Analisa Politik – IndoPROGRESS https://indoprogress.com Media Pemikiran Progresif Tue, 04 Jun 2024 12:45:38 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.4.3 https://indoprogress.com/wp-content/uploads/2021/08/cropped-logo-ip-favicon-32x32.png Analisa Politik – IndoPROGRESS https://indoprogress.com 32 32 Corak Pemerintahan Prabowo dan Prospek Perlawanan Rakyat https://indoprogress.com/2024/06/corak-pemerintahan-prabowo-dan-prospek-perlawanan-rakyat/ Mon, 03 Jun 2024 09:27:42 +0000 https://indoprogress.com/?p=238150

Ilustrasi: Ilustruth


PRABOWO-Gibran telah secara resmi ditetapkan sebagai Presiden dan Wakil presiden terpilih lewat proses kepemiluan yang dianggap penuh dengan kecurangan serta manipulasi aturan. Selain itu, terpilihnya Prabowo berpotensi memperlemah agenda HAM mengingat dirinya dikenal sebagai bekas tentara pelanggar HAM; sementara Gibran sendiri memperkuat praktik politik yang eksklusif mengingat statusnya sebagai anak Presiden Jokowi. Tidak heran jika kemudian banyak yang melihat terpilihnya pasangan ini sebagai awal dari berakhirnya demokrasi di Indonesia.

Walaupun masuk akal, namun kita perlu cermat memahami dinamika ekonomi-politik di balik “kemunduran demokrasi” ini. Dalam artikelnya, Abdil Mughis Mudhoffir melihat pandangan tentang kemunduran demokrasi dan bahkan sampai jatuh ke otoritarianisme mengabaikan faktor penting mengenai konstelasi oligarki. Menurutnya, konfigurasi oligarki di Indonesia memiliki kepentingan yang sangat besar terhadap demokrasi karena memungkinkan adanya kompetisi terbuka di antara mereka untuk menguasai institusi formal negara guna mempertahankan kekayaan. Dorongan ke arah otoritarianisme sangatlah detrimental bagi kepentingan para oligark sebagai suatu kolektif. 

Di sini masalah terbesar dari pemerintahan Prabowo-Gibran justru bukan pada kemungkinan perubahannya, tapi pada sisi kesinambungannya. Semenjak tidak ada perubahan signifikan dari relasi oligarki yang ada, prospek demokrasi era Prabowo-Gibran tidak akan jauh berbeda dengan apa yang sudah terjadi di era Jokowi. Institusi demokrasi tetap akan berdiri namun manipulasi aturan main yang secara normatif anti-demokrasi akan tetap berlangsung marak. 

Meski setuju dengan premis utamanya, saya melihat tetap ada yang baru dari agenda kesinambungan yang dicanangkan. Kebaruannya terletak pada bagaimana pemerintahan Prabowo-Gibran hendak melakukan akomodasi luas terhadap kekuatan-kekuatan sosial politik yang ada. 

Akomodasi politik itu sendiri bukan barang baru dalam hubungan oligarki di Indonesia. Stabilitas politik menjadi keharusan mengingat konflik secara terus-menerus antara oligark justru menjadi ancaman eksistensial oligarki itu sendiri. Akan tetapi, saya mencatat, skala yang tengah diupayakan kekuatan oligarki sekarang untuk memastikan agenda kesinambungan di bawah pemerintahan Prabowo-Gibran berada dalam bentuk yang lain. Akomodasi bukan hanya diberikan kepada mereka yang dianggap bagian dari kelompok oposisi seperti partai politik rival pada saat pemilu, namun juga terhadap kelompok yang dianggap berada di luar arena politik namun memiliki pengaruh kuat dalam masyarakat. 

Indikasi kuat bahwa pemerintahan Prabowo akan melanjutkan pola akomodasi meluas ini tampak pada rencana pembentukan kabinet yang jumlahnya membengkak menjadi 41 kementerian. Prabowo melihat pemerintahan haruslah diisi oleh banyak orang dengan alasan Indonesia adalah negara besar dan menghadapi tantangan yang juga besar. Indikasi akomodasi meluas lain adalah rencana untuk memberikan izin usaha pengelolaan tambang kepada ormas dari berbagai agama (yang akhirnya diresmikan pada 30 Mei, –editor). 

Praktik akomodasi meluas terhadap kelompok sosial juga bisa dilihat dengan diangkatnya Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI) Andi Gani Nena Wea sebagai staf ahli bidang ketenagakerjaan Kapolri. Pengangkatan Andi Gani memiliki signifikansi simbolik. Pertama, karena organisasi yang dipimpinnya merupakan salah satu organisasi pendiri Partai Buruh, partai yang pada masa pemilu lalu memosisikan diri untuk tidak mendukung satu pun kandidat presiden-wakil presiden. Kedua, sebab secara personal memiliki kedekatan dengan Megawati Sukarnoputri, figur yang dianggap berseberangan dengan Jokowi.

Akomodasi meluas terhadap kekuatan-kekuatan sosial yang ada tentu memiliki dampak terhadap bagaimana kekuasaan negara akan berlaku. Coen Husain Pontoh secara akurat berargumen bahwa dalam pemerintahan Prabowo justru kekuasaan negara akan semakin eksploitatif sekaligus represif terhadap kelas pekerja dan rakyat miskin. Akan tetapi, berbeda dengan Coen, saya berpendapat dorongan akan peningkatan eksploitasi ini bukan hanya berasal dari tekanan struktural untuk mengakumulasi kapital, namun juga aliansi sosial pendukung yang cenderung gemuk. Aliansi yang gemuk mensyaratkan sumber daya yang besar untuk “menafkahi” mereka. Maka, jika pun ada “kediktatoran kapital” sebagaimana yang dilihat oleh Coen, kita akan menemukan praktik kuasa kapital yang konvergen dengan kepentingan penguasaan sumber daya material para kelompok pendukung pemerintahan. 

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.

Pertanyaannya kemudian, sejauh mana praktik kenegaraan ini mampu memenuhi agenda stabilitas dan kesinambungan? Menurut saya, alih-alih menciptakan stabilitas, justru pemerintahan Prabowo-Gibran berpotensi untuk terjerembap ke dalam instabilitas yang menggerogoti agenda kesinambungan. 

Ada dua sumber yang potensial untuk menciptakan instabilitas itu. Pertama, dari upaya akomodasi meluas yang terjadi selama konsolidasi oligarki belakangan ini. Akomodasi meluas mensyaratkan praktik akumulasi dengan tingkat keuntungan kapitalisme yang tinggi. Sebagaimana yang sudah dikemukakan pula oleh Coen, kapitalisme Indonesia yang rapuh karena ketiadaan basis ekonomi produktif berskala besar serta berteknologi tinggi menciptakan keterbatasan bagi penciptaan surplus ekonomi. Keterbatasan ini tentu menciptakan tekanan bagi Prabowo-Gibran pada bagaimana alokasi sumber daya yang optimal terhadap anggota aliansi pendukungnya sendiri. Keterbatasan surplus ekonomi tentu akan membuat penentuan alokasi tidak akan berlangsung secara merata atau akan ada kelompok sosial yang merasa diabaikan oleh pemerintah. Hal tersebut akhirnya berpotensi menjadi bara dalam sekam. 

Sumber instabilitas kedua berasal dari eksternal pemerintahan. Praktik kekuasaan yang eksploitatif sekaligus ekstraktif terhadap kelas pekerja dan rakyat miskin tentu akan menciptakan reaksi perlawanan. Dengan karakter negara yang represif seperti sekarang, masuk akal untuk melihat perlawanan ini bisa diredam melalui represi. Akan tetapi, menurut saya, dengan tingkat eksploitasi yang semakin dalam dan tinggi, terbuka pula peluang bagi eskalasi perlawanan yang mungkin tidak dapat diantisipasi kekerasan negara. Represi negara mungkin tidak lagi mencukupi untuk meredam perlawanan rakyat yang meluas karena pendalaman eksploitasi. 

Walau begitu, pemerintahan Prabowo-Gibran masih berpeluang untuk mempertahankan stabilitas kesinambungan jika ada perkembangan-perkembangan tertentu dalam pemerintahannya. Saya mencatat ada tiga perkembangan penting yang sangat mungkin membuat agenda kesinambungan berlangsung secara stabil: pertama, keberhasilan pemerintah untuk mendapatkan manfaat ekonomi dari inisiatif industrialisasi nikel karena booming kendaraan listrik; kedua, kesolidan aliansi sosial pendukung pemerintah karena puas dengan pola alokasi sumber daya yang ada; dan terakhir, semakin melemahnya kepercayaan diri gerakan rakyat dalam melakukan perlawanan karena intensitas represi. 

Apa pun itu, proyeksi stabilitas pemerintahan Prabowo-Gibran dalam upayanya melanjutkan pola kekuasaan Jokowi bukanlah proyeksi yang absolut. Hal ini setidaknya memberikan kita perspektif bahwa kemungkinan untuk ruang politik masihlah terbuka. Permasalahannya kemudian adalah bagaimana gerakan rakyat menyikapi ruang politik ini. Yang jelas, gerakan rakyat perlu secara lebih kreatif dan tidak dogmatis mencari formula perlawanan yang dapat mengeksploitasi secara efektif kerentanan agenda stabilitas pemerintahan Prabowo-Gibran. Tentu saja ini bukan untuk sekadar memenangkan kepentingan rakyat dalam negara, tapi juga memastikan demokrasi tetap memiliki makna dalam pemerintahan nanti.***


Muhammad Ridha adalah kandidat PhD di Northwestern University, Illinois, AS. Ia juga adalah anggota Partai Buruh.

]]>
Apa Kata Marx tentang Pemerintahan Teknokrat? https://indoprogress.com/2022/07/apa-kata-marx-tentang-pemerintahan-teknokrat/ Sat, 23 Jul 2022 13:14:19 +0000 https://indoprogress.com/?p=236906

Foto: AFP/Getty Images


Pemerintahan persatuan nasional yang dipimpin sang “teknisi” Mario Draghi ambruk. Draghi, mantan presiden Bank Sentral Eropa, gagal membendung perpecahan politik di dalam kabinet. 

HANYA segelintir orang yang tahu bahwa di belantara topik yang menjadi perhatian Marx, ia juga sempat menulis kritik terhadap apa yang disebut-sebut “pemerintahan teknis” (atau pemerintahan teknokrat). Sebagai kontributor New York Tribune, salah satu suratkabar dengan sirkulasi terluas pada masanya, Marx mengamati arah perkembangan politik dan institusional yang kelak melahirkan satu di antara pemerintahan teknokrat pertama dalam sejarah: kabinet Earl of Aberdeen, yang berlangsung sejak Desember 1852 hingga Januari 1855.

Laporan-laporan Marx menonjol karena ketajaman dan sarkasmenya. Harian The Times merayakan momen-momen 1852 itu sebagai tanda bahwa Inggris berada di fajar ‘ketika ruh partai politik lenyap dari bumi, digantikan  kejeniusan, pengalaman, industri, dan patriotisme yang menjadi satu-satunya kualifikasi untuk menduduki jabatan’. Suratkabar London ini menyerukan ‘orang-orang dari semua kubu politik’ untuk bersatu menyokong pemerintah baru karena ‘prinsip-prinsipnya yang didukung dan bisa diterima semua kalangan’. Argumen serupa dikemukakan pada Februari 2021, ketika Mario Draghi, mantan Presiden Bank Sentral Eropa, menjadi Perdana Menteri Italia.

Dalam artikel bertajuk “A Superannuanted Administration: Prospect of the Coalition Ministry” (1853), Marx mencemooh sudut pandang The Times. Hal-hal yang dianggap modern dan memikat bagi suratkabar terdepan Inggris itu sangat rupanya sekadar lelucon di mata Marx. Ketika The Times mendeklarasikan “sebuah kabinet yang terdiri dari sosok-sosok baru, muda, dan menjanjikan”, Marx menyatakan bahwa “dunia pastinya tidak akan kaget menyaksikan era baru dalam sejarah Inggris Raya ini diresmikan oleh orang-orang kepala delapan yang sudah bau tanah”. Di samping menyoroti orang-orang di kabinet tersebut, Marx juga menyoroti kepentingan yang lebih besar dan kebijakan-kebijakan dalam kabinet ini: “Kita dijanjikan bahwa konflik antar partai—bahkan partai itu sendiri—akan lenyap,” kata Marx. “Lalu apa artinya The Times?”

Sayangnya isu yang diangkat Marx sangat penting buat hari ini, ketika kuasa kapital atas pekerja semakin liar persis seperti yang terjadi pada pertengahan abad ke-19. Pemisahan antara ekonomi dan politik—yang membedakan kapitalisme dari mode produksi sebelumnya—telah mencapai puncak. Tak hanya mendominasi politik dan mendikte agenda beserta keputusan-keputusannya, kuasa ekonomi bahkan berada di luar yurisdiksi politik dan kontrol demokratik—sampai-sampai perubahan pemerintahan tidak lagi mengubah arah kebijakan sosial dan ekonomi, yang tidak bergeser sama sekali.

Selama tiga puluh tahun terakhir, kewenangan dalam pengambilan keputusan telah berpindah dari ranah politik ke ekonomi. Opsi-opsi kebijakan yang sesungguhnya partisan kini sudah menjadi imperatif ekonomi yang menutup-nutupi proyek politik dan reaksioner ini dengan topeng ideologis kepakaran yang seolah apolitis. Diopernya unsur-unsur politik ke ekonomi, sebagai ranah khusus yang tahan perubahan, turut memunculkan ancaman terbesar terhadap demokrasi di zaman kita. Parlemen—yang marwah perwakilannya sudah terkikis oleh sistem pemilu yang berat sebelah dan campur tangan otoriter terhadap hubungan eksekutif-legislatif—mendapati kekuasaannya dirampas dan dioper ke ‘pasar’. Pemeringkatan oleh Standard & Poor’s dan indeks Wall Street—jimat sakti masyarakat dewasa ini—dianggap lebih lebih besar bobotnya ketimbang kehendak rakyat. Paling banter, pemerintah hanya mampu  ‘mengintervensi’ ekonomi. Kelas penguasa terkadang memang perlu mengurangi anarki kapitalisme beserta krisis-krisisnya yang merusak. Namun, pemerintah tidak akan bisa menggugat aturan dan pilihan-pilihan mendasar di bidang ekonomi.

Seorang wakil terkemuka dari fenomena ini adalah mantan Perdana Menteri Italia Draghi. Selama 17 bulan, ia memimpin koalisi yang sangat luas. Isinya termasuk Partai Demokrat, Silvio Berlusconi (musuh bebuyutan Draghi), hingga Five Star Movement yang populis dan partai kanan Lega Nord. Kita bisa menyaksikan ditangguhkannya politik di balik kedok istilah “pemerintahan teknis”—atau dalam bahasa mereka: “pemerintah yang terdiri dari orang-orang terbaik” atau “pemerintahan yang diisi orang-orang berbakat’ Dalam beberapa tahun terakhir, pendapat bahwa tidak boleh ada pemilu baru setelah krisis politik kian santer; politik harus menyerahkan seluruh kendali kepada ekonomi. Dalam sebuah artikel yang terbit pada April 1853, “Achievements of the Ministry”, Marx menulis bahwa “Kabinet Koalisi (‘teknis’) adalah simbol ketidakberdayaan politis”. Pemerintah tidak lagi membahas haluan ekonomi mana yang akan diambil. Sekarang haluan ekonomilah yang melahirkan pemerintahan.

Sebuah mantra neoliberal terus didengungkan beberapa tahun terakhir di Eropa: guna memulihkan ‘kepercayaan’ pasar, diperlukan percepatan ‘reformasi struktural’, sebuah ungkapan yang kini sama artinya dengan kehancuran sosial: pemotongan upah, serangan terhadap hak-hak kelas pekerja terkait perekrutan dan pemecatan, kenaikan usia pensiun, dan privatisasi berskala besar. Jalan ‘reformasi struktural’ ini telah ditempuh “pemerintahan-pemerintahan teknokratik” baru pimpinan orang-orang yang CV-nya penuh pengalaman pernah bekerja di institusi-institusi ekonomi yang paling bertanggung jawab atas krisis ekonomi. Mereka mengaku harus mengambil kebijakan-kebijakan tersebut “demi kemaslahatan negara” dan “generasi mendatang”. Tak hanya itu, kuasa ekonomi dan media arus utama pun mati-matian membungkam siapapun yang bersuara kritis.

Per hari ini Draghi tidak lagi menjadi Perdana Menteri Italia. Koalisinya telah ambruk karena ekstremnya perbedaan kebijakan-kebijakan  dari partai-partai pendukungnya. Pemilu Italia akan diadakan lebih awal pada 25 September. Jika kaum Kiri tidak ingin lenyap, mereka harus berani mengusulkan kebijakan radikal yang diperlukan untuk mengatasi masalah-masalah kekinian yang paling mendesak, dimulai dari krisis lingkungan. Orang-orang yang tidak mampu menjalankan program transformasi sosial dan redistribusi kekayaan adalah para ‘teknokrat’—yang sebenarnya sangat politis—seperti bankir Mario Draghi.

Dan Draghi tidak akan dirindukan.***


Marcello Musto adalah Profesor Sosiologi di Universitas York (Toronto, Kanada). Tulisan- tulisannya yang bisa diakses di www.marcellomusto.org telah diterjemahkan ke dalam dua puluh lima bahasa. Artikel jurnal terbarunya berjudul “War and the Left: Considerations on a Chequered History” dan diterbitkan oleh Critical Sociology.

]]>
Catatan Kritis untuk Filantropi Islam di Indonesia https://indoprogress.com/2022/07/catatan-kritis-untuk-filantropi-islam-di-indonesia/ Sun, 03 Jul 2022 12:51:39 +0000 https://indoprogress.com/?p=236815

Ilustrasi: Illustruth


KONDISI kerentanan akibat berbagai momen kritis yang kita hadapi dalam beberapa tahun terakhir—mulai dari pandemi Covid-19 hingga efek dari kebijakan-kebijakan kapitalistik—masih kita rasakan hingga sekarang. Salah satu respons cepat publik yang deras mengalir untuk mengatasi persoalan tersebut adalah berbagai bentuk sumbangan dan tindakan solidaritas yang bersifat karitatif—dengan kata lain filantropi. Reaksi cepat ini bertumpu pada satu asumsi bahwa berderma adalah solusi jitu dan tepat sasaran di momen-momen kritis atau bahkan di masa krisis panjang sekalipun.

Tentu narasi ini sangat familiar bagi umat Islam, terutama di periode antara bulan Ramadhan dan Idul Adha, ketika mereka yang memiliki kemampuan ekonomi wajib untuk menunaikan zakat fitrah dan berkurban untuk kaum fakir miskin dan golongan-golongan lain yang berjuang. Tidak perlu diragukan bahwa potensi kolektif dari berbagai jenis aktivitas sedekah ini amat besar, baik dalam hal pengumpulan dana maupun distribusinya.

Tetapi, pertanyaan yang lebih besarnya adalah, apakah pemahaman dan model konvensional dari filantropi Islam ini cukup? Mungkinkan kita membayangkan dan merumuskan model filantropi dan solidaritas sosio-ekonomi Islam yang lebih maju? Bagaimana kita memastikan pengelolaan dana umat atau dana publik secara akuntabel, transparan, dan demokratis, terutama di tengah kritik atas penyelewengan dana di sektor filantropi Islam? Inilah persoalan yang akan coba dijawab di dalam pemaparan singkat ini. Analisis dalam esai ini tidak bertujuan untuk memberikan analisis apalagi teroborosan fiqh atau jurisprudensi Islam—untuk itu, saya serahkan kepada ahlinya. Kali ini, yang ingin saya angkat adalah refleksi dan sejumlah tawaran tentang filantropi Islam dari perspektif seorang pegiat ekonomi gerakan dan pembelajar ekonomi-politik.


Membongkar Altruisme Efektif dan Praktik Filantropi Global

Salah satu argumen filosofis yang mempengaruhi gerakan filantropi kontemporer adalah Altruisme Efektif (Effective Altruism). Salah satu promotor terkemuka dari gagasan ini adalah filsuf utilitarian-analitik asal Australia, Peter Singer. Dalam artikel klasiknya yang berjudul ”Famine, Affluence, and Morality” (1971) Singer berpendapat bahwa mereka yang kaya dan berkecukupan, terutama yang tinggal di negara-negara kaya di Utara, memiliki kewajiban moral untuk membantu mengurangi jumlah kesengsaraan hebat di dunia melalui harta kekayaan mereka. Berangkat dari tradisi etika utilirarian dan rasa terenyuhnya melihat korban Perang Kemerdekaan Bangladesh, Singer memakai satu analogi untuk meyakinkan pembacanya: apabila kita akan segera tergerak menyelamatkan seorang anak kecil yang tenggelam di satu danau meskipun baju kita akan basah, mengapa lantas kita tidak tergerak untuk menyelamatkan warga sipil yang kelaparan dan membutuhkan penanganan medis dalam kondisi perang? Argumen ini secara lebih elaboratif kemudian dijabarkan oleh Singer dalam bukunya, The Life You Can Save (2009) yang menjelaskan secara detail salah satu strategi implementasi utama dari falsafah Altruisme Efektif: berdonasi kepada lembaga-lembaga filantropi dengan profesionalitas tinggi dan dedikasi kepada kaum marjinal. Dalam buku tersebut, Singer juga menyebutkan cerita-cerita tauladan dari berbagai figur (elite), mulai dari para profesional humanis di sektor korporat, oligark-oligark dermawan seperti Bill Gates, hingga figur politik dan intelektual dunia yang mendorong inisiatif filantropi dan bantuan untuk negara-negara Selatan.

 Singkat kata, bagi Singer, berderma adalah aksi etis nan politis, dengan para dermawan sebagai para pelopornya dan organisasi serta lembaga kemanusiaan dan filantropi sebagai kendaraan politiknya.

 Familiar? Tentu saja. Argumen inilah yang di kemudian hari dipakai oleh para kapitalis raksasa seperti investor Warren Buffett, pendiri Microsoft Bill Gates, dan miliarder kripto muda Samual Bankman-Fried alias SBF. SBF misalnya, membaca karya Singer saat remaja, dan ide-ide Altruisme Efektif meyakinkannya untuk menjadi pialang kripto-cum-dermawan.

 Sejatinya, tidak ada yang benar-benar baru dari filantropi kapitalis global ini, tetapi, packaging dan marketing-nya membuat bisnis donasi para filantropis pengemplang pajak ini terlihat ‘humanitarian’ dan bahkan ‘progresif.’ Tertarik mengembangkan pembangkit listrik hidroelektrik dan ekowisata? Howard Buffett, anak Warren Buffett, punya jawabannya. Panik menghadapi kiamat kecil berupa perubahan iklim? Bill dan Melinda Gates punya solusinya. Terenyuh melihat nasib para hewan di industri ternak? Tenang saja, SBF pun demikian. Slogannya, setiap dollar, rupiah, atau bitcoin anda akan membantu pengembangan obat malaria, vaksin baru, dan inisiatif kemanusiaan lainnya.

 Saya curiga, jangan-jangan paham Altruisme Efektif juga diam-diam diimani oleh umat Islam Indonesia, terutama para kelas menengah dan elitnya. Ibadah zakat, infak, sedekah, dan wakaf, meskipun ditunaikan secara massif, direduksi menjadi persoalan preferensi donasi individu seorang Muslim untuk kegiatan dan penerima favoritnya, seperti santunan untuk anak yatim piatu, kesejahteraan kaum fakir miskin, atau wakaf tanah untuk aktivitas pendidikan.

