IndoPROGRESS https://indoprogress.com Media Pemikiran Progresif Sun, 29 Jun 2025 23:48:45 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.4.3 https://indoprogress.com/wp-content/uploads/2021/08/cropped-logo-ip-favicon-32x32.png IndoPROGRESS https://indoprogress.com 32 32 Nancy Fraser: Kita Sedang Berada di Masa yang Penuh Ketidakpastian https://indoprogress.com/2025/06/nancy-fraser-kita-sedang-berada-di-masa-yang-penuh-ketidakpastian/ Sun, 29 Jun 2025 23:48:45 +0000 https://indoprogress.com/?p=239036 Ilustrasi: Flickr/Lanpernas


NANCY Fraser adalah profesor filsafat dan politik pada Henry dan Louise A. Loeb di New School for Social Research di New York, yang bekerja di bidang teori sosial, politik, dan feminis. Dia telah menulis beberapa buku, seperti Cannibal Capitalism: How Our System Is Devouring Democracy, Care, and the Planet—and What We Can Do About It. Dalam wawancara mendalam ini, Fraser berbincang dengan Federico Fuentes untuk LINKS International Journal of Socialist Renewal tentang bagaimana transfer kekayaan alam dan perawatan masuk dalam imperialisme modern, peran ekspropriasi dalam akumulasi modal, dan sifat batas inti-periferi yang semakin kabur di bawah kapitalisme yang terfinansialisasi.

Artikel ini diterjemahkan dan diterbitkan ulang di sini untuk kepentingan pembangunan gerakan anti-imperialisme di Indonesia.


Federico Fuentes (FF): Selama abad terakhir, istilah imperialisme telah digunakan untuk mendefinisikan situasi yang berbeda dan, pada beberapa kesempatan, digantikan oleh konsep-konsep seperti globalisasi dan hegemoni. Apakah konsep imperialisme tetap valid, dan jika ya, bagaimana Anda mendefinisikannya?

Nancy Fraser (NF): Istilah imperialisme, menurut saya, tetap esensial dan saya tidak sepakat jika menggantinya dengan konsep lain. Misalnya, menggantinya dengan istilah yang populer seperti globalisasi. Jika yang dimaksud dengan globalisasi hanyalah bahwa kebijakan industri dan ekonomi nasional kini dianggap telah usang, serta munculnya neoliberalisme dan dominasi kekuasaan kapitalis elite melalui agenda perdagangan bebas, maka itu bisa diterima. Namun, imperialisme berbicara tentang hal yang berbeda. 

Konsep hegemoni juga penting dalam kajian geopolitik. Secara umum, hegemoni merujuk pada peran yang dimainkan oleh kekuatan imperialis (atau blok kekuatan) dalam membentuk dan mengatur tatanan ruang global untuk memfasilitasi ekstraksi imperialis. Namun, ini merujuk pada organisasi politik ruang global. Lagi-lagi, ini berbeda dari imperialisme walaupun keduanya saling terkait, tetapi keduanya bukanlah hal yang sama. 

Saat ini juga populer istilah seperti kolonialitas dan dekolonialitas. Wacana ini berusaha menunjukkan bahwa meskipun kolonialisme langsung telah berakhir, hierarki kolonial dalam nilai budaya tetap ada. Ide ini sendiri tidak masalah. Namun, ketika digunakan untuk menggantikan konsep imperialisme—seperti yang sering terjadi—hal ini akhirnya menempatkan isu kapitalisme global atau imperial pada posisi yang kurang prioritas atau menjadi terpinggirkan. Padahal, justru di situlah analisis kita seharusnya dimulai.

Oleh karena itu, saya sangat mendukung penggunaan istilah imperialisme, meskipun menurut kita perlu memperluas dan memperdalam pemahamannya. Dalam pengertian ekonomi yang ketat, imperialisme merujuk pada proses transfer atau perampasan nilai (extraction of value) oleh kekuatan tertentu dari wilayah-wilayah yang dianggap sebagai wilayah pinggiran. Namun, kita tidak bisa lagi hanya membicarakan ekstraksi nilai ekonomi dalam bentuk kekayaan mineral atau nilai lebih (surplus value). Kita juga harus membicarakan ekstraksi kekayaan ekologi dan kapasitas perawatan dari negara-negara pinggiran ke negara-negara inti kapitalis.


FF: Diskusi di kalangan kiri mengenai imperialisme sering merujuk pada buku Vladimir Lenin, seorang revolusioner Rusia, tentang topik ini. Seberapa relevan buku tersebut hari ini, dan apakah ada elemen yang telah digantikan oleh perkembangan selanjutnya?

NF: Analisis Lenin tentang imperialisme merupakan kontribusi yang sangat berharga dan berpengaruh pada masanya. Namun, sejak itu konsep imperialisme telah mengalami pengembangan dan pendalaman. Saya juga melihat adanya sejumlah persoalan dalam definisi awal yang dikemukakan Lenin.

Lenin secara khusus mengaitkan imperialisme dengan finansialisasi. Memang benar kita hidup di era finansialisasi yang luar biasa pesat. Namun, saya tidak sepenuhnya setuju bahwa finansialisasi per se bisa dijadikan penanda utama untuk mendefinisikan imperialisme. Imperialisme juga mencakup transfer kekayaan – baik yang telah dikapitalisasi maupun yang belum sepenuhnya dikapitalisasi, seperti kekayaan alam dan kerja-kerja perawatan. Lenin juga menggambarkan bahwa imperialisme sebagai tahap terakhir dari kapitalisme. Gagasan “tahap terakhir” ini mengingatkan pada pandangan Rosa Luxemburg bahwa pada suatu titik, kapitalisme akan merambah ke seluruh dunia dan tidak akan ada lagi wilayah “luar’’ yang bisa dieksploitasi. Pada titik itu, kapitalisme dianggap tidak akan mampu lagi berkembang dan akan runtuh. Namun kenyataannya, imperialisme hari ini mencakup tidak hanya melibatkan integrasi bentuk-bentuk nilai sosial baru ke dalam sirkuit reproduksi kapitalis, tetapi juga pengusiran dan eksklusi. Misalnya, pengusiran miliaran orang dari ekonomi resmi (formal) ke zona informal atau abu-abu, yang justru menjadi sumber ekstraksi nilai baru bagi kapital. 

Selain itu, pola geografis dari transfer nilai kini tak lagi sejalan dengan peta lama antara Dunia Pertama, Dunia Kedua, dan Dunia Ketiga. Kita menyaksikan munculnya konfigurasi politik dan geografis baru, termasuk perpindahan basis industri dari negara-negara inti lama ke wilayah seperti BRICS (Brasil, Rusia, India, Tiongkok, dan Afrika Selatan). Bahkan, beberapa bekas kekuatan kolonial seperti Portugal kini berada dalam posisi subordinat dalam kerangka Uni Eropa, tunduk pada kebijakan lembaga seperti Troika (IMF, Komisi Eropa, dan Bank Sentral Eropa). Untuk pertama kalinya, populasi di negara-negara Global Utara (Global North) juga mengalami kondisi serupa dengan yang sebelumnya hanya dialami oleh masyarakat pinggiran.

Jadi, bentuk-bentuk imperialisme yang kita hadapi kini jauh lebih kompleks, tidak lagi mengikuti garis pemisah kolonial klasik antara yang menjajah dan yang dijajah. Namun demikian, meskipun lanskapnya telah berubah, imperialisme tetap menjadi istilah paling tepat untuk memahami dan menjelaskan dinamika ini.


FF: Seperti yang Anda catat, pembahasan Marxis tentang imperialisme cenderung fokus secara ketat pada transfer nilai ekonomi. Namun, Anda menyoroti kebutuhan untuk mempertimbangkan transfer kekayaan alam dan kapasitas perawatan. Bisakah Anda menjelaskan bagaimana transfer-transfer ini terjadi?

NF: Mari saya mulai dengan pembahasan ekonomi perawatan, atau apa yang oleh para feminis sebut sebagai kerja reproduksi sosial (social reproductive labour). Istilah ini berbeda dari ’’reproduksi sosial’’ dalam dari yang lebih umum, yang mencakup semua proses yang menopang kelangsungan suatu formasi/tatanan sosial.

Kerja reproduksi sosial merujuk secara khusus pada aktivitas-aktivitas yang memungkinkan pemulihan tenaga kerja sehari-hari dan regenerasi populasi tenaga kerja dari satu generasi ke generasi berikutnya. Ini mencakup aspek biologis seperti kelahiran, pekerjaan perawatan dan pengasuhan sehari-hari, serta proses sosialisasi yang membentuk individu sebagai anggota kelas tertentu dalam masyarakat tertentu. Historisnya, pekerjaan-pekerjaan ini dikaitkan dengan perempuan—meskipun laki-laki juga melakukan sebagian di antaranya. Dan sebagian besar pekerjaan ini, secara historis pula, berlangsung di luar wilayah ekonomi formal dalam masyarakat kapitalis. Kapitalisme secara khas memisahkan dengan tegas antara kerja upahan dan kerja reproduksi sosial (yang sering disebut sebagai kerja perawatan). Namun meskipun tidak dihitung sebagai bagian dari sektor formal, kerja perawatan ini sangat penting—karena ia menopang kerja upahan, memungkinkan akumulasi nilai lebih, dan menjadi fondasi bagi berjalannya sistem kapitalisme itu sendiri.

Kerja upahan tidak bisa berlangsung tanpa adanya berbagai bentuk kerja lain seperti pekerjaan rumah tangga, pengasuhan anak, pendidikan, perawatan emosional, dan aktivitas-aktivitas lain yang memastikan keberlanjutan tenaga kerja—baik dalam memperbarui pekerja yang sudah ada maupun membesarkan generasi pekerja baru. 

Secara historis, sistem kapitalis cenderung menganggap remeh fakta bahwa pasokan tenaga kerja akan selalu tersedia. Namun pada masa awal industrialisasi, dampaknya begitu drastis sehingga kehidupan keluarga menjadi hampir mustahil di banyak kota industri utama di negara-negara kapitalis inti. Kondisi ini menjadikan persoalan reproduksi sosial sebagai isu politik yang penting. Sebagai respons, negara-negara kaya yang memiliki sumber daya pajak yang cukup mulai membangun negara kesejahteraan, yang mengambil alih sebagian tanggung jawab kolektif dalam mendukung proses reproduksi sosial.

Salah satu cara yang digunakan negara-negara kaya untuk mengatasi kekurangan tenaga perawatan adalah dengan “mengimpor” pekerja perawatan murah dari negara-negara miskin. Agar perempuan di negara-negara maju bisa lebih bebas bekerja di sektor formal, maka pekerjaan reproduksi sosial—seperti mengasuh, merawat, dan membersihkan—perlu diperdagangkan sebagai jasa. Dampaknya, terjadi lonjakan migrasi perempuan dari negara-negara miskin yang datang untuk mengisi posisi sebagai pekerja perawatan berbayar.

Pemerintah di negara-negara miskin, yang sangat membutuhkan devisa, bahkan mendorong warganya untuk bermigrasi demi mendapatkan remitansi—yaitu uang yang dikirim balik ke keluarga di tanah air. Tapi ini menciptakan rantai beban baru: para migran perempuan itu harus menyerahkan pekerjaan perawatan di rumah mereka sendiri kepada perempuan lain yang lebih miskin, yang juga harus melakukan hal serupa, dan seterusnya. Hasilnya adalah pemindahan beban kekurangan perawatan dari keluarga kaya ke keluarga miskin, dan dari negara-negara di Global Utara ke negara-negara di Global Selatan.

Fenomena ini kini begitu meluas hingga dikaji sebagai bentuk baru dari imperialisme. Para feminis menyebutnya sebagai rantai perawatan global, istilah yang menggambarkan pola relasi global dalam kerja perawatan—sebuah permainan kata dari konsep rantai komoditas global yang lebih umum dikenal. Negara seperti Filipina menjadi contoh utama, di mana pemerintah sangat bergantung pada ekspor tenaga kerja perempuan di sektor perawatan ke tempat-tempat seperti Los Angeles, Israel, dan negara-negara Teluk. Saya merekomendasikan artikel dari Arlie Russell Hochschild, “Love and Gold”, di mana ia menjelaskan bagaimana cinta telah menjadi “emas baru”. Alih-alih mengekspor kekayaan mineral, negara-negara kini mengekspor komoditas yang telah dimonetisasi ini.

Hal serupa juga terjadi dalam hal kekayaan alam. Seperti halnya kerja reproduksi sosial, alam diperlakukan oleh kapital sebagai sumber daya yang bisa diambil secara gratis atau dengan biaya sangat rendah demi kepentingan akumulasi modal. Sejak awal kemunculannya, kapitalisme sangat bergantung pada pengambilan kekayaan alam—seperti perak, kapas, tembakau, gula, dan kakao—yang berperan penting dalam membentuk fondasi sistem kapitalis, bahkan sejak fase awal seperti kapitalisme merkantilis dan kapitalisme berbasis perbudakan. Selanjutnya, proses industrialisasi di kawasan seperti Eropa, Amerika Utara, dan Jepang tak lepas dari praktik ekstraktivisme di wilayah-wilayah pinggiran. Misalnya, kelancaran operasional pabrik-pabrik di Manchester sangat bergantung pada arus impor besar-besaran bahan mentah dari Amerika Selatan dan wilayah-wilayah kolonial lainnya.

Ekspor kekayaan alam bukanlah hal baru, namun kini fenomena ini berkembang dalam bentuk yang lebih kompleks akibat krisis iklim. Kita semakin menyadari bahwa persoalannya bukan lagi sekadar soal mengalirnya sumber daya dari wilayah pinggiran ke pusat kapitalis, tetapi juga soal ekspor limbah dan dampak perubahan iklim ke wilayah-wilayah yang tereksploitasi. Pandangan lama tentang imperialisme sebagai proses mengambil yang “bermanfaat” dari satu tempat untuk dinikmati di tempat lain kini tidak lagi memadai. Kita juga harus memperhitungkan kemana limbah dari proses tersebut dibuang, serta siapa yang menanggung akibat dari produksi yang dianggap ‘baik’ itu. Tentu saja, anggapan bahwa dampak lingkungan bisa selamanya dialihkan ke tempat lain adalah keliru, mengingat sistem iklim bersifat global. Namun pada kenyataannya, komunitas-komunitas di wilayah pinggiran saat ini menanggung beban lingkungan global secara sangat tidak seimbang.

Inilah sebabnya mengapa konsep imperialisme ekologis menjadi sangat relevan dan penting. Beberapa kajian terbaru yang paling inovatif tentang imperialisme kini tidak hanya menyoroti rantai perawatan global, tetapi juga menekankan teori perpindahan beban ekologis dan bentuk pertukaran ekologis yang timpang. Ini bukan berarti meninggalkan fokus klasik pada ekstraksi nilai ekonomi, melainkan menambahkan dimensi bahwa analisis Marxian tentang imperialisme, secara tidak sengaja, telah mengadopsi cara pandang kapitalis tentang kekayaan—dan dengan begitu, melewatkan aspek-aspek penting lainnya yang juga menentukan.

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.


FF: Anda juga menggunakan konsep ekspropriasi, bersama dengan eksploitasi, saat menganalisis imperialisme. Dapatkah Anda menjelaskan apa yang Anda maksud dengan ini?

NF: Dalam teori Marxis klasik, eksploitasi merujuk pada situasi kerja upahan, di mana tenaga kerja dijual di pasar tenaga kerja dan pekerja hanya menerima upah untuk waktu kerja yang diperlukan (necessary labour time) tetapi tidak untuk waktu kerja lebih (surplus labour time). Dengan kata lain, upah hanya mencukupi untuk memenuhi kebutuhan hidup pekerja dan memastikan regenerasi tenaga kerja—setidaknya secara teoritis. Eksploitasi, dalam konteks ini, merujuk pada perbedaan antara nilai total yang dihasilkan oleh pekerja dan jumlah upah yang mereka terima—nilai surplus yang diserap oleh pemilik modal.

Sementara itu, ekspropriasi, bila dikaitkan dengan tenaga kerja, menggambarkan situasi yang lebih ekstrem: tenaga kerja bahkan tidak mendapat bayaran untuk waktu kerja yang diperlukan. Sebelum era industrialisasi, akumulasi kapital banyak bergantung pada kerja paksa atau kerja tidak bebas, yang diperoleh melalui kekerasan dan perampasan. Ekspropriasi juga dapat berarti penyitaan paksa atas tanah, hewan ternak, atau bentuk kekayaan lainnya. Jadi, ketika saya menyebut ekspropriasi, yang dimaksud adalah perampasan kekayaan—baik berupa tenaga kerja, tanah, maupun aset lain—yang kemudian dimasukkan secara paksa ke dalam mekanisme akumulasi kapitalis. Gagasan ini sebenarnya bukan hal baru: Rosa Luxemburg pernah membahasnya, dan David Harvey mengembangkannya lebih lanjut melalui konsep “akumulasi melalui perampasan” (accumulation by dispossession).

Dalam tradisi Marxisme, sering muncul anggapan bahwa proses akumulasi kapital terutama berlangsung melalui eksploitasi tenaga kerja. Namun, ekspropriasi sebenarnya selalu menjadi bagian penting dari dinamika kapitalisme—dan masih berlangsung hingga saat ini. Ekspropriasi bukan sekadar ciri khas tahap awal sistem kapitalis, melainkan elemen struktural yang terus melekat dalam cara kerja kapitalisme, sejajar dengan eksploitasi. Kapitalisme tidak bisa terus menumpuk modal hanya dengan mengandalkan eksploitasi tenaga kerja bebas di pabrik-pabrik yang diberi upah sekadar cukup untuk bertahan hidup dan bereproduksi. Ada batasnya. Karena itu, sistem juga sangat bergantung pada perampasan—baik tenaga kerja yang tidak dibayar maupun sumber daya alam—sebagai cara lain untuk meningkatkan keuntungan.

Dengan kata lain, ekspropriasi menjadi fondasi yang menopang eksploitasi. Tanpa perampasan yang terus-menerus atas kekayaan dan tenaga kerja, proses eksploitasi kapitalis tidak akan bisa bertahan.


FF: Bagaimana perampasan berbeda dari super-eksploitasi, yang juga merujuk pada tenaga kerja yang dibayar kurang dari waktu kerja yang diperlukan?

NF: Istilah super-eksploitasi sering digunakan untuk menjelaskan bagaimana pekerja kulit berwarna menerima upah yang lebih rendah dibandingkan dengan pekerja kulit putih, sehingga mengalami tingkat eksploitasi yang lebih parah. Saya tidak mengatakan pendekatan ini keliru, tetapi menurut saya ia terlalu menekankan aspek ekonomi secara sempit. Ekspropriasi tenaga kerja tidak hanya soal pengambilan nilai lebih, melainkan juga berkaitan dengan status sosial, struktur hierarki, dan bentuk-bentuk paksaan serta kekerasan yang dijalankan terhadap kelompok tertentu—termasuk penghinaan, peminggiran, dan tekanan sistemik yang berlangsung dalam intensitas yang berbeda-beda. Ekspropriasi bukan semata-mata mekanisme ekonomi, tapi juga dijalankan melalui cara-cara politik dan koersif. Bahkan di negara seperti Amerika Serikat, pekerja kulit berwarna menghadapi pemaksaan kerja di penjara, intimidasi dari aparat kepolisian, kekerasan fisik, bahkan pembunuhan, serta berbagai bentuk pelecehan dan perendahan martabat. Semua ini bukan fenomena terpisah dari akumulasi kapital, melainkan bagian darinya. Karena itu, saya memandang bahwa kategori super-eksploitasi terlalu membatasi masalah ini dalam kerangka ekonomi saja.

Saya ingin menambahkan, secara historis, pembagian antara eksploitasi dan ekspropriasi juga sering kali berjalan seiring dengan garis rasial global. Populasi Eropa, setelah melalui masa-masa ekspropriasi di awal sejarah kapitalisme, kemudian berperan sebagai kelas pekerja yang dieksploitasi melalui kerja upahan. Sementara itu, komunitas kulit berwarna di koloni dan wilayah pinggiran terus mengalami ekspropriasi yang berkelanjutan. Eksploitasi yang terjadi di pusat-pusat kapitalisme tidak bisa dipahami secara utuh tanpa melihat kaitannya dengan ekspropriasi yang terjadi di wilayah-wilayah pinggiran.

Pemikir Marxis kulit hitam seperti W.E.B. Du Bois dalam karya besarnya Black Reconstruction menunjukkan bahwa eksploitasi terhadap kelas pekerja industri kulit putih di Eropa dan Amerika Utara berlangsung secara bersamaan dan saling bergantung dengan ekspropriasi terhadap pekerja budak kulit hitam.


FF: Seberapa besar peran mekanisme ekspropriasi dan eksploitasi imperialis saat ini dibandingkan dengan masa lalu?

NF: Ekspropriasi dan eksploitasi sama-sama memainkan peran penting dalam proses akumulasi modal sepanjang sejarah perkembangan kapitalisme, meskipun dengan cara yang berbeda. Saya tertarik untuk menelusuri bagaimana hubungan antara kedua proses ini berkembang secara historis, serta bagaimana bentuk dan peran relatif masing-masing berubah dari satu fase kapitalisme ke fase berikutnya.

Sebagai contoh, dalam fase kapitalisme yang ditandai oleh dominasi sektor keuangan saat ini, utang telah menjadi salah satu instrumen utama dalam ekstraksi imperial. Lembaga-lembaga keuangan global menggunakan mekanisme utang untuk memaksa negara-negara mengurangi pengeluaran sosial, menerapkan kebijakan penghematan (austerity), dan bekerja sama dengan investor dalam pengambilan nilai dari masyarakat. Utang juga menjadi alat untuk merampas tanah dari petani di Selatan Global, memungkinkan korporasi menguasai sumber daya strategis seperti energi, air, lahan pertanian, dan bahkan proyek carbon offset. Selain itu, utang memainkan peran sentral dalam proses akumulasi modal di pusat-pusat kapitalisme. Pekerja sektor jasa yang hidup dalam kondisi kerja tidak tetap dan menerima upah di bawah standar kebutuhan reproduksi sosial kini dipaksa mengandalkan kredit konsumen untuk bertahan hidup—sebuah bentuk ekspropriasi yang berlangsung secara halus namun sistemik.

Di berbagai level dan wilayah, utang telah menjadi pendorong utama gelombang baru penguasaan sumber daya secara besar-besaran. Fenomena ini melahirkan bentuk-bentuk pengambilalihan dan eksploitasi yang baru dan bersifat campuran (hibrida). Contohnya, banyak pekerja bergaji di negara-negara pascakolonial secara formal dianggap bebas, tetapi mereka hidup dalam kondisi di mana utang negara yang sangat besar menyebabkan sebagian besar tenaga kerja nasional diarahkan untuk membayar utang tersebut. Situasi serupa juga muncul di negara-negara kaya, di mana peningkatan tajam utang konsumen dalam era neoliberalisme telah menciptakan kondisi di mana pekerja—yang sebelumnya hanya mengalami eksploitasi—kini juga terjebak dalam ekspropriasi finansial melalui kredit, pinjaman, dan utang pribadi.

Bentuk-bentuk baru ini mengaburkan batas tradisional antara pekerja kulit hitam yang dulu diperbudak dan dieksploitasi secara brutal, dan pekerja kulit putih yang dieksploitasi namun tetap dianggap bebas. Kini, garis pemisah itu menjadi jauh lebih kompleks dan tidak lagi mudah dipetakan. Namun, kondisi ini bukan berarti bahwa imperialisme telah berakhir—justru menunjukkan bahwa pola relasi kekuasaan dan penindasan global telah menjadi lebih rumit dan membutuhkan analisis yang lebih tajam.


