20 ribu. Air bersih akan dijual lagi dengan harga Rp100-200 ribu. Nominal harga per tangki tergantung dari dekat-jauhnya rumah konsumen.

Terpaksa membeli air membuat pengeluaran warga membengkak. Sebagai gambaran, rata-rata rumah tangga harus menyiapkan Rp400-600 ribu untuk kebutuhan air bersih dan sanitasi setiap bulan. Itu artinya masing-masing harus menyisihkan 6 persen dari penghasilan bulanan untuk membeli air, sebab Upah Minimum Provinsi (UMP) di tahun 2023 sebesar Rp2.123.994. Bagaimana nasib kaum miskin kota yang tidak punya penghasilan tetap?

Memberikan layanan air bersih seharusnya menjadi tanggung jawab negara, tapi di Kota Kupang, yang terjadi justru privatisasi air dengan tujuan komersial. Sumber daya vital, yang seharusnya dikelola demi kemakmuran bersama sesuai amanat Konstitusi, malah dikuasai oleh pemodal yang mengomodifikasi sumber produksi hingga mempunyai nilai jual tinggi. Selagi pemenuhan air bersih mengikuti prinsip akumulasi modal, maka setiap tahun krisis air akan terus menjadi litani penderitaan bagi warga Kota Kupang.

Musim tak dapat ditebak. Bencana mudah saja bertandang. Selagi mobil tangki rajin mendagangkan air keliling kota, pelayanan oleh perusahaan pengelola milik negara malah kian mandek tata kelolanya. Air bisa mengalir seminggu sekali, kalau sempat. Kalau tidak, pencatat laju air akan terus berputar meski tak ada air yang mengaliri pipa menuju bak penampung. 

Dengan iklim yang bercorak kemarau panjang, tingkat krisis akan meningkat pada musim kemarau. Cadangan air bawah tanah pun menjadi minim karena rendahnya intensitas hujan. Hal ini ditambah lagi dengan faktor lain seperti maraknya betonisasi kontur permukaan kota; makin sempitnya ruang terbuka hijau sebagai wilayah tangkapan air; penambahan jumlah penduduk dan kepadatan sebagai konsekuensi dari urbanisasi; dan perubahan iklim yang memicu anomali cuaca. 


Tingkat konsumsi air warga kota

Secara administratif, Kota Kupang terdiri dari 6 kecamatan dan 51 kelurahan. Jumlah penduduk di tahun 2022 mencapai 421.621 jiwa, sesuai catatan Badan Pusat Statistik NTT. Bagaimana memenuhi kebutuhan air bagi ratusan ribu jiwa ini setiap harinya? 

Demi efisiensi pelayanan, perusahan air minum milik negara membagi Kota Kupang ke dalam 8 zona penyaluran air sesuai dengan luas dan jarak antar wilayah. Perbandingan persentase kapasitas air dan pelanggan menunjukkan bahwa rata-rata air bersih yang didistribusikan oleh layanan air pelat merah pada setiap konsumen adalah kurang lebih 3654, 25 m3/tahun. Selain menggunakan layanan air negara, warga Kota Kupang memanfaatkan 13 mata air dan juga sumur bor. Dari keseluruhan jumlah sumber air, kapasitas pelayanan mencapai 296,26 liter per detik.

Semua itu belum cukup. Persentase rumah tangga di Kota Kupang yang mengalami kesulitan air bersih terutama pada musim kemarau sebesar 35,8 persen, sementara tingkat konsumsi air tertinggi mencapai 50 liter per hari. Pada umumnya, demi mendapatkan air sebanyak 5 liter, masyarakat di NTT harus menunggu hingga dua hari.

Krisis atas air pernah memuncak pada 2017: dari 51 kelurahan di Kupang, 48 di antaranya mengalami paceklik air. Pemerintah akhirnya menjalankan tugasnya dengan membagikan air sebanyak 100 tangki.

Akses penduduk NTT terhadap air tergolong fluktuatif dari tahun ke tahun. Rendahnya pemakaian air menjelaskan kurangnya akses terhadap air, tata kelola yang buruk dalam pemenuhan hak atas air, sekaligus menempatkan Provinsi Nusa Cendana pada nomor wahid perihal rendahnya pemanfaatan air bersih di Indonesia. Bahkan, dalam penelitiannya berjudul Analisis Kebutuhan Air Bersih Kota Kupang Menurut Ketersediaan Sumber Air Bersih dan Zona Pelayanan, Theodolfi dan Waangsir menemukan bahwa beberapa sumber air bersih yang ada di Kota Kupang rata-rata memiliki kandungan total Coliform dan E.coli sebesar 45/100 milliliter. Jadi, masalahnya juga tak cukup tata kelola yang buruk. Kualitas air permukaan memberi gambaran tentang angka penyakit yang diderita akibat kualitas dan tentunya sistem sanitasi yang belum terpadu.

Modal sumber daya air berbanding terbalik dengan proyeksi penambahan angka penduduk Kota Kupang yang pada 2030 nanti diperkirakan berjumlah 601.263 jiwa, dengan kebutuhan air bersihnya sebanyak 695,9 liter per detik. Kuantitas produksi air bersih sampai pada 2030 belum mampu mencukupi standar rata-rata kebutuhan. Bila Kota Kupang yang merupakan ibu kota provinsi, sentra aktivitas ekonomi, sosial, dan politik di NTT saja lemah, bagaimana dengan nasib kota/kabupaten lain yang secara akses, tata kelola, Indeks Prestasi Manusia (IPM), angka kaum terdidik, angka kelompok kaya, angka angkatan kerja, dan anggaran masih jauh di bawahnhya?

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.


Hak warga atas air

Amanat Konstitusi terutama pasal 33 menegaskan bahwa setiap sumber air dikuasai negara dan digunakan demi kepentingan rakyat. Penegasan dilanjutkan lewat peraturan turunannya, Pasal 7 Undang-Undang Sumber Daya Air, yang mengatakan: Sumber daya air tidak dapat dimiliki atau dikuasai oleh perseorangan, kelompok masyarakat, atau badan usaha. Legislasi telah mengantisipasi kemungkinan penguasaan pribadi pada sumber-sumber produksi strategis, dengan maksud mengurangi ketimpangan yang bisa saja tercipta.

Penguasaan air secara mutlak oleh negara selaras dengan prinsip Demokrasi Pancasila yang dianut Indonesia dalam menjalankan sistem pemerintahannya. Kedaulatan individu dimandatkan pada negara sebagai institusi yang mampu mengatur tendensi personal atau komunal dari kelompok tertentu untuk mengeksplorasi kekayaan sumber daya alami. Tendensi perebutan dan eksploitasi sumber produksi diantisipasi dengan format regulasi yang baku sekaligus menjadi haluan negara. 

Regulasi yang sudah progresif ini dibatalkan sendiri oleh negara dengan membuka kemungkinan eksplorasi air pada individu dan kelompok bisnis. Sejak keran investasi dibuka dengan ditopang oleh arus pasar bebas yang meredusir kedaulatan negara, aturan hanyalah menjadi teks-teks kosong, tidak mampu menjelma nyata dalam praksis hidup warganya. Sedari awal regulasi bertujuan untuk mencegah kemungkinan ketimpangan yang akan terjadi bila sumber produksi yang menyangkut hajat hidup orang banyak tidak dibagi secara adil. Nyatanya, regulasi yang tegas di atas teks, bertolak belakang dengan fakta riil di lapangan.


Menolak ketimpangan hak atas air

Realitas ketimpangan pemenuhan hak atas air di Kota Kupang terjadi akibat, pertama, pengabaian negara dalam memenuhi tugasnya; dan kedua, privatisasi air dengan tujuan komersial. Mungkin saja muncul bantahan ala libertarian yang menyatakan bahwa tanggung jawab negara hanyalah menyediakan sistem dan menjalankan pelayanan. Namun, dalam perspektif komunitarian, negara sebagai pengampu kedaulatan rakyat wajib memastikan pemenuhan hak dasariah warga, terutama pada kelompok marjinal.

Melawan ketimpangan pemenuhan hak atas air bagi warga hendaknya sudah dimulai dari discourse atau pewacanaan tentang kewajiban negara untuk menyediakan hak dasariah warga. Sebagai bentuk pengarusutamaan hak atas air, kita harus membedah proses penghisapan yang secara akumulatif terjadi di depan mata.

Sayangnya, diskursus hak atas air jarang masuk dalam pembahasan pemangku kebijakan, apalagi berbuah kebijakan publik. Kelompok masyarakat kritis yang diharapkan mampu membangun narasi tandingan hingga membuka mata penguasa masih terjebak dalam pola eksklusivitas yang diciptakan negara. Pemahaman hak atas air jadi tidak masuk dalam relung pemikiran warga. Implikasinya, krisis atas air terus langgeng. 