 Apa yang bermasalah dengan Altruisme Efektif? Bukankah berdema adalah satu hal yang baik? Tentu saja membantu sesama yang menderita lebih baik dari berdiam diri. Tetapi, perlu kita ingat bahwa berderma tanpa membongkar struktur penindasan, tanpa memberikan alternatif, semacam memberikan salep dan obat penenang kepada pasien yang sakit keras.

 Matthew Snow, seorang pembelajar filsafat, mencatat sejumlah masalah dengan ide Altruisme Efektif. Kritik Snow berfokus kepada tiga aspek, yaitu asumsi interaksi/relasi sosial antara manusia dalam analogi yang dipakai Singer, absennya analisis mengenai kondisi struktural dan peranan kapital dalam perspektif Altruisme Efektif, dan preskripsi kebijakannya.

 Secara singkat, kritik Snow adalah sebagai berikut. Pertama, analogi Singer seakan-akan mengasumsikan bahwa interaksi/relasi sosial antara seorang manusia dengan manusia lainnya yang menderita adalah sebangun atau dapat direduksi menjadi hubungan antara calon donatur dengan penerima bantuan potensial. Kita tahu bahwa model ini, yang secara tidak langsung mengamini logika transaksional (pasar) dalam relasi sosial, tidak merepresentasikan kompleksitas masyarakat (dan relasi sosial produksi yang membentuknya) dengan baik.

 Kedua, abstraksi dan visi tentang masyarakat a la Altruisme Efektif tentu saja abai dengan konteks kapitalisme. Logika akumulasi kapital dan pengejaran keuntungan merampas hak mereka yang terpinggirkan dan berbagai sumber daya untuk memberikan hidup yang layak bagi para “penerima bantuan potensial” tanpa perlu bergantung dengan filantropi.

 Ketiga, preskripsi yang dianjurkan oleh Altruisme Efektif dapat diperas menjadi tiga pilihan, yaitu: 1) menjadi juragan kapitalis atau profesional berpenghasilan tinggi demi menyelamatkan dunia, 2) bekerja untuk lembaga filantropi kapitalis, atau 3) bekerja di sektor riset, advokasi, atau kebijakan pro-kapital.

Kita juga dapat menambahkan sejumlah keberatan bagi Altruisme Efektif, seperti struktur industri filantropi global yang tidak demokratis, bagaimana filantropi kapitalis berkontribusi kepada agenda privatisasi dan pemangkasan hak dan anggaran sosial, atau bagaimana asumsi utilitarian dalam pemikiran Singer dapat menjadi pembuka jalan bagi komodifikasi hak-hak warga yang marginal. Amatan di tingkat makro maupun di lapangan juga mengkonfirmasi masalah-masalah tersebut.

Sejumlah persoalan ini perlu menjadi catatan bagi pengkaji dan pegiat filantropi Islam di Indonesia. Untuk itu, kita perlu melihat dan mengevaluasi kondisi sektor tersebut.


Praktik dan Potensi Filantropi Islam di Indonesia

Sebagaimana telah saya singgung di atas, ada yang bermasalah dari penerimaan asumsi-asumsi Altruisme Efektif dalam praktik filantropi Islam. Salah satu konsekuensi yang problematis dari penerimaan tersebut adalah individualisasi ibadah zakat, infak, sedekah, dan wakaf (ziswaf). Proses individualisasi tersebut, dalam hemat saya, secara gradual menghilangkan dimensi kolektif/berjamaah, spirit solidaritas, dan tujuan penyucian harta dari ibadah ziswaf.

Saya teringat kisah sahabat Rasulullah SAW, Abu Bakar RA, yang memerangi para pembangkang yang memilih membelot dari Islam dan menolak membayar zakat, sebuah kampanye militer yang kelak dikenang sebagai Perang Riddah. Dalam masa pemerintahannya sebagai Khalifah, Abu Bakar RA tidak hanya memerangi para murtadin dan nabi-nabi palsu, tetapi juga terhadap upaya untuk merampas hak-hak fakir miskin dan segenap kaum mustadh’afin lainnya. Tidaklah berlebihan saya pikir untuk menyebutkan bahwa ada aspirasi redistribusionis dan cita-cita emansipatoris dalam zakat dan berbagai jenis sedekah lainnya.

Individualisasi ziswaf dengan kata lain adalah suatu proyek yang ganjil, satu kebetulan yang lahir dalam konteks masyarakat Muslim yang terlempar dan hidup dalam kapitalisme. Padahal, potensi ziswaf sangatlah besar. Data terakhir dari Badan Amil Zakat Nasional (Baznas) misalnya mencatat bahwa potensi zakat di Indonesia mencapai Rp 327 triliun per tahun. Data yang sama juga mencatat bahwa zakat yang terkumpul pada 2021 misalnya baru mencapai Rp 17 triliun. Artinya, jumlah pemasukan dan pengumpulan zakat sebenarnya bisa lebih digenjot.

Tetapi, tantangan filantropi Islam bukan hanya soal jumlah target donasi zakat semata. Skema pengelolaan dan pemanfaatan dana ziswaf misalnya adalah satu hal yang harus dipikirkan bersama secara lebih serius. Sejumlah kajian telah menunjukkan sejumlah implementasi kreatif dari filantropi Islam, seperti menargetkan pekerja migran Indonesia sebagai penerima zakat dan membangun klinik kesehatan bagi kaum fakir miskin dengan dana zakat. Di sisi lain, filantropi Islam di Indonesia juga rawan diapropriasi oleh kelompok elit seperti partai-partai politik arus utama atau para pemakan rente/kaum penghisap nilai lebih lainnya.

Yang juga tidak kalah problematis adalah basis kelas yang menjadi promotor dan penggerak utama dari praktik filantropi Islam di Indonesia, yaitu kelas menengah/borjuis kecil Muslim. Kecenderungan visi, misi, dan praktik filantropi Islam dari kelas ini adalah, seperti jenis aktivisme mereka yang lain, berwatak reformis. Para pegiat filantropi Islam ini, yang mengamini jalan evolusioner/gradual menuju keadilan sosial, ingin membentuk dunia seturut dengan citra diri dan pandangan hidup mereka sebagai kelas menengah reformis. Mereka lupa bahwa cita-cita seperti ini bisa berujung kepada keyakinan dan implementasi pada ide-ide yang terlihat inovatif tetapi sebenarnya karitatif. Tidak hanya itu, struktur pengelolaan filantropi dan bahkan dana publik yang dibayangkan oleh kelas ini bisa jadi jauh dari demokratis. Semua ide ini menemukan gaungnya dalam berbagai gagasan reformis-liberal hari ini seperti Altruisme Efektif. Lagi-lagi, kita hanya diberikan obat pilek untuk mengatasi bengek yang parah dan berkepanjangan akibat kapitalisme.


Sedikit Tawaran menuju Filantropi Islam Progresif

Bagaimana menghadapi kebuntuan dan involusi dari gagasan dan praktik kontemporer filantropi Islam dan global? Apa saja tawaran dan bahan refleksi yang perlu kita pelajari, rujuk, dan terapkan? Saya pikir ada sejumlah petunjuk untuk keluar dari kebuntuan teoretik dan politik ini.

Pertama-tama, filantropi Islam mau tidak mau harus ditempatkan dalam upaya membangun demokrasi ekonomi demi kesejahteraan rakyat pekerja. Ini berarti mengedepankan orientasi redistribusi dan dekomodifikasi dalam berbagai layaran penyaluran ziswaf, alih-alih sekedar menjadi perpanjangan tangan korporasi dan kaum mustakbirin dalam menggembosi dan memangkas berbagai jaminan sosial dan hak rakyat.

Kedua, orientasi politik dari proyek filantropi Islam haruslah ditempatkan dalam kerangka transformasi sosial menuju masyarakat pasca-kapitalis. Meminjam bahasa mendiang sosiolog Erik Olin Wright, filantropi Islam harus menjadi bagian dari strategi transformasi interstitial, yaitu pembangunan institusi-institusi alternatif di masyarakat berdasarkan prinsip demokratis dan berorientasi pro-pekerja sebagai tandingan dari institusi-institusi konvensional seperti bank, layanan finansial, dan layanan pendidikan seperti sekolah. Harapannya, efek akumulasi dari berbagai ikhtiar transformasi interstitial dapat memberikan daya gedor yang signifikan untuk menghajar institusi-institusi konvensional tersebut.

Ketiga, yang tidak kalah penting, filantropi Islam haruslah berangkat dari kolaborasi yang egalitarian antara mereka yang berhak dengan mereka yang memberikan sebagian hartanya. Bergerak dari orientasi yang karitatif dan penuh dengan nuansa ‘belas kasihan’ kaum elit dan kelas menengah Muslim terhadap penderitaan manusia menjadi sebuah ikhtiar yang dipandu oleh inisiatif dari kaum mustadh’afin atau rakyat pekerja itu sendiri.

Pendeknya, filantropi Islam haruslah diinspirasi dan dipersenjatai oleh upaya pembangunan ekonomi solidaritas. Sejumlah peneliti dan ekonom heterodoks, seperti Tom Malleson, Richard D. Wolff, dan Bruno Jossa telah merumuskan dan mempromosikan berbagai kebijakan untuk mendorong demokratisasi ekonomi dan kesejahteraan untuk semua, mulai dari kontrol atas sektor finansial dan investasi, koperasi pekerja, hingga transformasi firma kapitalis menjadi unit usaha buruh. Upaya transformasi dari bawah ini juga perlu didukung oleh upaya transformasi ekonomi dari atas, seperti industrialisasi bertahap dan kontekstual yang didorong negara. Dengan begitu, kita bisa menemukan dan menerapkan model filantropi Islam yang lebih maju.

Keempat, di tengah terkuaknya kasus penggelapan dana di satu lembaga ziswaf, para pegiat filantropi Islam juga harus berani melakukan otokritik terhadap praktik kelembagaan dan pengelolaan dana serta organisasi yang ada. Berkaca dari kasus tersebut, saya pikir para pegiat filantropi Islam harus memastikan terlaksananya mekanisme organisasional kolektif yang dapat mencegah penyelewangan dana publik. Pembatasan dana operasional dan fasilitas bagi para amil zakat alias pengelola dana filantropi Islam (mungkin kita bisa mengambil inspirasi dari upaya mengontrol politik uang dari negeri ini) yang disesuaikan dengan norma kepantasan publik merupakan satu solusi bagi masalah di atas.

Pertanyaannya, apakah kita mau mengerjakan eksperimen tersebut? Inilah pertanyaan yang harus dijawab bagi mereka yang ingin membangun kedaulatan umat secara rasional, saintifik, sistematis, sabar, istiqamah, dan amanah.***


Iqra Anugrah adalah ko-editor IndoProgress dan pegiat di Laziswaf Daulat Umat (daulatumat.or.id). Esai ini dirumuskan berdasarkan pemaparan yang disampaikan dalam diskusi “Mengulik Gerakan Filantropi Islam (Ziswaf) di Indonesia: Sejarah dan Respon Kritis Atasnya” yang diselenggarakan oleh Daulat Umat pada 16 April 2022.

 

 

 

 

]]>
Bagaimana Gustavo Petro Menang Pemilu di Kolombia? https://indoprogress.com/2022/06/bagaimana-gustavo-petro-menang-pemilu-di-kolombia/ Tue, 28 Jun 2022 06:33:14 +0000 https://indoprogress.com/?p=236853

Foto: AFP


PADA 20 Juni 2022, rakyat pekerja Kolombia meraih kemenangan historis dalam pertarungan politik nasional. Untuk pertama kalinya, Gustavo Petro, yang dikenal sebagai aktivis politik kiri, berhasil memenangi kursi kepresidenan melalui pemilu. Melalui partainya, Kesepakatan Historis (Historical Pact), Petro beserta wakil presidennya yang merupakan aktivis lingkungan kulit hitam Francia Márquez mampu mengungguli pesaing-pesaing politik yang berasal dari kekuatan elite dominan. Pada putaran kedua, pasangan Petro dan Márquez unggul dengan perolehan 50,5% suara, mengalahkan lawannya yang seorang pengusaha konstruksi besar, Rodolfo Hernandez (47,22% dari total suara).

Capaian ini dapat dikatakan sangat mengesankan. Pasalnya, jika dibandingkan dengan negeri-negeri Amerika Latin lain, Kolombia adalah negara yang paling brutal dalam meredam artikulasi kekuatan kiri. Imbas dari perang sipil berkepanjangan antara kekuatan kiri bersenjata dengan negara kapitalis membuat posisi politik kiri terpinggirkan dalam konstelasi kekuasaan yang ada. Hampir seluruh kekuatan politik kiri di Kolombia mudah untuk mendapatkan cap “pengkhianat negara” hanya karena afinitas ideologi mereka dengan kekuatan kiri bersenjata. Hal ini tentu menciptakan legitimasi yang kuat bagi kekuatan politik yang berkuasa untuk merepresi keberadaan kelompok kiri. Tidak heran jika kemudian politik Kolombia sepenuhnya dimonopoli kelompok kanan yang didukung kelas kapitalis.

Di sinilah menariknya kemenangan Petro. Di tengah dominasi kekuasaan kelompok kanan yang didukung kelas kapitalis, kok bisa tokoh kiri seperti Petro menang pemilu presiden?

Ada beberapa penjelasan yang yang dapat diajukan untuk menjawab pertanyaan ini. Wacana yang paling populer bagi kita kelompok kiri Indonesia tentu adalah tentang ketidakpuasan publik akan praktek neoliberalisme yang telah berlangsung lama. Hal ini setidaknya bisa kita lihat pada bagaimana media massa memberitakan Petro sebagai tokoh perlawanan yang mewakili masyarakat yang dirugikan oleh kebijakan neoliberal elite-elite politik. Hal ini juga sejurus dengan tren geopolitik negara-negara Amerika Latin yang memang tengah bergeser (kembali) ke arah kiri.

Akan tetapi, faktor ketidakpuasan terhadap neoliberalisme tidaklah mencukupi. Harus diingat ini bukan kali pertama Petro ikut serta dalam kontestasi kepresidenan. Ia sudah dua kali terlibat dalam pemilu presiden dengan agenda anti-neoliberal, yaitu dalam pemilu 2010 dan 2018. Oleh karenanya kita perlu pula menelusuri lebih lanjut apa yang membuat kampanye anti-neoliberal Petro pada 2022 ini lebih efektif dibandingkan dengan kampanye tahun-tahun sebelumnya.

Salah satu faktor penting dalam kemenangan Petro kali ini adalah strategi elektoral yang mumpuni: pembentukan koalisi sosial yang diperlukan untuk mendulang suara. Ada dua kelompok utama yang setidaknya menjadi sasaran dari upaya pembentukan koalisi dalam kampanye Petro. Yang pertama adalah kelompok marjinal warga keturunan Afrika dan masyarakat adat yang selama ini kurang terepresentasikan. Banyak dari kelompok sosial ini yang mendiami wilayah ”pinggiran” secara politik seperti Provinsi (atau ”departemen”) Choco yang berada dalam area Pasifik, Departemen Atlantico yang merupakan area Karibia Kolombia, juga Departemen Vaupus yang berada dalam wilayah pedalaman Amazon Kolombia.

Dipilihnya Francia Márquez sebagai  wakil presiden mengandung makna strategis dalam menggaet suara kelompok marjinal yang dekat dengan konstituensi politik kiri. Márquez adalah perempuan keturunan Afrika dengan latar belakang aktivisme lingkungan. Ia sering bekerja dengan kelompok masyarakat adat. Ketika muda, ia sempat menjadi asisten rumah tangga.

Kelompok sosial kedua berasal dari faksi elite yang menghendaki perubahan konstelasi kekuasaan. Kelompok ini adalah elite yang tidak puas dengan konsensus neoliberal yang dikelola di bawah kekuasaan Presiden Alvaro Uribe–kemudian dikenal sebagai Uribisme–yang menjabat pada 2002-2010. Faksi elite yang tidak puas ini memulai perlawanan pada pemilu 2010, ketika memajukan seorang profesor matematika Antanas Mockus dalam pemilu presiden yang hanya berhasil lolos sampai putaran kedua. Tren kemunculan faksi elite yang tidak puas ini berlanjut dengan munculnya Rodolfo Hernandez yang selama kampanye mencoba juga membawa agenda ekonomi yang tidak berorientasikan pada neoliberalisme.

Untuk menggaet dukungan dari kalangan elite yang tidak puas ini, Petro memutuskan untuk melakukan moderasi atas agenda ekonominya. Alih-alih mengusung anti-kapitalisme radikal, Petro mengusung agenda ekonomi pasar yang memberikan prioritas lebih kepada redistribusi kesejahteraan yang menyasar rakyat jelata. Ia bahkan secara blak-blakan menyatakan bahwa kepresidenannya akan mengupayakan untuk membangun kapitalisme. Ini dilakukan mengingat ekonomi Kolombia masih dikuasai relasi ekonomi terbelakang dan feodal yang dipresentasikan oleh pengaruh kuat kelompok tuan tanah.

Keputusan strategis ini berbuah manis. Keputusannya untuk berkoalisi dengan kelompok marjinal menghasilkan suara di departemen pinggiran Kolombia. Di Choco dan Vaupes, pasangan ini mendapatkan 65% dari total suara yang ada. Di Atlantico dan Valle del Caucal bahkan Petro dan Márquez mendapatkan kenaikan yang sangat signifikan jika dibandingkan dengan jumlah suara yang menyatakan setuju dengan kesepakatan damai antara pemerintah dengan kelompok kiri bersenjata dalam referendum 2016.

Menariknya, karena berhasil menggaet simpati faksi elite yang tidak puas, Petro mampu mengoptimalisasi performanya di wilayah pusat yang selama ini merupakan benteng kekuatan elite politik dominan. Aliansi politik Kesepakatan Historis (Historical Pact) dengan faksi elite ini memungkinkan Petro menggunakan jaringan politik tradisional yang ada untuk menggaet dukungan di luar konstituen kiri tradisional. Tidak heran jika kemudian di pusat kekuasaan seperti di Bogota performa elektoral Petro mampu meraup 60% dari total suara pada putaran kedua. Wilayah pusat Kolombia yang tidak memberikan kesempatan bagus untuk performa Petro hanyalah Santander dan Antioquia. Santander adalah kampung halaman Hernandez, sementara Antioquia merupakan kampung halaman Uribe.

Strategi elektoral ini juga mengubah konstelasi suara secara keseluruhan. Jika sebelumnya pemilu Kolombia selalu dibayang-bayangi masalah golput, keterlibatan Petro dalam pemilu presiden kali mampu memobilisasi warga yang selama ini enggan mencoblos. Dalam pemilu putaran kedua, kemenangan Petro diikuti tambahan 2,7 juta suara jika dibandingkan dengan putaran pertama.


Tantangan Gustavo Petro

Tentu ilusi jika koalisi politik seperti ini akan serta-merta memudahkan Petro  mengimplementasikan agenda kirinya. Koalisi suara dengan basis kelas sosial yang luas ini berpotensi menciptakan ketegangan internal terkait mana agenda serta kepentingan politik yang harus diprioritaskan pemerintah. Belum lagi tantangan institusional lainnya karena partai Petro, Kesepakatan Historis, bukanlah partai mayoritas di parlemen. Kondisi ini tentu sudah pasti akan memaksa Petro melakukan negosiasi, kompromi, bahkan bertarung dengan kekuatan politik lama yang menguasai parlemen, dan ini berpotensi melumpuhkan kepresidenan. Dengan kata lain, penting bagi kita untuk tidak secara langsung mengaitkan momen kemenangan kampanye pemilu dengan momen kekuasaan ketika Petro sudah memerintah.

Namun, tantangan pada momen pemerintahan tentu tidak memudarkan signifikansi kekuasan eksekutif yang dipegang Petro. Ada tiga alasan mengapa peluang bagi kepemimpinan kiri yang efektif di era Petro masih terbuka.

Pertama adalah alasan institusional itu sendiri. Dalam derajat tertentu, institusi eksekutif memiliki diskresi untuk mendorong kebijakan yang dianggap penting dan perlu bagi pimpinan eksekutif itu sendiri. Dalam hal ini, legitimasi kekuasan eksekutif melalui kebijakan tidak melulu terkait masalah prosedur yang memungkinkan presiden mengakomodasi banyak suara berbeda dalam kebijakan publik. Legitimasi itu lebih terkait dengan apakah dorongan kebijakan eksekutif tersebut dilakukan dalam prinsip “mampu (capable), memiliki informasi (informed), kredibel (credible), responsif (responsive), dan adil (fair)”.

Faktor kedua adalah modal politik Petro itu sendiri, khususnya dalam hal program politik. Sedikit banyak program politik Petro telah diakui kredibilitasnya bukan hanya oleh konstituen tradisional kelompok kiri, tapi juga kelompok tengah dan juga teknokrat. Kredibilitas ini tentu mempermudah komunikasi politik untuk meyakinkan para pemangku kepentingan.

Ketiga, pengalaman selama masa kampanye. Pendekatan politik strategis selama kampanye dapat menjadi preseden bagi pemerintahan Petro dalam mencari siasat politik koalisi yang diperlukan untuk mendorong kepemimpinan yang transformatif. Hal ini tentu diperlukan untuk memastikan bahwa pemerintahannya tidak terlalu mendapatkan penentangan yang serius dari kekuatan-kekuatan sosial yang ada.***

]]>
Agresi Rusia, Ekspansi NATO dan Skenario Perang di Ukraina: Percakapan dengan Étienne Balibar, Silvia Federici, dan Michael Löwy https://indoprogress.com/2022/06/agresi-rusia-ekspansi-nato-dan-skenario-perang-di-ukraina-percakapan-dengan-etienne-balibar-silvia-federici-dan-michael-lowy/ Fri, 24 Jun 2022 07:38:54 +0000 https://indoprogress.com/?p=236817

Foto: Marcello Musto, Étienne Balibar, Silvia Federici, Michael Löwy


PERANG di Ukraina dimulai empat bulan lalu. Menurut Kantor Komisaris Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia, perang ini telah menewaskan lebih dari 4.500 warga sipil dan menciptakan hampir lima juta pengungsi. Angka-angka ini tidak termasuk kematian personel militer—setidaknya 10.000 orang Ukraina dan mungkin lebih banyak lagi di pihak Rusia—serta jutaan orang yang telah mengungsi di dalam perbatasan Ukraina.

Invasi ke Ukraina telah melumat kota-kota dan infrastruktur sipil. Butuh beberapa generasi untuk membangunnya kembali. Invasi juga menimbulkan kejahatan perang berskala besar, seperti yang dilakukan selama pengepungan Mariupol oleh pasukan Rusia.

Saya menggelar diskusi roundtable bersama tiga pemikir Marxis: Étienne Balibar, Profesor Filsafat Eropa Kontemporer di Kingston University (London, Inggris Raya), Silvia Federici, Profesor Emeritus Filsafat Politik di Universitas Hofstra (Hempstead, Amerika Serikat) dan Michael Löwy, Direktur Riset Emeritus di Centre national de la recherche scientifique (Paris, Prancis). Diskusi ini digelar untuk meninjau apa yang terjadi sejak perang meletus, merefleksikan peran NATO, dan menimbang kemungkinan-kemungkinan skenario masa depan.