FF: Kekuatan imperialis awal membangun kekayaan dan kekuatan militer mereka melalui penaklukan kolonial dan penjarahan masyarakat pra-kapitalis. Apakah ada kekuatan imperialis baru yang muncul sejak itu? Dan jika ya, apa dasar ekonomi dari kekuatan-kekuatan baru ini?

NF: Walaupun saya tidak akan membahas secara tuntas apakah negara-negara sosialis yang pernah ada bisa disebut sebagai imperialis—karena itu merupakan persoalan yang kompleks—saya tidak ragu bahwa beberapa negara pasca-Komunis memang bersifat imperialis.

China adalah contoh yang paling mencolok. Menurut saya, istilah imperialisme sangat tepat untuk menggambarkan praktik ekstraktivisme yang dilakukan China di benua Afrika. Ini tetap berlaku meskipun pendekatan China berbeda dari model kolonialisme langsung yang dulu dijalankan oleh perusahaan-perusahaan dari Amerika Serikat atau Eropa. Dalam kasus China, kita tidak melihat penaklukan militer atau eksploitasi kolonial dalam bentuk klasik.


FF: Mengingat apa yang terjadi dalam kapitalisme yang terfinansialisasi, apakah perusahaan transnasional kini dapat beroperasi dengan sukses tanpa akar institusional di negara imperialis?

NF: Finansialisasi telah mengubah keseimbangan kekuasaan antara negara dan korporasi, dengan hasil bahwa korporasi kini memiliki pengaruh yang jauh lebih besar, sementara negara—bahkan negara-negara yang kuat—mengalami penurunan kendali. Saat ini, kita menyaksikan kemunculan korporasi global raksasa yang kekayaannya sering kali melampaui kekayaan banyak negara berdaulat. Korporasi-korporasi ini beroperasi di luar jangkauan otoritas negara, sering bermarkas di yurisdiksi bebas pajak seperti Andorra, dan tidak lagi terikat kuat pada negara kapitalis tempat mereka bermula. Mereka bahkan mampu menantang otoritas negara seperti Amerika Serikat, yang meskipun secara formal masih menjadi kekuatan hegemonik global, jelas sedang mengalami penurunan. Negara AS, misalnya, tidak memiliki kendali langsung atas raksasa seperti Apple atau Google. Kita tidak lagi berada dalam era di mana perusahaan besar secara jelas berfungsi sebagai “juara nasional” yang dilindungi dan didorong oleh negara-bangsa. Konstelasi kekuasaan ekonomi saat ini jauh lebih kompleks dan tidak terikat pada batas-batas nasional seperti sebelumnya.

Meski begitu, menurut saya masih terlalu dini untuk menyimpulkan secara tegas bahwa perusahaan transnasional bisa sepenuhnya beroperasi tanpa dukungan institusional dari kekuatan-kekuatan imperialis. Amerika Serikat, misalnya, masih memiliki pengaruh besar melalui dominasi dolar AS sebagai mata uang global, sistem perbankan internasional, dan infrastruktur keuangan dunia. Selain itu, hukum properti AS telah menjelma menjadi standar hukum global melalui perjanjian seperti Trade-Related Aspects of Intellectual Property Rights (TRIPS) yang mengatur hak kekayaan intelektual.

Katharina Pistor, dalam bukunya The Code of Capital, menjelaskan bagaimana prinsip-prinsip hukum AS—termasuk hukum kontrak, hak milik, dan penyelesaian sengketa—telah diekspor dan diadopsi secara global, menjadi semacam perpanjangan dari kekuasaan hukum Amerika, meskipun tidak selalu secara langsung dari negara itu sendiri. Tapi apakah ini berarti pemerintah AS memiliki kendali penuh atas korporasi-korporasi tersebut, seperti Apple, adalah persoalan lain yang lebih rumit.


FF: Bagaimana kita memahami persaingan AS-China yang semakin intensif mengingat kedua ekonomi tersebut lebih terintegrasi daripada sebelumnya? Dan bagaimana Anda memandang dinamika saat ini dalam kapitalisme global mengingat bukan hanya kekuatan imperialis tradisional seperti AS dan Israel yang melancarkan perang skala besar, tetapi juga Rusia, bahkan Turki dan Arab Saudi, yang menggunakan kekuatan militer di luar perbatasan mereka?

NF: Terdapat banyak ujian yang sedang dihadapi AS. Secara militer, Amerika Serikat masih merupakan kekuatan besar, meskipun bukan satu-satunya negara yang memiliki senjata nuklir. Namun, dari sisi ekonomi, situasinya lebih kompleks—tidak sepenuhnya kuat, tapi juga belum runtuh. Sementara itu, secara moral, posisi dan kredibilitas global AS telah mengalami kemunduran yang cukup serius.

Terkait perang Israel di Gaza, sebagai seorang Yahudi Amerika, saya pribadi merasa sangat marah karena AS tidak menggunakan pengaruhnya untuk menghentikan konflik tersebut. Padahal, AS memiliki kekuatan besar atas Israel—cukup dengan menghentikan dukungan, sebenarnya bisa memberi tekanan. Namun, pengaruh ini tidak berlaku di semua konteks global.

Contohnya, kita melihat China muncul sebagai kekuatan ekonomi utama yang mulai memikirkan bagaimana dan kapan mereka akan mengambil peran lebih besar di panggung global. China tampak siap menjadi kekuatan besar, tetapi masih mempertimbangkan langkah strategis berikutnya. Ini menimbulkan pertanyaan: apakah China akan menggantikan AS sebagai kekuatan hegemonik baru, atau justru kita akan memasuki era dunia multipolar yang lebih kompleks? 

Di sisi lain, Rusia, meskipun secara kekuatan ekonomi dan militer tergolong menurun, tetap mampu memainkan peran geopolitik yang signifikan. Terlepas dari penilaian pribadi terhadap Putin, dia berhasil memperluas pengaruh Rusia jauh melampaui kekuatan riilnya—tidak hanya di wilayah sekitar Rusia, tetapi juga di Suriah, Afrika, dan berbagai kawasan lainnya. Bersama China, Rusia, Iran, Turki, dan beberapa negara lain, muncul blok tandingan terhadap dominasi AS. Sementara itu, Uni Eropa justru gagal tampil sebagai kekuatan politik global yang solid, karena berbagai kendala seperti fragmentasi internal dan struktur kelembagaan yang rumit.

Seperti yang Anda katakan, ekonomi AS dan China saling terhubung erat, dan hal ini justru memperlambat proses pergeseran kekuatan global. Namun, ada juga faktor yang sulit diprediksi, seperti kembalinya Trump sebagai Presiden AS, yang menjalankan kebijakan ekonomi yang lebih proteksionis seperti tarif dagang baru, atau bahkan ketegangan militer. Meski begitu, Trump dengan pendekatan isolasionis “America First”-nya terkadang justru lebih rasional dalam urusan luar negeri dibandingkan para elite kebijakan luar negeri arus utama.

Bagaimanapun juga, kita sedang menuju masa yang penuh ketidakpastian. Ketidakhadiran kekuatan hegemonik yang stabil adalah alasan yang sah untuk merasa cemas. Amerika Serikat tampak kehilangan arah dan tidak punya strategi yang jelas. Dalam situasi seperti ini, risiko bahwa AS akan mengambil tindakan yang sembrono sangatlah tinggi. Singkatnya, kita berada di masa yang berbahaya.


FF: Apakah Anda melihat kemungkinan untuk membangun jembatan antara perjuangan anti-imperialis? Secara umum, mengingat apa yang telah kita bahas, bagaimana bentuk anti-imperialisme dan internasionalisme anti-kapitalis abad ke-21?

NF: Ada kemungkinan, tetapi seberapa besar kemungkinan itu terwujud adalah pertanyaan lain.

Seperti yang saya katakan, kita kini hidup di zaman yang penuh resiko. Kita bisa saja tergelincir ke dalam perang nuklir atau perang dunia yang mengerikan kapan saja. Kita menghadapi krisis ekologi yang mengancam kelangsungan hidup planet ini. Dan ada ketidakpastian dan ketidakamanan yang luar biasa dalam hal penghidupan, bahkan di bagian dunia yang kaya. 

Di tengah situasi krisis yang ekstrem ini, di mana kepastian-kepastian normal telah runtuh, banyak orang bersedia mempertimbangkan kembali apa yang secara politik mungkin dilakukan. Hal ini telah membuka ruang bagi kekuatan kiri yang bersedia memikirkan jenis aliansi baru yang kita butuhkan untuk zaman ini. Namun, pada saat yang sama, kita juga menyaksikan munculnya populisme kanan—dan dalam beberapa kasus, proto-fasis atau setidaknya otoriter. Semua ini adalah respons terhadap keruntuhan hegemoni borjuis (dalam arti Gramscian, bukan geopolitik).

Saya telah memikirkan pertanyaan-pertanyaan ini sejak Krisis Ekonomi Global 2008 dan Gerakan Occupy pada 2011. Kadang-kadang saya merasa optimis tentang prospek kiri emansipatoris untuk membangun aliansi anti-kapitalis dan anti-imperialis. Pada saat lain, sepertinya sayap kanan jauh lebih berhasil dalam mengarahkan ketidakpuasan. Namun, intinya adalah kita tidak memiliki pilihan lain selain berjuang untuk internasionalisme anti-imperialis dan anti-kapitalis yang baru—yang feminis, anti-rasis, demokratis, dan hijau. Semua kata sifat ini menunjuk pada kekhawatiran eksistensial yang sah dari orang-orang yang bergerak. Kita tidak dalam posisi untuk mengatakan, misalnya, bahwa perjuangan melawan kekerasan polisi kurang penting dibandingkan dengan perjuangan melawan perubahan iklim: bagi mereka yang mengalami kekerasan polisi, tidak ada yang lebih penting.

Hal yang masih memberi saya secercah harapan adalah fakta bahwa berbagai krisis ini sebenarnya bukanlah persoalan yang berdiri sendiri. Semuanya memiliki akar yang sama, yang saya sebut sebagai kapitalisme kanibal dalam buku terbaru saya. Saya berargumen bahwa kapitalisme memiliki kecenderungan struktural untuk melahap segala hal: alam, kerja perawatan, kekayaan kolektif masyarakat tertindas, serta energi dan kreativitas para pekerja.

Jika kita bisa membantu lebih banyak orang memahami hubungan ini, maka gagasan dan upaya untuk membangun aliansi yang lebih luas akan mulai masuk akal. Tantangannya adalah menemukan cara menyatukan semua bentuk perjuangan ini tanpa menciptakan hirarki penindasan. Karena pada akhirnya, tidak ada satu gerakan pun yang cukup kuat untuk mengubah dunia sendirian.***

]]>
Teror dan Militer dalam Kapitalisme: Perspektif Negara Polisi Global https://indoprogress.com/2025/06/teror-dan-militer-dalam-kapitalisme-perspektif-negara-polisi-global/ Fri, 27 Jun 2025 21:53:22 +0000 https://indoprogress.com/?p=239014 Ilustrasi: Flickr/Ahdieh Ashrafi


KEBEBASAN pers yang ditegakkan sejak Reformasi ternyata belum mampu memberikan apalagi menjamin keamanan para jurnalis. Bahkan secara umum kebebasan berpendapat itu sendiri belum sepenuhnya tegak. Buktinya, pihak yang mengalami kekerasan bukan hanya para buruh tinta, tapi juga aktivis, akademisi, dan warga biasa yang bersuara kritis. Ancaman terhadap suara-suara kritis masih terus berlangsung. Salah satu contoh terbaru adalah teror kepala babi dan bangkai tikus yang diterima wartawan Tempo

Sejak peristiwa itu mencuat, berbagai analisis telah bermunculan dengan macam-macam pendekatan. Namun sebagian besar hanya menyoroti aspek umum seperti kebebasan pers atau hak asasi manusia tanpa mengaitkannya dengan kerangka yang lebih besar, yakni struktur ekonomi-politik kapitalisme global. Kapitalisme membutuhkan negara sebagai polisi global guna memastikan stabilitas ekonomi dan sosial yang berpihak pada kepentingan mereka. Tulisan ini berupaya menyajikan itu: membaca kasus teror terhadap jurnalis, aktivis, dan akademisi sebagai bagian dari mekanisme kontrol atas narasi yang dianggap mengancam kepentingan ekonomi kapitalis.

Untuk mendukung argumen tersebut, tulisan ini akan mengacu pada teori “negara polisi global” (global police state) yang dikembangkan oleh William I. Robinson, profesor sosiologi di University of California, Santa Barbara, melalui buku The Global Police State (2020). Tulisan ini akan diawali dengan penjelasan mengenai konsep negara polisi global, kemudian menghubungkannya dengan berbagai teror yang terjadi.


Apa itu negara polisi global?

Menurut Robinson, konsep negara polisi global mencakup tiga proses yang saling berkaitan. Pertama, munculnya sistem kontrol sosial yang dirancang untuk mengawasi, mengatur, dan menekan masyarakat. Dalam sistem ini, represi dan kekerasan (termasuk perang) digunakan oleh elite untuk meredam potensi pemberontakan dari kelas pekerja global dan kelompok surplus (mereka yang dianggap tidak produktif atau tidak terakomodasi dalam struktur ekonomi kapitalis). Ketimpangan yang semakin menganga baik antarnegara (antara negara maju dan miskin) maupun di dalam negeri (antara kelas sosial) memperparah ketegangan politik. Ketika sistem gagal memberi ruang hidup bagi kelompok-kelompok ini, maka langkah-langkah represif diterapkan termasuk pembatasan mobilitas dengan membangun tembok perbatasan, deportasi, penahanan massal, dan pemisahan spasial. Pengawasan ketat oleh negara dan korporasi juga menjadi elemen penting untuk membungkam kritik dan protes, dilakukan melalui berbagai alat kekuasaan. Lebih jauh, sistem ini diperkuat dengan teknologi digital dan beragam inovasi hasil revolusi industri keempat. Ini memungkinkan terciptanya bentuk pengawasan dan penindasan yang kian canggih sekaligus mematikan.

Kedua, kian pentingnya peperangan, pengawasan, dan represi untuk akumulasi kapital terutama di tengah kemacetan pertumbuhan ekonomi. Robinson menyebut fenomena ini sebagai “akumulasi militer”, yakni akumulasi yang berlangsung dengan represi. Ketimpangan global yang ekstrem hanya bisa dipertahankan melalui mekanisme kontrol sosial dan kekerasan yang tersebar luas. Bahkan tanpa motif politik yang eksplisit, para elite kini memiliki kepentingan ekonomi langsung dengan perang, konflik, dan penindasan—sebab itu bisa menjadi sumber keuntungan. Ketika kekerasan dan perang yang semula dijalankan negara mulai diprivatisasi, kepentingan korporasi dan kelompok kapitalis mendorong pergeseran lanskap politik, sosial, dan ideologis ke arah yang justru memelihara konflik, misalnya yang terjadi di Timur Tengah.

Ketiga, Robinson menyoroti kecenderungan global yang pemerintahannya semakin menyerupai fasisme atau sistem totaliter dalam arti luas. Pengaruh partai dan gerakan neo-fasis, otoriter, serta populis sayap kanan tengah menguat di berbagai belahan dunia. Di Amerika Serikat, itu mewujud dalam trumpisme. Proyek fasisme abad ke-21 ini telah meraih kemajuan signifikan dalam merebut kekuasaan di sejumlah negara kapitalis. Mereka pun semakin menancapkan pengaruh di kehidupan sosial dengan nilai-nilai seperti misogini dan rasisme. Nilai-nilai ini menciptakan suasana yang melegitimasi kekerasan sistematis, terutama terhadap kelompok-kelompok yang terpinggirkan secara rasial, etnis, dan ekonomi. Meski demikian, keberhasilan proyek fasis ini bukanlah keniscayaan; keberlanjutannya sangat ditentukan oleh dinamika pertarungan kekuatan sosial dan politik dalam waktu dekat.

Singkatnya, esensi dari negara polisi global terletak pada mekanisme kontrol dan pengawasan yang menyeluruh. Ia berfungsi sebagai instrumen bagi kapitalisme dalam proses akumulasi kapital. Oleh karena itu, negara polisi global pada dasarnya merupakan cerita tentang bagaimana kaum miskin dan kelas pekerja dikendalikan dan ditekan untuk memastikan stabilitas yang hanya menguntungkan segelintir elite pemilik sumber daya ekonomi dan politik.


Militer sebagai alat kontrol dalam kapitalisme 

Negara polisi global mengandalkan militer sebagai instrumen untuk melindungi dan memperkuat kepentingan ekonomi kapitalis; militer menjadi penting untuk memperkuat kapasitas negara dalam hal pengawasan dan pengendalian warga. Ini menciptakan keterkaitan yang kuat antara institusi militer dan sektor ekonomi.

Di Indonesia, keterkaitan antara militer dan sektor-sektor ekonomi kapitalis tercermin jelas dalam studi terbaru yang dirilis oleh Agrarian Resource Center (ARC) pada tahun 2024 berjudul Kapitalisme Militer: Akumulasi Sumberdaya Ekonomi Militer melalui Perampasan Lahan. Studi ini menyoroti kasus perampasan lahan di wilayah pesisir Pantai Urutsewu oleh TNI Angkatan Darat untuk pertambangan pasir besi yang dijalankan oleh PT Mitra Niagatama Cemerlang (MNC). Kasus ini hanya satu contoh saja dari sekian banyak praktik keterlibatan tentara dalam proyek-proyek bisnis dan agenda akumulasi kapital.

Kemudian, dengan pengesahan revisi Undang-Undang TNI, peran tentara sebagai instrumen represi dan pengendalian sosial menjadi semakin besar. Hasilnya pun sudah tampak: penindasan terhadap pihak-pihak yang mengkritik atau memprotes kebijakan yang dianggap mengganggu kepentingan kapitalis meningkat. Peraturan baru itu harus dilihat bukan sebagai sekedar menimbulkan ketakutan akan kembalinya dwifungsi yang otoriter apalagi sekadar menyerap surplus perwira ke instansi-instansi sipil, melainkan untuk menegaskan bahwa negara memberi ruang besar kepada militer sebagai alat represi dan kendali dalam mempertahankan sistem kapitalis.

Telah banyak kasus yang menunjukkan bagaimana TNI (dan kepolisian) sering kali dijadikan alat oleh kepentingan kapitalis untuk melakukan kekerasan terhadap masyarakat yang memprotes kebijakan tertentu. Misalnya dalam kasus Rempang. Warga yang menyuarakan penolakan justru menghadapi intimidasi dan kekerasan dari aparat. Pola serupa juga terlihat di Papua melalui implementasi program yang disebut Proyek Strategis Nasional (PSN), serta dalam konflik lahan di Halmahera, Maluku Utara. Kasus-kasus ini menjadi bukti peran militer dan polisi dalam membungkam perlawanan rakyat terdampak demi melindungi kepentingan modal.


Teror dan kekerasan sebagai alat kontrol

Telah dijabarkan bahwa kapitalisme sangat bergantung pada mekanisme kontrol sebagai sarana untuk memastikan kelancaran operasional perusahaan dan mempertahankan keuntungan tanpa terganggu oleh gejolak sosial atau perlawanan publik. Dalam konteks ini, negara memegang peran sentral dalam menjaga stabilitas, memantau potensi ancaman, dan menekan gangguan. Strategi-strategi tersebut menjadi bagian integral dari logika kapitalisme; negara berfungsi sebagai polisi global guna melindungi kepentingan ekonomi dominan. Ini bukan hanya terjadi di konteks lokal. Menurut Robinson, kapitalisme juga membentuk jaringan pengawasan global yang mampu menekan negara-negara yang dianggap menyimpang dari kepentingan kapitalis. 

Indonesia, yang dekat dengan aliansi politik dan ekonomi internasional, juga berperan sentral dalam hal pengendalian informasi. Informasi yang “stabil” juga dibutuhkan kapitalisme. Dalam konteks ini lah kita harus menempatkan praktik teror dan kekerasan yang masih sering dihadapi para jurnalis, aktivis, intelektual kritis, akademisi, hingga masyarakat luas.

Berdasarkan data Aliansi Jurnalis Independen (AJI), sepanjang Januari sampai Desember 2024 terdapat 73 kasus teror terhadap wartawan. Sebagian besar pelaku berasal dari institusi kepolisian dengan 19 kasus, disusul oleh TNI sebanyak 11 kasus, serta aparat pemerintah termasuk pejabat legislatif dengan 6 kasus. Lalu ada laporan tahunan Amnesty International berjudul Situasi HAM di Dunia 2024/2025 yang menjabarkan bagaimana berbagai kelompok seperti aktivis, masyarakat adat, petani, nelayan, advokat, akademisi, dan mahasiswa juga mengalami teror dan ancaman. Selama tahun 2024, terjadi 123 serangan yang menargetkan 288 pembela hak asasi manusia. Serangan-serangan yang dimaksud mencakup pelaporan ke polisi, kriminalisasi, penangkapan tanpa dasar hukum, intimidasi, kekerasan fisik, hingga percobaan pembunuhan. Lebih detail: 12 kasus pelaporan terhadap 27 orang; 11 kasus penangkapan sewenang-wenang dengan 87 korban; 7 kasus kriminalisasi terhadap 24 orang; 6 percobaan pembunuhan dengan 7 korban; 78 kasus intimidasi dan kekerasan fisik terhadap 129 orang; serta 9 serangan yang ditujukan pada lembaga pembela HAM.

Serangan seperti yang dialami oleh wartawan Tempo mencerminkan konflik mendasar antara prinsip kebebasan pers dan kepentingan kapitalisme global yang berupaya mengendalikan arus informasi. Dalam sistem kapitalisme, media memegang peranan strategis karena narasi yang dibentuk dapat memengaruhi persepsi publik sekaligus stabilitas ekonomi dan politik. Oleh sebab itu, teror terhadap jurnalis tidak semata-mata merupakan pelanggaran terhadap kebebasan pers, melainkan bagian dari upaya yang lebih luas dalam pengendalian sosial dan naratif demi mempertahankan dominasi kapitalisme. Dalam konteks negara polisi global, tindakan kekerasan ini berfungsi untuk menjaga agar wacana publik tetap berpihak pada kepentingan elite kapitalis dan tidak mengganggu keberlangsungan sistem ekonomi yang menguntungkan kelompok tertentu, baik di tingkat nasional maupun internasional.


Penutup

Dari uraian singkat ini, saya ingin mengatakan bahwa kasus-kasus teror dan kekerasan terhadap jurnalis, aktivis, dan masyarakat mesti dilihat sebagai bagian integral dari operasi struktur kapitalisme itu sendiri. Teror fisik dan mental terhadap kelompok-kelompok kritis bukanlah penyimpangan, melainkan inheren dari kapitalisme yang mengandalkan kekuatan represif seperti polisi dan militer untuk menjaga stabilitas dan melindungi kepentingan ekonomi mereka.

Dengan demikian, respons dalam bentuk perlawanan langsung dari korban atau advokasi terhadap korban teror dan kekerasan juga mesti menyasar pada perlawanan terhadap sistem kapitalisme itu sendiri. Jika tidak, berbagai aksi protes yang muncul cenderung bersifat spontan dan reaktif, tanpa menggoyahkan fondasi sistem yang terus menguat.


Masril Karim adalah anggota Forum Studi Halmahera, Maluku Utara.