Rakyat bukannya tidak mampu menalar hingga mencipta laku protes menuntut hak-hak dasariah. Yang terjadi adalah negara telah menciptakan sikap penerimaan, lapang dada. Hak dasar yang seharusnya dipenuhi oleh pemerintah dimanipulasi agar dibebankan pada rakyat. Praktik pengaburan tanggung jawab telah mereduksi pemahaman warga hingga mereka legawa menerima bahwa hak atas air bukan tanggung jawab negara, melainkan beban individu. “Jangan protes, turuti saja kata penguasa!”, demikian ciri warga negara yang baik.

Ketika prinsip akumulasi dalam eksplorasi sumber daya air melahirkan kompetisi meraup laba dan menihilkan nilai-nilai keadilan substansial, dengan sendirinya gugurlah prinsip demokrasi yang memastikan hak asasi dapat terpenuhi secara distributif bagi semua warga tanpa terkecuali. Proses akumulasi atas air berlangsung dengan cara pencaplokan wilayah strategis penghasil air. Akumulasi melalui perampasan merupakan proses yang berlangsung terus-menerus sebab kontinuitas memastikan sirkulasi laba tetap lancar (Harvey, 2005).

Dalam aras kebijakan, air tidak dipahami sebagai res commune atau barang bersama, tetapi dimengerti dalam paradigma ekonomi pasar sebagai res individualis, artinya barang pribadi yang dapat dikomersialisasikan untuk mendapatkan keuntungan sebanyak mungkin. Mirisnya lagi, kapitalisasi modal terjadi dalam situasi krisis. Tidak ada pertimbangan tentang akibat penghisapan yang sedang dan akan terus terjadi dalam proses akumulasi laba dari sumber material air. 

Dengan memprakarsai wacana yang membuahkan gerakan kritis menuntut hak, konstruksi gerakan bertatap wajah dengan multiproses sebagai produksi dan ekspresi kapitalisme yang terus berlangsung (Petrus, 2015: 6). Dalam kasus Kota Kupang, wajah yang dimaksud antara lain: menjamurnya bisnis air, rezim yang mementingkan infrastruktur dibanding mengembangkan suprastruktur, banalitas kejahatan negara dengan mengabaikan hak warga melalui perampasan lahan yang marak terjadi dengan tujuan investasi.

Setelah mengenali berbagai wajah perampasan hingga melahirkan krisis berkepanjangan, semisal anak balita meninggal karena air dan sanitasi yang buruk, gerakan baru yang mengkritisi hingga melahirkan pemenuhan hak atas air di NTT jadi mendesak. Jika kita terus berpangku tangan menonton penghisapan terus langgeng tanpa turun terlibat memberi pencerahan adalah kejahatan itu sendiri, sampai kapan manusia Nusa Cendana mati terus di tengah sumber air yang melimpah tetapi jauh dari permukiman? 


Daftar Pustaka

Batubara, Bosman. 2017. Ekologi Politis Air: Akses, Eksklusi dan Inklusi. INSIST Press; Yogyakarta.

Harvey, David. 2015. Imperialism. Oxford: Oxford University Press.

Talan, John Petrus Talan. 2015. Masa Depan Tata Kelola Air, Tantangan dan Keberlanjutan. IRGSC: Kupang.

Theodolfi, Ragu dan Ferry WF Waangsir, “Analisis Kebutuhan Air Bersih Kota Kupang Menurut Ketersediaan Sumber Air Bersih dan Zona Pelayanan”, Media Kesehatan Masyarakat Indonesia, Vol. 10, N0. 2, 2014.

Waishanti, Dewa Ayu Putu. “Mengapa Krisis Air dan Sanitasi selalu Terjadi di Nusa Tenggara Timur, juga di Pulau Jawa?” The Conversation, 2023 (diakses pada 15 Agustus 2023, pukul 19.00 WITA).


Ardy Milik adalah penggiat di Global Organizing School-Fight Inequality Nusantara

]]>
Alienasi Alam dan Metabolisme Ekonomi Politik: Refleksi Saito Kohei atas Ekososialisme Marxis https://indoprogress.com/2024/05/alienasi-alam-dan-metabolisme-ekonomi-politik-refleksi-saito-kohei-atas-ekososialisme-marxis/ Wed, 22 May 2024 23:13:12 +0000 https://indoprogress.com/?p=238131

Ilustrasi: Redflag


SAITO Kohei adalah seorang profesor madya kelahiran 31 Januari 1987. Ia dianugerahi gelar guru besar dari Osaka City University. Dikenal sebagai seorang penerjemah gagasan-gagasan Marx ke dalam konteks dunia modern, Saito telah berkontribusi dalam memperkenalkan dan menginterpretasikan pemikiran Marx kepada khalayak yang lebih luas melalui tulisannya semenjak menempuh Pendidikan pada Free University of Berlin untuk gelar Master of Art dan Humboldt University of Berlin untuk gelar PhD.

Pada tahun 2018, Saito menerima penghargaan Marxisme Deutscher Memorial Prize. Penghargaan ini diberikan setiap tahun untuk mereka yang menulis secara inovatif tentang marxisme. Saito memperoleh penghargaan ini melalui bukunya yang berjudul Karl Marx’s Ecosocialism. Buku tersebut merangkum beberapa catatan Marx yang sebelumnya tidak pernah diterbitkan atau diakses secara luas.

Melalui bukunya, Saito menyajikan interpretasi baru dan inovatif tentang pemikiran Marx, khususnya pada isu-isu ekonomi modern dan lingkungan. Buku tersebut menguliti bagaimana Marx mempertimbangkan hubungan antara kapitalisme, alam, dan kritik terhadap ekonomi politik dalam konteks ekososialisme.

Selain itu, dalam buku terbitan Cambridge 2022 berjudul Marx In The Anthropocene: Towards The Idea of Degrowth Communism, Saito menyelidiki bahan-bahan baru yang diterbitkan dalam karya lengkap Marx dan menawarkan interpretasi yang tidak biasa mengenai alternatif Marx terhadap kapitalisme yang dapat secara tepat digambarkan sebagai komunisme degrowth

Konsep komunisme degrowth yang digagas oleh Saito muncul sebagai alternatif terhadap sistem kapitalis yang berfokus pada pertumbuhan ekonomi tanpa henti. Degrowth, atau pengurangan pertumbuhan ekonomi, merupakan gagasan filosofis yang mengusulkan pergeseran paradigma dari pertumbuhan ekonomi yang tak terbatas menjadi fokus pada kesejahteraan manusia, keadilan sosial, dan keseimbangan ekologis.

Dalam konteks marxisme, Saito menginterpretasikan Marx sebagai seorang komunis degrowth. Ia berpendapat bahwa Marx pada akhir hidupnya mengembangkan gagasan tentang transformasi sosial yang melibatkan pengurangan produksi dan konsumsi berlebihan, serta menghargai keterbatasan sumber daya alam. Marx mempertimbangkan bahwa kapitalisme yang berorientasi pada pertumbuhan tak terbatas akan mengarah pada eksploitasi manusia dan kerusakan lingkungan yang begitu mengerikan.

Saito mengusulkan bahwa Marx sebenarnya memiliki visi komunisme degrowth yang tentu saja berbeda dari apa yang dihasilkan oleh sosialisme yang dipraktikkan abad ke-20, yakni sistem sosialis yang muncul dan diterapkan selama masa sosialisme Soviet, sosialisme Tiongkok, sosialisme di negara-negara Eropa Timur, dan berbagai bentuk sosialisme yang ada dalam gerakan sosialis di seluruh dunia. Gerakan sosialisme abad ke-20 lebih memusatkan perhatian pada pencapaian masyarakat komune dengan cara pembatasan kebebasan individu yang bermuara pada kurangnya inovasi ekonomi. Selain itu pula, terjadi birokratisasi yang berlebihan, pembatasan pada ide dan gagasan yang tidak terpusat dan bahkan melalui imperialisme dan kolonialisme jalur darah di sana.

Sementara itu, komunisme degrowth menekankan pada konsep ekonomi politik modern yang lebih metodologis seperti pengurangan pertumbuhan ekonomi, redistribusi sumber daya, penghapusan eksploitasi manusia, dan pemulihan keseimbangan ekologis. Dalam konsep komunisme degrowth, fokus utama bukanlah pada akumulasi modal atau pertumbuhan ekonomi, tetapi pada pemenuhan kebutuhan dasar manusia, keadilan sosial, dan keseimbangan dengan alam.

Interpretasi provokatif tentang Marx harus diakui telah memberikan pemahaman baru terkait perdebatan terkini mengenai hubungan antara masyarakat dan alam serta memantik marxian dan mereka yang tertarik pada isi pikiran Marx untuk membayangkan masyarakat pasca-kapitalis tanpa mengulangi kegagalan sosialisme yang ada pada abad ke-20.