Rangkuman pembicaraan di bawah ini lahir dari serangkaian komunikasi selama beberapa pekan terakhir melalui email dan telepon.


Marcello Musto (MM): Invasi Rusia ke Ukraina telah mengembalikan Eropa ke kebrutalan perang dan menghadapkan dunia pada dilema bagaimana merespons serangan terhadap kedaulatan Ukraina.

Michael Löwy (ML): Selama Putin ingin melindungi minoritas penutur bahasa Rusia di wilayah Donetsk, ada rasionalitas tertentu dalam kebijakannya. Ini juga berlaku pada sikapnya yang menentang ekspansi NATO di Eropa Timur. Namun, invasi brutal ke Ukraina—dengan serangkaian pengeboman kota dan ribuan korban sipil termasuk lansia dan anak-anak—tidak memiliki pembenaran.

Étienne Balibar (EB): Perang di depan mata kita ini adalah perang “total”. Ini perang teror dan bumi hangus oleh tentara negeri jiran yang lebih kuat. Pemerintahan negara ini ingin militernya terlibat petualangan imperialis yang tak berujung. Sikap penting dan mendesak yang harus diambil adalah bahwa perlawanan Ukraina harus dipertahankan. Untuk itulah perlawanan ini harus benar-benar didukung oleh tindakan, bukan sekadar perasaan. Tindakan apa? Pada titik inilah bermula perdebatan taktik, kalkulasi efektivitas tindakan, serta risiko “defensif” dan “ofensif”. Yang jelas, pilihannya bukan “wait and see”.

MM: Di samping perlawanan balik Ukraina yang sah dilakukan, ada persoalan yang sama pentingnya, soal bagaimana Eropa bisa menghindari citra sebagai sebagai aktor dalam perang ini alih-alih sebagai pihak yang sekuat mungkin berkontribusi untuk diplomasi demi mengakhiri konflik bersenjata. Terlepas dari retorika permusuhan tiga bulan terakhir, itulah yang tampak dalam sebagian besar opini publik: Eropa tidak boleh ambil bagian dalam perang. Pokok terpenting dalam opini publik ini adalah bagaimana agar penduduk yang menderita tidak semakin banyak. Karena bahayanya adalah bangsa ini [Ukraina] akan dianggap bangsa yang menjadi martir di tangan Rusia. Ukraina akan berubah menjadi kamp militer yang menerima senjata dari NATO dan mengobarkan perang panjang untuk kepentingan Washington yang ingin menyaksikan Rusia lemah secara permanen dan Eropa bergantung secara ekonomi dan militer kepada Amerika Serikat.

Jika ini terjadi, konflik akan melebar keluar dari isu pertahanan kedaulatan Ukraina. Mereka yang sejak awal mengecam bahaya beruntun perang pasca-pengiriman senjata berat ke Ukraina tentu bukannya tidak menyadari kekerasan harian di sana dan tidak pula ingin menyerahkan penduduk Ukraina ke kuasa militer Rusia. “Non-blok“ tidak berarti netralitas atau kesetaraan, seperti yang muncul dalam berbagai karikatur. Ini bukan soal pasifisme abstrak sebagai prinsip; ini alternatif diplomatik yang konkret. Artinya, menimbang secara hati-hati setiap tindakan atau ujaran bisa mendekatkan kita ke tujuan pokok dalam situasi saat ini, yaitu membuka keran negosiasi yang kredibel demi memulihkan perdamaian.

Silvia Federici (SF): Tidak ada dilema di sini. Perang Rusia di Ukraina harus dikecam. Penghancuran kota, pembunuhan orang-orang tak berdosa, teror yang harus dialami ribuan warga—semua ini tidak bisa dibenarkan. Bukan cuma kedaulatan yang dilanggar dalam tindakan agresi ini. Tapi saya setuju kita juga harus mengutuk manuver-manuver AS dan NATO untuk mengobarkan perang ini, mengutuk keputusan Amerika Serikat dan Uni Eropa mengirim senjata ke Ukraina, yang akan memperpanjang perang entah sampai kapan. Tidak pantas mengirim senjata mengingat invasi Rusia bisa dihentikan seandainya AS menjamin NATO tidak melakukan ekspansi ke perbatasan Rusia.

MM: Salah satu hal utama yang dibicarakan sejak awal perang adalah jenis bantuan apa yang bisa diberikan ke Ukraina untuk mempertahankan diri dari agresi Rusia tanpa harus menggiring situasi ke kehancuran lebih besar di dalam negeri dan memperluas konflik secara global. Di antara isu-isu yang diperdebatkan beberapa bulan terakhir adalah permintaan Zelensky untuk pemberlakuan zona larangan terbang di langit Ukraina, taraf sanksi ekonomi untuk Rusia, dan yang lebih penting, tepat atau tidaknya mengirimkan senjata ke pemerintah Ukraina. Menurut Anda, apa keputusan yang harus diambil agar jumlah korban tidak bertambah dan eskalasi lebih lanjut bisa dicegah?

ML: Banyak kritik yang bisa dilontarkan terhadap Ukraina saat ini: kurangnya demokrasi, penindasan terhadap minoritas berbahasa Rusia, ‘oksidentalisme’, dan banyak lagi yang lainnya. Tapi ini tidak membatalkan hak rakyat Ukraina untuk membela diri melawan invasi Rusia ke wilayah mereka, melawan serbuan yang disertai penghinaan luar biasa terhadap hak bangsa-bangsa dunia untuk menentukan nasib sendiri.

EB: Saya akan bilang bahwa perang Ukraina melawan invasi Rusia adalah “perang yang adil” (just war) dalam artian yang paling tegas. Saya sangat sadar “just war” adalah kategori yang bisa dipertanyakan. Saya juga sadar bahwa di Barat, istilah ini punya riwayat panjang yang mustahil dilepaskan dari manipulasi dan kemunafikan, atau ilusi-ilusi yang akhirnya melahirkan bencana. Tapi saya tidak melihat ada istilah lain yang cocok. Jadi, saya mengapropriasi istilah ini sekaligus menekankan bahwa perang “adil” adalah situasi di mana pengakuan atas legitimasi pihak yang melakukan pembelaan diri dalam agresi—kriteria dalam hukum internasional—tidak cukup, namun kita perlu berkomitmen terhadap pihak yang satu ini.

Ini perang yang menempatkan orang-orang seperti saya—yang menganggap semua perang di seluruh dunia dalam situasi hari ini tidak bisa dibenarkan atau membawa malapetaka—tidak punya pilihan untuk bersikap pasif karena akibatnya akan lebih buruk lagi. Jadi, saya tidak merasa antusias, tetapi saya memilih melawan Putin.

MM: Saya paham apa saja yang melatarbelakangi amatan-amatan ini, tapi saya akan lebih menyoroti apa saja yang dibutuhkan untuk mencegah malapetaka besar. Karena itu, saya akan fokus pada kebutuhan mencapai kesepakatan damai yang sangat mendesak ini. Semakin lama waktu yang diperlukan, semakin besar potensi perang terus meluas. Tak seorang pun berniat memalingkan diri dan mengabaikan apa yang terjadi di Ukraina. Tapi kita harus sadar ketika negeri adidaya berkekuatan nuklir seperti Rusia terlibat, sementara tidak ada gerakan pro-perdamaian yang cukup besar yang aktif di sana, maka anggapan bahwa perang melawan Putin dapat “dimenangkan” adalah ilusi.

EB: Saya sangat takut terjadi eskalasi militer—termasuk nuklir. Ini menakutkan dan kelihatannya bukan mustahil. Tapi pasifisme bukanlah pilihan. Kebutuhan paling mendesak adalah membantu Ukraina melawan agresi. Jangan sampai kita memainkan kartu “non-intervensi” lagi. Uni Eropa juga sudah terlibat dalam perang. Kalaupun tidak mengirim pasukan, Uni Eropa mengirimkan senjata—dan saya pikir itu tindakan yang tepat. Itu bentuk intervensi.

MM: 9 Mei lalu pemerintahan Biden menyetujui Ukraine Democracy Defense Lend-Lease Act of 2022. Isinya paket bantuan militer dan keuangan lebih dari 40 miliar dolar AS untuk Ukraina. Ini jumlah yang sangat besar—yang belum mencakup bantuan dari berbagai negara Uni Eropa—dan tampaknya dirancang untuk mendanai perang berkepanjangan. Biden sendiri menegaskan kesan ini pada 15 Juni, ketika ia mengumumkan AS akan mengirimkan bantuan militer senilai satu miliar dolar lagi. Pasokan senjata yang semakin besar dari AS dan NATO mendorong Zelensky untuk terus menunda perundingan yang sangat dibutuhkan dengan pemerintah Rusia. Selain itu, mengingat senjata yang dikirim dalam banyak perang di masa lalu akhirnya digunakan oleh pihak lain untuk tujuan yang berbeda, tampaknya masuk akal untuk bertanya-tanya apakah pengiriman senjata ini semata bertujuan untuk mengusir pasukan Rusia dari Ukraina.

SF: Saya pikir langkah terbaik adalah Amerika Serikat dan Uni Eropa memberikan jaminan kepada Rusia bahwa Ukraina tidak akan bergabung dengan NATO. Pokok ini telah dijanjikan kepada Mikhail Gorbachev saat runtuhnya Tembok Berlin, meskipun tidak tertulis. Sayangnya, tidak ada minat mencari solusi. Banyak orang di struktur militer dan politik AS yang selama bertahun-tahun mendukung dan mempersiapkan konfrontasi dengan Rusia. Perang hari ini dengan mudah digunakan untuk membenarkan peningkatan besar dalam ekstraksi minyak bumi dan mengesampingkan semua isu pemanasan global. Biden sudah gagal menepati janji kampanyenya untuk menghentikan pengeboran di tanah-tanah warga asli Amerika. Kita juga menyaksikan pengalihan dana miliaran dolar—yang semestinya bisa digunakan untuk meningkatkan taraf hidup ribuan orang Amerika—ke military industrial complex AS, salah satu pemenang utama dalam perang ini. Perdamaian tidak akan terwujud melalui eskalasi militer.

MM: Mari kita bahas reaksi kaum kiri terhadap invasi Rusia. Meskipun hanya segelintir organisasi membuat kesalahan politik yang besar ketika menolak untuk secara tegas mengutuk “operasi militer khusus” Rusia. Di luar kesalahan-kesalahan lain, ini kesalahan yang bisa mempersulit mereka—atau membuat mereka tidak kredibel—ketika mereka ingin mengecam tindakan agresi NATO kelak. Ini mencerminkan pandangan yang sempit ideologis yang mereduksi pemahaman politik menjadi satu dimensi belaka: seolah-olah semua isu geopolitik harus dinilai bobotnya semata-mata dalam upaya melemahkan AS.

Pada saat bersamaan, terlalu banyak orang kiri yang menyerah pada godaan untuk terlibat perang baik langsung maupun tidak. Saya tidak kaget dengan posisi Sosialis Internasional, Partai Hijau di Jerman, atau beberapa anggota parlemen progresif dari Partai Demokrat di AS—meskipun sikap pro-militerisme dadakan orang-orang yang sehari sebelumnya mendaku diri pasifis ini terasa tetap menghujam dan mengejutkan. Banyak kekuatan kiri “radikal” yang beberapa pekan ini bersuara segendang sepenarian dengan kubu pro-Zelensky. Saya percaya ketika kubu progresif tidak menentang perang, mereka akan kehilangan bagian penting dari alasan kenapa mereka harus ada dan akhirnya mereka akan menelan mentah-mentah ideologi kubu lawan.

ML: Saya akan mulai dengan mengingat bahwa argumen anti-komunis dipakai dalam salah satu “justifikasi” Putin atas invasi ke Ukraina. Dalam pidato Putin sebelum perang, pada 21 Februari, dia menyatakan Ukraina “sepenuhnya diciptakan oleh Bolshevik dan Komunis Rusia” dan bahwa Lenin adalah “pengarang dan arsitek” negeri ini. Putin menyatakan ambisinya untuk merestorasi “Rusia yang ada dalam sejarah” pra-Bolshevik—yaitu Rusia era Tsar—dengan cara mencaplok Ukraina.

EB: Putin menyatakan Lenin telah sembrono menyerah pada nasionalisme Ukraina. Menurut Putin, jika Lenin tidak melakukan itu, maka tidak akan ada pula Ukraina merdeka, karena penduduk Ukraina akan menganggap tanahnya sendiri sebagai bagian dari Rusia. Argumen ini seperti memakai posisi Stalin untuk melawan Lenin. Tentu saja, saya pikir Lenin benar dalam penyikapannya atas isu “kebangsaan” yang tersohor itu.

MM: Lenin menulis bahwa kendati perjuangan suatu bangsa untuk merdeka dari kekuatan imperialis dapat dimanfaatkan oleh imperialis lain daya untuk kepentingannya sendiri, seharusnya ini tidak mengubah kebijakan kaum kiri untuk mendukung hak bangsa-bangsa menentukan nasib sendiri. Dalam sejarahnya, kaum progresif selalu mendukung prinsip ini, membela hak negara-negara untuk menegakkan perbatasan atas dasar kehendak rakyat.

ML: Bukan kebetulan jika sebagian besar partai kiri “radikal” dunia, termasuk yang paling suka bernostalgia dengan sosialisme Soviet, misalnya partai komunis Yunani dan Chili, mengutuk invasi Rusia ke Ukraina. Sayangnya, kekuatan-kekuatan kiri terdepan di Amerika Latin dan pemerintah seperti Venezuela memihak Putin, atau membatasi diri dengan sekadar mengambil sikap “netral”—seperti yang ditunjukkan oleh Lula, pemimpin Partai Buruh di Brasil. Pilihan kaum kiri adalah antara hak bangsa untuk menentukan nasib sendiri—seperti yang dikatakan Lenin—dan hak imperium untuk menyerang dan mencaplok negara lain. Anda tidak bisa memilih dua-duanya, karena ini dua opsi yang tidak dapat didamaikan.

SF: Di AS, juru bicara gerakan-gerakan keadilan sosial dan organisasi feminis seperti Code Pink telah mengutuk agresi Rusia. Tapi perlu dicatat bahwa pembelaan AS dan NATO terhadap demokrasi cukup selektif, mengingat rekam jejak mereka di Afghanistan, Yaman, operasi Africom di Sahel. Rekornya panjang. Kemunafikan dalam pembelaan AS atas demokrasi di Ukraina juga terlihat jelas jika kita menimbang bagaimana pemerintah AS tutup mata atas pendudukan brutal Israel di Palestina dan penghancuran kehidupan rakyat Palestina yang tidak ada habis-habisnya. Perlu dicatat juga bahwa AS telah membuka pintu untuk Ukraina tepat setelah menutup akses imigran dari Amerika Latin, sementara bagi banyak imigran ini, menyelamatkan diri ke negeri asing adalah perkara hidup-mati. Sementara itu, kaum kiri yang kini bercokol di lembaga negara—dimulai dengan Ocasio-Cortez—sudah mendukung pengiriman senjata ke Ukraina.

Saya juga berharap media-media radikal bisa lebih dalam mempertanyakan pengetahuan yang kita terima dari para pejabat negara. Misalnya, kenapa “Afrika kelaparan” karena perang di Ukraina? Kebijakan internasional apa yang membuat negara-negara Afrika bergantung pada biji-bijian Ukraina? Mengapa tidak menyebut perampasan tanah besar-besaran oleh perusahaan-perusahaan internasional, yang kini membuat banyak orang membicarakan “penjajahan gaya baru di Afrika”? Saya ingin bertanya sekali lagi: nyawa siapa yang dianggap berharga? Kenapa hanya kematian tertentu yang bisa membangkitkan amarah?

MM: Terlepas dari meningkatnya dukungan untuk NATO setelah invasi Rusia ke Ukraina—yang sangat gamblang dalam permintaan formal Finlandia dan Swedia untuk bergabung dengan NATO—kita perlu bekerja lebih keras untuk memastikan agar publik tidak melihat NATO—mesin perang terbesar dan paling agresif di dunia—sebagai solusi keamanan global. NATO telah menampilkan jati dirinya sebagai organisasi maut penyulut ketegangan yang bisa memicu perang dunia dalam misinya memperluas dan memperkokoh dominasi unipolar. Tapi ada paradoks di sini. Hampir empat bulan setelah perang dimulai, kita tentu dapat mengatakan bahwa Putin tidak hanya keliru mengambil strategi militer, tetapi juga akhirnya memperkuat—bahkan jika dilihat dari konsensus internasional—musuh yang lingkup pengaruhnya (sphere of influence) ingin ia batasi: NATO.

EB: Saya termasuk orang yang berpikir bahwa NATO seharusnya lenyap bersama Pakta Warsawa ketika Perang Dingin berakhir. Di sisi lain, NATO tidak hanya punya fungsi eksternal, tetapi juga—dan ini mungkin sebagian besar fungsinya—mendisiplinkan alias menjinakkan siapa pun yang berada di kubu Barat. Semua itu pasti ada kaitannya dengan imperialisme: NATO adalah bagian dari instrumen yang agar menjamin Eropa secara umum tidak memiliki otonomi geopolitik sejati di hadapan imperium Amerika. Inilah salah satu alasan kenapa NATO terus dipertahankan usai Perang Dingin. Dan saya setuju dampaknya amat buruk bagi seluruh dunia. NATO mengkonsolidasikan beberapa kediktatoran di dalam teritori pengaruhnya. NATO memfasilitasi—atau menoleransi—segala macam perang, beberapa di antaranya sangat mematikan dan melibatkan kejahatan terhadap kemanusiaan. Pendapat saya tentang NATO tidak berubah dengan kejadian baru-baru ini yang disebabkan Rusia.

ML: NATO adalah organisasi imperialis yang didominasi Amerika Serikat dan bertanggung jawab atas agresi yang tak terhitung banyaknya. Penghancuran monster politik dan militer yang lahir dari Perang Dingin ini adalah syarat mendasar demokrasi. Melemahnya NATO dalam beberapa tahun terakhir telah menyebabkan presiden neoliberal Prancis Emmanuel Macron untuk menyatakan bahwa NATO sudah “mati otak” pada 2019. Sayangnya, invasi kriminal Rusia ke Ukraina malah memberi angin untuk NATO. Beberapa negara netral—seperti Swedia dan Finlandia—sekarang sudah memutuskan masuk NATO. Pasukan AS diposkan di Eropa dalam jumlah besar. Jerman, yang dua tahun lalu menolak menaikkan anggaran militernya meski ada tekanan keras dari Trump, baru-baru ini memutuskan untuk menginvestasikan 100 miliar euro untuk pemersenjataan kembali (rearmament). NATO semestinya mengalami kemunduran perlahan—bahkan mungkin lenyap. Tapi Putin malah menyelamatkannya.

SF: Yang juga mengkhawatirkan, perang Rusia di Ukraina sudah membuat banyak orang lupa akan ekspansionisme NATO beserta dukungannya untuk kebijakan imperialis Uni Eropa dan Amerika Serikat. Saatnya kembali membaca NATO’s Secret Armies karya Danielle Ganser untuk menyegarkan ingatan kita tentang pemboman NATO di Yugoslavia, peran NATO di Irak, serta kepemimpinan NATO dalam aksi pemboman dan pecah-belah Libya baru-baru ini. Sudah terlalu sering NATO menginjak-injak demokrasi, dan kini ia berpura-pura membela demokrasi. Saya tidak percaya anggapan bahwa NATO hampir mati sebelum invasi Rusia ke Ukraina. Masuknya NATO ke Eropa Timur dan kehadirannya di Afrika menunjukkan hal sebaliknya.

MM: Amnesia ini sepertinya telah mempengaruhi banyak kaum kiri di pemerintahan. Mayoritas anggota parlemen dari Aliansi Kiri di Finlandia berpaling dari prinsip-prinsip historisnya dan memilih bergabung dengan NATO. Di Spanyol, sebagian besar anggota Unidas Podemos menyepakati suara seluruh kubu parlemen yang menyokong pengiriman senjata ke tentara Ukraina dan mendukung kenaikan anggaran belanja militer besar-besaran di KTT NATO yang akan diadakan di Madrid pada 29-30 Juni. Jika sebuah partai tidak memiliki keberanian berbicara lantang menentang kebijakan semacam itu, maka ia telah terlibat dalam perluasan militerisme AS di Eropa. Padahal, partai-partai kiri di masa lalu sudah berkali-kali dihukum secara politik, termasuk di bilik suara, karena politik rendahan semacam ini.

EB: Yang terbaik adalah agar Eropa cukup kuat melindungi wilayahnya sendiri, dan agar ada sistem keamanan internasional yang efektif—yaitu agar PBB dirombak secara demokratis dan hak veto permanen anggota Dewan Keamanan ditiadakan. Tapi semakin NATO mencuat sebagai sistem keamanan, semakin lemah pula PBB. Di Kosovo, Libya dan Irak pada 2013, misi Amerika Serikat dan NATO adalah melemahkan kapasitas PBB untuk menyelenggarakan mediasi, regulasi, dan pengadilan internasional.

MM: Cerita yang kami dengar dari media benar-benar beda: NATO digambarkan sebagai satu-satunya penyelamat dunia dari kekerasan dan ketidakstabilan politik. Di sisi lain, sentimen anti-Rusia telah menyebar ke seluruh Eropa. Warga Rusia dimusuhi dan didiskriminasi.

EB: Bahaya besar—mungkin bahaya utama yang berkaitan dengan apa disebut Clausewitz sebagai “faktor moral” dalam perang—terletak pada godaan untuk memobilisasi opini publik yang bersimpati pada warga Ukraina melalui sentimen anti-Rusia. Media mendukung upaya ini lewat kabar-kabar setengah benar tentang sejarah Rusia dan Soviet. Sengaja atau tidak, media membuat rakyat Rusia gamang di hadapan ideologi rezim oligarki hari ini. Menyerukan sanksi atau boikot terhadap seniman, dan lembaga-lembaga kebudayaan atau akademik yang terbukti punya hubungan dengan rezim dan para pentolannya adalah satu hal. Tapi, jika benar bahwa opini publik Rusia adalah salah satu dari sedikit pintu peluang untuk keluar dari bencana ini, maka menstigmatisasi budaya Rusia adalah tindakan keblinger.

MM: Beberapa sanksi terhadap individu sangat keras dan kontraproduktif. Ada orang-orang yang tidak pernah menyatakan dukungan untuk kebijakan pemerintah Rusia disasar hanya karena kebetulan lahir di Rusia, terlepas dari apa pun pendapat mereka tentang perang ini. Langkah-langkah semacam ini akan mengompori propaganda nasionalis Putin dan dapat menggiring warga Rusia untuk mendukung pemerintah mereka.

EB: Terus terang, tidak elok rasanya menuntut warga negara sebuah kediktatoran polisi ala rezim Putin untuk “mengambil sikap” jika mereka ingin terus diterima di “demokrasi” kita.

ML: Saya setuju. Sentimen anti-Rusia wajib ditolak. Ini ideologi yang sangat reaksioner seperti halnya semua bentuk nasionalisme chauvinistik. Saya ingin menambahkan bahwa penting bagi kaum kiri internasionalis, yang mendukung perlawanan rakyat Ukraina melawan invasi Rusia, untuk menunjukkan solidaritas mereka kepada warga Rusia—individu, surat kabar, atau organisasi—yang telah menentang perang kriminal Putin di Ukraina. Ada, kok, kelompok-kelompok dan partai-partai politik Rusia yang mendaku kiri dan baru-baru ini merilis pernyataan sikap mengutuk agresi ke Ukraina.