]]>
Menyangkal Pemerkosaan Massal Perempuan Tionghoa, Melanggengkan Ketidakadilan Ras dan Gender https://indoprogress.com/2025/06/menyangkal-pemerkosaan-massal-perempuan-tionghoa-melanggengkan-ketidakadilan-ras-dan-gender/ Wed, 25 Jun 2025 22:34:00 +0000 https://indoprogress.com/?p=239041 Ilustrasi: Indypendent


SELAIN mencerminkan pengingkaran sejarah dari pejabat kementerian yang semestinya bertanggung jawab langsung atas kerja pengelolaan ingatan kolektif, penyangkalan Fadli Zon terhadap pemerkosaan massal perempuan etnis Tionghoa di Indonesia pada tahun 1998 juga bisa dipahami sebagai wujud dari tindakan politis yang membuka kembali trauma yang menjadi tragedi nasional. Pernyataan ini tentu saja bukan sekadar wujud kegagalan atau tidak mumpuninya seorang individu dalam mempelajari dan memahami sejarah bangsanya sendiri, tetapi bentuk pembungkaman struktural atas kekerasan berbasis gender. 

Selama ini masyarakat cenderung memahami peristiwa Mei 1998 sebagai momen puncak ketidakpuasan massal terhadap otoritarianisme Orde Baru, krisis ekonomi yang menghancurkan kelas pekerja, juga ketidakadilan struktural yang merambah segala lini kehidupan. Apa yang sering luput dari pandangan adalah bagaimana negara dapat mengerahkan kekuatan mereka untuk mengalihkan kontradiksi material menjadi pertentangan gender dan ras melalui serangan terhadap otoritas tubuh perempuan—dalam hal ini Tionghoa. Kekerasan semacam ini tidak hanya menjadi serangan berbasis dendam dan pengalaman individual, namun simbol kecemasan sosial, politik, dan ekonomi yang dimanipulasi untuk mempertahankan status quo. Ironisnya, ketika negara dan representasinya memperlakukan kekerasan seksual sebagai rumor, maka mereka telah mereproduksi struktur dominasi yang sama yang menyebabkan kekerasan seksual itu ada dan bertahan.

Teori reproduksi sosial menjelaskan bagaimana kehidupan sosial sehari-hari termasuk pekerjaan rumah tangga berfungsi untuk mempertahankan sistem yang eksploitatif dan subordinasi berbasis gender. Berdasarkan kerangka berpikir ini, kekerasan seksual selama kerusuhan Mei 1998 tidak seharusnya dilihat sebagai insiden yang terisolasi tetapi bagian dari mekanisme yang lebih luas, yang secara sistematis mereproduksi ketidaksetaraan sosial dan gender. Pemerkosaan yang dialami oleh perempuan, terutama etnis Tionghoa, merupakan bentuk kontrol sosial yang menandai tubuh sebagai tempat perebutan kekuasaan sekaligus memperkuat marginalisasi etnis dan kelas. Penyangkalan atau penolakan untuk mengakui kekerasan ini memungkinkan struktur sosial yang menindas untuk bertahan hidup, dengan demikian memperkuat dominasi dan ketidakadilan berbasis gender dan ras untuk terus dilanggengkan di masyarakat.


Melampaui Identitas Gender dan Ras

Dalam berbagai konteks sejarah dunia, tubuh perempuan sering kali terkait erat dengan kekuasaan negara. Tubuh perempuan berfungsi sebagai situs simbolik dan material tempat kontrol terhadap populasi, identitas, dan tatanan sosial dilakukan. Seksualitas, kesuburan, dan bahkan emosi perempuan diatur untuk memastikan peran yang patuh dan produktif. Oleh karena itu, dalam situasi krisis, rezim yang berkuasa cenderung akan melancarkan penaklukan dan kontrol atas mereka. Semua demi memastikan kekuatan politik: dengan mengamankan kontrol atas reproduksi sosial, menegakkan disiplin dan hierarki, dan mereproduksi kondisi yang diperlukan untuk kerja, kepatuhan, dan manajemen populasi. 

Terdapat empat sudut pandang utama untuk menjelaskan signifikansi ekonomi-politik kontrol atas tubuh perempuan. Pertama, kontrol terhadap tubuh perempuan mencerminkan kuasa atas proses reproduksi (Vogel, 1983). Hal ini bisa dimaknai sebagai upaya rezim mengendalikan tubuh dan kehidupan, menentukan masa depan kekuasaan dengan mengontrol pertumbuhan populasi, tatanan sosial, dan nilai-nilai ideologis tentang kepatuhan yang diwariskan oleh peran tradisional perempuan. Kedua, penertiban terhadap tubuh perempuan adalah simbol penertiban terhadap masyarakat. Pengawasan seksualitas dan penciptaan narasi tertentu terkait tubuh perempuan merupakan bagian dari strategi untuk menanamkan disiplin sosial (Yuval-davis, 1997). Dalam hal ini, negara bermaksud untuk menekankan representasi kekuatannya pada tubuh perempuan untuk menunjukan kuasa dalam menentukan norma, menghukum penyimpangan, dan membungkam perbedaan pendapat (Pateman, 1988). Dari sudut pandang inilah menjadi tidak mengherankan jika dalam situasi krisis politik, rezim otoritarian akan cenderung menyerang perempuan. Semua demi menciptakan sistem dominasi. 

Ketiga, tubuh perempuan adalah arena yang efektif untuk memastikan keberlangsungan dikotomi kerja produktif dan reproduktif. Dengan memastikan kerja-kerja reproduktif sebagai pekerjaan berbasis gender, rezim dapat memastikan eksternalisasi biaya reproduksi sosial sembari menetapkan kepatuhan dan kedisiplinan populasi untuk melanggengkan kekuasaan politik (Federici, 1975; Bhattacharya, 2017). Keempat, karena serangan seksual atas tubuh merupakan pengalaman paling traumatis dan melumpuhkan daya, maka kejahatan seksual tersistematis sering digunakan untuk memastikan pembungkaman, pendisiplinan atas ingatan dan kebenaran, mencegah perlawanan, dan menghindari pengakuan karena adanya stigma negatif, pengalaman traumatis, dan perasaan bersalah dan malu yang dipaksakan (Bloodworth, 2015). Dengan demikian, devaluasi atas tubuh perempuan menjadi arena yang efektif untuk mempertahankan legitimasi atas batas otoritas moral dan politik rezim.

Narasi rasial secara historis juga berfungsi sebagai mekanisme untuk mempertahankan kontrol atas tubuh perempuan. Pengalihan isu struktural ekonomi-politik ke ranah politik identitas sering digunakan untuk melanggengkan sistem hierarkis. Sistem hierarki adalah arena pertarungan yang krusial, sebab siapa yang menang dapat memastikan pengendalian dan penaklukan dengan menormalisasi diskriminasi berbasis ras dan menaturalisasi dominasi agar ketidaksetaraan tampak sebagai fenomena alamiah (Fanon, 1961). Dengan demikian, narasi rasial dapat dimanfaatkan pada masa krisis politik dan ekonomi untuk menyederhanakan masalah struktural menjadi konflik moral dan kultural; mengonstruksi logika sederhana untuk mengkambinghitamkan kelompok masyarakat tertentu. 

Dalam konteks sejarah Indonesia, pemerintah kolonial-lah menjadikan warga Tionghoa sebagai perantara dalam perdagangan untuk mengalihkan potensi konsekuensi gejolak sosial akibat penjajahan dan meminimalisir tanggung jawab langsung atas eksploitasi. Kebijakan semacam ini dipertahankan oleh Orde Baru dengan memberikan posisi yang strategis secara ekonomi kepada sebagian kecil konglomerat Tionghoa yang setia terhadap rezim, sembari membentuk persepsi bahwa ekonomi secara umum dikendalikan oleh kaum Tionghoa, yang dengan demikian menjadi penanggung jawab utama penderitaan dan kemiskinan mayoritas penduduk (Setiono, 2003). 

Seiring dengan itu, rezim terus memastikan penyingkiran sosial, budaya, dan hukum terhadap etnis Tionghoa. Hal ini misalnya lewat Inpres Nomor 14/1967 dan SE Menteri Dalam Negeri Nomor 477/1978 yang melarang warga menggunakan nama Tionghoa dan mengekspresikan kebudayaan Tionghoa. Terdapat pula larangan tidak tertulis bahwa orang Tionghoa tidak bisa menjadi pejabat pemerintah apalagi militer; larangan pendidikan berbahasa mandarin, dan penandaan identitas WNI keturunan asing dalam dokumen negara (Heryanto, 1998). Penyingkiran hukum, sosial, dan kultural semacam ini memperkuat akar stigma yang tertanam dalam persepsi publik tentang etnis Tionghoa. Persepsi bahwa orang Tionghoa adalah identitas asing yang terasosiasi dengan komunisme dan berpotensi menjadi pengkhianat dalam situasi genting kian kuat. Karena persepsi itu pula muncul aspirasi tak berdasar, yaitu bahwa mereka perlu dibatasi dari akses terhadap perlindungan memadai dari negara. Strategi ini menjadikan kaum Tionghoa rentan pada masa krisis politik dan ekonomi. Selain itu tentu saja efektif untuk mengalihkan tanggung jawab krisis yang bersifat struktural menjadi isu politik identitas suatu kelompok dan mencegah persatuan massa lintas ras serta gender yang sesungguhnya sama-sama dieksploitasi dan disubordinasi oleh rezim otoritarian (Toer, 1998).


Penutup

Kekerasan berbasis ras dan gender sering kali meningkat selama masa krisis. Ia berfungsi sebagai alat untuk menegaskan dominasi, menegakkan hierarki sosial, dan mengalihkan frustrasi publik. Perempuan etnis Tionghoa memiliki dua identitas yang marginal itu, dan oleh karenanya efektif untuk dijadikan sasaran penundukan dan dominasi. Pemerkosaan massal terhadap mereka pada tahun 1998 adalah bukti nyatanya. Kasus ini menunjukkan bagaimana tubuh perempuan menjadi medan untuk menanamkan kuasa politik, ekonomi, dan sosial. Dengan demikian, pernyataan Fadli Zon mencerminkan penyangkalan dan pembungkaman oleh negara, yang juga berarti bahwa negara telah ikut andil mereproduksi struktur kekuasaan yang memungkinkan kekerasan seksual dan ras untuk terus tumbuh dan bertahan.


Referensi

Bhattacharya, T. (Ed.). (2017). Social reproduction theory. Pluto Press.

Fanon, F. (1963). The wretched of the earth (C. Farrington, Trans.). Grove Press. (Original work published 1961).

Federici, S. (1975). Wages against housework. Falling Wall Press.

Heryanto, A. (1998). Ethnic Identities and Erasure: Chinese Indonesians in Public Culture. In J. S. Kahn (Ed.), Southeast Asian identities: Culture and the politics of representation in Indonesia, Malaysia, Singapore, and Thailand (pp. 95-114). Institute of Southeast Asian Studies. 

Pateman, C. (1988). The sexual contract. Stanford University Press.

Pramoedya Ananta Toer. (1998). Hoakiao. Hasta Mitra.

Setiono, B. G. (2003). Tionghoa dalam pusaran politik. LP3ES.

Vogel, L. (1983). Marxism and the oppression of women. Haymarket Books.

Yuval-Davis, N. (1997). Gender and nation. Sage Publications.


Linda Sudiono, pengamat hukum dan sosial

]]>
Melawan Tambang Bukan Ekstremisme apalagi Wahabi, tapi Memulihkan Oikeios https://indoprogress.com/2025/06/melawan-tambang-bukan-ekstremisme-apalagi-wahabi-tapi-memulihkan-oikeios/ Mon, 23 Jun 2025 21:28:13 +0000 https://indoprogress.com/?p=239032 Ilustrasi: Wikimedia Commons


“Capitalism in the Web of Life takes flight by naming this relation of life-making: the oikeios. From this relation — as much methodological orientation as ontological claim — we can see manifold species - environment configurations emerge, evolve, and ultimately become something else entirely. . . . [T]he oikeios is a relation that includes humans, and one through which human organization evolves, adapts, and transforms. Human organization is at once product and producer of the oikeios: it is the shifting transfiguration of this relation that merits our attention. In this spirit I understand “capital” “capitalism” as producers and products of the oikeios.” 

 Jason W. Moore, Capitalism in the Web of Life, hlm 8

Tuduhan Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Ulil Abshar Abdalla bahwa kritik terhadap industri ekstraktif sama dengan “ekstremisme” bukan hanya keliru secara politis, tetapi juga mengabaikan relasi dialektis antara manusia dan alam—yang terurai dalam konsep oikeios dari Jason W. Moore, profesor di Universitas Binghamton yang juga koordinator World-Ecology Research Collective. Ulil juga menyatakan bahwa pandangan penolak tambang   sederajat dengan “wahabi” , dalam arti menolak segala yang baru. Dalam “kritiknya”, Ulil menekankan ada kemaslahatan yang didatangkan pertambangan.

Dalam kerangka oikeios, industri ekstraktif tidak dilihat sebagai kebijakan ekonomi, melainkan konfigurasi historis-spasial yang menghancurkan jaringan kehidupan (web of life). Selain membahas industri ekstraktif sebagai gangguan terhadap oikeios, artikel ini juga akan membicarakan tentang kritik ekologis sebagai upaya memulihkan relasi kehidupan, serta kelas penguasa sebagai parasit dalam metabolisme alam-manusia.


Industri Ekstraktif: Penghancuran Oikeios

Moore mendefinisikan oikeios sebagai relasi organik tempat manusia dan alam saling membentuk. Kerangka oikeios mencoba menggugat pemahaman relasi antara “yang-sosial” dan “yang-natural” selama ini. Ia menolak dualisme antara alam dan masyarakat. Moore, pada lembar-lembar Capitalism in the Web of Life, menggugat perspektif yang melihat kehadiran manusia—dan organisasi sosialnya (masyarakat)—sebagai suatu yang bukan “bagian dari alam”, entah sebab dipandang telah jauh melampauinya dengan perkembangan peradaban atau menganggap memang terlepas sejak semula. 

Dalam pendekatan ini, kehidupan sosial, perkembangan, dan evolusi masyarakat secara historis adalah satu dalam mata-rantai metabolisme lingkungan.  Tidak hanya masyarakat manusia “ditentukan” atau “bergantung” pada kondisi material sekitarnya, dalam perkembangannya, mereka juga turut serta mengubah/mentransformasi kehadiran total lingkungan. 

Industri ekstraktif (tambang, sawit, batu bara) memutus relasi ini dengan: pertama, mengubah alam menjadi “commodity frontier”: hutan, tanah, dan air direduksi menjadi input murah untuk akumulasi kapital alih-alih tempat komunitas hidup dan berkembang; kedua, memisahkan kerja-upahan dari ekologi: buruh tambang dan petani sawit dikondisikan untuk melihat alam sebagai “sumber daya”, bukan bagian dari reproduksi kehidupan sehari-hari. Kita melihat bagaimana industri ekstraktif merusak sekaligus mengatur ulang oikeios untuk kepentingan mereka. Oleh para ahli lingkungan kritis, ini kerap disebut dengan keretakan metabolik (metabolic rift)

Maka, ketika Ulil menyebut kritik terhadap situasi perusakan alam sebagai “ekstremisme”, ia tengah mengabaikan fakta bahwa industri ekstraktif adalah bentuk ekstrem dari perusakan oikeios.


Kritik Ekologis: Praksis Memulihkan Oikeios 

Perlawanan masyarakat adat, petani, dan buruh terhadap industri ekstraktif bukanlah “ekstremisme”, melainkan upaya memulihkan relasi oikeios yang dihancurkan kapitalisme. Kita bisa melihat beberapa contoh. Gerakan Warga Maba Sangadji di Maluku Utara yang melawan pertambangan di sungai tempat mereka menggantungkan hidup, misalnya. Ini bukan hanya soal tanah, tetapi mempertahankan mata rantai ekologi yang menghidupi masyarakat adat (serta hutannya) dan pertanian mereka. Kemudian ada aksi buruh tambang di Morowali yang menuntut keselamatan kerja  akibat beberapa insiden kecelakaan setahun ke belakang . Ini  adalah perlawanan terhadap logika ekstraksi yang mengorbankan tubuh manusia dan lingkungan. Kita bisa mengambil contoh perlawanan yang lebih lama dan panjang, misalnya masyarakat di sekitar pertambangan emas Freeport. 

Penolakan dan perlawanan langsung yang dilakukan oleh rakyat menunjukkan bahwa pertambangan bukan sekadar soal “keindahan yang hilang” atau “keaslian yang ternodai”. Ia adalah melawan arena penciptaan nilai tambah demi kelangsungan sirkuit akumulasi kapital. Rakyat menolak sebab basis kehidupan mereka terganggu .

Orang-orang seperti Ulil mudah saja mengatakan bahwa mereka yang menolak tambang berpandangan kuno—atau menolak kehadiran “sesuatu yang tidak dipahami” . Ada pula yang menganggap penolakan itu muncul dari ketidaktahuan terhadap sesuatu yang dianggap “lebih maju” atau “jauh melampaui pengetahuan mereka”. Akan tetapi, anggapan tersebut mengabaikan kenyataan bahwa masyarakat lokal punya pengetahuan ekologis dan relasi historis dengan lingkungan hidup mereka sendiri. Sebagai bagian dari oikeios, tatanan sosiokultural mereka telah lama terjalin dengan lingkungan sekitar, jauh sebelum dirombak aktivitas tambang  —juga  kemunculan permukiman urban (hingga menjadi kota-kota besar) . 

Perubahan memang suatu keniscayaan, tetapi peretakan oikeios yang disruptif dan tiba-tiba yang mengakibatkan ketidaksiapan dan ketidakmampuan transformasi sosial hanya mengakibatkan masyarakat adat terpinggirkan tanpa kepastian arah kehidupan sosial-ekologis mereka ke depannya — memunculkan pandangan di antara mereka untuk mencerabut diri dan mencari jalan keluar masing-masing.

Dalam bahasa Moore, gerakan-gerakan ini adalah “moments of reparation”—upaya mengembalikan keseimbangan metabolisme alam-manusia yang dirusak kapital.


Kelas Penguasa: Parasit dalam Jaringan Kehidupan 

Dalam kerangka oikeios, Ulil termasuk dalam kelompok yang oleh Moore sebut sebagai penganut “human exemptionalism”, yaitu menganggap manusia (terutama mereka sendiri) terpisah dari alam. 

Tapi itu hanya secuil dari posisi Ulil. Dukungan terhadap industri ekstraktif tidak bisa dilepaskan dari fakta bahwa pemerintah mempersiapkan berbagai konsesi wilayah pertambangan secara struktural (legal) bagi ormas-ormas keagamaan. Ini belum termasuk aktor-aktor yang memberikan dana secara langsung ke pesantren. Dalam konteks oikeios, kelas penguasa berperan penting dalam mengorganisasi ulang alam demi tujuan kapitalisme. Mereka adalah salah satu arsitek dari rusaknya oikeios. Di sini, kritik terhadap industri ekstraktif mengemuka sebagai jubah bagi kritik terhadap parasitisme kelas penguasa yang menggerogoti oikeios untuk kepentingan sempit.

Dalam konteks yang lebih luas, para pemuka agama yang mendukung eksploitasi juga membuktikan bahwa fungsi agama itu sendiri salah satunya memang sebagai pengontrol kesadaran massa. Dalam perkembangan industri ekstraktif di Indonesia, represi melalui aparatur kekerasan adalah hal yang terus berulang. Namun represi ini sering kali tidak memicu simpati yang luas. Salah satu penyebabnya adalah keberhasilan kekuasaan dalam mengonsolidasikan kekuatan-kekuatan sosial—termasuk pemuka agama itu tadi—yang mampu membentuk opini umum. Opini ini kemudian cenderung membiarkan dan bahkan membenarkan model ekstraktif yang berlangsung, seolah itu hal wajar demi “pembangunan”. 

Pengonsolidasian “tokoh-tokoh masyarakat” untuk mendukung rezim industri ekstraktif telah menjadi semacam keharusan dalam sejarah bangsa ini. Mereka, yang dalam diskursus ilmu sosial disebut “elite lokal”, merupakan elemen penting dalam menopang kekuasaan. 

Hal ini tak terlepas dari kenyataan bahwa kita belum sepenuhnya bebas dari warisan kolonial yang feodal, yang memandang hormat mereka yang dianggap punya status sosial lebih tinggi dari orang kebanyakan. Banyak elite memegang pengaruh sosial-politik yang kuat dengan basis berupa “bawahan-bawahan” atau massa yang tunduk. Ini umum terjadi di masyarakat yang tingkat kritisnya masih rendah— efek dari sistem pendidikan yang gagal meningkatkan kesadaran umum.

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.


Kritik adalah Titik Balik Oikeios

Tuduhan “ekstremisme” yang dilontarkan oleh Ulil terhadap gerakan anti-tambang bukan hanya keliru secara konseptual, tetapi juga merupakan bentuk kekerasan epistemik yang berupaya meminggirkan nalar dan pengalaman ekologis-politik rakyat. Ia mencerminkan posisi kelas penguasa yang menjelma sebagai perpanjangan tangan dari logika ekstraktif kapitalisme.

Dengan bingkai oikeios, kita memahami bahwa kehidupan manusia tidak bisa dipisahkan dari jaringan kehidupan alam. Kapitalisme menghancurkan jaringan ini dengan cara memisahkan kerja dari ekologi, dan menjadikan alam sebagai ladang akumulasi nilai yang tak berkesudahan. Industri ekstraktif adalah ekspresi paling brutal dari keretakan ini.

Perlawanan-perlawanan muncul di tengah kehancuran yang sedang terjadi, dari warga Maba Sangadji hingga buruh Morowali, dari masyarakat adat pedalaman Halmahera hingga berbagai komunitas yang berjuang mempertahankan tanah, laut, dan hutan mereka. Gerakan-gerakan ini bukan sekadar bentuk “penolakan”, tetapi praktik politik kehidupan. Mereka adalah ekspresi praksis ekologis yang bertujuan memulihkan metabolisme sosial-alamiah yang telah diretas oleh kapitalisme. Mereka adalah “moments of reparation” yang lahir dari tubuh dan pengalaman konkret.

Perlu diingat pula bahwa kerusakan ekologis di Indonesia berkelindan dengan struktur sosial-politik warisan kolonial dan Orde Baru. Ia melanggengkan dominasi elite lokal dan pemuka agama dalam menjaga keberlanjutan proyek ekstraktif. Selama formasi ini tak diganggu, rakyat akan terus menjadi korban; dan relasi oikeios akan terus dihancurkan demi kepentingan segelintir.

Oleh karena itu, tugas kita bukan hanya menyuarakan kritik, tetapi membangun basis politik alternatif—politik yang berpijak pada kehidupan, bukan keuntungan. Politik yang mengakui dan melanjutkan nalar ekologis rakyat, bukan mengutuknya sebagai “ekstrem”. Dalam arti inilah kritik ekologis bukan sekadar argumen, tapi jalan untuk menyelamatkan web of life yang tersisa.

Kapitalisme tidak sekadar “mengalami” krisis ekologis—ia adalah krisis itu sendiri, kata Moore. Maka, merawat dan memulihkan oikeios bukan hanya tindakan ekologis, tapi juga revolusioner. Sebab di sanalah hidup bisa dimulai kembali—bersama rakyat, bersama alam, dan bersama dunia yang layak huni.