Alienasi Alam

Dalam bukunya berjudul Karl Marx’s Ecosocialism: Capitalism, Nature, and The Unfinished Critique of Political Economy, Saito menjelaskan bahwa Marx menganggap bahwa dalam masyarakat kapitalis modern, hubungan manusia dengan alam telah mengalami alienasi atau pemisahan. Ini terjadi karena kapitalisme cenderung memperlakukan alam sebagai sumber daya yang tidak terbatas yang dapat dieksploitasi untuk kepentingan ekonomi. Dalam proses produksi dan akumulasi modal, alam dianggap sebagai subordinat dari birahi pertumbuhan ekonomi yang dapat dimanipulasi dan dieksploitasi tanpa memperhatikan konsekuensi jangka panjang terhadap ekosistem.

Alienasi alam merupakan konsekuensi dari perkembangan kapitalisme modern. Dalam sistem kapitalis, alam diperlakukan sebagai sumber daya yang dapat dimiliki dan dikuasai oleh individu atau perusahaan. Alam dianggap sebagai komoditas yang dapat diperdagangkan dan dimanfaatkan untuk menghasilkan keuntungan ekonomi eksonensial. Hal ini mengarah pada pemanfaatan sumber daya alam yang tidak terbatas dan pengeksploitasian serta ekstraksi sumber daya alam yang berlebihan.

Sistem kapitalis menciptakan segerombolan manusia-komoditas yang dipekerjakan dalam kondisi mengabaikan hubungan mereka dengan alam. Pekerjaan manusia sering kali terlepas dari siklus alamiah dan terpisah dari proses reproduksi alam, sehingga manusia kehilangan rasa ketergantungan dan saling keterkaitan dengan alam. Kondisi kerja yang berulang dan mekanis dalam kapitalisme menghasilkan perasaan terasing dan kehilangan makna dalam hubungan manusia dengan lingkungan alamiah. Oleh karena itu, alienasi alam dan alienasi manusia dalam masyarakat kapitalis saling terkait dan saling memperkuat.

Meneruskan argumentasi sebelumnya, manusia diperlakukan sebagai sumber daya yang dapat dieksploitasi seperti halnya alam. Kondisi kerja yang teralienasi dan pemisahan manusia dari alam menghasilkan kehidupan yang terasing dan menjauhkan manusia dari ketergantungan dan saling keterkaitan dengan lingkungan alam.

Poin ini menekankan bahwa alienasi alam merupakan salah satu ciri penting dari modernitas yang dihasilkan oleh kapitalisme. Marx mengkritik pandangan kapitalis yang mengabaikan ketergantungan manusia terhadap alam dan mengarah pada eksploitasi yang tidak terbatas terhadap sumber daya alam. Sejujurnya, Marx berpendapat bahwa untuk mengatasi alienasi alam, diperlukan perubahan fundamental dalam struktur sosial dan ekonomi. Ini melibatkan penerapan prinsip-prinsip ekologi dalam sistem produksi dan konsumsi. Dalam konsepsi Marx, masyarakat pasca-kapitalis harus mengembangkan hubungan yang lebih harmonis dengan alam, menghormati keterbatasan sumber daya alam, dan menerapkan prinsip keberlanjutan dalam aktivitas ekonomi.


Metabolisme Ekonomi Politik

Metabolisme ekonomi politik adalah konsep Karl Marx untuk menjelaskan interaksi antara manusia, alam, dan produksi dalam suatu sistem ekonomi. Konsep ini menggambarkan bagaimana manusia menggunakan sumber daya alam dalam proses produksi dan reproduksi kehidupan sosial.

Menurut pandangan Marx, manusia adalah makhluk biologis yang bergantung pada sumber daya alam untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Metabolisme ekonomi politik mengacu pada hubungan timbal balik antara manusia dan alam dalam mengubah bahan mentah menjadi barang dan jasa yang dibutuhkan untuk kelangsungan hidup. Manusia menggunakan tenaga kerja, alat, dan bahan mentah dari alam untuk mengolah dan menghasilkan produk akhir. Marx menjelaskan bahwa metabolisme ekonomi politik mengalami distorsi atau alienasi. Dalam sistem kapitalis, sumber daya alam dianggap sebagai bahan mentah yang dapat dimanipulasi semata-mata untuk tujuan produksi dan akumulasi modal. Alam dianggap sebagai objek yang dapat dieksploitasi untuk mencapai keuntungan ekonomi.

Alienasi juga terjadi pada buruh dalam metabolisme ekonomi politik kapitalis. Dalam sistem ini, buruh diperlakukan sebagai komoditas yang dapat dibeli dan dijual di pasar tenaga kerja. Mereka menjual tenaga kerja mereka kepada pemilik modal untuk menghasilkan nilai ekonomi. Buruh sering kali harus menghadapi kondisi kerja yang ditentukan oleh pemilik modal, yang mungkin tidak selalu memprioritaskan kesejahteraan atau kebutuhan manusia.

Dalam konteks ini, Marx berpendapat bahwa kapitalisme menghasilkan ketidakseimbangan antara manusia, alam, dan produksi. Metabolisme ekonomi politik dalam kapitalisme cenderung tidak seimbang dan berujung pada eksploitasi manusia dan alam. Marx mengusulkan perubahan sosial dan ekonomi yang mendasar untuk mengatasi alienasi ini dan mengembalikan keseimbangan serta keberlanjutan dalam metabolisme ekonomi politik.


Pengakuan Teoretis atas Kritik Ekologis Marx

Berbeda dari André Gorz, James O’Connor, dan Alain Lipietz yang mengakui bahwa Marx tidak cukup menyediakan kerangka teoretis yang kuat untuk menjelaskan krisis ekologis era modern, John Bellamy Foster dan Paul Burkett justru mengimani bahwa Marx telah menyediakan kerangka teoretis metodologis yang relevan tentang ekologi dan krisis lingkungan saat ini.

Argumen mereka berpusat pada teori nilai dan reifikasi Marx sebagai landasan untuk kritik ekologis terhadap kapitalisme. Mereka menganggap bahwa teori nilai Marx memungkinkan pemahaman tentang cara kapitalisme menghasilkan eksploitasi sumber daya alam dan lingkungan secara sistematis. Konsep nilai kerja yang terkandung dalam teori nilai Marx memperlihatkan bagaimana kapitalisme mendorong produksi yang tak terbatas, mengabaikan konsekuensi ekologis jangka panjang.

Dalam teori nilai Marx, nilai dihasilkan melalui kerja manusia yang terlibat dalam produksi barang dan jasa. Menurut Marx, nilai-nilai ini berasal dari tenaga kerja yang dihabiskan untuk menciptakan suatu produk. Namun, dalam kapitalisme, keuntungan diperoleh dengan memperlebar perbedaan antara nilai yang dihasilkan oleh tenaga kerja dan nilai yang diterima oleh pekerja. Inilah yang disebut sebagai surplus nilai.

Kritik ekologis terhadap kapitalisme menggunakan teori nilai Marx dapat diinfiltrasi untuk mengungkap bagaimana sistem ini mendorong produksi yang tak terbatas dan eksploitasi sumber daya alam. Kenyataannya, kapitalisme disokong oleh hasrat untuk memaksimalkan keuntungan, yang sering kali mengarah pada penggunaan berlebihan sumber daya alam dan pencemaran lingkungan.

Dalam produksi kapitalis, tujuan utama adalah menghasilkan surplus nilai yang lebih tinggi. Hal ini mendorong penggunaan intensif sumber daya alam dengan cara yang tidak berkelanjutan, seperti deforestasi yang meluas, pengurasan air tanah, penggunaan bahan bakar fosil yang berlebihan, penggunaan obat-obatan tidak ramah lingkungan untuk aktivitas pertanian dan pencemaran air serta udara. Dalam sistem ini, harga pasar sering kali tidak mencerminkan biaya ekologis sebenarnya dari produksi dan konsumsi.

Dalam kapitalisme, hubungan antara manusia sering kali direduksi menjadi hubungan antara barang-barang yang diproduksi. Manusia dan kerja mereka dianggap sebagai faktor produksi yang dapat diperlakukan seperti objek yang dapat dimiliki dan diperdagangkan. Konsep ini disebut reifikasi Marx. Ini berbeda dari konsepsi reifikasi György Lukács yang berfokus pada alienasi manusia dalam masyarakat kapitalis secara umum, termasuk dalam hubungan sosial, budaya, dan produksi. Konsep ini lebih menyoroti bagaimana masyarakat kapitalis mengubah manusia menjadi objek yang terpisah dan teralienasi dari dunia sosial yang mereka ciptakan.