MM: Mari kita akhiri diskusi ini dengan apa yang Anda pikirkan soal jalannya perang dan kemungkinan skenario-skenario masa depan.

EB: Orang hanya akan sangat pesimistis menatap perkembangan ke depan. Saya sendiri percaya peluang untuk mencegah malapetaka sangat kecil. Setidaknya ada tiga alasan. Pertama, eskalasi mungkin terjadi, terutama jika perlawanan terhadap invasi terus berlanjut dan tidak cukup hanya menggunakan senjata “konvensional”—yang batasannya dengan “senjata pemusnah massal” kian kabur. Kedua, jika perang berakhir dengan “hasil” tertentu, segala kemungkinan akan mengarah pada bencana. Tentu akan celaka jika Putin mencapai misi-misinya dengan mengkremus rakyat Ukraina dan akhirnya memancing tindakan-tindakan serupa. Mungkin juga, jika dia dipaksa berhenti dan mundur, dengan kembali ke politik blok di mana dunia akan membeku. Apa pun pilihannya, hal ini akan memancing gejolak nasionalisme dan kebencian yang bakal berlangsung lama. Ketiga, perang dan episode-episode lanjutannya akan memukul mundur mobilisasi planet bumi dalam melawan bencana iklim. Bahkan kenyataannya perang telah mempercepat bencana iklim. Terlalu banyak waktu yang terbuang sia-sia.

ML: Saya punya kegelisahan yang sama, terutama soal tertahannya perang melawan perubahan iklim, yang sekarang benar-benar terpinggirkan oleh perlombaan senjata semua negara yang berurusan dengan perang.

SF: Saya juga pesimis. AS dan negara-negara NATO lainnya tidak beritikad meyakinkan Rusia bahwa NATO tidak akan memperluas jangkauannya ke perbatasan Rusia. Walhasil, perang akan berlanjut dengan dampak-dampak mematikan bagi Ukraina, Rusia dan sekitarnya. Kita akan melihat dalam beberapa bulan mendatang bagaimana negara-negara Eropa lainnya akan terpengaruh. Saya tidak bisa membayangkan skenario masa depan selain perluasan situasi perang permanen yang sudah menjadi kenyataan di begitu banyak belahan dunia. Saya juga tidak bisa membayangkan skenario selain—lagi-lagi—bahwa sumber-sumber daya yang sangat dibutuhkan untuk mendukung reproduksi sosial dialihkan ke tujuan-tujuan yang destruktif. Bagi saya, perih rasanya kita tidak punya gerakan feminis yang turun ke jalan ramai-ramai, melakukan pemogokan, dan bertekad mengakhiri semua perang.

MM: Saya juga merasa perang tidak akan reda dalam waktu dekat. Perdamaian yang “tidak sempurna” tetapi lekas diwujudkan tentu akan lebih baik daripada memperpanjang permusuhan. Tapi, ada banyak sekali kekuatan di lapangan dengan tujuan-tujuan yang berbeda pula. Setiap kali seorang kepala negara menyatakan “kami akan mendukung Ukraina sampai menang”, prospek perundingan semakin jauh. Namun, saya kira prospek yang lebih besar adalah bahwa situasi kita kini mengarah ke perang yang tidak ada habisnya, di mana pasukan Rusia berhadapan dengan militer Ukraina yang disuplai dan didukung secara tak langsung oleh NATO.

Kaum kiri harus berjuang keras mendukung solusi diplomatik dan melawan kenaikan anggaran belanja militer. Kenaikan anggaran ini niscaya dibebankan pada kelas pekerja dan niscaya menyulut krisis ekonomi dan sosial lebih lanjut. Jika ini kejadian, maka pihak yang akan diuntungkan adalah kaum kanan yang hari ini semakin agresif dan reaksioner dalam mempengaruhi perdebatan politik di Eropa.

EB: Demi mengedepankan cara-cara pandang yang positif, kita harus memiliki tujuan untuk merombak ulang Eropa—demi kepentingan Rusia, Ukraina, dan kepentingan kita sendiri—sedemikian rupa sehingga soal-soal negara dan bangsa benar-benar kembali dipikirkan. Tujuan yang lebih ambisius lagi adalah menciptakan dan mengembangkan Eropa Raya yang multibahasa, multikultural, dan membuka diri untuk dunia—alih-alih meletakkan militerisasi Uni Eropa ke dalam horizon masa depan kita, meski dalam jangka pendek ini pendek ini tidak terhindarkan. Tujuannya untuk menghindari “benturan peradaban” di mana kita akan menjadi pusatnya.

ML: Saya ingin mengusulkan tujuan yang lebih ambisius dalam artian positif; saya akan bilang bahwa kita harus membayangkan corak Eropa yang lain dan Rusia yang lain, menyingkirkan oligarki parasit kapitalis mereka. Pepatah Jean Jaurès “Kapitalisme menyeret perang seperti awan menyeret badai” terdengar lebih relevan dari sebelumnya. Hanya di Eropa yang lain itu, dari Atlantik hingga Ural—Eropa yang sosial, ekologis, dan pasca-kapitalis—perdamaian dan keadilan dapat terjamin. Apakah ini skenario yang mungkin? Tergantung kita masing-masing.***


Marcello Musto adalah Profesor Sosiologi di Universitas York (Toronto, Kanada). Tulisan- tulisannya yang bisa diakses di www.marcellomusto.org telah diterjemahkan ke dalam dua puluh lima bahasa. Artikel jurnal terbarunya berjudul “War and the Left: Considerations on a Chequered History” dan diterbitkan oleh Critical Sociology.

 

]]>
Invasi Indonesia ke Timor Leste: Australia Jadi ‘Buzzer’ Rezim Soeharto https://indoprogress.com/2022/04/invasi-indonesia-ke-timor-leste-australia-jadi-buzzer-rezim-soeharto/ Tue, 26 Apr 2022 11:40:58 +0000 https://indoprogress.com/?p=236768

Foto: dua sobat brunch, Gough Whitlam dan Soeharto, April 1975 (NAA)


PROSES dekolonisasi bergulir di tanah-tanah jajahan Iberia pasca-revolusi Portugal 1974. Salah satunya Timor Leste, yang mendeklarasikan kemerdekaan pada 1975. Dipelopori partai kiri bernama Frente Revolucionária de Timor-Leste Independente (FRETILIN), kemerdekaan Timor Leste segera menghadapi ancaman rezim Soeharto Indonesia dan sekutu-sekutu Baratnya.

Soeharto berkuasa di Indonesia sejak 1965, ketika ia membantai sekitar satu juta orang kiri dengan dukungan AS. Rezim Soeharto telah bertahun-tahun berusaha menggagalkan proses dekolonisasi Timor Leste. Ketika kemerdekaan Timor Leste diproklamasikan, militer Indonesia langsung menyerbu dan akhirnya mencaplok negeri itu pada Mei 1976. Narasi resmi rezim Orde Baru berbunyi: Indonesia ogah-ogahan turun tangan dalam konflik sipil Timor dan TNI hanya bertindak sebagai pasukan penjaga perdamaian.

Pemerintah Australia saat itu adalah salah satu sekutu utama Soeharto. Canberra mengkritik para aktivis Australia yang mengabarkan tentang kelaparan, kekejaman, dan pembantaian pasca-aneksasi di Timor Leste. Salah seorang aktivis ini, Peter Job, meneliti dokumen-dokumen yang telah dideklasifikasikan. Dokumen-dokumen itu membuktikan bahwa para politikus dan birokrat Australia membohongi publik seraya memuluskan tindakan-tindakan paling kejam rezim Soeharto. Jurnalis Zacharias Szumer mewawancarai Peter Job tentang buku terbarunya, A Narrative of Denial: Australia and the Indonesian Violation of East Timor. Berikut petikannya.


Bagaimana Anda bisa terlibat dalam aktivisme solidaritas untuk Timor Leste?

Waktu itu usia saya 20 tahun dan saya sedang menggarap jaringan Radio Maubere ke FRETILIN. Sebelum invasi Indonesia 1975, beberapa aktivis Australia bertemu FRETILIN di Timor Leste untuk memberikan radio dua arah. Setelah invasi, ketika FRETILIN tengah bergerilya di hutan melawan Indonesia, radio itu digunakan untuk mengirim informasi ke luar negeri.

Saat itu pemerintah Australia melakukan apa yang bisa diperbuat untuk memutus jejaring radio itu dan membantah pernyataan-pernyataan Timor Leste tentang operasi-operasi militer besar Indonesia, yang di antaranya dilakukan dengan membuat penduduk kelaparan, menghancurkan hasil bumi dan sumber daya pangan, dan pelanggaran hak-hak asasi manusia lainnya.

Akibatnya, ada seorang operator radio di hutan sekitar Darwin yang harus terus pindah tempat supaya tidak ditangkap. Orang inilah yang mengirimkan pesan ke Timor Leste. Mustahil bagi dia untuk datang ke Darwin dan mengirim pesan-pesan FRETILIN karena dia akan ditangkap. Jadi, kami mendirikan stasiun penerima terpisah yang juga terletak di hutan di luar Darwin. Saya jaga stasiun ini selama enam bulan terakhir operasinya. Saya rekam pesan-pesan yang mereka terima, yang akhirnya disebarkan ke markas-markas eksternal FRETILIN di Mozambique dan ke José Ramos-Horta di New York. [Saat itu José Ramos-Horta secara de facto adalah menteri luar negeri de-facto FRETILIN dan utusan untuk PBB].

Meski pemerintah Indonesia dan Australia menyangkal kejahatan militer Indonesia, kita sekarang tahu bahwa sebagian besar informasi FRETILIN benar belaka. Hal ini menumbuhkan pemahaman dan komitmen terhadap masalah Timor dalam diri saya seumur hidup.

Kita masuk ke argumen utama buku Anda. Apa garis kebijakan resmi pemerintah Australia pada masa pencaplokan Timor Leste oleh Indonesia?

Di bawah pemerintahan Perdana Menteri Gough Whitlam dan Malcolm Fraser Australia main dua kaki. Yang mereka katakan di hadapan masyarakat umum dan komunitas internasional berbeda dari yang mereka nyatakan ke Indonesia. Nah, yang mereka sampaikan ke Indonesia itulah apa yang sebetulnya mereka lakukan.

Awalnya, PM Whitlam (dari Partai Buruh) dan kemudian pemimpin oposisi Fraser mengaku mendukung penentuan nasib sendiri bagi Timor Leste. Namun, pada September 1974, Whitlam mengatakan kepada Soeharto bahwa dia tidak percaya bahwa Timor Leste harus menjadi negara merdeka, bahwa kemerdekaan Timor Leste akan mengacaukan kawasan. Kepala OPSUS Indonesia saat itu mengatakan bahwa pertemuan [dengan para pejabat Australia] adalah faktor utama yang menguatkan keputusan mereka untuk “mengintegrasikan” Timor Leste ke Indonesia.

Bahkan sebelum itu, Whitlam telah mengirim sekretaris pribadi pribadinya ke Jakarta untuk bertemu OPSUS, sayap pemerintahan Soeharto yang paling berjasa mengagalkan proses dekolonisasi Timor. Sebelum invasi, OPSUS juga memberitahu kedutaan Australia di Jakarta tentang operasi rahasia dan kekerasan yang dilakukan oleh Indonesia untuk memaksa integrasi. Aktivitas-aktivitas Indonesia ini mencakup siaran radio, infiltrasi ke partai-partai politik Timor, dan operasi militer rahasia di mana personil TNI menyamar sebagai aktivis pembangkang Timor.

Whitlam dan Fraser membohongi rakyat Australia dan komunitas internasional tentang apa yang sesungguhnya mereka ketahui. Whitlam mengatakan Indonesia tidak berniat mengintegrasikan Timor Leste dengan paksaan, meskipun badan intelijen Australia dan Kementerian Luar Negeri tahu persis Indonesia melakukan itu.


Bagaimana dukungan Whitlam terhadap posisi Indonesia di Timor Leste bisa menyatu dengan aspek-aspek yang lebih progresif dalam rekam jejak politiknya?

Dalam kebijakan luar negeri, Whitlam cukup konservatif. Ketika Soeharto mengambil alih kekuasaan pada 1965–66, Whitlam sangat mendukung rezim baru itu. Di artikel yang dia tulis di The Australian pada 1967, Whitlam menyatakan betapa bersyukurnya kita bahwa rezim pro-Barat ini telah berkuasa. Partai Buruh Australia di bawah pemimpin sebelumnya, Arthur Calwell, tidak suka pemerintah-pemerintah yang berkuasa di Asia. Whitlam ingin memutuskan ketidaksukaan ini dan menjangkau Asia Tenggara, khususnya negara-negara ASEAN. Indonesia adalah yang terbesar dan terdekat, dan Whitlam melihatnya sebagai kunci. Dia percaya permainan blok-blok negara besar dan kurang menyokong negara-negara kecil. Jadi, dia percaya bahwa sudah semestinya Timor Leste menjadi bagian dari Indonesia.


Seperti yang Anda tulis dalam Narrative of Denial, pemerintahan Whitlam dan Fraser konsisten menggaungkan narasi bahwa Indonesia ogah-ogahan intervensi dan sekadar menjadi penengah dalam konflik antar kelompok di Timor Leste. Namun, pemerintah Australia rupanya sudah menerima arahan dari intel-intel top Indonesia yang menunjukkan bahwa mereka telah secara aktif berusaha menggagalkan proses dekolonisasi sejak awal 1970an.

Australia sadar bahwa Indonesia secara aktif mendestabilisasi Timor Leste dan menggunakan destabilisasi ini sebagai dalih invasi. Namun, pemerintah Australia juga meneruskan narasi bohong Indonesia ini.

Padahal sebelum 1975 partai-partai politik Timor Leste sudah berusaha keras mengadakan kontak dengan rezim Soeharto. Mereka ingin ada hubungan baik dengan Indonesia. Mereka paham harus hidup berdampingan dengan tetangga besar dan tidak ingin memusuhinya.

Isu Timor Leste ini pun tidak disambut dengan suara bulat di internal rezim Soeharto sendiri. Saat itu Indonesia sedang mengincar posisi kepemimpinan Gerakan Non-Blok. Dan salah satu faksi dalam rezim Soeharto khawatir—dan kekhawatiran ini benar—bahwa ambisi ini akan gagal jika Indonesia mencaplok Timor Leste. Sampai batas-batas tertentu Soeharto sendiri tampaknya punya kekhawatiran yang sama. Australia memutuskan untuk mendukung faksi lain dalam rezim Soeharto —yakni faksi OPSUS—guna mendorong kebijakan Indonesia ke arah intervensi di Timor Leste. Tanpa dukungan Australia, mungkin invasi Indonesia ke Timor Leste tidak akan terjadi.

Tampaknya adalah titik balik kritis dalam sejarah Indonesia. Sebelum penggulingan Presiden Sukarno pada 1965, Indonesia ada di garis depan dalam upaya penciptaan blok ketiga—Gerakan Non-Blok—di luar dua kubu Perang Dingin. Di bawah Soeharto, Indonesia makin mendekat ke Amerika Serikat dalam Perang Dingin. Invasi Timor Leste mempercepat kedekatan ini.

Australia membingkai kemerdekaan Timor Leste sebagai perang proksi dalam Perang Dingin. Sayangnya, tak ada alasan untuk menggunakan bingkai itu. Kedua faksi politik besar di Timor Leste bersedia bekerjasama dengan Australia. Dua-duanya tidak berminat membiarkan gerakan kemerdekaan mereka menjadi arena pertempuran proksi dalam Perang Dingin.

FRETILIN memang bukan organisasi Marxis. Ada beberapa Marxis di dalamnya. Tapi toh juga ada Marxis di Partai Buruh Australia saat itu. FRETILIN adalah front besar (broad front) yang pada dasarnya pro-kemerdekaan. Dalam banyak hal, politik mereka cukup moderat.

Meski begitu, AS dan Australia membingkai gerakan pembebasan nasional Timor Leste sebagai konflik Perang Dingin, sebagian karena mereka ingin membekingi rezim Soeharto. Ingat, pada 1975, Asia Tenggara baru saja mengalami banyak perubahan. Vietnam kembali bersatu setelah kekalahan AS dan rezim-rezim Marxis baru saja berkuasa di Kamboja dan Laos. Ini hanya terjadi beberapa bulan sebelum invasi Indonesia.

AS dan Australia melihat Soeharto sebagai kekuatan pro-Barat dan benteng melawan komunisme. Para pejabat Australia—termasuk menteri luar negeri saat itu—bahkan menggambarkan rezim Soeharto sebagai orang yang moderat, bertanggung jawab, dan layak mendapatkan dukungan Australia, betapapun rezim ini memiliki rekam jejak berdarah.


Mari kita bicara periode 1975 hingga 1982. Seperti yang Anda katakan, pemerintah Fraser secara efektif menjadi propagandis dan apologis rezim Soeharto.

Pemerintah Australia tidak secara resmi mendukung invasi Indonesia. Di PBB, Australia bahkan enggan memilih resolusi Majelis Umum 1975 yang mengkritik invasi tersebut. (Namun, setelah itu, Australia pindah ke posisi abstain, sebelum akhirnya menentang resolusi-resolusi yang mengkritik invasi.)

Sejak awal, Australia secara resmi menyerukan penarikan mundur Indonesia dari Timor Leste. Tapi di belakang layar, Australia menyatakan ke negara-negara lain bahwa mereka harus menerima kekuasaan Indonesia di Timor Leste. Pada Oktober 1975, Fraser melawat ke Jakarta dan bertemu Soeharto. Setelah pertemuan itu, pemerintahannya efektif menjadi propagandis dan apologis tindakan-tindakan Indonesia.

Pertama-tama, Australia salah menggambarkan sejarah Timor Leste sebelum invasi. Australia sengaja membuat Indonesia seolah tampil sebagai pihak yang dirugikan dan ogah-ogahan melakukan intervensi. Kedua, ketika invasi terjadi, Australia membantah kadar pelanggaran HAM yang dilakukan Indonesia dan menyebut laporan-laporan HAM ini desas-desus belaka. Ini terlepas dari bukti-bukti yang masuk lewat jejaring radio, lewat sumber-sumber Gereja Katolik, melalui surat-surat yang diselundupkan, dan melalui kesaksian para pengungsi. Akhirnya, ada begitu banyak bukti sehingga Australia tidak bisa lagi menyangkal apa yang sedang terjadi. Lalu, mereka muncul dengan sederet rekomendasi untuk memutarbalikkan situasi. Alih-alih menyangkal, mereka menyalahkan orang Timor sendiri. Mereka bilang Timor Leste selalu miskin, selalu nyaris kelaparan, dan bahwa masalah Timor Leste diperparah oleh perang saudara.

Tentu pemerintah Australia sangat sadar akan kampanye Indonesia untuk mengepung dan memusnahkan kekuatan pro-kemerdekaan di Timor Leste. Mereka sadar bahwa TNI sedang berusaha menghancurkan sumber-sumber pangan. Ini dibuktikan dengan laporan-laporan petugas Australia yang mengunjungi Timor Leste dan berbicara dengan pejabat Indonesia. Laporan-laporan ini telah dideklasifikasikan. Mereka tahu Indonesia memiliki kebijakan melarang distribusi pangan ke daerah-daerah yang dikuasai FRETILIN, yang awalnya mencakup mayoritas penduduk. Australia tidak berusaha menghubungkan kebijakan ini dengan tragedi mengerikan kelaparan buatan yang melanda seluruh Timor Leste. Sebaliknya, mereka menyalahkan infrastruktur Timor yang buruk, diabaikannya Timor oleh kolonialis Portugis, seraya menuding betapa tidak bertanggungjawabnya orang Timor dalam perang saudara.

Kebijakan ini punya konsekuensi serius. Beberapa negara Barat mulai tertarik mendukung Timor Leste, sebagai respons atas bukti-bukti yang baru dirilis. Australia berulang kali melobi mereka, mengklaim bahwa Indonesia secara umum telah mengambil sikap yang bertanggungjawab. Karena negara-negara ini menganggap Australia negara demokrasi dan pembela hak asasi manusia di kancah internasional, narasi Australia ini sungguh-sungguh dipercaya.

Reputasi pro-HAM Australia dipoles oleh sikap pemerintah Fraser terhadap apartheid di Afrika Selatan. Fraser juga mendukung diakhirinya rezim kulit putih di Zimbabwe. Akibatnya, lobi-lobi pemerintah Fraser untuk membela invasi Indonesia cukup ampuh dan sukses menunda masuknya bantuan ke Timor Leste, meredam kritik terhadap rezim Soeharto, dan membiarkan pelanggaran HAM di sana berlanjut. Kalau bukan karena lobi Australia, pelanggaran HAM yang dilakukan Indonesia pasti mustahil berlanjut dengan cara yang sama.


Buku Anda menyebutkan bagaimana pemerintah Fraser menyebarkan “narasi penyangkalan” resmi ini melalui sekelompok akademisi dan jurnalis yang simpatik. Anda sebut mereka “Lobi Jakarta”. Bisa Anda jelaskan bagaimana pemerintah membina kelompok ini dan menyuarakan posisinya melalui mereka?

Mereka ini kelompok yang merasa harus mengabarkan apa yang mereka sebut “posisi bertanggung jawab” terkait rezim Soeharto. Mereka tahu setelah Soeharto berkuasa, ada kebencian terhadap rezim ini dan bahwa beberapa kekejaman Soeharto diketahui di Australia. Oleh karena itu, mereka mengorganisir akademisi di Australian National University, termasuk beberapa jurnalis dan diplomat seperti Richard Woolcott. Mereka rutin bertemu untuk membahas hal-hal yang bisa mereka lakukan guna mendukung kebijakan Australia agar terus mendukung rezim Soeharto.

Yang dilakukan kelompok ini klop dengan kebijakan luar negeri Australia. Walhasil, baik pemerintah maupun Kementerian Luar Negeri tidak mempermasalahkannya. Ketika invasi Timor Leste terjadi, Lobi Jakarta menyebarkan narasi resmi. Ketika para pengkritik invasi Indonesia menekan anggota-anggota kelompok ini tentang keadaan di Timor Leste, Lobi Jakarta rupanya tidak cukup melek informasi. Namun demikian, mereka terlihat kredibel karena punya posisi sebagai akademisi, jurnalis kawakan, dan pejabat senior urusan luar negeri. Kredibilitas palsu inilah yang turut membuat khalayak yakin bahwa mereka harus dipercaya dan menjadikan mereka pendukung kebijakan pemerintah yang efektif.


Dalam Narrative of Denial, Anda menjelaskan bahwa para diplomat Australia memberikan saran untuk pemerintah mereka sendiri sekaligus menjadi konsultan bagi rezim Soeharto. Ketika muncul berita kekejaman di Timor Leste, misalnya, mereka menyarankan rekan-rekan di Indonesia untuk membungkus kekejaman itu sebagai perilaku spontan dan sembrono beberapa prajurit rendahan di awal invasi.

Hal semacam itu dilakukan oleh banyak elemen di kedutaan Australia di Jakarta. Di PBB di New York, diplomat Australia melakukan hal yang persis sama. Mereka aktif berunding dengan Indonesia tentang Timor Leste dan bekerjasama untuk melobi negara-negara lain terkait isu ini; para pejabat Indonesia sangat berterimakasih kepada mereka. Mereka paham bahwa Australia dipandang sebagai negara Barat yang tahu bagaimana cara berpikir negeri-negeri Barat, dan bagaimana segala sesuatu bisa diputarbalikkan.