Miftahulrahman Bahas, mahasiswa Universitas Nasional Jakarta

]]>
Aset Pendidikan Tionghoa dan Kekerasan Anti-Komunis 1965-1966 di Cirebon https://indoprogress.com/2025/06/kekerasan-anti-komunis-di-cirebon/ Sat, 21 Jun 2025 21:08:51 +0000 https://indoprogress.com/?p=239018 Ilustrasi: Illustruth


ADALAH ironi ketika kekerasan anti-komunis 1965–1966 diajarkan secara rutin di sekolah, tetapi sejarah kekerasan yang secara langsung terhubung dengan institusi pendidikan itu sendiri justru disenyapkan. Situasi seperti ini menghasilkan kontradiksi antara kurikulum pendidikan dan sejarah pembentukan bangsa di lingkup lokalnya. Dalam konteks pendidikan formal, kurikulum pelajaran “muatan lokal” (mulok) justru tidak memasukkan sejarah lokal, padahal itu semestinya menjadi ruang eksplorasi. Akibatnya, pengetahuan tentang sejarah, termasuk sejarah kekerasan, tidak dapat ditelusuri lebih jauh sehingga hanya bertahan dalam bentuk cerita lisan dan narasi klenik yang dimunculkan bilamana perlu.

Di SMA 2 Cirebon—bekas almamater sekolah saya—misalnya, seorang guru sejarah pernah bercerita tentang penampakan hantu siswi berseragam sekolah lama yang dikaitkan dengan SMA Garuda Cirebon, sekolah Tionghoa yang pernah menempati gedung tersebut sebelum peristiwa 1965 dan hilang ditelan Laut Utara setelahnya. Apa yang terjadi pada SMA Garuda? Bagaimana proses pemindahtanganan gedung ini terjadi? Mengapa hal ini memungkinkan? Semuanya tidak pernah dijelaskan.

Artikel ini berangkat dari narasi klenik pembentuk ingatan kolektif dan keterkaitannya dengan sejarah yang terpinggirkan di bekas tempat pendidikan saya. Tulisan ini bertujuan untuk menelusuri kembali sejarah lokal, tentang bekas-bekas aset pendidikan Tionghoa yang terafiliasi dengan organisasi kiri di Cirebon, dan telah berubah bentuk dan fungsi pasca-kekerasan anti-komunis 1965-1966. Melalui pendekatan lokalitas dalam sejarah ini, semoga muncul pemahaman lebih luas tentang bagaimana ingatan kolektif terkait peristiwa sejarah kekerasan tersebut dibentuk, disembunyikan, dan bertransformasi. Ia juga bisa menjadi bahan pendiskusian dalam melakukan penelusuran sejarah kekerasan anti-komunis 1965-1966 dalam pendekatan yang lebih luas.


Sekolah Tionghoa dalam Pusaran Demonstrasi 1965-1966

Dalam wawancara di Radar Cirebon, Abdul Rasyid Prasetyo atau akrab dipanggil Rasyid, mantan ketua Gugus Depan Pramuka Kota Cirebon dan bekas tahanan politik Pulau Buru, bercerita seputar peristiwa kekerasan anti-komunis 1965-1966 di daerahnya. Rasyid membahas kondisi politik dan kegiatan organisasi pra dan pasca-peristiwa 1965 di Kota Cirebon.

Ia menceritakan sosok R.S.A. Prabowo, anggota Serikat Buruh Kereta Api (SBKA) sekaligus Wali Kota Cirebon tahun 1960-1965. Setiap Rabu sore, Prabowo kerap memanggil Pramuka Kota Cirebon ke rumah dinasnya untuk membahas kerja-kerja dan koordinasi antara pembina Pramuka dan organisasi Pramuka—waktu itu semua kepala daerah merangkap pembina Pramuka. Setelah G30S, gelombang besar demonstrasi anti-komunis muncul di Cirebon. Prabowo, dengan latar belakang sebagai anggota serikat kiri, disasar massa. Sementara Rasyid dibuang ke Pulau Buru dan menjadi tahanan di sana selama 10 tahun karena dianggap dekat dengan Prabowo (Cribb, 1991: 37). 

Tak hanya tokoh, massa juga menyerang sekolahan. Di sinilah dia menyinggung SMA Garuda (dan SMA 2 Cirebon sebagai sekolah yang menggantikannya). “SMA 2 beruntung tidak dibongkar karena ada yang melarang… Waktu itu, SMA Garuda punya orang Tionghoa,” kata dia. Hingga hari ini belum jelas siapa yang mencoba membongkar dan siapa yang mencoba melarang pembongkaran. SMA Garuda sendiri berada dalam naungan Yayasan Pendidikan Garuda. Yayasan ini juga mengelola beberapa sekolah di tingkat bawah, SMP sampai SD. Yayasan Pendidikan Garuda berafiliasi dengan Badan Permusyawaratan Kewarganegaraan Indonesia (Baperki), organisasi yang dianggap sayap PKI

Beberapa guru dari sekolah Garuda akhirnya pindah ke sekolah lain. Marwoto, bukan nama sebenarnya, mengingat ada setidaknya empat guru SMP Garuda Cirebon pindah ke sekolahnya, SMP Negeri 1 Sindanglaut di Cirebon Timur. “Mereka diperkenalkan di sekolah beberapa bulan tidak jauh setelah peristiwa G30S terjadi, pas saya masih kelas 3 SMP,” katanya dalam wawancara pada 25 November 2023. Pemindahan ini kemungkinan besar merupakan upaya dari yayasan. Di sisi lain, kondisi para murid Garuda pasca-demonstrasi belum terjelaskan hingga saat ini.

Selain SMA Garuda, salah satu instansi pendidikan Tionghoa, Tiong Hwa Hwee Kwan Cirebon, terletak di Jalan Siliwangi, juga diambil alih pasca-malam 30 September. Rasyid, dalam surat kabar yang sama, menuturkan bagaimana gelombang demonstrasi massa menyasar sekolah tersebut. Ia tidak menjelaskan siapa yang mendemo tempat tersebut.

Sukasa, bukan nama sebenarnya, mantan tahanan politik yang pernah ditahan di Komando Resimen 063/ Sunan Gunung Jati (KOREM 063/ SGJ) yang terletak hanya 50 meter ke selatan dari Tiong Hwa Hwee Kwan Cirebon, menceritakan perubahan gedung tersebut sebelum dan sesudah ditahan. “Beberapa kali saya sempat lewat sekolah Tjung Hwa Tjung Hwe (Tiong Hwa Hwee Kwan) di perempatan Jalan Siliwangi dan Jalan Bahagia itu. Tapi pas saya ditahan hingga dibebaskan dari tahanan Korem Kota Cirebon tahun 1967, saya lihat Tjung Hwa Tjung Hwe sudah berubah menjadi Markas Ampera… Itu markasnya KAMI-KAPPI,” katanya dalam wawancara pada 30 November 2023. KAMI adalah Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia, sementara KAPPI singkatan dari Kesatuan Aksi Pemuda dan Pelajar Indonesia. Keduanya merupakan kelompok yang menyelenggarakan demonstrasi anti-komunis di berbagai kota. 

Setelah Markas Ampera, bangunan bekas sekolah Tiong Hwa Hwee Kwan juga sempat beralih fungsi menjadi kantor Komando Distrik Militer (Kodim) 0614/Kota Cirebon pada tahun 1970-an. Saat ini, baik bekas Markas Ampera dan Korem Kota Cirebon sudah berubah menjadi tempat perbelanjaan. Bekas Markas Ampera kini menjadi ASIA Toserba, sedangkan bekas Korem Kota Cirebon berubah menjadi Yogya Grand Cirebon.

Dari data yang tersedia sampai sekarang, upaya pendudukan aset dan properti organisasi kiri di Cirebon paling banyak dilakukan oleh organisasi massa, pemuda, dan pelajar.


Aksi Massa dalam Peristiwa Kekerasan 1965 di Cirebon

Catatan awal tentang gelombang protes, kerusuhan, dan tuntutan pembubaran organisasi-organisasi kiri berasal dari laporan Bupati Kabupaten Cirebon 1965-1966 R. Soemioto pada April 1966. Dinyatakan bahwa pimpinan Ban Pepelrada (Penguasa Pelaksana Dwikora Daerah) Kotapradja/Kabupaten Tjirebon merestui gerakan kesatuan aksi yang terdiri dari banyak organisasi, seperti KAMI, KAPPI, KOKADA (Komando Kesatuan Aksi Pemuda), KABI (Kesatuan Aksi Buruh Indonesia), KAPNI (Kesatuan Aksi Pengusaha Nasional Indonesia), dan  K.P.3 (Kesatuan Aksi Penjelamat Pendidikan Pantjasila). 

Kesatuan aksi ini sendiri dinyatakan sebagai “tuntutan murni yang timbul dari hati nurani”, menyasar PKI dan kemudian PNI (Ali-Surachman), sekaligus ”secara khusus menyoroti bidang-bidang sosial-ekonomi dan Perusahaan Negara yang berada di Kabupaten Cirebon.” Penyebaran pamflet tuntutan, coretan di tembok, dan demonstrasi dilakukan demi merealisasikan “Tri Tuntutan” (Dinas Pusat Arsip dan Dokumen Kabupaten Cirebon, 1966).

Berdasarkan laporan R. Soemioto, demonstrasi massa tampaknya terjadi dalam dua gelombang. Gelombang aksi pertama dilakukan untuk membersihkan PKI dan organisasi yang berafiliasi dengannya, sedangkan gelombang aksi kedua secara jelas dituliskan dilakukan guna membersihkan PNI (Ali-Surachman).

Laporan R. Soemioto tidak menjabarkan lebih lanjut tentang gelombang aksi pertama. Sumber lain juga minim sehingga belum dapat dipahami dengan detail siapa saja yang berperan, apa saja yang mereka sasar, dan bagaimana gelombang aksi ini dilancarkan. Namun, berdasarkan tuturan Rasyid, penyerangan terhadap SMA Garuda dan Tiong Hwa Hwee Kwan, serta agresi terhadap organisasi dan orang-orang kiri masif dilakukan pada gelombang pertama ini.

Sementara gelombang aksi kedua, yang menyasar anggota-anggota PNI khususnya yang berafiliasi dengan kubu Ali-Surachman, dilakukan sejak April 1966. Demonstrasi dan protes ini dapat dilihat sebagai salah satu upaya lanjutan bagi pembangunan Orde Baru, atau apa yang disebut sebagai pengorde-baruan (new orderisation) (Leksana, 2023: 121). Dengan sasaran spesifik, anggota PNI (Ali-Surachman) yang  condong pada golongan nasionalis-kiri dan sukarnois, operasi ini mencoba menghilangkan pengaruh Sukarno sekaligus membuka jalan bagi propaganda Golkar untuk memenangkan pemilu mendatang (Leksana, 2023: 122).

Upaya pembersihan PKI dan PNI (Ali-Surahaman) ini berlanjut ke wilayah Kuningan, Jawa Barat. Harian KAMI melaporkan bahwa pada 6-11 Agustus 1966 KAPPI se-Jawa Barat menyelenggarakan pertemuan di Gedung Bioskop Cirebon dalam rangka “Up-Grading dan pembekalan aksi TURSA (Turun Ke Desa)” ke perdesaan di Kuningan. Acara ini dihadiri oleh Pangdam Siliwangi Mayjen Dharsono, Moh. Hatta (dan ditulis mengharapkan kedatangan Brigadir Jendral Sarwo Eddy serta Bung Tomo).

Tidak disebutkan kapan kegiatan Tursa ini akan dilaksanakan, dan bagaimana pula ini berlangsung. Namun acara ini dikatakan untuk “menegakkan Orde Baru dan mendobrak Orde Lama” serta “mengadakan show of force” (Harian KAMI edisi 9 Agustus 1966). Show of force tidak lain dilakukan untuk menunjukkan kekuasaan militer—biasanya sembari disambut dan dirayakan oleh organisasi massa pendukungnya—atas keberhasilan dalam penumpasan PKI (Roosa, 2024: 249) dan menandai deklarasi terbentuknya Orde Baru (Leksana, 2023: 145).

Narasi tentang penyerangan maupun perampasan aset-aset organisasi kiri dalam arsip-arsip penumpasan G30S atau yang berkaitan memang tidak pernah disebutkan secara jelas, namun ia sering diawali dengan aksi-demonstrasi oleh organisasi massa pemuda, pelajar, dan keagamaan. Aksi organisasi-organisasi ini, yang mengatasnamakan gerakan mereka “datang dari hati nurani”, dapat dilihat sebagai salah satu metode perampasan aset organisasi kiri selain penyitaan langsung oleh militer.

Selain perampasan aset, retorika nasionalisme juga menjadi siasat untuk melegitimasi penahanan, penyiksaan, hingga pembantaian orang-orang kiri. Melalui operasi penumpasan G30S, retorika nasionalisme kemudian disubordinasikan. Orde Baru juga menjadikan nasionalisme guna menegaskan kepentingan negara (Langenberg dalam Cribb, 1991: 60) sekaligsu pembangunan ekonomi liberal (Robinson, 2009: 185).

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.


Penutup

Cerita tentang peristiwa kekerasan anti-komunis 1965-1966 yang terjadi dalam cakupan lokal, seperti apa yang diungkapkan dalam tulisan ini, tidak akan dijelaskan oleh guru-guru di semua sekolah di Indonesia. Paling-paling merereka hanya mengungkap sekilas saja, seperti guru sejarah saya. Untuk itu saya berterima kasih. 

Di pesisir sekaligus ujung timur Jawa Barat seperti wilayah Ciayumajakuning (Cirebon, Indramayu, Majalengka, dan Kuningan), meskipun kekerasan yang dilakukan secara langsung kepada warga sipil sangat ditekan, penghilangan terhadap orang-orang kiri maupun yang dituduh kiri turut hadir dan bertambah dari hari ke hari (Hughes, 1968; Young dalam Cribb, 1991: 94). Mereka yang tidak bernasib itu mengalami hari-hari penuh tekanan. Tidak sedikit pelajar yang tergabung dalam organisasi progresif seperti IPPI (Ikatan Pemuda Pelajar Indonesia) dan CGMI (Consentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia) maupun berasal dari keluarga yang dinyatakan terlibat G30S diharuskan wajib lapor hingga dikeluarkan paksa dari sekolah.

Ketika masih eksis, organisasi-organisasi ini merespons kondisi-kondisi ekonomi-politik di sekitarnya. Kiranya hal ini dapat menjadi bahasan selanjutnya bagi gerakan sekarang. Keterkaitan ekonomi-politik dan perampasan aset juga perlu diperdalam, khususnya dalam konteks akumulasi modal, apalagi sistem dan institusi pendidikan kini tidak lagi berfokus pada ilmu pengetahuan melainkan mencetak buruh murah.

Sekitar 100 meter ke utara dari SMA 2 Cirebon, berdiri kompleks ruko dan pasar tradisional bernama Gunungsari Trade Center (GTC). Pasar itu menjadi tempat siswa-siswi SMA 2 Cirebon—termasuk saya—nongkrong setiap hari sebelum pulang ke rumah masing-masing. Di sana pula kami biasa memarkirkan kendaraan, tidak jarang kehilangan helm bahkan motor. Tempat itu, menurut Rasyid masih di sumber yang sama, adalah bekas Gedung Gotong Royong, sebutan untuk kantor PKI Cirebon.

“Gedung itu habis diobrak-abrik dan dibakar massa”, ujar Rasyid. Tuturan Rasyid ini semakin melengkapi refleksi atas perasaan dan ingatan saya terhadap ruang-ruang yang berkaitan erat dengan masa SMA yang lampau.


Referensi

Buku

Cribb, R. “Problems in the historiography of the killings in Indonesia”, Dalam R. Cribb, The Indonesian Kiling 1965–1966: Studies from Java and Bali (1991). Clayton, Victoria: Centre of Southeast Asian Studies Monash University.

Langenberg, M. v. (1991). “Gestapu and State Power In Indonesia”, Dalam R. Cribb, The Indonesian Killings 1965-1966: Studies from Java and Bali (hal. 45-62). Clayton, Victoria: Centre of Southeast Asian Studies Monash University.

Leksana, G. T. (2023). Memory Culture of The Anti-Leftish Violence in Indonesia. Amsterdam: Amsterdam University Press.

Robinson, R. (2009). Indonesia: The Rise of Capital. Singapore: Equinox Publishing.

Roosa, J. (2024). Riwayat Terkubur: Kekerasan Antikomunis 1965-1966 di Indonesia. Tangerang Selatan: Marjin Kiri.

Young, K. R. (1991). “Local and National Influence In The Violence of 1965”, Dalam R. Cribb, The Indonesian Killings 1965-1966: Studies from Java and Bali (hal. 63 – 100). Clayton, Victoria: Centre of Southeast Asian Studies Monash University.

Surat Kabar

IPMI. (9 Agustus, 1966). Kappi ,,TURSA’’ Pelihara Militansi Perdjuangan. Harian KAMI. No. 34, hal. 1.

Kayla, C., & Nugraha, F. (2022, November 3). Aset Bisa Dirampas, Tetapi Memori Tetap Tinggal. Deduktif. https://deduktif.id/aset-bisa-dirampas-tetapi-memori-tinggal. Di akses pada tanggal 24 September 2024.

Suhendrik. (TT, TB TH). Setiap Rabu Sore Undang Pramuka ke Rumah Dinas. Radar Cirebon, No. TN, hal. 19.

Arsip

Soemioto. Buku Tjoretan dan Tjatatan serta Sorotan Kabupaten Tjirebon. (1966). Dinas Pusat Arsip dan Dokumen Kabupaten Cirebon, Cirebon.


Dzulfiusi Rafif adalah seorang sarjana antropologi dari Universitas Padjadjaran.

]]>
Luka yang Tak Terwakili dalam Narasi Negara https://indoprogress.com/2025/06/luka-yang-tak-terwakili-dalam-narasi-negara/ Thu, 19 Jun 2025 23:17:05 +0000 https://indoprogress.com/?p=239028 Ilustrasi: illustruth


PENYUSUNAN ulang sejarah resmi tidak bisa dianggap sebagai kado ulang tahun ke-80 republik seperti yang dikatakan pemerintah. Di baliknya tersembunyi motif yang patut diungkap. Penulisan sejarah resmi oleh negara bukanlah praktik netral, melainkan strategi hegemonik untuk mengukuhkan legitimasi ideologis; upaya yang dapat dibaca sebagai konsolidasi narasi dominan demi membentuk kesadaran nasional yang sesuai dengan kepentingan kekuasaan saat ini. Proyek semacam ini sering kali menjadi sarana untuk meneguhkan identitas politik tertentu dengan mengorbankan representasi kelompok-kelompok yang mengalami kekerasan sejarah. 

Untuk melihat bagaimana negara secara sistematis menampilkan sejarah secara selektif, tulisan ini akan mengangkat dua periode kekerasan paling besar dalam sejarah Indonesia, pembantaian 1965-1966 dan pemerkosaan Reformasi 1998.


I. Pembantaian 1965-1966

Negara dan Politik Pelupaan

Dalam periode 1965–1966, lebih dari 500 ribu orang diyakini menjadi korban pembantaian dengan dalih penumpasan Partai Komunis Indonesia (PKI). Namun, seperti ditunjukkan oleh John Roosa, narasi kudeta oleh PKI adalah dalih semata (Roosa, 2006). Bukti-bukti kuat berasal dari arsip-arsip militer (Melvin, 2018) dan kesaksian korban yang dikumpulkan dalam proyek-proyek sejarah lisan oleh lembaga swadaya masyarakat yang bergerak di bidang hak asasi manusia (Roosa et al., 2004). Dalam buku Tahun yang Tak Pernah Berakhir, wawancara dengan para penyintas menunjukkan bahwa banyak penangkapan dan pembunuhan dilakukan oleh militer lokal tanpa proses hukum, sering kali sekadar berdasarkan laporan dari tetangga atau aparat desa, bukan karena keterlibatan nyata dalam aktivitas PKI (Roosa et al., 2004). Kekerasan ini adalah operasi yang dirancang secara sistematis oleh militer (Robinson, 2018), yang juga mendapat legitimasi internasional sebagai bagian dari Perang Dingin sebagaimana dikaji Mattias Fibiger, yang menyebut rezim Soeharto sebagai pion regional dalam proyek kontra-revolusioner Amerika Serikat (Fibiger, 2023).

Di atas tumpukan tubuh tak bernyawa, narasi negara mendefinisikan peristiwa ini sebagai “penyelamatan bangsa”—dan melanggengkannya melalui film, museum, patung, kurikulum sekolah, serta upacara kenegaraan. Sebagaimana ditulis Ariel Heryanto, ini adalah bentuk teror simbolik: bukan hanya membungkam para korban, tetapi juga mengontrol cara rakyat mengingat dan menceritakan masa lalu mereka (Heryanto, 2005).

Negara menarasikan tragedi 1965 sebagai “pemberontakan” yang berhasil digagalkan. Dalam narasi ini, militer adalah pahlawan, sedangkan korban dihapuskan dari teks. Narasi ini dikokohkan melalui kurikulum pendidikan sejarah di sekolah menengah, buku teks resmi seperti Sejarah Nasional Indonesia, dan penggambaran visual dalam film Pengkhianatan G30S/PKI yang disiarkan setiap tahun hingga 1998. Seperti ditunjukkan Saskia Wieringa, penggambaran perempuan Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani) sebagai sadis dan tidak bermoral adalah bagian dari strategi misoginis negara dalam membentuk lanskap ingatan yang domestik, patriarkal, dan penuh rekayasa (Wieringa, 2002; 2019). Propaganda ini berhasil membangun ketakutan moral yang hingga kini masih bekerja secara efektif dalam menekan wacana alternatif.

Grace Leksana menyebut domestikasi ruang-ruang publik oleh negara sebagai pembentukan “lanskap ingatan” (Leksana, 2023). Budiawan (2004) menambahkan bahwa wacana anti-komunis telah menjadi struktur wacana yang diwariskan lintas rezim—dari Orde Baru hingga era Reformasi—yang terus-menerus mendefinisikan siapa yang dianggap sebagai bagian dari bangsa dan siapa yang dikucilkan. Dengan demikian, kita tidak sedang berhadapan dengan sejarah, tetapi dengan narasi tentang sejarah yang sangat politis.

Luka yang Tak Terucap: Trauma, Diam, dan Perjuangan Ingatan

Luka yang tidak diakui ini menjalar antar-generasi. Para penyintas dan keluarga korban tak hanya kehilangan orang yang dicintai, tetapi juga hak hidup, pekerjaan, pendidikan, dan martabat. Mereka dicap “eks-tapol”, disisihkan secara sosial, dan diawasi dalam diam. Trauma mereka diwariskan dalam bisik-bisik keluarga, cerita makan malam, dan nyanyian tidur. Salah satu kisah dalam buku Tahun yang Tak Pernah Berakhir mengisahkan seorang perempuan di Blitar yang baru menyadari bahwa ayahnya korban pembantaian setelah menemukan catatan rahasia yang disembunyikan ibunya selama puluhan tahun (Roosa et al., 2004). Leksana menyebut bentuk pewarisan seperti ini sebagai “ingatan terbenam” (embedded remembering), di mana memori trauma tetap hidup meskipun tidak diberi ruang dalam narasi resmi. John Roosa dan Hilmar Farid menyebut bentuk ingatan ini sebagai “ingatan yang terpenjara” (Roosa et al., 2004).