Karya Marx yang tidak dipublikasikan setelah ia wafat, menurut Saito, sarat akan relasi ekologis yang memuat dasar-dasar teoretis bagi kritik ekologis atas kapitalisme seperti alienasi, metabolisme ekonomi politik, dan reifikasi. Reifikasi Marx mengacu pada proses di mana hubungan sosial antara manusia terdistorsi menjadi hubungan antara objek-objek. Dalam konteks ekologi, John Bellamy Foster dan Paul Burkett mengaitkan reifikasi dengan pandangan kapitalisme terhadap alam sebagai objek yang dapat diolah dan dieksploitasi untuk keuntungan ekonomi, tanpa mempertimbangkan nilai intrinsiknya dan ketergantungan manusia pada ekosistem yang sehat. Keduanya menekankan pentingnya mengakui nilai intrinsik alam, memahami kompleksitas ekosistem, dan mempertimbangkan kerentanan ekosistem dalam pengambilan keputusan ekonomi dan politik. Pendekatan ini melibatkan pembangunan sistem ekonomi dan kebijakan yang berkelanjutan, yang memperhatikan ketergantungan manusia pada ekosistem yang sehat dan melindungi keberlanjutan alam jangka panjang.

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.


Refleksi Saito Kohei

Pandangan Saito Kohei tentang Towards the Idea of Degrowth Communism menggabungkan dua konsep utama, yaitu degrowth (pengurangan pertumbuhan ekonomi) dan komunisme, untuk mengembangkan perspektif alternatif terhadap model ekonomi dan sosial yang berkelanjutan serta adil.

Pertama, konsep degrowth atau pengurangan pertumbuhan ekonomi, mengkritik paradigma pertumbuhan ekonomi tak terbatas yang menjadi dasar sistem kapitalis. Saito mengusulkan bahwa pertumbuhan ekonomi yang tak terbatas dan tanpa henti tidak hanya tidak memungkinkan secara ekologis, tetapi juga tidak dapat mengatasi ketimpangan sosial dan masalah ekologis yang dihadapi dunia saat ini. Ia berpendapat bahwa pertumbuhan ekonomi yang tak terbatas hanya akan memperburuk kerusakan lingkungan dan memperdalam kesenjangan sosial.

Dalam konteks ini, degrowth mengusulkan perlunya mengubah paradigma ekonomi yang berfokus pada pertumbuhan menjadi paradigma yang berfokus pada kesejahteraan manusia dan keberlanjutan lingkungan. Ini melibatkan pengurangan konsumsi berlebihan, redistribusi kekayaan, dan penguatan masyarakat dalam mengambil keputusan yang berdampak pada kehidupan mereka.

Kedua, konsep komunisme mengacu pada sistem sosial dan ekonomi di mana sumber daya dan produksi dimiliki secara kolektif oleh seluruh masyarakat. Saito melihat komunisme sebagai alternatif yang memungkinkan untuk mencapai keadilan sosial dan keberlanjutan lingkungan. Dalam visi degrowth communism-nya, komunisme tidak hanya tentang kepemilikan yang kolektif, tetapi juga tentang redistribusi kekayaan dan sumber daya secara adil, partisipasi aktif masyarakat dalam pengambilan keputusan, dan kesadaran akan ketergantungan manusia pada lingkungan alam.

Saito secara filosofis mengeksplorasi bagaimana penggabungan konsep degrowth dan komunisme dapat membentuk dasar untuk model sosial dan ekonomi yang lebih berkelanjutan dan adil. Ia berpendapat bahwa dengan mengurangi pertumbuhan ekonomi yang tak terbatas dan mengubah paradigma ekonomi, serta dengan mengadopsi prinsip-prinsip komunisme seperti kepemilikan kolektif dan partisipasi masyarakat, kita dapat mencapai keadilan sosial, keberlanjutan lingkungan, dan kesejahteraan manusia yang lebih baik.


Referensi

Foster, J. B. (1999). Marx’s Theory of Metabolic Rift: Classical Foundations for Environmental Sociology. AJS Environment Sociology, 105(2), 366–405.

Foster, J. B. (2021). Marx, value, and nature. The Jus Semper Global Alliance, 70(3), 122–136. https://doi.org/10.14452/mr-070-03-2018-07_6

Gorz, A. (1993). Political Ecology: Expertocracy versus Self-Limitation. New Left Review, 1, 55–67.

Kohei, S. (2016). Marx’s Ecological Notebooks. Monthly Review, 25–42. https://doi.org/10.14452/MR-067-09-2016-02

Kohei, S. (2017). Karl Marx’s Ecosocialism. Monthly Review Press New York.

Kohei, S. (2022). Marx in the Anthropocene. In Cambridge University Press. https://doi.org/10.1017/9781108933544

Lukács, G. (1968). Reification and The Consciousness of The Proletariat. Merlin Press, 3–25. https://doi.org/10.4324/9781315251196-1

O’Connor, J. (1988). Capitalism Nature, Socialism A Theoretical Introduction. Capitalism Nature Socialism, 1(1), 11–38. https://doi.org/10.1080/10455758809358356

Whiteside, K. (1996). Regulation, ecology, ethics: The red-green politics of Alain Lipietz. Capitalism, Nature, Socialism, 7(3), 31–55. https://doi.org/10.1080/10455759609358693


Fajrin Hardinandar adalah dosen pada Fakultas Hukum dan Ekonomi Universitas Muhammadiyah Bima dan alumnus INDEF School of Political Economy

]]>
Memahami Dinamika Kelas Agraria dalam Konflik Pembangunan Bandara Internasional Yogyakarta https://indoprogress.com/2024/05/dinamika-kelas-agraria-di-yogyakarta/ Tue, 07 May 2024 03:38:30 +0000 https://indoprogress.com/?p=238111

Foto: Penerbit Independen


Judul Buku: Geger Gedhen di Pesisir Selatan Jawa: Pembangunan Bandara dan Dinamika Kelas Agararia di Yogyakarta

Penulis: Wida Dhelweis Yistiarani

Penerbit: Independen dan IISRE

Tahun Terbit: 2024


SELAMA INI kajian agraria di Indonesia didominasi oleh perspektif populisme yang memandang desa sebagai lokus kehidupan yang tenteram, guyub, atau gemah ripah loh jinawi. Petani yang menjadi pekerjaan mayoritas masyarakat desa akhirnya dipahami dalam kesatuan kelas yang homogen. Bukan hanya itu, produksi yang dilakukan oleh petani juga dianggap semata-mata hanya untuk menunjang kebutuhan hidup (subsisten), sekalipun gempuran pasar makin merangsek ke seluruh penjuru dunia. Dalam konteks itulah buku Geger Gedhen di Pesisir Selatan Jawa: Pembangunan Bandara dan Dinamika Kelas Agraria di Yogyakarta terbit. Buku yang ditulis oleh Wida Dhelweis Yistiarani ini berusaha mematahkan perspektif tersebut dengan menyoroti ketimpangan dan eksploitasi dalam struktur sosial perdesaan.

Melalui penelitian di Desa Geger (bukan nama sebenarnya) yang terletak di Kabupaten Kulon Progo, ia menegaskan bahwa gambaran cerah dalam kehidupan desa sungguh naif mengingat petani hidup dalam diferensiasi sosial yang akut. Diferensiasi itu tak terelakkan mengingat sebagian besar alat produksi yang ada di sana dikuasai oleh petani kapitalis atau tuan tanah. Dengan kondisi seperti ini, produksi yang dijalankan oleh petani tentu tak bercorak subsisten, melainkan demi kebutuhan pasar.

Diferensiasi itu makin dalam ketika pembangunan Yogyakarta International Airport (YIA) dilaksanakan.


Konteks Penelitian

Wida mengawali bukunya dengan menceritakan bahwa pembangunan YIA merupakan salah satu proyek infrastruktur pada masa pemerintahan Joko Widodo yang termaktub dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019. Proyek ini menghabiskan dana sebesar Rp12 trilliun, disokong oleh Angkasa Pura I dan II serta Republik Rakyat Cina (RRC) dengan keikutsertaan Indonesia dalam proyek Belt and Road Initiatives (hal 2-3).

Bandara baru dibuat dengan alasan Adisutjipto yang berada di Sleman sudah kelebihan kapasitas, apalagi itu dimiliki Angkatan Udara sehingga tak pantas dijadikan komersial. Namun sebenarnya juga ada dorongan kapitalisasi dalam pembangunan itu: memuluskan akses wisatawan ke Yogyakarta. Hal ini tampak dari pengembangan objek-objek wisata yang terintegrasi dengan jalur bandara. Dorongan kapital itu terasa jauh lebih penting walau harus menggusur setidaknya lima desa di Kulon Progo. 

Wida menjelaskan kasus tersebut melalui konsep accumulation by dispossession (ABD) yang dicetuskan oleh ahli geografi David Harvey. Konsep yang merupakan pengembangan dari akumulasi primitif Marx tersebut menjelaskan karakter kapitalisme kontemporer yang mencari ruang-ruang baru demi terhindar dari krisis. ABD menunjukkan bagaimana kapital melakukan perampasan dan privatisasi alat produksi dari produsen yang dilegitimasi oleh regulasi negara dan dieksponensi oleh kapital finansial. Dampaknya ialah tercerainya produsen dari alat produksi yang mendorong penciptaan pasar tenaga kerja dan mendesak petani kecil hidup dalam kondisi yang semakin rentan (hal 12).