Australia sering memberikan saran kepada Indonesia untuk siaran pers dan pernyataan publik. Dan Australia mendukung pernyataan-pernyataan publik ini dengan lobinya sendiri.


Apa para pejabat senior atau jurnalis yang mendukung Soeharto waktu itu menyatakan penyesalan?

Tidak, para diplomat dan jurnalis berpengaruh ini tak banyak mengungkapkan penyesalan. Demikian pula masyarakat Australia secara umum. Ini harus dianggap sebagai salah satu kegagalan utama kebijakan luar negeri Australia. Bukan hanya kegagalan, tetapi kejahatan yang kami lakukan. Australia tidak hanya menutup mata, tapi bahkan aktif berkampanye untuk mempermulus pelanggaran-pelanggaran HAM tersebut. Kasus-kasus ini tidak akan terjadi tanpa kita dan tidak akan tertutup dari sorotan publik tanpa peran pemerintah Australia. Saya yakin seharusnya ada proses rekonsiliasi untuk mengakui apa yang sudah kita lakukan. Rupanya, minat untuk menuju ke sana juga masih kurang.***


Wawancara ini sebelunya diterbitkan di Jacobin. Diterjemahkan dan dimuat ulang di IndoPROGRESS untuk kepentingan pendidikan.

]]>
Mengapa Einstein Memilih Sosialisme https://indoprogress.com/2022/04/mengapa-einstein-memilih-sosialisme/ Mon, 18 Apr 2022 07:16:48 +0000 https://indoprogress.com/?p=236750

Ilustrasi: Jonpey


SIAPA tak kenal Albert Einstein? Fisikawan termasyhur penemu teori relativitas, peraih nobel fisika, dan salah satu orang terjenius yang pernah hidup di bumi. Kawan-kawan yang mempelajari ilmu eksak kurang lebih sudah tidak asing dengan kajiannya, berbeda dengan mereka ilmu sosial, termasuk saya sendiri, yang bahkan menonton Interstellar karya Christopher Nolan saja sudah cukup kebingungan.

Tapi jangan kuatir. Anda masih bisa mengenal pemikiran Einstein salah satunya lewat tulisan yang terbit di Monthly Review pada 1949 dan barangkali paling dapat dicerna. Artikel tersebut tidak terlalu panjang, tidak bertele-tele, dan cukup ringan sehingga saya menyarankan Anda membacanya sendiri secara langsung terlebih dahulu. Saya akan memetik pesan-pesan utama dari tulisannya beserta beberapa catatan tentangnya.

Judulnya: “Why Socialism?” Lho, kok, seorang ilmuwan fisika bisa sampai membahas ilmu sosial? Penasaran bagaimana pandangan beliau tentang kapitalisme sampai sosialisme? Mari kita telusuri.

Tulisan ini berangkat dari keresahan Einstein akan karakter manusia dalam masyarakatnya di masa Perang Dunia II dan setelahnya. Seperti merebaknya individualisme, ketidakpedulian, lalu ketimpangan sosial, konflik horizontal hingga peperangan berskala besar. Ia pun mempertanyakan penyebabnya dan mencari jalan keluar.

Einstein memulainya dengan membedah esensi dari manusia dan masyarakat. Menurutnya, manusia sebagai makhluk individual yang punya keunikan dapat hidup mandiri di satu sisi, namun di sisi lain juga makhluk sosial yang keberadaannya bergantung pada masyarakat. Masyarakat yang merupakan konsep abstrak dari sejumlah relasi langsung tak langsung antarindividu terhadap orang-orang di kelompoknya dan juga orang-orang di masa lalu. Bagi Einstein, masyarakatlah yang sejak awal mula hadir memberi penopang kepada manusia, mulai dari makanan, pakaian, tempat tinggal, bahasa, teknologi, hingga ide-ide beserta nilai-nilai sosial yang ada.

Namun, kondisi kala itu seakan terbalik dan tidak karuan. Keadaan inilah yang dipertanyakan oleh Einstein. Ada ketidakberesan yang menurutnya bersumber dari soal pemenuhan kebutuhan hidup.

Di sinilah ia mulai menjelaskan kapitalisme secara singkat mulai dari kepemilikan privat kapitalis atas sarana produksi, ketidaksesuaian yang dihasilkan serta yang didapatkan oleh para pekerja, hingga bangkitnya oligarki.

Kira-kira beberapa perhatian Einstein soal kapitalisme adalah sebagai berikut. Pertama, Einstein menganggap produksi dalam kapitalisme bukanlah untuk kemanfaatan, namun keuntungan pemilik modal. Pemilik sarana produksi berusaha mencari keuntungan sebesar-besarnya sementara para pekerja dipaksa bersaing, kesulitan mencari kerja, dan kerap dihantui ancaman kehilangan pekerjaan. Nilai persaingan ini telah ditanamkan bahkan sejak dalam dunia pendidikan–bahwa untuk sukses di masa depan maka seseorang mesti menyelamatkan diri dengan mengorbankan yang lain.

Kedua, persaingan yang saling memangsa membawa kehancuran unit produksi yang tidak dominan dan pemusatan kapital ke tangan sebagian orang. Seperti oligarki yang perlu dukungan legal lewat perpolitikan demokrasi untuk menguasai perekonomian, orang-orang kaya juga membeli dukungan dan masuk gelanggang politik sehingga suara orang biasa khususnya kelas pekerja tak tersampaikan. Para penguasa ini dapat mengatur semua hal bahkan sistem pendidikan dan akhirnya juga memengaruhi kesadaran tiap individu.

Hal itu mengantarkan kita pada poin ketiga: yaitu lumpuhnya kesadaran individu. Menurut Einstein, ketergantungan manusia terhadap masyarakat merupakan hal yang alamiah. Namun, masalahnya, saat ini manusia yang sadar merasa tidak bergantung kepada masyarakat, bahkan masyarakat dianggap mengganggu hak pribadinya dan eksistensinya. Akibatnya, manusia secara egois berusaha sedemikian rupa terus-menerus memenuhi kebutuhan pribadi tanpa memikirkan orang lain dan masyarakat, apalagi lingkungan.

Konsekuensinya, kini manusia kerap merasa kesepian, sedih, dan kehilangan harapan. Sebab menurut Einstein manusia dapat menemukan makna hidup hanya melalui relasi timbal balik dalam aktivitas di masyarakat.

Merosotnya karakter manusia bagi Einstein merupakan dampak dari formasi ekonomi kapitalisme–yang menurutnya merupakan sumber kedurjanaan.

Tak seperti kebanyakan ilmuwan yang kerap memilih status quo, Einstein tak menyerah pada keadaan dan berusaha ambil sikap yang tegas. Ia paham betul meski manusia kerap merusak alam, namun manusia jugalah yang dapat menyelamatkannya. Lantas bagaimana pendapat Einstein untuk mengatasi permasalahan ini? Ia menjawabnya dengan ekonomi sosialisme yang disertai sistem edukasi yang berorientasi kemaslahatan sosial.

Bagaimana ekonomi sosialisme yang dibayangkan Einstein? Ia menggambarkan itu sebagai situasi ketika sarana produksi yang dimiliki masyarakat dimanfaatkan secara terencana. Perekonomian terencana yang mengatur produksi untuk pemenuhan kebutuhan komunitas ini akan mendistribusikan pekerjaan bagi mereka yang dapat bekerja dan menjamin penghidupan bagi semua orang.

Namun, Einstein memberikan catatan bahwa perekonomian terencana ini belum tentu merupakan sosialisme. Sebab perekonomian seperti ini rawan mengarah kepada penindasan individu atas nama kepentingan bersama. Di sini barangkali ia menyinggung Uni Soviet ala Stalin yang kala itu mendaku sebagai negara dengan sistem perekonomian sosialis yang, di sisi lain, banyak melanggar batas kemanusiaan.

Di akhir tulisan, Einstein memberikan tantangan kepada sistem sosialisme. Misalnya, bagaimana mencegah birokrasi menjadi sangat berkuasa dan melampaui batas? Lalu, bagaimana sosialisme melindungi hak-hak individu sehingga dengan demikian penyeimbang demokratis terhadap kekuasaan birokrasi dapat dijamin? Menurutnya inilah pekerjaan rumah yang mesti dijawab.

Sampai sini ada beberapa hal penting yang bisa didapat. Pertama, Einstein membuktikan bahwa ilmu pengetahuan beserta para ilmuwan tak terlepas dari relasi serta struktur masyarakat yang menjadi prasyarat keberadaannya, yaitu kapitalisme. Einstein berpendapat bahwa ilmuwan yang tak berfokus di ilmu sosial pun boleh berargumen tentang ekonomi dan hal-hal kemasyarakatan. Pasalnya, secara esensial, metode ilmu alam dan ilmu sosial kurang lebih sama namun objek penelitiannya saja yang berbeda. Bahkan setiap orang terlepas ilmuwan atau bukan, menurut Einstein, boleh berpendapat karena hampir semua orang sekarang ini bersentuhan dengan kapitalisme.

Kedua, Einstein menerangkan bahwa ilmu pengetahuan hanyalah alat yang tergantung pada pemanfaatnya. Ia menambahkan bahwa sains tak pernah memiliki tujuan dan manusialah yang memberikannya.

Dengan ini, pertanyaan Einstein di atas justru harusnya terjawab dengan jelas: perkembangan sains yang melahirkan berbagai kemajuan teknologi semestinya memudahkan kita memantau berlangsungnya organisasi birokrasi. Dengan sains, hal-hal dapat dijalankan dengan terukur dan bekerja secara objektif. Di sinilah Einstein memberikan kita salah satu cara untuk mencapai sosialisme, yaitu melalui ilmu pengetahuan.

Ketiga, apa yang terjadi di masa Einstein hidup sebenarnya masih terjadi hari ini. Namun, kenyataan empiris hari ini lebih pelik ketimbang pertengahan abad ke-20. Di posisi ini, dalam melihat realita kehidupan kapitalisme, kita bukan saja dihadapkan pada realitas abu-abu. Dalam perkembangannya, kapitalisme beradaptasi dengan nilai-nilai moral masyarakat yang ada sehingga hari ini eksploitasi seakan tak hadir di dalam hidup sehari-hari. Ia hadir dengan tampilan terbaiknya, tak seperti wajahnya yang dahulu. Kedurjanaan atau kejahatan kapitalisme yang disebutkan Einstein seakan tak ada karena ia tak kasat mata.

Situasi ini memudahkan para pendukung kapitalisme untuk mematahkan pandangan Einstein bahwa ada yang tak beres dengan kondisi masyarakat. Ranah etika yang di dalamnya berdiri moral dan norma dari kebudayaan akhir-akhir mendominasi pemikiran. Walhasil, apabila Bill Gates dan Elon Musk bersedekah, maka disimpulkan begitu saja bahwa sejatinya sistem kapitalisme itu baik adanya. Ini tak bisa disalahkan, sebab otak manusia cenderung memilih fakta secara selektif.

Di sinilah letak penting dari ilmu pengetahuan dan edukasi, khususnya dalam memberikan fakta objektif yang dapat diterima serta dipahami semua orang. Fakta objektif itu adalah bahwa kapitalisme mengandung kontradiksi internal yang membahayakan masa depan umat manusia. Sains dapat menggambarkan realita objektif secara jernih di luar bias moral dan norma. Selain itu, lewat sains pula kemaslahatan sosialisme mesti dibuktikan agar orang-orang mendukung untuk mewujudkannya.

Kapitalisme bagaikan kotak pandora yang ketika dibuka tak hanya menciptakan semua masalah di bumi, tapi juga meninggalkan kita harapan. Tentu saja harapan akan bentuk masyarakat yang lebih baik yaitu sosialisme.

Kabar baik akan harapan inilah yang mesti diwartakan kepada semua dengan segala cara dan diupayakan bersama mengingat perubahan menuju masyarakat yang baru tak jatuh dari langit. Ia dibangun dari reruntuhan mode produksi yang telah ada sebelumnya. Sejarah membuktikan bahwa keruntuhan tiap mode produksi tak terjadi dengan sendirinya dan dalam waktu semalam, tapi lewat pengupayaan dan perjuangan kelas yang panjang.

Tulisan Einstein ini mengingatkan kita kepada kata-kata Engels dalam Socialism: Utopian and Scientific (1880), bahwa penyebab perubahan akhir dari semua perubahan sosial dan revolusi politik tidaklah dicari di dalam kepala manusia atau ide-ide moral kebenaran serta keadilan abadi, namun di dalam perubahan mode produksi. Artinya, sosialisme yang dituju tidak ditemukan dari awang-awang, melainkan dari kondisi nyata yang eksis hari ini. Engels menambahkan di akhir tulisan bahwa tugas gerakan kaum proletariat ialah memberikan pengetahuan penuh tentang kondisi hari ini dan materialisme dialektis historis yang merupakan sosialisme ilmiah kepada segenap proletariat lainnya yang tertindas, yang kelak pengetahuan itu mesti diamalkan secara nyata.

Albert Einstein wafat karena pendarahan akibat aneurisma aorta perut pada 18 April 1955. Meski telah tiada, warisannya dalam dunia pengetahuan tak ternilai harganya. Einstein memberikan contoh dari sikap yang mesti dimiliki setiap ilmuwan, yaitu membela kemaslahatan umat manusia. Tanpa menyebut dirinya seorang Marxis, Einstein adalah seorang Marxis.

Seperti pesan Marx kepada Paul Lafargue: ilmu pengetahuan tidak boleh menjadi kesenangan pribadi dan siapa saja yang beruntung dapat mengabdikan diri pada tujuan ilmu pengetahuan haruslah yang pertama menempatkan pengetahuan mereka untuk melayani kemanusiaan. Maka, bekerjalah untuk kemanusiaan.***

]]>
Kaum Kiri dan Perang: Sampai Jumpa di Zimmerwald? https://indoprogress.com/2022/03/kaum-kiri-dan-perang/ Sun, 27 Mar 2022 17:15:06 +0000 https://indoprogress.com/?p=236726

Aksi anti-perang pelajar Berlin Barat, 1967/68 (Ludwig Binder, 2001)


KETIKA ilmu politik mengeksplorasi motif ideologi, politik, ekonomi, dan bahkan psikologi di balik dorongan berperang, kontribusi paling menarik dari teori-teori sosialis adalah penjelasannya tentang hubungan perkembangan kapitalisme dan penyebaran perang.

Dalam debat-debat di Internasional Pertama (1864-1872), salah satu tokoh utamanya yang bernama César de Paepe menyusun rumusan yang kelak menjadi posisi klasik gerakan buruh: di bawah rezim produksi kapitalis, perang tak terhindarkan. Dalam masyarakat modern, perang tidak disebabkan oleh ambisi raja atau hasrat perorangan lainnya, tetapi oleh model sosial-ekonomi yang dominan. Gerakan sosialis juga menunjukkan segmen populasi mana yang paling terpukul oleh dampak-dampak perang yang mengerikan. Dalam kongres Internasional pada 1868, para delegasi menerima mosi yang menyerukan kepada kaum pekerja untuk memperjuangkan “penghapusan seluruh perang seutuhnya,” karena buruhlah yang pada akhirnya berkorban—baik harta maupun nyawa, terlepas dari menang atau kalah—untuk keputusan kelas penguasa dan pemerintah yang mewakili mereka. Ihwal yang dipelajari buruh dari sejarah panjang peradaban manusia ini bersumber dari keyakinan bahwa setiap perang harus dianggap sebagai “perang saudara”, sebuah bentrokan sengit para pekerja yang merampas sumber-sumber penghidupan yang mereka perlukan guna melangsungkan hidup. Kaum pekerja harus mengambil sikap tegas terhadap perang apapun, dengan menolak wajib militer dan menggelar aksi mogok. Internasionalisme pun menjadi kiblat masyarakat masa depan. Dalam masyarakat itu, perang akan lenyap karena sebab-sebab utamanya—kapitalisme dan persaingan antar negara borjuis di ranah ekonomi dunia—juga menghilang.

Claude Henri de Saint-Simon adalah salah seorang tokoh pendahulu sosialisme yang mengambil sikap tegas terhadap perang dan konflik sosial. Bagi Saint-Simon, perang dan konflik sosial adalah penghalang bagi kemajuan-kemajuan fundamental dalam industri. Soal perang, Karl Marx tidak mengembangkan pandangan-pandangannya sendiri, yang sifatnya fragmentatif dan kadang saling bertolak belakang. Ia juga tidak menelurkan panduan untuk mengambil sikap yang tepat guna merespons perang. Tiap kali harus mendukung salah satu kubu dalam perang, satu-satunya sikap yang selalu ia ambil adalah menentang rezim Tsar Rusia yang menurutnya adalah garda terluar kontra-revolusi dan salah satu batu penghalang emansipasi kelas pekerja. Dalam Kapital (1867), Marx berpendapat bahwa kekerasan adalah daya penggerak ekonomi, “bidan setiap masyarakat lama yang tengah mengandung janin masyarakat baru.” Namun, Marx tidak pernah memikirkan perang sebagai jalan pintas yang perlu dipertimbangkan bagi perubahan revolusioner dalam masyarakat, dan tujuan besar yang disasar oleh aktivitas-aktivitas Marx adalah menghimpun kelas pekerja berdasarkan asas solidaritas internasional. Sebagaimana juga dikemukakan Engels, kelas pekerja di tanah air masing-masing harus tegas melawan upaya-upaya pengerdilan terhadap perjuangan kelas yang dilakukan negara melalui propaganda “ancaman musuh dari luar” merebak tiap kali perang meletus. Dalam surat-suratnya kepada para tokoh gerakan buruh, Engels selalu memperingatkan betapa chauvinisme bisa mengakibatkan patriotisme yang bercokol secara ideologis dan tertundanya revolusi proletar. Dalam Anti-Dühring (1878), Engels menyatakan bahwa sosialisme mengemban tugas untuk “menghapuskan militerisme dan seluruh tentara reguler.” Pernyataan ini berpijak pada analisis tentang efek senjata-senjata dalam perang yang kian mematikan.

Bagi Engels, perang adalah isu yang sangat penting. Karib Marx ini pun mencurahkan perhatian yang besar untuk isu ini dalam salah satu tulisan terakhirnya. Dalam ”Bisakah Eropa Melucuti Bedil?” (1893), Engels mencatat bahwa tiap negeri adidaya saling berlomba secara militer dan memupuk persiapan perang dalam 25 tahun terakhir. Dalam perlombaan ini, produksi senjata meroket setinggi langit dan menggiring Eropa lebih dekat ke “perang bumi hangus yang belum pernah disaksikan dunia.” Menurut salah satu penulis Manifesto Komunis (1848) ini, “Model tentara reguler (standing armies) telah diterapkan sedemikian ekstrem di seantero Eropa sampai-sampai ia berpotensi menghancurkan ekonomi rakyat saking hebatnya beban militer yang harus ditanggung, atau berkembang menjadi perang pemusnahan massal.” Analisis Engels juga menekankan bagaimana keberadaan angkatan bersenjata terus dipertahankan khususnya demi kepentingan politik domestik dan operasi-operasi militer di luar negeri. Dengan memperhebat kekuatan untuk menindas perjuangan proletariat dan buruh, militer dirancang “bukan untuk melindungi negeri dari musuh eksternal alih-alih dari musuh internal.” Oleh karena rakyat menanggung ongkos terbesar perang lewat pungutan pajak dan rekrutmen pasukan, maka gerakan buruh harus memperjuangkan “pengurangan secara bertahap masa dinas [di militer] melalui perjanjian internasional” serta mendukung pelucutan senjata sebagai satu-satunya “jaminan damai” yang efektif.


Ujian dan keruntuhan

Tak lama berselang, debat teoretis di masa damai berkembang menjadi isu politik teratas pada zamannya. Gerakan pekerja harus menghadapi situasi-situasi riil dan para wakil mereka pada mulanya menentang segala dukungan untuk perang. Dalam konflik Prancis-Prusia (1870) yang kelak mengawali Komune Paris, anggota parlemen dari Partai  Sosial Demokrat Jerman, Wilhelm Liebknecht and August Bebel, mengutuk misi aneksasi Imperium Jerman di bawah Kanselir Bismarck. Setelah “menolak RUU pendanaan tambahan untuk melanjutkan perang” dalam pemungutan suara, keduanya diganjar dua tahun hukuman penjara dengan dakwaan berkhianat terhadap negara. Namun, sikap yang diambil Liebknecht dan Bebel menunjukkan kepada kelas pekerja sebuah cara alternatif untuk membangun momentum politik di kala krisis.

Perang semakin menjadi isu kontroversial dalam debat-debat Internasional Kedua (1889-1916) seiring negeri-negeri adidaya Eropa terus melangsungkan ekspansi imperialis mereka. Dalam kongres pendiriannya, Internasional Kedua telah menetapkan resolusi perdamaian sebagai ”prasyarat wajib setiap emansipasi pekerja.” Kebijakan perdamaian ala borjuasi diolok-olok sebagai wujud lain dari ”perdamaian bersenjata”. Pada 1895, pemimpin Partai Sosialis Prancis (SFIO) Jean Jaurès memberikan pidato di parlemen yang kelak diingat sebagai cermin kegelisahan kaum kiri dalam merespons perang. “Bahkan ketika menginginkan perdamaian, bahkan dalam suasana tenang,” demikian Jaurès, “perang masih berkecamuk di dalam masyarakatmu yang kacau dan penuh kekerasan ini bak awan yang terlelap menanggung badai.”

Ketika Weltpolitik—kebijakan agresif imperium Jerman untuk memperluas kekuasaannya di ranah internasional—mengubah percaturan geopolitik, prinsip-prinsip anti-militerisme semakin mengakar dalam gerakan kelas pekerja dan mempengaruhi diskusi-diskusi tentang konflik bersenjata. Perang tak lagi semata dilihat sebagai gerbang menuju revolusi dan pemicu kehancuran sistem (sebuah gagasan kiri yang berakar pada slogan Robespierre, “Tak ada revolusi tanpa revolusi”). Bagi kaum kiri saat itu, perang adalah marabahaya karena dampak-dampaknya yang luar biasa destruktif bagi proletariat: kelaparan, kemelaratan dan pengangguran. Perang, dengan demikian, menjadi ancaman serius bagi kekuatan progresif. Dalam situasi perang, tulis  Karl Kautsky dalam Revolusi Sosial (1902), kaum pekerja akan “dibebani tugas-tugas tidak esensial” yang akan membuat kemenangan final proletariat kian jauh alih-alih mendekat.

Resolusi “Tentang Militerisme dan Konflik Internasional” yang diadopsi Internasional Kedua dalam Kongres Stuttgart (1907), merangkum seluruh pokok yang kelak menjadi warisan bersama gerakan buruh, di antaranya: voting menolak peningkatan anggaran belanja militer, antipati terhadap sistem tentara reguler, dukungan terhadap sistem milisi rakyat dan rencana pembentukan peradilan arbitrase untuk menyelesaikan konflik internasional dengan cara-cara damai. Yang tidak terkandung dalam resolusi ini adalah aksi-aksi pemogokan umum menentang segala jenis perang, sebagaimana diusulkan Gustave Hervé; mayoritas peserta kongres menganggap ide ini terlalu radikal dan hitam-putih (Manichaean). Resolusi diakhiri dengan amandemen yang disusun Rosa Luxemburg, Vladimir Lenin, dan Yulii Martov. Amandemen tersebut menyatakan: “jika perang meletus … [kaum sosialis] mengemban tugas untuk menghentikannya secepat mungkin, dan dengan segala daya memanfaatkan krisis ekonomi dan politik yang dipicu perang, untuk membangkitkan massa sehingga mempercepat tumbangnya kekuasaan kelas kapitalis.” Para perwakilan Partai Sosial Demokrat Jerman (SPD) mendukung amandemen ini karena di dalamnya tidak ada tuntutan bagi partai untuk mengubah garis politik. Resolusi dalam bentuknya yang telah diamandemen ini adalah dokumen terakhir tentang perang yang mendapat  suara bulat dari Internasional Kedua.