Dua film Joshua Oppenheimer—The Act of Killing (2012) dan The Look of Silence (2014)—menunjukkan dengan jelas bagaimana narasi pelaku dan korban beradu dalam ranah ingatan publik. The Act of Killing bahkan memperlihatkan bagaimana para algojo bangga atas pembantaian yang mereka lakukan, sementara The Look of Silence berfokus pada keberanian seorang adik korban untuk menghadapi para pembunuh saudaranya. Respons publik terhadap film ini sangat beragam: di satu sisi, banyak penonton yang terguncang dan mulai mempertanyakan narasi resmi; di sisi lain, negara dan sebagian elite militer menunjukkan resistansi dan menolak untuk membuka kembali peristiwa ini. Penolakan terhadap pemutaran film secara luas di Indonesia mencerminkan betapa narasi negara masih dominan dan berusaha menutupi ruang bagi ingatan alternatif. Gerombolan pelaku merasa bangga karena negara tak pernah menindak mereka, sementara para korban hanya bisa menyimpan dendam dan duka dalam sunyi.


II. Pemerkosaan Mei 1998

Kekerasan Simbolik dan Politik terhadap Perempuan

Dalam bincang-bincang di sebuah stasiun televisi pada 8 Juni silam,  Menteri Kebudayaan Fadli Zon melontarkan pernyataan kontroversial. Ia meragukan terjadinya pemerkosaan massal terhadap perempuan dalam kerusuhan Mei 1998. Menurutnya itu sebatas rumor. “Enggak ada proof-nya,” katanya. Peristiwa itu “hanya cerita” yang menurutnya belum ada dalam buku sejarah. Klaim ini, alih-alih menawarkan klarifikasi sejarah, justru memperpanjang derita para korban dan mencerminkan sikap negara yang terus gagal menegakkan keadilan.

[TW: dua paragraf berikutnya memuat konten eksplisit tentang kekerasan seksual dan rasial]

Laporan Komnas Perempuan dan Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) menunjukkan bahwa dalam kurun waktu Mei–Juli 1998, setidaknya 168 kasus kekerasan seksual terjadi terutama di Jakarta, termasuk pemerkosaan bergilir, penyiksaan seksual, mutilasi, dan pembakaran hidup-hidup (Komnas Perempuan, 1999). Komnas Perempuan menyebut sebagian besar korban adalah perempuan Tionghoa. Korban lain termasuk perempuan pekerja dan perempuan miskin kota yang kebetulan berada di wilayah kekerasan massa. Kenapa mayoritas perempuan Tionghoa yang jadi target pemerkosaan? Dalam laporan itu disebut: perempuan Tionghoa secara khusus ditargetkan karena simbolisasi mereka sebagai “asing”, “kaya”, dan bukan bagian dari bangsa Indonesia.

Lebih lanjut laporan itu menulis: kekerasan itu bukan kebetulan atau spontan. Ia adalah kekerasan simbolik dan politik, mengandung pesan: “karena kamu Cina, kamu diperkosa.” Pemerkosaan dijadikan alat untuk menghina identitas etnis, meruntuhkan harga diri komunitas, dan menanamkan teror. Dalam banyak kasus, pemerkosaan dilakukan secara berkelompok, di depan keluarga, bahkan sambil diteriakkan makian rasial (TGPF, 1999). Artinya tubuh perempuan dijadikan “panggung” simbolis untuk mempermalukan komunitas yang disasar—rasial, kelas, dan gender menjadi titik temu kekerasan politik.

Ariel Heryanto dalam esainya yang penting, Rape, Race, and Reporting (1999), menjelaskan bahwa kekerasan seksual Mei 1998 memiliki empat karakteristik: (1) kebrutalan yang dipertontonkan secara masif, (2) penciptaan rasa takut kolektif, (3) kekebalan pelaku dari hukum, dan (4) absurditas dari tindakan itu sendiri—bahwa ia terjadi bukan karena kebutuhan, melainkan demi mempertahankan dominasi simbolik.

Kekerasan ini bukan sekadar tindak kriminal melainkan bagian dari struktur kekuasaan negara pascakolonial yang bersifat maskulin dan represif. Pemerkosaan itu merupakan bentuk kekerasan simbolik yang dirancang untuk menanamkan rasa takut kepada kelompok tertentu: perempuan, etnis Tionghoa, dan warga sipil. Ia menyebut bahwa kekerasan ini dilakukan dalam konteks “vulgar masculinist postcolonial state power”, sebuah relasi kuasa yang menggabungkan brutalitas maskulin, kekebalan hukum bagi pelaku, dan represi negara. Kekerasan tersebut menyasar tubuh perempuan untuk menunjukkan dominasi politik dan kultural atas komunitas yang dianggap “asing” dan tidak berhak atas rasa aman di Indonesia.

Heryanto juga menyingkap lapisan lain dari tragedi ini: para secondary victims (korban sekunder)—mereka yang tidak diperkosa secara langsung namun hidup dalam ketakutan, stigma, dan kerentanan yang ekstrem. Dalam konteks perempuan Tionghoa, banyak yang meninggalkan Indonesia, berhenti bekerja, atau mengasingkan diri akibat trauma kolektif yang tidak pernah diakui negara secara utuh.

Hal ini ditegaskan pula oleh Charlotte Setijadi dalam Memories of Unbelonging (2023). Ia menulis bahwa peristiwa Mei 1998 meninggalkan luka identitas mendalam bagi etnis Tionghoa di Indonesia. Perempuan-perempuan Tionghoa tidak hanya menjadi korban kekerasan seksual, tetapi juga menjadi lambang dari eksistensi yang selalu disangkal oleh negara. Setijadi menuliskan bagaimana perempuan Tionghoa menjadi simbol dari konstruksi “yang asing” di Indonesia—meski telah hidup di tanah ini selama generasi. Saat kerusuhan terjadi, perempuan dari komunitas ini tidak hanya diserang karena jenis kelamin, tetapi juga karena representasi simboliknya sebagai “komunitas asing yang makmur”—narasi lama yang terus dihidupkan oleh elite kekuasaan.

Pemerkosaan terhadap perempuan Tionghoa dalam kerusuhan Mei 1998 adalah bentuk kekerasan politik berbasis ras dan gender, yang dipicu oleh runtuhnya legitimasi Orde Baru dan dibiarkan oleh aparat keamanan. Jemma Purdey dalam Anti-Chinese Violence in Indonesia (2006) menyebut bahwa serangan tersebut dilandasi oleh pengorganisasian yang memungkinkan kekerasan menjadi alat penyaluran frustrasi kolektif sambil tetap menjamin keamanan pelaku.

Hingga kini, tidak satu pun pelaku kekerasan seksual dibawa ke pengadilan. Laporan Komnas HAM dalam Merawat Ingatan Menjemput Keadilan (2020) menyatakan bahwa rekomendasi penyelidikan oleh Komnas Perempuan, TGPF, maupun lembaga internasional tidak pernah ditindaklanjuti secara serius oleh negara. Hanya tiga dari lima belas kasus pelanggaran HAM berat yang berhasil dibawa ke meja hijau, dan pemerkosaan Mei 1998 bukan salah satunya. Padahal, Presiden B.J. Habibie dalam autobiografinya Detik-detik yang Menentukan: Jalan Panjang Indonesia Menuju Demokrasi  (2006) secara eksplisit menyatakan telah menerima langsung kesaksian dari para relawan dan korban kekerasan seksual, yang kemudian mendorongnya membentuk Komnas Perempuan dan mengutuk kekerasan itu secara publik. Ia menyadari bahwa keadilan tidak bisa ditunda, dan negara harus bertanggung jawab.

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.


Penutup: Dari Luka yang Disangkal ke Ingatan yang Diperjuangkan

Sejarah Indonesia dalam versi resmi kerap tampil dalam narasi yang rapi, tertib, dan penuh kepastian. Namun, di balik konstruksi itu, terdapat kekacauan, luka, dan penderitaan yang disingkirkan. Tragedi 1965 dan kekerasan seksual dalam kerusuhan Mei 1998 adalah dua peristiwa besar yang tak hanya ditandai oleh kebrutalan, tetapi juga oleh upaya sistematis negara untuk menafikan keberadaannya dalam memori kolektif bangsa.

Setelah pembantaian massal 1965, negara menyusun narasi tunggal tentang “penumpasan pengkhianatan G30S/PKI”, menjadikan militer sebagai pahlawan dan menghapus para korban dari sejarah resmi. Kisah tentang ratusan ribu orang yang dibunuh, dipenjara, dan disiksa tanpa proses hukum dikaburkan lewat kurikulum, film propaganda, dan monumen. Dalam narasi ini, kebenaran tidak hanya diredam, tetapi juga direkayasa secara simbolik.

Tiga dekade kemudian, pada Mei 1998, sejarah kekerasan berulang. Di tengah keruntuhan Orde Baru, kekerasan massal menyasar komunitas Tionghoa. Tubuh perempuan menjadi simbol dominasi politik—diperkosa, dibakar, disiksa—bukan karena siapa mereka secara personal, tetapi apa yang mereka wakili secara etnis dan sosial. Namun, seperti pada 1965, tragedi ini segera dibungkam. Negara membentuk tim investigasi, tapi tak satu pun pelaku diadili. Peristiwa itu tidak diajarkan di sekolah, tidak ada peringatan nasional, bahkan tidak ada pengakuan formal yang konsisten.

Elizabeth Drexler dalam Infrastructures of Impunity (2024) menjelaskan bahwa kekerasan negara di Indonesia bukan hanya soal tindakan fisik, tetapi dilestarikan melalui infrastruktur impunitas: hukum yang tumpul, institusi yang lemah, dan narasi yang selektif. Kekerasan terjadi tetapi dihapus dari buku teks, tidak disebut dalam peringatan resmi, dan tidak mendapat tempat dalam kurikulum pendidikan nasional. Dengan kata lain, kekerasan itu tidak selesai di jalanan, melainkan terus berlangsung dalam bentuk penyangkalan dan penghapusan ingatan.

Puncak dari penyangkalan ini terjadi pada 8 Juni 2025, ketika Menteri Kebudayaan Fadli Zon menyatakan bahwa “tidak ada bukti pemerkosaan massal pada Mei 1998.” Pernyataan ini bukan sekadar penolakan fakta, tetapi bentuk kekerasan simbolik yang membunuh kembali para korban yang telah dihancurkan oleh trauma dan pengabaian. Seperti dicatat Komnas HAM (2020), inilah bentuk nyata dari politik impunitas—negara yang tidak hanya gagal memberikan keadilan, tetapi secara aktif memproduksi kebisuan.

Apa yang terjadi bukan sekadar penghilangan data atau kejadian, melainkan produksi makna yang dimonopoli oleh negara. Sejarawan posmodern seperti Alun Munslow menegaskan bahwa sejarah bukanlah cermin objektif dari masa lalu, melainkan konstruksi naratif yang dibentuk oleh ideologi, posisi sosial, dan strategi wacana dari penulisnya (Munslow, 2006). Sejarah tidak ditemukan, tetapi diciptakan—melalui proses emplotment dan troping, yakni pemilihan fragmen, struktur, dan bahasa yang mengarahkan pemaknaan tertentu. 

Menurut Munslow, sejarah bukan tentang “apa yang sebenarnya terjadi”, tetapi soal bagaimana peristiwa itu dinarasikan. Dalam konteks negara, sejarawan memilih dan menyusun fragmen-fragmen masa lalu dalam plot tertentu—romansa, tragedi, atau satire—yang pada akhirnya mengukuhkan posisi kekuasaan. Dalam sejarah Indonesia, terutama pasca-1965, yang terbentuk adalah emplotment hegemonik yang represif dan eksklusif terhadap suara korban.

Narasi resmi yang lahir dari proses ini selalu tampak sah dan tertutup. Namun kenyataan sejarah bersifat kompleks dan penuh luka. Munslow menyebutnya sebagai sublime history—sejarah yang tak dapat direpresentasikan sepenuhnya karena kedalaman traumanya. Ketika menulis sejarah hanya sebagai laporan kronologis “apa yang terjadi” dan menutup ruang tafsir dari perspektif korban, maka negara sedang menyingkirkan kemungkinan narasi yang lebih adil dan manusiawi.

Dalam kondisi semacam ini, kita membutuhkan sejarah yang jujur bukan untuk membuka luka lama, tetapi menyembuhkannya. Pendekatan dekonstruksionis seperti yang ditawarkan Munslow sangat relevan: kita harus menyadari bahwa setiap sejarah adalah representasi—dan karenanya, harus membuka ruang bagi representasi alternatif, khususnya dari mereka yang selama ini dibungkam.

Rekonsiliasi yang sejati hanya mungkin terjadi jika sejarah ditulis dari sudut pandang yang inklusif dan plural. Seperti dikemukakan John Roosa (2020), rekonsiliasi tidak mungkin terwujud tanpa pengakuan negara, penyebutan pelaku, dan restitusi bagi korban. Tanpa elemen-elemen itu, yang kita miliki hanyalah “rekonsiliasi semu” yang melanggengkan impunitas dan memperkuat dominasi narasi negara.

Luka sejarah bukan sekadar urusan masa lalu; ia adalah persoalan hari ini dan masa depan. Jika kita terus membiarkan negara menarasikan sejarah secara tunggal dan hegemonik, kita sedang menciptakan generasi yang buta terhadap nilai-nilai kemanusiaan. Perjuangan melawan pelupaan adalah perjuangan untuk keadilan yang paling dasar.

Reformasi 1998 memang melahirkan harapan, tetapi juga mewariskan pengkhianatan—terutama terhadap para perempuan yang tubuhnya dijadikan medan perang simbolik. Mereka diperkosa bukan karena kesalahan pribadi, tetapi karena konstruksi sosial yang menjadikan mereka target.

Maka pertanyaannya kini bukan sekadar “apa yang terjadi”, tetapi: sejarah siapa yang sedang ditulis? Jika pemerkosaan massal Mei 1998 dan pembantaian 1965 terus dihapus dari ingatan sejarah nasional, maka yang kita rayakan di ulang tahun Indonesia yang ke-80 nanti bukanlah kebebasan, melainkan keberhasilan penyingkiran.

Melawan pelupaan bukan nostalgia akan luka lama, melainkan perlawanan terhadap kekuasaan yang terus berusaha menghapus jejak kekerasan yang dilakukannya.


Referensi

Budiawan. Mematahkan Pewarisan Ingatan: Wacana Anti-Komunis dan Politik Rekonsiliasi Pasca-Suharto. Jakarta: ELSAM, 2004.

Drexler, Elizabeth. Infrastructures of Impunity: New Order Violence in Indonesia. Cornell University Press, 2024.

Fibiger, Mattias. Suharto’s Cold War: Indonesia, Southeast Asia, and the World. Oxford: Oxford University Press, 2023.

Habibie, B.J., Detik-detik yang Menentukan: Jalan Panjang Indonesia Menuju Demokrasi. Jakarta: THC Mandiri, 2006.

Heryanto, Ariel, “Rape, Race, and Reporting”, dalam Reformasi: Crisis and Change in Indonesia, ed. Arief Budiman dkk. Monash Asia Institute, 1999. 

Heryanto, Ariel. State Terrorism and Political Identity in Indonesia: Fatally Belonging. London & New York: Routledge, 2005.

Komnas HAM. Merawat Ingatan Menjemput Keadilan: Ringkasan Eksekutif Peristiwa Pelanggaran HAM Yang Berat. Jakarta: Komnas HAM, 2020. 

Komnas Perempuan, Seri Dokumen Kunci: Laporan TGPF dan Relawan untuk Kemanusiaan, Jakarta: Komnas Perempuan, 2002.

Leksana, Grace Tjandra. Memory Culture of the Anti-Leftist Violence in Indonesia: Embedded Remembering. Amsterdam: Amsterdam University Press, 2023.

Melvin, Jess. The Army and the Indonesian Genocide: Mechanics of Mass Murder. Ithaca, NY: Cornell University Press, 2018.

Munslow, Alun. Deconstructing History. 2nd ed. London & New York: Routledge, 2006.

Purdey, Jemma. Anti-Chinese Violence in Indonesia, 1996–1999. Honolulu: University of Hawai‘i Press, 2006.

Robinson, Geoffrey B. The Killing Season: A History of the Indonesian Massacres, 1965–66. Princeton, NJ: Princeton University Press, 2018.

Roosa, John, et al. Tahun yang Tak Pernah Berakhir: Memahami Pengalaman Korban 65. Jakarta: ELSAM (Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat), 2004.

Setijadi, Charlotte. Memories of Unbelonging: Ethnic Chinese Identity Politics in Post-Suharto Indonesia. Honolulu: University of Hawai‘i Press, 2023.

Wieringa, Saskia E. Sexual Politics in Indonesia. Houndmills, Basingstoke, Hampshire & New York: Palgrave Macmillan, 2002.

Wieringa, Saskia E., and Nursyahbani Katjasungkana. Propaganda and the Genocide in Indonesia: Imagining Victims and Perpetrators. London & New York: Routledge, 2019.


Dian Purba, alumni Pascasarjana Ilmu Sejarah Universitas Gadjah Mada dan dosen di Institut Agama Kristen Negeri (IAKN) Tarutung.

]]>
Apa Itu “Normal”? Siapa yang “Normal”? Kapitalisme yang Menentukan dan Harus Dilawan https://indoprogress.com/2025/06/apa-itu-normal-siapa-yang-normal-kapitalisme-yang-menentukan-dan-harus-dilawan/ Tue, 17 Jun 2025 22:49:50 +0000 https://indoprogress.com/?p=238998 Ilustrasi: Artsology


Aku baru tahu aku punya ADHD di usia 24—setelah bertahun-tahun hidup sambil merasa gagal, tidak fokus, dan mudah marah. Selama itu aku pikir aku cuma kurang disiplin. Ternyata bukan. Aku hanya “masking”.

Diagnosis itu membuatku sadar: bukan aku yang bermasalah. Sistemnya.


Ableisme itu struktural. Sistem memusuhi yang “berbeda”

Saat bicara tentang disabilitas, sering kali perhatian kita hanya tertuju pada kondisi individu—apa yang bisa atau tidak bisa dilakukan oleh tubuh atau pikiran seseorang. Pandangan ini keliru. Disabilitas itu bukanlah sekadar masalah tubuh atau otak. Banyak disabilitas sebenarnya muncul karena lingkungan sosial dan fisik yang tidak dirancang secara inklusif. Trotoar tanpa landai, gedung tanpa akses lift, dan transportasi umum tanpa akses yang mudah adalah beberapa contoh sehari-hari pengabaian sistematis terhadap kelompok rentan. Bahkan banyak fasilitas kesehatan yang semestinya jadi acuan tetap tidak ramah bagi difabel, belum lagi tentang tenaga medis yang minim pelatihan soal disabilitas.

Memang sudah ada Undang-Undang Penyandang Disabilitas (UU No. 8/2016) dan Undang-Undang Kesehatan (UU No. 17/2023), namun implementasinya masih jauh dari ideal. Kebijakan negara, ruang-ruang publik, dan layanan kesehatan lebih sering dibuat tanpa mempertimbangkan kebutuhan orang dengan disabilitas. Pada akhirnya, banyak orang dengan disabilitas terpaksa beradaptasi dengan lingkungan yang tidak mendukung, bahkan sering kali harus menghadapi diskriminasi terselubung dari sistem yang seharusnya melindungi mereka. Disabilitas menjadi bukan hanya soal tubuh, tapi juga bagaimana sistem sosial dan fisik meminggirkan mereka yang berbeda.

Jika yang terlihat saja diabaikan, tidak heran jika disabilitas yang tidak tampak secara fisik (atau istilah populernya: neurodevelopmental disorders/neurodivergence) lebih luput dari perhatian. Lihat saja institusi sekolah. Ada berapa banyak yang memiliki fasilitas untuk anak-anak dengan gangguan belajar? Alih-alih dibantu, mereka malah mendapat nilai negatif karena dianggap gagal mengikuti pembelajaran. 

Untuk itu pemahaman tentang neurodiversitas/neurodiversity menjadi penting. Neurodiversitas adalah istilah yang menggambarkan bahwa variasi neurologis—seperti autisme, ADHD, disleksia, dan kondisi neurodivergen lainnya—bukanlah gangguan yang harus “diperbaiki” apalagi “disembuhkan” sebab itu merupakan bagian alami dari keberagaman manusia, tak berbeda dengan rupa-rupa warna kulit dan bahasa. Menurut artikel di Psychology Today yang ditulis oleh Robert Chapman, istilah neurodiversitas menantang paradigma lama yang memandang kondisi neurodivergen sebagai “penyakit” atau “kelainan”. Sebaliknya, konsep ini menekankan bahwa cara otak orang memang berbeda-beda dalam memproses informasi, belajar, dan berinteraksi dengan dunia.

Meskipun neurodiversitas menawarkan perspektif yang lebih inklusif dan membebaskan, lagi-lagi masih banyak tantangan yang dihadapi orang neurodivergen, terutama karena sistem sosial dan ekonomi kita masih berpegang pada standar “normal” yang sempit dan kaku. Oleh karena itu, penting untuk memahami neurodiversitas bukan hanya sebagai konsep akademik tapi juga panggilan untuk menciptakan dunia yang lebih ramah dan menerima semua cara berpikir.


Ejekan, stigma, serta ableisme yang masih masif

Selain dari aspek struktural, masalah besar lain yang dihadapi oleh orang dengan gangguan belajar dan neurodivergensi adalah ejekan dan stigma sosial yang masih sangat luas. Di Indonesia, olok-olok seperti “autis”, “retarded”, dan kata-kata kasar lainnya sering digunakan secara sembrono sebagai hinaan di sekolah, tempat kerja, sampai lingkungan rumah. Sikap seperti ini berakar dari kurangnya edukasi dan kesadaran masyarakat tentang neurodiversitas dan disabilitas secara umum. Padahal, pengakuan dan penerimaan terhadap keberagaman neurologis adalah langkah penting untuk menciptakan masyarakat yang benar-benar inklusif dan adil.

Ejekan ini bukan hanya menyakitkan, tapi juga memperkuat stigma bahwa gangguan belajar atau kondisi neurodivergen adalah sesuatu yang memalukan sehingga harus disembunyikan. Hal ini membuat banyak orang, termasuk aku sendiri, harus masking. Masking atau social camouflaging adalah upaya terus-menerus untuk “menyesuaikan diri” dengan standar “normal” (istilah kerennya: standar neurotipikal). Menyembunyikan apa yang sebenarnya dialami demi diterima dan tidak dicap “bermasalah”. Dan itu melelahkan. Tapi aku pikir semua orang juga begitu. Aku pikir aku aja yang kurang kompeten. Aku hidup sambil menyembunyikan apa yang sebenarnya aku “butuh” dan “rasakan”. 

Tapi kemudian aku baca buku Empire of Normality karya Robert Chapman. Waktu pertama kali baca, aku seperti ditampar. Bukan karena bahasanya keras, tapi karena sangat memahami apa yang penulis ingin sampaikan. Aku sampai harus duduk diam sejenak dan berpikir: kesalahan itu ada di sistem. 

Selain itu, akhirnya, di umur 24, aku didiagnosis Attention Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD). Sebelum itu aku mengalami kecelakaan yang membuat aku semakin bertanya-tanya: Kenapa aku selalu merasa kewalahan, reaktif, enggak sabaran, gampang banget marah? Kenapa aku harus capek banget buat fokus? Kenapa aku dari kecil sering dianggap “bermasalah” atau “drama”? Dari hasil diagnosis itu aku sadar ternyata jawabannya bukan karena lemah atau enggak kompeten, tapi karena aku selama ini masking

Surat diagnosis dari psikiater itu aku dapat sebelum berangkat ke Inggris untuk melanjutkan studi master. Surat itu kemudian aku laporkan ke NHS (semacam BPJS-nya Inggris) dan layanan disabilitas di kampusku sekarang. Saat itulah aku baru merasa “terlihat”. Baru kali itu aku merasa ada yang bilang: Kamu enggak salah; cara otak kamu bekerja itu cuma berbeda saja dari manusia “biasanya”. Tapi kenapa aku harus ke Barat dulu untuk disabilitasku bisa dianggap valid?