Setelah melakukan eksplorasi atas pembangunan infrastruktur Indonesia, Wida kemudian memaparkan tata penguasaan tanah di Yogyakarta yang problematis sejak diberlakukannya UU Keistimewaan Yogyakarta pada 2012. UU tersebut mengakibatkan sultan sebagai gubernur dan adipati sebagai wakil gubernur memiliki hak penguasaan dan kontrol atas sebagian besar tanah di Yogyakarta. Tanah milik Kasultanan (Sultan Ground) meliputi Kota Yogyakarta, Sleman, Gunungkidul, Bantul, dan area pegunungan Kulon Progo; sementara tanah Kadipaten (Pakualam Ground) meliputi pesisir selatan Kulon Progo. Dengan pengaturan tanah yang demikian, agaknya ada kongkalikong antara penguasa lokal dengan pusat untuk memuluskan proyek YIA.

Konteks tersebut menjadi titik awal bagi Wida untuk mengisi kekosongan dalam penelitian sebelumnya yang masih menggunakan pisau analisis populis (perubahan penghidupan, konflik agraria, ekspansi geografis, dan degradasi lingkungan). Melalui empat pertanyaan ekonomi politik Bernstein yang meliputi siapa memiliki apa; siapa melakukan apa; siapa mendapatkan apa; dan apa yang mereka lakukan dari apa yang mereka dapatkan, Wida membedah kontur dinamika kelas pra-pembangunan YIA dan bagaimana transformasi konfigurasi tersebut pasca-pembangunan.


Dinamika Kelas Pra-pembangunan YIA

Konstruksi atas dinamika kelas di Desa Geger dilakukan oleh Wida dengan menggunakan konsep lokasi kelas. Lokasi kelas yang dimaksud di sini bukan hanya merujuk pada relasi produksi, melainkan juga bagaimana sejarah dan aspek sosial dari lokasi keberadaan mereka. Dengan lain kata, lokasi kelas dilihat “berdasarkan relasi rumah tangga dalam kepemilikan properti dan relasi produksi, serta bagaimana posisi mereka di dalam pasar tenaga kerja dan aktivitas non-pertanian” (hal 34).

Berpegang pada konsep tersebut, Wida melihat bahwa posisi teratas dalam struktur kelas di Desa Geger ditempati oleh kelas penguasa. Kelas ini memiliki kemampuan untuk mempekerjakan orang lain menjadi buruh di lahan pertanian mereka atau melakukan pemerasan hasil usaha petani lain melalui sistem bagi hasil. Mereka biasanya memiliki penguasaan alat produksi berupa sawah dan tegalan sebesar 0,8 ha hingga 1 ha. Kepemilikan lahan yang luas itu membuat mereka dapat menjual seluruh hasil panen untuk kemudian diinvestasikan kembali dalam wujud alat-alat produksi substansial. 

Ada empat kategori dalam kelas ini: pertama, petani kapitalis menguasai alat produksi luas sehingga memiliki kemampuan untuk mengatur dan mengelola aktivitas produksi pertanian. Mereka masih sesekali ikut menjalankan aktivitas pertanian walau hanya untuk mengisi waktu luang dan bukan untuk menambah pemasukan. Kegiatannya misalkan menyiangi rumput atau nyemprot. Dalam menjalankan aktivitas produksi pertanian, mereka mempekerjakan buruh dan bukan melalui bagi hasil. 

Kedua, petani kapitalis birokrat yang memiliki penguasaan atas tanah bengkok karena posisinya sebagai birokrat desa. Mereka memiliki kemampuan mengatur alat produksi dengan menyerahkan seluruh atau sebagian dari tanah bengkok yang akan digarap oleh warga melalui sistem bagi hasil. Dorongan untuk menarik dukungan warga dan rasa kasihan pada warga yang tidak memiliki lahan garapan menjadi alasan mengapa mereka melakukan bagi hasil. Namun, ada dari mereka yang menyisakan sebagian kecil lahan untuk digarap sendiri dan terkadang mempekerjakan buruh.

Ketiga, petani kapitalis yang memiliki dan mengelola lahan yang luas, tapi juga memiliki pekerjaan profesional yang didukung oleh jenjang pendidikan yang tinggi. Karena itu, mereka dilibatkan dalam urusan pemerintahan desa dan mendapatkan status sosial yang tinggi dalam struktur sosial desa.

Keempat, tuan tanah yang memberikan hak kontrol lahan kepada orang lain melalui sistem bagi hasil. Hak kontrol itu diberikan mengingat mereka tidak memiliki kapabilitas untuk memobilisasi tenaga kerja. Mereka hampir tak terlibat atau bahkan sama sekali tak terlibat dalam aktivitas produksi pertanian. Kendati demikian, mereka tetap mendapatkan keuntungan dari surplus yang diperoleh atas hasil kerja petani yang menggarap lahannya. Mereka hanya menyediakan lahan dan sama sekali tak urun modal pembibitan, pupuk, pengairan, dsb.

Posisi kelas selanjutnya ditempati oleh Produsen Komoditas Kecil (PKK). Mereka adalah kelas yang tidak masuk dalam pasar tenaga kerja dan mengerjakan lahan dengan luasan kurang dari 0,8 hektare yang diperoleh melalui hak milik ataupun hak kontrol. Dalam mengelola lahan pertanian, mereka mengandalkan tenaga kerja keluarga dan terkadang juga buruh. Hasil produksi mereka bisa dibilang cukup untuk membiayai produksi selanjutnya, walau tak bisa untuk melakukan akumulasi (reproduksi sederhana). Dalam hal ini, mereka menjual sedikit hasil panen dari sawah dan menjual seluruh hasil panen dari tegalan. 

Secara internal, mereka mengalami diferensiasi yang bisa dilihat dalam dua aspek: dinamika penguasaan alat produksi dan pemenuhan kebutuhan. Berdasarkan pada dinamika penguasaan alat produksi, ada PKK substansial dan PKK formal. PKK substansial adalah mereka yang memiliki lahan yang cukup luas (0,4 ha), sehingga memberinya kemampuan untuk melakukan produksi tanpa menjual tenaga kerja atau melakukan bagi hasil dengan tuan tanah. Sedangkan PKK formal adalah mereka yang tidak memiliki lahan tapi mampu mengontrol lahan dalam jumlah yang cukup luas (0,4 ha) yang diperoleh melalui sistem bagi hasil.

Dengan semua itu, mereka dapat memenuhi kebutuhan substansial tanpa menjual tenaga kerja, kendati tentu hasil produksinya lebih rendah ketimbang PKK substansial. Namun, mereka tetap berada dalam kondisi yang rentan mengingat relasinya dengan tuan tanah. Di sini mereka mengurus semua pembiayaan proses produksi (pembibitan, pemupukan, pengairan, dsb) tanpa bantuan sedikitpun dari tuan tanah. Namun, hasil produksi dari usaha mereka dinikmati secara rata dengan tuan tanah (50:50). 

Sementara berdasarkan pemenuhan kebutuhan, ada PKK klasik dan aspiring. PKK klasik adalah mereka yang sudah merasa cukup dengan kehidupan subsitensi sehingga tak ada keinginan untuk menjual tenaga kerjanya. Ini berbanding terbalik dengan PKK aspiring yang bersedia menjual tenaga kerjanya atau menambah penguasaan lahan demi mencapai kebutuhan di luar garis subsistensi seperti, membiayai kuliah anak atau membeli lahan pertanian.

Posisi selanjutnya, posisi terbawah, ditempati oleh kelas pekerja. Seperti halnya dengan PKK, kelas ini tidaklah homogen. Kelas ini terbagi menjadi tiga, yakni semi-proletar, proletar, dan fully-pledge proletar. Kelas semi-proletar adalah kelas yang masih memiliki lahan walau hanya secuil (kurang dari 0,3 ha). Penguasaan lahan yang kecil itu membuat mereka tetap menjual tenaga kerjanya sepanjang tahun. Bagaimanapun, mengelola lahan yang kecil tak akan cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Di bawahnya ada kelas proletar, yaitu kelas yang memiliki alat produksi paling kecil yang hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.    

Selanjutnya adalah kelas buruh sepenuhnya atau biasa disebut dengan fully-pledge proletar. Kelas ini tidak memiliki alat produksi sama sekali sehingga menggantungkan hidup sepenuhnya dengan menjual tenaga kerja Kendati demikian, jumlah mereka di Desa Geger jauh lebih kecil ketimbang dua kelas pekerja lainnya. 