Gambaran umum perang kian merisaukan seiring kian ketatnya persaingan ekonomi antar negara kapitalis yang dibarengi merebaknya konflik-konflik global. Pada 1911, Jaurès menerbitkan Tentara Baru (1911) yang memancing percakapan tentang isu lain yang menjadi buah bibir kala itu: perbedaan antara perang ofensif (perang dalam rangka menyerbu negara lain) dan defensif (perang yang dilancarkan untuk mempertahankan diri), serta bagaimana perang defensif harus disikapi, termasuk dalam kasus-kasus dimana kemerdekaan suatu negara terancam. Bagi Jaurès, satu-satunya tugas militer adalah membela negara dari invasi atau dari pihak agresor manapun yang menampik penyelesaian perselisihan dengan jalan mediasi. Semua tindakan militer yang tergolong dalam kategori ini harus dianggap sah. Namun, kritik jernih Luxemburg terhadap posisi Jaurès menunjukkan bahwa “fenomena-fenomena sejarah seperti perang modern tidak dapat dinilai dengan tolok ukur ’keadilan’, atau melalui skema ideal pertahanan dan agresi.” Luxemburg memperingatkan betapa sulitnya memastikan apakah sebuah perang betul-betul berwatak ofensif atau defensif, atau apakah negara yang memulainya sengaja menyerbu atau terpaksa menyerang karena terjebak siasat negara-negara yang penentang. Oleh sebab itu, bagi Luxemburg, perbedaan ofensif-defensif itu harus dibuang. Ia pun mengkritik usulan Jaurès tentang “bangsa yang dipersenjatai”, dengan alasan bahwa ide seperti ini akhirnya hanya akan menyuburkan militerisasi di masyarakat.

Seiring waktu komitmen Internasionale Kedua untuk mendukung kebijakan damai semakin kendur. Organisasi ini tidak terlihat serius menentang kebijakan pemersenjataan kembali (rearmament) dan persiapan perang. Sebuah faksi SPD yang kian moderat dan bertendensi legalistik malah mendukung obligasi perang—bahkan kelak menyepakati ekspansi kolonial—sebagai imbalan untuk kebebasan politik yang lebih besar di Jerman. Gustav Noske, Henry Hyndman dan Antonio Labriola terhitung sebagai tokoh dan teoritikus terkemuka yang pertama-tama mengambil posisi ini. Akhirnya, sebagian besar kaum Sosial Demokrat Jerman, Sosialis Prancis, para pemimpin Partai Buruh Inggris dan kaum reformis Eropa lainnya mendukung Perang Dunia Pertama (1914-1918). Rangkaian peristiwa ini berujung malapetaka. Berkat iming-iming bahwa “manfaat kemajuan” tak semestinya dimonopoli oleh kaum kapitalis, gerakan kelas pekerja malah menyepakati misi ekspansionis kelas yang berkuasa. Mereka terbuai dalam dekapan ideologi nasionalis. Internasional Kedua, yang terbukti tak berdaya menghadapi perang, gagal mewujudkan salah satu misinya: melestarikan perdamaian.

Dalam Konferensi Zimmerwald (1915), Lenin dan delegasi lainnya—termasuk Leon Trotsky yang menulis draf akhir Manifesto Zimmerwald—meramalkan: “Untuk beberapa dekade ke depan, anggaran belanja perang akan menguras energi terbaik rakyat, merusak upaya-upaya perbaikan sosial, dan menghambat kemajuan apapun.” Bagi Lenin dkk., perang menelanjangi “kapitalisme modern yang semakin sulit didamaikan tak hanya dengan kepentingan massa pekerja […] tetapi juga dengan syarat-syarat mendasar kehidupan bersama umat manusia.” Peringatan itu hanya diindahkan oleh segelintir orang dalam gerakan pekerja. Seruan kepada seluruh buruh Eropa di Konferensi Kienthal (1916) juga bernasib sama. Seruan Kienthal berbunyi: “Pemerintah kalian dan koran-koran mereka sudah mengumumkan bahwa perang harus berlanjut agar militerisme mampus! Mereka membohongi kalian! Perang tidak pernah membunuh perang. Perang memang memicu perasaan dan keinginan balas dendam. Dengan menandai kalian agar berkorban, mereka menjerumuskan kalian ke lingkaran setan.” Dokumen final Kienthal—yang akhirnya pisah jalan dengan Kongres Stuttgart yang menyerukan penyelenggaraan peradilan arbitrase internasional—menyatakan bahwa “ilusi pasifisme borjuis” tidak akan memutus mata rantai perang alih-alih sekadar ikut melanggengkan tatanan sosial-ekonomi yang ada. Penaklukkan kekuasaan oleh massa-rakyat dan penggulingan sistem hak milik kapitalis adalah satu-satunya jalan untuk mencegah konflik bersenjata di masa depan.

Rosa Luxemburg dan Vladimir Lenin adalah dua penentang perang di garis terdepan. Karya-karya Luxemburg memperluas pemahaman teoretis di kubu kiri dan menunjukkan bagaimana militerisme berperan sebagai tulang punggung negara. Luxemburg, dengan iman baja dan daya tutur yang nyaris tak tertandingi pemimpin komunis lainnya, menegaskan bahwa slogan “Perang melawan perang!” harus menjadi “landasan politik kelas pekerja.” Internasional Kedua, tulis Luxemburg dalam Krisis Demokrasi Sosial (1916)—yang kelak dikenal sebagai Pamflet Junius—bubar karena gagal “menyepakati taktik dan aksi bersama proletariat di seluruh dunia.” Sejak itulah “memerangi imperialisme dan mencegah perang, baik dalam situasi damai maupun perang” menjadi “misi utama” yang wajib diemban proletariat.

Jasa besar Lenin—sebagaimana terlihat dalam Sosialisme dan Perang (1915) dan banyak tulisan lainnya yang terbit selama Perang Dunia I—adalah mengidentifikasi dua persoalan fundamental. Persoalan pertama menyangkut “falsifikasi sejarah” yang dilakukan kaum borjuasi tiap kali mereka mengait-ngaitkan “sentimen progresif pembebasan nasional” dengan apa yang sebenarnya merupakan perang “penjarahan”—sebuah perang yang dilancarkan demi satu tujuan: memutuskan kubu mana yang bakal mendapat giliran untuk menindas bangsa-bangsa yang dianggap paling asing seraya meningkatkan taraf ketimpangan kapitalisme. Persoalan kedua yang diangkat Lenin adalah pengaburan kontradiksi oleh kaum reformis sosial—atau “chauvinis sosial”, demikian sebut Lenin—yang pada akhirnya mendukung justifikasi perang sekalipun mereka sudah mendefinisikan perang sebagai aktivitas “kriminal” dalam resolusi-resolusi Internasional Kedua. Di balik klaim kaum reformis untuk “membela tanah air”, terkandung privilese negara-negara adikuasa untuk “menjarah tanah jajahan dan menindas bangs-bangsa asing.” Perang tidak dilakukan untuk menjaga “eksistensi bangsa-bangsa”, melainkan untuk “ mempertahankan privilese, dominasi, penjarahan dan kekerasan” yang melekat pada berbagai spesies “borjuasi imperialis”. Kaum sosialis yang tunduk pada patriotisme telah menggantikan perjuangan kelas dengan perjuangan untuk berebut “jatah keuntungan yang diperoleh borjuasi nasional lewat penjarahan negeri-negeri lain.” Maka dari itu, Lenin mendukung “perang untuk mempertahankan diri” (defensive wars)—bukan “pertahanan nasional negara-negara Eropa ala Jaurès, melainkan “perang yang adil” (just wars) yang dilancarkan “bangsa-bangsa yang ditaklukkan dan ditindas,” yang telah “dijarah dan dirampas hak-haknya” oleh “negeri-negeri adikuasa pemilik budak.” Tesis paling tersohor dari pamflet ini—bahwa kaum revolusioner harus berusaha “mengubah perang imperialis menjadi perang saudara”—menyiratkan bahwa siapapun yang benar-benar mendambakan “perdamaian demokratis nan langgeng” harus mengobarkan “perang saudara melawan borjuasi dan pemerintah mereka sendiri.” Lenin memiliki keyakinan—yang kelak dibantah oleh sejarah—bahwa setiap perjuangan kelas yang konsisten dilancarkan pada masa perang “niscaya” akan menciptakan spirit revolusioner di tengah massa.


Menarik garis pemisah

Perang Dunia I melahirkan perpecahan tidak hanya di Internasional Kedua tetapi juga di tubuh gerakan anarkis. Tak lama setelah perang meletus, Kropotkin menulis sebuah artikel yang menyatakan bahwa “menghentikan invasi Jerman di Eropa Barat adalah tugas setiap orang yang mencintai gagasan kemajuan umat manusia.” Membaca artikel ini, banyak pihak beranggapan Kropotkin telah mencampakkan prinsip-prinsip yang telah ia perjuangkan seumur hidupnya. Namun, pernyataan ini merupakan upaya Kropotkin untuk melampaui slogan “pemogokan umum melawan perang”—yang tak diacuhkan massa pekerja—dan untuk menghindari kemunduran umum dalam politik Eropa yang akan terjadi jika Jerman menang. Dalam pandangan Kropotkin, jika kaum anti-militer tetap berpangku tangan, maka secara tak langsung mereka telah membantu misi penaklukkan para agresor, dan hambatan yang muncul dari sana akan lebih sulit diatasi oleh siapapun yang memperjuangkan revolusi sosial.

Menanggapi Kropotkin, anarkis Italia Enrico Malatesta berargumen bahwa meskipun dirinya bukan pasifis dan menganggap sah perjuangan bersenjata dalam perang pembebasan, Perang Dunia bukanlah—sebagaimana digaungkan propaganda borjuis—perjuangan demi “kemaslahatan umum melawan musuh bersama” demokrasi. Alih-alih, bagi Malatesta, Perang Dunia adalah sekadar contoh lain dari upaya  kelas yang berkuasa untuk menaklukkan massa pekerja. Dia menyadari “kemenangan Jerman niscaya berarti kemenangan militerisme, namun di sisi lain kemenangan bagi pihak Sekutu juga sama saja dengan dominasi Rusia-Inggris di Eropa dan Asia.”

Dalam Manifesto Enam Belas (1916), Kropotkin bersikukuh akan pentingnya “melawan agresor yang menjadi wajah kehancuran seluruh harapan pembebasan kita.” Kemenangan Triple Entente terhadap Jerman akan mendatangkan keburukan yang lebih kecil (lesser evil) dan lebih minim efeknya untuk pelemahan kebebasan-kebebasan yang ada. Di sisi lain, Malatesta dan para penandatangan manifesto anti-perang dari Anarkis Internasional (1915) menyatakan: “Mustahil perang ofensif dan defensif bisa dibedakan.” Mereka juga menambahkan bahwa “Tak satu pun dari kubu dalam perang berhak mengklaim peradaban, sebagaimana mereka juga tak berhak mendaku melakukan pembelaan diri secara sah.” Perang Dunia I, tegas mereka, adalah episode lanjutan dalam pusaran konflik antar kapitalis dari berbagai negeri imperialis, sebuah perang yang dilancarkan dengan mengorbankan kelas pekerja. Malatesta, Emma Goldman, Ferdinand Nieuwenhuis dan sebagian besar aktivis gerakan anarkis yakin bahwa mendukung pemerintah borjuis adalah kesalahan yang tak termaafkan. Sebaliknya, tanpa terkecuali, mereka berakhir dengan slogan “tolak kirim orang dan uang untuk tentara,” dan bahkan secara tegas menolak memberikan dukungan tak langsung dalam upaya-upaya perang.

Penyikapan terhadap perang juga menimbulkan perdebatan dalam gerakan feminis. Kaum lelaki direkrut ke medan tempur sehingga kalangan industri menggantikan mereka dengan perempuan di posisi-posisi yang telah lama dimonopoli laki-laki. Namun, pekerja perempuan ini mendapat upah yang jauh lebih rendah dan bekerja dalam kondisi yang sangat eksploitatif. Situasi ini memicu penyebaran ideologi chauvinis di sebagian besar gerakan hak pilih perempuan (suffragette) yang baru lahir. Beberapa pemimpin gerakan melangkah lebih jauh dengan mengajukan petisi untuk penyusunan undang-undang yang bakal mengizinkan perempuan untuk mendaftar sebagai tentara. Ekspos terhadap pemerintah yang bermuka dua—yang memukul mundur capaian-capaian mendasar reformasi sosial dengan cara menggaungkan ketakutan akan “musuh di perbatasan”—adalah salah satu prestasi terpenting tokoh-tokoh terdepan komunis perempuan kala itu. Clara Zetkin, Alexandra Kollontai, Sylvia Pankhurst, dan tentu saja Rosa Luxemburg termasuk dalam golongan pertama yang secara tegas dan berani menapaki jalan yang kelak menjadi teladan bagi generasi mendatang bahwa perlawanan terhadap militerisme amatlah penting bagi perlawanan terhadap patriarki. Kelak, penolakan terhadap perang menjadi unsur tak terpisahkan dalam peringatan Hari Perempuan Internasional, dan kerja-kerja menggugurkan anggaran perang untuk konflik-konflik baru terus mengemuka di banyak panggung gerakan feminis internasional.


Tujuan akhir tidak berarti menghalalkan segala cara dan cara yang salah bisa merusak tujuan

Pasca-kelahiran Uni Soviet dan berkembangnya dogmatisme ideologi pada 1920an dan 1930an, perpecahan mendalam antara kaum revolusioner dan reformis merembet hingga ke perkara strategi, hingga menihilkan aliansi anti-militerisme antara Komunis Internasional (1919-1943) dan partai-partai Sosialis dan Sosial Demokrat Eropa. Setelah mendukung perang, partai-partai yang terlibat dalam pembengtukan Buruh dan Sosialis International (Labour and Socialist International Buruh dan Sosialis Internasional) (1923-1940) kehilangan martabatnya di mata kaum komunis. Gagasan Leninis tentang “mengubah perang imperialis menjadi perang saudara” masih berlaku di Moskow. Para politisi dan teoretikus terkemuka di Rusia masih berpikir bahwa “1914 Jilid Dua”—alias perang dunia berikutnya—mustahil dihindari. Masing-masing kubu lebih sibuk bicara tentang apa yang harus dilakukan jika perang kembali pecah ketimbang membahas cara-cara mencegah perang baru. Pada dasarnya, slogan-slogan dan pernyataan sikap yang mereka utarakan saat itu berbeda dari apa yang diharapkan, dan berjarak pula dari apa yang kelak menjadi tindakan politik. Pendapat-pendapat kritis di kubu Komunis disuarakan oleh Nikolai Bukharin, seorang pendukung slogan “perjuangan untuk perdamaian.” Pemimpin Rusia lain yang meyakini perdamaian sebagai “salah satu isu utama dunia dewasa ini” adalah Georgi Dimitrov, yang berpendapat bahwa tak semua negara adidaya memikul tanggung jawab yang sama atas ancaman perang. Dimitrov juga menghendaki pemulihan hubungan dengan partai-partai reformis untuk membangun front rakyat guna melawan perang. Kedua pandangan ini kontras dengan mantra-mantra ortodoksi Soviet yang juga tidak memperbarui analisis teoretis mereka. Ortodoksi Moskow bersikeras bahwa hasrat berperang telah mengalir di tubuh seluruh kekuatan imperialis tanpa pengecualian, tanpa ada bedanya.

Pandangan Mao Zedong berbeda. Sebagai pemimpin gerakan pembebasan melawan invasi Jepang, ia menulis dalam On Protracted War (1938) bahwa “perang yang adil”—di mana komunis wajib berpartisipasi—“diberkahi kekuatan luar biasa yang dapat mengubah banyak hal atau merintis jalan untuk perubahan-perubahan tersebut. Maka dari itu, Mao mengusulkan strategi “melawan perang yang tidak adil dengan perang yang adil,” kemudian “meneruskan perang hingga tujuan politiknya tercapai.” Argumen-argumen Mao yang mendukung “keperkasaan perang revolusioner” kembali muncul dalam Masalah Perang dan Strategi (1938). Dalam tulisan ini ia bersikukuh bahwa “hanya senjata yang mampu mengubah seluruh dunia,” dan “perampasan kekuasaan oleh militer, penyelesaian masalah dengan perang, adalah tugas utama dan wujud tertinggi revolusi.”

Di Eropa, eskalasi kekerasan aliansi Nazi-Fasis di dalam maupun di luar negeri, serta pecahnya Perang Dunia II (1939-1945) memunculkan skenario yang bahkan lebih jahat daripada perang 1914-18. Setelah pasukan Hitler menyerbu Uni Soviet pada 1941, Perang Patriotik Akbar (The Great Patriotic War) yang berakhir dengan keoknya Nazisme menjadi unsur sentral dalam wacana kebangsaan Rusia yang sukses bertahan dari keruntuhan Tembok Berlin dan terus eksis hingga sekarang.

Setelah Perang Dunia II berakhir, dunia terbelah menjadi dua blok. Joseph Stalin menegaskan bahwa tugas utama gerakan Komunis internasional adalah melindungi Uni Soviet. Pilar utama kebijakan ini adalah pembentukan zona penyangga (buffer zone) yang terdiri dari delapan negara di kawasan Eropa Timur (setelah keluarnya Yugoslavia menjadi tujuh negara). Pada periode tersebut, Doktrin Truman menandai kemunculan jenis perang baru: Perang Dingin. Selanjutnya, Amerika Serikat berperan penting dalam menghambat kekuatan progresif di Eropa Barat dengan menyokong kekuatan anti-komunis di Yunani, menjalankan program Marshall Plan (1948), dan mendirikan NATO (1949). Uni Soviet merespons langkah-langkah AS dengan mendirikan Pakta Warsawa (1955). Konfigurasi baru ini akhirnya memicu perlombaan senjata besar-besaran, yang juga melahirkan lomba uji coba bom nuklir, terlepas dari fakta bahwa kehancuran Hiroshima dan Nagasaki masih segar dalam ingatan.

Sejak 1961, di bawah kepemimpinan Nikita Khrushchev, Uni Soviet merintis jalan politik baru yang kelak dikenal sebagai “koeksistensi damai”. Perubahan sikap yang menekankan pentingnya prinsip non-intervensi dan penghormatan atas kedaulatan nasional, serta kerjasama ekonomi dengan negara-negara kapitalis ini, dimaksudkan untuk mencegah potensi perang dunia ketiga (seperti yang telah terlihat selama krisis misil Kuba pada 1962) serta menguatkan pandangan bahwa perang bisa dihindari. Namun, upaya kerjasama konstruktif ini hanya terarah ke AS, bukan ke negara-negara yang saat itu telah menjadi bagian dari blok sosialis (actually existing socialism). Pada 1956, Uni Soviet mengkremus pemberontakan rakyat di Hongaria. Alih-alih mengutuk, partai-partai komunis Eropa Barat membenarkan intervensi militer tersebut dengan dalih melindungi blok sosialis. Sekretaris Partai Komunis Italia Palmiro Togliatti, misalnya, menyatakan: “Kami tetap mendukung kubu kami sendiri sekalipun keliru.” Mayoritas pihak yang mengambil posisi yang sama kelak memahami dampak desktruktif intervensi Soviet dan menyesal keputusan mereka.

Nasib serupa menimpa Cekoslowakia pada 1968. Kala itu, koeksistensi damai antara kedua blok tengah berada di puncak. Dihadapkan pada tuntutan demokratisasi dan desentralisasi ekonomi selama Musim Semi Praha, Politbiro Partai Komunis Uni Soviet secara bulat memutuskan untuk mengirim setengah juta tentara dan ribuan tank. Dalam kongres Partai Persatuan Pekerja Polandia 1968, Leonid Brezhnev menjelaskan bahwa intervensi tersebut mengacu pada apa yang disebutnya “kedaulatan terbatas” negara-negara Pakta Warsawa: “Ketika kekuatan-kekuatan yang memusuhi sosialisme mencoba mengubah perkembangan beberapa negara dalam blok sosialis ke arah kapitalisme, ini tidak hanya menjadi perkara negara yang bersangkutan, tetapi juga menjadi urusan dan keprihatinan bersama seluruh negara sosialis.” Menurut logika anti-demokrasi ini, mana yang  “sosialis” dan mana yang bukan sosialisme sudah sewajarnya diputuskan oleh para pemimpin Soviet. Namun, kali ini para pengkritik dari kubu kiri mengambil sikap lebih terbuka dan bahkan mewakili mayoritas. Meskipun ketidaksetujuan atas tindakan Soviet diungkapkan tidak hanya oleh gerakan Kiri Baru tetapi juga oleh mayoritas partai Komunis, termasuk Tiongkok, Rusia tetap pantang mundur dan malah melakukan proses yang mereka sebut “normalisasi”. Uni Soviet terus mengalokasikan sebagian besar sumber daya ekonominya untuk belanja militer, dan ini ikut memperkuat budaya otoriter di masyarakat. Walhasil, Uni Soviet kehilangan kepercayaan dari gerakan perdamaian yang saat itu membengkak berkat aksi mobilisasi besar-besaran melawan perang di Vietnam.

Salah satu perang terpenting dalam dekade berikutnya dimulai dengan invasi Soviet ke Afghanistan. Pada 1979, Tentara Merah kembali menjadi instrumen utama kebijakan luar negeri Moskow, yang terus mengklaim hak untuk campur tangan dalam ”zona keamanan” yang ia definisikan sendiri. Keputusan buruk itu berubah menjadi petualangan melelahkan selama lebih dari sepuluh tahun, menyebabkan angka kematian yang besar, dan membuat jutaan orang mengungsi. Dalam kesempatan ini gerakan Komunis internasional jauh lebih berani bersikap ketimbang saat mereka menanggapi invasi Soviet ke Hongaria dan Cekoslowakia. Namun, di mata publik internasional, perang baru ini telah mengungkap perceraian antara blok sosialis dengan alternatif politik yang berpijak pada perdamaian dan perlawanan terhadap militerisme.

Secara keseluruhan, intervensi militer Soviet tidak hanya menciderai inisiatif pengurangan senjata secara umum tetapi juga mendiskreditkan dan melemahkan sosialisme secara global. Uni Soviet semakin dilihat sebagai kekuatan imperial yang tindakannya tidak berbeda dengan Amerika Serikat. Washington sendiri diam-diam telah menyokong kudeta dan upaya penggulingan pemerintahan yang dipilih secara demokratis di lebih dari 20 negara dunia. Terakhir, “perang sosialis” pada 1977-1979 yang melibatkan Kamboja dan Vietnam serta Tiongkok dan Vietnam—tanpa melupakan latar belakang perpecahan Uni Soviet dan RRC—telah menggerus  pengaruh ideologi “Marxis-Leninis”—yang bahkan sudah melenceng jauh dari fondasi asli yang diletakkan oleh Marx dan Engels—yang selama ini terus mengaitkan perang secara eksklusif dengan kekacauan ekonomi dalam sistem kapitalisme.