Di Indonesia, tempat aku dibesarkan dan sekolah dasar sampai kuliah sarjana, sistem pendidikannya masih sangat ableist. Tidak ada akomodasi untuk mereka yang punya gangguan belajar, apalagi gangguan psikologis atau disabilitas lain yang tak kasat mata. Saat cerita ke orang-orang tentang diagnosis ADHD-ku, bahkan setelah menunjukkan surat resmi, respons yang aku dapat kadang: “Tapi kamu biasa-biasa aja, tuh?”—dan itu rasanya kayak diremehin banget. Komentar semacam itu menunjukkan bahwa pemahaman publik tentang disabilitas masih sangat sempit dan dibatasi oleh yang tampak secara fisik. Seakan-akan ternyata orang seperti aku itu masih yang bisa “diterima” oleh mereka walau aku tahu aku “berbeda”. Heran, masyarakat tuh serba banyak syarat dan ketentuan berlaku, ya, seakan-akan mau tanda tangan kontrak. Ribet.

Yang lebih mengkhawatirkan, bahkan dalam bidang kesehatan pun, pendekatannya sering kali patologis. Pada umumnya, gangguan belajar seperti ADHD dan autisme baru bisa didiagnosis kalau kamu masih anak-anak. Kalau kamu sudah dewasa dan kesulitan, ya, tanggung sendiri (seakan-akan sistem berkata sinis, “siapa suruh telat tahu?”). Tidak heran jika banyak orang dewasa dengan gangguan belajar tapi belum didiagnosis menginternalisasi bahwa dirinya gagal atau tidak cukup baik dalam bekerja atau melakukan kegiatan lainnya.

Chapman membahas tentang paradigma patologi, yaitu cara pikir dominan yang menganggap perbedaan neurologis sebagai kesalahan atau penyakit. Dalam paradigma ini, kamu harus “diperbaiki”. Kamu harus bisa bekerja dan belajar dengan cara yang “normal”. Kalau enggak bisa? Ya, itu salahmu. Paradigma ini menciptakan manusia ideal yang homogen: ras kulit putih, laki-laki, kuat (atau “sehat jasmani dan rohani” versi syarat lowongan kerja di Indonesia), produktif, mandiri, dan tentu saja: “rasional”. Siapa pun yang berada di luar standar ini akan dianggap menyimpang.


Konsep “normal” yang berakar dari kapitalisme dan kolonialisme

Silvia Federici dalam buku Caliban and the Witch menjelaskan bagaimana kapitalisme awal dan penjajahan menegakkan norma-norma dan fungsi yang “produktif” sebagai cara mengontrol dan menindas tubuh yang dianggap “berbeda”. Tubuh yang tidak sesuai dengan kebutuhan pasar—yang “tidak berguna” atau “berlebihan”—dipersekusi, diabaikan, atau dijinakkan melalui kekerasan sistemik. Norma “normal” ini bukan hanya soal standar fisik atau mental, melainkan juga menjadi alat kekuasaan yang mengatur siapa yang berhak hidup, bekerja, dan dihargai. Ketika kapitalisme menuntut efisiensi dan produktivitas, maka tubuh dan pikiran yang berbeda dipaksa untuk menyesuaikan diri atau tersisih. Dua itu saja opsinya. Sementara warisan penjajahan menambah lapisan diskriminasi dengan menyematkan nilai lebih pada tubuh dan budaya tertentu sekaligus meremehkan dan menghapus keberadaan mereka yang dianggap “lain”.

Dengan begitu, konsep “normal” yang masyarakat pegang teguh sebenarnya adalah konstruksi sosial-ekonomi yang melanggengkan ketidakadilan dan eksklusi, terutama terhadap mereka yang hidup dengan disabilitas—baik yang terlihat maupun yang tersembunyi. Menolak konsep ini berarti juga menantang tatanan kapitalis dan kolonial yang selama ini mendikte siapa yang layak dihitung dalam masyarakat.

Chapman  dalam buku Empire of Normality juga menegaskan bahwa konsep “normal” yang selama ini kita anggap sebagai standar universal sebenarnya bukanlah sesuatu yang netral atau alami. Konsep ini berakar kuat pada logika kapitalisme dan warisan penjajahan. Karena menuntut produktivitas dan efisiensi maksimal, kapitalisme mengharuskan setiap orang untuk “berfungsi” sesuai standar tertentu—dibentuk berdasarkan kemampuan tubuh dan pikiran yang dianggap ideal oleh sistem. Mereka yang tidak sesuai standar dianggap “bermasalah” atau “tidak normal” sehingga mudah dipinggirkan dan dieksploitasi. Sementara warisan penjajahan memaksakan norma-norma budaya dan sosial eurosentris tentang siapa yang “sehat” dan “berharga” dalam masyarakat. Ini memperkuat diskriminasi terhadap kelompok yang berbeda, termasuk orang dengan disabilitas dan mereka yang berasal dari negara-negara Selatan Global.

Sudut pandang Paul Farmer dalam Pathologies of Power semakin menguak bagaimana kapitalisme dan struktur kekuasaan global menentukan siapa yang dianggap layak menerima perhatian medis, psikologis, dan sosial; serta siapa yang dibiarkan menderita dalam diam. Farmer menyatakan bahwa penderitaan bukan hanya hasil dari kondisi biologis atau psikologis, melainkan produk dari kekerasan struktural yang bersumber dari ketimpangan ekonomi, rasisme, seksisme, dan warisan kolonialisme. Dalam dunia di mana kapitalisme menentukan nilai hidup seseorang berdasarkan produktivitas dan profitabilitas, mereka yang tidak sesuai dengan norma dominan, baik karena kondisi mental, identitas gender, ras, atau status sosial dianggap “tidak normal” dan sering kali dipinggirkan dari sistem dukungan yang seharusnya melindungi mereka. Dalam kerangka ini, normalitas bukan sekadar kategori medis, tapi sebuah alat kuasa. Farmer mendorong kita untuk tidak hanya fokus pada pemulihan individu, tetapi juga mengkritisi dan menggugat sistem yang menjadi akar dari penderitaan tersebut. 

Dengan demikian, ketika mempertanyakan apa itu “normal”, kita juga sedang mengkritik sistem ekonomi dan sosial yang menciptakan ketidakadilan—sistem yang tidak hanya mengeksploitasi tubuh dan pikiran, tapi juga mengukuhkan dominasi budaya dan ekonomi yang lama.

Dan inilah titik temu antara ableisme dan kapitalisme: sistem ekonomi kita dibangun bukan untuk manusia, tapi demi mesin. Kita dilatih dari kecil buat bersaing,tinggi-tinggian ranking, dinilai dari produktivitas dan kepatuhan. Sistem peringkat di sekolah bahkan berasal dari warisan eugenika yang dipakai (hingga saat ini) untuk memilah mana anak-anak yang dianggap “berpotensi tinggi” dan mana yang “bermasalah”. Kalau tidak bisa duduk tenang delapan jam di kelas, kamu dianggap malas. Kalau burnout karena pekerjaan yang enggak manusiawi, kamu disuruh meditasi atau ikut pelatihan mindfulness—bukannya mempertanyakan kenapa pekerjaan itu bikin kamu hancur.

Seluruh sistem ini didesain supaya kita terus merasa kurang, merasa perlu membuktikan diri, merasa bersalah kalau minta istirahat. Disabilitas, dalam konteks ini, bukan sekadar kondisi tubuh atau pikiran—tapi juga status sosial yang dimarjinalkan. Kita yang dianggap tidak sesuai standar harus terus adaptasi. Harus terus mengejar supaya kelihatan “normal”. Harus masking. Harus kuat-kuatan.

Aku menulis ini bukan sekadar buat cerita tentang ADHD-ku. Aku menulis ini karena aku peduli dengan orang-orang yang masih berusaha memahami dirinya sendiri. Mereka yang hidup di sistem yang bikin mereka merasa rusak, padahal mereka hanya berbeda. Aku ingin lebih banyak orang neurodivergen bisa terlihat, dihargai, dan diterima—bukan karena mereka berhasil menyembunyikan kondisinya, tapi justru karena bisa hidup otentik.

Salah satu pemikiran yang sangat memengaruhi aku datang dari Mia Mingus, seorang aktivis disabilitas dan keadilan transformasional. Dia menulis bahwa “Ableism is not simply about individuals being mean to disabled people. It is a system that places value on people’s bodies and minds based on societally constructed ideas of normalcy, productivity, desirability, intelligence, excellence, and fitness.” Bagiku, kutipan ini menyentuh inti dari bagaimana tubuh dan pikiran yang menyimpang dari norma dianggap tidak berharga dalam sistem yang mengutamakan efisiensi, performa, dan produktivitas. Sistem kapitalis menggandeng ableisme dalam menyeleksi siapa yang dianggap pantas mendapat tempat, siapa yang dianggap beban. Dalam konteks ini, disabilitas tidak hanya soal keterbatasan individu, tetapi merupakan hasil benturan antara tubuh/mental kita dengan dunia yang tidak dibuat untuk kita.

Di dunia akademik dan kesehatan publik, aku sering kali melihat disabilitas dipandang secara sempit dan hanya memberi akomodasi (yang seharusnya sudah menjadi bare minimum), bukan mempertanyakan sistem yang membuatnya sulit diakses sejak awal. Padahal, sebagaimana disampaikan oleh Mingus, perjuangan disabilitas menyangkut banyak aspek hidup—dari hak untuk istirahat sampai siapa yang dianggap pantas dicintai, diajak bekerja, atau dipercaya jadi pemimpin. Perjuanganku sebagai orang yang hidup dengan disabilitas tidak akan dapat lepas dari kritik terhadap kapitalisme dan norma-norma dominan lainnya. Dan melalui lensa ini, aku juga dapat memahami bahwa keadilan harus bersifat interseksional yang meliputi kesehatan, gender, disabilitas dan juga berbagai lapisan lainnya.

Neurodiversitas bukan masalah medis semata. Ini adalah isu keadilan sosial. Dan kalau kita serius ingin membicarakan isu kesehatan, pendidikan, atau kesejahteraan, kita harus berhenti melihat manusia dari hanya dari kacamata produksi. Kita harus berani bilang: ternyata, oh ternyata, kapitalisme memang anti disabilitas!


Referensi

Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia. (2016). Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas. https://peraturan.bpk.go.id/Details/37251/uu-no-8-tahun-2016

Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia. (2023). Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan. https://peraturan.bpk.go.id/details/258028/uu-no-17-tahun-2023

Chapman, R. (2020). Neurodiversity, disability, wellbeing. In R. Chapman, S. Runswick-Cole, & K. Hughes (Eds.), Neurodiversity studies: A new critical paradigm (pp. 57–72). Routledge.

Chapman, R. (2023). Empire of normality: Neurodiversity and capitalism (1st ed.). Pluto Press. https://doi.org/10.2307/jj.8501594

Chapman, R. (2021, Agustus 16). Negotiating the neurodiversity concept. Psychology Today. https://www.psychologytoday.com/gb/blog/neurodiverse-age/202108/negotiating-the-neurodiversity-concept

Chapman, R. (2021, Agustus 23). Neurodiversity and the pathology paradigm. Psychology Today. https://www.psychologytoday.com/gb/blog/neurodiverse-age/202108/neurodiversity-and-the-pathology-paradigm

Sonuga-Barke, E., & Thapar, A. (2021). The neurodiversity concept: is it helpful for clinicians and scientists?. The Lancet Psychiatry, 8(7), 559-561. http://dx.doi.org/10.1016/S2215-0366(21)00167-X 

Farmer, P. (2004). Pathologies of power: Health, human rights, and the new war on the poor (Vol. 4). Univ of California Press.

Federici, S. (2004). Caliban and the witch: Women, the body and primitive accumulation. Autonomedia.

Miranda‐Ojeda, R., Wickramasinghe, A., Ntolkeras, G., Castanho, I., & Yassin, W. (2025). The Neurodiversity Framework in Medicine: On the Spectrum. Developmental Neurobiology, 85(1), e22960. https://doi.org/10.1002/dneu.22960 

Powell, R. M. (2020). Confronting eugenics means finally confronting its ableist roots. Wm. & Mary J. Race Gender & Soc. Just., 27, 607. https://heinonline.org/HOL/P?h=hein.journals/wmjwl27&i=645 

Radulski, E. M. (2022). Conceptualising autistic masking, camouflaging, and neurotypical privilege: Towards a minority group model of neurodiversity. Human Development, 66(2), 113–127. https://doi.org/10.1159/000524122

Withers, A. J., Ben-Moshe, L., Brown, L. X., Erickson, L., da Silva Gorman, R., Lewis, T. A., … & Mingus, M. (2019). Radical disability politics. In Routledge handbook of radical politics (pp. 178-193). Routledge.


Samantha Dewi Gayatri, mahasiswa MSc Global Mental Health di University of Glasgow.

]]>
Spektakel Tubuh dan Eksploitasi Sunyi https://indoprogress.com/2025/06/spektakel-tubuh-dan-eksploitasi-sunyi/ Mon, 16 Jun 2025 13:54:51 +0000 https://indoprogress.com/?p=238986 Foto: Para pemain sirkus OCI (ANTARA FOTO/Dhemas Reviyanto/aww)


“Saya sempat diseret dan dikurung di kandang macan, susah buang air besar. Saya enggak kuat, akhirnya kabur lewat hutan malam-malam, sampai akhirnya ke Cisarua. Waktu itu sempat ditolong warga, tapi akhirnya saya ditemukan lagi.

Saya diseret, dibawa ke rumah, terus disetrum. Kelamin saya disetrum sampai lemas. Rambut saya ditarik, saya ngompol di tempat, lalu saya dipasung.” 

— Vivi, mantan pemain sirkus, dikutip dari Kompas.

APA yang sering kali ditampilkan sebagai kemegahan sirkus hanyalah selubung dari praktik kekerasan sistemik yang dalam dan sialnya nyaris tak terdengar. Dalam narasi publik secara global, kritik terhadap sirkus cukup banyak menyasar soal praktik penyiksaan binatang—sebuah keprihatinan yang tentu saja sah. Masalahnya, fokus pada perkara tersebut secara tidak langsung membuat kita luput dalam melihat tubuh-tubuh manusia yang ternyata juga dilucuti hak dan martabatnya. Jerit anak-anak yang dilatih secara ekstrem itu tidak terdengar karena telah disamarkan sebagai bagian dari proses produksi “atraksi”. Anak-anak diambil dari keluarga miskin, dijanjikan masa depan, lalu tertipu karena akhirnya harus mengalami pelatihan keras, kerja paksa, dan kekerasan psikologis yang sistematis. Mereka bukan hanya kehilangan rumah dan orang tua, mereka juga nama, sejarah, dan masa depan.

Di sinilah tampak bagaimana logika hiburan, dalam format rezim visual, menjadikan tubuh manusia sebagai objek kontemplasi pasif yang hanya dihargai karena dianggap dapat menampilkan “keajaiban”.


Tubuh sebagai Komoditas

Ketika melihat perbudakan, eksploitasi anak, dan pembunuhan identitas di sebuah institusi modern seperti Oriental Circus Indonesia (OCI), kita sesungguhnya tidak sedang menyigi masa silam yang feodal melainkan menyelisik bentuk baru dari penindasan tubuh manusia dalam sistem hiburan kontemporer. OCI adalah salah satu sirkus tertua di Indonesia yang sudah ada sejak tahun 1960-an. Beberapa bulan lalu mereka ramai dibicarakan setelah para mantan pemainnya bicara ke publik soal kekerasan fisik dan mental yang mereka alami—kutipan pertama tadi adalah salah satunya. Di balik gelak tawa penonton, lampu sorot panggung yang dipenuhi kilau, juga retorika profesionalisme, tersembunyi sistem eksploitasi yang struktural—yang menyasar tubuh-tubuh belia dari kelas sosial rentan, menjadikannya instrumen hiburan, dan pada akhirnya komoditas.

Michel Foucault dalam Discipline and Punish (1977) menguraikan bahwa kekuasaan modern tidak beroperasi melalui kekerasan eksplisit, melainkan lewat pendisiplinan tubuh—bagaimana tubuh diatur, dilatih, dikendalikan, agar kemudian dapat memiliki nilai produktif dalam kacamata kapitalistik. Di sirkus OCI, mekanisme ini mencapai bentuk ekstremnya: para anak yang diambil paksa itu tidak hanya didisiplinkan, melainkan dijinakkan seperti binatang, disekap layaknya tahanan, dan diperas dayanya bak mesin. Tubuh mereka menjadi sasaran dari apa yang disebut Foucault sebagai “anatomo-politics”—politik atas tubuh; tubuh diperlakukan bukan sebagai subjek bebas melainkan properti yang memiliki “nilai guna”.

Narasi ini menyingkap bagaimana kekerasan sistemik beroperasi melalui hegemoni budaya, sebuah konsep yang dikemukakan oleh Antonio Gramsci untuk menjelaskan bagaimana kelas dominan seperti pemilik sirkus OCI menanamkan nilai-nilainya sebagai hal yang “normal” dan “haram untuk dipertanyakan”. Kekerasan yang dialami anak-anak di sirkus OCI tersamarkan oleh narasi dedikasi, profesionalisme, bahkan “patriotisme budaya”. 

“Saya mengalami berbagai bentuk kekerasan selama bekerja sebagai badut di Taman Safari Indonesia,” kata seorang korban. Pernyataan ini menyembulkan fakta bahwa proses kerja hiburan di institusi-institusi formal sekalipun tidak sepenuhnya steril dari praktik kekerasan. Pelaku kekerasan di sini bukan iblis atau monster, melainkan individu biasa: seorang pengusaha. Kekerasan menjadi rutinitas, kian banal—Hannah Arendt dalam Eichmann in Jerusalem (1963) menyebut banality of evil, yaitu ketika sebuah kejahatan tidak lagi dilaksanakan berkat kebencian, melainkan karena ketaatan terhadap sistem yang sudah mapan dan berlangsung mengakar.

Korban yang lain mengaku bahwa dia “diambil dari orang tua sejak usia lima tahun” dan “selama pelatihan sering kali ada perlakuan kasar; kalau ada salah sedikit, dipukul.” Mereka mengalami kekerasan bahkan sejak proses perekrutan dan pelatihan. Beberapa dari mereka bahkan sudah masuk dan dilatih sejak usia tiga tahun. Pelatihannya cukup lama sebelum mereka dapat mulai bekerja di panggung. Manusia menjadi komodifikasi. Mereka ada akhirnya tidak hanya menjual tenaga, melainkan seluruh jiwa raganya. Para pekerja menjadi laboring bodies yang diperas bukan hanya untuk memproduksi hiburan, melainkan meneguhkan sistem kapitalisme hiburan yang mengaburkan batas antara seni-pertunjukan dan eksploitasi-penyiksaan.

Di atas itu semualah para penonton yang menyaksikan aksi-aksi berbahaya tertawa. Mereka tidak menyadari bahwa apa yang mereka tonton adalah tubuh yang menderita. Penonton sirkus tak melihat manusia, mereka melihat simulakra, istilah yang dikemukakan Jean Baudrillard. Tubuh para pemain sirkus itu direduksi menjadi citra, menjadi spektakel. Identitas personal mereka dikaburkan oleh pertunjukan. 

Ironisnya lagi, negara absen. Tidak ada tindak lanjut dari laporan di tahun 1997 dari Komnas HAM pada kepolisian. Penyidikan dihentikan. Tidak ada perlindungan hak asasi manusia, tidak ada perlindungan ketenagakerjaan, tidak ada perlindungan anak, tidak ada penegakan hukum atas kerja paksa, juga tidak ada penindakan/penyidikan atas indikasi perdagangan manusia. Negara abai pada fakta kelam yang dialami para korban.

Ketika negara tidak hadir untuk melindungi warga dari kekuasaan non-negara yang eksploitatif, maka yang terjadi adalah langgengnya kejahatan struktural. Kekerasan dilegalkan secara diam-diam oleh sistem hukum yang tertidur lelap, media yang bungkam, juga masyarakat yang tidak memiliki kemampuan selain menertawakan pentas daripada mempertanyakan prosesnya.


Hegemoni, Kekerasan, dan Impunitas

Salah satu pemahaman keliru di publik adalah bahwa kekuasaan bekerja secara vertikal—mengalir dari atasan ke bawahan. Apa yang sebenarnya terjadi adalah kekuasaan bersifat difusif; ia menyebar dan beroperasi melalui relasi sosial sehari-hari. Michel Foucault dalam Power/Knowledge (1980), misalnya, menegaskan bahwa kekuasaan tidak menetap pada satu titik, tetapi “beroperasi dalam jaringan”. Seseorang tidak hanya bisa jadi korban, melainkan juga pelaku yang mengulang dan memperkuat mekanisme penindasan. Dalam konteks sirkus OCI, kekuasaan tidak semata berada di tangan pimpinan atau pemilik, tetapi terdistribusi ke seluruh tubuh organisasi: para pelatih yang menjalankan disiplin brutal, pegawai senior yang melestarikan hierarki lewat kekerasan, hingga korban yang terpaksa menunduk karena ketakutan akan kehilangan tempat tinggal. Kita melihat struktur patron-klien yang mengikat, ketika subordinasi dan dominasi berjalan beriringan, dipertahankan oleh rasa takut dan ilusi akan keamanan. 

Salah satu korban mengatakan bahwa dia “dibawa entah ke mana. Sekitar umur tiga atau empat tahun, saya dibawa ke OCI.” Pernyataan ini menggambarkan pembunuhan identitas dan penaklukan total yang mengingatkan kita pada apa yang disebut Achille Mbembe sebagai necropolitics—politik yang juga menentukan siapa yang berhak hidup dan siapa yang bisa dihancurkan. Korban tidak sekadar didisiplinkan, mereka dijinakkan untuk memperpanjang usia kekuasaan yang telah merampas hidup mereka sendiri.

Lebih jauh, Frantz Fanon dalam Black Skin, White Masks (1952) menggambarkan bagaimana sistem kolonial melumpuhkan jiwa-jiwa tertindas melalui internalisasi inferioritas dan ketakutan. Anak-anak dalam sirkus OCI pun demikian. Mereka sejak dini dilatih untuk tidak percaya pada dunia luar, menjadikan sirkus sebagai satu-satunya realitas yang bisa mereka kenali dan ikrarkan. Rasa takut terhadap dunia luar dan “pengasuh” menjadi bagian dari trauma yang membentuk mereka, menciptakan relasi kolonial baru antara pelatih dan anak-anak, antara institusi dan tubuh-tubuh tak bernama. Rasa takut ini bukan hanya tentang ancaman fisik, tapi soal kehilangan rasa orientasi, takut pada kebebasan, takut pada dunia di luar sistem. Di sinilah trauma bonding bekerja—ketika korban tidak bisa keluar dari relasi kekerasan karena rasa takut lebih besar dari rasa aman. Dalam kondisi ini, pengontrolan tidak membutuhkan kekerasan setiap saat: cukup dengan membangun dunia tertutup, menjadikan pelarian menjadi mustahil, dan rasa takut menjadi fondasi keterikatan psikologis.