Dengan memahami konfigurasi lokasi kelas tersebut, kita tak akan kaget melihat relasi kelas yang terbentuk dalam dunia keseharian petani di Desa Geger. Wida menjelaskan bagaimana kepentingan antara kelas penguasa dan kelas pekerja yang tak pernah bertemu serta posisi kelas pekerja yang kerap dirugikan dalam kohesi sosial. Ini bisa dilihat dari cerita tuan tanah yang menolak PKK formal dan petani kelas pekerja saat mengusulkan bagi hasil menjadi 60:40 dalam kegiatan rembuk desa. Di kegiatan yang sama pula, ada cerita petani kelas pekerja pemilik traktor yang ditolak oleh setiap kelas ketika meminta kenaikan upah. 

Namun, bukan berarti kelas pekerja hanya bergeming. Perlawanan sehari-hari hampir sudah menjadi bagian dari kehidupan kelas pekerja meski tak pernah frontal seperti membicarakan petani kapitalis secara diam-diam dan duduk berteduh atau tidur ketika petani kapitalis sedang tidak mengawasinya bekerja. 


Dinamika Kelas Pasca Pembangunan YIA

Proyek pembangunan YIA pada tahun 2018 telah menggusur 32 ha sawah, 108 ha tegalan, 22, 8 ha tanah pekarangan, 113, 6 ha tanah pasir, dan dua pedukuhan (dusun) di Desa Geger. Penggusuran ini memiliki dampak yang berbeda-beda terhadap setiap kelas petani. Di sinilah pentingnya kita melihat lokasi kelas pasca pembangunan YIA. 

Adalah petani kapitalis yang cenderung survive dan tidak terlalu terdampak oleh penggusuran itu. Luas tanah mereka memang berkurang, tetapi mereka mendapatkan uang ganti rugi besar yang kemudian digunakan untuk membangun usaha sewa kos-kosan atau kontrakan. Mereka pun tetap melanjutkan usaha tani dengan mempekerjakan buruh atau menyewakan lahan dengan sistem bagi hasil. 

Namun, variabel yang dipakai untuk mengidentifikasi petani kapitalis pasca pembangunan YIA tentu berubah. Hal ini mengingat banyak lahan sawah atau tegalan yang tergusur. Dalam hal ini, hanya perangkat desa yang memiliki lahan seluas 1 ha atau lebih yang merupakan tanah bengkok. Petani kapitalis atau tuan tanah lain yang kini lahannya kurang dari 1 hektare lebih menggantungkan pendapatan dari usaha sewa kos-kosan atau kontrakan. 

Berbeda dengan kelas penguasa, kelas PKK cenderung terdampak pembangunan YIA. Sebab, lahan yang tak cukup luas memaksa mereka untuk menerima ganti rugi yang tak besar. Karena itu, ada beberapa kasus di mana mereka justru menjadi bagian dari kelas pekerja. Ini menunjukkan ada watak ganda dari PKK: ia bisa melakukan perluasan reproduksi ketika akumulasinya berjalan lancar sekaligus bisa mengalami himpitan reproduksi ketika berada pada masa-masa sulit yang mendorongnya menjadi petani semi-proletar atau bahkan tunakisma (hal 65).

Menariknya, ada beberapa kasus di mana kelas pekerja justru berubah status menjadi PKK. Di sini uang ganti rugi yang mereka peroleh dimanfaatkan untuk menyewa lahan tegalan di desa lain dan membuka usaha non-pertanian (hal 62 dan 64). Namun, Wida tetap setia untuk melihat perubahan lokasi tersebut berdasarkan pada relasi produksi dan tanah, bukan pada gaji atau privilese sebagaimana pandangan kelas dari weberian.

Kendati demikian, tak berarti bahwa posisi kelas pekerja yang lain akan mengalami mobilitas vertikal juga. Mereka justru menjadi kelas yang paling terdampak oleh pembangunan YIA. Ini mengingat kelas pekerja tak mendapatkan ganti rugi sepeser pun karena memang tak memiliki lahan. Banyak dari mereka yang akhirnya menjadi pengangguran mengingat lahan sawah dan tegalan berkurang secara drastis. Kalaupun beruntung, mereka hanya bisa menjadi petani semi-proletar atau buruh di di luar pertanian.

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.


Tanggapan

Buku ini patut diacungi jempol karena berusaha menawarkan perspektif baru dalam kajian agraria. Di sini konflik agraria tak lagi dilihat semata-mata sebagai petani vis a vis melawan korporasi atau penguasa, melainkan bahwa konflik itu juga terjadi dalam kelompok petani yang termanifestasi pada diferensiasi kelas. Wida pun menjelaskan bahwa petani terbagi dalam kelas penguasa, kelas PKK, dan kelas pekerja dalam studinya di Desa Geger yang terkena imbas pembangunan YIA.

Namun, bukan berarti apa yang dituliskan oleh Wida tanpa kekurangan. Saya akan memberikan beberapa tanggapan.

Pertama, Wida seharusnya menjelaskan secara detail bagaimana respons dari tiap-tiap kelas petani ketika lahan mereka akan digusur untuk pembangunan YIA. Sepanjang saya membaca buku ini, penjelasan tersebut hanya muncul dalam bab penutup yang menegaskan bahwa kebanyakan petani kapitalis dan tuan tanah cenderung netral ketika ada rencana pembangunan, karena akan mendapatkan ganti rugi yang besar, sementara PKK dan kelas pekerja adalah kelompok yang paling getol melawan rencana tersebut karena sumber utama penghidupan mereka berasal dari pertanian. Pembahasan yang cukup detail mengenai hal tersebut cukup penting karena buku ini hendak menyorot dinamika kelas dalam konteks konflik agraria.

Kedua, Wida seharusnya menjelaskan perubahan lokasi kelas pasca-pembangunan bandara secara lebih kritis. Ketika menjelaskan perubahan lokasi kelas dari kelas PKK menjadi kelas pekerja dan sebaliknya, Wida tak cukup menjelaskan mengapa kedua lokasi kelas tersebut bisa berubah. Ia hanya menunjukkan kasus-kasus yang ada dan menerokanya melalui relasi produksi dan relasi tanah. 

Terakhir, Wida tak mendemonstrasikan sama sekali jumlah petani dari tiap-tiap kelas secara statistik. Absennya dimensi ini membuat ketimpangan kelas yang ingin ditunjukkan oleh Wida terasa kurang. Pembahasan ini sangat penting karena menunjukkan pembaca secara kuantitatif bahwa desa bukanlah struktur yang egaliter karena terdapat diferensiasi sosial. 

Kendati demikian, apa yang dilakukan oleh Wida patut diapresiasi karena menggulirkan bola wacana baru dalam kajian agraria di Indonesia. Dengan ini, peneliti agraria di Indonesia dapat meneruskan dan mengembangkan dari apa yang telah dilakukan Wida.


Muhammad Akbar Darojat Restu Putra adalah mahasiswa Aqidah dan Filsafat Islam, Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya

]]>
Prabowo dan Kediktatoran Kapital https://indoprogress.com/2024/05/prabowo-dan-kediktatoran-kapital/ Thu, 02 May 2024 20:52:54 +0000 https://indoprogress.com/?p=238102

Foto: Prabowo (Antaranews)


Tanggapan untuk Abdil Mughis Mudhoffir

KEMENANGAN Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming dalam Pemilu Presiden (Pilpres) 2024 telah membelah kalangan pengamat kritis dan aktivis ke dalam dua kubu. Pertama adalah mereka yang merasa khawatir bahwa kemenangan pasangan nomor dua ini adalah lonceng kematian bagi demokrasi di Indonesia. Sementara kubu kedua melihat bahwa kemenangan Prabowo, walaupun akan semakin menggerus fondasi demokrasi, tetapi tak akan sampai membonsainya.

Abdil Mughis Mudhoffir adalah contoh proponen dari kubu kedua. Menurutnya, dalam artikel yang juga tayang di Indoprogress, analisis kubu pertama terlalu personalistik. Pendekatannya sudah terbukti gagal sejak digunakan untuk menganalisis kemunculan figur Joko Widodo dalam Pilpres 2014 dan sepuluh tahun masa kekuasaannya. Bagi Mughis, Prabowo tidak mungkin mengganti demokrasi dengan sistem otoriter karena ada kendala struktural yang justru disediakan oleh sistem demokrasi itu sendiri. Kendala struktural yang menghalangi “ambisi” Prabowo, menurut Mughis, “…bukan datang dari masyarakat sipil, melainkan dari persaingan di antara para elite predator yang berupaya memusatkan kekuasaan dan kekayaan di tangan mereka sendiri.”

Dalam tulisan ini saya ingin menunjukkan bahwa melalui pendekatan analisis kelas marxis, pemerintahan Prabowo justru akan semakin otoriter ketimbang pemerintahan Jokowi. Namun, otoriterisme Prabowo-Gibran ini tidak semata-mata karena keinginan pribadi mereka, melainkan akibat tekanan struktural dari logika akumulasi kapital saat ini. Dalam pengertian ini, pemerintahan Prabowo-Gibran adalah pemerintahan yang mewakili kepentingan kelas kapitalis yang hendak terus melestarikan eksploitasi dan dominasinya terhadap kepentingan kelas pekerja dan rakyat miskin secara keseluruhan. 