Menjadi di kiri berarti melawan perang

Berakhirnya Perang Dingin tidak mengurangi frekuensi campur tangan dalam urusan negara lain, tidak pula meningkatkan kebebasan setiap orang untuk memilih rezim politik di mana ia bisa hidup. Banyak perang—tanpa mandat PBB dan bahkan didefinisikan dengan absurdnya sebagai intervensi “kemanusiaan”—yang dilakukan oleh AS dalam dua puluh lima tahun terakhir—plus bentuk-bentuk baru konflik, sanksi politik dan ekonomi yang dilakukan secara ilegal, dan pengkondisian media—menunjukkan bagaimana pembagian kutub antara dua negara adidaya gagal melapangkan jalan menuju era kebebasan dan kemajuan yang dijanjikan oleh mantra neoliberal “Tatanan Dunia Baru”. Dalam konteks ini, banyak kekuatan politik yang pernah mengklaim nilai-nilai kiri kini terlibat dalam sejumlah perang. Dari Kosovo hingga Irak dan Afghanistan—beberapa contoh perang besar yang dilancarkan NATO sejak runtuhnya Tembok Berlin—kekuatan-kekuatan ini kerap mendukung intervensi bersenjata dan membuat sikap mereka semakin sulit dibedakan dari kubu kanan.

Dalam perang Rusia-Ukraina kaum kiri kembali menghadapi dilema klasik: respons apa yang semestinya diberikan ketika kedaulatan suatu negara diserang? Pemerintah Venezuela, misalnya, tidak mengutuk invasi Rusia ke Ukraina. Ini kesalahan politik. Absennya kecaman Caracas bisa mempersulit posisi Venezuela seandainya kelak diserbu oleh Amerika Serikat. Kecaman Venezuela atas invasi AS—jika nanti benar-benar kejadian—akan terdengar kurang kredibel. Memang benar “dalam kebijakan luar negeri, tak banyak yang dapat diperoleh dengan menggunakan jargon populer seperti ’reaksioner’ dan ’revolusioner’”—bahwa apa yang “secara subjektif reaksioner [mungkin terbukti] revolusioner secara objektif dalam kebijakan luar negeri,” demikian isi surat Marx kepada Ferdinand Lassalle pada 1860.  Namun, kaum kiri sudah seharusnya belajar dari pengalaman abad ke-20 bahwa aliansi “dengan musuhnya musuh saya” seringkali mengarah pada kesepakatan-kesepakatan kontraproduktif, terutama ketika—seperti yang hari ini terjadi—front progresif lemah secara politik, gagap secara teori, dan miskin mobilisasi massa.

Dalam Revolusi Sosialis dan Hak Bangsa-Bangsa untuk Menentukan Nasib Sendiri, Lenin berujar: “Dalam kondisi-kondisi tertentu, perjuangan pembebasan nasional melawan kekuatan imperialis dapat dimanfaatkan oleh kekuatan “adidaya” lain untuk kepentingan yang sama-sama imperialisnya; namun ini tidak berarti bahwa kaum Sosial Demokrat bisa mengabaikan pengakuan atas hak semua bangsa untuk menentukan nasib sendiri.” Di luar kepentingan dan intrik geopolitik yang lazim turut bermain, dalam sejarahnya kaum kiri telah lama mendukung prinsip penentuan nasib sendiri dan membela hak masing-masing negeri untuk mendirikan perbatasan atas dasar kehendak warganya. Kaum kiri telah melancarkan perang terhadap perang dan “pencaplokan wilayah” karena mereka sadar bahwa perang dan aneksasi hanya akan memicu konflik besar antara pekerja di negara yang mendominasi dan bangsa-bangsa tertindas, lantas menciptakan kondisi bagi yang bangsa-bangsa terjajah untuk bersatu dengan kelas borjuasi mereka sendiri dan memusuhi buruh-buruh di negara penindas. Dalam Hasil Diskusi Penentuan Nasib Sendiri (1916), Lenin menulis: “Jika revolusi sosialis ingin menang di Petrograd, Berlin dan Warsawa, maka pemerintah sosialis Polandia, seperti halnya pemerintah sosialis Rusia dan Jerman, harus menanggalkan upaya-upaya penuh paksaan untuk mengontrol, misalnya, orang-orang Ukraina di dalam perbatasan Polandia melalui.” Jika demikian, mengapa opsi yang berbeda harus ditawarkan kepada pemerintah nasionalis pimpinan Vladimir Putin?

Di sisi lain, terlalu banyak kaum kiri yang menyerah pada godaan untuk terlibat dalam perang—baik langsung maupun tidak—lantas mengobarkan ‘persekutuan suci’ (union sacrée, sebuah ungkapan yang dicetuskan pada 1914 untuk menyambut dukungan kaum kiri Prancis kepada pemerintah yang memutuskan untuk terjun ke kancah Perang Dunia I). Hari ini, posisi semacam itu semakin mengaburkan perbedaan antara Atlantisisme dan pasifisme. Sejarah menunjukkan, ketika kubu progresif tidak menentang perang, bagian penting dari alasan keberadaan mereka akan hilang dan pada akhirnya mereka pun akan larut dalam ideologi kubu lawan. Ini terjadi tiap kali partai kiri menjadikan eksistensi mereka di pemerintahan sebagai tolok ukur tindakan politik. Itulah yang dilakukan kaum komunis Italia ketika mendukung intervensi NATO di Kosovo dan Afghanistan, atau ketika mayoritas anggota Unidas Podemos hari ini bersama parlemen Spanyol mendukung keputusan pengiriman bantuan senjata ke kubu Ukraina. Perilaku rendahan semacam itu sudah berkali-kali diganjar hukuman, termasuk di bilik-bilik pemungutan suara ketika pemilu digelar.


Bonaparte bukanlah demokrasi

Pada 1853-1856, Marx menulis serangkaian artikel yang cemerlang untuk New-York Daily Tribune. Kumpulan artikel itu menyuguhkan banyak sekali paralel yang menarik dan berguna sebagai pelajaran untuk hari ini. Dalam sebuah artikel bertahun 1853, Marx membahas seorang penguasa besar Moskow dariq abad ke-15 yang dianggap telah menyatukan Rusia dan meletakkan pondasi bagi kekuasaannya yang otokratik. Marx menyatakan: “Orang cukup mengganti deretan nama dan tanggal ini sehingga jelas bahwa kebijakan Ivan III […], dan kebijakan Tsar Rusia sekarang tidak hanya serupa tetapi juga identik.” Namun, pada tahun berikutnya, ketika Marx berseberangan dengan kaum demokrat liberal yang mengusung koalisi anti-Rusia, ia menulis: “Keliru ketika perang melawan Rusia digambarkan sebagai pertempuran antara kebebasan dan despotisme. Bahkan seandainya gambaran itu benar, kebebasan untuk sementara waktu diwakili oleh seorang Bonaparte, seluruh misi yang dipikul perang ini adalah pelestarian … Traktat Wina—perjanjian-perjanjian yang membatalkan kebebasan dan kemerdekaan bangsa-bangsa.” Jika kita mengganti Bonaparte dengan Amerika Serikat dan Traktat Wina dengan NATO, amatan Marx seakan ditulis untuk hari ini.

Keraguan politik atau kekaburan teori tak terlihat dalam pemikiran mereka yang menentang nasionalisme Rusia dan Ukraina serta ekspansi NATO. Dalam beberapa pekan terakhir, sejumlah ahli memberikan penjelasan tentang akar konflik Rusia-Ukraina (tanpa sama sekali mengurangi bobot kebrutalan invasi Rusia); posisi mereka yang mengusung kebijakan untuk tidak berpihak pada kubu-kubu yang bertikai adalah jalan paling efektif untuk mengakhiri perang sesegera mungkin dan memastikan agar jumlah korban jiwa tak bertambah. Ini bukan soal berperilaku bak “jiwa-jiwa molek” yang mabuk idealisme abstrak, yang menurut Hegel tak mampu menghadapi realitas penuh kontradiksi di dunia nyata. Sebaliknya: pokok dari pendekatan ini adalah memberikan basis kenyataan kepada satu-satunya penangkal sejati perang agar tidak merembet ke mana-mana. Di sisi lain, seruan rekrutmen serdadu untuk perang terus bergema. Demikian pula suara-suara yang menekankan bahwa Eropa wajib menyuplai senjata dan amunisi yang dibutuhkan untuk berperang (sikap ini misalnya diambil oleh Perwakilan Tinggi Urusan Luar Negeri dan Kebijakan Keamanan Uni Eropa). Namun, berbeda dengan posisi-posisi tersebut, yang perlu terus digencarkan adalah diplomasi berlandaskan dua tuntutan pokok yang tak bisa ditawar—de-eskalasi konflik dan netralitas Ukraina yang merdeka.

Meskipun dukungan untuk NATO meningkat karena invasi Rusia, diperlukan kerja keras untuk memastikan agar publik tidak memandang NATO—mesin perang terbesar dan paling agresif di dunia—sebagai solusi untuk masalah-masalah keamanan global. NATO harus diekspos sebagai organisasi berbahaya lagi tidak efektif, sebagai organisasib yang telah menjerumuskan dunia ke dalam ketegangan-ketegangan yang bisa melahirkan perang, sebagai akibat dari upayanya untuk melancarkan ekspansi dan dominasi tatanan dunia unipolar.

Dalam Sosialisme dan Perang, Lenin berpendapat bahwa kaum Marxis berbeda dari pasifis dan anarkis karena mereka “menilai perlunya mempelajari setiap perang secara historis (dari sudut pandang materialisme dialektis Marx) dan secara terpisah.” Selanjutnya ia menegaskan: “Terlepas dari semua kengerian, kekejaman, kesulitan dan penderitaan yang niscaya mengiringi semua perang, ada banyak perang dalam sejarah yang berwatak progresif, yaitu yang menguntungkan perkembangan umat manusia.” Jika benar demikian yang terjadi di masa lalu, sulit rasanya menegaskan pernyataan tersebut dalam konteks masyarakat hari ini, ketika senjata pemusnah massal terus menyebar. Jarang sekali perang—yang tidak semestinya dirancukan dengan revolusi—membuahkan dampak demokratisasi sebagaimana diharapkan oleh para teoritikus sosialisme. Perang memang sering terbukti menjadi cara terburuk untuk melakukan revolusi, baik karena harga nyawa yang harus dibayar maupun karena penghancuran kekuatan produktif yang ditimbulkannya. Pelajaran ini juga tidak boleh dilupakan oleh kaum kiri moderat.

Bagi kaum kiri, perang tidak boleh menjadi—mengutip Clausewitz—“kelanjutan politik dengan cara lain.” Kenyataannya, perang hanya akan memperjelas kegagalan politik. Jika kaum kiri ingin kembali hegemonik dan menunjukkan bahwa dirinya mampu menggali dan menafsirkan sejarahnya untuk tugas-tugas hari ini, mereka perlu menulis “anti-militerisme” dan “Katakan tidak untuk perang!” di spanduk-spanduk.***


Marcello Musto adalah Profesor Sosiologi di York University, Toronto. Tulisan-tulisannya yang tersedia di www.marcellomusto.org telah diterbitkan dalam lebih dari dua puluh bahasa.


 

]]>
Meningkatkan Kekuatan Freelancer dengan Berserikat https://indoprogress.com/2022/03/meningkatkan-kekuatan-freelancer-dengan-berserikat/ Wed, 09 Mar 2022 04:40:42 +0000 https://indoprogress.com/?p=236691

Ilustrasi: Jonpey


“APA yang membuatmu memilih freelance daripada bekerja di kantor?” demikian sebuah pertanyaan dari seorang pengguna internet di forum Quora. Pengguna yang lain ringan saja menjawab: “Freelance itu sebuah pilihan bagi mereka yang enggak mau diperintah oleh bos.”

Pemahaman orang banyak tentang freelancer atau pekerja lepas memang cenderung positif. “Enggak mau diperintah bos” seperti jawaban di atas mengasumsikan pekerja lepas memiliki hierarki yang setara dengan pemberi kerja. Asumsi ini pula yang ada di balik penyebutan-penyebutan lain untuk mereka seperti “pekerja mandiri”, “kontraktor independen” atau “mitra”.

Pekerja lepas juga kerap dianggap orang yang merdeka. Alih-alih dijerat rezim jam kerja 9-5, mereka relatif otonom dalam arti bisa bekerja di mana saja dan kapan saja. Sebab, mereka diupah berdasarkan satuan hasil, bukan satuan jam. Mereka dibayar setelah produk—apapun itu—telah selesai dikerjakan. Para pekerja lepas juga kerap disebut sebagai pekerja gig karena karakter upah per hasil ini.

Waktu dan lokasi kerja yang fleksibel, dalam sebuah survei, jadi alasan utama mengapa seseorang memilih menjadi pekerja lepas (65,4 persen).  Alasan kedua, dengan bekerja lepas seseorang dapat menyalurkan minat dan bakatnya (56,7 persen). Ada ruang bagi eksplorasi kreativitas individu dan itu dianggap tak akan berkembang jika mencurahkan tenaga kerja di pekerjaan-pekerjaan konvensional. Bekerja sebagai freelance, dalam derajat tertentu, dimaknai sebagai upaya meraih kebebasan.

Mungkin karena alasan-alasan di atas pula dalam survei yang sama ditemukan lebih banyak anak muda (21-30 tahun) yang memilih bekerja lepas (49,3 persen) ketimbang kelompok usia di atasnya (30-40 tahun, 26,5 persen).

Masalahnya apa yang diyakini sebagai realitas pekerja lepas hanya ilusi; ia justru menyelubungi kenyataan eksploitatif yang terjadi.

Telah banyak riset yang menyebutkan bahwa pekerja lepas mengalami kerentanan, bahkan dalam derajat tertentu lebih dalam ketimbang mereka yang bekerja dalam relasi konvensional–buruh tetap, kontrak dan outsourcing. Sebuah riset dari The Guardian pada 2017 lalu, misalnya, menemukan pekerja lepas kehilangan ribuan poundsterling karena bekerja tanpa dibayar alias gratisan—sekadar untuk mendapatkan pengalaman demi mempercantik portofolio.

Dalam buku Pekerja Industri Kreatif Indonesia (2021) saya, Fathimah Fildzah Izzati, Rara Sekar Larasati, Ben K. C. Laksana, dan Kathleen Azali menemukan lima kondisi rentan yang yang dialami pekerja industri kreatif (meski tidak spesifik tentang pekerja lepas, namun industri kreatif adalah satu dari sekian sektor di mana banyak freelancer berkecimpung). Lima situasi tersebut adalah:

  1. kontrak kerja kasual
  2. ketiadaan jaminan sosial
  3. jam dan beban kerja yang panjang dan berlebih
  4. upah murah dan ongkos tersembunyi
  5. ketiadaan kepastian karier

Penjelasan lebih jauh tentang poin-poin di atas dapat dibaca langsung di buku yang bisa diunduh gratis atau dalam ulasan dari Wisnu Prasetyo Utomo.

Lima kondisi penuh kerentanan di atas adalah fenomena umum meski kesimpulannya diambil dari informan yang jumlahnya terbatas. Misalnya soal ketiadaan jaminan sosial. Dalam kategori kepesertaan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS), pekerja lepas disebut “pekerja bukan penerima upah” atau PBPU. Per Januari 2022, PBPU yang terdaftar di BPJS Ketenagakerjaan hanya 3,5 juta atau hanya sekitar 10 persen dari total pekerja lepas.

Sementara di BPJS Kesehatan, peserta yang tercatat sebagai PBPU sebanyak 30,4 juta per 31 Desember 2020. Jumlahnya memang jauh lebih banyak dibanding peserta BPJS Ketenagakerjaan, hanya saja patut dicatat bahwa PBPU dalam BPJS Kesehatan juga termasuk mereka yang bukan freelancer seperti pedagang, petani, peternak, montir, dan lain-lain. Dengan kata lain, freelancer yang merupakan peserta aktif BPJS Kesehatan jumlahnya pasti lebih sedikit.

Dalam hal upah, menurut Statistik Ekonomi Kreatif 2020, tenaga kerja ekonomi kreatif rata-rata hanya mendapatkan Rp2,45 juta per bulan. Upah sekecil itu, selain dipakai untuk menanggung ongkos tersembunyi—yang tidak ditanggung pemberi kerja seperti penyusutan peralatan kerja atau penyewaan tempat kerja—juga diperoleh dari jam kerja yang panjang. Hasil Survei Ekonomi Kreatif dari Bekraf dan BPS pada 2017 lalu menyebut lebih dari 31 persen bekerja lebih dari 48 jam per pekan.

Ketiadaan perlindungan hukum kerap dianggap sebagai biang keladi situasi penuh kerentanan ini. UU 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan—dan menyusul UU Cipta Kerja—dianggap terlalu bercorak manufaktur. Namun, hukum bukan pangkal persoalan sebenarnya sebab ia adalah produk dari sistem ekonomi politik yang sedang berlangsung. Camkan ini: pada dasarnya hukum adalah manifestasi kepentingan kelas berkuasa.

Situasi rentan yang dialami pekerja—tak hanya freelancer—adalah buah dari rezim pasar tenaga kerja fleksibel (labor market flexibility) yang dijajakan oleh kapitalisme neoliberal. Gagasan utama dari rezim ini adalah menciptakan sistem kerja di mana buruh mudah direkrut dan mudah pula dipecat. Ia pertama-tama hadir dalam sistem kerja kontrak dan outsourcing yang mulai diperkenalkan sejak 1970-an dan kemudian hadir lewat wujud pekerja lepas.

Pekerja lepas yang bisa bekerja untuk pemberi kerja mana pun di belahan dunia ini dimungkinkan karena adanya platform capitalism, istilah yang dipopulerkan oleh Nick Srnicek lewat buku berjudul sama. Lewat platformlah pekerja lepas dan pemberi kerja bertemu dan menjalin “kontrak” kerja.

Platform dan rezim LMF saling berkelindan menciptakan kerentanan bagi pekerja lepas. Seperti kata Carl Hughes dan Alan Southern dalam sebuah artikel jurnal, “pengembangan perangkat lunak platform telah bersekutu dengan struktur pasar tenaga kerja yang dideregulasi.” Satu contoh sederhana adalah soal upah. Seorang pekerja lepas sangat mungkin menurunkan upah ke tingkat paling minimal sebab dengan cara itulah ia lebih mungkin dipilih untuk mengerjakan proyek.

Dalam konteks inilah mengemuka urgensi agar pekerja lepas bergabung dalam serikat.


Praktik (dan Pertanyaan untuk) Serikat Pekerja Lepas

Ketika menghadapi masalah, misalnya pelanggaran hak-hak, maka pekerja lepas cenderung pasif. Hal seperti ini disebabkan oleh corak kerja yang terindividualisasi/teratomisasi dan fakta bahwa kedudukan pemberi kerja dan penerima kerja tak pernah setara.

Arti penting serikat pekerja bagi pekerja lepas pada dasarnya adalah sama dengan serikat pekerja pada umumnya: meningkatkan daya tawar dengan aksi-aksi kolektif.

Ada beberapa serikat pekerja lepas yang telah lama eksis dan dapat dirujuk untuk menunjukkan arti penting mereka. Salah satunya adalah Freelancers Union yang didirikan pada 1995 dan saat ini telah memiliki lebih dari 50 juta anggota berstatus independent worker di Amerika Serikat.

Pada 2017, mereka mendapatkan kemenangan setelah desakan untuk membuat peraturan tentang pekerja lepas diloloskan. Salah satu pokok peraturan tersebut, menyatakan bahwa klien harus membayar pekerja lepas dalam kurun waktu maksimal 30 hari setelah pekerjaan selesai. Kemudian harus ada kontrak untuk pekerjaan yang nilainya lebih dari 800 dolar AS.

Dua persoalan utama dari pekerja lepas memang kerap tidak dibayar tepat waktu dan dilanggar hak-haknya karena ketiadaan kontrak.

Di Inggris, ada serikat yang menaungi pekerja lepas dan pekerja di industri media dan hiburan bernama Bectu. Salah satu yang menarik dari mereka, selain advokasi standar dan penyediaan berbagai jaring pengaman bagi anggota, adalah mereka memiliki daftar tarif standar bagi pekerjaan-pekerjaan yang kerap dilakoni pekerja lepas yang bisa dirujuk saat bernegosiasi.

Di Indonesia, tidak ada patokan tarif seperti ini. Akibatnya adalah kekacauan. Pekerja lepas, terutama mereka yang belum berpengalaman, memasang tarif serendah mungkin agar mendapatkan proyek. Mereka melakukan perentanan diri dan itu tentu saja sangat disukai pemberi kerja.

Di Jerman, berkat advokasi dari serikat bernama ver.di, jika seorang pekerja lepas mendapat setengah dari pendapatan mereka dari satu perusahaan, serikat dapat mewakili mereka untuk bernegosiasi.

Ada bentuk-bentuk kolektif lain yang bukan serikat tapi juga menjalankan fungsi untuk meningkatkan taraf kehidupan pekerja lepas. Sebuah kelompok di Inggris bernama Forge misalnya membuka pertemuan rutin untuk para anggota untuk sekadar berbagi cerita. Latar belakangnya adalah bahwa banyak pekerja lepas mengalami kesepian akut dan terasing dari kehidupan sosial.

Betapapun esensinya sama dengan serikat konvensional, serikat pekerja lepas memiliki tantangan tersendiri. Misalnya, bagaimana berelasi dengan pemberi kerja yang bahkan mungkin tidak kita ketahui sosok dan alamatnya karena pekerja dan pemberi kerja sekadar terhubung dengan platform.

Kemudian, bagaimana memecahkan persoalan advokasi sehari-hari karena sifat pekerjaan yang teratomisasi sementara kemampuan pengurus serikat pastilah terbatas. Ia berbeda dengan serikat konvensional yang sangat mungkin saat menjalankan sebuah advokasi langsung melibatkan ratusan atau bahkan ribuan anggota yang terdampak.

Juga termasuk bagaimana meyakinkan pekerja lepas bahwa mereka adalah bagian dari kelas pekerja. Pekerja lepas kerap merasa bahwa mereka adalah profesional, sebuah kelompok yang ada di tengah buruh dan pemberi kerja. Karena merasa demikian, mereka justru cenderung resisten terhadap segala upaya kolektif untuk meningkatkan taraf hidup.

Tantangan-tantangan ini akan terus bertambah sejalan dengan semakin intensifnya perjalanan serikat dan serikat pun harus mampu menjawabnya sendiri. Mengantisipasi dan mencoba mencari jalan keluar atas tantangan-tantangan tersebut semakin penting karena ada kecenderungan pekerjaan lepas terus diterapkan di semua lini sebagai respons dari korporasi atas situasi pandemi. Prospek ekonomi yang tidak jelas membuat perusahaan semakin memilih freelancer ketimbang merekrut pekerja tetap, bahkan untuk bidang yang tadinya tak pernah dibuka untuk pekerja lepas. Artinya, banyak rakyat pekerja akan semakin rentan.