Sirkus OCI tidak beroperasi dalam kevakuman. Ia berada dalam ekosistem budaya populer ketika viralitas, citra, dan branding menjadi mata uang utama. Dengan ratusan ribu pengikut media sosial (Taman Safari, sebagai naungannya—meski dibantah pemilik), penjualan cendera mata, dan eksposur televisi, OCI tampil sebagai “wadah kreatif anak muda”—sebuah citra yang mengaburkan kekejian yang tersembunyi di balik panggung. Guy Debord dalam The Society of the Spectacle (1967) menyebut bahwa dalam masyarakat modern, representasi telah menggantikan realitas yang sebenarnya. Apa yang benar tidak lagi penting, tetapi apa yang tampak; apa yang terlihat. Kekerasan disembunyikan bukan karena dihapus, tetapi karena tak ditampilkan. Yang terlihat hanyalah semangat, kekompakan, tawa, dan koreografi yang memesona. Inilah ilusi spektakel—dan di situlah kekuasaan bekerja dalam senyap. Dalam kondisi seperti ini, kekerasan menjadi “non-peristiwa”. Ia lenyap dari radar kesadaran publik karena mereka hanya tahu apa yang ditampilkan. 

Maka muncul pertanyaan: bagaimana mungkin kekerasan ini berlangsung begitu lama? Siapa yang memungkinkan keberlangsungannya? Indikasi kuat menunjukkan bahwa sistem ini bertahan bukan semata karena kekuatan internal, melainkan juga adanya sokongan dari aktor eksternal—pemilik modal, tokoh masyarakat, bahkan mungkin aparat hukum. Para korban yang melapor tak dilindungi, sementara pelaku terus tampil di media sosial tanpa cela dan tanpa rasa malu. 

Seperti kata Reza Indragiri Amriel, seorang ahli psikologi forensik: “Ada satu misteri sesungguhnya, bahwa di samping melapor ke Komnas HAM, sepengetahuan saya juga sudah dilakukan laporan ke Mabes Polri. Tapi aneh bin ajaib, dari Mabes Polri keluar SP3, Surat Pemberhentian Penyidikan Perkara. Tanda tanya muncul: Ini diberhentikan karena apa? Karena tidak ada pidana? Karena kurang alat bukti? Atau karena lainnya? Jangan sampai karena hengki pengki.” Di sinilah impunitas sistemik hadir: kekebalan yang diperkuat oleh jalinan antara kapital, budaya, dan politik. 

Pernyataan di atas juga memperlihatkan bagaimana kekuasaan menyaru di balik birokrasi yang lamban, aparat yang sinis, dan masyarakat yang apatis. Negara, alih-alih hadir sebagai pelindung, menjadi ruang hampa yang diisi oleh kekuasaan non-negara seperti organisasi sirkus ini. Dalam testimoni para korban, ada satu hal yang mungkin perlu ditanyakan: Mengapa mereka tidak melawan? Mengapa mereka bertahan? Mengapa mereka baru melapor? Jawabannya terletak pada rasa takut. Mereka telah dikontrol oleh ketakutan. Tony Sumampau, salah satu pendiri OCI, bahkan berkata tanpa rasa bersalah bahwa tidak ada penyiksaan, “Kalau pemukulan biasa itu ada aja. Itu biasa, kalau dulu enggak aneh. Tapi kalau anak-anak itu latihannya malas, tidak mau keluar tenaga, kalau pakai rotan itu mah biasa.” 

Pengelakan ini merupakan normalisasi atas kekerasan. Kekerasan tidak lagi terasa sebagai kekerasan. Ia menyaru sebagai latihan, suatu metode pendisiplinan, sebagai sebentuk profesionalisme. Bahkan, kekerasan dianggap sebagai bagian dari proses berkesenian. Rezim kekuasaan dalam sirkus OCI bertahan karena terdiri dari banyak simpul yang menopang: jaringan internal yang mengatur tubuh melalui patronase dan kekerasan; sebuah budaya pop yang menjual luka sebagai tontonan, aparat negara yang abai atau mungkin terkooptasi, juga publik yang terbius oleh citra.


Kapitalisme dan Kekerasan Struktural

“Saya tidak pernah mengetahui identitas asli saya, baik itu nama, keluarga, dan usia karena sudah ditempa sebagai pemain sirkus sejak kecil.” demikian pengakuan Butet, juga mantan pegawai sirkus OCI. 

Dalam sejarah panjang umat manusia, persoalan identitas sedemikian penting—nama, tempat lahir, asal usul keluarga, etnisitas, ras, dsb. Identitas adalah penanda kemanusiaan yang paling mendasar. Tetapi bagaimana jika seseorang hidup tanpa semua itu? Dalam kasus sirkus OCI, banyak pegawai seperti Butet yang tidak tahu siapa orang tuanya, tidak memiliki administrasi mengenai dirinya, dan tak pernah mengenal pendidikan formal sebagaimana anak-anak pada umumnya.

Dalam dunia yang diatur oleh sistem administrasi negara modern, mereka adalah non-persons, entitas yang eksistensinya tak diakui secara hukum. Giorgio Agamben menyebut mereka sebagai homo sacer—manusia telanjang yang dapat ditindas, dieksklusi, bahkan dimusnahkan tanpa konsekuensi hukum. Mereka bukan sekadar kehilangan nama, tetapi telah dicabut dari hak untuk memiliki hak. Mereka bukan warga. Bukan pekerja formal. Bukan anak-anak yang dilindungi negara. Mereka adalah tubuh-tubuh yang semata eksis sebagai alat produksi tontonan—objek yang dikontrol, dilukai, dibentuk, dan dijual. Meski demikian, ratusan lembar administrasi kelahiran mereka diakui ada oleh kuasa hukum OCI, meski tak bisa dipastikan aktualitasnya. Indikasi “administrasi palsu” atas nama-nama pemberian pada anak-anak itu membuat dugaan ini kuat.

Lalu, dalam sirkus OCI, tubuh bukan hanya ditundukkan, tetapi dikomodifikasi. Mereka dilatih hingga retak, dipaksa tampil dari kota ke kota tanpa jaminan kesehatan, tanpa upah yang layak. Tubuh-tubuh ini menjadi “kapital berjalan”—tanpa kontrak, tanpa cuti, tanpa perlindungan hukum. Karl Marx dalam Economic and Philosophic Manuscripts (1844) menyebut pekerja dalam kapitalisme sebagai manusia yang “terasing dari tubuhnya sendiri.” Ia tidak memiliki kuasa atas waktu, tenaga, maupun hasil dari kerja yang ia lakukan. Inilah kekejaman sistemik: ketika seseorang kehilangan kendali atas tubuhnya, ia telah dilucuti dari kemanusiaannya. 

Ida, yang pada akhirnya berakhir di kursi roda, bercerita, “Saya pernah jatuh saat tampil dan mengalami patah tulang belakang… Tapi saya tetap diminta tampil. Tak ada pertolongan medis, hanya diurut.” Ini adalah bentuk objektifikasi ekstrem—ketika tubuh tak lagi dilihat sebagai subjek yang hidup dan bernapas, melainkan sebagai instrumen produksi yang dapat dipakai, diperbaiki seadanya, lalu dipaksa berfungsi kembali demi keuntungan pihak lain. Dalam logika semacam ini, tubuh pekerja seni tak ubahnya mesin dalam sistem kerja paksa.

Fakta bahwa banyak dari mereka tidak memiliki dokumen identitas resmi yang aktual mengindikasikan adanya lack of state—bukan hanya dalam bentuk pengabaian untuk memverifikasi administrasi, tetapi juga pengingkaran atas tanggung jawab konstitusional negara untuk melindungi warganya, khususnya anak-anak. Negara pada akhirnya hanya hadir sebagai retorika, bukan sebagai institusi pelindung dan penyelamat warga.

Mengapa tak pernah ada upaya sistematis untuk menelusuri asal-usul dan status hukum mereka? Mengapa hingga kini tak tersedia mekanisme perlindungan bagi mereka yang melaporkan kekerasan? Mengapa korban tidak diberikan akses pada rumah aman, pemulihan trauma, atau proses hukum yang berpihak? Retorika pembentukan Tim Pencari Fakta mendengung, tapi kehidupan anak-anak—yang kini sudah ada yang berusia 50-an—kadung hancur berserpih-serpih.

Dalam kerangka pemikiran pascakolonial, Partha Chatterjee menyebut situasi ini sebagai manifestasi dari split sovereignty—suatu kedaulatan yang terbelah. Di satu sisi, negara menyatakan diri sebagai penjamin hukum dan tatanan sipil, namun di sisi lain ia menciptakan ruang abu-abu tempat hukum ditangguhkan atau tidak diberlakukan. Sirkus OCI beroperasi dalam ruang ini: secara simbolik diklaim sebagai “kesenian rakyat”, namun dalam praktiknya beroperasi dengan struktur perbudakan, di luar pengawasan dan perlindungan negara.

Yang paling mengerikan dari semua ini bukan hanya kekerasannya, tapi normalisasi terhadap kekerasan itu. Banyak korban, khususnya ketika pertama kali memasuki masa pelatihan, tidak menyadari bahwa mereka adalah korban. Kekerasan telah menjelma menjadi struktur yang dianggap wajar dan sah pada usia mereka saat itu. Disiplin keras diterima sebagai bentuk pendidikan. Pukulan dibenarkan sebagai bagian dari proses belajar. Kehilangan keluarga atau masa kanak-kanak dilihat sebagai “takdir”—bukan sebagai hasil dari sistem yang gagal melindungi mereka, meski mereka menangis, merintih, remuk redam. 

Seperti yang diakui oleh Butet: “Hari-hari kita hanya melakukan di sirkus itu saja setiap hari. Pagi harus bangun kita latihan terus belajar sekolah. Tapi itu pun bukan seperti formalnya anak-anak di luar. Hanya bisa baca, tulis, berhitung. Itu pun yang ngajarin karyawati.” Pernyataan ini mencerminkan bagaimana sirkus menjadi satu-satunya dunia yang dikenali anak-anak tersebut. Mereka hidup dalam realitas tertutup—dunia yang dibentuk oleh jadwal latihan, pertunjukan, dan pendidikan semu. Pendidikan yang mereka terima bukanlah pendidikan yang membebaskan, melainkan alat reproduksi kekuasaan internal, cukup untuk menjadikan mereka “cukup fungsional” sebagai pekerja, tetapi tidak cukup untuk melampaui struktur yang menindas mereka.

Trauma kolektif ini melahirkan generasi yang tidak mengenal dunia di luar kekerasan. Mereka tidak mengenal kebebasan sebagai kemungkinan, karena sedari kecil telah dilatih untuk tunduk dan bertahan. Inilah sebab mengapa sebagian korban, setelah keluar, tidak punya rumah untuk kembali—dunia luar pada akhirnya menjadi terlalu asing, terlalu sunyi, dan terlalu gelap untuk dijelajahi sendirian. Mereka hidup terlunta-lunta di luar penjara sirkus.

Dalam psikologi trauma, fenomena ini dikenal sebagai trauma bonding: keterikatan psikologis yang terbentuk di tengah relasi kekerasan, di mana korban bergantung secara emosional pada pelaku karena absennya sistem alternatif yang aman. Ini bukan sekadar relasi subordinat, tapi relasi eksistensial. Kekerasan bukan hanya sesuatu yang mereka alami, tetapi juga yang membentuk struktur identitas mereka.

Sirkus—dalam imajinasi publik—adalah panggung keajaiban, tawa, dan gerak akrobatik yang memukau. Namun di balik sorotan itu, kita menyaksikan wajah lain dari “keajaiban”: sebuah bentuk eksploitasi yang dibungkus narasi seni, perbudakan yang dilukis dengan cahaya panggung. Tubuh-tubuh ini bergerak bukan oleh semangat ekspresi, tapi oleh paksaan yang telah dinaturalisasi sejak mereka belum mampu membedakan hak dan kekuasaan. Mereka bukan artis. Mereka bukan pekerja resmi. Mereka bahkan bukan warga negara dalam makna legal-formal secara aktual. Mereka adalah tubuh-tubuh yang kehilangan nama, kehilangan suara, dan perlahan kehilangan masa depan. Dan kita? Apa peran kita dalam semua ini?


Referensi

Arendt, Hannah. Eichmann in Jerusalem. Viking Press, 1963.

Debord, Guy. The Society of the Spectacle. Buchet-Chastel, 1967.

Fanon, Frantz. Black Skin, White Masks. Peau Noire, Masques Blanc, 1952.

Foucault, Michel. 1980. Power/Knowledge. Knopf Doubleday Publishing Group, 1980.

Foucault, Michel. Discipline and Punish. Pantheon Books, 1977.

Fukuyama, Francis. Origins of Political Order. Farrar, Straus and Giroux, 2011.

Harian Disway. “Pengakuan Eks Pemain Sirkus OCI: Dipisahkan dari Orang Tua, Dipaksa Jadi Pesirkus Sejak Balita”. 20 April 2025

Kompas.com, “Nestapa Pemain Sirkus OCI Taman Safari: Diranrai, Disetrum, hingga Dipisahkan dengan Anak”. 15 April 2025

Marx, Karl. Economic and Philosophic Manuscript. Progress Publisher, 1959 [Written: 1844].

Metrotvnews.com. “Butet Ceritakan Kisah Kelam di Balik Panggung Sirkus OCI”. 18 April 2025

PublicaNews. “Dilaporkan Siksa Pemain Sirkus, Pendiri OCI Sebut Biasa Dipukul Rotan”. 17 April 2025

TVOneNews. “Ironi Sirkus: Tangisan di Balik Riuhnya Tepuk Tangan.” Catatan Demokrasi. 30 April 2025


Candrika Adhiyasa adalah penulis dan konsultan lingkungan. Pernah belajar di program studi Ilmu Lingkungan Universitas Gadjah Mada. Dapat disapa di Instagram @candrimen

]]>
Rizomatik sebagai Taktik? https://indoprogress.com/2025/06/rizomatik-sebagai-taktik/ Fri, 13 Jun 2025 20:58:05 +0000 https://indoprogress.com/?p=239003 Ilustrasi: Illustruth


TIDAK ada orang waras yang tidak gelisah melihat kondisi Indonesia saat ini. Pemerintahan Prabowo-Gibran secara vulgar menyatakan hendak mengakui eksistensi penjajah dan pelaku genosida Israel, supremasi sipil kian jauh panggang dari api, represi aparat semakin banal, eksploitasi-perampokan alam atas nama pembangunan, kian panjangnya barisan penganggur, dan seterusnya. Kita, sebagai warga yang sadar hak, tidak tinggal diam. Kita memprotes, berdemonstrasi, atau paling minimal bawel di media sosial. Tapi, mengapa seperti tidak ada yang berubah? Malah, yang lebih parah, mengapa yang kita temukan di depan seolah hanyalah kabut asap yang kian tebal? Apa yang kurang? Mengapa penindasan dan eksploitasi terlihat lebih langgeng daripada gerakan perlawanan? 

Dalam situasi seperti ini, menurut kami, penting bagi kita untuk duduk sejenak memikirkan tentang gerakan sosial itu sendiri. Memang mudah menunjuk hidung aktor-aktor kekuasaan–pemerintah, kapitalis, oligarki, sebutlah mereka semua—sebagai penyebab dari apa yang terjadi saat ini. Tidak ada yang keliru dari itu; memang demikianlah adanya. Namun, itu tidak cukup. Kita harus melihat ke dalam; berefleksi mengenai bagaimana cara berlawan selama ini sehingga para penguasa lalim seperti tidak ada takut-takutnya untuk melakukan apa saja. Semua saling terhubung sehingga mengabaikan satu hal hanya berujung pada jalan buntu. 

Artikel ini akan membicarakan tentang hal tersebut, dengan titik berangkat pada konsep yang sedang ramai dibicarakan dalam beberapa tahun terakhir (dan kian sering muncul beberapa waktu belakangan): gerakan rizomatik atau rimpang. Posisi kami terhadap itu, sebelum dielaborasi lebih jauh, adalah: gerakan rimpang saja tidak cukup, ia perlu dilanjutkan dengan gerakan terorganisir yang terpimpin, terstruktur dan tidak cair. Jika tidak, gerakan ini tidak akan membawa kita ke mana-mana selain ke kekecewaan satu ke kekecewaan lainnya; kekalahan sekarang ke kekalahan berikutnya.


Apa itu Gerakan Rimpang?

Beberapa penulis menggambarkan gerakan sosial saat ini, terutama ketika variabel media sosial masuk sebagai alat memperbesar pengaruh dan gaung, mengambil ciri tumbuhan rizomatik atau rimpang. Salah satunya artikel di Tempo yang tayang awal bulan lalu, kemudian yang lebih elaboratif terbit di Palgrave Macmillan pada Juni 2024. Selain sekadar mendeskripsikan situasi kontemporer, penulis-penulis lain bergerak lebih jauh, menganggap hal ini sebagai ideal dan oleh karena itu semestinya “perlu terus didorong… agar terus menjalar dan mengakar kuat guna merawat gerakan prodemokrasi,” mengutip artikel di The Conversation. Pun dengan artikel terakhir di media ini, Indoprogress, yang menyatakan bahwa dalam situasi berbahaya seperti sekarang, perlawanan sehari-hari, kecil-kecilan, yang dilakukan kita semua “akan menciptakan jaringan gerakan kolektif yang rizomatik” yang “ketahanannya dapat diuji kala vis-a-vis dengan rezim.” Tiga tahun lalu, kanal ini juga membahas bahwa karakter rimpang dapat dipakai untuk “mengembangkan gerakan buruh.” 

Jadi, apa itu gerakan rimpang? Karya pertama dan utama yang membahas tentang gerakan rimpang adalah A Thousand Plateaus: Capitalism and Schizophrenia, dari duo filsuf Prancis, Gilles Deleuze dan Félix Guattari, yang terbit pertama kali pada 1980, kemudian versi bahasa Inggrisnya tujuh tahun kemudian. Kami kutip beberapa kalimat penting secara utuh. “…any point of a rhizome can be connected to anything other, and must be. This is very different from the tree or root, which plots a point, fixes an order” (hlm. 7). Kemudian, “…unlike trees or their roots, the rhizome connects any point to any other point, and its traits are not necessarily linked to traits of the same nature; … It is composed not of units but of dimensions, or rather directions in motion. It has neither beginning nor end, but always a middle (milieu) from which it grows and which it overspills” (hlm. 21). Lalu, yang terakhir agar tidak terlalu panjang, “The tree is filiation, but the rhizome is alliance, uniquely alliance. The tree imposes the verb ‘to be’, but the fabric of the rhizome is the conjunction, ‘and… and… and…’” (hlm. 25). 

Perlu ditekankan bahwa mereka tidak membahas konsep rimpang sebagai biomimikri untuk gerakan sosial saja. Pembahasan tentang itu malah bukan yang utama dari buku tersebut. A Thousand Plateaus lebih menawarkan kerangka konseptual secara luas, bukan semacam panduan langsung; seperti buku “how-to”. Ia mencakup banyak hal lain termasuk politik pengetahuan, karya sastra (keduanya pertama kali mengetengahkan konsep “rimpang” ketika mengomentari novel dan cerita pendek Franz Kafka pada 1975), dan cara berpikir. Bahkan, A Thousand Plateaus juga ditulis dengan cara rimpang, tidak linier, sehingga dapat dibaca dari banyak titik. Namun, sampai sini bisa disimpulkan bahwa pada dasarnya apa yang dimaksud gerakan rimpang adalah gerakan yang tidak hierarkis, cair, tidak terikat tapi terhubung satu sama lain alias otonom

Dari definisi tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa alih-alih sebagai sesuatu yang kontemporer—“model gerakan baru” kata penulis Tempo; “new youth movement” menurut judul bab buku terbitan Palgrave Macmillan; dan sejak “ramainya penggunaan media sosial” di The Conversation—pelabelan “rimpang” pada gerakan sosial sekarang justru menunjukkan bahwa kita tidak belajar dari sejarah, dan karena itu, sialnya, selalu kalah. Gerakan sosial yang tanpa hierarki, cair, tidak terikat, otonom, tidak dimulai sejak beberapa tahun ke belakang, atau ketika media sosial mulai dipakai untuk aktivisme, melainkan sejak Orde Baru berdiri. Setelah Partai Komunis Indonesia (PKI) dibantai sampai ke anak cucunya, gerakan di Indonesia secara umum selalu merupakan gerakan yang mengambil bentuk rimpang

Buku Edward Aspinall, Opposing Suharto (2005), dengan baik menggambarkan bagaimana situasi perlawanan terhadap sang tiran medioker selama puluhan tahun dia berkuasa. Di sana tergambar kelompok oposisi (dengan derajat kekeraskepalaan masing-masing) yang berserakan dan tidak saling terhubung satu sama lain. Ya, rimpang itu tadi, bedanya labelnya belum ada. Secara umum ada empat kategori oposisi di era Orde Baru (hlm 6-9). Pertama, mobilizational opposition, kelompok yang secara eksplisit mau mengganti rezim dan mengandalkan massa; kedua, semi opposition, mereka yang mencoba mengubah dari dalam dan paling umum di masa itu; ketiga, alegal opposition, diasosiasikan kepada individu berani dan vokal, para pembangkang, tapi biasanya sekadar memberikan khotbah moral kepada rezim agar berubah menjadi lebih baik; dan terakhir adalah proto opposition, yang nama lainnya adalah organisasi masyarakat sipil. Menurut Aspinall, semua aktivisme mereka menghasilkan “multi fronted battle”. Mereka pada akhirnya terhubung satu sama lain dengan cara “learn from, and compete with, one another” (hlm 11). 

Mengatakan bahwa gerakan sosial yang ada sekarang sebagai sebuah hal yang baru berimplikasi pada munculnya harapan bahwa itu akan berbuah sesuatu, sebab ia dianggap tidak ada sebelumnya, atau minimal berbeda dari yang sudah-sudah. Ada rasa optimistis di dalamnya. Harap-harap cemas, kata judul televisi tempo dulu. Namun, harapan ini sebenarnya menyesatkan. Ia adalah hasil dari tidak adanya pemahaman historis yang utuh. Media sosial memang berperan besar, katakanlah, dalam 10-15 tahun terakhir. Tapi keberadaannya dalam gerakan hanya menandakan medium baru, satu variabel tambahan, bukan bentuk apalagi prinsip baru. Pola gerakan sosial yang cair, informal, dan terpisah-pisah sudah lama merupakan kenyataan sosial masyarakat kita dan justru karena itu semestinya kita melihatnya kembali lebih dalam. Memberi label “baru” pada sesuatu yang sudah ada lama sekali justru menandakan kita jalan di tempat, sementara musuh kian canggih belaka. Tidak heran kalau dari berbagai indikator Indonesia semakin mundur alih-alih kian demokratis.


Implikasi Gerakan Rimpang dan Lalu Apa?

Meski menganggap gerakan rimpang bukan hal baru, kami memahami mengapa itu seolah tampak menjadi harapan. Salah satunya karena apa yang kita lihat sekarang seperti kebuntuan, termasuk kian meningkatnya ignorance/ketidaksadaran sebagian besar masyarakat terhadap situasi sosial-politik saat ini. Kami mengakui bahwa gerakan rimpang berdampak setidaknya pada peningkatan kesadaran mengenai masalah-masalah sosio-politik yang terjadi. Berbagai isu berkali-kali ramai dulu di media sosial, baru kemudian memicu gelombang protes dan perlawanan. Namun, perlu diakui pula bahwa peningkatan kesadaran ini masih terjadi di lingkup yang sangat terbatas, atau cenderung berada di seputar “bubble” para pegiat gerakan rimpang itu sendiri. 