Kondisi Struktural Ekonomi Indonesia

Beberapa waktu lalu, Badan Pusat Statistik (BPS) mengeluarkan laporan bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun 2023 adalah sebesar 5,05%. Angka ini lebih baik dari perkiraan pemerintah yang hanya sebesar 5%, tetapi lebih rendah dibandingkan dengan pertumbuhan tahun 2022 yang sebesar 5,31%. Angka pertumbuhan sebesar itu juga jauh lebih baik dibandingkan dengan angka pertumbuhan ekonomi Amerika Serikat yang hanya sebesar 2,5% pada 2023 dan rata-rata angka pertumbuhan di tujuh negara kapitalis maju lainnya yang hanya sebesar 1,3% pada 2023, turun dibandingkan dengan 1,4% pada 2022.

Dari data itu, kita bisa optimistis bahwa ekonomi Indonesia akan baik-baik saja ke depannya. Tetapi, seperti yang sudah disorot oleh banyak akademisi kritis, angka Produk Domestik Bruto (PDB) ini tidak selalu mencerminkan kenyataan sesungguhnya. Kalau kita lihat lebih jauh, penyumbang terbesar dari 5,3% itu adalah konsumsi rumah tangga (4,82%) dan investasi (4,40%). Konsumsi rumah tangga yang tinggi itu disebabkan oleh kenaikan upah dan bantuan sosial pemerintah. Tetapi, BPS mengatakan bahawa angka 4,82% itu sendiri sebenarnya turun dibandingkan dengan tahun sebelumnya yang mencapai 4,94%. Penurunan itu disebabkan karena pengeluaran atau belanja dari kelas menengah ke atas yang menurun.

Apa artinya ini? Menurut saya, paling tidak ada dua hal: pertama, fondasi ekonomi kita sebenarnya sangatlah rapuh karena tidak berdiri di atas topangan sektor ekonomi yang produktif berskala besar dan berteknologi tinggi; kedua, kesenjangan ekonomi yang semakin tinggi sehingga terjadi ketergantungan pada sekelompok lapisan masyarakat. Masih menurut BPS, yang menghitung ketimpangan pengeluaran penduduk Indonesia berdasarkan rasio Gini, angkanya mencapai 0,388 dari skala 0-1 poin pada Maret 2023. Angka itu meningkat 0,007 poin bila dibandingkan rasio Gini September 2022 yang sebesar 0,381. Rasio Gini Maret 2023 juga lebih tinggi 0,004 poin dibandingkan torehan Maret 2022 lalu yang sebesar 0,384 poin.

Sebagai informasi, nilai rasio Gini atau koefisien Gini diukur pada skala 0 hingga 1 poin. Rasio Gini bernilai 0 poin menunjukkan kesetaraan sempurna, yang berarti seluruh penduduk memiliki pengeluaran per kapita yang sama. Sedangkan rasio Gini bernilai 1 poin menunjukkan ketimpangan sempurna. Hal itu menggambarkan, hanya satu penduduk saja yang memiliki pengeluaran per kapita dan yang lainnya tidak sama sekali. Kita bisa mencermatinya dari grafik di bawah ini:

Tren Ketimpangan Pengeluaran/Rasio Gini Indonesia Berdasarkan Daerah, Maret 2017-Maret 2023 (Sumber: Katadata)

Grafik ini menunjukkan perbedaan tingkat kesenjangan di perkotaan dan perdesaan. Jika tingkat kesenjangan semakin tinggi di perkotaan, di perdesaan justru relatif stabil dan bahkan menurun pada 2023, di mana angkanya pada Maret 2023 adalah 0,313 poin, turun sebesar 0,001 poin dibandingkan kondisi Maret 2022 yang sebesar 0,314 poin. Tetapi lagi-lagi angka ini tidak menggambarkan hal sebenarnya, karena kita ingat bahwa penduduk perdesaan bukanlah penyumbang signifikan dari konsumsi rumah tangga. Artinya juga, bahwa mayoritas penduduk perdesaan hidup dalam kemiskinan.

Gambaran lebih rinci tentang tingkat kesenjangan ekonomi ini dilaporkan oleh World Inequality Report (WIR) pada 2022, di mana 1% penduduk terkaya di Indonesia menguasai 30,16% dari total aset rumah tangga secara nasional pada 2022. Angka ini meningkat dibandingkan pada 2001 yang sebesar 25,75%. Sementara itu, kelompok 10% terkaya di Indonesia punya 61,28% total aset rumah tangga secara nasional pada 2022, lebih tinggi dibandingkan pada 2001 yang sebesar 58,64%. Sementara, kelompok 50% terbawah di Indonesia hanya memiliki 4,5% dari total kekayaan rumah tangga nasional pada 2022. Persentase itu justru menurun dibandingkan pada 2001 yang sebesar 4,84%.

Tak hanya itu, laporan WIR 2022 juga menunjukkan adanya ketimpangan pendapatan di antara masyarakat Indonesia. Pendapatan kelompok 50% terbawah sebesar Rp25,11 juta per tahun pada 2022, sementara kelompok 10% teratas memiliki pendapatan sebesar Rp333,77 juta per tahun. Adapun kelompok 1% terkaya punya pendapatan lebih tinggi lagi mencapai US$1,2 miliar per tahun.

Distribusi Kekayaan Kelompok 1% Teratas, 10% Teratas, dan 50% Terbawah di Indonesia, 2001-2022) (Sumber: Katadata)

Dari paparan ini tampak bahwa sistem ekonomi kapitalis yang dianut oleh pemerintahan Indonesia sejak masa kediktatoran Orde Baru hingga sekarang, selain bertumbuh di atas fondasi yang keropos, juga hanya menguntungkan segelintir kecil lapisan atas masyarakat Indonesia yang kita sebut sebagai kelas kapitalis. 


Negara Kapitalis Indonesia

Dalam situasi ekonomi sedemikian, kemudian muncul pertanyaan, diskusi, dan desakan agar negara dan pemerintah yang berkuasa bisa mengoreksi dan selanjutnya mengubah struktur ekonomi yang timpang dan eksploitatif itu. Dalam masa pemilu lalu, para kandidat, juru kampanye, dan pengamat saling bertukar gagasan bagaimana seharusnya negara dikelola untuk kepentingan masyarakat luas sebesar-besarnya. Keyakinan semacam ini tampak lumrah karena dalam diskursus akademik, media massa, kalangan masyarakat sipil, maupun perbincangan publik di Indonesia, negara senantiasa dilihat sebagai sebuah entitas yang netral, sebuah institusi yang berdiri di atas kepentingan-kepentingan golongan masyarakat yang saling berkompetisi untuk mengejar dan mempertahankan kepentingannya masing-masing.

Karena posisinya yang dipandang netral tersebut, kebijakan negara dengan sendirinya dianggap sangat bergantung kepada individu-individu atau kelompok-kelompok (oligarki) yang menguasai lembaga-lembaga negara. Tidak heran jika individu seorang presiden kemudian menentukan maju mundurnya kualitas demokrasi (tesis kubu pertama), atau persaingan di kalangan oligarki yang lebih menentukan (tesis kubu kedua).

Kita, kaum marxis, melihat bahwa negara bukanlah sebuah lembaga yang netral. Negara kapitalis (capitalist state) adalah negara yang mengabdi pada kepentingan kelas kapitalis. Karena Indonesia menganut sistem ekonomi kapitalis, maka negara ini dengan sendirinya adalah negara kapitalis. Tetapi dalam negara kapitalis, kelas kapitalis tidak dengan otomatis menguasai secara langsung kekuasaan negara untuk kemudian melayani kepentingannya. Ada dua cara di mana kelas kapitalis menggunakan kekuasaannya untuk menguasai dan mengontrol kekuasaan negara: pertama, dengan kontrol langsung atau kolonisasi atas kekuasaan negara dengan cara menempatkan individu-individu anggota kelas kapitalis ke dalam jabatan-jabatan tinggi dan strategis negara. Misalnya, menempatkan figur seperti Joko Widodo, Jusuf Kalla, Prabowo, Gibran, Luhut Binsar Pandjaitan, Sandiaga Uno, dan atau Erick Thohir.

Cara kedua adalah melalui kontrol tidak langsung. Karena membutuhkan dana yang tidak sedikit—baik itu lewat pajak maupun investasi—untuk bisa menjalankan operasionalnya sehari-hari, negara mesti memastikan bahwa sumber pendanaan ini harus terus berjalan tanpa hambatan, ancaman, ataupun gangguan yang membuatnya berhenti. Karena negara Indonesia adalah negara kapitalis, di mana sumber utama bagi pendanaan operasional negara berasal dari kelas ini, maka negara harus memastikan kepentingan kelas kapitalis ini terjaga dan terpenuhi. Berbagai macam aturan dan kebijakan dibuat untuk memuluskan kepentingan kelas kapitalis, dan berbagai macam tindakan politik militer dipakai untuk menghalau segala kemungkinan bagi munculnya ancaman, hambatan dan gangguan bagi kelancaran aktivitas kelas kapitalis ini (lebih rinci tentang ini, lihat Pontoh, 2023).