Jamie Woodcock dalam The Fight Against Platform Capitalism (2021) merangkum ada tiga dinamika yang akan memengaruhi perjuangan dalam ekonomi platform, yaitu meningkatnya koneksi antara pekerja; kurangnya komunikasi dan negosiasi dengan platform; dan terakhir adalah internasionalisasi platform. Sekilas, dinamika ini tampaknya akan membuat serikat pekerja semakin tidak relevan. Bagaimana mungkin, misalnya, mengadvokasi seorang pekerja ketika pemberi kerja berada jauh di luar negeri. Namun, menurut Woodcock, alih-alih mengurangi kekuatan serikat pekerja, semua dinamika ini mampu “memberikan dasar teknis bagi munculnya perjuangan global baru melawan kapitalisme.”

Pada akhirnya bergabung ke serikat memang bukan seperti meminta permohonan ke jin setelah menggosok-gosok lampu ajaib: terkabulkan serta merta. Namun bagaimanapun itu lebih baik karena kita tahu persis bahwa ada orang yang bernasib serupa dan juga hendak memperjuangkan cita-cita bersama.***


Artikel ini dikembangkan dari presentasi penulis dalam diskusi “Pekerja Rentan Jakarta, Berserikatlah!” yang diselenggarakan oleh Serikat Pekerja Media dan Industri Kreatif untuk Demokrasi (Sindikasi) pada Sabtu 19 Februari 2022.


 

]]>
Posisi Sosialis Terhadap Konflik Rusia-Ukraina https://indoprogress.com/2022/03/posisi-sosialis-terhadap-konflik-rusia-ukraina/ Wed, 02 Mar 2022 05:04:36 +0000 https://indoprogress.com/?p=236699

Ilustrasi: Illustruth


SAMPAI dengan artikel ini ditulis, Rusia telah melakukan invasi militer terhadap Ukraina. Invasi yang berakar dari konflik Rusia-Ukraina yang dimulai sejak Februari 2014 itu, telah menciptakan efek domino ketegangan kekuatan politik dunia. Keputusan invasi itu sendiri adalah hasil dari peristiwa pada 22 Februari 2022 lalu ketika Presiden Rusia, Vladimir Putin, mengakui deklarasi kemerdekaan Republik Rakyat Donetsk dan Luhansk di Donbas, Ukraina. Deklarasi dukungan ini kemudian segera diikuti dengan rencana mobilisasi kekuatan militer Rusia di wilayah Ukraina tersebut sebagai upaya perlindungan atas deklarasi kemerdekaan Donetsk dan Luhansk.

Amerika Serikat (AS), yang mengklaim diri sebagai penguasa yang sah atas tatanan dunia modern, melihat apa yang dilakukan Putin sebagai pelanggaran atas norma-norma hukum internasional, karena Donbas adalah bagian yang sah dari negara Ukraina. Segera setelah deklarasi itu, presiden AS Joseph Robinette Biden Jr (Joe Biden) menyatakan akan segera mengeluarkan sanksi ekonomi dan politik kepada Rusia. Jerman yang merupakan sekutu AS di Zona Eropa, langsung mengeluarkan sanksi terhadap Rusia melalui pembatalan proyek pembangunan pipa gas Nord Stream 2 yang menghubungkan distribusi gas Rusia ke Uni Eropa melalui Jerman.

Situasi konflik Rusia-Ukraina yang terus memanas tentu perlu dicermati. Di Indonesia sendiri mulai banyak media massa yang memberitakan dinamika konflik Rusia-Ukraina. Namun selayaknya kebiasaan media massa arus utama, pemberitaan yang disajikan seringkali bersifat deskriptif: penjelasan mengenai konflik hanya menyentuh fenomena permukaan yang tampak. Tanpa mengabaikan kegunaan dari praktik pemberitaan seperti ini, pemaparan yang deskriptif melupakan upaya memahami dinamika konflik secara lebih mendalam. Dari sini, saya menganggap pentingnya memberikan pemaparan yang mendalam tentang konflik Rusia-Ukraina sebagai panduan untuk menyikapi situasi yang sedang berkembang.


Provokasi Imperialisme Amerika Serikat (Melalui NATO)

Salah satu masalah penting yang diabaikan dalam penjelasan deskriptif media massa Indonesia adalah mengenai peranan The North Atlantic Treaty Organization (NATO) dalam konflik ini. Walau berkali-kali pihak Rusia menyatakan bahwa mereka khawatir dengan praktik ekspansi NATO, tidak ada penjelasan yang mencukupi mengapa Rusia perlu khawatir dengan NATO. Yang harus diperhatikan, secara historis NATO adalah aliansi pertahanan lintas atlantik yang dibentuk di bawah pimpinan AS untuk menghadang pengaruh geopolitik Uni Soviet yang mendirikan Pakta Warsawa pada 1949.

Adalah logis kemudian jika pasca runtuhnya Soviet, bersamaan dengan pembubaran Pakta Warsawa pada 1990an, keberadan NATO menjadi tidak lagi relevan. Namun, kenyataannya NATO tetap bertahan. Untuk mendapatkan dukungan pimpinan Soviet agar transisi perubahan rezim menuju demokrasi liberal berlangsung mulus, Menteri Luar Negeri AS kala itu, James Baker, bahkan berjanji terhadap pimpinan Soviet Mikhail Gorbachev pada 9 Februari 1990 untuk tidak “seinci pun” menggerakan NATO ke arah timur (baca: Eropa Timur).

Masalahnya kemudian janji tinggalah janji. Setelah Uni Soviet runtuh berkeping-keping dan Rusia berdiri sebagai salah satu negara baru, AS tetap mengupayakan perluasan NATO di wilayah timur Eropa. Di bawah kepemimpinan presiden Bill Clinton, AS berlaku agresif untuk mempertahankan pengaruhnya di Eropa Timur. Puncaknya adalah pengeboman NATO terhadap bekas negara Yugoslavia pada tahun 1999. Dengan dalih intervensi humanitarian terhadap agresi Serbia terhadap komunitas Albania di Kosovo, NATO melancarkan kampanye brutal ini tanpa mendapat persetujuan dari dewan keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).

Agenda ekspansionis NATO ke wilayah Eropa Timur, dan Eropa secara keseluruhan, bukan sesuatu yang asing bagi kepentingan AS. Dalam visi figur anti-komunis keturunan Polandia yang juga sempat menjadi penasehat keamanan presiden Jimmy Carter, Zbigniew Brzezinski, ekspansi ke timur Eropa menjadi keharusan untuk mempertahankan imperialisme AS di abad 21. Dalam bukunya The Grand Chessboard (1997), Brzezinski melihat negara sekutu yang mendukung dominasi AS sebagai sebatas wilayah “bawahan, tributaris (wilayah yang harus membayar upeti), protektorat, koloni.” Ia juga menganggap aliansi dengan Uni Eropa sangat penting bagi AS karena dapat digunakan sebagai jembatan perluasan pengaruh AS di kawasan Eropa-Asia (Brzenski 1997, 74).

Dominasi AS di Eropa melalui NATO juga memiliki dampak ekonomi. Dengan kemitraan antara AS dan Uni Eropa, pendisiplinan pasar dapat dilakukan dalam relasi kapitalisme global. Agenda ekonomi di luar kapitalisme neoliberal menjadi agenda ekonomi yang mustahil dalam kerangka Uni Eropa. Masih segar dalam ingatan kita ketika Uni Eropa secara sistematis menghancurkan inisiatif pemerintahan kiri Syriza di Yunani yang hendak meluncurkan program ekonomi anti pengetatan ala neoliberal pada tahun 2015. Menteri Keuangan Yunani saat itu, Yanis Varoufakis, menyatakan betapa otoriternya kekuasaan moneter Uni Eropa ketika itu. Mengutip pernyataan Menteri Keuangan Jerman, Wolfgang Schauble, walau Syriza memenangkan pemilu, Syriza tidak memiliki hak untuk mengubah kebijakan ekonominya karena keanggotan Yunani di Uni Eropa (Varoufakis 2017, 236).

Hal inilah yang membuat Rusia memiliki kekhawatiran yang valid atas perluasan pengaruh AS di Eropa Timur. Perluasan pengaruh AS melalui NATO berpotensi untuk menundukkan wilayah-wilayah terdekatnya secara (geo)politik dan ekonomi. Dan ancaman ini nyata bagi Rusia. Terhitung sejak 1999 sampai dengan 2020, sudah ada 14 negara yang sebelummya adalah bagian dari Pakta Warsawa yang kemudian menjadi anggota NATO. Dengan kata lain, AS semakin mendekat dengan pelataran tanah Rusia. Adalah logis kemudian jika Rusia merasa perlu menyikapi perluasan pengaruh AS melalui NATO seperti sekarang.


Rusia, Sang Imperialis?

Hal lain yang juga perlu diklarifikasi adalah status politik Rusia itu sendiri. Banyak pihak yang melihat bahwa Rusia perlu juga dilihat sebagai negara imperialis layaknya AS. Praktik aneksasi Crimea pada 2014 yang kemudian dilanjutkan dengan dukungan terhadap deklarasi kemerdekaan di Donetsk dan Luhansk, merupakan bukti dorongan ekspansionisme ala kekuatan imperialisme. Belum lagi dalam pernyataan publik terakhirnya, Putin menegaskan Ukraina bukan sebagai negara yang berdaulat namun lebih sebagai entitas teritorial yang baru dikonstruksikan oleh Lenin pasca-revolusi Bolshevik. Dari fakta ini, sulit untuk tidak terbujuk oleh ide bahwa Rusia adalah kekuatan imperialis yang ekspansionis.

Namun di sini kita perlu lebih spesifik dalam mendefinisikan imperialisme. Sebagai Marxis tentu kita perlu merujuk kembali pada argumen Lenin tentang imperialism sebagai tahapan tertinggi kapitalisme. Argumentasi Lenin tentang imperialisme sering kali diarahkan pada preposisinya tentang lima karakter khusus imperialisme.[1] Namun, buat saya, argumentasi Lenin bisa digunakan untuk menjelaskan bagaimana relasi kelas dapat berimplikasi pada praktik imperialis suatu negara. Secara implisit, menurut Lenin, imperialisme adalah suatu kondisi dimana kekuatan kapitalis suatu negara sudah menjadi monopolistis dan menjadi kekuatan dominan di negara tersebut. Negara dapat dikatakan imperialis ketika dominasi kapitalis monopoli tersebut diterjemahkan dalam praktik kekuasaan negara dimana negara didorong untuk berekspansi atas dasar motif akumulasi kapital. Di bawah kendali kapitalis monopolis, negara imperialis harus mensubordinasi negara lain yang lebih lemah sebagai bagian untuk ekstraksi surplus ekonomi di negara lemah tersebut.

Dari argumentasi Lenin ini, Rusia di bawah Putin tidak dapat dikatakan sebagai negara yang didominasi oleh kekuatan kapitalis monopoli. Bahkan, bisa dikatakan, Putin bersikap konfrontatif terhadap posisi kapitalis monopoli di Rusia. Tercatat sejak mulai berkuasa pada tahun 2000 sampai 2020, Putin sangat agresif memenjarakan kalangan kapitalis monopoli—kalangan oligark super kaya Rusia—yang dianggapnya merugikan kekayaan negara.

Namun, bagaimana jika Putin itu sendiri adalah si kapitalis monopolis? Bukankah Putin adalah bagian dari orang terkaya di Rusia? Benar memang ia adalah bagian dari kelas kaya Rusia, namun pilihan politik Putin tidak selalu membawa aspirasi kelas kaya Rusia. Dalam situasi perang seperti sekarang, Putin justru memiliki kepentingan berbeda dengan kelas kapitalis Rusia yang menghendaki stabilitas. Untuk ini penting jika kita melihat bagaimana praktik politik luar negeri Rusia di bawah kepemimpinan Putin. Alih-alih berperilaku identik layaknya negara-negara imperialis seperti AS, Inggris, atau Prancis—yang memaksakan kepentingan ekonominya melalui politik luar negeri—Rusia cenderung negosiatif dalam memajukan kepentingan ekonominya dalam interaksi internasional. Karakter ini jelas dapat dilihat hal yang baik, khususnya bagi negara-negara kecil dan lemah ekonominya, ketika mereka tengah mengupayakan perlawanan terhadap imperialisme. Tidak heran jika negara-negara yang tengah membangun sosialisme seperti Kuba, Venezuela, Nikaragua bahkan Bolivia menganggap strategis hubungan mereka dengan Rusia.

Tentu mengatakan Rusia bukan negara imperialis tidak serta merta menjadikannya inspirasi pembangunan sosialisme. Putin bukanlah sosialis, apalagi komunis. Dia lebih sering muncul sebagai politisi nasionalis reaksioner yang sensitif terhadap segala hal yang dianggapnya ancaman. Artinya, dia tidak segan menjadikan kekuasaannya sebagai martil untuk membungkam kebebasan kelompok yang dianggapnya berbahaya. Maka tidak mengherankan jika kemudian represi terhadap kalangan LGBTQ dan kelompok oposisi sayap kiri-radikal lumrah di bawah kekuasaan Putin. Namun, masalah pemerintahan Putin yang otokratis ini tidak lantas membenarkan pandangan bahwa ada kesetaraan posisi antara Rusia dengan imperialisme AS. AS tetaplah kekuatan imperialis satu-satunya dalam konteks konflik Rusia-Ukraina.


Masalah Demokrasi di Ukraina

Jika Rusia bukan negara imperialis, lalu bagaimana menjelaskan invasi militer Rusia di Crimea, Donbas, dan Ukraina secara luas? Di sini kita perlu memeriksa secara seksama dinamika internal politik Ukraina. Alih-alih menempatkannya sebagai aktor yang sama sekali tidak bersalah, Ukraina, khususnya kelas berkuasa di Ukraina, memiliki andil dalam eskalasi konflik yang sedang berlangsung ini. Pasca “Revolusi Maidan” (disebut demikian karena terjadi di lapangan Maidan) pada 2014 yang menjatuhkan Presiden Ukraina pro-Rusia, Victor Yanukovich, politik Ukraina terbelah antara kelompok penolak dan pendukung Rusia. Ketika demokrasi multi-partai didirikan pasca revolusi, kelompok penolak Rusia menjadi kelompok politik dominan di Ukraina. Pada titik inilah demokrasi multipartai Ukraina berjalan beriringan dengan maraknya sentimen anti-Rusia di publik Ukraina. Setiap yang berbau Rusia dianggap bermasalah bagi otoritas kekuasaan Ukraina.

Masalahnya kemudian layaknya setiap negara-bangsa, Ukraina bukanlah entitas yang tunggal. Terdapat 17 persen dari keseluruhan populasi Ukraina yang mendaku diri sebagai Rusia. Praktik demokrasi yang bersifat anti-Rusia ini jelas mendiskriminasi setiap anggota masyarakat di Ukraina yang dianggap memiliki hubungan dengan Rusia. Politik diskriminasi ini kemudian ditegaskan lagi pada 2014, ketika parlemen Ukraina memproduksi undang-undang yang menjadikan bahasa Ukraina satu-satunya bahasa di sekolah dasar. Undang-undang ini secara sengaja menyingkirkan bahasa Rusia yang juga merupakan bahasa keseharian di Ukraina. Melalui UU ini, pemerintah Ukraina juga secara sengaja melanggar hak kelompok minoritas Hungaria, Yahudi, dan Tatar yang terbiasa untuk menggunakan bahasa Rusia. Terakhir, figur oposisi Ukraina yang merupakan pimpinan partai oposisi terbesar di parlemen Ukraina, Viktor Medvedchuk, digelandang ke hotel prodeo dengan tuduhan pengkhinatan karena memiliki hubungan dekat dengan Putin.

Masalah demokrasi anti-Rusia ini juga memberikan ruang yang lapang bagi maraknya pertumbuhan gerakan fasis di Ukraina. Dengan anggapan bahwa Rusia merupakan kelanjutan dari Uni Soviet, kelas berkuasa Ukraina membiarkan keberadaan kelompok fasis yang mempropagandakan anti komunisme, anti semitisme dan ultarnasionalisme. Kelompok-kelompok ini dibiarkan begitu saja menyerang komunitas LGBTQ, Romani (yang secara peyoratif sering disebut kaum gipsi), dan tentu saja kelompok kiri-sosialis. Sebanyak 39 anggota serikat buruh dibakar hidup-hidup oleh kelompok fasis dalam suatu kasus pembunuhan di Odessa. Belum lagi dominasi kelompok fasis ini memaksa Partai Komunis Ukraina untuk beroperasi di bawah tanah.

Perkembangan sentimen anti Rusia beserta kelompok fasis di Ukraina ini didukung keberadaannya oleh AS. Tendensi anti-komunis akut dari kelompok fasis ini jelas menguntungkan posisi AS yang hendak menancapkan pangaruhnya di Ukraina melawan Rusia. Masih segar dalam ingatan ketika senator konservatif AS, John Mccain, bertemu pimpinan kelompok fasis Ukraina, Oleh Yaroslavovych Tyanhnybok, beberapa bulan sebelum terjadinya Revolusi Maidan. Dengan kata lain, maraknya fasisme di Ukraina juga dipengaruhi oleh peranan AS.

Dalam situasi inilah “invasi” Rusia di Crimea dan Donbas perlu dilihat. Populasi etnik Rusia di dua wilayah Ukraina tersebut gerah dengan tindakan diskriminatif kelas berkuasa Ukraina. Masuknya militer Rusia di dua wilayah itu sedikit banyak dilakukan melalui dukungan internal masyarakat Rusia-Ukraina. Hal ini menjadi masuk akal mengingat di dua wilayah tersebut, etnik Rusia merupakan kelompok mayoritas. Kita mungkin bisa tidak setuju dengan invasi Rusia, tapi perlu juga dilihat bahwa invasi ini tidak berlaku satu arah. Sebelum adanya intervensi militer Rusia, populasi Crimea menyelenggarakan referendum yang hasilnya mayoritas mendukung unifikasi Crimea terhadap Rusia.

Hal yang hampir mirip juga berlaku dalam keputusan Rusia untuk mendukung kemerdekaan Donetsk dan Luhansk. Bahkan Donetsk telah mendeklarasikan kemerdekaan semenjak April 2014 melalui keputusan referendum lokal. Namun deklarasi tersebut tidak digubris oleh Rusia, sebab pemerintah Ukraina berjanji untuk memberikan otonomi luas terhadap Donetsk sehingga kedekatan wilayah tersebut dengan Rusia tetap langgeng. Komitmen otonomi ini secara formal disepakati dalam Perjanjian Minks II pada September 2014. Masalahnya hingga 2022, pemerintah Ukraina tidak memenuhi komitmennya berdasarkan perjanjian Minsk II. Bahkan pada 2019, parlemen Ukraina melakukan amandemen konstitusi sehingga mencantumkan keanggotaan Ukraina dalam NATO.

Tentu saja referendum yang berlaku di Crimea dan Donbas tidak murni aspirasi populer masyarakat di sana. Ada peranan elite lokal, khususnya mereka yang dekat dengan Rusia, yang memungkinan mobilisasi berbuah referendum itu. Tidak heran jika mayoritas negara anggota PBB tidak mengakui referendum tersebut. Namun menolak referendum bukan berarti menampik fakta bahwa ada dinamika politik internal Ukraina yang bermasalah, yakni kecenderungannya yang dekat dengan kepentingan imperialisme AS. Dalam terang perkembangan politik inilah kita perlu memahami keputusan Kremlin yang melihat Ukraina sebagai ancaman keamanan Rusia, sehingga memberinya legitimasi untuk melakukan invasi militer.


Posisi Sosialis

Dari analisa ini, setidaknya kita bisa melihat bahwa jantung permasalahan konflik Rusia-Ukraina terletak pada nafsu ekspansionis imperialisme AS melalui NATO yang diakomodasi oleh kelas berkuasa Ukraina untuk menghalau pengaruh Rusia. Dengan pemimpin reaksioner seperti Putin, kita dapat memahami bahwa invasi militer menjadi pilihan logis bagi Rusia untuk menghentikan ekspansi NATO melalui Ukraina. Namun, pengakuan atas masalah pokok ini tidak dengan sendirinya menjadi invasi militer itu sah. Masalahnya, selayaknya judi, Langkah agresif ini belum tentu akan membuahkan hasil sebagaimana yang diharapkan Rusia. Bahkan invasi militer ini justru berpotensi untuk memperbesar sentimen anti-Rusia sampai ke level internasional.

Bagi sosialis revolusioner, tentu kita menghendaki situasi perang ini dapat diubah menjadi perang kelas. Kekalahan perang di pihak Rusia berpotensi membuka kesempatan bagi Gerakan sosialis di Rusia menguatkan pengaruhnya di massa rakyat. Sayangnya, gerakan sosialis di Rusia sendiri cenderung terbelah. Kekuatan sosialis utama, yang juga adalah kekuatan oposisi di parlemen seperti Partai Komunis Federasi Rusia, cenderung menerima keputusan invasi Kremlin. Jikapun ada kekuatan sosialis di yang melawan keputusan Putin di Rusia, kapasitas mereka terlalu kecil untuk dapat memobilisasi perlawanan. Yang perlu diperhatikan adalah bagaimana mobilisasi spontan publik Rusia sekarang bisa menjadi pemula bagi formasi sosialis yang signifikan dalam menentang politik Putin.

Di tengah lemahnya posisi kekuatan sosialis baik di Rusia maupun di Ukraina, dan juga gerakan sosialis internasional secara keseluruhan, aspirasi paling mungkin untuk diperjuangkan adalah sekuat mungkin merealisasikan perdamaian di Kawasan timur Eropa. Deeskalasi militer harus direalisasikan segera. Kaum sosialis harus memposisikan bahwa invasi militer selain akan banyak menelan korban jiwa, juga tidak akan menjamin terciptanya stabilitas regional sebagaimana yang diinginkan Rusia. Tidak akan ada pemenang dalam perang ini, kecuali kelas kapitalis yang menguasai industri senjata dan industri minyak dan gas (migas). Maka penting untuk memberikan tekanan terhadap pemerintah Rusia agar segera menghentikan agresi militernya, sembari terus mendorong Rusia dan Ukraina untuk duduk bersama dalam negosiasi guna membangun perdamaian di perbatasan mereka.

Di sisi lain, kita juga harus mempropagandakan kampanye anti-imperialisme dengan menolak kehadiran AS melalui NATO di wilayah Ukraina dan mendesak netralitas Ukraina terhadap AS dan Rusia. Agresi militer Rusia hanya akan akan memperbesar aspirasi di publik internasional mengenai perlunya NATO mengintervensi situasi di Ukraina. Selain itu, bagi kepentingan kelas berkuasa Ukraina, politik mereka yang diskriminatif hanya akan semakin populer di mata publik yang bisa berakibat pada kian menyempitnya ruang pengorganisasian kelompok sosialis di Ukraina. Singkatnya, kaum sosialis sekarang memiliki dua agenda anti-perang: menolak perluasan pengaruh Imperialisme AS-NATO di Eropa Timur dan menuntut penghentian agresi militer Rusia segera!***


Muhammad Ridha adalah mahasiswa PhD di Northwestern University, Chicago, AS dan aktif di Partai Rakyat Pekerja (PRP)


 

Catatan Akhir

[1] Secara eksplisit, Lenin menyatakan lima fitur imperialisme: 1) Konsentrasi ekonomi; 2) Dominasi kapital finansial; 3) Pentignya ekspor kapital; 4) Terbentuknya formasi kapitalis monopolis secara internasional; 5) Terbentuknya pembagian politik berdasar formasi internasional kapitalis monopoli.

]]>