Ini dibuktikan, misalnya, melalui kemenangan Prabowo-Gibran sebesar 58% pada Pemilu 2024 lalu. Ketika salah satu dari kami melakukan riset di sebuah kabupaten di Jawa tengah, seorang buruh perempuan, masih sangat muda, dengan entengnya mengatakan bahwa dia memilih Prabowo hanya karena dari media sosial terlihat mantan Danjen Kopassus itu lucu—sebuah citra yang, kita semua tahu, difabrikasi oleh mesin kampanye yang duitnya tidak terbatas. Sang buruh perempuan mengonsumsi konten-konten seperti itu di kamar kost-nya yang sempit selepas seharian bekerja. Algoritma akun media sosialnya tidak membawanya pada “pencerahan-pencerahan” dari para influencer/pemengaruh gerakan. Prabowo-Gibran, menurut sejumlah riset, memang paling populer di media sosial. Gerakan rimpang tidak terbukti cukup ampuh mengalahkan gerakan terstruktur para politisi borjuis yang tergabung dalam gerbong Prabowo-Gibran.

Sebagai pihak yang pernah terlibat di organisasi terpimpin-terstruktur selama bertahun-tahun, kami juga sedikit banyak memahami mengapa bentuk gerakan rimpang tampaknya lebih dipilih sebagai saluran “aktivisme” banyak orang. Gerakan rimpang adalah antitesis dari gerakan yang lebih terorganisir dan lebih terpimpin. Selain cenderung lebih sederhana, tidak terikat tanggung jawab yang rigid, gerakan rimpang dapat dibentuk dengan kerja-kerja perawatan yang lebih minim dibandingkan dengan yang disebutkan pertama. Bergabung ke organisasi yang terstruktur dan terpimpin membutuhkan komitmen yang kadang lebih besar dari yang bisa ditanggung. Di masa sekarang ini, siapa yang mau capek, bertungkus lumus berorganisasi, tekun menghimpun dalam keseharian, sementara mengajak bergerak via media sosial sering kali dirasa cenderung efektif juga? 

Belum lagi fakta bahwa organisasi terstruktur yang dibangun dari hasil pengorganisiran sehari-hari pun tak jarang memiliki banyak masalah. Mulai dari “ngabers” yang merupakan simtom dari minimnya nilai-nilai feminisme, tidak adanya pembagian kerja yang adil, ketiadaan kerja perawatan kolektif, dan sebagainya. Setidaknya, dari pengalaman kami, organisasi punya cita-cita luhur mewujudkan masyarakat yang adil dan setara, tetapi relasi sosial para anggotanya (atau kader) itu sendiri bermasalah. Dalam hal ini, artikel di Majalah Sedane menarik untuk disimak. Penulis menggambarkan bagaimana generasi muda kian tidak tertarik bergabung ke serikat buruh meski kian hari hidup mereka semakin rentan. Alasan yang dikemukakan di antaranya karena serikat buruh itu kaku, tidak menjalankan fungsi advokasi padahal itulah raison d’être mereka dan sekadar meminta iuran, bahkan oligarkis (pemimpinnya itu-itu saja, tidak ada kaderisasi, nondemokratis). Memang, idealnya masalah itu bukan malah dijauhi tapi diselesaikan secara internal. Tapi bicara jelas lebih mudah dibanding mempraktikannya. Terlebih, menyelesaikan berbagai masalah di organisasi tak jarang memerlukan “pertarungan internal” panjang dan membutuhkan ketahanan ekstra. Pada akhirnya, seperti yang sering kami dengar dan bahkan kadang saksikan sendiri, ada saja aktivis yang memutuskan keluar tak hanya dari organisasi tapi sekaligus dari “gerakan” karena demoralisasi. 

Bukan berarti gerakan rimpang bebas dari masalah yang sama. Hanya saja, cairnya gerakan ini membuat masalah menjadi relatif lebih mudah diselesaikan. Para pegiat gerakan rimpang bisa keluar atau mundur kapan saja tanpa harus melewati proses atau mendapatkan konsekuensi yang lebih rumit dibandingkan dengan yang ada di organisasi yang lebih terstruktur. Atau, dan ini cukup banyak contohnya beberapa tahun terakhir, jika subjek yang terlibat dalam gerakan ternyata membuat masalah, orang lain tinggal melakukan tekanan di media sosial, meng-cancel-nya, dan yang bersangkutan pun biasanya tidak punya pilihan lain selain mundur dan menghilang. Tidak ada konsekuensi lanjutan lagi.

Selain soal kapasitas subjektif (lelah, demoralisasi, merasa sia-sia, dan sejenisnya), ada juga faktor struktural yang membuat lebih banyak orang tertarik dengan gerakan rimpang alih-alih masuk ke dalam aktivisme pengorganisiran yang lebih terstruktur dan terpimpin. Neoliberalisme membuat kita, warga negara, kelas pekerja, semakin teratomisasi, memperparah keadaan depolitisasi yang merupakan warisan Orde Baru selama puluhan tahun. Kita memang terdisorganisasi. Itu tidak bisa dielakkan. Belum lagi legislasi seperti UU Cipta Kerja yang semakin mengerdilkan peran serikat, misalnya, dalam hal penentuan upah dan perundingan dengan pengusaha. Di sisi lain, ada saluran “mudah” bernama media sosial. Kita, orang-orang yang frustrasi dengan keadaan, menyalurkan semua kemarahan ke sana. Jadi, sekali lagi, untuk apa bersusah melibatkan diri dalam pengorganisiran terpimpin yang terstruktur jika kita dapat sesuka hati mempersepsikan setiap apa yang kita anggap “perlawanan kecil-kecilan-keseharian” sebagai “tindakan revolusioner”

Ketiadaan struktur dan pengorganisiran yang rapi akan menyebabkan gerakan rimpang harus terus mengulang membangun gerakannya. Oleh karena itu, pernyataan bahwa jaringan rizomatik “ketahanannya dapat diuji kala vis-a-vis dengan rezim” sebetulnya kurang akurat. Bagaimanapun, bagi kami, membangun gerakan dengan struktur yang kuat yang ditopang oleh pengorganisiran tekun yang terpimpin sehari-hari adalah krusial. Perlawanan sehari-hari yang kita lakukan pada akhirnya perlu dipimpin oleh tujuan yang terukur. Tujuan-tujuan yang dibentuk melalui berbagai manifesto, misalnya, tentu hanya dapat diwujudkan melalui struktur perlawanan yang tidak cair, tidak leaderless

Imajinasi tentang “tujuan” itu sendiri hanya mungkin lewat gerakan pengorganisiran yang terpimpin. Sulit membayangkan itu tercipta di luarnya (tentu “tujuan” itu sendiri perlu pendiskusian lebih lanjut, dan bukan di artikel ini tempatnya). Hal ini sekaligus mempertebal tesis kami sebelumnya, bahwa gerakan rimpang bukan baru muncul akhir-akhir ini. Selama ini, kalau kita mau terbuka mengakui, yang dilakukan oleh gerakan sosial lebih bersifat defensif, dalam arti sekadar mempertahankan apa yang sudah ada meski sebenarnya juga tidak selamanya baik (kita misalnya tidak bisa mengatakan bahwa UU Ketenagakerjaan lebih bagus dibanding UU Cipta Kerja, sebab dari sanalah sistem kerja kontrak dan alih daya dibenarkan). Akibatnya seperti sekarang: apa yang sering disebut sebagai “pencapaian” Reformasi pelan-pelan dikebiri satu per satu sampai tak tersisa, sebab apa yang kita lawan adalah sistem yang sangat terorganisir. Dalam beberapa kasus, kita tidak mengalami “kemenangan” tapi sekadar “menunda kekalahan”. 

Sifat gerakan rimpang yang leaderless menurut kami juga berisiko pada terjerumusnya gerakan perlawanan ke dalam jurang individualisasi. Sifat leaderless dari gerakan rimpang akhirnya membuatnya bertopang kepada para pemengaruh di media sosial. Menjadi pemengaruh tentu bukanlah hal yang salah; kita telah melihat banyak kegunaannya. Namun, penting pula untuk mengakui keterbatasan dari tren ini. Tren pemengaruh yang tidak ditopang oleh struktur perlawanan dan pengorganisiran yang kuat, yang leaderless, bisa menjadi jebakan bagi gerakan perlawanan itu sendiri. Jebakan ini, dapat kita lihat, misalnya, ketika beberapa lalu warganet dengan heboh mempertanyakan “menghilangnya” seseorang yang dapat dikatakan sebagai pemengaruh besar di gerakan rimpang saat ini pada beberapa isu politik. Fenomena ini persis menunjukkan letak jebakan dari tren pemengaruh dalam gerakan perlawanan: ia membuat kita lupa bahwa tiap-tiap dari kita punya kemampuan agensi yang sama di dalam struktur politik yang menindas dan mengeksploitasi ini. 

Bahkan sebagian dari kita memiliki kekuatan agensi yang lebih besar dari yang lain. Kelas buruh yang berada di jantung produksi kapitalisme, misalnya, memiliki structural power/kekuatan struktural yang lebih besar dibandingkan dengan mereka yang mengerjakan bullshit jobs di ruang-ruang kantor. Sejarah membuktikan bagaimana para pekerja dengan structural power yang sangat kuat terorganisir lalu bergerak dalam gerakan terstruktur dan terpimpin mampu mewujudkan berbagai tuntutan serta tujuan politik di seluruh dunia. Belum lagi soal associational power/kekuatan asosiasional. Kekuatan sebuah organisasi gerakan—seperti serikat pekerja atau organisasi komunitas—dapat benar-benar terlihat ketika ia memiliki struktur perlawanan yang kuat, tidak leaderless, apalagi cair.

Pada akhirnya memang harus diakui bahwa gerakan rimpang dapat membangun kultur perlawanan di tengah masyarakat meski cakupannya masih terbatas. Namun ia tidak bisa berhenti di sana saja. Gerakan tersebut semestinya menjadi langkah atau taktik awal untuk kemudian didorong maju ke gerakan yang lebih terstruktur, terpimpin, dan terorganisir. Dalam observasi kami yang terbatas, sering kali, gerakan rimpang ini terbentuk di tingkat aliansi dan bukan organisasi gerakan itu sendiri. Sehingga, sebetulnya, di sinilah letak pekerjaan rumah yang perlu diselesaikan: mengorganisir secara terpimpin dan tekun dalam keseharian, dengan tujuan perlawanan yang jelas, serta di berbagai tingkat/struktur perlawanan sembari menyelesaikan masalah-masalah di tubuh organisasi seperti, sekali lagi, “ngabers”, ketiadaan pembagian kerja yang adil, ketiadaan kerja perawatan kolektif, dan sebagainya. ***


Fathimah Fildzah Izzati – PhD Candidate di SOAS University of London dan editor Indoprogress; Rio Apinino – editor Indoprogress

]]>
Apa yang Bisa Kita Lakukan Sekarang? https://indoprogress.com/2025/06/apa-yang-bisa-kita-lakukan-sekarang/ Wed, 11 Jun 2025 00:00:42 +0000 https://indoprogress.com/?p=238995 Ilustrasi: Illustruth


BELUM pudar ingatan saya melihat Prabowo Subianto tampil di atas podium untuk memperingati Hari Buruh Internasional di kawasan Monumen Nasional (Monas) pada 1 Mei lalu. Saya tak bisa menyembunyikan perasaan liminal melihat siaran tersebut saat itu. Tapi, dorongan naluriah memaksa saya untuk terus menonton siaran. Kemudian, tanpa bisa diduga siapa pun, mantan menantu Soeharto itu menyanyikan lagu-mars anarkis, sosialis, dan komunis seluruh dunia: “L’Internasionale”. Titik paradoksikal menemui puncaknya. Di panggung yang sama berdiri aristokrat-aristokrat buruh (saya tidak perlu sebut siapa sebab pembaca pasti tahu minimal salah satu dari mereka) tertawa sambil ikut bernyanyi tapi bersusah payah mengikuti Prabowo melantunkan syair suci itu. 

Di momen tersebut saya tiba-tiba mengingat Binatangisme (Animal Farm, 1983) karya George Orwell. Di sana diceritakan bagaimana para babi yang awalnya mengakui kolektivitas di peternakan “BINATANG” mengubah nama tempat itu menjadi “MANOR” sembari kembali pada tesis individualitas. Mereka awalnya hendak melakukan perubahan besar, tapi di akhir justru kembali ke titik awal bahkan lebih buruk. Saya tidak hendak bilang bahwa Prabowo dan para aristokrat buruh itu seperti babi dalam karya monumental itu. Justru sebaliknya: sejak awal, Prabowo dan aristokrat buruh itu tidak pernah menangkap agenda politik kelas buruh dengan meletakkannya di urutan buncit. Mempertahankan operasi-operasi logika ekonomi-politik oligarkilah yang menjadi prinsip utama mereka.

Pidato Prabowo pada hari itu juga tak lebih dari ampas kosong. Namun ampas itu adalah mekanisme kekuasaan yang memasok gambaran surga duniawi kepada rakyat; semata agar rezim mampu terus mengamankan kekuasaan dan mengambil sumber daya ekonomi-politik. Mungkin saja ada yang memvonis bahwa audiens yang datang di hari itu sebagai buruh yang tak tahu kelas dan kepentingan kelasnya sendiri—Prabowo pada akhirnya adalah bagian dari kelas kapitalis. Namun perlu diingat bahwa sampai sekarang dampak depolitisasi itu masih nyata, pun dengan upaya untuk terus mendepolitisasi kesadaran kelas, misalnya dengan program bantuan sosial dan makan bergizi gratis. 

Penjinakan kesadaran kelas tersebut merupakan alarm tanda bahaya, dan itu hanya satu aspek saja. Belum bidang-bidang kehidupan lain. Maka penting saat ini untuk mengaktifkan (atau mempolitisasi) kesadaran bahwa kita dalam situasi berbahaya bahkan dalam keseharian.


Bahaya Kita setelah 27 Tahun Reformasi

Kita tidak pernah keluar dari kondisi berbahaya setelah 27 tahun Reformasi. Ambil satu kasus: otonomi daerah atau desentralisasi. Desentralisasi diimplementasikan dengan asumsi bahwa ia akan membuka kesempatan partisipasi dari komunitas lokal dalam pengambilan keputusan. Ini jelas ide yang segar bagi banyak orang mengingat 32 tahun sebelumnya dikekang secara terpusat oleh Soeharto. Apa yang terjadi justru desentralisasi melahirkan pola baru dari korupsi. Ia kini amat cair dan tersebar. Pejabat lokal yang predatoris memegang kendali dan menutup ruang suara orang biasa. Politik uang menjadi panglima baru. 

Contoh lain adalah Dwifungsi ABRI. Penghapusan peran militer selain urusan pertahanan tak pernah benar-benar terlaksana, dan sekarang malah bubar di tengah jalan setelah muncul UU No. 3/2025 tentang TNI. Tidak hanya menjegal partisipasi publik yang bermakna dari aspek legal, revisi UU TNI harus dilihat sebagai instrumentalisasi atas kembalinya kontrol militer di negara ini. Revisi juga memperkuat peran tentara untuk mengontrol sumber daya ekonomi-politik sipil. Hal itu dibuktikan melalui penambahan komando teritorial—yang dianggap sebagai saluran terluas untuk mengakses sumber-sumber ekonomi. Militer pun mengooptasi area pendidikan. Lihat Universitas Udayana yang resmi bekerja sama dengan TNI AD. Akhirnya, batas-batas antara sipil-militer menjadi kabur sebab Prabowo-Gibran memiliterisasi ruang kita. Tak pernah ada harapan baik yang pantas disematkan pada rezim militer dewasa ini.

Adili Soeharto? Tidak pernah berhasil sampai dia mati. Dia tidak bisa diseret ke pengadilan karena sakit permanen. Saat itulah diktator dari Dusun Kemusuk ini selamanya menjadi simbol impunitas paling utama dalam riwayat bangsa Indonesia. Kemudian soal adili kroni-kroninya. Mereka beradaptasi dan berkembang secara struktural, melewati transisi politik paling drastis dari alam otoriter ke demokrasi. Kelas elite dominan itu mampu mengooptasi reformasi lembaga hukum dengan mudah; sebab hukum tak pernah netral dari proses ekonomi-politik.

Cita-cita Reformasi soal supremasi hukum pun sudah “dipetieskan” sejak lama. Ia jadi pepesan kosong bagi mahasiswa fakultas hukum. Tidak ada reformasi hukum hari ini. Hukum Indonesia sudah melenggang masuk dalam kategori negara hukum otoritarian. Hukum dengan operasi repressive state apparatuses menjadi sarana kontrol paling ampuh terhadap masyarakat sipil. Salah satu yang tengah bergulir, misalnya, mengenai RUU KUHAP sebagai pembaruan hukum acara pidana agar harmonis dengan KUHP Nasional. RUU KUHAP justru terefleksi kuat sebagai instrumen kekerasan terhadap tubuh manusia oleh negara. Belum lagi soal RUU Polri yang menambah kewenangan polisi secara eksesif.

Satu lagi, mari lihat sejauh mana tuntutan pemberantasan korupsi yang menggurita sejak era Soeharto? Perjuangan masyarakat sipil antikorupsi dan lahirnya institusi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menjadi bukti awal bagaimana demokratisasi sebetulnya telah membatasi kepentingan politik predator. Akan tetapi, demokratisasi tidak dapat membendung korupsi lebih lama lagi. Aktor elite dominan berhasil menguasai institusi antikorupsi dengan jaringan predator dan patronase yang kuat dalam ruang persaingan tertentu. Konkretnya? Revisi UU KPK.

Rasa-rasanya, tidak ada tuntutan Reformasi yang berhasil. Kondisi yang terjadi malah menggiring kita semua ke pinggir jurang. Militerisasi, rezim predatoris, korupsi luas, tak bisa percaya penuh pada hukum, hingga budaya impunitas.


Perlawanan Sehari-hari

Di level mikro, kita semua berkutat dengan rutinitas yang membosankan setiap hari. Kita bekerja, dihisap nilai lebihnya oleh kapitalisme, dan mendapat upah seadanya hanya agar bisa kembali dieksploitasi besok pagi. Kata Henri Lefebvre dalam Critique of Everyday Life 1 (1991), kesadaran baru untuk melawan semakin tumpul akibat keseharian ini. Menjadi tidak peduli terhadap “situasi bahaya”—belum tentu pula hal ini disadari–merupakan hal lumrah. Ketika kita semakin digerogoti dalam keseharian secara sadar atau tidak, para elite memakan habis hak-hak sipil kita dan tuntutan Reformasi. Kita seakan menunggu untuk mati di pinggir jurang bahaya ini. 

Lantas, apa yang tersisa dan bisa kita kerjakan sekarang? Perlawanan sehari-hari, kecil atau besar. Apa yang tertinggal dari kita hanyalah kesadaran melawan untuk merespons segala kondisi bahaya ini. 

Faktanya banyak hal yang terjadi sekarang adalah ketidakadilan. Keseharian kita pun tergolong di dalamnya. Perlawanan jadi pembeda. Melawan ketidakadilan berarti melibatkan menolak untuk bekerja sama dengan mekanisme yang memproduksi dan mempertahankannya. Berhadap-hadapan dengan ketidakadilan membutuhkan, paling tidak, mengambil sikap terhadapnya, dengan mengungkapkan atau secara diam-diam menandakan protes. Candice Delmas dalam A Duty to Resist (2018) mengungkapkan bahwa ketidaksetujuan individu secara mendadak dapat menjadi tindakan perlawanan. Meskipun, yang terbaik, melawan berarti mengorganisir secara kolektif untuk membongkar ketidakadilan sistemik.

Kita tidak boleh takut untuk melawan kebatilan dan kezaliman, sekecil apa pun wujudnya. Ketakutan untuk melawan disebabkan oleh apa yang disebut dengan kewajiban politik dan kesadaran—yang pada dasarnya adalah pembatasan ruang. Konsep tersebut diterjemahkan sebagai kewajiban kita sebagai masyarakat sipil untuk menaati hukum dalam negara yang sah dan adil. Tapi, perluaslah sedikit kewajiban politik itu, kata Delmas, sehingga ia bisa dimaknai sebagai kewajiban moral warga negara untuk melawan ketidakadilan meskipun via pelanggaran hukum yang berdasarkan prinsip. Dengan mendasarkan bentuk kewajiban politik seperti itu, kita mampu menjalankan perlawanan dalam praktik keseharian. 

Satu contoh adalah okupasi ruang publik di Balairung UGM yang menerabas jaring-jaring birokrasi kampus untuk bermain sepak bola, membaca, berkemah, dan sebagainya. Balutan kegiatan tersebut sebenarnya apolitis; tapi ia menjadi ekspresi politik bila disingkap. Pendeknya, ruang Balairung dibayangkan, direbut, dan diciptakan ulang oleh mahasiswa untuk medan perlawanan. Contoh lain, ketika buruh negeri sipil harus merasakan tekanan efisiensi anggaran mereka melakukan perlawanan sehari-hari dengan cara menolak patuh atau menunda pekerjaan.

Dalam “Everyday Forms of Resistance” (1989), James C. Scott menyebutkan tujuan perlawanan sehari-hari adalah untuk menghindari perhatian dan deteksi kontrol dari negara. Dengan demikian, dalam situasi berbahaya ini, siapa saja yang masih ragu atau takut untuk melakukan aksi politis secara terang-terangan seperti demonstrasi memiliki pilihan “bawah tanah” untuk dilakukan. Beragam praktik mungkin secara layak dapat diklaim mewakili bentuk perlawanan sehari-hari sehingga inklusif dan representatif. Perlawanan sehari-hari menjadi instrumen paling masuk akal untuk dilaksanakan hari ini. Alasan paling utama adalah militerisasi rezim sekarang sudah hampir mustahil untuk dijegal tanpa perlawanan kolektif dalam skala besar. Dengan perlawanan sehari-hari, ada totalitas kesatuan tertentu bahwa pembangkang adalah mereka yang selalu tenang, tersamar, anonim, dan acap kali tidak dinyatakan sebagai bentuk perlawanan oleh pihak-pihak yang punya akses terhadap kekuasaan.

Puluhan, ratusan, atau bahkan jutaan pembangkang yang konsekuen melawan sehari-hari akan menciptakan jaringan gerakan kolektif yang rizomatik. Gerakan tersebut fluktuatif, cair, dan berstatus non-hierarkial sehingga ketahanannya dapat diuji kala vis-à-vis dengan rezim. Sebagai sebuah jaringan berbentuk rimpang, menurut Gilles Deleuze dan Félix Guattari (1987), ia akan tanpa henti membangun hubungan antara rantai semiotik, organisasi kekuasaan, dan keadaan yang berkelindan dengan perjuangan sosial.

Jadi, sekali lagi, apa yang bisa kita kerjakan sekarang? Kanalnya cukup banyak; berkolektif dan berjejaring. Tapi bila ia tidak dimungkinkan, perlawanan sehari-hari adalah pilihan yang sedikit banyak dapat dikerjakan. Kita tidak memiliki apa pun yang tersisa sebab eksploitasi rezim dan keseharian kecuali satu: kesadaran untuk menolak bagian status quo. Kesadaran yang kemudian diterjemahkan menjadi perlawanan kecil-kecilan-keseharian secara kuat dan istikamah. Di tengah rezim militer dan kapitalisme yang menceraikan identitas kesadaran kita, perlawanan kecil sudah merupakan tindakan revolusioner.***


Alvino Kusumabrata adalah penulis. Tulisannya tersebar di IndoProgress, jurnal Prisma, majalah Basis, Inside Indonesia, Tirto, dll.

]]>