Dari sinilah kita lihat munculnya tekanan atau paksaan struktural bagi setiap bentuk pemerintahan—kediktatoran maupun demokrasi—ataupun mereka yang menduduki jabatan tinggi pemerintahan—Jokowi ataupun Prabowo—untuk senantiasa harus berpihak kepada kepentingan kelas kapitalis. Mereka yang mencoba menentang paksaan struktural ini harus disingkirkan dengan segala macam cara, berdarah melalui kudeta militer atau damai melalui pemilihan umum. Inilah yang dalam literatur marxis (seperti Zafirovski, 2021) disebut dengan istilah Kediktatoran Kapital.

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.


Prabowo dan Masa Depan Demokrasi

Kembali ke pertanyaan tentang bagaimana masa depan demokrasi di bawah pemerintahan Prabowo-Gibran. Untuk menjawabnya, saya ingin mengajak lagi pembaca untuk berbalik sebentar ke musim kampanye lalu, karena di sana ada banyak bertebaran informasi tentang keterlibatan para kapitalis di belakang para kandidat ketiga capres.

Dari laporan Mongabay, yang didasarkan pada penelusuran Jaringan Advokasi Tambang (Jatam), terkuak bahwa Prabowo-Gibran mendapatkan dukungan paling luas dari para pengusaha energi dan tambang, yakni sebanyak 21 orang. “Paslon itu bahkan tercatat sebagai pemegang saham perusahaan tambang dan energi.” Temuan Jatam ini diperkuat oleh salah satu pendukungnya, konglomerat Garibaldi Thohir atau Boy Thohir, yang merupakan kakak dari Menteri BUMN Erick Thohir. Seperti dikutip Project Multatuli, Boy Thohir mengatakan, “Walaupun kami jumlahnya sedikit, tapi ya di ruangan ini mungkin sepertiga perekonomian Indonesia ada di sini.”

Tetapi, bukan saja pendukung utama paslon 02 ini adalah para kapitalis, karena Prabowo-Gibran itu sendiri adalah anggota dari kelas kapitalis. Masih menurut Mongabay, Prabowo, misalnya, memiliki sejumlah perusahaan di bidang tambang batu bara di Kalimantan, seperti PT Nusantara Energy, PT Nusantara Kaltim Coal, PT Erabara Persada, dan PT Nusantara Energindo Coal dengan total seluas 45.703 hektare. Di sisi lain, Gibran memiliki jaringan tambang lewat perusahaan bapaknya, yakni PT Rakabu Sejahtera, terafiliasi dengan PT Toba Sejahtera milik Luhut. Perusahaan itu juga terafiliasi dengan para keluarga Gibran, mulai dari adik, kakak sepupu, hingga paman.

Jaring Bisnis Prabowo Subianto (Sumber: Jatam)

Meski demikian, data-data di atas belum mencukupi untuk menyimpulkan bahwa pemerintahan Prabowo-Gibran akan membawa Indonesia ke masa kelam otoriterisme seperti klaim kubu pertama, atau juga tidak akan bertindak sejauh itu karena kendala kepentingan oligarki itu sendiri seperti kesimpulan kubu kedua—yang diwakili oleh Mughis.

Untuk membuat data ini berbicara kepada kita, ia perlu dilengkapi dengan data lain berupa serangkaian kebijakan dari masa lalu yang menguntungkan kelas kapitalis dan merugikan kepentingan kelas pekerja perkotaan maupun perdesaan.

Mari kita ambil contoh pemerintahan Jokowi yang demi memuluskan kepentingan investasi asing maupun domestik kemudian mengeluarkan kebijakan Undang-undang Cipta Kerja (Omnibus Law) yang sangat pro-kapitalis sekaligus merugikan kelas pekerja. Salah satu sektor usaha yang mendapat karpet merah dari UU Cipta Kerja ini adalah sektor pertambangan, dengan pengenaan royalti 0% bagi pelaku usaha yang pelaku usaha yang melakukan peningkatan nilai tambah batu bara. Tidak heran jika UU Cipta Kerja ini dianggap sebagai kitab resep penjarahan sumber daya alam secara terstruktur dan sistematis.

Apa dampak dari penerapan UU Cipta Kerja ini di bidang SDA? Sudah pasti: kerusakan lingkungan. Lebih dari itu adalah semakin panasnya konflik agraria. Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mencatat bahwa sepanjang 2023 terdapat 241 konflik, di mana jumlah ini meningkat dari konflik tahun 2022 yang sebesar 212 kejadian. Dari konflik ini, ada sebanyak 135 ribu keluarga terdampak sepanjang 2023, dan sebanyak 346 desa atau kampung, beberapa kota yang terdampak situasi konflik agraria. Kasus konflik agraria tertinggi berasal dari sektor perkebunan (99), infrastruktur (32), properti (26), pertambangan (21), kehutanan (20), fasilitas militer (6), pertanian/agribisnis (4), serta pesisir dan pulau-pulau kecil (4).

Ujung dari konflik ini tentu saja adalah tindakan kekerasan oleh korporasi dan aparatus kekerasan negara. Menurut KPA, sepanjang 2023, ada sebanyak 508 korban kriminalisasi yang ditangkap karena memperjuangkan hak atas tanah dan wilayah adat mereka. Dari jumlah itu, 91 orang mengalami penganiayaan bahkan ada korban penembakan, dengan 79 laki-laki dan 12 lain perempuan dan tiga orang diantaranya tewas.

Sampai di sini, berbeda dengan Mughis, saya menyimpulkan bahwa masa depan demokrasi di bawah pemerintahan Prabowo-Gibran akan semakin berwajah garang dan kebijakan-kebijakannya akan semakin represif. Kebijakan dan tindakan represif itu akibat tekanan struktural dari kapitalisme dan, walaupun saya berbagi keresahan yang sama dengan kubu pertama soal masa depan suram dari demokrasi di bawah Prabowo, hal itu bukan terutama disebabkan oleh personalitas Prabowo sebagaimana yang diklaim oleh kubu pertama.

Demokrasi di bawah Prabowo-Gibran adalah demokrasinya para orang kaya (plutokrasi), di mana ia akan membagi-bagi kekuasaannya di antara kalangan super kaya ini untuk meraih dukungan sekaligus mencegah konflik di antara mereka. Di sini, ia akan tetap melanjutkan gaya kepemimpinan Jokowi. Namun, ketika berhadapan dengan kepentingan publik, demokrasi baginya hanya akan menjadi tameng legitimasi dari kebijakan-kebijakan dan tindakan-tindakan politiknya yang represif. Karena ia berhadapan dengan pertumbuhan ekonomi yang melambat, fondasi ekonomi yang keropos, ketimpangan ekonomi yang makin buruk, dan warisan kebijakan-kebijakan Jokowi yang pro-kapital yang menimbulkan konflik luas, tak pelak pemerintahan Prabowo-Gibran ini akan lebih otoriter ketimbang pemerintahan Jokowi. 


Penutup

Hanya dengan menempatkan rezim elektoral yang eksis saat ini, dalam konteks dinamika perkembangan dan pembangunan kapitalisme, kita baru bisa lebih jernih dan utuh membaca masa depan demokrasi di masa pemerintahan Prabowo-Gibran nanti.

Sudah saatnya para intelektual kritis dan aktivis gerakan sosial untuk mengarahkan telunjuknya kepada sistem kapitalisme yang dianut oleh rezim berkuasa sebagai dasar utama terjadinya kekerasan, ketimpangan, kebodohan, dan kemelaratan meluas yang terjadi saat ini. Pada saat yang sama, advokasi-advokasi terhadap korban-korban pembangunan ini tidak bisa lagi berhenti pada isu HAM atau perbaikan dan perlindungan kerja, melainkan pada perlawanan terhadap sistem kapitalisme beserta negara kapitalis yang melindunginya.

Muara dari kesemuanya ini adalah mulai diserukannya alternatif pembangunan non-kapitalis. Tanpa ini, dalam setiap pergantian kekuasaan secara periodik, kita akan kembali membaca angka-angka yang kian menyedihkan, mendengarkan janji-janji palsu para capres yang sedang bertarung, lalu bertanya, “Bagaimana masa depan demokrasi di bawah pemerintahan si Anu dan si Anu?***


Bibliografi

Pontoh, Coen Husain, “Teori Negara Instrumentalis”, IndoProgress: Jurnal Pemikiran Marxis, 2023.

Zafirovski, Milan. 2021. Capitalist Dictatorship: A Study of Its Social Systems, Dimensions, Forms and Indicators. Leiden: Brill.


Coen Husain Pontoh adalah editor dan penerjemah di IndoPROGRESS.

]]>